Ketika membaca dan merenungkan perumpamaan

advertisement
BURUNG-BURUNG
Ketika
membaca
dan
merenungkan
perumpamaan yang dibuat oleh Yesus, hatiku menjadi
tenang dan percaya diri dalam menjalani hidup ini.
Lihatlah burung-burung di udara yang tidak bekerja
tetapi tak satu pun mati kelaparan. Lihatlah bunga
bakung, Salomo, yang dalam kemewahannya pun kalah
dari bunga bakung itu. Perumpamaan yang dilontarkan
oleh Yesus memiliki daya magnetis dan sekaligus
memberikan daya rangsang pada orang-orang yang
sedang berputus asa dan menderita kelaparan. Tetapi
apakah dalam kondisi yang lapar, mereka yang
menderita dikenyangkan oleh sabda dan perumpamaan
yang selalu menggema? Seberapa jauh mereka dapat
mengalami sentuhan kasih-Nya?
Penderitaan yang mendera kehidupan manusia,
terutama saat-saat di mana manusia kehilangan daya
dalam menggapai kehidupan ekonomi yang layak,
perumpamaan ini layak untuk dijadikan sebagai hiburan
yang menjanjikan.
Tetapi tidak hanya menjadi
perumpamaan ini sebagai patokan melainkan Kristus
dijadikan sebagai landasan dasar dalam menjalani hidup
ini. Dalam diri Yesus, seluruh keterputus-asaan manusia
selalu tercarikan jalan keluarnya.
Seperti burung-burung yang berkeliaran di alam
bebas tanpa tuan, mereka tidak pernah mengalami
kelaparan. Allah sendiri sebagai yang empunya semesta
memberikan makanan lewat tanaman-tanaman yang
tumbuh liar di sepanjang hidup mereka. Bukankah
manusia lebih berharga daripada burung-burung di
udara?
Ketika mendirikan sebuah biara di Jerman,
Arnold Janssen, sepertinya menjadi figur yang perlu
ditertawakan. Mengapa? Karena ia sendiri mendirikan
sebuah biara tanpa adanya modal uang. Bagaimana
mungkin mendirikan sebuah biara tanpa adanya uang
untuk menopang perjalanan biara? Inilah kata-kata
pesimis yang datang, baik dari kalangan biarawan
maupun awam. Tetapi hanya ada satu keyakinan bahwa
Allah Tri Tunggal pasti menyertainya dalam karya
misionernya. Bagi dia, “uang masih ada di saku orang.”
2
Itu berarti bahwa ia yakin, Tuhan akan memberikan
jalan untuk menghidupkan biara dan sesama yang
peduli pasti memberikan sumbangan untuk kelanjutan
biaranya. Sampai akhirnya ia mendirikan tiga biara besar
(SVD, SSpS, SSpS Adorasi Abadi) yang dapat
memberikan kontribusi bagi kehidupan iman umat
manusia sejagat.***
3
PADI
Ketika menjalani masa live in di Yogyakarta,
hampir setiap hari aku dan Bapak Wagimin pergi ke
sawah. Saat matahari menyapa sang petani dengan
tebaran
sinarnya, Bapak
didukung
untuk
Wagimin seakan
membenamkan
terus
langkahnya
di
pematang sawah. Sebagian besar hamparan padi yang
sedang menguning dikunjunginya. Padi pun terus
bergoyang diterpa angin dan ia (padi) terus bergoyang
dalam ketertundukkan. Goyangan padi yang menguning
mengisyaratkan sebuah pepatah yang tak lekang oleh
panas dan tak akan lapuk jika terkena hujan.
“Semakin berisi semakin merunduk.” Inilah
sebuah
baris
pepatah
yang
menghantui
setiap
perjalanan anak manusia. Melihat padi berisi dengan
posisi merunduk, sepertinya melihat para intelektual
yang walaupun kemampuan berpikir mereka sudah
matang dan perlu mewujudkan nilai kesederhanaan di
tengah dunia yang semakin pongah.
4
Kepribadian Yesus sendiri adalah pribadi yang
rendah hati. Ia selalu merunduk, selain sebagai bentuk
ketaatan-Nya pada Bapa namun juga berani bersolider
dengan manusia. Kelahiran-Nya di Betlehem, sebuah
kandang yang hina, dapat dilihat sebagai bentuk
kesederhanaan Allah yang menjelma dalam diri Yesus.
Bahkan ketika Dia meninggal, Ia dikuburkan pada
kubur batu yang juga merupakan sebuah pinjaman.
