BAB III KETENTUAN PENGATURAN PERLINDUNGAN WARGA SIPIL dan OBYEK SIPIL DALAM PERANG DI SURIAH A. Pengertian Warga Sipil dan Obyek Sipil 1. Pengertiaan Warga Sipil Warga Sipil merupakan orang yang bukan termasuk ke dalam anggota angkatan bersenjata dari suatu milisi atau suatu negara dan tidak ikut terlibat dalam situasi permusuhan konflik bersenjata atau perang militer. Sedangkan Militer adalah bagian dari warga sipil yang mempunyai kualifikasi militer yang dididik, dibentuk dan dilatih untuk melakukan pertahanan negara secara militer. 30 Pengertiaan anggota Militer adalah orang yang berdinas pada suatu Angkatan Perang dan tetap terus menerus berada dalam dinas tersebut selama periode waktu ikatan dinas.31 Menurut Konvensi Jenewa ke-IV, penduduk sipil di defenisikan sebagai orang yang bukan merupakan anggota militer. Militer sendiri merupakan angkatan bersenjata dari suatu negara dan segala sesuatu yang berhubugan dengan angkatan bersenjata biasanya terdiri atas para prajurit atau serdadu. Sedangkan pengertian penduduk sipil yang terdapat pada Pasal 50 Protokol Tambahan I 1977 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penduduk sipil adalah orang-orang selain daripada kategori yang dimaksud dalam Pasal 4 (A) (1),(2),(3) dan (6) konvensi ke-III dan pasal 43 Protokol Tambahan I 1977. Pada 30 31 Suryanto Suryokusumo, Konsep Sistem Pertahanan Non-Militer, 2016. Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1947. Universitas Sumatera Utara intinya penduduk sipil adalah bukan pihak yang berperang dan tidak boleh membawa senjata. Menurut Sugeng Istanto dalam bukunya menjelaskan penduduk sipil adalah orang, seorang atau sekumpulan orang yang bukan anggota angkatan bersenjata, yang karenanya tidak berhak ikut serta langsung dalam permusuhan. 32 Pada hakekatnya penduduk sipil adalah seseorang atau warga masyarakat yang tidak ikut ambil bagian dalam suatu konflik bersenjata, permusuhan, perang ataupun suatu pertempuran dan bukan merupakan bagian dari sebuah angkatan bersenjata serta tidak berhak turut dalam sebuah pertempuran dan harus dilindungi serta dihormati hak-haknya oleh karena bukan merupakan sasaran penyerangan atau bagian objek militer. Dalam Sebuah Perang yang melibatkan angkatan bersenjata ada aturan yang menyatakan larangan menyerang warga sipil, bahkan tindakan ini termasuk kategori kejahatan perang. Sangat tidak beradab jika seorang tentara yang terlatih dan bersenjata menyerang warga sipil yang tidak terlatih dan bersenjata. Dalam suatu sengketa bersenjata, orang-orang yang dilindungi meliputi kombatan dan penduduk sipil. Kombatan yang telah berstatus „hors de combat‟ harus dilindungi dan dihormati dalam segala keadaan. Kombatan yang jatuh ketangan musuh mendapatkan status sebagai tawanan perang. Perlindungan dan hak-hak sebagai tawanan perang diatur dalam Konvensi Jenewa III. Sedangkan penduduk sipil berhak mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa IV dan Protokol Tambahan 1977. 32 F. Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta Dan Hukum Internasional, Yogyakarta, Andi Offset, 1992, hlm.6 Universitas Sumatera Utara Menurut Hans-Peter Gasser, orang yang dilindungi adalah seseorang yang berdasarkan Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya, memiliki kedudukan yang dilindungi secara khusus. 33 Sebagaimana yang telah disebutkan, perlindungan terhadap warga sipil telah diatur dalam Konvensi Jenewa IV. Menurut Konvensi Jenewa IV ini, perlindungan tersebut meliputi perlindungan umum (general protection), diatur dalam Bagian II. Sedangkan berdasarkan Protokol Tambahan, perlindungan tersebut diatur dalam Bagian IV tentang penduduk sipil. Bagian IV Protokol tersebut ini, antara lain mengatur mengenai perlindungan umum (general protection againts the effect of hostilities);bantuan terhadap penduduk sipil (relief in favour of the civilian population); serta perlakuan orang-orang yang berada dalam salah satu kekuasaan pihak yang bersengketa (treatment of persons in the power of a party to a conflict), termasuk di dalamnya adalah perlindungan terhadap para pengungsi, orang yang tidak memiliki kewarganegaraan (stateless), anak-anak, wanita dan wartawan. Meskipun perlindungan warga sipil ini sudah memliki pengaturan hukum Internasional nya, namun dalam implementasinya di suatu wilayah konflik bersenjata semua seperti tidak ada gunanya, masih banyak warga sipil yang menjadi korban luka-luka maupun tewas dan bahkan sampai meninggalkan tanah kelahirannya untuk mendapatkan suatu kehidupan yang damai. Oleh sebab itu Prinsip Martens Clause “Klausula Martens” ini sangat dibutuhkan dalam suatu situasi konflik bersenjata. 33 Hans-Peter Gesser, International Humanitarian Law, An Introduction, Separate Print from Hans Haug Humanity for All, International Red Cross and Red Crescent Movement, Henry Dunant Institute, Paul Hauot Publisher, Berne Stuttgart, Vienna, 1993, hlm.25. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan Konvensi Jenewa, perlindungan umum yang diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Dalam segala keadaan, penduduk sipil. Dalam segala keadaan, penduduk sipil berhak atas penghormatan pribadi, hak kekeluargaan, kekayaan dan praktek ajaran agamanya. Terhadap mereka, tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 27-34, yaitu ; a. Melakukan pemaksaan jasmani maupun rohani untuk memperoleh keterangan b. Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani c. Menjatuhkan Hukuman kolektif d. Melakukan intimidasi, terorisme dan perampokan e. Menjadikan mereka sebagai sandera f. Melakukan pembalasan (reprisal) g. Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani atau permusuhan terhadap orang yang dilindungi. Di antara penduduk sipil yang harus dilindungi, terdapat beberapa kelompok orang-orang sipil yang perlu dilindungi seperti ; 1) Orang Asing di Wilayah Pendudukan Pada waktu pecah perang antara negara yang warga negaranya berdiam di dalam wilayah negara musuh, maka orang-orang asaing ini merupakan warga negara musuh. Walaupun demikian, mereka tetap mendapatkan penghormatan dan perlindungan di negara dimana mereka berdiam. Berdasarkan pasal 35 Konvensi Jenewa IV, mereka harus diberi ijin untuk meninggalkan negara tersebut. Jika Universitas Sumatera Utara permohonan mereka ditolak, mereka berhak meminta agar penolakan tersebut dipertimbangkan kembali Permintaan tersebut ditujukan kepada pengadilan atau badan administrasi yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas itu. Hukum yang berlaku bagi mereka harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku di masa damai (hukum tentang orang asing). Perlindungan minimum atas hak asasi manusia mereka harus dijamin. Oleh karena itu mereka harus dimungkinkan untuk tetap menerima pembayaran atas pekerjaannya, menerima bantuan, perawatan kesehatan, dan sebagainya. Sebaliknya, negara penahan juga diperbolehkan mengambil tindakan yang perlu seperti membuat laporan reguler ke kantor polisi, atau menentukan tempat tinggal tertentu jika keadaan keamanan yang mendesak mengharuskan orang-orang asing ini untuk berpindah tempat tinggal (pasal 42 Konvensi Jenewa IV). Mereka juga dapat dipindahkan ke negara asal mereka kapan saja, dan apabila masih ada, mereka harus dipulangkan pada saat terakhir setelah berakhirnya permusuhan. Mereka dapat diserahkan melalui negara ketiga. Harus pula terdapat jaminan bahwa mereka tidak akan diajukan ke pengadilan karena keyakinan politik atau agama yang mereka anut.34 2) Orang yang tinggal di wilayah Kependudukan Dalam wilayah pendudukan, penduduk sipil sepenuhnya harus dilindungi. Penguasa Pendudukan (occupying power) tidak boleh mengubah hukum yang berlaku di wilayah tersebut. Dengan perkataan lain, hukum yang berlaku di wilayah tersebut adalah hukum dari negara yang diduduki. Oleh karena itu, perundang-undangan nasional dari negara yang diduduki masih berlaku secara de 34 Ibid Universitas Sumatera Utara jure, walaupun berkuasa atas wilayah pendudukan adalah Penguasa Pendudukan secara de facto. Sejalan dengan hal ini, maka Pemerintah Daerah Wilayah yang diduduki, termasuk pengadilannya harus diperbolehkan untuk melanjutkan aktivitas-aktivitas mereka sedia kala. Orang-orang Sipil di wialayah tersebut harus dihormati hak-hak asasinya; misalnya mereka tidak boleh dipaksa bekerja untuk Penguasa Pendudukan, tidak boleh dipaksa untuk melakukan tindakan kegiatan-kegiatan militer. Penguasa Pendudukan bertanggung jawab untuk memelihara dinas-dinas kesehatan, rumah sakit dan bangunan-bangunan lainnya. Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah Nasional harus tetap diperbolehkan untuk melanjutkan tugastugasnya. Penguasa Pendudukan juga harus memperhatikan kesejahteraan anakanak, serta menjamin kebutuhan makanan dan kesehatan penduduk; dan bila Penguasa Pendudukan tidak mampu melakukan hal tersebut maka mereka harus mengijinkan adanya bantuan yang datang dari luar negeri. Sebaliknya Penguasa Pendudukan, dapat membentuk peraturan perundangundangan sendiri, mereka juga dapat membentuk pengadilan militer yang bersifat non-politis. Namun, adanya pembentukan tersebut tidak boleh melepaskan kewajiban Penguasa Pendudukan untuk tetap melaksanakan kewajibannya sesuai dengan Konvensi Jenewa, untuk memelihara keamanan dan ketertiban dan untuk menjaga segala infrastruktur di daerah tersebut agar tetap dapat berfungsi sebagaimana sedia kala. Dalam melakukan kegiatan peradilan, Penguasa Pendudukan juga harus menghormati dan menerapkan asas-asas hukum umum (general principle of law), terutama asas hukum yang menyatakan bahwa Universitas Sumatera Utara hukuman yang dijatuhkan haruslah seimbang dengan pelanggaran yang dilakukan; pidana mati hanya boleh dijatuhkan terhadap kasusu pelanggaran berat, seperti mata-mata, sabotase terhadap peralatan militer, atau karena pelanggaran yang disengaja yang memang dapat dijatuhi hukuman mati menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3) Interniran Sipil Penduduk sipil yang dilindungi dapat diinternir. Ketentuan-ketentuan tentang peralakuan orang-orang yang diinternir diatur dalam Seksi IV, pasal 79135 Konvensi Jenewa IV. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, tindakan perampasan kebebasan dapat dilakukan apabila terdapat alasan keamanan yang rill dan mendesak. Tindakan untuk menginternir penduduk sipil pada hakekatnya bukan merupakan suatu hukuman, namun hanya merupakan tindakan pencegahan administratif. 35 Oleh karena itu, walaupun penduduk sipil ini diinternir, namun mereka tetap memiliki kedudukan dan kemampuan sipil mereka dan dapat melaksanakan hak-hak sipil mereka. Orang-orang sipil yang dapat diinternir adalah ;36 a) Penduduk sipil musuh dalam wialyah pihak yang bersengketa yang perlu diawasi dengan ketat demi kepentingan keamanan37 35 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah, Op.cit. Lihat pasal 79 Konvensi Jenewa IV yang berbunyi : “Pihak-pihak dalam pertikaian hanya boleh menginternir orang-orang yang dilindungi, sesuai dengan aturan-aturan pasal-pasal 41-48, 68-78” 37 Lihat pasal 41 ayat (1) dan pasal 42 ayat (2) jo.pasal 78 Konvensi Jenewa IV 36 Universitas Sumatera Utara b) Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa yang dengan suka rela menghendaki untuk diinternir, atau karena keadaannya menyebabkan ia diinternir38 c) Penduduk sipil musuh dalam wilayah yang diduduki, apabila Penguasa Pendudukan menghendaki meraka perlu diinternir karena alasan mendesak d) Penduduk sipil yang telah melakukan pelanggaran hukum secara khusus bertujuan untuk merugikan Penguasa Pendudukan.39 Selanjutnya, para interniran sipil ini tidak boleh di tempatkan di dalam daerah-daerah yang sangat terancam bahaya perang. Bila kepentingan militer memerlukan, tempat interniran ini harus ditandai dengan huruf “IC” (TI = Tempat Interniran; IC = Internment Camps), atau sistem penandaan lainnya yang disepakati. 40 Pengurusan para interniran harus dilakukan oleh negara Penahan, termasuk meliputi layaknya tempat interniran, makanan dan pakaian, kebersihan dan pengamatan kesehatan, serta kegiatan-kegiatan keagamaan. Setiap tempat interniran, harus ditempatkan di bawah kekuasaan seorang perwira yang bertanggung jawab yang dipilih dari anggota angkatan bersenjata tetap atau pemerintahan sipil biasa dari Negara Penahan.41 Para interniran sipil, walaupun dilindungi sepenuhnya oleh Konvensi Jenewa, tetap dapat dijatuhi sanksi pidana dan sanksi disipliner. Yang penting, penjatuhan sanksi-sanksi tersebut harus sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku di daerah yang diinternir tersebut. 38 Lihat pasal 42 ayat (2), Konvensi Jenewa IV Lihat pasal 68 ayat (1), Konvensi Jenewa IV 40 Lihat pasal 83, Konvensi Jenewa IV 41 Lihat pasal 99 ayat (1), Konvensi Jenewa IV 39 Universitas Sumatera Utara Segera setelah permusuhan berakhir, interniran sipil harus dipulangkan kembali ke negara asal mereka. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk melakukan tindakan-tindakan serupa selama berlangsungnya permusuhan antara pihak yang bersengketa. 4) Perlindungan Khusus Disamping perlindungan umum yang diberikan terhadap penduduk sipil dalam sengketa bersenjata sebagaimana diuraikan di atas, maka terdapat pula sekelompok penduduk sipil tertentu yang dapat menikmati perlindungan khusus. Mereka umumnya adalah penduduk sipil yang tergabung dalam suatu organisasi sosial yang melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial untuk membantu penduduk sipil lainnya pada waktu bersengketa senjata. Mereka adalah penduduk sipil yang menjadi anggota Perhimpunan Palang Merah Nasional dan anggota Perhimpunan Penolong Sukarela lainnya, termasuk anggota Pertahanan Sipil. Pada saat melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial (sipil), biasanya mereka dilengkapi dengan sejumlah fasilitas (transportasi, bangunan-bangunan khusus), maupun lambang-lambang khusus. Apabila sedang melaksanakan tugasnya, mereka harus dihormati (respected) dan dilindungi (proctected). „Dihormati‟ berarti mereka harus dibiarkan untuk melaksanakan tugas-tugas sosial mereka pada waktu sengketa bersenjata, sedangkan pengertian „dilindungi‟ adalah bahwa mereka tidak boleh dijadikan sasaran serangan militer. Universitas Sumatera Utara 2. Pengertiaan Objek Sipil dan Objek Militer Objek sipil adalah semua objek yang bukan objek militer, dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan sasaran serangan pihak yang bersengketa. Sebaliknya, jika suatu objek termasuk dalam kategori sasaran militer, maka objek tersebut dapat dihancurkan berdasarkan ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter. Suatu objek yang dianggap sebagai sasaran militer bukan hanya meliputi objek-objek militer saja seperti tank, barak-barak militer, pesawat mliter atau kapal perang sebagaimana terlihat pada gambar di samping, akan tetapi yang termasuk sasaran militer adalah semua objek dapat dikategorikan sebagai sasaran militer berdasarkan ketentuan Hukum Humaniter. Sering kita lihat dalam berbagai konflik yang ada, rumah-rumah penduduk sipil, hotel, atau sekolah yang merupakan fasilitas umum, menjadi sasaran serangan pada waktu sengketa bersenjata. Reaksi selanjutnya adalah banjirnya protes atas hal tersebut, terutama dari kalangan NGO, pemerhati konflik, pers dan masyarakat umum sendiri. Benarkah selalu demikian? Penentuan apakah suatu objek merupakan objek sipil ataukah sasaran militer secara yuridis menurut Hukum Humaniter, telah lama diupayakan dalam berbagai forum. Secara kasat mata, apalagi pada waktu damai, penentuan demikian memang tidak menemukan kesulitan. Artinya, kita bisa menentukan dengan santai, bahwa objek tertentu merupakan objek sipil atau sasaran militer. Rumah sakit, sekolah, pasar, mall, lapangan bermain, tempat rekreasi, museum, adalah sederet objek sipil yang dengan mudah dikenali. Adapun, kita dengan mudah pula mengenali sasaran-sasaran militer, seperti : tank, atau kendaraan-kendaraan lapis Universitas Sumatera Utara baja, pesawat udara militer, markas dan barak-barak militer sebagai suatu sasaran militer. Akan tetapi, pada waktu terjadinya peperangan, penentuan apakah suatu objek termasuk ke dalam objek sipil ataukah sasaran militer tidak semudah yang kita bayangkan. Dalam kondisi seperti itu, penentuan mengenai status suatu objek harus selalu didasarkan kepada aturan-aturan Hukum Humaniter, karena Hukum Humaniter ini akan berlaku jika terjadi sengketa bersenjata atau peperangan. Berdasarkan Pasal 52 Protokol Tambahan I tahun 1977, maka sudah ditentukan apa yang dimaksudkan dengan objek sipil dan sasaran militer. Perhatikan redaksional pasal tersebut berikut ini : Pasal 52. Perlindungan Umum Objek-objek sipil 1. Objek-objek sipil bukan merupakan sasaran serangan atau tindakan balasan. Objek-objek sipil adalah semua objek yang bukan merupakan sasaran militer sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). 