9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kusta Penyakit kusta

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kusta
Penyakit kusta merupakan infeksi kronik granulomatosa yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini biasanya menyerang kulit
dan saraf tepi namun juga dapat mengenai otot, mata, tulang, testis dan organ
lainnya (Lee dkk, 2012; Thorat dan Sharma, 2010). Penyakit kusta memiliki
manifestasi klinis yang bervariasi dimana secara garis besar terdapat tiga
pembagian penyakit kusta yaitu tipe tuberkuloid (tipe kusta yang lebih ringan),
lepromatosa (tipe kusta yang lebih berat, dapat disertai keterlibatan organ lain)
dan borderline (terdapat gejala tuberkuloid maupun lepromatosa) (Sandle, 2013;
Thorat dan Sharma, 2010).
2.2 Epidemiologi
Hingga saat ini MDT masih merupakan faktor utama dalam
pengendalian penyakit kusta selama 3 dekade setelah diperkenalkannya obat ini
untuk pertama kali. Pada tahun-tahun pertama sejak diperkenalkannya MDT
prevalensi penyakit kusta menurun secara drastis hingga 45 %, sehingga WHO
kemudian mencanangkan program eliminasi penyakit kusta sebagai permasalahan
kesehatan masyarakat secara global pada tahun 2000. Eliminasi penyakit kusta
didefinisikan sebagai penurunan prevalensi penyakit hingga mencapai <1 kasus
per 10.000 populasi. Program ini terutama ditujukan pada negara-negara dimana
9
10
penyakit kusta bersifat endemik. Sebagai hasilnya target eliminasi penyakit kusta
secara global dapat dicapai pada tahun 2000 dengan perkecualian pada beberapa
negara dimana target eliminasi secara nasional baru dicapai pada tahun 2005
(WHO, 2014).
Berdasarkan data yang diperoleh dari 121 negara pada tahun 2014,
WHO melaporkan jumlah kasus baru yang terdeteksi adalah sebesar 213.899
jumlah ini menurun dibanding jumlah kasus baru pada tahun 2013 yaitu sebesar
215.656. Jumlah kasus baru terbanyak dilaporkan berasal dari Asia yaitu sebesar
154.834 (72%), kemudian Amerika 33.789, Afrika 18.597, Pasifik Barat 4337 dan
terakhir Meditarian Timur 2342. Berdasarkan data WHO Indonesia masih
menempati peringkat ketiga jumlah kasus baru terbanyak setelah India dan Brasil
yaitu sebesar 17.025. Jumlah kasus baru ini mengalami peningkatan dibanding
tahun 2013 yaitu sebesar 16.856. Diantara negara di Asia, Indonesia juga
menempati jumlah kasus kusta tipe MB terbanyak yaitu sebesar 83,4% diantara
kasus baru yang terdeteksi, serta jumlah kasus kusta baru pada anak yang
terbanyak yaitu sebesar 11,1%, sedangkan untuk jumlah kasus yang teregistrasi
selama trimester pertama 2015 berdasarkan data WHO adalah sebesar 175.554
(WHO, 2015). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik pada tahun
2013 jumlah kasus baru yang tecatat di provinsi Bali adalah sebesar 88 kasus
dengan 81 kasus MB dan 7 kasus PB, sedangkan pada tahun 2014 tercatat 81
kasus baru dengan 68 kasus MB dan 13 kasus PB. Angka prevalensi kusta di
Provinsi Bali pada tahun 2014 adalah 0,21 per 10.000 penduduk (Yudianto dkk.,
2014; Sitohang dkk., 2015).
11
Penyakit kusta dapat mengenai semua usia namun yang terbanyak
adalah pada usia muda dan produktif. Berdasarkan jenis kelamin penyakit kusta
dapat mengenai laki-laki dan perempuan dengan proporsi yang sama. Penyakit
kusta juga dipengaruhi oleh sosial ekonomi, dimana penyakit kusta lebih jarang
ditemukan pada tingkat sosial ekonomi yang tinggi (Kemenkes RI, 2012).
2.3 Etiologi
Penyakit
kusta disebabkan oleh
Mycobacterium
leprae,
yang
merupakan bakteri tahan asam, berbentuk batang gram positif, tidak dapat dikultur
pada media buatan, aerob dan bersifat obligat intraseluler. Bakteri ini pertama kali
ditemukan oleh Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1873 sehingga penyakit ini
dikenal pula sebagai Morbus Hansen (Lee dkk., 2012; Sekar, 2010).
Mycobacterium leprae bersifat non motil berukuran panjang 1-8
mikron dan diameter 0,3 mikron dengan sisi paralel dan ujung yang membulat.
Tropisme dari bakteri ini adalah sistem retikuloendotelial dan sistem saraf perifer
(sel Schwann). Replikasi memerlukan waktu 11 hingga 13 hari, tumbuh maksimal
pada suhu 270 C hingga 300 C (Eichelmann dkk., 2013; Sekar, 2010). Dinding sel
bakteri mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan arabinogalaktan dan
mycolic acid. Lipoarabinomanan merupakan target lipoglikan respon imunitas
selular maupun humoral yang ditemukan pada membran bagian luar hingga ke
membran sel. Kapsul M. leprae mengandung 2 lipid bakteri utama yaitu
pthiocerol dimycocerosate dan phenolic glycolipid-1 (PGL-1) yang merupakan
glikolipid spesifik untuk M. leprae yang aktif secara serologis. Phenolic
12
glycolipid-1
sangat
imunogenik,dapat
memicu
imunoglobulin
kelas
Imunoglobulin (Ig ) M yang ditemukan pada 60% kusta tipe TT dan 90% kusta
tipe LL. (Lee dkk., 2012; Sekar, 2010; Polycarpou dkk., 2013).
2.4 Patogenesis
Penyakit kusta ditandai dengan adanya spektrum klinis yang luas
didasari oleh respon imunitas pejamu (Gambar 2.1). Penderita kusta tipe
tuberkuloid menunjukkan adanya respon imunitas seluler yang dimediasi oleh Th
(T Helper) 1, IFN-γ dan interleukin (IL)-2 ) pada kulit dan saraf, yang
menggambarkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen M.
leprae. Kusta tipe tuberkuloid ditandai dengan adanya pembentukan granuloma
dengan predominan sel T CD4+ dan gambaran klinis adanya gangguan saraf tepi
yang jelas namun jumlah basil serta lesi yang sedikit. Sebaliknya kusta tipe
lepromatosa dihubungkan dengan respon imun yang dimediasi oleh sel Th2 (IL-4
dan IL-10) yang tidak responsif terhadap antigen M. leprae, predominan sel T
CD8+ serta tidak terbentuk granuloma. Terdapat pula kelompok kusta tipe
borderline yang menunjukan pola imunitas diantara kedua kutub kusta. (Gulia
dkk., 2010; Nath dan Chaduvula, 2010; Misch dkk, 2010).
