JURNAL ILMIAH KEPERAWATAN Diterbitkan oleh STIKES Hang Tuah Surabaya bekerjasama dengan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Propinsi Jawa Timur dan Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Tenaga Kesehatan (AIPTINAKES) wilayah Jawa Timur. Pelindung Wiwiek Liestyaningrum, M.Kep Penanggung Jawab Ns. Puji Hastuti, M.Kep. Pemimpin Redaksi Ns. Nuh Huda, M.Kep.,Sp.Kep.MB Sekretaris Redaksi Meiana Harfika, S.KM Bendahara Nenny Andriani, SE Anggota Redaksi Ns. Setiadi, M.Kep Ns. Diyah Arini, S.Kep., M.Kes Ns. Dhian Satya Rahmawati, M.Kep Ns. Dya Sustrami, S.Kep., M.Kes Ns. Qori’ila Saidah, M.Kep.,Sp.Ank Ns. Astrida Budiarti, M.Kep.,Sp.Mat Ceria Nurhayati, S.Kep.,Ns Promosi dan Distribusi Yoga Kertapati, S.Kep.,Ns Nisha Dharmayanti Rinarto, S.Kep.,Ns Priyo Sembodo Jadual Penerbitan Terbit tiga kali dalam setahun Penyerahan Naskah Naskah merupakan hasil penelitian dan kajian pustaka Ilmu Keperawatan yang belum pernah dipublikasikan/diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun terakhir. Naskah dapat dikirim melalui e-mail atau diserahkan langsung ke Redaksi dalam bentuk rekaman Compact Disk (CD) dan print-out 2 eksemplar, ditulis dalam MS Word atau dengan program pengolahan data yang kompatibel. Gambar, ilustrasi, dan foto dimasukan dalam file naskah. Penerbitan Naskah Naskah yang layak terbit ditentukan oleh Dewan Redaksi setelah mendapat rekomendasi dari Mitra Bestari. Perbaikan naskah menjadi tanggung jawab penulis dan naskah yang tidak layak diterbitkan akan dikembalikan kepada penulis Alamat Redaksi STIKES Hang Tuah Surabaya d/a Rumkital Dr. Ramelan Surabaya Jl. Gadung No. 1 Surabaya Telp. (031) 8411721, 8404248, 8404248, Fax (031) 8411721 UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN KEPADA : Prof. Dr. Hj. Rika Soebarniati, dr, S.KM Guru Besar Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Ketua Umum Assosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Tenaga Kesehatan (AIPTINAKES) Jawa Timur Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons) Staf Pengajar Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Airlangga Manajer Rumah Sakit Pendidikan Universitas Airlangga Dr. Bambang Widjanarko Otok, M.Si Staf Pengajar dan Kepala Laboratorium Statistika Sosial dan Bisnis Jurusan Statistika Fakultas MIPA Institut Tekhnologi Surabaya Dr. Ahmad Yusuf, S.Kp, M.Kes Ketua PPNI Provinsi Jawa Timur Staf Pengajar Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Selaku penelaah (Mitra Bestari) dari Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya DAFTAR ISI Jurnal Ilmiah Keperawatan …………………………………………………………………….i Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan ………………………………………………………ii Kata Pengantar ………………………………………………………………………………..iii Daftar Isi ……………………………………………………………………………………...iv PENINGKATAN MOTIVASI UNTUK SEMBUH PASIEN STROKE YANG DILAKUKAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK DI RUANG SARAF RUMKITAL DR. RAMELAN SURABAYA Christina Yuliastuti................................................................................................................ 1 PENGARUH INISIASI MENYUSU DINI TERHADAP BONDING ATTACHMENT, PRODUKSI ASI DAN HIPOTHERMI Puji Hastuti ............................................................................................................................ 14 PENGARUH PENGATURAN POSISI MIRING 30 DERAJAT TERHADAP KEJADIAN LUKA TEKAN GRADE I (NON BLANCHABLE ERYTHEMA) PASIEN STROKE Dame Elysaveth ............................................................................................................... 27 HUBUNGAN ANTARA PARITAS DENGAN KEJADIAN ABORTUS PADA IBU HAMIL Sri Haryuni ............................................................................................................................ 39 HUBUNGAN ANTARA USIA DAN PARITAS DENGAN LAMA KALA II PADA IBU BERSALIN Rahmah, K.D ......................................................................................................................... 48 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HIPERTENSI PADA PASIEN Fathiyah, Indah Wulandari .................................................................................................... 60 Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik (Christina Y) PENINGKATAN FUNGSI VENTILASI OKSIGENASI PARU PADA KLIEN POST VENTILASI MEKANIK MELALUI DEEP BREATHING EXERCISE Priyanto, Dewi Irawaty, Luknis Sabri .................................................................................. 71 PERBEDAAN KEJADIAN MUAL MUNTAH PASCA OPERASI DENGAN PENGGUNAAN ISOFLURAN DAN HALOTAN SEBAGAI ANESTESI INHALASI Sarif, Abdul Majid, Eko Suryani ........................................................................................... 80 PERBEDAAN PERUBAHAN HEMODINAMIK TEKNIK ANESTESI SPINAL POSISI DUDUK DAN MIRING KIRI PADA PASIEN SEKSIO SESAREA Suhartono, Umi Istianah, Sari Candra Dewi ......................................................................... 90 6 Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik (Christina Y) PENINGKATAN MOTIVASI UNTUK SEMBUH PASIEN STROKE YANG DILAKUKAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK DI RUANG SARAF RUMKITAL Dr. RAMELAN SURABAYA Christina Yuliastuti1 Abstract: Motivation to recover is the core of post-stroke recovery. The objective of this study was to analyze increased motivation to recover in stroke patients undergoing therapeutic communication. This study used experiment pre-test and post-test control group design. Total replication was 21 respondents stroke patients in Neurological Wards, Dr. Ramelan Navy Hospital, Surabaya, comprising 11 respondents in treatment group and 10 respondents in control group. Data collection was undertaken using questionnaire and observation level. Data were analyzed with paired t-test and Independent t-test with significance level of 0.05. Results showed that after therapeutic communication, there was increasing motivation to recover (p = 0.001), and in HSP70 level (p = 0.007). There was significant difference in the motivation to recover between stroke patients with therapeutic communication and those undergoing communication according to ward standard (p = 0.022), and there was no significant difference in HSP70 level between stroke patients undergoing therapeutic communication and those undergoing communication according to ward standard (p = 0.850). In conclusion, with therapeutic communication nurses may direct the stroke patients toward positive spirituality. It is suggested to improve nurses capability with training on the use of technique and models in therapeutic communication (spirituality aspect). Keywords: motivation to recover, Heat Shock Proteins 70 (HSP70), therapeutic communication, spirituality, Stroke 7 Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik (Christina Y) Latar belakang Stroke sering menimbulkan permasalahan yang kompleks, baik dari segi kesehatan, ekonomi maupun sosial serta membutuhkan penanganan yang komprehensif termasuk upaya pemulihan dalam jangka waktu lama bahkan sepanjang sisa hidup pasien (Mulyatsih, 2003). Orang yang mempunyai keinginan sembuh dari sakit karena serangan stroke, biasanya ada dorongan dari dalam dirinya untuk sembuh. Dorongan ini secara umum dapat disebut sebagai motivasi diri dan motivasi inilah yang harus dibangkitkan (Wardhana, 2011), jika motivasi tersebut dipertahankan secara konsisten dapat mendorong pemulihan. Kasus stroke di Ruang Saraf Rumkital Dr.Ramelan Surabaya pada bulan Desember hingga Pebruari 2012 sebanyak 132 pasien, dengan rata-rata perbulan 44 pasien. Berdasarkan studi pendahuluan terhadap 3 orang pasien Stroke didapatkan 1 pasien (33,3%) pernah menurun kondisinya karena motivasi kurang, namun ingin segera pulih dari sakitnya seperti dulu setelah diberikan motivasi oleh perawat, 1 pasien merasa tenang karena merupakan serangan stroke yang ke dua (33,3%) dan 1 pasien (33,3%) masih tidak menerima kondisi sakitnya sekarang, cenderung diam dan merasa tidak mampu melakukan apa-apa. Dampak Stroke tidak hanya berupa keterbatasan fisik namun juga gangguan emosional dan psikososial penderita, ada kemungkinan penderita stroke tidak siap mental untuk menerima kenyataan adanya cacat akibat serangan stroke yang bisa menyebabkan penderita stroke jadi stres (Wardhana, 2011). Respons terhadap stresor tersebut dipengaruhi oleh stress perception penderita stroke. Persepsi terhadap stressor inilah yang harus diubah ke arah positif supaya dapat menghasilkan respons yang positif juga. Komunikasi terapeutik sengaja dirancang agar hubungan perawat dan klien menjadi efektif dalam rangka mencapai kesembuhan (Nasir, et al., 2011). Komunikasi terapeutik membangun persepsi yang positif dalam diri pasien sehingga mekanisme koping yang digunakan akan tepat dan mengarahkan segala tindakan ke arah kesembuhan yang disebut motivasi untuk sembuh. Di dalam otak persepsi positif dan motivasi untuk sembuh akan merangsang hipotalamus dan mempengaruhi sel dalam berespon terhadap stresor pasien stroke (kelemahan, ketergantungan, pemulihan yang lama, dll) sehingga kadar heat shock proteins (HSP) 70 meningkat. Penelitianmenyebutkan HSP70 melindungi sel melalui pencegahan agregasi protein, pelipatan kembali sebagian protein yang telah mengalami denaturasi, mengurangi respon inflamasi dan menghambat jalur kematian sel (Brown, tanpa tahun), dan mencegah kerusakan dan efek negatif terhadap stress sehingga ada perbaikan endotel. Motivasi untuk sembuh ini merupakan inti pemulihan pasca stroke. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis peningkatan motivasi untuk sembuh pada pasien Stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik. Bahan dan Metode Penelitian Desain, variabel dan replikasi Penelitian ini menggunakan experiment pre test and post test control group design, Jumlah replikasi 21 responden pasien Stroke yang berusia 50-75 tahun, dapat berkomunikasi (tidak mengalami afasia) dan telah melewati masa akut di Ruang Saraf Rumkital Dr. Ramelan Surabaya, terdiri dari 11 responden kelompok perlakuan dan 10 responden kelompok kontrol. Variabel independen adalah komunikasi terapeutik sebagai intervensi. Variabel dependen adalah motivasi untuk sembuh dan kadar HSP70. Prosedur Pengukuran motivasi untuk sembuh menggunakan 24 pernyataan kuesioner yang diadaptasi dari The Ironson-Woods Spirituality/ Religiousness Index (Ironson dan Woods, 1998, dalam Ironson, G., et al, 2002), dan dimodifikasi dengan penambahan aspek pengetahuan terkait pemulihan Stroke, sedangkan kadar HSP70 menggunakan peralatan laboratorium dan lembar observasi. Pretest dan posttest dilakukan dengan mengukur motivasi untuk sembuh dan melakukan pengambilan darah vena untuk pengukuran kadar HSP70. Kelompok perlakuan dilakukan komunikasi terapeutik oleh peneliti pada shift pagi, siang dan sore selama 20-30 menit/hari, dilakukan 2 hari, komunikasi yang dilakukan sesuai dengan panduan komunikasi terapeutik, sedangkan kelompok kontrol diberikan komunikasi sesuai standar perawatan di Ruang Saraf Rumkital Dr. Ramelan. Analisis data menggunakan uji Paired-t-test dan Independent t-test dengan tingkat kemaknaan p < 0,05. 8 Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik (Christina Y) Hasil Penelitian Motivasi untuk sembuh pasien Stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik Tabel 1 Hasil Uji Analisis Independent t-test (prepre) Motivasi untuk Sembuh Pasien Stroke yang dilakukan Komunikasi Terapeutik dengan yang dilakukan Komunikasi Standar Motivasi untuk sembuh kelompok komunikasi terapeutik kelompok komunikasi standar n SD 11 2,87 10 t = -1,114 p = 0,279 11,08 Tabel 3 menunjukkan bahwa perubahan peningkatan motivasi untuk sembuh sebelum dan sesudah dilakukan komunikasi terapeutik menunjukkan hasil yang signifikan (p =0,001) Tabel 4 Hasil Uji Analisis Paired-t-test (pre-post) Motivasi untuk Sembuh Pasien Stroke yang Dilakukan Komunikasi Standar. Motivasi untuk sembuh N SD t-test sebelum komunikasi standar 10 2,48 t = -2,115 p = 0,064 sesudah komunikasi standar 10 7,58 2,48 Tabel 2 Hasil Uji Analisis Independent t-test (postpost) Motivasi untuk Sembuh Pasien Stroke yang dilakukan Komunikasi Terapeutik dengan yang dilakukan Komunikasi Standar Motivasi untuk sembuh n SD kelompok komunikasi terapeutik 11 11,08 kelompok komunikasi standar 10 7,58 t-test t = -2,515 p = 0,022 Motivasi untuk sembuh pasien Stroke kelompok perlakuan sesudah dilakukan komunikasi terapeutik dengan kelompok kontrol sesudah dilakukan komunikasi sesuai standar ruangan menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan pada (p = 0,022), seperti pada tabel 2. Tabel 3 Hasil Uji Analisis Paired-t-test (pre-post) Motivasi untuk Sembuh Pasien Stroke yang Dilakukan Komunikasi Terapeutik sebelum komunikasi terapeutik 11 t-test Berdasarkan tabel 1, hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan pada motivasi untuk sembuh pasien Stroke kelompok perlakuan sebelum dilakukan komunikasi terapeutik dengan kelompok kontrol sebelum dilakukan komunikasi sesuai standar ruangan (p = 0,279). Motivasi untuk sembuh sesudah komunikasi terapeutik n SD 11 2,87 t-test t = -4,743 p = 0,001 Tabel 4 menunjukkan bahwa sebelum dan sesudah komunikasi standar ruangan tidak ada peningkatan motivasi untuk sembuh yang signifikan (p = 0,064). Tabel 5 Hasil Uji Analisis Independent t-test Perubahan Motivasi untuk Sembuh Pasien Stroke yang dilakukan Komunikasi Terapeutik dengan yang dilakukan Komunikasi Standar Δ motivasi untuk sembuh N SD t-test kelompok komunikasi terapeutik 11 9,72 t = -2,389 p = 0,027 kelompok komunikasi standar 10 7,28 Tabel 5 di atas menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara perubahan motivasi untuk sembuh pasien Stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik dengan yang dilakukan komunikasi sesuai standar ruangan. Kadar Heat Shock Proteins 70 (HSP70) pasien Stroke yang Dilakukan Komunikasi Terapeutik Tabel 6 Hasil Uji Analisis Independent t-test (prepre) Kadar Heat Shock Proteins 70 Pasien Stroke yang Dilakukan Komunikasi Terapeutik dengan yang dilakukan Komunikasi Standar Kadar HSP70 n SD t-test 9 Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik (Christina Y) kelompok komunikasi terapeutik 11 58,79 kelompok komunikasi standar 10 54,64 Stroke yang Standar t = 1,537 p = 0,141 Kadar HSP70 SD t-test sebelum komunikasi standar 10 54,64 t = -0,110 p = 0,915 sesudah komunikasi standar 10 41,57 Tabel 9 menunjukkan tidak ada peningkatan kadar Heat Shock Proteins 70 (HSP70) yang signifikan sebelum dan sesudah dilakukan komunikasi standar (p = 0,915). Tabel 7 Hasil Uji Analisis Independent t-test (postpost) Kadar Heat Shock Proteins 70 Pasien Stroke yang Dilakukan Komunikasi Terapeutik dengan yang dilakukan Komunikasi Standar n SD kelompok komunikasi terapeutik 11 69,4 kelompok komunikasi standar 10 t-test Tabel 10 Hasil Uji Analisis Independent t-test Perubahan Kadar Heat Shock Proteins 70 Pasien Stroke yang Dilakukan Komunikasi Terapeutik dengan yang dilakukan Komunikasi Standar t = 0,192 p = 0,850 41,57 Berdasarkan tabel 7, kadar heat shock proteins 70 (HSP70) pasien Stroke kelompok perlakuan sesudah dilakukan komunikasi terapeutik dengan kelompok kontrol yang dilakukan komunikasi sesuai standar ruangan menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. n SD t-test sebelum komunikasi terapeutik 11 58,79 t = -3,419 p = 0,007 sesudah komunikasi terapeutik 11 69,45 Tabel 8 menunjukkan bahwa kadar Heat Shock Proteins 70 (HSP70) pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah dilakukan komunikasi terapeutik menunjukkan terdapat peningkatan yang signifikan (p = 0,007) Δ kadar HSP70 n SD t-test kelompok komunikasi terapeutik 11 33,77 t = -1,982 p = 0,062 kelompok komunikasi standar 10 43,09 Tabel 10 menunjukkan tidak terdapat perbedaan perubahan kadar Heat Shock Proteins 70 pada pasien Stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik dengan yang dilakukan komunikasi sesuai standar ruangan. Tabel 8 Hasil Uji Analisis Paired-t test (pre-post) Kadar Heat Shock Proteins 70 Pasien Stroke yang Dilakukan Komunikasi Terapeutik Kadar HSP70 Komunikasi n Tabel 6 menunjukkan bahwa kadar heat shock proteins 70 (HSP70) pasien Stroke kelompok perlakuan sebelum dilakukan komunikasi terapeutik dengan kelompok kontrol sebelum dilakukan komunikasi sesuai standar ruangan menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (p=0,141). Kadar HSP70 Dilakukan Dalam hal korelasi perubahan motivasi untuk sembuh dengan perubahan kadar heat shock proteins 70 (HSP70) pada pasien Stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik dapat dijelaskan pada tabel dibawah ini. Tabel 11 Hasil Uji Analisis Korelasi Pearson Perubahan Motivasi untuk Sembuh dengan Perubahan Kadar Heat Shock Proteins 70 Pasien Stroke yang Dilakukan Komunikasi Terapeutik n p motivasi untuk sembuh 11 r = 0,111 p = 0,745 Δ 11 Δ kadar HSP70 Tabel 9 Hasil Uji Analisis Paired-t test (pre-post) Kadar Heat Shock Proteins 70 Pasien 10 Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik (Christina Y) Tabel 11 menunjukkan tidak ada hubungan antara perubahan motivasi untuk sembuh dengan perubahan kadar heat shock proteins 70 (HSP70) pasien Stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik. Tabel 12 Hasil Uji Analisis Korelasi Pearson Perubahan Motivasi untuk Sembuh dengan Perubahan Kadar Heat Shock Proteins 70 Pasien Stroke yang Dilakukan Komunikasi Standar n p motivasi untuk sembuh 10 r = 0,527 p = 0,117 Δ 10 Δ kadar HSP70 Tabel 12 menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol menunjukkan tidak ada hubungan antara perubahan motivasi untuk sembuh dengan perubahan kadar heat shock proteins 70 (HSP70) pasien Stroke yang dilakukan komunikasi standar ruangan. Pembahasan Motivasi untuk Sembuh Pasien Stroke yang Dilakukan Komunikasi Terapeutik Motivasi untuk sembuh merupakan inti pemulihan pasca stroke, karena dapat mendasari perilaku penderita ke arah tujuan yaitu kesembuhan. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan pada motivasi untuk sembuh pasien Stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik dengan yang dilakukan komunikasi sesuai standar ruangan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh karena komunikasi standar yang telah dilakukan perawat dengan pasien Stroke di Ruang Saraf Rumkital Dr. Ramelan Surabaya dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar manusia sehari-hari serta pemberian motivasi untuk segera sembuh. Penelitian Hartigan, O’Connell, McCarthy dan O’Mahony (2011) tentang persepsi penderita Stroke serangan pertama, menyebutkan bahwa pasien merasa kesehatan mereka telah memburuk sebagai akibat dari Stroke, awalnya mereka mengungkapkan rasa terkejut dan takut berhubungan dengan hilangnya kontrol tubuh yang kemudian terwujud sebagai kemarahan, frustasi dan optimisme. Hal inilah yang perlu diperhatikan oleh perawat, dimana sebagian besar pasien Stroke dalam penelitian ini mengalami serangan Stroke yang pertama kali. Komunikasi terapeutik yang dilakukan dalam penelitian ini diarahkan untuk membangun persepsi positif dalam diri pasien. Menurut Santoso (2004) yang dikutip oleh Rosmawaty (2010:66-67), faktor yang mempengaruhi persepsi antara lain atensi atau perhatian, dimana stimulus akan diperhatikan karena mempunyai sifat-sifat yang menonjol, seperti gerakan, intensitas stimuli, kebaruan, dan perulangan. Selain itu persepsi juga dipengaruhi oleh ekspektasi atau pengharapan, yang merupakan sesuatu yang diinginkan seseorang. Peneliti berasumsi bahwa komunikasi terapeutik dengan memantapkan keyakinan spiritualitas pasien, menggunakan teknik-teknik komunikasi yang tepat serta dilakukan berulang-ulang akan menjadi suatu stimulus yang menonjol yang diperhatikan oleh pasien. Komunikasi terapeutik merupakan hubungan perawat-klien yang dirancang untuk memfasilitasi tujuan terapi dalam pencapaian tingkatan kesembuhan yang optimal dan efektif (Nasir, et al. 2011). Teknik-teknik komunikasi terapeutik menfasilitasi pelaksanaan komunikasi dengan pasien. Tiap-tiap pasien memiliki respons yang berbeda-beda sehingga teknik yang digunakan berbeda pula. Model komunikasi yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah model komunikasi terapeutik dengan aspek spiritualitas dan pengetahua yang memiliki lima tujuan utama, yaitu : 1) memantapkan perasaan tenang dan damai, 2) memantapkan iman dan keyakinan kepada Tuhan terkait sakit yang dialami. Kedua tujuan tersebut berupa pandangan dan penerimaan pasien terkait sakitnya, kemudian menggunakan keyakinan pasien supaya pasien tidak merasa sendirian tetapi tetap memiliki makna dalam hidup, sabar dan ikhlas serta optimis bahwa Tuhan akan memulihkan kondisi pasien, dengan begitu pasien dapat mengambil hikmah dibalik sakitnya. Dalam hal ini teknik komunikasi terapeutik yang digunakan adalah diam, active listening, sentuhan, refleksi serta memberikan penguatan dan informasi. Penelitian Suhardiningsih (2012) menunjukkan bahwa pasien Stroke iskemik yang mendapatkan asuhan keperawatan Self-care Regulation model mengalami peningkatan kemampuan self-care regulation dalam hal interpretasi sakit, lebih baik dibandingkan dengan yang mendapatkan asuhan keperawatan standar. Penelitian tersebut sangat mendukung bahwa pemaknaan dan persepsi terhadap kesehatan yang berupa sehat dan sakit perlu ditingkatkan sehingga pasien dapat memberi makna dan dapat mengembangkan strategi penanganan yang tepat. Dalam penelitian ini pelaksanaan komunikasi terapeutik membantu pasien memberikan interpretasi yang baik dan benar terhadap sakit dan kesembuhan yang terkait aspek spiritualitas sehingga menghasilkan motivasi yang kuat untuk dapat sembuh. Uno (2007) dalam Suhardiningsih (2012) menjelaskan bahwa motivasi menjadi suatu kekuatan, tenaga atau daya, atau suatu keadaan yang kompleks dan kesiapsediaan dalam diri individu untuk bergerak ke arah tujuan tertentu, baik disadari maupun tidak disadari. Hamalik (2002) mengemukakan bahwa motivasi ditandai oleh reaksi-reaksi untuk mencapai 11 Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik (Christina Y) tujuan. Pribadi yang bermotivasi mengadakan respon yang tertuju ke arah suatu tujuan, respon itu berfungsi mengurangi ketegangan yang disebabkan oleh perubahan energi dalam dirinya. Peneliti berpendapat bahwa motivasi untuk sembuh pada pasien Stroke dinilai dari keyakinan spiritual pasien, kesadaran dalam diri dan rasa terhubung dengan sesuatu yang lebih tinggi yaitu Tuhan. Perasaan sabar dan ikhlas, kedekatan kepada Tuhan, rasa syukur dan optimis akan kesembuhan serta dapat menemukan hikmah dari sakitnya merupakan respon dari peningkatan motivasi untuk sembuh. Tujuan komunikasi terapeutik berikutnya yaitu : 3) memantapkan perilaku religius, 4) meningkatkan perasaan kasih kepada orang lain (keluarga). Komunikasi terapeutik ditujukan kepada kesadaran kembali akan harapan pasien dan keluarga, rasa syukur melalui keterlibatan pasien dalam kegiatan ibadah seperti berdoa, sholat, membaca kitab suci. Motivasi terjalin erat dengan mimpi, ambisi, dan aspirasi personal pasien. Apa yang memotivasi pasien menuju pemulihan juga tergantung pada apa yang tidak mau pasien lepaskan begitu saja. Kedua hal tersebut (apa yang ingin pasien lakukan dan apa yang ingin pasien dapatkan kembali) adalah motivator internal yang kuat (Levine, 2011). Melalui komunikasi terapeutik ini, harapan-harapan yang realistis terhadap diri sendiri serta harapan keluarga terhadap kesembuhan pasien, ditanamkan untuk mengubah penilaian diri menjadi positif yang menjadi dorongan, kekuatan dan motivasi yang mengarahkan pasien kepada kesembuhan. Motivasi sembuh adalah perilaku yang didorong oleh kebutuhan yang ada pada individu dan diarahkan pada sasaran dimana kembalinya seseorang pada satu kondisi kenormalan setelah menderita suatu penyakit, penyakit mental, atau luka – luka. Hal ini sejalan dengan teori motivasi menurut Maslow (1943-1970) yang dikutip oleh Sobur (2003) mengemukakan bahwa pada dasarnya semua manusia memiliki kebutuhan pokok, salah satunya adalah kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (berafiliasi dengan orang lain, diterima, memiliki). Menggunakan teknik komunikasi refleksi dan orientasi terhadap realitas, rasa cinta kasih keluarga dan orang terdekat kembali diingatkan supaya pasien merasa mempunyai makna dan berarti bagi orang lain. Tujuan komunikasi terapeutik berikutnya : 5) meningkatkan pengetahuan tentang pemulihan Stroke. Penelitian Saidah (2005) menyebutkan bahwa ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap motivasi melakukan latihan ROM aktif pada pasien Stroke dengan hemiplegi (p = 0,000). Hal ini berarti aspek pengetahuan perlu diperhatikan untuk meningkatkan motivasi pasien. Keyakinan akan keberhasilan dari tindakan yang dilakukan dalam mencapai tujuan yang diinginkan seperti rajin mengikuti latihan/rehabilitasi, rutin minum obat, serta kooperatif mengikuti perawatan Stroke yang lain akan meningkatkan motivasi untuk sembuh. Keberhasilan dan pencapaian tujuan dari pasien perlu diberikan penghargaan, sehingga kerjasama dan kemajuan sekecil apapun tetap memiliki makna sehingga pasien dapat tetap konsisten untuk melaksanakannya. Hasil penelitian ini menunjukkan perubahan peningkatan motivasi untuk sembuh sebelum dan sesudah dilakukan komunikasi terapeutik, dengan p value = 0,001. Pasien Stroke pada awal masa akut menjadi sangat tergantung pada orang lain yaitu perawat dan keluarga. Respon dan dampak yang ditunjukkan dapat bermacam-macam yang menjadi stresor tersendiri yang memerlukan adaptasi dari pasien. Kondisi psikologi dan emosi pada awal sakit menyebabkan pasien kurang termotivasi untuk segera sembuh. Setelah melewati masa akut, pasien juga diharapkan dapat mulai menerima dengan apa yang sudah dialami. Hubungan perawat-pasien melalui komunikasi terapeutik membantu pasien untuk beradaptasi dengan memiliki persepsi yang positif sehingga mengembangkan koping yang tepat. Sejalan dengan pernyataan Weiten (2007) yang dikutip oleh Putra (2011) bahwa setiap stresor yang diterima oleh individu akan dipelajari dengan seksama sehingga menghasilkan persepsi yang benar yang akhirnya akan direspons dengan benar pula. Komunikasi terapeutik pada prinsipnya meningkatkan kemampuan pasien dalam mengembangkan strategi koping yang konstruktif untuk mengatasi masalahnya. Asuhan keperawatan juga meliputi tindakan tindakan untuk menolong klien menggunakan sumber daya spiritual selama mereka menentukan dan menggali apa yang paling berarti dalam kehidupan mereka dan menemukan cara untuk beradaptasi dengan akibat yang ditimbulkan oleh penyakit dan tekanan kehidupan (Krebs, 2003, dalam Potter dan Perry, 2010). Kepercayaan dan keyakinan dalam diri seseorang merupakan sumber daya yang paling kuat untuk proses penyembuhan. Perawat yang mendukung spiritualitas klien dan keluarganya akan berhasil dalam membantu klien mencapai hasil kesehatan yang diinginkan. Peneliti menunjukkan bahwa spiritualitas yang positif memengaruhi dan meningkatkan kesehatan, kualitas hidup, perilaku yang meningkatkan kesehatan, dan kegiatan pencegahan penyakit (Aaron et al., 2003; Figueroa et al., 2006; Gibson dan Hendricks, 2006; Grey et al., 2004; Grimsley, 2006, dalam Potter dan Perry, 2010). Spiritualitas memberikan individu energi yang dibutuhkan untuk menemukan diri mereka, untuk beradaptasi dengan situasi sulit, dan untuk memelihara kesehatan. Energi yang berasal dari spiritualitas membantu klien merasa sehat dan membantu membuat pilihan sepanjang kehidupan. Kekuatan batiniah merupakan suatu sumber energi yang menanamkan harapan, memberikan motivasi, 12 Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik (Christina Y) dan mempromosikan harapan yang positif pada kehidupan (Chiu et al., 2004; Villagomenza, 2005, dalam Potter dan Perry, 2010). Hasil penelitian juga menunjukkan peningkatan rerata pada skor motivasi untuk sembuh dari 72,27 menjadi 86,17. Pengukuran motivasi untuk sembuh menggunakan kuesioner yang diadaptasi dari The Ironson-Woods Spirituality/Religiousness Index (Ironson dan Woods, 1998, dalam Ironson, G., et al, 2002). Model komunikasi terapeutik dalam penelitian ini mengarahkan pasien Stroke kepada spiritualitas yang positif. Spiritualitas merupakan faktor intrinsik individu yang menjadi faktor penting dalam penyembuhan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa dengan memantapkan perasaan tenang dan damai pada pasien, memantapkan iman dan keyakinan kepada Tuhan terkait sakit yang dialami pasien, memantapkan perilaku religius pasien, meningkatkan perasaan kasih pasien pada orang lain (keluarga) serta meningkatkan pengetahuan pasien tentang pemulihan Stroke akan membangun persepsi yang positif dalam diri pasien melalui aspek spiritualitas. Hasil penelitian ini juga menyebutkan adanya peningkatan rerata skor motivasi untuk sembuh pada kelompok perlakuan yang diberikan komunikasi terapeutik yaitu dari 72,27 menjadi 86,17, dimana hasil ini lebih baik daripada kelompok yang diberikan komunikasi standar, yaitu 70,96 menjadi 75,83. Dalam hal peningkatan skor motivasi untuk sembuh dapat dilihat dari skor tertinggi setelah diberikan komunikasi terapeutik yaitu sebesar 41, dimana perubahan tersebut terkait dengan keikhlasan pasien Stroke dalam menerima keadaan sakitnya. Selain itu skor motivasi untuk sembuh yang juga tinggi adalah keyakinan bahwa kondisi Stroke merupakan ujian dari Tuhan serta keyakinan bahwa Tuhan memberikan kesabaran untuk mengatasi penyakit. Pernyataan tersebut didukung oleh Wardhana (2011:99) yang mengemukakan bahwa motivasi diri yang mendorong penderita stroke untuk mendapatkan kesembuhan atas dasar kehidupan beragama seseorang meliputi menerima, menjalani dan menikmati kehidupan berikut dampak stroke dengan penuh keikhlasan adalah suatu bentuk kegiatan ibadah. Hal ini berarti penderita stroke telah berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Hasil penelitian menunjukkan skor terendah motivasi untuk sembuh setelah diberikan komunikasi terapeutik adalah sebesar 35, yaitu keyakinan bahwa meskipun kondisi sakit tetapi semuanya baik-baik saja. Sementara penelitian Ironson, et al. (2002) menyebutkan bahwa perasaan tenang dan damai merupakan salah satu faktor spiritualitas. Hal ini dapat dijelaskan bahwa meskipun pasien di Rumah Sakit merasa tenang secara spiritual namun dari hasil wawancara, pasien masih tetap memikirkan dan khawatir terhadap keluarga serta kondisi rumah yang ditinggalkan. Melalui komunikasi terapeutik dalam penelitian ini, perasaan tenang, aman dan terbebas dari gelisah terbukti meningkat dengan kenaikan skor sebelum dan sesudah diberikan komunikasi terapeutik yaitu dari 29 menjadi 35. Penyakit atau trauma menciptakan suatu perjuangan yang tidak diharapkan untuk menggabungkan dan beradaptasi dengan kenyataan baru (misalnya kecacatan). Seseorang akan mencari jalan untuk mempertahankan kesetiaan terhadap kepercayaan dan sistem nilai mereka. Kekuatan spiritualitas klien mempengaruhi bagaimana klien beradaptasi dengan penyakit yang tiba-tiba dan seberapa cepat klien beralih ke masa pemulihan. Perawat menggunakan pengetahuan kesejahteraan spiritual individu untuk memaksimalkan perasaan damai dan penyembuhan dari dalam (Grant, 2004, dalam Potter dan Perry, 2010). Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa dengan diberikan komunikasi terapeutik akan meningkatkan motivasi untuk sembuh yang merupakan inti pemulihan pasien Stroke. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian yang menunjukkan pada kelompok yang diberikan komunikasi terapeutik rerata (mean) perubahan motivasi untuk sembuh adalah 13,9, sedangkan pada kelompok komunikasi standar adalah 4,87. Hasil uji statistik membuktikan terdapat perbedaan yang signifikan antara perubahan motivasi untuk sembuh pasien Stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik dengan yang dilakukan komunikasi sesuai standar ruangan (p = 0,027). Secara umum keyakinan spiritual yang positif dan pengetahuan akan kondisi sakit dan pemulihannya akan menimbulkan motivasi yang kuat untuk melakukan berbagai upaya sehingga mempercepat proses penyembuhan penyakit. Kadar Heat Shock Proteins 70 (HSP70) Pasien Stroke yang Dilakukan Komunikasi Terapeutik Cedera sel otak pada Stroke terjadi karena pasokan darah yang tidak memadai, menyebabkan sel-sel otak kehilangan kemampuan untuk menghasilkan energi. Apabila terjadi kekurangan energi ini, pompa natrium-kalium sel berhenti berfungsi sehingga neuron membengkak, dampaknya akan terstimulinya beberapa enzim yang dapat mempercepat kematian sel otak. Brown (tanpa tahun) menjelaskan bahwa overexpression HSP70 megurangi cedera iskemik dan melindungi sel saraf serta glia, dimana perlindungan HSP70 mencakup pencegahan agregasi protein, pelipatan kembali sebagian protein yang telah mengalami denaturasi, mengurangi respon inflamasi dan menghambat jalur kematian sel. Penelitian Zheng, et al (2008) mengemukakan bahwa overexpression HSP70 tidak hanya melindungi terhadap iskemia otak tetapi juga muncul melalui mekanisme anti inflamasi. Reaksi peradangan berpartisipasi dalam cedera iskemik serebral dengan berkontribusi terhadap kerusakan 13 Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik (Christina Y) jaringan otak akut. Heat Shock Proteins mampu memodulasi respon imun, tetapi pada cedera atau iskemia otak HSP berperan dalam mekanisme anti inflamasi. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada kadar heat shock proteins 70 (HSP70) pasien Stroke sesudah dilakukan komunikasi terapeutik dengan yang dilakukan komunikasi sesuai standar ruangan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena ekspresi dari heat shock proteins 70 (HSP70) lebih dipengaruhi oleh kondisi-kondisi biologis sel-sel saraf dan pembuluh darah seperti iskemia. Kemungkinan bahwa stres protein bersifat neuroprotektif diduga karena HSP70, khususnya, apabila HSP70 diinduksi ke tingkat tinggi didaerah otak yang relatif tahan terhadap cedera (Yenari, 2000). Hasil penelitian menunjukkan peningkatan yang signifikan kadar Heat Shock Proteins 70 (HSP70) sebelum dan sesudah dilakukan komunikasi terapeutik. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada gangguan neurologik mendadak yang terjadi pada Stroke diakibatkan oleh pembatasan atau berhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Tanpa pasokan darah yang memadai, sel otak akan mengalami cedera. Peningkatan kadar HSP70 dapat menjadi respons immunoinflammatory penting terhadap penyakit dan gangguan fisiologis. HSP dilepaskan kedalam aliran darah setelah rangsangan stres dan merupakan respons stres yang sangat penting (Yenari, 2000). Sebagian besar responden penelitian mengalami Stroke infark dimana terjadi iskemik pada pembuluh darah otak. Mekanisme jenjang iskemik akan membentuk radikal bebas yang memicu terjadinya kerusakan sel otak, tetapi kondisi ini juga akan memicu pengeluaran HSP70 ke ekstraseluler. Heck, Cinthia, Paulo (2011) menyebutkan bahwa peningkatan kadar HSP70 kedalam aliran darah merupakan respon imunoinflamasi penting terhadap gangguan dan penyakit fisiologis. Komunikasi terapeutik pada prinsipnya meningkatkan kemampuan pasien dalam mengembangkan strategi koping yang konstruktif dengan membangun persepsi yang positif terhadap masalah dan kondisi sakitnya. Komunikasi terapeutik yang dilakukan dalam penelitian ini diarahkan pada keyakinan spiritualitas pasien, bagaimana penerimaan terhadap kondisi sakit, kesabaran, keyakinan terhadap Tuhan, perilaku religius serta harapan diri dan keluarga. Kepercayaan dan harapan individu akan mempengaruhi kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang (Smith, 2006, yang dikutip oleh Potter dan Perry, 2010). Hal ini didukung oleh pernyataan Weiten (2007) yang dikutip oleh Putra (2011) bahwa setiap stresor yang diterima oleh individu akan dipelajari dengan seksama sehingga menghasilkan persepsi yang benar yang akhirnya akan direspons dengan benar pula. Peneliti berasumsi bahwa persepsi terhadap stresor dapat meningkatkan atau menurunkan intensitas respons stres. Seperti dijelaskan diatas bahwa mekanisme jenjang iskemik akan mengaktifkan sejumlah enzim yang menyebabkan kerusakan protein sel. Persepsi yang positif akan membantu sel dalam merespons dampak negatif adanya gangguan peredaran darah otak melalui peningkatan kadar heat shock protein 70. Hasil penelitian menyebutkan perubahan peningkatan kadar HSP70 yang tertinggi yaitu sebesar 107 pg/ml dialami oleh pasien Stroke kelompok perlakuan dengan beberapa penyakit penyerta yaitu Diabetes Melitus, ileus, Hipertensi dan penyakit ginjal. Yenari (2000) mengemukakan bahwa HSP70 terekspresi dengan cara diinduksi, dan ekspresi yang paling kuat dari HSP70 sering dianggap sebagai penanda diagnostik untuk stres. Peneliti berpendapat bahwa penyakit-penyakit penyerta dalam penelitian ini merupakan stres biologis yang turut berpengaruh dalam peningkatan kadar HSP70, namun dalam penelitian ini penyakit penyerta responden menjadi variabel perancu yang tidak dapat dikendalikan. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan tidak ada perbedaan kadar HSP70 pada kelompok yang diberikan komunikasi terapeutik dengan komunikasi standar karena peningkatan kadar HSP70 lebih terkait dengan stress secara biologis pada pasien Stroke yang dalam penelitian ini menjadi variabel perancu yang sulit dikendalikan. Dalam hal korelasi perubahan motivasi untuk sembuh dengan perubahan kadar heat shock proteins 70, penelitian menunjukkan hasil yang tidak signifikan, baik pada kelompok perlakuan maupun kontrol. Peningkatan kadar HSP70 dapat menjadi respons immunoinflammatory penting terhadap penyakit dan gangguan fisiologis. HSP dilepaskan kedalam aliran darah setelah rangsangan stres dan merupakan respons stres yang sangat penting (Yenari, 2000). Motivasi untuk sembuh merupakan stress perception dari adanya stimulus berupa komunikasi terapeutik yang ditujukan pada stresor pasien. Peneliti berpendapat bahwa dalam penelitian ini peningkatan HSP70 pada pasien Stroke lebih dipengaruhi oleh stres yang bersifat biologis daripada stres psikologis. Simpulan Komunikasi terapeutik yang menekankan keyakinan spiritualitas yang positif dari pasien dan pengetahuan terkait pemulihannya akan menimbulkan motivasi yang kuat untuk sembuh yang merupakan inti pemulihan, dimana terdapat perbedaan yang signifikan motivasi untuk sembuh pada pasien Stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik dengan yang diberikan komunikasi sesuai standar ruangan. 14 Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik (Christina Y) Dalam penelitian ini komunikasi terapeutik juga mempengaruhi stress response pada pasien Stroke yaitu peningkatan kadar HSP70, namun lebih terkait pada kondisi biologis karena sebagai immunoinflammatory penting terhadap penyakit dan gangguan fisiologis. Saran 1. Pasien Stroke hendaknya memiliki persepsi yang positif terhadap kondisi sakitnya, sabar dan ikhlas, tetap bersyukur kepada Tuhan dan optimis akan kesembuhan sehingga dapat menemukan hikmah dari sakitnya, hal ini akan membangkitkan motivasi untuk sembuh. 2. Model komunikasi terapeutik dengan menekankan aspek spiritualitas dapat digunakan perawat di Ruang Saraf Rumkital Dr. Ramelan Surabaya sebagai suatu teknik untuk meningkatkan motivasi untuk sembuh. Peningkatan motivasi ini akan memberikan dampak positif bagi pasien seperti hari rawat yang pendek dan biaya perawatan yang lebih sedikit serta meningkatnya mutu pelayanan keperawatan. Model komunikasi terapeutik ini memerlukan sosialisasi dan pelatihan dalam penerapannya. 3. Hasil penelitian dapat menjadi data awal dalam melakukan penelitian lanjutan mengenai intervensi komunikasi terapeutik terkait aspek spiritualitas dengan replikasi yang lebih banyak, dan lebih mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi untuk sembuh seperti lamanya intervensi dan observasi. Selain itu lebih mengendalikan variabel perancu seperti penyakit penyerta dan area infark pada pasien Stroke. Daftar Pustaka Brown, I.R. (tanpa tahun). Heat shock proteins and protection of the nervous system. Canada, diakses 20 Januari 2012.<http://www.diamondcongress.hu/stress07/binx/brown.pdf>. Hamalik, O. (2002). Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algensindo, hal.173-174 Hartigan, O’Connell, McCarthy dan O’Mahony (2011). First Time Stroke Survivors’ perceptions of their health status and their goals for recovery. International Journal of Nursing and Midwifery. Vol.. 3(1), Pp. 22-29, February 2011. Diakses 16 Pebruari 2012.www.academicjournals.org/ijnm Heck, T.G., Cinthia M.S., Paulo I.H. (2011). HSP70 expression : does it a novel fatigue signalling factor from immune system to the brain?. Cell Biochemistry and Function. Wiley Online Library, diakses 16 Pebruari 2012. http://chasqueweb.ufrgs.br Ironson, G., et al. (2002). The Ironson-Woods Spirituality/Religiuousness Index Is Associated With Long Survival, Helath Behaviors, Less Distress, and Low Cortisol in People With HIV/AIDS. Annals of Behavioral Medicine. Vol 24 No 1. Diakses 17 Maret 2012. <http://www.springerlink. com/ content/c80vu41156627v00/>. Levine, P.G. (2011). Stronger After Stroke. Jakarta : Etera Mulyatsih, E. (2003). Petunjuk Praktis Bagi Pengasuh dan Keluarga Pasien Pasca Stroke. Jakarta : FKUI Nasir, A., Abdul M., Muhammad S., Wahit I.M. (2011). Komunikasi Keperawatan : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Medika Potter, P.A dan Anne G. Perry. (2010). Fundamentals of Nursing. Jakarta : Salemba Medika Putra, S.T. (2011). Psikoneuroimunologi Kedokteran Ed. 2. Surabaya : Airlangga University Press. Rosmawaty H.P. (2010). Mengenal Ilmu Komunikasi. Bandung : Widya Padjajaran Saidah, Q. I. (2005). ‘Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang ROM Aktif terhadap Motivasi Melakukan Latihan ROM Aktif Pasien Stroke Iskemik dengan Hemiplegi’, Skripsi, Universitas Airlangga Surabaya. Sobur, A. (2003). Psikologi Umum. Bandung : Pustaka Setia Suhardiningsih, A.V. S. (2012). ‘Peningkatan Kemampuan Perawatan Diri pada pasien Stroke Iskemik Pasca Mendapatkan Asuhan Keperawatan Self-care Regulation Model’, 15 Peningkatan motivasi untuk sembuh pasien stroke yang dilakukan komunikasi terapeutik (Christina Y) Ringkasan disertasi program doktor, Universitas Airlangga. Wardhana, W.A (2011). Strategi Mengatasi dan Bangkit dari Stroke. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Yenari, M. A. (2000). Heat Shock Proteins and Neuroprotection. Austin : Landes Bioscence, diakses 21 Januari 2012.<http://www.landesbioscience.com /curie/chapter/212/> Zheng, Z., et al. (2008). Anti-inflammatory effect of the 70kDa Heat Shock Protein in experimental Stroke. Journal of Cerebral Blood Flow & Metabilism Vol. 28 (53-63). Diakses 15 Pebruari 2012. www.jcbfm.com 1 Dosen ilmu keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya 16 PENGARUH INISIASI MENYUSU DINI TERHADAP BONDING ATTACHMENT, PRODUKSI ASI DAN HIPOTHERMI Puji Hastuti 1 Abstract: The provision rate of exclusive breastfeeding tends to decrease from one year to another. In Indonesia, studies on exclusive breastfeeding reveals lower rate of provision due to less optimum facilitation of early breastfeeding initiation. The objective of this study was to study the effect of early breastfeeding initiation on bonding attachment between the mother and the baby, breastmilk production, and hypothermia. This study used preexperimental design. Samples were collected using non-random sampling method with consecutive sampling, in which the samples were recruited based on the availability. Samples taken were all parturient women found and they met the selection criteria until the required number during the research period, had been met as many as 30 mothers and children. Data collection was undertaken using questionnaire and observation level. Data were analyzed with Friedman, t-test and Wilcoxon sum rank test with significance level of 0.05. The result of Friedman test showed p = 0.000 (p < 0.05), indicating difference between early body weight, discharge body weight, and control. The result of Friedman test showed p = 0.000 (p < 0.05), indicating difference between early bonding attachment, discharge bonding attachment, and control. The result of Friedman test showed p = 0.016 (p < 0.05), indicated differences among the temperature of neonates the early, middle, and the end of early breastfeeding initiation. In conclusion, early breastfeeding is able to increase bonding attachment between mother and baby, increase breastmilk production, and stabilizes nenonates temperature, preventing from the incidence of hypothermia. Keywords : Early breastfeeding initiation, Bonding attachment, Breast Milk Production, Newborn Hipothermia Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini Terhadap Bonding Attachment, Produksi ASI dan Hipothermi (Puji Hastuti) Latar belakang Manfaat pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif dalam hal menurunkan mortalitas bayi, menurunkan morbiditas bayi, mengoptimalkan pertumbuhan bayi, membantu perkembangan kecerdasan anak, dan membantu memperpanjang jarak kehamilan bagi ibu sudah banyak dibuktikan melalui berbagai penelitian. Hasil penelitian Pearson (2011) menyebutkan interaksi ibu-bayi terjadi setelah kelahiran. Angka pemberian ASI eksklusif dari tahun ke tahun cenderung terus menurun. Hasil kajian tentang kebijakan ASI eksklusif menunjukkan masih rendahnya pemberian ASI eksklusif di Indonesia dikarenakan masih kurang optimalnya fasilitasi inisiasi menyusu dini. IMD belum masuk secara eksplisit dalam kebijakan (Fikawati dan Syafiq, 2010). Studi kualitatif Fikawati & Syafiq melaporkan faktor predisposisi kegagalan ASI eksklusif salah satunya karena ibu tidak difasilitasi melakukan IMD. Masalah yang terjadi pada ibu dan bayi pasca melahirkan, lebih banyak terjadi karena fasilitasi dari instansi pelayanan kesehatan dan petugas yang belum optimal. Kostyra et. al (2002) menyebutkan bahwa skin to skin meningkatkan lama pemberian ASI. Manfaat inisiasi menyusu dini bisa dilihat dari penelitian yang dilakukan Bystrova et. al (2007) menyebutkan bahwa skin to skin mengurangi kejadian hipothermi. Hipotermi neonatal dikarenakan kurangnya perhatian oleh penyedia layanan kesehatan terus menjadi penyebab yang sangat penting dari kematian neonatal (NTF, 2004). Penelitian yang dilakukan di Ghana dan diterbitkan dalam jurnal ilmiah Pediatrics menyebutkan 22% kematian bayi yang baru lahir - yaitu kematian bayi yang terjadi dalam satu bulan pertama - dapat dicegah bila bayi disusui oleh ibunya dalam satu jam pertama kelahiran. Kematian balita pada usia bayi baru lahir (dibawah satu bulan) sebanyak 40%. Hal ini sesuai dengan The World Health Report 2005, angka kematian bayi baru lahir di Indonesia adalah 20 per 1.000 kelahiran hidup. Sekitar 20 per 1.000 x 5 juta = 246 bayi meninggal dan kematian balita 46 per 1.000 kelahiran hidup atau 430 balita meninggal setiap tahun. Penelitian WHO (2000) di enam negara berkembang menyebutkan risiko kematian bayi antara usia 9-12 bulan meningkat 40% jika bayi tersebut tidak disusui. Bayi berusia dibawah 2 bulan, angka kematian tersebut meningkat menjadi 48% (Arifah, 2009). Pemberian ASI eksklusif membantu mengurangi angka kejadian kurang gizi dan pertumbuhan yang terhenti yang umumnya terjadi pada usia ini. Bayi yang diberi kesempatan menyusu dini akan delapan kali lebih berhasil dalam menyusu eksklusif. Keberhasilan menyusu eksklusif menjadikan bayi kontinyu menyusu sehingga mempengaruhi efek let down reflex, semakin sering bayi disusukan, pengosongan payudara sempurna, produksi ASI semakin banyak sesuai dengan yang dikeluarkan. Inisiasi menyusu dini yang dilakukan dengan benar meningkatkan interaksi antara ibu dan bayi. Sentuhan kulit ibu, cara ibu melihat bayinya merangsang hormon oksitosin yang membuat ibu rileks sehingga tumbuh ikatan kasih saying antara ibu dengan bayi. Posisi bayi di dada ibu saat inisiasi menyusu dini mencegah bayi hipotermi. Suhu tubuh ibu 1 derajat lebih tinggi pada saat melahirkan. Suhu tubuh ibu menyesuaikan suhu tubuh bayi. Suhu tubuh ibu akan turun 1 derajat ketika suhu tubuh bayi lebih tinggi sehingga terjadi perpindahan suhu tubuh bayi ke ibu. Suhu tubuh ibu naik dua derajat ketika suhu tubuh bayi rendah untuk menghangatkan bayi (Roesli, 2008). Bahan dan Metode Penelitian Rancangan dalam penelitian ini menggunakan Pre Experimental Design. Pengambilan sampel dalam penelitian menggunakan non random sampling dengan consecutive sampling sebanyak 30 ibu dan bayi. Data diperoleh dengan instrument kuisioner pengeluaran ASI, lembar observasi suhu tubuh, lembar observasi bonding ibu dan bayi. Analisis analitik dalam penelitian ini akan menggunakan Uji independen T Test untuk menganalisis suhu tubuh bayi. Analisis analitik Chikuadrat digunakan untuk menganalisis bonding ibu– bayi dan produksi ASI. Kadar oksitosin pada masing-masing kelompok dilakukan uji normalitas data terlebih dahulu, apabila hasilnya distribusi normal maka analisis yang digunakan uji Independent T Test, tetapi apabila hasilnya tidak normal menggunakan uji Wilcoxon sum rank test Kriteria inklusi dalam penelitian ini diberlakukan untuk bayi dan ibu. Kriteria inklusi untuk bayi adalah: Bayi lahir usia gestasi > 37 minggu sampai dengan 40 minggu, Berat badan > 2500 gram sampai dengan < 4000 gram, Apgar score > 7, tidak asphiksia. Kriteria inklusi untuk Ibu adalah: Ibu bersedia menjadi responden penelitian, Ibu bersalin dengan persalinan pervaginam dan atau Ibu dengan sectio cesar yang menggunakan anesthesia SAB. Kriteria eksklusi untuk bayi adalah: Bayi lahir yang mengalami kelainan kongenital, Bayi dengan penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung bawaan, Bayi dengan asfiksia. Kriteria eksklusi untuk ibu adalah: Ibu yang mengalami depresi, Ibu bersalin dengan ketuban pecah prematur lebih dari 24 jam, Ibu bersalin sectio cesar dengan anestesi umum, Ibu tidak melakukan kontrol post partum di RSIA Kendangsari Surabaya. Hasil Penelitian Tabel 1. Katego Perbedaan antara bonding attachment saat pelaksanaan IMD, saat pulang perawatan dan saat kontrol post partum Aw % Pulan % Kontr % 18 Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini Terhadap Bonding Attachment, Produksi ASI dan Hipothermi (Puji Hastuti) ri Baik al 23 Sedang 7 Kurang Jumlah 0 30 76, 7 23. 3 0 100 g 30 0 0 30 10 0 0 0 10 0 Friedman test ol 26 4 0 30 86, 7 13, 3 0 100 p = 0.000 Hasil analisis diatas menunjukkan bahwa dari 30 ibu sebagian besar mempunyai bonding attachment baik yaitu pada awal sebanyak 23 ibu, pulang sebanyak 30 responden dan kontrol sebanyak 26 ibu. Hasil uji friedman test didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0.05) yang berarti bahwa terdapat perbedaan antara bonding attachment awal, pulang dan kontrol. Perbedaan hasil pengukuran bonding attachment disebabkan karena banyak faktor. Bonding attachment awal pelaksanaan IMD tidak semua baik, beberapa ibu tidak menunjukkan interaksi yang positif dengan bayinya bisa disebabkan karena pada persalinan melalui sectio caesar setelah proses kelahiran selesai ibu ditidurkan untuk kepentingan proses penjahitan. Pengukuran diruang nifas didapkan semuanya baik, ibu mulai belajar berperan dalam merawat bayi. Tabel 2. Hasil uji annova pengaruh IMD terhadap produksi ASI dilihat dari berat badan bayi saat lahir, pulang dan kontrol No Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 BB Lahir 3100 3480 3100 3860 3900 3500 3610 3200 3000 3000 3460 3400 3300 3550 4000 2890 3350 3630 3310 2950 4000 3450 3100 3200 BB Pulang 3000 3400 2900 3470 3600 3350 3500 3100 2680 2900 3460 3300 3300 3320 3800 2800 3150 3450 3300 2700 3640 3300 2850 3050 BB Kontrol 3180 3380 3200 3750 3800 3600 3730 3350 3500 3000 3750 3460 3650 3600 4280 2850 3300 3650 3600 2880 3450 3500 3200 3350 25 26 27 28 29 30 3150 2850 3480 3280 4000 3800 3050 2900 3230 3050 3100 2950 Anova test p = 0,025 3300 3650 4100 3100 3350 2850 Hasil uji Annova didapatkan nilai p = 0.000 (p < 0.05) yang berarti bahwa terdapat perbedaan antara berat badan awal, pulang dan kontrol. Berat badan bayi menurun pada pengukuran kedua yaitu saat bayi pulang perawatan. Kemudian meningkat pada saat kembali datang kontrol. Indikator kecukupan ASI pada bayi salah satunya peningkatan berat badan. Hasil analisis data perubahan berat badan bayi menunjukkan bayi mendapat kecukupan ASI, yang berarti produksi ASI baik. Tabel 3. Perbedaan antara suhu awal, tengah dan akhir pelaksanaan inisiasi menyusu dini di Rumah Sakit Ibu dan Anak Kendangsari Surabaya periode 1 Mei s/d 30 Juni 2012 Variabel Mean SD MinimalMaksimal Suhu awal 36,373 0,3965 35,7 – 37,7 Suhu Tengah 36,433 0,3407 35,7 – 37,4 Suhu akhir 36,637 0,3275 36,1 – 37,6 Friedman p = 0,016 Hasil uji Friedman test didapatkan nilai p = 0,016 (p < 0,05) yang berarti bahwa terdapat perbedaan antara suhu tubuh bayi baru lahir pada saat awal, pertengahan dan akhir pelaksanaan inisiasi menyusui dini (IMD). Peningkatan suhu tubuh bayi dari awal, tengah dan akhir pelaksanaan IMD membuktikan pengaruh positif inisiasi menyusu dini terhadap kestabilan suhu tubuh bayi. Suhu tubuh mengalami peningkatan walaupun tidak tinggi, hal ini bisa disebabkan karena suhu ruangan yang tidak distandarkan pada saat pelaksanaan inisiasi menyusu dini. Suhu ruangan ideal untuk inisiasi menyusu dini adalah 25ºC-32ºC. Pembahasan Pengaruh IMD terhadap bonding attachment ibu dan bayi Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh inisiasi menyusui dini (IMD) terhadap Bonding Attachment yang ditunjukkan dari analisis Friedman 19 Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini Terhadap Bonding Attachment, Produksi ASI dan Hipothermi (Puji Hastuti) dengan nilai p = 0.016 (p < 0.05), yang berarti bahwa dari ketiga pengukuran Bonding Attachment ibu dan bayi terdapat perbedaan yang signifikan. Keuntungan kontak kulit dengan kulit untuk bayi menurut Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi (JNPK-KR), 2008 diantaranya mengoptimalkan keadaan hormonal ibu dan bayi. Menurut Correia dan Linhares (2007), perpisahan dengan bayi merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap bonding attachment. inisiasi menyusui dini (IMD) merupakan tindakan yang melibatkan orang tua dan anaknya. Kontak kulit yang dekat akan mempengaruhi ikatan orang tua dalam hal ini adalah ibu dengan bayinya. Kemampuan interaksi bayi yang belum adekuat berpengaruh terhadap psikologis orang tua. Hal ini sesuai dengan pendapat Brazelton (1994) Posisi bayi yang dekat membuat ibu melihat sendiri bagaimana kondisi bayi, sehingga muncul suatu ikatan batin ibu-bayi. Keadaan ini juga dapat dilihat dari adanya peningkatan oksitosin pada ibu. Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan uji analisis wilcoxon sign rank test antara Bonding Attachment pengukuran awal dan tengah didapatkan nilai p = 0.000 (p< 0.05), yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara bonding saat pelaksanaan IMD dengan saat ibu dan bayi mau pulang perawatan, selain itu pada Bonding Attachment tengah dan saat kontrol post partum didapatkan nilai p = 0.000 (p< 0.05), yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara bonding saat ibu pulang perawatan dan saat kontrol post partum. Hasil penelitian menunjukkan ikatan yang terjadi pada ibu dan bayi dari hari pertama bayi lahir sampai pada bayi usia tujuh hari kontrol post partum, sebagian besar mengalami peningkatan. Pengukuran bonding pada saat pelaksanaan IMD dari observasi beberapa ibu terlihat kurang bisa mengungkapkan kasih sayang kepada bayinya. Hal ini dikarenakan pada ibu dengan persalinan normal kondisi fisiknya yang lelah selama menjalani kala satu persalinan sehingga pada saat bayi lahir energi terkuras. Ibu yang menjalani persalinan dengan sectio caesarea lebih terlihat kurang dalam penilaian bonding dengan bayinya jika dibandingkan dengan ibu bersalin normal, hal ini karena pada pertengahan pelaksanaan IMD proses operasi sudah hampir selesai, dilanjutkan penjahitan jaringan dimana ibu dikondisikan tidur sehingga beberapa ibu tidak mengikuti sampai pelaksanaan IMD selesai. Pengukuran bonding pada saat ibu dan bayi sudah kembali diruang nifas didapatkan hampir seluruhnya baik, dikarenakan kondisi ibu sudah pulih, ibu mulai fokus pada perawatan bayinya. Hal ini sesuai dengan tahapan adaptasi psikologis post partum menurut Rubin dimana pada hari kedua dan ketiga post partum, ibu sudah memulai mempelajari bagaimana cara merawat bayinya. Fasilitas rooming in atau rawat gabung yang dilaksanakan di RSIA Kendangsari Surabaya juga menjadi faktor penentu bonding ibu dan bayi yang mengalami peningkatan pada saat diruang nifas. Ibu lebih leluasa memberikan perawatan kepada bayinya. Sebagian besar ibu bonding dengan bayinya meningkat. Ibu sudah mampu menjalankan perannya sebagai ibu baru. Mereka terlihat bahagia walaupun menyampaikan bahwa sedikit merepotkan harus beradaptasi dengan kegiatan yang menguras energi. Beberapa ibu mengalami penurunan bonding dengan bayinya saat diukur pada kontrol post partum, terlihat dari hasil observasi bayi digendong oleh pengasuh atau neneknya, ibu sedikit menunjukkan ekspresi ketertarikan untuk berinteraksi dengan bayinya. Pengaruh IMD terhadap produksi ASI Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh inisiasi menyusui dini (IMD) terhadap produksi ASI yang ditandai dengan adanya perubahan berat badan bayi pada saat lahir, saat pulang dan saat kontrol, yang ditunjukkan dari analisis Annova dengan nilai p = 0.000 (p<0.05), yang berarti bahwa dari ketiga pengukuran berat badan bayi tersebut terdapat perbedaan yang signifikan. Menurut Venancio dan Almeida (2004) kontak kulit antara ibu dengan bayinya merupakan stimulus yang akan dibawa ke otak. Selanjutnya stimulus ini akan memicu pelepasan oksitosin yang akan berdampak positif terhadap produksi ASI. Keuntungan kontak kulit dengan kulit untuk ibu, merangsang produksi oksitosin dan prolaktin pada ibu. Oksitosin membantu kontraksi uterus sehingga perdarahan pasca persalinan lebih rendah, merangsang pengeluaran kolostrum. Prolaktin meningkatkan produksi ASI, membantu ibu mengatasi stress, mendorong ibu untuk tidur dan relaksasi setelah bayi selesai menyusu, dan menunda ovulasi. Hasil penelitian dengan menggunakan uji analisis paired T test antara berat badan lahir dan pulang didapatkan nilai p = 0.000 (p< 0.05), yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara berat badan lahir dan pulang, selain itu pada berat badan pulang dan kontrol didapatkan nilai p = 0.000 (p< 0.05), yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara berat badan pulang dan kontrol. Kurva berat badan bayi merupakan cara termudah untuk menentukan cukup tidaknya produksi ASI (Packard, 1982). Penurunan berat badan bayi ditemukan pada pengukuran kedua yaitu saat pulang perawatan dibanding berat badan bayi waktu lahir, dan mengalami kenaikan pada saat diukur kembali setelah datang kontrol. Hal ini menunjukkan produksi ASI yang kurang mencukupi pada masa setelah lahir sampai dengan ibu dan bayi pulang perawatan. Produksi ASI pada masa ini memang belum adequat karena secara fisiologis kelenjar mammae pada tahap menghasilkan kolostrum, disusul pada tiga hari setelah melahirkan 20 Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini Terhadap Bonding Attachment, Produksi ASI dan Hipothermi (Puji Hastuti) hormon penghasil ASI (prolaktin) mulai diproduksi seiring dengan frekuensi bayi menyusu. Bayi menyusu minimal delapan kali sehari akan meningkatkan produksi ASI. Hal ini sesuai dengan penelitian Hopkinson et. al, 1988 dalam ACC/SCN, 1991 dan De Carvalho, et. al, 1982 dalam ACC/SCN, 1991 merekomendasikan penyusuan paling sedikit delapan kali perhari pada periode awal setelah melahirkan. Frekuensi penyusuan ini berkaitan dengan kemampuan stimulasi hormon dalam kelenjar payudara. Kondisi normal kira-kira 100ml ASI diproduksi pada hari kedua setelah melahirkan, dan jumlahnya akan meningkat sampai kira-kira 500ml dalam minggu kedua. Produksi ASI yang efektif dan terus-menerus akan dicapai pada kira-kira 10-14 hari setelah melahirkan. Selama beberapa bulan berikutnya bayi yang sehat akan mengkonsumsi sekitar 700-800ml ASI setiap 24 jam. Volume ASI yang dapat dikonsumsi bayi dalam satu kali menyusu selama sehari penuh sangat bervariasi. Prentice (1984) mengamati hubungan berat lahir bayi dengan volume ASI. Hal ini berkaitan dengan kekuatan untuk mengisap, frekuensi, dan lama penyusuan dibanding bayi yang lebih besar. De Carvalho (1982) menemukan hubungan positif berat lahir bayi dengan frekuensi dan lama menyusui selama 14 hari pertama setelah lahir. Bayi berat lahir rendah (BBLR) mempunyai kemampuan mengisap ASI yang lebih rendah dibanding bayi yang berat lahir normal (>2500 gr). Kemampuan mengisap ASI yang lebih rendah ini meliputi frekuensi dan lama penyusuan yang lebih rendah dibanding bayi berat lahir normal yang akan mempengaruhi stimulasi hormon prolaktin dan oksitosin dalam memproduksi ASI. Ibu sebaiknya menyusui segera setelah bayi lahir (dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir) karena daya hisap pada saat itu paling kuat untuk merangsang pengeluaran ASI selanjutnya (Roesli, 2008). Faktor yang mempengaruhi produksi ASI tergantung pada diet ibu, aktivitas dan istirahat, dan tingkat kepuasannya. Diet adekuat yang dianjurkan tinggi protein, calcium, besi dan vitamin, asupan cairan yang cukup (2500-3000 ml/hari). Ibu menyusui membutuhkan kualitas tidur malam yang bagus, waktu istirahat pada tengah hari dan aktivitas normal. Kecemasan, tegangan emosi, dan aktivitas yang berlebihan mempunyai efek merugikan bagi laktasi (Reeder & Martin, 1997). Emosi seperti tekanan (stress) atau kegelisahan merupakan faktor penting yang mempengaruhi jumlah produksi ASI selama minggu-minggu pertama menyusui, hal tersebut terlihat pada hasil penelitian, pada saat dilakukan pengukuran tingkat stress pada ibu setelah melahirkan di RSIA Kendangsari dari 30 responden menunjukkan bahwa sebagian besar yaitu sebanyak 27 orang (90%) tidak terjadi stress, hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi tekanan emosi dan kegelisahan pada ibu, dari 27 orang tersebut didapatkan produksi ASI dengan kriteria baik sebanyak 25 orang dan kriteria cukup sebanyak 2 orang. Diet atau nutrisi ibu juga menjadi faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi produksi ASI, karena dengan asupan nutrisi yang adekuat, maka produksi ASI juga akan meningkat, hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian bahwa dari 30 responden sebagian besar yaitu sebanyak 27 orang (90%) mempunyai status nutrisi yang baik dan dan 3 orang (10%) mempunyai status nutrisi cukup, selain itu semua responden menambahkan suplemen pelancar ASI dalam menu sehari-harinya. Dengan kriteria produksi ASI baik sebanyak 25 orang (83.3%) orang dan cukup sebanyak 2 orang (6.7%) dan 3 orang (10%) dengan kriteria kurang. Pada responden dengan kriteria produksi ASI kurang, apabila dilihat dari status nutrisi dan tingkat stress terdapat 2 responden yang mempunyai status nutrisi baik dan tidak stress, hal ini kemungkinan disebabkan karena paritas dimana ibu adalah primipara. Pengalaman pertama mempunyai anak akan mempengaruhi kemampuan menyusui bayi dengan benar, pada fase akhir menyusui bayi, mendapatkan komposisi susu yang mengandung lemak yang berguna meningkatkan berat badan, apabila ibu tidak memahami, maka ibu akan mengakhiri proses menyusui sebelum ASI terakhir diminum oleh bayi. Ibu yang melahirkan lebih dari satu kali, produksi ASI pada hari keempat setelah melahirkan lebih tinggi dibanding ibu yang melahirkan pertama kali (Zuppa et. al, 1989 dalam ACC/SCN, 1991) Inisiasi menyusui dini (IMD) mempengaruhi produksi ASI yang dapat dilihat dari perubahan berat badan bayi disamping beberapa faktor yang dapat mempengaruhi produksi ASI pada ibu antara lain status nutrisi dan stress. Ibu yang cemas dan stres dapat mengganggu laktasi sehingga mempengaruhi produksi ASI karena menghambat pengeluaran ASI. Pengeluaran ASI akan berlangsung baik pada ibu yang merasa rileks dan nyaman. Soetjiningsih (1997) mengungkapkan faktor psikologis (takut kehilangan daya tarik sebagai seorang wanita, tekanan batin) mempengaruhi pelaksanaan laktasi. Pengaruh IMD terhadap hipothermi Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh inisiasi menyusui dini (IMD) terhadap hipotermi ditunjukkan dari analisis friedman dengan nilai p = 0.016 (p< 0.05), yang berarti bahwa dari ketiga pengukuran suhu tubuh bayi terdapat perbedaan yang signifikan. Hasil penelitian dengan menggunakan uji analisis paired T test untuk mengetahui perbedaan antara ketiga pengukuran didapatkan antara suhu bayi awal dan pertengahan didapatkan nilai p = 0.000 (p< 0.05), yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara suhu bayi awal dan pertengahan, selain itu pada suhu 21 Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini Terhadap Bonding Attachment, Produksi ASI dan Hipothermi (Puji Hastuti) bayi pertengahan dan akhir pelaksanaan IMD didapatkan nilai p = 0.000 (p< 0.05), yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara suhu bayi pertengahan dan akhir. Hasil pengukuran suhu tubuh yang dilakukan tiga kali pada bayi menunjukkan penurunan pada pengukuran kedua. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adaptasi bayi terhadap suhu lingkungan dikarenakan fasilitas kamar bersalin yang menggunakan pendingin ruangan. Inisiasi menyusu dini diberikan dengan kondisi pendingin ruangan dimatikan, tetapi suhu ruangan masih dingin. Suhu tubuh bayi meningkat pada pengukuran selanjutnya, dikarenakan kontak kulit bayi dengan kulit dada ibu menghangatkan bayi dengan tepat selama bayi merangkak mencari payudara. Suhu lingkungan yang dianjurkan adalah suhu 25 - 32 derajat celcius. Hasil penelitian mendukung pendapat Roesli (2005) dan JNPKR (2008) yang menyebutkan bahwa inisiasi menyusu dini memberi keuntungan dalam mengendalikan temperatur bayi. Bayi baru lahir kehilangan panas melalui penguapan terutama segera setelah lahir (karena penguapan cairan ketuban dari permukaan kulit), konduksi (kontak dengan benda-kain dingin, baki dan lain-lain), konveksi (oleh arus udara di mana udara dingin menggantikan udara hangat sekitar bayi, jendela terbuka, kipas) dan radiasi (untuk benda padat lebih dingin di sekitarnya, dinding). Kehilangan panas tubuh dapat terjadi baik pada waktu masih berada di kamar bersalin maupun di kamar bayi. Perpindahan panas dari permukaan tubuh ke lingkungan dapat terjadi dengan 4 cara yakni radiasi, konduksi, konveksi dan evaporasi (Klaus et. al, dalam Klaus & Fanaroff, 1998). Evaporasi merupakan kehilangan panas bayi karena menguapnya cairan dari kulit yang basah oleh air ketuban/air karena bayi tidak segera dikeringkan. Pada bayi yang sangat kecil (<1500 gram) kehilangan panas melalui evaporasi meningkat pada hari pertama kehidupan disebabkan kulit yang sangat tipis dan sangat permiabel. (Klaus et. al, dalam Klaus & Fanaroff, 1998). Faktor yang mempengaruhi suhu tubuh bayi diantaranya lingkungan, aktivitas dan berat badan bayi. Penelitian dilakukan pada bayi dengan berat badan normal rentang antara 2500 gram sampai dengan 4300 gram. Bayi dengan berat badan tersebut sudah memiliki bantalan lemak sub kutan cukup untuk meminimalkan kehilangan panas melalui evaporasi. Upaya untuk mengurangi penguapan panas melalui evaporasi dengan menambahkan selimut yang berlapiskan plastik pada selimut yang digunakan untuk pelaksanaan inisiasi menyusu dini. Simpulan Kadar oksitosin Ibu tidak mempengaruhi pengeluaran ASI pada ibu postpartum. Stres tidak mempengaruhi pengeluaran ASI pada ibu postpartum. Nutrisi ibu selama 24jam sebelum pengukuran tidak mempengaruhi pengeluaran ASI pada ibu postpartum. Inisiasi menyusu dini meningkatkan bonding attachment ibu dan bayi ditunjukkan peningkatan hasil pengukuran bonding attachment dari waktu ke waktu. Inisiasi menyusu dini meningkatkan produksi ASI ditunjukkan dengan perbedaan signifikan berat badan bayi lahir dibanding berat badan bayi waktu kembali kontrol postpartum. Inisiasi menyusu dini menstabilkan suhu tubuh bayi sehingga tidak terjadi hipotermi bayi baru lahir yang ditunjukkan dengan suhu tubuh bayi normal pada akhir pelaksanaan IMD. Saran 1. 2. 3. Bagi Pasien dan Keluarga Mengikuti kelas kehamilan dapat menjadi alternativ penambah wawasan ibu terutama masalah inisiasi menyusu dini sehingga pada saat persalinan pasien bisa meminta fasilitas inisiasi menyusu dini kepada petugas kesehatan. Bagi pelayanan keperawatan (Rumah Sakit) a. Mempertimbangkan hasil penelitian sebagai dasar pelaksanaan inisiasi menyusu dini (IMD) b. Mengembangkan SOP pelaksanaan inisiasi menyusu dini (IMD) yang disesuaikan dengan jenis persalinan dan melibatkan pasangan untuk meningkatkan ikatan antara ibu, bayi dan keluarga Bagi penelitian dan pengembangan ilmu a. Penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan desain yang berbeda dengan membandingkan kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol sehingga lebih menghasilkan kesimpulan yang lebih bervariasi b. Penelitian selanjutnya diharapkan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi bonding attachment dan hipotermi, sehingga dapat melihat dengan lebih tepat sejauh mana pengaruh Inisiasi Menyusu Dini (IMD) terhadap bonding attachment dan hipotermi. 22 Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini Terhadap Bonding Attachment, Produksi ASI dan Hipothermi (Puji Hastuti) DAFTAR PUSTAKA Amin R. M., Said Z. M., Rosnah S., Azhar S.S., Azlan D., Khadijah S., (2011) Work related determinants of breastfeeding discontinuation among employed mothers in Malaysia. International Breastfeeding Journal Arifah I.N., (2009), Perbedaan waktu keberhasilan inisiasi menyusu dini antara persalinan normal dengan caesar di Ruang An-nisa RSI Sultan Agung Semarang; thesis; Universitas Diponegoro, Semarang Anonim ( 2008), Inisiasi menyusu dini, (www.cpddokter.com/home diperoleh tanggal 31 Januari 2012) Baston H., & Hall J., 2012. Persalinan. Jakarta: EGC Bhaakoo O.N., Pershad D., Mahajan R., Gambhir S.K., (1994) Development of mother infant attachment scale, Department of Pediatric, PGIMER, Chandigarh, Indian Pediatrics, vol. 31 Bobak, L., & Jensen. (2005), Buku ajar keperawatan maternitas, Jakarta: EGC. hal 493 Brazelton T.B. & Nugent J.K. (1995), Neonatal behavior assessment scale, 3rd Edition. London : The lavenham Press Ltd, Mac Keith Press Bystrova K, Matthiesen AS, Vorontsov I, Widstrom AM, Ransjo-Arvidson AB, Uvnas-Moberg K. (2007), Maternal axillar and breast temperature after giving birth: effects of delivery ward practices and relation to infant temperature; Acta Paediatrica, 2003; 92 (3) : 320-6. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1802 1144 diperoleh tanggal 27 Pebruari 2012 Bystrova K, Matthiesen AS, Vorontsov I, Widstrom AM, Ransjo-Arvidson AB, Uvnas-Moberg K. (2007), Skin-to-skin contact may reduce negative consequences of "the stress of being born": a study on temperature in newborn infants, subjected to different ward routines in St. Petersburg; Acta Paediatrica 2003;92(3):272-3. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1802 1144 diperoleh tanggal 27 Pebruari 2012 Cadwel, K., & Turner-Maffei, C., (2008) alih bahasa Tiar, E., (2011) Manajemen laktasi: buku saku, Jakarta, EGC Craig, J,V & Smyth,R, L (ed) 2007, 2th The evidence based practice manual for nurses, Beasley ,C & Mullally,S Dahlan M.S., (2011), Statistik untuk kedokteran dan kesehatan, Jakarta: Salemba Medika, edisi 5 hal, 69, 75 Darma K. K., (2011), Metodologi penelitian keperawatan. Jakarta: CV. Trans Info Media. hal,116 De Carvalho. M., Robertson, S., Friedman, A., Klaus, M., (1983) Effect of frequent breastfeeding on early milk production and infant weight gain, Pediatrics, diperoleh dari http://pediatrics.aappublications.org/content /72/3/307 tanggal 7 pebruari 2012 Ferber dan Makhoul (2004), The effect of skin-toskin contact (kangaroo care) shortly after birth on the neurobehavioral responses of the term newborn: a randomized controlled trial. Pediatric Official Journal of The American Academy of Pediatrics (http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/ 113/4/858 diperoleh tanggal 25 Januari 2012) Figueiredo B., Costa R., Pachecho A., and Pais A., (2007) Mother-to-infant and father-toinfant initial emotional involvement, Early Child Development and Care, vo. 77 No. 5, pp 521-532 Fikawati S., & Syafiq A., (2010) Kajian implementasi dan kebijakan air susu ibu eksklusif dan inisiasi menyusu dini di Indonesia; Makara Kesehatan, vol. 14; No. 1; 17-24 Fitria S.Y., (2010) Efektifitas inisiasi menyusu dini terhadap peningkatan produksi ASI di klinik bersalin Maryani, Skripsi, Universitas Sumatra Utara, Sumatra Utara Gabriel M., Martin I.L., Escobar A.L., Vilalba E. F., Blanco I.R., and Pol P.T., (2010) Randomized controlled trial of early skin to skin contact : effects on the mother and the newborn; Acta Paediatrica, vol. 99, pp. 1630-1634 Gangal P., Bhagat K., Prabhu S., and Rajlakshmi N., (2007), Initiation of breastfeeding by breast crawl, UNICEF Maharashtra Vol 19 Gant N. F., & Cunningham F.G., (2011), Dasardasar ginekologi dan obstetri. Jakarta : EGC Grewen K. M., Davenport R.E., and Light K. C., (2011), An investigation of plasma and salivary oxytocin responses inbreast- and formula-feeding mothers of infants department of psychiatry, University of North Carolina at Chapel Hill, Chapel Hill, NorthCarolina, USAbDepartment of Anesthesiology, University of Utah, Salt Lake City, Utah, USA Gribble K. D., (2006) Mental health, attachment and breastfeeding: implications for adopted children and their mothers, International Breastfeeding Journal, (http://www,internationalbreastfeedingjourn al.com/content/1/1/5 diperoleh 2 Pebruari 2012 Hidayat, A.A., (2007), Riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah. Jakarta: Salemba Medika. hal.58, 59 23 Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini Terhadap Bonding Attachment, Produksi ASI dan Hipothermi (Puji Hastuti) Johan C.H., Bussel V., Spitz B., Demyttenaere., (2010) Three self report questionaires of the early mother-to-infant bond: reliability and validity of the dutch version of the MPAS, PBQ, and MIBS, Arc womens ment Health 13: 373-384 http://springerverlag.com diperoleh tanggal 31 Januari 2012 Keister D., Robert K. T., and Werner S. L., (2008), Strategies for breastfeeding success, American academy of family Physicians (http://www.aafp.org/afp diperoleh tanggal 10 Januari 2012) Kennel., J.H., & Klaus, M.H., (1998), Recent observations that alter perinatal care, Pediatrics in review, diperoleh dari http://pedsinreview.aappublications.org/con tent/19/1/4 tanggal 13 desember 2011 Kent, J.C., Mitoulas, L.R., Cregan, M.D., Ramsay, D.T., Doherty, D.A., & Hartman, P.E., (2006) Volume, frequency of breastfeedings and fat content of breast milk throughout the day, Pediatrics, diperoleh dari http://pediatrics.aappublications.org/content /117/3/e387.full.html tanggal 29 pebruari 2012 Kostyra K.M., Mazur J., Boltruszko I., (2002) Effect of early skin to skin contact after delivery on duration of breastfeeding : a prospective cohort study, Acta Paediatrica vol. 91: 1301-1306 Millennium Development Goals 2015, http://www.mdgs.org diperoleh 28 Januari 2012 Mullany L.C., Katz J., Khatry S.K., Clerq S.C.L., Darmstardt G.L., and Tielsch J.M., (2010) Neonatal hypothermia and associated risk factors among newborns of southern Nepal, BMC Medicine (http://www.biomedcentral.com/ vol.8 No. 43) diperoleh 2 Pebruari 2012 Naylor, A.J., & Wester, R.A., 92009) Lactation management self study modules level I, third edition, Wellstart International, Shelburne, Vermont Nursalam (2008), Konsep dan metode penelitian ilmu keperawatan. Jakarta: Salemba Medika, hal, 95-97 Pearson R.M., Lightman S.L., dan Evans J., (2011), Attentional processing of infant emotion during late pregnancy and mother-infant relations after birth, Arch Womens Ment Health vol. 14; pp. 23-31 Reeder, S.J., Martin, L.L., Koniak-Griffin, (1987) Maternity Nursing; family, newborn, and women’s health care, ed. 18, USA: Lippincot Williams &Wilkins Inc. Reeder, S.J., Martin, L.L., Koniak-Griffin, (1997); alih bahasa Afiyanti, A., Rachmawati, I.N., Lusyana, A., Kurnianingsih, S., Subekti, N.B., Yulianti, D., (2011) Keperawatan maternitas; kesehatan wanita, bayi dan keluarga, ed 18, vol2, Jakarta, EGC Roesli, U., (2008), Inisiasi menyusu dini Plus ASI Eksklusif. Jakarta: Pustaka Bunda Sarwono P., (2002) Ilmu kebidanan, Jakarta, Yayasan Bina Pustaka Sastroasmoro, S dan Sofyan I., (1995), Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: binarupa Sentra Laktasi Indonesia (selasi), Panduan peserta: pelatihan konseling laktasi, terjemahan dari WHO dan UNICEF, (1993) Setiadi, (2007) Riset dan metodologi penelitian keperawatan, Yogyakarta : Graha Ilmu Sinusas K., dan Gagliardi A., (2001) Initial management of breastfeeding, (www.aafp.org/afp) vol. 64 No. 6 pp. 981991 Tomey, A (2006), Nursing theorist and their work, 6th edition. Philadelphia: Mosby Year – Book Inc. White T. R., Watanabe K., Pournajafi-N. H., Schwertz D., Bell A., and Carter C.S., (2010), Detection of salivary oxytocin levels in lactating women, NIH publik Acces Vol. 51.no.4 Yegen B. C., (2010), Oxytocin and hypothalamopituitary-adrenal axis. Marmara Pharm J 14: 61-66, 2010 1 Dosen ilmu keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya 24 PENGARUH TERHADAP KEJADIAN LUKA TEKAN GRADE I (NON BLANCHABLE ERYTHEMA) POSISI MIRING 30 DERAJAT PASIEN STROKE Dame Elysabeth 1 Abstract: The number of morbidity and mortality are set to increase as high as the incidence of pressure ulcer. The application of injury prevention strategies based on the recommendations. The aim of this research to identify the effect of 30 degree lateral positioning on the incidence of grade I (Non Blanchable Erythema) pressure ulcer. The method used Quasi-experimental with control group study, purposive sampling technique involving 33 patients, divided into 2 groups, (control n=16, intervention n=17). Both groups received the standard of care in the hospital. The intervention group was given 30 degree lateral position by using a triangular pillow. The incidence of grade I pressure ulcer were evaluated within 3x24 hours. The result show that the incidence of pressure ulcer was statistically significant between the group (p= 0039), OR=9.600, where the control group have an almost 10 times risk for development of grade I pressure ulcer. Keywords: pressure ulcer, 30 degree, prevention, turning position, stroke. Pengaruh Terhadap Kejadian Luka Tekan Grade I (Non Blanchable Erythema) Posisi Miring 30 Derajat Pasien Stroke (Dame Elysabeth)) Latar belakang Luka tekan adalah cedera yang terlokalisasi pada kulit dan atau jaringan dibawahnya biasanya diatas tonjolan tulang, sebagai akibat adanya tekanan, atau kombinasi dari tekanan dan gesekan (NPUAP-EPUAP, 2009). Prevalensi luka tekan di negara Eropa berkisar antara 8.3% - 22.9% (survei European Advisory Panel (EPUAP dalam Young, 2004). Di Korea, hal ini merupakan masalah serius khususnya di Intensive Care Unit (ICU), kejadian luka tekan meningkat dari 10.5 % 45% (Jun, et al., 2004 dalam Kim, et al., 2009). Severens meneliti bahwa 1 % dari anggaran kesehatan negara Belanda dihabiskan untuk luka tekan (Elliot, et al., 2008). Di Indonesia, pernah dilakukan survei di sebuah rumah sakit di Yogyakarta pada 2001, dilaporkan bahwa dari 40 pasien yang tirah baring, 40% menderita luka dekubitus (Purwaningsih, 2000 dalam Setiyawan, 2008). Setyajati (2001) melakukan survei di sebuah rumah sakit di Surakarta, didapatkan 38.18% pasien mengalami luka tekan (Setiyawan, 2008). Secara keseluruhan, kejadian luka tekan di rumah sakit mencapai 33% (Suriadi, et al., 2007 dalam Kale, 2009). Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2001) menetapkan sasaran mutu yaitu pasien tidak menjadi dekubitus harus 0% (Lumenta, 2008), diadopsi dari indikator mutu pelayanan rumah sakit menurut World Health Organization (WHO). Presentase luka tekan di nursing home berkisar 2.4%- 23%, sedangkan di rumah sakit berkisar 2.7% - 29.5% (Hobbs, 2004). Hal diatas cukup ironis, rumah sakit sebagai tatanan rujukan pelayanan kesehatan sewajarnya lebih mampu menangani kejadian luka tekan. Clark mengatakan bahwa teknologi yang semakin canggih, tersedianya alat-alat yang dapat mencegah luka tekan, namun insiden luka tekan tidak pernah turun (Moore & Price, 2004). Kenyataan ini membuktikan bahwa teknologi tidak sepenuhnya dapat menggantikan peran pemberi pelayanan perawatan. Luka tekan dapat terjadi dalam waktu 3 hari sejak terpaparnya kulit akan tekanan ekstrinsik (kelembaban yang tinggi, gesekan) (Reddy, 1990 dalam Vanderwee, et al., 2006; Braden & Bergstorm, 1987 dalam Bryant, 2000). Faktor-faktor resiko terjadinya luka tekan yakni usia diatas 70 tahun, riwayat merokok, kulit yang kering, indeks massa tubuh (IMT) yang rendah, gangguan mobilitas, perubahan status mental, inkontinensia, malnutrisi, keganasan, restrain fisik, dan riwayat luka tekan (Brandeis, 1990 dalam Ayello & Lyder, 2008). Suriadi (2002, dalam Sari, 2007). membuktikan bahwa imobilisasi adalah faktor resiko yang paling signifikan menyebabkan luka tekan dalam penelitiannya di sebuah rumah sakit di Pontianak Menurut Compas (2010), komplikasi tidak hanya berdampak pada masalah fisik, tapi juga psikologis, ekonomi dan sosial. Evidence Based Practice mengenai pencegahan luka tekan (Adelaide, 1997) ditemukan empat rekomendasi pengkajian kulit, pembebasan tekanan, penggunaan alat bantu, dan perbaikan kualitas. Hampir sama dengan rekomendasi Joanna Briggs, National Pressure Ulcers Advisory Panel (NPUAP-EPUAP) 2009 menetapkan enam rekomendasi, yaitu pengkajian resiko, pengkajian kulit, nutrisi, pengaturan posisi, penggunaan alat penyanggah, dan populasi khusus. Namun, rekomendasi tersebut masih sangat minim aplikasinya di tatanan pelayanan kesehatan. Hal ini terbukti dari masih banyaknya pasien yang berisiko terjadi luka tekan, dan tidak mendapatkan intervensi seperti rekomendasi tersebut. Florence Nightingale tahun 1859 menuliskan ”If he has bedshore, it’s generally not the fault of the disease, but of the nursing” (Nightingale, 1859 dalam Ayello & Lyder, 2008). Ahli klinis mempercayai luka tekan tidak semata kesalahan dari perawat, tetapi melibatkan multidisiplin kesehatan. Pada dasarnya, perawat mempunyai peran yang paling utama sebagai garis pertahanan terdepan yang mencegah dan menjaga pasien dari berkembangnya luka tekan (Ayello & Lyder, 2008). Pengaturan posisi merupakan intervensi keperawatan yang ditetapkan sebagai usaha pencegahan luka tekan. Saat pasien diposisikan miring sampai dengan 90 derajat, menimbulkan 27 Pengaruh Terhadap Kejadian Luka Tekan Grade I (Non Blanchable Erythema) Posisi Miring 30 Derajat Pasien Stroke (Dame Elysabeth)) kerusakan suplai oksigen yang dramatis pada area trokanter dibanding pasien yang diposisikan miring 30 Ëš (Colin, 1996). Pemberian posisi miring 30 Ëš bertujuan membebaskan tekanan sebelum terjadi iskemia jaringan hingga terjadi reaktif hiperemia dan mengatasi hipoksia jaringan, maka iskemik jaringan tidak sempat terjadi dan luka tekan pun tidak akan pernah ada. Defloor (2000) pernah meneliti sepuluh posisi yang berbeda saat pasien di atas tempat tidur, dari kesepuluh posisi itu, didapatkan bahwa tekanan yang paling minimal dicapai oleh tubuh pasien saat diposisikan miring 30 Ëš. Pengaruh posisi miring dengan 30 derajat juga diteliti oleh Seiler tahun 2005 (Vanderwee, et al., 2006), luka tekan pada area trokanter dan sakral dapat dieliminasi dengan memiringkan pasien posisi miring 30 Ëš secara teratur dan menyangganya dengan matras yang sangat lembut. Maklebust dalam ”rule of 30”, menyatakan posisi kepala tempat tidur ditinggikan sampai dengan 30 Ëš dan posisi badan pasien dimiringkan sebesar 30 Ëš dapat disanggah dengan bantal busa. Posisi ini terbukti menjaga pasien terbebas dari penekanan pada area trokanter dan sakral (NPUAP, 1996). Hasil laporan angka rata-rata kejadian luka tekan tahun 2006-2010 di SHLV Tangerang (0,31) dan SHKJ Jakarta (0,43). Angka kejadian luka tekan ini masih belum sesuai dengan standar mutu pelayanan kesehatan yang ditetapkan WHO dan Depkes 2001 yakni 0% (Lumenta, 2008). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain Quasiexperimental dengan post-test only with control group. Terdiri dari kelompok intervensi dan kelompok kontrol, yaitu kelompok intervensi dan kontrol mendapatkan intervensi pencegahan luka tekan sesuai standar pelayanan rumah sakit. Khusus kelompok intervensi, modifikasi posisi miring setinggi 30 Ëš menggunakan penyanggah bantal segitiga. Informed consent terlebih dahulu diberikan sebelum penelitian dilakukan, sebagai upaya melindungi hak azasi dan aspek etik mulai dari self determination, privacy, anonymity, informed consent dan protection from discomfort. Setelah itu pengkajian data karakteristik responden berupa nama, diagnosa, jenis kelamin, usia, nilai albumin, indeks massa tubuh, riwayat merokok, dan skor skala braden. Responden kelompok intervensi maupun kontrol menerima perlakuan pencegahan luka tekan berdasarkan tingkat resiko luka tekan skala Braden. Di sebuah rumah sakit di Tangerang, responden juga sebagai standar pencegahan luka tekan yang terdiri dari, 1) merubah posisi pasien dengan teratur setiap 2 jam sekali (miring kiri, terlentang, miring kanan); 2) mendukung pasien untuk melakukan mobilisasi aktif dan pasif; 3) melindungi tumit kaki pasien; 4) menggunakan alat penyanggah bantal untuk distribusi tekanan; 5) mengatur kelembaban, nutrisi, dan mencegah gesekan; dan 6) mengelompokkan ke tingkat resiko yang lebih tinggi bila ada faktor resiko. Namun yang berbeda pada kedua kelompok tersebut yakni pada saat miring kiri/ kanan, seluruh responden pada kelompok intervensi menggunakan bantal segitiga yang telah didesain oleh peneliti, agar pengaturan posisi konsisten pada tiap responden. Bantal segitiga ini menyanggah tubuh responden pada saat miring sehingga membentuk sudut 30 Ëš dan menjaga posisi tubuh tetap stabil. Adapun prosedur pengaturan posisi miring 30 Ëš, pasien ditempatkan persis di tengah tempat tidur, menggunakan bantal untuk menyanggah kepala dan leher. Selanjutnya, menempatkan satu bantal pada sudut antara bokong dan matras, dengan cara miringkan panggul setinggi 30 Ëš. Bantal yang berikutnya ditempatkan memanjang diantara kedua kaki. Pasien yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah pasien yang terdiagnosa stroke (setelah fase akut), mengalami imobilisasi (tidak mampu miring kiri dan kanan secara mandiri), skor Braden< 17, sedang menjalani perawatan inap di rumah sakit minimal 3 hari. Penelitian dilakukan pada dua institusi rumah sakit yakni salah satu rumah sakit di Tangerang (Intervention group) dan Jakarta (Control group). Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dibantu oleh asisten peneliti dari kedua rumah sakit yang sudah dilakukan pembekalan dan uji kesepakatan dengan peneliti untuk menjaga kesinambungan intervensi dan observasi. Kejadian luka tekan dievaluasi setelah 3 x 24 jam intervensi berdasarkan klasifikasi grade luka tekan berdasarkan EPUAP-NPUAP 2009. Pada penelitian ini dilakukan uji homogenitas terhadap usia, jenis kelamin, jenis stroke, skala Braden, riwayat merokok, kadar albumin, dan indeks massa tubuh antara responden kelompok kontrol 28 Pengaruh Terhadap Kejadian Luka Tekan Grade I (Non Blanchable Erythema) Posisi Miring 30 Derajat Pasien Stroke (Dame Elysabeth)) Tabel dan intervensi. Untuk mengetahui pengaturan posisi miring 30Ëš berpengaruh terhadap kejadian luka tekan menggunakan Chi-square, dengan tingkat kemaknaan ditetapkan sebesar 95%. No HASIL PENELITIAN Data yang diperoleh selama satu bulan 1 penelitian total responden sebanyak 33 pasien, 2 dengan 17 pasien kelompok intervensi (jumlah 19 pasien, 2 pasien drop out dikarenakan gelisah menjadi 17 pasien) dan kelompok kontrol berjumlah 16 orang pasien. Distribusi responden berdasarkan usia rata rata yakni 65 tahun (Tabel 3.1). Jumlah responden yang didiagnosa stroke hemoragik dan stroke iskemik masing-masing 50% (Tabel 3.2). Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, diperoleh laki-laki 21 (63%) dan wanita 12 (37%) responden (Tabel 3.3). Sedangkan distribusi berdasarkan skor braden mayoritas skor Braden> 9 yakni 15 pasien (46%) (Tabel 3.4). 3.3 Jenis Kelami n n % N % N % Laki-laki 10 58.8 11 68.8 21 63 Perempuan 7 41.2 5 31.3 12 37 Total 17 100 16 100 33 100 Intervensi No Skor Skala Braden Mean Median SD Min – Mak 17 16 65.06 65.88 65.5 67 9.91 12.7 46-78 45-85 2 3.5 95% CI 59.78 70.35 59.07 72.68 No N Jenis Stroke o Interve nsi n % Kontrol n Total % N % 3 1 Stroke Non Hemoragik 8 2 Hemoragik Total 9 1 7 47.1 52.9 100 8 8 33 50 50 100 16 17 33 48 52 100 4 % 52 .9 n 9 % 56. 3 N 18 % 54 47 .1 10 0 7 43. 8 10 0 15 46 33 10 0 1 6 Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Total n % n % N % 7 41.2 7 43.8 14 42 10 58.8 9 56.2 19 58 17 100 16 100 33 100 9 8 52.9 47.1 12 4 75 25 21 12 64 36 17 100 16 100 33 100 8 9 17 47.1 52.9 100 7 9 16 43.8 56.2 100 15 18 33 45.4 54.5 100 6 35.3 5 31.3 11 33.3 Usia ≥ 2 Total Distribusi Variabel Confounding Kelompok Intervensi dan Kontrol di Sebuah Rumah Sakit Tangerang dan Jakarta, Mei-Juni 2010 (N= 33) Variabel Confoun ding 1 Tabel 3.2 Distribusi Jenis Stroke Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol di Sebuah Rumah Sakit Tangerang dan Jakarta, Mei-Juni 2010 (N= 33) Total Intervens Kontro i l n Skala 9 Braden ≤ 9 Skala 8 Braden >9 Total 17 1 Tabel n Kontrol Tabel 3.4 Distribusi Skor Braden Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol di Sebuah Rumah Sakit Tangerang dan Jakarta, Mei-Juni 2010 (N= 33) Tabel 3.1 Karakteristik Usia Responden Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol di Sebuah Rumah Sakit Tangerang dan Jakarta, Mei-Juni 2010 (N= 33) Jenis Kelomp ok 1. Interv ensi 2. Kontr ol Distribusi Jenis Kelamin Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol di Sebuah Rumah Sakit Tangerang dan Jakarta, Mei-Juni 2010 (N= 33) 71 Tahun < 71 Tahun Total Riwayat Merokok Merokok Tidak Merokok Total Kadar Albumin ≤ 3 gr/dl >3 gr/dl Total Indeks Massa Tubuh ≤ 18 29 Pengaruh Terhadap Kejadian Luka Tekan Grade I (Non Blanchable Erythema) Posisi Miring 30 Derajat Pasien Stroke (Dame Elysabeth)) kg/m² >18 kg/m² Total 0 11 64.7 11 68.7 22 66.7 17 100 16 100 33 100 5. Tabel 3.5 distribusi frekuensi responden berdasarkan variabel confounding, yaitu usia, riwayat merokok, kadar albumin, dan indeks massa tubuh. Distribusi responden berdasarkan usia pada kedua kelompok menunjukkan 19 responden (58%) dengan usia< 71 tahun dibanding usia≥ 71 tahun dengan 14 responden (42%), dan 21 responden (64%) dengan riwayat merokok. Mayoritas responden memiliki kadar albumin>3 gr/dl yakni 18 pasien (54.5%). Distribusi frekuensi responden berdasarkan indeks massa tubuh, 22 responden (66.7%) memiliki nilai indeks massa tubuh>18 kg/m² sebesar 33.3% . 6. Tabel 3.6 Uji Homogenitas Kelompok Intervensi dan Kontrol di Sebuah Rumah Sakit Tangerang dan Jakarta, Mei-Juni 2010 (N= 33) 7. No 1. 2. 3. Variabel Confounding Skor Skala Braden Skala Braden ≤ 9 Kontrol n n 9 8 Total 1 7 Jenis Stroke SNH 8 SH 9 Total 1 7 Perempuan Total 4. Interve nsi Skala Braden >9 Jenis Kelamin Laki-Laki 1 7 Total 1 0 7 1 7 Usia ≥ 71 Tahun 7 < 71 Tahun 1 % Total 5 2. 9 4 7. 1 1 0 0 9 4 7. 1 5 2. 9 1 0 0 % N p V al % u e 5 6. 2 4 3. 8 1 0 0 1 8 5 4 1 5 4 6 3 3 1 0 0 8 5 0 1 6 4 8 8 5 0 1 7 5 2 1 6 1 0 0 3 3 1 0 0 5 8. 8 4 1. 2 1 0 0 1 1 6 8. 8 3 1. 2 1 0 0 2 1 6 3 1 2 3 7 3 3 1 0 0 4 1. 2 5 7 4 3. 8 5 1 4 4 2 1 5 7 1 6 5 1 6 9 1. 0 0 0 1. 0 0 0 0. 7 2 1 Riwayat Merokok Merokok 9 Tidak Merokok 8 Total 1 7 1 6 6. 2 1 0 0 9 8 3 3 1 0 0 5 2. 9 4 7. 1 1 0 0 1 2 7 5 2 1 6 4 0. 2 8 2 4 2 5 1 2 3 6 1 6 1 0 0 3 3 1 0 0 4 5 . 4 5 4 . 5 1 0 0 1. 0 0 0 3 3 . 3 6 6 . 7 1 0 0 1. 0 0 0 Kadar Albumin ≤ 3 gr/dl 8 4 7. 1 7 4 3. 8 1 5 >3 gr/dl 9 5 2. 9 9 5 6. 2 1 8 Total 1 7 1 0 0 1 6 1 0 0 3 3 6 3 5. 3 5 3 1. 3 1 1 >18 kg/m² 1 1 6 4. 7 1 1 6 8. 7 2 2 Total 1 7 1 0 0 1 6 1 0 0 3 3 Indeks Massa Tubuh ≤ 18 kg/m² Tabel 3.6 uji homogenitas atau kesetaraan karakteristik antara responden pada kelompok kontrol dan intervensi. Karakteristik responden dilihat dari tujuh variabel antara kelompok kontrol dengan intervensi pada tabel menunjukkan adanya kesetaraan (p> 0.05). Tabel 3.7 Pengaruh Pengaturan Posisi Miring 30 derajat dengan Kejadian Luka Tekan di Sebuah Rumah Sakit Tangerang dan Jakarta, Mei-Juni 2010 (N= 33) Variabel Independ en 1. 0 0 0 8. 