- Stikes Hang Tuah Surabaya

advertisement
JURNAL ILMIAH KEPERAWATAN
Diterbitkan oleh STIKES Hang Tuah Surabaya bekerjasama dengan Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI) Propinsi Jawa Timur dan Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi
Tenaga Kesehatan (AIPTINAKES) wilayah Jawa Timur.
Pelindung
Wiwiek Liestyaningrum, M.Kep
Penanggung Jawab
Ns. Puji Hastuti, M.Kep.
Pemimpin Redaksi
Ns. Nuh Huda, M.Kep.,Sp.Kep.MB
Sekretaris Redaksi
Meiana Harfika, S.KM
Bendahara
Nenny Andriani, SE
Anggota Redaksi
Ns. Setiadi, M.Kep
Ns. Diyah Arini, S.Kep., M.Kes
Ns. Dhian Satya Rahmawati, M.Kep
Ns. Dya Sustrami, S.Kep., M.Kes
Ns. Qori’ila Saidah, M.Kep.,Sp.Ank
Ns. Astrida Budiarti, M.Kep.,Sp.Mat
Ceria Nurhayati, S.Kep.,Ns
Promosi dan Distribusi
Yoga Kertapati, S.Kep.,Ns
Nisha Dharmayanti Rinarto, S.Kep.,Ns
Priyo Sembodo
Jadual Penerbitan
Terbit tiga kali dalam setahun
Penyerahan Naskah
Naskah merupakan hasil penelitian dan kajian pustaka Ilmu Keperawatan yang belum pernah
dipublikasikan/diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun terakhir. Naskah dapat dikirim melalui
e-mail atau diserahkan langsung ke Redaksi dalam bentuk rekaman Compact Disk (CD) dan
print-out 2 eksemplar, ditulis dalam MS Word atau dengan program pengolahan data yang
kompatibel. Gambar, ilustrasi, dan foto dimasukan dalam file naskah.
Penerbitan Naskah
Naskah yang layak terbit ditentukan oleh Dewan Redaksi setelah mendapat rekomendasi dari
Mitra Bestari. Perbaikan naskah menjadi tanggung jawab penulis dan naskah yang tidak layak
diterbitkan akan dikembalikan kepada penulis
Alamat Redaksi
STIKES Hang Tuah Surabaya
d/a Rumkital Dr. Ramelan Surabaya Jl. Gadung No. 1 Surabaya
Telp. (031) 8411721, 8404248, 8404248, Fax (031) 8411721
UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN
KEPADA :
Prof. Dr. Hj. Rika Soebarniati, dr, S.KM
Guru Besar Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga
Ketua Umum Assosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Tenaga Kesehatan (AIPTINAKES)
Jawa Timur
Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons)
Staf Pengajar Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Airlangga
Manajer Rumah Sakit Pendidikan Universitas Airlangga
Dr. Bambang Widjanarko Otok, M.Si
Staf Pengajar dan Kepala Laboratorium Statistika Sosial dan Bisnis Jurusan Statistika
Fakultas MIPA Institut Tekhnologi Surabaya
Dr. Ahmad Yusuf, S.Kp, M.Kes
Ketua PPNI Provinsi Jawa Timur
Staf Pengajar Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
Selaku penelaah (Mitra Bestari) dari Jurnal Ilmiah Keperawatan
STIKES Hang Tuah Surabaya
DAFTAR ISI
Jurnal Ilmiah Keperawatan
…………………………………………………………………….i
Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan
………………………………………………………ii
Kata Pengantar
………………………………………………………………………………..iii
Daftar Isi
……………………………………………………………………………………...iv
PENINGKATAN MOTIVASI UNTUK SEMBUH PASIEN STROKE YANG
DILAKUKAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK DI RUANG SARAF RUMKITAL DR.
RAMELAN SURABAYA
Christina Yuliastuti................................................................................................................ 1
PENGARUH INISIASI MENYUSU DINI TERHADAP BONDING ATTACHMENT,
PRODUKSI ASI DAN HIPOTHERMI
Puji Hastuti ............................................................................................................................ 14
PENGARUH PENGATURAN POSISI MIRING 30 DERAJAT TERHADAP
KEJADIAN LUKA TEKAN GRADE I (NON BLANCHABLE ERYTHEMA)
PASIEN STROKE
Dame Elysaveth ............................................................................................................... 27
HUBUNGAN ANTARA PARITAS DENGAN KEJADIAN ABORTUS PADA IBU
HAMIL
Sri Haryuni ............................................................................................................................ 39
HUBUNGAN ANTARA USIA DAN PARITAS DENGAN LAMA KALA II PADA
IBU BERSALIN
Rahmah, K.D ......................................................................................................................... 48
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HIPERTENSI PADA
PASIEN
Fathiyah, Indah Wulandari .................................................................................................... 60
Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik
(Christina Y)
PENINGKATAN FUNGSI VENTILASI OKSIGENASI PARU PADA KLIEN POST
VENTILASI MEKANIK MELALUI DEEP BREATHING EXERCISE
Priyanto, Dewi Irawaty, Luknis Sabri .................................................................................. 71
PERBEDAAN KEJADIAN MUAL MUNTAH PASCA OPERASI DENGAN
PENGGUNAAN ISOFLURAN DAN HALOTAN SEBAGAI ANESTESI INHALASI
Sarif, Abdul Majid, Eko Suryani ........................................................................................... 80
PERBEDAAN PERUBAHAN HEMODINAMIK TEKNIK ANESTESI SPINAL
POSISI DUDUK DAN MIRING KIRI PADA PASIEN SEKSIO SESAREA
Suhartono, Umi Istianah, Sari Candra Dewi ......................................................................... 90
6
Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik
(Christina Y)
PENINGKATAN MOTIVASI UNTUK SEMBUH PASIEN STROKE
YANG DILAKUKAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK
DI RUANG SARAF RUMKITAL
Dr. RAMELAN SURABAYA
Christina Yuliastuti1
Abstract: Motivation to recover is the core of post-stroke recovery. The objective
of this study was to analyze increased motivation to recover in stroke patients
undergoing therapeutic communication.
This study used experiment pre-test and post-test control group design. Total
replication was 21 respondents stroke patients in Neurological Wards, Dr.
Ramelan Navy Hospital, Surabaya, comprising 11 respondents in treatment
group and 10 respondents in control group. Data collection was undertaken
using questionnaire and observation level. Data were analyzed with paired t-test
and Independent t-test with significance level of 0.05.
Results showed that after therapeutic communication, there was increasing
motivation to recover (p = 0.001), and in HSP70 level (p = 0.007). There was
significant difference in the motivation to recover between stroke patients with
therapeutic communication and those undergoing communication according to
ward standard (p = 0.022), and there was no significant difference in HSP70
level between stroke patients undergoing therapeutic communication and those
undergoing communication according to ward standard (p = 0.850).
In conclusion, with therapeutic communication nurses may direct the stroke
patients toward positive spirituality. It is suggested to improve nurses capability
with training on the use of technique and models in therapeutic communication
(spirituality aspect).
Keywords: motivation to recover, Heat Shock Proteins 70 (HSP70), therapeutic
communication, spirituality, Stroke
7
Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik
(Christina Y)
Latar belakang
Stroke sering menimbulkan permasalahan
yang kompleks, baik dari segi kesehatan, ekonomi
maupun sosial serta membutuhkan penanganan yang
komprehensif termasuk upaya pemulihan dalam
jangka waktu lama bahkan sepanjang sisa hidup
pasien (Mulyatsih, 2003). Orang yang mempunyai
keinginan sembuh dari sakit karena serangan stroke,
biasanya ada dorongan dari dalam dirinya untuk
sembuh. Dorongan ini secara umum dapat disebut
sebagai motivasi diri dan motivasi inilah yang harus
dibangkitkan (Wardhana, 2011), jika motivasi
tersebut dipertahankan secara konsisten dapat
mendorong pemulihan.
Kasus stroke di Ruang Saraf Rumkital
Dr.Ramelan Surabaya pada bulan Desember hingga
Pebruari 2012 sebanyak 132 pasien, dengan rata-rata
perbulan 44 pasien. Berdasarkan studi pendahuluan
terhadap 3 orang pasien Stroke didapatkan 1 pasien
(33,3%) pernah menurun kondisinya karena
motivasi kurang, namun ingin segera pulih dari
sakitnya seperti dulu setelah diberikan motivasi oleh
perawat, 1 pasien merasa tenang karena merupakan
serangan stroke yang ke dua (33,3%) dan 1 pasien
(33,3%) masih tidak menerima kondisi sakitnya
sekarang, cenderung diam dan merasa tidak mampu
melakukan apa-apa.
Dampak Stroke tidak hanya berupa
keterbatasan fisik namun juga gangguan emosional
dan psikososial penderita, ada kemungkinan
penderita stroke tidak siap mental untuk menerima
kenyataan adanya cacat akibat serangan stroke yang
bisa menyebabkan penderita stroke jadi stres
(Wardhana, 2011). Respons terhadap stresor tersebut
dipengaruhi oleh stress perception penderita stroke.
Persepsi terhadap stressor inilah yang harus diubah
ke arah positif supaya dapat menghasilkan respons
yang positif juga. Komunikasi terapeutik sengaja
dirancang agar hubungan perawat dan klien menjadi
efektif dalam rangka mencapai kesembuhan (Nasir,
et al., 2011). Komunikasi terapeutik membangun
persepsi yang positif dalam diri pasien sehingga
mekanisme koping yang digunakan akan tepat dan
mengarahkan segala tindakan ke arah kesembuhan
yang disebut motivasi untuk sembuh. Di dalam otak
persepsi positif dan motivasi untuk sembuh akan
merangsang hipotalamus dan mempengaruhi sel
dalam berespon terhadap stresor pasien stroke
(kelemahan, ketergantungan, pemulihan yang lama,
dll) sehingga kadar heat shock proteins (HSP) 70
meningkat.
Penelitianmenyebutkan HSP70 melindungi
sel
melalui pencegahan agregasi protein, pelipatan
kembali sebagian protein yang telah mengalami
denaturasi, mengurangi respon inflamasi dan
menghambat jalur kematian sel (Brown, tanpa
tahun), dan mencegah kerusakan dan efek negatif
terhadap stress sehingga ada perbaikan endotel.
Motivasi untuk sembuh ini merupakan inti
pemulihan pasca stroke. Tujuan penelitian ini adalah
menganalisis peningkatan motivasi untuk sembuh
pada pasien Stroke yang dilakukan komunikasi
terapeutik.
Bahan dan Metode Penelitian
Desain, variabel dan replikasi
Penelitian
ini
menggunakan
experiment pre test and post test control
group design, Jumlah replikasi 21
responden pasien Stroke yang berusia 50-75
tahun,
dapat
berkomunikasi
(tidak
mengalami afasia) dan telah melewati masa
akut di Ruang Saraf Rumkital Dr. Ramelan
Surabaya, terdiri dari 11 responden
kelompok perlakuan dan 10 responden
kelompok kontrol. Variabel independen
adalah komunikasi terapeutik sebagai
intervensi. Variabel dependen adalah
motivasi untuk sembuh dan kadar HSP70.
Prosedur
Pengukuran motivasi untuk sembuh
menggunakan 24 pernyataan kuesioner
yang diadaptasi dari The Ironson-Woods
Spirituality/ Religiousness Index (Ironson
dan Woods, 1998, dalam Ironson, G., et al,
2002),
dan
dimodifikasi
dengan
penambahan aspek pengetahuan terkait
pemulihan Stroke, sedangkan kadar HSP70
menggunakan peralatan laboratorium dan
lembar observasi.
Pretest dan posttest dilakukan dengan
mengukur motivasi untuk sembuh dan
melakukan pengambilan darah vena untuk
pengukuran kadar HSP70. Kelompok
perlakuan dilakukan komunikasi terapeutik
oleh peneliti pada shift pagi, siang dan sore
selama 20-30 menit/hari, dilakukan 2 hari,
komunikasi yang dilakukan sesuai dengan
panduan komunikasi terapeutik, sedangkan
kelompok kontrol diberikan komunikasi
sesuai standar perawatan di Ruang Saraf
Rumkital Dr. Ramelan. Analisis data
menggunakan
uji
Paired-t-test
dan
Independent
t-test
dengan
tingkat
kemaknaan p < 0,05.
8
Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik
(Christina Y)
Hasil Penelitian
Motivasi untuk sembuh pasien Stroke yang
dilakukan komunikasi terapeutik
Tabel 1 Hasil Uji Analisis Independent t-test (prepre) Motivasi untuk Sembuh Pasien
Stroke yang dilakukan Komunikasi
Terapeutik dengan yang dilakukan
Komunikasi Standar
Motivasi untuk
sembuh
kelompok komunikasi
terapeutik
kelompok komunikasi
standar
n
SD
11
2,87
10
t = -1,114
p = 0,279
11,08
Tabel 3 menunjukkan bahwa perubahan peningkatan
motivasi untuk sembuh sebelum dan sesudah
dilakukan komunikasi terapeutik menunjukkan hasil
yang signifikan (p =0,001)
Tabel 4 Hasil Uji Analisis Paired-t-test (pre-post)
Motivasi untuk Sembuh Pasien Stroke
yang Dilakukan Komunikasi Standar.
Motivasi untuk
sembuh
N
SD
t-test
sebelum komunikasi
standar
10
2,48
t = -2,115
p = 0,064
sesudah komunikasi
standar
10
7,58
2,48
Tabel 2 Hasil Uji Analisis Independent t-test (postpost) Motivasi untuk Sembuh Pasien
Stroke yang dilakukan Komunikasi
Terapeutik dengan yang dilakukan
Komunikasi Standar
Motivasi untuk sembuh
n
SD
kelompok komunikasi
terapeutik
11
11,08
kelompok komunikasi
standar
10
7,58
t-test
t = -2,515
p = 0,022
Motivasi untuk sembuh pasien Stroke kelompok
perlakuan sesudah dilakukan komunikasi terapeutik
dengan kelompok kontrol sesudah dilakukan
komunikasi sesuai standar ruangan menunjukkan
terdapat perbedaan yang signifikan pada (p = 0,022),
seperti pada tabel 2.
Tabel 3 Hasil Uji Analisis Paired-t-test (pre-post)
Motivasi untuk Sembuh Pasien Stroke
yang Dilakukan Komunikasi Terapeutik
sebelum komunikasi
terapeutik
11
t-test
Berdasarkan tabel 1, hasil penelitian menunjukkan
tidak ada perbedaan pada motivasi untuk sembuh
pasien Stroke kelompok perlakuan sebelum
dilakukan komunikasi terapeutik dengan kelompok
kontrol sebelum dilakukan komunikasi sesuai
standar ruangan (p = 0,279).
Motivasi untuk
sembuh
sesudah komunikasi
terapeutik
n
SD
11
2,87
t-test
t = -4,743
p = 0,001
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebelum dan sesudah
komunikasi standar ruangan tidak ada peningkatan
motivasi untuk sembuh yang signifikan (p = 0,064).
Tabel 5 Hasil Uji Analisis Independent t-test
Perubahan Motivasi untuk Sembuh Pasien
Stroke yang dilakukan Komunikasi
Terapeutik dengan yang dilakukan
Komunikasi Standar
Δ motivasi untuk
sembuh
N
SD
t-test
kelompok komunikasi
terapeutik
11
9,72
t = -2,389
p = 0,027
kelompok komunikasi
standar
10
7,28
Tabel 5 di atas menunjukkan terdapat perbedaan
yang signifikan antara perubahan motivasi untuk
sembuh pasien Stroke yang dilakukan komunikasi
terapeutik dengan yang dilakukan komunikasi sesuai
standar ruangan.
Kadar Heat Shock Proteins 70 (HSP70) pasien
Stroke yang Dilakukan Komunikasi Terapeutik
Tabel 6 Hasil Uji Analisis Independent t-test (prepre) Kadar Heat Shock Proteins 70 Pasien
Stroke yang Dilakukan Komunikasi
Terapeutik dengan yang dilakukan
Komunikasi Standar
Kadar HSP70
n
SD
t-test
9
Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik
(Christina Y)
kelompok komunikasi
terapeutik
11
58,79
kelompok komunikasi
standar
10
54,64
Stroke yang
Standar
t = 1,537
p = 0,141
Kadar HSP70
SD
t-test
sebelum komunikasi
standar
10
54,64
t = -0,110
p = 0,915
sesudah komunikasi
standar
10
41,57
Tabel 9 menunjukkan tidak ada peningkatan kadar
Heat Shock Proteins 70 (HSP70) yang signifikan
sebelum dan sesudah dilakukan komunikasi standar
(p = 0,915).
Tabel 7 Hasil Uji Analisis Independent t-test (postpost) Kadar Heat Shock Proteins 70
Pasien
Stroke
yang
Dilakukan
Komunikasi Terapeutik dengan yang
dilakukan Komunikasi Standar
n
SD
kelompok komunikasi
terapeutik
11
69,4
kelompok komunikasi
standar
10
t-test
Tabel 10 Hasil Uji Analisis Independent t-test
Perubahan Kadar Heat Shock Proteins
70 Pasien Stroke yang Dilakukan
Komunikasi Terapeutik dengan yang
dilakukan Komunikasi Standar
t = 0,192
p = 0,850
41,57
Berdasarkan tabel 7, kadar heat shock proteins 70
(HSP70) pasien Stroke kelompok perlakuan sesudah
dilakukan komunikasi terapeutik dengan kelompok
kontrol yang dilakukan komunikasi sesuai standar
ruangan menunjukkan tidak ada perbedaan yang
signifikan.
n
SD
t-test
sebelum komunikasi
terapeutik
11
58,79
t = -3,419
p = 0,007
sesudah komunikasi
terapeutik
11
69,45
Tabel 8 menunjukkan bahwa kadar Heat Shock
Proteins 70 (HSP70) pada kelompok perlakuan
sebelum dan sesudah dilakukan komunikasi
terapeutik menunjukkan terdapat peningkatan yang
signifikan (p = 0,007)
Δ kadar HSP70
n
SD
t-test
kelompok komunikasi
terapeutik
11
33,77
t = -1,982
p = 0,062
kelompok komunikasi
standar
10
43,09
Tabel 10 menunjukkan tidak terdapat perbedaan
perubahan kadar Heat Shock Proteins 70 pada
pasien Stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik
dengan yang dilakukan komunikasi sesuai standar
ruangan.
Tabel 8 Hasil Uji Analisis Paired-t test (pre-post)
Kadar Heat Shock Proteins 70 Pasien
Stroke yang Dilakukan Komunikasi
Terapeutik
Kadar HSP70
Komunikasi
n
Tabel 6 menunjukkan bahwa kadar heat shock
proteins 70 (HSP70) pasien Stroke kelompok
perlakuan sebelum dilakukan komunikasi terapeutik
dengan kelompok kontrol sebelum dilakukan
komunikasi sesuai standar ruangan menunjukkan
tidak ada perbedaan yang signifikan (p=0,141).
Kadar HSP70
Dilakukan
Dalam hal korelasi perubahan motivasi untuk
sembuh dengan perubahan kadar heat shock proteins
70 (HSP70) pada pasien Stroke yang dilakukan
komunikasi terapeutik dapat dijelaskan pada tabel
dibawah ini.
Tabel 11 Hasil Uji Analisis Korelasi Pearson
Perubahan Motivasi untuk Sembuh dengan
Perubahan Kadar Heat Shock Proteins 70 Pasien
Stroke yang Dilakukan Komunikasi Terapeutik
n
p
motivasi untuk
sembuh
11
r = 0,111
p = 0,745
Δ
11
Δ
kadar HSP70
Tabel 9 Hasil Uji Analisis Paired-t test (pre-post)
Kadar Heat Shock Proteins 70 Pasien
10
Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik
(Christina Y)
Tabel 11 menunjukkan tidak ada hubungan antara
perubahan motivasi untuk sembuh dengan
perubahan kadar heat shock proteins 70 (HSP70)
pasien Stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik.
Tabel 12 Hasil Uji Analisis Korelasi Pearson
Perubahan Motivasi untuk Sembuh
dengan Perubahan Kadar Heat Shock
Proteins 70 Pasien Stroke yang
Dilakukan Komunikasi Standar
n
p
motivasi untuk
sembuh
10
r = 0,527
p = 0,117
Δ
10
Δ
kadar HSP70
Tabel 12 menunjukkan bahwa pada kelompok
kontrol menunjukkan tidak ada hubungan antara
perubahan motivasi untuk sembuh dengan
perubahan kadar heat shock proteins 70 (HSP70)
pasien Stroke yang dilakukan komunikasi standar
ruangan.
Pembahasan
Motivasi untuk Sembuh Pasien Stroke yang
Dilakukan Komunikasi Terapeutik
Motivasi untuk sembuh merupakan inti
pemulihan pasca stroke, karena dapat mendasari
perilaku penderita ke arah tujuan yaitu kesembuhan.
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat
perbedaan yang signifikan pada motivasi untuk
sembuh pasien Stroke yang dilakukan komunikasi
terapeutik dengan yang dilakukan komunikasi sesuai
standar ruangan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh
karena komunikasi standar yang telah dilakukan
perawat dengan pasien Stroke di Ruang Saraf
Rumkital Dr. Ramelan Surabaya dalam hal
pemenuhan kebutuhan dasar manusia sehari-hari
serta pemberian motivasi untuk segera sembuh.
Penelitian Hartigan, O’Connell, McCarthy
dan O’Mahony (2011) tentang persepsi penderita
Stroke serangan pertama, menyebutkan bahwa
pasien merasa kesehatan mereka telah memburuk
sebagai akibat dari Stroke, awalnya mereka
mengungkapkan rasa terkejut dan takut berhubungan
dengan hilangnya kontrol tubuh yang kemudian
terwujud sebagai kemarahan, frustasi dan
optimisme. Hal inilah yang perlu diperhatikan oleh
perawat, dimana sebagian besar pasien Stroke dalam
penelitian ini mengalami serangan Stroke yang
pertama kali. Komunikasi terapeutik yang dilakukan
dalam penelitian ini diarahkan untuk membangun
persepsi positif dalam diri pasien. Menurut Santoso
(2004) yang dikutip oleh Rosmawaty (2010:66-67),
faktor yang mempengaruhi persepsi antara lain
atensi atau perhatian, dimana stimulus akan
diperhatikan karena mempunyai sifat-sifat yang
menonjol, seperti gerakan, intensitas stimuli,
kebaruan, dan perulangan. Selain itu persepsi juga
dipengaruhi oleh ekspektasi atau pengharapan, yang
merupakan sesuatu yang diinginkan seseorang.
Peneliti berasumsi bahwa komunikasi terapeutik
dengan memantapkan keyakinan spiritualitas pasien,
menggunakan teknik-teknik komunikasi yang tepat
serta dilakukan berulang-ulang akan menjadi suatu
stimulus yang menonjol yang diperhatikan oleh
pasien.
Komunikasi terapeutik merupakan hubungan
perawat-klien yang dirancang untuk memfasilitasi
tujuan terapi dalam pencapaian tingkatan
kesembuhan yang optimal dan efektif (Nasir, et al.
2011). Teknik-teknik komunikasi terapeutik
menfasilitasi pelaksanaan komunikasi dengan
pasien. Tiap-tiap pasien memiliki respons yang
berbeda-beda sehingga teknik yang digunakan
berbeda pula.
Model komunikasi yang dilaksanakan dalam
penelitian ini adalah model komunikasi terapeutik
dengan aspek spiritualitas dan pengetahua yang
memiliki lima tujuan utama, yaitu : 1) memantapkan
perasaan tenang dan damai, 2) memantapkan iman
dan keyakinan kepada Tuhan terkait sakit yang
dialami. Kedua tujuan tersebut berupa pandangan
dan penerimaan pasien terkait sakitnya, kemudian
menggunakan keyakinan pasien supaya pasien tidak
merasa sendirian tetapi tetap memiliki makna dalam
hidup, sabar dan ikhlas serta optimis bahwa Tuhan
akan memulihkan kondisi pasien, dengan begitu
pasien dapat mengambil hikmah dibalik sakitnya.
Dalam hal ini teknik komunikasi terapeutik yang
digunakan adalah diam, active listening, sentuhan,
refleksi serta memberikan penguatan dan informasi.
Penelitian Suhardiningsih (2012) menunjukkan
bahwa pasien Stroke iskemik yang mendapatkan
asuhan keperawatan Self-care Regulation model
mengalami peningkatan kemampuan self-care
regulation dalam hal interpretasi sakit, lebih baik
dibandingkan dengan yang mendapatkan asuhan
keperawatan standar. Penelitian tersebut sangat
mendukung bahwa pemaknaan dan persepsi
terhadap kesehatan yang berupa sehat dan sakit perlu
ditingkatkan sehingga pasien dapat memberi makna
dan dapat mengembangkan strategi penanganan
yang tepat. Dalam penelitian ini pelaksanaan
komunikasi
terapeutik
membantu
pasien
memberikan interpretasi yang baik dan benar
terhadap sakit dan kesembuhan yang terkait aspek
spiritualitas sehingga menghasilkan motivasi yang
kuat untuk dapat sembuh. Uno (2007) dalam
Suhardiningsih (2012) menjelaskan bahwa motivasi
menjadi suatu kekuatan, tenaga atau daya, atau suatu
keadaan yang kompleks dan kesiapsediaan dalam
diri individu untuk bergerak ke arah tujuan tertentu,
baik disadari maupun tidak disadari.
Hamalik (2002) mengemukakan
bahwa
motivasi ditandai oleh reaksi-reaksi untuk mencapai
11
Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik
(Christina Y)
tujuan. Pribadi yang bermotivasi mengadakan
respon yang tertuju ke arah suatu tujuan, respon itu
berfungsi mengurangi ketegangan yang disebabkan
oleh perubahan energi dalam dirinya. Peneliti
berpendapat bahwa motivasi untuk sembuh pada
pasien Stroke dinilai dari keyakinan spiritual pasien,
kesadaran dalam diri dan rasa terhubung dengan
sesuatu yang lebih tinggi yaitu Tuhan. Perasaan
sabar dan ikhlas, kedekatan kepada Tuhan, rasa
syukur dan optimis akan kesembuhan serta dapat
menemukan hikmah dari sakitnya merupakan respon
dari peningkatan motivasi untuk sembuh.
Tujuan komunikasi terapeutik berikutnya
yaitu : 3) memantapkan perilaku religius, 4)
meningkatkan perasaan kasih kepada orang lain
(keluarga). Komunikasi terapeutik ditujukan kepada
kesadaran kembali akan harapan pasien dan
keluarga, rasa syukur melalui keterlibatan pasien
dalam kegiatan ibadah seperti berdoa, sholat,
membaca kitab suci. Motivasi terjalin erat dengan
mimpi, ambisi, dan aspirasi personal pasien. Apa
yang memotivasi pasien menuju pemulihan juga
tergantung pada apa yang tidak mau pasien lepaskan
begitu saja. Kedua hal tersebut (apa yang ingin
pasien lakukan dan apa yang ingin pasien dapatkan
kembali) adalah motivator internal yang kuat
(Levine, 2011). Melalui komunikasi terapeutik ini,
harapan-harapan yang realistis terhadap diri sendiri
serta harapan keluarga terhadap kesembuhan pasien,
ditanamkan untuk mengubah penilaian diri menjadi
positif yang menjadi dorongan, kekuatan dan
motivasi yang mengarahkan pasien kepada
kesembuhan.
Motivasi sembuh adalah perilaku yang
didorong oleh kebutuhan yang ada pada individu dan
diarahkan pada sasaran dimana kembalinya
seseorang pada satu kondisi kenormalan setelah
menderita suatu penyakit, penyakit mental, atau luka
– luka. Hal ini sejalan dengan teori motivasi menurut
Maslow (1943-1970) yang dikutip oleh Sobur
(2003) mengemukakan bahwa pada dasarnya semua
manusia memiliki kebutuhan pokok, salah satunya
adalah kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki
(berafiliasi dengan orang lain, diterima, memiliki).
Menggunakan teknik komunikasi refleksi dan
orientasi terhadap realitas, rasa cinta kasih keluarga
dan orang terdekat kembali diingatkan supaya pasien
merasa mempunyai makna dan berarti bagi orang
lain.
Tujuan komunikasi terapeutik berikutnya : 5)
meningkatkan pengetahuan tentang pemulihan
Stroke. Penelitian Saidah (2005) menyebutkan
bahwa ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap
motivasi melakukan latihan ROM aktif pada pasien
Stroke dengan hemiplegi (p = 0,000). Hal ini berarti
aspek pengetahuan perlu diperhatikan untuk
meningkatkan motivasi pasien. Keyakinan akan
keberhasilan dari tindakan yang dilakukan dalam
mencapai tujuan yang diinginkan seperti rajin
mengikuti latihan/rehabilitasi, rutin minum obat,
serta kooperatif mengikuti perawatan Stroke yang
lain akan meningkatkan motivasi untuk sembuh.
Keberhasilan dan pencapaian tujuan dari pasien
perlu diberikan penghargaan, sehingga kerjasama
dan kemajuan sekecil apapun tetap memiliki makna
sehingga pasien dapat tetap konsisten untuk
melaksanakannya.
Hasil
penelitian
ini
menunjukkan
perubahan peningkatan motivasi untuk sembuh
sebelum dan sesudah dilakukan komunikasi
terapeutik, dengan p value = 0,001. Pasien Stroke
pada awal masa akut menjadi sangat tergantung pada
orang lain yaitu perawat dan keluarga. Respon dan
dampak yang ditunjukkan dapat bermacam-macam
yang menjadi stresor tersendiri yang memerlukan
adaptasi dari pasien. Kondisi psikologi dan emosi
pada awal sakit menyebabkan pasien kurang
termotivasi untuk segera sembuh. Setelah melewati
masa akut, pasien juga diharapkan dapat mulai
menerima dengan apa yang sudah dialami.
Hubungan perawat-pasien melalui komunikasi
terapeutik membantu pasien untuk beradaptasi
dengan memiliki persepsi yang positif sehingga
mengembangkan koping yang tepat. Sejalan dengan
pernyataan Weiten (2007) yang dikutip oleh Putra
(2011) bahwa setiap stresor yang diterima oleh
individu akan dipelajari dengan seksama sehingga
menghasilkan persepsi yang benar yang akhirnya
akan direspons dengan benar pula. Komunikasi
terapeutik
pada
prinsipnya
meningkatkan
kemampuan pasien dalam mengembangkan strategi
koping yang konstruktif untuk mengatasi
masalahnya.
Asuhan keperawatan juga meliputi tindakan
tindakan untuk menolong klien menggunakan
sumber daya spiritual selama mereka menentukan
dan menggali apa yang paling berarti dalam
kehidupan mereka dan menemukan cara untuk
beradaptasi dengan akibat yang ditimbulkan oleh
penyakit dan tekanan kehidupan (Krebs, 2003,
dalam Potter dan Perry, 2010). Kepercayaan dan
keyakinan dalam diri seseorang merupakan sumber
daya yang paling kuat untuk proses penyembuhan.
Perawat yang mendukung spiritualitas klien dan
keluarganya akan berhasil dalam membantu klien
mencapai hasil kesehatan yang diinginkan. Peneliti
menunjukkan bahwa spiritualitas yang positif
memengaruhi dan meningkatkan kesehatan, kualitas
hidup, perilaku yang meningkatkan kesehatan, dan
kegiatan pencegahan penyakit (Aaron et al., 2003;
Figueroa et al., 2006; Gibson dan Hendricks, 2006;
Grey et al., 2004; Grimsley, 2006, dalam Potter dan
Perry, 2010). Spiritualitas memberikan individu
energi yang dibutuhkan untuk menemukan diri
mereka, untuk beradaptasi dengan situasi sulit, dan
untuk memelihara kesehatan. Energi yang berasal
dari spiritualitas membantu klien merasa sehat dan
membantu membuat pilihan sepanjang kehidupan.
Kekuatan batiniah merupakan suatu sumber energi
yang menanamkan harapan, memberikan motivasi,
12
Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik
(Christina Y)
dan mempromosikan harapan yang positif pada
kehidupan (Chiu et al., 2004; Villagomenza, 2005,
dalam Potter dan Perry, 2010).
Hasil penelitian juga menunjukkan
peningkatan rerata pada skor motivasi untuk sembuh
dari 72,27 menjadi 86,17. Pengukuran motivasi
untuk sembuh menggunakan kuesioner yang
diadaptasi
dari
The
Ironson-Woods
Spirituality/Religiousness Index (Ironson dan
Woods, 1998, dalam Ironson, G., et al, 2002). Model
komunikasi terapeutik dalam penelitian ini
mengarahkan pasien Stroke kepada spiritualitas yang
positif. Spiritualitas merupakan faktor intrinsik
individu yang menjadi faktor penting dalam
penyembuhan. Hasil penelitian ini membuktikan
bahwa dengan memantapkan perasaan tenang dan
damai pada pasien, memantapkan iman dan
keyakinan kepada Tuhan terkait sakit yang dialami
pasien, memantapkan perilaku religius pasien,
meningkatkan perasaan kasih pasien pada orang
lain (keluarga) serta meningkatkan pengetahuan
pasien tentang pemulihan Stroke akan membangun
persepsi yang positif dalam diri pasien melalui aspek
spiritualitas.
Hasil penelitian ini juga menyebutkan
adanya peningkatan rerata skor motivasi untuk
sembuh pada kelompok perlakuan yang diberikan
komunikasi terapeutik yaitu dari 72,27 menjadi
86,17, dimana hasil ini lebih baik daripada
kelompok yang diberikan komunikasi standar, yaitu
70,96 menjadi 75,83. Dalam hal peningkatan skor
motivasi untuk sembuh dapat dilihat dari skor
tertinggi setelah diberikan komunikasi terapeutik
yaitu sebesar 41, dimana perubahan tersebut terkait
dengan keikhlasan pasien Stroke dalam menerima
keadaan sakitnya. Selain itu skor motivasi untuk
sembuh yang juga tinggi adalah keyakinan bahwa
kondisi Stroke merupakan ujian dari Tuhan serta
keyakinan bahwa Tuhan memberikan kesabaran
untuk mengatasi penyakit. Pernyataan tersebut
didukung oleh Wardhana (2011:99) yang
mengemukakan bahwa motivasi diri yang
mendorong penderita stroke untuk mendapatkan
kesembuhan atas dasar kehidupan beragama
seseorang meliputi menerima, menjalani dan
menikmati kehidupan berikut dampak stroke dengan
penuh keikhlasan adalah suatu bentuk kegiatan
ibadah. Hal ini berarti penderita stroke telah
berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Hasil penelitian menunjukkan skor
terendah motivasi untuk sembuh setelah diberikan
komunikasi terapeutik adalah sebesar 35, yaitu
keyakinan bahwa meskipun kondisi sakit tetapi
semuanya baik-baik saja. Sementara penelitian
Ironson, et al. (2002) menyebutkan bahwa perasaan
tenang dan damai merupakan salah satu faktor
spiritualitas. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
meskipun pasien di Rumah Sakit merasa tenang
secara spiritual namun dari hasil wawancara, pasien
masih tetap memikirkan dan khawatir terhadap
keluarga serta kondisi rumah yang ditinggalkan.
Melalui komunikasi terapeutik dalam penelitian ini,
perasaan tenang, aman dan terbebas dari gelisah
terbukti meningkat dengan kenaikan skor sebelum
dan sesudah diberikan komunikasi terapeutik yaitu
dari 29 menjadi 35.
Penyakit atau trauma menciptakan suatu
perjuangan
yang
tidak
diharapkan
untuk
menggabungkan dan beradaptasi dengan kenyataan
baru (misalnya kecacatan). Seseorang akan mencari
jalan untuk mempertahankan kesetiaan terhadap
kepercayaan dan sistem nilai mereka. Kekuatan
spiritualitas klien mempengaruhi bagaimana klien
beradaptasi dengan penyakit yang tiba-tiba dan
seberapa cepat klien beralih ke masa pemulihan.
Perawat menggunakan pengetahuan kesejahteraan
spiritual individu untuk memaksimalkan perasaan
damai dan penyembuhan dari dalam (Grant, 2004,
dalam Potter dan Perry, 2010).
Berdasarkan uraian diatas maka dapat
disimpulkan bahwa dengan diberikan komunikasi
terapeutik akan meningkatkan motivasi untuk
sembuh yang merupakan inti pemulihan pasien
Stroke. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian yang
menunjukkan pada kelompok yang diberikan
komunikasi terapeutik rerata (mean) perubahan
motivasi untuk sembuh adalah 13,9, sedangkan pada
kelompok komunikasi standar adalah 4,87. Hasil uji
statistik membuktikan terdapat perbedaan yang
signifikan antara perubahan motivasi untuk sembuh
pasien Stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik
dengan yang dilakukan komunikasi sesuai standar
ruangan (p = 0,027). Secara umum keyakinan
spiritual yang positif dan pengetahuan akan kondisi
sakit dan pemulihannya akan menimbulkan motivasi
yang kuat untuk melakukan berbagai upaya sehingga
mempercepat proses penyembuhan penyakit.
