BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Human Immunodeficiency Virus 2.1.1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Human Immunodeficiency Virus
2.1.1 Definisi dan Etiologi HIV/AIDS
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang
menyerang sistem imun manusia yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency
Virus (HIV), yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 merupakan penyebab terbanyak dari
AIDS, yang mana virus tersebut menyebabkan tubuh kehilangan mekanisme
pertahanan alamiah dalam melawan penyakit, sehingga tubuh menjadi rentan
terhadap berbagai penyakit. Kemudian Retrovirus yang kedua, HIV-2, juga
disebutkan sebagai agen penyebab AIDS yang endemis di Afrika Barat. Selain itu,
HIV-2 juga ditemukan di Brazil, Eropa dan Amerika Utara (Gibbs et al., 2008;
Hammili et al., 2004).
HIV adalah lentivirus yang merupakan anggota dari Retrovirus, yang
memiliki genom Ribo Nucleic Acid (RNA) yang terdiri dari core (p18, p24 dan p27)
dan protein surface (gp120 dan gp41), enzim reverse transcriptase, serta lipid
sebagai envelope. Virion mengandung tiga struktur gen (gag, pol dan env) juga
kompleks gen regulatory (termasuk tat,vif, nef, vpu dan ref) yang mengontrol
produksi virion. Retrovirus terdiri dari sejumlah besar anggota virus RNA berenvelope yang berfungsi mengkode enzim reverse transcriptase, yang menyebabkan
DNA double-stranded ditranskripsi dari virion RNA. Kemudian virus tersebut akan
1
menimbulkan replikasi DNA dan berintegrasi pada genom dari sel host. Maka dari
itu, infeksi sel oleh Retrovirus akan membentuk suatu sumber potensial untuk
masuknya virus baru. HIV lebih menginfeksi sel sel yang memiliki CD4+
glycoprotein surface antigen, khususnya limfosit T-helper, makrofag, sel di susunan
saraf pusat dan sel plasenta. Spesifisitas tersebut disebut dengan viral trophism dan
hal tersebut timbul akibat HIV protein gp 120 yang secara spesifik mengikat molekul
CD4+ dan menyebabkan masuknya virus tersebut ke dalam sel. Dan paling sedikit
dibutuhkan dua molekul sel permukaan lain yang membantu HIV memasuki sel sel
tersebut atau yang dikenal dengan istilah Koreseptor, Koreseptor tersebut adalah
CXCR4 dan CCR5 yang merupakan reseptor kemokin yang paling sering
diidentifikasi. Kedua koreseptor tersebut ada di dalam sel host dan digunakan oleh
virus untuk membawa envelope virus dan membrane sel host. Strain HIV dapat
secara luas terbagi menjadi dua kategori, yaitu Makrofag tropic (M-tropic) dan T-cell
tropic (T-tropic). Strain M-Tropic memakai CCR5 sebagai koreseptor dan disebut
sebagai virus R5, yang lebih menginfeksi makrofag, sel T dan menginfeksi CD4+
pada garis sel T yang lebih buruk. Selain itu, virus virus tersebut cenderung lebih
mudah ditularkan lewat hubungan seksual. Strain T-Tropic memakai CXCR4 sebagai
koreseptor, yang kebanyakan diekspresikan di CD4+ sel T, yang disebut dengan virus
X4.
Gambar 1.1 Human Immunodeficiency Virus (Flexner, 1998)
Koreseptor CXCR4 terutama berinteraksi dengan CD4+ dari limfosit T pada stadium
infeksi yang advance. Virus X4 menginduksi pembentukan sinsitium dari sel yang
terinfeksi. Pada infeksi awal, strain virus R5 mendominasi, namun meskipun
demikian baik virus X4 maupun R5 sama sama dapat kembali pulih (Cunningham et
al., 2010; Gibbs et al., 2008).
2.1.2 Transmisi HIV
Infeksi HIV dapat ditularkan melalui 3 rute, yaitu : Jalur yang pertama adalah
lewat hubungan sexual, yang merupakan jalur transmisi utama HIV, khususnya jika
didapati luka atau laserasi pada alat genitalia. Diperkirakan kemungkinan terinfeksi
HIV lewat hubungan heterosexual antara 0,03% hingga 0,09%. Kemungkinan
penularan juga dipengaruhi oleh subtipe virus, immunitas host dan faktor lingkungan
(DeCherney et al., 2005; Hammilil, 2004).
Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa prosentase infeksi
HIV pada wanita lebih tinggi dari pada pria, yang mana kemungkinan ini disebabkan
karena transmisi virus lebih mudah terjadi pada wanita dibandingkan pada pria. Hal
ini disebabkan oleh, pertama, konsentrasi HIV di semen yang tinggi, kedua, coitus
menyebabkan mukosa introitus vagina lebih mudah robek dibandingkan dengan kulit
penis. Traktus genitalia wanita berperan baik sebagai barrier maupun jalur masuknya
HIV. Dinding vagina terdiri dari epithel squamous stratified non-keratinizing dan
mucous servix yang menyediakan barrier mekanik terhadap masuknya virus. Namun,
dengan adanya gangguan pada barrier pelindung tersebut, baik itu fisiologis maupun
psikologis, akan menyebabkan masuknya virus. Hydrogen peroksida yang
memproduksi lactobaccilus akan membuat pH vagina asam, sehingga dapat
menghambat masuknya HIV-1. Mukosa genitalia memiliki imunitas aktif. Sel
dendritik saling mengadakan hubungan dengan sel epithel untuk membiarkan
lewatnya antigen, sekaligus sebagai sel target untuk masuknya HIV. Sel T yang
teraktivasi dan makrofag juga banyak ditemukan di mukosa dan diantara sel sel
pertama yang terinfeksi saat hubungan sexual. Namun, sel T Helper, sel T sitotoksik,
sel NK dan antibodi neutralizing dan non neutralizing juga ada di mukosa untuk
mencegah infeksi atau mengeliminasi sel yang terinfeksi. Sitokin seperti interferon
dan kemokin seperti Makrofag Inflammatory Protein (MIP)-1a, MIP-1b dan ekspresi
Regulated on Activation Normal T Cell (RANTES) juga berperan penting dalam
mencegah masuknya HIV-1, meskipun sitokin proinflamasi lainnya dapat
menstimulasi masuknya HIV (Sheffield et al., 2009).
Tingginya kadar virus dalam darah (viral load) berhubungan dengan
peningkatan jumlah virus di genitalia. Viral load cenderung meningkat pada fase
infeksi akut dan selama fase immunosupresi. Peningkatan HIV pada lavage
cervicovaginal sering kali berhubungan dengan penurunan kadar CD4+ dan
peningkatan viral load. Ulserasi genitalia yang disebabkan oleh berbagai penyakit
menular seksual atau sexually transmitted disease (STDs) tampak meningkatkan
risiko transmisi, begitu pula dengan hubungan seksual tanpa pelindung pada saat
menstruasi. Adanya peningkatan HIV di genitalia telah dibuktikan pada kejadian
STDs ulcerative maupun non-ulcerative (Gibbs et al., 2008).
Penyakit menular seksual seperti Gonorrhea, Clamydia atau trichomoniasis
telah diidentifikasi menjadi faktor risiko dalam transmisi HIV. Mekanismenya adalah
penarikan CD4+ ke area tersebut. Inflamasi yang berhubungan dengan STDs akan
memicu peningkatan produksi sitokin pro-inflamasi (Interleukin (IL) 1, IL 6 dan
Tumor Necrosis Factor (TNF) α) yang mana akan meningkatkan replikasi HIV
(Gibbs et al., 2008).
Rute yang kedua adalah lewat jalur parenteral, yaitu lewat kontak dengan
jarum, infus atau produk yang terkontaminasi darah, jarum yang dipakai bergantian
untuk memasukkan obat kedalam tubuh, dan transfusi darah yang tidak di screening
(DeCherney et al., 2005; Gibbs et al., 2008)
Sedangkan rute yang ketiga adalah lewat transmisi perinatal, yaitu transmisi
vertikal (Mother to Child Transmission/MTCT) baik antepartum, intrapartum maupun
postpartum (menyusui). Pada penelitian cohort tahun 2001 oleh Kourtis and
colleagues, mereka memperkirakan 20% transmisi terjadi sebelum usia kehamilan 36
minggu, 50% pada beberapa hari sebelum persalinan, dan 30% saat intrapartum.
Transmisi lewat menyusui cukup tinggi yaitu 30-40%. Transmisi vertikal lebih sering
terjadi pada persalinan preterm, khususnya pada ketuban pecah dini. Pada ibu yang
tidak menyusui, risiko MTCT saat dalam kandungan adalah sebesar 80%, namun
dengan pemberian ARV maka risiko MTCT dapat ditekan. Sebelum dikenalkan terapi
intrapartum tersebut, angka penularan perinatal secara keseluruhan yang tercatat di
negara maju 14-25% dan 25-40% di Negara berkembang (Cunningham et al., 2010;
DeCherney et al., 2005).
Hanya 15-23% kasus infeksi HIV pada neonatus dianggap sebagai akibat
penularan intrapartum. Penularan utama terjadi saat persalinan dan awal periode
postpartum. Sedangkan sisanya terjadi akibat penularan dari menyusui di periode
akhir postpartum. Dengan Terapi ARV, angka transmisi ibu ke janinnya sangat
menurun. Transmisi HIV perinatal paling akurat berhubungan dengan kadar HIV
RNA plasma maternal atau viral load. Seperti yang telah dibuktikan pada penelitian
cohort tahun 2002 oleh Cooper and colleagues, infeksi neonatus hanya 1% dengan
kadar HIV RNA ibu < 400 kopi/ml, dan infeksi neonatus makin meningkat menjadi
30% pada kadar HIV RNA ibu yang > 100.000 kopi/ml. Yang terlebih penting lagi,
terapi dengan Zidovudine (ZDV) yang dapat menurunkan level HIV RNA ibu
menjadi < 500 kopi/ml, juga dapat meminimalkan risiko transmisi. Selain itu, kadar
CD4+ juga memberi pengaruh, hal ini dibuktikan dari peningkatan angka transmisi
yang berhubungan dengan penurunan kadar CD4+. Pada penelitian European
Collaborative, didapatkan korelasi yang berbanding terbalik antara jumlah CD4+
absolut dibawah 200 sel/mm3 dengan peningkatan transmisi dan pada jumlah CD4+
absolut diatas 800 sel/mm3, transmisi neonatal masih terjadi namun jumlahnya lebih
sedikit. Secara garis besar jumlah CD4+ absolut dan p24 antigenemia cenderung
menggambarkan viral load (Gibbs et al., 2008).
