ISSN : NO. 0854-2031 TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA ( MENCARI MODEL PENANGANAN PEMERINTAH, LSM DAN MASYARAKAT UNTUK PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA) Sigit Irianto * ABSTRACT Household violence has been a national and global problem. Women are often considered depending much on men and their autonomous characteristics are reduced. Therefore realization of justice and gender equality between men and women is not merely an issue and a women's demand any longer. In Indonesia protection on women is regulated in the Law No. 23/2004. However household violence still happens either in the aspects of physical, psychological, sexual or economic violence.The result of research can be exposed that the forms of household violence that are distinguished among physical, psychological, sexual and economic violence, actually in the field show that the forms of the violence can be an inseparable sequence. There has not been a good coordination among the government, non-government organization and society in implementing the Law. Regulations in the forms of either regulation, instruction, or the decree of Regional Head on legal protection to handle household violence in the levels of either Province or Regency/Municipality have been made, but they have not been running optimally. Based on above research result, the researcher draws a conclusion that the implementation of the Law No. 23/2004 and the other regulations related to women protection has not been effective so that it is necessary to create a model of cooperative network to handle household violence among the government, non government organization and society. Kata Kunci: KDRT, Penanganan, Perlindungan Hukum PENDAHULUAN Adanya anggapan di masyarakat bahwa wanita dan anak-anak masih dalam kekuasaan laki-laki dan semua permasalahan dalam rumah tangga merupakan masalah pribadi merupakan salah satu petunjuk bahwa sifat patriarkis masih melekat di masyarakat. Sifat ini * Sigit Irianto, Dosen Fakultas Hukum Untag Semarang, Sedang menempuh Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP Semarang, Telp. 081 325 544 490 208 tidak hanya dimiliki oleh golongan masyarakat tertentu, tetapi dalam skala internasional juga dimiliki oleh bangsa yang lain. Wujud dari sifat ini ditunjukkan bahwa sebagian masyarakat dunia memiliki sistem patrilinial, yaitu kekuasaan lebih besar di tangan laki-laki. Rumusan dalam pasal-pasal pidana pada undang-undang pidana di Inggris menyebut subyek hukum pelaku sebagai “he” (laki-laki) , nyatanya menurut penafsiran para hakim di Inggris termasuk HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT VOL.7 NO.2 APRIL 2010 Sri Setiawati : Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) dan Upaya ..... pula “she” (perempuan), karena itu hukum dan hakim di Inggris dipandang memiliki standar ganda dalam menilai dan menerapkan hukum antara kaum perempuan dan laki-laki. Apabila berkaitan dengan hak, maka itu hanya dimiliki secara monopoli oleh laki-laki, tapi ketika menyangkut kewajiban hukum dan obyek pemidanaan, perempuan diperlakukan sama dengan laki-laki. Sangat jelas bahwa penderitan dan penganiayaan yang dialami oleh kaum perempuan antara lain diakibatkan oleh peran dan fungsi hukum yang bersifat ke-laki-laki-an. Demikian juga Perancis yang baru mengakui kedudukan perempuan setelah Perang Dunia II. Gambaran di atas menunjukkan bahwa keseluruhan pranata/sistem hukum mulai dari materi peraturan perundangundangan, lembaga/aparat penegak hukum dan budaya masyarakat belum sepenuhnya berpihak pada perempuan. Dari aspek substansinya, memang sudah cukup terpenuhi dengan adanya peraturan perundang-undangan yang melindungi kaum perempuan, namun dalam aspek aplikasinya masih seringkali belum dipahami oleh para penegak hukum dengan persepsi yang bias untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Gerakan Feminisme yang dimulai di Negara-negara barat merupakan protes keras terhadap pranata hukum dan perlawanan terhadap ketidakadilan bagi kaum perempuan. Pengaruh ini langsung ataupun tidak langsung juga berkembang di Indonesia dengan munculnya lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat yang khusus menangani problematika yang dihadapi kaum perempuan, terutama yang menyangkut kekerasan terhadap perempuan, persamaan hak/ kesederajadan di berbagai bidang dan juga kekerasan dalam rumah tangga. Dalam penelitian bertujuan untuk (1) Mengetahui bagaimana model tindak kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di masyarakat, dan (2) Langkah-langkah apa yang ditempuh dalam penanganan tindak kekerasan dalam rumah tangga dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004. METODE PENELITIAN Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan penelitian kualitatif dan kuantitatif, dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis dengan maksud untuk menggambarkan secara valid dan aktual tentang obyek yang diteliti serta untuk menemukan modelmodel penanganan tindak. Penelitian ini dilakukan di 2 (dua) Propinsi di yaitu Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, dasar asumsinya bahwa wilayah Kota/ Kabupaten tersebut cukup banyak terdapat kekerasan dalam rumah tangga. Disamping itu juga sudah ada Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat yang khusus menangani tindak kekerasan dalam rumah tangga Sampel penelitian yang digunakan adalah sampel informan. Untuk mengambil sampel informan akan digunakan metode non random, dimana pada setiap wilayah yakni, Semarang, Magelang, Purwokerto dan Yogyakarta akan dipilih Polsek yang pernah menerima laporan/ pengaduan wanita yang mengalami korban tindak kekerasan dalam rumah tangga. Disamping itu juga akan dipilih LSM yang khusus menangani korban kekerasan dalam rumah tangga. Selanjutnya untuk menentukan sampel informasi,diambil dengan menggunakan metode Purposive Sampling dan Snowball Sampling. Dalam penelitian ini pengumpulan data akan dilakukan dengan menggunakan beberapa metode dan instrumen-instrumen penelitian yaitu (1) metode interview, (2) metode Content Analysis, (3) metode HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT VOL.7 NO.2 APRIL 2010 209 Sri Setiawati : Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) dan Upaya ..... documenter. Data yang telah diperoleh diolah dengan menggunakan metode koding data, editing data dan tabulasi data. Data yang telah diolah tersebut, kemudian akan disajikan dalam bentuk tabel-tabel, terutama tabel distribusi frekuensi maupun tabel silang. Dalam penelitian ini uji mutu data akan dilakukan dalam dua tahap, yaitu: 1) Tahap kegiatan pengumpulan dan analisis data; Dalam tahap ini uji mutu data dilakukan dengan menggunakan teknik ketekunan pengamatan, teknik melakukan member check serta melakukan teknik triangulasi terutama triangulasi sumber data, metode dan peneliti; 2) Tahap setelah pengumpulan data dan analisis data Dalam tahap ini uji mutu data dilakukan dengan menggunakan teknik diskusi, tenik melakukan member check berkenaan dengan hasil akhir penelitian serta teknik menunjuk seorang Dosen senior yang dipandang cukup menguasai metodologi Penelitian Kualitatif dan kuantitatif untuk melakukan audit-audit pada hal-hal tertentu. Data yang telah diolah akan di analisis dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif, analisis kuantitatif ditunjukkan terhadap data yang bersifat kualtitatif, dengan analisis model statistik sederhana, terutama distribusi frekuensi analisis dan analisis tabel silang. Analisis kualitatif ditunjukkan terhadap data yang bersifat kualitatif, dengan model content analysis dan constant comparative analysis. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 210 Kekerasan dalam rumah tangga. Khususnya terhadap perempuan diatur dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang disebut dalam Pasal 1 Ayat ( 1), Pasal 2 Ayat (1), Pasal 5 Ayat (1). Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap tindakan yang mengakibat kan pada kesengsaraan dan penderitaanpenderitaan perempuan secara psikologis fisik dan seksual termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi didepan umum atau dalam kehidupan pribadi. Kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi dan penelantaran. Korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga mempunyai hak-hak yaitu: a. P e r l i n d u n g a n d a r i k e l u a r g a , kepolisian,kejaksaan pengadilan, lembaga sosial, atau pihak lainnya berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis. c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban. d. Pendampingan. e. Pelayanan. Kendala tindakan hukum bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga: a. Kaum perempuan masih enggan memperkarakan penganiayaan atas dirinya. Masyarakat dan pihak menganggap persoalan tersebut sebagai aib. b. Sikap para penegak hukum khususnya untuk persoalan kekerasan dalam rumah tangga bukan permasalahan yang urgent/kritis. Kesadaran aparat dalam kekerasan yang terjadi merupakan pelanggaran UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga dinilai masih HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT VOL.7 NO.2 APRIL 2010 Sri Setiawati : Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) dan Upaya ..... kurang. c. Permasalahan kekerasan dalam rumah tangga sering dianggap sebagai masalah domestik bukan masalah publik. Sehingga seringkali diabaikan penanganan dan pelaporannya oleh semua pihak. d. Implementasi penegakan hukum UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan sosialisainya tidak terlaksana dengan baik, sehingga kesadaran berbagai pihak dirasakan masih kurang. Indonesia merupakan peserta komite CEDAW (Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi bagi perempuan) dan pada tanggal 24 Juli 1984 Indonesia telah meratifikasi CEDAW tersebut dalam undang-undang No. 7 tahun 1984 yang dalam pasal 2nya disebutkan. P e s e r t a k o n v e n s i C E D AW mengutuk diskriminasi terhadap wanita dengan segala bentuknya, bersepakat dengan segala cara yang tepat dan tampak ditunda – tunda, kebujaksanaan menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan untuk tujuan ini berusaha antara lain membuat perundangan yang tepat untuk menghapuskan kebiasaan peraturan perundangan yang tidak melindungi hak asasi manusia, Pasal 7 nya menyebutkan bahwa: Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang dapat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan praktis dan kehidupan kemasyarakatan negaranya. Kemudian menjadi tolak ukur sampai sekarang kita telah lebih 20 tahun memiliki ketentuan hukum itu, namun masalah gender tidak mudah diselesaikan. Permasalahan gender merupakan proses yang rumit. Untuk melihat persoalan dengan jelas maka perlu mempelajari pengalaman tentang pandangan atas gender pada kehidupan bangsa di masa sekarang maupun di masa lalu. Kemudian hal ini baru ditindaklanjuti tahun 2004. UU No 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak perempuan, diantaranya didalamnya mengatur peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam mencegah kekerasan dalam rumah tangga, disamping itu masyarakat juga wajib melaporkan peristiwa kekerasan dalam rumah tangga jika melihat atau mengetahuinya. Sementara dalam pasal 15 sampai dengan 25 menunjukkan dengan jelas apa yang menjadi kewajiban polisi, tenaga kesehatan, pekerja kesehatan, relawan pendamping, pembimbing rohani, dan advokat dalam proses penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bentuk kekerasan terhadap perempuan adalah Kekerasan fisik Kekerasan psikologis atau emosional, Kekerasan seksual dan Kekerasan ekonomi. Perbuatan kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi pada usia berapapun, yang masing-masing mempunyai tipe kekerasan berbeda-beda. Ada beberapa jenis kekerasan fisik lainnya ternyata tidak diberi sanksi pidana dan akibatnya adalah walaupun terjadi intimidasi terhadap perempuan, tidak dapat dilakukan tindaka hukum apapun terhadap pelakunya, misalnya incest, sexual harassment. Kenyataannya ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap tidak kekerasan pada wanita belum sepenuhnya mendapat perhatian bagi aparat penegak hukum. Menurut pasal 1 angka ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 disebutkan: “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis dan/ atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT VOL.7 NO.2 APRIL 2010 211 Sri Setiawati : Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) dan Upaya ..... pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Dalam penjelasan pasalnya dikatakan bahwa melakukan kekerasan ialah menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani sekuat mungkin secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya yang menyebabkan orang yang terkena tindakan kekerasan itu merasa sakit baik jasmani maupun rohani. Kemudian rumusan pasal 1 ayat (3) UU No.23 tahun 2004:”korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Selanjutnya dikemukakan, bahwa seseorang dapat dipertimbangkan sebagai korban tanpa melihat apakah si pelaku kejahatan itu sudah diketahui, ditahan, dituntut, atau di pidana dan tanpa memandang hubungan keluarga antara si pelaku dengan korban. Peran Negara Dan Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM ) Terhadap Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Para aktivis feminisme melihat bahwa negara tidak merupakan institusi yang netral, tapi negara tampak sebagai sebagai institusi laki-laki yang mendominasi kaum perempuan. Negara tidak dapat eksis tanpa hukum, sedangkan hukum berkarakter laki-laki, beraliran lakilaki dan berefek laki-laki. Menurut Mackinson, gender adalah sistem sosial yang membagi kekuasaan. Oleh karena pembagian kekuasaan merupakan sistem politik, maka menjadi monopoli pekerjaan laki-laki. Negara lebih banyak diitentukan oleh laki-laki. 1 Dalam jangka waktu yang lama, kaum perempuan dieksploitasi ekonomi, dibuang ke dalam perbudakan 1 Mackinson, Op. Cit. p. 129 212 sebagai pelayan/pengurus rumah (domestic slavery), ditekan dalam keibuan mereka, menjadi obyek seksual melalui pornografi dan pornoaksi, disiksa secara fisik, digunakan sebagai alat untuk mencemarkan seseorang dalam dunia hiburan, hak suara/politik dan budaya aslinya dicabut