2. Serangan harus hanya ditujukan pada sasaran militer. Sasaran militer adalah terbatas pada objek-objek yang karena sifatnya, lokasinya, tujuan atau kegunaannya dapat memberikan kontribusi yang efektif pada operasi militer dan apabila (objek-objek tersebut) dihancurkan baik keseluruhannya maupun sebagian, dikuasai atau dinetralisir, dalam situasi yang terjadi pada saat itu, maka hal tersebut dapat memberikan keuntungan militer yang pasti. 3. Dalam hal terdapat keragu-raguan tentang apakah suatu objek biasanya digunakan untuk tujuan-tujuan non-militer, seperti tempat ibadah, rumah Universitas Sumatera Utara atau sekolah, digunakan untuk memberikan kontribusi yang efektif pada operasi militer, maka hal demikian harus dianggap (sebagai) tidak digunakan untuk tujuan-tujuan militer. Berdasarkan ketentuan di atas, maka suatu sasaran militer, harus memiliki beberapa syarat tertentu sehingga penghancurannya dapat dibenarkan menurut prinsip kepentingan militer. Syarat tersebut adalah : a. Objek yang karena sifatnya, lokasinya, atau tujuan penggunaannya dapat memberikan kontribusi yang efektif pada operasi militer; b. Objek yang apabila dihancurkan (seluruhnya maupun sebagian), dikuasai atau dinetralisir, maka dapat memberikan keuntungan militer yang pasti. Kita juga dapat melihat pula dalam pasal-pasal yang terdapat dalam Hague Regulation, yang telah menggambarkan usaha untuk membedakan obyek-obyek mana yang boleh dan tidak boleh diserang. Pasal-pasal yang perlu diperhatikan, antara lain : Pasal 23 ayat (g) Hague Regulation, yang melarang ; menghancurkan harta benda musuh kecuali....sangat diperlukan oleh kepentingan berperang. Menurut Austin, pasal ini menyatakan adanya keinginan yang tumpang tindih untuk melindungi kombatan dan penduduk sipil sekaligus. Ini dapat dilihat sebagai suatu usaha untuk menganggap bahwa „harta benda musuh‟ adalah obyekobyek yang tidak boleh diserang. Aturan-aturan yang secara khusus memberikan perlindungan pada penduduk sipil merupakan aturan yang dirancang sekaligus berkenaan dengan suatu pemboman. Ketentuan ini tidak saja melindungi penduduk sipil, tetapi juga sekaligus melindungi benda-benda dan suatu daerah tertentu yang dianggap Universitas Sumatera Utara sebagai obyek-obyek sipil dan menghindarkannya dari sasaran serangan secara langsung. Ini ditunjukkan dalam pasal 25 Hague Regulation yang melarang ; „serangan atau pemboman, dengan cara apapun, suatu perkotaan, pedesaan, pertambangan atau bangunan-bangunan yang tidak dipertahankan‟ sedangkan Pasal 27 Hague Regulation menyatakan bahwa „semua tindakan-tindakan yang perlu dilakukan sedapat mungkin untuk memisahkan bangunan-bangunan keagamaan, seni, ilmu, monumen-monumen sejarah, rumah-rumah sakit, tempattempat dimana mereka yang luka dan sakit dirawat, asalkan semua bangunan ini tidak digunakan untuk tujuan-tujuan militer‟.Ketentuan ini juga menyebutkan secara eksplisit obyek-obyek apa saja yang tidak boleh dijadikan sasaran serangan dalam peperangan. B. Pengaturan Hukum Humaniter Internasional Mengenai Perlindungan Warga Sipil dan Obyek Sipil 1. Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap Warga Sipil Dalam konflik bersenjata internasional (international armed conflict) atau sering disebut sebagai “perang”, harus tetap ada dan mesti dipertahankan dalam melindungi penduduk sipil, maka hukum internasional telah memberikan perlindungan hukum bagi para penduduk sipil. Dalam hal ini maka akan terpikir ada dua hal hukum yang biasa diajukan, yaitu ; a. Perang tersebut memiliki cukup legitimasi (jus ad bello). b. Dalam perang tersebut tersedia cukup koridor tentang metode dan sarana yang digunakan serta perlindungan hukum terhadap warga yang tak ikut Universitas Sumatera Utara berperang (jus in bellum), sering disebut sebagai bagian dari hukum humaniter internasional (international humanitarian law). Saat terjadi perang, hak-hak sipil tetap dilindungi oleh hukum hak asasi manusia internasional mencakup wilayah yang lebih luas. Hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak budaya, hak sosial, hak atas pendidikan, hak pembangunan, lingkungan dan sebagainya yang utamanya berlaku di waktu bukan perang. Perlindungan penduduk sipil dalam Hukum Humaniter Internasional dibedakan menurut bentuk dan isinya yang tertuang dalam Hukum Internasional kebiasaan dan hukum internasional perjanjian. Adapun aturan-aturan tersebut berdiri sendiri terlepas dari satuan pengaturan lainnya. Aturan-aturan dalam halnya perlindungan penduduk sipil ini terdapat pada Instruksi Lieber tahun 1863 yang berbentuk Hukum Humaniter Internasional kebiasaan, dan yang berbentuk Hukum Humaniter Internasional perjanjian meliputi Konvensi Jenewa 1864, Konvensi Den Haag 1899/1907, Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977.42 Dimulai dari Instruksi Lieber tahun 1863, Instruksi pemerintah Amerika Serikat, yang dianggap sebagai kodifikasi hukum perang internasional dengan menggunakan kata-kata seperti “unarmed citizens”, “private citizens”, “inoffensive citizens”, “private individuals” dan “non-combatant” menetapkan beberapa ketentuan yang mengatur orang sipil. Instruksi itu membedakan orang sipil dalam tiga kelompok, yakni orang sipil yang “inoffensive”, orang sipil yang ikut serta langsung dalam permusuhan, dan orang sipil yang terkait dalam 42 Fadillah Agus, Hukum Humaniter-Suatu Perspektif, Jakarta, Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas USAKTI,1977, hlm.42. Universitas Sumatera Utara pelaksanaan tugas angkatan bersenjata. Bagi mereka instruksi tersebut menetapkan perlindungan dan larangan.43 Orang sipil yang “inofffensive” mendapatkan perlindungan pribadi, harta dan kehormatannya. Mereka tidak boleh dibunuh, dijadikan budak, dipindah paksakan atau dipaksa bekerja pada pihak yang menang. Kesuciaan hubungan keluarga juga tidak boleh dicemarkan. Orang sipil yang turut serta langsung dalam permusuhan sebagai peserta “leeve en masse” diberi kedudukan sebagai “belligerent”. Orang sipil yang terkait aktif dalam pelaksanaan tugas angkatan bersenjata bila tertangkap musuh berhak mendapatkan status tahanan perang. Disamping perlindungan itu instruksi tersebut juga menetapkan larangan bagi penduduk sipil, misalnya larangan dilakukannya perbuatan perang oleh orang sipil. Di wilayah pendudukan orang sipil dilarang melakukan perlawanan bersenjata. 44 Ketentuan hukum humaniter internasional dalam instruksi lieber 1863 yang mengatur penduduk sipil itu berlaku pada penduduk sipil beserta perlindungan yang ditetapkannya sebagai ketentuan hukum humaniter internasional kebiasaan.45 Selanjutnya pengaturan perlindungan penduduk sipil dalam bentuk perjanjian internasional ialah Konvensi Jenewa tahun 1864. Merupakan perjanjian internasional hukum humaniter internasional pertama yang menetapkan perlindungan bagi korban perang. Konvensi yang dimaksudkan untuk melindungi korban perang ini menetapkan perlindungan bagi mereka yang luka di medan perang, personil dan kesatuan medik beserta peralatannya. Ketentuan ini juga 43 Ibid, hlm.43. F. Sugeng Istanto, Op.cit, hal.21. 45 Fadillah Agus, Loc.cit 44 Universitas Sumatera Utara mengatur tingkah laku orang sipil dalam konflik bersenjata dan perlindungan terhadapnya. Di rasa perlu untuk memperbaharui aturan sebelumnya, maka pada tahun 1899 dan 1907 diadakan Konvensi Den Haag untuk mendapatkan aturan tentang hukum dan kebiasaan perang darat “Regulations respecting the laws and Custom of war on Land” atau disebut juga Pengaturan Den Haag “Hague Regulation”. Pengaturan Den Haag ini lebih banyak mengatur “belligerents”, baik kualifikasi maupun hak dan kewajibannya. “Belligerents” adalah mereka yang tunduk pada hukum perang. Dalam istilah sekarang mereka dikategorikan sebagai kombatan. Pengaturan Den Haag tidak menetapkan batasan pengertian orang sipil. Namun dalam pengaturan Den Haag tidak terdapat ketentuan-ketentuan orang-orang yang tidak tergolong “Belligerents” yakni orang-orang yang tidak ikut permusuhan “hostilities” atau dengan kata lain disebut sebagai penduduk sipil. Pengaturan Den Haag ini melindungi penduduk sipil yang berada di wilayah pendudukan. Bentuk perlindungan tersebut ialah perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari musuh yang menguasainnya. Bentuk perlindungan tersebut antara lain46 : a. Larangan pemaksaan penduduk sipil mmberikan informasi tentang angkatan bersenjata pihak lawan bertikai atau tentang perlengkapan pertahanan; b. Larangan meminta sumpah kepada penduduk sipil untuk setia kepada penguasa pendudukan; c. Penghormatan hak-hak pribadi penduduk sipil d. Larangan menjarah penduduk sipil 46 Ibid, hlm.44-45. Universitas Sumatera Utara e. Larangan pemungutan pajak dan pungutan lain secara sewenang-wenang; f. Larangan penghukuman kolektif pada orang sipil; g. Larangan pencabutan hak milik penduduk sipil secara sewenang-wenang. Pada perkembangannya dalam pengaturan perlindungan penduduk sipil, pada tahun 1949 diadakan Konvensi Jenewa tentang perlindungan korban perang. Memiliki empat bagian dari Konvensi Jenewa (Geneva Convention) tahun 1949 yang terdiri atas : 1) Perlindungan terhadap korban luka dan yang menderita sakit dalam konflik bersenjata 2) Perlindungan terhadap korban luka, korban yang menderita sakit dan korban kapal karam akibat konflik bersenjata di laut 3) Perlakuan terhadap tawanan perang 4) Perlindungan terhadap penduduk sipil dalam waktu berperang Perlindungan penduduk sipil ketika dalam keadaan perang yang diatur secara khusus dalam Pasal 4 Konvensi Jenewa IV 1949 menyebutkan bahwa ; “Persons protected by the Convention are those who, at a given moment and in anymanner whatsoever, find themselves, in case of a conflict or occupation, in the handsof a Party to the conflict or Occupying Power of which they are not nationals. Nationals of a States which is not bound by the Convention are not protected by it. Nationals of a neutral State who find themselves in the territory of a belligerent State, and Nationals of a co-belligerent State, shall not be regarded as protected persons while the State of which they are Universitas Sumatera Utara nationals has normal diplomatic representationin the State in whose hands they are”. Secara umum, Konvensi Jenewa IV tersebut berlaku kepada „penduduk sipil musuh‟ apabila dilihat dari sudut pandang pihak yang menguasai mereka atau dalam hal ini berarti penduduk sipil negara bersengketa yang jatuh dalam kekuasaan musuh karena mereka yang dianggap paling membutuhkan perlindungan dari pendudukan „belligerent‟ tersebut. Hal ini berarti bahwa selain di wilayahnya sendiri, suatu negara dalam perang juga berkuasa diwilayah musuh yang diduduki oleh angaktan perangnya. Dapat juga orang-orang yang dilindungi atu „Protected persons‟ dalam Konvensi Jenewa IV dirumuskan sebagai berikut ; a. Warga negara sipil musuh di wilayah negara pihak yang bersengketa b. Penduduk sipil di wilayah musuh yang diduduki, terkecuali ; a) Warga negara dari pendudukan sendiri b) Warga negara dari pendudukan sekutu c) Warga negara dari sekutu d) Warga negara dari negara netral yang mempunyai hubungan diplomatik dengan pendudukan, dan e) Warga negara dari negara bukan peserta konvensi Pembatasan penting terhadap hak-hak perlindungan yang diberikan konvensi ini kepada orang-orang yang dilindungi ini diatur dalam paragraf terakhir dalam Pasal 14 dari Konvensi Jenewa IV yaitu status „protected persons‟ yang terdapat dalam Konvensi Jenewa I-III 1977 tidak termasuk dalam orang- Universitas Sumatera Utara orang yang dilindungi menurut Konvensi Jenewa IV ini karena Konvensi Jenewa IV ini hanya melindungi penduduk sipil saja. Selanjutnya, dalam pasal 5, pasal ini mengatakan bahwa penduduk sipil di wilayah pihak dalam sengketa atau wilayah yang diduduki, yang melakukan atau dicurigai keras melakukan atau terlibat peperangan sebagai mata-mata bagi pihak musuh, akan kehilangan status dari perlindungan terseut. Dikarenakan adanya perkembangan pemahaman tentang pertikaian bersenjata, kebutuhan perlindungan yang lebih luas lagi bagi mereka yang luka, sakit dan korban karam serta perkembangan cara dan sarana perang beberapa waktu yang lalu lahirlah Protokol Tambahan tahun 1977. Protokol tambahan ini merupakan tambahan pada Konvensi Jenewa 1949, namun melihat dari isi aturan yang terkandung di dalamnya Protokol Tambahan 1977 in juga merupakan tambahan dari Kovensi Den Haag 1907 karena memuat aturan dan tata cara serta sarana pertikaian senjata. Keberadaan dari Protokol Tambahan adalah sebagai bentuk penyempurnaan Konvensi Jenewa 1949. Bukan sebagai pengganti dari Konvensi Jenewa 1949. Protokol ini sendiri terdiri dari dua bagian, yakni Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II. Protokol Tambahan I memuat aturan tentang perlindungan korban konflik bersenjata yang bersifat internasional, sedangkan Protokol Tambahan II memuat aturan perlindungan korban konflik bersenjata yang bersifat non-internasional. Universitas Sumatera Utara Ketentuan pokok yang terdapat dalam Protokol Tambahan I 1977 antara lain 47 ; Melarang serangan yang membabi buta dan reprisal terhadap; Penduduk sipil dan orang-orang sipil; Obyek-obyek yang sangat penting bagi kelangsungan hidup penduduk sipil; Benda-benda budaya dan juga tempat-tempat religius; Bangunan dan instalansi berbahaya; Lingkungan alam. Tidak Hanya pada Protokol Tambahan I, Protokol Tambahan II juga memiliki beberapa hal yang diatur khusus di dalamnya. Ketentuan-ketentuan dalam Protokol Tambahan II antara lain menentukan hal-hal sebagai berikut :48 Mengatur jaminan-jaminan yang sifatnya fundamental bagi semua orang, apakah mereka yang terlibat atau tidak dalam suatu pertempuran. Menentukan hal-hal bagi orang-orang yang kebebasannya dibatasi dalam menerima peradilan yang adil. Memberikan perlindungan penduduk sipil dan obyek-obyek perlindungan melarang dilakukannya tindakan intervensi secara sengaja. Mengenai ruang lingkupnya, Pasal 1 ayat (2) Protokol Tambahan II yang tidak lain sebagai perlengkapan Konvensi Jenewa 1949, menetapkan bahwa Protokol Tambahan II ini berlaku kepada semua konflik bersenjata yang tidak dirumuskan dalam Pasal 1 Protokol Tambahan I 1977 tentang perlindungan korban konflik bersenjata yang berlangsung di wilayah negara-negara peserta konvensi. Dalam Protokol Tambahan II ini, ditegaskan bahwa negara yang sedang dilanda konflik bersenjata dalam negeri memiliki kedaulatan yang penuh untuk melakukan tindakan penyelamatan dalam bentuk apapun. Oleh sebab itu, dapat 47 48 Iskandarsyah, Pengantar Hukum Humaniter,op.cit Ibid, hal.45. Universitas Sumatera Utara disimpulkan bahwa tidak ada satu pun ketentuan dari Protokol ini yang boleh digunakan sebagai suatu pembenaran bagi campur tangan (intervensi) pihak luar di dalam konflik bersenjata atau di dalam urusan dalam negeri atau luar negeri suatu negara. Protokol Tambahan II tahun 1977, Pasal 3 ayat (2). Protokol I dan II tahun 1977 juga menjabarkan dalam hal menetapkan perlindungan bagi orang sipil antara lain :49 Protokol Tambahan I tahun 1977 menetapkan a.l : a. Larangan menyerang orang sipil; b. Keharusan dilakukannya penhati-hatian dalam melakukan perbuatan perang demi untuk melindungi orang sipil; c. Larangan dilakukannya kekerasan kepada orang sipil; d. Larangan pemindahan paksa orang sipil; e. Jaminan mendapatkan bantuan; f. Kesempatan memberi bantuan korban konflik