PERKEMBANGAN, KLASIFIKASI DAN POTENSI TANAH SAWAH TADAH HUJAN DARI BAHAN LAKUSTRIN DI PAGUYAMAN, GORONTALO NURDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 i PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Perkembangan, Klasifikasi dan Potensi Tanah Sawah Tadah Hujan dari Bahan Lakustrin di Paguyaman, Gorontalo adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Mei 2010 Nurdin NRP A151070021 ii ABSTRACT NURDIN. Development, Classification and Rainfed Paddy Soils Potency Derived from Lacustrine Materials in Paguyaman, Gorontalo. Under guidance of DJUNAEDI A. RACHIM, DARMAWAN, and SUWARNO. Efforts to increase and develop paddy soil other than irrigated paddy soil (IPS) are essential in order to improve rice production. Rainfed paddy soil (RPS) is the second granary national after IPS, although current productivity of RPS is low and it has complex limiting factor. The objective of this research were: (1) to study the development of RPS based on soil characteristics and genesis, (2) to identify the main factors influencing the formation of soil profiles, (3) to classify the soil according to Soil Taxonomy classification system, and (4) to evaluate land potency for rice and corn. The research was carried out on 9 pedons from lacustrine materials on E4 agroclimate zones. RPS and upland (UL) pedons are located in Sidomukti of Gorontalo Regency and Molombulahe of Boalemo Regency. While, the IPS pedon are Bandungrejo of Gorontalo Regency. Field observations were done throughout toposequent transect on the lower, middle and upper slope position. Soil samples taken from each horizon of each pedon for laboratory analysis. The observed parameters were morphological characteristics, physical, chemical and mineralogical properties of the soil. The data were analyzed with quantitative and qualitative analysis. Soils were classified based on Soil Taxonomy system, whereas land potentials were evaluate by land suitability analysis with the parametric approach. Land suitability classes (LSC) were determined by Square Root Land Index Method. The results of this study showed that all pedons have B horizon but IPS is more developed than the RPS and the UL. The IPS pedon is more weathered intensively than the RPS and the UL. The main genesis process in all pedon were eluviation, illuviation, lessivage, pedoturbation, braunification and gleization, except for UL pedon from Molombulahe that do not reflact gleization process. The main factors of soil formation were climate, age (time), topography and human activity. The soil classification of PNS1, PNM1 and PNM2 pedon were classified as Ustic Endoaquert, fine, smectitic, isohypertermic; PNS2 pedon classified as Vertic Endoaquept, fine, smectitic, isohypertermic; PNS3 pedon classified as Vertic Epiaquept, fine, smectitic, isohypertermic; PNS-LK pedon classified as Typic Eutrudept, fine loam, smectitic, isohypertermic; PNB pedon classified as Ustic Epiaquert, fine, mixed, active, isohypertermic; PNM3 pedon classified as Aeric Epiaquept, fine, smectitic, isohypertermic; and PNM-LK pedon classified as Typic Eutrudept, fine, smectitic, isohypertermic. The highest LSC of land utilization types (LUT) for local paddy was highly suitable (S1), while the lowest one was not suitable (Nna). The highest LCS of paddy-corn and paddy-corn-corn LUTs was marginally suitable with nutrient availability and water as a limiting factor (S3na and S3wa), while the lowest LSC was not suitable cause same limiting factors (Nna and Nwa). The potency of RPS similar to potency of IPS. The full recommendation of LUT were LUT of local paddy with B (100% of recommended dosage) and C pattern (prescription dosage), except for Inceptisol from Molombulahe consist of local paddy LUT to A (none fertilizing), B and C pattern. The Other LUTs were including requiring recommended and not recommended. Keywords: Development, classification, land utilization types, land suitability classes, rainfed paddy soil, lacustrine. iii RINGKASAN NURDIN. Perkembangan, Klasifikasi dan Potensi Tanah Sawah Tadah Hujan dari Bahan Lakustrin di Paguyaman, Gorontalo. Dibimbing oleh DJUNAEDI A. RACHIM, DARMAWAN, dan SUWARNO. Kebutuhan beras nasional terus meningkat karena pesatnya pertambahan penduduk. Upaya peningkatan dan pengembangan lahan sawah potensial lainnya selain tanah sawah irigasi (TSI) yang ada mutlak diperlukan guna meningkatkan produksi beras. Tanah sawah tadah hujan (TSTH) merupakan lumbung padi kedua nasional setelah TSI, walaupun saat ini produktifitasnya masih rendah dan mempunyai faktor pembatas yang kompleks. Di samping itu, TSTH sering diberakan setelah ditanam padi dan hanya sedikit saja yang diusahakan untuk tanaman pangan lain, terutama jagung. Padahal jagung cukup potensial untuk dibudidayakan pada tanah tersebut. Melalui upaya pengelolaan tanah berdasarkan karakteristik dan kualitas tanah, maka TSTH berpotensi menjadi alternatif yang menjanjikan untuk pengembangan dua komoditi tersebut di masa mendatang. Sebagai upaya mencapai hal tersebut, maka penelitian tentang perkembangan, klasifikasi dan potensi TSTH perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui perkembangan TSTH berdasarkan karakteristik dan genesis tanah yang berasal dari bahan lakustrin, (2) mengidentifikasi faktor-faktor utama yang mempengaruhi pembentukan profil tanah, (3) mengklasifikasikan tanah menurut sistem Taksonomi Tanah, dan (4) mengetahui potensi tanah melalui analisis kesesuaian lahan untuk padi sawah dan jagung. Penelitian dilaksanakan terhadap sembilan pedon pewakil dari bahan lakustrin pada zona agroklimat E4 yang tersebar di Kabupaten Gorontalo dan Boalemo Provinsi Gorontalo. Pedon pewakil TSTH dan lahan kering (TLK) terletak di desa Sidomukti Kabupaten Gorontalo dan Molombulahe Kabupaten Boalemo. Sedangkan pedon pewakil TSI terletak di desa Bandungrejo, Kabupaten Gorontalo. Pengamatan lapang dilakukan dalam satu transek lereng (toposekuen) pada posisi lereng bawah, punggung, dan lereng puncak. Contoh tanah diambil dari setiap horison pada setiap profil pedon untuk dianalisis di laboratorium. Parameter yang diamati terdiri dari sifat morfologi, fisika, kimia dan sifat mineralogi tanah. Data yang diperoleh dianalisis dengan pendekatan kualitatif secara deskriptif-kuantitatif. Proses genesis tanah yang terjadi dilakukan melalui serangkaian rekonstruksi terhadap sifat morfologi, fisika, kimia dan sifat mineralogi tanah yang ditunjukkan saat ini. Berdasarkan hal tersebut, diidentifikasi faktor-faktor pembentuk tanah. Selanjutnya, tanah diklasifikasi menurut sistem Taksonomi Tanah. Sedangkan penilaian potensi lahan dilakukan melalui analisis kesesuaian lahan dengan pendekatan parametrik. Untuk penentuan kelas kesesuaian lahan menggunakan metode indeks lahan akar kuadrat yang dikemukakan oleh Khiddir (1986) dalam Sys et al. (1991). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua pedon yang diamati telah berkembang yang ditunjukkan oleh adanya adanya horison B. Namun, TSI lebih berkembang dibanding TSTH dan TLK yang ditunjukkan oleh terkstur debu yang lebih dominan, perkembangan struktur lebih kuat, warna matriks lebih merah pada skala 2,5YR dan warna karatan lebih kekuningan. Namun, nilai pH tanah, jumlah basa, dan KTK pedon TSTH lebih tinggi dibanding pedon TSI dan TLK. Berdasarkan genesis tanah, maka TSI telah mengalami pelapukan lebih intensif iv dibanding TSTH dan TLK, walaupun belum lanjut. Proses genesis tanah yang utama pada pedon TSTH, TSI dan TLK adalah: eluviasi, iluviasi, liksiviasi, pedoturbasi, braunifikasi dan gleisasi, kecuali pedon TLK dari Molombulahe yang tidak mengalami proses gleisasi. Faktor utama pembentuk tanah pada semua tanah yang diteliti adalah iklim, umur (waktu), topografi, dan aktifitas manusia. Berdasarkan klasifikasi tanah sistem taksonomi, maka pedon PNS1 diklasifikasikan sebagai Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik; pedon PNS2 diklasifikasikan sebagai Endoaquept Vertik, halus, smektitik, isohipertermik; pedon PNS3 diklasifikasikan sebagai Epiaquept Vertik, halus, smektitik, isohipertermik; pedon PNS-LK diklasifikasikan sebagai Eutrudept Tipik, berlempung halus, smektitik, isohipertermik; pedon PNB diklasifikasikan sebagai Epiaquert Ustik, halus, campuran, aktif, isohipertermik; pedon PNM1 diklasifikasikan sebagai Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik; pedon PNM2 diklasifikasikan sebagai Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik; pedon PNM3 diklasifikasikan sebagai Epiaquept Aerik, halus, smektitik, isohipertermik; dan pedon PNM-LK diklasifikasikan sebagai Eutrudept Tipik, halus, smektitik,isohipertermik. Berdasarkan potensi tanah, maka kelas kesesuaian lahan (KKL) untuk tipe penggunaan lahan (TPL) padi lokal paling tinggi adalah sangat sesuai (S1) dan terendah tidak sesuai dengan faktor pembatas ketersediaan hara (Nna). Sedangkan, TPL padi-jagung dan TPL padi-jagung-jagung, KKL tertinggi adalah sesuai marjinal dengan faktor pembatas ketersediaan hara dan air (S3na dan S3wa), sementara terendah tidak sesuai dengan faktor pembatas yang sama pula (Nna dan Nwa). Berdasarkan KKL tersebut, maka potensi TSTH relatif sama dengan TSI. Rekomendasi TPL penuh pada semua jenis tanah dan lokasi terdiri dari TPL padi lokal pola B (100% dosis anjuran) dan C (pemupukan preskripsi), kecuali Inceptisol Molombulahe terdiri dari TPL padi lokal pola A (tanpa pemupukan), B dan C. Rekomendasi TPL bersyarat untuk Vertisol Sidomukti dan Inceptisol 2 Sidomukti terdiri dari TPL padi lokal pola A atau TPL padi-jagung pola B dan C atau TPL padi-jagung-jagung pola B dan C; Inceptisol 1 Sidomukti, Incentisol Molombulahe dan Vertisol Bandungrejo terdiri dari TPL padi lokal pola A atau TPL padi-jagung pola B dan C atau TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C; Vertisol 1 Molombulahe terdiri dari TPL padi lokal pola A atau TPL padi-jagung pola B dan C. Sedangkan Vertisol 2 Molombulahe terdiri dari TPL padi-jagung pola B dan C atau TPL padi-jagung-jagung pola C. Sedangkan TPL yang tidak direkomendasikan terdapat pada Vertisol Sidomukti dan Inceptisol 2 Molombulahe yang terdiri dari TPL padi-jagung pola A atau TPL padi-jagungjagung pola A; Inceptisol 1 Molombulahe dan Vertisol Bandungrejo adalah TPL padi-jagung pola A; Vertisol 1 Molombulahe terdiri dari TPL padi-jagung pola A atau TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C; dan pada Vertisol 2 Molombulahe terdiri dari TPL padi lokal pola A atau TPL padi-jagung pola A atau TPL padijagung-jagung pola A dan B. Hal. Kata Kunci: Perkembangan, klasifikasi, tipe penggunaan lahan, kelas kesesuaian lahan, tanah sawah tadah hujan, bahan lakustrin. v © Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. 2. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB vi PERKEMBANGAN, KLASIFIKASI DAN POTENSI TANAH SAWAH TADAH HUJAN DARI BAHAN LAKUSTRIN DI PAGUYAMAN, GORONTALO NURDIN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Tanah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 vii Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Widiatmaka, DAA viii Judul Tesis Nama NRP : Perkembangan, Klasifikasi dan Potensi Tanah Sawah Tadah Hujan dari Bahan Lakustrin di Paguyaman, Gorontalo : Nurdin : A151070021 Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Djunaedi A. Rachim, M.S Ketua Dr. Ir. Darmawan, M.Sc Anggota Dr. Ir. Suwarno, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Tanah Dr. Ir. Atang Sutandi, M.S Tanggal Ujian : 21 April 2010 Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal Lulus : ix Buah karya ini kupersembahkan untuk : Pendampingku yang selalu setia dan sabar ...... Briptu Nurmaya Kasim, SH Anakku tercinta yang selalu menghibur...... Alifa Siti Khumaira Kyai Baderan Aqila Siti Khasanah Kyai Baderan Orang-orang yang termulia ...... Ayahanda Gani Kyai Baderan Ibunda Mudjini Ayanhanda Yusuf Kasim Ibunda Syamsia Umar (Alm) Ayahanda Dr. Ir. Jailani Husain, M.Sc Ibunda Ir. Hartin Kasim x PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak Maret 2009 dengan judul Perkembangan, Klasifikasi dan Potensi Tanah Sawah Tadah Hujan dari Bahan Lakustrin di Paguyaman, Gorontalo. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : - Prof. Dr. Ir. Djunaedi A. Rachim, M.S., Dr. Ir. Darmawan, M.Sc., dan Dr. Ir. Suwarno, M.Sc selaku komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan pemikiran untuk memberikan arahan tesis ini. - Dr. Ir. Widiatmaka, DAA selaku penguji luar komisi pembimbing dan Dr. Ir. Atang Sutandi, MS selaku ketua programa studi Ilmu Tanah IPB atas saran dan koreksi terhadap tesis ini. - Penyelenggara program Beasiswa BPPS Dikti Departemen Pendidikan Nasional RI atas bantuan dana pendidikan program magister di SPs IPB. - Doni Rahmat Lahati, S.E, M.H., Effendi Mobilingo, S.Sos dan Adnan Marzuki dari Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Boalemo yang telah membantu pendanaan penelitian ini serta Drs. Rum Pagau selaku wakil ketua DPRD dan Ir. Rusdin Aminu, MM selaku kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Boalemo atas saran dan masukannya. - Ir. B. H Prasetyo, M.Sc., Yoce Dai, Ir. Ladyani, M.Sc dan pa udin atas bantuan analisis tanah, serta ibu tini dan pa jajat atas pinjaman buku, jurnal dan pengadaan peta tematik. - Rekan-rekan seangkatan: M. Hikmat, SP., Hendri Purnama, SP., Togi R. Hutabarat, SP., Nasruddin, SP., Yolanda Syam, SP, M.Si dan Mami Heri, SP, M.Si atas perhatian, bantuan dan saran selama ini - Prof. Dr. Ir. Nelson Pomalingo, M.Pd selaku Rektor Universitas Negeri Gorontalo (UNG) dan Ir. Zulzain Ilahude, MP selaku Dekan Fakultas Pertanian UNG yang mendorong penulis untuk melanjutkan studi S2. - Keluarga besar: Gani Kyai Baderan (ayah), Mudjini (ibu), Yusuf Kasim dan Almh Syamsia Umar (mertua), Dr. Ir. Jailani Husain, M.Sc dan Ir. Hartin Kasim (paman/tante dan orang tua angkat), Nursiah, SPd., Siti Rahasia K. Baderan, AMd., Siti Aminah K. Baderan, SPd., Siti Khadijah K. Baderan, Mohamad Jailani K. Baderan dan Jesica Adisdea Baderan serta Santi Djafar dan Haris Tolinggi atas dorongan dan doanya selama ini. - Istri (Briptu Nurmaya Kasim, SH) dan anak-anak (Alifa Siti Khumaira Kyai Baderan dan Aqila Siti Khasana Kyai Baderan) atas segala doa, dukungan, kesabaran dan pengorbanan selama studi sampai penyelesaian penelitian ini. Semoga tesis ini bermanfaat. Bogor, Mei 2010 Nurdin xi RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 19 April 1980 di Paguyaman Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo. Penulis adalah putera pertama dari tujuh bersaudara dari Bapak Gani K. Badiran dan Ibu Mudjini. Pada tahun 1999, penulis lulus SMA Negeri 3 Gorontalo dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Sam Ratulangi Manado melalui jalur Tou Tumou Tou (T2) atau program menghidupkan orang lain. Penulis memilih Jurusan Tanah Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil (PNS), yaitu Dosen pada Universitas Negeri Gorontalo dan bertugas pada Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian. Tahun 2007 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan pada jenjang S2 melalui tugas belajar dari Rektor Universitas Negeri Gorontalo pada Program Studi Ilmu Tanah (TNH) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan bantuan beasiswa BPPS Dikti tahun 2007. Penulis menikah dengan Briptu Nurmaya Kasim, SH pada tanggal 1 September 2007 dan saat ini telah dikarunai dua orang putri, yaitu Alifa Siti Khumaira Kyai Baderan yang lahir pada tanggal 24 Juli 2008 dan Aqila Siti Khasanah Kyai Baderan pada tanggal 29 Oktober 2009. xii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................ xiv DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xix 1. PENDAHULUAN .............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1 1.2 Hipotesis Penelitian ...................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 4 1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 4 2. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 5 2.1 Lingkungan Daerah Endapan Danau (Lakustrin) ........................ 5 2.2 Karakteristik Tanah Sawah .......................................................... 6 2.3 Klasifikasi Tanah Sawah ............................................................. 7 2.4 Evaluasi Sumberdaya Lahan Berdasarkan Kualitas Lahan ......... 8 3. BAHAN DAN METODE ................................................................... 12 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 12 3.2 Bahan dan Alat ............................................................................ 12 3.3 Metode Penelitian ........................................................................ 15 3.3.1 Penetapan Lokasi dan Contoh ............................................ 15 3.3.2 Pelaksanaan Lapang ........................................................... 15 3.3.3 Analisis Laboratorium ........................................................ 16 3.3.4 Analisis dan Interpretasi Data ............................................ 17 3.4 Diagram Alir Penelitian ............................................................... 22 4. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN .................................... 24 4.1 Letak Geografis dan Administratif .............................................. 24 4.2 Kondisi Iklim dan Hidrologi ......................................................... 24 4.3 Kondisi Geologi ............................................................................ 28 4.4 Kondisi Landform, Fisiografi dan Topografi ............................... 30 4.5 Kondisi Pengunaan Lahan ............................................................ 32 4.6 Kondisi Kegiatan Pertanian .......................................................... 32 xiii 5. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 34 5.1 Karakteristik Tanah Sawah Tadah Hujan ..................................... 34 5.1.1 Sifat Morfologi dan Fisika Tanah ....................................... 34 5.1.2 Sifat Kimia Tanah ............................................................... 49 5.1.3 Sifat Mineralogi .................................................................. 59 5.1.3.1 Susunan Mineral Fraksi Pasir ................................. 59 5.1.3.2 Susunan Mineral Fraksi Liat ................................... 63 5.2 Genesis Tanah Sawah Tadah Hujan ............................................. 69 5.3 Klasifikasi Tanah sawah Tadah Hujan ........................................ 78 5.4 Potensi Tanah Sawah Tadah Hujan ............................................. 91 5.4.1 Kesesuaian Lahan ............................................................... 91 5.4.2 Rekomendasi Penggunaan Lahan ...................................... 106 6. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 112 6.1 Kesimpulan .................................................................................. 112 6.2 Saran ............................................................................................ 113 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 114 LAMPIRAN ................................................................................................. 122 xiv DAFTAR TABEL 1 Halaman Parameter Sifat-Sifat Tanah dan Metode Analisisnya ......................... 16 2 Data Penelitian Kesesesuaian Lahan untuk Setiap KL ........................ 19 3 Nilai kc Tanaman yang Digunakan pada Penelitian ini ...................... 20 4 Kondisi CHE, 90% CHE pada Beberapa lokasi di Daerah Penelitian ............................................................................ 20 5 Persamaan Regresi Pendugaan Produksi Berdasarkan KL Ketersediaan Air (KL wa) ............................................................. 20 6 Dosis Pemupukan Anjuran Masing-Masing Komoditas TPL ............ 21 7 Persamaan Regresi Pendugaan Produksi Berdasarkan KL Ketersediaan Hara dan Pemupukan (KL na) ................................. 22 8 Nilai Indeks Lahan untuk Kelas Kesesuaian Lahan ............................ 22 9 Letak Geografis dan Administratif Wilayah Penelitian ...................... 24 10 Sifat Morfologi dan Fisik Tanah Pedon TSTH dari Desa Sidomukti (S) dan Molombulahe (M) ................................ 40 11 Sifat Morfologi dan Fisik Tanah Pedon TLK dari Desa Sidomukti (S) dan Molombulahe (M) ....................................... 41 12 Sifat Morfologi dan Fisik Tanah Pedon TSI dari Desa Bandungrejo ............................................................................... 41 13 Sifat Kimia Tanah Pedon TSTH dari Desa Sidomukti (S) dan Molombulahe (M) ......................................................................... 50 14 Sifat Kimia Tanah Pedon TLK dari Desa Sidomukti (S) dan Molombulahe (M) ........................................................................ 51 15 Sifat Kimia Tanah Pedon TSI dari Desa Bandungrejo ....................... 51 16 Sifat Kimia Air Sawah di Daerah Penelitian ...................................... 59 17 Persentase Mineral Fraksi Pasir pada Pedon TSTH Pewakil, Sidomukti ............................................................................................. 60 18 Persentase Mineral Fraksi Pasir pada Pedon TSTH Pewakil, Molombulahe ........................................................................................ 61 19 Persentase Mineral Fraksi Pasir pada Pedon TLK Pewakil, Molombulahe ......................................................................... 62 20 Persentase Mineral Fraksi Pasir pada Pedon TSI Pewakil, Bandungrejo ......................................................................... 63 21 Hasil Analisis Mineral Fraksi Liat dengan Metode XRD pada Contoh Tanah Terpilih dari Pedon yang Diteliti ................................. 64 22 Faktor-Faktor Pembentuk Tanah Utama di Daerah Penelitian ............ 70 xv 23 Beberapa Sifat Penciri Genesis TSTH ................................................. 74 24 Beberapa Sifat Penciri Genesis Tanah TLK dan TSI di Daerah Penelitian.............................................................................. 76 25 Penciri Utama Klasifikasi Tanah pada Pedon TSTH .......................... 79 26 Penciri Utama Klasifikasi Tanah pada Pedon TLK dan TSI ............... 80 27 Persyaratan Epipedon Molik, Okrik dan Umbrik menurut Taksonomi Tanah ................................................................................ 81 28 Penentuan Epipedon menurut Taksonomi Tanah di Daerah Penelitian ............................................................................. 82 29 Horison Penciri dan Sifat Penciri Lainnya untuk Klasifikasi Tanah .................................................................................. 84 30 Klasifikasi Tanah pada Tingkat Famili di Daerah Penelitian .............. 84 31 Kondisi Air Tersedia Profil Rata-Rata Bulanan pada Beberapa TPL dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ......................................................................... 92 32 Dugaan Produksi TPL Berdasarkan Air Tersedia Profil Rata-Rata Bulanan pada Beberapa Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ................................................... 93 33 Indeks KL Ketersediaan Air TPL Berdasarkan Dugaan Produksi pada Berbagai Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ............................................... 94 34 Jumlah Hara TPL Padi Lokal pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ........................... 97 35 Dugaan Produksi TPL Padi Lokal Berdasarkan Jumlah Hara pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ......................................................................... 97 36 Indeks KL Ketersediaan Hara TPL Padi Lokal pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ............ 98 37 Jumlah Hara TPL Padi-Jagung pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ........................... 99 38 Dugaan Produksi TPL Padi-Jagung Berdasarkan Jumlah Hara pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ......................................................................... 100 39 Indeks KL Ketersediaan Hara TPL Padi-Jagung pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ............ 100 40 Indeks KL Ketersediaan Hara TPL Padi-Jagung-Jagung pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ......................................................................... 101 41 Indeks Lahan TPL Padi Lokal pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ........................... 102 xvi 42 Kelas Kesesuaian Lahan TPL Padi Lokal pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo .................... 102 43 Indeks Lahan TPL Padi-Jagung pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ........................... 103 44 Kelas Kesesuaian Lahan TPL Padi-Jagung pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo .................... 104 45 Indeks Lahan TPL Padi-Jagung-Jagung pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ........................... 105 46 Kelas Kesesuaian Lahan TPL Padi-Jagung-Jagung pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ............ 105 47 Rekomendasi TPL pada Beberapa Jenis Tanah dan Lokasi ................ 107 xvii DAFTAR GAMBAR 1 Halaman Peta Lokasi Penelitian Paguyaman I Desa Sidomukti dan Bandungrejo Kabupaten Gorontalo .............................................. 13 2 Peta Lokasi Penelitian Paguyaman II Desa Molombulahe Kabupaten Boalemo ........................................................................... 14 3 Diagram Alir Penelitian ...................................................................... 23 4 Neraca Air di Daerah Sidodadi dan Sekitarnya .................................. 27 5 Neraca Air di Daerah Molombulahe dan Sekitarnya .......................... 27 6 Peta Geologi Daerah Paguyaman dan Sekitarnya ............................... 29 7 Lokasi dan Posisi Relief Setiap Pedon Pewakil dalam Topografi ....... 31 8 Sebaran Warna Matriks Pedon Berdasarkan Toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo ........................................................... 36 9 Sebaran Warna Matriks Pedon Berdasarkan Toposekuen di Molombulahe .................................................................................. 37 10 Lanskap (a) dan Profil Pedon PNS (b) di Daerah Sidomukti Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo ................................ 38 11 Lanskap (a) dan Profil Pedon PNM (b) di Daerah Molombulahe Kecamatan Paguyaman Kabupaten Boalemo ..................................... 38 12 Lanskap dan Profil Pedon PNS-LK (a) di Daerah Sidomukti Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo, serta Lanskap dan Profil Pedon PNM-LK (b) di Daerah Molombulahe Kecamatan Paguyaman Kabupaten Boalemo ..................................... 39 13 Lanskap (a) dan Profil Pedon PNB (b) di Daerah Bandungrejo Kecamatan Boliyohuto Kabupaten Gorontalo .................................... 39 14 Sebaran Kelas Tektur dan Besar Butir Pedon Berdasarkan Toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo ................. 44 15 Sebaran Kelas Tektur dan Besar Butir Pedon Berdasarkan Toposekuen di Molombulahe ........................................ 45 16 Sebaran Kadar Liat Total dan Perbandingan Liat Halus dengan Liat Total Berdasarkan Kedalaman pada Pedon TSTH .......... 46 17 Sebaran Kadar Liat Total dan Perbandingan Liat Halus dengan Liat Total Berdasarkan Kedalaman pada Pedon TLK ........... 46 18 Sebaran Kadar Liat Total dan Perbandingan Liat Halus dengan Liat Total Berdasarkan Kedalaman pada Pedon TSI .............. 46 19 Sebaran Kadar Fraksi Pasir Berdasarkan Kedalaman pada Pedon TSTH dan Pedon TSI ...................................................... 47 xviii 20 Sebaran Kadar Fraksi Pasir Berdasarkan Kedalaman Pedon TLK ........................................................................................... 47 21 Sebaran pH H2O Berdasarkan Kedalaman pada Pedon TSTH ........... 52 22 Sebaran pH Berdasarkan Kedalaman pada Pedon TLK (a) dan (b) Pedon TSI (b) ........................................................................... 52 23 Sebaran C-Organik Berdasarkan Kedalaman Pedon TSTH ................ 52 24 Sebaran C-Organik Berdasarkan Kedalaman pada Pedon TLK Dan Pedon TSI .................................................................................... 53 25 Sebaran Jumlah Basa-dd Berdasarkan Kedalaman pada Pedon TSTH ................................................................................ 56 26 Sebaran Jumlah Basa-dd Berdasarkan Kedalaman pada Pedon TLK dan Pedon TSI ........................................................ 56 27 Difraktogram Sinar-X Pedon PNS1 terpilih (Fraksi < 2 µ) ................ 66 28 Difraktogram Sinar-X Pedon PNS2 terpilih (Fraksi < 2 µ) ................ 67 29 Difraktogram Sinar-X Pedon PNM1 terpilih (Fraksi < 2 µ) ............... 68 30 Difraktogram Sinar-X Pedon PNM3 terpilih (Fraksi < 2 µ) ............... 68 31 Difraktogram Sinar-X Pedon PNM-LK terpilih (Fraksi < 2 µ) ........... 69 32 Difraktogram Sinar-X Pedon PNB terpilih (Fraksi < 2 µ) .................. 69 33 Klasifikasi Tanah Berdasarkan Toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo ................................................................................. 88 34 Klasifikasi Tanah Berdasarkan Toposekuen di Molombulahe ............ 88 35 Sebaran TPL dengan Rekomendasi Penuh pada Toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo ........................................................... 109 36 Sebaran TPL dengan Rekomendasi Penuh pada Toposekuen di Molombulahe .................................................................................. 109 37 Sebaran TPL dengan Rekomendasi Bersyarat pada Toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo .............................. 110 38 Sebaran TPL dengan Rekomendasi Bersyarat pada Toposekuen di Molombulahe ..................................................... 110 39 Sebaran TPL yang Tidak Rekomendasi pada Toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo ........................................................... 111 40 Sebaran TPL yang Tidak Rekomendasi pada Toposekuen di Sidomukti ....................................................................................... 111 xix DAFTAR LAMPIRAN 1 Halaman Deskripsi Profil Tanah ......................................................................... 122 a. Pedon PNS1 .................................................................................... 122 b. Pedon PNS2 .................................................................................... 123 c. Pedon PNS3 .................................................................................... 124 d. Pedon PNS-LK ................................................................................ 125 e. Pedon PNM1 ................................................................................... 126 f. Pedon PNM2 ................................................................................... 127 g. Pedon PNM3 ................................................................................... 128 h. Pedon PNM-LK .............................................................................. 129 i. Pedon PNB ...................................................................................... 130 2 Susunan Mineral Fraksi Pasir Pada Pedon Pewakil yang Diteliti ....... 131 3 Kriteria Penilaian Sifat-Sifat Kimia Tanah ......................................... 132 4 Data Komponen Iklim di Daerah Penelitian ........................................ 133 5 Hasil Analisis Rejim Suhu Tanah Dan Rejim Kelembaban Tanah di Daerah Penelitian .................................................................. 134 a. Stasiun Sidodadi .............................................................................. 134 b. Stasiun Molombulahe ..................................................................... 135 6 Nilai ETo Berdasarkan Metode Blaney-Criddle di Daerah Penelitian.............................................................................. 136 7 Kadar Air Tanah pada Kondisi Kapasitas Lapang, Titik Layu Permanen dan WHC per 7.5 cm di Daerah Penelitian ........................ 137 8 Kondisi Ketersediaan Air Bulanan TPL Padi Lokal pada Lahan Sawah dan Jenis Tanah di Paguyaman Gorontalo ........... 138 9 Kondisi Ketersediaan Air Bulanan TPL Padi-Jagung pada Lahan Sawah dan Jenis Tanah di Paguyaman Gorontalo .................... 139 10 Kondisi Ketersediaan Air Bulanan TPL Padi-Jagung-Jagung pada Lahan Sawah dan Jenis Tanah di Paguyaman Gorontalo .................... 140 11 Penentuan Dosis Pupuk Preskripsi pada Beberapa TPL Pola C di Daerah Paguyaman Gorontalo ......................................................... 141 12 Data Rata-Rata Sifat Fisika Tanah Lapisan Atas (top soils) pada Tanah Sawah Kedalaman 30 cm ................................................. 142 13 Data Rata-Rata Sifat Kimia Tanah Lapisan Atas (top soils) pada Tanah Sawah Kedalaman 30 cm ................................................. 142 14 Deskripsi Atribut Kunci Tipe Penggunaan Lahan (TPL) .................... a. Atribut TPL Padi Lokal Pola A, B, dan C ..................................... b. Atribut TPL Padi-Jagung Pola A, B, dan C .................................... c. Atribut TPL Padi-Jagung-Jagung Pola A, B, dan C ...................... 143 143 144 145 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan beras Nasional terus meningkat dari tahun ke tahun karena peningkatan penduduk dengan persentase laju pertambahan sekitar 2%, sehingga harus mengimpor beras. Berdasarkan data Departemen Pertanian RI (2008), produksi padi Nasional pada tahun 2006 mencapai 57.157.435 ton gabah kering giling (GKG) atau setara dengan 32.304.029 ton beras, dimana sebanyak 54.199.693 ton GKG (94,83%) berasal dari padi sawah dan sisanya berasal dari padi ladang. Namun, capaian tersebut belum mampu memenuhi permintaan beras Nasional yang pada tahun 2006 mencapai 36.350.000 ton (BPS RI 2007). Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu diupayakan peningkatan dan pengembangan lahan sawah potensial lainnya termasuk tanah sawah tadah hujan. Tanah sawah tadah hujan (TSTH) merupakan lumbung padi kedua Nasional setelah tanah sawah irigasi (TSI) dengan luasan sebesar 2,1 juta ha (Suyamto et al. 2008). Provinsi Gorontalo memiliki TSTH seluas 13.081 ha atau 0,47% dari luas Nasional (BPS Provinsi Gorontalo 2008), yang diantaranya berada di daerah Paguyaman dengan luas 7.744 ha atau 59,20% dari luas TSTH provinsi. Capaian produksi padi daerah ini sampai tahun 2007 sebesar 6.791 ton dengan rata-rata produksi sebesar 1,7 ton ha-1 (BPS Kabupaten Gorontalo dan Boalemo 2008), sehingga daerah ini memberikan kontribusi produksi padi sebesar 21,20% dari total capaian produksi Kabupaten Gorontalo dan 18,97% dari total capaian produksi Kabupaten Boalemo. Sedangkan kontribusinya terhadap capaian produksi padi Provinsi Gorontalo sebesar 33,84% dan 0,13% terhadap capaian produksi padi Nasional. Pengembangan TSTH sampai saat ini masih menghadapi permasalahan. Permasalahan yang menonjol adalah produktifitasnya masih rendah, yaitu sekitar 2,0-2,5 ton ha-1 sampai tahun 2006 (Pirngadi dan Makarim 2006) dan sekitar 2,03,5 ton ha-1 sampai tahun 2008 (Suyamto et al. 2008), padahal produksi padi sawah irigasi sudah mencapai 5,68 ton ha-1 (BPS RI 2007). 2 Dilihat dari luas lahan, TSTH di daerah ini potensial dan menjadi alternatif yang menjanjikan untuk dikembangkan di masa mendatang. Namun demikian, TSTH ini mendapat suplai air dari hujan dan dari pemompaan sungai terdekat yang volumenya cukup terbatas. Data Stasiun Iklim Sidodadi dan Molombulahe tahun 2007 menunjukkan bahwa daerah Paguyaman menurut Zona Agroklimat (Oldeman dan Darmiyati 1977) termasuk E4 karena memiliki 6-9 bulan kering (<100 mm) dan 1 bulan basah (≥200 mm). Rata-rata curah hujan bulanan stasiun Sidodadi hanya sebanyak 93 mm bulan-1 dan 85 mm bulan-1 pada stasiun Molombulahe. Kondisi ini menyebabkan minimnya ketersediaan air untuk pengembangan padi sawah. Wade et al. (1999) menyatakan bahwa produksi padi pada TSTH tidak terlepas dari permasalahan ketersediaan air. Lebih lanjut Suyamto et al. (2008) menyatakan bahwa faktor pembatas pertumbuhan padi pada TSTH antara lain curah hujan yang tidak menentu. Dengan demikian, ketersediaan air tidak mampu menyuplai kebutuhan air padi sawah selama satu tahun yang menyebabkan padi ditanam sekali dalam setahun dan bulan sisanya ditanami jagung atau diberakan. Jagung merupakan sumber pangan kedua setelah beras di Indonesia. Sampai tahun 2007, produksi jagung di Provinsi Gorontalo mencapai 572.784 ton dari lahan seluas 119.027 ha yang tercapai dalam program Agropolitan. Sedangkan capaian produksi jagung daerah Paguyaman baru mencapai 119.691,5 ton dari lahan seluas 25.753 ha (BPS Kabupaten Gorontalo dan Boalemo 2008). Data produksi jagung ini menunjukkan bahwa daerah Paguyaman memberikan kontribusi produksi jagung sebesar 15,75% terhadap total produksi jagung Provinsi Gorontalo. Lahan untuk pengembangan jagung di daerah ini merupakan lahan kering (TLK) dan sedikit yang menanam jagung pada lahan sawah, terutama TSTH. Hal ini sejalan dengan pernyataan Edmeades et al. (1994) bahwa sekitar 90% pertanaman jagung di daerah tropis dikembangkan pada lahan kering dan TSTH. Secara nasional, luas penggunaan TSTH untuk jagung mengalami peningkatan mencapai 20-30% (Kasryno 2002). Dengan demikian, maka lahan TSTH potensial untuk pengembangan jagung. Menurut Subandi dan Marwan (2003), tanaman jagung menjadi komoditas penting pada TSTH di masa mendatang. 