Kadar Heat Shock Proteins 70 (HSP70) Pasien
Stroke yang Dilakukan Komunikasi Terapeutik
Cedera sel otak pada Stroke terjadi karena
pasokan darah yang tidak memadai, menyebabkan
sel-sel otak kehilangan kemampuan untuk
menghasilkan energi. Apabila terjadi kekurangan
energi ini, pompa natrium-kalium sel berhenti
berfungsi
sehingga
neuron
membengkak,
dampaknya akan terstimulinya beberapa enzim yang
dapat mempercepat kematian sel otak. Brown (tanpa
tahun) menjelaskan bahwa overexpression HSP70
megurangi cedera iskemik dan melindungi sel saraf
serta glia, dimana perlindungan HSP70 mencakup
pencegahan agregasi protein, pelipatan kembali
sebagian protein yang telah mengalami denaturasi,
mengurangi respon inflamasi dan menghambat jalur
kematian sel. Penelitian Zheng, et al (2008)
mengemukakan bahwa overexpression HSP70 tidak
hanya melindungi terhadap iskemia otak tetapi juga
muncul melalui mekanisme anti inflamasi. Reaksi
peradangan berpartisipasi dalam cedera iskemik
serebral dengan berkontribusi terhadap kerusakan
13
Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik
(Christina Y)
jaringan otak akut. Heat Shock Proteins mampu
memodulasi respon imun, tetapi pada cedera atau
iskemia otak HSP berperan dalam mekanisme anti
inflamasi.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada
perbedaan yang signifikan pada kadar heat shock
proteins 70 (HSP70) pasien Stroke sesudah
dilakukan komunikasi terapeutik dengan yang
dilakukan komunikasi sesuai standar ruangan. Hal
ini kemungkinan disebabkan oleh karena ekspresi
dari heat shock proteins 70 (HSP70) lebih
dipengaruhi oleh kondisi-kondisi biologis sel-sel
saraf dan pembuluh darah seperti iskemia.
Kemungkinan
bahwa stres
protein bersifat
neuroprotektif
diduga
karena HSP70,
khususnya, apabila HSP70 diinduksi ke tingkat
tinggi didaerah otak yang relatif tahan terhadap
cedera (Yenari, 2000).
Hasil penelitian menunjukkan peningkatan
yang signifikan kadar Heat Shock Proteins 70
(HSP70) sebelum dan sesudah dilakukan
komunikasi terapeutik. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa pada gangguan neurologik mendadak yang
terjadi pada Stroke diakibatkan oleh pembatasan
atau berhentinya aliran darah melalui sistem suplai
arteri otak. Tanpa pasokan darah yang memadai, sel
otak akan mengalami cedera. Peningkatan kadar
HSP70 dapat menjadi respons immunoinflammatory
penting terhadap penyakit dan gangguan fisiologis.
HSP dilepaskan kedalam aliran darah setelah
rangsangan stres dan merupakan respons stres yang
sangat penting (Yenari, 2000). Sebagian besar
responden penelitian mengalami Stroke infark
dimana terjadi iskemik pada pembuluh darah otak.
Mekanisme jenjang iskemik akan membentuk
radikal bebas yang memicu terjadinya kerusakan sel
otak, tetapi kondisi ini juga akan memicu
pengeluaran HSP70 ke ekstraseluler. Heck, Cinthia,
Paulo (2011) menyebutkan bahwa peningkatan
kadar HSP70 kedalam aliran darah merupakan
respon imunoinflamasi penting terhadap gangguan
dan penyakit fisiologis.
Komunikasi terapeutik pada prinsipnya
meningkatkan
kemampuan
pasien
dalam
mengembangkan strategi koping yang konstruktif
dengan membangun persepsi yang positif terhadap
masalah dan kondisi sakitnya. Komunikasi
terapeutik yang dilakukan dalam penelitian ini
diarahkan pada keyakinan spiritualitas pasien,
bagaimana penerimaan terhadap kondisi sakit,
kesabaran, keyakinan terhadap Tuhan, perilaku
religius serta harapan diri dan keluarga.
Kepercayaan
dan
harapan
individu
akan
mempengaruhi kesejahteraan fisik dan psikologis
seseorang (Smith, 2006, yang dikutip oleh Potter dan
Perry, 2010). Hal ini didukung oleh pernyataan
Weiten (2007) yang dikutip oleh Putra (2011) bahwa
setiap stresor yang diterima oleh individu akan
dipelajari dengan seksama sehingga menghasilkan
persepsi yang benar yang akhirnya akan direspons
dengan benar pula. Peneliti berasumsi bahwa
persepsi terhadap stresor dapat meningkatkan atau
menurunkan intensitas respons stres. Seperti
dijelaskan diatas bahwa mekanisme jenjang iskemik
akan mengaktifkan sejumlah enzim yang
menyebabkan kerusakan protein sel. Persepsi yang
positif akan membantu sel dalam merespons dampak
negatif adanya gangguan peredaran darah otak
melalui peningkatan kadar heat shock protein 70.
Hasil penelitian menyebutkan perubahan
peningkatan kadar HSP70 yang tertinggi yaitu
sebesar 107 pg/ml dialami oleh pasien Stroke
kelompok perlakuan dengan beberapa penyakit
penyerta yaitu Diabetes Melitus, ileus, Hipertensi
dan penyakit ginjal. Yenari (2000) mengemukakan
bahwa HSP70 terekspresi dengan cara diinduksi,
dan ekspresi yang paling kuat dari HSP70 sering
dianggap sebagai penanda diagnostik untuk stres.
Peneliti berpendapat bahwa penyakit-penyakit
penyerta dalam penelitian ini merupakan stres
biologis yang turut berpengaruh dalam peningkatan
kadar HSP70, namun dalam penelitian ini penyakit
penyerta responden menjadi variabel perancu yang
tidak dapat dikendalikan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan
tidak ada perbedaan kadar HSP70 pada kelompok
yang diberikan komunikasi terapeutik dengan
komunikasi standar karena peningkatan kadar
HSP70 lebih terkait dengan stress secara biologis
pada pasien Stroke yang dalam penelitian ini
menjadi variabel perancu yang sulit dikendalikan.
Dalam hal korelasi perubahan motivasi untuk
sembuh dengan perubahan kadar heat shock proteins
70, penelitian menunjukkan hasil yang tidak
signifikan, baik pada kelompok perlakuan maupun
kontrol. Peningkatan kadar HSP70 dapat menjadi
respons immunoinflammatory penting terhadap
penyakit dan gangguan fisiologis. HSP dilepaskan
kedalam aliran darah setelah rangsangan stres dan
merupakan respons stres yang sangat penting
(Yenari, 2000). Motivasi untuk sembuh merupakan
stress perception dari adanya stimulus berupa
komunikasi terapeutik yang ditujukan pada stresor
pasien. Peneliti berpendapat bahwa dalam penelitian
ini peningkatan HSP70 pada pasien Stroke lebih
dipengaruhi oleh stres yang bersifat biologis
daripada stres psikologis.
Simpulan
Komunikasi terapeutik yang menekankan
keyakinan spiritualitas yang positif dari pasien dan
pengetahuan
terkait
pemulihannya
akan
menimbulkan motivasi yang kuat untuk sembuh
yang merupakan inti pemulihan, dimana terdapat
perbedaan yang signifikan motivasi untuk sembuh
pada pasien Stroke yang dilakukan komunikasi
terapeutik dengan yang diberikan komunikasi sesuai
standar ruangan.
14
Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik
(Christina Y)
Dalam penelitian ini komunikasi terapeutik juga
mempengaruhi stress response pada pasien Stroke
yaitu peningkatan kadar HSP70, namun lebih terkait
pada
kondisi
biologis
karena
sebagai
immunoinflammatory penting terhadap penyakit dan
gangguan fisiologis.
Saran
1. Pasien Stroke hendaknya memiliki
persepsi yang positif terhadap kondisi
sakitnya, sabar dan ikhlas, tetap
bersyukur kepada Tuhan dan optimis
akan kesembuhan sehingga dapat
menemukan hikmah dari sakitnya, hal
ini akan membangkitkan motivasi untuk
sembuh.
2.
Model komunikasi terapeutik dengan
menekankan aspek spiritualitas dapat
digunakan perawat di Ruang Saraf
Rumkital Dr. Ramelan Surabaya sebagai
suatu teknik untuk meningkatkan
motivasi untuk sembuh. Peningkatan
motivasi ini akan memberikan dampak
positif bagi pasien seperti hari rawat
yang pendek dan biaya perawatan yang
lebih sedikit serta meningkatnya mutu
pelayanan
keperawatan.
Model
komunikasi terapeutik ini memerlukan
sosialisasi
dan
pelatihan
dalam
penerapannya.
3.
Hasil penelitian dapat menjadi data
awal dalam melakukan penelitian
lanjutan mengenai intervensi komunikasi
terapeutik terkait aspek spiritualitas
dengan replikasi yang lebih banyak, dan
lebih mengendalikan faktor-faktor yang
mempengaruhi motivasi untuk sembuh
seperti lamanya intervensi dan observasi.
Selain itu lebih mengendalikan variabel
perancu seperti penyakit penyerta dan
area infark pada pasien Stroke.
Daftar Pustaka
Brown, I.R. (tanpa tahun). Heat shock proteins and
protection of the nervous system. Canada,
diakses 20 Januari 2012.<http://www.diamondcongress.hu/stress07/binx/brown.pdf>.
Hamalik, O. (2002). Psikologi Belajar dan
Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algensindo,
hal.173-174
Hartigan, O’Connell, McCarthy dan O’Mahony
(2011). First Time Stroke Survivors’ perceptions
of their health status and their goals for recovery.
International Journal of Nursing and Midwifery.
Vol.. 3(1), Pp. 22-29, February 2011. Diakses 16
Pebruari 2012.www.academicjournals.org/ijnm
Heck, T.G., Cinthia M.S., Paulo I.H. (2011). HSP70
expression : does it a novel fatigue signalling
factor from immune system to the brain?. Cell
Biochemistry and Function. Wiley Online
Library,
diakses
16
Pebruari
2012.
http://chasqueweb.ufrgs.br
Ironson, G., et al. (2002). The Ironson-Woods
Spirituality/Religiuousness Index Is Associated
With Long Survival, Helath Behaviors, Less
Distress, and Low Cortisol in People With
HIV/AIDS. Annals of Behavioral Medicine. Vol
24 No 1. Diakses 17 Maret 2012.
<http://www.springerlink.
com/
content/c80vu41156627v00/>.
Levine, P.G. (2011). Stronger After Stroke. Jakarta :
Etera
Mulyatsih, E. (2003). Petunjuk Praktis Bagi
Pengasuh dan Keluarga Pasien Pasca Stroke.
Jakarta : FKUI
Nasir, A., Abdul M., Muhammad S., Wahit I.M.
(2011). Komunikasi Keperawatan : Teori dan
Aplikasi. Jakarta : Salemba Medika
Potter, P.A dan Anne G. Perry. (2010).
Fundamentals of Nursing. Jakarta : Salemba
Medika
Putra, S.T. (2011). Psikoneuroimunologi Kedokteran
Ed. 2. Surabaya : Airlangga University Press.
Rosmawaty H.P. (2010). Mengenal Ilmu
Komunikasi.
Bandung
:
Widya
Padjajaran
Saidah, Q. I. (2005). ‘Pengaruh Pendidikan
Kesehatan tentang ROM Aktif terhadap
Motivasi Melakukan Latihan ROM Aktif
Pasien
Stroke
Iskemik
dengan
Hemiplegi’,
Skripsi,
Universitas
Airlangga Surabaya.
Sobur, A. (2003). Psikologi Umum.
Bandung : Pustaka Setia
Suhardiningsih, A.V. S. (2012). ‘Peningkatan
Kemampuan Perawatan Diri pada pasien Stroke
Iskemik
Pasca
Mendapatkan
Asuhan
Keperawatan Self-care Regulation Model’,
15
Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik
(Christina Y)
Ringkasan disertasi program doktor, Universitas
Airlangga.
Wardhana, W.A (2011). Strategi Mengatasi dan
Bangkit dari Stroke. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Yenari, M. A. (2000). Heat Shock Proteins and
Neuroprotection. Austin : Landes Bioscence,
diakses
21
Januari
2012.<http://www.landesbioscience.com
/curie/chapter/212/>
Zheng, Z., et al. (2008). Anti-inflammatory effect of
the 70kDa Heat Shock Protein in experimental
Stroke. Journal of Cerebral Blood Flow &
Metabilism Vol. 28 (53-63). Diakses 15 Pebruari
2012. www.jcbfm.com
1
Dosen ilmu keperawatan STIKES Hang Tuah
Surabaya
16
PENGARUH INISIASI MENYUSU DINI TERHADAP BONDING
ATTACHMENT, PRODUKSI ASI DAN HIPOTHERMI
Puji Hastuti 1
Abstract: The provision rate of exclusive breastfeeding tends to decrease from
one year to another. In Indonesia, studies on exclusive breastfeeding reveals
lower rate of provision due to less optimum facilitation of early breastfeeding
initiation. The objective of this study was to study the effect of early
breastfeeding initiation on bonding attachment between the mother and the
baby, breastmilk production, and hypothermia. This study used preexperimental design. Samples were collected using non-random sampling
method with consecutive sampling, in which the samples were recruited based
on the availability. Samples taken were all parturient women found and they
met the selection criteria until the required number during the research period,
had been met as many as 30 mothers and children. Data collection was
undertaken using questionnaire and observation level. Data were analyzed with
Friedman, t-test and Wilcoxon sum rank test with significance level of 0.05. The
result of Friedman test showed p = 0.000 (p < 0.05), indicating difference
between early body weight, discharge body weight, and control. The result of
Friedman test showed p = 0.000 (p < 0.05), indicating difference between early
bonding attachment, discharge bonding attachment, and control. The result of
Friedman test showed p = 0.016 (p < 0.05), indicated differences among the
temperature of neonates the early, middle, and the end of early breastfeeding
initiation.
In conclusion, early breastfeeding is able to increase bonding
attachment between mother and baby, increase breastmilk production, and
stabilizes nenonates temperature, preventing from the incidence of
hypothermia.
Keywords : Early breastfeeding initiation, Bonding attachment, Breast Milk
Production, Newborn Hipothermia
Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini Terhadap Bonding Attachment, Produksi ASI dan Hipothermi
(Puji Hastuti)
Latar belakang
Manfaat pemberian air susu ibu (ASI)
eksklusif dalam hal menurunkan mortalitas bayi,
menurunkan morbiditas bayi, mengoptimalkan
pertumbuhan bayi, membantu perkembangan
kecerdasan anak, dan membantu memperpanjang
jarak kehamilan bagi ibu sudah banyak dibuktikan
melalui berbagai penelitian. Hasil penelitian Pearson
(2011) menyebutkan interaksi ibu-bayi terjadi
setelah kelahiran. Angka pemberian ASI eksklusif
dari tahun ke tahun cenderung terus menurun. Hasil
kajian tentang kebijakan ASI eksklusif menunjukkan
masih rendahnya pemberian ASI eksklusif di
Indonesia dikarenakan masih kurang optimalnya
fasilitasi inisiasi menyusu dini. IMD belum masuk
secara eksplisit dalam kebijakan (Fikawati dan
Syafiq, 2010). Studi kualitatif Fikawati & Syafiq
melaporkan faktor predisposisi kegagalan ASI
eksklusif salah satunya karena ibu tidak difasilitasi
melakukan IMD. Masalah yang terjadi pada ibu dan
bayi pasca melahirkan, lebih banyak terjadi karena
fasilitasi dari instansi pelayanan kesehatan dan
petugas yang belum optimal. Kostyra et. al (2002)
menyebutkan bahwa skin to skin meningkatkan lama
pemberian ASI. Manfaat inisiasi menyusu dini bisa
dilihat dari penelitian yang dilakukan Bystrova et. al
(2007) menyebutkan bahwa skin to skin mengurangi
kejadian
hipothermi.
Hipotermi
neonatal
dikarenakan kurangnya perhatian oleh penyedia
layanan kesehatan terus menjadi penyebab yang
sangat penting dari kematian neonatal (NTF, 2004).
Penelitian yang dilakukan di Ghana dan diterbitkan
dalam jurnal ilmiah Pediatrics menyebutkan 22%
kematian bayi yang baru lahir - yaitu kematian bayi
yang terjadi dalam satu bulan pertama - dapat
dicegah bila bayi disusui oleh ibunya dalam satu jam
pertama kelahiran.
Kematian balita pada usia bayi baru lahir
(dibawah satu bulan) sebanyak 40%. Hal ini sesuai
dengan The World Health Report 2005, angka
kematian bayi baru lahir di Indonesia adalah 20 per
1.000 kelahiran hidup. Sekitar 20 per 1.000 x 5 juta
= 246 bayi meninggal dan kematian balita 46 per
1.000 kelahiran hidup atau 430 balita meninggal
setiap tahun. Penelitian WHO (2000) di enam negara
berkembang menyebutkan risiko kematian bayi
antara usia 9-12 bulan meningkat 40% jika bayi
tersebut tidak disusui. Bayi berusia dibawah 2 bulan,
angka kematian tersebut meningkat menjadi 48%
(Arifah, 2009).
Pemberian ASI eksklusif membantu
mengurangi angka kejadian kurang gizi dan
pertumbuhan yang terhenti yang umumnya terjadi
pada usia ini.
Bayi yang diberi kesempatan
menyusu dini akan delapan kali lebih berhasil dalam
menyusu eksklusif. Keberhasilan menyusu eksklusif
menjadikan bayi kontinyu menyusu sehingga
mempengaruhi efek let down reflex, semakin sering
bayi disusukan, pengosongan payudara sempurna,
produksi ASI semakin banyak sesuai dengan yang
dikeluarkan. Inisiasi menyusu dini yang dilakukan
dengan benar meningkatkan interaksi antara ibu dan
bayi. Sentuhan kulit ibu, cara ibu melihat bayinya
merangsang hormon oksitosin yang membuat ibu
rileks sehingga tumbuh ikatan kasih saying antara
ibu dengan bayi. Posisi bayi di dada ibu saat inisiasi
menyusu dini mencegah bayi hipotermi. Suhu tubuh
ibu 1 derajat lebih tinggi pada saat melahirkan. Suhu
tubuh ibu menyesuaikan suhu tubuh bayi. Suhu
tubuh ibu akan turun 1 derajat ketika suhu tubuh
bayi lebih tinggi sehingga terjadi perpindahan suhu
tubuh bayi ke ibu. Suhu tubuh ibu naik dua derajat
ketika suhu tubuh bayi rendah untuk menghangatkan
bayi (Roesli, 2008).
Bahan dan Metode Penelitian
Rancangan
dalam
penelitian
ini
menggunakan
Pre
Experimental
Design.
Pengambilan sampel dalam penelitian menggunakan
non random sampling dengan consecutive sampling
sebanyak 30 ibu dan bayi. Data diperoleh dengan
instrument kuisioner pengeluaran ASI, lembar
observasi suhu tubuh, lembar observasi bonding ibu
dan bayi. Analisis analitik dalam penelitian ini akan
menggunakan Uji independen T Test untuk
menganalisis suhu tubuh bayi. Analisis analitik Chikuadrat digunakan untuk menganalisis bonding ibu–
bayi dan produksi ASI. Kadar oksitosin pada
masing-masing kelompok dilakukan uji normalitas
data terlebih dahulu, apabila hasilnya distribusi
normal maka analisis yang digunakan uji
Independent T Test, tetapi apabila hasilnya tidak
normal menggunakan uji Wilcoxon sum rank test
Kriteria inklusi dalam penelitian ini diberlakukan
untuk bayi dan ibu. Kriteria inklusi untuk bayi
adalah: Bayi lahir usia gestasi > 37 minggu sampai
dengan 40 minggu, Berat badan > 2500 gram sampai
dengan < 4000 gram, Apgar score > 7, tidak
asphiksia. Kriteria inklusi untuk Ibu adalah: Ibu
bersedia menjadi responden penelitian, Ibu bersalin
dengan persalinan pervaginam dan atau Ibu dengan
sectio cesar yang menggunakan anesthesia SAB.
Kriteria eksklusi untuk bayi adalah: Bayi lahir yang
mengalami kelainan kongenital, Bayi dengan
penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung
bawaan, Bayi dengan asfiksia. Kriteria eksklusi
untuk ibu adalah: Ibu yang mengalami depresi, Ibu
bersalin dengan ketuban pecah prematur lebih dari
24 jam, Ibu bersalin sectio cesar dengan anestesi
umum, Ibu tidak melakukan kontrol post partum di
RSIA Kendangsari Surabaya.
Hasil Penelitian
Tabel 1.
Katego
Perbedaan antara bonding attachment
saat pelaksanaan IMD, saat pulang
perawatan dan saat kontrol post partum
Aw
%
Pulan
%
Kontr
%
18
Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini Terhadap Bonding Attachment, Produksi ASI dan Hipothermi
(Puji Hastuti)
ri
Baik
al
23
Sedang
7
Kurang
Jumlah
0
30
76,
7
23.
3
0
100
g
30
0
0
30
10
0
0
0
10
0
Friedman test
ol
26
4
0
30
86,
7
13,
3
0
100
p = 0.000
Hasil analisis diatas menunjukkan bahwa
dari 30 ibu sebagian besar mempunyai bonding
attachment baik yaitu pada awal sebanyak 23 ibu,
pulang sebanyak 30 responden dan kontrol sebanyak
26 ibu. Hasil uji friedman test didapatkan nilai p =
0,000 (p < 0.05) yang berarti bahwa terdapat
perbedaan antara bonding attachment awal, pulang
dan kontrol. Perbedaan hasil pengukuran bonding
attachment disebabkan karena banyak faktor.
Bonding attachment awal pelaksanaan IMD tidak
semua baik, beberapa ibu tidak menunjukkan
interaksi yang positif dengan bayinya bisa
disebabkan karena pada persalinan melalui sectio
caesar setelah proses kelahiran selesai ibu
ditidurkan untuk kepentingan proses penjahitan.
Pengukuran diruang nifas didapkan semuanya baik,
ibu mulai belajar berperan dalam merawat bayi.
Tabel 2. Hasil uji annova pengaruh IMD terhadap
produksi ASI dilihat dari berat badan
bayi saat lahir, pulang dan kontrol
No
Responden
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
BB Lahir
3100
3480
3100
3860
3900
3500
3610
3200
3000
3000
3460
3400
3300
3550
4000
2890
3350
3630
3310
2950
4000
3450
3100
3200
BB
Pulang
3000
3400
2900
3470
3600
3350
3500
3100
2680
2900
3460
3300
3300
3320
3800
2800
3150
3450
3300
2700
3640
3300
2850
3050
BB
Kontrol
3180
3380
3200
3750
3800
3600
3730
3350
3500
3000
3750
3460
3650
3600
4280
2850
3300
3650
3600
2880
3450
3500
3200
3350
25
26
27
28
29
30
3150
2850
3480
3280
4000
3800
3050
2900
3230
3050
3100
2950
Anova test p = 0,025
3300
3650
4100
3100
3350
2850
Hasil uji Annova didapatkan nilai p = 0.000
(p < 0.05) yang berarti bahwa terdapat perbedaan
antara berat badan awal, pulang dan kontrol. Berat
badan bayi menurun pada pengukuran kedua yaitu
saat bayi pulang perawatan. Kemudian meningkat
pada saat kembali datang kontrol. Indikator
kecukupan ASI pada bayi salah satunya peningkatan
berat badan. Hasil analisis data perubahan berat
badan bayi menunjukkan bayi mendapat kecukupan
ASI, yang berarti produksi ASI baik.
Tabel 3. Perbedaan antara suhu awal, tengah dan
akhir pelaksanaan inisiasi menyusu dini
di Rumah Sakit Ibu dan Anak
Kendangsari Surabaya periode 1 Mei
s/d 30 Juni 2012
Variabel
Mean
SD
MinimalMaksimal
Suhu awal
36,373
0,3965
35,7 – 37,7
Suhu
Tengah
36,433
0,3407
35,7 – 37,4
Suhu akhir
36,637
0,3275
36,1 – 37,6
Friedman
p = 0,016
Hasil uji Friedman test didapatkan nilai p =
0,016 (p < 0,05) yang berarti bahwa terdapat
perbedaan antara suhu tubuh bayi baru lahir pada
saat awal, pertengahan dan akhir pelaksanaan
inisiasi menyusui dini (IMD). Peningkatan suhu
tubuh bayi dari awal, tengah dan akhir pelaksanaan
IMD membuktikan pengaruh positif inisiasi
menyusu dini terhadap kestabilan suhu tubuh bayi.
Suhu tubuh mengalami peningkatan walaupun tidak
tinggi, hal ini bisa disebabkan karena suhu ruangan
yang tidak distandarkan pada saat pelaksanaan
inisiasi menyusu dini. Suhu ruangan ideal untuk
inisiasi menyusu dini adalah 25ºC-32ºC.
Pembahasan
Pengaruh IMD terhadap bonding attachment ibu
dan bayi
Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh
inisiasi menyusui dini (IMD) terhadap Bonding
Attachment yang ditunjukkan dari analisis Friedman
19
Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini Terhadap Bonding Attachment, Produksi ASI dan Hipothermi
(Puji Hastuti)
dengan nilai p = 0.016 (p < 0.05), yang berarti
bahwa dari ketiga pengukuran Bonding Attachment
ibu dan bayi terdapat perbedaan yang signifikan.
Keuntungan kontak kulit dengan kulit
untuk bayi menurut Jaringan Nasional Pelatihan
Klinik Kesehatan Reproduksi (JNPK-KR), 2008
diantaranya mengoptimalkan keadaan hormonal ibu
dan bayi. Menurut Correia dan Linhares (2007),
perpisahan dengan bayi merupakan faktor yang
paling berpengaruh terhadap bonding attachment.
inisiasi menyusui dini (IMD) merupakan tindakan
yang melibatkan orang tua dan anaknya. Kontak
kulit yang dekat akan mempengaruhi ikatan orang
tua dalam hal ini adalah ibu dengan bayinya.
Kemampuan interaksi bayi yang belum adekuat
berpengaruh terhadap psikologis orang tua. Hal ini
sesuai dengan pendapat Brazelton (1994) Posisi bayi
yang dekat membuat ibu melihat sendiri bagaimana
kondisi bayi, sehingga muncul suatu ikatan batin
ibu-bayi. Keadaan ini juga dapat dilihat dari adanya
peningkatan oksitosin pada ibu.
Berdasarkan hasil penelitian dengan
menggunakan uji analisis wilcoxon sign rank test
antara Bonding Attachment pengukuran awal dan
tengah didapatkan nilai p = 0.000 (p< 0.05), yang
berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara bonding saat pelaksanaan IMD dengan saat
ibu dan bayi mau pulang perawatan, selain itu pada
Bonding Attachment tengah dan saat kontrol post
partum didapatkan nilai p = 0.000 (p< 0.05), yang
berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara bonding saat ibu pulang perawatan dan saat
kontrol post partum. Hasil penelitian menunjukkan
ikatan yang terjadi pada ibu dan bayi dari hari
pertama bayi lahir sampai pada bayi usia tujuh hari
kontrol post partum, sebagian besar mengalami
peningkatan. Pengukuran bonding pada saat
pelaksanaan IMD dari observasi beberapa ibu
terlihat kurang bisa mengungkapkan kasih sayang
kepada bayinya. Hal ini dikarenakan pada ibu
dengan persalinan normal kondisi fisiknya yang
lelah selama menjalani kala satu persalinan sehingga
pada saat bayi lahir energi terkuras. Ibu yang
menjalani persalinan dengan sectio caesarea lebih
terlihat kurang dalam penilaian bonding dengan
bayinya jika dibandingkan dengan ibu bersalin
normal, hal ini karena pada pertengahan pelaksanaan
IMD proses operasi sudah hampir selesai,
dilanjutkan penjahitan jaringan dimana ibu
dikondisikan tidur sehingga beberapa ibu tidak
mengikuti sampai pelaksanaan IMD selesai.
Pengukuran bonding pada saat ibu dan bayi
sudah kembali diruang nifas didapatkan hampir
seluruhnya baik, dikarenakan kondisi ibu sudah
pulih, ibu mulai fokus pada perawatan bayinya. Hal
ini sesuai dengan tahapan adaptasi psikologis post
partum menurut Rubin dimana pada hari kedua dan
ketiga post partum, ibu sudah memulai mempelajari
bagaimana cara merawat bayinya. Fasilitas rooming
in atau rawat gabung yang dilaksanakan di RSIA
Kendangsari Surabaya juga menjadi faktor penentu
bonding ibu dan bayi yang mengalami peningkatan
pada saat diruang nifas. Ibu lebih leluasa
memberikan perawatan kepada bayinya. Sebagian
besar ibu bonding dengan bayinya meningkat. Ibu
sudah mampu menjalankan perannya sebagai ibu
baru.
Mereka
terlihat
bahagia
walaupun
menyampaikan bahwa sedikit merepotkan harus
beradaptasi dengan kegiatan yang menguras energi.
Beberapa ibu mengalami penurunan bonding dengan
bayinya saat diukur pada kontrol post partum,
terlihat dari hasil observasi bayi digendong oleh
pengasuh atau neneknya, ibu sedikit menunjukkan
ekspresi ketertarikan untuk berinteraksi dengan
bayinya.
Pengaruh IMD terhadap produksi ASI
Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh
inisiasi menyusui dini (IMD) terhadap produksi ASI
yang ditandai dengan adanya perubahan berat badan
bayi pada saat lahir, saat pulang dan saat kontrol,
yang ditunjukkan dari analisis Annova dengan nilai p
= 0.000 (p<0.05), yang berarti bahwa dari ketiga
pengukuran berat badan bayi tersebut terdapat
perbedaan yang signifikan.
Menurut Venancio dan Almeida (2004)
kontak kulit antara ibu dengan bayinya merupakan
stimulus yang akan dibawa ke otak. Selanjutnya
stimulus ini akan memicu pelepasan oksitosin yang
akan berdampak positif terhadap produksi ASI.
Keuntungan kontak kulit dengan kulit untuk ibu,
merangsang produksi oksitosin dan prolaktin pada
ibu. Oksitosin membantu kontraksi uterus sehingga
perdarahan pasca persalinan lebih rendah,
merangsang pengeluaran kolostrum. Prolaktin
meningkatkan produksi ASI, membantu ibu
mengatasi stress, mendorong ibu untuk tidur dan
relaksasi setelah bayi selesai menyusu, dan menunda
ovulasi.
Hasil penelitian dengan menggunakan uji
analisis paired T test antara berat badan lahir dan
pulang didapatkan nilai p = 0.000 (p< 0.05), yang
berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara berat badan lahir dan pulang, selain itu pada
berat badan pulang dan kontrol didapatkan nilai p =
0.000 (p< 0.05), yang berarti bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara berat badan pulang
dan kontrol. Kurva berat badan bayi merupakan cara
termudah untuk menentukan cukup tidaknya
produksi ASI (Packard, 1982). Penurunan berat
badan bayi ditemukan pada pengukuran kedua yaitu
saat pulang perawatan dibanding berat badan bayi
waktu lahir, dan mengalami kenaikan pada saat
diukur kembali setelah datang kontrol. Hal ini
menunjukkan produksi ASI yang kurang mencukupi
pada masa setelah lahir sampai dengan ibu dan bayi
pulang perawatan. Produksi ASI pada masa ini
memang belum adequat karena secara fisiologis
kelenjar mammae pada tahap menghasilkan
kolostrum, disusul pada tiga hari setelah melahirkan
20
Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini Terhadap Bonding Attachment, Produksi ASI dan Hipothermi
(Puji Hastuti)
hormon penghasil ASI (prolaktin) mulai diproduksi
seiring dengan frekuensi bayi menyusu. Bayi
menyusu minimal delapan kali sehari akan
meningkatkan produksi ASI. Hal ini sesuai dengan
penelitian Hopkinson et. al, 1988 dalam
ACC/SCN, 1991 dan De Carvalho, et. al, 1982
dalam ACC/SCN,
1991
merekomendasikan
penyusuan paling sedikit delapan kali perhari pada
periode awal setelah melahirkan. Frekuensi
penyusuan ini berkaitan dengan kemampuan
stimulasi hormon dalam kelenjar payudara.
Kondisi normal kira-kira 100ml ASI
diproduksi pada hari kedua setelah melahirkan, dan
jumlahnya akan meningkat sampai kira-kira 500ml
dalam minggu kedua. Produksi ASI yang efektif dan
terus-menerus akan dicapai pada kira-kira 10-14 hari
setelah melahirkan. Selama beberapa bulan
berikutnya bayi yang sehat akan mengkonsumsi
sekitar 700-800ml ASI setiap 24 jam. Volume ASI
yang dapat dikonsumsi bayi dalam satu kali
menyusu selama sehari penuh sangat bervariasi.
Prentice (1984) mengamati hubungan berat lahir
bayi dengan volume ASI. Hal ini berkaitan dengan
kekuatan untuk mengisap, frekuensi, dan lama
penyusuan dibanding bayi yang lebih besar. De
Carvalho (1982) menemukan hubungan positif berat
lahir bayi dengan frekuensi dan lama menyusui
selama 14 hari pertama setelah lahir. Bayi berat lahir
rendah (BBLR) mempunyai kemampuan mengisap
ASI yang lebih rendah dibanding bayi yang berat
lahir normal (>2500 gr). Kemampuan mengisap
ASI yang lebih rendah ini meliputi frekuensi dan
lama penyusuan yang lebih rendah dibanding bayi
berat lahir normal yang akan mempengaruhi
stimulasi hormon prolaktin dan oksitosin dalam
memproduksi ASI. Ibu sebaiknya menyusui segera
setelah bayi lahir (dalam waktu 30 menit setelah
bayi lahir) karena daya hisap pada saat itu paling
kuat untuk merangsang pengeluaran ASI selanjutnya
(Roesli, 2008).
Faktor yang mempengaruhi produksi ASI
tergantung pada diet ibu, aktivitas dan istirahat, dan
tingkat kepuasannya. Diet adekuat yang dianjurkan
tinggi protein, calcium, besi dan vitamin, asupan
cairan yang cukup (2500-3000 ml/hari). Ibu
menyusui membutuhkan kualitas tidur malam yang
bagus, waktu istirahat pada tengah hari dan aktivitas
normal. Kecemasan, tegangan emosi, dan aktivitas
yang berlebihan mempunyai efek merugikan bagi
laktasi (Reeder & Martin, 1997). Emosi seperti
tekanan (stress) atau kegelisahan merupakan faktor
penting yang mempengaruhi jumlah produksi ASI
selama minggu-minggu pertama menyusui, hal
tersebut terlihat pada hasil penelitian, pada saat
dilakukan pengukuran tingkat stress pada ibu setelah
melahirkan di RSIA Kendangsari dari 30 responden
menunjukkan bahwa sebagian besar yaitu sebanyak
27 orang (90%) tidak terjadi stress, hal ini
menunjukkan bahwa tidak terjadi tekanan emosi dan
kegelisahan pada ibu, dari 27 orang tersebut
didapatkan produksi ASI dengan kriteria baik
sebanyak 25 orang dan kriteria cukup sebanyak 2
orang.
Diet atau nutrisi ibu juga menjadi faktor
yang sangat penting dalam mempengaruhi produksi
ASI, karena dengan asupan nutrisi yang adekuat,
maka produksi ASI juga akan meningkat, hal ini
ditunjukkan dari hasil penelitian bahwa dari 30
responden sebagian besar yaitu sebanyak 27 orang
(90%) mempunyai status nutrisi yang baik dan dan
3 orang (10%) mempunyai status nutrisi cukup,
selain itu semua responden menambahkan suplemen
pelancar ASI dalam menu sehari-harinya. Dengan
kriteria produksi ASI baik sebanyak 25 orang
(83.3%) orang dan cukup sebanyak 2 orang (6.7%)
dan 3 orang (10%) dengan kriteria kurang. Pada
responden dengan kriteria produksi ASI kurang,
apabila dilihat dari status nutrisi dan tingkat stress
terdapat 2 responden yang mempunyai status nutrisi
baik dan tidak stress, hal ini kemungkinan
disebabkan karena paritas dimana ibu adalah
primipara.
Pengalaman pertama mempunyai anak akan
mempengaruhi kemampuan menyusui bayi dengan
benar, pada fase akhir menyusui bayi, mendapatkan
komposisi susu yang mengandung lemak yang
berguna meningkatkan berat badan, apabila ibu tidak
memahami, maka ibu akan mengakhiri proses
menyusui sebelum ASI terakhir diminum oleh bayi.
