BAB 19 REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN

advertisement
BAB 19
REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN,
DAN KEHUTANAN
Revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan, sebagaimana
tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2004—2009, diharapkan mampu meningkatkan
kesejahteraan petani dan nelayan, menyumbang terhadap ekspor
nonmigas, mengurangi kemiskinan, dan menyerap tenaga kerja
nasional. Sektor ini juga berperan besar terhadap ketersediaan bahan
pangan bagi masyarakat termasuk sumber protein hewani,
pengembangan wilayah, pertumbuhan ekonomi di daerah, dan
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Sektor pertanian dalam arti luas masih memberikan peran
sekitar 13,8 persen terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto
(PDB) dengan pertumbuhan sekitar 3,5 persen pada tahun 2007.
Sektor ini juga berkontribusi terhadap devisa negara dengan nilai
ekspor pada tahun 2007 sekitar US$ 19,1 miliar dan harus
menampung tenaga kerja sebanyak 41,2 juta orang.
Pada tahun 2008 pertumbuhan di sektor pertanian (di luar
perikanan dan kehutanan) diperkirakan dapat memenuhi target yang
sudah ditetapkan, yaitu sebesar 4,2 persen. Pertumbuhan tersebut
dapat direalisasikan melalui berbagai kegiatan pengamanan
ketersediaan pangan pokok, khususnya beras dari produksi dalam
negeri. Berdasarkan Angka Ramalan II (Juni 2008), produksi padi,
jagung, dan kedelai diperkirakan masing-masing mencapai 59,88 juta
ton gabah kering giling (GKG), 14,85 juta ton, dan 0,72 juta ton biji
kering. Namun, pada akhir tahun 2008, produksi padi, jagung, dan
kedelai diperkirakan masing-masing mampu mencapai 60—61 juta
ton, 15,9—16,5 juta ton, dan 1,0—1,3 juta ton GKG.
Di dalam upaya penyediaan bahan pangan hewani yang
berasal dari ikan untuk mendukung ketahanan pangan, terus
dilakukan upaya peningkatan penangkapan dan pengembangan usaha
budi daya. Pada tahun 2008, produksi perikanan diperkirakan mampu
mencapai sekitar 9,65 juta ton. Kenaikan yang besar dari perikanan
budi daya diharapkan dapat menggantikan peran perikanan tangkap
dalam memenuhi produksi perikanan dalam negeri.
Upaya revitalisasi kehutanan masih terus dilanjutkan melalui
pengembangan pemanfaatan hutan alam, penertiban peredaran hasil
hutan, pembangunan kesatuan pengelolaan hutan, pengembangan
hutan tanaman industri dan hutan tanaman rakyat, pengelolaan hutan
produksi yang tidak dibebani hak/izin pemanfaatan, dan
restrukturisasi industri primer kehutanan.
Untuk mencapai sasaran tersebut, revitalisasi pertanian,
perikanan, dan kehutanan diarahkan pada (1) penjaminan
ketersediaan pangan yang berasal dari produk dalam negeri menuju
swasembada pangan pokok seperti padi, jagung, kedelai, minyak
goreng, dan tebu/gula; (2) peningkatan penyediaan protein hewani
dari hasil ternak dan ikan; (3) peningkatan kualitas pertumbuhan
pertanian, perikanan, dan kehutanan; (4) peningkatan kualitas
pengelolaan hutan secara lestari; (5) peningkatan kesejahteraan dan
pendapatan petani, nelayan, pembudi daya ikan dan petani hutan.
Beberapa permasalahan yang dihadapi, langkah kebijakan dan
hasil yang dicapai selama ini, serta tindak lanjut yang diperlukan ke
depan agar revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan dapat
mencapai sasaran diuraikan dalam bagian berikut ini.
19 - 2
I.
Permasalahan yang Dihadapi
Revitalisasi pertanian masih menghadapi permasalahan
sebagai berikut: (1) kepemilikan lahan pertanian yang relatif sempit
dan isu pengalihfungsian lahan pertanian ke nonpertanian yang
menyebabkan semakin rentannya peningkatan produksi pangan
pokok; (2) tingkat produksi, produktivitas, dan mutu hasil pertanian
yang masih rendah; (3) infrastruktur pertanian yang belum baik dan
masih banyak yang perlu diperbaiki; (4) diseminasi dan transfer
teknologi pertanian, termasuk perkembangan mekanisasi pertanian
kepada petani masih lamban; (5) rendahnya akses petani pada
sumber daya produktif, antara lain, permodalan dan informasi; (6)
kelembagaan petani, termasuk penyuluhan, yang belum berkembang
baik; (7) semakin tingginya frekuensi dan risiko bencana alam, yang
antara lain disebabkan oleh perubahan iklim yang berdampak pada
produksi, produktivitas, dan mutu hasil pertanian; (8) penanganan
organisme pengganggu tanaman, termasuk wabah virus flu burung
yang masih harus terus ditingkatkan; (9) harga sarana produksi dan
hasil pertanian masih fluktuatif;
(10) isu otonomi daerah
mendukung dan meningkatkan pembangunan pertanian secara
menyeluruh.
Pembangunan revitalisasi perikanan juga menghadapi
beberapa permasalahan, antara lain, (1) belum memadainya
sarana/prasarana dan dukungan permodalan; (2) ketimpangan
pemanfaatan stok ikan antarwilayah ataupun antarspesies; (3)
keamanan dan kepastian hukum dalam berusaha; (4) hasil
perencanaan tata ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil belum
seluruhnya ditindaklanjuti dengan penetapan perda oleh pemerintah
daerah terkait dengan perlunya kepastian tata ruang untuk
pengembangan areal budi daya udang dan rumput laut; (5)
kelembagaan nelayan dan pembudi daya ikan masih perlu
ditingkatkan; (6) belum ikutnya Indonesia dalam keanggotaan
organisasi internasional seperti Commission for the Conservation of
Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dan West and Central Pacific
Fisheries Commision (WCPFC); (7) semakin ketatnya persyaratan
ekspor produk perikanan khususnya ke Uni Eropa, Amerika Serikat
dan Jepang, sedangkan peralatan laboratorium mutu dan tenaga
fungsional penguji mutu di lapangan masih terbatas; (8) masih
19 - 3
rendahnya mutu bahan baku dan tingginya losses; (9) masih
lemahnya sistem informasi pemasaran; (10) kondisi sarana dan
prasarana pemasaran yang minim dan belum memenuhi standar
sanitasi dan higienis.