serta dikeluarkan dari kehidupan publik. Berdasarkan perbandingannya dengan kaum laki-laki, kaum perempuan secara sistematis telah ditundukkan kepada ketidaknyamanan secara fisik, dicabut kehormatan dan kredibilitasnya serta dibungkam hak suara dan representasinya.2 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM ) sebagai organisasi masyarakat bergiat atas motivasi dan swadaya yang bangkit dari kesadaran solidaritas sosial. Organisasi masyarakat diatur dalam SK. Mendagri Kesejahteraan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (KESBANG LINMAS) . Sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini belakangan berkembang demikian rupa sehingga memiliki konotasi khas. Sebagai salah satu bentuk wadah yang menyalurkan peran serta masyarakat, corak kegiatan khas, karena dilandasi oleh motivasi yang khas pula. Salah satu peran penting yang dapat dilakukan oleh LSM ialah advocacy. Dalam kamus, kata itu diartikan sebagai “please for support”. Dalam pada itu LSM mendasarkan kegiatan dan tindakanya pada kerelawaan serta solidaritas sosial anggota-anggotanya. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dapat mengartikulasikan peran sertanya melalui gerakan unjuk dukungan dalam arti substantif dan positif. Etika advocacy yang menjadi partisipasi LSmM ialah dukungan tulus ikhlas untuk memasyarakatkan hal-hal yang hak dan praktek-praktek yang tidak menyimpang. Dukungan yang dituntut dari sekolompok 2 Ibid, p. 177 HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT VOL.7 NO.2 APRIL 2010 Sri Setiawati : Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) dan Upaya ..... orang yang ikhlas., sukarela bersolidaritas sosial, haruslah mencerminkan sikap dasar yang memihak pada kemaslahatan masyarakat. Bukan dukungan sempit pada suatu kebijaksanaan dan program dalam arti sempit semata-mata. Model Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang Terjadi di Masyarakat. 1. B e r d a s a r k a n U n d a n g - u n d a n g Nomor 23 Tahun 2004 Memperhatikan apa yang sudah tertuang dalam Undang-Undang No. 23 Ta h u n 2 0 0 4 , s e b e n a r n y a m o d e l penanganan masalah KDRT sudah cukup lengkap. Ada delapan instansi dan pihak terkait yang wajib ikut menangani yaitu : Pemerintah Daerah, Rumah Tangga, Kepolisian, Petugas kesehatan, Pekerja sosial, Relawan, Rohaniwan,Advokat. Model 1 Model Penanganan Menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 KEPOLISIAN Kasus KDRT Warga Masyarakat KESEHATAN ADVOKAT PEKERJA SOSIAL ROHANIWAN RELAWAN PENGADILAN Proses Penyesuaian kembali 2. Langkah-langkah Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada prinsipnya, penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga bukan merupakan leading sector bagi Pemerintah, karena banyak sekalimasalah-masalah yang dihadapi dan harus diselesaikan oleh Pemerintah. Pemerintah Daerah tidak memberikan prioritas secara khusus, namun akan selalu mengakomodir apabila terjadi kasus-kasus tersebut dengan membantu sarana dan prasarana, misalnya dalam pelayanan visum secara cuma-cuma ke rumah-sakit yang ditunjuk, membentuk posko dan lain-lain . 3 Pemerintah menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak dilakukan melalui beberapa Kesepakatan dan juga dalam bentuk Peraturan Bupati/ Walikota Instruksi Walikota/Bupati maupun Keputusan Bupati/ Walikota dan membentuk jalinan kerjasama secara lintas sektoral yang melibatkan beberapa Instansi terkait dengan LSM dan Perguruan Tinggi yang mempunyai Pusat Studi Wanita. Langkahlangkah ini mulai berjalan meskipun belum secara optimal serta baru pada tahap pencarian model yang tepat untuk menanganni kekerasan dalam rumah tangga.sebagai tindak lanjut dari Kesepakatan Bersama Empat Menteri yaitu Menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Sosial, Menteri Kesehatan, dan Kepala Kepolisian RI, tentang Pelayanan Terpadu Korban kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, maka telah ada Instansi yang menangani masalah Perempuan dan anak yaitu bagian Pemberdayaan Perempuan, baik di Propinsi Jawa Tengah maupun Daerah Istimewa Yogyakarta. Demikian juga pada tingkat Kabupaten dan Kota yang di teliti telah ada bagian khusus yang menangani gender, khususnya perempuan dan anak, dengan jaringan kerjasama dengan instansi terkait. Dengan demikian secara umum penanganan tidak hanya masalah kekerasan dalam rumah tangga saja tetapi 3 Sulistyo, KESBANGLITMAS, Semarang, Wawancara, tanggal 6 Nopember 2007 HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT VOL.7 NO.2 APRIL 2010 213 Sri Setiawati : Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) dan Upaya ..... juga masalah-masalah yang menyangkut gender untuk perlindungan perempuan dan anak, seperti kasus pemerkosaan, kekerasan dalam pacaran, trafficking, kekerasan terhadap buruh migran dan lain sebagainya. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam memperjuang kan hak-hak wanita yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah tidak hanya sebatas dalam kasus-kasus kekerasan yang dihadapi oleh wanita (misalnya kekerasan fisik, psikis, pelantaran/ekonomi maupun seksual) disamping itu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga mengajarkan kepada wanita-wanita tentang pendidikan hukum dengan diskusi-diskusi. Namun untuk penanganan kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya melakukan pendataan tetapi layanan. Layanan yang diberikan kepada korban adalah berupa layanan konseling, legitasi, non litigasi dan monitoring. Disamping peran LSM, peran kepolisian juga besar dalam menangani kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Menurut Sukiyono, kepolisian dalam menerima pengaduan akan mencermati sejauh mana kekerasan tersebut dilakukan. Apabila dipandang masih dapat dilakukan perdamaian, maka cara itu akan dilakukan, namun apabila kekerasan itu telah menimbulkan luka –luka yang cukup parah dan korban mengalami trauma untuk bertemu dengan pelaku, maka perkara itu akan diproses lebih lanjut. Dari laporan yang masuk, sebagian diselesaikan secara kekeluarga an.4 3.Analisis Hasil Temuan di lapangan a. Langkah-langkah yang Dilaksanakan Untuk penanganan penanganan KDRT dan kasus-kasus kekerasan yang berbasis jender di masyarakat, maka telah dibentuk Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) berdasarkan Kesepakatan Bersama Meneteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meneteri Kesehatan, Menteri Sosial dan Kepala Kepolisian R.I.Nomor : 14/Men PP/Dep.IV/X/2002, Nomor 1329/MenKes/SKB/X/2002, Nomor: 75/HUK/2002 dan No. Pol: B/3048/X/2002 tentang Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Adapun tugas dan tanggung jawab pihak-pihak yang menandatangani Kesepakatan Bersama tentang Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Bagan 1. Tugas dan Tanggung Jawab Para Pihak Dalam SKB Penanda tangan Menteri PP Tugas dan tanggung jawab 1. advokasi dan sosialisasi PPT, fasilitas rumah aman, mendorong partisipasi masy. 2. Pelatihan 3. sosialisasi internal Menteri Sosial Menteri Kesehatan Kapolri 1. menyediakan SDM Pekerja sosial. 2. fasilitas rumah perlindungan dan trauma center 3. mendorong partisipasi masyarakat dan LSM 4. membuat pedoman dan SOP 5. sosialisasi internal. 1. SDM Medis dan paramedic di RSUP, RS Prov dan kabupaten 2. Fasilitas medik 3. Pelatihan Pedoman dan SOP 4. Sosialisasi internal. 1. SDM Medis dan paramedic di RS Kepolisian. 2. fasilitas layanan terpadu 3. menyiapkan polisi/RPK untuk pendampingan hukum 4. pedoman & SOP 5. sosialisasi internal 4 Sukiyono, Kapolsekta Ungaran, Semarang, Wawancara tanggal 7 Oktober 2007 214 HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT VOL.7 NO.2 APRIL 2010 Sri Setiawati : Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) dan Upaya ..... Uraian tugas dan tanggung jawab ini mencerminkan bidang keahlian masingmasing sehingga diharapkan adanya saling mengisi dan keterpaduan kerjasama. Untuk itu dituntut masing-masing pihak untuk mengimplementasikannya secara sektoral Kesepakatan bersama ini kemudian ditindaklanjuti dengan dibentuknya Pusat Pelayanan Terpadu (PPT). PPT ini dibentuk dari tingkat pusat sampai Kecamatan-kecamatan. Untuk tingkat Kecamatan diketuai oleh Sekretaris Kecamatan atau Sekretaris Wilayah Kecamatan, anggota-anggotanya dari berbagai unsur seperti Dokter Puskesmas, Kepolisian, Kepala Desa/ Kelurahan/ tokoh-tokoh masyarakat dan lain-lain. Langkah-langkah pendirian system pelayanan terpadu kekerasan terhadap Perempuan dan anak meliputi: perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan pemantauan dan evaluasi. Dari beberapa langkah ini secara prinsip sudah mulai dilaksanakan tetapi rancangan konsep pelayanan terpadu, pemetaan kasus korban kekerasan, identifikasi kebutuhan bersama seperti kebutuhan korban, petugas dan fasilitas, dan lainnya belum sepenuhnya terlaksana secara optimal. Kemudian MOU pihak-pihak yang terlibat, monitoring kekerasan mulai dari tingkat masyarakat, monitoring kondisi korban dan pembentukan support group dan pencarian dana nampaknya belum diwujudkan. Posisi yang paling banyak terjadi adalah adanya pelaporan kekerasan dalam rumah tangga yang mengadu baik ke LSM, kepolisian maupun pada lembagalembaga Pemerintah yang menangani kekerasan terhadap perempuan. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa Partisipasi masyarakat untuk adanya kekerasan dalam rumah tangga relative sangat kecil, karena adanya anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah urusan intern setiap keluarga, bersifat kasuistis, personal dan domestic. Disamping itu juga adanya rasa “ewuh pakewuh” dan pikiran akan menimbulkan perselisihan dengan tetangga. Hal inilah yang belum dipahami dan tersosialisasi secara optimal. Untuk itu perlu adanya model jaringan Kerjasama yang harus difasilitasi dan direalisasikan oleh Pemerintah, sehingga setiap lembaga maupun masyarakat terkait dapat menerapkannya dalam kehidupan di lingkungannya. Untuk sementara model jaringan kerjasama yang diharapkan dapat dilihat pada model berikut ini. Model 2 Model Jaringan Kerjasama Kepolisian Pembentukan & Pengembangan Peer Group Education Pem. Daerah Laporan KDRT LSM Tokoh Masyarakat Jaringan Kerjasama Penanganan KDRT Upaya Pencegahan Kembali Ke Masyarakat HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT VOL.7 NO.2 APRIL 2010 215 Sri Setiawati : Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) dan Upaya ..... Model ini apabila terwujud, maka kekerasan dalam rumah tangga akan semakin lereliminir, karena kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah, LSM yang peduli maupun aparat tetapi juga masyarakat melalui tokoh-tokohnya untuk secara bersama-sama berperan aktif. Disamping itu pembentukan peer group akan sangat membantu pencegahan dan penanganan korban kekerasan dalam rumah tangga atau tokoh masyarakat yang disegani terutama oleh pelakunya. Namun pertimbangan bahwa hal ini adalah urusan keluarga menjadi pertimbangan yang sangat berat, sehingga melaporkan kejadian itu merupakan upaya terakhir karena sudah tidak mampu mengatasinya sendiri. Pemberi informasi ini pada umumnya adalah pihak yang dimintai pertimbangan atas kejadian kekerasan dalam rumah tangga yang dialami korban. Tabel 4 Dalam Prosentase (%) Kekerasan Dalam Rumah tangga dan Pelaku b. Pendapat Responden tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pada dasarnya kekerasan dalam rumah tangga selalu ada dalam setiap keluarga, meskipun dalam kadar yang sangat ringan, seperti tamparan-tamparan kecil, umpatan-umpatan yang me nyinggung perasaan maupun dalam bentuk-bentuk lain. Pada umumnya laporan tentang kekerasan dalam rumah tangga oleh korban pada aparat maupun LSM dan instansi lainnya, sudah masuk dalam kategori yang berat artinya kekerasan itu sudah seringkali terjadi, dan tidak dapat diselesaikan para pihak sendiri. Disamping itu Untuk lebih memperoleh gambaran yang jelas maka berikut ini paparannya. Tabel 3 Dalam Prosentase (%) Informasi bahwa KDRT harus dilaporkan No 1 2 3 4 Keterangan Pemberi Informasi Besarnya Saudara 52 Orang Tua 4 Orang Lain 38 Lainnya 4 Teman & Tetangga Total 100 Sumber: Data Primer Diolah, 2007 Sebenarnya korban kekerasan dalam rumah tangga secara naluriah sudah mengetahui bahwa apabila dirinya terancam dapat melaporkan pada petugas 216 Bentuk Kekeras Fisik Psikis Ekonomi Lain Besar Ket. an nya nya Pelaku 1 2 3 4 5 Suami Orang tua Mertua Anak Saudara Total 36 2 1 2 41 14 5 2 21 22 4 2 2 30 4 4 8 76 4 4 6 10 100 - Sumber: Data Primer Diolah, 2007 Tabel 2. menjelaskan bahwa sebagian besar KDRT dilakukan oleh suami, dan sebagian besar bersifat kekerasan fisik. Bentuk kekerasan fisik adalah dipukul, ditendang, ditampar, dicekik, dilempar, dibanting, dipukul dengan benda tumpul, misalnya dengan genteng. Kekerasan ekonomi adalah kasus kedua terbesar, terutama banyak terjadi di kota yang cukup besar seperti Semarang. Secara lebih details terungkap bahwa Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami korban tidak hanya satu bentuk kekerasan, seperti fisik saja, tetapi juga menelantarkan anak dan isteri dan bahkan digugat cerai pelaku (suami). Hal ini nampak dari beberapa kasus yang ditemui di lapangan. Perlakuan yang demikian pada umumnya karena suami selingkuh dan ingin mengawini HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT VOL.7 NO.2 APRIL 2010 Sri Setiawati : Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) dan Upaya ..... pasangan selingkuhnya. Beberapa kasus lainnya adalah karena tekanan ekonomi akibat PHK yang dialami suaminya, sehingga emosi seringkali tidal dapat dikendalikan serta karena cemburu. Dalam beberapa kasus yang ada pada awalnya mengalami kekerasan fisik dan melaporkan ke polisi dan kemudian berakhir damai. Namun hal itu berulang kembali dengan kekerasan fisik dan penelantaran keluarga (anak dan isteri) yang pada akhirnya suami menggugat cerai isterinya. Kasus lain sebagai contoh adalah gabungan antara perkosaan dan KDRT. Di Banyumas, seorang kakak ipar memperkosa korban dan kekerasan fisik oleh suaminya serta penelantaran secara ekonomi, sehingga korban mengalami tekanan psikis berat. Fakta lainnya adalah korban kekerasan dalam rumah tangga melaporkan ke polisi namun tidak dip roses kartena kurangnya bukti. Demikian juga penipuan dalam perkawinan, yaitu seorang