2.1.3 Patogenesis infeksi HIV
Infeksi diinisiasi oleh pengikatan protein pada permukaan virus (glikoprotein
120 Env Protein) pada reseptor spesifik molekul Cluster of Diffrentiation 4 (CD 4)
yang ditemukan di beberapa sel Limfosit T, sel makrofag dan sel microglial. Ekspresi
reseptor CD 4 membutuhkan stimulasi antigen, contoh HIV berpotensi menginfeksi
sel B hanya jika didapati infeksi EBB sebelumnya. Cluster of Diffrentiation 4
pertama kali dibuktikan berperan sebagai reseptor virus pada beberapa penelitian,
yang menandakan kerentanan sel yang memiliki CD 4 untuk mengalami infeksi dan
sekaligus memiliki kemampuan untuk memblok infeksi lewat antibodi monoclonal
anti CD 4 pada kultur. Sedangkan koreseptor CCR5 and CXCR4 diperlukan agar
virus dapat memasuki sel. Pada saat infeksi awal, kadar viremia umumnya menurun,
namun setelah beberapa waktu, kadar sel Limfosit T akan menurun drastis, sehingga
menimbulkan kondisi imunosupresi (Fauci & Lane, 2007; Kahn & Walker, 1998)
Pada penelitian penderita HIV yang asimptomatis dan memiliki jumlah CD4+
absolut yang normal tanpa pengobatan telah menunjukkan beberapa mekanisme
sistem imun yang signifikan dalam mengkontrol infeksi HIV. Meskipun demikian,
virus HIV tetap memiliki strategi yang saling berhubungan erat untuk menghindari
sistem imun yang baik dan terus bereplikasi. Yang terbanyak dipelajari dari strategi
tersebut adalah variasi antigen, down regulation ekspresi permukaan molekul major
histocompability complex (MHC), dan penurunan sel T CD8+ spesifik. Suatu ketika
jika HIV berhasil menyebabkan penurunan jumlah CD4+ absolut, maka penurunan
kadar Limfosit T tersebut, yang seharusnya berperanan penting dalam respon sistem
imun akan menyebabkan sistem imunitas tubuh melemah, sehingga, individu yang
terinfeksi akan rentan mengalami infeksi opportunistic (contoh : Pneumocystis
Carinii Pneumonia (PCP) dan Toxoplasmosis Susunan Saraf Pusat) dan Neoplasia
(contoh : Sarcoma Kaposi). Penyakit penyakit tersebut jarang mengenai individu
terinfeksi dengan sistem imunitas yang baik. Mekanisme penurunan jumlah CD4+
absolut pada fase akut berbeda dengan fase kronik. Pada fase akut, HIV menginduksi
lisisnya sel dan mematikan sel yang terinfeksi lewat sel T Sitotoksik, sehingga terjadi
penurunan kadar sel T CD4+. Walaupun dalam hal ini, proses apoptosis juga
memegang peranan. Selain itu, penurunan jumlah CD4+ absolut disebabkan oleh
karena peranannya sebagai reseptor virus agar virus dapat memasuki sel, sehingga
dengan peningkatan HIV dalam darah (viremia), kadar CD4+ akan makin menurun.
Pada fase kronis, akibat dari aktivasi sistem imun general bersamaan dengan
berangsur angsur hilangnya kemampuan sistem imun untuk membentuk sel T baru
tampaknya menyebabkan penurunan perlahan dari jumlah CD4+ absolut (Gibbs et
al., 2008).
Penyebab utama hilangnya sel T CD4+ tampak berasal dari kerentanannya
yang tinggi terhadap proses apoptosis pada saat sistem imun teraktivasi. Meskipun sel
T baru terus diproduksi oleh tymus untuk menggantikan yang hilang, kemampuan
beregenerasi dari tymus dihancurkan secara perlahan lahan pada tymosit oleh HIV.
Dan jika jumlah minimal dari sel T CD4+ yang diperlukan untuk mempertahankan
respon imun utama hilang, maka AIDS akan berkembang. (Gibbs et al.,2008)
Individu yang terinfeksi HIV yang disertai dengan salah satu di antara infeksi
opportunistic, neoplasia, dementia, encephalopathy atau wasting syndrome yang lain
didiagnosis dengan AIDS. Diagnosis AIDS dapat dibuat walau tanpa bukti infeksi
secara laboratoris. Namun pada tahun 1993, CDC merubah definisi tersebut menjadi
semua individu terinfeksi HIV dengan kadar CD4+ di bawah 200 sel/mm3 disertai
salah satu dari antara tuberculosis pneumonia, kanker servix advanced dan
pneumonia recurrent (Gibbs et al., 2008)
Antibodi dapat terdeteksi pada semua individu yang baru terinfeksi dalam
waktu 6 hingga 12 minggu setelah paparan, namun ada beberapa yang lebih lama dari
pada itu. Setelah terjadi serokonversi, umumnya diikuti dengan periode asimptomatis
yang durasinya bervariasi. Rata rata periode laten tersebut, tanpa disertai dengan
terapi yang efektif diperkirakan 11 tahun. Penderita yang terinfeksi HIV yang
langsung berkembang jadi AIDS sangat jarang terjadi (<5%). Namun, meskipun
tanda tanda klinis defisiensi sistem imun dari AIDS tidak berlangsung dalam
beberapa tahun setelah terinfeksi, sejumlah besar sel T CD4+ yang hilang terjadi
dalam beberapa minggu setelah infeksi, khususnya di mukosa intestinal, yang
merupakan labuhan utama limfosit yang ada dalam tubuh. Alasan hilangnya sel T
CD4+ dalam jumlah besar di mukosa karena mayoritas sel T CD4+ di mukosa
mengekspresikan koreseptor CCR5, sedangkan hanya sebagian kecil dari sel T CD4+
yang ada dalam darah yang mengekspresikan koreseptor yang sama. HIV mencari
dan menghancurkan sel CD4+ yang mengekspresikan CCR5 selama infeksi akut.
Respon imun yang baik dapat mengkontrol infeksi dan menginisiasi fase laten seperti
yang telah dijabarkan sebelumnya. Akan tetapi, sel CD4+ di mukosa jaringan tetap
menurun selama proses infeksi, meskipun tetap masih ada untuk melawan infeksi
awal yang mengancam nyawa (Gibbs et al., 2008).
Replikasi HIV yang berkelanjutan akan menyebabkan aktivasi sistem imun
yang bertahan selama fase kronis. Aktivasi sistem imun yang dimaksudkan adalah
peningkatan aktivasi sel imun dan pelepasan sitokin pro-inflamasi, akibat dari
aktivasi produk gen dari HIV dan respon imun terhadap replikasi HIV yang
berkelanjutan. Penyebab lainnya adalah rusaknya sistem imunitas pada barrier
mukosa yang disebabkan oleh penurunan sel T CD4+ di mukosa selama fase akut
penyakit. Hal tersebut menyebabkan paparan sistem imun sistemik terhadap
komponen mikroba pada normal flora usus. Aktivasi dan proliferasi sel T yang
ditimbulkan oleh aktivasi sistem imun akan menyediakan target untuk infeksi HIV.
Namun, penghancuran sel secara langsung oleh HIV saja tidak dapat menghitung
penurunan sel T CD4+ jika hanya 0,01-0,1 % sel T CD4+ didalam darah yang
terinfeksi (Gibbs et al., 2008)
Gambar 2.1 Siklus Hidup Partikel Human Immunodeficiency Virus (Edgar, 2006)
2.2 Infeksi HIV selama kehamilan
2.2.1 Efek kehamilan terhadap fungsi imunitas penderita AIDS
Secara klinis, progresivitas dari infeksi AIDS yang asymptomatis selama
kehamilan jarang terjadi. Namun, 45-75% dari wanita yang terinfeksi akan
mengalami gejala klinis dari AIDS dalam 2-3 tahun pasca melahirkan jika anaknya
terinfeksi. Respon dari kadar sel T CD4+ terhadap kehamilan bervariasi, dikatakan
dalam beberapa penelitian bahwa terjadi penurunan absolut dari kadar sel T CD4+
selama kehamilan yang disebabkan oleh karena efek hemodilusi akibat kehamilan,
dan kadar sel T CD4+ akan kembali ke kadar semula pada akhir kehamilan atau saat
postpartum. Apakah kadar sel T CD4+ selama hamil bisa dipakai sebagai marker
dalam memulai obat AntiRetroVirus (ARV) masih belum jelas, namun dari beberapa
penelitian menyarankan bahwa kadar sel T CD4+ dan CD4+% dapat menjadi marker
yang baik untuk memulai pengobatan ARV (Miotti et al, 1999).
Bessinger et al juga melaporkan hal yang serupa pada penelitian meta
analisisnya pada tahun 1998 bahwa kadar sel T CD4+ selama hamil hingga aterm
sedikit lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang abortus (Bessinger et al.,
1998).
Kadar HIV RNA masih tetap stabil selama hamil meskipun tidak dalam fase
pengobatan. Namun, dari data terbaru menunjukkan Viral Load (VL) meningkat pada
saat post partum tanpa memperhatikan terapi AntiRetroViral. Aktivasi sistem imun
yang disebabkan oleh perubahan hormonal atau efek unmasking selama hamil
berhubungan dengan supresi Viral Load. Selain itu, pada penelitian cohort yang
dilakukan oleh Ilaria Izzo and collegeas pada bulan Januari 1998 sampai Mei 2008
didapatkan hubungan yang signifikan antara rendahnya jumlah CD4+ absolut yang
didapatkan selama kehamilan dengan risiko terdeteksinya HIV RNA saat persalinan
(Bessinger et al., 1998)
Pada tahun 2009, Sheffield and collegeas meneliti adanya efek
hormon
Progesteron terhadap koreseptor HIV-1, yaitu CCR5 dan CXCR4. Hasil yang
menarik didapatkan bahwa pada salah satu kondisi tinggi kadar Progesteron seperti
pada kehamilan ternyata juga memiki hubungan dengan peningkatan masuknya
infeksi HIV. Pada awal kehamilan, corpus luteum memproduksi Progesteron untuk
mempertahankan kehamilan. Kemudian, plasenta menggantikan fungsi corpus luteum
dalam menghasilkan progesteron, yang jumlahnya makin meningkat sejalan dengan
meningkatnya usia kehamilan. Beberapa laporan mencatat adanya peningkatan
masuknya HIV selama kehamilan. Akhir akhir ini penelitian besar di Rakai, Uganda
menunjukan risiko meningkatnya masuknya HIV dua kali lipat selama kehamilan,
meskipun telah dilakukan control terhadap pola hubungan sexual. Namun, ada hal
penting yang harus digaris bawahi adalah faktor biologis selama kehamilan, seperti
perubahan hormonal tampaknya menjadi peran penting dalam menarik masuknya
HIV. Mekanisme yang menjelaskan bagaimana hormon sex steroid khususnya
Progesteron mempengaruhi masuknya HIV masih membingungkan dan cukup
kontroversial. Progesteron memiliki efek multiple pada sistem imunitas manusia
termasuk salah satunya adalah immunitas mukosa. Progesteron meningkatkan
munculnya sel inflamasi pada traktus genitalia bawah wanita. Namun, Progesteron
juga menurunkan sel yang memediasi aktivitas sel NK (Natural Killers) dan aktivitas
sel T sitotoksik. Selain itu juga mempengaruhi sekresi kemokin oleh limfosit T.
Mekanisme lain progesteron dalam mempengaruhi masuknya HIV adalah dengan
merubah ekspresi koreseptor HIV-1. Meskipun CD4+ merupakan reseptor sel primer
untuk HIV-1, namun telah diketahui bahwa dalam memasuki sel manusia secara
efektif juga tergantung dari koreseptor, yaitu CCR5 dan CXCR4. (Sheffield et al.,
2009).
Tanpa memandang reseptor HIV, infeksi HIV membutuhkan marker CD4+ di
permukaan sel sebagai reseptor utama dan molekul reseptor kemokin (khususnya
CCR5 atau CXCR4) sebagai koreseptor. Perubahan ekspresi koreseptor HIV-1 pada
intinya mempengaruhi efisiensi dari masuknya sel HIV. Adanya hubungan antara
ekspresi CCR5 pada sel yang terinfeksi dengan progesteron masih dalam perdebatan.