13
Gambar 2.1
Spektrum Klinis Penyakit Kusta (Nath dan Chaduvula, 2010)
Pada tahap awal M. leprae dikenali oleh beberapa reseptor imunitas
alamiah termasuk Toll-like receptor (TLR). Toll-like receptor 2 membentuk
heterodimer dengan TLR1 untuk mengenali komponen mikobakterium seperti
protein 19-kDa dan lipopeptida lainnya (Misch dkk., 2010). Lipoglikan lipomanan
(LM) dan manosa atau arabinose-capped lipoarabinomanan (ManLAM dan
AraLAM) merupakan faktor virulensi utama pada spesies mikobakterium,
berperan sebagai agonis poten TLR1/2 dan berkontribusi pada aktivasi makrofag
dan imunomodulasi respon pejamu. Molekul ini berperan pada pelepasan ROS
oleh sel fagosit melalui mekanisme respiratory burst (Hart dan Tapping, 2012).
Beberapa reseptor signaling lainnya yang juga dianggap berperan antara lain TLR
4,6,8 dan 9, sel dendritik, Dectin-1 dan mincle (Misch dkk., 2010).
14
Determinan utama diferensiasi sel limfosit T yang naïf menjadi sel Th1
dimediasi oleh antigen presenting cell (APC) dan komplek TLR melalui
pelepasan IL-12. Pada kusta tipe tuberkuloid ekspresi IL-12 ditemukan 10 kali
lipat lebih tinggi dibanding kusta tipe lepromatosa. Pelepasan IL12 juga dimediasi
oleh TLR 1 dan 2 dan CD40 dimana ekspresi TLR maupun CD40 ini ditemukan
lebih banyak pada lesi tuberkuloid dibanding lepromatosa. Hal ini menjelaskan
mengapa pada kusta tipe lepromatosa terjadi kegagalan pembentukan Th1 dan
IFN γ yang berespon terhadap antigen M. leprae (Renault dan Ernst, 2015)
Makrofag merupakan sel pejamu yang paling banyak berinteraksi
dengan M. leprae. Makrofag memiliki 2 fungsi utama yaitu sebagai APC melalui
molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) klas I dan klas II yang
dipresentasikan kepada sel CD8+ dan CD4+ serta sebagai fagositosis bakteri
patogen melalui mekanisme efektor nonspesifik. Makrofag pada jaringan spesifik
dan lokasi infeksi berperan dalam melepaskan sitokin termasuk TNF-α sebagai
hasil dari stimulasi M. leprae utuh maupun komponen dinding sel. Stimulasi
makrofag oleh PGL-1 juga dapat menginduksi pelepasan TNF-α (Bath dan
Prakash, 2012; Venkatesan dan Deo, 2012). Produk utama reaktivasi makrofag
adalah ROS dan nitric oxide (NO). Produksi ROS diperantarai oleh fagosit
oksidase suatu enzim multisubunit yang diaktivasi terutama oleh IFN-γ dan sinyal
dari TLR. Fagosit oksidase berfungsi mereduksi molekul oksigen menjadi ROS
dengan kofaktor nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH). Radikal
superoksid yang terbentuk dari proses ini kemudian akan mengalami dismutasi
secara enzimatik menjadi hidrogen peroksida, yang selanjutnya digunakan oleh
15
enzim myeloperoksidase untuk mengubah ion halida menjadi asam hipoklorat
yang bersifat reaktif. Proses ini dikenal dengan sebutan respiratory burst (Abbas
dkk., 2015).
Selain ROS, makrofag juga memproduksi reactive nitrogen species
terutama NO. Nitric oxide dibentuk dari aktivasi enzim inducible nitric oxide
synthase (iNOS). Enzim ini merupakan enzim sitosolik yang terinduksi sebagai
respon terhadap produk mikrobial yang mengaktivasi TLR, terutama apabila
dikombinasi dengan IFN-γ. Enzim iNOS mengkatalisasi konversi arginin menjadi
sitrulin dan melepaskan NO yang berdifusi aktif. Di dalam fagolisosom NO dapat
membentuk radikal peroksinitrit yang sangat reaktif, sebagai hasil penggabungan
dengan hidrogen peroksida atau radikal superoksid yang dapat membunuh bakteri
(Abbas dkk., 2015).
Gambar 2.2
Peran Makrofag pada Sistem Imunitas (Abbas dkk., 2015)
16
Sel schwann pada saraf perifer merupakan target utama infeksi oleh M.
leprae. Kerusakan saraf perifer dapat disebabkan secara langsung oleh M. leprae
maupun melalui respon imunitas. Mycobacterium leprae dapat menginvasi sel
schwann melalui ikatan PGL-1 dengan domain G pada rantai α2 laminin-2 yang
terdapat pada membran sel Schwann. Laminin binding protein 21 (LBP-21)
berperan memediasi masuknya M. leprae menuju ke intraseluler sel Schwann,
selanjutnya internalisasi M. leprae akan menyebabkan demyelinisasi saraf perifer
diakibatkan oleh ikatan langsung antara bakteri dengan reseptor neuregulin,
aktivasi ErB2 dan Erk1/2 dan aktivasi Mitogen Activated Protein (MAP) kinase
(Gulia dkk., 2010; Nath dan Chaduvula, 2010; Misch dkk., 2010; Renault dan
Ernst, 2015). Demyelinisasi oleh M. leprae akan memicu invasi lebih lanjut
karena M. leprae lebih menyukai unit akson yang tidak bermyelin. Mekanisme
kerusakan saraf secara langsung ini terutama berperan pada kusta tipe multibasilar
(Renault dan Ernst, 2015).
Hipotesis kerusakan saraf yang dimediasi oleh sistem imun diduga
disebabkan karena pelepasan sitokin proinflamasi antara lain TNF, IL-12, IL-16,
IL-18, 1L-15 dan IL-1β oleh monosit atau makrofag. Protein 19-kDa yang
dikenali oleh TLR1/2 menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi dan apoptosis
sel Schwann, selain itu sel Schwann yang terpapar secara in vitro terhadap neuron
yang mengalami nekrosis memproduksi TNF dan nitric oxide (NO) yang
merupakan mediator inflamasi poten. Pada tingkat jaringan, kerusakan saraf
disebabkan karena influks sel imunitas dan cairan interstisial (edema) pada saraf
17
sehingga terjadi kompresi dan iskemia (Misch dkk., 2010; Renault dan Ernst,
2015).
2.5 Cara Penularan
Manusia merupakan satu-satunya reservoir alamiah M.leprae dan
sumber infeksi kusta pada manusia adalah kasus kusta yang tidak diobati. Kusta
tipe MB merupakan sumber infeksi yang lebih penting dibanding PB. Jumlah
bakteri pada kusta tipe lepromatosa dikatakan mencapai 7000 juta basil per gram
jaringan, sedangkan jumlah basil pada kusta tipe yang lain dikatakan lebih rendah,
namun semua kasus kusta yang aktif harus dipertimbangkan sebagai sumber
infeksi yang potensial (Eichelmann, 2013; Rao, 2012; Thorat, 2010).
Mekanisme transmisi M.leprae hingga saat ini masih belum diketahui
secara pasti. Saluran pernafasan terutama hidung merupakan tempat masuk utama
M. leprae, sehingga inhalasi melalui droplet merupakan metode transmisi utama
(Eichelmann, 2013; Rao, 2012). Berjuta basil dikeluarkan dari mukosa nasal
individu dengan pemeriksaan bakteriologis positif pada saat bersin, namun hanya
sedikit (kurang dari 3%) dari bakteri yang berhasil keluar bersifat viabel bahkan
pada kasus yang belum mendapat pengobatan. Sehingga kemampuan transmisi M.
leprae bersifat rendah dan kontak yang lama serta penduduk yang padat
merupakan salah satu faktor risiko (Eichelmann, 2013; Thorat, 2010). Metode
transmisi lainnya meliputi kontak kulit secara langsung, melalui fomit dan
inokulasi lewat trauma meskipun masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.