Apakah keberadaan-Nya ini merupakan sebuah takdir
yang terencana sebagai bentuk keberpihakkan Allah
akan manusia?
Seperti padi yang selalu merunduk, tanda
kesederhanaan
santapan
dan
manusia,
memperlihatkan
memberikan
demikian
dirinya
juga
jalan kesederhanaan
sebagai
Yesus.
dan
Ia
berani
mendengarkan orang-orang yang oleh masyarakat
dianggap sebagai kaum buangan. Kehadiran-Nya
membawa nuansa baru bahkan membawa kehidupan
baru
bagi
mereka
yang
lemah
di
tengah
ketakberdayaan.***
5
MATA AIR
Di hutan yang masih perawan itu, terdapat mata
air
yang
mengalirkan
sungai
dan
memberikan
kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya. Mata air
sebagai sumber air yang menawarkan kesuburan dan
kesegaran senantiasa bertahan di tengah terpaan musim.
Pergantian musim, dari musim penghujan ke musim
kemarau, seakan tidak berpengaruh pada debit air yang
selalu siap memberi kesegaran dan menawarkan dahaga
bagi yang haus.
Kehadiran Yesus di tengah dunia ibarat mata air
sejati. Ia selalu menawarkan kesegaran iman bagi
mereka yang telah kehilangan harapan. Karenanya,
percaya pada Yesus berarti membiarkan iman kita
tersirami dengan air kasih-Nya. Tetapi apakah mungkin
iman setiap orang tersirami secara sempurna oleh
Yesus? Beriman berarti sebuah bentuk penyerahan diri
secara total kepada-Nya dan dalam proses penyerahan
diri, seseorang selalu membuka diri bagi-Nya dan
membiarkan Yesus hidup di dalam dirinya sendiri.
6
Santo Paulus yang dikenal sebagai rasul terbesar
dalam Gereja Katolik, dimatangkan imannya oleh
pengalaman dalam Dia. Para pengikut Yesus, yang
dahulunya disiksa dan dianiaya olehnya tetapi kemudian
setelah peristiwa Damsyik (Peristiwa jatuhnya Saulus
dari kudanya) menjadi pengalaman yang berharga dalam
membangun kondisi hidupnya. Hatinya yang keras dan
selalu mau mematahkan hidup bagi yang percaya pada
Yesus, justeru dicairkan oleh Yesus. Imannya yang
dulunya gersang dan tandus, jauh dari sentuhan-Nya,
kini tersirami kembali berkat daya kekuatan Roh
Kudus.
Betapa besar kasih Yesus. Kasih-Nya seluas
samudera
dan
cinta-Nya
sedalam
lautan
telah
diperlihatkan kepada siapa saja yang percaya pada-Nya.
Di sini, dapat dikatakan bahwa setiap manusia
mempunyai
peluang
yang
sama
untuk dibenah
hidupnya dan disegarkan imannya. Saulus yang dulunya
dikenal sebagai penjahat telah diperkenalkan secara
baru bagi kita, yakni Paulus. Ia mendapat tugas
istimewa untuk mewartakan sabda Allah, tidak hanya
7
dalam lingkungan Yahudi melainkan di luar lingkungan
Yahudi. Ia (Paulus) menjadi pewarta karena daya Roh
Kudus. Pengalaman Damsyik tidak hanya menjadi
pengalaman Paulus semata
tetapi
juga
menjadi
pengalaman kita semua yang senantiasa membuka diri
bagi Tuhan dan rela dituntun ke jalan yang benar.***
8
MARIA DAN EMPATI SOSIAL
Ketika almahrum, Pater Sareng Oringbao, SVD
menggagas sebuah pahatan patung Maria dengan
mengenakan
pakaian
adat
Sikka-Maumere-Flores,
mengundang reaksi dari banyak pihak. Ada perdebatan
yang muncul di permukaan silang pendapat. Ada yang
mengatakan bahwa pakaian Bunda Maria adalah simbol
religius yang dapat merangkul semua orang di bawah
kepakan mantel sang Bunda, karena itu pakaiannya
tidak perlu digantikan oleh pakaian bermotif lokal.
