BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kusta Penyakit kusta merupakan infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini biasanya menyerang kulit dan saraf tepi namun juga dapat mengenai otot, mata, tulang, testis dan organ lainnya (Lee dkk, 2012; Thorat dan Sharma, 2010). Penyakit kusta memiliki manifestasi klinis yang bervariasi dimana secara garis besar terdapat tiga pembagian penyakit kusta yaitu tipe tuberkuloid (tipe kusta yang lebih ringan), lepromatosa (tipe kusta yang lebih berat, dapat disertai keterlibatan organ lain) dan borderline (terdapat gejala tuberkuloid maupun lepromatosa) (Sandle, 2013; Thorat dan Sharma, 2010). 2.2 Epidemiologi Hingga saat ini MDT masih merupakan faktor utama dalam pengendalian penyakit kusta selama 3 dekade setelah diperkenalkannya obat ini untuk pertama kali. Pada tahun-tahun pertama sejak diperkenalkannya MDT prevalensi penyakit kusta menurun secara drastis hingga 45 %, sehingga WHO kemudian mencanangkan program eliminasi penyakit kusta sebagai permasalahan kesehatan masyarakat secara global pada tahun 2000. Eliminasi penyakit kusta didefinisikan sebagai penurunan prevalensi penyakit hingga mencapai <1 kasus per 10.000 populasi. Program ini terutama ditujukan pada negara-negara dimana 9 10 penyakit kusta bersifat endemik. Sebagai hasilnya target eliminasi penyakit kusta secara global dapat dicapai pada tahun 2000 dengan perkecualian pada beberapa negara dimana target eliminasi secara nasional baru dicapai pada tahun 2005 (WHO, 2014). Berdasarkan data yang diperoleh dari 121 negara pada tahun 2014, WHO melaporkan jumlah kasus baru yang terdeteksi adalah sebesar 213.899 jumlah ini menurun dibanding jumlah kasus baru pada tahun 2013 yaitu sebesar 215.656. Jumlah kasus baru terbanyak dilaporkan berasal dari Asia yaitu sebesar 154.834 (72%), kemudian Amerika 33.789, Afrika 18.597, Pasifik Barat 4337 dan terakhir Meditarian Timur 2342. Berdasarkan data WHO Indonesia masih menempati peringkat ketiga jumlah kasus baru terbanyak setelah India dan Brasil yaitu sebesar 17.025. Jumlah kasus baru ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2013 yaitu sebesar 16.856. Diantara negara di Asia, Indonesia juga menempati jumlah kasus kusta tipe MB terbanyak yaitu sebesar 83,4% diantara kasus baru yang terdeteksi, serta jumlah kasus kusta baru pada anak yang terbanyak yaitu sebesar 11,1%, sedangkan untuk jumlah kasus yang teregistrasi selama trimester pertama 2015 berdasarkan data WHO adalah sebesar 175.554 (WHO, 2015). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik pada tahun 2013 jumlah kasus baru yang tecatat di provinsi Bali adalah sebesar 88 kasus dengan 81 kasus MB dan 7 kasus PB, sedangkan pada tahun 2014 tercatat 81 kasus baru dengan 68 kasus MB dan 13 kasus PB. Angka prevalensi kusta di Provinsi Bali pada tahun 2014 adalah 0,21 per 10.000 penduduk (Yudianto dkk., 2014; Sitohang dkk., 2015). 11 Penyakit kusta dapat mengenai semua usia namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif. Berdasarkan jenis kelamin penyakit kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan dengan proporsi yang sama. Penyakit kusta juga dipengaruhi oleh sosial ekonomi, dimana penyakit kusta lebih jarang ditemukan pada tingkat sosial ekonomi yang tinggi (Kemenkes RI, 2012). 2.3 Etiologi Penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang merupakan bakteri tahan asam, berbentuk batang gram positif, tidak dapat dikultur pada media buatan, aerob dan bersifat obligat intraseluler. Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1873 sehingga penyakit ini dikenal pula sebagai Morbus Hansen (Lee dkk., 2012; Sekar, 2010). Mycobacterium leprae bersifat non motil berukuran panjang 1-8 mikron dan diameter 0,3 mikron dengan sisi paralel dan ujung yang membulat. Tropisme dari bakteri ini adalah sistem retikuloendotelial dan sistem saraf perifer (sel Schwann). Replikasi memerlukan waktu 11 hingga 13 hari, tumbuh maksimal pada suhu 270 C hingga 300 C (Eichelmann dkk., 2013; Sekar, 2010). Dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan arabinogalaktan dan mycolic acid. Lipoarabinomanan merupakan target lipoglikan respon imunitas selular maupun humoral yang ditemukan pada membran bagian luar hingga ke membran sel. Kapsul M. leprae mengandung 2 lipid bakteri utama yaitu pthiocerol dimycocerosate dan phenolic glycolipid-1 (PGL-1) yang merupakan glikolipid spesifik untuk M. leprae yang aktif secara serologis. Phenolic 12 glycolipid-1 sangat imunogenik,dapat memicu imunoglobulin kelas Imunoglobulin (Ig ) M yang ditemukan pada 60% kusta tipe TT dan 90% kusta tipe LL. (Lee dkk., 2012; Sekar, 2010; Polycarpou dkk., 2013). 2.4 Patogenesis Penyakit kusta ditandai dengan adanya spektrum klinis yang luas didasari oleh respon imunitas pejamu (Gambar 2.1). Penderita kusta tipe tuberkuloid menunjukkan adanya respon imunitas seluler yang dimediasi oleh Th (T Helper) 1, IFN-γ dan interleukin (IL)-2 ) pada kulit dan saraf, yang menggambarkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen M. leprae. Kusta tipe tuberkuloid ditandai dengan adanya pembentukan granuloma dengan predominan sel T CD4+ dan gambaran klinis adanya gangguan saraf tepi yang jelas namun jumlah basil serta lesi yang sedikit. Sebaliknya kusta tipe lepromatosa dihubungkan dengan respon imun yang dimediasi oleh sel Th2 (IL-4 dan IL-10) yang tidak responsif terhadap antigen M. leprae, predominan sel T CD8+ serta tidak terbentuk granuloma. Terdapat pula kelompok kusta tipe borderline yang menunjukan pola imunitas diantara kedua kutub kusta. (Gulia dkk., 2010; Nath dan Chaduvula, 2010; Misch dkk, 2010). 13 Gambar 2.1 Spektrum Klinis Penyakit Kusta (Nath dan Chaduvula, 2010) Pada tahap awal M. leprae dikenali oleh beberapa reseptor imunitas alamiah termasuk Toll-like receptor (TLR). Toll-like receptor 2 membentuk heterodimer dengan TLR1 untuk mengenali komponen mikobakterium seperti protein 19-kDa dan lipopeptida lainnya (Misch dkk., 2010). Lipoglikan lipomanan (LM) dan manosa atau arabinose-capped lipoarabinomanan (ManLAM dan AraLAM) merupakan faktor virulensi utama pada spesies mikobakterium, berperan sebagai agonis poten TLR1/2 dan berkontribusi pada aktivasi makrofag dan imunomodulasi respon pejamu. Molekul ini berperan pada pelepasan ROS oleh sel fagosit melalui mekanisme respiratory burst (Hart dan Tapping, 2012). Beberapa reseptor signaling lainnya yang juga dianggap berperan antara lain TLR 4,6,8 dan 9, sel dendritik, Dectin-1 dan mincle (Misch dkk., 2010). 