Ibu yang melahirkan lebih dari satu kali, produksi
ASI pada hari keempat setelah melahirkan lebih
tinggi dibanding ibu yang melahirkan pertama kali
(Zuppa et. al, 1989 dalam ACC/SCN, 1991)
Inisiasi
menyusui
dini
(IMD)
mempengaruhi produksi ASI yang dapat dilihat dari
perubahan berat badan bayi disamping beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi produksi ASI pada
ibu antara lain status nutrisi dan stress. Ibu yang
cemas dan stres dapat mengganggu laktasi sehingga
mempengaruhi produksi ASI karena menghambat
pengeluaran ASI. Pengeluaran ASI akan
berlangsung baik pada ibu yang merasa rileks dan
nyaman. Soetjiningsih (1997) mengungkapkan
faktor psikologis (takut kehilangan daya tarik
sebagai
seorang
wanita,
tekanan
batin)
mempengaruhi pelaksanaan laktasi.
Pengaruh IMD terhadap hipothermi
Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh
inisiasi menyusui dini (IMD) terhadap hipotermi
ditunjukkan dari analisis friedman dengan nilai p =
0.016 (p< 0.05), yang berarti bahwa dari ketiga
pengukuran suhu tubuh bayi terdapat perbedaan
yang
signifikan.
Hasil
penelitian
dengan
menggunakan uji analisis paired T test untuk
mengetahui perbedaan antara ketiga pengukuran
didapatkan antara suhu bayi awal dan pertengahan
didapatkan nilai p = 0.000 (p< 0.05), yang berarti
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara
suhu bayi awal dan pertengahan, selain itu pada suhu
21
Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini Terhadap Bonding Attachment, Produksi ASI dan Hipothermi
(Puji Hastuti)
bayi pertengahan dan akhir pelaksanaan IMD
didapatkan nilai p = 0.000 (p< 0.05), yang berarti
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara
suhu bayi pertengahan dan akhir. Hasil pengukuran
suhu tubuh yang dilakukan tiga kali pada bayi
menunjukkan penurunan pada pengukuran kedua.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adaptasi bayi
terhadap suhu lingkungan dikarenakan fasilitas
kamar bersalin yang menggunakan pendingin
ruangan. Inisiasi menyusu dini diberikan dengan
kondisi pendingin ruangan dimatikan, tetapi suhu
ruangan masih dingin. Suhu tubuh bayi meningkat
pada pengukuran selanjutnya, dikarenakan kontak
kulit bayi dengan kulit dada ibu menghangatkan bayi
dengan tepat selama bayi merangkak mencari
payudara. Suhu lingkungan yang dianjurkan adalah
suhu 25 - 32 derajat celcius. Hasil penelitian
mendukung pendapat Roesli (2005) dan JNPKR
(2008) yang menyebutkan bahwa inisiasi menyusu
dini memberi keuntungan dalam mengendalikan
temperatur bayi.
Bayi baru lahir kehilangan panas melalui
penguapan terutama segera setelah lahir (karena
penguapan cairan ketuban dari permukaan kulit),
konduksi (kontak dengan benda-kain dingin, baki
dan lain-lain), konveksi (oleh arus udara di mana
udara dingin menggantikan udara hangat sekitar
bayi, jendela terbuka, kipas) dan radiasi (untuk
benda padat lebih dingin di sekitarnya, dinding).
Kehilangan panas tubuh dapat terjadi baik pada
waktu masih berada di kamar bersalin maupun di
kamar bayi. Perpindahan panas dari permukaan
tubuh ke lingkungan dapat terjadi dengan 4 cara
yakni radiasi, konduksi, konveksi dan evaporasi
(Klaus et. al, dalam Klaus & Fanaroff, 1998).
Evaporasi merupakan kehilangan panas
bayi karena menguapnya cairan dari kulit yang
basah oleh air ketuban/air karena bayi tidak segera
dikeringkan. Pada bayi yang sangat kecil (<1500
gram) kehilangan panas melalui evaporasi
meningkat pada hari pertama kehidupan disebabkan
kulit yang sangat tipis dan sangat permiabel. (Klaus
et. al, dalam Klaus & Fanaroff, 1998). Faktor yang
mempengaruhi suhu tubuh bayi diantaranya
lingkungan, aktivitas dan berat badan bayi.
Penelitian dilakukan pada bayi dengan berat badan
normal rentang antara 2500 gram sampai dengan
4300 gram. Bayi dengan berat badan tersebut sudah
memiliki bantalan lemak sub kutan cukup untuk
meminimalkan kehilangan panas melalui evaporasi.
Upaya untuk mengurangi penguapan panas melalui
evaporasi dengan menambahkan selimut yang
berlapiskan plastik pada selimut yang digunakan
untuk pelaksanaan inisiasi menyusu dini.
Simpulan
Kadar oksitosin Ibu tidak mempengaruhi
pengeluaran ASI pada ibu postpartum. Stres tidak
mempengaruhi pengeluaran ASI pada ibu
postpartum. Nutrisi ibu selama 24jam sebelum
pengukuran tidak mempengaruhi pengeluaran ASI
pada ibu postpartum.
Inisiasi menyusu dini meningkatkan
bonding attachment ibu dan bayi ditunjukkan
peningkatan hasil pengukuran bonding attachment
dari waktu ke waktu.
Inisiasi menyusu dini meningkatkan
produksi ASI ditunjukkan dengan perbedaan
signifikan berat badan bayi lahir dibanding berat
badan bayi waktu kembali kontrol postpartum.
Inisiasi menyusu dini menstabilkan suhu
tubuh bayi sehingga tidak terjadi hipotermi bayi baru
lahir yang ditunjukkan dengan suhu tubuh bayi
normal pada akhir pelaksanaan IMD.
Saran
1.
2.
3.
Bagi Pasien dan Keluarga
Mengikuti kelas kehamilan dapat
menjadi alternativ penambah wawasan
ibu terutama masalah inisiasi menyusu
dini sehingga pada saat persalinan
pasien bisa meminta fasilitas inisiasi
menyusu
dini
kepada
petugas
kesehatan.
Bagi pelayanan keperawatan (Rumah
Sakit)
a. Mempertimbangkan hasil penelitian
sebagai dasar pelaksanaan inisiasi
menyusu dini (IMD)
b. Mengembangkan SOP pelaksanaan
inisiasi menyusu dini (IMD) yang
disesuaikan dengan jenis persalinan
dan melibatkan pasangan untuk
meningkatkan ikatan antara ibu,
bayi dan keluarga
Bagi penelitian dan pengembangan
ilmu
a. Penelitian selanjutnya diharapkan
menggunakan desain yang berbeda
dengan membandingkan kelompok
perlakuan dengan kelompok kontrol
sehingga
lebih
menghasilkan
kesimpulan yang lebih bervariasi
b. Penelitian selanjutnya diharapkan
untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi bonding attachment
dan hipotermi, sehingga dapat melihat
dengan lebih tepat sejauh mana
pengaruh Inisiasi Menyusu Dini
(IMD) terhadap bonding attachment
dan hipotermi.
22
Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini Terhadap Bonding Attachment, Produksi ASI dan Hipothermi
(Puji Hastuti)
DAFTAR PUSTAKA
Amin R. M., Said Z. M., Rosnah S., Azhar S.S., Azlan
D., Khadijah S., (2011) Work related
determinants of breastfeeding discontinuation
among employed mothers in Malaysia.
International Breastfeeding Journal
Arifah I.N., (2009), Perbedaan waktu keberhasilan
inisiasi menyusu dini antara persalinan
normal dengan caesar di Ruang An-nisa
RSI Sultan Agung Semarang; thesis;
Universitas Diponegoro, Semarang
Anonim ( 2008), Inisiasi menyusu dini,
(www.cpddokter.com/home
diperoleh
tanggal 31 Januari 2012)
Baston H., & Hall J., 2012. Persalinan. Jakarta:
EGC
Bhaakoo O.N., Pershad D., Mahajan R., Gambhir
S.K., (1994) Development of mother infant
attachment scale, Department of Pediatric,
PGIMER, Chandigarh, Indian Pediatrics,
vol. 31
Bobak, L., & Jensen. (2005), Buku ajar keperawatan
maternitas, Jakarta: EGC. hal 493
Brazelton T.B. & Nugent J.K. (1995), Neonatal
behavior assessment scale, 3rd Edition.
London : The lavenham Press Ltd, Mac Keith
Press
Bystrova K, Matthiesen AS, Vorontsov I, Widstrom
AM, Ransjo-Arvidson AB, Uvnas-Moberg
K. (2007), Maternal axillar and breast
temperature after giving birth: effects of
delivery ward practices and relation to
infant temperature; Acta Paediatrica, 2003;
92
(3)
:
320-6.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1802
1144 diperoleh tanggal 27 Pebruari 2012
Bystrova K, Matthiesen AS, Vorontsov I, Widstrom
AM, Ransjo-Arvidson AB, Uvnas-Moberg
K. (2007), Skin-to-skin contact may reduce
negative consequences of "the stress of
being born": a study on temperature in
newborn infants, subjected to different
ward routines in St. Petersburg; Acta
Paediatrica
2003;92(3):272-3.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1802
1144 diperoleh tanggal 27 Pebruari 2012
Cadwel, K., & Turner-Maffei, C., (2008) alih bahasa
Tiar, E., (2011) Manajemen laktasi: buku
saku, Jakarta, EGC
Craig, J,V & Smyth,R, L (ed) 2007, 2th The
evidence based practice manual for nurses,
Beasley ,C & Mullally,S
Dahlan M.S., (2011), Statistik untuk kedokteran dan
kesehatan, Jakarta: Salemba Medika, edisi
5 hal, 69, 75
Darma K. K., (2011), Metodologi penelitian
keperawatan. Jakarta: CV. Trans Info
Media. hal,116
De Carvalho. M., Robertson, S., Friedman, A.,
Klaus, M., (1983) Effect of frequent breastfeeding on early milk production and infant
weight gain, Pediatrics, diperoleh dari
http://pediatrics.aappublications.org/content
/72/3/307 tanggal 7 pebruari 2012
Ferber dan Makhoul (2004), The effect of skin-toskin contact (kangaroo care) shortly after
birth on the neurobehavioral responses of
the term newborn: a randomized controlled
trial. Pediatric Official Journal of The
American
Academy
of
Pediatrics
(http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/
113/4/858 diperoleh tanggal 25 Januari
2012)
Figueiredo B., Costa R., Pachecho A., and Pais A.,
(2007) Mother-to-infant and father-toinfant initial emotional involvement, Early
Child Development and Care, vo. 77 No. 5,
pp 521-532
Fikawati S., & Syafiq A., (2010) Kajian
implementasi dan kebijakan air susu ibu
eksklusif dan inisiasi menyusu dini di
Indonesia; Makara Kesehatan, vol. 14; No.
1; 17-24
Fitria S.Y., (2010) Efektifitas inisiasi menyusu dini
terhadap peningkatan produksi ASI di
klinik
bersalin
Maryani,
Skripsi,
Universitas Sumatra Utara, Sumatra Utara
Gabriel M., Martin I.L., Escobar A.L., Vilalba E. F.,
Blanco I.R., and Pol P.T., (2010)
Randomized controlled trial of early skin to
skin contact : effects on the mother and the
newborn; Acta Paediatrica, vol. 99, pp.
1630-1634
Gangal P., Bhagat K., Prabhu S., and Rajlakshmi N.,
(2007), Initiation of breastfeeding by
breast crawl, UNICEF Maharashtra Vol 19
Gant N. F., & Cunningham F.G., (2011), Dasardasar ginekologi dan obstetri. Jakarta :
EGC
Grewen K. M., Davenport R.E., and Light K. C.,
(2011), An investigation
of plasma and
salivary oxytocin responses inbreast- and
formula-feeding
mothers
of
infants
department of psychiatry, University of North
Carolina at Chapel Hill, Chapel Hill,
NorthCarolina,
USAbDepartment
of
Anesthesiology, University of Utah, Salt
Lake City, Utah, USA
Gribble K. D., (2006) Mental health, attachment and
breastfeeding: implications for adopted
children and their mothers, International
Breastfeeding
Journal,
(http://www,internationalbreastfeedingjourn
al.com/content/1/1/5 diperoleh 2 Pebruari
2012
Hidayat, A.A., (2007), Riset keperawatan dan teknik
penulisan ilmiah. Jakarta: Salemba Medika.
hal.58, 59
23
Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini Terhadap Bonding Attachment, Produksi ASI dan Hipothermi
(Puji Hastuti)
Johan C.H., Bussel V., Spitz B., Demyttenaere.,
(2010) Three self report questionaires of
the early mother-to-infant bond: reliability
and validity of the dutch version of the
MPAS, PBQ, and MIBS, Arc womens ment
Health
13:
373-384
http://springerverlag.com diperoleh tanggal
31 Januari 2012
Keister D., Robert K. T., and Werner S. L., (2008),
Strategies for breastfeeding success,
American academy of family Physicians
(http://www.aafp.org/afp diperoleh tanggal
10 Januari 2012)
Kennel., J.H., & Klaus, M.H., (1998), Recent
observations that alter perinatal care,
Pediatrics in review, diperoleh dari
http://pedsinreview.aappublications.org/con
tent/19/1/4 tanggal 13 desember 2011
Kent, J.C., Mitoulas, L.R., Cregan, M.D., Ramsay,
D.T., Doherty, D.A., & Hartman, P.E.,
(2006) Volume, frequency of breastfeedings
and fat content of breast milk throughout
the day, Pediatrics, diperoleh dari
http://pediatrics.aappublications.org/content
/117/3/e387.full.html tanggal 29 pebruari
2012
Kostyra K.M., Mazur J., Boltruszko I., (2002) Effect
of early skin to skin contact after delivery
on duration of breastfeeding : a prospective
cohort study, Acta Paediatrica vol. 91:
1301-1306
Millennium Development Goals 2015,
http://www.mdgs.org diperoleh 28 Januari
2012
Mullany L.C., Katz J., Khatry S.K., Clerq S.C.L.,
Darmstardt G.L., and Tielsch J.M., (2010)
Neonatal hypothermia and associated risk
factors among newborns of southern Nepal,
BMC
Medicine
(http://www.biomedcentral.com/ vol.8 No.
43) diperoleh 2 Pebruari 2012
Naylor, A.J., & Wester, R.A., 92009) Lactation
management self study modules level I,
third edition, Wellstart International,
Shelburne, Vermont
Nursalam (2008), Konsep dan metode penelitian
ilmu keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika, hal, 95-97
Pearson R.M., Lightman S.L., dan Evans J., (2011),
Attentional processing of infant emotion
during late pregnancy and mother-infant
relations after birth, Arch Womens Ment
Health vol. 14; pp. 23-31
Reeder, S.J., Martin, L.L., Koniak-Griffin, (1987)
Maternity Nursing; family, newborn, and
women’s health care, ed. 18, USA:
Lippincot Williams &Wilkins Inc.
Reeder, S.J., Martin, L.L., Koniak-Griffin, (1997);
alih bahasa Afiyanti, A., Rachmawati, I.N.,
Lusyana, A., Kurnianingsih, S., Subekti,
N.B., Yulianti, D., (2011) Keperawatan
maternitas; kesehatan wanita, bayi dan
keluarga, ed 18, vol2, Jakarta, EGC
Roesli, U., (2008), Inisiasi menyusu dini Plus ASI
Eksklusif. Jakarta: Pustaka Bunda
Sarwono P., (2002) Ilmu kebidanan, Jakarta,
Yayasan Bina Pustaka
Sastroasmoro, S dan Sofyan I., (1995), Dasar-dasar
metodologi penelitian klinis. Jakarta:
binarupa
Sentra Laktasi Indonesia (selasi), Panduan peserta:
pelatihan konseling laktasi, terjemahan dari
WHO dan UNICEF, (1993)
Setiadi, (2007) Riset dan metodologi penelitian
keperawatan, Yogyakarta : Graha Ilmu
Sinusas K., dan Gagliardi A., (2001) Initial
management
of
breastfeeding,
(www.aafp.org/afp) vol. 64 No. 6 pp. 981991
Tomey, A (2006), Nursing theorist and their work,
6th edition. Philadelphia: Mosby Year –
Book Inc.
White T. R., Watanabe K., Pournajafi-N. H.,
Schwertz D., Bell A., and Carter C.S.,
(2010), Detection of salivary oxytocin
levels in lactating women, NIH publik
Acces Vol. 51.no.4
Yegen B. C., (2010), Oxytocin and hypothalamopituitary-adrenal axis. Marmara Pharm J
14: 61-66, 2010
1
Dosen ilmu keperawatan STIKES Hang Tuah
Surabaya
24
PENGARUH TERHADAP KEJADIAN LUKA TEKAN GRADE I
(NON BLANCHABLE ERYTHEMA) POSISI MIRING
30 DERAJAT PASIEN STROKE
Dame Elysabeth 1
Abstract: The number of morbidity and mortality are set to increase as high as
the incidence of pressure ulcer. The application of injury prevention strategies
based on the recommendations. The aim of this research to identify the effect of
30 degree lateral positioning on the incidence of grade I (Non Blanchable
Erythema) pressure ulcer. The method used Quasi-experimental with control
group study, purposive sampling technique involving 33 patients, divided into 2
groups, (control n=16, intervention n=17). Both groups received the standard
of care in the hospital. The intervention group was given 30 degree lateral
position by using a triangular pillow. The incidence of grade I pressure ulcer
were evaluated within 3x24 hours. The result show that the incidence of
pressure ulcer was statistically significant between the group (p= 0039),
OR=9.600, where the control group have an almost 10 times risk for
development of grade I pressure ulcer.
Keywords: pressure ulcer, 30 degree, prevention, turning position, stroke.
Pengaruh Terhadap Kejadian Luka Tekan Grade I (Non Blanchable Erythema) Posisi Miring 30 Derajat Pasien
Stroke
(Dame Elysabeth))
Latar belakang
Luka tekan adalah cedera yang
terlokalisasi pada kulit dan atau jaringan
dibawahnya biasanya diatas tonjolan tulang,
sebagai akibat adanya tekanan, atau
kombinasi dari tekanan dan gesekan
(NPUAP-EPUAP, 2009). Prevalensi luka
tekan di negara Eropa berkisar antara 8.3%
- 22.9% (survei European Advisory Panel
(EPUAP dalam Young, 2004). Di Korea,
hal ini merupakan masalah serius
khususnya di Intensive Care Unit (ICU),
kejadian luka tekan meningkat dari 10.5 % 45% (Jun, et al., 2004 dalam Kim, et al.,
2009). Severens meneliti bahwa 1 % dari
anggaran kesehatan negara Belanda
dihabiskan untuk luka tekan (Elliot, et al.,
2008).
Di Indonesia, pernah dilakukan
survei di sebuah rumah sakit di Yogyakarta
pada 2001, dilaporkan bahwa dari 40 pasien
yang tirah baring, 40% menderita luka
dekubitus (Purwaningsih, 2000 dalam
Setiyawan,
2008).
Setyajati
(2001)
melakukan survei di sebuah rumah sakit di
Surakarta, didapatkan 38.18% pasien
mengalami luka tekan (Setiyawan, 2008).
Secara keseluruhan, kejadian luka tekan di
rumah sakit mencapai 33% (Suriadi, et al.,
2007 dalam Kale, 2009).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia
(2001) menetapkan sasaran mutu yaitu pasien tidak
menjadi dekubitus harus 0% (Lumenta, 2008),
diadopsi dari indikator mutu pelayanan rumah sakit
menurut World Health Organization (WHO).
Presentase luka tekan di nursing home
berkisar 2.4%- 23%, sedangkan di rumah sakit
berkisar 2.7% - 29.5% (Hobbs, 2004). Hal diatas
cukup ironis, rumah sakit sebagai tatanan rujukan
pelayanan kesehatan sewajarnya lebih mampu
menangani kejadian luka tekan. Clark mengatakan
bahwa teknologi yang semakin canggih, tersedianya
alat-alat yang dapat mencegah luka tekan, namun
insiden luka tekan tidak pernah turun (Moore &
Price, 2004). Kenyataan ini membuktikan bahwa
teknologi tidak sepenuhnya dapat menggantikan
peran pemberi pelayanan perawatan.
Luka tekan dapat terjadi dalam waktu 3 hari
sejak terpaparnya kulit akan tekanan ekstrinsik
(kelembaban yang tinggi, gesekan) (Reddy, 1990
dalam Vanderwee, et al., 2006; Braden &
Bergstorm, 1987 dalam Bryant, 2000). Faktor-faktor
resiko terjadinya luka tekan yakni usia diatas 70
tahun, riwayat merokok, kulit yang kering, indeks
massa tubuh (IMT) yang rendah, gangguan
mobilitas, perubahan status mental, inkontinensia,
malnutrisi, keganasan, restrain fisik, dan riwayat
luka tekan (Brandeis, 1990 dalam Ayello & Lyder,
2008).
Suriadi (2002, dalam Sari, 2007).
membuktikan bahwa imobilisasi adalah faktor resiko
yang paling signifikan menyebabkan luka tekan
dalam penelitiannya di sebuah rumah sakit di
Pontianak Menurut Compas (2010), komplikasi
tidak hanya berdampak pada masalah fisik, tapi juga
psikologis, ekonomi dan sosial.
Evidence Based Practice mengenai
pencegahan luka tekan (Adelaide, 1997) ditemukan
empat rekomendasi pengkajian kulit, pembebasan
tekanan, penggunaan alat bantu, dan perbaikan
kualitas. Hampir sama dengan rekomendasi Joanna
Briggs, National Pressure Ulcers Advisory Panel
(NPUAP-EPUAP)
2009
menetapkan
enam
rekomendasi, yaitu pengkajian resiko, pengkajian
kulit, nutrisi, pengaturan posisi, penggunaan alat
penyanggah, dan populasi khusus. Namun,
rekomendasi tersebut masih sangat minim
aplikasinya di tatanan pelayanan kesehatan. Hal ini
terbukti dari masih banyaknya pasien yang berisiko
terjadi luka tekan, dan tidak mendapatkan intervensi
seperti rekomendasi tersebut.
Florence
Nightingale
tahun
1859
menuliskan ”If he has bedshore, it’s generally not
the fault of the disease, but of the nursing”
(Nightingale, 1859 dalam Ayello & Lyder, 2008).
Ahli klinis mempercayai luka tekan tidak semata
kesalahan dari perawat, tetapi melibatkan
multidisiplin kesehatan. Pada dasarnya, perawat
mempunyai peran yang paling utama sebagai garis
pertahanan terdepan yang mencegah dan menjaga
pasien dari berkembangnya luka tekan (Ayello &
Lyder, 2008).
Pengaturan posisi merupakan intervensi
keperawatan yang ditetapkan sebagai usaha
pencegahan luka tekan. Saat pasien diposisikan
miring sampai dengan 90 derajat, menimbulkan
27
Pengaruh Terhadap Kejadian Luka Tekan Grade I (Non Blanchable Erythema) Posisi Miring 30 Derajat Pasien
Stroke
(Dame Elysabeth))
kerusakan suplai oksigen yang dramatis pada area
trokanter dibanding pasien yang diposisikan miring
30 Ëš (Colin, 1996). Pemberian posisi miring 30 Ëš
bertujuan membebaskan tekanan sebelum terjadi
iskemia jaringan hingga terjadi reaktif hiperemia dan
mengatasi hipoksia jaringan, maka iskemik jaringan
tidak sempat terjadi dan luka tekan pun tidak akan
pernah ada.
Defloor (2000) pernah meneliti sepuluh
posisi yang berbeda saat pasien di atas tempat tidur,
dari kesepuluh posisi itu, didapatkan bahwa tekanan
yang paling minimal dicapai oleh tubuh pasien saat
diposisikan miring 30 Ëš. Pengaruh posisi miring
dengan 30 derajat juga diteliti oleh Seiler tahun 2005
(Vanderwee, et al., 2006), luka tekan pada area
trokanter dan sakral dapat dieliminasi dengan
memiringkan pasien posisi miring 30 Ëš secara teratur
dan menyangganya dengan matras yang sangat
lembut. Maklebust dalam ”rule of 30”, menyatakan
posisi kepala tempat tidur ditinggikan sampai
dengan 30 Ëš dan posisi badan pasien dimiringkan
sebesar 30 Ëš dapat disanggah dengan bantal busa.
Posisi ini terbukti menjaga pasien terbebas dari
penekanan pada area trokanter dan sakral (NPUAP,
1996).
Hasil laporan angka rata-rata kejadian luka
tekan tahun 2006-2010 di SHLV Tangerang (0,31)
dan SHKJ Jakarta (0,43). Angka kejadian luka tekan
ini masih belum sesuai dengan standar mutu
pelayanan kesehatan yang ditetapkan WHO dan
Depkes 2001 yakni 0% (Lumenta, 2008).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain Quasiexperimental dengan post-test only with control
group. Terdiri dari kelompok intervensi dan
kelompok kontrol, yaitu kelompok intervensi dan
kontrol mendapatkan intervensi pencegahan luka
tekan sesuai standar pelayanan rumah sakit. Khusus
kelompok intervensi, modifikasi posisi miring
setinggi 30 Ëš menggunakan penyanggah bantal
segitiga.
Informed consent terlebih dahulu diberikan
sebelum penelitian dilakukan, sebagai upaya
melindungi hak azasi dan aspek etik mulai dari self
determination, privacy, anonymity, informed consent
dan protection from discomfort. Setelah itu
pengkajian data karakteristik responden berupa
nama, diagnosa, jenis kelamin, usia, nilai albumin,
indeks massa tubuh, riwayat merokok, dan skor
skala braden.
Responden kelompok intervensi maupun
kontrol menerima perlakuan pencegahan luka tekan
berdasarkan tingkat resiko luka tekan skala Braden.
Di sebuah rumah sakit di Tangerang, responden juga
sebagai standar pencegahan luka tekan yang terdiri
dari, 1) merubah posisi pasien dengan teratur setiap
2 jam sekali (miring kiri, terlentang, miring kanan);
2) mendukung pasien untuk melakukan mobilisasi
aktif dan pasif; 3) melindungi tumit kaki pasien; 4)
menggunakan alat penyanggah bantal untuk
distribusi tekanan; 5) mengatur kelembaban, nutrisi,
dan mencegah gesekan; dan 6) mengelompokkan ke
tingkat resiko yang lebih tinggi bila ada faktor
resiko. Namun yang berbeda pada kedua kelompok
tersebut yakni pada saat miring kiri/ kanan, seluruh
responden pada kelompok intervensi menggunakan
bantal segitiga yang telah didesain oleh peneliti, agar
pengaturan posisi konsisten pada tiap responden.
Bantal segitiga ini menyanggah tubuh responden
pada saat miring sehingga membentuk sudut 30 Ëš
dan menjaga posisi tubuh tetap stabil.
Adapun prosedur pengaturan posisi miring
30 Ëš, pasien ditempatkan persis di tengah tempat
tidur, menggunakan bantal untuk menyanggah
kepala dan leher. Selanjutnya, menempatkan satu
bantal pada sudut antara bokong dan matras, dengan
cara miringkan panggul setinggi 30 Ëš. Bantal yang
berikutnya ditempatkan memanjang diantara kedua
kaki.
Pasien yang menjadi sampel dalam
penelitian ini adalah pasien yang terdiagnosa stroke
(setelah fase akut), mengalami imobilisasi (tidak
mampu miring kiri dan kanan secara mandiri), skor
Braden< 17, sedang menjalani perawatan inap di
rumah sakit minimal 3 hari. Penelitian dilakukan
pada dua institusi rumah sakit yakni salah satu
rumah sakit di Tangerang (Intervention group) dan
Jakarta (Control group). Pengumpulan data
dilakukan oleh peneliti dibantu oleh asisten peneliti
dari kedua rumah sakit yang sudah dilakukan
pembekalan dan uji kesepakatan dengan peneliti
untuk menjaga kesinambungan intervensi dan
observasi. Kejadian luka tekan dievaluasi setelah 3 x
24 jam intervensi berdasarkan klasifikasi grade luka
tekan berdasarkan EPUAP-NPUAP 2009.
Pada penelitian ini dilakukan uji
homogenitas terhadap usia, jenis kelamin,
jenis stroke, skala Braden, riwayat
merokok, kadar albumin, dan indeks massa
tubuh antara responden kelompok kontrol
28
Pengaruh Terhadap Kejadian Luka Tekan Grade I (Non Blanchable Erythema) Posisi Miring 30 Derajat Pasien
Stroke
(Dame Elysabeth))
Tabel
dan
intervensi.
Untuk
mengetahui
pengaturan posisi miring 30Ëš berpengaruh
terhadap kejadian luka tekan menggunakan
Chi-square, dengan tingkat kemaknaan
ditetapkan sebesar 95%.
No
HASIL PENELITIAN
Data yang diperoleh selama satu bulan
1
penelitian total responden sebanyak 33 pasien,
2
dengan 17 pasien kelompok intervensi (jumlah 19
pasien, 2 pasien drop out dikarenakan gelisah
menjadi 17 pasien) dan kelompok kontrol berjumlah
16 orang pasien. Distribusi responden berdasarkan
usia rata rata yakni 65 tahun (Tabel 3.1). Jumlah
responden yang didiagnosa stroke hemoragik dan
stroke iskemik masing-masing 50% (Tabel 3.2).
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin,
diperoleh laki-laki 21 (63%) dan wanita 12 (37%)
responden (Tabel 3.3). Sedangkan distribusi
berdasarkan skor braden mayoritas skor Braden> 9
yakni 15 pasien (46%) (Tabel 3.4).
3.3
Jenis
Kelami
n
n
%
N
%
N
%
Laki-laki
10
58.8
11
68.8
21
63
Perempuan
7
41.2
5
31.3
12
37
Total
17
100
16
100
33
100
Intervensi
No
Skor
Skala
Braden
Mean
Median
SD
Min – Mak
17
16
65.06
65.88
65.5
67
9.91
12.7
46-78
45-85
2
3.5
95%
CI
59.78
70.35
59.07
72.68
No
N Jenis Stroke
o
Interve
nsi
n %
Kontrol
n
Total
%
N
%
3
1 Stroke Non
Hemoragik
8
2 Hemoragik
Total
9
1
7
47.1
52.9
100
8
8
33
50
50
100
16
17
33
48
52
100
4
%
52
.9
n
9
%
56.
3
N
18
%
54
47
.1
10
0
7
43.
8
10
0
15
46
33
10
0
1
6
Kelompok
Intervensi
Kelompok
Kontrol
Total
n
%
n
%
N
%
7
41.2
7
43.8
14
42
10
58.8
9
56.2
19
58
17
100
16
100
33
100
9
8
52.9
47.1
12
4
75
25
21
12
64
36
17
100
16
100
33
100
8
9
17
47.1
52.9
100
7
9
16
43.8
56.2
100
15
18
33
45.4
54.5
100
6
35.3
5
31.3
11
33.3
Usia
≥
2
Total
Distribusi Variabel Confounding
Kelompok
Intervensi
dan
Kontrol di Sebuah Rumah
Sakit Tangerang dan Jakarta,
Mei-Juni 2010 (N= 33)
Variabel
Confoun
ding
1
Tabel 3.2 Distribusi Jenis Stroke Kelompok
Intervensi
dan
Kelompok
Kontrol di Sebuah Rumah
Sakit Tangerang dan Jakarta,
Mei-Juni 2010 (N= 33)
Total
Intervens Kontro
i
l
n
Skala
9
Braden
≤ 9
Skala
8
Braden >9
Total
17
1
Tabel
n
Kontrol
Tabel 3.4 Distribusi Skor Braden Kelompok
Intervensi
dan
Kelompok
Kontrol di Sebuah Rumah
Sakit Tangerang dan Jakarta,
Mei-Juni 2010 (N= 33)
Tabel 3.1 Karakteristik Usia Responden
Kelompok
Intervensi
dan
Kelompok Kontrol di Sebuah
Rumah Sakit Tangerang dan
Jakarta, Mei-Juni 2010 (N= 33)
Jenis
Kelomp
ok
1. Interv
ensi
2. Kontr
ol
Distribusi Jenis Kelamin
Kelompok
Intervensi
dan
Kelompok Kontrol di Sebuah
Rumah Sakit Tangerang dan
Jakarta, Mei-Juni 2010 (N= 33)
71
Tahun
<
71
Tahun
Total
Riwayat
Merokok
Merokok
Tidak
Merokok
Total
Kadar
Albumin
≤ 3 gr/dl
>3 gr/dl
Total
Indeks
Massa
Tubuh
≤
18
29
Pengaruh Terhadap Kejadian Luka Tekan Grade I (Non Blanchable Erythema) Posisi Miring 30 Derajat Pasien
Stroke
(Dame Elysabeth))
kg/m²
>18
kg/m²
Total
0
11
64.7
11
68.7
22
66.7
17
100
16
100
33
100
5.
Tabel 3.5 distribusi frekuensi responden berdasarkan
variabel confounding, yaitu usia, riwayat merokok,
kadar albumin, dan indeks massa tubuh. Distribusi
responden berdasarkan usia pada kedua kelompok
menunjukkan 19 responden (58%) dengan usia< 71
tahun
dibanding usia≥ 71 tahun dengan 14
responden (42%), dan 21 responden (64%) dengan
riwayat merokok. Mayoritas responden memiliki
kadar albumin>3 gr/dl yakni 18 pasien (54.5%).
Distribusi frekuensi responden berdasarkan indeks
massa tubuh, 22 responden (66.7%) memiliki nilai
indeks massa tubuh>18 kg/m² sebesar 33.3% .
6.
Tabel 3.6
Uji Homogenitas Kelompok
Intervensi dan Kontrol di Sebuah
Rumah Sakit Tangerang dan
Jakarta, Mei-Juni 2010 (N= 33)
7.
No
1.
2.
3.
Variabel
Confounding
Skor
Skala
Braden
Skala Braden ≤
9
Kontrol
n
n
9
8
Total
1
7
Jenis Stroke
SNH
8
SH
9
Total
1
7
Perempuan
Total
4.
Interve
nsi
Skala Braden
>9
Jenis Kelamin
Laki-Laki
1
7
Total
1
0
7
1
7
Usia
≥ 71 Tahun
7
< 71 Tahun
1
%
Total
5
2.
9
4
7.
1
1
0
0
9
4
7.
1
5
2.
9
1
0
0
%
N
p
V
al
% u
e
5
6.
2
4
3.
8
1
0
0
1
8
5
4
1
5
4
6
3
3
1
0
0
8
5
0
1
6
4
8
8
5
0
1
7
5
2
1
6
1
0
0
3
3
1
0
0
5
8.
8
4
1.
2
1
0
0
1
1
6
8.
8
3
1.
2
1
0
0
2
1
6
3
1
2
3
7
3
3
1
0
0
4
1.
2
5
7
4
3.
8
5
1
4
4
2
1
5
7
1
6
5
1
6
9
1.
0
0
0
1.
0
0
0
0.
7
2
1
Riwayat
Merokok
Merokok
9
Tidak Merokok
8
Total
1
7
1
6
6.
2
1
0
0
9
8
3
3
1
0
0
5
2.
9
4
7.
1
1
0
0
1
2
7
5
2
1
6
4
0.
2
8
2
4
2
5
1
2
3
6
1
6
1
0
0
3
3
1
0
0
4
5
.
4
5
4
.
5
1
0
0
1.
0
0
0
3
3
.
3
6
6
.
7
1
0
0
1.
0
0
0
Kadar
Albumin
≤ 3 gr/dl
8
4
7.
1
7
4
3.
8
1
5
>3 gr/dl
9
5
2.
9
9
5
6.
2
1
8
Total
1
7
1
0
0
1
6
1
0
0
3
3
6
3
5.
3
5
3
1.
3
1
1
>18 kg/m²
1
1
6
4.
7
1
1
6
8.
7
2
2
Total
1
7
1
0
0
1
6
1
0
0
3
3
Indeks Massa
Tubuh
≤ 18 kg/m²
Tabel 3.6 uji homogenitas atau kesetaraan
karakteristik antara responden pada kelompok
kontrol dan intervensi. Karakteristik responden
dilihat dari tujuh variabel antara kelompok kontrol
dengan intervensi pada tabel menunjukkan adanya
kesetaraan (p> 0.05).
Tabel 3.7 Pengaruh Pengaturan
Posisi
Miring
30
derajat
dengan
Kejadian Luka Tekan di Sebuah
Rumah Sakit Tangerang dan
Jakarta, Mei-Juni 2010 (N= 33)
Variabel
Independ
en
1.
0
0
0
8.