3 Tanah sawah, termasuk TSTH dapat terbentuk dari berbagai jenis tanah dan karakteristiknya tergantung dari sifat tanah asalnya (Arabia 2009), serta lingkungan pembentukannya. Menurut Bahcri et al. (1993), geologi daerah Paguyaman dominan berkembang dari bahan lakustrin yang terdiri dari batu liat (claystones), batu pasir (sandstones), dan kerikil (gravel) pada epoch kuarter pleistosen dan holosen. Sementara Prasetyo (2007) melaporkan bahwa daerah Paguyaman mengandung mineral kuarsa dan dalam jumlah yang lebih sedikit masih dijumpai mineral ortoklas, sanidin dan andesin. Mineral epidot, amfibol, augit dan hiperstin dijumpai dalam jumlah sangat sedikit, sehingga cadangan hara di daerah ini tergolong sedang. Dengan demikian, maka faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan tanah akan berbeda, tergantung tempat tingkat perkembangan tanah yang ditunjukkannya. Seberapa tingkat perkembangan TSTH yang ditunjukkan oleh proses horisonisasi dan haploidisasi, juga proses pelapukan mineral primer serta pembentukan mineral sekunder (Hardjowigeno 1993) yang telah berlangsung menjadi menarik untuk diteliti. Dengan formasi geologi endapan lakustrin TSTH dan termasuk dalam zona agroklimat E4 telah mendorong untuk dilakukan penelitian yang lebih mendalam berdasarkan karakteristik dan genesis tanah. Di samping itu, pengaruh masing-masing faktor pembentuk tanah, termasuk akibat aktifitas manusia selanjutnya akan menghasilkan karakteristik tanah yang berbeda-beda. Untuk membantu mempelajari hal-hal tersebut, maka tanah-tanah tersebut perlu diklasifikasi menurut sistem Taksonomi Tanah. Pengelolaan tanah berdasarkan karakteristik dan kualitas tanah perlu dilakukan agar faktor pembatas penggunaannya dapat dihilangkan atau diminimalisir. Suyamto et al. (2008) menyatakan bahwa faktor pembatas pertumbuhan padi pada TSTH selain curah hujan, juga tingkat kesuburan tanah yang rendah. Demikian halnya dengan hasil jagung. Penentuan kelas kesesuaian lahan merupakan salah satu cara untuk mencapai hal tersebut dan menentukan potensi tanah. 4 1.2 Hipotesis Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan mengajukan beberapa hipotesis, yaitu : 1. Perkembangan TSTH berdasarkan karakteristik dan genesis tanah berbeda dengan TSI dan TLK. 2. Faktor iklim, topografi, waktu dan aktifitas manusia merupakan faktorfaktor utama yang mempengaruhi pembentukan TSTH. 3. Klasifikasi TSTH berbeda dengan TSI dan TLK, walaupun berkembang dari bahan yang sama. 4. Potensi TSTH berbeda dengan potensi TSI, walaupun berkembang dari bahan yang sama. 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui perkembangan TSTH berdasarkan karakteristik dan genesis tanah yang berasal dari bahan lakustrin. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor utama yang mempengaruhi pembentukan profil TSTH. 3. Mengklasifikasi tanah menurut sistem Taksonomi Tanah. 4. Mengetahui potensi TSTH dengan menganalisis kesesuaian lahannya untuk padi dan jagung. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Diperoleh informasi perkembangan TSTH berdasarkan karakteristik dan genesis tanah yang berasal dari bahan lakustrin sebagai dasar pengelolaannya. 2. Diketahui faktor-faktor utama yang mempengaruhi pembentukan profil TSTH. 3. Diperoleh klasifikasi TSTH menurut sistem Taksonomi Tanah. 4. Diketahui potensi TSTH berdasarkan kelas kesesuaian lahannya dan faktor pembatas penggunaannya yang meningkatkan kelas kesesuaiannya. mungkin bisa diperbaiki untuk 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lingkungan Daerah Lakustrin Van Bemmelen (1949) menyatakan bahwa bahan endapan yang terdapat di sekitar Sungai Paguyaman merupakan lakustrin dan termasuk dalam zona Limboto dan termasuk zona patahan yang memanjang sampai ke Gorontalo akibat kegiatan volkanisme. Djaenuddin et al. (2005) melaporkan bahwa daerah Paguyaman diduga merupakan bekas kaldera/danau besar sebagai hasil volkanisme, yang tidak mempunyai outlet ke laut. Terjadinya patahan menyebabkan terbentuknya celah atau retakan yang memungkinkan air danau mengalir keluar dan mengering yang akhirnya membentuk dataran luas. Peta Geologi Lembar Tilamuta, Sulawesi Skala 1 : 250.000 (Bachri et al. 1993) menunjukkan bahwa sebagian besar daerah Paguyaman termasuk formasi endapan danau atau lakustrin (Qpl) yang terdiri dari batu liat (claystones), batu pasir (sandstones), dan kerikil (gravel) pada zaman kuarter pleistosen dan holosen. Kumarawarman (2008) menyatakan bahwa lingkungan pengendapan danau adalah tubuh air yang dikelilingi oleh daratan yang mengisi suatu cekungan. Lingkungan ini terbentuk akibat dari proses tektonik, gerakan tanah, volkanik, penurunan atau pengikisan permukaan tanah (deflasi) oleh erosi angin dan fluvial, tetapi proses utamanya karena rifting, yaitu peretakan akibat tarikan (extention). Endapan danau terbentuk pada fase synrift, yaitu proses pengendapan sedimen yang berlangsung sebelum atau bersamaan dengan aktifitas pembentukan basin pada cekungan yang belum stabil sampai dengan subsiden regional postrift, yaitu setelah terbentuk cekungan pada basin yang stabil, sebelum lingkungannya berubah menjadi delta atau marin. Djaenuddin et al. (2005) melaporkan bahwa bahan induk tanah di daerah Paguyaman diantaranya adalah endapan danau, berususunan liat berwarna kelabu padat, yang sebagian tertutup aluvium. Sering dijumpai sisipan kapur pada bagian celah atau retakan, yang diduga sebagai hasil kontak dengan air laut. 6 2.2 Karakteristik Tanah Sawah Tanah sawah merupakan tanah yang digunakan atau potensial digunakan untuk pertumbuhan padi akuatik (Kyuma 2004). Menurut Sanchez (1993), TSTH serupa dengan TSI hanya berbeda pada tidak adanya pengaturan air. Pengolahan tanah dalam keadaan tergenang serta tindakan penggenangan yang sengaja dilakukan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan sifat morfologi, fisik, kimia dan biologi tanah (Rayes 2000). Koenigs (1950) menyatakan bahwa morfologi profil tanah sawah bersifat tipikal pada tanah kering yang disawahkan di sekitar Bogor, yaitu adanya lapisan olah, lapisan tapak bajak, lapisan besi (Fe), lapisan mangan (Mn), serta lapisan tanah asal yang tidak dipengaruhi penyawahan. Tanah asal sebelumnya sangat mempengaruhi karakteristik tanah sawah karena telah mengalami perkembangan akibat interaksi faktor pembentuk tanah yang berpengaruh. Menurut Gong (1986) bahwa pembentukan tanah sawah meliputi 2 (dua) aspek, yaitu : (1) eluviasi, dan (2) pengaruh penanaman dan pemupukan. Eluviasi dipercepat karena terjadi perkolasi air irigasi. Sementara, kondisi reduksi memungkinkan terjadinya pencucian beberapa unsur yang tidak dapat tercuci pada kondisi lahan kering. Sedangkan Moormann dan Van Breemen (1978) menyatakan bahwa perubahan sifat yang terjadi pada tanah sawah dapat dibedakan atas perubahan yang bersifat sementara dan permanen. Perubahan yang bersifat sementara pada tanah yang disawahkan berkaitan dengan pengolahan tanah dalam keadaan tergenang (pelumpuran) dan perubahan sifat kimia yang berhubungan dengan proses reduksi-oksidasi. Perubahan tersebut akan menyebabkan perubahan sifat morfologi tanah. Rayes (2000) menyatakan bahwa perubahan yang bersifat permanen terlihat dari sifat morfologi profil tanah yang seringkali menjadi sangat berbeda dengan profil tanah asalnya. Sementara Moormann dan Van Breemen (1978), Kanno (1978), serta Ghildyal (1978) menjelaskan bahwa pengolahan tanah menyebabkan perubahan sifat fisik tanah, yaitu hancurnya agregat tanah, pori-pori kasar berkurang dan halus meningkat dan tanah mengalami pelumpuran yang menyebabkan partikel-partikel halus bergerak ke bawah bersama air perkolasi membentuk lapisan tapak bajak di bawah lapisan olah, sehingga bobot isi pada 7 lapisan tersebut menjadi meningkat. Penyebab perubahan yang bersifat permanen, yaitu (a) perataan dan penterasan dalam pembuatan sawah yang dipengaruhi oleh kemiringan tanah asal, (b) perubahan sifat fisik tanah tertentu karena tindakan budidaya padi, dan (c) perubahan sifat kimia dan mineralogi tanah yang merupakan bagian dari proses pembentukan tanah, seperti eluviasi dan iluviasi Fe dan Mn, proses ferolisis, pembentukan oksida besi, Mn dan lainnya (Moormann dan Breemen 1978). Tanah sawah yang berkembang di daerah aluvial umumnya sudah mempunyai warna glei dan karatan, karena tanah ini terbentuk pada kondisi muka air tanah yang dangkal (Prasetyo 2008). Djaenuddin et al. (2005) melaporkan bahwa pada profil tanah di daerah Paguyaman ditemukan karatan besi dan mangan, konkresi dan nodul dalam jumlah cukup sampai banyak pada kedalaman 0-110 cm. Kondisi ini juga dialami oleh TSTH, kecuali pengolahan tanah dan pelumpuran dalam kondisi tergenang yang tidak seintensif tanah sawah pada umumnya (irigasi). Dengan demikian, maka sifat morfologi profil TSTH memiliki sifat yang tipikal, terutama berkaitan dengan perubahan sifat-sifat di dalam tanah, sehingga menarik untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. 2.3 Klasifikasi Tanah Sawah Rayes (2000) menyatakan bahwa upaya untuk mengklasifikasi tanah sawah telah banyak dilakukan, meskipun sampai saat ini belum ada yang memuaskan dan merupakan masalah yang agak rumit. Klasifikasi tanah sawah menurut sistem Taksonomi Tanah sejak tahun 1992 (Soil Survey Staff 1992) dapat dibuat lebih rinci dibandingkan edisi sebelumnya. Hal ini karena sejak saat itu, mulai diperkenalkan istilah kondisi akuik yang mempertimbangkan segi hidrologis terjadinya kondisi akuik tersebut. Soil Survey Staff (2006) mendefinisikan tanah dengan kondisi akuik adalah tanah yang saat ini mengalami kejenuhan dan reduksi terus-menerus atau secara berkala. Persayaratan lamanya penjenuhan untuk terbentuknya kondisi akuik bervariasi, tergantung pada lingkungan tanah dan tidak spesifik. Berdasarkan tipe kejenuhannya, maka kondisi akuik terbagai atas: (a) endosaturasi, dimana air menjenuhi semua lapisan dari batas atas penjenuhan sampai kedalaman 200 cm 8 atau lebih dari permukaan mineral tanah, (b) episaturasi, dimana air menjenuhi satu atau lebih lapisan sampai kedalaman 200 cm pada permukaan tanah mineral dan juga mempunyai satu atau lebih lapisan tidak jenuh dari batas atas sampai kedalam 200 cm lapisan penjenuhan, dan (c) saturasi antrik (anthric saturation), dimana lapisan ini merupakan jenis khusus kondisi akuik yang terdapat dalam tanah akibat kegiatan budidaya dan pengairan (aliran irigasi). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengalaman lapangan menunjukkan ketidakmungkinan menjelaskan suatu set penampakan redoksimorfik yang spesifik karena semua taksa mempunyai karakteristik yang unik dalam satu bagian kategori. Oleh karena itu, pola warna yang unik pada taksa yang spesifik direferensikan pada kunci taksonomi ini. Selain itu juga, dikenal istilah kondisi antrakuik yang merupakan variant dari episaturasi berasosiasi dengan aliran air yang dikendalikan, seperti tanaman pada sawah lahan basah yang disebabkan oleh proses reduksi akibat dijenuhi. Adanya istilah-istilah tersebut, maka klasifikasi tanah sawah sampai pada kategori sub grub lebih beragam. Rayes (2000) menyatakan bahwa klasifikasi tanah sawah dalam Taksonomi Tanah edisi ke-8 (Soil Survey Staff 1998) lebih mengena dibandingkan dengan edisi sebelumnya, sejak great-group yang berawalan trop dihilangkan. Kunci Taksonomi Tanah edisi ke-10 (Soil Survey Staff 2006) menjelaskan lebih mendalam tentang kondisi akuik, seperti great-group Epiaquents sering muncul yang mencerminkan tanah yang disawahkan. 2.4 Evaluasi Sumberdaya Lahan Evaluasi sumberdaya lahan adalah proses pendugaan keragaan (performance) lahan apabila lahan digunakan untuk tujuan tertentu (FAO 1985) atau menurut Van Diepen et al. (1991) merupakan metode yang menjelaskan atau memprediksi kegunaan potensial dari lahan. Apabila potensi lahan sudah ditentukan, maka perencanaan penggunaan lahan dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan rasional, paling tidak mengenai apa yang dapat ditawarkan oleh sumberdaya lahan tersebut (FAO 1995). Menurut FAO (1976), kerangka dasar dalam evaluasi ini adalah membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan sifat sumberdaya lahan yang ada pada lahan tersebut. 9 Dalam evaluasi lahan, penggunaan lahan harus dikaitkan dengan tipe penggunaan lahan (land utilization type) atau TPL, yaitu jenis-jenis penggunaan lahan yang diuraikan secara lebih detil karena menyangkut pengelolaan, masukan yang diperlukan dan keluaran yang diharapkan secara spesifik (FAO 1976). Lebih lanjut dikatakannya bahwa setiap jenis penggunaan lahan dirinci ke dalam tipetipe penggunaan lahan. TPL bukan merupakan tingkat kategori dari klasifikasi penggunaan lahan, tetapi mengacu kepada penggunaan lahan tertentu yang tingkatannya di bawah kategori penggunaan lahan secara umum, karena berkaitan dengan aspek masukan, teknologi, dan keluarannya. Sifat-sifat atau atribut penggunaan lahan mencakup data dan/atau asumsi yang berkaitan dengan aspek hasil, orientasi pasar, intensitas modal, buruh, sumber tenaga, pengetahuan teknologi penggunaan lahan, kebutuhan infrastruktur, ukuran dan bentuk penguasaan lahan, pemilikan lahan dan tingkat pendapatan per unit produksi atau unit areal (FAO 1976). TPL menurut sistem dan modelnya dibedakan atas dua macam yaitu multiple dan compound. Multiple merupakan TPL yang terdiri lebih dari satu jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan secara serentak pada suatu areal yang sama dari sebidang lahan. Setiap penggunaan memerlukan masukan dan kebutuhan, serta memberikan hasil tersendiri. Sedangkan compound merupakan TPL yang terdiri lebih dari satu jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan pada areal-areal dari sebidang lahan yang untuk tujuan evaluasi diberlakukan sebagai unit tunggal. Perbedaan jenis penggunaan bisa terjadi pada suatu sekuen atau urutan waktu, dalam hal ini ditanam secara rotasi atau secara serentak, tetapi pada areal yang berbeda pada sebidang lahan yang dikelola dalam unit organisasi yang sama (FAO 1976). Dalam proses evaluasi lahan, umumnya dilakukan penentuan ciri lahan (land properties) yang berhubungan dan dapat diukur atau dianalisis tanpa memerlukan usaha-usaha yang besar, dimana ciri lahan ini sering disebut karakteristik lahan (land characteristics). Dalam evaluasi lahan sering langsung menggunakan karakteristik lahan (Driessen 1971; Staf PPT 1983). Namun, pengaruh karakteristik lahan pada sistem penggunaan lahan jarang yang bersifat langsung. Menurut FAO (1976), penggunaan karakteristik lahan untuk kegiatan evaluasi lahan akan menimbulkan masalah, yaitu meningkatnya interaksi diantara 10 karakteristik lahan yang digunakan, sehingga FAO merekomendasikan penggunaan kualitas lahan (land quality atau KL) dalam kegiatan evaluasi lahan sejak tahun 1976. Lebih lanjut Sys et al. (1991) menyatakan bahwa manfaat penggunaan kualitas lahan dalam evaluasi lahan, yaitu kualitas lahan berhubungan langsung dengan persyaratan spesifik penggunaan lahan, kualitas lahan dapat menekan interaksi antara faktor-faktor lingkungan, dan jumlah kualitas lahan lebih sedikit dibanding karakteristik lahan. Kualitas lahan adalah sifat-sifat pengenal atau atribut yang bersifat kompleks dari sebidang lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai keragaan (performance) yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu dan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics). Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan dari pengertian karakteristik lahan (FAO. 1976). Namun, menurut Firmansyah (2007) bahwa kendala penggunaan kualitas lahan dalam evaluasi lahan adalah kompleksnya perhitungan karena menggunakan satu atau lebih karakteristik lahan sehingga diperlukan pengolahan kembali data yang diperoleh dari survei tanah. Klasifikasi kesesuaian lahan umumnya menggunakan kerangka kerja evaluasi lahan menurut FAO (1976). Struktur klasifikasi ini terdiri atas empat kategori, yaitu kategori ordo (order) yang menunjukkan keadaan kesesuaian secara umum serta terbagi atas ordo sesuai (S) dan tidak sesuai (N); kategori kelas (class) yang menunjukkan tingkat kesesuaian dalam ordo serta terbagi dalam tiga kelas untuk ordo sesuai, yaitu kelas sangat sesuai (highly suitable) atau S1, cukup sesuai (moderately suitable) atau S2, sesuai marjinal (marginally suitable) atau S3, dan untuk ordo tidak sesuai terbagi dalam dua kelas, yaitu kelas tidak sesuai sekarang (currently not suitable) atau N1 dan tidak sesuai selamanya (permanently suitable) atau N2. Kategori pada tingkat sub kelas (subclass) menunjukkan keadaan tingkatan dalam kelas berdasarkan faktor pembatas atau macam jenis perbaikan yang diperlukan dalam kelas. Sedangkan kategori satuan (unit) menunjukkan tingkatan dalam sub kelas berdasarkan perbedaan kecil yang berpengaruh dalam pengelolaannya. 11 Penentuan kelas kesesuaian lahan, umumnya menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan simple or maximum limitation, limitation regarding number and intensity of limitation dan pendekatan parametrik (Sys et al. 1991). kedua pendekatan pertama tidak digunakan dalam penelitian ini. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah parametrik. Menurut Rayes (2007) bahwa pendekatan parametrik merupakan sistem klasifikasi pembagian lahan berdasarkan pengaruh atau nilai lahan tertentu yang kemudian mengkombinasikan pengaruh tersebut untuk menyimpulkan tingkat kesesuaiannya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sys et al. (1991) bahwa pendekatan parametrik adalah pemberian atribut atau nilai pada setiap karakteristik atau kualitas lahan. Setiap rating individu digunakan untuk menghitung indeksnya. Jika nilai karakteristik atau kualitas lahan optimal untuk suatu TPL, maka rating maksimumnya diberikan nilai 100 dalam persen (%) dan nilai rating terendah untuk kualitas lahan adalah 0%. Penyusunan indeks, baik untuk indeks iklim dan indeks lahan dihitung dari rating individu yang dapat menggunakan dua metode, yaitu metode Storie dan metode akar kuadrat (square root method). 12 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian terdiri dari penelitian lapang dan analisis tanah di laboratorium. Penelitian lapang dilakukan di daerah Paguyaman pada 3 (tiga) lokasi, yaitu: (1) Areal TSTH dan lahan kering Desa Sidomukti Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo, (2) Areal TSTH dan lahan kering Desa Molombulahe Kecamatan Paguyaman Kabupaten Boalemo dan (3) Areal TSI Desa Bandungrejo Kecamatan Boaliyohuto Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo. Ketiga lokasi tersebut, tanahnya berkembang dari bahan lakustrin (Gambar 1, 2 dan 6). Adapun analisis tanah dilakukan di laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Pusat Penelitian Tanah Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang diteliti adalah tanah yang berasal dari lahan sawah dari ketiga lokasi dan lahan kering dari dua lokasi di atas serta contoh tanahnya dari masingmasing lahan tersebut. Tanah tersebut diwakili oleh pedon-pedon, yaitu pedon PNS1, PNS2, PNS3, dan PNS-LK (asal Sidomukti); pedon PNM1, PNM2, PNM3, dan PNM-LK (asal Molombulahe); dan pedon PNB (asal Bandungrejo). Contoh tanah diambil dari setiap horizon dalam profil pewakil masing-masing tanah yang seluruhnya terdiri dari sembilan profil dan 58 horison (contoh). Alat yang digunakan terdiri dari pisau tanah, buku warna tanah (munsell soil colour chart), blangko pengamatan profil tanah, meteran, ring sampel, bor tanah mineral dan bor tanah sawah, pacul, skop, parang, teropong, altimeter, clinometer, GPS (global positioning system), kompas, kantong plastik, karet gelang, kertas lebel, loup, permeameter, 1 set Komputer dan printer, spidol F, program pengolah data Microsoft Excel, dan program Microsoft Word serta seperangkat alat analisis laboratorium. Untuk analisis kesesuaian lahan, menggunakan kerangka kerja (framework) evaluasi lahan menurut FAO (1976) berdasarkan pendekatan parametrik (parametric approach). Hasil analisis kesesuaian lahan disesuaiakan dengan kondisi lapangan, sehingga kesalahan interpretasi dan penarikan kesimpulan dapat diminimalisir. 13 PETA LOKASI PENELITAN PAGUYAMAN I 0o42’ LU Daerah Sidomukti Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo PNSLK PNB KETERANGAN Batas Kecamatan Sungai Stasiun Iklim Sidodadi PNS-3 Jalan Raya Jalan Kabupaten PNS-2 Pemukiman 41’ Ladang PNS-1 Perkebunan Kelapa Kebun Campuran Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Lokasi Profil Pedon 40’ 1 0 1 0 500 2 3 4 5 km m Sumber Data: Peta Rupa Bumi Lembar Molombulahe Skala 1 : 50.000 122o37’ BT 38’ 39’ 40’ 41’ 13 Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Desa Sidomukti dan Bandungrejo Kabupaten Gorontalo 14 PETA LOKASI PENELITAN PAGUYAMAN II Daerah Molombulahe Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo KETERANGAN Batas Kecamatan Sungai Jalan Raya 0o39’ LU Jalan Kabupaten PNM-1 Jalan Trans Sulawesi Pemukiman Stasiun Iklim Molombulahe Ladang Perkebunan Kelapa & Sawah Tadah Hujan Kebunan Campuran 38’ PNM-2 Sawah Irigasi Lokasi Profil Pedon PNM-3 PNMLK 1 0 1 2 0 2 2 3 4 4 5 km 6m Sumber Data: Peta Rupa Bumi Lembar Molombulahe Skala 1 : 50.000 37’ 122o33’ BT 34’ 35’ 36’ Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Molombulahe Kabupaten Boalemo 14 15 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Penetapan Lokasi dan Contoh Penetapan lokasi penelitian didasarkan pada Peta Geologi Lembar Tilamuta Sulawesi Skala 1 : 250.000, Peta Penggunaan Lahan Kawasan Paguyaman Skala 1 : 50.000, Peta Kemiringan Lereng daerah Paguyaman Skala 1 : 50.000, Peta Landform Kawasan Paguyaman Skala 1 : 50.000, Peta Zona Agroklimat Skala 1 : 250.000 dan Peta Jenis Tanah Kawasan Paguyaman Skala 1 : 50.000. Hasil superimpose peta-peta tersebut telah membantu penetapan lokasi penelitian. Lokasi pengambilan contoh didasarkan pada jenis tanah dominan menurut peta jenis tanah dan perbedaan lereng menurut Peta Kemiringan Lereng daerah Paguyaman Skala 1 : 50.000. Selanjutnya ditetapkan tiga profil dalam satu transek lereng di dua lokasi yang berbeda. Sebagai perbandingan tingkat perkembangan tanah, dibuat 1 profil yang tidak disawahkan (lahan kering) di sekitar profil yang di sawahkan untuk dua lokasi yang berbeda. Sedangkan pembanding tingkat perkembangan tanah dengan intensitas pengolahan tanah yang intensif, maka dibuat 1 profil yang disawahkan dengan irigasi teknis. Dengan demikian, maka terdapat 9 profil pedon terpilih. Contoh tanah diambil dari horison setiap profil tanah untuk dianalisis di laboratorium. Untuk setiap profil selanjutnya dilakukan karakterisasi, rekonstruksi genesis dan klasifikasi tanah. Analisis potensi lahan dilakukan terhadap TSTH dan TSI dengan menentukan kelas kesesuaian lahan. 3.3.2 Pelaksanaan Lapang Pelaksanaan lapang didasarkan pada lokasi contoh profil (pedon). Sebelumnya, pengujian lokasi dilakukan apakah sesuai atau tidak dengan judul penelitian. Jika tidak sesuai dapat dilakukan perubahan lokasi. Profil tanah dibuat dan diambil contohnya sesuai dengan prinsip-prinsip survei tanah (NSSC-NCRS USDA 2002 dalam Abdullah 2006; Soil Survey Division Staff 1993). Data iklim dikumpulkan dari dua stasiun iklim, yaitu stasiun Sidodadi, dan Molombulahe. Data curah hujan (mm), suhu (oC), kelembaban relatif (%) dan data kecepatan angin (km jam-1) tersedia di dua stasiun yang ada. Sedangkan data panjang penyinaran (%) hanya di stasiun iklim Sidodadi saja. 16 Berdasarkan data curah hujan, suhu udara, posisi lintang-bujur, dan elevasi kemudian diolah dengan program NSM (newhall simulation model), dalam Van Wambeke et al. (1986) untuk menentukan rejim kelembaban tanah dan rejim suhu tanah daerah penelitian. Sebagai kontrol terhadap hasil analisis suhu tanah dengan alat bantu program NSM, maka dihitung pula dengan persamaan 1 yang dikemukakan Newhall (Van Wambeke 1984) sebagai berikut: Ts = Ta + 2,5 …………………………………………………………. (1) Dimana: Ts adalah suhu tanah rata-rata bulanan pada kedalaman 50 cm (oC), Ta adalah suhu udara rata-rata bulanan (oC). Evapotranspirasi dihitung berdasarkan persamaan 2 yang dikemukakan Thornthwaite dan Mather (1957) sebagai berikut: ETP = 1,6 x F (10t/I)a, ………………………………………………… (2) Dimana: ETP adalah evapotranspirasi bulanan, F adalah faktor koreksi yang didekati dengan jumlah hari dalam bulan, t adalah suhu udara rata-rata bulanan (oC), a adalah 1,8 dan I adalah indeks panas dalam 1 tahun yang diperoleh dari persamaan 3 berikut: I = Σ (t/5)1,54 …………………………………………………………….. (3) Sedangkan neraca air (water balance) diperoleh dari analisis data curah dan evapotranspirasi yang diolah dengan program Cropwat (Donker 1986). 3.3.3 Analisis Laboratorium Sesuai dengan tujuan penelitian, contoh tanah dianalisis dengan sifat-sifat tanah dan metodenya yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter Sifat-Sifat Tanah dan Metode Analisisnya No A 1 2 3 4 B 1 2 3 4 5 6 7 C 1 2 Sifat Tanah Sifat Fisik Tekstur Kerapatan Limbak Permeabilitas Plastisitas Sifat Kimia pH H2O dan KCl C-Organik KTK Kation-Kation Basa: Ca2+, Mg2+, K+, Na+ N total P2O5 tersedia Kejenuhan Basa Sifat Mineralogi Mineral Liat Mineral Fraksi Pasir Metode Analisis Pipet Ring Sampel Permeameter Indeks COLE pH meter Walkley dan Black NH4oAc 1 N pH 7, Titrasi Ekstraksi NH4oAc 1 N pH 7, untuk Ca2+, Mg2+ menggunakan AAS. Sedangkan K+ dan Na Flamefotometer Kjeldahl, Titrasi Bray 1, Spektrofotometer Perhitungan X-Ray Difaktrometer Mikroskop 17 3.3.4 Analisis dan Interpretasi Data Data yang diperoleh diolah dan dituangkan dalam bentuk tabel dan gambar. Selanjutnya, data tersebut dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif serta diinterpretasi sesuai dengan tujuan penelitian. Untuk menilai potensi tanah, maka dilakukan analisis kesesuaian lahan. Tahapan penilaian kelas kesesuaian lahan (KKL) diuraikan sebagai berikut: a. Penentuan Tipe Penggunaan Lahan Tipe penggunaan lahan (TPL) pada penelitian ini didasarkan pada komoditas pertanian yang penting untuk sumber pangan dan bernilai ekonomi serta merupakan komoditi unggulan di Provinsi Gorontalo. Jenis TPL tanaman pangan yang dibagi berdasarkan pola tanam, yaitu pola tanam tunggal dan pola tanam beruntun. Untuk pola tanam tunggal dengan tanaman padi (Oryza sativa L.) disebut TPL padi lokal. Sedangkan pola tanam beruntun, yaitu padi dan jagung (Zea mays L.) dengan pola padi-jagung (TPL padi-jagung) dan padi-jagungjagung (TPL padi-jagung-jagung) dalam setahun. TPL padi lokal didasarkan pada kondisi eksisting penggunaan lahan di daerah Paguyaman, dan TPL padi-jagung didasarkan pada banyaknya lahan tadah hujan yang diusahakan oleh petani transmigran. Sedangkan TPL padi-jagungjagung didasarkan pada pembentukan sentra produksi tanaman pangan di daerah ini dan sebagai lumbung pangan pada masa paceklik di musim kemarau yang cukup panjang (>6 bulan) serta penyuplai sumber bahan pangan bagi daerah sekitarnya, termasuk kota Gorontalo, Limboto dan Tilamuta. Pembagian TPL berdasarkan komoditas ini kemudian dibagi lagi berdasarkan atribut TPL, yaitu produksi dan teknologi. Produksi adalah besarnya produksi yang dihasilkan komoditas pada masing-masing TPL berdasarkan produksi di tingkat lokal dan tingkat nasional atau setara produksi di lahan dengan kelas kesesuaian lahan sangat sesuai (S1). Sedangkan atribut teknologi yang digunakan adalah tingkat pemupukan, yaitu tanpa pupuk, pupuk 100% dosis anjuran dan pupuk preskripsi. Pembagian TPL ke dalam kedua atribut TPL, yaitu produksi dan teknologi disebabkan kedua atribut tersebut merupakan bagian dari 11 atribut yang memiliki hubungan langsung dengan hasil dari model pendugaan kualitas lahan, yaitu ketersediaan air dan hara. 18 Pembagian TPL berdasarkan pola tanam TPL, produksi dan pemupukan dibagi ke dalam tiga pola (Lampiran 14), yaitu: (1) Pola A, atribut produksi berupa produksi komoditas berdasarkan hasil di tingkat petani lokal, atribut teknologi pemupukan disesuaikan dengan kondisi intensifikasi rendah tanpa pupuk. (2) Pola B, atribut produksi berupa produksi komoditas berdasarkan hasil di tingkat Nasional atau kelas kesesuaian lahan sangat sesuai (S1) dengan atribut teknologi pemupukan dengan intensifikasi tinggi, yaitu 100% dari dosis anjuran. (3) Pola C, atribut produksi berupa produksi komoditas berdasarkan hasil di tingkat Nasional atau kelas kesesuaian lahan sangat sesuai (S1) dengan atribut teknologi pemupukan ditentukan dengan menggunakan metode preskripsi. Metode preskripsi adalah jumlah hara dari pupuk yang ditambahkan sebesar kekurangan hara dari tanah yang diperlukan komoditas untuk memproduksi tingkat nasional atau kelas kesesuaian lahan sangat sesuai. Jumlah hara tanah merupakan nilai rata-rata dari 7 pedon di daerah penelitian. b. Penentuan Kualitas Lahan Jenis kualitas lahan (KL) yang digunakan ada dua, yaitu ketersediaan air (wa) dan ketersediaan hara (na). Penentuan kedua KL ini berdasarkan asumsi bahwa ketersediaan air menjadi faktor pembatas karena merupakan sawah tadah hujan dan minimnya indeks pertanaman (IP 100). Ketersediaan hara dipilih karena petani hanya memberikan pupuk urea tanpa pupuk TSP atau SP36 dan KCl, juga tanpa pemberian bahan organik. Kualitas lahan lainnya diasumsikan tidak menjadi faktor pembatas. Data yang digunakan untuk menghitung setiap KL diperoleh melalui analisis data primer dan data sekunder (Tabel 2). Kualitas lahan yang digunakan untuk menentukan klasifikasi kesesuaian lahan dilakukan secara in situ dan ceteris paribus horizontal. Secara in situ, artinya contoh tanah yang digunakan dan dianalisis merupakan titik profil tanah pada pedon setempat dan bukan poligon. Sedangkan secara ceteris paribus horizontal, artinya pengambilan contoh tanah tidak dilakukan pada titik yang sama dalam kurun waktu sampai 20 tahun, tetapi didasarkan pada lokasi yang relatif sama. 19 Tabel 2. Data Penelitian Kesesesuaian Lahan untuk Setiap KL Kualitas Lahan Ketersediaan Air (wa) Ketersediaan Hara (na) Karakteristik Lahan dan Data Lahan Lain yang Diperlukan Data Primer Data Sekunder Kadar air kapasitas lapang dan Curah hujan, temperature, titik layu permanen, evapotranspirasi potensial, koefisien kedalaman efektif, BD, tanaman (kc), periode pertumbuhan padi ketersediaan air tanah dan jagung, kebutuhan air tanaman selama pertumbuhan (LGP), ketersediaan air terhadap produksi komoditas Kapasitas tukar kation, Kebutuhan hara tanaman, produksi mineral fraksi pasir, kejenuhan komoditas akibat ketersediaan hara basa, C-organik, N total, P tersedia, K-dd Ketersediaan Air Perhitungan KL ketersediaan ditentukan berdasarkan neraca air tanaman dengan metode Thornthweite dan Mather (1957). Data yang digunakan, yaitu data iklim (curah hujan rata-rata bulanan, dan suhu udara), data kadar air tanah kondisi kapasitas lapang (pF=2.5) dan titi layu permanen (pF=4.2), dan kedalaman efektif perakaran 30 cm (tanaman pangan). Penentuan kandungan air tersedia profil (ATP) untuk padi dan jagung mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: (1) Curah hujan efektif (CHE) atau CH75 (CH peluang terlampaui 75%) ditetapkan dengan metode rangking dari data CH bulanan periode sepuluh tahun. Semua daerah penelitian tergolong datar, sehingga diasumsikan CH dapat meresap ke dalam tanah sebesar 90%CHE. (2) Nilai ETo (reference crop evapotranspiration) ditetapkan dengan metode BlaneyCriddle. (3) Nilai ETc diperoleh dari persamaan ETc = kc x ETo, dimana Etc (crop evapotranspiration) adalah evapotranspirasi potensial, kc (crop coefficient) adalah koefisien tanaman. (4) Pengurangan CHE 90% dengan ETc pada bulan tertentu yang sama. Apabila 90%CHE > Etc, maka diperoleh nilai positif. Sebaliknya, apabila 90%CHE < Etc, maka diperoleh nilai negatif. (5) Air tersedia profil (ATP), yaitu kemampuan tanah menyimpan air yang tersedia bagi tanaman atau water holding capacity (WHC). Apabila pada tahap ke-4 diperoleh nilai positif menunjukkan ATP pada kondisi WHC, dimana pertumbuhan tanaman yang dipengaruhi oleh faktor iklim. Sedangkan apabila pada tahap ke-4 diperoleh nilai negatif, maka besarnya air pada WHC dikurangi dengan jumlah air yang defisit dari tahap ke-4 dan menunjukkan periode pertumbuhan yang dipengaruhi oleh faktor tanah, yaitu WHC. (6) Apabila nilai WHC lebih kecil dari nilai defisit 20 tersebut, maka nilai ATP bernilai negatif atau 0. Pada kondisi nilai ATP sama dengan nol, maka terjadi evapotranspirasi aktual (ETa). (7) Setelah ATP bulan ditetapkan, maka dihitung air yang digunakan tanaman (ETc) dari ATP. Penggunaan ATP untuk memenuhi ETc mengacu pada Doorenbos dan Pruitt (1977), yaitu penyerapan ATP oleh tanaman (ETc) berdasarkan penggunaan air dalam tanah dengan perbandingan 40%, 30%, 20% dan 10% pada 1/4 bagian pertama, kedua, ketiga dan keempat. (8) Apabila ATP pada bagian pertama tidak mampu mencukupi ETc, maka tanaman mengambil air pada lapisan kedua, seterusnya sampai lapisan keempat hingga ETc terpenuhi. Apabila nilai ATP sampai lapisan keempat tidak mencukupi kebutuhan ETc, maka terjadi defisit air pada bulan tersebut. Untuk tanaman pangan, tebal lapisan yang digunakan yakni per 7,5 cm (0-7,5; 7,5-15; 15-30 cm). Koefisien tanaman (kc) tergantung pada fase pertumbuhan tanaman dan jenis tanaman. Nilai kc masing-masing tanaman tertera pada Tabel 3 dan nilai curah hujan efektif (CHE) di daerah penelitian tertera pada Tabel 4. Tabel 3. Nilai kc Tanaman yang Digunakan pada Penelitian ini Tanaman Padi Lokal Padi Unggul Jagung Fase dan Waktu (hari) Initial Crop Middle Season Late Season 1,05 (60) 1,20 (80) 0,70 (40) 1,05 (40) 1,20 (54) 0,70 (26) 0,30 (65) 1,20 (40) 0,50 (35) Masa Tanam (hari) 180 120 140 Sumber Data Allen et al. (1998) FAO (2001) dalam Aqil et al. (2008) Tabel 4. Kondisi CHE, 90% CHE pada Beberapa lokasi di Daerah Penelitian Curah Hujan Jan Feb Mar Apr CHE75 90% CHE 100,50 90,45 39,75 35,78 75,75 68,18 95,25 85,73 CHE75 90% CHE 68,25 61,43 36,00 32,40 36,00 32,40 83,25 74,93 Bulan (mm)/Lokasi Mei Jun Jul Sidomukti dan Bandungrejo 198,00 51,00 53,25 178,20 45,90 47,93 Molombulahe 75,00 90,75 88,50 67,50 81,68 79,65 Agu Sep Okt Nov Des 60,75 54,68 23,25 20,93 31,50 28,35 62,25 56,03 84,75 76,28 27,75 24,98 30,75 27,68 44,25 39,83 84,75 76,28 100,50 90,45 Keterangan: CHE=curah hujan efektif Pendugaan produksi jenis tanaman masing-masing TPL menggunakan model pendugaan persamaan regresi dari hasil penelitian sebelumnya (Tabel 5). Perhitungan dugaan produksi untuk TPL tanaman pangan didasarkan pada jumlah ATP rata-rata bulanan. Tabel 5. Persamaan Regresi Pendugaan Produksi Berdasarkan KL Ketersediaan Air (KL wa) Komoditas TPL Persamaan Regresi Sumber Data Padi Y = 1,2058Ln(X)-2,318; R2=0,97 Sudjito (1986) Jagung Y = -7,639+1,437X-0,008X2; R2 = 0,99 Notohadiprawiro et al. (2006) Keterangan: Y=produksi komoditas TPL (ton ha-1), X=air tersedia (mm) 21 Indeks KL ketersediaan air dihitung berdasarkan persentase dari produksi tanaman berdasarkan model pendugaan produksi masing-masing TPL dengan tingkat produksi masing-masing pola TPL. Ketersediaan Hara Penentuan KL ketersediaan hara dinilai dari pemenuhan kebutuhan hara yang dibutuhkan tanaman untuk potensi produksi lokal maupun Nasional atau setara kelas kesesuaian lahan sangat sesuai. Hara yang dibutuhkan tanaman berasal dari tanah dan pemupukan. Metode yang digunakan untuk menghitung kecukupan hara yang berasal dari tanah dan pemupukan, yaitu metode preskripsi (prescription method). Unsur hara yang digunakan dalam penetapan KL ini pada semua TPL terdiri dari N, P dan K. Jumlah hara yang digunakan dihitung dari luasan satu hektar dengan kedalaman 30 cm. Perhitungan jumlah hara yang ditambahkan ke dalam tanah pada masing-masing TPL tergantung pada atribut teknologi pemupukan pada berbagai pola TPL, yaitu Pola A maka hara diduga dari ketersediaannya dalam tanah tanpa pemupukan, TPL pola B maka hara diduga dari tanah dan tambahan pemupukan anjuran dengan dosis penuh 100% dan TPL pola C, maka hara tersedia diduga dari jumlah hara tersedia dari tanah ditambah hara yang ditambahkan untuk memenuhi hara yang diperlukan tanaman untuk berproduksi setara tingkat nasional dengan metode preskripsi. Efisiensi pemupukan didasarkan pada tekstur liat sebagaimana tektur tanah dominan di daerah penelitian, yaitu N (40%), P (20%) dan K (60%) (Leiwakabessy dan Sutandi 2004). Persamaan pendugaan produksi komoditas masing-masing TPL dari hasil-hasil penelitian sebelumnya digunakan untuk menghubungkan jumlah hara tanah maupun pemupukan dengan produksi tanaman. Dosis pemupukan 100% anjuran pada masing-masing komoditas TPL tertera pada Tabel 6. Tabel 6. Dosis Pemupukan Anjuran Masing-Masing Komoditas TPL N P2O5 K2O Bahan Organik …………………….. kg ha-1 …………………………… Padi 125 100 50 5000 Jagung 150 100 120 5000 Rekomendasi pupuk anjuran padi berdasarkan Lampiran Permentan No. 40/Permentan/OT.140/04/2007 tanggal 11 April 2007 tentang Rekomendasi Pemupukan NPK Padi Sawah Spesifik Lokasi; jagung N (Witt 2007), PK (Syafruddin et al. 2008) Komoditas TPL 22 Penetapan indeks KL ini berdasarkan dugaan produksi komoditas menggunakan persamaan model pendugaan (Tabel 7) yang dipilih dari satu unsur hara yang nilai dugaan produksinya terendah berdasarkan Hukum Minimum Leibig. Hasil pendugaan tersebut kemudian dicari persentasenya melalui perbandingan dengan tingkat produksi komoditas sesuai pola TPL untuk menetapkan indeks KL ketersediaan hara. Tabel 7. Persamaan Regresi Pendugaan Produksi Berdasarkan KL Ketersediaan Hara dan Pemupukan ( KL na) Komoditas TPL Padi Unsur Hara N P2O5 Persamaan Regresi 2 Y = 0,4824Ln(X)-0,5027; R = 0,80 Y = 0,4258Ln(X)-0,1402; R2 = 0,95 K2O Y = 2,1093Ln(X)-5,9543; R2 = 0,76 Jagung N Y = 3,322+0,0504X-0,0002X2; R2 = 0,99 P2O5 Y = 2,276+0,0758X-0,0003X2; R2 = 0,97 K2O Y = 3,16+0,0537X-0,0002X2; R2 = 0,99 Keterangan: Y=ton ha-1, X=kg ha-1 Sumber data Gupta dan O’toole (1986) Suwardjo dan Prawirosumantri (1987) Jumberi et al. (1994) Sirappa (2003) Syarifuddin et al. (2004) Analisis kesesuaian lahan berdasarkan kerangka kerja evaluasi lahan (FAO, 1976), sementara penetapan indeks lahan (IL) menggunakan metode parametrik berdasarkan dua KL sebelumnya. Nilai IL dihitung berdasarkan metode indeks lahan akar kuadrat sebagaimana tersaji pada persamaan 4 (Khaidir 1986 dalam Sys et al. 1991), yaitu: I = Rmin[(A/100)x(B/100)]1/2 .......................................................................... (4) Dimana: I = indeks lahan akar kuadart; Rmin = rating KL minimum; A, B = rating KL lainnya selain rating KL minimum. Penentuan KKL didasarkan pada IL yang dihitung berdasarkan seluruh KL yang mempengaruhi produksi komoditas masing-masing TPL. Nilai IL yang digunakan tertera pada Tabel 8. Tabel 8. Kelas Kesesuaian Lahan Berdasarkan Indeks lahan Indeks Lahan 100-75 75-50 50-25 0-25 Kelas Kesesuaian Lahan S1 S2 S3 N Keterangan Sangat Sesuai Agak Sesuai Sesuai marjinal Tidak Sesuai Sumber: Sys et al. (1991) 3.4 Diagram Alir Penelitian Secara umum, diagram alir penelitian ini disajikan pada Gambar 3. 