Beberapa permasalahan yang mendorong perlunya dilakukan
revitalisasi industri kehutanan adalah (1) meningkatnya degradasi
sumber daya hutan sehingga peran dan fungsi kehutanan semakin
menurun, termasuk penurunan fungsi Indonesia sebagai paru-paru
hijau dunia dan penurunan keanekaragaman hayati; (2) industri
kehutanan selama ini belum mampu menjadi salah satu penggerak
perekonomian nasional; (3) industri kehutanan juga belum mampu
menangkap peluang dari adanya peningkatan permintaan pasar atas
produk kehutanan secara nasional ataupun global; (4) industri
kehutanan termasuk izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu/hak
pengusahaan hutan (IUPHHK/HPH), izin usaha pemanfaatan hasil
hutan tanaman/hutan tanaman industri (IUPHHT/HTI), serta industri
pengolahan dan jasa lingkungan masih perlu ditingkatkan agar dapat
bersaing secara global dan berdaya saing tinggi; (5) industri sektor
kehutanan juga mempunyai tingkat ketahanan (resiliensi) yang
rendah dan umumnya hanya berbasiskan keunggulan bahan baku.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, langkah kebijakan
yang ditempuh serta hasil yang telah dicapai sampai dengan
pertengahan tahun 2008 diuraikan dalam bagian berikut.
II.
Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Revitalisasi pertanian, perikanan, dan Kehutanan dilaksanakan
melalui empat langkah kebijakan pokok, yaitu: (1) peningkatan
kemampuan petani dan penguatan kelembagaan pendukungnya, (2)
pengamanan ketahanan pangan; (3) peningkatan produksi,
produktivitas, daya saing, dan nilai tambah produk pertanian; (4)
pemanfaatan hutan untuk diversifikasi usaha dan mendukung
produksi pangan dengan tetap memperhatikan kesetaraan gender dan
pembangunan berkelanjutan.
Keempat langkah kebijakan pokok tersebut menjadi acuan
utama dalam mengarahkan program pembangunan yang meliputi (1)
Program Peningkatan Ketahanan Pangan; (2) Program
19 - 4
Pengembangan Agrobisnis; (3) Program Peningkatan Kesejahteraan
Petani; (4) Program Pengembangan Sumber Daya Perikanan; (5)
Program Pemantapan Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan.
Kelima program utama tersebut didukung pula oleh program
pembangunan dari bidang dan sektor lain. Kebijakan pokok dan
program pembangunan tersebut selanjutnya dijabarkan lebih lanjut
dalam program dan kegiatan pembangunan tahunan yang tertuang
dalam Rencana Kerja Pemerintah.
Langkah kebijakan dan hasil yang telah dicapai selama ini
diuraikan sebagai berikut.
A.
Revitalisasi Pertanian
Selama ini telah dilakukan berbagai langkah kebijakan untuk
mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi di atas. Langkah
kebijakan tersebut didasarkan pada penanganan faktor fundamental
yang menjadi akar tantangan pembangunan pertanian. Pada
prinsipnya penanganan faktor fundamental yang menjadi
penghambat tercakup dalam Pancayasa, yang meliputi (1)
pembangunan/perbaikan
infrastruktur
pertanian,
termasuk
infrastruktur perbenihan, riset, dan sebagainya; (2) penguatan
kelembagaan petani melalui penumbuhan dan penguatan kelompok
tani dan gabungan kelompok tani; (3) revitalisasi sistem penyuluhan
melalui penguatan lembaga penyuluhan dan tenaga penyuluh; (4)
perbaikan pembiayaan pertanian melalui perluasan akses petani ke
sistem pembiayaan; (5) penciptaan sistem pasar pertanian yang
menguntungkan petani/peternak. Kelima unsur Pancayasa tersebut
merupakan solusi fundamental karena perbaikan pada tiap-tiap unsur
menyebabkan kokohnya pondasi struktur pertanian.
Pada tahun 2007 peningkatan produksi dan produktivitas
komoditas pertanian, terutama bahan pangan, masih terus
diupayakan. Untuk memacu produksi bahan pangan domestik,
Pemerintah memberikan bantuan benih kepada petani yang meliputi
padi 89.083 ton, jagung 12.265 ton, dan kedelai 8.793 ton; pada
tahun 2008 pemberian benih ditargetkan untuk padi 38.786 ton,
jagung 3.000 ton, dan kedelai 8.000 ton. Upaya lain adalah perbaikan
dan pembangunan baru infrastruktur pertanian seperti Jaringan
Irigasi Tingkat Usaha Tani (JITUT) dan Jaringan Irigasi Desa
19 - 5
(JIDES) untuk mengairi areal seluas 121.680 Ha, Tata Air Mikro
(TAM) 22.920 Ha, cetak sawah 16.601 Ha, serta Jalan Usaha Tani
(JUT) dan jalan produksi. Kenaikan produksi juga disumbangkan
oleh upaya pengurangan kehilangan panen, yaitu melalui distribusi
peralatan pasca panen, antara lain Rice Milling Unit (RMU) 111 unit,
silo jagung 57 unit, dan peralatan grading.
Melalui beberapa upaya tersebut, produksi padi dari tahun
2005 sampai 2007 mengalami peningkatan. Pada tahun 2005,
produksi padi mencapai 54,15 juta ton, tahun 2006 sebesar 54,45 juta
ton, dan tahun 2007 sebesar 57,16 juta ton. Produktivitas juga
mengalami peningkatan dari 45,74 kuintal/hektar (ku/ha) pada tahun
2005 dan 46,20 ku/ha tahun 2006 menjadi 47,05 ku/ha tahun 2007
atau meningkat rata-rata 2,86 persen dalam periode tiga tahun.
Sementara itu, produksi jagung tahun 2005, 2006, dan 2007 masingmasing sebesar 12,52; 11,61; dan 13,29 juta ton. Sementara itu,
kedelai masih memerlukan penanganan khusus, karena produksi
kedelai tahun 2007 mengalami penurunan daripada tahun 2005 dan
2006. Pada tahun 2005 dan 2006, produksi kedelai mencapai 808,35
ribu dan 747,61 ribu ton. Sedangkan pada tahun 2007, turun kembali
menjadi 788,53 ribu ton. Capaian lain adalah meningkatnya produksi
komoditas hortikultura yang berkisar antara 2,23% hingga 12,24%.
Selain dengan meningkatkan produksi bahan pangan domestik,
pemantapan ketahanan pangan nasional juga didukung dengan
pembangunan Desa Mandiri Pangan sebanyak 604 desa dan
stabilisasi harga pangan melalui kegiatan Dana Penguatan Modal
Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM-LUEP) dengan volume
kegiatan 635 ribu ton gabah. Untuk lebih menstabilkan ketersediaan
bahan pangan dan harga pangan domestik, pemerintah menempuh
peningkatan cadangan beras pemerintah yang dikelola oleh Perum
BULOG. Sampai dengan Mei 2008, pengadaan gabah dan beras
dalam negeri telah mencapai 486,5 ribu ton. Pemanfaatan cadangan
beras pemerintah tersebut sampai dengan Mei 2008 telah disalurkan
sekitar 26,8 ribu ton, sehingga total stok pemerintah saat ini sekitar
354,7 ribu ton. Cadangan beras pemerintah ini digunakan untuk
stabilisasi harga domestik yang terbukti dengan relatif rendahnya
fluktuasi harga beras domestik dibanding harga beras internasional
dan relatif rendahnya fluktuasi harga beras domestik dibanding harga
19 - 6
bahan pangan lain (minyak goreng, kedele, dan terigu). Lebih lanjut,
stabilitas harga beras ini berandil besar terhadap pengendalian
tingkat inflasi. Langkah stabilisasi harga domestik tersebut dilakukan
melalui operasi pasar di beberapa lokasi. Cadangan beras pemerintah
juga disalurkan untuk keperluan Program Raskin dan penyaluran
bahan pangan untuk bencana.
