kekuasaan mpr ri dalam uud 1945

advertisement
KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945
PASCA REFORMASI
(Tinjauan Hukum Ketatanegaraan Islam)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh :
FITRI AMALIA
NIM : 102045225160
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDY JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429H/2008M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar stata 1 di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang telah saya gunakan dalam skripsi ini telah
saya cantumkan sesuai ketentuan yang telah berlaku di Universitas
Islam Negeri (UIN) Srarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya
asli saya atau merupakan jiiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi dari Allah SWT dan sanksi yang berlaku
di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 21 juli 2010
Fitri Amalia
KATA PENGANTAR
Pujian yang tak pernah luntur syukur yang tak pernah pupus kepada Allah
SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Shalawat serta salam terus berlanjut untuk junjungan Nabi Muhammad SAW,
pembawa risalah Islam serta pengibar panji-panji kebenaran sehingga menjadi
pedoman dalam berbagai aspek kehidupan umatnya.
Selanjutnya dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, baik moril
maupun materiil serta dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada samua pihak
yang telah memberikan kotribusi dan khususnya kepada:
1.
Prof. Dr. Komarudin Hidayat, M A., selaku Rektor yang mendapat
amanah ilmiah dari Universitas Islam Negari Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2.
Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Selaku
Dekan Fakultas Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Bapak
Bapak Dr. Asmawi, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Jinayah
Siyasah, Fakultas Syari’ah Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.
Ibu Sri Hidayati, M.Ag. tercinta selaku sekretaris jurusan dan
pembimbing penulis yang telah membantu dan membina penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini hingga mencapai sarjana.
5.
Bapak Drs Abu Thamrin, SH, M. Hum. Selaku pembimbing skrisi
penulis.
i
6.
Segenap pengelola perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum.
7.
Yang paling utama ucapan terima kasih penulis haturkan kepada kedua
orang tua penulis; Papah H. Bisri Nasrullah dan mamah Hj. Tuti
Mutmainnah dan kedua kakak penulis; M. Ilham Bisri., S.T dan M.
Hakiki Bisri., S. Kom yang tidak pernah bosan memberikan do’a dan
kasih sayang yang tulus baik yang bersifat materil ataupun moril
terhadap karir akademis penulis serta memberikan motivasi kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
8.
Yang tercinta suami penulis; Iqbal Zamzamy dan Ananda Dhya Alina
Zahwa yang telah setia mendampingi dan membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
9.
Sahabat-sahabat penulis; Julimah, Kiki GP, Lukman Hakim,
Muhammad Yusuf, Eki, Hadi, Fatur yang mempunyai peran yang
sangat berarti yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Dengan hamparan kedua tangan disertai ketulusan, penulis mendoakan
semoga bantuan, dukungan, bimbingan dan perhatian yang telah diberikan oleh
semua pihak akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT
disertai limpahkan rahmat, hidayah serta berkah-Nya. Amin Ya Rabbal Alamin.
Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sepenuhnya dapat
menentramkan kegelisahan intelektual serta menyirami dahaga ilmiah, untuk itu
penulis sangat berlapang dada menerima masukan-masukan apalagi kritik
ii
konstruktif. Semoga skripsi dihadapan anda ini dapat memberikan kontribusi
positif, memperluas wawasan keilmuan serta menambah khazanah perpustakaan.
Jakarta, Oktober 2010
Syawal 1431 H
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ....................................... 7
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................................. 8
D. Metode Penelitian...................................................................... 8
1. Jenis dan Sifat Data ............................................................... 9
2. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 10
3. Teknik Analisis Data ........................................................... 10
E. Review Study Terdahulu ........................................................ 11
F. Sistematika Pembahasan ......................................................... 13
BAB II
MAJELIS
PERMUSYAWARATAN
RAKYAT
SEBAGAI
LEMBAGA NEGARA DALAM UUD 1945
A. Konsep Lembaga Negara dalam UUD 1945 ........................... 15
B. Konsep Lembaga Perwakilan di Negara Modern .................... 17
1. Teori Kedaulatan ................................................................. 18
2. Sistem Lembaga Perwakilan Rakyat................................... 20
C. Tugas dan Kewenangan Lembaga MPR dalam
UUD 1945 ............................................................................... 26
BAB III
LEMBAGA
PERMUSYAWARATAN
HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM
iv
RAKYAT
DALAM
A. Kedaulatan Rakyat dalam Hukum Tata Negara Islam ............ 34
B. Konsep Syura dan Demokrasi dalam Hukum Tata
Negara Islam ........................................................................... 41
C. Majelis Syura sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat............... 46
BAB IV
KEKUASAAN MPR RI PADA MASA DALAM UUD 1945
PASCA
REFORMASI
DITINJAU
DALAM
HUKUM
KETATANEGARAAN ISLAM
A. Konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca
Reformasi (1999–2004) .......................................................... 51
B. Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan
Rakyat di Era Reformasi ditinjau dari Hukum
Tata Negara Islam ................................................................... 59
C. Analisa Perbandingan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia dengan Majelis
Syura dalam Hukum Ketatanegaraan Islam ........................... 68
1. Dari Segi Perkembangannya ............................................... 69
2. Dari Segi Keanggotaan ....................................................... 69
3. Dari Segi Tugas dan Peranannya. ....................................... 69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 72
B. Saran ........................................................................................ 74
DAFTAR PUSTAKA
v
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ....................................... 7
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................................. 8
D. Metode Penelitian...................................................................... 9
E. Review Study Terdahulu ........................................................ 11
F. Sistematika Pembahasan ......................................................... 14
BAB II
MAJELIS
PERMUSYAWARATAN
RAKYAT
SEBAGAI
LEMBAGA NEGARA DALAM UUD 1945
A. Konsep Lembaga Negara dalam UUD 1945 ........................... 16
B. Konsep Lembaga Perwakilan di Negara Modern .................... 18
1. Teori Kedaulatan ................................................................. 19
2. Sistem Lembaga Perwakilan Rakyat................................... 21
C. Tugas dan Kewenangan Lembaga MPR dalam
UUD 1945 ............................................................................... 27
BAB III
LEMBAGA
PERMUSYAWARATAN
RAKYAT
DALAM
HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM
A. Kedaulatan Rakyat dalam Hukum Tata Negara Islam ............ 35
B. Konsep Syura dan Demokrasi dalam Hukum Tata
Negara Islam ........................................................................... 42
C. Majelis Syura sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat............... 47
BAB IV
KEKUASAAN MPR RI PADA MASA DALAM UUD 1945
PASCA
REFORMASI
DITINJAU
DALAM
HUKUM
KETATANEGARAAN ISLAM
A. Konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca
Reformasi (1999–2004) .......................................................... 54
B. Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan
Rakyat di Era Reformasi ditinjau dari Hukum
Tata Negara Islam ................................................................... 62
C. Analisa Perbandingan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia dengan Majelis
Syura dalam Hukum Ketatanegaraan Islam ........................... 63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 76
B. Saran ........................................................................................ 78
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara pada Republik Indonesia
dimulai pada tahun 1945. Pada tahun itulah berdiri negara Republik Indonesia
sebagai suatu kumpulan besar manusia, yang sehat jiwanya dan berkobarkobar hatinya, menimbulkan kesadaran batin yang disebut bangsa.
Persatuan Indonesia merupakan ide besar yang merupakan cita-cita
hukum dan cita-cita moral bangsa Indonesia. Persatuan Indonesia telah
menjiwai proses penetapan bentuk negara. Bentuk negara yang telah dipilih
harus memungkinkan terwujud dan terjaminnya persatuan Indonesia.
Berdirinya Negara ini tidak hanya ditandai dengan adanya proklamasi
dan berkeinginan untuk bersatu bersama, akan tetapi yang lebih penting adalah
adanya Undang-undang Dasar 1945 yang merumuskan berbagai macam
masalah kenegaraan. Atas dasar Undang-undang Dasar 1945 berbagai struktur
dan unsur negara mulai ada walaupun secara jelas pada masa itu belum ada
lembaga-lembaga yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar, namun hal
ini dapat diatasi dengan adanya Aturan tambahan dan Aturan peralihan dalam
Undang-undang Dasar 1945. 1
Setelah Undang-undang Dasar 1945 berlangsung selama 4 tahun, diganti
dengan konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) pada tahun 1949,
1
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1984)
h. 17
1
2
kemudian diganti lagi dengan UUDS (Undang-undang Dasar Sementara) pada
tahun 1950. Pada masa UUDS 1950 terselenggara pemilihan umum pada
tahun 1955 untuk memenuhi amanat masyarakat dalam Undang-undang
Dasar. Hasil pemilihan umum tersebut melahirkan DPR (Dewan Perwakilan
Rakyat) sebagai suatu lembaga perwakilan rakyat, dan terbentuk konstituante
yang bertugas membuat Undang-undang Dasar. Setelah bersidang selama
beberapa tahun konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno secara
sepihak. Setelah itu dimulailah periode kembali ke Undang-undang Dasar
1945 ditandai dengan Dekrit Presiden tahun 1959.
Setelah tahun 1998 maka dimulai masa reformasi yang diakibatkan oleh
berbagai krisis yang kemudian melahirkan gerakan reformasi yang
menginginkan suatu perubahan di Indonesia. Suatu zaman perubahan yang
dinamakan “reformasi”, menandai berakhirnya orde baru, dengan digantikan
dengan orde reformasi atau zaman reformasi. Pada saat itu terjadi perubahan
Undang-undang Dasar yang sangat dinantikan oleh masyarakat Indonesia.
Setelah tahun 1998 dimulai tuntutan-tuntutan akan perubahan mendasar
di Republik Indonesia. Yang terpenting adalah dua tuntutan masyarakat pada
saat itu adalah Supremasi Hukum dan Amandemen (perubahan Undangundang Dasar 1945).
Pada tahun 1999 terjadi perubahan I Undang-undang Dasar 1945 yang
mengatur beberapa hal penting seperti pembatasan jabatan presiden. Pada
tahun 2000 terjadi perubahan ke II Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur
Hak Asasi Manusia. Pada Perubahan I dan II terjadi beberapa perubahan yang
3
mendasar dalam Undang-undang Dasar 1945. Pada perubahan Undangundang Dasar 1945 sampai tahun 2000 terdapat beberapa reduksi kekuasaan
lembaga eksekutif seperti dalam pembatasan kekuasaan Presiden. Dalam
banyak hal, presiden tidak lagi memegang kekuasaan legislatif dan presiden
harus memperhatikan pendapat DPR ataupun MA (Mahkamah Agung) jika
berkaitan dengan hukum. 2 Sampai dengan perubahan ke II belum ada kritik
yang tajam terhadap perubahan yang terjadi terhadap Undang-undang Dasar
1945 dari mayoritas ahli hukum Tata Negara.
Setelah perubahan III terjadi perubahan mendasar terhadap Undangundang Dasar 1945. Secara garis besar dapat disimpulkan perubahan III
Undang-Undang Dasar 1945 meliputi :
1. Akan adanya pemilihan Presiden dan wakil Presiden langsung. Hal ini
berakibat besar terhadap tugas MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).
2. Adanya Penghapusan Utusan golongan dalam MPR dan dilembagakannya
utusan daerah menjadi DPD (Dewan Perwakilan Daerah) sehingga
komposisi MPR berubah secara total.
Setelah perubahan III Undang-undang Dasar 1945 berlaku, maka banyak
kekurangan-kekurangan yang ada dalam Undang-undang Dasar. Proses
perubahan Undang-undang Dasar 1945 menjadi salah satu sebab banyaknya
kekurangan yang terjadi karena ada beberapa hal yang belum diatur dengan
jelas sehingga menimbulkan masalah secara teknis hukum. Hal ini dikritisi
oleh sebagian besar praktisi hukum terutama Hukum Tata Negara.
Didit Hariadi Estiko, Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya Terhadap
Pembangunan Sistem Hukum, ( Jakarta: Tim Hukum Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi
Sekretaris Jenderal, 2001), h. 33
2
4
Ketika memasuki proses perubahan IV perubahan yang kurang, coba
diperbaiki. Perubahan IV menjadi suatu keharusan yang mau tidak mau harus
ada. Karena dengan adanya pemilihan presiden langsung, maka presiden
langsung bertanggung jawab kepada pemilihnya dan tidak ada lagi tugas
membuat GBHN (Garis Besar Haluan Negara) yang dilakukan oleh MPR.
Perubahan III dan IV Undang-undang Dasar 1945 telah mengubah status
dan peran MPR. MPR berubah dari lembaga pemegang kedaulatan rakyat
yang disebutkan secara eksplisit dalam Undang-undang Dasar 1945 menjadi
lembaga negara.
Setelah adanya perubahan Undang-undang Dasar 1945 maka berakhirlah
kekuasaan MPR sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat dan berakhir
juga kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara dalam struktur
kelembagaan negara di Indonesia.
Hukum tata negara Indonesia menghadapi suatu masa perubahan besar
dalam tugas dan wewenang lembaga negara. Sangat penting untuk diselidiki
bagaimanakah nantinya lembaga negara melakukan tugas dan wewenangnya
dan bagaimana menjalankannya.
