1 KELIMPAHAN DAN BIOMASSA CACING

advertisement
KELIMPAHAN DAN BIOMASSA CACING TANAH DI BEBERAPA JENIS
PENGGUNAAN LAHAN GAMBUT DI KAWASAN BUKIT BATU, RIAU
Ridho Christina1, Ahmad Muhammad2, Yusnarty Yus3
1
Mahasiswa Program Studi S1 Biologi
Dosen Ekologi Jurusan Biologi FMIPA UR
3
Dosen Zoologi Jurusan Biologi FMIPA UR
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Riau
Kampus Binawidya Pekanbaru, 28293, Indonesia
e-mail: [email protected]
2
ABSTRACT
Although peatlands possess the unsuitable environmental characteristics as habitats of
earthworms, fundamental changes after deforestation and draination that have taken place
following land cultivation after, has modified their harsh environment into friendlier one.
This study has been carried out to test whether earthworms were present on peatlands,
especially those which have been converted into different land-use types. The specific
objectives of this study were to assess the presence, abundance and biomass of earthworms
under such land-use types like natural forest, rubber plantation, industrial pulpwood
plantation (HTI), oil palm plantation, homegardens, and newly cleared-natural forest. This
study had been conducted from December 2010 – October 2011 in peatland of Bukit Batu
area, Riau. Each type of land use was represented by four separate sampling locations and
at each location one diagonal transect line of 100 m was drawn, which composed of 10
subplots measuring 25 cm x 25 cm x 10 cm with an interval of 10 m. At each location, at
which the aboveground conditions (number of tree species, tree density, basal area of trees
and litter abundance) and belowground (water table, peat water content, peat pH and C/N
ratio) were recorded. Results showed that earthworms could be found in most land-use
types, including peat swamp forest. There was significant difference on earthworm
presence frequencies (P<0.05), abundance (P<0.05) and biomass (P>0.05) in most land-use
types. Earthworm were found most abundant in largest abundance and biomass in
homegardens and oil palm plantation. Earthworm's presence in peatland were affected by
water table, peat water content, and peat pH. There was indication of invasion by an exotic
earthworm species (Pontoscolex corethrurus).
Key words: Bukit Batu, earthworm, peat land-use.
ABSTRAK
Meskipun lahan gambut memiliki karakteristik lingkungan yang tidak sesuai sebagai
habitat cacing tanah, perubahan fundamental pasca deforestasi dan drainasi yang telah
terjadi setelah pengolahan lahan, telah memodifikasi lingkungan mereka yang tidak ramah
1
menjadi lebih ramah. Penelitian dilaksanakan dengan maksud untuk menguji apakah cacing
tanah dapat ditemukan pada rawa gambut, khususnya yang telah dialihgunakan menjadi
berbagai jenis penggunaan lahan. Tujuan spesifik penelitian ini adalah untuk mengetahui
keberadaan, kelimpahan dan biomassa cacing tanah pada berbagai jenis penggunaan lahan
gambut, seperti hutan alam, hutan karet, Hutan Tanaman Industri (HTI), kebun kelapa
sawit, kebun pekarangan, dan hutan alam yang baru dibuka. Penelitian dilakukan pada
bulan Desember 2010 - Oktober 2011 pada lahan gambut yang terdapat di kawasan Bukit
Batu, Riau. Setiap jenis penggunaan lahan diwakili oleh empat lokasi sampling terpisah dan
pada setiap lokasi dibuat transek sepanjang 100 m, kemudian dibuat 10 subplot berukuran
25 cm x 25 cm x 10 cm dengan interval 10 m. Pada tiap lokasi, kondisi di atas permukaan
gambut (jumlah spesies pohon, kerapatan pohon, basal area pohon dan kelimpahan serasah)
dan di bawah permukaan gambut (kedalaman muka air, pH dan kandungan air) juga dicatat.
Hasil penelitian membuktikan bahwa cacing tanah dapat dijumpai pada berbagai jenis
penggunaan lahan gambut, bahkan hutan rawa gambut. Terdapat perbedaan signifikan pada
frekuensi kehadiran (P <0,05), kelimpahan (P<0,05) dan biomassa cacing tanah (P<0,05) di
beberapa jenis penggunaan lahan. Cacing tanah ditemukan melimpah dengan kelimpahan
dan biomassa terbesar pada kebun pekarangan dan kebun kelapa sawit. Keberadaan cacing
tanah di lahan gambut dipengaruhi oleh kedalaman muka air, kandungan air gambut, dan
pH gambut. Terdapat indikasi terjadi invasi oleh spesies cacing tanah eksotis (Pontoscolex
corethrurus).