18
Metode transmisi lain yang juga masih belum terbukti adalah transmisi in utero
dan melalui air susu ibu (Rao, 2012; Thorat, 2010).
2.6 Diagnosis
Berdasarkan pertemuan komite ahli WHO pada tahun 1997, penyakit
kusta didiagnosis berdasarkan atas 3 tanda kardinal. Diagnosis ditegakkan apabila
individu yang belum menyelesaikan pengobatan memiliki satu atau lebih tanda
kardinal berikut (Kumar dan Dogra, 2010) :
1. Lesi kulit hipopigmentasi atau eritematosa yang disertai dengan hilangnya
atau gangguan sensasi
Makula atau plak dapat berwarna hipopigmentasi, hiperpigmentasi,
eritematosa atau berwarna seperti tembaga. Permukaan dapat kering atau
kasar karena hilangnya fungsi kelenjar keringat atau berkilap atau dapat
pula dengan permukaan lembut. Dapat ditemukan hilangnya folikel
rambut dan lesi dapat berupa infiltasi, edema atau eritema. Adanya
anestesi merupakan hal yang spesifik untuk penyakit kusta. Pemeriksaan
adanya gangguan sensorik dilakukan terhadap rasa raba, nyeri dan suhu.
(Kumar dan Dogra, 2010; Noto dan Schreuder, 2010).
2. Keterlibatan saraf tepi yang ditunjukkan dengan adanya penebalan saraf
Pembesaran saraf tepi biasanya baru ditemukan setelah adanya lesi kulit.
Saraf yang paling sering terkena adalah nervus ulnaris dan peroneus
komunis. Adanya pembesaran saraf yang lebih dari satu biasanya lebih
sering ditemukan pada kusta tipe MB. Penebalan saraf diketahui dengan
19
pemeriksaan palpasi. Evaluasi meliputi rasa nyeri (nyeri spontan atau
dengan palpasi), konsistensi (lunak, keras atau iregular) dan ukuran
(membesar, normal atau kecil). Pemeriksaan saraf meliputi pemeriksaan
nervus supraorbital, nervus aurikularis magnus, nervus ulnaris, nervus
radialis, nervus medianus, nevus poplitea lateralis, nervus peroneus, dan
nervus tibialis posterior (Kumar dan Dogra, 2010; Noto dan Schreuder,
2010).
3. Pemeriksaan hapusan sayatan kulit ditemukan basil tahan asam
Pemeriksaan hapusan sayatan kulit dapat diambil dari mukosa nasal, lobus
telinga dan lesi kulit. Pewarnaan dilakukan dengan metode Ziehl-Neelsen.
Berdasarkan pemeriksaan hapusan kulit kemudian dapat ditentukan indeks
bakteri (IB) dan indeks morfologi (IM) yang membantu dalam
menentukan tipe kusta dan evaluasi terapi (Eichelmann, 2013; Job dan
Ponnaiya, 2010).
Pada kasus yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan histopatologis.
Pemeriksaan histopatologis pada kusta akan menunjukkan gambaran granuloma
yang khas disertai keterlibatan saraf. Pada kusta tipe tuberkuloid umumnya akan
ditemukan gambaran granuloma epiteloid disertai infiltrat limfosit, sedangkan
pada kusta tipe lepromatosa akan ditemukan gambaran granuloma makrofag. Pada
kusta tipe borderline akan ditemukan gambaran granuloma dengan proporsi sel
epiteloid dan makrofag yang berbeda-beda (Porichha dan Natrajan; 2010).
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan serologis yaitu
20
pemeriksaan titer antibodi PGL-1 dan polymerase chain reaction (PCR)
(Eichelmann; 2013).
2.7 Klasifikasi
Klasifikasi
kusta
sangat
penting
dalam
menentukan
regimen
pengobatan, prognosis dan komplikasi serta perencanaan operasional misalnya
menemukan pasien yang menular yang mempunyai nilai epidemiologi tinggi
sebagai target utama pengobatan. Selain itu klasifikasi kusta juga sangat penting
untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat.
Klasifikasi kusta yang sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan atas Ridley
dan Jopling 1962) yang membagi kusta menjadi 5 yaitu kusta tipe Tuberculoid
Tuberculoid (TT), Borderline Tuberculoid (BT), Mid-Borderline (BB), Borderline
Lepromatosa (BL) dan Lepromatous Lepromatous (LL). Pembagian ini
didasarkan pada kriteria klinis, bakteriologis, imunologis dan histopatologis (Lee,
dkk., 2012; Mishra dan Kumar 2010). Klasifikasi kusta yang lain adalah
klasifikasi Madrid yang didasarkan pada Kongres Internasional Kusta di Madrid
pada tahun 1953. Klasifikasi ini terdiri dari kusta tipe Indeterminate (I),
Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B) dan Lepromatous (L).
Untuk kepentingan program kusta WHO mengeluarkan klasifikasi
kusta pada tahun 1988 yang terdiri dari kusta tipe pausibasilar (PB) meliputi kusta
dengan pemeriksaan BTA negatif yaitu tipe I, TT dan BT berdasarkan klasifikasi
Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid dan kusta tipe
MB yang meliputi kusta tipe LL, BL, BB menurut Ridley dan Jopling atau tipe B
21
dan L menurut klasifikasi Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.
Keterbatasan pemeriksaan hapusan kulit yang tidak bisa diterapkan secara global
menyebabkan WHO kembali mengeluarkan klasifikasi pada tahun 1998 yang
membagi kusta menjadi 3 berdasarkan atas jumlah lesi yaitu kusta tipe PB dengan
lesi tunggal, kusta tipe PB dengan jumlah lesi 2-5 dan kusta tipe MB dengan
jumlah lesi lebih dari 5 atau semua kusta dengan BTA positif (Mishra dan Kumar
2010).
Tabel 2.1
Karakteristik Klasifikasi Kusta Ridley dan Jopling (Kumar dan Dogra, 2010)
Lesi
Jumlah
Ukuran
Permukaan
TT
Biasanya
tunggal (s/d
3)
Bervariasi,
umumnya
besar
Kering,
dengan
skuama
BT
Sedikit (s/d
10)
BB
Beberapa
(10-30)
BL
Banyak
asimetris
(>30)
Kecil,
beberapa
dapat besar
Mengkilap
LL
Tidak
terhitung,
simetris
Kecil
Bervariasi,
beberapa
besar
Kering,
dengan
skuama,
terlihat
cerah,
terdapat
infiltrat
Menurun
dengan jelas
Bervariasi
Menurun
sedang
Sedikit
menurun
Normal atau
menurun
minimal
Normal
pada tahap
awal
Banyak
sekali
termasuk
globi
Negatif
Kusam atau
sedikti
mengkilap
Sensasi
Hilang
Pertumbuhan
rambut
Tidak ada
Menurun
dengan jelas
Menurun
sedang
Sedikit
menurun
BTA
Negatif
Negatif atau
sedikit
Jumlah
sedang
Banyak
Reaktivitas
lepromin
Positif kuat
(+++)
Positif
lemah (+
atau ++)
Negatif atau
positif
lemah
Negatif
Mengkilap
22
2.8 Pemeriksaan Hapusan Sayatan Kulit
Pemeriksaan hapusan sayatan kulit atau slit skin smear merupakan
pemeriksaan sediaan yang diperoleh melalui irisan atau kerokan kecil pada kulit
yang kemudian diberikan pewarnaan tahan asam untuk melihat M. leprae. Dari
keseluruhan pemeriksaan laboratorium yang tersedia untuk penyakit kusta,
pemeriksaan hapusan kulit merupakan pemeriksaan yang paling sederhana.