Namun, Vassiliadou et al membuktikan dengan memakai sistem model in vitro
bahwa progesteron dapat menghambat interleukin (IL)-2 yang menginduksi
upregulasi reseptor CCR5 dan CXCR4 pada sel T yang teraktivasi tapi tidak memiliki
efek terhadap sel T maupun makrofag yang tidak teraktivasi. Pada penelitian lain di
lakukan evaluasi terhadap wanita premenepause dan postmenepause, dan wanita
dengan berbagai tahap siklus menstruasi, peningkatan progesteron berhubungan
dengan peningkatan ekspresi CCR5 dan CXCR4 pada jaringan genitalia. Pada studi
invitro menggunakan sel T CD4+ positif juga menunjukkan peningkatan ekspresi
CCR5 dan CXCR4 ketika sel T diterapi dengan hormon sex sintetis. Walau
bagaimanapun, peneliti lain juga melaporkan hubungan yang berbanding terbalik
antara terapi progesteron pada sel servix dan endometrium dengan ekspresi
koreseptor HIV-1 invitro. Hasil yang tidak sesuai diantara model in vivo dan in vitro
kebanyakan mencerminkan kompleks seluler dan atau lingkungan jaringan yang
mempengaruhi ekspresi koreseptor secara in vivo. Contohnya, sel traktus genitalia
wanita atas dan bawah meskipun secara in vivo juga mengekspresikan koreseptor
HIV-1 dalam jumlah yang berbeda. Upregulasi ekspresi koreseptor HIV-1 selama
kondisi klinis tertentu seperti kehamilan dapat menjelaskan predisposisi individu
untuk terpapar HIV-1. Selain itu, pada beberapa penelitian telah menunjukkan
peningkatan ekspresi CCR5 oleh sel endometrium pada lingkungan yang rendah
progesteron pada fase proliferasi siklus menstruasi, namun dari penelitian lain
menunjukkan peningkatan ekspresi CCR5 pada lingkungan yang tinggi progesteron
pada fase luteal (Sheffield et al., 2009).
Selain memiliki efek terhadap sistem imunitas mukosa, Progesteron juga
menyebabkan penipisan vagina pada primate selain manusia, sehingga dari
pengamatan tersebut sangat mungkin penipisan epithel vagina dapat menyebabkan
virion HIV melewati epithel. Penellitian lain juga melaporkan penipisan vagina yang
sama setelah paparan progesteron. Penelitian lain pada manusia lebih bervariasi.
Ildgruben et al melaporkan penebalan epithel vagina dengan penggunaan DMPA,
sekaligus juga dilaporkan banyaknya sel imun yang rentan terhadap infeksi HIV-1
yang berada di jaringan genitalia wanita yang diberikan DMPA tersebut. Penebalan
vagina yang sama juga dilaporkan oleh kelompok peneliti lainnya, selain itu juga
dicatat bahwa meskipun penebalan vagina terjadi di lapisan vagina intermediate,
maturasi epithel tidak terjadi secara sempurna. Kebalikan dari dua penelitian tersebut,
Patton et al melaporkan penurunan signifikan jumlah lapisan sel epithel vagina pada
fase post ovulasi yang tinggi kadar progesteronnya. Efek menonjol dari progesteron
pada masuknya HIV-1 kebanyakan berhubungan dengan efek immunomodulasinya.
Didapatkan bukti yang menarik bahwa sel CD8 positif dan fungsi sitokin begitu pula
dengan respon imun humoral ada di bawah pengaruh hormonal. Kontrasepsi
hormonal dan siklus menstruasi juga dapat mengubah produksi antimikroba peptide.
Progesteron dilaporkan dapat meningkatkan banyak sel radang (sel PMN, makrofag),
menyebabkan migrasi dan proliferasi limfosit juga sekaligus merubah respon
imunologis. Oleh karena itu, progesteron dapat memicu sel menjadi
kaya akan
reseptor untuk HIV, sehingga memudahkan transmisi HIV (Sheffield et al., 2009).
2.2.2 Efek HIV/AIDS terhadap kematian maternal
Infeksi HIV dapat mempengaruhi kematian maternal dalam beberapa cara.
Wanita hamil yang terinfeksi HIV/AIDS akan lebih rentan mengalami kematian
langsung maupun kematian obstetric seperti perdarahan post partum, sepsis
puerpuralis dan komplikasi dari sectio caesaria. Kematian yang disebabkan oleh
karena AIDS bisa terjadi secara langsung saat kehamilan maupun sebagai penyebab
tidak langsung akibat infeksi opportunistic seperti tuberculosis yang berkembang
lebih cepat saat hamil. Namun, United States Public Health Service Task Force pada
tahun 2009 melaporkan angka morbiditas dan mortalitas tidak meningkat pada wanita
seropositif yang asimptomatis (Sheffield et al., 2010)
Di masa lampau, penyebab obstetrik langsung bertanggung jawab terhadap
sebagian besar kemaatian ibu, dimana penyebab utamanya adalah perdarahan,
hipertensi, persalinan macet dan komplikasi abortus. Pola penyebab tersebut berubah
di banyak tempat sejak munculnya komplikasi AIDS yang saat ini banyak terjadi
sebagai penyebab kematian ibu. Trio penyakit yang juga jadi penyebab penting
kematian ibu adalah AIDS, Tuberkulosis dan malaria. AIDS juga menjadi factor yang
ikut berperan sebagai penyebab kematian ibu di negara berkembang, meskipun masih
dalam jumlah yang kecil, oleh karena banyak didapatkan akses yang mudah dalam
pengobatan dan perawatan ibu yang terkena AIDS. Sebelum penyebarluasan
kemampuan highly active antiretroviral therapy (HAART), AIDS masih menjadi
penyebab utama kematian ibu di beberapa area di Amerika Serikat. Dengan akses
yang mudah untuk mendapatkan HAART, kematian penderita AIDS dapat ditekan,
dan juga baru baru ini direkomendasikan pengobatan antiretroviral secara tepat untuk
wanita hamil dengan AIDS, yang mana dapat menurunkan angka komplikasi AIDS
selama kehamilan. Namun demikian, pada beberapa negara yang sumber daya
manusianya masih buruk, akses untuk medapatkan HAART masih banyak mendapat
kendala, sehingga HIV/AIDS masih menjadi masalah utama (McIntyre, 2003).
Pada penelitian sekitar tahun 1990 di beberapa negara negara di Afrika dan
Asia menunjukkan peningkatan peranan AIDS dan komplikasi yang berhubungan
sebagai penyebab kematian maternal. Maternal Mortality Rate (MMR) pada
penelitian tersebut berkisar antara 400 hingga 900 per 100.000 kelahiran hidup. Pada
penelitian di Zambia, menunjukkan angka kematian maternal meningkat delapan kali
lipat lebih tinggi pada dua decade terakhir, meskipun pelayanan obstetrik telah
diwujudkan. Penyebab tidak langsung dari kematian maternal, 58% nya adalah
karena malaria dan tuberculosis sebagai komplikasi dari AIDS. Di daerah Rakai di
Uganda, kematian maternal lima kali lebih tinggi pada wanita yang positif terinfeksi
HIV, mencapai angka lebih dari 1600 per 100.000 kelahiran hidup pada kelompok
yang terinfeksi. Di Malawi dan Zimbabwe, kematian yang berhubungan dengan
kehamilan telah meningkat menjadi 1,9 dan 2,5 kali setara dengan peningkatan
epidemiologi AIDS (McIntyre , 2003).
Kematian maternal yang berhubungan dengan AIDS juga menjadi penyebab
utama kematian ibu di Brazzaville tahun 1993, selain itu, AIDS juga menjadi
peringkat keempat tertinggi penyebab kematian maternal di area Tanzania. Di India,
penelitian mengenai wanita yang terinfeksi HIV menunjukkan angka kematian
maternal yang tinggi. Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) yang diikuti oleh
tuberculosis milier merupakan penyakit komplikasi tersering AIDS dan menjadi
penyebab dari kematian maternal. Di Afrika Utara pada tahun 1998, AIDS
merupakan penyebab kedua kematian maternal, dengan 13% diantaranya meninggal
di tahun pertama. Pada tahun 1999 hingga 2001, AIDS tercatat sebagai penyebab
kematian maternal sebanyak 17 kasus (McIntyre, 2003).
Defisiensi intake maternal dapat menyebabkan eksaserbasi dari progresivitas
HIV. Defisiensi vitamin A telah dibuktikan berhubungan dengan progresivitas
penyakit yang lebih cepat terhadap wanita yang terinfeksi HIV, peningkatan transmisi
HIV dari ibu ke janin serta peningkatan kadar viral load di air susu ibu. Akan tetapi
pemberian suplemen vitamin A tidak menunjukkan penurunan risiko transmisi ibu ke
janin, tapi mengurangi efek buruk dari penyakitnya terhadap kesehatan ibu. Pada
penelitian dengan jumlah sampel yang besar di Nepal, menunjukkan pemberian
suplemen Vitamin A atau beta carotene dapat menurunkan kematian maternal
sebanyak 44%. Di Tanzania, pemberian suplemen multivitamin, yang tidak hanya
mengandung vitamin A, secara signifikan dapat meningkatkan jumlah absolut CD4+,
CD3+, dan CD8+ (McIntyre , 2003).
2.2.3 Efek kehamilan terhadap progresivitas penyakit HIV/AIDS
Data yang didapat dari negara berkembang menunjukkan bahwa kehamilan
tidak meningkatkan progresivitas dari penyakit HIV/AIDS. Pada penelitian
prospective lebih dari 4000 wanita di Malawi, MMR adalah sebesar 370 per 100.000
wanita dan angka kematian diantara 6 minggu dan 1 tahun post partum adalah 341
per 100.000 kelahiran hidup. AIDS dan anemia merupakan faktor utama kematian
post kehamilan. Di Zaire, angka kematian maternal ibu yang terinfeksi HIV 10 kali
lebih tinggi dibandingkan ibu yang tidak terinfeksi HIV, dimana 22% dari ibu yang
terinfeksi tersebut ada pada kondisi tubuh yang sangat menurun selama di follow up
dalam periode 3 tahun (Hammilil et al., 2004; McIntyre, 2003).
John dan kawan kawan telah menunjukkan adanya hubungan yang menarik
antara polimorfisme CCR5 dengan peningkatan kematian pasca kehamilan pada
penelitian cohort di Kenya. Pada penelitian tersebut, ibu dengan genotip 5936 C/T
memiliki risiko meninggal hingga 3,1 kali lipat dalam periode 2 tahun dan
peningkatan jumlah HIV-1 secara signifikan di vagina, dibandingkan dengan wanita
dengan genotip 59356 C/C. Hal ini menandakan bahwa banyak faktor seperti nutrisi
dan genetika, yang berpengaruh terhadap progresivitas infeksi HIV selama dan
sesudah kehamilan (Lambert et al, 2005)
Bessinger et al melaporkan hasil penelitian meta analisis cohortnya pada
tahun 1998, bahwa kehamilan yang aterm dengan infeksi HIV tidak memberikan
dampak yang signifikan pada progresivitas penyakit HIV. Penelitian tersebut
mempelajari hubungan antara kehamilan aterm dengan progresivitas penyakit HIV,
dimana setelah ditetapkan jumlah CD4+ absolut pada wanita terinfeksi HIV yang
tidak hamil kemudian diikuti jumlah CD4+ absolutnya hingga hamil aterm,
didapatkan hasil peningkatan progresivitas HIV/AIDS selama hamil, namun secara
statistika kurang signifikan. Selain itu, hanya ada satu wanita dengan jumlah CD4+
absolut yang menurun dibawah 200 sel/ml pada saat hamil. Pada penelitian ini dipilih
sebagai kriteria inklusi adalah wanita hamil yang aterm, oleh karena pada beberapa
penelitian yang dilakukan oleh Dinsmoor MJ and collegeas menunjukkan bahwa
immunosupresi paling sering terjadi di akhir kehamilan, sehingga wanita pada
kehamilan aterm lebih berisiko tinggi terhadap progresivitas penyakit. Meskipun
tidak didapatkan peningkatan progresivitas penyakit yang signifikan, pada penelitian
ini masih belum didapati kejelasan apakah AIDS saat hamil dapat meningkatkan
risiko kematian. Selain itu, penelitian ini belum menjawab pertanyaan apakah wanita
hamil yang terinfeksi HIV akan mengalami episode penyakit yang lebih berat dari
pada wanita terinfeksi HIV yang tidak hamil (Bessinger et al., 1998).
