6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori keagenan Teori keagenan

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Teori keagenan
Teori keagenan (agency theory) menjelaskan bahwa hubungan agensi muncul
satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agen) untuk
memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan
keputusan kepada agen tersebut (Jensen dan Meckling, 1976). McColgan (2001)
menyatakan bahwa dalam Teori keagenan (agency theory) terdapat suatu
karakteristik hubungan keagenan yang dapat didefinisikan sebagai suatu kontrak
dimana satu pihak (prinsipal) mempekerjakan pihak lain (agen) untuk melakukan
beberapa pekerjaan atas nama prinsipal. Manajemen merupakan pihak yang
dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang
saham. Untuk itu manajemen diberikan sebagian kekuasaan untuk membuat
keputusan bagi kepentingan terbaik pemegang saham. Oleh karena itu,
manajemen wajib mempertanggungjawabkan semua upayanya kepada pemegang
saham. Karena unit analisis dalam teori keagenan adalah kontrak yang melandasi
hubungan antara prinsipal dan agen, maka fokus dari teori ini adalah pada
penentuan kontrak yang paling efisien yang mendasari hubungan antara prinsipal
dan agen. Untuk memotivasi agen maka prinsipal merancang suatu kontrak agar
dapat mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak
keagenan. Kontrak yang efisien adalah kontrak yang memenuhi dua faktor, yaitu:
6
7
1) Agen dan prinsipal memiliki informasi yang simetris artinya baik agen
maupun prinsipal memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga
tidak terdapat informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan
dirinya sendiri.
2) Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang
berarti agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang
diterimanya.
Pada kenyataannya informasi simetris itu tidak pernah terjadi, karena manajer
berada didalam perusahaan sehingga manajer mempunyai banyak informasi
mengenai perusahaan, sedangkan prinsipal sangat jarang atau bahkan tidak pernah
datang ke perusahaan sehingga informasi yang diperoleh sangat sedikit. Hal ini
menyebabkan kontrak efisien tidak pernah terlaksana sehingga hubungan agen
dan prinsipal selalu dilandasi oleh asimetri informasi. Agen sebagai pengendali
perusahaan pasti memiliki informasi yang lebih baik dan lebih banyak
dibandingkan dengan prinsipal. Di samping itu, karena verifikasi sangat sulit
dilakukan, maka tindakan agen pun sangat sulit untuk diamati. Dengan demikian,
membuka peluang agen untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri dengan
melakukan tindakan yang tidak semestinya atau sering disebut dysfunctional
behaviour, dimana tindakan ini dapat merugikan prinsipal, baik memanfaatkan
aset perusahaan untuk kepentingan pribadi, maupun perekayasaan kinerja
perusahaan.
Dalam perkembangannya, terdapat suatu kecenderungan timbulnya masalah
keagenan yang muncul sebagai akibat dari kemustahilan tercapainya perikatan
8
secara sempurna bagi pihak agen dan prinsipal. Dimana munculnya masalah
keagenan dijelaskan dalam beberapa faktor, sebagai berikut:
1) Moral hazard (MH)
Hal ini umumnya terjadi pada perusahaan besar (kompleksitas yang tinggi),
dimana manajer cenderung untuk memanfaatkan insentif yang sesuai dengan
kepentingannya atau berdasarkan keahliannya untuk bayaran yang diterima
dari perusahaan dan kemungkinan hal tersebut tidak termasuk dalam kontrak.
2) Penahanan laba (Earning Retention)
Masalah ini berkisar pada kecenderungan untuk melakukan investasi yang
berlebihan oleh pihak manajemen melalui peningkatan dana pertumbuhan
dengan tujuan untuk memperbesar kekuasaan, prestise, atau memperbesar
kemampuan untuk mendominasi dewan komisaris, maupun penghargaan bagi
dirinya, namun dapat menghancurkan kesejahteraan prinsipal.
3) Horizon waktu
Konflik ini muncul sebagai akibat dari kondisi arus kas, dimana prinsipal lebih
menekankan pada arus kas untuk masa depan yang kondisinya belum pasti,
sedangkan manajemen cenderung menekankan kepada hal-hal yang berkaitan
dengan pekerjaan mereka.
