sekolah pascasarjana institut pertanian bogor

advertisement
PERKEMBANGAN, KLASIFIKASI DAN POTENSI TANAH
SAWAH TADAH HUJAN DARI BAHAN LAKUSTRIN
DI PAGUYAMAN, GORONTALO
NURDIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Perkembangan, Klasifikasi dan
Potensi Tanah Sawah Tadah Hujan dari Bahan Lakustrin di Paguyaman,
Gorontalo adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal dan atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2010
Nurdin
NRP A151070021
ii
ABSTRACT
NURDIN. Development, Classification and Rainfed Paddy Soils Potency Derived
from Lacustrine Materials in Paguyaman, Gorontalo. Under guidance of
DJUNAEDI A. RACHIM, DARMAWAN, and SUWARNO.
Efforts to increase and develop paddy soil other than irrigated paddy soil (IPS)
are essential in order to improve rice production. Rainfed paddy soil (RPS) is the
second granary national after IPS, although current productivity of RPS is low and it
has complex limiting factor. The objective of this research were: (1) to study the
development of RPS based on soil characteristics and genesis, (2) to identify the main
factors influencing the formation of soil profiles, (3) to classify the soil according to
Soil Taxonomy classification system, and (4) to evaluate land potency for rice and
corn. The research was carried out on 9 pedons from lacustrine materials on E4
agroclimate zones. RPS and upland (UL) pedons are located in Sidomukti of
Gorontalo Regency and Molombulahe of Boalemo Regency. While, the IPS pedon
are Bandungrejo of Gorontalo Regency. Field observations were done throughout
toposequent transect on the lower, middle and upper slope position. Soil samples
taken from each horizon of each pedon for laboratory analysis. The observed
parameters were morphological characteristics, physical, chemical and mineralogical
properties of the soil. The data were analyzed with quantitative and qualitative
analysis. Soils were classified based on Soil Taxonomy system, whereas land
potentials were evaluate by land suitability analysis with the parametric approach.
Land suitability classes (LSC) were determined by Square Root Land Index Method.
The results of this study showed that all pedons have B horizon but IPS is more
developed than the RPS and the UL. The IPS pedon is more weathered intensively
than the RPS and the UL. The main genesis process in all pedon were eluviation,
illuviation, lessivage, pedoturbation, braunification and gleization, except for UL
pedon from Molombulahe that do not reflact gleization process. The main factors of
soil formation were climate, age (time), topography and human activity. The soil
classification of PNS1, PNM1 and PNM2 pedon were classified as Ustic Endoaquert,
fine, smectitic, isohypertermic; PNS2 pedon classified as Vertic Endoaquept, fine,
smectitic, isohypertermic; PNS3 pedon classified as Vertic Epiaquept, fine, smectitic,
isohypertermic; PNS-LK pedon classified as Typic Eutrudept, fine loam, smectitic,
isohypertermic; PNB pedon classified as Ustic Epiaquert, fine, mixed, active,
isohypertermic; PNM3 pedon classified as Aeric Epiaquept, fine, smectitic,
isohypertermic; and PNM-LK pedon classified as Typic Eutrudept, fine, smectitic,
isohypertermic. The highest LSC of land utilization types (LUT) for local paddy was
highly suitable (S1), while the lowest one was not suitable (Nna). The highest LCS of
paddy-corn and paddy-corn-corn LUTs was marginally suitable with nutrient
availability and water as a limiting factor (S3na and S3wa), while the lowest LSC was
not suitable cause same limiting factors (Nna and Nwa). The potency of RPS similar
to potency of IPS. The full recommendation of LUT were LUT of local paddy with B
(100% of recommended dosage) and C pattern (prescription dosage), except for
Inceptisol from Molombulahe consist of local paddy LUT to A (none fertilizing), B
and C pattern. The Other LUTs were including requiring recommended and not
recommended.
Keywords: Development, classification, land utilization types, land suitability
classes, rainfed paddy soil, lacustrine.
iii
RINGKASAN
NURDIN. Perkembangan, Klasifikasi dan Potensi Tanah Sawah Tadah Hujan dari
Bahan Lakustrin di Paguyaman, Gorontalo. Dibimbing oleh DJUNAEDI A.
RACHIM, DARMAWAN, dan SUWARNO.
Kebutuhan beras nasional terus meningkat karena pesatnya pertambahan
penduduk. Upaya peningkatan dan pengembangan lahan sawah potensial lainnya
selain tanah sawah irigasi (TSI) yang ada mutlak diperlukan guna meningkatkan
produksi beras. Tanah sawah tadah hujan (TSTH) merupakan lumbung padi kedua
nasional setelah TSI, walaupun saat ini produktifitasnya masih rendah dan
mempunyai faktor pembatas yang kompleks. Di samping itu, TSTH sering
diberakan setelah ditanam padi dan hanya sedikit saja yang diusahakan untuk
tanaman pangan lain, terutama jagung. Padahal jagung cukup potensial untuk
dibudidayakan pada tanah tersebut. Melalui upaya pengelolaan tanah berdasarkan
karakteristik dan kualitas tanah, maka TSTH berpotensi menjadi alternatif yang
menjanjikan untuk pengembangan dua komoditi tersebut di masa mendatang.
Sebagai upaya mencapai hal tersebut, maka penelitian tentang perkembangan,
klasifikasi dan potensi TSTH perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1)
mengetahui perkembangan TSTH berdasarkan karakteristik dan genesis tanah
yang berasal dari bahan lakustrin, (2) mengidentifikasi faktor-faktor utama yang
mempengaruhi pembentukan profil tanah, (3) mengklasifikasikan tanah menurut
sistem Taksonomi Tanah, dan (4) mengetahui potensi tanah melalui analisis
kesesuaian lahan untuk padi sawah dan jagung.
Penelitian dilaksanakan terhadap sembilan pedon pewakil dari bahan
lakustrin pada zona agroklimat E4 yang tersebar di Kabupaten Gorontalo dan
Boalemo Provinsi Gorontalo. Pedon pewakil TSTH dan lahan kering (TLK)
terletak di desa Sidomukti Kabupaten Gorontalo dan Molombulahe Kabupaten
Boalemo. Sedangkan pedon pewakil TSI terletak di desa Bandungrejo, Kabupaten
Gorontalo. Pengamatan lapang dilakukan dalam satu transek lereng (toposekuen)
pada posisi lereng bawah, punggung, dan lereng puncak. Contoh tanah diambil
dari setiap horison pada setiap profil pedon untuk dianalisis di laboratorium.
Parameter yang diamati terdiri dari sifat morfologi, fisika, kimia dan sifat
mineralogi tanah. Data yang diperoleh dianalisis dengan pendekatan kualitatif
secara deskriptif-kuantitatif. Proses genesis tanah yang terjadi dilakukan melalui
serangkaian rekonstruksi terhadap sifat morfologi, fisika, kimia dan sifat
mineralogi tanah yang ditunjukkan saat ini. Berdasarkan hal tersebut,
diidentifikasi faktor-faktor pembentuk tanah. Selanjutnya, tanah diklasifikasi
menurut sistem Taksonomi Tanah. Sedangkan penilaian potensi lahan dilakukan
melalui analisis kesesuaian lahan dengan pendekatan parametrik. Untuk
penentuan kelas kesesuaian lahan menggunakan metode indeks lahan akar kuadrat
yang dikemukakan oleh Khiddir (1986) dalam Sys et al. (1991).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua pedon yang diamati telah
berkembang yang ditunjukkan oleh adanya adanya horison B. Namun, TSI lebih
berkembang dibanding TSTH dan TLK yang ditunjukkan oleh terkstur debu yang
lebih dominan, perkembangan struktur lebih kuat, warna matriks lebih merah pada
skala 2,5YR dan warna karatan lebih kekuningan. Namun, nilai pH tanah, jumlah
basa, dan KTK pedon TSTH lebih tinggi dibanding pedon TSI dan TLK.
Berdasarkan genesis tanah, maka TSI telah mengalami pelapukan lebih intensif
iv
dibanding TSTH dan TLK, walaupun belum lanjut. Proses genesis tanah yang
utama pada pedon TSTH, TSI dan TLK adalah: eluviasi, iluviasi, liksiviasi,
pedoturbasi, braunifikasi dan gleisasi, kecuali pedon TLK dari Molombulahe yang
tidak mengalami proses gleisasi. Faktor utama pembentuk tanah pada semua tanah
yang diteliti adalah iklim, umur (waktu), topografi, dan aktifitas manusia.
Berdasarkan klasifikasi tanah sistem taksonomi, maka pedon PNS1
diklasifikasikan sebagai Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik; pedon
PNS2 diklasifikasikan sebagai Endoaquept Vertik, halus, smektitik,
isohipertermik; pedon PNS3 diklasifikasikan sebagai Epiaquept Vertik, halus,
smektitik, isohipertermik; pedon PNS-LK diklasifikasikan sebagai Eutrudept
Tipik, berlempung halus, smektitik, isohipertermik; pedon PNB diklasifikasikan
sebagai Epiaquert Ustik, halus, campuran, aktif, isohipertermik; pedon PNM1
diklasifikasikan sebagai Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik; pedon
PNM2 diklasifikasikan sebagai Endoaquert Ustik, halus, smektitik,
isohipertermik; pedon PNM3 diklasifikasikan sebagai Epiaquept Aerik, halus,
smektitik, isohipertermik; dan pedon PNM-LK diklasifikasikan sebagai Eutrudept
Tipik, halus, smektitik,isohipertermik.
Berdasarkan potensi tanah, maka kelas kesesuaian lahan (KKL) untuk tipe
penggunaan lahan (TPL) padi lokal paling tinggi adalah sangat sesuai (S1) dan
terendah tidak sesuai dengan faktor pembatas ketersediaan hara (Nna).
Sedangkan, TPL padi-jagung dan TPL padi-jagung-jagung, KKL tertinggi adalah
sesuai marjinal dengan faktor pembatas ketersediaan hara dan air (S3na dan
S3wa), sementara terendah tidak sesuai dengan faktor pembatas yang sama pula
(Nna dan Nwa). Berdasarkan KKL tersebut, maka potensi TSTH relatif sama
dengan TSI. Rekomendasi TPL penuh pada semua jenis tanah dan lokasi terdiri
dari TPL padi lokal pola B (100% dosis anjuran) dan C (pemupukan preskripsi),
kecuali Inceptisol Molombulahe terdiri dari TPL padi lokal pola A (tanpa
pemupukan), B dan C. Rekomendasi TPL bersyarat untuk Vertisol Sidomukti dan
Inceptisol 2 Sidomukti terdiri dari TPL padi lokal pola A atau TPL padi-jagung
pola B dan C atau TPL padi-jagung-jagung pola B dan C; Inceptisol 1 Sidomukti,
Incentisol Molombulahe dan Vertisol Bandungrejo terdiri dari TPL padi lokal
pola A atau TPL padi-jagung pola B dan C atau TPL padi-jagung-jagung pola A,
B dan C; Vertisol 1 Molombulahe terdiri dari TPL padi lokal pola A atau TPL
padi-jagung pola B dan C. Sedangkan Vertisol 2 Molombulahe terdiri dari TPL
padi-jagung pola B dan C atau TPL padi-jagung-jagung pola C. Sedangkan TPL
yang tidak direkomendasikan terdapat pada Vertisol Sidomukti dan Inceptisol 2
Molombulahe yang terdiri dari TPL padi-jagung pola A atau TPL padi-jagungjagung pola A; Inceptisol 1 Molombulahe dan Vertisol Bandungrejo adalah TPL
padi-jagung pola A; Vertisol 1 Molombulahe terdiri dari TPL padi-jagung pola A
atau TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C; dan pada Vertisol 2 Molombulahe
terdiri dari TPL padi lokal pola A atau TPL padi-jagung pola A atau TPL padijagung-jagung pola A dan B. Hal.
Kata Kunci: Perkembangan, klasifikasi, tipe penggunaan lahan, kelas kesesuaian
lahan, tanah sawah tadah hujan, bahan lakustrin.
v
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah;
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vi
PERKEMBANGAN, KLASIFIKASI DAN POTENSI TANAH
SAWAH TADAH HUJAN DARI BAHAN LAKUSTRIN
DI PAGUYAMAN, GORONTALO
NURDIN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
vii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Widiatmaka, DAA
viii
Judul Tesis
Nama
NRP
: Perkembangan, Klasifikasi dan Potensi Tanah Sawah Tadah
Hujan dari Bahan Lakustrin di Paguyaman, Gorontalo
: Nurdin
: A151070021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Djunaedi A. Rachim, M.S
Ketua
Dr. Ir. Darmawan, M.Sc
Anggota
Dr. Ir. Suwarno, M.Sc
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu Tanah
Dr. Ir. Atang Sutandi, M.S
Tanggal Ujian : 21 April 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Lulus :
ix
Buah karya ini kupersembahkan untuk :
Pendampingku yang selalu setia dan sabar ......
Briptu Nurmaya Kasim, SH
Anakku tercinta yang selalu menghibur......
Alifa Siti Khumaira Kyai Baderan
Aqila Siti Khasanah Kyai Baderan
Orang-orang yang termulia ......
Ayahanda Gani Kyai Baderan
Ibunda Mudjini
Ayanhanda Yusuf Kasim
Ibunda Syamsia Umar (Alm)
Ayahanda Dr. Ir. Jailani Husain, M.Sc
Ibunda Ir. Hartin Kasim
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan
sejak Maret 2009 dengan judul Perkembangan, Klasifikasi dan Potensi Tanah
Sawah Tadah Hujan dari Bahan Lakustrin di Paguyaman, Gorontalo.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
- Prof. Dr. Ir. Djunaedi A. Rachim, M.S., Dr. Ir. Darmawan, M.Sc., dan Dr. Ir.
Suwarno, M.Sc selaku komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan
waktu dan pemikiran untuk memberikan arahan tesis ini.
- Dr. Ir. Widiatmaka, DAA selaku penguji luar komisi pembimbing dan Dr. Ir.
Atang Sutandi, MS selaku ketua programa studi Ilmu Tanah IPB atas saran
dan koreksi terhadap tesis ini.
- Penyelenggara program Beasiswa BPPS Dikti Departemen Pendidikan
Nasional RI atas bantuan dana pendidikan program magister di SPs IPB.
- Doni Rahmat Lahati, S.E, M.H., Effendi Mobilingo, S.Sos dan Adnan
Marzuki dari Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Boalemo yang
telah membantu pendanaan penelitian ini serta Drs. Rum Pagau selaku wakil
ketua DPRD dan Ir. Rusdin Aminu, MM selaku kepala Dinas Pertanian dan
Perkebunan Kabupaten Boalemo atas saran dan masukannya.
- Ir. B. H Prasetyo, M.Sc., Yoce Dai, Ir. Ladyani, M.Sc dan pa udin atas
bantuan analisis tanah, serta ibu tini dan pa jajat atas pinjaman buku, jurnal
dan pengadaan peta tematik.
- Rekan-rekan seangkatan: M. Hikmat, SP., Hendri Purnama, SP., Togi R.
Hutabarat, SP., Nasruddin, SP., Yolanda Syam, SP, M.Si dan Mami Heri, SP,
M.Si atas perhatian, bantuan dan saran selama ini
- Prof. Dr. Ir. Nelson Pomalingo, M.Pd selaku Rektor Universitas Negeri
Gorontalo (UNG) dan Ir. Zulzain Ilahude, MP selaku Dekan Fakultas
Pertanian UNG yang mendorong penulis untuk melanjutkan studi S2.
- Keluarga besar: Gani Kyai Baderan (ayah), Mudjini (ibu), Yusuf Kasim dan
Almh Syamsia Umar (mertua), Dr. Ir. Jailani Husain, M.Sc dan Ir. Hartin
Kasim (paman/tante dan orang tua angkat), Nursiah, SPd., Siti Rahasia K.
Baderan, AMd., Siti Aminah K. Baderan, SPd., Siti Khadijah K. Baderan,
Mohamad Jailani K. Baderan dan Jesica Adisdea Baderan serta Santi Djafar
dan Haris Tolinggi atas dorongan dan doanya selama ini.
- Istri (Briptu Nurmaya Kasim, SH) dan anak-anak (Alifa Siti Khumaira Kyai
Baderan dan Aqila Siti Khasana Kyai Baderan) atas segala doa, dukungan,
kesabaran dan pengorbanan selama studi sampai penyelesaian penelitian ini.
Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2010
Nurdin
xi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 19 April 1980 di Paguyaman Kabupaten
Gorontalo Provinsi Gorontalo. Penulis adalah putera pertama dari tujuh
bersaudara dari Bapak Gani K. Badiran dan Ibu Mudjini. Pada tahun 1999,
penulis lulus SMA Negeri 3 Gorontalo dan pada tahun yang sama lulus seleksi
masuk Universitas Sam Ratulangi Manado melalui jalur Tou Tumou Tou (T2)
atau program menghidupkan orang lain. Penulis memilih Jurusan Tanah Fakultas
Pertanian dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima
sebagai pegawai negeri sipil (PNS), yaitu Dosen pada Universitas Negeri
Gorontalo dan bertugas pada Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian.
Tahun 2007 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan pada jenjang
S2 melalui tugas belajar dari Rektor Universitas Negeri Gorontalo pada Program
Studi Ilmu Tanah (TNH) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB)
dengan bantuan beasiswa BPPS Dikti tahun 2007.
Penulis menikah dengan Briptu Nurmaya Kasim, SH pada tanggal 1
September 2007 dan saat ini telah dikarunai dua orang putri, yaitu Alifa Siti
Khumaira Kyai Baderan yang lahir pada tanggal 24 Juli 2008 dan Aqila Siti
Khasanah Kyai Baderan pada tanggal 29 Oktober 2009.
xii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xix
1.
PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Hipotesis Penelitian ...................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 4
2.
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 5
2.1 Lingkungan Daerah Endapan Danau (Lakustrin) ........................ 5
2.2 Karakteristik Tanah Sawah .......................................................... 6
2.3 Klasifikasi Tanah Sawah ............................................................. 7
2.4 Evaluasi Sumberdaya Lahan Berdasarkan Kualitas Lahan ......... 8
3.
BAHAN DAN METODE ................................................................... 12
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 12
3.2 Bahan dan Alat ............................................................................ 12
3.3 Metode Penelitian ........................................................................ 15
3.3.1 Penetapan Lokasi dan Contoh ............................................ 15
3.3.2 Pelaksanaan Lapang ........................................................... 15
3.3.3 Analisis Laboratorium ........................................................ 16
3.3.4 Analisis dan Interpretasi Data ............................................ 17
3.4 Diagram Alir Penelitian ............................................................... 22
4.
KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN .................................... 24
4.1 Letak Geografis dan Administratif .............................................. 24
4.2 Kondisi Iklim dan Hidrologi ......................................................... 24
4.3 Kondisi Geologi ............................................................................ 28
4.4 Kondisi Landform, Fisiografi dan Topografi ............................... 30
4.5 Kondisi Pengunaan Lahan ............................................................ 32
4.6 Kondisi Kegiatan Pertanian .......................................................... 32
xiii
5.
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 34
5.1 Karakteristik Tanah Sawah Tadah Hujan ..................................... 34
5.1.1 Sifat Morfologi dan Fisika Tanah ....................................... 34
5.1.2 Sifat Kimia Tanah ............................................................... 49
5.1.3 Sifat Mineralogi .................................................................. 59
5.1.3.1 Susunan Mineral Fraksi Pasir ................................. 59
5.1.3.2 Susunan Mineral Fraksi Liat ................................... 63
5.2 Genesis Tanah Sawah Tadah Hujan ............................................. 69
5.3 Klasifikasi Tanah sawah Tadah Hujan ........................................ 78
5.4 Potensi Tanah Sawah Tadah Hujan ............................................. 91
5.4.1 Kesesuaian Lahan ............................................................... 91
5.4.2 Rekomendasi Penggunaan Lahan ...................................... 106
6.
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 112
6.1 Kesimpulan .................................................................................. 112
6.2 Saran ............................................................................................ 113
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 114
LAMPIRAN ................................................................................................. 122
xiv
DAFTAR TABEL
1
Halaman
Parameter Sifat-Sifat Tanah dan Metode Analisisnya ......................... 16
2
Data Penelitian Kesesesuaian Lahan untuk Setiap KL ........................ 19
3
Nilai kc Tanaman yang Digunakan pada Penelitian ini ...................... 20
4
Kondisi CHE, 90% CHE pada Beberapa lokasi
di Daerah Penelitian ............................................................................ 20
5
Persamaan Regresi Pendugaan Produksi Berdasarkan
KL Ketersediaan Air (KL wa) ............................................................. 20
6
Dosis Pemupukan Anjuran Masing-Masing Komoditas TPL ............ 21
7
Persamaan Regresi Pendugaan Produksi Berdasarkan
KL Ketersediaan Hara dan Pemupukan (KL na) ................................. 22
8
Nilai Indeks Lahan untuk Kelas Kesesuaian Lahan ............................ 22
9
Letak Geografis dan Administratif Wilayah Penelitian ...................... 24
10
Sifat Morfologi dan Fisik Tanah Pedon TSTH
dari Desa Sidomukti (S) dan Molombulahe (M) ................................ 40
11
Sifat Morfologi dan Fisik Tanah Pedon TLK dari
Desa Sidomukti (S) dan Molombulahe (M) ....................................... 41
12
Sifat Morfologi dan Fisik Tanah Pedon TSI dari
Desa Bandungrejo ............................................................................... 41
13
Sifat Kimia Tanah Pedon TSTH dari Desa Sidomukti (S)
dan Molombulahe (M) ......................................................................... 50
14
Sifat Kimia Tanah Pedon TLK dari Desa Sidomukti (S)
dan Molombulahe (M) ........................................................................ 51
15
Sifat Kimia Tanah Pedon TSI dari Desa Bandungrejo ....................... 51
16
Sifat Kimia Air Sawah di Daerah Penelitian ...................................... 59
17
Persentase Mineral Fraksi Pasir pada Pedon TSTH Pewakil,
Sidomukti ............................................................................................. 60
18
Persentase Mineral Fraksi Pasir pada Pedon TSTH Pewakil,
Molombulahe ........................................................................................ 61
19
Persentase Mineral Fraksi Pasir pada Pedon TLK
Pewakil, Molombulahe ......................................................................... 62
20
Persentase Mineral Fraksi Pasir pada Pedon TSI
Pewakil, Bandungrejo ......................................................................... 63
21
Hasil Analisis Mineral Fraksi Liat dengan Metode XRD pada
Contoh Tanah Terpilih dari Pedon yang Diteliti ................................. 64
22
Faktor-Faktor Pembentuk Tanah Utama di Daerah Penelitian ............ 70
xv
23
Beberapa Sifat Penciri Genesis TSTH ................................................. 74
24
Beberapa Sifat Penciri Genesis Tanah TLK dan TSI
di Daerah Penelitian.............................................................................. 76
25
Penciri Utama Klasifikasi Tanah pada Pedon TSTH .......................... 79
26
Penciri Utama Klasifikasi Tanah pada Pedon TLK dan TSI ............... 80
27
Persyaratan Epipedon Molik, Okrik dan Umbrik menurut
Taksonomi Tanah ................................................................................ 81
28
Penentuan Epipedon menurut Taksonomi Tanah
di Daerah Penelitian ............................................................................. 82
29
Horison Penciri dan Sifat Penciri Lainnya untuk
Klasifikasi Tanah .................................................................................. 84
30
Klasifikasi Tanah pada Tingkat Famili di Daerah Penelitian .............. 84
31
Kondisi Air Tersedia Profil Rata-Rata Bulanan pada
Beberapa TPL dan Jenis Tanah di Lahan Sawah
Paguyaman Gorontalo ......................................................................... 92
32
Dugaan Produksi TPL Berdasarkan Air Tersedia Profil
Rata-Rata Bulanan pada Beberapa Jenis Tanah di
Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ................................................... 93
33
Indeks KL Ketersediaan Air TPL Berdasarkan
Dugaan Produksi pada Berbagai Pola dan Jenis Tanah
di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ............................................... 94
34
Jumlah Hara TPL Padi Lokal pada Beberapa Pola dan
Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ........................... 97
35
Dugaan Produksi TPL Padi Lokal Berdasarkan Jumlah Hara
pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah
Paguyaman Gorontalo ......................................................................... 97
36
Indeks KL Ketersediaan Hara TPL Padi Lokal pada Beberapa
Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ............ 98
37
Jumlah Hara TPL Padi-Jagung pada Beberapa Pola dan
Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ........................... 99
38
Dugaan Produksi TPL Padi-Jagung Berdasarkan Jumlah Hara
pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah
Paguyaman Gorontalo ......................................................................... 100
39
Indeks KL Ketersediaan Hara TPL Padi-Jagung pada Beberapa
Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ............ 100
40
Indeks KL Ketersediaan Hara TPL Padi-Jagung-Jagung pada
Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah
Paguyaman Gorontalo ......................................................................... 101
41
Indeks Lahan TPL Padi Lokal pada Beberapa Pola dan
Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ........................... 102
xvi
42
Kelas Kesesuaian Lahan TPL Padi Lokal pada Beberapa Pola
dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo .................... 102
43
Indeks Lahan TPL Padi-Jagung pada Beberapa Pola dan
Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ........................... 103
44
Kelas Kesesuaian Lahan TPL Padi-Jagung pada Beberapa Pola
dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo .................... 104
45
Indeks Lahan TPL Padi-Jagung-Jagung pada Beberapa Pola dan
Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ........................... 105
46
Kelas Kesesuaian Lahan TPL Padi-Jagung-Jagung pada Beberapa
Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo ............ 105
47
Rekomendasi TPL pada Beberapa Jenis Tanah dan Lokasi ................ 107
xvii
DAFTAR GAMBAR
1
Halaman
Peta Lokasi Penelitian Paguyaman I Desa Sidomukti
dan Bandungrejo Kabupaten Gorontalo .............................................. 13
2
Peta Lokasi Penelitian Paguyaman II Desa Molombulahe
Kabupaten Boalemo ........................................................................... 14
3
Diagram Alir Penelitian ...................................................................... 23
4
Neraca Air di Daerah Sidodadi dan Sekitarnya .................................. 27
5
Neraca Air di Daerah Molombulahe dan Sekitarnya .......................... 27
6
Peta Geologi Daerah Paguyaman dan Sekitarnya ............................... 29
7
Lokasi dan Posisi Relief Setiap Pedon Pewakil dalam Topografi ....... 31
8
Sebaran Warna Matriks Pedon Berdasarkan Toposekuen
di Sidomukti dan Bandungrejo ........................................................... 36
9
Sebaran Warna Matriks Pedon Berdasarkan Toposekuen
di Molombulahe .................................................................................. 37
10
Lanskap (a) dan Profil Pedon PNS (b) di Daerah Sidomukti
Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo ................................ 38
11
Lanskap (a) dan Profil Pedon PNM (b) di Daerah Molombulahe
Kecamatan Paguyaman Kabupaten Boalemo ..................................... 38
12
Lanskap dan Profil Pedon PNS-LK (a) di Daerah Sidomukti
Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo, serta Lanskap
dan Profil Pedon PNM-LK (b) di Daerah Molombulahe
Kecamatan Paguyaman Kabupaten Boalemo ..................................... 39
13
Lanskap (a) dan Profil Pedon PNB (b) di Daerah Bandungrejo
Kecamatan Boliyohuto Kabupaten Gorontalo .................................... 39
14
Sebaran Kelas Tektur dan Besar Butir Pedon
Berdasarkan Toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo ................. 44
15
Sebaran Kelas Tektur dan Besar Butir Pedon
Berdasarkan Toposekuen di Molombulahe ........................................ 45
16
Sebaran Kadar Liat Total dan Perbandingan Liat Halus
dengan Liat Total Berdasarkan Kedalaman pada Pedon TSTH .......... 46
17
Sebaran Kadar Liat Total dan Perbandingan Liat Halus
dengan Liat Total Berdasarkan Kedalaman pada Pedon TLK ........... 46
18
Sebaran Kadar Liat Total dan Perbandingan Liat Halus
dengan Liat Total Berdasarkan Kedalaman pada Pedon TSI .............. 46
19
Sebaran Kadar Fraksi Pasir Berdasarkan Kedalaman
pada Pedon TSTH dan Pedon TSI ...................................................... 47
xviii
20
Sebaran Kadar Fraksi Pasir Berdasarkan Kedalaman
Pedon TLK ........................................................................................... 47
21
Sebaran pH H2O Berdasarkan Kedalaman pada Pedon TSTH ........... 52
22
Sebaran pH Berdasarkan Kedalaman pada Pedon TLK (a)
dan (b) Pedon TSI (b) ........................................................................... 52
23
Sebaran C-Organik Berdasarkan Kedalaman Pedon TSTH ................ 52
24
Sebaran C-Organik Berdasarkan Kedalaman pada Pedon TLK
Dan Pedon TSI .................................................................................... 53
25
Sebaran Jumlah Basa-dd Berdasarkan Kedalaman
pada Pedon TSTH ................................................................................ 56
26
Sebaran Jumlah Basa-dd Berdasarkan Kedalaman
pada Pedon TLK dan Pedon TSI ........................................................ 56
27
Difraktogram Sinar-X Pedon PNS1 terpilih (Fraksi < 2 µ) ................ 66
28
Difraktogram Sinar-X Pedon PNS2 terpilih (Fraksi < 2 µ) ................ 67
29
Difraktogram Sinar-X Pedon PNM1 terpilih (Fraksi < 2 µ) ............... 68
30
Difraktogram Sinar-X Pedon PNM3 terpilih (Fraksi < 2 µ) ............... 68
31
Difraktogram Sinar-X Pedon PNM-LK terpilih (Fraksi < 2 µ) ........... 69
32
Difraktogram Sinar-X Pedon PNB terpilih (Fraksi < 2 µ) .................. 69
33
Klasifikasi Tanah Berdasarkan Toposekuen di Sidomukti
dan Bandungrejo ................................................................................. 88
34
Klasifikasi Tanah Berdasarkan Toposekuen di Molombulahe ............ 88
35
Sebaran TPL dengan Rekomendasi Penuh pada Toposekuen
di Sidomukti dan Bandungrejo ........................................................... 109
36
Sebaran TPL dengan Rekomendasi Penuh pada Toposekuen
di Molombulahe .................................................................................. 109
37
Sebaran TPL dengan Rekomendasi Bersyarat
pada Toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo .............................. 110
38
Sebaran TPL dengan Rekomendasi Bersyarat
pada Toposekuen di Molombulahe ..................................................... 110
39
Sebaran TPL yang Tidak Rekomendasi pada Toposekuen
di Sidomukti dan Bandungrejo ........................................................... 111
40
Sebaran TPL yang Tidak Rekomendasi pada Toposekuen
di Sidomukti ....................................................................................... 111
xix
DAFTAR LAMPIRAN
1
Halaman
Deskripsi Profil Tanah ......................................................................... 122
a. Pedon PNS1 .................................................................................... 122
b. Pedon PNS2 .................................................................................... 123
c. Pedon PNS3 .................................................................................... 124
d. Pedon PNS-LK ................................................................................ 125
e. Pedon PNM1 ................................................................................... 126
f. Pedon PNM2 ................................................................................... 127
g. Pedon PNM3 ................................................................................... 128
h. Pedon PNM-LK .............................................................................. 129
i. Pedon PNB ...................................................................................... 130
2
Susunan Mineral Fraksi Pasir Pada Pedon Pewakil yang Diteliti ....... 131
3
Kriteria Penilaian Sifat-Sifat Kimia Tanah ......................................... 132
4
Data Komponen Iklim di Daerah Penelitian ........................................ 133
5
Hasil Analisis Rejim Suhu Tanah Dan Rejim Kelembaban
Tanah di Daerah Penelitian .................................................................. 134
a. Stasiun Sidodadi .............................................................................. 134
b. Stasiun Molombulahe ..................................................................... 135
6
Nilai ETo Berdasarkan Metode Blaney-Criddle
di Daerah Penelitian.............................................................................. 136
7
Kadar Air Tanah pada Kondisi Kapasitas Lapang, Titik Layu
Permanen dan WHC per 7.5 cm di Daerah Penelitian ........................ 137
8
Kondisi Ketersediaan Air Bulanan TPL Padi Lokal
pada Lahan Sawah dan Jenis Tanah di Paguyaman Gorontalo ........... 138
9
Kondisi Ketersediaan Air Bulanan TPL Padi-Jagung pada
Lahan Sawah dan Jenis Tanah di Paguyaman Gorontalo .................... 139
10
Kondisi Ketersediaan Air Bulanan TPL Padi-Jagung-Jagung pada
Lahan Sawah dan Jenis Tanah di Paguyaman Gorontalo .................... 140
11
Penentuan Dosis Pupuk Preskripsi pada Beberapa TPL Pola C
di Daerah Paguyaman Gorontalo ......................................................... 141
12
Data Rata-Rata Sifat Fisika Tanah Lapisan Atas (top soils)
pada Tanah Sawah Kedalaman 30 cm ................................................. 142
13
Data Rata-Rata Sifat Kimia Tanah Lapisan Atas (top soils)
pada Tanah Sawah Kedalaman 30 cm ................................................. 142
14
Deskripsi Atribut Kunci Tipe Penggunaan Lahan (TPL) ....................
a. Atribut TPL Padi Lokal Pola A, B, dan C .....................................
b. Atribut TPL Padi-Jagung Pola A, B, dan C ....................................
c. Atribut TPL Padi-Jagung-Jagung Pola A, B, dan C ......................
143
143
144
145
1
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kebutuhan beras Nasional terus meningkat dari tahun ke tahun karena
peningkatan penduduk dengan persentase laju pertambahan sekitar 2%, sehingga
harus mengimpor beras. Berdasarkan data Departemen Pertanian RI (2008),
produksi padi Nasional pada tahun 2006 mencapai 57.157.435 ton gabah kering
giling (GKG) atau setara dengan 32.304.029 ton beras, dimana sebanyak
54.199.693 ton GKG (94,83%) berasal dari padi sawah dan sisanya berasal dari
padi ladang. Namun, capaian tersebut belum mampu memenuhi permintaan beras
Nasional yang pada tahun 2006 mencapai 36.350.000 ton (BPS RI 2007).
Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu diupayakan peningkatan dan
pengembangan lahan sawah potensial lainnya termasuk tanah sawah tadah hujan.
Tanah sawah tadah hujan (TSTH) merupakan lumbung padi kedua Nasional
setelah tanah sawah irigasi (TSI) dengan luasan sebesar 2,1 juta ha (Suyamto et
al. 2008). Provinsi Gorontalo memiliki TSTH seluas 13.081 ha atau 0,47% dari
luas Nasional (BPS Provinsi Gorontalo 2008), yang diantaranya berada di daerah
Paguyaman dengan luas 7.744 ha atau 59,20% dari luas TSTH provinsi. Capaian
produksi padi daerah ini sampai tahun 2007 sebesar 6.791 ton dengan rata-rata
produksi sebesar 1,7 ton ha-1 (BPS Kabupaten Gorontalo dan Boalemo 2008),
sehingga daerah ini memberikan kontribusi produksi padi sebesar 21,20% dari
total capaian produksi Kabupaten Gorontalo dan 18,97% dari total capaian
produksi Kabupaten Boalemo. Sedangkan kontribusinya terhadap capaian
produksi padi Provinsi Gorontalo sebesar 33,84% dan 0,13% terhadap capaian
produksi padi Nasional.
Pengembangan TSTH sampai saat ini masih menghadapi permasalahan.
Permasalahan yang menonjol adalah produktifitasnya masih rendah, yaitu sekitar
2,0-2,5 ton ha-1 sampai tahun 2006 (Pirngadi dan Makarim 2006) dan sekitar 2,03,5 ton ha-1 sampai tahun 2008 (Suyamto et al. 2008), padahal produksi padi
sawah irigasi sudah mencapai 5,68 ton ha-1 (BPS RI 2007).
2
Dilihat dari luas lahan, TSTH di daerah ini potensial dan menjadi alternatif
yang menjanjikan untuk dikembangkan di masa mendatang. Namun demikian,
TSTH ini mendapat suplai air dari hujan dan dari pemompaan sungai terdekat
yang volumenya cukup terbatas. Data Stasiun Iklim Sidodadi dan Molombulahe
tahun 2007 menunjukkan bahwa daerah Paguyaman menurut Zona Agroklimat
(Oldeman dan Darmiyati 1977) termasuk E4 karena memiliki 6-9 bulan kering
(<100 mm) dan 1 bulan basah (≥200 mm). Rata-rata curah hujan bulanan stasiun
Sidodadi hanya sebanyak 93 mm bulan-1 dan 85 mm bulan-1 pada stasiun
Molombulahe. Kondisi ini menyebabkan minimnya ketersediaan air untuk
pengembangan padi sawah. Wade et al. (1999) menyatakan bahwa produksi padi
pada TSTH tidak terlepas dari permasalahan ketersediaan air. Lebih lanjut
Suyamto et al. (2008) menyatakan bahwa faktor pembatas pertumbuhan padi pada
TSTH antara lain curah hujan yang tidak menentu. Dengan demikian,
ketersediaan air tidak mampu menyuplai kebutuhan air padi sawah selama satu
tahun yang menyebabkan padi ditanam sekali dalam setahun dan bulan sisanya
ditanami jagung atau diberakan.
Jagung merupakan sumber pangan kedua setelah beras di Indonesia. Sampai
tahun 2007, produksi jagung di Provinsi Gorontalo mencapai 572.784 ton dari
lahan seluas 119.027 ha yang tercapai dalam program Agropolitan. Sedangkan
capaian produksi jagung daerah Paguyaman baru mencapai 119.691,5 ton dari
lahan seluas 25.753 ha (BPS Kabupaten Gorontalo dan Boalemo 2008). Data
produksi jagung ini menunjukkan bahwa daerah Paguyaman memberikan
kontribusi produksi jagung sebesar 15,75% terhadap total produksi jagung
Provinsi Gorontalo.
Lahan untuk pengembangan jagung di daerah ini merupakan lahan kering
(TLK) dan sedikit yang menanam jagung pada lahan sawah, terutama TSTH. Hal
ini sejalan dengan pernyataan Edmeades et al. (1994) bahwa sekitar 90%
pertanaman jagung di daerah tropis dikembangkan pada lahan kering dan TSTH.
Secara nasional, luas penggunaan TSTH untuk jagung mengalami peningkatan
mencapai 20-30% (Kasryno 2002). Dengan demikian, maka lahan TSTH
potensial untuk pengembangan jagung. Menurut Subandi dan Marwan (2003),
tanaman jagung menjadi komoditas penting pada TSTH di masa mendatang.
3
Tanah sawah, termasuk TSTH dapat terbentuk dari berbagai jenis tanah dan
karakteristiknya tergantung dari sifat tanah asalnya (Arabia 2009), serta
lingkungan pembentukannya. Menurut Bahcri et al. (1993), geologi daerah
Paguyaman dominan berkembang dari bahan lakustrin yang terdiri dari batu liat
(claystones), batu pasir (sandstones), dan kerikil (gravel) pada epoch kuarter
pleistosen dan holosen. Sementara Prasetyo (2007) melaporkan bahwa daerah
Paguyaman mengandung mineral kuarsa dan dalam jumlah yang lebih sedikit
masih dijumpai mineral ortoklas, sanidin dan andesin. Mineral epidot, amfibol,
augit dan hiperstin dijumpai dalam jumlah sangat sedikit, sehingga cadangan hara
di daerah ini tergolong sedang. Dengan demikian, maka faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan tanah akan berbeda, tergantung tempat tingkat
perkembangan tanah yang ditunjukkannya.
Seberapa tingkat perkembangan TSTH yang ditunjukkan oleh proses
horisonisasi dan haploidisasi, juga proses pelapukan mineral primer serta
pembentukan mineral sekunder (Hardjowigeno 1993) yang telah berlangsung
menjadi menarik untuk diteliti. Dengan formasi geologi endapan lakustrin TSTH
dan termasuk dalam zona agroklimat E4 telah mendorong untuk dilakukan
penelitian yang lebih mendalam berdasarkan karakteristik dan genesis tanah. Di
samping itu, pengaruh masing-masing faktor pembentuk tanah, termasuk akibat
aktifitas manusia selanjutnya akan menghasilkan karakteristik tanah yang
berbeda-beda. Untuk membantu mempelajari hal-hal tersebut, maka tanah-tanah
tersebut perlu diklasifikasi menurut sistem Taksonomi Tanah.
Pengelolaan tanah berdasarkan karakteristik dan kualitas tanah perlu
dilakukan agar faktor pembatas penggunaannya dapat dihilangkan atau
diminimalisir. Suyamto et al. (2008) menyatakan bahwa faktor pembatas
pertumbuhan padi pada TSTH selain curah hujan, juga tingkat kesuburan tanah
yang rendah. Demikian halnya dengan hasil jagung. Penentuan kelas kesesuaian
lahan merupakan salah satu cara untuk mencapai hal tersebut dan menentukan
potensi tanah.
4
1.2
Hipotesis Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan mengajukan beberapa hipotesis, yaitu :
1.
Perkembangan TSTH berdasarkan karakteristik dan genesis tanah berbeda
dengan TSI dan TLK.
2.
Faktor iklim, topografi, waktu dan aktifitas manusia merupakan faktorfaktor utama yang mempengaruhi pembentukan TSTH.
3.
Klasifikasi TSTH berbeda dengan TSI dan TLK, walaupun berkembang dari
bahan yang sama.
4.
Potensi TSTH berbeda dengan potensi TSI, walaupun berkembang dari
bahan yang sama.
1.4
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1.
Mengetahui perkembangan TSTH berdasarkan karakteristik dan genesis
tanah yang berasal dari bahan lakustrin.
2.
Mengidentifikasi faktor-faktor utama yang mempengaruhi pembentukan
profil TSTH.
3.
Mengklasifikasi tanah menurut sistem Taksonomi Tanah.
4.
Mengetahui potensi TSTH dengan menganalisis kesesuaian lahannya untuk
padi dan jagung.
1.5
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :
1.
Diperoleh informasi perkembangan TSTH berdasarkan karakteristik dan
genesis
tanah
yang
berasal
dari
bahan
lakustrin
sebagai
dasar
pengelolaannya.
2.
Diketahui faktor-faktor utama yang mempengaruhi pembentukan profil
TSTH.
3.
Diperoleh klasifikasi TSTH menurut sistem Taksonomi Tanah.
4.
Diketahui potensi TSTH berdasarkan kelas kesesuaian lahannya dan faktor
pembatas
penggunaannya
yang
meningkatkan kelas kesesuaiannya.
mungkin
bisa
diperbaiki
untuk
5
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Lingkungan Daerah Lakustrin
Van Bemmelen (1949) menyatakan bahwa bahan endapan yang terdapat di
sekitar Sungai Paguyaman merupakan lakustrin dan termasuk dalam zona
Limboto dan termasuk zona patahan yang memanjang sampai ke Gorontalo akibat
kegiatan volkanisme. Djaenuddin et al. (2005) melaporkan bahwa daerah
Paguyaman diduga merupakan bekas kaldera/danau besar sebagai hasil
volkanisme, yang tidak mempunyai outlet ke laut. Terjadinya patahan
menyebabkan terbentuknya celah atau retakan yang memungkinkan air danau
mengalir keluar dan mengering yang akhirnya membentuk dataran luas. Peta
Geologi Lembar Tilamuta, Sulawesi Skala 1 : 250.000 (Bachri et al. 1993)
menunjukkan bahwa sebagian besar daerah Paguyaman termasuk formasi endapan
danau atau lakustrin (Qpl) yang terdiri dari batu liat (claystones), batu pasir
(sandstones), dan kerikil (gravel) pada zaman kuarter pleistosen dan holosen.
Kumarawarman (2008) menyatakan bahwa lingkungan pengendapan danau
adalah tubuh air yang dikelilingi oleh daratan yang mengisi suatu cekungan.
Lingkungan ini terbentuk akibat dari proses tektonik, gerakan tanah, volkanik,
penurunan atau pengikisan permukaan tanah (deflasi) oleh erosi angin dan fluvial,
tetapi proses utamanya karena rifting, yaitu peretakan akibat tarikan (extention).
Endapan danau terbentuk pada fase synrift, yaitu proses pengendapan sedimen
yang berlangsung sebelum atau bersamaan dengan aktifitas pembentukan basin
pada cekungan yang belum stabil sampai dengan subsiden regional postrift, yaitu
setelah terbentuk cekungan pada basin yang stabil, sebelum lingkungannya
berubah menjadi delta atau marin. Djaenuddin et al. (2005) melaporkan bahwa
bahan induk tanah di daerah Paguyaman diantaranya adalah endapan danau,
berususunan liat berwarna kelabu padat, yang sebagian tertutup aluvium. Sering
dijumpai sisipan kapur pada bagian celah atau retakan, yang diduga sebagai hasil
kontak dengan air laut.
6
2.2
Karakteristik Tanah Sawah
Tanah sawah merupakan tanah yang digunakan atau potensial digunakan
untuk pertumbuhan padi akuatik (Kyuma 2004). Menurut Sanchez (1993), TSTH
serupa dengan TSI hanya berbeda pada tidak adanya pengaturan air. Pengolahan
tanah dalam keadaan tergenang serta tindakan penggenangan yang sengaja
dilakukan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan sifat morfologi, fisik,
kimia dan biologi tanah (Rayes 2000). Koenigs (1950) menyatakan bahwa
morfologi profil tanah sawah bersifat tipikal pada tanah kering yang disawahkan
di sekitar Bogor, yaitu adanya lapisan olah, lapisan tapak bajak, lapisan besi (Fe),
lapisan mangan (Mn), serta lapisan tanah asal yang tidak dipengaruhi
penyawahan. Tanah asal sebelumnya sangat mempengaruhi karakteristik tanah
sawah karena telah mengalami perkembangan akibat interaksi faktor pembentuk
tanah yang berpengaruh.
Menurut Gong (1986) bahwa pembentukan tanah sawah meliputi 2 (dua)
aspek, yaitu : (1) eluviasi, dan (2) pengaruh penanaman dan pemupukan. Eluviasi
dipercepat karena terjadi perkolasi air irigasi. Sementara, kondisi reduksi
memungkinkan terjadinya pencucian beberapa unsur yang tidak dapat tercuci pada
kondisi lahan kering.
Sedangkan Moormann dan Van Breemen (1978)
menyatakan bahwa perubahan sifat yang terjadi pada tanah sawah dapat
dibedakan atas perubahan yang bersifat sementara dan permanen. Perubahan yang
bersifat sementara pada tanah yang disawahkan berkaitan dengan pengolahan
tanah dalam keadaan tergenang (pelumpuran) dan perubahan sifat kimia yang
berhubungan
dengan
proses
reduksi-oksidasi.
Perubahan
tersebut
akan
menyebabkan perubahan sifat morfologi tanah.
Rayes (2000) menyatakan bahwa perubahan yang bersifat permanen terlihat
dari sifat morfologi profil tanah yang seringkali menjadi sangat berbeda dengan
profil tanah asalnya. Sementara Moormann dan Van Breemen (1978), Kanno
(1978), serta Ghildyal (1978) menjelaskan bahwa pengolahan tanah menyebabkan
perubahan sifat fisik tanah, yaitu hancurnya agregat tanah, pori-pori kasar
berkurang dan halus meningkat dan tanah mengalami pelumpuran yang
menyebabkan partikel-partikel halus bergerak ke bawah bersama air perkolasi
membentuk lapisan tapak bajak di bawah lapisan olah, sehingga bobot isi pada
7
lapisan tersebut menjadi meningkat. Penyebab perubahan yang bersifat permanen,
yaitu (a) perataan dan penterasan dalam pembuatan sawah yang dipengaruhi oleh
kemiringan tanah asal, (b) perubahan sifat fisik tanah tertentu karena tindakan
budidaya padi, dan (c) perubahan sifat kimia dan mineralogi tanah yang
merupakan bagian dari proses pembentukan tanah, seperti eluviasi dan iluviasi Fe
dan Mn, proses ferolisis, pembentukan oksida besi, Mn dan lainnya (Moormann
dan Breemen 1978).
Tanah sawah yang berkembang di daerah aluvial umumnya sudah
mempunyai warna glei dan karatan, karena tanah ini terbentuk pada kondisi muka
air tanah yang dangkal (Prasetyo 2008). Djaenuddin et al. (2005) melaporkan
bahwa pada profil tanah di daerah Paguyaman ditemukan karatan besi dan
mangan, konkresi dan nodul dalam jumlah cukup sampai banyak pada kedalaman
0-110 cm. Kondisi ini juga dialami oleh TSTH, kecuali pengolahan tanah dan
pelumpuran dalam kondisi tergenang yang tidak seintensif tanah sawah pada
umumnya (irigasi). Dengan demikian, maka sifat morfologi profil TSTH memiliki
sifat yang tipikal, terutama berkaitan dengan perubahan sifat-sifat di dalam tanah,
sehingga menarik untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.
2.3
Klasifikasi Tanah Sawah
Rayes (2000) menyatakan bahwa upaya untuk mengklasifikasi tanah sawah
telah banyak dilakukan, meskipun sampai saat ini belum ada yang memuaskan
dan merupakan masalah yang agak rumit. Klasifikasi tanah sawah menurut sistem
Taksonomi Tanah sejak tahun 1992 (Soil Survey Staff 1992) dapat dibuat lebih
rinci dibandingkan edisi sebelumnya. Hal ini karena sejak saat itu, mulai
diperkenalkan istilah kondisi akuik yang mempertimbangkan segi hidrologis
terjadinya kondisi akuik tersebut.