Kata kunci: Bukit Batu, cacing tanah, jenis penggunaan lahan gambut.
PENDAHULUAN
Cacing tanah merupakan salah satu kelompok fauna tanah yang cukup mudah
dijumpai dimana-mana. Tidak jarang, biomassa hewan invertebrata ini bahkan mencapai
hingga 60-80% dari seluruh biomassa fauna tanah yang ada (Sinha et al. 2010). Hal ini
membuat hewan ini begitu menarik perhatian dibanding banyak kelompok fauna tanah lain.
Hal lain yang membuatnya tidak kalah menarik adalah beberapa peranan penting yang
dimainkannya dalam ekosistem tanah, yaitu seperti dalam proses dekomposisi dan
pembentukan struktur tanah (Handayanto & Hairiah 2009). Kedua peranan ini membuat
kehadiran cacing tanah pada suatu lahan sering dijadikan indikator terhadap integritas
ekologi ataupun kesehatan tanah. Oleh karenanya, dalam bidang pertanian, sudah sejak
lama cacing tanah dimanfaatkan dalam proses penyuburan tanah secara alamiah
(Yulipriyanto 2010). Meskipun memiliki sebaran yang luas di permukaan bumi ini, cacing
tanah dikenal cukup sensitif terhadap beberapa kondisi lingkungan tertentu, seperti kondisi
tanah yang terlalu basah atau terlalu kering, terlalu panas atau terlalu dingin dan terlalu
asam. Mengingat hal ini, maka terdapat jenis-jenis lingkungan tertentu yang tidak cocok
sebagai habitat cacing tanah, seperti misalnya lahan rawa gambut.
Lahan rawa gambut yang dialihfungsikan menjadi lahan pertanian merupakan
salah satu problema di Sumatera. Bila lahan gambut mengalami pengeringan karena air
yang terserap hilang, menyebabkan perubahan yang tidak-balik. Keadaan ini
2
menyebabkan kemampuan gambut untuk mengikat air menurun, percepatan oksidasi
dan penurunan permukaan, serta menurunnya kualitas sifat kimia gambut (Ritzema et al.
2004). Bukit Batu merupakan salah satu ekosistem rawa gambut di Propinsi Riau yang
sebagian lahan gambutnya telah berubah fungsi menjadi berbagai jenis penggunaan lahan.
Perubahan ini kemungkinan membuat lahan rawa gambut di kawasan tersebut berubah
menjadi lahan yang dapat dihuni oleh cacing tanah. Berbeda dari lahan-lahan tanah mineral,
lahan rawa gambut merupakan deposit materi organik yang berasal dari jasad tumbuhan
yang tidak mengalami dekomposisi secara sempurna. Deposit yang terakumulasi selama
kurun waktu yang sangat panjang ini (selama ratusan hingga ribuan tahun) memiliki
karakteristik seperti spons yang jenuh air dengan pH rendah (3-5). Kejenuhan air membuat
kondisi di bawah permukaan gambut umumnya memiliki aerasi yang buruk. Kondisi ini
membuat rawa gambut bukan medium yang sesuai bagi cacing tanah.
Kehadiran cacing tanah pada lahan gambut berkemungkinan memberikan dampak
yang cukup signifikan. Sebagai dekomposer, hewan ini dapat membantu menyediakan hara
dalam lingkungan yang biasanya dikenal miskin hara atau tidak subur ini. Konsumsi
serasah oleh cacing tanah dapat mempercepat proses mineralisasi dan pelepasan unsurunsur hara sehingga dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan (Edwards & Lofty 1972).
Meskipun demikian, dampak ini baru signifikan apabila cacing tanah ditemukan cukup
melimpah pada lahan gambut.
