BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air Susu Ibu (ASI

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang paling penting bagi
pertumbuhan dan kesehatan bayi, karena selain mengandung nilai gizi yang cukup
tinggi, ASI juga mengandung zat pembentuk kekebalan tubuh terhadap penyakit. Gizi
anak merupakan komponen penting dalam kesehatan anak. Pertumbuhan dan
perkembangan fisik, kognitif, dan emosi anak sangat tergantung pada banyaknya dan
tipe makanan yang dimakan serta waktu untuk mengenalkan berbagai jenis makanan.
Dalam dua tahun pertama setelah lahir, kebutuhan gizi anak berubah dengan cepat
dan pola makan anak berkembang dengan cepat mulai dari diet yang sederhana yaitu
minum ASI atau susu formula menjadi diet yang lebih bervariasi termasuk misalnya
buah-buahan/juice, sereal dan makanan padat. Pola makan semasa bayi merupakan
hal yang sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak dan akan
mempengaruhi pilihan kebiasaan makan nantinya pada masa anak-anak. Tentunya
kebiasaan makan anak akan mempengaruhi status gizi dan kesehatan anak dimasa
yang akan datang (Helwiah, 2005).
Air susu ibu (ASI) telah lama diketahui mempunyai manfaat bagi bayi
termasuk pada bayi prematur untuk mengurangi kejadian infeksi dibanding susu
formula. American Academy of Pediatrics (AAP) yang direvisi pada tahun 2004 yang
merekomendasikan agar dokter anak dan tenaga kesehatan lain membantu ibu untuk
Universitas Sumatera Utara
memulai menyusui bayinya baik untuk bayi yang sehat maupun bayi yang beresiko
tinggi (Ani, 2007).
Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun
bayinya. Bagi bayi, menyusui mempunyai peran penting yang fundamental pada
kelangsungan hidup bayi, kolostrum yang kaya dengan zat antibodi, pertumbuhan
yang baik, kesehatan, dan gizi bayi. Kolostrum merupakan air susu ibu yang keluar
pada hari-hari pertama yang berwarna bening atau putih kekuning-kuningan.
Pemberian kolostrum merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kekebalan
bayi baru lahir dan mematangkan usus bayi. Namun masyarakat masih ada persepsi
dan perilaku yang tepat terhadap kolostrum, karena dianggap kotor, basi atau tidak
baik untuk bayi (Riskesdas, 2010)
Bayi pada usia dua bulan pertama yang tidak mendapat ASI mempunyai
resiko kematian karena penyakit infeks 6 kali lebih besar dari bayi yang mendapat
ASI. Namun beberapa ahli berpendapat bahwa proteksi yang diberikan ASI menurun
dengan meningkatnya umur anak. Hal ini mungkin disebabkan asupan ASI yang
berkurang pada anak yang juga mendapat MPASI (Helwiah, 2005).
Studi kohort di Australia Barat memperlihatkan adanya penurunan yang
berarti (signifikan) dari nafas bayi yang berbunyi (wheezing) pada anak-anak yang
mendapat ASI eksklusif selama minimal 4 bulan. Studi observasional di Australia
juga menunjukkan bahwa meminum susu sapi dapat merupakan faktor pencetus
untuk diabetes melitus ketergantungan insulin (Helwiah, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia, walaupun anjuran untuk ASI Eksklusif sampai 6 bulan sudah
merupakan Porgram Nasional dengan SK MENKES 2004, tetapi berdasarkan data
yang diperoleh dari Sistem Survelens Gizi Nasional 2002 ternyata hanya 27-40% ayi
berusia kurang dari 2 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif, 4-8% bayi-bayi di
Indonesia berusia 4-5 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif dan hanya 1% yang
diberi ASI eksklusif sampai usia 6 bulan. Di Indonesia, 8% dari bayi yang baru lahir
mendapat ASI dalam satu jam pertama setelah dilahirkan, dan lebih dari separuh
(53%) diberi ASI dalam satu hari pertama (Helwiah, 2005).