bersenjata. Prtokol Tambahan II tahun 1977 menetapkan a.l : a. Perlindungan terhadap operasi militer; b. Larangan dijadikannya orang sipil sebagai sasaran konflik bersenjata; c. Larangan menjadikan kelaparan orang sipil sebagai sarana pertikaian; d. Larangan menyerang bangunan dan instalansi yang mengandung kekuatan berbahaya; e. Larangan pemindahan paksa orang sipil; 49 Fadillah Agus, Op.cit., hlm.49. Universitas Sumatera Utara f. Perlindungan kumpulan dan orang sipil penolong korban pertikaian bersenjata. Perikemanusiaan sebagai suatu asas pokok hukum perang, dalam bentuknya yang modern, untuk pertama kalinya dirumuskan oleh Rousseau menyatakan teori pembatasan tentang siapa yang merupakan musuh dalam perang. Rousseau membedakan penduduk sipil dan Kombatan berdasarkan Perikemanusiaan. Perlindungan penduduk sipil dalam perang ditetapkan berdasarkan tuntutan peradaban yang menghendaki dilaksanakannya prinsip pembedaan antara warga negara dan negaranya. Pembedaan itu dimaksudkan untuk melindungi penduduk sipil di masa perang. Perlindungan itu dibedakan dalam tiga macam perlindungan bagi penduduk sipil yang berbeda yakni penduduk sipil yang inoffensive, penduduk sipil yang ikut serta langsung dalam permusuhan dengan mengangkat senjata dan penduduk sipil yang terkait dalam pelaksanaan tugas angkatan bersenjata. Penduduk sipil yang inoffensive mendapatkan perlindungan pribadi, harta dan kehormatannya. Mereka ini tidak boleh dibunuh, dijadikan budak, dipindah paksakan atau dipaksa bekerja pada pihak yang menang. Kesucian hubungan keluarga juga tidak boleh dicemarkan. Penduduk sipil yang ikut serta langsung dalam permusuhan sebagai peserta levee en masse ditetapkan sebagai public enemy, meskipun mereka tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan bagi belligerent. Dengan ditetapkannya peserta leeve en masse sebagai public enemy itu maka bila tertangkap musuh mereka berhak mendapatkan status tawanan perang. Universitas Sumatera Utara Penduduk sipil diwilayah yang diduduki musuh, misalnya yang melakukan perlawanan bersenjata, dinyatakan sebagai pelanggaran hukum perang. Demikian pula orang-orang yang melakukan perbuatan permusuhan tanpa menjadi anggota angkatan bersenjata tidak ditetapkan sebagai public enemy, yang karenanya bila tertangkap musuh maka mereka tidak berhak atas perlindungan sebagai tawanan perang. Mereka ini diperlakukan sebagai perampok atau pembajak. Perlindungan Penduduk Sipil dalam Pelanggaran Humaniter serius diatur dalam Konvensi Geneva (IV) TAHUN 1949, Grave Breaches dipakai untuk membedakan antara kejahatan perang yang terjadi dalam konflik bersenjata internasional dalam hubungannya dengan istilah “orang-orang yang dilindungi” (the protected persons) dengan kejahatan yang dilakukan dalam konflik internal atau domestik (Psl 4 Jo.Psl 147 Konvensi Geneva IV). Sementara yang dimaksud sebagai “the protected persons” adalah; mereka yang dalam waktu tertentu dan dengan cara apapun, mendapatkan dirinya, dalam sebuah konflik atau pendudukan berada pada kekuasaan salah satu pihak dalam konflik, di mana nasionalitas mereka tidak sama dengan pihak yang menguasainya. Penggunaan terminologi “the protected person” di atas, memang mengarah pada proposisi bahwa tawanan perang ataupun orang-orang sipil dalam konflik internal, tidak mendapat perlindungan oleh Konvensi Geneva. Maksudnya meskipun pasal 3 serta Protokol Tambahan No.2 Konvensi Geneva dengan jelas melindungi kaum sipil serta tawanan perang dalam konflik internal tekstual legalnya mereka memang tak masuk dalam apa yang disebutkan sebagai “the Universitas Sumatera Utara protected persons”. Dalam perkembangannya hal tersebut di atas ternyata tidak bersifat absolut. Beberapa praktik hukum pidana internasional nyatanya memasukan para korban sipil dalam konflik internal sebagai “the protected persons”. Pengadilan Kejahatan Internasional untuk bekas Yugoslavia (The International Tribunal of Former Yugoslavia), dalam beberapa keputusannya memutuskan bahwa muslim Bosnia termasuk “orang-orang yang dilindungi” dari Kejahatan Serbia Bosnia dan begitu pula sebaliknya (Karine Lescure, 1996). Hal ini mengindikasikan bahwa yang terpenting dalam pengkasiflikasian “orang-orang yanng dilindungi” bukanlah legal nationality dari seseorang, tetapi juga kenyataan bahwa ada kondisi yang secara de facto memperlihatkan tidak adanya perlindungan diplomatik atau hukum terhadap korban-korban tersebut. “Kelemahan” Konvensi Geneva, tampaknya menjadi perhatian khusus para pelaku hukum internasional. Usaha perluasan penafsiran atas konflik internal terus meningkat. 50 Dalam Hal ini Hukum Humaniter Internasional juga mempunyai suatu prinsip yang dapat membedakan Warga Sipil dalam Konflik bersenjata, dimana Prinsip ini dikenal dengan Prinsip Pembedaan. Prinsip Pembedaan ini membedakan antara Warga Sipil dengan Kombatan, pembedaan ini perlu diketahui untuk mengetahui siapa yang dapat/boleh dijadikan objek sasaran dan siapa yang harus dilindungi. Dengan kata lain, adanya prinsip pembedaan ini dapat diketahui siapa yang turut ikut dalam permusuhan, sehingga dijadikan objek 50 Konflik Internal Yugoslavia serta Genosida di Rwanda barangkali dapat disebutkan sebagai titik utama kriminalisasi atas kejahatan perang dalam konflik internal. Ketetntuan yang dikeluarkan oleh peradilan Rwanda, misalnya dengan jelas menegaskan mengenai otoritas yurisdiksinya terhadap pelanggaran atas pasal 3 Konvensi Geneva, serta protokol tambahannya (Protokol Tambahan No.2) Universitas Sumatera Utara sasaran dan siapa yang tidak ikut serta dalam permusuhan untuk mendapatkan perlindungan. Prinsip Pembedaan ini berguna untuk menghormati dan melindungi Warga sipil dari sasaran perang serta untuk tidak menyerang objek-objek sipil, seperti rumah sakit, sekolah, rumah ibadah dan lainya. Tujuan prinsip pembedaan ini adalah untuk melindungi Warga sipil. Oleh karena itu, berkenaan dengan tindakan peperangan tidak hanya berakibat terhadap anggota angkatan bersenjata, tetapi juga berakibat terhadap warga sipil. Apalagi warga sipil sebagai pihak yang lemah dan menderita, sangat mudah dijadikan sasaran kekerasan dengan berbagai tuduhan dibuat-buat. Hukum Humaniter juga telah mengatur perlindungan terhadap penduduk sipil dalam Pasal 27 Konvensi Jenewa IV 1949, yang pengaturannya lebih sempurna daripada Konvensi Den Haag. Namun dalam praktiknya, ketentuan tersebut tidak diterapkan secara sungguh-sungguh. Menurut M.Gaussyah, 51 bahwa untuk mewujudkan cita-cita melindungi segenap bangsa dan seluruh warga negara, maka harus diadakan lembaga/alat yang bertugas melindungi penduduk, yaitu alat negara atau lembaga Kepolisian sebagai penegak Hukum yang bertanggung jawab penuh bagi keamanan. Perkembangan teknik persenjataan modern dewasa ini mengakibatkan bertambah susahnya usaha untuk mencegah Warga Sipil turut menjadi sasaran perang. Kenyataan bahwa perang modern merupakan perang yang total, mengakibatkan perlindungan yang diberikan oleh hukum perang internasional 51 M.Gaussyah, Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai alat negara dalam kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban Dalam Masyarakat, Jurnal Hukum Kanun Vol.XIII No.35 April 2003, hlm.63 Universitas Sumatera Utara secara negatif, dengan menempatkan di luar perang jelas tidak memadai lagi dewasa ini.52 Warga sipil membutuhkan perlindungan yang lebih positif/baik dan netralisasi dari perbuatan yang dilatarbelakangi oleh faktor politik, ekonomi, kekuasaan dan lainnya, yang hanya menimbulkan penderitaan bagi Warga sipil yang tidak ikut dalam konflik bersenjata tersebut. Oleh karena itu, Warga sipil dibedakan secara tegas dengan pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam konflik bersenjata tersebut. Disamping itu Warga sipil harus bersikap netral atau tidak boleh ikut serta dalam konflik bersenjata. Ketentuan Pasal 4 Konvensi Jenewa IV 1949 menetukan, orang-orang yang dilindungi dalam Konvensi ini adalah mereka yang dalam suatu peristiwa pendudukan, pada suatu saat tertentu dengan cara bagaimanapun juga ada dalam tangan satu pihak dalam sengketa atau kekuasaan pendudukan yang bukan negara mereka. Orang sipil dapat jatuh dibawah kekuasaan negara pendudukan dan untuk itu diperlakukan perlindungan. Pemerintah atau negara wajib melakukan penegakan hukum secara maksimal guna melindungi orang-orang yang menjadi korban dari pelanggaran hukum humaniter. Dasar Hukum bagi tindakan kejahatan dapat mendasarkan pada Konvensi Den Haag IV tahun 1907 yang menyatakan bahwa penduduk sipil dan pihak-pihak yang berperang akan tetap tunduk pada perlindungan dan prinsipprinsip pokok umum hukum internasional sebagai yang ditetapkan dalam kebiasaan bangsa-bangsa yang beradab. 52 Mochtar Kusumaatmadja, op.cit, hlm.103 Universitas Sumatera Utara Prinsip-prinsip Hukum tersebut, seperti prinsip pembedaan, prinsip kemanusiaan dan prinsip kesatria pada dasarnya telah menjadai landasan bagi setiap negara dalam pengaturan hukum lebih lanjut dan bagi tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh aparat negara atau kombatan yang terlibat dalam konflik bersenjata. Dalam kenyataan, prinsip dan aturan yang telah ditetapkan tersebut kurang dilaksanakan dengan sebenarnya oleh para pihak yang bersengketa dalam konflik bersenjata tersebut, sehingga terjadi tindakan kekerasan terhadap orang-orang yang seharusnya dilindungi. Sebenarnya, semua konflik bersenjata yang terjadai pada umumnya, mengharuskan pemerintah negara yang bersagkutan mengambil kebijakan lebih tegas untuk melindungi dan menyelesaikan masalah tersebut secara tuntas dengan cara yang damai. Kenyataan nya menunjukan bahwa banyak orang-orang menjadi koraban hanya karena keegoisan dari para pihak bersengketa, dan hal ini dapat dilihat dalam kasus Perang Suriah yang sudah berlangsung kurang lebih 6 tahun. Jelasnya perlindungan terhadap warga sipil sangat lemah sekali, baik karena penyeangan yang tidak tepat sasaran ataupun pemboman maupun akibat kekerasan dari pihak yang bertikai yang kurang peduli bagi keselamatan Warga sipil. Ketentuan Pasal 3 common article sebagai ketentuaan minimal, telah meletakkan kewajiban untuk melindungi kombatan yang tidak lagi bertempur. Dengan demikian dapat dipahami bahwa terhadap orang yang terlibat dalam konflik bersenjata itu sendiri dilindungi oleh hukum humaniter internasional, apalagi dengan warga sipil atau terhadap orang yang sama sekali tidak terlibat Universitas Sumatera Utara dalam konflik bersenjata tersebut harus mendapatkan perlindungan yang sangat optimal dan maksimal, akan tetapi dalam kenyataannya yang paling banyak menjadi korban dalam konflik bersenjata tersebut adalah orang-orang yang tidak ikut dalam konflik bersenjata tersebut. Sudah semestinya pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian atau konflik bersenjata memperhatikan hak-hak penduduk sipil yang patut dilindungi dan dihormati dengan menatti dan tidak melakukan tindakan pelanggran dengan menyerang penduduk sipil yang sebenarnya bukan merupakan sasaran atau obyek penyerangan dalam suatu pertikaian atau konflik bersenjata, sehingga tidak menimbulkan korban yang tidak semestinya (collateral damage) bahkan pihak yang bertikai dalam suatu konflik bersenjata juga tidak diperbolehkan menjadikan penduduk sipil sebagai alat pertikaian atau konflik bersenjata, menyebarkan teror dan kelaparan demi mendapatkan keuntungan terhadap jalannya pertikaian atau konflik bersenjata tersebut. 2. Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap Obyek-obyek Sipil Dimana kenyataan dalam sebuah konflik bersenjata warga sipil yang menjadi korban tidak hanya menderita karena terkena serangan langsung dari sasaran konflik bersenjata, namun ada hal lain yang menyebabkan penderitaan warga sipil menjadi sangat menderita akibat objek (fasilitas) sipil yang tidak dapat digunakan sebagaimana fungsi dari kegunaanya. Objek (fasilitas) yang sangat rawan terkena serangan dari konflik bersenjata seperti; Sekolah, Rumah Sakit, Universitas Sumatera Utara Tempat Ibadah, Bangunan budaya (besejarah), sumber makanan dan air, instalasi yang mengandung tenaga listrik dan air, dan lain-lainya. Oleh sebab itu Protokol Tambahan 1977, mengatur perlindungan objek sipil dari sasaran-sasaran akibat dari adanya konflik bersenjata, teaptnya pengaturan ini terdapat pada Pasal 57 dimana ditentukan sebagai dasar bahwa dalam melakukan operasi militer harus selalu diusahakan untuk menyayangi/melindungi (spare) penduduk sipil, orang sipil dan obyek sipil. Ketentuan selanjutnya ditujukan kepada mereka yang merencanakan atau menentukan suatu serangan. Mereka diwajibkan mengambil tindakan pengamanan, diantaranya : 1) Meneliti benar-benar bahwa objek serangan bukan orang sipil atau objek sipil dan bahwa objek tersebut tidak secara khusus mendapat perlindungan. Objek yang akan diserang haruslah objek militer seperti yang ditentukan dalam Pasal 52 ayat 2, dan objek-objek tersebut tidak dinyatakan sebagai objek terlarang oleh protokol ini; 2) Mengambil tindakan yang perlu dalam memilih alat (means) dan cara (methods) menyerang, dengan maksud untuk mencegah, atau sekurangkurangnya memperkecil adanya korban tak disengaja/kebetulan (incidental) di kalangan penduduk sipil atau kerusakan pada objek sipil; 3) Menangguhkan penentuan serangan yang dapat diperkirakan/diharapkan akan menimbulkan korban di kalangan penduduk sipil dan kerusakan pada objek sipil yang lebih besar, dibandingkan dengan keuntungan militer yang diperoleh dari serangan itu. Universitas Sumatera Utara Apabila ternyata bahwa : objek serangan bukan objek militer, atau objek dilindungi secara khusus, atau serangan menimbulkan kerugian yang melebihi manfaat militer, serangan harus dibatalkan (cancelled). Apabila suatu serangan memengaruhi penduduk sipil, harus diberikan peringatan sebelumnya kecuali apabila keadaan tidak mengizinkan. Di sini tidak ditentukan siapa yang harus menilai apakah keadaan mengizinkan atau tidak. Dapat diperkirakan bahwa hanya komandolah yang dapat membuat penilaian itu. Selanjutnya ditentukan bahwa apabila dimungkinkan membuat pilihan di antara beberapa objek militer yang memberikan keuntungan militer yang sama, harus dipilih objek yang dapat menimbulkan kerugian kepada penduduk sipil dan objek sipil. Juga di sini komandan atau perencana serangan yang dapat membuat keputusan ketentuan semacam ini juga berlaku di laut dan di udara. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 57 ini benar-benar mengharuskan para komandan serangan untuk memilih cara menyerang yang sesuai dengan ketentuan tersebut. Dapat dipahami bahwa dengan adanya ketentuan-ketentuan itu cara menyerang menjadi sangat dibatasi. Mungkin sekali harus dipilih cara menyerang, yang dilihat dari segi militer kurang menguntungkan tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Humaniter Internasional. Selain tindakan pengamanan seperti yang baru saja diuraikan, masih ada tindakan-tindakan lain yang harus diperhatikan untuk mencegah atau mengurangi efek-efek serangan terhadap penduduk sipil dan objek sipil. Pihak bersengketa harus : Universitas Sumatera Utara 1) Berusaha memindahkan penduduk sipil, objek sipil yang berada di bawah pengawasan mereka, dari sekitar objek militer. Dalam hal ini harus diperhatikan Pasal 49 dari Konvensi IV tentang deportasi. 2) Mencegah ditempatkannya objek militer di dalam kota atau wilayah yang padat penduduknya. 