Penelitian ini telah dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui apakah benar
cacing tanah dapat ditemukan pada lahan gambut, terutama sekali yang telah mengalami
perubahan akibat dibudidayakan setelah mengalami deforestasi dan drainasi. Penelitian ini
merumuskan hipotesis, yaitu deforestasi dan pengalihgunaan lahan gambut mempengaruhi
kehadiran cacing tanah. Selain itu, kami menduga bahwa karakteristik penggunaan lahan
gambut mempengaruhi peluang kehadiran, kelimpahan serta biomassa cacing tanah. Cacing
tanah kemungkinan akan lebih banyak dijumpai pada lahan-lahan dimana selain terdapat
makanan yang kaya juga tidak digunakan bahan-bahan pembasmi seperti herbisida,
fungisida dan pestisida, selain tidak digunakannya api untuk pembersihan gulma.
METODE PENELITIAN
Tempat pengambilan sampel adalah di lahan gambut yang terletak di kecamatan
Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau. Pengambilan sampel cacing tanah
dilaksanakan pada bulan Desember 2010 - Oktober 2011. Penentuan lokasi pengambilan
sampel menggunakan metode purpossive sampling. Lokasi penelitian dipilih berdasarkan
jenis penggunaan lahan gambut, yakni hutan alam (hutan rawa gambut), hutan karet, Hutan
Tanaman Industri (HTI), kebun kelapa sawit, kebun pekarangan dan hutan alam yang baru
dibuka. Dalam masing-masing plot sebuah transek diagonal sepanjang 100 m ditarik,
kemudian dibagi menjadi 10 subplot (monolith) berukuran 25 cm x 25 cm x 10 cm dengan
jarak antar subplot 10 m. Cacing tanah dikoleksi dengan metode sortir tangan kemudian
dihitung kelimpahannya dan ditimbang biomassanya dalam keadaan hidup. Selanjutnya
sampel cacing tanah tersebut diawetkan menggunakan alkohol 70% (Coleman & Crossley
3
1996). Identifikasi cacing tanah dilakukan di Laboratorium Fotomikrografi Jurusan Biologi
FMIPA UR dan Laboratorium Fotomikrografi Jurusan Biosains Hewan IPB, berdasarkan
acuan identifikasi Blakemore (2002).
Pada penelitian ini juga dilakukan karakterisasi habitat dengan melihat kondisi di
atas maupun di bawah permukaan gambut, yaitu dengan mencatat kerapatan pohon, basal
area pohon dan keanekaragaman spesies pohon (data diperoleh dari Muhammad & Kono
2010) serta kelimpahan serasah, kedalaman muka air gambut, kandungan air dalam gambut,
pH gambut dan rasio C/N gambut disamping pengamatan tambahan berupa keberadaan
semut dan rayap, tanda-tanda praktek pengelolaan lokasi, serta vegetasi di permukaan
lahan.
Analisis data yang dilakukan menggunakan program SPSS 16 meliputi uji Anova
Satu Arah (α=0,05), uji T tidak berpasangan dan analisis frekuensi Chi-square. Anova
Satu Arah dilakukan terhadap kelimpahan serasah, water table, pH gambut, kandungan air
gambut, dan rasio C/N gambut pada jenis penggunaan lahan gambut yang berbeda. Uji T
tidak berpasangan digunakan untuk membandingkan kelimpahan dan biomassa cacing
tanah di hutan alam dan jenis penggunaan lahan gambut lainnya, selain itu data rerata
kelimpahan dan biomassa cacing tanah juga ditampilkan dalam histogram (Ms. Excel).
Analisis frekuensi Chi-square digunakan untuk mengetahui pengaruh enam jenis
penggunaan lahan gambut terhadap frekuensi kehadiran cacing tanah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Habitat
Secara umum karakteristik berbagai jenis penggunaan lahan gambut sebagai habitat
cacing tanah dapat dilihat berdasarkan kondisinya, baik di atas maupun di bawah
permukaan gambut (Tabel 1). Kondisi di atas permukaan gambut sangat dipengaruhi oleh
struktur vegetasi, yang antara lain ditunjukkan oleh kerapatan pohon, basal area, jumlah
spesies pohon, dan kelimpahan serasah.