14 Determinan utama diferensiasi sel limfosit T yang naïf menjadi sel Th1 dimediasi oleh antigen presenting cell (APC) dan komplek TLR melalui pelepasan IL-12. Pada kusta tipe tuberkuloid ekspresi IL-12 ditemukan 10 kali lipat lebih tinggi dibanding kusta tipe lepromatosa. Pelepasan IL12 juga dimediasi oleh TLR 1 dan 2 dan CD40 dimana ekspresi TLR maupun CD40 ini ditemukan lebih banyak pada lesi tuberkuloid dibanding lepromatosa. Hal ini menjelaskan mengapa pada kusta tipe lepromatosa terjadi kegagalan pembentukan Th1 dan IFN γ yang berespon terhadap antigen M. leprae (Renault dan Ernst, 2015) Makrofag merupakan sel pejamu yang paling banyak berinteraksi dengan M. leprae. Makrofag memiliki 2 fungsi utama yaitu sebagai APC melalui molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) klas I dan klas II yang dipresentasikan kepada sel CD8+ dan CD4+ serta sebagai fagositosis bakteri patogen melalui mekanisme efektor nonspesifik. Makrofag pada jaringan spesifik dan lokasi infeksi berperan dalam melepaskan sitokin termasuk TNF-α sebagai hasil dari stimulasi M. leprae utuh maupun komponen dinding sel. Stimulasi makrofag oleh PGL-1 juga dapat menginduksi pelepasan TNF-α (Bath dan Prakash, 2012; Venkatesan dan Deo, 2012). Produk utama reaktivasi makrofag adalah ROS dan nitric oxide (NO). Produksi ROS diperantarai oleh fagosit oksidase suatu enzim multisubunit yang diaktivasi terutama oleh IFN-γ dan sinyal dari TLR. Fagosit oksidase berfungsi mereduksi molekul oksigen menjadi ROS dengan kofaktor nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH). Radikal superoksid yang terbentuk dari proses ini kemudian akan mengalami dismutasi secara enzimatik menjadi hidrogen peroksida, yang selanjutnya digunakan oleh 15 enzim myeloperoksidase untuk mengubah ion halida menjadi asam hipoklorat yang bersifat reaktif. Proses ini dikenal dengan sebutan respiratory burst (Abbas dkk., 2015). Selain ROS, makrofag juga memproduksi reactive nitrogen species terutama NO. Nitric oxide dibentuk dari aktivasi enzim inducible nitric oxide synthase (iNOS). Enzim ini merupakan enzim sitosolik yang terinduksi sebagai respon terhadap produk mikrobial yang mengaktivasi TLR, terutama apabila dikombinasi dengan IFN-γ. Enzim iNOS mengkatalisasi konversi arginin menjadi sitrulin dan melepaskan NO yang berdifusi aktif. Di dalam fagolisosom NO dapat membentuk radikal peroksinitrit yang sangat reaktif, sebagai hasil penggabungan dengan hidrogen peroksida atau radikal superoksid yang dapat membunuh bakteri (Abbas dkk., 2015). Gambar 2.2 Peran Makrofag pada Sistem Imunitas (Abbas dkk., 2015) 16 Sel schwann pada saraf perifer merupakan target utama infeksi oleh M. leprae. Kerusakan saraf perifer dapat disebabkan secara langsung oleh M. leprae maupun melalui respon imunitas. Mycobacterium leprae dapat menginvasi sel schwann melalui ikatan PGL-1 dengan domain G pada rantai α2 laminin-2 yang terdapat pada membran sel Schwann. Laminin binding protein 21 (LBP-21) berperan memediasi masuknya M. leprae menuju ke intraseluler sel Schwann, selanjutnya internalisasi M. leprae akan menyebabkan demyelinisasi saraf perifer diakibatkan oleh ikatan langsung antara bakteri dengan reseptor neuregulin, aktivasi ErB2 dan Erk1/2 dan aktivasi Mitogen Activated Protein (MAP) kinase (Gulia dkk., 2010; Nath dan Chaduvula, 2010; Misch dkk., 2010; Renault dan Ernst, 2015). Demyelinisasi oleh M. leprae akan memicu invasi lebih lanjut karena M. leprae lebih menyukai unit akson yang tidak bermyelin. Mekanisme kerusakan saraf secara langsung ini terutama berperan pada kusta tipe multibasilar (Renault dan Ernst, 2015). Hipotesis kerusakan saraf yang dimediasi oleh sistem imun diduga disebabkan karena pelepasan sitokin proinflamasi antara lain TNF, IL-12, IL-16, IL-18, 1L-15 dan IL-1β oleh monosit atau makrofag. Protein 19-kDa yang dikenali oleh TLR1/2 menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi dan apoptosis sel Schwann, selain itu sel Schwann yang terpapar secara in vitro terhadap neuron yang mengalami nekrosis memproduksi TNF dan nitric oxide (NO) yang merupakan mediator inflamasi poten. Pada tingkat jaringan, kerusakan saraf disebabkan karena influks sel imunitas dan cairan interstisial (edema) pada saraf 17 sehingga terjadi kompresi dan iskemia (Misch dkk., 2010; Renault dan Ernst, 2015). 2.5 Cara Penularan Manusia merupakan satu-satunya reservoir alamiah M.leprae dan sumber infeksi kusta pada manusia adalah kasus kusta yang tidak diobati. Kusta tipe MB merupakan sumber infeksi yang lebih penting dibanding PB. Jumlah bakteri pada kusta tipe lepromatosa dikatakan mencapai 7000 juta basil per gram jaringan, sedangkan jumlah basil pada kusta tipe yang lain dikatakan lebih rendah, namun semua kasus kusta yang aktif harus dipertimbangkan sebagai sumber infeksi yang potensial (Eichelmann, 2013; Rao, 2012; Thorat, 2010). Mekanisme transmisi M.leprae hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti. Saluran pernafasan terutama hidung merupakan tempat masuk utama M. leprae, sehingga inhalasi melalui droplet merupakan metode transmisi utama (Eichelmann, 2013; Rao, 2012). Berjuta basil dikeluarkan dari mukosa nasal individu dengan pemeriksaan bakteriologis positif pada saat bersin, namun hanya sedikit (kurang dari 3%) dari bakteri yang berhasil keluar bersifat viabel bahkan pada kasus yang belum mendapat pengobatan. Sehingga kemampuan transmisi M. leprae bersifat rendah dan kontak yang lama serta penduduk yang padat merupakan salah satu faktor risiko (Eichelmann, 2013; Thorat, 2010). Metode transmisi lainnya meliputi kontak kulit secara langsung, melalui fomit dan inokulasi lewat trauma meskipun masih memerlukan pembuktian lebih lanjut. 