During the 1990`s the United Nations organised a

advertisement
1
Hukum Pidana Internasional
P. Burgess 1
Sejarah
Latar belakang konsep tanggung jawab inidividu dalam hukum internasional, yaitu ide
bahwa hukum internasional dapat menimpakan tanggung jawab secara langsung
terhadap individu.
Sebelum Perang Dunia II
Secara historis, hukum internasional dianggap sebagai hukum yang hanya menimbulkan
hak dan kewajiban kepada negara.
Sehingga sampai Perang Dunia II (PD II), hukum internasional hanya mengharuskan
negara yang ditundukkan untuk mengadili (dengan hukum nasional mereka) para
tersangka penjahat perang yang disangka telah melanggar kewajiban hukum dan
kebiasaan perang.
Misalnya negara yang ditundukkan harus melaksanakan pengadilan
(pengadilan setempat) suatu tribunal militer untuk kejahatan perang.
nasional
Lalu, sebagai kesimpulan dari PDI, berbagai traktat pengakhiran perang memasukkan
ketentuan bagi pengadilan setempat atau komisi-komisi militer untuk mengadili orangorang yang dituduh melanggar hukum dan kebiasaan perang.
mis. Traktat Versailles 1919 pasal 228: “Pemerintah Jerman mengakui hak dari
pihak Sekutu dan Kekuasaan-kekuasaan terkaitnya untuk menuntut orang-orang
yang dituduh melakukan tindakan pelanggaran hukum dan kebiasaan perang ke
tribunal militer (Pengadilan setempat)
Pendekatan ini juga terlihat jelas pada konvensi-konvensi yang dibuat untuk mengatur
perang pada saat itu, misalnya Konvensi De Hague IV dan Hague Rules 1907:
-
Hague Rules termasuk juga ketentuan perilaku (code of conduct) bagi individu
-
Pasal 1 dari Konvensi tersebut mewajibkan negara-negara anggota
untuk
mengeluarkan instruksi kepada angkatan bersenjata mereka untuk mematuhi Hague
Rules.
-
Pasal 56 Hague Rules- Pelanggaran atas Hague Rules harus dijadikan dasar dari
Proses Hukum di pengadilan lokal (tidak harus pengadilan pidana)
-
Pasal 3 dari Konvensi De Hague IV – Jika salah satu prajurit melanggar peraturan
tersebut, maka negaranya lah yang harus bertanggung jawab atas hal tersebut.
akan tetapi peraturan tersebut tidak secara jelas mengatur bahwa individual yang
melakukan pelanggaran tersebut akan bertanggung jawab secara pidana dalam
perspektif hukum internasional.
1
Beberapa bahan-bahan materi diambil dari konsep tindak pidana internasional berbasis jender yang sekarang masih
dikerjakan oleh kelompok kerja Komnas Perempuan, termasuk penulis.
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
2
Setelah Perang Dunia II
Tribunal Militer Internasional Nuremberg
Setelah berakhirnya Perang Dunia II (PD II) diputuskan untuk membentuk tribunal
internasional khusus untuk mengadili pelaku kejahatan perang dibawah kekuasaan
sekutu.
Pada bulan Agustus 1945 Piagam London untuk Tribunal Militer Internasional ( dikenal
juga sebagai the Nuremberg Charter) disetujui.
Piagam itu memberikan yurisdiksi tribunal untuk mengadili orang-orang yang melakukan
tiga jenis kejahatan :
•
kejahatan terhadap perdamaian : yaitu, merencanakan, mempersiapkan,
memulai atau menantang perang atau melakukan agresi, atau perang yang
merupakan pelanggaran terhadap traktat internasional, perjanjian atau jaminan,
atau keikutsertaan dalam rencana bersama atau permufakatan untuk
terlaksananya suatu kondisi tersebut diatas;
•
Kejahatan perang; yaitu, pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan perang.
Pelanggaran ini termasuk namun tidak terbatas pada, pembunuhan, perlakuan
kejam atau deportasi penduduk sipil di lokasi yang dikuasai untuk diperbudak,
dipekerjakan atau tujuan lainnya, pembunuhan atau perlakuan kejam terhadap
tahanan perang atau orang di lautan, membunuh sandera, merampas barangbarang milik publik atau pribadi, tanpa alasan menghancurkan kota atau desa,
atau penghancuran yang tidak dapat dibenarkan dari sisi kebutuhan militer.
•
Kejahatan terhadap kemanusiaan : yaitu, pembasmian, perbudakan,
pemindahan, atatu tindakan tidak manusiawi lainnya terhadap populasi sipil,
sebelum ataupun pada saat perang; atau penuntutan atas dasar politik, rasial
atau keagamaan dalam eksekusi atau dalam hubungannya dengan kejahatan
apapun didalam yurisdiksi tribunal, terlepas dari apakah tindakan tersebut
melanggar hukum domestik dimana kejahatan tersebut terjadi.
Tribunal dilengkapi dengan hukum acara yang didasarkan kepada tradisi hukum
common law.
Empat orang hakim duduk, masing-masing mewakili satu negara sekutu; terdakwa
diwakili oleh pengacaranya.
Dua puluh empat orang dituntut, hanya tiga dari mereka yang dibebaskan (catatan.
bahwa salah seorang terdakwa – Bormann – diadili secara in-absentia dan dihukum
mati)
Proses ini juga bukan tanpa cela.
Kritik utama terhadap proses ini adalah bahwa ini menimpakan tanggung jawab secara
retroraktif terhadap individu-individu atas tindakan yang pada saat terjadinya bukan
merupakan tindak pidana – argumen ini khususnya diajukan dalam hal kejahatan
terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap perdamaian.
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
3
Sidang di
Jerman
Pengadilan
Domestik
Selain sidang Tribunal Militer Internasional Nuremberg, sidang juga diadakan di
pengadilan domestik.
Pengadilan yang paling terkenal adalan pengadilan yang dilaksanakan dibawah
pengawasan Control Council law No. 10 (meskipun didang lainnya dilaksanakan
di negara Eropa lainnya)
Undang-undang mengatur bahwa bagi sidang-sidang atas kejahatan yang
serupa – misalnya kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang dan
kejahatan terhadap kemanusiaan (dan juga kategori keempat dari kejahatan untuk
keanggotaan pada organisasi kriminal)
Definisi kejahatan didasarkan kepada definisi pada Piagam London (meskipun
tidak identik sepenuhnya identik terhadapnya)
Tribunal Militer Internasional bagi Timur
Jauh
Setelah perang di Pasifik berakhir, proses yang sejenis dibentuk untuk mengadili
tersangka penjahat perang jepang.
Tribunal ini dibentuk oleh Jendral McArthur (Komandan Tertinggi Tentara Sekutu)
melalui proklamasi khusus pada tanggal 19 Januari 1946 (dan tribunal ini nyaris
seluruhnya dikuasai oleh Amerika Serikat)
Definisi kejahatan yang dipergunakan sangat mirip dengan definisi yang digunakan
pada Piagam London untuk Tribunal Nuremberg.
•
kejahatan terhadap perdamaian : yaitu, merencanakan, mempersiapkan,
memulai atau menantang suatu agresi perang yang telah dinyatakan atau tidak
dinyatakan, atau perang yang merupakan pelanggaran terhadap traktat
internasional, perjanjian atau jaminan, atau keikutsertaan dalam rencana
bersama atau permufakatan untuk terlaksananya suatu kondisi tersebut diatas;
•
Kejahatan perang konvensional; yaitu pelanggaran terhadap hukum atau
kebiasaan perang.
•
Kejahatan terhadap kemanusiaan : yaitu, pembunuhan, pembasmian,
perbudakan, pemindahan, atau tindakan tidak manusiawi lainnya yang
dilakukan sebelum atau selama perang. , atau penuntutan atas dasar politik,
atau rasial dalam eksekusi atau dalam hubungannya dengan kejahatan apapun
didalam yurisdiksi tribunal, terlepas dari apakah tindakan tersebut melanggar
hukum domestik dimana kejahatan tersebut terjadi. Pemimpin, pengatur,
penghasut dan kaki tangan yang terlibat dalam perumusan atau pelaksanaan dari
suatu rencana bersama atau permufakatan untuk terjadinya kejahatan yang
disebut diatas bertanggung jawab terhadap semua tindakan yang dilakukan oleh
semua orang dalam pelaksanaan rencana tersebut.
perlu dicatat bahwa di Jepang proses untuk melaksanakan sistem sidang paralel
pada pengadilan lokal tidak dilaksanakan.
Tema Umum pada Pengadilan pasca
PD II
meskipun prosedur dan definisi tentang kejahatan dimana seorang individu dapat
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
4
diadili melalui proses ini bervariasi, namun suatu tema umum muncul ke permukaan :
-
Konsep bahwa seorang individu dapat dinyatakan bertanggung jawab dibawah
hukum internasional, meskipun pada saat tindakan tersebut dilakukan,
tindakan tersebut bukanlah pelanggaran terhadap hukum domestik.
-
Konsep pertanggung jawaban komando (yang sangat terkenal pada kasus
Yamashita)- ini adalah mungkin kristalisasi dari konsep yang telah
berkembang sebelumnya.
-
Konsep kejahatan diatur pada hukum internasional selain kejahatan perang –
khususnya kejahatan terhadap kedamaian (sekarang dikenal sebagai “agresi”)
dan kejahatan terhadap kemanusiaan. [tapi perlu dicatat bahwa untuk
beberapa waktu tertentu aplikasi kejahatan terhadap kemanusiaan tetap
terbatas, karena konsep bahwa kejahatan tersebut hanya dapat terjadi
dalam hubungannya dengan kejahatan perang, atau kejahatan terhadap
keamaian- dan karena kejahatan tersebut memerlukan terjadinya konflik
bersenjata, maka hal ini berarti bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan juga
hanya terjadi jika ada konflik bersenjata. Pendekatan ini telah diperluas
aplikasinya beberapa waktu terakhir.
-
Ide bahwa perintah atasan bukanlah argumen pembelaan dalam kejahatan
internasional (meskipun perlu dicatat bahwa sebagian terdakwa diperbolehkan
untuk menggunakan pembelaan tentang kondisi terpaksa)
Perkembangan Selanjutnya
Beberapa perkembangan menyusul segera setelah perang berakhir :
-
Setelah putusan Nuremberg : Resolusi Sidang Umum Nomor 95 pada tahun
1946 menyetujui prinsip-prinsip hukum internasional yang tercantum dalam
Piagam Nuremberg dan pada putusan tribunal
“menyetujui prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui oleh
Piagam Nuremberg dan putusan dari Tribunal tersebut”
Sidang Umum memerintahkan Komisi Hukum Internasional (yang pada waktu
itu diharapkan untuk dapat segera dibentuk- yang kemudian dikenal sebagai
Komite Kodifikasi Hukum Internasional) untuk membuat sebuah Pernyatan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional dari Piagam Londong dan Tribunal
Nuremberg.
-
Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Komisi Hukum Internasional sebagai
jawaban terhadap Resolusi Sidang Umum Nomor 95 (I) kemudian diadopsi
oleh Resolusi Sidang Umum No. 488 (V) pada tahun 1950.
Prinsip-prinsip ini menetapkan, diantaranya, definisi kejahatan
perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
terhadap
-
Resolusi Sidang Umum -96(I) 11 Desember 1946 – menyatakan genosida
sebagai kejahatan dalam hukum internasional.
-
Pada tahun 1948 Sidang Umum mengadopsi Konvensi tentang Pencegahan
dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida (Convention for the
Prevention and Punishment of the Crime of Genocide)
Perlu dicatat, bahwa dalam instrumen-instrumen tentang Genosida ini,
instrumen yang disebut terakhir pada awalnya dianggap sebagai salah satu
bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, meskipun saat ini pendapat
tersebut mulai berkurang.
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
5
Sekarang hal itu terefleksikan pada instrumen-instrumen hukum pidana utama
sebagai kejahatan yang terpisah.
Pada waktu pengembangan konsep kejahatan genosida, salah satu konsep
yang paling penting adalah bahwa kejahatan ini tidak hanya berlaku dalam
keadaan konflik bersenjatan, namun juga di waktu damai.
-
Komisi Hukum Internasional juga mempersiapkan pengembangan rancangan
peraturan tentang Kejahatan terhadap Perdamaian dan Keamanan dari
Manusia, dengan tujuan untuk menggunakannya sebagai hukum substansi
yang dapat diaplikasikan pada tribunal Permanen Pidana Internasional yang
saat itu sedang dibicarakan (Hipotesis tentang Tribunal Masa depan itu juga
disinggung pada Pasal VI Konvensi Genosida)
Tribunal Ad Hoc : International Criminal Tribunal For The Former
Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR)
Setelah proses hukum setelah Perang Dunia II (PD II) selesai, sampai tahun
1990an tidak ada satupun mekanisme yudisial dibuat untuk menuntut kejahatan
(tindak pidana) internasional.
Beberapa penuntutan tindak pidana internasional terjadi dalam skala domestik
(misalnya peradilan Eichmann di Israel) tapi sebagian besar kejahatan
internasional (misalnya yang terjadi di Kamboja, Uganda, Uni Soviet, Afghanistan,
China, Chile, Guatemala, Argentina, dan lain-lain- serta Indonesia dan Timor Timur)
tidak dituntut.
Kondisi ini sangat memprihatinkan dan dikeluhkan banyak orang, akan tetapi
kelihatannya tidak ada kemauan politik yang kuat pada saat itu untuk
menyelesaikan masalah tersebut.
Usaha-usaha Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membentuk Tribunal Pidana
Internasional Permanen sejak PD II belum membuahkan hasil.
Komisi Hukum Internasional PBB telah mengkaji masalah tersebut dan mencoba
untuk membuat sebuah traktat internasional yang dapat diaplikasikan oleh tribunal
tersebut (Kode Kejahatan Terhadap Perdamaian dan Keamanan Umat Manusia)
Akan tetapi tidak tercapai kesepakatan politik atau kemauan untuk membentuk
pengadilan tersebut sepanjang perang dingin.
Namun, ketika pembantaian terjadi di bekas Republik Yugoslavia, kondisi menjadi
berubah.
-
perang
berakhir
dingin
telah
-
perhatian media terhadap kejadian tersebut sangatlah
tinggi
-
kejahatan yang terjadi sangat parah dan
meluas
-
dan mungkin yang terpenting adalah, kejadian itu menyatukan berbagai
negara, negara barat menjadi sangat prihatin terhadap apa yang terjadi di Eropa,
sementara negara muslim juga prihatin, karena banyak korban adalah muslim.
Meskipun Rusia pada awalnya enggan untuk terlibat, namun Dewan Keamanan
mulai mengeluarkan resolusi-resolusi tentang situasi di Yugoslavia.
-
bulan Juli 1992 (resolusi 764- tentang Sarajevo) menyatakan bahwa orangorang yang melakukan atau memerintahkan terlaksananya pelanggaran berat
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
6
terhadap Konvensi Jenewa bertanggung jawab secara individual terhadap
pelanggaran tersebut.
-
Bulan Agustus 1992 (resolusi 771) menyerukan negara-negara dan lembaga
lain untuk menyerahkan informasi penting kepada Sekretaris Jenderal PBB
sehingga Sekjen PBB dapat melaporkan kepada Dewan Keamanan tentang
tindakan apa yang dapat dilakukan.
-
Pada bulan Oktober 1992 (resolusi 780) Dewan Keamanan menugaskan komisi
ahli untuk menyelidiki dan melaporkan pelanggaran hukum humanitarian
internasional. Komisi tersebut melaporkan bahwa telah terjadi pelanggaran
terhadap hukum humanitarian internasioal di wilayah bekas Republik Yugoslavia,
termasuk pembunuhan dengan sengaja, pembersihan etnis, pembunuhan
massal, penyiksaan, pemerkosaan, penjarahan dan penghancuran barang-baran
milik sipil, penghancuran bangunan-bangunan kebudayaan dan penahanan
sewenang- wenang.
-
Pada bulan Februari 1993 (resolusi 808) Dewan Keamanan memutuskan untuk
membentuk Tribunal Pidana Internasional dan mengajukan proposal
pembentukan tribunal tersebut kepada Sekretaris Jenderal PBB.
-
Pada bulan Mei 1993 (resolusi 827) dewan Keamanan mengeluarkan resolusi
yang mengadopsi statuta ICTY (International Criminal Tribunal for Former
Yugoslavia) dan secara resmi membentuk Tribunal tersebut.
Tribunal ini merupakan tribunal internasional untuk penuntutan kejahatan perang
dan kejahatan terhadap kemanusiaan pertama sejak Tribunal Militer Internasional
Nuremberg dan Tribunal Militer Internasional bagi Timur Jauh.
ICTY merupakan tribunal pertama yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili
genosida. Lalu, pada tahun 1994 terjadi genosida di Rwanda.
Kemudian timbul kritik dari kalangan negara Afrika adalah bahwa hanya
pembantaian yang terjadi di benua Eropa saja yang memperoleh perhatian dari
Dewan Keamanan.
→ Bulan November 1994 (resolusi 955) Dewan Keamanan memutuskan untuk
membentuk tribunal Internasional bagi Rwanda (statuta pembentukan tribunal
tersebut dilampirkan pada resolusi ini.
Statuta ICTR memiliki banyak persamaan dengan Statuta ICTY
-
Hanya beberapa perbedaan kecil – misalnya kejahatan yang dilingkupi
dan definisi-definisi tentang kejahatan yang merefleksikan perbedaaan
sifat kedua konflik tersebut
Hukum Acara dan Pembuktian yang berlaku adalah sama.
Pembentukan Tribunal – Aspek Hukum
Kedua Tribunal Ad Hoc tersebut dibentuk atas dasar resolusi Dewan Keamanan PBB
-
ICTY – Resolusi DK 827 , 25 Mei 1993
-
ICTR – Resolusi DK 955, 8 Nov 1994
Yang paling penting adalah, pada kedua resolusi tersebut, Dewan Keamanan PBB
menyatakan bahwa DK bertindak atas dasar Bab VII Piagam PBB – dimana bab ini
berbicara tentang ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap
perdamaian dan tindakan agresi.
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
7
-
Dari situ lah Dewan Keamanan memiliki kekuasaan untuk mengambil tindakan
yang bersifat memaksa dan mengikat dimana dianggap bahwa terjadi kondisi
yang mengancam terhadap perdamaian.
Sebelum pembentukan ICTY, Dewan Keamanan belum pernah menggunakan Bab VII
sebagai dasar untuk membentuk suatu badan yudisial.
Dalam kasus pertama sebelum ICTY –Tadic- tersangka mengajukan keberatan
terhadap keabsahan tribunal tersebut, dengan mengklaim bahwa Dewan
Keamanan tidak memiliki kewenangan untuk membentuk tribunal dengan cara
tersebut.
Lalu pada Banding, ICTY berpendapat bahwa pembentukan tribunal tersebut memang
merupakan kewenangan dari Dewan Keamanan (khususnya berdasarkan pasal 41
yang memperbolehkan diambilnya tindakan-tindakan yang tidak melibatkan
penggunaan kekuatan bersenjata).