Soil Survey Staff (2006) mendefinisikan tanah dengan kondisi akuik adalah
tanah yang saat ini mengalami kejenuhan dan reduksi terus-menerus atau secara
berkala. Persayaratan lamanya penjenuhan untuk terbentuknya kondisi akuik
bervariasi, tergantung pada lingkungan tanah dan tidak spesifik. Berdasarkan tipe
kejenuhannya, maka kondisi akuik terbagai atas: (a) endosaturasi, dimana air
menjenuhi semua lapisan dari batas atas penjenuhan sampai kedalaman 200 cm
8
atau lebih dari permukaan mineral tanah, (b) episaturasi, dimana air menjenuhi
satu atau lebih lapisan sampai kedalaman 200 cm pada permukaan tanah mineral
dan juga mempunyai satu atau lebih lapisan tidak jenuh dari batas atas sampai
kedalam 200 cm lapisan penjenuhan, dan (c) saturasi antrik (anthric saturation),
dimana lapisan ini merupakan jenis khusus kondisi akuik yang terdapat dalam
tanah akibat kegiatan budidaya dan pengairan (aliran irigasi). Lebih lanjut
dijelaskan
bahwa
pengalaman
lapangan
menunjukkan
ketidakmungkinan
menjelaskan suatu set penampakan redoksimorfik yang spesifik karena semua
taksa mempunyai karakteristik yang unik dalam satu bagian kategori. Oleh karena
itu, pola warna yang unik pada taksa yang spesifik direferensikan pada kunci
taksonomi ini. Selain itu juga, dikenal istilah kondisi antrakuik yang merupakan
variant dari episaturasi berasosiasi dengan aliran air yang dikendalikan, seperti
tanaman pada sawah lahan basah yang disebabkan oleh proses reduksi akibat
dijenuhi. Adanya istilah-istilah tersebut, maka klasifikasi tanah sawah sampai
pada kategori sub grub lebih beragam.
Rayes (2000) menyatakan bahwa klasifikasi tanah sawah dalam Taksonomi
Tanah edisi ke-8 (Soil Survey Staff 1998) lebih mengena dibandingkan dengan
edisi sebelumnya, sejak great-group yang berawalan trop dihilangkan. Kunci
Taksonomi Tanah edisi ke-10 (Soil Survey Staff 2006) menjelaskan lebih
mendalam tentang kondisi akuik, seperti great-group Epiaquents sering muncul
yang mencerminkan tanah yang disawahkan.
2.4
Evaluasi Sumberdaya Lahan
Evaluasi
sumberdaya
lahan
adalah
proses
pendugaan
keragaan
(performance) lahan apabila lahan digunakan untuk tujuan tertentu (FAO 1985)
atau menurut Van Diepen et al. (1991) merupakan metode yang menjelaskan atau
memprediksi kegunaan potensial dari lahan. Apabila potensi lahan sudah
ditentukan, maka perencanaan penggunaan lahan dapat dilakukan berdasarkan
pertimbangan rasional, paling tidak mengenai apa yang dapat ditawarkan oleh
sumberdaya lahan tersebut (FAO 1995). Menurut FAO (1976), kerangka dasar
dalam evaluasi ini adalah membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk
suatu penggunaan lahan tertentu dengan sifat sumberdaya lahan yang ada pada
lahan tersebut.
9
Dalam evaluasi lahan, penggunaan lahan harus dikaitkan dengan tipe
penggunaan lahan (land utilization type) atau TPL, yaitu jenis-jenis penggunaan
lahan yang diuraikan secara lebih detil karena menyangkut pengelolaan, masukan
yang diperlukan dan keluaran yang diharapkan secara spesifik (FAO 1976). Lebih
lanjut dikatakannya bahwa setiap jenis penggunaan lahan dirinci ke dalam tipetipe penggunaan lahan. TPL bukan merupakan tingkat kategori dari klasifikasi
penggunaan lahan, tetapi mengacu kepada penggunaan lahan tertentu yang
tingkatannya di bawah kategori penggunaan lahan secara umum, karena berkaitan
dengan aspek masukan, teknologi, dan keluarannya.
Sifat-sifat atau atribut penggunaan lahan mencakup data dan/atau asumsi
yang berkaitan dengan aspek hasil, orientasi pasar, intensitas modal, buruh,
sumber tenaga, pengetahuan teknologi penggunaan lahan, kebutuhan infrastruktur,
ukuran dan bentuk penguasaan lahan, pemilikan lahan dan tingkat pendapatan per
unit produksi atau unit areal (FAO 1976). TPL menurut sistem dan modelnya
dibedakan atas dua macam yaitu multiple dan compound. Multiple merupakan
TPL yang terdiri lebih dari satu jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan
secara serentak pada suatu areal yang sama dari sebidang lahan. Setiap
penggunaan memerlukan masukan dan kebutuhan, serta memberikan hasil
tersendiri. Sedangkan compound merupakan TPL yang terdiri lebih dari satu jenis
penggunaan (komoditas) yang diusahakan pada areal-areal dari sebidang lahan
yang untuk tujuan evaluasi diberlakukan sebagai unit tunggal. Perbedaan jenis
penggunaan bisa terjadi pada suatu sekuen atau urutan waktu, dalam hal ini
ditanam secara rotasi atau secara serentak, tetapi pada areal yang berbeda pada
sebidang lahan yang dikelola dalam unit organisasi yang sama (FAO 1976).
Dalam proses evaluasi lahan, umumnya dilakukan penentuan ciri lahan
(land properties) yang berhubungan dan dapat diukur atau dianalisis tanpa
memerlukan usaha-usaha yang besar, dimana ciri lahan ini sering disebut
karakteristik lahan (land characteristics). Dalam evaluasi lahan sering langsung
menggunakan karakteristik lahan (Driessen 1971; Staf PPT 1983). Namun,
pengaruh karakteristik lahan pada sistem penggunaan lahan jarang yang bersifat
langsung. Menurut FAO (1976), penggunaan karakteristik lahan untuk kegiatan
evaluasi lahan akan menimbulkan masalah, yaitu meningkatnya interaksi diantara
10
karakteristik
lahan
yang
digunakan,
sehingga
FAO
merekomendasikan
penggunaan kualitas lahan (land quality atau KL) dalam kegiatan evaluasi lahan
sejak tahun 1976. Lebih lanjut Sys et al. (1991) menyatakan bahwa manfaat
penggunaan kualitas lahan dalam evaluasi lahan, yaitu kualitas lahan berhubungan
langsung dengan persyaratan spesifik penggunaan lahan, kualitas lahan dapat
menekan interaksi antara faktor-faktor lingkungan, dan jumlah kualitas lahan
lebih sedikit dibanding karakteristik lahan.
Kualitas lahan adalah sifat-sifat pengenal atau atribut yang bersifat
kompleks dari sebidang lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai keragaan
(performance) yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan
tertentu dan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land
characteristics). Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara
langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan dari pengertian
karakteristik lahan (FAO. 1976). Namun, menurut Firmansyah (2007) bahwa
kendala penggunaan kualitas lahan dalam evaluasi lahan adalah kompleksnya
perhitungan karena menggunakan satu atau lebih karakteristik lahan sehingga
diperlukan pengolahan kembali data yang diperoleh dari survei tanah.
Klasifikasi kesesuaian lahan umumnya menggunakan kerangka kerja
evaluasi lahan menurut FAO (1976). Struktur klasifikasi ini terdiri atas empat
kategori, yaitu kategori ordo (order) yang menunjukkan keadaan kesesuaian
secara umum serta terbagi atas ordo sesuai (S) dan tidak sesuai (N); kategori kelas
(class) yang menunjukkan tingkat kesesuaian dalam ordo serta terbagi dalam tiga
kelas untuk ordo sesuai, yaitu kelas sangat sesuai (highly suitable) atau S1, cukup
sesuai (moderately suitable) atau S2, sesuai marjinal (marginally suitable) atau
S3, dan untuk ordo tidak sesuai terbagi dalam dua kelas, yaitu kelas tidak sesuai
sekarang (currently not suitable) atau N1 dan tidak sesuai selamanya
(permanently suitable) atau N2. Kategori pada tingkat sub kelas (subclass)
menunjukkan keadaan tingkatan dalam kelas berdasarkan faktor pembatas atau
macam jenis perbaikan yang diperlukan dalam kelas. Sedangkan kategori satuan
(unit) menunjukkan tingkatan dalam sub kelas berdasarkan perbedaan kecil yang
berpengaruh dalam pengelolaannya.
11
Penentuan kelas kesesuaian lahan, umumnya menggunakan tiga pendekatan,
yaitu pendekatan simple or maximum limitation, limitation regarding number and
intensity of limitation dan pendekatan parametrik (Sys et al. 1991). kedua
pendekatan pertama tidak digunakan dalam penelitian ini. Sedangkan pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah parametrik. Menurut Rayes (2007)
bahwa pendekatan parametrik merupakan sistem klasifikasi pembagian lahan
berdasarkan pengaruh atau nilai lahan tertentu yang kemudian mengkombinasikan
pengaruh tersebut untuk menyimpulkan tingkat kesesuaiannya. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Sys et al. (1991) bahwa pendekatan parametrik adalah
pemberian atribut atau nilai pada setiap karakteristik atau kualitas lahan. Setiap
rating individu digunakan untuk menghitung indeksnya. Jika nilai karakteristik
atau kualitas lahan optimal untuk suatu TPL, maka rating maksimumnya
diberikan nilai 100 dalam persen (%) dan nilai rating terendah untuk kualitas
lahan adalah 0%. Penyusunan indeks, baik untuk indeks iklim dan indeks lahan
dihitung dari rating individu yang dapat menggunakan dua metode, yaitu metode
Storie dan metode akar kuadrat (square root method).
12
3. BAHAN DAN METODE
3.1
Lokasi Penelitian
Penelitian terdiri dari penelitian lapang dan analisis tanah di laboratorium.
Penelitian lapang dilakukan di daerah Paguyaman pada 3 (tiga) lokasi, yaitu: (1)
Areal TSTH dan lahan kering Desa Sidomukti Kecamatan Mootilango Kabupaten
Gorontalo, (2) Areal TSTH dan lahan kering Desa Molombulahe Kecamatan
Paguyaman Kabupaten Boalemo dan (3) Areal TSI Desa Bandungrejo Kecamatan
Boaliyohuto Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo. Ketiga lokasi tersebut,
tanahnya berkembang dari bahan lakustrin (Gambar 1, 2 dan 6).
Adapun analisis tanah dilakukan di laboratorium Departemen Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, dan
Laboratorium Pusat Penelitian Tanah Bogor.
3.2
Bahan dan Alat
Bahan yang diteliti adalah tanah yang berasal dari lahan sawah dari ketiga
lokasi dan lahan kering dari dua lokasi di atas serta contoh tanahnya dari masingmasing lahan tersebut. Tanah tersebut diwakili oleh pedon-pedon, yaitu pedon
PNS1, PNS2, PNS3, dan PNS-LK (asal Sidomukti); pedon PNM1, PNM2, PNM3,
dan PNM-LK (asal Molombulahe); dan pedon PNB (asal Bandungrejo). Contoh
tanah diambil dari setiap horizon dalam profil pewakil masing-masing tanah yang
seluruhnya terdiri dari sembilan profil dan 58 horison (contoh).
Alat yang digunakan terdiri dari pisau tanah, buku warna tanah (munsell soil
colour chart), blangko pengamatan profil tanah, meteran, ring sampel, bor tanah
mineral dan bor tanah sawah, pacul, skop, parang, teropong, altimeter, clinometer,
GPS (global positioning system), kompas, kantong plastik, karet gelang, kertas
lebel, loup, permeameter, 1 set Komputer dan printer, spidol F, program pengolah
data Microsoft Excel, dan program Microsoft Word serta seperangkat alat analisis
laboratorium. Untuk analisis kesesuaian lahan, menggunakan kerangka kerja
(framework) evaluasi lahan menurut FAO (1976) berdasarkan pendekatan
parametrik (parametric approach). Hasil analisis kesesuaian lahan disesuaiakan
dengan kondisi lapangan, sehingga kesalahan interpretasi dan penarikan
kesimpulan dapat diminimalisir.
13
PETA LOKASI PENELITAN
PAGUYAMAN I
0o42’ LU
Daerah Sidomukti
Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo
PNSLK
PNB
KETERANGAN
Batas Kecamatan
Sungai
Stasiun
Iklim
Sidodadi
PNS-3
Jalan Raya
Jalan Kabupaten
PNS-2
Pemukiman
41’
Ladang
PNS-1
Perkebunan Kelapa
Kebun Campuran
Sawah Irigasi
Sawah Tadah Hujan
Lokasi Profil Pedon
40’
1
0
1
0
500
2
3
4
5 km
m
Sumber Data:
Peta Rupa Bumi Lembar Molombulahe
Skala 1 : 50.000
122o37’ BT
38’
39’
40’
41’
13
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Desa Sidomukti dan Bandungrejo Kabupaten Gorontalo
14
PETA LOKASI PENELITAN
PAGUYAMAN II
Daerah Molombulahe
Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo
KETERANGAN
Batas Kecamatan
Sungai
Jalan Raya
0o39’ LU
Jalan Kabupaten
PNM-1
Jalan Trans Sulawesi
Pemukiman
Stasiun Iklim
Molombulahe
Ladang
Perkebunan Kelapa & Sawah
Tadah Hujan
Kebunan Campuran
38’
PNM-2
Sawah Irigasi
Lokasi Profil Pedon
PNM-3
PNMLK
1
0
1
2
0
2
2
3
4
4
5 km
6m
Sumber Data:
Peta Rupa Bumi Lembar Molombulahe
Skala 1 : 50.000
37’
122o33’ BT
34’
35’
36’
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Molombulahe Kabupaten Boalemo
14
15
3.3
Metode Penelitian
3.3.1 Penetapan Lokasi dan Contoh
Penetapan lokasi penelitian didasarkan pada Peta Geologi Lembar Tilamuta
Sulawesi Skala 1 : 250.000, Peta Penggunaan Lahan Kawasan Paguyaman Skala 1
: 50.000, Peta Kemiringan Lereng daerah Paguyaman Skala 1 : 50.000, Peta
Landform Kawasan Paguyaman Skala 1 : 50.000, Peta Zona Agroklimat Skala 1 :
250.000 dan Peta Jenis Tanah Kawasan Paguyaman Skala 1 : 50.000. Hasil
superimpose peta-peta tersebut telah membantu penetapan lokasi penelitian.
Lokasi pengambilan contoh didasarkan pada jenis tanah dominan menurut
peta jenis tanah dan perbedaan lereng menurut Peta Kemiringan Lereng daerah
Paguyaman Skala 1 : 50.000. Selanjutnya ditetapkan tiga profil dalam satu transek
lereng di dua lokasi yang berbeda. Sebagai perbandingan tingkat perkembangan
tanah, dibuat 1 profil yang tidak disawahkan (lahan kering) di sekitar profil yang
di sawahkan untuk dua lokasi yang berbeda. Sedangkan pembanding tingkat
perkembangan tanah dengan intensitas pengolahan tanah yang intensif, maka
dibuat 1 profil yang disawahkan dengan irigasi teknis. Dengan demikian, maka
terdapat 9 profil pedon terpilih. Contoh tanah diambil dari horison setiap profil
tanah untuk dianalisis di laboratorium. Untuk setiap profil selanjutnya dilakukan
karakterisasi, rekonstruksi genesis dan klasifikasi tanah. Analisis potensi lahan
dilakukan terhadap TSTH dan TSI dengan menentukan kelas kesesuaian lahan.
3.3.2 Pelaksanaan Lapang
Pelaksanaan lapang didasarkan pada lokasi contoh profil (pedon).
Sebelumnya, pengujian lokasi dilakukan apakah sesuai atau tidak dengan judul
penelitian. Jika tidak sesuai dapat dilakukan perubahan lokasi. Profil tanah dibuat
dan diambil contohnya sesuai dengan prinsip-prinsip survei tanah (NSSC-NCRS
USDA 2002 dalam Abdullah 2006; Soil Survey Division Staff 1993). Data iklim
dikumpulkan dari dua stasiun iklim, yaitu stasiun Sidodadi, dan Molombulahe.
Data curah hujan (mm), suhu (oC), kelembaban relatif (%) dan data kecepatan
angin (km jam-1) tersedia di dua stasiun yang ada. Sedangkan data panjang
penyinaran (%) hanya di stasiun iklim Sidodadi saja.
16
Berdasarkan data curah hujan, suhu udara, posisi lintang-bujur, dan elevasi
kemudian diolah dengan program NSM (newhall simulation model), dalam Van
Wambeke et al. (1986) untuk menentukan rejim kelembaban tanah dan rejim suhu
tanah daerah penelitian. Sebagai kontrol terhadap hasil analisis suhu tanah dengan
alat bantu program NSM, maka dihitung pula dengan persamaan 1 yang
dikemukakan Newhall (Van Wambeke 1984) sebagai berikut:
Ts = Ta + 2,5 …………………………………………………………. (1)
Dimana: Ts adalah suhu tanah rata-rata bulanan pada kedalaman 50 cm (oC), Ta
adalah suhu udara rata-rata bulanan (oC). Evapotranspirasi dihitung berdasarkan
persamaan 2 yang dikemukakan Thornthwaite dan Mather (1957) sebagai berikut:
ETP = 1,6 x F (10t/I)a, ………………………………………………… (2)
Dimana: ETP adalah evapotranspirasi bulanan, F adalah faktor koreksi yang
didekati dengan jumlah hari dalam bulan, t adalah suhu udara rata-rata bulanan
(oC), a adalah 1,8 dan I adalah indeks panas dalam 1 tahun yang diperoleh dari
persamaan 3 berikut:
I = Σ (t/5)1,54 …………………………………………………………….. (3)
Sedangkan neraca air (water balance) diperoleh dari analisis data curah dan
evapotranspirasi yang diolah dengan program Cropwat (Donker 1986).
3.3.3 Analisis Laboratorium
Sesuai dengan tujuan penelitian, contoh tanah dianalisis dengan sifat-sifat
tanah dan metodenya yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter Sifat-Sifat Tanah dan Metode Analisisnya
No
A
1
2
3
4
B
1
2
3
4
5
6
7
C
1
2
Sifat Tanah
Sifat Fisik
Tekstur
Kerapatan Limbak
Permeabilitas
Plastisitas
Sifat Kimia
pH H2O dan KCl
C-Organik
KTK
Kation-Kation Basa:
Ca2+, Mg2+, K+, Na+
N total
P2O5 tersedia
Kejenuhan Basa
Sifat Mineralogi
Mineral Liat
Mineral Fraksi Pasir
Metode Analisis
Pipet
Ring Sampel
Permeameter
Indeks COLE
pH meter
Walkley dan Black
NH4oAc 1 N pH 7, Titrasi
Ekstraksi NH4oAc 1 N pH 7, untuk Ca2+, Mg2+ menggunakan
AAS. Sedangkan K+ dan Na Flamefotometer
Kjeldahl, Titrasi
Bray 1, Spektrofotometer
Perhitungan
X-Ray Difaktrometer
Mikroskop
17
3.3.4 Analisis dan Interpretasi Data
Data yang diperoleh diolah dan dituangkan dalam bentuk tabel dan gambar.
Selanjutnya, data tersebut dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif serta
diinterpretasi sesuai dengan tujuan penelitian. Untuk menilai potensi tanah, maka
dilakukan analisis kesesuaian lahan. Tahapan penilaian kelas kesesuaian lahan
(KKL) diuraikan sebagai berikut:
a.
Penentuan Tipe Penggunaan Lahan
Tipe penggunaan lahan (TPL) pada penelitian ini didasarkan pada
komoditas pertanian yang penting untuk sumber pangan dan bernilai ekonomi
serta merupakan komoditi unggulan di Provinsi Gorontalo. Jenis TPL tanaman
pangan yang dibagi berdasarkan pola tanam, yaitu pola tanam tunggal dan pola
tanam beruntun. Untuk pola tanam tunggal dengan tanaman padi (Oryza sativa L.)
disebut TPL padi lokal. Sedangkan pola tanam beruntun, yaitu padi dan jagung
(Zea mays L.) dengan pola padi-jagung (TPL padi-jagung) dan padi-jagungjagung (TPL padi-jagung-jagung) dalam setahun.
TPL padi lokal didasarkan pada kondisi eksisting penggunaan lahan di
daerah Paguyaman, dan TPL padi-jagung didasarkan pada banyaknya lahan tadah
hujan yang diusahakan oleh petani transmigran. Sedangkan TPL padi-jagungjagung didasarkan pada pembentukan sentra produksi tanaman pangan di daerah
ini dan sebagai lumbung pangan pada masa paceklik di musim kemarau yang
cukup panjang (>6 bulan) serta penyuplai sumber bahan pangan bagi daerah
sekitarnya, termasuk kota Gorontalo, Limboto dan Tilamuta.
Pembagian TPL berdasarkan komoditas ini kemudian dibagi lagi
berdasarkan atribut TPL, yaitu produksi dan teknologi. Produksi adalah besarnya
produksi yang dihasilkan komoditas pada masing-masing TPL berdasarkan
produksi di tingkat lokal dan tingkat nasional atau setara produksi di lahan dengan
kelas kesesuaian lahan sangat sesuai (S1). Sedangkan atribut teknologi yang
digunakan adalah tingkat pemupukan, yaitu tanpa pupuk, pupuk 100% dosis
anjuran dan pupuk preskripsi. Pembagian TPL ke dalam kedua atribut TPL, yaitu
produksi dan teknologi disebabkan kedua atribut tersebut merupakan bagian dari
11 atribut yang memiliki hubungan langsung dengan hasil dari model pendugaan
kualitas lahan, yaitu ketersediaan air dan hara.
18
Pembagian TPL berdasarkan pola tanam TPL, produksi dan pemupukan
dibagi ke dalam tiga pola (Lampiran 14), yaitu: (1) Pola A, atribut produksi
berupa produksi komoditas berdasarkan hasil di tingkat petani lokal, atribut
teknologi pemupukan disesuaikan dengan kondisi intensifikasi rendah tanpa
pupuk. (2) Pola B, atribut produksi berupa produksi komoditas berdasarkan hasil
di tingkat Nasional atau kelas kesesuaian lahan sangat sesuai (S1) dengan atribut
teknologi pemupukan dengan intensifikasi tinggi, yaitu 100% dari dosis anjuran.
(3) Pola C, atribut produksi berupa produksi komoditas berdasarkan hasil di
tingkat Nasional atau kelas kesesuaian lahan sangat sesuai (S1) dengan atribut
teknologi pemupukan ditentukan dengan menggunakan metode preskripsi.
Metode preskripsi adalah jumlah hara dari pupuk yang ditambahkan sebesar
kekurangan hara dari tanah yang diperlukan komoditas untuk memproduksi
tingkat nasional atau kelas kesesuaian lahan sangat sesuai. Jumlah hara tanah
merupakan nilai rata-rata dari 7 pedon di daerah penelitian.
b.
Penentuan Kualitas Lahan
Jenis kualitas lahan (KL) yang digunakan ada dua, yaitu ketersediaan air
(wa) dan ketersediaan hara (na). Penentuan kedua KL ini berdasarkan asumsi
bahwa ketersediaan air menjadi faktor pembatas karena merupakan sawah tadah
hujan dan minimnya indeks pertanaman (IP 100). Ketersediaan hara dipilih karena
petani hanya memberikan pupuk urea tanpa pupuk TSP atau SP36 dan KCl, juga
tanpa pemberian bahan organik. Kualitas lahan lainnya diasumsikan tidak menjadi
faktor pembatas. Data yang digunakan untuk menghitung setiap KL diperoleh
melalui analisis data primer dan data sekunder (Tabel 2).
Kualitas lahan yang digunakan untuk menentukan klasifikasi kesesuaian
lahan dilakukan secara in situ dan ceteris paribus horizontal. Secara in situ,
artinya contoh tanah yang digunakan dan dianalisis merupakan titik profil tanah
pada pedon setempat dan bukan poligon. Sedangkan secara ceteris paribus
horizontal, artinya pengambilan contoh tanah tidak dilakukan pada titik yang
sama dalam kurun waktu sampai 20 tahun, tetapi didasarkan pada lokasi yang
relatif sama.
19
Tabel 2. Data Penelitian Kesesesuaian Lahan untuk Setiap KL
Kualitas Lahan
Ketersediaan Air
(wa)
Ketersediaan Hara
(na)
Karakteristik Lahan dan Data Lahan Lain yang Diperlukan
Data Primer
Data Sekunder
Kadar air kapasitas lapang dan Curah hujan, temperature,
titik layu permanen,
evapotranspirasi potensial, koefisien
kedalaman efektif, BD,
tanaman (kc), periode pertumbuhan padi
ketersediaan air tanah
dan jagung, kebutuhan air tanaman selama
pertumbuhan (LGP), ketersediaan air
terhadap produksi komoditas
Kapasitas tukar kation,
Kebutuhan hara tanaman, produksi
mineral fraksi pasir, kejenuhan komoditas akibat ketersediaan hara
basa, C-organik, N total, P
tersedia, K-dd
Ketersediaan Air
Perhitungan KL ketersediaan ditentukan berdasarkan neraca air tanaman
dengan metode Thornthweite dan Mather (1957). Data yang digunakan, yaitu data
iklim (curah hujan rata-rata bulanan, dan suhu udara), data kadar air tanah kondisi
kapasitas lapang (pF=2.5) dan titi layu permanen (pF=4.2), dan kedalaman efektif
perakaran 30 cm (tanaman pangan).
Penentuan kandungan air tersedia profil (ATP) untuk padi dan jagung
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: (1) Curah hujan efektif (CHE) atau
CH75 (CH peluang terlampaui 75%) ditetapkan dengan metode rangking dari data
CH bulanan periode sepuluh tahun. Semua daerah penelitian tergolong datar,
sehingga diasumsikan CH dapat meresap ke dalam tanah sebesar 90%CHE. (2)
Nilai ETo (reference crop evapotranspiration) ditetapkan dengan metode BlaneyCriddle. (3) Nilai ETc diperoleh dari persamaan ETc = kc x ETo, dimana Etc
(crop evapotranspiration) adalah evapotranspirasi potensial, kc (crop coefficient)
adalah koefisien tanaman. (4) Pengurangan CHE 90% dengan ETc pada bulan
tertentu yang sama. Apabila 90%CHE > Etc, maka diperoleh nilai positif.
Sebaliknya, apabila 90%CHE < Etc, maka diperoleh nilai negatif. (5) Air tersedia
profil (ATP), yaitu kemampuan tanah menyimpan air yang tersedia bagi tanaman
atau water holding capacity (WHC). Apabila pada tahap ke-4 diperoleh nilai
positif menunjukkan ATP pada kondisi WHC, dimana pertumbuhan tanaman
yang dipengaruhi oleh faktor iklim. Sedangkan apabila pada tahap ke-4 diperoleh
nilai negatif, maka besarnya air pada WHC dikurangi dengan jumlah air yang
defisit dari tahap ke-4 dan menunjukkan periode pertumbuhan yang dipengaruhi
oleh faktor tanah, yaitu WHC. (6) Apabila nilai WHC lebih kecil dari nilai defisit
20
tersebut, maka nilai ATP bernilai negatif atau 0. Pada kondisi nilai ATP sama
dengan nol, maka terjadi evapotranspirasi aktual (ETa). (7) Setelah ATP bulan
ditetapkan, maka dihitung air yang digunakan tanaman (ETc) dari ATP.
Penggunaan ATP untuk memenuhi ETc mengacu pada Doorenbos dan Pruitt
(1977), yaitu penyerapan ATP oleh tanaman (ETc) berdasarkan penggunaan air
dalam tanah dengan perbandingan 40%, 30%, 20% dan 10% pada 1/4 bagian
pertama, kedua, ketiga dan keempat. (8) Apabila ATP pada bagian pertama tidak
mampu mencukupi ETc, maka tanaman mengambil air pada lapisan kedua,
seterusnya sampai lapisan keempat hingga ETc terpenuhi. Apabila nilai ATP
sampai lapisan keempat tidak mencukupi kebutuhan ETc, maka terjadi defisit air
pada bulan tersebut. Untuk tanaman pangan, tebal lapisan yang digunakan yakni
per 7,5 cm (0-7,5; 7,5-15; 15-30 cm).
Koefisien tanaman (kc) tergantung pada fase pertumbuhan tanaman dan jenis
tanaman. Nilai kc masing-masing tanaman tertera pada Tabel 3 dan nilai curah
hujan efektif (CHE) di daerah penelitian tertera pada Tabel 4.
Tabel 3. Nilai kc Tanaman yang Digunakan pada Penelitian ini
Tanaman
Padi Lokal
Padi Unggul
Jagung
Fase dan Waktu (hari)
Initial
Crop
Middle Season
Late Season
1,05 (60)
1,20 (80)
0,70 (40)
1,05 (40)
1,20 (54)
0,70 (26)
0,30 (65)
1,20 (40)
0,50 (35)
Masa Tanam
(hari)
180
120
140
Sumber Data
Allen et al. (1998)
FAO (2001) dalam
Aqil et al. (2008)
Tabel 4. Kondisi CHE, 90% CHE pada Beberapa lokasi di Daerah Penelitian
Curah
Hujan
Jan
Feb
Mar
Apr
CHE75
90% CHE
100,50
90,45
39,75
35,78
75,75
68,18
95,25
85,73
CHE75
90% CHE
68,25
61,43
36,00
32,40
36,00
32,40
83,25
74,93
Bulan (mm)/Lokasi
Mei
Jun
Jul
Sidomukti dan Bandungrejo
198,00
51,00
53,25
178,20
45,90
47,93
Molombulahe
75,00
90,75
88,50
67,50
81,68
79,65
Agu
Sep
Okt
Nov
Des
60,75
54,68
23,25
20,93
31,50
28,35
62,25
56,03
84,75
76,28
27,75
24,98
30,75
27,68
44,25
39,83
84,75
76,28
100,50
90,45
Keterangan: CHE=curah hujan efektif
Pendugaan produksi jenis tanaman masing-masing TPL menggunakan
model pendugaan persamaan regresi dari hasil penelitian sebelumnya (Tabel 5).
Perhitungan dugaan produksi untuk TPL tanaman pangan didasarkan pada jumlah
ATP rata-rata bulanan.
Tabel 5. Persamaan Regresi Pendugaan Produksi Berdasarkan KL Ketersediaan
Air (KL wa)
Komoditas TPL
Persamaan Regresi
Sumber Data
Padi
Y = 1,2058Ln(X)-2,318; R2=0,97
Sudjito (1986)
Jagung
Y = -7,639+1,437X-0,008X2; R2 = 0,99
Notohadiprawiro et al. (2006)
Keterangan: Y=produksi komoditas TPL (ton ha-1), X=air tersedia (mm)
21
Indeks KL ketersediaan air dihitung berdasarkan persentase dari produksi
tanaman berdasarkan model pendugaan produksi masing-masing TPL dengan
tingkat produksi masing-masing pola TPL.
Ketersediaan Hara
Penentuan KL ketersediaan hara dinilai dari pemenuhan kebutuhan hara
yang dibutuhkan tanaman untuk potensi produksi lokal maupun Nasional atau
setara kelas kesesuaian lahan sangat sesuai. Hara yang dibutuhkan tanaman
berasal dari tanah dan pemupukan. Metode yang digunakan untuk menghitung
kecukupan hara yang berasal dari tanah dan pemupukan, yaitu metode preskripsi
(prescription method). Unsur hara yang digunakan dalam penetapan KL ini pada
semua TPL terdiri dari N, P dan K. Jumlah hara yang digunakan dihitung dari
luasan satu hektar dengan kedalaman 30 cm. Perhitungan jumlah hara yang
ditambahkan ke dalam tanah pada masing-masing TPL tergantung pada atribut
teknologi pemupukan pada berbagai pola TPL, yaitu Pola A maka hara diduga
dari ketersediaannya dalam tanah tanpa pemupukan, TPL pola B maka hara
diduga dari tanah dan tambahan pemupukan anjuran dengan dosis penuh 100%
dan TPL pola C, maka hara tersedia diduga dari jumlah hara tersedia dari tanah
ditambah hara yang ditambahkan untuk memenuhi hara yang diperlukan tanaman
untuk berproduksi setara tingkat nasional dengan metode preskripsi.
Efisiensi pemupukan didasarkan pada tekstur liat sebagaimana tektur tanah
dominan di daerah penelitian, yaitu N (40%), P (20%) dan K (60%)
(Leiwakabessy dan Sutandi 2004). Persamaan pendugaan produksi komoditas
masing-masing TPL dari hasil-hasil penelitian sebelumnya digunakan untuk
menghubungkan jumlah hara tanah maupun pemupukan dengan produksi
tanaman. Dosis pemupukan 100% anjuran pada masing-masing komoditas TPL
tertera pada Tabel 6.
Tabel 6. Dosis Pemupukan Anjuran Masing-Masing Komoditas TPL
N
P2O5
K2O
Bahan Organik
…………………….. kg ha-1 ……………………………
Padi
125
100
50
5000
Jagung
150
100
120
5000
Rekomendasi
pupuk
anjuran
padi
berdasarkan
Lampiran
Permentan
No.
40/Permentan/OT.140/04/2007 tanggal 11 April 2007 tentang Rekomendasi Pemupukan NPK Padi
Sawah Spesifik Lokasi; jagung N (Witt 2007), PK (Syafruddin et al. 2008)
Komoditas TPL
22
Penetapan indeks KL ini berdasarkan dugaan produksi komoditas
menggunakan persamaan model pendugaan (Tabel 7) yang dipilih dari satu unsur
hara yang nilai dugaan produksinya terendah berdasarkan Hukum Minimum
Leibig. Hasil pendugaan tersebut kemudian dicari persentasenya melalui
perbandingan dengan tingkat produksi komoditas sesuai pola TPL untuk
menetapkan indeks KL ketersediaan hara.
Tabel 7. Persamaan Regresi Pendugaan Produksi Berdasarkan KL Ketersediaan
Hara dan Pemupukan ( KL na)
Komoditas
TPL
Padi
Unsur
Hara
N
P2O5
Persamaan Regresi
2
Y = 0,4824Ln(X)-0,5027; R = 0,80
Y = 0,4258Ln(X)-0,1402; R2 = 0,95
K2O Y = 2,1093Ln(X)-5,9543; R2 = 0,76
Jagung
N
Y = 3,322+0,0504X-0,0002X2; R2 = 0,99
P2O5 Y = 2,276+0,0758X-0,0003X2; R2 = 0,97
K2O Y = 3,16+0,0537X-0,0002X2; R2 = 0,99
Keterangan: Y=ton ha-1, X=kg ha-1
Sumber data
Gupta dan O’toole (1986)
Suwardjo dan
Prawirosumantri (1987)
Jumberi et al. (1994)
Sirappa (2003)
Syarifuddin et al. (2004)
Analisis kesesuaian lahan berdasarkan kerangka kerja evaluasi lahan (FAO,
1976), sementara penetapan indeks lahan (IL) menggunakan metode parametrik
berdasarkan dua KL sebelumnya. Nilai IL dihitung berdasarkan metode indeks
lahan akar kuadrat sebagaimana tersaji pada persamaan 4 (Khaidir 1986 dalam
Sys et al. 1991), yaitu:
I = Rmin[(A/100)x(B/100)]1/2 .......................................................................... (4)
Dimana: I = indeks lahan akar kuadart; Rmin = rating KL minimum; A, B = rating
KL lainnya selain rating KL minimum.
Penentuan KKL didasarkan pada IL yang dihitung berdasarkan seluruh KL
yang mempengaruhi produksi komoditas masing-masing TPL. Nilai IL yang
digunakan tertera pada Tabel 8.
Tabel 8. Kelas Kesesuaian Lahan Berdasarkan Indeks lahan
Indeks Lahan
100-75
75-50
50-25
0-25
Kelas Kesesuaian Lahan
S1
S2
S3
N
Keterangan
Sangat Sesuai
Agak Sesuai
Sesuai marjinal
Tidak Sesuai
Sumber: Sys et al. (1991)
3.4
Diagram Alir Penelitian
Secara umum, diagram alir penelitian ini disajikan pada Gambar 3.
23
Studi Literatur Hasil
Penelitian Tanah/Survei
Tanah:
- Peta Geologi
- Peta Landform
- Peta Topografi
Bahan
Induk
Peta Penggunaan
Lahan
Peta Lereng
Orientasi Lapang
Penetapan Lokasi Profil Tanah
Pemilihan Tipe Penggunaan
Lahan (TPL):
- Padi Lokal
- Padi-Jagung
- Padi-Jagung-Jagung
Deskripsi Atribut
Kunci Setiap TPL
-
Penetapan Kualitas Lahan (KL):
Ketersediaan air (wa)
Ketersediaan hara (na)
Pendugaan Produksi KL:
- Ketersediaan air (wa)
- Ketersediaan hara (na)
-
Peta Zona
Agroklimat
Deskripsi Profil Tanah
Pengambilan Data Iklim:
Curah hujan, suhu, kelembaban,
kecepatan angin, panjang
penyinaran matahari
Pengambilan Sampel Tanah:
- Tanah Terganggu
- Tanah Tidak Terganggu
Analisis Data Iklim:
- Rejim suhu dan
kelembaban udara
- Rejim suhu dan
kelembaban tanah
Data Sifat Fisik-Kimia,
Mineral Tanah
Penetapan Indeks KL:
Ketersediaan air (wa)
Ketersediaan hara (na)
Penetapan Indeks Kelas
Kesesuaian Lahan (KKL):
- Padi Lokal
- Padi-Jagung
- Padi-Jagung-Jagung
Peta Jenis
Tanah
Analisis Laboratorium:
- Fisiko-Kimia
- Fraksi Pasir
- Fraksi Liat
Morfologi
Profil Tanah
Perkembangan dan
Klasifikasi Tanah
Rekomendasi TPL
Gambar 3. Diagram Alir Penelitian
24
4. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1
Letak Geografis dan Administratif
Secara geografis dan administratif, wilayah penelitian terdiri dari tiga lokasi
(Tabel 9). Ketiga lokasi penelitian ini tercakup dalam Peta Rupa Bumi Skala 1 :
50.000 Lembar Molombulahe (Bakosurtanal, 1991).
Tabel 9. Letak Geografis dan Administratif Wilayah Penelitian
Simbol
Posisi Geografis
Elevasi (m
dpl)
Lokasi
Tanah Sawah Tadah Hujan (TSTH):
58
Desa Sidomukti
PNS1
00o 41’37” LU
Kecamatan Mootilango
122o39’20” BT
59
Desa Sidomukti
PNS2
00o 41’52” LU
122o39’63” BT
Kecamatan Mootilango
62
Desa Sidomukti
PNS3
00o 41’73” LU
Kecamatan Mootilango
122o39’84” BT
PNM1
00o 38’27” LU
42
Desa Molombulahe
122o34’84” BT
Kecamatan Paguyaman
PNM2
00o 37’81” LU
50
Desa Molombulahe
122o34’70” BT
Kecamatan Paguyaman
PNM3
00o 37’14” LU
61
Desa Molombulahe
122o34’41” BT
Kecamatan Paguyaman
Tanah Lahan Kering (TLK):
PNS-LK
00o 41’45” LU
60
Desa Sidomukti
122o39’11” BT
Kecamatan Mootilango
PNM-LK
00o 37’17” LU
50
Desa Molombulahe
122o34’84” BT
Kecamatan Paguyaman
Tanah Sawah Irigasi (TSI)
44
Desa Bandungrejo
PNB
00o 41’12” LU
Kecamatan Boliyohuto
122o37’50” BT
Sumber: Hasil Pengukuran Lapang dan Pembacaan Peta (2009)
4.2
Cakupan
Administratif
Kabupaten
Gorontalo
Kabupaten
Gorontalo
Kabupaten
Gorontalo
Kabupaten
Boalemo
Kabupaten
Boalemo
Kabupaten
Boalemo
Kabupaten
Gorontalo
Kabupaten
Boalemo
Kabupaten
Gorontalo
Kondisi Iklim dan Hidrologi
Data iklim selama sepuluh tahun terakhir (1997-2008) di daerah penelitian
menunjukkan perbedaan musim kemarau dan musin penghujan yang jelas. Ratarata curah hujan tahunan dari dua stasiun iklim di daerah penelitian berkisar antara
1.021 mm sampai 1.112 mm. Sedangkan rata-rata curah hujan bulanan berkisar
antara 31 mm sampai 264 mm (Lampiran 4 Tabel 1). Berdasarkan tipe hujan,
maka daerah ini termasuk tipe iklim E dengan nilai Q = 60-100 (Schmidt dan
Ferguson 1951). Sedangkan menurut zone agroklimat Oldeman dan Darmiyati
(1977), maka daerah ini termasuk dalam zone agroklimat E4 dengan bulan basah
(>200 mm) hanya satu bulan, dan bulan kering (<100 mm) berkisar antara enam
sampai sembilan bulan antara Juli-November.
25
Suhu udara bulanan berkisar antara 26°C sampai 28°C dengan rata-rata
tahunan sebesar 27°C (Lampiran 4 Tabel 2). Dari data tersebut terlihat fluktuasi
suhu udara bulanan relatif kecil. Rata-rata kelembaban udara relatif bulanan
bervariasi antara 43% sampai 76% dengan rata-rata tahunan sebesar 64%
(Lampiran 4 Tabel 3). Sedangkan rata-rata lama penyinaran matahari bulanan
bervariasi antara 35% (sekitar 4,5 jam hari-1) sampai 52% (sekitar 6 jam hari-1)
dengan rata-rata lama penyinaran 46% atau 5 jam hari-1 (Lampiran 4 Tabel 4).
Hasil pendugaan neraca air menunjukkan daerah penelitian mengalami periode
surplus bulan Desember-Februari dan Mei-Juni. Sedangkan pada bulan lainnya
mengalami kekeringan. Bulan November merupakan peralihan dari musim
kemarau ke musim hujan (Gambar 4 dan 5).
Berdasarkan data curah hujan, suhu udara, posisi lintang-bujur, dan elevasi
menunjukkan bahwa daerah penelitian termasuk rejim kelembaban udara ustik
dan rejim suhu isohipertermik (Lampiran 4 dan 5). Untuk daerah Sidomukti yang
tercakup dalam stasiun iklim Sidodadi menunjukkan rejim suhu tanah adalah
isohipertermik dan rejim kelembaban udara adalah ustik (aridic tropustic) dengan
lama keadaan lembab selama 78 hari, kering 128 hari, dan lembab kering 154
hari. Sedangkan daerah Molombulahe mempunyai rejim kelembaban dan rejim
suhu tanah sama dengan daerah Sidomukti hanya berbeda pada lama keadaan
kering selama 145 hari, lembab kering 215 hari, dan tanpa hari dalam keadaan
lembab. Ustik yang dalam bahasa Latin “ustus”, artinya terbakar atau menyatakan
kekeringan merupakan rejim kelembaban tanah dimana penampang kontrol
kelembaban kering pada sebagian atau semua bagiannya selama 90 hari kumulatif
atau lebih dalam setahun. Sedangkan isohipertermik adalah rejim suhu tanah
dimana suhu tanah rata-rata tahunan adalah 22oC atau lebih tinggi, dan perbedaan
antara suhu tanah musim panas rata-rata dan musim dingin rata-rata lebih kecil
dari 6oC (Soil Survey Staff 1999).
Berdasarkan kondisi lapang, maka rejim kelembaban tanahnya tidak cocok
karena berdasarkan data morfologi cenderung akuik. Hal ini disebabkan beberapa
horison tanah telah mengalami penjenuhan air cukup lama sehingga warna tanah
kelabu. Tampaknya air ini merupakan air bawah permukaan tanah yang merembes
dari bagian atas (hinteland) lahan ke daerah depresi dan terjadi akumulasi air yang
26
menyebabkan reduksi bahan tanah. Akuik dalam bahasa Latin “aqua”, artinya air
atau menyatakan jenuh air, merupakan rejim kelembaban yang menyiratkan
berkurangnya keberadaan atau ketiadaan oksigen bebas terlarut karena tanah
jenuh oleh air atau air kapiler pada pori tanah. Sebuah rejim akuik harus sekurangkurangnya terdiri dari satu horison yang terjenuhi. Beberapa horison tanah, suatu
waktu jenuh dengan air pada saat oksigen terlarut ada, baik karena pergerakan air
atau karena lingkungan yang tidak menguntungkan bagi mikroorganisme.
Misalnya, jika suhu < 1oC, maka tidak dipertimbangkan sebagai rejim kelembaban
akuik (Soil Survei Staff 1975).
Untuk diferensiasi dalam kategori tertinggi, tanah yang memiliki rezim
akuik seluruhnya harus jenuh. Pada bagian sub grup, hanya horison paling bawah
yang jenuh. Tanah dianggap jenuh jika air mengisi seluruh pori sampai
permukaan tanah, kecuali pada pori non kapiler. Air dalam pori adalah stagnan
dan tetap berwarna jika sumber warna berada di dalam air. Pada tanah berpasir,
ketebalannya mungkin hanya 10 sampai 15 cm. pada tanah liat yang mengembang
atau mengkerut, mungkin ketebalannya dapat mencapai ≥ 30 cm, tergantung
distribusi ukuran pori. Lamanya periode tanah harus jenuh untuk rejim akuik tidak
diketahui, setidaknya beberapa hari. Hal ini mengacu pada konsep bahwa oksigen
terlarut hampir tidak ada karena akan hilang dari air bawah tanah akibat respirasi
oleh mikroorganisme, akar dan fauna tanah. Beberapa suhu tanah berada di atas
nol untuk proses biologi (5oC) dalam beberapa waktu, sementara tanah atau
horison jenuh. Secara umum, level air tanah berfluktuasi dengan musim. Level
tertinggi di musim hujan, musim dingin, dan atau musim semi jika cuaca dingin
serta evapotranspiratsi hampir berhenti. Air tanah selalu berada atau tertutup di
permukaan, seperti rawa pasang surut, tanah depresi dan tergolonh "per aquic".
Meskipun istilah ini tidak digunakan sebagai unsur formatif untuk nama taksa,
tetapi digunakan dalam membantu deskripsi dan memahami genesisnya (Soil
Survei Staff 1999).
27
Gambar 4. Neraca Air di Daerah Sidodadi dan Sekitarnya
Gambar 5. Neraca Air di Daerah Molombulahe dan Sekitarnya
Daerah penelitian dilalui oleh Sungai Paguyaman yang merupakan sungai
utama dengan anak sungainya, antara lain Sungai Odimita, Hunggalua, Buliya dan
Sungai Bongo. Pola aliran Sungai Paguyaman termasuk meandering, dan anakanak sungainya termasuk pola sub paralel-dendritik. Pada musim hujan, air
Sungai Paguyaman naik antara 1 sampai 3 m, dan tempat rendah sering tergenang
air karena laju infiltrasi lambat (BP2TP 2002). Berdasarkan laporan Dinas PU
Kabupaten Gorontalo (1994) dalam BP2TP 2002) menunjukkan bahwa dari tahun
1993 sampai 1994, debit Sungai Paguyaman antara 9,69 m3 dt-1 di bagian hulu
sampai 34,84 m3 dt-1 di bagian tengah/hilir. Sedangkan Sungai Odimita 0,66-0,69
m3 dt-1, Bendung Sungai Hunggalua 0,31 m3 dt-1, Bendung Sungai Buliya 0,22 m3
dt-1, dan Sungai Bongo 1,39-1,48 m3 dt-1.
28
Ditinjau dari segi kualitas air, terutama kadar lumpur umumnya cukup
tinggi. Kadar lumpur Sungai Paguyaman mencapai 307-564 mg l-1, Sungai Bongo
333 mg l-1, dan Sungai Odimita 241-262 mg l-1. Sedangkan pada Bendung
Hunggalua dan Bendung Buliya tergolong rendah, yaitu 55 mg l-1 dan 73 mg l-1
(BP2TP 2002). Kadar lumpur yang tinggi menunjukkan kondisi hidro-orologis
DAS mengalami kerusakan akibat terjadinya penggundulan hutan dan pengolahan
tanah yang menimbulkan erosi, sehingga perlu perbaikan dan rehabilitasi.
4.3
Kondisi Geologi
Daerah Paguyaman termasuk zone patahan yang memanjang sampai ke
Gorontalo, yang terjadi sebagai hasil kegiatan volkanisme. Dataran Paguyaman
diduga merupakan bekas kaldera/danau besar sebagai hasil volkanisme, yang
tidak mempunyai oulet ke laut (BP2TP 2002). Terjadinya patahan menyebabkan
terbentuknya celah atau retakan yang memungkinkan air danau mengalir ke luar
dan air danau mengering dan akhirnya membentuk dataran luas.
Wilayah penelitian terdiri dari formasi geologi Qpl (endapan danau) yang
terdiri dari batu liat, batu pasir dan kerikil (Bachri et al. 1993). Formasi ini
terbentuk pada epoch kuarter dan menyerupai air yang mengelilingi pulau-pulau
dimana pulau-pulau tersebut adalah formasi geologi yang terbentuk pada epoch
tertier seperti Tqpv (batuan gunung api Pinogu) yang terdiri dari aglomerat, tuf
dan lava serta bagian kecil formasi Tmbo (diorit Boliohuto) yang terdiri dari diorit
dan granodiorit. Sementara itu, formasi Qpl sendiri dikelilingi oleh formasi tertier
lainnya, antara lain formasi Tmd (Dolokapa) yang terdiri dari batuan sedimen dan
volkan; formasi Tmbo (diorit Boliohuto) yang terdiri dari diorit dan granodiorit
serta formasi Tmb (diorit Bone) yang terdiri dari diorit, diorit kuarsa, granidiorit,
dan batuan adamelit, sebagaimana tertera pada Gambar 6. Elevasi formasi tertier
ini lebih tinggi dibandingkan formasi kuarter, sehingga baik air tanah maupun
bahan tererosi bias berkumpul pada formasi kuarter tersebut.