18 Metode transmisi lain yang juga masih belum terbukti adalah transmisi in utero dan melalui air susu ibu (Rao, 2012; Thorat, 2010). 2.6 Diagnosis Berdasarkan pertemuan komite ahli WHO pada tahun 1997, penyakit kusta didiagnosis berdasarkan atas 3 tanda kardinal. Diagnosis ditegakkan apabila individu yang belum menyelesaikan pengobatan memiliki satu atau lebih tanda kardinal berikut (Kumar dan Dogra, 2010) : 1. Lesi kulit hipopigmentasi atau eritematosa yang disertai dengan hilangnya atau gangguan sensasi Makula atau plak dapat berwarna hipopigmentasi, hiperpigmentasi, eritematosa atau berwarna seperti tembaga. Permukaan dapat kering atau kasar karena hilangnya fungsi kelenjar keringat atau berkilap atau dapat pula dengan permukaan lembut. Dapat ditemukan hilangnya folikel rambut dan lesi dapat berupa infiltasi, edema atau eritema. Adanya anestesi merupakan hal yang spesifik untuk penyakit kusta. Pemeriksaan adanya gangguan sensorik dilakukan terhadap rasa raba, nyeri dan suhu. (Kumar dan Dogra, 2010; Noto dan Schreuder, 2010). 2. Keterlibatan saraf tepi yang ditunjukkan dengan adanya penebalan saraf Pembesaran saraf tepi biasanya baru ditemukan setelah adanya lesi kulit. Saraf yang paling sering terkena adalah nervus ulnaris dan peroneus komunis. Adanya pembesaran saraf yang lebih dari satu biasanya lebih sering ditemukan pada kusta tipe MB. Penebalan saraf diketahui dengan 19 pemeriksaan palpasi. Evaluasi meliputi rasa nyeri (nyeri spontan atau dengan palpasi), konsistensi (lunak, keras atau iregular) dan ukuran (membesar, normal atau kecil). Pemeriksaan saraf meliputi pemeriksaan nervus supraorbital, nervus aurikularis magnus, nervus ulnaris, nervus radialis, nervus medianus, nevus poplitea lateralis, nervus peroneus, dan nervus tibialis posterior (Kumar dan Dogra, 2010; Noto dan Schreuder, 2010). 3. Pemeriksaan hapusan sayatan kulit ditemukan basil tahan asam Pemeriksaan hapusan sayatan kulit dapat diambil dari mukosa nasal, lobus telinga dan lesi kulit. Pewarnaan dilakukan dengan metode Ziehl-Neelsen. Berdasarkan pemeriksaan hapusan kulit kemudian dapat ditentukan indeks bakteri (IB) dan indeks morfologi (IM) yang membantu dalam menentukan tipe kusta dan evaluasi terapi (Eichelmann, 2013; Job dan Ponnaiya, 2010). Pada kasus yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan histopatologis. Pemeriksaan histopatologis pada kusta akan menunjukkan gambaran granuloma yang khas disertai keterlibatan saraf. Pada kusta tipe tuberkuloid umumnya akan ditemukan gambaran granuloma epiteloid disertai infiltrat limfosit, sedangkan pada kusta tipe lepromatosa akan ditemukan gambaran granuloma makrofag. Pada kusta tipe borderline akan ditemukan gambaran granuloma dengan proporsi sel epiteloid dan makrofag yang berbeda-beda (Porichha dan Natrajan; 2010). Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan serologis yaitu 20 pemeriksaan titer antibodi PGL-1 dan polymerase chain reaction (PCR) (Eichelmann; 2013). 2.7 Klasifikasi Klasifikasi kusta sangat penting dalam menentukan regimen pengobatan, prognosis dan komplikasi serta perencanaan operasional misalnya menemukan pasien yang menular yang mempunyai nilai epidemiologi tinggi sebagai target utama pengobatan. Selain itu klasifikasi kusta juga sangat penting untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat. Klasifikasi kusta yang sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan atas Ridley dan Jopling 1962) yang membagi kusta menjadi 5 yaitu kusta tipe Tuberculoid Tuberculoid (TT), Borderline Tuberculoid (BT), Mid-Borderline (BB), Borderline Lepromatosa (BL) dan Lepromatous Lepromatous (LL). Pembagian ini didasarkan pada kriteria klinis, bakteriologis, imunologis dan histopatologis (Lee, dkk., 2012; Mishra dan Kumar 2010). Klasifikasi kusta yang lain adalah klasifikasi Madrid yang didasarkan pada Kongres Internasional Kusta di Madrid pada tahun 1953. Klasifikasi ini terdiri dari kusta tipe Indeterminate (I), Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B) dan Lepromatous (L). Untuk kepentingan program kusta WHO mengeluarkan klasifikasi kusta pada tahun 1988 yang terdiri dari kusta tipe pausibasilar (PB) meliputi kusta dengan pemeriksaan BTA negatif yaitu tipe I, TT dan BT berdasarkan klasifikasi Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid dan kusta tipe MB yang meliputi kusta tipe LL, BL, BB menurut Ridley dan Jopling atau tipe B 21 dan L menurut klasifikasi Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif. Keterbatasan pemeriksaan hapusan kulit yang tidak bisa diterapkan secara global menyebabkan WHO kembali mengeluarkan klasifikasi pada tahun 1998 yang membagi kusta menjadi 3 berdasarkan atas jumlah lesi yaitu kusta tipe PB dengan lesi tunggal, kusta tipe PB dengan jumlah lesi 2-5 dan kusta tipe MB dengan jumlah lesi lebih dari 5 atau semua kusta dengan BTA positif (Mishra dan Kumar 2010). Tabel 2.1 Karakteristik Klasifikasi Kusta Ridley dan Jopling (Kumar dan Dogra, 2010) Lesi Jumlah Ukuran Permukaan TT Biasanya tunggal (s/d 3) Bervariasi, umumnya besar Kering, dengan skuama BT Sedikit (s/d 10) BB Beberapa (10-30) BL Banyak asimetris (>30) Kecil, beberapa dapat besar Mengkilap LL Tidak terhitung, simetris Kecil Bervariasi, beberapa besar Kering, dengan skuama, terlihat cerah, terdapat infiltrat Menurun dengan jelas Bervariasi Menurun sedang Sedikit menurun Normal atau menurun minimal Normal pada tahap awal Banyak sekali termasuk globi Negatif Kusam atau sedikti mengkilap Sensasi Hilang Pertumbuhan rambut Tidak ada Menurun dengan jelas Menurun sedang Sedikit menurun BTA Negatif Negatif atau sedikit Jumlah sedang Banyak Reaktivitas lepromin Positif kuat (+++) Positif lemah (+ atau ++) Negatif atau positif lemah Negatif Mengkilap 22 2.8 Pemeriksaan Hapusan Sayatan Kulit Pemeriksaan hapusan sayatan kulit atau slit skin smear merupakan pemeriksaan sediaan yang diperoleh melalui irisan atau kerokan kecil pada kulit yang kemudian diberikan pewarnaan tahan asam untuk melihat M. leprae. Dari keseluruhan pemeriksaan laboratorium yang tersedia untuk penyakit