3) Mengambil tindakan pengamanan lain untuk melindungi penduduk sipil dan objek sipil yang berada di bawah pengawasannya terhadap bahaya yang berasal dari operasi militer. Masih ada ketentuan lain mengenai serangan yang perlu mendapat perhatian para komandan, yaitu dilarangnya serangan membabi-buta (indiscriminate attack). Pengertian serangan membabi-buta yaitu : 1) Serangan yang tidak ditujukan kepada objek militer tertentu; 2) Serangan dengan menggunakan cara atau alat bertempur yang tidak dapat ditujukan kepada objek militer tertentu; 3) Serangan dengan menggunakan cara atau alat bertempur yang efeknya tidak dapat dibatasi, seperti yang ditentukan dalam protokol ini. Denagn demikian, dapat dikatakan serangan membabi-buta mempunyai sifat tidak dapat membedakan antara objek militer dengan objek sipil. Sebagai contoh dari apa yang dimaksudkan dengan serangan yang membabi-buta dapat dikemukakan : 1) Serangan yang dilakukan dengan pemboman, dengan cara atau alat apapun, yang memperlakukan sebagai satu objek militer sejumlah objek militer yang Universitas Sumatera Utara berlainan dan terpisah, yang terletak di dalam suatu kota, dusun atau wilayah, dimana terdapat pula konsentrasi penduduk sipil dan objek sipil; 2) Serangan yang dapat diharapkan akan menimbulkan korban jiwa pada penduduk sipil, luka-luka pada orang sipil, kerusakan pada objek sipil yang berlebihan, dibandingkan dengan hasil yang diharapkan. Protokol I, berbeda dengan Konvensi-konvensi sebelumnya. Objek-objek yang mungkin dapat dijadikan sasaran serangan, dibagi dalam dua golongan besar dengan batasan tertentu, yaitu objek militer dan objek sipil. Pembagian semacam ini perlu diadakan karena objek yang dapat diserang hanyalah objek militer saja. Adapun batasan dari objek sipil terdapat pada Pasal 52 ayat 1. Secara negatif dinyatakan bahwa objek sipil (civilian object) adalah semua objek yang bukan objek militer seperti dicantumkan dalam Pasal 52 ayat 2. Di dalam ayat 1 ditegaskan bahwa objek sipil tidak boleh dijadikan objek suatu serangan atau reprisal. Mengenai objek militer, ayat 2 tidak memberikan batasan yang jelas. Dinyatakan bahwa objek militer adalah terbatas pada objek-objek yang karena: sifat, lokasi, tujuan atau penggunaannya meberikan saham (contribution) yang efektif untuk suatu aksi militer. Selanjutnya penghancuran atau perebutan atau netralisasi untuk sebagian atau seluruhnya dari objek itu, akan memberikan keuntungan militer nyata (difinite) pada saat itu. Mengingat bahwa batasan tersebut cukup luas sehingga dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda, ayat 3 memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan apabila timbul keragu-raguan, yaitu apakah suatu objek itu merupakan objek militer atau bukan. Dalam hal demikian, objek tersebut harus dianggap Universitas Sumatera Utara sebagai objek sipil. Sebagai contoh disebut bahwa apabila diragukan apakah suatu tempat ibadah atau sebuah sekolah dipakai untuk kepentingan militer, objek tersebut harus dianggap bukan objek militer. Selain ada pembedaan antara objek sipil dan militer, ada juga ketentuan yang secara tegas melarang, atau dengan kata lain, objek-objek tersebut mendapat perlindungan. Objek-objek yang dilindungi ini dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sebgai berikut : 1) Objek yang dilindungi secara umum Objek yang termasuk golongan ini adalah sebagai berikut : a. Objek kebudayaan-tempat ibadah Dalam Pasal 53 dikatakan bahwa dilarang untuk melakukan tindakan permusuhan (act of hostilities) terhadap monumen bersejarah, benda-benda budaya atau tempat-tempat ibadah, yang merupakan peninggalan budaya suatu bangsa. Dilarang pula menggunakan objek-objek tersebut untuk keperluan militer. b. Objek yang mutlak perlu untuk kelangsungan hidup penduduk sipil. Mengenai hal ini, Pasal 54 mengatakan bahwa dilarang untuk membiarkan penduduk mati kelaparan (starvation) sebagai suatu cara berperang. Dilarang pula untuk menyerang, menghancurkan atau merusak objek yang mutlak diperlukan untuk kelangsungan hidup penduduk sipil, seperti bahan makanan, ternak, daerah pertanian dan sumber serta instalasi air minum, dengan motif apapun. Di antara motif yang disebut ialah untuk membiarkan penduduk sipil mati kelaparan agar penduduk pindah dan seterusnya. Dalam pasal itu seterusnya dinyatakan bahwa larangan tersebut di atas tidak Universitas Sumatera Utara berlaku apabila objek tersebut dipakai untuk kepentingan militer. Dalam ayat 5 dinyatakan bahwa apabila oleh salah satu pihak dianggap sangat perlu, dilihat dari segi kepentingan militer, pihak tersebut dapat melakukan hal-hal yang dinyatakan terlarang itu. c. Perlindungan terhadap „Natural Environment‟ Dalam suatu perang atau pertikaian bersenjata diusahakan jangan sampai „natural environment‟ mengalami kerusakan yang hebat secara luas (wide spread), untuk waktu yang lama. Perlindungan ini mencakup larangan penggunaan cara atau metode perang yang bertujuan untuk merusak „natural environment‟ sehingga membahayakan kelangsungan hidup penduduk. Serangan terhadap „natural encironment‟ sebagai reprisal juga dilarang. d. Perlindungan terhadap instalansi yang mengandung tenaga berbahaya (dangerous forces) Pasal 56 yang mengatur hal ini terdiri dari tujuh ayat. Pertama, yang dimaksudkan dengan bangunan instalansi yang mengandung tenaga berbahaya adalah bendungan (dams), tanggul (dikes) dan Pusat Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Bangunan-bangunan seperti itu tidak boleh menjadi objek serangan sekalipun objek itu merupakan objek militer apabila serangan semacam itu akan melepasakan tenaga membahayakan penduduk. Objek-objek militer lain yang terletak pada atau dekat dengan bangunan/instalansi tersebut juga tidak boleh diserang apabila serangan tersebut dapat melepaskan tenaga yang membahayakan penduduk. Universitas Sumatera Utara Ayat 2 memberikan pengecualian terhadap ketentuan di atas. Perlindungan tersebut hapus apabila: a) Suatu bendungan atau tanggul tidak dipakai untuk fungsi normalnya, tetapi digunakan untuk secara langsung membantu suatu operasi militer dan serangan tersebut merupakan satu-satunya untuk mengakhiri bantuan tersebut; b) Suatu PLTN memberikan tenaga listrik untuk membantu secara langsung sautu operasi militer; c) Objek militer pada kota dekat bangunan/instalansi tersebut dipakai untuk secara langsung membantu operasi militer. Ayat 7 menentukan bahwa bangunan/instalansi semacam itu harus diberi tanda yang sudah ditentukan, yaitu tiga lingkaran Orange. 2) Objek yang dilindungi secara khusus. Bab V, Seksi I dari Bagian IV mengatur soal daerah (localities) dan zona (zones) yang berbeda di bawah lindungan khusus. Pengertian daerah di sini adalah daerah yang tidak dipertahankan (nondefended localities), dan zona yang didemiliterisasi (demiliterized zones). a. Daerah yang tidak dipertahankan. Di dalam Pasal 59 dengan tegas ditentukan bahwa pihak bertikai dilarang menyerang daerah yang tidak dipertahankan dengan cara apapun. Pihak bertikai dapat menyatakan sebagai daerah yang tidak dipertahankan setiap tempat yang didiami, dekat atau dalam mana angkatan bersenjata yang bermusuhan sedang dalam kontak, sedangkan daerah/tempat itu dapat diduduki lawan. Daerah yang Universitas Sumatera Utara dapat dinyatakan sebagai daerah yang tidak dipertahankan harus memenuhi syarat: a) Semua kombatan, semua senjata dan alat militer yang mobil harus di evakuasi; b) Instalansi tetap militer yang berada di situ tidak boleh dipakai untuk kepentingan yang bersifat permusuhan; c) Tidak dilakukan kegiatan untuk membantu operasi militer. b. Zona yang didemiliterisasi Pasal 60 mengatur zona yang didemiliterisasi. Pihak-pihak yang bertikai dilarang memperluas operasi militer ke daerah yang telah disepakati bersama sebagai zona yang diidemiliterisasi. Persetujuan untuk membentuk zona yang demikian harus memenuhi syarat-syarat antara lain : a) Harus dinyatakan secara tegas (express agreement); b) Dapat dilakukan secara tertulis atau dengan lisan; c) Dapat diadakan secara langsung (antara pihak yang bertikai) atau melalui negara pelindung; d) Harus ditentukan batas-batas zona seteliti mungkin dan apabila perlu dicantumkan cara pengawasan; e) Persetujuan tersebut dapat diadakan dalam masa damai, atau setelah permusuhan pecah. Dengan adanya pengaturan terhadap objek sipil yang telah diatur dalam Protokol Tambahan I 1997 ini masih belum semua terikat dan benar-benar tunduk pada peraturan ini, karena nyata/fakata di lapangan yang terjadi di dalam konflik Universitas Sumatera Utara bersenjata masih banyak objek sipil yang terkena serangan dari sasaran militer yang sehingga membuat penderitaan warga sipil semakin memburuk dalam situasi konflik bersenjata.53 C. Masalah-Masalah yang timbul terhadap Warga Sipil dan Obyek Sipil akibat Perang Suriah Perang adalah pelaksanaan atau bentuk konflik dengan intensitas kekerasan yang tinggi. Von Clausewitz, seorang militer dan filsuf Jerman mengatakan antara lain bahwa perang adalah kelanjutan politik dengan cara-cara lain. Dengan prinsip tersebut ia melihat bahwa hakekat kehidupan bangsa adalah suatu perjuangan sepanjang masa dan dalam hal ini ia identikkan politik dengan perjuangan tersebut. Dahulu rakyat tidak mengetahui adanya perang, karena peperangan dilakukan oleh dua negara dengan masing-masing menggunakan prajuritnya bahkan prajurit sewaan. Saat ini, bersamaan dengan tumbuhnya demokrasi dalam pemerintahan dan dukungan teknologi yang cepat, maka berubahlah perang dan konflik antar negara menjadi sangat luas dan kompleks. Dalam alam demokrasi, perang dan konflik telah melibatkan secara politis seluruh rakyat negara yang bersangkutan. Dengan alat-alat komunikasi mutakhir setiap manusia dimanapun berada akan dapat dijangkau oleh radio, bahkan televisi, sarana komunikasi dan informasi lainnya sebagai alat konflik yang akan mempengaruhi pikirannya. 53 Prof.KGPH.Haryomataram, S.H, Pengantar Hukum Humaniter, Op.cit, hlm.177-193. Universitas Sumatera Utara Negara yang memulai perang, melakukannya dengan melancarkan serangan berkekuatan militer terhadap Negara yang hendak ditundukkannya. Serangan dengan kekuatan militer dapat berupa satu ofensif luas yang dinamakan invasi, juga dapat berupa serangan dengan sasaran terbatas. Hal ini, mencerminkan adanya konflik bersenjata dimana pihak-pihak yang berperang menggunakan kemampuan senjata yang dimiliki. Konflik bersenjata umumnya terjadi antar Negara, namun konflik bersenjata bukan perang dapat terjadi di dalam suatu Negara sebagai usaha yang dilakukan daerah untuk memisahkan diri atau gerakan separatisme dengan menggunakan kekerasan senjata, dan usaha terorisme baik yang bersifat nasional maupun internasional. Masalah-masalah tersebut, ada yang berkembang sepenuhnya sebagai usaha domestik karena dinamika dalam satu Negara, tetapi juga ada yang terjadi karena peran atau pengaruh Negara lain. Meskipun masalah-masalah itu tidak termasuk perang, dampaknya bagi Negara yang mengalami bisa sama atau dapat melebihi. Dewasa ini (pada masa damai), sering terjadi konflik di dalam suatu Negara yang dipandang akan berdampak langsung maupun tidak langsung bagi stabilitas suatu Negara. Kesalahan tindakan preventif terhadap konflik yang terjadi, akan berakibat fatal bagi keutuhan sebuah Negara. Pengalaman penanganan konflik etnik yang melanda Uni Soviet dan Negara-negara bagian, misalnya, menyadarkan banyak Negara akan arti pentingnya tindakan preventif untuk pencegahan konflik, agar tidak berdampak negatif bagi keamanan nasional mereka. Pengalaman Uni Soviet, yang gagal untuk mengantisipasi konflik menyebabkan Negara tersebut runtuh menjadi serpihan-serpihan Negara kecil, Universitas Sumatera Utara ternyata telah menyadarkan banyak Negara akan dampak langsung konflik bagi aspek pertahanan. Begitu pula sulitnya penanganan konflik yang dipicu oleh masalah identitas agama yang menyebabkan konflik, yang belum kunjung selesai di India antara Hindu dan Muslim sehingga Muslim membentuk identitas tersendiri sejak akhir abad 19 mendorong setiap Negara untuk mengantisipasi sifat dan jenis-jenis konflik yang mungkin berdampak bagi faktor keamanan dan pertahanan. Dalam Konflik bersenjata di Suriah ini merupakan perang saudara yang terjadi akibat adanya kepentingan politik dan kekuasaan, dan aktor dari konflik di Suriah ini antara lain adalah Pemerintahan Suriah yang dipimpin Oleh Bashar Al Assad yang berkonflik dengan Oposisi yang menentang pemerintahan Assad, yang terbagi menjadi 2 kelompok oposisi, yaitu kelompok pertama adalah Free Syrian Army (FSA) dan kedua Syrian National Council (SNC) dan ada juga oposisi yang dibentuk atas adanya inisiatif intervensi negara Amerika yaitu Syrian National Council for Opposition and Revolutionary Forces (SNCORF). Konflik Suriah ini sudah berlangsung kurang lebih hampir 7 tahun lamanya dan korban jiwa sudah sangat banyak serta kerusakan-kerusakan yang terjadi akibat konflik tersebut sudah sangat parah, baik kerusakan obyek-obyek sipil maupun lingkungannya. Universitas Sumatera Utara Dalam konflik bersenjata Suriah masyarakat/warga sipil dan obyek sipil tidak luput dari sasaran dari konflik tersebut, baik terhadap warga sipil biasanya terjadi hal-hal sebagai berikut : 1) Terjadi kekerasan tubuh maupun nyawa terhadap seseorang 2) Penyanderaan 3) Pelecehan Martabat, pemerkosaan 4) Penjatuhan dan pelaksanaan pidana tanpa proses peradilan yang menjamin hak-hak seseorang 5) Kelaparan terhadap setia orang 6) Hialngnya Mata Pencaharian seseorang 7) Membludaknya para pencari suaka (pengungsi/imigran) 8) Perbudakan dan perdagangan orang. dan masih banyak yang lainnya. Sedangkan dampak yang terjadi akibat adanya konflik bersenjata terhadap obyek sipil, sebagai berikut : 1) Hancurnya fasilitas-fasilitas umum seperti, Rumah Sakit, Sekolah Tempat Ibadah Lembaga-lembaga Hukum, dan lain-lainnya 2) Hancurnya sumber kelangsungan kehidupan bagi masyarakat sipil, seperti sumber makanan, sumber minum, sumber listrik, dan lain-lainnya Dari berbagai masalah yang timbul terhadap warga sipil dan obyek sipil yang berakibat dari adanya konflik bersenjata di Suriah tersebut sebenarnya semua sudah dilindungi sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ada dan dibuat dalam bentuk Konvensi-konvensi Internasional, tetapi dalam kenyataan nya peraturan-peraturan tersebut seakan-akan hanya sebagai sebuah pajangan kosong Universitas Sumatera Utara yang sama sekali tidak ditaati sama sekali. Padahal pengaturan-pengaturan yang mengatur Konflik bersenjata ini sangat penting adanya suatu kesadaran untuk mentaati nya, karena ini menyangkut akan kelangsungan suatu umat manusia dan dunia. Universitas Sumatera Utara BAB IV PERLINDUNGAN WARGA SIPIL DAN OBYEK SIPIL DALAM PERANG SURIAH DITINJAU DARI PRINSIP MARTENS CLAUSE A. Latar Belakang Penyebab Timbulnya Perang di Suriah Dalam konflik di Suriah bukanlah perbedaan mazhab keagamaan melainkan politik dan ekonomi dari oposisi penentang Assad dan negara-negara pendukung oposisi, ada tiga pihak yang berperan dan terlibat dalam konflik ini, Presiden Bashar al-Assad dan para pendukungnya, Oposisi Suriah, dan kelompok Jihadis. Konflik ini berawal dari sebuah protes terhadap penangkapan beberapa pelajar di kota Darra. Ketika itu Maret 2011, 15 pelajar berumur 9-15 tahun menulis slogan-slogan anti pemerintah di tembok-tembok kota. Slogan-slogan itu berbunyi, “Rakyat mengiginkan rezim turun”. 54 Polisi Suriah yang dipimpin oleh Jendral Atef Najib, sepupu Presiden Bashar al-Assad menangkap dan memenjarakan anak-anak tersebut. Akibatnya, lahirlah gelombang protes yang menuntut pembebasan anak-anak tesebut. Reaksi tentara terhadap protes itu berlebihan, sehingga menembaki para pemerotes yang mengakibatkan 4 orang meninggal. Reaksi itu tidak meredakan para pemerotes, sebaliknya semakin meluas dari kota Daraa menuju kota-kota pinggiran Latakia dan kota Banyas di Pantai Mediterania atau Laut Tengah, Homs, Ar Rasta, dan Hama di Suriah Barat, serta Deir es Zor di Suriah Timur. 