8
1
0
0
Variabel Dependen
Luka Tekan
Luka Tekan
Kontrol
n
6
(%)
37.5
Tidak Luka
Tekan
n
(%)
10
62.5
Intervensi
1
5.9
16
OR
95% CI
p
9.600
1.00291.964
0.03
9
94.1
30
Pengaruh Terhadap Kejadian Luka Tekan Grade I (Non Blanchable Erythema) Posisi Miring 30 Derajat Pasien
Stroke
(Dame Elysabeth))
2.
Tabel 3.7 hasil analisis hubungan antara perlakuan
posisi miring 30 Ëš dengan kejadian luka tekan,
ditemukan bahwa terdapat enam responden (37.5%)
pada kelompok kontrol mengalami luka tekan.
Sedangkan pada kelompok intervensi terdapat satu
responden (5.9%) terjadi luka tekan (p= 0.039, α =
0,05). Masing-masing kejadian luka tekan grade I
(Non Blanchable Erythema) terjadi pada area
trokanter kanan, trokanter kiri dan siku kiri,
trokanter kiri dan tumit kiri, tumit kiri, trokanter
kanan dan siku kanan, dan sakrum kuadran kanan
atas. Disimpulkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara pengaturan posisi dengan kejadian
luka tekan. Responden yang tidak diberi perlakuan
posisi miring 30 derajat mempunyai peluang 9.6 kali
untuk terjadi luka tekan dibanding dengan responden
yang diberi perlakuan posisi miring 30 Ëš (OR=
9.600).
Tabel 3.8 Hubungan Antara Usia, Riwayat
Merokok, Kadar Albumin,
IMT
Pada
Kelompok
Intervensi Setelah Intervensi
Posisi Miring 30 derajat di
Siloam Hospitals Mei-Juni
2010 (N= 17)
Variabel
Luka Tekan
Luka
Tidak Luka
Tekan
Tekan
n
(
n
(%)
%
)
Tota
l
N
O
R
% 9
5
%
pv
al
u
e
C
I
Usia
1. ≥ 71
Thn
1
2.
<71
Thn
Merokok
1.
Merokok
2.
Tdk
Merokok
Nilai IMT
1.
≤ 18
kg/m²
2.
18
kg/m²
Kadar
Albumin
≤ 3 g/dL
14.
3
6
85.7
7
1
0
0
1
0
0
0.85
7
(0.63
31.16
0)
0
0
10
100
1
0
1
0
11.
1
0
8
8
88.9
100
9
8
1
0
0
1
0
0
0.88
9
(0.70
61.12
0)
1
.
0
0
0
1
0
16.
7
0
5
11
83.3
100
6
1
1
1
0
0
1
0
0
0.83
3
(0.58
31.19
2)
0
.
3
5
3
1
12.
5
7
87.5
8
1
0
0
0.87
0
.
4
7
1
0
.
4
1
2
>
3
g/dL
>
0
0
9
100
9
1
0
0
(0.67
31.13
7)
Tabel 3.8 analisis hubungan hubungan antara
confounding variable dengan kejadian luka tekan
pada kelompok intervensi (Tabel 3.8). Antara usia
dengan kejadian luka tekan diperoleh bahwa ada
sebanyak 1 (14.3%) dari responden dengan usia ≥ 71
tahun mengalami luka tekan. Diperoleh nilai
p=0.412, dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara usia dengan
kejadian luka tekan. Dari hasil analisis diperoleh
pula nilai OR= 0.857, artinya responden yang
usianya ≥ 71 tahun beresiko 0.8 kali untuk terjadi
luka tekan dibandingkan dengan responden usia< 71
tahun.
Pada kelompok intervensi terdapat 1
(11.1%) responden yang merokok mengalami luka
tekan. Responden yang tidak merokok tidak ada
yang mengalami luka tekan. Hasil penelitian
menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan
antara keduanya, namun responden yang merokok
beresiko hampir 0.9 kali terjadi luka tekan (p=1.000,
OR= 0.889).
Nilai IMT juga tidak signifikan memiliki
pengaruh terhadap kejadian luka tekan, ditunjukkan
oleh nilai p=0.353. Hal ini disebabkan karena 6 dari
responden yang memiliki nilai IMT<18 kg/m²,
hanya 1 (16.7%) yang mengalami luka tekan.
Responden dengan nilai IMT<18 kg/m² memiliki
resiko terjadi luka tekan sebesar 0.8 kali
dibandingkan dengan responden dengan nilai
IMT>18 kg/m².
Confounding variable kadar albumin juga
tidak menunjukkan adanya hubungan dengan
kejadian luka tekan (p= 0.471). Meskipun hanya 1
responden dengan albumin < 3mg/dL mengalami
luka tekan, namun responden dengan kadar
albumin< 3mg/dL, beresiko 0.8 kali mengalami luka
tekan dibandingkan responden dengan kadar
albumin> 3mg/dL.
PEMBAHASAN
Peneliti melihat bahwa pengaruh pemberian
posisi miring ini sangat bermakna sekali dalam
mencegah terjadinya luka tekan. Hasil penelitian
terdapat sebanyak enam responden dari kelompok
yang tidak diberi perlakuan posisi miring 30 Ëš
akhirnya mengalami luka tekan. Bila dibandingkan
dengan responden yang diberi perlakuan posisi
miring 30 Ëš, diperoleh hanya satu responden dari 17
total responden mengalami luka tekan.
Peneliti
mencoba
mengidentifikasi
karakteristik responden dengan luka tekan pada
kelompok yang diberi tindakan posisi miring 30. Hal
ini mendorong peneliti untuk menggali lebih jauh
faktor yang mungkin berkontribusi terhadap
terjadinya luka tekan diluar dari faktor confounding
31
Pengaruh Terhadap Kejadian Luka Tekan Grade I (Non Blanchable Erythema) Posisi Miring 30 Derajat Pasien
Stroke
(Dame Elysabeth))
dengan data yang sama pada responden lainnya.
Faktor-faktor yang teridentifikasi oleh peneliti baik
yang terukur dan tidak terukur antara lain, yang
dapat diukur yakni riwayat lamanya rawat inap
pasien dibanding dengan responden lain, hari rawat
ke 16. Lama rawat ini memang agak berbeda jauh
dengan responden yang rata-rata dilakukan
penelitian pada hari rawat ketiga. Lama rawat inap
dan faktor kondisi imobilisasi kemungkinan menjadi
faktor yang mungkin berpengaruh menjadi pemicu
terjadinya luka tekan (Fisher, et al., 2004).
Pasien juga teridentifikasi mengalami
suasana hati yang cenderung depresif sepanjang hari.
Hal ini tampak dari ekspresi wajah pasien yang
sering sedih dan pandangannya tampak kosong.
Menurut Dharmono (2010), depresi pada pasien
stroke menunjukkan prevalensi 24%-45%, yang
akan
memperlambat
proses
penyembuhan,
memperberat gejala fisik, mengganggu rehabilitasi
dan meningkatkan angka kematian. Depresi
dikaitkan dengan adanya perubahan hormonal yakni
hormon kortisol, yang mengalami peningkatan
akibat ketidakseimbangan degradasi kolagen
terhadap pembentukan kolagen dan kehilangan
kolagen dihubungkan dengan perkembangan luka
tekan (Cohen, Diegelman, dan Johnson, 1977,
Rodriguez, 1989 dalam Bryant, 2000).
Tujuan
utama
pemberian
asuhan
keperawatan adalah proses memenuhi kebutuhan
dasar individu dan memberikan solusi yang tepat
atas tidak terpenuhinya kebutuhan dasarnya. Pada
pasien
stroke,
mereka
tidak
mampu
mengkomunikasikan secara sempurna kemauan,
sikap, dan tindakannya. Perawat hendaknya lebih
empati atas keterbatasan yang dimiliki pasien
meskipun
pasien
tidak
mampu
untuk
menyampaikannya. Dalam kondisi imobilisasi,
sebaiknya perawat lebih peka menilai kebutuhan
perubahan posisi pasien.
SIMPULAN
Ada pengaruh yang signifikan antara
pengaturan posisi dengan kejadian luka tekan grade
I (Non Blanchable Erythema) ( p= 0.039) dengan
nilai OR= 9.600, artinya responden yang tidak diberi
perlakuan posisi miring 30 Ëš mempunyai peluang 9.6
kali untuk terjadi luka tekan dibanding dengan
responden yang diberi perlakuan posisi miring 30 Ëš.
Tidak ditemukan adanya pengaruh yang signifikan
antara kejadian luka tekan dengan confounding
variable: usia, riwayat merokok, kadar albumin, dan
IMT.
SARAN
Penelitian ini dapat menjadi masukan positif
dalam memodifikasi Standar Operasional Prosedur
(SOP) keperawatan di masa akan datang dalam
pencegahan luka tekan. Perlu disosialisasikan bahwa
penggunaan bantal tambahan pasien imobilisasi
lebih diprioritaskan. Bantal segitiga yang didesain
oleh peneliti dapat dijadikan alternatif sebagai
penyanggah pada pasien imobilisasi. Pengadaan
sosialisasi atau penyegaran kembali kepada perawat
ruangan deteksi dini faktor resiko luka tekan, luka
tekan dari grade awal dapat teridentifikasi sehingga
segera diintervensi sebelum penangan lebih lanjut
oleh perawat luka. Penelitian lanjut secara berkala
terkait fenomena kejadian luka tekan yang sering
dihadapi dan penanganannya. Selain itu, perlu
menggali lebih jauh ide-ide kreatif mengatasi
kejadian luka tekan yang fenomenal seperti analisa
enam faktor sub skala Braden terhadap kejadian luka
tekan, kejadian luka tekan berdasarkan length of
stay, dampak depresi terhadap kejadian luka tekan.
Penelitian selanjutnya juga perlu dipertimbangkan
untuk menambah jumlah sampel yang lebih besar
lagi guna hasil yang lebih representatif.
DAFTAR PUSTAKA
Ayello, E., & Lyder, C. H. (2008). Pressure ulcers:
A patient safety issue (Chapter 12). Diperoleh
dari
http://www.ahrq.gov/qual/nurseshdbk/docs.
Adelaide, S. A. (1997). Best practice: Evidence
based practice information sheets for health
professionals, Australian Nursing Journal, I
(1).
Diperoleh
dari
http://www.joannabriggs.edu.
au/pubs/best_practice.php.
Bryant, R. (2000). Acute and chronic wound:
Nursing management. St. Louis: Mosby.
Colin, D. (1996). Comparison of 90 Ëšand 30Ëš
laterally inclined positions in the prevention
of pressure ulcer using transcutaneous oxygen
and carbondioxide pressure, Advances in
wound care, 9 (3), 35-38. Diperoleh dari
http://www.ebscohost.com/uph.edu.
Compas, C. (2010). Pressure ulcer prevention and
management. Diperoleh dari www.afmc.org/
documents/quality_improve/pu_pres.ppt.
Defloor, T. (2000). The effect of position and
mattress on interface pressure, Applied
nursing research, 13 (1). Diperoleh dari
http://www. ebscohost.com/uph.edu.
Depkes RI. (2004). Standar Pelayanan Unit Stroke.
Jakarta : Depkes RI.
Dharmono. (2010). Depresi dan stroke saling
berhubungan. Balipost. Diperoleh dari
http://www.balipost.com/mediadetail.php?
module=detailberitaminggu&kid=24&id=3
5486.
Elliot, R., Mc. Kinley, S., & Fox, V. (2008). Quality
improvement program to reduce the
prevalence of pressure ulcers in an intensive
care unit, American journal of critical care,
17
(4),
328-337.
Diperoleh
dari
http://www.ebscohost.com/uph.edu.
32
Pengaruh Terhadap Kejadian Luka Tekan Grade I (Non Blanchable Erythema) Posisi Miring 30 Derajat Pasien
Stroke
(Dame Elysabeth))
Kale, E. D. (2009). Efektifitas skala Braden dalam
memprediksi kejadian luka tekan di bangsal
bedah-dalam RSU Prof. Dr. W.Z. Yohannes
Kupang (Tesis, Universitas Indonesia,
Depok, Jawa Barat). Diperoleh dari
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri
2/detail.jsp?id=124739.
Fisher, A., Wells, G., & Harrison, M. (2004).
Factors Associated With Pressure Ulcers in
Adults in Acute Care Hospitals, Journal of
Advanced Wound Care, 18 (5), 242-253.
Diperoleh
dari
http://www.
ebscohost.com/uph.edu.
Hobbs, B. K. (2004). Reducing the incidence of
pressure ulcers; implementation of a turnteam nursing program,
Journal of
gerontological nursing, 30 (11), 46-51.
Diperoleh
dari
www.aacn.org/wd/nti2009/nti_cd?data/paper
s/.
Kim, E., Lee,.S., Lee, E., & Eom, M. (2009).
Comparison of the predictive validity among
pressure ulcer risk assessment scales for
surgical ICU patients, Australian journal of
advanced nursing, 26 (4). Diperoleh dari
http://www. ebscohost.com/uph.edu.
Laporan angka kejadian luka tekan Siloam Hospitals
Kebun Jeruk. (2009). Wound and Diabetic
care department Siloam Hospitals Kebun
Jeruk.
Laporan angka kejadian luka tekan Siloam Hospitals
Lippo Village. (2009). Wound and Diabetic
care department Siloam Hospitals Lippo
Village.
Lumenta, N. (2008). Lokakarya PELKESI: Strategi
mempersiapkan dan menjaga mutu akreditasi
rumah
sakit.
Diperoleh
dari
www.scribd.com/doc/nico-lumenta-MutuAkreditasi-RS.
Moore, Z., & Price, P. (2004). Nurse’s attitude,
behaviours and perceived barriers towards
pressure ulcer prevention, Journal of clinical
nursing, 13, 942-951. Diperoleh dari
http://www. ebscohost.com/uph.edu.
National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP).
(1996). Quick reference guide. Diperoleh dari
www.npuap.org/guidelines.
National Pressure Ulcer Advisory Panel-European
Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAPEPUAP). (2009). Quick reference Guide
Washington
DC.
Diperoleh
dari
www.npuap.org/guidelines.
Sari, Y. (2007). Luka tekan: Penyebab dan
pencegahan. Diperoleh dari www.ppni.com.
Setiyawan. (2008). Hubungan tingkat pengetahuan,
sikap dengan perilaku perawat dalam upaya
pencegahan dekubitus di rumah sakit Cakra
Husada
Klaten
(Tesis,
Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Jawa Tengah).
Diperoleh
dari
http://etd.eprints.ums.ac.id/908/1/j220060012
.pdf.
Vanderwee, K., Grypdonck, Bacquer, D., & Defloor,
T. (2006). Effectiveness of turning with
unequal time intervals on the incidence of
pressure ulcer lesions, Journal of advanced
nursing, 57, 59-68. Diperoleh dari
http://www. ebscohost.com/uph.edu.
Young. (2004). The 30 tilt position vs the 90
lateral and supine positions in reducing the
incidence of non blanching erythema in a
hospital inpatient population, Journal of
tissue viability, 14 (3). Diperoleh dari
http://www. ebscohost.com/uph.edu.
1
Staf
Akademik
Klinik
Fakultas
Ilmu
Keperawatan dan Kesehatan Universitas Pelita
Harapan
33
HUBUNGAN ANTARA PARITAS DENGAN KEJADIAN ABORTUS
PADA IBU HAMIL
Sri Haryuni 1
Abstract: The parity is amount of pregnancy wich ended by the birth of fetus who
fulfill the requirenment to survive. Abortion is a kind of of dismissal as the result
of contraception on pregnancy that less than 20 weeks or fetus weight is less than
500 grams. There are some general characteristics wich can be identified that is
able to influence the abortion, they are age, parity and education status. Parity is
one of causing the abortion happens on pregnant mother especially primipara.
The purpose of this research is to know the correlation between parity and
abortion on pregnant mother at SITI KHOTIDJAH hospital Gurah district,
Kediri Regency in 2010. In this research, the research design used is analytical
correlative, the respondent chosen by using purposive sampling tecnique is 55
people. The data analysis is using editing, coding, scoring and tabulating. The
result of research got the parity on pregnant mother is about to all of them, that
43 people (78,1%) are Primipara, abortion on pregnant mother is about to all of
them (47,3%) or 26 people, and based on sperman correlation test, it is gotten the
data from 2-tailed significance value is 0,0013 so ρ <0,05 mean that (α ) HO is
refused and H1 is accepted. It is proven that there is correlation between parity
and abortion on pregnant mother at SITI KHOTIDJAH hospital Gurah district,
Kediri Regency in 2010. The correlation degree is categorized enough because it
is gotten the coefficint correlation value is 0,032. Based on the result of research
hoped that Medical staff can do the illumination and controlling on fertile age
couple and pregnanr mother and also the information correlated with abortion.
Key word : Parity, Abortion, Pregnant Mother.
Hubungan Antara Paritas Dengan Kejadian Abortus Pada Ibu Hamil
(Sri Haryuni)
Latar belakang
Abortus (spontan maupun buatan)
adalah tindakan penghentian kehamilan
sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan (sebelum usia 20 minggu
kehamilan),
bukan
semata
untuk
menyelamatkan jiwa ibu hamil dalam
keadaan darurat tapi juga karena sang ibu
tidak
menghendaki
kehamilan
itu.
Keguguran atau abortus adalah musibah
yang tidak diharapkan, apalagi keluarga
terutama ibu yang sudah menunggu
datangnya buah hati.
Menurut World Health Organization
(WHO) 1998, Abortus didefinisikan sebagai
upaya terminasi kehamilan yang dilakukan
sebelum janin mampu hidup di luar
kandungan. Abortus yang tidak aman
(unsafe abortion) adalah abortus yang
dilakukan dengan menggunakan metode
beresiko tinggi, bahkan fatal dilakukan oleh
orang yang tidak terlatih atau tidak terampil
serta komplikasinya merupakan penyebab
langsung kematian wanita usia reproduksi.
Abortus merupakan berakhirnya
kehamilan sebelum anak dapat hidup di
dunia
luar
tanpa
mempersoalkan
penyebabnya. Anak baru hidup di dunia
luar kalau beratnya telah mencapai lebih
dari 500 gram atau umur kehamilan lebih
dari 20 minggu. Abortus dibagi kedalam
abortus spontan, yaitu abortus yang terjadi
dengan sendirinya, dan keguguran ini
merupakan kurang lebih 20% dari semua
abortus,
sedangkan
abortus
buatan
(provocatus), yaitu abortus yang terjadi
disengaja, digugurkan, dan 80% dari semua
abortus (Obstetri Patologi FK Unpad, 2002
).
WHO memperkirakan di seluruh
dunia, dari 46 juta kelahiran pertahun
terdapat 20 juta kejadian abortus. Sekitar 13
% dari jumlah total kematian ibu di seluruh
dunia diakibatkan oleh komplikasi abortus,
800 wanita diantaranya meninggal karena
komplikasi abortus dan sekurangnya 19
dari setiap 20 tindak abortus (95%) di
antaranya terjadi di negara berkembang
(Safe Motherhood Newsletter, 2000).
Berdasarkan
data
Survey
Demografi Kesehatan Indonesia tahun
2008, Angka Kematian Ibu di Indonesia
masih tertinggi di negara ASEAN yaitu
235 kematian Ibu per 100.000 kelahiran
hidup. Penyebab masih tingginya AKI
adalah perdarahan (29%), eklamsi (27%),
infeksi (5%), komplikasi puerperium
(10%), partus lama (5%), trauma obstetri
(5%), emboli obstetri (3%), abortus (11%),
dan penyebab lain (5%). Sedangkan target
yang diharapkan, AKI tahun 2010 yaitu 125
per 100.000 kelahiran hidup, dan pada
Program Jangka Panjang II tahun 2019
menjadi 60 – 80 per 100.000 kalahiran
hidup (Menkes RI, 2008).
Berdasarkan studi pendahuluan yang
dilakukan oleh peneliti pada bulan Pebruari
2010 di RS SITI KHOTIDJAH Gurah
Kabupaten Kediri didapatkan data sebagai
berikut.
Tabel 1.1 Frekuensi kejadian abortus di RS
SITI
KHOTIDJAH
Gurah
Kabupaten Kediri tahun 2009
N
o
1
2
Bulan
Kehami
lan
Abort
us
Paritas
Primip Multip
ara
ara
3
1
2
1
Juli
30
4
Agustu
20
3
s
3 Septem
22
1
1
ber
4 Oktobe
31
2
2
r
5 Novem
25
6
5
1
ber
6 Desem
29
5
3
2
ber
Jumlah
157
21
14
7
Sumber : Data Sekunder Penelitian Tahun 2010
Berdasarkan tabel 1.1 diatas diperoleh data
bahwa dari 157 kehamilan didapatkan kasus abortus
pada primipara lebih banyak yaitu 21 orang (66,6%),
dibandingkan dengan multipara sebanyak 7 orang
(33,3%).
Banyak
penyebab
terjadinya
keguguran
atau
abortus,
misalnya
keguguran trimester pertama hampir 60 %
keguguran disebabkan kelainan kromosom,
faktor ini termasuk faktor yang berasal dari
ibu hamil tersebut dan merupakan seleksi
Hubungan Antara Paritas Dengan Kejadian Abortus Pada Ibu Hamil
(Sri Haryuni)
alam, konsepsi tidak berkembang menjadi
bayi, malah keluar dengan sendirinya dan
kalaupun bertahan si kecil akan cacat. Ada
beberapa alasan dan kondisi individual
yang menyebabkan wanita mengalami
abortus. Ada beberapa karakteristik umum
yang dapat diidentifikasi yang dapat
mempengaruhi abortus, diantaranya : umur,
paritas dan tingkat pendidikan (Nasrin
Kodim, 2001).
Kaitannya dengan Paritas, dari
survey yang dilakukan di India diketahui
bahwa 60 % wanita yang mengalami
abortus mempunyai satu atau dua anak,
sekitar 18 % mempunyai 3 sampai 4 anak,
dan 22 % telah mempunyai lebih dari lima
anak. Di Cina justru abortus dig unakan
untuk mengendalikan tingkat kesuburan
(Yudiayutz, 2008).
Abortus diindikasikan merupakan
masalah masyarakat karena memberikan
dampak pada kesakitan dan kematian ibu.
Sebagaimana diketahui penyebab utama
kematian ibu hamil dan melahirkan adalah
perdarahan, infeksi dan eklamsia. Namun
sebenarnya abortus juga merupakan salah
satu penyebab kematian ibu, hanya saja
muncul
dalam
bentuk
komplikasi
perdarahan dan sepsis (Yudiayutz,2009).
Untuk
itu
diperlukan
penatalaksanaan atau pendeteksian sedini
mungkin selama hamil dengan cara Ante
Natal Care (ANC) teratur, memberikan
informasi tentang tanda – tanda bahaya
kehamilan khususnya pada trimester awal,
dan memotivasi ibu hamil untuk segera ke
tenaga kesehatan atau RS bila mengalami
tanda – tanda bahaya kehamilan pada awal
kehamilan. Dari uraian diatas diharapkan
angka kejadian abortus dan komplikasinya
dapat berkurang.
Berdasarkan latar belakang tersebut
diatas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang hubungan paritas dengan
kejadian abortus pada ibu hamil di RS Siti
Khotidjah Gurah Kabupaten Kediri tahun
2010
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Rancangan
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah analitik korelasi. Pemilihan
rancangan analitik tersebut berdasarkan penyesuaian
dengan tujuan penelitian. Sedangkan berdasarkan
cara pengumpulan data, rancangan penelitian ini
mengambil metode survey dengan menggunakan
data retrospektif dokumentasi. Rancangan penelitian
berdasarkan tempat penelitian adalah lapangan.
Berdasarkan waktunya, rancangan penelitian ini
mengambil metode crossectional. Hal ini
dikarenakan waktu pengambilan data hanya
dilakukan satu kali saja. Rancangan penelitian
berdasarkan ada tidaknya perlakuan menggunakan
metode expost facto. Hal ini dikarenakan tidak
diberikannya intervensi dalam pengungkapan fakta
masalah dalam sebuah data. Berdasarkan sumber
data rancangan penelitian ini menggunakan sumber
data sekunder. Penggunaan data tersebut diambil
karena peneliti tidak langsung observasi kepada
responden (Notoatmojo,2002).
Dari hasil perhitungan didapatkan besar
sampel adalah 55 orang ibu hamil di RSM Siti
Khotidjah Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri.
Teknik Pengambilan Sampel
Teknik sampling yang digunakan
dalam penelitian ini adalah dengan cara
purposive sampling, yaitu berdasarkan pada
suatu pertimbangan ciri atau sifat populasi.
Untuk mengetahui hubungan antara
paritas dengan kejadian abortus pada ibu hamil di
RS SITI KHOTIDJAH Kecamatan Gurah
Kabupaten Kediri Tahun 2010 dilakukan uji statistik
Non parametric Spearman Rank yaitu untuk
mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua
variabel yaitu variabel bebas yang berskala ordinal
dan variabel tergantung yang berskala ordinal
(Sugiono,2006).
ANALISIS HASIL PENELITIAN
Data Umum
Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi karakteristik
berdasarkan kelompok umur di RS SITI
KHOTIDJAH Kecamatan Gurah
Kabupaten Kediri Tahun 2010
No
Umur
Frekuensi
Prosentase
1
20-25
33
60 %
2
26-30
19
34,5 %
3
5,4 %
3
31-35
Jumlah
55
100 %
Sumber : Data Sekunder 2010
Berdasarkan data yang diperoleh pada tabel
5.1 diketahui bahwa karakteristik responden
berdasarkan usia sebagian besar (60%) yaitu 33
responden berusia 20-25 tahun.
Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Hubungan Antara Paritas Dengan Kejadian Abortus Pada Ibu Hamil
(Sri Haryuni)
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik
berdasarkan Pendidikan di RS SITI
KHOTIDJAH Kecamatan Gurah
Kabupaten Kediri Tahun 2010
No Pendidikan Frekuensi Prosentase
Abortus
Frekuensi
Ya
26
47,3 %
2
Tidak
29
52,7 %
Jumlah
55
100%
Dasar
Menengah
Tinggi
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi kejadian
Abortus pada Ibu Hamil di RS
SITI KHOTIDJAH Kecamatan
Gurah Kabupaten Kediri
Prosentase
1
1
2
3
seluruhnya (78,1%) yaitu sebanyak 43 responden
adalah Primipara.
4
50
1
Sumber : Data Sekunder 2010
Berdasarkan data yang diperoleh pada tabel
5.5 diketahui bahwa kejadian Abortus pada ibu
hamil hampir setengahnya (47,3%) yaitu 26
responden.
7,2 %
91 %
1,8%
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Silang
Hubungan
Antara
Paritas
dengan kejadian Abortus Pada
Ibu Hamil di RS SITI
KHOTIDJAH
Kecamatan
Gurah Kabupaten Kediri Tahun
2010.
Jumlah
55
100 %
Sumber : Data Sekunder 2010
Berdasarkan data yang diperoleh pada tabel
5.2 diketahui bahwa karakteristik responden
berdasarkan pendidikan hampir seluruhnya (91%)
yaitu 50 responden mempunyai pendidikan
Menengah.
Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
Tabel 5.3 Distribusi
Frekuensi
Karakteristik
Berdasarkan
Pekerjaan
di
RS
SITI
KHOTIDJAH
Kecamatan
Gurah Kabupaten Kediri Tahun
2010.
No.
1
2
3
Pendidikan
Ibu Rumah
Tangga
Pegawai
Negeri Sipil
Swasta
Wiraswasta
Jumlah
Frekuensi
Prosentase
37
1
14
3
67,2 %
1,8 %
25,4 %
5,4 %
31
100
Sumber : Data sekunder 2010
Berdasarkan data yang diperoleh pada
tabel 5.3 diketahui bahwa karakteristik
responden berdasarkan pekerjaan sebagian
besar (67,2%) yaitu 37 responden adalah Ibu
Rumah Tangga.
Abortus
Hubungan
p
a
r
i
t
a
s
Pr
i
m
ip
ar
a
M
ul
ti
p
ar
a
G
ra
n
d
e
m
ul
ti
p
ar
a
Total
Data Khusus
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi paritas
pada Ibu Hamil di RS SITI
KHOTIDJAH
Kecamatan
Gurah Kabupaten Kediri Tahun
2010.
Sumber : Data Sekunder 2010
Berdasarkan data yang diperoleh pada tabel
5.4 diketahui bahwa paritas Ibu Hamil hampir
Total
YA
TIDAK
24
19
55,8
44,2
2
7
22,3
77,7
∑
0
3
%
0
5,4
∑
%
26
47,3
29
52,7
∑
43
100
%
∑
%
9
100
3
100
55
100
Sumber : Data Sekunder 2010
N
o
1
2
3
Paritas
Frek
uensi
43
9
3
Prosentase
erdasa
Primipara
78,1 %
rkan
Multipara
16,3 %
Grande
5,4 %
uji
multipara
Korela
Jumlah
55
100 %
si
Spear
man data yang diperoleh dari nilai sig.
(2-tailed)
sebesar 0,013 sehingga ρ < 0,05 (α ) H0 ditolak H1
diterima, terbukti bahwa ada hubungan antara paritas
B
Hubungan Antara Paritas Dengan Kejadian Abortus Pada Ibu Hamil
(Sri Haryuni)
dengan kejadian abortus pada ibu hamil di RS SITI
KHOTIDJAH Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri
tahun 2010. Tingkat hubungan termasuk kategori
cukup karena di dapatkan nilai Correlation
Coefisien sebesar 0,332. Arah hubungan termasuk
negatif karena nilai Correlation Coefisien adalah 0,332, artinya abortus lebih beresiko pada kehamilan
pertama dan akan kembali lebih beresiko pada
kehamilan >5.
PEMBAHASAN
Paritas pada Ibu Hamil di RS SITI
KHOTIDJAH Kecamatan Gurah Kabupaten
Kediri Tahun 2010
Setelah dilakukan analisa data pada tabel
5.4 didapatkan bahwa Ibu Hamil di RS SITI
KHOTIDJAH Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri
hampir seluruhnya (78,1%) yaitu 43 responden
adalah Primipara. Hal ini sebabkan karena banyak
pasangan usia subur yang baru menikah dan
informasi tentang kontrasepsi mudah di dapatkan.
Menurut (Varney, 2002) dikemukakan
bahwa paritas adalah jumlah kehamilan yang
diakhiri dengan kelahiran janin memenuhi syarat
untuk melangsungkan kehidupan. Paritas juga dibagi
tiga macam yaitu primipara adalah seorang wanita
yang sudah menjalani kehamilan sampai janin
mencapai tahap viabilitas (Phyllis M. Klien, 2005)
dan multipara adalah wanita yang pernah melahirkan
anak hidup beberapa kali, dan grande multipara
adalah wanita yang telah melahirkan janin aterm
lebih dari 5 kali (Manuaba, 1998).
Berdasarkan fakta dari lapangan, pada data
umum terlihat
semua ibu berada pada usia
reproduksi yaitu antara 20-35 tahun. Pada usia ini
adalah
usia yang produktif untuk menjalani
kehamilan dimana ibu berada dalam masa yang
aman untuk melalui proses kahamilan dan
melahirkan dengan baik, selain itu hal ini juga di
latar belakangi
pekerjaan ibu sebagian besar
(67,2%) yaitu sebanyak 37 responden adalah ibu
rumah tangga dimana pekerjaan ibu rumah tangga
tidak terlalu berat untuk wanita yang sedang hamil
sehingga kehamilan tidak terlalu beresiko untuk
terjadinya abortus, dan juga pendidikan Ibu hampir
seluruhnya (91%) yaitu sebanyak 50 responden
mempunyai pendidikan Menengah, dimana dengan
pendidikan menengah ini maka responden lebih
cepat dan mudah menerima informasi tentang
bagaimana merencanakan kehamilan yang baik
sehingga kehamilan dapat berlansung dengan normal
dan menyenangkan bagi ibu dan pasangan, sehingga
bayi yang dilahirkanpun adalah bayi – bayi yang
sehat dan berkualitas.
Kejadian Abortus pada Ibu hamil di RS SITI
KHOTIDJAH kecamatan Gurah Kabupaten
Kediri Tahun 2010.
Setelah dilakukan analisa data pada tabel
5.5 diketahui bahwa kejadian Abortus di RS SITI
KHOTIDJAH Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri
Tahun 2010 hampir setengahnya (47,3%) yaitu 26
responden mengalami abortus. Hal ini disebabkan
karena ibu belum pernah hamil, kurangnya informasi
berkaitan dengan kehamilan, ibu mengkonsumsi
obat- obat bila ada keluhan yang merupakan tandatanda kehamilan dan nutrisi ibu yang kurang
terpenuhi.
Abortus merupakan berakhirnya kehamilan
sebelum anak dapat hidup di dunia luar tanpa
mempersoalkan penyebabnya. Anak baru hidup di
dunia luar kalau beratnya telah mencapai lebih dari
500 gram atau umur kehamilan lebih dari 20
minggu(Obstetri Patologi FK Unpad, 2002 ).
Abortus dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya adalah paritas, umur, pendidikan,
kelainan pertumbuhan hasil konsepsi yang dapat
menyebabkan kematian janin atau kecacatan,
kemungkinan pola kelainan kromosom seks. selain
itu faktor yang dapat menyebabkan abortus adalah
kelainan pada plasenta endometritis dapat terjadi
dalam vili korialis dan menyebabkan oksigenisasi
placenta
terganggu,
sehingga
menyebabkan
gangguan pertumbuhan dan kematian janin
(Yudiayutz,2008), seperti diketahui bahwa peran
plasenta dalam kehamilan sangat penting karena
berfungsi sebagai nutritif, respirasi, eliminasi, dan
sistem kekebalan dari ibu ke janin dan sebaliknya.
Selain itu umur ibu yang terlalu muda (< 20 tahun)
dan terlalu tua (> 35 tahun) (Yudiayutz,2008). Hal
ini disebabkan karena uterus belum siap menerima
zigot dikarenakan fungsi endometrium belum
optimal pada umur ibu < 20 tahun dan pada saat
umur ibu >35 tahun terjadi penurunan fungsi
endometrium karena terganggu vaskularisasinya,
dan menurunya kualitas sel telur.
Hubungan Antara Paritas dengan kejadian
Abortus pada Ibu Hamil di RS SITI
KHOTIDJAH kecamatan Gurah Kabupaten
Kediri Tahun 2010.
Setelah dilakukan analisa data pada tabel
5.6 didapatkan bahwa ibu hamil di RS SITI
KHOTIDJAH Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri
pada bulan Januari-Maret 2010 sebagian besar
(55,8%) yaitu sebanyak 24 responden terjadi abortus
pada primipara. Setelah dilakukan uji Korelasi
Spearman data yang diperoleh dari nilai sig.(2tailed) sebesar 0,013 sehingga ρ < 0,05 (α ) H0
ditolak H1 diterima, terbukti bahwa ada hubungan
antara paritas dengan kejadian abortus pada ibu
hamil di RS SITI KHOTIDJAH Kecamatan Gurah
Kabupaten Kediri tahun 2010. Tingkat hubungan
termasuk kategori cukup karena di dapatkan nilai
Correlation Coefisien sebesar 0,332. Arah hubungan
termasuk negatif karena nilai Correlation Coefisien
adalah -0,332, artinya abortus lebih beresiko pada
kehamilan pertama dan akan kembali lebih beresiko
pada kehamilan >5.
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya
abortus, diantaranya adalah kelainan pertumbuhan
Hubungan Antara Paritas Dengan Kejadian Abortus Pada Ibu Hamil
(Sri Haryuni)
hasil konsepsi, kelainan pada plasenta, penyakit ibu,
kelainan genetalia pada ibu, antagonis rhesus,
perangsangan pada ibu yang menyebabkan uterus
berkontraksi, penyakit dari bapak, umur, paritas,
pendidikan, psikologis ibu dimana diketahui bahwa
ibu dengan emosi yang lebih mudah mengalami
gangguan kejiwaan serta mengalami ketegangan
mental akibat pengaruh lingkungan, dan melalui
selebrum akan mempengaruhi pengeluaran bahanbahan dari eminentia mediana dan hipotalamus yang
merupakan daerah otak manusia kaya akan ujungujung syaraf yang berhubungan langsung dengan
pembuluh darah portal dari hipopisis hipotolamus
menghasilkan beberapa hormon yang dikenal
dengan Realising Hormon, yang akan masuk ke
dalam sirkulasi darah portal dan tiba di hipofase
(Yudiayutz,2008).