Perdebatan tentunya berlanjut, tetapi dalam
kisaran waktu yang lama, pada akhirnya semua pihak
menerima keberadaan patung Maria dalam komunitas
biara yang terletak di atas bukit teduh itu. Orang-orang
yang bersilang pendapat bahkan bersitegang dengan
sang penggagas, pada akhirnya memahami arah
idealisme sang pencetus. Satu alasan sederhana dari
sang pastor dan antropolog itu yakni bahwa sudah
9
waktunya kita mewajahkan wajah Maria dengan wajah
seorang ibu dari Asia. Dengan proses perwajahan ini
secara implisit menggambarkan sebuah kepedulian
dalam menerima pribadi Maria sebagai bagian dari
hidup manusia terutama orang-orang Asia (Indonesia).
Bunda Maria yang sebelumnya dirasa jauh jaraknya,
tetapi sekarang, dengan modifikasi patung Maria yang
mengenakan pakaian daerah, seakan membuka jalan
bagi orang kampung untuk berdoa sambil tidak segansegan mengungkapkan segala persoalan hidup.
Kepribadian
Bunda
Maria
selalu
memperlihatkan nilai empati sosial yang sangat kuat.
Dalam pesta perkawinan di Kana misalnya, Maria selalu
mau bersolider dengan tuan pesta untuk kemudian
memperkenalkan Yesus ke hadapan umum dalam
peristiwa pengubahan air menjadi anggur. Mujizat
pertama yang dilakukan Yesus dapat terselenggara
karena kehadiran dan peran serta Maria. Kehadirannya
di tengah pesta membawa daya pengubah, yang pada
akhirnya setiap undangan berhak menikmati anggur
kebaikan yang datang dari sang Ilahi.
10
Ada beberapa nilai kebaikan sekaligus empati
sosial yang perlu dipelajari dari Sang Bunda yaitu:
pertama, sikap tanggap darurat. Apabila merujuk pada
momentum perkawinan di Kana, jelas terlihat bahwa
sikap yang ditunjukkan Maria adalah sikap tanggap
darurat. Dikatakan demikian karena dalam hitungan
waktu singkat, Maria dapat membantu dalam proses
penyelesaian masalah kekurangan anggur bagi tuan
pesta. Memang, menanggap situasi darurat seperti yang
dialami oleh Maria adalah sesuatu yang tidak mudah.
Maria, dengan gaya diplomasi otentik, mencoba untuk
memahami kekurangan yang dihadapi oleh tuan pesta.
Kedua, memperkenalkan Yesus di hadapan umum.
Peristiwa Kana barangkali dilihat sebagai peristiwa
publik di mana komunitas yang turut serta dalam pesta
dapat mewakili umat manusia lain yang dapat
menikmati hasil mukjizat yang diperlihatkan oleh Yesus
kepada dunia.
Mukjizat
perdana pada pesta perkawinan di
Kana merupakan hasil rancangan Allah sendiri. Ia mau
memperlihatkan Yesus di hadapan publik melalui
11
Maria. Di sini, Maria dilihat sebagai pintu masuk atau
gerbang Ilahi yang siap memperkenalkan Yesus kepada
siapa saja yang melewati gerbang dunia ini. Tindakan
untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik
adalah bagian dari rasa cinta Maria terhadap manusia.
Apa yang dilakukan oleh Maria untuk memperkenalkan
Yesus ke hadapan publik merupakan suatu gerakan
Allah untuk keluar dari diriNya dan terlibat dalam
suasana pesta. Allah adalah penantang, pendobrak,
pembebas dan pencinta. CintaNya kepada manusia
adalah cinta yang menantang, membebaskan dan
mengubah.
Para ekseget berpendapat bahwa kehadiran
Maria di tengah pesta, dia tidak hanya datang sebagai
seorang undangan biasa tetapi lebih dari itu Ia adalah
bagian dari anggota keluarga si tuan pesta. Dugaan ini
kuat mengemuka bertitik tolak dari keterlibatan Maria
saat berurusan dengan keluarga ketika menghadapi
kekurangan anggur. Secara rasional dapat dikatakan
bahwa rasa empati sosial Maria dapat muncul karena
adanya unsur kedekatan dengan pemilik pesta.
12
Melalui mukjizat pertama itu, Allah mau
berbicara kepada dunia tentang pengalaman pesta di
Kana menjadi pesta umum, pesta rakyat di mana setiap
orang
dipuaskan
oleh
anggur
terbaik.
Dengan
menikmati minuman berharga itu, kualitas pesta
semakin bernilai di mata para undangan. Apakah kita
sekarang yang membaca kembali teks Kitab Suci
tentang perkawinan di Kana, seperti siapa kita
memposisikan diri? Sebagai tuan pesta yang cemas saat
mengalami kekurangan anggur? Ataukah sebagai Maria
yang selalu membuka diri bagi keselamatan orang lain?