2.2.4 Efek HIV/AIDS terhadap komplikasi kehamilan
Penyebab obstetric dari morbiditas dan mortalitas maternal bisa lebih berat
pada wanita yang terinfeksi HIV, dan lebih rentan terhadap infeksi serta komplikasi
post operasi. Termasuk dalam hal ini adalah lebih tingginya kejadian kehamilan
ektopik, early abortus, bacterial pneumonia, infeksi saluran kencing, oral dan vaginal
thrush berulang serta infeksi infeksi yang lain. Malaria dan Tuberkulosis telah
menjadi komplikasi HIV yang paling sering terjadi pada wanita yang terinfeksi.
Anemia juga lebih sering terjadi dan tampak lebih berat pada wanita yang terinfeksi
HIV, khususnya yang mengalami komplikasi dari penyakit AIDS seperti Malaria
(McIntyre, 2003).
Komplikasi pasca persalinan maupun pasca sectio caesaria telah dijabarkan
dalam banyak penelitian. Perdarahan post partum sering terjadi, dan kejadiannya
lebih serius jika disertai dengan anemia pada wanita yang terinfeksi HIV. Morbiditas
pasca melahirkan terjadi pada 15% diantara 1186 persalinan selama tahun 1990-1998
pada penelitian transmisi wanita dan anak anak di Amerika Serikat. Kejadian
morbiditas pasca melahirkan yang paling sering dilaporkan adalah demam tanpa
sumber infeksi. Perdarahan atau anemia berat, endometritis, infeksi saluran kencing
dan komplikasi luka operasi. Komplikasi pasca sectio caesaria juga dilaporkan cukup
tinggi, khususnya pada wanita yang mengalami immunosupresi berat, namun hal ini
jarang terjadi jika antibiotika profilaksis tersedia untuk diberikan (McIntyre , 2003).
Selain itu, dilaporkan juga angka kejadian preeclampsia juga lebih rendah
pada wanita yang terinfeksi HIV yang tidak mendapatkan pengobatan ARV
dibandingkan dengan wanita terinfeksi HIV yang mendapatkan pengobatan maupun
yang tidak terinfeksi HIV. Namun, hubungan tersebut belum dapat diujikan oleh
penelitian cohort lainnya (McIntyre, 2003).
2.2.5. Manifestasi klinis infeksi HIV
Periode inkubasi dari paparan virus hingga timbul gejala klinis adalah
beberapa hari hingga minggu, dengan rata rata adalah 2 minggu hingga 4 minggu.
Sedangkan, serokonversi untuk antibodi dari HIV pada umumnya terjadi dalam
waktu tiga hingga enam minggu setelah infeksi. Rata rata 80% hingga 90% dari
individu yang terinfeksi merupakan carier asimptomatis. Infeksi akut HIV sama
dengan sindroma infeksi virus lainnya dan umumnya bertahan kurang dari 10 hari.
Pada saat gejala dan tanda klinis penyakit muncul, infeksi awal ditandai oleh demam,
malaise, eritema makulopapular rash, myalgia, arthralgia, sakit kepala, fotofobia dan
limfadenopati yang umumnya terjadi pada minggu kedua setelah infeksi. Jika secara
bersamaan didapatkan penurunan tajam dari jumlah CD4+ absolut, infeksi
opportunistic bisa terjadi yaitu candidiasis oral. Adapun infeksi opportunistic lainnya
yang juga bisa terjadi antara lain adalah, candidiasis pulmonary atau esophageal, lesi
persisten herpes simplex atau zoster, condyloma accuminata, tuberculosis paru,
pneumonia cytomegalovirus, retinitis atau penyakit gastrointestinal, molluscum
contagiosum, Pneumocystis jiroveci pneumonia, toxoplasmosis dan lain lain.
Penyakit neurologis juga sering terjadi, dan rata rata sebagian penderita timbul gejala
gangguan susunan saraf pusat. Sindroma tersebut bisa dikatakan sebagai Acute
Retroviral Syndrome, yang mana sering terjadi dalam beberapa minggu awal setelah
infeksi HIV, sebelum tes antibodinya menjadi bernilai positif. Sindroma tersebut rata
rata terjadi pada 70% individu. Pencatatan bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh
Acute Retroviral Syndrome harus didukung dengan menilai jumlah HIV RNA dalam
plasma. Hasil yang positif untuk selanjutnya harus dikonfirmasi dengan Enzim
Immunoassay dan tes Western Blots. Rute infeksi, patogenitas strain virus, inokulasi
awal virus dan status imunologis host sangat mempengaruhi kecepatan progresivitas
penyakit. Selain itu, guideline terbaru menyarankan dengan penanganan sedini
mungkin terhadap sindroma akut tersebut menggunakan terapi ARV, maka prognosa
yang lebih baik bisa didapatkan. (DeCherney et al., 2005; Hammili et al, 2004,
Cunningham et al, 2010)
Setelah fase akut lewat, bentuk penyakit yang lebih berat dapat terjadi.
Manifestasi klinisnya antara lain adalah limfadenopati general, keringat dingin di
malam hari, demam, diare, penurunan berat badan, dan kelelahan. Selain itu, infeksi
seperti herpes zoster dan candidiasis oral dapat terjadi. Dalam tempo 4 hingga 5 tahun
setelah itu, 30 % kasus akan berkembang menjadi AIDS. Sedangkan progresivitas
mulai dari viremia asimptomatis menjadi AIDS memiliki rata rata waktu 10 tahun,
dengan kisaran waktu antara beberapa bulan hingga 17 tahun. Individu yang
terinfeksi HIV pada akhirnya akan menunjukkan bukti adanya disfungsi sistem imun
yang progresif, dan kondisi tersebut berkembang menjadi AIDS, sejalan dengan
supresi sistem imun serta organ sistemik yang terlibat makin bertambah banyak dan
bertambah berat. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV dan pada umumnya
berkembang pada sebagian besar individu terinfeksi HIV yang tidak mendapatkan
pengobatan dalam 17 tahun setelah terinfeksi. Dengan adanya supresi sistem imun
tersebut, maka, tanda dan gejala klinis AIDS akan
mudah berkembang jika
didapatkan pathogen sekunder. Sindroma yang muncul akibat ketidakmampuan tubuh
dalam melawan infeksi, atau melawan reaktivasi infeksi yang dorman, antara lain
adalah :
1.
Kelelahan hebat, yang terkadang disertai dengan pusing, sakit kepala
2.
Demam terus menerus yang juga disertai dengan keringat di malam hari yang
berlebihan
3.
Berat badan menurun hingga 10 kg, yang bukan disebabkan oleh diet maupun
peningkatan aktivitas fisik
4.
Pembesaran kelenjar di leher, lengan dan di lipat paha
5.
Pertumbuhan warna keunguan pada kulit atau mukosa membrane (didalam
mulut, anus dan hidung)
6.
Batuk kering ringan yang kontinyu yang bukan berasal dari asap rokok, atau
bisa akibat flu yang tidak juga sembuh.
7.
Diare kronis
8.
Leukoplakia oral yang disertai dengan sakit tenggorokan
9.
Perdarahan dari rongga tubuh yang terbuka yang tidak jelas penyebabnya serta
mudah memar
10.
Sesak nafas yang progresif
Sindroma tersebut umumnya membaik dalam waktu beberapa minggu, dan penderita
akan menjadi asimptomatis (DeCherney et al., 2005; Hammilil, 2004, Cunningham et
al, 2010).
Center Disease of Control and Prevention (CDC) memberikan definisi AIDS
berupa penderita terinfeksi HIV dengan infeksi opportunistic, neoplasia (contoh :
Sarcoma Kaposi), dementia, encephalopathy, progresivitas memburuk dysplasia
cervical menjadi kanker, atau jumlah CD4+ absolut < 200/mm3. Penderita yang
dinyatakan secara klinis terinfeksi tanpa didukung oleh bukti infeksi secara
laboratories juga bisa terdiagnosis AIDS jika didapat salah satu dari indikator
penyakit serta tidak ditemukan penyebab disfungsi sistem imun. Seluruh wanita yang
terdiagnosis HIV akan membutuhkan konseling, evaluasi dan penanganan penyakit
menular sexual, pap smear, darah lengkap, kimia darah, antibodi toxoplasma, panel
hepatitis, dan foto thorax. Selain itu, seluruh pasien perlu mendapatkan tawaran untuk
vaksinasi hepatitis B, influenza dan pneumococus (DeCherney et al., 2005).
2.2.6
Skrining HIV prenatal
Pengawasan selama kehamilan penderita terinfeksi HIV harus di lakukan
secara terpisah dan dengan penanganan khusus. Skrining untuk penyakit menular
seksual lainnya (siphilis, gonorrhea, dan infeksi HSV) penting untuk dilakukan.
Infeksi lain yang berhubungan dengan HIV juga harus dicari, seperti P Carinii
pneumonia, Mycobacterium tuberculosis, infeksi citomegalovirus, toksoplasmosis
dan candidiasis. Sedikitnya, penderita terinfeksi HIV harus dilakukan pemeriksaan
foto rontgen thorax, tes tuberculin kulit dengan kontrol, serta pemeriksaan serologi
toksoplasmosis.
Penderita
yang rentan
mengalami
infeksi
sekunder
perlu
mendapatkan vaksin hepatitis B, pneumococus, dan influenza. Jumlah CD4+ absolut
perlu dimonitor setiap trimester. Jumlah CD4+ absolut kurang dari 200/mm3
merupakan indikasi profilaksis terhadap P carinii pneumonia. Jumlah Viral Load
(HIV-1 RNA) dalam plasma juga perlu dimonitor selama kehamilan. Kadar HIV-1
RNA harus dimonitor tiap 3-4 bulan atau tiap trimester dan pada saat usia kehamilan
34-36 minggu untuk menentukan rute persalinannya (DeCherney et al., 2005;
Hammili et al., 2004)
Skrining dilakukan dengan menggunakan tes Enzime Linked Immunosorbent
Assay (ELISA) yang memiliki sensitivitas lebih dari 99,5%. Hasil yang positif perlu
dilakukan konfirmasi ulang kembali dengan ELISA, lalu dilanjutkan dengan
menggunakan Western blot atau Immunofluoresence Assay (IFA), yang mana
keduanya memiliki spesifitas yang tinggi. Berdasarkan CDC tahun 2001, antibodi
dapat terdeteksi pada sebagian besar penderita dalam kurun waktu 1 bulan setelah
infeksi awal. Untuk infeksi awal HIV primer, identifikasi virus RNA atau DNA
mungkin untuk dilakukan. Hasil konfirmasi yang false positif jarang terjadi
(Cunningham et al., 2010).
2.2.7 Diagnosis infeksi HIV
Diagnosis infeksi HIVdapat ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan
pemeriksaan sebagai berikut :
1.
Pemeriksaan Antibodi HIV
Diagnosis HIV pada umumnya dengan tes antibodi HIV-1, yang mendeteksi
antibodi dari bagian membrane atau envelope dari virus. Tes rutin HIV-2,
terkecuali untuk bank darah, baru baru ini tidak direkomendasikan oleh karena
berdasarkan data epidemiologi, angka kejadian infeksi HIV-2 masih rendah,
kecuali jika ditemukan penderita berisiko terinfeksi HIV-2 atau memiliki
tanda klinis penyakit HIV dan pernah memiliki hasil tes antibodi HIV-1 yang
negatif (DeCherney et al., 2005; Piercy, 2006).
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian skrining HIV prenatal, pemeriksaan
ELISA memiliki fungsi sebagai tes skrining pada wanita yang terpapar HIV.
Sebagian besar penderita yang terpapar HIV akan menunjukkan kadar
antibodi HIV yang ada di darah dalam tempo 12 minggu setelah paparan.