Tujuan pemeriksaan ini antara lain untuk konfirmasi diagnosis kusta, klasifikasi
penyakit, untuk mengetahui derajat infeksius penderita, progresivitas penyakit dan
pemantauan pengobatan. Pengambilan lokasi yang banyak mengandung bakteri
yaitu kedua telinga, siku kiri, dorsum jari kiri, dan ibu jari kanan (Mahajan, 2013).
Atau dapat pula diambil pada 2 atau 3 lokasi yaitu cuping telinga kanan dan kiri
serta lesi kulit yang aktif (Kemenkes RI, 2012). Pemeriksaan hapusan sayatan
kulit memiliki spesifitas sebesar 100% karena secara langsung menunjukkan
gambaran BTA, namun sensitivitasnya rendah yaitu berkisar antara 10%-50%.
Sensitivitas yang rendah ini disebabkan karena pemeriksaan hapusan sayatan kulit
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain keterampilan petugas, teknik
pengambilan seperti kedalaman insisi dan ketebalan film serta kelengkapan alat
dan bahan seperti reagan dan mikroskop yang berfungsi dengan baik (Desikan
dkk., 2006; Bhushan dkk., 2008).
Setelah pengambilan spesimen, kemudian dilakukan pewarnaan dengan
metode Ziehl Neelsen dan diperiksa dibawah mikroskop. Jumlah BTA dalam
setiap lapangan pandang dihitung serta morfologi masing-masing basil
diperhatikan dengan seksama. Basil yang solid umumnya merupakan basil yang
23
masih hidup dan viabel sedangkan basil dengan morfologi granular, atau
terfragmentasi merupakan basil yang sudah mati dan tidak viabel. Berdasarkan
jumlah dan kepadatan bakteri serta morfologi bakteri dilakukan penghitungan IB
dan IM (Job dan Ponnaiya, 2010; Lee dkk., 2012).
Indeks bakteri merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA
dalam sediaan apus. Pada IB, penghitungan dilakukan baik pada basil yang masih
hidup (solid) maupun yang telah mati (fragmentasi dan granular). Penghitungan
dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut:
a. +6 terdapat lebih dari 1000 BTA atau lebih dari 5 gumpalan pada satu
lapangan pandang.
b. +5 terdapat 100 sampai 1000 BTA pada satu lapangan pandang.
c. +4 terdapat 10 sampai 100 BTA pada satu lapangan pandang.
d. +3 terdapat 1 sampai 10 BTA pada satu lapangan pandang.
e. +2 terdapat 1 sampai 10 BTA pada 10 lapangan pandang.
f. +1 terdapat 1 sampai 10 BTA pada 100 lapangan pandang
g. 0 terdapat 0 BTA pada 100 lapangan pandang (Bryceson, 1990; Job dan
Ponnaiya, 2010; Lee dkk., 2012).
Pada pasien yang tidak diobati, pemeriksaan pada cuping telinga
menghasilkan jumlah basil yang terbesar. Pada pasien yang diobati, permukaan
dorsal dari jari sering merupakan tempat terakhir yang memberikan hasil negatif.
Indeks morfologi merupakan persentase basil kusta berbentuk utuh atau solid
terhadap keseluruhan BTA. Indeks morfologi berguna untuk mengetahui
24
kemampuan penularan kuman dan menilai hasil pengobatan (Job dan Ponnaiya,
2010; Noto dan Schreuder, 2010).
Indeks bakteri umumnya mulai turun setelah setahun mendapatkan
terapi MDT sebesar log 0,6-1,0 per tahun atau +1 per tahun dan berlanjut
meskipun MDT telah dihentikan. Penurunan umumnya ditemukan lebih lambat
pada kasus MB dibanding PB (Mahajan, 2013). Pada penelitian yang dilakukan
oleh Maghanoy dkk (2011) di Filipina, ditemukan 98% pasien kusta dengan IB
yang tinggi (≥+4) masih tetap positif setelah 1 tahun pengobatan sedangkan pada
pasien kusta dengan IB yang rendah (<+4), 74% masih ditemukan dengan IB
positif setelah 1 tahun pengobatan.
2.9 Terapi Kusta
World Health Organization sejak tahun 1981 merekomendasikan
penggunaan multidrug therapy (MDT) yang terdiri dari rifampisin, dapson dan
klofasimin untuk pengobatan kusta. Pengobatan dengan MDT bertujuan untuk
menurunkan insiden relaps pasca pengobatan, menurunkan efek samping serta
menurunkan durasi pengobatan sehingga menurunkan biaya (Pai dkk., 2010).
Regimen PB terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali ditambah dapson 100
mg/hari selama 6 bulan. Regimen MB terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg
sebulan sekali, dapson 100 mg/hari ditambah klofazimin 300 mg/sebulan dengan
lama pengobatan 12 bulan. Pengobatan baru yang juga efektif terhadap M. leprae
meliputi minoksiklin, ofloksasin, klaritromisin, rifabutin, rifapentin, bromidoprim
dan antibiotika golongan beta laktam (Pai dkk., 2010; Yawalkar, 2009).
25
2.10 Reaksi Kusta
Salah satu komplikasi pada penyakit kusta yaitu adanya reaksi kusta
yang dapat terjadi sebelum, selama dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta
merupakan episode inflamasi akut atau subakut yang dimediasi oleh proses
imunologis pada perjalanan penyakit kusta yang bersifat kronis, yang dapat
mengenai kulit, saraf, membran mukosa dan lokasi lain. (Kar dan Sharma, 2010;
Yawalkar, 2009). Terdapat 3 jenis reaksi kusta yaitu reaksi tipe 1, reaksi tipe 2
atau reaksi eritema nodosum leprosum (ENL) dan fenomena lucio (Kar dan
Sharma, 2010).
Reaksi tipe 1 umumnya ditemukan pada kusta tipe borderline. Reaksi
tipe 1 dapat bersifat upgrading (reaksi reversal) apabila terjadi peningkatan
imunitas seluler sehingga terjadi pergeseran spektrum ke arah tuberkuloid atau
downgrading apabila terjadi pergeseran spektrum ke arah lepromatosa. Pada
reaksi reversal, lesi kulit yang telah ada menjadi lebih eritematosa dan dapat
disertai timbulnya lesi baru. Lesi kulit dapat disertai dengan neuritis ringan hingga
berat (Lee dkk., 2012).