29
o
0 45’ LU
PETA GEOLOGI DAERAH PAGUYAMAN DAN
SEKITARNYA
KETERANGAN
Endapan Danau
Batuan Gunung
Api Pinogu
Formasi
Dolokapa
: Batu liat, batu pasir dan kerikil
: Aglomerat, tuf, lava,
andesit-basal
: Batu pasir, batu lanau,
batu lumpur, tuf, lapili, aglomerat,
breksi gunung api, lava andesit-basal
Diorit Boliohuto : Diorit, granodiorit
Diorit Bone
: Diorit, diorit kuarsa, granidiorit,
adamelit
Sesar, garis putu-putus bila letaknya diperkirakan atau direka
Kelurusan (lineament)
Sungai
Lokasi Penelitian
41’
36’ o
122 30’ BT
37’
45’
Sumber :
Peta Geologi Lembar Tilamuta, Sulawesi Skala 1 :
250.000
Gambar 6. Peta Geologi Daerah Paguyaman dan Sekitarnya
29
30
4.4
Kondisi Landform, Fisiografi dan Topografi
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, daerah penelitian temasuk landform
aluvial (Desaunettes 1977). Grup aluvial ini terbentuk dari hasil proses fluviasi atau
koluviasi atau gabungan keduanya, dicirikan oleh endapan yang berlapis-lapis,
berkerikil atau berpasir (BP2TP 2002). Penampakan mikro (micro features) lokasi
penelitian menunjukkan bahwa landform aluvial yang dijumpai pada masing-masing
pedon, yaitu pedon PNS1, PNS2, PNS3, dan PNS-LK termasuk landform aluvial sub
sistem depresi aluvial (A41) yang awalnya merupakan dataran endapan danau (A44)
atau sub sistem lacustrine plain. Demikian halnya pedon PNM1, PNM2 dan PNM-LK
yang juga termasuk landform aluvial sub sistem depresi aluvial. Pedon PNM3
termasuk landform aluvial sub sistem teras sungai (A21) yang menutupi . Sedangkan
pedon PNB termasuk landform aluvial sub sistem dataran aluvial (A28) yang
menutupi dataran endapan danau atau sub sistem lacustrine plain. Hal ini terlihat pada
profil formasi geologi daerah Paguyaman (Bachri et al. 1993) yang menunjukkan
adanya penutupan dataran endapan danau oleh bahan-bahan aluvial selama waktu
geologi.
Bentuk wilayah di lokasi Penelitian umumnya tergolong datar sampai landai,
dengan variasi kemiringan lereng antara 0-6%. Topografi di daerah ini mulai dari
datar sampai berombak. Topografi pedon lokasi Sidomukti Kecamatan Mootilango
Kabupaten Gorontalo terdiri dari: pedon PNS1 agak datar dengan kemiringan lereng
lebih kecil dari 2% yang berada pada ketinggian sekitar 57 m dpl, PNS2 berombak
dengan kemiringan lereng sekitar 4% yang berada pada ketinggian sekitar 59 m dpl,
PNS3 juga berombak dengan kemiringan lereng sekitar 6% yang berada pada
ketinggian sekitar 62 m dpl, dan pedon PNS-LK datar dengan kemiringan lereng lebih
kecil 2% yang berada pada ketinggian sekitar 57 m dpl. Sedangkan topografi pedon
daerah Molombulahe Kecamatan Paguyaman Kabupaten Boalemo terdiri dari datar
sampai landai (PNM1) pada ketinggian 36 m dpl, berombak (PNM2, PNM3, dan
PNM-LK) masing-masing pada ketinggian 42, 61 dan 50 m dpl. Sedangkan topografi
daerah Bandungrejo Kecamatan Boliyohuto Kabupaten Gorontalo termasuk datar
(PNB) pada ketinggian 44 m dpl. Lokasi dan posisi relief setiap pedon pewakil dalam
topografi daerah penelitian disajikan pada Gambar 7.
31
PNS-LK:
Elev=±57
∟: < 2%
PNB:
Elev=±44
∟: 2%
PNS2:
Elev=±59
∟: 4%
PNS1:
Elev=±57
∟: < 2%
PNS3:
Elev=±62
∟: 6%
m dpl
70
50
elevasi
60
40
(a)
0
m
1500
500
PNM3:
Elev=±61
∟: 6%
m dpl
700
PNM-LK:
Elev=±50
∟: 4%
Jarak Horisontal
600
PNM2:
Elev=±42
∟: 4%
PNM1:
Elev=±36
∟: < 2%
60
elevasi
50
40
30
(b)
m
Jarak Horisontal
500
300
1700
(c)
Gambar 7. Lokasi dan Posisi Relief Setiap Pedon Pewakil dalam Topografi (a) Lokasi Sidomukti dan Bandungrejo; (b) Lokasi Molombulahe; (c)
Profil Formasi Geologi Daerah Penelitian
31
32
4.5
Kondisi Penggunaan Lahan dan Vegetasi
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa penggunaan lahan di daerah
penelitian terdiri dari persawahan, palawija, perkebunan tebu dan kebun campuran.
Penyebaran perkebunan tebu terpencar-pencar karena terhalang lahan pertanian
penduduk. Sebagian lahan pertanian penduduk disewakan kepada PT. PG
Tolangohula sebagai perusahaan produsen gula pasir satu-satunya di daerah ini.
Sedangkan perkebunan kelapa rakyat tersebar hampir di setiap daerah.
Di lokasi Sidomukti Kabupaten Gorontalo, penggunaan lahan yang dijumpai
berupa TSTH pada daerah depresi dan dataran aluvial yang pengairannya bergantung
dari hujan dan air sungai yang dialirkan dengan mesin pompa air. Sedangkan lahan
keringnya diusahakan untuk tanaman palawija, kebun campuran (kelapa dan jagung),
dan kebun tebu. Lokasi Molombulahe Kabupaten Boalemo, penggunaan lahannya
terdiri dari TSTH pada daerah yang sama dengan lokasi Sidomukti. Sedangkan lahan
kering diusahakan untuk tanaman palawija, perkebunan tebu, dan kebun campuran.
Untuk lokasi Bandungrejo, penggunaan lahan yang dominan, yaitu sawah irigasi
teknis (TSI) dengan intensitas penanaman padi 2-3 kali dalam setahun.
Di semua pedon di daerah penelitian tidak dijumpai lagi vegetasi asli. Vegetasi
yang dijumpai saat ini terdiri dari tanaman pertanian berupa padi (PNS1-3, PNM1-3,
dan PNB), palawija (jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau), tanaman buahbuahan (mangga, pisang, jambu biji, jambu air, dan langsat), dan tanaman perkebunan
(kelapa, kakao, dan kopi). Untuk pedon PNS-LK dan PNM-LK vegetasinya
merupakan campuran antara kelapa (dominan) dengan palawija dan buah-buahan.
4.6
Kegiatan Pertanian Padi Sawah Tadah Hujan di Daerah Penelitian
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani kunci dan PPL diperoleh informasi
bahwa areal TSTH di lokasi Sidomukti Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo
(PNS) telah dicetak sejak kira-kira tahun 1980 secara konvensional, sehingga sampai
saat ini lahan tersebut sudah berumur 29 tahun. Untuk areal TSTH di lokasi
Molombulahe Kecamatan Paguyaman Kabupaten Boalemo (PNM) telah dicetak sejak
kira-kira tahun 1994 atau baru berumur 15 tahun yang pencetakannya juga sama
dengan di lokasi Sidomukti. Sedangkan areal TSI di lokasi Bandungrejo Kecamatan
Boliyohuto Kabupaten Gorontalo (PNB) telah dicetak sejak kira-kira tahun 1946 atau
sudah berumur 63 tahun dengan cara pencetakannya sama dengan kedua daerah
sebelumnya.
33
Saat ini, teknik pengolahan tanah baik TSTH (PNS dan PNM) maupun sawah
irigasi teknis (PNB) telah menggunakan sistem mekanisasi modern dengan
menggunakan tipe bajak mildboard, garu dan rotari. Rata-rata kedalaman pengolahan
tanah di daerah penelitian antara 20 sampai 30 cm tergantung dari kondisi tanah. Pada
awal kegiatan pertanian sampai kira-kira tahun 1995, petani menentukan waktu
tanam padi sawah dan tanaman lainnya, di samping berdasarkan ketersediaan air
hujan dan air irigasi juga mengacu pada sistem perbintangan di langit (panggoba).
Namun, setelah tahun tersebut, maka sistem perbintangan mulai ditinggalkan karena
sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi di lapangan dan petani cenderung menentukan
sendiri waktu tanam berdasarkan ketersediaan air maupun kebutuhan hasil pertanian
tersebut. Akibatnya, keseragaman waktu penanaman di lokasi yang sama dengan
tanaman yang sama sulit dilakukan, sehingga menimbulkan dampak negatif antara
lain: serangan hama dan penyakit tanaman, kegagalan panen dan lainnya. Dengan
demikian, waktu penggenangan dan lamanya tanaman digenangi selama satu musim
tanam sulit ditentukan karena ketersediaan air yang berfluktuasi. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Lesniawati et al. (2000) bahwa sebagian besar tanaman padi di
dunia tumbuh dengan menggunakan air yang berasal dari hujan.
TSTH di daerah Sidomukti maupun Molombulahe ditanami padi sebanyak dua
kali dalam setahun, kecuali lahan sawah irigasi teknis di daerah Bandungrejo yang
dapat ditanami padi sebanyak tiga kali dalam setahun. Berdasarkan data BPS (2008)
menunjukkan bahwa produksi padi dari daerah penelitian mencapai 29.746 ton padi
dengan rata-rata produksi berkisar antara 4,2 ton ha-1 sampai 4,7 ton ha-1. Sedangkan
hasil wawancara dengan petani kunci menunjukkan bahwa rata-rata produksi padi dari
TSTH di daerah Sidomukti sebesar 1,7 ton ha-1 dan Molombulahe sebesar 1,5 ton ha-1.
Sedangkan sawah irigasi teknis di daerah Bandungrejo, rata-rata produksinya sudah
mencapai 4,7 ton ha-1.
34
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Karakteristik Tanah Sawah Tadah Hujan
5.1.1 Sifat Morfologi dan Fisika Tanah
Data morfologi dan sifat fisik TSTH yang diteliti disajikan pada Lampiran
1, 2, 3, 5, 6 dan 7 serta sebagian tertera pada Tabel 10. Sebagai pembanding
tingkat perkembangan tanah dengan bahan induk yang sama pada lokasi yang
sama, maka disajikan pula data morfologi dan sifat fisik tanah lahan kering (TLK)
pada Lampiran 4 dan 8 serta sebagian tertera pada Tabel 11. Sedangkan untuk
mengetahui sifat morfologi dan fisik tanah sawah irigasi (TSI) dengan bahan
induk yang sama, maka disajikan pada Lampiran 9 dan sebagian tertera pada
Tabel 12. Di samping itu, sebaran warna matriks pedon berdasarkan toposekuen
disajikan pada Gambar 8 dan 9 serta lanskap dan penampang profil pedon yang
diteliti pada Gambar 10, 11, 12 dan 13.
Semua pedon TSTH tersebar pada tiga toposekuen, yaitu lereng bawah,
tengah dan lereng atas dengan kemiringan lereng masing-masing secara berturutturut < 2%, 4% dan 6%. Pedon TLK berada pada lereng tengah dengan
kemiringan lereng <2% dan 4%. Sedangkan pedon TSI berada pada lereng atas
dengan kemiringan lereng <2%. Horison permukaan yang terbentuk pada pedonpedon yang diamati telah mendapat pengaruh pengolahan tanah yang cukup dalam
(Ap) hingga mencapai ≥40 cm, kecuali pedon PNS3 dari Sidomukti dan PNM2
dari Molombulahe yang masing-masing hanya mencapai 10 cm dan 14 cm. Hal
ini diduga disebabkan oleh perbedaan cara dan teknik pengolahan tanah, dimana
pada pedon yang berada pada kemiringan lereng <4% telah menggunakan alat
bantu pengolah tanah berupa traktor yang tingkat kedalamannya dapat diatur
sesuai kebutuhan. Sedangkan pada pedon yang berada pada kemiringan lereng
>4% masih menggunakan alat bajak konvensional dengan bantuan tenaga sapi.
Semua pedon TSTH telah berkembang yang dicirikan oleh adanya
strukturisasi (horizon B). Warna matriks tanah dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu kelompok dengan hue 10YR dan kroma ≤ 2 dari atas hingga ≥ 150 cm dan
kelompok yang memiliki hue 7,5YR dan kroma > 2. Sementara untuk pedon TLK
semuanya berkroma ≥ 3 dari lapisan permukaan hingga lapisan bawah (≥ 100 cm),
kecuali PNM-LK yang mempunyai kroma 1 di lapisan atas. Hue pedon PNS-LK
35
7,5YR dengan karatan di lapisan paling bawah (>200 cm). Sedangkan pedon
PNM-LK berhue 10YR dengan karatan kemerahan dari lapisan 11 cm hingga 75
cm dan hitam di lapisan bawah (100 cm). Pedon TSI berhue 2,5YR dari lapisan
atas hingga lapisan bawah dengan kroma ≤ 2, kecuali dua horison (lapisan 47-107
cm) berwarna merah (kroma > 2). Karatan yang dijumpai pada lapisan permukaan
dan lapisan peralihan pedon ini berhue 10YR dengan warna kecoklatan (kroma 6).
Warna matriks tanah di atas menunjukkan bahwa solum tanah telah
berkembang dengan baik dan memberikan petunjuk telah terjadi pelapukan yang
cukup tinggi. Pada kelompok pedon TSTH yang berada pada lereng bawah dan
tengah telah mengalami gleisasi kuat (g) pada semua horisonnya, sementara pedon
TSTH yang berada di lereng atas hanya pada lapisan permukaan (horison Ap).
Pada pedon TLK hanya pedon PNM-LK yang mengalami gleisasi di lapisan
permukaan. Sedangkan pedon TSI, gleisasi hanya terjadi pada horison permukaan
dan horison peralihan. Pembentukan warna glei disebabkan oleh pengaruh
penjenuhan oleh air yang cukup lama dan besi mengalami reduksi, kemudian
dipindahkan selama pembentukan tanah. Hal ini ditunjukkan oleh dijumpainya air
tanah yang cukup dangkal pada kedalaman kurang dari 100 cm.
Karatan dijumpai pada seluruh pedon yang diamati, baik TSTH, TSI
maupun TLK. Pada pedon TSTH dan pedon TSI, semua karatan merupakan karat
dengan kroma >3, kecuali pedon PNM3 selain dijumpai karat pada lapisan bawah
juga dijumpai becak (kroma ≤2). Warna karat yang dominan adalah coklat,
kecuali pedon PNS3 dengan warna kuning. Sedangkan warna becak yang
dijumpai pada pedon PNM3 berupa warna hitam. Pada pedon TLK, karatan yang
dijumpai pada pedon PNS-LK hanya berupa karat dengan warna coklat, sementara
pedon PNM-LK dijumpai karat dan becak. Warna karat pada pedon PNM-LK
terdiri dari coklat, merah dan kelabu. Sedangkan warna becaknya berupa kelabu.
Hal ini menunjukkan bagian pedon tersebut mengalami kondisi oksidasi dan
reduksi sebagai akibat proses pengeringan dan penjenuhan. Rachim (2007)
menyatakan bahwa tanda-tanda redoksimorfik adalah tipe karatan yang
berasosiasi dengan kebasahan. Diduga karatan yang dijumpai pada bagian pedonpedon tersebut merupakan karatan besi dan mangan.
36
PNS-LK:
Elev=±57
∟: < 2%
PNB:
Elev=±44
∟: 2%
PNS3:
Elev=±62
∟: 6%
PNS2:
Elev=±59
∟: 4%
PNS1:
Elev=±57
∟: < 2%
m dpl
70
50
elevasi
60
40
0
m
1500
2,5YR 6/1
2,5YR 5/2
2,5YR 6/2
2,5YR 5/6
500
7,5YR 4/3
7,5YR 4/3
700
10YR 5/1
10YR 5/2
10YR 5/1
10YR 5/2
10YR 5/1
7,5YR 4/4
10YR 6/2
10YR 6/1
2,5YR 5/6
7,5YR 5/4
7,5YR 3/1
7,5YR 4/3
7,5YR 5/2
7,5R 6/2
10YR 4/1
2,5YR 5/1
Jarak Horisontal
10YR 6/2
7,5YR 4/4
2,5YR 4/1
600
10YR 4/1
7,5YR 7/2
10YR 4/1
7,5YR 7/3
2,5YR 3/1
10YR 4/1
10YR 4/1
7,5YR 5/6
7,5YR 5/6
10YR 4/1
Gambar 8. Sebaran Warna Matriks Pedon Berdasarkan Toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo
36
37
m dpl
PNM3:
Elev=±61
∟: 6%
PNM-LK:
Elev=±50
∟: 4%
PNM2:
Elev=±42
∟: 4%
PNM1:
Elev=±36
∟: < 2%
60
50
elevasi
40
30
0
m
Jarak Horisontal
500
300
1700
7,5YR 4/1
10YR 3/1
10YR 4/1
7,5YR 4/1
10YR 4/3
10YR 4/1
7,5R 4/2
10YR 4/6
10YR 4/2
10YR 4/4
10YR 4/1
10YR 5/1
10YR 5/1
7,5YR 4/3
7,5YR 4/4
10YR 5/4
10YR 6/1
10YR 5/1
10YR 5/1
10YR 4/2
7,5YR 5/3
10YR 7/1
10YR 4/1
Gambar 9. Sebaran Warna Matriks Pedon Berdasarkan Toposekuen di Molombulahe
37
38
(a)
(b)
Gambar 10.
Lanskap (a) dan Profil Pedon PNS (b) di Desa Sidomukti
Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo
(a)
(b)
Gambar 11. Lanskap (a) dan Profil Pedon PNM (b) di Desa Molombulahe Kecamatan
Paguyaman Kabupaten Boalemo
39
(a)
Gambar 12.
(b)
Lanskap dan Profil Pedon PNS-LK (a) di Desa Sidomukti Kecamatan
Mootilango Kabupaten Gorontalo, serta Lanskap dan Profil Pedon PNMLK (b) di Desa Molombulahe Kecamatan Paguyaman Kabupaten Boalemo
(a)
(b)
Gambar 13. Lanskap (a) dan Profil Pedon PNB (b) di Desa Bandung Rejo Kecamatan
Boliyohuto Kabupaten Gorontalo
40
Tabel 10. Sifat Morfologi dan Fisik Tanah Pedon TSTH dari Desa Sidomukti (S) dan Molombulahe (M)
Warna Lembab
Horison
PNS1
Apg1
Apg2
Bwg1
Bwg2
Bwssg
BCg1
BCg2
PNS2
Apg1
Apg2
Bwg1
Bwg2
Bwg3
BCssg1
BCssg2
PNS3
Apg
Bw
Bwg1
Bwg2
Bwssg
Bwss
PNM1
Apg1
Apg2
Bwg1
Bwg2
Bwg3
BCg
PNM2
Apg
Bwg
Bssg1
Bssg2
Bssg3
BCssg
PNM3
Apg1
Apg2
Bwg
Bw2
BC1
BC2
Kedalaman (cm)
Tekstur (%)
Batas
Struktur
Konsistensi
10 YR 5/3 (c,f,d,b,t)
10 YR 5/3 (e)(c,f,d,t,j)
10 YR 5/3 (c,f,d,t,j)
-
cs
gs
ds
cw
ds
cs
ds
masif, 0
ab f 1
ab m 1
ab c 1
ab m 2
ab c 3
-
10 YR 5/2
10 YR 5/2
10 YR 6/2
10 YR 6/2
10 YR 4/1
10 YR 4/1
10 YR 4/1
10 YR 5/3 (f,f,f,b,t)
10 YR 4/6 (f,m,d,b,j)
-
gs
cs
ds
cw
ds
ds
ds
0-10
10-34
34-61
61-86
86-120
120-150
7,5 YR 3/1
7,5 YR 4/3
7,5 YR 5/2
7,5 YR 6/2
7,5 YR 7/2
7,5 YR 7/3
7,5 YR 7/6 (m,f,f,b,j)
7,5 YR 7/8 (m,f,f,b,j)
0-21
21-37
37-60
60-80
80-103
103-200
10 YR 5/1
10 YR 5/1
10 YR 6/1
10 YR 5/1
10 YR 5/1
10 YR 7/1
0-14
14-30
30-56
56-87
87-120
120-200
0-10
10-28
28-54
54-81
81-100
100-150
Matriks
Karatan
0-12
12-31
31-53
53-71/92
71/92-119
119-150
150-200
10 YR 5/1
10 YR 5/1
10 YR 5/1
10 YR 6/1
10 YR 4/1
10 YR 4/1
10 YR 4/1
0-10
10-31
31-64
64-84/103
84/103-150
150-200
>200
Liat Kasar Liat Halus
Liat
Total
Liat Halus/
Liat Total
Kelas Tekstur
Kelas Ukuran Butir
Pasir
Debu
vs, p
vs, p
vs, p
vs, p
vs, p
vs, p
vs,vf
31
23
13
12
10
11
16
34
42
37
31
30
21
27
9
9
10
10
6
18
20
26
26
40
47
54
50
37
35
35
50
57
60
68
57
0,74
0,74
0,80
0,82
0,90
0,74
0,65
Lempung Berliat
Lempung Berliat
Liat
Liat
Liat
Liat
Liat
Halus
Halus
Halus
Halus
Halus
Sangat Halus
Halus
massif, 0
ab m 1
ab m 1
ab m 1
ab m 2
ab m 2
ab m 2
s, p
s, p
vs, p
vs, p
vs, p
vs, vp
vs, vp
36
37
23
20
16
23
24
37
37
54
29
22
32
35
5
6
18
8
10
17
20
22
20
5
43
52
28
21
27
26
23
51
62
45
41
0,81
0,77
0,22
0,84
0,84
0,62
0,51
Lempung
Lempung
Lempung Berdebu
Liat
Liat
Liat
Liat
Berlempung Halus
Berlempung Halus
Berlempung Halus
Halus
Sangat Halus
Halus
Halus
as
aw
dw
dw
dw
dw
massif, 0
ab f 1
ab m 1
ab c 1
ab m 2
ab c 3
vs, t
ss, t
ss, t
ss, t
ss, t
so, t
38
37
35
33
29
34
28
32
22
45
20
8
10
11
10
19
9
9
24
20
33
3
42
49
34
31
43
22
51
58
0,71
0,65
0,77
0,14
0,82
0,84
Lempung Berliat
Lempung Berliat
Liat
Lempung
Liat
Liat
Berlempung Halus
Berlempung Halus
Halus
Berlempung Halus
Halus
Halus
10 YR 4/3 (f,f,f,b,t)
7,5 YR 6/3 (m,m,d,b,j)
gs
gs
gs
gs
as
as
massif, 0
ab f 1
ab f 2
pm1
pm1
pm1
s, p
s, p
ss, p
ss, p
s, p
ss, p
30
24
18
18
23
17
29
31
40
36
40
39
22
23
18
31
14
25
19
22
24
15
23
19
41
45
42
46
37
44
0,46
0,49
0,57
0,33
0,62
0,43
Liat
Liat
Liat
Liat
Lempung Berliat
Liat
Halus
Halus
Halus
Halus
Halus
Halus
10 YR 4/1
10 YR 4/1
10 YR 4/2
10 YR 4/1
10 YR 4/2
10 YR 4/1
10 YR 5/3 (m,f,f,b,t)
10 YR 4/4 (f,f/m,f,b,t)
-
gs
cs
gs
gs
gs
gs
massif, 0
ab m 1
pm1
pm1
pm1
pm1
ss, p
ss, p
s, p
s, p
ss, p
s, p
19
15
14
9
9
7
38
38
25
23
27
33
9
15
16
12
13
22
34
32
45
56
51
38
43
47
61
68
64
60
0,79
0,68
0,74
0,82
0,80
0,63
Liat
Liat
Liat
Liat
Liat
Liat
Halus
Halus
Sangat Halus
Sangat Halus
Sangat Halus
Sangat Halus
7,5 YR 4/1
7,5 YR 4/1
7,5 YR 4/2
7,5 YR 4/3
7,5 YR 4/4
7,5 YR 5/3
7,5 YR 4/5 (c,f,f,b,t)
7,5 YR 5/6 (c,m,f,b,t)
cs
gc
cs
cs
cs
cs
massif, 0
ab f 1
sb m 1
sb m 1
cp m 2
cp m 3
ss, f
ss, f
ss, f
ss, f
s, f
s, f
44
43
33
38
38
41
30
35
39
35
34
26
8
6
9
11
12
11
18
16
19
16
16
22
26
22
28
27
28
33
0,69
0,73
0,68
0,59
0,57
0,67
Lempung
Lempung
Lempung
Lempung
Lempung Berliat
Lempung Berliat
Berlempung Halus
Berlempung Halus
Berlempung Halus
Berlempung Halus
Berlempung Halus
Berlempung Halus
40
S=pasir,Cl=liat,Si=debu,L=lempung;f=sedikit,c=biasa,m=banyak;f=halus;m=sedang;c=kasar;f=baur,d=jelas,p=nyata;s=serbuk,l=lidah,t=tabung,b=bintik;ab=gumpal
bersudut;sb=gumpal;p=prismatik;cp=kolumnar;vs=sangat lekat;vf=sangat gembur;vp=sangat plastis;ss=agak lekat;so=tidak
lekat;s=lekat;t=teguh;f=gembur;p=plastis;cs=jelas rata;gs=berangsur rata;ds=baur nyata;cw=jelas berombak;aw=nyata berombak;as=nyata rata.
41
Tabel 11. Sifat Morfologi dan Fisik Tanah Pedon TLK dari Desa Sidomukti (S) dan Molombulahe (M)
Horison
PNSLK
Ap1
Ap2
Bw1
Bw2
Bw3
BC1
BC2
PNMLK
Apg
Ap2
Bw1
Bw2
BC
Warna Lembab
Kedalaman
(cm)
Matriks
Karatan
0-11
11-29
29-61
61-91
91-130
130-200
>200
7,5 YR 4/3
7,5 YR 4/3
7,5 YR 4/4
7,5 YR 4/4
7,5 YR 5/4
7,5 YR 5/6
7,5 YR 5/6
0-11
11-29
29-51
10 YR 3/1
10 YR 4/3
10 YR 4/6
Tekstur (%)
Batas
Struktur
Konsistensi
5 YR 4/4 (m,m,f,t,t)
gs
ds
gs
ds
ds
cs
ds
masif, 0
sb f/m 1
ab f/m 2
ab f/m 1
ab f 1
ab f 1
ab f 1
5 YR 4/6 (Fe) (f,f,f,b,t)
10 YR 5/6 (m,f,f,b,j)
cs
gs
gs
51-73
10 YR 4/4
10 YR 5/6 (m,f,f,b,j)
gs
masif, 0
sb f 3
sb c 3
sb c 3
73-100
10 YR 5/4
10 YR 5/6 (m,f,f,b,j)
ds
sb c 3
Liat Kasar Liat Halus
Liat
Total
Liat
Halus/Liat
Total
Kelas Tekstur
Kelas Ukuran Butir
Pasir
Debu
s, p, f
s, p, f
s, p, f
ss, ps, f
s, p, f
s, p, f
ss, ps, vf
32
25
13
58
15
44
49
44
50
72
26
60
39
31
11
11
10
7
17
13
15
13
14
5
9
8
4
5
24
25
15
16
25
17
20
0,54
0,56
0,33
0,56
0,32
0,24
0,25
Lempung
Lempung Berdebu
Lempung Berdebu
Lempung Berpasir
Lempung Berdebu
Lempung
Lempung
Berlempung Halus
Berlempung Halus
Berdebu Kasar
Berlempung Kasar
Berlempung Halus
Berlempung Kasar
Berlempung Halus
ss, vt
ss, vt
s, vt
32
37
37
37
27
21
13
21
25
18
15
17
31
36
42
0,58
0,42
0,40
Lempung Berliat
Lempung Berliat
Liat
Berlempung Halus
Halus
Halus
ss, vt
50
11
17
22
39
0,56
Liat Berpasir
Halus
ss, vt
25
18
22
35
57
0,61
Liat
Halus
S=pasir;Cl=liat;L=lempung;f=sedikit;c=biasa;m=banyak;f=halus;m=sedang;c=kasar;ab=gumpal bersudut;sb=gumpal;vs=sangat lekat;vf=sangat gembur;vt=sangat
teguh;ss=agak lekat;ps=agak plastis;s=lekat;f=gembur;p=plastis;cs=jelas rata;gs=berangsur rata; ds=baur nyata
Tabel 12. Sifat Morfologi dan Fisik Tanah Pedon TSI dari Desa Bandungrejo
Horison
PNB
Apg1
Apg2
Bwg1
Bw2
Bw3
BCg
BCssg1
BCssg2
Warna Lembab
Kedalaman
(cm)
Matriks
Karatan
0-20
20-40
40-47
47-59
59-107
107-119
119-150
150-200
2,5 YR 6/1
2,5 YR 5/2
2,5 YR 6/2
2,5 YR 5/6
2,5 YR 5/6
2,5 YR 5/1
2,5 YR 4/1
2,5 YR 3/1
10 YR 4/6 (m,f,f,b,t)
10 YR 5/6 (m,c,f,b,t)
-
Tekstur (%)
Batas
Struktur
Konsistensi
as
aw
gs
gs
as
gs
gs
gs
masif, 0
ab f 1
ab f 3
ab f 3
ab f 1
ab f 1
pl f 3
pl f 3
ss
s, p
ss, p
s, p
vs, p
vs, p
vs, p
vs, p
Pasir
Debu
13
19
23
3
10
9
10
9
52
48
46
45
39
45
35
24
Liat Kasar Liat Halus
15
22
10
13
18
16
13
12
20
11
21
39
33
30
42
55
Liat
Total
35
33
31
52
51
46
55
67
Liat Halus/
Liat Total
Kelas Tekstur
Kelas Ukuran Butir
0,57
0,33
0,68
0,75
0,65
0,65
0,76
0,82
Lempung Liat Berdebu
Lempung Liat Berdebu
Lempung Berliat
Liat Berdebu
Liat
Liat Berdebu
Liat
Liat
Halus
Berlempung Halus
Berlempung Halus
Halus
Halus
Halus
Halus
Sangat Halus
S=pasir;Cl=liat;Si=debu;L=lempung;f=sedikit;c=biasa;m=banyak;f=halus;m=sedang;c=kasar;ab=gumpal;pl=datar;ss=agak lekat;vs=sangat lekat;s=lekat;t=teguh;
f=gembur;gs=berangsur rata;aw=nyata berombak;as=nyata rata
41
42
Batas antara horison permukaan (Ap) dan horison Bw pada semua pedon
yang diteliti bervariasi, yaitu jelas, nyata, berangsur dan baur dengan topografi
permukaan
rata
sampai
berombak.
Namun,
lebih
dominan
topografi
permukaannya rata. Sedangkan batas horison antara horison Bw dan BC terlihat
juga baur sampai jelas dengan topografi permukaan keseluruhan rata.
Tekstur pedon-pedon TSTH didominasi oleh liat, kecuali pedon PNM3 yang
didominasi oleh lempung. Sementara itu, peningkatan antar horison di dalam
pedon, umumnya bervariasi antara lempung berliat, liat dan lempung, kecuali
pedon pedon PNM2 yang keseluruhan horison bertekstur liat. Pada horisonhorison bagian atas pada umumnya lebih kasar dibanding horison bagian bawah.
Rasio liat halus (LH) terhadap liat total (LT) dibagian tengah solum (B-iluviasi)
lebih tinggi dibanding horison atas (A-eluviasi) dan horison-horison lapisan
bawah. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi proses eluviasi dan iluviasi
(liksiviasi) liat halus, walaupun pada setiap pedon belum dijumpai adanya selaput
liat (clay skins). Pengangkutan lain proses ini belum begitu penting.
Pada pedon-pedon TLK, teksturnya bervariasi antara lempung dan lempung
berdebu untuk pedon PNS-LK; dan lempung berliat, liat, liat berpasir untuk PNMLK. Nisbah LH/LT kedua pedon tersebut belum menunjukkan perbedaan yang
jelas antara horison eluviasi dan iluviasi. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi
proses liksiviasi, walaupun lebih lemah dari pada pedon-pedon TSTH. Sementara
itu, pada pedon TSI tekstur antar horison bervariasi antara lempung berliat, liat
berdebu, dan liat. Di bagian bawah solum, tekstur umumnya lebih halus dibanding
bagian atas. Nisbah LH/LT pada horison B umumnya lebih besar dibanding
horison-horison bagian atas. Hal ini, sebagaimana pada TSTH menunjukkan telah
terjadinya proses liksiviasi (lessivage), tetapi belum sampai terbentuk horison
argilik.
Tampaknya pengaruh penyawahan baik pada TSTH maupun TSI telah
menyebabkan terjadinya air perkolasi yang relatif intensif. Proses ini
memungkinkan terjadinya liksiviasi. Sementara itu, proses ini hanya terjadi di
tanah PNS-LK jika hujan turun dan cukup besar. Padahal curah hujan di daerah
ini termasuk rendah dan hanya pada bulan-bulan tertentu saja, sehingga untuk
terjadinya liksiviasi sangat terbatas sekali.
43
Umumnya sebaran fraksi liat dalam solum pada semua pedon tidak
beraturan atau naik turun sesuai kedalaman. Hal ini merupakan salah satu sifat
dari bahan endapan. Kondisi tersebut sesuai dengan formasi geologinya yang
termasuk formasi bahan endapan danau (Bachri et al. 1993). Sebaran fraksi debu
dan pasir pada semua pedon juga menunjukkan pola yang tidak beraturan.
Sebaran fraksi liat dan pasir untuk pedon yang diteliti menunjukkan
kecenderungan pola saling berlawanan sebagaimana tersaji pada Gambar 16, 17,
18, 19 dan 20. Jadi, sebaran liat di horison B yang lebih tinggi dari horison A
bukan semata-mata disebabkan eluviasi dan iliviasi liat, tetapi proses tersebut
tampaknya telah terjadi juga yang ditunjukkan oleh nisbah LH/LT yang lebih
tinggi di horison B. Penurunan fraksi pasir ini disamping akibat proses iluviasi
liat, juga karena proses hancuran mineral in situ yang dicirikan oleh menurunnya
jumlah pasir absolut di bagian tengah solum (Rachim, 1994). Dugaan lain juga
karena pengaruh retakan (cracks) pada musim kemarau yang cukup lebar untuk
terjadinya pemindahan liat, terutama liat halus pada musim pembasahan yang
mengisi pori-pori tersebut, sehingga kadar liatnya bervariasi pada setiap horison.
Van Wambeke (1992) menyatakan bahwa proses pembasahan dan pengeringan
akan menciptakan pola rekahan yang spesifik.
Pola sebaran fraksi liat dalam profil semua pedon yang diteliti dengan
mempertimbangkan kadarnya dalam setiap horison dikelompokkan menjadi
empat, yaitu (1) pola sebaran liat turun-naik-turun, (2) naik-turun-naik-turun, (3)
naik-turun-naik-turun-naik, dan (4) pola turun-naik-turun-naik-turun-naik. Pola 1
ditunjukkan oleh pedon PNS1 dan pedon PNM2; pola 2 ditunjukkan oleh pedon
PNS2, PNM3 dan pedon PNB; pola 3 ditunjukkan oleh pedon PNS3 dan pedon
PNM-LK; serta pola 4 ditunjukkan oleh pedon PNM1 dan pedon PNS-LK. Pola
sebaran liat di atas menunjukkan pengaruh deposisi bahan induk secara periodic
masih cukup kuat terhadap tanah yang terbentuk. Namun, dengan telah terjadinya
proses eluviasi dan iluviasi yang menyebabkan perbedaan nilai nisbah LH/LT
menunjukkan bahwa tanah tersebut telah berkembang walaupun belum lanjut.
Rachim (1994) menyatakan bahwa adanya perbedaan pola sebaran liat antara
lokasi mencerminkan perbedaan proses genesis tanah. Sebaran tekstur tanah
berdasarkan toposekuen disajikan pada Gambar 14 dan 15.
44
PNS-LK:
Elev=±57
∟: < 2%
PNB:
Elev=±44
∟: 2%
PNS3:
Elev=±62
∟: 6%
PNS2:
Elev=±59
∟: 4%
PNS1:
Elev=±57
∟: < 2%
m dpl
70
60
elevasi
50
40
0
m
KT/BB
SiCL/F
SiCL/FL
1500
KT/BB
L/FL
SiL/FL
500
KT/BB
CL/F
CL/F
C/F
CL/FL
SiC/F
SiL/CSi
C/F
SL/CL
700
KT/BB
L/FL
L/FL
600
Jarak Horisontal
KT/BB
CL/FL
CL/FL
SiL/FL
C/F
C/F
C/F
SiC/F
C/F
C/F
SiL/FL
C/VF
C/VF
C/F
C/F
C/VF
C/F
C/F
L/CL
L/FL
L/FL
C/F
Keterangan:
KT=kelas tekstur; BB=besar butir; C=liat;
CL=lempung berliat; L=lempung;
SiL=lempung berdebu; SiC=liat berdebu;
SiCL=lempung liat berdebu; F=halus;
VF=sangat halus; FL=berlempung halus;
CL=berlempung kasar; CSi=berdebu kasar.
Gambar 14. Sebaran Kelas Tektur dan Besar Butir Pedon Berdasarkan Toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo
44
45
m dpl
PNM3:
Elev=±61
∟: 6%
PNM-LK:
Elev=±50
∟: 4%
PNM2:
Elev=±42
∟: 4%
PNM1:
Elev=±36
∟: < 2%
60
elevasi
50
40
30
0
m
Jarak Horisontal
KT/BB
L/FL
500
KT/BB
SiL/FL
300
KT/BB
1700
C/F
L/FL
SiL/F
C/F
L/FL
C/F
C/VF
L/FL
SC/F
C/VF
SiL/FL
C/F
KT/BB
C/F
C/F
C/F
C/F
SiL/F
C/VF
SiL/LF
C/F
C/VF
Keterangan:
KT=kelas tekstur; BB=besar butir; C=liat;
L=lempung; SiL=lempung berdebu;
SC=liat berpasir; F=halus; VF=sangat
halus; FL=berlempung halus
Gambar 15. Sebaran Kelas Tektur dan Besar Butir Pedon Berdasarkan Toposekuen di Molombulahe
45
46
Gambar 16. Sebaran Kadar Liat Total dan Perbandingan Liat Halus dengan Liat
Total berdasarkan Kedalaman pada Pedon TSTH
Gambar 17. Sebaran Kadar Liat Total dan Perbandingan Liat Halus dengan Liat
Total berdasarkan Kedalaman pada Pedon TLK
Gambar 18. Sebaran Kadar Liat Total dan Perbandingan Liat Halus dengan Liat
Total berdasarkan Kedalaman pada Pedon TSI
47
Gambar 19. Sebaran Kadar Fraksi Pasir berdasarkan Kedalaman pada Pedon
TSTH dan TSI
Gambar 20. Sebaran Kadar Fraksi Pasir berdasarkan Kedalaman pada Pedon TLK
dan TSI
Struktur tanah semua horison permukaan pada setiap pedon bersifat masif
yang disebabkan oleh pengaruh penghancuran agregat saat pengolahan tanah.
Sedangkan horison bagian bawah telah memiliki struktur. Ukuran struktur mulai
dari halus, sedang sampai kasar dengan tingkat perkembangan belum berkembang
(0), lemah, dan kuat. Pada pedon TSTH dari Sidomukti (PNS) pedon TSI dan
pedon TLK dari Sidomukti (PNS-LK) lebih didominasi oleh struktur gumpal,
sementara pedon TSTH dari Molombulahe (PNM) lebih didominasi oleh struktur
prismatik dan beberapa horison dijumpai struktur gumpal, gumpal bersudut dan
kolumnar. Struktur tanah pedon TLK dari Molombulahe (PNM-LK) lebih
didominasi gumpal bersudut. Beragamnya struktur tanah ini dipengaruhi oleh
kadar liat pada masing-masing pedon. Menurut Rachim (1994), liat cenderung
48
membentuk struktur gumpal. Hal ini sejalan dengan pernyataan Chesters et al.
(1957) sebelumnya bahwa salah satu agen penyemen terpenting sebagai
penunjang agregasi adalah koloid liat. Pengaruh liat sebagai agen penyemen
terlihat jelas pada semua pedon yang mempunyai struktur gumpal dan gumpal
bersudut, kecuali pedon TSTH dari Molombulahe (PNM) yang lebih didominasi
struktur prismatik.
Variasi struktur tanah, baik antar horison, antar pedon dan antar lokasi
berpengaruh pada konsistensi tanah dalam keadaan basah. Pada pedon TSTH dan
pedon TSI konsistensi tanahnya hampir sama, yaitu agak lekat, lekat sampai
sangat lekat dengan plastisitas berupa plastis, gembur dan teguh. Pedon PNS1,
PNS2 dan PNB yang dominan adalah sangat lekat, sementara pedon PNS3
menunjukkan sifat yang sama dengan semua pedon TSTH dari Molombulahe
(PNM) yang didominasi oleh agak lekat. Berdasarkan plastisitasnya, maka pedon
TSTH dari kedua lokasi yang berbeda sama dengan pedon TSI dengan konsistensi
plastis, kecuali pedon PNS3 dan pedon
PNM3 yang
masing-masing
konsistensinya teguh dan gembur. Perbedaan itu juga ditunjukkan oleh pedon
TLK. Pedon PNS-LK konsistensinya lekat, plastis dan gembur, sementara PNMLK agak lekat dan sangat teguh. Konsistensi tanah di semua horison yang
demikian erat kaitannya dengan kadar liat sebagai agen pengikat struktur
(Chesters et al. 1957). Hal ini didukung oleh pernyataan Rachim (2007) yang
menyatakan bahwa tanah yang berkadar liat tinggi cenderung mempunyai
konsistensi lekat dan plastis.
Semua pedon TSTH dari Sidomukti (PNS) dan pedon TSI ditemukan
adanya bidang kilir (slinkenside) dan pedon TSTH dari Molombulahe hanya pada
pedon PNM2. Menurut Rachim (2007), bidang kilir adalah permukaan licin
mengkilap dalam tanah dan umumnya berukuran lebih dari 5 cm. sifat ini terjadi
akibat masa tanah saling bergerak antara satu dengan lainnya, sehingga terjadi
saling menekan dan menggesek serta mineral liat mengembang (swelling) akibat
perubahan kelembaban (pembasahan dan pengeringan). Kondisi ini menyebabkan
kerusakan potongan masa tanah yang mengakibatkan mudahnya masa tanah lepas
dan melorot, walaupun hanya terkena ujung pisau survei sedikit saja. Sifat ini
mengindikasikan jenis tanah vertisol atau tanah-tanah yang bersifat vertik.
49
5.1.2 Sifat Kimia Tanah
Analisis sifat kimia tanah dalam penelitian ini mengacu pada penciri
klasifikasi dan indikator kesuburan tanah serta sebagai bahan interpertasi dalam
penilaian kesesuaian lahan. Hasil analisis sifat kimia tanah juga membantu
mengetahui proses pedogenesis yang terjadi. Penilaian sifat kimia tanah
didasarkan pada kriteria Staf Peneliti Pusat Penelitian Tanah (1983), sebagaimana
disajikan pada Lampiran 3. Hasil analisis sifat kimia TSTH pewakil sebagian
disajikan pada pada Tabel 13. Sebagai pembanding tingkat perkembangan tanah
disajikan pula hasil analisis sifat kimia TLK (Tabel 14) dan pedon TSI (Tabel 15).
Reaksi tanah yang diteliti umumnya agak masam sampai agak alkali, atau
mulai pH >5,38 - <7,91. Hal ini menunjukkan bahwa daerah penelitian merupakan
depresi, sebagaimana ditunjukkan oleh formasi geologi. Dalam hal ini, daerah
penelitian merupakan tempat akumulasi basa-basa yang dibawa air pencucian dari
bagian hinterland dan akumulasi basa lebih tampak pada tanah yang berdrainase
lebih buruk, seperti pada pedon TSTH dan TSI. Perbedaan yang menonjol antara
keduanya adalah nilai pH pedon TSTH dari Sidomukti lebih rendah dari pedon
TSTH dari Molombulahe dan pedon TSI, tetapi pedon TSTH dari Molombulahe
lebih tinggi dari pedon TSI. Pedon TLK umumnya ber-pH lebih rendah dari kedua
pedon tadi. Hal ini menunjukkan pencucian lebih intensif pada TLK jika terjadi
hujan karena drainase lebih baik. Walaupun demikian, nilai pH masih tergolong
agak masam sebagaimana daerah ini juga merupakan endapan lakustrin. Nilai pH
pada horison bagian atas umumnya lebih rendah dari horison bagian bawah
sebagai akibat dari pencucian ke bawah solum dan serapan hara oleh tanaman.
Berdasarkan lokasi, maka pola sebaran pH tanah pada pedon TSTH dari
Sidomukti berbeda dengan pedon TSTH dari Molombulahe, tetapi relatif sama
dengan pedon TSI (Gambar 21 dan 22). Demikian halnya dengan pedon TSTH
dari Molombulahe. Pola sebaran pH TSTH dari Molombulahe cenderung sama
dengan pola sebaran pH pedon TLK dari Sidomukti (Gambar 23 dan 24), tetapi
justru berbeda dengan pedon TLK dari Molombulahe itu sendiri. Perbedaan itu
tampak jelas pada nilai pH di horison permukaannya. Menurut Dent (1978), nilai
pH tanah yang cocok untuk tanah sawah adalah 4-7, tetapi nilai pH yang paling
baik adalah sekitar 5-6.