54 Dina Y. Sulaeman, Praha Suriah: Membongkar Persekongkolan Multinasional (Depok: IMaN, 2013)hlm. 100. Universitas Sumatera Utara Protes dan demonstrasi ini kemudian berkembang menjadi perang sipil yang dahsyat. Perang ini tidak saja menggunakan senjata konvesional sebagaimana layaknya yang digunakan dalam perang, tapi juga menggunakan senjata kimia.55 Ada pandangan yang menyatakan bahwa perang yang saat ini terjadi Suriah adalah perang antara mazhab Syi‟ah yang diwakili oleh Bashar al-Assad dan para penentangnya yang bermazhab Sunni. Pandangan ini dibangun atas fakta yang terjadi di Suriah: ada dua kekuatan besar yang sedang bertarung, yakni Arab Saudi yang bermazhab Sunni dan Iran bermazhab Syi‟ah. Fakta lainnya adalah bahwa pemerintahan Assad didukung oleh Iran dan gerakan Hizbullah, Iran merupakan negara yang bermazhab Syi‟ah dan Hizbollah adalah gerakan berhaluan Syi‟ah yang bermarkas di Lebanon. Sebaliknya para penentang Assad mendapat dukungan negara-negara yang bermazhab Sunni seperti Arab Saudi, Quwait, dan Afganistan. Dengan merujuk peta konflik yang terjadi di Suriah, pertanyaan menarik yang perlu diajukan adalah apakah benar konflik di Suriah kemudian bisa dikatakan sebagai konflik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan kepercayaan (Agama)? Terlalu sederhana untuk menyatakan bahwa konflik tersebut merupakan konflik teologis, meskipun asumsi tersebut juga tidak bisa diabaikan sama sekali. Sebuah konflik terjadi tidak disebabkan oleh satu sebab tunggal. Konflik selalu lahir oleh sebab yang kompleks dan diliputi oleh banyak faktor dan kepentingan. Isu agama biasanya merupaka salah satu faktor pemicu di antara faktor-faktor yang lahir sebagai penyebab konflik. 55 Merdeka.com, “Mereka mau hancurkan Suriah, bukan sekadar tumbangkan Assad,” 24 September 2013. Universitas Sumatera Utara Atas dasar pandangan ini, dapat dimengerti kemudian, jika para analis konflik Suriah menyatakan bahwa konflik tersebut bukan konflik perbedaan teologis, antara Sunni versus Syi‟ah.56 Dalam sebuah wawancara dengan jaringan AS Fox News, Rabu 18 September 2013, Bashar al-Assad bahkan menyebut konflik yang terjadi di Suriah bukan “perang saudara” melainkan telah diserang oleh puluhan ribu pejuang jihad asing yang bersekutu dengan al-Qaeda. 57 Jika bukan konflik agama dan juga bukan konflik saudara, lalu apa penyebab lahirnya konflik di Suriah, siapa saja pihak yang terlibat dan memainkan peran kunci dalam konflik tersebut dan apa dampaknya bagi rakyat Suriah dan dunia internasional. 1) Kronologi Konflik Suriah Untuk mengetahui sumber konflik Suriah kita perlu mengetahui kronologi konfliknya, karena pada runtutan peristiwa konflik itulah sejatinya tersimpan pengetahuan apa yang menjadi sebab lahirnya konflik di Suriah. Konflik Suriah dapat dirunut dari peristiwa protes yang dilakukan oleh sekelompok pelajar saat mereka menulis slogan-slogan antipemerintah di temboktembok kota.58 Slogan-slogan itu berbunyi, “Rakyat menginginkan rezim turun.”59 Kepolisian pemerintah Suriah menangkap para pelajar itu kemudian memenjarakan mereka selama satu bulan. Selama dalam masa penahanan, para pelajar itu mengalami penyiksaan, hal itu diketahui setelah para pelajar itu dibebaskan. 56 Dina Y. Sulaeman, Prahara Suriah, Op.cit. www.antaranews.com, “Bashar: Suriah bukan perang saudara, tetapi diserang alQaida,” 19 September 2013. 58 Ibid 59 Siti Muti‟ah, “Pergolakan Panjang Suriah, hlm. 5. 57 Universitas Sumatera Utara Mengetahui penyiksaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, tanggal 11 Maret 2011 masyarakat kemudian melakukan aksi demontrasi yang digelar di Kota Barat-Daya Daraa yang memprotes penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Pasukan keamanan berupaya membubarkan demonstrasi, namun para demonstran tak bergeming, sampai akhirnya pasukan keamanan melepaskan tembakan ke arah para demonstran. Pada 23 Maret 2011, demonstrasi kembali melanda kota Daraa, pasukan keamanan kembali melepaskan tembakan untuk membubarkan para demonstran, pada kasus ini 20 orang demonstran dikabarkan tewas. Menyusul insiden tersebut, Presiden Bashar al-Assad, mengumumkan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan untuk menerapkan reformasi politik, termasuk menghapus pembatasan partai politik dan menghapus hukum darurat Suriah yang telah diterapkan selama 48 tahun. Namun pengumuman itu diabaikan oleh para tokoh oposisi Suriah. Pada 25 Maret 2011, setelah salat Jum‟at, unjuk rasa kembali mengemuka di kota-kota seluruh negeri. Pasukan keamanan kembali berupaya membubarkan aksi unjuk rasa itu, namun unjuk rasa terus berjalan bahkan bertambah intens. Protes dan demonstrasi yang dilakukan oleh oposisi Suriah mendapat perlawanan dari rakyat Suriah pro-pemerintah, perlawanan itu ditunjukkan dengan melakukan demonstrasi besar-besaran di Kota Damaskus. Pada 29 Maret 2011 pemerintah Suriah mengumumkan pengunduran diri dari kabinet, hal ini dilakukan untuk memenuhi tuntutan reformasi yang didengungkan oleh para demonstran. Satu hari setelah, pengumuman itu, Presiden Assad tampil untuk pertama kalinya di depan publik sejak kerusuhan melanda Suriah, dan Universitas Sumatera Utara menyampaikan pidato di hadapan dewan legislatif untuk meredam protes para demonstran dan mengklaim bahwa protes itu terjadi karena konspirasi yang dilakukan asing. Tetapi ia juga mengakui, bahwa beberapa kekhawatiran para demonstran memang patut diperhatikan. Assad menolak ajakan oposisi untuk melakukan percepatan reformasi dan dan mengatakan bahwa pemerintah akan melanjutkan rencananya untuk memperkenalkan reformasi secara bertahap. Setelah pidato tersebut, media pemerintah Suriah mengumumkan bahwa Assad telah membentuk sebuah komisi untuk mempelajari kemungkinan pencabutan hukum darurat. Demonstrasi telah terjadi secara sporadis di seluruh negeri, pemerintah Suriah terus menghubungkan kerusuhan kepada konspirasi asing dan ketegangan sektarian. Pemerintah membuat beberapa konsesi yang ditujukan kepada Muslim Suriah konservatif dan minoritas Kurdi. Pada 6 April 2011, pemerintah Suriah berusaha untuk menjawab keresahan Muslim konservatif dengan menutup satusatunya kasino Suriah dan membatalkan hukum 2010 yang melarang guru perempuan mengenakan niqab, cadar yang menutupi wajah. Pemerintah juga mengumumkan bahwa Noruz, festival Tahun Baru yang di Rayakan oleh orang Kurdi sebagai hari libur nasional. Namun demikian, protes terus berlanjut, dan menyebar ke kota lainnya, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan penggunaan kekerasan oleh pasukan keamanan Suriah. Pada 8 April 2011, pasukan keamanan menembaki demonstran di beberapa kota Suriah, menewaskan sedikitnya 35 orang. Menyusul sebuah laporan bahwa jumlah korban tewas telah mencapai lebih dari 200 orang. Universitas Sumatera Utara Muncullah kecaman internasional terhadap pemerintah Suriah. Sejumlah organisasi pembela HAM dan para kepala negara menyerukan pemberhentian kekerasan. Pasukan keamanan terus menggunakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa di seluruh negeri, Assad menunjuk kabinet baru dan berjanji untuk melembagakan reformasi politik dan mencabut hukum darurat Suriah. Pada tanggal 19 April kabinet mencabut undangundang darurat dan membubarkan Mahkamah Agung Keamanan Negara Suriah. Pengadilan yang khusus digunakan untuk mengadili pihakpihak anti-pemerintah. Namun pemerintah Suriah juga mengambil tindakan untuk mempertahankan kekuasaannya dengan berupaya untuk meredam protes. Pemerintah Suriah mengeluarkan peraturan yang mengharuskan masyarakat untuk mendapatkan izin dari pemerintah sebelum melakukan demonstrasi. Menteri dalam negeri Suriah yang baru diangkat mendesak rakyat Suriah agar tidak melakukan demonstrasi dengan menyatakan bahwa pemerintah akan terus menganggap demosntrasi sebagai ancama nasional. Segera setelah hukum darurat, pemerintah Suriah meningkatkan penggunaan kekerasan terhadap demonstran. Pada tanggal 22 April 2011 pasukan keamanan menembaki demonstran yang berkumpul setelah salat Jumat, menewaskan sekitar 75 orang, di tengah kecaman internasional yang dipicu oleh maraknya aksi pembunuhan, pemerintah Suriah melancarkan strategi baru untuk membungkam protes masyarakat dengan menyebarkan sejumlah besar pasukan yang dilengkapi dengan tank dan kendaraan lapis baja ke kota-kota Daraa, Baniyas, Homs, dan tiga lokasi yang dijadikan sebagai pusat antipemerintah. Di beberapa daerah di Universitas Sumatera Utara negeri ini, pemerintah memberlakukan pemadaman akses komunikasi, mematikan layanan telepon dan internet. Di Daraa, pasukan keamanan memotong pasokan air dan listrik. Seiring dengan demonstrasi yang terus menyebar di Suriah, pemerintah meningkatkan perlawanan terhadap para pengunjuk rasa dengan kekuatan militer. Pada awal Mei, protes anti-pemerintah telah mencapai Damakus. Protes yang terjadi di pusat kota Damaskus ditangani dengan aksi kekerasan pasukan pemerintah Suriah juga mendirikan barikade keamanan di beberapa pinggiran kota Damaskus upaya untuk membatasi gerakan para demonstran. Menyusul insiden tersebut. Uni Eropa (UE) menjatuhkan sanksi berupa pelarangan perjalanan dan pembekuan aset kepada sejumlah pejabat senior Suriah yang dianggap bertanggungjawab dalam penanganan demonstrasi. Selain itu, UE juga menerapkan embargo senjata untuk Suriah. Seiring dengan kekerasan yang terus terjadi. Suriah juga semakin terisolasi dari sekutu regionalnya. Pada bulan Mei, Recep Tayyip Edogan, Perdana Menteri Turki, mengutuk penggunaan kekerasan terhadap warga sipil. Beberapa minggu kemudiaan, Turki memberikan dukungan untuk pihak demonstran dengan mengadakan sebuah konferensi bagi para anggota oposisi Suriah. Pada tanggal 6 Juni Kantor berita Suriah melaporkan bahwa 120 tentara Suriah disergap dan dibunuh oleh sekelompok orang bersenjata di kota utara Jisr al-Shugur. Masyarakat setempat menyangsikan kebenaran berita tersebut dengan menyatakan bahwa tentara Suriah dibunuh oleh pasukan pemerintah karena menolak untuk menembaki demonstran. Menanggapi insiden tersebut pihak Universitas Sumatera Utara militer Suriah meluncurkan serangan yang berat menyebabkan ribuan warga melarikan diri dan melintasi perbatasan Turki. Rezim Assad terus menggunakan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa di bulan Juli dan Agustus, serta meluncurkan serangan militer terhadap sejumlah Kota termasuk Hammah dan Latakia. Pertumpahan darah terus menuai kecaman internasional yang menyerukan Assad untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden. Pada awal November 2011, pejabat Suriah menyetujui inisiatif Liga Arab yang menyerukan pemerintah Suriah untuk menghentikan kekerasan terhadap para demontrans menarik mundur tank dan kendaraan lapis baja dari kota-kota, dan membebaskan para tahanan politik. Beberapa pihak menilai persetujuan pemerintah Suriah sebagai taktik untuk mengulur waktu. Satu hari kemudian kekerasa kembali terjadi di kota Homs. Di bawah tekanan internasional, pemerintah Suriah pada bulan Desember mengizinkan kunjungan delegasi Liga Arab untuk memantau proses implementasi dari strategi tersebut. Meskipun kekerasan terus terjadi, penilaian yang diberikan oleh tim pemantau cenderung positif sehingga menuai kritik dari kelompok HAM dan oposisi Suriah. Pada pertengahan Januari 2012, kredibilitas delegasi yang telah mengundurkan diri mengklaim bahwa pasukan pemerintah Suriah telah memberikan laporan palsu dari rekaman video yang direkayasa. Setelah beberapa negara Arab menarik anggota tim mereka dari posisi sebagai observer Liga Arab secara resmi menangguhkan keberlanjutan misi pemantau pada 28 Januari dengan alasan kekerasan. Universitas Sumatera Utara Setelah kegagalan misi pemantau dari Liga Arab kekerasan terus meningkat. Pada awal Februari 2012, tentara Suriah melancarkan serangan kota Homs dengan membombardir wilayah yang dikuasai oposisi selama beberapa minggu. Pada bulan yang sama, Liga Arab dan PBB bersama-sama menunjuk Koffi Annan, mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai utusan perdamaian untuk Suriah. Upaya Annan untuk penghentian kekerasan sebagaimana dihadapi Liga Arab pada tahun 2011, digagalkan oleh keengganan rezim Suriah untuk mematuhi perjanjian yang telah disepakati. Gencatan senjata yang disuarakan oleh PBB berhasil mengurangi angka kekerasan pada pertengahan April. Namun gencatan senjata hanya bertahan selama beberapa hari sebelum konflik antara pasukan pemerintah dan oposisi kembali terjadi. PBB menghentikan operasi pemantauan pada bulan Juni atas alasan keamanan. Akibat peningkatan jumlah kekerasan yang terjadi selama musim panas 2012, Annan mengundurkan diri pada bulan Agustus dan digantikan oleh diplomat Aljazir, Lakhdar Brahimi. Pada awal 2012, pengamat internasional dan anggota oposisi menganggap bahwa Dewan Nasional Suriah yang berbasis di Instanbul masih terlalu lemah untuk dapat mewakili kelompok oposisi Suriah. Pada bulan November, pemimpin oposisi Suriah mengumumkan pembentukan koalisi baru yang disebut Koalisi Nasional untuk Revolusi Suriah dan Kekuatan Militer Oposisi Koalisi Nasional Suriah. Dalam satu bulan koalisi mendapat pangakuan dari berbagai negara sebagai wakil sah rakyat Suriah. Dalam satu bulan berikutnya, sejumlah negara Universitas Sumatera Utara mengakui Koalisi Nasional Suriah sebagai pihak yang secara efektif dapat mewakili kelompok oposisi. Pada akhir tahun 2012, situasi militer tampaknya sudah mendekati jalan buntu. Pejuang pemberontak menguasai wilayah utara Suriah namun menghadapi kesulitan dalam penyediaan peralatan, persenjataan, dan aspek organisasi. Sementara itu, pasukan pemerintah juga semakin lemah akibat sejumlah aparatur yang berbalik memihak oposisi. Pertempuran masih berlanjut setiap hari di wilayah yang diperebutkan, menyebabkan semakin tingginya korban tewas dari masyarakat sipil. Dengan minimnya perkembangan yang terjadi di Suriah, negara-negara sekutu yang memihak pemerintah Suriah dan pemberontak sama-sama meningkatkan dukungan mereka yang menyebabkan meningkatnya kemungkinan perang sipil. Upaya Turki, Arab Saudi, dan Qatar untuk mendanai dan mempersenjatai pihak pemberontak semakin terlihat pada akhir 2012 dan awal 2013, sementara pemerintah Suriah terus menerima senjata dari Iran dan kelompok militan Libanon, Hizbullah. Akhir tahun 2012, Hizbullah juga mulai mengirim para pejuangnya sendiri ke wilayah Suriah untuk melawan para pemberontak. Babak baru yang memungkinkan penggunaan aksi militer internasional di wilayah Suriah semakin menguat setelah adanya dugaan penggunaan senjata kimia di pinggiran kota Damaskus oleh rezim Assad yang menewaskan ratusan orang pada 21 Agustus 2013. Kelompok oposisi Suriah mengklaim bahwa pasukan pro- Assad telah melakukan serangan tersebut. Pejabat Suriah Universitas Sumatera Utara menyangkal penggunaan senjata kimia dan menegaskan bahwa apabila senjata kimia dipergunakan dalam serangan maka kesalahan berada pada pasukan pemberontak. Utusan PBB menemukan bukti senjata kimia di beberapa lokasi di Suriah. Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis mengecam penggunaan senjata kimia oleh rezim Assad dan berencana untuk melakukan aksi militer. Assad juga menyatakan untuk melawan apa yang ia sebut sebagai agresi Barat. Kemungkinan terjadinya intervensi militer di Suriah mulai memudar pada akhir Agustus. Sebagian besar masyarakat Amerika dan Inggris menentang rencana aksi militer. Upaya Inggris untuk melakukan serangan militer Suriah digagalkan oleh Perlemen pada tanggal 29 Agustus. Voting yang diadakan di Kongres Amerika juga diundur, pada tanggal 10 September. Sementara itu, jalur diplomasi semakin gencar dilakukan oleh berbagai pihak yang menghasilkan kesepakatan antara Rusia, Suriah dan Amerika Serikat pada tanggal 14 September untuk menempatkan semua senjata kimia yang dimiliki Suriah dibawah kontrol internasional. 2) Sumber Konflik Ada beragam pandangan yang bisa dikemukakan terkait masalah yang menjadi sumber utama konflik Suriah. Pertama, masalah sosial, ekonomi dan politik di dalam negeri yang dihadapi oleh Suriah. Masalah-masalah itu antara lain berupa tingginya jumlah pengangguran, tingginya inflasi, terbatasnya kesempatan untuk mobilitas sosial, pembatasan kebebasan politik, dan aparat keamanan yang represif. Universitas Sumatera Utara Kedua, tuntutan sebagian penduduk Suriah agar dilakukan reformasi dan penggatian rezim Bashar al-Assad. Sejak tahun 1963, pemerintahan Suriah didominasi oleh Partai Baath, kemudian keluarga al-Assad, yakni Hafidz al-Assad yang memerintah sejak tahun 1970 hingga kematiannya di tahun 2000, dan digantikan oleh putranya, yakni Bashar al-Assad dan memerintah sejak tahun 2000 sampai dengan sekarang. Selama empat puluh tahun di bawah pemerintahan klan Assad (Hafez al-Assad dan anaknya Bashar al-Assad) pembangunan sosial dan ekonomi Suriah masih jauh dari memuaskan. Suriah tergolong dalam negara berkembang berpendapatan menengah dan Perekonomiannya ditopang terutama oleh minyak dan pertanian. Dalam situasi seperti ini, sangat wajar bila muncul demo anti pemerintahan dan keinginan perubahan rezim. Clan Assad memang telah berkuasa terlalu lama sehingga wajar ada kejunahan politik. Para pengunjuk rasa menuntut reformasi, mundurnya Presiden Bashar Al-Assad, dibukannya kebebasan mendirikan partai politik, kebebasan berbicara, dan perbaikan ekonomi. Aksi demo tersebut ditanggapi oleh pemerintah Suriah telah memberikan beberapa konsep dan memenuhi sebagian tuntutan rakyat. Namun pandangan bahwa faktor penyebab konflik Suriah adalah tuntutan penggantian rezim Bashar Al-Assad sebagai dampak dari Arab spring ditolak oleh aktivis kemanusiaan MER-C Joserizal Jurnalis. Menurutnya 60 , jika tuntutan penggantian rezim merupakan faktor penyebab konflik dan peperangan di Suriah mengapa hal yang sama tidak terjadi di Qatar dan Arab Saudi, kedua negara itu menurutnya tidak lebih demokratis 60 www.voa-islam.com, “Diskusi terbuka: inilah pandangan Joserizal tentang konflik Suriah.” 