23 Studi Literatur Hasil Penelitian Tanah/Survei Tanah: - Peta Geologi - Peta Landform - Peta Topografi Bahan Induk Peta Penggunaan Lahan Peta Lereng Orientasi Lapang Penetapan Lokasi Profil Tanah Pemilihan Tipe Penggunaan Lahan (TPL): - Padi Lokal - Padi-Jagung - Padi-Jagung-Jagung Deskripsi Atribut Kunci Setiap TPL - Penetapan Kualitas Lahan (KL): Ketersediaan air (wa) Ketersediaan hara (na) Pendugaan Produksi KL: - Ketersediaan air (wa) - Ketersediaan hara (na) - Peta Zona Agroklimat Deskripsi Profil Tanah Pengambilan Data Iklim: Curah hujan, suhu, kelembaban, kecepatan angin, panjang penyinaran matahari Pengambilan Sampel Tanah: - Tanah Terganggu - Tanah Tidak Terganggu Analisis Data Iklim: - Rejim suhu dan kelembaban udara - Rejim suhu dan kelembaban tanah Data Sifat Fisik-Kimia, Mineral Tanah Penetapan Indeks KL: Ketersediaan air (wa) Ketersediaan hara (na) Penetapan Indeks Kelas Kesesuaian Lahan (KKL): - Padi Lokal - Padi-Jagung - Padi-Jagung-Jagung Peta Jenis Tanah Analisis Laboratorium: - Fisiko-Kimia - Fraksi Pasir - Fraksi Liat Morfologi Profil Tanah Perkembangan dan Klasifikasi Tanah Rekomendasi TPL Gambar 3. Diagram Alir Penelitian 24 4. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Administratif Secara geografis dan administratif, wilayah penelitian terdiri dari tiga lokasi (Tabel 9). Ketiga lokasi penelitian ini tercakup dalam Peta Rupa Bumi Skala 1 : 50.000 Lembar Molombulahe (Bakosurtanal, 1991). Tabel 9. Letak Geografis dan Administratif Wilayah Penelitian Simbol Posisi Geografis Elevasi (m dpl) Lokasi Tanah Sawah Tadah Hujan (TSTH): 58 Desa Sidomukti PNS1 00o 41’37” LU Kecamatan Mootilango 122o39’20” BT 59 Desa Sidomukti PNS2 00o 41’52” LU 122o39’63” BT Kecamatan Mootilango 62 Desa Sidomukti PNS3 00o 41’73” LU Kecamatan Mootilango 122o39’84” BT PNM1 00o 38’27” LU 42 Desa Molombulahe 122o34’84” BT Kecamatan Paguyaman PNM2 00o 37’81” LU 50 Desa Molombulahe 122o34’70” BT Kecamatan Paguyaman PNM3 00o 37’14” LU 61 Desa Molombulahe 122o34’41” BT Kecamatan Paguyaman Tanah Lahan Kering (TLK): PNS-LK 00o 41’45” LU 60 Desa Sidomukti 122o39’11” BT Kecamatan Mootilango PNM-LK 00o 37’17” LU 50 Desa Molombulahe 122o34’84” BT Kecamatan Paguyaman Tanah Sawah Irigasi (TSI) 44 Desa Bandungrejo PNB 00o 41’12” LU Kecamatan Boliyohuto 122o37’50” BT Sumber: Hasil Pengukuran Lapang dan Pembacaan Peta (2009) 4.2 Cakupan Administratif Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo Kabupaten Boalemo Kabupaten Boalemo Kabupaten Boalemo Kabupaten Gorontalo Kabupaten Boalemo Kabupaten Gorontalo Kondisi Iklim dan Hidrologi Data iklim selama sepuluh tahun terakhir (1997-2008) di daerah penelitian menunjukkan perbedaan musim kemarau dan musin penghujan yang jelas. Ratarata curah hujan tahunan dari dua stasiun iklim di daerah penelitian berkisar antara 1.021 mm sampai 1.112 mm. Sedangkan rata-rata curah hujan bulanan berkisar antara 31 mm sampai 264 mm (Lampiran 4 Tabel 1). Berdasarkan tipe hujan, maka daerah ini termasuk tipe iklim E dengan nilai Q = 60-100 (Schmidt dan Ferguson 1951). Sedangkan menurut zone agroklimat Oldeman dan Darmiyati (1977), maka daerah ini termasuk dalam zone agroklimat E4 dengan bulan basah (>200 mm) hanya satu bulan, dan bulan kering (<100 mm) berkisar antara enam sampai sembilan bulan antara Juli-November. 25 Suhu udara bulanan berkisar antara 26°C sampai 28°C dengan rata-rata tahunan sebesar 27°C (Lampiran 4 Tabel 2). Dari data tersebut terlihat fluktuasi suhu udara bulanan relatif kecil. Rata-rata kelembaban udara relatif bulanan bervariasi antara 43% sampai 76% dengan rata-rata tahunan sebesar 64% (Lampiran 4 Tabel 3). Sedangkan rata-rata lama penyinaran matahari bulanan bervariasi antara 35% (sekitar 4,5 jam hari-1) sampai 52% (sekitar 6 jam hari-1) dengan rata-rata lama penyinaran 46% atau 5 jam hari-1 (Lampiran 4 Tabel 4). Hasil pendugaan neraca air menunjukkan daerah penelitian mengalami periode surplus bulan Desember-Februari dan Mei-Juni. Sedangkan pada bulan lainnya mengalami kekeringan. Bulan November merupakan peralihan dari musim kemarau ke musim hujan (Gambar 4 dan 5). Berdasarkan data curah hujan, suhu udara, posisi lintang-bujur, dan elevasi menunjukkan bahwa daerah penelitian termasuk rejim kelembaban udara ustik dan rejim suhu isohipertermik (Lampiran 4 dan 5). Untuk daerah Sidomukti yang tercakup dalam stasiun iklim Sidodadi menunjukkan rejim suhu tanah adalah isohipertermik dan rejim kelembaban udara adalah ustik (aridic tropustic) dengan lama keadaan lembab selama 78 hari, kering 128 hari, dan lembab kering 154 hari. Sedangkan daerah Molombulahe mempunyai rejim kelembaban dan rejim suhu tanah sama dengan daerah Sidomukti hanya berbeda pada lama keadaan kering selama 145 hari, lembab kering 215 hari, dan tanpa hari dalam keadaan lembab. Ustik yang dalam bahasa Latin “ustus”, artinya terbakar atau menyatakan kekeringan merupakan rejim kelembaban tanah dimana penampang kontrol kelembaban kering pada sebagian atau semua bagiannya selama 90 hari kumulatif atau lebih dalam setahun. Sedangkan isohipertermik adalah rejim suhu tanah dimana suhu tanah rata-rata tahunan adalah 22oC atau lebih tinggi, dan perbedaan antara suhu tanah musim panas rata-rata dan musim dingin rata-rata lebih kecil dari 6oC (Soil Survey Staff 1999). Berdasarkan kondisi lapang, maka rejim kelembaban tanahnya tidak cocok karena berdasarkan data morfologi cenderung akuik. Hal ini disebabkan beberapa horison tanah telah mengalami penjenuhan air cukup lama sehingga warna tanah kelabu. Tampaknya air ini merupakan air bawah permukaan tanah yang merembes dari bagian atas (hinteland) lahan ke daerah depresi dan terjadi akumulasi air yang 26 menyebabkan reduksi bahan tanah. Akuik dalam bahasa Latin “aqua”, artinya air atau menyatakan jenuh air, merupakan rejim kelembaban yang menyiratkan berkurangnya keberadaan atau ketiadaan oksigen bebas terlarut karena tanah jenuh oleh air atau air kapiler pada pori tanah. Sebuah rejim akuik harus sekurangkurangnya terdiri dari satu horison yang terjenuhi. Beberapa horison tanah, suatu waktu jenuh dengan air pada saat oksigen terlarut ada, baik karena pergerakan air atau karena lingkungan yang tidak menguntungkan bagi mikroorganisme. Misalnya, jika suhu < 1oC, maka tidak dipertimbangkan sebagai rejim kelembaban akuik (Soil Survei Staff 1975). Untuk diferensiasi dalam kategori tertinggi, tanah yang memiliki rezim akuik seluruhnya harus jenuh. Pada bagian sub grup, hanya horison paling bawah yang jenuh. Tanah dianggap jenuh jika air mengisi seluruh pori sampai permukaan tanah, kecuali pada pori non kapiler. Air dalam pori adalah stagnan dan tetap berwarna jika sumber warna berada di dalam air. Pada tanah berpasir, ketebalannya mungkin hanya 10 sampai 15 cm. pada tanah liat yang mengembang atau mengkerut, mungkin ketebalannya dapat mencapai ≥ 30 cm, tergantung distribusi ukuran pori. Lamanya periode tanah harus jenuh untuk rejim akuik tidak diketahui, setidaknya beberapa hari. Hal ini mengacu pada konsep bahwa oksigen terlarut hampir tidak ada karena akan hilang dari air bawah tanah akibat respirasi oleh mikroorganisme, akar dan fauna tanah. Beberapa suhu tanah berada di atas nol untuk proses biologi (5oC) dalam beberapa waktu, sementara tanah atau horison jenuh. Secara umum, level air tanah berfluktuasi dengan musim. Level tertinggi di musim hujan, musim dingin, dan atau musim semi jika cuaca dingin serta evapotranspiratsi hampir berhenti. Air tanah selalu berada atau tertutup di permukaan, seperti rawa pasang surut, tanah depresi dan tergolonh "per aquic". Meskipun istilah ini tidak digunakan sebagai unsur formatif untuk nama taksa, tetapi digunakan dalam membantu deskripsi dan memahami genesisnya (Soil Survei Staff 1999). 27 Gambar 4. Neraca Air di Daerah Sidodadi dan Sekitarnya Gambar 5. Neraca Air di Daerah Molombulahe dan Sekitarnya Daerah penelitian dilalui oleh Sungai Paguyaman yang merupakan sungai utama dengan anak sungainya, antara lain Sungai Odimita, Hunggalua, Buliya dan Sungai Bongo. Pola aliran Sungai Paguyaman termasuk meandering, dan anakanak sungainya termasuk pola sub paralel-dendritik. Pada musim hujan, air Sungai Paguyaman naik antara 1 sampai 3 m, dan tempat rendah sering tergenang air karena laju infiltrasi lambat (BP2TP 2002). Berdasarkan laporan Dinas PU Kabupaten Gorontalo (1994) dalam BP2TP 2002) menunjukkan bahwa dari tahun 1993 sampai 1994, debit Sungai Paguyaman antara 9,69 m3 dt-1 di bagian hulu sampai 34,84 m3 dt-1 di bagian tengah/hilir. Sedangkan Sungai Odimita 0,66-0,69 m3 dt-1, Bendung Sungai Hunggalua 0,31 m3 dt-1, Bendung Sungai Buliya 0,22 m3 dt-1, dan Sungai Bongo 1,39-1,48 m3 dt-1. 28 Ditinjau dari segi kualitas air, terutama kadar lumpur umumnya cukup tinggi. Kadar lumpur Sungai Paguyaman mencapai 307-564 mg l-1, Sungai Bongo 333 mg l-1, dan Sungai Odimita 241-262 mg l-1. Sedangkan pada Bendung Hunggalua dan Bendung Buliya tergolong rendah, yaitu 55 mg l-1 dan 73 mg l-1 (BP2TP 2002). Kadar lumpur yang tinggi menunjukkan kondisi hidro-orologis DAS mengalami kerusakan akibat terjadinya penggundulan hutan dan pengolahan tanah yang menimbulkan erosi, sehingga perlu perbaikan dan rehabilitasi. 4.3 Kondisi Geologi Daerah Paguyaman termasuk zone patahan yang memanjang sampai ke Gorontalo, yang terjadi sebagai hasil kegiatan volkanisme. Dataran Paguyaman diduga merupakan bekas kaldera/danau besar sebagai hasil volkanisme, yang tidak mempunyai oulet ke laut (BP2TP 2002). Terjadinya patahan menyebabkan terbentuknya celah atau retakan yang memungkinkan air danau mengalir ke luar dan air danau mengering dan akhirnya membentuk dataran luas. Wilayah penelitian terdiri dari formasi geologi Qpl (endapan danau) yang terdiri dari batu liat, batu pasir dan kerikil (Bachri et al. 1993). Formasi ini terbentuk pada epoch kuarter dan menyerupai air yang mengelilingi pulau-pulau dimana pulau-pulau tersebut adalah formasi geologi yang terbentuk pada epoch tertier seperti Tqpv (batuan gunung api Pinogu) yang terdiri dari aglomerat, tuf dan lava serta bagian kecil formasi Tmbo (diorit Boliohuto) yang terdiri dari diorit dan granodiorit. Sementara itu, formasi Qpl sendiri dikelilingi oleh formasi tertier lainnya, antara lain formasi Tmd (Dolokapa) yang terdiri dari batuan sedimen dan volkan; formasi Tmbo (diorit Boliohuto) yang terdiri dari diorit dan granodiorit serta formasi Tmb (diorit Bone) yang terdiri dari diorit, diorit kuarsa, granidiorit, dan batuan adamelit, sebagaimana tertera pada Gambar 6. Elevasi formasi tertier ini lebih tinggi dibandingkan formasi kuarter, sehingga baik air tanah maupun bahan tererosi bias berkumpul pada formasi kuarter tersebut. 29 o 0 45’ LU PETA GEOLOGI DAERAH PAGUYAMAN DAN SEKITARNYA KETERANGAN Endapan Danau Batuan Gunung Api Pinogu Formasi Dolokapa : Batu liat, batu pasir dan kerikil : Aglomerat, tuf, lava, andesit-basal : Batu pasir, batu lanau, batu lumpur, tuf, lapili, aglomerat, breksi gunung api, lava andesit-basal Diorit Boliohuto : Diorit, granodiorit Diorit Bone : Diorit, diorit kuarsa, granidiorit, adamelit Sesar, garis putu-putus bila letaknya diperkirakan atau direka Kelurusan (lineament) Sungai Lokasi Penelitian 41’ 36’ o 122 30’ BT 37’ 45’ Sumber : Peta Geologi Lembar Tilamuta, Sulawesi Skala 1 : 250.000 Gambar 6. Peta Geologi Daerah Paguyaman dan Sekitarnya 29 30 4.4 Kondisi Landform, Fisiografi dan Topografi Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, daerah penelitian temasuk landform aluvial (Desaunettes 1977). Grup aluvial ini terbentuk dari hasil proses fluviasi atau koluviasi atau gabungan keduanya, dicirikan oleh endapan yang berlapis-lapis, berkerikil atau berpasir (BP2TP 2002). Penampakan mikro (micro features) lokasi penelitian menunjukkan bahwa landform aluvial yang dijumpai pada masing-masing pedon, yaitu pedon PNS1, PNS2, PNS3, dan PNS-LK termasuk landform aluvial sub sistem depresi aluvial (A41) yang awalnya merupakan dataran endapan danau (A44) atau sub sistem lacustrine plain. Demikian halnya pedon PNM1, PNM2 dan PNM-LK yang juga termasuk landform aluvial sub sistem depresi aluvial. Pedon PNM3 termasuk landform aluvial sub sistem teras sungai (A21) yang menutupi . Sedangkan pedon PNB termasuk landform aluvial sub sistem dataran aluvial (A28) yang menutupi dataran endapan danau atau sub sistem lacustrine plain. Hal ini terlihat pada profil formasi geologi daerah Paguyaman (Bachri et al. 1993) yang menunjukkan adanya penutupan dataran endapan danau oleh bahan-bahan aluvial selama waktu geologi. Bentuk wilayah di lokasi Penelitian umumnya tergolong datar sampai landai, dengan variasi kemiringan lereng antara 0-6%. Topografi di daerah ini mulai dari datar sampai berombak. Topografi pedon lokasi Sidomukti Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo terdiri dari: pedon PNS1 agak datar dengan kemiringan lereng lebih kecil dari 2% yang berada pada ketinggian sekitar 57 m dpl, PNS2 berombak dengan kemiringan lereng sekitar 4% yang berada pada ketinggian sekitar 59 m dpl, PNS3 juga berombak dengan kemiringan lereng sekitar 6% yang berada pada ketinggian sekitar 62 m dpl, dan pedon PNS-LK datar dengan kemiringan lereng lebih kecil 2% yang berada pada ketinggian sekitar 57 m dpl. Sedangkan topografi pedon daerah Molombulahe Kecamatan Paguyaman Kabupaten Boalemo terdiri dari datar sampai landai (PNM1) pada ketinggian 36 m dpl, berombak (PNM2, PNM3, dan PNM-LK) masing-masing pada ketinggian 42, 61 dan 50 m dpl. Sedangkan topografi daerah Bandungrejo Kecamatan Boliyohuto Kabupaten Gorontalo termasuk datar (PNB) pada ketinggian 44 m dpl. Lokasi dan posisi relief setiap pedon pewakil dalam topografi daerah penelitian disajikan pada Gambar 7. 31 PNS-LK: Elev=±57 ∟: < 2% PNB: Elev=±44 ∟: 2% PNS2: Elev=±59 ∟: 4% PNS1: Elev=±57 ∟: < 2% PNS3: Elev=±62 ∟: 6% m dpl 70 50 elevasi 60 40 (a) 0 m 1500 500 PNM3: Elev=±61 ∟: 6% m dpl 700 PNM-LK: Elev=±50 ∟: 4% Jarak Horisontal 600 PNM2: Elev=±42 ∟: 4% PNM1: Elev=±36 ∟: < 2% 60 elevasi 50 40 30 (b) m Jarak Horisontal 500 300 1700 (c) Gambar 7. Lokasi dan Posisi Relief Setiap Pedon Pewakil dalam Topografi (a) Lokasi Sidomukti dan Bandungrejo; (b) Lokasi Molombulahe; (c) Profil Formasi Geologi Daerah Penelitian 31 32 4.5 Kondisi Penggunaan Lahan dan Vegetasi Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa penggunaan lahan di daerah penelitian terdiri dari persawahan, palawija, perkebunan tebu dan kebun campuran. Penyebaran perkebunan tebu terpencar-pencar karena terhalang lahan pertanian penduduk. Sebagian lahan pertanian penduduk disewakan kepada PT. PG Tolangohula sebagai perusahaan produsen gula pasir satu-satunya di daerah ini. Sedangkan perkebunan kelapa rakyat tersebar hampir di setiap daerah. Di lokasi Sidomukti Kabupaten Gorontalo, penggunaan lahan yang dijumpai berupa TSTH pada daerah depresi dan dataran aluvial yang pengairannya bergantung dari hujan dan air sungai yang dialirkan dengan mesin pompa air. Sedangkan lahan keringnya diusahakan untuk tanaman palawija, kebun campuran (kelapa dan jagung), dan kebun tebu. Lokasi Molombulahe Kabupaten Boalemo, penggunaan lahannya terdiri dari TSTH pada daerah yang sama dengan lokasi Sidomukti. Sedangkan lahan kering diusahakan untuk tanaman palawija, perkebunan tebu, dan kebun campuran. Untuk lokasi Bandungrejo, penggunaan lahan yang dominan, yaitu sawah irigasi teknis (TSI) dengan intensitas penanaman padi 2-3 kali dalam setahun. Di semua pedon di daerah penelitian tidak dijumpai lagi vegetasi asli. Vegetasi yang dijumpai saat ini terdiri dari tanaman pertanian berupa padi (PNS1-3, PNM1-3, dan PNB), palawija (jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau), tanaman buahbuahan (mangga, pisang, jambu biji, jambu air, dan langsat), dan tanaman perkebunan (kelapa, kakao, dan kopi). Untuk pedon PNS-LK dan PNM-LK vegetasinya merupakan campuran antara kelapa (dominan) dengan palawija dan buah-buahan. 4.6 Kegiatan Pertanian Padi Sawah Tadah Hujan di Daerah Penelitian Berdasarkan hasil wawancara dengan petani kunci dan PPL diperoleh informasi bahwa areal TSTH di lokasi Sidomukti Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo (PNS) telah dicetak sejak kira-kira tahun 1980 secara konvensional, sehingga sampai saat ini lahan tersebut sudah berumur 29 tahun. Untuk areal TSTH di lokasi Molombulahe Kecamatan Paguyaman Kabupaten Boalemo (PNM) telah dicetak sejak kira-kira tahun 1994 atau baru berumur 15 tahun yang pencetakannya juga sama dengan di lokasi Sidomukti. Sedangkan areal TSI di lokasi Bandungrejo Kecamatan Boliyohuto Kabupaten Gorontalo (PNB) telah dicetak sejak kira-kira tahun 1946 atau sudah berumur 63 tahun dengan cara pencetakannya sama dengan kedua daerah sebelumnya. 33 Saat ini, teknik pengolahan tanah baik TSTH (PNS dan PNM) maupun sawah irigasi teknis (PNB) telah menggunakan sistem mekanisasi modern dengan menggunakan tipe bajak mildboard, garu dan rotari. Rata-rata kedalaman pengolahan tanah di daerah penelitian antara 20 sampai 30 cm tergantung dari kondisi tanah. Pada awal kegiatan pertanian sampai kira-kira tahun 1995, petani menentukan waktu tanam padi sawah dan tanaman lainnya, di samping berdasarkan ketersediaan air hujan dan air irigasi juga mengacu pada sistem perbintangan di langit (panggoba). Namun, setelah tahun tersebut, maka sistem perbintangan mulai ditinggalkan karena sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi di lapangan dan petani cenderung menentukan sendiri waktu tanam berdasarkan ketersediaan air maupun kebutuhan hasil pertanian tersebut. Akibatnya, keseragaman waktu penanaman di lokasi yang sama dengan tanaman yang sama sulit dilakukan, sehingga menimbulkan dampak negatif antara lain: serangan hama dan penyakit tanaman, kegagalan panen dan lainnya. Dengan demikian, waktu penggenangan dan lamanya tanaman digenangi selama satu musim tanam sulit ditentukan karena ketersediaan air yang berfluktuasi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Lesniawati et al. (2000) bahwa sebagian besar tanaman padi di dunia tumbuh dengan menggunakan air yang berasal dari hujan. TSTH di daerah Sidomukti maupun Molombulahe ditanami padi sebanyak dua kali dalam setahun, kecuali lahan sawah irigasi teknis di daerah Bandungrejo yang dapat ditanami padi sebanyak tiga kali dalam setahun. Berdasarkan data BPS (2008) menunjukkan bahwa produksi padi dari daerah penelitian mencapai 29.746 ton padi dengan rata-rata produksi berkisar antara 4,2 ton ha-1 sampai 4,7 ton ha-1. Sedangkan hasil wawancara dengan petani kunci menunjukkan bahwa rata-rata produksi padi dari TSTH di daerah Sidomukti sebesar 1,7 ton ha-1 dan Molombulahe sebesar 1,5 ton ha-1. Sedangkan sawah irigasi teknis di daerah Bandungrejo, rata-rata produksinya sudah mencapai 4,7 ton ha-1. 34 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Tanah Sawah Tadah Hujan 5.1.1 Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Data morfologi dan sifat fisik TSTH yang diteliti disajikan pada Lampiran 1, 2, 3, 5, 6 dan 7 serta sebagian tertera pada Tabel 10. Sebagai pembanding tingkat perkembangan tanah dengan bahan induk yang sama pada lokasi yang sama, maka disajikan pula data morfologi dan sifat fisik tanah lahan kering (TLK) pada Lampiran 4 dan 8 serta sebagian tertera pada Tabel 11. Sedangkan untuk mengetahui sifat morfologi dan fisik tanah sawah irigasi (TSI) dengan bahan induk yang sama, maka disajikan pada Lampiran 9 dan sebagian tertera pada Tabel 12. Di samping itu, sebaran warna matriks pedon berdasarkan toposekuen disajikan pada Gambar 8 dan 9 serta lanskap dan penampang profil pedon yang diteliti pada Gambar 10, 11, 12 dan 13. Semua pedon TSTH tersebar pada tiga toposekuen, yaitu lereng bawah, tengah dan lereng atas dengan kemiringan lereng masing-masing secara berturutturut < 2%, 4% dan 6%. Pedon TLK berada pada lereng tengah dengan kemiringan lereng <2% dan 4%. Sedangkan pedon TSI berada pada lereng atas dengan kemiringan lereng <2%. Horison permukaan yang terbentuk pada pedonpedon yang diamati telah mendapat pengaruh pengolahan tanah yang cukup dalam (Ap) hingga mencapai ≥40 cm, kecuali pedon PNS3 dari Sidomukti dan PNM2 dari Molombulahe yang masing-masing hanya mencapai 10 cm dan 14 cm. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan cara dan teknik pengolahan tanah, dimana pada pedon yang berada pada kemiringan lereng <4% telah menggunakan alat bantu pengolah tanah berupa traktor yang tingkat kedalamannya dapat diatur sesuai kebutuhan. Sedangkan pada pedon yang berada pada kemiringan lereng >4% masih menggunakan alat bajak konvensional dengan bantuan tenaga sapi. Semua pedon TSTH telah berkembang yang dicirikan oleh adanya strukturisasi (horizon B). Warna matriks tanah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok dengan hue 10YR dan kroma ≤ 2 dari atas hingga ≥ 150 cm dan kelompok yang memiliki hue 7,5YR dan kroma > 2. Sementara untuk pedon TLK semuanya berkroma ≥ 3 dari lapisan permukaan hingga lapisan bawah (≥ 100 cm), kecuali PNM-LK yang mempunyai kroma 1 di lapisan atas. Hue pedon PNS-LK 35 7,5YR dengan karatan di lapisan paling bawah (>200 cm). Sedangkan pedon PNM-LK berhue 10YR dengan karatan kemerahan dari lapisan 11 cm hingga 75 cm dan hitam di lapisan bawah (100 cm). Pedon TSI berhue 2,5YR dari lapisan atas hingga lapisan bawah dengan kroma ≤ 2, kecuali dua horison (lapisan 47-107 cm) berwarna merah (kroma > 2). Karatan yang dijumpai pada lapisan permukaan dan lapisan peralihan pedon ini berhue 10YR dengan warna kecoklatan (kroma 6). Warna matriks tanah di atas menunjukkan bahwa solum tanah telah berkembang dengan baik dan memberikan petunjuk telah terjadi pelapukan yang cukup tinggi. Pada kelompok pedon TSTH yang berada pada lereng bawah dan tengah telah mengalami gleisasi kuat (g) pada semua horisonnya, sementara pedon TSTH yang berada di lereng atas hanya pada lapisan permukaan (horison Ap). Pada pedon TLK hanya pedon PNM-LK yang mengalami gleisasi di lapisan permukaan. Sedangkan pedon TSI, gleisasi hanya terjadi pada horison permukaan dan horison peralihan. Pembentukan warna glei disebabkan oleh pengaruh penjenuhan oleh air yang cukup lama dan besi mengalami reduksi, kemudian dipindahkan selama pembentukan tanah. Hal ini ditunjukkan oleh dijumpainya air tanah yang cukup dangkal pada kedalaman kurang dari 100 cm. Karatan dijumpai pada seluruh pedon yang diamati, baik TSTH, TSI maupun TLK. Pada pedon TSTH dan pedon TSI, semua karatan merupakan karat dengan kroma >3, kecuali pedon PNM3 selain dijumpai karat pada lapisan bawah juga dijumpai becak (kroma ≤2). Warna karat yang dominan adalah coklat, kecuali pedon PNS3 dengan warna kuning. Sedangkan warna becak yang dijumpai pada pedon PNM3 berupa warna hitam. Pada pedon TLK, karatan yang dijumpai pada pedon PNS-LK hanya berupa karat dengan warna coklat, sementara pedon PNM-LK dijumpai karat dan becak. Warna karat pada pedon PNM-LK terdiri dari coklat, merah dan kelabu. Sedangkan warna becaknya berupa kelabu. Hal ini menunjukkan bagian pedon tersebut mengalami kondisi oksidasi dan reduksi sebagai akibat proses pengeringan dan penjenuhan. Rachim (2007) menyatakan bahwa tanda-tanda redoksimorfik adalah tipe karatan yang berasosiasi dengan kebasahan. Diduga karatan yang dijumpai pada bagian pedonpedon tersebut merupakan karatan besi dan mangan. 36 PNS-LK: Elev=±57 ∟: < 2% PNB: Elev=±44 ∟: 2% PNS3: Elev=±62 ∟: 6% PNS2: Elev=±59 ∟: 4% PNS1: Elev=±57 ∟: < 2% m dpl 70 50 elevasi 60 40 0 m 1500 2,5YR 6/1 2,5YR 5/2 2,5YR 6/2 2,5YR 5/6 500 7,5YR 4/3 7,5YR 4/3 700 10YR 5/1 10YR 5/2 10YR 5/1 10YR 5/2 10YR 5/1 7,5YR 4/4 10YR 6/2 10YR 6/1 2,5YR 5/6 7,5YR 5/4 7,5YR 3/1 7,5YR 4/3 7,5YR 5/2 7,5R 6/2 10YR 4/1 2,5YR 5/1 Jarak Horisontal 10YR 6/2 7,5YR 4/4 2,5YR 4/1 600 10YR 4/1 7,5YR 7/2 10YR 4/1 7,5YR 7/3 2,5YR 3/1 10YR 4/1 10YR 4/1 7,5YR 5/6 7,5YR 5/6 10YR 4/1 Gambar 8. Sebaran Warna Matriks Pedon Berdasarkan Toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo 36 37 m dpl PNM3: Elev=±61 ∟: 6% PNM-LK: Elev=±50 ∟: 4% PNM2: Elev=±42 ∟: 4% PNM1: Elev=±36 ∟: < 2% 60 50 elevasi 40 30 0 m Jarak Horisontal 500 300 1700 7,5YR 4/1 10YR 3/1 10YR 4/1 7,5YR 4/1 10YR 4/3 10YR 4/1 7,5R 4/2 10YR 4/6 10YR 4/2 10YR 4/4 10YR 4/1 10YR 5/1 10YR 5/1 7,5YR 4/3 7,5YR 4/4 10YR 5/4 10YR 6/1 10YR 5/1 10YR 5/1 10YR 4/2 7,5YR 5/3 10YR 7/1 10YR 4/1 Gambar 9. Sebaran Warna Matriks Pedon Berdasarkan Toposekuen di Molombulahe 37 38 (a) (b) Gambar 10. Lanskap (a) dan Profil Pedon PNS (b) di Desa Sidomukti Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo (a) (b) Gambar 11. Lanskap (a) dan Profil Pedon PNM (b) di Desa Molombulahe Kecamatan Paguyaman Kabupaten Boalemo 39 (a) Gambar 12. (b) Lanskap dan Profil Pedon PNS-LK (a) di Desa Sidomukti Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo, serta Lanskap dan Profil Pedon PNMLK (b) di Desa Molombulahe Kecamatan Paguyaman Kabupaten Boalemo (a) (b) Gambar 13. Lanskap (a) dan Profil Pedon PNB (b) di Desa Bandung Rejo Kecamatan Boliyohuto Kabupaten Gorontalo 40 Tabel 10. Sifat Morfologi dan Fisik Tanah Pedon TSTH dari Desa Sidomukti (S) dan Molombulahe (M) Warna Lembab Horison PNS1 Apg1 Apg2 Bwg1 Bwg2 Bwssg BCg1 BCg2 PNS2 Apg1 Apg2 Bwg1 Bwg2 Bwg3 BCssg1 BCssg2 PNS3 Apg Bw Bwg1 Bwg2 Bwssg Bwss PNM1 Apg1 Apg2 Bwg1 Bwg2 Bwg3 BCg PNM2 Apg Bwg Bssg1 Bssg2 Bssg3 BCssg PNM3 Apg1 Apg2 Bwg Bw2 BC1 BC2 Kedalaman (cm) Tekstur (%) Batas Struktur Konsistensi 10 YR 5/3 (c,f,d,b,t) 10 YR 5/3 (e)(c,f,d,t,j) 10 YR 5/3 (c,f,d,t,j) - cs gs ds cw ds cs ds masif, 0 ab f 1 ab m 1 ab c 1 ab m 2 ab c 3 - 10 YR 5/2 10 YR 5/2 10 YR 6/2 10 YR 6/2 10 YR 4/1 10 YR 4/1 10 YR 4/1 10 YR 5/3 (f,f,f,b,t) 10 YR 4/6 (f,m,d,b,j) - gs cs ds cw ds ds ds 0-10 10-34 34-61 61-86 86-120 120-150 7,5 YR 3/1 7,5 YR 4/3 7,5 YR 5/2 7,5 YR 6/2 7,5 YR 7/2 7,5 YR 7/3 7,5 YR 7/6 (m,f,f,b,j) 7,5 YR 7/8 (m,f,f,b,j) 0-21 21-37 37-60 60-80 80-103 103-200 10 YR 5/1 10 YR 5/1 10 YR 6/1 10 YR 5/1 10 YR 5/1 10 YR 7/1 0-14 14-30 30-56 56-87 87-120 120-200 0-10 10-28 28-54 54-81 81-100 100-150 Matriks Karatan 0-12 12-31 31-53 53-71/92 71/92-119 119-150 150-200 10 YR 5/1 10 YR 5/1 10 YR 5/1 10 YR 6/1 10 YR 4/1 10 YR 4/1 10 YR 4/1 0-10 10-31 31-64 64-84/103 84/103-150 150-200 >200 Liat Kasar Liat Halus Liat Total Liat Halus/ Liat Total Kelas Tekstur Kelas Ukuran Butir Pasir Debu vs, p vs, p vs, p vs, p vs, p vs, p vs,vf 31 23 13 12 10 11 16 34 42 37 31 30 21 27 9 9 10 10 6 18 20 26 26 40 47 54 50 37 35 35 50 57 60 68 57 0,74 0,74 0,80 0,82 0,90 0,74 0,65 Lempung Berliat Lempung Berliat Liat Liat Liat Liat Liat Halus Halus Halus Halus Halus Sangat Halus Halus massif, 0 ab m 1 ab m 1 ab m 1 ab m 2 ab m 2 ab m 2 s, p s, p vs, p vs, p vs, p vs, vp vs, vp 36 37 23 20 16 23 24 37 37 54 29 22 32 35 5 6 18 8 10 17 20 22 20 5 43 52 28 21 27 26 23 51 62 45 41 0,81 0,77 0,22 0,84 0,84 0,62 0,51 Lempung Lempung Lempung Berdebu Liat Liat Liat Liat Berlempung Halus Berlempung Halus Berlempung Halus Halus Sangat Halus Halus Halus as aw dw dw dw dw massif, 0 ab f 1 ab m 1 ab c 1 ab m 2 ab c 3 vs, t ss, t ss, t ss, t ss, t so, t 38 37 35 33 29 34 28 32 22 45 20 8 10 11 10 19 9 9 24 20 33 3 42 49 34 31 43 22 51 58 0,71 0,65 0,77 0,14 0,82 0,84 Lempung Berliat Lempung Berliat Liat Lempung Liat Liat Berlempung Halus Berlempung Halus Halus Berlempung Halus Halus Halus 10 YR 4/3 (f,f,f,b,t) 7,5 YR 6/3 (m,m,d,b,j) gs gs gs gs as as massif, 0 ab f 1 ab f 2 pm1 pm1 pm1 s, p s, p ss, p ss, p s, p ss, p 30 24 18 18 23 17 29 31 40 36 40 39 22 23 18 31 14 25 19 22 24 15 23 19 41 45 42 46 37 44 0,46 0,49 0,57 0,33 0,62 0,43 Liat Liat Liat Liat Lempung Berliat Liat Halus Halus Halus Halus Halus Halus 10 YR 4/1 10 YR 4/1 10 YR 4/2 10 YR 4/1 10 YR 4/2 10 YR 4/1 10 YR 5/3 (m,f,f,b,t) 10 YR 4/4 (f,f/m,f,b,t) - gs cs gs gs gs gs massif, 0 ab m 1 pm1 pm1 pm1 pm1 ss, p ss, p s, p s, p ss, p s, p 19 15 14 9 9 7 38 38 25 23 27 33 9 15 16 12 13 22 34 32 45 56 51 38 43 47 61 68 64 60 0,79 0,68 0,74 0,82 0,80 0,63 Liat Liat Liat Liat Liat Liat Halus Halus Sangat Halus Sangat Halus Sangat Halus Sangat Halus 7,5 YR 4/1 7,5 YR 4/1 7,5 YR 4/2 7,5 YR 4/3 7,5 YR 4/4 7,5 YR 5/3 7,5 YR 4/5 (c,f,f,b,t) 7,5 YR 5/6 (c,m,f,b,t) cs gc cs cs cs cs massif, 0 ab f 1 sb m 1 sb m 1 cp m 2 cp m 3 ss, f ss, f ss, f ss, f s, f s, f 44 43 33 38 38 41 30 35 39 35 34 26 8 6 9 11 12 11 18 16 19 16 16 22 26 22 28 27 28 33 0,69 0,73 0,68 0,59 0,57 0,67 Lempung Lempung Lempung Lempung Lempung Berliat Lempung Berliat Berlempung Halus Berlempung Halus Berlempung Halus Berlempung Halus Berlempung Halus Berlempung Halus 40 S=pasir,Cl=liat,Si=debu,L=lempung;f=sedikit,c=biasa,m=banyak;f=halus;m=sedang;c=kasar;f=baur,d=jelas,p=nyata;s=serbuk,l=lidah,t=tabung,b=bintik;ab=gumpal bersudut;sb=gumpal;p=prismatik;cp=kolumnar;vs=sangat lekat;vf=sangat gembur;vp=sangat plastis;ss=agak lekat;so=tidak lekat;s=lekat;t=teguh;f=gembur;p=plastis;cs=jelas rata;gs=berangsur rata;ds=baur nyata;cw=jelas berombak;aw=nyata berombak;as=nyata rata. 41 Tabel 11. Sifat Morfologi dan Fisik Tanah Pedon TLK dari Desa Sidomukti (S) dan Molombulahe (M) Horison PNSLK Ap1 Ap2 Bw1 Bw2 Bw3 BC1 BC2 PNMLK Apg Ap2 Bw1 Bw2 BC Warna Lembab Kedalaman (cm) Matriks Karatan 0-11 11-29 29-61 61-91 91-130 130-200 >200 7,5 YR 4/3 7,5 YR 4/3 7,5 YR 4/4 7,5 YR 4/4 7,5 YR 5/4 7,5 YR 5/6 7,5 YR 5/6 0-11 11-29 29-51 10 YR 3/1 10 YR 4/3 10 YR 4/6 Tekstur (%) Batas Struktur Konsistensi 5 YR 4/4 (m,m,f,t,t) gs ds gs ds ds cs ds masif, 0 sb f/m 1 ab f/m 2 ab f/m 1 ab f 1 ab f 1 ab f 1 5 YR 4/6 (Fe) (f,f,f,b,t) 10 YR 5/6 (m,f,f,b,j) cs gs gs 51-73 10 YR 4/4 10 YR 5/6 (m,f,f,b,j) gs masif, 0 sb f 3 sb c 3 sb c 3 73-100 10 YR 5/4 10 YR 5/6 (m,f,f,b,j) ds sb c 3 Liat Kasar Liat Halus Liat Total Liat Halus/Liat Total Kelas Tekstur Kelas Ukuran Butir Pasir Debu s, p, f s, p, f s, p, f ss, ps, f s, p, f s, p, f ss, ps, vf 32 25 13 58 15 44 49 44 50 72 26 60 39 31 11 11 10 7 17 13 15 13 14 5 9 8 4 5 24 25 15 16 25 17 20 0,54 0,56 0,33 0,56 0,32 0,24 0,25 Lempung Lempung Berdebu Lempung Berdebu Lempung Berpasir Lempung Berdebu Lempung Lempung Berlempung Halus Berlempung Halus Berdebu Kasar Berlempung Kasar Berlempung Halus Berlempung Kasar Berlempung Halus ss, vt ss, vt s, vt 32 37 37 37 27 21 13 21 25 18 15 17 31 36 42 0,58 0,42 0,40 Lempung Berliat Lempung Berliat Liat Berlempung Halus Halus Halus ss, vt 50 11 17 22 39 0,56 Liat Berpasir Halus ss, vt 25 18 22 35 57 0,61 Liat Halus S=pasir;Cl=liat;L=lempung;f=sedikit;c=biasa;m=banyak;f=halus;m=sedang;c=kasar;ab=gumpal bersudut;sb=gumpal;vs=sangat lekat;vf=sangat gembur;vt=sangat teguh;ss=agak lekat;ps=agak plastis;s=lekat;f=gembur;p=plastis;cs=jelas rata;gs=berangsur rata; ds=baur nyata Tabel 12. Sifat Morfologi dan Fisik Tanah Pedon TSI dari Desa Bandungrejo Horison PNB Apg1 Apg2 Bwg1 Bw2 Bw3 BCg BCssg1 BCssg2 Warna Lembab Kedalaman (cm) Matriks Karatan 0-20 20-40 40-47 47-59 59-107 107-119 119-150 150-200 2,5 YR 6/1 2,5 YR 5/2 2,5 YR 6/2 2,5 YR 5/6 2,5 YR 5/6 2,5 YR 5/1 2,5 YR 4/1 2,5 YR 3/1 10 YR 4/6 (m,f,f,b,t) 10 YR 5/6 (m,c,f,b,t) - Tekstur (%) Batas Struktur Konsistensi as aw gs gs as gs gs gs masif, 0 ab f 1 ab f 3 ab f 3 ab f 1 ab f 1 pl f 3 pl f 3 ss s, p ss, p s, p vs, p vs, p vs, p vs, p Pasir Debu 13 19 23 3 10 9 10 9 52 48 46 45 39 45 35 24 Liat Kasar Liat Halus 15 22 10 13 18 16 13 12 20 11 21 39 33 30 42 55 Liat Total 35 33 31 52 51 46 55 67 Liat Halus/ Liat Total Kelas Tekstur Kelas Ukuran Butir 0,57 0,33 0,68 0,75 0,65 0,65 0,76 0,82 Lempung Liat Berdebu Lempung Liat Berdebu Lempung Berliat Liat Berdebu Liat Liat Berdebu Liat Liat Halus Berlempung Halus Berlempung Halus Halus Halus Halus Halus Sangat Halus S=pasir;Cl=liat;Si=debu;L=lempung;f=sedikit;c=biasa;m=banyak;f=halus;m=sedang;c=kasar;ab=gumpal;pl=datar;ss=agak lekat;vs=sangat lekat;s=lekat;t=teguh; f=gembur;gs=berangsur rata;aw=nyata berombak;as=nyata rata 41 42 Batas antara horison permukaan (Ap) dan horison Bw pada semua pedon yang diteliti bervariasi, yaitu jelas, nyata, berangsur dan baur dengan topografi permukaan rata sampai berombak. Namun, lebih dominan topografi permukaannya rata. Sedangkan batas horison antara horison Bw dan BC terlihat juga baur sampai jelas dengan topografi permukaan keseluruhan rata. Tekstur pedon-pedon TSTH didominasi oleh liat, kecuali pedon PNM3 yang didominasi oleh lempung. Sementara itu, peningkatan antar horison di dalam pedon, umumnya bervariasi antara lempung berliat, liat dan lempung, kecuali pedon pedon PNM2 yang keseluruhan horison bertekstur liat. Pada horisonhorison bagian atas pada umumnya lebih kasar dibanding horison bagian bawah. Rasio liat halus (LH) terhadap liat total (LT) dibagian tengah solum (B-iluviasi) lebih tinggi dibanding horison atas (A-eluviasi) dan horison-horison lapisan bawah. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi proses eluviasi dan iluviasi (liksiviasi) liat halus, walaupun pada setiap pedon belum dijumpai adanya selaput liat (clay skins). Pengangkutan lain proses ini belum begitu penting. Pada pedon-pedon TLK, teksturnya bervariasi antara lempung dan lempung berdebu untuk pedon PNS-LK; dan lempung berliat, liat, liat berpasir untuk PNMLK. Nisbah LH/LT kedua pedon tersebut belum menunjukkan perbedaan yang jelas antara horison eluviasi dan iluviasi. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi proses liksiviasi, walaupun lebih lemah dari pada pedon-pedon TSTH. Sementara itu, pada pedon TSI tekstur antar horison bervariasi antara lempung berliat, liat berdebu, dan liat. Di bagian bawah solum, tekstur umumnya lebih halus dibanding bagian atas. Nisbah LH/LT pada horison B umumnya lebih besar dibanding horison-horison bagian atas. Hal ini, sebagaimana pada TSTH menunjukkan telah terjadinya proses liksiviasi (lessivage), tetapi belum sampai terbentuk horison argilik. Tampaknya pengaruh penyawahan baik pada TSTH maupun TSI telah menyebabkan terjadinya air perkolasi yang relatif intensif. Proses ini memungkinkan terjadinya liksiviasi. Sementara itu, proses ini hanya terjadi di tanah PNS-LK jika hujan turun dan cukup besar. Padahal curah hujan di daerah ini termasuk rendah dan hanya pada bulan-bulan tertentu saja, sehingga untuk terjadinya liksiviasi sangat terbatas sekali. 43 Umumnya sebaran fraksi liat dalam solum pada semua pedon tidak beraturan atau naik turun sesuai kedalaman. Hal ini merupakan salah satu sifat dari bahan endapan. Kondisi tersebut sesuai dengan formasi geologinya yang termasuk formasi bahan endapan danau (Bachri et al. 1993). Sebaran fraksi debu dan pasir pada semua pedon juga menunjukkan pola yang tidak beraturan. Sebaran fraksi liat dan pasir untuk pedon yang diteliti menunjukkan kecenderungan pola saling berlawanan sebagaimana tersaji pada Gambar 16, 17, 18, 19 dan 20. Jadi, sebaran liat di horison B yang lebih tinggi dari horison A bukan semata-mata disebabkan eluviasi dan iliviasi liat, tetapi proses tersebut tampaknya telah terjadi juga yang ditunjukkan oleh nisbah LH/LT yang lebih tinggi di horison B. Penurunan fraksi pasir ini disamping akibat proses iluviasi liat, juga karena proses hancuran mineral in situ yang dicirikan oleh menurunnya jumlah pasir absolut di bagian tengah solum (Rachim, 1994). Dugaan lain juga karena pengaruh retakan (cracks) pada musim kemarau yang cukup lebar untuk terjadinya pemindahan liat, terutama liat halus pada musim pembasahan yang mengisi pori-pori tersebut, sehingga kadar liatnya bervariasi pada setiap horison. Van Wambeke (1992) menyatakan bahwa proses pembasahan dan pengeringan akan menciptakan pola rekahan yang spesifik. Pola sebaran fraksi liat dalam profil semua pedon yang diteliti dengan mempertimbangkan kadarnya dalam setiap horison dikelompokkan menjadi empat, yaitu (1) pola sebaran liat turun-naik-turun, (2) naik-turun-naik-turun, (3) naik-turun-naik-turun-naik, dan (4) pola turun-naik-turun-naik-turun-naik. Pola 1 ditunjukkan oleh pedon PNS1 dan pedon PNM2; pola 2 ditunjukkan oleh pedon PNS2, PNM3 dan pedon PNB; pola 3 ditunjukkan oleh pedon PNS3 dan pedon PNM-LK; serta pola 4 ditunjukkan oleh pedon PNM1 dan pedon PNS-LK. Pola sebaran liat di atas menunjukkan pengaruh deposisi bahan induk secara periodic masih cukup kuat terhadap tanah yang terbentuk. Namun, dengan telah terjadinya proses eluviasi dan iluviasi yang menyebabkan perbedaan nilai nisbah LH/LT menunjukkan bahwa tanah tersebut telah berkembang walaupun belum lanjut. Rachim (1994) menyatakan bahwa adanya perbedaan pola sebaran liat antara lokasi mencerminkan perbedaan proses genesis tanah. Sebaran tekstur tanah berdasarkan toposekuen disajikan pada Gambar 14 dan 15. 