BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Pasal 1

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berdasarkan Pasal 1 Konvensi Montevideo tahun 1933 tentang Hak
dan Kewajiban Negara salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam
terbentuknya suatu negara adalah wilayah. Salah satu yang termasuk dalam
wilayah suatu negara adalah laut. Banyak keuntungan yang didapat dari laut
sendiri. Keuntungan-keuntungan yang didapat dari wilayah laut suatu negara
antara lain dapat berupa eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, dan
sebagai pertahanan negara. Salah satu keuntungannya adalah sebagai
pangkalan militer suatu negara. Dengan semakin sadarnya negara-negara atas
keberadaan wilayah lautnya, semakin sering timbul sengketa antar negara
dalam memperebutkan pulau-pulau kecil yang pada awalnya dianggap tidak
penting. Dikarenakan pulau-pulau kecil tersebut dapat menambah wilayah laut
suatu negara. Salah satu sengketa yang timbul belakangan ini adalah sengketa
antara Cina dan negara-negara Asia Tenggara (Malaysia, Vietnam, Brunei
Darussalam dan Phillipina) dalam penguasaan Laut Cina Selatan.
Sengketa antara Cina dan negara-negara Asia Tenggara dimulai dari
perebutan kedaulatan atas kawasan laut serta wilayah di kepulauan Paracel
dan Spratly -dua rangkaian kepulauan yang diklaim oleh sejumlah negara.
2
Selain rangkaian pulau ini, ada pula pulau tak berpenghuni, atol, dan karang di
seputar perairan ini.1
Secara logika umum, memang aneh apabila beberapa negara
memperebutkan pulau kecil, namun yang perlu dipertanyakan adalah mengapa
negara-negara tersebut sangat ingin untuk memasukkan pulau-pulau kecil ke
dalam wilayah mereka. Yang perlu dilihat adalah potensi apa yang terdapat di
laut Cina Selatan dan apa yang terkandung di bawah Laut Cina Selatan.
Pada tahun 2002, Negara-negara ASEAN dan Cina sepakat untuk
membuat Declaration On The Conduct Of Parties In The South China Sea
yang pada intinya menyatakan bahwa penyelesaian sengketa negara-negara
peserta deklarasi diselesaikan secara damai sebagaimana tercantum di dalam
angka 4 Declaration on The Conduct tersebut yang menyatakan
“The Parties concerned undertake to resolve their territorial and
jurisdictional disputes by peaceful means, without resorting to the
threat or use of force, through friendly consultations and negotiations
by sovereign states directly concerned, in accordance with universally
recognized principles of international law, including the 1982 UN
Convention on the Law of the Sea”2
Adanya Declaration of Conduct tidak memberikan pengaruh
dikarenakan Cina tetap berusaha untuk lebih menekankan pada perundingan
secara bilateral dengan negara-negara yang bersengketa. Deklarasi ini tidak
1
Sengketa kepemilikan Laut Cina
Selatan,BBC,http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2011/07/110719_spratlyconflict.shtml.
diakses tanggal 3 Maret 2015
2
Declaration on The Conduct of Parties in The south China Sea dibuat pada 4 November 2002 di
Phnom Penh. Cambodia.
3
membuahkan hasil, dikarenakan situasi di Laut Cina Selatan kembali
memanas sejak tahun 2011 hingga sekarang.
Pada tahun 2013, Philipina mengacu pada United Nation’s Convention
on The Law of The Sea 1982 dalam mengklaim daerahnya di Laut Cina
Selatan. Pada 7 Desember 2014, Kementerian Luar Negeri Cina
mengeluarkan reaksi pemerintah, berpendapat bahwa Konvensi (UNCLOS
1982) tidak dapat diterapkan dalam sengketa laut Cina Selatan.