Adanya antibodi tersebut mengindikasikan infeksi baru, meskipun penderita
bisa mengalami gejala asimptomatis selama bertahun tahun. Pemeriksaan
antibodi HIV akan bernilai positif sejalan dengan penurunan kadar antigen
core p24. Sensitivitas dan spesifitas dari ELISA adalah 99% bila reaktif secara
berulang. Oleh karena itu, tes antibodi HIV adalah negatif jika ELISA nya non
reaktif, dan hal ini mengindikasikan rendahnya infeksi HIV kecuali jika
periode waktu dalam mendeteksi produksi antibodi terlalu dini (DeCherney et
al., 2005; Piercy, 2006)
Hasil tes yang positif timbul jika ELISA reaktif secara berulang yang diikuti
dengan hasil tes yang positif dari pemeriksaan Western Blot. Western blot
mendeteksi antigen virus spesifik dan bernilai positif jika didapatkan dua dari
tiga antigen yang teridentifikasi yaitu : p24 (capsid), gp41 (envelope) dan
gp120/160 (envelope). Kebanyakan tes serologis yang digunakan saat ini
mendeteksi antibodi spesifik untuk HIV-1 dan HIV-2, dan juga didapatkan
beberapa tes darah “rapid” yang memiliki efektivitas yang sama dengan
pemeriksaan ELISA. Pada penderita yang dicurigai terinfeksi HIV, tes
antibodi HIV dapat bernilai negatif. Oleh karena itu jumlah asam nukelat
HIV, deteksi antigen p24, atau isolasi HIV lewat kultur virus perlu dipakai
dalam proses diagnosis. (Adams et al., 2007; DeCherney et al., 2005; Piercy,
2006).
2.
Pemeriksaan HIV RNA atau DNA
Pada infeksi awal dapat didiagnosis dengan mengidentifikasi P24 core antigen
virus atau adanya HIV RNA atau DNA didalam darah. Pemeriksaan HIV
RNA atau DNA dapat dilakukan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).
HIV RNA atau Viral Load merupakan prediktor utama dari kecepatan
progresivitas penyakit. Selain itu, progresivitas penyakit juga berhubungan
dengan rendahnya kadar antibodi p24 dan rekurensi dari antigen p24 (Piercy,
2006)
3.
Pemeriksaan jumlah CD4+ absolut
Jumlah CD4+ absolut mengindikasikan derajat immunosupresi. Tanda dari
infeksi HIV adalah penurunan progresif dari jumlah CD4+ absolut yang mana
tanpa pengobatan, kadarnya menurun hingga rata rata 60 sel/mm3/tahun
(Piercy, 2006)
Tanpa pengobatan, HIV akan menginfeksi lebih dan lebih banyak lagi sel. Hal
tersebut menyebabkan jumlah CD4+ absolut menurun, umumnya 50 hingga
100 sel/mm3 per tahunnya pada sebagian besar individu dengan HIV positif.
Dengan penurunan jumlah CD4+ absolut individu yang positif HIV akan
mudah mengalami infeksi opportunistik dan kanker, dengan ketentuan nilai
sebagai berikut :

Jumlah CD4+ absolut diatas 500 sel/mm3 : individu terinfeksi HIVdengan
kadar sel T CD4+ diatas 500 sel/mm3 pada umumnya memiliki sistem imun
cukup normal dan risiko rendah mengalami infeksi opportunistic.

Jumlah CD4+ absolut dibawah 200 sel/mm3: individu terinfeksi HIV yang
memiliki kadar sel T CD4+ dibawah 200 sel/mm3 merupakan individu yang
terdiagnosis AIDS dan berisiko untuk mengalami infeksi opportunistic yang
serius seperti Pneumocystis pneumonia (PCP), Mycobacterium avium complex
(MAC), dan citomegalovirus (CMV) (Piercy, 2006)
2.2.8 Diagnosis AIDS
Diagnosis definitif AIDS hingga saat ini masih belum ditetapkan, namun,
diagnosis AIDS dibuat berdasarkan gejala klinis. Center for Disease Control’s (CDC)
awalnya membuat definisi AIDS berdasrkan adanya Kaposi Sarcoma yang terbukti
dengan biopsy pada individu yang berusia kurang dari 60 tahun dan atau dengan
adanya Pneumocystis carinii Pneumonia (PCP) atau infeksi opportunistic lainnya
pada individu dengan penyakit mendasar immunosupresif yang belum jelas dan
positif terinfeksi HIV. Kemudian, definisi AIDS diperluas menjadi beberapa penyakit
berikut ini yang disertai dengan adanya antibodi HIV-1, yaitu : histoplasmosis
disseminated, isosporia yang menyebabkan diare lama lebih dari satu bulan,
candidiasis pulmonary, atau infeksi paru yang disebabkan oleh jamur tertentu,
nonHodgkin’s lymphoma, dan pneumonia tertentu (Hammili et al., 2004).
Definisi AIDS terbaru berdasarkan revisi CDC terbaru adalah sebagai berikut :
1. Jika tanpa disertai bukti laboratoris infeksi HIV, baik itu pemeriksaan
laboratorium tidak dilakukan maupun tidak memberikan hasil yang dapat
disimpulkan
dan
juga
tidak
didapatkan
penyebab
lain
dari
immunodeficiency, maka berikut salah satu dari penyakit di bawah ini
yang mengindikasikan AIDS :
a. Candidiasis Esofagus, trachea, bronchus, atau paru paru
b. Cryptococcosis, extrapulmonal
c. Cryptosporidiosis dengan diare yang berlangsung hingga 1 bulan
d. Penyakit cytomegalovirus yang mengenai organ tubuh selain liver,
limpha, atau limfonodi pada penderita dengan usia lebih dari 1
bulan
e. Infeksi Herpes Simplex Virus yang menyebabkan ulserasi
mukokutan yang bertahan lebih dari 1 bulan ; atau bronchitis,
pneumonia, atau esofagitis dengan variasi durasi yang mengenai
penerita lebih dari usia 1 bulan
f. Sarcoma Kaposi yang mengenai penderita berusia kurang dari 60
tahun
g. Limfoid interstitial pneumonia dan atau pulmonary lymphoid
hyperplasia (LIP/PLH complex) mengenai anak usia dibawah 13
tahun
h. Mycobacterium avium complex atau penyakit M kansasii
i. Pneumocystis carinii pneumonia
j. Leukoencephalopaty multifocal progresif
k. Toksoplasmosis otak yang mengenai penderita berusia lebih dari 1
bulan.
2. Jika disertai dengan bukti laboratoris infeksi HIV, tanpa memandang
adanya penyebab lain dari immunodefisiensi, berikut salah satu dari
penyakit yang mengindikasikan AIDS :
a. Infeksi bakteri, multiple atau berulang (atau kombinasi keduanya
dalam tempo 2 tahun), dari tipe tipe penyakit berikut ini yang
mengenai anak berusia dibawah 13 tahun : septicemia, pneumonia,
meningitis, infeksi tulang atau sendi, atau abses organ internal atau
rongga tubuh (tidak termasuk otitis media atau abses mukosa atau
kulit superficial), yang disebabkan oleh Haemophillus,
Streptococcus (termasuk Pneumococcus), atau bakteri piogenik
lainnya.
b. Coccidiodomycosis, disseminated
c. HIV enscephalopaty (atau disebut juga dengan HIV dementia,
AIDS dementia, atau encephalitis subakut yang disebabkan oleh
HIV)
d. Histoplasmosis, disseminated
e. Isosporiasis dengan diare lebih dari 1 bulan
f. Sarcoma Kaposi pada usia berapapun
g. Limfoma dari otak (primer) pada usia berapapun
h. Penyakit mikrobakterial apapun yang disebabkan oleh
mycobacteria selain M. tuberculosis, disseminated
i. Penyakit yang disebabkan oleh M. tuberculosis, extrapulmonary
(melibatkan sedikitnya satu sisi diluar paru paru, tanpa memadang
apakah ada bagian paru paru yang terlibat)
j. Salmonella (nontyphoid) septicemia, berulang
k.
HIV wasting syndrome (kurus,“slim disease”)
l. Limfoma non-Hodgkin lainnya dari sel B atau fenotip
immunologis yang tidak diketahui dan berikut beberapa tipe
histologist :
 Burkitt dan non-Burkitt lymphoma
 sarcoma immunoblastic (yang ekuivalen dengan : limfoma
immunoblastik, limfoma large-cell, diffuse histiocytic lymphoma,
diffuse undifferentiated lymphoma, atau high-grade lymphoma)
(Hammili et al., 2004).
Jumlah CD4+ absolut dikategorikan ke dalam 3 bagian yaitu :

Kategori I : ≥ 500 sel/μl

Kategori II : 200 – 499 sel/μl

Kategori III : < 200 sel/μl
Kategori kategori tersebut sesuai dengan jumlah CD4+ absolut per mikroliter
darah dan menjadi indikator klinis serta terapeutik dalam manajemen individu
yang terinfeksi HIV. Oleh karena itu, individu yang terinfeksi HIV perlu
diklasifikasikan ke dalam kategori tersebut dalam manajemen HIV (Hammili et
al., 2004).
2.2.9 Manajemen infeksi HIV/AIDS selama kehamilan
Penanganan wanita hamil yang terinfeksi HIV membutuhkan perhatian
khusus dan juga perlu dilakukan oleh tenaga medis khusus yaitu ahli kebidanan dan
ahli penyakit tropic dan infeksi khususnya infeksi HIV. Berikut ini adalah langkah
langkah dalam manajemen infeksi HIV/AIDS selama kehamilan :
1.
Pengawasan (Monitoring)
Langkah awal dalam perawatan adalah dengan mengawasi status imun lewat
pemeriksaan kadar CD4+ dan viral loads. Meninjau resistensi virus terhadap
obat obatan juga merupakan kunci utama dalam mengawasi regimen atau
dosis. Pemeriksaan viral load dapat dilakukan tiap 3 hingga 4 bulan. Begitu
keputusan untuk memulai pengobatan telah dimulai, pemeriksaan terhadap
viral load harus dilakukan tiap bulan sampai virus tidak lagi terdeteksi dalam
darah dan kemudian frekuensi pemeriksaan viral load bisa dilanjutkan tiga
hingga empat kali dalam kurun waktu 1 tahun. (Gibbs et al., 2008).
Rekomendasi waktu untuk memulai pengobatan telah banyak
mengalami perubahan demi perubahan selama beberapa tahun terakhir, oleh
karena tingkat kepedulian yang sangat tinggi selain keuntungan dari
pengobatan, namun juga pengenalan yang baik terhadap toksisitas obat
tersebut. Guidelines terbaru menyebutkan pengobatan awal Highly Active
AntiRetroViral Treatment (HAART) dimulai pada wanita yang tidak hamil
jika jumlah viral load > 100.000 kopi, atau ketika jumlah CD4+ absolut < 350
sel/mm3 (Gibbs et al., 2008)
Meskipun dikatakan bahwa secara garis besar pengobatan wanita
hamil sama dengan wanita yang tidak hamil, namun ada beberapa terapi
antivirus yang perlu dimodifikasi atas dasar pertimbangan perkembangan
janinnya. Salah satunya adalah Efavirenz yang merupakan golongan nonnucleoside reverse transcriptase harus diganti. Pada penelitian experimental
dengan monyet betina hamil didapatkan janin yang mengalami anensephaly,
anophtalmia dan bibir sumbing yang diamati 3 dari 13 binatang coba. Selain
itu, Amprenavir juga dikontraindikasikan sebab mengandung propylene glycol
yang sulit dimetabolisme oleh ibu hamil. Namun, potensi dari antivirus juga
perlu dipertimbangkan dalam melawan risiko transmisi intrauterine, serta
progresifitas dari imunodefisiensi dan atau rebound dari titer HIV. Maka dari
itu dalam mengulang kembali pengobatan, dosis harus dibagi lagi secara
simultan. (Gibbs et al., 2008)
2.
Pemeriksaan Resistensi
Pemeriksaan resistensi telah menjadi hal yang pokok dalam perawatan
penderita yang terinfeksi HIV. Virus RNA di reverse transkripsi kan oleh
virus reverse transcriptase lewat penggunaan molekul tRNA lysine di sel
sebagai primernya, kemudian aktivasi RNAase dari reverse transcriptase
mendegradasi
template
dari
virus
RNA.