50
Tabel 13. Sifat Kimia Tanah Pedon TSTH dari Desa Sidomukti (S) dan Molombulahe (M)
pH Tanah
Horison
Kedalaman
H 2O
KCl
Basa-Basa dapat Ditukar (dd)
∆ pH
cm
PNS1
Apg1
Apg2
Bwg1
Bwg2
Bwssg
BCg1
BCg2
PNS2
Apg1
Apg2
Bwg1
Bwg2
Bwg3
BCssg1
BCssg2
PNS3
Apg
Bw
Bwg1
Bwg2
Bwssg
Bwss
PNM1
Apg1
Apg2
Bwg1
Bwg2
Bwg3
BCg
PNM2
Apg
Bwg
Bssg1
Bssg2
Bssg3
BCssg
PNM3
Apg1
Apg2
Bwg
Bw2
BC1
BC2
C-Organik
(%)
Ca
Mg
K
Na
∑ Basadd
--------------- me 100 g-1 ---------------
Kemas.-dd
Liat Tota
Al
H
Kapasitas Tukar Kation (KTK)
KTK Efektif
KTK Liat
KTK Tanah
----------------------- me 100 g-1 ---------------
%
KTK
Kej. Basa
tanah/% Liat
Kej. Al
(KB)
Total
--- me 100 g-1 ---
0-12
12-31
31-53
53-71/92
71/92-119
119-150
150-200
6,13
6,83
6,55
5,95
6,20
7,09
7,70
5,39
5,88
5,02
4,33
4,51
5,35
6,17
-0.74
-0.95
-1.53
-1.62
-1.69
-1.74
-1.53
0,93
0,45
0,26
0,33
0,27
0,27
0,26
14,63
15,16
16,32
19,42
27,78
25,05
27,83
5,51
6,58
13,74
17,36
26,48
26,52
13,56
0,22
0,25
0,43
0,53
0,56
0,47
0,39
0,45
0,55
1,02
1,31
1,95
2,13
2,34
20,81
22,55
31,51
38,62
56,77
54,17
44,13
35,00
35,00
50,00
57,00
60,00
68,00
57,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,04
0,08
0,06
0,12
0,06
0,04
0,04
20,81
22,55
31,51
38,62
56,77
54,17
44,13
85,56
91,16
74,36
90,33
>100
94,22
40,86
29,95
31,91
37,18
51,49
63,44
64,07
23,29
0,86
0,91
0,74
0,90
1,06
0,94
0,41
69,50
70,66
84,76
75,01
89,48
84,55
>100
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0-10
10-31
31-64
64-84/103
84/103-150
150-200
>200
6,35
7,26
5,91
5,38
6,73
7,74
7,91
5,23
5,90
4,07
3,74
5,00
5,97
6,16
-1.12
-1.36
-1.84
-1.64
-1.73
-1.77
-1.75
0,71
0,38
0,26
0,13
0,13
0,19
0,13
10,33
11,03
15,71
14,53
26,36
23,44
21,42
2,52
3,03
6,18
6,50
19,21
16,98
16,86
0,15
0,21
0,39
0,39
0,48
0,58
0,49
0,27
0,67
1,34
1,64
2,79
2,54
2,30
13,26
14,93
23,62
23,06
48,84
43,54
41,07
27,00
26,00
23,00
51,00
62,00
45,00
41,00
0,00
0,00
0,27
1,60
0,00
0,00
0,00
0,04
0,02
0,24
0,37
0,04
0,00
0,04
13,26
14,93
23,90
24,66
48,84
43,54
41,07
>100
91,95
>100
>100
76,87
>100
83,91
36,63
23,91
37,84
61,71
47,66
46,37
34,40
1,36
0,92
1,65
1,21
0,77
1,03
0,84
36,20
62,47
62,44
37,36
>100
93,89
>100
0,00
0,00
0,72
2,60
0,00
0,00
0,00
0-10
10-34
34-61
61-86
86-120
120-150
6,31
6,86
6,07
5,51
5,60
5,52
5,16
5,60
4,30
3,82
3,92
3,83
-1.15
-1.26
-1.77
-1.69
-1.68
-1.69
0,77
0,51
0,32
0,26
0,19
0,19
13,99
14,98
15,04
14,91
16,79
17,27
5,77
7,05
12,60
14,26
16,12
17,95
0,25
0,21
0,24
0,22
0,29
0,36
0,22
0,30
0,52
0,63
0,75
0,81
20,23
22,54
28,40
30,03
33,95
36,40
34,00
31,00
43,00
22,00
51,00
58,00
0,00
0,00
0,04
1,21
0,50
1,12
0,10
0,00
0,15
0,36
0,30
0,48
20,23
22,54
28,44
31,23
34,45
37,52
>100
>100
82,73
>100
81,24
69,10
34,40
34,51
35,58
39,70
41,43
40,08
1,01
1,11
0,83
1,80
0,81
0,69
58,79
65,34
79,83
75,63
81,94
90,82
0,00
0,00
0,12
3,04
1,21
2,80
0-21
21-37
37-60
60-80
80-103
103-200
7,66
7,89
7,61
7,55
7,49
7,51
6,67
6,83
6,23
6,21
5,94
6,10
-0.99
-1.06
-1.38
-1.34
-1.55
-1.41
1,29
0,62
0,31
0,25
0,18
0,18
19,11
21,89
22,65
23,01
21,94
21,25
7,10
7,88
8,58
8,85
8,57
8,22
0,11
0,14
0,17
0,18
0,21
0,18
0,68
0,86
0,72
0,55
0,43
0,46
27,00
30,77
32,12
32,60
31,15
30,10
41,00
45,00
42,00
46,00
37,00
44,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,02
0,00
0,00
0,00
0,00
27,00
30,77
32,12
32,60
31,15
30,10
66,56
97,99
>100
95,00
>100
84,53
27,29
44,10
44,43
43,70
44,54
37,19
0,67
0,98
1,06
0,95
1,20
0,85
98,95
69,79
72,29
74,60
69,95
80,93
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0-14
14-30
30-56
56-87
87-120
120-200
6,78
7,51
7,60
7,87
7,78
7,84
5,76
6,43
6,33
6,76
6,67
6,71
-1.02
-1.08
-1.27
-1.11
-1.11
-1.13
1,38
0,60
0,33
0,25
0,25
0,26
21,36
30,93
36,47
28,87
29,02
28,38
8,52
22,30
23,09
11,31
11,28
10,87
0,82
0,26
0,45
0,37
0,38
0,32
0,38
0,34
0,60
0,60
0,58
0,51
31,07
53,83
60,61
41,15
41,25
40,08
43,00
47,00
61,00
68,00
64,00
60,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,04
0,04
0,00
0,00
0,00
0,00
31,07
53,83
60,61
41,15
41,25
40,08
>100
>100
>100
92,15
>100
>100
43,65
61,41
64,84
62,66
64,27
63,46
1,02
1,31
1,06
0,92
1,00
1,06
71,19
87,65
93,48
65,66
64,19
63,16
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0-10
10-28
28-54
54-81
81-100
100-150
7,05
7,24
7,20
7,28
7,26
7,19
6,11
6,14
5,90
6,00
5,88
5,62
-0.94
-1.1
-1.3
-1.28
-1.38
-1.57
0,77
0,44
0,25
0,19
0,19
0,13
12,25
10,34
11,72
11,07
13,20
16,00
3,92
3,29
4,43
4,76
6,32
8,00
0,24
0,20
0,31
0,30
0,25
0,30
0,15
0,14
0,22
0,19
0,23
0,30
16,56
13,97
16,67
16,33
20,01
24,60
26,00
22,00
28,00
27,00
28,00
33,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,04
0,04
16,56
13,97
16,67
16,33
20,01
24,60
83,73
90,76
85,50
70,46
93,02
98,05
21,77
19,97
23,94
19,02
26,05
32,36
0,84
0,91
0,86
0,70
0,93
0,98
76,06
69,94
69,62
85,82
76,81
76,03
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
- = tidak terukur
50
51
Tabel 14. Sifat Kimia Tanah Pedon TLK dari Desa Sidomukti (S) dan Molombulahe (M)
pH Tanah
Horison
Kedalaman
H2O
KCl
Basa-Basa dapat Ditukar (dd)
∆ pH
cm
PNSLK
Ap1
Ap2
C-Organik
Ca
5.61
5.81
4.76
4.64
-0.85
-1.17
K
Na
∑ BasaLiat Tota
dd
-------------------- me 100 g-1 ---------------------
(%)
0-11
11-29
Mg
0.98
0.73
11.53
14.50
2.79
3.90
0.35
0.24
0.06
0.07
14.74
18.72
Kemas.-dd
Al
Kapasitas Tukar Kation (KTK)
H
KTK Efektif
KTK Liat
KTK Tanah
----------------------------- me 100 g-1 -------------------------
%
24.00
25.00
0.00
0.00
0.00
0.02
14.74
18.72
58.17
76.58
>100
>100
97.78
0.00
0.00
26.08
1.74
97.93
0.00
19.77
1.24
95.90
0.61
26.11
1.04
92.71
0.39
1.25
0.89
99.58
95.97
0.29
0.36
0.76
0.64
0.95
1.02
0.81
98.65
>100
75.57
71.61
46.78
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
29-61
6.34
4.57
-1.77
0.30
19.68
5.52
0.18
0.16
25.54
15.00
0.00
0.00
25.54
61-91
6.08
4.19
-1.89
0.18
14.78
3.95
0.10
0.13
18.96
16.00
0.12
0.11
19.08
Bw3
91-130
6.18
4.29
-1.89
0.24
18.38
5.52
0.14
0.16
24.21
25.00
0.10
0.09
24.31
BC1
BC2
PNMLK
Apg
Ap2
Bw1
Bw2
BC
130-200
>200
6.26
6.41
4.32
4.23
-1.94
-2.18
0.12
0.13
16.83
13.45
4.13
3.44
0.10
0.09
0.18
0.18
21.24
17.16
17.00
20.00
0.06
0.06
0.05
0.06
21.30
17.22
89.38
21.33
17.88
6.75
6.45
6.67
6.97
7.23
6.02
5.40
5.44
5.66
5.87
-0.73
-1.05
-1.23
-1.31
-1.36
1.70
0.87
0.30
0.18
0.19
16.24
14.81
21.49
18.23
19.45
6.46
7.71
8.14
9.66
0.96
0.42
0.75
0.28
0.20
0.58
0.09
0.18
0.32
0.42
0.55
23.21
23.45
30.23
28.51
21.54
31.00
36.00
42.00
39.00
57.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.02
0.00
0.02
0.02
0.00
23.21
23.45
30.23
28.51
21.54
75.91
64.11
95.26
>100
80.79
23.53
23.08
40.01
39.82
46.05
0-11
11-29
29-51
51-73
73-100
>100
------ (%) -----0.58
0.77
Bw2
>100
Kej. Basa
Kej. Al
(KB)
13.96
19.14
Bw1
>100
KTK
tanah/%
Liat Total
Tabel 15. Sifat Kimia Tanah Pedon TSI dari Desa Bandungrejo
Basa-Basa dapat Ditukar (dd)
pH Tanah
Horison
Kedalaman
C-Organik
H2O
KCl
∆ pH
cm
PNB
Apg1
Apg2
Bwg1
Bw2
Bw3
BCg
BCssg1
BCssg2
0-20
20-40
40-47
47-59
59-107
107-119
119-150
150-200
Ca
(%)
6.38
7.39
7.45
7.16
6.04
6.14
6.72
7.08
5.43
6.40
6.45
5.92
4.59
4.34
5.09
5.37
-0.95
-0.99
-1.00
-1.24
-1.45
-1.80
-1.63
-1.71
1.11
0.61
0.24
0.24
0.24
0.24
0.37
0.37
Mg
K
Na
∑ Basa- % Liat
dd
Total
-------------------- me 100 g-1-----------------15.41
15.71
12.02
13.76
15.11
15.45
18.65
20.13
4.12
5.39
3.99
5.38
7.58
8.26
7.93
10.99
0.22
0.16
0.21
0.28
0.33
0.36
0.44
0.47
0.20
0.35
0.43
0.66
0.95
1.23
1.42
1.78
19.95
21.62
16.65
20.10
23.96
25.30
28.45
33.37
35.00
33.00
31.00
52.00
51.00
46.00
55.00
67.00
Kapasitas Tukar Kation
KTK
(KTK)
tanah/%
KTK
KTK
KTK
Al
H
Liat Total
Efektif
Liat
Tanah
-1
-------------------------- me 100 g ---------------------Kemas.-dd
0.00
0.00
0.00
0.00
0.04
0.06
0.00
0.00
0.00
0.00
0.02
0.00
0.07
0.05
0.00
0.00
19.95
21.62
16.65
20.10
24.01
25.36
28.45
33.37
60.64
54.24
56.83
38.85
53.34
61.61
83.63
62.32
21.22
17.90
17.62
20.20
27.20
28.34
46.00
41.75
0.61
0.54
0.57
0.39
0.53
0.62
0.84
0.62
Kej. Basa
(KB)
Kej. Al
----------(%)---------94.00
>100
94.50
99.48
88.09
89.27
61.84
79.92
\0.00
0.00
0.00
0.00
0.15
0.21
0.00
0.00
51
52
Gambar 21. Sebaran Nilai pH H2O berdasarkan Kedalaman pada Pedon TSTH
(a)
(b)
Gambar 22. (a) Sebaran Nilai pH H2O berdasarkan Kedalaman pada Pedon TLK
dan (b) Pedon TSI
Gambar 23. Sebaran Nilai C-Organik berdasarkan Kedalaman pada Pedon TSTH
53
Gambar 24. Sebaran Nilai C-Organik berdasarkan Kedalaman pada Pedon TLK
dan Pedon TSI (PNB)
Selisih nilai pH KCl dan pH H2O (∆pH) semua pedon yang diteliti
mempunyai pH negatif. Hal ini berarti bahwa semua pedon yang diteliti
bermuatan bersih negatif (Uehara dan Gilman 1981). Lebih lanjut Suharta (2007)
melaporkan bahwa nilai pH KCl yang lebih rendah dari pH H2O menunjukkan
tanah-tanah ini didominasi oleh mineral liat bermuatan negatif. Jika dihubungkan
dengan jenis mineral liat, maka fenomena tersebut bersesuaian. Hasil analisis
mineral liat (Tabel 15), menunjukkan mineral yang dominan adalah smektit yang
merupakan tipe liat 2 : 1. Pada pH > 6, terjadi muatan tergantung pH (pH
depending charge) yang menghasilkan muatan negatif. Peningkatan muatan ini
disebabkan oleh kenaikan pH karena ionisasi gugus OH-. Sedangkan pada pH < 6,
muatannya permanen (permanently charge) karena terjadi subtitusi isomorfik.
Tingginya pH tanah ini juga menyebabkan muatan bersih negatif terhadap kaolinit
dan illit. Hal ini disebabkan kaolinit muatannya sangat tergantung pH tanah.
Semakin tinggi pH, maka muatannya semakin tinggi. Menurut Dixon (1989),
kaolinit mempunyai muatan bersih negatif walaupun sangat rendah. Nilai pH
tanah yang netral sampai agak alkali merupakan petunjuk bahwa tanah ini belum
mengalami pelapukan lanjut. Hal ini disebabkan karena kurangnya pencucian,
sehingga basa masih tinggi dan kompleks jerapan didominasi oleh gugus OH-.
Menurut Tisdale dan Nelson (1975); Soepardi (1983) dan Tan (1998) bahwa
bahan organik adalah salah satu sumber kemasaman dalam tanah. Senyawa
tersebut dapat mempengaruhi pH melalui pembentukan asam organik, atau gugus
54
fungsional yang seperti karboksil dan fenol. Rachim (1994) menyatakan bahwa
pengaruh bahan organik akan cukup jelas di permukaan tanah karena pada bagian
ini bahan organik terakumulasi. Sementara, basa pada kompleks jerapan liat akan
mempengaruhi ion H+ dalam larutan tanah, sehingga konsentrasi antara keduanya
akan mempunyai hubungan terbalik. Hal ini tampak pada pedon TSTH, TLK dan
TSI, dimana semakin tinggi jumlah basa-dd, maka semakin rendah H-dd. Lebih
lanjut dikatakannya bahwa basa-basa dipermukaan tanah mengalami perubahan
karena tiga hal, yaitu pencucian alamiah, diserap tanaman dan manipulasi
manusia. Dua hal pertama menyebabkan berkurangnya basa-basa dipermukaan
atau bagian teratas dan meningkat ke bagian bawah solum dan hal yang terakhir
dapat meningkatkan basa-basa terutama di lapisan olah.
Karbon organik (C-Organik) merupakan indikator penentu banyak
sedikitnya bahan organik di dalam tanah. Tabel 13, 14 dan 15 menunjukkan
bahwa hampir sebagian besar pedon mempunyai kandungan C-organik sangat
rendah (<1,0%). Pada horison permukaan semua pedon masih ditemukan
kandungan C-organik yang rendah (1,0-2,0%). Pola sebaran C-organik (Gambar
23 dan 24) pada umumnya cenderung tinggi di permukaan, dan menurun secara
drastis pada horison B yang terus menurun sesuai kedalaman, sebagaimana pola
yang dilaporkan Prasetyo (2007). Hal ini merupakan pola umum tanah yang telah
berkembang. Adanya bahan organik yang sedikit naik turun pada beberapa pedon,
nampaknya merupakan sisa turunan bahan induk yang dideposisikan oleh air.
Secara umum, tanah-tanah yang mengandung liat 2 : 1 dominan mengandung Corganik yang rendah pula. Hal ini juga merupakan ciri tanah tersebut (Dudal dan
Soepraptohardjo 1957; Soepraptohardjo 1961). Kandungan C-organik yang relatif
tinggi di permukaan mencirikan aktivitas bahan yang lebih intensif dibanding
bagian bawah.
Pola Sebaran C-organik dan jumlah basa-dd ternyata berbeda dengan pola
sebaran pH tanah pada semua pedon yang diteliti dengan pola kecenderungan
saling berlawanan arah. Pada pedon TSTH dan TLK dari Sidomukti, horison
permukaannya memperlihatkan pola terbalik antara pH tanah dan bahan organik,
dimana pH rendah sementara bahan organik tinggi, tetapi berpola sama dengan
jumlah basa-dd (Gambar 21, 22, 23, 24, 25 dan 26). Kondisi ini juga berlaku pada
55
pedon TSTH dari Molombulahe (PNM), walaupun nilai pHnya netral pada
horison permukaan, tetapi menunjukkan kecenderungan pola yang sama antara
nilai pH tanah dengan bahan organik dan basa-basa, kecuali pedon PNM3 yang
pola pH tanah dengan basa-basa justru terbalik (nilai pH rendah, C-organik tinggi
dan jumlah basa-dd tinggi). Sedangkan dengan pedon PNM-LK berpola terbalik,
dimana pH tanah dan bahan organik sama, sementara dengan jumlah basa-dd
berbeda.
Basa-dd pada semua pedon yang diteliti (Tabel 13, 14 dan 15) menunjukkan
bahwa basa yang dominan adalah kalsium (Ca-dd) sebanyak 10,33-36,47 me 100
g-1 dan tergolong tinggi sampai sangat tinggi menurut Staf Peneliti Pusat
Penelitian Tanah (1983). Berdasarkan jumlahnya, maka basa-dd dapat disajikan
sesuai deret: Ca>Mg>K>Na. Tingginya basa-dd dapat disebabkan oleh tingkat
pencucian basa-basa yang rendah mengingat tekstur tanah dominan halus sampai
sangat halus, bahan induk yang kaya sumber hara. Lampiran 2 menunjukkan
bahwa fraksi pasir di semua pedon memiliki hornblende (hijau dan coklat), dan
hiperstin yang merupakan sumber Ca dan Mg. menurut Mohr et al. (1972),
sumber Ca dalam tanah di antaranya hiperstin (19-25% CaO), dan sumber Mg
adalah hornblende (2-25% MgO). Selain itu, dijumpainya mineral labradorit yang
termasuk kelompok plagioklas juga merupakan sumber Ca dalam tanah. Di
samping itu, hasil analisis mineral liat (Tabel 21) menunjukkan bahwa semua
pedon pewakil mempunyai mineral feldspar yang mungkin terdiri dari Ca-felspar,
Mg-felspar dan K-felspar sebagai sumber basa-basa di atas, walaupun dalam
jumlah sedikit. Kondisi ini menunjukkan banyaknya Ca di dalam tanah karena
sumber Ca juga banyak.
Bandingan relatif Ca/Mg menunjukkan bahwa pedon TSTH dari Sidomukti
berkisar antara 2,1:1-4,1:1 dan pedon TSTH dari Molombulahe berkisar antara
1,4:1-3,1:1. Pedon TLK berkisar antara 1,9:1-4,1:1. Sedangkan pedon TSI
bandingan Ca/Mg adalah 2,9:1-3,7:1. Setyorini et al. (2004) melaporkan bahwa
untuk pertumbuhan padi yang optimal, bandingan Ca/Mg adalah 3:1-4:1,
sementara pada masa bunting sampai pembungaan adalah 1:1 hingga 1,5:1.
Dengan demikian, maka pedon TSTH lebih ideal untuk tanaman padi sawah.
56
Natrium (Na) sebagai salah satu basa-dd yang dijumpai mempunyai jumlah
yang tinggi sampai sangat tinggi pada pedon TSTH dari Sidomukti dan pedon
TSI. Sedangkan pada pedon TSTH dari Molombulahe (PNM) dan pedon TLK,
jumlahnya relatif rendah, sedang sampai tinggi saja berdasarkan kriteria Staf
Peneliti Pusat Penelitian Tanah (1983). Kandungan Na pada semua pedon diduga
merupakan hasil akumulasi ketika bahan induk masih sebagai endapan lakustrin.
Selain itu, plagioklas feldspar berupa oligoklas juga mengandung Na. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Hurlbut dan Klein (1977) yang menyatakan bahwa
kandungan Na pada oligoklas sebagai fecies plagioklas feldspar lebih banyak
dibanding Ca.
Gambar 25. Sebaran Jumlah Basa-dd Berdasarkan Kedalaman pada Pedon TSTH
Gambar 26. Sebaran Jumlah Basa-dd Berdasarkan Kedalaman pada Pedon TLK
dan Pedon TSI
57
Secara keseluruhan, jumlah basa-dd dapat dijelaskan melalui Gambar 25
dan 26. Sebaran jumlah basa-dd pada pedon TSTH dari Molombulahe (PNM1 dan
PNM2) relatif sama dengan pedon TLK, tetapi cenderung berlawanan arah dengan
pedon TSTH dari Sidomukti dan pedon TSI. Kemiripan ditunjukkan secara relatif
pola sebaran antara pedon PNS3 dan PNM3 dengan pedon PNB, walaupun
sebarannya tidak konsisten. Sedangkan dua pedon TSTH dari Sidomukti (PN1
dan PNS2) menunjukkan pola yang bersinergi dan berbeda dengan pola-pola yang
ditunjukkan oleh pedon lainnya. Dari Gambar 25 dan 26 dapat disimpulkan bahwa
jumlah basa-dd paling banyak terdapat pada pedon TSTH.
Kapasistas tukar kation (KTK) untuk semua pedon TSTH tergolong sedang
sampai sangat tinggi, tetapi lebih didominasi KTK yang tinggi dan sangat tinggi
(Tabel 13). Demikian halnya pada pedon TSI (Tabel 15). Sedangkan pedon TLK
mempunyai KTK mulai dari rendah sampai sangat tinggi, tetapi lebih didominasi
KTK sedang (Tabel 14). Beberapa faktor yang mempengaruhi KTK di antaranya
adalah bahan organik dan jenis mineral liat (Prasetyo et al. 2007). Semua pedon
mempunyai kadar C-organik yang rendah, sehingga yang paling berpengaruh
terhadap KTK adalah jenis mineral, terutama smektit (Tabel 21). Di antara ke
enam pedon TSTH, hanya pedon PNM3 yang mempunyai nilai KTK paling kecil
(19,02 me 100 g-1), walaupun masih tergolong sedang. Sedangkan pedon TSTH
yang paling tinggi nilai KTKnya adalah PNM2 sebesar 64,84 me 100 g-1 yang
tergolong sangat tinggi.
Pedon TLK, nilai KTK tanah yang paling kecil terjadi pada pedon PNS-LK
sebesar 13,96 me 100 g-1 dan tergolong rendah. Pedon TLK paling tinggi KTKnya
adalah PNM-LK dengan nilai sebesar 46,05 me 100 g-1. Sedangkan pedon TSI,
KTK tertinggi sebesar 46,00 me 100 g-1 dan paling rendah sebesar 17,62 me 100
g-1 yang masih tergolong sedang. Penurunan nilai KTK tanah pada horison
permukaan umumnya berhubungan dengan derajat pelapukan antara lapisan atas
dan lapisan bawah yang diawali dengan penurunan pH tanah, sebagaimana terjadi
pada pedon PNS1, PNS3, PNM1, PNM2, dan PNS-LK. Smektit adalah mineral
liat 2:1 yang mempunyai nilai KTK tinggi. Borchard (1989) menyatakan bahwa
nilai KTK mineral smektit berkisar antara 47-162 me 100 g-1. Namun, hal tersebut
umumnya hanya terjadi pada lapisan permukaan. Sedangkan dari horison B ke
58
horison di bawahnya, nilai KTK tanah meningkat sampai mencapai nilai sangat
tinggi. Jika pelapukan smektit terjadi dengan kondisi pH rendah, maka KTK akan
menurun dan terbentuk kaolinit yang mempunyai KTK sangat rendah. Menurut
Lim et al. (1980), nilai KTK kaolinit murni antara 0-1 me 100 g-1. Sedangkan
KTK kaolinit dari tanah berkisar antara 1.2-12.5 me 100 g-1 (Briendly et al. 1986);
(Prasetyo dan Gilkes 1997).
Nilai KTK tanah berpengaruh pada potensi kejenuhan basa (KB). KB
merupakan salah satu indikator kesuburan tanah, selain basa-basa dapat ditukar
(basa-dd), KTK, P2O5, K2O dan C-organik (PPT, 1983). Semua pedon yang
diteliti menunjukkan dominasi KB yang sangat tinggi. Variasi KB semua pedon
adalah sedang, tinggi sampai sangat tinggi tanpa KB rendah dan sangat rendah.
Variasi KB tinggi sampai sangat tinggi terjadi pada pedon PNS1, PNM1, PNM2,
PNM3, PNB dan PNS-LK. Sedangkan pedon sisanya adalah sedang, tinggi
sampai sangat tinggi. Kondisi ini terjadi karena jumlah basa-dd lebih besar dari
KTK tanah untuk nilai KB tinggi sampai sangat tinggi, sementara jika jumlah
basa lebih kecil dari KTK tanah, maka KB cenderung lebih rendah, walaupun
masih tergolong sedang. Nilai KB terendah terdapat pada pedon PNS2 yang hanya
sebesar 36.20% saja. Sedangkan nilai KB yang melebihi angka 100% terdapat
pada pedon PNS1, termasuk PNS2, PNS-LK, PNM-LK dan PNB. Kemungkinan
lain adalah pengekstrak yang digunakan, yakni amonium asetat (NH4OAc) pada
pH 7 mampu melarutkan basa-basa, sehingga jumlah basa semakin banyak.
Padahal kemungkinan kondisi aktual jumlah basa tidak demikian adanya.
Jika dilihat dari nilai KTK, jumlah basa dan KB, tanah-tanah yang diteliti
menunjukkan tingkat kesuburan yang baik. Nilai-nilai tersebut dari tempat
pelapukan mencirikan tanah yang masih muda. Hal ini sesuai dengan umur bahan
induk Holosen dan merupakan bahan endapan lakustrin. Berdasarkan aspek ini,
potensi kesuburan tanah cukup baik. Kaitannya dengan sifat kimia tanah yang
telah diuraikan sebelumnya, maka penting untuk mengetahui sifat kimia air sawah
setempat (existing) dalam petak TSTH dan TSI (Tabel 16). Hal ini ditujukan
untuk mengetahui kemungkinan pengaruh unsur dan senyawa kimia lain dari
daerah atasnya, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa ada kemungkinan
pelapukan mineral terjadi di daerah hulu dan diendapkan di lokasi pedon.
59
Kandungan besi (Fe) dan mangan (Mn) tertinggi terjadi pada pedon PNS1 dan
terendah pedon PNM3. Kadar nitrat (NO3-1) tertinggi terjadi pada pedon PNS dan
terendah pedon PNB. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan pH air, dimana
pH tertinggi terjadi pada pedon PNM dan PNB. Sedangkan pH air terendah justru
terjadi pada PNS1. Hal ini diduga karena curah hujan yang lebih rendah dan
evapotranspirasi lebih tinggi, sehingga air sawah dari pedon PNS1 lebih masam
dibandingkan pedon PNB dan PNM3.
Kadar Fe dan Mn yang terdapat dalam air sawah ini belum meracuni
tanaman. Menurut Howeler (1973), batas kritis Fe dalam larutan tanah adalah
300-500 ppm, sementara batas kritis Mn adalah 15-60 ppm (Black 1968).
Selanjutnya, Moormann (1978) menyatakan bahwa keracunan Fe terlihat bila
kadar besi dalam larutan tanah sebanyak 20-40 mg l-1. Apabila kadar hara lain
sangat rendah atau dalam keadaan hara tidak berimbang, maka keracunan Fe akan
nampak pada kadar Fe dalam larutan tanah sebesar 30 mg l-1. Berdasarkan kriteria
baku mutu kualitas air, maka kadar Fe dan Mn pada semua pedon tergolong kelas
I yang sesuai untuk kegiatan pertanian (sawah). pH air tergolong kelas I, kecuali
air dari sawah Sidomukti (PNS1) yang tergolong kelas IV dan hanya sesuai untuk
pertanian, peternakan dan perikanan. Sedangkan kadar nitrat (NO3-) tergolong
kelas I, kecuali semua pedon dari Sidmukti (PNS) yang tergolong kelas IV.
Tabel 16. Sifat Kimia Air Sawah di Daerah Penelitian
Unsur/Senyawa*)
Fe
Mn
NO3pH
-1
…………………………………….. mg l ………………………………………..
Sidomukti/PNS1
0,462
0,202
23,720
5,1
Sidomukti/PNS3
0,041
0,122
55,182
6,9
Molombulahe/PNM2
0,009
0,039
12,313
6,2
Molombulahe/PNM3
0,114
0,095
9,121
7,2
Bandungrejo/PNB
0,105
0,043
4,473
7,1
*)
Hasil Analisis Laboratorium Kualitas Air Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo (2009)
Lokasi/Simbol
5.1.3 Sifat Mineralogi
5.1.3.1 Susunan Mineral Fraksi Pasir
Analisis mineral fraksi pasir dilakukan untuk mengetahui komposisi dan
cadangan mineral yang ada dan menduga jenis bahan induk tanah (Prasetyo 1990;
Hardjowigeno 1993; Rachim 2007). Hasil analisis mineral fraksi pasir pada pedon
TSTH, TLK dan TSI pewakil disajikan pada Lampiran 2 dan sebagian data
60
tersebut tanpa fraksi berat dibagi dalam mineral sukar lapuk (MSL) dan mineral
mudah lapuk (MML), sebagaimana tertera pada Tabel 17, 18, 19 dan 20. Khusus
untuk mineral yang jumlah persentasenya sedikit (sp) tidak dicantumkan karena
sifatnya kualitatif.
Tabel 17. Persentase Mineral Fraksi Pasir Pedon TSTH Pewakil, Sidomukti
cm
PNS1
Bwg2
PNS2
Bwg2
En
Ep
Hh
Ao
Sn
Or
La
An
Ol
∑
Ab
MML
Lm
Qz
Op
MSL
Kedalaman
Horison
Pedon
∑
MSL/
MML
………………………………………%...............................................................
5371/93
2
58
1
61
4
-
-
1
1
3
1
8
1
1
20
3,05
6484/103
1
78
-
79
2
1
-
1
-
4
-
1
1
-
10
7,90
Op=opak, Qz=kuarsa, Lm=limonit, ∑=jumlah, Ab=albit, Ol=oligoklas, An=andesine,
La=labradorit, Or=ortoklas, Sn=sanidin, Ao=anortoklas, Hh=hornblende hijau, Ep=epidot,
En=enstatit, MSL=mineral sukar lapuk, MHL=mineral hasil lapukan.
Pada semua pedon TSTH dan TSI umumnya telah banyak kehilangan MML
yang ditunjukkan oleh persentasenya di bawah 60%. Sedangkan pedon TLK
menunjukkan persentase MML yang lebih tinggi, yaitu sebesar 60%. Mineral
fraksi pasir pada pedon TSTH yang berasal dari Sidomukti relatif telah mengalami
pelapukan lebih intensif dibandingkan pedon TSTH yang berasal dari
Molombulahe, pedon TSI dan pedon TLK karena dominasi MSL (kuarsa).
Tingkat pelapukan dapat juga dilihat dari nisbah MSL/MML (Birkeland
1974; Hardjowogeno 1993), dimana rasio jumlah MML dengan MSL menurun
dengan meningkatnya pelapukan. Pada tanah yang mengalami penyawahan
intensif cenderung lebih tinggi pelapukannya. Pada pedon PNB dengan nisbah
MSL/MML sebesar 3,23 karena sawah irigasi, maka pelapukannya lebih intensif
dibandingkan pedon lain yang kurang intensif karena faktor ketersediaan air. Hal
ini sejalan dengan pernyataan Rayes (2000) bahwa penyawahan cenderung
memacu proses pelapukan karena pengaruh air dan suasana reduksi oksidasi
secara bergantian. Pada pedon TSTH, nisbah MSL/MML pedon dari Sidomukti
lebih tinggi (3,05 dan 7,89) dibanding pedon dari Molombulahe sebesar 0,64 dan
0,80 karena penyawahannya lebih intensif. Rendahnya, MML pada pedon PNS2
diduga karena mineral tersebut telah mengalami pengangkutan karena erosi dan
diendapkan di daerah yang lebih rendah. Sedangkan pada pedon TLK jarang
61
mengalami pembasahan, sehingga nisbah MSL/MML lebih rendah dibanding
pedon TSI dan TSTH. Akibatnya, proses pelapukannya juga berlangsung lambat.
Tingkat pelapukan tanah berdasarkan nisbah MSL/MML disajikan dalam bentuk
deret sebagai berikut: TSI>TSTH>TLK.
Tabel 18. Persentase Mineral Fraksi Pasir Pedon TSTH Pewakil, Molombulahe
cm
En
Ep
Hc
Hh
Sn
Or
La
An
MML
∑
Ab
Kedalaman
Qz
Horison
MSL
Op
Pedon
∑
MSL/
MML
……………………………………%..........................................................
PNM1
Bwg1
37-60
6
30
36
3
1
4
5
1
9
1
32
-
56
0,64
28-54
5
38
43
5
2
11
4
3
19
-
9
1
54
0,80
PNM3
Bwg
Op=opak, Qz=kuarsa, ∑=jumlah, Ab=albit, An=andesine, La=labradorit, Or=ortoklas, Sn=sanidin,
Ao=anortoklas, Hh=hornblende hijau, Hc= hornblende coklat, Ep=epidot, En=enstatit,
MSL=mineral sukar lapuk, MML=mineral mudah lapuk
Mineral feldspar masih dijumpai pada semua pedon TSTH dalam jumlah
yang lebih sedikit, berupa albit, andesin, orthoklas dan sanidin. Pada pedon TSI
hanya terdapat albit, orthoklas dan sanidin. Sedangkan pada pedon TLK hanya
albit dan orthoklas saja. Sanidin merupakan mineral yang tergolong K-felspar
dengan kemampuan melapuk lambat yang secara kimiawi mengandung unsur K
dan Na (Mohr dan Van Baren, 1960). Hal ini menunjukkan bahwa sanidin dapat
digolongkan sebagai mineral cadangan. Selain sanidin, fragmen batuan juga
ditemukan pada semua pedon dengan persentase 3% sampai 38%. Fragmen ini
merupakan material dapat lapuk yang masih merupakan gabungan beberapa
mineral yang belum teruraikan. Persentase tertinggi terdapat pada pedon TSI
sebesar 38%, disusul pedon TSTH dan pedon TLK. Peluang lain adalah fragmen
batuan ini melapuk menjadi MML atau MSL, tergantung komposisi senyawa
penyusunnya dan kondisi lingkungan pada saat fragmen tersebut melapuk.
Mineral kelam (K, Na)-feromagnesium tidak banyak ditemukan, kecuali
amfibol yang merupakan spesies hornblende berupa hornblende hijau dalam
jumlah cukup pada pedon TSTH dan bersama hornblende coklat dalam jumlah
sedikit pada pedon TLK. Sedangkan pada pedon TSI tidak ditemukan sama sekali.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Dixon dan Weed (1989); Prasetyo et al. (1996)
bahwa jenis mineral feldspar terdiri dari andesin, orthoklas dan sanidin.
Sedangkan mineral feromagnesium terdiri dari augit, hiperstin dan amfibol.
62
Hal yang cukup menarik pada pedon TLK, kandungan MML lebih tinggi
persentasenya dibandingkan semua pedon yang didominasi oleh epidot (Tabel
18). Epidot ini merupakan sebagian kecil hasil pelapukan plagioklas bersama
dengan kuarsa, pirit dan kalsit (Merchant 1978). Pedon lain juga mengandung
mineral epidot, terutama pedon PNM1 dan PNM2 yang persentasenya masingmasing 32% dan 9%. Hal ini menunjukkan bahwa semua pedon di daerah
penelitian awalnya mengandung mineral plagioklas yang telah mengalami
pelapukan, sehingga telah habis sama sekali.
Tabel 19. Persentase Mineral Fraksi Pasir Pedon TLK Pewakil, Molombulahe
cm
En
Ep
Hh
Or
La
∑
Ab
MML
Li
Kedalaman
Op
Horison
Qz
MSL
Pedon
∑
MSL/MML
…………………………………%.............................................
PNM-LK
Bw1
29-51
7
26
1
34
2
2
2
13
40
1
60
0,57
Op=opak, Qz=kuarsa, Lm=limonit, ∑=jumlah, Ab=albit, La=labradoti, Or=ortoklas,
Hh=hornblende hijau, Hc= hornblende coklat, Ep=epidot, En=enstatit, MSL=mineral sukar lapuk,
MML=mineral mudah lapuk.
Opak sebagai mineral paling resisten ditemukan pada semua pedon dengan
persentasi <10% saja. Menurut Rachim (1994), opak merupakan mineral tidak
tembus cahaya, sehingga di mikroskop berwarna hitam, biasanya magnetit atau
dapat juga konkresi besi. Keberadaan opak ini menentukan jenis bahan induk.
Magnetit merupakan mineral pengiring ketika magma membeku yang umum
terdapat pada batuan basaltik dan resisten seperti halnya konkresi besi. Jika tanah
melapuk semakin tinggi, maka jumlah magnetit semakin meningkat pula. Namun,
bila jumlahnya cukup rendah dalam bahan induk, maka peningkatannya
dibandingkan dengan mineral lain menjadi tidak jelas (Hurlbut dan Klein 1977).
Peningkatan persentase kuarsa dan mineral resisten lainnya merupakan hasil dari
pelapukan mineral feromagnesium dan MML pada umumnya.
Data mineral fraksi pasir ini memberikan petunjuk bahwa kuarsa dan
mineral resisten lainnya sumbernya in situ yang ditunjukkan oleh peningkatan
persentase kuarsa dan mineral resisten lainnya diikuti oleh rendahnya magnetit
(opak). Hal ini sejalan dengan pernyataan Rachim (1994) bahwa meningkatnya
mineral resisten diikuti oleh jumlah magnetit yang rendah hingga sangat rendah.
Jika tidak demikian, maka mineral resisten yang tinggi berasal dari tempat lain.
63
Menurut Bachri et al. (1993) bahwa wilayah penelitian terdiri dari formasi
endapan danau (Qpl) yang diantaranya terdiri atas batu liat (clay stone) dan batu
pasir (sand stone). Bahan endapan berasal dari hinterland, dimana sungai
mengalir. Dengan demikian, maka jenis mineral bahan endapan tergantung bahan
yang dierosikan. Hal ini menyebabkan mineral resisten akan lebih menonjol.
Bahan yang diendapkan di danau atau laut akan memadat dan mengeras menjadi
batu. Di samping itu, liat dapat terbentuk secara in situ, tergantung kondisi
lingkungannya. Suharta dan Prasetyo (2008) melaporkan bahwa kandungan
kuarsa pada tanah berbahan induk batu pasir (lebih tinggi (>80%) dibandingkan
dengan tanah berbahan induk batu liat. Batu liat tidak berkembang atau berasal
dari silika abu vulkanik tipikal (Bohor dan Meier 1990).
Tabel 20. Persentase Mineral Fraksi Pasir Pedon TSI Pewakil, Bandungrejo
Ep
Ao
Sn
Or
∑
Ab
MML
Li
Op
Horison
Kedalaman
Qz
MSL
Pedon
∑
MSL/
MML
cm
……………………………%...........................................................
PNS1
40-47
2
39
1 42
5
2
2
1
3
13
3,23
Bwg2
Op=opak, Qz=kuarsa, Lm=limonit, ∑=jumlah, Ab=albit, Or=ortoklas, Ep=epidot, lapuk,
MSL=mineral sukar lapuk, MML=mineral mudah lapuk
Pedon TSTH dari Sidomukti (PNS), PNM3 dan pedon TSI didominasi oleh
kuarsa dan dalam jumlah yang lebih sedikit masih ditemukan mineral orthoklas,
andesine dan sanidin, kecuali pedon TSTH dan TLK dari Molombulahe (PNM1
dan PNM-LK) yang lebih didominasi oleh epidot. Asosiasi mineral ini
menunjukkan bahwa bahan lakustrin ini berasal dari bahan volkan yang bersifat
masam (Prasetyo 2007).
5.1.3.2 Susunan Mineral Fraksi Liat
Untuk menentukan jenis mineral liat yang dominan di daerah penelitian,
maka dilakukan analisis mineral fraksi liat dengan menggunakan difraksi sinar-X
(XRD) terhadap pedon-pedon pewakil. Semua pedon yang diteliti didominasi oleh
mineral smektit (Tan 1998) yang merupakan mineral liat tipe 2 : 1 dengan jumlah
sedang, banyak sampai dominan, sehingga tergolong kelas mineralogi smektitik
(Tabel 21). Menurut Prasetyo (2007), mineral smektit dapat mempengaruhi sifat
fisik dan kimia tanah. Sifat fisik yang penting antara lain kemampuannya
64
mengembang (swelling) bila basah ataupun mengkerut (shringking) bila kering.
Sedangkan sifat kimia yang penting antara lain mempunyai muatan negatif
(negative charge) menyebabkan mineral ini sangat reaktif dalam lingkungan dan
mempunyai KTK yang tinggi.
Tabel 21. Hasil Analisis Mineral Fraksi Liat dengan Metode XRD pada Contoh
Tanah Terpilih dari Pedon yang Diteliti
Pedon/
Horison
PNS1
Bwg2
BCg2
PNS2
Bwg2
BCssg2
PNM1
Bwg1
PNM3
Bwg
PNM-LK
Bw1
PNB
Bwg1
Puncak Difraksi XRD (Å)
Jumlah/
Keterangan
Jenis Mineral
15.20; 5.03; 16.15;12.31; 10.07
7.29; 3.56
9.29
3.20
4.26; 3.33
15.07; 5.00; 18.68; 12.71; 10.07
7.32; 3.58
10.34
3.20
4.26; 3.33
+++ (Banyak)
+++ (Banyak)
+ (Sedikit)
+ (Sedikit)
+ (Sedikit)
+++ (Banyak)
+++ (Banyak)
+ (Sedikit)
+ (Sedikit)
+ (Sedikit)
Smektit
Kaolinit
Illit
Feldspar
Kuarsa
Smektit
Kaolinit
Illit
Feldspar
Kuarsa
15.05; 5.00; 17.04;12.61; 10.01
7.19; 3.56
10.20
3.20
4.26; 3.33
15.35; 5.00; 18.68;13.03; 10.21
7.19; 3.56
9.02
3.20
4.26; 3.33
+++ (Banyak)
+++ (Banyak)
+ (Sedikit)
+ (Sedikit)
+ (Sedikit)
+++ (Banyak)
++ (Sedang)
+ (Sedikit)
+ (Sedikit)
+ (Sedikit)
Smektit
Kaolinit
Illit
Feldspar
Kuarsa
Smektit
Kaolinit
Illit
Feldspar
Kuarsa
12.42; 5.45; 17.62;12.61; 10.21
7.19; 3.56
9.81
4.06; 3.20
4.26; 3.33
++ (Sedang)
++ (Sedang)
+ (Sedikit)
+ (Sedikit)
+ (Sedikit)
Smektit
Kaolinit
Illit
Feldspar
Kuarsa
15.35; 18.24; 12.41; 10.07
7.29; 3.56
10.34
3.20
++++ (Dominan)
++ (Sedang)
+ (Sedikit)
+ (Sedikit)
Smektit
Kaolinit
Illit
Feldspar
12.82; 18.03;12.31; 10.07
7.29; 3.56
10.41
3.20
+++ (Banyak)
+++ (Banyak)
(+) (Sangat Sedikit)
+ (Sedikit)
Smektit
Kaolinit
Illit
Feldspar
14.36; 17.62;12.12; 10.01
7.32; 3.59
10.14
3.20
4.26; 3.33
++ (Sedang)
+++ (Banyak)
+ (Sedikit)
+ (Sedikit)
+ (Sedikit)
Smektit
Kaolinit
Illit
Feldspar
Kuarsa
65
Jika dikaitkan dengan bahan induk sebagai endapan lakustrin, maka jenis
mineral liat yang cukup bervariasi adalah biasa. Namun, mana yang lebih
dominan adalah sesuai bagi kondisi pembentukannya. Dalam hal ini untuk smektit
adalah yang paling sesuai karena drainase relatif buruk, dan pH relatif tinggi, serta
basa-basa yang tinggi khususnya Ca dan Mg (Jackson 1968; De Coninck 1974).
Oleh karena itu, mineral liat dominan adalah smektit. Hal ini sesuai dengan nilai
KTK tanah dan liat yang cukup tinggi serta secara morfologi ditentukan oleh
adanya bidang kilir (khusus profil PNS1, PNS2, PNS3, PNM2, dan PNB).
Pembentukan mineral smektit memerlukan beberapa kondisi antara lain
curah hujan yang cukup agar memungkinkan terjadinya pelapukan mineral
primer, tetapi volumenya tidak terlalu tinggi sehingga tidak terjadi pencucian
basa-basa (Driessen dan Dudal 1989). Selanjutnya, Allen dan Hajek (1989)
menyatakan bahwa mineral smektit dapat berasal dari bahan induk tanah
(inherited) dan hasil pelapukan mineral philosilikat. Periode kering diperlukan
untuk kristalisasi smektit, drainase yang jelek untuk menghindarkan terjadinya
pencucian hasil lapukan dan suhu udara yang tinggi untuk mendukung proses
pelapukan mineral tersebut. Hal ini sesuai dengan pH tanah semua pedon pewakil
yang nilainya netral sampai agak alkali, walaupun ada juga pedon yang pHnya di
bawah netral, tetapi masih memungkinkan pembentukan smektit karena faktorfaktor yang lain masih mendukung dan lebih dominan pengaruhnya.
Mineral smektit bisa terbawa erosi sebagai bahan yang diendapkan ke
danau. Di lingkungan danau, smektit tertahan pada kondisi kaya basa-basa dan
drainase buruk. Ketika lingkungan berubah, maka smektit juga dapat berubah dan
terangkut jika drainase baik pada kondisi masam. Keberadaan smektit ini juga
diduga berasal dari pelapukan langsung feldspar pada tanah-tanah fertisol
(Nettleton et al. 1970) atau hasil pelapukan hornblende (Paddy et al. 1985). Kleis
dan Fehrenbacher (1973) menyatakan bahwa tanah-tanah yang berkembang dari
bahan endapan lepas mengandung smektit dari bahan induknya. Sementara,
berdasarkan formasi geologi lokasi penelitian merupakan endapan danau. Pada
semua pedon TSTH dari Sidomukti dan pedon TSTH dari Molombulahe (PNM3),
mineral smektit menunjukkan kritalinitas yang baik dengan puncak (peak) difraksi
yang jelas, kecuali pedon PNM1 yang kritalinitasnya jelek. Sedangkan pada
66
pedon lahan kering dan tanah sawah irigasi kristalinitasnya juga jelek yang
ditunjukkan oleh puncak-puncak yang kurang jelas dengan dasar yang melebar
dan intensitas yang sangat rendah (Gambar 27, 28, 29, 30, 31 dan 32).
PNS1-4
Penjenuhan Mg2+
Penjenuhan Mg2+ + Glycerol
Penjenuhan K+
Penjenuhan K+ + Pemanasan 550oC
PNS1-7
Penjenuhan Mg2+
Penjenuhan Mg2+ + Glycerol
Penjenuhan K+
Penjenuhan K+ + Pemanasan 550oC
Gambar 27. Difraktogram Sinar-X Pedon PNS1 terpilih (Fraksi < 2 µ)
Mineral lain yang ditemukan di semua pedon adalah kaolinit, illit, feldspar
dan kuarsa (Tan 1998) dalam jumlah yang jauh lebih sedikit, kecuali pedon
PNM3 dan PNM-LK tidak ditemukan kuarsa. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Prasetyo (2008), bahwa smektit kebanyakan dijumpai bersama mineral illit dan
kaolinit. Pada pedon TSTH dari Sidomukti (PNS), TSI dan TLK, jumlah kaolinit
yang ditemukan adalah banyak. Sedangkan pedon TSTH dari Molombulahe
(PNM) jumlahnya sedang. Keberadaan kaolinit ini diduga merupakan hasil
pelapukan smektit di daerah hulu yang berpH masam dan terendapkan di daerah
67
aluvial. Hal ini disebabkan karena pH tanah di hampir semua pedon pewakil
adalah agak masam sampai agak alkali yang tidak memungkinkan terjadinya
pelapukan smektit. Menurut Wilson dan Cradwick (1972), mineral smektit
menjadi tidak stabil pada kondisi pH masam sampai sangat masam dan akan
melapuk membentuk kaolinit atau pedogenic chlorite (Borchardt 1989).
PNS2-4
7,19
Penjenuhan Mg2+
Penjenuhan Mg2+ + Glycerol
Penjenuhan K+
Penjenuhan K+ + Pemanasan 550oC
PNS2-7
Penjenuhan Mg2+
Penjenuhan Mg2+ + Glycerol
Penjenuhan K+
Penjenuhan K+ + Pemanasan 550oC
Gambar 28. Difraktogram Sinar-X Pedon PNS2 terpilih (Fraksi < 2 µ)
Mineral illit ditemukan dalam jumlah sangat sedikit sampai sedikit di semua
pedon. Keberadaan illit bersama smektit merupakan bagian dari transformasi illitsmektit. Menurut Borchardt (1989), kondisi yang memungkinkan transformasi
illit-smektit adalah suhu dan tekanan rendah, konsentrasi Al dan K harus rendah,
konsentrasi Si(OH)4 harus tinggi dan pH >6,5. Hal ini ditunjang oleh data kimia
tanah yang menunjukkan bahwa konsentrasi Al dan K adalah sangat rendah serta
pH netral sampai agak alkali.
68
PNM1-3
Penjenuhan Mg2+
Penjenuhan Mg2+ + Glycerol
Penjenuhan K+
Penjenuhan K+ + Pemanasan 550oC
Gambar 29. Difraktogram Sinar-X Pedon PNM1 terpilih (Fraksi < 2 µ)
PNM3-3
Penjenuhan Mg2+
Penjenuhan Mg2+ + Glycerol
Penjenuhan K+
Penjenuhan K+ + Pemanasan 550oC
Gambar 30. Difraktogram Sinar-X Pedon PNM3 terpilih (Fraksi < 2 µ)
Mineral kuarsa ditemukan dalam jumlah sedikit pada semua pedon, kecuali
pedon PNM3 dan PNM-LK yang tidak ditemukan lagi kuarsa. Keberadaan kuarsa
dicirikan oleh puncak difraksi 4.26 Å dan 3.33 Å (Tan 1998). Kuarsa ini diduga
merupakan mineral primer yang berukuran liat. Tidak ditemukaannya mineral
kuarsa yang berukuran liat pada pedon PNM3 dan PNM-LK karena posisi kedua
pedon ini masing-masing berada di puncak dan punggung lereng, sehingga
kemungkinan telah mengalami pengangkutan ke daerah bawah. Hal ini ditunjukkan
oleh masih ditemukannya mineral kuarsa dalam jumlah sedikit pada pedon PNM1.