Sebelum Perubahan Undang-undang Dasar 1945, kedudukan MPR
adalah sebagai lembaga pemegang kedulatan rakyat. Dalam kekuasaan MPR,
seluruh aturan ketatanegaraan dirancang dan diawasi dalam menjalankan
kekuasaan ini MPR bertindak seakan tidak pernah salah karena terkait dengan
sistem ketatanegaraan, perekrutan anggota dan sistem pengambilan keputusan
MPR.
5
Adapun dalam Hukum Tata Negara Islam, berbicara mengenai lembaga
perwakilan
sendiri musyawarah termasuk bagian dari menjalankan
pemerintahan menurut hukum Tata Negara Islam yang merupakan suatu
perbuatan yang dibenarkan syariat, oleh karena itu segala sesuatu yang terkait
dengannya menyangkut tujuan, cara, dan sistem harus terkait dengan hukum
syar’i. karena Representasi permusyawaratan Majelis Syuraterhadap pendapat
masyarakat dibangun dengan dasar akad perwakilan masyarakat pemilih.
Musyawarah dalam Islam adalah syari’at yang dipancarkan dari akidah
Islam. Taqiyudin berkata:
”Musyawarah adalah pengambilan keputusan secara mutlak, sebagai pengambilan
pendapat maka bisa ditetapkan berdasarkan dalil Al-qur’an dan Hadist. Allah berfirman,
“Dan terhadap urusan mereka hendaknya dimusyawarahkan sesama mereka” (QS. Assyuro’ Ayat 38). Dari Abu Huroiroh ra telah berkata: “Aku tidak melihat seorangpun
yang banyak musyawarahnya dibandingkan Rasulullah SAW terhadap sahabatnya”. 3 ”
☺
:Artinya
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki
yang kami berikan kepada mereka.
Adapun yang dikehendaki dari keberadaan lembaga permusyawaratan
negara atau Majelis Syuradalam Islam adalah representasi manusia, maka
keberadaaan Majelis Syuraadalah harus merepresentasikan pendapat warga
Alamsjah Ratu Perwiranegara, Islam dan Pembangunan Politik Indonesia, (Jakarta :
CV Haji Masagung, 1987), h. 211
3
6
negara, sebagaimana pemilihan para pemimpin kaum yang merupakan
represetasi komunitas sebagaimana yang tercermin dalam pemilihan para
pemimpin kaum Muhajirin dan Anshor, yang masing-masing adalah
separuhnya. Ini menyangkut keberadaan individu dan jamaah yang tidak
dikenal, tidak mungkin ada perwakilannya kecuali melalui pemilihan. Oleh
karena itu pemilihan anggota majelis umat adalah suatu keharusan.
Jadi, keanggotaan Majelis Syuraditentukan melalui pemilihan umum dan
bukan melalui penunjukan. Ketentuan ini berlaku karena mereka adalah wakil
dari pendapat warga Negara. Wakil tentu harus dipilih dari yang diwakilinya
dan tidak ditunjuk secara mutlak. Keanggotaan Majelis Syuraharus
mencerminkan kesetaraan dengan manusia secara individu dan kelompok
dalam pendapatnya.
Untuk mengetahui kesetaraan dalam wilayah luas dan kaum yang tidak
dikenal, tidak mungkin dapat diketahui kecuali dengan pemilihan langsung
oleh yang mewakilinya. Hal ini merujuk pada perbuatan Rasul bahwa tidak
dilakukan penunjukan berdasarkan perkiraan, kecukupan jumlah ataupun
kepribadian, melainkan pemilihannya didasarkan atas 2 (dua) asas, yaitu:
1.
Bahwa para wakil itu adalah para pemimpin kelompoknya dengan
memperhatikan perkiraan jumlah kecukupannya.
2.
Mereka adalah representasi dari Muhajirin dan Anshor, masing-masing
adalah separuhnya. 4
4
Ibid, h. 21.
7
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk memilih dan
menetapkan judul tentang “Kekuasaan MPR RI Dalam UUD 1945 Pasca
Reformasi (Tinjauan Hukum Ketatanegaraan Islam)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.
Berdasarkan atas latar belakang di atas, maka dianggap perlu untuk
diadakannya pembatasan masalah yang akan dianalisa dengan maksud agar
pembahasan skripsi ini akan lebih sistematis dan terarah. Untuk itu, masalah
yang akan diteliti adalah lembaga MPR sebagai perwakilan rakyat di
Indonesia, dibatasi dengan hal kekuasaan MPR mengenai tugas dan
wewenang MPR periode 1999 sampai dengan 2004, yaitu pada masa
reformasi dalam hal mengangkat dan memberhentikan presiden atau wakil
presiden, selanjutnya menetapkan dan merubah Undang-Undang Dasar 1945
beserta perubahan-perubahannya yang ditinjau dari lembaga permusyawaratan
rakyat dalam sistem pemerintahan Islam.
Untuk mempermudah dan memperjelas jawaban dari masalah pokoknya,
maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat di Era Reformasi?
2. Bagaimana kedudukan Majelis Syuradalam Hukum Ketatanegaraan Islam?
3. Bagaimana tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada
masa Reformasi ditinjau dari Hukum Ketatanegaraan Islam?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Sedangkan yang menjadi tujuan dan manfaat penelitian ini dilakukan
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana konsep lembaga negara MPR di Era
Reformasi.
2. Untuk mengetahui kedudukan Majelis Syuradalam Hukum Ketatanegaraan
Islam.
3. Untuk mengetahui tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat
pada masa Reformasi ditinjau dari Hukum Ketatanegaraan Islam.
Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah:
1. Memberikan wacana solutif dalam penanganan pengambilan keputusan
dalam pengangkatan dan pemberhentian presiden dan penetapan dan
perubahan Undang-undang Dasar 1945 sebagai basis pengetahuan Hukum
mahasiswa syari’ah dan masyarakat umum yang konsen di bidang ini.
2. Menambah khazanah intelektual bagi individu atau kelompok untuk
mendapatkan akses informasi yang komprehensif tentang pangambilan
keputusan MPR RI yang sesuai untuk kesejahteraan rakyat.
3. Penambahan literatur kepustakaan.
D. Metode Penelitian.
Untuk mengumpulkan data dalam penulisan ini, penulis menggunakan
metode sebagai berikut:
9
1. Jenis dan Sifat Data
Metode yang penulis gunakan pada dasarnya adalah metode
deskriptif, yang bertujuan menjelaskan secara sistematis fakta secara
cermat, yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu
individu, keadaan, gejala kelompok tertentu atau untuk menentukan suatu
frekuensi atau penyebaran suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat.
Dengan pengertian lain, data kualitatif yakni deskripsi berupa kata-kata,
ungkapan, norma atau aturan yang diteliti. Cara ini bertujuan untuk
mendeskripsikan Majelis Permusyawaratan yang ditinjau dari Hukum
ketatanegaraan Islam dan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang ada di
Indonesia. Sedangkan sifat dalam penelitian ini termasuk dalam penelitian
yang bersifat deskriptif analitis yakni penelitian yang menggambarkan
data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara
mendalam. Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penlitian ini
adalah jenis kualitatif yakni berupa kata-kata, norma atau aturan-aturan
dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu berupaya mengupas dan
mencermati secara ilmiah dan kualitatif mengenai kekuasan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang ditinjau dari hukum
tata Negara islam pada masa reformasi. Sedangkan sifat dan data dalam
penelitian ini untuk menggambarkan data dan informasi di lapangan
berdasarkan fakta yang diperoleh.
10
2. Teknik Pengumpulan Data
Sedangkan teknik penulisan yang digunakan dalam penyusunan
skripsi ini dengan Study Dokumentasi yaitu dengan mengumpulkan datadata dari buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini dengan meminjam
dari perpustakaan atau membeli dan mengumpulkan artikel-artikel yang
berkaitan dengan masalah kedudukan MPR tersebut di website.
Adapun bahan pustaka yang penulis gunakan meliputi:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunya
kekuatan mengikat antara lain: Undang-Undang Dasar 1945 Naskah
Asli dan Perubahannya.
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum primer seperti
buku-buku, artikel website, dan makalah-makalah yang berhubungan
dengan topik penulisan ini.
3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan
petunjuk terhadap bahan lainnya seperti kamus hukum dan kamus
bahasa.
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang dipakai dalam skiripsi ini adalah teknik analisis
kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data dan kemudian diambil
deskripsi beberapa ungkapan fenomena yang diteliti. Disini penulis
berupaya mencermat dan mengumpulkan mengenai permasalaham yang
ada.
11
Penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku “pedoman penulisan
skripsi” Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum tahun 2007.
E. Review Study Terdahulu.
Sejumlah penelitian dengan pembahasan mengenai kekuasaan MPR RI
telah banyak dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik ataupun secara
umum. Pembahasan bersumber dari buku-buku dan skripsi terdahulu , selain
itu beberapa makalah yang berkaitan dengan bahasan penelitian. Berikut ini
merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian
tersebut:
Pertama, karya Imam Al-Mawardi tentang “ Al-Ahkam As-Shulthaniyah;
Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam”. Didalam
buku tersebut berisi tentang kajian hukum tata negara dan kepemimpinan
menurut sudut pandang islam yang menitik beratkan kepada hal tentang Ahl
al-Hall wa al-aqd.
Kedua, karya Munawir Sjadzali tentang proses pengangkatan empat alKhulafa al-Rasyidin pada buku yang berjudul “ Islam dan Tata Negara:
Ajaran, Sejarah dan Pemikiran”. Yang menjelaskan proses pengangkatan
kepala negara dan metode-metodenya.
Ketiga, karya Dr. Suyuthi Pulungan, M.A. yang berjudul “ Fiqh Siyasah;
Ajaran Sejarah dan Pemikiran”. Yang didalamnya membahas tentang hukum
politik menurut Islam baik dari ajaran, sejarah dan pemikirannya.
12
Keempat, buku yang berjudul “Fiqh Politik Islam” karya Farid Abdul
Khaliq”. Yang didalamnya membahas konsep politik islam yang menyangkut
tentang prinsip-prinsip yang terdapat pada lembaga perwakilan rakyat (Ahlul
Halli Wal Aqdi) dan segala kewajiban dalam bermasyarakat dan bernegara.
Kelima, buku yang berjudul “Pokok-pokok Hukum Tata Negara
Indonesia; Pasca Reformasi” karya Prof. Dr. jimly Asshiddiqie, S. H. yang
menjelaskan tentang berbagai persoalan hukum tata negara Indonesia dengan
perspektif baru setelah reformasi.
Keenam, buku karya Drs. Muhammad Iqbal yang berjudul,” Fiqh
Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”yang membahas tentang
masalah politik dan kenegaraan dalam Islam secara komprehensif.
Ketujuh, karya Moh. Mahfud MD tentang “ Perdebatan Hukum Tata
Negara Pasca Amandemen Konstitusi”. Di dalam buku ini menjelaskan
tentang segala hal yang membahas tentang permasalahan yang terjadi pasca
amandemen Undang-undang 1945 dalam hal hukum tatanegara di Indonesia.
Kedelapan, skripsi Kholik tahun 2002 , fakultas Syariah dan Hukum
yang berjudul, “ Implementasi Syuro Pada Masa Al-Khulafaul Rasyidin dan
Relevansinya Pada Masa Kini”. Pada skripsi ini dibahas mengenai definisi
syura’, implementasi syuro pada masa Al-Khulafaul Rasyidin dan pendangan
para pemikir muslim tentang konsep syuro itu pada masa kini.
Kesembilan,skripsi yang diulis oleh Herni Lestari fakultas Syariah dan
Hukum tahun 2005, yang berjudul “Kedaulatan Rakyat Dalam Perspektif
Politik Islam dan Politik Indonesia”, didalamnya dibahas mengenai kosep
13
kedaulatan rakyat dalam politik islam dan politik Indonesia melalui analisa
komparatif, selain itu menunjukan adanya sksistensi lembaga-lembaga
perwakilan sebagai pelaksana operasional kedaulatan rakyat baik di Indonesia
maupun dalam politik pemerintahan islam.
Secara umum tinjauan review pustaka di atas telah banyak membahas
tentang konsep perwakilan dari berbagai versi dan pengembangannya. Akan
tetapi, belum terdapat suatu kajian yang membahas tentang kajian tentang
eksistensi kekuasaan MPR di Indonesia yang diterapkan pada masa reformasi
yang telah banyak berubah seiring adanya beberapa perubahan Undangundang Dasar 1945 (Amandemen UUD 1945) yang kemudian ditinjau dengan
hukum tata negara Islam.
Atas dasar itu, penulis berinisiatif untuk meninjau lebih dalam mengenai
konsep kekuasaan MPR di Indonesia pada masa reformasi dan tinjauan
Hukum Tata Negara Islamnya.
F. Sistematika Pembahasan.
Pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab yang disusun secara
sistematis, sebagai berikut:
Bab I:
Berisi pendahuluan yang terdiri dari lima pokok bahasan yaitu latar
belakang masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian dan teknik penulisan, review studi terdahulu dan
sistematika pembahasan.