44 PNS-LK: Elev=±57 ∟: < 2% PNB: Elev=±44 ∟: 2% PNS3: Elev=±62 ∟: 6% PNS2: Elev=±59 ∟: 4% PNS1: Elev=±57 ∟: < 2% m dpl 70 60 elevasi 50 40 0 m KT/BB SiCL/F SiCL/FL 1500 KT/BB L/FL SiL/FL 500 KT/BB CL/F CL/F C/F CL/FL SiC/F SiL/CSi C/F SL/CL 700 KT/BB L/FL L/FL 600 Jarak Horisontal KT/BB CL/FL CL/FL SiL/FL C/F C/F C/F SiC/F C/F C/F SiL/FL C/VF C/VF C/F C/F C/VF C/F C/F L/CL L/FL L/FL C/F Keterangan: KT=kelas tekstur; BB=besar butir; C=liat; CL=lempung berliat; L=lempung; SiL=lempung berdebu; SiC=liat berdebu; SiCL=lempung liat berdebu; F=halus; VF=sangat halus; FL=berlempung halus; CL=berlempung kasar; CSi=berdebu kasar. Gambar 14. Sebaran Kelas Tektur dan Besar Butir Pedon Berdasarkan Toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo 44 45 m dpl PNM3: Elev=±61 ∟: 6% PNM-LK: Elev=±50 ∟: 4% PNM2: Elev=±42 ∟: 4% PNM1: Elev=±36 ∟: < 2% 60 elevasi 50 40 30 0 m Jarak Horisontal KT/BB L/FL 500 KT/BB SiL/FL 300 KT/BB 1700 C/F L/FL SiL/F C/F L/FL C/F C/VF L/FL SC/F C/VF SiL/FL C/F KT/BB C/F C/F C/F C/F SiL/F C/VF SiL/LF C/F C/VF Keterangan: KT=kelas tekstur; BB=besar butir; C=liat; L=lempung; SiL=lempung berdebu; SC=liat berpasir; F=halus; VF=sangat halus; FL=berlempung halus Gambar 15. Sebaran Kelas Tektur dan Besar Butir Pedon Berdasarkan Toposekuen di Molombulahe 45 46 Gambar 16. Sebaran Kadar Liat Total dan Perbandingan Liat Halus dengan Liat Total berdasarkan Kedalaman pada Pedon TSTH Gambar 17. Sebaran Kadar Liat Total dan Perbandingan Liat Halus dengan Liat Total berdasarkan Kedalaman pada Pedon TLK Gambar 18. Sebaran Kadar Liat Total dan Perbandingan Liat Halus dengan Liat Total berdasarkan Kedalaman pada Pedon TSI 47 Gambar 19. Sebaran Kadar Fraksi Pasir berdasarkan Kedalaman pada Pedon TSTH dan TSI Gambar 20. Sebaran Kadar Fraksi Pasir berdasarkan Kedalaman pada Pedon TLK dan TSI Struktur tanah semua horison permukaan pada setiap pedon bersifat masif yang disebabkan oleh pengaruh penghancuran agregat saat pengolahan tanah. Sedangkan horison bagian bawah telah memiliki struktur. Ukuran struktur mulai dari halus, sedang sampai kasar dengan tingkat perkembangan belum berkembang (0), lemah, dan kuat. Pada pedon TSTH dari Sidomukti (PNS) pedon TSI dan pedon TLK dari Sidomukti (PNS-LK) lebih didominasi oleh struktur gumpal, sementara pedon TSTH dari Molombulahe (PNM) lebih didominasi oleh struktur prismatik dan beberapa horison dijumpai struktur gumpal, gumpal bersudut dan kolumnar. Struktur tanah pedon TLK dari Molombulahe (PNM-LK) lebih didominasi gumpal bersudut. Beragamnya struktur tanah ini dipengaruhi oleh kadar liat pada masing-masing pedon. Menurut Rachim (1994), liat cenderung 48 membentuk struktur gumpal. Hal ini sejalan dengan pernyataan Chesters et al. (1957) sebelumnya bahwa salah satu agen penyemen terpenting sebagai penunjang agregasi adalah koloid liat. Pengaruh liat sebagai agen penyemen terlihat jelas pada semua pedon yang mempunyai struktur gumpal dan gumpal bersudut, kecuali pedon TSTH dari Molombulahe (PNM) yang lebih didominasi struktur prismatik. Variasi struktur tanah, baik antar horison, antar pedon dan antar lokasi berpengaruh pada konsistensi tanah dalam keadaan basah. Pada pedon TSTH dan pedon TSI konsistensi tanahnya hampir sama, yaitu agak lekat, lekat sampai sangat lekat dengan plastisitas berupa plastis, gembur dan teguh. Pedon PNS1, PNS2 dan PNB yang dominan adalah sangat lekat, sementara pedon PNS3 menunjukkan sifat yang sama dengan semua pedon TSTH dari Molombulahe (PNM) yang didominasi oleh agak lekat. Berdasarkan plastisitasnya, maka pedon TSTH dari kedua lokasi yang berbeda sama dengan pedon TSI dengan konsistensi plastis, kecuali pedon PNS3 dan pedon PNM3 yang masing-masing konsistensinya teguh dan gembur. Perbedaan itu juga ditunjukkan oleh pedon TLK. Pedon PNS-LK konsistensinya lekat, plastis dan gembur, sementara PNMLK agak lekat dan sangat teguh. Konsistensi tanah di semua horison yang demikian erat kaitannya dengan kadar liat sebagai agen pengikat struktur (Chesters et al. 1957). Hal ini didukung oleh pernyataan Rachim (2007) yang menyatakan bahwa tanah yang berkadar liat tinggi cenderung mempunyai konsistensi lekat dan plastis. Semua pedon TSTH dari Sidomukti (PNS) dan pedon TSI ditemukan adanya bidang kilir (slinkenside) dan pedon TSTH dari Molombulahe hanya pada pedon PNM2. Menurut Rachim (2007), bidang kilir adalah permukaan licin mengkilap dalam tanah dan umumnya berukuran lebih dari 5 cm. sifat ini terjadi akibat masa tanah saling bergerak antara satu dengan lainnya, sehingga terjadi saling menekan dan menggesek serta mineral liat mengembang (swelling) akibat perubahan kelembaban (pembasahan dan pengeringan). Kondisi ini menyebabkan kerusakan potongan masa tanah yang mengakibatkan mudahnya masa tanah lepas dan melorot, walaupun hanya terkena ujung pisau survei sedikit saja. Sifat ini mengindikasikan jenis tanah vertisol atau tanah-tanah yang bersifat vertik. 49 5.1.2 Sifat Kimia Tanah Analisis sifat kimia tanah dalam penelitian ini mengacu pada penciri klasifikasi dan indikator kesuburan tanah serta sebagai bahan interpertasi dalam penilaian kesesuaian lahan. Hasil analisis sifat kimia tanah juga membantu mengetahui proses pedogenesis yang terjadi. Penilaian sifat kimia tanah didasarkan pada kriteria Staf Peneliti Pusat Penelitian Tanah (1983), sebagaimana disajikan pada Lampiran 3. Hasil analisis sifat kimia TSTH pewakil sebagian disajikan pada pada Tabel 13. Sebagai pembanding tingkat perkembangan tanah disajikan pula hasil analisis sifat kimia TLK (Tabel 14) dan pedon TSI (Tabel 15). Reaksi tanah yang diteliti umumnya agak masam sampai agak alkali, atau mulai pH >5,38 - <7,91. Hal ini menunjukkan bahwa daerah penelitian merupakan depresi, sebagaimana ditunjukkan oleh formasi geologi. Dalam hal ini, daerah penelitian merupakan tempat akumulasi basa-basa yang dibawa air pencucian dari bagian hinterland dan akumulasi basa lebih tampak pada tanah yang berdrainase lebih buruk, seperti pada pedon TSTH dan TSI. Perbedaan yang menonjol antara keduanya adalah nilai pH pedon TSTH dari Sidomukti lebih rendah dari pedon TSTH dari Molombulahe dan pedon TSI, tetapi pedon TSTH dari Molombulahe lebih tinggi dari pedon TSI. Pedon TLK umumnya ber-pH lebih rendah dari kedua pedon tadi. Hal ini menunjukkan pencucian lebih intensif pada TLK jika terjadi hujan karena drainase lebih baik. Walaupun demikian, nilai pH masih tergolong agak masam sebagaimana daerah ini juga merupakan endapan lakustrin. Nilai pH pada horison bagian atas umumnya lebih rendah dari horison bagian bawah sebagai akibat dari pencucian ke bawah solum dan serapan hara oleh tanaman. Berdasarkan lokasi, maka pola sebaran pH tanah pada pedon TSTH dari Sidomukti berbeda dengan pedon TSTH dari Molombulahe, tetapi relatif sama dengan pedon TSI (Gambar 21 dan 22). Demikian halnya dengan pedon TSTH dari Molombulahe. Pola sebaran pH TSTH dari Molombulahe cenderung sama dengan pola sebaran pH pedon TLK dari Sidomukti (Gambar 23 dan 24), tetapi justru berbeda dengan pedon TLK dari Molombulahe itu sendiri. Perbedaan itu tampak jelas pada nilai pH di horison permukaannya. Menurut Dent (1978), nilai pH tanah yang cocok untuk tanah sawah adalah 4-7, tetapi nilai pH yang paling baik adalah sekitar 5-6. 50 Tabel 13. Sifat Kimia Tanah Pedon TSTH dari Desa Sidomukti (S) dan Molombulahe (M) pH Tanah Horison Kedalaman H 2O KCl Basa-Basa dapat Ditukar (dd) ∆ pH cm PNS1 Apg1 Apg2 Bwg1 Bwg2 Bwssg BCg1 BCg2 PNS2 Apg1 Apg2 Bwg1 Bwg2 Bwg3 BCssg1 BCssg2 PNS3 Apg Bw Bwg1 Bwg2 Bwssg Bwss PNM1 Apg1 Apg2 Bwg1 Bwg2 Bwg3 BCg PNM2 Apg Bwg Bssg1 Bssg2 Bssg3 BCssg PNM3 Apg1 Apg2 Bwg Bw2 BC1 BC2 C-Organik (%) Ca Mg K Na ∑ Basadd --------------- me 100 g-1 --------------- Kemas.-dd Liat Tota Al H Kapasitas Tukar Kation (KTK) KTK Efektif KTK Liat KTK Tanah ----------------------- me 100 g-1 --------------- % KTK Kej. Basa tanah/% Liat Kej. Al (KB) Total --- me 100 g-1 --- 0-12 12-31 31-53 53-71/92 71/92-119 119-150 150-200 6,13 6,83 6,55 5,95 6,20 7,09 7,70 5,39 5,88 5,02 4,33 4,51 5,35 6,17 -0.74 -0.95 -1.53 -1.62 -1.69 -1.74 -1.53 0,93 0,45 0,26 0,33 0,27 0,27 0,26 14,63 15,16 16,32 19,42 27,78 25,05 27,83 5,51 6,58 13,74 17,36 26,48 26,52 13,56 0,22 0,25 0,43 0,53 0,56 0,47 0,39 0,45 0,55 1,02 1,31 1,95 2,13 2,34 20,81 22,55 31,51 38,62 56,77 54,17 44,13 35,00 35,00 50,00 57,00 60,00 68,00 57,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,04 0,08 0,06 0,12 0,06 0,04 0,04 20,81 22,55 31,51 38,62 56,77 54,17 44,13 85,56 91,16 74,36 90,33 >100 94,22 40,86 29,95 31,91 37,18 51,49 63,44 64,07 23,29 0,86 0,91 0,74 0,90 1,06 0,94 0,41 69,50 70,66 84,76 75,01 89,48 84,55 >100 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0-10 10-31 31-64 64-84/103 84/103-150 150-200 >200 6,35 7,26 5,91 5,38 6,73 7,74 7,91 5,23 5,90 4,07 3,74 5,00 5,97 6,16 -1.12 -1.36 -1.84 -1.64 -1.73 -1.77 -1.75 0,71 0,38 0,26 0,13 0,13 0,19 0,13 10,33 11,03 15,71 14,53 26,36 23,44 21,42 2,52 3,03 6,18 6,50 19,21 16,98 16,86 0,15 0,21 0,39 0,39 0,48 0,58 0,49 0,27 0,67 1,34 1,64 2,79 2,54 2,30 13,26 14,93 23,62 23,06 48,84 43,54 41,07 27,00 26,00 23,00 51,00 62,00 45,00 41,00 0,00 0,00 0,27 1,60 0,00 0,00 0,00 0,04 0,02 0,24 0,37 0,04 0,00 0,04 13,26 14,93 23,90 24,66 48,84 43,54 41,07 >100 91,95 >100 >100 76,87 >100 83,91 36,63 23,91 37,84 61,71 47,66 46,37 34,40 1,36 0,92 1,65 1,21 0,77 1,03 0,84 36,20 62,47 62,44 37,36 >100 93,89 >100 0,00 0,00 0,72 2,60 0,00 0,00 0,00 0-10 10-34 34-61 61-86 86-120 120-150 6,31 6,86 6,07 5,51 5,60 5,52 5,16 5,60 4,30 3,82 3,92 3,83 -1.15 -1.26 -1.77 -1.69 -1.68 -1.69 0,77 0,51 0,32 0,26 0,19 0,19 13,99 14,98 15,04 14,91 16,79 17,27 5,77 7,05 12,60 14,26 16,12 17,95 0,25 0,21 0,24 0,22 0,29 0,36 0,22 0,30 0,52 0,63 0,75 0,81 20,23 22,54 28,40 30,03 33,95 36,40 34,00 31,00 43,00 22,00 51,00 58,00 0,00 0,00 0,04 1,21 0,50 1,12 0,10 0,00 0,15 0,36 0,30 0,48 20,23 22,54 28,44 31,23 34,45 37,52 >100 >100 82,73 >100 81,24 69,10 34,40 34,51 35,58 39,70 41,43 40,08 1,01 1,11 0,83 1,80 0,81 0,69 58,79 65,34 79,83 75,63 81,94 90,82 0,00 0,00 0,12 3,04 1,21 2,80 0-21 21-37 37-60 60-80 80-103 103-200 7,66 7,89 7,61 7,55 7,49 7,51 6,67 6,83 6,23 6,21 5,94 6,10 -0.99 -1.06 -1.38 -1.34 -1.55 -1.41 1,29 0,62 0,31 0,25 0,18 0,18 19,11 21,89 22,65 23,01 21,94 21,25 7,10 7,88 8,58 8,85 8,57 8,22 0,11 0,14 0,17 0,18 0,21 0,18 0,68 0,86 0,72 0,55 0,43 0,46 27,00 30,77 32,12 32,60 31,15 30,10 41,00 45,00 42,00 46,00 37,00 44,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,02 0,00 0,00 0,00 0,00 27,00 30,77 32,12 32,60 31,15 30,10 66,56 97,99 >100 95,00 >100 84,53 27,29 44,10 44,43 43,70 44,54 37,19 0,67 0,98 1,06 0,95 1,20 0,85 98,95 69,79 72,29 74,60 69,95 80,93 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0-14 14-30 30-56 56-87 87-120 120-200 6,78 7,51 7,60 7,87 7,78 7,84 5,76 6,43 6,33 6,76 6,67 6,71 -1.02 -1.08 -1.27 -1.11 -1.11 -1.13 1,38 0,60 0,33 0,25 0,25 0,26 21,36 30,93 36,47 28,87 29,02 28,38 8,52 22,30 23,09 11,31 11,28 10,87 0,82 0,26 0,45 0,37 0,38 0,32 0,38 0,34 0,60 0,60 0,58 0,51 31,07 53,83 60,61 41,15 41,25 40,08 43,00 47,00 61,00 68,00 64,00 60,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,04 0,04 0,00 0,00 0,00 0,00 31,07 53,83 60,61 41,15 41,25 40,08 >100 >100 >100 92,15 >100 >100 43,65 61,41 64,84 62,66 64,27 63,46 1,02 1,31 1,06 0,92 1,00 1,06 71,19 87,65 93,48 65,66 64,19 63,16 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0-10 10-28 28-54 54-81 81-100 100-150 7,05 7,24 7,20 7,28 7,26 7,19 6,11 6,14 5,90 6,00 5,88 5,62 -0.94 -1.1 -1.3 -1.28 -1.38 -1.57 0,77 0,44 0,25 0,19 0,19 0,13 12,25 10,34 11,72 11,07 13,20 16,00 3,92 3,29 4,43 4,76 6,32 8,00 0,24 0,20 0,31 0,30 0,25 0,30 0,15 0,14 0,22 0,19 0,23 0,30 16,56 13,97 16,67 16,33 20,01 24,60 26,00 22,00 28,00 27,00 28,00 33,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,04 0,04 16,56 13,97 16,67 16,33 20,01 24,60 83,73 90,76 85,50 70,46 93,02 98,05 21,77 19,97 23,94 19,02 26,05 32,36 0,84 0,91 0,86 0,70 0,93 0,98 76,06 69,94 69,62 85,82 76,81 76,03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 - = tidak terukur 50 51 Tabel 14. Sifat Kimia Tanah Pedon TLK dari Desa Sidomukti (S) dan Molombulahe (M) pH Tanah Horison Kedalaman H2O KCl Basa-Basa dapat Ditukar (dd) ∆ pH cm PNSLK Ap1 Ap2 C-Organik Ca 5.61 5.81 4.76 4.64 -0.85 -1.17 K Na ∑ BasaLiat Tota dd -------------------- me 100 g-1 --------------------- (%) 0-11 11-29 Mg 0.98 0.73 11.53 14.50 2.79 3.90 0.35 0.24 0.06 0.07 14.74 18.72 Kemas.-dd Al Kapasitas Tukar Kation (KTK) H KTK Efektif KTK Liat KTK Tanah ----------------------------- me 100 g-1 ------------------------- % 24.00 25.00 0.00 0.00 0.00 0.02 14.74 18.72 58.17 76.58 >100 >100 97.78 0.00 0.00 26.08 1.74 97.93 0.00 19.77 1.24 95.90 0.61 26.11 1.04 92.71 0.39 1.25 0.89 99.58 95.97 0.29 0.36 0.76 0.64 0.95 1.02 0.81 98.65 >100 75.57 71.61 46.78 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 29-61 6.34 4.57 -1.77 0.30 19.68 5.52 0.18 0.16 25.54 15.00 0.00 0.00 25.54 61-91 6.08 4.19 -1.89 0.18 14.78 3.95 0.10 0.13 18.96 16.00 0.12 0.11 19.08 Bw3 91-130 6.18 4.29 -1.89 0.24 18.38 5.52 0.14 0.16 24.21 25.00 0.10 0.09 24.31 BC1 BC2 PNMLK Apg Ap2 Bw1 Bw2 BC 130-200 >200 6.26 6.41 4.32 4.23 -1.94 -2.18 0.12 0.13 16.83 13.45 4.13 3.44 0.10 0.09 0.18 0.18 21.24 17.16 17.00 20.00 0.06 0.06 0.05 0.06 21.30 17.22 89.38 21.33 17.88 6.75 6.45 6.67 6.97 7.23 6.02 5.40 5.44 5.66 5.87 -0.73 -1.05 -1.23 -1.31 -1.36 1.70 0.87 0.30 0.18 0.19 16.24 14.81 21.49 18.23 19.45 6.46 7.71 8.14 9.66 0.96 0.42 0.75 0.28 0.20 0.58 0.09 0.18 0.32 0.42 0.55 23.21 23.45 30.23 28.51 21.54 31.00 36.00 42.00 39.00 57.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00 0.02 0.02 0.00 23.21 23.45 30.23 28.51 21.54 75.91 64.11 95.26 >100 80.79 23.53 23.08 40.01 39.82 46.05 0-11 11-29 29-51 51-73 73-100 >100 ------ (%) -----0.58 0.77 Bw2 >100 Kej. Basa Kej. Al (KB) 13.96 19.14 Bw1 >100 KTK tanah/% Liat Total Tabel 15. Sifat Kimia Tanah Pedon TSI dari Desa Bandungrejo Basa-Basa dapat Ditukar (dd) pH Tanah Horison Kedalaman C-Organik H2O KCl ∆ pH cm PNB Apg1 Apg2 Bwg1 Bw2 Bw3 BCg BCssg1 BCssg2 0-20 20-40 40-47 47-59 59-107 107-119 119-150 150-200 Ca (%) 6.38 7.39 7.45 7.16 6.04 6.14 6.72 7.08 5.43 6.40 6.45 5.92 4.59 4.34 5.09 5.37 -0.95 -0.99 -1.00 -1.24 -1.45 -1.80 -1.63 -1.71 1.11 0.61 0.24 0.24 0.24 0.24 0.37 0.37 Mg K Na ∑ Basa- % Liat dd Total -------------------- me 100 g-1-----------------15.41 15.71 12.02 13.76 15.11 15.45 18.65 20.13 4.12 5.39 3.99 5.38 7.58 8.26 7.93 10.99 0.22 0.16 0.21 0.28 0.33 0.36 0.44 0.47 0.20 0.35 0.43 0.66 0.95 1.23 1.42 1.78 19.95 21.62 16.65 20.10 23.96 25.30 28.45 33.37 35.00 33.00 31.00 52.00 51.00 46.00 55.00 67.00 Kapasitas Tukar Kation KTK (KTK) tanah/% KTK KTK KTK Al H Liat Total Efektif Liat Tanah -1 -------------------------- me 100 g ---------------------Kemas.-dd 0.00 0.00 0.00 0.00 0.04 0.06 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00 0.07 0.05 0.00 0.00 19.95 21.62 16.65 20.10 24.01 25.36 28.45 33.37 60.64 54.24 56.83 38.85 53.34 61.61 83.63 62.32 21.22 17.90 17.62 20.20 27.20 28.34 46.00 41.75 0.61 0.54 0.57 0.39 0.53 0.62 0.84 0.62 Kej. Basa (KB) Kej. Al ----------(%)---------94.00 >100 94.50 99.48 88.09 89.27 61.84 79.92 \0.00 0.00 0.00 0.00 0.15 0.21 0.00 0.00 51 52 Gambar 21. Sebaran Nilai pH H2O berdasarkan Kedalaman pada Pedon TSTH (a) (b) Gambar 22. (a) Sebaran Nilai pH H2O berdasarkan Kedalaman pada Pedon TLK dan (b) Pedon TSI Gambar 23. Sebaran Nilai C-Organik berdasarkan Kedalaman pada Pedon TSTH 53 Gambar 24. Sebaran Nilai C-Organik berdasarkan Kedalaman pada Pedon TLK dan Pedon TSI (PNB) Selisih nilai pH KCl dan pH H2O (∆pH) semua pedon yang diteliti mempunyai pH negatif. Hal ini berarti bahwa semua pedon yang diteliti bermuatan bersih negatif (Uehara dan Gilman 1981). Lebih lanjut Suharta (2007) melaporkan bahwa nilai pH KCl yang lebih rendah dari pH H2O menunjukkan tanah-tanah ini didominasi oleh mineral liat bermuatan negatif. Jika dihubungkan dengan jenis mineral liat, maka fenomena tersebut bersesuaian. Hasil analisis mineral liat (Tabel 15), menunjukkan mineral yang dominan adalah smektit yang merupakan tipe liat 2 : 1. Pada pH > 6, terjadi muatan tergantung pH (pH depending charge) yang menghasilkan muatan negatif. Peningkatan muatan ini disebabkan oleh kenaikan pH karena ionisasi gugus OH-. Sedangkan pada pH < 6, muatannya permanen (permanently charge) karena terjadi subtitusi isomorfik. Tingginya pH tanah ini juga menyebabkan muatan bersih negatif terhadap kaolinit dan illit. Hal ini disebabkan kaolinit muatannya sangat tergantung pH tanah. Semakin tinggi pH, maka muatannya semakin tinggi. Menurut Dixon (1989), kaolinit mempunyai muatan bersih negatif walaupun sangat rendah. Nilai pH tanah yang netral sampai agak alkali merupakan petunjuk bahwa tanah ini belum mengalami pelapukan lanjut. Hal ini disebabkan karena kurangnya pencucian, sehingga basa masih tinggi dan kompleks jerapan didominasi oleh gugus OH-. Menurut Tisdale dan Nelson (1975); Soepardi (1983) dan Tan (1998) bahwa bahan organik adalah salah satu sumber kemasaman dalam tanah. Senyawa tersebut dapat mempengaruhi pH melalui pembentukan asam organik, atau gugus 54 fungsional yang seperti karboksil dan fenol. Rachim (1994) menyatakan bahwa pengaruh bahan organik akan cukup jelas di permukaan tanah karena pada bagian ini bahan organik terakumulasi. Sementara, basa pada kompleks jerapan liat akan mempengaruhi ion H+ dalam larutan tanah, sehingga konsentrasi antara keduanya akan mempunyai hubungan terbalik. Hal ini tampak pada pedon TSTH, TLK dan TSI, dimana semakin tinggi jumlah basa-dd, maka semakin rendah H-dd. Lebih lanjut dikatakannya bahwa basa-basa dipermukaan tanah mengalami perubahan karena tiga hal, yaitu pencucian alamiah, diserap tanaman dan manipulasi manusia. Dua hal pertama menyebabkan berkurangnya basa-basa dipermukaan atau bagian teratas dan meningkat ke bagian bawah solum dan hal yang terakhir dapat meningkatkan basa-basa terutama di lapisan olah. Karbon organik (C-Organik) merupakan indikator penentu banyak sedikitnya bahan organik di dalam tanah. Tabel 13, 14 dan 15 menunjukkan bahwa hampir sebagian besar pedon mempunyai kandungan C-organik sangat rendah (<1,0%). Pada horison permukaan semua pedon masih ditemukan kandungan C-organik yang rendah (1,0-2,0%). Pola sebaran C-organik (Gambar 23 dan 24) pada umumnya cenderung tinggi di permukaan, dan menurun secara drastis pada horison B yang terus menurun sesuai kedalaman, sebagaimana pola yang dilaporkan Prasetyo (2007). Hal ini merupakan pola umum tanah yang telah berkembang. Adanya bahan organik yang sedikit naik turun pada beberapa pedon, nampaknya merupakan sisa turunan bahan induk yang dideposisikan oleh air. Secara umum, tanah-tanah yang mengandung liat 2 : 1 dominan mengandung Corganik yang rendah pula. Hal ini juga merupakan ciri tanah tersebut (Dudal dan Soepraptohardjo 1957; Soepraptohardjo 1961). Kandungan C-organik yang relatif tinggi di permukaan mencirikan aktivitas bahan yang lebih intensif dibanding bagian bawah. Pola Sebaran C-organik dan jumlah basa-dd ternyata berbeda dengan pola sebaran pH tanah pada semua pedon yang diteliti dengan pola kecenderungan saling berlawanan arah. Pada pedon TSTH dan TLK dari Sidomukti, horison permukaannya memperlihatkan pola terbalik antara pH tanah dan bahan organik, dimana pH rendah sementara bahan organik tinggi, tetapi berpola sama dengan jumlah basa-dd (Gambar 21, 22, 23, 24, 25 dan 26). Kondisi ini juga berlaku pada 55 pedon TSTH dari Molombulahe (PNM), walaupun nilai pHnya netral pada horison permukaan, tetapi menunjukkan kecenderungan pola yang sama antara nilai pH tanah dengan bahan organik dan basa-basa, kecuali pedon PNM3 yang pola pH tanah dengan basa-basa justru terbalik (nilai pH rendah, C-organik tinggi dan jumlah basa-dd tinggi). Sedangkan dengan pedon PNM-LK berpola terbalik, dimana pH tanah dan bahan organik sama, sementara dengan jumlah basa-dd berbeda. Basa-dd pada semua pedon yang diteliti (Tabel 13, 14 dan 15) menunjukkan bahwa basa yang dominan adalah kalsium (Ca-dd) sebanyak 10,33-36,47 me 100 g-1 dan tergolong tinggi sampai sangat tinggi menurut Staf Peneliti Pusat Penelitian Tanah (1983). Berdasarkan jumlahnya, maka basa-dd dapat disajikan sesuai deret: Ca>Mg>K>Na. Tingginya basa-dd dapat disebabkan oleh tingkat pencucian basa-basa yang rendah mengingat tekstur tanah dominan halus sampai sangat halus, bahan induk yang kaya sumber hara. Lampiran 2 menunjukkan bahwa fraksi pasir di semua pedon memiliki hornblende (hijau dan coklat), dan hiperstin yang merupakan sumber Ca dan Mg. menurut Mohr et al. (1972), sumber Ca dalam tanah di antaranya hiperstin (19-25% CaO), dan sumber Mg adalah hornblende (2-25% MgO). Selain itu, dijumpainya mineral labradorit yang termasuk kelompok plagioklas juga merupakan sumber Ca dalam tanah. Di samping itu, hasil analisis mineral liat (Tabel 21) menunjukkan bahwa semua pedon pewakil mempunyai mineral feldspar yang mungkin terdiri dari Ca-felspar, Mg-felspar dan K-felspar sebagai sumber basa-basa di atas, walaupun dalam jumlah sedikit. Kondisi ini menunjukkan banyaknya Ca di dalam tanah karena sumber Ca juga banyak. Bandingan relatif Ca/Mg menunjukkan bahwa pedon TSTH dari Sidomukti berkisar antara 2,1:1-4,1:1 dan pedon TSTH dari Molombulahe berkisar antara 1,4:1-3,1:1. Pedon TLK berkisar antara 1,9:1-4,1:1. Sedangkan pedon TSI bandingan Ca/Mg adalah 2,9:1-3,7:1. Setyorini et al. (2004) melaporkan bahwa untuk pertumbuhan padi yang optimal, bandingan Ca/Mg adalah 3:1-4:1, sementara pada masa bunting sampai pembungaan adalah 1:1 hingga 1,5:1. Dengan demikian, maka pedon TSTH lebih ideal untuk tanaman padi sawah. 56 Natrium (Na) sebagai salah satu basa-dd yang dijumpai mempunyai jumlah yang tinggi sampai sangat tinggi pada pedon TSTH dari Sidomukti dan pedon TSI. Sedangkan pada pedon TSTH dari Molombulahe (PNM) dan pedon TLK, jumlahnya relatif rendah, sedang sampai tinggi saja berdasarkan kriteria Staf Peneliti Pusat Penelitian Tanah (1983). Kandungan Na pada semua pedon diduga merupakan hasil akumulasi ketika bahan induk masih sebagai endapan lakustrin. Selain itu, plagioklas feldspar berupa oligoklas juga mengandung Na. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hurlbut dan Klein (1977) yang menyatakan bahwa kandungan Na pada oligoklas sebagai fecies plagioklas feldspar lebih banyak dibanding Ca. Gambar 25. Sebaran Jumlah Basa-dd Berdasarkan Kedalaman pada Pedon TSTH Gambar 26. Sebaran Jumlah Basa-dd Berdasarkan Kedalaman pada Pedon TLK dan Pedon TSI 57 Secara keseluruhan, jumlah basa-dd dapat dijelaskan melalui Gambar 25 dan 26. Sebaran jumlah basa-dd pada pedon TSTH dari Molombulahe (PNM1 dan PNM2) relatif sama dengan pedon TLK, tetapi cenderung berlawanan arah dengan pedon TSTH dari Sidomukti dan pedon TSI. Kemiripan ditunjukkan secara relatif pola sebaran antara pedon PNS3 dan PNM3 dengan pedon PNB, walaupun sebarannya tidak konsisten. Sedangkan dua pedon TSTH dari Sidomukti (PN1 dan PNS2) menunjukkan pola yang bersinergi dan berbeda dengan pola-pola yang ditunjukkan oleh pedon lainnya. Dari Gambar 25 dan 26 dapat disimpulkan bahwa jumlah basa-dd paling banyak terdapat pada pedon TSTH. Kapasistas tukar kation (KTK) untuk semua pedon TSTH tergolong sedang sampai sangat tinggi, tetapi lebih didominasi KTK yang tinggi dan sangat tinggi (Tabel 13). Demikian halnya pada pedon TSI (Tabel 15). Sedangkan pedon TLK mempunyai KTK mulai dari rendah sampai sangat tinggi, tetapi lebih didominasi KTK sedang (Tabel 14). Beberapa faktor yang mempengaruhi KTK di antaranya adalah bahan organik dan jenis mineral liat (Prasetyo et al. 2007). Semua pedon mempunyai kadar C-organik yang rendah, sehingga yang paling berpengaruh terhadap KTK adalah jenis mineral, terutama smektit (Tabel 21). Di antara ke enam pedon TSTH, hanya pedon PNM3 yang mempunyai nilai KTK paling kecil (19,02 me 100 g-1), walaupun masih tergolong sedang. Sedangkan pedon TSTH yang paling tinggi nilai KTKnya adalah PNM2 sebesar 64,84 me 100 g-1 yang tergolong sangat tinggi. Pedon TLK, nilai KTK tanah yang paling kecil terjadi pada pedon PNS-LK sebesar 13,96 me 100 g-1 dan tergolong rendah. Pedon TLK paling tinggi KTKnya adalah PNM-LK dengan nilai sebesar 46,05 me 100 g-1. Sedangkan pedon TSI, KTK tertinggi sebesar 46,00 me 100 g-1 dan paling rendah sebesar 17,62 me 100 g-1 yang masih tergolong sedang. Penurunan nilai KTK tanah pada horison permukaan umumnya berhubungan dengan derajat pelapukan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang diawali dengan penurunan pH tanah, sebagaimana terjadi pada pedon PNS1, PNS3, PNM1, PNM2, dan PNS-LK. Smektit adalah mineral liat 2:1 yang mempunyai nilai KTK tinggi. Borchard (1989) menyatakan bahwa nilai KTK mineral smektit berkisar antara 47-162 me 100 g-1. Namun, hal tersebut umumnya hanya terjadi pada lapisan permukaan. Sedangkan dari horison B ke 58 horison di bawahnya, nilai KTK tanah meningkat sampai mencapai nilai sangat tinggi. Jika pelapukan smektit terjadi dengan kondisi pH rendah, maka KTK akan menurun dan terbentuk kaolinit yang mempunyai KTK sangat rendah. Menurut Lim et al. (1980), nilai KTK kaolinit murni antara 0-1 me 100 g-1. Sedangkan KTK kaolinit dari tanah berkisar antara 1.2-12.5 me 100 g-1 (Briendly et al. 1986); (Prasetyo dan Gilkes 1997). Nilai KTK tanah berpengaruh pada potensi kejenuhan basa (KB). KB merupakan salah satu indikator kesuburan tanah, selain basa-basa dapat ditukar (basa-dd), KTK, P2O5, K2O dan C-organik (PPT, 1983). Semua pedon yang diteliti menunjukkan dominasi KB yang sangat tinggi. Variasi KB semua pedon adalah sedang, tinggi sampai sangat tinggi tanpa KB rendah dan sangat rendah. Variasi KB tinggi sampai sangat tinggi terjadi pada pedon PNS1, PNM1, PNM2, PNM3, PNB dan PNS-LK. Sedangkan pedon sisanya adalah sedang, tinggi sampai sangat tinggi. Kondisi ini terjadi karena jumlah basa-dd lebih besar dari KTK tanah untuk nilai KB tinggi sampai sangat tinggi, sementara jika jumlah basa lebih kecil dari KTK tanah, maka KB cenderung lebih rendah, walaupun masih tergolong sedang. Nilai KB terendah terdapat pada pedon PNS2 yang hanya sebesar 36.20% saja. Sedangkan nilai KB yang melebihi angka 100% terdapat pada pedon PNS1, termasuk PNS2, PNS-LK, PNM-LK dan PNB. Kemungkinan lain adalah pengekstrak yang digunakan, yakni amonium asetat (NH4OAc) pada pH 7 mampu melarutkan basa-basa, sehingga jumlah basa semakin banyak. Padahal kemungkinan kondisi aktual jumlah basa tidak demikian adanya. Jika dilihat dari nilai KTK, jumlah basa dan KB, tanah-tanah yang diteliti menunjukkan tingkat kesuburan yang baik. Nilai-nilai tersebut dari tempat pelapukan mencirikan tanah yang masih muda. Hal ini sesuai dengan umur bahan induk Holosen dan merupakan bahan endapan lakustrin. Berdasarkan aspek ini, potensi kesuburan tanah cukup baik. Kaitannya dengan sifat kimia tanah yang telah diuraikan sebelumnya, maka penting untuk mengetahui sifat kimia air sawah setempat (existing) dalam petak TSTH dan TSI (Tabel 16). Hal ini ditujukan untuk mengetahui kemungkinan pengaruh unsur dan senyawa kimia lain dari daerah atasnya, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa ada kemungkinan pelapukan mineral terjadi di daerah hulu dan diendapkan di lokasi pedon. 59 Kandungan besi (Fe) dan mangan (Mn) tertinggi terjadi pada pedon PNS1 dan terendah pedon PNM3. Kadar nitrat (NO3-1) tertinggi terjadi pada pedon PNS dan terendah pedon PNB. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan pH air, dimana pH tertinggi terjadi pada pedon PNM dan PNB. Sedangkan pH air terendah justru terjadi pada PNS1. Hal ini diduga karena curah hujan yang lebih rendah dan evapotranspirasi lebih tinggi, sehingga air sawah dari pedon PNS1 lebih masam dibandingkan pedon PNB dan PNM3. Kadar Fe dan Mn yang terdapat dalam air sawah ini belum meracuni tanaman. Menurut Howeler (1973), batas kritis Fe dalam larutan tanah adalah 300-500 ppm, sementara batas kritis Mn adalah 15-60 ppm (Black 1968). Selanjutnya, Moormann (1978) menyatakan bahwa keracunan Fe terlihat bila kadar besi dalam larutan tanah sebanyak 20-40 mg l-1. Apabila kadar hara lain sangat rendah atau dalam keadaan hara tidak berimbang, maka keracunan Fe akan nampak pada kadar Fe dalam larutan tanah sebesar 30 mg l-1. Berdasarkan kriteria baku mutu kualitas air, maka kadar Fe dan Mn pada semua pedon tergolong kelas I yang sesuai untuk kegiatan pertanian (sawah). pH air tergolong kelas I, kecuali air dari sawah Sidomukti (PNS1) yang tergolong kelas IV dan hanya sesuai untuk pertanian, peternakan dan perikanan. Sedangkan kadar nitrat (NO3-) tergolong kelas I, kecuali semua pedon dari Sidmukti (PNS) yang tergolong kelas IV. Tabel 16. Sifat Kimia Air Sawah di Daerah Penelitian Unsur/Senyawa*) Fe Mn NO3pH -1 …………………………………….. mg l ……………………………………….. Sidomukti/PNS1 0,462 0,202 23,720 5,1 Sidomukti/PNS3 0,041 0,122 55,182 6,9 Molombulahe/PNM2 0,009 0,039 12,313 6,2 Molombulahe/PNM3 0,114 0,095 9,121 7,2 Bandungrejo/PNB 0,105 0,043 4,473 7,1 *) Hasil Analisis Laboratorium Kualitas Air Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo (2009) Lokasi/Simbol 5.1.3 Sifat Mineralogi 5.1.3.1 Susunan Mineral Fraksi Pasir Analisis mineral fraksi pasir dilakukan untuk mengetahui komposisi dan cadangan mineral yang ada dan menduga jenis bahan induk tanah (Prasetyo 1990; Hardjowigeno 1993; Rachim 2007). Hasil analisis mineral fraksi pasir pada pedon TSTH, TLK dan TSI pewakil disajikan pada Lampiran 2 dan sebagian data 60 tersebut tanpa fraksi berat dibagi dalam mineral sukar lapuk (MSL) dan mineral mudah lapuk (MML), sebagaimana tertera pada Tabel 17, 18, 19 dan 20. Khusus untuk mineral yang jumlah persentasenya sedikit (sp) tidak dicantumkan karena sifatnya kualitatif. Tabel 17. Persentase Mineral Fraksi Pasir Pedon TSTH Pewakil, Sidomukti cm PNS1 Bwg2 PNS2 Bwg2 En Ep Hh Ao Sn Or La An Ol ∑ Ab MML Lm Qz Op MSL Kedalaman Horison Pedon ∑ MSL/ MML ………………………………………%............................................................... 5371/93 2 58 1 61 4 - - 1 1 3 1 8 1 1 20 3,05 6484/103 1 78 - 79 2 1 - 1 - 4 - 1 1 - 10 7,90 Op=opak, Qz=kuarsa, Lm=limonit, ∑=jumlah, Ab=albit, Ol=oligoklas, An=andesine, La=labradorit, Or=ortoklas, Sn=sanidin, Ao=anortoklas, Hh=hornblende hijau, Ep=epidot, En=enstatit, MSL=mineral sukar lapuk, MHL=mineral hasil lapukan. Pada semua pedon TSTH dan TSI umumnya telah banyak kehilangan MML yang ditunjukkan oleh persentasenya di bawah 60%. Sedangkan pedon TLK menunjukkan persentase MML yang lebih tinggi, yaitu sebesar 60%. Mineral fraksi pasir pada pedon TSTH yang berasal dari Sidomukti relatif telah mengalami pelapukan lebih intensif dibandingkan pedon TSTH yang berasal dari Molombulahe, pedon TSI dan pedon TLK karena dominasi MSL (kuarsa). Tingkat pelapukan dapat juga dilihat dari nisbah MSL/MML (Birkeland 1974; Hardjowogeno 1993), dimana rasio jumlah MML dengan MSL menurun dengan meningkatnya pelapukan. Pada tanah yang mengalami penyawahan intensif cenderung lebih tinggi pelapukannya. Pada pedon PNB dengan nisbah MSL/MML sebesar 3,23 karena sawah irigasi, maka pelapukannya lebih intensif dibandingkan pedon lain yang kurang intensif karena faktor ketersediaan air. Hal ini sejalan dengan pernyataan Rayes (2000) bahwa penyawahan cenderung memacu proses pelapukan karena pengaruh air dan suasana reduksi oksidasi secara bergantian. Pada pedon TSTH, nisbah MSL/MML pedon dari Sidomukti lebih tinggi (3,05 dan 7,89) dibanding pedon dari Molombulahe sebesar 0,64 dan 0,80 karena penyawahannya lebih intensif. Rendahnya, MML pada pedon PNS2 diduga karena mineral tersebut telah mengalami pengangkutan karena erosi dan diendapkan di daerah yang lebih rendah. Sedangkan pada pedon TLK jarang 61 mengalami pembasahan, sehingga nisbah MSL/MML lebih rendah dibanding pedon TSI dan TSTH. Akibatnya, proses pelapukannya juga berlangsung lambat. Tingkat pelapukan tanah berdasarkan nisbah MSL/MML disajikan dalam bentuk deret sebagai berikut: TSI>TSTH>TLK. Tabel 18. Persentase Mineral Fraksi Pasir Pedon TSTH Pewakil, Molombulahe cm En Ep Hc Hh Sn Or La An MML ∑ Ab Kedalaman Qz Horison MSL Op Pedon ∑ MSL/ MML ……………………………………%.......................................................... PNM1 Bwg1 37-60 6 30 36 3 1 4 5 1 9 1 32 - 56 0,64 28-54 5 38 43 5 2 11 4 3 19 - 9 1 54 0,80 PNM3 Bwg Op=opak, Qz=kuarsa, ∑=jumlah, Ab=albit, An=andesine, La=labradorit, Or=ortoklas, Sn=sanidin, Ao=anortoklas, Hh=hornblende hijau, Hc= hornblende coklat, Ep=epidot, En=enstatit, MSL=mineral sukar lapuk, MML=mineral mudah lapuk Mineral feldspar masih dijumpai pada semua pedon TSTH dalam jumlah yang lebih sedikit, berupa albit, andesin, orthoklas dan sanidin. Pada pedon TSI hanya terdapat albit, orthoklas dan sanidin. Sedangkan pada pedon TLK hanya albit dan orthoklas saja. Sanidin merupakan mineral yang tergolong K-felspar dengan kemampuan melapuk lambat yang secara kimiawi mengandung unsur K dan Na (Mohr dan Van Baren, 1960). Hal ini menunjukkan bahwa sanidin dapat digolongkan sebagai mineral cadangan. Selain sanidin, fragmen batuan juga ditemukan pada semua pedon dengan persentase 3% sampai 38%. Fragmen ini merupakan material dapat lapuk yang masih merupakan gabungan beberapa mineral yang belum teruraikan. Persentase tertinggi terdapat pada pedon TSI sebesar 38%, disusul pedon TSTH dan pedon TLK. Peluang lain adalah fragmen batuan ini melapuk menjadi MML atau MSL, tergantung komposisi senyawa penyusunnya dan kondisi lingkungan pada saat fragmen tersebut melapuk. Mineral kelam (K, Na)-feromagnesium tidak banyak ditemukan, kecuali amfibol yang merupakan spesies hornblende berupa hornblende hijau dalam jumlah cukup pada pedon TSTH dan bersama hornblende coklat dalam jumlah sedikit pada pedon TLK. Sedangkan pada pedon TSI tidak ditemukan sama sekali. Hal ini sejalan dengan pernyataan Dixon dan Weed (1989); Prasetyo et al. (1996) bahwa jenis mineral feldspar terdiri dari andesin, orthoklas dan sanidin. Sedangkan mineral feromagnesium terdiri dari augit, hiperstin dan amfibol. 62 Hal yang cukup menarik pada pedon TLK, kandungan MML lebih tinggi persentasenya dibandingkan semua pedon yang didominasi oleh epidot (Tabel 18). Epidot ini merupakan sebagian kecil hasil pelapukan plagioklas bersama dengan kuarsa, pirit dan kalsit (Merchant 1978). Pedon lain juga mengandung mineral epidot, terutama pedon PNM1 dan PNM2 yang persentasenya masingmasing 32% dan 9%. Hal ini menunjukkan bahwa semua pedon di daerah penelitian awalnya mengandung mineral plagioklas yang telah mengalami pelapukan, sehingga telah habis sama sekali. Tabel 19. Persentase Mineral Fraksi Pasir Pedon TLK Pewakil, Molombulahe cm En Ep Hh Or La ∑ Ab MML Li Kedalaman Op Horison Qz MSL Pedon ∑ MSL/MML …………………………………%............................................. PNM-LK Bw1 29-51 7 26 1 34 2 2 2 13 40 1 60 0,57 Op=opak, Qz=kuarsa, Lm=limonit, ∑=jumlah, Ab=albit, La=labradoti, Or=ortoklas, Hh=hornblende hijau, Hc= hornblende coklat, Ep=epidot, En=enstatit, MSL=mineral sukar lapuk, MML=mineral mudah lapuk. Opak sebagai mineral paling resisten ditemukan pada semua pedon dengan persentasi <10% saja. Menurut Rachim (1994), opak merupakan mineral tidak tembus cahaya, sehingga di mikroskop berwarna hitam, biasanya magnetit atau dapat juga konkresi besi. Keberadaan opak ini menentukan jenis bahan induk. Magnetit merupakan mineral pengiring ketika magma membeku yang umum terdapat pada batuan basaltik dan resisten seperti halnya konkresi besi. Jika tanah melapuk semakin tinggi, maka jumlah magnetit semakin meningkat pula. Namun, bila jumlahnya cukup rendah dalam bahan induk, maka peningkatannya dibandingkan dengan mineral lain menjadi tidak jelas (Hurlbut dan Klein 1977). Peningkatan persentase kuarsa dan mineral resisten lainnya merupakan hasil dari pelapukan mineral feromagnesium dan MML pada umumnya. Data mineral fraksi pasir ini memberikan petunjuk bahwa kuarsa dan mineral resisten lainnya sumbernya in situ yang ditunjukkan oleh peningkatan persentase kuarsa dan mineral resisten lainnya diikuti oleh rendahnya magnetit (opak). Hal ini sejalan dengan pernyataan Rachim (1994) bahwa meningkatnya mineral resisten diikuti oleh jumlah magnetit yang rendah hingga sangat rendah. Jika tidak demikian, maka mineral resisten yang tinggi berasal dari tempat lain. 63 Menurut Bachri et al. (1993) bahwa wilayah penelitian terdiri dari formasi endapan danau (Qpl) yang diantaranya terdiri atas batu liat (clay stone) dan batu pasir (sand stone). Bahan endapan berasal dari hinterland, dimana sungai mengalir. Dengan demikian, maka jenis mineral bahan endapan tergantung bahan yang dierosikan. Hal ini menyebabkan mineral resisten akan lebih menonjol. Bahan yang diendapkan di danau atau laut akan memadat dan mengeras menjadi batu. Di samping itu, liat dapat terbentuk secara in situ, tergantung kondisi lingkungannya. Suharta dan Prasetyo (2008) melaporkan bahwa kandungan kuarsa pada tanah berbahan induk batu pasir (lebih tinggi (>80%) dibandingkan dengan tanah berbahan induk batu liat. Batu liat tidak berkembang atau berasal dari silika abu vulkanik tipikal (Bohor dan Meier 1990). Tabel 20. Persentase Mineral Fraksi Pasir Pedon TSI Pewakil, Bandungrejo Ep Ao Sn Or ∑ Ab MML Li Op Horison Kedalaman Qz MSL Pedon ∑ MSL/ MML cm ……………………………%........................................................... PNS1 40-47 2 39 1 42 5 2 2 1 3 13 3,23 Bwg2 Op=opak, Qz=kuarsa, Lm=limonit, ∑=jumlah, Ab=albit, Or=ortoklas, Ep=epidot, lapuk, MSL=mineral sukar lapuk, MML=mineral mudah lapuk Pedon TSTH dari Sidomukti (PNS), PNM3 dan pedon TSI didominasi oleh kuarsa dan dalam jumlah yang lebih sedikit masih ditemukan mineral orthoklas, andesine dan sanidin, kecuali pedon TSTH dan TLK dari Molombulahe (PNM1 dan PNM-LK) yang lebih didominasi oleh epidot. Asosiasi mineral ini menunjukkan bahwa bahan lakustrin ini berasal dari bahan volkan yang bersifat masam (Prasetyo 2007). 