8 1 0 0 Variabel Dependen Luka Tekan Luka Tekan Kontrol n 6 (%) 37.5 Tidak Luka Tekan n (%) 10 62.5 Intervensi 1 5.9 16 OR 95% CI p 9.600 1.00291.964 0.03 9 94.1 30 Pengaruh Terhadap Kejadian Luka Tekan Grade I (Non Blanchable Erythema) Posisi Miring 30 Derajat Pasien Stroke (Dame Elysabeth)) 2. Tabel 3.7 hasil analisis hubungan antara perlakuan posisi miring 30 Ëš dengan kejadian luka tekan, ditemukan bahwa terdapat enam responden (37.5%) pada kelompok kontrol mengalami luka tekan. Sedangkan pada kelompok intervensi terdapat satu responden (5.9%) terjadi luka tekan (p= 0.039, α = 0,05). Masing-masing kejadian luka tekan grade I (Non Blanchable Erythema) terjadi pada area trokanter kanan, trokanter kiri dan siku kiri, trokanter kiri dan tumit kiri, tumit kiri, trokanter kanan dan siku kanan, dan sakrum kuadran kanan atas. Disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengaturan posisi dengan kejadian luka tekan. Responden yang tidak diberi perlakuan posisi miring 30 derajat mempunyai peluang 9.6 kali untuk terjadi luka tekan dibanding dengan responden yang diberi perlakuan posisi miring 30 Ëš (OR= 9.600). Tabel 3.8 Hubungan Antara Usia, Riwayat Merokok, Kadar Albumin, IMT Pada Kelompok Intervensi Setelah Intervensi Posisi Miring 30 derajat di Siloam Hospitals Mei-Juni 2010 (N= 17) Variabel Luka Tekan Luka Tidak Luka Tekan Tekan n ( n (%) % ) Tota l N O R % 9 5 % pv al u e C I Usia 1. ≥ 71 Thn 1 2. <71 Thn Merokok 1. Merokok 2. Tdk Merokok Nilai IMT 1. ≤ 18 kg/m² 2. 18 kg/m² Kadar Albumin ≤ 3 g/dL 14. 3 6 85.7 7 1 0 0 1 0 0 0.85 7 (0.63 31.16 0) 0 0 10 100 1 0 1 0 11. 1 0 8 8 88.9 100 9 8 1 0 0 1 0 0 0.88 9 (0.70 61.12 0) 1 . 0 0 0 1 0 16. 7 0 5 11 83.3 100 6 1 1 1 0 0 1 0 0 0.83 3 (0.58 31.19 2) 0 . 3 5 3 1 12. 5 7 87.5 8 1 0 0 0.87 0 . 4 7 1 0 . 4 1 2 > 3 g/dL > 0 0 9 100 9 1 0 0 (0.67 31.13 7) Tabel 3.8 analisis hubungan hubungan antara confounding variable dengan kejadian luka tekan pada kelompok intervensi (Tabel 3.8). Antara usia dengan kejadian luka tekan diperoleh bahwa ada sebanyak 1 (14.3%) dari responden dengan usia ≥ 71 tahun mengalami luka tekan. Diperoleh nilai p=0.412, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian luka tekan. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR= 0.857, artinya responden yang usianya ≥ 71 tahun beresiko 0.8 kali untuk terjadi luka tekan dibandingkan dengan responden usia< 71 tahun. Pada kelompok intervensi terdapat 1 (11.1%) responden yang merokok mengalami luka tekan. Responden yang tidak merokok tidak ada yang mengalami luka tekan. Hasil penelitian menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara keduanya, namun responden yang merokok beresiko hampir 0.9 kali terjadi luka tekan (p=1.000, OR= 0.889). Nilai IMT juga tidak signifikan memiliki pengaruh terhadap kejadian luka tekan, ditunjukkan oleh nilai p=0.353. Hal ini disebabkan karena 6 dari responden yang memiliki nilai IMT<18 kg/m², hanya 1 (16.7%) yang mengalami luka tekan. Responden dengan nilai IMT<18 kg/m² memiliki resiko terjadi luka tekan sebesar 0.8 kali dibandingkan dengan responden dengan nilai IMT>18 kg/m². Confounding variable kadar albumin juga tidak menunjukkan adanya hubungan dengan kejadian luka tekan (p= 0.471). Meskipun hanya 1 responden dengan albumin < 3mg/dL mengalami luka tekan, namun responden dengan kadar albumin< 3mg/dL, beresiko 0.8 kali mengalami luka tekan dibandingkan responden dengan kadar albumin> 3mg/dL. PEMBAHASAN Peneliti melihat bahwa pengaruh pemberian posisi miring ini sangat bermakna sekali dalam mencegah terjadinya luka tekan. Hasil penelitian terdapat sebanyak enam responden dari kelompok yang tidak diberi perlakuan posisi miring 30 Ëš akhirnya mengalami luka tekan. Bila dibandingkan dengan responden yang diberi perlakuan posisi miring 30 Ëš, diperoleh hanya satu responden dari 17 total responden mengalami luka tekan. Peneliti mencoba mengidentifikasi karakteristik responden dengan luka tekan pada kelompok yang diberi tindakan posisi miring 30. Hal ini mendorong peneliti untuk menggali lebih jauh faktor yang mungkin berkontribusi terhadap terjadinya luka tekan diluar dari faktor confounding 31 Pengaruh Terhadap Kejadian Luka Tekan Grade I (Non Blanchable Erythema) Posisi Miring 30 Derajat Pasien Stroke (Dame Elysabeth)) dengan data yang sama pada responden lainnya. Faktor-faktor yang teridentifikasi oleh peneliti baik yang terukur dan tidak terukur antara lain, yang dapat diukur yakni riwayat lamanya rawat inap pasien dibanding dengan responden lain, hari rawat ke 16. Lama rawat ini memang agak berbeda jauh dengan responden yang rata-rata dilakukan penelitian pada hari rawat ketiga. Lama rawat inap dan faktor kondisi imobilisasi kemungkinan menjadi faktor yang mungkin berpengaruh menjadi pemicu terjadinya luka tekan (Fisher, et al., 2004). Pasien juga teridentifikasi mengalami suasana hati yang cenderung depresif sepanjang hari. Hal ini tampak dari ekspresi wajah pasien yang sering sedih dan pandangannya tampak kosong. Menurut Dharmono (2010), depresi pada pasien stroke menunjukkan prevalensi 24%-45%, yang akan memperlambat proses penyembuhan, memperberat gejala fisik, mengganggu rehabilitasi dan meningkatkan angka kematian. Depresi dikaitkan dengan adanya perubahan hormonal yakni hormon kortisol, yang mengalami peningkatan akibat ketidakseimbangan degradasi kolagen terhadap pembentukan kolagen dan kehilangan kolagen dihubungkan dengan perkembangan luka tekan (Cohen, Diegelman, dan Johnson, 1977, Rodriguez, 1989 dalam Bryant, 2000). Tujuan utama pemberian asuhan keperawatan adalah proses memenuhi kebutuhan dasar individu dan memberikan solusi yang tepat atas tidak terpenuhinya kebutuhan dasarnya. Pada pasien stroke, mereka tidak mampu mengkomunikasikan secara sempurna kemauan, sikap, dan tindakannya. Perawat hendaknya lebih empati atas keterbatasan yang dimiliki pasien meskipun pasien tidak mampu untuk menyampaikannya. Dalam kondisi imobilisasi, sebaiknya perawat lebih peka menilai kebutuhan perubahan posisi pasien. SIMPULAN Ada pengaruh yang signifikan antara pengaturan posisi dengan kejadian luka tekan grade I (Non Blanchable Erythema) ( p= 0.039) dengan nilai OR= 9.600, artinya responden yang tidak diberi perlakuan posisi miring 30 Ëš mempunyai peluang 9.6 kali untuk terjadi luka tekan dibanding dengan responden yang diberi perlakuan posisi miring 30 Ëš. Tidak ditemukan adanya pengaruh yang signifikan antara kejadian luka tekan dengan confounding variable: usia, riwayat merokok, kadar albumin, dan IMT. SARAN Penelitian ini dapat menjadi masukan positif dalam memodifikasi Standar Operasional Prosedur (SOP) keperawatan di masa akan datang dalam pencegahan luka tekan. Perlu disosialisasikan bahwa penggunaan bantal tambahan pasien imobilisasi lebih diprioritaskan. Bantal segitiga yang didesain oleh peneliti dapat dijadikan alternatif sebagai penyanggah pada pasien imobilisasi. Pengadaan sosialisasi atau penyegaran kembali kepada perawat ruangan deteksi dini faktor resiko luka tekan, luka tekan dari grade awal dapat teridentifikasi sehingga segera diintervensi sebelum penangan lebih lanjut oleh perawat luka. Penelitian lanjut secara berkala terkait fenomena kejadian luka tekan yang sering dihadapi dan penanganannya. Selain itu, perlu menggali lebih jauh ide-ide kreatif mengatasi kejadian luka tekan yang fenomenal seperti analisa enam faktor sub skala Braden terhadap kejadian luka tekan, kejadian luka tekan berdasarkan length of stay, dampak depresi terhadap kejadian luka tekan. Penelitian selanjutnya juga perlu dipertimbangkan untuk menambah jumlah sampel yang lebih besar lagi guna hasil yang lebih representatif. DAFTAR PUSTAKA Ayello, E., & Lyder, C. H. (2008). Pressure ulcers: A patient safety issue (Chapter 12). Diperoleh dari http://www.ahrq.gov/qual/nurseshdbk/docs. Adelaide, S. A. (1997). Best practice: Evidence based practice information sheets for health professionals, Australian Nursing Journal, I (1). Diperoleh dari http://www.joannabriggs.edu. au/pubs/best_practice.php. Bryant, R. (2000). Acute and chronic wound: Nursing management. St. Louis: Mosby. Colin, D. (1996). Comparison of 90 Ëšand 30Ëš laterally inclined positions in the prevention of pressure ulcer using transcutaneous oxygen and carbondioxide pressure, Advances in wound care, 9 (3), 35-38. Diperoleh dari http://www.ebscohost.com/uph.edu. Compas, C. (2010). Pressure ulcer prevention and management. Diperoleh dari www.afmc.org/ documents/quality_improve/pu_pres.ppt. Defloor, T. (2000). The effect of position and mattress on interface pressure, Applied nursing research, 13 (1). Diperoleh dari http://www. ebscohost.com/uph.edu. Depkes RI. (2004). Standar Pelayanan Unit Stroke. Jakarta : Depkes RI. Dharmono. (2010). Depresi dan stroke saling berhubungan. Balipost. Diperoleh dari http://www.balipost.com/mediadetail.php? module=detailberitaminggu&kid=24&id=3 5486. Elliot, R., Mc. Kinley, S., & Fox, V. (2008). Quality improvement program to reduce the prevalence of pressure ulcers in an intensive care unit, American journal of critical care, 17 (4), 328-337. Diperoleh dari http://www.ebscohost.com/uph.edu. 32 Pengaruh Terhadap Kejadian Luka Tekan Grade I (Non Blanchable Erythema) Posisi Miring 30 Derajat Pasien Stroke (Dame Elysabeth)) Kale, E. D. (2009). Efektifitas skala Braden dalam memprediksi kejadian luka tekan di bangsal bedah-dalam RSU Prof. Dr. W.Z. Yohannes Kupang (Tesis, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat). Diperoleh dari http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri 2/detail.jsp?id=124739. Fisher, A., Wells, G., & Harrison, M. (2004). Factors Associated With Pressure Ulcers in Adults in Acute Care Hospitals, Journal of Advanced Wound Care, 18 (5), 242-253. Diperoleh dari http://www. ebscohost.com/uph.edu. Hobbs, B. K. (2004). Reducing the incidence of pressure ulcers; implementation of a turnteam nursing program, Journal of gerontological nursing, 30 (11), 46-51. Diperoleh dari www.aacn.org/wd/nti2009/nti_cd?data/paper s/. Kim, E., Lee,.S., Lee, E., & Eom, M. (2009). Comparison of the predictive validity among pressure ulcer risk assessment scales for surgical ICU patients, Australian journal of advanced nursing, 26 (4). Diperoleh dari http://www. ebscohost.com/uph.edu. Laporan angka kejadian luka tekan Siloam Hospitals Kebun Jeruk. (2009). Wound and Diabetic care department Siloam Hospitals Kebun Jeruk. Laporan angka kejadian luka tekan Siloam Hospitals Lippo Village. (2009). Wound and Diabetic care department Siloam Hospitals Lippo Village. Lumenta, N. (2008). Lokakarya PELKESI: Strategi mempersiapkan dan menjaga mutu akreditasi rumah sakit. Diperoleh dari www.scribd.com/doc/nico-lumenta-MutuAkreditasi-RS. Moore, Z., & Price, P. (2004). Nurse’s attitude, behaviours and perceived barriers towards pressure ulcer prevention, Journal of clinical nursing, 13, 942-951. Diperoleh dari http://www. ebscohost.com/uph.edu. National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP). (1996). Quick reference guide. Diperoleh dari www.npuap.org/guidelines. National Pressure Ulcer Advisory Panel-European Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAPEPUAP). (2009). Quick reference Guide Washington DC. Diperoleh dari www.npuap.org/guidelines. Sari, Y. (2007). Luka tekan: Penyebab dan pencegahan. Diperoleh dari www.ppni.com. Setiyawan. (2008). Hubungan tingkat pengetahuan, sikap dengan perilaku perawat dalam upaya pencegahan dekubitus di rumah sakit Cakra Husada Klaten (Tesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jawa Tengah). Diperoleh dari http://etd.eprints.ums.ac.id/908/1/j220060012 .pdf. Vanderwee, K., Grypdonck, Bacquer, D., & Defloor, T. (2006). Effectiveness of turning with unequal time intervals on the incidence of pressure ulcer lesions, Journal of advanced nursing, 57, 59-68. Diperoleh dari http://www. ebscohost.com/uph.edu. Young. (2004). The 30 tilt position vs the 90 lateral and supine positions in reducing the incidence of non blanching erythema in a hospital inpatient population, Journal of tissue viability, 14 (3). Diperoleh dari http://www. ebscohost.com/uph.edu. 1 Staf Akademik Klinik Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Pelita Harapan 33 HUBUNGAN ANTARA PARITAS DENGAN KEJADIAN ABORTUS PADA IBU HAMIL Sri Haryuni 1 Abstract: The parity is amount of pregnancy wich ended by the birth of fetus who fulfill the requirenment to survive. Abortion is a kind of of dismissal as the result of contraception on pregnancy that less than 20 weeks or fetus weight is less than 500 grams. There are some general characteristics wich can be identified that is able to influence the abortion, they are age, parity and education status. Parity is one of causing the abortion happens on pregnant mother especially primipara. The purpose of this research is to know the correlation between parity and abortion on pregnant mother at SITI KHOTIDJAH hospital Gurah district, Kediri Regency in 2010. In this research, the research design used is analytical correlative, the respondent chosen by using purposive sampling tecnique is 55 people. The data analysis is using editing, coding, scoring and tabulating. The result of research got the parity on pregnant mother is about to all of them, that 43 people (78,1%) are Primipara, abortion on pregnant mother is about to all of them (47,3%) or 26 people, and based on sperman correlation test, it is gotten the data from 2-tailed significance value is 0,0013 so ρ <0,05 mean that (α ) HO is refused and H1 is accepted. It is proven that there is correlation between parity and abortion on pregnant mother at SITI KHOTIDJAH hospital Gurah district, Kediri Regency in 2010. The correlation degree is categorized enough because it is gotten the coefficint correlation value is 0,032. Based on the result of research hoped that Medical staff can do the illumination and controlling on fertile age couple and pregnanr mother and also the information correlated with abortion. Key word : Parity, Abortion, Pregnant Mother. Hubungan Antara Paritas Dengan Kejadian Abortus Pada Ibu Hamil (Sri Haryuni) Latar belakang Abortus (spontan maupun buatan) adalah tindakan penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan (sebelum usia 20 minggu kehamilan), bukan semata untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dalam keadaan darurat tapi juga karena sang ibu tidak menghendaki kehamilan itu. Keguguran atau abortus adalah musibah yang tidak diharapkan, apalagi keluarga terutama ibu yang sudah menunggu datangnya buah hati. Menurut World Health Organization (WHO) 1998, Abortus didefinisikan sebagai upaya terminasi kehamilan yang dilakukan sebelum janin mampu hidup di luar kandungan. Abortus yang tidak aman (unsafe abortion) adalah abortus yang dilakukan dengan menggunakan metode beresiko tinggi, bahkan fatal dilakukan oleh orang yang tidak terlatih atau tidak terampil serta komplikasinya merupakan penyebab langsung kematian wanita usia reproduksi. Abortus merupakan berakhirnya kehamilan sebelum anak dapat hidup di dunia luar tanpa mempersoalkan penyebabnya. Anak baru hidup di dunia luar kalau beratnya telah mencapai lebih dari 500 gram atau umur kehamilan lebih dari 20 minggu. Abortus dibagi kedalam abortus spontan, yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya, dan keguguran ini merupakan kurang lebih 20% dari semua abortus, sedangkan abortus buatan (provocatus), yaitu abortus yang terjadi disengaja, digugurkan, dan 80% dari semua abortus (Obstetri Patologi FK Unpad, 2002 ). WHO memperkirakan di seluruh dunia, dari 46 juta kelahiran pertahun terdapat 20 juta kejadian abortus. Sekitar 13 % dari jumlah total kematian ibu di seluruh dunia diakibatkan oleh komplikasi abortus, 800 wanita diantaranya meninggal karena komplikasi abortus dan sekurangnya 19 dari setiap 20 tindak abortus (95%) di antaranya terjadi di negara berkembang (Safe Motherhood Newsletter, 2000). Berdasarkan data Survey Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2008, Angka Kematian Ibu di Indonesia masih tertinggi di negara ASEAN yaitu 235 kematian Ibu per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab masih tingginya AKI adalah perdarahan (29%), eklamsi (27%), infeksi (5%), komplikasi puerperium (10%), partus lama (5%), trauma obstetri (5%), emboli obstetri (3%), abortus (11%), dan penyebab lain (5%). Sedangkan target yang diharapkan, AKI tahun 2010 yaitu 125 per 100.000 kelahiran hidup, dan pada Program Jangka Panjang II tahun 2019 menjadi 60 – 80 per 100.000 kalahiran hidup (Menkes RI, 2008). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada bulan Pebruari 2010 di RS SITI KHOTIDJAH Gurah Kabupaten Kediri didapatkan data sebagai berikut. Tabel 1.1 Frekuensi kejadian abortus di RS SITI KHOTIDJAH Gurah Kabupaten Kediri tahun 2009 N o 1 2 Bulan Kehami lan Abort us Paritas Primip Multip ara ara 3 1 2 1 Juli 30 4 Agustu 20 3 s 3 Septem 22 1 1 ber 4 Oktobe 31 2 2 r 5 Novem 25 6 5 1 ber 6 Desem 29 5 3 2 ber Jumlah 157 21 14 7 Sumber : Data Sekunder Penelitian Tahun 2010 Berdasarkan tabel 1.1 diatas diperoleh data bahwa dari 157 kehamilan didapatkan kasus abortus pada primipara lebih banyak yaitu 21 orang (66,6%), dibandingkan dengan multipara sebanyak 7 orang (33,3%). Banyak penyebab terjadinya keguguran atau abortus, misalnya keguguran trimester pertama hampir 60 % keguguran disebabkan kelainan kromosom, faktor ini termasuk faktor yang berasal dari ibu hamil tersebut dan merupakan seleksi Hubungan Antara Paritas Dengan Kejadian Abortus Pada Ibu Hamil (Sri Haryuni) alam, konsepsi tidak berkembang menjadi bayi, malah keluar dengan sendirinya dan kalaupun bertahan si kecil akan cacat. Ada beberapa alasan dan kondisi individual yang menyebabkan wanita mengalami abortus. Ada beberapa karakteristik umum yang dapat diidentifikasi yang dapat mempengaruhi abortus, diantaranya : umur, paritas dan tingkat pendidikan (Nasrin Kodim, 2001). Kaitannya dengan Paritas, dari survey yang dilakukan di India diketahui bahwa 60 % wanita yang mengalami abortus mempunyai satu atau dua anak, sekitar 18 % mempunyai 3 sampai 4 anak, dan 22 % telah mempunyai lebih dari lima anak. Di Cina justru abortus dig unakan untuk mengendalikan tingkat kesuburan (Yudiayutz, 2008). Abortus diindikasikan merupakan masalah masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab utama kematian ibu hamil dan melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia. Namun sebenarnya abortus juga merupakan salah satu penyebab kematian ibu, hanya saja muncul dalam bentuk komplikasi perdarahan dan sepsis (Yudiayutz,2009). Untuk itu diperlukan penatalaksanaan atau pendeteksian sedini mungkin selama hamil dengan cara Ante Natal Care (ANC) teratur, memberikan informasi tentang tanda – tanda bahaya kehamilan khususnya pada trimester awal, dan memotivasi ibu hamil untuk segera ke tenaga kesehatan atau RS bila mengalami tanda – tanda bahaya kehamilan pada awal kehamilan. Dari uraian diatas diharapkan angka kejadian abortus dan komplikasinya dapat berkurang. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan paritas dengan kejadian abortus pada ibu hamil di RS Siti Khotidjah Gurah Kabupaten Kediri tahun 2010 METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik korelasi. Pemilihan rancangan analitik tersebut berdasarkan penyesuaian dengan tujuan penelitian. Sedangkan berdasarkan cara pengumpulan data, rancangan penelitian ini mengambil metode survey dengan menggunakan data retrospektif dokumentasi. Rancangan penelitian berdasarkan tempat penelitian adalah lapangan. Berdasarkan waktunya, rancangan penelitian ini mengambil metode crossectional. Hal ini dikarenakan waktu pengambilan data hanya dilakukan satu kali saja. Rancangan penelitian berdasarkan ada tidaknya perlakuan menggunakan metode expost facto. Hal ini dikarenakan tidak diberikannya intervensi dalam pengungkapan fakta masalah dalam sebuah data. Berdasarkan sumber data rancangan penelitian ini menggunakan sumber data sekunder. Penggunaan data tersebut diambil karena peneliti tidak langsung observasi kepada responden (Notoatmojo,2002). Dari hasil perhitungan didapatkan besar sampel adalah 55 orang ibu hamil di RSM Siti Khotidjah Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri. Teknik Pengambilan Sampel Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara purposive sampling, yaitu berdasarkan pada suatu pertimbangan ciri atau sifat populasi. Untuk mengetahui hubungan antara paritas dengan kejadian abortus pada ibu hamil di RS SITI KHOTIDJAH Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri Tahun 2010 dilakukan uji statistik Non parametric Spearman Rank yaitu untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua variabel yaitu variabel bebas yang berskala ordinal dan variabel tergantung yang berskala ordinal (Sugiono,2006). ANALISIS HASIL PENELITIAN Data Umum Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi karakteristik berdasarkan kelompok umur di RS SITI KHOTIDJAH Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri Tahun 2010 No Umur Frekuensi Prosentase 1 20-25 33 60 % 2 26-30 19 34,5 % 3 5,4 % 3 31-35 Jumlah 55 100 % Sumber : Data Sekunder 2010 Berdasarkan data yang diperoleh pada tabel 5.1 diketahui bahwa karakteristik responden berdasarkan usia sebagian besar (60%) yaitu 33 responden berusia 20-25 tahun. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Hubungan Antara Paritas Dengan Kejadian Abortus Pada Ibu Hamil (Sri Haryuni) Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik berdasarkan Pendidikan di RS SITI KHOTIDJAH Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri Tahun 2010 No Pendidikan Frekuensi Prosentase Abortus Frekuensi Ya 26 47,3 % 2 Tidak 29 52,7 % Jumlah 55 100% Dasar Menengah Tinggi Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi kejadian Abortus pada Ibu Hamil di RS SITI KHOTIDJAH Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri Prosentase 1 1 2 3 seluruhnya (78,1%) yaitu sebanyak 43 responden adalah Primipara. 4 50 1 Sumber : Data Sekunder 2010 Berdasarkan data yang diperoleh pada tabel 5.5 diketahui bahwa kejadian Abortus pada ibu hamil hampir setengahnya (47,3%) yaitu 26 responden. 7,2 % 91 % 1,8% Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Silang Hubungan Antara Paritas dengan kejadian Abortus Pada Ibu Hamil di RS SITI KHOTIDJAH Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri Tahun 2010. Jumlah 55 100 % Sumber : Data Sekunder 2010 Berdasarkan data yang diperoleh pada tabel 5.2 diketahui bahwa karakteristik responden berdasarkan pendidikan hampir seluruhnya (91%) yaitu 50 responden mempunyai pendidikan Menengah. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Berdasarkan Pekerjaan di RS SITI KHOTIDJAH Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri Tahun 2010. No. 1 2 3 Pendidikan Ibu Rumah Tangga Pegawai Negeri Sipil Swasta Wiraswasta Jumlah Frekuensi Prosentase 37 1 14 3 67,2 % 1,8 % 25,4 % 5,4 % 31 100 Sumber : Data sekunder 2010 Berdasarkan data yang diperoleh pada tabel 5.3 diketahui bahwa karakteristik responden berdasarkan pekerjaan sebagian besar (67,2%) yaitu 37 responden adalah Ibu Rumah Tangga. Abortus Hubungan p a r i t a s Pr i m ip ar a M ul ti p ar a G ra n d e m ul ti p ar a Total Data Khusus Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi paritas pada Ibu Hamil di RS SITI KHOTIDJAH Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri Tahun 2010. Sumber : Data Sekunder 2010 Berdasarkan data yang diperoleh pada tabel 5.4 diketahui bahwa paritas Ibu Hamil hampir Total YA TIDAK 24 19 55,8 44,2 2 7 22,3 77,7 ∑ 0 3 % 0 5,4 ∑ % 26 47,3 29 52,7 ∑ 43 100 % ∑ % 9 100 3 100 55 100 Sumber : Data Sekunder 2010 N o 1 2 3 Paritas Frek uensi 43 9 3 Prosentase erdasa Primipara 78,1 % rkan Multipara 16,3 % Grande 5,4 % uji multipara Korela Jumlah 55 100 % si Spear man data yang diperoleh dari nilai sig. (2-tailed) sebesar 0,013 sehingga ρ < 0,05 (α ) H0 ditolak H1 diterima, terbukti bahwa ada hubungan antara paritas B Hubungan Antara Paritas Dengan Kejadian Abortus Pada Ibu Hamil (Sri Haryuni) dengan kejadian abortus pada ibu hamil di RS SITI KHOTIDJAH Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri tahun 2010. Tingkat hubungan termasuk kategori cukup karena di dapatkan nilai Correlation Coefisien sebesar 0,332. Arah hubungan termasuk negatif karena nilai Correlation Coefisien adalah 0,332, artinya abortus lebih beresiko pada kehamilan pertama dan akan kembali lebih beresiko pada kehamilan >5. PEMBAHASAN Paritas pada Ibu Hamil di RS SITI KHOTIDJAH Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri Tahun 2010 Setelah dilakukan analisa data pada tabel 5.4 didapatkan bahwa Ibu Hamil di RS SITI KHOTIDJAH Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri hampir seluruhnya (78,1%) yaitu 43 responden adalah Primipara. Hal ini sebabkan karena banyak pasangan usia subur yang baru menikah dan informasi tentang kontrasepsi mudah di dapatkan. Menurut (Varney, 2002) dikemukakan bahwa paritas adalah jumlah kehamilan yang diakhiri dengan kelahiran janin memenuhi syarat untuk melangsungkan kehidupan. Paritas juga dibagi tiga macam yaitu primipara adalah seorang wanita yang sudah menjalani kehamilan sampai janin mencapai tahap viabilitas (Phyllis M. Klien, 2005) dan multipara adalah wanita yang pernah melahirkan anak hidup beberapa kali, dan grande multipara adalah wanita yang telah melahirkan janin aterm lebih dari 5 kali (Manuaba, 1998). Berdasarkan fakta dari lapangan, pada data umum terlihat semua ibu berada pada usia reproduksi yaitu antara 20-35 tahun. Pada usia ini adalah usia yang produktif untuk menjalani kehamilan dimana ibu berada dalam masa yang aman untuk melalui proses kahamilan dan melahirkan dengan baik, selain itu hal ini juga di latar belakangi pekerjaan ibu sebagian besar (67,2%) yaitu sebanyak 37 responden adalah ibu rumah tangga dimana pekerjaan ibu rumah tangga tidak terlalu berat untuk wanita yang sedang hamil sehingga kehamilan tidak terlalu beresiko untuk terjadinya abortus, dan juga pendidikan Ibu hampir seluruhnya (91%) yaitu sebanyak 50 responden mempunyai pendidikan Menengah, dimana dengan pendidikan menengah ini maka responden lebih cepat dan mudah menerima informasi tentang bagaimana merencanakan kehamilan yang baik sehingga kehamilan dapat berlansung dengan normal dan menyenangkan bagi ibu dan pasangan, sehingga bayi yang dilahirkanpun adalah bayi – bayi yang sehat dan berkualitas. Kejadian Abortus pada Ibu hamil di RS SITI KHOTIDJAH kecamatan Gurah Kabupaten Kediri Tahun 2010. Setelah dilakukan analisa data pada tabel 5.5 diketahui bahwa kejadian Abortus di RS SITI KHOTIDJAH Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri Tahun 2010 hampir setengahnya (47,3%) yaitu 26 responden mengalami abortus. Hal ini disebabkan karena ibu belum pernah hamil, kurangnya informasi berkaitan dengan kehamilan, ibu mengkonsumsi obat- obat bila ada keluhan yang merupakan tandatanda kehamilan dan nutrisi ibu yang kurang terpenuhi. Abortus merupakan berakhirnya kehamilan sebelum anak dapat hidup di dunia luar tanpa mempersoalkan penyebabnya. Anak baru hidup di dunia luar kalau beratnya telah mencapai lebih dari 500 gram atau umur kehamilan lebih dari 20 minggu(Obstetri Patologi FK Unpad, 2002 ). Abortus dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah paritas, umur, pendidikan, kelainan pertumbuhan hasil konsepsi yang dapat menyebabkan kematian janin atau kecacatan, kemungkinan pola kelainan kromosom seks. selain itu faktor yang dapat menyebabkan abortus adalah kelainan pada plasenta endometritis dapat terjadi dalam vili korialis dan menyebabkan oksigenisasi placenta terganggu, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian janin (Yudiayutz,2008), seperti diketahui bahwa peran plasenta dalam kehamilan sangat penting karena berfungsi sebagai nutritif, respirasi, eliminasi, dan sistem kekebalan dari ibu ke janin dan sebaliknya. Selain itu umur ibu yang terlalu muda (< 20 tahun) dan terlalu tua (> 35 tahun) (Yudiayutz,2008). Hal ini disebabkan karena uterus belum siap menerima zigot dikarenakan fungsi endometrium belum optimal pada umur ibu < 20 tahun dan pada saat umur ibu >35 tahun terjadi penurunan fungsi endometrium karena terganggu vaskularisasinya, dan menurunya kualitas sel telur. Hubungan Antara Paritas dengan kejadian Abortus pada Ibu Hamil di RS SITI KHOTIDJAH kecamatan Gurah Kabupaten Kediri Tahun 2010. Setelah dilakukan analisa data pada tabel 5.6 didapatkan bahwa ibu hamil di RS SITI KHOTIDJAH Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri pada bulan Januari-Maret 2010 sebagian besar (55,8%) yaitu sebanyak 24 responden terjadi abortus pada primipara. Setelah dilakukan uji Korelasi Spearman data yang diperoleh dari nilai sig.(2tailed) sebesar 0,013 sehingga ρ < 0,05 (α ) H0 ditolak H1 diterima, terbukti bahwa ada hubungan antara paritas dengan kejadian abortus pada ibu hamil di RS SITI KHOTIDJAH Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri tahun 2010. Tingkat hubungan termasuk kategori cukup karena di dapatkan nilai Correlation Coefisien sebesar 0,332. Arah hubungan termasuk negatif karena nilai Correlation Coefisien adalah -0,332, artinya abortus lebih beresiko pada kehamilan pertama dan akan kembali lebih beresiko pada kehamilan >5. Ada beberapa faktor penyebab terjadinya abortus, diantaranya adalah kelainan pertumbuhan Hubungan Antara Paritas Dengan Kejadian Abortus Pada Ibu Hamil (Sri Haryuni) hasil konsepsi, kelainan pada plasenta, penyakit ibu, kelainan genetalia pada ibu, antagonis rhesus, perangsangan pada ibu yang menyebabkan uterus berkontraksi, penyakit dari bapak, umur, paritas, pendidikan, psikologis ibu dimana diketahui bahwa ibu dengan emosi yang lebih mudah mengalami gangguan kejiwaan serta mengalami ketegangan mental akibat pengaruh lingkungan, dan melalui selebrum akan mempengaruhi pengeluaran bahanbahan dari eminentia mediana dan hipotalamus yang merupakan daerah otak manusia kaya akan ujungujung syaraf yang berhubungan langsung dengan pembuluh darah portal dari hipopisis hipotolamus menghasilkan beberapa hormon yang dikenal dengan Realising Hormon, yang akan masuk ke dalam sirkulasi darah portal dan tiba di hipofase (Yudiayutz,2008). Paritas adalah pengelompokan wanita yang telah melahirkan sejumlah anak hidup atau pernah punya anak yang meninggal saat dilahirkan (Yudiayutz, 2008). Abortus spontan lebih beresiko pada primipara dibandingkan pada multipara, hal ini sering disebabkan karena ibu tidak menyadari sedang hamil dan mengkonsumsi obat – obatan bila ada keluhan – keluhan yang sebenarnya merupakan tanda- tanda kehamilan, ibu belum berpengalaman dalam kehamilan, kelainan kromosom dari ibu hamil tersebut, konsepsi tidak berkembang menjadi bayi malah keluar dengan sendirinya dan kalaupun bertahan si kecil akan cacat. SIMPULAN 1. 2. 3. Paritas pada Ibu Hamil di RS SITI KHOTIDJAH Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri tahun 2010 adalah hampir seluruhnya Primipara. Kejadian Abortus di RS SITI KHOTIDJAH Kec. Gurah Kabupaten Kediri Tahun 2010 sebagian besar terjadi abortus. Ada hubungan antara Paritas dengan kejadian Abortus pada Ibu Hamil di RS SITI KHOTIDJAH Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri Tahun 2010. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi V. Jakarta: Rineka Cipta Bobak, Lowdermilk, Jensen. (2004). Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Edisi 4 Alih Bahasa oleh Maria A. Wijayarini dan Peter I Anugrah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG. Cunningham. (1995). Obstetri Williams. Jakarta : RCG Depdiknas. (2001). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Depdiknas. Erica, (1994). Epidemiologi. http://situs.kesrepto.info/gendervaw/jun/2002 /utama03.htm Hidayat, A. Aziz Alimul. 2007. Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika Handayani, D. (2006). Abortus, Cari Penyebab. http://www.jawapos.com/Indeks Hartanto (2003). Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan http://yudiayutz.wordpress.com/2008/12/04/abortus/ diakses 8 januari 2010. Kodim, Nasrin. (2001). Epideminologi Abortus yang Tidak Aman. http://www.tempo.co.id/medika/arsip/012001 /top-1.htm. Manuaba, IBG. (1998). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC. Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC NN. (2005). Buku Saku pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Bandung : Tim Penggerak PKK Propinsi Jawa Barat. Natoatmojo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Prawiroharjo. (1999). Pelayanan Kesehatan Maternal dan Dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. Saifudin (2002). Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sastrawinata, Sulaeman (1981). Obstetri Patologi. Bandung : Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Soegiyono, (2001). Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta. Tara, Elizabeth. 2001. Buku Pintar Kesehatan Kehamilan. Jakarta: Ladang Pustaka Jakarta WHO. (1995). Complication of Abrtion, technical and Managerial for Preventing and Treatment. Geneva Wiknjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 1 Dosen Ilmu Keperawatan STIKES Kadiri Kediri HUBUNGAN ANTARA USIA DAN PARITAS DENGAN LAMA KALA II PADA IBU BERSALIN Rahmah K,D 1 Abstract: Maternal age and parity greatly affect the duration of second stage (the process of spending a baby). At maternal age with having high risk (<20 years and> 35 years) and primigravidae have parity or grande multiparous be at risk of second stage of labor lama.Purpose of this study was to determine the relationship between maternal age and maternal parity with the length of time Aminah RSIA II in Blitar City in 2010. Design of studies using correlational analytic design. The variables of this study are age, maternal parity and duration of the second stage of labor. Respondents totaled 248 respondents taken with a purposive sampling technique. Data collection instrument using the check list is taken from the maternal medical records in RSIA Aminah Blitar City in 2010, and then analyzed using sperman's correlation test and are presented in the form of frequency distributions and cross tabulation.Based on the results of research obtained data that the age is at most birth mothers with a low risk age group there are 161 respondents (64.9%), the parity data is at most primigravidae there are 158 respondents (63.7%) and who suffered second stage of labor normal is 106 respondents (42.7%). Spearman rank test results show the value of p = 0.000 significance level ( ) = 0.01, then Ho is rejected means that there is a relationship between old age with stage II and spearman rank test results show the value of p = 0.000 significance level ( ) = 0, 01 then Ho is rejected means that there is a relationship between parity with the length of second stage. Pregnant mothers are expected to pay more attention to plan pregnancies by age and number of children, so that no problems will occur in the second stage of labor. Keyword: Age Mother birth, parity, duration of Kala II Hubungan Antara Usia dan Paritas Dengan Lama Kala II Pada Ibu Bersalin (Rahma K,D) Latar belakang Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban keluar dari uterus ibu. Persalinan dianggap normal jika prosesnya terjadi pada usia kehamilannya cukup bulan (setelah 37 minggu tanpa disertai adanya penyulit). (Madjid, 2007). Persalinan normal dapat berlangsung karena adanya kerjasama ketiga faktor penting yaitu Power (kekuatan His, kekuatan mengejan), Passage (jalan lahir tulang, jalan lahir lunak), Passenger (janin, plasenta dan selaput ketuban). dan juga didukung dengan psikologi ibu serta faktor penolong persalinan (Nezi, 2010). Pada akhir kehamilan ibu dan janin mempersiapkan diri untuk menghadapi proses persalinan. Janin tumbuh dan berkembang dalam proses persiapan menghadapi kehidupan di luar rahim. Dalam proses keluarnya janin terdapat beberapa teori persalinan yaitu penurunan kadar progesteron, teori oksitosin, ketegangan otot, pengaruh janin, teori prostaglandin. Persalinan merupakan suatu proses alami yang akan berlangsung dengan sendirinya, tetapi persalinan pada manusia setiap saat terancam penyulit yang membahayakan ibu maupun janinnya sehingga memerlukan pengawasan, pertolongan dan pelayanan dengan fasilitas yang memadai. Persalinan pada manusia dibagi menjadi empat tahap penting dan kemungkinan penyulit dapat terjadi pada setiap tahap tersebut, meliputi : kala I, kala II, kala III, kala IV (Yayan, 2010). Angka kematian ibu tahun 2007 terjadi penurunan 228 per seratus ribu persalinan dibandingkan 2003 mencapai angka 307 per seratus ribu persalinan, tetapi angka ini masih tergolong tinggi di Asia. Pada tahun 2010 Tercatat 228 ibu yang meninggal per seratus ribu kelahiran hidup. Di Jawa Timur, angka kematian ibu yang baru melahirkan di sebesar 97 orang per 100 ribu. Di Blitar data tahun 2010 terdapat angka kematian ibu yaitu sebanyak 13,7/100 ribu (Putra, 2010). Peningkatan angka kematian ibu itu terjadi lantaran keterlambatan rujukan ke rumah sakit yang dilakukan petugas pembantu persalinan. Rendahnya 1 asupan gizi yang dipengaruhi kondisi ekonomi masyarakat (Yekthi HM, 2010). Berdasarkan data Depkes RI, angka kematian ibu paling banyak disebabkan faktor perdarahan dengan posisi 30 %, hipertensi 25 %, infeksi 12 %, komplikasi 8 %, abortus 5 %, partus lama 5 %, virus emboli 3 % dan lain-lain 12 %. (Depkes RI, 2010). Di jawa timur angka kejadian partus lama yaitu sebesar 7,21%, sedangkan di RSUD Mardi Waluyo Kota blitar angka kejadian partus lama sebesar 27 dari 809. Tabel 1.1 Data persalinan di RSIA Aminah Kota Blitar. No Tahun Jumlah persalinan 1 2 3 2008 2009 2010 664 701 646 Kejadian kala II lama 203 211 196 Presentasi (%) 30,5 % 30,1 % 30,3 % Sumber: Data rekam medik RSIA Aminah kota Blitar tahun 2008-2010 Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa angka kejadian partus lama di RSIA Aminah lebih tinggi dibandingkan dengan angka kejadian partus lama di Jawa Timur maupun di Blitar. Sebab terjadinya partus lama adalah multi kompleks dan tentu saja bergantung pengawasan selama hamil, pertolongan persalinan yang baik dan penatalaksanaannya. Faktor terjadinya partus lama di bagi menjadi dua yaitu faktor penyebab dan faktor resiko, faktor penyebab: His, mal presentasi dan mal posisi, janin besar, panggul sempit, kelainan serviks dan vagina, disproporsi fetovelvik, dan ketuban pecah dini, dan faktor resiko analgesik dan anastesis berlebihan, paritas, usia, wanita dependen, respons stres, pembatasan mobilitas, dan puasa ketat (Bascom, 2010). Berdasarkan studi pendahuluan di RSIA Aminah Kota Blitar tanggal 25 april 2010. Dari 8 ibu bersalin terdapat 2 ibu bersalin yang persalinannya normal (25 %) dan terdapat 6 ibu bersalin yang mengalami kala II lama (75 %).Penyebab terjadinya kala II lama diantaranya disebabkan oleh kelainan his (his hypotonic) sebanyak 5 ibu bersalin( 83,33 %)1 ibu yang mengalami his hypotonic berusia 19 tahun,dan 2 diantaranya berusia 35 dan 38 tahun dan 2 ibu bersalin primigravida ,panggul sempit sebanyak 1 ibu bersalin ( 16,67 %). His yang terlalu lemah menghambat proses persalinan, Sehingga keadaan seperti ini tidak akan dibiarkan terlalu lama karena dapat menimbulkan kelelahan otot rahim. Biasanya dokter atau bidan akan mengawasi dan menilai apakah perlu dirangsang atau tidak. His yang terlalu kuat dan sering lebih berbahaya karena tidak memberi kesempatan relaksasi pada otot rahim inilah yang seringkali menyebabkan persalinan tidak pada tempatnya atau prosesnya terlalu cepat, yaitu hanya 2-3 jam, bayi juga bisa kekurangan oksigen sehingga dapat menimbulkan kematian, selain itu hal ini juga bisa menyebabkan bayi mengalami trauma,misalnya perdarahan dalam tengkorak karena mengalami tekanan yang kuat dalam waktu singkat. Ibu juga bisa mengalami luka yang luas pada jalan lahir bahkan sampai menimbulkan perdarahan. Yang lebih berbahaya lagi jika ini ditambah kondisi panggul yang sempit dan kelainan letak janin yang 44 Hubungan Antara Usia dan Paritas Dengan Lama Kala II Pada Ibu Bersalin (Rahma K,D) bisa menyebabkan pecahnya rahim yang membahayakan jiwa ibu dan bayi (Efendi, 2010). Untuk menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi yang disebabkan oleh lama kala II diharapkan para ibu hamil lebih memperhatikan kehamilannya dengan rutin kontrol. Karena dengan rutin kontrol maka ibu hamil dapat mengetahui perkembangan kehamilannya dan mendeteksi dini adanya komplikasi. METODE PENELITIAN Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan dalam berbagai persepektif yaitu berdasarkan lingkup penelitian termasuk jenis penelitian inferensial, berdasarkan tempat penelitian termasuk jenis lapangan, berdasarkan waktu pengumpulan data temasuk jenis rancangan cross sectional, berdasarkan ada tidaknya perlakuan termasuk jenis expost facto penelitian, bedasarkan pengumpulan data termasuk jenis observasional, berdasarkan sumber data termasuk jenis sekunder. Data Khusus Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia ibu bersalin di RSIA Aminah Kota Blitar Tahun 2010 No Golongan Usia 1. Risiko rendah 2. Risiko Tinggi Jumlah Sumber: Data Sekunder Berdasarkan tabel 5.1 tersebut dapat dideskriptifkan bahwa sebagian besar responden penelitian yaitu 215 responden (79%) berpendidikan SMU. Tabel No 1. 2. 3. 4. 5.2 Prosentase (%) 62,9 36,1 272 100 Berdasarkan tabel 5.3 tersebut didapatkan bahwa usia ibu bersalin sebagian besar adalah golongan usia risiko rendah yaitu sebanyak 171 responden (62,9%) Tabel ANALISIS HASIL PENELITIAN Data Umum Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di RSIA Aminah Kota Blitar Tahun 2010 No Pendidikan Frekuensi Prosentase (f) (%) 1. SD 2. SMP 23 8,5 3. SMU 215 79,0 4. PT 34 12,5 Jumlah 272 100 Sumber: Data Sekunder Frekuensi (f) 171 101 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan paritas ibu bersalin di RSIA Aminah Kota Blitar Tahun 2010 Frekuensi Prosentase No Paritas (f) (%) 1. Primigravida 174 64,0 2. Multigravida 83 35,5 3. Grande 15 5,5 Multipara Jumlah 272 100 Sumber: Data Sekunder Berdasarkan tabel 5.4 tersebut didapatkan bahwa paritas ibu bersalin sebagian besar adalah Primigravida yaitu sebanyak 174 responden (64,0%). Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di RSIA Aminah Kota Blitar Tahun 2010 Pekerjaan IRT Petani PNS Swasta Jumlah Sumber: Data Sekunder Frekuensi (f) 168 16 44 44 272 Prosentase (%) 61,8 5,8 16,2 16,2 100 Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lamanya kala II ibu bersalin di RSIA Aminah Kota Blitar Tahun 2010 No Lamanya kala II Frekuensi (f) 1 2 3 Cepat Normal Lambat 38 108 126 Prosentas e (%) 14,0 39,7 46,3 272 100 Total Berdasarkan tabel 5.2 tersebut dapat dapat dideskriptifkan bahwa sebagian besar responden adalah Ibu Rumah Tangga yaitu sebanyak 168 responden (61,8 %) 5.5 Sumber: Data Sekunder Berdasarkan tabel 5.5 tersebut didapatkan bahwa lamanya kala II ibu bersalin hampir 45 Hubungan Antara Usia dan Paritas Dengan Lama Kala II Pada Ibu Bersalin (Rahma K,D) setengahnya Lambat yaitu sebanyak 126 responden (46,3%). keeratan hubungan antara paritas dengan lamanya kala II hubungan yang kecil (tidak erat). Tabel 5.6 PEMBAHASAN Usia Ibu Bersalin Berdasarkan hasil penelitian kelompok usia yang paling banyak adalah golongan usia yang berisiko rendah yaitu sebanyak 171 responden (62,9%), dan golongan usia berisiko tinggi yaitu sebanyak 101 responden (37,1%). Menurut Lestariningsih (2009 ) yang mengutip pernyataan Seno Adjie, SpOG., ahli kebidanan dan kandungan dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, usia dan fisik wanita berpengaruh terhadap proses kehamilan pertama, pada kesehatan janin dan proses persalinan. World Health Organisation (WHO) memberikan rekomendasi untuk usia yang dianggap paling aman menjalani kehamilan dan persalinan adalah 20 hingga 30 tahun. Tapi mengingat kemajuan teknologi saat ini, sampai usia 35 tahun masih boleh untuk hamil. Semakin cukup umur maka tingkat kemampuan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya dan dalam hal ini juga berhubungan dengan pengalaman dan kematangan jiwa. Dimana tingkat pendidikan akan sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang, sehingga berpengaruh kepada pola pikirnya maka akan semakin tinggi pula kemampuan mereka dalam menerima informasi dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003), bahwa pengetahuan adalah pemahaman seseorang akan sesuatu hal yang didapat baik secara formal maupun non formal. Paritas Ibu Bersalin Berdasarkan tabel diketahui bahwa sebagian besar ibu bersalin berparitas primigravida yaitu sebanyak 174 responden (64,0%). Paritas adalah keadaan wanita yang berkaitan dengan jumlah anak yang dilahirkan (Romali, 2003). Primipara adalah seorang wanita yang pernah sekali melahirkan janin yang mencapai viabilitas. Multipara adalah seoarang wanita yang pernah dua kali atau lebih hamil sampai usia viabilitas dan bukan jumlah janin yang dilahirkan. Grandemultipara adalah seorang perempuan yang telah hamil lima kali atau lebih yang menghasilkan janin hidup (Cunningham, 2005). Paritas juga menunjukkan banyaknya pengalaman yang dimiliki oleh ibu hamil dalam hal persiapan persalinan. Menurut Sahlan yang dikutip Latipun (2001) pengalaman diri sendiri akan dijadikan pusat evaluasi dan dia akan berperilaku secara kreatif untuk beradaptasi terhadap peristiwa yang baru. Begitu pula dengan pengalaman ibu hamil, dengan bertambahnya paritas akan dijadikan pusat evaluasi dan dia akan berperilaku secara kreatif Tabulasi Silang Usia Ibu Hamil Dengan lamanya kala II di RSIA Aminah Kota Blitar Tahun 2010. Total Lambat f f % 46 16, 17 9 1 80 29, 10 4 1 3 15, 10 39, 12 46, 27 8 4 8 7 6 3 2 Uji korelasi spearman’s Coeficient Corelation = 0.447 Usia Bersali n Risiko Rendah Risiko Tinggi Total Lamanya kala II Cepat Normal F % f % 3 11 95 34, 0 9 8 2,8 13 4,8 % 62, 9 37, 1 10 0 Sumber: Data Sekunder Berdasarkan hasil tabulasi silang pada tabel 5.6 dari 248 responden didapatkan responden yang bersalin pada usia resiko rendah hampir setegahmya mengalami lama kala II normal yaitu 95 responden (34,9%) sedangkan responden yang bersalin pada usia beresiko tinggi hampir setengahnya mengalami lama kala II yang lambat yaitu sebanyak 80 responden (29,4%). Berdasarkan hasil uji korelasi spearman’s bahwa ρ < α yaitu 0,000 < 0,01 didapatkan nilai coefecient corelation 0.459 yang berarti tingkat keeratan hubungan antara usia dengan lamanya kala II hubungan yang cukup erat. Tabel 5.7 Tabulasi Silang paritas Ibu Bersalin Dengan lamanya kala II di RSIA Aminah Kota Blitar Tahun 2010. Primigr avida Lamanya kala II Cepat Normal F % f % 1 4,4 59 21, 2 7 Multigr avida 2 0 7,4 46 16, 9 Grande multipa ra Total 6 2,2 3 1,1 Paritas Total Lambat f f % 103 3 17 7 4 , 9 17 6 83 , 3 6 2 15 , 2 3 14, 10 39, 126 4 27 8 0 8 7 6 2 , 3 Uji korelasi spearman’s coefecient corelation = 0.365 % 6 4 , 0 3 0 , 5 5 , 5 1 0 0 Sumber: Data Sekunder Berdasarkan hasil tabulasi silang pada tabel 5.7 dari 248 responden didapatkan responden yang primigravida hampir setengahnya mengalami lama kala II lambat yaitu 103 responden (37,9%). Berdasarkan hasil uji korelasi spearman’s bahwa ρ < α yaitu 0,000 < 0,01 didapatkan nilai coefecient corelation 0.365 yang berarti tingkat 46 Hubungan Antara Usia dan Paritas Dengan Lama Kala II Pada Ibu Bersalin (Rahma K,D) untuk beradaptasi dengan peristiwa kehamilan dan persalinan yang baru. Paritas primigravida menunjukkan masih kurangnya pengalaman dalam mempersiapkan kehamilan dan persalinan. Hal ini disebabkan karena ia belum pernah mengalami kehamilan sebelumnya. Kurangnya pengalaman mempengaruhi kurangnya persiapan dalam proses persalinan. Paritas I dan paritas tingi (lebih dari 3) mempunyai angka maternal lebih tinggi. Hal ini juga sesuai dengan Harry oxon (2003) yang menjelaskan bahwa uterus yang telah melahirkan banyak anak cenderung bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan. oleh karena itu, resiko yang terjadi pada berparitas tinggi (lebih dari 3) dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana, sedangkan pada paritas 1, resiko yang terjadi dapat di tangani dengan asuhan obstetrik yang lebih baik (Prawiroharjo,2007). Jumlah anak juga mempunyai pengaruh pada ibu proses persalinan kala II. Responden multigravida cenderung mengalami proses persalinan kala II normal yaitu sebanyak 46 responden (16,9%). Responden yang telah mengalami beberapa kali persalinan cenderung mempunyai kondisi psikis yang lebih baik dari pada responden yang baru sekali atau dua kali mengalami persalinan. Lamanya Kala II Berdasarkan tabel 5.5 tersebut didapatkan bahwa lamanya kala II ibu bersalin hampir setengahnya normal yaitu sebanyak 126 responden (46,3%). Persalinan adalah suatu pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar (Sarwono, 2006). Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban keluar dari uterus ibu. Persalinan dianggap normal jika prosesnya terjadi pada usia kehamilan cukup bulan (setelah 37 minggu) tanpa disertai adanya penyulit (Wiknjosastro, 2007). Persalinan normal dapat berlangsung karena adanya kerjasama ketiga faktor penting yaitu Power (kekuatan His, kekuatan mengejan), Passage (jalan lahir tulang, jalan lahir lunak), Passenger (janin, plasenta dan selaput ketuban). dan juga didukung dengan psikologi ibu serta faktor penolong persalinan (Nezi, 2010). Banyaknya responden yang mengalami kala II lama dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, menurut hasil tabulasi silang responden yang berpendidikan SMP mengalami lama kala II lambat dan responden berpendidikan SMA banyak yang mengalami lama kala II normal. Menurut Ariweni (2003) tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap tingkatan kualitas SDM. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka orang akan dapat lebih mudah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan menyerap pengetahuan teknologi. Kemajuan yang dicapai suatu bangsa antara lain sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan peranan penting terutama dalam proses pembentukan pribadi seseorang. Pekerjaan secara tidak langsung berpengaruh terhadap persalinan, namun responden yang mempunyai pekerjaan cenderung mempunyai kondisi ekonomi yang lebih baik sehingga mereka dapat mencukup kebutuhan nutrisi selama hamil, bagaimanapun juga asupan gizi pada ibu hamil sangat menolong pada waktu persalinan. Asupan gizi yang cukup akan membuat power ibu pada waktu persalinan menjadi lebih kuat. Jumlah anak juga mempunyai pengaruh pada ibu proses persalinan kala II. Responden multigravida cenderung mengalami proses persalinan kala II normal yaitu sebanyak 44 responden (17,7%). Responden yang telah mengalami beberapa kali persalinan cenderung mempunyai kondisi psikis yang lebih baik dari pada responden yang baru sekali atau dua kali mengalami persalinan. Menurut Gulardi (2010) Kontraksi rahim memang menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman pada ibu hamil. Rasa sakit karena kontraksi otot rahim sangat individual, tidak hanya tergantung pada keadaan normal orangnya. Perasaan takut dapat menimbulkan ketegangan sehingga dapat menyebabkan gangguan his. Dukungan keluarga akan membuat ibu lebih tenang sehingga persalinan dapat berlangsung lancar. Kontraksi rahim memang menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman pada ibu hamil. Rasa sakit karena kontraksi otot rahim sangat individual, tidak hanya tergantung pada keadaan normal orangnya. Perasaan takut dapat menimbulkan ketegangan sehingga dapat menyebabkan gangguan his. Dukungan keluarga akan membuat ibu lebih tenang sehingga persalinan dapat berlangsung lancar. Hubungan Antara Usia Ibu Bersalin Dengan Lamanya Kala II di RSIA Aminah Kota Blitar tahun 2010 Berdasarkan tabulasi silang dari 248 responden didapatkan hasil bahwa dari 161 responden (64,9%) yang mempunyai umur risiko rendah (20- 35 tahun) mengalami proses persalinan kala II cepat yaitu sebanyak 30 responden (18,6%), normal sebanyak 93 responden (57,7%) dan lambat sebanyak 38 responden (23,6%). Ibu bersalin dengan usia risiko tinggi sebanyak 87 responden (35,1%) mengalami proses persalinan kala II cepat sebanyak 8 responden (9,2%), normal sebanyak 13 responden (23,6%) dan lama sebanyak 66 responden (75,9%). Berdasarkan hasil uji korelasi spearman’s bahwa ρ < α yaitu 0,000 < 0,01 maka H0 ditolak atau H1 diterima, artinya ada hubungan antara usia ibu bersalin dengan lamanya proses persalinan kala II dengan tingkat hubungan antara keduanya cukup erat (0.459). 47 Hubungan Antara Usia dan Paritas Dengan Lama Kala II Pada Ibu Bersalin (Rahma K,D) Usia ibu memiliki kontribusi terhadap lamanya persalinan. Usia ibu yang terlalu muda atau tua dianggap penting karena ikut menentukan prognosa persalinan yang dapat membawa resiko. Ini berarti bahwa dengan usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun memiliki resiko mengalami partus lama 1,766 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu dengan usia 20-35 tahun. Ibu dengan usia terlalu muda kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, ketidak seimbangan antara panggul dan bagian terendah sering dijumpai pada ibu dengan tinggi badan kurang dari 150 cm yang mengakibatkan persalinan lama. Pada primigravida lama rata-rata fase aktif adalah 5-8 jam dan batas normal atasnya adalah 12 jam. Pada multigravida lama rata-rata fase aktif adalah 2-5 jam, dengan batas normal atasnya adalah 8 jam (Salsabila, 2010). Berdasarkan teori diatas dapat dijelaskan bahwa responden yang berusia kurang dari 20 lebih mempunyai keuntungan dari segi power terutama pada kala II his menjadi lebih kuat dan lebih cepat, kira-kira 2 sampai 3 menit sekali, usia yang lebih mudah dapat memenuhi his yang cenderung lebih kuat dan cepat, namun dari segi psikis mereka cenderung belum siap menjadi ibu. Kondisi psikis yang tidak sehat ini dapat membuat kontraksi selama proses persalinan tidak berjalan lancar sehingga kemungkinan operasi sesar jadi lebih besar. Sedangkan pada usia lebih dari 35 tahun hampir mirip pada premigravida muda. Hanya saja, karena faktor kematangan fisik yang dimiliki maka ada beberapa risiko yang akan berkurang pada premigravida tua. Misalnya menurunnya risiko cacat janin yang disebabkan kekurangan asam folat. Risiko kelainan letak janin juga berkurang karena rahim ibu di usia ini sudah matang. Panggulnya juga sudah berkembang baik. Bahaya yang mengancam primigravida tua justru berkaitan dengan fungsi organ reproduksi di atas usia 35 tahun yang sudah menurun sehingga bisa mengakibatkan perdarahan pada proses persalinan dan preeklamsia. Sedangkan responden yang bersalin pada usia aman (20-35 tahun) paling banyak mendapatkan keuntungan baik dari segi power yang diperlukan untuk his maupun kondisi psikis yang lebih mapan sehingga menurut hasil penelitian pada usia ini responden lebih banyak yang mengalami persalinan kala II normal. Namun masih terdapat sedikit kesenjangan pada hasil penelitian dimana pada usia aman (20-35 tahun) masih terdapat responden yang mengalami persalinan tidak normal yaitu sebanyak 38 responden (15,3%) banyak dikarenakan panggul sempit sehingga menyebabkan responden menjalani proses kala II menjadi lebih lama. Berdasarkan hasil analisa data maka usia ibu bersalin mempengaruhi proses persalinan kala II hal ini dikarenakan semakin baik usia ibu bersalin maka lamanya proses persalinan kala II akan berlangsung dengan normal, sebaliknya jika semakin kurang usia ibu bersalin maka proses persalinan kala II juga akan semakin lama. Semakin cukup umur maka tingkat kemampuan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dengan umur yang semakin cukup maka diharapkan responden lebih cepat dalam penerimaan informasi terutama mengenai proses persalinan. Untuk itu diharapkan responden harus meningkatkan pengetahuan yang lebih banyak baik formal maupun informal melalui baca buku, majalah, penyuluhan mengenai kesehatan. Sedangkan menurut Muhimah, (2010) pada kala II his menjadi lebih kuat dan lebih cepat, kirakira 2 sampai 3 menit sekali. Karena biasanya dalam hal ini kepala janin sudah masuk di ruang panggul, maka pada his dirasakan tekanan pada otot-otot dasar panggul, yang. secara reflektoris menimbulkan rasa mengedan. Wanita merasa pula tekanan kepada rektum dan hendak buang air besar. Kemudian perineum mulai menonjol dan menjadi lebar dengan anus membuka. Labia mulai membuka dan tidak lama kemudian kepala janin tampak dalam vulva pada waktu his. Bila dasar panggul sudah lebih berelaksasi, kepala janin tidak masuk lagi di luar his, dan dengan his dan kekuatan mengedan maksimal kepala janin dilahirkan dengan suboksiput di bawah simfisis dan dahi, muka, dan dagu melewati perineum. Setelah istirahat sebentar, his mulai lagi untuk mengeluarkan badan, dan anggota bayi. Para primigravida kala II berlangsung rata-rata 1,5 jam dan pada multipara rata-rata 0,5 jam. Masih terdapatnya responden yang mengalami proses persalinan kala II yang tidak normal pada usia rawan (>35 tahun dan < 20 tahun) harus dapat diantisipasi oleh para tenaga kesehatan. Pemberian konseling tentang kehamilan dan gizi sangat diperlukan bagi ibu hamil pada usia rawan dan juga pemberian melakukan tes amniosentesis pada awal kehamilan bagi wanita berusia 35 tahun atau lebih pada kehamilan pertama untuk menemukan kemungkinan sindrom down dan abnormalitas kromosom lain. Dan selalu memotivasi ibu untuk selalu melakukan aktivitas untuk menjaga kondisi fisik selama hamil untuk meningkatkan power pada saat persalinan kala II. Hubungan Antara Paritas Dengan Lamanya Kala II di RSIA Aminah Kota Blitar Tahun 2010 Berdasarkan tabulasi silang dari 248 responden didapatkan hasil bahwa dari 158 responden (63,%) adalah primigravida mengalami proses persalinan kala II cepat yaitu sebanyak 12 responden (7,6%), normal sebanyak 59 responden (37,3%) dan lambat sebanyak 87 responden (55,1%). Ibu bersalin multigravida sebanyak 77 responden (31,0%) mengalami proses persalinan kala II cepat sebanyak 20 responden (26%), normal sebanyak 44 responden (57,1%) dan lama sebanyak 13 responden (16,9%). Ibu bersalin grandemultipara sebanyak 13 48 Hubungan Antara Usia dan Paritas Dengan Lama Kala II Pada Ibu Bersalin (Rahma K,D) responden (5,2%) mengalami proses persalinan kala II cepat sebanyak 6 responden (46,2%), normal sebanyak 3 responden (23,0%) dan lama sebanyak 4 responden (30,8%). Berdasarkan hasil uji korelasi spearman’s bahwa ρ < α yaitu 0,000 < 0,01 maka H0 ditolak atau H1 diterima, artinya ada hubungan antara paritas ibu bersalin dengan lamanya proses persalinan kala II dengan tingkat hubungan antara keduanya tidak erat (0.365). Sebab terjadinya partus lama adalah multi kompleks dan tentu saja bergantung pengawasan selama hamil, pertolongan persalinan yang baik dan penatalaksanaannya. Faktor terjadinya partus lama di bagi menjadi dua yaitu faktor penyebab dan faktor resiko, faktor penyebab: His, mal presentasi dan mal posisi, janin besar, panggul sempit, kelainan serviks dan vagina, disproporsi fetovelvik, dan ketuban pecah dini, dan faktor resiko: analgesik dan anastesis berlebihan, paritas, usia, wanita dependen, respons stres, pembatasan mobilitas, dan puasa ketat . Menurut Bascom 2010, salah satu penyebab kelainan his yang dapat menyebabkan partus lama terutama ditemukan pada primigravida khususnya primigravida tua, sedangkan pada multipara ibu banyak ditemukan kelainan yang bersifat inersia uteri. Salah satu penyebab terjadinya partus lama adalah kelainan his, his yang tidak normal baik kekuatan maupun sifatnya tidak menghambat persalinan. Kelainan his dipengaruhinya oleh herediter, emosi, dan ketakutan menghadapi persalinan yang sering dijumpai pada primagravida. Dikatakan bahwa terdapat kecenderungan kesehatan ibu yang berparitas rendah lebih baik dari yang berperitas tinggi. SIMPULAN 1. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa kelompok usia yang paling banyak adalah usia ibu 20-35 tahun ada 171 responden (62,9%). 2. Paritas paling banyak adalah primigravida sebanyak 174 responden (64,0%). 3. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa hampir setemgahmya responden mengalami lama persalinan kala II lambat yaitu 126 responden (46,3%). 4. Hasil uji rank spearman menunjukkan nilai p= 0,000 pada tingkat signifikasi ( ) = 0,01 maka Ho ditolak berarti ada hubungan antara usia dengan lamanya kala II 5. Hasil uji rank spearman menunjukkan nilai p= 0,000 pada tingkat signifikasi ( ) = 0,01 maka Ho ditolak berarti ada hubungan antara paritas dengan lamanya kala II. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta Ayahbunda. 2010. Hamil di usia 30an . menurut [internet] 20 juni 2010 bersumber dari http://www.ayahbunda.co.id. [Diakses 10 maret 2010] Bascom 2010. Persalinan/Partus lama. Menurut [internet] 12 januari 2010 tersedia di (http://bascomj.wordpress.com./2008/04/03/fi siologi-persalinan-normal/persalinan/partus lama )diakses tanggal 14 Maret 2010. Bobak. (2004). Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC Cuningham, 2005 Obstetri William Edisi 21 : Jakarta EGC DEPKES. RI. (2008). Pelatihan Klinik Asuhan Persalinan Normal. Jakarta: DEPKES. RI. Dinkes RI. 2010. Angka Kematian Ibu Dan Bayi Di Indonesia. menurut [internet] 7 januari 2010 bersumber dari: http://www.angka kematian ibu di indonesia.go.id. [Diakses 10 Januari 2010] Dorland. 2006. Kamus Kedoteran Dorland edisi 29. Jakarta : EGC Farrer, Hellen. (2001). Perawatan Maternitas. (Alih Bahasa : Andry Hartono). Ed. 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Handayani. 2006. Hamil di usia rawan. Menurut [internet] 21 juli 2006 bersumber dari: www.mail-archive.com.[Diakses tanggal 10 maret 2010] Hidayat, A.A. (2007).Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika Indra. 2010. Hamil di Usia 20, 30 atau 40-an. Menurut [internet] 19 januari 2010, bersumber dari: www.mail-archive.com. [Diakses 15 maret 2010] Muhimah. (2010). Senam Sehat Selama Kehamilan. Jakarta : Afabeta Nezi. (2010). Faktor – faktor yang mempengaruhi persalinan. Menurut [internet] 21 Juli 2010 Tersedia di http://lenteraimpian.wordpress.com. Diakses tanggal 12 Januari 2010 Nursalam. (2003). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Prianggoro, Hasto. 2010. Hamil Tenang di Usia Matang. Menurut [internet] 0- februari 2010, bersumber dari: http://www.tabloidnova.com. [Diakses 10 maret 2010] Ramali, `A (2005). KAMUS KEDOKTERAN arti dan keterangan istilah. Jakarta: Djambatan Rekonfu. 