69
PNM-LK3
Penjenuhan Mg2+
Penjenuhan Mg2+ + Glycerol
Penjenuhan K+
Penjenuhan K+ + Pemanasan 550oC
Gambar 31. Difraktogram Sinar-X Pedon PNM-LK terpilih (Fraksi < 2 µ)
PNB-3
Penjenuhan Mg2+
Penjenuhan Mg2+ + Glycerol
Penjenuhan K+
Penjenuhan K+ + Pemanasan 550oC
Gambar 32. Difraktogram Sinar-X Pedon PNB terpilih (Fraksi < 2 µ)
5.2
Genesis Tanah Sawah Tadah Hujan
Pembentukan tanah (genesis) TSTH dipengaruhi oleh faktor utama, yaitu
iklim, umur, topografi dan aktifitas manusia sebagaimana tertera pada Tabel 22.
Faktor organisme tidak dipertimbangkan lagi dengan asumsi bahwa organisme
yang ada saat ini telah mengalami suksesi karena pengaruh manusia. Semua tanah
yang diteliti berada di sekitar garis katulistiwa (equator) pada posisi 0o LU dan
122o BT, dimana faktor iklim sangat mempengaruhi pelapukan mineral. Kondisi
ini terlihat dari suhu yang tinggi (26,67-27,00oC) dengan curah hujan yang relatif
rendah (1.021-1.112 mm).
70
Tabel 22. Faktor-Faktor Utama Pembentuk Tanah di Daerah Penelitian
Faktor Pembentuk Tanah
Iklim (cl) :
Suhu (oC)
Curah Hujan (mm)
Umur (t)
Topografi (r)
Manusia (h)
Sidomukti
Lokasi
Molombulahe
Bandungrejo
27.00
1,112
Pleistosen-Holosen
Epoch Kuarter
Datar
1xtanam
26.67
1,021
Pleistosen-Holosen
Epoch Kuarter
Datar
1xtanam
27.00
1,112
Pleistosen-Holosen
Epoch Kuarter
Datar
2-3xtanam
Sesuai dengan kenampakan solum, maka horison yang terbentuk masih
sederhana dan proses genesis belum lanjut. Ada empat faktor yang
menyebabkannya, yaitu pertama curah hujan yang relatif rendah, kedua umur
yang masih relatif muda, dan ketiga topografi relatif datar sebagai daerah depresi
yang penting sebagai lokasi akumulasi hara, sehingga pH umumnya netral yang
memungkinkan bertahannya mineral 2 : 1, serta keempat aktifitas manusia (petani)
dalam mengelola tanah dengan teknik bertani, intensitas penanaman dan pola
tanam yang berbeda akan mempengaruhi proses genesis tanah sawah tersebut.
Pengaruh rendahnya curah hujan menyebabkan pencucian terbatas, sehingga
basa-basa meningkat. Di samping itu, muka air tanah yang dangkal (<100 cm)
menyebabkan infiltrasi dan perkolasi air sedikit. Padahal, air merupakan salah
satu energi pengembang dalam proses pedogenesis (Smeck 1971). Drainase yang
buruk dan umur tanah yang masih relatif muda (pleistosen dan holosen epoch
kuarter), menyebabkan belum terbentuk horison yang lebih berkembang dari
kambik. Kondisi iklim dan drainase tersebut menyebabkan berkembangnya sifatsifat vertik. Adanya horison yang kadar liatnya memenuhi syarat horison argilik
tampaknya lebih disebabkan oleh turunan bahan yang dideposisikan berbedabeda. Pengaruh aktifitas manusia, terutama akibat pengolahan tanah dalam
keadaan tergenang yang menyebabkan perubahan sifat fisik berupa hancurnya
agregat tanah, berkurangnya pori-pori kasar dan meningkatnya pori-pori halus.
Selain itu, penggenangan tanah dalam keadaan berlumpur menyebabkan partikel
halus bergerak ke bawah bersama air perkolasi (Moormann dan van Breemen
1978; Kanno 1978). Hal ini yang memungkinkan terjadinya pengangkutan bahan
dari horison atas ke bagian horison bawahnya. Sedangkan perubahan sifat kimia
tanah lebih diakibatkan oleh aktiftas penggenangan sawah yang berulang-ulang
dan penambahan pupuk ke dalam tanah.
71
Hasil proses pedogenesis yang telah berlangsung sampai saat ini berupa
sifat morfologi, mineral dan sifat fisikokimia sebagaimana uraian sebelumnya.
Sifat dan karakteristik ini selanjutnya digunakan untuk menjelaskan proses yang
telah terjadi. Blume (1988) menggunakan fenomena sifat tersebut untuk
melakukan rekonstruksi terhadap proses pedogenesis.
Berdasarkan warna tanah, maka pelapukan secara kimia mempengaruhi
proses genesis tanah. Kondisi aerob dan anaerob terjadi akibat kegiatan
penyawahan pada saat musim hujan dan bera pada musim kemarau. Pada kondisi
anaerob, pelapukan kimia yang utama adalah reduksi, dimana unsur mendapat
pasokan elektron sehingga muatannya berubah. Kondisi ini terjadi pada
lingkungan jenuh air, pasokan O2 rendah dan konsumsi biologik terhadap O2
tinggi. Reaksi reduksi menyebabkan terjadinya perubahan valensi unsur akibat
pasokan elektron sehingga muatannya berubah. Perubahan besi bentuk feri (Fe3+)
menjadi besi bentuk fero (Fe2+) yang mobilitasnya tinggi adalah reaksi reduksi
yang utama pada pedon TSTH ini. Besi bentuk fero memberikan warna kelabu
kehijauan atau hijau kebiruan. Bersamaan dengan itu, proses gleisasi berlangsung
sangat intensif.
Proses gleisasi merupakan reduksi besi di bawah kondisi tergenang
anaerobik yang menghasilkan warna matrik kelabu hingga kelabu kehijauan
dengan atau tanpa karat coklat kekuningan, coklat, atau hitam dan konkresi ferik
dan manganiferrous (Rachim 2007). Tampilan warna horison akibat reaksi reduksi
dan proses gleisasi yang kuat nyata terlihat pada pedon TSTH dengan hue 7.5YR
dan 10YR, dan value 4-7 serta kroma dominan ≤ 2. Fenomena warna matrik yang
tergleisasi kuat ini tampak pada PNS dan PNM dengan warna karatan coklat,
coklat kekuningan sampai hitam, walaupun cukup variatif.
Pada kondisi aerob, proses pelapukan kimia yang utama adalah hidrolisis
(Van Schuylenborgh 1971; Segalen 1971; Goenadi dan Tan 1989). Bersamaan
dengan itu, proses oksidasi yang terjadi menghasilkan tampilan warna coklat
kekuningan sampai merah. Kondisi ini merupakan ciri dari oksida besi dan Al
yang terbentuk selama proses pedogenesis (Schwertmann dan Taylor 1989). Besi
oksida berkaitan dengan warna merah dan Al oksida dengan warna kuning (Karim
dan Adam 1984). Proses hidrolisis bersamaan dengan reaksi oksidasi dominan
72
terjadi pada pedon TLK yang memberikan warna coklat, serta pedon TSI yang
memberikan warna merah. Berdasarkan warna tersebut, maka tingkat pelapukan
pedon TSI lebih tinggi dibanding pedon TSTH dan pedon TLK. Pola warna pedon
PNB yang lebih dominan kearah merah dari pada coklat menunjukkan proses
rubifikasi, dimana warna kemerahan lebih menonjol dan bersifat rubifikatif (Buol
et al. 1980; Blume 1988).
Proses basah dan kering yang berulang-ulang dapat juga menyumbang
terhadap pelapukan fisik. Pada proses ini dengan waktu akan terjadi pelemahan
daya ikat antar mineral atau butiran dalam batuan, sehingga lama kelamaan bagian
batuan tersebut dapat terpisah dan umumnya bagian terluar yang relatif tipis atau
sering disebut proses ekspoliasi. Hasil dari pelapukan fisik ini umumnya ada yang
diendapkan secara in situ, tetapi pada pedon TSTH ini umumnya merupakan hasil
pengendapan bahan dari daerah di atasnya (ex situ). Hal ini cukup beralasan
karena bahan induk TSTH merupakan golongan endapan permukaan (surface
deposite) dan batuan sedimen (sedimentary rocks) pada formasi geologi endapan
danau (Bachri et al. 1993).
Tingkat pelapukan yang ada saat ini merupakan hasil interaksi kerja faktorfaktor pembentuk tanah yang ditunjukkan oleh susunan dan jenis mineral
primernya. Hal ini ditunjukkan oleh perbedaan jumlah mineral fraksi pasir pada
pedon TSI lebih didominasi MSL (resisten) dari pada pedon TSTH dan pedon
TLK yang lebih didominasi MML. Sedangkan pada pedon TSTH sendiri, tanah
yang berasal dari Sidomukti telah mengalami pelapukan lebih intensif
dibandingkan dari Molombulahe dengan petunjuk susunan dan jenis mineral
primernya. Faktor bahan induk dan umur (waktu) nampaknya telah tertutupi oleh
pengaruh faktor iklim.
Proses genesis yang terjadi mencakup proses disintergrasi dan sintesis yang
cukup intensif. Hal ini terlihat dari terbentuknya fraksi tanah halus dengan solum
yang dalam. Di samping itu, semua tanah sudah mempunyai horison B. Proses
disintegrasi dan sintesis ini didukung oleh data penciri genesis tanah, sebagaimana
tertera pada Tabel 23 dan 24. Translokasi dan akumulasi liat merupakan bagian
penting dari proses ini, dimana pembentukan solum tanah tidak terlepas dari
penyebaran partikel berukuran liat.
73
Proses translokasi dan akumulasi liat pada semua pedon adalah proses
eluviasi dan iluviasi. Proses eluviasi merupakan pergerakan bahan ke dalam
bagian profil tanah. Proses ini diakibatkan oleh pencucian bahan yang bergerak ke
bawah melalui air perkolasi, lalu mengendap dalam horison B-iluviasi. Fenomena
ini ditunjukkan oleh kadar liat yang tinggi pada horison B (Tabel 13 dan 14).
Pada pedon PNS1 memiliki peningkatan liat secara nyata dimulai pada
kedalaman 31 cm dari permukaan sampai 200 cm. Kadar liat total (LT) tertinggi
terjadi horison peralihan (BCg2) pada kedalaman 200 cm sebesar 68%. Nisbah
LT/D sebesar 2.11 atau lebih kecil dari horison di atasnya (3.24). Hal ini
menunjukkan bahwa LT pada horison peralihan ini merupakan hasil pengendapan
dari lapisan di atasnya. Pembentukan liat secara in situ pada horison ini belum
terlihat jelas jika dibandingkan dengan lapisan di atasnya yang dicirikan oleh
tingginya nisbah LT/D sebesar 3.24. Selanjutnya, nisbah LH/LT antara horison
permukaan dengan horison pertama kenaikan liat hanya menunjukkan perbedaan
kecil, sehingga sumbangan LH terhadap proses disintegrasi LT hanya sedikit.
Berbeda dengan pedon PNS1, pada pedon PNS2 memiliki peningkatan liat
secara nyata dimulai pada kedalaman 64 cm dari permukaan sampai 150 cm.
Kadar liat total (LT) tertinggi terjadi pada horison peralihan (Bwg3) pada
kedalaman 150 cm sebesar 62%. Nisbah LT/D sebesar 2.82 atau lebih besar dari
horison di atasnya (1.76). Hal ini menunjukkan bahwa LT pada horison ini
merupakan hasil pembentukan liat secara in situ. Selanjutnya, nisbah LH/LT
antara horison permukaan (0.81) dengan horison pertama kenaikan liat (0.84)
hanya menunjukkan perbedaan kecil antara keduanya, sehingga sumbangan LH
terhadap proses disintegrasi LT hanya sedikit. Kecenderungan fenomena kenaikan
liat pada pedon ini sama dengan fenomena pada pedon PNM2, hanya bervariasi
pada persentase dan kedalamannya.
Untuk pedon PNS3, pembentukan liat secara in situ pada horison ini sudah
terlihat jelas jika dibandingkan dengan lapisan di atasnya karena nisbah LT/D
sudah mencapai 7.25 pada horison kenaikan LT tertinggi dibanding horison di
atasnya yang hanya sebesar 0.49 dan 2.55. Selanjutnya, nisbah LH/LT antara
horison permukaan (0.71) dengan horison pertama kenaikan liat (0.82)
menunjukkan perbedaan yang cukup besar, sehingga proses pergerakan liat ke
74
lapisan bawah diikuti oleh proses pembentukan liat secara in situ melalui sintesis
debu. Fenomena pedon PNS3 ini relatif sama dengan pedon PNM3, kecuali pada
pedon PNM3 sumbangan LH terhadap proses disintegrasi LT hanya sedikit karena
nisbah LH/LT antara horison permukaan (0.69) dengan horison pertama kenaikan
liat (0.68) hanya menunjukkan perbedaan kecil antara keduanya.
Tabel 23. Beberapa Sifat Penciri Genesis TSTH
Horison
Kedalaman
LT/D
LH/LT
0-12
12-31
31-53
53-71/92
71/92-119
119-150
150-200
KTK-E Liat
-1
cm
PNS1
Apg1
Apg2
Bwg1
Bwg2
Bwssg
BCg1
BCg2
PNS2
Apg1
Apg2
Bwg1
Bwg2
Bwg3
BCssg1
BCssg2
PNS3
Apg
Bw
Bwg1
Bwg2
Bwssg
Bwss
PNM1
Apg1
Apg2
Bwg1
Bwg2
Bwg3
BCg
PNM2
Apg
Bwg
Bssg1
Bssg2
Bssg3
BCssg
PNM3
Apg1
Apg2
Bwg
Bw2
BC1
BC2
KTK-Liat
------- me 100 g --1.03
0.83
1.35
1.84
2.00
3.24
2.11
0.74
0.74
0.80
0.82
0.90
0.74
0.65
KB
C-Organik
---------- % --------
85.56
91.16
74.36
90.33
105.74
94.22
40.86
59.47
64.42
63.03
67.75
94.62
79.66
77.42
69.50
70.66
84.76
75.01
89.48
84.55
>100
0.93
0.45
0.26
0.33
0.27
0.27
0.26
0-10
10-31
31-64
64-84/103
84/103-150
150-200
>200
0.73
0.70
0.43
1.76
2.82
1.41
1.17
0.81
0.77
0.22
0.84
0.84
0.62
0.51
135.66
91.95
164.52
121.01
76.87
103.05
83.91
49.11
57.44
103.90
48.36
78.77
96.75
100.17
36.20
62.47
62.44
37.36
>100
93.89
>100
0.71
0.38
0.26
0.13
0.13
0.19
0.13
0-10
10-34
34-61
61-86
86-120
120-150
1.21
0.97
1.95
0.49
2.55
7.25
0.71
0.65
0.77
0.14
0.82
0.84
101.18
111.31
82.73
180.46
81.24
69.10
59.49
72.72
66.14
141.96
67.55
64.69
58.79
65.34
79.83
75.63
81.94
90.82
0.77
0.51
0.32
0.26
0.19
0.19
0-21
21-37
37-60
60-80
80-103
103-200
1.41
1.45
1.05
1.28
0.93
1.13
0.46
0.49
0.57
0.33
0.62
0.43
66.56
97.99
105.79
95.00
120.37
84.53
65.86
68.39
76.48
70.87
84.20
68.42
98.95
69.79
72.29
74.60
69.95
80.93
1.29
0.62
0.31
0.25
0.18
0.18
0-14
14-30
30-56
56-87
87-120
120-200
1.13
1.24
2.44
2.96
2.37
1.82
0.79
0.68
0.74
0.82
0.80
0.63
101.51
130.67
106.30
92.15
100.42
105.76
72.26
114.53
99.37
60.51
64.46
66.80
71.19
87.65
93.48
65.66
64.19
63.16
1.38
0.60
0.33
0.25
0.25
0.26
0-10
10-28
28-54
54-81
81-100
100-150
0.87
0.63
0.72
0.77
0.82
1.27
0.69
0.73
0.68
0.59
0.57
0.67
83.73
90.76
85.50
70.46
93.02
98.05
63.69
63.48
59.53
60.47
71.46
74.55
76.06
69.94
69.62
85.82
76.81
76.03
0.77
0.44
0.25
0.19
0.19
0.13
LT=liat total; LH=liat halus; D=debu; KTK=kapasitas tukar kation; E=efektif; KB=kejenuhan basa
75
Untuk pedon PNM1, ternyata tidak mempunyai peningkatan kadar LT
seperti pedon TSTH lainnya. Kadar LT menurun dan meningkat secara tidak
beraturan dengan bertambahnya kedalaman tanah. Kadar LH tertinggi bergerak
sampai kedalaman 37 sampai 60 cm dan nisbah LH/LT pada kedalaman tersebut
cukup tinggi sebesar 0.57. Sedangkan pada horison permukaan hanya 0.46.
Namun, hal ini bukan merupakan akibat pembentukan liat in situ karena nisbah
tersebut terjadi juga pada lapisan di bawahnya yang jauh lebih tinggi
dibandingkan horison permukaan (0.62). Kondisi ini tidak terlepas dari pengaruh
limpasan air (run off) dan hasil erosi di atasnya yang membawa dan
mengendapkan bahan tanah halus yang beragam dari waktu ke waktu.
Pada TSI menunjukkan fenomena yang berbeda dengan pedon TSTH,
kecuali dengan pedon PNS3 dan PNM3 yang memperlihatkan fenomena yang
sama. Peningkatan liat secara nyata pada pedon PNB dimulai pada kedalaman 119
cm dari permukaan sampai kedalaman 200 cm. Kadar LT tertinggi terjadi pada
horison peralihan (BCssg2) pada kedalaman 200 cm sebesar 67%. Nisbah LT/D
sebesar 2.79 atau lebih besar dari horison di atasnya (1.57). Hal ini menunjukkan
bahwa LT pada horison peralihan ini merupakan hasil pembentukan liat secara in
situ yang dicirikan oleh tingginya nisbah LT/D sebesar 2.79. selanjutnya, nisbah
LH/LT antara horison permukaan dengan horison pertama kenaikan liat
menunjukkan perbedaan yang besar antara keduanya, sehingga sumbangan LH
terhadap proses disintegrasi LT cukup banyak.
Pedon TLK relatif sama dengan pedon PNM1 karena tidak mempunyai
peningkatan kadar LT. Kadar LT menurun dan meningkat secara tidak beraturan
dengan bertambahnya kedalaman tanah. Kadar LH tertinggi untuk PNS-LK
bergerak sampai kedalaman 11 sampai 29 yang sama dengan horison Bw2 (25%)
dan nisbah LH/LT pada kedalaman tersebut cukup tinggi sebesar 0.56. Sedangkan
pada horison permukaan hanya 0.54. Namun, hal ini bukan merupakan akibat
pembentukan liat in situ karena nisbah tersebut terjadi juga pada lapisan di
bawahnya yang juga lebih tinggi dibandingkan horison permukaan (0.56). Kondisi
ini tidak terlepas dari pengaruh limpasan air (run off) sungai dan hasil erosi tanah
di atasnya. Di samping itu, letak pedon yang relatif dekat dengan sungai turut
mendukung proses transportasi bahan sebagaimana disebutkan sebelumnya. Pada
76
pedon PNM-LK, kadar LH tertinggi bergerak sampai kedalaman 73 sampai 100
cm dengan nisbah LH/LT tertinggi sebesar 0.61. Sedangkan pada horison
permukaan hanya 0.58. Hal ini merupakan akibat pembentukan liat in situ karena
nisbah tersebut merupakan nilai tertinggi dibandingkan horison lainnya dan
sumbangan LH terhadap proses disintegrasi LT cukup banyak.
Tabel 24. Beberapa Sifat Penciri Genesis Tanah TLK dan TSI di Daerah Penelitian
Horison
Kedalaman
LT/D
LH/LT
KTK- E
Liat
------me 100 g-1 ----
cm
PNS-LK
Ap1
Ap2
Bw1
Bw2
Bw3
BC1
BC2
PNM-LK
Apg
Ap2
Bw1
Bw2
BC
PNB
Apg1
Apg2
Bwg1
Bw2
Bw3
BCg
BCssg1
BCssg2
KTK
Liat
KB
COrganik
---------- % ---------
0-11
11-29
29-61
61-91
91-130
130-200
>200
0.55
0.50
0.21
0.62
0.42
0.44
0.65
0.54
0.56
0.33
0.56
0.32
0.24
0.25
58.17
76.58
173.89
123.54
104.44
125.46
89.38
61.41
74.88
170.28
119.23
97.24
125.30
86.09
105.57
97.78
97.93
95.90
92.71
99.58
95.97
0.98
0.73
0.30
0.18
0.24
0.12
0.13
0-11
11-29
29-51
51-73
73-100
0.84
1.33
2.00
3.55
3.17
0.58
0.42
0.40
0.56
0.61
75.91
64.11
95.26
102.09
80.79
74.88
65.15
71.99
73.11
37.79
98.65
101.61
75.57
71.61
46.78
1.70
0.87
0.30
0.18
0.19
0-20
20-40
40-47
47-59
59-107
107-119
119-150
150-200
0.67
0.69
0.67
1.16
1.31
1.02
1.57
2.79
0.57
0.33
0.68
0.75
0.65
0.65
0.76
0.82
60.64
54.24
56.83
38.85
53.34
61.61
83.63
62.32
57.00
65.51
53.71
38.65
47.07
55.13
51.72
49.80
94.00
120.77
94.50
99.48
88.09
89.27
61.84
79.92
1.11
0.61
0.24
0.24
0.24
0.24
0.37
0.37
LT=liat total; LH=liat halus; D=debu; KTK=kapasitas tukar kation; E=efektif; KB=kejenuhan basa
Ketebalan kenaikan liat mencerminkan intensifnya pelapukan. Ruhe (1956)
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pelapukan dengan kadar liat
dan ketebalan solum. Selain itu, tebalnya kenaikan liat menunjukkan perpindahan
fraksi liat dari lapisan atas ke bawah. Di samping itu, menunjukkan adanya
lapisan penghambat perpindahan liat tersebut. Dengan demikian, maka semua
pedon yang diteliti diduga telah mengalami proses liksiviasi, yaitu perpindahan
secara mekanik dari partikel-partikel mineral halus dari horison A ke horison B
yang relatif diperkaya oleh liat. Hal ini ditunjukkan oleh kadar liat pada horison B
lebih tinggi dibanding horison A di atasnya (Tabel 24). Proses yang berlangsung
ini masih pada tingkat dan atau menghasilkan horison kambik pada semua pedon.
77
Proses pedoturbasi juga berlangsung cukup intensif pada pedon TSTH,
dimana terjadi pengadukan fisik (siklus basah-kering) dan pendaur-ulangan bahan
tanah yang menyebabkan solum menjadi homogen dengan tingkat yang bervariasi
(Rachim 2007). Fenomena ini didukung oleh proses pembasahan dan pengeringan
secara periodik berlangsung karena pergantian musim hujan dan kemarau yang
cukup jelas. Secara umum, dua tipe pelapukan (weathering) yaitu pelapukan fisik
dan kimia memegang peranan penting dalam proses pedogenesis TSTH ini.
Pelapukan fisik merupakan perubahan batuan dan mineral menjadi bentuk-bentuk
lebih kecil tanpa mengubah susunan kimia atau mineraloginya. Sedangkan
pelapukan kimia adalah perubahan benda atau bahan menjadi bahan yang
komposisi kimia dan atau mineraloginya berbeda dari bahan asalnya (Rachim
2007). Pengaruh kedua tipe pelapukan ini sulit dipisahkan karena keduanya terjadi
secara bersamaan pada pedogenesis TSTH ini. Proses pelapukan fisik yang terjadi
pada pedon ini antara lain pembasahan dan pengeringan karena TSTH,
pengembangan atau pengerutan mineral smektit karena pengaruh iklim.
Pelapukan kimia melalui proses hidrolisis juga dapat menghasilkan mineral
baru (sintesis). Hidrolisis juga sangat penting dalam pelapukan kimia mineral
silikat dan alumino silikat. Air dapat melarutkan bermacam-macam ion dan
berekasi dengan mineral tersebut. Pada semua pedon yang mengadung albit dan
orthoklas (Lampiran 2), dengan proses hidrolisis dapat melapuk menjadi mineral
liat baru dan ditunjukkan oleh akibat dari reaksi ini dengan pH dominan netral dan
agak alkali (basa), sebagaimana reaksi sebagai berikut (Birkelad 1974; Tan 1998):
2NaAlSi3O8 + 6H+ + 28H2O
Albit
3Na0.66Al2.66Si3.33O10(OH)2 + 14H4SiO4 + 6Na+
Montmorilonit (Smektit)
2NaAlSi3O8 + 2H+ + 9H2O
Albit
H4Al2Si2O9 + 4H4SiO4 + 2Na+
Kaolinit
2KAlSi3O8 + 2H+ + 9H2O
Orthoklas
H4Al2Si2O9 + 4H4SiO4 + 2K+
Kaolinit
3KAlSi3O8 + 2H+ + 12H2O
Orthoklas
KAl3Si2O10(OH)2 + 6H4SiO4 + 2K+
Illit
Di daerah tropika lembab, proses hidrolisis bersama dengan oksidasi
berperan dalam proses rubifikasi atau braunifikasi (Blume 1988). Reaksi tersebut
mengakibatkan mineral primer dapat melapuk dan menghasilkan unsur
pembentuk mineral liat seperti asam silikat, OH-, kation basa dan Al (Birkeland
78
1974). Dengan demikian, berdasarkan sifat dan karakteristik tanah yang diteliti,
maka proses hidrolisis sudah berlangsung tetapi belum kuat (Lampiran 2).
Dampak dari proses ini terlihat pada sintesis liat, warna, dan pencucian basa-basa
yang belum intensif. Curah hujan yang relatif rendah menyebabkan sedikit saja
basa-basa yang hilang karena pencucian. Kurangnya pencucian basa-basa
menyebabkan pH tanah agak masam sampai agak alkali dan KTK efektif relatif
tinggi (>12 me 100 g-1), sebagaimana tertera pada Tabel 13, 14, 15, 23, dan 24.
Proses pelapukan yang telah terjadi dapat juga dilihat dari nilai KTK liat.
Tanah yang telah mengalami hancuran sangat lanjut cenderung menghasilkan
komponen liat dengan KTK rendah. Kondisi demikian umum dijumpai di daerah
tropika dan subtropika (Moorman 1986; Juo dan Adam 1986). Tabel 22 dan 23
memperlihatkan bahwa sebagian besar tanah yang diteliti mempunyai KTK liat
(NH4OAc pH 7.0) > 40 me per 100 g dan KTK efektif liat > 30 me per 100 g pada
semua horison. Dengan demikian, maka semua pedon yang diteliti belum
mengalami pelapukan lanjut.
5.3
Klasifikasi Tanah Sawah Tadah Hujan
Sistem klasifikasi tanah yang digunakan pada penelitian ini adalah
taksonomi tanah edisi ke-10 (Soil Survey Staff 2006). Klasifikasikan tanah
dengan sistem ini terlebih dahulu ditentukan jenis epipedon, horison bawah
penciri dan sifat-sifat morfologi khusus serta kriteria-kriteria lainnya yang
dipersyaratkan. Untuk membantu melakukan klasifikasi tanah, maka disusun
penciri klasifikasi tanah (Tabel 25 dan 26). Penentuan kelas mineralogi pada
famili tanah berdasarkan kelas ukuran butir, liat dominan (>50%), dan KTK liat.
Sedangkan penentuan kelas aktifitas pertukaran kation menggunakan nisbah KTK
pH 7,0 dengan persentase liat total pada kedalaman 25-100 cm. Kriteria yang
digunakan untuk penentuan kelas aktifitas pertukaran kation (Soil Survey Staff
2010), yaitu jika nisbah yang dihasilkan <0,24 mencirikan sub aktif; 0,24-0,40
mencirikan kelas semi aktif; 0,40-0,60 mencirikan kelas aktif; dan >0,60
mencirikan kelas super aktif. Untuk nisbah bernilai antara, maka dipilih yang
paling mendekati.
79
Tabel 25. Penciri Utama Klasifikasi Tanah pada Pedon TSTH
Horison
Kedalaman
cm
PNS1
Apg1
Apg2
Bwg1
Bwg2
Bwssg
BCg1
BCg2
PNS2
Apg1
Apg2
Bwg1
Bwg2
Bwg3
BCssg1
BCssg2
PNS3
Apg
Bw
Bwg1
Bwg2
Bwssg
Bwss
PNM1
Apg1
Apg2
Bwg1
Bwg2
Bwg3
BCg
PNM2
Apg
Bwg
Bssg1
Bssg2
Bssg3
BCssg
PNM3
Apg1
Apg2
Bwg
Bw2
BC1
BC2
P
LH
LT
KT/BB
Warna
Matriks
KTK
Liat
KTKE Liat
me 100 g Liat-1
------- % ------
KTK
pH
7.0/%
LT
KB pH
7.0
COrganik
----------- % ---------
0-12
12-31
31-53
53-71/92
71/92-119
119-150
150-200
31
23
13
12
10
11
16
26
26
40
47
54
50
37
35
35
50
57
60
68
57
CL/FL
CL/FL
C/F
C/F
C/F
C/VF
C/F
10 YR 5/1
10 YR 5/1
10 YR 5/1
10 YR 6/1
10 YR 4/1
10 YR 4/1
10 YR 4/1
85,56
91,16
74,36
90,33
105,74
94,22
40,86
59,47
64,42
63,03
67,75
94,62
79,66
77,42
0.86
0.91
0.74
0.90
1.06
0.94
0.41
69.50
70.66
84.76
75.01
89.48
84.55
100.00
0.93
0.45
0.26
0.33
0.27
0.27
0.26
0-10
10-31
31-64
64-84/103
84/103-150
150-200
>200
36
37
23
20
16
23
24
22
20
5
43
52
28
21
27
26
23
51
62
45
41
L/FL
L/FL
SiL/FL
C/F
C/VF
C/F
C/F
10 YR 5/2
10 YR 5/2
10 YR 6/2
10 YR 6/2
10 YR 4/1
10 YR 4/1
10 YR 4/1
135,66
91,95
164,52
121,01
76,87
103,05
83,91
49,11
57,44
103,90
48,36
78,77
96,75
100,17
1.36
0.92
1.65
1.21
0.77
1.03
0.84
36.20
62.47
62.44
37.36
100.00
93.89
100.00
0.71
0.38
0.26
0.13
0.13
0.19
0.13
0-10
10-34
34-61
61-86
86-120
120-150
38
37
35
33
29
34
24
20
33
3
42
49
34
31
43
22
51
58
CL/FL
CL/FL
C/F
L/FL
C/F
C/F
7,5 YR 3/1
7,5 YR 4/3
7,5 YR 5/2
7,5 YR 6/2
7,5 YR 7/2
7,5 YR 7/3
101,18
111,31
82,73
180,46
81,24
69,10
59,49
72,72
66,14
141,96
67,55
64,69
1.01
1.11
0.83
1.80
0.81
0.69
58.79
65.34
79.83
75.63
81.94
90.82
0.77
0.51
0.32
0.26
0.19
0.19
0-21
21-37
37-60
60-80
80-103
103-200
30
24
18
18
23
17
19
22
24
15
23
19
41
45
42
46
37
44
C/F
C/F
C/F
C/F
CL/F
C/F
10 YR 5/1
10 YR 5/1
10 YR 6/1
10 YR 5/1
10 YR 5/1
10 YR 7/1
66,56
97,99
105,79
95,00
120,37
84,53
65,86
68,39
76,48
70,87
84,20
68,42
0.67
0.98
1.06
0.95
1.20
0.85
98.95
69.79
72.29
74.60
69.95
80.93
1.29
0.62
0.31
0.25
0.18
0.18
0-14
14-30
30-56
56-87
87-120
120-200
19
15
14
9
9
7
34
32
45
56
51
38
43
47
61
68
64
60
C/F
C/F
C/VF
C/VF
C/VF
C/VF
10 YR 4/1
10 YR 4/1
10 YR 4/2
10 YR 4/1
10 YR 4/2
10 YR 4/1
101,51
130,67
106,30
92,15
100,42
105,76
72,26
114,53
99,37
60,51
64,46
66,80
1.02
1.31
1.06
0.92
1.00
1.06
71.19
87.65
93.48
65.66
64.19
63.16
1.38
0.60
0.33
0.25
0.25
0.26
0-10
10-28
28-54
54-81
81-100
100-150
44
43
33
38
38
41
18
16
19
16
16
22
26
22
28
27
28
33
L/FL
L/FL
L/FL
L/FL
CL/FL
CL/FL
7,5 YR 4/1
7,5 YR 4/1
7,5 YR 4/2
7,5 YR 4/3
7,5 YR 4/4
7,5 YR 5/3
83,73
90,76
85,50
70,46
93,02
98,05
63,69
63,48
59,53
60,47
71,46
74,55
0.84
0.91
0.86
0.70
0.93
0.98
76.06
69.94
69.62
85.82
76.81
76.03
0.77
0.44
0.25
0.19
0.19
0.13
P=pasir; LH=liat halus; LT=liat total; KT=kelas tektur; C=liat; CL=lempung berliat; L=lempung;
SiL=lempung berdebu; BB=ukuran besar butir; F=berliat halus; VF=berliat sangat halus;
FL=berlempung halus; KTK=kapasitas tukar kation; E=efektif; LT=liat total; KB=kejenuhan basa;
MML=mineral mudah lapuk.
Epipedon
Epipedon merupakan horison yang terbentuk dipermukaan yang tidak
sinonim dengan horison A karena mungkin lebih tebal dari horison A. Namun,
sering juga termasuk bagian dari horison B (Harjowigeno 1993). Selanjutnya,
Rachim (2003) menjelaskan bahwa epipedon merupakan horison-horison yang
terbentuk di sekitar permukaan tanah yang telah mengalami penggelapan warna
yang nyata oleh bahan organik, atau tereluviasi, atau memiliki struktur yang telah
mengalami hancuran paling minimum. Berdasarkan karakteristik tanah yang
diuraikan sebelumnya, maka perubahan utama yang terjadi mulai dari permukaan
80
tanah sampai ketebalan sekitar 50 cm. Perubahan ini menyebabkan perbedaan
dalam genesis tanah pada lapisan atas yang akhirnya menyebabkan perbedaan
klasifikasi tanah.
Epipedon-epipedon yang mungkin dijumpai dalam tanah di daerah
penelitian berdasarkan data karakteristik morfologi, fisika, kimia dan mineralogi
tanah adalah epipedon molik dan okrik. Pada Tabel 27 disajikan persayaratan
untuk kedua epipedon tersebut berdasarkan Soil Survey Staff (2006). Sedangkan
penentuan epipedon berdasarkan data-data tanah di daerah penelitian disajikan
pada Tabel 28. Berdasarkan informasi pada Tabel 28, maka semua pedon di
daerah penelitian, terutama pedon-pedon TSTH termasuk epipedon okrik.
Tabel 26. Penciri Utama Klasifikasi Tanah pada Pedon TLK dan TSI
Horison
Kedalaman
cm
PNS-LK
Ap1
Ap2
Bw1
Bw2
Bw3
Bw4
Bw5
PNM-LK
Apg
Ap2
Bw1
Bw2
BC
PNB
Apg1
Apg2
Bwg1
Bw2
Bw3
BCg
BCssg1
BCssg2
P
LH
LT
KT/BB
Warna
Matriks
KTK
Liat
KTK-E
Liat
--- me 100 g Liat-1---
------- % ------
KTK
pH
7.0/%
Liat
KB
pH 7.0
COrganik
------------ % --------
0-11
11-29
29-61
61-91
91-130
130-200
>200
32
25
13
58
15
44
49
13
14
5
9
8
4
5
24
25
15
16
25
17
20
L/FL
SiL/FL
SiL/cSi
SL/cL
SiL/FL
L/cL
L/FL
7,5 YR 4/3
7,5 YR 4/3
7,5 YR 4/4
7,5 YR 4/4
7,5 YR 5/4
7,5 YR 5/6
7,5 YR 5/6
58.17
76.58
173.89
123.54
104.44
125.46
89.38
61.41
74.88
170.28
119.23
97.24
125.30
86.09
0.58
0.77
1.74
1.24
1.04
1.25
0.89
100.00
97.78
97.93
95.90
92.71
99.58
95.97
0.98
0.73
0.3
0.18
0.24
0.12
0.13
0-11
11-29
29-51
51-73
73-100
32
37
37
50
25
18
15
17
22
35
31
36
42
39
57
CL/FL
CL/F
C/F
SC/F
C/F
10 YR 3/1
10 YR 4/3
10 YR 4/6
10 YR 4/4
10 YR 5/4
75.91
64.11
95.26
102.09
80.79
74.88
65.15
71.99
73.11
37.79
0.76
0.64
0.95
1.02
0.81
98.65
100.00
75.57
71.61
46.78
1.70
0.87
0.30
0.18
0.19
0-20
20-40
40-47
47-59
59-107
107-119
119-150
150-200
13
19
23
3
10
9
10
9
20
11
21
39
33
30
42
55
35
33
31
52
51
46
55
67
SiCL/F
SiCL/FL
CL/FL
SiC/F
C/F
SiC/F
C/F
C/VF
2,5 YR 6/1
2,5 YR 5/2
2,5 YR 6/2
2,5 YR 5/6
2,5 YR 5/6
2,5 YR 5/1
2,5 YR 4/1
2,5 YR 3/1
60.64
54.24
56.83
38.85
53.34
61.61
83.63
62.32
57.00
65.51
53.71
38.65
47.07
55.13
51.72
49.80
0.61
0.54
0.57
0.39
0.53
0.62
0.84
0.62
94.00
100.00
94.50
99.48
88.09
89.27
61.84
79.92
1.11
0.61
0.24
0.24
0.24
0.24
0.37
0.37
TLK=tanah lahan kering; TSI=tanah sawah irigasi; P=pasir; LH=liat halus; LT=liat total;
KT=kelas tektur; C=liat; CL=lempung berliat; L=lempung; SiL=lempung berdebu; SiCL=lempung
liat berdebu; SiC=liat berdebu; BB=ukuran besar butir; F=berliat halus; VF=berliat sangat halus;
FL=berlempung halus; cL=berlempung kasar; cSi=berdebu kasar; KTK=kapasitas tukar kation;
E=efektif; LT=liat total; KB=kejenuhan basa; MML=mineral mudah lapuk.
81
Tabel 27. Persyaratan Epipedon Molik, Okrik dan Epipedon Umbrik menurut
Taksonomi Tanah
Epipedon
Molik:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Okrik:
Persyaratan
a
Jika kering memiliki satuan struktur atau struktur sekunder dengan diameter ≤ 30 cm
b
Kelas ketahanan pecah agak keras atau lebih lunak; dan
Struktur batuan termasuk stratifikasi halus (< 5 mm) adalah < 1/2 volume semua bagian; dan
Salah satu dari syarat berikut:
a
Semua sifat berikut :
(1)
Warna dominan dengan value ≤ 3 (lembab) dan ≤ 5 a (kering); dan
(2)
Warna dominan dengan krome 3 atau lebih rendah (lembab); dan
b
Fraksi tanah halus yang memiliki kalsium karbonat setara 15 sampai dengan 40% atau lebih dan warna
dengan value dan kroma ≤ 3 (lembab); atau
c
Fraksi tanah halus yang memiliki kalsium karbonat setara 40% atau lebih dan warna dengan value dan
kroma ≤ 5 (lembab); atau
Kejenuhan basa (dengan NH4OAc) ≥ 50% keseluruhan; dan
Kandungan C-organik terdiri dari:
a
≥ 2.5% jika epipedon mempunyai warna value 4 atau 5 (lembab); atau
b
≥ 0.6 (absolut) pada horison C (jika salah satu sesuai), jika epipedon molik sudah mempunyai warna
value ≤ 1 satuan munsell terendah atau kroma ≤ 2 satuan terendah (semuanya lembab dan kering) dari
pada horison C; atau
c
≥ 0.6 (absolut) dan epipedon tidak dapat memenuhi kualifikasi di atas 5-a atau 5-b; dan
Ketebalan minimum epipedon ini sebagai berikut:
a
25 cm, jika:
(1)
Tekstur epipedon ini seluruhnya adalah pasir berlempung halus atau kasar; atau
(2)
Tidak ada horison penciri dasar dan kandungan C-organik pada material dasar menurun secara
tidak beraturan dengan meningkatnya kedalaman; atau
(3)
Semua hal-hal berikut pada ≥ 75 cm di bawah permukaan tanah mineral:
(a) Batas bawah terdalam terdapat horison argilik, kambik, natrik, oksik, atau spodik; dan
(b) Batas atas terdangkal terdapat horison petroklasik, duripan, fragipan, atau diidentifikasi
sebagai karbonat sekunder; atau
b
10 cm, jika tekstur epipedon lebih halus dari pada pasir berlempung halus (saat pencampuran) dan
langsung berada di atas kontak densik, litik, atau paralitik, horison petrokalsik atau duripan; atau
c
18-25 cm dan ketebalan satu-30 atau lebih dari total ketebalan antara permukaan tanah mineral dan:
(1)
Batas atas terdangkal terdapat karbonat atau horison kalsik, petroklasik, duripan atau fragipan;
atau
(2)
Batas bawah terdalam terdapat horison argilik, kambik, natrik atau spodik; atau
d
18 cm, jika tidak ada kondisi di atas yang berlaku; dan
Kandungan fosfat (P2O5):
a
Mengandung ≤ 1500 ppm yang larut dalam asam sitrat; atau
b
Kandungannya menurun tidak beraturan dengan meningkatnya kedalaman di bawah epipedon; atau
c
Nodul berada dalam epipedon; dan
Beberapa bagian epipedon adalah lembab selama ≥ 90 hari (kumulatif) dalam tahun normal selama
temperatur tanah pada kedalaman 50 cm adalah 5oC atau lebih tinggi, jika tanah tidak diirigasi; dan
n-value adalah < 0.7
Jika tidak memenuhi persyaratan epipedon molik dan 7 epipedon lainnya
Umbrik:
Memenuhi semua persyaratan epipedon molik, kecuali kejenuhan basa (NH4OAc) < 50%
Sumber: Soil Survey Staff (2006)
82
Tabel 28. Penentuan Epipedon menurut Taksonomi Tanah di Daerah Penelitian
Pedon
PNS1
PNS2
PNS3
PNM1
PNM2
PNM3
Topografi/Elevasi
(m dpl)
Datar-Landai/58
Berombak/59
Berombak/62
Datar-Landai/42
Berombak/50
Berombak/61
PNSLK
PNMLK
Berombak/50
PNB
Datar/44
Datar/60 m
Persyaratan untuk Epipedon Molik
3c 4 5a 5b 5c 6a1 6a2 6a3 6b
Tanah Sawah Tadah Hujan (TSTH)
≠ √ x
√
√
x
√
√
x
≠ √ x
√
√
x
√
√
x
≠ √ x
√
√
x
√
√
x
≠ √ x
√
√
x
√
√
x
≠ √ x
√
√
x
√
√
x
≠ √ x
√
√
x
√
√
x
Lahan Kering (TLK)
6c1
6c2
6d
7a
7b
7c
8
9
Nama
Epipedon
x
x
x
x
x
x
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
√
√
√
√
√
√
≈
≈
≈
≈
≈
≈
Okrik
Okrik
Okrik
Okrik
Okrik
Okrik
x
x
√
√
√
x
x
√
≈
Okrik
√
x
x
√
√
√
x
x
√
≈
Okrik
√
x
x
√
√
√
x
x
√
≈
Okrik
1a
1b
2
3a1
3a2
3b
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
x
x
x
x
x
x
√
√
√
√
√
√
≠
≠
≠
≠
≠
≠
√
√
√
x
√
≠
≠
√
x
√
√
x
√
√
√
√
√
x
√
≠
≠
√
x
√
√
x
√
√
√
√
x
√
≠
≠
√
Tanah Sawah Irigasi (SI)
x
√
√
x
√
√ = persyaratan terpenuhi; x = persyaratan tidak terpenuhi; ≠ = tidak dipertimbangkan karena CaCo3 tidak diukur; ≈ = tidak ada data, tetapi
bisa diestimasi dari data lain; 1, 1b, 2, 3a1, …, 9 = nomor persayaratan sesuai Tabel 26.
82
83
Horison Bawah Penciri
Berdasarkan data karakteristik tanah yang telah dikumpulkan sebelumnya,
maka kemungkinan di daerah penelitian dijumpai adanya horison argilik dan
kambik. Pada data deskripsi profil tanah (Lampiran 1) tidak dijumpai adanya
selaput liat, kecuali penambahan liat pada horison bawah (Tabel 10, 11 dan 12).
Berdasarkan fakta tersebut, maka horison bawah permukaan semua pedon di
daerah penelitian tidak memenuhi persyaratan horison agrik, argilik dan kandik.
Horison-horison lain seperti albik, kalsik, glosik, gipsik, natrik, oksik, orstein,
petrokalsik, plasik, salik, sombrik, dan sprodik tidak relevan dengan kondisi
lingkungan di daerah penelitian, sehingga diabaikan.
Semua pedon yang diteliti ternyata memenuhi kriteria untuk horison
kambik. Hal ini sesuai dengan persyaratan horison kambik (Soil Survey Staff
2006), yaitu (1) tekstur tanah pasir sangat halus, atau pasir sangat halus
berlempung, atau lebih halus; (2) menunjukkan bukti alterasi berbentuk salah satu
dari hal-hal berikut: a. kondisi akuik dalam 50 cm dari permukaan tanah atau
didrain buatan dan semua hal berikut: struktur tanah atau tidak ada struktur batuan
dalam > ½ volume horison, warna tidak berubah jika muncul ke udara, dan warna
lembab dominan pada permukaan ped atau matriks sebagai berikut : nilai ≤ 3 dan
kroma 0, atau nilai ≥ 4 dan kroma ≤ 1, atau berbagai nilai dan kroma ≤ 2 dan
terdapat konsentrasi redoks; b. tidak mempunyai kombinasi akuik dalam 50 cm
dari permukaan tanah atau didrain buatan dan warna lembab, mempunyai struktur
tanah atau tidak ada struktur batuan dalam > ½ volume horison dan mempunyai
salah satu atau lebih sifat berikut : kroma lebih tinggi, nilai lebih tinggi, hue lebih
merah atau kadar liat lebih tinggi dari horison di atas dan di bawahnya, bukti
kehilangan karbonat atau gypsum; (3) mempunyai sifat yang tidak memenuhi
syarat untuk epipedon antropik, histik, folistik, melanik, molik, plagen, umbrik,
duripan, fragipan, atau horison argilik, kalsik, gipsik, natrik, oksik, petrokalsik,
petrogipsik, plasik atau spodik; dan (4) bukan bagian dari horison Ap dan tidak
mempunyai sifat regas/tegar dalam > 60% matriks. Selanjutnya, horison penciri
dan sifat penciri lainnya untuk klasifikasi tanah disajikan pada Tabel 29.
Sedangkan klasifikasi tanah pada tingkat famili tanah di daerah penelitian tertera
pada Tabel 30.
84
Tabel 29. Horison Penciri dan Sifat Penciri Lainnya untuk Klasifikasi tanah
Okrik
PNS2
DatarLandai/58
Berombak/59
PNS3
Berombak/62
Okrik
PNM1
Okrik
PNM2
DatarLandai/42
Berombak/50
Regim
Kelembaban
Suhu Tanah
(Tanah/Udara)
Tanah Sawah Tadah Hujan (TSTH)
Kambik
Bidang
Akuik/Ustik
Isohipertermik
Kilir
Kambik
Bidang
Akuik/Ustik
Isohipertermik
Kilir
Kambik
Bidang
Akuik/Ustik
Isohipertermik
Kilir
Kambik
Akuik/Ustik
Isohipertermik
Okrik
Kambik
PNM3
Berombak/61
Okrik
PNSLK
PNMLK
Datar/60
Okrik
Berombak/50
Okrik
Topografi
/Elevasi
(m dpl)
Pedon
PNS1
PNB
Datar/44
Horison Bawah
Epipedon
Okrik
Okrik
Utama
Lain
Kelas
Ukuran
Butir
Kelas
Mineralogi
Halus
Smektitik
Halus
Smektitik
Halus
Smektitik
Halus
Smektitik
Bidang
Akuik/Ustik
Isohipertermik
Halus
Kilir
Kambik
Akuik/Ustik
Isohipertermik
Halus
Tanah Lahan Kering (TLK)
Kambik
Ustik
Isohipertermik
Berlempung
Halus
Kambik
Ustik
Isohipertermik
Halus
Kambik
Tanah Sawah Irigasi (TSI)
Bidang
Akuik/Ustik
Kilir
Isohipertermik
Halus
Smektitik
Smektitik
Smektitik
Smektitik
Campuran
Tabel 30. Klasifikasi Tanah pada Tingkat Famili di Daerah Penelitian
Pedon
Topografi/Elevasi
(m dpl)
PNS1
PNS2
PNS3
PNM1
PNM2
PNM3
Datar-Landai/58
Berombak/59
Berombak/62
Datar-Landai/42
Berombak/50
Berombak/61
PNS-LK
PNM-LK
Datar/60
Berombak/50
PNB
Datar/44
Famili Tanah menurut Sistem Taksonomi Tanah
(Soil Survey Staff 2006)
Tanah Sawah Tadah Hujan (TSTH)
Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik
Endoaquept Vertik, halus, smektitik, isohipertermik
Epiaquept Vertik, halus, smektitik, isohipertermik
Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik
Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik
Epiaquept Aerik, halus, smektitik, isohipertermik
Tanah Lahan Kering (TLK)
Eutrudept Tipik, berlempung halus, smektitik, isohipertermik
Eutrudept Tipik, halus, smektitik, isohipertermik
Tanah Sawah Irigasi (TSI)
Epiaquert Ustik, halus, campuran, aktif, isohipertermik
Sifat-Sifat Morfologi Khusus dalam Tanah
Sifat morfologi khusus dalam tanah yang relevan dengan kondisi daerah
penelitian berdasarkan Soil Survei Staff (2006) adalah adanya bidang kilir
(slinkenside) dan karatan (mottling). Bidang kilir adalah permukaan licin
mengkilap dalam solum tanah dan pada umumnya berukuran lebih dari 5 cm. Sifat
ini terbentuk akibat massa tanah yang saling bergerak antara satu dengan lainnya
sehingga terjadi saling menekan dan menggesek. Kondisi ini terjadi akibat
pengembangan mineral liat karena perubahan kelembaban dan terjadinya
kerusakan potongan massa tanah (Rachim 2007). Jika bidang kilir sudah sangat
berkembang, maka massa tanah pada dinding galian akan mudah sekali melorot.