Fakta bahwa ICTY dan ICTR dibentuk oleh Dewan Keamanan atas dasar Bab VII
(ketimbang melalui suatu traktat) merupakan hal yang penting, karena :
-
Itu berarti bahwa persetujuan dari seluruh negara (termasuk negara yang
terkena dampak langsung – misalnya Serbia) tidak diperlukan, baik tentang
pembentukannya atau yurusdiksinya, bentuk dan masalah lainnya.
-
Itu berarti bahwa semua negara terikat dibawah hukum internasional untuk
bekerjasama dengan ICTY (sebagai disebutkan pada resolusi Dewan
Keamanan, yang mengikat seluruh anggota PBB)
[beda tribunal campuran dan Pengadilan Pidana Internasional]
Yurisdiksi Tribunal
a. Limitasi yurisdiksi waktu
ICTY: yurisdiksi atas tindakan-tindakan yang dilakukan dari 1 Januari 1991 [ tanpa
tanggal berakhir]
ICTR: yurisdiksi atas tindakan-tindakan yang dilakukan diantara tanggal 1
Januari sampai Desember 1994
b. Limitasi yurisdiksi geografis
ICTY: yurisdiksi atas tindakan yang terjadi pada wilayah bekas Republik
Yugoslavia ICTR: yurisdiksi atas tindakan yang terjadi pada wilayah Rwanda
c. Yurisdiksi prbadi – tidak terbatas – kewarganegaraan atau jabatan terdakwa
tidak relevan terhadap yurisdiksi tribunal.
d. Yurisdiksi Masalah Hukum
Yurisdiksi dari kedua tribunal tersebut adalah atas tiga kejahatan internasional:
-
Genosida
-
Kejahatan terhadap kemanusiaan
-
Kejahatan perang (pada statuta ICTY meliputi baik pelanggaran peraturan
dan kebiasaan perang dan pelanggaran berat Konvensi Jenewa
Perlu dicatat bahwa
e. dalam hal tribunal ad hoc telah mengadili seseorang – maka orang tersebut
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
8
tidak dapat diadili lagi oleh pengadilan domestik
f.
dalam hal pengadilan domestik telah mengadili seseorang, maka tribunal ad
hoc dapat mengadili orang tersebut kembali, hanya jika:
-
orang tersebut hanya diadili atas kejahatan biasa (bukan tindak pidana
internasional)
-
pelaksanaan pengadilan domestik bersifat memihak atau tidak
independen
(meskipun begitu perlu diperhatikan bahwa tribunal akan memperhitungkan
setiap hukuman yang telah dijalankan oleh terdakwa dalam menjatuhkan
hukuman)
Pencapaian Tribunal
g. kontribusi luar biasa kepada pengembangan hukum pidana internasional
(termasuk definisi kejahatan menurut hukum kebiasaan, pertahanan, mode
tanggung jawab dan pertanyaan-pertanyaan tentang prosedur dan standar
sidang yang adil)
h. ICTY telah melakukan penuntutan terhadap 161 orang. Dari jumlah ini 48 telah
disidangkan dan dihukum, 5 dibebaskan/ 25 penuntutan ditarik kembali dan 11
tersangka meninggal sebelum atau pada saat persidangan. 11 orang telah
dirujuk kepada pengadilan nasional untuk disidangkan. 61 persidangan masih
berjalan.
i.
ICTR terhitung bulan Juni 2006 telah mengeluarkan 22 putusan yang melibatkan
28 terdakwa. 25 diantaranya dihukum dan 3 dibebaskan. Pada saat itu 11 sidang
lain sedang berjalan dan melibatkan 27 terdakwa.
j.
Akan tetapi penting diketahui bahwa keberhasilan atau kegagalan tribunal
internasional tidak hanya (bahkan tidak semata-mata) dinilai dari sisi kuantitatif,
namun juga dari sisi jaminan prosedural yang dilaksanakan di persidangan,
kepatuhan kepada standar hak asasi manusia, dan kualitas putusan-lah yang
penting.dalam hal ini sebagian besar orang berpendapat bahwa tribunal ad hoc
sebagai keberhasilan.
Masalah dengan Tribunal
k. Biaya dari anggaran awal yang berjumlah $276,000 juta (pada tahun 1993) ICTY
telah berkembang ribuan kali.
Pada tahun 2006-20007 budget tahunan ICTY adalah $267,5 juta.
ICTR memiliki anggaran yang sama ($270 juta kotor atau $247 juta net)
Setiap tribunal memiliki lebih dari 1000 staf.
l.
proses peradilan yang lambat
Saat ini telah 12 tahun sejak ICTR dibentuk dan hampir 14 tahun sejak ICTY
dibentuk dan mereka masih belum menyelesaikan pekerjaan mereka.
Persidangan di tribunal dapat berjalan bertahun-tahun
Beberapa persidangan yang merupakan jumlah yang sangat banyak telah
diputus dan sejumlah besar barang bukti disajukan, telah memakan waktu
tahunan-contoh utama dari keadaan ini adalah kasus Milosevic (yang akhirnya
berakhir dengan meninggalnya terdakwa sebelum sidang selesai)
(salah satu pendekatan terhadap masalah ini mungkin adalah untuk lebih selektif
dalam perkara-perkara yang diajukan pendakwaannya, meskipun hal ini akan
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
9
berarti perlu penyeimbangan dengan pertimbangan kebijakan lain seperti
pertimbangan bahwa peran Tribunal dalam membentuk suatu rekaman publik
yang komprehensif tentang kejahatan dan memungkinkan korban untuk
menceritakan pengalaman mereka di pengadilan)
m. ketidakmampuan untuk menyidangkan semua atau bahkan sebagian besar dari
mereka yang diperkirakan telah terlibat dalam kejahatan internasional di konflik
yang relevan
dalam semua kondisi dari pelanggaran hak asasi manusia massal, kejahatan
yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia dilakukan dengan melibatkan ribuan atau
bahkan puluhan ribu pelaku.
Dengan mempertimbangkan biaya dan lambatnya prosedur yang ada, cukuplah
jelas bahwa hanya relatif sedikit orang yang dapat disidangkan melalui
mekanisme ini.
Ribuan atau lebih tetap tidak dapat didakwa, atau didakwa dalam peradilan
domestik (yang mungkin tidak memiliki standar prosedural yang sebaik tribunal
atau jenis-jenis hukuman bagi mereka yang bersalah)
n. Ketidakmampuan untuk memastikan kehadiran Terdakwa Utama
Meskupun penggunaan Bab VII oleh Dewan Keamanan untuk memastikan
keterikatan dan kerjasama negara-negara dengan Tribunal, tersangka utama
tetap masih belum ditangkap, misalnya Mladic dan Karadic di bekas Yugoslavia
Masa depan Tribunal?
Sekarang sejak adanya Pengadilan Pidana Internasional Permanen, maka
kelihatannya sedikit sekali kemungkinan bahwa Tribunal Ad Hoc lainnya akan
dibentuk, khususnya karena pertimbangan biayanya.
Bahkan diakui bahwa salah satu faktor yang pada akhirnya mendorong kepada
terbentuknya kemauan politik yang cukup untuk membentuk Pengadilan Pidana
Internasional Permanen adalah kepercayaan oleh banyak negara, bahwa
pembentukan Tribunal Ad Hoc ini harus dihindari di masa depan.
Bahkan, dalam trend terkini, diluar Pengadilan Pidana Internasional Permanen telah
dibentuk pengadilan campuran, dibanding tribunal ad hoc.
Bagaimana dengan ICTY dan ICTR?
Keduanya memiliki rencana untuk menyelesaikan pekerjaannya, meskipun sangat
sulit untuk mencapai tujuan ini dalam beberapa tahun kedepan sebagaimana
diharapkan.
Satu solusi yaitu meningkatnya trend kepada pemindahan ke yurisdiksi domestikkhususnya pada kasus bekas Republik Yugoslavia
→ perkara dapat dipindahkan ke negara yang
-
Wilayahnya merupakan tempat dimana kejahatan terjadi; atau
-
Wilayahnya merupakan tempat dimana terdakwa ditangkap; atau
-
Negara lain yang yurisdiksinya menurut hukum internasional mau dan dapat
menerimanya.
Dalam menentukan apakah untuk memindahkanke yurisdiksi domestik, Tribunal
harus mempertimbangkan bobot dari kejahatan tersebut dan tingkat
pertanggungjawaban dari si terdakwa.
Jadi prosedur ini lebih dimaksudkan untuk kejahatan yang lebih ringan atau pelaku
yang berada di tingkat rendah.
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
10
Tidak jelas apa yang akan terjadi jika Tribunal ‘menyelesaikan’ tugas mereka jika
pelaku-pelaku senior tidak disidang atau belum berhasil ditahan.
Tribunal Pidana “Campur”
Latar Belakang
Setelah pembentukan dua mahkamah (tribunal) internasional untuk Rwanda dan
bekas Yugoslavia di era 1990-an model pengadilan yang berbeda, yang melibatkan
hakim, penuntut, dan penyidik baik internasional dan lokal, terbentuk di empat
negara yang baru pulih dari konflik berskala besar. Di Kosovo, Timor Timur dan
Kamboja, pengadilan ini merupakan bagian dari struktur pengadilan nasional, yang
dimandatkan melalui dewan perwakilan nasional. Dalam kasus Sierra Leone, PBB
dan pemerintah mengadakan perjanjian bilateral yang mendasari pembentukan
pengadilan tersebut, yang merupakan tindak lanjut atas permintaan dari Dewan
Keamanan PBB. Tribunal-tribunal ini dikenal sebagai tribunal campur (mixed) atau
hibrid (hybrid).
Peranan PBB
PBB memegang peranan penting dalam setiap kasus-kasus tersebut sebagai
berikut. Di Kosovo dan Timor Timur pengadilan terbentuk ketika PBB menjadi
pemerintah setempat sementara, menempati posisi yang kosong setelah konflik
yang berkepanjangan. Di Timor Timur pengadilan tetap melanjutkan tugasnya
setelah negara tersebut mendapatkan kemerdekaannya pada bulan Mei 2002. Pada
saat tulisan ini dibuat Kosovo masih belum merdeka. Sejumlah besar misi
perdamaian PBB telah dikirim ke Kamboja dan sejak kedatangannya PBB masih
terus memegang peranan besar dalam pembentukan sebuah tribunal untuk
mengadili kejahatan internasional. Di Sierra Leone pengadilan ini terbentuk melalui
Resolusi Dewan Keamanan PBB.
Rationale tribunal ‘campur’
Alasan-alasan mengapa ‘campur’ dipilih dibandingkan model internasional antara
lain sebagai berikut:
•
•
•
Pembentukan tribunal internasional perlu mendapat persetujuan dari semua
anggota tetap dewan keamanan PBB. Pada kenyataannya Rusia, China dan
Amerika Serikat terus menerus menentang pembentukan tribunal baru
dengan alasan-alasannya antara lain adalah bahwa di kemudian hari akan
ada kemungkinan di mana situasi hak asasi dalam negeri mereka sendiri
menjadi obyek dari tribunal kejahatan internasional yang akan dibentuk.
Sampai tahun 2002, biaya operasional dua tribunal kejahatan PBB telah
mencapai USD 250 juta per tahun, sekitar 15% dari keseluruhan biaya
operasional PBB, dengan jumlah pegawai 2000 orang. Fakta bahwa tribunaltribunal tersebut bertempat di luar negara-negara di mana pelangggaranpelanggaran terjadi telah menimbulkan biaya-biaya yang sangat tinggi untuk
perjalanan, akomodasi dan biaya-biaya terkait untuk para staff, saksi,
penuntut, pembela dan hakim and ahli internasional lainnya.
Banyak pemain lokal di Rwanda dan bekas Yugoslavia merasa tribunal
internasional patut dipertanyakan. Tribunal-tribunal tersebut berlokasi di
tempat yang jauh sekali, penduduk lokal tidak bisa datang ke persidangan,
persidangan dilaksanakan oleh orang asing menggunakan bahasa asing,
para korban mendapatkan sedikit akses untuk informasi sehubungan dengan
persidangan. Masalah ini disebut sebagai fenomena ‘spaceship’ (pesawat
ruang angkasa) – di mana orang lokal merasa tribunal merupakan hal yang
asing, jauh di luar pemahaman mereka, dan berlokasi di tempat yang jauh
sekali.
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
11
•
•
•
•
•
Walaupun dua tribunal internasional telah memakan biaya yang luar biasa
besar, hanya sedikit pelaku yang diadili. Membentuk sebuah pengadilan yang
benar-benar baru dan jauh dari konteks kejahatan memerlukan sejumlah
besar ‘pekerjaan awal’ dan biaya, yang berarti bahwa pada tahun-tahun
pertama kegiatan operasional tribunal hanya sedikit hasil yang terlihat.
Meskipun banyak halangan dalam pembentukan tribunal internasional,
negara-negara yang timbul dari pelanggaran massa, seperti Kosovo, Timor
Timur dan Kamboja merasa perlu adanya satu bentuk pertanggungjawaban
atas apa yang telah terjadi. Hal ini penting untuk memenuhi hak para korban
untuk mendapatkan tanggapan yang memfasilitasi penyembuhan nasional,
yang menyediakan forum publik yang mana bukti sehubungan dengan
kejahatan masa lalu dapat ditayangkan/disiarkan, membawa pesan yang
jelas bahwa tidak akan ada pengampunan atas bentuk kejahatan serupa
yang dilakukan di masa yang akan datang, dan membangun kredibilitas dan
dukungan atas hukum di bawah rezim baru.
Sistem pengadilan, penuntutan dan polisi dalam situasi pasca konflik ini
menempati posisi yang sangat lemah. Agar dapat menangani kejahatan
internasional yang kompleks struktur lokal memerlukan bantuan internasional
yang signifikan. Hal ini juga menyediakan peluang untuk perkembangan
kapasitas.
Situasi politik dalam negeri menciptakan tantangan untuk mencapai
kemerdekaan, pengadilan imparsial. Hal ini dibantu oleh partisipasi hakimhakim internasional dan para ahli lainnya, dan oleh keterlibatan PBB.
Dengan keikutsertaan hakim-hakim lokal dan pejabat lainnya dalam
prosesnya menciptakan semangat bahwa hal ini adalah merupakan
mekanisme nasional, bukan sesuatu yang dibentuk oleh dan bagi pihak
asing.
Relevansi ICC (Makahman Pidana Internasional)
Setelah pembentukan ICC di tahun XX, keinginan atas tribunal kriminal internasional
PBB telah surut, dikarenakan ICC sekarang berkapasitas untuk berurusan dengan
kasus-kasus yang akan datang seperti yang terjadi di Rwanda and bekas
Yugoslavia. Namun demikian, ICC tidak memiliki yuridiksi terhadap kejahatankejahatan yang dilakukan sebelum pembentukannya (sebagai contoh: tidak memiliki
yuridiksi retroaktif). Sehingga, apabila tidak ada pengadilan domestik yang hendak
atau bisa menangani pelanggaran-pelanggaran serius terhadap hukum internasional
yang dilakukan sebelum terbentuknya ICC, penyelesaiannya bisa melalui tribunal
kejahatan internasional ad hoc yang terbentuk secara spesifik dari resolusi dewan
keamanan PBB.
‘Panel Khusus’ di Timor Timur
Latar Belakang:
Setelah hampir 400 tahun di bawah penjajahan Portugis, pada tahun 1960, Timor
Timur menyatakan diri sebagai ‘daerah non pemerintah yang dikelola oleh Portugis
di bawah resolusi sidang umum PBB. Indonesia melancarkan invasi militer ke Timor
Timur pada tanggal 7 Desember 1975 dan mengumumkan Timor Timur sebagai
provinsi ke 27 pada tanggal 27 Juli 1976. Sebentuk gerakan perlawanan lokal terus
melakukan perjuangan untuk kemerdekaan. Setelah 24 tahun pendudukan yang
lama yang dikarakterisasikan oleh sejumlah klaim atas pelanggaran-pelanggaran
yang tersebar luas terjadi yang melibatkan angkatan bersenjata Indonesia, PBB
mengadakan pemilu pada tanggal 20 Agustus 1999 yang hasilnya
78,5%
masyarakat Timor Timur yang berpartisipasi dalam pemilihan memilih merdeka dari
Indonesia.
Menurut laporan-laporan dari tim Rapateur Khusus PBB (UN Special Rapporteurs),
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
12
Komisi PBB untuk Penyelidikan Timor Timur dan Komisi untuk Penerimaan,
Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor Timur (UN Commission of Inquiry into East Timor
and the East Timor Commission for Reception, Truth and Reconciliation), angkatan
bersenjata Indonesia dan milisia Timor Timur di bawah kontrol mereka terlibat dalam
penyebarluasan pelanggaran hak asasi manusia yang sengaja dilakukan untuk
mempengaruhi hasil pemilu dan kemudian ikut serta dalam pengrusakan besarbesaran, pembunuhan, pemerkosaan dan bentuk pelanggaran lainnya menyusul
pengumuman hasil pemilu. Laporan Komnas HAM per 31 Januari 2000 menanyakan
tentang 13 insiden yang terjadi selama periode tersebut dan memutuskan bahwa
pemerintah Indonesia terlibat dalam pendanaan, penyediaan senjata dan dukungan
kepada milisia Timor Timur dan bahwa TNI telah melakukan kerjasama operasi
dengan mereka.
Setelah kerusakan besar-besaran pada bulan September, di mana 60 ribu rumah
dan hampir semua infrastruktur dihancurkan, 500 ribu orang kehilangan hilang,
kurang lebih 1.400 tewas and ratusan pemerkosaan terjadi, badan perdamaian
internasional dikirim ke Timor Timur dan dewan keamanan PBB membentuk misi
UNTAET pada tanggal 25 October 1999. UNTAET mendapat mandat untuk menjaga
keamanan, mengurus batas wilayah dan membantu membangun kapasitas untuk
pemerintahan sendiri, yang akhirnya dinyatakan pada tanggal 20 Mei 2002.
Komisi Penyelidikan untuk Timor Timur, didirikan oleh komisi hak asasi manusia
PBB, merekomendasikan, pada bulan January 2002, tribunal
kejahatan
internasional, serupa dengan yang pernah dibentuk untuk menangani kejahatan
yang terjadi di Rwanda dan bekas Yugoslavia, untuk didirikan untuk kasus di Timor
Timur. Tribunal mana akan mendapat mandat di bawah Bab VII piagam
PBB,termasuk kekuasaan bagi penyelidiknya untuk menyeberangi batas negara
agar dengan seluruh kekuatannya dapat menangkap tersangka. (Kekuatan ini telah
sering digunakan oleh ICTY)
Namun demikian, dewan keamanan sependapat dengan usulan yang menyatakan
masalah mengenai tribunal tersebut akan ditunda sampai pemerintah Indonesia
telah diberikan kesempatan untuk membuktikan keinginan dan kesanggupannya
untuk mengadili warga negaranya yang terlibat dalam pelanggaran massa. Sebuah
sistem 2 trek kemudian diciptakan, satu di Jakarta untuk menangani tersangka yang
berada di dalam batas negara, satu lagi di Dili, untuk berurusan dengan tersangka
yang berada di wilayah yuridiksi Timor Timur.