Reverse
transcriptase
menggabungkan nukleotida secara tidak benar pada tiap 1500 hingga 4000
basa, yang menjelaskan proses mutasi yang dapat terjadi secara cepat.
Beberapa dari hasil mutasi menyediakan beberapa keuntungan yang
menyebabkan strain strain yang resisten terhadap obat. Banyak bukti bahwa
mutan yang resisten dapat bertahan selama kurun waktu yang tidak dapat
ditentukan setelah infeksi awal, varian virus tersebut dapat terdeteksi lewat
pemeriksaan standart yang digunakan dalam praktek sehari hari. Maka dari
itu, pemeriksaan resistensi HIV sekarang direkomendasikan pada semua
penderita sebelum memulai pengobatan (Gibbs et al., 2008)
Pemeriksaan resistensi direkomendasikan pada individu sebelum pengobatan
dimulai atau setelah gagal dalam pengobatan. Kegagalan dalam pengobatan
didefiniskan sebagai kegagalan untuk mencapai kadar virus yang tidak
terdeteksi atau virus yang muncul kembali setelah tidak terdeteksi (Gibbs et
al., 2008).
Baru baru ini didapatkan 2 jenis pemeriksaan resistensi yaitu tes fenotip dan
genotip yang masing masing mempunyai keuntungan dan kerugian masing
masing. Pemeriksaan fenotip membandingkan kemampuan virus dalam
bereplikasi dalam konsentrasi yang berbeda beda pada obat antiretrovirus
dengan kemampuannya bereplikasi saat ditidak di beri obat. Sedangkan pada
pemeriksaan genotip, secara langsung dapat mendeteksi mutasi gen yang
mengkode enzim reverse transcriptase dan pembentukan protease oleh virus.
Sehingga inti mutasi virus akan menghasilkan substitusi asam amino dalam
protein yang diproduksi, contohnya reverse transcriptase atau protease
(Gibbs et al., 2008).
Selama kehamilan, pemeriksaan resistensi obat anti HIV direkomendasikan
pada beberapa wanita. Seluruh wanita hamil yang baru baru ini tidak
mendapatkan pengobatan antiretrovirus harus dilakukan pemeriksaan sebelum
memulai pengobatan baru atau profilaksis. Selain itu, seluruh wanita hamil
yang menerima terapi antiretrovirus selama antenatal dan mengalami
kegagalan virologist dengan terdeteksinya HIV RNA yang persisten atau yang
mengalami supresi virus suboptimal setelah dimulainya terapi antiretrovirus
harus melakukan pemeriksaan tersebut. Namun, dalam beberapa kasus
tertentu seperti diagnosis HIV yang terlambat, inisiasi empiris dari terapi
antiretrovirus sebelum pemeriksaan resistensi boleh dilakukan. Penggunaan
HAART kombinasi untuk memaksimalkan supresi replikasi virus selama
kehamilan merupakan strategi paling efektif untuk mencegah perkembangan
resistensi dan untuk meminimalkan risiko transmisi perinatal (Gibbs et al.,
2008).
3.
Terapi AntiRetroVirus
Pengobatan dianjurkan pada seluruh wanita hamil yang terinfeksi HIV,
termasuk bagi mereka yang belum pernah mendapatkan pengobatan sebelum
hamil. Pengobatan dengan Antiretrovirus akan menurunkan risiko transmisi
perinatal tanpa memandang jumlah CD4+ absolut atau HIV RNA. Namun,
ada satu literature menyebutkan bahwa terapi ARV baru diberikan jika kadar
HIV-1 RNA lebih dari 1000 kopi/ml. (Cunningham, 2010).
Menurut Guideline pokok yang dikeluarkan oleh U.S.Public Healths Service
Task force tahun 2009, ibu hamil yang telah mengkonsumsi HAART saat
hamil didorong untuk melanjutkan regimen jika didapati supresi virus yang
adekuat. Namun, seperti yang dijelaskan sebelumnya, ada perkecualian jenis
HAART yang tidak boleh dikonsumsi saat hamil oleh karena efek
teratogeniknya yaitu efavirenz. Hingga saat ini, penambahan zidovudine pada
seluruh regimen di rekomendasikan. Zidovudine diberikan secara intravena
pada seluruh wanita, saat inpartu dan saat persalinan (Cunningham, 2010).
4.
Penilaian Laboratoris
Pengukuran jumlah sel Limfosit T CD4+, viral load HIV RNA, darah
lengkap dan tes fungsi liver dilakukan dalam waktu 4 minggu setelah terapi
dimulai atau perubahan terapi untuk menilai respon serta bukti dari
toksisitas. Oleh karena itu, pemeriksaan HIV RNA viral load dilakukan
tiap trimester. Jika HIV RNA viral load meningkat atau tidak menurun,
maka perlu dinilai kepatuhan dalam pengobatan dan resistensi obat
(Cunningham et al, 2010).
5.
Pemilihan Rute Persalinan
Dari beberapa penelitian didapatkan rute persalinan dengan sectio caesaria
elektif sebelum muncul tanda inpartu maupun sebelum pecah ketuban
dapat menurunkan secara signifikan kejadian transmisi perinatal HIV-1.
Dan mengingat setidaknya 40% hingga 80% transmisi HIV perinatal terjadi
saat intrapartum, maka berdasarkan data tersebut, ACOG menyimpulkan
bahwa wanita hamil terinfeksi HIV wajib dijadwalkan untuk sectio caesaria
elektif untuk menurunkan transmisi perinatal, meskipun telah mendapatkan
regimen ZDV. ACOG juga menyarankan penjadwalan sectio caesaria pada
usia kehamilan 38 minggu dan amniosintesis tidak boleh dilakikan untuk
mencegah kontaminasi cavum amnion oleh antigen virus dari darah ibu.
Mereka juga menyarankan pemberian antibiotika profilaksis oleh karena
tingginya risiko infeksi paska operasi (Gibbs et al., 2008; Hammilil et al.,
2004).
2.2.10 Komplikasi HIV/AIDS
Manajemen terhadap komplikasi HIV dapat berubah akibat kehamilan. Jika
jumlah CD4+ absolut < 200 sel/mm3, profilaksis utama terhadap P.carinii Pneumonia
direkomendasikan dengan sulfomethoxazole-trimethoprim atau dapson. Gejala
infeksi opportunistik lainnya yang dapat berkembang adalah dari infeksi laten atau
infeksi baru toksoplasmosis, herpes virus, mycobacteria dan candida (Cunningham et
al., 2010).
2.3 Limfosit T Cluster Diffrentiation 4+ (CD4+)
2.3.1 Definisi
CD (Cluster Diffrentiation) 4+ adalah klasifikasi mayor dari limfosit T, yang
terdapat pada sel yang membawa antigen CD4+, kebanyakan adalah sel T helper.
Atau dari literatur lain menyebutkan CD4+ sebagai suatu glikoprotein yang
diekspresikan pada permukaan sel T helper, sel T regulatory, monosit, makrofag dan
sel dendritik. Protein CD4+ dikode oleh gen CD4+ (Anonymus, 2009)
Atau dari literatur lain disebutkan bahwa CD4+ merupakan sistem imun
manusia yang bersifat general. Sel sel tersebut menghantarkan sinyal untuk
mengaktivasi respon imun tubuh ketika mendeteksi adanya “ penyusup “ seperti virus
dan bakteri (anonymus, 2010)
2.3.2 Struktur
Seperti kebanyakan dari reseptor atau marker dari permukaan sel lainnya, CD4+
merupakan anggota dari superfamily immunoglobulin. CD4+ memiliki 4 domain
immunoglobulin (D1 hingga D4) yang berada di permukaan ekstraselluler dari sel,
yaitu :

D1 dan D3 yang menyerupai domain immunoglobulin variable (IgV)

D2 dan D4 yang menyerupai domain immunoglobulin constant(IgC)
CD4+ menggunakan domain D1 nya untuk berinterakasi dengan β-2 domain dari
molekul MHC kelas II. Sel T hanya mengekspresikan molekul CD4+ pada
permukaannya (tidak mengekspresikan CD8), oleh karena itu, CD4+ spesifik untuk
antigen yang dipresentasikan oleh MHC II dan tidak oleh MHC kelas I. Ekor pendek
sitoplasmik/intraselluler dari CD4+ mengandung urutan spesifik asam amino yang
berfungsi untuk berinteraksi dengan molekul moleku seperti yang telah dijelaskan
diatas (Anonymus, 2010).
2.3.3 Fungsi
CD4+ merupakan koreseptor yang membantu reseptor sel T atau T cell receptor
(TCR) dengan Antigen Presenting Cell (APC). Dengan menjalankan perannya saat
berada dalam sel T, CD4+ memperkuat sinyal yang dibentuk oleh TCR dengan
menarik enzim yang dikenal sebagai tyrosine kinase Ick, yang penting untuk
mengaktivasi banyaknya molekul yang terlibat dalam sinyal cascade pada sel T yang
teraktivasi. CD4+ juga berinteraksi secara langsung dengan molekul MHC kelas II
pada permukaan APC menggunakan domain ekstrasellulernya. Dengan begitu CD4+
berperan penting bagi tubuh untuk melawan infeksi. Selain itu juga membantu
mencegah infeksi opportunistic dan komplikasi yang terjadi akibat infeksi HIV
(Anonymus, 2010).
2.3.4 Jumlah CD4+ Absolut
Oleh karena peranannya yang besar dalam imunitas tubuh, maka penting bagi
tubuh untuk mempertahankan jumlah CD4+ absolut dalam batas normal. Adapun
batasan normal jumlah CD4+ absolut adalah 500 sel/mm3 sampai 1000 sel/mm3.
Batasan tersebut dipakai sebagai tolak ukur CDC untuk merekomendasikan
pengobatan HIV, kecuali jika didapatkan kondisi khusus seperti kehamilan, usia
muda, acute retroviral syndrome, dll. (Anonymus, 2010)
Berdasarkan guideline terbaru dari U.S. Department of Health and Human
Services menyarankan pengobatan ARV pada jumlah CD4+ absolut < 350 sel/mm3.
Hal ini disebabkan karena infeksi opportunistic dapat mengenai individu pada kadar
CD4 tersebut. Maka atas dasar itu jumlah CD4+ absolut dipakai sebagai penentu
staging dari HIV. Namun, pada pendekatan terapi yang lebih agresif disarankan
pengobatan ARV dimulai pada saat jumlah CD4+ absolut < 500 sel/mm3. (Irwin,
2001).
Jumlah CD4+ absolut < 200 sel/mm3 merupakan salah satu kualifikasi dalam
mendiagnosis AIDS. Jumlah CD4+ absolut dapat bervariasi dari hari ke hari, dan
sangat dipengaruhi oleh waktu pengambilan sampel atau adanya penyakit infeksi lain
seperti flu atau penyakit menular seksual (Anonymus, 2010).
2.3. 5 Faktor Faktor yang mempengaruhi penurunan jumlah CD4+ absolut
Rendahnya jumlah CD4+ absolut sangat berhubungan dengan kondisi kondisi
klinis sebagai berikut yaitu, infeksi virus seperti mononucleosis yang disebabkan oleh
citomegalovirus (CMV), hepatitis B, herpes simplex virus, mumps, measles,
respiratory synctyial virus, rubella, parvovirus, infeksi bakteri seperti pneumonia,
pyelonefritis, abses, luka infeksi, sellulitis dan sepsis, tuberculosis pneumonia, infeksi
parasit seperti malaria, multiple organ failure, hipertensi, obat obatan antihipertensi,
penyakit jantung, luka bakar, trauma, injeksi protein asing intravena, hemofillia,
malnutrisi, kelelahan, dan kehamilan. (Bruder et al.,2004;Kenneth et al., 2010; Irwin,
2001)
Pada kehamilan, Burns et al menggunakan prosentase CD4+ dalam
penelitiannya dalam membandingkan CD4+ wanita hamil yang terinfeksi dan tidak
terinfeksi HIV oleh karena nilai yang didapatkan lebih akurat dibandingkan dengan
jumlah CD4+ absolut sebab adanya peningkatan volume darah selama kehamilan
yang merupakan faktor perancu dalam penelitiannya. Dan dari penelitian tersebut
ditemukan bahwa prosentase CD4+ pada wanita hamil yang tidak terinfeksi HIV
mengalami penurunan dibanding sebelum hamil, namun pada wanita hamil yang
terinfeksi HIV, penurunan prosentase CD4+ jauh lebih banyak dibandingkan dengan
wanita hamil normal yang sulit untuk terkoreksi saat pasca persalinan (Irwin, 2001).