14
Bab II :
Berisi tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga
negara dalam UUD 1945, yang menjelaskan tentang konsep
Lembaga negara dalam UUD 1945, konsep lembaga perwakilan di
negara modern dan fungsi dan kewenangan lembaga Majelis
Permusyawaratan Rakyat dalam UUD 1945..
Bab III:
Berisi tentang lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
dalam hukum ketatanegaraan islam yang menjelaskan kedaulatan
rakyat dalam hukum ketatanegaraan islam, konsep syura dan
demokrasi dalam hukum ketatanegaraan Islam dan Majelis
Syurasebagai lembaga perwakilan rakyat.
Bab IV:
Dalam bab ini saya membahas kekuasaan MPR RI dalam UUD
1945 pasca Reformasi ditinjau dalam hukum ketatanegaraan Islam
yang terdiri dari; konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca
Reformasi
(1999-2004),
Tugas
Permusyawaratan Rakyat di
Tata
Negara
Islam
dan
dan
wewenang
Majelis
Era Reformasi ditinjau dari Hukum
analisa
perbandingan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dengan Majelis
Syura dalam Hukum Ketatanegaraan Islam.
Bab V:
Berisi penutup terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
15
BAB II
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEBAGAI LEMBAGA
NEGARA DALAM UUD 1945
A. Konsep Lembaga Negara dalam UUD 1945.
Berbicara mengenai lembaga negara berarti berbicara mengenai alat
kelengkapan yang ada dalam sebuah negara.
Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang
berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas dan kewenangannya diatur secara
tegas dalam UUD. Secara keseluruhan UUD 1945 sebelum perubahan
mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu MPR sebagai tertinggi
negara, dan DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga tinggi
negara. Namun setelah perubahan, lembaga negara berdasarkan UUD adalah
MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, tanpa mengenal istilah lembaga
tinggi atau lembaga tertinggi negara.
Republik Indonesia merupakan salah satu negara kesatuan yang sangat
luas wilayahnya dan sangat besar jumlah penduduknya. Karena itu UUD 1945
yang sejak semula menganut prinsip ”semua harus terwakili”, melembagakan
ketiga prinsip perwakilan politik, perwakilan teritorial dan perwakilan
fungsional sekaligus dalam keanggotaan lembaga permusyawaratan rakyat di
MPR. Itu sebabnya maka pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang lama berbunyi :
” MPR terdiri dari anggota-anggota DPR, ditambah dengan itutusan-utusan
dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan
dengan undang-undang”
15
16
Ketiga metode perwakilan tersebut, yaitu perwakilan politik (political
repesentation),
perwakilan
teritorial
(teritorial
representation),
atau
perwakilan daerah (regional representation), dan perwakilan fungsional
(functional representation) sama-sama tercermin dalam keanggotaan MPR RI.
Adanya lembaga MPR yang terdiri di samping DPR, tidak menyebabkan
struktur parlemen Indonesia disebut sebagai parlemen dua kamar atau
bikameral, karena MPR sendiri tidak menjalankan fungsi legislasi dalam arti
terlibat dalam proses pembentukan undang-undang. namun dikatakan sebagai
parlemen unikameral murni juga kurang tepat karena mengingat keberadaan
MPR itu sendiri merupakan lembaga tersendiri di luar dan bahkan berada di
atas DPR, karena itu sebenarnya sistem yang dianut oleh UUD 1945 sebelum
perubahan itu dapat juga disebut sebagai ”quasi monokameral’ atau semiunikameral.
Namun, sekarang dengan Perubahan keempat (2002), Pasal 2 ayat (1)
UUD 1945 itu diubah menjadi;
” MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui
pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”
Dalam keanggotaan MPR tidak ada lagi unsur utusan golongan
fungsional.yang ada hanya keanggotaan yang mencerminkan perwakilan
politik dan perwakilan daerah daerah.
Dari segi perkembangannya, perwakilan politik itu diwujudkan dalam
keanggotaan DPR dan perwakilan teritorial atau perwakilan daerah
diwujudkan dalam keanggotaan DPD. Untuk melestarikan ide perwakilan
fungsional, perwujudannya hanya dapat dilembagakan melalui sistem
17
keanggotaan perwakilan rakyat dan DPD, misalnya, dengan memberikan jatah
tertentu, seperti kepada golongan perempuan. Ide semacam ini, dianggap
penting sebagai perlakuan khusus yang bersifat positif untuk membantu agar
kelompok tertentu dalam masyarakat yang tergolong sangat tertinggal
peranannya dalam sistem representasi politik yang bersifat formal. 5
B. Konsep Lembaga Perwakilan di Negara Modern.
Untuk membahas lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia maka harus dijelaskan bagaimana konsep lembaga perwakilan
sehingga dapat mengatasnamakan rakyat.
Lembaga perwakilan atau yang lebih sering disebut representative
institution adalah lembaga yang mewakili rakyat dalam melakukan fungsi
pengawasan dan fungsi legalisasi
Konsep lembaga perwakilan tidak terlepas dari tujuan suatu Negara,
yakni mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi warga negaranya. Menurut
ilmuwan islam Ibnu Khaldun bahwa adanya organisasi kemasyarakatan
(ijtima’I wal insani) merupakan suatu keharusan. Para filosof dan ahli hukum
telah melahirkan kenyataan ini dengan perkataan mereka “manusia adalah
bersifat politis menurut tabiatnya (al insanu madaniyyun’biath-thab’i). ini
berarti ia memerlukan suatu organisasi kemasyarakatan yang menurut para
filosof dinamakan “kota”, dan itulah yang dimaksud dengan peradaban. Jadi,
5
Jimly Asshidiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah,
(Jakarta, UI Press, 1996), h.157
18
di dalam pandangan ahli agamapun pembentukan suatu organisasi
kemasyarakatan untuk mengatur masyarakat merupakan suatu keharusan.
1. Teori Kedaulatan
Setelah adanya negara di zaman modern, maka merumuskan kembali
kedaulatan menjadi suatu yang sangat penting. Menurut Harold J. Laski
bahwa:
“the modern state is a sovereign state. It is, therefore, independent in
the face of other communities. It may infuse its will towards them with a
substance wich need not be affected by the will of any external power. It is,
moreover, internally supreme over the territory that it control”.
Terjemahan bebas: Negara modern adalah Negara yang mempunyai
kedaulatan. Hal ini untuk independent dalam menghadapi komunitas lain.
Dan akan mempengaruhi subtansi yng akan diperlukan dalam kekusaan
internal adan kekuasaan eksternal. Hal ini lebih jauh meruakan kekusaan
yang trtinggi atas wilayahnya.
Jelas disini dijelaskan bahwa kedaulatan sangatlah penting bagi
Negara yang independent atau merdeka dalam menjalankan kehendak
rakyat yang dipimpinnya. Sehingga kedaulatan merupakan hal yang
mempengaruhi seluruh kehidupan bernegara.
Adapun teori kedaulatan ada 5, yaitu:
b.
Kedaulatan Tuhan;
Kedaulatan Tuhan adalah dimana kekuasaan tertingi ada pada
Tuhan, jadi didasarkan pada agama atau kepercayaannya.
c. Kedaulatan Raja.
Kedaulatan raja adalah kekuasaan yang tertinggi ada pada raja, hal
ini dapat digabungkan dengan teori pembenaran Negara yang
menimbulkan kekuasaan mutlak pada raja/satu penguasa.
19
d.
Kedaulatan Rakyat.
Menurut teori ini rakyatlah yang berdaulat dan mewakilkan ata
menyerahkan kekuasaannya kepada Negara atau pemerintah. Apabila
pemerintah melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan kehendak
rakyat maka rakyatlah yang berhak untuk mengganti pemerintah
tersebut.
e.
Kedaulatan Negara.
Menurut teori ini, Negara dianggap mempunyai hak yang tidak
terbatas terhadap warga negaranya. Warga Negara dapat dikerahkan
untuk kepantingan Negara. Mereka harus taat kepada perauran Negara
tidak karena adanya suatu perjanjian namun karena kehendak Negara
tersebut.
e. Kedaulatan hukum.
Teori ini menunjukan kekuasaan tertinggi pada hukum yang
ditetapkan. Dalam hal ini dituntut adanya kesadaran hukum pada setiap
orang. Menurut teori ini, hukum adalah pernyataan penilaian yang ada
dari kesadaran hukum manusia. Dan hukum merupakan sumber
kedaulatan.
Setelah berkembangnya ide demokrasi yang telah dimulai sejak abad
ke 19 maka konsep pemerintahan demokrasi menjadi suatu isu global
dalam dunia sehingga mayoritas Negara menggunakan demokrasi sebagai
system politik pada Negara mereka.
20
Berpijak pada hal tersebut maka konsep lembaga perwakilan
berkembang dan terbagi dalam berbagai system.
Adapun konsep dasar dalam lembaga perwakilan atau parlemen
adalah system demokrasi perwakilan dimana kedaulatan rakyat yang
tercantum dalam undang-undang dasar, kemudian dipecah menjadi
beberapa kekuasaan yang ada dan yang dipakai dalam teori kedaulatan
adalah kekuasaan di bidang pengawasan dan pembuatan undang-undang.
2. Sistem Lembaga Perwakilan Rakyat.
Lembaga perwakilan atau yang lebih dikenal sebagai parlemen
dibagi ke dalam berbagai sistem yaitu:
a. Sistem Satu Kamar;
Sistem satu kamar adalah sistem parlemen yang berdasar pada
satu lembaga legislatif tertinggi dalam struktur Negara. Lembaga ini
menjalankan fungsi legislatif dan pengawasan terhadap pemerintah
dan juga membuat undang-undang.
Isi aturan mengenai fungsi dan tugas parlemen unicameral ini
beragam dan bervariasi dari suatu negara ke negara lain, akan tetapi
pada pokoknya serupa secara kelambagaan fungsi legislatif tertinggi
diletakkan sebagai tanggung jawab satu badan tertinggi yang dipilih
oleh rakyat.
b. Sistem dua kamar;
Adapun sistem dua kamar adalah system yang sistem
parlemennya terbagi atas dua lembaga legislatif dalam suatu struktur
21
negara dan dalam menjalankan tugasnya kedua lembaga ini
mempunyai tugas-tugas tertentu.
Pada prinsipnya kedua kamar majelis dalam sistem bicameral ini
memiliki kedudukan yang sederajat. Satu sama lain tidak saling
membawahi baik secara politik maupun secara legislatif. Segala
keputusan tidak dapat ditetapkan tanpa persetujuan bersama.
c. Sistem tiga kamar (tricameral);
Sistem tiga kamar adalah siitem yang sistem parlemennya tebagi
atas tiga lembaga legislatif atau lembaga perwakilan dalam suatu
struktur negara.
Konsep lembaga perwakilan di Indonesia jika dipecah-pecah akan
terbagi kedalam beberapa periodesasi menurut Undang-Undang Dasar yang
dipakai dalam Negara Indonesia ,yaitu: 6
1. UUD 1945, yang berlaku pada tahun 1945 sampai dengan tahun 1949.
2. Konstitusi RIS 1949, yang berlaku antara tahun 1949 sampai dengan
tahun 1950.
3. UUDS 1950, yang berlaku pada tahun 1950 sampai dengan 1959.
4. kembali ke UUD 1945, yang berlaku sejak dekrit presiden pada tahun
1959 sampai dengan sekarang.
Perkembangan konsep lembaga perwakilan di Indonesia dimulai sejak
tahun 1945. tidak ada ketentuan secara tegas bahwa MPR termasuk lembaga
perwakilan atau tidak.
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori Hukum Dan Konstitusi, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1999), h.75.
6
22
Secara filosofis MPR merupakan perwujudan seluruh rakyat di
Indonesia, dan MPR secara yuridis menurut pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang
berbunyi; ”kedaulatan ada di tangan rakyat dan menjalankan secara
sepenuhnya oleh MPR”, berarti yang merupakan penjelmaan rakyat di
Indonesia adalah MPR, sehingga lembaga MPR termasuk ke dalam penjelmaan
perwakilan rakyat sepenuhnya dan mempunyai kekuasaan di segala fungsi.
Jika dilihat dari penjelasan di atas MPR memiliki dua macam fungsi,
yaitu:
1. Fungsi Legislatif, yang lahir dari kekuasaan-kekuasaan menetapkan
Undang-undang Dasar, mengubah Undang-undang dasar dan kekuasaan
menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
2. Fungsi non Legislatif, yang lahir melalui kekuasaaan memilih dan
mengangkat presiden dan wakil presiden.
Untuk menjamin agar majelis ini benar-benar menjadi penjelmaan seluruh
rakyat. Maka ditentukan bahwa keanggotaannya meliputi:
1.
Seluruh wakil rakyat yang terpilih melalui DPR.
2.
Utusan Golongan yang ada dalam masyarakat menurut ketentuan
peundang-undangan yang berlaku.
3.