Tribunal Ad Hoc di Jakarta
Di Jakarta, tribunal ad hoc untuk Timor Timur didirikan pada tahun 2000 menurut UU
Indonesia No. 26/200. Dari 18 orang tertuduh sebelum tribunal ad hoc, 12 orang
dinyatakan tidak bersalah dan 6 orang dinyatakan bersalah setelah persidangan.
Semua terdakwa naik banding. Lima dari enam putusan menang setelah banding.
Hanya satu orang, Eurico Guteres dari Timor Timur yang dinyatakan bersalah dan
dipenjara. Tidak ada tuduhan atas pemerkosaan atau pelanggaran-pelanggaran
seksual di tribunal ad hoc ini (Baca David Cohen, Intended to Fail: the Trials before
the Ad Hoc Human Rights Court in Jakarta, International Centre for Transitional
Justice, Agustus 2003)
Pengadilan ‘Hibrid’ di Timor Timur
Di tahun 2000 UNTAET mengeluarkan peraturan 2000/15 yang menggagasi “panel
khusus” yang merupakan bagian dari pengadilan daerah Dili , yang memiliki yuridiksi
ekslusif untuk mengadili ‘pelanggaran kriminal serius’. Termasuk di dalamnya adalah
pemusnahan suatu golongan bangsa (genocide), kejahatan perang, dan kejahatan
terhadap kemanusiaan yang dilakukan kapan saja, demikian pula dengan
pembunuhan, pelanggaran seksual dan penyiksaan yang terjadi antara 1 January
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
13
sampai dengan 25 Oktober 1999. Definisi-definisi dan elemen-elemen kejahatan
yang digunakan dalam ‘kejahatan internasional’ pada pemusnahan suatu golongan
bangsa, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan penyiksaan disalin
hampir sesuai aslinya dari hukum Romawi (DEFINISI DARI PELANGGARAN
SEKSUAL)
Para penyelidik dan penuntut demikian pula halnya dengan para hakim internasional
yang duduk di Panel Khusus, merupakan staff PBB yang dipekerjakan khusus untuk
menangani hal ini. Setiap panel khusus, yang didirikan sebagai bagian dari struktur
pengadilan setempat, terdiri dari dua hakim internasional dan satu hakim Timor
Timur.
Pada akhir dari masa mandatnya, unit ‘kejahatan serius’ di Dili mengeluarkan
dakwaan terhadap 392 individual. 304 diantaranya diyakini berada di luar yuridiksi
Indonesia. Delapan puluh empat anggota milisia dinyatakan bersalah setelah diadili.
Hampir semua dari terdakwa menerima hukuman antara 7 sampai 15 tahun penjara,
dan satu pemimpin milisia dihukum 33 tahun penjara. Dari angkatan bersenjata
Indonesia pejabat berpangkat tertinggi yang didakwa adalah Jendral Wiranto.
Masalah-masalah yang belum ada penanganan
Beberapa badan monitor internasional terus merekomendasikan pembentukan
sebuah tribunal internasional ad hoc untuk kejahatan-kejahatan yang terjadi di Timor
Timur, berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
•
•
•
Tribunal ‘campur’ di Dili hanya menargetkan kepada ‘ikan kecil’ bukan
kepada orang-orang yang paling bertanggung jawab yang belum berhadapan
dengan keadilan. Karena itu, ada kewajiban yang berkelanjutan di bawah
hukum internasional bagi masyarakat international dan pemerintah Indonesia
untuk memastikan orang-orang tersebut untuk bertanggung jawab atas
perbuatannya.
Cara kerja dari tribunal ad hoc di Jakarta tidak memenuhi standar minimum
internasional yang diperlukan untuk memperlihatkan kesungguhan dan
kemampuan yang sebenar-sebenarnya untuk mendakwa mereka yang
bertanggung jawab. Prinsip ‘double jeopardy’ oleh karenanya tidak dapat
diaplikasikan kepada mereka yang sudah diadili dan divonis bebas di tribunal
ad hoc. Sehingga mereka dapat diadili di pengadilan internasional lain.
ICC tidak dapat menangani kasus Timor Timur karena sudah terjadi sebelum
ICC terbentuk.
Yuridiksi Universal
Di bawah prinsip umum kedaulatan negara hukum nasional dari satu negara bagian
tidak berlaku di negara bagian lain. Hukum-hukum tersebut hanya dapat berlaku
terhadap:
• Perorangan (warga negara atau sebaliknya) yang secara fisik berada di
wilayah geografi satu negara bagian tertentu.
• Warga negara satu negara yang berada di luar batas wilayah negaranya
(hanya dalam kasus pengecualian, sebagai contoh hukum yang baru-baru ini
berlaku yang melarang pelanggaran seksual terhadap anak-anak saat berada
di luar negeri, dikeluarkan oleh sejumlah negara).
• Undang-undang yang bertentangan dengan hukum nasional tertentu, yang
masih berlaku efektif pada waktu dan tempat di mana undang-undang
tersebut dilaksanakan. (Prinsip retroaktif)
Komunitas internasional yang semakin lama semakin mengakui bahwa menyeret
para pelaku ke meja hijau untuk tindak kejahatan internasional yang paling serius
merupakan pengecualian atas prinsip normal seperti dinyatakan di atas. Menurut
prinsip yuridiksi universal, kejahatan internasional seperti genocide, kejahatan
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
14
terhadap kemanusaian, kejahatan dan penyiksaan perang dapat diadili dengan
pengadilan nasional dan internasional, tanpa mengindahkan kewarganegaraan dari
si pelaku kejahatan atau waktu dan tempat di mana kejahatan terjadi.
Kewajiban negara bagian untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab atas
kejahatan tersebut diakui atau diperlukan dalam sejumlah konvensi internasional
seperti Hukum Romawi, Konvensi terhadap Penyiksaan dan ketentuan Pelanggaran
Berat Konvensi Jenewa. Akan tetapi, walaupun banyak negara nampaknya
mengakui kewajiban-kewajibannya, mereka harus mengeluarkan dan melaksanakan
perundang-undangan dalam negeri yang memberi efek terhadap kewajibankewajiban tersebut. Perkembangan masalah ini lambat.
Namun demikian, kecenderungan terbaru termasuk pengadilan Perancis yang
mengadili Jerman untuk kejahatan terhadap kemanusiaan selama Perang Dunia II
(kasus Barbie, Papon dan Touvier); pengadilan Israel menjatuhkan hukuman
terhadap warga negara Jerman atas tuduhan genocide yang dilakukan di luar
wilayah yuridiksi Israel selama Perang Dunia II (Eichman), pengadilan Jerman
mengadili bangsa Serbia atas tuduhan kejahatan internasional yang dilakukan di
bekas Yugoslavia, dan pengadilan Inggris telah mengakui yuridiksi atas penyiksaan
yang dilakukan di Chile, walaupun tidak ada hasil putusan sidang (kasus Pinochet)
Pada umumnya, negara-negara takut mencampuri urusan dalam negeri negara lain,
hal tersebut semakin menghalangi-halangi proses mencari kejelasan atas kejahatan
internasional. Tetapi fakta yang menyatakan bahwa ada tuntutan kejahatan
internasional yang menang di pengadilan di Spanyol, Perancis, Belgia, Inggris dan
Belanda memperlihatkan bahwa ada peningkatan kemauan dari negara-negara
untuk memenuhi kewajibannya.
The USA Alien Torts Act (Undang-undang Perbuatan Melawan Hukum Orang Asing)
Perbuatan melawan hukum biasanya terbatas untuk menyediakan penyembuhan
terhadap warga negara yang menderita akibat pelanggaran yang dilakukan warga
negara lainnya, perusahaan, dan sebagainya yang berada di negara itu. (sebagai
contoh, melalui kelalaian, pengabaian yang disengaja, dll.)
Namun, di Amerika Serikat, sebuah hukum yang sangat tua, bahwa Alien Torts
Claims Act (ACTA) dibuat tahun 1789, memungkinkan individual yang bukan warga
negara Amerika bisa menuntut, di pengadilan federal Amerika Serikat, orang-orang
yang telah membuat mereka menderita melalui pelanggaran dari “hukum negara
atau sebuah perjanjian Amerika Serikat.” Pengadilan Amerika Serikat telah
menterjemahkan hukum ini sehingga termasuk tindakan-tindakan genocide,
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, penyiksaan, “orang hilang’,
eksekusi tanpa sidang, kerja paksa dan penahanan yang secara semena-mena terus
diperpanjang.
Undang-Undang Perlindungan Terhadap Korban Penyiksaan tahun 1991 (TVPA)
melanjutkan hal ini dengan memperbolehkan warga negara Amerika Serikat untuk
menuntut mereka yang bertanggung jawab terhadap penyiksaan dan pembunuhan
tanpa diadili yang bertindak mengatasnamakan pihak penguasa atau hukum suatu
negara asing.
Hukum-hukum ini bukanlah hukum kriminal dan tidak berkaitan dengan hukuman
langsung terhadap pelaku kejahatan. Hukum-hukum tersebut memungkinkan para
korban untuk mengklaim atas kerusakan yang terjadi seperti ganti rugi finansial dari
pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran hukum internasional seperti
tersebut di atas. Prosedur yang relevan termasuk kebutuhan para ‘tergugat’ atas
secara pribadi diberitahukan tentang klaim tersebut oleh Penggugat atau agennya
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
15
dengan cara memberi dokumen klaim secara langsung. Pengadilan selanjutnya akan
menjadwalkan satu pemeriksaan (hearing) terhadap masalah tersebut. Menurut
prosedur pada umumnya dalam kasus-kasus sipil, apabila salah satu pihak tidak
datang pada saat pemeriksaan dilaksanakan, maka pihak lawan akan mendapatkan
putusan yang menguntungkan.
Dalam sejumlah kasus yang dibawakan menurut prosedur ini, ada kesempatan untuk
memberi dokumen kepada tergugat yang relevan, akan tetapi sang tergugat tidak
hadir dalam pemeriksaan. Dalam kasus-kasus seperti ini pengadilan telah membuat
putusan yang menguntungkan bagi si penggugat, seringkali termasuk sejumlah
besar ganti rugi yang harus dibayarkan kepada pihak korban baik sebagai ganti rugi
atas penderitaan yang dialami dan sebagai hukuman tambahan yang dibuat untuk
menghukum pihak tergugat. Perintah-perintah pengadilan seperti ini hanya dapat
dilaksanakan di Amerika Serikat. Pihak tergugat yang tidak menghadiri pemeriksaan
sidang dan kemudian tidak masuk ke Amerika Serikat tidak wajib membayar.
Kebanyakan korban tidak menerima pengakuan atau ganti rugi di negara mereka
sendiri, dan tidak akan mendapatkan ganti rugi melalui Alien Torts Act karena pihak
tergugat tidak akan masuk ke AS lagi. Namun demikian, prosesnya memberi mereka
kemenangan moral, kesempatan untuk memberikan kesaksian publik sehubungan
dengan aksi yang dilakukan oleh sang tergugat, dan mengirimkan pesan bagi para
pelaku kejahatan di masa lalu dan yang akan datang. Praktisnya, hal tersebut
mencegah tergugat untuk bisa masuk ke AS dan melakukan bisnis di sana karena
ada kewajiban yang belum terpenuhi terhadap pihak korban.
Kasus-kasus yang telah dibawa melawan bekas diktator Haiti, Pemimpin Bosnia
Serbia yang mengangkat dirinya sendiri, Radovan Karadzic; Menteri Pertahanan
Guatemala dan bekas diktator Filipina, Ferdinand Marcos. Para korbannya telah
menerima penggantian yang substansial dari aset Marcos di AS. Sebuah pengadilan
AS juga memerintahkan dua purnawirawan Jendral di El Salvador yang menjalani
masa pensiun di Florida untuk membayar sejumlah $54,6 juta kepada 3 korbannya.
Kewajiban perusahaan multinasional
Akhir-akhir ini sejumlah perusahaan multinasional menerima tuntutan karena
keterlibatan langsung dalam suatu tindak kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah
asing dan angkatan bersenjatanya. (ref: Human Rights Watch....) UNOCAL dituntut
karena diduga telah menyewa militer Burma yang sangat kejam sebagai pegawai
keamanan di pipanisasi gasnya dan selama disewa, mereka telah melakukan
kekerasan-kekerasan terhadap para warga negara dalam rangka membela
kepentingan UNOCAL. Perusahaan minyak Talisman dituntut karena diduga telah
memperbolehkan masyarakat Sudan untuk menggunakan fasilitas dan logistiknya
untuk kegiatan operasional yang termasuk ke dalam kekerasan terhadap warga sipil.
Kasus-kasus Indonesia
Dua orang Jenderal Indonesia telah berhasil dituntut di bawah Alien Torts Act atas
aksi kejahatan mereka di Timor Timur.
Kasus Sintong Panjaitan – Santa Cruz
Pada tahun 1994 pengadilan federal AS memutuskan Mayjen Sintong Panjaitan
untuk membayar AS$4 juta sebagai ganti rugi dan tambahan $10 juta ganti rugi
imateriil untuk ibu dari seorang aktivis Malaysia yang terbunuh dalam pembunuhan
masalah terhadap lebih dari 270 orang Timur Timur oleh angkatan bersenjata
Indonesia di kuburan Santa Cruz di Dili pada tanggal 12 Nopember 1991. Todd v.
Panjaitan
(No.
92-12255,
slip
op.
(D.
Mass.
Oct.
26,
1994
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
16
http://www.etan.org/news/2000a/11suit.htm
Kasus Johnny Lumintang – di Timor Timur 1999
Pada tahun 1999, Jend. Johnny Lumitang yang menjabat sebagai wakil chief staff
Jenderal, orang nomor dua di Angkatan Darat Indonesia. Beliau secara pribadi
mendapatkan panggilan dari Alien Torts Act pada 30 Maret 2000 ketika sedang
berkunjung ke area Washington DC dan tidak menghadiri kelanjutan pemeriksaan
sidang.
Hakim Kay memutuskan Lumintang bertanggung jawab atas kekerasan-kekerasan di
Timor Timur. Bukti atas keterlibatan langsung termasuk tanda tangannya di
beberapa dokumen kunci. Dia juga secara tidak langsung bertanggung jawab
sebagai “komandan yang mungkin baik secara kriminal atau sipil bertanggung jawab
atas kejahatan yang dilakukan oleh anak buahnya”. Pengadilan memutuskan bahwa
sebagai salah satu pimpinan tinggi TNI Lumintang mengetahui atau seharusnya
mengetahui bahwa anak buahnya terlibat dalam pelanggaran hak yang tersistem di
Timor Timur and dia gagal untuk bertindak mencegah atau menghukum
pelanggaran-pelanggaran tersebut. Oleh karena itu dia secara hukum bertanggung
jawab atau aksi yang dilakukan mereka.
Hakim Kay memutuskan Lumintang “...bertanggung jawab atas aksi kejahatan
terhadap para penggugat dan pola yang lebih besar dari pelanggaran hak asasi
manusia yang brutal, ... Beliau, bersama dengan beberapa pimpinan tinggi militer
Indonesia lainnya, merencanakan, memerintahkan dan menghasut suatu tindakan
yang dijalankan oleh anak buahnya untuk meneror dan menelantarkan populasi
warga Timor Timur... dan menghancurkan infrastruktur di Timor Timur setelah hasil
pemilu yang menyatakan keinginan untuk merdeka.”
Pengadilan memerintahkan Lumintang untuk membayar AS$66 juta termasuk ganti
rugi dan ganti rugi imateriil, terhadap 6 korban atau keluarga mereka yang
merupakan pihak penggugat dalam kasus ini.
http://www.etan.org/news/2001a/10lumjudg.htm.)
Perkembangan
Court/ICC)
Pengadilan
Pidana
Internasional
(International
Criminal
Pada tahun 1990-an PBB mengadakan beberapa kali pertemuan dan konferensi
dimana para perwakilan dari berbagai Negara bekerjasama untuk merancang suatu
Statuta yang akan menciptakan suatu pengadilan pidana internasional. Setelah
kerja keras yang dilakukan oleh panitia perancang internasional, pada bulan Juli
1998, suatu konferensi internasional diadakan di Roma, Italy, yang melibatkan
peserta dari 160 negara. Pada akhir tahun 1998, 120 negara memilih untuk
mengadopasi Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional.
Pada waktu Statuta Roma diadopsi, telah diputuskan bahwa setelah 60 negara
meratifikasi Statuta tersebut, dan oleh sebab itu setuju untuk terikat oleh ketentuanketentuannya, maka Pengadilan Pidana Internasional akan didirikan. Pada saat itu,
hal tersebut mungkin dicapai dalam beberapa tahun. Namun sebelum 2002, jumlah
minimum 60 negara yang meratifikasi terpenuhi, dan dengan demikian
memungkinkan berdirinya pengadilan tersebut. Pada saat ini, lebih dari 100 negara
telah meratifikasi Statuta Roma, yang menjadikan Negara-negara tersebut sebagai
pihak/peserta didalam Konvensi.
Ada beberapa pengecualian-pengecualian yang dapat dicatat diantara para Negara
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
17
peserta. Amerika Serikat, India, China, Russia dan Jepang bukan merupakan
peserta, namun demikian, Jepang telah mengumumkan bahwa Negara itu akan
segera meratifikasi Statuta Roma. Asia secara umum tidak terlalu terwakili diantara
Negara-negara peserta. Indonesia berencana untuk menjadi peserta setelah
meratifikasi Statuta Roma pada tahun 1998.
Pada masa lalu, Dewan Keamanan PBB (DK PBB) telah mendirikan beberapa
pengadilan pidana internasional yang bersifat ad hoc (sementara) seperti Pengadilan
Pidana untuk Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR). Namun demikian, pengadilanpengadilan ini hanya diberikan jurisdiksi untuk mengadili perkara atas suatu konflik
tertentu dimasa lalu. Statuta Roma menciptakan suatu pengadilan pidana tetap
pertama, yang memiliki kemampuan untuk mengadili individu yang melakukan
kejahatan-kejahatan internasional yang paling berat.
Walaupun PBB telah mengorganisir langkah-langkah persiapan untuk terbentuknya
pengadilan tersebut, tapi pengadilan tersebut bukan merupakan badan PBB. ICC
merupakan badan yang independen, dengan mandat yang didasarkan pada
Statutanya sendiri. Negara yang menjadi peserta Statuta Roma dengan
meratifikasinya, bertanggungjawab untuk mendirikan dan menjalankan Pengadilan
tersebut, bukannya PBB. Para Negara peserta telah membentuk suatu Dewan Para
Negara Peserta (Assembly of State Parties) yang bertemu setiap tahunan untuk
mempertimbangkan isu-isu yang terkait dengan pelaksanaan pengadilan termasuk
anggarannya. Dewan ini juga bertanggungjawab atas setiap perubahan terhadap
Statuta Roma, walaupun Dewan tersebut telah memutuskan bahwa perubahan tidak
akan dibuat sebelum 2009.