Reaksi kusta tipe 2 atau ENL merupakan reaksi kusta yang
dihubungkan dengan pembentukan kompleks imun antigen-antibodi pada jaringan
sehingga menyebabkan terjadinya fokus inflamasi akut. Reaksi tipe 2 ini terutama
sering ditemukan pada kusta tipe LL serta BL. Lesi dapat berupa papul kecil
ataupun nodul berwarna kemerahan dan nyeri pada penekanan. Pada ENL yang
berat berat dapat disertai dengan gangguan saraf, gejala sistemik dan gangguan
pada organ lain (Bryceson, 1990; Kar dan Sharma, 2010; Lee dkk., 2012).
26
Fenomena lusio merupakan reaksi yang ditemukan pada penderita kusta lusio
diawali dengan terbentuknya plak merah kebiruan dengan halo eritematosa yang
selanjutnya berkembang menjadi infark hemoragik pada bagian tengah tanpa atau
disertai pembentukan bula (Bryceson, 1990; Kar dan Sharma, 2010).
2.11 Stres Oksidatif
2.11.1 Definisi
Stres oksidatif merupakan suatu kondisi yang disebabkan karena
ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Hal ini dapat disebabkan oleh
pembentukan radikal bebas atau ROS yang berlebihan atau karena defisiensi
antioksidan enzimatik dan nonezimatik atau keduanya (Dalle-Donne, 2006; Rahal
dkk., 2014). Setiap sel pada tubuh manusia mempertahankan kondisi homeostasis
antara oksidan dan antioksidan. Sekitar 1-3% oksigen yang dikonsumsi manusia
diubah menjadi ROS. Pada kondisi metabolisme normal pembentukan ROS secara
terus menerus dan radikal bebas lainnya diperlukan untuk fungsi fisiologis normal
seperti pembentukan Adenosine Triphosphate (ATP), berbagai macam proses
anabolik dan katabolik dan siklus reduksi-oksidasi seluler. Pembentukan ROS dan
radikal bebas lainnya yang berlebihan dapat disebabkan karena proses biologikal
endogen dan faktor eksogen yang berasal dari lingkungan seperti paparan kimia,
polusi atau radiasi (Rahal dkk., 2014). Adanya ROS berlebihan dapat
menyebabkan kerusakan pada komponen sel seperti lipid, protein dan
Deoxyribonucleic acid (DNA) sehingga selanjutnya dapat mempengaruhi
27
viabilitas sel dan menginduksi berbagai respon seluler yang dapat menimbulkan
kematian sel dan kerusakan jaringan (Dalle-Donne, 2006; Birben dkk., 2012).
2.11.2 Radikal bebas, reactive oxygen species, antioksidan
Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan pada orbit luarnya. Radikal bebas bersifat tidak
stabil dan sangat reaktif karena elektron yang tidak berpasangan ini cenderung
akan mencari pasangan elektron dari molekul lain dengan tujuan untuk
menetralisasi dirinya sendiri. Pada saat reaksi antara radikal bebas dengan
molekul lain dapat terbentuk molekul nonradikal yang kurang reaktif atau akan
terbentuk radikal bebas lainnya yang lebih reaktif sehingga terjadi reaksi berantai.
Tanpa adanya suatu mekanisme untuk menonaktifkan radikal bebas ini maka
sejumlah besar radikal bebas akan terbentuk dalam waktu beberapa detik setelah
reaksi awal. Radikal bebas dapat berasal dari oksigen, sulfur, atau karbon, namun
yang paling signifikan secara fisiologis adalah radikal bebas yang berasal dari
oksigen (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007).
Reactive oxygen species merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan sejumlah molekul reaktif dan radikal bebas yang berasal dari
molekul oksigen (Held, 2015). Terdapat dua kelompok ROS yaitu yang bersifat
radikal bebas dan bersifat non radikal. Anion superoksid (O2•-) dan radikal
hidroksil merupakan contoh ROS yang bersifat radikal bebas sedangkan hidrogen
peroksida (H2O2), singlet oksigen dan asam hipoklorat (HOCl) merupakan contoh
ROS yang bersifat non radikal (Birben dkk., 2012; Halliwell, 2001). Reactive
oxygen species dihasilkan oleh sel melalui berbagai mekanisme antara lain
28
sebagai konsekuensi metabolisme aerob normal oleh mitokondria, oksidatif atau
respiratory burst sel fagosit serta berasal dari metabolisme xenobiotik untuk
detoksifikasi substansi toksik. Pada umumnya ROS pada konsentrasi rendah
penting untuk fungsi fisiologis normal seperti ekspresi gen, pertumbuhan sel,
pertahanan terhadap infeksi, biosintesis molekul seperti tiroksin, prostaglandin,
serta memicu proliferasi sel T. Beberapa penelitian terakhir juga menemukan
peranan ROS sebagai molekul signaling yang penting untuk efek biologis.
Persentase ROS meningkat pada kondisi inflamasi kronik, infeksi, olahraga yang
berlebihan, paparan terhadap alergen, obat dan toksin (Krishnamurthy dan
Wadhwani, 2012; Bennett dan Griffiths, 2013).
Terdapat berbagai macam ROS, namun yang paling berperan adalah
anion superoksida (O2•-), hidrogen peroksida (H2O2), radikal hidroksil (OH•.).
Anion superoksid terbentuk dari penambahan 1 elektron pada molekul oksigen.
Proses ini dimediasi oleh enzim nicotinamide adenine dinucleotide phosphate
(NADPH) oksidase atau xantine oksidase atau oleh sistem transport elektron
mitokondria.
Mitokondria
merupakan
lokasi
utama
pembentukan
anion
superoksid namun enzim NADPH juga ditemukan pada leukosit, neutrofil,
monosit dan makrofag. Selama proses fagositosis terjadi respiratory burst yang
memproduksi superoksid. Superoksid kemudian diubah menjadi hidrogen
peroksida oleh superoksid dismutase (SOD) (Birben dkk., 2012; Kunwar dan
Priyadarshini, 2011; Valko dkk., 2006).
Hidrogen peroksida dapat diproduksi oleh xanthine oxidase, asam
amino oksidase dan NADPH oksidase. Struktur H2O2 menyerupai air dan dapat
29
berdifusi didalam maupun diantara sel. Hidrogen peroksida memiliki sifat yang
kurang reaktif namun dapat bergabung dengan besi serta tembaga membentuk
radikal hidroksil yang sangat reaktif. Anion superoksid juga dapat bereaksi
dengan H2O2 dan menghasilkan radikal hidroksil (OH-). Radikal hidroksil
merupakan ROS yang sangat berbahaya karena reaktivitas yang tinggi dan
memiliki waktu paruh yang sangat singkat sehingga umumnya menimbulkan
kerusakan terutama pada lokasi disekitarnya (Birben dkk., 2012; Halliwell, 2001;
Kunwar dan Priyadarshini, 2011).