Sentuhan pisau sedikit saja dapat menyebabkan massa tanah yang disentuh
tersebut terlepas, melorot dari dinding lubang galian.
85
Bahan tanah yang mengandung cukup banyak mineral liat tipe 2 : 1 yang
dapat mengembang jika lembab atau basah dan mengkerut jika kering. Kondisi ini
juga terjadi di lapang saat survei tanah yang dijumpai adanya bidang kilir pada
beberapa pedon dengan fenomena seperti tersebut di atas. Bidang kilir merupakan
sifat khusus yang dimiliki oleh jenis tanah Vertisol atau tanah-tanah yang bersifat
vertik. Beberapa pedon yang dijumpai adanya bidang kilir (ss), yaitu pedon PNS1
(Bwssg), PNS2 (BCssg1 dan BCssg2), PNS3 (Bwssg dan Bwss), PNM2 (Bssg1-3
dan BCssg), dan PNB (BCssg1 dan BCssg2). Sedangkan pada pedon TLK serta
pedon PNM1 tidak ditemukan adanya bidang kilir.
Menurut Rachim (2007), karatan adalah senyawa oksida hasil oksidasi atau
reduksi unsur tertentu (Fe, Mn) yang dicirikan oleh warna berbeda dan tidak dapat
dipisahkan dari warna matriks tanah. Karatan terdiri dari dua, yaitu karat dan
becak. Karat dihasilkan pada lingkungan oksidatif dengan ciri warna kroma yang
tinggi (>2). Sedangkan becak atau bercak adalah sifat yang dihasilkan dalam
kondisi reduktif dengan ciri warna kroma rendah (≤ 2). Semua pedon yang diteliti
mempunyai karatan (becak), kecuali pedon PNS-LK dari Sidomukti yang hanya
terdapat di horison paling bawah (Bw5) akibat reduksi air bawah tanah (ground
water). Sedangkan pedon lain dijumpai becak minimal dalam dua horison.
Rejim Kelembaban dan Suhu Tanah
Berdasarkan data iklim daerah penelitian (Lampiran 4) yang disesuaikan
dengan kondisi aktual lapang masing-masing pedon, maka di daerah penelitian
terdapat dua rejim kelembaban tanah, yaitu akuik dan ustik. Sedangkan
berdasarkan data suhu dari dua stasiun iklim yang ada di daerah penelitian, maka
hanya dijumpai rejim suhu tanah isohipertermik. Beberapa contoh hasil
perhitungan rejim kelembaban dan suhu tanah di daerah penelitian dengan alat
bantu program Newhall Simulation Model (NSM) disajikan pada Lampiran 5.
Klasifikasi Tanah pada Pedon-Pedon dari Sidomukti dan Bandungrejo
Pada areal TSTH dari Sidomukti dijumpai epipedon okrik. Sedangkan
horison bawah penciri adalah kambik. Pedon PNS1 yang terletak pada posisi
lereng bawah memiliki horison kambik dan tebal lapisan ≥25 cm dengan batas di
atasnya di dalam 100 cm dari permukaan tanah mineral yang mempunyai bidang
86
kilir pada kedalaman <100 cm. Kadar liat total rata-rata terbobot 35% dalam fraksi
tanah halusnya antara permukaan tanah dan kedalaman 18 cm atau dalam horison
Ap, serta 42% liat total dalam fraksi tanah halusnya pada semua horison antara
kedalaman 18 cm dan 50 cm. Pada kedalaman 50 cm, semua horison mempunyai
kondisi akuik, dimana air tersebut berasal dari bawah permukaan (endosaturation)
untuk sebagian waktu dalam tahun-tahun normal, dalam matriks 50% bagian lebih
dari setengah pedon mempunyai kroma 1. Mengalami rekahan yang terbuka dan
tertutup secara periodik selebar 5 mm mencapai kedalaman 25 cm di dalam 50 cm
dari permukaan tanah selama 90 hari kumulatif. Berdasarkan sifat-sifat tersebut,
maka pedon PNS1 diklasifikasikan sebagai Endoaquert Ustik, halus, smektitik,
isohipertermik.
Pedon PNS2 yang terletak pada posisi lereng bawah memiliki horison
kambik dan tebal lapisan 50 cm dengan batas di atasnya di dalam 200 cm dari
permukaan tanah mineral yang mempunyai bidang kilir. Kadar liat total rata-rata
terbobot 31% dalam fraksi tanah halusnya pada semua horison antara kedalaman
18 cm dan 50 cm. Pada kedalaman 50 cm, semua horison mempunyai kondisi
akuik, dimana air tersebut berasal dari bawah permukaan untuk sebagian waktu
dalam tahun-tahun normal, dalam matriks 50% bagian lebih dari satu pedon
mempunyai kroma ≤2 karena terjadi konsentrasi redoks. Mengalami rekahan di
dalam >125 cm dari permukaan tanah selebar 5 mm atau lebih. Berdasarkan sifatsifat tersebut, maka pedon PNS2 diklasifikasikan sebagai Endoaquept Vertik,
halus, smektitik, isohipertermik.
Pedon PNS3 yang terletak pada posisi lereng bawah memiliki horison
kambik dan di dalam 120 cm dari permukaan tanah mineral dijumpai bidang kilir.
Kadar liat total rata-rata terbobot 34% dalam fraksi tanah halusnya antara
permukaan tanah dan kedalaman 18 cm atau dalam horison Ap, serta 36% liat
total dalam fraksi tanah halusnya pada semua horison antara kedalaman 18 cm dan
50 cm. Pada kedalaman 50 cm, satu horison permukaan dan tiga horison B
mempunyai kondisi akuik, tetapi air tersebut berasal dari atas permukaan
(episaturation) untuk sebagian waktu dalam tahun-tahun normal, dalam matriks
50% bagian dengan kroma ≤2 karena terjadi konsentrasi redoks. Mengalami
rekahan yang terbuka dan tertutup secara periodik selebar 5 mm mencapai
87
kedalaman 25 cm di dalam 50 cm dari permukaan tanah selama 90 hari kumulatif.
Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka pedon PNS3 diklasifikasikan Epiaquept
Vertik, halus, smektitik, isohipertermik.
Pedon PNS-LK yang terletak pada posisi lereng bawah memiliki horison
kambik yang batas di atasnya di dalam 100 cm dari permukaan tanah mineral dan
batas bawahnya pada kedalaman ≥ 25 cm di bawah permukaan tanah mineral.
Terdapat air tanah di dalam 100 cm dari permukaan tanah mineral pada sebagaian
waktu selama setahun. Mempunyai kejenuhan basa (NH4OAc pH 7.0) pada
kedalaman antara 25 cm dan 75 cm dari permukaan tanah mineral sebesar 95.90%
sampai 97.93% (≥ 60%) atau Eutrudept. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka
pedon PNS-LK diklasifikasikan sebagai Eutrudept Tipik, berlempung halus,
smektitik, isohipertermik.
Pedon PNB yang terletak pada posisi lereng bawah memiliki horison kambik
yang batas di atasnya di dalam 100 cm dari permukaan tanah mineral dan batas
bawahnya pada kedalaman ≥25 cm di bawah permukaan tanah mineral yang
mempunyai bidang kilir pada kedalaman <150 cm. Kadar liat total rata-rata
terbobot 34% dalam fraksi tanah halusnya antara permukaan tanah dan kedalaman
18 cm atau dalam horison Ap, serta 40% liat total dalam fraksi tanah halusnya
pada semua horison antara kedalaman 18 cm dan 50 cm. Pada kedalaman 50 cm,
lebih dari satu horison mempunyai kondisi akuik, tetapi air tersebut berasal dari
atas permukaan (episaturation) untuk sebagian waktu dalam tahun-tahun normal,
dalam matriks 50% bagian dengan kroma ≤2 karena terjadi konsentrasi redoks.
Mengalami rekahan-rekahan yang terbuka dan tertutup secara periodik selebar 5
mm mencapai kedalaman 25 cm di dalam 50 cm dari permukaan tanah selama 90
hari kumulatif. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka pedon PNB diklasifikasikan
sebagai Epiaquert Ustik, halus, campuran, aktif, isohipertermik. Sebaran
klasifikasi tanah berdasarkan toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo disajikan
pada Gambar 33.
88
m dpl
halus,
70
60
50
elevasi
PNS1:
Endoaquert Ustik, halus,
smektitik, isohipertermik
PNS-LK:
Eutrudept Tipik, berlempung
halus, smektitik, isohipertermik
PNB:
Epiaquert Ustik, halus,
campuran, aktif,
isohipertermik.
PNS2:
Endoaquept
Vertik,
smektitik, isohipertermik
PNS3:
Epiaquept
Ustik,
halus,
smektitik, isohipertermik
40
0
m
1500
500
700
600
Jarak Horisontal
Gambar 33. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo
m dpl
PNM3:
Epiaquept Aerik, halus,
smektitik, isohipertermik
60
PNM-LK:
Eutrudept Tipik, halus,
smektitik, isohipertermik
elevasi
50
PNM2:
Endoaquert Ustik, halus,
smektitik, isohipertermik
PNM1:
Endoaquert Ustik, halus,
smektitik, isohipertermik
40
30
0
m
Jarak Horisontal
500
300
1700
Gambar 34. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Toposekuen di Molombulahe
88
89
Klasifikasi Tanah pada Pedon-Pedon dari Molombulahe
Pedon PNM1 yang terletak pada posisi lereng bawah memiliki horison
kambik yang batas di atasnya di dalam 100 cm dari permukaan tanah mineral dan
batas bawahnya pada kedalaman ≥ 25 cm di bawah permukaan tanah mineral.
Kadar liat total rata-rata terbobot 43% dalam fraksi tanah halusnya antara
permukaan tanah dan kedalaman 18 cm atau dalam horison Ap, serta 42% liat
total dalam fraksi tanah halusnya pada semua horison antara kedalaman 18 cm dan
50 cm. Pada kedalaman 50 cm, semua horison mempunyai kondisi akuik, dimana
air tersebut berasal dari bawah permukaan (endosaturation) untuk sebagian waktu
dalam tahun-tahun normal, dalam matriks 50% bagian pedon mempunyai kroma
1. Mengalami rekahan yang terbuka dan tertutup secara periodik selebar 5 mm
mencapai kedalaman 25 cm di dalam 50 cm dari permukaan tanah selama 90 hari
kumulatif. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka pedon PNM1 diklasifikasikan
sebagai Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik.
Pedon PNM2 yang terletak pada posisi lereng tengah memiliki horison
kambik yang batas di atasnya di dalam 100 cm dari permukaan tanah mineral dan
batas bawahnya pada kedalaman ≥25 cm di bawah permukaan tanah mineral yang
mempunyai bidang kilir pada kedalaman <100 cm. Kadar liat total rata-rata
terbobot 43% dalam fraksi tanah halusnya antara permukaan tanah dan kedalaman
18 cm atau dalam horison Ap, serta 56% liat total dalam fraksi tanah halusnya
pada semua horison antara kedalaman 18 cm dan 50 cm. Pada kedalaman 50 cm,
semua horison mempunyai kondisi akuik, dimana air tersebut berasal dari bawah
permukaan untuk sebagian waktu dalam tahun-tahun normal, dalam matriks 50%
bagian lebih dari satu pedon mempunyai kroma ≤2 atau kurang karena terjadi
konsentrasi redoks. Mengalami rekahan yang terbuka dan tertutup secara periodik
selebar 5 mm mencapai kedalaman 25 cm di dalam 50 cm dari permukaan tanah
selama 90 hari kumulatif. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka pedon PNM2
diklasifikasikan sebagai Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik.
Pedon PNM3 yang terletak pada posisi lereng atas memiliki horison kambik
yang batas di atasnya di dalam 100 cm dari permukaan tanah mineral dan batas
bawahnya pada kedalaman ≥25 cm di bawah permukaan tanah mineral. Pada
antara horison A atau Ap dan kedalaman 75 cm di bawah permukaan tanah
90
mineral mempunyai warna hue 7,5YR pada 50% matriks telah terdapat ped, >50%
bagian luarnya berkroma ≥2. Kadar liat total rata-rata terbobot 24% dalam fraksi
tanah halusnya antara permukaan tanah dan kedalaman 18 cm atau dalam horison
Ap, serta 26% liat total dalam fraksi tanah halusnya pada semua horison antara
kedalaman 18 cm dan 50 cm. Pada kedalaman 50 cm, tiga horison mempunyai
kondisi akuik, dimana air tersebut berasal dari atas permukaan untuk sebagian
waktu dalam tahun-tahun normal, dalam matriks 50% bagian pedon kroma ≤2 atau
kurang karena terjadi konsentrasi redoks. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka
pedon PNM3 diklasifikasikan sebagai Epiaquept Aerik, halus, smektitik,
isohipertermik.
Pedon PNM-LK yang terletak pada posisi lereng tengah memiliki horison
kambik yang batas di atasnya di dalam 100 cm dari permukaan tanah mineral dan
batas bawahnya pada kedalaman ≥25 cm di bawah permukaan tanah mineral.
Mempunyai kejenuhan basa (NH4OAc pH 7,0) pada kedalaman antara 25 cm dan
75 cm dari permukaan tanah mineral sebesar 71,61% sampai >100% (≥60%) atau
Eutrudept. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka pedon PNM-LK diklasifikasikan
sebagai Eutrudept Tipik, halus, smektitik, isohipertermik. Sebaran klasifikasi tanah
berdasarkan toposekuen di Molombulahe disajikan pada Gambar 34.
Tampaknya klasifikasi tanah terhadap TSTH menunjukkan persamaan
sampai tingkat sub grup antara pedon yang terletak di lereng bawah (PNS1 dan
PNM1) dan satu pedon di lereng tengah dari Molombulahe (PNM2), sementara
pedon yang di lereng tengah dari Sidomukti (PNS2) relatif berbeda karena ordo
sampai sub grupnya berbeda. Sedangkan pedon yang terletak di lereng atas sama
sampai tingkat great grup, tetapi berbeda pada tingkat sub grup. Pada tingkat
famili tanah, semua pedon TSTH relatif sama. Apabila dibandingkan dengan
pedon TSI, maka pedon TSTH yang terletak di lereng bawah relatif sama sampai
tingkat sub ordo, tetapi sudah berbeda pada tingkat great grup dan famili tanah.
Sedangkan apabila dibandingkan dengan TLK, maka pedon TSTH yang terletak di
lereng atas relatif sama hanya sampai tingkat ordo saja, sementara mulai dari
tingkat sub ordo sampai famili tanah berbeda. Apabila dibandingkan antara pedon
TLK, maka sampai tingkat sub grup relatif sama dan berbeda pada tingkat family
tanahnya.
91
5.4
Potensi Tanah Sawah Hujan
5.4.1 Kesesuaian Lahan
Secara umum, penggunaan lahan yang menjadi obyek penilaian potensi
tanah merupakan sawah tadah hujan (TSTH) dan tanah sawah irigasi (TSI).
Seluruh komponen lahan saling berinteraksi dan terkait satu dengan lainnya
membentuk satu ekosistem sawah. Petani berkepentingan besar agar hasil interaksi
tersebut menghasilkan produksi padi dan jagung dengan jumlah dan bobot yang
tinggi. Namun, penggunaan lahan untuk komoditi ini memiliki faktor pembatas,
antara lain: curah hujan yang tidak menentu dan tingkat kesuburan tanah yang
rendah (Suyamto et al. 2008). Di samping itu, menurut Pirngadi dan Makarim
(2006), produktivitas padi di TSTH masih rendah, berkisar antara 2-2,5 ton ha-1.
Produktifitas jagung juga masih rendah, yaitu 1-2,8 ton ha-1 (Fadly 1993). Oleh
karena itu, perlu ditentukan faktor pembatas dominan dan spesifik lokasi
berdasarkan kualitas lahan untuk masing-masing TPL.
Penggunaan kualitas lahan (KL) dalam penentuan potensi tanah melalui
kesesuaian lahan, memungkinkan untuk meminimalisir adanya interaksi masingmasing karakteristik lahan. Disamping itu, KL dapat mengurangi jumlah
komponen yang dinilai, sehingga nilai yang diperoleh lebih proporsional. Uraian
dalam analisis kesesuaian lahan berdasarkan KL disajikan sebagai berikut:
KL Ketersediaan Air
Curah hujan sangat mempengaruhi tinggi rendahnya ketersediaan air bagi
tanaman. Hal ini terlihat pada beberapa lokasi penelitian yang ketersediaan air
tanahnya mampu menyediakan air untuk kebutuhan tanaman (ETc), tetapi ada
juga yang harus mendapatkan suplai air dari hujan (Lampiran 8-10). Kondisi air
tersedia profil atau ATP (Tabel 31) menunjukkan bahwa makin beruntun pola
tanaman, maka makin rendah ATP (TPL Padi Lokal > TPL Padi-Jagung > TPL
Padi-Jagung-Jagung). Hal ini disebabkan karena jumlah hujan yang tidak tetap
pada setiap bulannya, sehingga mempengaruhi ATP masing-masing lokasi
penelitian. Selanjutnya, penurunan ATP menyebabkan pemenuhan kebutuhan air
tanaman (ETc) juga menurun. Menurut Firmansyah (2007), penurunan ETc akan
mempengaruhi produksi tanaman. Walaupun penurunan tersebut tidak sampai
menghambat perkembangan tanaman.
92
Tabel 31. Kondisi Air Tersedia Profil Rata-Rata Bulanan pada Beberapa TPL dan
Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo
Tanah/Lokasi
Ver
Inc 1
Inc 2
Ver 1
Ver 2
Inc
Ver
Sid
Sid
Sid
Mol
Mol
Mol
Ban
……………………………………………….. mm …………………………………………..
Padi pada TPL Padi Lokal
58,4
88,4
59,0
34,4
49,3
88,1
59,87
Padi pada TPL Padi-Jagung
63,5
93,5
64,1
42,1
56,9
95,7
65,0
Jagung pada TPL Padi-Jagung
63,5
93,5
64,1
32,7
47,6
86,4
65,0
Padi pada TPL Padi-Jagung-Jagung
63,5
93,5
64,1
30,4
45,3
84,0
65,0
Jagung 1 pada TPL Padi-Jagung-Jagung
63,5
93,5
64,1
25,8
40,7
79,4
65,0
Jagung 2 pada TPL Padi-Jagung-Jagung
53,9
80,6
51,3
32,2
47,0
85,8
52,2
Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo
Pada beberapa bulan tertentu untuk masing-masing TPL menunjukkan nilai
negatif (Lampiran 8-10). Tanda ini hanya menunjukkan bahwa kondisi air tersedia
profil pada bulan tersebut merupakan bulan defisit air. Untuk TPL Padi Lokal,
terdapat dua bulan defisit, yaitu pada bulan Juni dan Juli untuk lokasi Sidomukti
dan Bandungrejo serta bulan Agustus dan September untuk lokasi Molombulahe.
TPL Padi-Jagung hampir tidak terdapat bulan defisit, kecuali pada bulan Januari
untuk lokasi Molombulahe. Sedangkan pada TPL Padi-Jagung-Jagung, terdapat
satu bulan defisit untuk lokasi Sidomukti dan Bandungrejo, yaitu bulan September
dan tiga bulan defisit untuk lokasi Molombulahe, yaitu pada bulan Januari, Maret
dan bulan September.
Semua lokasi penelitian, umumnya tekstur tanah didominasi oleh liat (Tabel
10 dan 12). Berdasarkan tekstur tanah tersebut, maka kondisi air tersedia profil
terendah untuk TPL Padi Lokal dan Padi-Jagung dengan tanaman Padi terjadi
pada Vertisol 1 dari Molombulahe hanya sebanyak 34,4 dan 42,1 mm bulan-1 serta
tertinggi pada Inceptisol Molombulahe sebanyak 88,1 dan 95,7 mm bulan-1 (Tabel
31). TPL Padi-Jagung dengan tanaman Jagung terendah terjadi pada Vertisol 1
dari Molombulahe hanya sebanyak 32,7 mm bulan-1 dan tertinggi pada Inceptisol
1 Sidomukti sebanyak 93,5 mm bulan-1. Untuk TPL Padi-Jagung-Jagung dengan
tanaman Padi terendah pada Vertisol 1 dari Molombulahe sebanyak 30,4 mm
bulan-1 serta tertinggi pada Inceptisol 1 Sidomukti sebanyak 93,5 mm bulan-1.
93
Sedangkan TPL Padi-Jagung-Jagung dengan tanaman Jagung 1 dan 2 terendah
pada Vertisol 1 dari Molombulahe masing-masing sebanyak 25,8 dan 32,2 mm
bulan-1 dan tertinggi pada Inceptisol 1 Sidomukti sebanyak 93.5 mm bulan-1. Hal
ini sejalan dengan pernyataan Salter et al. (1966), bahwa fraksi liat berkorelasi
positif terhadap kapasitas menahan air. Lebih lanjut Hillel (1998) menyatakan
bahwa liat mampu menyerap dan mengikat air yang menyebabkan tanah
mengembang saat pembasahan dan menyusut saat kering. Kondisi ini sesuai
dengan jenis tanah di daerah penelitian yang termasuk Vertisol dan Inceptisol
yang bersifat vertik.
Nilai air tersedia profil selanjutnya digunakan untuk menduga produksi
masing-masing TPL berdasarkan model penduga produksinya (Tabel 32).
Berdasarkan jumlah air tersedia profil, maka produksi dugaan padi pada semua
TPL tertinggi terjadi pada Inceptisol 1 Sidomukti dan Inceptisol Molombulahe
yang masing-masing sebanyak 3,1-3,2 ton ha-1. Sedangkan produksi dugaan padi
terendah, terjadi pada Vertisol Molombulahe sebanyak 1,8-2,2 ton ha-1. Produksi
Jagung dugaan, baik pada TPL Padi-Jagung dan TPL Padi-Jagung-Jagung
tertinggi terjadi pada Inceptisol 1 Sidomukti dan Molombulahe yang masingmasing sebanyak 5,6-5,7 ton ha-1. Sedangkan terendah terjadi pada Vertisol 1
Molombulahe sebanyak 2,4 ton ha-1.
Tabel 32. Dugaan Produksi TPL Berdasarkan Air Tersedia Profil Rata-Rata
Bulanan pada Beberapa Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman
Gorontalo
Tanah/Lokasi
Ver
Inc 1
Inc 2
Ver 1
Ver 2
Inc
Ver
Sid
Sid
Sid
Mol
Mol
Mol
Ban
…………………………………………… ton ha-1 ………..……………………………….
Padi pada TPL Padi Lokal
2,6
3,1
2,6
2,0
2,4
3,1
2,6
Padi pada TPL Padi-Jagung
2,7
3,2
2,7
2,2
2,6
3,2
2,7
Jagung pada TPL Padi-Jagung
5,1
5,7
5,2
3,1
4,3
5,7
5,2
Padi pada TPL Padi-Jagung-Jagung
2,7
3,2
2,7
1,8
2,3
3,0
2,7
Jagung 1 pada TPL Padi-Jagung-Jagung
5,1
5,7
5,2
2,4
3,8
5,6
5,2
Jagung 2 pada TPL Padi-Jagung-Jagung
4,7
5,6
4,5
3,0
4,2
5,7
4,6
Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo
94
Data ini menunjukkan bahwa semakin tinggi air tersedia profil, maka
semakin tinggi produksi padi dan jagung (Tabel 32). Kebutuhan air tanaman
jagung relatif lebih sedikit dibanding padi berdasarkan fase-fase perkembangan
tanaman. Menurut Aqil et al. (2008), penurunan produksi jagung terbesar terjadi
jika jagung mengalami kekurangan air pada fase pembungaan, bunga jantan dan
bunga betina muncul, serta pada saat proses penyerbukan. Kondisi ini
mengakibatkan terhambatnya proses pengisian biji karena bunga betina/tongkol
mengering, sehingga jumlah biji dalam tongkol berkurang. Hal ini tidak terjadi
jika kekurangan air terjadi pada fase vegetatif. Kekurangan air pada fase
pengisian/pembentukan biji juga dapat menurunkan produksi secara nyata akibat
mengecilnya ukuran biji. Kekurangan air pada fase pematangan sangat kecil
pengaruhnya terhadap produksi.
Penetapan nilai indeks KL didasarkan pada produksi dugaan, sehingga
semakin tinggi produksi dugaan, maka semakin tinggi pula indeks KL pada setiap
pola dan TPL. Indeks KL ketersediaan air pada pola A ternyata lebih tinggi
dibanding pol B dan C (Tabel 33). Dengan demikian, maka pola A lebih
mendekati produksi lokal dibanding produksi Nasional (pola B dan C). Demikian
halnya berdasarkan TPL, maka indeks KL pada TPL padi lokal lebih besar
dibanding TPL padi-jagung dan TPL padi-jagung-jagung atau mengikuti deret:
TPL padi lokal > TPL padi-jagung > TPL padi-jagung-jagung.
Tabel 33. Indeks KL Ketersediaan Air TPL Berdasarkan Dugaan Produksi pada
Berbagai Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman
Tanah/Lokasi
Ver 1
Ver 2
Inc
Mol
Mol
Mol
TPL Padi Lokal Pola A
100
100
100
100
100
100
TPL Padi-Jagung Pola A
45
51
45
30
39
51
TPL Padi-Jagung-Jagung A
42
48
41
24
34
48
TPL Padi Lokal Pola B dan C
100
100
100
100
100
100
TPL Padi-Jagung Pola B dan C
45
51
45
30
39
51
TPL Padi-Jagung-Jagung Pola B dan C
42
48
41
24
34
48
Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo
Ver
Sid
Inc 1
Sid
Inc 2
Sid
Ver
Ban
100
45
42
100
45
42
95
Berdasarkan asal tanahnya, maka indeks KL untuk TPL padi lokal pola A, B
dan C semua tanah mempunyai nilai yang sama (100). TPL padi-jagung pola A, B
dan C indeksnya relatif bervariasi, mulai dari terendah berasal dari Vertisol 1
Molombulahe dan tertinggi dari Inceptisol 1 Sidomukti dan Inceptisol
Molombulahe. Sedangkan TPL Padi-Jagung-Jagung semua pola, nilai indeks
tertinggi dan terendah relatif sama dengan TPL padi-jagung, hanya berbeda pada
nilainya saja. Vertisol berdasarkan KL ketersediaan air mempunyai nilai indeks
lebih rendah dibanding Inceptisol pada semua TPL dan pola. Hal ini disebabkan
air tersedia profil dan produksi dugaan relatif rendah, sehingga nilai indeks KL
juga menjadi rendah. Menurut Firmansya (2007) bahwa produksi dugaan masingmasing komoditas TPL akan mempengaruhi pula indeks KL.
KL Ketersediaan Hara
Hara tanah tersedia umumnya berasal dari cadangan mineral mudah lapuk
(MML). Beberapa MML yang dijumpai, antara lain albit, oligoklas, andesine,
ortoklas, sanidin, anortoklas, hijau, hornblende coklat, epidot, dan enstatit (Tabel
17, 18 dan 20). Sedangkan dalam jumlah sedikit cadangan hara diperoleh dari
mineral sukar lapuk (MSL), antara lain: kuarsa, zirkon dan magnetit (opak).
Mineral hornblende merupakan sumber Ca dan Mg dalam tanah (Prasetyo et al.
2007) dan merupakan sumber Ca dalam tanah (Mohr et al. 1972). Mineral feldspar
masih dijumpai dalam jumlah yang lebih sedikit, berupa: albit, andesin, orthoklas
dan sanidin. Sanidin merupakan mineral yang tergolong K-felspar dengan
kemampuan melapuk lambat dan secara kimiawi mengandung unsur K dan Na
(Mohr dan Van Baren 1960). Hal ini didukung data mineralogi liat yang banyak
mengandung feldspar (Tabel 21). Di samping itu, dijumpainya P tersedia yang
tinggi diduga berasal dari P organik hasil pengendapan dari daerah atasnya.
Secara keseluruhan, cadangan MML lebih rendah dibanding MSL pada
lahan sawah, kecuali tanah dari Molombulahe yang masih relatif tinggi. Namun,
hanya selisih antara 11-20% saja. Kondisi ini membutuhkan penambahan unsur
hara dari luar melalui pemupukan untuk mencukupi kebutuhan hara tanaman agar
pertumbuhan dan produksi tanaman tersebut optimal. Kondisi ini mempengaruhi
ketersediaan hara TPL.
96
TPL Padi Lokal
Padi membutuhkan hara dalam jumlah cukup banyak untuk perkembangan
vegetatif maupun generatifnya. Menurut Peraturan Menteri Pertanian RI No.
40/permentan/OT.140/04/2007, untuk mencapai produksi padi sebanyak 3.5 ton
ha-1, maka dibutuhkan N, P2O5, dan K2O secara berturut-turut sebanyak 125, 100,
dan 50 kg dengan penambahan bahan organik sebanyak 5 ton ha-1. Jumlah hara
untuk TPL padi lokal pola A hanya berasal dari tanah, tanpa penambahan pupuk
sama sekali (Tabel 34). Tampaknya kandungan N dan P tersedia pada semua tanah
di lokasi penelitian sangat rendah, kecuali P tersedia dari Inceptisol Molombulahe
yang sangat tinggi. Sedangkan kadar K tersedia relatif tinggi sampai sangat tinggi
berdasarkan kriteria Staf Pusat Penelitian Tanah (1983).
TPL padi lokal pola B berdasarkan hara tersedia tanah dan penambahan
100% dosis pemupukan anjuran N, P, dan K yang masing-masing sebanyak 100,
75, dan 50 kg. Pertimbangan efisiensi pemupukan masing-masing pupuk pada
tanah liat sebesar 40%, 20%, dan 60%, maka serapan hara menjadi sebesar 50 kg
N ha-1, 20 kg P ha-1, dan 20 kg K ha-1 yang digunakan untuk membentuk produksi
padi. Hal ini menyebabkan terjadinya penambahan jumlah hara di dalam tanah
untuk mencukupi kekurangan hara beberapa unsur, tetapi untuk K justru melebihi
kebutuhan hara tanaman dari pemupukan 100% anjuran (Tabel 34). Untuk unsur
N dan P, walaupun sudah mendapat tambahan hara 100% dosis anjuran tetapi
masih lebih rendah dari kebutuhan hara tersebut untuk tanaman padi.
TPL padi lokal pola B berdasarkan pemupukan 100% dosis anjuran
menunjukkan jumlah hara yang lebih banyak dari pola A dan C, kecuali N tersedia
dari Inceptisol 1 Sidomukti jumlahnya lebih banyak pada pola C. Selain itu,
jumlah P tersedia lebih sedikit dibanding N pada semua pedon, kecuali pada
Inceptisol Molombulahe justru P tersedia lebih banyak. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Firmansyah (2007) bahwa P rendah dalam tanah umumnya karena
bentuk P tersedia hanya seperempat dari jumlah N dan sering dalam bentuk P
tidak larut, walaupun ditambah pupuk P tetapi bertambahnya waktu, P tersebut
akan berubah menjadi bentuk sukar larut. Selanjutnya, jumlah K tersedia yang
melebihi kebutuhan padi pada semua pedon dan P tersedia pada Inceptisol
Molombulahe, maka tidak dihitung pemupukan preskripsinya.
97
Tabel 34. Jumlah Hara TPL Padi Lokal pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di
Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo
Tanah/Lokasi
Ver
Inc 1
Inc 2
Ver 1
Ver 2
Inc
Ver
Sid
Sid
Sid
Mol
Mol
Mol
Ban
……………………………….. kg ha-1 …………………………..
N-tsd
9,60
9,60
11,20
8,00
24,00
17,60
14,40
A
P-tsd
3,48
3,80
3,70
9,04
2,40
54,80
5,01
K-tsd
89,86
67,39
86,11
82,37
202,18
48,67
71,14
N-tsd
134,60 134,60 136,20 133,00 149,00 142,60 139,40
B
P-tsd
103,48 103,80 103,70 109,04 102,40 154,80 105,01
K-tsd
139,86 117,39 136,11 132,37 252,18
98,67
121,14
N-tsd
118,20 216,13 118,73 117,67 123,00 120,87 119,80
P-tsd
82,76
82,10
82,31
71,34
84,98
79,61
C
K-tsd
Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, - = tidak
diperlukan pemupukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia.
Pola
Unsur Hara
Berdasarkan jumlah hara antar pola pada TPL padi lokal, maka pola A
mempunyai jumlah hara terendah. Sedangkan berdasarkan penambahan hara dari
pupuk, maka hara N dan K tertinggi pada pola B. Jumlah hara pola B dan C lebih
mendorong dugaan produksi tertinggi dibanding pola A, kecuali untuk hara N
pada Inceptisol 1 Sidomukti pola C yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
dosis preskripsi relatif telah mampu mendorong tercapainya target produksi pada
semua pola dibanding pemupukan 100% anjuran, kecuali penambahan K pada
pola B yang lebih tinggi dugaan produksinya dibanding pola C. Besarnya produksi
dugaan sangat dipengaruhi oleh besarnya ketersediaan hara, sehingga semakin
tinggi ketersediaan hara maka dugaan produksi semakin tinggi pula (Tabel 35).
Tabel 35. Dugaan Produksi TPL Padi Lokal Berdasarkan Jumlah Hara pada
Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo
Tanah/Lokasi
Ver
Inc 1
Inc 2
Ver 1
Ver 2
Inc
Ver
Sid
Sid
Sid
Mol
Mol
Mol
Ban
…..……………………………….. ton ha-1 ………..………………………..
N-tsd
0,6
0,6
0,7
0,5
1,0
0,9
0,8
P-tsd
0,4
0,4
0,4
0,8
0,2
1,6
0,5
A
K-tsd
3,5
2,9
3,4
3,4
5,2
2,2
3,0
N-tsd
1,9
1,9
1,9
1,9
1,9
1,9
1,9
P-tsd
1,8
1,8
1,8
1,9
1,8
2,0
1,8
B
K-tsd
4,5
4,1
4,4
4,4
5,7
3,7
4,2
N-tsd
3,5
3,5
3,5
3,5
3,5
3,5
3,5
P-tsd
3,5
3,5
3,5
3,5
3,5
3,5
C
K-tsd
Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, - = tidak
ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia.
Pola
Unsur
Hara
98
Tingginya dugaan produksi ini akan meningkatkan nilai indeks KL
ketersediaan hara (Tabel 36). Hasil penilaian indeks KL menunjukkan bahwa
secara keseluruhan nilai indeks KL pola C yang lebih tinggi dibanding pola A dan
B, kecuali unsur hara K tersedia pada pola A dan B yang lebih tinggi dibanding
unsur hara N tersedia dan P tersedia pada pola tersebut. Pengecualian untuk K
tersedia pada pola C tidak ditentukan karena kadar K tersedia sudah tinggi. Nilai
indeks KL paling tinggi adalah 100, tetapi terdapat juga nilai indeks KL <20, yaitu
Vertisol 2 Molombulahe dengan nilai 16 saja. Nilai indeks KL tertinggi
berdasarkan unsur hara adalah K tersedia pada semua pola. Sedangkan terendah
adalah P tersedia. Nilai indeks KL ini nantinya akan mempengaruhi nilai indeks
lahan pada setiap jenis tanah dan pola.
Tabel 36. Indeks KL Ketersediaan Hara TPL Padi Lokal pada Beberapa Pola dan
Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo
Tanah/Lokasi
Ver
Inc 1
Inc 2
Ver 1
Sid
Sid
Sid
Mol
N-tsd
39
39
44
33
A
P-tsd
26
29
28
53
K-tsd
100
100
100
100
N-tsd
53
53
53
53
B
P-tsd
52
52
52
53
K-tsd
100
100
100
100
N-tsd
100
100
100
100
C
P-tsd
100
100
100
100
K-tsd
Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe,
ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia.
Pola
Unsur
Hara
Ver 2
Inc
Ver
Mol
Mol
Ban
69
59
52
16
100
36
100
100
100
55
54
54
52
57
53
100
100
100
100
100
100
100
100
Ban=Bandungrejo, -= tidak
Informasi di atas menunjukkan bahwa pola C dengan metode preskripsi
lebih baik dibanding pola B dengan pemupukan 100% anjuran. Hal ini disebabkan
pada pola C, rata-rata jumlah hara tersedia mampu memenuhi kebutuhan hara padi
lokal, dan telah memperhitungkan efisiensi pemupukan. Sedangkan pola B,
walaupun sudah memperhitungkan efisiensi pemupukan, tetapi belum mampu
memenuhi kebutuhan hara padi lokal, kecuali unsur hara K tersedia.
TPL Padi-Jagung
Kebutuhan hara komoditas jagung umumnya lebih besar dari padi. Hal ini
disebabkan karena atribut produksi jagung lebih tinggi dibanding padi, sehingga
dosis pemupukan jagung lebih banyak dibanding padi. Penggunaan pupuk
99
merupakan atribut TPL pada penggunaan teknologi. Pada tingkat produksi padi
1,5 ton ha-1 dan 5 ton ha-1 jagung pada TPL padi-jagung pola A tanpa pupuk. Pola
B dengan tingkat produksi padi 3,5 ton ha-1 dan 7 ton ha-1 jagung menggunakan
dosis 100% anjuran pemupukan serta pola C dengan dosis preskripsi.
Untuk padi, dosis 100% anjuran yaitu 125 kg N ha-1, 100 kg P ha-1 dan 50
kg K ha-1 dengan pertimbangan efisiensi pemupukan, maka serapan hara tanaman
menjadi 37,5 kg N ha-1, 49 kg P ha-1 dan 25 kg K ha-1. Sedangkan jagung, dosis
100% anjuran yaitu 150 kg N ha-1, 100 kg P ha-1 dan 120 kg K ha-1 dengan
efisiensi pemupukan, maka serapan hara tanaman menjadi 90 kg N ha-1, 30 kg P
ha-1, dan 60 kg K ha-1. Hal ini berpengaruh pada jumlah hara TPL ini pada pola B
dan C. Sedangkan pola A sama dengan TPL padi lokal (Tabel 37).
Tabel 37. Jumlah Hara TPL Padi-Jagung pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di
Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo
Tanah/Lokasi
Ver
Inc 1
Inc 2
Ver 1
Ver 2
Inc
Ver
Sid
Sid
Sid
Mol
Mol
Mol
Ban
..……………………………….. kg ha-1 …………………………………
N-tsd
9,60
9,60
11,20
8,00
24,00
17,60
14,40
A
P-tsd
3,48
3,80
3,70
9,04
2,40
54,80
5,01
K-tsd
89,86
67,39
86,11
82,37
202,18
48,67
71,14
N-tsd
159,60
159,60 161,20 158,00 174,00 167,60 164,40
P-tsd
103,48
103,80 103,70 109,04 102,40 154,80 105,01
B
K-tsd
209,86
187,39 206,11 202,37 322,18 168,67 191,14
N-tsd
251,80
252,20 250,07 254,33 233,00 223,93 269,80
C
P-tsd
162,04
161,31 161,83 134,57 168,48
155,13
K-tsd
121,37
116,88 120,62 119,87
113,13 117,63
Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, - = tidak
ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia.
Pola
Unsur
Hara
Secara umum, jumlah hara pola C lebih banyak dibanding pola B, kecuali
unsur K pada pola B pada semua jenis tanah lebih tinggi dibanding pola C.
Selanjutnya, jumlah hara untuk komoditas jagung lebih banyak dibanding padi
(Tabel 37). Kondisi jumlah hara pada TPL ini berpengaruh pada dugaan produksi
komoditasnya (Tabel 38). Hasil dugaan produksi pada TPL ini menunjukkan
bahwa pola B untuk P tersedia lebih tinggi dibanding pola A dan C. Sedangkan
untuk N dan K tersedia, produksi pola C lebih tinggi dibanding pola A dan B.
Untuk komoditas jagung, P tersedia lebih menentukan produksi dibanding unsur
hara lainnya pada pola A. Sedangkan pada pola B, K tersedia lebih menentukan
pada semua jenis tanah dibanding hara lainnya.
100
Tabel 38. Dugaan Produksi TPL Padi-Jagung Berdasarkan Jumlah Hara pada
Beberapa Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo
Tanah/Lokasi
Ver
Inc 1
Inc 2
Ver 1
Ver 2
Inc
Ver
Sid
Sid
Sid
Mol
Mol
Mol
Ban
………………………………. ton ha-1 ……………………………
N-tsd
3,8
3,8
3,9
3,7
4,4
4,1
4,0
A
P-tsd
3,0
3,0
3,0
3,4
2,9
6,0
3,1
K-tsd
6,4
5,9
6,3
6,2
5,8
5,3
6,0
N-tsd
6,3
6,3
6,2
6,3
6,0
6,2
6,2
B
P-tsd
7,4
7,4
7,4
7,4
7,3
7,3
7,4
K-tsd
5,6
6,2
5,7
5,8
-0,3
6,5
6,1
N-tsd
7,0
7,0
7,0
7,0
7,0
7,0
7,0
P-tsd
7,0
7,0
7,0
7,0
7,0
7,0
C
K-tsd
7,0
7,0
7,0
7,0
7,0
7,0
Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, - = tidak
ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia.
Unsur
Hara
Pola
Dugaan produksi pada TPL ini akan mempengaruhi nilai indeks KL
ketersediaan hara (Tabel 39). Nilai indeks KL pada TPL ini tertinggi terdapat pada
pola C. Sedangkan nilai indeks KL terendah terjadi pada pola A. Berdasarkan
unsur hara, K tersedia mempunyai nilai tertinggi terjadi pada pola A dan B pada
semua jenis tanah dan lokasi penelitian. Sementara nilai terendah terdapat pada P
tersedia pola A. Nilai indeks KL berdasarkan hara N dan P tersedia, pola A secara
keseluruhan lebih rendah dibanding pola B. Sedangkan nilai indeks KL K tersedia
dan P tersedia pada Inceptisol Molombulahe pola C tidak dihitung karena dugaan
produksi padi K tersedia tidak diperhitungkan. Berdasarkan lokasi penelitian,
maka semua jenis tanah dari Sidomukti dan Bandungrejo memberikan nilai indeks
tertinggi. Hal lain yang cukup menarik ternyata indeks KL ini pada semua jenis
tanah pola C lebih tinggi dibanding pola A dan B.
Tabel 39. Indeks KL Ketersediaan Hara TPL Padi-Jagung pada Beberapa Pola dan
Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo
Tanah/Lokasi
Ver
Inc 1
Inc 2
Ver 1
Ver 2
Inc
Ver
Sid
Sid
Sid
Mol
Mol
Mol
Ban
N-tsd
42
42
43
40
52
48
46
P-tsd
32
33
33
40
30
72
35
A
K-tsd
94
84
93
91
100
72
86
N-tsd
74
74
74
74
72
73
73
P-tsd
82
82
82
83
81
85
82
B
K-tsd
93
94
93
94
50
93
94
N-tsd
100
100
100
100
100
100
100
P-tsd
100
100
100
100
100
100
C
K-tsd
Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, -= tidak
ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia.
Pola
Unsur Hara
101
TPL Padi-Jagung-Jagung
Pada TPL ini, data jumlah hara dan dugaan produksi baik pola A, B, dan C
untuk padi dan jagung dapat dilihat pada TPL padi lokal dan TPL Padi-Jagung.
Perbedaannya dengan TPL Padi-Jagung-Jagung terletak pada penambahan musim
tanam jagung ke-2, sehingga perhitungan indeks KL ketersediaan hara adalah
persentase dugaan produksi setiap komoditas dibandingkan dengan jumlah
produksi komoditas pola TPL ini (Tabel 40).
Tabel 40. Indeks KL Ketersediaan Hara TPL Padi-Jagung-Jagung pada Beberapa
Pola dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo
Tanah/Lokasi
Ver
Inc 1
Inc 2
Ver 1
Ver 2
Inc
Ver
Sid
Sid
Sid
Mol
Mol
Mol
Ban
N-tsd
47
47
48
45
56
52
50
A
P-tsd
36
37
37
43
35
77
39
K-tsd
93
84
92
90
97
73
86
N-tsd
80
80
80
80
78
79
79
P-tsd
91
91
91
92
91
93
91
B
K-tsd
88
92
89
90
28
93
92
N-tsd
100
100
100
100
100
100
100
P-tsd
100
100
100
100
100
100
C
K-tsd
Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, - = tidak
ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia.
Pola
Unsur
Hara
Pada TPL ini, nilai indeks KL ketersediaan hara pola A lebih rendah
dibanding pola B dan C. Namun, pola C lebih tinggi dibanding pola B. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Firmansyah (2007) bahwa pemupukuan preskripsi
mendorong pencapaian produksi lebih tinggi dibandingkan pemupukan 100%
anjuran (pola B). Diduga hal ini karena pola B dengan dosis pemupukan 100%
anjuran jumlah hara tersedia belum mampu meningkatkan produksi TPL ini.
Indeks Lahan dan Kelas kesesuaian lahan
Semua nilai indeks KL, baik KL ketersediaan air (wa) maupun ketersediaan
hara (na) selanjutnya digunakan untuk menentukan nilai indeks lahan (land index)
berdasarkan metode indeks lahan akar kuadrat (square root land index method).
Nilai indeks lahan ini digunakan untuk menentukan kelas kesesuaian lahannya
(KKL) berdasarkan Hukum Minimum Liebig.
102
TPL Padi Lokal
Nilai indeks lahan untuk TPL padi lokal tertinggi secara umum terjadi pada
pola C dibanding pola A dan B (Tabel 41). Hal ini disebabkan adanya perbedaan
dalam perhitungan indeks KL akibat perbedaan atribut produksi. Produksi padi
pola A pada tingkat lokal hanya sebanyak 1,5 ton ha-1 dan produksi pada pola B
serta pola C pada tingkat produksi nasional sebanyak 3,5 ton ha-1. Disamping itu,
adanya perbedaan atribut teknologi pemupukan pada pola B dan C menyebabkan
pola ini mengalami peningkatan produksi pada KL ketersediaan hara.
Tabel 41. Indeks Lahan TPL Padi Lokal pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di
Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo
Tanah/Lokasi
Ver
Inc-1
Inc-2
Ver-1
Vert-2
Inc
Ver
Sid
Sid
Sid
Mol
Mol
Mol
Ban
N-tsd/ATP
39
39
44
33
69
59
52
A
P-tsd/ATP
26
29
28
53
16
100
36
K-tsd/ATP
100
100
100
100
100
100
100
N-tsd/ATP
53
53
53
53
55
54
54
P-tsd/ATP
52
52
52
53
52
57
53
B
K-tsd/ATP
100
100
100
100
100
100
100
N-tsd/ATP
100
100
100
100
100
100
100
P-tsd/ATP
100
100
100
100
100
100
C
K-tsd/ATP
Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, - = tidak
ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia, ATP=air tersedia profil.
Pola
Unsur
Hara/Air
Tabel 42. Kelas Kesesuaian Lahan TPL Padi Lokal pada Beberapa Pola dan Jenis
Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo
Tanah/Lokasi
Ver
Inc-1
Inc-2
Ver-1
Vert-2
Inc
Ver
Sid
Sid
Sid
Mol
Mol
Mol
Ban
N-tsd/ATP
S3na
S3na
S3na
S3na
S2na
S2na
S2na
P-tsd/ATP
S3na
S3na
S3na
S2na
Nna
S1
S3na
A
K-tsd/ATP
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
KKL Akhir
S3na
S3na
S3na
S3na
Nna
S2na
S3na
N-tsd/ATP
S2na
S2na
S2na
S2na
S2na
S2na
S2na
P-tsd/ATP
S2na
S2na
S2na
S2na
S2na
S2na
S2na
B
K-tsd/ATP
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
KKL Akhir
S2na
S2na
S2na
S2na
S2na
S2na
S2na
N-tsd/ATP
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
P-tsd/ATP
S1
S1
S1
S1
S1
S1
C
K-tsd/ATP
KKL Akhir
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, - = tidak
ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia, ATP=air tersedia profil,
KKL=kelas Kesesuaian lahan.
Pola
Unsur
Hara/Air
103
Nilai indeks lahan 50 merupakan batas antara KKL marjinal (S3) dan agak
sesuai (S2), sebagaimana tertera pada Tabel 42. Secara keseluruhan, KKL
didominasi oleh agak sesuai dengan faktor pembatas ketersedian hara (S2na)
dengan perbandingan 1,1 : 1 terhadap sangat sesuai (S1) dan 1,6 : 1 terhadap
sesuai marjinal (S3na). Faktor pembatas dominan pada semua jenis tanah adalah P
tersedia. Pada pola C, KKL semua jenis tanah adalah sangat sesuai (S1).
Sementara pola B seluruhnya agak sesuai dengan pembatas ketersedian hara
(S2na). Sedangkan pola A didominasi sesuai marjinal (S3na), kecuali Inceptisol
Molombulahe agak sesuai (S2na) dan Vertisol 2 Molombulahe tidak sesuai karena
indeks lahan P tersedia sangat rendah (Nna).