4) Penghindaran risiko manajerial
Masalah ini muncul ketika ada batasan diversifikasi portofolio yang
berhubungan dengan pendapatan manajerial atas kinerja yang dicapainya,
sehingga manajer akan berusaha meminimalkan risiko saham perusahaan dari
keputusan investasi yang meningkatkan risikonya. Misalnya manajemen lebih
9
senang dengan pendanaan ekuitas dan berusaha menghindari pendanaan yang
berasal dari utang, karena dapat memperkecil beban dengan tidak adanya
beban bunga.
Dalam teori keagenan secara umum dibahas dua hal (Mahadwartha, 2002)
yaitu: (1) positive agency memfokuskan pembahasan mengenai hubungan antara
pihak agen dengan principal. (2) principal agent research membahas cakupan
yang lebih luas yaitu mengenai semua hubungan atau konflik kepentingan antara
satu pihak dengan pihak lainnya dimana pihak yang satu tidak melaksanakan
instruksi atau perintah pihak kedua.
Menurut Sartono (2001: 10) yang dimaksud dengan konflik antar kelompok
atau agency theory merupakan konflik yang timbul antara pemilik dan manajer
perusahaan dimana ada kecenderungan manajer lebih mementingkan tujuan
individu daripada tujuan perusahaan. Menurut Husnan dan Pudjiastuti (2002: 12)
masalah keagenan sering terjadi pada perusahaan yang berbentuk Perseroan
Terbatas (PT) yang sering kali terjadi pemisahan antara pengelola perusahaan
(pihak manajemen) dengan pemilik perusahaan (pemegang saham). Disamping
itu, untuk perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas tanggung jawab hanya
terbatas pada modal yang disetorkan, artinya apabila perusahaan mengalami
kebangkrutan, maka modal (ekuitas) yang telah disetorkan oleh pemilik
perusahaan mungkin sekali akan hilang, tetapi harta kekayaan pribadi tidak akan
diikutsertakan
untuk
menutup
kerugian
tersebut.
Dengan
demikian
memungkinkan masalah-masalah keagenan (agency problems).
Aplikasi teori keagenan dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan
10
mengatur proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap
memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan
seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang
berupa keuntungan, return maupun resiko-resiko yang disetujui oleh prinsipal dan
agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila kontrak dapat fairness yaitu
mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan agen yang secara matematis
memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian
imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal ke agen. Inti dari teori keagenan
adalah pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan
prinsipal dan agen dalam hal terjadi konflik kepentingan (Scott, 1997). Menurut
Eisenhard (1989), teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) buah asumsi yaitu:
1) Asumsi tentang sifat manusia
Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat
untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas
(bounded rationality), dan tidak menyukai resiko (risk aversion).
2) Asumsi tentang keorganisasian
Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi,
efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya asumsi asimetris antara
prinsipal dan agen.
3) Asumsi tentang informasi.
Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang
komoditi yang bisa diperjual belikan.
Baik prinsipal maupun agen, keduanya mempunyai bargaining position.
11
Prinsipal sebagai pemilik modal mempunyai hak akses pada informasi internal
perusahaan,
sedangkan
agen
yang
menjalankan
operasional
perusahaan
mempunyai informasi tentang operasi dan kinerja perusahaan secara riil dan
menyeluruh, namun agen tidak mempunyai wewenang mutlak dalam pengambilan
keputusan, apalagi keputusan yang bersifat strategis, jangka panjang dan global.
Hal ini disebabkan untuk keputusan-keputusan tersebut tetap menjadi wewenang
dari prinsipal selaku pemilik perusahaan.
Dalam konsep teori keagenan, manajemen sebagai agen semestinya on behalf
the best interest of the shareholders, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan
manajemen hanya mementingkan kepentingannya sendiri untuk memaksimalkan
utililitas.