5.1.3.2 Susunan Mineral Fraksi Liat Untuk menentukan jenis mineral liat yang dominan di daerah penelitian, maka dilakukan analisis mineral fraksi liat dengan menggunakan difraksi sinar-X (XRD) terhadap pedon-pedon pewakil. Semua pedon yang diteliti didominasi oleh mineral smektit (Tan 1998) yang merupakan mineral liat tipe 2 : 1 dengan jumlah sedang, banyak sampai dominan, sehingga tergolong kelas mineralogi smektitik (Tabel 21). Menurut Prasetyo (2007), mineral smektit dapat mempengaruhi sifat fisik dan kimia tanah. Sifat fisik yang penting antara lain kemampuannya 64 mengembang (swelling) bila basah ataupun mengkerut (shringking) bila kering. Sedangkan sifat kimia yang penting antara lain mempunyai muatan negatif (negative charge) menyebabkan mineral ini sangat reaktif dalam lingkungan dan mempunyai KTK yang tinggi. Tabel 21. Hasil Analisis Mineral Fraksi Liat dengan Metode XRD pada Contoh Tanah Terpilih dari Pedon yang Diteliti Pedon/ Horison PNS1 Bwg2 BCg2 PNS2 Bwg2 BCssg2 PNM1 Bwg1 PNM3 Bwg PNM-LK Bw1 PNB Bwg1 Puncak Difraksi XRD (Å) Jumlah/ Keterangan Jenis Mineral 15.20; 5.03; 16.15;12.31; 10.07 7.29; 3.56 9.29 3.20 4.26; 3.33 15.07; 5.00; 18.68; 12.71; 10.07 7.32; 3.58 10.34 3.20 4.26; 3.33 +++ (Banyak) +++ (Banyak) + (Sedikit) + (Sedikit) + (Sedikit) +++ (Banyak) +++ (Banyak) + (Sedikit) + (Sedikit) + (Sedikit) Smektit Kaolinit Illit Feldspar Kuarsa Smektit Kaolinit Illit Feldspar Kuarsa 15.05; 5.00; 17.04;12.61; 10.01 7.19; 3.56 10.20 3.20 4.26; 3.33 15.35; 5.00; 18.68;13.03; 10.21 7.19; 3.56 9.02 3.20 4.26; 3.33 +++ (Banyak) +++ (Banyak) + (Sedikit) + (Sedikit) + (Sedikit) +++ (Banyak) ++ (Sedang) + (Sedikit) + (Sedikit) + (Sedikit) Smektit Kaolinit Illit Feldspar Kuarsa Smektit Kaolinit Illit Feldspar Kuarsa 12.42; 5.45; 17.62;12.61; 10.21 7.19; 3.56 9.81 4.06; 3.20 4.26; 3.33 ++ (Sedang) ++ (Sedang) + (Sedikit) + (Sedikit) + (Sedikit) Smektit Kaolinit Illit Feldspar Kuarsa 15.35; 18.24; 12.41; 10.07 7.29; 3.56 10.34 3.20 ++++ (Dominan) ++ (Sedang) + (Sedikit) + (Sedikit) Smektit Kaolinit Illit Feldspar 12.82; 18.03;12.31; 10.07 7.29; 3.56 10.41 3.20 +++ (Banyak) +++ (Banyak) (+) (Sangat Sedikit) + (Sedikit) Smektit Kaolinit Illit Feldspar 14.36; 17.62;12.12; 10.01 7.32; 3.59 10.14 3.20 4.26; 3.33 ++ (Sedang) +++ (Banyak) + (Sedikit) + (Sedikit) + (Sedikit) Smektit Kaolinit Illit Feldspar Kuarsa 65 Jika dikaitkan dengan bahan induk sebagai endapan lakustrin, maka jenis mineral liat yang cukup bervariasi adalah biasa. Namun, mana yang lebih dominan adalah sesuai bagi kondisi pembentukannya. Dalam hal ini untuk smektit adalah yang paling sesuai karena drainase relatif buruk, dan pH relatif tinggi, serta basa-basa yang tinggi khususnya Ca dan Mg (Jackson 1968; De Coninck 1974). Oleh karena itu, mineral liat dominan adalah smektit. Hal ini sesuai dengan nilai KTK tanah dan liat yang cukup tinggi serta secara morfologi ditentukan oleh adanya bidang kilir (khusus profil PNS1, PNS2, PNS3, PNM2, dan PNB). Pembentukan mineral smektit memerlukan beberapa kondisi antara lain curah hujan yang cukup agar memungkinkan terjadinya pelapukan mineral primer, tetapi volumenya tidak terlalu tinggi sehingga tidak terjadi pencucian basa-basa (Driessen dan Dudal 1989). Selanjutnya, Allen dan Hajek (1989) menyatakan bahwa mineral smektit dapat berasal dari bahan induk tanah (inherited) dan hasil pelapukan mineral philosilikat. Periode kering diperlukan untuk kristalisasi smektit, drainase yang jelek untuk menghindarkan terjadinya pencucian hasil lapukan dan suhu udara yang tinggi untuk mendukung proses pelapukan mineral tersebut. Hal ini sesuai dengan pH tanah semua pedon pewakil yang nilainya netral sampai agak alkali, walaupun ada juga pedon yang pHnya di bawah netral, tetapi masih memungkinkan pembentukan smektit karena faktorfaktor yang lain masih mendukung dan lebih dominan pengaruhnya. Mineral smektit bisa terbawa erosi sebagai bahan yang diendapkan ke danau. Di lingkungan danau, smektit tertahan pada kondisi kaya basa-basa dan drainase buruk. Ketika lingkungan berubah, maka smektit juga dapat berubah dan terangkut jika drainase baik pada kondisi masam. Keberadaan smektit ini juga diduga berasal dari pelapukan langsung feldspar pada tanah-tanah fertisol (Nettleton et al. 1970) atau hasil pelapukan hornblende (Paddy et al. 1985). Kleis dan Fehrenbacher (1973) menyatakan bahwa tanah-tanah yang berkembang dari bahan endapan lepas mengandung smektit dari bahan induknya. Sementara, berdasarkan formasi geologi lokasi penelitian merupakan endapan danau. Pada semua pedon TSTH dari Sidomukti dan pedon TSTH dari Molombulahe (PNM3), mineral smektit menunjukkan kritalinitas yang baik dengan puncak (peak) difraksi yang jelas, kecuali pedon PNM1 yang kritalinitasnya jelek. Sedangkan pada 66 pedon lahan kering dan tanah sawah irigasi kristalinitasnya juga jelek yang ditunjukkan oleh puncak-puncak yang kurang jelas dengan dasar yang melebar dan intensitas yang sangat rendah (Gambar 27, 28, 29, 30, 31 dan 32). PNS1-4 Penjenuhan Mg2+ Penjenuhan Mg2+ + Glycerol Penjenuhan K+ Penjenuhan K+ + Pemanasan 550oC PNS1-7 Penjenuhan Mg2+ Penjenuhan Mg2+ + Glycerol Penjenuhan K+ Penjenuhan K+ + Pemanasan 550oC Gambar 27. Difraktogram Sinar-X Pedon PNS1 terpilih (Fraksi < 2 µ) Mineral lain yang ditemukan di semua pedon adalah kaolinit, illit, feldspar dan kuarsa (Tan 1998) dalam jumlah yang jauh lebih sedikit, kecuali pedon PNM3 dan PNM-LK tidak ditemukan kuarsa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Prasetyo (2008), bahwa smektit kebanyakan dijumpai bersama mineral illit dan kaolinit. Pada pedon TSTH dari Sidomukti (PNS), TSI dan TLK, jumlah kaolinit yang ditemukan adalah banyak. Sedangkan pedon TSTH dari Molombulahe (PNM) jumlahnya sedang. Keberadaan kaolinit ini diduga merupakan hasil pelapukan smektit di daerah hulu yang berpH masam dan terendapkan di daerah 67 aluvial. Hal ini disebabkan karena pH tanah di hampir semua pedon pewakil adalah agak masam sampai agak alkali yang tidak memungkinkan terjadinya pelapukan smektit. Menurut Wilson dan Cradwick (1972), mineral smektit menjadi tidak stabil pada kondisi pH masam sampai sangat masam dan akan melapuk membentuk kaolinit atau pedogenic chlorite (Borchardt 1989). PNS2-4 7,19 Penjenuhan Mg2+ Penjenuhan Mg2+ + Glycerol Penjenuhan K+ Penjenuhan K+ + Pemanasan 550oC PNS2-7 Penjenuhan Mg2+ Penjenuhan Mg2+ + Glycerol Penjenuhan K+ Penjenuhan K+ + Pemanasan 550oC Gambar 28. Difraktogram Sinar-X Pedon PNS2 terpilih (Fraksi < 2 µ) Mineral illit ditemukan dalam jumlah sangat sedikit sampai sedikit di semua pedon. Keberadaan illit bersama smektit merupakan bagian dari transformasi illitsmektit. Menurut Borchardt (1989), kondisi yang memungkinkan transformasi illit-smektit adalah suhu dan tekanan rendah, konsentrasi Al dan K harus rendah, konsentrasi Si(OH)4 harus tinggi dan pH >6,5. Hal ini ditunjang oleh data kimia tanah yang menunjukkan bahwa konsentrasi Al dan K adalah sangat rendah serta pH netral sampai agak alkali. 68 PNM1-3 Penjenuhan Mg2+ Penjenuhan Mg2+ + Glycerol Penjenuhan K+ Penjenuhan K+ + Pemanasan 550oC Gambar 29. Difraktogram Sinar-X Pedon PNM1 terpilih (Fraksi < 2 µ) PNM3-3 Penjenuhan Mg2+ Penjenuhan Mg2+ + Glycerol Penjenuhan K+ Penjenuhan K+ + Pemanasan 550oC Gambar 30. Difraktogram Sinar-X Pedon PNM3 terpilih (Fraksi < 2 µ) Mineral kuarsa ditemukan dalam jumlah sedikit pada semua pedon, kecuali pedon PNM3 dan PNM-LK yang tidak ditemukan lagi kuarsa. Keberadaan kuarsa dicirikan oleh puncak difraksi 4.26 Å dan 3.33 Å (Tan 1998). Kuarsa ini diduga merupakan mineral primer yang berukuran liat. Tidak ditemukaannya mineral kuarsa yang berukuran liat pada pedon PNM3 dan PNM-LK karena posisi kedua pedon ini masing-masing berada di puncak dan punggung lereng, sehingga kemungkinan telah mengalami pengangkutan ke daerah bawah. Hal ini ditunjukkan oleh masih ditemukannya mineral kuarsa dalam jumlah sedikit pada pedon PNM1. 69 PNM-LK3 Penjenuhan Mg2+ Penjenuhan Mg2+ + Glycerol Penjenuhan K+ Penjenuhan K+ + Pemanasan 550oC Gambar 31. Difraktogram Sinar-X Pedon PNM-LK terpilih (Fraksi < 2 µ) PNB-3 Penjenuhan Mg2+ Penjenuhan Mg2+ + Glycerol Penjenuhan K+ Penjenuhan K+ + Pemanasan 550oC Gambar 32. Difraktogram Sinar-X Pedon PNB terpilih (Fraksi < 2 µ) 5.2 Genesis Tanah Sawah Tadah Hujan Pembentukan tanah (genesis) TSTH dipengaruhi oleh faktor utama, yaitu iklim, umur, topografi dan aktifitas manusia sebagaimana tertera pada Tabel 22. Faktor organisme tidak dipertimbangkan lagi dengan asumsi bahwa organisme yang ada saat ini telah mengalami suksesi karena pengaruh manusia. Semua tanah yang diteliti berada di sekitar garis katulistiwa (equator) pada posisi 0o LU dan 122o BT, dimana faktor iklim sangat mempengaruhi pelapukan mineral. Kondisi ini terlihat dari suhu yang tinggi (26,67-27,00oC) dengan curah hujan yang relatif rendah (1.021-1.112 mm). 70 Tabel 22. Faktor-Faktor Utama Pembentuk Tanah di Daerah Penelitian Faktor Pembentuk Tanah Iklim (cl) : Suhu (oC) Curah Hujan (mm) Umur (t) Topografi (r) Manusia (h) Sidomukti Lokasi Molombulahe Bandungrejo 27.00 1,112 Pleistosen-Holosen Epoch Kuarter Datar 1xtanam 26.67 1,021 Pleistosen-Holosen Epoch Kuarter Datar 1xtanam 27.00 1,112 Pleistosen-Holosen Epoch Kuarter Datar 2-3xtanam Sesuai dengan kenampakan solum, maka horison yang terbentuk masih sederhana dan proses genesis belum lanjut. Ada empat faktor yang menyebabkannya, yaitu pertama curah hujan yang relatif rendah, kedua umur yang masih relatif muda, dan ketiga topografi relatif datar sebagai daerah depresi yang penting sebagai lokasi akumulasi hara, sehingga pH umumnya netral yang memungkinkan bertahannya mineral 2 : 1, serta keempat aktifitas manusia (petani) dalam mengelola tanah dengan teknik bertani, intensitas penanaman dan pola tanam yang berbeda akan mempengaruhi proses genesis tanah sawah tersebut. Pengaruh rendahnya curah hujan menyebabkan pencucian terbatas, sehingga basa-basa meningkat. Di samping itu, muka air tanah yang dangkal (<100 cm) menyebabkan infiltrasi dan perkolasi air sedikit. Padahal, air merupakan salah satu energi pengembang dalam proses pedogenesis (Smeck 1971). Drainase yang buruk dan umur tanah yang masih relatif muda (pleistosen dan holosen epoch kuarter), menyebabkan belum terbentuk horison yang lebih berkembang dari kambik. Kondisi iklim dan drainase tersebut menyebabkan berkembangnya sifatsifat vertik. Adanya horison yang kadar liatnya memenuhi syarat horison argilik tampaknya lebih disebabkan oleh turunan bahan yang dideposisikan berbedabeda. Pengaruh aktifitas manusia, terutama akibat pengolahan tanah dalam keadaan tergenang yang menyebabkan perubahan sifat fisik berupa hancurnya agregat tanah, berkurangnya pori-pori kasar dan meningkatnya pori-pori halus. Selain itu, penggenangan tanah dalam keadaan berlumpur menyebabkan partikel halus bergerak ke bawah bersama air perkolasi (Moormann dan van Breemen 1978; Kanno 1978). Hal ini yang memungkinkan terjadinya pengangkutan bahan dari horison atas ke bagian horison bawahnya. Sedangkan perubahan sifat kimia tanah lebih diakibatkan oleh aktiftas penggenangan sawah yang berulang-ulang dan penambahan pupuk ke dalam tanah. 71 Hasil proses pedogenesis yang telah berlangsung sampai saat ini berupa sifat morfologi, mineral dan sifat fisikokimia sebagaimana uraian sebelumnya. Sifat dan karakteristik ini selanjutnya digunakan untuk menjelaskan proses yang telah terjadi. Blume (1988) menggunakan fenomena sifat tersebut untuk melakukan rekonstruksi terhadap proses pedogenesis. Berdasarkan warna tanah, maka pelapukan secara kimia mempengaruhi proses genesis tanah. Kondisi aerob dan anaerob terjadi akibat kegiatan penyawahan pada saat musim hujan dan bera pada musim kemarau. Pada kondisi anaerob, pelapukan kimia yang utama adalah reduksi, dimana unsur mendapat pasokan elektron sehingga muatannya berubah. Kondisi ini terjadi pada lingkungan jenuh air, pasokan O2 rendah dan konsumsi biologik terhadap O2 tinggi. Reaksi reduksi menyebabkan terjadinya perubahan valensi unsur akibat pasokan elektron sehingga muatannya berubah. Perubahan besi bentuk feri (Fe3+) menjadi besi bentuk fero (Fe2+) yang mobilitasnya tinggi adalah reaksi reduksi yang utama pada pedon TSTH ini. Besi bentuk fero memberikan warna kelabu kehijauan atau hijau kebiruan. Bersamaan dengan itu, proses gleisasi berlangsung sangat intensif. Proses gleisasi merupakan reduksi besi di bawah kondisi tergenang anaerobik yang menghasilkan warna matrik kelabu hingga kelabu kehijauan dengan atau tanpa karat coklat kekuningan, coklat, atau hitam dan konkresi ferik dan manganiferrous (Rachim 2007). Tampilan warna horison akibat reaksi reduksi dan proses gleisasi yang kuat nyata terlihat pada pedon TSTH dengan hue 7.5YR dan 10YR, dan value 4-7 serta kroma dominan ≤ 2. Fenomena warna matrik yang tergleisasi kuat ini tampak pada PNS dan PNM dengan warna karatan coklat, coklat kekuningan sampai hitam, walaupun cukup variatif. Pada kondisi aerob, proses pelapukan kimia yang utama adalah hidrolisis (Van Schuylenborgh 1971; Segalen 1971; Goenadi dan Tan 1989). Bersamaan dengan itu, proses oksidasi yang terjadi menghasilkan tampilan warna coklat kekuningan sampai merah. Kondisi ini merupakan ciri dari oksida besi dan Al yang terbentuk selama proses pedogenesis (Schwertmann dan Taylor 1989). Besi oksida berkaitan dengan warna merah dan Al oksida dengan warna kuning (Karim dan Adam 1984). Proses hidrolisis bersamaan dengan reaksi oksidasi dominan 72 terjadi pada pedon TLK yang memberikan warna coklat, serta pedon TSI yang memberikan warna merah. Berdasarkan warna tersebut, maka tingkat pelapukan pedon TSI lebih tinggi dibanding pedon TSTH dan pedon TLK. Pola warna pedon PNB yang lebih dominan kearah merah dari pada coklat menunjukkan proses rubifikasi, dimana warna kemerahan lebih menonjol dan bersifat rubifikatif (Buol et al. 1980; Blume 1988). Proses basah dan kering yang berulang-ulang dapat juga menyumbang terhadap pelapukan fisik. Pada proses ini dengan waktu akan terjadi pelemahan daya ikat antar mineral atau butiran dalam batuan, sehingga lama kelamaan bagian batuan tersebut dapat terpisah dan umumnya bagian terluar yang relatif tipis atau sering disebut proses ekspoliasi. Hasil dari pelapukan fisik ini umumnya ada yang diendapkan secara in situ, tetapi pada pedon TSTH ini umumnya merupakan hasil pengendapan bahan dari daerah di atasnya (ex situ). Hal ini cukup beralasan karena bahan induk TSTH merupakan golongan endapan permukaan (surface deposite) dan batuan sedimen (sedimentary rocks) pada formasi geologi endapan danau (Bachri et al. 1993). Tingkat pelapukan yang ada saat ini merupakan hasil interaksi kerja faktorfaktor pembentuk tanah yang ditunjukkan oleh susunan dan jenis mineral primernya. Hal ini ditunjukkan oleh perbedaan jumlah mineral fraksi pasir pada pedon TSI lebih didominasi MSL (resisten) dari pada pedon TSTH dan pedon TLK yang lebih didominasi MML. Sedangkan pada pedon TSTH sendiri, tanah yang berasal dari Sidomukti telah mengalami pelapukan lebih intensif dibandingkan dari Molombulahe dengan petunjuk susunan dan jenis mineral primernya. Faktor bahan induk dan umur (waktu) nampaknya telah tertutupi oleh pengaruh faktor iklim. Proses genesis yang terjadi mencakup proses disintergrasi dan sintesis yang cukup intensif. Hal ini terlihat dari terbentuknya fraksi tanah halus dengan solum yang dalam. Di samping itu, semua tanah sudah mempunyai horison B. Proses disintegrasi dan sintesis ini didukung oleh data penciri genesis tanah, sebagaimana tertera pada Tabel 23 dan 24. Translokasi dan akumulasi liat merupakan bagian penting dari proses ini, dimana pembentukan solum tanah tidak terlepas dari penyebaran partikel berukuran liat. 73 Proses translokasi dan akumulasi liat pada semua pedon adalah proses eluviasi dan iluviasi. Proses eluviasi merupakan pergerakan bahan ke dalam bagian profil tanah. Proses ini diakibatkan oleh pencucian bahan yang bergerak ke bawah melalui air perkolasi, lalu mengendap dalam horison B-iluviasi. Fenomena ini ditunjukkan oleh kadar liat yang tinggi pada horison B (Tabel 13 dan 14). Pada pedon PNS1 memiliki peningkatan liat secara nyata dimulai pada kedalaman 31 cm dari permukaan sampai 200 cm. Kadar liat total (LT) tertinggi terjadi horison peralihan (BCg2) pada kedalaman 200 cm sebesar 68%. Nisbah LT/D sebesar 2.11 atau lebih kecil dari horison di atasnya (3.24). Hal ini menunjukkan bahwa LT pada horison peralihan ini merupakan hasil pengendapan dari lapisan di atasnya. Pembentukan liat secara in situ pada horison ini belum terlihat jelas jika dibandingkan dengan lapisan di atasnya yang dicirikan oleh tingginya nisbah LT/D sebesar 3.24. Selanjutnya, nisbah LH/LT antara horison permukaan dengan horison pertama kenaikan liat hanya menunjukkan perbedaan kecil, sehingga sumbangan LH terhadap proses disintegrasi LT hanya sedikit. Berbeda dengan pedon PNS1, pada pedon PNS2 memiliki peningkatan liat secara nyata dimulai pada kedalaman 64 cm dari permukaan sampai 150 cm. Kadar liat total (LT) tertinggi terjadi pada horison peralihan (Bwg3) pada kedalaman 150 cm sebesar 62%. Nisbah LT/D sebesar 2.82 atau lebih besar dari horison di atasnya (1.76). Hal ini menunjukkan bahwa LT pada horison ini merupakan hasil pembentukan liat secara in situ. Selanjutnya, nisbah LH/LT antara horison permukaan (0.81) dengan horison pertama kenaikan liat (0.84) hanya menunjukkan perbedaan kecil antara keduanya, sehingga sumbangan LH terhadap proses disintegrasi LT hanya sedikit. Kecenderungan fenomena kenaikan liat pada pedon ini sama dengan fenomena pada pedon PNM2, hanya bervariasi pada persentase dan kedalamannya. Untuk pedon PNS3, pembentukan liat secara in situ pada horison ini sudah terlihat jelas jika dibandingkan dengan lapisan di atasnya karena nisbah LT/D sudah mencapai 7.25 pada horison kenaikan LT tertinggi dibanding horison di atasnya yang hanya sebesar 0.49 dan 2.55. Selanjutnya, nisbah LH/LT antara horison permukaan (0.71) dengan horison pertama kenaikan liat (0.82) menunjukkan perbedaan yang cukup besar, sehingga proses pergerakan liat ke 74 lapisan bawah diikuti oleh proses pembentukan liat secara in situ melalui sintesis debu. Fenomena pedon PNS3 ini relatif sama dengan pedon PNM3, kecuali pada pedon PNM3 sumbangan LH terhadap proses disintegrasi LT hanya sedikit karena nisbah LH/LT antara horison permukaan (0.69) dengan horison pertama kenaikan liat (0.68) hanya menunjukkan perbedaan kecil antara keduanya. Tabel 23. Beberapa Sifat Penciri Genesis TSTH Horison Kedalaman LT/D LH/LT 0-12 12-31 31-53 53-71/92 71/92-119 119-150 150-200 KTK-E Liat -1 cm PNS1 Apg1 Apg2 Bwg1 Bwg2 Bwssg BCg1 BCg2 PNS2 Apg1 Apg2 Bwg1 Bwg2 Bwg3 BCssg1 BCssg2 PNS3 Apg Bw Bwg1 Bwg2 Bwssg Bwss PNM1 Apg1 Apg2 Bwg1 Bwg2 Bwg3 BCg PNM2 Apg Bwg Bssg1 Bssg2 Bssg3 BCssg PNM3 Apg1 Apg2 Bwg Bw2 BC1 BC2 KTK-Liat ------- me 100 g --1.03 0.83 1.35 1.84 2.00 3.24 2.11 0.74 0.74 0.80 0.82 0.90 0.74 0.65 KB C-Organik ---------- % -------- 85.56 91.16 74.36 90.33 105.74 94.22 40.86 59.47 64.42 63.03 67.75 94.62 79.66 77.42 69.50 70.66 84.76 75.01 89.48 84.55 >100 0.93 0.45 0.26 0.33 0.27 0.27 0.26 0-10 10-31 31-64 64-84/103 84/103-150 150-200 >200 0.73 0.70 0.43 1.76 2.82 1.41 1.17 0.81 0.77 0.22 0.84 0.84 0.62 0.51 135.66 91.95 164.52 121.01 76.87 103.05 83.91 49.11 57.44 103.90 48.36 78.77 96.75 100.17 36.20 62.47 62.44 37.36 >100 93.89 >100 0.71 0.38 0.26 0.13 0.13 0.19 0.13 0-10 10-34 34-61 61-86 86-120 120-150 1.21 0.97 1.95 0.49 2.55 7.25 0.71 0.65 0.77 0.14 0.82 0.84 101.18 111.31 82.73 180.46 81.24 69.10 59.49 72.72 66.14 141.96 67.55 64.69 58.79 65.34 79.83 75.63 81.94 90.82 0.77 0.51 0.32 0.26 0.19 0.19 0-21 21-37 37-60 60-80 80-103 103-200 1.41 1.45 1.05 1.28 0.93 1.13 0.46 0.49 0.57 0.33 0.62 0.43 66.56 97.99 105.79 95.00 120.37 84.53 65.86 68.39 76.48 70.87 84.20 68.42 98.95 69.79 72.29 74.60 69.95 80.93 1.29 0.62 0.31 0.25 0.18 0.18 0-14 14-30 30-56 56-87 87-120 120-200 1.13 1.24 2.44 2.96 2.37 1.82 0.79 0.68 0.74 0.82 0.80 0.63 101.51 130.67 106.30 92.15 100.42 105.76 72.26 114.53 99.37 60.51 64.46 66.80 71.19 87.65 93.48 65.66 64.19 63.16 1.38 0.60 0.33 0.25 0.25 0.26 0-10 10-28 28-54 54-81 81-100 100-150 0.87 0.63 0.72 0.77 0.82 1.27 0.69 0.73 0.68 0.59 0.57 0.67 83.73 90.76 85.50 70.46 93.02 98.05 63.69 63.48 59.53 60.47 71.46 74.55 76.06 69.94 69.62 85.82 76.81 76.03 0.77 0.44 0.25 0.19 0.19 0.13 LT=liat total; LH=liat halus; D=debu; KTK=kapasitas tukar kation; E=efektif; KB=kejenuhan basa 75 Untuk pedon PNM1, ternyata tidak mempunyai peningkatan kadar LT seperti pedon TSTH lainnya. Kadar LT menurun dan meningkat secara tidak beraturan dengan bertambahnya kedalaman tanah. Kadar LH tertinggi bergerak sampai kedalaman 37 sampai 60 cm dan nisbah LH/LT pada kedalaman tersebut cukup tinggi sebesar 0.57. Sedangkan pada horison permukaan hanya 0.46. Namun, hal ini bukan merupakan akibat pembentukan liat in situ karena nisbah tersebut terjadi juga pada lapisan di bawahnya yang jauh lebih tinggi dibandingkan horison permukaan (0.62). Kondisi ini tidak terlepas dari pengaruh limpasan air (run off) dan hasil erosi di atasnya yang membawa dan mengendapkan bahan tanah halus yang beragam dari waktu ke waktu. Pada TSI menunjukkan fenomena yang berbeda dengan pedon TSTH, kecuali dengan pedon PNS3 dan PNM3 yang memperlihatkan fenomena yang sama. Peningkatan liat secara nyata pada pedon PNB dimulai pada kedalaman 119 cm dari permukaan sampai kedalaman 200 cm. Kadar LT tertinggi terjadi pada horison peralihan (BCssg2) pada kedalaman 200 cm sebesar 67%. Nisbah LT/D sebesar 2.79 atau lebih besar dari horison di atasnya (1.57). Hal ini menunjukkan bahwa LT pada horison peralihan ini merupakan hasil pembentukan liat secara in situ yang dicirikan oleh tingginya nisbah LT/D sebesar 2.79. selanjutnya, nisbah LH/LT antara horison permukaan dengan horison pertama kenaikan liat menunjukkan perbedaan yang besar antara keduanya, sehingga sumbangan LH terhadap proses disintegrasi LT cukup banyak. Pedon TLK relatif sama dengan pedon PNM1 karena tidak mempunyai peningkatan kadar LT. Kadar LT menurun dan meningkat secara tidak beraturan dengan bertambahnya kedalaman tanah. Kadar LH tertinggi untuk PNS-LK bergerak sampai kedalaman 11 sampai 29 yang sama dengan horison Bw2 (25%) dan nisbah LH/LT pada kedalaman tersebut cukup tinggi sebesar 0.56. Sedangkan pada horison permukaan hanya 0.54. Namun, hal ini bukan merupakan akibat pembentukan liat in situ karena nisbah tersebut terjadi juga pada lapisan di bawahnya yang juga lebih tinggi dibandingkan horison permukaan (0.56). Kondisi ini tidak terlepas dari pengaruh limpasan air (run off) sungai dan hasil erosi tanah di atasnya. Di samping itu, letak pedon yang relatif dekat dengan sungai turut mendukung proses transportasi bahan sebagaimana disebutkan sebelumnya. Pada 76 pedon PNM-LK, kadar LH tertinggi bergerak sampai kedalaman 73 sampai 100 cm dengan nisbah LH/LT tertinggi sebesar 0.61. Sedangkan pada horison permukaan hanya 0.58. Hal ini merupakan akibat pembentukan liat in situ karena nisbah tersebut merupakan nilai tertinggi dibandingkan horison lainnya dan sumbangan LH terhadap proses disintegrasi LT cukup banyak. Tabel 24. Beberapa Sifat Penciri Genesis Tanah TLK dan TSI di Daerah Penelitian Horison Kedalaman LT/D LH/LT KTK- E Liat ------me 100 g-1 ---- cm PNS-LK Ap1 Ap2 Bw1 Bw2 Bw3 BC1 BC2 PNM-LK Apg Ap2 Bw1 Bw2 BC PNB Apg1 Apg2 Bwg1 Bw2 Bw3 BCg BCssg1 BCssg2 KTK Liat KB COrganik ---------- % --------- 0-11 11-29 29-61 61-91 91-130 130-200 >200 0.55 0.50 0.21 0.62 0.42 0.44 0.65 0.54 0.56 0.33 0.56 0.32 0.24 0.25 58.17 76.58 173.89 123.54 104.44 125.46 89.38 61.41 74.88 170.28 119.23 97.24 125.30 86.09 105.57 97.78 97.93 95.90 92.71 99.58 95.97 0.98 0.73 0.30 0.18 0.24 0.12 0.13 0-11 11-29 29-51 51-73 73-100 0.84 1.33 2.00 3.55 3.17 0.58 0.42 0.40 0.56 0.61 75.91 64.11 95.26 102.09 80.79 74.88 65.15 71.99 73.11 37.79 98.65 101.61 75.57 71.61 46.78 1.70 0.87 0.30 0.18 0.19 0-20 20-40 40-47 47-59 59-107 107-119 119-150 150-200 0.67 0.69 0.67 1.16 1.31 1.02 1.57 2.79 0.57 0.33 0.68 0.75 0.65 0.65 0.76 0.82 60.64 54.24 56.83 38.85 53.34 61.61 83.63 62.32 57.00 65.51 53.71 38.65 47.07 55.13 51.72 49.80 94.00 120.77 94.50 99.48 88.09 89.27 61.84 79.92 1.11 0.61 0.24 0.24 0.24 0.24 0.37 0.37 LT=liat total; LH=liat halus; D=debu; KTK=kapasitas tukar kation; E=efektif; KB=kejenuhan basa Ketebalan kenaikan liat mencerminkan intensifnya pelapukan. Ruhe (1956) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pelapukan dengan kadar liat dan ketebalan solum. Selain itu, tebalnya kenaikan liat menunjukkan perpindahan fraksi liat dari lapisan atas ke bawah. Di samping itu, menunjukkan adanya lapisan penghambat perpindahan liat tersebut. Dengan demikian, maka semua pedon yang diteliti diduga telah mengalami proses liksiviasi, yaitu perpindahan secara mekanik dari partikel-partikel mineral halus dari horison A ke horison B yang relatif diperkaya oleh liat. Hal ini ditunjukkan oleh kadar liat pada horison B lebih tinggi dibanding horison A di atasnya (Tabel 24). Proses yang berlangsung ini masih pada tingkat dan atau menghasilkan horison kambik pada semua pedon. 77 Proses pedoturbasi juga berlangsung cukup intensif pada pedon TSTH, dimana terjadi pengadukan fisik (siklus basah-kering) dan pendaur-ulangan bahan tanah yang menyebabkan solum menjadi homogen dengan tingkat yang bervariasi (Rachim 2007). Fenomena ini didukung oleh proses pembasahan dan pengeringan secara periodik berlangsung karena pergantian musim hujan dan kemarau yang cukup jelas. Secara umum, dua tipe pelapukan (weathering) yaitu pelapukan fisik dan kimia memegang peranan penting dalam proses pedogenesis TSTH ini. Pelapukan fisik merupakan perubahan batuan dan mineral menjadi bentuk-bentuk lebih kecil tanpa mengubah susunan kimia atau mineraloginya. Sedangkan pelapukan kimia adalah perubahan benda atau bahan menjadi bahan yang komposisi kimia dan atau mineraloginya berbeda dari bahan asalnya (Rachim 2007). Pengaruh kedua tipe pelapukan ini sulit dipisahkan karena keduanya terjadi secara bersamaan pada pedogenesis TSTH ini. Proses pelapukan fisik yang terjadi pada pedon ini antara lain pembasahan dan pengeringan karena TSTH, pengembangan atau pengerutan mineral smektit karena pengaruh iklim. Pelapukan kimia melalui proses hidrolisis juga dapat menghasilkan mineral baru (sintesis). Hidrolisis juga sangat penting dalam pelapukan kimia mineral silikat dan alumino silikat. Air dapat melarutkan bermacam-macam ion dan berekasi dengan mineral tersebut. Pada semua pedon yang mengadung albit dan orthoklas (Lampiran 2), dengan proses hidrolisis dapat melapuk menjadi mineral liat baru dan ditunjukkan oleh akibat dari reaksi ini dengan pH dominan netral dan agak alkali (basa), sebagaimana reaksi sebagai berikut (Birkelad 1974; Tan 1998): 2NaAlSi3O8 + 6H+ + 28H2O Albit 3Na0.66Al2.66Si3.33O10(OH)2 + 14H4SiO4 + 6Na+ Montmorilonit (Smektit) 2NaAlSi3O8 + 2H+ + 9H2O Albit H4Al2Si2O9 + 4H4SiO4 + 2Na+ Kaolinit 2KAlSi3O8 + 2H+ + 9H2O Orthoklas H4Al2Si2O9 + 4H4SiO4 + 2K+ Kaolinit 3KAlSi3O8 + 2H+ + 12H2O Orthoklas KAl3Si2O10(OH)2 + 6H4SiO4 + 2K+ Illit Di daerah tropika lembab, proses hidrolisis bersama dengan oksidasi berperan dalam proses rubifikasi atau braunifikasi (Blume 1988). Reaksi tersebut mengakibatkan mineral primer dapat melapuk dan menghasilkan unsur pembentuk mineral liat seperti asam silikat, OH-, kation basa dan Al (Birkeland 78 1974). Dengan demikian, berdasarkan sifat dan karakteristik tanah yang diteliti, maka proses hidrolisis sudah berlangsung tetapi belum kuat (Lampiran 2). Dampak dari proses ini terlihat pada sintesis liat, warna, dan pencucian basa-basa yang belum intensif. Curah hujan yang relatif rendah menyebabkan sedikit saja basa-basa yang hilang karena pencucian. Kurangnya pencucian basa-basa menyebabkan pH tanah agak masam sampai agak alkali dan KTK efektif relatif tinggi (>12 me 100 g-1), sebagaimana tertera pada Tabel 13, 14, 15, 23, dan 24. Proses pelapukan yang telah terjadi dapat juga dilihat dari nilai KTK liat. Tanah yang telah mengalami hancuran sangat lanjut cenderung menghasilkan komponen liat dengan KTK rendah. Kondisi demikian umum dijumpai di daerah tropika dan subtropika (Moorman 1986; Juo dan Adam 1986). Tabel 22 dan 23 memperlihatkan bahwa sebagian besar tanah yang diteliti mempunyai KTK liat (NH4OAc pH 7.0) > 40 me per 100 g dan KTK efektif liat > 30 me per 100 g pada semua horison. Dengan demikian, maka semua pedon yang diteliti belum mengalami pelapukan lanjut. 5.3 Klasifikasi Tanah Sawah Tadah Hujan Sistem klasifikasi tanah yang digunakan pada penelitian ini adalah taksonomi tanah edisi ke-10 (Soil Survey Staff 2006). Klasifikasikan tanah dengan sistem ini terlebih dahulu ditentukan jenis epipedon, horison bawah penciri dan sifat-sifat morfologi khusus serta kriteria-kriteria lainnya yang dipersyaratkan. Untuk membantu melakukan klasifikasi tanah, maka disusun penciri klasifikasi tanah (Tabel 25 dan 26). Penentuan kelas mineralogi pada famili tanah berdasarkan kelas ukuran butir, liat dominan (>50%), dan KTK liat. Sedangkan penentuan kelas aktifitas pertukaran kation menggunakan nisbah KTK pH 7,0 dengan persentase liat total pada kedalaman 25-100 cm. Kriteria yang digunakan untuk penentuan kelas aktifitas pertukaran kation (Soil Survey Staff 2010), yaitu jika nisbah yang dihasilkan <0,24 mencirikan sub aktif; 0,24-0,40 mencirikan kelas semi aktif; 0,40-0,60 mencirikan kelas aktif; dan >0,60 mencirikan kelas super aktif. Untuk nisbah bernilai antara, maka dipilih yang paling mendekati. 79 Tabel 25. Penciri Utama Klasifikasi Tanah pada Pedon TSTH Horison Kedalaman cm PNS1 Apg1 Apg2 Bwg1 Bwg2 Bwssg BCg1 BCg2 PNS2 Apg1 Apg2 Bwg1 Bwg2 Bwg3 BCssg1 BCssg2 PNS3 Apg Bw Bwg1 Bwg2 Bwssg Bwss PNM1 Apg1 Apg2 Bwg1 Bwg2 Bwg3 BCg PNM2 Apg Bwg Bssg1 Bssg2 Bssg3 BCssg PNM3 Apg1 Apg2 Bwg Bw2 BC1 BC2 P LH LT KT/BB Warna Matriks KTK Liat KTKE Liat me 100 g Liat-1 ------- % ------ KTK pH 7.0/% LT KB pH 7.0 COrganik ----------- % --------- 0-12 12-31 31-53 53-71/92 71/92-119 119-150 150-200 31 23 13 12 10 11 16 26 26 40 47 54 50 37 35 35 50 57 60 68 57 CL/FL CL/FL C/F C/F C/F C/VF C/F 10 YR 5/1 10 YR 5/1 10 YR 5/1 10 YR 6/1 10 YR 4/1 10 YR 4/1 10 YR 4/1 85,56 91,16 74,36 90,33 105,74 94,22 40,86 59,47 64,42 63,03 67,75 94,62 79,66 77,42 0.86 0.91 0.74 0.90 1.06 0.94 0.41 69.50 70.66 84.76 75.01 89.48 84.55 100.00 0.93 0.45 0.26 0.33 0.27 0.27 0.26 0-10 10-31 31-64 64-84/103 84/103-150 150-200 >200 36 37 23 20 16 23 24 22 20 5 43 52 28 21 27 26 23 51 62 45 41 L/FL L/FL SiL/FL C/F C/VF C/F C/F 10 YR 5/2 10 YR 5/2 10 YR 6/2 10 YR 6/2 10 YR 4/1 10 YR 4/1 10 YR 4/1 135,66 91,95 164,52 121,01 76,87 103,05 83,91 49,11 57,44 103,90 48,36 78,77 96,75 100,17 1.36 0.92 1.65 1.21 0.77 1.03 0.84 36.20 62.47 62.44 37.36 100.00 93.89 100.00 0.71 0.38 0.26 0.13 0.13 0.19 0.13 0-10 10-34 34-61 61-86 86-120 120-150 38 37 35 33 29 34 24 20 33 3 42 49 34 31 43 22 51 58 CL/FL CL/FL C/F L/FL C/F C/F 7,5 YR 3/1 7,5 YR 4/3 7,5 YR 5/2 7,5 YR 6/2 7,5 YR 7/2 7,5 YR 7/3 101,18 111,31 82,73 180,46 81,24 69,10 59,49 72,72 66,14 141,96 67,55 64,69 1.01 1.11 0.83 1.80 0.81 0.69 58.79 65.34 79.83 75.63 81.94 90.82 0.77 0.51 0.32 0.26 0.19 0.19 0-21 21-37 37-60 60-80 80-103 103-200 30 24 18 18 23 17 19 22 24 15 23 19 41 45 42 46 37 44 C/F C/F C/F C/F CL/F C/F 10 YR 5/1 10 YR 5/1 10 YR 6/1 10 YR 5/1 10 YR 5/1 10 YR 7/1 66,56 97,99 105,79 95,00 120,37 84,53 65,86 68,39 76,48 70,87 84,20 68,42 0.67 0.98 1.06 0.95 1.20 0.85 98.95 69.79 72.29 74.60 69.95 80.93 1.29 0.62 0.31 0.25 0.18 0.18 0-14 14-30 30-56 56-87 87-120 120-200 19 15 14 9 9 7 34 32 45 56 51 38 43 47 61 68 64 60 C/F C/F C/VF C/VF C/VF C/VF 10 YR 4/1 10 YR 4/1 10 YR 4/2 10 YR 4/1 10 YR 4/2 10 YR 4/1 101,51 130,67 106,30 92,15 100,42 105,76 72,26 114,53 99,37 60,51 64,46 66,80 1.02 1.31 1.06 0.92 1.00 1.06 71.19 87.65 93.48 65.66 64.19 63.16 1.38 0.60 0.33 0.25 0.25 0.26 0-10 10-28 28-54 54-81 81-100 100-150 44 43 33 38 38 41 18 16 19 16 16 22 26 22 28 27 28 33 L/FL L/FL L/FL L/FL CL/FL CL/FL 7,5 YR 4/1 7,5 YR 4/1 7,5 YR 4/2 7,5 YR 4/3 7,5 YR 4/4 7,5 YR 5/3 83,73 90,76 85,50 70,46 93,02 98,05 63,69 63,48 59,53 60,47 71,46 74,55 0.84 0.91 0.86 0.70 0.93 0.98 76.06 69.94 69.62 85.82 76.81 76.03 0.77 0.44 0.25 0.19 0.19 0.13 P=pasir; LH=liat halus; LT=liat total; KT=kelas tektur; C=liat; CL=lempung berliat; L=lempung; SiL=lempung berdebu; BB=ukuran besar butir; F=berliat halus; VF=berliat sangat halus; FL=berlempung halus; KTK=kapasitas tukar kation; E=efektif; LT=liat total; KB=kejenuhan basa; MML=mineral mudah lapuk. Epipedon Epipedon merupakan horison yang terbentuk dipermukaan yang tidak sinonim dengan horison A karena mungkin lebih tebal dari horison A. Namun, sering juga termasuk bagian dari horison B (Harjowigeno 1993). Selanjutnya, Rachim (2003) menjelaskan bahwa epipedon merupakan horison-horison yang terbentuk di sekitar permukaan tanah yang telah mengalami penggelapan warna yang nyata oleh bahan organik, atau tereluviasi, atau memiliki struktur yang telah mengalami hancuran paling minimum. Berdasarkan karakteristik tanah yang diuraikan sebelumnya, maka perubahan utama yang terjadi mulai dari permukaan 80 tanah sampai ketebalan sekitar 50 cm. Perubahan ini menyebabkan perbedaan dalam genesis tanah pada lapisan atas yang akhirnya menyebabkan perbedaan klasifikasi tanah. Epipedon-epipedon yang mungkin dijumpai dalam tanah di daerah penelitian berdasarkan data karakteristik morfologi, fisika, kimia dan mineralogi tanah adalah epipedon molik dan okrik. Pada Tabel 27 disajikan persayaratan untuk kedua epipedon tersebut berdasarkan Soil Survey Staff (2006). Sedangkan penentuan epipedon berdasarkan data-data tanah di daerah penelitian disajikan pada Tabel 28. Berdasarkan informasi pada Tabel 28, maka semua pedon di daerah penelitian, terutama pedon-pedon TSTH termasuk epipedon okrik. Tabel 26. Penciri Utama Klasifikasi Tanah pada Pedon TLK dan TSI Horison Kedalaman cm PNS-LK Ap1 Ap2 Bw1 Bw2 Bw3 Bw4 Bw5 PNM-LK Apg Ap2 Bw1 Bw2 BC PNB Apg1 Apg2 Bwg1 Bw2 Bw3 BCg BCssg1 BCssg2 P LH LT KT/BB Warna Matriks KTK Liat KTK-E Liat --- me 100 g Liat-1--- ------- % ------ KTK pH 7.0/% Liat KB pH 7.0 COrganik ------------ % -------- 0-11 11-29 29-61 61-91 91-130 130-200 >200 32 25 13 58 15 44 49 13 14 5 9 8 4 5 24 25 15 16 25 17 20 L/FL SiL/FL SiL/cSi SL/cL SiL/FL L/cL L/FL 7,5 YR 4/3 7,5 YR 4/3 7,5 YR 4/4 7,5 YR 4/4 7,5 YR 5/4 7,5 YR 5/6 7,5 YR 5/6 58.17 76.58 173.89 123.54 104.44 125.46 89.38 61.41 74.88 170.28 119.23 97.24 125.30 86.09 0.58 0.77 1.74 1.24 1.04 1.25 0.89 100.00 97.78 97.93 95.90 92.71 99.58 95.97 0.98 0.73 0.3 0.18 0.24 0.12 0.13 0-11 11-29 29-51 51-73 73-100 32 37 37 50 25 18 15 17 22 35 31 36 42 39 57 CL/FL CL/F C/F SC/F C/F 10 YR 3/1 10 YR 4/3 10 YR 4/6 10 YR 4/4 10 YR 5/4 75.91 64.11 95.26 102.09 80.79 74.88 65.15 71.99 73.11 37.79 0.76 0.64 0.95 1.02 0.81 98.65 100.00 75.57 71.61 46.78 1.70 0.87 0.30 0.18 0.19 0-20 20-40 40-47 47-59 59-107 107-119 119-150 150-200 13 19 23 3 10 9 10 9 20 11 21 39 33 30 42 55 35 33 31 52 51 46 55 67 SiCL/F SiCL/FL CL/FL SiC/F C/F SiC/F C/F C/VF 2,5 YR 6/1 2,5 YR 5/2 2,5 YR 6/2 2,5 YR 5/6 2,5 YR 5/6 2,5 YR 5/1 2,5 YR 4/1 2,5 YR 3/1 60.64 54.24 56.83 38.85 53.34 61.61 83.63 62.32 57.00 65.51 53.71 38.65 47.07 55.13 51.72 49.80 0.61 0.54 0.57 0.39 0.53 0.62 0.84 0.62 94.00 100.00 94.50 99.48 88.09 89.27 61.84 79.92 1.11 0.61 0.24 0.24 0.24 0.24 0.37 0.37 TLK=tanah lahan kering; TSI=tanah sawah irigasi; P=pasir; LH=liat halus; LT=liat total; KT=kelas tektur; C=liat; CL=lempung berliat; L=lempung; SiL=lempung berdebu; SiCL=lempung liat berdebu; SiC=liat berdebu; BB=ukuran besar butir; F=berliat halus; VF=berliat sangat halus; FL=berlempung halus; cL=berlempung kasar; cSi=berdebu kasar; KTK=kapasitas tukar kation; E=efektif; LT=liat total; KB=kejenuhan basa; MML=mineral mudah lapuk. 81 Tabel 27. Persyaratan Epipedon Molik, Okrik dan Epipedon Umbrik menurut Taksonomi Tanah Epipedon Molik: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Okrik: Persyaratan a Jika kering memiliki satuan struktur atau struktur sekunder dengan diameter ≤ 30 cm b Kelas ketahanan pecah agak keras atau lebih lunak; dan Struktur batuan termasuk stratifikasi halus (< 5 mm) adalah < 1/2 volume semua bagian; dan Salah satu dari syarat berikut: a Semua sifat berikut : (1) Warna dominan dengan value ≤ 3 (lembab) dan ≤ 5 a (kering); dan (2) Warna dominan dengan krome 3 atau lebih rendah (lembab); dan b Fraksi tanah halus yang memiliki kalsium karbonat setara 15 sampai dengan 40% atau lebih dan warna dengan value dan kroma ≤ 3 (lembab); atau c Fraksi tanah halus yang memiliki kalsium karbonat setara 40% atau lebih dan warna dengan value dan kroma ≤ 5 (lembab); atau Kejenuhan basa (dengan NH4OAc) ≥ 50% keseluruhan; dan Kandungan C-organik terdiri dari: a ≥ 2.5% jika epipedon mempunyai warna value 4 atau 5 (lembab); atau b ≥ 0.6 (absolut) pada horison C (jika salah satu sesuai), jika epipedon molik sudah mempunyai warna value ≤ 1 satuan munsell terendah atau kroma ≤ 2 satuan terendah (semuanya lembab dan kering) dari pada horison C; atau c ≥ 0.6 (absolut) dan epipedon tidak dapat memenuhi kualifikasi di atas 5-a atau 5-b; dan Ketebalan minimum epipedon ini sebagai berikut: a 25 cm, jika: (1) Tekstur epipedon ini seluruhnya adalah pasir berlempung halus atau kasar; atau (2) Tidak ada horison penciri dasar dan kandungan C-organik pada material dasar menurun secara tidak beraturan dengan meningkatnya kedalaman; atau (3) Semua hal-hal berikut pada ≥ 75 cm di bawah permukaan tanah mineral: (a) Batas bawah terdalam terdapat horison argilik, kambik, natrik, oksik, atau spodik; dan (b) Batas atas terdangkal terdapat horison petroklasik, duripan, fragipan, atau diidentifikasi sebagai karbonat sekunder; atau b 10 cm, jika tekstur epipedon lebih halus dari pada pasir berlempung halus (saat pencampuran) dan langsung berada di atas kontak densik, litik, atau paralitik, horison petrokalsik atau duripan; atau c 18-25 cm dan ketebalan satu-30 atau lebih dari total ketebalan antara permukaan tanah mineral dan: (1) Batas atas terdangkal terdapat karbonat atau horison kalsik, petroklasik, duripan atau fragipan; atau (2) Batas bawah terdalam terdapat horison argilik, kambik, natrik atau spodik; atau d 18 cm, jika tidak ada kondisi di atas yang berlaku; dan Kandungan fosfat (P2O5): a Mengandung ≤ 1500 ppm yang larut dalam asam sitrat; atau b Kandungannya menurun tidak beraturan dengan meningkatnya kedalaman di bawah epipedon; atau c Nodul berada dalam epipedon; dan Beberapa bagian epipedon adalah lembab selama ≥ 90 hari (kumulatif) dalam tahun normal selama temperatur tanah pada kedalaman 50 cm adalah 5oC atau lebih tinggi, jika tanah tidak diirigasi; dan n-value adalah < 0.7 Jika tidak memenuhi persyaratan epipedon molik dan 7 epipedon lainnya Umbrik: Memenuhi semua persyaratan epipedon molik, kecuali kejenuhan basa (NH4OAc) < 50% Sumber: Soil Survey Staff (2006) 82 Tabel 28. Penentuan Epipedon menurut Taksonomi Tanah di Daerah Penelitian Pedon PNS1 PNS2 PNS3 PNM1 PNM2 PNM3 Topografi/Elevasi (m dpl) Datar-Landai/58 Berombak/59 Berombak/62 Datar-Landai/42 Berombak/50 Berombak/61 PNSLK PNMLK Berombak/50 PNB Datar/44 Datar/60 m Persyaratan untuk Epipedon Molik 3c 4 5a 5b 5c 6a1 6a2 6a3 6b Tanah Sawah Tadah Hujan (TSTH) ≠ √ x √ √ x √ √ x ≠ √ x √ √ x √ √ x ≠ √ x √ √ x √ √ x ≠ √ x √ √ x √ √ x ≠ √ x √ √ x √ √ x ≠ √ x √ √ x √ √ x Lahan Kering (TLK) 6c1 6c2 6d 7a 7b 7c 8 9 Nama Epipedon x x x x x x √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ x x x x x x x x x x x x √ √ √ √ √ √ ≈ ≈ ≈ ≈ ≈ ≈ Okrik Okrik Okrik Okrik Okrik Okrik x x √ √ √ x x √ ≈ Okrik √ x x √ √ √ x x √ ≈ Okrik √ x x √ √ √ x x √ ≈ Okrik 1a 1b 2 3a1 3a2 3b √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ x x x x x x √ √ √ √ √ √ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ √ √ √ x √ ≠ ≠ √ x √ √ x √ √ √ √ √ x √ ≠ ≠ √ x √ √ x √ √ √ √ x √ ≠ ≠ √ Tanah Sawah Irigasi (SI) x √ √ x √ √ = persyaratan terpenuhi; x = persyaratan tidak terpenuhi; ≠ = tidak dipertimbangkan karena CaCo3 tidak diukur; ≈ = tidak ada data, tetapi bisa diestimasi dari data lain; 1, 1b, 2, 3a1, …, 9 = nomor persayaratan sesuai Tabel 26. 82 83 Horison Bawah Penciri Berdasarkan data karakteristik tanah yang telah dikumpulkan sebelumnya, maka kemungkinan di daerah penelitian dijumpai adanya horison argilik dan kambik. Pada data deskripsi profil tanah (Lampiran 1) tidak dijumpai adanya selaput liat, kecuali penambahan liat pada horison bawah (Tabel 10, 11 dan 12). Berdasarkan fakta tersebut, maka horison bawah permukaan semua pedon di daerah penelitian tidak memenuhi persyaratan horison agrik, argilik dan kandik. Horison-horison lain seperti albik, kalsik, glosik, gipsik, natrik, oksik, orstein, petrokalsik, plasik, salik, sombrik, dan sprodik tidak relevan dengan kondisi lingkungan di daerah penelitian, sehingga diabaikan. Semua pedon yang diteliti ternyata memenuhi kriteria untuk horison kambik. Hal ini sesuai dengan persyaratan horison kambik (Soil Survey Staff 2006), yaitu (1) tekstur tanah pasir sangat halus, atau pasir sangat halus berlempung, atau lebih halus; (2) menunjukkan bukti alterasi berbentuk salah satu dari hal-hal berikut: a. kondisi akuik dalam 50 cm dari permukaan tanah atau didrain buatan dan semua hal berikut: struktur tanah atau tidak ada struktur batuan dalam > ½ volume horison, warna tidak berubah jika muncul ke udara, dan warna lembab dominan pada permukaan ped atau matriks sebagai berikut : nilai ≤ 3 dan kroma 0, atau nilai ≥ 4 dan kroma ≤ 1, atau berbagai nilai dan kroma ≤ 2 dan terdapat konsentrasi redoks; b. tidak mempunyai kombinasi akuik dalam 50 cm dari permukaan tanah atau didrain buatan dan warna lembab, mempunyai struktur tanah atau tidak ada struktur batuan dalam > ½ volume horison dan mempunyai salah satu atau lebih sifat berikut : kroma lebih tinggi, nilai lebih tinggi, hue lebih merah atau kadar liat lebih tinggi dari horison di atas dan di bawahnya, bukti kehilangan karbonat atau gypsum; (3) mempunyai sifat yang tidak memenuhi syarat untuk epipedon antropik, histik, folistik, melanik, molik, plagen, umbrik, duripan, fragipan, atau horison argilik, kalsik, gipsik, natrik, oksik, petrokalsik, petrogipsik, plasik atau spodik; dan (4) bukan bagian dari horison Ap dan tidak mempunyai sifat regas/tegar dalam > 60% matriks. Selanjutnya, horison penciri dan sifat penciri lainnya untuk klasifikasi tanah disajikan pada Tabel 29. Sedangkan klasifikasi tanah pada tingkat famili tanah di daerah penelitian tertera pada Tabel 30. 