Utusan daerah seluruh Indonesia menurut ketentuan perundang-undangan
yang berlaku. 7
Sebelum dilakukan perubahan UUD 1945 maka MPR mempunyai
kewenangan menjalankan kedaulatan rakyat yang penuh. Tidak ada suatu
Jimly Asshidiqie, Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam Sejarah,
(Jakarta, UI Press, 1996), h.50
7
23
lembaga negarapun di Indonesia yang diberikan kewenangan sebesar ini
sehingga MPR menjadi lembaga yang sangat kuat.
Konsep lembaga MPR sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945
harus dilihat dari apa yang diinginkan oleh para pendiri bangsa ini yang
merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 (Founding Fathers). Sebelum
Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 telah ada lembaga yang
dibentuk oleh Jepang yaitu BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) dan merupakan badan yang menyelidiki usaha
persiapan kemerdekaan di Indonesia. Walaupun pada akhirnya BPUPKI
merumuskan Undang-Undang Dasar.
Konstitusi atau Undang-undang Dasar adalah hukum tertinggi dan
tertulis yang mengatur tentang mekanisme penyelenggaraan negara, sebagai
kumpulan aturan pembagian kekuasaan negara dan membatasi kekuasaan
pemerintah sehingga tidak sewenang-wenang.
Merumuskan rancangan konstitusi tentu merupakan pekerjaan asing bagi
mereka. Sulit mencari untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali diantara
mereka yang berpengalaman dalam merancang suatu sistem kekuasaan negara,
susunan badan-badan negara, dasar ideologi negara, hak asasi manusia
sebagaimana umumnya sebuah konstitusi. Dengan demikian, mudah diduga
para anggota BPUPKI akan terinspirasi, terpengaruh atau bahkan mengadopsi
langsung gagasan atau praktek bernegara yang pernah atau sedang berlaku dari
bangsa lain yang dirumuskan dalam konstitusinya dan tujuan legal dari
konstitusi bukan hanya suatu pemerintahan perwakilan yang terbatas tetapi
24
juga yang bersifat umum dengan pelaksanaan pengadilan kebebasan individu,
seperti apa yang kita sebut pemerintahan berdasarkan hukum (hal ini
diungkapkan oleh Montesquieu ) dan
para founding fathers kemudian
membuat beberapa lembaga negara yang fungsinya mengawasi lembaga negara
yang lain.
Konsep perwakilan di Indonesia sulit untuk dikategorikan sistem
perwakilan satu kamar, dua kamar ataupun tiga kamar. Apabila dicari
kemiripannya maka akan mirip dengan sistem parlemen satu kamar. Walaupun
demikian lembaga perwakilan di Indonesia haruslah dilihat sebagai suatu hal
yang khas dari sistem ketatanegaraan di Indonesia. Menurut Profesor Jimly
Asshiddiqie bahwa kategori sistem parlemen di Indonesia adalah sistem
campuran.
Kesulitan untuk mengkategorikan hal ini mungkin karena Indonesia
adalah negara yang baru ada dan konsep lembaga negara Indonesia
berdasarkan keinginan founding fathers untuk membuat hal yang berbeda
dalam struktur lembaga negara. Walaupun para pembuat Undang-undang
Dasarnya belajar ke negara lain sehingga akan ada proses peniruan dengan
negara lain.
Setelah dilakukan Perubahan Undang-undang Dasar 1945. Konsep MPR
sebagai pemegang kedaulatan rakyat yang merupakan kekuasaan tertinggi
dalam negara dihapus dengan Perubahan ke 4 Undang-Undang Dasar. MPR
tidak lagi memegang kekuasaan tertinggi dalam sistem ketatanegaraan di
Indonesia. MPR tetap tidak bisa dikategorikan sebagai lembaga legislatif
25
karena MPR tidak membuat peraturan perundang-undangan. Tetapi MPR
masih bisa dikategorikan sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Karena susunan anggota MPR yang ada dalam Undang- Undang Dasar
1945 menurut pasal 2 UUD 1945 setelah Perubahan Keempat adalah:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui
pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. 8
Jika dilihat dari komposisi anggota MPR maka MPR dapat digolongkan
sebagai lembaga parlemen dan masih ada kewenangan membuat Undangundang Dasar, memberhentikan presiden, maka MPR dianggap institusi
demokrasi perwakilan.
Representasi kepentingan rakyat secara nasional dalam lembaga DPR
yang dipilih melalui partai politik dalam pemilihan umum. Hal ini merupakan
suatu tuntutan negara demokratis.
Representasi Dewan Perwakilan Daerah sebagai suatu lembaga
perwakilan rakyat didaerah dipahami diantaranya karena:
1.
Secara sosiologis ikatan masyarakat dengan propinsi jauh lebih kuat
dibandingkan kabupaten.
2.
Secara teknis pelaksanaan juga jauh lebih mudah karena sudah ada
pembagian wilayah administratif yang jelas.
3.
Pemilihan berbasis propinsi lebih representatif mewakili semua daerah
dibandingkan dengan basis kabupaten, mengingat jumlah kabupaten yang
ada di pulau jawa tidak seimbang dengan daerah diluar pulau jawa.
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,
(Jakarta: UI, PSHTN, 2007), h.3
8
26
Jika demikian maka sistem parlemen di Indonesia adalah
sistem
trikameral. Hal ini diungkapkan oleh Prof.Jimly Asshiddiqie pada seminar
yang dilaksanakan di Bali 9 . Dengan alasan bahwa unsur keanggotaan MPR
yang berubah, kewenangan tertinggi yang dicabut, diadopsinya prinsip
pemisahan kekuasaan, diadopsinya pemilihan presiden dan wakil presiden
secara langsung.
C. Tugas dan Kewenangan Lembaga MPR dalam UUD 1945.
Dalam
menjelaskan
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
Republik
Indonesia haruslah dilihat tugas dan wewenang yang tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga pembahasan akan lebih tajam dan
mengkerucut, dan fungsi dan wewenang ini akan dibagi kedalam dua periode
Undang-Undang Dasar 1945. Periode tersebut adalah
sebelum perubahan
Undang-Undang Dasar dan setelah Perubahan Undang-Undang Dasar.
1. Tugas dan Wewenang MPR RI Sebelum Perubahan UUD 1945
MPR sebagai suatu lembaga negara merupakan badan yang
merupakan pelaksana kedaulatan rakyat di Republik Indonesia sebelum
diadakan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Setelah diadakan
perubahan maka terjadilah perubahan pada Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia. MPR sebagai lembaga penjelamaan seluruh
rakyat Indonesia, dan lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara
yang sama kedudukannya dengan negara lain.
Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat
UUD 1945, disampaikan dalam Seminar yang dilakukan oleh BPHN dan DEPKEH dan HAM RI,
Juli, 2003, h.8-9
9
27
Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tugas dan
wewenang MPR dicantumkan dalam UUD 1945 dan juga TAP MPR.
Sedangkan setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 maka tidak ada
lagi pengaturan tugas dan wewenang yang diatur dalam Ketetapan MPR.
Setelah satu tahun berjalan disahkanlah undang-undang tentang susunan
dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD baru dijelaskan tugas dan
wewenang MPR.
Adapun
Fungsi
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
sebelum
Perubahan UUD 1945 ada didalam pasal 3 dan pasal 6 UUD 1945 serta
pasal 3 Ketetapan MPR No. 1/MPR/ 1983, dan dinyatakan sebagai berikut:
1.
menetapkan Undang Undang Dasar
2.
menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
3.
memilih (dan mengangkat) presiden dan wakil Presiden. 10
Dalam tugas MPR ini dapat dipelajari bahwa tugas MPR sebagai
suatu lembaga negara meliputi tiga. Tugas ini tercantum dalam UndangUndang Dasar 1945.
Sebagai lembaga pemegang kedaulatan Rakyat
dalam UUD 1945 maka MPR mempunyai tugas yang besar yaitu membuat
Undang-Undang Dasar. Dan tugas inilah yang pada masa sebelum
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 belum pernah dilaksanakan oleh
Majelis Permusyawatan Rakyat.
Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, (Bandung;
PT. Citra Aditya Bakti), h.84
10
28
Sedangkan wewenang MPR menurut Prof Sri Soemantri bahwa jika
diteliti dalam UUD 1945 maka Undang Undang Dasar 1945 hanya
mengatur satu wewenang saja, yaitu dalam pasal 37. Dan setelah adanya
ketetapan MPR No. 1/MPR/1983 dapat kita lihat bahwa wewenang MPR
tidak hanya itu saja. Dalam pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat MPR No 1/MPR/1983 kewenangan MPR ada sembilan, yaitu 11 :
1. Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga
negara yang lain, termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan
Negara yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris.
2. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusanputusan Majelis.
3. Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden Wakil
Presiden.
4. Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai
pelaksanaan
Garis-Garis
Besar
Haluan
Negara
dan
menilai
pertanggungjawaban tersebut.
5. Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dan memberhentikan
Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden/mandataris sungguhsungguh melanggar Haluan Negara dan/atau Undang-Undang Dasar.
6. Mengubah undang-Undang Dasar.
7. Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis.
8. Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota.
11
Ibid, h. 95
29
9. Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang melanggar
sumpah/janji anggota.
Ada satu kewenangan yang sudah dicantumkan dalam UndangUndang Dasar 1945 akan tetapi lebih sering disebut dengan kekuasaan
atau kedaulatan. Dalam pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa ”Kedaulatan
adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat” 12 . Kekuasaan dalam bahasa Inggris disebut
Power merupakan Great Authority,
atau dapat diartikan sebagai
kewenangan yang sangat besar/terbesar. Hal ini dapat dilihat dalam
beberapa Undang-Undang Dasar di negara lain seperti Cina, Venezuela
dan Amerika Serikat yang menggunakan kata power sebagai kewenangan
lembaga negaranya.
2. Tugas Dan Wewenang MPR Yang Diatur Dalam UUD Sesudah Perubahan
UUD1945.
Tugas dan wewenang Majelis Permusyaratan Rakyat tidaklah banyak
berkurang setelah perubahan UUD, akan tetapi dampaknya sangat besar
terhadap lembaga MPR. Karena
Majelis Permusyawaratan Rakyat
kedudukannya sama dengan dengan lembaga negara yang lain 13 .
Hal yang sangat mendasar adalah dicabutnya kewenangan MPR
dalam hal melaksanakan kedaulatan rakyat dan dicabutnya tugas untuk
12
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945
13
Risalah Sidang MPR RI pada tahun 2001.
30
memilih
Presiden
dan
Wakil
Presiden.
Sehingga
Majelis
Permusyawaratan Rakyat tidaklah lagi menjadi lembaga tertinggi negara.
Dalam Perubahan UUD 1945, tugas dan wewenang Majelis
Permusyawaratan Rakyat berubah. Dengan berubahnya konsep lembaga
Majelis Permusyawaratan Rakyat maka berubah pula beberapa tugas dan
wewenangnya. Tugas MPR setelah Amandemen UUD 1945 adalah
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/ atau Wakil
Presiden (Pasal 3 ayat 2 Perubahan III UUD 1945), yakni tugas
Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal ini adalah tugas formal
atau upacara yang harus dilakukan jika telah dipilih Presiden dan
Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum. Tugas MPR ini merupakan
konsekuensi dari Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang
mewajibkan Pemilihan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung oleh rakyat. Melantik bukanlah wewenang dari MPR
karena jika telah dipilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan
Umum, maka kewajiban dari MPR adalah melantik Presiden dan
Wakil Presiden RI. Seharusnya dijelaskan secara tegas mengenai
kewajiban ini sehingga tidak menimbulkan beberapa interprestasi yang
menyimpang seperti jika Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak mau
melantik Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih dalam pemilihan
langsung oleh rakyat maka konsekuensinya bagaimana, apakah sah
atau tidak Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan jika tidak ada yang
mengesahkan maka Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan cacat
31
hukum karena belum dilantik oleh lembaga yang berwenang yang
diberi
kekuasaan
untuk
melantik.
Dan
apakah
Majelis
Permusyawaratan Rakyat melanggar Undang-Undang Dasar jika tidak
mau melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
2. Melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 (pasal I Aturan Tambahan
Perubahan ke IV UUD 1945), yakni tugas MPR melakukan peninjauan
materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan MPR merupakan tugas
sementara yang dibebankan kepada MPR oleh Undang-Undang Dasar.
Pasal I Aturan Tambahan menyatakan bahwa MPR harus “melakukan
peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan
rakyat
Sementara
dan
Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 14 ”. Sementara disini terletak
pada
kalimat
akan
diambil
putusan
pada
sidang
Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 2003, jika telah diambil putusannya
maka tugas ini berakhir dengan sendirinya.
Dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 maka dapat
disimpulkan tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak dijelaskan
secara
14
jelas. Apakah ketentuan tersebut tugas atau bukan tapi secara
Indonesia, Perubahan Keempat UUD 1945
32
definitif, tugas adalah kewajiban atau sesuatu yang wajib dikerjakan atau
ditentukan untuk dilakukan.
Sedangkan wewenang Presiden RI dalam UUD 1945 maka bisa
disimpulkan sebagai berikut:
1. Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
berwenang
mengubah
dan
menetapkan Undang-Undang Dasar 1945. (Pasal 3 ayat 1 Perubahan
Ke III UUD 1945.
2. Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan
Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut
UUD (Pasal 3 ayat 3 Perubahan ke III UUD 1945).