Manajemen
bisa
melakukan
tindakan-tindakan
yang
tidak
menguntungkan perusahaan secara keseluruhan yang dalam jangka panjang bisa
merugikan kepentingan perusahaan. Bahkan untuk mencapai kepentingannya
sendiri, manajemen bisa bertindak menggunakan akuntansi sebagai alat untuk
melakukan rekayasa. Perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen inilah
disebut dengan masalah keagenan (agency problem) yang salah satunya
disebabkan oleh adanya informasi asimetri.
Informasi asimetri yaitu informasi yang tidak seimbang yang disebabkan
karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen.
Dalam hal ini prinsipal seharusnya memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam
mengukur tingkat hasil yang diperoleh dari usaha agen, namun ternyata informasi
tentang ukuran keberhasilan yang diperoleh oleh prinsipal tidak seluruhnya
disajikan oleh agen. Akibatnya informasi yang diperoleh prinsipal kurang lengkap
12
sehingga tetap tidak dapat menjelaskan kinerja agen yang sesungguhnya dalam
mengelola kekayaan prinsipal yang dipercayakan kepada agen.
Akibatnya adanya informasi yang tidak seimbang (asimetri) ini, dapat
menimbulkan 2 (dua) permasalahan yang disebabkan adanya kesulitan prisipal
untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agen. Jensen
dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah :
1) Moral Hazard
Yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang
telah disepakati bersama dalam kontrak kerja.
2) Adverse Selection
Yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu
keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang
telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.
2.2
Struktur kepemilikan
Struktur kepemilikan (ownership structure) adalah persentase saham yang
dimiliki oleh pihak insider shareholder dan pihak outsider shareholder. Pihak
insider yaitu pemegang saham yang berada dijajaran direktur dan komisaris. Pada
pihak outsider yaitu pihak institusi, individu dan lain-lain. Menurut Hanafi (2004)
semakin tinggi kepemilikan institusional maka akan semakin meningkat
pengawasan pihak eksternal pada perusahaan. Pemegang saham sebagai pemilik
modal dapat dibedakan menjadi 3 (tiga):
13
1) Manajerial ownership/internal ownership adalah pemegang saham yang
merupakan pihak internal perusahaan yang ikut aktif dalam kegiatan
operasional perusahaan.
2) Eksternal ownership adalah pemegang saham perorangan yang tidak aktif
dalam kegiatan operasional perusahaan di luar pihak internal perusahaan.
3) Institusional
ownership
adalah
pemegang
saham
berbentuk
instansi/pemerintah yang tidak aktif dalam kegiatan operasional perusahaan.
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan kepemilikan manajerial dan
kepemilikan institusional adalah dua mekanisme corporate governance utama
yang membantu mengendalikan masalah keagenan. Menurut Jensen (1993),
kepemilikan saham manajerial dapat membantu penyatuan kepentingan antara
pemegang saham dengan manajer, semakin meningkat proporsi kepemilikan
saham manajerial akan semakin baik kinerja perusahaan.
Institusi
adalah
pengambil
keputusan
profesional
yang mengetahui
bagaimana mengukur kinerja perusahaan dan cara untuk mengawasi pihak
manajemen. Kepemilikan institusi akan memiliki pengaruh pada biaya keagenan
dan konsekuensinya berdampak pada kebijakan pembayaran dividen. Bila dividen
berfungsi sebagai cara bagi manajer untuk memberikan penanda mengenai
komitmen manajemen pada penciptaan nilai di masa yang akan datang, maka
tidak perlu membayar dividen dalam jumlah besar, dimana komitmen kepada nilai
pemegang saham akan dijamin melalui kepemilikan institusi.
Manajer yang memiliki saham perusahaan berarti manajer tersebut sekaligus
adalah pemegang saham. Kepemilikan saham perusahaan oleh manajer disebut
14
kepemilikan
manajerial.
Manajer
yang
memiliki
saham
perusahaan
menyelaraskan kepentingannya dengan kepentingan sebagai pemegang saham.
Sementara dalam perusahaan tanpa kepemilikan manajerial, manajer bukan
pemegang saham kemungkinan akan mementingkan kepentingannya sendiri.