Kerapatan pohon tertinggi dijumpai pada hutan alam (hutan rawa gambut) hingga
1.800 pohon/ha, yang diikuti oleh HTI (1.666 pohon/ha), hutan karet (1.125 pohon/ha),
kebun pekarangan (190 pohon/ha), kebun kelapa sawit (150 pohon/ha) dan hutan alam yang
baru dibuka (<20 pohon/ha) (Muhammad, komunikasi pribadi). Kerapatan pohon secara
langsung mempengaruhi kelimpahan serasah, walaupun secara kuantitas kelimpahan
serasah yang diperiksa tidak berbeda nyata (P>0,05). Kelimpahan serasah tertinggi
ditemukan pada hutan alam yang baru dibuka (537,10 g/m2), kemudian disusul oleh HTI
(453,18 g/m2), kebun pekarangan (368,70 g/m2), hutan alam (332,15 g/m2), hutan karet
(293,77 g/m2) dan kebun kelapa sawit (211,62 g/m2). Keberadaan serasah diketahui
memiliki pengaruh yang penting terhadap cacing tanah, yaitu sebagai pembentuk
lingkungan mikro dan sumber makanan bagi organisme ini (Hairiah et al. 2002).
4
Tabel 1. Perbandingan kondisi lingkungan pada enam jenis penggunaan lahan gambut
Parameter
Kerapatan pohon
(pohon/ha)*
Basal area (m2/ha)*
Jumlah spesies
pohon*
Kelimpahan serasah
(g/m2)
Kedalaman muka air
(cm)
Kandungan air
gambut (%)
pH gambut
Rasio C/N gambut
Jenis Penggunaan Lahan Gambut
Hutan
Kebun
Kebun
Tanaman
Kelapa
Pekarangan
Industri
Sawit
1.666
150
190
Hutan Alam
yang Baru
Dibersihkan
<20
n
Hutan
Alam
Hutan
Karet
4
1.800
1.125
4
4
11 – 25
55 – 82
24-25
1-3
23
1
27-31
1-5
4-8
5-15
0
0
20
332,15
293,77
453,18
211,62
368,70
537,10
40
14,66a
47,02ab
110bc
84,82b
66,87bc
73,75bc
4
80,87b
51,36a
46,36a
49,19a
44,19a
53,65a
40
4,28
4,44
4,32
4,50
4,85
4,38
4
21,00
45,50
40,75
45,50
43,50
38,75
Keterangan: Jenis penggunaan lahan terdiri dari 4 ulangan (n=4).
Huruf kecil yang berbeda menunjukkan beda nyata pada P<0.05.
*Sumber: Ahmad Muhammad & Kono (Komunikasi pribadi).
Kondisi di bawah permukaan gambut dipengaruhi antara lain oleh kedalaman muka
air gambut, kandungan air dan pH gambut. Kedalaman muka air pada berbagai jenis
penggunaan lahan gambut yang diperiksa berkisar antara 15–100 cm, dengan rata-rata
66,18 cm. Muka air gambut terdangkal dijumpai pada hutan alam, sedangkan yang
terdalam ditemukan pada HTI. Kedalaman muka air sangat mempengaruhi tingkat
kejenuhan air lapisan gambut di bawah permukaan. Semakin dalam muka air maka tingkat
kejenuhan air di atasnya juga cenderung menurun. Hal ini mengakibatkan porositas gambut
meningkat, demikian pula aerasinya. Oleh karenanya kedalaman muka air dan kandungan
air dalam gambut diduga merupakan variabel yang sangat penting yang menentukan
kesesuaian gambut sebagai medium hidup cacing tanah (Maftu’ah et al. 2005).
Hasil pengukuran di lapangan dapat dijumpai pH gambut yang berkisar 3,5–6, tetapi
rata-rata hanya 4,46 (P>0,05). Umumnya makrofauna tanah sangat sensitif terhadap pH
tanah, terutama sekali kelompok selain artropoda yang tidak memiliki eksoskeleton, seperti
cacing tanah (Edwards & Lofty 1972). Menurut Hou et al. (2005) cacing tanah umumnya
hanya dijumpai pada tanah-tanah yang memiliki kisaran pH 6,5 – 8,6.
Rasio C/N menunjukkan tingkat dekomposisi materi organik, dimana semakin kecil
nilai rasionya maka semakin lanjut tingkat dekomposisi yang sedang berlangsung (Cabral
2012). Cacing tanah diketahui merupakan konsumen serasah, detritus dan materi organik
tanah (Yulipriyanto 2010). Semakin kecil nilai rasio C/N pada gambut, maka kualitasnya
sebagai makanan cacing tanah justru semakin tinggi (Hou et al. 2005). Dalam penelitian
ini, rasio C/N gambut yang dijumpai pada keenam jenis penggunaan berkisar 21-45 atau
5
rata-rata 39,16 (P>0,05). Lahan gambut di kawasan Bukit Batu dalam hal ini diduga belum
mendekati tingkat dekomposisi lanjut sehingga belum cukup ramah bagi kehadiran cacing
tanah.