Karena pengadilan ini bukanlah badan PBB, maka Pengadilan ini hanya memiliki
kewenangan atas Negara-negara yang telah secara sukarela mengikatkan diri atas
ketentuan-ketentuannya. Dengan demikian, Negara-negara yang belum meratifikasi
Statuta Roma tidak berada dibawah yurisdiksi ICC, kecuali warga negaranya
melakukan kejahatan didalam batas Negara yang merupakan Negara peserta dalam
Statuta Roma tersebut. Lebih lanjut, hanya kejahatan-kejahatan yang dilakukan
setelah suatu tanggal Negara meratifikasi Konvensi tersebut yang dapat dijadikan
yurisdiksi ICC. Sebagai contoh, Indonesia meratifikasi Statuta Roma di tahun 2008,
maka ICC tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili perkara sebelum tanggal ratifikasi
tersebut.
ICC tidak dirancang untuk menggantikan pengadilan nasional. Bahkan pada
kenyataannya, ICC dirancang untuk mendorong agar pengadilan-pengadilan
nasional mengambil tanggungjawab untuk mengadili warganegaranya yang telah
melakukan kejahatan-kejahatan berat. ICC hanya menangani kasus-kasus yang
tidak secara tepat ditangani oleh pengadilan nasional (sehingga pengadilan ini
merupakan pelengkap terhadap pengadilan nasional, dan bukan menggantikannya).
ICC bukan merupakan pengadilan tingkat banding yang akan mempertimbangkan
kasus-kasus yang telah diputuskan oleh pengadilan nasional. ICC hanya memiliki
jurisdiksi untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang paling berat. (diskusikan
kemudian).
Sehingga, apabila Indonesia meratifikasi di tahun 2008, maka ICC hanya memiliki
jurisdiksi atas kejahatan-kejahatan paling berat yang dilakukan setelah tanggal
ratifikasi dan dimana pengadilan Indonesia diputuskan tidak memiliki kemawaun atau
kemampuan untuk mengadili kasus-kasus tersebut.
Preambul (Pembukaan) Statuta Roma
“Mengafirmasi bahwa kejahatan-kejahatan yang paling berat yang menjadi
kepedulian masyarakat internasional tidak boleh tidak dihukum dan harus diadili
secara efektif dengan mengambil tindakan-tindakan di tingkat nasional dan dengan
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
18
meningkatkan kerjasama internasional.
Berkehendak untuk mengakhiri impunitas yang dinikmati oleh para pelaku kejahatankejahatan ini sehingga berkontribusi pada pencegahan kejahatan.”
Struktur Pengadilan
ICC berpusat di Den Haag, Belanda, dengan struktur sebagai berikut:
Presiden
Pengadilan (Judiciary)
Kepaniteraan (Registry)
Penuntut Umum (Prosecutor)
Ada 18 hakim yang ditunjuk berdasarkan perwakilan bagian-bagian dunia, dan
bertugas selama 9 tahun.
Pada saat ini, [ ] berwarganegara Kanada, penuntut umum dari Argentina dan
Panitera dari Perancis.
Pengadilan ini memiliki tiga Majelis :
• Pre-trial (Pra-Sidang)
• persidangan
• banding
Majelis Pra-Sidang (The Pretrial Chamber) membuat putusan-putusan terkait dengan
isu-isu perintah penangkapan, menegaskan dakwaan terhadap tersangka,
memastikan bahwa hak-hak korban dan terdakwa cukup diakui selama masa
penyelidikan, dan memastikan adanya perlindungan yang cukup terhadap para
korban dan saksi. ICC merupakan pengadilan internasional pertama dimana para
korban memiliki suatu status yang diakui sebagai bagian dari persidangan.
Majelis Persidangan (Trial Chamber) bertanggungjawab atas pelaksanaan
persidangan, termasuk pembuktian oleh Penuntut dan Pembela, dan setiap hal-hal
yang terkait dengan keterlibatan korban selama masa persidangan. Majelis
Persidangan akan mengeluarkan putusan bersalah atau tidak bersalah dan juga
memutuskan hukuman. Majelis ini memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa
semua hak-hak atas peradilan yang adila telah dihormati. Setelah memutuskan
bersalah, Majelis ini dapat mendengar pandangan para korban mengenai upaya
perbaikan dan membuat putusan atas upaya perbaikan (reparasi) tersebut).
Majelis Banding (the Appeals Chamber) akan memutuskan banding-banding
terhadap putusan-putusan yang dibuat baik oleh PreTrial Chamber (Majelis Pra
Persidangan) atau Trial Chamber (Majelis Persidangan). Banding tersebut dapat
disampaikan oleh Penuntut ataupun Pembela. Majelis ini dapat juga mengadilan
tuntutan dari para korban terkait dengan putusan reparasi yang dibuat oleh Majelis
Persidangan (Trial Chamber).
Kepanitraan (The Registry) menangani masalah-masalah administrasi, dan
memberikan nasihat dan jasa hukum seperti interpretasi dan penerjemahaan,
perlindungan dan dukungan terhadap korban dan saksi, dan mengawasi kasuskasus penahanan dan pemberian jasa-jasa pengadilan.
Kantor Penuntut Umum (The Office of the Prosecutor) bertanggungjawab untuk
mengumpulkan dan memeriksa informasi terkait dengan kejahatan-kejahatan,
melakukan penyelidikan dan penuntutan dihadapan penahdilan. Kantor ini terdiri
dari 3 divisi:
•
Divisi Jurisdiksi, Complementarity dan Kerjasama yang menganalisa rujukanrujukan dari Negara-negara dan DK PBB untuk menentukan apakah tindakan
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
19
lebih lanjut dapat dilakukan, menerima informasi mengenai kejahatankejahatan dari LSM-LSM, para korban dan sumber-sumber lainnya, dan
berkomunikasi dengan Negara-negara mengenai tanggungjawab mereka
untuk melakukan penyelidikan dan mengadili para pihak yang
bertanggungjawab atas kejahatan-kejahatan.
•
Divisi Penyelidikan bertanggungjawab untuk melakukan penyelidikan
termasuk mengumpulkan dan memeriksa bukti-bukti, menanyakan para saksi
dan korban.
•
Divisi Penuntutan bertugas untuk menyiapkan dan pelaksanaan perkaraperkara dihadapan ketiga Majelis didalam Pengadilan ini.
Jurisdiksi Pengadilan
Jurisdiksi ICC dapat dipahami dari 4 aspek:2
•
Kejahatan (Pasal 5-8) ICC dapat mengadili kejahatan genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. [Tetapi,
kejahatan agresi baru akan didefinisikan pada tahun 2009].3
•
Waktu: (Pasal 11) ICC hanya memiliki jurisdiksi terhadap kejahatan yang
terjadi setelah Statuta Roma berlaku, sesudah 1 Juli 2002.
•
Tempat: (Pasal 12) ICC memiliki jurisdiksi terhadap kejahatan yang
dilakukan di dalam wilayah negara peserta, tanpa melihat kewarganegaraan
dari pelaku. Termasuk, negara-negara yang mengakui jurisdiksi ICC atas
dasar deklarasi ad hoc (misalnya, ada negara dimana terjadi kejahatan
internasional dan pemerintahan negara itu mendeklarasikan bahwa
negaranya mengakui jurisdiksi ICC, walaupun belum menanda-tangani
Statuta Roma) dan dalam wilayah yang ditentukan, secara sepihak, oleh
Dewan Keamanan.4
•
Orang: (Pasal 25-26) ICC memiliki jurisdiksi terhadap orang, dan bukan
terhadap entitas yang abstrak.5 Akan tetapi ICC tidak memiliki jurisdiksi
terhadap pelaku yang berusia di bawah 18 tahun.
Prinsip Pelengkap (Principle of Complementarity)
Harus selalu diingat bahwa ICC didirikan oleh para Negara, dan tidak satupun dari
Negara tersebut mau untuk menyerahkan kedaulatan mereka secara tidak perlu.
Pengadilan ini tidak didirikan sebagai pengadilan dengan jurisdiksi untuk mengadili
kejahatan-kejahatan internasional seperti kejahatan terhadap kemanusiaan,
genosida atau kejahatan perang kapanpun dan dimanapun mereka terjadi. Hal ini
tetap merupakan tanggungjawab Negara-negara. ICC didirikan hanya untuk
mengadili perkara-perkara yang sangat berat dan dimana pemerintah Negara yang
bersangkutan tidak bersungguh-sungguh atau tidak mampu melakukan penuntutan
2
William A Schabas, op.cit, hlm 55.
Andreas Zin Mermann, Part 2 Jurisdiction, Admissibility and Applicable Law, dalam Otto Triffterer,
Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court, Nomos Verlagsgesellschaft,
Baden-Baden, Munich,1999, hlm 97.
3
4
William A Schabas, op.cit, hlm 62.
5
Kai Ambos, Individual Criminal Responsibility, dalam Otto Triffterer, Commentary on the Rome
Statute of the International Criminal Court, Nomos Verlagsgesellschaft, Baden-Baden, Munich,1999,
hlm 477.
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
20
sendiri. Dengan demikian maka Negara peserta wajib menunjukan bahwa mereka
bersungguh-sungguh dan mampu untuk mengadili kasus-kasus genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Hanya ketika Negara tersebut tidak
bersungguh-sungguh atau tidak mampu maka ICC mendapat jurisdiksinya.
Agar dapat mengadili kasus-kasus genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan
kejahatan perang, maka tiap Negara wajib memiliki landasan hukum nasional untuk
mengadili kejahatan-kejahatan tersebut. Atas alasan inilah beberapa Negara
menunda ratifikasi atas Konvensi ini hingga waktu dimana mereka dapat
mengamandemen hukum nasional mereka sehingga kejahatan-kejahatan berat ini
dapat secara jelas dihukum berdasarkan hukum nasionalnya. Suatu aspek menarik
terkait dengan rencana Indonesia untuk meratifikasi di tahun 2008 adalah bahwa
pada saat ini UU No. 26/2000 hanya mengatur jurisdiksi untuk mengadili genosida
dan kejahatan terhadap kemanusiaan, tetapi tidak meliputi kejahatan perang.
Apabila Indonesia mampu menunjukan bahwa ia mampu mengadili kejahatankejahatan internasional ini dan dengan demikian terhindar dari kemungkinan
intervensi oleh ICC setelah Indonesia menjadi Negara peserta, maka Indonesia perlu
mengamandemen UU No. 26/2000 untuk memasukan kejahatan perang atau
mengeluarkan suatu UU dengan ketentuan/pengaruh yang sama.
Definisi:
Unwilling –tidak bersungguh-sungguh (Pasal 17 (2))
Suatu negara dinyatakan tidak mempunyai kesungguhan dalam menjalankan
pengadilan apabila:
• Pengadilan nasional dijalankan dalam rangka melindungi pelaku dari
tanggung jawab pidana atas kejahatan berat tersebut
• Terjadi penundaan yang tidak konsisten dengan niat untuk mendapat
keadilan
• Pengadilan dilakukan secara tidak independen dan memihak, serta tidak
konsisten dengan niat untuk mendapatkan keadilan
Unable-tidak mampu (Pasal 17 (3))
Pengadilan suatu negara dinyatakan tidak mampu apabila terjadi kegagalan sistem
pengadilan nasional, secara menyeluruh ataupun sebagian. Sehingga negara
tersebut tidak mampu menghadirkan tertuduh atau bukti dan kesaksian yang
dianggap perlu untuk menjalankan proses hukum.
Bagaimana jurisdiksi ICC dapat “diaktifkan?”
Dalam Pasal 13, disebutkan bahwa inisiatif untuk menuntut suatu kasus untuk diadili
dalam ICC dapat berasal dari 3 pihak yaitu negara peserta, Dewan Keamanan PBB
atau Penuntut Umum ICC.
1. Negara Peserta dapat menyerahkan suatu “situasi” dimana ada indikasi terjadi
kejahatan berat yang masuk jurisdiksi ICC, dan negara tersebut merasa tidak
sanggup untuk mengadili si pelaku. Ini telah terjadi dalam kasus Uganda dan
Republik Demokratik Congo (DRC)
2. Dewan Keamanan PBB, bertindak atas dasar Bab VII dari Piagam PBB, dapat
merujuk kasus tertentu untuk diadili oleh ICC. Misalnya, ini telah dilakukan
Dewan Keamanan untuk kasus Darfur.
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
21
3. Jaksa Penuntut Umum memiliki kekuasaan untuk memulai penyelidikan terhadap
kejahatan-kejahatan berat sesuai jurisdiksi ICC, bertindak atas inisiatifnya
sendiri. Ia dapat mendasarkan putusan ini berdasarkan informasi yang ia terima
dari berbagai macam sumber, termasuk pemerintah, LSM, PBB, dsb.
4. Namun, ijin untuk menjalankan penyilidikan atas inisiatif sendiri harus disetujui
oleh Majelis Pra-Sidang (Pasal 15). 6
Bagaimanakah Penuntut Umum memutuskan kasus-kasus yang akan diadili?
Karena ICC dirancang untuk memiliki jurisdiksi hanya terhadap kejahatan
internasional yang paling berat, sebagian besar atau semua kejahatan yang
tercantum dalam Statuta Roma telah memilika jurisdiksi internasional berdasarkan
hukum internasional. Yakni, bahwa terdapat suatu kesepakatan meluas diantara
para Negara bahwa kejahatan-kejahatan berat ini wajib diadili kapanpun dan
dimanapun mereka terjadi dan merupakan kewajiban semua Negara untuk
melakukannya. Kewajiban untuk mengadili ini merupakan ketentuan hukum
internasional yang berlaku bagi semua Negara. Namun demikian, walaupun
kewajiban ini ada berdasarkan hukum internasional, banyak Negara, yang pada
kenyataannya tidak bersungguh-sungguh dan tidak mampu dalam mengadili
warganegaranya sendiri yang terlibat dalam kejahatan-kejahatan berat tersebut.
Sebagai contoh, dibanyak contoh, para pelaku adalah individu dengan kekuasaan
dan para penegak hukum dinegara tersebut tidak mau atau tidak mampu mengadili
mereka secara efektif.
Dalam situasi demikian, ICC dapat memutuskan untuk menggunakan jurisdiksinya
dan mulai melakukan penyelidikan atau penuntutan kasus tersebut. Dalam
membuat putusan ini, Penuntut Umum wajib melihat bukti yang tersedia dan
memutuskan apakah cukup alasan untuk mempercayai bahwa kejahatan
internasional telah dilakukan dan apakah Negara yang terkait cukup efektif.
Keputusan ini dan interaksi antar pengadilan, Penuntut Umun dan Negara terkait
diatur didalam ketentuan Pasal 17 dan pasal 18 Statuta Roma.
Pasal 17 mencerminkan kebijakan bahwa ICC tidak boleh dilihat sebagai suatu
pengadilan tingkat banding yang memiliki jurisdiksi untuk memutuskan apakah suatu
persidangan dan hukuman yang diputuskan oleh pengadilan nasional telah cukup,
dan untuk menambahkan sesuatu apabila ternyata belum cukup. Putusan yang
harus diambil ICC adalah apakah Negara sudah atau telah mengambil langkahlangkah efektif atau tidak efektif untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan.
Pasal ini memuat kritera pokok untuk menentukan apakah upaya-upaya yang diambil
Negara untuk membawa pelaku kemuka keadilan adalah benar-benar. Upaya
tersebut dapat dinilai tidak benar-benar apabila terlihat:
• Dimaksudkan untuk melindungi seseorang dari kewajiban pidana,
• Menunjukan adanya penundaan tanpa dasar yang tidak konsisten dengan
upaya untuk membawa pelaku kemuka hukum atau
• Apabila proses hukum tidak dilakukan secara independent dan tidak
memihak, dan tidak konsisten dengan upaya untuk membawa pelaku kemuka
hukum.
Ada beberapa tumpangtindih antara kriteria tersebut, dan ICC belum merinci
ketentuan tersebut lebih lanjut, jadi tidak jelas bagaimana ketentuan tersebut
berlaku. Namun demikian, berdasarkan Ketentuan-ketentuan ICC, dialog antara
Penuntut Umum dan Negara peserta mungkin untuk dilakukan. Sebagai contoh,
6
William A Schabas, op.cit, hlm 98.
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
22
LSM dan Negara peserta dapat mengumpulkan bukti-bukti dari adanya suatu
kejahatan internasional yang terjadi disuatu Negara, dan bukti bahwa Negara
peserta tidak memenuhi kewajibannya untuk menyelidiki dan melakukan penuntutan.
Untuk memenuhi uji kelengkapan, Negara wajib menunjukan kemauan untuk
bertindak atau memberikan bukti ke pengadilan bahwa Negara telah mengambil
tindakan. Setelah menerima budi yang telah dipersiapkan dengan baik oleh suatu
LSM, Penuntut Umum dapat menghubungi Negara peserta dan Negara dimana ICC
mempercayai bahwa mungkin terdapat pelaku kejahatan internasional di Negara
tersebut. Penuntut Umum dapat meminta Negara peserta untuk menyelidiki perkaraperkara yang mungkin telah dilakukan oleh pelaku tersebut. Penuntut kemudian
dapat menghubungi lagi Negara tersebut dalam enam bulan untuk melihat kemajuan
yang telah dicapai. Berdasarkan Ketentuan-ketentuan ini, komunikasi antara
Penuntut Umum dan Negara-negara harus bersifat rahasia. Apabila tidak ada
kemajuan yang dicapai dalam suatu periode tertentu dimana orang dapat
mengharapkan adanya suatu kemajuan, atau jika hal lain telah terjadi, Penuntut
Umum dapat percaya bahwa hal ini merupakan bukti yang cukup bahwa Negara
peserta tidak berlaku berdasarkan kepercayaan (good faith) dalam hal menuntut
mereka-mereka yang bertanggungjawab. Ia kemudian dapat pergi ke Majelis PraSidang untuk mendebat bahwa Negara tersebut tidak memenuhi kewajibannya, dan
kemudian memohon persetujuan untuk memulai penyelidikan.
Namun demikian, Pasal 17 perlu dibaca berkaitan dengan Pasal 18. Ide
keseluruhan dari jurisdiksi ICC berdasarkan pada prinsip pelengkap – dimana
Negara harus didorong untuk mengambil tanggungjawab daripada ICC yang
menangani kasusnya. Pada setiap langkah proses, Penuntut Umum wajib hadir
dihadapan Majelis Pra-Sidang yang akan mengeluarkan putusan awal yang
mengizinkan penuntut umum untuk melanjutkan persidangan atau tidak. Majelis
Pra-Sidang akan mensyaratkan Penuntut Umum untuk menyediakan bukti-bukti
yang mendukung setiap permintaan untuk melanjutkan persidangan. Jika, sebagai
contoh, suatu Negara telah pada saat yang sama mengambil langkah-langkah serius
untuk melanjutkan persidangan dalam jurisdiksi nasional mereka maka Majelis PraSidang tidak akan mengizinkan Penuntut Umum untuk melanjutkan persidangan.
Hal mendasar dari prinsip pelengkap adalah bahwa tidak boleh ada dua penyelidikan
dan penuntutan yang berjalan pada saat yang bersamaan, satu dari pihak Negara
peserta dan satu dari ICC. Apabila Negara peserta melakukan langkah-langkah
yang wajar dan terlihat bersungguh-sungguh dan mampu, maka ICC tidak boleh
mengambil tindakan apapun. Sebagai tambahan, beberapa tindakan yang dimulai
oleh ICC dapat merangsang Negara peserta untuk mengambil langkah-langkah
tambahan, yang berarti bahwa ICC menghentikan kegiatan-kegiatannya.
