Urbanisasi Paska Lebaran dan APBN 2016 Oleh Joko Tri Haryanto

advertisement
Urbanisasi Paska Lebaran dan APBN 2016
Oleh Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*
Seperti periode-periode sebelumnya, paska lebaran 2015 ini, Provinsi DKI Jakarta harus
bersiap diri menghadapi lonjakan pendatang baru dari berbagai pelosok daerah di Indonesia.
Meski berat dengan problematika kehidupan kota, Jakarta di mata kaum pendatang tetap
menjadi magnet luar biasa bagi perbaikan status hidup. Himpitan ekonomi di daerah asal,
makin memperbesar tekat para kaum urban untuk mencoba mengadu nasib di Jakarta. Menurut
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi Jakarta, jumlah pendatang baru yang
diprediksi akan masuk ke Jakarta tahun 2015 ini mengalami kenaikan sekitar 3% menjadi
70.593 orang dibandingkan jumlah pendatang 2014 sekitar 68.537 orang. Hebatnya lagi, hampir
sebagian besar kaum pendatang yang rata-rata berpendidikan menengah rendah hanya
bermodalkan nekat tanpa keahlian apapun. Akibatnya, mayoritas pendatang dipastikan hanya
akan bekerja di sektor informal serta berpotensi terjerumus dalam dunia kriminalitas ibu kota.
Keterbatasan lahan juga memaksa kaum pendatang untuk hidup di jalanan. Tak heran,
meskipun sudah ditertibkan, setiap habis Lebaran jumlah gubuk liar, manusia gerobak dan
rumah kardus akan meningkat secara drastis. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan,
mengingat pendatang tersebut sebetulnya memiliki niat yang mulia. Namun apa daya,
kejamnya ibu kota memaksa impian mereka kandas di tengah jalan. Untuk pulang ke kampung
halaman, sebagian besar merasa malu disamping kondisi kampung halaman yang memang
sudah tidak menjanjikan.
Problem urbanisasi ini sejatinya menjadi masalah klasik yang selalu terulang setiap tahunnya.
Sayangnya, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta sepertinya tidak pernah
memiliki kiat menghadapi fenomena tersebut. Kebijakan yang ada, akhirnya hanya bersifat
kuratif, tanpa pernah berpikir bagaimana mencegah laju urbanisasi. Semakin banyak dilakukan
operasi yustisi kependudukan atau razia KTP, jumlah pendatang baru bukannya berkurang,
justru malah terus bertambah. Akibatnya program-program tersebut justru semakin beraroma
proyek semata tanpa menghasilkan solusi praktis.
Banyak pihak menilai, fenomena ini sebetulnya terjadi akibat besarnya tingkat kesenjangan
antarpenduduk serta kesenjangan antara desa dan kota. Berdasarkan data BPS, porsi 20%
penduduk dengan pendapatan tertinggi di Indonesia terus meningkat, sementara 40%
penduduk pendapatan menengah dan rendah cenderung fluktuatif. Dilihat dari nilai Indeks Gini,
terlihat peningkatan signifikan dari 0,33 tahun 2002, menjadi 0,41 tahun 2013. Data distribusi
pendapatan juga memperkuat hal tersebut. Sejak tahun 2010, porsi kelompok 20 persen
penduduk terkaya naik pesat hingga 49%, sementara kelompok 40 persen menengah dan 40
persen termiskin terus mengalami penurunan.
Berdasarkan data pengamat, jika di tahun 1980, sekitar 78% penduduk Indonesia masih tinggal
di pedesaan, maka kondisi tersebut kini justru mengalami kebalikan. Penduduk desa masih
berkisar di angka 120 juta jiwa, sementara penduduk yang tinggal di perkotaan justru
mengalami kenaikan hingga empat kali lipat, dari 32,76 juta jiwa menjadi sekitar 123,12 juta
jiwa. Jika tren urbanisasi tetap seperti saat ini, maka di tahun 2025 nanti sekitar 65% penduduk
akan berada di kota, sementara sisanya akan berdiam di pedesaan dengan mayoritas usia
nonproduktif dan senja.
Teori kependudukan
Penduduk jika dilihat dari sisi positif, sebetulnya memiliki faktor strategis dalam pembangunan
dengan beberapa alasan. Alasan pertama, penduduk adalah subyek dan obyek pembangunan.
Sebagai subyek, penduduk harus dibina dan ditingkatkan kualitasnya sehingga mampu menjadi
mesin penggerak pembangunan. Sebagai obyek, pembangunan harus dapat dinikmati oleh
masyarakat. Dengan demikian, pembangunan harus diperhitungkan dengan seksama, dengan
memperhitungkan kemampuan penduduk, sehingga masyarakat mampu berpartisipasi secara
aktif.
Alasan kedua, keadaan dan kondisi kependudukan yang ada akan sangat mempengaruhi
dinamika pembangunan. Jumlah penduduk yang besar, jika diikuti dengan kualitas penduduk
yang memadai, akan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya jumlah
penduduk yang besar namun kualitasnya kurang memadai justru akan menjadi beban
pembangunan.