27 Juni 2013. Universitas Sumatera Utara dibandingkan dengan Suriah. Tapi mengapa Arab Spring yang menuntut demokratisasi justru terjadi di Suriah setelah sebelumnya terjadi di Tunisia, Mesir dan Libya. Dalam pandangan Joserizal, tuntutan demokrasi di Suriah adalah pemicu konflik dan peperangan, bukan faktor utama penyebab konflik dan peperangan itu sendiri. Dalam pandangan Jose ada dua faktor menjadi penyebab konflik di Suriah yang tak kunjung selesai sampai sekarang, Pertama, Suriah adalah negara yang kuat secara militer dan intelejen, Kedua Suriah selalu menunjukan sikap perlawanan terhadap Israel. Kondisi Suriah yang demikian membuat negaranegara seperti Israel, Amerika Serikat, NATO, Qatar, Arab Saudi dan Turki memberikan dukungannya kepada oposisi yang sedang berjuang menumbangkan Assad. Konflik dan peperangan di Suriah dengan demikian lebih disebabkan oleh faktor kepentingan negara-negara di Sekeliling Suriah, yakni Qatar, Arab Saudi dan Israel. Ketiga, faktor lain yang kerapkali dirujuk untuk menunjukan penyebab konflik Suriah adalah dominasi minoritas Syi‟ah Alawiyah atas politik Suriah. Dominasi itu di samping melahirkan diskriminnasi terhadap mazhab Sunni dan pembatasan gerakan kelompok Ikhwanul Muslimin, juga melahirkan penguasaan elit Syi‟ah Alawiyah atas berbagai sektor perekonomian di Suriah 61. Faktor ini juga sering dirujuk untuk menyebut konflik dan peperangan di Suriah sebagai konflik dan peperangan antarpaham keagamaan dalam Islam. Suriah yang dipimpin Bashar Al-Assad yang bermazhab Syi‟ah Alawiyah, sementara pihak 61 Muhammad Fakhry Ghafur, “Membaca Konflik Suriah,” dalam www.politik.lipi.go.id, 31 Agustus 2012. Universitas Sumatera Utara penentang Assad berasal dari mazhab Islam Sunni. Rezim Assad didukung oleh Iran dan Hizbullah yang bermazhab Syi‟ah, sebaliknya penentang Assad didukung oleh Qatar, Arab Saudi, Turki, al-Qaeda, Jabhat al-Nusro yang bermazhab Sunni. Jika disederhanakan sumber konflik Suriah dapat dipilah menjadi dua, Pertama, berasal dari dalam negeri, yakni masalah sosial, ekonomi, dan politik dalam berupa tingginya pengangguran, tingginya inflasi, terbatasnya mobiltas sosial, merajalelanya korupsi, tidak adanya kebebasan pollitik, reperensifnya aparat keamanan. Kedua, berasal dari luar negeri, berupa kepentingan politik dan ekonomi. Turki misalnya berambisi untuk menjadi pemain utama di Timur Tengah karena itu negara ini ikut campur dalam konflik Suriah. 3) Aktor yang Terlibat dalam Konflik Aktor yang terlibat dapat disederhanakan dalam tiga kelompok, Pertama, Presiden Bashar Al-Assad dan para pendukungnya, Kedua, Oposisi Suriah dan kelompok Ketiga, Jihadis. Ketika kelompok ini masing-masing memiliki tujuan yang berbeda-beda. Presiden Assad berupaya mempertahankan negara dan pemerintahannya sementara pihak oposisi berupaya merebut kekuasaan Assad, sedangkan kelompok Jihadis, berupaya merebut kekuasaan dan negara Suriah dengan mendeklarasikan khilafah, yakni Islamic State Iraq and Sham (ISIS). a. Presiden Bashar al-Assad dan Pendukungnya Presiden Bashar al-Assad mulai menduduki jabatan Presiden Suriah tahun 2000, ia menggantikan posisi ayahnya. Di awal masa kekuasaannya, ia memposisikan dirinya sebagai seorang reformis. Namun kritik tajam meluncur ketika masyarakat tidak merasakan perubahan yang signifikan. Protes keras Universitas Sumatera Utara terhadap rezim Assad muncul pada maret 2011 yang menyebabkan terjadinya perang sipil hingga saat ini. Rezim Assad didukung oleh minoritas Alawi, Druze, dan Ismaili, banyak kaum Kristen yang mendukung Assad karena kebijakan sekulernya. Iran, Rusia dan China adalah negara yang mendukung rezim Assad, selain didukung oleh negara tersebut, rezim Assad juga memperoleh dukungan dari kelompok Hizbullah Lebanon. b. Oposisi Suriah Ada dua kelompok oposisi yang menentang dan melakukan pemberontakan kepada rezim Assad, yakni: Pertama, kelompok pemberontak Suriah antara lain Free Syrian Army (FSA), Syrian National Council (SNC) dan Syrian National Council for Opposition and Revolutionary Forces (SNCORF) yang dibentuk atas inisitif Amerika di Doha, Qatar koalisi ini terdiri dari 60 anggota yang berasal dari 22 mantan anggota SNC, perwakilan dari masing-masing kota besar Suriah, dan sejumlah tokoh pemberontak Suriah yang berada di luar negeri. Amerika Serikat dan sejumlah negara lainnya telah mengakui koalisi tersebut sebagai wakil masyarakat Suriah. (Kanada belum memberikan keputusan). Presiden SNCORF terpilih adalah Moaz al- Khatib dari kalangan Ikhwanul Muslimin, sementara Perdana Menterinya Ghassan Hitto pengusaha asal Suriah keturunan Kurdi, yang telah selama 30 tahun terakhir menjadi AS. Namun SNCORF kemudian pecah dan al-Khatib dan beberapa anggota SNCORF mengundurkan diri. Pada Juli 2013, pemberontak veteran Ahmad Jarba dinobatkan sebagai presiden Koalisi pada Juli 2013. Jarba merupakan anggota etnis mayoritas yang berasal dari Suriah bagian Timur. Jarba diyakini memiliki hubungan dekat dengan Arab Saudi.32 Universitas Sumatera Utara Kedua, Kelompok Oposisi anti-kekerasan, antisektarianisme, dan antiintervesi asing; mereka tergabung dalam koalisi yang bernama National Coordination Body for Democratic Change. c. Kelompok Jihadis Kelompok jihadis merupakan kelompok yang berafiliasi dengan al-Qaida. Pada awalnya kelompok ini membantu oposisi Suriah dalam melakukan pemberontakan terhadap rezin Assad, namun dalam perkembangannya mereka tidak lagi membantu para oposisi tetapi memiliki agenda tersendiri untuk membentuk khilafah. Di antara kelompok jihadis tersebut adalah Jabha al-Nusrah, Ahrar al-Sham kataeb, Liwa‟ al-Tauhid, Ahrar Souria, Halab al- Shahba, alHarakah al-Fajr al-Islamiyah, Dar al-Ummah, Liwa Jaish Muhammad, Liwa‟ alNasr, Liwa‟ Dar al-Islam dan lain-lain; Kelompok Jihadis menyatakan bertanggungjawab dalam sejumlah aksi bom bunuh diri yang ditargetkan terhadap pemerintah Suriah selama terjadinya perang sipil di negara tersebut. Pada Desember 2012, Amerika Serikat menyatakan kelompok jihad Jabhat al- Nusra sebagai kelompok teroris. Hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah keterlibatan kaum ekstremis dalam grup oposisi Suriah. Pemimpin Al-Nusra menyatakan kesetiaannya terhadap kelompok Al-Qaida pada musim semi 2013. Namun kelompok tersebut telah menolak untuk bergabung dengan kelompok Al-Qaida lainnya, yaitu the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), yang telah melebarkan operasinya ke wilayah Suriah. (Al-Qaeda menghentikan hubungan dengan ISIS pada Februari 2014) Kelompok-kelompok tersebut telah terlibat peperangan Universitas Sumatera Utara antara satu dengan lainnya, termasuk dengan FSA, yang mengindikasikan adanya perpecahan dalam gerakan oposisi. 4) Dampak Konflik Suriah Dalam suatu konflik bersenjata/Perang suatu dampak yang ditimbulkan dari konflik tersebut sangat besar dan merugikan manusia, Banyak korban jiwa yang terluka, kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian bahkan menimbulkan kematian yang sia-sia. Bahkan jumlah Korban tewas dalam konflik yang telah berlangsung di Suriah selama kurang lebih 7 tahun ini telah menelan korban 200.000 sampai dengan 500.000 jiwa, karna belum ada betul data akurat yang bisa menunjukan korban-korban meninggal yang ada dalam konflik Suriah. Data-data korban jiwa yang saya ambil ini merupakan data-data yang masih bisa berubah keasiliannya kapan pun, yang dikarenakan kemungkinan konflik di Suriah ini masih terus berlanjut, data-data korban jiwa ini di akulasikan mulai dari tahun 2011-2016, dimana Yaitu korban tewas dibunuh tentara Assad 183 ribu (95%), dibunuh FSA 2.959 (1,5%), dibunuh ISIS 2.196 (1%), dibunuh Rusia 1.984 (1%), dibunuh Kurdi 415 (0,2%), dibunuh Al Nusra 356 (0,2%) dan dibunuh intervensi AS-Turki-Saudi 311 (0,1%).62 Korban anak dan wanita tewas dibunuh tentara Assad 39 ribu (91%), dibunuh FSA 1.424 (3%), dibunuh Rusia 729 (1,5%), dibunuh ISIS 644 (1,5%), dibunuh intervensi AS-Turki-Saudi 179 (0.5%), dibunuh Kurdi 129 (0,2%), dibunuh Al Nusra 115 (0,2%). 63 Korban 62 Dr.Mohamed Tenari 23 tahun, seperti yang diceritakan kepada Syrian America Medical Society, http://whoiskillingciviliansinsyria.org/, https://diary.thesyriacampaign.org/whatshappening-to-civilians-in-syria/, 3 September 2016. 63 Mousa 15 tahun dan Maisa perawat dari kota Damascus seperti yang diceritakan kepada Save the Children dan Human Rights Watch, http://whoiskillingciviliansinsyria.org/, https://diary.thesyriacampaign.org/whats-happening-to-civilians-in-syria/, 3 September 2016. Universitas Sumatera Utara wartawan dibunuh tentara Assad 479 (90%), dibunuh ISIS 26 (2,2%), dibunuh FSA 12 (2,2%), dibunuh Rusia 5 (1%), dibunuh Kurdi 2 (0,4%), dibunuh Al Nusra 4 (0,7%).64 Penyiksa sampai mati pelakunya tentara Assad 12.486 (99,5%), pelakunya ISIS 22 (0,2%), pelakunya FSA 17 (0,1%), pelakunya Kurdi 17 (0,1%) dan pelakunya Al Nusra 14 (0,1%). 65 Korban tenaga medis (dokter dan perawat) dibunuh tentara Assad 553 (91%), dibunuh FSA 19 (3%), dibunuh ISIS 19 (3%), dibunuh Rusia 11 (1%), dibunuh Al Nusra 4 (0,7%), dibunuh Kurdi 3 (0,5%).66 Berdasarkan data-data tersebut banyaknya korban meninggal yang sia-sia terjadi hanya demi memperebutkan suatu kekuasaan dari suatu pemerintahan Negara. Tidak hanya korban tewas saja yang diakibatkan adanya konflik Suriah ini namun banyak nya jumlah pengungsi dari warga sipil Suriah yang mencari suatu tempat yang aman untuk menetap di berbagai-bagai daerah. Pada tahun 2016 PBB, mengidentifikasi 13,5 Juta warga Negara Suriah yang membutuhkan bantuan kemanusiaan, dimana dari Jumlah tersebut lebih dari 6 Juta Pengungsi dalam negeri dan lebih dari 4,8 Juta merupakan pengungsi di luar Suriah. Dimana Turki merupakan negara penampung terbesar dengan jumlah lebih dari 2,7 Juta pengungsi Suriah. Bantuan untuk pengungsi internal dalam negeri Suriah, dan pengungsi Suriah di negara-negara tetangga akan direncanakan secara besarbesaran melalui Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Hampir 1 64 Noureddine Hashim 21 tahun, seperti yang diceritakan kepada The Committe to Protect Journalists, http://whoiskillingciviliansinsyria.org/, https://diary.thesyriacampaign.org/whatshappening-to-civilians-in-syria/, 3 September 2016. 65 Layla 21 tahun tahanan pemerintah Suriah, seperti yang dikatakan kepada Human Rights Watch, http://whoiskillingciviliansinsyria.org/, https://diary.thesyriacampaign.org/whatshappening-to-civilians-in-syria/, 3 September 2016. 66 Dr. Saoud, seperti yang diceritakan kepada New York Times, http://whoiskillingciviliansinsyria.org/, https://diary.thesyriacampaign.org/whats-happening-tocivilians-in-syria/, 3 September 2016. Universitas Sumatera Utara Juta warga Suriah telah meminta suaka di berbagai negara, terutama Lebanon, Yordania, Turki, dan Uni Eropa (UE). Pada tahun 2016, janji telah dibuat kepada UNHCR oleh berbagai negara untuk menampung secara tetap 170.000 pengungsi terdaftar.67 Dan dari segi lainnya dampak yang ditimbulkan konflik di Suriah ini adalah banyaknya fasilitas-fasilitas yang ada di negara-negara tersebut hancur, seperti, bangunan-bangunan sekolah, rumah sakit, tempat ibadah dan sumber-sumber tenaga listrik dan air. Hancurnya fasilitas-fasilitas tersebut banyak membuat warga sipil di Suriah semakin merasakan penderitaan yang berlebihan, kehilangan mata pencaharian, sikitnya sumber-sumber air dan makanan, masalah ekonomi negara Suriah tersebut juga sudah mengalami krisis yang berkepanjangan. Banyak nya juga berbagai Benda-benda Sejarah yang telah diakui oleh dunia Internasional yang sudah hancur akibat serangan-serangan konflik tersebut, yang diantara dari peninggalan Sejarah di Suriah yang hancur itu adalah Masjid Agung Aleppo merupakan salah satu masjid terbesar dan tertua di kota Aleppo, yang terletak di distrik al-Jalloum yang dibangun pada awal abad ke-8. Menara masjid yang ada pun telah dibangun pada tahun 1090 M, namun selalu ada renovasi setiap tahunnya. Akan tetapi, Masjid Agung Aleppo telah rusak pada tahun 2012 akibat bentrokan yang berlangusung antara Tentara Pembebasan Suriah (FSA) dengan pasukan rezim Assad. Bahkan, menara masjid juga sudah hancur akibat perang yeng terjadi pada bulan April 2013. 67 https://id.wikipedia.org, "Syria Regional Refugee Response – Overview". UNHCR Syria Regional Refugee Response. Diakses tanggal 2016-03-03. Universitas Sumatera Utara Al Madina Souq adalah salah satu dari Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1986 yang merupakan bagian dari kota kuno Aleppo. Bahkan, Al Madina Souq juga merupakan pasar bersejarah terbesar dan tertutup di dunia, yang memebentang sekitar 13 kilometer.Tetapi, komplek tersebut kini telah hancur atau hangus sebagai akibat dari sengitnya pertempuran antara pejuang FSA melawan Angkatan Bersenjata rezim Assad. The Citadel of Aleppo Tempat tersebut merupakan benteng tertua dan terbesar di dunia dengan bangunan istana di dalamnya yang pernah ditempati oleh orang-orang Yunani, Bizantium, Ayyubiyah dan Mamluk. Namun, The Citadel telah mengalami kerusakan amat parah pada tahun 2012 selama berlangsungnya pertempuran Aleppo. Bahkan, gerbang luar benteng juga mengalami kerusakan tatkala pejuang FSA dan oposisi bentrok dengan tentara rezim Assad. Pada tahun 2015, salah satu dinding luar benteng juga mengalami kerusakan yang parah pasca meledaknya akibat ledakan sebuah bom, dan masih banyak lagi benda-benda peninggalan bersejarah yang hancur akibat dampak dari konflik berkepanjangan di Suriah. Dari latarbelakang diatas dapat dilihat banyak sekali pelanggaranpelanggaran HAM serta pelanggaran peraturan-peraturan hukum Internasional yang diantaranya mengakibatkan penderitaan dan kematian dari warga sipil yang sebenarnya tidak terlibat dalam konflik Suriah. Oleh karena itu, pentingnya suatu penegasan dasar prinsip-prinsip yang mampu memberikan suatu kepastian/jaminan kepada setiap orang-orang yang seharusnya benar-benar mendapatkan perlindungan sesuai dengan HAM ketika terjadinya konflik Universitas Sumatera Utara bersenjata. Maka dengan penggunaan dan adanya penegasan Martens Clause merupakan suatu dasar prinsip-prinsip yang ada pada setiap peraturan-peraturan Hukum humaniter Internasional yang timbul dari kebiasaan antara negara yang beradab, yang berprinsip pada hukum kemanusiaan dan dari hati nurani masyarakat. B. Implementasi Prinsip Martens Clause dalam Perlindungan Warga Sipil dan Obyek Sipil dalam Perang Suriah Ketika Hukum Humaniter Internasional tidak dapat diterapkan pada suatu konflik atau kurang efektifnya peraturan tersebut, bukan berarti konflik tersebut terlepas dari hukum humaniter Internasional. Dalam hukum humaniter internasional dikenal apa yang disebut dengan Marten‟s Clause. Marten‟s Clause atau Klausula Martens adalah suatu klausula yang menentukan bahwa apabila hukum humaniter belum mengatur masalah-masalah tertentu, maka ketentuan yang dipergunakan harus mengacu pada prinsip-prinsip hukum Internasional yang terbentuk dari kebiasaan antara negara-negara yang beradab, yang berprinsip pada hukum kemanusiaan dan dari hati nurani masyarakat. Klausul Martens