3. Memilih Presiden atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya
Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya. ( Pasal 8 ayat
3 Perubahan Keempat). 15
Secara kedudukan maka MPR telah sama dengan lembaga negara
yang lain. Tidak ada lagi lembaga tertinggi Negara dan lembaga tinggi
Negara. Sehingga dalam sistem Ketatanegaraan tidak ada lagi lembaga
Negara yang lebih tinggi dari yang lain.
Menurut
Dr.
Maria
Farida,
semua
lembaga
negara
yang
mengeluarkan produk peraturan perundang-undangan maka kedudukannya
lebih tinggi dari yang lain. Dan Majelis Permusyawaratan Rakyat
merupakan lembaga Negara yang mengeluarkan peraturan yang lebih
Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat
UUD Tahun 1945, disampaikan dalam Simposium Nasional yang diadakan oleh BPHN dan
DEPKEH HAM , (Bali, Juli 2003), h.9
15
33
tinggi. Sehingga Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga Negara
yang lebih tinggi dari lembaga Negara yang lain.
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
Republik
Indonesia
tetap
mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu
Undang-Undang Dasar. Hal ini berarti secara Ilmu Perundang-undangan
lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat lebih tinggi dari lembaga
Negara yang lain.
34
BAB III
LEMBAGA PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HUKUM
KETATANEGARAAN ISLAM
A. Kedaulatan Rakyat Dalam Hukum Tata Negara Islam
Istilah ‘kedaulatan’ dalam Islam merujuk kepada kata “daulah” yang
berasal dari kata dasar dāla-yadūlu-daulah yang bersifat bergilir, beredar dan
berputar. 16 Kelompok sosial yang menetap pada suatu wilayah tertentu dan
diorganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan
kemaslahatan mereka. Kadang-kadang muncul kata “riyāsah” dipakai juga
untuk istilah negara, tetapi kata ini (riyāsah) hanyalah turunan dari kata
“rā`is”, yang berarti ‘kepala suku’. 17 Daulah dapat diartikan negara,
pemerintahan, kerajaan, atau dinasti.
Dalam Al-qur’an terdapat dua ayat yang menggunakan kata “daulah”,
misalnya dalam makna ‘pergantian’ atau giliran yang terjadi dalam kehidupan
manusia. 18 Kata ini tercantum dalam surah Ali Imran [3] ayat 140 yang
berbunyi:
H. A. Hafidz Dasuki, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997), jilid. I, h. 262.
17
Qamaruddin Khan, Tentang Teori Politik Islam, alih bahasa: Taufik Adnan Amal,
(Bandung: Mizan, 1987), h. 6.
18
Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, alih bahasa : Ihsan Ali Fauzi, (Jakarta:
Gramedia, 1994), h. 49-50.
16
35
…
Artinya:
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara
manusia (agar mereka mendapat pelajaran)…” (QS. Ali Imran/3 : 140)
Sedangkan dalam bentuk “daulatan”, kata ini muncul dalam Al-qur’an
(QS. Al-Hasyr [59]: 7) dengan pengertian beredar, sesuatu yang digunakan
secara bersama, pemilikan atas sesuatu yang penggunaannya dilakukan secara
bergilir antar beberapa orang. 19 Sebagaimana yang dijelaskan:
34
☺
☺
…
Artinya:
“Apa saja harta rampasan fa’i yang diberikan Allah kepada Rasulnya
(yang berasal) dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul,
kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan untuk orangorang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara
orang-orang kaya saja di antara kamu ” (QS. Al-Hasyr/59: 7)
Istilah daulah dalam ayat di atas dipakai secara figuratif untuk
melukiskan peredaran dan pergantian tangan dari kekayaan. Namun istilah
tersebut kemudian berkembang untuk menyatakan kekuasaan politik karena
kekuasaan politik selalu berpindah tangan. Maka apa yang dikatakan Ibnu alMuqaffa’ (w. 140 H / 757 M), “al-dunya’ duwal”, adalah bahwa dunia ini
19
Ibid.,
36
penuh dengan pasang-naik dan pasang surut yang menimpa nasib seseorang. 20
Hal tersebut diungkapkannya melalui sebuah tulisan yang berisi nasihat
kepada khalifah, agar mensistematisir hukum dan melakukan ijtihadnya
sendiri dengan Al-qur’an dan Sunnah. Ibnu al-Muqaffa’ barangkali adalah
orang pertama yang mendukung legislasi oleh negara. 21
Berdasarkan ayat di atas, kata daulah bergeser dan digunakan sebagai
istilah politik setelah difiguratifkan untuk menandai kekuasaan negara. Selain
itu, hal ini juga dilandasi paradigma pemikiran ulama fiqh siyasah yang
merumuskan pembidangan siyasah menjadi empat, yaitu: (1) fiqh siyasah
dusturiyah, yang mencakup pembahasan masalah-masalah imamah, hak dan
kewajibannya, rakyat status dan hak-haknya, bai’at, waliyul ahdi, perwakilan,
ahl al-hal wa al-‘aqd, dan wazarah; (2) fiqh siyasah maliyah, yang meliputi
pembahasan sumber-sumber perbendaharaan negara, pajak, baitul mal, serta
fungsinya; (3) fiqh siyasah dauliyah, meliputi persoalan internasional,
teritorial, nasionalisme dalam fiqh Islam, pembagian dunia menurut hukum
fiqh Islam, dst; (4) fiqh siyasah harbiyah, yang mencakup bahasan tentang
peperangan dalam Islam, tawanan perang, harta rampasan perang, dan
perdamaian. 22
Pembidangan fiqh siyasah maliyah memperlihatkan adanya hubungan
antara politik dan ekonomi. Sebagaimana diketahui bahwa politik selalu
menandai kewenangan yang dimiliki oleh negara. Negara dituntut untuk
20
21
Ibid.,
Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1994),
h.149
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999), Cet. Ke-IV, h. 40-41
22
37
memenuhi segala kebutuhan dan mensejahterakan rakyat. Pemerintah dengan
segala kewenangannya bertugas mengatur pemasukan dan pengeluaran negara
serta distribusi keuangan untuk rakyat. Kiranya, pembidangan fiqh siyasah
maliyah inilah yang menjadi tolak ukur pergeseran makna.
Karena kata ‘daulah’ tidak memiliki pengertian yang seragam dalam
konteks kebahasaannya, maka Dien Syamsuddin keberatan memberikan
makna kepada kata daulah sebagai “negara” atau “kedaulatan”. Dien
menegaskan:
“Apakah konsep ‘daulah’ sebagai negara mempunyai landasan teologis
dalam Al-qur’an? Al-qur’an menyebut kata ‘daulah’ (tepatnya ‘dulah’) dan
bentuk kata kerjanya ‘nudawilu’ sebanyak dua kali, yaitu masing-masing di
QS. Al-Hasyr/59: 7 dan QS. Ali Imran/3: 140. Baik pada ayat pertama
maupun ayat kedua, kedua kata yang berhubungan dengan kata daulah
menunjukkan arti ‘peredaran’ atau ‘giliran’. Oleh karena itu sulit untuk
menghubungkan kedua kata itu dengan konsepsi tentang negara atau
pemerintahan. Karenanya, jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah negatif:
tidak terdapat dalam Al-qur’an rujukan dan sandaran jelas untuk kata daulah
dalam pengertian ‘negara’ atau ‘pemerintahan’”. 23
Adapun kata daulah dalam arti dinasti belum dipergunakan pada praIslam, karena tidak ditemukan adanya indikasi penggunaan kata tersebut.
Sedangkan istilah kesukuan “al-banu” terus digunakan dalam Islam. Pada
masa Abbasiyah, kata daulah diartikan dengan kemenangan, giliran untuk
meneruskan kekuasaan, dan dinasti. 24
Berdasarkan uraian di atas mungkin dapat menjelaskan bahwa kata
daulah tidak memiliki akar teologis dalam Al-qur’an dan konsep daulah untuk
menunjukkan pengertian negara, pemerintahan dan dinasti tidaklah secara
M. Dien Syamsuddin, “Sistem Kenegaraan Modern Republik dan Kekhilafahan
Islam Klasik”, Makalah pada KKA Paramadina, dipresentasikan pada 16 Desember 1997.
24
Hafidz Dasuki, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), jilid. I, h. 262
23
38
serta merta lahir, tapi mengalami transformasi konseptual yang panjang dalam
sejarah.
Kedaulatan selalu menandai otoritas atau pemerintahan tertinggi
berdasarkan hukum. Kedaulatan telah didefinisikan sebagai “kekuasaan
tertinggi di mana rakyat diperintah dan bahwa seseorang atau sekelompok
orang dalam suatu negara, secara politik tidak ada yang lebih tinggi.
Di kalangan para sarjana muslim terjadi perkembangan penafsiran
mengenai konsep kekuasaan ini. Pendapat pertama melihat kedaulatan dengan
penekanan pada konsep kekuasaan hukum. Sedang pendapat kedua cenderung
pada konsep Islam mengenai divine democracy (demokrasi suci). Karena itu,
Tahir Azhari, misalnya, mengatakan bahwa predikat yang tepat untuk negara
dalam Islam ialah “nomokrasi Islam”. 25 Abdul A’la Maududi menggunakan
istilah divine democracy atau theo-democracy untuk menyebut negara dalam
Islam. 26
Dalam QS. Al-Hadid [57] : 5, Allah Swt. berfirman:
☺
Artinya:
“Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi, dan hanya kepada Allah
segala urusan dikembalikan”. (QS. Al-Hadid/ 57:5)
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945: Kajian Perbandingan tentang
Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995), Cet. ke-1,
h.93
26
Abdul A’la Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (terj.), (Bandung:
Mizan, 1998), Cet.ke-4, h. 160.
25
39
Menurut Isma’il Sunny, kedaulatan yang hakiki berada pada Tuhan,
sementara otomatis rakyat adalah kepercayaan suci yang harus berada dalam
batas-batas kehendak Tuhan. Menurutnya, kedaulatan rakyat pada dasarnya
merupakan penerapan kedaulatan Tuhan oleh semua rakyat atas hamba-Nya,
dimana implementasi aturan-aturan Tuhan dalam kehidupan sosial dan politik
diimplementasikan oleh rakyat melalui para wakil mereka. 27
Adapun pembatasan kedaulatan rakyat dalam Islam adalah memandang
bahwa kedaulatan rakyat sebagai sesuatu yang mutlak, karena Islam adalah
paradigma moral bagi sistem demokrasi masyarakat muslim. Oleh karenanya,
demokrasi harus dilaksanakan dalam kerangka paradigma moral ini. Segala
sesuatu yang dianggap benar oleh manusia adalah belum tentu benar di mata
Allah. 28
Dalam konteks kenegaraan, pelaksanaan kedaulatan Tuhan terwujudkan
dalam bentuk pendelegasian wewenang dan kekuasaan dari Tuhan kepada
hambanya yang terpilih menjadi pemimpin. Manusia secara umum telah
diangkat sebagai khalifah di muka bumi yang berkewajiban mengatur bumi
berdasarkan ketentuan-ketentuan syar’i. Sebagaimana firman Allah dalam
penggalan surat Al-qur’an surat Al-Baqarah [2]:ayat 30 yang berbunyi:
⌧
…
Artinya:
“...Sesungguhnya Aku (Allah) akan menjadikan seseorang Khalifah di
muka bumi...” (QS. Al-Baqarah/2 : 30)
27
Isma’il Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), Cet.
Ke-6, h.7.
Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual
Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999),
Cet. Ke-1, h. 86.
28
40
Ayat tersebut menginformasikan tentang unsur-unsur kekhalifahan
sekaligus kewajiban sang khalifah. Unsur-unsur tersebut adalah (1) bumi atau
wilayah; (2) khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris); (3)
hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah dan hubungannya dengan
pemberi kekuasaan (Allah Swt). 29
Adapun hubungan antara penguasa dan rakyat dalam Islam adalah
adanya pelimpahan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada khalifah,
yang berhubungan erat dengan legitimasi kekuasaan negara. Memang benar,
kedaulatan pembuat hukum hanya milik Allah semata, tetapi bukan berarti
Allah-lah yang mengangkat para ulama dan penguasa, lalu mereka bisa
berkuasa atas nama Tuhan. Tapi yang dimaksudkan adalah dalam penetapan
hukum semata. Sedangkan sandaran kekuasaan secara pemerintahan tetapi
kembali kepada rakyat atau umat. Perlu digaris bawahi bahwa kedaulatan
rakyat dalam Islam berbeda dengan konsep rakyat yang melahirkan sistem
yang absolut.
Bagaimanapun juga dalam Islam, seluruh kekuasaan dan otoritas adalah
milik Tuhan. Dan manusia hanya dianugerahi kekuasaan yang menjadi suatu
kepercayaan. Setiap orang yang menerima kekuasaan harus tunduk kepada
sang pemberi kekuasaan. Jadi, ketika kita berbicara tentang kedaulatan rakyat
dalam Islam berkaitan erat dengan kedaulatan Tuhan, karena merupakan
bagian integral. Kedaulatan rakyat tidak akan terwujud tanpa membatasi
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. Ke-5. h. 424.