Paritas adalah pengelompokan wanita yang
telah melahirkan sejumlah anak hidup atau pernah
punya anak yang meninggal saat dilahirkan
(Yudiayutz, 2008). Abortus spontan lebih beresiko
pada primipara dibandingkan pada multipara, hal ini
sering disebabkan karena ibu tidak menyadari
sedang hamil dan mengkonsumsi obat – obatan bila
ada keluhan – keluhan yang sebenarnya merupakan
tanda- tanda kehamilan, ibu belum berpengalaman
dalam kehamilan, kelainan kromosom dari ibu hamil
tersebut, konsepsi tidak berkembang menjadi bayi
malah keluar dengan sendirinya dan kalaupun
bertahan si kecil akan cacat.
SIMPULAN
1.
2.
3.
Paritas pada Ibu Hamil di RS SITI
KHOTIDJAH
Kecamatan Gurah
Kabupaten Kediri tahun 2010 adalah
hampir seluruhnya Primipara.
Kejadian Abortus di RS SITI
KHOTIDJAH Kec. Gurah Kabupaten
Kediri Tahun 2010 sebagian besar
terjadi abortus.
Ada hubungan antara Paritas dengan
kejadian Abortus pada Ibu Hamil di RS
SITI KHOTIDJAH Kecamatan Gurah
Kabupaten Kediri Tahun 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi V.
Jakarta: Rineka Cipta
Bobak, Lowdermilk, Jensen. (2004). Buku Ajar
Keperawatan Maternitas. Edisi 4 Alih
Bahasa oleh Maria A. Wijayarini dan Peter I
Anugrah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
ECG.
Cunningham. (1995). Obstetri Williams. Jakarta :
RCG
Depdiknas. (2001). Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Jakarta : Depdiknas.
Erica,
(1994).
Epidemiologi.
http://situs.kesrepto.info/gendervaw/jun/2002
/utama03.htm
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2007. Metode Penelitian
Kebidanan & Teknik Analisa Data. Jakarta:
Salemba Medika
Handayani, D. (2006). Abortus, Cari Penyebab.
http://www.jawapos.com/Indeks
Hartanto (2003). Keluarga Berencana dan
Kontrasepsi. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
http://yudiayutz.wordpress.com/2008/12/04/abortus/
diakses 8 januari 2010.
Kodim, Nasrin. (2001). Epideminologi Abortus yang
Tidak
Aman.
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/012001
/top-1.htm.
Manuaba, IBG. (1998). Ilmu Kebidanan, Penyakit
Kandungan, dan Keluarga Berencana Untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri. Jakarta:
EGC
NN. (2005). Buku Saku pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD). Bandung : Tim Penggerak PKK
Propinsi Jawa Barat.
Natoatmojo, S. (2005). Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Prawiroharjo. (1999). Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Dan Neonatal. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka.
Saifudin (2002). Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka
Sastrawinata, Sulaeman (1981). Obstetri Patologi.
Bandung : Bagian Obstetri & Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Soegiyono, (2001). Metode Penelitian Administrasi.
Bandung : Alfabeta.
Tara, Elizabeth. 2001. Buku Pintar Kesehatan
Kehamilan. Jakarta: Ladang Pustaka Jakarta
WHO. (1995). Complication of Abrtion, technical
and Managerial for Preventing and
Treatment. Geneva
Wiknjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kebidanan.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
1
Dosen Ilmu Keperawatan STIKES Kadiri Kediri
HUBUNGAN ANTARA USIA DAN PARITAS DENGAN LAMA KALA II
PADA IBU BERSALIN
Rahmah K,D 1
Abstract: Maternal age and parity greatly affect the duration of second stage (the
process of spending a baby). At maternal age with having high risk (<20 years
and> 35 years) and primigravidae have parity or grande multiparous be at risk
of second stage of labor lama.Purpose of this study was to determine the
relationship between maternal age and maternal parity with the length of time
Aminah RSIA II in Blitar City in 2010. Design of studies using correlational
analytic design. The variables of this study are age, maternal parity and duration
of the second stage of labor. Respondents totaled 248 respondents taken with a
purposive sampling technique. Data collection instrument using the check list is
taken from the maternal medical records in RSIA Aminah Blitar City in 2010, and
then analyzed using sperman's correlation test and are presented in the form of
frequency distributions and cross tabulation.Based on the results of research
obtained data that the age is at most birth mothers with a low risk age group
there are 161 respondents (64.9%), the parity data is at most primigravidae there
are 158 respondents (63.7%) and who suffered second stage of labor normal is
106 respondents (42.7%). Spearman rank test results show the value of p = 0.000
significance level ( ) = 0.01, then Ho is rejected means that there is a
relationship between old age with stage II and spearman rank test results show
the value of p = 0.000 significance level ( ) = 0, 01 then Ho is rejected means
that there is a relationship between parity with the length of second stage.
Pregnant mothers are expected to pay more attention to plan pregnancies by age
and number of children, so that no problems will occur in the second stage of
labor.
Keyword: Age Mother birth, parity, duration of Kala II
Hubungan Antara Usia dan Paritas Dengan Lama Kala II Pada Ibu Bersalin
(Rahma K,D)
Latar belakang
Persalinan adalah proses dimana bayi,
plasenta dan selaput ketuban keluar dari uterus ibu.
Persalinan dianggap normal jika prosesnya terjadi
pada usia kehamilannya cukup bulan (setelah 37
minggu tanpa disertai adanya penyulit). (Madjid,
2007). Persalinan normal dapat berlangsung karena
adanya kerjasama ketiga faktor penting yaitu Power
(kekuatan His, kekuatan mengejan), Passage (jalan
lahir tulang, jalan lahir lunak), Passenger (janin,
plasenta dan selaput ketuban). dan juga didukung
dengan psikologi ibu serta faktor penolong
persalinan (Nezi, 2010).
Pada akhir kehamilan ibu dan janin
mempersiapkan diri untuk menghadapi proses
persalinan. Janin tumbuh dan berkembang dalam
proses persiapan menghadapi kehidupan di luar
rahim. Dalam proses keluarnya janin terdapat
beberapa teori persalinan yaitu penurunan kadar
progesteron, teori oksitosin, ketegangan otot,
pengaruh janin, teori prostaglandin. Persalinan
merupakan suatu proses alami yang akan
berlangsung dengan sendirinya, tetapi persalinan
pada manusia setiap saat terancam penyulit yang
membahayakan ibu maupun janinnya sehingga
memerlukan
pengawasan,
pertolongan
dan
pelayanan dengan fasilitas yang memadai.
Persalinan pada manusia dibagi menjadi empat tahap
penting dan kemungkinan penyulit dapat terjadi
pada setiap tahap tersebut, meliputi : kala I, kala II,
kala III, kala IV (Yayan, 2010).
Angka kematian ibu tahun 2007 terjadi
penurunan 228 per seratus ribu persalinan
dibandingkan 2003 mencapai angka 307 per seratus
ribu persalinan, tetapi angka ini masih tergolong
tinggi di Asia. Pada tahun 2010 Tercatat 228 ibu
yang meninggal per seratus ribu kelahiran hidup. Di
Jawa Timur, angka kematian ibu yang baru
melahirkan di sebesar 97 orang per 100 ribu. Di
Blitar data tahun 2010 terdapat angka kematian ibu
yaitu sebanyak 13,7/100 ribu
(Putra, 2010).
Peningkatan angka kematian ibu itu terjadi lantaran
keterlambatan rujukan ke rumah sakit yang
dilakukan petugas pembantu persalinan. Rendahnya
1
asupan gizi yang dipengaruhi kondisi ekonomi
masyarakat (Yekthi HM, 2010).
Berdasarkan data Depkes RI, angka
kematian ibu paling banyak disebabkan faktor
perdarahan dengan posisi 30 %, hipertensi 25 %,
infeksi 12 %, komplikasi 8 %, abortus 5 %, partus
lama 5 %, virus emboli 3 % dan lain-lain 12 %.
(Depkes RI, 2010). Di jawa timur angka kejadian
partus lama yaitu sebesar 7,21%, sedangkan di
RSUD Mardi Waluyo Kota blitar angka kejadian
partus lama sebesar 27 dari 809.
Tabel 1.1 Data persalinan di RSIA Aminah Kota
Blitar.
No
Tahun
Jumlah
persalinan
1
2
3
2008
2009
2010
664
701
646
Kejadian
kala II
lama
203
211
196
Presentasi
(%)
30,5 %
30,1 %
30,3 %
Sumber: Data rekam medik RSIA Aminah kota
Blitar tahun 2008-2010
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui
bahwa angka kejadian partus lama di RSIA Aminah
lebih tinggi dibandingkan dengan angka kejadian
partus lama di Jawa Timur maupun di Blitar.
Sebab terjadinya partus lama adalah multi
kompleks dan tentu saja bergantung pengawasan
selama hamil, pertolongan persalinan yang baik dan
penatalaksanaannya. Faktor terjadinya partus lama
di bagi menjadi dua yaitu faktor penyebab dan faktor
resiko, faktor penyebab: His, mal presentasi dan mal
posisi, janin besar, panggul sempit, kelainan serviks
dan vagina, disproporsi fetovelvik, dan ketuban
pecah dini, dan faktor resiko analgesik dan anastesis
berlebihan, paritas, usia, wanita dependen, respons
stres, pembatasan mobilitas, dan puasa ketat
(Bascom, 2010).
Berdasarkan studi pendahuluan di RSIA
Aminah Kota Blitar tanggal 25 april 2010. Dari 8
ibu bersalin terdapat 2 ibu bersalin yang
persalinannya normal (25 %) dan terdapat 6 ibu
bersalin yang mengalami kala II lama (75
%).Penyebab terjadinya kala II lama diantaranya
disebabkan oleh kelainan his (his hypotonic)
sebanyak 5 ibu bersalin( 83,33 %)1 ibu yang
mengalami his hypotonic berusia 19 tahun,dan 2
diantaranya berusia 35 dan 38 tahun dan 2 ibu
bersalin primigravida ,panggul sempit sebanyak 1
ibu bersalin ( 16,67 %).
His yang terlalu lemah menghambat proses
persalinan, Sehingga keadaan seperti ini tidak akan
dibiarkan terlalu lama karena dapat menimbulkan
kelelahan otot rahim. Biasanya dokter atau bidan
akan mengawasi dan menilai apakah perlu
dirangsang atau tidak. His yang terlalu kuat dan
sering lebih berbahaya karena tidak memberi
kesempatan relaksasi pada otot rahim inilah yang
seringkali menyebabkan persalinan tidak pada
tempatnya atau prosesnya terlalu cepat, yaitu hanya
2-3 jam, bayi juga bisa kekurangan oksigen sehingga
dapat menimbulkan kematian, selain itu hal ini juga
bisa menyebabkan bayi mengalami trauma,misalnya
perdarahan dalam tengkorak karena mengalami
tekanan yang kuat dalam waktu singkat. Ibu juga
bisa mengalami luka yang luas pada jalan lahir
bahkan sampai menimbulkan perdarahan. Yang
lebih berbahaya lagi jika ini ditambah kondisi
panggul yang sempit dan kelainan letak janin yang
44
Hubungan Antara Usia dan Paritas Dengan Lama Kala II Pada Ibu Bersalin
(Rahma K,D)
bisa
menyebabkan
pecahnya
rahim
yang
membahayakan jiwa ibu dan bayi (Efendi, 2010).
Untuk menurunkan angka kematian ibu dan
angka kematian bayi yang disebabkan oleh lama
kala II diharapkan para ibu hamil lebih
memperhatikan kehamilannya dengan rutin kontrol.
Karena dengan rutin kontrol maka ibu hamil dapat
mengetahui perkembangan kehamilannya dan
mendeteksi dini adanya komplikasi.
METODE PENELITIAN
Rancangan
yang
digunakan
dalam
penelitian ini dijelaskan dalam berbagai persepektif
yaitu berdasarkan lingkup penelitian termasuk jenis
penelitian inferensial, berdasarkan tempat penelitian
termasuk jenis lapangan, berdasarkan waktu
pengumpulan data temasuk jenis rancangan cross
sectional, berdasarkan ada tidaknya perlakuan
termasuk jenis expost facto penelitian, bedasarkan
pengumpulan data termasuk jenis observasional,
berdasarkan sumber data termasuk jenis sekunder.
Data Khusus
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Usia ibu bersalin
di RSIA Aminah Kota Blitar
Tahun 2010
No
Golongan
Usia
1.
Risiko
rendah
2.
Risiko
Tinggi
Jumlah
Sumber: Data Sekunder
Berdasarkan tabel 5.1 tersebut dapat
dideskriptifkan bahwa sebagian besar responden
penelitian yaitu 215 responden (79%) berpendidikan
SMU.
Tabel
No
1.
2.
3.
4.
5.2
Prosentase
(%)
62,9
36,1
272
100
Berdasarkan tabel 5.3 tersebut didapatkan
bahwa usia ibu bersalin sebagian besar adalah
golongan usia risiko rendah yaitu sebanyak 171
responden (62,9%)
Tabel
ANALISIS HASIL PENELITIAN
Data Umum
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Pendidikan di
RSIA Aminah Kota Blitar
Tahun 2010
No
Pendidikan Frekuensi Prosentase
(f)
(%)
1.
SD
2.
SMP
23
8,5
3.
SMU
215
79,0
4.
PT
34
12,5
Jumlah
272
100
Sumber: Data Sekunder
Frekuensi
(f)
171
101
5.4
Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan
paritas
ibu
bersalin di RSIA Aminah Kota
Blitar Tahun 2010
Frekuensi Prosentase
No
Paritas
(f)
(%)
1.
Primigravida 174
64,0
2.
Multigravida 83
35,5
3.
Grande
15
5,5
Multipara
Jumlah
272
100
Sumber: Data Sekunder
Berdasarkan tabel 5.4 tersebut didapatkan
bahwa paritas ibu bersalin sebagian besar adalah
Primigravida yaitu sebanyak 174 responden
(64,0%).
Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Pekerjaan di RSIA
Aminah Kota Blitar Tahun 2010
Pekerjaan
IRT
Petani
PNS
Swasta
Jumlah
Sumber: Data Sekunder
Frekuensi
(f)
168
16
44
44
272
Prosentase
(%)
61,8
5,8
16,2
16,2
100
Tabel
Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Lamanya kala II
ibu bersalin di RSIA Aminah
Kota Blitar Tahun 2010
No
Lamanya kala II
Frekuensi (f)
1
2
3
Cepat
Normal
Lambat
38
108
126
Prosentas
e (%)
14,0
39,7
46,3
272
100
Total
Berdasarkan tabel 5.2 tersebut dapat dapat
dideskriptifkan bahwa sebagian besar responden
adalah Ibu Rumah Tangga yaitu sebanyak 168
responden (61,8 %)
5.5
Sumber: Data Sekunder
Berdasarkan tabel 5.5 tersebut didapatkan
bahwa lamanya kala II ibu bersalin hampir
45
Hubungan Antara Usia dan Paritas Dengan Lama Kala II Pada Ibu Bersalin
(Rahma K,D)
setengahnya Lambat yaitu sebanyak 126 responden
(46,3%).
keeratan hubungan antara paritas dengan lamanya
kala II hubungan yang kecil (tidak erat).
Tabel 5.6
PEMBAHASAN
Usia Ibu Bersalin
Berdasarkan hasil penelitian kelompok usia
yang paling banyak adalah golongan usia yang
berisiko rendah yaitu sebanyak 171 responden
(62,9%), dan golongan usia berisiko tinggi yaitu
sebanyak 101 responden (37,1%).
Menurut Lestariningsih (2009 ) yang
mengutip pernyataan Seno Adjie, SpOG., ahli
kebidanan dan kandungan dari RSUPN Cipto
Mangunkusumo, usia dan fisik wanita berpengaruh
terhadap proses kehamilan pertama, pada kesehatan
janin dan proses persalinan. World Health
Organisation (WHO) memberikan rekomendasi
untuk usia yang dianggap paling aman menjalani
kehamilan dan persalinan adalah 20 hingga 30
tahun. Tapi mengingat kemajuan teknologi saat ini,
sampai usia 35 tahun masih boleh untuk hamil.
Semakin cukup umur maka tingkat
kemampuan dan kekuatan seseorang akan lebih
matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi
kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih
dewasa akan lebih dipercaya dan dalam hal ini juga
berhubungan dengan pengalaman dan kematangan
jiwa. Dimana tingkat pendidikan akan sangat
mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang,
sehingga berpengaruh kepada pola pikirnya maka
akan semakin tinggi pula kemampuan mereka dalam
menerima informasi dan menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari hal ini sesuai dengan pendapat
Notoatmodjo (2003), bahwa pengetahuan adalah
pemahaman seseorang akan sesuatu hal yang didapat
baik secara formal maupun non formal.
Paritas Ibu Bersalin
Berdasarkan tabel diketahui bahwa
sebagian besar ibu bersalin berparitas primigravida
yaitu sebanyak 174 responden (64,0%). Paritas
adalah keadaan wanita yang berkaitan dengan
jumlah anak yang dilahirkan (Romali, 2003).
Primipara adalah seorang wanita yang pernah sekali
melahirkan janin yang mencapai viabilitas.
Multipara adalah seoarang wanita yang pernah dua
kali atau lebih hamil sampai usia viabilitas dan
bukan
jumlah
janin
yang
dilahirkan.
Grandemultipara adalah seorang perempuan yang
telah hamil lima kali atau lebih yang menghasilkan
janin hidup (Cunningham, 2005).
Paritas juga menunjukkan banyaknya
pengalaman yang dimiliki oleh ibu hamil dalam hal
persiapan persalinan. Menurut Sahlan yang dikutip
Latipun (2001) pengalaman diri sendiri akan
dijadikan pusat evaluasi dan dia akan berperilaku
secara kreatif untuk beradaptasi terhadap peristiwa
yang baru.
Begitu pula dengan pengalaman ibu hamil,
dengan bertambahnya paritas akan dijadikan pusat
evaluasi dan dia akan berperilaku secara kreatif
Tabulasi Silang Usia Ibu Hamil
Dengan lamanya kala II di RSIA
Aminah Kota Blitar Tahun 2010.
Total
Lambat
f
f
%
46
16, 17
9
1
80
29, 10
4
1
3 15, 10
39, 12
46, 27
8 4
8
7
6
3
2
Uji korelasi spearman’s Coeficient Corelation = 0.447
Usia
Bersali
n
Risiko
Rendah
Risiko
Tinggi
Total
Lamanya kala II
Cepat
Normal
F %
f
%
3 11
95
34,
0
9
8 2,8 13
4,8
%
62,
9
37,
1
10
0
Sumber: Data Sekunder
Berdasarkan hasil tabulasi silang pada tabel
5.6 dari 248 responden didapatkan responden yang
bersalin pada usia resiko rendah hampir setegahmya
mengalami lama kala II normal yaitu 95 responden
(34,9%) sedangkan responden yang bersalin pada
usia beresiko tinggi hampir setengahnya mengalami
lama kala II yang lambat yaitu sebanyak 80
responden (29,4%).
Berdasarkan hasil uji korelasi spearman’s
bahwa ρ < α yaitu 0,000 < 0,01 didapatkan nilai
coefecient corelation 0.459 yang berarti tingkat
keeratan hubungan antara usia dengan lamanya kala
II hubungan yang cukup erat.
Tabel 5.7
Tabulasi Silang paritas Ibu Bersalin
Dengan lamanya kala II di RSIA
Aminah Kota Blitar Tahun 2010.
Primigr
avida
Lamanya kala II
Cepat
Normal
F %
f
%
1 4,4 59
21,
2
7
Multigr
avida
2
0
7,4
46
16,
9
Grande
multipa
ra
Total
6
2,2
3
1,1
Paritas
Total
Lambat
f
f
%
103
3 17
7 4
,
9
17
6 83
,
3
6
2 15
,
2
3 14, 10
39, 126
4 27
8 0
8
7
6 2
,
3
Uji korelasi spearman’s coefecient corelation = 0.365
%
6
4
,
0
3
0
,
5
5
,
5
1
0
0
Sumber: Data Sekunder
Berdasarkan hasil tabulasi silang pada tabel
5.7 dari 248 responden didapatkan responden yang
primigravida hampir setengahnya mengalami lama
kala II lambat yaitu 103 responden (37,9%).
Berdasarkan hasil uji korelasi spearman’s
bahwa ρ < α yaitu 0,000 < 0,01 didapatkan nilai
coefecient corelation 0.365 yang berarti tingkat
46
Hubungan Antara Usia dan Paritas Dengan Lama Kala II Pada Ibu Bersalin
(Rahma K,D)
untuk beradaptasi dengan peristiwa kehamilan dan
persalinan yang baru. Paritas primigravida
menunjukkan masih kurangnya pengalaman dalam
mempersiapkan kehamilan dan persalinan. Hal ini
disebabkan karena ia belum pernah mengalami
kehamilan sebelumnya. Kurangnya pengalaman
mempengaruhi kurangnya persiapan dalam proses
persalinan.
Paritas I dan paritas tingi (lebih dari 3)
mempunyai angka maternal lebih tinggi. Hal ini juga
sesuai dengan Harry oxon (2003) yang menjelaskan
bahwa uterus yang telah melahirkan banyak anak
cenderung bekerja tidak efisien dalam semua kala
persalinan. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi
adalah tidak direncanakan. oleh karena itu, resiko
yang terjadi pada berparitas tinggi (lebih dari 3)
dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga
berencana, sedangkan pada paritas 1, resiko yang
terjadi dapat di tangani dengan asuhan obstetrik
yang lebih baik (Prawiroharjo,2007).
Jumlah anak juga mempunyai pengaruh
pada ibu proses persalinan kala II. Responden
multigravida
cenderung
mengalami
proses
persalinan kala II normal yaitu sebanyak 46
responden (16,9%). Responden yang telah
mengalami beberapa kali persalinan cenderung
mempunyai kondisi psikis yang lebih baik dari pada
responden yang baru sekali atau dua kali mengalami
persalinan.
Lamanya Kala II
Berdasarkan tabel 5.5 tersebut didapatkan
bahwa lamanya kala II ibu bersalin hampir
setengahnya normal yaitu sebanyak 126 responden
(46,3%).
Persalinan adalah suatu pengeluaran hasil konsepsi
yang dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina
ke dunia luar (Sarwono, 2006). Persalinan adalah
proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban
keluar dari uterus ibu. Persalinan dianggap normal
jika prosesnya terjadi pada usia kehamilan cukup
bulan (setelah 37 minggu) tanpa disertai adanya
penyulit (Wiknjosastro, 2007). Persalinan normal
dapat berlangsung karena adanya kerjasama ketiga
faktor penting yaitu Power (kekuatan His, kekuatan
mengejan), Passage (jalan lahir tulang, jalan lahir
lunak), Passenger (janin, plasenta dan selaput
ketuban). dan juga didukung dengan psikologi ibu
serta faktor penolong persalinan (Nezi, 2010).
Banyaknya responden yang mengalami
kala II lama dapat dipengaruhi oleh beberapa hal,
menurut hasil tabulasi silang responden yang
berpendidikan SMP mengalami lama kala II lambat
dan responden berpendidikan SMA banyak yang
mengalami lama kala II normal.
Menurut Ariweni (2003) tingkat pendidikan
sangat berpengaruh terhadap tingkatan kualitas
SDM. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka
orang akan dapat lebih mudah mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan menyerap
pengetahuan teknologi. Kemajuan yang dicapai
suatu bangsa antara lain sangat ditentukan oleh
tingkat pendidikan peranan penting terutama dalam
proses pembentukan pribadi seseorang.
Pekerjaan
secara
tidak
langsung
berpengaruh terhadap persalinan, namun responden
yang mempunyai pekerjaan cenderung mempunyai
kondisi ekonomi yang lebih baik sehingga mereka
dapat mencukup kebutuhan nutrisi selama hamil,
bagaimanapun juga asupan gizi pada ibu hamil
sangat menolong pada waktu persalinan. Asupan
gizi yang cukup akan membuat power ibu pada
waktu persalinan menjadi lebih kuat.
Jumlah anak juga mempunyai pengaruh
pada ibu proses persalinan kala II. Responden
multigravida
cenderung
mengalami
proses
persalinan kala II normal yaitu sebanyak 44
responden (17,7%). Responden yang telah
mengalami beberapa kali persalinan cenderung
mempunyai kondisi psikis yang lebih baik dari pada
responden yang baru sekali atau dua kali mengalami
persalinan.
Menurut Gulardi (2010) Kontraksi rahim
memang menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman
pada ibu hamil. Rasa sakit karena kontraksi otot
rahim sangat individual, tidak hanya tergantung pada
keadaan normal orangnya. Perasaan takut dapat
menimbulkan
ketegangan
sehingga
dapat
menyebabkan gangguan his. Dukungan keluarga
akan membuat ibu lebih tenang sehingga persalinan
dapat berlangsung lancar.
Kontraksi rahim memang menimbulkan
rasa sakit dan tidak nyaman pada ibu hamil. Rasa
sakit karena kontraksi otot rahim sangat individual,
tidak hanya tergantung pada keadaan normal
orangnya. Perasaan takut dapat menimbulkan
ketegangan sehingga dapat menyebabkan gangguan
his. Dukungan keluarga akan membuat ibu lebih
tenang sehingga persalinan dapat berlangsung
lancar.
Hubungan Antara Usia Ibu Bersalin Dengan
Lamanya Kala II di RSIA Aminah Kota Blitar
tahun 2010
Berdasarkan tabulasi silang dari 248
responden didapatkan hasil bahwa dari 161
responden (64,9%) yang mempunyai umur risiko
rendah (20- 35 tahun) mengalami proses persalinan
kala II cepat yaitu sebanyak 30 responden (18,6%),
normal sebanyak 93 responden (57,7%) dan lambat
sebanyak 38 responden (23,6%). Ibu bersalin dengan
usia risiko tinggi sebanyak 87 responden (35,1%)
mengalami proses persalinan kala II cepat sebanyak
8 responden (9,2%), normal sebanyak 13 responden
(23,6%) dan lama sebanyak 66 responden (75,9%).
Berdasarkan hasil uji korelasi spearman’s
bahwa ρ < α yaitu 0,000 < 0,01 maka H0 ditolak
atau H1 diterima, artinya ada hubungan antara usia
ibu bersalin dengan lamanya proses persalinan kala
II dengan tingkat hubungan antara keduanya cukup
erat (0.459).
47
Hubungan Antara Usia dan Paritas Dengan Lama Kala II Pada Ibu Bersalin
(Rahma K,D)
Usia ibu memiliki kontribusi terhadap
lamanya persalinan. Usia ibu yang terlalu muda atau
tua dianggap penting karena ikut menentukan
prognosa persalinan yang dapat membawa resiko.
Ini berarti bahwa dengan usia ibu kurang dari 20
tahun atau lebih dari 35 tahun memiliki resiko
mengalami partus lama 1,766 kali lebih besar
dibandingkan dengan ibu dengan usia 20-35 tahun.
Ibu dengan usia terlalu muda kurang dari 20 tahun
atau lebih dari 35 tahun, ketidak seimbangan antara
panggul dan bagian terendah sering dijumpai pada
ibu dengan tinggi badan kurang dari 150 cm yang
mengakibatkan persalinan lama. Pada primigravida
lama rata-rata fase aktif adalah 5-8 jam dan batas
normal atasnya adalah 12 jam. Pada multigravida
lama rata-rata fase aktif adalah 2-5 jam, dengan
batas normal atasnya adalah 8 jam (Salsabila, 2010).
Berdasarkan teori diatas dapat dijelaskan
bahwa responden yang berusia kurang dari 20 lebih
mempunyai keuntungan dari segi power terutama
pada kala II his menjadi lebih kuat dan lebih cepat,
kira-kira 2 sampai 3 menit sekali, usia yang lebih
mudah dapat memenuhi his yang cenderung lebih
kuat dan cepat, namun dari segi psikis mereka
cenderung belum siap menjadi ibu. Kondisi psikis
yang tidak sehat ini dapat membuat kontraksi selama
proses persalinan tidak berjalan lancar sehingga
kemungkinan operasi sesar jadi lebih besar.
Sedangkan pada usia lebih dari 35 tahun hampir
mirip pada premigravida muda. Hanya saja, karena
faktor kematangan fisik yang dimiliki maka ada
beberapa risiko yang akan berkurang pada
premigravida tua. Misalnya menurunnya risiko cacat
janin yang disebabkan kekurangan asam folat.
Risiko kelainan letak janin juga berkurang karena
rahim ibu di usia ini sudah matang. Panggulnya juga
sudah berkembang baik. Bahaya yang mengancam
primigravida tua justru berkaitan dengan fungsi
organ reproduksi di atas usia 35 tahun yang sudah
menurun sehingga bisa mengakibatkan perdarahan
pada proses persalinan dan preeklamsia.
Sedangkan responden yang bersalin pada
usia aman (20-35 tahun) paling banyak mendapatkan
keuntungan baik dari segi power yang diperlukan
untuk his maupun kondisi psikis yang lebih mapan
sehingga menurut hasil penelitian pada usia ini
responden lebih banyak yang mengalami persalinan
kala II normal.
Namun masih terdapat sedikit kesenjangan
pada hasil penelitian dimana pada usia aman (20-35
tahun) masih terdapat responden yang mengalami
persalinan tidak normal yaitu sebanyak 38
responden (15,3%) banyak dikarenakan panggul
sempit sehingga menyebabkan responden menjalani
proses kala II menjadi lebih lama.
Berdasarkan hasil analisa data maka usia
ibu bersalin mempengaruhi proses persalinan kala II
hal ini dikarenakan semakin baik usia ibu bersalin
maka lamanya proses persalinan kala II akan
berlangsung dengan normal, sebaliknya jika semakin
kurang usia ibu bersalin maka proses persalinan kala
II juga akan semakin lama. Semakin cukup umur
maka tingkat kemampuan dan kekuatan seseorang
akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja.
Dengan umur yang semakin cukup maka diharapkan
responden lebih cepat dalam penerimaan informasi
terutama mengenai proses persalinan. Untuk itu
diharapkan
responden
harus
meningkatkan
pengetahuan yang lebih banyak baik formal maupun
informal melalui baca buku, majalah, penyuluhan
mengenai kesehatan.
Sedangkan menurut Muhimah, (2010) pada
kala II his menjadi lebih kuat dan lebih cepat, kirakira 2 sampai 3 menit sekali. Karena biasanya dalam
hal ini kepala janin sudah masuk di ruang panggul,
maka pada his dirasakan tekanan pada otot-otot
dasar panggul, yang. secara reflektoris menimbulkan
rasa mengedan. Wanita merasa pula tekanan kepada
rektum dan hendak buang air besar. Kemudian
perineum mulai menonjol dan menjadi lebar dengan
anus membuka. Labia mulai membuka dan tidak
lama kemudian kepala janin tampak dalam vulva
pada waktu his. Bila dasar panggul sudah lebih
berelaksasi, kepala janin tidak masuk lagi di luar his,
dan dengan his dan kekuatan mengedan maksimal
kepala janin dilahirkan dengan suboksiput di bawah
simfisis dan dahi, muka, dan dagu melewati
perineum. Setelah istirahat sebentar, his mulai lagi
untuk mengeluarkan badan, dan anggota bayi. Para
primigravida kala II berlangsung rata-rata 1,5 jam
dan pada multipara rata-rata 0,5 jam.
Masih terdapatnya responden yang
mengalami proses persalinan kala II yang tidak
normal pada usia rawan (>35 tahun dan < 20 tahun)
harus dapat diantisipasi oleh para tenaga kesehatan.
Pemberian konseling tentang kehamilan dan gizi
sangat diperlukan bagi ibu hamil pada usia rawan
dan juga pemberian melakukan tes amniosentesis
pada awal kehamilan bagi wanita berusia 35 tahun
atau lebih pada kehamilan pertama untuk
menemukan kemungkinan sindrom down dan
abnormalitas kromosom lain. Dan selalu memotivasi
ibu untuk selalu melakukan aktivitas untuk menjaga
kondisi fisik selama hamil untuk meningkatkan
power pada saat persalinan kala II.
Hubungan Antara Paritas Dengan Lamanya
Kala II di RSIA Aminah Kota Blitar Tahun 2010
Berdasarkan tabulasi silang dari 248
responden didapatkan hasil bahwa dari 158
responden (63,%) adalah primigravida mengalami
proses persalinan kala II cepat yaitu sebanyak 12
responden (7,6%), normal sebanyak 59 responden
(37,3%) dan lambat sebanyak 87 responden (55,1%).
Ibu bersalin multigravida sebanyak 77 responden
(31,0%) mengalami proses persalinan kala II cepat
sebanyak 20 responden (26%), normal sebanyak 44
responden (57,1%) dan lama sebanyak 13 responden
(16,9%). Ibu bersalin grandemultipara sebanyak 13
48
Hubungan Antara Usia dan Paritas Dengan Lama Kala II Pada Ibu Bersalin
(Rahma K,D)
responden (5,2%) mengalami proses persalinan kala
II cepat sebanyak 6 responden (46,2%), normal
sebanyak 3 responden (23,0%) dan lama sebanyak 4
responden (30,8%).
Berdasarkan hasil uji korelasi spearman’s
bahwa ρ < α yaitu 0,000 < 0,01 maka H0 ditolak
atau H1 diterima, artinya ada hubungan antara
paritas ibu bersalin dengan lamanya proses
persalinan kala II dengan tingkat hubungan antara
keduanya tidak erat (0.365).
Sebab terjadinya partus lama adalah multi
kompleks dan tentu saja bergantung pengawasan
selama hamil, pertolongan persalinan yang baik dan
penatalaksanaannya. Faktor terjadinya partus lama
di bagi menjadi dua yaitu faktor penyebab dan faktor
resiko, faktor penyebab: His, mal presentasi dan mal
posisi, janin besar, panggul sempit, kelainan serviks
dan vagina, disproporsi fetovelvik, dan ketuban
pecah dini, dan faktor resiko: analgesik dan anastesis
berlebihan, paritas, usia, wanita dependen, respons
stres, pembatasan mobilitas, dan puasa ketat .
Menurut Bascom 2010, salah satu
penyebab kelainan his yang dapat menyebabkan
partus lama terutama ditemukan pada primigravida
khususnya primigravida tua, sedangkan pada
multipara ibu banyak ditemukan kelainan yang
bersifat inersia uteri. Salah satu penyebab terjadinya
partus lama adalah kelainan his, his yang tidak
normal baik kekuatan maupun sifatnya tidak
menghambat
persalinan.
Kelainan
his
dipengaruhinya oleh herediter, emosi, dan ketakutan
menghadapi persalinan yang sering dijumpai pada
primagravida.
Dikatakan
bahwa
terdapat
kecenderungan kesehatan ibu yang berparitas rendah
lebih baik dari yang berperitas tinggi.
SIMPULAN
1.
Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa
kelompok usia yang paling banyak adalah usia
ibu 20-35 tahun ada 171 responden (62,9%).
2.
Paritas paling banyak adalah primigravida
sebanyak 174 responden (64,0%).
3.
Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa
hampir setemgahmya responden mengalami
lama persalinan kala II lambat yaitu 126
responden (46,3%).
4.
Hasil uji rank spearman menunjukkan nilai p=
0,000 pada tingkat signifikasi ( ) = 0,01 maka
Ho ditolak berarti ada hubungan antara usia
dengan lamanya kala II
5.
Hasil uji rank spearman menunjukkan nilai p=
0,000 pada tingkat signifikasi ( ) = 0,01 maka
Ho ditolak berarti ada hubungan antara paritas
dengan lamanya kala II.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT
Rineka Cipta
Ayahbunda. 2010. Hamil di usia 30an . menurut
[internet] 20 juni 2010 bersumber dari
http://www.ayahbunda.co.id. [Diakses 10
maret 2010]
Bascom 2010. Persalinan/Partus lama. Menurut
[internet] 12 januari 2010 tersedia di
(http://bascomj.wordpress.com./2008/04/03/fi
siologi-persalinan-normal/persalinan/partus
lama )diakses tanggal 14 Maret 2010.
Bobak. (2004). Buku Ajar Keperawatan Maternitas.
Jakarta : EGC
Cuningham, 2005 Obstetri William Edisi 21 :
Jakarta EGC
DEPKES. RI. (2008). Pelatihan Klinik Asuhan
Persalinan Normal. Jakarta: DEPKES. RI.
Dinkes RI. 2010. Angka Kematian Ibu Dan Bayi Di
Indonesia. menurut [internet] 7 januari 2010
bersumber dari: http://www.angka kematian
ibu di indonesia.go.id. [Diakses 10 Januari
2010]
Dorland. 2006. Kamus Kedoteran Dorland edisi 29.
Jakarta : EGC
Farrer, Hellen. (2001). Perawatan Maternitas. (Alih
Bahasa : Andry Hartono). Ed. 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Handayani. 2006. Hamil di usia rawan. Menurut
[internet] 21 juli 2006 bersumber dari:
www.mail-archive.com.[Diakses tanggal 10
maret 2010]
Hidayat, A.A. (2007).Metode Penelitian Kebidanan
dan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba
Medika
Indra. 2010. Hamil di Usia 20, 30 atau 40-an.