2009. Kenali Kehamilan Sejak Dini. Menurut [internet] 17 Maret 2009 tersedia di http://www.rekonfu.com/index2.php?option= 49 Hubungan Antara Usia dan Paritas Dengan Lama Kala II Pada Ibu Bersalin (Rahma K,D) com_content&do_pdf=1&id=1495. [Diakses 13 maret 2010] Saifudin, A (2002). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : YB – PSP Salamah dan Suyanto. (2008). Riset Kebidanan Metodologi dan Aplikasi. Yogyakarta : Mitra Cendekia Salsabila. 2010. Kehamilan Usia Remaja Terhadap Durasi Proses Persalinan Kala I Dan II. Menurut [internet] 15 januari 2010, bersumber dari: http://skripsiqt.blogspot.com. Diakses tanggal 8 Maret 2010. Simkin, Penny. (2008). Panduan Lengkap Kehamilan, Melahirkan, & Bayi. (Alih Bahasa : Lilian Juwono). Ed.Rev. Jakarta: Arcan Soekidjo, Notoatmodjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta Sopiyudin. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika Ubaydillah. 2010. Resiko Tinggi Kehamilan Remaja. Menurut [internet] 13 januari 2010Tersedia di http://morningcamp.com. [Diakses 13 maret 2010] Wiknjosastro, Hanifa. (2007). Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBP-SP Yanti, S. (2010). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Persalinan. Yogyakarta: Pustaka Rihama Yayan. 2010. Fase / Kala dalam Persalinan Normal. Menurut [internet] 11 januari 2010, bersumber dari: http://belibis-a17.com. [Diakses 13 Januari 2010] 1 Dosen ilmu keperawatan STIKES Kadiri Kediri 50 ANALISIS PADA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HIPERTENSI PADA PASIEN Fathiyah1, Indah Wulandari 2 Abstract : Hypertension is a situation where happened the make-up of blood pressure above normal with sistolik more than or equal to 140 diastolik and mmHg more or equal to 90 mmHg. Hypertension represent one of the most having an effect on risk factor to cause kardiovaskuler disease. Hypertension cause divided to become 2 faction that is esensial hypertension or primary and sekunder hypertension. This research aim to to know factorsthat influencing hypertension at patient in disease Cilegon Hospital. This research were using descriptive cross sectional method. Sampel in this research are 100 people that is representing hypertension patient which is medicinizeing road;street in disease polyclinic in Cilegon Hospital. Result of research obtained that most ( 87%) responder have age more than 40 year, ( 68%) responder have men gender to , (73%) history responder smoke, ( 88%) responder have malnutrisi category, ( 93%) responder consume high salt, (61%) responder consume high fat, ( 82%) responder do not exercise, ( 82%) responder have other disease, ( 78%) responder suffer hypertension more than 5 year. Result of bivariat analysis there are relation beetwen age, gender, history smoke, nutrisi status, high salt consumption, high fat consumption, athletics, and other disease with hypertension. Keyword: Hypertension Analisis Pada Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi Pada Pasien (Fathiyah, Indah Wulandari) Latar belakang Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko yang paling berpengaruh sebagai penyebab penyakit kardiovaskuler. Hipertensi adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri (Ganong 2003; Mahdiana, 2010). Menurut World Health Organization (WHO), hipertensi merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah diatas normal dengan sistolik lebih dari dan /atau sama dengan 140 mmHg dan diastolik lebih dari dan/atau sama dengan 90 mmHg (Adib, 2009). Hipertensi terjadi akibat adanya interaksi beberapa mekanisme dalam tubuh seperti sitem saraf otonom, system Rennin-Angiontensin, dan saraf lain seperti natrium, hormon, dan volume sirkulasi darah (Sani, 2008). Penyebab hipertensi di bagi menjadi 2 golongan yaitu hipertensi esensial atau primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi esensial atau primer adalah hipertensi yang belum diketahui penyebabnya, terdapat 90% dari seluruh hipertensi (Adib, 2009 ; Mahdiana, 2010 ; Muhammadun, 2010 Sani, 2008). Hipertensi ini dipengaruhi oleh gaya hidup seseorang seperti konsumsi garam dan lemak tinggi, merokok, konsumsi alcohol berlebih, kurang berolahraga dan stress yang berkepanjangan (Adib, 2009; Mahdiana, 2010 Muhammadun, 2010; Sani, 2008). Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan akibat adanya penyakit lain seperti gagal ginjal, gagal jantung, atau kerusakan system hormon tubuh (Adib, 2009; Ganong, 2003; Mahdiana, 2010; Muhammadun, 2010; Sherwood, 2001). Meningkatnya prevalensi penyakit hipertensi setiap tahun menjadi masalah utama di Negara berkembang dan Negara maju. Berdasarkan data Lancet (2008) prevalensi penyakit hipertensi di seluruh dunia mencapai satu miliar kasus, dengan korban meninggal sebanyak 7,1 juta orang di seluruh dunia yaitu sekitar 13% dari total kematian (Muhammadun, 2010; Sani, 2008). Bahkan diperkirakan jumlah penderita hipertensi akan meningkat menjadi 1.6 miliar kasus menjelang tahun 2025 (Adib, 2009). Data dari The National Health and Nutrilion Examinition Survey (NHANES) menunjukan bahwa dari tahun 1999-2000 prevalensi hipertensi pada orang dewasa sekitar 29-31%, yang berarti terdapat 58-65 juta penderita hipertensi di Amerika (Yogiantoro dalam Sudoyo 2007). Di Negara bagian asia tercatat 38,4 juta kasus hipertensi pada tahun 2000 dan diperkirakan akan meninggkat menjadi 67,4 juta kasus hipertensi pada tahun 2025. Di Indonesia, penderita hipertensi mencapai 17-21% dari populasi penduduk dan sebagian tidak terdeteksi (Muhammadun, 2010). Prevalensi penyakit hipertensi di provinsi Banten tahun 2008 berjumlah 20.527 kasus dan tahun 2009 berjumlah 54.653 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2010). Gaya hidup sehat memegang peranan penting dalam proses pencegahan penyakit. Karena dengan menerapkan gaya hidup sehat maka akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat suatu penyakit. Meskipun demikian, masih banyak masyarakat yang tidak memperdulikan gaya hidup mereka, seperti kebiasaan dalam mengkonsumsi makanan yang melebihi kecukupan gizi, merokok, dan sering mengkonsumsi alkohol yang dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan terutama terjadi di kalangan masyarakat perkotaan (Muhammadun, 2010). Perubahan gaya hidup yang terjadi pada masyarakat membawa dampak terhadap berkembangnya penyakit degeneratif, salah satunya adalah hipertensi (tekanan darah tinggi). Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang banyak diderita oleh masyarakat diseluruh dunia termasuk Indonesia. Hipertensi menepati urutan pertama penyebab stroke dan serangan jantung, serta merupakan faktor utama dalam timbulnya gagal jantung kongestif (Muhammadun, 2010; Wolff, 2008). Perubahan pola makan mengarah pada jenis makanan yang banyak mengandung garam, konsumsi garam yang tinggi selama bertahun-tahun dapat meningkatakan tekanan darah karena terjadi peningkatan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ektraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume dan tekanan darah, sehingga berdampak terhadap timbulnya hipertensi (Muhammadun, 2010). Konsumsi makanan yang banyak mengandung lemak dapat menyebabkan penimbunan lemak di sepanjang pembuluh darah. Penyempitan pembuluh darah ini menyebabkan aliran darah menjadi kurang lancar. Penyempitan dan penyumbatan lemak ini memacu jantung untuk memompa darah lebih kuat lagi, agar dapat memenuhi kebutuhan darah ke jaringan. Akibatnya tekanan darah menjadi meningkat, dan terjadilah hipertensi (Muhammadun, 2010) Merokok sudah menjadi kebiasaan buruk yang dilakukan oleh beberapa masyarakat. Tanpa mereka sadari ternyata dalam sebatang rokok yang dihisap mengandung nikotin yang sangat berbahaya karena nikotin dapat meningkatkan pengumpulan darah dalam pembuluh darah. Selain itu, nikotin juga dapat menyebabkan terjadinya pengapuran pada dinding pembuluh darah sehingga keelastisan darah menjadi berkurang, akibatnya tekanan darah pun biasa meningkat (Muhammadun, 2010). Gaya hidup yang tidak aktif atau malas berolahraga bisa memicu terjadinya hipertensi. Berat badan yang berlebih akan menyebabkan seseorang susah begerak dengan bebas. Akibatnya jantung harus bekerja lebih kuat untuk memompa darah agar 52 Analisis Pada Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi Pada Pasien (Fathiyah, Indah Wulandari) biasa menggerakkan tubuh. Oleh karena itu obesitas termasuk salah satu yang bias meningkatkan resiko hipertensi (Muhammadun, 2010; Wolff, 2008). Data dari RSUD CilegonTahun 2009 bahwa hipertensi termasuk 10 besar penyakit terbanyak di setiap tahunnya maka di peroleh prevalensi penyakit hipertensi pada tahun 2009 sebanyak 974 kasus, dengan rincian sebagai berikut:pada trimester 1 294 kasus dan trimester 11 sebanyak 248 kasus, trimester 111 sebanyak 197 kasus dan trimester 1V sebanyak 225 kasus. Sedangkan untuk tahun 2010 di dapatkan hasil pada bulan januari sebanyak 112 kasus, bulan februari sebanyak 117 kasus, bulan maret 65 kasus, dan bulan april 75 kasus (Profil RSUD Cilegon, 2009). Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan di poliklinik penyakit dalam RSUD Cilegon melalui wawancara terhadap 10 pasien, di peroleh hasil bahwa 10 pasien memiliki hipertensi cenderung menjalani gaya hidup seperti kebiasaaan mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung garam, dan lemak, merokok, dan kurang berolah raga. Melihat tingginya prevalensi penyakit hipertensi di RSUD Cilegon dan dampak yang di timbulkan sangat serius, maka perlu mendapat perhatian dan penanganan khusus untuk mencegah peningkatan jumlah penderita hipertensi.Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti tentang “Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi hipertensi pada pasien di poliklinik penyakit Dalam RSUD Tahun 2010”. METODOLOGI PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Survei Analitik dengan pendekatan Cross Sectional. Cross Sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan observasi, atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Point Time Approach). Penelitian dilaksanakan di poliklinik penyakit dalam RSUD Cilegon. Penelitian dilaksanakan pada Bulan desember 2010. Variabel independen dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, merokok, berat badan,konsumsi garam tinggi, konsumsi lemak tinggi, penyakit penyerta.Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian hipertensi. Populasi pada penelitian ini adalah pasien dewasa di ploliklinik penyakit dalam RSUD Cilegon berjumlah 974 orang. Jumlah sampel yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah 100 responden. ≥ 40 tahun sebanyak 87 orang (87%), berjenis kelamin laki-laki sebanyak 68 orang (68%), memiliki riwayat merokok yaitu sebanyak 73 orang (73%), mempunyai kategori malnutrisi sebanyak 88 orang (88%), memiliki kebiasaan mengkonsumsi garam tinggi sebanyak 93 orang (93%), memiliki kebiasaan mengkonsumsi lemak tinggi sebanyak 61 orang (61%), tidak melakukan olahraga yaitu sebanyak 82 orang (82%), sebagian besar responden memiliki penyakit penyerta sebanyak 82 orang (82%), dan sebagian besar responden menderita hipertensi ≥ 5 tahun yaitu sebanyak 78 orang (78%). Hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa Lama Menderita Hipertensi Varia bel ≥ 5 ρ <5 tahun tahun Total 77 10 87 -88,50% -11,50% -100% 1 12 13 -7,70% -92,30% -100% 78 22 100 -78% -22% -100% 60 8 68 -88,20% -11,80% -100% 18 14 32 -56,30% -43,80% -100% 78 22 100 -78% -22% -100% Usia ≥ 40 tahun 0 < 40 tahun Tota l Jenis Kelam in Laki -laki 0,001 Pere mpuan Tota l Riway at Mero HASIL PENELITIAN Hasil penelitian univariat menunjukkan hasil bahwa sebagian besar responden memiliki usia value 0,013 kok Ya 62 11 73 53 Analisis Pada Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi Pada Pasien (Fathiyah, Indah Wulandari) Varia bel Tida Lama Menderita Lama Menderita Hipertensi Hipertensi ≥ 5 <5 tahun Total -84,90% -15,10% -100% 16 11 27 tahun ρ Varia value bel Tota ≥ 5 ρ <5 tahun Total -56,40% -43,60% -100% 78 22 100 -78% -22% -100% 70 12 82 -85,40% -14,60% -100% 8 10 18 -44,40% -55,60% -100% 78 22 100 -78% -22% -100% 75 7 82 -91,50% -8,50% -100% 3 15 18 -16,70% -83,30% -100% 78 22 100 -78% -22% -100% tahun value l k Tota -59,30% -40,70% -100% 78 22 100 -78% -22% -100% l Olahr aga Status Tida Nutris k i Mal 75 13 88 Ya nutrisi Nor 0 -85,20% -14,80% -100% 3 9 12 0 Tota l mal Tota l -25% -75% -100% 78 22 100 -78% -22% -100% Penya kit Penye Konsu rta msi Ada Gara m Tida Tinggi Ya Tida k Tota l 76 17 93 -81,70% -18,30% -100% 2 5 7 -28,60% -71,40% -100% 78 22 100 -78% -22% -100% Konsu Lema k Tinggi Tida k 56 5 61 -91,80% -8,20% -100% 22 17 39 k Tota l 0 msi Ya 0,005 0 PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisa data penelitian ini terlihat bahwa responden usia ≥ 40 tahun sebagian besar (88,5%) menderita hipertensi selama ≥ 5 tahun dan responden yang memiliki usia < 40 tahun sebagian besar (92,3%) menderita hipertensi selama < 5 tahun. Hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square didapatkan nilai ρ value : 0,000 berarti ρ value < α 54 Analisis Pada Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi Pada Pasien (Fathiyah, Indah Wulandari) maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak. Hal ini membuktikan bahwa ada hubungan antara usia dengan lama menderita hipertensi. Hipertensi umumnya berkembang pada usia diatas 40 tahun. Usia sangat berpengaruh terhadap peningkatan tekanan darah, baik tekanan sistolik maupun pada tekanan diastolik. Hal ini disebabkan dengan semakin meningkatnya usia seseorang, maka semakin meningkat juga kekakuan dari pembuluh darah aorta dan arteri-arteri pusat (Salawaney, 2010). Hal ini disebabkan karena dinding arteri akan mengalami penebalan oleh adanya penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan berangsur-angsur menyempit dan menjadi kaku. Seiring dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang megalami peningkatan darah, tekanan sistolik terus meningkat hingga usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat hingga usia 55-60 tahun (sani, 2008). Berdasarkan faktor pemicu, hipertensi dibedakan atas faktor yang tidak dapat dikontrol seperti umur, jenis kelamin dan keturunan. Pada usia lanjut terjadi penebalan dan kekakuan pada dinding arteri. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh darah yang sempit dari biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan (Soenarta, 2010). Berdasarkan hasil analisa data penelitian ini terlihat bahwa responden yang menderita hipertensi selama ≥ 5 tahun sebagian besar (88,2%) dengan jenis kelamin laki-laki dan responden yang menderita hipertensi selama < 5 tahun sebagian (43,8%) dengan jenis kelamin perempuan. Hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square didapatkan nilai ρ value : 0,001 berarti ρ value < α maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak. Hal ini membuktikan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan lama menderita hipertensi. Hipertensi lebih mudah menyerang kaum laki-laki dari pada perempuan. Hal ini disebabkan karena lakilaki banyak memiliki faktor pendorong terjadinya hipertensi, seperti stress, kelelahan dan makan yang tidak terkontrol. Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi daripada wanita. Hipertensi berdasarkan gender ini dapat pula dipengaruhi oleh faktor psikologis. Pada wanita seringkali dipicu oleh perilaku tidak sehat (merokok, kelebihan berat badan), depresi dan rendahnya status pekerjaan. Sedangkan pada pria lebih berhubungan dengan pekerjaan, seperti perasaan kurang nyaman terhadap pekerjaan dan pengangguran (Basha, 2008). Berdasarkan hasil analisa data penelitian ini terlihat bahwa responden yang menderita hipertensi selama ≥ 5 tahun sebagian besar (84,9%) merokok dan responden yang menderita hipertensi selama < 5 tahun sebagian (40,7%) tidak merokok. Hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square didapatkan nilai p value : 0,013 berarti ρ value < α (ρ < 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak. Hal ini membuktikan bahwa ada hubungan antara merokok dengan lama menderita hipertensi. Merokok adalah suatu faktor resiko penting dalam penyakit kardiovaskuler. Pada orang yang merokok secara terus menerus, kemungkinan terjadinya serangan jantung enam kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok. Rokok mengandung berbagai zat racun (toksin) yang berjumlah jutaan. Selain itu rokok juga menjadi oksidan (radial bebas) yang dapat merusak dinding pembuluh darah dan menyebabkan keelastisan pembuluh darah berkurang, akibatnya tekanan darah pun bisa meningkat (Muhammadun, 2010). Hipertensi juga dapat dirangsang oleh adanya nikotin dalam batang rokok yang di hisap seseorang. Hasil penelitian menunjukan bahwa nikotin dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam pembuluh darah. Selain itu, nikotin juga dapat menyebabkan terjadinya pengapuran pada dinding pembuluh darah (Muhammadun, 2010). Berdasarkan hasil analisa data 55 Analisis Pada Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi Pada Pasien (Fathiyah, Indah Wulandari) penelitian ini terlihat bahwa responden yang memiliki berat badan malnutrisi sebagian besar (85,2%) menderita hipertensi selama ≥ 5 tahun dan responden yang memiliki berat badan normal sebagian besar (75%) menderita hipertensi selama < 5 tahun. Hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square didapatkan nilai ρ value : 0,000 berarti ρ value < α maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak. Hal ini membuktikan bahwa ada hubungan antara berat badan dengan lama menderita hipertensi. Obesitas (kegemukan) merupakan ciri khas penderita hipertensi. Walaupun belum diketahui secara pasti hubungan antara hipertensi dengan obesitas, namun terbukti bahwa daya pompa jantung dan sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan hipertensi lebih tinggi daripada penderita hipertensi dengan berat badan normal (Basha, 2008). Makan yang berlebihan dapat menyebabkan kegemukan (obesitas). Obesitas lebih cepat terjadi pada gaya hidup pasif (kurang bergerak dan olahraga). Pada orang yang memiliki kelebihan lemak, dapat menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah sehingga mengganggu suplai oksigen dan zat makanan ke organ lain. Penyempitan dan penyumbatan lemak ini memacu jantung untuk memompa darah lebih kuat lagi, agar dapat memenuhi kebutuhan darah ke jaringan. Akibatnya tekanan darah menjadi meningkat, sehingga terjadilah hipertensi (Beavers, 2008; Muhammadun, 2010; Sani, 2008; Wolff, 2008;). Berdasarkan hasil analisa data penelitian ini terlihat bahwa responden yang memiliki konsumsi garam tinggi sebagian besar (81,7%) menderita hipertensi selama ≥ 5 tahun dan responden yang tidak mengkonsumsi garam tinggi sebagian besar (71,4%) menderita hipertensi selama < 5 tahun. Hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square didapatkan nilai ρ value: 0,005 berarti ρ value < α maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak. Hal ini membuktikan bahwa ada hubungan antara konsumsi garam tinggi dengan lama menderita hipertensi. Asupan garam merupakan faktor resiko terjadinya hipertensi. Melalui peningkatan volume plasma (cairan tubuh) dan tekanan darah yang akan diikuti oleh peningkatan ekskresi kelebihan garam sehingga kembali pada keadaan hemodinamik (system perdarahan) yang normal. Pada hiperensi essensial mekanisme inilah yang terganggu (Basha, 2008). Reaksi setiap orang berbeda-beda terhadap asupan garam yang didalamnya mengandung natrium. Pada beberapa orang, baik yang sehat maupun yang memiliki hipertensi walaupun mereka mengkonsumsi natrium berlebihan, pengaruhnya terhadap tekanan darah sedikit sekali bahkan tidak ada. Pada kelompok lain, jika terlalu banyak mengkonsumsi natrium akan menyebabkan peningkatan tekanan darah yang juga memicu terjadinya hipertensi. Konsumsi garam tinggi memiliki efek langsung terhadap peningkatan tekanan darah. Garam menyebabkan penumpukan cairan di dalam tubuh karena garam menarik cairan ekstraseluler agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Sebagian besar responden memiliki gaya hidup konsumsi garam tinggi, hal tersebut factor resiko terjadinya penyakit hipertensi. Garam merupakan factor penting dalam pathogenesis hipertensi. Penyakit ini hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan konsumsi garam minimal. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 5-6 gram/hari atau setara dengan satu sendok the (Adib, 2009; Beavers, 2008; Muhammadun, 2010). Berdasarkan hasil analisa data penelitian ini terlihat bahwa responden yang olahraga sebagian besar (85,4%) menderita hipertensi selama ≥ 5 tahun dan responden yang tidak olahraga sebagian (55,6%) menderita hipertensi selama < 5 tahun. Hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square didapatkan nilai ρ value: 0,000 berarti ρ < α maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak. Hal ini membuktikan bahwa ada hubungan antara olahraga dengan lama menderita hipertensi. Olahraga adalah aktivitas jangka panjang dan berintensitas rendah yang berlangsung beberapa menit dan melibatkan otot-otot di dalam tubuh (Sherwood, 2001). Tekanan darah dipengaruhi oleh aktivitas fisik, dimana akan lebih tinggi karena melakukan aktivitas fisik dan lebih rendah ketika beristirahat. The American college of sport medicine merekomendasikan agar seseorang berolahraga tiga kali seminggu selama dua puluh sampai enam puluh menit (Sherwood, 2001). 56 Analisis Pada Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi Pada Pasien (Fathiyah, Indah Wulandari) Kurang berolahraga merupakan salah satu faktor resiko terjadinya kematian akibat penyakit kardiovaskuler. Kurang berolahraga dapat memicu terjadinya hipertensi pada orang-orang yang memiliki kepekaan yang diturunkan. Berat badan yang berlebihan akan membuat seseorang susah bergerak dengan bebas. Sehingga jantung harus bekerja lebih kuat untuk memompa darah. Kondisi ini bisa meningkatkan resiko hipertensi (Sani, 2008; Muhammadun, 2010; Wolf, 2008). Berdasarkan hasil analisa data penelitian ini terlihat bahwa responden dengan penyakit penyerta (91,5%) menderita hipertensi selama ≥ 5 tahun dan responden yang tidak memiliki penyakit penyerta (83,3%) menderita hipertensi selama < 5 tahun.. Hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square didapatkan nilai ρ value : 0,000 berarti ρ < α maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak. Hal ini membuktikan bahwa ada hubungan antara penyakit penyerta dengan lama menderita hipertensi. Penyakit penyerta kadang timbul bersamaan dengan hipertensi dan hal ini dapat memperburuk kerusakan organ. Penyakit penyerta yang bisa muncul antara lain : kencing manis, resistensi insulin, hipertiroid, rematik, gout, dll. Hipertensi jika tidak segera diatasi dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan jantung, stroke, gangguan ginjal, pengaburan penglihatan ataupun penyakit penyerta lain. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan akibat adanya penyakit lain seperti gagal ginjal, gagal jantung atau kerusakan system hormon tubuh (Adib, 2009; Ganong, 2003; Mahdiana, 2010; Muhammadun, 2010; Sherwood, 2001). Dibandingkan dengan orang sehat, penderita diabetes mellitus dua kali lebih mudah terkena penyakit jantung koroner sebab lebih mudah terjadi penyumbatan pada pembuluh darah koroner. Karena nutrisi dan oksigen yang diterima otot jantung berkurang, kapiler jantung pun bisa gampang rusak. Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita diabetes mellitus antara lain : neuropati simtomatik atau komplikasi syaraf, retinopati diabetic, katarak, TBC, hipertensi, penyakit jantung koroner, ganggren diabetic, dll (David, 2008). Pada penderita gagal ginjal kronik, hampir selalu disertai dengan hipertensi, sebab hipertensi dan penyakit ginjal kronik merupakan dua hal yang selalu berhubungan erat. Selain itu penyakit ginjal telah lama dikenal sebagai penyebab hipertensi sekunder. Hipertensi terjadi pada lebih kurang 80% penderita gagal ginjal terminal. Hipertensi pada gagal ginjal kronik dapat terjadi sebagai efek dari penyakit pembuluh darah yang telah ada sebelumnya atau akibat dari penyakit ginjal itu sendiri. Keadaan ini juga dapat disebabkan karena adanya peningkatan volume cairan, peningkatan sekresi rennin, racun-racun uremik, asupan natrium, hipertiroid sekunder, dan lain-lain. Akibat peningkatan tekanan darah dalam jangka panjang dapat menyebabkan penebalan dinding ventrikel kiri. Adanya beberapa penyakit penyerta yang terjadi pada penderita gagal ginjal kronik seperti diabetes dan hipertensi dapat mempercepat buruknya fungsi ginjal penderita (Salawaney, 2010). DAFTAR PUSTAKA Adib, M. 2009. Cara Mudah Memahami & Menghindari Hipertensi, Jantung dan Stroke. Yogyakarta : Dianloka Pustaka Populer. Ariawan. I. 1988. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Jakarta : FKM Universitas Indonesia. Arikunto, S. 2002. Produser Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. Aswari, D. 2008. Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Sikap Penderita hipertensi Tentang Manajemen Hipertensi Di Desa Sujung Wilayah Kerja Puskesmas Tirtayasa Tahun 2008. Serang : STIKes Faletehan. Baskoro, W. 2005 kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta : Setia kawan. Beavers, D. G. 2008. Bimbingan Dokter Pada Tekanan Darah. Jakarta Rakyat. Elizabeth, Corwin. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC. Ganong. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC. Hastono, S. P. 2007. Analisa Data Kesehatan. Jakarta : EGC. Mahdina, S. P. 2010. Mencegah Penyakit Kronis Sejak Dini. Yogyakarta : Tora Book. Muhammadun. 2010. Hidup Bersama Hipertensi. Yogyakarta. Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. 57 Analisis Pada Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi Pada Pasien (Fathiyah, Indah Wulandari) Nursalam, 2003. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Sani, A. 2008. Hypertensi Current Perspective. Jakarta : Graha Ilmu. Sherwood, L. 2001. Fisisologi Manusia Edisi 2. Jakarta : EGC. Sudoyo , A. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I/Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Angraini, L.F. 2010. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Gaya Hidup Pada Pasien Hipertensi Di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Serang: STKes Falatehan. Basha, A. 2008. Hipertensi: Faktor Resiko dan Penatalaksanaanya.Desember 15,2011 http:// www, pjnhk.go.id. Mahdiana, R. 2010. Mencegah Penyakit Kronis Sejak Dini. Yogyakarta: Tora Book. Muhammadun. 