Untuk mengimbangi efek merugikan yang ditimbulkan oleh adanya
stres oksidatif pada sel, sistem tubuh telah melengkapi dirinya dengan beberapa
strategi
seperti
mekanisme
pencegahan
dengan
cara
mempertahankan
pembentukan ROS seminimal mungkin, mekanisme perbaikan untuk mengurangi
kerusakan sel, mekanisme proteksi fisik serta yang terpenting adalah mekanisme
pertahanan antioksidan. Antioksidan merupakan suatu substansi dengan
konsentrasi rendah yang dapat berfungsi sebagai senyawa pemberi elektron
sehingga mencegah oksidasi substrat yang rentan teroksidasi (Kunwar dan
Priyadarshini, 2011; Rahal dkk., 2014). Sistem pertahanan antioksidan endogen
meliputi jaringan molekul antioksidan enzimatik dan nonenzimatik yang
umumnya terdistribusi pada sitoplasma dan organel sel. Antioksidan juga dapat
berasal dari eksogen seperti yang berasal dari makanan. Antioksidan eksogen dan
endogen berfungsi secara interaktif dan sinergis untuk menetralisir radikal bebas
(Winarsi, 2007). Antioksidan enzimatik meliputi superoksid dismutase (SOD),
glutation peroksidase (GPx), dan katalase (CAT), sedangkan antioksidan
30
nonenzimatik meliputi asam askorbat (vitamin C), α-tocopherol (vitamin E),
glutathione (GSH), karatenoid, flavonoid dan antioksidan lainnya (Valko dkk.,
2006).
Superoksid dismutase merupakan protein yang mengandung metal
berfungsi untuk mengkatalisasi superoksid membentuk hidrogen peroksida.
Terdapat tiga isozim SOD, yaitu SOD1 mengandung Cu dan Zn sebagai kofaktor
logamnya ditemukan di sitosol, SOD2 yang mengandung logam Mn ditemukan
pada mitokondria dan SOD3 yang juga mengandung kofaktor logam Cu dan Zn,
ditemukan di ekstrasel (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007; Valko dkk., 2006).
Hidrogen peroksida yang berasal dari aktivitas SOD atau oksidase lainnya akan
digunakan untuk mengoksidasi glutation tereduksi (GSH) menjadi glutation
teroksidasi (GSSG) oleh GPx. Enzim katalase juga dapat mereduksi H2O2 menjadi
air (Birben dkk., 2012).
Vitamin C, vitamin E, glutation dan beta karoten merupakan
antioksidan nonenzimatik yang paling banyak diteliti. Antioksidan non enzimatik
disebut juga antioksidan pemecah rantai yang dapat berupa senyawa nutrisi
maupun non nutrisi. Vitamin C dianggap sebagai antioksidan larut air yang
penting pada cairan ekstraseluler. Vitamin C mampu menetralisir ROS pada fase
aqueous sebelum dimulainya peroksidasi lipid. Vitamin E merupakan antioksidan
larut lemak dan antioksidan pemecah rantai utama yang melindungi membran
asam lemak dari peroksidasi lipid. Glutation banyak ditemukan pada semua
kompartemen sel dan merupakan antioksidan larut dengan efek antioksidan
glutation melalui kerja sama dengan GPx. Glutation juga berfungsi mengubah
31
vitamin C dan E menjadi bentuk aktifnya. Beta karoten dan karotenoid lainnya
juga dipercaya memiliki perlindungan antioksidan terhadap jaringan kaya lemak
yang bekerja secara sinergis dengan vitamin E (Birben dkk., 2012; Winarsi,
2007). Mekanisme pertahanan antioksidan enzimatik dan non enzimatik secara
lebih jelas digambarkan pada Gambar 2.3 dibawah ini.
Gambar 2.3
Mekanisme Pertahanan Antioksidan Enzimatik dan Non Enzimatik
(Atukeren dan Yigitoglu, 2013)
2.11.3 Kerusakan akibat stres oksidatif
Konsekuensi utama adanya stres oksidatif adalah kerusakan yang dapat
ditimbulkan pada DNA, lipid dan protein yang pada akhirnya akan dapat
menyebabkan kematian sel (Birben dkk., 2012).
32
Gambar 2.4
Mekanisme Kerusakan Sel Akibat Stres Oksidatif (Dawane dan Pandit, 2012)
1.
Efek pada DNA
Reactive oxygen species dapat menyebabkan modifikasi DNA melalui beberapa
mekanisme yang melibatkan degradasi basa, pemecahan DNA rantai tunggal atau
ganda, modifikasi purin, pirimidin atau ikatan gula, delesi dan translokasi dan
ikatan silang dengan protein. Terdegradasinya basa DNA akan menghasilkan
produk seperti 8-hidroksiguanin, hidroksimetil urea, timin, glikol dan produk
lainnya. Penanda stres oksidatif tingkat DNA yang dapat diukur adalah 8hydroxy-2-deoxyguanosine (8-OHdG) (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007).
2. Efek pada Protein
Reactive oxygen species dapat menyebabkan fragmentasi rantai peptida, gangguan
pada tenaga elektrik protein, menyebabkan ikatan silang dan oksidasi asam amino
spesifik. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap proteolisis
karena degradasi protease tertentu. Produk-produk oksidasi protein yang dapat
33
diukur adalah gugus thiol tereduksi dalam protein plasma, protein karbonil dalam
plasma dan orto-tirosin dalam protein plasma. Biomarker yang umum digunakan
untuk pengukuran protein teroksidasi adalah protein karbonil melalui kalorimeter
(Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007).
3.
Efek pada Lipid
Membran sel merupakan struktur yang sangat rentan terhadap oksidasi yang
disebabkan oleh ROS karena adanya asam lemak dalam konsentrasi yang tinggi
pada komponen lipid. Reaksi ROS dengan membran lipid menyebabkan
terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid didefinisikan sebagai proses dimana
oksidan seperti radikal bebas dan spesies nonradikal bereaksi dengan lipid yang
mengandung ikatan karbon-karbon ganda, terutama asam lemak tak jenuh ganda
(PUFA). Reaksi ini menimbulkan pemisahan hidrogen dari karbon dan
penambahan oksigen yang menghasilkan radikal peroksil lipid (LOO•) dan
hidroksiperoksida lipid (LOOH). Pada kondisi fisiologis atau derajat lipid
peroksidase yang rendah (kondisi subtoksik), sel mempertahankan diri melalui
sistem pertahanan antioksidan atau aktivasi jalur sinyal yang mengatur protein
antioksidan sehingga terjadi respon adaptif terhadap stres. Sebaliknya pada derajat
peroksidasi lipid yang berat kerusakan oksidatif melebihi kapasitas perbaikan
sehingga terjadi induksi program kematian sel apoptosis atau nekrosis. Kedua
proses ini pada akhirnya akan mengakibatkan kerusakan molekular sel dengan
berbagai kondisi patologis (Ayala dkk., 2014; Valko dkk., 2006).
Proses peroksidasi lipid secara keseluruhan terdiri atas 3 tahap yaitu
inisiasi, propagasi dan terminasi (Gambar 2.4). Pada tahap inisiasi ROS seperti
34
radikal hidroksil memisahkan hidrogen dan membentuk radikal lipid dengan
karbon pada bagian tengah (L•). Pada fase propagasi radikal lipid (L•) secara cepat
bereaksi dengan oksigen untuk membentuk radikal peroksi lipid (LOO•) yang
menarik hidrogen dari molekul lipid lainnya membentuk L• yang baru (reaksi
berantai) dan hidroksiperoksida lipid (LOOH). Pada tahap terminasi antioksidan
akan mendonasikan atom hidrogennya pada LOO• menghasilkan produk
nonradikal. Sekali peroksidasi lipid diinisiasi, reaksi berantai akan terus terjadi
hingga produk terminasi terbentuk (Ayala dkk., 2014; Valko dkk., 2006).