Penelitian Demsetz dan Lehn (1985), Crutchley dan Hansen (1989),
menyimpulkan bahwa level kepemilikan manajerial yang lebih tinggi dapat
digunakan untuk mengurangi masalah keagenan.
Masalah keagenan akan semakin kecil apabila manajemen juga sebagai
pemegang saham (owner manager). Dalam kondisi seperti ini owner manager
tidak terlalu terbebani dengan kewajiban untuk mengatur laba (yang bersifat
moral hazard) karena laba ataupun rugi akan memiliki dampak yang relatif sama
antara manajemen dan pemegang saham. Ang et al. (1999) menemukan bahwa
terdapat hubungan antara struktur kepemilikan dengan biaya keagenan yang
diukur dari pemanfaatan aktiva dan beban operasi. Penelitian Singh et al. (2003)
menganalisis hubungan antara struktur kepemilikan dengan biaya keagenan pada
perusahaan-perusahaan besar yang sudah go public. Hasil penelitian Singh et al.
(2003) mendukung penelitian Ang et al. (1999) yang menyatakan bahwa semakin
tinggi kepemilikan manajerial secara positif dan signifikan mempengaruhi
efisiensi pemanfaatan aktiva perusahaan.
2.3
Kebijakan dividen
Kebijakan dividen menyangkut keputusan apakah laba yang dibayarkan
sebagai dividen atau ditahan untuk reinvestasi dalam perusahaan. Kebijakan
dividen menimbulkan kontroversi karena bila dividen ditingkatkan, arus kas untuk
15
investor akan meningkat yang akan menguntungkan investor, sedangkan alasan
lainnya yaitu bila dividen ditingkatkan, laba ditahan yang direinvestasi dan
pertumbuhan masa depan akan menurun sehingga merugikan investor. Kebijakan
dividen dikatakan optimal apabila mampu menyeimbangkan kedua hal tersebut
dan memaksimalkan harga saham. Persentase dari pendapatan yang akan
dibayarkan kepada pemegang saham sebagai cash dividend disebut dividend
payout ratio (Riyanto, 2001: 266). Secara umum suatu perusahaan harus
menetapkan kebijakan dividen yang nantinya dapat memaksimalkan kemakmuran
pemegang saham. Apabila perusahaan tidak memiliki kesempatan berinvestasi
yang menguntungkan, maka sebaiknya kelebihan dana tersebut didistribusikan
kepada pemegang saham perusahaan. Pembayaran dividen dalam jumlah sekecil
apapun masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Menurut Sundjaja dan
Barlian (2003) ada 3 (tiga) jenis kebijakan dividen yaitu:
1) Kebijakan dividen rasio pembayaran konstan
Kebijakan dividen yang didasarkan dengan persentase tertentu dari
pendapatan yang dibayarkan kepada pemilik setiap periode.
2) Kebijakan dividen yang teratur
Kebijakan dividen yang didasarkan atas pembayaran dividen dengan rupiah
yang tetap dalam setiap periode. Seringkali kebijakan dividen teratur
digunakan dengan memakai target rasio pembayaran dividen.
3) Kebijakan dividen yang rendah yang teratur dan ditambah ekstra
Kebijakan dividen yang didasarkan pembayaran dividen rendah yang teratur,
ditambah dengan dividen ekstra jika ada jaminan pendapatan.
16
2.3.1
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen suatu perusahaan antara
lain sebagai berikut (Riyanto, 2001:268):
1) Posisi likuiditas perusahaan
Makin
kuatnya
posisi
likuiditas
perusahaan
berarti
makin
besar
kemampuannya untuk membayar dividen. Jadi dapat dikatakan bahwa makin
kuat likuiditas perusahaan maka makin tinggi dividend payout ratio-nya.
2) Kebutuhan dana untuk membayar utang
Apabila perusahaan menetapkan pelunasan utangnya akan diambil dari laba
ditahan berarti perusahaan harus menahan sebagian besar laba dari
pendapatannya untuk keperluan tersebut, ini berarti bahwa hanya sebagian
kecil saja dari pendapatan atau earning dapat dibayarkan sebagai dividen.