laki-laki mengaku masih jejaka,kemudian kawin dan punya anak. Isteri pertamanya menuntut pembatalan perkawinan, akibatnya adalah penelantaran korban dan anaknya secara ekonomi.KDRT juga dialami oleh korban oleh mantan suaminya karena kesulitan bertemu dengan anaknya. Ada beberapa responden yang mengatakan bahwa tekanan ekonomi menyebabkan pikiran suami untuk mempekerjakan isterinya menjadi pelacur. Kejadian KDRT yang bersifat Psikis juga muncul cukup penting. Kondisi yang cukup memprihatinkan adalah KDRT yang dilakukan oleh anak. Permintaan yang tidak dituruti oleh orang tuanya dapat menyebabkan anak itu kalap dan tidak lagi menghargai orang tuanya, kekerasan secara fisik berupa menempeleng orang tuanya dan yang lebih banyak adalah kekerasan psikis berupa umpatan-u,patan yang berulangkali dilakukan anak dan kalimatnya sangat menyakitkan. Dari temuan di lapangan perdamaian merupakan langkah penting yang terjadi karena sebagian besar kasus yang ada dilakukan cara ini. Namun seringkali berkembang kearah yang lain, dimana suami isteri tersebut masih saling mencintai dan sepakat untuk tidak berperkara, namun justru dari pihak orang tua salah satu pihak yang tidak menerima kondisi ini dan menghendaki kasusnya diteruskan lewat jalur hukum, artinya tetap dilanjutkan sampai ke pengadilan. Kemudian juga beberapa kasus yang muncul sudah sampai pada sidang pengadilan agama yang menunggu putusan perceraian. Menurut Agus Wibowo,5 hal ini sangatlah menyulitkan karena secara psikologis suami isteri itu sedikit banyak terpengaruh. Penyelesaian damai yang telah dilakukan di pengacara maupun di kepolisian berarkhir mentah lagi, karena pihak salah satu orang tua tetap ngotot perkaranya dilanjutkan secara hukum. Padahal KDRT adalah delik aduan, sehingga apabila pengaduan isteri akibat KDRT oleh suaminya dicabut maka proses hukumnya akan dihentikan. Perdamaian banyak diupayakan petugas dalam KDRT, sebagai upaya agar terhindar dari proses hukum lebih lanjut. Factor–faktor yang menjadi pertimbangan petugas adalah adanya kekerasan hanya emosi sesaat, tidak menimbulkan luka parah, adanya anak-anak, rasa menyesal, kesanggupan untuk memperbaiki diri, dan rasa cinta kedua belah pihak yang dicerminkan dari sikapnya. Namun ada juga yang melanjutkan konflik adalah keluarga pihak laki-laki dan pihak perempuan. Keluarga pihak laki-laki menganggap kejadian Rumah Tangga itu belum perlu dilaporkan ke polisi, sementara keluarga pihak perempuan menganggap telah terjadi kekerasan terhadap perempuan. 5 Augs Wibowo, Pengacara, Semarang HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT VOL.7 NO.2 APRIL 2010 217 Sri Setiawati : Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) dan Upaya ..... Model 3 Model yang Ditemukan KEPOLISIAN LSM Kasus KDRT Warga Masyarakat Kesehatan Advokat Pengadilan Penjara Proses Penyesuaian KESIMPULAN Pemisahan kekerasan fisik,dan psikis relative sulit, karena sebelum terjadi kekerasan fisik, hampir selalu didahului oleh kekerasan psikis berupa lontarankata-kata kotor dan memojokkan kedudukan perempuan. Kekerasan psikis pada dasarnya hampir selalu terjadi pada responden dan bahkan dalam suatu keluarga yang dianggap tidak terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Pertengkaran suami isteri dalam kondisi tertentu, sadar atau tidak sadar seringkali terjadi adu mulut dan muncul umpatanumpatan yang condong meremehkan perempuan. Hal ini karena tidak lepas dari kultur budaya masyaraakat, laki-laki sebagai pencari nafkah utama, penafsiran ajaran agama yang keliru yang menafsirkan perempuan kurang mempunyai peran dalam keluarga dan harus tunduk pada suami dan lain sebagainya. Partisipasi masyarakat untuk adanya kekerasan dalam rumah tangga relative sangat kecil, karena adanya anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah urusan intern setiap keluarga, bersifat kasuistis, personal dan domestic. Disamping itu juga adanya rasa “ewuh pakewuh” dan pikiran akan menimbulkan perselisihan dengan 218 tetangga. Hal inilah yang belum dipahami dan tersosialisasi secara optimal. Untuk itu perlu adanya model jaringan Kerjasama yang harus difasilitasi dan direalisasikan oleh Pemerintah, sehingga setiap lembaga maupun masyarakat terkait dapat menerapkannya dalam kehidupan di lingkungannya. Peran pihak-pihak terkait dalam mengatasi kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 sebenarnya sudah jelas. Semua unsur dalam pemerintahan yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga sudah terinci dan bahkan dengan adanya Pusat Pelayanan Terpadu perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak sangat bias ditekan.atau dapat diatasi. Namun dalam ranah implementasinya belum sepenuhnya setiap Kabupaten/ Kota secara intens menjalankannya, meskipun