2.3.5 Perubahan fungsi hematologis selama kehamilan
2.3.5.1 Volume darah
Selama kehamilan, terjadi peningkatan volume darah yang diawali pada
trimester pertama, kemudian pada usia kehamilan 12 minggu, volume darah
meningkat sebesar 15 % dibandingkan dengan sebelum hamil. Kemudian meningkat
secara cepat selama trimester kedua dan meningkat secara perlahan pada trimester
ketiga hingga mencapai puncaknya pada usia kehamilan 32-34 minggu. Rata rata
total peningkatannya adalah sebesar 40 hingga 45% yang sebagian besar dari
peningkatan tersebut tersebut terjadi akibat cascade effect yang dipicu oleh perubahan
hormonal selama kehamilan. Contohnya, peningkatan produksi estrogen oleh plasenta
merangsang sistem renin angiotensin, yang akhirnya memicu peningkatan kadar
aldosterondalam darah. Aldosteron memicu reabsorbsi natrium oleh ginjal dan retensi
air. Progesteron juga disebut berperan dalam peningkatan volume darah meskipun
mekanisme penyebabnya masih belum jelas, walaupun peningkatan kapasitas vena
menjadi factor penting yang ikut berperan. Human chorionic somatomammotropin,
progesteron, dan beberapa hormon lainnya juga berperan dalam memicu eritropoeisis
sehingga menyebabkan peningkatan jumlah eritrosit sebanyak 30%. Oleh karena itu,
peningkatan volume darah terjadi bukan hanya karena peningkatan jumlah plasma
darah saja, namun juga peningkatan eritrosit, meskipun jumlah plasma yang
bertambah lebih banyak dari pada jumlah eritrosit. Peningkatan volume eritrosit
berkisar 450 ml. Jumlah peningkatan volume darah bervariasi tergantung pada index
massa tubuh wanita, jumlah kehamilan sebelumnya dan jumlah janin. Hipervolemia
tersebut akan mengkompensasi jumlah darah yang hilang saat persalinan, yang
berkisar antara 500-600 ml untuk persalinan pervaginam dan 1000 ml untuk
persalinan sectio caesaria (Cunningham et al., 2010; DeCherney et al, 2006)
2.3.5.2 Konsentrasi hemoglobin dan hematokrit
Oleh karena banyaknya penambahan plasma darah, konsentrasi hemoglobin
dan hematokrit agak menurun selama kehamilan. Akibatnya, viskositas darah
menurun. Konsentrasi hemoglobin saat aterm rata rata 12,5 g/dl, dan rata rata 5%
wanita dibawah 11.0 g/dl (Cunningham et al., 2010; DeCherney et al, 2006)
2.3.7 Perubahan fungsi hematologis saat pasca persalinan
2.3.7.1 Volume darah
Lekositosis dan trombositosis dapat terjadi saat dan setelah persalinan. Sel
darah putih kadang kadang dapat mencapai 30.000/μl. Selain itu juga didapatkan
limfopenia relative dan eosinopenia absolut. Secara normal, selama beberapa hari
awal paska persalinan, konsentrasi hemoglobin dan hematokrit mengalami fluktuasi
sedang. Jika kedua kadar tersebut menurun hebat, maka didapatkan banyak darah
yang hilang saat persalinan (Cunningham et al., 2010)
Meskipun belum secara luas diteliti, pada sebagian besar wanita, volume darah
hampir mencapai kadar sebelum hamil pada saat 1 minggu pasca persalinan. Curah
jantung umumnya tetap meningkat saat 24 hingga 48 jam pasca persalinan dan
menurun seperti kadar sebelum hamil dalam waktu 10 hari. Denyut jantung juga
berubah mengikuti pola tersebut. Resistensi pembuluh darah sistemik pun juga masih
tetap pada kadar yang rendah dalam tempo 2 hari paska persalinan, kemudian
meningkat perlahan setelah itu (Cunningham et al., 2010)
Volume darah total secara normal menurun dari volume sebesar 5-6 L saat
antepartum menjadi 4 L pada minggu ketiga paska persalinan. Sepertiga dari
penurunan tersebut terjadi saat persalinan dan segera setelah itu dalam jumlah yang
sama hilang pada akhir minggu pertama paska persalinan. Selain itu ada pula variasi
yang terjadi saat laktasi. Hipervolemia kehamilan dianggap sebagai mekanisme
pelindung yang menyebabkan sebagian besar wanita untuk dapat mentoleransi
hilangnya darah yang banyak saat persalinan. Jumlah darah yang hilang saat
persalinan umumnya menentukan volume darah dan hematokrit saat masa nifas.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa persalinan normal bayi tunggal akan
mengeluarkan darah sebayak 500-600 ml, dan dari literature lain ada yang
menyebutkan 400 ml. Sedangkan sectio caesaria akan menyebabkan hilangnya darah
hampir mencapai 1 L. Jika dilakukan histerektomi total pada saat persalinan sectio
caesaria, rata rata kehilangan darah dapat mencapai 1500 ml. Kelahiran kembar dua
dan tiga akan menyebabkan kehilangan darah yang sama dengan persalinan operatif,
namun hilangnya darah tersebut juga dikompensasi dengan peningkatan volume
darah maternal dan massa sel darah merah pada kehamilan multiple yang lebih
banyak dibandingkan dengan kehamilan tunggal (DeCherney et al., 2007)
Penyesuaian yang cepat dan tertata terjadi pada pembuluh darah maternal
setelah persalinan, sehingga respon terhadap hilangnya darah selama awal nifas
berbeda dengan yang terjadi pada wanita yang tidak hamil. Proses persalinan
menyebabkan obliterasi dari pembuluh darah uteroplasenta yang low resistance dan
menghasilkan penurunan sebesar 10-15% dari ukuran pembuluh darah maternal.
Hilangnya fungsi endokrin dari plasenta juga akan menghilangkan rangsangan
pembuluh darah untuk mengalami vasodilatasi (DeCherney et al., 2007)
Penurunan volume darah yang disertai dengan peningkatan hematokrit seperti
pada keadaan sebelum hamil umumnya terjadi dalam waktu 7 hari setelah persalinan
terutama pada persalinan pervaginam. Sebaliknya, dari penelitian beberapa pasien
paska persalinan sectio caesaria mengindikasikan penurunan volume darah dan
hematokrit yang lebih cepat serta kecenderungan hematokrit untuk kembali stabil
atau menurun di awal masa nifas. Hemokonsentrasi terjadi jika hilangnya sel darah
merah lebih sedikit dibandingkan dengan penurunan kapasitas pembuluh darah.
Hemodilusi terjadi jika penderita kehilangan 20% atau lebih volume darah disirkulasi
saat persalinan. Pada penderita preeclampsia dan eklampsia, vasokonstriksi perifer
dan mobilisasi dari cairan extraseluler yang berlebihan akan memicu terjadinya
peningkatan jumlah volume pembuluh darah pada saat hari ketiga paska persalinan.
Kadar Atrial Natriuretik Peptide (ANP) hampir mencapai dua kali lipat saat 5 hari
paska persalinan untuk merespon peregangan atrium yang disebabkan oleh
peningkatan jumlah volume darah dan juga berhubungan dengan natriuresis dan
dieresis paska persalinan. Kadang kadang, pada penderita yang sedikit mengalami
kehilangan darah saat persalinan, hemokonsentrasi hebat dapat terjadi saat masa
nifas, khususunya jika didapat polisitemia sebelumnya atau peningkatan hebat massa
sel darah merah selama kehamilan (Cuningham et al., 2010; DeCherney et al., 2007).
2.3.8 Perubahan fungsi immunologis selama kehamilan
Kehamilan berhubungan dengan penekanan fungsi imunitas humoral dan
seluler. Dimana salah satunya terjadi supresi sel T Helper I dan sel T sitotoksik yang
akan menurunkan sekresi interleukin-2 (IL-2), interferon γ dan tumor necrosis factor
–β (TNF-β). Selain itu juga didapatkan bukti bahwa supresi respon Th 1 dibutuhkan
untuk mempertahankan kehamilan. Namun tidak semua aspek imunologis mengalami
penurunan. Contohnya adalah terjadi upregulation sel Th2 untuk meningkatkan
sekresi IL-4, IL-6 dan IL-13. Pada mucous cervix, kadar puncak dari
Immunoglobulin A dan G (IgA dan IgG) lebih tinggi saat kehamilan. Sama halnya
juga dengan interleukin 1-β yang ditemukan pada mucous cervix wanita hamil lebih
tinggi dari pada wanita yang tidak hamil (Cunningham et al., 2010)
Beberapa fungsi kemotaksis dan perlekatan dari sel leukosit polymorphonuclear
mengalami penurunan di awal trimester kedua dan berlanjut selama kehamilan.
Meskipun mekanisme sulit untuk dimengerti, hal ini mungkin sebagian berhubungan
dengan adanya relaxin yang mengganggu aktivasi netrofil. Selain itu, fungsi lekosit
yang menurun pada wanita hamil juga bisa menjadi bagian dari berkembangnya
gangguan autoimun dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi cervix
(Cunningham et al., 2010)
Meskipun jumlah lekosit selama kehamilan bervariasi, namun pada umumnya
jumlahnya berkisar antara 5000-12.000 /μl. Selama persalinan dan awal nifas, lekosit
dapat meningkat hebat, hingga mencapai kadar 25.000/μl atau lebih, namun
umumnya berkisar antara 14.000-16.000/ μl. Selain dari jumlah lekosit yang
bervariasi, distribusi macam macam sel juga berubah secara signifikan selama
kehamilan. Khususnya, pada trimester ketiga, prosentase granulosit dan limfosit T
CD8 meningkat secara signifikan sejalan dengan penurunan prosentase limfosit T
CD4+ dan monosit. Lebih dari pada itu, lekosit yang ada disirkulasi mengalami
perubahan fenitip secara signifikan, termasuk salah satunya upregulation dari adhesi
molekul (Cunningham et al., 2010)
Jurnal Reproduction of Immunology pada tahun 1989 menyebutkan selama
kehamilan terjadi penurunan prosentase limfosit T CD4+ selama trimester pertama
dan kedua, dan mencapai ke kadar semula pada trimester ketiga seperti sebelum
hamil dan menetap pada periode postpartum. Sedangkan prosentase limfosit T CD3+
juga mengalami perubahan yang parallel dengan limfosit T CD4+, namun prosentase
limfosit T CD8+ tidak mengalami banyak perubahan. Proposi untuk sel CD16+, yang
termasuk sel matur NK menurun saat trimester ke-2 dan penurunan ini dipertahankan
saat trimester 3 dan masa nifas (Castilla et al.,1989 ; Cunningham et al., 2010).
2.3.9 Perubahan jumlah CD4+ absolut selama kehamilan dan pasca persalinan
pada wanita hamil terinfeksi HIV
Pada studi investigasi perubahan fenotip sel T selama kehamilan yang telah
dilakukan di negara negara maju menunjukkan adanya hasil yang sangat bervariasi.