84 Tabel 29. Horison Penciri dan Sifat Penciri Lainnya untuk Klasifikasi tanah Okrik PNS2 DatarLandai/58 Berombak/59 PNS3 Berombak/62 Okrik PNM1 Okrik PNM2 DatarLandai/42 Berombak/50 Regim Kelembaban Suhu Tanah (Tanah/Udara) Tanah Sawah Tadah Hujan (TSTH) Kambik Bidang Akuik/Ustik Isohipertermik Kilir Kambik Bidang Akuik/Ustik Isohipertermik Kilir Kambik Bidang Akuik/Ustik Isohipertermik Kilir Kambik Akuik/Ustik Isohipertermik Okrik Kambik PNM3 Berombak/61 Okrik PNSLK PNMLK Datar/60 Okrik Berombak/50 Okrik Topografi /Elevasi (m dpl) Pedon PNS1 PNB Datar/44 Horison Bawah Epipedon Okrik Okrik Utama Lain Kelas Ukuran Butir Kelas Mineralogi Halus Smektitik Halus Smektitik Halus Smektitik Halus Smektitik Bidang Akuik/Ustik Isohipertermik Halus Kilir Kambik Akuik/Ustik Isohipertermik Halus Tanah Lahan Kering (TLK) Kambik Ustik Isohipertermik Berlempung Halus Kambik Ustik Isohipertermik Halus Kambik Tanah Sawah Irigasi (TSI) Bidang Akuik/Ustik Kilir Isohipertermik Halus Smektitik Smektitik Smektitik Smektitik Campuran Tabel 30. Klasifikasi Tanah pada Tingkat Famili di Daerah Penelitian Pedon Topografi/Elevasi (m dpl) PNS1 PNS2 PNS3 PNM1 PNM2 PNM3 Datar-Landai/58 Berombak/59 Berombak/62 Datar-Landai/42 Berombak/50 Berombak/61 PNS-LK PNM-LK Datar/60 Berombak/50 PNB Datar/44 Famili Tanah menurut Sistem Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff 2006) Tanah Sawah Tadah Hujan (TSTH) Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik Endoaquept Vertik, halus, smektitik, isohipertermik Epiaquept Vertik, halus, smektitik, isohipertermik Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik Epiaquept Aerik, halus, smektitik, isohipertermik Tanah Lahan Kering (TLK) Eutrudept Tipik, berlempung halus, smektitik, isohipertermik Eutrudept Tipik, halus, smektitik, isohipertermik Tanah Sawah Irigasi (TSI) Epiaquert Ustik, halus, campuran, aktif, isohipertermik Sifat-Sifat Morfologi Khusus dalam Tanah Sifat morfologi khusus dalam tanah yang relevan dengan kondisi daerah penelitian berdasarkan Soil Survei Staff (2006) adalah adanya bidang kilir (slinkenside) dan karatan (mottling). Bidang kilir adalah permukaan licin mengkilap dalam solum tanah dan pada umumnya berukuran lebih dari 5 cm. Sifat ini terbentuk akibat massa tanah yang saling bergerak antara satu dengan lainnya sehingga terjadi saling menekan dan menggesek. Kondisi ini terjadi akibat pengembangan mineral liat karena perubahan kelembaban dan terjadinya kerusakan potongan massa tanah (Rachim 2007). Jika bidang kilir sudah sangat berkembang, maka massa tanah pada dinding galian akan mudah sekali melorot. Sentuhan pisau sedikit saja dapat menyebabkan massa tanah yang disentuh tersebut terlepas, melorot dari dinding lubang galian. 85 Bahan tanah yang mengandung cukup banyak mineral liat tipe 2 : 1 yang dapat mengembang jika lembab atau basah dan mengkerut jika kering. Kondisi ini juga terjadi di lapang saat survei tanah yang dijumpai adanya bidang kilir pada beberapa pedon dengan fenomena seperti tersebut di atas. Bidang kilir merupakan sifat khusus yang dimiliki oleh jenis tanah Vertisol atau tanah-tanah yang bersifat vertik. Beberapa pedon yang dijumpai adanya bidang kilir (ss), yaitu pedon PNS1 (Bwssg), PNS2 (BCssg1 dan BCssg2), PNS3 (Bwssg dan Bwss), PNM2 (Bssg1-3 dan BCssg), dan PNB (BCssg1 dan BCssg2). Sedangkan pada pedon TLK serta pedon PNM1 tidak ditemukan adanya bidang kilir. Menurut Rachim (2007), karatan adalah senyawa oksida hasil oksidasi atau reduksi unsur tertentu (Fe, Mn) yang dicirikan oleh warna berbeda dan tidak dapat dipisahkan dari warna matriks tanah. Karatan terdiri dari dua, yaitu karat dan becak. Karat dihasilkan pada lingkungan oksidatif dengan ciri warna kroma yang tinggi (>2). Sedangkan becak atau bercak adalah sifat yang dihasilkan dalam kondisi reduktif dengan ciri warna kroma rendah (≤ 2). Semua pedon yang diteliti mempunyai karatan (becak), kecuali pedon PNS-LK dari Sidomukti yang hanya terdapat di horison paling bawah (Bw5) akibat reduksi air bawah tanah (ground water). Sedangkan pedon lain dijumpai becak minimal dalam dua horison. Rejim Kelembaban dan Suhu Tanah Berdasarkan data iklim daerah penelitian (Lampiran 4) yang disesuaikan dengan kondisi aktual lapang masing-masing pedon, maka di daerah penelitian terdapat dua rejim kelembaban tanah, yaitu akuik dan ustik. Sedangkan berdasarkan data suhu dari dua stasiun iklim yang ada di daerah penelitian, maka hanya dijumpai rejim suhu tanah isohipertermik. Beberapa contoh hasil perhitungan rejim kelembaban dan suhu tanah di daerah penelitian dengan alat bantu program Newhall Simulation Model (NSM) disajikan pada Lampiran 5. Klasifikasi Tanah pada Pedon-Pedon dari Sidomukti dan Bandungrejo Pada areal TSTH dari Sidomukti dijumpai epipedon okrik. Sedangkan horison bawah penciri adalah kambik. Pedon PNS1 yang terletak pada posisi lereng bawah memiliki horison kambik dan tebal lapisan ≥25 cm dengan batas di atasnya di dalam 100 cm dari permukaan tanah mineral yang mempunyai bidang 86 kilir pada kedalaman <100 cm. Kadar liat total rata-rata terbobot 35% dalam fraksi tanah halusnya antara permukaan tanah dan kedalaman 18 cm atau dalam horison Ap, serta 42% liat total dalam fraksi tanah halusnya pada semua horison antara kedalaman 18 cm dan 50 cm. Pada kedalaman 50 cm, semua horison mempunyai kondisi akuik, dimana air tersebut berasal dari bawah permukaan (endosaturation) untuk sebagian waktu dalam tahun-tahun normal, dalam matriks 50% bagian lebih dari setengah pedon mempunyai kroma 1. Mengalami rekahan yang terbuka dan tertutup secara periodik selebar 5 mm mencapai kedalaman 25 cm di dalam 50 cm dari permukaan tanah selama 90 hari kumulatif. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka pedon PNS1 diklasifikasikan sebagai Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik. Pedon PNS2 yang terletak pada posisi lereng bawah memiliki horison kambik dan tebal lapisan 50 cm dengan batas di atasnya di dalam 200 cm dari permukaan tanah mineral yang mempunyai bidang kilir. Kadar liat total rata-rata terbobot 31% dalam fraksi tanah halusnya pada semua horison antara kedalaman 18 cm dan 50 cm. Pada kedalaman 50 cm, semua horison mempunyai kondisi akuik, dimana air tersebut berasal dari bawah permukaan untuk sebagian waktu dalam tahun-tahun normal, dalam matriks 50% bagian lebih dari satu pedon mempunyai kroma ≤2 karena terjadi konsentrasi redoks. Mengalami rekahan di dalam >125 cm dari permukaan tanah selebar 5 mm atau lebih. Berdasarkan sifatsifat tersebut, maka pedon PNS2 diklasifikasikan sebagai Endoaquept Vertik, halus, smektitik, isohipertermik. Pedon PNS3 yang terletak pada posisi lereng bawah memiliki horison kambik dan di dalam 120 cm dari permukaan tanah mineral dijumpai bidang kilir. Kadar liat total rata-rata terbobot 34% dalam fraksi tanah halusnya antara permukaan tanah dan kedalaman 18 cm atau dalam horison Ap, serta 36% liat total dalam fraksi tanah halusnya pada semua horison antara kedalaman 18 cm dan 50 cm. Pada kedalaman 50 cm, satu horison permukaan dan tiga horison B mempunyai kondisi akuik, tetapi air tersebut berasal dari atas permukaan (episaturation) untuk sebagian waktu dalam tahun-tahun normal, dalam matriks 50% bagian dengan kroma ≤2 karena terjadi konsentrasi redoks. Mengalami rekahan yang terbuka dan tertutup secara periodik selebar 5 mm mencapai 87 kedalaman 25 cm di dalam 50 cm dari permukaan tanah selama 90 hari kumulatif. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka pedon PNS3 diklasifikasikan Epiaquept Vertik, halus, smektitik, isohipertermik. Pedon PNS-LK yang terletak pada posisi lereng bawah memiliki horison kambik yang batas di atasnya di dalam 100 cm dari permukaan tanah mineral dan batas bawahnya pada kedalaman ≥ 25 cm di bawah permukaan tanah mineral. Terdapat air tanah di dalam 100 cm dari permukaan tanah mineral pada sebagaian waktu selama setahun. Mempunyai kejenuhan basa (NH4OAc pH 7.0) pada kedalaman antara 25 cm dan 75 cm dari permukaan tanah mineral sebesar 95.90% sampai 97.93% (≥ 60%) atau Eutrudept. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka pedon PNS-LK diklasifikasikan sebagai Eutrudept Tipik, berlempung halus, smektitik, isohipertermik. Pedon PNB yang terletak pada posisi lereng bawah memiliki horison kambik yang batas di atasnya di dalam 100 cm dari permukaan tanah mineral dan batas bawahnya pada kedalaman ≥25 cm di bawah permukaan tanah mineral yang mempunyai bidang kilir pada kedalaman <150 cm. Kadar liat total rata-rata terbobot 34% dalam fraksi tanah halusnya antara permukaan tanah dan kedalaman 18 cm atau dalam horison Ap, serta 40% liat total dalam fraksi tanah halusnya pada semua horison antara kedalaman 18 cm dan 50 cm. Pada kedalaman 50 cm, lebih dari satu horison mempunyai kondisi akuik, tetapi air tersebut berasal dari atas permukaan (episaturation) untuk sebagian waktu dalam tahun-tahun normal, dalam matriks 50% bagian dengan kroma ≤2 karena terjadi konsentrasi redoks. Mengalami rekahan-rekahan yang terbuka dan tertutup secara periodik selebar 5 mm mencapai kedalaman 25 cm di dalam 50 cm dari permukaan tanah selama 90 hari kumulatif. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka pedon PNB diklasifikasikan sebagai Epiaquert Ustik, halus, campuran, aktif, isohipertermik. Sebaran klasifikasi tanah berdasarkan toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo disajikan pada Gambar 33. 88 m dpl halus, 70 60 50 elevasi PNS1: Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik PNS-LK: Eutrudept Tipik, berlempung halus, smektitik, isohipertermik PNB: Epiaquert Ustik, halus, campuran, aktif, isohipertermik. PNS2: Endoaquept Vertik, smektitik, isohipertermik PNS3: Epiaquept Ustik, halus, smektitik, isohipertermik 40 0 m 1500 500 700 600 Jarak Horisontal Gambar 33. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo m dpl PNM3: Epiaquept Aerik, halus, smektitik, isohipertermik 60 PNM-LK: Eutrudept Tipik, halus, smektitik, isohipertermik elevasi 50 PNM2: Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik PNM1: Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik 40 30 0 m Jarak Horisontal 500 300 1700 Gambar 34. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Toposekuen di Molombulahe 88 89 Klasifikasi Tanah pada Pedon-Pedon dari Molombulahe Pedon PNM1 yang terletak pada posisi lereng bawah memiliki horison kambik yang batas di atasnya di dalam 100 cm dari permukaan tanah mineral dan batas bawahnya pada kedalaman ≥ 25 cm di bawah permukaan tanah mineral. Kadar liat total rata-rata terbobot 43% dalam fraksi tanah halusnya antara permukaan tanah dan kedalaman 18 cm atau dalam horison Ap, serta 42% liat total dalam fraksi tanah halusnya pada semua horison antara kedalaman 18 cm dan 50 cm. Pada kedalaman 50 cm, semua horison mempunyai kondisi akuik, dimana air tersebut berasal dari bawah permukaan (endosaturation) untuk sebagian waktu dalam tahun-tahun normal, dalam matriks 50% bagian pedon mempunyai kroma 1. Mengalami rekahan yang terbuka dan tertutup secara periodik selebar 5 mm mencapai kedalaman 25 cm di dalam 50 cm dari permukaan tanah selama 90 hari kumulatif. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka pedon PNM1 diklasifikasikan sebagai Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik. Pedon PNM2 yang terletak pada posisi lereng tengah memiliki horison kambik yang batas di atasnya di dalam 100 cm dari permukaan tanah mineral dan batas bawahnya pada kedalaman ≥25 cm di bawah permukaan tanah mineral yang mempunyai bidang kilir pada kedalaman <100 cm. Kadar liat total rata-rata terbobot 43% dalam fraksi tanah halusnya antara permukaan tanah dan kedalaman 18 cm atau dalam horison Ap, serta 56% liat total dalam fraksi tanah halusnya pada semua horison antara kedalaman 18 cm dan 50 cm. Pada kedalaman 50 cm, semua horison mempunyai kondisi akuik, dimana air tersebut berasal dari bawah permukaan untuk sebagian waktu dalam tahun-tahun normal, dalam matriks 50% bagian lebih dari satu pedon mempunyai kroma ≤2 atau kurang karena terjadi konsentrasi redoks. Mengalami rekahan yang terbuka dan tertutup secara periodik selebar 5 mm mencapai kedalaman 25 cm di dalam 50 cm dari permukaan tanah selama 90 hari kumulatif. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka pedon PNM2 diklasifikasikan sebagai Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik. Pedon PNM3 yang terletak pada posisi lereng atas memiliki horison kambik yang batas di atasnya di dalam 100 cm dari permukaan tanah mineral dan batas bawahnya pada kedalaman ≥25 cm di bawah permukaan tanah mineral. Pada antara horison A atau Ap dan kedalaman 75 cm di bawah permukaan tanah 90 mineral mempunyai warna hue 7,5YR pada 50% matriks telah terdapat ped, >50% bagian luarnya berkroma ≥2. Kadar liat total rata-rata terbobot 24% dalam fraksi tanah halusnya antara permukaan tanah dan kedalaman 18 cm atau dalam horison Ap, serta 26% liat total dalam fraksi tanah halusnya pada semua horison antara kedalaman 18 cm dan 50 cm. Pada kedalaman 50 cm, tiga horison mempunyai kondisi akuik, dimana air tersebut berasal dari atas permukaan untuk sebagian waktu dalam tahun-tahun normal, dalam matriks 50% bagian pedon kroma ≤2 atau kurang karena terjadi konsentrasi redoks. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka pedon PNM3 diklasifikasikan sebagai Epiaquept Aerik, halus, smektitik, isohipertermik. Pedon PNM-LK yang terletak pada posisi lereng tengah memiliki horison kambik yang batas di atasnya di dalam 100 cm dari permukaan tanah mineral dan batas bawahnya pada kedalaman ≥25 cm di bawah permukaan tanah mineral. Mempunyai kejenuhan basa (NH4OAc pH 7,0) pada kedalaman antara 25 cm dan 75 cm dari permukaan tanah mineral sebesar 71,61% sampai >100% (≥60%) atau Eutrudept. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka pedon PNM-LK diklasifikasikan sebagai Eutrudept Tipik, halus, smektitik, isohipertermik. Sebaran klasifikasi tanah berdasarkan toposekuen di Molombulahe disajikan pada Gambar 34. Tampaknya klasifikasi tanah terhadap TSTH menunjukkan persamaan sampai tingkat sub grup antara pedon yang terletak di lereng bawah (PNS1 dan PNM1) dan satu pedon di lereng tengah dari Molombulahe (PNM2), sementara pedon yang di lereng tengah dari Sidomukti (PNS2) relatif berbeda karena ordo sampai sub grupnya berbeda. Sedangkan pedon yang terletak di lereng atas sama sampai tingkat great grup, tetapi berbeda pada tingkat sub grup. Pada tingkat famili tanah, semua pedon TSTH relatif sama. Apabila dibandingkan dengan pedon TSI, maka pedon TSTH yang terletak di lereng bawah relatif sama sampai tingkat sub ordo, tetapi sudah berbeda pada tingkat great grup dan famili tanah. Sedangkan apabila dibandingkan dengan TLK, maka pedon TSTH yang terletak di lereng atas relatif sama hanya sampai tingkat ordo saja, sementara mulai dari tingkat sub ordo sampai famili tanah berbeda. Apabila dibandingkan antara pedon TLK, maka sampai tingkat sub grup relatif sama dan berbeda pada tingkat family tanahnya. 91 5.4 Potensi Tanah Sawah Hujan 5.4.1 Kesesuaian Lahan Secara umum, penggunaan lahan yang menjadi obyek penilaian potensi tanah merupakan sawah tadah hujan (TSTH) dan tanah sawah irigasi (TSI). Seluruh komponen lahan saling berinteraksi dan terkait satu dengan lainnya membentuk satu ekosistem sawah. Petani berkepentingan besar agar hasil interaksi tersebut menghasilkan produksi padi dan jagung dengan jumlah dan bobot yang tinggi. Namun, penggunaan lahan untuk komoditi ini memiliki faktor pembatas, antara lain: curah hujan yang tidak menentu dan tingkat kesuburan tanah yang rendah (Suyamto et al. 2008). Di samping itu, menurut Pirngadi dan Makarim (2006), produktivitas padi di TSTH masih rendah, berkisar antara 2-2,5 ton ha-1. Produktifitas jagung juga masih rendah, yaitu 1-2,8 ton ha-1 (Fadly 1993). Oleh karena itu, perlu ditentukan faktor pembatas dominan dan spesifik lokasi berdasarkan kualitas lahan untuk masing-masing TPL. Penggunaan kualitas lahan (KL) dalam penentuan potensi tanah melalui kesesuaian lahan, memungkinkan untuk meminimalisir adanya interaksi masingmasing karakteristik lahan. Disamping itu, KL dapat mengurangi jumlah komponen yang dinilai, sehingga nilai yang diperoleh lebih proporsional. Uraian dalam analisis kesesuaian lahan berdasarkan KL disajikan sebagai berikut: KL Ketersediaan Air Curah hujan sangat mempengaruhi tinggi rendahnya ketersediaan air bagi tanaman. Hal ini terlihat pada beberapa lokasi penelitian yang ketersediaan air tanahnya mampu menyediakan air untuk kebutuhan tanaman (ETc), tetapi ada juga yang harus mendapatkan suplai air dari hujan (Lampiran 8-10). Kondisi air tersedia profil atau ATP (Tabel 31) menunjukkan bahwa makin beruntun pola tanaman, maka makin rendah ATP (TPL Padi Lokal > TPL Padi-Jagung > TPL Padi-Jagung-Jagung). Hal ini disebabkan karena jumlah hujan yang tidak tetap pada setiap bulannya, sehingga mempengaruhi ATP masing-masing lokasi penelitian. Selanjutnya, penurunan ATP menyebabkan pemenuhan kebutuhan air tanaman (ETc) juga menurun. Menurut Firmansyah (2007), penurunan ETc akan mempengaruhi produksi tanaman. Walaupun penurunan tersebut tidak sampai menghambat perkembangan tanaman. 92 Tabel 31. Kondisi Air Tersedia Profil Rata-Rata Bulanan pada Beberapa TPL dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo Tanah/Lokasi Ver Inc 1 Inc 2 Ver 1 Ver 2 Inc Ver Sid Sid Sid Mol Mol Mol Ban ……………………………………………….. mm ………………………………………….. Padi pada TPL Padi Lokal 58,4 88,4 59,0 34,4 49,3 88,1 59,87 Padi pada TPL Padi-Jagung 63,5 93,5 64,1 42,1 56,9 95,7 65,0 Jagung pada TPL Padi-Jagung 63,5 93,5 64,1 32,7 47,6 86,4 65,0 Padi pada TPL Padi-Jagung-Jagung 63,5 93,5 64,1 30,4 45,3 84,0 65,0 Jagung 1 pada TPL Padi-Jagung-Jagung 63,5 93,5 64,1 25,8 40,7 79,4 65,0 Jagung 2 pada TPL Padi-Jagung-Jagung 53,9 80,6 51,3 32,2 47,0 85,8 52,2 Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo Pada beberapa bulan tertentu untuk masing-masing TPL menunjukkan nilai negatif (Lampiran 8-10). Tanda ini hanya menunjukkan bahwa kondisi air tersedia profil pada bulan tersebut merupakan bulan defisit air. Untuk TPL Padi Lokal, terdapat dua bulan defisit, yaitu pada bulan Juni dan Juli untuk lokasi Sidomukti dan Bandungrejo serta bulan Agustus dan September untuk lokasi Molombulahe. TPL Padi-Jagung hampir tidak terdapat bulan defisit, kecuali pada bulan Januari untuk lokasi Molombulahe. Sedangkan pada TPL Padi-Jagung-Jagung, terdapat satu bulan defisit untuk lokasi Sidomukti dan Bandungrejo, yaitu bulan September dan tiga bulan defisit untuk lokasi Molombulahe, yaitu pada bulan Januari, Maret dan bulan September. Semua lokasi penelitian, umumnya tekstur tanah didominasi oleh liat (Tabel 10 dan 12). Berdasarkan tekstur tanah tersebut, maka kondisi air tersedia profil terendah untuk TPL Padi Lokal dan Padi-Jagung dengan tanaman Padi terjadi pada Vertisol 1 dari Molombulahe hanya sebanyak 34,4 dan 42,1 mm bulan-1 serta tertinggi pada Inceptisol Molombulahe sebanyak 88,1 dan 95,7 mm bulan-1 (Tabel 31). TPL Padi-Jagung dengan tanaman Jagung terendah terjadi pada Vertisol 1 dari Molombulahe hanya sebanyak 32,7 mm bulan-1 dan tertinggi pada Inceptisol 1 Sidomukti sebanyak 93,5 mm bulan-1. Untuk TPL Padi-Jagung-Jagung dengan tanaman Padi terendah pada Vertisol 1 dari Molombulahe sebanyak 30,4 mm bulan-1 serta tertinggi pada Inceptisol 1 Sidomukti sebanyak 93,5 mm bulan-1. 93 Sedangkan TPL Padi-Jagung-Jagung dengan tanaman Jagung 1 dan 2 terendah pada Vertisol 1 dari Molombulahe masing-masing sebanyak 25,8 dan 32,2 mm bulan-1 dan tertinggi pada Inceptisol 1 Sidomukti sebanyak 93.5 mm bulan-1. Hal ini sejalan dengan pernyataan Salter et al. (1966), bahwa fraksi liat berkorelasi positif terhadap kapasitas menahan air. Lebih lanjut Hillel (1998) menyatakan bahwa liat mampu menyerap dan mengikat air yang menyebabkan tanah mengembang saat pembasahan dan menyusut saat kering. Kondisi ini sesuai dengan jenis tanah di daerah penelitian yang termasuk Vertisol dan Inceptisol yang bersifat vertik. Nilai air tersedia profil selanjutnya digunakan untuk menduga produksi masing-masing TPL berdasarkan model penduga produksinya (Tabel 32). Berdasarkan jumlah air tersedia profil, maka produksi dugaan padi pada semua TPL tertinggi terjadi pada Inceptisol 1 Sidomukti dan Inceptisol Molombulahe yang masing-masing sebanyak 3,1-3,2 ton ha-1. Sedangkan produksi dugaan padi terendah, terjadi pada Vertisol Molombulahe sebanyak 1,8-2,2 ton ha-1. Produksi Jagung dugaan, baik pada TPL Padi-Jagung dan TPL Padi-Jagung-Jagung tertinggi terjadi pada Inceptisol 1 Sidomukti dan Molombulahe yang masingmasing sebanyak 5,6-5,7 ton ha-1. Sedangkan terendah terjadi pada Vertisol 1 Molombulahe sebanyak 2,4 ton ha-1. Tabel 32. Dugaan Produksi TPL Berdasarkan Air Tersedia Profil Rata-Rata Bulanan pada Beberapa Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo Tanah/Lokasi Ver Inc 1 Inc 2 Ver 1 Ver 2 Inc Ver Sid Sid Sid Mol Mol Mol Ban …………………………………………… ton ha-1 ………..………………………………. Padi pada TPL Padi Lokal 2,6 3,1 2,6 2,0 2,4 3,1 2,6 Padi pada TPL Padi-Jagung 2,7 3,2 2,7 2,2 2,6 3,2 2,7 Jagung pada TPL Padi-Jagung 5,1 5,7 5,2 3,1 4,3 5,7 5,2 Padi pada TPL Padi-Jagung-Jagung 2,7 3,2 2,7 1,8 2,3 3,0 2,7 Jagung 1 pada TPL Padi-Jagung-Jagung 5,1 5,7 5,2 2,4 3,8 5,6 5,2 Jagung 2 pada TPL Padi-Jagung-Jagung 4,7 5,6 4,5 3,0 4,2 5,7 4,6 Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo 94 Data ini menunjukkan bahwa semakin tinggi air tersedia profil, maka semakin tinggi produksi padi dan jagung (Tabel 32). Kebutuhan air tanaman jagung relatif lebih sedikit dibanding padi berdasarkan fase-fase perkembangan tanaman. Menurut Aqil et al. (2008), penurunan produksi jagung terbesar terjadi jika jagung mengalami kekurangan air pada fase pembungaan, bunga jantan dan bunga betina muncul, serta pada saat proses penyerbukan. Kondisi ini mengakibatkan terhambatnya proses pengisian biji karena bunga betina/tongkol mengering, sehingga jumlah biji dalam tongkol berkurang. Hal ini tidak terjadi jika kekurangan air terjadi pada fase vegetatif. Kekurangan air pada fase pengisian/pembentukan biji juga dapat menurunkan produksi secara nyata akibat mengecilnya ukuran biji. Kekurangan air pada fase pematangan sangat kecil pengaruhnya terhadap produksi. Penetapan nilai indeks KL didasarkan pada produksi dugaan, sehingga semakin tinggi produksi dugaan, maka semakin tinggi pula indeks KL pada setiap pola dan TPL. Indeks KL ketersediaan air pada pola A ternyata lebih tinggi dibanding pol B dan C (Tabel 33). Dengan demikian, maka pola A lebih mendekati produksi lokal dibanding produksi Nasional (pola B dan C). Demikian halnya berdasarkan TPL, maka indeks KL pada TPL padi lokal lebih besar dibanding TPL padi-jagung dan TPL padi-jagung-jagung atau mengikuti deret: TPL padi lokal > TPL padi-jagung > TPL padi-jagung-jagung. Tabel 33. Indeks KL Ketersediaan Air TPL Berdasarkan Dugaan Produksi pada Berbagai Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Tanah/Lokasi Ver 1 Ver 2 Inc Mol Mol Mol TPL Padi Lokal Pola A 100 100 100 100 100 100 TPL Padi-Jagung Pola A 45 51 45 30 39 51 TPL Padi-Jagung-Jagung A 42 48 41 24 34 48 TPL Padi Lokal Pola B dan C 100 100 100 100 100 100 TPL Padi-Jagung Pola B dan C 45 51 45 30 39 51 TPL Padi-Jagung-Jagung Pola B dan C 42 48 41 24 34 48 Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo Ver Sid Inc 1 Sid Inc 2 Sid Ver Ban 100 45 42 100 45 42 95 Berdasarkan asal tanahnya, maka indeks KL untuk TPL padi lokal pola A, B dan C semua tanah mempunyai nilai yang sama (100). TPL padi-jagung pola A, B dan C indeksnya relatif bervariasi, mulai dari terendah berasal dari Vertisol 1 Molombulahe dan tertinggi dari Inceptisol 1 Sidomukti dan Inceptisol Molombulahe. Sedangkan TPL Padi-Jagung-Jagung semua pola, nilai indeks tertinggi dan terendah relatif sama dengan TPL padi-jagung, hanya berbeda pada nilainya saja. Vertisol berdasarkan KL ketersediaan air mempunyai nilai indeks lebih rendah dibanding Inceptisol pada semua TPL dan pola. Hal ini disebabkan air tersedia profil dan produksi dugaan relatif rendah, sehingga nilai indeks KL juga menjadi rendah. Menurut Firmansya (2007) bahwa produksi dugaan masingmasing komoditas TPL akan mempengaruhi pula indeks KL. KL Ketersediaan Hara Hara tanah tersedia umumnya berasal dari cadangan mineral mudah lapuk (MML). Beberapa MML yang dijumpai, antara lain albit, oligoklas, andesine, ortoklas, sanidin, anortoklas, hijau, hornblende coklat, epidot, dan enstatit (Tabel 17, 18 dan 20). Sedangkan dalam jumlah sedikit cadangan hara diperoleh dari mineral sukar lapuk (MSL), antara lain: kuarsa, zirkon dan magnetit (opak). Mineral hornblende merupakan sumber Ca dan Mg dalam tanah (Prasetyo et al. 2007) dan merupakan sumber Ca dalam tanah (Mohr et al. 1972). Mineral feldspar masih dijumpai dalam jumlah yang lebih sedikit, berupa: albit, andesin, orthoklas dan sanidin. Sanidin merupakan mineral yang tergolong K-felspar dengan kemampuan melapuk lambat dan secara kimiawi mengandung unsur K dan Na (Mohr dan Van Baren 1960). Hal ini didukung data mineralogi liat yang banyak mengandung feldspar (Tabel 21). Di samping itu, dijumpainya P tersedia yang tinggi diduga berasal dari P organik hasil pengendapan dari daerah atasnya. Secara keseluruhan, cadangan MML lebih rendah dibanding MSL pada lahan sawah, kecuali tanah dari Molombulahe yang masih relatif tinggi. Namun, hanya selisih antara 11-20% saja. Kondisi ini membutuhkan penambahan unsur hara dari luar melalui pemupukan untuk mencukupi kebutuhan hara tanaman agar pertumbuhan dan produksi tanaman tersebut optimal. Kondisi ini mempengaruhi ketersediaan hara TPL. 96 TPL Padi Lokal Padi membutuhkan hara dalam jumlah cukup banyak untuk perkembangan vegetatif maupun generatifnya. Menurut Peraturan Menteri Pertanian RI No. 40/permentan/OT.140/04/2007, untuk mencapai produksi padi sebanyak 3.5 ton ha-1, maka dibutuhkan N, P2O5, dan K2O secara berturut-turut sebanyak 125, 100, dan 50 kg dengan penambahan bahan organik sebanyak 5 ton ha-1. Jumlah hara untuk TPL padi lokal pola A hanya berasal dari tanah, tanpa penambahan pupuk sama sekali (Tabel 34). Tampaknya kandungan N dan P tersedia pada semua tanah di lokasi penelitian sangat rendah, kecuali P tersedia dari Inceptisol Molombulahe yang sangat tinggi. Sedangkan kadar K tersedia relatif tinggi sampai sangat tinggi berdasarkan kriteria Staf Pusat Penelitian Tanah (1983). TPL padi lokal pola B berdasarkan hara tersedia tanah dan penambahan 100% dosis pemupukan anjuran N, P, dan K yang masing-masing sebanyak 100, 75, dan 50 kg. Pertimbangan efisiensi pemupukan masing-masing pupuk pada tanah liat sebesar 40%, 20%, dan 60%, maka serapan hara menjadi sebesar 50 kg N ha-1, 20 kg P ha-1, dan 20 kg K ha-1 yang digunakan untuk membentuk produksi padi. Hal ini menyebabkan terjadinya penambahan jumlah hara di dalam tanah untuk mencukupi kekurangan hara beberapa unsur, tetapi untuk K justru melebihi kebutuhan hara tanaman dari pemupukan 100% anjuran (Tabel 34). Untuk unsur N dan P, walaupun sudah mendapat tambahan hara 100% dosis anjuran tetapi masih lebih rendah dari kebutuhan hara tersebut untuk tanaman padi. TPL padi lokal pola B berdasarkan pemupukan 100% dosis anjuran menunjukkan jumlah hara yang lebih banyak dari pola A dan C, kecuali N tersedia dari Inceptisol 1 Sidomukti jumlahnya lebih banyak pada pola C. Selain itu, jumlah P tersedia lebih sedikit dibanding N pada semua pedon, kecuali pada Inceptisol Molombulahe justru P tersedia lebih banyak. Hal ini sejalan dengan pernyataan Firmansyah (2007) bahwa P rendah dalam tanah umumnya karena bentuk P tersedia hanya seperempat dari jumlah N dan sering dalam bentuk P tidak larut, walaupun ditambah pupuk P tetapi bertambahnya waktu, P tersebut akan berubah menjadi bentuk sukar larut. Selanjutnya, jumlah K tersedia yang melebihi kebutuhan padi pada semua pedon dan P tersedia pada Inceptisol Molombulahe, maka tidak dihitung pemupukan preskripsinya. 97 Tabel 34. Jumlah Hara TPL Padi Lokal pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo Tanah/Lokasi Ver Inc 1 Inc 2 Ver 1 Ver 2 Inc Ver Sid Sid Sid Mol Mol Mol Ban ……………………………….. kg ha-1 ………………………….. N-tsd 9,60 9,60 11,20 8,00 24,00 17,60 14,40 A P-tsd 3,48 3,80 3,70 9,04 2,40 54,80 5,01 K-tsd 89,86 67,39 86,11 82,37 202,18 48,67 71,14 N-tsd 134,60 134,60 136,20 133,00 149,00 142,60 139,40 B P-tsd 103,48 103,80 103,70 109,04 102,40 154,80 105,01 K-tsd 139,86 117,39 136,11 132,37 252,18 98,67 121,14 N-tsd 118,20 216,13 118,73 117,67 123,00 120,87 119,80 P-tsd 82,76 82,10 82,31 71,34 84,98 79,61 C K-tsd Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, - = tidak diperlukan pemupukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia. Pola Unsur Hara Berdasarkan jumlah hara antar pola pada TPL padi lokal, maka pola A mempunyai jumlah hara terendah. Sedangkan berdasarkan penambahan hara dari pupuk, maka hara N dan K tertinggi pada pola B. Jumlah hara pola B dan C lebih mendorong dugaan produksi tertinggi dibanding pola A, kecuali untuk hara N pada Inceptisol 1 Sidomukti pola C yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa dosis preskripsi relatif telah mampu mendorong tercapainya target produksi pada semua pola dibanding pemupukan 100% anjuran, kecuali penambahan K pada pola B yang lebih tinggi dugaan produksinya dibanding pola C. Besarnya produksi dugaan sangat dipengaruhi oleh besarnya ketersediaan hara, sehingga semakin tinggi ketersediaan hara maka dugaan produksi semakin tinggi pula (Tabel 35). Tabel 35. Dugaan Produksi TPL Padi Lokal Berdasarkan Jumlah Hara pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo Tanah/Lokasi Ver Inc 1 Inc 2 Ver 1 Ver 2 Inc Ver Sid Sid Sid Mol Mol Mol Ban …..……………………………….. ton ha-1 ………..……………………….. N-tsd 0,6 0,6 0,7 0,5 1,0 0,9 0,8 P-tsd 0,4 0,4 0,4 0,8 0,2 1,6 0,5 A K-tsd 3,5 2,9 3,4 3,4 5,2 2,2 3,0 N-tsd 1,9 1,9 1,9 1,9 1,9 1,9 1,9 P-tsd 1,8 1,8 1,8 1,9 1,8 2,0 1,8 B K-tsd 4,5 4,1 4,4 4,4 5,7 3,7 4,2 N-tsd 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5 P-tsd 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5 C K-tsd Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, - = tidak ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia. Pola Unsur Hara 98 Tingginya dugaan produksi ini akan meningkatkan nilai indeks KL ketersediaan hara (Tabel 36). Hasil penilaian indeks KL menunjukkan bahwa secara keseluruhan nilai indeks KL pola C yang lebih tinggi dibanding pola A dan B, kecuali unsur hara K tersedia pada pola A dan B yang lebih tinggi dibanding unsur hara N tersedia dan P tersedia pada pola tersebut. Pengecualian untuk K tersedia pada pola C tidak ditentukan karena kadar K tersedia sudah tinggi. Nilai indeks KL paling tinggi adalah 100, tetapi terdapat juga nilai indeks KL <20, yaitu Vertisol 2 Molombulahe dengan nilai 16 saja. Nilai indeks KL tertinggi berdasarkan unsur hara adalah K tersedia pada semua pola. Sedangkan terendah adalah P tersedia. Nilai indeks KL ini nantinya akan mempengaruhi nilai indeks lahan pada setiap jenis tanah dan pola. Tabel 36. Indeks KL Ketersediaan Hara TPL Padi Lokal pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo Tanah/Lokasi Ver Inc 1 Inc 2 Ver 1 Sid Sid Sid Mol N-tsd 39 39 44 33 A P-tsd 26 29 28 53 K-tsd 100 100 100 100 N-tsd 53 53 53 53 B P-tsd 52 52 52 53 K-tsd 100 100 100 100 N-tsd 100 100 100 100 C P-tsd 100 100 100 100 K-tsd Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia. Pola Unsur Hara Ver 2 Inc Ver Mol Mol Ban 69 59 52 16 100 36 100 100 100 55 54 54 52 57 53 100 100 100 100 100 100 100 100 Ban=Bandungrejo, -= tidak Informasi di atas menunjukkan bahwa pola C dengan metode preskripsi lebih baik dibanding pola B dengan pemupukan 100% anjuran. Hal ini disebabkan pada pola C, rata-rata jumlah hara tersedia mampu memenuhi kebutuhan hara padi lokal, dan telah memperhitungkan efisiensi pemupukan. Sedangkan pola B, walaupun sudah memperhitungkan efisiensi pemupukan, tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan hara padi lokal, kecuali unsur hara K tersedia. TPL Padi-Jagung Kebutuhan hara komoditas jagung umumnya lebih besar dari padi. Hal ini disebabkan karena atribut produksi jagung lebih tinggi dibanding padi, sehingga dosis pemupukan jagung lebih banyak dibanding padi. Penggunaan pupuk 99 merupakan atribut TPL pada penggunaan teknologi. Pada tingkat produksi padi 1,5 ton ha-1 dan 5 ton ha-1 jagung pada TPL padi-jagung pola A tanpa pupuk. Pola B dengan tingkat produksi padi 3,5 ton ha-1 dan 7 ton ha-1 jagung menggunakan dosis 100% anjuran pemupukan serta pola C dengan dosis preskripsi. Untuk padi, dosis 100% anjuran yaitu 125 kg N ha-1, 100 kg P ha-1 dan 50 kg K ha-1 dengan pertimbangan efisiensi pemupukan, maka serapan hara tanaman menjadi 37,5 kg N ha-1, 49 kg P ha-1 dan 25 kg K ha-1. Sedangkan jagung, dosis 100% anjuran yaitu 150 kg N ha-1, 100 kg P ha-1 dan 120 kg K ha-1 dengan efisiensi pemupukan, maka serapan hara tanaman menjadi 90 kg N ha-1, 30 kg P ha-1, dan 60 kg K ha-1. Hal ini berpengaruh pada jumlah hara TPL ini pada pola B dan C. Sedangkan pola A sama dengan TPL padi lokal (Tabel 37). Tabel 37. Jumlah Hara TPL Padi-Jagung pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo Tanah/Lokasi Ver Inc 1 Inc 2 Ver 1 Ver 2 Inc Ver Sid Sid Sid Mol Mol Mol Ban ..……………………………….. kg ha-1 ………………………………… N-tsd 9,60 9,60 11,20 8,00 24,00 17,60 14,40 A P-tsd 3,48 3,80 3,70 9,04 2,40 54,80 5,01 K-tsd 89,86 67,39 86,11 82,37 202,18 48,67 71,14 N-tsd 159,60 159,60 161,20 158,00 174,00 167,60 164,40 P-tsd 103,48 103,80 103,70 109,04 102,40 154,80 105,01 B K-tsd 209,86 187,39 206,11 202,37 322,18 168,67 191,14 N-tsd 251,80 252,20 250,07 254,33 233,00 223,93 269,80 C P-tsd 162,04 161,31 161,83 134,57 168,48 155,13 K-tsd 121,37 116,88 120,62 119,87 113,13 117,63 Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, - = tidak ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia. Pola Unsur Hara Secara umum, jumlah hara pola C lebih banyak dibanding pola B, kecuali unsur K pada pola B pada semua jenis tanah lebih tinggi dibanding pola C. Selanjutnya, jumlah hara untuk komoditas jagung lebih banyak dibanding padi (Tabel 37). Kondisi jumlah hara pada TPL ini berpengaruh pada dugaan produksi komoditasnya (Tabel 38). Hasil dugaan produksi pada TPL ini menunjukkan bahwa pola B untuk P tersedia lebih tinggi dibanding pola A dan C. Sedangkan untuk N dan K tersedia, produksi pola C lebih tinggi dibanding pola A dan B. Untuk komoditas jagung, P tersedia lebih menentukan produksi dibanding unsur hara lainnya pada pola A. Sedangkan pada pola B, K tersedia lebih menentukan pada semua jenis tanah dibanding hara lainnya. 100 Tabel 38. Dugaan Produksi TPL Padi-Jagung Berdasarkan Jumlah Hara pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo Tanah/Lokasi Ver Inc 1 Inc 2 Ver 1 Ver 2 Inc Ver Sid Sid Sid Mol Mol Mol Ban ………………………………. ton ha-1 …………………………… N-tsd 3,8 3,8 3,9 3,7 4,4 4,1 4,0 A P-tsd 3,0 3,0 3,0 3,4 2,9 6,0 3,1 K-tsd 6,4 5,9 6,3 6,2 5,8 5,3 6,0 N-tsd 6,3 6,3 6,2 6,3 6,0 6,2 6,2 B P-tsd 7,4 7,4 7,4 7,4 7,3 7,3 7,4 K-tsd 5,6 6,2 5,7 5,8 -0,3 6,5 6,1 N-tsd 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 P-tsd 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 C K-tsd 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 7,0 Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, - = tidak ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia. Unsur Hara Pola Dugaan produksi pada TPL ini akan mempengaruhi nilai indeks KL ketersediaan hara (Tabel 39). Nilai indeks KL pada TPL ini tertinggi terdapat pada pola C. Sedangkan nilai indeks KL terendah terjadi pada pola A. Berdasarkan unsur hara, K tersedia mempunyai nilai tertinggi terjadi pada pola A dan B pada semua jenis tanah dan lokasi penelitian. Sementara nilai terendah terdapat pada P tersedia pola A. Nilai indeks KL berdasarkan hara N dan P tersedia, pola A secara keseluruhan lebih rendah dibanding pola B. Sedangkan nilai indeks KL K tersedia dan P tersedia pada Inceptisol Molombulahe pola C tidak dihitung karena dugaan produksi padi K tersedia tidak diperhitungkan. Berdasarkan lokasi penelitian, maka semua jenis tanah dari Sidomukti dan Bandungrejo memberikan nilai indeks tertinggi. Hal lain yang cukup menarik ternyata indeks KL ini pada semua jenis tanah pola C lebih tinggi dibanding pola A dan B. Tabel 39. Indeks KL Ketersediaan Hara TPL Padi-Jagung pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo Tanah/Lokasi Ver Inc 1 Inc 2 Ver 1 Ver 2 Inc Ver Sid Sid Sid Mol Mol Mol Ban N-tsd 42 42 43 40 52 48 46 P-tsd 32 33 33 40 30 72 35 A K-tsd 94 84 93 91 100 72 86 N-tsd 74 74 74 74 72 73 73 P-tsd 82 82 82 83 81 85 82 B K-tsd 93 94 93 94 50 93 94 N-tsd 100 100 100 100 100 100 100 P-tsd 100 100 100 100 100 100 C K-tsd Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, -= tidak ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia. Pola Unsur Hara 101 TPL Padi-Jagung-Jagung Pada TPL ini, data jumlah hara dan dugaan produksi baik pola A, B, dan C untuk padi dan jagung dapat dilihat pada TPL padi lokal dan TPL Padi-Jagung. Perbedaannya dengan TPL Padi-Jagung-Jagung terletak pada penambahan musim tanam jagung ke-2, sehingga perhitungan indeks KL ketersediaan hara adalah persentase dugaan produksi setiap komoditas dibandingkan dengan jumlah produksi komoditas pola TPL ini (Tabel 40). Tabel 40. Indeks KL Ketersediaan Hara TPL Padi-Jagung-Jagung pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo Tanah/Lokasi Ver Inc 1 Inc 2 Ver 1 Ver 2 Inc Ver Sid Sid Sid Mol Mol Mol Ban N-tsd 47 47 48 45 56 52 50 A P-tsd 36 37 37 43 35 77 39 K-tsd 93 84 92 90 97 73 86 N-tsd 80 80 80 80 78 79 79 P-tsd 91 91 91 92 91 93 91 B K-tsd 88 92 89 90 28 93 92 N-tsd 100 100 100 100 100 100 100 P-tsd 100 100 100 100 100 100 C K-tsd Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, - = tidak ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia. Pola Unsur Hara Pada TPL ini, nilai indeks KL ketersediaan hara pola A lebih rendah dibanding pola B dan C. Namun, pola C lebih tinggi dibanding pola B. Hal ini sejalan dengan pernyataan Firmansyah (2007) bahwa pemupukuan preskripsi mendorong pencapaian produksi lebih tinggi dibandingkan pemupukan 100% anjuran (pola B). Diduga hal ini karena pola B dengan dosis pemupukan 100% anjuran jumlah hara tersedia belum mampu meningkatkan produksi TPL ini. Indeks Lahan dan Kelas kesesuaian lahan Semua nilai indeks KL, baik KL ketersediaan air (wa) maupun ketersediaan hara (na) selanjutnya digunakan untuk menentukan nilai indeks lahan (land index) berdasarkan metode indeks lahan akar kuadrat (square root land index method). Nilai indeks lahan ini digunakan untuk menentukan kelas kesesuaian lahannya (KKL) berdasarkan Hukum Minimum Liebig. 