Frekuensi Kehadiran dan Sebaran Cacing Tanah
Hasil penelitian ini setidaknya membuktikan bahwa cacing tanah benar-benar dapat
ditemukan pada beberapa jenis penggunaan lahan gambut, khususnya yang terdapat di
kawasan Bukit Batu (Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau), meskipun dengan frekuensi
perjumpaan yang relatif kecil (tidak lebih dari 16%) (Tabel 2). Hal yang tidak jauh berbeda
(<10%) ditemukan oleh Maftu’ah & Susanti (2009) pada lahan gambut yang berkedalaman
200-300 cm yang digunakan untuk budidaya palawija di sebuah kawasan di Provinsi
Kalimantan Tengah.
Tabel 2. Frekuensi kehadiran cacing tanah pada enam jenis penggunaan lahan gambut
Jenis
Penggunaan
Lahan
Hutan Alam
Kebun Pekarangan
Kebun Kelapa Sawit
Hutan Karet
HTI
Hutan Alam yang Baru
dibuka
Jumlah
Titik Sampling
Total
40
40
40
40
40
40
Jumlah Titik Penemuan
Tidak Ada
Ada
29
30
31
34
39
40
11
10
9
6
1
0
Frekuensi
Kehadiran (%)
27,5
25
22,5
15
2,5
0
Frekuensi penemuan cacing tanah pada keenam jenis penggunaan lahan gambut
yang diperiksa dalam penelitian ini berkisar 0-27,5% atau rata-rata 15,41%. Cukup
mengejutkan bahwa frekuensi tertinggi justru dijumpai pada hutan alam yang merupakan
lahan gambut yang relatif belum mengalami gangguan, terutama secara hidrologis. Hal ini
sepintas sangat bertolak belakang dengan hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa
perubahan hutan alam menjadi lahan-lahan budidaya akan meningkatkan peluang kehadiran
cacing tanah pada lahan gambut. Tetapi ternyata cacing tanah tidak ditemukan pada lahan
hutan alam yang baru saja dibuka (0%), yang juga belum mengalami gangguan hidrologis.
Di lain pihak, pada lahan gambut yang digunakan sebagai HTI, yang telah mengalami
perubahan hidrologis secara signifikan akibat kanalisasi, juga ditemukan frekuensi
kehadiran cacing tanah yang sangat rendah (2,5%).
Dukungan terhadap hipotesis diperoleh dari hasil pemeriksaan terhadap lahan
gambut yang telah digunakan sebagai kebun pekarangan dan kebun kelapa sawit, dimana
frekuensi kehadiran cacing tanah pada masing-masing mencapai 25% dan 22,5%. Hasil
analisis frekuensi menggunakan Pearson Chi-square juga mendukung hipotesis bahwa
6
jenis penggunaan lahan memberikan pengaruh signifikan terhadap kehadiran cacing tanah
pada lahan gambut (P<0,05).
Kehadiran cacing tanah di lahan gambut mengindikasikan bahwa lahan gambut
pada kondisi tertentu dapat berubah menjadi lingkungan yang ramah bagi cacing tanah
meskipun sebarannya tidak merata. Pada lahan yang dijumpai cacing tanah, di sekitarnya
juga terdapat titik-titik tertentu yang tidak dijumpai cacing tanah sama sekali. Faktor
keterbatasan cacing tanah dalam menyebarkan diri secara aktif serta kemungkinan bahwa
cacing tanah terbawa secara tidak disengaja dari lahan mineral ke dalam lahan gambut
diduga menjadi penyebab kehadiran dan sebaran cacing tanah yang tidak merata tersebut.
Kelimpahan dan Biomassa Cacing Tanah
Selain frekuensi kehadiran cacing tanah yang rendah, tingkat kelimpahan cacing
tanah pada jenis-jenis penggunaan lahan gambut yang diperiksa juga relatif rendah, yaitu
berkisar 0,40-14,21 ekor/m2 dengan rata-rata hanya 5 ekor/m2. Kebun pekarangan dan
kebun kelapa sawit memiliki tingkat kelimpahan cacing tanah tertinggi, yaitu 14,21 ekor/m2
dan 11,20 ekor/m2, sedangkan hutan alam memiliki tingkat kelimpahan terendah sebesar
0,40 ekor/m2 (Gambar 1a).