Jurisdiksi terhadap Kejahatan-Kejahatan Paling Berat
Statuta Roma mencakup empat kejahatan besar. Elemen-elemen dari tiap
kejahatan tersebut dimuat didalam Annex Statuta. Keempat kejahatan ini adalah:
Agresi
Genosida
Kejahatan terhadap kemanusiaan
Kejahatan Perang
Mengapa Keempat Kejahatan ini?
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
23
Kejahatan-kejahatan internasional telah diakui ada sejak beberapa abad, terutama,
bajak laut, perbudakan dan akhir-akhir ini lalu lintas narkoba, pembajakan, terorisme
dan pencucian uang.
Kejahatan-kejahatan ini melibatkan suatu elemen internasional didalam
pelaksanaannya, dan merupakan subyek dari konvensi-konvensi internasional, dan
oleh karenanya disebut juga sebagai “kejahatan-kejahatan konvensi”.
Namun demikian, kejahatan-kejahatan dibawah jurisdiksi ICC disebut dengan
“kejahatan-kejahatan internasional” bukan karena mereka dilakukan antar batas
Negara tetapi dikarenakan oleh berat dan pengaruh kejahatan tersebut sehingga
korban dari kejahatan ini adalah seluruh kemanusiaan, dan kemanusiaan berhak
untuk mengadili kejahatan tersebut. Oleh karena itu, kejahatan-kejahatan ini sangat
terkait dengan pergerakan hak-hak asasi manusia internasional.
Statuta Roma menyebutkan rujukan-rujukan menganpa kejahatan-kejahatan ini
terpilih:
ie karena kejahatan tersebut merupakan
‘kejahatan paling berat yang merupakan masalah bagi masyarakat internasional
secara keseluruhan (preamble, Pasal 5)
‘kekejaman yang tidak terbayangkan hingga mengguncang kesadaran kemanusiaan
(preamble)
‘kejahatan paling berat yang merupakan perhatian internasional’ (Pasal 1)
‘Kejahatan-kejahatan Internasional’ (rujukan-rujukan didalam preamble)
Agresi
Walaupun kejahatan agresi dimasukan didalam Statuta, tapi tidak berlaku, karena
belum ada kesepakatan apakah elemen-elemen dari kejahatan ini, dan bagaimana
akan dilakukan penuntutan. Kejahatan agresi terkait dengan serangan yang
dilakukan oleh satu Negara terhadap Negara lain yang merupakan suatu subyek
politis tingkat tinggi, dan cara bagaimana kejahatan ini diadili menimbulkan kesulitankesulitan karena keputusan-keputusan untuk melakukan penyerangan mungkin
dibuat oleh pemerintah dengan melibatkan lapisan-lapisan tanggungjawab individu.
Sebagai tambahan, kejadian-kejadian akhir-akhri ini seperti invasi Amerika Serikat
terhadap Irak lebih meningkatkan kerumitan politis terkait masalah ini.
Ada beragama perbedaan pendapat diantara Negara yang terlibat dalam
perancangang Statuta terkait dengan bagaimana agresi haris ditangani. Beberapa
Negara percaya bahwa kejahatan ini harus diadidli setelah DK PBB telah
menyetujuinya sebagai kasus yang tepat untuk diadili. Yang lain percaya bahwa hal
ini akan menambah elemen politis terhadap suatu masalah hukum dan oleh
karenanya ICC harus menanganinya secara independen.
Perkenalan terhadap Elemen-elemen: konteks atau ‘chapeau.’
Perbedaan mendasar antara ‘kejahatan internasional’ dan ‘kejahatan nasional’
adalah bahwa kejahatan internasional yang berat mengadung dua unsur sekaligus
1. suatu tindakan (contohnya pembunuhan) dan
2. konteks dimana tindakan tersebut dilakukan
Dalam hukum internasional, konteks seringkali dirujuk terhadap kata dalam bahasa
Perancis ‘chapeau’ yang berarit ‘topi’. Secara mudahnya, hal ini dapat dipandang
sebagai perlunya menggunakan suatu topi tertentu dengan warna yang berbedabeda untuk kejahatan yang berbeda. Suatu tindakan tertentu, seperti pembunuhan,
tidak akan menjadi salah satu kejahatan internasional yang paling berat kecuali
elemen-elemennya, atau ‘warna’ topinya terpenuhi. Dan suatu tindakan dapat
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
24
dianggap merupakan kejahatan yang berbeda apabila dilakukan dalam konteks yang
berbeda, atau ‘dengan menggunakan topi yang berbeda’.
Ambil contoh pembunuhan. Apabila pembunuhan dilakukan dengan niat untuk
membunuh maka hal tersebut merupan kejahatan yang melanggar hukum nasional.
Apabila pembunuhan dilakukan dengan niat untuk menghancurkan baik secara
keseluruhan atau sebagian suatu kelompok ras, etnis, agama atau bangsa, maka
kejahatan tersebut dapat dianggap sebagai genosida.
Apabila pembunuhan tersebut dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas
atau sistematis terhadap penduduk sipil maka dapat dianggap sebagai kejahatan
terhadap kemanusiaan.
Apabila pembunuhan dilakukan terhadap warga sipil, tahanan, orang sakit atau
terluka dalam suatu masa konflik internal atau internasional, maka dapat dianggap
sebagai kejahatan perang.
Kompleksitas untuk membuktikan kejahatan-kejahatan internasional yang telah
dilakukan adalah bahwa elemen-elemen dari tindakan tersebut wajib dibuktikan,
sama halnya seperti kejahatan nasional lain, tetapi juga konteks atau chapeau, wajib
pula untuk dibuktikan. Kejahatan internasional tidak dilakukan secara independent
atas suatu tindakan tertentu. Dalam tiap kasus, wajib terdapat satu tindakan yang
dilarang, seperti pembunuhan atau perkosaan, yang wajib dibuktikan. Selain itu,
Penuntut Umum wajib membuktikan bahwa pembunuhan atau perkosaan terjadi
dalam satu konteks tertentu,i.e. secara sederhananya, dilalukan dengan niat untuk
menghancurkan salah satu dari keempat kelompok (genosida), bagian dari serangan
meluas atas penduduk sipil (kejahatan terhadap kemanusian) atau suatu tindakan
yang dilarang yang dilakukan oleh suatu pihak dalam konflik internal atau
internasional (kejahatan perang).
Elemen-elemen Kejahatan
Genosida:
Kejahatan genosida adalah salah satu atau lebih dari beberapa perbuatan berikut ini
yang dilakukan dengan niat untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, etnis, ras atau agama, seperti:
(a) Membunuh anggota kelompok;
(b) Menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang berat anggota kelompok;
(c) Sengaja menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruhan atau sebagian;
(d) Memaksa tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
suatu kelompok;
(e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok
lainnya.
Statuta Roma, Pasal 6
Aspek tertentu dalam genosida adalah dolus specialis: niat khusus untuk
menghancurkan baik secara keseluruhan atau sebagian suatu kelompok bangsa,
etnis, ras dan agama.
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
25
“Niat” adalah kekhususan yang membedakan genosida dengan kejahatan lainnya
(dolus specialis). 7 Intinya, pelaku harus memiliki niat untuk menghancurkan, baik
secara keseluruhan atau sebagian, salah satu dari keempat kelompok-kelompok
yang dilindungi. Syarat adanya “niat” akan menghindarkan bahwa genosida dapat
dilakukan dengan tingkatan mens rea (elemen mental) yang lebih rendah. Suatu
perbuatan dapat diklasifikasikan sebagai genosida, apabila terbukti adanya niat
untuk menghancurkan suatu kelompok dapat dibuktikan. 8
Dalam Putusan Akayesu di ICTR 9 , Pengadilan menganggap bahwa “niat”
merupakan suatu faktor mental yang sulit atau bahkan hampir tidak mungkin untuk
dibuktikan. Tapi pada saat tidak ada pengakuan dari tersangka, “niat” dapat dilihat
dari faktor-faktor, termasuk konteks umum , skala dari kekacauan yang ditimbulkan,
kekacauan yang dilakukan di satu wilayah atau negara, fakta-fakta yang
menunjukkan kesengajaan dan pemilihan korban yang berdasarkan pada
keanggotaan mereka pada kelompok tertentu, kebijakan politis etc.
Kejahatan Genosida hanya dapat dilakukan apabila salah satu dari lima tindakan
yang disebutkan diatas dilakukan terhadap salah satu dari empat kelompok. Tiap
kelompok ini memiliki elemen yang bersifat permanent/tetap. Hal ini merupakan
kategori dimana manusia biasanya dilahirkan dan juga mati. Mereka mungkin dapat
keluar dari kelompok tersebut, misalnya agam atau kebangsaan, tetapi pergerakan
ini biasanya tidak lazim terjadi. Dilain pihak, kelompok seperti kelompok politis tidak
bersifat permanent, banyak perubahan dalam pendapat-pendapat politis yang
bersifat individu.
Perlu dicatat bahwa keempat kelompok tersebut tidak termasuk kelompok budaya
atau politis. Sehingga apabila anggota suatu gerakan pro-kemerdekaan terbunuh
dengan niat untuk untuk menghancurkan suatu kelompok, maka hal tersebut bukan
dianggap sebagai Genosida karena kelompok pro-kemerdekaan adalah suatu
kelompok politis. Genosida kelompok budaya atau politis merupakan dua kategoru
yang dipertimbangkan oleh para perancang Statuta Roma dan ditolak, dan oleh
karenya tidak berlaku.
Serangan wajib dilaukan terhadap satu kelompok tertentu karena keanggotaan dari
kelompok tersebut.
Apa yang disebut dengan masing-masing empat kelompok tersebut?
•
Kelompok bangsa adalah sekelompok orang yang secara bersama menerima
keterikatan secara hukum dalam suatu kewarganegaraan yang sama,
dengan timbal balik antara hak dan kewajiban. (ICTR, Putusan Akayesu)
•
Kelompok etnis adalah suatu
bahasa atau budaya (ICTR,
membedakan dirinya sendiri,
kelompok lainnya, termasuk
kelompok lain). (ICTR, Putusan
kelompok yang memiliki persamaan dalam
Putusan Akayesu); atau, kelompok yang
atau kelompok yang diidentifikasikan oleh
pelaku kejahatan (diidentifikasikan oleh
Kayishema dan Ruzindana)
7 William A Schabas, An Introduction To The International Criminal Court, Cambridge University
Pres, United Kingdom, 2001, Hlm 30.
8 Machteld Boot, Nullum Crimen Sine Lege and the Subject Matter Jurisdiction Of The International
Criminal Court, Intersentia, Antwerpen, 2002.
9
Putusan Akayesu, 2 September 1998, paragraf 523-524.
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
26
•
Kelompok ras adalah suatu kelompok yang didasarkan pada ciri-ciri fisik yang
turun-temurun yang seringkali diidentifikasikan dengan wilayah geografis
selain bahasa, kebudayaan, kewarga-negaraan serta agama. (ICTR, Putusan
Akayesu)
•
Kelompok agama adalah suatu kelompok dimana anggotanya memiliki
agama, serta bentuk pemujaan yang sama. (ICTR, Putusan Akayesu)
Walaupun tidak ada kebutuhan tertentu bahwa Genosida dilakukan karena adanya
suatu kebijakan atau rencana, tetapi hal tersebut penting dalam pembelaan.
Elemen-elemen kejahatan mensyaratkan bahwa suatu tindakan genosida ‘terjadi
dalam konteks pola manifestasi dari suatu perbuatan yang sama langsung ditujukan
terhadap suatu grup atau perbuatan tersebut dapat dengan sendirinya menyebabkan
kerusakan.’
Arti ‘secara keseluruhan maupun sebagian”.
Berarti merupakan bagian yang substantial, tidak hanya beberapa anggota atau
sebagian kecil dari kelompok.
Besaran kelompok relevan untuk membuktikan niat untuk menghancurkan bagian
dari suatu kelompok tertentu (bagian substansial), hal ini tidak secara tegas relevan
terhadap tindakan yang dilakukan.
Apakah Perkosaan dapat dianggap sebagai Genosida?
Kategori tindakan kedua dalam definisi Genosida: ‘menyebabkan penderitaan fisik
atau mental yang berat” diterjemahkan dalam Kasus Akayesu di ICTR untuk
memasukan perkosaan didalamnya. Dalam elemen-elemen kejahatan ICC,
disebutkan bahwa tindakan-tindakan tersbut dapat termasuk ‘tindakan penyiksaan,
perkosaan, kekerasan seksual atau perlakuan tidak manusia atau merendahkan.”
Pasal 6(b)).
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Kejahatan terhadap kemanusiaan biasanya terjadi sebagai bagian dari suatu konflik.
Namun demikian, kejahatan ini juga dapat terjadi dalam suatu keadaan yang bukan
merupakan konflik. Statuta Roma tidak menyebutkan batasan atau rujukan terhadap
kejahatan yang terjadi terkait dengan suatu konflik (lihat Kasus Banding Tadic di
ICTY).
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu atau lebih dari beberapa
perbuatan di bawah ini yang dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari
serangan yang sistematis atau luas yang ditujukan terhadap penduduk sipil:
(a) Pembunuhan;
(b) Pemusnahan;
(c) Perbudakan;
(d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
(e) Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional;
(f) Penyiksaan;
(g) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, penghamilan
paksa, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk kekerasan
seksual lain yang setara;
(h) Persekusi terhadap suatu kelompok yang dikenal atau terhadap suatu
kelompok politik, ras, bangsa, etnis, budaya, agama, jender, atau kelompok-
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
27
kelompok lainnya,
yang secara universal dilarang dalam Hukum
Internasional;
(i) Penghilangan orang secara paksa;
(j) Kejahatan apartheid;
(k) Perbuatan tidak manusiawi lainnya yang setara, yang dengan sengaja
mengakibatkan penderitaan yang berat, luka serius terhadap badan, mental
atau kesehatan fisik seseorang.
Pasal 7, Statuta Roma
Arti ‘serangan’
Berdasarkan Statuta Roma, istilah ‘serangan’ didefinisikan sebagai
‘serangkaian tindakan yang melibatkan tindakan berulang kali dari tindakan-tindakan
yang disebutkan dalam paragraph 1 ditujukan terhadap warga sipil, yang merupakan
kelanjutan atau pelaksanaan dari bagian kebijakan suatu organisasi atau negara
untuk melakukan serangan tersebut’.
Meluas atau (dan) Sistimatik - Widespread or (and) systematic
Walaupun definisinya menyatakan bahwa serangan tersebut dapat bersifat meluas
atau sistematik, namun serangan meluas tersebut wajib merupan suatu bagian dari
pelaksanaan kebijakan suatu Negara atau organisasi (ie sistemetik). Efeknya adalah
serangan tersebut harus meluas dan sistematis.
•
Widespread or systematic attack – serangan yang luas atau sistematik
Pengertian “luas atau sistematis” merupakan syarat fundamental yang membedakan
kejahatan terhadap kemanusiaan dengan kejahatan umum lainnya yang tidak
digolongkan ke dalam kejahatan oleh hukum internasional. Pengertian “luas”
mengacu pada jumlah korban. Konsep ini meliputi kejahatan yang besar-besaran
(massive), berulang, berskala besar, dilaksanakan secara kolektif dengan tingkat
keseriusan yang tinggi.
Pengertian “sistematis”, memperlihatkan adanya pola atau rencana
yang
terorganisir secara rapi yang membedakannya dengan tindakan atau insiden yang
bersifat berdiri sendiri ataupun acak. Dalam Putusan Akayesu disebutkan bahwa
konsep “sistematik”, dapat didefinisikan sebagai pola yang terorganisir secara rapi
dan mengikuti suatu pola yang didasarkan pada suatu kebijakan yang umum yang
melibatkan sumber daya, baik dari negara maupun swasta.
Tidak ada ketentuan yang menyebutkan bahwa kebijakan tersebut diadopsi harus
secara formal sebagai kebijakan negara. Namun harus ada perencanaan atau
kebijakan yang telah dipersiapkan dengan matang sebelumnya. 10 Unsur luas
(widespread) atau sistematis (systematic) tidak harus dibuktikan kedua-duanya.
Artinya, kejahatan tersebut bisa saja dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas saja, atau sistematis saja.
•
directed against any civilian population – ditujukan kepada penduduk
sipil
Human Rights Watch, Genosida, War Crimes, And Crimes Against
Humanity: Topical Digest Of The Case Law Of The International Criminal
Tribunal For Rwanda And The International Criminal Tribunal For The
Former Yugoslavia, hlm 35.
10
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
28
Untuk memenuhi kualifikasi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, serangan
yang bersifat meluas atau sistematis ini harus ditujukan kepada penduduk sipil. 11
Penduduk sipil mengacu pada pengertian orang atau kelompok orang yang tidak
mengambil bagian secara aktif dalam situasi konflik, termasuk didalamnya anggotaanggota dari pasukan bersenjata yang telah menyerah dan orang-orang yang
ditempatkan sebagai hors de combat karena sakit, terluka, dalam tahanan atau
sebab lainnya. 12
•
With knowledge of the attack – memiliki pengetahuan terhadap
serangan
Pelaku dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan harus mengetahui bahwa
tindakannya adalah bagian dari serangan yang bersifat luas atau sistematis.
Pengetahuan yang dimiliki oleh pelaku dapat bersifat kontekstual ataupun
konstruktif. Misalnya, dengan begitu banyaknya kasus kekerasan dapat disimpulkan
bahwa pelaku tidak mungkin tidak tahu. Secara khusus tidak perlu ditunjukkan
bahwa pelaku mengetahui tindakannya bersifat tidak manusiawi atau telah mencapai
tingkatan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Konteks:
1. Tindakan yang dilakukan oleh pelaku wajib merupakan bagian dari suatu
‘serangan’
2. Serangan ditujukan kepada penduduk sipil.
Tidak termasuk serangan
terhadap kelompok bersenjata tidak (ini mungkin merupakan kejahatan
perang.)
3. Serangan terhadap penduduk sipil wajib melibatkan tindakan yang
berulangkali dari 11 tindakan yang disebutkan (sebagai contoh pelaku bisa
saja hanya membunuh satu korban tetapi pembunuhan tersbut wajib
dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang
melibatkan serangkaian pembunuhan, perkosaan dsb terhadap penduduk
sipil).
4. Serangan yang ditujukan kepada penduduk sipil wajib bersifat sistematik
(merupakan bagian atau kelanjutan dari suatu kebijakan Negara atau
organisasi).
5. Serangan yang meluas atau sistematik biasanya dilakukan oleh agen
Negara, tetapi dalam kondisi tertentu, mungkin melibatkan pelaku bukan
Negara (sebagai contoh kelompok perlawanan para militer).
6. Pelaku yang melakukan suatu tindkaan wajib mengetahui bahwa tindakannya
merupakan bagian dari serangan meluas atau sistematik terhadap penduduk
sipil.