Dengan kata lain perusahaan harus menetapkan dividend payout ratio yang
rendah.
3) Tingkat pertumbuhan perusahaan
Makin cepat tingkat pertumbuhan perusahaan, makin besar kesempatan dana
yang dibutuhkan, makin besar kesempatan untuk memperoleh keuntungan dan
makin besar bagian dari pendapatan yang ditahan dalam perusahaan yang
berarti makin rendah dividen payout ratio-nya. Apabila perusahaan telah
mencapai tingkat pertumbuhan sedemikian rupa sehingga perusahaan telah
well established, dimana kebutuhan dananya dapat dipenuhi dengan dana yang
berasal dari pasar modal atau sumber dana ekstern lainnya, maka keadaannya
17
akan berbeda. Dalam hal ini perusahaan dapat menetapkan dividend payout
ratio yang tinggi.
4) Pengawasan terhadap perusahaan
Ada perusahaan yang mempunyai kebijakan hanya membiayai ekspansinya
dengan dana yang berasal dari sumber intern saja. Kebijakan tersebut
dijalankan atas dasar pertimbangan bahwa kalau ekspansi dibiayai dengan
dana yang berasal dari hasil penjualan saham baru akan melemahkan kontrol
dari kelompok dominan didalam perusahaan, demikian pula kalau membiayai
ekspansi utang akan memperbesar risiko finansialnya. Mempercayakan pada
pembelanjaan intern dalam rangka usaha mempertahankan kontrol terhadap
perusahaan, berarti mengurangi dividen payout ratio-nya.
2.3.2 Teori struktur modal
Menurut Arifin (2005: 92), teori struktur modal berkaitan dengan kos
keagenan (agency cost) sebenarnya hanya merujuk pada teori keagenan yang
dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976). Teori keagenan menganggap
manajer tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Oleh
karena itu perlu ada mekanisme agar manajer mau bertindak sesuai dengan
kepentingan pemegang saham. Salah satu mekanisme yang diusulkan oleh Jensen
dan Meckling (1976) adalah dengan menambah porsi utang.
Menambah utang dapat mengurangi masalah keagenan karena dua alasan.
Pertama, dengan meningkatnya utang maka akan semakin kecil porsi saham yang
harus dijual perusahaan. Semakin kecil nilai saham yang beredar maka semakin
kecil masalah keagenan yang timbul antara manajer dan pemegang saham. Kedua,
18
dengan semakin besar utang perusahaan maka semakin kecil dana “menganggur”
yang dapat dipakai manajer untuk pengeluaran-pengeluaran yang kurang perlu.
Semakin besar utang maka perusahaan harus mencadangkan lebih banyak kas
untuk membayar bunga dari utang tersebut dan juga untuk mengangsur pokok
utang. Mekanisme untuk mengurangi free cash flows ini oleh Jensen (1986)
dikelompokkan sebagai mekanisme bonding, suatu mekanisme yang dipakai oleh
manajer untuk membuktikan bahwa mereka tidak akan menghamburkan dana
perusahaan dan mereka berani mengambil resiko kehilangan pekerjaan jika tidak
bisa mengelola perusahaaan dengan serius.
2.4 Leverage
Menurut Sawir (2004: 10) leverage keuangan adalah penggunaan sumber
dana yang menimbulkan beban tetap keuangan. Beban tetap keuangan yaitu bunga
yang harus dibayar tanpa memperdulikan tingkat laba perusahaan. Adapun rasio
pengelolaan utang dibagi menjadi tiga yaitu :
1) Rasio utang adalah rasio total utang terhadap total aktiva. Rasio ini digunakan
untuk menghitung persentase total dana yang disediakan oleh kreditur.
2) Rasio kemampuan membayar bunga atau Time Interest Earned (TIE) adalah
rasio laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) terhadap beban bunga. Rasio ini
mengukur kemampuan untuk membayar beban bunga tahunan.
3) Rasio kemampuan membayarkan beban tetap adalah rasio yang lebih luas
cakupannya daripada rasio TIE karena mencakup kewajiban lease jangka
panjang tahunan perusahaan. Rasio ini hampir sama dengan rasio kemampuan
mambayar bunga.