Gambar 2.5
Tahapan Proses Peroksidasi Lipid (Boots dkk., 2012)
Salah satu akibat penting peroksidasi lipid adalah pembentukan
senyawa-senyawa aldehida. Hidroksiperoksida lipid bersifat tak stabil dan dapat
di dekomposisi atau terurai menjadi aldehid seperti malondialdehyde (MDA),
propanal, heksanal, 4-hidroksinonenal (HNE). Selain itu produk sekunder
peroksidasi lipid juga dapat berupa siklik endoperoksidase seperti isoprostan dan
hidrokarbon. Diantara produk sekunder tersebut MDA merupakan produk yang
paling bersifat mutagenik. Malondialdehyde mampu meninaktivasi protein selular
dengan cara membentuk ikatan silang protein, sedangkan HNE menyebabkan
35
deplesi GSH intrasel dan induksi pembentukan produksi peroksida. Terjadinya
peroksidasi lipid juga dapat menimbulkan inaktivasi ikatan reseptor dan enzim
pada membran sehingga mengganggu fungsi sel (Ayala dkk., 2014; Birben dkk,
2012; Dalle-Donne dkk., 2006).
2.11.4 Malondialdehyde sebagai biomarker stres oksidatif
Biomarker didefinisikan sebagai suatu karakteristik yang dapat diukur
dan dievaluasi secara objektif sebagai indikator proses biologis normal, proses
patogenik, atau respon farmakologik terhadap intervensi terapi. Biomarker stres
oksidatif yang ideal harus bersifat stabil, dapat berakumulasi pada konsentrasi
yang dapat dideteksi, menggambarkan jalur oksidasi spesifik dan berhubungan
dengan keparahan penyakit sehingga bisa digunakan sebagai alat diagnostik.
Pengukuran ROS secara langsung cukup sulit karena ROS sangat reaktif dan
memiliki waktu paruh yang singkat. Pengukuran stres oksidatif umumnya
dilakukan dengan cara menilai metabolit yang bersifat stabil atau produk
oksidasinya seperti produk akhir dari peroksidasi lipid. Biomarker peroksidasi
lipid merupakan hasil kerja radikal bebas yang diketahui paling awal dan paling
mudah pengukurannya karena itulah reaksi ini paling sering dilakukan untuk
mempelajari stres oksidatif (Patil, 2006; Winarsi, 2007).
Malondialdehyde merupakan ketoaldehid yang diproduksi oleh
dekomposisi peroksidatif lemak tidak jenuh dan sebagai hasil antara metabolisme
asam arakidonat. Malondialdehyde ditemukan hampir di seluruh cairan biologis
termasuk plasma, urin, cairan aqueous, cairan persendian, cairan bronkoalveolar,
cairan empedu, cairan getah bening, cairan amnion, perikardial dan seminal,
36
namun plasma dan urin merupakan sampel yang paling umum digunakan, karena
paling mudah didapat dan tidak invasif. Malondialdehyde sangat sesuai sebagai
biomarker untuk stres oksidatif karena beberapa alasan, yaitu pembentukannya
meningkat sesuai dengan stres oksidatif, kadarnya dapat diukur secara akurat
dengan berbagai metode, bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi,
pengukurannya tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan tidak dipengaruhi
kandungan lemak dalam diet, merupakan produk spesifik dari peroksidasi lipid
dan terdapat dalam jumlah yang dapat dideteksi pada semua jaringan tubuh dan
cairan biologis sehingga memungkinkan untuk menentukan referensi interval
(Palmiere dan Sblendorio, 2006; Patil dkk., 2006; Winarsi, 2007).
Sejak
peroksidasi
bertahun-tahun
lipid
karena
MDA
reaksinya
telah
digunakan
dengan
sebagai
thiobarbituric
biomarker
acid
(TBA).
Pemeriksaan dengan TBA berdasarkan atas reaktivitas TBA terhadap MDA yang
menghasilkan kromogen dengan fluoresensi berwarna merah (Dalle-Donne dkk.,
2006). Berdasarkan penelitian, interval nilai normal MDA pada laki-laki
diperkirakan sebesar 1,14-1,53 μmol/L sedangkan pada perempuan adalah 1,081,41 μmol/L (Nielsen dkk., 1997).
2.12 Stres Oksidatif pada Penyakit Kusta
2.12.1 Patogenesis stres oksidatif pada penyakit kusta
Patogenesis terjadinya stres oksidatif pada penyakit kusta hingga saat
ini masih belum diketahui secara pasti. Diduga stres oksidatif pada penyakit kusta
dihubungkan dengan infeksi oleh M. leprae itu sendiri, respon imunitas pejamu
37
terhadap infeksi serta adanya defek pada imunitas seluler yang akan
mengakibatkan peningkatan produksi ROS pada penderita kusta (Prabhakar dkk.,
2012; Vijayaraghavan dan Paneerselvam, 2011).
Seperti diketahui, pada penyakit kusta berkembangnya infeksi pada
pejamu dihubungkan dengan kualitas respon imunitas. Mekanisme pertahanan
utama pada infeksi M. leprae melibatkan sel-sel imunitas terutama makrofag,
limfosit dan sitokin-sitokin yang mengatur produksi, pelepasan dan modulasi
reaksi imunitas seluler (Lima dkk., 2007; Prabhakar dkk., 2012). Makrofag
merupakan sistem pertahanan utama melawan infeksi M. leprae. Sel-sel fagosit
seperti makrofag, neutrofil, eosinofil serta limfosit T dan B memiliki enzim
NADPH oksidase yang bertanggung jawab pada produksi ROS saat terjadinya
stimulasi respon imun. Makrofag akan mengenali M. leprae atau komponen
dinding selnya melalui TLR, ikatan ini akan mengaktivasi jalur nuclear factor
kappa B (NF-κB) yang akan menginduksi pelepasan sitokin seperti TNF-α, IL-1,
IL-6 dan IL-12. Sitokin-sitokin ini akan menyebabkan terjadinya inflamasi dan
menstimulasi imunitas adaptif. Interleukin-12 akan mengaktivasi sel T dan
menginduksi pelepasan IFN γ yang selanjutnya akan mengaktivasi enzim fagosit
oksidase (NADPH oksidase) sehingga terjadi pelepasan ROS seperti superoksid,
radikal hidroksil dan hidrogen peroksida. (Prasad dkk, 2007; Rahal dkk., 2014;
Hart dan Tapping, 2012; Abbas dkk., 2015).
Reactive oxygen species yang terbentuk dapat berdifusi dari tempat
terbentuknya dan menyebabkan kerusakan pada DNA, protein dan lipid sehingga
terjadi kerusakan pada fungsi dan integritas sel serta kerusakan jaringan. Adanya
38
kerusakan jaringan akan ditandai oleh peningkatan biomarker stres oksidatif
termasuk MDA sebagai produk akhir peroksidasi lipid. Reactive oxygen species
yang terbentuk ini juga dapat menyebabkan kerusakan saraf pada penyakit kusta
sehingga berhubungan dengan manifestasi klinis penyakit (Prasad dkk., 2007).