kusta, pemeriksaan hapusan kulit merupakan pemeriksaan yang paling sederhana. Tujuan pemeriksaan ini antara lain untuk konfirmasi diagnosis kusta, klasifikasi penyakit, untuk mengetahui derajat infeksius penderita, progresivitas penyakit dan pemantauan pengobatan. Pengambilan lokasi yang banyak mengandung bakteri yaitu kedua telinga, siku kiri, dorsum jari kiri, dan ibu jari kanan (Mahajan, 2013). Atau dapat pula diambil pada 2 atau 3 lokasi yaitu cuping telinga kanan dan kiri serta lesi kulit yang aktif (Kemenkes RI, 2012). Pemeriksaan hapusan sayatan kulit memiliki spesifitas sebesar 100% karena secara langsung menunjukkan gambaran BTA, namun sensitivitasnya rendah yaitu berkisar antara 10%-50%. Sensitivitas yang rendah ini disebabkan karena pemeriksaan hapusan sayatan kulit dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain keterampilan petugas, teknik pengambilan seperti kedalaman insisi dan ketebalan film serta kelengkapan alat dan bahan seperti reagan dan mikroskop yang berfungsi dengan baik (Desikan dkk., 2006; Bhushan dkk., 2008). Setelah pengambilan spesimen, kemudian dilakukan pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen dan diperiksa dibawah mikroskop. Jumlah BTA dalam setiap lapangan pandang dihitung serta morfologi masing-masing basil diperhatikan dengan seksama. Basil yang solid umumnya merupakan basil yang 23 masih hidup dan viabel sedangkan basil dengan morfologi granular, atau terfragmentasi merupakan basil yang sudah mati dan tidak viabel. Berdasarkan jumlah dan kepadatan bakteri serta morfologi bakteri dilakukan penghitungan IB dan IM (Job dan Ponnaiya, 2010; Lee dkk., 2012). Indeks bakteri merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan apus. Pada IB, penghitungan dilakukan baik pada basil yang masih hidup (solid) maupun yang telah mati (fragmentasi dan granular). Penghitungan dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut: a. +6 terdapat lebih dari 1000 BTA atau lebih dari 5 gumpalan pada satu lapangan pandang. b. +5 terdapat 100 sampai 1000 BTA pada satu lapangan pandang. c. +4 terdapat 10 sampai 100 BTA pada satu lapangan pandang. d. +3 terdapat 1 sampai 10 BTA pada satu lapangan pandang. e. +2 terdapat 1 sampai 10 BTA pada 10 lapangan pandang. f. +1 terdapat 1 sampai 10 BTA pada 100 lapangan pandang g. 0 terdapat 0 BTA pada 100 lapangan pandang (Bryceson, 1990; Job dan Ponnaiya, 2010; Lee dkk., 2012). Pada pasien yang tidak diobati, pemeriksaan pada cuping telinga menghasilkan jumlah basil yang terbesar. Pada pasien yang diobati, permukaan dorsal dari jari sering merupakan tempat terakhir yang memberikan hasil negatif. Indeks morfologi merupakan persentase basil kusta berbentuk utuh atau solid terhadap keseluruhan BTA. Indeks morfologi berguna untuk mengetahui 24 kemampuan penularan kuman dan menilai hasil pengobatan (Job dan Ponnaiya, 2010; Noto dan Schreuder, 2010). Indeks bakteri umumnya mulai turun setelah setahun mendapatkan terapi MDT sebesar log 0,6-1,0 per tahun atau +1 per tahun dan berlanjut meskipun MDT telah dihentikan. Penurunan umumnya ditemukan lebih lambat pada kasus MB dibanding PB (Mahajan, 2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Maghanoy dkk (2011) di Filipina, ditemukan 98% pasien kusta dengan IB yang tinggi (≥+4) masih tetap positif setelah 1 tahun pengobatan sedangkan pada pasien kusta dengan IB yang rendah (<+4), 74% masih ditemukan dengan IB positif setelah 1 tahun pengobatan. 2.9 Terapi Kusta World Health Organization sejak tahun 1981 merekomendasikan penggunaan multidrug therapy (MDT) yang terdiri dari rifampisin, dapson dan klofasimin untuk pengobatan kusta. Pengobatan dengan MDT bertujuan untuk menurunkan insiden relaps pasca pengobatan, menurunkan efek samping serta menurunkan durasi pengobatan sehingga menurunkan biaya (Pai dkk., 2010). Regimen PB terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali ditambah dapson 100 mg/hari selama 6 bulan. Regimen MB terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali, dapson 100 mg/hari ditambah klofazimin 300 mg/sebulan dengan lama pengobatan 12 bulan. Pengobatan baru yang juga efektif terhadap M. leprae meliputi minoksiklin, ofloksasin, klaritromisin, rifabutin, rifapentin, bromidoprim dan antibiotika golongan beta laktam (Pai dkk., 2010; Yawalkar, 2009). 25 2.10 Reaksi Kusta Salah satu komplikasi pada penyakit kusta yaitu adanya reaksi kusta yang dapat terjadi sebelum, selama dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta merupakan episode inflamasi akut atau subakut yang dimediasi oleh proses imunologis pada perjalanan penyakit kusta yang bersifat kronis, yang dapat mengenai kulit, saraf, membran mukosa dan lokasi lain. (Kar dan Sharma, 2010; Yawalkar, 2009). Terdapat 3 jenis reaksi kusta yaitu reaksi tipe 1, reaksi tipe 2 atau reaksi eritema nodosum leprosum (ENL) dan fenomena lucio (Kar dan Sharma, 2010). Reaksi tipe 1 umumnya ditemukan pada kusta tipe borderline. Reaksi tipe 1 dapat bersifat upgrading (reaksi reversal) apabila terjadi peningkatan imunitas seluler sehingga terjadi pergeseran spektrum ke arah tuberkuloid atau downgrading apabila terjadi pergeseran spektrum ke arah lepromatosa. Pada reaksi reversal, lesi kulit yang telah ada menjadi lebih eritematosa dan dapat disertai timbulnya lesi baru. Lesi kulit dapat disertai dengan neuritis ringan hingga berat (Lee dkk., 2012). Reaksi kusta tipe 2 atau ENL merupakan reaksi kusta yang dihubungkan dengan pembentukan kompleks imun antigen-antibodi pada jaringan sehingga menyebabkan terjadinya fokus inflamasi akut. Reaksi tipe 2 ini terutama sering ditemukan pada kusta tipe LL serta BL. Lesi dapat berupa papul kecil ataupun nodul berwarna kemerahan dan nyeri pada penekanan. Pada ENL yang berat berat dapat disertai dengan gangguan saraf, gejala sistemik dan gangguan pada organ lain (Bryceson, 1990; Kar dan Sharma, 2010; Lee dkk., 2012). 26 Fenomena lusio merupakan reaksi yang ditemukan pada penderita kusta lusio diawali dengan terbentuknya plak merah kebiruan dengan halo eritematosa yang selanjutnya berkembang menjadi infark hemoragik pada bagian tengah tanpa atau disertai pembentukan bula (Bryceson, 1990; Kar dan Sharma, 2010). 