sudah dibuat peraturan, keputusan maupun instruksi dari Bupati atau Walikota Disamping itu belum adanya jaringan kerjasama dari berbagai instansi terkait dengan elemen-elemen masyarakat yang dapat dilibatkan menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga masih terus berlangsung dan bahkan cenderung meningkat kualitas dan kuantitasnya. Penanganan yang sifatnya normative bahwa belum cukup bukti untuk diproses lebih lanjut juga merupakan salah satu kendala dalam menangani kekerasan dalam rumah tangga. SARAN Perlu terus diadakannya sosialisasi terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga, dan harus mampu menyentuh warga masyarakat pada lapisan paling bawah. Perlu segera direalisir model kerjasama antara Pemerintah Daerah, Aparat hukum LSM dan elemen-elemen masyarakat lainnya dalam wadah Pusat Pelayanan Terpadu untuk menekan HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT VOL.7 NO.2 APRIL 2010 Sri Setiawati : Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) dan Upaya ..... terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dan kekerasan berbasis gender dan anak pada umumnya. Perlu ditinjau kembali Peraturan Gubernur, Walikota dan Bupati mengenai Kekerasan Berbasis gender, khususnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang sulit diimplementasikan. DAFTAR PUSTAKA Abrar, Ana Nadhya dan Wini Tamtiari, (Ed), Konstruksi Antara Hak dan Kekuasaan, Kerjasama Ford Poundation dengan Pusat Penelitian Kependudukan UGM, Yogyakarta, 2001. Anissa, Rifka (LSM), Kekerasan Terhadap Isteri, WCC, Yogyakarta, 1999. Arifin, Zaenal Pornografi, Cermin Ketidakadilan Gender, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, , 2003. Brewin, C.R, Attribute of Blame for Marital Violence: A Studyof Anticedents and Consequences, Journal of Mariage and the Family, 52, 757- 767, 1990. Chand, Hari, Modern Jurisprudence (Kuala Lumpur: International Law Book Service, 1994). Gadis Arivia, Politik Tubuh Perempuan dan Eksploitasi Seksual (Jakarta: Jurnal Perempuan Indonesia Vol. 2 tahun 2001). Dirdjosisworo, Soedjono, Sinopsis Krominologi Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1994. Edwards, A, Male Violence in Feminist Theory: An Analysis of The Changing Conception of Sex/ Gender Violence and Male Dominance Dalam Hanmerand Marynard: Women, Violence, and Social Control , New York: Macmilan, 1993. Gadis Arivia, Politik Tubuh Perempuan dan Eksploitasi Seksual (Jakarta: Jurnal Perempuan Indonesia Vol. 2 tahun 2001). Henry Campbell, Black, Blacks Law Dictionary, St. Paul Minn West Publishing Co, 1979. Herkrisnowo, Herkristuti, “ Hukum Pidana dan tindakan Kekerasan terhadap Perempuan” dalam : Pemahaman Bentuk-bentuk Tindakan kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pencegahannya, Alumni, Bandung, 2000. Herkutanto, Kekerasan terhadap Perempuan dan Sistem Hukum Pidana, Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, Alumni, Bandung, 2000. Irianto, Sulistyowati, Pendekatan Hukum Berperspektif Perempuan, Penghapusan Diskriminasi Te r h a d a p Wa n i t a , A l u m n i , Bandung, 2000. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Gadjah Mada University, 1987 Kitty Calavita, ”Blue Jeans, Rape and the “De-Constitutive” Power of Law, in Law & Society Review, Amberst, 2001, p.1 Moleong, Lexy, J, Metode Penelitian Kualitatif, Remadja Rosda karya, Bandung, 1997. Nawawi-Arief, Barda, Masalah Penegakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2001. Nawawi-Arief, Barda, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan terhadap Kejahatan Dengan Hukum Pidana , BP UNDIP, Semarang, 1996. Prasetyo, Eko dan Suparman Marzuki (Ed), Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, PKBI, Yogyakarta, 1997. Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai pustaka, Jakarta, 1996, Ratna Dewi, Sinta, Kekerasan Suami HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT VOL.7 NO.2 APRIL 2010 219 Sri Setiawati : Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) dan Upaya ..... Terhadapisteri di Masyarakat Perkotaan, Skripsi, Fak. Psikologi UGM, Yogyakarta, 1997. Renate Duelli, Theories of Womens's Studies, 1st. USA: Routldeg & Kegan Paul Inc., 1983 Rochayati, Suci, Perlindungan Hukum Bagi Wanita Terhadap Kekerasan Dalam Rumah tangga Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, Tesis, PMIH, UNTAG Semarang, 2005. 220 Soesilo, R, Kriminologi, Politea, Bogor, 1985. Soesanto, IS, Kajian Kriminologis Kejahatan Kekerasan terhadap Wanita, Makalah penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, FH UNDIP, Semarang, 1995. Sonkin, Daniel J, dan Michael Durphy, Learning To Live Without Violence, A Handbook for Men, Volcano Press, California, 1987. HUKUM DAN DINAMIKA MASYARAKAT VOL.7 NO.2 APRIL 2010