Beberapa penelitian terakhir menghubungkan peran ROS dalam
memediasi proses inflamasi dan kaskade sinyal sistem imunitas, dimana
peningkatan ROS juga ternyata dapat mengaktivasi sinyal NF-κB, menunjukkan
peranan ROS sebagai secondary messenger untuk tranksripsi gen proinflamasi
dan respon sinyal sitokin selama proses infeksi (Spooner dan Yilmaz, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh King dkk. yang menstimulasi sel mononuklear
perifer dengan ROS, menemukan adanya MDA dan HNE sebagai hasil dari
peroksidasi lipid ternyata dapat menstimulasi diferensiasi sel Th menuju fenotip
kearah Th2 sehingga menginduksi hiporesponsif sel limfosit T (Bennet dan
Griffiths, 2013).
Gambar 2.6
Mekanisme Pembentukan ROS Selama Proses Fagositosis
(Abbas dkk., 2015)
39
Mekanisme penurunan sistem antioksidan pada penyakit kusta juga
masih belum diketahui secara pasti. Hal ini diduga disebabkan karena inhibisi
enzim atau rendahnya konsentrasi protein enzim yang disebabkan karena regresi
gen SOD pada tingkat DNA. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa
lipopolisakarida bakteri diduga dapat mempengaruhi gen SOD. Selain itu PGL-1
yang dimiliki M. leprae juga dikatakan dapat berikatan dengan enzim SOD
sehingga menghambat aktivitas SOD dan mengakibatkan down-regulasi ekspresi
gen SOD pada sel darah merah dan makrofag (Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat
dan Borade, 2000; Schalcher dkk, 2012).
MDA
Gambar 2.7
Peroksidasi Lipid pada Penyakit Kusta (Vazques dkk., 2014)
Penelitian yang ada juga menghubungkan antara stres oksidatif pada
kusta dengan indeks bakteri yang lebih tinggi. Hal ini diduga disebabkan karena
utilisasi biometal seperti zinc, besi, dan kalsium dari sel pejamu untuk pertahanan
hidup M. leprae, sehingga dapat mempengaruhi metaloenzim seperti SOD
(Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat dan Borade; 2000).
40
2.11.2 Tingkat stres oksidatif pada penyakit kusta
Berbagai macam penelitian mengenai tingkat stres oksidatif pada
penyakit kusta telah dilakukan. Tingkat stres oksidatif dinilai melalui pengukuran
kadar oksidan seperti pengukuran nitrat atau nitrit yang merupakan produk stabil
NO, pengukuran kadar antioksidan enzimatik seperti SOD, katalase atau GSH,
atau kadar antioksidan nonenzimatik seperti vitamin A, vitamin C, dan vitamin E,
serta melalui pengukuran biomarker kerusakan akibat stres oksidatif seperti MDA
(Dalle –Donne, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Prasad dkk. pada tahun 2007 pada 100
pasien baru yang terdiagnosis kusta menemukan penurunan kadar SOD, katalase
serta peningkatan MDA secara signifikan pada penderita kusta dibanding kontrol
sehat. Penurunan kadar SOD, katalase dan peningkatan kadar MDA ditemukan
lebih besar pada kusta tipe lepromatosa serta pada penderita kusta dengan IB yang
lebih tinggi. Sehingga disimpulkan adanya hubungan antara stres oksidatif dengan
tipe kusta dan indeks bakteri.
Penelitian lain pada tahun 2007 oleh Jyothi dkk. menemukan hal yang
serupa dimana terdapat penurunan kadar SOD serta peningkatan kadar MDA pada
pasien kusta. Hal ini juga ditemukan lebih signifikan pada penderita kusta tipe
MB. Pada penelitian ini juga dihitung rasio MDA/SOD yang ditemukan
mengalami peningkatan signifikan pada kusta tipe MB. Penelitian yang dilakukan
oleh Lima dkk. (2007) untuk mengetahui peroksidasi lipid dan kadar antioksidan
non enzimatik pada kusta menemukan peningkatan kadar MDA dibanding
kontrol, dengan peningkatan sesuai dengan spektrum penyakit dimana kadar
41
tertinggi ditemukan pada kusta tipe lepromatosa. Pada penelitian ini juga
ditemukan penurunan kadar vitamin A dibanding kontrol dengan penurunan yang
lebih besar pada kusta tipe lepromatosa. Penelitian serupa yang dilakukan oleh
Trimbake dkk. juga menemukan peningkatan kadar MDA serum dan penurunan
kadar vitamin E secara signifikan pada kusta tipe PB dan MB. Penelitian ini
menunjukkan adanya stres oksidatif pada penderita kusta juga disebabkan karena
adanya penurunan antioksidan nonenzimatik.
Penelitian yang dilakukan oleh Vijayaraghavan dkk. di India pada
tahun 2011 menemukan penurunan secara signifikan kadar antioksidan enzimatik
seperti SOD, katalase, glutation peroksidase, glutation reduktase dan glutation-stransferase pada penderita kusta tipe MB dibandingkan kontrol yang sehat.
Penelitian lain oleh Garad (2014) dkk. mengenai peroksidasi lipid juga
menemukan adanya peningkatan MDA secara signifikan pada penderita kusta
dibanding kontrol serta lebih tinggi pada kusta tipe MB dibanding PB. Pada
penelitian ini juga ditemukan penurunan kadar antioksidan thiol pada penderita
kusta terutama tipe MB dibanding kontrol sehat. Penelitian oleh Meneses dkk.
(2014) yang menggunakan sampel urin menemukan peningkatan MDA urin pada
penderita kusta dibanding kontrol.
Penelitian mengenai stres oksidatif pada penyakit kusta tidak hanya
dilakukan pada pasien yang baru terdiagnosis namun juga pada pasien yang sudah
mendapatkan terapi maupun yang sudah selesai pengobatan (Release from
treatment/RFT). Penelitian oleh Prabhakar dkk. tahun 2012 pada penderita kusta
tipe MB yang telah mendapat terapi menemukan penurunan kadar SOD,
42
glutathione, total antioksidan status serta peningkatan kadar MDA secara
signifikan pada pasien kusta tipe MB dibanding kontrol. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Ozan dkk. (2010) pada pasien kusta yang sudah selesai pengobatan
mendapatkan peningkatan signifikan kadar MDA dan aktivitas GSH dan katalase
dibanding kontrol. Penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian stres oksidatif
tidak hanya dapat terjadi pada kasus baru kusta namun juga pada kusta yang yang
telah selesai mendapatkan pengobatan.
Meskipun sebagian besar penelitian menunjukkan bukti adanya tingkat
stres oksidatif terutama melalui peningkatan kadar MDA namun beberapa
penelitian menemukan hasil yang bertentangan. Penelitian oleh Schalcer pada
tahun 2013 yang dilakukan pada 23 pasien penderita kusta sebelum mendapat
terapi. Pada penelitian ini didapatkan kadar MDA yang tidak berbeda antara
penderita kusta dan kontrol sehat, namun kadar SOD ditemukan mengalami
penurunan secara signifikan dibanding kontrol sehat.
Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Schalcher dkk. pada tahun
2014 yang bertujuan untuk mengetahui stres oksidatif pada pasien yang sudah
mendapatkan terapi MDT, menemukan kadar MDA yang tidak berbeda secara
signifikan antara penderita kusta dibanding kontrol sebelum maupun setelah
mendapat terapi sedangkan kadar SOD ditemukan menurun pada pasien kusta dan
penurunan ini ditemukan menetap setelah mendapatkan terapi MDT.
Download