2.11 Stres Oksidatif 2.11.1 Definisi Stres oksidatif merupakan suatu kondisi yang disebabkan karena ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Hal ini dapat disebabkan oleh pembentukan radikal bebas atau ROS yang berlebihan atau karena defisiensi antioksidan enzimatik dan nonezimatik atau keduanya (Dalle-Donne, 2006; Rahal dkk., 2014). Setiap sel pada tubuh manusia mempertahankan kondisi homeostasis antara oksidan dan antioksidan. Sekitar 1-3% oksigen yang dikonsumsi manusia diubah menjadi ROS. Pada kondisi metabolisme normal pembentukan ROS secara terus menerus dan radikal bebas lainnya diperlukan untuk fungsi fisiologis normal seperti pembentukan Adenosine Triphosphate (ATP), berbagai macam proses anabolik dan katabolik dan siklus reduksi-oksidasi seluler. Pembentukan ROS dan radikal bebas lainnya yang berlebihan dapat disebabkan karena proses biologikal endogen dan faktor eksogen yang berasal dari lingkungan seperti paparan kimia, polusi atau radiasi (Rahal dkk., 2014). Adanya ROS berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada komponen sel seperti lipid, protein dan Deoxyribonucleic acid (DNA) sehingga selanjutnya dapat mempengaruhi 27 viabilitas sel dan menginduksi berbagai respon seluler yang dapat menimbulkan kematian sel dan kerusakan jaringan (Dalle-Donne, 2006; Birben dkk., 2012). 2.11.2 Radikal bebas, reactive oxygen species, antioksidan Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit luarnya. Radikal bebas bersifat tidak stabil dan sangat reaktif karena elektron yang tidak berpasangan ini cenderung akan mencari pasangan elektron dari molekul lain dengan tujuan untuk menetralisasi dirinya sendiri. Pada saat reaksi antara radikal bebas dengan molekul lain dapat terbentuk molekul nonradikal yang kurang reaktif atau akan terbentuk radikal bebas lainnya yang lebih reaktif sehingga terjadi reaksi berantai. Tanpa adanya suatu mekanisme untuk menonaktifkan radikal bebas ini maka sejumlah besar radikal bebas akan terbentuk dalam waktu beberapa detik setelah reaksi awal. Radikal bebas dapat berasal dari oksigen, sulfur, atau karbon, namun yang paling signifikan secara fisiologis adalah radikal bebas yang berasal dari oksigen (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007). Reactive oxygen species merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan sejumlah molekul reaktif dan radikal bebas yang berasal dari molekul oksigen (Held, 2015). Terdapat dua kelompok ROS yaitu yang bersifat radikal bebas dan bersifat non radikal. Anion superoksid (O2•-) dan radikal hidroksil merupakan contoh ROS yang bersifat radikal bebas sedangkan hidrogen peroksida (H2O2), singlet oksigen dan asam hipoklorat (HOCl) merupakan contoh ROS yang bersifat non radikal (Birben dkk., 2012; Halliwell, 2001). Reactive oxygen species dihasilkan oleh sel melalui berbagai mekanisme antara lain 28 sebagai konsekuensi metabolisme aerob normal oleh mitokondria, oksidatif atau respiratory burst sel fagosit serta berasal dari metabolisme xenobiotik untuk detoksifikasi substansi toksik. Pada umumnya ROS pada konsentrasi rendah penting untuk fungsi fisiologis normal seperti ekspresi gen, pertumbuhan sel, pertahanan terhadap infeksi, biosintesis molekul seperti tiroksin, prostaglandin, serta memicu proliferasi sel T. Beberapa penelitian terakhir juga menemukan peranan ROS sebagai molekul signaling yang penting untuk efek biologis. Persentase ROS meningkat pada kondisi inflamasi kronik, infeksi, olahraga yang berlebihan, paparan terhadap alergen, obat dan toksin (Krishnamurthy dan Wadhwani, 2012; Bennett dan Griffiths, 2013). Terdapat berbagai macam ROS, namun yang paling berperan adalah anion superoksida (O2•-), hidrogen peroksida (H2O2), radikal hidroksil (OH•.). Anion superoksid terbentuk dari penambahan 1 elektron pada molekul oksigen. Proses ini dimediasi oleh enzim nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) oksidase atau xantine oksidase atau oleh sistem transport elektron mitokondria. Mitokondria merupakan lokasi utama pembentukan anion superoksid namun enzim NADPH juga ditemukan pada leukosit, neutrofil, monosit dan makrofag. Selama proses fagositosis terjadi respiratory burst yang memproduksi superoksid. Superoksid kemudian diubah menjadi hidrogen peroksida oleh superoksid dismutase (SOD) (Birben dkk., 2012; Kunwar dan Priyadarshini, 2011; Valko dkk., 2006). Hidrogen peroksida dapat diproduksi oleh xanthine oxidase, asam amino oksidase dan NADPH oksidase. Struktur H2O2 menyerupai air dan dapat 29 berdifusi didalam maupun diantara sel. Hidrogen peroksida memiliki sifat yang kurang reaktif namun dapat bergabung dengan besi serta tembaga membentuk radikal hidroksil yang sangat reaktif. Anion superoksid juga dapat bereaksi dengan H2O2 dan menghasilkan radikal hidroksil (OH-). Radikal hidroksil merupakan ROS yang sangat berbahaya karena reaktivitas yang tinggi dan memiliki waktu paruh yang sangat singkat sehingga umumnya menimbulkan kerusakan terutama pada lokasi disekitarnya (Birben dkk., 2012; Halliwell, 2001; Kunwar dan Priyadarshini, 2011). Untuk mengimbangi efek merugikan yang ditimbulkan oleh adanya stres oksidatif pada sel, sistem tubuh telah melengkapi dirinya dengan beberapa strategi seperti mekanisme pencegahan dengan cara mempertahankan pembentukan ROS seminimal mungkin, mekanisme perbaikan untuk mengurangi kerusakan sel, mekanisme proteksi fisik serta yang terpenting adalah mekanisme pertahanan antioksidan. Antioksidan merupakan suatu substansi dengan konsentrasi rendah yang dapat berfungsi sebagai senyawa pemberi elektron sehingga mencegah oksidasi substrat yang rentan teroksidasi (Kunwar dan Priyadarshini, 2011; Rahal dkk., 2014). Sistem pertahanan antioksidan endogen meliputi jaringan molekul antioksidan enzimatik dan nonenzimatik yang umumnya terdistribusi pada sitoplasma dan organel sel. Antioksidan juga dapat berasal dari eksogen seperti yang berasal dari makanan. Antioksidan eksogen dan endogen berfungsi secara interaktif dan sinergis untuk menetralisir