Hal serupa dikemukakan Guild (1951) yang hanya menemukan 14 ekor/m2 dan 6
2
ekor/m di dua jenis lahan gambut yang ada di Skotlandia. Di lain tempat (Kalimantan
Tengah, Indonesia) Maftu’ah & Susanti (2009) menemukan cacing tanah sebanyak 3,01
ekor/m2 pada lahan gambut yang digunakan untuk budidaya sayuran dan palawija.
Rendahnya tingkat kelimpahan cacing tanah pada lahan gambut sangat kontras apabila
dibandingkan dengan tingkat kelimpahannya pada lahan tanah mineral.
a
b
Gambar 1. (a) Kelimpahan dan (b) Biomassa Cacing Tanah di Beberapa Jenis Penggunaan
Lahan Gambut. Keterangan : HA= Hutan Alam HK=Hutan Karet
HTI=Hutan Tanaman Industri KKS=Kebun Kelapa Sawit KP=Kebun
Pekarangan HABD=Hutan Alam yang Baru Dibuka.
7
Hasil dari penggalian tanah-tanah pekarangan yang ada di Kota Pekanbaru misalnya, dapat
ditemukan cacing tanah yang umumnya mencapai lebih dari 80 ekor/m2 (Christina,
Ningrum & Sugianto – Data tidak dipublikasikan). Wahyudi (2011) juga menemukan
kelimpahan cacing tanah dengan rata-rata 122,85 ekor/m2 di sebuah kawasan hutan
terganggu di Jawa Timur. Kelimpahan cacing tanah di hutan alam dalam hal ini berbeda
secara signifikan dengan kelimpahan di keempat jenis penggunaan lahan gambut lainnya,
hanya pada HTI yang tidak dijumpai perbedaan signifikan (Tabel 3).
Tabel 3. Perbandingan kelimpahan dan biomassa cacing tanah antara hutan alam dan
beberapa jenis penggunaan lahan gambut
Parameter
Kelimpahan
Hutan alam dan Hutan Karet
Hutan alam dan HTI
Hutan alam dan Kebun Kelapa Sawit
Hutan alam dan Kebun Pekarangan
Hutan alam dan Hutan Alam Baru Dibuka
αn-1
P
0,038
0,114
0,033
0,033
0,050
s
ns
s
s
s
Biomassa
Hutan alam dan Hutan Karet
0,000
s
Hutan alam dan HTI
0,030
s
Hutan alam dan Kebun Kelapa Sawit
0,000
s
Hutan alam dan Kebun Pekarangan
0,028
s
Hutan alam dan Hutan Alam Baru Dibuka
0,000
s
Keterangan: Berbeda signifikan pada P=0,05; ns = Not significant; s = Significant.
Biomassa cacing tanah tertinggi yaitu sekitar 5,26 g/m2, juga terdapat pada kebun
pekarangan, diikuti oleh kebun kelapa sawit yaitu sekitar 3,64 g/m2 (Gambar 4 1b). Ratarata biomassa cacing tanah pada keenam jenis lahan juga relatif kecil yaitu sekitar 1,53
g/m2. Pada lahan mineral, hasil yang cukup kontras diperlihatkan oleh Wahyudi (2011)
yang menemukan biomassa cacing tanah dengan rata-rata 44,65 g/m2 di sebuah kawasan
hutan terganggu di Jawa Timur. Biomassa cacing tanah di hutan alam dalam hal ini juga
berbeda secara signifikan dengan biomassa yang ada di kelima jenis penggunaan lahan
gambut lainnya (Tabel 3). Perbedaan yang signifikan tersebut menunjukkan bahwa pada
lahan gambut yang masih berupa hutan alam kenyataanya hanya terdapat cacing tanah
dengan tingkat kelimpahan yang sangat rendah serta biomassa yang sangat kecil, jauh lebih
kecil dibandingkan dengan kelimpahan dan biomassa pada lahan gambut yang telah
dibudidayakan.