Pada
22
Januari
2013,
Departemen
Luar
Negeri
Filipina
menyampaikan catatan verbale kepada Kedutaan Besar Republik Rakyat Cina
di Filipina, menyatakan bahwa Filipina memulai proses arbitrase sehubungan
dengan sengketanya dengan Cina terkait “jurisdiksi maritim” di Laut Cina
Selatan. Pada tanggal 19 Februari 2013, Pemerintah Cina menolak dan
mengembalikan catatan verbale Filipina bersamaan dengannya terlampir
Peringatan dan Pernyataan Klaim. Pemerintah Cina menegaskan bahwa Cina
tidak akan menerima atau berpartisipasi dalam Arbitrase yang diinisiasikan
oleh Filipina.3
Sengketa mengenai perebutan kedaulatan negara di Laut Cina Selatan
semakin memanas saat baru-baru ini terdapat foto citra satelit yang
menunjukkan bahwa Cina telah melakukan reklamasi pulau. Berdasarkan citra
satelit di akhir Januari kemarin, yang dianalisis oleh IHS Jane Defence
3
Chinese Ministry of Foreign Affairs, Chinese Ministry of Foreign Affairs: Position Paper on the
Matter of Jurisdiction in the South China Sea Arbitration,hlm. 1 dipublish tanggal 7 Desember 2014
4
Weekly menunjukkan bahwa Pemerintah Cina melakukan reklamasi di tiga
lokasi di Kepulauan Spratly, selain dua situs lainnya yang sebelumnya
didokumentasikan oleh publikasi pertahanan. 4
Salah satu daerah yang direklamasi oleh Cina berada di Fiery Cross
Reef (karang Fiery Cross) yang terletak di tengah-tengah daerah yang
dipersengketakan oleh Cina dan Filipina. Filipina menganggap Karang Fiery
Cross merupakan Zona Ekonomi Eksklusif dari Filipina.5 Karang Fiery Cross
yang pada awalnya sebagian besar daratannya berada di bawah permukaan
laut, sekarang menjadi pulau terbesar yang berada di Kepulauan Spratly.
Selain di Karang Fiery Cross, reklamasi yang dilakukan Cina juga dilakukan
di Karang Gaven, Union Reefs North, Union Reefs South dan Cuateron Reef.
Cina tidak sendirian dalam melakukan reklamasi di Laut Cina Selatan.
Sejak mendapatkan Southwest Cay dari Filipina pada tahun 1975 , Vietnam
telah secara substansial mengubah pulau tersebut, menambahkan pelabuhan
dan wilayah darat dalam 10 tahun terakhir. Taiwan, yang mengontrol pulau
Itu Aba (Taiping), telah membangun sebuah lapangan terbang dan saat ini
sedang
meningkatkan
fasilitas
angkatan
laut.
Filipina
juga
telah
mengumumkan rencana untuk mengubah bandara dan dermaga di pulau Thitu
(Pagas), meskipun sumber daya tetap menjadi masalah besar bagi Manila .
4
Tiongkok Reklamasi Pulau di Laut Cina Selatan yang Disengketakan,
http://www.tribunnews.com/internasional/2015/02/18/tiongkok-reklamasi-pulau-di-laut-Cina-selatanyang-disengketakan,diakses tanggal 3 Maret 2015
5
Filipina, AS Cemaskan Proyek Reklamasi Cina di Laut Cina Selatan,
http://www.voaindonesia.com/content/proyek-reklamasi-Cina-di-perairansengketa/2532952.html,diakses tanggal 16 Maret 2015
5
Perbedaan utama antara kegiatan tersebut dan Cina adalah bahwa
mereka mengubah daratan yang sudah ada, sementara Beijing membangun
pulau dari karang yang sebagian besar berada di bawah air pada saat pasang.6
Dengan kata lain, Filipina, dan Taiwan yang melakukan reklamasi di Laut
Cina Selatan melakukan tindakan “menambah” pulau yang sudah ada,
sedangkan Cina “membuat” sebuah pulau buatan yang pada awalnya hanya
berupa karang yang tidak tampak saat air pasang menjadi sebuah pulau yang
dapat digunakan sebagai berbagai fasilitas. Salah satu fasilitas yang dibuat di
pulau hasil reklamasi adalah berupa landasan pesawat.
Berdasarkan media massa Taiwan Kanwa, Cina tidak hanya
membangun Bandar udara di Johnson dan Fiery reefs tetapi juga segera
merenovasi enam karang yang ada di Kepulauan Spratly yang diambil dan
Vietnam dan mengubahnya menjadi pulau buatan. Proyek Cina untuk
“merenovasi dan membangun pulau-pulau” di daerah sengketa merupakan
langkah strategis untuk memonopolisasi Laut Cina Selatan (Bien Dong Sea)
melalui realisasi “Ushaped Line”.