radikal bebas (Winarsi, 2007). Antioksidan enzimatik meliputi superoksid dismutase (SOD), glutation peroksidase (GPx), dan katalase (CAT), sedangkan antioksidan 30 nonenzimatik meliputi asam askorbat (vitamin C), α-tocopherol (vitamin E), glutathione (GSH), karatenoid, flavonoid dan antioksidan lainnya (Valko dkk., 2006). Superoksid dismutase merupakan protein yang mengandung metal berfungsi untuk mengkatalisasi superoksid membentuk hidrogen peroksida. Terdapat tiga isozim SOD, yaitu SOD1 mengandung Cu dan Zn sebagai kofaktor logamnya ditemukan di sitosol, SOD2 yang mengandung logam Mn ditemukan pada mitokondria dan SOD3 yang juga mengandung kofaktor logam Cu dan Zn, ditemukan di ekstrasel (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007; Valko dkk., 2006). Hidrogen peroksida yang berasal dari aktivitas SOD atau oksidase lainnya akan digunakan untuk mengoksidasi glutation tereduksi (GSH) menjadi glutation teroksidasi (GSSG) oleh GPx. Enzim katalase juga dapat mereduksi H2O2 menjadi air (Birben dkk., 2012). Vitamin C, vitamin E, glutation dan beta karoten merupakan antioksidan nonenzimatik yang paling banyak diteliti. Antioksidan non enzimatik disebut juga antioksidan pemecah rantai yang dapat berupa senyawa nutrisi maupun non nutrisi. Vitamin C dianggap sebagai antioksidan larut air yang penting pada cairan ekstraseluler. Vitamin C mampu menetralisir ROS pada fase aqueous sebelum dimulainya peroksidasi lipid. Vitamin E merupakan antioksidan larut lemak dan antioksidan pemecah rantai utama yang melindungi membran asam lemak dari peroksidasi lipid. Glutation banyak ditemukan pada semua kompartemen sel dan merupakan antioksidan larut dengan efek antioksidan glutation melalui kerja sama dengan GPx. Glutation juga berfungsi mengubah 31 vitamin C dan E menjadi bentuk aktifnya. Beta karoten dan karotenoid lainnya juga dipercaya memiliki perlindungan antioksidan terhadap jaringan kaya lemak yang bekerja secara sinergis dengan vitamin E (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007). Mekanisme pertahanan antioksidan enzimatik dan non enzimatik secara lebih jelas digambarkan pada Gambar 2.3 dibawah ini. Gambar 2.3 Mekanisme Pertahanan Antioksidan Enzimatik dan Non Enzimatik (Atukeren dan Yigitoglu, 2013) 2.11.3 Kerusakan akibat stres oksidatif Konsekuensi utama adanya stres oksidatif adalah kerusakan yang dapat ditimbulkan pada DNA, lipid dan protein yang pada akhirnya akan dapat menyebabkan kematian sel (Birben dkk., 2012). 32 Gambar 2.4 Mekanisme Kerusakan Sel Akibat Stres Oksidatif (Dawane dan Pandit, 2012) 1. Efek pada DNA Reactive oxygen species dapat menyebabkan modifikasi DNA melalui beberapa mekanisme yang melibatkan degradasi basa, pemecahan DNA rantai tunggal atau ganda, modifikasi purin, pirimidin atau ikatan gula, delesi dan translokasi dan ikatan silang dengan protein. Terdegradasinya basa DNA akan menghasilkan produk seperti 8-hidroksiguanin, hidroksimetil urea, timin, glikol dan produk lainnya. Penanda stres oksidatif tingkat DNA yang dapat diukur adalah 8hydroxy-2-deoxyguanosine (8-OHdG) (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007). 2. Efek pada Protein Reactive oxygen species dapat menyebabkan fragmentasi rantai peptida, gangguan pada tenaga elektrik protein, menyebabkan ikatan silang dan oksidasi asam amino spesifik. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap proteolisis karena degradasi protease tertentu. Produk-produk oksidasi protein yang dapat 33 diukur adalah gugus thiol tereduksi dalam protein plasma, protein karbonil dalam plasma dan orto-tirosin dalam protein plasma. Biomarker yang umum digunakan untuk pengukuran protein teroksidasi adalah protein karbonil melalui kalorimeter (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007). 3. Efek pada Lipid Membran sel merupakan struktur yang sangat rentan terhadap oksidasi yang disebabkan oleh ROS karena adanya asam lemak dalam konsentrasi yang tinggi pada komponen lipid. Reaksi ROS dengan membran lipid menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid didefinisikan sebagai proses dimana oksidan seperti radikal bebas dan spesies nonradikal bereaksi dengan lipid yang mengandung ikatan karbon-karbon ganda, terutama asam lemak tak jenuh ganda (PUFA). Reaksi ini menimbulkan pemisahan hidrogen dari karbon dan penambahan oksigen yang menghasilkan radikal peroksil lipid (LOO•) dan hidroksiperoksida lipid (LOOH). Pada kondisi fisiologis atau derajat lipid peroksidase yang rendah (kondisi subtoksik), sel mempertahankan diri melalui sistem pertahanan antioksidan atau aktivasi jalur sinyal yang mengatur protein antioksidan sehingga terjadi respon adaptif terhadap stres. Sebaliknya pada derajat peroksidasi lipid yang berat kerusakan oksidatif melebihi kapasitas perbaikan sehingga terjadi induksi program kematian sel apoptosis atau nekrosis. Kedua proses ini pada akhirnya akan mengakibatkan kerusakan molekular sel dengan berbagai kondisi patologis (Ayala dkk., 2014; Valko dkk., 2006). Proses peroksidasi lipid secara keseluruhan terdiri atas 3 tahap yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi (Gambar 2.4). Pada tahap inisiasi ROS seperti 34 radikal hidroksil memisahkan hidrogen dan membentuk radikal lipid dengan karbon pada bagian tengah (L•). Pada fase propagasi radikal lipid (L•) secara cepat bereaksi dengan oksigen untuk membentuk radikal peroksi lipid (LOO•) yang menarik hidrogen dari molekul lipid lainnya membentuk L• yang baru (reaksi berantai) dan hidroksiperoksida lipid (LOOH). Pada tahap terminasi antioksidan akan mendonasikan atom hidrogennya pada LOO• menghasilkan produk nonradikal. Sekali peroksidasi lipid diinisiasi, reaksi berantai akan terus terjadi hingga produk terminasi terbentuk (Ayala dkk., 2014; Valko dkk., 2006). Gambar 2.5 Tahapan Proses Peroksidasi Lipid (Boots dkk., 2012) Salah satu akibat penting peroksidasi lipid adalah pembentukan senyawa-senyawa aldehida. Hidroksiperoksida lipid bersifat tak stabil dan dapat di dekomposisi atau terurai menjadi aldehid seperti malondialdehyde (MDA), propanal, heksanal, 4-hidroksinonenal (HNE). Selain itu produk sekunder peroksidasi lipid juga dapat berupa siklik endoperoksidase seperti isoprostan dan hidrokarbon. Diantara produk sekunder tersebut MDA merupakan produk yang paling bersifat mutagenik. Malondialdehyde mampu meninaktivasi protein selular dengan cara membentuk ikatan silang protein, sedangkan HNE menyebabkan 35 deplesi GSH intrasel dan induksi pembentukan produksi peroksida. Terjadinya peroksidasi lipid juga dapat menimbulkan inaktivasi ikatan reseptor dan enzim pada membran sehingga mengganggu fungsi sel (Ayala dkk., 2014; Birben dkk, 2012; Dalle-Donne dkk., 2006). 