29
41
kekuasaan negara dengan undang-undang (konstitusi) dan konstitusi tertinggi
berada di tangan Allah.
B. Konsep Syura dan Demokrasi Dalam Hukum Tata Negara Islam
Istilah ‘syūrā’ berasal dari kata kerja syāwara-yusyāwiru yang berarti
menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Bentukbentuk lain yang berasal dari kata kerja syāwara adalah asyūra (memberi
isyarat), tasyāwara (berunding, saling bertukar pendapat, musyawarah),
syāwir (meminta pendapat dan musyawarah), dan mustasyir (meminta
pendapat orang lain). 30 Kemudian kata syūrā ini diserap ke dalam bahasa
Indonesia menjadi kata musyawarah atau musyawarat yang secara semantis
bermakna menyimpulkan pendapat berdasarkan pandangan antar kelompok. 31
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata musyawarah hanya diartikan
dengan perundingan atau perembukan. 32
Dalam surat Ali Imran [3];ayat 159:
☺
☺
⌧
⌧
⌧
⌧
☺
Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994),
Cet. Ke-3, Jilid V, h. 18
31
Hafidz Dasuki, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), jilid. I, h. 1263.
32
JS. Badudu dan Sutan M. Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1996), h. 925.
30
42
Artinya:
“Maka berkat rahmat Allah, engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah
mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah
dengan mereka urusan itu. Kemudian apabila engkau membulatkan tekad,
maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah maha mencintai orang
yang bertawakkal” (QS. Ali Imran/3: 159)
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Tabari menafsirkan bahwa
sesungguhnya Allah Swt. menyuruh Nabi Saw. untuk bermusyawarah dengan
umatnya tentang urusan yang akan dijalankan supaya mereka tahu hakikat
urusan tersebut dan agar mereka mengikuti letaknya. Namun kewajiban untuk
melaksanakan musyawarah bukan hanya dibebankan kepada Nabi saja,
melainkan juga kepada tiap orang mukmin, sekalipun perintah ayat tersebut
ditujukan kepada Nabi Saw. Artinya, perintah yang terkandung dalam ayat
tersebut juga berlaku umum. 33
Sebenarnya praktek musyawarah dalam pengambilan keputusan telah
dikenal dan membudaya di masyarakat Arab sebelum kenabian Muhammad
Saw, dalam menghadapi setiap persoalan yang menyangkut orang banyak,
mereka biasanya menghimpun para pemuka kabilah untuk bermusyawarah
bagi penyelesaiannya. Praktek musyawarah ini terus dilestarikan dan
dikembangkan oleh Islam dan dilaksanakan baik oleh Nabi Saw maupun para
sahabatnya. 34 Namun, banyak kalangan di antaranya Munawir Syadzali
mengungkapkan bahwa pengalaman empirik demokrasi dalam Islam sangatlah
Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994),
Cet. Ke-3, Jilid V, h. 18
34
Ibid
33
43
terbatas, baik itu ketika masa pemerintahan Nabi Saw ataupun masa
pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidin. 35 Lalu bagaimanakah Nabi Saw
mempraktekkan demokrasi atau musyawarah (istilah dasar ketika itu lepas dari
kontroversi setuju atau tidak) dalam menjalankan roda pemerintahannya?
Sebagaimana diketahui bahwa Nabi Saw dalam memutuskan perkara
selalu berpedoman pada wahyu Allah Swt (Al-qur’an), tetapi sering pula
mendapatkan perkara-perkara yang belum ada petunjuknya dalam Al-qur’an,
sehingga beliau mengajak sahabat-sahabatnya untuk bermusyawarah. Dalam
hal ini Thaha Husein mengungkapkan sebagai berikut:
“Adapun bila beliau (Nabi Swt) bermusyawarah dengan mereka (para
sahabat) dalam suatu perkara yang tidak disebutkan dalam Al-qur’an dan Nabi
sendiri tidak dapat peintah langsung dari atas (Allah Swt), maka hak para
sahabat untuk memberikan pendapat dan mengajukan usul di luar hal yang
Nabi sendiri telah pasti akan melakukannya. Contohnya adalah ketika Nabi
menempatkan (pasukan) sahabat pada suatu posisi pada saat terjadi perang
Badar, kemudian al-Hubab Ibn al-Mundzir ibn al-Jamuh (seorang sahabat)
bertanya: ‘Apakah ini perintah yang diturunkan oleh Allah Swt kepada
Engkau atau pendapat dan musyawarah?’ Nabi menjawab: ‘Ini hanyalah
pendapat dan musyawarah’. Maka dia (al-Hubab) menyarankan kepada Nabi
Saw posisi lain yang lebih cocok untuk kaum muslimin dan Nabi pun
menerima saran itu.” 36
Sejarah
lainnya
yang
membuktikan
bahwa
beliau
seringkali
bermusyawarah dalam suatu urusan dan memiliki makna yang sangat
signifikan adalah dalam menggagas Piagam Madinah. Piagam ini merupakan
perjanjian antara Nabi Saw, sebagai pemimpin umat Islam dengan masyarakat
Madinah yang nota bene multi etnis dan agama. Mereka sepakat untuk
Affan Gaffar, “Islam dan Demokrasi: Pengalaman Empirik yang Terbatas”, dalam
Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Munawir Syadzali, (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet. Ke1, h. 351.
36
Ibid., h. 352
35
44
menjunjung tinggi musyawarah dalam artian menyelesaikan segala urusan di
antara mereka dengan bermusyawarah.
Begitu pula dengan masalah tawanan perang setelah terjadinya perang
Badar, Nabi Saw juga bermusyawarah dengan para sahabat. Dalam
musyawarah ini muncul dua pendapat yang saling bertentangan. Abu Bakar
berpendapat agar Nabi mengambil tebusan tunai dari mereka lalu
melepaskannya. Sedangkan Umar ibn al-Khattab berpendapat agar semua
tawanan dibunuh walau ada tali persaudaraan di antara mereka dengan para
sahabat Nabi. Nabi pun memberi kebebasan kepada para sahabat untuk
memilih salah satu di antara kedua pendapat di atas. Akhirnya, kaum
muslimin lebih memilih pendapat Abu Bakar dibandingkan pendapat Umar. 37
Beberapa contoh musyawarah tersebut tampak membuktikan bahwa
Nabi Saw selalu mengajak para sahabat bermusyawarah untuk menyelesaikan
masalah-masalah sosial politik yang dihadapi dan beliau mentolerir adanya
perbedaan pendapat di antara mereka. Namun demikian, keputusan harus ada
yang menjadi kesepakatan bersama. Sedangkan mekanisme pengambilan
keputusan terkadang beliau mengikuti pendapat minoritas seperti dalam
bermusyawarah sebelum menghadapi perang Badar. Terkadang beliau juga
mengambil keputusan menurut pendapat beliau sendiri tanpa menggubris
pendapat para sahabatnya. Seperti dalam perjanjian Hudaibiyah, beliau tetap
pada keputusannya.
J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999), h. 91-92.
37
45
Dengan demikian praktek musyawarah Nabi Saw, tidak memiliki bentuk
dan sistem serta mekanisme pengambilan keputusan tertentu. Kenyataan ini
mengandung arti baik Al-qur’an maupun Sunnah Nabi Saw memberikan
kebebasan kepada umat Islam untuk menentukan bentuk dan sistem
musyawarah serta mekanismenya sesuai dengan tuntutan zaman dan
kebutuhan mereka. Yang penting dalam pelaksnan musyawarah itu
pengambilan keputusannya tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip ajaran
Islam, yaitu kebebasan, persamaan, dan keadilan. Pendapat yang dijadikan
keputusan bukan melihat kepada siapa yang mengemukakan pendapat itu,
melainkan bagaimana kualitas pendapat dan dampaknya bagi kemaslahatan
umat; bukan kemaslahatan yang bermusyawarah. 38
Artinya, syura merupakan suatu sarana dan cara memberi kesempatan
kepada anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi
dalam membuat keputusan yang sifatnya mengikat, baik dalam bentuk
peraturan-peraturan hukum, maupun kebijakan politik. Setiap orang yang ikut
bermusyawarah akan berusaha menyatakan pendapat yang baik, sehingga
diperoleh pendapat yang dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Dalam masyarakat modern yang ditandai dengan munculnya lembagalembaga politik, pemerintah dan masyarakat, maka lembaga-lembaga ini
menjadi subjek musyawarah. Para pemimpinnya dibebani kewajiban
mengadakan musyawarah dengan melibatkan para anggotanya atau rakyat
untuk menghadapi masalah yang mereka hadapi.
J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999), h. 95.
38
46
Jadi, konsep syura pada mulanya adalah konsultasi yang tidak mengikat,
sedang model demokrasi melalu pemilihan umum dengan melibatkan semua
penduduk untuk memilih wakil-wakil mereka merupakan sesuatu yang tak
terpikirkan kala itu. Namun di sisi lain, konsep syura itu terbuka untuk
dipikirkan, yakni dapat dikembangkan penafsirannya menjadi konsep
demokrasi
sekarang,
sesuai
dengan
kebutuhan
masyarakat
muslim
kontemporer. Dengan kata lain, demokrasi adalah arah yang dituju ke masa
depan.
C. Majelis Syurasebagai Lembaga Perwakilan Rakyat
Secara historis, lembaga perwakilan rakyat pada massa Khulafa’ alRasyidin berfungsi sebagai lembaga musyawarah untuk menentukan kebijakan
hukum dan politik. Selain itu pula berfungsi sebagai lembaga pemilihan
khalifah. Nama lembaga ini pada masa Khulafa al-Rasyidin disebut Majelis
Syura. 39 Majelis Syuraberarti majlis permusyawaratan atau badan legislatif. 40
Abul A’la al-Maududi menyebutnya dengan nama ahl al-hall wa al-‘aqd dan
al-Mawardi menyebutnya ahl al-ikhtiar (orang yang berhak memilih). 41
Menurut Dr. Abdul Karim Zaidan, Majelis Syuraialah orang-orang yang
berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan kepercayaan
kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena ikhlas,
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: Bina Ilmu,
1995), Cet. Ke-1, h. 166
40
Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994),
Cet. Ke-3, Jilid V, h. 18.
41
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah: Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara
Islam, alih bahasa: Fadhli Bachri, (Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 3.
39
47
konsekuen, takwa, adil, dan kecemerlangan pikiran serta kegigihan mereka di
dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya.
Inilah yang dimaksudkan oleh al-Mawardi dengan pendapatnya:
“Jika tidak ada seseorang yang mengendalikan pemerintahan, lahirlah
dua golongan dari masyarakat. Yang pertama, golongan ahl al-ikhtiar untuk
memilih seorang imam, dan kedua, ahl al-imamah yaitu orang-orang yang
dapat diangkat menjadi kepala negara. Atas dua golongan inilah dibebani
dosa, apabila mereka menunda-nunda mengangkat kepala negara.”42
Menurut
Al-Mawardi
ada
beberapa
syarat
untuk
mencapai
keseimbangan dalam segi politik Negara ideal menurut Islam: 43
1. Agama yang hayati;
2. Penguasa yang berwibawa;
3. Keadilan yang menyeluruh;
4. Sistem Pemerintahan;
5. Imamah (Kepemimpinan);
6. Cara pemilihan atau seleksi imam.
Al-Mawardi merumuskan beberapa syarat yang harus dimiliki majelis
syura, yaitu adil dengan segala syarat-syaratnya, ilmu yang membuatnya
mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi imam (khalifah) sesuai dengan
kriteria-kriteria yang legal, dan memiliki wawasan serta sikap bijaksana. 44
Dengan kualifikasi ini, diharapkan golongan Majelis Syuradapat menentukan
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Islam dan Politik Bernegara, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 2002), Cet. Ke-1, h. 89-90.
43
Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 63.
44
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah: Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara
Islam, alih bahasa: Fadhli Bachri, (Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 3.
42
48
siapa yang pantas menjadi kepala negara dan mampu memegang jabatan untuk
mengelola urusan negara dan rakyat.
Dengan memperhatikan syarat-syarat di atas maka jelaslah bahwa dewan
ini bukanlah lembaga ijtihad yang dimaksudkan oleh ilmu ushul, karena
pribadi-pribadi yang menjadi anggota Majelis Syuratidak harus mempunyai
ilmu, terkecuali sekedar memungkinkan mengetahui keadaan-keadaan
masyarakat dan perkembangan-perkembangan politik yang dengan demikian
dapat memilih mana yang baik dan yang lebih maslahat dari orang-orang yang
dicalonkan untuk menjadi kepala negara. Sedang Majelis Syurayang
dimaksudkan ilmu ushul, ialah para mujtahid yang secara penuh memenuhi
syarat-syarat ijtihad.
Pemikiran ulama fiqih siyasah merumuskan istilah Majelis Syurayang
didasarkan pada sistem pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan
oleh para tokoh sahabat yang mewakili dua golongan, Anshar dan Muhajirin.
Mereka ini dianggap oleh ulama fiqih siyasah sebagai Majelis Syurayang
bertindak sebagai wakil umat. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah
keanggotaan dewan syura sehingga pengangkatan khalifah oleh mereka
dianggap sah.