Di sisi lain, Cina secara sengaja melakukan tindakan provokatif,
merubah dan menerapkan status quo seperti yang dilakukan terhadap
Kepulauan Hoang Sa (Kepualauan Paracel) dari Vietnam pada tahun 1974
6
James Hardy, Krispen Atkinson & Richard Hurley, Michael Cohen. China goes all out with major
island building project in Spratlys.IHS Jane’s Defence Weekly.
http://www.janes.com/article/39716/china-goes-all-out-with-major-island-building-project-inspratlys.diakses tanggal 18 Maret 2015
6
dan menetapkan status quo dengan cara menempati pulau-pulaunya sampai
sekarang, dan mengambil Johnson Reef pada tahun 1988 dari Vietnam,
mengubah laut territorial dari negara-negara lain menjadi daerah bersengketa
dengan Cina.7
Sedangkan menurut Cina, Cina memiliki kedaulatan penuh atas
kepulauan-kepulauan di Laut Cina Selatan (Kepuauan Dongsha, Kepulauan
Xisha, Kepulauan Zhingsha dan Kepulauan Nansha) dan perairan sekitarnya.
Sejak tahun 1970, Filipina secara illegal menempati atau mengklaim terhadap
beberapa fitur maritim Cina di Laut Cina Selatan. Sebagai tambahan, Filipina
juga secara illegal mengeksplor dan mengeksploitasi sumber daya alam dari
fitur-fitur maritim dan di daerah maritim sekitarnya. Kegiatan-kegiatan warga
negara Filipina yang dilakukan diatas telah melanggar Piagam PBB dan
hukum internasional dan telah melanggar kedaulatan territorial dan hak-hak
dan kepentingan maritim Cina. Pemerintah Cina telah secara baik
memperingatkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh warga negara Filipina
Filipina telah menyimpulkan tuntutan atas arbitrase yang diajukan
menjadi tiga kategori: pertama, penegasan Cina atas “historic rights” di Laut
Cina Selatan tidak sesuai dengan Konvensi ; kedua, tuntutan Cina atas hak
kedaulatan, berdasarkan pada bebatuan tertentu, lowtide feature dan fitur yang
7
Duy Chien, China has turned the Fiery Cross Reef into the largest island in the Spratly
Island,http://english.vietnamnet.vn/fms/specialreports/
121192/eastseawhenthefoxdeliberatelysticksoutitslegs.
htmls,diakses tanggal 16 Maret 2015
7
berada di bawah permukaan air di laut Cina Selatan, dengan 200 mill laut atau
lebih, tidak sesuai dengan Konvensi. Ketiga, Cina telah secara melawan
hukum terlibat dalam pelaksanaan hak-hak yang dimiliki oleh Filipina
berdasarkan UNCLOS 1982. Terhadap kategori pertama tuntutan yg diajukan
Filipina, sudah jelas bahwa inti dari tuntutan-tuntutan tersebut adalah klaim
maritim Cina di Laut Cina Selatan telah melampaui batas yang diperbolehkan
dalam UNCLOS 1982.
Kedaulatan atas tanah merupakan dasar dari penetapan atas hak-hak
maritim. Hanya, setelah perluasan kedaulatan territorial Cina di Laut Cina
Selatan ditentukan, bisa sebuah keputusan dibuat dalam hal perluasan klaim
maritime Cina di Laut Cina Selatan. Sedangkan terhadap kategori kedua klaim
yang diajukan Filipina, Cina yakin bahwa sifat dan hak-hak maritime dari
beberapa fitur maritime di Laut Cina Selatan tidak dapat dianggap dalam
isolasi dari masalah kedaulatan.
Mengenai kategori ketiga klaim yang diajukan oleh Filipina, Cina
melanjutkan bahwa, berdasarkan kedaulatan Cina atas fitur-fitur maritime
yang berhubungan dan hak-hak maritime yang berasal dari sana, kegiatankegiatan Cina yang dilakukan di Laut Cina Selatan keduanya adalah benar dan
dapat dibenarkan. Filipina mengaku bahwa perbuatan Cina telah mengganggu
daerah yang berada di dalam yurisdiksi Filipina. Sebelum klaim ini
8
diputuskan, kedaulatan atas fitur-fitur maritime yang relevan harus dipastikan
dan batas-batas maritime disempurnakan. 8
Negara-negara Asia Tenggara mengkhawatirkan mengenai reklamasi
yang dilakukan oleh Cina di Kepulauan Spratly. Karena berdasarkan foto
satelit, menunjukkan bahwa reklamasi yang dilakukan Cina digunakan untuk
membangun fasilitas militer. Berdasarkan latar belakang kasus di atas, maka
penulis
menganggap
“PENGARUH
penting
REKLAMASI
untuk
dilakukan
KEPULAUAN
penelitian
SPRATLY
mengenai
OLEH
CINA
TERHADAP SENGKETA ANTARA CINA DAN NEGARA-NEGARA ASIA
TENGGARA DI LAUT CINA SELATAN.”