TPL Padi-Jagung
Nilai indeks lahan pada TPL ini relatif lebih rendah dibanding TPL padi
lokal pada pola yang sama (Tabel 43). Hal ini disebabkan karena indeks KL
ketersediaan hara dan air yang rendah pada TPL ini. Pada TPL ini adalah tidak ada
yang mencapai nilai 75, sehingga tidak ada yang mempunyai KKL agak sesuai
(S2). Pada pola A, terdapat jenis tanah yang mempunyai nilai indeks <25, yaitu
pada perbandingan antara P tersedia dengan air tersedia profil (ATP), kecuali
Inceptisol Molombulahe >25 dan pada perbandingan antara N tersedia dengan
ATP dari Vertisol 1 Molombulahe. Rendahnya nilai indeks ini karena rendahnya
ketersediaan hara tanah. Pola B dan C, nilai indeks lahan seluruhnya dipengaruhi
oleh ketersediaan air dengan nilai >25 (Tabel 44).
Tabel 43. Indeks Lahan TPL Padi-Jagung pada Beberapa Pola dan Jenis Tanah di
Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo
Tanah/Lokasi
Pola
Ver
Inc-1
Inc-2
Ver-1
Vert-2
Inc
Ver
Sid
Sid
Sid
Mol
Mol
Mol
Ban
N-tsd/ATP
28
30
29
22
32
34
31
P-tsd/ATP
22
23
22
19
19
43
23
A
K-tsd/ATP
44
46
43
29
39
43
42
N-tsd/ATP
38
43
39
26
33
43
39
B
P-tsd/ATP
40
46
41
28
35
47
41
K-tsd/ATP
43
49
44
29
28
49
44
N-tsd/ATP
45
51
45
30
39
51
45
P-tsd/ATP
45
51
45
30
39
45
C
K-tsd/ATP
Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, -= tidak
ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia, ATP=air tersedia profil.
Unsur
Hara
104
Tabel 44. Kelas Kesesuaian Lahan TPL Padi-Jagung pada Beberapa Pola dan
Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo
Tanah/Lokasi
Pola
Ver
Inc-1
Inc-2
Ver-1
Vert-2
Inc
Ver
Sid
Sid
Sid
Mol
Mol
Mol
Ban
N-tsd/ATP
S3na
S3na
S3na
Nna
S3wa
S3na
S3wa
P-tsd/ATP
Nna
Nna
Nna
Nwa
Nna
S3wa
Nna
A
K-tsd/ATP
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
KKL Akhir
Nna
Nna
Nna
Nwa
Nna
S3na
Nna
N-tsd/ATP
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
P-tsd/ATP
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
B
K-tsd/ATP
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
KKL Akhir
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
N-tsd/ATP
S3wa
S3na
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
P-tsd/ATP
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
C
K-tsd/ATP
KKL Akhir
S3wa
S3na
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
S3wa
Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, -= tidak
ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia, ATP=air tersedia profil,
KKL=kelas Kesesuaian lahan.
Unsur
Hara/Air
Pada pola A, KKL semua pedon tidak sesuai dengan faktor pembatas
ketersediaan hara (Nna), kecuali Vertisol 1 Molombulahe tidak sesuai dengan
pembatas ketersediaan air (Nwa) dan Inceptisol Molombulahe sesuai marjinal
dengan pembatas ketersediaan air (S3na). Sedangkan pola B dan C, semua jenis
tanah mempunyai KKL sesuai marjinal dengan pembatas ketersediaan air (S3wa).
TPL Padi-Jagung-Jagung
Nilai indeks lahan pada TPL ini ternyata lebih rendah dibanding pada TPL
padi-jagung dan padi lokal. Hal ini terlihat dari tidak adanya nilai indeks >50
(Tabel 45). Padahal nilai indeks >50 merupakan batas nilai untuk KKL agak
sesuai (S2). Di samping itu, lebih banyak jenis tanah yang mempunyai nilai indeks
lahan <25. Nilai indeks ini menyebabkan KKL TPL ini tidak ada yang sangat
sesuai dan agak sesuai (Tabel 46). Pada TPL ini, jumlah jenis tanah dan lokasi
yang mempunyai KKL sesuai marjinal (S3) lebih banyak dibanding tidak sesuai
(N). Pada pola A, KKL yang dominan adalah tidak sesuai dengan faktor pembatas
ketersediaan hara (Nna) dan ketersediaan air (Nwa), dengan perbandingan 1 : 1,
kecuali Inceptisol 1 Sidomukti dan Vertisol Bandungrejo sesuai marjinal dengan
pembatas ketersediaan hara (S3na) serta Inceptisol Molombulahe sesuai marjinal
dengan pembatas ketersediaan air (S3wa).
105
Tabel 45. Indeks Lahan TPL Padi-Jagung-Jagung pada Beberapa Pola dan Jenis
Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo
Tanah/Lokasi
Pola
Ver
Inc-1
Inc-2
Ver-1
Vert-2
Inc
Ver
Sid
Sid
Sid
Mol
Mol
Mol
Ban
N-tsd/ATP
28
32
29
16
26
35
30
A
P-tsd/ATP
23
26
24
16
20
42
25
K-tsd/ATP
40
44
40
23
34
41
39
N-tsd/ATP
37
43
37
22
30
42
37
B
P-tsd/ATP
40
46
39
23
33
46
40
K-tsd/ATP
39
46
39
23
18
46
40
N-tsd/ATP
42
48
41
24
34
48
42
P-tsd/ATP
42
48
41
24
34
42
C
K-tsd/ATP
Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, -= tidak
ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia, ATP=air tersedia profil.
Unsur
Hara
Pada pola B, KKL didominasi sesuai marjinal dengan faktor pembatas
ketersediaan air (S3wa), kecuali Vertisol 1 dan 2 Molombulahe tidak sesuai
dengan pembatas yang sama (Nwa). Sedangkan pola C, KKL didominasi sesuai
marjinal dengan pembatas ketersediaan air (S3wa), kecuali Vertisol 1
Molombulahe yang KKLnya tidak sesuai dengan pembatas ketersediaan air
(Nwa). Salah satu penyebab jenis tanah Vertisol Bandungrejo pola A mempunyai
faktor pembatas ketersediaan hara karena tanah sawah ini merupakan sawah
irigasi yang lebih intensif penanaman padinya.
Tabel 46. Kelas Kesesuaian Lahan TPL Padi-Jagung-Jagung pada Beberapa Pola
dan Jenis Tanah di Lahan Sawah Paguyaman Gorontalo
Tanah/Lokasi
Pola
Ver
Inc-1
Inc-2
Ver-1
Vert-2
Inc
Ver
Sid
Sid
Sid
Mol
Mol
Mol
Ban
N-tsd/ATP
S3wa
S3wa
S3wa
Nwa
S3wa
S3wa
S3wa
P-tsd/ATP
Nna
S3na
Nna
Nwa
Nwa
S3wa
S3na
A
K-tsd/ATP
S3wa
S3wa
S3wa
Nwa
S3wa
S3wa
S3wa
KKL Akhir
Nna
S3na
Nna
Nwa
Nwa
S3wa
S3na
N-tsd/ATP
S3wa
S3wa
S3wa
Nwa
S3wa
S3wa
S3wa
P-tsd/ATP
S3wa
S3wa
S3wa
Nwa
S3wa
S3wa
S3wa
B
K-tsd/ATP
S3wa
S3wa
S3wa
Nwa
Nwa
S3wa
S3wa
KKL Akhir
S3wa
S3wa
S3wa
Nwa
Nwa
S3wa
S3wa
N-tsd/ATP
S3wa
S3wa
S3wa
Nwa
S3wa
S3wa
S3wa
P-tsd/ATP
S3wa
S3wa
S3wa
Nwa
S3wa
S3wa
C
K-tsd/ATP
KKL Akhir
S3wa
S3wa
S3wa
Nwa
S3wa
S3wa
S3wa
Ver=Vertisol, Inc=Inceptisol, Sid=Sidomukti, Mol=Molombulahe, Ban=Bandungrejo, -= tidak
ditemukan, N-tsd=N tersedia, P-tsd=P tersedia, K-tsd=K tersedia, ATP=air tersedia profil,
KKL=kelas Kesesuaian lahan.
Unsur
Hara/Air
106
Rekomendasi Tipe Penggunaan Lahan (TPL)
Lahan sawah yang selama ini digunakan untuk pertanian harus dikelola
secara optimal, lestari dan berkelanjutan (sustainable). Lahan secara optimal
digunakan untuk menghasilkan produksi komoditas yang tinggi dan secara stabil
mempertahankan serta meningkatkan produksi yang telah dicapai dengan kegiatan
pertanian yang lestari. Menurut Howard (1990), sistem pertanian berkelanjutan
merupakan suatu sistem bertani yang mengarahkan manusia lebih besar, efisiensi
penggunaan
sumberdaya
lebih
besar
dan
setimbang
dengan
kondisi
lingkungannya. Berkelanjutan, selanjutnya dijadikan asas dalam penggunaan lahan
agar pengguna lahan berlaku adil bagi generasi yang akan datang dalam
memperoleh kesempatan untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut.
Meningkatnya kebutuhan pangan dan persaingan dalam penggunaan lahan
memerlukan pemikiran yang seksama dalam mengambil keputusan pemanfaatan
lahan yang paling menguntungkan dari sumberdaya lahan yang terbatas (Sitorus
1998). Sementara itu juga, pemanfaatan lahan yang lestari dan berkelanjutan
merupakan tuntutan saat ini dan masa mendatang. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Djaenudin et al. (2003) bahwa penggunaan lahan yang optimal
memerlukan keterkaitan antara karakteristik dan kualitasnya. Penyebabnya adalah
adanya keterbatasan dalam penggunaan lahan sesuai dengan karakteristik dan
kualitas lahannya, jika dihubungkan dengan pemanfaatan lahan secara lestari dan
berkelanjutan.
Berdasarkan indeks lahan dan KKL, maka disusun rekomendasi TPL agar
pengguna lahan dapat mengelola dan memanfaatkan lahan secara optimal, lestari
dan berkelanjutan (Tabel 47). Rekomendasi TPL dibagi dalam tiga bagian, yaitu
rekomendasi penuh, rekomendasi bersyarat dan tidak direkomendasikan.
Rekomendasi TPL penuh ditujukan bagi jenis tanah dan pola yang mempunyai
KKL sangat sesuai (S1) dan agak sesuai (S2) dengan faktor pembatas ketersediaan
hara. Rekomendasi bersyarat ditujukan bagi jenis tanah dan pola yang mempunyai
KKL S2 dengan faktor pembatas ketersediaan air dan sesuai marjinal (S3) serta S3
dengan faktor pembatas ketersediaan hara. Sedangkan tidak direkomendasikan
ditujukan bagi jenis tanah dan pola yang mempunyai KKL tidak sesuai (N).
107
Tabel 47. Rekomendasi TPL pada Beberapa Jenis Tanah dan Lokasi
Jenis Tanah/Lokasi
Vertisol Sidomukti
Rekomendasi Penuh
TPL padi lokal pola B dan C
Inceptisol 1 Sidomukti
TPL padi lokal pola B dan C
Inceptisol 2 Sidomukti
TPL padi lokal pola B dan C
Vertisol 1 Molombulahe
TPL padi lokal pola B dan C
Vertisol 2 Molombulahe
TPL padi lokal pola B dan C
Inceptisol Molombulahe
TPL padi lokal pola A, B dan C
Vertisol Bandungrejo
TPL padi lokal pola B dan C
Rekomendasi Tipe Penggunaan Lahan (TPL)
Rekomendasi Bersyarat
Tidak Direkomendasikan
TPL padi lokal pola A; TPL padi-jagung pola B dan C
TPL padi-jagung pola A
TPL padi-jagung-jagung pola B dan C
TPL padi-jagung-jagung pola A
TPL padi lokal pola A; TPL padi-jagung pola B dan C
TPL padi-jagung pola A
TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C
TPL padi lokal pola A; TPL padi-jagung pola B dan C
TPL padi-jagung pola A
TPL padi-jagung-jagung pola B dan C
TPL padi-jagung-jagung pola A
TPL padi lokal pola A
TPL padi-jagung pola A
TPL padi-jagung pola B dan C
TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C
TPL padi-jagung pola B dan C
TPL padi lokal pola A; TPL padi-jagung pola A
TPL padi-jagung-jagung pola C
TPL padi-jagung-jagung pola A dan B
TPL padi-jagung pola A; TPL padi-jagung pola B dan C
TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C
TPL padi lokal pola A; TPL padi-jagung pola B dan C
TPL padi-jagung pola A
TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C
107
108
Semua TPL yang direkomendasikan penuh untuk setiap jenis tanah dan
lokasi adalah TPL padi lokal pola B dan C, kecuali Inceptisol Molombulahe, baik
pola A, B dan C direkomendasikan penuh untuk dapat diterapkan. Hal ini
disebabkan setiap jenis tanah dan lokasi dengan TPL-TPL ini mempunyai KKL
akhir sangat sesuai (S1) dan agak sesuai (S2) dengan faktor pembatas ketersediaan
air dan hara.
Rekomendasi TPL bersyarat terdapat pada Vertisol Sidomukti dan Inceptisol
2 Sidomukti yang terdiri dari TPL padi lokal pola A atau TPL padi-jagung pola B
dan C atau TPL padi-jagung-jagung pola B dan C; Inceptisol 1 Sidomukti,
Incentisol Molombulahe dan Vertisol Bandungrejo yang terdiri dari TPL padi
lokal pola A atau TPL padi-jagung pola B dan C atau TPL padi-jagung-jagung
pola A, B dan C; Vertisol 1 Molombulahe yang terdiri dari TPL padi lokal pola A
atau TPL padi-jagung pola B dan C. Sedangkan Vertisol 2 Molombulahe yang
terdiri dari TPL padi-jagung pola B dan C atau TPL padi-jagung-jagung pola C.
Hal ini disebabkan setiap jenis tanah dan lokasi dengan TPL-TPL ini mempunyai
KKL akhir sesuai marjinal (S3) dengan faktor pembatas ketersediaan air dan hara.
Untuk TPL-TPL yang tidak direkomendasikan terdapat pada Vertisol
Sidomukti dan Inceptisol 2 Molombulahe yang terdiri dari TPL padi-jagung pola
A atau TPL padi-jagung-jagung pola A; Inceptisol 1 Molombulahe dan Vertisol
Bandungrejo, yaitu TPL padi-jagung pola A; Vertisol 1 Molombulahe yang terdiri
dari TPL padi-jagung pola A atau TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C.
Sedangkan pada Vertisol 2 Molombulahe terdiri dari TPL padi lokal pola A atau
TPL padi-jagung pola A atau TPL padi-jagung-jagung pola A dan B. Hal ini
disebabkan setiap jenis tanah dan lokasi dengan TPL-TPL ini mempunyai KKL
akhir tidak sesuai (N). Selanjutnya, sebaran rekomendasi TPL pada Toposekuen di
lokasi penelitian disajikan pada Gambar 35, 36, 37, 38, 39 dan 40.
109
m dpl
Inceptisol 2 Sidomukti:
TPL padi lokal pola B dan C
Inceptisol 1 Sidomukti:
TPL padi lokal pola B dan C
Vertisol Sidomukti:
TPL padi lokal pola B dan C
70
60
elevasi
50
Vertisol Bandungrejo:
TPL padi lokal pola B dan C
40
0
m
2000
700
600
Jarak Horisontal
Gambar 35. Sebaran TPL dengan Rekomendasi Penuh pada Toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo
m dpl
Inceptisol Molombulahe:
TPL padi lokal pola A, B dan C
60
elevasi
50
Vertisol 2 Molombulahe:
TPL padi lokal pola B dan C
Vertisol 1 Molombulahe:
TPL padi lokal pola B dan C
40
30
0
m
Jarak Horisontal
800
1700
109
Gambar 36. Sebaran TPL dengan Rekomendasi Penuh pada Toposekuen di Molombulahe
110
m dpl
70
60
Vertisol Bandungrejo:
TPL padi lokal pola A
TPL padi-jagung pola B dan C
TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C
50
elevasi
Vertisol Sidomukti:
TPL padi lokal pola A
TPL padi-jagung pola B dan C
TPL padi-jagung-jagung pola B dan C
Inceptisol 1 Sidomukti:
TPL padi lokal pola A
TPL padi-jagung pola B dan C
TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C
Inceptisol 2 Sidomukti:
TPL padi lokal pola A
TPL padi-jagung pola B dan C
TPL padi-jagung-jagung pola B dan C
40
0
m
2000
700
600
Jarak Horisontal
Gambar 37. Sebaran TPL dengan Rekomendasi Bersyarat pada Toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo
Inceptisol Molombulahe:
TPL padi lokal pola A
TPL padi-jagung pola B dan C
TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C
m dpl
60
elevasi
50
Vertisol 2 Molombulahe:
TPL padi-jagung pola B dan C
TPL padi-jagung-jagung pola C
Vertisol 1 Molombulahe:
TPL padi lokal pola A
TPL padi-jagung pola B dan C
40
30
0
m
Jarak Horisontal
800
1700
Gambar 38. Sebaran TPL dengan Rekomendasi Bersyarat pada Toposekuen di Molombulahe
110
111
m dpl
Inceptisol 2 Sidomukti:
TPL padi-jagung pola A
TPL padi-jagung-jagung pola A
Inceptisol 1 Sidomukti:
TPL padi-jagung pola A
60
50
Vertisol Bandungrejo:
TPL padi-jagung pola A
elevasi
Vertisol Sidomukti:
TPL padi-jagung pola A
TPL padi-jagung-jagung pola A
70
40
0
m
2000
700
600
Jarak Horisontal
Gambar 39. Sebaran TPL yang Tidak Rekomendasi pada Toposekuen di Sidomukti dan Bandungrejo
m dpl
Inceptisol Molombulahe:
-
60
Vertisol 2 Molombulahe:
TPL padi lokal pola A
TPL padi-jagung pola A
TPL padi-jagung-jagung pola A dan B
50
elevasi
Vertisol 1 Molombulahe:
TPL padi-jagung pola A
TPL padi-jagung-jagung pola A, B dan C
40
30
0
m
Jarak Horisontal
800
1700
Gambar 40. Sebaran TPL yang Tidak Rekomendasi pada Toposekuen di Molombulahe
111
112
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan
1.
Semua pedon telah berkembang dengan adanya horison B tetapi pedon TSI
lebih berkembang dibanding TSTH dan TLK. Pedon TSI telah mengalami
pelapukan lebih intensif dibanding TSTH dan TLK, walaupun belum lanjut.
Proses pembentukan tanah utama pada pedon TSTH, TSI dan TLK, yaitu:
eluviasi, iluviasi, liksiviasi, pedoturbasi, braunifikasi dan gleisasi, kecuali
pedon TLK dari Molombulahe yang tidak mengalami proses gleisasi.
2.
Faktor utama pembentuk tanah semua pedon adalah iklim, umur, topografi
dan aktifitas manusia.
3.
Pedon PNS1 diklasifikasikan sebagai Endoaquert Ustik, halus, smektitik,
isohipertermik; pedon PNS2 diklasifikasikan sebagai Endoaquept Vertik,
halus, smektitik, isohipertermik; pedon PNS3 diklasifikasikan sebagai
Epiaquept Vertik, halus, smektitik, isohipertermik; pedon PNS-LK
diklasifikasikan sebagai Eutrudept Tipik, berlempung halus, smektitik,
isohipertermik; pedon PNB diklasifikasikan sebagai Epiaquert Ustik, halus,
campuran, aktif, isohipertermik; pedon PNM1 diklasifikasikan sebagai
Endoaquert
Ustik,
halus,
smektitik,
isohipertermik;
pedon
PNM2
diklasifikasikan sebagai Endoaquert Ustik, halus, smektitik, isohipertermik;
pedon PNM3 diklasifikasikan sebagai Epiaquept Aerik, halus, smektitik,
isohipertermik; dan pedon PNM-LK diklasifikasikan sebagai Eutrudept
Tipik, halus, smektitik, isohipertermik.
4.
Kelas kesesuaian lahan (KKL) untuk TPL padi lokal paling tinggi adalah
sangat sesuai (S1) dan terendah tidak sesuai dengan faktor pembatas yang
sama (Nna). TPL padi-jagung dan TPL padi-jagung-jagung, KKL tertinggi
adalah sesuai marjinal dengan faktor pembatas ketersediaan hara dan air
(S3na dan S3wa), sementara terendah tidak sesuai dengan faktor pembatas
ketersediaan air dan hara (Nna dan Nwa). Potensi TSTH relatif sama dengan
TSI. Rekomendasi TPL penuh terdiri dari TPL padi lokal pola B dan C,
kecuali Inceptisol Molombulahe terdiri dari TPL padi lokal pola A, B dan C.
TPL-TPL sisa direkomendasikan bersyarat dan tidak direkomendasikan.
113
6.2
Saran
1.
Penggunaan Vertisol maupun Inceptisol dengan sifat vertik hendaknya
mempertimbangkan karakteristik fisik tanah, terutama sifat mengembang
(swelling) dan mengkerutnya (shringking). Upaya yang dapat dilakukan
antara lain dengan menjaga kelembaban tanah dan penambahan bahan
organik, baik secara in situ (jerami padi) maupun ex situ (sumber luar).
2.
Pilihan penggunaan lahan hendaknya mengacu pada besar kecilnya faktor
pembatas utama penggunaan lahan tersebut. Untuk faktor pembatas
ketersediaan air relatif sukar diperbaiki pada tingkat pengetahuan dan
kemampuan petani saat ini. Sedangkan faktor pembatas ketersediaan hara
dapat diperbaiki dengan penambahan pupuk anorganik sesuai kebutuhan
optimal masing-masing komoditi yang diusahatanikan.
114
DAFTAR PUSTAKA
Allen BL, BF Hajek. 1989. Mineral occurance in soil environment. Di dalam: JB
Dixon and SB Weed (Eds); Minerals in soil environtments. Soil Sci Soc Am.
Madison, Wisconsin, 199-278.
Allen RG, Pereira LS, Raes D, Smith M. 1998. Crop evapotranspiration:
guidelines for computing crop water requirement. Rome: FAO p.300.
Abdullah TS. 2006. Buku lapang untuk pendekripsian dan pengambilan contoh
tanah berdasarkan Taksonomi Tanah USDA. Bogor: Departemen Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor.
Aqil M, IU Firmansyah, M Akil. 2008. Pengelolaan air tanaman jagung. Di
dalam: Jagung; teknik produksi dan pengembangan. Maros: Balai Penelitian
Serealia Departemen Pertanian RI.
Arabia T. 2009. Karakteristik tanah sawah pada toposekuen berbahan induk
volkan di daerah Bogor-Jakarta [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Black CA. 1967. Soil-plant relationships. New York: John Wiley and Sons.
Birkeland PW. 1974. Pedology, weathering and geomorphological research. New
York: Oxford University Press.
Buol SW, FD Hole, RJ McCracken. 1980. Soil genesis and classification. 2nd Ed.
the Iowa State Univ Press, Ames.
Briendly GW, CC Kao, JL Harison, M Lipsicas, R Raythatha. 1986. Relation
between structural disorder and other characteristics of kaolinite and dickites.
Clays and Clay Mineral 34:239-249.
Blume HP. 1988. The fate of iron during soil formation in humed-temperate
environments. Di dalam: Stucki JW, BA Goodman, U Schwertmann (Eds).
iron in soils and clay minerals. D Riedel Publ Co. Dordrecht 794-777.
Borchardt GA. 1989. Montmorillonite and other smectite minerals. Di dalam: JB
Dixon and SB Weed (Eds); Minerals in soil environtments. Soil Sci Soc Am.
Madison, Wisconsin.
Bohor BF, AL Meier. 1990. Rare earth element abudance of tonsteins and
cretaceous-tertiary claystones by introduction couple plasma mass
spectrometry. Denver USA. Lunar and Planetary Institute NASA LPSC XXI:
109-110
Bahcri S, Sukido, Ratman N. 1993. Peta geologi lembar tilamuta, Sulawesi Skala
1 : 250.000. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
[BP2TP] Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2002.
Pemilihan farming system zone penelitian, pengkajian dan diseminasi
teknologi pertanian di BP2TP Provinsi Gorontalo. Laporan Hasil Penelitian.
Bogor: BP2TP Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Departemen
Pertanian RI.
115
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Indonesia tahun 2004. Jakarta: BPS
Republik Indonesia.
[BPS] Badan Pusat Statistik, Provinsi Gorontalo. 2008. Gorontalo dalam angka
tahun 2005/2006. Gorontalo: BPS Provinsi Gorontalo.
[BPS] Badan Pusat Statistik, Kabupaten Boalemo. 2008. Kabupaten boalemo
dalam angka tahun 2007/2008. Tilamuta: BPS Kabupaten Boalemo.
[BPS] Badan Pusat Statistik, Kabupaten Gorontalo. 2008. Kabupaten gorontalo
dalam angka tahun 2007/2008. Limboto: BPS Kabupaten Gorontalo.
Chesters G, OJ Ottoe, ON Allen. 1957. Soil aggregation in relation to various soil
constituents. Soil Science Society of America Proc. 21 : 276.
Dudal R, M Soepraptohardjo. 1957. Soil classification in Indonesia. Bogor: Cont.
Gen Agr. Res. Sta. No. 148.
Driessen. 1971. Kesesuaian lahan secara parametrik. Bogor: Lembaga Penelitian
Tanah.
De Coninck F. 1974. Physico-chemical aspect of pedogenesis. Belgium: State
University of Ghent.
Desaunettes JR. 1977. Catalogue of landform for Indonesia. Working Paper No
13. Bogor: Soil Research of Indonesia.
Dent FJ. 1978. Land suitability classification. Di dalam: IRRI; soil and paddy. Los
Banos, Philippines. 273-294.
Donker NHW. 1987. A Computer programme to calculate water balance. lecture
note. Netherlands: ITC Enschede.
Dixon JB. 1989. Kaolin and serpentine group minerals. Di dalam: JB Dixon and
SB Weed (Eds); Minerals in soil environtments. Soil Sci Soc Am. Madison,
Wisconsin, 467-525.
Driessen PM, R Dudal . 1989. Lecture note on geography, formation, properties
and use of major soils of the world. Agricultural University Wageningen the
Netherlands and Khatolieke Universiteit Leuven, Belgium.
Djaenuddin D, Hendrisman M, Hardjosusastro S, Hidayat A. 2003. Petunjuk
Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Jakarta: Balai Penelitian
Tanah Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian RI.
Djaenuddin D, Hendrisman M. 2005. Evaluasi lahan secara kuantitatif: studi
kasus pada tanaman jagung, kacang tanah dan kacang hijau di daerah
paguyaman Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Jurnal Tanah dan
Lingkungan 7:27-35.
Departemen Pertanian RI. 2008. Produksi padi nasional. Jakarta: Departemen
Pertanian RI.
Edmeades G, HR Lafitte, J Balanos, S Chapman, M Banziger, J Deutsch. 1994.
Developing maize that tolerates drought or low nitrogen condition. Maize
Program Special Report. Mexico: CIMMYT DF.
116
[FAO] Food and Agriculture Organization, the United Nation. 1976. A framework
for land evaluation. Soils Bulletin 32:12-16.
[FAO] Food and Agriculture Organization, the United Nation. 1985. Guidelines:
land evaluation for irrigated agriculture. Soils Bulletin 55: 231.
[FAO] Food and Agriculture Organization, the United Nation. 1991. Guidelines:
land evaluation for extensive grazing. Soils Bulletin 58: 158.
[FAO] Food and Agriculture Organization, the United Nation. 1995. Planning for
sustainable use of land resources: towards a new approach. FAO Land and
Water Bulletin 2. Villa belle terme di Caracalla: 00100 Rome Italy.
Fadly AF. 1993. Efisiensi Penggunaan Pupuk Nitrogen Untuk Pertanaman Jagung
pada Tanah Grumusol Jeneponto dan Latosol Bulukumba. Makalah
Disampaikan pada Seminar Mingguan Balittan Maros.
Firmansyah MA. 2007. Karakteristik dan resiliensi tanah terdegradasi di lahan
kering Kalimantan Tengah [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Ghildyal BP. 1978. Effect of compaction and puddling on soil physical properties
and rice growth. Di dalam: Soils and rice. Los Banos Laguna Phillipines:
IRRI. hlm 317-336.
Gong Z. 1986. Origin, evolution and classification of paddy soils in china.
Advanced in Soil Science 5:179-200.
Goenadi DH, KH Tan. 1989. Micromorphology and mineralogy of illuviated clay
in a Davidson soil. Soil Sci Soc Am J 53:967-971.
Gupta PC, O’toole CJ. 2000. Upland paddy a global perspective. Los Banos
Laguna Phillipines: IRRI. hlm 360.
Howeler RH. 1973. Iron-induced oranging deseases of rice in relation of physicochemical changes in a flooded oxisols. Soil Sci Soc Am J 37:898-903.
Hurlbut CSJr, C Klein. 1977. Manual of mineralogy (after JD Dana). 19th Edition.
New York: John Wiley and Sons.
Howard RR. 1990. A history of sustainable agriculture. Di dalam: Edwards CA, R
Lal, P Madden, RH Miller, G House. 1990. Sustainable agriculture systems.
Ankeny Iowa: Soil and Water Conservation Society, 3-19.
Harjowigeno S. 1993. Klasifikasi tanah dan pedogenesis. Edisi ke-1 Cetakan ke-1.
Jakarta: Akademika Pressindo.
Hillel D. 1998. Pengantar fisika tanah. Terjemahan Intriduction to soil physisc
oleh RH Susanto, RH Purnomo. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.
Jackson MC. 1968. Weathering of primery and secondary minerals in soil.
Adeleide of Australia: Trans Int. Cougr. Soil Sci 9th 4: 281-292.
Juo ASR, F Adams. 1986. Chemistry of LAC soils. Proc of a low activity clay
(LAC) soils. SMSS technical monograph No 14:37-62.
Jumberi A, Imberan M, Nurita. 1994. Pemupukan kalium padi gogo di lahan
kering beriklim basah Kalimantan Selatan. Buletin Penelitian Kindai 5:23-30.
117
Koenigs FFFR. 1950. A ‘sawah’ profile near Bogor (Java). Bogor: Contri of
General Agriculture Research Station.
Kleis HJ, JB Fahrenbacher. 1973. Loess distribution as revealed by mineral
variations. Soil Sci Soc Am J 37:291-295.
Kanno I. 1978. Genesis of rice soils with special reference to profil development.
Di dalam : Soils and rice. Los Banos Laguna Philippines: IRRI. hlm 237-254.
Karim MJ, WA Adams. 1984. Relationships between sesquoxides, kaolinite, and
phosphate sorption in a catena of oxisols in Malawi. Soil Sci Soc Am J
48:406-409.
Kasryno, F. 2002. Perkembangan produksi dan konsumsi jagung dunia selama
empat dekade yang lalu dan implikasinya bagi Indonesia. Makalah
disampaikan pada Diskusi Nasional Agribisnis Jagung di Bogor, 24 Juni
2002. Bogor: Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian RI.
Kyuma K. 2004. Paddy soil science. Kyoto Jepang dan Victoria Australia: Kyoto
University Press dan Trans Pacific Press.
Kumarawarman B. 2008. Lingkungan pengendapan lakustrin [tesis]. Yogyakarta:
Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Lim CH, ML Jackson, RD Koons, PA Helmke. 1980. Kaolins: sources of
differences in cation-exchange capacities and cesium retention. Clays Clay
Mineralogy 28:223-229.
Lesniawati E, B Mulyanto, D Tjahyandari. 2000. Perimbangan unsur hara penting
pada sistem tanah sawah. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 3:17-24.
Leiwakabessy F, A Sutandi. 2004. Diktat kuliah pupuk dan pemupukan. Bogor:
Departemen Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. hlm 208.
Mohr EGJ, FA Van Baren, J Van Schuylenborgh. 1972. Tropical soil. Third
Edition. Hague Paris-Jakarta.
Merchant RJ. 1978. Metallogenesis in the thames–tapu area coromandel
peninsula, New Zealand [Ph.D Thesis]. University of Auckland.
Moormann FR. 1978. Morphology and classification of soils on which rice is
grown. Di dalam: Soils and rice. Los Banos Laguna Philippines: IRRI. hlm
255-274.
Moormann FR, Breemen NV. 1978. Rice: soil, water, land. Los Banos Laguna
Philippines: IRRI.
Nettleton WD, KW Flach, RE Nelson. 1970. Pedogenic weathering of tonalite in
southern California. Geoderma 4: 387-402.
Notohadiprawiro KRTM, S Soekodarmodjo, S Wisnubroto, E Sukana, M Dradjat.
2006. Pelaksanaan irigasi sebagai salah satu unsur hidromeliorasi lahan.
Yogyakarta: Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
Oldeman LR, Darmiyati, S. 1977. An agroclimatic map of sulawesi scale 1 :
2.500.000. Bulletin No ke-60. Bogor: Contri Centre Research Institute of
Agriculture.
118
[PPT] Pusat Penelitian Tanah. 1983. Terms of reference survei kapabilitas tanah
no 22/1983. Bogor: Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi
(P3MT) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen
Pertanian RI.
Paddy TJJr, SW Buol, SB Weed. 1985. Soil saprolite profiles derived from mafic
rock in north California piedmon; chemical, morphological and mineralogical
characteristics and transformation. Soil Sci Soc Am J 49: 171-178.
Prasetyo BH. 1990. Penuntun analisa mineral tanah. Bogor: Pusat Penelitian dan
Agroklimat.
Prasetyo BH, M Soekardi, H Subagyo. 1996. Tanah-tanah sawah intensifikasi di
jawa: susunan mineral, sifat kimia dan klasifikasinya. Pemberitaan Penelitian
tanah dan Pupuk 14:12-24.
Prasetyo BH, RJ Gilkes. 1997. Properties of kaolinite from oxisols and alfisols in
west java. Agrivita 20 (4): 220-227.
Pirngadi K, AK Makarim. 2006. Peningkatan produktivitas padi pada lahan sawah
tadah hujan melalui pengelolaan tanaman terpadu. Jurnal Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan 25: 116-123.
Peraturan Menteri Pertanian RI No. 40/permentan/OT.140/04/2007 Tanggal 11
April 2007 tentang rekomendasi pemupukan npk pada padi sawah spesifik
lokasi.
Prasetyo BH. 2007. Perbedaan sifat-sifat tanah vertisol dari berbagai bahan induk.
Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 9:20-31.
Prasetyo BH, H Suganda, A Kasno. 2007. Pengaruh bahan volkan pada sifat tanah
sawah. Jurnal Tanah dan Iklim 259:45-57.
Prasetyo BH, D Setyorini. 2008. Karakteristik tanah sawah dari endapan aluvial
dan pengelolaannya. Jurnal Sumberdaya Lahan 2:1-14.
Ruhe RV. 1956. Geomorphic surface and the nature of soil. Soil Sci Journal
82:441-445.
Rachim DA. 1994. Karakterisasi tanah berliat aktivitas rendah dan pengaruh besi
oksida terhadap beberapa sifat tanah [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Rachim DA. 2003. Mengenal taksonomi tanah. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas
pertanian Institut Pertanian Bogor.
Rachim DA. 2007. Dasar-dasar genesis tanah. Bogor : Departemen Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan Fakultas pertanian Institut Pertanian Bogor.
Rayes ML. 2000. Karakteristik, genesis dan klasifikasi tanah sawah berasal dari
bahan volkan merapi [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Rayes ML. 2007. Metode inventarisasi sumberdaya lahan. Yogyakarta: CV. Andi
Offset.
119
Schmidt FH, JHA Ferguson. 1951. Rainfall type based on wet and dry period
ratios for indonesia with western new guinea. Verh No.42. Jakarta: Jawatan
Meteorologi dan Geofisik.
Soepraptohardjo M. 1961. Tanah merah di Indonesia. Pemberitaan Balai Besar
Penyuluhan Pertanian 161:1-22.
Salter PJ, Berry G, William JB. 1966. The influence of texture on moisture
characteristics of soils; quantitative relationships between particle size,
composition and available-water capacity. Jurnal of Soil Science 17(1): 93-98
Segalen P. 1971. Metallic oxides and hydroxides in soil warm and humid areas of
the world: formation, identification, evolution. Di dalam: Eswaran DH. Soils
and tropical weathering. Paris: UNESCO 25-38.
Soepardi G. 1983. Sifat dan ciri tanah. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Staf Peneliti Pusat Penelitian Tanah. 1983. Term of referrence klasifikasi
kesesuaian lahan. Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi
(P3MT) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen
Pertanian RI. Bogor: PPT.
Sudjito D. 1986. Pengaruh status air tersedia terhadap evapotranspirasi, koefisien
tanaman dan pertumbuhan empat varitas padi gogo [Skripsi]. Bogor: Jurusan
geofisika dan meteorologi fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor.
Suwardjo, Prawirosumantri J. 1987. Land degradation in Indonesia: data
collection and analysis. Di dalam: report of expert consultation of the asian
network on problem soil. Bangkok: Thailand 25 to 29 October 1993. RAPA
publ 1994/3. FAO p.121-136.
Schwertmann U, RM Taylor. 1989. Iron oxides. Di dalam: JB Dixon and SB
Weed (Eds); Minerals in soil environtments. Soil Sci Soc Am. Madison,
Wisconsin, 379-438.
Sys C, E van Ranst, Debayeve J. 1991. Land evaluation part I: principles in land
evaluation and crop production calculations. Brussel-Belgium: Agricultural
publication no 7. hlm 274.
Sanchez PA. 1993. Sifat dan pengelolaan tanah tropika. Bandung: ITB.
Sitorus RP. 1998. Evaluasi sumberdaya lahan. Bandung: Tarsito.
Sirappa MP. 2002. Penentuan batas kritis dan dosis pemupukan N untuk tanaman
jagung di lahan kering pada tanah typic usthorthents. Jurnal Ilmu Tanah dan
Lingkungan 3(2): 25-37.
Subandi, I Manwan. 2003. Teknologi dan peningkatan produksi jagung di
Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan
Departemen Pertanian RI.
Setyorini D, LR Widowati, S Rochayati. 2004. Teknologi pengelolaan hara tanah
sawah intensifikasi. Di dalam: Agus F, A Adimiharja, S Harjowigeno, AM
Fagi, W Hartatik (Eds); Tanah sawah dan teknologi pengelolaannya. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 137-168.
120
Soil Survey Staff. 1975. Soil taxonomy: a basic system of soil classification fot
making and interpreting soil surveys. Agric Handbook No ke-436.
Washington DC: USDA-Soil Conservation Service Agric. U.S Goverment
Printing Office.
Soil Survey Division Staff. 1993. Soil survey manual. Handbook No ke-18.
Washington DC: USDA.
Soil Survey Staff. 1998. Key of soil taxonomy. Ed ke-8. Washington DC: USDANatural Resources Concervation Service.
Soil Survey Staff. 1999. Soil taxonomy: a basic system of soil classification fot
making and interpreting soil surveys. 2nd Ed. Agric Handbook No ke-436.
Washington DC: USDA-Soil Conservation Service Agric. U.S Goverment
Printing Office.
Soil Survey Staff. 2006. Key of soil taxonomy. Ed ke-10. Washington DC:
USDA-Natural Resources Concervation Service.
Soil Survey Staff. 2010. Key of soil taxonomy. Ed ke-11. Washington DC:
USDA-Natural Resources Concervation Service.
Syarifuddin, Saidah, A Ardjanhar, C Manopo, D Setyiorini. 2004. Kajian
rekomendasi pemupukan P dan K untuk tanaman jagung di lahan kering. Palu
Biromaru Sulawesi Tengah: Balai Pengkajian Teknologi (BPTP).
Suharta N. 2007. Sifat dan karakteristik tanah dari batuan sedimen masam di
Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal Tanah dan Iklim 25:11-26.
Suharta N, BH Prasetyo. 2008. Susunan mineral dan sifat fisiko-kimia tanah
bervegetasi hutan dari batuan sedimen masam di Provinsi Riau. Jurnal Tanah
dan Iklim 28:1-14.
Suyamto, Toha HM, P Hamdan, MY Sumaullah, TS Kadir, F Agus. 2008.
Petunjuk teknis pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah tadah hujan.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian RI.
Thornthwaite CW, JR Mathers. 1957. Instruction and table for computing
potential evapotranspiration and water balance. Conterto: Publ. Clim. Rol. X
No.3.
Tisdale SL, WL Nelson. 1975. Soil fertility and fertilizers. Fourth Edition. New
York: MacMillan Publ. Co, Inc.
Tan KH. 1998. Principles of soil chemistry. Third Edition, Revised and Expanded.
Basel Swiztzerland: Marcel Dekker AG, Inc.
Uehara G, G Gilman. 1981. The mineralogy, chemistry, and physics of tropical
soils with variable charge clays. Colorado USA: Westriew Press Inc Boulder.
Van Bemmelen RW. 1949. The geology of Indonesia; general geology of
indonesia and adjacent archipelagoes. Vol ke-1A. Hague: Goverment Printing
Office.
Van Schuylenborgh J. 1971. Weathering and soil forming processes in the tropics.
Di dalam: Eswaran DH (Ed). Soils and tropical weathering. Paris: UNESCO
39-50.
121
Van Wambeke A. 1984. Application of the newhall model for the determination
of soil climate regimes in south-asia. The Fifth Asean Soil Conference
Proceeding D: 7.10-7.19.
Van Wambeke A, P Hastings, P Tolomeo. 1986. New simulation model (NSM)
for mositure regimes. New York: Dept Agric Bradfield Hall, Cornell
University.
Van Diepen CA, H Van Keulen, J Wolf, JAA Berkhout. 1991. Land evaluation:
from instuition to quantification, in Advaces in Soil Science, Stewart BA,
Editor. New York Springer, 139-203.
Wilson MJ, PW Cradwick. 1972. Occurance and interstratified kaolinitemontmorillonite in some scottish soils. Clay Mineralogy 9: 435-437.
Wade LJ, S Fukai, BK Samson, A Ali, MA Mazid. 1999. Rainfed lowland rice:
physical environment and cultivar requirements. Di dalam: Field Crop
Research 64:3-12. Manila: IRRI.
122
Lampiran 1 : Deskripsi Profil Tanah
a.
Pedon 1
: PNS1
Lokasi
Klasifikasi Tanah
Taksonomi (USDA)
PPT
FAO/UNESCO
Bahan Induk
Posisi Fisiografik
Topografi
Elevasi
Drainase
Kedalaman Air Tanah
Vegetasi
Kedalaman
(cm)
0-12
: Desa Sidomukti, Mootilango
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Endoaquert Ustik
Grumusol Eutrik
Cambisol
Endapan Danau
Kaki Lereng, Depresi
Datar-Landai; Lereng <2%
58 m dpl
Buruk
Dangkal
Padi (Oryza sativa L.)
Horison
Uraian
Apg1
Kelabu (10YR 5/1); lempung berliat; struktur masif;
sangat lekat, plastis; perakaran halus, banyak; jelas rata
12-31
Apg2
Kelabu (10YR 5/1); lempung berliat; struktur gumpal
bersudut, halus, lemah; sangat lekat, plastis; karatan
coklat (10YR 5/3), biasa, halus, jelas, bintik, tajam;
perakaran halus, banyak; berangsur rata
31-53
Bwg1
Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur gumpal bersudut
sedang, lemah; sangat lekat, plastis; perakaran halus,
sedikit; baur rata
53-71/92
Bwg2
Kelabu (10YR 6/1); liat; struktur gumpal bersudut,
kasar, lemah; sangat lekat, plastis; jelas berombak.
71/92-119
Bwssg
Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur gumpal bersudut,
sedang, sedang; sangat lekat, plastis; ada bidang kilir;
karatan coklat (10YR 5/3), biasa, halus, jelas, tabung,
jelas; baur rata.
119-150
BCg1
Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur gumpal bersudut,
kasar, kuat; sangat lekat, plastis; karatan coklat (10YR
5/3), biasa, halus, jelas, tabung, jelas; jelas rata.
150-200
BCg2
Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; sangat lekat, sangat
gembur; baur rata.
123
b.
Pedon 2
: PNS2
Lokasi
Klasifikasi Tanah
Taksonomi (USDA)
PPT
FAO/UNESCO
Bahan Induk
Posisi Fisiografik
Topografi
Elevasi
Drainase
Kedalaman Air Tanah
Vegetasi
Kedalaman
(cm)
0-10
: Desa Sidomukti, Mootilango
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Endoaquept Vertik
Gleisol Vertik
Cambisol
Endapan Danau
Punggung Lereng, Patahan, Depresi
Berombak; Lereng 4%
59 m dpl
Buruk
Dangkal
Padi (Oryza sativa L.)
Horison
Uraian
Apg1
Coklat kekelabuan (10YR 5/2); lempung; struktur masif;
lekat, plastis; perakaran halus, banyak; berangsur rata.
10-31
Apg2
Coklat kekelabuan (10YR 5/2); lempung; struktur
gumpal bersudut, sedang, lemah; lekat, plastis; perakaran
halus, banyak; jelas rata.
31-64
Bwg1
Kelabu terang kecoklatan (10YR 6/2); lempung berliat;
struktur gumpal bersudut, sedang, lemah; sangat lekat,
plastis; perakaran halus, sedang; baur nyata.
64-84/103
Bwg2
Kelabu terang kecoklatan (10YR 6/2); liat; struktur
gumpal bersudut, sedang, lemah; sangat lekat, plastis;
karatan coklat (10YR 5/3), sedikit, halus, baur, bintik,
tajam; jelas berombak.
84/103-150
Bwg3
Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur gumpal bersudut,
sedang, sedang; sangat lekat, plastis; karatan coklat
(10YR 5/3), sedikit, halus, baur, bintik, tajam; baur rata.
150-200
BCssg1
Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur sedang, sedang,
gumpal bersudut, sangat lekat, sangat plastis, ada bidang
kilir, baur rata.
>200
BCssg2
Kelabu gelap (10YR 4/1), liat, struktur gumpal bersudut,
sedang, sedang; sangat lekat, sangat plastis; ada bidang
kilir; baur rata.
124
c.
Pedon 3
: PNS3
Lokasi
Klasifikasi Tanah
Taksonomi (USDA)
PPT
FAO/UNESCO
Bahan Induk
Posisi Fisiografik
Topografi
Elevasi
Drainase
Kedalaman Air Tanah
Vegetasi
Kedalaman
(cm)
0-10
: Desa Sidomukti, Mootilango
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Epiaquept Vertik
Gleisol Eutrik
Cambisol
Endapan Danau
Puncak Lereng, Patahan, Depresi
Berombak; Lereng 6%
62 m dpl
Buruk
Dangkal
Padi (Oryza sativa L.)
Horison
Uraian
Apg
Kelabu sangat gelap (7,5YR 3/1); lempung berliat;
struktur masif; sangat lekat, teguh; perakaran halus,
banyak, sedang, banyak, kasar, sedikit; nyata rata.
10-34
Bw
Coklat (7,5YR 4/3); lempung berliat; struktur gumpal
bersudut, halus, lemah; agak lekat, teguh; perakaran
halus, banyak; nyata berombak.
34-61
Bwg1
Coklat (7,5YR 5/2); liat; struktur gumpal bersudut,
sedang, lemah; agak lekat, teguh; perakaran halus,
banyak, sedang, banyak, kasar, sedikit; nyata berombak.
61-86
Bwg2
Coklat kemerah mudaan (7,5YR 6/2); lempung; struktur
gumpal bersudut, kasar, lemah; agak lekat, teguh;
perakaran halus, banyak, sedang, banyak, kasar, sedikit;
nyata berombak.
86-120
Bwssg
Coklat kemerah mudaan (7,5YR 7/2); liat; struktur
gumpal bersudut, sedang, sedang; agak lekat, teguh; ada
bidang kilir; karatan kuning kemerahan (7,5YR 7/6),
banyak, sedang, baur, bintik, jelas; perakaran halus,
banyak, sedang, banyak, kasar, sedikit; nyata berombak.
120-150
Bwss
Merah muda (7,5YR 7/3); liat; struktur gumpal bersudut,
kasar, kuat; tidak lekat, teguh; ada bidang kilir; karatan
kuning kemerahan (7,5YR 7/8), banyak, sedang, baur,
bintik, jelas; perakaran halus, banyak, sedang, banyak,
kasar, sedikit; nyata berombak.
125
d.
Pedon 4
: PNS-LK
Lokasi
Klasifikasi Tanah
Taksonomi (USDA)
PPT
FAO/UNESCO
Bahan Induk
Posisi Fisiografik
Topografi
Evaluasi
Drainase
Kedalaman Air Tanah
Vegetasi
Kedalaman
(cm)
0-11
: Desa Sidomukti, Mootilango
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Eutrudept Tipik
Kambisol Tipik
Cambisol
Endapan Danau
Kaki Lereng, Datar
Datar; Lereng <2%
60 m dpl
Baik
Dangkal
Kelapa (Cocos nucivera L.)
Horison
Uraian
Ap1
Coklat (7,5YR 4/3); lempung; struktur masif; lekat,
plastis, gembur; perakaran halus, banyak, sedang,
banyak, kasar, sedikit; berangsur rata.
11-29
Ap2
Coklat (7,5YR 4/3); lempung berdebu; struktur gumpal,
halus-sedang, lemah; lekat, plastis, gembur; perakaran
halus, banyak, sedang, banyak, kasar, sedikit; baur rata.
29-61
Bw1
61-91
Bw2
Coklat (7,5YR 4/4); lempung berdebu; struktur gumpal
bersudut, halus-sedang, sedang; lekat, plastis, gembur;
perakaran halus, banyak, sedang, banyak, kasar, sedikit;
nyata berombak.