Keberhasilan capaian produksi pertanian tidak terlepas dari
peran penting berkembangnya kelembagaan pertanian itu sendiri.
Pada tahun 2007, sebanyak 35.345 petani menerima pelatihan dan
sebanyak 16.375 Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) diaktifkan.
Selain itu, Pemerintah mengembangkan skema pendampingan
sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SL-PTT) sebanyak
1.031 unit pada tahun 2007 dan dilanjutkan pada tahun 2008
sebanyak 500 unit. Peran penyuluhan pertanian juga semakin
diperkuat. Rekrutmen tenaga harian lepas–tenaga bantu (THL-TB)
dilakukan untuk melengkapi 31.379 penyuluh PNS yang sudah ada.
Penguatan sistem penyuluhan ini merupakan tindak lanjut dari
pengesahan UU No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Pengembangan kelembagaan
juga dilaksanakan untuk mengelola potensi ekonomi pertanian di
perdesaan. Pengembangan usaha agribisnis perdesaan (PUAP) bagi
gabungan kelompok tani (Gapoktan) dilaksanakan di desa-desa
miskin. Pengembangan usaha pertanian di 1.142 lembaga mandiri
dan mengakar di masyarakat (LM3) juga dilakukan untuk mencakup
kelembagaan perdesaan yang lain, antara lain pesantren, paroki,
pasraman, subak, dan lembaga sejenisnya. Pengembangan
kelembagaan tersebut juga untuk menjawab permasalahan rendahnya
kualitas sumber daya manusia pertanian selama ini.
Diseminasi dan transfer teknologi berperan penting dalam
revitalisasi pertanian. Pada tahun 2007, Pemerintah mengembangkan
dan melaksanakan inovasi teknologi melalui Program Rintisan dan
Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Primatani)
yang dilaksanakan di 201 lokasi di 200 kabupaten. Upaya lain adalah
pengembangan alat mesin pertanian berupa traktor sebanyak 6.398
unit dan pompa air sebanyak 986 unit. Pada tahun 2008 akan
didistribusikan peralatan pascapanen dengan jumlah yang lebih
19 - 7
banyak dan pengadaan peralatan tersebut langsung di daerah melalui
dana tugas pembantuan di 70 kabupaten/kota.
Peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu hasil
perkebunan difasilitasi melalui revitalisasi perkebunan seluas 131,4
ribu ha dan akselerasi tebu seluas 427,1 ribu ha. Langkah lain yang
dilaksanakan adalah peremajaan kebun rakyat berupa pengembangan
kelapa terpadu seluas 3.360 ha. Dari beberapa langkah kebijakan
tersebut, produksi komoditas perkebunan utama mampu meningkat
pada periode tahun 2005—2007. Produksi karet terus mengalami
peningkatan, yaitu 2,27 juta ton pada tahun 2005, menjadi 2,64 pada
tahun 2006, dan 2,76 juta ton pada tahun 2007. Produksi gula
meningkat dari 2,24 juta ton pada tahun 2005 dan 2,31 juta ton pada
tahun 2006 menjadi 2,44 juta ton pada tahun 2007. Produksi kelapa
sawit meningkat dari 14,62 juta ton pada tahun 2005 dan 16,57 juta
ton pada tahun 2006 menjadi 16,89 juta ton pada tahun 2007.
Produksi tanaman perkebunan lainnya, seperti kopi dan kakao, dalam
periode tiga tahun masing-masing meningkat 7,25% dan 4,05%,
sedangkan lada dan tembakau masing-masing turun -1,32% dan 2,06%.
Subsektor peternakan dituntut untuk mampu menyediakan
daging, susu, dan telur yang mampu dijangkau oleh masyarakat. Hal
ini juga terkait dengan upaya diversifikasi pangan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Pemerintah
memberikan bantuan bibit ternak bunting eksimpor sebanyak 4.000
ekor pada tahun 2007 serta memperbaiki mutu sapi melalui kawin
suntik sebanyak 1,2 juta akseptor. Untuk mendapatkan daging yang
higienis telah dibangun rumah potong hewan (RPH) dan rumah
potong unggas (RPU) sebanyak 31 unit. Pembangunan peternakan
juga telah mencoba dikaitkan dengan kegiatan nonternak melalui
integrasi kebun-ternak yang pada tahun 2007 telah terealisasi
sebanyak 31 kelompok dengan menyertakan 1.745 ekor sapi. Khusus
dalam hal penanganan penyakit hewan (termasuk flu burung),
Pemerintah melaksanakan penanggulangan penyakit hewan melalui
vaksinasi. Untuk tahun 2007, realisasi vaksinasi pada unggas
sebanyak 93,85 juta dosis, ternak kecil 80.000 dosis, dan pada ternak
besar sebanyak 761.000 dosis.
19 - 8
Dari beberapa upaya tersebut, selama periode tahun 2005—
2007, populasi semua jenis ternak mengalami peningkatan.
Peningkatan tertinggi (26,13%) terjadi pada ayam ras petelur dari
84,79 juta ekor pada tahun 2005 menjadi 100,20 juta ekor pada tahun
2006 dan 106,94 juta ekor pada tahun 2007. Angka tersebut diikuti
oleh peningkatan domba dari 8,33 juta ekor pada tahun 2005 menjadi
8,98 juta ekor pada tahun 2006 dan 9,86 juta ekor pada tahun 2007
atau naik 18,37%. Populasi sapi potong naik 7,54% dari 10,57 juta
ekor tahun 2005 menjadi 10,88 juta ekor tahun 2006 dan 11,37 juta
ekor tahun 2007. Populasi ternak lainnya, sapi perah naik 4,71%,
kerbau naik 5,63%, kambing naik 10,88%, itik naik 5,18%, kuda
naik 6,46%, ayam ras pedaging naik 13,52%, ayam buras naik
13,79%, dan babi turun -0,66%.
Dalam mengatasi masalah keterbatasan lahan sawah beririgasi,
telah dilakukan perluasan sawah/lahan pertanian baru serta
fungsionalisasi jaringan irigasi. Di luar Jawa dilakukan dengan
pengoptimalan penanganan lahan gambut. Dukungan terhadap
peningkatan produktivitas hasil pertanian juga dilakukan dengan
penyediaan infrastruktur pertanian yang memadai dan optimalisasi
kinerja layanan prasarana pertanian yang ada. Kegiatan pokok yang
dilakukan antara lain, pembangunan/peningkatan jaringan irigasi,
rehabilitasi jaringan irigasi, serta operasi dan pemeliharaan jaringan
irigasi. Substansi dari kegiatan ini dan hasil yang dicapai akan
dielaborasi pada Bab 33 tentang Percepatan Pembangunan
Infrastruktur khususnya di bidang sumber daya air.
B.