8
Arti Kehadiran Cacing Tanah
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum kondisi lahan gambut di
lokasi penelitian belum sesuai sebagai habitat cacing tanah. Hal ini terutama sekali ditandai
oleh nilai pH gambut yang rata-rata masih dibawah 4,5, sehingga tidak sesuai atau
suboptimal bagi cacing tanah. Menurut Hou et al. (2005) cacing tanah menyukai substrat
dengan pH yang berkisar 6,5-8,6. Selain itu, rendahnya tingkat kehadiran cacing tanah pada
lahan gambut yang diteliti kemungkinan juga dilatarbelakangi oleh tidak dimilikinya
kemampuan menyebarkan diri secara aktif oleh hewan ini. Penelitian tentang pergerakan
cacing tanah oleh Marinissen & Bosch (1992) dalam Edwards (2004) misalnya,
mengungkapkan bahwa cacing tanah biasanya hanya bergerak sejauh 2-15 m/tahun.
Meskipun demikian kehadiran cacing tanah pada lahan gambut tetap tidak dapat
dinafikan dan kehadirannya berpotensi menyumbangkan perubahan karakteristik gambut.
Spesies cacing tanah yang berhasil diidentifikasi dari lahan gambut Bukit Batu merupakan
famili Glossoscolecidae, spesies Pontoscolex corethrurus (Gambar 2). Spesies ini memiliki
ciri-ciri utama yaitu prostomium (mulut) dan segmen pertama tertarik kedalam, mempunyai
empat pasang seta pada tiap segmen (Dindal 1990), tidak memiliki kelenjar prostat dan
terdapat 3 pasang kelenjar kalsiferus pada segmen 7-9 (Blakemore 2002). Cacing tanah ini
pada lahan gambut dijumpai pada jenis kebun pekarangan, kebun kelapa sawit, dan HTI.
Spesies P. corethrurus termasuk spesies cacing tanah eksotik yang bersifat invasif dan
diketahui tersebar luas di banyak lahan terganggu di seluruh dunia (Edwards 2004),
sehingga terdapat indikasi bahwa spesies tersebut juga menginvasi lahan gambut pasca
deforestasi dan drainasi.
Gambar 2. Pontoscolex corethrurus, spesies cacing tanah yang ditemukan di lahan gambut
(Dokumentasi Pribadi).
Spesies ini merupakan tipe geofagi (pemakan tanah) namun belum ada penelitian
yang membuktikan apakah di lahan gambut cacing tanah ini juga memakan gambut.
Kehadiran cacing tanah tipe geofagi diketahui bermanfaat dalam membantu penyebaran
mikroorganisme di dalam tanah. Mikroorganisme tanah meskipun memiliki habitat di tanah
9
ternyata memiliki keterbatasan dalam mengakses nutrien dan menyebarkan diri. Menurut
Edwards (2004) cacing tanah dalam hal ini melalui aktivitasnya menggali tanah, memakan
tanah, dan menghasilkan kasting secara tidak langsung akan membawa serta
mikroorganisme tanah melalui permukaan tubuhnya dan kasting yang dihasilkannya. Selain
itu, saluran cerna cacing tanah juga secara langsung merupakan tempat yang sesuai bagi
mikroorganisme untuk beraktivitas dan membelah diri. Kehadiran hewan ini baik di lahan
gambut maupun mineral diduga berpotensi dalam penyebaran mikroorganisme yang ada di
dalamnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan, kelimpahan dan biomassa
cacing tanah pada beberapa jenis penggunaan lahan gambut. Berdasarkan hasil penelitian
yang diperoleh, dapat ditarik kesimpulan bahwa cacing tanah terbukti dapat ditemukan di
beberapa jenis penggunaan lahan gambut yang ada di kawasan Bukit Batu dan terdapat
indikasi bahwa spesies cacing tanah yang dapat menginvasi lahan gambut pasca deforestasi
dan drainasi termasuk spesies cacing tanah eksotik. Jenis penggunaan lahan gambut
memberikan pengaruh signifikan terhadap frekuensi kehadiran cacing tanah, kelimpahan
dan biomassa cacing tanah, dimana tingkat kelimpahan tertinggi dan biomassa cacing tanah
terbesar ditemukan pada lahan gambut yang digunakan sebagai kebun pekarangan dan
kebun kelapa sawit.