Menurut [internet] 19 januari 2010,
bersumber dari: www.mail-archive.com.
[Diakses 15 maret 2010]
Muhimah. (2010). Senam Sehat Selama Kehamilan.
Jakarta : Afabeta
Nezi. (2010). Faktor – faktor yang mempengaruhi
persalinan. Menurut [internet] 21 Juli 2010
Tersedia
di
http://lenteraimpian.wordpress.com. Diakses
tanggal 12 Januari 2010
Nursalam. (2003). Konsep Dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika
Prianggoro, Hasto. 2010. Hamil Tenang di Usia
Matang. Menurut [internet] 0- februari 2010,
bersumber dari: http://www.tabloidnova.com.
[Diakses 10 maret 2010]
Ramali, `A (2005). KAMUS KEDOKTERAN arti
dan keterangan istilah. Jakarta: Djambatan
Rekonfu. 2009. Kenali Kehamilan Sejak Dini.
Menurut [internet] 17 Maret 2009 tersedia di
http://www.rekonfu.com/index2.php?option=
49
Hubungan Antara Usia dan Paritas Dengan Lama Kala II Pada Ibu Bersalin
(Rahma K,D)
com_content&do_pdf=1&id=1495. [Diakses
13 maret 2010]
Saifudin, A (2002). Buku Acuan Nasional
Pelayanan
Kesehatan
Maternal
dan
Neonatal. Jakarta : YB – PSP
Salamah dan Suyanto. (2008). Riset Kebidanan
Metodologi dan Aplikasi. Yogyakarta : Mitra
Cendekia
Salsabila. 2010. Kehamilan Usia Remaja Terhadap
Durasi Proses Persalinan Kala I Dan II.
Menurut [internet] 15 januari 2010,
bersumber
dari:
http://skripsiqt.blogspot.com. Diakses tanggal 8 Maret
2010.
Simkin, Penny. (2008). Panduan Lengkap
Kehamilan, Melahirkan, & Bayi. (Alih
Bahasa : Lilian Juwono). Ed.Rev. Jakarta:
Arcan
Soekidjo, Notoatmodjo. (2005). Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka
Cipta
Sopiyudin. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan
Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika
Ubaydillah. 2010. Resiko Tinggi Kehamilan Remaja.
Menurut [internet] 13 januari 2010Tersedia di
http://morningcamp.com. [Diakses 13 maret
2010]
Wiknjosastro, Hanifa. (2007). Ilmu Kebidanan.
Jakarta : YBP-SP
Yanti, S. (2010). Buku Ajar Asuhan Kebidanan
Persalinan. Yogyakarta: Pustaka Rihama
Yayan. 2010. Fase / Kala dalam Persalinan Normal.
Menurut [internet] 11 januari 2010,
bersumber
dari:
http://belibis-a17.com.
[Diakses 13 Januari 2010]
1
Dosen ilmu keperawatan STIKES Kadiri Kediri
50
ANALISIS PADA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
HIPERTENSI PADA PASIEN
Fathiyah1, Indah Wulandari 2
Abstract : Hypertension is a situation where happened the make-up of blood
pressure above normal with sistolik more than or equal to 140 diastolik and
mmHg more or equal to 90 mmHg. Hypertension represent one of the most
having an effect on risk factor to cause kardiovaskuler disease. Hypertension
cause divided to become 2 faction that is esensial hypertension or primary and
sekunder hypertension. This research aim to to know factorsthat influencing
hypertension at patient in disease Cilegon Hospital. This research were using
descriptive cross sectional method. Sampel in this research are 100 people that is
representing hypertension patient which is medicinizeing road;street in disease
polyclinic in Cilegon Hospital. Result of research obtained that most ( 87%)
responder have age more than 40 year, ( 68%) responder have men gender to ,
(73%) history responder smoke, ( 88%) responder have malnutrisi category, (
93%) responder consume high salt, (61%) responder consume high fat, ( 82%)
responder do not exercise, ( 82%) responder have other disease, ( 78%)
responder suffer hypertension more than 5 year. Result of bivariat analysis there
are relation beetwen age, gender, history smoke, nutrisi status, high salt
consumption, high fat consumption, athletics, and other disease with
hypertension.
Keyword:
Hypertension
Analisis Pada Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi Pada Pasien
(Fathiyah, Indah Wulandari)
Latar belakang
Hipertensi merupakan salah satu faktor
resiko yang paling berpengaruh sebagai penyebab
penyakit kardiovaskuler. Hipertensi adalah suatu
peningkatan tekanan darah di dalam arteri (Ganong
2003; Mahdiana, 2010). Menurut World Health
Organization (WHO), hipertensi merupakan suatu
keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah
diatas normal dengan sistolik lebih dari dan /atau
sama dengan 140 mmHg dan diastolik lebih dari
dan/atau sama dengan 90 mmHg (Adib, 2009).
Hipertensi terjadi akibat adanya interaksi beberapa
mekanisme dalam tubuh seperti sitem saraf otonom,
system Rennin-Angiontensin, dan saraf lain seperti
natrium, hormon, dan volume sirkulasi darah (Sani,
2008).
Penyebab hipertensi di bagi menjadi 2
golongan yaitu hipertensi esensial atau primer dan
hipertensi sekunder. Hipertensi esensial atau primer
adalah
hipertensi
yang
belum
diketahui
penyebabnya, terdapat 90% dari seluruh hipertensi
(Adib, 2009 ; Mahdiana, 2010 ; Muhammadun, 2010
Sani, 2008). Hipertensi ini dipengaruhi oleh gaya
hidup seseorang seperti konsumsi garam dan lemak
tinggi, merokok, konsumsi alcohol berlebih, kurang
berolahraga dan stress yang berkepanjangan (Adib,
2009; Mahdiana, 2010 Muhammadun, 2010; Sani,
2008).
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang
disebabkan akibat adanya penyakit lain seperti gagal
ginjal, gagal jantung, atau kerusakan system hormon
tubuh (Adib, 2009; Ganong, 2003; Mahdiana, 2010;
Muhammadun, 2010; Sherwood, 2001).
Meningkatnya
prevalensi
penyakit
hipertensi setiap tahun menjadi masalah utama di
Negara berkembang dan Negara maju. Berdasarkan
data Lancet (2008) prevalensi penyakit hipertensi di
seluruh dunia mencapai satu miliar kasus, dengan
korban meninggal sebanyak 7,1 juta orang di seluruh
dunia yaitu sekitar 13% dari total kematian
(Muhammadun, 2010; Sani, 2008). Bahkan
diperkirakan jumlah penderita hipertensi akan
meningkat menjadi 1.6 miliar kasus menjelang tahun
2025 (Adib, 2009).
Data dari The National Health and
Nutrilion
Examinition
Survey
(NHANES)
menunjukan bahwa dari tahun 1999-2000 prevalensi
hipertensi pada orang dewasa sekitar 29-31%, yang
berarti terdapat 58-65 juta penderita hipertensi di
Amerika (Yogiantoro dalam Sudoyo 2007). Di
Negara bagian asia tercatat 38,4 juta kasus hipertensi
pada tahun 2000 dan diperkirakan akan meninggkat
menjadi 67,4 juta kasus hipertensi pada tahun 2025.
Di Indonesia, penderita hipertensi mencapai 17-21%
dari populasi penduduk dan sebagian tidak terdeteksi
(Muhammadun,
2010).
Prevalensi
penyakit
hipertensi di provinsi Banten tahun 2008 berjumlah
20.527 kasus dan tahun 2009 berjumlah 54.653
kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2010).
Gaya hidup sehat memegang peranan
penting dalam proses pencegahan penyakit. Karena
dengan menerapkan gaya hidup sehat maka akan
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat
suatu penyakit. Meskipun demikian, masih banyak
masyarakat yang tidak memperdulikan gaya hidup
mereka, seperti kebiasaan dalam mengkonsumsi
makanan yang melebihi kecukupan gizi, merokok,
dan sering mengkonsumsi alkohol yang dapat
menimbulkan berbagai masalah kesehatan terutama
terjadi di kalangan masyarakat perkotaan
(Muhammadun, 2010).
Perubahan gaya hidup yang terjadi pada
masyarakat
membawa
dampak
terhadap
berkembangnya penyakit degeneratif, salah satunya
adalah hipertensi (tekanan darah tinggi). Penyakit ini
merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang
banyak diderita oleh masyarakat diseluruh dunia
termasuk Indonesia. Hipertensi menepati urutan
pertama penyebab stroke dan serangan jantung, serta
merupakan faktor utama dalam timbulnya gagal
jantung kongestif (Muhammadun, 2010; Wolff,
2008).
Perubahan pola makan mengarah pada jenis
makanan yang banyak mengandung garam,
konsumsi garam yang tinggi selama bertahun-tahun
dapat meningkatakan tekanan darah karena terjadi
peningkatan konsentrasi natrium di dalam cairan
ekstraseluler. Untuk menormalkannya cairan
intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan
ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume
cairan
ektraseluler
tersebut
menyebabkan
meningkatnya volume dan tekanan darah, sehingga
berdampak
terhadap
timbulnya
hipertensi
(Muhammadun, 2010).
Konsumsi
makanan
yang
banyak
mengandung
lemak
dapat
menyebabkan
penimbunan lemak di sepanjang pembuluh darah.
Penyempitan pembuluh darah ini menyebabkan
aliran darah menjadi kurang lancar. Penyempitan
dan penyumbatan lemak ini memacu jantung untuk
memompa darah lebih kuat lagi, agar dapat
memenuhi kebutuhan darah ke jaringan. Akibatnya
tekanan darah menjadi meningkat, dan terjadilah
hipertensi (Muhammadun, 2010)
Merokok sudah menjadi kebiasaan buruk
yang dilakukan oleh beberapa masyarakat. Tanpa
mereka sadari ternyata dalam sebatang rokok yang
dihisap mengandung nikotin yang sangat berbahaya
karena nikotin dapat meningkatkan pengumpulan
darah dalam pembuluh darah. Selain itu, nikotin juga
dapat menyebabkan terjadinya pengapuran pada
dinding pembuluh darah sehingga keelastisan darah
menjadi berkurang, akibatnya tekanan darah pun
biasa meningkat (Muhammadun, 2010).
Gaya hidup yang tidak aktif atau malas
berolahraga bisa memicu terjadinya hipertensi. Berat
badan yang berlebih akan menyebabkan seseorang
susah begerak dengan bebas. Akibatnya jantung
harus bekerja lebih kuat untuk memompa darah agar
52
Analisis Pada Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi Pada Pasien
(Fathiyah, Indah Wulandari)
biasa menggerakkan tubuh. Oleh karena itu obesitas
termasuk salah satu yang bias meningkatkan resiko
hipertensi (Muhammadun, 2010; Wolff, 2008).
Data dari RSUD CilegonTahun 2009
bahwa hipertensi termasuk 10 besar penyakit
terbanyak di setiap tahunnya maka di peroleh
prevalensi penyakit hipertensi pada tahun 2009
sebanyak 974 kasus, dengan rincian sebagai
berikut:pada trimester 1 294 kasus dan trimester 11
sebanyak 248 kasus, trimester 111 sebanyak 197
kasus dan trimester 1V sebanyak 225 kasus.
Sedangkan untuk tahun 2010 di dapatkan hasil pada
bulan januari sebanyak 112 kasus, bulan februari
sebanyak 117 kasus, bulan maret 65 kasus, dan
bulan april 75 kasus (Profil RSUD Cilegon, 2009).
Berdasarkan studi pendahuluan yang
peneliti lakukan di poliklinik penyakit dalam RSUD
Cilegon melalui wawancara terhadap 10 pasien, di
peroleh hasil bahwa 10 pasien memiliki hipertensi
cenderung menjalani gaya hidup seperti kebiasaaan
mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung
garam, dan lemak, merokok, dan kurang berolah
raga.
Melihat tingginya prevalensi penyakit
hipertensi di RSUD Cilegon dan dampak yang di
timbulkan sangat serius, maka perlu mendapat
perhatian dan penanganan khusus untuk mencegah
peningkatan jumlah penderita hipertensi.Oleh karena
itu penulis tertarik untuk meneliti tentang “Analisis
faktor-faktor yang mempengaruhi hipertensi pada
pasien di poliklinik penyakit Dalam RSUD Tahun
2010”.
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Survei Analitik dengan
pendekatan Cross Sectional. Cross Sectional yaitu
suatu penelitian untuk mempelajari dinamika
korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek,
dengan
cara
pendekatan
observasi,
atau
pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Point
Time Approach).
Penelitian dilaksanakan di poliklinik
penyakit dalam
RSUD Cilegon. Penelitian
dilaksanakan pada Bulan desember 2010. Variabel
independen dalam penelitian ini adalah usia, jenis
kelamin, merokok, berat badan,konsumsi garam
tinggi,
konsumsi
lemak
tinggi,
penyakit
penyerta.Variabel dependen dalam penelitian ini
adalah kejadian hipertensi.
Populasi pada penelitian ini adalah pasien
dewasa di
ploliklinik penyakit dalam RSUD
Cilegon berjumlah 974 orang. Jumlah sampel yang
diikutsertakan dalam penelitian ini adalah 100
responden.
≥
40 tahun sebanyak 87 orang (87%), berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 68 orang (68%),
memiliki riwayat merokok yaitu sebanyak
73
orang (73%), mempunyai kategori malnutrisi
sebanyak 88 orang (88%), memiliki kebiasaan
mengkonsumsi garam tinggi sebanyak 93 orang
(93%), memiliki kebiasaan mengkonsumsi lemak
tinggi sebanyak 61 orang (61%), tidak melakukan
olahraga yaitu sebanyak
82 orang (82%),
sebagian besar responden memiliki penyakit
penyerta sebanyak 82 orang (82%), dan sebagian
besar responden menderita hipertensi ≥ 5 tahun yaitu
sebanyak 78 orang (78%).
Hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa
Lama Menderita
Hipertensi
Varia
bel
≥ 5
ρ
<5
tahun
tahun
Total
77
10
87
-88,50%
-11,50%
-100%
1
12
13
-7,70%
-92,30%
-100%
78
22
100
-78%
-22%
-100%
60
8
68
-88,20%
-11,80%
-100%
18
14
32
-56,30%
-43,80%
-100%
78
22
100
-78%
-22%
-100%
Usia
≥
40
tahun
0
< 40
tahun
Tota
l
Jenis
Kelam
in
Laki
-laki
0,001
Pere
mpuan
Tota
l
Riway
at
Mero
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian univariat menunjukkan
hasil bahwa sebagian besar responden memiliki usia
value
0,013
kok
Ya
62
11
73
53
Analisis Pada Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi Pada Pasien
(Fathiyah, Indah Wulandari)
Varia
bel
Tida
Lama Menderita
Lama Menderita
Hipertensi
Hipertensi
≥ 5
<5
tahun
Total
-84,90%
-15,10%
-100%
16
11
27
tahun
ρ
Varia
value
bel
Tota
≥ 5
ρ
<5
tahun
Total
-56,40%
-43,60%
-100%
78
22
100
-78%
-22%
-100%
70
12
82
-85,40%
-14,60%
-100%
8
10
18
-44,40%
-55,60%
-100%
78
22
100
-78%
-22%
-100%
75
7
82
-91,50%
-8,50%
-100%
3
15
18
-16,70%
-83,30%
-100%
78
22
100
-78%
-22%
-100%
tahun
value
l
k
Tota
-59,30%
-40,70%
-100%
78
22
100
-78%
-22%
-100%
l
Olahr
aga
Status
Tida
Nutris
k
i
Mal
75
13
88
Ya
nutrisi
Nor
0
-85,20%
-14,80%
-100%
3
9
12
0
Tota
l
mal
Tota
l
-25%
-75%
-100%
78
22
100
-78%
-22%
-100%
Penya
kit
Penye
Konsu
rta
msi
Ada
Gara
m
Tida
Tinggi
Ya
Tida
k
Tota
l
76
17
93
-81,70%
-18,30%
-100%
2
5
7
-28,60%
-71,40%
-100%
78
22
100
-78%
-22%
-100%
Konsu
Lema
k
Tinggi
Tida
k
56
5
61
-91,80%
-8,20%
-100%
22
17
39
k
Tota
l
0
msi
Ya
0,005
0
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisa data
penelitian ini terlihat bahwa responden usia
≥ 40 tahun sebagian besar
(88,5%)
menderita hipertensi selama ≥ 5 tahun dan
responden yang memiliki usia < 40 tahun
sebagian
besar
(92,3%)
menderita
hipertensi selama < 5 tahun.
Hasil analisis bivariat dengan
menggunakan uji chi square didapatkan
nilai ρ value : 0,000 berarti ρ value < α
54
Analisis Pada Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi Pada Pasien
(Fathiyah, Indah Wulandari)
maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak.
Hal ini membuktikan bahwa ada hubungan
antara usia dengan lama menderita
hipertensi.
Hipertensi umumnya berkembang
pada usia diatas 40 tahun. Usia sangat
berpengaruh terhadap peningkatan tekanan
darah, baik tekanan sistolik maupun pada
tekanan diastolik. Hal ini disebabkan
dengan semakin meningkatnya usia
seseorang, maka semakin meningkat juga
kekakuan dari pembuluh darah aorta dan
arteri-arteri pusat (Salawaney, 2010).
Hal ini disebabkan karena dinding
arteri akan mengalami penebalan oleh
adanya penumpukan zat kolagen pada
lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan
berangsur-angsur menyempit dan menjadi
kaku. Seiring dengan bertambahnya usia,
hampir setiap orang megalami peningkatan
darah, tekanan sistolik terus meningkat
hingga usia 80 tahun dan tekanan diastolik
terus meningkat hingga usia 55-60 tahun
(sani, 2008).
Berdasarkan faktor pemicu, hipertensi
dibedakan atas faktor yang tidak dapat dikontrol
seperti umur, jenis kelamin dan keturunan. Pada usia
lanjut terjadi penebalan dan kekakuan pada dinding
arteri. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan
menjadi kaku, sehingga tidak dapat mengembang
pada saat jantung memompa darah melalui arteri
tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut
jantung dipaksa untuk melalui pembuluh darah yang
sempit dari biasanya dan menyebabkan naiknya
tekanan (Soenarta, 2010).
Berdasarkan hasil analisa data
penelitian ini terlihat bahwa responden
yang menderita hipertensi selama ≥ 5 tahun
sebagian besar (88,2%) dengan jenis
kelamin laki-laki dan responden yang
menderita hipertensi selama < 5 tahun
sebagian (43,8%) dengan jenis kelamin
perempuan.
Hasil analisis bivariat dengan
menggunakan uji chi square didapatkan
nilai ρ value : 0,001 berarti ρ value < α
maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak.
Hal ini membuktikan bahwa ada hubungan
antara jenis kelamin dengan lama menderita
hipertensi.
Hipertensi
lebih
mudah
menyerang kaum laki-laki dari pada
perempuan. Hal ini disebabkan karena lakilaki banyak memiliki faktor pendorong
terjadinya hipertensi, seperti stress,
kelelahan dan makan yang tidak terkontrol.
Pria lebih banyak mengalami
kemungkinan menderita hipertensi daripada
wanita. Hipertensi berdasarkan gender ini
dapat pula dipengaruhi oleh faktor
psikologis. Pada wanita seringkali dipicu
oleh perilaku tidak sehat (merokok,
kelebihan berat badan), depresi dan
rendahnya status pekerjaan. Sedangkan
pada pria lebih berhubungan dengan
pekerjaan, seperti perasaan kurang nyaman
terhadap pekerjaan dan pengangguran
(Basha, 2008).
Berdasarkan hasil analisa data
penelitian ini terlihat bahwa responden
yang menderita hipertensi selama ≥ 5 tahun
sebagian besar (84,9%) merokok dan
responden yang menderita hipertensi
selama < 5 tahun sebagian (40,7%) tidak
merokok. Hasil analisis bivariat dengan
menggunakan uji chi square didapatkan
nilai p value : 0,013 berarti
ρ value < α
(ρ < 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa
Ho ditolak. Hal ini membuktikan bahwa
ada hubungan antara merokok dengan lama
menderita hipertensi.
Merokok adalah suatu faktor resiko
penting dalam penyakit kardiovaskuler.
Pada orang yang merokok secara terus
menerus, kemungkinan terjadinya serangan
jantung enam kali lebih besar dibandingkan
dengan mereka yang tidak merokok.
Rokok mengandung berbagai zat
racun (toksin) yang berjumlah jutaan.
Selain itu rokok juga menjadi oksidan
(radial bebas) yang dapat merusak dinding
pembuluh
darah dan menyebabkan
keelastisan pembuluh darah berkurang,
akibatnya tekanan darah pun bisa
meningkat (Muhammadun, 2010).
Hipertensi juga dapat dirangsang oleh
adanya nikotin dalam batang rokok yang di hisap
seseorang. Hasil penelitian menunjukan bahwa
nikotin dapat meningkatkan penggumpalan darah
dalam pembuluh darah. Selain itu, nikotin juga dapat
menyebabkan terjadinya pengapuran pada dinding
pembuluh darah (Muhammadun, 2010).
Berdasarkan
hasil
analisa
data
55
Analisis Pada Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi Pada Pasien
(Fathiyah, Indah Wulandari)
penelitian ini terlihat bahwa responden
yang memiliki berat badan malnutrisi
sebagian besar
(85,2%)
menderita
hipertensi selama ≥ 5 tahun dan responden
yang memiliki berat badan normal sebagian
besar (75%) menderita hipertensi selama <
5 tahun.
Hasil
analisis
bivariat
dengan
menggunakan uji chi square didapatkan nilai ρ value
: 0,000 berarti ρ value < α maka dapat disimpulkan
bahwa Ho ditolak. Hal ini membuktikan bahwa ada
hubungan antara berat badan dengan lama menderita
hipertensi.
Obesitas (kegemukan) merupakan
ciri khas penderita hipertensi. Walaupun
belum diketahui secara pasti hubungan
antara hipertensi dengan obesitas, namun
terbukti bahwa daya pompa jantung dan
sirkulasi volume darah penderita obesitas
dengan hipertensi lebih tinggi daripada
penderita hipertensi dengan berat badan
normal (Basha, 2008).
Makan yang berlebihan dapat menyebabkan
kegemukan (obesitas). Obesitas lebih cepat terjadi
pada gaya hidup pasif (kurang bergerak dan
olahraga). Pada orang yang memiliki kelebihan
lemak, dapat menyebabkan penyumbatan pada
pembuluh darah sehingga mengganggu suplai
oksigen dan zat makanan ke organ lain.
Penyempitan dan penyumbatan lemak ini memacu
jantung untuk memompa darah lebih kuat lagi, agar
dapat memenuhi kebutuhan darah ke jaringan.
Akibatnya tekanan darah menjadi meningkat,
sehingga terjadilah hipertensi (Beavers, 2008;
Muhammadun, 2010; Sani, 2008; Wolff, 2008;).
Berdasarkan hasil analisa data
penelitian ini terlihat bahwa responden
yang memiliki konsumsi garam tinggi
sebagian besar
(81,7%)
menderita
hipertensi selama ≥ 5 tahun dan responden
yang tidak mengkonsumsi garam tinggi
sebagian
besar
(71,4%)
menderita
hipertensi selama < 5 tahun. Hasil analisis
bivariat dengan menggunakan uji chi
square didapatkan nilai ρ value: 0,005
berarti ρ value < α maka dapat disimpulkan
bahwa Ho ditolak. Hal ini membuktikan
bahwa ada hubungan antara konsumsi
garam tinggi dengan lama menderita
hipertensi.
Asupan garam merupakan faktor resiko
terjadinya hipertensi. Melalui peningkatan volume
plasma (cairan tubuh) dan tekanan darah yang akan
diikuti oleh peningkatan ekskresi kelebihan garam
sehingga kembali pada keadaan hemodinamik
(system perdarahan) yang normal. Pada hiperensi
essensial mekanisme inilah yang terganggu (Basha,
2008).
Reaksi setiap orang berbeda-beda terhadap
asupan garam yang didalamnya mengandung
natrium. Pada beberapa orang, baik yang sehat
maupun yang memiliki hipertensi walaupun mereka
mengkonsumsi natrium berlebihan, pengaruhnya
terhadap tekanan darah sedikit sekali bahkan tidak
ada. Pada kelompok lain, jika terlalu banyak
mengkonsumsi
natrium
akan
menyebabkan
peningkatan tekanan darah yang juga memicu
terjadinya hipertensi.
Konsumsi garam tinggi memiliki efek
langsung terhadap peningkatan tekanan darah.
Garam menyebabkan penumpukan cairan di dalam
tubuh karena garam menarik cairan ekstraseluler
agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan
volume dan tekanan darah.
Sebagian besar responden memiliki gaya
hidup konsumsi garam tinggi, hal tersebut factor
resiko terjadinya penyakit hipertensi. Garam
merupakan factor penting dalam pathogenesis
hipertensi. Penyakit ini hampir tidak pernah
ditemukan pada suku bangsa dengan konsumsi
garam minimal. Konsumsi garam yang dianjurkan
tidak lebih dari 5-6 gram/hari atau setara dengan
satu sendok the (Adib, 2009; Beavers, 2008;
Muhammadun, 2010).
Berdasarkan hasil analisa data
penelitian ini terlihat bahwa responden
yang olahraga sebagian besar (85,4%)
menderita hipertensi selama
≥ 5 tahun
dan responden yang tidak olahraga sebagian
(55,6%) menderita hipertensi selama < 5
tahun. Hasil analisis bivariat dengan
menggunakan uji chi square didapatkan
nilai ρ value: 0,000 berarti ρ < α maka
dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak. Hal
ini membuktikan bahwa ada hubungan
antara olahraga dengan lama menderita
hipertensi.
Olahraga adalah aktivitas jangka
panjang dan berintensitas rendah yang
berlangsung beberapa menit dan melibatkan
otot-otot di dalam tubuh (Sherwood, 2001).
Tekanan darah dipengaruhi oleh aktivitas
fisik, dimana akan lebih tinggi karena
melakukan aktivitas fisik dan lebih rendah
ketika beristirahat. The American college of
sport medicine merekomendasikan agar
seseorang berolahraga tiga kali seminggu
selama dua puluh sampai enam puluh menit
(Sherwood, 2001).
56
Analisis Pada Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi Pada Pasien
(Fathiyah, Indah Wulandari)
Kurang berolahraga merupakan
salah satu faktor resiko terjadinya kematian
akibat penyakit kardiovaskuler. Kurang
berolahraga dapat memicu terjadinya
hipertensi pada orang-orang yang memiliki
kepekaan yang diturunkan. Berat badan
yang berlebihan akan membuat seseorang
susah bergerak dengan bebas. Sehingga
jantung harus bekerja lebih kuat untuk
memompa darah. Kondisi ini bisa
meningkatkan resiko hipertensi (Sani, 2008;
Muhammadun, 2010; Wolf, 2008).
Berdasarkan hasil analisa data
penelitian ini terlihat bahwa responden
dengan
penyakit
penyerta
(91,5%)
menderita hipertensi selama ≥ 5 tahun dan
responden yang tidak memiliki penyakit
penyerta (83,3%) menderita hipertensi
selama < 5 tahun.. Hasil analisis bivariat
dengan menggunakan uji chi square
didapatkan nilai ρ value : 0,000 berarti ρ <
α maka dapat disimpulkan bahwa Ho
ditolak. Hal ini membuktikan bahwa ada
hubungan antara penyakit penyerta dengan
lama menderita hipertensi.
Penyakit penyerta kadang timbul
bersamaan dengan hipertensi dan hal ini
dapat memperburuk kerusakan organ.
Penyakit penyerta yang bisa muncul antara
lain : kencing manis, resistensi insulin,
hipertiroid, rematik, gout, dll. Hipertensi
jika tidak segera diatasi dapat menimbulkan
kesulitan-kesulitan
jantung,
stroke,
gangguan ginjal, pengaburan penglihatan
ataupun penyakit penyerta lain. Hipertensi
sekunder adalah hipertensi yang disebabkan
akibat adanya penyakit lain seperti gagal
ginjal, gagal jantung atau kerusakan system
hormon tubuh (Adib, 2009; Ganong, 2003;
Mahdiana, 2010; Muhammadun, 2010;
Sherwood, 2001).
Dibandingkan dengan orang sehat,
penderita diabetes mellitus dua kali lebih
mudah terkena penyakit jantung koroner
sebab lebih mudah terjadi penyumbatan
pada pembuluh darah koroner. Karena
nutrisi dan oksigen yang diterima otot
jantung berkurang, kapiler jantung pun bisa
gampang rusak. Komplikasi yang dapat
terjadi pada penderita diabetes mellitus
antara lain : neuropati simtomatik atau
komplikasi syaraf, retinopati diabetic,
katarak, TBC, hipertensi, penyakit jantung
koroner, ganggren diabetic, dll (David,
2008).
Pada penderita gagal ginjal kronik, hampir
selalu disertai dengan hipertensi, sebab hipertensi
dan penyakit ginjal kronik merupakan dua hal yang
selalu berhubungan erat. Selain itu penyakit ginjal
telah lama dikenal sebagai penyebab hipertensi
sekunder. Hipertensi terjadi pada lebih kurang 80%
penderita gagal ginjal terminal. Hipertensi pada
gagal ginjal kronik dapat terjadi sebagai efek dari
penyakit pembuluh darah yang telah ada sebelumnya
atau akibat dari penyakit ginjal itu sendiri. Keadaan
ini juga dapat disebabkan karena adanya
peningkatan volume cairan, peningkatan sekresi
rennin, racun-racun uremik, asupan natrium,
hipertiroid sekunder, dan lain-lain. Akibat
peningkatan tekanan darah dalam jangka panjang
dapat menyebabkan penebalan dinding ventrikel
kiri. Adanya beberapa penyakit penyerta yang terjadi
pada penderita gagal ginjal kronik seperti diabetes
dan hipertensi dapat mempercepat buruknya fungsi
ginjal penderita (Salawaney, 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Adib, M. 2009. Cara Mudah Memahami &
Menghindari Hipertensi, Jantung dan Stroke.
Yogyakarta : Dianloka Pustaka Populer.
Ariawan. I. 1988. Besar dan Metode Sampel pada
Penelitian Kesehatan. Jakarta : FKM
Universitas Indonesia.
Arikunto, S. 2002. Produser Penelitian. Jakarta :
Rineka Cipta.
Aswari, D. 2008. Hubungan Tingkat Pengetahuan
Dengan Sikap Penderita hipertensi Tentang
Manajemen Hipertensi Di Desa Sujung
Wilayah Kerja Puskesmas Tirtayasa Tahun
2008. Serang : STIKes Faletehan.
Baskoro, W. 2005 kamus Lengkap Bahasa
Indonesia. Jakarta : Setia kawan.
Beavers, D. G. 2008. Bimbingan Dokter Pada
Tekanan Darah. Jakarta Rakyat.
Elizabeth, Corwin. 2001. Buku Saku Patofisiologi.
Jakarta : EGC.
Ganong. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Jakarta : EGC.
Hastono, S. P. 2007. Analisa Data Kesehatan.
Jakarta : EGC.
Mahdina, S. P. 2010. Mencegah Penyakit Kronis
Sejak Dini. Yogyakarta : Tora Book.
Muhammadun. 2010. Hidup Bersama Hipertensi.
Yogyakarta.
Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
57
Analisis Pada Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi Pada Pasien
(Fathiyah, Indah Wulandari)
Nursalam, 2003. Konsep & Penerapan Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika.
Sani, A. 2008. Hypertensi Current Perspective.
Jakarta : Graha Ilmu.
Sherwood, L. 2001. Fisisologi Manusia Edisi 2.
Jakarta : EGC.
Sudoyo , A. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I/Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Angraini, L.F. 2010. Faktor-faktor
Yang
Mempengaruhi Gaya Hidup Pada Pasien
Hipertensi Di Poliklinik Penyakit Dalam
RSUD Serang: STKes Falatehan.
Basha, A. 2008. Hipertensi: Faktor Resiko dan
Penatalaksanaanya.Desember 15,2011 http://
www, pjnhk.go.id.
Mahdiana, R. 2010. Mencegah Penyakit Kronis
Sejak Dini. Yogyakarta: Tora Book.
Muhammadun. 2010.Hidup Bersama Hipertensi.
Desember 15, 2011.
http://www,jantung hipertensi. Com.
Nursalam, 2003. Konsep &Penerapan Metodologi
Penelitian ILmu Keperawatan Jakarata
Salemba Medika.
Profil RSUD Cilegon Tahun 2011.
Salawaney, T. 2010. Hipertensi Pda Penderita
Gagal Ginjal Kronik
http://www,jantung hipertensi. com.
Soenarta, A. 2007. Komplikasi Akibat Hipertensi
Sering Timbul Tanpa Gejala Desember
15,2011. http://www.wordpress.com.
1
Mahasiswa Program Transfer dan Perawat di
RSUD Cilegon
2
Dosen Departemen KMB STIKes Faletehan
Serang
58
PENINGKATAN FUNGSI VENTILASI OKSIGENASI PARU
PADA KLIEN POST VENTILASI MEKANIK MELALUI DEEP
BREATHING EXERCISE
Priyanto1, Dewi Irawaty2, Luknis Sabri3
Abstract: Deep breathing exercise (DBE) is pulmonary activities with deep
breath technique and effective cough to restore oxygenation ventilation. The
purpose of research was to identify the influence of deep breathing exercises on
ventilation oxygenation pulmonary function on client with post mechanical
ventilation. This research used quasy experiment nonequivalent control group,
involving 26 respondents for each intervention and control group who selected
by consecutive sampling method. Bedside monitor, peak flow meter, pulse
oximetry were instrument used. The research was conducted on ICU of Dr.
Moewardi Regional Hospital, Tugurejo Regional Hospital and Ambarawa
Regional Hospital. The results showed significant difference ventilation
oxygenation (VO) pulmonary function after conducting deep breathing exercise
(DBE) on day 4 and 5 (p=0.018, p=0.004). Recommendations of this study as a
reference to improve the standard of nursing care through the application of
DBE in the practice of critical care nursing. Implications for service quality
improvement through an independent professional nursing care.
Key words:
Deep breathing exercises (DBE), post mechanical ventilation, ventilation
oxygenation (VO) pulmonary function
Peningkatan Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru Pada Klien Post Ventilasi Mekanik Melalui Deep Breathing
Exercise
(Priyanto, Dewi I, Luknis S)
Latar belakang
Kegagalan pernapasan merupakan
indikasi yang paling umum untuk dirawat
di unit perawatan intensif (ICU) rumah
sakit. Kegagalan pernapasan merupakan
kondisi ketidakmampuan paru menjaga
keseimbangan atau homeostatis O2 dan
CO2 di dalam tubuh serta ketidakmampuan
paru menyediakan O2 yang cukup atau
mengurangi tumpukan CO2 di dalam tubuh.
Menurut Ignatavicius & Workman (2006)
kegagalan
pernapasan
lanjut
dapat
didefinisikan sebagai kegagalan ventilasi
dan atau kegagalan oksigenasi karena
berbagai faktor penyebab. Pemberian
bantuan pernapasan dengan pemasangan
ventilasi mekanik dapat membantu ventilasi
paru untuk meningkatkan oksigenasi dan
mencegah kerusakan paru. Menurut
Smeltzer, et al (2008) bantuan tersebut
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
oksigen, mengurangi kerja pernapasan, dan
meningkatkan oksigenasi ke jaringan atau
mengoreksi
asidosis
pernapasan.
Penggunaan ventilasi mekanik menurut
survai multinasional terhadap 5000 klien di
Eropa digunakan pada kasus gagal nafas
akut (69%), koma (17%), gagal nafas
kronis (13%) dan gangguan neuromuskuler
(2%) (Rodriquez, Dojat & Brochard, 2005).
Bantuan pernapasan harus diberikan secara
adekuat sesuai indikasi untuk mencegah
kelemahan
otot
pernapasan
karena
diistirahatkan (Smeltzer et al, 2008).
Penyapihan (weaning) ventilasi
mekanik dilakukan jika sudah ada
kemampuan bernafas spontan. Hal ini
menjadi salah satu alasan dilakukannya
perbaikan fungsi pernapasan (Rodriquez,
Dojat & Brochard, 2005). Upaya tersebut
dilakukan dnegan latihan pernapasan untuk
memperbaiki
fungsi
ventilasi
dan
oksigenasi paru (Ignatavicius & Workman,
2006). Beberapa jenis latihan pernapasan
yang dapat dianjurkan untuk pemulihan
paru adalah Deep breathing exercises
(DBE), diaphragmatic exercise, tehnik
pursed lip breathing, dan incentive
spirometer (Smeltzer, et al, 2008).