7. (Apabila dia tidak tahu, ia mungkin bersalah atas kejahatan individu, misalnya
pembunuhan, tetapi bukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Suatu
kejahatan tunggal dapat saja merupakan suatu kejahatan perang apabila hal
tersebut merupakan serangan terhadap warga sipil dalam suatu konflik
bersenjatan tetapi pelaku tidak mengetahui bahwa hal tersebut merupakan
bagian dari serangan meluas atau sistematik. Menurut elemen-elemen
tindak kejahatan, penyerang tidak perlu mengetahui karakterisitk dari suatu
serangan yang lebih luas atau rincian rencanan atau kebijakan. (Pasal 7 (2))
8. Tidak perlu kejahatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari suatu konflik,
bisa saja terjadi dalam masa damai.
11
12
William A Schabass, op.cit, hlm 36.
Akayesu, 2 September 1998, Para.582.
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
29
Kejahatan Perang (War Crimes)
Statuta Roma menyebutkan 4 hukum kebiasaan internasional terkait dengan
kejahatan perang yang berasal dari sumber-sumber berikut ini:
• Hukum Den Haag (Hague law)
• Pelanggaran terhadap 4 Konvensi Jenewa 1949 (Breaches of the 1949 four
Geneva Conventions)
• Pelanggaran terhadap Protokol Konvensi Jenewa 1977 (Breaches of the
1977 protocols to the Geneva Conventions)
• Hukum Kebiasaan Internasional (Customary international law.)
Kejahatan Perang (War Crimes)
Statuta Roma menyebutkan 4 hukum kebiasaan internasional terkait dengan
kejahatan perang yang berasal dari sumber-sumber berikut ini:
• Hukum Den Haag (Hague law)
• Pelanggaran terhadap 4 Konvensi Jenewa 1949 (Breaches of the 1949 four
Geneva Conventions)
• Pelanggaran terhadap Protokol Konvensi Jenewa 1977 (Breaches of the
1977 protocols to the Geneva Conventions)
• Hukum Kebiasaan Internasional (Customary international law.)
Definisi kejahatan perang dalam Statuta Roma mencerminkan perkembangan luar
biasa yang terjadi dalam hukum humaniter sejak digelarnya Pengdilan Adhoc ICTY
dan ICTR. Statuta Roma mengadopsi jurisprudensi kedua pengadilan internasional
ini, sehingga leih jelas lagi terlihat adanya pertanggung-jawaban individu untuk
kejahatan perang dalam konfllik bersenjata internasional dan konflik bersenjata
internal.
Kejahatan perang adalah salah satu atau lebih dari beberapa perbuatan di bawah ini:
(a) Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus
1949, yaitu perbuatan-perbuatan berikut ini yang ditujukan terhadap orang
atau harta benda yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa:
(i)
(ii)
Sengaja melakukan pembunuhan;
Penyiksaan atau perlakuan secara tidak manusiawi, termasuk
percobaan-percobaan biologis;
(iii) Sengaja menimbulkan penderitaan yang berat, atau luka badan
maupun kesehatan yang serius;
(iv) Perusakan secara luas dan perampasan terhadap harta benda, tidak
dibenarkan oleh kepentingan dan dilakukan secara melawan hukum
dan semena-mena;
(v) Pemaksaan terhadap tawanan perang atau orang yang dilindungi
lainnya untuk berdinas dalam ketentaraann negara musuh;
(vi) Sengaja melakukan pencabutan hak tawanan perang atau orang
dilindungi lainnya atas pengadilan yanbg adil dan wajar;
(vii) Deportasi atau pemindahan atau penahanan secara melawan hukum;
(viii) Penyanderaan.
(b) Pelanggaran yang berat terhadap hukum dan kebiasaan dalam hukum
internasional yang diterapkan dalam hukum perang, yang merupakan
salah satu atau lebih perbuatan-perbuatan berikut ini:
(i)
Dengan sengaja melakukan serangan terhadap penduduk sipil atau
terhadap orang sipil yang tidak secara langsung terlibat dalam
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
30
(ii)
(iii)
(iv)
(v)
(vi)
(vii)
(viii)
(ix)
(x)
(xi)
(xii)
(xiii)
(xiv)
(xv)
(xvi)
(xvii)
sengketa;
Dengan sengaja melakukan serangan terhadap sasaran sipil yang
bukan merupakan sasaran militer;
Dengan sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasiinstalasi, bangunan, unit-unit atau kendaraan bantuan kemanusiaan
dan misi penjaga perdamaian sesuai dengan piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa, sepanjang mereka berhak atas perlindungan yang
diberikan sebagai orang sipil atau sasaran sipil menurut hukum
perang internasional;
Dengan sengaja melakukan serangan yang diketahuinya bahwa
serangan itu akan menyebabkan kematian atau cedera terhadap
penduduk sipil, atau kerusakan terhadap sasaran sipil, atau
mengakibatkan kerusakan yang meluas, sangat berat dan berjangka
waktu lama terhadap lingkungan alam yang secara tegas melampaui
batas dalam kaitannya dengan upaya mengantispasi keuntungankeuntungan militer yang nyata dan langsung;
Penyerangan atau peledakan kota, desa-desa, tempat tinggal, dan
gedung yang tidak dilindungi dan bukan sasaran militer;
Pembunuhan atau melukai kombatan yang sudah menyerah, yaitu
mereka yang sudah meletakkan senjatanya atau sudah tidak lagi
memiliki sarana untuk melawan;
Penggunaan bendera gencatan senjata, tanda-tanda atau seragam
militer musuh atau Perserikatan Bangsa-Bangsa, maupun tandatanda pembeda (distinctive emblem) yang diatur dalam Konvensi
Jenewa dengan tidak semestinya, yang menyebabkan kematian atau
luka berat;
Pemindahan secara langsung atau tidak langsung oleh Penguasa
Pendudukan (Occupying Power) terhadap sebagian penduduk
sipilnya ke dalam wilayah yang diduduki, atau deportasi maupun
pemindahan seluruh atau sebagian penduduk yang tinggal di daerah
yang diduduki di dalam atau keluar daerah mereka;
Dengan sengaja melakukan serangan terhadap tempat-tempat
ibadah,
pendidikan, kebudayaan, ilum pengatahuan, atau amal,
bangunan bersejarah, rumah sakit, dan tempat-tempat dimana orangorang yang sakit dan terluka dikumpulkan sepanjang tempat-tempat
itu bukan untuk keperluan militer;
Mewajibkan orang yang dalam kekuasaan pihak musuh melakukan
mutilasi (mutilation) fisik, atau untuk percobaan medis atau ilmiah
apapun yang tidak dapat dibenarkan oleh medis, kesehatan gigi,
atau perwatan rumah sakit terhadap seseorang, yang dilakukan di
luar kehendak orang tersebut dan menyebabkan kematian atau
bahaya serius terhadap kesehatan orang tersebut;
Membunuh, atau melukai orang sipil dari Negara atau tentara musuh;
Menyatakan bahwa tidak ada tempat tinggal yang akan diberikan;
Penghancuran atau penyitaan barang milik
musuh
kecuali
penghancuran atau penyitaan tersebut terpaksa dilakukan demi
kepentingan atau keperluan perang;
Menyatakan penghapusan, penangguhan atau tidak dapat
diterimanya hak-hak dan tindakan warga Negara dari pihak musuh
dalam suatu pengadilan;
Melakukan pemaksaan terhadap penduduk pihak lawan untuk ikut
dalam operasi perang melawan Negaranya sendiri, bahkan jika
mereka berdinas dalam tentara musuh sebelum permulaan perang;
Perampasan kota atau tempat bahkan dengan penyerangan;
Penggunaan racun atau senjata beracun;
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
31
(xviii) Penggunaan gas yang menyesakkan napas (asphyxiating), gas
beracun atau gas-gasa lainnya dan semua cairan, bahan-bahan, atau
peralatan-peralatan yang beracun;
(xix) Penggunaan peluru yang dengan mudah meluas dan hancur dalam
tubuh manusia, seperti peluru dengan selubung keras yang tidak
seluruhnya menutupi ujung peluru atau peluru tersebut ditoreh;
(xx)
Menggunakan senjata, proyektil atau bahan, dan metode-metode
perang yang pada dasarnya dapat menyebabkan
luka yang
berlebihan atau tidak perlu atau secara inheren dan tidak pandang
bulu, dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional mengenai
hukum perang;
(xxi) Penghinaan terhadap martabat seseorang, khususnya perlakuan yang
mempermalukan dan merendahkan martabat manusia;
(xxii) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa, penghamilan
paksa, pemandulan atau sterilisasi secara paksa, atau bentukbentuk kekerasan seksual lainnya yang juga diatur dalam Konvensi
Jenewa;
(xxiii) Penggunaan penduduk sipil atau orang yang dilindungi untuk
membuat sutu wilayah militer atau pasukan militer kebal dari operasi
militer;
(xxiv) Dengan sengaja melakukan serangan terhadap bangunan, bahanbahan, unit-unit, alat transportasi, dan personil medis yang
menggunakan
tanda pembeda dalam Konvensi Jenewa sesuai
dengan Hukum Internasional;
(xxv) Dengan sengaja menggunakan kelaparan penduduk sipil sebagai
metode berperang dengan cara menghentiukan persedian bahanbahan yang dibutuhkan mereka untuk bertahan hidup (survival),
termasuk menghalangi bantuan bahan-bahan sebagaimana diatur
dalam Konvensi Jenewa;
(xxvi) Memperkerjakan atau melibatkan anak-anak di bawah umur lima
belas tahun ke dalam angkatan bersenjata atau menggunakan
mereka untuk ikut serta secara aktif dalam perang.
(c) Dalam hal sengketa bersenjata nasional, pelanggaran berat terhadap pasal 3
yang sama ada dalam ke-empat Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus
1949, adalah perbuatan-perbuatan sebagai berikut yang dilakukan terhadap
orang-orang yang tidak ikut serta secara aktif dalam peperangan, termasuk
di dalamnya anggota-anggota angkatan tentara yang telah meletakkan
senjatanya serta mereka yang tidak lagi turut serta karena sakit, terluka,
ditahan atau sebab-sebab lainnya (hors de combat):
(i)
Kekerasan terhadap jiwa dan raga, khususnya segala bentuk
pembunuhan, mutilasi (mutilation), perlakuan yang kejam, dan
penyiksaan;
(ii)
Melakukan kebiadaban terhadap martabat orang, khususnya
perlakuan yang mempermalukan dan merendahkan martabat;
(iii)
Penyanderaan;
(iv)
Penghukuman dan pelaksanaan hukuman/eksekusi tanpa putusan
pengadilan yang dibentuk secara teratur yang memberikan segenap
jaminan hukum yang diakui sebagai keharusan;
1. Ayat 2 (c) berlaku untuk konflik bersenjata nasional dan oleh karena itu tidak
berlaku dalam ketegangan atau kekacauan internal seperti kerusuhan,
kekerasan yang berdiri sendiri atau sporadis atau tindakan-tindakan lain yang
mempunyai karakter serupa;
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
32
2. Pelanggaran berat lainnya terhadap hukum dan kebiasaan-kebiasaan yang
berlaku dalam sengketa bersenjata nasional dalam kerangka Hukum
Internasional, adalah tindakan-tindakan sebagai berikut:
(i)
Dengan sengaja melakukan serangan terhadap penduduk sipil atau
orang sipil yang tidak terlibat langsung dalam peperangan;
(ii)
Dengan sengaja melakukan serangan terhadap bangunan, bahanbahan, unit-unit dan transportasi dan personil medis yang
menggunakan tanda pembeda dalam Konvensi Jenewa sesuai
dengan Hukum Internasional;
(iii)
Dengan sengaja menyerang personil, instalasi-instalasi, bangunan,
unit-unit atau kendaraan bantuan kemanusiaan dan misi penjaga
perdamaian, sepanjang mereka berhat atas perlindungan yang
diberikan sebagai orang sipil atau sasaran sipil menurut Hukum
Perang Internasional;
(iv)
Dengan sengaja melakukan serangan terhadap tempat-tempat
ibadah, pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, atau amal,
bangunan bersejarah, rumah sakit, dan tempat-tempat dimana orangorang yang sakit dikumpulkan, sepanjang tempat-tempat itu bukan
untuk keperluan militer;
(v)
Merampas kota atau tempat, bahkan dikuasai lewat penyerangan;
(vi)
Melakukan perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
penghamilan paksa, pemandulan atau sterilisasi secara paksa, atau
bentuk
kekerasan seksual lainnya yang dianggap sebagai
pelanggaran berat terhadap pasal 3 yang sama terdapat dalam keempat Konvensi Jenewa;
(vii)
Memperkerjakan atau melibatkan anak-anak di bawah umur lima
belas tahun ke dalam angkatan bersenjata atau menggunakannya
untuk ikut serta secara aktif dalam peperangan;
(viii) Memerintahkan perpindahan lokasi penduduk sipil untuk alasanalasan yang berkaitan dengan sengketa, kecuali untuk alasan
keamanan atau alasan-alasan militer mengharuskannya;
(ix)
Membunuh atau melukai tentara musuh dengan curang;
(x)
Menyatakan bahwa tidak akan ada tempat tinggal yang diberikan;
(xi)
Mewajibkan oarng yang dalam kekuasaan pihak lawan untuk
melakukan mutilasi fisik (mutilation), atau untuk percvobaan medis atu
keilmuan apapun yang tidak dibenakan oleh perawatan emdis, gigi,
atau rumat sakit terhadap seseorang, yang dilakukan di laur kehendak
orang tersebut dan menyebabkan kematian atau bahaya serius
terhadap kesehatan orang itu;
(xii)
Menghancurkan atau merampas harta benda pihak lawan kecuali
tindak-tindakan tersebut terpaksa dilakukan demi kepentingan atau
kebutuhan perang;
(f) Ayat 2 (e) berlaku terhadap sengketa bersenjata nasional dan oleh karena itu
tidak berlaku dalam ketegangan atau kekacauan internal seperti kerusuhan,
kekerasan yang berdiri sendiri atau sporadis atau perbuatan-perbuatan lain
yang mempunyai sifat serupa. Ayat ini berlaku terhadap sengketa bersenjata
di wilayah suatu antara pemerintah yang berwenang dengan kelompok
bersenjata yang terorganisir atau antar kelompok-kelompok tersebut.
Statuta Roma, Pasal 8
Kapan sebuah konflik bersenjata terjadi?
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
33
“Suatu konflik bersenjata terjadi bilamana diambil pilihan untuk menurunkan
angkatan bersenjata antara negara atau terjadi sengketa bersenjata yang
berlarut-larut antara pejabat negara serta kelompok bersenjata atau antara
kelompok-kelompok tersebut dalam suatu negara.”
Putusan Pengadilan Banding Kasus Tadic 13
Jadi bagaimana membuktikan telah terjadi kejahatan perang, sesuai Statuta
Roma?
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Simpulkan bahwa telah terjadi sebuah konflik bersenjata, dan apakah ini
konflik internasional atau internal
Buktikan bahwa pelaku melakukan salah-satu perbuatan yang disebut diatas.
Pastikan bahwa ini adalah pelangagran berat hukum perang.
Pastikan bahwa korban adalah seseorang dari kelompok yang dilindung,
artinya bukan kombatan
Apakah prinsip penggunanan kekerasan secara proporsional dipatuhi oleh
pihak yang berkonflik? Pentingnya sebuah target militer harus sebanding
dengan resiko korban dari masyarakat sipil.
Apakah bukan sebuah kesalahan fakta (seorang sipil disangka kombatan).
Apakah ada niat untuk melakukan kejahatan tersebut?
Perbuatan tersebut terjadi dalam konteks konflik, atau berhubungan dengan
konflik. Konflik menciptakan sebuah ‘lingkungan’ dimana perbuatan itu
dilakukan, dan mempunyai sebuah tujuan.
Pelaku menyadari adanya konflik
Untuk ICC, perbuatan tersebut harus menjadi bagian dari rencana atau
kebijakan (negara atau organisasi) atau terjadi dalam skala luas. [Unsur ini
hanya diwajibkan untuk kasus-kasus yang dibawa ke ICC, karena ICC
memilih untuk mengadili kasus-kasus kejahatan perang yang paling serius.]
Tindakan-tindakan yang telah diambil oleh Penuntut Umum ICC hingga
sekarang:
Penuntut Umum ICC hingga saat ini telah memulai penyelidikan-penyelidikan resmi
terhadap kasus-kasus di Uganda, Republik Demokratik Kongo (Democratic Republic
of Congo/DRC), dan Sudan (Darfur). Dalam kasus Uganda dan DRC, Negara
peserta sendiri yang meminta agar Penuntut Umum ikut campur. Dalam kasus
Darfur, DK PBB meminta agar Penuntut Umum turun tangan. Orang pertama yang
ditangkap oleh Penuntut Umum ICC adalah Thomas Lubanga dari DRC, yang
didakwa dengan tindakan-tindakan yang terkait dengan membuat daftar dan
memaksa merekrut anak-anak dibawah umur 15 tahun untuk bergabung dengan
pemberontakan dimana ia terlibat didalamnya. Lubanga kemudian dialihkan ke Den
Haag pada bulan Maret 2006 dan sebelum akhir January 2007, Majelis Pra Sidang,
setelah mendengar pembuktian awal dari penuntut, menegaskan 3 dakwaan atas
Lubanga dan merujuk agar kasus tersebut diteruskan ke persidangan.
Pada tanggal 1 Mei 2007 ICC mengeluarkan perintah penangkapan terhadap dua
tersangka dalam kasus Darfur atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan
perang, yakni: seorang menteri dalam Kepemerintahan Sudan yang sebelumnya
bertanggungjawab untuk wilayah Darfur dan seorang pemimpin milisi lokal. Salah
satu tersangka tetap bertugas sebagai Menteri dalam kepemerintahan Sudan.
13
Putusan Tadic Mengenai Jurisdiksi, Pengadilan Banding, Hlm 37 Para 70, Dalam Macthelboot,
Op.Cit, Hlm 549.
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
34
Penuntut Umum baru-baru ini telah meminta DK PBB agar mengambil tindakan agar
kedua tersangka dapat mengadapi keadilan dihadapan ICC.
Bentuk-bentuk Pertanggungjawaban (Modes of Liability)
1. Ulasan
Istilah “bentuk-bentuk pertanggungjawaban (modes of liability)” terkait dengan
bagaimana seseorang yang berpartisipasi dalam suatu kejahatana dapat juga ikut
bertanggungjawab. Hal ini dapat berbentuk:
- secara langsung melakukan suatu kejahatan
- Mencoba melakukan suatu kejahatan
- Membantu orang lain dalam melakukan suatu kejahatan
- Membuat rencana bersama untuk melakukan kejahatan dengan yang lain
- dsb
Berdasarkan Statuta Roma, prinsip-prinsip untuk bentuk-bentuk
pertanggungjawaban diatur dalam pasal 25
Bentuk-bentuk pertanggungjawaban yang bersifat Tradisional
(a) Commission (pelanggaran individu)
Statuta Roma pasal25(3)(a):
Seseorang bertanggungjawab karena melakukan suatu kejahatan ketika ia
melakukan kejahatan tersebut sebagai seorang individu, bersama-sama dengan
yang lain atau melalui orang lain.