Revitalisasi Perikanan
Upaya yang telah dilakukan dalam rangka pelaksanaan
revitaliasi perikanan terkait dengan pengembangan perikanan
tangkap dengan komoditas utama tuna, antara lain, (1) restrukturisasi
armada perikanan tangkap; (2) optimasi perikanan tangkap berbasis
wilayah (wilayah pengelolaan perikanan, high seas, dan perairan
umum); (3) implementasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
No. 17 Tahun 2006 yang diamandemen menjadi Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan No. 05 Tahun 2008 tentang Usaha
Perikanan dalam Rangka Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap
Terpadu; (4) pemanfaatan alat bantu, penataan sistem penangkapan
ikan, dan penetapan fishing ground; (5) pemberian rekomendasi
19 - 9
kapal ikan asing (KIA) pola lisensi beralih status menjadi joint
venture sebanyak 12 perusahaan patungan dengan jumlah kapal
sebanyak 279 unit; (6) penyiapan lahan industri di Pelabuhan
Perikanan (PPN Tual, PPN Ternate, PPN Pelabuhanratu, PPN
Sibolga); (7) penetapan seluruh UPT Pusat pelabuhan perikanan
(PPS, PPN, PPP, PPI) di sejumlah 21 lokasi sebagai pelabuhan
pangkalan perikanan; (8) penetapan 13 lokasi untuk perbantuan
proses perizinan usaha perikanan tangkap, dengan jumlah kapal yang
telah dilayani sebanyak 208 kapal; (9) pemantapan revitalisasi
perikanan tuna melalui peningkatan fasilitas dan prosedur proses
penanganan ikan di atas kapal dan di tempat pelelangan ikan (TPI),
seperti palkanisasi, cool box, dan pembinaan teknis penanganan.
Pengembangan perikanan budi daya, dengan komoditas utama
udang dan rumput laut di samping komoditas lainnya yang potensial,
telah dilaksanakan melalui (1) pengembangan kawasan budidaya,
meliputi komoditas rumput laut, udang, lele, dan patin; (2)
pengembangan kebun bibit rumput laut di sentra kawasan produksi;
(3) pengoptimalan tambak-tambak yang idle melalui upaya
merevitalisasi 30% tambak intensif yang masih idle dengan budi
daya udang vanamae, sedangkan tambak tradisional direvitalisasi
dengan sistem polikultur (udang windu, rumput laut, dan bandeng);
(4) mendorong tersedianya sarana produksi sesuai dengan standar
kebutuhan; (5) produksi benih unggul ikan dan udang; (6)
optimalisasi unit pembenihan dan mendorong kemitraan antara panti
benih dan unit pembenihan rakyat (UPR); (7) impor induk udang
vanamae; (8) pembangunan broodstock center (calon induk udang
vanamae) di Jepara dan Situbondo; (9) sertifikasi budi daya.
Upaya penyediaan bahan pangan hewani dalam rangka
ketahanan pangan, terutama dari ikan dilakukan melalui kegiatan
penangkapan ikan dan pengembangan usaha budi daya.
Pengembangan perikanan budi daya dan pengendalian perikanan
tangkap dalam rangka pelestarian sumber daya ikan terus dilakukan.
Pada tahun 2005, produksi perikanan telah mencapai angka 6,9 juta
ton. Seiring dengan dilakukannya upaya pengembangan perikanan,
pada tahun 2006, produksi perikanan meningkat menjadi 7,4 juta ton.
Pada tahun 2007, produksi perikanan mampu melampaui target yang
ditetapkan, yaitu dari 7,5 juta ton, menjadi 8,02 juta ton. Bila dilihat
19 - 10
dari jumlah produksi, perikanan tangkap memberikan kontribusi
yang lebih besar. Namun, bila dilihat dari kenaikan rata-ratanya,
perikanan budi daya lebih besar, yakni mencapai 19,56% per tahun.
Dengan demikian, prospek pengembangan budi daya sangat baik.
Konsumsi ikan per kapita pada periode 2005—2007
meningkat sebesar 4,19% per tahun, yakni dari 23,95 kg/kapita/tahun
pada tahun 2005 menjadi 25,03 kg/kapita/tahun pada tahun 2006 dan
meningkat menjadi 26,00 kg/kapita/tahun pada tahun 2007.
Peningkatan konsumsi ikan tersebut tidak lepas dari Program Gemar
Makan Ikan yang selalu disosialisasikan dalam rangka mendukung
ketahanan pangan nasional.
Volume Ekspor hasil perikanan pada periode 2005—2007,
mengalami fluktuasi yang cukup besar, yaitu berturut-turut dari 0,8
juta ton pada tahun 2005 menjadi 0,9 juta ton pada tahun 2006 dan
0,8 juta pada tahun 2007. Nilai ekspor perikanan meningkat rata-rata
per tahun sebesar 9,5 persen dengan besaran nilai ekspor masingmasing sebesar USD 1,9 miliar pada tahun 2005, USD 2,1 miliar
pada tahun 2006, dan USD 2,3 miliar pada tahun 2007.
Pengembangan pengolahan dan pemasaran hasil perikanan
telah dilakukan, antara lain, melalui (1) pengembangan produk
bernilai tambah di 7 provinsi (Sumut, Lampung, DKI Jakarta, Jabar.
Jateng, Jatim, dan Sulsel); (2) pemberian bantuan sarana pengolahan
ikan skala kecil; (3) pembangunan/rehabilitasi 7 pasar ikan higienis
dan depo pemasaran ikan serta 2 subraiser ikan hias; (4) penyediaan
sarana pemasaran ikan bergerak. Pelaksanaan program peningkatan
mutu dan nilai tambah produk perikanan pada tahun 2007 telah
menunjukkan hasil yang semakin baik. Pada periode 2005—2007,
produk hasil olahan meningkat sebesar 11,79% per tahun, yakni dari
2,74 juta ton pada tahun 2005 menjadi 3,06 juta ton pada tahun 2006
dan meningkat menjadi 3,42 juta ton pada tahun 2007. Hal tersebut
ditandai dengan adanya penurunan kasus RAS (Rapid Alert System
for Food and Feeds) yang menimpa produk perikanan Indonesia di
pasar luar negeri.
Peningkatan mutu dan nilai tambah produk perikanan telah
dilakukan melalui (1) bimbingan teknis pengujian mutu hasil
perikanan di 4 laboratorium pembinaan dan pengujian mutu hasil
19 - 11
perikanan (LPPMHP); (2) surveilensi terhadap 14 LPPMHP; (3)
apresiasi sistem manajemen mutu hasil perikanan; (4) verifikasi unit
pengolahan ikan (UPI); (5) melaksanakan penerapan Program
Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) di kapal-kapal penangkap ikan
dan tempat pelelangan ikan (TPI)/pangkalan pendaratan ikan (PPI);
(6) koordinasi teknis para pengawas mutu pusat dan daerah; (7)
pelaksanaan sosialisasi ketentuan internasional tentang standar
produk hasil perikanan dan sistem jaminan mutu; (8) penyerasian
standar; (9) harmonisasi sistem jaminan mutu hasil perikanan dengan
negara Korea Selatan; (10) pelatihan fasilitator dan auditor sistem
Hazard Analysis Critial Control Point (HACCP); (11) pengawasan
penggunaan bahan kimia berbahaya. Pada tahun 2007, berdasarkan
pengukuran losses di 16 provinsi/26 tempat pelelangan ikan (TPI),
diperoleh tingkat losses sebesar 7,37%, jauh melebihi rencana target
penurunan losses pada tahun 2007 yang telah ditetapkan sebesar
10%.