19
Leverage keuangan menyiratkan dua hal penting yaitu
1) Dengan menaikan dana melalui utang, pemilik dapat mampertahankan
pengendalian atas perusahaan dengan investasi terbatas.
2) Kreditur mensyaratkan adanya ekuitas atau dana yang disediakan oleh pemilik
sebagai margin pengaman. Jika pemilik hanya menyediakan sebagaian kecil
dari pembiayaan total maka risiko perusahaan dipikul terutama oleh
krediturnya
2.5 Kos keagenan (Agency Cost)
Banyak masalah yang sering muncul berkaitan dengan masalah keagenan.
Hubungan keagenan terjadi ketika terjadi kontrak antara dua pihak yang
menunjukkan bahwa suatu pihak (prinsipal) memberikan tugas kepada orang lain
(agen) untuk melakukan suatu pekerjaan. Dalam kondisi seperti ini agen memiliki
kecenderungan untuk berperilaku tertentu dengan mengutamakan kepentingannya
sendiri. Untuk itu prinsipal harus memiliki mekanisme pemantauan agar dapat
mengendalikan perilaku agen sesuai dengan aturan yang ditentukan. Salah satu
cara yang dilakukan adalah dengan menggunakan insentif kompensasi dan
melakukan monitoring, misalnya membayar auditor untuk mengaudit laporan
keuangan perusahaan. Biaya yang dikeluarkan untuk auditor tersebut disebut
dengan kos keagenan. Menurut Jensen dan Meckling (1976) terdapat tiga macam
kos keagenan (agency cost), diantaranya adalah
1) Bonding cost
Kos ini ditanggung oleh perusahaan yang timbul akibat tindakan manajer
untuk memberi jaminan kepada pemilik bahwa manajer tidak melakukan
20
tindakan yang merugikan perusahaan. Contoh: kelancaran dalam membayar
bunga utang, penyelenggaraan sistem akuntansi yang baik sehingga mampu
menghasilkan laporan keuangan yang sesuai dengan kebutuhan prinsipal.
2) Monitoring cost
Kos yang ditanggung oleh perusahaan yang timbul akibat tindakan prinsipal
untuk mengawasi aktivitas dan perilaku manajer. Contoh: membayar auditor
untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan dan premi asuransi untuk
melindungi asset perusahaan.
3) Residual loss
Kos yang ditanggung oleh perusahaan yang timbul akibat adanya perbedaan
antara keputusan yang diambil oleh agen dengan keputusan yang seharusnya
memberikan manfaat maksimal pada prinsipal. Contoh: memanfaatkan
fasilitas perusahaan secara berlebihan seperti pengeluaran untuk perjalanan
dinas dan akomodasi kelas satu, mobil dinas mewah atau dengan kata lain
biaya yang dikeluarkan tidak untuk kepentingan perusahaan.
Menurut Sartono (2001:12) dalam usaha meminumkan masalah keagenan
atau konflik antarkelompok dalam perusahaan maka diperlukan biaya yang
disebut dengan kos keagenan (agency cost) dan tercermin dalam empat alternatif,
yaitu:
1) Pengeluaran untuk monitoring
seperti halnya biaya untuk pemeriksaan
akuntansi dan prosedur pengendalian intern.
2) Pengeluaran insentif sebagai kompensasi untuk manajemen atas prestasi yang
konsisten.
21
3) Fidelity bond adalah kontrak antara perusahaan dengan pihak ketiga di mana
pihak ketiga (bonding company) setuju untuk membayar perusahaan jika
manajer berbuat tidak jujur sehingga menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
4) Golden parachutes dan Poison pill dapat digunakan pula untuk mengurangi
konflik antara manajemen dengan pemegang saham. Golden Parachutes
adalah suatu kontrak antara manajemen dengan pemegang saham yang
menjamin bahwa manajemen akan mendapat kompensasi sejumlah tertentu
apabila perusahaan dibeli oleh perusahaan lain atau terjadi perubahan
pengendalian perusahaan. Sedangkan Poison pill adalah usaha pemegang
saham untuk menjaga agar perusahaan tidak diambil-alih oleh perusahaan lain.