(b) Memerintahkan, membantu, dsb
Statuta Roma pasal25(3)(b):
Seseorang bertanggungjawab karena melakukan suatu kejahatan ketika ia
memerintahkan, membantu (solicit), menganjurkan seseorang melakukan kejahatan
yang pada kenyataanya terjadi atau telah dilakukan percobaan melakukan kejahatan
tersebut.
Beberapa yurisprudensi dari Pengadilan Internasional Ad Hoc telah mengambil
pendekatan dimana tanggungjawab “untuk memerintahkan” mensyaratakan adanya
hubungan atasan dan bawahan (Majelis Persidangan Akayesu) atau setidaknya
orang tersebut memiliki kewenangan untuk mengeluarkan perintah tersebut. ( Majelis
Persidangan Kordic)
Namun demikian, perintah tersebut tidak perlu memerlukan satu bentuk khusus,
sepanjang orang yang memberikan perintah, baik secara tertulis, dengan kata-kata
atau dalam bentuk perbuatan lainnya yang mensiratkan perintah tersebut dan
sebagainya memiliki “suatu kesadaran tentang kemungkinan besar bahwa suatu
kejahatan akan dilakukan dalam pelaksanaan perintah yang ia keluarkan” (Blaskic),
Tanggungjawab dapat timbul apabila seseorang memerintahkan kejahatan yang
kemudian terjadi. ATAU apabila perintah diberikan dan kejahatan dicoba untuk
dilakukan tetapi tidak selesai.
(CHECK ICC MENGENAI HAL INI, ATASAN BAWAHAN, MERUPAKAN HAL YANG
PENTING)
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
35
(c) Penyertaan
Statuta Roma pasal25(3)(c):
Ketika seseorang, “dengan tujuan mengfasilitasi terjadinya suatu kejahatan,
membantu, mengfasilitasi atau dengan cara lain membantu pelaksanaan atau
percobaan kejahatan tersebut, termasuk dengan menyediakan cara untuk
melakukan perbuatan tersebut.”
Membantu (aiding) = memberikan bantuan kepada seseorang
Penyertaan (abetting) = mengfasilitasi perbuatan suatu kejahatan dengan cara
bersimpati atas perbuatan tersebut (Akayesu, ICTR)
Apabila seseorang tidak melakukan suatu kejahatan secara langsung tetapi
menyediakan bantuan praktis, mendorong atau memberikan dukungan moral kepada
orang lain yang melakukan kejahatan, maka ia bertanggungjawab karena melakukan
kejahatan tersebut. (Majelis Banding Aleksovski dan Majelis Persidangan
Furundzija). Namun demikian, orang yang membantu atau mendorong wajib
mengetahui bahwa tindakannya sendiri tersebut adalah untuk melakukan kejahatan
(Tadic) dab bantuan atau dorongan tersebut menyebabkan suatu efek penting dalam
pelaksanaan kejahatan (Majelis Banding Aleksovski).
(d) Percobaan
Statuta Roma pasal25(3)(f)
Seseorang bertanggungjawab karena melakukan suatu kejahatan apabila ia
“mencoba untuk melakukan suatu kejahatan dengan melakukan suatu perbuatan
yang memulai terjadinya kejahatan tersebut dengan cara mengambil suatu langkah
mendasar, tetapi kejahatan tersebut tidak terjadi semata-mata karena maksud orang
tersebut sendiri”
Namun, apabila seseorang meninggalkan percobaan untuk melakukan kejahatan
sebelum kejahatan tersebut terjadi atau mencegah kejahatan tersebut untuk
dilakukan maka dia tidak akan bertanggungjawab atas perbuatan kejahatan tersebut.
Beberapa bentuk pertanggungjawaban yang rumit dan kontroversial
(e) Kejahatan Dilakukan Bersama / Tujuan Bersama
Statuta ICTY dan ICTR mengatur apa yang disebut dengan “kejahatan dilakukan
bersama (joint criminal enterprise”). Konsep ini berubah sedikit dialam Statuta
Roma, yang menggunakan istilah “tujuan bersama (common purpose)”. Bentuk
pertanggungjawaban ini memainkan peran penting dalam pengadilan-pengadilan
internasional. Bentuk ini digunakan untuk menciptakan tanggungjawab bagi orangorang yang tidak secara langsung terlebat dalam pelaksanaan kejahatan berat,
tetapi terlibat secara tidak langsung dengan cara merencanakan bersama-sama atau
membantu suatu kelompok untuk melakukan suatu kejahatan.
Tujuan Bersama (Common Purpose)
Statuta Roma pasal25(3)(d) menyebutkan bahwa seseorang bertanggungjawab
ketika ia:
Dengan cara lain berkontribusi dalam perbuatan atau percobaan perbuatan
suatu kejahatan oleh sekelompok orang yang bertindak dengan satu tujuan
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
36
bersama.
Kontribusi demikan harus merupakan suatu maksud dan
berbentuk dalam salah satu berikut ini:
(i)
diberikan dengan tujuan untuk melanjutkan kejahatan atau niat
melakukan kejahatan dari kelompok tersebut, dimana niat atau tujuan
tersebut melibatkan terjadinya suatu kejahatan berat dibawah
jurisdiksi Pengadilan; atau
(ii)
diberikan dengan pengetahuan bahwa ada niat dari kelompok
tersebut untuk melakukan kejahatan berat
Dengan demikian, maka elemen-elemennya adalah sebagai berikut:
1. adanya sekelompok orang dengan tujuan bersama untuk melakukan atau
mencoba untuk melakukan kejahatan
2. tersangka memberikan kontribusi dalam melakukan atau mencoba melakukan
kejahatan;
3. kontribusi diberikan dengan tujuan untuk melanjutkan terjadinya suatu kejahatan
atau maksud kejahatan
ATAU
Kontribusi diberikan dengan pengetahuan bahwa ada niat dari kelompok tersebut
untuk melakukan kejahatan berat
(f) Ajakan Langsung ( Inciting )
Statuta Roma pasal25(3)(e):
Berdasarkan Statuta Roma, ajakan langsung (inciting) hanya terdapat dalam kaitan
dengan genosida, dan bukan untuk Kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejahatan
perang. Ajakan ini adalah suatu kejahatan untuk mengajak secara langsung dan
umum kepada pihak lain untuk melakukan genosida. Kejahatan ajakan langsung
(incitement) dapat dilakukan walaupun kemudian tidak ada genosida yang dilakukan.
(g) Tanggung jawab Komandan (Command Responsibility)
Pasal 8 dari Statuta Roma
Tanggungjawab komandan ini mungkin merupakan perbedaan yang sangat
mendasar antara bentuk pertanggungjawaban berdasarkan hukum nasional dan
hukum internasional. Dalam hukum nasional, bentuk-bentuk pertanggungjawaban
yang dimaksudkan diatas juga berlaku bagi: ie seseorang yang melakukan kejahatan
sendiri, melakukan penyertaan, tujuan bersama atau konsipirasi dan sebagainya.
Namum, biasanya dalam sistim hukum nasional tidak ada ketentuan yang mengatur
bentuk pertanggungjawaban ‘komandan’.
Bentuk ini merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban yang berbeda dari apa
yang disebutkan diatas karena yang lain mensyaratkan bahwa pelaku benar-benar
melakukan tindakan. Tanggungjawab komandan berlaku ketika seseorang lalai
untuk melakukan sesuati (i.e mencegah atau menghukum orang-orang yang berada
dibawah komandannya dari melakukan kejahatan). Jadi, tanggungjawab komandan
lebih kepada kejahatan dengan membiarkan, daripada kejahatan karena melakukan.
Konsep ini secara popular dikembangkan dalam kasus Yamashita, dimana setelah
Perang Dunia II, seorang komandan Jepang diminta bertanggungjawab atas
kejahatan masal, termasuk eksekusi ribuan penduduk desa, oleh prajurit dibawah
komandonya.
Jenderal Yamashita berargumentasi bahwa ia
tidak
bertanggungjawab karena ia sendiri tidak secara langsung melakukan kejahatan
apapun dan ia tidak secara langsung memerintahkan prajuritnya untuk melakukan
kejahatan.
Berdasarkan Statuta Roma pasal 28:
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
37
Sebagai tambahan atas landasan-landasan tanggungjawab pidana lainnya
berdasarkan Statuta ini untuk kejahatan-kejahatan yang berada dibawah
jurisdiksi Pengadilan:
(b) Seorang komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak
sebagai komandan militer bertanggungjawab secara pidana atas
kejahatan berat dibawah jurisdiksi pengadilan yang dilakukan oleh
angkatan bersenjata dibawah komando atau pengendalian efektif, atau
kekuasaan dan pengendalian yang efektif sebagaimana yang berlaku,
sebagai akibat ketidakmampuan tersangka/terdakwa untuk melakukan
pengendalian yang tepat atas bawahannya, dimana:
(i)
Komandan tersebut mengetahui dengan baik bahwa bawahannya
melakukan atau baru saja melakukan kejahatan berat tersebut;
dan
(ii)
Komandan tersebut tidak berhasil untuk mengambil semua
tindakan yang layak dan tepat dalam ruang lingkup
kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan
tersebut; atau menyerahkan masalah tersebut kepada pejabat
yang berwenang untuk penyidikan dan penuntutan
(c) Terkait dengan hubungan atasan dan bawahan yang tidak disebutkan
dalam paragraph (a), seorang atasan bertanggungjawab secara pidana
atas kejahatan berat dibawah jurisdiksi pengadilan yang dilakukan oleh
bawahannya dibawah pengendalian efektif, atau kekuasaan dan
pengendalian yang efektif sebagaimana yang berlaku, sebagai akibat
ketidakmampuan tersangka/terdakwa untuk melakukan pengendalian
yang tepat atas bawahannya, dimana:
(i) Atasan tersebut secara sadar mengabaikan informasi yang secara
jelas menunjukkan bahwa bawahannya sedang melakukan atau baru
saja melakukan kejahatan berat tersebut;
(j) Kejahatan berat tersebut terkait dengan kegiatan-kegiatan yang
berada dalam tanggungjawab efektif dan kontrol dari atasan tersebut;
dan
(k) Atasan tersebut tidak berhasil untuk mengambil semua tindakan yang
layak dan tepat dalam ruang lingkup kewenangannya untuk
mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut; atau menyerahkan
masalah tersebut kepada pejabat yang berwenang untuk penyidikan
dan penuntutan;
Jadi, Statuta Roma menciptakan 2 macam cara uji, satu yang berlaku terhadap
komandan militer atau orang-orang yang bertindak efektif sebagai komandan militer
dan satu lagi untuk semua hubungan atasan dan bawahan.
Dalam kasus-kasus yang melibatkan seorang komandan militer, cukup apabila
seorang komandan memiliki komando dan pengendalian efektif atas prajuritnya yang
terlibat dalam pelangaran dan ia tahu atau karena keadaan pada saat itu,
seharusnya mengetahui bahwa tentaranya sedang melakukan atau baru saja
melakukan kejahatan berat tersebut.
Namun, untuk pelaku non-militer yang memiliki hubungan atasan dan bawahan,
wajib dibuktikan bahwa:
- Atasan tersebut tahu atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara
jelas menunjukkan bahwa bawahannya sedang melakukan atau baru saja
melakukan kejahatan berat tersebut. Ini berarti, bahwa apabila pelaku adalah
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
38
warga sipil, tidak cukup bahwa dia memiliki alasan untuk tahu, tetapi dia
sebenarnya tahu atau secara sadar mengabaikan informasi tersebut – ie. ‘tidak
mau tahu’.
Perbedaan antara tanggungjawab komandan dan tanggungjawab karena
memberikan perintah:
Ketika seorang komandan memberikan perintah kepada bawahannya untuk
melakukan suatu kejahatan, tidak perlu untuk bergantung kepada tanggungjawab
komandan – dalam kasus demikian komandan tersebut bertanggungjawab sebagai
principal.
Tanggungjawab komandan digunakan dalam kasus-kasus dimana komandan tidak
memberikan perintah untuk melakukan kejahatan atau (mungkin lebih umum), tidak
mungkin untuk membuktikan bahwa komandan memerintahkan kejahatan tersebut.
Anda tidak perlu membuktikan tindakan yang diambil oleh komandan. Omisi atau
kelalaian untuk mencegah atau menghukum kejahatan tersebut sudah cukup untuk
menimbulkan adanya tanggungjawab.
Secara sederhana,
Anda dapat membuktikan bahwa terdapat::
1. pengendalian efektif atas pasukannya dan effective control over troops and
2. komandan tahu atau seharusnya menetahui (atau untuk pemimpin sipil tahu
atau secara sadar mengabaikan) bahwa pasukannya sedang melakukan atau
baru saja melakukan kejahatan internasional tersebut.
Cukup untuk menyatakan bahwa komandan atau pemimpin tidak melakukan apapun
untuk mencegah pasukannya dari melakukan kejahatan, atau mengambil semua
langkah untuk mencoba menghukum mereka secara tepat.
(juga lihat pasal .7(3) ICTY Statute, art.6(3) ICTR Statute)
Pembelaan Spesifik
Terdakwa bisa juga mencoba mengajukan pembelaan spesifik yang dikodifikasi di
Statuta Roma. Mayoritas pembelaan ini terkait dengan syarat-syarat bahwa
terdakwa harus punya kesalahan bermaksud yang cukup atau ‘mens rea’. Secara
logis seorang terdakwa seharusnya tidak ada akuntabilitas di mana dia dipaksa
untuk melakukan tindakan (duress) atau dia harus melakukan karena alasan lain
(nesesitas), dia melakukan dalam rangka membela diri (self-defense), dia tidak bisa
membentuk bermaksud itu karena kondisi kewarasan sangat terganggu (insanity,
intoxication), atau dia membuat kesalahan di saat dia menilai fakta-fakta yang
relevan di mana dia tidak bermaksud untuk melakukan kejahatan tersebut (mistake
of fact).
Sesuai dengan hukum kebiasaan internasional (customary international law), dan
putusan-putusan dari ICTY dan ICTR, dalam situasi di mana komandan seorang
individu memerintahkan untuk melakukan pelanggaran serius terhadap hukum
internasional humanitar, individu ini tidak dapat mengklaim bahwa ini adalah tugas
dia untuk mematuhi ‘perintah atasan’ sebagai pembelaan. (ICTY Pas. 6(4), ICTR
Pas. 7(4), dan Cassese: International Criminal Law, hal. 241). Statuta ICC
menyatakan bahwa perintah untuk melakukan kejahatan terhadap kemanusian atau
genocida secara manifestasi tidak sah, tetapi tidak mengatakan apapun tentang
perintah untuk melakukan kejahatan perang.
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
39
Relevansi pembelaan di Tuquoque, di mana ada justifikasi tindakan berdasarkan
angkatan bersenjata musuh juga melakukan kekejaman sudah ditolak oleh
pengadilan (Kunarac dkk. IT-96-23-A)
Keterpaksaan dan Nesesitas
Secara historis ada kaitan antara pembelaan perintah dari atasan- di mana terdakwa
mengklaim bahwa dia harus melakukan kejahatan tersebut dalam rangka kepatuhan
terhadap atasan, dan keterpaksaan, di mana terdakwa mengklaim dia harus
melakukan kejahatan tersebut atau dia sendiri yang dibunuh. ICTY sudah
memutuskan bahwa di kasus-kasus yang termasuk kekejaman di skala besar tidak
ada kesempatan untuk mengajukan pembelaan keterpaksaan – yaitu bahaya atau
ancaman terhadap seseorang tidak menjustifikasi partisipasinya dalam pelanggaran
masal terhadap yang orang lain. (Erdemovic IT-96-22-A).
Namun demikian, Statuta ICC, yang mungkin dapat diterapkan sebagai hukum
kebiasaan (customary law), secara eksplisit menyatakan bahwa pembelaan
keterpaksaan dan nesesitas ada di hukum internasional humanitar. Statuta ICC Pas.
31 menyatakan bahwa pembelaan keterpaksaan memerlukan terdakwa menghadapi
ancaman kematian dini atau luka serius kepada dirinya sendiri atau yang lain dan
tindakannya wajar dan perlu untuk menghindari hal ini, dan dia tidak bermaksud
untuk menyakiti orang lain lebih daripada ancaman yang dia hadapi.
Berdasarkan hal tersebut, adalah tidak diluar kemungkinan bahwa keterpaksaan
sebagai pembelaan dapat diajukan terdakwa yang mau memperlihatkan bahwa dia
atau yang lain ada kemungkinan dibunuh apabila dia tidak melaksanakan perintah
untuk melakukan kegiatan seksual terhadap yang lain. Situasi yang mirip sudah
dilaporkan, misalnya, dalam konteks Rwanda, di mana Hutu yang moderat harus
membuktikan solidaritasnya dengan genocida dengan melakukan pelanggaran,
supaya mereka sendiri tidak menjadi korban.
Pembelaan Diri
Tindakan tersebut harus dilakukan secara proporsional ke penyerangan dini yang
dapat mengancam kehidupan terdakwa atau orang lain dan tidak dapat dihindari
dengan cara lain.
Ketidakwarasan dan Kemabukan
ICC Pas. 31(1)(a) untuk ketidakwarasan dan kemabukan keperluan pokok adalah
bahwa terdakwa, di saat tindakan tersebut terjadi, tidak bisa mengerti apakah
tindakan dia sah atau tidak. Pembelaan terhadap kemabukan tidak dapat diajukan
apabila terdakawa secara sukarela menjadi mabuk walaupun dia tahu ada
kemungkinan dia terlibat kegiatan kriminal. (Statuta ICC Pas. 31(1)(b)). Sebenarnya,
dalam situasi di mana kekerasan adalah norma dan dalam keadaan bersenjata,
menkonsumsi secara sukarela zat yang memabukkan mungkin menjadi elemen
agravasi saat tahap menentukan hukuman. (Kvocka dkk (IT-98-30/1-T)).
Kesalahan Fakta
Walaupun tidak ada laporan kasus di mana pembelaan ini dapat diajukan, contohnya
adalah di mana seorang komandan merekrut seorang prajurit yang dia menurutnya
sudah di atas 15 tahun tetapi pada kenyataannya prajurit ini masih di bawah umur.
(Statuta ICC Pas. 32).
Kapan saja pembelaan harus diajukan?
Peraturan umum adalah pembelaan bisa ditunda sampai akhir pengajuan kasus
penuntut umum sebelum memberitahu aspek-aspek kasus pembelaan termasuk
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
40
pembelaan khusus, di mana pemberitahuan harus diberikan kepada penuntut umum
sebelum persidangan. Terkait dengan pembelaan alibi, pembela harus menentukan
waktu dan lokasi/tempat alibi tersebut supaya penuntut umum bisa melakukan
penyedikan yang sesuai.