Pengembangan kualitas SDM kelautan dan perikanan telah
dilaksanakan oleh unit pelaksana teknis (UPT) di daerah yakni
sekolah tinggi perikanan (1 unit), akademi perikanan (3 unit),
sekolah usaha perikanan menengah (8 unit), balai pendidikan dan
pelatihan perikanan (5 unit), serta balai diklat aparatur (1 unit).
Langkah yang telah dilaksanakan dan hasil yang dicapai antara lain:
(1) menciptakan lulusan melalui pendidikan formal yang memiliki
kemampuan teknis melalui pengembangan sarana, prasarana, dan
tenaga kependidikan di UPT Pendidikan (telah berhasil dididik 1.474
orang tingkat ahli dan 1.910 orang tingkat teknisi); (2) menciptakan
lulusan melalui pelatihan keterampilan yang ditempatkan pada kapalkapal ikan di berbagai negara (di Jepang 7.000 orang, di Spanyol 500
orang, di Korea 3.000 orang, di Malaysia 1.500 orang, dan di Afrika
Selatan 200 orang); (3) melaksanakan pendidikan kesetaraan
perikanan untuk anak putus sekolah, dengan keterampilan khusus
perikanan (1.620 orang); (4) meningkatkan kualitas pelatihan teknis
perikanan pada masyarakat (3.531 orang nelayan, pembudi daya
ikan, dan pengolah ikan; aparatur pembina/pendamping (1.894
orang); (5) pembentukan kelembagaan penyuluhan, pemberian biaya
operasional & sarana penyuluhan untuk 1.300 orang penyuluh PNS
di 456 kabupaten/kota dan 100 penyuluh tenaga kontrak.
19 - 12
Penguatan karantina ikan telah dilakukan melalui
pengembangan sistem, sarana dan prasarana karantina ikan pada 42
unit pelaksana teknis yang tersebar di 32 provinsi. Pada tahun 2007,
Pusat Karantina Ikan telah menjadi salah satu unit dari National
Single Window (NSW).
Dukungan riset yang telah dilakukan untuk mendukung
revitalisasi perikanan antara lain: (1) menghasilkan teknologi
perbenihan ikan domestik yang berkualitas (gurami, ikan baung, ikan
batak, ikan betutu, ikan belida, ikan botia, ikan nila, ikan patin, ikan
lele, udang galah, dan udang pama, lobster air tawar (Cherax sp), lele
sangkuriang dan nila kagoshima); (2) meluncurkan ikan patin hybrid,
pembenihan massal Ikan Kue/Golden trevally (Gnathanodon
speciosus, Fosskall); (3) paket teknologi tepat guna; (4)
memformulasikan pakan yang efisien; (5) memproduksi vaksin
streptococcus untuk menanggulangi penyakit pada ikan nila; (6)
menyebarkan peta Fishing Ground; (7) mengkaji stok sumber daya
ikan untuk memberikan rekomendasi pada kebijakan pengelolaan
sumber daya ikan berbasis ilmiah; (8) mengkaji potensi air lautdalam untuk dikembangkan menjadi produk bernilai tinggi; (9)
menciptakan Floating-Bouy untuk memantau kondisi lautan dan
pantai; (10) mengadakan riset pengolahan produk rumput laut untuk
makanan & obat-obatan; (11) penerapan iptekmas dan bimbingan
teknologi untuk masyarakat; (12) implementasi (HAKI) telah
mendapat dua hak paten untuk test kit formalin bahan pangan dan
formulasi minuman sari rumput laut cokelat untuk kesehatan.
Penyiapan peraturan perundang-undangan untuk mendukung
pelaksanaan revitalisasi perikanan dan sebagai tindak lanjut UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang telah
diterbitkan pada tahun 2007 yakni : (1) Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor PER.11/MEN/2007 tentang Perizinan Usaha
Pembudidayaan Ikan; (2) Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor KEP.33/MEN/2007 tentang Penetapan Jenis-Jenis
Penyakit Ikan yang Berpotensi menjadi Wabah Penyakit Ikan; (3)
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
PER.14/MEN/2007 tentang Keadaan Kritis yang Membahayakan
atau Dapat Membahayakan Sediaan Ikan, Species Ikan atau Lahan
Pembudidayaan; serta (4) Keputusan Menteri Kelautan dan
19 - 13
Perikanan Nomor KEP.37/MEN/2007
Syahbandar di Pelabuhan Perikanan.
C.
tentang
Pengangkatan
Revitalisasi Kehutanan
Revitalisasi kehutanan dititikberatkan pada upaya revitalisasi
industri kehutanan, khususnya pada pembangunan hutan tanaman
industri dengan ketiga program yang telah diuraikan sebelumnya.
Revitalisasi kehutanan dijabarkan ke dalam empat langkah pokok.
Pertama, revitalisasi industri kehutanan yang dititikberatkan pada
pembangunan hutan tanaman industri, pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu, dan peningkatan pemanfaatan jasa lingkungan. Untuk
meningkatkan efisiensi dan daya saing industri kehutanan, dalam
periode tahun 2004—2009 dilakukan pembangunan hutan tanaman
yang direncanakan seluas 9.000.000 ha. Dari luasan tersebut, 60%
(5,4 juta ha) diantaranya, diarahkan untuk hutan tanaman rakyat
(HTR) dan 40 % (3,6 juta ha) dialokasikan untuk hutan tanaman
industri/badan usaha milik negara/swasta (HTI BUMN/S).
Pembangunan HTR tersebut dimaksudkan untuk memberikan akses
hukum kepada masyarakat untuk memperoleh IUPHHK HTR dalam
skala kecil. Untuk menyediakan alternatif usaha bagi masyarakat
sekaligus meningkatkan suplai bahan baku kayu industri
dikembangkan pula pembangunan hutan rakyat, pengembangan
social forestry, dan pengembangan aneka usaha kehutanan
khususnya hasil hutan bukan kayu. Kedua, pemberdayaan ekonomi
masyarakat di dalam dan sekitar hutan untuk mengurangi
ketergantungan masyarakat terhadap hutan alam, antara lain melalui:
HTR pola kemitraan, model desa konservasi, peningkatan usaha
masyarakat di sekitar hutan produksi (PUMSHP), kemitraan dalam
pengelolaan hutan (PHBM), dan hutan kemasyarakatan (HKm).
Ketiga, rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber daya alam
dengan prioritas pada 60 DAS dan sisa sejumlah 398 DAS sebagai
prioritas selanjutnya. Keempat perlindungan dan konservasi sumber
daya alam untuk memberantas pencurian kayu di hutan negara dan
perdagangan kayu ilegal. Langkah ini mendapat dukungan
internasional dan tertuang dalam berbagai bentuk kerja sama.