Westerdahl, et al (2005) meneliti klien yang
melakukan DBE sebanyak 30 kali/ jam ketika
terjaga setelah 1 jam paska ekstubasi post CABG,
pada hari keempat menunjukkan jumlah atelektasis
lebih kecil dan terjadi peningkatan fungsi ventilasi.
DBE terdiri atas 10 kali napas dalam, dibagi dalam 3
stase selama setengah jam dengan jeda batuk efektif
untuk memobilisasi sekresi. Bila mungkin klien
melakukan latihan dengan posisi duduk. Menurut
Ignatavicius & Workman (2006) setelah ekstubasi
weaning, klien dianjurkan untuk segera berlatih
nafas dalam (DBE) setiap setengah jam dan berlatih
duduk semifowler.
Peran perawat ICU diantaranya memantau
keluhan sesak nafas, kemampuan ekspansi dada,
jumlah pernapasan, mengamati keteraturan dan
karakteristik pernapasan serta oksigenasi ke jaringan
(Ignatavicius & Workman, 2006). Tugas penting
lainnya penanganan emergency, monitoring fungsi
pernapasan melalui observasi fisik dan bedside
monitor, edukasi serta pengawasan terhadap
perbaikan fungsi ventilasi paru. DBE merupakan
upaya yang dianggap dapat meningkatkan fungsi
paru khususnya ventilasi oksigenasi, dan mencegah
kegagalan pernapasan berulang serta risiko
atelektasis paru post ventilasi mekanik. Tujuan
penelitian untuk mengidentifikasi pengaruh DBE
terhadap fungsi ventilasi oksigenasi (VO) paru pada
klien paska ventilasi mekanik.
Metode
Penelitian kuasi eksperimen dengan
pendekatan non equivalent control group
ini menggunakan kelompok intervensi dan
kontrol. Kedua kelompok memperoleh
perawatan dan tindakan medik sesuai
prosedur RS. Intervensi dalam penelitian ini
adalah penggunaan DBE modifikasi dari
Westerdahl, et al (2005), Ignatavicius &
Workman (2006) dan Anne, Pippin & Hill
(2009). DBE meliputi 30 kali latihan nafas
dalam selama 30 menit dengan diselingi
istirahat 30 menit, sebanyak 6 kali sehari
pada siang hari selama lima hari.
Penelitian ini dilaksanakan selama
delapan di ICU RSUD Dr. Moewardi
Surakarta, RSUD Tugurejo Kota Semarang
dan
RSUD
Ambarawa
Kabupaten
Semarang. Sampel penelitian menggunakan
jumlah minimal penghitungan rumus uji
beda dua proporsi yaitu sebanyak 26
responden (masing-masing kelompok 13
orang) dengan teknik consecutive sampling.
Penentuan kelompok dengan systematic
67
Peningkatan Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru Pada Klien Post Ventilasi Mekanik Melalui Deep Breathing
Exercise
(Priyanto, Dewi I, Luknis S)
random
sampling.
Kriteria
inklusi
responden: usia dewasa, post ventilasi
mekanik paska ekstubasi 1 jam, ada riwayat
kegagalan pernafasan, dapat bernafas
spontan, bersedia menjadi responden dan
mengerti instruksi. Kriteria eksklusi
meliputi: keadaan umum sangat lemah/
bedrest total; ada nyeri berat; mendapat
terapi obat depresan susunan syaraf pusat;
ada trakeostomi; ada riwayat pembedahan,
dan ada riwayat ventilasi mekanik program
maintenance.
Fungsi Ventilasi Oksigen (VO) paru
diidentifikasi melalui pola pernapasan,
kapasitas vital paru dan saturasi oksigen.
Instrumen penelitian menggunakan bed side
monitor, peak flow meter dan pulse
oximetry. Analisis data menggunakan uji
Wilcoxon dan Mann-Whitney untuk
mengidentifikasi ada tidaknya perbedaan
fungsi ventilasi oksigenasi paru. Spearman
correlation dan Fisher exact test untuk
mengidentifikasi faktor perancu.
Hasil
Fungsi VO Paru
Pola Pernapasan
Ditemukan perbedaan bermakna pada pola
pernapasan hari ke-4 dan 5 pada kedua kelompok
(p=0.011, p=0.027). Mulai hari ke-2 pada kedua
kelompok menunjukkan pola pernapasan efektif
(skor ≥ 3). Pada hari ke-4 dan ke-5 pada kelompok
intervensi tidak mengalami perubahan karena fungsi
VO paru telah efektif.
Grafik 2. Pola Pernapasan Responden
Ada peningkatan rerata fungsi VO paru hari ke-2, 3,
4 dan 5 pada kedua kelompok dengan peningkatan
kelompok intervensi lebih tinggi. Pada kelompok
intervensi mulai hari ke-3 fungsi VO paru baik
(mean ≥ 9.15) sedangkan pada kontrol sampai hari
ke-5 fungsi VO paru kurang baik (mean<9). Ada
perbedaan yang bermakna antara fungsi VO paru
antara 1 jam paska ekstubasi dengan hari ke-3, 4 dan
5 setelah intervensi (p=0.007, p=0.002, p=0.005),
tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna pada hari
ke-2 (p=0.191). Ada perbedaan yang bermakna
antara fungsi VO paru antara 1 jam paska ekstubasi
dengan hari ke-2, 3, 4 dan 5 pada kontrol (p=0.020,
p=0.023, p=0.009, p=0.035). Ada perbedaan yang
bermakna antara fungsi VO paru hari ke-4 dan 5
pada kelompok intervensi dibandingkan kontrol
(p=0.018, p=0.004), tetapi tidak ada perbedaan yang
bermakna hari ke-2 dan 3 (p=0.691, p=0.063).
Grafik 1. Fungsi VO Paru Responden
Kapasitas Vital Paru
Terdapat perbedaan bermakna antara kapasitas vital
paru pada hari ke-4 dan 5 pada kelompok intervensi
dibandingkan kontrol (p=0.021, p=0.003), tetapi
ternyata nilai kapasitas vital paru kedua kelompok
68
Peningkatan Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru Pada Klien Post Ventilasi Mekanik Melalui Deep Breathing
Exercise
(Priyanto, Dewi I, Luknis S)
tidak dapat mencapai nilai normal yaitu ≥
mL/min.
400
Grafik 3. Kapasitas Paru Responden
99.5
99
SaO2(%)
98.5
98
97.5
97
96.5
96
i2 i3 i4 i5
har har har har
i
as
tub
eks waktuobservasi (hari)
a
ask
mp
a
j
1
Kelp. Intervensi
Kelp. Kontrol
Grafik 4. Saturasi Oksigen Responden
300
kapasitas vital paru(mL/min)
250
200
150
100
50
0
i2
i3
i4 i5
har har har har
i
as
tub
eks
a
waktuobservasi (hari)
ask
mp
a
j
1
Kelp. Intervensi
Kelp. Kontrol
Saturasi O2 (SaO2)
Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara SaO2
pada hari-2, 3, 4 dan 5 pada kedua kelompok
(p=0.915, p=0.068, p=0.670 dan p=0.100). Mulai 1
jam paska ekstubasi sampai hari ke-5 pada kedua
kelompok, Sa O2 telah mencapai nilai normal ( >97
% ).
PEMBAHASAN
DBE merupakan salah satu bentuk latihan
pernapasan yang dilakukan dengan berbagai
modifikasi sesuai dengan kebutuhan. DBE belum
banyak
dikembangkan
dalam
pelayanan
keperawatan intensif, khususnya bagi klien post
ventilasi mekanik. Klien post ventilasi mekanik
membutuhkan kemampuan adaptasi terhadap
kemampuan ventilasi untuk memberikan suplai
terhadap kebutuhan O2 jaringan. Kemampuan
ventilasi didukung oleh compliance paru dan
kekuatan otot inspirator yang adekuat melalui DBE.
Klien paska ventilasi mekanik perlu menerapkan
latihan khusus tersebut sesuai kemampuan toleransi
fisik yang masih lemah.
Adanya perbedaan yang bermakna antara
kedua kelompok pada fungsi VO paru antara 1 jam
paska ekstubasi dengan hari ke-2, 3, 4 dan 5
perawatan paska ekstubasi, menunjukkan bahwa
perawatan yang diterapkan di RS telah sesuai
standar dan berhasil meningkatkan fungsi VO paru,
walaupun masih termasuk dalam klasifikasi kurang
baik sampai hari ke-5. Beberapa tindakan yang telah
diberikan seperti suctioning, oksigenasi nasal
kanula, alih baring, pemenuhan kebutuhan dasar
lainnya seperti cairan elektrolit, nutrisi, eliminasi
dan personal hygiene yang dilakukan oleh perawat
selama ini menjadi bagian dalam pelayanan asuhan
keperawatan. Hal ini sejalan dengan Ignatavicius &
Workman (2006). Pengawasan selama perawatan
paska ekstubasi juga perlu terus dilakukan untuk
mencegah kejadian gagal pernafasan berulang dan
komplikasi lain yang lebih kompleks.
Beberapa tindakan yang telah diterapkan
selama ini, berdampak pada peningkatan fungsi VO
paru, walaupun sampai hari ke-5 pada kelompok
kontrol belum dapat mencapai fungsi VO paru yang
normal. Ada perbedaan bermakna antara fungsi VO
paru antara 1 jam paska ekstubasi dengan hari ke-3,
4 dan 5 setelah melakukan DBE pada kelompok
intervensi dan mulai hari ke-3 yang telah mencapai
fungsi VO paru baik. Hal ini membuktikan bahwa
DBE memberikan efek positif dengan melengkapi
prosedur perawatan yang telah diterapkan selama
ini. Pencapaian tersebut akibat dari adanya
peningkatan kemampuan otot-otot inspirator karena
DBE merupakan kegiatan untuk melatih otot
inspirasi pernafasan. Padula & Yeaw (2006)
menyebutkan bahwa latihan tersebut bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan otot inspirator dalam
berbagai kondisi yang minimal termasuk pada post
ventilasi mekanik. Roussos & Zakynthinos (1996
dalam Padula & Yeaw (2006) menyebutkan bahwa
kondisi yang membutuhkan kekuatan pernafasan
yaitu pada kelemahan, kelelahan, istirahatnya otot
inspirator yang terlalu lama. Penelitian eksperimen
Weiner (Padula & Yeaw, 2006) menunjukkan bahwa
inspirator muscle training berdampak signifikan
terhadap penurunan keluhan sesak nafas,
peningkatan FVC dan mengurangi berbagai gejala
gangguan paru. Sperlich, et al (2009) juga
menyatakan bahwa latihan pernafasan dapat
69
Peningkatan Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru Pada Klien Post Ventilasi Mekanik Melalui Deep Breathing
Exercise
(Priyanto, Dewi I, Luknis S)
meningkatkan penampilan fisik seseorang yang
terbebas dari kondisi kelemahan dan kelelahan. DBE
merupakan salah satu latihan pernafasan yang
terbukti dapat meningkatkan kemampuan kekuatan
otot inspirator, seperti yang telah dikembangkan
dalam beberapa penelitian oleh Westerdahl, et al
(2005), El Batanouny, et al (2009) dan Nury (2008).
Otot inspirator yang terlatih akan
meningkatkan compliance paru dan mencegah
atelektasis. Westerdahl, et al (2005) menyimpulkan
bahwa latihan pernafasan dapat dengan cepat
menurunkan area atelektasis dan meningkatkan
oksigenasi.
Compliance
dada
yang
baik
memungkinkan ventilasi oksigenasi adekuat
sehingga tidak mudah terjadi atelektasis. DBE
mengurangi reaksi simpatik tetapi tidak merubah
aktivitas parasimpatik secara signifikan untuk
meningkatkan fungsi pernafasan, mengurangi stress
dan kecemasan (Yadav, Singh & Singh (2009).
Kontrol pernafasan dengan rangsang simpatik dapat
memperbaiki ritme dan frekuensi pernafasan tanpa
menggangu peran parasimpatik yang berguna
menjaga kelangsungan aktifitas pernafasan secara
terus menerus seperti penelitian Westerdahl, et al
(2005) yang menyebutkan DBE dapat meningkatkan
fungsi ventilasi dengan perbaikan karakteristik
frekuensi dan keteraturan pernafasan.
Di RS tempat penelitian, peran monitoring
melalui bed side monitor dan pulse oximetry telah
diterapkan dengan baik dan sesuai prosedur,
sedangkan pemeriksaan terhadap kapasitas vital paru
jarang dilakukan. Skrining terhadap volume dan
kapasitas vital paru penting dilakukan setelah
ekstubasi (Westerdahl, et al, 2005). Penelitian ini
menemukan perbedaan yang bermakna antara fungsi
VO paru hari ke-4 dan 5 pada kedua kelompok yang
menunjukkan DBE dapat mempercepat perbaikan
fungsi VO paru. DBE dapat dianggap sebagai terapi
modalitas keperawatan pada konteks perawatan
intensif serta menjadi kajian terbaru dalam peranan
nyata dan mandiri perawat yang mengedepankan
pelayanan keperawatan profesional.
Monitor pola pernapasan termasuk keluhan
sesak nafas merupakan tugas perawat dalam rangka
evaluasi pencapaian perbaikan kondisi klien selama
perawatan (Ignatavicius & Workman, 2006). Pola
pernapasan 1 jam paska ekstubasi pada kelompok
kontrol lebih tinggi dibandingkan kelompok
intervensi. Akan tetapi ada perbedaan bermakna
dalam pola pernapasan paru di hari ke-4 dan 5 pada
kelompok intervensi. Pada kelompok intervensi
terdapat perbaikan pola pernapasan pada hari ke-2.
Menurut Westerdahl, et al (2005) perbaikan
frekuensi dan keteraturan pernapasan merupakan
indikator peningkatan fungsi ventilasi. DBE akan
mengurangi reaksi simpatik guna memperbaiki pola
pernapasan dan mengurangi kontraksi otot inspirasi
dan ekspirasi (Yadav, Singh & Singh, 2009). DBE
sangat efektif untuk memperbaiki pola pernapasan
pada hari ke-4 dan ke-5. Latihan menghirup dan
menghembuskan udara secara perlahan dan dalam
yang dilakukan secara terus-menerus merupakan
kegiatan yang terpola antara kontrol di pusat
pernapasan dengan kombinasi kemampuan kinerja
otot pernapasan, compliance paru dan struktur
rangka dada yang dapat menghasilkan adaptasi
terhadap ritme dan kecepatan pernapasan.
Kelemahan otot pernapasan post ventilasi
mekanik menyebabkan ketidakmampuan melakukan
inspirasi secara optimal, sehingga pemenuhan
kebutuhan oksigen menurun. Kesenjangan suplai
dan kebutuhan oksigen dapat diatasi dengan melatih
otot inspirator melalui DBE. Menurut Price &
Wilson (2006) otot pernapasan dikendalikan oleh
pusat pernapasan sebagai pusat aspek pernapasan
yang terdiri dari neuron dan reseptor pada pons dan
medulla oblongata. Perbaikan yang ditimbulkkan
karena adanya keterhubungan koordinasi otot
pernapasan dan desentisasi dypnea. Menurut
Smeltzer, et al (2008) pola pernapasan tertentu
menjadi karakteristik dari keadaan penyakit spesifik,
mengamati
dan
mendokumentasi-kan irama
pernapasan dan penyimpangan dari keadaan normal
merupakan fungsi keperawatan yang penting.
Ditemukannya perbedaan bermakna pada
kapasitas vital paru pada hari ke-4 dan 5
menunjukkan DBE dapat membantu paru melakukan
adaptasi paska ekstubasi. Latihan menghirup dan
menghembuskan udara membantu mengembangkan
lingkar dada dan melatih otot pernapasan sehingga
dapat meningkatkan volume dan kapasitas vital.
Pada kegagalan pernapasan terjadi cedera pada
membran alveolar paru yang dapat mengakibatkan
kebocoran cairan ke dalam jejaring kapiler sehingga
mengarah pada ketidakseimbangan ventilasi dan
oksigenasi. Compliance paru menjadi sangat
menurun sehingga terjadi penurunan kapasitas paru,
hipoksia dan hipokapnia. Menurut Padula & Yeaw
(2006) dan Nury (2008) melatih otot inspirator dapat
membantu meningkatkan kapasitas vital paru.
Latihan pernapasan dapat meningkatkan kapasitas
vital paru melalui pengukuran nilai FEV1 dan FVC.
Terlatihnya otot inspirator akan meningkatkan
kemampuan paru untuk menampung udara, sehingga
nilai FEV1 akan mengalami peningkatan. Menurut
Smeltzer, et al (2008) fisiologis fungsi paru dapat
diukur dengan spirometry/ peak flowmeter untuk
menilai FEV1. Rerata pada 1 jam paska ekstubasi
hanya yang mampu mencapai nilai FEV1 tidak lebih
dari 160 mL/min menunjukkan kondisi awal paru
paska ekstubasi yang sangat lemah, tetapi setelah
menjalani perawatan, meningkat hingga 275
mL/min. Beberapa kondisi seperti PPOK dan
penyakit pernapasan lainnya menunjukkan nilai
kapasitas vital paru dalam kondisi normal hanya
sekitar 200-300 mL/min, sehingga nilai rerata FEV1
dari hasil penelitian ini menggambarkan bahwa
responden mempunyai faktor penyebab berupa
70
Peningkatan Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru Pada Klien Post Ventilasi Mekanik Melalui Deep Breathing
Exercise
(Priyanto, Dewi I, Luknis S)
gangguan pernapasan. Peningkatan rerata nilai
FEV1 yang tidak dapat melebihi 275 mL/min
merupakan hasil terbaik yang diperoleh, mengingat
rerata responden mempunyai faktor penyakit paru.
Klien dengan penyakit paru telah terbiasa dengan
kondisi kapasitas vital yang rendah.
Mulai 1 jam paska ekstubasi sampai hari
ke-5, saturasi oksigen telah mencapai nilai di atas
97%. Hal tersebut berkenaan syarat klien dapat
dilakukan weaning dan ekstubasi bila SaO2 cukup
adekuat lebih dari 95%. Menurut Guyton & Hall
(2006) dan Price & Wilson (2006) proses
transportasi oksigen dan oksigenasi jaringan secara
langsung dipengaruhi oleh sistem kardiovaskuler
dan hematologi yang didukung status fungsi paru
yang memadai. Saturasi oksigen juga ditentukan
oleh proses kimiawi oksihemoglobin dalam tubuh.
Nilai SaO2 selama perawatan hari ke-2 sampai hari
ke-5, menunjukkan DBE tidak berdampak terhadap
penurunan nilai di bawah normal, artinya tidak ada
efek yang merugikan dari latihan tersebut. Hal
tersebut searah dengan pola pernapasan dan
kapasitas vital paru yang mampu ditingkatkan
dengan baik selama perawatan sampai hari ke-5,
sehingga oksigenasi ke jaringan masih tetap adekuat.
Simpulan
Penelitian ini menemukan pengaruh positif
DBE terhadap fungsi VO paru hari ke-2, 3, 4, dan 5.
Ada perbedaan yang bermakna pada fungsi VO
paru, pola pernafasan dan kapasitas vital paru pada
hari ke-4 dan 5 antara kelompok intervensi dan
kontrol tetapi tidak ada perbedaan untuk saturasi
oksigen pada hari-2, 3, 4 dan 5.
Perawat perlu menerapkan DBE dalam
asuhan keperawatan. Penetapan DBE sebagai terapi
modalitas
keperawatan
seharusnya
menjadi
pertimbangan pengelola RS. Bagi institusi
pendidikan untuk dapat memasukkan DBE sebagai
bahan pembelajaran praktik klinik dengan
memperhatikan kajian terbaru ilmu keperawatan.
Peneliti
berikutnya
diperlukan
untuk
mengidentifikasi efektifitas manajemen pernafasan
terhadap keberhasilan weaning ventilasi mekanik.
DAFTAR PUSTAKA
Anne, T., Pippin H., & Hill S. (2009). Cough-deep
breathing
exercises.
http://phicare.com/docs/clinical/B160pdf.
diperoleh 18 Pebruari 2010.
El-Batanouny, M.M., Amin, M.A., Salem, E.Y. &
El-Nahas, H.E. (2009). Effect of exercise on
ventilatory function in welders. Egyptian
Journal of Bronchology, Volume 3. No 1,
Juni 2009, diperoleh 12 Pebruari 2010 dari
http://www.
essbronchology.com/journal/june_2009/PD
F/7-mohamed_el-batanony.pdf
Guyton, A.C. & Hall, J.E. (2006). Textbook of
medical physiology. (11th ed.). Philadelphia:
WB. Saunders Company.
Ignatavicius, D.D. & Workman, M.L. (2006).
Medical surgical nursing: Critical thinking
for collaborative care. (5th ed., vol. 2). St.
Louis: Elsevier Saunders.
Nury, N. (2008). Efek latihan otot-otot pernafasan
pada penyakit paru obstruksi kronis di
Instalasi Rehabilitasi Medik RSUPN
Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta, diperoleh
2 Pebruari 2010 dari http://www.fkui.org.
Padula, C.A. & Yeaw E. (2006). Inspiratory muscle
training: integrative review. Research and
Theory for Nursing Practice: An
International
Journal,
vol.
20,
No.4.http://proquest.umi.com/pqdweb?inde
x=9&did=1635532981&SrchMode=1&sid
=4&Fmt=6&VInst=PROD&Vype=PQD&
RQT=309&VName=PQD&TS=126629049
0&clientId=45625.
Price,
S.A.
&
Wilson,
L.M.
(2006).
Pathophysiology: Clinical concepts of
disease process (6th ed.). Philadelpia:
Elsevier Science.
Rodriguez, P., Dojat, M., Brochard, L. (2005)
Mechanical ventilation: changing concepts.
diperoleh
2
Pebruari
2010
dari
http://www.ijccm.org/article.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hincle, J.I., & Cheever,
K.H. (2008). Textbook of medical surgical
nursing; brunner & suddart (11th ed.).
Philadelphia: Lipincott Williams &
Wilkins.
Westerdahl, E., Linmark, B., Ericksson, T., Friberg,
O., Hedenstierna, G. & Tenling, A. (2005).
Deep breathing exercises reduce atelectasis
and improve pulmonary function after
coronary
artery
bypass
surgery.
http://chestjournal.chestpubs.org/content/12
8/5/3482.full.html. diperoleh 12 Pebruari
2010.
Yadav A., Singh S.& Singh K.P. ( 2009). Role of
pranyama
breathing
exercise
in
rehabilitation of coronary artery disesase
patient-a pilot study, Indian Journal of
Traditional Knowledge, vol. 8 (3), pp 455458.
1
2
Dosen STIKES Ngudi WaluyoUngaran Semarang
Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universiras
Indonesia
71
Peningkatan Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru Pada Klien Post Ventilasi Mekanik Melalui Deep Breathing
Exercise
(Priyanto, Dewi I, Luknis S)
3
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia
72
PERBEDAAN KEJADIAN MUAL MUNTAH PASCA OPERASI
DENGAN PENGGUNAAN ISOFLURAN DAN HALOTAN
SEBAGAI ANESTESI INHALASI
Sarif1, Abdul Majid2, Eko Suryani3
Abstract: Isoflurane and halothane are two inhalation anesthetic agents are
still quite widely used but anesthesia inhalation using both drugs have some
side effects, one of which is post-operative nausea and vomiting is the most
undesirable effect the incision pain. Problem : are there differences between the
incidence of postoperative nausea and vomiting use of isoflurane and
halothane as inhalation anesthetics
Objective: knowing the differences between the incidence of postoperative
nausea and vomiting use of isoflurane and halothane as inhalation anesthetics.
Methods of research: this research is an observational analytic study using
cross-sectional approach included 56 samples of ASA I and II that uses anetesi
inhalation. 28 respondents were used as inhalation anesthetics isoflurane and
28 respondents who used the anesthetic halothane inhalation. Assessed at 2
hours to 12 hours postoperatively. The analysis is used univariate and bivariate
analysis using the Mann Whitney test with a confidende level of 95% (α =0.05).
research location at Wates Hospital Distric Kulon Progo on August 27th –
October 20 th, 2012.
Results: It was found post-operative nausea and vomiting incidence was highest
in the inhaled anesthetics halothane by 16,1%, while the inhalation anesthetic
isoflurane 8,9%. From a statistical test with a computer program mann whitney
Asymp.Sig(2-tailed) obtained output value: 0.168. P value: 0.168 means there is
no difference in the incidence of postoperative nausea and vomiting with the use
of isoflurane and halothane as inhalation anesthetics
Conclusion: there is no difference in the incidence of postoperative nausea and
vomiting use isoflurane and halothane as inhalation anesthetics.
Keywords: isoflurane, halothane, postoperative nausea and vomiting.
Latar belakang
Pelayanan konsep bedah modern yang
diberikan selain dapat menjamin keselamatan
pasien juga dipilih jenis tindakan yang memiliki
hasil terbaik. Hal tersebut juga merupakan
tuntutan masyarakat saat ini. Seiring
perkembangan zaman, kesadaran masyarakat
akan pentingnya kesehatan kian meningkat yang
berbanding lurus dengan tuntutan masyarakat
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang
berkualitas. Oleh karena itu peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan telah menjadi
orientasi sistem kesehatan modern .
Menurut standar pelayanan dan asuhan
keperawatan di rumah sakit bahwa salah satu
dampak positif atas meningkatnya tuntutan dan
harapan masyarakat dalam meningkatkan
kesejahteraan adalah perkembangan dalam
bidang kesehatan. Selain menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas juga masalah efisiensi
waktu, kenyamanan dan kepuasan pasien
maupun keluarganya.
Peningkatan pelayanan di semua bidang
pelayanan kesehatan termasuk pelayanan
anestesi dibutuhkan untuk mencapai pelayanan
kesehatan yang efektif dan efisien dalam
memberikan pelayanan yang berkualitas dan
memuaskan. Demi meningkatkan efisiensi tanpa
mengabaikan keamanan dan keselamatan pasien
maka dalam pemberian pelayanan anestesi
khususnya anestesi umum, dimana penggunaan
agen anestesi inhalasi tertentu yang dapat
mempercepat masa perawatan pasca anestesi
umum di ruang pemulihan. Dengan masa
Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada
Pasien Seksio Sesarea
(Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi)
pemulihan yang cepat maka efisiensi waktu dan
kenyamanan dapat dirasakan oleh pasien
maupun keluarganya.
Anestesi inhalas merupakan
anestesi
dengan menggunakan gas atau cairan anestetika
yang mudah menguap, digunakan melalui
saluran pernafasan dan diberikan bersama
oksigen dan nitrous oksida4. Jenis anestesi ini
telah berkembang begitu pesat sampai saat ini.
Kemampuannya untuk menjadi agen anestesi
yang aman, efektif, ekonomis dan waktu
pemulihan yang cepat membuat salah satu
metode anestesi tertua ini tetap bertahan di
tengah pesatnya perkembangan ilmu anestesi,
tetapi sebagaimana metode anestesi lainnya,
anestesi inhalasi ini tetap memiliki beberapa
efek samping, salah satunya adalah mual
muntah pasca operasi yang didefinisikan
sebagai mual muntah yang terjadi sampai 24
jam setelah pembedahan, terjadi pada 20-30%
pasien dan meningkat 70-80% pada pasien
dengan resiko tinggi.
Mual muntah pasca operasi sering disebut
“The Big Little Problem” dalam dunia anestesi.
Disebut “big” karena mual muntah dapat
menyebabkan perpanjangan waktu pemulihan,
peningkatan biaya perawatan, perpanjangan
masa pengawasan di Post Anesthesia Care Unit
(PACU), dan meningkatnya morbiditas.
Morbiditas yang berhubungan dengan kejadian
mual muntah meliputi perdarahan, dehidrasi,
gangguan
elektrolit
(hipokalemi
dan
hiponatremi), malnutrisi, karies gigi, inflamasi
mukosa mulut, ruptur esofagus dan aspirasi
pneumonitis. Sedangkan disebut “little”, karena
sebenarnya mual muntah adalah masalah yang
cukup ringan dibanding komplikasi anestesi
lainnya.
Respon mual muntah pasca operasi pada
anestesi umum bisa disebabkan karena faktor
intubasi (stimulus pada aferen mekanoreseptor
faring yang menyebabkan mual muntah),
anestetik (anestesi yang digunakan lebih dalam
atau dorongan lambung selama pernafasan
menggunakan face mask dapat menjadi faktor
mual muntah), obat anestesi (resiko tinggi pada
penggunaan opioid, ketamin, N20 dan anestesi
inhalasi), agen anestesi inhalasi dapat
menurunkan pH darah dan motiliitas usus
menurun yang menyebabkan perangsangan
aferen simpatis yang mempengaruhi aktivitas
CTZ (chemoreseptor trigger zone), daerah ini
terletak di area pascarema, ventrikel empat.
Daerah ini sangat banyak vaskularisasnya dan
terletak di luar sawar otak sehingga membuat
daerah ini sangat rentan terhadap obat-obatan
dan toksin yang bersirkulasi sehingga efek yang
sangat besar dapat berpengaruh terhadap
aktifitas pusat muntah.
Berdasarkan hasil
survey di Stanford University Medical Center
insiden mual muntah pasca operasi dapat
mencapai 70% pada pasien high risk dan
ternyata muntah merupakan efek yang paling
tidak diinginkan oleh pasien pasca operasi, lebih
tinggi dibandingkan dengan nyeri insisi yang
hanya berada di peringkat ke tiga.
Isofluran dan Halotan merupakan dua agen
anestesi inhalasi yang cukup banyak digunakan.
Dari data Departement of Health and Human
Services Public Health Sevice, Food and Drug
Administration Center of Drug Evaluation and
Research America (FDA) periode Februari 2007
sampai dengan Januari 2010 pemakaian
isofluran mencapai 14,28%, halotan sebanyak
0,51% dan 85,21% menggunakan anestesi
inhalasi lainnya. Untuk pemakaian agen inhalasi
tersebut di Indonesia yang pernah terdata di
Kabupaten Langsa Daerah Istimewa Aceh
adalah isofluran 52%, halotan 41,3% Sedangkan
berdasarkan data Medical Record bagian
anestesi Rumah Sakit Umum Daerah Wates
Kabupaten Kulon Progo tahun 2012, terdapat
138 pasien dilakukan tindakan pembedahan
menggunakan jenis anestesi umum pada
Februari sampai April 2012. 57 pasien (41,30%)
menggunakan halotan, 72 pasien (52,2%)
menggunakan isofluran dan 9 pasien (9,8%)
menggunakan agen anestesi lainnya. Banyak
penelitian telah dilakukan untuk meneliti
mengenai dampak emetogenik obat anestesi
inhalasi, salah satunya penelitian yang di
lakukan Singapura melaporkan kekerapan
terjadinya mual muntah pasca operasi setelah
pemeliharaan dengan isofluran sebesar 33%,
halotan 34%, dan 33% sevofluran. Analisa dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa
meningkatnya
lama
anestesi
inhalasi
berhubungan dengan meningkatnya kekerapan
mual muntah pasca operasi secara signifikan.
Dari uraian di atas, maka peneliti tertarik
untuk melakukan
penelitian tentang
perbandingan kejadian mual muntah pasca
operasi penggunaan isofluran dan halotan
sebagai anestesi inhalasi.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahuinya perbedaan kejadian mual
muntah pasca operasi dengan penggunaan
isofluran dan halotan sebagai anestesi inhalasi
di Rumah Sakit Umum Daerah Wates
Kabupaten Kulon Progo.
84
Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada
Pasien Seksio Sesarea
(Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi)
METODE
Metode penelitian adalah observasional
dengan pendekatan cross sectional di Rumah
Sakit Umum Daerah Wates Kabupaten Kulon
Progo tahun 2012. Sampel ditentukan secara
consecutive sampling dengan sampel sebanyak
56 orang, yang dibagi menjadi dua kelompok
yaitu kelompok denga anestesi inhalasi isofluran
dan kelompok dengan anestesi halotan, masingmasing 28 responden dengan kriteria Usia 17-60
tahun, status fisik penderita ASA I-II, lama
pembedahan antara 45-90 menit, induksi
menggunakan propofol 2-3 mg/kg BB dan
midazolam 0,07 mg/kb, Ondansentron 0,05
mg/kg BB.
Data dianalisis dengan uji
Mann Whitney dengan tingkat kemaknaan 95%
(α = 0,05).
Gambar 3. Karakteristik berdasarkan ASA
HASIL
Karakteristik subjek penelitian
Data
karakteristik
responden
yang
dikumpulkan meliputi jenis kelamin, umur,
ASA dan lama operasi. Secara detail dapat
dilihat pada grafik berikut:
Gambar 1. Karakteristik berdasarkan jenis
kelamin
Gambar. 4 Karakteristik berdasarkan lama
operasi
Kejadian mual muntah pasca operasi
Gambar 2. Karakteristik berdasarkan umur
Tabel 1. Distribusi frekuensi kejadian
mual muntah pasca operasi dengan
penggunaan isofluran dan halotan
sebagai anestesi inhalasi berdasarkan
karakteristik
85
Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada
Pasien Seksio Sesarea
(Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi)
Berdasarkan tabel di atas dapat
dilihat bahwa kedua agen tersebut
sama-sama menimbulkan mual muntah
pasca operasi, dimana pada kelompok
isofuran kejadian hanya muncul pada
jam ke 2 sebanyak 17,9% sedangkan
pada kelompok halotan kejadian mual
muntah pasca operasi muncul pada jam
ke 2 sebanyak 17,9% dan jam ke 4
sebanyak 14,3%.
Pada tabel 1 dapat dilihat angka kejadian
mual muntah pasca operasi berdasarkan
karakteristik paling tinggi terjadi pada
kelompok dengan penggunaan halotan baik
berdasarkan jenis kelamin, umur, ASA maupun
lama pembedahan.
Tabel 4. Tabulasi silang frekuensi perbedaan
kejadian mual muntah pasca operasi dengan
penggunaan isofluran
dan
halotan
sebagai
anestesi inhalasi
Tabel 2. Distribusi frekuensi kejadian
mual muntah pasca operasi dengan
penggunaan isofluran dan halotan
sebagai anestesi inhalasi
Pada tabel 2 dapat dilihat angka kejadian
mual muntah pasca operasi paling tinggi terjadi
pada kelompok dengan penggunaan halotan
21,4% merasa mual saja dan 10,7% rasa ingin
mengeluarkan isi lambung dan atau muntah.
Tabel 3. Distribusi waktu kejadian
mual muntah pasca operasi dengan
penggunaan isofluran dan halotan
sebagai anestesi
Inhalasi
Hasil uji Mann-Whitney didapatkan hasil
tidak ada perbedaan kejadian mual muntah
pasca operasi dengan penggunaan isofluran dan
halotan sebagai anestesi inhalasi, dengan
p=0,168.
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah
Sakit Umum Daerah Wates Kabupaten
Kulon Progo dengan sampel penelitian
laki-laki atau perempuan yang berusia
antara 17-60 tahun, pembedahan dengan
anestesi umum, tanpa kelainan sistemik
yang berat (ASA I atau ASA II), lama
operasi tak lebih dari 90 menit.
Jenis
kelamin
mempengaruhi
terjadinya mual muntah. Perempuan
lebih berisiko terjadi mual muntah
pasca operasi dibandingkan dengan
laki-laki11. Kriteria inklusi jenis kelamin
tidak dibatasi hanya laki-laki atau
86
Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada
Pasien Seksio Sesarea
(Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi)
perempuan saja, hal ini dikarenakan
keterbatasan waktu pengambilan sampel
dan jumlah sampel. Berdasarkan hasil
analisis statistik menggunakan uji t
untuk jenis kelamin subjek penelitian
dapat diketahui bahw a nilai p > 0,05
yaitu 0,316 yang berarti tidak ada
perbedaan yang bermakna antara kedua
kelompok. Penelitian dapat diteruskan
karena perbedaan jenis kelamin
dianggap tidak mempengaruhi kejadian
mual muntah pasca operasi. Hasil
penelitian menunjukkan persentase
kejadian mual muntah pasca operasi
pada
perempuan
lebih
tinggi
dibandingkan laki-laki baik pada
kelompok isofluran sebanyak 23,5%
dan halotan 33,3%
Umur mempengaruhi terjadinya
mual muntah pascabedah. Anak-anak
lebih sering mengalami mual muntah
pascabedah dibandingkan dengan orang
dewasa. Angka kejadiannya dapat
mencapai 2 kali lipat. Angka kejadian
tertinggi terjadi pada anak-anak antara
umur 5-16 tahun dan pada usia
premenopause angka kejadian mula
muntah pasca operasi lebih tinggi. Pada
penelitian ini, kriteria inklusi pasien
adalah subjek berumur 17-60 tahun
untuk
homogenisasi
sampel.