2010.Hidup Bersama Hipertensi. Desember 15, 2011. http://www,jantung hipertensi. Com. Nursalam, 2003. Konsep &Penerapan Metodologi Penelitian ILmu Keperawatan Jakarata Salemba Medika. Profil RSUD Cilegon Tahun 2011. Salawaney, T. 2010. Hipertensi Pda Penderita Gagal Ginjal Kronik http://www,jantung hipertensi. com. Soenarta, A. 2007. Komplikasi Akibat Hipertensi Sering Timbul Tanpa Gejala Desember 15,2011. http://www.wordpress.com. 1 Mahasiswa Program Transfer dan Perawat di RSUD Cilegon 2 Dosen Departemen KMB STIKes Faletehan Serang 58 PENINGKATAN FUNGSI VENTILASI OKSIGENASI PARU PADA KLIEN POST VENTILASI MEKANIK MELALUI DEEP BREATHING EXERCISE Priyanto1, Dewi Irawaty2, Luknis Sabri3 Abstract: Deep breathing exercise (DBE) is pulmonary activities with deep breath technique and effective cough to restore oxygenation ventilation. The purpose of research was to identify the influence of deep breathing exercises on ventilation oxygenation pulmonary function on client with post mechanical ventilation. This research used quasy experiment nonequivalent control group, involving 26 respondents for each intervention and control group who selected by consecutive sampling method. Bedside monitor, peak flow meter, pulse oximetry were instrument used. The research was conducted on ICU of Dr. Moewardi Regional Hospital, Tugurejo Regional Hospital and Ambarawa Regional Hospital. The results showed significant difference ventilation oxygenation (VO) pulmonary function after conducting deep breathing exercise (DBE) on day 4 and 5 (p=0.018, p=0.004). Recommendations of this study as a reference to improve the standard of nursing care through the application of DBE in the practice of critical care nursing. Implications for service quality improvement through an independent professional nursing care. Key words: Deep breathing exercises (DBE), post mechanical ventilation, ventilation oxygenation (VO) pulmonary function Peningkatan Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru Pada Klien Post Ventilasi Mekanik Melalui Deep Breathing Exercise (Priyanto, Dewi I, Luknis S) Latar belakang Kegagalan pernapasan merupakan indikasi yang paling umum untuk dirawat di unit perawatan intensif (ICU) rumah sakit. Kegagalan pernapasan merupakan kondisi ketidakmampuan paru menjaga keseimbangan atau homeostatis O2 dan CO2 di dalam tubuh serta ketidakmampuan paru menyediakan O2 yang cukup atau mengurangi tumpukan CO2 di dalam tubuh. Menurut Ignatavicius & Workman (2006) kegagalan pernapasan lanjut dapat didefinisikan sebagai kegagalan ventilasi dan atau kegagalan oksigenasi karena berbagai faktor penyebab. Pemberian bantuan pernapasan dengan pemasangan ventilasi mekanik dapat membantu ventilasi paru untuk meningkatkan oksigenasi dan mencegah kerusakan paru. Menurut Smeltzer, et al (2008) bantuan tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan oksigen, mengurangi kerja pernapasan, dan meningkatkan oksigenasi ke jaringan atau mengoreksi asidosis pernapasan. Penggunaan ventilasi mekanik menurut survai multinasional terhadap 5000 klien di Eropa digunakan pada kasus gagal nafas akut (69%), koma (17%), gagal nafas kronis (13%) dan gangguan neuromuskuler (2%) (Rodriquez, Dojat & Brochard, 2005). Bantuan pernapasan harus diberikan secara adekuat sesuai indikasi untuk mencegah kelemahan otot pernapasan karena diistirahatkan (Smeltzer et al, 2008). Penyapihan (weaning) ventilasi mekanik dilakukan jika sudah ada kemampuan bernafas spontan. Hal ini menjadi salah satu alasan dilakukannya perbaikan fungsi pernapasan (Rodriquez, Dojat & Brochard, 2005). Upaya tersebut dilakukan dnegan latihan pernapasan untuk memperbaiki fungsi ventilasi dan oksigenasi paru (Ignatavicius & Workman, 2006). Beberapa jenis latihan pernapasan yang dapat dianjurkan untuk pemulihan paru adalah Deep breathing exercises (DBE), diaphragmatic exercise, tehnik pursed lip breathing, dan incentive spirometer (Smeltzer, et al, 2008). Westerdahl, et al (2005) meneliti klien yang melakukan DBE sebanyak 30 kali/ jam ketika terjaga setelah 1 jam paska ekstubasi post CABG, pada hari keempat menunjukkan jumlah atelektasis lebih kecil dan terjadi peningkatan fungsi ventilasi. DBE terdiri atas 10 kali napas dalam, dibagi dalam 3 stase selama setengah jam dengan jeda batuk efektif untuk memobilisasi sekresi. Bila mungkin klien melakukan latihan dengan posisi duduk. Menurut Ignatavicius & Workman (2006) setelah ekstubasi weaning, klien dianjurkan untuk segera berlatih nafas dalam (DBE) setiap setengah jam dan berlatih duduk semifowler. Peran perawat ICU diantaranya memantau keluhan sesak nafas, kemampuan ekspansi dada, jumlah pernapasan, mengamati keteraturan dan karakteristik pernapasan serta oksigenasi ke jaringan (Ignatavicius & Workman, 2006). Tugas penting lainnya penanganan emergency, monitoring fungsi pernapasan melalui observasi fisik dan bedside monitor, edukasi serta pengawasan terhadap perbaikan fungsi ventilasi paru. DBE merupakan upaya yang dianggap dapat meningkatkan fungsi paru khususnya ventilasi oksigenasi, dan mencegah kegagalan pernapasan berulang serta risiko atelektasis paru post ventilasi mekanik. Tujuan penelitian untuk mengidentifikasi pengaruh DBE terhadap fungsi ventilasi oksigenasi (VO) paru pada klien paska ventilasi mekanik. Metode Penelitian kuasi eksperimen dengan pendekatan non equivalent control group ini menggunakan kelompok intervensi dan kontrol. Kedua kelompok memperoleh perawatan dan tindakan medik sesuai prosedur RS. Intervensi dalam penelitian ini adalah penggunaan DBE modifikasi dari Westerdahl, et al (2005), Ignatavicius & Workman (2006) dan Anne, Pippin & Hill (2009). DBE meliputi 30 kali latihan nafas dalam selama 30 menit dengan diselingi istirahat 30 menit, sebanyak 6 kali sehari pada siang hari selama lima hari. Penelitian ini dilaksanakan selama delapan di ICU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Tugurejo Kota Semarang dan RSUD Ambarawa Kabupaten Semarang. Sampel penelitian menggunakan jumlah minimal penghitungan rumus uji beda dua proporsi yaitu sebanyak 26 responden (masing-masing kelompok 13 orang) dengan teknik consecutive sampling. Penentuan kelompok dengan systematic 67 Peningkatan Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru Pada Klien Post Ventilasi Mekanik Melalui Deep Breathing Exercise (Priyanto, Dewi I, Luknis S) random sampling. Kriteria inklusi responden: usia dewasa, post ventilasi mekanik paska ekstubasi 1 jam, ada riwayat kegagalan pernafasan, dapat bernafas spontan, bersedia menjadi responden dan mengerti instruksi. Kriteria eksklusi meliputi: keadaan umum sangat lemah/ bedrest total; ada nyeri berat; mendapat terapi obat depresan susunan syaraf pusat; ada trakeostomi; ada riwayat pembedahan, dan ada riwayat ventilasi mekanik program maintenance. Fungsi Ventilasi Oksigen (VO) paru diidentifikasi melalui pola pernapasan, kapasitas vital paru dan saturasi oksigen. Instrumen penelitian menggunakan bed side monitor, peak flow meter dan pulse oximetry. Analisis data menggunakan uji Wilcoxon dan Mann-Whitney untuk mengidentifikasi ada tidaknya perbedaan fungsi ventilasi oksigenasi paru. Spearman correlation dan Fisher exact test untuk mengidentifikasi faktor perancu. Hasil Fungsi VO Paru Pola Pernapasan Ditemukan perbedaan bermakna pada pola pernapasan hari ke-4 dan 5 pada kedua kelompok (p=0.011, p=0.027). Mulai hari ke-2 pada kedua kelompok menunjukkan pola pernapasan efektif (skor ≥ 3). Pada hari ke-4 dan ke-5 pada kelompok intervensi tidak mengalami perubahan karena fungsi VO paru telah efektif. Grafik 2. Pola Pernapasan Responden Ada peningkatan rerata fungsi VO paru hari ke-2, 3, 4 dan 5 pada kedua kelompok dengan peningkatan kelompok intervensi lebih tinggi. Pada kelompok intervensi mulai hari ke-3 fungsi VO paru baik (mean ≥ 9.15) sedangkan pada kontrol sampai hari ke-5 fungsi VO paru kurang baik (mean<9). Ada perbedaan yang bermakna antara fungsi VO paru antara 1 jam paska ekstubasi dengan hari ke-3, 4 dan 5 setelah intervensi (p=0.007, p=0.002, p=0.005), tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna pada hari ke-2 (p=0.191). Ada perbedaan yang bermakna antara fungsi VO paru antara 1 jam paska ekstubasi dengan hari ke-2, 3, 4 dan 5 pada kontrol (p=0.020, p=0.023, p=0.009, p=0.035). Ada perbedaan yang bermakna antara fungsi VO paru hari ke-4 dan 5 pada kelompok intervensi dibandingkan kontrol (p=0.018, p=0.004), tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna hari ke-2 dan 3 (p=0.691, p=0.063). Grafik 1. Fungsi VO Paru Responden Kapasitas Vital Paru Terdapat perbedaan bermakna antara kapasitas vital paru pada hari ke-4 dan 5 pada kelompok intervensi dibandingkan kontrol (p=0.021, p=0.003), tetapi ternyata nilai kapasitas vital paru kedua kelompok 68 Peningkatan Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru Pada Klien Post Ventilasi Mekanik Melalui Deep Breathing Exercise (Priyanto, Dewi I, Luknis S) tidak dapat mencapai nilai normal yaitu ≥ mL/min. 400 Grafik 3. Kapasitas Paru Responden 99.5 99 SaO2(%) 98.5 98 97.5 97 96.5 96 i2 i3 i4 i5 har har har har i as tub eks waktuobservasi (hari) a ask mp a j 1 Kelp. Intervensi Kelp. Kontrol Grafik 4. Saturasi Oksigen Responden 300 kapasitas vital paru(mL/min) 250 200 150 100 50 0 i2 i3 i4 i5 har har har har i as tub eks a waktuobservasi (hari) ask mp a j 1 Kelp. Intervensi Kelp. Kontrol Saturasi O2 (SaO2) Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara SaO2 pada hari-2, 3, 4 dan 5 pada kedua kelompok (p=0.915, p=0.068, p=0.670 dan p=0.100). Mulai 1 jam paska ekstubasi sampai hari ke-5 pada kedua kelompok, Sa O2 telah mencapai nilai normal ( >97 % ). PEMBAHASAN DBE merupakan salah satu bentuk latihan pernapasan yang dilakukan dengan berbagai modifikasi sesuai dengan kebutuhan. DBE belum banyak dikembangkan dalam pelayanan keperawatan intensif, khususnya bagi klien post ventilasi mekanik. Klien post ventilasi mekanik membutuhkan kemampuan adaptasi terhadap kemampuan ventilasi untuk memberikan suplai terhadap kebutuhan O2 jaringan. Kemampuan ventilasi didukung oleh compliance paru dan kekuatan otot inspirator yang adekuat melalui DBE. Klien paska ventilasi mekanik perlu menerapkan latihan khusus tersebut sesuai kemampuan toleransi fisik yang masih lemah. Adanya perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok pada fungsi VO paru antara 1 jam paska ekstubasi dengan hari ke-2, 3, 4 dan 5 perawatan paska ekstubasi, menunjukkan bahwa perawatan yang diterapkan di RS telah sesuai standar dan berhasil meningkatkan fungsi VO paru, walaupun masih termasuk dalam klasifikasi kurang baik sampai hari ke-5. Beberapa tindakan yang telah diberikan seperti suctioning, oksigenasi nasal kanula, alih baring, pemenuhan kebutuhan dasar lainnya seperti cairan elektrolit, nutrisi, eliminasi dan personal hygiene yang dilakukan oleh perawat selama ini menjadi bagian dalam pelayanan asuhan keperawatan. Hal ini sejalan dengan Ignatavicius & Workman (2006). Pengawasan selama perawatan paska ekstubasi juga perlu terus dilakukan untuk mencegah kejadian gagal pernafasan berulang dan komplikasi lain yang lebih kompleks. Beberapa tindakan yang telah diterapkan selama ini, berdampak pada peningkatan fungsi VO paru, walaupun sampai hari ke-5 pada kelompok kontrol belum dapat mencapai fungsi VO paru yang normal. Ada perbedaan bermakna antara fungsi VO paru antara 1 jam paska ekstubasi dengan hari ke-3, 4 dan 5 setelah melakukan DBE pada kelompok intervensi dan mulai hari ke-3 yang telah mencapai fungsi VO paru baik. Hal ini membuktikan bahwa DBE memberikan efek positif dengan melengkapi prosedur perawatan yang telah diterapkan selama ini. Pencapaian tersebut akibat dari adanya peningkatan kemampuan otot-otot inspirator karena DBE merupakan kegiatan untuk melatih otot inspirasi pernafasan. Padula & Yeaw (2006) menyebutkan bahwa latihan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemampuan otot inspirator dalam berbagai kondisi yang minimal termasuk pada post ventilasi mekanik. Roussos & Zakynthinos (1996 dalam Padula & Yeaw (2006) menyebutkan bahwa kondisi yang membutuhkan kekuatan pernafasan yaitu pada kelemahan, kelelahan, istirahatnya otot inspirator yang terlalu lama. Penelitian eksperimen Weiner (Padula & Yeaw, 2006) menunjukkan bahwa inspirator muscle training berdampak signifikan terhadap penurunan keluhan sesak nafas, peningkatan FVC dan mengurangi berbagai gejala gangguan paru. Sperlich, et al (2009) juga menyatakan bahwa latihan pernafasan dapat 69 Peningkatan Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru Pada Klien Post Ventilasi Mekanik Melalui Deep Breathing Exercise (Priyanto, Dewi I, Luknis S) meningkatkan penampilan fisik seseorang yang terbebas dari kondisi kelemahan dan kelelahan. DBE merupakan salah satu latihan pernafasan yang terbukti dapat meningkatkan kemampuan kekuatan otot inspirator, seperti yang telah dikembangkan dalam beberapa penelitian oleh Westerdahl, et al (2005), El Batanouny, et al (2009) dan Nury (2008). Otot inspirator yang terlatih akan meningkatkan compliance paru dan mencegah atelektasis. Westerdahl, et al (2005) menyimpulkan bahwa latihan pernafasan dapat dengan cepat menurunkan area atelektasis dan meningkatkan oksigenasi. Compliance dada yang baik memungkinkan ventilasi oksigenasi adekuat sehingga tidak mudah terjadi atelektasis. DBE mengurangi reaksi simpatik tetapi tidak merubah aktivitas parasimpatik secara signifikan untuk meningkatkan fungsi pernafasan, mengurangi stress dan kecemasan (Yadav, Singh & Singh (2009). Kontrol pernafasan dengan rangsang simpatik dapat memperbaiki ritme dan frekuensi pernafasan tanpa menggangu peran parasimpatik yang berguna menjaga kelangsungan aktifitas pernafasan secara terus menerus seperti penelitian Westerdahl, et al (2005) yang menyebutkan DBE dapat meningkatkan fungsi ventilasi dengan perbaikan karakteristik frekuensi dan keteraturan pernafasan. Di RS tempat penelitian, peran monitoring melalui bed side monitor dan pulse oximetry telah diterapkan dengan baik dan sesuai prosedur, sedangkan pemeriksaan terhadap kapasitas vital paru jarang dilakukan. Skrining terhadap volume dan kapasitas vital paru penting dilakukan setelah ekstubasi (Westerdahl, et al, 2005). Penelitian ini menemukan perbedaan yang bermakna antara fungsi VO paru hari ke-4 dan 5 pada kedua kelompok yang menunjukkan DBE dapat mempercepat perbaikan fungsi VO paru. DBE dapat dianggap sebagai terapi modalitas keperawatan pada konteks perawatan intensif serta menjadi kajian terbaru dalam peranan nyata dan mandiri perawat yang mengedepankan pelayanan keperawatan profesional. Monitor pola pernapasan termasuk keluhan sesak nafas merupakan tugas perawat dalam rangka evaluasi pencapaian perbaikan kondisi klien selama perawatan (Ignatavicius & Workman, 2006). Pola pernapasan 1 jam paska ekstubasi pada kelompok kontrol lebih tinggi dibandingkan kelompok intervensi. Akan tetapi ada perbedaan bermakna dalam pola pernapasan paru di hari ke-4 dan 5 pada kelompok intervensi. Pada kelompok intervensi terdapat perbaikan pola pernapasan pada hari ke-2. Menurut Westerdahl, et al (2005) perbaikan frekuensi dan keteraturan pernapasan merupakan indikator peningkatan fungsi ventilasi. DBE akan mengurangi reaksi simpatik guna memperbaiki pola pernapasan dan mengurangi kontraksi otot inspirasi dan ekspirasi (Yadav, Singh & Singh, 2009). DBE sangat efektif untuk memperbaiki pola pernapasan pada hari ke-4 dan ke-5. Latihan menghirup dan menghembuskan udara secara perlahan dan dalam yang dilakukan secara terus-menerus merupakan kegiatan yang terpola antara kontrol di pusat pernapasan dengan kombinasi kemampuan kinerja otot pernapasan, compliance paru dan struktur rangka dada yang dapat menghasilkan adaptasi terhadap ritme dan kecepatan pernapasan. Kelemahan otot pernapasan post ventilasi mekanik menyebabkan ketidakmampuan melakukan inspirasi secara optimal, sehingga pemenuhan kebutuhan oksigen menurun. Kesenjangan suplai dan kebutuhan oksigen dapat diatasi dengan melatih otot inspirator melalui DBE. Menurut Price & Wilson (2006) otot pernapasan dikendalikan oleh pusat pernapasan sebagai pusat aspek pernapasan yang terdiri dari neuron dan reseptor pada pons dan medulla oblongata. Perbaikan yang ditimbulkkan karena adanya keterhubungan koordinasi otot pernapasan dan desentisasi dypnea. Menurut Smeltzer, et al (2008) pola pernapasan tertentu menjadi karakteristik dari keadaan penyakit spesifik, mengamati dan mendokumentasi-kan irama pernapasan dan penyimpangan dari keadaan normal merupakan fungsi keperawatan yang penting. Ditemukannya perbedaan bermakna pada kapasitas vital paru pada hari ke-4 dan 5 menunjukkan DBE dapat membantu paru melakukan adaptasi paska ekstubasi. Latihan menghirup dan menghembuskan udara membantu mengembangkan lingkar dada dan melatih otot pernapasan sehingga dapat meningkatkan volume dan kapasitas vital. Pada kegagalan pernapasan terjadi cedera pada membran alveolar paru yang dapat mengakibatkan kebocoran cairan ke dalam jejaring kapiler sehingga mengarah pada ketidakseimbangan ventilasi dan oksigenasi. Compliance paru menjadi sangat menurun sehingga terjadi penurunan kapasitas paru, hipoksia dan hipokapnia. Menurut Padula & Yeaw (2006) dan Nury (2008) melatih otot inspirator dapat membantu meningkatkan kapasitas vital paru. Latihan pernapasan dapat meningkatkan kapasitas vital paru melalui pengukuran nilai FEV1 dan FVC. Terlatihnya otot inspirator akan meningkatkan kemampuan paru untuk menampung udara, sehingga nilai FEV1 akan mengalami peningkatan. Menurut Smeltzer, et al (2008) fisiologis fungsi paru dapat diukur dengan spirometry/ peak flowmeter untuk menilai FEV1. Rerata pada 1 jam paska ekstubasi hanya yang mampu mencapai nilai FEV1 tidak lebih dari 160 mL/min menunjukkan kondisi awal paru paska ekstubasi yang sangat lemah, tetapi setelah menjalani perawatan, meningkat hingga 275 mL/min. Beberapa kondisi seperti PPOK dan penyakit pernapasan lainnya menunjukkan nilai kapasitas vital paru dalam kondisi normal hanya sekitar 200-300 mL/min, sehingga nilai rerata FEV1 dari hasil penelitian ini menggambarkan bahwa responden mempunyai faktor penyebab berupa 70 Peningkatan Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru Pada Klien Post Ventilasi Mekanik Melalui Deep Breathing Exercise (Priyanto, Dewi I, Luknis S) gangguan pernapasan. Peningkatan rerata nilai FEV1 yang tidak dapat melebihi 275 mL/min merupakan hasil terbaik yang diperoleh, mengingat rerata responden mempunyai faktor penyakit paru. Klien dengan penyakit paru telah terbiasa dengan kondisi kapasitas vital yang rendah. Mulai 1 jam paska ekstubasi sampai hari ke-5, saturasi oksigen telah mencapai nilai di atas 97%. Hal tersebut berkenaan syarat klien dapat dilakukan weaning dan ekstubasi bila SaO2 cukup adekuat lebih dari 95%. Menurut Guyton & Hall (2006) dan Price & Wilson (2006) proses transportasi oksigen dan oksigenasi jaringan secara langsung dipengaruhi oleh sistem kardiovaskuler dan hematologi yang didukung status fungsi paru yang memadai. Saturasi oksigen juga ditentukan oleh proses kimiawi oksihemoglobin dalam tubuh. Nilai SaO2 selama perawatan hari ke-2 sampai hari ke-5, menunjukkan DBE tidak berdampak terhadap penurunan nilai di bawah normal, artinya tidak ada efek yang merugikan dari latihan tersebut. Hal tersebut searah dengan pola pernapasan dan kapasitas vital paru yang mampu ditingkatkan dengan baik selama perawatan sampai hari ke-5, sehingga oksigenasi ke jaringan masih tetap adekuat. Simpulan Penelitian ini menemukan pengaruh positif DBE terhadap fungsi VO paru hari ke-2, 3, 4, dan 5. Ada perbedaan yang bermakna pada fungsi VO paru, pola pernafasan dan kapasitas vital paru pada hari ke-4 dan 5 antara kelompok intervensi dan kontrol tetapi tidak ada perbedaan untuk saturasi oksigen pada hari-2, 3, 4 dan 5. Perawat perlu menerapkan DBE dalam asuhan keperawatan. Penetapan DBE sebagai terapi modalitas keperawatan seharusnya menjadi pertimbangan pengelola RS. Bagi institusi pendidikan untuk dapat memasukkan DBE sebagai bahan pembelajaran praktik klinik dengan memperhatikan kajian terbaru ilmu keperawatan. Peneliti berikutnya diperlukan untuk mengidentifikasi efektifitas manajemen pernafasan terhadap keberhasilan weaning ventilasi mekanik. DAFTAR PUSTAKA Anne, T., Pippin H., & Hill S. (2009). Cough-deep breathing exercises. http://phicare.com/docs/clinical/B160pdf. diperoleh 18 Pebruari 2010. El-Batanouny, M.M., Amin, M.A., Salem, E.Y. & El-Nahas, H.E. (2009). Effect of exercise on ventilatory function in welders. Egyptian Journal of Bronchology, Volume 3. No 1, Juni 2009, diperoleh 12 Pebruari 2010 dari http://www. essbronchology.com/journal/june_2009/PD F/7-mohamed_el-batanony.pdf Guyton, A.C. & Hall, J.E. (2006). Textbook of medical physiology. (11th ed.). Philadelphia: WB. Saunders Company. Ignatavicius, D.D. & Workman, M.L. (2006). Medical surgical nursing: Critical thinking for collaborative care. (5th ed., vol. 2). St. Louis: Elsevier Saunders. Nury, N. (2008). Efek latihan otot-otot pernafasan pada penyakit paru obstruksi kronis di Instalasi Rehabilitasi Medik RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta, diperoleh 2 Pebruari 2010 dari http://www.fkui.org. Padula, C.A. & Yeaw E. (2006). Inspiratory muscle training: integrative review. Research and Theory for Nursing Practice: An International Journal, vol. 20, No.4.http://proquest.umi.com/pqdweb?inde x=9&did=1635532981&SrchMode=1&sid =4&Fmt=6&VInst=PROD&Vype=PQD& RQT=309&VName=PQD&TS=126629049 0&clientId=45625. Price, S.A. & Wilson, L.M. (2006). Pathophysiology: Clinical concepts of disease process (6th ed.). Philadelpia: Elsevier Science. Rodriguez, P., Dojat, M., Brochard, L. (2005) Mechanical ventilation: changing concepts. diperoleh 2 Pebruari 2010 dari http://www.ijccm.org/article. Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hincle, J.I., & Cheever, K.H. (2008). Textbook of medical surgical nursing; brunner & suddart (11th ed.). Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins. Westerdahl, E., Linmark, B., Ericksson, T., Friberg, O., Hedenstierna, G. & Tenling, A. (2005). Deep breathing exercises reduce atelectasis and improve pulmonary function after coronary artery bypass surgery. http://chestjournal.chestpubs.org/content/12 8/5/3482.full.html. diperoleh 12 Pebruari 2010. Yadav A., Singh S.& Singh K.P. ( 2009). Role of pranyama breathing exercise in rehabilitation of coronary artery disesase patient-a pilot study, Indian Journal of Traditional Knowledge, vol. 8 (3), pp 455458. 1 2 Dosen STIKES Ngudi WaluyoUngaran Semarang Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universiras Indonesia 71 Peningkatan Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru Pada Klien Post Ventilasi Mekanik Melalui Deep Breathing Exercise (Priyanto, Dewi I, Luknis S) 3 Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 72 PERBEDAAN KEJADIAN MUAL MUNTAH PASCA OPERASI DENGAN PENGGUNAAN ISOFLURAN DAN HALOTAN SEBAGAI ANESTESI INHALASI Sarif1, Abdul Majid2, Eko Suryani3 Abstract: Isoflurane and halothane are two inhalation anesthetic agents are still quite widely used but anesthesia inhalation using both drugs have some side effects, one of which is post-operative nausea and vomiting is the most undesirable effect the incision pain. Problem : are there differences between the incidence of postoperative nausea and vomiting use of isoflurane and halothane as inhalation anesthetics Objective: knowing the differences between the incidence of postoperative nausea and vomiting use of isoflurane and halothane as inhalation anesthetics. Methods of research: this research is an observational analytic study using cross-sectional approach included 56 samples of ASA I and II that uses anetesi inhalation. 28 respondents were used as inhalation anesthetics isoflurane and 28 respondents who used the anesthetic halothane inhalation. Assessed at 2 hours to 12 hours postoperatively. The analysis is used univariate and bivariate analysis using the Mann Whitney test with a confidende level of 95% (α =0.05). research location at Wates Hospital Distric Kulon Progo on August 27th – October 20 th, 2012. Results: It was found post-operative nausea and vomiting incidence was highest in the inhaled anesthetics halothane by 16,1%, while the inhalation anesthetic isoflurane 8,9%. From a statistical test with a computer program mann whitney Asymp.Sig(2-tailed) obtained output value: 0.168. P value: 0.168 means there is no difference in the incidence of postoperative nausea and vomiting with the use of isoflurane and halothane as inhalation anesthetics Conclusion: there is no difference in the incidence of postoperative nausea and vomiting use isoflurane and halothane as inhalation anesthetics. Keywords: isoflurane, halothane, postoperative nausea and vomiting. Latar belakang Pelayanan konsep bedah modern yang diberikan selain dapat menjamin keselamatan pasien juga dipilih jenis tindakan yang memiliki hasil terbaik. Hal tersebut juga merupakan tuntutan masyarakat saat ini. Seiring perkembangan zaman, kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan kian meningkat yang berbanding lurus dengan tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Oleh karena itu peningkatan kualitas pelayanan kesehatan telah menjadi orientasi sistem kesehatan modern . Menurut standar pelayanan dan asuhan keperawatan di rumah sakit bahwa salah satu dampak positif atas meningkatnya tuntutan dan harapan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan adalah perkembangan dalam bidang kesehatan. Selain menurunkan angka morbiditas dan mortalitas juga masalah efisiensi waktu, kenyamanan dan kepuasan pasien maupun keluarganya. Peningkatan pelayanan di semua bidang pelayanan kesehatan termasuk pelayanan anestesi dibutuhkan untuk mencapai pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan yang berkualitas dan memuaskan. Demi meningkatkan efisiensi tanpa mengabaikan keamanan dan keselamatan pasien maka dalam pemberian pelayanan anestesi khususnya anestesi umum, dimana penggunaan agen anestesi inhalasi tertentu yang dapat mempercepat masa perawatan pasca anestesi umum di ruang pemulihan. Dengan masa Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada Pasien Seksio Sesarea (Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi) pemulihan yang cepat maka efisiensi waktu dan kenyamanan dapat dirasakan oleh pasien maupun keluarganya. Anestesi inhalas merupakan anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anestetika yang mudah menguap, digunakan melalui saluran pernafasan dan diberikan bersama oksigen dan nitrous oksida4. Jenis anestesi ini telah berkembang begitu pesat sampai saat ini. Kemampuannya untuk menjadi agen anestesi yang aman, efektif, ekonomis dan waktu pemulihan yang cepat membuat salah satu metode anestesi tertua ini tetap bertahan di tengah pesatnya perkembangan ilmu anestesi, tetapi sebagaimana metode anestesi lainnya, anestesi inhalasi ini tetap memiliki beberapa efek samping, salah satunya adalah mual muntah pasca operasi yang didefinisikan sebagai mual muntah yang terjadi sampai 24 jam setelah pembedahan, terjadi pada 20-30% pasien dan meningkat 70-80% pada pasien dengan resiko tinggi. Mual muntah pasca operasi sering disebut “The Big Little Problem” dalam dunia anestesi. Disebut “big” karena mual muntah dapat menyebabkan perpanjangan waktu pemulihan, peningkatan biaya perawatan, perpanjangan masa pengawasan di Post Anesthesia Care Unit (PACU), dan meningkatnya morbiditas. Morbiditas yang berhubungan dengan kejadian mual muntah meliputi perdarahan, dehidrasi, gangguan elektrolit (hipokalemi dan hiponatremi), malnutrisi, karies gigi, inflamasi mukosa mulut, ruptur esofagus dan aspirasi pneumonitis. Sedangkan disebut “little”, karena sebenarnya mual muntah adalah masalah yang cukup ringan dibanding komplikasi anestesi lainnya. Respon mual muntah pasca operasi pada anestesi umum bisa disebabkan karena faktor intubasi (stimulus pada aferen mekanoreseptor faring yang menyebabkan mual muntah), anestetik (anestesi yang digunakan lebih dalam atau dorongan lambung selama pernafasan menggunakan face mask dapat menjadi faktor mual muntah), obat anestesi (resiko tinggi pada penggunaan opioid, ketamin, N20 dan anestesi inhalasi), agen anestesi inhalasi dapat menurunkan pH darah dan motiliitas usus menurun yang menyebabkan perangsangan aferen simpatis yang mempengaruhi aktivitas CTZ (chemoreseptor trigger zone), daerah ini terletak di area pascarema, ventrikel empat. Daerah ini sangat banyak vaskularisasnya dan terletak di luar sawar otak sehingga membuat daerah ini sangat rentan terhadap obat-obatan dan toksin yang bersirkulasi sehingga efek yang sangat besar dapat berpengaruh terhadap aktifitas pusat muntah. Berdasarkan hasil survey di Stanford University Medical Center insiden mual muntah pasca operasi dapat mencapai 70% pada pasien high risk dan ternyata muntah merupakan efek yang paling tidak diinginkan oleh pasien pasca operasi, lebih tinggi dibandingkan dengan nyeri insisi yang hanya berada di peringkat ke tiga. Isofluran dan Halotan merupakan dua agen anestesi inhalasi yang cukup banyak digunakan. Dari data Departement of Health and Human Services Public Health Sevice, Food and Drug Administration Center of Drug Evaluation and Research America (FDA) periode Februari 2007 sampai dengan Januari 2010 pemakaian isofluran mencapai 14,28%, halotan sebanyak 0,51% dan 85,21% menggunakan anestesi inhalasi lainnya. Untuk pemakaian agen inhalasi tersebut di Indonesia yang pernah terdata di Kabupaten Langsa Daerah Istimewa Aceh adalah isofluran 52%, halotan 41,3% Sedangkan berdasarkan data Medical Record bagian anestesi Rumah Sakit Umum Daerah Wates Kabupaten Kulon Progo tahun 2012, terdapat 138 pasien dilakukan tindakan pembedahan menggunakan jenis anestesi umum pada Februari sampai April 2012. 57 pasien (41,30%) menggunakan halotan, 72 pasien (52,2%) menggunakan isofluran dan 9 pasien (9,8%) menggunakan agen anestesi lainnya. Banyak penelitian telah dilakukan untuk meneliti mengenai dampak emetogenik obat anestesi inhalasi, salah satunya penelitian yang di lakukan Singapura melaporkan kekerapan terjadinya mual muntah pasca operasi setelah pemeliharaan dengan isofluran sebesar 33%, halotan 34%, dan 33% sevofluran. Analisa dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa meningkatnya lama anestesi inhalasi berhubungan dengan meningkatnya kekerapan mual muntah pasca operasi secara signifikan. Dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang perbandingan kejadian mual muntah pasca operasi penggunaan isofluran dan halotan sebagai anestesi inhalasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuinya perbedaan kejadian mual muntah pasca operasi dengan penggunaan isofluran dan halotan sebagai anestesi inhalasi di Rumah Sakit Umum Daerah Wates Kabupaten Kulon Progo. 84 Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada Pasien Seksio Sesarea (Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi) METODE Metode penelitian adalah observasional dengan pendekatan cross sectional di Rumah Sakit Umum Daerah Wates Kabupaten Kulon Progo tahun 2012. Sampel ditentukan secara consecutive sampling dengan sampel sebanyak 56 orang, yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok denga anestesi inhalasi isofluran dan kelompok dengan anestesi halotan, masingmasing 28 responden dengan kriteria Usia 17-60 tahun, status fisik penderita ASA I-II, lama pembedahan antara 45-90 menit, induksi menggunakan propofol 2-3 mg/kg BB dan midazolam 0,07 mg/kb, Ondansentron 0,05 mg/kg BB. Data dianalisis dengan uji Mann Whitney dengan tingkat kemaknaan 95% (α = 0,05). Gambar 3. Karakteristik berdasarkan ASA HASIL Karakteristik subjek penelitian Data karakteristik responden yang dikumpulkan meliputi jenis kelamin, umur, ASA dan lama operasi. Secara detail dapat dilihat pada grafik berikut: Gambar 1. Karakteristik berdasarkan jenis kelamin Gambar. 4 Karakteristik berdasarkan lama operasi Kejadian mual muntah pasca operasi Gambar 2. Karakteristik berdasarkan umur Tabel 1. Distribusi frekuensi kejadian mual muntah pasca operasi dengan penggunaan isofluran dan halotan sebagai anestesi inhalasi berdasarkan karakteristik 85 Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada Pasien Seksio Sesarea (Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi) Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kedua agen tersebut sama-sama menimbulkan mual muntah pasca operasi, dimana pada kelompok isofuran kejadian hanya muncul pada jam ke 2 sebanyak 17,9% sedangkan pada kelompok halotan kejadian mual muntah pasca operasi muncul pada jam ke 2 sebanyak 17,9% dan jam ke 4 sebanyak 14,3%. Pada tabel 1 dapat dilihat angka kejadian mual muntah pasca operasi berdasarkan karakteristik paling tinggi terjadi pada kelompok dengan penggunaan halotan baik berdasarkan jenis kelamin, umur, ASA maupun lama pembedahan. Tabel 4. Tabulasi silang frekuensi perbedaan kejadian mual muntah pasca operasi dengan penggunaan isofluran dan halotan sebagai anestesi inhalasi Tabel 2. Distribusi frekuensi kejadian mual muntah pasca operasi dengan penggunaan isofluran dan halotan sebagai anestesi inhalasi Pada tabel 2 dapat dilihat angka kejadian mual muntah pasca operasi paling tinggi terjadi pada kelompok dengan penggunaan halotan 21,4% merasa mual saja dan 10,7% rasa ingin mengeluarkan isi lambung dan atau muntah. Tabel 3. Distribusi waktu kejadian mual muntah pasca operasi dengan penggunaan isofluran dan halotan sebagai anestesi Inhalasi Hasil uji Mann-Whitney didapatkan hasil tidak ada perbedaan kejadian mual muntah pasca operasi dengan penggunaan isofluran dan halotan sebagai anestesi inhalasi, dengan p=0,168. PEMBAHASAN Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Wates Kabupaten Kulon Progo dengan sampel penelitian laki-laki atau perempuan yang berusia antara 17-60 tahun, pembedahan dengan anestesi umum, tanpa kelainan sistemik yang berat (ASA I atau ASA II), lama operasi tak lebih dari 90 menit. Jenis kelamin mempengaruhi terjadinya mual muntah. Perempuan lebih berisiko terjadi mual muntah pasca operasi dibandingkan dengan laki-laki11. Kriteria inklusi jenis kelamin tidak dibatasi hanya laki-laki atau 86 Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada Pasien Seksio Sesarea (Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi) perempuan saja, hal ini dikarenakan keterbatasan waktu pengambilan sampel dan jumlah sampel. Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan uji t untuk jenis kelamin subjek penelitian dapat diketahui bahw a nilai p > 0,05 yaitu 0,316 yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok. Penelitian dapat diteruskan karena perbedaan jenis kelamin dianggap tidak mempengaruhi kejadian mual muntah pasca operasi. Hasil penelitian menunjukkan persentase kejadian mual muntah pasca operasi pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki baik pada kelompok isofluran sebanyak 23,5% dan halotan 33,3% Umur mempengaruhi terjadinya mual muntah pascabedah. Anak-anak lebih sering mengalami mual muntah pascabedah dibandingkan dengan orang dewasa. Angka kejadiannya dapat mencapai 2 kali lipat. Angka kejadian tertinggi terjadi pada anak-anak antara umur 5-16 tahun dan pada usia premenopause angka kejadian mula muntah pasca operasi lebih tinggi. Pada penelitian ini, kriteria inklusi pasien adalah subjek berumur 17-60 tahun untuk homogenisasi sampel. Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan uji t untuk umur subjek penelitian dapat diketahui bahwa nilai p > 0,05 yaitu 0,589 yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok, sehingga penelitian dapat diteruskan. Pada penelitian ini persentase kejadian mual muntah pasca operasi usia di atas 40 tahun lebih tinggi daripada usia dibawah 20 tahun maupun usia 20-40 tahun baik pada kelompok isofluran (30,7%) maupun halotan (62,5%). Lama pembedahan juga mempengaruhi terjadinya risiko mual muntah pasca bedah. Semakin lama operasi, maka penumpukan agen anestesi dalam tubuh akan semakin besar, dan masih ditambah pula kadar antiemetik yang makin berkurang. Pada penelitian ini, kriteria inklusi untuk lama operasi dibatasi tidak lebih dari 90 menit11. Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan uji t untuk lama operasi subjek penelitian dapat diketahui bahwa nilai p > 0,05 yaitu 0,270 yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok, sehingga penelitian dapat diteruskan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian mual muntah pasca operasi dengan lama pembedahan 61-90 menit lebih tinggi dari 45-60 menit, baik pada kelompok isofluran (66,6%) dan halotan (57,1%). Derajat kelainan sistemik turut mempengaruhi terjadinya risiko mual muntah pasca bedah. Semakin berat derajat kelainan sistemiknya semakin banyak pula risiko komplikasi yang mungkin terjadi. Derajat kelainan sistemik dinyatakan dalam ASA, pada penelitian ini dipilih pasien dengan status ASA I-II tanpa kelainan sistemik yang berat. Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan uji t untuk ASA I dan II subjek penelitian dapat diketahui bahwa nilai p > 0,05 yaitu 0,500 yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok. Penelitian dapat diteruskan karena perbedaan ASA dianggap tidak mempengaruhi terjadinya mual muntah pasca operasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian mual muntah pasca operasi pada pasien dengan ASA II lebih tinggi dari pada ASA I baik pada kelompok isofluran (40%) dan halotan (42,8%). Hal-hal yang mempengaruhi kejadian mual muntah pasca operasi dari segi anestesi meliputi obat-obat anestesi yang dipakai dan tekhnik anestesi. Tekhnik anestesi yang digunakan pada penelitian ini adalah anestesi umum (general 87 Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada Pasien Seksio Sesarea (Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi) anesthesi). Induksi pada penelitian ini menggunakan propofol 2mg/kg BB untuk kedua kelompok penelitian. Premedikasi yang diberikan meliputi Midazolam 0,07 mg/kb Ondansentron 0,05 mg/kg BB i.v untuk kedua kelompok penelitian. Premedikasi dan induksi turut berperan dalam terjadinya mual muntah pasca operasi, namun karena kedua kelompok baik Isofluran maupun Halotan mendapatkan induksi dan premedikasi yang sama, maka pengaruhnya dapat dianggap hilang. Pengamatan pada penelitian ini dilakukan di Ruang Perawatan Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Wates Kabupaten Kulon Progo mulai 2 jam 12 jam pasca operasi. Penilaian pada rentang waktu ini karena mual muntah pasca operasi mempunyai beberapa tingkatan yang biasa gejala awal muncul 2-6 jam pasca operasi gejala lanjutan 6-24 jam, namun karena keterbatasan waktu dalam penelitian dan waktu eliminasi Isofluran dan Halotan yang relatif cepat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian mual muntah pasca operasi pada kelompok Isofluran hanya pada jam ke 2 sebanyak 5 orang (8,9%), sedangkan pada kelompok halotan terjadi mual muntah pasca operasi pada jam ke 2 sebanyak sebanyak 5 orang (8,9%) dan jam ke 4 sebanyak 4 orang (7,1%). Beberapa komplikasi anestesi yaitu : hipotensi, hipertensi, obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, hipoksemia, agitasi, nyeri, mual muntah, hemorargi, thrombosis vena profunda, embolisme pulmonal, retensi urine, kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, pusing, nyeri kepala dan kerusakan saraf permanen. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan resiko mual muntah pasca operasi diantaranya adalah jenis operasi, daerah operasi serta operasi yang lama, mual muntah bisa terjadi karena obat anestesi umum (inhalasi, intravena)12,13. Agen anestesi inhalasi yang digunakan baik isofluran maupun halotan akan diubah dari bentuk cair menjadi gas kemudian masuk ke dalam bronkus, alveolus yang dengan cepat masuk ke kapiler darah lalu diteruskan ke jantung kemudian ke seluruh tubuh termasuk jaringan lemak dan membran lipid dalam sistem saraf pusat. Karena tidak ada blood brain barrier yang efektif pada daerah postrema maka pusat muntah di medulla menerima input dari CTZ (dopamine, opioid, serotonin atau reseptor 5-HT3) setelah itu rangsang diteruskan ke Nukleus Traktus Solitarius selanjutnya diteruskan ke nukleus motorik dorsal yang akan meneruskan respon parasimpatik ke nukleus ambiguus lalu ke saraf kranial V, VII, IX, X, dan XII menuju saluran cerna bagian atas yang berlanjut ke proses yang menimbulkan mual dan muntah. Dari hasil penelitian ini juga didapatkan bahwa kejadian mual muntah pasca operasi pada penggunaan halotan sebagai anestesi inhalasi lebih tinggi dibandingkan pada penggunaan isofluran sebagai anestesi inhalasi. Sesuai dengan penelitian tahun 2004 bahwa obat-obatan general anestesi seperti halotan dan enfluran lebih emetogenik dibandingkan obat-obatan baru seperti isofluran dan sevofluran10. Mual muntah pasca operasi adalah efek samping yang paling sering setelah anestesi hampir selalu sembuh sendiri dan tidak fatal tetapi dapat menyebabkan angka kesakitan, mencakup dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, tegangan jahitan dan dehiscience, perdarahan dan hipertensi pembuluh darah, ruptur esofagus, dan perawatan jalan nafas walaupun jarang adanya komplikasi yang berat. Setiap episode muntah muntah terjadi paling lambat sekitar 20 menit, hal ini sesuai dengan hasil penelitian dimana tidak ada responden yang mengalami mual lebih dari 30 menit baik pada penggunaan isofluran maupun halotan11. 88 Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada Pasien Seksio Sesarea (Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi) Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa tidak ada perbedaan kejadian mual muntah pasca operasi dengan penggunaan isofluran dan halotan sebagai anestesi inhalasi di Rumah Sakit Umum Daerah Wates Kabupaten Kulon Progo. SIMPULAN 1. Kejadian mual muntah pasca operasi dengan penggunaan isofluran sebagai anestesi inhalasi di Rumah Sakit Umum Daerah Wates Kabupaten Kulon Progo sebanyak 8,9% 2. Kejadian mual muntah pasca operasi dengan penggunaan halotan sebagai anestesi inhalasi di Rumah Sakit Umum Daerah Wates Kabupaten Kulon Progo sebanyak 16,1%. 3. Tidak ada perbedaan kejadian mual muntah pasca operasi dengan penggunaan isofluran dan halotan sebagai anestesi inhalasi di Rumah Sakit Umum Daerah Wates Kabupaten Kulon Progo. Hal ini ditunjukkan dengan signifikansi sebesar 0,168 (p>0,05). Dengan demikian hipotesa yang diajukan tidak terbukti artinya penggunaan isofluran dan halotan dapat menimbulkan mual muntah pasca operasi SARAN 1. Kepala rumah sakit Membuat kebijakan dalam penetapan prosedur tetap untuk tindakan penanganan mual muntah pada pasien pasca operasi mengingat unsur kepuasan pelanggan merupakan bagian penting sebagai indikator mutu pelayanan. 2. Perawat Dapat berperan aktif dalam mengantisipasi terjadinya mual muntah pasca operasi pada pasien yang dilakukan anestesi inhalasi khususnya penggunaan isofluran dan halotan. 3. Peneliti berikutnya. Peneliti yang berkenan melanjutkan peneliti ini, disarankan melakukan penelitian dengan memodifikasi desain penelitian yang menghubungkan antara karakteristik subjek penelitian terutama pada faktor yang mempengaruhi mual muntah seperti jenis kelamin, umur, riwayat migrain, puasa pre operasi, riwayat mual muntah pasca operasi dan faktor resiko anestesi. DAFTAR PUSTAKA Farid, R.M dan Ramli, M. 2005. Perbandingan Efektifitas Ondancentron dan Metoclopramid Dalam Menekan Mual Muntah Pasca Operasi Pada Pembedahan Perut Bagian Bawah. Jakarta. Depkes RI. 2008. Standar Pelayanan Anestesiologi dan Reanimasi Rumah Sakit. Depkes. Jakarta. Yuswana. 2005. Farmakologi ObatObat Anestesi dan Obat-obatan Bantuan dalam Anestesi. Bandung. Latief, A., Suryadi dan Dahlan. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta. Cracken, G.M. 2008. Guideline for The Management of Postoperative Nausea and Vomiting. JOGC. Canada Silbernagl, S dan Lang, F. 2006. Color Athlas Phatofisiologi. Thieme. Stuttgart. Sunatrio. 2004. Larutan Ringer Asetat dalam Praktek Teknis Resusitasi Cairan. Media Aesculapius. Jakarta 89 Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada Pasien Seksio Sesarea (Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi) Kovac, A.L. 2003. Prevention and Threatment Of Post Operative Nausea. Medicine Abstract Mohammed, H dan Beatie, R.J. 2004. Post Operative Nausea and Vomiting : The Pharmaceutical Journal. BJA. London. Aapro, M. 2004. The Oncologist, Granistron : an update on its clinical use in the management of nausea and vomiting, Vol. 9 Issue 6. Route du miuds. Switzerland. Apfel, C.C., Kranke, Katz et al. 2002. Volatile Anaesthetics May Be The Main Cause of Early but not Delayed Postoperative Vomiting: A Randomize Controlled Trial of Factorial Design. BJA. London Morgan, GE.,Mikhail, Maged, S., Murray, M,J., 2006. Clinical Anestesiology.The McGraw-Hill. New York Gan, C. and Tang. 2003. Consensus Gidelines for Managing Postoperative Nausea and Vomiting. International Anesthesia Reseach Society. 1 Staf RSUD KH. Hayyung Kep. Selayar Sulawesi Selatan 2 Dosen Jurusan Keperawatan Kemenkes Yogyakarta Poltekkes 3 Dosen Jurusan Keperawatan Kemenkes Yogyakarta Poltekkes 90 Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada Pasien Seksio Sesarea (Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi) PERBEDAAN PERUBAHAN HEMODINAMIK TEKNIK ANESTESI SPINAL POSISI DUDUK DAN MIRING KIRI PADA PASIEN SEKSIO SESAREA Suhartono1, Umi Istianah2, Sari Candra Dewi3 Abstract: Determination of Anesthesia in caesarean section technique can be performed with general anesthesia or spinal anesthesia and is very dependent state of the mother and fetus as well as the ability of anesthesiology. Spinal anesthesia technique is still an option for a cesarean section, this technique can be performed in a sitting position and left lateral position, usually done on the operating table. Change in position within 30 minutes after spinal anesthesia really affects the occurrence of hemodynamic changes very quickly, it’s needs strict supervision and observation. Objectives: To identify the differences of hemodynamic changes in spinal anesthesia techniques sitting position and left lateral position in caesarean section patients at RSUD Merauke. Methods: Using observational analitic of nursing research in which researchers tried to find differences between variables with secsional approch. Research Findings: Differences hemodynamic changes in patients caesarean section performed spinal anesthesia techniques sitting position and the left lateral position, there was no significant difference. These hemodynamic changes can be caused by changes in the position to a reclining position or sitting position to the left lateral recumbent position is very influential on hemodynamic changes, which causes the movement of drugs in cerebro vascular spinal fluid moves faster, which moves according to the law of gravity Conclusion: Spinal anesthesia techniques sitting position and the left lateral position in patients caesarean section did not occur significant differences in hemodynamic changes, and both these techniques can be performed at caesarean section Key words: spinal anesthesia, sitting position, left lateral position and hemodynamic changes. Latar belakang Kemajuan ilmu kedokteran di bidang pembedahan tidak lepas dari peran dan dukungan kemajuan bidang anestesiologi. Dengan meningkatnya kasus bedah baik yang bersifat darurat maupun elektif tentu akan memerlukan tindakan pembedahan sehingga dalam pelaksanaannya akan didahului dengan pemberian anastesi dengan baik, aman dan nyaman. Salah satu tindakan pembedahanan yang dilakukan adalah tindakan seksio sesarea. Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. Saat ini pembedahan seksio sesarea jauh lebih aman dibandingkan masa sebelumnya karena tersedianya antibiotika, transfusi darah, teknik operasi yang lebih baik, serta teknik anestesi yang lebih sempurna. Hal inilah yang menyebabkan saat ini timbul kecenderungan untuk melakukan seksio sesarea tanpa adanya indikasi yang cukup kuat. Alasan-alasan yang menyebabkan semakin meningkatnya prosentase persalinan dengan seksio sesarea saat ini cukup kompleks. Kasdu3 mengemukakan bahwa di Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan kota besar lainnya, keputusan ibu hamil untuk melahirkan dengan seksio sesarea tidak memiliki indikasi medis tetapi paling banyak 84 Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada Pasien Seksio Sesarea (Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi) disebabkan oleh adanya ketakutan menghadapi persalinan normal. Proses persalinan dengan menggunakan metode seksio sesarea perlu diperhatikan dengan serius, karena proses persalinan ini memiliki risiko yang dapat membahayakan keadaan ibu dan janin yang sedang dikandungnya. Beberapa kemungkinan terjadinya komplikasi pada ibu selama anestesi harus diperhitungkan dengan teliti. Resiko tinggi cidera maternal berhubungan dengan anastesi spinal. Penentuan teknik anestesi seksio sesarea dapat dilakukan dengan anestesi umum atau spinal dan sangat tergantung keadaan ibu dan janin serta kemampuan anestesiolog. Oleh karena itu seorang ahli anestesi diharapkan dapat memilih teknik anestesi yang aman, tepat dan aman bagi ibu. Penggunaan tehnik anestesi spinal masih menjadi pilihan untuk bedah sesar. Anestesi spinal membuat pasien tetap dalam keadaan sadar sehingga masa pulih lebih cepat dan dapat dimobilisasi lebih cepat. Zat anestesi pada anestesi spinal yang masuk ke sirkulasi maternal lebih sedikit sehingga pengaruh terhadap janin dapat berkurang. Pada umumnya, morbiditas ibu dan janin lebih rendah pada prosedur anestesi spinal. Selain itu, anestesi spinal lebih superior karena menunjukkan angka komplikasi yang lebih sedikit pada beberapa kasus, seperti preeklamsia berat. Anestesi spinal juga menjadi pilihan pada kasus plasenta previa karena perdarahan yang terjadi lebih sedikit dibandingkan dengan bedah sesarea dengan anestesia umum. Tehnik spinal anestesi pada seksio sesarea dapat dilakukan dengan posisi duduk dan miring kiri biasanya dikerjakan diatas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi dalam 30 menit pasca spinal anestesi sangat berpengaruh terjadinya perubahan hemodinamik yang sangat cepat, untuk itu perlu pengawasan dan observasi yang ketat. Salah satu resiko yang dapat terjadi adalah terjadinya perubahan hemodinamik dalam tubuh ibu yang mengandung sebagai efek samping penggunaan anestesi spinal dalam operasi seksio sesarea baik yang dilakukan dalam posisi duduk dan miring kiri. Hal inilah yang menyebabkan perlunya pemantauan tekanan darah, nadi dan saturasi 02 selama proses operasi seksio sesarea. Pada spinal anestesi sebaiknya dihindari perubahan hemodinamik yang terjadi dengan cepat sebab dapat mengganggu perfusi placenta, kecuali jika telah dipersiapkan terapi preoperatif dengan baik melalui cairan dan vasopresor. Pada kehamilan normal, organ jantung ibu akan mendapat beban untuk memenuhi kebutuhan selama kehamilan dan juga beban dari berbagai penyakit jantung yang mungkin diderita selama kehamilan. Kehamilan dapat menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan darah, volume darah, tekanan pembuluh darah perifer, serta tekanan pada sisi kanan jantung. Pada kehamilan, darah yang dipompa oleh jantung akan meningkat sekitar 30%, sementara denyut nadi akan meningkat 10 kali / menit. Volume darah meningkat 40% pada kehamilan normal. Kenaikan tekanan pembuluh darah perifer terjadi karena adanya peningkatan volume air total pada tubuh ibu dan hal ini sering menimbulkan edema perifer serta vena verikosa bahkan pada kehamilan normal. Hasil penelitian sebelumnya tentang “Hubungan Tehnik Anestesi (General Anestesi dan Spinal anestesi) terhadap kejadian komplikasi Hipotensi di Ruang Pulih Sadar RSUP Dr. Mohamad Hoesin Palembang” didapatkan kejadian komplikasi hipotensi berdasarkan tehnik anestesi spinal sebanyak 40%, dan komplikasi hipotensi berdasarkan tehnik anestesi general sebanyak 22%. Mengingat terjadinya perubahanperubahan hemodinamik pada pasien dengan spinal anestesi posisi duduk dan miring kiri, maka setiap pasien operasi dengan spinal anestesi tidak boleh ditinggal dari awal dilakukan induksi spinal anestesi sampai operasi selesai, bahkan sampai ruang pulih sadarpun harus dimonitor sampai kondisi pasien benarbenar pulih kususnya kesadaran, tekanan darah, nadi, saturasi 02. Observasi ini dilakukan agar apabila timbul komplikasi bisa segera dilakukan tindakan intensif. Berdasarkan data pada Medical Record bagian anestesi Kamar Operasi RSUD Merauke tahun 2011, terdapat 240 pasien yang menjalani tindakan seksio sesaria pada bulan Januari sampai Mei 2011 (Medical Record Anestesi 2011 RSUD Merauke). Dari jumlah tersebut diantaranya 28 pasien yang dilakukan dengan tehnik general anestesi, 212 pasien dilakukan dengan spinal anestesi posisi duduk maupun spinal anestesi posisi miring kiri. Pada tindakan spinal anestesi ini, 75 Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada Pasien Seksio Sesarea (Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi) baik dalam posisi duduk maupun posisi miring kiri terjadi perubahanperubahan hemodinamik selama intra operasi yaitu terjadi penurunan tekanan darah dan peningkatan denyut jantung tetapi dapat diatasi dengan baik dan aman dengan pemberian injeksi vasopresor dan hidrasi cairan yang adekuat (Medical Record Anestesi 2011 RSUD Merauke). Melihat besarnya pengaruh tindakan spinal anestesi baik yang dilakukan dalam posisi duduk maupun posisi miring kiri terhadap perubahan hemodinamik, maka perawat anestesi adalah mitra kerja dokter perlu membekali diri dengan ilmu dan ketrampilan guna memberikan pelayanan keperawatan secara komprehensif, kususnya perawatan perianestesi dengan spinal anestesi yang membutuhkan perhatian dan penanganan yang cepat dan tepat dalam mengantisipasi terjadinya gangguan hemodinamik pada saat operasi berlangsung maupun setelah operasi sehingga resiko anestesi seperti cidera, cacat berat bahkan sampai meninggal dunia dapat dihindari. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk meneliti tentang perubahan hemodinamik pasien seksio pada spinal anestesi dengan posisi duduk dan posisi miring kiri di RSUD Merauke. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode Analitik Observasional, dimana peneliti mencoba mencari perbedaan antar variabel dengan pendekatan cross sectional untuk mengetahui perbedaan perubahan hemodinamik teknik anestesi spinal posisi duduk dan miring kiri pada pasien seksio sesarea di RSUD Merauke. Adapun jumlah sampel sebanyak 42 sampel dengan perincian adalah sebagai berikut : 21 Sampel posisi duduk dan 21 Sampel pasien posisi miring. Rumus untuk menentukan ukuran sampel dengan menggunakan metode Lemeshow dkk (1990) dengan rumus: N (Z ) 2 . p.q e2 /2 Penentuan sample dilakukan secara purposive sampling yaitu sample dipilih berdasarkan kriteria tertentu yang dibuat oleh peneliti. Kriteria Inklusi yang ada meliputi : operasi elektif, ada indikasi untuk dilakukan teknik anestesi spinal posisi duduk dan miring kiri, dapat berkomunikasi dengan baik, pasien dengan ASA 1 dan ASA II, berumur 17-45 tahun, BB 45-70 kg, dan ukuran jarum spinal anestesi no. 25-27. Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel bebas yaitu teknik anestesi spinal posisi duduk dan posisi miring kiri, sedangkan variabel terikatnya adalah perubahan hemodinamik (tekanan darah, nadi dan saturasi oksigen). Analisis data yang digunakan meliputi Analisis univariat untuk mendeskripsikan masing-masing variabel Analisis Bivariat dengan t –test. Uji normalitas data menggunakan uji one-sample kolmogrovsmirnov test. Hasil Penelitian Tabel 6.1 Distribusi frekuensi responden Anestesi spinal Karakte ristik No Posisi duduk f % Posisi mirin g kiri f % Umur 1 2 3 ≤ 20 2 tahun 20-35 17 tahun > 35 2 tahun 9,5 81,0 9,5 Total 21 100 Berat Badan (kg) ≤ 50 kg 1 1 > 50 kg 2 20 21 Total 100 21 4,8 95,2 2 9,5 1 71,5 5 4 19,0 100 1 4,8 2 95,2 0 2 100 1 Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa pasien seksio sesarea dengan anestesi spinal posisi duduk paling banyak berumur 20-35 tahun sebanyak 17 orang (81,0%) sedangkan 76 Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada Pasien Seksio Sesarea (Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi) pada tindakan seksio sesarea dengan anestesi spinal posisi miring kiri sebanyak 15 (71,5%). Adapun umur responden yang paling sedikit jumlahnya pada tindakan seksio sesarea dengan anestesi spinal posisi miring kiri yaitu berumur ≤ 20 tahun, sebanyak 2 orang (9,5%). Perubahan hemodinamik teknik anestesi spinal posisi duduk pada pasien seksio sesarea sebelum dan sesudah induksi di RSUD Merauke. Tabel 2. Perubahan Hemodinamik teknik anestesi spinal posisi duduk pada pasien seksio sesarea sebelum dan sesudah induksi di RSUD Merauke menit setelah induksi dapat dilihat pada grafik dibawah ini. Perubahan hemodinamik teknik anestesi spinal posisi miring kiri pada pasien seksio sesarea sebelum dan sesudah induksi di RSUD Merauke. Tabel 2 : Perubahan hemodinamik teknik anestesi spinal posisi miring kiri pada pasien seksio sesarea sebelum dan sesudah induksi di RSUD Merauke Variabel Siastolik Diastolik Nadi Variabel Siastolik Diastolik Nadi Saturasi Saturasi Sebelum 135,81 ± 17,351 Sesudah 114,86 9.567 ± 78,10 ± 16.337 90,81 ± 21,313 98,48 ± 0,602 60,52 12.069 82,00 15,518 98,95 0,921 ± ± ± Berdasarkan tabel 2 dapat dillihat adanya perubahan hemodinamik tekanan sistole sebelum dan sesudah induksi, tekanan sistole sebelum induksi sebesar 135,81 mmHg dan setelah induksi sebesar 114,86 mmHg. Tekanan diastole sebelum sebesar 78,10 mmHg menjadi 60,52 mmHg setelah induksi. Nadi sebelum induksi sebanyak 90,81 x/mnt menjadi sebanyak 82,00 x/mnt. Tidak ada perubahan saturasi oksigen sebelum dan sesudah induksi. Perubahan hemodinamik tindakan seksio sesarea dengan teknik anestesi spinal posisi duduk dari kondisi awal pasien sebelum induksi sampai 30 Sebelum 136,43 ± 26,189 80,81 ± 19,924 87,19 ± 17,472 98,67 ± ,658 Sesudah 112,71 20,647 61,86 20,210 87,86 12,383 98,95 ,805 ± ± ± ± Berdasarkan tabel 2 dapat dillihat adanya perubahan hemodinamik tekanan sistole sebelum dan sesudah induksi. Tekanan sistole sebelum induksi sebesar 136,43 mmHg menjadi 112,71 mmHg setelah induksi. Tekanan distole sebelum sebelum induksi sebesar 80,81 mmHg menjadi 61,86 mmHg setelah induksi. Rata-rata nadi sebelum induksi sebanyak 87,19 x/mnt dan sesudah induksi menjadi 87.86 x/mnt. Saturasi oksigen sebelum dan sesudah induksi tidak mengalami perubahan yaitu 98,67 %. Perubahan hemodinamik tindakan seksio sesarea dengan anestesi spinal posisi miring kiri dari kondisi awal pasien sebelum induksi sampai 30 menit setelah induksi dapat dilihat pada grafik dibawah ini : Gambar 2. Perubahan Hemodinamik Pasien tindakan seksio sesarea dengan teknik anestesi spinal posisi miring kiri dari kondisi 77 Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada Pasien Seksio Sesarea (Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi) awal pasien sebelum induksi sampai 30 menit setelah induksi Perbedaan perubahan hemodinamik teknik anestesi spinal posisi duduk dan miring kiri pada pasien seksio sesarea di RSUD Merauke Tabel 3 : Uji beda antara rata-rata skor pada anestesi spinal posisi duduk dan posisi miring kiri Berdasarkan hasil Uji t test pada Tabel 3, menunjukkan tidak ada beda yang bermakna secara statistik dengan antara rata-rata skor pada kelompok tindakan seksio sesarea dengan anestesi spinal posisi duduk dan ratarata skor kelompok tindakan seksio sesarea dengan anestesi spinal posisi miring kiri. duduk maupun posisi miring kiri pada pasien seksio sesarea setelah dilakukan induksi anestesi. Namun hasil penelitian ini juga menunjukkan pada tindakan anestesi spinal yang dilakukan pada posisi duduk adanya perubahan hemodinamik yang tidak bermakna pada awal dan sesudah induksi pada menit ke 30 yang meliputi tekanan darah dan nadi sedangkan pada saturasi oksigen tidak terjadi perubahan hemodinamik. Pada posisi miring kiri juga terjadi perubahan hemodinamik yang tidak bermakna pada awal dan sesudah induksi hingga akhir menit ke 30 yang meliputi tekanan darah, sedangkan untuk tekanan nadi dan saturasi oksigen tidak terjadi perubahan pada awal dan setelah induksi dilakukan. Perubahan hemodinamik pada kedua posisi ini disebabkan karena penentuan posisi pasien haruslah memperhatikan efek dari anestesi regional terhadap cadangan kardiovaskuler dan respiratorik secara normal, sebagaimana seorang berpindah dari posisi duduk ke posisi berbaring, venus return ke jantung meningkat secara inisial sebagaimana darah yang berkumpul dari ekstrimitas bawah di redistribusikan ke jantung. Variabel Siastolik duduk Siastolik miring kiri Diastolik duduk Diastolik miring kiri Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan perubahan hemodinamik yang bermakna untuk kedua teknik anestesi spinal baik yang dilakukan pada posisi Nadi duduk Nadi miring kiri Saturasi duduk Saturasi miring kiri ttest 114,86 9,567 113,29 20,734 60,52 12,069 61,67 20,247 82,00 15,518 88,86 12,051 98,95 ± ,921 98,95 ± ,805 p va lu e Ket. 0,3 15 0, 75 4 Tidak berm akna 0,2 22 0, 82 5 Tidak berm akna 1,5 99 0, 11 8 Tidak berm akna 0,0 00 1, 00 0 Tidak berm akna ± ± ± ± ± ± 78 Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada Pasien Seksio Sesarea (Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi) Peningkatan inisial (awal) pada cadiac ouput dan tekanan darah arteri mengaktifkan baroreseptor afferen dari aorta melalui nervus vagus dan dalam dinding sinus-sinus karotis melalui nervus glossikelofaringeal untuk meningkatkan sistem nervus parasimpatik yang mengimpuls terhadap nodus sinoartial dan miokardium, maka terjadilah penurunan perubahanan heart rate, stroke volume dan cardiac ouput. Hal lain yang dapat menyebabkan terjadi perubahan hemodinamik ini adalah pemberian dosis obat juga harus diperhatikan. Pada pasien yang kegemukan akan meningkatkan tekanan intra abdomen sehingga menyebabkan volume cairan serebrospinal dan ruang epidural oleh karena vena-vena di ruang epidural melebar. Disamping itu juga volume dari ruang spinal dan epidural akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia.10 Dapat pula yang menyebabkan perubahan hemodinamik ini adalah kecepatan penyuntikan obat anestesi hiperbarik menyebabkan pergerakan cairan tersebut dalam cairan serebrospinal dan akhirnya perluasan dari blokade yang terjadi, jika diberikan secara cepat, maka cairan akan bergerak sesuai dengan hukum gravitasi, yang menyebabkan cepatnya terjadi perubahan hemodinamik, terlebih pada posisi duduk ke posisi berbaring. Sedangkan posisi miring kiri keposisi berbaring sangat lambat hingga terjadinya perubahan hemodinamik. Sesuai hukum gravitasi. Perubahanperubahan hemodinamik pada tindakan anestesi spinal ini disebabkan karena terjadi blok simpatis akibat dari efek obat yang menyebabkan vasodilatasi ,mempengaruhi tahanan vaskuler periver. Kesimpulan 1. Terdapat perubahan hemodinamik pada teknik anestesi spinal posisi duduk pasien seksio sesarea di RSUD Merauke yang meliputi tekanan darah sistolik, diastolik dan nadi, sedangkan saturasi oksigen tidak mengalami perubahan baik sebelum maupun setelah induksi. 2. Terdapat perubahan hemodinamik pada teknik anestesi spinal posisi miring kiri pasien seksio sesarea di RSUD Merauke yang meliputi tekanan darah sistolik dan diastolik, sedangkan nadi dan saturasi oksigen tidak terjadi perubahan sebelum dan setelah induksi 3. Tidak ada perbedaan yang bermakna perubahan hemodinamik teknik anestesi spinal Posisi Duduk dan Miring Kiri pada pasien seksio sesarea di RSUD Merauke. Saran 1. 2. 3. Kepala RSUD Merauke Membuat kebijakan dalam penyusunan SOP di RSUD, bahwa tehnik spinal anestesi posisi miring kiri pada pasien seksio sesarea dapat lebih dipertimbangkan dari pada tehnik spinal anestesi posisi duduk, sebab pada posisi miring kiri tidak terjadi perubahan hemodinaik pada nadi dan saturasi oksigen sebelum dan sesudah induksi anestesi spinal, guna memberikan pelayanan anestesi yang aman dan nyaman kepada pasien, mengingat unsur kepuasan pelanggan merupakan bagian penting sebagai indikator mutu pelayanan. Perawat anestesi RSUD Merauke Dapat berperan aktif dalam memberikan pertimbangan penggunaan metode anestesi, kepada dokter ahli anestesi yang memberikan dampak menguntungkan kepada pasien dan keluarga, baik biayanya maupun efek samping obat. Institusi pendidikan (Poltekes Kemenkes Jogjakarta) Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan bacaan bagi mahasiswa Poltekes Kemenkes Jogjakarta, dalam menambah wawasan mahasiswa tentang Perbedaan Perubahan Hemodinamik teknik anestesi spinal posisi duduk dan posisi miring kiri pada pasien seksio sesarea di RSUD Merauke. 79 Perbedaan Perubahan Hemodinamik Teknik Anestesi Spinal Posisi Duduk dan Miring Miring Kiri Pada Pasien Seksio Sesarea (Suhartono, Umi Istianah, dan Sari Candra Dewi) Daftar Pustaka Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Pedoman Pelayanan Anestesiologi Dan Reanimasi di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pelayanan Medik. Direktorat Rumah Sakit Khusus Dan Swasta: Jakartalsevier. Denver Colorado. Husodo. L. 2002. Pembedahan dengan laparotomi. Di dalam : Wiknjosastro H, editor. Ilmu kebidanan, edisi ketiga. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.863 – 875 Kasdu, D. 2003. Operasi Caesarea, Masalah dan Solusinya. Jakarta: Puspa Swara. 3 Dosen Jurusan Keperawatan Kemenkes Yogyakarta Poltekkes Bobak, Lowdermilk dan Jensen, 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Edisi 4. Jakarta : EGC. Gutsche BB. 2007. Prophylactic ephedrine preceding spinal analgesia for CS. Acta Anaesthesiol Scand. Medline.51:637-639. Heriwardito, A. 2010. Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar. Laporan Penelitian. Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010. Oyston J. 2006. A guide to spinal anaesthesia for caesarean section. Didapat dari : URL, :http://www.oyston.com. Oktober 2000 (diakses tanggal 3 Maret 2011) Owen 2006. section. Didapat dari:URL:http://www.netdoctor.co.uk. di akses tanggal 20 maret 2006 Herlius, 2008 Hubungan Tehnik Anestesi General dan Regional Spinal Terhadap kejadian komplikasi Hipotensi di ruang pulih sadar RSUP Dr. Muhammad Hoesin palembang, skripsi 2008 Morgan, G.E. 2002. Adrenergik Agonists and antagonist, dalam Clinical Anesthesia 3 th edition, Applentoh and Lange, P: 212-241. 1 Mahasiswa Poltekkes Kemenkes Yogyakarta 2 Dosen Jurusan Keperawatan Kemenkes Yogyakarta Poltekkes 80