Dalam rangka pertumbuhan ekonomi nasional untuk
mendorong ekspor dan investasi baru di bidang pemanfaatan hutan
dengan kelestarian hutan dilakukan perbaikan kebijakan, antara lain,
19 - 14
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 juncto PP No. 3
Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan; (2) Pedoman Tata Cara
pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan
Alam pada Hutan Produksi (P.20/Menhut-II/2007 juncto.
P.60/Menhut-II/2007); (3) Pedoman Tata Cara Pemberian Izin dan
Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
Hutan Tanaman Industri Dalam Hutan pada Hutan Produksi dalam
rangka investasi (P.19/Menhut-II/2007); (4) Pedoman tentang
Pendaftaran Ulang Izin Usaha Industri Pengolahan Hasil Hutan
Kayu (P.70/Menhut-II/2007); (5) penyederhanaan perizinan
peralatan dengan mendesentralisasikan perizinan peralatan untuk
IPK kepada Dinas Kehutanan Provinsi (P.54/Menhut-II/2007 dan
P45/Menhut-II/2007); serta (6) Penyempurnaan beberapa pasal dari
PP No. 6 Tahun 2007 melalui PP No. 3 Tahun 2008, dengan maksud
mempertegas kriteria lahan yang dapat dicadangkan sebagai areal
HTI guna mendorong percepatan pembangunan HTI.
Dalam rangka pengentasan kemiskinan, pada Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 juga telah diatur kesempatan
berusaha bagi masyarakat setempat agar dapat memperoleh akses
yang lebih luas ke sumber daya hutan produksi melalui
pembangunan HTR. Untuk akses ke lembaga keuangan, karena
lembaga keuangan yang ada tidak tertarik dalam pembiayaan
pembangunan hutan, pemerintah telah membentuk Pusat Pembiayaan
Pembangunan Hutan (Pusat P2H) sebagai Badan Layanan Umum
(BLU) dengan dana yang tersedia sebesar Rp1,4 triliun. BLU-Pusat
P2H diharapkan dapat membiayai dengan fasilitas kredit lunak
pembangunan HTR seluas 200.000 hektare per tahun. Untuk
pembangunan HTR, baru berupa pencadangan areal di 23 kabupaten.
Ada pun untuk pola kemitraan antara pemegang IUPHHK-HT/HTI
dan masyarakat setempat telah terealisasi tanaman seluas 113.004
hektare.
Pencapaian pengusahaan/pemanfaatan hutan adalah sebagai
berikut. Pertama, jumlah HPH pada tahun 2005 sebanyak 285 unit
dengan luas areal 27,72 juta ha; tahun 2006 sebanyak 315 unit
dengan luas areal 28,8 juta ha; dan tahun 2007 mencapai 326 unit
dengan area seluas 28,20 juta hektar. Kedua, jumlah HTI tahun 2005
19 - 15
sebanyak 113 unit dengan luas 5,7 juta ha; tahun 2006 sebanyak 228
unit dengan luas area 9,9 juta ha; dan tahun 2007 sebanyak 250 unit
dengan luas areal 10,2 juta hektar. Realisasi pembangunan tanaman
HTI secara kumulatif mencapai 3,9 juta hektare. Pertambahan luas
tanaman dari tahun ke tahun sejak tahun 2004—2007 mengalami
kenaikan dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 36,3% per tahun.
Realisasi pembangunan HTI seluas 354.200 hektare. Ketiga,
besarnya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan
Alam/Hak Pengusahaan Hutan (IUPHHK-HA/HPH) sebesar Rp14,5
triliun pada tahun 2005; tahun 2006 menjadi Rp14,8 triliun; tahun
2007 mencapai Rp17,3 triliun; dan sampai dengan bulan Juni 2008
besarnya investasi pada IUPHHK-HA/HPH sebesar Rp17,9 triliun;
sedangkan, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan
Tanaman Industri (IUPHHK-HT/HTI) tahun 2006 sebesar Rp11,3
triliun, tahun 2007 menjadi Rp11,8 triliun; dan sampai dengan Juni
2008 sebesar Rp11,9 triliun. Investasi pada industri primer kehutanan
tahun 2005 sebesar Rp6,96 triliun dengan jumlah penyerapan tenaga
kerja sebesar 82.431 orang; tahun 2006 sebesar Rp13,92 triliun
dengan jumlah penyerapan tenaga kerja sebesar 122.671 orang; dan
tahun 2007 sebesar Rp15,27 triliun dengan jumlah penyerapan
tenaga kerja sebesar 136.207 orang. Keempat, pemenuhan bahan
baku kayu sejak tahun 2004—2007, khususnya untuk IPHHK
kapasitas di atas 6.000 m3/tahun menunjukkan angka yang stabil,
yaitu sekitar 36 juta m3/tahun. Pasokan bahan baku kayu dari
IUPHHK-HA untuk tahun 2004 sebesar 4,3 juta m3; tahun 2005
sebesar 4,4 juta m3; tahun 2006 sebesar 6,4 juta m3; dan tahun 2007
sebesar 6,4 juta m3. Pasokan bahan baku kayu dari Izin Lainnya yang
Sah (ILS) tahun 2004 sebesar 20,7 juta m3; tahun 2005 sebesar 16,1
juta m3; tahun 2006 sebesar 4,5 juta m3; dan tahun 2007 sebesar 4,4
juta m3, sedangkan pasokan bahan baku kayu dari IUPHHK-HT/HTI
tahun 2004 sebesar 9,4 juta m3; tahun 2005 sebesar 9,9 juta m3; tahun
2006 sebesar 22,0 juta m3; dan tahun 2007 sebesar 20,6 juta m3.
Kelima, industri primer kehutanan (IPHHK kapasitas di atas 6.000
m3/tahun) yang aktif tercatat tahun 2005 sebanyak 74 unit, tahun
2006 sebanyak 150 unit, dan tahun 2007 sebanyak 162 unit. Keenam,
total ekspor hasil hutan primer tahun 2004 sebanyak 6,4 juta m3
dengan nilai USD2.532 juta, tahun 2005 sebesar 5,8 juta m3 dengan
nilai USD 2.492 juta, tahun 2006 sebesar 5,0 juta m3 dengan nilai
19 - 16
USD 2.525 juta, tahun 2007 sebesar 3,5 juta m3, dengan nilai USD
2.056 juta. Total ekspor untuk produk pulp dan kertas tahun 2006
sebesar 4,96 juta ton menjadi 4,79 juta ton dengan nilai USD3.195
juta pada tahun 2007.
Hutan juga memberikan manfaat jasa lingkungan. Jenis jasa
lingkungan hutan yang telah dimanfaatkan secara komersial dan nonkomersial meliputi jasa lingkungan hutan bagi perlindungan dan
pengaturan tata air (sumber daya air), penyerapan dan penyimpanan
karbon
(perdagangan
karbon),
perlindungan
(konservasi)
keanekaragaman hayati (plasma nutfah), dan penyediaan keindahan
bentang alam (ekowisata).
III.