Abu Bakar al-Asham berpendapat, bahwasanya imamah itu, barulah
dapat dipandang sah, apabila seluruh umatnya mengakuinya. Pendapat ini
diambil juga oleh Hisyam al-Fuathy yang mengatakan bahwasanya
49
pengangkatan imamah di waktu terjadi kekacauan dan pendapat yang simpang
siur, tidak dapat dipandang sah. 45
Al-Qalanisy berpendapat bahwasanya imamah itu sah dilaksanakan oleh
ulama-ulama yang berada di tempat kepala negara, tanpa disyaratkan bilangan
tertentu. 46 Al-Mawardi menetapkan bahwasanya sekurang-kurangnya lima
orang yang kesemuanya melakukan akad atau dilakukan oleh salah seorang
dengan persetujuan yang empat lagi. Sedangkan para ulama Kuffah
berpendapat bahwa sekurang-kurangnya tiga orang dan salah seorang
melaksanakan pengangkatan dengan persetujuan dua orang yang lain, agar
seorang bertindak sebagai hakim dan dua orang bertindak sebagai saksi. 47
Walaupun
ulama-ulama
Islam
berbeda-beda
kecenderungan
berpendapatnya, namun mereka semua menetapkan bahwa pemilihan kepala
negara, haruslah dengan mubaya’ah yang benar dan bebas, serta haruslah
pemilihan itu mendapatkan persetujuan umum di samping harus menentukan
kepala negara dengan permusyawaratan.
Majelis Syura merupakan dewan yang merupakan representasi umat..
Seperti yang dicetuskan oleh para pemikir ketatanegaraan Islam adalah terdiri
dari berbagai kelompok sosial yang memiliki profesi dan keahlian yang
berbeda. Baik dari birokrat pemerintahan maupun bukan, yang lazim disebut
pemimpin formal dan informal. Tidak setiap pemimpin dari pemuka profesi
Ibid.
Ibid., h. 93.
47
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah: Prinsi-prinsip Penyelenggaraan Negara
Islam, alih bahasa: Fadhli Bachri, (Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 5.
45
46
50
dan keahlian otomatis menjadi anggota Majelis Syura. Sebab, setiap anggota
dewan ini perlu memenuhi kualifikasi tertentu.
Hubungan antara Majelis Syura dan rakyat tampak dalam fungsi mereka
sebagai wakil rakyat dalam melaksanakan haknya untuk memilih kepala
negara. Karena mereka merupakan wakil rakyat dalam melaksanakan hak
pilihnya, maka pilihan mereka adalah pilihan rakyat itu sendiri. Tetapi
bagaimana perwakilan tersebut terjadi, apakah mereka dipilih oleh rakyat atau
ditunjuk oleh khalifah, tidak ada informasi yang menjelaskannya.
Dewan ini juga bertindak sebagai perantara antara umat dan khalifah
dalam mengkokohkan tiang-tiang hukum Islam, menerapkan keadilan,
menghidupkan ruh Islam di berbagai tempat, dan memuliakan khalifah dan
Majelis Syura dalam menjaga kemungkinan penyimpangan dari jalan Islam
yang lurus, atau bersenang-senang dengan kedudukannya.
Adapun tugas Majelis Syura adalah mempunyai hak pilih, yaitu memilih
presiden. Selain itu, menurut Rasyid Ridla, adalah menjatuhkan khalifah jika
terdapat hal yang mengharuskan dipecat. Al-Mawardi juga berpendapat, jika
kepala negara melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan agama,
rakyat dan Majelis
Syura berhak menyampaikan mosi tidak percaya
kepadanya. 48
Sejauh ini belum ditemukan penjelasan tentang hak lain Majelis Syura
seperti pembatasan kekuatan khalifah, mekanisme pembentukan majelis itu,
dan hak kontrol. Apalagi Majelis Syura sekalipun mereka mewakili rakyat,
J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999), h. 71.
48
51
menurut Rasyid Ridla tidak identik dengan parlemen di zaman modern yang
memiliki kekuasaan legislatif, dan berhak membatasi kekuasaan kepala negara
melalui undang-undang. 49
Dengan demikian, kedudukan Majelis Syura dalam suatu negara Islam
adalah sebagai wakil dari rakyat. Rakyat mengamanatkan hak pilihnya kepada
lembaga ini untuk memilih kepala negara.
BAB IV
KEKUASAAN MPR RI PADA MASA DALAM UUD 1945 PASCA
REFORMASI DITINJAU DALAM HUKUM KETATANEGARAAN
ISLAM
A. Konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat di Era Reformasi (1999-2004).
Pada tahun 1998 telah terjadi peristiwa yang mengubah tatanan
ketatanegaraan Republik Indonesia dengan mundurnya Presiden Soeharto
menurut pasal 8 UUD 1945. Walaupun ada yang beranggapan pergantian
tersebut tidak sesuai dengan bunyi pasal 8 UUD 1945. Walaupun pada
akhirnya dianggap sah pengunduran diri tersebut.
Setelah itu terjadilah Pemilihan Umum tahun 1999 yang diikuti oleh 48
partai politik akhirnya terbentuklah anggota DPRD, DPR dan anggota MPR
baru. Dan pada Sidang Tahunan 1999 maka UUD 1945 diubah dengan
49
Ibid., h. 71-72.
52
Perubahan I UUD 1945 terutama pasal mengenai masa jabatan presiden,
sehingga diharapkan tidak terjadi hal-hal yang ada dimasa lalu mengenai
jabatan Presiden RI 50 . Dan juga mengenai beberapa kewenangan Presiden
yang dialihkan dan dibantu oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Kemudian pada tahun 2000, Undang-Undang Dasar 1945 kembali
diubah. Perubahan Undang-Undang Dasar ini lebih menekankan pada Hak
Azasi Manusia, yang menjadi konsentrasi pembahasan untuk dimuat pada
saat itu 51 .
Tahun 2001 kembali terjadi perubahan Undang-Undang Dasar melalui
Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Perubahan
III Undang-Undang
Dasar 1945 pun disahkan dengan menekankan pada perubahan kedaulatan
51
rakyat. Dalam UUD 1945 sebelum Perubahan UUD 1945 dinyatakan bahwa
kedaulatan ada ditangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat diubah menjadi kedaulatan ada ditangan rakyat dan
dijalankan oleh Undang-Undang Dasar. Perubahan ini sangatlah penting
karena, perubahan inilah yang menjadi dasar untuk mereduksi kewenangan
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dan perubahan ini menjadi pijakan untuk
Perubahan IV UUD 1945.
Menurut Rosseau dalam Kontrak Sosial maka perjanjian yang dibentuk
oleh penguasa dan rakyat yang dikuasai, bertujuan untuk melindungi
kepentingan individu dalam masyarakat. Dan untuk menjaga kepentingan
Harun Al Rasyid, Pengisian Jabatan Presiden, (Jakarta; PT Pustaka Utama Grafiti,
1999), h.141
50
51
Indonesia, Perubahan II Undang-Undang Dasar 1945
53
masyarakat dengan individu sehingga tidak terjadi benturan antara hak antara
individu juga dengan masyarakat 52 .
Perjanjian ini bertujuan juga untuk membatasi kekuasaan penguasa
dalam menjalankan tugas dan perjanjian tersebut. Dengan semakin
berkembangnya peradaban maka bentuk perjanjian sosial pun menjadi lebih
rapi.
Kemudian hal ini dikenal sebagai Konstitusi. Biasanya pelaksanaan
kedaulatan rakyat secara representatif dalam konstitusi disebut sebagai
lembaga perwakilan.
Dengan demikian sebagai Konstitusi yang baik seharusnya UndangUndang Dasar 1945 sesuai dengan karakteristik yang disebut diatas.
Perubahaan Undang-Undang Dasar 1945, bertujuan untuk mencapai
karakteristik perjanjian sosial antara negara dengan masyarakat. Dan
perubahan tersebut membawa dampak yang sangat besar bagi Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga perwakilan.
Penyelenggaraan kedaulatan rakyat sebelum perubahan UUD 1945
melalui sistem MPR dengan prinsip terwakili telah menimbulkan kekuasaan
bagi presiden yang demikian besar dalam segala hal termasuk pembentukan
MPR. Periode orde lama (1959-1965), seluruh anggota MPR(S) dipilih dan
diangkat langsung oleh Presiden.
52
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, Dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio Politik
Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, , 2002), h. 912
54
Tidak jauh berbeda pula pada masa orde baru (1966-1998) dari 1000
orang jumlah anggota MPR, 600 orang dipilih dan ditentukan oleh Presiden.
Hal tersbut menunjukan bahwa pada masa-masa itu MPR seakan-akan hanya
menjadi alat untuk mempertahankan penguasa pemerintahan (presiden), yang
mana pada masa itu kewenangan untuk memilih dan mengangkat Presiden
dan/atau Wakil Presiden berada di tangan MPR. Padahal MPR itu sendiri
dipilih dan diangkat oleh Presiden sendiri, sehingga siapa yang menguasai
suara di MPR maka akan dapat mempertahankan kekuasaannya.
Pengangkatan anggota MPR dari unsur Utusan Daerah dan unsur Utusan
Golongan bagi pembentukan MPR dalam jumlah yang demikian besar juga
dapat dilihat sebagai penyimpangan konstitusional, karena secara logika dalam
hal kenyataan juga terlihat wakil yang diangkat akan patuh dan loyal kepada
pihak yang mengangkatnya 53 , sehingga wakil tersebut tidak lagi mengemban
kepentingan daerah atau golongan yang diwakilinya. Akibatnya adalah wakilwakil yang diangkat itu tidak lagi memiliki hubungan dengan yang
diwakilinya.
Namun terkait dengan hal itu, Presiden sendiri merupakan mandataris
MPR yang harus bertanggung jawab kepadanya. Berdasarkan hal tersebut
maka hubungan antara MPR dengan Presiden sangat sulit dilihat sebagai
hubungan vertikal atau horizontal, jika terlepas dari MPR sebagai Lembaga
Tertinggi Negara dan Presiden sebagai Lembaga Negara yang jelas
mempunyai hubungan vertikal. Maka idealnya seluruh anggota MPR itu
53
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Ttata Negara Pasca Amandemen Konstitusi
(Jakarta: LP3ES, 2007), h. 56.
55
dipilih rakyat melalui Pemilu dan disisi lain sesuai dengan ketentuan UUD
1945, keberadaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dianggap sebagai
pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Konstruksi ini menunjukkan bahwa
MPR merupakan Majelis yang mewakili kedudukan rakyat sehingga
menjadikan lembaga tersebut sebagai sentral kekuasaan, yang mengatasi
cabang-cabang kekuasaan lainnya. Adanya satu lembaga yang berkedudukan
paling tinggi membawa konsekuensi seluruh kekuasaan lembaga-lembaga
penyelenggara negara yang berada di bawahnya harus bertanggung jawab
kepada MPR. Akibatnya konsep keseimbangan antara elemen-elemen
penyelenggara negara atau sering disebut checks and balances system antar
lembaga tinggi negara tidak dapat dijalankan.
Pada sistem MPR tersebut, juga menimbulkan kekuasaan bagi Presiden
yang demikian besar dalam pembentukan undang-undang (fungsi Legislasi)
yang seharusnya dipegang DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan pasal
5 ayat (1) naskah asli UUD 1945 yang berbunyi:
“Presiden
memegang
kekuasaan
membentuk
undang-undang
dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Berdasarkan
rumusan
tersebut,
dapat
dilihat
bahwa
MPR
mendistribusikan kekuasaan membentuk Undang-undang kepada Presiden,
atau setidaknya memberikan kewenangan yang lebih kepada Presiden dalam
fungsi legislasi dari pada DPR. Karena keadaan yang demikian sehingga
pengawasan dan keseimbangan antar lembaga tinggi negara sangat lemah
sekali.
56
Gerakan reformasi membawa berbagai tuntutan, diantaranya adalah
Amandemen UUD 1945, penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI, penegakan
hukum, HAM, dan pemberantasan KKN, serta mewujudkan kehidupan yang
demokratis. Tuntutan itu muncul karena masyarakat menginginkan perubahan
dalam sistem dan struktur ketatanegaraan Indonesia untuk memuwujdkan
pemerintahan negara yang demokratis dengan menjamin hak asasi warga
negaranya.
Hasil nyata dari reformasi adalah dengan adanya perubahan UUD 1945
yang dilatar belakangi dengan adanya beberapa alasan 54 , yaitu:
a) Kekuasaan tertinggi di tangan MPR
b) Kekuasaan yang sangat besar pada Presiden
c) Pasal-pasal yang sifatnya terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan
multi tafsir.
d) Kewenangan pada Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan
Undang-undang.
e) Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum
cukup didukung ketentuan konstitusi.
Hal-hal
tersebut
merupakan
penyebab
mengapa
keseimbangan
dan
pengawasan terhadap lembaga penyelenggara negara dianggap sangat
kurang (checks and balances system) tidak dapat berjalan sehingga harus
dilakukan Perubahan UUD 1945 untuk mengatasi hal tersebut.