Coklat (7,5YR 4/4); lempung berpasir; struktur gumpal,
halus-sedang, lemah; agak lekat, agak plastis, gembur;
perakaran halus, banyak, sedang, banyak, kasar, sedikit;
baur rata.
91-130
Bw3
Coklat (7,5YR 5/4); lempung berdebu; struktur gumpal,
halus-sedang, lemah; lekat, plastis, gembur; perakaran
halus, banyak, sedang, sedikit, kasar, sedikit; baur rata.
130-200
BC1
Coklat kuat (7,5YR 5/6); lempung; struktur gumpal,
halus-sedang, lemah; lekat, plastis, gembur; perakaran
halus, sedikit, sedang, sedikit, kasar, sedikit; jelas rata.
>200
BC2
Coklat kuat (7,5YR 5/6); lempung; struktur gumpal,
halus-sedang, lemah; lekat, plastis, gembur; karatan
coklat kemerahan (5YR 4/4), banyak, sedang, baur,
tabung, jelas; perakaran halus, sedikit, sedang, sedikit,
kasar, sedikit; baur rata.
126
e.
Pedon 5
: PNM1
Lokasi
Klasifikasi Tanah
Taksonomi (USDA)
PPT
FAO/UNESCO
Bahan Induk
Posisi Fisiografik
Topografi
Elevasi
Drainase
Kedalaman Air Tanah
Vegetasi
Kedalaman
(cm)
0-21
: Desa Sosial, Paguyaman
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Endoaquert Ustik
Grumusol Eutrik
Cambisol
Endapan Danau
Kaki Lereng, Depresi
Datar-Landai; Lereng <2%
42 m dpl
Buruk
Dangkal
Padi (Oryza sativa L.)
Horison
Uraian
Apg1
Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur masif; agak lekat,
plastis; karatan coklat (10YR 4/3), sedikit, halus, baur,
bintik, tajam; perakaran halus, banyak; berangsur rata.
21-37
Apg2
Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur gumpal bersudut, halus,
lemah; agak lekat, plastis; perakaran halus, sedikit;
berangsur rata.
37-60
Bwg1
Kelabu (10YR 6/1); liat; struktur gumpal bersudut, halus,
sedang; agak lekat, plastis; berangsur rata.
60-80
Bwg2
Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur prismatik, halus, lemah;
agak lekat, plastis; perakaran halus, banyak; berangsur
rata.
80-103
Bwg3
Kelabu (10YR 5/1); lempung berliat; struktur prismatik,
halus, lemah; lekat, plastis; nyata rata.
103-200
BCg
Kelabu terang (10YR 7/1); liat; struktur prismatik, halus,
lemah; lekat, plastis; karatan coklat terang (7,5YR 6/3),
sedang, sedang, jelas, bintik, jelas; nyata rata.
127
f.
Pedon 6
: PNM2
Lokasi
Klasifikasi Tanah
Taksonomi (USDA)
PPT
FAO/UNESCO
Bahan Induk
Posisi Fisiografik
Topografi
Ketinggian dari Laut
Drainase
Kedalaman Air Tanah
Vegetasi
Kedalaman
(cm)
0-14
: Desa Sosial, Paguyaman
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Endoaquert Ustik
Grumusol Eutrik
Cambisol
Endapan Danau
Punggung Lereng, Depresi
Berombak; Lereng 4%
50 m dpl
Buruk
Dangkal
Padi (Oryza sativa L.)
Horison
Uraian
Apg
Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur masif; agak lekat,
plastis; perakaran halus, banyak, sedang banyak, kasar
banyak; berangsur rata.
14-30
Bwg
Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur gumpal bersudut,
sedang, lemah; agak lekat, plastis; karatan coklat (10YR
5/3), banyak, sedang, baur, bintik, tajam; perakaran halus
banyak, sedang sedikit; jelas rata.
30-56
Bssg1
Coklat kelabu gelap (10YR 4/2); liat; struktur prismatik,
sedang, lemah; lekat, plastis; ada bidang kilir; perakaran
halus, sedikit, sedang sedikit; berangsur rata.
56-87
Bssg2
Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur prismatik, halus,
lemah; agak lekat, plastis; ada bidang kilir; berangsur
rata.
87-120
Bssg3
Coklat kelabu gelap (10YR 4/2); liat; struktur prismatik,
sedang, lemah; agak lekat, plastis; ada bidang kilir;
karatan coklat kuning gelap (10YR 4/4), sedikit, halussedang, baur, bintik, tajam; perakaran halus, sedikit,
sedang sedikit; berangsur rata.
120-200
BCssg
Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur prismatik, halus,
lemah; agak lekat, plastis; ada bidang kilir; berangsur
rata.
128
g.
Pedon 7
: PNM3
Lokasi
Klasifikasi Tanah
Taksonomi (USDA)
PPT
FAO/UNESCO
Bahan Induk
Posisi Fisiografik
Topografi
Elevasi
Drainase
Kedalaman Air Tanah
Vegetasi
Kedalaman
(cm)
0-10
: Desa Sosial, Paguyaman
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Epiaquept Aerik
Gleisol Eutrik
Cambisol
Endapan Danau
Puncak Lereng, Depresi
Berombak; Lereng 6%
61 m dpl
Baik
Dalam
Padi (Oryza sativa L.)
Horison
Uraian
Apg1
Kelabu gelap (7,5YR 4/1); lempung; struktur masif;
lekat, teguh; perakaran halus, banyak, sedang banyak,
kasar sedikit; jelas rata.
10-28
Apg2
Kelabu gelap (7,5YR 4/1); lempung; struktur gumpal
bersudut, sedang, lemah; lekat, teguh; karatan coklat
(7,5YR 5/4), sedang, halus, baur, bintik, tajam; perakaran
halus, banyak, sedang banyak, kasar sedikit; jelas rata.
28-54
Bwg
Coklat (7,5YR 4/2); lempung; struktur gumpal, sedang,
lemah; agak lekat, teguh; perakaran halus, sedang,
sedang sedikit; jelas rata.
54-81
Bw2
Coklat (7,5YR 4/3); lempung; struktur gumpal, sedang,
lemah; agak lekat, teguh; karatan hitam (7,5YR 2,5/1),
sedang, sedang, baur, bintik, tajam; perakaran halus,
sedikit; jelas rata.
81-100
BC1
Coklat (7,5YR 4/4); lempung berliat; struktur kolumnar,
sedang, sedang; lekat, teguh; karatan hitam (7,5YR
2,5/1), sedang, sedang, baur, bintik, tajam; perakaran
halus sedikit; jelas rata.
100-150
BC2
Coklat (7,5YR 5/3); lempung berliat; struktur kolumnar,
sedang, kuat; agak lekat, teguh; karatan coklat kuat
(7,5YR 5/6), sedang, sedang, baur, bintik, tajam;
perakaran halus, sedikit; jelas rata.
129
h.
Pedon 8
: PNM-LK
Lokasi
Klasifikasi Tanah
Taksonomi (USDA)
PPT
FAO/UNESCO
Bahan Induk
Posisi Fisiografik
Topografi
Elevasi
Drainase
Kedalaman Air Tanah
Vegetasi
Kedalaman
(cm)
0-11
: Desa Sosial, Paguyaman
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Eutrudept Tipik
Kambisol Eutrik
Cambisol
Endapan Danau
Punggung Lereng, Depresi
Berombak; Lereng 4%
50 m dpl
Baik
Dalam
Kelapa (Cocos nucivera L.)
Horison
Uraian
Apg
Kelabu sangat gelap (10YR 3/1); lempung berliat;
struktur masif; agak lekat, sangat teguh; perakaran halus,
banyak, sedang banyak, kasar, sedikit; jelas rata.
11-29
Ap2
Coklat (10YR 4/3); lempung berliat; struktur gumpal,
halus, kuat; agak lekat, sangat teguh; karatan merah
kekuningan (5YR 4/6), sedikit, halus, baur, bintik, tajam;
perakaran halus, banyak, sedang, banyak, kasar, banyak;
berangsur rata.
29-51
Bw1
Coklat kuning gelap (10YR 4/6); liat; struktur gumpal,
kasar, kuat; lekat, sangat teguh; karatan coklat
kekuningan (10YR 5/6), banyak, halus, baur, bintik,
jelas; perakaran halus, sedikit; berangsur rata.
51-73
Bw2
Coklat kuning gelap (10YR 4/6); liat berpasir; struktur
gumpal, kuat, kasar; agak lekat, sangat teguh; karatan
coklat kekuningan (10YR 5/6), banyak, halus, baur,
bintik, jelas; perakaran halus, sedikit; berangsur rata.
73-100
BC
Coklat kekuningan (10YR 5/4); liat, struktur gumpal,
kasar, kuat; agak lekat, sangat teguh; karatan kelabu
sangat gelap (10YR 3/1), banyak, halus, baur, bintik,
jelas; perakaran halus, sedikit; baur rata.
130
i.
Pedon 9
: PNB
Lokasi
Klasifikasi Tanah
Taksonomi (USDA)
PPT
FAO/UNESCO
Bahan Induk
Posisi Fisiografik
Topografi
Ketinggian dari Laut
Drainase
Kedalaman Air Tanah
Vegetasi
Kedalaman
(cm)
0-20
: Desa Bandung Rejo, Boliyohuto
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Epiaquert Ustik
Grumusol Eutrik
Cambisol
Endapan Danau
Kaki Lereng, Depresi
Datar; Lereng <2%
44 m dpl
Buruk
Dalam
Padi (Oryza sativa L.)
Horison
Uraian
Apg1
Kelabu kemerahan (2,5YR 6/1); lempung liat berdebu;
struktur masif; agak lekat, plastis; karatan coklat kuning
gelap (10YR 4/6), banyak, sedang, baur, bintik, tajam;
perakaran halus, banyak; nyata rata.
20-40
Apg2
Merah lemah (2,5YR 5/2); lempung liat berdebu; struktur
gumpal bersudut, halus, lemah; lekat, plastis; perakaran
halus, banyak; nyata berombak.
40-47
Bwg1
Merah pucat (2,5YR 6/2); lempung berliat; struktur
gumpal bersudut, halus, kuat; agak lekat, plastis;
berangsur rata.
47-59
Bw2
Merah (2,5YR 5/6); liat berdebu; struktur gumpal
bersudut, halus, kuat; lekat, plastis; berangsur rata.
59-107
Bw3
Merah (2,5YR 5/6); liat; struktur gumpal bersudut, halus,
lemah; sangat lekat, plastis; nyata rata.
107-119
BCg
Kelabu kemerahan (2,5YR 5/1); liat berdebu; struktur
gumpal, halus, lemah; sangat lekat, plastis; karatan coklat
kekuningan (10YR 5/6), banyak, kasar, baur, bintik,
tajam; berangsur rata.
119-150
BCssg1
Kelabu kemerahan gelap (2,5YR 4/1); liat; struktur datar,
halus, kuat; sangat lekat, plastis; ada bidang kilir;
berangsur rata.
150-200
BCssg2
Kelabu kemerahan gelap (2,5YR 3/1); liat; struktur datar,
halus, kuat; sangat lekat, plastis; ada bidang kilir;
berangsur rata.
131
Lampiran 2 : Susunan Mineral Fraksi Pasir Pada Pedon Pewakil yang Diteliti
Si02-organik
Lapukan mineral
Fragmen batuan
Gelas vulkanis
Albit
Oligoklas
Andesin
Labradorit
Ortoklas
Sanidin
Anortoklas
Hornblende hijau
Hornblende coklat
Augit
Hiperstin
Epidot
Turmalin
Andalusit
Enstatit
Monasit
PNS1 (Endoaquert Ustik)
Bwg2
53-71/93
2
Sp 21 37
BCg2
150-201
2
Sp 22 28
PNS2 (Endoaquept Vertik)
Bwg2 64-84/103
1
Sp 27 51
BCssg3
>201
1
Sp 20 60
PNM1 (Endoaquert Ustik)
Bwg1
37-60
6
Sp 25
5
PNM3 (Endoaquept Aerik)
Bwg
28-54
5
Sp 25 13
PNM-LK (Dystrudept Tipik)
Bw1
29-51
7
20
6
PNB (Epiaquert Ustik)
Bw1
40-47
2
Sp 27 12
Keterangan : Sp = sedikit; - = tidak terdapat.
Limonit
Kuarsa bening
Kuarsa keruh
Kedalaman
(cm)
Zirkon
Horison
Opak
Fraksi Total
1
-
-
2
2
17
28
Sp
-
4
4
Sp
Sp
Sp
Sp
1
4
1
2
3
3
1
Sp
8
4
-
Sp
Sp
Sp
-
1
1
Sp
-
-
1
Sp
Sp
-
-
Sp
-
11
4
-
2
1
1
1
Sp
2
1
5
Sp
2
4
3
Sp
Sp
1
1
-
-
-
1
Sp
Sp
-
Sp
Sp
-
Sp
-
1
7
-
3
-
1
4
5
1
Sp
9
1
-
-
32
-
-
Sp
-
-
-
Sp
3
-
5
Sp
2
11
4
3
Sp
19
-
-
-
9
-
-
1
-
1
-
1
5
-
2
-
Sp
2
2
Sp
Sp
13
Sp
-
-
40
-
-
1
-
1
Sp
2
38
Sp
5
Sp
-
Sp
2
7
1
Sp
-
Sp
Sp
3
-
-
Sp
-
131
132
Lampiran 3 : Kriteria Penilaian Sifat-Sifat Kimia Tanah
Sangat
Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat
Tinggi
C (%)
N (%)
C/N
P2O5 HCl (mg/100 g)*
P2O5 Bray (ppm)
P2O5 Olsen (ppm)
K2O HCl 25% (mg/100 g)
K-total (ppm)
KTK (me/100 g)
Susunan Kation :
K (me/100 g)
Na (me/100 g)
Mg (me/100 g)
Ca (me/100 g)
Kejenuhan Basa (%)
Kejenuhan Al (%)
<1,00
<0,1
<5
<10
<10
<4,5
<10
<100
<5
1,00-2,00
0,1-0,2
5-10
10-20
10-15
4,5-11,5
10-20
100-200
5-16
2,01-3,00
0,21-0,5
11-15
21-40
16-25
11,6-22,8
21-40
210-400
17-24
3,01-5,00
0,51-0,75
16-25
41-60
26-35
>22,8
41-60
410-600
25-40
>5,00
>0,75
>25
>60
>35
>60
>600
>40
<0,2
<0,1
<0,4
<2
<20
<10
0,4-0,5
0,4-0,7
1,2-2,0
6-10
36-60
21-30
0,6-1,0
0,8-1,0
2,1-8,0
11-20
61-75
31-60
>1,0
>1,0
>8,0
>20
>75
>60
Sangat Masam
Masam
0,2-0,3
0,1-0,3
0,4-1,1
2-5
20-35
10-20
pH H2O:
Agak
Masam
5,6-6,5
Sifat Tanah
Netral
Agak
Alkali
7,6-8,5
Alkali
<4,5
4,5-5,5
6,6-7,5
>8,5
Keterangan :
*) 1 mg/100 g = 1 mg/100.000 mg = 10 mg/1000.000 mg = 10 mg/kg = 10 ppm
**) 1 ppm = 1 mg/kg
***) me/100 g = cmol (+)/kg
Sumber : Staf Peneliti Pusat Penelitian Tanah (1983)
133
Lampiran 4 : Data Komponen Iklim di Daerah Penelitian
Tabel 1. Data Curah Hujan Beberapa Stasiun Iklim di Daerah Paguyaman
No
1
2
Nama Stasiun
Molombulahe
Sidodadi
Altitut
(m dpl)
46
44
J
91
134
F
48
53
M
48
101
A
111
127
Data Curah Hujan (mm)
Bulan
J
J
A
S
O
121
118
37
41
59
68
71
81
31
42
M
100
264
RKT
N
113
83
D
134
113
Jumlah
Rataan
1.021
1.112
85
93
BB
BK
ZAK
0
1
6
8
E3
E4
Kriteria
Aqiuc
Aqiuc
Tabel 2. Data Suhu Udara dan Suhu Tanah Beberapa Stasiun Iklim di Daerah Paguyaman
No
1
2
Nama Stasiun
Molombulahe
Sidodadi
Altitut
(m dpl)
43
44
Suhu (0oC)
J
28
27
F
27
26
M
27
26
A
28
28
M
26
28
J
26
27
Bulan
J
25
26
A
26
27
S
26
27
RST
O
26
28
N
27
27
D
28
27
Jumlah
Rataan
320
324
26,67
27,00
Nilai
29,17
29,50
Kriteria
Isohipertermik
Isohipertermik
Tabel 3. Data Kelembaban Udara Beberapa Stasiun Iklim di Daerah Paguyaman
No
Nama Stasiun
Kelembaban Udara (%)
Bulan
Altitut
(m dpl)
J
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
Jumlah
Rataan
1
Molombulahe
43
72
65
69
66
76
62
68
52
43
68
66
58
765
63,75
2
Sidodadi
44
91
90
87
89
90
92
90
88
85
90
92
92
1076
89,67
Jumlah
Rataan
554
46,17
Tabel 4. Data Panjang Penyinaran Matahari di Stasiun Iklim Sidodadi Kecamatan Boliyohuto Kabupaten Gorontalo
No
1
Nama Stasiun
Sidodadi
Altitut
(m dpl)
44
J
43
F
48
M
52
A
48
M
44
Panjang Penyinaran Matahari (%)
Bulan
J
J
A
S
39
45
52
52
O
46
N
43
D
42
Keterangan : BB = bulan basah; BK = bulan kering; ZAK = zona agroklimat; RKT = rejim kelembaban tanah; RST=rejim suhu tanah.
133
134
Lampiran 5 : Hasil Analisis Rejim Suhu Tanah Dan Rejim Kelembaban Tanah di
Daerah Penelitian
a.
Station : Sidodadi
Elevation : 45
Latitude : 0o41’ N
Longitude : 122o38’ E
Country : Indonesia
Annual rainfall : 1112 mm
Temperature regime : Isohyperthermic
Moisture regime : Ustic
SOIL CLIMATE REGIME ACCORDING TO NEWHALL COMPUTATION
(Soil temp.= air temp.+2.5oC ; amplit. reduced by 1/3)
JAN
FEB
MAR
APR
MAY
JUN
JUL
AUG
SEP
OCT
NOV
DEC
127.0
264.0
68.0
71.0
81.0
31.0
42.0
83.0
113.0
28.0
27.0
26.0
27.0
27.0
28.0
27.0
27.0
127.5
145.1
140.9
153.7
140.9
145.1
Monthly rainfall (mm)
134.0
53.0
101.0
Monthly air temperature (Celcius)
27.0
26.0
26.0
28.0
Monthly evapotranspiration (Thornthwaite), mm
145.1
115.2
127.5
149.3
153.7
140.9
MOISTURE CALENDAR
1 = dry ; 2 = m/d ; 3 = moist
1
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
15
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
30
JAN
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1
FEB
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1
1
1
1
MAR
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
APR
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
MAY
2
3
3
3
2
1
1
2
2
3
3
3
2
1
1
1
2
3
3
3
2
1
1
1
2
3
3
2
2
1
1
1
2
3
3
2
2
1
1
1
2
3
3
2
2
1
1
1
2
3
3
2
2
1
1
1
2
3
3
2
2
1
1
1
2
3
3
2
2
1
1
1
2
3
3
2
1
1
1
1
2
3
3
2
1
1
1
1
2
3
3
2
1
1
1
1
2
3
3
2
1
1
1
1
2
3
3
2
1
1
1
1
2
3
3
2
1
1
1
1
3
3
3
2
1
1
2
2
3
3
3
2
1
1
2
2
3
3
3
2
1
1
2
2
3
3
3
2
1
1
2
2
3
3
3
2
1
1
2
2
3
3
3
2
1
1
2
2
3
3
3
2
1
1
2
2
3
3
3
2
1
1
2
2
3
3
3
2
1
1
2
2
3
3
3
2
1
1
2
2
3
3
3
2
1
1
2
2
3
3
3
2
1
1
2
2
3
3
3
2
1
1
2
2
3
3
3
2
1
1
2
2
3
3
3
2
1
1
2
2
JUN
JUL
AUG
SEP
OCT
NOV
DEC
Number of Cumulative days that
Moisture Control Section
During one year
is
Highest Number of Consecutive days
that the MSC is
When soil temp is
above 5 deg. C
Moist in
some parts
Dry
after summer
Moist
after winter
DRY
M/D
MOIST
DRY
M/D
MOIST
YEAR
T>8
Solstice
Solstice
128
154
78
128
154
78
143
143
52
0
*
Computed by BASIC program NSM November 1986
Tentative Subdivision : Aridic Tropustic
135
b.
Station : Molombulahe
Elevation : 46
Latitude : 0o38’ N
Longitude : 122o34’ E
Country : Indonesia
Annual rainfall : 1021 mm
Temperature regime : Isohyperthermic
Moisture regime : Ustic
SOIL CLIMATE REGIME ACCORDING TO NEWHALL COMPUTATION
(Soil temp.= air temp.+2.5oC ; amplit. reduced by 1/3)
JAN
FEB
MAR
APR
MAY
JUN
JUL
AUG
SEP
OCT
NOV
DEC
91
48.0
48.0
111.0 100.0
Monthly air temperature (Celcius)
121.0
118.0
37.0
41.0
59.0
113.0
134.0
25.0
24.0
25.0
25.0
25.0
26.0
27.0
127.5
114.5
111.2
114.5
127.3
145.1
Monthly rainfall (mm)
27.0
26.0
26.0
27.0
25.0
Monthly evapotranspiration (Thornthwaite), mm
145.1
118.5
131.1
114.5
111.2
99.5
MOISTURE CALENDAR
1 = dry ; 2 = m/d ; 3 = moist
1
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
15
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
30
JAN
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
FEB
2
2
2
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
MAR
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
APR
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
MAY
2
2
2
3
2
1
1
2
2
2
2
3
2
1
1
2
2
2
2
3
2
1
1
2
2
2
2
3
2
1
1
2
2
2
2
3
2
1
1
2
2
2
2
3
2
1
1
2
2
2
2
3
2
1
1
2
2
2
2
3
2
1
1
2
2
2
2
3
2
1
1
2
2
2
2
3
2
1
1
2
2
2
2
3
1
1
1
2
2
2
2
3
1
1
1
2
2
2
2
3
1
1
1
2
2
2
2
3
1
1
1
2
2
2
2
3
1
1
1
2
2
2
3
3
1
2
2
2
2
2
3
3
1
2
2
2
2
2
2
3
1
2
2
2
2
2
2
3
1
2
2
2
2
2
2
3
1
2
2
2
2
2
2
3
1
2
2
2
2
2
2
3
1
2
2
2
2
2
2
3
1
2
2
2
2
2
2
3
1
2
2
2
2
2
2
3
1
2
2
2
2
2
2
3
1
2
2
2
2
2
2
3
1
2
2
2
2
2
2
3
1
2
2
2
2
2
2
3
1
2
2
2
2
2
2
3
1
2
2
2
JUN
JUL
AUG
SEP
OCT
NOV
DEC
Number of Cumulative days that
Moisture Control Section
During one year
is
Highest Number of Consecutive days
that the MSC is
When soil temp is
above 5 deg. C
Moist in
some parts
Dry
after summer
Moist
after winter
DRY
M/D
MOIST
DRY
M/D
MOIST
YEAR
T>8
Solstice
Solstice
123
195
42
123
195
42
145
145
35
0
*
Computed by BASIC program NSM November 1986
Tentative Subdivision : Aridic Tropustic
136
Lampiran 6. Nilai ETo Berdasarkan Metode Blaney-Criddle di Daerah Penelitian
Unsur
Bulan
t
o
( C)
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
27
26
26
28
28
27
26
27
27
28
27
27
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
27
26
26
27
25
25
24
25
25
25
26
27
f
ETo
(mm hari-1)
Sidomukti dan Badungrejo
5.5
3.3
5.4
3.2
5.4
3.2
5.6
3.4
5.6
3.4
5.5
3.3
5.4
3.2
5.5
3.3
5.5
3.3
5.6
3.4
5.5
3.3
5.5
3.3
Molombulahe
5.6
3.3
5.4
3.3
5.4
3.3
5.5
3.3
5.3
3.2
5.3
3.2
5.2
3.1
5.3
3.2
5.3
3.2
5.3
3.2
5.4
3.3
5.6
3.3
ETo
(mm bulan-1)
102.5
90.5
100.2
101.5
104.9
99.2
100.2
99.2
99.2
104.9
99.2
102.5
103.5
91.4
101.0
99.7
98.8
95.6
96.5
95.6
95.6
98.8
97.9
103.5
t=suhu udara rata-rata bulanan, f=p(0.46t+8), Rhmin=high, n/N=<0.6 low, ETo=evapotranspirasi
potensial (mm)
137
Lampiran 7. Kadar Air Tanah pada Kapasitas Lapang, Titik Layu Permanen dan
WHC untuk Tanaman per 7.5 cm Lapisan Tanah di Daerah
Paguyaman Gorontalo
Lapisan
KL
TLP
WHC
cm
…………………… mm ………………
Vertisol Sidomukti
0-7.5
76.59
51.18
25.41
7.5-15
57.44
38.39
19.06
15-22.5
38.30
25.59
12.71
22.5-30
19.15
12.80
6.35
Jumlah
191.48
127.95
63.53
Inceptisol Sidomukti
0-7.5
78.03
54.90
23.13
7.5-15
58.52
41.18
17.35
15-22.5
39.02
3.66
35.36
22.5-30
19.51
1.83
17.68
Jumlah
195.08
101.57
93.51
Inceptisol Sidomukti
0-7.5
72.33
46.68
25.65
7.5-15
54.25
35.01
19.24
15-22.5
36.17
23.34
12.83
22.5-30
18.08
11.67
6.41
Jumlah
180.83
116.70
64.13
Vertisol Bandungrejo
0-7.5
73.89
47.88
26.01
7.5-15
55.42
35.91
19.51
15-22.5
36.95
23.94
13.01
22.5-30
18.47
11.97
6.50
Jumlah
184.73
119.70
65.03
Vertisol Molombulahe
0-7.5
65.25
48.42
16.83
7.5-15
48.94
36.32
12.62
15-22.5
32.63
24.21
8.42
22.5-30
16.31
12.11
4.21
Jumlah
163.13
121.05
42.08
Vertisol Molombulahe
0-7.5
85.20
62.43
22.77
7.5-15
63.90
46.82
17.08
15-22.5
42.60
31.22
11.39
22.5-30
21.30
15.61
5.69
Jumlah
213.00
156.08
56.93
Inceptisol Molombulahe
0-7.5
107.28
69.00
38.28
7.5-15
80.46
51.75
28.71
15-22.5
53.64
34.50
19.14
22.5-30
26.82
17.25
9.57
Jumlah
268.20
172.50
95.70
KL=kapasitas lapang, TLP=titik layu permanen, WHC=water holding capacity
138
Lampiran 8. Kondisi Ketersediaan Air Bulanan TPL Padi Lokal pada Lahan
Sawah dan Jenis Tanah di Daerah Paguyaman Gorontalo
Unsur
4
5
Bulan (mm)/Lokasi
6
7
1
2
3
8
9
10
11
12
ETo
ETo50
ETc
ETc
Padi
CH75
CHE90
CHE90ETc
ATP
Ver
ATP
Inc 1
ATP
Inc 2
ATP
Ver
102.5
51.3
14.9
90.5
45.3
13.6
100.2
50.1
52.6
99.2
49.6
34.7
99.2
49.6
14.4
104.9
52.4
15.2
99.2
49.6
14.4
102.5
51.3
14.9
100.5
90.5
39.8
35.8
52.6
75.8
68.2
53.3
95.3
85.7
62.9
198.0
178.2
59.5
51.0
45.9
60.1
53.3
47.9
34.7
60.8
54.7
23.3
20.9
31.5
28.4
62.3
56.0
84.8
76.3
75.6
22.2
15.5
32.4
115.3
-13.6
-12.2
19.9
6.5
13.1
41.6
61.4
63.53
63.53
63.53
63.53
63.53
49.93
51.33
63.53
63.53
63.53
63.53
63.53
93.51
93.51
93.51
93.51
93.51
79.91
81.31
93.51
93.51
93.51
93.51
93.51
64.13
64.13
64.13
64.13
64.13
50.53
51.93
64.13
64.13
64.13
64.13
64.13
65.03
65.03
65.03
65.03
65.03
65.03
65.03
65.03
65.03
103.5
51.7
15.0
91.4
45.7
13.2
101.0
50.5
14.6
99.7
49.8
52.3
65.03 51.43 52.83
Molombulahe
98.8
95.6
96.5
49.4
47.8
48.3
51.9
57.4
57.9
ETo
ETo50
ETc
ETc
Padi
CH75
CHE90
CHE90ETc
ATP
Ver 1
ATP
Ver 2
ATP
Inc
95.6
47.8
57.4
95.6
47.8
33.5
98.8
49.4
14.8
97.9
48.9
14.2
103.5
51.7
15.0
68.3
61.4
36.0
32.4
36.0
32.4
52.3
83.3
74.9
51.9
75.0
67.5
57.4
90.8
81.7
57.9
88.5
79.7
57.4
27.8
25.0
33.5
30.8
27.7
44.3
39.8
84.8
76.3
100.5
90.5
46.4
19.2
17.8
22.6
15.6
24.3
21.7
-32.4
-5.8
25.0
62.1
75.4
42.08
42.08
42.08
42.08
42.08
42.08
42.08
9.68
36.28
42.08
42.08
42.08
56.93
56.93
56.93
56.93
56.93
56.93
56.93
24.53
51.13
56.93
56.93
56.93
95.70
95.70
95.70
95.70
95.70
95.70
95.70
63.30
89.90
95.70
95.70
95.70
Sidomukti dan Bandungrejo
101.5 104.9
99.2 100.2
50.7
52.4
49.6
50.1
53.3
62.9
59.5
60.1
ETo=evapotranspirasi
potensial,
ETo50=50%
dari
evapotranspirasi
potensial,
ETc=evapotranspirasi tanaman, CH75=curah hujan peluang terlampaui 75%, CHE90=curah hujan
efektif 90%, ATP=air tersedia profil, Ver=vertisol, Inc=inceptisol.
139
Lampiran 9. Kondisi Ketersediaan Air Bulanan TPL Padi-Jagung pada Lahan
Sawah dan Jenis Tanah di Daerah Paguyaman Gorontalo
Unsur
Bulan (mm)/Lokasi
5
6
7
Sidomukti dan Bandungrejo
101.5 104.9
99.2 100.2
50.7
52.4
49.6
50.1
60.9
62.9
34.7
15.0
60.9
62.9
34.7
1
2
3
4
8
9
10
11
12
ETo
ETo50
ETc
ETc Padi
ETc
Jagung
CH75
CHE90
CHE90ETc
ATP
Ver
ATP
Inc 1
ATP
Inc 2
ATP
Ver
102.5
51.3
61.5
90.5
45.3
22.6
100.2
50.1
52.6
52.6
99.2
49.6
14.4
99.2
49.6
14.4
104.9
52.4
15.2
99.2
49.6
14.9
102.5
51.3
15.4
61.5
100.5
90.5
22.6
39.8
35.8
75.8
68.2
95.3
85.7
198.0
178.2
51.0
45.9
53.3
47.9
60.8
54.7
23.3
20.9
31.5
28.4
14.9
62.3
56.0
15.4
84.8
76.3
28.9
13.1
15.5
24.8
115.3
11.2
32.9
40.3
6.5
13.1
41.1
60.9
63.53
63.53
63.53
63.53
63.53
63.53
63.53
63.53
63.53
63.53
63.53
63.53
93.51
93.51
93.51
93.51
93.51
93.51
93.51
93.51
93.51
93.51
93.51
93.51
64.13
64.13
64.13
64.13
64.13
64.13
64.13
64.13
64.13
64.13
64.13
64.13
65.03
65.03
65.03
65.03
65.03
65.03
65.03
65.03
65.03
65.03
103.5
51.7
62.1
91.4
45.7
22.8
101.0
50.5
14.6
99.7
49.8
52.3
52.3
65.03 65.03
Molombulahe
98.8
95.6
49.4
47.8
59.3
57.4
59.3
57.4
ETo
ETo50
ETc
ETc Padi
ETc
Jagung
CH75
CHE90
CHE90ETc
ATP
Ver 1
ATP
Ver 2
ATP
Inc
96.5
48.3
33.8
33.8
95.6
47.8
14.3
95.6
47.8
14.3
98.8
49.4
14.8
97.9
48.9
14.7
103.5
51.7
15.5
62.1
68.3
61.4
22.8
36.0
32.4
36.0
32.4
83.3
74.9
75.0
67.5
90.8
81.7
88.5
79.7
27.8
25.0
30.8
27.7
44.3
39.8
14.7
84.8
76.3
15.5
100.5
90.5
-0.7
9.6
17.8
22.6
8.2
24.3
45.9
10.6
13.3
25.0
61.6
74.9
14.08
42.08
42.08
42.08
42.08
42.08
42.08
42.08
42.08
42.08
42.08
42.08
28.93
56.93
56.93
56.93
56.93
56.93
56.93
56.93
56.93
56.93
56.93
56.93
67.70
95.70
95.70
95.70
95.70
95.70
95.70
95.70
95.70
95.70
95.70
95.70
ETo=evapotranspirasi
potensial,
ETo50=50%
dari
evapotranspirasi
potensial,
ETc=evapotranspirasi tanaman, CH75=curah hujan peluang terlampaui 75%, CHE90=curah hujan
efektif 90%, ATP=air tersedia profil, Ver=vertisol, Inc=inceptisol.
140
Lampiran 10. Kondisi Ketersediaan Air Bulanan TPL Padi-Jagung-Jagung pada
Lahan Sawah dan Jenis Tanah di Daerah Paguyaman Gorontalo
Unsur
ETo
ETo50
ETc
ETc Padi
ETc
Jagung-1
ETc
Jagung-2
CH75
CHE90
CHE90ETc
ATP
Ver
ATP
Inc 1
ATP
Inc 2
ATP
Ver
ETo
ETo50
ETc
ETc Padi
ETc Padi-2
ETc Jagung
CH75
CHE90
CHE90ETc
ATP
Ver 1
ATP
Ver 2
ATP
Inc
Bulan (mm)/Lokasi
4
5
6
7
8
Sidomukti dan Bandungrejo
101.5 104.9
99.2 100.2
99.2
50.7
52.4
49.6
50.1
49.6
60.9
62.9
34.7
15.0
14.9
60.9
62.9
34.7
1
2
3
9
10
11
12
102.5
51.3
61.5
90.5
45.3
31.7
100.2
50.1
52.6
52.6
99.2
49.6
59.5
104.9
52.4
26.2
99.2
49.6
52.1
52.1
102.5
51.3
61.5
61.5
61.5
31.7
52.1
61.5
100.5
90.5
39.8
35.8
75.8
68.2
95.3
85.7
198.0
178.2
51.0
45.9
15.0
53.3
47.9
14.9
60.8
54.7
59.5
23.3
20.9
26.2
31.5
28.4
62.3
56.0
84.8
76.3
28.9
4.1
15.5
24.8
115.3
11.2
32.9
39.8
-38.6
2.1
3.9
14.7
63.53
63.53
63.53
63.53
63.53
63.53
63.53
63.53
24.93
63.53
63.53
63.53
93.51
93.51
93.51
93.51
93.51
93.51
93.51
93.51
54.91
93.51
93.51
93.51
64.13
64.13
64.13
64.13
64.13
64.13
64.13
64.13
25.53
64.13
64.13
64.13
65.03
65.03
65.03
65.03
65.03 65.03 65.03
Molombulahe
98.8
95.6
96.5
49.4
47.8
48.3
59.3
33.5
14.5
59.3
33.5
65.03
26.43
65.03
65.03
65.03
103.5
51.7
62.1
91.4
45.7
32.0
101.0
50.5
53.0
53.0
99.7
49.8
59.8
59.8
95.6
47.8
14.3
95.6
47.8
57.4
98.8
49.4
24.7
97.9
48.9
51.4
51.4
51.4
103.5
51.7
62.1
62.1
62.1
62.1
32.0
68.3
61.4
36.0
32.4
36.0
32.4
83.3
74.9
75.0
67.5
90.8
81.7
14.5
88.5
79.7
14.3
27.8
25.0
57.4
30.8
27.7
24.7
44.3
39.8
84.8
76.3
100.5
90.5
-0.7
0.4
-20.6
15.1
8.2
48.2
65.2
10.6
-29.7
15.1
24.9
28.4
14.08
42.08
7.08
42.08
42.08
42.08
42.08
42.08
12.38
39.48
33.08
30.28
28.93
56.93
21.93
56.93
56.93
56.93
56.93
56.93
27.23
54.33
47.93
45.13
67.70
95.70
60.70
95.70
95.70
95.70
95.70
95.70
66.00
93.10
86.70
83.90
ETo=evapotranspirasi
potensial,
ETo50=50%
dari
evapotranspirasi
potensial,
ETc=evapotranspirasi tanaman, CH75=curah hujan peluang terlampaui 75%, CHE90=curah hujan
efektif 90%, ATP=air tersedia profil, Ver=vertisol, Inc=inceptisol.
141
Lampiran 11. Penentuan Dosis Pupuk Preskripsi pada Beberapa TPL Pola C di
Daerah Paguyaman Gorontalo
Perhitungan jumlah hara tersedia dari tanah dihitung dari tujuh pedon di
daerah penelitian dan penyerapannya disesuaikan dengan penyerapan air, yaitu
40%, 30%, 20%, dan 10% masing-masing pada lapisan pertama, kedua, ketiga
dan lapisan keempat. Kedalaman tanah yang digunakan untuk komoditi yang
dinilai adalah 30 cm karena merupakan tanaman pangan.
Kandungan hara tanah untuk TPL tanaman pangan, yaitu:
N tersedia
P tersedia
K tersedia
Jenis Tanah
Lokasi
………………………………….. kg ha-1 ………………………………….
Vertisol
Sidomukti
9.60
3.48
89.86
Inceptisol 1
Sidomukti
9.60
3.80
67.39
Inceptisol 2
Sidomukti
11.20
3.70
86.11
Vertisol 1
Molombulahe
8.00
9.04
82.37
Vertisol 2
Molombulahe
24.00
2.40
202.18
Inceptisol
Molombulahe
17.60
54.80
48.67
Vertisol
Bandungrejo
14.40
5.01
71.14
Berdasarkan kandungan hara tanah di atas, maka disusun kebutuhan pupuk
sesuai dengan jumlah hara yang digunakan tanaman untuk berproduksi setara
tingkat nasional atau kelas kesesuaian lahan sangat sesuai (S1), yaitu dengan
metode preskripsi. Selanjutnya digunakan efesiensi masing-masing pemupukan
dengan asumsi bahwa setiap efisiensi pemupukan diserap 100% oleh tanaman.
Jumlah Hara Pemupukan Preskripsi Berdasarkan Komoditas TPL, Jenis Tanah
dan Lokasi di Daerah Paguyaman Gorontalo
Jenis Tanah
Lokasi
Vertisol
Inceptisol-1
Inceptisol-2
Vertisol-1
Vertisol-2
Inceptisol
Vertisol
Sidomukti
Sidomukti
Sidomukti
Molombulahe
Molombulahe
Molombulahe
Bandungrejo
Vertisol
Inceptisol-1
Inceptisol-2
Vertisol-1
Vertisol-2
Inceptisol
Vertisol
- = tidak digunakan
Sidomukti
Sidomukti
Sidomukti
Molombulahe
Molombulahe
Molombulahe
Bandungrejo
N
P2O5
K2O
………………… kg ha-1 …………………..
Padi
108.60
79.28
108.60
78.75
107.53
79.06
109.67
62.77
99.00
83.04
103.27
105.40
75.06
Jagung
133.60
79.28
134.00
78.75
131.33
79.06
136.67
62.77
110.00
83.04
120.67
150.00
75.06
31.52
49.49
34.51
37.51
64.46
46.49
142
Lampiran 12. Data Rata-Rata Sifat Fisika Tanah Lapisan Atas (top soils) pada Tanah Sawah Kedalaman 30 cm
Simbol
Vertisol Sidomukti
Inceptisol 1 Sidomukti
Inceptisol 2 Sidomukti
Vertisol 1 Molombulahe
Vertisol 2 Molombulahe
Inceptisol 1 Molombulahe
Vertisol Bandungrejo
Bulk
Density
(g cm-3)
1.63
1.66
1.55
1.62
1.48
1.39
1.62
Porositas
(%)
38.49
37.36
41.31
38.87
44.15
47.55
38.87
Kadar Air (% Vol) pada pF
pF
pF
pF
pF
1,00
2,00
2,54
4,20
32.28
28.46
25.53
17.06
33.83
28.03
26.01
18.30
38.11
31.80
24.11
15.56
35.45
30.55
21.75
16.14
37.88
34.02
28.40
20.81
41.76
38.19
35.76
23.00
32.55
28.07
24.63
15.96
Pori Drainase (%)
Sangat
Cepat Lambat
Cepat
6.21
5.83
2.92
3.53
5.80
2.02
3.40
6.30
7.69
3.42
4.90
8.79
6.27
3.86
5.62
5.79
3.57
2.43
6.31
4.48
3.44
Air
Permeabilitas
Tersedia
(cm/jam)
(%)
8.47
1.59
7.71
0.56
8.55
1.34
5.62
0.48
7.59
0.04
12.75
0.14
8.66
0.85
Nilai
Cole
0.98
0.99
1.01
0.61
0.87
0.09
0.929
Lampiran 13. Data Rata-Rata Sifat Kimia Tanah Lapisan Atas (top soils) pada Tanah Sawah Kedalaman 30 cm
Jenis Tanah/Lokasi
Vertisol Sidomukti
Inceptisol 1 Sidomukti
Inceptisol 2 Sidomukti
Vertisol 1 Molombulahe
Vertisol 2 Molombulahe
Inceptisol 1 Molombulahe
Vertisol Bandungrejo
pH
H2O
6.48
6.81
6.59
7.15
7.15
7.78
6.89
CN total
Organik
……..(%)…….
0.69
0.06
0.54
0.06
0.64
0.07
0.61
0.05
0.99
0.15
0.96
0.11
0.86
0.09
C/N
11.62
9.24
9.71
12.92
6.34
8.34
9.96
P2O5
ppm
3.80
4.15
4.04
9.86
2.62
59.79
5.47
KTK
KTK
Tanah
Liat
………………… (me 100 g-1)……………………
0.24
14.90
12.09
0.50
30.93
88.36
0.18
10.68
2.77
0.47
44.64
79.78
0.23
14.49
6.41
0.26
34.45
100.00
0.22
11.29
3.60
0.14
20.87
87.25
0.54
26.14
15.41
0.36
52.53
100.00
0.13
22.27
7.49
0.77
35.69
82.28
0.19
15.56
4.76
0.27
19.56
57.44
K
Ca
Mg
Na
KB
%
70.08
32.98
62.06
73.00
79.42
84.37
97.00
142
143
Lampiran 14. Deskripsi Atribut Kunci Tipe Penggunaan Lahan (TPL)
a.
Atribut TPL Padi Lokal Pola A, B, dan C
Atribut TPL
Produksi
Orientasi Pasar
Intensitas Modal
Intesitas Tenaga Kerja
Sumber Tenaga
Sikap dan Pengetahuan
Penggunaan Teknologi
Kebutuhan
infrastruktur
Luas dan Sebaran
Lahan
Status Lahan
Tingkat Pendapatan
Pola A
1.5 ton ha-1 gkg
Subsisten
Rendah
Tinggi
Manusia, ternak
Umumnya petani
minim pendidikan
formal (lulusan SD),
tidak banyak
menerima inovasi
dan adopsi teknologi
untuk peningkatan
produksi dan
kelestarian
lingkungan
Benih padi lokal,
umur dalam (6
bulan), tanpa pupuk,
tanpa pengendalian
OPT
1-2 ha KK-1,
terpencar
Hak milik
Rendah
TPL Padi Lokal
Pola B
3.5 ton ha-1 gkg
Komersial
Sedang
Sedang
Manusia, Alsintan
Umumnya petani
minim pendidikan
formal (lulusan SD),
agak mampu
menerima inovasi dan
adopsi teknologi
untuk peningkatan
produksi dan
kelestarian lingkungan
Pola C
3.5 ton ha-1 gkg
Komersial
Tinggi
Sedang
Manusia, Alsintan
Umumnya petani
berpendidikan formal
cukup, mampu
menerima inovasi dan
adopsi teknologi untuk
peningkatan produksi
dan kelestarian
lingkungan
Benih padi lokal,
umur dalam (6 bulan),
pupuk 100% dosis
anjuran, tanpa
pengendalian OPT
Kios saprotan
Benih padi lokal,
umur dalam (6 bulan),
pupuk preskripsi, ada
pengendalian OPT
1-2 ha KK-1,
terpencar
Hak milik
Sedang-tinggi
1-2 ha KK-1, terpencar
Kios saprotan
Hak milik
Sedang-tinggi
144
b.
Atribut TPL Padi-Jagung Pola A, B, dan C
Atribut TPL
Produksi
Orientasi Pasar
Intensitas Modal
Intesitas Tenaga Kerja
Sumber Tenaga
Sikap dan Pengetahuan
Penggunaan Teknologi
Kebutuhan
infrastruktur
Luas dan Sebaran
Lahan
Status Lahan
Tingkat Pendapatan
Pola A
Padi: 1.5 ton ha-1 gkg
Jagung: 5 ton ha-1
Semi Komersial
Rendah
Tinggi
Manusia, ternak
Umumnya petani
minim pendidikan
formal, adopsi masih
rendah terhadap
peningkatan produksi
dan penggunaan lahan
yang lestari
Benih padi dan jagung
lokal, umur 4 dan 4
bulan, tanpa pupuk,
pengendalian OPT
tidak rutin
1 ha KK-1,
terkonsolidasi
Hak milik
Rendah
TPL Padi-Jagung
Pola B
Padi: 3.5 ton ha-1 gkg
Jagung: 7 ton ha-1
Komersial
Sedang-tinggi
Sedang
Manusia, Alsintan
Berpendidikan
formal, adopsi
teknologi sedang
terhadap peningkatan
produksi dan
penggunaan lahan
yang lestari
Benih padi dan
jagung unggul, umur
4 dan 4 bulan, pupuk
100% dosis anjuran,
pengendalian OPT
tidak rutin
Kios saprotan,
penyuluhan
1 ha KK-1,
terkonsolidasi
Hak milik
Tinggi
Pola C
Padi: 3.5 ton ha-1 gkg
Jagung: 7 ton ha-1
Komersial
Sedang-tinggi
Sedang
Manusia, Alsintan
Berpendidikan
formal, adopsi
teknologi baik
terhadap peningkatan
produksi dan
penggunaan lahan
yang lestari
Benih padi dan
jagung unggul, umur
4 dan 4 bulan, pupuk
preskripsi,
pengendalian OPT
tidak rutin
Kios saprotan,
penyuluhan
1 ha KK-1,
terkonsolidasi
Hak milik
Tinggi
145
c.
Atribut TPL Padi-Jagung-Jagung Pola A, B, dan C
Atribut TPL
Produksi
Orientasi Pasar
Intensitas Modal
Intesitas Tenaga
Kerja
Sumber Tenaga
Sikap dan
Pengetahuan
Pola A
Padi: 1.5 ton ha-1 gkg
Jagung: 5 ton ha-1
Semi Komersial
Rendah
Tinggi
Manusia, ternak
Umumnya petani
berpendidikan formal,
adopsi teknologi baik
dan peduli terhadap
kelestarian penggunaan
lahan dan lingkungan
Penggunaan
Teknologi
Benih padi dan jagung
lokal, umur 4 dan 4
bulan, tanpa pupuk,
pengendalian OPT
dengan PHT rutin,
teknologi pasca panen
Kebutuhan
infrastruktur
-
Luas dan Sebaran
Lahan
Status Lahan
Tingkat Pendapatan
1 ha KK-1,
terkonsolidasi
Hak milik
Rendah
TPL Padi-Jagung-Jagung
Pola B
Padi: 3.5 ton ha-1 gkg
Jagung: 7 ton ha-1
Komersial
Sedang-tinggi
Sedang
Pola C
Padi: 3.5 ton ha-1 gkg
Jagung: 7 ton ha-1
Komersial
Sedang-tinggi
Tinggi
Manusia, Alsintan
Umumnya petani
berpendidikan
formal, adopsi
teknologi baik dan
peduli terhadap
kelestarian
penggunaan lahan
dan lingkungan
Benih padi dan
jagung unggul, umur
4 dan 4 bulan, pupuk
100% dosis anjuran,
pengendalian OPT
dengan PHT rutin,
teknologi pasca
panen
Kios saprotan,
kelompok tani,
penyuluhan, KUD,
KUT/KUR, unit
pengolahan hasil,
bantuan pemda
1 ha KK-1,
terkonsolidasi
Hak milik
Tinggi
Manusia, Alsintan
Umumnya petani
berpendidikan
formal, adopsi
teknologi baik dan
peduli terhadap
kelestarian
penggunaan lahan
dan lingkungan
Benih padi dan
jagung unggul, umur
4 dan 4 bulan, pupuk
preskripsi,
pengendalian OPT
dengan PHT rutin,
teknologi pasca
panen
Kios saprotan,
kelompok tani,
penyuluhan, KUD,
KUT/KUR, unit
pengolahan hasil,
bantuan pemda
1 ha KK-1,
terkonsolidasi
Hak milik
Tinggi
Download