Tindak Lanjut yang Diperlukan
Strategi yang ditempuh dalam melaksanakan pembangunan
pertanian menggunakan pendekatan kawasan, yang fokus
kegiatannya sesuai dengan keunggulan komparatif dengan
menyinergikan seluruh sumber daya yang dimiliki, mengembangkan
pola-pola integrasi tanaman dengan ternak, dan memperkuat
kelembagaan petani. Pembangunan pertanian tersebut diarahkan
pada kegiatan yang bersifat penyediaan public good, seperti
infrastruktur, penyuluhan, pelatihan, dan fasilitasi pembiayaan
pertanian.
Dalam rangka peningkatan ketahanan pangan, kebijakan yang
ditempuh adalah mengembangkan komoditas pangan strategis, yaitu
padi, jagung, kedelai, tebu, dan daging sapi untuk memenuhi
konsumsi dalam negeri. Selain itu, dilaksanakan diversifikasi guna
memenuhi kebutuhan produk pangan yang beraneka ragam,
mengembangkan pangan lokal, serta mendorong pola konsumsi
pangan masyarakat yang beragam, bergizi, dan seimbang
(mengurangi konsumsi karbohidrat dan menambah konsumsi protein,
vitamin, dan mineral). Percepatan peningkatan kesadaran terhadap
pangan yang aman dan bergizi sehingga dapat mengubah perilaku
komsumsi masyarakat guna mencapai status gizi yang baik. Upaya
peningkatan ketahanan pangan perlu didukung oleh tersedianya
kelembagaan/institusi yang kuat di tingkat lokal (kecamatan atau
bahkan desa) seperti lumbung pangan dan kelembagaan masyarakat
19 - 17
lainnya yang dapat berperan aktif dalam mendeteksi masalah serta
memfasilitasi peningkatan kualitas konsumsi pangan dan perbaikan
gizi.
Peningkatan ketahanan pangan akan dilaksanakan melalui
kegiatan prioritas, antara lain, (1) penyediaan dan perbaikan
infrastruktur di tingkat usaha tani; (2) pengembangan pembibitan
sapi; (3) pengelolaan mekanisasi pertanian prapanen, pascapanen,
dan pemasaran; (4) pemberian bantuan benih/bibit, sarana produksi
pertanian; (5) pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT),
penyakit hewan, karantina, dan keamanan pangan; (6) penelitian dan
diseminasi inovasi pertanian (Primatani dan Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu/PTT); dan (7) peningkatan produksi,
produktivitas, dan mutu produk pertanian, serta pengembangan
kawasan.
Langkah yang akan dilaksanakan untuk mendukung kegiatan
prioritas tersebut adalah (1) pengembangan Jaringan Irigasi Tingkat
Usaha Tani (JITUT) 100.000 ha, Jaringan Irigasi Tingkat Desa
(JIDES) 60.000 ha, Tata Air Mikro (TAM) 20.000 ha, optimasi lahan
13.500 ha, dan cetak sawah 20.000 ha; (2) pengadaan 2.230 sapi
bunting eks impor; (3) penanganan pascapanen padi di 169
kabupaten, kelembagaan pascapanen hortikulura di 30 kabupaten,
hasil karet dan kakao di 35 kabupaten, operasionalisasi silo jagung di
56 kabupaten, tersedianya uang muka pembelian 2.600 traktor roda
dua, terbangunnya Rumah Potong Hewan/Unggas (RPH/RPU) di 8
kabupaten, tersedianya alsin hortikultura di 9 kawasan, dan
operasionalisasi pasar ternak di 30 kabupaten; (4) bantuan 25.000 ton
benih padi nonhibrida, 750 ton benih padi hibrida, 1.125 ton benih
jagung hibrida, 4.000 ton benih kedelai, pengembangan benih
hortikultura di 32 kawasan, bibit kopi 2.025 ha, bibit lada 710 ha,
bibit teh 1.956 ha; dan pengembangan kebun bibit tebu berjenjang
1.130 ha; (5) pengendalian OPT pertanian di 33 propinsi,
penyelenggaraan karantina hewan dan tumbuhan, serta pengawasan
keamanan hayati di 51 UPT, (6) penelitian dan diseminasi inovasi
teknologi pertanian oleh 65 UPT yang tersebar di 33 propinsi serta
peningkatan akses pangan masyarakat dan diversifikasi pangan di
1.106 desa rawan pangan di 241 kab/kota; dan (7) penyebaran sapi
19 - 18
pejantan 1.600 ekor serta produksi dan distribusi semen beku 2,7 juta
dosis.
Pengembangan Agribisnis dilaksanakan dalam berbagai
kegiatan prioritas, antara lain, (1) pengembangan agroindustri
terpadu; (2) peremajaan tanaman perkebunan rakyat dan
pengembangan perkebunan komersial; dan (3) pengembangan
pertanian organik dan pertanian berkelanjutan.
Langkah yang akan dilaksanakan untuk mendukung kegiatan
prioritas tersebut adalah (1) pelaksanaan Pasar Tani di 34 kab.,
pengolahan hasil hortikultura di 50 kab., pengolahan hasil kebun di
40 kab., pengolahan hasil pertanian di 15 kab., operasionalisasi
pengolahan pakan di 15 kab., sentra ternak, fasilitasi Unit Pelayanan
Jasa Alsintan (UPJA) Inseminasi Buatan (IB) 300 unit, UPJA
pengolah ransum sebanyak 25 kelompok unggas, dan fasilitasi
pelayanan investasi hortikultura di 32 kawasan, (2) peremajaan 2.275
hektare kakao nonrevitalisasi; 4.967 ha karet nonrevitalisasi; 19.660
ha jambu mete; 1.170 ha cengkeh; 2.400 ha pala; 570 ha gambir;
20.000 ha kapas; 16.300 ha kelapa; 150 ha kelapa sawit
nonrevitalisasi; pemeliharaan 267 ha kebun induk tanaman jarak,
pengutuhan 1.483 ha tanaman jarak pagar, operasionalisasi 923
orang tenaga kontrak pendamping (TKP) dan pembantu lapang TKP,
revitalisasi kapas dan tebu, rehabilitasi bangunan eks UPP
perkebunan 66 unit, pengawalan revitalisasi perkebunan (karet,
kakao dan kelapa sawit) seluas 290 ribu ha, pengawalan akselerasi
peningkatan produksi gula nasional; dan (3) penerbitan sertifikasi
bagi 30 produk pertanian organik, pengembangan usaha pengolahan
kompos di 300 kelompok tani, pengolahan biogas di 300 kelompok
peternak, serta pembangunan 150 rumah kompos, integrasi kebunternak di 21 kabupaten, pengembangan hortikultura organik di 6
propinsi, penanggulangan daerah rawan longsor dan erosi dan
gerakan penanaman buah di hulu (DAS) di 13 propinsi, dan
pengembangan alternatif hortikultura kerja sama dengan Badan
Narkotika Nasional (BNN) 3 kab. di NAD.