102 TPL Padi Lokal Nilai indeks lahan untuk TPL padi lokal tertinggi secara umum terjadi pada pola C dibanding pola A dan B (Tabel 41). Hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam perhitungan indeks KL akibat perbedaan atribut produksi. Produksi padi pola A pada tingkat lokal hanya sebanyak 1,5 ton ha-1 dan produksi pada pola B serta pola C pada tingkat produksi nasional sebanyak 3,5 ton ha-1. Disamping itu, adanya perbedaan atribut teknologi pemupukan pada pola B dan C menyebabkan pola ini mengalami peningkatan produksi pada KL ketersediaan hara. Tabel 41. Indeks Lahan TPL Padi Lokal pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo Tanah/Lokasi Ver Inc-1 Inc-2 Ver-1 Vert-2 Inc Ver Sid Sid Sid Mol Mol Mol Ban N-tsd/ATP 39 39 44 33 69 59 52 A P-tsd/ATP 26 29 28 53 16 100 36 K-tsd/ATP 100 100 100 100 100 100 100 N-tsd/ATP 53 53 53 53 55 54 54 P-tsd/ATP 52 52 52 53 52 57 53 B K-tsd/ATP 100 100 100 100 100 100 100 N-tsd/ATP 100 100 100 100 100 100 100 P-tsd/ATP 100 100 100 100 100 100 C K-tsd/ATP Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, - = tidak ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia, ATP=air tersedia profil. Pola Unsur Hara/Air Tabel 42. Kelas Kesesuaian Lahan TPL Padi Lokal pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo Tanah/Lokasi Ver Inc-1 Inc-2 Ver-1 Vert-2 Inc Ver Sid Sid Sid Mol Mol Mol Ban N-tsd/ATP S3na S3na S3na S3na S2na S2na S2na P-tsd/ATP S3na S3na S3na S2na Nna S1 S3na A K-tsd/ATP S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 KKL Akhir S3na S3na S3na S3na Nna S2na S3na N-tsd/ATP S2na S2na S2na S2na S2na S2na S2na P-tsd/ATP S2na S2na S2na S2na S2na S2na S2na B K-tsd/ATP S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 KKL Akhir S2na S2na S2na S2na S2na S2na S2na N-tsd/ATP S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 P-tsd/ATP S1 S1 S1 S1 S1 S1 C K-tsd/ATP KKL Akhir S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, - = tidak ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia, ATP=air tersedia profil, KKL=kelas Kesesuaian lahan. Pola Unsur Hara/Air 103 Nilai indeks lahan 50 merupakan batas antara KKL marjinal (S3) dan agak sesuai (S2), sebagaimana tertera pada Tabel 42. Secara keseluruhan, KKL didominasi oleh agak sesuai dengan faktor pembatas ketersedian hara (S2na) dengan perbandingan 1,1 : 1 terhadap sangat sesuai (S1) dan 1,6 : 1 terhadap sesuai marjinal (S3na). Faktor pembatas dominan pada semua jenis tanah adalah P tersedia. Pada pola C, KKL semua jenis tanah adalah sangat sesuai (S1). Sementara pola B seluruhnya agak sesuai dengan pembatas ketersedian hara (S2na). Sedangkan pola A didominasi sesuai marjinal (S3na), kecuali Inceptisol Molombulahe agak sesuai (S2na) dan Vertisol 2 Molombulahe tidak sesuai karena indeks lahan P tersedia sangat rendah (Nna). TPL Padi-Jagung Nilai indeks lahan pada TPL ini relatif lebih rendah dibanding TPL padi lokal pada pola yang sama (Tabel 43). Hal ini disebabkan karena indeks KL ketersediaan hara dan air yang rendah pada TPL ini. Pada TPL ini adalah tidak ada yang mencapai nilai 75, sehingga tidak ada yang mempunyai KKL agak sesuai (S2). Pada pola A, terdapat jenis tanah yang mempunyai nilai indeks <25, yaitu pada perbandingan antara P tersedia dengan air tersedia profil (ATP), kecuali Inceptisol Molombulahe >25 dan pada perbandingan antara N tersedia dengan ATP dari Vertisol 1 Molombulahe. Rendahnya nilai indeks ini karena rendahnya ketersediaan hara tanah. Pola B dan C, nilai indeks lahan seluruhnya dipengaruhi oleh ketersediaan air dengan nilai >25 (Tabel 44). Tabel 43. Indeks Lahan TPL Padi-Jagung pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo Tanah/Lokasi Pola Ver Inc-1 Inc-2 Ver-1 Vert-2 Inc Ver Sid Sid Sid Mol Mol Mol Ban N-tsd/ATP 28 30 29 22 32 34 31 P-tsd/ATP 22 23 22 19 19 43 23 A K-tsd/ATP 44 46 43 29 39 43 42 N-tsd/ATP 38 43 39 26 33 43 39 B P-tsd/ATP 40 46 41 28 35 47 41 K-tsd/ATP 43 49 44 29 28 49 44 N-tsd/ATP 45 51 45 30 39 51 45 P-tsd/ATP 45 51 45 30 39 45 C K-tsd/ATP Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, -= tidak ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia, ATP=air tersedia profil. Unsur Hara 104 Tabel 44. Kelas Kesesuaian Lahan TPL Padi-Jagung pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo Tanah/Lokasi Pola Ver Inc-1 Inc-2 Ver-1 Vert-2 Inc Ver Sid Sid Sid Mol Mol Mol Ban N-tsd/ATP S3na S3na S3na Nna S3wa S3na S3wa P-tsd/ATP Nna Nna Nna Nwa Nna S3wa Nna A K-tsd/ATP S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa KKL Akhir Nna Nna Nna Nwa Nna S3na Nna N-tsd/ATP S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa P-tsd/ATP S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa B K-tsd/ATP S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa KKL Akhir S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa N-tsd/ATP S3wa S3na S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa P-tsd/ATP S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa C K-tsd/ATP KKL Akhir S3wa S3na S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, -= tidak ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia, ATP=air tersedia profil, KKL=kelas Kesesuaian lahan. Unsur Hara/Air Pada pola A, KKL semua pedon tidak sesuai dengan faktor pembatas ketersediaan hara (Nna), kecuali Vertisol 1 Molombulahe tidak sesuai dengan pembatas ketersediaan air (Nwa) dan Inceptisol Molombulahe sesuai marjinal dengan pembatas ketersediaan air (S3na). Sedangkan pola B dan C, semua jenis tanah mempunyai KKL sesuai marjinal dengan pembatas ketersediaan air (S3wa). TPL Padi-Jagung-Jagung Nilai indeks lahan pada TPL ini ternyata lebih rendah dibanding pada TPL padi-jagung dan padi lokal. Hal ini terlihat dari tidak adanya nilai indeks >50 (Tabel 45). Padahal nilai indeks >50 merupakan batas nilai untuk KKL agak sesuai (S2). Di samping itu, lebih banyak jenis tanah yang mempunyai nilai indeks lahan <25. Nilai indeks ini menyebabkan KKL TPL ini tidak ada yang sangat sesuai dan agak sesuai (Tabel 46). Pada TPL ini, jumlah jenis tanah dan lokasi yang mempunyai KKL sesuai marjinal (S3) lebih banyak dibanding tidak sesuai (N). Pada pola A, KKL yang dominan adalah tidak sesuai dengan faktor pembatas ketersediaan hara (Nna) dan ketersediaan air (Nwa), dengan perbandingan 1 : 1, kecuali Inceptisol 1 Sidomukti dan Vertisol Bandungrejo sesuai marjinal dengan pembatas ketersediaan hara (S3na) serta Inceptisol Molombulahe sesuai marjinal dengan pembatas ketersediaan air (S3wa). 105 Tabel 45. Indeks Lahan TPL Padi-Jagung-Jagung pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo Tanah/Lokasi Pola Ver Inc-1 Inc-2 Ver-1 Vert-2 Inc Ver Sid Sid Sid Mol Mol Mol Ban N-tsd/ATP 28 32 29 16 26 35 30 A P-tsd/ATP 23 26 24 16 20 42 25 K-tsd/ATP 40 44 40 23 34 41 39 N-tsd/ATP 37 43 37 22 30 42 37 B P-tsd/ATP 40 46 39 23 33 46 40 K-tsd/ATP 39 46 39 23 18 46 40 N-tsd/ATP 42 48 41 24 34 48 42 P-tsd/ATP 42 48 41 24 34 42 C K-tsd/ATP Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, -= tidak ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia, ATP=air tersedia profil. Unsur Hara Pada pola B, KKL didominasi sesuai marjinal dengan faktor pembatas ketersediaan air (S3wa), kecuali Vertisol 1 dan 2 Molombulahe tidak sesuai dengan pembatas yang sama (Nwa). Sedangkan pola C, KKL didominasi sesuai marjinal dengan pembatas ketersediaan air (S3wa), kecuali Vertisol 1 Molombulahe yang KKLnya tidak sesuai dengan pembatas ketersediaan air (Nwa). Salah satu penyebab jenis tanah Vertisol Bandungrejo pola A mempunyai faktor pembatas ketersediaan hara karena tanah sawah ini merupakan sawah irigasi yang lebih intensif penanaman padinya. Tabel 46. Kelas Kesesuaian Lahan TPL Padi-Jagung-Jagung pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo Tanah/Lokasi Pola Ver Inc-1 Inc-2 Ver-1 Vert-2 Inc Ver Sid Sid Sid Mol Mol Mol Ban N-tsd/ATP S3wa S3wa S3wa Nwa S3wa S3wa S3wa P-tsd/ATP Nna S3na Nna Nwa Nwa S3wa S3na A K-tsd/ATP S3wa S3wa S3wa Nwa S3wa S3wa S3wa KKL Akhir Nna S3na Nna Nwa Nwa S3wa S3na N-tsd/ATP S3wa S3wa S3wa Nwa S3wa S3wa S3wa P-tsd/ATP S3wa S3wa S3wa Nwa S3wa S3wa S3wa B K-tsd/ATP S3wa S3wa S3wa Nwa Nwa S3wa S3wa KKL Akhir S3wa S3wa S3wa Nwa Nwa S3wa S3wa N-tsd/ATP S3wa S3wa S3wa Nwa S3wa S3wa S3wa P-tsd/ATP S3wa S3wa S3wa Nwa S3wa S3wa C K-tsd/ATP KKL Akhir S3wa S3wa S3wa Nwa S3wa S3wa S3wa Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, -= tidak ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia, ATP=air tersedia profil, KKL=kelas Kesesuaian lahan. Unsur Hara/Air 106 Rekomendasi Tipe Penggunaan Lahan (TPL) Lahan sawah yang selama ini digunakan untuk pertanian harus dikelola secara optimal, lestari dan berkelanjutan (sustainable). Lahan secara optimal digunakan untuk menghasilkan produksi komoditas yang tinggi dan secara stabil mempertahankan serta meningkatkan produksi yang telah dicapai dengan kegiatan pertanian yang lestari. Menurut Howard (1990), sistem pertanian berkelanjutan merupakan suatu sistem bertani yang mengarahkan manusia lebih besar, efisiensi penggunaan sumberdaya lebih besar dan setimbang dengan kondisi lingkungannya. Berkelanjutan, selanjutnya dijadikan asas dalam penggunaan lahan agar pengguna lahan berlaku adil bagi generasi yang akan datang dalam memperoleh kesempatan untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut. Meningkatnya kebutuhan pangan dan persaingan dalam penggunaan lahan memerlukan pemikiran yang seksama dalam mengambil keputusan pemanfaatan lahan yang paling menguntungkan dari sumberdaya lahan yang terbatas (Sitorus 1998). Sementara itu juga, pemanfaatan lahan yang lestari dan berkelanjutan merupakan tuntutan saat ini dan masa mendatang. Hal ini sejalan dengan pernyataan Djaenudin et al. (2003) bahwa penggunaan lahan yang optimal memerlukan keterkaitan antara karakteristik dan kualitasnya. Penyebabnya adalah adanya keterbatasan dalam penggunaan lahan sesuai dengan karakteristik dan kualitas lahannya, jika dihubungkan dengan pemanfaatan lahan secara lestari dan berkelanjutan. Berdasarkan indeks lahan dan KKL, maka disusun rekomendasi TPL agar pengguna lahan dapat mengelola dan memanfaatkan lahan secara optimal, lestari dan berkelanjutan (Tabel 47). Rekomendasi TPL dibagi dalam tiga bagian, yaitu rekomendasi penuh, rekomendasi bersyarat dan tidak direkomendasikan. Rekomendasi TPL penuh ditujukan bagi jenis tanah dan pola yang mempunyai KKL sangat sesuai (S1) dan agak sesuai (S2) dengan faktor pembatas ketersediaan hara. Rekomendasi bersyarat ditujukan bagi jenis tanah dan pola yang mempunyai KKL S2 dengan faktor pembatas ketersediaan air dan sesuai marjinal (S3) serta S3 dengan faktor pembatas ketersediaan hara. Sedangkan tidak direkomendasikan ditujukan bagi jenis tanah dan pola yang mempunyai KKL tidak sesuai (N). 107 Tabel 47. Rekomendasi TPL pada Beberapa Jenis Tanah dan Lokasi Jenis Tanah/Lokasi Vertisol Sidomukti Rekomendasi Penuh TPL padi lokal pola B dan C Inceptisol 1 Sidomukti TPL padi lokal pola B dan C Inceptisol 2 Sidomukti TPL padi lokal pola B dan C Vertisol 1 Molombulahe TPL padi lokal pola B dan C Vertisol 2 Molombulahe TPL padi lokal pola B dan C Inceptisol Molombulahe TPL padi lokal pola A, B dan C Vertisol Bandungrejo TPL padi lokal pola B dan C Rekomendasi Tipe Penggunaan Lahan (TPL) Rekomendasi Bersyarat Tidak Direkomendasikan TPL padi lokal pola A; TPL padi-jagung pola B dan C TPL padi-jagung pola A TPL padi-jagung-jagung pola B dan C TPL padi-jagung-jagung pola A TPL padi lokal pola A; TPL padi-jagung pola B dan C TPL padi-jagung pola A TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C TPL padi lokal pola A; TPL padi-jagung pola B dan C TPL padi-jagung pola A TPL padi-jagung-jagung pola B dan C TPL padi-jagung-jagung pola A TPL padi lokal pola A TPL padi-jagung pola A TPL padi-jagung pola B dan C TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C TPL padi-jagung pola B dan C TPL padi lokal pola A; TPL padi-jagung pola A TPL padi-jagung-jagung pola C TPL padi-jagung-jagung pola A dan B TPL padi-jagung pola A; TPL padi-jagung pola B dan C TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C TPL padi lokal pola A; TPL padi-jagung pola B dan C TPL padi-jagung pola A TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C 107 108 Semua TPL yang direkomendasikan penuh untuk setiap jenis tanah dan lokasi adalah TPL padi lokal pola B dan C, kecuali Inceptisol Molombulahe, baik pola A, B dan C direkomendasikan penuh untuk dapat diterapkan. Hal ini disebabkan setiap jenis tanah dan lokasi dengan TPL-TPL ini mempunyai KKL akhir sangat sesuai (S1) dan agak sesuai (S2) dengan faktor pembatas ketersediaan air dan hara. Rekomendasi TPL bersyarat terdapat pada Vertisol Sidomukti dan Inceptisol 2 Sidomukti yang terdiri dari TPL padi lokal pola A atau TPL padi-jagung pola B dan C atau TPL padi-jagung-jagung pola B dan C; Inceptisol 1 Sidomukti, Incentisol Molombulahe dan Vertisol Bandungrejo yang terdiri dari TPL padi lokal pola A atau TPL padi-jagung pola B dan C atau TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C; Vertisol 1 Molombulahe yang terdiri dari TPL padi lokal pola A atau TPL padi-jagung pola B dan C. Sedangkan Vertisol 2 Molombulahe yang terdiri dari TPL padi-jagung pola B dan C atau TPL padi-jagung-jagung pola C. Hal ini disebabkan setiap jenis tanah dan lokasi dengan TPL-TPL ini mempunyai KKL akhir sesuai marjinal (S3) dengan faktor pembatas ketersediaan air dan hara. Untuk TPL-TPL yang tidak direkomendasikan terdapat pada Vertisol Sidomukti dan Inceptisol 2 Molombulahe yang terdiri dari TPL padi-jagung pola A atau TPL padi-jagung-jagung pola A; Inceptisol 1 Molombulahe dan Vertisol Bandungrejo, yaitu TPL padi-jagung pola A; Vertisol 1 Molombulahe yang terdiri dari TPL padi-jagung pola A atau TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C. Sedangkan pada Vertisol 2 Molombulahe terdiri dari TPL padi lokal pola A atau TPL padi-jagung pola A atau TPL padi-jagung-jagung pola A dan B. Hal ini disebabkan setiap jenis tanah dan lokasi dengan TPL-TPL ini mempunyai KKL akhir tidak sesuai (N). Selanjutnya, sebaran rekomendasi TPL pada Toposekuen di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 35, 36, 37, 38, 39 dan 40. 109 m dpl Inceptisol 2 Sidomukti: TPL padi lokal pola B dan C Inceptisol 1 Sidomukti: TPL padi lokal pola B dan C Vertisol Sidomukti: TPL padi lokal pola B dan C 70 60 elevasi 50 Vertisol Bandungrejo: TPL padi lokal pola B dan C 40 0 m 2000 700 600 Jarak Horisontal Gambar 35. Sebaran TPL dengan Rekomendasi Penuh pada Toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo m dpl Inceptisol Molombulahe: TPL padi lokal pola A, B dan C 60 elevasi 50 Vertisol 2 Molombulahe: TPL padi lokal pola B dan C Vertisol 1 Molombulahe: TPL padi lokal pola B dan C 40 30 0 m Jarak Horisontal 800 1700 109 Gambar 36. Sebaran TPL dengan Rekomendasi Penuh pada Toposekuen di Molombulahe 110 m dpl 70 60 Vertisol Bandungrejo: TPL padi lokal pola A TPL padi-jagung pola B dan C TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C 50 elevasi Vertisol Sidomukti: TPL padi lokal pola A TPL padi-jagung pola B dan C TPL padi-jagung-jagung pola B dan C Inceptisol 1 Sidomukti: TPL padi lokal pola A TPL padi-jagung pola B dan C TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C Inceptisol 2 Sidomukti: TPL padi lokal pola A TPL padi-jagung pola B dan C TPL padi-jagung-jagung pola B dan C 40 0 m 2000 700 600 Jarak Horisontal Gambar 37. Sebaran TPL dengan Rekomendasi Bersyarat pada Toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo Inceptisol Molombulahe: TPL padi lokal pola A TPL padi-jagung pola B dan C TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C m dpl 60 elevasi 50 Vertisol 2 Molombulahe: TPL padi-jagung pola B dan C TPL padi-jagung-jagung pola C Vertisol 1 Molombulahe: TPL padi lokal pola A TPL padi-jagung pola B dan C 40 30 0 m Jarak Horisontal 800 1700 Gambar 38. Sebaran TPL dengan Rekomendasi Bersyarat pada Toposekuen di Molombulahe 110 111 m dpl Inceptisol 2 Sidomukti: TPL padi-jagung pola A TPL padi-jagung-jagung pola A Inceptisol 1 Sidomukti: TPL padi-jagung pola A 60 50 Vertisol Bandungrejo: TPL padi-jagung pola A elevasi Vertisol Sidomukti: TPL padi-jagung pola A TPL padi-jagung-jagung pola A 70 40 0 m 2000 700 600 Jarak Horisontal Gambar 39. Sebaran TPL yang Tidak Rekomendasi pada Toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo m dpl Inceptisol Molombulahe: - 60 Vertisol 2 Molombulahe: TPL padi lokal pola A TPL padi-jagung pola A TPL padi-jagung-jagung pola A dan B 50 elevasi Vertisol 1 Molombulahe: TPL padi-jagung pola A TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C 40 30 0 m Jarak Horisontal 800 1700 Gambar 40. Sebaran TPL yang Tidak Rekomendasi pada Toposekuen di Molombulahe 111 112 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Semua pedon telah berkembang dengan adanya horison B tetapi pedon TSI lebih berkembang dibanding TSTH dan TLK. Pedon TSI telah mengalami pelapukan lebih intensif dibanding TSTH dan TLK, walaupun belum lanjut. Proses pembentukan tanah utama pada pedon TSTH, TSI dan TLK, yaitu: eluviasi, iluviasi, liksiviasi, pedoturbasi, braunifikasi dan gleisasi, kecuali pedon TLK dari Molombulahe yang tidak mengalami proses gleisasi. 2. Faktor utama pembentuk tanah semua pedon adalah iklim, umur, topografi dan aktifitas manusia. 3. Pedon PNS1 diklasifikasikan sebagai Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik; pedon PNS2 diklasifikasikan sebagai Endoaquept Vertik, halus, smektitik, isohipertermik; pedon PNS3 diklasifikasikan sebagai Epiaquept Vertik, halus, smektitik, isohipertermik; pedon PNS-LK diklasifikasikan sebagai Eutrudept Tipik, berlempung halus, smektitik, isohipertermik; pedon PNB diklasifikasikan sebagai Epiaquert Ustik, halus, campuran, aktif, isohipertermik; pedon PNM1 diklasifikasikan sebagai Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik; pedon PNM2 diklasifikasikan sebagai Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik; pedon PNM3 diklasifikasikan sebagai Epiaquept Aerik, halus, smektitik, isohipertermik; dan pedon PNM-LK diklasifikasikan sebagai Eutrudept Tipik, halus, smektitik, isohipertermik. 4. Kelas kesesuaian lahan (KKL) untuk TPL padi lokal paling tinggi adalah sangat sesuai (S1) dan terendah tidak sesuai dengan faktor pembatas yang sama (Nna). TPL padi-jagung dan TPL padi-jagung-jagung, KKL tertinggi adalah sesuai marjinal dengan faktor pembatas ketersediaan hara dan air (S3na dan S3wa), sementara terendah tidak sesuai dengan faktor pembatas ketersediaan air dan hara (Nna dan Nwa). Potensi TSTH relatif sama dengan TSI. Rekomendasi TPL penuh terdiri dari TPL padi lokal pola B dan C, kecuali Inceptisol Molombulahe terdiri dari TPL padi lokal pola A, B dan C. TPL-TPL sisa direkomendasikan bersyarat dan tidak direkomendasikan. 113 6.2 Saran 1. Penggunaan Vertisol maupun Inceptisol dengan sifat vertik hendaknya mempertimbangkan karakteristik fisik tanah, terutama sifat mengembang (swelling) dan mengkerutnya (shringking). Upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan menjaga kelembaban tanah dan penambahan bahan organik, baik secara in situ (jerami padi) maupun ex situ (sumber luar). 2. Pilihan penggunaan lahan hendaknya mengacu pada besar kecilnya faktor pembatas utama penggunaan lahan tersebut. Untuk faktor pembatas ketersediaan air relatif sukar diperbaiki pada tingkat pengetahuan dan kemampuan petani saat ini. Sedangkan faktor pembatas ketersediaan hara dapat diperbaiki dengan penambahan pupuk anorganik sesuai kebutuhan optimal masing-masing komoditi yang diusahatanikan. 114 DAFTAR PUSTAKA Allen BL, BF Hajek. 1989. Mineral occurance in soil environment. Di dalam: JB Dixon and SB Weed (Eds); Minerals in soil environtments. Soil Sci Soc Am. Madison, Wisconsin, 199-278. Allen RG, Pereira LS, Raes D, Smith M. 1998. Crop evapotranspiration: guidelines for computing crop water requirement. Rome: FAO p.300. Abdullah TS. 2006. Buku lapang untuk pendekripsian dan pengambilan contoh tanah berdasarkan Taksonomi Tanah USDA. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor. Aqil M, IU Firmansyah, M Akil. 2008. Pengelolaan air tanaman jagung. Di dalam: Jagung; teknik produksi dan pengembangan. Maros: Balai Penelitian Serealia Departemen Pertanian RI. Arabia T. 2009. Karakteristik tanah sawah pada toposekuen berbahan induk volkan di daerah Bogor-Jakarta [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Black CA. 1967. Soil-plant relationships. New York: John Wiley and Sons. Birkeland PW. 1974. Pedology, weathering and geomorphological research. New York: Oxford University Press. Buol SW, FD Hole, RJ McCracken. 1980. Soil genesis and classification. 2nd Ed. the Iowa State Univ Press, Ames. Briendly GW, CC Kao, JL Harison, M Lipsicas, R Raythatha. 1986. Relation between structural disorder and other characteristics of kaolinite and dickites. Clays and Clay Mineral 34:239-249. Blume HP. 1988. The fate of iron during soil formation in humed-temperate environments. Di dalam: Stucki JW, BA Goodman, U Schwertmann (Eds). iron in soils and clay minerals. D Riedel Publ Co. Dordrecht 794-777. Borchardt GA. 1989. Montmorillonite and other smectite minerals. Di dalam: JB Dixon and SB Weed (Eds); Minerals in soil environtments. Soil Sci Soc Am. Madison, Wisconsin. Bohor BF, AL Meier. 1990. Rare earth element abudance of tonsteins and cretaceous-tertiary claystones by introduction couple plasma mass spectrometry. Denver USA. Lunar and Planetary Institute NASA LPSC XXI: 109-110 Bahcri S, Sukido, Ratman N. 1993. Peta geologi lembar tilamuta, Sulawesi Skala 1 : 250.000. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. [BP2TP] Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2002. Pemilihan farming system zone penelitian, pengkajian dan diseminasi teknologi pertanian di BP2TP Provinsi Gorontalo. Laporan Hasil Penelitian. Bogor: BP2TP Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian RI. 115 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Indonesia tahun 2004. Jakarta: BPS Republik Indonesia. [BPS] Badan Pusat Statistik, Provinsi Gorontalo. 2008. Gorontalo dalam angka tahun 2005/2006. Gorontalo: BPS Provinsi Gorontalo. [BPS] Badan Pusat Statistik, Kabupaten Boalemo. 2008. Kabupaten boalemo dalam angka tahun 2007/2008. Tilamuta: BPS Kabupaten Boalemo. [BPS] Badan Pusat Statistik, Kabupaten Gorontalo. 2008. Kabupaten gorontalo dalam angka tahun 2007/2008. Limboto: BPS Kabupaten Gorontalo. Chesters G, OJ Ottoe, ON Allen. 1957. Soil aggregation in relation to various soil constituents. Soil Science Society of America Proc. 21 : 276. Dudal R, M Soepraptohardjo. 1957. Soil classification in Indonesia. Bogor: Cont. Gen Agr. Res. Sta. No. 148. Driessen. 1971. Kesesuaian lahan secara parametrik. Bogor: Lembaga Penelitian Tanah. De Coninck F. 1974. Physico-chemical aspect of pedogenesis. Belgium: State University of Ghent. Desaunettes JR. 1977. Catalogue of landform for Indonesia. Working Paper No 13. Bogor: Soil Research of Indonesia. Dent FJ. 1978. Land suitability classification. Di dalam: IRRI; soil and paddy. Los Banos, Philippines. 273-294. Donker NHW. 1987. A Computer programme to calculate water balance. lecture note. Netherlands: ITC Enschede. Dixon JB. 1989. Kaolin and serpentine group minerals. Di dalam: JB Dixon and SB Weed (Eds); Minerals in soil environtments. Soil Sci Soc Am. Madison, Wisconsin, 467-525. Driessen PM, R Dudal . 1989. Lecture note on geography, formation, properties and use of major soils of the world. Agricultural University Wageningen the Netherlands and Khatolieke Universiteit Leuven, Belgium. Djaenuddin D, Hendrisman M, Hardjosusastro S, Hidayat A. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Jakarta: Balai Penelitian Tanah Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian RI. Djaenuddin D, Hendrisman M. 2005. Evaluasi lahan secara kuantitatif: studi kasus pada tanaman jagung, kacang tanah dan kacang hijau di daerah paguyaman Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Jurnal Tanah dan Lingkungan 7:27-35. Departemen Pertanian RI. 2008. Produksi padi nasional. Jakarta: Departemen Pertanian RI. Edmeades G, HR Lafitte, J Balanos, S Chapman, M Banziger, J Deutsch. 1994. Developing maize that tolerates drought or low nitrogen condition. Maize Program Special Report. Mexico: CIMMYT DF. 116 [FAO] Food and Agriculture Organization, the United Nation. 1976. A framework for land evaluation. Soils Bulletin 32:12-16. [FAO] Food and Agriculture Organization, the United Nation. 1985. Guidelines: land evaluation for irrigated agriculture. Soils Bulletin 55: 231. [FAO] Food and Agriculture Organization, the United Nation. 1991. Guidelines: land evaluation for extensive grazing. Soils Bulletin 58: 158. [FAO] Food and Agriculture Organization, the United Nation. 1995. Planning for sustainable use of land resources: towards a new approach. FAO Land and Water Bulletin 2. Villa belle terme di Caracalla: 00100 Rome Italy. Fadly AF. 1993. Efisiensi Penggunaan Pupuk Nitrogen Untuk Pertanaman Jagung pada Tanah Grumusol Jeneponto dan Latosol Bulukumba. Makalah Disampaikan pada Seminar Mingguan Balittan Maros. Firmansyah MA. 2007. Karakteristik dan resiliensi tanah terdegradasi di lahan kering Kalimantan Tengah [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ghildyal BP. 1978. Effect of compaction and puddling on soil physical properties and rice growth. Di dalam: Soils and rice. Los Banos Laguna Phillipines: IRRI. hlm 317-336. Gong Z. 1986. Origin, evolution and classification of paddy soils in china. Advanced in Soil Science 5:179-200. Goenadi DH, KH Tan. 1989. Micromorphology and mineralogy of illuviated clay in a Davidson soil. Soil Sci Soc Am J 53:967-971. Gupta PC, O’toole CJ. 2000. Upland paddy a global perspective. Los Banos Laguna Phillipines: IRRI. hlm 360. Howeler RH. 1973. Iron-induced oranging deseases of rice in relation of physicochemical changes in a flooded oxisols. Soil Sci Soc Am J 37:898-903. Hurlbut CSJr, C Klein. 1977. Manual of mineralogy (after JD Dana). 19th Edition. New York: John Wiley and Sons. Howard RR. 1990. A history of sustainable agriculture. Di dalam: Edwards CA, R Lal, P Madden, RH Miller, G House. 1990. Sustainable agriculture systems. Ankeny Iowa: Soil and Water Conservation Society, 3-19. Harjowigeno S. 1993. Klasifikasi tanah dan pedogenesis. Edisi ke-1 Cetakan ke-1. Jakarta: Akademika Pressindo. Hillel D. 1998. Pengantar fisika tanah. Terjemahan Intriduction to soil physisc oleh RH Susanto, RH Purnomo. Yogyakarta: Mitra Gama Widya. Jackson MC. 1968. Weathering of primery and secondary minerals in soil. Adeleide of Australia: Trans Int. Cougr. Soil Sci 9th 4: 281-292. Juo ASR, F Adams. 1986. Chemistry of LAC soils. Proc of a low activity clay (LAC) soils. SMSS technical monograph No 14:37-62. Jumberi A, Imberan M, Nurita. 1994. Pemupukan kalium padi gogo di lahan kering beriklim basah Kalimantan Selatan. Buletin Penelitian Kindai 5:23-30. 117 Koenigs FFFR. 1950. A ‘sawah’ profile near Bogor (Java). Bogor: Contri of General Agriculture Research Station. Kleis HJ, JB Fahrenbacher. 1973. Loess distribution as revealed by mineral variations. Soil Sci Soc Am J 37:291-295. Kanno I. 1978. Genesis of rice soils with special reference to profil development. Di dalam : Soils and rice. Los Banos Laguna Philippines: IRRI. hlm 237-254. Karim MJ, WA Adams. 1984. Relationships between sesquoxides, kaolinite, and phosphate sorption in a catena of oxisols in Malawi. Soil Sci Soc Am J 48:406-409. Kasryno, F. 2002. Perkembangan produksi dan konsumsi jagung dunia selama empat dekade yang lalu dan implikasinya bagi Indonesia. Makalah disampaikan pada Diskusi Nasional Agribisnis Jagung di Bogor, 24 Juni 2002. Bogor: Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian RI. Kyuma K. 2004. Paddy soil science. Kyoto Jepang dan Victoria Australia: Kyoto University Press dan Trans Pacific Press. Kumarawarman B. 2008. Lingkungan pengendapan lakustrin [tesis]. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Lim CH, ML Jackson, RD Koons, PA Helmke. 1980. Kaolins: sources of differences in cation-exchange capacities and cesium retention. Clays Clay Mineralogy 28:223-229. Lesniawati E, B Mulyanto, D Tjahyandari. 2000. Perimbangan unsur hara penting pada sistem tanah sawah. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 3:17-24. Leiwakabessy F, A Sutandi. 2004. Diktat kuliah pupuk dan pemupukan. Bogor: Departemen Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. hlm 208. Mohr EGJ, FA Van Baren, J Van Schuylenborgh. 1972. Tropical soil. Third Edition. Hague Paris-Jakarta. Merchant RJ. 1978. Metallogenesis in the thames–tapu area coromandel peninsula, New Zealand [Ph.D Thesis]. University of Auckland. Moormann FR. 1978. Morphology and classification of soils on which rice is grown. Di dalam: Soils and rice. Los Banos Laguna Philippines: IRRI. hlm 255-274. Moormann FR, Breemen NV. 1978. Rice: soil, water, land. Los Banos Laguna Philippines: IRRI. Nettleton WD, KW Flach, RE Nelson. 1970. Pedogenic weathering of tonalite in southern California. Geoderma 4: 387-402. Notohadiprawiro KRTM, S Soekodarmodjo, S Wisnubroto, E Sukana, M Dradjat. 2006. Pelaksanaan irigasi sebagai salah satu unsur hidromeliorasi lahan. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Oldeman LR, Darmiyati, S. 1977. An agroclimatic map of sulawesi scale 1 : 2.500.000. Bulletin No ke-60. Bogor: Contri Centre Research Institute of Agriculture. 118 [PPT] Pusat Penelitian Tanah. 1983. Terms of reference survei kapabilitas tanah no 22/1983. Bogor: Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi (P3MT) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian RI. Paddy TJJr, SW Buol, SB Weed. 1985. Soil saprolite profiles derived from mafic rock in north California piedmon; chemical, morphological and mineralogical characteristics and transformation. Soil Sci Soc Am J 49: 171-178. Prasetyo BH. 1990. Penuntun analisa mineral tanah. Bogor: Pusat Penelitian dan Agroklimat. Prasetyo BH, M Soekardi, H Subagyo. 1996. Tanah-tanah sawah intensifikasi di jawa: susunan mineral, sifat kimia dan klasifikasinya. Pemberitaan Penelitian tanah dan Pupuk 14:12-24. Prasetyo BH, RJ Gilkes. 1997. Properties of kaolinite from oxisols and alfisols in west java. Agrivita 20 (4): 220-227. Pirngadi K, AK Makarim. 2006. Peningkatan produktivitas padi pada lahan sawah tadah hujan melalui pengelolaan tanaman terpadu. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 25: 116-123. Peraturan Menteri Pertanian RI No. 40/permentan/OT.140/04/2007 Tanggal 11 April 2007 tentang rekomendasi pemupukan npk pada padi sawah spesifik lokasi. Prasetyo BH. 2007. Perbedaan sifat-sifat tanah vertisol dari berbagai bahan induk. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 9:20-31. Prasetyo BH, H Suganda, A Kasno. 2007. Pengaruh bahan volkan pada sifat tanah sawah. Jurnal Tanah dan Iklim 259:45-57. Prasetyo BH, D Setyorini. 2008. Karakteristik tanah sawah dari endapan aluvial dan pengelolaannya. Jurnal Sumberdaya Lahan 2:1-14. Ruhe RV. 1956. Geomorphic surface and the nature of soil. Soil Sci Journal 82:441-445. Rachim DA. 1994. Karakterisasi tanah berliat aktivitas rendah dan pengaruh besi oksida terhadap beberapa sifat tanah [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rachim DA. 2003. Mengenal taksonomi tanah. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas pertanian Institut Pertanian Bogor. Rachim DA. 2007. Dasar-dasar genesis tanah. Bogor : Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas pertanian Institut Pertanian Bogor. Rayes ML. 2000. Karakteristik, genesis dan klasifikasi tanah sawah berasal dari bahan volkan merapi [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rayes ML. 2007. Metode inventarisasi sumberdaya lahan. Yogyakarta: CV. Andi Offset. 119 Schmidt FH, JHA Ferguson. 1951. Rainfall type based on wet and dry period ratios for indonesia with western new guinea. Verh No.42. Jakarta: Jawatan Meteorologi dan Geofisik. Soepraptohardjo M. 1961. Tanah merah di Indonesia. Pemberitaan Balai Besar Penyuluhan Pertanian 161:1-22. Salter PJ, Berry G, William JB. 1966. The influence of texture on moisture characteristics of soils; quantitative relationships between particle size, composition and available-water capacity. Jurnal of Soil Science 17(1): 93-98 Segalen P. 1971. Metallic oxides and hydroxides in soil warm and humid areas of the world: formation, identification, evolution. Di dalam: Eswaran DH. Soils and tropical weathering. Paris: UNESCO 25-38. Soepardi G. 1983. Sifat dan ciri tanah. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Staf Peneliti Pusat Penelitian Tanah. 1983. Term of referrence klasifikasi kesesuaian lahan. Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi (P3MT) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian RI. Bogor: PPT. Sudjito D. 1986. Pengaruh status air tersedia terhadap evapotranspirasi, koefisien tanaman dan pertumbuhan empat varitas padi gogo [Skripsi]. Bogor: Jurusan geofisika dan meteorologi fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor. Suwardjo, Prawirosumantri J. 1987. Land degradation in Indonesia: data collection and analysis. Di dalam: report of expert consultation of the asian network on problem soil. Bangkok: Thailand 25 to 29 October 1993. RAPA publ 1994/3. FAO p.121-136. Schwertmann U, RM Taylor. 1989. Iron oxides. Di dalam: JB Dixon and SB Weed (Eds); Minerals in soil environtments. Soil Sci Soc Am. Madison, Wisconsin, 379-438. Sys C, E van Ranst, Debayeve J. 1991. Land evaluation part I: principles in land evaluation and crop production calculations. Brussel-Belgium: Agricultural publication no 7. hlm 274. Sanchez PA. 1993. Sifat dan pengelolaan tanah tropika. Bandung: ITB. Sitorus RP. 1998. Evaluasi sumberdaya lahan. Bandung: Tarsito. Sirappa MP. 2002. Penentuan batas kritis dan dosis pemupukan N untuk tanaman jagung di lahan kering pada tanah typic usthorthents. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 3(2): 25-37. Subandi, I Manwan. 2003. Teknologi dan peningkatan produksi jagung di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Departemen Pertanian RI. Setyorini D, LR Widowati, S Rochayati. 2004. Teknologi pengelolaan hara tanah sawah intensifikasi. Di dalam: Agus F, A Adimiharja, S Harjowigeno, AM Fagi, W Hartatik (Eds); Tanah sawah dan teknologi pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 137-168. 120 Soil Survey Staff. 1975. Soil taxonomy: a basic system of soil classification fot making and interpreting soil surveys. Agric Handbook No ke-436. Washington DC: USDA-Soil Conservation Service Agric. U.S Goverment Printing Office. Soil Survey Division Staff. 1993. Soil survey manual. Handbook No ke-18. Washington DC: USDA. Soil Survey Staff. 1998. Key of soil taxonomy. Ed ke-8. Washington DC: USDANatural Resources Concervation Service. Soil Survey Staff. 1999. Soil taxonomy: a basic system of soil classification fot making and interpreting soil surveys. 2nd Ed. Agric Handbook No ke-436. Washington DC: USDA-Soil Conservation Service Agric. U.S Goverment Printing Office. Soil Survey Staff. 2006. Key of soil taxonomy. Ed ke-10. Washington DC: USDA-Natural Resources Concervation Service. Soil Survey Staff. 2010. Key of soil taxonomy. Ed ke-11. Washington DC: USDA-Natural Resources Concervation Service. Syarifuddin, Saidah, A Ardjanhar, C Manopo, D Setyiorini. 2004. Kajian rekomendasi pemupukan P dan K untuk tanaman jagung di lahan kering. Palu Biromaru Sulawesi Tengah: Balai Pengkajian Teknologi (BPTP). Suharta N. 2007. Sifat dan karakteristik tanah dari batuan sedimen masam di Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal Tanah dan Iklim 25:11-26. Suharta N, BH Prasetyo. 2008. Susunan mineral dan sifat fisiko-kimia tanah bervegetasi hutan dari batuan sedimen masam di Provinsi Riau. Jurnal Tanah dan Iklim 28:1-14. Suyamto, Toha HM, P Hamdan, MY Sumaullah, TS Kadir, F Agus. 2008. Petunjuk teknis pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah tadah hujan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian RI. Thornthwaite CW, JR Mathers. 1957. Instruction and table for computing potential evapotranspiration and water balance. Conterto: Publ. Clim. Rol. X No.3. Tisdale SL, WL Nelson. 1975. Soil fertility and fertilizers. Fourth Edition. New York: MacMillan Publ. Co, Inc. Tan KH. 1998. Principles of soil chemistry. Third Edition, Revised and Expanded. Basel Swiztzerland: Marcel Dekker AG, Inc. Uehara G, G Gilman. 1981. The mineralogy, chemistry, and physics of tropical soils with variable charge clays. Colorado USA: Westriew Press Inc Boulder. Van Bemmelen RW. 1949. The geology of Indonesia; general geology of indonesia and adjacent archipelagoes. Vol ke-1A. Hague: Goverment Printing Office. Van Schuylenborgh J. 1971. Weathering and soil forming processes in the tropics. Di dalam: Eswaran DH (Ed). Soils and tropical weathering. Paris: UNESCO 39-50. 