2.11.4 Malondialdehyde sebagai biomarker stres oksidatif Biomarker didefinisikan sebagai suatu karakteristik yang dapat diukur dan dievaluasi secara objektif sebagai indikator proses biologis normal, proses patogenik, atau respon farmakologik terhadap intervensi terapi. Biomarker stres oksidatif yang ideal harus bersifat stabil, dapat berakumulasi pada konsentrasi yang dapat dideteksi, menggambarkan jalur oksidasi spesifik dan berhubungan dengan keparahan penyakit sehingga bisa digunakan sebagai alat diagnostik. Pengukuran ROS secara langsung cukup sulit karena ROS sangat reaktif dan memiliki waktu paruh yang singkat. Pengukuran stres oksidatif umumnya dilakukan dengan cara menilai metabolit yang bersifat stabil atau produk oksidasinya seperti produk akhir dari peroksidasi lipid. Biomarker peroksidasi lipid merupakan hasil kerja radikal bebas yang diketahui paling awal dan paling mudah pengukurannya karena itulah reaksi ini paling sering dilakukan untuk mempelajari stres oksidatif (Patil, 2006; Winarsi, 2007). Malondialdehyde merupakan ketoaldehid yang diproduksi oleh dekomposisi peroksidatif lemak tidak jenuh dan sebagai hasil antara metabolisme asam arakidonat. Malondialdehyde ditemukan hampir di seluruh cairan biologis termasuk plasma, urin, cairan aqueous, cairan persendian, cairan bronkoalveolar, cairan empedu, cairan getah bening, cairan amnion, perikardial dan seminal, 36 namun plasma dan urin merupakan sampel yang paling umum digunakan, karena paling mudah didapat dan tidak invasif. Malondialdehyde sangat sesuai sebagai biomarker untuk stres oksidatif karena beberapa alasan, yaitu pembentukannya meningkat sesuai dengan stres oksidatif, kadarnya dapat diukur secara akurat dengan berbagai metode, bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi, pengukurannya tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan tidak dipengaruhi kandungan lemak dalam diet, merupakan produk spesifik dari peroksidasi lipid dan terdapat dalam jumlah yang dapat dideteksi pada semua jaringan tubuh dan cairan biologis sehingga memungkinkan untuk menentukan referensi interval (Palmiere dan Sblendorio, 2006; Patil dkk., 2006; Winarsi, 2007). Sejak peroksidasi bertahun-tahun lipid karena MDA reaksinya telah digunakan dengan sebagai thiobarbituric biomarker acid (TBA). Pemeriksaan dengan TBA berdasarkan atas reaktivitas TBA terhadap MDA yang menghasilkan kromogen dengan fluoresensi berwarna merah (Dalle-Donne dkk., 2006). Berdasarkan penelitian, interval nilai normal MDA pada laki-laki diperkirakan sebesar 1,14-1,53 μmol/L sedangkan pada perempuan adalah 1,081,41 μmol/L (Nielsen dkk., 1997). 2.12 Stres Oksidatif pada Penyakit Kusta 2.12.1 Patogenesis stres oksidatif pada penyakit kusta Patogenesis terjadinya stres oksidatif pada penyakit kusta hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti. Diduga stres oksidatif pada penyakit kusta dihubungkan dengan infeksi oleh M. leprae itu sendiri, respon imunitas pejamu 37 terhadap infeksi serta adanya defek pada imunitas seluler yang akan mengakibatkan peningkatan produksi ROS pada penderita kusta (Prabhakar dkk., 2012; Vijayaraghavan dan Paneerselvam, 2011). Seperti diketahui, pada penyakit kusta berkembangnya infeksi pada pejamu dihubungkan dengan kualitas respon imunitas. Mekanisme pertahanan utama pada infeksi M. leprae melibatkan sel-sel imunitas terutama makrofag, limfosit dan sitokin-sitokin yang mengatur produksi, pelepasan dan modulasi reaksi imunitas seluler (Lima dkk., 2007; Prabhakar dkk., 2012). Makrofag merupakan sistem pertahanan utama melawan infeksi M. leprae. Sel-sel fagosit seperti makrofag, neutrofil, eosinofil serta limfosit T dan B memiliki enzim NADPH oksidase yang bertanggung jawab pada produksi ROS saat terjadinya stimulasi respon imun. Makrofag akan mengenali M. leprae atau komponen dinding selnya melalui TLR, ikatan ini akan mengaktivasi jalur nuclear factor kappa B (NF-κB) yang akan menginduksi pelepasan sitokin seperti TNF-α, IL-1, IL-6 dan IL-12. Sitokin-sitokin ini akan menyebabkan terjadinya inflamasi dan menstimulasi imunitas adaptif. Interleukin-12 akan mengaktivasi sel T dan menginduksi pelepasan IFN γ yang selanjutnya akan mengaktivasi enzim fagosit oksidase (NADPH oksidase) sehingga terjadi pelepasan ROS seperti superoksid, radikal hidroksil dan hidrogen peroksida. (Prasad dkk, 2007; Rahal dkk., 2014; Hart dan Tapping, 2012; Abbas dkk., 2015). Reactive oxygen species yang terbentuk dapat berdifusi dari tempat terbentuknya dan menyebabkan kerusakan pada DNA, protein dan lipid sehingga terjadi kerusakan pada fungsi dan integritas sel serta kerusakan jaringan. Adanya 38 kerusakan jaringan akan ditandai oleh peningkatan biomarker stres oksidatif termasuk MDA sebagai produk akhir peroksidasi lipid. Reactive oxygen species yang terbentuk ini juga dapat menyebabkan kerusakan saraf pada penyakit kusta sehingga berhubungan dengan manifestasi klinis penyakit (Prasad dkk., 2007). Beberapa penelitian terakhir menghubungkan peran ROS dalam memediasi proses inflamasi dan kaskade sinyal sistem imunitas, dimana peningkatan ROS juga ternyata dapat mengaktivasi sinyal NF-κB, menunjukkan peranan ROS sebagai secondary messenger untuk tranksripsi gen proinflamasi dan respon sinyal sitokin selama proses infeksi (Spooner dan Yilmaz, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh King dkk. yang menstimulasi sel mononuklear perifer dengan ROS, menemukan adanya MDA dan HNE sebagai hasil dari peroksidasi lipid ternyata dapat menstimulasi diferensiasi sel Th menuju fenotip kearah Th2 sehingga menginduksi hiporesponsif sel limfosit T (Bennet dan Griffiths, 2013). Gambar 2.6 Mekanisme Pembentukan ROS Selama Proses Fagositosis (Abbas dkk., 2015) 39 Mekanisme penurunan sistem antioksidan pada penyakit kusta juga masih belum diketahui secara pasti. Hal ini diduga disebabkan karena inhibisi enzim atau rendahnya konsentrasi protein enzim yang disebabkan karena regresi gen SOD pada tingkat DNA. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa lipopolisakarida bakteri diduga dapat mempengaruhi gen SOD. Selain itu PGL-1 yang dimiliki M. leprae juga dikatakan dapat berikatan dengan enzim SOD sehingga menghambat aktivitas SOD dan mengakibatkan down-regulasi ekspresi gen SOD pada sel darah merah dan makrofag (Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat dan Borade, 2000; Schalcher dkk, 2012). MDA Gambar 2.7 Peroksidasi Lipid pada Penyakit Kusta (Vazques dkk., 2014) Penelitian yang ada juga menghubungkan antara stres oksidatif pada kusta dengan indeks bakteri yang lebih tinggi. Hal ini diduga disebabkan karena utilisasi biometal seperti zinc, besi, dan kalsium dari sel pejamu untuk pertahanan hidup M. leprae, sehingga dapat mempengaruhi metaloenzim seperti SOD (Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat dan Borade; 2000). 40 2.11.2 Tingkat stres oksidatif pada penyakit kusta Berbagai macam penelitian mengenai tingkat stres oksidatif pada penyakit kusta telah dilakukan. Tingkat stres oksidatif dinilai melalui pengukuran kadar oksidan seperti pengukuran nitrat atau nitrit yang merupakan produk stabil NO, pengukuran kadar antioksidan enzimatik seperti SOD, katalase atau GSH, atau kadar antioksidan nonenzimatik seperti vitamin A, vitamin C, dan vitamin E, serta melalui pengukuran biomarker kerusakan akibat stres oksidatif seperti MDA (Dalle –Donne, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Prasad dkk. pada tahun 2007 pada 100 pasien baru yang terdiagnosis kusta menemukan penurunan kadar SOD, katalase serta peningkatan MDA secara signifikan pada penderita kusta dibanding kontrol sehat. Penurunan kadar SOD, katalase dan peningkatan kadar MDA ditemukan lebih besar pada kusta tipe lepromatosa serta pada penderita kusta dengan IB yang lebih tinggi. Sehingga disimpulkan adanya hubungan antara stres oksidatif dengan tipe kusta dan indeks bakteri. Penelitian lain pada tahun 2007 oleh Jyothi dkk. menemukan hal yang serupa dimana terdapat penurunan kadar SOD serta peningkatan kadar MDA pada pasien kusta. Hal ini juga ditemukan lebih signifikan pada penderita kusta tipe MB. Pada penelitian ini juga dihitung rasio MDA/SOD yang ditemukan mengalami peningkatan signifikan pada kusta tipe MB. Penelitian yang dilakukan oleh Lima dkk. (2007) untuk mengetahui peroksidasi lipid dan kadar antioksidan non enzimatik pada kusta menemukan peningkatan kadar MDA dibanding kontrol, dengan peningkatan sesuai dengan spektrum penyakit dimana kadar 41 tertinggi ditemukan pada kusta tipe lepromatosa. Pada penelitian ini juga ditemukan penurunan kadar vitamin A dibanding kontrol dengan penurunan yang lebih besar pada kusta tipe lepromatosa. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Trimbake dkk. juga menemukan peningkatan kadar MDA serum dan penurunan kadar vitamin E secara signifikan pada kusta tipe PB dan MB. Penelitian ini menunjukkan adanya stres oksidatif pada penderita kusta juga disebabkan karena adanya penurunan antioksidan nonenzimatik. Penelitian yang dilakukan oleh Vijayaraghavan dkk. di India pada tahun 2011 menemukan penurunan secara signifikan kadar antioksidan enzimatik seperti SOD, katalase, glutation peroksidase, glutation reduktase dan glutation-stransferase pada penderita kusta tipe MB dibandingkan kontrol yang sehat. Penelitian lain oleh Garad (2014) dkk. mengenai peroksidasi lipid juga menemukan adanya peningkatan MDA secara signifikan pada penderita kusta dibanding kontrol serta lebih tinggi pada kusta tipe MB dibanding PB. Pada penelitian ini juga ditemukan penurunan kadar antioksidan thiol pada penderita kusta terutama tipe MB dibanding kontrol sehat. Penelitian oleh Meneses dkk. (2014) yang menggunakan sampel urin menemukan peningkatan MDA urin pada penderita kusta dibanding kontrol. Penelitian mengenai stres oksidatif pada penyakit kusta tidak hanya dilakukan pada pasien yang baru terdiagnosis namun juga pada pasien yang sudah mendapatkan terapi maupun yang sudah selesai pengobatan (Release from treatment/RFT). Penelitian oleh Prabhakar dkk. tahun 2012 pada penderita kusta tipe MB yang telah mendapat terapi menemukan penurunan kadar SOD, 42 glutathione, total antioksidan status serta peningkatan kadar MDA secara signifikan pada pasien kusta tipe MB dibanding kontrol. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ozan dkk. (2010) pada pasien kusta yang sudah selesai pengobatan mendapatkan peningkatan signifikan kadar MDA dan aktivitas GSH dan katalase dibanding kontrol. Penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian stres oksidatif tidak hanya dapat terjadi pada kasus baru kusta namun juga pada kusta yang yang telah selesai mendapatkan pengobatan. Meskipun sebagian besar penelitian menunjukkan bukti adanya tingkat stres oksidatif terutama melalui peningkatan kadar MDA namun beberapa penelitian menemukan hasil yang bertentangan. Penelitian oleh Schalcer pada tahun 2013 yang dilakukan pada 23 pasien penderita kusta sebelum mendapat terapi. Pada penelitian ini didapatkan kadar MDA yang tidak berbeda antara penderita kusta dan kontrol sehat, namun kadar SOD ditemukan mengalami penurunan secara signifikan dibanding kontrol sehat. Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Schalcher dkk. pada tahun 2014 yang bertujuan untuk mengetahui stres oksidatif pada pasien yang sudah mendapatkan terapi MDT, menemukan kadar MDA yang tidak berbeda secara signifikan antara penderita kusta dibanding kontrol sebelum maupun setelah mendapat terapi sedangkan kadar SOD ditemukan menurun pada pasien kusta dan penurunan ini ditemukan menetap setelah mendapatkan terapi MDT.