Peningkatan kesejahteraan petani akan dilaksanakan dalam
kegiatan prioritas (1) penguatan kelembagaan petani melalui
lembaga mandiri yang mengakar di masyarakat (LM3); (2)
pengembangan usaha agribisnis perdesaan (PUAP); (3) pemagangan
19 - 19
dan pelatihan di sekolah lapang serta pendidikan pertanian dan
kewirausahaan agribisnis; (4) peningkatan sistem penyuluhan SDM
pertanian dan pengembangan kelompok tani; dan (5) penanganan
kebakaran lahan dan kebun serta gangguan usaha.
Langkah yang akan dilaksanakan untuk mendukung kegiatan
prioritas tersebut adalah (1) bantuan bagi 200 LM3 tanaman pangan,
250 LM3 hortikultura, 653 LM3 ternak dan 150 LM3 pengolahan
dan pemasaran hasil, tertanganinya daerah rawan pangan di 241 kab.,
(2) fasilitasi dan pengembangan PUAP di 10.000 desa; serta (3)
penyelenggaraan 100.000 unit SL-PTT tanaman pangan di 2 juta ha
padi nonhibrida, 50 ribu ha padi hibrida, 75 ribu ha jagung hibrida
dan 100 ribu ha kedelai, 500 kelompok SLPHT sekolah lapangan
pengendalian hama terpadu tanaman pangan, 91 unit SLPHT
perkebunan, 100 unit SLGAP hortikultura, 113 unit sekolah lapangan
iklim (SLI), terlatihnya sebanyak 10 ribu orang petani dan petugas
pertanian, (4) fasilitasi biaya operasional 28.879 orang penyuluh
PNS dan 25.706 tenaga harian lepas tenaga bantu penyuluh pertanian
(THL-TBPP), dan (5) pengendalian kebakaran lahan dan kebun di 60
kab dan gangguan usaha perkebunan di 95 kab.
Pada tahun 2009, revitalisasi perikanan akan difokuskan pada
beberapa langkah kebijakan sebagai berikut. Pertama, pengembangan
industri perikanan terpadu meliputi pengembangan industri
perikanan tuna terpadu secara vertikal dan horizontal, termasuk
inisiasi dan pengembangan awal budi daya tuna untuk menghasilkan
tuna segar, pengembangan industri tambak udang terpadu secara
vertikal dan horizontal, termasuk pembangunan broodstock, panti
perbenihan, pabrik pakan, dan obat-obatan penanggulangan hama
dan penyakit; serta pengembangan pabrik industri rumput laut
terpadu dan masal di daerah produsen di seluruh Indonesia serta
pabrik pengolahan bahan kering menjadi semi-refined products di
pusat-pusat industri. Kedua, pengembangan prasarana pelabuhan
sebagai basis pengembangan industri terpadu, khususnya di daerah
perbatasan sebagai penangkal dan pencegah IUU fishing,
transhipment dari kapal ikan ke kapal angkut secara illegal.
Pengembangan pelabuhan diharapkan dilakukan oleh swasta,
sedangkan dana publik dimanfaatkan untuk membangun pangkalan
pendaratan ikan di daerah-daerah potensial, terpencil, dan kurang
19 - 20
memiliki insentif bagi swasta. Ketiga, pengembangan prasarana
budidaya perikanan, khususnya saluran primer bagi irigasi tambak
udang, termasuk mendorong swasta untuk mengembangkan industri
benih, industri pakan, dan industri penangkal hama dan penyakit
udang. Keempat, peningkatan partisipasi Indonesia dalam perikanan
regional, utamanya sebagai anggota (contracting party) dari
Commission for Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT).
Keanggotaan ini akan membuka akses Indonesia sebagai pemanfaat
sumberdaya ikan (utamanya tuna) di perairan internasional (high
seas), yaitu Samudera Hindia. Keanggotaan Indonesia juga akan
membuat Indonesia memiliki kuota produksi dan pasar internasional
serta menghindari Indonesia dari kemungkinan embargo produk
tuna. Kelima, penyediaan bantuan langsung masyarakat berupa
sarana usaha dan prasarana dasar. Keenam, penjaminan distribusi
BBM melalui pembangunan Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN).
Ketujuh, penyediaan kedai pesisir untuk membantu masyarakat
pesisir dalam penyediaan perbekalan.
Dalam RKP tahun 2009, kegiatan prioritas yang akan
dilakukan dalam revitalisasi perikanan ini meliputi (1) pembinaan
dan pengembangan sistem usaha perikanan dengan target
dikembangkannya usaha perikanan di 33 provinsi dan pada 21 UPT
pelabuhan perikanan dan dikembangkannya 10 klaster industri
perikanan; (2) peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana
perikanan serta masukan produksi lainnya dengan target
pengembangan/rehabilitasi dan operasionalisasi 53 BBIS/BBU/BUG,
21 UPT pelabuhan perikanan dan 25 PPI; (3) peningkatan mutu dan
pengembangan pengolahan hasil perikanan dengan target
meningkatnya mutu melalui pengembangan kapasitas 39 LPPMHP,
pengembangan CCS di 20 lokasi, dan pengolahan hasil perikanan di
25 sentra pengolahan; (4) penguatan dan pengembangan pemasaran
dalam negeri dan ekspor hasil perikanan dengan target tercapainya
ekspor hasil perikanan dengan nilai US$ 2,8 miliar; serta (5)
pengembangan dan penyelenggaraan karantina ikan dan sistem
pengelolaan kesehatan ikan dengan target meningkatnya
penyelenggaraan karantina ikan di 43 UPT karantina ikan dan
terwujudnya pemantauan kesehatan ikan di 33 provinsi.
19 - 21
Revitalisasi kehutanan melanjutkan kegiatan yang dilakukan
pada tahun 2008, pada tahun 2009 akan dilaksanakan melalui
beberapa langkah kebijakan utama, antara lain (1) peningkatan
pemanfaatan dan pemasaran hasil hutan kayu dan nonkayu secara
lestari dan tetap terpantaunya peredaran hasil hutan kayu baik yang
legal maupun ilegal, (2) penyelesaian tunggakan dan intensifikasi
iuran kehutanan, pengendalian industri primer hasil hutan kayu, serta
(3) pengembangan unit usaha dan kelembagaan hutan
kemasyarakatan.
Tindak lanjut yang perlu dilakukan dan diprioritaskan adalah
(1) mempercepat pengelolaan kawasan hutan produksi yang tidak
dibebani hak/izin, (2) meningkatkan pembangunan hutan tanaman
industri dan hutan tanaman rakyat (HTI dan HTR), (3) mendorong
sertifikasi pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) terutama pada
hutan alam (secara mandatory maupun voluntary), dan percepatan
revitalisasi industri kehutanan.
Sebagai tindak lanjut dari Conference of Partities (COP) ke-13
tentang Reducing Emission from Deforestation and Degradation
(REDD) di Bali telah disusun road map dan kegiatan pokok REDD
Indonesia yang terbagi ke dalam tiga fase, yaitu (1) fase
persiapan/readiness tahun 2007; (2) fase pilot/transisi tahun 2008—
2012; dan (3) fase implementasi penuh dari tahun 2012 atau lebih
awal. Tahap awal dari fase persiapan telah disusun draf Tata Cara
Pelaksanaan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
Hutan.
19 - 22
Download