Anak yang mendapatkan Asi eksklusif akan tumbuh lebih cepat. Hal ini
terlihat pada berat dan tinggi bayi pada usia 6 bulan pertama dibandingkan dengan
anak yang tidak mendapat ASI eksklusif (partially breast-fed). ASI mempengaruhi
pertumbuhan anak melalui dua jalan yang berbeda. Pertama, pertumbuhan
dipengaruhi oleh asupan energi dan zat gizi esensialyang terdapat di ASI. Kedua, ASI
menurunkan
angka
kesakitan
diare
yang
pada
gilirannya
mempengaruhi
pertumbuhan. Berdasarkan banyak penelitian lainnya, lamanya memberi ASI
eksklusif berhubungan dengan prevalensi diare dan ISPA (Helwiah, 2005).
Akhir-akhir ini di Indonesia ada penurunan jumlah ibu yang memberikan ASI
eksklusif. Hasil yang dikeluarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) periode 1997-2003 hanya 14% ibu di Tanah Air yang memberikan air susu
ibu (ASI) eksklusif kepada bayinya sampai enam bulan. Rata-rata bayi di Indonesia
hanya menerima ASI eksklusif kurang dari dua bulan. Sementara itu cukupan
Universitas Sumatera Utara
pemberian susu formula meningkat 3 kali lipat dalam kurun waktu antara 1997
sebesar 10,8% menjadi 32,4% pada tahun 2002.
Dari hasil penelitian, akhir-akhir ini didapat kesan bahwa penggunaan susu
botol/susu formula sebagai pengganti Air Susu Ibu semakin meluas dikalangan ibuibu tidak hanya di kota tetapi sudah menjalar ke desa. Hasil survey menunjukkan
bahwa cakupan ASI eksklusif di perkotaan mempunyai range antara 4-12%, di
pedesaan 4-25%. Sedangkan cakupan ASI eksklusif yang ditargetkan dalm Program
Pembangunan Nasional (PROPENAS) dan Strategi Nasional Program Peningkatan
Cakupan Air Susu Ibu (PP-ASI) adalah sebesar 80% (Depkes RI, 2005).
Konsumsi susu formula tampaknya sangat erat berhubungan dengan tempat
melahirkan. Diantara ibu-ibu yang melahirkan di rumah, tidak lebih dari 9%
menerima/membeli sampel susu formula atau menerima informasi mengenai susu
formula. Sedangkan ibu-ibu yang melahirkan anaknya di rumah bidan, klinik bersalin
atau rumah sakit di perkotaan (78%) hampir sepertiganya menerima sampel gratis
susu formula, seperempat membeli sampel dan 6%-8% hanya menerima informasi.
Dipedesaan 35% ibu-ibu yang melahirkan pada fasilitas-fasilitas seperti di atas dan
hanya 10% menerima sampel gratis, 25% membeli sampel dan 10% meneriam
informasi mengenai susu formula. Sedangkan untuk ibu-ibu yang melahirkan di
puskesmas (11% di perkotaan dan 4% di pedesaan) proporsinya sedikit lebih rendah
(Helwiah, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Para ibu mengganti ASI karena mendapatkan sampel-sampel susu formula
gratis dimana mereka melahirkan. Dalam hal ini Pemerintah, khususnya Departemen
Kesehatan dapat menerapkan peraturan-peraturan yang tegas kepada perusahaanperusahaan makanan pendamping ASI untuk tidak memberikan sampel-sampel gratis
susu formula atau dengan menggalang kerjasama promosi ASI Eksklusif dengan
rumah sakit bersalin, klinik, Puskesmas atau bidan-bidan swasta. Selain itu petugaspetugas kesehatan diharapkan dapat mendukung sepenuhnya program pemeritah
tersebut
dengan
memberikan
penyuluhan-penyuluhan-penyuluhan
mengenai
pentingnya melakukan ASI Eksklusif sampai usia 6 bulan.