pertama kali lahir pada tahun 1899, tepatnya saat Preambule Konvensi Den Haag II (mengenai hukum dan kebiasaan perang di darat) oleh Prof. Fyodor Fyodorovich Martens (dalam bahasa rusia) atau Prof. Frederic Fromhold de Martens (dalam bahasa Prancis) yang merupakan seorang pengacara dan anggota delegasi untuk konferensi perdamaian asal Rusia. Klausul ini muncul setelah pada konferensi perdamaian yang diadakan di Den Haag gagal menyepakati permasalahan tentang status warga sipil yang mengangkat senjata Universitas Sumatera Utara melawan pasukan negara musuh. Klausul ini juga sebenarnya hanya di formulasikan untuk pemecahan masalah khusus yang berkaitan tentang prinsip kemanusiaan didalam perang. Namun di tahun-tahun berikutnya setelah deklarasi klausul ini, muncul kembali pada hampir disetiap perjanjian tentang konflik bersenjata antar-negara. Masalah yang pada klausul ini yaitu memiliki pemahaman atau penafsiran yang sulit. Tidak sedikit negara yang salah menginterpretasi/menafsirkan klausul ini, sebagai contoh Inggris. Klausula Martens ini terdapat dalam Preambule Konvensi Den Haag II 1899 , yang isinya adalah sebagai berikut : ” Until a more complete code of the laws of war is issued, the High Contracting Parties think it right to declare that in cases not included in the Regulations adopted by them, populations and belligerents remain under the protection and empire of the principles of international law, as they result from the usages established between civilized nations, from the laws of humanity and the requirements of the public conscience.” Dimana artinya adalah sebagai berikut ; “Hingga undang-undang tentang hukum perang dikeluarkan, pihak-pihak yang mengadakan perjanjian memikirkan haknya untuk menyatakan bahwa perkara yang tidak ada didalam peraturan yang telah mereka setujui, para penduduk dan negara yang berperang tetap berada dibawah perlindungan atas prinsip-prinsip hukum internasional, yang timbul dari kebiasaan antara negara yang beradab, yang berprinsip pada hukum kemanusiaan dan dari hati nurani masyarakat. Universitas Sumatera Utara Maksud dari isi klausul tersebut yakni menempatkan penduduk sipil combatan maupun non-combatan, serta militer yang tidak dilindungi oleh Konvensi Den Haag, tetap dalam perlindungan dari prinsip-prinsip hukum humaniter yang berasal dari kebiasaan antar-negara yang beradab dan dari hati nurani masyarakat. Klausula Marten juga terdapat dalam Pembukaan Konvensi Den Haag IV 1907; Pembukaan Conventional Weapons Convention 1980; Pasal 63 Konvensi Jenewa I 1949; [62/II; 142/III; 158/IV]; serta Pasal 1 ayat (2) Protokol Tambahan I 1977. Dimana Martens Clause ini mengutamakan suaut Prinsip Kemanusiaan dimana timbul banyaknya pelanggaran-pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan di tengah-tengah konflik. Saat ini, regulasi spesifik sangat dibutuhkan di tengahtengah konflik bersenjata, nilai-nilai murni dan mulia dari hati nurani masyarakat harus dapat diandalkan. Dalam kondisi yang demikian ini, Martens dalam pidatonya mengadvokasi bahwa kemanusiaan semestinya ditempatkan di atas kekuatan bersenjata. Sementara yang terjadi adalah prioritas memenangkan konflik bersenjata dengan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Keadaan inilah kemudian yang menimbulkan kesadaran pentingnya kemanusiaan dalam segala kondisi, termasuk dalam kondisi konflik bersenjata. Universitas Sumatera Utara Apabila Hukum Humaniter Internasional tidak dapat berlakua atau kurang efektifnya dalam suatu konflik bersenjata, namun para pihak yang terlibat dalam perang atau konflik bersenjata harus dapat menghormati dan menjamin prinsipprinsip hukum humaniter Internasional. Dalam Hukum Humaniter Internasional ini terdapat berbagai prinsip-prinsip, yaitu :68 1. Prinsip Kemanusiaan (Humanity) Prinsip ini sebagai ketentuan untuk memberikan bantuan tanpa diskriminasi kepada orang yang terluka di medan perang, berupaya dengan kapasitas internasional dan nasional untuk mengurangi penderitaan manusia dimanapun adanya. Prinsip ini bertujuan untuk melindungi dan menjamin penghormatan terhadap manusia serta Prinsip ini bermanfaat sebagai meningkatkan saling pengertian, persahabatan, kerja sama dan perdamaian yang berkelanjutan di antara semua rakyat sehingga tidak menciptakan diskriminasi karena kebangsaan, ras, kepercayaan agama, pendapat kelas ataupun aliran politik. 2. Prinsip Kepentingan Militer ( Military Necessity) Prinsip ini merupakan ketentuan yang menetapkan bahwa suatu objek sipil hanya bisa dijadikan sasaran militer apabila telah memenuhi syarat tertentu. 3. Prinsip Proposional (Proportionality) Menurut Prinsip ini, setiap serangan dalam operasi militer harus didahului dengan tindakan yang memastikan bahwa serangan tersebut tidak akan menyebabkan korban ikutan di pihak sipil yang berupa kehilangan nyawa, 68 Abarawati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2009. Universitas Sumatera Utara luka-luka ataupun kerusakan harta benda yang berlebihan dibandingkan keuntungan militer yang berimabas langsung akibat serangan tersebut. 4. Prinsip Pembedaan (Distinction) Berdasarkan prinsip ini pada waktu terjadi perang/konflik bersenjata harus dilakukan pembedaan antara penduduk sipil (“civilian”) di satu pihak dengan “combatant” serta antara objek sipil di satu pihak dengan objek militer di lain pihak. Berdasarkan prinsip ini hanya kombatan dan objek militer yang boleh terlibat dalam perang dan dijadikan sasaran. Banyak ahli yang berpendapat bahwa prinsip pembedaan ini adalah yang paling penting dalam prinsip-prinsip hukum humaniter. 5. Prinsip HHI tentang larangan menyebabkan Penderitaan yang tidak seharusnya ( Prohibition of Causing Unnecessary Suffering) Prinsip pembatasan ini merupakan aturan dasar yang berkaitan dengan metode dan alat perang. Prinsip ini berkaitan dengan ketntuan yang menetapkan bahwa metode perang yang benar adalah metode yang dilaksanakan hanya untuk melemahkan kekuatan militer lawan. 6. Pemisahan Antara Ius Ad Bellum dengan Ius In Bello Pemberlakuan HHI, sebagai ius in bello (hukum yang berlaku untuk situasi sengketa bersenjata) tidak dipengaruhi oleh ius ad bellum (hukum tentang keabsahan tindakan perang). Dengan kata lain, HHI mengikat para pihak yang bersengketa tanpa melihat alasan dari keputusan atau tindakan perang tersebut. Universitas Sumatera Utara Pada prinsip-prinsip tersebut haruslah dihormati dan dilaksanakan oleh para pihak berkonflik bagaimanapun keadaannya, karena prinsip-prinsip ini merupakan prinsip awal atau dasar-dasar perlindungan manusia dari berbagai keadaan sebagai makhluk hidup. Martens Clause dan prinsip-prinsip dalam hukum internasional secara tegas menekankan pada penghargaan kemanusiaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, terutama pada saat terjadinya konflik bersenjata. Martens Clause mengarahkan kepada penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dengan mengutamakan dari hati nurani manusia itu sendiri dan negara-negara yang beradab, seperti misalnya tidak mengarhkan serangan pada warga sipil, tidak menimbulkan suatu penderitaan yang berlebihan serta memberikan hak-hak yang semestinya ada pada manusia. Adanya perhatian yang tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan juga terlihat dalam prinsip-prinsip yang ada pada hukum internasional, terutama terdapat dalam “Prinsip Kemanusiaan” itu. Hal ini merupakan bahwa Martens Clause dan prinsip-prinsip hukum internasional merupakan hal yang sangat tepat untuk ditempatkan pada situasi konflik bersenjata, agar Martens Clause dan prinsip-prinsip hukum internasional ini lebih di utamakan pada setiap kasus-kasus konflik bersenjata yang telah berlangsung lama seperti konflik Suriah. Dalam kondisi sulitnya penerapan hukum humaniter internasional ataupun aturan-aturan internasional untuk melindungi warga sipil dan objek sipil yang seharusnya tidak menjadi sasaran dan menimbulkan penderitaan dan kematian dalam konflik di Suriah, Maka Martens Clause dapat diterapkan dan secara langsung bersinergi dengan prinsip-prinsip Universitas Sumatera Utara hukum internasional yang benar-benar sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan hak- hak asasi manusia. Konflik yang telah lama berlangsung di Suriah ini sebenarnya sudah banyak melanggar hukum internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, karena telah melakukan tindakan-tindakan yang menimbulkan penderitaan dan kematian terhadap Warga Sipil yang secara langsung tidak terlibat dalam konflik tersebut yang dimana data-data yang dikeluarkan oleh Pemerhati HAM Internasional angka korban meninggal dari warga sipil sudah mencapai angka 200.000-500.000 jiwa serta para Pengungsi yang dikeluarkan oleh Badan UNHCR mencapai angka 13,5 juta pengungsi dimana diantaranya 6 Juta pengungsi dalam negri dan 4,8 Juta pengungsi luar Suriah. Dengan adanya dampak yang ditimbulkan oleh Konflik Suriah tersebut sudah sangat jelas suatu peraturan-peraturan yang mengatur setiap tindakan dan kebiasaan-kebiasaan suatu konflik bersenjata baik itu peerlindungan terhadap warga sipil, pihak-pihak yang bersengketa maupun objek-objek lain, begitu sangat mudah untuk dilanggar ataupun diabaikan begitu saja sehingga ketidakpedulian dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut sudah tidak lagi menghargai sebuah kehidupan manusia atau nilai-nilai kemanusiaan yang dapat dimiliki setiap manusia yang ada di dalamnya, oleh karena itu perlu adanya suatu penegasan terhadap setiap pihak-pihak yang terlibat dalam konflik Suriah untuk mengetahui pentingnya suatu nilai-nilai kemanusiaan yang ada, dan disini Martens Clause merupakan suatu dasar prinsip-prinsip yang secara tegas menghargai nilai-nilai kemanusiaan itu dari kebiasaan antara negara yang Universitas Sumatera Utara beradab, yang berprinsip pada hukum kemanusiaan dan dari hati nurani masyarakat. Adanya Martens Clause ini harus adanya dibantu dan didampingi oleh suatu Organisasi yang secara tegas mengatur setiap tingkah laku negara-negara yang ada di dunia yang mempunyai suatu tujuan mempersatukan setiap negara dalam menciptakan suatu Perdamaian Dunia. C. Upaya Perlindungan Warga Sipil dan Obyek Sipil di Perang Suriah yang dilakukan Oleh Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa Pada periode hukum internasional klasik ketika negara sebagai satu-satunya subjek hukum internasional perkembangan organisasi internasional belum begitu dominan dalam hubungan antarbangsa. Pembentukan suatu kerja sama untuk mencegah terjadainya instabilitas, telah dibentuk LBB (Liga Bangsa-bangsa) yang dewasa ini menjadi PBB(Perserikatan Bangsa-bangsa). Kedua lembaga dunia tersebut dibentuk dan dilatarbelakangi karena perselisihan, dan peperangan antarumat manusia. Dengan kacarmata ekstrikm, makhluk yang memiliki intelegensi juga tidak terlalu keliru kalau dikatakan bahwa perang merupakan suatu atribut yang tidak lepas dari masyarakat manusia.69 Dasar pendirian dan pembentukan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) adalah merupakan upaya kedua untuk membentuk suatu organisasi internasional yang universal dengan tujuan utamanya adalah memelihara perdamaian di bawah suatu sistem kemanan kolektif. Upaya pertama tentunya ketika dunia membentuk 69 Ade Maman Suherman,S.H.,M.Sc, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Ghalia Indonesia, Pajetan Barat Jakarta, 2003, hlm. 102 Universitas Sumatera Utara league of nations atau LBB (Liga Bangsa-bangsa). Peran dan fungsi PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) sejak didirikan pada tahun 1945 belum begitu menonjol terlebih adanya dua blok kekuatan yakni antara Uni Soviet dan Amerika dengan sekutunya di Eropa, Australia, dan Kanada. Namun, semenjak perang dingin antarblok Barat dan Timur berkesudahan, dunia nampak semakin terpola pada suatu komando dan satu irama melalui fungsionalisasi optimal organ-organ PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) termasuk specialised agency tentunya. Sebagai bukti bahwa PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) bertujuan untuk menciptakan perdamaian dunia dapat dilihat dalam Pasal 1 Piagam PBB tentang keanggoataan. Dewasa ini peran PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) tidak hanya terfokus pada pemeliharaan perdamaian global saja, sejumlah organ PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) secara konsisten dan ekstensif membidangi urusan-urusan lain, seperti masalah hak asasi manusia, pengungsi, dekolonialisasi, ekonomi dan pembangunan, perlindungan lingkungan, dan pengembangan hukum internasional sesuai amanat dari Pasal 1 dan 4 UN Charter. Salah satu Organ Utama dalam PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) yang berfungsi sebagai pemeliahara terciptanya perdamain adalah Dewan Keamanan PBB (Perserikatan Bangsabangsa). Dewan Keamanan PBB ini mempunyai 3 Tugas dan Fungsi utama, yaitu sebagai berikut :70 1. Membuat rekomendasi untuk penyelesaian sengketa secara damai 70 D.W Bowett, Hukum Organisasi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm.42 Universitas Sumatera Utara 2. Mengambil tindakan terhadap kegiatan yang mengancam perdamaian, mengganggu perdamaian, dan tindakan agresi 3. Memerankan peranan yang sangat penting dalam pengembangan operasi penjaga perdamaian Dari 3 tugas dan fungsi utama Dewan Keamanan PBB dan Tujuan utama Organisasi PBB jika dikaitkan dengan konflik Suriah saat ini yang telah berlangsung sangat lama mungkin tugas dan tujuan itu hanya berupa angan-angan belaka saja, dikarenakan sudah sangat lamanya konflik Suriah ini berlangsung tidak ada tampak sesuatu yang akan merubah keadaan pada Konflik Suriah tersebut, namun keadaan di Suriah hari ke hari semakin memburuk. Bukan berarti PBB tidak melakukan apapun, Upaya-upaya yang tampak dilakukan PBB terhadap konflik di Suriah ada beberapa hal saja, diantaranya penaganan para Pengungsi-pengungsi yang berada di luar maupun di dalam Suriah, Lembagalembaga PBB seperti HAM PBB dan UNICEF yang terus meginvestigasi dan mengungkap berbagai data kasus Suriah. Meski Program dan Upaya-upaya PBB dalam penyelesaian konflik Suriah tersebut sudah banyak dilakukan namun sampai saat ini konflik Suriah masih terus berlanjut dan kondisi di Suriah masih kian mencekam. Bahkan tingkat angka kematian dari tahun ke tahun kian meningkat dan penggunaan-penggunaan senjata-senjata konvensional (senjata kimia) semakin sering digunakan pada situasi konflik Suriah. Jika telah terjadi hal-hal yang melanggar suatu aturan hukum internasional yang membuat menderita dan tewas nya warga sipil, PBB hanya selalu meresponnya dengan kalimat “Mencekam hal tersebut”, namun kalimat tersebut tidak akan berguna bila Universitas Sumatera Utara hal-hal buruk tersebut sudah terjadi. Seharusnya adanya tindakan atau upaya yang lebih dari PBB dalam mencegah hal buruk tersebut untuk tidak akan pernah terjadi kembali. Seperti yang dikatakan oleh Utusan khusus PBB untuk Suriah, Staffan de Mistura, yang menyatakan betapa mengerikan konflik Suriah. “Sejauh yang saya amati, tragedi ini dianggap sebagai bencana kemanusiaan terburuk sejak Perang Dunia II,” Ungkap Mistura kepada Al Jazeera. Setiap pelanggaran hukum humaniter internasional yang terjadi dalam Konflik Suriah, selalu saja banyak kegagalan PBB untuk memberikan suatu sanksi terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Dimana kegagalan PBB dalam menjatuhkan sanksi terhadap pihak-pihak tersebut tidak luput dari adanya 2 negara Adidaya yang menjadi anggota permanen/tetap PBB yaitu Amerika Serikat dan Rusia, yang dimana kedua negara ini tampaknya terlibat atau negara yang mengintervensi konflik Suriah. Dimana Rusia mendukung atau membantu pemerintahan Assad dalam melawan Pemberontak Pemerintah sedangkan Amerika Serikat membantu Kelompok-kelompok penolak Rezim Pemerintahan Bashar Al-Assad. Di dalam Dewan Keamanan PBB ini terdapat 5 negara anggota permanen/tetap diantaranya adalah Amerika Serikat, Cina, Inggris, Prancis dan Rusia yang dimana ke lima negara ini masing-masing mempunyai hak veto. Permasalahan yang krusial adalah seberapa besar kekuasaan negara anggota