B.
Rumusan Masalah:
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil dua permasalahan:
1. Bagaimana status hukum reklamasi yang dilakukan Cina di
Kepulauan Spratly?
2. Bagaimana pengaruh reklamasi kepulauan Spratly yang dilakukan
oleh Cina terhadap sengketa?
8
Chinese Ministry of Foreign Affairs.op.cit
9
C.
Tujuan Penelitian
1. Secara subjektif, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada.
2. Secara objektif, penelitian ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan
tentang:
a. Untuk mengetahui status hukum reklamasi di Kepulauan Spratly
oleh Cina.
b. Untuk mengetahui pengaruh reklamasi yang dilakukan oleh Cina
terhadap sengketa antara Cina dan Negara-negara Asia Tenggara.
D.
Keaslian Penelitian
Berdasarkan pencarian kepustakaan yang dilakukan penulis, terdapat
beberapa penelitian sebelumnya yang membahas tentang sengketa laut Cina
Selatan. Penelitian-penelitian tersebut berupa berikut:
1. Tesis Penyelesaian Sengketa Terhadap Klaim Kedaulatan Teritorial
di Wilayah Laut Cina Selatan Berdasarkan Hukum Internasional oleh Elsa
Aprina (11/321657/PHK/06667), tahun 2013. Kesamaan yang ada dalam
penelitian ini dengan penelitian penulis adalah mengenai sengketa Laut Cina
Selatan dan Negara-negara yang bersengketa. Perbedaan antara penelitian ini
dengan penelitian penulis adalah pada pokok permasalahannya. Penelitian ini
membahas pokok permasalahan berupa status hukum negara-negara yang
10
bersengketa dan penyelesaian sengketa di Laut Cina Selatan, sedangkan
penelitian penulis membahas mengenai status hukum Cina dalam melakukan
reklamasi di Laut cina Selatan dan pengaruh dari reklamasi yang dilakukan
Cina terhadap penyelesaian sengketa di Laut Cina Selatan.
2. Jurnal The South China Sea Arbitration (The Philippines v. China):
Potential Jurisdictional Obstacles or Objections oleh Sienho Yee tahun 2014.
Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian penulis adalah penelitian ini
juga membahas mengenai sengketa antara Cina dan Negara-negara Asia
Tenggara di Laut Cina Selatan. Perbedaan antara penelitian ini dengan
penelitian penulis adalah pada pokok permasalahannya. Pokok permasalahan
penelitian ini adalah pada tingkat Arbitrase penyelesaian sengketanya,
sedangkan penelitian penulis mengenai pengaruh reklamasi yang dilakukan
oleh Cina dalam sengketa antara Cina dan Negara-Negara Asia Tenggara.
Sepengetahuan penulis belum menemukan penelitian yang berjudul
“Pengaruh Reklamasi Kepulauan Spratly oleh Cina Antara Cina dan NegaraNegara Asia Tenggara di Laut Cina Selatan”. Sejauh pengetahuan penulis
belum ada yang melakukan penelitian ini, maka dalam hal ini penulis
berpendapat penelitian yang dilakukan penulis telah memenuhi syarat keaslian
penelitian.
E.
Manfaat Penelitian
Terdapat beberapa manfaat yang akan dicapai peneliti melalui
penelitian ini. Manfaat yang akan dicapai antara lain sebagai berikut:
11
1. Dalam lingkup akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi bagi ilmu pengetahuan hukum internasional khususnya dalam
hukum laut internasional dan hukum penyelesaian sengketa internasional.
2. Dalam lingkup praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi kalangan akademisi, praktisi, maupun masyarakat pada
umumnya serta dapat bermanfaat bagi pemerintah Indonesia sebagai salah
satu negara anggota ASEAN dalam penyelesaian sengketa di Laut Cina
Selatan.
Download