Usaha ini dapat dilakukan dengan mengeluarkan hak penjualan saham pada
harga tertentu atau mengeluarkan obligasi disertai dengan hak menjual
obligasi pada harga tertentu.
2.6 Mekanisme untuk mengurangi masalah keagenan
Arifin (2002:60) menyatakan mekanisme untuk mengurangi masalah agensi
adalah sebagai berikut:
1). Mekanisme kontrol dengan monitoring
Ada beberapa mekanisme untuk mengurangi kos keagenan. Berikut
mekanisme-mekanisme kontrol dengan monitoring yang dapat dipakai untuk
mengurangi masalah keagenan:
(1) Pembentukan dewan komisaris
Pembentukan dewan komisaris adalah salah satu mekanisme yang banyak
dipakai untuk memonitor manajer. Namun penelitian Mace (1986)
22
menemukan bahwa pengawasan dewan komisaris terhadap manajemen
pada umumnya tidak efektif. Ini terjadi karena proses pemilihan dewan
komisaris yang kurang demokratis dimana kandidat dewan komisaris
sering dipilih oleh manajemen sehingga setelah terpilih tidak berani
mengkritik manajemen. Namun jika dewan didominasi oleh anggota dari
luar (independent board of director) maka monotoring dewan komisaris
terhadap manajer menjadi lebih efektif seperti yang ditemukan oleh
Weisbach (1988)
(2) Pasar corporate control
Manne (1965) menyatakan bahwa adanya pasar untuk corporate control
dimana perusahaan yang menurun nilainya akibat adanya masalah
keagenan akan diambil alih oleh perusahaan lain, merupakan mekanisme
yang lebih bagus sehingga masalah agensi dapat dikurangi. Jensen dan
Ruback (1983) menemukan bahwa nilai gabungan antara perusahaan yang
mengakusisi dan yang diakuisisi meningkat setelah adanya akuisisi.
(3) Pemegang saham besar
Model pengurangan masalah keagenan yang dibuat Jensen dan Meckling
(1976) mengasumsikan bahwa pemegang saham terdiri dari investorinvestor kecil. Oleh karena itu biaya monitoring terhadap manajemen oleh
para investor tersebut akan sangat besar sehingga mereka akan cenderung
tidak melakukan monitoring.
23
(4) Kepemilikan terkonsentrasi
Kepemilikan dikatakan lebih terkonsentrasi jika untuk mencapai kontrol
dominasi atau mayoritas dibutuhkan penggabungan lebih sedikit investor.
(5) Pasar manajer
Fama (1980) menyatakan bahwa masalah keagenan akan berkurang
dengan sendirinya karena manajer akan dicatat kinerjanya oleh pasar
manajer, baik yang ada dalam perusahaan sendiri maupun yang berasal
dari luar perusahaan.
2). Mekanisme kontrol dengan peningkatan kepemilikan manajer
Ketika kepemilikan saham oleh manajer perusahaan meningkat, maka mereka
berinisiatif untuk menginvestasikannya pada proyek-proyek yang memiliki net
present value yang positif dan mengurangi konsumsi untuk kepentingan
pribadinya. Insentif kepemilikan dapat memberikan manajer dan pemegang
saham untung maupun rugi secara bersama-sama.
3). Mekanisme kontrol dengan bonding
Jensen (1986) melihat masalah keagenan dari sudut keterbatasan uang yang
dapat digunakan manajer untuk kegiatan ‘konsumtif’. Dana tersebut adalah
free cash flows yaitu kelebihan dana yang ada dalam perusahaan setelah
semua proyek yang menghasilkan net present value positif dilaksanakan. Jika
kos keagenan ingin dikurangi maka free cash flows harus dikurangi terlebih
dahulu. Dengan kata lain manajer harus menunjukan kepada pemegang saham
bahwa dia telah melakukan upaya menahan diri (bonding) untuk tidak
menciptakan peluang melakukan penyimpangan-penyimpangan.
Download