Dewan Keamanan dalam kaitannya dengan hak veto yang mereka miliki. Apabila terdapat suatu konflik, negara anggota tetap Dewan Keamanan turut campur Universitas Sumatera Utara tangan langsung dalam sengketa tersebut atau paling tidak memiliki kepentingankepentingan tersembunyi. Dewan Keamanan dapat menjatuhkan sanksi kepada negara anggota PBB menurut BAB VII Piagam dalam 3 hal, yaitu Pertama, jika negara itu mengadakan tindakan-tindakan yang mengancam perdamaian. Kedua, jika melanggar perdamaian dan yang ketiga jika negara itu melancarkan suatu agresi terhadap negara lain. Tindakan-tindakan yang mengancam perdamaian dan keamanan Internasional dapat dibedakan di dalam dua pengertian. Pengertian pertama, di dalam kerangka Pasal 34 Piagam dimana terjadi pertikaian diantara negara yang berkelanjutan yang mungkin dapat mengancam perdamaian dan tidak akan diikuti dengan sanksi. Sedangkan pengertian kedua adalah di dalam kerangka BAB VII Piagam yaitu menyangkut suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu negara yang melanggar prinsip-prinsip PBB yang secara langsung dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional dan dapat dikenakan sanksi menurut Pasal 39-51 Piagam. Jika Melihat pada Pasal 29 ayat (2) Universal Declaration of Human Right 1948 yang berbunyi : “di dalam menjalankan hak-hak dan kebebasankebebasannya setiap orang harus tunduk hanya kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak bagi hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk memenuhi syarat-syarat benar dari kesusilaan, tata tertib umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Universitas Sumatera Utara Dari ketentuan ini terbukti bahwa pengakuan ketentuan Hak Asasi Manusia tidak akan menggiring orang per orang menjadi bebas tanpa ada batasan melainkan dibatasi oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar tersebut setiap negara anggota PBB “ditantang” untuk menciptakan perdamaian dunia dalam rangka menegakkan Hak Asasi Manusia terutama mencegah terjadinya perang antar negara atau perang saudara. Dewan Keamanan PBB seharusnya berperan penuh pada konflik yang terjadi di Suriah yang sudah berlangsung sangat lama kurang lebih 7 tahun lamanya, kerugian baik materiil dan moril terus menerjang rakyatnya. Hancurnya rumah-rumah penduduk, fasilitas kesehatan, pendidikan dan infrastruktur lain menambah lengkap penderitaan rakyat Suriah yang harus berjuang ditengah konflik yang sampai saat ini masih berlangsung. Hal ini tidak membuat pihak yang terlibat konflik, baik dari pihak pemerintah maupun oposisi yang kontra dengan pemerintah, untuk segera menghentikan agresi perang ini yang terus dilakukan demi mencapai kepentingan pihak-pihak yang terkait. Dewan Keamanan PBB mengecam tindakan tersebut berulang kali dan menghimbau Presiden Suriah Bashar al-Assad untuk menghentikan serangan pada rakyat prodemokrasi. Perang Suriah sebenarnya hanya membuat penderitaan berkepanjangan bagi rakyat Suriah sendiri. Banyak warga yang tewas akibat gempuran senjata konvensional seperti senapan, granat, rudal, dan sebagainya. Namun yang lebih mengerikan adalah penggunaan senjata kimia pemusnah massal yang mulai marak digunakan di Suriah. Diketahui penggunaan senjata semacam ini sangat efektif Universitas Sumatera Utara sekaligus berbiaya lebih murah dalam rangka menghabisi populasi warga seterunya. Dunia internasional sangat menentang penggunaan senjata kimia ini namun ternyatamasih terus digunakan pada konflik Suriah. Dalam hal penggunaan senjata kimia dalam konflik Suriah sudah berulang kali terjadi penggunaannya, dimana penggunaannya dimulai sejak tahun 2013 dan terakhir kalinya terjadai pada bulan April 2017 yang menewaskan kurang lebih 100 jiwa. Dengan terjadinya kembali penggunaan senjata kimia yang terjadi dalam konflik Suriah ini, Dewan Keamanan PBB melakukan sidang Resolusi DK PBB terkait penggunaan Senjata Kimia dalam konflik Suriah yang dimana hasil dari sidang ini kelima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Rusia menggunakan hak Veto nya dalam draf Resolusi Dewan Keamanan PBB sedangkan Cina abstein dalam hasil sidang ini dan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis menyetujui Resolusi Dewan Keamanan PBB tersebut dengan berniat meminta pemerintah Suriah mematuhi rekomendasi tim Pencari Fakta Pelanggaran Senjata Kimia (OPCW) serta mekanisme tim gabungan OPCWPBB.71 Secara keseluruhan Rusia sebagai salah satu dari lima anggota permanen Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan delapan veto yang menggagalkan draf resolusi Dewan Keamanan PBB terkait Konflik Suriah. Berdasarkan statistik dari tahun 1946-2002, negara yang paling banyak menggunakan hak veto adalah Uni Sovyet (Rusia), yaitu sebanyak 122 kali. Kemudian diikuti oleh Amerika Serikat sebanyak 81 kali, Inggris sebanyak 32 kali dan Prancis menggunakan hak veto sebanyak 18 kali. Sedangkan China baru 71 http://www.bbc.com/indonesia/dunia-39585739 diakses pada tanggal 13 April 2017 Universitas Sumatera Utara menggunakannya sebanyak 5 kali. Dari statistik di atas, terlihat jelas bahwa hak veto didominasi oleh dua negara yang pernah bersiteru dalam perang dingin, yaitu Uni Sovyet (Rusia) dan Amerika Serikat. Untuk Amerika Serikat, 39 veto yang dikeluarkan ialah untuk memberikan dukungan terhadap Israel. Menurut data, dalam konflik Arab-Israel, dari 175 resolusi Dewan Keamanan PBB tentang Israel, 97 menentang Israel, 74 netral dan 4 mendukung Israel. Tentunya ini tidak termasuk resolusi yang diveto Amerika Serikat. Melihat realitas saat ini, penggunaan hak veto yang dimiliki oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB sangat jauh atau bertentangan dengan asas keadilan dan mengingkari realitas sosial. Adakala keputusan yang ditetapkan dalam forum PBB dibatalkan oleh negara pemilik veto. Sebenarnya, hak veto tidak menjadi sebuah masalah jika digunakan sebagaimana mestinya. Namun, jika melihat kondisi saat ini hak veto digunakan untuk menentang prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran atau dengan kata lain merusak citra PBB sebagai penjaga perdamaian dunia. Hingga detik ini, masalah hak veto selalu membayangi legitimasi PBB. Dengan hak veto, maka setiap anggota dari Dewan Keamanan PBB dapat mempengaruhi terjadinya perubahan substansi secara besar-besaran dari suatu resolusi. Bahkan, hak veto mampu mengancam terbitnya resolusi yang mampu mengancam terbitnya resolusi yang dianggap tidak menguntungkan bagi negara pemegang veto. Inilah sebuah kesalahan fatal dari penyalahgunaan sistem hak veto. Di lain sisi, para perwakilan negara di PBB kadang mengungkapkan kecenderungan negara pemegang veto untuk saling mengancam menggunakan vetonya dalam forum tertutup agar kepentingan mereka masing-masing dapat terpenuhi tanpa sama sekali peduli Universitas Sumatera Utara terhadap negara anggota tidak tetap. Hal inilah yang terkenal dengan istilah “closet veto”. Dengan kata lain ketidakefektifan PBB dengan batu sandungan veto negara anggota menunjukan bahwa PBB sendiri juga menjadi medan tarik ulur politik. Dimana tujuan utama Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa yang terdapat dalam Pasal 1 Piagam PBB tentang keanggotaan sudah tidak sesuai lagi dengan apa yang terjadi dalam penaganan kasus konflik Suriah. Seharusnya sudah saatnya adanya reformasi di dalam badan keanggotaan PBB khususnya oragan utama PBB dalam menjaga perdamaian dunia yaitu Dewan Keamanan PBB. Dimana ada beberapa hal yang harus berubah dalam struktur , kewajiban, hak serta tugas dan fungsi keanggotaan Dewan Keamanan PBB, diantaranya ; 1. Tidak ada lagi penteapan anggota permanen dan tidak permanen dalam keanggotaan Dewan Keamanan PBB, dimana penetapan seperti itu tidak mencerminkan adanya suatu organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa dunia yang mempunyai tujuan yang sama yaitu perdamaian dunia dan dimana jika diperhatikan Dewan Keamanan PBB itu hanya dukuasai atau diduduki oleh negara-negara yang menjadi anggota permanen saja sedangkan anggotaanggota tidak permanen hanya sebagai pelengkap saja. 2. Mengenai hak veto yang dimiliki oleh setiap negar-negara anggota permanen Dewan Keamanan PBB, dimana, agar hak veto itu dihapuskan atau bila tidak dapat dihapuskan setidaknya bukan hanya negara-negara anggota permanen saja yang dapat memiliki hak veto tersebut, tetapi setiap negara yang menjadi anggota Dewan Keamanan PBB mendapat hak veto Universitas Sumatera Utara tersebut. Karena apabila hanya negara anggota-anggota permanen saja yang memiliki hak veto tersebut itu menggambarkan tidak adanya suatu prinsip keadilan dalam Dewan Keamanan PBB. 3. Mengenai penggunaan hak veto tersebut dalam suatu sidang Dewan Keamanan PBB, dimana setiap penggunaan hak veto tersebut tidak digunakan karena suatu alasan kepentingan negara pemegang hak veto tersebut. Namun disini penggunaan hak veto tersebut haruslah berdasarkan yang timbul dari kebiasaan antara negara yang beradab, yang berprinsip pada hukum kemanusiaan dan dari hati nurani yang mengutamakan kepentingan perdamaian dunia untuk menjamin setiap umat manusia di dunia. Dengan adanya reformasi atau perubahan baru yang ada dalam Dewan Keamanan PBB yang berdasarkan kepada asas keadilan, asas kemanusiaan, asas persatuan dan asas kepentingan perdamaian dunia yang timbul dari kebiasaan antara negara yang beradab dan dari hati nurani mungkin akan ada suatu hal yang baru untuk dapat menyelesaikan setiap konflik yang ada di dunia ini, khusus nya terhadap konflik Suriah yang sudah berlangsung begitu lama yang mengakibatkan setiap manusia yang ada dalam negara Suriah tersebut mengalami penderitaan yang sudah sangat lama akan dapat merasakan suatu kebebasan yang dirasakan seperti setiap manusia lainnya yang meraskan suatu perdamaian dunia. Universitas Sumatera Utara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan uraian serta penjelasan pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat menarik kesimpulan yang berkaitan dengan pokok pembahasan serta sekaligus merupakan jawaban dari permasalahan yang penulis buat, yaitu : 1. Setelah dilihat serta dijelaskan suatu Kedudukan Prinsip Martens Clause dalam Hukum Humaniter Internasional maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa adanya suatu nilai-nilai kemanusiaan dari hati nurani yang ditegaskan dalam isi dari Prinsip ini serta adanya kesadaran dari bangsabangsa yang beradab. Dalam Prinsip Martens Clause ini juga terkandung prinsip/asas Kemanusiaan yang dimana prinsip/asas ini juga merupakan sesuatu tolak ukur yang sangat penting keberadaannya untuk memberikan suatu kepastian perlindungan terhadap orang-orang, baik warga sipil maupun pihak yang bersengketa yang menjadi korban dalam sebuah konflik besenjata. Prinsip Martens Clause juga telah tercantum di dalam Pembukaan (Preambule) beberapa Konvensi yang mengatur tentang kebiasaankebiasaan perang. 2. Adanya suatu Peraturan yang mengatur perlindungan terhadap warga sipil dan obyek sipil yang telah diatur secara umum dalam bentuk suatu konvensi merupakan beberapa upaya yang dilakukan untuk melindungi warga sipil, obyek sipil serta pihak-pihak lain yang terlibat dalam suatu konflik Universitas Sumatera Utara bersenjata. Dengan adanya suatu peraturan untuk mengatur perlindungan warga sipil dan obyek sipil ini sudah seharusnya dapat memberikan kepastian perlindungan warga sipil dan obyek sipil dalam suatu konflik bersenjata. Dibentuknya beberapa Konvensi yang mengatur perlindungan warga sipil dan obyek sipil ini dikarenakan dalam kenyataan di suatu konflik bersenjata masih banyak warga sipil dan obyek sipil yang menjadi sasaran perang yang mengakibatkan penderitaan yang berlebihan hingga kematian terhadap warga sipil. Oleh karena itu sangat pentingnya peraturan ini diterapkan dan dipatuhi dengan baik dalam suatu konflik yang terjadi agar tidak adanya warga sipil dan obyek sipil yang menjadi korban sasaran perang khususnya dalam konflik Suriah yang telah berlangsung lama yang telah menelan banyak korban warga sipil. 3. Dengan dilihat sejarah perkembangan Hukum Humaniter Internasional kita dapat memahami sudah banyak peraturan-peraturan atau konvensi-konvensi yang mengatur setiap kebiasaan-kebiasaan yang terdapat dalam suatu konflik bersenjata baik secara internasional ataupun non-internasional. Namun dengan adanya peraturan-peraturan tersebut masih banyak warga sipil dan obyek sipil yang menjadi korban. Jika dilihat kembali isi dari Prinsip Martens Clause atau Klausula Martens ini, mengandung suatu pernyataan yang menjadi kunci untuk menjunjung tinggi pentingnya suatu nilai-nilai kemanusiaan, yaitu “para penduduk dan negara yang berperang tetap berada dibawah perlindungan atas prinsip-prinsip hukum internasional, yang timbul dari kebiasaan antara negara yang beradab Universitas Sumatera Utara yang berprinsp pada hukum kemanusiaan dan dari hati nurani masyarakat”. Jika penerapan Prinsip Martens Clause ini lebih diutamakan dalam penyelesaian masalah konflik Suriah akan memberikan dampak positif untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada di Konflik Suriah khususnya perlindungan warga sipil dan obyek sipil. Prinsip Martens Clause ini dapat diterapkan bila adanya dukungan dari negara-negara yang beradab serta pendapat publik dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik Suriah betapa pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam sebuah kehidupan baik dalam situasi terjadinya konflik bersenjata maupun non-konflik bersenjata khususnya yang terjadi di Suriah. Dimana peran penting Organisasi Internasional juga sangat penting khusunya PBB yang merupakan organisasi Perdamaian Dunia, sebagai Organisasi yang tujuan utamanya mewujudkan suatu Perdamaian Dunia dapat membantu penyelesaian konflik Suriah ini dengan kinerja atau hasil yang sungguh-sungguh, yang dimana konflik ini sudah berlangsung sangat lama dan menimbulkan akibat penderitaan terhadap manusia yang ada dalam negara Suriha tersebut Universitas Sumatera Utara B. SARAN Dari hasil penulisan skripsi ini, ada beberapa saran yang akan dikemukakan, semoga saran ini berguna bagi semua pihak, terutama bagi kita kalangan akademis dan bagi masyarakat umum lainnya. 1. Istilah yang benar kalau dikatakan konflik itu tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia. Namun konflik itu dapat kita hindari agar tidak terjadi, karena konflik itu akan hanya terus membawa penderitaan pada setiap pihak yang terlibat di dalamnya. Konflik itu meupakan suatu yang timbul karena adanya suatu sifat kebencian dan jika konflik tersebut terus berlanjut, yang terjadi hanya akan menyambung terus siklus-siklus kebencian yang terjadi di dalamnya Kita dapat menghindari konflik tersebut dengan cara menjalin kebersamaan yang kuat pada setiap manusia dengan tidak memandang sedikit pun perbedaan yang dimilikinya, saling menghargai, mempunyai rasa kepercayaan satu sama lainnya hidup bersama secara damai. 2. Marilah kita setiap manusia yang hidup di dunia ini sebagai makhluk yang paling berarti di mata Tuhan Yang Maha Esa tidak menciptakan hal-hal yang dimurkakan Tuhan, karena setiap hal yang kita lakukan di dunia tersebut hanyalah hal-hal yang akan berlangsung sementara saja. Apakah salah dan rugi bila setiap manusia hidup bersama dan berdampingan secara damai ? mungkin tidak, malah sebaliknya apabila kita hidup dalam suatu konflik, maka banyak kerugian yang akan terjadi. Oleh karena itu, marilah kita sebagai manusia menghargai setiap kehidupan yang ada dan saling Universitas Sumatera Utara hidup berdampingan dengan setiap manusia dengan tidak memandang sedikitpun perbedaan yang ada. 3. Bagi setiap negara-negara yang ada di dunia serta organisasi-organisasi yang mengutamakan pentingnya suatu PERDAMAIAN DUNIA ada baiknya kepentingan itu yang harus diutamakan dari setiap kepentingan negara-negara yang bersifat sementara tersebut, karena bila PERDAMAIAN DUNIA diutamakan dia tidak akan bersifat sementara saja tetapi akan terus-menerus terjaga bila adanya konsistensi setiap negara-negara dunia menjunjung tinggi arti pentingnya sebuah PERDAMAIAN DUNIA. Universitas Sumatera Utara