Persetujuan sebagai Pembelaan
Peraturan No. 96(ii) di ICTY dan ICTR menyatakan bahwa persetujuan (memberi
izin) tidak dapat diajukan sebagai pembelaan apabila korban ditahan, diancam, ada
kekerasan atau tekanan psikologi atau korban merasa bahwa apabila dia tidak
memberi izin maka dia akan diancam lagi (perasaan ini harus wajar atau
‘reasonable’)
Dalam kasus Furundzija (IT-95-17/1-T) di Ruang Persidangan ICTY ditentukan
bahwa dalam keadaan tertentu, misalnya di mana korban sudah ditahan, adalah
tidak mungkin korban bisa memberi izin yang riil (benar), sehingga persetujuan ini
tidak menjadi elemen yang diperlukan. Walaupun di kasus Kunarac Ruang
Persidangan ICTY mengkritik Peraturan No. 96(ii) karena peraturan tidak konsisten
dengan pengertian tradisional pemerkosaan. Sebenarnya majelis hakin di kasus ini
menyatakan bahwa Peraturan ini tidak dapat diartikan bahwa ‘wajib pembuktian’
(onus of proof) sudah terbalik sehingga terserah terdakwa untuk membuktikan
persetujan tersebut.
Oleh karenanya penuntut umum masih harus membuktikan bahwa korban tidak
memberi izin. Namun demikian, apabila penuntut umum sudah membuktikan bahwa
konteks tersebut ada unsur penindasan atau pemaksaan maka persetujuan korban
tidak dapat disimpulkan dari kata-kata, kegiatan, berdiam diri, atau tidak ada
pembelaan. (Peraturan Tata Cara dan Pembuktian ICC – ICC-ASP/1/3). Dalam
kasus Kunarac Majelis Hakim sudah memutuskan bahwa dalam keadaan di mana
korban mengambil inisiatif untuk kegiatan seks tidak berarti bahwa korban memberi
izin untuk kegiatan seks tersebut.
Ini bukan berarti bahwa terdakwa tidak boleh mengajukan pembuktian bahwa korban
di kasus ini menyetujui (memberi izin) atas kegiatan seksual tersebut. Namun,
apabila penuntut umum sudah membuktikan adanya situasi paksaan dan korban
mengklaim bahwa dia tidak memberi izin, sebenarnya sangat sulit untuk mengajukan
kesaksian kontra terhadap klaim ini, karena kata-kata dan tindakan korban tidak
dapat diajukan sebagai pembuktian bahwa korban memberi izin. Kegiatan seksual
sebelumnya juga tidak dapat diajukan supaya ada argumentasi kontra terhadap
kekurangan persetujuan korban (Peraturan No. 96(ii) ICTR dan ICTY).
Pemeriksaan silang terhadap korban terkait dengan apakah dia (perempuan)
memberi izin atau tidak adalah peristiwa yang sangat traumatis, dan memulai
dengan pembuktian terkait dengan izin dalam persidangan terbuka bisa
menghancurkan reputasi/nama baik si korban. Sehingga, apabila terdakwa ingin
memulai dengan pembuktian terhadap izin korban, maka persidangan terpisah
bernama ‘voir dire’ (persidangan dalam persidangan, dan hanya untuk menentukan
apakah pembuktian ini dapat diajukan sebagai barang dan alat bukti yang sah) akan
dilaksanakan. Dalam persidangan ini (voir dire) yang harus dilaksanakan ‘in camera’,
terdakwa harus menyakinkan majelis hakim bahwa pembuktian tentang izin korban
adalah relevan dan benar. Hanya apabila bisa menyakinkan majelis hakim, terdakwa
akan diperbolehkan mengajukan pembuktian ini dalam persidangan terbuka.
(Peraturan No. 96 ICTR dan ICTY)
Contoh Surat Dakwaan. Bagian yang relevan dari Surat Dakwaan tadic
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
41
Perlindungan dan Partisipasi Saksi dan Korban dalam Proses Persidangan
ICC membuka peluang yang besar bagi korban untuk dapat berpartisipasi dalam
proses persidangan. Korban tidak diperlakukan sebagai objek yang pasif dari suatu
perlindungan ataupun sebagai pelengkap proses penuntutan. 14 Pentingnya
partisipasi saksi tertuang di dalam Pasal 68 ayat (3) Statuta Roma, di mana
Mahkamah mengizinkan pandangan dan perhatian para korban atau penyintas
(survivor) untuk dikemukakan dan dipertimbangkan pada tahap-tahap proses
persidangan yang ditetapkan oleh Mahkamah dengan cara yang tidak merugikan
atau tidak konsisten dengan hak-hak tertuduh dan persidangan yang adil dan tidak
memihak.
Korban berhak untuk memilih kuasa hukum untuk mewakilinya di persidangan. 15
Namun demikian, berdasarkan ketentuan Aturan 90 ayat (2) Hukum Acara dan
Pembuktian ICC, apabila jumlah korban cukup banyak, Mahkamah dapat, demi
menjamin efektivitas proses persidangan, meminta korban-korban tersebut untuk
memilih kuasa hukum yang sama. Apabila korban tidak mampu membayar kuasa
hukum, maka korban dapat menerima bantuan dari Kepaniteraan, termasuk bantuan
keuangan (Aturan 90 ayat (5)).
Berbagai cara dapat ditempuh oleh saksi atau korban untuk berpartisipasi di dalam
proses persidangan. Permohonan yang diajukan oleh saksi atau korban atau kuasa
hukum mereka kepada Mahkamah untuk memperoleh tindakan perlindungan
sebagaimana diatur dalam Aturan 87 Hukum Acara dan Pembuktian ICC, harus
ditembuskan kepada pihak Penuntut Umum dan Pembela. Apabila Penuntut Umum
atau Pembela mengajukan mosi yang berdampak pada saksi atau korban, maka
mosi tersebut harus ditembuskan kepada saksi atau korban sehingga mereka
mempunyai kesempatan untuk memberikan tanggapan. Tidak jauh berbeda, apabila
Mahkamah bertindak atas mosinya sendiri, maka saksi atau korban yang akan
terkena dampak dari mosi tersebut mempunyai kesempatan untuk memberikan
tanggapan.
Kuasa hukum korban diwajibkan untuk hadir dan berpartisipasi dalam proses
persidangan (Aturan 91 ayat (2)). Selama proses berlangsung, kuasa hukum dapat
mengajukan pertanyaan kepada saksi, ahli, atau terdakwa, dengan terlebih dahulu
membuat permohonan kepada Mahkamah (Aturan 91 ayat (3)). Mahkamah harus
memberitahu korban atau kuasa hukum mereka tentang hal-hal yang berkenaan
dengan jalannya persidangan. 16
Unit Korban dan Saksi
Untuk memfasilitasi korban dan saksi, Mahkamah, berdasarkan ketentuan Pasal 43
ayat (6) Statuta Roma membentuk Unit Saksi dan Korban (disingkat Unit). Unit ini
berada di bawah Panitera Mahkamah. Konsultasi dengan Kantor Penuntut Umum
harus dilakukan terlebih dahulu sebelum menyediakan langkah-langkah
perlindungan, pengaturan keamanan, jasa nasihat dan bantuan yang diperlukan oleh
para saksi dan korban yang menghadap di depan Mahkamah. Fasilitas-fasilitas
tersebut juga berlaku bagi orang lain yang mungkin terkena risiko karena kesaksian
14
The International Criminal Court, Fact Sheet 6: Ensuring Justice for Victims,
Amnesty International, http://web.amnesty.org/library/Index/ENGIOR400072000.
15
Lihat Hukum Acara dan Pembuktian ICC Aturan 90 ayat (1).
Hukum Acara dan Pembuktian ICC Aturan 92.
16Lihat
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
42
yang diberikan oleh para saksi. Khusus untuk korban tindak kejahatan kekerasan
seksual, Unit memiliki staf dengan keahlian khusus untuk mengatasi trauma.
Reparasi bagi Korban
Pemulihan bagi korban, khususnya korban kekerasan seksual, tidak terbatas hanya
pada pemulihan trauma yang mereka alami. Korban juga membutuhkan adanya
suatu reparasi atau pemulihan, baik berupa restitusi, kompensasi dan rehabilitasi.
Mereka sering mendapat perlakuan yang diskriminatif hanya karena mereka adalah
korban permekosaan. Stigmatisasi seperti itu memiliki dampak yang sangat luas bagi
kehidupan mereka di masa-masa mendatang.
Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 75 ayat (1) Statuta Roma, Mahkamah
dapat menetapkan prinsip-prinsip yang berkenaan dengan reparasi kepada korban,
termasuk restitusi, kompensasi dan rehabilitasi. Mahkamah juga dapat membuat
suatu perintah secara langsung kepada orang yang dihukum dengan memerinci
reparasi yang layak bagi para korban Apabila sesuai, Mahkamah dapat memutuskan
bahwa reparasi dilakukan melalui Trust Fund. 17 Untuk memperoleh reparasi, korban
harus membuat permohonan secara tertulis yang diajukan kepada Panitera.
Permohonan tersebut harus mengandung bukti seperti yang tertera di dalam
ketentuan Pasal 94 ayat (1).
Sejauh tidak melanggar aturan-aturan lain menyangkut pemberitahuan tentang
proses persidangan, Panitera bertanggung jawab untuk memberitahukan semua
publikasi yang memadai mengenai proses yang menyangkut reparasi kepada korban
atau kuasa hukumnya agar korban atau kuasa hukumnya dapat membuat
permohonan atas reparasi. 18 Proses ini dilakukan setelah terdakwa dinyatakan
bersalah.
Mahkamah mempunyai pilihan di dalam memberikan reparasi, apakah secara
individual, secara kolektif ataupun kedua-duanya. 19 Aturan 98 Hukum Acara dan
Pembuktian ICC menegaskan, apabila Mahkamah memilih untuk memberikan
reparasi secara kolektif, maka reparasi dilakukan melalui Trust Fund. Sedangkan,
pemberian reparasi secara individual bagi korban harus dilakukan secara langsung
dari orang yang dinyatakan bersalah. Keduanya harus dilakukan sesegera mungkin.
Struktur yang Menjamin Keseimbangan Jender
Masyarakat semakin mengukuhkan partisipasi perempuan di dalam forum
internasional dengan adanya representasi hakim perempuan di Mahkamah Pidana
Internasional (ICC). Keberadaan hakim perempuan di tengah-tengah ICC membawa
angin segar bagi terciptanya keseimbangan jender dan keadilan bagi para korban
kejahatan berbasis jender bahwa pelaku tidak akan lepas begitu saja, mereka akan
dihukum. Pasal 36 ayat (8)(a)(iii) Statuta Roma menetapkan bahwa di dalam proses
seleksi hakim yang akan duduk dalam Mahkamah, Negara Pihak harus
mempertimbangkan representasi yang adil antara hakim perempuan dan laki-laki.
Ketetapan yang sama juga diaplikasikan untuk proses seleksi staf di dalam Kantor
Penuntut Umum dan Kantor Panitera. 20
17
Lihat Statuta Roma Pasal 75 ayat (2).
Lihat Hukum Acara dan Pembuktian ICC Aturan 96 ayat (1).
19 Lihat Hukum Acara dan Pembuktian ICC Aturan 97 ayat (1).
20 Lihat Statuta Roma Pasal 44 ayat (2).
18
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
43
Disyaratkan pula di dalam Pasal 36 ayat (8)(b) Statuta Roma bahwa perlu
dipertimbangkan kebutuhan untuk memasukkan seseorang dengan keahlian hukum
tentang masalah-masalah khusus, tetapi tidak terbatas pada, kekerasan terhadap
perempuan atau anak-anak. Lebih lanjut, Penuntut Umum juga disyaratkan untuk
menunjuk penasihat dengan keahlian hukum mengenai isu-isu yang spesifik,
termasuk, kekerasan seksual dan jender. 21 Tak ketinggalan, Panitera juga
mensyaratkan agar Unit Korban dan Saksi mencakup staf dengan keahlian
mengatasi trauma, termasuk trauma yang terkait dengan kejahatan kekerasan
seksual.
Harapan baru bagi terciptanya keadilan yang memiliki sensitivitas jender sudah di
depan mata. ICC, sebagai sebuah badan pidana internasional yang khusus
menangani kejahatan paling serius yang mengancam umat manusia, telah membuat
suatu terobosan yang revolusioner. Jauh sebelum ICC terbentuk, komunitas
internasional menunjukkan keengganan mereka untuk menghukum pelaku kejahatan
yang serius terhadap integritas tubuh seperti pemerkosaan. Sekarang, pelaku
pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya tidak dapat lolos begitu saja. Mereka
dapat dituntut dan dihukum! Lebih lanjut, perlindungan terhadap saksi dan korban,
jaminan hak-hak korban di dalam persidangan pidana internasional, serta
representasi hakim-hakim dan staf yang memiliki sensitivitas jender akan membawa
perubahan yang lebih baik bagi penyelenggaraan hukum humaniter internasional
dan penghormatan hak asasi manusia. “Keadilan tanpa perspektif jender hanya
merupakan setengah keadilan”. 22
Amerika Serikat dan ICC
Administrasi AS dimasa pemerintahan Clinton menandatangani Statuta Roma pada
jam 11, pada hari terakhir yang dimungkinkan, tanggal 31 Desember 2000, sebagai
tindakan terakhir yang diambil oleh adminsitrasi tersebut.
Kepemimpinan dibawah Bush yang mengambil kekuasaan beberapa minggu
kemudian, tidak bersikap ramah terhadap ICC, dengan landasan bahwa ICC dapat
digunakan secara politis untuk menjadikan warganegara AS sebagai target dan
menghalanagi warga sipil dan militer AS dari tindakan-tindakan yang mendukung
kepentingan nasional mereka. AS bahkan berusaha untuk “menarik diri dari
penandatanganan” traktat tersebut, tetapi hal tersebut tidak dimungkinkan karena
tidak sesuai dengan hukum internasional. Pemerintahan Bush menulis surat kepada
Sekjen PBB bahwa AS tidak bermaksud untuk menjadi pihak terhadap traktat
tersebut.
Namun demikian, pemerintahan Bush menekan Negara-negara untuk
menandatangani pejanjian dengan AS yang meliputi semua warganegara AS
dinegara mereka, sehingga Negara tersebut tidak dapat menyerahkan warganegara
AS tersebut kepada ICC tidak peduli apapun yang mereka lakukan. Untung saja hal
tersebut ditolak oleh Negara-negara seperti Kanada, Meksiko dan Eropa Barat yang
memiliki warga Negara AS dalam jumlah besar.
AS kemudian menyatakan bahwa AS akan mengeluarkan hak veto atas semua
resolusi perdamaian PBB kecuali pasukan perdamaian dianggap kebal dari jurisdiksi
ICC. Upaya ini berhasil dan suatu resolusi dikeluarkan yang mengecualikan
21
Lihat Statuta Roma Pasal 42 ayat (9).
Lihat GENDER IN PRACTICE: Guidelines & Methods to Address Gender Based Crime in Armed
Conflict, oleh Women’s Initiatives for Gender Justice.
22
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
44
pasukan penjaga perdamaian, walaupun menimbulkan kemarahan dari banyak
Negara.
Selanjutnya AS mengeluarkan undang-undang domestiknay – Undang-Undang
Perlindungan Anggota Jasa AS (American Service Members’ Protection Act) yang
melarang lembagalembaga AS untuk bekerjasama dengan ICC, membatasi secara
ketat kegiatan menjaga perdamaian yang dilakukan US, melarang bantuan militer AS
kepada Negara peserta Statuta Roma, and memberikan wewenang untuk
menggunakan kekuatan untuk membebaskan setiap warganegara AS yang ditahan
oleh ICC. (sehingga UU tersebut dikenal dengan julukan “UU Invasi Den Haag”).
Invasion Act’).
Walaupun manipulasi dan perlawanan kuat dari AS terhadap ICC, ICC telah berdiri
dan akan terus melanjutkan tugasnya. Sangat menarik untuk dicatat perbedaan
antara kuatnya upaya pemerintahan Bush, yang berusaha sekuat tenaga untuk
menghancurkan ICC dengan apa yang dilakukan oleh administrasi Clinton yang
menandatangani Statuta Roma sebagai salah satu tindakan terakhirnya.
Komentar atas kemajuan terbatas ICC
Melihat Negara-negara didunia dan banyaknya kejahatan berat yang terus
berlangsung dibanyak Negara, dapat diharapkan bahwa ICC akan menjadi sangat
sibuk dengan banyak perkara yang ingin ditindaklanjuti. Namun demikian ada dua
alasan besar mengapa kemajuan yang dicapai oleh pengadilan sangat lambat:
1. Statut Roma tidak bersifat retroaktif. Persyaratan minimum 60 negara untuk
meratifikasi sehingga pengadilan dapat dibentuk, tidak terjadi hingga 2002.
Ini berarti tidak ada kejahatan yang terjadi sebelum 2002 dapat ditangani oleh
ICC. Namin demikian, bukan berarti kejahatan yang terjadi setelah 2002
menjadi otomatis dibawah jurisdiski ICC. Konvensi hanya meliputi Negara
yang sudah meratifikasi, dan hanya jurisdiksi hanya setelah tanggal ratifikasi.
Sehingga 60 negara yang meratifikasi sebelum 2002, hanya terliput dari
tahun 2002, dan Negara-negara lain dengan tanggal yang berbeda setelah
waktu itu, maka jurisdiksi berlaku tergantung tanggal ratifikasinya.
2. Pengadilan hanya memiliki jurisdiksi atas 2 kasus; (i) apabila suatu Negara
telah meratifikasi maka ICC memiliki jurisdiksi atas warganegara dari Negara
tersebut, tanpa melihat apakah warganegara tersebut melakukan kejahatan
terkait dinegaranya sendiri atau dinegara lain, walaupun Negara lain tersebut
bukan merupakan Negara peserta. (ii) apabila kejahatan dilakukan dalam
wilayah Negara peserta oleh warga Negara dari negara yang bukan negara
peserta, maka pengadilan memiliki jurisdiksi.
Kita ambil konflik Irak sebagai contoh. Baik Irak maupun AS bukan merupakan
Negara peserta dari Statuta Roma, sehingga kejahatan yang terjadi diwilayah Irak
baik oleh warganegara Irak atau AS tidak masuk dalam jurisdiksid ICC. Namun
demikian, Negara-negara seperti Inggris, Australia dan Korea Selatan yang mengirim
tentaranya ke Iran adalah Negara-negara peserta Statuta Roma. Karena mereka
Negara peserta, tindakan yang dilakukan oleh warganegara mereka menjadi
jurisdiksi ICC walaupun dilakukan di wilayah Irak dan karenanya dapat dihadapkan
dimuka ICC.
Penuntut Umum ICC telah melihat prilaku angkatan bersenjata AS, Inggris, Spanyol
dan Italia di Irak dan membuat suatu deklarasi. Penuntut Umum telah memutuskan
untuk tidak memulai penyelidikan bagi kasus-kasus ini karena Negara-negara yang
beroperasi di Irak telah melakukan penyelidikan atas perilaku tentaranya masingmasing. Penuntut Umum juga telah mempertimbangkan kejahatan yang dilaporkan
dilakukan di Abu Graib dan memutuskan bahwa AS sedang menyelidiki dan menutut
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
45
kejahatan-kejahatan tersebut. Menarik untuk dilihat bahwa Penuntut Umum
mengeluarkan suatu deklarasi terkait dengan situasi di Abu Graib, walaupun ICC
tidak akan memiliki jurisdiksi atas tentara AS pada keadaan apapun, karena AS,
ataupun Irak bukan merupakan Negara peserta dari Statuta Roma.
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
Download