Penelitian ini merupakan data atau informasi awal tentang keberadaan cacing tanah
yang terdapat di lahan gambut Sumatera, khususnya di kawasan Bukit Batu, Riau. Perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana pola kehadiran dan
kelimpahan cacing tanah pada lahan gambut yang digunakan sebagai kebun pekarangan
dan kebun kelapa sawit, berupa karakterisasi secara mikrohabitat yang lebih mendetail
untuk melihat kaitan antara kehadiran, kelimpahan dan biomassa cacing tanah yang ada
dengan kondisi lingkungan mikronya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drs. Ahmad Muhammad atas
bimbingannya dan bantuan dana penelitian, serta Global Center of Excellence (GCOE)
Program Universitas Kyoto yang telah memberikan dana penelitian melalui Dr. Motoko S.
Fujita & Dr. Hiromitsu Samejima, dan kepada PT. Sinar Mas Forestry yang telah
memberikan kemudahan dalam fasilitas di lapangan. Penulis juga berterima kasih kepada
Andy Darmawan, M.Si dan Rita Oktavia, M.Si dari Jurusan Biosains Hewan FMIPA IPB
dan Puslitbang Zoologi LIPI atas bantuan identifikasi dan literatur cacing tanah, seluruh
teman, dan orang tua penulis atas dukungannya.
10
DAFTAR PUSTAKA
Blakemore, R.J. 2002. Cosmopolitan Earthworms – an Eco Tacsonomic Guide to the
Peregrine Species of the World. VermEcology: Canberra.
Cabral, M.R. 2012. Relation and Change Over Time of CN-Ratios Throughout Swedish
Peatlands and in Seven Fertility Classes. [Thesis]. Swedish University of Agricultural
Sciences. Swedia.
Coleman, D.C. & D.A. Crossley. 1996. Fundamentals of Soil Ecology, 2nd Edition.
Elsevier Academic Press. Georgia.
Dindal, D.L. 1990. Soil Biology Guide. John Wiley and Son. Canada.
Edwards, C.A. & J.R. Lofty. 1972. Biology of Earthworms. Chapman and Hall. London.
Edwards, C.A. 2004. Earthworm Ecology 2nd Edition. CRC Press LLC. London.
Guild, W.J.Mc.L. 1951. The Distribution and Population Density of Earthworms
(Lumbricidae) in Scottish Pasture Field. Department of Agricultural and Forest
Zoology. Edinburgh University.
Hairiah, K., D. Suprayogo, Widianto, Berlian, E. Suhara, A. Mardiastuning, R.H. Widodo,
C. Prayogo & S. Rahayu. 2002. Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Agroforestri
Berbasis Kopi: Ketebalan Seresah, Populasi Cacing Tanah dan Makroporositas
Tanah.
Handayanto, E. & K. Hairiah. 2009. Biologi Tanah: Landasan Pengelolaan Tanah Sehat.
Pustaka Adipura. Yogyakarta.
Hou, J., Q. Yanyun, L. Guangqing & R. Dong. 2005. The Influence of Temperature, Ph and
C/N Ratio on the Growth and Survival of Earthworm in Municipal Solid Waste.
Agricultural Engineering International. 7:1-6.
Maftuah, E., M. Alwi & M. Willis. 2005. Potensi Makrofauna Tanah sebagai Bioindikator
Kualitas Tanah Gambut. Bioscientae. 2: 1-14.
Maftuah, E. & M.A. Susanti. 2009. Komunitas Cacing Tanah pada Beberapa Penggunaan
Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Berita Biologi 9:4.
Ritzema, H., V. Dana & H. Wösten. 2004. A system to support decision making for
peatland management in the humid tropics. J. Paivanen (Ed). Wise use of peatlands.
Proceedings 12th International Peat Congress. Finland. 1: 720-725.
Sinha, R.K., D. Valani, V. Chandran & B.K. Soni. 2010. Earthworm, the Soil Managers:
Their Role in Restoration and Improvement of Soil Fertility. Nova Science
Publishers. New York.
Wahyudi, H.A. 2011. Peran Agroforestri dalam Mempertahankan Makroporositas Tanah :
Pengaruh Ketebalan Seresah terhadap Peningkatan Biomassa Cacing Penggali Tanah
Pontoscolex corethrurus dan Makroporositas Tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Yulipriyanto, H. 2010. Biologi Tanah dan Strategi Pengelolaannya. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
11
Download