Di
sini,
Maria
menyadari
“pentingnya
menjadikan orang lain penting” terutama tuan pesta.
Dalam bulan Mei sebagai bulan rosario ini kita diajak
untuk merenungkan kisah keterlibatan Maria dalam diri
dan masyarakat kita. Patung Maria seperti dalam kisah
di atas, tidak hanya menjadi monopoli kelompok
tertentu, namun kita juga membiarkan Maria masuk ke
dalam keluarga dan kita berani menawarkan pakaian
bermotif lokal daerah kita untuk dikenakan olehnya.
Tetapi dalam proses menawarkan dan memberikan
13
pakaian bermotif lokal kepada Maria, kita terbentur
pada sebuah pertanyaan sederhana, untuk apa dan
mengapa?**
14
LAMPU MERAH
Melintasi
lampu
merah
yang
mengatur
perjalanan para pengendara di kota Tangerang, seakan
merekam sebuah kisah hidup dari manusia yang
tertindas karena penyakit. Puluhan orang yang terkena
penyakit kusta, setiap hari selalu menadahkan tangan
sembari
berulur
harap,
mudah-mudahan
para
pengendara dapat memberikan recehan uang demi
menyambung hidup. Bagi mereka, mendekap sisa hidup
di bawah bayang-bayang lampu merah adalah sebuah
pilihan yang dilakukan secara paksa.
Melihat orang-orang kusta, aku teringat akan
kisah dalam kitab suci yang menggambarkan betapa
pahitnya hidup mereka ketika ditemani penyakit kusta
atau lepra. Sebagai orang yang terkena penyakit lepra,
oleh masyarakat umum, mereka dipandang sebagai
manusia yang dikutuk Tuhan dan perlu disingkirkan
dari
kehidupan masyarakat.
Mereka
disingkirkan
15
sebagai
cara
lingkungan,
terbaik
dalam
upaya
pembersihan
sebuah purifikasi sosial yang terkesan
memaksa.
Di hutan-hutan belantara, mereka semua (yang
terkena penyakit kusta) dialienasikan agar jauh dari
pergaulan umum. Hutan belantara adalah tempat
pembuangan yang paling keji ketika masih menjalani
hidup ini. Dan di hutan yang sama, terpangkaslah jaring
komunikasi, baik antara mereka dengan keluarga
maupun dengan masyarakat umum. Apakah dalam
masyarakat
modern,
dengan
kecanggihan
dunia
kedokteran, masihkah kita (terutama yang sehat)
melihat orang-orang kusta sebagai kaum buangan, yang
perlu disingkirkan dari masyarakat umum? Apakah
orang-orang beriman masih juga melihat derita oleh
karena terserang penyakit kusta ini sebagai bentuk
kutukan yang datang dari Allah sendiri?
Ketika masyarakat luas menyingkirkan orangorang kusta, kehadiran Pastor Damian seakan menjadi
“oase” bagi hati yang gersang karena ditimpah oleh
“angin penyingkiran.” Ia (Pastor Damian) yang dikenal
16
sebagai pahlawan Molokai, berusaha untuk hidup
bersama mereka, melayani mereka bahkan pada
akhirnya ia terkena penyakit kusta dan meninggal
seperti para penderita kusta yang lain. Di sini, saya
melihat sebuah nilai pengorbanan yang luar biasa demi
orang-orang
yang
tersingkir.
Pengorbanan
yang
diberikan tidak hanya sebatas pelayanan untuk memberi
rasa
bahagia
tetapi
rasa
“empati
salib”
selalu
menghantui dirinya dan pada akhirnya ia mengakhiri
hidup tragis, pelan tetapi mematikan.
Kristus memilih salib sebagai bagian dari
pengorbananNya demi manusia. Sokrates, sang filsuf
sejati telah memilih racun untuk mengakhiri hidupnya
dan sebagai tanda protes terhadap pola penerapan
politik secara salah. Apa yang harus kita lakukan untuk
sesama terutama bagi mereka yang terkena penyakit dan
orang-orang yang tersingkirkan dari masyarakat umum?
Mereka yang telah berkorban terlebih dahulu untuk
sesama manusia senantiasa memberikan spirit untuk
menjiwai kehidupan manusia. Spirit atau semangat
mereka menjadi roh penggerak dan penggugah hati
17
setiap orang yang peduli akan manusia, yang peduli
akan mereka yang tersisihkan.***
18
Download