Berdasarkan hasil analisis statistik
menggunakan uji t untuk umur subjek
penelitian dapat diketahui bahwa nilai p
> 0,05 yaitu 0,589 yang berarti tidak
ada perbedaan yang bermakna antara
kedua kelompok, sehingga penelitian
dapat diteruskan. Pada penelitian ini
persentase kejadian mual muntah pasca
operasi usia di atas 40 tahun lebih tinggi
daripada usia dibawah 20 tahun maupun
usia 20-40 tahun baik pada kelompok
isofluran (30,7%) maupun halotan
(62,5%).
Lama
pembedahan
juga
mempengaruhi terjadinya risiko mual
muntah pasca bedah. Semakin lama
operasi, maka penumpukan agen
anestesi dalam tubuh akan semakin
besar, dan masih ditambah pula kadar
antiemetik yang makin berkurang. Pada
penelitian ini, kriteria inklusi untuk
lama operasi dibatasi tidak lebih dari 90
menit11. Berdasarkan hasil analisis
statistik menggunakan uji t untuk lama
operasi
subjek
penelitian
dapat
diketahui bahwa nilai p > 0,05 yaitu
0,270 yang berarti tidak ada perbedaan
yang bermakna antara kedua kelompok,
sehingga penelitian dapat diteruskan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kejadian mual muntah pasca operasi
dengan lama pembedahan 61-90 menit
lebih tinggi dari 45-60 menit, baik pada
kelompok isofluran (66,6%) dan halotan
(57,1%).
Derajat kelainan sistemik turut
mempengaruhi terjadinya risiko mual
muntah pasca bedah. Semakin berat
derajat kelainan sistemiknya semakin
banyak pula risiko komplikasi yang
mungkin terjadi. Derajat kelainan
sistemik dinyatakan dalam ASA, pada
penelitian ini dipilih pasien dengan
status ASA I-II tanpa kelainan sistemik
yang berat. Berdasarkan hasil analisis
statistik menggunakan uji t untuk ASA I
dan II subjek penelitian dapat diketahui
bahwa nilai p > 0,05 yaitu 0,500 yang
berarti tidak ada perbedaan yang
bermakna antara kedua kelompok.
Penelitian dapat diteruskan karena
perbedaan ASA dianggap tidak
mempengaruhi terjadinya mual muntah
pasca
operasi.
Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa kejadian mual
muntah pasca operasi pada pasien
dengan ASA II lebih tinggi dari pada
ASA I baik pada kelompok isofluran
(40%) dan halotan (42,8%).
Hal-hal yang mempengaruhi kejadian mual
muntah pasca operasi dari segi anestesi meliputi
obat-obat anestesi yang dipakai dan tekhnik
anestesi. Tekhnik anestesi yang digunakan pada
penelitian ini adalah anestesi umum (general
87
Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada
Pasien Seksio Sesarea
(Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi)
anesthesi). Induksi pada penelitian ini
menggunakan propofol 2mg/kg BB untuk kedua
kelompok penelitian. Premedikasi yang
diberikan meliputi Midazolam 0,07 mg/kb
Ondansentron 0,05 mg/kg BB i.v untuk kedua
kelompok penelitian. Premedikasi dan induksi
turut berperan dalam terjadinya mual muntah
pasca operasi, namun karena kedua kelompok
baik Isofluran maupun Halotan mendapatkan
induksi dan premedikasi yang sama, maka
pengaruhnya dapat dianggap hilang.
Pengamatan pada penelitian ini dilakukan di
Ruang Perawatan Bedah Rumah Sakit Umum
Daerah Wates Kabupaten Kulon Progo mulai 2
jam 12 jam pasca operasi. Penilaian pada
rentang waktu ini karena mual muntah pasca
operasi mempunyai beberapa tingkatan yang
biasa gejala awal muncul 2-6 jam pasca operasi
gejala lanjutan 6-24 jam, namun karena
keterbatasan waktu dalam penelitian dan waktu
eliminasi Isofluran dan Halotan yang relatif
cepat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kejadian mual muntah pasca operasi
pada kelompok Isofluran hanya pada
jam ke 2 sebanyak 5 orang (8,9%),
sedangkan pada kelompok halotan
terjadi mual muntah pasca operasi pada
jam ke 2 sebanyak sebanyak 5 orang
(8,9%) dan jam ke 4 sebanyak 4 orang
(7,1%).
Beberapa komplikasi anestesi yaitu :
hipotensi, hipertensi, obstruksi jalan
nafas,
hipoventilasi,
hipoksemia,
agitasi, nyeri, mual muntah, hemorargi,
thrombosis vena profunda, embolisme
pulmonal, retensi urine, kesulitan
bicara, batuk kering yang persisten,
pusing, nyeri kepala dan kerusakan
saraf permanen.
Ada beberapa faktor yang dapat
menyebabkan resiko mual muntah pasca
operasi diantaranya adalah jenis operasi,
daerah operasi serta operasi yang lama,
mual muntah bisa terjadi karena obat
anestesi umum (inhalasi, intravena)12,13.
Agen
anestesi
inhalasi
yang
digunakan baik isofluran maupun
halotan akan diubah dari bentuk cair
menjadi gas kemudian masuk ke dalam
bronkus, alveolus yang dengan cepat
masuk ke kapiler darah lalu diteruskan
ke jantung kemudian ke seluruh tubuh
termasuk jaringan lemak dan membran
lipid dalam sistem saraf pusat. Karena
tidak ada blood brain barrier yang
efektif pada daerah postrema maka
pusat muntah di medulla menerima
input dari CTZ (dopamine, opioid,
serotonin atau reseptor 5-HT3) setelah
itu rangsang diteruskan ke Nukleus
Traktus
Solitarius
selanjutnya
diteruskan ke nukleus motorik dorsal
yang
akan
meneruskan
respon
parasimpatik ke nukleus ambiguus lalu
ke saraf kranial V, VII, IX, X, dan XII
menuju saluran cerna bagian atas yang
berlanjut ke proses yang menimbulkan
mual dan muntah.
Dari hasil penelitian ini juga
didapatkan bahwa kejadian mual
muntah pasca operasi pada penggunaan
halotan sebagai anestesi inhalasi lebih
tinggi dibandingkan pada penggunaan
isofluran sebagai anestesi inhalasi.
Sesuai dengan penelitian tahun 2004
bahwa obat-obatan general anestesi
seperti halotan dan enfluran lebih
emetogenik dibandingkan obat-obatan
baru seperti isofluran dan sevofluran10.
Mual muntah pasca operasi adalah
efek samping yang paling sering setelah
anestesi hampir selalu sembuh sendiri
dan
tidak
fatal
tetapi
dapat
menyebabkan
angka
kesakitan,
mencakup
dehidrasi,
ketidakseimbangan elektrolit, tegangan
jahitan dan dehiscience, perdarahan dan
hipertensi pembuluh darah, ruptur
esofagus, dan perawatan jalan nafas
walaupun jarang adanya komplikasi
yang berat. Setiap episode muntah
muntah terjadi paling lambat sekitar 20
menit, hal ini sesuai dengan hasil
penelitian dimana tidak ada responden
yang mengalami mual lebih dari 30
menit baik pada penggunaan isofluran
maupun halotan11.
88
Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada
Pasien Seksio Sesarea
(Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi)
Berdasarkan hasil penelitian dapat
diketahui bahwa tidak ada perbedaan
kejadian mual muntah pasca operasi
dengan penggunaan isofluran dan
halotan sebagai anestesi inhalasi di
Rumah Sakit Umum Daerah Wates
Kabupaten Kulon Progo.
SIMPULAN
1. Kejadian mual muntah pasca
operasi
dengan
penggunaan
isofluran sebagai anestesi inhalasi
di Rumah Sakit Umum Daerah
Wates Kabupaten Kulon Progo
sebanyak 8,9%
2. Kejadian mual muntah pasca
operasi dengan penggunaan halotan
sebagai anestesi inhalasi di Rumah
Sakit Umum Daerah
Wates
Kabupaten Kulon Progo sebanyak
16,1%.
3. Tidak ada perbedaan kejadian mual
muntah pasca operasi dengan
penggunaan isofluran dan halotan
sebagai anestesi inhalasi di Rumah
Sakit Umum Daerah
Wates
Kabupaten Kulon Progo. Hal ini
ditunjukkan dengan signifikansi
sebesar 0,168 (p>0,05). Dengan
demikian hipotesa yang diajukan
tidak terbukti artinya penggunaan
isofluran dan halotan dapat
menimbulkan mual muntah pasca
operasi
SARAN
1. Kepala rumah sakit
Membuat kebijakan dalam penetapan
prosedur tetap untuk tindakan
penanganan mual muntah pada pasien
pasca operasi mengingat unsur
kepuasan pelanggan merupakan bagian
penting sebagai indikator mutu
pelayanan.
2. Perawat
Dapat berperan aktif dalam
mengantisipasi terjadinya mual
muntah pasca operasi pada pasien
yang dilakukan anestesi inhalasi
khususnya penggunaan isofluran
dan halotan.
3. Peneliti berikutnya.
Peneliti yang berkenan melanjutkan
peneliti ini, disarankan melakukan
penelitian dengan memodifikasi desain
penelitian yang menghubungkan antara
karakteristik subjek penelitian terutama
pada faktor yang mempengaruhi mual
muntah seperti jenis kelamin, umur,
riwayat migrain, puasa pre operasi,
riwayat mual muntah pasca operasi dan
faktor resiko anestesi.
DAFTAR PUSTAKA
Farid, R.M dan Ramli, M. 2005.
Perbandingan
Efektifitas
Ondancentron dan Metoclopramid
Dalam Menekan Mual Muntah
Pasca Operasi Pada Pembedahan
Perut Bagian Bawah. Jakarta.
Depkes RI. 2008. Standar Pelayanan
Anestesiologi
dan
Reanimasi
Rumah Sakit. Depkes. Jakarta.
Yuswana. 2005. Farmakologi ObatObat Anestesi dan Obat-obatan
Bantuan dalam Anestesi. Bandung.
Latief, A., Suryadi dan Dahlan. 2002.
Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta.
Cracken, G.M. 2008. Guideline for The
Management of Postoperative
Nausea and Vomiting. JOGC.
Canada
Silbernagl, S dan Lang, F. 2006. Color
Athlas Phatofisiologi. Thieme.
Stuttgart.
Sunatrio. 2004. Larutan Ringer Asetat
dalam Praktek Teknis Resusitasi
Cairan. Media Aesculapius. Jakarta
89
Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada
Pasien Seksio Sesarea
(Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi)
Kovac, A.L. 2003. Prevention and
Threatment Of Post Operative
Nausea. Medicine Abstract
Mohammed, H dan Beatie, R.J. 2004.
Post Operative Nausea and
Vomiting : The Pharmaceutical
Journal. BJA. London.
Aapro, M. 2004. The Oncologist,
Granistron : an update on its
clinical use in the management of
nausea and vomiting, Vol. 9 Issue
6. Route du miuds. Switzerland.
Apfel, C.C., Kranke, Katz et al. 2002.
Volatile Anaesthetics May Be The
Main Cause of Early but not
Delayed Postoperative Vomiting: A
Randomize Controlled Trial of
Factorial Design. BJA. London
Morgan, GE.,Mikhail, Maged, S.,
Murray, M,J., 2006. Clinical
Anestesiology.The McGraw-Hill.
New York
Gan, C. and Tang. 2003. Consensus
Gidelines
for
Managing
Postoperative
Nausea
and
Vomiting. International Anesthesia
Reseach Society.
1
Staf RSUD KH. Hayyung Kep. Selayar
Sulawesi Selatan
2
Dosen Jurusan Keperawatan
Kemenkes Yogyakarta
Poltekkes
3
Dosen Jurusan Keperawatan
Kemenkes Yogyakarta
Poltekkes
90
Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada
Pasien Seksio Sesarea
(Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi)
PERBEDAAN PERUBAHAN HEMODINAMIK TEKNIK ANESTESI
SPINAL POSISI DUDUK DAN MIRING KIRI PADA PASIEN
SEKSIO SESAREA
Suhartono1, Umi Istianah2, Sari Candra Dewi3
Abstract: Determination of Anesthesia in caesarean section technique can be
performed with general anesthesia or spinal anesthesia and is very dependent
state of the mother and fetus as well as the ability of anesthesiology. Spinal
anesthesia technique is still an option for a cesarean section, this technique can
be performed in a sitting position and left lateral position, usually done on the
operating table. Change in position within 30 minutes after spinal anesthesia
really affects the occurrence of hemodynamic changes very quickly, it’s needs
strict supervision and observation.
Objectives: To identify the differences of hemodynamic changes in spinal
anesthesia techniques sitting position and left lateral position in caesarean
section patients at RSUD Merauke.
Methods: Using observational analitic of nursing research in which researchers
tried to find differences between variables with secsional approch.
Research Findings: Differences hemodynamic changes in patients caesarean
section performed spinal anesthesia techniques sitting position and the left
lateral position, there was no significant difference. These hemodynamic
changes can be caused by changes in the position to a reclining position or
sitting position to the left lateral recumbent position is very influential on
hemodynamic changes, which causes the movement of drugs in cerebro
vascular spinal fluid moves faster, which moves according to the law of gravity
Conclusion: Spinal anesthesia techniques sitting position and the left lateral
position in patients caesarean section did not occur significant differences in
hemodynamic changes, and both these techniques can be performed at
caesarean section
Key words: spinal anesthesia, sitting position, left lateral position and
hemodynamic changes.
Latar belakang
Kemajuan ilmu kedokteran di bidang
pembedahan tidak lepas dari peran dan
dukungan kemajuan bidang anestesiologi.
Dengan meningkatnya kasus bedah baik yang
bersifat darurat maupun elektif tentu akan
memerlukan tindakan pembedahan sehingga
dalam pelaksanaannya akan didahului dengan
pemberian anastesi dengan baik, aman dan
nyaman.
Salah satu tindakan pembedahanan
yang dilakukan adalah tindakan seksio sesarea.
Seksio sesarea adalah pembedahan untuk
melahirkan janin dengan membuka dinding
perut dan dinding uterus. Saat ini pembedahan
seksio sesarea jauh lebih aman dibandingkan
masa
sebelumnya
karena
tersedianya
antibiotika, transfusi darah, teknik operasi yang
lebih baik, serta teknik anestesi yang lebih
sempurna. Hal inilah yang menyebabkan saat ini
timbul kecenderungan untuk melakukan seksio
sesarea tanpa adanya indikasi yang cukup kuat.
Alasan-alasan yang menyebabkan
semakin meningkatnya prosentase persalinan
dengan seksio sesarea saat ini cukup kompleks.
Kasdu3 mengemukakan bahwa di Indonesia,
terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan
kota besar lainnya, keputusan ibu hamil untuk
melahirkan dengan seksio sesarea tidak
memiliki indikasi medis tetapi paling banyak
84
Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada
Pasien Seksio Sesarea
(Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi)
disebabkan oleh adanya ketakutan menghadapi
persalinan normal.
Proses
persalinan
dengan
menggunakan metode seksio sesarea perlu
diperhatikan dengan serius, karena proses
persalinan ini memiliki risiko yang dapat
membahayakan keadaan ibu dan janin yang
sedang dikandungnya. Beberapa kemungkinan
terjadinya komplikasi pada ibu selama anestesi
harus diperhitungkan dengan teliti. Resiko
tinggi cidera maternal berhubungan dengan
anastesi spinal.
Penentuan teknik anestesi seksio
sesarea dapat dilakukan dengan anestesi umum
atau spinal dan sangat tergantung keadaan ibu
dan janin serta kemampuan anestesiolog. Oleh
karena itu seorang ahli anestesi diharapkan
dapat memilih teknik anestesi yang aman, tepat
dan aman bagi ibu.
Penggunaan tehnik anestesi spinal
masih menjadi pilihan untuk bedah sesar.
Anestesi spinal membuat pasien tetap dalam
keadaan sadar sehingga masa pulih lebih cepat
dan dapat dimobilisasi lebih cepat. Zat anestesi
pada anestesi spinal yang masuk ke sirkulasi
maternal lebih sedikit sehingga pengaruh
terhadap janin dapat berkurang. Pada umumnya,
morbiditas ibu dan janin lebih rendah pada
prosedur anestesi spinal. Selain itu, anestesi
spinal lebih superior karena menunjukkan angka
komplikasi yang lebih sedikit pada beberapa
kasus, seperti preeklamsia berat. Anestesi spinal
juga menjadi pilihan pada kasus plasenta previa
karena perdarahan yang terjadi lebih sedikit
dibandingkan dengan bedah sesarea dengan
anestesia umum.
Tehnik spinal anestesi pada seksio
sesarea dapat dilakukan dengan posisi duduk
dan miring kiri
biasanya dikerjakan diatas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya
diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi dalam 30 menit pasca spinal
anestesi
sangat
berpengaruh
terjadinya
perubahan hemodinamik yang sangat cepat,
untuk itu perlu pengawasan dan observasi yang
ketat.
Salah satu resiko yang dapat terjadi
adalah terjadinya perubahan hemodinamik
dalam tubuh ibu yang mengandung sebagai efek
samping penggunaan anestesi spinal dalam
operasi seksio sesarea baik yang dilakukan
dalam posisi duduk dan miring kiri. Hal inilah
yang menyebabkan perlunya pemantauan
tekanan darah, nadi dan saturasi 02 selama
proses operasi seksio sesarea. Pada spinal
anestesi
sebaiknya
dihindari
perubahan
hemodinamik yang terjadi dengan cepat sebab
dapat mengganggu perfusi placenta, kecuali
jika telah dipersiapkan terapi preoperatif dengan
baik melalui cairan dan vasopresor.
Pada kehamilan normal, organ
jantung ibu akan mendapat beban untuk
memenuhi kebutuhan selama kehamilan dan
juga beban dari berbagai penyakit jantung yang
mungkin diderita selama kehamilan. Kehamilan
dapat menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan
darah, volume darah, tekanan pembuluh darah
perifer, serta tekanan pada sisi kanan jantung.
Pada kehamilan, darah yang
dipompa oleh jantung akan meningkat sekitar
30%, sementara denyut nadi akan meningkat 10
kali / menit. Volume darah meningkat 40% pada
kehamilan normal. Kenaikan tekanan pembuluh
darah perifer terjadi karena adanya peningkatan
volume air total pada tubuh ibu dan hal ini
sering menimbulkan edema perifer serta vena
verikosa bahkan pada kehamilan normal.
Hasil penelitian sebelumnya tentang
“Hubungan Tehnik Anestesi (General Anestesi
dan Spinal anestesi) terhadap kejadian
komplikasi Hipotensi di Ruang Pulih Sadar
RSUP Dr. Mohamad Hoesin Palembang”
didapatkan kejadian komplikasi hipotensi
berdasarkan tehnik anestesi spinal sebanyak
40%, dan komplikasi hipotensi berdasarkan
tehnik anestesi general sebanyak 22%.
Mengingat
terjadinya perubahanperubahan hemodinamik pada pasien dengan
spinal anestesi posisi duduk dan miring kiri,
maka setiap pasien operasi dengan spinal
anestesi tidak boleh ditinggal dari awal
dilakukan induksi spinal anestesi sampai operasi
selesai, bahkan sampai ruang pulih sadarpun
harus dimonitor sampai kondisi pasien benarbenar pulih kususnya kesadaran, tekanan darah,
nadi, saturasi 02. Observasi ini dilakukan agar
apabila timbul komplikasi bisa segera dilakukan
tindakan intensif.
Berdasarkan
data
pada
Medical Record bagian anestesi Kamar
Operasi RSUD Merauke tahun 2011,
terdapat 240 pasien yang menjalani
tindakan seksio sesaria pada bulan
Januari sampai Mei
2011 (Medical
Record Anestesi 2011 RSUD Merauke).
Dari jumlah tersebut diantaranya 28
pasien yang dilakukan dengan tehnik
general anestesi, 212 pasien dilakukan
dengan spinal anestesi posisi duduk
maupun spinal anestesi posisi miring
kiri. Pada tindakan spinal anestesi ini,
75
Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada
Pasien Seksio Sesarea
(Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi)
baik dalam posisi duduk maupun posisi
miring kiri terjadi
perubahanperubahan hemodinamik selama intra
operasi yaitu terjadi penurunan tekanan
darah dan peningkatan denyut jantung
tetapi dapat diatasi dengan baik dan
aman dengan pemberian injeksi
vasopresor dan hidrasi cairan yang
adekuat (Medical Record Anestesi 2011
RSUD Merauke).
Melihat besarnya pengaruh
tindakan spinal anestesi baik yang
dilakukan dalam posisi duduk maupun
posisi miring kiri terhadap perubahan
hemodinamik, maka perawat anestesi
adalah mitra kerja dokter perlu
membekali diri dengan ilmu dan
ketrampilan
guna
memberikan
pelayanan
keperawatan
secara
komprehensif, kususnya perawatan
perianestesi dengan spinal anestesi yang
membutuhkan
perhatian
dan
penanganan yang cepat dan tepat dalam
mengantisipasi terjadinya gangguan
hemodinamik pada saat operasi
berlangsung maupun setelah operasi
sehingga resiko anestesi seperti cidera,
cacat berat bahkan sampai meninggal
dunia dapat dihindari.
Berdasarkan hal tersebut peneliti
tertarik
untuk
meneliti
tentang
perubahan hemodinamik pasien seksio
pada spinal anestesi dengan posisi
duduk dan posisi miring kiri di RSUD
Merauke.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode
Analitik Observasional, dimana peneliti
mencoba mencari perbedaan antar variabel
dengan pendekatan cross sectional untuk
mengetahui perbedaan perubahan hemodinamik
teknik anestesi spinal posisi duduk dan miring
kiri pada pasien seksio sesarea di RSUD
Merauke. Adapun jumlah sampel sebanyak 42
sampel dengan perincian adalah sebagai berikut
: 21 Sampel posisi duduk dan 21 Sampel pasien
posisi miring. Rumus untuk menentukan ukuran
sampel
dengan
menggunakan
metode
Lemeshow dkk (1990) dengan rumus:
N
(Z
) 2 . p.q
e2
/2
Penentuan sample dilakukan secara purposive
sampling yaitu sample dipilih berdasarkan
kriteria tertentu yang dibuat oleh peneliti.
Kriteria Inklusi yang ada meliputi : operasi
elektif, ada indikasi untuk dilakukan teknik
anestesi spinal posisi duduk dan miring kiri,
dapat berkomunikasi dengan baik, pasien
dengan ASA 1 dan ASA II, berumur 17-45
tahun, BB 45-70 kg, dan ukuran jarum spinal
anestesi no. 25-27.
Variabel dalam penelitian ini
meliputi variabel bebas yaitu teknik anestesi
spinal posisi duduk dan posisi miring kiri,
sedangkan variabel terikatnya adalah perubahan
hemodinamik (tekanan darah, nadi dan saturasi
oksigen).
Analisis data yang digunakan
meliputi
Analisis
univariat
untuk
mendeskripsikan
masing-masing
variabel
Analisis Bivariat dengan t –test. Uji normalitas
data menggunakan uji one-sample kolmogrovsmirnov test.
Hasil Penelitian
Tabel 6.1
Distribusi frekuensi responden
Anestesi spinal
Karakte
ristik
No
Posisi duduk
f
%
Posisi
mirin
g kiri
f %
Umur
1
2
3
≤
20
2
tahun
20-35
17
tahun
>
35
2
tahun
9,5
81,0
9,5
Total
21
100
Berat Badan (kg)
≤ 50 kg
1
1
> 50 kg
2
20
21
Total
100
21
4,8
95,2
2 9,5
1 71,5
5
4 19,0
100
1 4,8
2
95,2
0
2 100
1
Berdasarkan Tabel 1 dapat
diketahui bahwa pasien seksio sesarea
dengan anestesi spinal posisi duduk
paling banyak berumur 20-35 tahun
sebanyak 17 orang (81,0%) sedangkan
76
Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada
Pasien Seksio Sesarea
(Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi)
pada tindakan seksio sesarea dengan
anestesi spinal posisi miring kiri
sebanyak 15 (71,5%). Adapun umur
responden
yang
paling
sedikit
jumlahnya pada tindakan seksio sesarea
dengan anestesi spinal posisi miring kiri
yaitu berumur ≤ 20 tahun, sebanyak 2
orang (9,5%).
Perubahan hemodinamik
teknik
anestesi spinal posisi duduk pada
pasien seksio sesarea sebelum dan
sesudah induksi di RSUD Merauke.
Tabel
2.
Perubahan Hemodinamik
teknik anestesi spinal
posisi duduk pada pasien
seksio sesarea sebelum
dan sesudah induksi di
RSUD Merauke
menit setelah induksi dapat dilihat pada
grafik dibawah ini.
Perubahan hemodinamik
teknik
anestesi spinal posisi miring kiri pada
pasien seksio sesarea sebelum dan
sesudah induksi di RSUD Merauke.
Tabel 2 : Perubahan
hemodinamik
teknik anestesi spinal posisi
miring kiri pada pasien seksio
sesarea sebelum dan sesudah
induksi di RSUD Merauke
Variabel
Siastolik
Diastolik
Nadi
Variabel
Siastolik
Diastolik
Nadi
Saturasi
Saturasi
Sebelum
135,81 ±
17,351
Sesudah
114,86
9.567
±
78,10 ±
16.337
90,81 ±
21,313
98,48 ±
0,602
60,52
12.069
82,00
15,518
98,95
0,921
±
±
±
Berdasarkan tabel 2 dapat
dillihat adanya perubahan hemodinamik
tekanan sistole sebelum dan sesudah
induksi, tekanan sistole sebelum induksi
sebesar 135,81 mmHg dan setelah
induksi sebesar 114,86 mmHg. Tekanan
diastole sebelum sebesar 78,10 mmHg
menjadi 60,52 mmHg setelah induksi.
Nadi sebelum induksi sebanyak 90,81
x/mnt menjadi sebanyak 82,00 x/mnt.
Tidak ada perubahan saturasi oksigen
sebelum dan sesudah induksi.
Perubahan
hemodinamik
tindakan seksio sesarea dengan teknik
anestesi spinal posisi duduk dari kondisi
awal pasien sebelum induksi sampai 30
Sebelum
136,43 ±
26,189
80,81 ±
19,924
87,19 ±
17,472
98,67 ±
,658
Sesudah
112,71
20,647
61,86
20,210
87,86
12,383
98,95
,805
±
±
±
±
Berdasarkan tabel 2 dapat
dillihat
adanya
perubahan
hemodinamik tekanan sistole sebelum
dan sesudah induksi. Tekanan sistole
sebelum induksi sebesar 136,43 mmHg
menjadi 112,71 mmHg setelah induksi. Tekanan
distole sebelum sebelum induksi sebesar 80,81
mmHg menjadi 61,86 mmHg setelah induksi.
Rata-rata nadi sebelum induksi sebanyak 87,19
x/mnt dan sesudah induksi menjadi 87.86 x/mnt.
Saturasi oksigen sebelum dan sesudah induksi
tidak mengalami perubahan yaitu 98,67 %.
Perubahan
hemodinamik
tindakan seksio sesarea dengan
anestesi spinal posisi miring kiri dari
kondisi awal pasien sebelum induksi
sampai 30 menit setelah induksi dapat
dilihat pada grafik dibawah ini
:
Gambar 2. Perubahan Hemodinamik
Pasien tindakan seksio
sesarea dengan teknik
anestesi
spinal
posisi
miring kiri dari kondisi
77
Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada
Pasien Seksio Sesarea
(Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi)
awal
pasien
sebelum
induksi sampai 30 menit
setelah induksi
Perbedaan perubahan hemodinamik
teknik anestesi spinal posisi duduk
dan miring kiri pada pasien seksio
sesarea di RSUD Merauke
Tabel 3 : Uji beda antara rata-rata skor
pada anestesi spinal posisi
duduk dan posisi miring kiri
Berdasarkan hasil Uji t test pada
Tabel 3, menunjukkan tidak ada beda
yang bermakna secara statistik dengan
antara rata-rata skor pada kelompok
tindakan seksio sesarea dengan
anestesi spinal posisi duduk dan ratarata skor kelompok tindakan seksio
sesarea dengan anestesi spinal posisi
miring kiri.
duduk maupun posisi miring kiri pada
pasien seksio sesarea setelah dilakukan
induksi anestesi. Namun hasil penelitian
ini juga menunjukkan pada tindakan
anestesi spinal yang dilakukan pada
posisi duduk adanya
perubahan
hemodinamik yang tidak bermakna
pada awal dan sesudah induksi pada
menit ke 30 yang meliputi tekanan
darah dan nadi sedangkan pada saturasi
oksigen tidak terjadi perubahan
hemodinamik.
Pada posisi miring kiri juga
terjadi perubahan hemodinamik yang
tidak bermakna pada awal dan sesudah
induksi hingga akhir menit ke 30 yang
meliputi tekanan darah, sedangkan
untuk tekanan nadi dan saturasi oksigen
tidak terjadi perubahan pada awal dan
setelah induksi dilakukan. Perubahan
hemodinamik pada kedua posisi ini
disebabkan karena penentuan posisi
pasien haruslah memperhatikan efek
dari anestesi regional terhadap cadangan
kardiovaskuler dan respiratorik secara
normal, sebagaimana seorang berpindah
dari posisi duduk ke posisi berbaring,
venus return ke jantung meningkat
secara inisial sebagaimana darah yang
berkumpul dari ekstrimitas bawah di
redistribusikan ke jantung.
Variabel
Siastolik duduk
Siastolik miring
kiri
Diastolik duduk
Diastolik miring
kiri
Pembahasan
Hasil
penelitian
ini
menunjukkan tidak ada perbedaan
perubahan
hemodinamik
yang
bermakna untuk kedua teknik anestesi
spinal baik yang dilakukan pada posisi
Nadi duduk
Nadi miring kiri
Saturasi duduk
Saturasi miring
kiri
ttest
114,86
9,567
113,29
20,734
60,52
12,069
61,67
20,247
82,00
15,518
88,86
12,051
98,95 ± ,921
98,95 ± ,805
p
va
lu
e
Ket.
0,3
15
0,
75
4
Tidak
berm
akna
0,2
22
0,
82
5
Tidak
berm
akna
1,5
99
0,
11
8
Tidak
berm
akna
0,0
00
1,
00
0
Tidak
berm
akna
±
±
±
±
±
±
78
Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada
Pasien Seksio Sesarea
(Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi)
Peningkatan inisial (awal)
pada cadiac ouput dan tekanan darah
arteri
mengaktifkan
baroreseptor
afferen dari aorta melalui nervus vagus
dan dalam dinding sinus-sinus karotis
melalui nervus glossikelofaringeal
untuk meningkatkan sistem nervus
parasimpatik
yang
mengimpuls
terhadap
nodus
sinoartial
dan
miokardium, maka terjadilah penurunan
perubahanan heart rate, stroke volume
dan cardiac ouput.
Hal
lain
yang
dapat
menyebabkan
terjadi
perubahan
hemodinamik ini adalah pemberian
dosis obat juga harus diperhatikan. Pada
pasien
yang
kegemukan
akan
meningkatkan tekanan intra abdomen
sehingga menyebabkan volume cairan
serebrospinal dan ruang epidural oleh
karena vena-vena di ruang epidural
melebar. Disamping itu juga volume
dari ruang spinal dan epidural akan
berkurang seiring dengan bertambahnya
usia.10
Dapat
pula
yang
menyebabkan perubahan hemodinamik
ini adalah kecepatan penyuntikan obat
anestesi
hiperbarik
menyebabkan
pergerakan cairan tersebut dalam cairan
serebrospinal dan akhirnya perluasan
dari blokade yang terjadi, jika diberikan
secara cepat, maka cairan akan bergerak
sesuai dengan hukum gravitasi, yang
menyebabkan
cepatnya
terjadi
perubahan hemodinamik, terlebih pada
posisi duduk ke posisi berbaring.
Sedangkan posisi miring kiri keposisi
berbaring sangat lambat hingga
terjadinya perubahan hemodinamik.
Sesuai hukum gravitasi. Perubahanperubahan hemodinamik pada tindakan
anestesi spinal ini disebabkan karena
terjadi blok simpatis akibat dari efek
obat yang menyebabkan vasodilatasi
,mempengaruhi
tahanan
vaskuler
periver.
Kesimpulan
1. Terdapat perubahan hemodinamik pada
teknik anestesi spinal posisi duduk pasien
seksio sesarea di RSUD Merauke yang
meliputi tekanan darah sistolik, diastolik
dan nadi, sedangkan saturasi oksigen tidak
mengalami perubahan baik sebelum
maupun setelah induksi.
2. Terdapat perubahan hemodinamik pada
teknik anestesi spinal posisi miring kiri
pasien seksio sesarea di RSUD Merauke
yang meliputi tekanan darah sistolik dan
diastolik, sedangkan nadi dan saturasi
oksigen tidak terjadi perubahan sebelum
dan setelah induksi
3. Tidak ada perbedaan yang bermakna
perubahan hemodinamik teknik anestesi
spinal Posisi Duduk dan Miring Kiri pada
pasien seksio sesarea di RSUD Merauke.
Saran
1.
2.
3.
Kepala RSUD Merauke
Membuat
kebijakan
dalam
penyusunan SOP di RSUD, bahwa
tehnik spinal anestesi posisi miring
kiri pada pasien seksio sesarea dapat
lebih dipertimbangkan dari pada
tehnik spinal anestesi posisi duduk,
sebab pada posisi miring kiri tidak
terjadi perubahan hemodinaik pada
nadi dan saturasi oksigen sebelum
dan sesudah induksi anestesi spinal,
guna memberikan pelayanan anestesi
yang aman dan nyaman kepada
pasien, mengingat unsur kepuasan
pelanggan merupakan bagian penting
sebagai indikator mutu pelayanan.
Perawat anestesi RSUD Merauke
Dapat
berperan
aktif
dalam
memberikan
pertimbangan
penggunaan metode anestesi, kepada
dokter ahli anestesi yang memberikan
dampak
menguntungkan
kepada
pasien dan keluarga, baik biayanya
maupun efek samping obat.
Institusi
pendidikan
(Poltekes
Kemenkes Jogjakarta)
Hasil penelitian ini dapat menjadi
bahan bacaan bagi mahasiswa Poltekes
Kemenkes
Jogjakarta,
dalam
menambah
wawasan
mahasiswa
tentang
Perbedaan
Perubahan
Hemodinamik teknik anestesi spinal
posisi duduk dan posisi miring kiri
pada pasien seksio sesarea di RSUD
Merauke.
79
Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada
Pasien Seksio Sesarea
(Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi)
Daftar Pustaka
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
(2008).
Pedoman
Pelayanan
Anestesiologi Dan Reanimasi di Rumah
Sakit. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Direktorat
Jendral
Pelayanan Medik. Direktorat Rumah
Sakit
Khusus
Dan
Swasta:
Jakartalsevier. Denver Colorado.
Husodo. L. 2002. Pembedahan dengan
laparotomi. Di dalam : Wiknjosastro
H, editor. Ilmu kebidanan, edisi ketiga.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.863 – 875
Kasdu, D. 2003. Operasi Caesarea, Masalah
dan Solusinya. Jakarta: Puspa Swara.
3
Dosen Jurusan Keperawatan
Kemenkes Yogyakarta
Poltekkes
Bobak, Lowdermilk dan Jensen, 2005.
Buku
Ajar
Keperawatan
Maternitas, Edisi
4. Jakarta :
EGC.
Gutsche BB. 2007. Prophylactic ephedrine
preceding spinal analgesia for CS.
Acta
Anaesthesiol
Scand.
Medline.51:637-639.
Heriwardito,
A.
2010.
Perbandingan
Hemodinamik saat Anestesi Spinal
antara Coloading Ringer Laktat dan
HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah
Sesar. Laporan Penelitian. Anestesia &
Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010.
Oyston J. 2006. A guide to spinal anaesthesia
for caesarean section. Didapat dari :
URL, :http://www.oyston.com. Oktober
2000 (diakses tanggal 3 Maret 2011)
Owen
2006.
section.
Didapat
dari:URL:http://www.netdoctor.co.uk.
di akses tanggal 20 maret 2006
Herlius, 2008 Hubungan Tehnik Anestesi
General dan Regional Spinal Terhadap
kejadian komplikasi Hipotensi di ruang
pulih sadar RSUP Dr. Muhammad
Hoesin palembang, skripsi 2008
Morgan, G.E. 2002. Adrenergik Agonists and
antagonist, dalam Clinical Anesthesia
3 th edition, Applentoh and Lange, P:
212-241.
1
Mahasiswa Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
2
Dosen Jurusan Keperawatan
Kemenkes Yogyakarta
Poltekkes
80
Download