Berdasarkan data BPS Kota Tebing Tinggi tahun 2008, terdapat 5 kecamatan
yaitu : Kecamatan Bajenis 30.282 jiwa (21,72%), Kecamatan Tebing Tinggi Kota
29.783 jiwa (21,37%), Kecamatan Rambutan 27.647 jiwa (19,83%), Kecamatan
Padang Hilir 27.414 jiwa (19,67%), dan Kecamatan Padang Hulu 24.277 jiwa
(17,41%). Kelurahan Durian merupakan merupakan salah satu kelurahan di
Kecamatan Bajenis yang tidak menutup kemungkinan terpengaruh oleh gencarnya
pemasaran susu formula ini. Wilayah ini biasanya menjadi target promosi berbagai
produk termasuk di dalamnya adalah susu formula.
Berdasarkan data profil Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi tahun 2008
tercatat angka cakupan ASI Eksklusif di Kota Tebing Tinggi tercatat 72% atau
sebesar 3.372 jiwa bayi yang mendapat ASI Eksklusif. Dari data Riskesdas tahun
2010 tercatat Provinsi Sumatera Utara cakupan ASI Eksklusif 50,3% memberikan
ASI Eksklusif pada bayi baru lahir dengan waktu 1-6 jam. Hal ini menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
adanya penurunan cakupan ASI Eksklusif menurut data Riskesdas tahun 2010 yaitu
sebesar 50,3%. Dari data Riskesdas tahun 2010 di Sumatera Utara tercatat 73,5% ibu
yang memberikan susu formula pada bayi baru lahir.
Melalui hasil survei awal yang dilakukan pada bulan November tahun 2011
diperoleh data terdapat 43 orang ibu yang memiliki bayi usia 0-6 bulan dan hasil
survei yang dilakukan terdapat 25 ibu yang menggunakan susu formula pada bayinya
sejak bayinya usia 0 bulan. Dari hasil survei didapatkan informasi bahwa para ibu
menggunakan susu formula pada bayinya karena dimana tempat mereka melahirkan
selalu dikenalkan dengan susu formula oleh bidan.
Dari data yang diperoleh, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang
pengaruh komunikasi persuasif bidan terhadap perilaku ibu dalam pemberian susu
formula pada bayi usia 0-6 bulan
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah : Bagaimana Pengaruh komunikasi
persuasif bidan terhadap perilaku ibu dalam pemberian susu formula pada bayi usia
0-6 bulan di Kelurahan Durian Kecamatan Bajenis Kota Tebing Tinggi tahun 2012.
Universitas Sumatera Utara
1.3
1.3.1
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Untuk mengetahui Pengaruh komunikasi persuasif bidan terhadap perilaku ibu
dalam pemberian susu formula pada bayi usia 0-6 bulan di Kelurahan Durian
Kecamatan Bajenis Kota Tebing Tinggi tahun 2012.
1.3.2
Tujuan Khusus
1. Untuk
mengetahui
pengaruh
komunikasi
persuasif
bidan
terhadap
pengetahuan ibu dalam pemberian susu formulapada bayi usia 0-6 bulan.
2. Untuk mengetahui pengaruh pengetahuan terhadap sikap ibu dalam pemberian
susu formula pada bayi usia 0-6 bulan.
3. Untuk mengetahui pengaruh sikap terhadap tindakan ibu dalam pemberian
susu formula pada bayi usia 0-6 bulan
1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi masyarakat khususnya ibu agar
memberikan ASI Eksklusif untuk bayi usia 0-6 bulan.
2. Sebagai masukan kepada petugas kesehatan khususnya bidan untuk
mempromosikan tentang ASI Eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan.
3. Sebagai bahan masukkan yang berarti dan bermanfaat bagi Kelurahan Durian
Kecamatan Bajenis Kota Tebing Tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Download