Alasan ketiga, dampak perubahan dinamika kependudukan baru akan terasa dalam jangka
panjang, sehingga terkadang peran penting penduduk dalam pembangunan menjadi
terabaikan. Di sisi lain, kebijakan pemerintah seringkali bersifat populis jangka pendek.
Akibatnya pengelolaan kependudukan di suatu negara bukan menjadi hal yang cukup prioritas.
Padahal tidak diindahkannya dimensi kependudukan dalam kerangka pembangunan berarti
sama artinya dengan ”menyengsarakan” generasi mendatang.
Bagaimana penduduk mempengaruhi pertumbuhan juga diuraikan dalam berbagai teori.
Thomas Robert Malthus dalam bukunya An Essay on the Principle of Population as It Affects
the Future Improvement of Society, menyoroti pentingnya pengelolaan penduduk. Malthus
mengingatkan tentang bahaya laju pertumbuhan penduduk yang akan melebihi percepatan laju
penyediaan pangan. Secara implisit teori tersebut menekankan pentingnya pengendalian
populasi sebagai salah satu kekuatan penggerak dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Paska lahirnya teori Malthus, dunia sepertinya tidak lagi memperdulikan peran populasi
terhadap pertumbuhan ekonomi. Berbagai teori pertumbuhan ekonomi klasik justru
menganggap pentingnya peran akumulasi modal sebagai sumber pertumbuhan ekonomi
negara dengan menafikan peran populasi. Sebagai contoh teori Harod Domar yang
menyatakan bahwa sumber pertumbuhan adalah besarnya porsi pendapatan domestik bruto
(PDB) yang ditabung, sebagai capital stock untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.
Dalam pengembangannya, Solow Swan mulai mempertimbangkan pentingnya akumulasi modal
”dalam arti luas” sebagai sumber utama pertumbuhan. Akumulasi modal ”dalam arti luas”
didefinisikan sebagai ”modal fisik dan non fisik berupa ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Teknologi akan memacu inovasi, meningkatkan produktivitas, serta terciptanya pertumbuhan
ekonomi yang stabil. Inovasi tersebut muncul dari hasil learning by doing, dengan menekankan
pentingnya kualitas penduduk di dalamnya. Pengembangan teori Solow Swan inilah yang
nantinya dikenal sebagai New Growth Theory, sebagai dasar munculnya revoluasi pemikiran
pentingnya kualitas penduduk dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Di era Orde Baru, Pemerintah sebetulnya cukup concern dengan masalah kualitas penduduk.
Banyak kebijakan yang kemudian dihasilkan, bersifat terintegrasi demi menciptakan penduduk
yang berkualitas. Program Keluarga Berencana (KB), BKKBN, dan Posyandu adalah contoh
nyata kebijakan Pemerintah Orde Baru yang ditujukan demi menciptakan masyarakat yang
berkualitas.
Hal inilah sejujurnya yang menjadi pekerjaan besar pemerintah untuk bagaimana mengubah
kualitas penduduk sehingga urbanisasi tidak lagi dimaknai negatif. Tujuan utama yang ingin
dicapai tentu saja meningkatkan pemerataan pembangunan di seluruh daerah di Indonesia.
Dan pemerintah sudah memiliki instrumen pendanaan yang tepat jika ingin mewujudkan
mekanisme tersebut. Rencananya, di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Tahun 2016, besaran dana Transfer ke Daerah akan mencapai Rp800 triliun, naik secara
signifikan dibandingkan alokasi APBN Perubahan 2015 sebesar Rp643,8 triliun. Di dalam
alokasi tersebut, sudah termasuk pula Dana Desa yang besarannya juga akan terus
diupayakan untuk meningkat secara singifikan.
Optimalisasi “Ekonomi Lebaran” di daerah-daerah juga perlu dilakukan. Perlu dicatat bahwa
ketika ekonomi nasional tengah mengalami kelesuan, permintaan uang tunai untuk kebutuhan
Lebaran tahun 2015 justru mengalami kenaikan hingga mencapai Rp125 triliun. Dari
keseluruhan uang tersebut, sebesar Rp61 triliun beredar di pulau Jawa, Rp20 triliun beredar di
pulau Sumatera dan sisanya sekitar Rp11 triliun beredar di Bali dan Indonesia Timur. Dari Rp61
triliun yang beredar di Jawa, sekitar 30%-nya beredar di Jakarta. Suatu potensi ekonomi yang
sebetulnya sangat disayangkan jika terbuang hanya untuk kegiatan konsumtif semata tanpa
dapat menggerakan kegiatan investasi selanjutnya.
Oleh karena itu, ke depan Pemerintah sebaiknya memfokuskan pada bagaimana menciptakan
pembangunan yang merata di seluruh wilayah sebagai acuan kinerja utama, khususnya di
wilayah-wilayah perdesaan demi men-disencourage ledakan urbanisasi. Tanpa itu semua,
Jakarta akan terus menjadi tumpuan mengadu nasib seluruh pendatang baru, meskipun Jakarta
sendiri juga memiliki keterbatasan daya dukung dan daya tampung. Seyogyanya pekerjaan ini
dimulai dari sekarang. Jangan tunggu sampai Jakarta menjadi kota nekropolitan bagi
penduduknya.
*)Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana
penulis bekerja
Download