Sebagai contohnya adalah Fiddes et al dan Vanderbeeken et al menemukan jumlah
CD4+ absolut yang lebih tinggi pada trimester pertama dan ke-2 kehamilan yang
kemudian diikuti dengan penurunan hingga mencapai kadar seperti sebelum hamil.
van Bentheem et al juga meneliti bahwa wanita hamil memiliki jumlah CD4+ absolut
yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak hamil setelah mengalami
serokonversi selama tiga tahun, meskipun demikian perbedaan yang didapatkan tidak
begitu signifikan. Sehingga penurunan jumlah CD4+ absolut dalam hitungan waktu
bulan tidak berhubungan dengan kehamilan. Demikian pula halnya dengan Castillla
et al mengamati jumlah CD4+ absolut yang lebih tinggi pada trimester ke tiga dan
saat pasca persalinan dari pada trimester pertama dan ke dua. Namun pada
penelitiannnya didapatkan kelemahan yaitu faktor faktor yang ikut berperan dalam
penurunan jumlah CD4+ absolut seperti infeksi, trauma, exercise yang berlebihan
serta variasi harian yang normal tidak dipertimbangkan. Pada penelitian longitudinal
immunitas wanita hamil yang terinfeksi HIV di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
kehamilan dapat meningkatkan stimulasi penurunan jumlah CD4+ absolut oleh
infeksi HIV-I. Namun, pada penelitian tersebut, pemeriksaan immunologis secara
berulang pada trimester ke tiga menunjukkan jumlah CD4+ absolut yang fluktuatif
baik pada wanita yang terinfeksi HIV maupun tidak, dengan kadar terendah pada saat
8 minggu sebelum persalinan yang diikuti dengan peningkatan jumlah CD4+ absolut
segera sebelum persalinan terjadi. Oleh karena nilai yang fluktuatif tersebut tidak
dapat diamati dengan satu pengukuran saja, tampaknya dibutuhkan banyaknya
pengukuran sebelum dan sesudah persalinan untuk dapat mendokumentasikan
perubahan jumlah sel CD4+ dan CD8+. Pada penelitian yang dilakukan oleh Miotti
et al yang ditulis dalam Journal Infectious Disease 2009, jumlah sel CD4+ dan CD8+
lebih tinggi pada saat pasca persalinan dibandingkan dengan trimester ke tiga,
sementara itu prosentase CD4+ dan CD8+ serta perbandingan CD4+ dan CD8+
sebagian besar tidak menunjukkan adanya perubahan yang signifikan. Selain itu,
jumlah sel CD4+ dan CD8+ pada populasi wanita hamil di daerah terbelakang di
Afrika memiliki kisaran yang sama dengan wanita hamil di negara maju. Pada
penelitian tersebut didapatkan peningkatan kadar leukosit total dan penurunan
prosentase limfosit. Pada kenyataannya, pengukuran prosentase sel CD4+ dan CD8+
tidak dipengaruhi oleh volume darah sehingga tidak timbul perubahan yang
signifikan, sedangkan pengukuran jumlah sel CD4+ dan CD8+ selama hamil jauh
lebih rendah sebab sangat dipengaruhi oleh stress serta peningkatan distribusi volume
selama kehamilan (Miotti et al.,1999; van Bentheem et al.,2002)
Hasil yang sama juga dikemukakan oleh penelitian yang dilakukan oleh Bikgit
el al tentang efek perubahan hormon pada jumlah CD4+ absolut wanita hamil yang
terinfeksi HIV dan didapatkan pada wanita hamil memiliki jumlah CD4+ absolut
yang lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil (Bikgit et al., 2005).
2.3.10 Pengaruh perubahan hormon kehamilan terhadap jumlah CD4+ absolut
Telah didapatkan bukti bukti yang telah berkembang bahwa hormon Estrogen
dapat menurunkan fungsi T Helper 1 (Th1) atau sekresi sitokin inflamasi dan
meningkatkan respon imun T Helper 2 (Th2). Penggunaaan estrogen, progesteron
atau kombinasi keduanya pada hormon kontrasepsi telah dibuktikan berhubungan
dengan peningkatan potensi masuknya infeksi virus. Didapatkan juga hubungan yang
signifikan antara penggunaan kontrasepsi hormonal dengan masuknya infeksi HIV
pada wanita. Selain itu, kehamilan juga berhubungan dengan peningkatan dua kali
lipat risiko masuknya infeksi HIV pada pekerja seksual. Data tersebut menunjukkan
bahwa kontrasepsi hormonal dapat mempengaruhi respon imun sistemik dan atau
genitalia (Laura et al., 2007).
Informasi mengenai bagaimana mekanisme estrogen dan progesteron dalam
memediasi regulasi sistem imun masih sangat terbatas. Respon terhadap estrogen
pada tikus dan manusia tampaknya melibatkan reseptor α estrogen, yang
diekspresikan pada banyak sel termasuk sel monosit dan sel T. Pada monosit, terapi
estrogen exvivo dapat meningkatkan ekspresi reseptor sel apoptosis Fas (CD95) dan
menurunkan marker aktivasi. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa progesteron
dapat menghambat cell-mediated immunity (CMI), namun bagaimana mekanismenya
dan apakah sel targetnya masih belum diketahui. Estrogen dan progesteron memiliki
struktur yang sama dengan kortikosteroid yang dapat meningkatkan efek
immunosupresive (Laura et al., 2007).
Pada penelitian efek estrogen dan progesteron pada penderita HIV , data
menunjukkan bahwa estrogen dan progesteron menurunkan produksi IL-6, yang baru
baru ini terbukti berperan dalam peralihan imunitas innate menjadi imunitas adaptive.
Selain itu, progesteron juga menghambat IL-2, interferon γ, IL-12, IL-1β, sedangkan
efek estrogen terhadap IL-2 dan IFN-γ terbatas. Maka dapat disimpulkan bahwa efek
immunosupresive dari progesteron secara klinis cukup relevan dibandingkan dengan
estrogen (Laura et al., 2007)
Efek inhibisi dari estrogen dan progesteron terhadap produksi sitokin
inflamasi lebih menonjol pada penderita yang terinfeksi HIV dibandingkan dengan
individu yang tidak terinfeksi. Pada penelitian eksperimental Peripheral Blood
Mononuclear
Cell
(PBMC)
murni
menunjukkan
bahwa
progesteron
dan
dexamethason memiliki efek langsung pada fungsi sel CD4+, CD8+, dan CD14+.
Efek progesteron pada sel T CD8+ cukup menarik, sebab pada penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa sel tersebut berperan dalam efek tolerogenik progesteron selama
kehamilan. Sedangkan efek estrogen terhadap perubahan produksi sel T CD4+ dan
CD8+ masih perlu diteliti lebih lanjut. (Laura et al., 2007)
Keberhasilan kehamilan melibatkan perubahan mekanisme toleransi central
(tymus) dan perifer. Infeksi HIV ditandai oleh penurunan sel T CD4+, aktivasi imun
kronis dan perubahan limfosit. Pada penelitian yang membandingkan kadar limfosit,
output tymus, dan profil sitokin saat hamil dan postpartum antara wanita yang
terinfeksi HIV dengan yang tidak terinfeksi, didapatkan peningkatan yang signifikan
pada sel T regulatory CD4+, CD25+, CD127lowFOXP3+ yang menunjukkan adanya
perubahan toleransi perifer saat trimester kedua namun hanya pada wanita yang tidak
terinfeksi. Sedangkan pada wanita yang terinfeksi HIV, memiliki CD4+ yang lebih
rendah, output tymus dan sitokin Th2 yang lebih rendah serta aktivasi imun yang
menurun. Dan pada saat postpartum didapatkan peningkatan CD4+ dan CD8+ yang
signifikan baik pada kelompok wanita terinfeksi HIV maupun yang tidak terinfeksi
HIV (Kolte et al, 2011)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Neratzoula et al tentang bagaimana efek
progesteron pada sekresi kemokin yang diaktivasi oleh limfosit T pada wanita hamil
terinfeksi HIV, didapatkan bahwa progesteron secara signifikan dapat menekan
proliferasi sel CD8+ sehingga dapat menghambat sekresi kemokin oleh sel CD8+,
akan tetapi kurang berpengaruh secara signifikan pada proliferasi sel T CD4+
sehingga tidak ada efek pada sekresi kemokin oleh CD4+. Telah banyak diketahui
bahwa hormon adrenal steroid (glycocorticosteroid) dapat memicu infeksi HIV-1
lewat aktivasi respon elemen steroid pada area terminal panjang HIV berulang. Pada
penelitian terbaru didapatkan bukti bahwa hormon steroid lain seperti estrogen dan
progesteron juga dapat memodulasi infeksi HIV invitro, namun, interaksi antara
sistem imun dan endokrin masih cukup kompleks dan terbatas untuk dimengerti pada
level molekuler, dan peran hormon hormon tersebut pada infeksi HIV juga masih
belum dapat dimengerti. Namun pada penelitian terbaru dengan menggunakan sistem
invitro menunjukkan bahwa progesteron mempengaruhi mekanisme infeksi HIV
lewat efek dari sistem reseptor kemokin kemokin. Progesteron dalam kadar tertentu
dapat memberikan efek inhibisi terhadap ekspresi protein CCR5 pada sel
mononuclear di darah tepi yang diaktivasi oleh virus. Efek inhibisi tersebut hanya
bisa timbul jika didapatkan progesteron dalam kadar tertentu sebelum sel MN
teraktivasi oleh virus, jika sudah teraktivasi maka progesteron dalam kadar tertentu
tidak akan merubah ekspresi CCR5. Sebaliknya, ekspresi protein CXCR4 dapat
teregulasi cepat dan dalam jumlah besar pada sel MN yang tidak teraktivasi oleh virus
atau dengan kata lain progesteron memiliki efek regulator yang positif terhadap
kandungan CXCR4 di dalam sel MN di darah tepi. Progesteron dapat menghambat
IL-2 yang menginduksi upregulasi protein CCR5 dan CXCR4 pada sel T CD4+ dan
CD8+. Efek penekanan oleh progesteron tersebut pada ekspresi CCR5 dan CXCR4
hanya dilihat secara eksklusif pada sel T yang teraktivasi dan bukan pada sel T atau
makrofag yang ada dalam kondisi dorman. Hal tersebut menandakan bahwa hormon
dapat mengganggu kejadian awal aktivasi seluler (Edith et al., 2010; Neratzolula et
al., 1999)
Efek progesteron pada ekspresi protein reseptor kemokin dapat melibatkan
migrasi limfosit. Kemokin dapat secara langsung mengarahkan pergerakan leukosit,
perkembangan, homeostasis dan inflamasi lewat interaksi reseptor-reseptornya.
Kemokin secara aktif diproduksi pada area terjadinya proses inflamasi, yang
kemudian menarik sel T dan monosit sehingga menyebabkan berkembangnya kondisi
inflamasi akut dan kronis. Penurunan ekspresi reseptor kemokin dapat menyebabkan
perubahan pola migrasi sel dan sekresi sitokin serta mediator imun dan inflamasi
(Neratzolula et al., 1999)
Kadar progesteron yang tinggi seperti dalam kehamilan akan menyebabkan
penurunan konsentrasi RANTES, MIP-1α dan MIP-1β dalam supernatant dari kultur
limfosit CD8+, akan tetapi tidak memberikan pengaruh pada konsentrasi kemokinkemokin tersebut di kultur limfosit CD4+. Data penelitian yang sama menunjukkan
bahwa progesteron dapat menghambat penarikan dan proliferasi limfosit CD8+ yang
teraktivasi yang dimediasi oleh kemokin, sehingga dapat melemahkan fungsi
pertahanan antimikroba di mukosa. Di sisi lain, dengan menurunkan sekresi kemokin
lewat aktivasi sel T CD8+ pada lokasi infeksi, progesteron dalam kadar tinggi dapat
menurunkan jumlah sel CD4+ yang ditarik oleh kemokin ke epithel mukosa, sehingga
dapat menurunkan sel host HIV-1 pada lokasi transmisi (Neratzolula et al, 1999)
Download