121 Van Wambeke A. 1984. Application of the newhall model for the determination of soil climate regimes in south-asia. The Fifth Asean Soil Conference Proceeding D: 7.10-7.19. Van Wambeke A, P Hastings, P Tolomeo. 1986. New simulation model (NSM) for mositure regimes. New York: Dept Agric Bradfield Hall, Cornell University. Van Diepen CA, H Van Keulen, J Wolf, JAA Berkhout. 1991. Land evaluation: from instuition to quantification, in Advaces in Soil Science, Stewart BA, Editor. New York Springer, 139-203. Wilson MJ, PW Cradwick. 1972. Occurance and interstratified kaolinitemontmorillonite in some scottish soils. Clay Mineralogy 9: 435-437. Wade LJ, S Fukai, BK Samson, A Ali, MA Mazid. 1999. Rainfed lowland rice: physical environment and cultivar requirements. Di dalam: Field Crop Research 64:3-12. Manila: IRRI. 122 Lampiran 1 : Deskripsi Profil Tanah a. Pedon 1 : PNS1 Lokasi Klasifikasi Tanah Taksonomi (USDA) PPT FAO/UNESCO Bahan Induk Posisi Fisiografik Topografi Elevasi Drainase Kedalaman Air Tanah Vegetasi Kedalaman (cm) 0-12 : Desa Sidomukti, Mootilango : : : : : : : : : : Endoaquert Ustik Grumusol Eutrik Cambisol Endapan Danau Kaki Lereng, Depresi Datar-Landai; Lereng <2% 58 m dpl Buruk Dangkal Padi (Oryza sativa L.) Horison Uraian Apg1 Kelabu (10YR 5/1); lempung berliat; struktur masif; sangat lekat, plastis; perakaran halus, banyak; jelas rata 12-31 Apg2 Kelabu (10YR 5/1); lempung berliat; struktur gumpal bersudut, halus, lemah; sangat lekat, plastis; karatan coklat (10YR 5/3), biasa, halus, jelas, bintik, tajam; perakaran halus, banyak; berangsur rata 31-53 Bwg1 Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur gumpal bersudut sedang, lemah; sangat lekat, plastis; perakaran halus, sedikit; baur rata 53-71/92 Bwg2 Kelabu (10YR 6/1); liat; struktur gumpal bersudut, kasar, lemah; sangat lekat, plastis; jelas berombak. 71/92-119 Bwssg Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur gumpal bersudut, sedang, sedang; sangat lekat, plastis; ada bidang kilir; karatan coklat (10YR 5/3), biasa, halus, jelas, tabung, jelas; baur rata. 119-150 BCg1 Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur gumpal bersudut, kasar, kuat; sangat lekat, plastis; karatan coklat (10YR 5/3), biasa, halus, jelas, tabung, jelas; jelas rata. 150-200 BCg2 Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; sangat lekat, sangat gembur; baur rata. 123 b. Pedon 2 : PNS2 Lokasi Klasifikasi Tanah Taksonomi (USDA) PPT FAO/UNESCO Bahan Induk Posisi Fisiografik Topografi Elevasi Drainase Kedalaman Air Tanah Vegetasi Kedalaman (cm) 0-10 : Desa Sidomukti, Mootilango : : : : : : : : : : Endoaquept Vertik Gleisol Vertik Cambisol Endapan Danau Punggung Lereng, Patahan, Depresi Berombak; Lereng 4% 59 m dpl Buruk Dangkal Padi (Oryza sativa L.) Horison Uraian Apg1 Coklat kekelabuan (10YR 5/2); lempung; struktur masif; lekat, plastis; perakaran halus, banyak; berangsur rata. 10-31 Apg2 Coklat kekelabuan (10YR 5/2); lempung; struktur gumpal bersudut, sedang, lemah; lekat, plastis; perakaran halus, banyak; jelas rata. 31-64 Bwg1 Kelabu terang kecoklatan (10YR 6/2); lempung berliat; struktur gumpal bersudut, sedang, lemah; sangat lekat, plastis; perakaran halus, sedang; baur nyata. 64-84/103 Bwg2 Kelabu terang kecoklatan (10YR 6/2); liat; struktur gumpal bersudut, sedang, lemah; sangat lekat, plastis; karatan coklat (10YR 5/3), sedikit, halus, baur, bintik, tajam; jelas berombak. 84/103-150 Bwg3 Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur gumpal bersudut, sedang, sedang; sangat lekat, plastis; karatan coklat (10YR 5/3), sedikit, halus, baur, bintik, tajam; baur rata. 150-200 BCssg1 Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur sedang, sedang, gumpal bersudut, sangat lekat, sangat plastis, ada bidang kilir, baur rata. >200 BCssg2 Kelabu gelap (10YR 4/1), liat, struktur gumpal bersudut, sedang, sedang; sangat lekat, sangat plastis; ada bidang kilir; baur rata. 124 c. Pedon 3 : PNS3 Lokasi Klasifikasi Tanah Taksonomi (USDA) PPT FAO/UNESCO Bahan Induk Posisi Fisiografik Topografi Elevasi Drainase Kedalaman Air Tanah Vegetasi Kedalaman (cm) 0-10 : Desa Sidomukti, Mootilango : : : : : : : : : : Epiaquept Vertik Gleisol Eutrik Cambisol Endapan Danau Puncak Lereng, Patahan, Depresi Berombak; Lereng 6% 62 m dpl Buruk Dangkal Padi (Oryza sativa L.) Horison Uraian Apg Kelabu sangat gelap (7,5YR 3/1); lempung berliat; struktur masif; sangat lekat, teguh; perakaran halus, banyak, sedang, banyak, kasar, sedikit; nyata rata. 10-34 Bw Coklat (7,5YR 4/3); lempung berliat; struktur gumpal bersudut, halus, lemah; agak lekat, teguh; perakaran halus, banyak; nyata berombak. 34-61 Bwg1 Coklat (7,5YR 5/2); liat; struktur gumpal bersudut, sedang, lemah; agak lekat, teguh; perakaran halus, banyak, sedang, banyak, kasar, sedikit; nyata berombak. 61-86 Bwg2 Coklat kemerah mudaan (7,5YR 6/2); lempung; struktur gumpal bersudut, kasar, lemah; agak lekat, teguh; perakaran halus, banyak, sedang, banyak, kasar, sedikit; nyata berombak. 86-120 Bwssg Coklat kemerah mudaan (7,5YR 7/2); liat; struktur gumpal bersudut, sedang, sedang; agak lekat, teguh; ada bidang kilir; karatan kuning kemerahan (7,5YR 7/6), banyak, sedang, baur, bintik, jelas; perakaran halus, banyak, sedang, banyak, kasar, sedikit; nyata berombak. 120-150 Bwss Merah muda (7,5YR 7/3); liat; struktur gumpal bersudut, kasar, kuat; tidak lekat, teguh; ada bidang kilir; karatan kuning kemerahan (7,5YR 7/8), banyak, sedang, baur, bintik, jelas; perakaran halus, banyak, sedang, banyak, kasar, sedikit; nyata berombak. 125 d. Pedon 4 : PNS-LK Lokasi Klasifikasi Tanah Taksonomi (USDA) PPT FAO/UNESCO Bahan Induk Posisi Fisiografik Topografi Evaluasi Drainase Kedalaman Air Tanah Vegetasi Kedalaman (cm) 0-11 : Desa Sidomukti, Mootilango : : : : : : : : : : Eutrudept Tipik Kambisol Tipik Cambisol Endapan Danau Kaki Lereng, Datar Datar; Lereng <2% 60 m dpl Baik Dangkal Kelapa (Cocos nucivera L.) Horison Uraian Ap1 Coklat (7,5YR 4/3); lempung; struktur masif; lekat, plastis, gembur; perakaran halus, banyak, sedang, banyak, kasar, sedikit; berangsur rata. 11-29 Ap2 Coklat (7,5YR 4/3); lempung berdebu; struktur gumpal, halus-sedang, lemah; lekat, plastis, gembur; perakaran halus, banyak, sedang, banyak, kasar, sedikit; baur rata. 29-61 Bw1 61-91 Bw2 Coklat (7,5YR 4/4); lempung berdebu; struktur gumpal bersudut, halus-sedang, sedang; lekat, plastis, gembur; perakaran halus, banyak, sedang, banyak, kasar, sedikit; nyata berombak. Coklat (7,5YR 4/4); lempung berpasir; struktur gumpal, halus-sedang, lemah; agak lekat, agak plastis, gembur; perakaran halus, banyak, sedang, banyak, kasar, sedikit; baur rata. 91-130 Bw3 Coklat (7,5YR 5/4); lempung berdebu; struktur gumpal, halus-sedang, lemah; lekat, plastis, gembur; perakaran halus, banyak, sedang, sedikit, kasar, sedikit; baur rata. 130-200 BC1 Coklat kuat (7,5YR 5/6); lempung; struktur gumpal, halus-sedang, lemah; lekat, plastis, gembur; perakaran halus, sedikit, sedang, sedikit, kasar, sedikit; jelas rata. >200 BC2 Coklat kuat (7,5YR 5/6); lempung; struktur gumpal, halus-sedang, lemah; lekat, plastis, gembur; karatan coklat kemerahan (5YR 4/4), banyak, sedang, baur, tabung, jelas; perakaran halus, sedikit, sedang, sedikit, kasar, sedikit; baur rata. 126 e. Pedon 5 : PNM1 Lokasi Klasifikasi Tanah Taksonomi (USDA) PPT FAO/UNESCO Bahan Induk Posisi Fisiografik Topografi Elevasi Drainase Kedalaman Air Tanah Vegetasi Kedalaman (cm) 0-21 : Desa Sosial, Paguyaman : : : : : : : : : : Endoaquert Ustik Grumusol Eutrik Cambisol Endapan Danau Kaki Lereng, Depresi Datar-Landai; Lereng <2% 42 m dpl Buruk Dangkal Padi (Oryza sativa L.) Horison Uraian Apg1 Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur masif; agak lekat, plastis; karatan coklat (10YR 4/3), sedikit, halus, baur, bintik, tajam; perakaran halus, banyak; berangsur rata. 21-37 Apg2 Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur gumpal bersudut, halus, lemah; agak lekat, plastis; perakaran halus, sedikit; berangsur rata. 37-60 Bwg1 Kelabu (10YR 6/1); liat; struktur gumpal bersudut, halus, sedang; agak lekat, plastis; berangsur rata. 60-80 Bwg2 Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur prismatik, halus, lemah; agak lekat, plastis; perakaran halus, banyak; berangsur rata. 80-103 Bwg3 Kelabu (10YR 5/1); lempung berliat; struktur prismatik, halus, lemah; lekat, plastis; nyata rata. 103-200 BCg Kelabu terang (10YR 7/1); liat; struktur prismatik, halus, lemah; lekat, plastis; karatan coklat terang (7,5YR 6/3), sedang, sedang, jelas, bintik, jelas; nyata rata. 127 f. Pedon 6 : PNM2 Lokasi Klasifikasi Tanah Taksonomi (USDA) PPT FAO/UNESCO Bahan Induk Posisi Fisiografik Topografi Ketinggian dari Laut Drainase Kedalaman Air Tanah Vegetasi Kedalaman (cm) 0-14 : Desa Sosial, Paguyaman : : : : : : : : : : Endoaquert Ustik Grumusol Eutrik Cambisol Endapan Danau Punggung Lereng, Depresi Berombak; Lereng 4% 50 m dpl Buruk Dangkal Padi (Oryza sativa L.) Horison Uraian Apg Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur masif; agak lekat, plastis; perakaran halus, banyak, sedang banyak, kasar banyak; berangsur rata. 14-30 Bwg Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur gumpal bersudut, sedang, lemah; agak lekat, plastis; karatan coklat (10YR 5/3), banyak, sedang, baur, bintik, tajam; perakaran halus banyak, sedang sedikit; jelas rata. 30-56 Bssg1 Coklat kelabu gelap (10YR 4/2); liat; struktur prismatik, sedang, lemah; lekat, plastis; ada bidang kilir; perakaran halus, sedikit, sedang sedikit; berangsur rata. 56-87 Bssg2 Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur prismatik, halus, lemah; agak lekat, plastis; ada bidang kilir; berangsur rata. 87-120 Bssg3 Coklat kelabu gelap (10YR 4/2); liat; struktur prismatik, sedang, lemah; agak lekat, plastis; ada bidang kilir; karatan coklat kuning gelap (10YR 4/4), sedikit, halussedang, baur, bintik, tajam; perakaran halus, sedikit, sedang sedikit; berangsur rata. 120-200 BCssg Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur prismatik, halus, lemah; agak lekat, plastis; ada bidang kilir; berangsur rata. 128 g. Pedon 7 : PNM3 Lokasi Klasifikasi Tanah Taksonomi (USDA) PPT FAO/UNESCO Bahan Induk Posisi Fisiografik Topografi Elevasi Drainase Kedalaman Air Tanah Vegetasi Kedalaman (cm) 0-10 : Desa Sosial, Paguyaman : : : : : : : : : : Epiaquept Aerik Gleisol Eutrik Cambisol Endapan Danau Puncak Lereng, Depresi Berombak; Lereng 6% 61 m dpl Baik Dalam Padi (Oryza sativa L.) Horison Uraian Apg1 Kelabu gelap (7,5YR 4/1); lempung; struktur masif; lekat, teguh; perakaran halus, banyak, sedang banyak, kasar sedikit; jelas rata. 10-28 Apg2 Kelabu gelap (7,5YR 4/1); lempung; struktur gumpal bersudut, sedang, lemah; lekat, teguh; karatan coklat (7,5YR 5/4), sedang, halus, baur, bintik, tajam; perakaran halus, banyak, sedang banyak, kasar sedikit; jelas rata. 28-54 Bwg Coklat (7,5YR 4/2); lempung; struktur gumpal, sedang, lemah; agak lekat, teguh; perakaran halus, sedang, sedang sedikit; jelas rata. 54-81 Bw2 Coklat (7,5YR 4/3); lempung; struktur gumpal, sedang, lemah; agak lekat, teguh; karatan hitam (7,5YR 2,5/1), sedang, sedang, baur, bintik, tajam; perakaran halus, sedikit; jelas rata. 81-100 BC1 Coklat (7,5YR 4/4); lempung berliat; struktur kolumnar, sedang, sedang; lekat, teguh; karatan hitam (7,5YR 2,5/1), sedang, sedang, baur, bintik, tajam; perakaran halus sedikit; jelas rata. 100-150 BC2 Coklat (7,5YR 5/3); lempung berliat; struktur kolumnar, sedang, kuat; agak lekat, teguh; karatan coklat kuat (7,5YR 5/6), sedang, sedang, baur, bintik, tajam; perakaran halus, sedikit; jelas rata. 129 h. Pedon 8 : PNM-LK Lokasi Klasifikasi Tanah Taksonomi (USDA) PPT FAO/UNESCO Bahan Induk Posisi Fisiografik Topografi Elevasi Drainase Kedalaman Air Tanah Vegetasi Kedalaman (cm) 0-11 : Desa Sosial, Paguyaman : : : : : : : : : : Eutrudept Tipik Kambisol Eutrik Cambisol Endapan Danau Punggung Lereng, Depresi Berombak; Lereng 4% 50 m dpl Baik Dalam Kelapa (Cocos nucivera L.) Horison Uraian Apg Kelabu sangat gelap (10YR 3/1); lempung berliat; struktur masif; agak lekat, sangat teguh; perakaran halus, banyak, sedang banyak, kasar, sedikit; jelas rata. 11-29 Ap2 Coklat (10YR 4/3); lempung berliat; struktur gumpal, halus, kuat; agak lekat, sangat teguh; karatan merah kekuningan (5YR 4/6), sedikit, halus, baur, bintik, tajam; perakaran halus, banyak, sedang, banyak, kasar, banyak; berangsur rata. 29-51 Bw1 Coklat kuning gelap (10YR 4/6); liat; struktur gumpal, kasar, kuat; lekat, sangat teguh; karatan coklat kekuningan (10YR 5/6), banyak, halus, baur, bintik, jelas; perakaran halus, sedikit; berangsur rata. 51-73 Bw2 Coklat kuning gelap (10YR 4/6); liat berpasir; struktur gumpal, kuat, kasar; agak lekat, sangat teguh; karatan coklat kekuningan (10YR 5/6), banyak, halus, baur, bintik, jelas; perakaran halus, sedikit; berangsur rata. 73-100 BC Coklat kekuningan (10YR 5/4); liat, struktur gumpal, kasar, kuat; agak lekat, sangat teguh; karatan kelabu sangat gelap (10YR 3/1), banyak, halus, baur, bintik, jelas; perakaran halus, sedikit; baur rata. 130 i. Pedon 9 : PNB Lokasi Klasifikasi Tanah Taksonomi (USDA) PPT FAO/UNESCO Bahan Induk Posisi Fisiografik Topografi Ketinggian dari Laut Drainase Kedalaman Air Tanah Vegetasi Kedalaman (cm) 0-20 : Desa Bandung Rejo, Boliyohuto : : : : : : : : : : Epiaquert Ustik Grumusol Eutrik Cambisol Endapan Danau Kaki Lereng, Depresi Datar; Lereng <2% 44 m dpl Buruk Dalam Padi (Oryza sativa L.) Horison Uraian Apg1 Kelabu kemerahan (2,5YR 6/1); lempung liat berdebu; struktur masif; agak lekat, plastis; karatan coklat kuning gelap (10YR 4/6), banyak, sedang, baur, bintik, tajam; perakaran halus, banyak; nyata rata. 20-40 Apg2 Merah lemah (2,5YR 5/2); lempung liat berdebu; struktur gumpal bersudut, halus, lemah; lekat, plastis; perakaran halus, banyak; nyata berombak. 40-47 Bwg1 Merah pucat (2,5YR 6/2); lempung berliat; struktur gumpal bersudut, halus, kuat; agak lekat, plastis; berangsur rata. 47-59 Bw2 Merah (2,5YR 5/6); liat berdebu; struktur gumpal bersudut, halus, kuat; lekat, plastis; berangsur rata. 59-107 Bw3 Merah (2,5YR 5/6); liat; struktur gumpal bersudut, halus, lemah; sangat lekat, plastis; nyata rata. 107-119 BCg Kelabu kemerahan (2,5YR 5/1); liat berdebu; struktur gumpal, halus, lemah; sangat lekat, plastis; karatan coklat kekuningan (10YR 5/6), banyak, kasar, baur, bintik, tajam; berangsur rata. 119-150 BCssg1 Kelabu kemerahan gelap (2,5YR 4/1); liat; struktur datar, halus, kuat; sangat lekat, plastis; ada bidang kilir; berangsur rata. 150-200 BCssg2 Kelabu kemerahan gelap (2,5YR 3/1); liat; struktur datar, halus, kuat; sangat lekat, plastis; ada bidang kilir; berangsur rata. 131 Lampiran 2 : Susunan Mineral Fraksi Pasir Pada Pedon Pewakil yang Diteliti Si02-organik Lapukan mineral Fragmen batuan Gelas vulkanis Albit Oligoklas Andesin Labradorit Ortoklas Sanidin Anortoklas Hornblende hijau Hornblende coklat Augit Hiperstin Epidot Turmalin Andalusit Enstatit Monasit PNS1 (Endoaquert Ustik) Bwg2 53-71/93 2 Sp 21 37 BCg2 150-201 2 Sp 22 28 PNS2 (Endoaquept Vertik) Bwg2 64-84/103 1 Sp 27 51 BCssg3 >201 1 Sp 20 60 PNM1 (Endoaquert Ustik) Bwg1 37-60 6 Sp 25 5 PNM3 (Endoaquept Aerik) Bwg 28-54 5 Sp 25 13 PNM-LK (Dystrudept Tipik) Bw1 29-51 7 20 6 PNB (Epiaquert Ustik) Bw1 40-47 2 Sp 27 12 Keterangan : Sp = sedikit; - = tidak terdapat. Limonit Kuarsa bening Kuarsa keruh Kedalaman (cm) Zirkon Horison Opak Fraksi Total 1 - - 2 2 17 28 Sp - 4 4 Sp Sp Sp Sp 1 4 1 2 3 3 1 Sp 8 4 - Sp Sp Sp - 1 1 Sp - - 1 Sp Sp - - Sp - 11 4 - 2 1 1 1 Sp 2 1 5 Sp 2 4 3 Sp Sp 1 1 - - - 1 Sp Sp - Sp Sp - Sp - 1 7 - 3 - 1 4 5 1 Sp 9 1 - - 32 - - Sp - - - Sp 3 - 5 Sp 2 11 4 3 Sp 19 - - - 9 - - 1 - 1 - 1 5 - 2 - Sp 2 2 Sp Sp 13 Sp - - 40 - - 1 - 1 Sp 2 38 Sp 5 Sp - Sp 2 7 1 Sp - Sp Sp 3 - - Sp - 131 132 Lampiran 3 : Kriteria Penilaian Sifat-Sifat Kimia Tanah Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi C (%) N (%) C/N P2O5 HCl (mg/100 g)* P2O5 Bray (ppm) P2O5 Olsen (ppm) K2O HCl 25% (mg/100 g) K-total (ppm) KTK (me/100 g) Susunan Kation : K (me/100 g) Na (me/100 g) Mg (me/100 g) Ca (me/100 g) Kejenuhan Basa (%) Kejenuhan Al (%) <1,00 <0,1 <5 <10 <10 <4,5 <10 <100 <5 1,00-2,00 0,1-0,2 5-10 10-20 10-15 4,5-11,5 10-20 100-200 5-16 2,01-3,00 0,21-0,5 11-15 21-40 16-25 11,6-22,8 21-40 210-400 17-24 3,01-5,00 0,51-0,75 16-25 41-60 26-35 >22,8 41-60 410-600 25-40 >5,00 >0,75 >25 >60 >35 >60 >600 >40 <0,2 <0,1 <0,4 <2 <20 <10 0,4-0,5 0,4-0,7 1,2-2,0 6-10 36-60 21-30 0,6-1,0 0,8-1,0 2,1-8,0 11-20 61-75 31-60 >1,0 >1,0 >8,0 >20 >75 >60 Sangat Masam Masam 0,2-0,3 0,1-0,3 0,4-1,1 2-5 20-35 10-20 pH H2O: Agak Masam 5,6-6,5 Sifat Tanah Netral Agak Alkali 7,6-8,5 Alkali <4,5 4,5-5,5 6,6-7,5 >8,5 Keterangan : *) 1 mg/100 g = 1 mg/100.000 mg = 10 mg/1000.000 mg = 10 mg/kg = 10 ppm **) 1 ppm = 1 mg/kg ***) me/100 g = cmol (+)/kg Sumber : Staf Peneliti Pusat Penelitian Tanah (1983) 133 Lampiran 4 : Data Komponen Iklim di Daerah Penelitian Tabel 1. Data Curah Hujan Beberapa Stasiun Iklim di Daerah Paguyaman No 1 2 Nama Stasiun Molombulahe Sidodadi Altitut (m dpl) 46 44 J 91 134 F 48 53 M 48 101 A 111 127 Data Curah Hujan (mm) Bulan J J A S O 121 118 37 41 59 68 71 81 31 42 M 100 264 RKT N 113 83 D 134 113 Jumlah Rataan 1.021 1.112 85 93 BB BK ZAK 0 1 6 8 E3 E4 Kriteria Aqiuc Aqiuc Tabel 2. Data Suhu Udara dan Suhu Tanah Beberapa Stasiun Iklim di Daerah Paguyaman No 1 2 Nama Stasiun Molombulahe Sidodadi Altitut (m dpl) 43 44 Suhu (0oC) J 28 27 F 27 26 M 27 26 A 28 28 M 26 28 J 26 27 Bulan J 25 26 A 26 27 S 26 27 RST O 26 28 N 27 27 D 28 27 Jumlah Rataan 320 324 26,67 27,00 Nilai 29,17 29,50 Kriteria Isohipertermik Isohipertermik Tabel 3. Data Kelembaban Udara Beberapa Stasiun Iklim di Daerah Paguyaman No Nama Stasiun Kelembaban Udara (%) Bulan Altitut (m dpl) J F M A M J J A S O N D Jumlah Rataan 1 Molombulahe 43 72 65 69 66 76 62 68 52 43 68 66 58 765 63,75 2 Sidodadi 44 91 90 87 89 90 92 90 88 85 90 92 92 1076 89,67 Jumlah Rataan 554 46,17 Tabel 4. Data Panjang Penyinaran Matahari di Stasiun Iklim Sidodadi Kecamatan Boliyohuto Kabupaten Gorontalo No 1 Nama Stasiun Sidodadi Altitut (m dpl) 44 J 43 F 48 M 52 A 48 M 44 Panjang Penyinaran Matahari (%) Bulan J J A S 39 45 52 52 O 46 N 43 D 42 Keterangan : BB = bulan basah; BK = bulan kering; ZAK = zona agroklimat; RKT = rejim kelembaban tanah; RST=rejim suhu tanah. 133 134 Lampiran 5 : Hasil Analisis Rejim Suhu Tanah Dan Rejim Kelembaban Tanah di Daerah Penelitian a. Station : Sidodadi Elevation : 45 Latitude : 0o41’ N Longitude : 122o38’ E Country : Indonesia Annual rainfall : 1112 mm Temperature regime : Isohyperthermic Moisture regime : Ustic SOIL CLIMATE REGIME ACCORDING TO NEWHALL COMPUTATION (Soil temp.= air temp.+2.5oC ; amplit. reduced by 1/3) JAN FEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEP OCT NOV DEC 127.0 264.0 68.0 71.0 81.0 31.0 42.0 83.0 113.0 28.0 27.0 26.0 27.0 27.0 28.0 27.0 27.0 127.5 145.1 140.9 153.7 140.9 145.1 Monthly rainfall (mm) 134.0 53.0 101.0 Monthly air temperature (Celcius) 27.0 26.0 26.0 28.0 Monthly evapotranspiration (Thornthwaite), mm 145.1 115.2 127.5 149.3 153.7 140.9 MOISTURE CALENDAR 1 = dry ; 2 = m/d ; 3 = moist 1 x x x x x x x x x x x x x 15 x x x x x x x x x x x x x x 30 JAN 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 FEB 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 MAR 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 APR 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 MAY 2 3 3 3 2 1 1 2 2 3 3 3 2 1 1 1 2 3 3 3 2 1 1 1 2 3 3 2 2 1 1 1 2 3 3 2 2 1 1 1 2 3 3 2 2 1 1 1 2 3 3 2 2 1 1 1 2 3 3 2 2 1 1 1 2 3 3 2 2 1 1 1 2 3 3 2 1 1 1 1 2 3 3 2 1 1 1 1 2 3 3 2 1 1 1 1 2 3 3 2 1 1 1 1 2 3 3 2 1 1 1 1 2 3 3 2 1 1 1 1 3 3 3 2 1 1 2 2 3 3 3 2 1 1 2 2 3 3 3 2 1 1 2 2 3 3 3 2 1 1 2 2 3 3 3 2 1 1 2 2 3 3 3 2 1 1 2 2 3 3 3 2 1 1 2 2 3 3 3 2 1 1 2 2 3 3 3 2 1 1 2 2 3 3 3 2 1 1 2 2 3 3 3 2 1 1 2 2 3 3 3 2 1 1 2 2 3 3 3 2 1 1 2 2 3 3 3 2 1 1 2 2 3 3 3 2 1 1 2 2 JUN JUL AUG SEP OCT NOV DEC Number of Cumulative days that Moisture Control Section During one year is Highest Number of Consecutive days that the MSC is When soil temp is above 5 deg. C Moist in some parts Dry after summer Moist after winter DRY M/D MOIST DRY M/D MOIST YEAR T>8 Solstice Solstice 128 154 78 128 154 78 143 143 52 0 * Computed by BASIC program NSM November 1986 Tentative Subdivision : Aridic Tropustic 135 b. Station : Molombulahe Elevation : 46 Latitude : 0o38’ N Longitude : 122o34’ E Country : Indonesia Annual rainfall : 1021 mm Temperature regime : Isohyperthermic Moisture regime : Ustic SOIL CLIMATE REGIME ACCORDING TO NEWHALL COMPUTATION (Soil temp.= air temp.+2.5oC ; amplit. reduced by 1/3) JAN FEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEP OCT NOV DEC 91 48.0 48.0 111.0 100.0 Monthly air temperature (Celcius) 121.0 118.0 37.0 41.0 59.0 113.0 134.0 25.0 24.0 25.0 25.0 25.0 26.0 27.0 127.5 114.5 111.2 114.5 127.3 145.1 Monthly rainfall (mm) 27.0 26.0 26.0 27.0 25.0 Monthly evapotranspiration (Thornthwaite), mm 145.1 118.5 131.1 114.5 111.2 99.5 MOISTURE CALENDAR 1 = dry ; 2 = m/d ; 3 = moist 1 x x x x x x x x x x x x x 15 x x x x x x x x x x x x x x 30 JAN 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 FEB 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 MAR 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 APR 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 MAY 2 2 2 3 2 1 1 2 2 2 2 3 2 1 1 2 2 2 2 3 2 1 1 2 2 2 2 3 2 1 1 2 2 2 2 3 2 1 1 2 2 2 2 3 2 1 1 2 2 2 2 3 2 1 1 2 2 2 2 3 2 1 1 2 2 2 2 3 2 1 1 2 2 2 2 3 2 1 1 2 2 2 2 3 1 1 1 2 2 2 2 3 1 1 1 2 2 2 2 3 1 1 1 2 2 2 2 3 1 1 1 2 2 2 2 3 1 1 1 2 2 2 3 3 1 2 2 2 2 2 3 3 1 2 2 2 2 2 2 3 1 2 2 2 2 2 2 3 1 2 2 2 2 2 2 3 1 2 2 2 2 2 2 3 1 2 2 2 2 2 2 3 1 2 2 2 2 2 2 3 1 2 2 2 2 2 2 3 1 2 2 2 2 2 2 3 1 2 2 2 2 2 2 3 1 2 2 2 2 2 2 3 1 2 2 2 2 2 2 3 1 2 2 2 2 2 2 3 1 2 2 2 2 2 2 3 1 2 2 2 JUN JUL AUG SEP OCT NOV DEC Number of Cumulative days that Moisture Control Section During one year is Highest Number of Consecutive days that the MSC is When soil temp is above 5 deg. C Moist in some parts Dry after summer Moist after winter DRY M/D MOIST DRY M/D MOIST YEAR T>8 Solstice Solstice 123 195 42 123 195 42 145 145 35 0 * Computed by BASIC program NSM November 1986 Tentative Subdivision : Aridic Tropustic 136 Lampiran 6. Nilai ETo Berdasarkan Metode Blaney-Criddle di Daerah Penelitian Unsur Bulan t o ( C) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 27 26 26 28 28 27 26 27 27 28 27 27 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 27 26 26 27 25 25 24 25 25 25 26 27 f ETo (mm hari-1) Sidomukti dan Badungrejo 5.5 3.3 5.4 3.2 5.4 3.2 5.6 3.4 5.6 3.4 5.5 3.3 5.4 3.2 5.5 3.3 5.5 3.3 5.6 3.4 5.5 3.3 5.5 3.3 Molombulahe 5.6 3.3 5.4 3.3 5.4 3.3 5.5 3.3 5.3 3.2 5.3 3.2 5.2 3.1 5.3 3.2 5.3 3.2 5.3 3.2 5.4 3.3 5.6 3.3 ETo (mm bulan-1) 102.5 90.5 100.2 101.5 104.9 99.2 100.2 99.2 99.2 104.9 99.2 102.5 103.5 91.4 101.0 99.7 98.8 95.6 96.5 95.6 95.6 98.8 97.9 103.5 t=suhu udara rata-rata bulanan, f=p(0.46t+8), Rhmin=high, n/N=<0.6 low, ETo=evapotranspirasi potensial (mm) 137 Lampiran 7. Kadar Air Tanah pada Kapasitas Lapang, Titik Layu Permanen dan WHC untuk Tanaman per 7.5 cm Lapisan Tanah di Daerah Paguyaman Gorontalo Lapisan KL TLP WHC cm …………………… mm ……………… Vertisol Sidomukti 0-7.5 76.59 51.18 25.41 7.5-15 57.44 38.39 19.06 15-22.5 38.30 25.59 12.71 22.5-30 19.15 12.80 6.35 Jumlah 191.48 127.95 63.53 Inceptisol Sidomukti 0-7.5 78.03 54.90 23.13 7.5-15 58.52 41.18 17.35 15-22.5 39.02 3.66 35.36 22.5-30 19.51 1.83 17.68 Jumlah 195.08 101.57 93.51 Inceptisol Sidomukti 0-7.5 72.33 46.68 25.65 7.5-15 54.25 35.01 19.24 15-22.5 36.17 23.34 12.83 22.5-30 18.08 11.67 6.41 Jumlah 180.83 116.70 64.13 Vertisol Bandungrejo 0-7.5 73.89 47.88 26.01 7.5-15 55.42 35.91 19.51 15-22.5 36.95 23.94 13.01 22.5-30 18.47 11.97 6.50 Jumlah 184.73 119.70 65.03 Vertisol Molombulahe 0-7.5 65.25 48.42 16.83 7.5-15 48.94 36.32 12.62 15-22.5 32.63 24.21 8.42 22.5-30 16.31 12.11 4.21 Jumlah 163.13 121.05 42.08 Vertisol Molombulahe 0-7.5 85.20 62.43 22.77 7.5-15 63.90 46.82 17.08 15-22.5 42.60 31.22 11.39 22.5-30 21.30 15.61 5.69 Jumlah 213.00 156.08 56.93 Inceptisol Molombulahe 0-7.5 107.28 69.00 38.28 7.5-15 80.46 51.75 28.71 15-22.5 53.64 34.50 19.14 22.5-30 26.82 17.25 9.57 Jumlah 268.20 172.50 95.70 KL=kapasitas lapang, TLP=titik layu permanen, WHC=water holding capacity 138 Lampiran 8. Kondisi Ketersediaan Air Bulanan TPL Padi Lokal pada Lahan Sawah dan Jenis Tanah di Daerah Paguyaman Gorontalo Unsur 4 5 Bulan (mm)/Lokasi 6 7 1 2 3 8 9 10 11 12 ETo ETo50 ETc ETc Padi CH75 CHE90 CHE90ETc ATP Ver ATP Inc 1 ATP Inc 2 ATP Ver 102.5 51.3 14.9 90.5 45.3 13.6 100.2 50.1 52.6 99.2 49.6 34.7 99.2 49.6 14.4 104.9 52.4 15.2 99.2 49.6 14.4 102.5 51.3 14.9 100.5 90.5 39.8 35.8 52.6 75.8 68.2 53.3 95.3 85.7 62.9 198.0 178.2 59.5 51.0 45.9 60.1 53.3 47.9 34.7 60.8 54.7 23.3 20.9 31.5 28.4 62.3 56.0 84.8 76.3 75.6 22.2 15.5 32.4 115.3 -13.6 -12.2 19.9 6.5 13.1 41.6 61.4 63.53 63.53 63.53 63.53 63.53 49.93 51.33 63.53 63.53 63.53 63.53 63.53 93.51 93.51 93.51 93.51 93.51 79.91 81.31 93.51 93.51 93.51 93.51 93.51 64.13 64.13 64.13 64.13 64.13 50.53 51.93 64.13 64.13 64.13 64.13 64.13 65.03 65.03 65.03 65.03 65.03 65.03 65.03 65.03 65.03 103.5 51.7 15.0 91.4 45.7 13.2 101.0 50.5 14.6 99.7 49.8 52.3 65.03 51.43 52.83 Molombulahe 98.8 95.6 96.5 49.4 47.8 48.3 51.9 57.4 57.9 ETo ETo50 ETc ETc Padi CH75 CHE90 CHE90ETc ATP Ver 1 ATP Ver 2 ATP Inc 95.6 47.8 57.4 95.6 47.8 33.5 98.8 49.4 14.8 97.9 48.9 14.2 103.5 51.7 15.0 68.3 61.4 36.0 32.4 36.0 32.4 52.3 83.3 74.9 51.9 75.0 67.5 57.4 90.8 81.7 57.9 88.5 79.7 57.4 27.8 25.0 33.5 30.8 27.7 44.3 39.8 84.8 76.3 100.5 90.5 46.4 19.2 17.8 22.6 15.6 24.3 21.7 -32.4 -5.8 25.0 62.1 75.4 42.08 42.08 42.08 42.08 42.08 42.08 42.08 9.68 36.28 42.08 42.08 42.08 56.93 56.93 56.93 56.93 56.93 56.93 56.93 24.53 51.13 56.93 56.93 56.93 95.70 95.70 95.70 95.70 95.70 95.70 95.70 63.30 89.90 95.70 95.70 95.70 Sidomukti dan Bandungrejo 101.5 104.9 99.2 100.2 50.7 52.4 49.6 50.1 53.3 62.9 59.5 60.1 ETo=evapotranspirasi potensial, ETo50=50% dari evapotranspirasi potensial, ETc=evapotranspirasi tanaman, CH75=curah hujan peluang terlampaui 75%, CHE90=curah hujan efektif 90%, ATP=air tersedia profil, Ver=vertisol, Inc=inceptisol. 139 Lampiran 9. Kondisi Ketersediaan Air Bulanan TPL Padi-Jagung pada Lahan Sawah dan Jenis Tanah di Daerah Paguyaman Gorontalo Unsur Bulan (mm)/Lokasi 5 6 7 Sidomukti dan Bandungrejo 101.5 104.9 99.2 100.2 50.7 52.4 49.6 50.1 60.9 62.9 34.7 15.0 60.9 62.9 34.7 1 2 3 4 8 9 10 11 12 ETo ETo50 ETc ETc Padi ETc Jagung CH75 CHE90 CHE90ETc ATP Ver ATP Inc 1 ATP Inc 2 ATP Ver 102.5 51.3 61.5 90.5 45.3 22.6 100.2 50.1 52.6 52.6 99.2 49.6 14.4 99.2 49.6 14.4 104.9 52.4 15.2 99.2 49.6 14.9 102.5 51.3 15.4 61.5 100.5 90.5 22.6 39.8 35.8 75.8 68.2 95.3 85.7 198.0 178.2 51.0 45.9 53.3 47.9 60.8 54.7 23.3 20.9 31.5 28.4 14.9 62.3 56.0 15.4 84.8 76.3 28.9 13.1 15.5 24.8 115.3 11.2 32.9 40.3 6.5 13.1 41.1 60.9 63.53 63.53 63.53 63.53 63.53 63.53 63.53 63.53 63.53 63.53 63.53 63.53 93.51 93.51 93.51 93.51 93.51 93.51 93.51 93.51 93.51 93.51 93.51 93.51 64.13 64.13 64.13 64.13 64.13 64.13 64.13 64.13 64.13 64.13 64.13 64.13 65.03 65.03 65.03 65.03 65.03 65.03 65.03 65.03 65.03 65.03 103.5 51.7 62.1 91.4 45.7 22.8 101.0 50.5 14.6 99.7 49.8 52.3 52.3 65.03 65.03 Molombulahe 98.8 95.6 49.4 47.8 59.3 57.4 59.3 57.4 ETo ETo50 ETc ETc Padi ETc Jagung CH75 CHE90 CHE90ETc ATP Ver 1 ATP Ver 2 ATP Inc 96.5 48.3 33.8 33.8 95.6 47.8 14.3 95.6 47.8 14.3 98.8 49.4 14.8 97.9 48.9 14.7 103.5 51.7 15.5 62.1 68.3 61.4 22.8 36.0 32.4 36.0 32.4 83.3 74.9 75.0 67.5 90.8 81.7 88.5 79.7 27.8 25.0 30.8 27.7 44.3 39.8 14.7 84.8 76.3 15.5 100.5 90.5 -0.7 9.6 17.8 22.6 8.2 24.3 45.9 10.6 13.3 25.0 61.6 74.9 14.08 42.08 42.08 42.08 42.08 42.08 42.08 42.08 42.08 42.08 42.08 42.08 28.93 56.93 56.93 56.93 56.93 56.93 56.93 56.93 56.93 56.93 56.93 56.93 67.70 95.70 95.70 95.70 95.70 95.70 95.70 95.70 95.70 95.70 95.70 95.70 ETo=evapotranspirasi potensial, ETo50=50% dari evapotranspirasi potensial, ETc=evapotranspirasi tanaman, CH75=curah hujan peluang terlampaui 75%, CHE90=curah hujan efektif 90%, ATP=air tersedia profil, Ver=vertisol, Inc=inceptisol. 140 Lampiran 10. Kondisi Ketersediaan Air Bulanan TPL Padi-Jagung-Jagung pada Lahan Sawah dan Jenis Tanah di Daerah Paguyaman Gorontalo Unsur ETo ETo50 ETc ETc Padi ETc Jagung-1 ETc Jagung-2 CH75 CHE90 CHE90ETc ATP Ver ATP Inc 1 ATP Inc 2 ATP Ver ETo ETo50 ETc ETc Padi ETc Padi-2 ETc Jagung CH75 CHE90 CHE90ETc ATP Ver 1 ATP Ver 2 ATP Inc Bulan (mm)/Lokasi 4 5 6 7 8 Sidomukti dan Bandungrejo 101.5 104.9 99.2 100.2 99.2 50.7 52.4 49.6 50.1 49.6 60.9 62.9 34.7 15.0 14.9 60.9 62.9 34.7 1 2 3 9 10 11 12 102.5 51.3 61.5 90.5 45.3 31.7 100.2 50.1 52.6 52.6 99.2 49.6 59.5 104.9 52.4 26.2 99.2 49.6 52.1 52.1 102.5 51.3 61.5 61.5 61.5 31.7 52.1 61.5 100.5 90.5 39.8 35.8 75.8 68.2 95.3 85.7 198.0 178.2 51.0 45.9 15.0 53.3 47.9 14.9 60.8 54.7 59.5 23.3 20.9 26.2 31.5 28.4 62.3 56.0 84.8 76.3 28.9 4.1 15.5 24.8 115.3 11.2 32.9 39.8 -38.6 2.1 3.9 14.7 63.53 63.53 63.53 63.53 63.53 63.53 63.53 63.53 24.93 63.53 63.53 63.53 93.51 93.51 93.51 93.51 93.51 93.51 93.51 93.51 54.91 93.51 93.51 93.51 64.13 64.13 64.13 64.13 64.13 64.13 64.13 64.13 25.53 64.13 64.13 64.13 65.03 65.03 65.03 65.03 65.03 65.03 65.03 Molombulahe 98.8 95.6 96.5 49.4 47.8 48.3 59.3 33.5 14.5 59.3 33.5 65.03 26.43 65.03 65.03 65.03 103.5 51.7 62.1 91.4 45.7 32.0 101.0 50.5 53.0 53.0 99.7 49.8 59.8 59.8 95.6 47.8 14.3 95.6 47.8 57.4 98.8 49.4 24.7 97.9 48.9 51.4 51.4 51.4 103.5 51.7 62.1 62.1 62.1 62.1 32.0 68.3 61.4 36.0 32.4 36.0 32.4 83.3 74.9 75.0 67.5 90.8 81.7 14.5 88.5 79.7 14.3 27.8 25.0 57.4 30.8 27.7 24.7 44.3 39.8 84.8 76.3 100.5 90.5 -0.7 0.4 -20.6 15.1 8.2 48.2 65.2 10.6 -29.7 15.1 24.9 28.4 14.08 42.08 7.08 42.08 42.08 42.08 42.08 42.08 12.38 39.48 33.08 30.28 28.93 56.93 21.93 56.93 56.93 56.93 56.93 56.93 27.23 54.33 47.93 45.13 67.70 95.70 60.70 95.70 95.70 95.70 95.70 95.70 66.00 93.10 86.70 83.90 ETo=evapotranspirasi potensial, ETo50=50% dari evapotranspirasi potensial, ETc=evapotranspirasi tanaman, CH75=curah hujan peluang terlampaui 75%, CHE90=curah hujan efektif 90%, ATP=air tersedia profil, Ver=vertisol, Inc=inceptisol. 141 Lampiran 11. Penentuan Dosis Pupuk Preskripsi pada Beberapa TPL Pola C di Daerah Paguyaman Gorontalo Perhitungan jumlah hara tersedia dari tanah dihitung dari tujuh pedon di daerah penelitian dan penyerapannya disesuaikan dengan penyerapan air, yaitu 40%, 30%, 20%, dan 10% masing-masing pada lapisan pertama, kedua, ketiga dan lapisan keempat. Kedalaman tanah yang digunakan untuk komoditi yang dinilai adalah 30 cm karena merupakan tanaman pangan. Kandungan hara tanah untuk TPL tanaman pangan, yaitu: N tersedia P tersedia K tersedia Jenis Tanah Lokasi ………………………………….. kg ha-1 …………………………………. Vertisol Sidomukti 9.60 3.48 89.86 Inceptisol 1 Sidomukti 9.60 3.80 67.39 Inceptisol 2 Sidomukti 11.20 3.70 86.11 Vertisol 1 Molombulahe 8.00 9.04 82.37 Vertisol 2 Molombulahe 24.00 2.40 202.18 Inceptisol Molombulahe 17.60 54.80 48.67 Vertisol Bandungrejo 14.40 5.01 71.14 Berdasarkan kandungan hara tanah di atas, maka disusun kebutuhan pupuk sesuai dengan jumlah hara yang digunakan tanaman untuk berproduksi setara tingkat nasional atau kelas kesesuaian lahan sangat sesuai (S1), yaitu dengan metode preskripsi. Selanjutnya digunakan efesiensi masing-masing pemupukan dengan asumsi bahwa setiap efisiensi pemupukan diserap 100% oleh tanaman. Jumlah Hara Pemupukan Preskripsi Berdasarkan Komoditas TPL, Jenis Tanah dan Lokasi di Daerah Paguyaman Gorontalo Jenis Tanah Lokasi Vertisol Inceptisol-1 Inceptisol-2 Vertisol-1 Vertisol-2 Inceptisol Vertisol Sidomukti Sidomukti Sidomukti Molombulahe Molombulahe Molombulahe Bandungrejo Vertisol Inceptisol-1 Inceptisol-2 Vertisol-1 Vertisol-2 Inceptisol Vertisol - = tidak digunakan Sidomukti Sidomukti Sidomukti Molombulahe Molombulahe Molombulahe Bandungrejo N P2O5 K2O ………………… kg ha-1 ………………….. Padi 108.60 79.28 108.60 78.75 107.53 79.06 109.67 62.77 99.00 83.04 103.27 105.40 75.06 Jagung 133.60 79.28 134.00 78.75 131.33 79.06 136.67 62.77 110.00 83.04 120.67 150.00 75.06 31.52 49.49 34.51 37.51 64.46 46.49 142 Lampiran 12. Data Rata-Rata Sifat Fisika Tanah Lapisan Atas (top soils) pada Tanah Sawah Kedalaman 30 cm Simbol Vertisol Sidomukti Inceptisol 1 Sidomukti Inceptisol 2 Sidomukti Vertisol 1 Molombulahe Vertisol 2 Molombulahe Inceptisol 1 Molombulahe Vertisol Bandungrejo Bulk Density (g cm-3) 1.63 1.66 1.55 1.62 1.48 1.39 1.62 Porositas (%) 38.49 37.36 41.31 38.87 44.15 47.55 38.87 Kadar Air (% Vol) pada pF pF pF pF pF 1,00 2,00 2,54 4,20 32.28 28.46 25.53 17.06 33.83 28.03 26.01 18.30 38.11 31.80 24.11 15.56 35.45 30.55 21.75 16.14 37.88 34.02 28.40 20.81 41.76 38.19 35.76 23.00 32.55 28.07 24.63 15.96 Pori Drainase (%) Sangat Cepat Lambat Cepat 6.21 5.83 2.92 3.53 5.80 2.02 3.40 6.30 7.69 3.42 4.90 8.79 6.27 3.86 5.62 5.79 3.57 2.43 6.31 4.48 3.44 Air Permeabilitas Tersedia (cm/jam) (%) 8.47 1.59 7.71 0.56 8.55 1.34 5.62 0.48 7.59 0.04 12.75 0.14 8.66 0.85 Nilai Cole 0.98 0.99 1.01 0.61 0.87 0.09 0.929 Lampiran 13. Data Rata-Rata Sifat Kimia Tanah Lapisan Atas (top soils) pada Tanah Sawah Kedalaman 30 cm Jenis Tanah/Lokasi Vertisol Sidomukti Inceptisol 1 Sidomukti Inceptisol 2 Sidomukti Vertisol 1 Molombulahe Vertisol 2 Molombulahe Inceptisol 1 Molombulahe Vertisol Bandungrejo pH H2O 6.48 6.81 6.59 7.15 7.15 7.78 6.89 CN total Organik ……..(%)……. 0.69 0.06 0.54 0.06 0.64 0.07 0.61 0.05 0.99 0.15 0.96 0.11 0.86 0.09 C/N 11.62 9.24 9.71 12.92 6.34 8.34 9.96 P2O5 ppm 3.80 4.15 4.04 9.86 2.62 59.79 5.47 KTK KTK Tanah Liat ………………… (me 100 g-1)…………………… 0.24 14.90 12.09 0.50 30.93 88.36 0.18 10.68 2.77 0.47 44.64 79.78 0.23 14.49 6.41 0.26 34.45 100.00 0.22 11.29 3.60 0.14 20.87 87.25 0.54 26.14 15.41 0.36 52.53 100.00 0.13 22.27 7.49 0.77 35.69 82.28 0.19 15.56 4.76 0.27 19.56 57.44 K Ca Mg Na KB % 70.08 32.98 62.06 73.00 79.42 84.37 97.00 142 143 Lampiran 14. Deskripsi Atribut Kunci Tipe Penggunaan Lahan (TPL) a. Atribut TPL Padi Lokal Pola A, B, dan C Atribut TPL Produksi Orientasi Pasar Intensitas Modal Intesitas Tenaga Kerja Sumber Tenaga Sikap dan Pengetahuan Penggunaan Teknologi Kebutuhan infrastruktur Luas dan Sebaran Lahan Status Lahan Tingkat Pendapatan Pola A 1.5 ton ha-1 gkg Subsisten Rendah Tinggi Manusia, ternak Umumnya petani minim pendidikan formal (lulusan SD), tidak banyak menerima inovasi dan adopsi teknologi untuk peningkatan produksi dan kelestarian lingkungan Benih padi lokal, umur dalam (6 bulan), tanpa pupuk, tanpa pengendalian OPT 1-2 ha KK-1, terpencar Hak milik Rendah TPL Padi Lokal Pola B 3.5 ton ha-1 gkg Komersial Sedang Sedang Manusia, Alsintan Umumnya petani minim pendidikan formal (lulusan SD), agak mampu menerima inovasi dan adopsi teknologi untuk peningkatan produksi dan kelestarian lingkungan Pola C 3.5 ton ha-1 gkg Komersial Tinggi Sedang Manusia, Alsintan Umumnya petani berpendidikan formal cukup, mampu menerima inovasi dan adopsi teknologi untuk peningkatan produksi dan kelestarian lingkungan Benih padi lokal, umur dalam (6 bulan), pupuk 100% dosis anjuran, tanpa pengendalian OPT Kios saprotan Benih padi lokal, umur dalam (6 bulan), pupuk preskripsi, ada pengendalian OPT 1-2 ha KK-1, terpencar Hak milik Sedang-tinggi 1-2 ha KK-1, terpencar Kios saprotan Hak milik Sedang-tinggi 144 b. Atribut TPL Padi-Jagung Pola A, B, dan C Atribut TPL Produksi Orientasi Pasar Intensitas Modal Intesitas Tenaga Kerja Sumber Tenaga Sikap dan Pengetahuan Penggunaan Teknologi Kebutuhan infrastruktur Luas dan Sebaran Lahan Status Lahan Tingkat Pendapatan Pola A Padi: 1.5 ton ha-1 gkg Jagung: 5 ton ha-1 Semi Komersial Rendah Tinggi Manusia, ternak Umumnya petani minim pendidikan formal, adopsi masih rendah terhadap peningkatan produksi dan penggunaan lahan yang lestari Benih padi dan jagung lokal, umur 4 dan 4 bulan, tanpa pupuk, pengendalian OPT tidak rutin 1 ha KK-1, terkonsolidasi Hak milik Rendah TPL Padi-Jagung Pola B Padi: 3.5 ton ha-1 gkg Jagung: 7 ton ha-1 Komersial Sedang-tinggi Sedang Manusia, Alsintan Berpendidikan formal, adopsi teknologi sedang terhadap peningkatan produksi dan penggunaan lahan yang lestari Benih padi dan jagung unggul, umur 4 dan 4 bulan, pupuk 100% dosis anjuran, pengendalian OPT tidak rutin Kios saprotan, penyuluhan 1 ha KK-1, terkonsolidasi Hak milik Tinggi Pola C Padi: 3.5 ton ha-1 gkg Jagung: 7 ton ha-1 Komersial Sedang-tinggi Sedang Manusia, Alsintan Berpendidikan formal, adopsi teknologi baik terhadap peningkatan produksi dan penggunaan lahan yang lestari Benih padi dan jagung unggul, umur 4 dan 4 bulan, pupuk preskripsi, pengendalian OPT tidak rutin Kios saprotan, penyuluhan 1 ha KK-1, terkonsolidasi Hak milik Tinggi 145 c. Atribut TPL Padi-Jagung-Jagung Pola A, B, dan C Atribut TPL Produksi Orientasi Pasar Intensitas Modal Intesitas Tenaga Kerja Sumber Tenaga Sikap dan Pengetahuan Pola A Padi: 1.5 ton ha-1 gkg Jagung: 5 ton ha-1 Semi Komersial Rendah Tinggi Manusia, ternak Umumnya petani berpendidikan formal, adopsi teknologi baik dan peduli terhadap kelestarian penggunaan lahan dan lingkungan Penggunaan Teknologi Benih padi dan jagung lokal, umur 4 dan 4 bulan, tanpa pupuk, pengendalian OPT dengan PHT rutin, teknologi pasca panen Kebutuhan infrastruktur - Luas dan Sebaran Lahan Status Lahan Tingkat Pendapatan 1 ha KK-1, terkonsolidasi Hak milik Rendah TPL Padi-Jagung-Jagung Pola B Padi: 3.5 ton ha-1 gkg Jagung: 7 ton ha-1 Komersial Sedang-tinggi Sedang Pola C Padi: 3.5 ton ha-1 gkg Jagung: 7 ton ha-1 Komersial Sedang-tinggi Tinggi Manusia, Alsintan Umumnya petani berpendidikan formal, adopsi teknologi baik dan peduli terhadap kelestarian penggunaan lahan dan lingkungan Benih padi dan jagung unggul, umur 4 dan 4 bulan, pupuk 100% dosis anjuran, pengendalian OPT dengan PHT rutin, teknologi pasca panen Kios saprotan, kelompok tani, penyuluhan, KUD, KUT/KUR, unit pengolahan hasil, bantuan pemda 1 ha KK-1, terkonsolidasi Hak milik Tinggi Manusia, Alsintan Umumnya petani berpendidikan formal, adopsi teknologi baik dan peduli terhadap kelestarian penggunaan lahan dan lingkungan Benih padi dan jagung unggul, umur 4 dan 4 bulan, pupuk preskripsi, pengendalian OPT dengan PHT rutin, teknologi pasca panen Kios saprotan, kelompok tani, penyuluhan, KUD, KUT/KUR, unit pengolahan hasil, bantuan pemda 1 ha KK-1, terkonsolidasi Hak milik Tinggi