54
ibid
57
Tugas dan wewenang MPR RI periode 1999 sampai dengan 2004 diatur
dalam Undang-undang Dasar 1945, yakni:
1. Melakukan Amandemen/ perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
Dari aspek hukum sebetulnya sejak orde baru sudah ada landasan
amandemen/perubahan Undang-undang Dasar 1945. di dalam pasal 37
ayat (1) UUD 1945 dijelaskan untuk mengubah Undang0undang Dasar
1945 sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR harus hadir,
selanjutnya di dalam pasal 37 ayat (2) Undang0Undang Dasar 1945
dijelaskan : Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3
dari pada jumlah anggota yang hadir .
Dalam melakukan amandemen UUD 1945 ada 2 aspek yang hrus
diperhatikan \:
a. Aspek Hukum: artinya aturan-aturan hukum menyangkut prosedur
prubahan UUD 1945 yang diatur di dalam pasal 37 ayat 1 dan 2 UUD
1945.
b.
Aspek politik : dari aspek politik tersebut dapat menentukan
perubahan Undang-undang Dasa 1945, kekuatan politik yang
menghendaki
perubahan
Undang-Undang
dasar
1945
harus
disampaikan ke MPR RI, karena MPR RI yang berwenang
mengamandemen UUD 1945.
Amandemen UUD 1945 dilakukan berdasarkan 5 kesepakatan dasar.
Yaitu:
1. Tidak Mengubah Pembukaan UUD 1945
58
2. Tetap mempertahankan Negara kesatuan Republik Indonesia
3. Mempertegas system pemerintahan presidensiil
4. Hal yang normative dimasukkan ke pasal pasal
5. Melakukan perubahan Undang-undang Dasar 1945 dengan cara
addendum.
2. Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat melantik presiden dan wakil
presiden dan hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-undang.
Kewenangan ini dilakukan jika telah terpenuhi syarat untuk
memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam UUD 1945 setelah
Perubahan. Wewenang dilakukan melalui proses yang lama dan
dilaksanakan oleh beberapa lembaga negara. Untuk memberhentikan
Presiden harus melalui pendapat Dewan Perwakilan Rakyat yang telah
meminta putusan dari Mahkamah Konstitusi (pasal 7B Perubahan UUD
1945).
MPR RI priode 1999 - 2004 dalam kewenangannya melakukan empat
kali perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan pertama
diputuskan pada sidang Umum MPR 1999 yang terdiri dari delapan pasal
yaitu pasal 5, 7, 9,13, 14, 17, 20 dan 21 yang mengatur tentang kekuasaan
pemerintahan
negara
dan
pembatasan
masa
jabatan
presiden
serta
pemberdayaan lembaga legeslatif yaitu DPR.
Perubahan kedua diputuskan pada sidang tahunan MPR tahun 2000
terdiri dari tujuh bab 25 pasal yang mengatur tentang pengaturan pemerintah
59
daerah, hak asasi manusia, wilayah negara serta pertahanan dan keamanan
negara. Perubahan ketiga diputuskan pada sidang tahunan MPR 2001 terdiri
dari 6 bab 23 pasal yang mengatur tentang pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden secara langsung oleh rakyat, Kekuasaan Kehakiman, dan
pembentukan Mahkamah Konstitusi serta pembentukan Dewan Perwakilan
Rakyat - Dewan Perwakilan Daerah.
Perubahan keempat diputuskan pada sidang tahunan MPR tahun 2002
terdiri dari 5 bab 17 pasal yang mengatur tentang komposisi keanggotaan
MPR, putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden, pengisian jabatan
presiden dan wakil presiden jika berhalangan tetap secara bersamaan,
eksistensi DPA, pendidikan dan keuangan perekonomian nasional dan
kesejahteraan sosial aturan peralihan dan aturan tambahan. Namun perubahan
tersebut mendapat pertentangan keras baik dari dalam parlemen sendiri, para
ahli maupun masyarakat.
Dalam tulisannya H. Amin Aryoso, yang menentang kewenangan MPR
RI 1999 - 2004 berpendapat bahwa MPR telah kebablasan dengan
mengabaikan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia seperti kerakyatan, kegotong
royongan, kebangsaan yang berdasarkan kekeluargaan dan sekarang
mengutamakan individualisme 55 . Sehingga mereka menyebutnya tidak lagi
UUD ’45 namun UUD 2002. karena menurut mereka namanya tetap undang-
Aryoso Amin. H/Achadi M, Krisis Konstitusi Dosa-dosa MPR RI 1999-2004 dan
Tanggung Jawab/kompetensi Kepala Negara , (Yayasan Kepada Bangsaku) h.69
55
60
undang dasar 1945 namun isinya telah mengalami perubahan yang sangat
mendasar 56 .
B. Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat di Era
Reformasi ditinjau dari Hukum Tata Negara Islam.
Dalam undang-undang dasar ‘45 Indonesia menganut tiga kedaulatan
yakni kedaulatan Tuhan, kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. 57 seperti
tertuang dalam pasal 1 ayat (2) menyatakan,
“Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undangundang”
Ketentuan ini mencerminkan bahwa UUD 1945 menganut keduaulatan rakyat
atau demokrasi yang berdasarkan undang-undang dasar. Sedangkan pasal 1
ayat (3) menegaskan: “Negara Indonesia adalah Negara hukum”
Namun bersamaan dengan itu gagasan kedaulatan Tuhan juga diakui
dan dianut dalam UUD 1945 yang mengakui bahwa: pertama, pembukaan
UUD 1945 mengakui bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia dapat
berhasil “Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa…” kedua, pembukaan
UUD 1945 juga mengatakan bahwa “ kemerdekaan… Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa…” ketiga pasal 9 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menentukan bahwa sebelum
memangku jabatan setiap presiden dan/atau wakil presiden diharuskan
Jimly Asshidiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi
.(Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007), h. 115
57
Ibid, h.123.
56
61
bersumpah atau berjanji dengan menyatakan “Demi Allah”. Keempat, pasal 29
ayat (1) dan (2) menyatakan:
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu”,
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Undang-undang Dasar 1945
mengakui gagasan Ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Namun
didelegasikan ke rakyat yang di atur dalam undang-undang.
Menurut Isma’il Sunny, kedaulatan yang hakiki berada pada Tuhan,
sementara otomatis rakyat adalah kepercayaan suci yang harus berada dalam
batas-batas kehendak Tuhan. Menurutnya, kedaulatan rakyat pada dasarnya
merupakan penerapan kedaulatan Tuhan oleh semua rakyat atas hamba-Nya,
dimana implementasi aturan-aturan Tuhan dalam kehidupan sosial dan politik
diimplementasikan oleh rakyat melalui para wakil mereka 58
Adapun pembatasan kedaulatan rakyat dalam Islam adalah memandang
bahwa kedaulatan rakyat sebagai sesuatu yang mutlak, karena Islam adalah
paradigma moral bagi sistem demokrasi masyarakat muslim. Oleh karenanya,
demokrasi harus dilaksanakan dalam kerangka paradigma moral ini. Segala
sesuatu yang dianggap benar oleh manusia adalah belum tentu benar di mata
Allah.
58
Farid abdul kholiq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005), h.67.
62
Pendelegasian otoritas Tuhan tentang masalah-masalah duniawi kepada
umat Islam, dan mereka menerima pendelegasian itu dalam kerangka
kemaslahatan umum 59 , dapat membantu memahami maksud ayat Al-qur’an
sebagai berikut:
⌧
⌧
⌧
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada
Nabimu) sesuatu yang, jika diterangkan kepadamu, menusahkan kamu. Tetapi
jika kamu menanyakan ketika Al-qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan
diterangkan kepadamu. Allah memaafkan apa yang sudah lalu. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Sebelum kamu dulu sudah ada golongan
yang menanyakan hal-hal demikian, lalu mereka menjadi kafir.” (Q.S. alMaidah/5 ; 101-102)
Ayat tersebut berbicara tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
masa hidup Rasulullah saw. Ketika untuk pertama kali umat Islam datang
kepada beliau dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai masalah yang tidak
Suyuti Pulungan MA, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. (Jakarta:
Rajawali pers, 2002),h. 40
59
63
dapat diselesaikan, memintanya untuk menjelaskan pandangan agama
mengenai masalah ini. Rasulullah lalu meminta petunjuk Allah dan memohon
agar diturunkan ayat yang akan menanggapi pertanyaan-pertanyaan dan
menjawab permintaan mereka. Al-qur’an kemudian meminta mereka agar
berhenti
mengajukan
pertanyaan-pertanyaan
kepada
Rasulullah
yang
memerlukan wahyu untuk menjawabnya.
Menyerahkan permasalahan-permasalahan kepada umat menyebabkan
mereka berkembang dan tumbuh, dan mendorong munculnya perubahan
dalam masyrakat. Mengembalikan persoalan kepada langit dan menunggu
wahyu yang akan meberikan sebuah titik pandang dalam sebuah masalah
tertentu, hanya aanmemberikan keputusan yang konstan dan stagnan, tidak
dapat membawa perkembangan dan perubahan.
Majelis
permusyawaratan
ataupun
Lembaga
legislatif
sebagai
penjelmaan konsep syura di zaman modern, apakah dapat ditafsirkan sebagai
demokrasi? Masalah ini menjadi ramai untuk diperdebatkan, bahkan sudah
dimulai perdebatannya pada era pertengahan. Beberapa masalah yang
diperdebatkan adalah : 1) apakah demokrasi Barat itu cocok dengan Islam, 2)
dan apakah majlis syura (konsep modern : lembaga legislatif) sama dengan
parlemen model demokrasi Barat?, 3) apakah lembaga syura (legislatif) lebih
tepat diartikan sebagai dewan pertimbangan atau dewan penasehat bagi
seorang penguasa atau kepala negara, 4) apakah seorang penguasa dalam
pemerintahan Islam wajib memiliki suatu dewan pertimbangan, dan jika ya,
apakah dewan itu ditunjuk penguasa atau dipilih rakyat, apakah bersifat
64
konsultatif saja, atau mandataris? 5) apakah partisipasi rakyat langsung dalam
proses politik, misalnya dalam pemilihan kepala negara/pemerintahan
diperbolehkan dalam konsep syura? 6) apakah anggota lembaga syura
(legislatif) harus dipilih oleh rakyat atau cukup ditunjuk penguasa? 7) Apakah
fungsi pokok lembaga syura (legislatif)? siapa yang fit and proper (layak dan
patut) menjadi anggota majlis syura, apakah ada kriteria menurut syara’?
Permasalahan di atas muncul karena beberapa faktor pertama, karena
Al-qur’an maupun as-Sunnah tidak memberikan ketentuan rinci tentang apa
bentuk kongkret syura tersebut, bagaimana proses pembentukannya dan apa
fungsi dan tugasnya. mekanisme syura masuk kategori adat bukan ibadah
murni seperti yang dikatakan ibnu khaldun yakni ”termasuk kemaslahatan
umum yang semua pengaturannya diserahkan kepada rakyat. Hal itu tidak
termasuk masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadat atau keyakinan,
tetapi termasuk dari adat” 60 .
Suatu bentuk pemerintahan republik yang demokratis memang
diisyaratkan dari teladan para sahabt di masa Khulafa ar-Rasyidin, tetapi
teladan itu pun mengandung banyak variasi. Sesudah masa itu, bentuk
pemerintahan Islam ternyata adalah kerajaan, bahkan monarkhi absolute.
Kedua, adalah kenyataan, bahwa pada zaman modern sekarang ini,
bentuk dan sistem kenegaraan dan pemerintahan di negara-negara Muslim,
tidak semuanya republik demokratis. Sistem monarkhi masih ada di Arab
Saudi, Marko, Yordania, Kuwait, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
60
Farid Abdul Khalik. Fiqih Politik Islam, (Jakarta: Amzah, 2005), h.79.
65
Seandainya telah terbentuk pemerintahan republik, maka konsep yang dipakai
lebih banyak diambil dari Barat. Bahkan di negara-negara republik tertentu
secara temporal terjadi praktek pemerintahan yang otoriter dan diktator.
Ketiga, Di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
pada umumnya berada di tangan penguasa yang mengekang demokrasi. secara
formal para penguasa di banyak negara Muslim menolak “demokrasi liberal”
atau “demokrasi Barat” yang tidak atau kurang sesuai dengan kepribadian atau
niali-niali yang dianut masyarakatnya. Demokrasi yang diterapkan adalah
demokrasi “terbatas” atau demokrasi “terpimpin” dalam satu dan lain bentuk.
Dalam situasi demikian, kebebasan mengeluarkan pendapat menjadi sangat
terbatas dan para ulama/cendekiawan cenderung membela pendangan resmi
penguasa (Rahardjo, 2002 : 450).
Menghadapi fakta-fakta historis dan fakta-fakta yang ada sekarang ini
dari Sunnah Rasul, teladan Khulafa ar-Rasyidin, timbulnya kerajaan-kerajaan
Islam, masih bertahannya pemerintahan-pemerintahan kerajaan di beberapa
kawasan Islam, juga dengan melihat kepada negara-negara kerajaan serta
situasi politik di Indonesia sendiri yang menganut system pemrintahan
demokrasi presidensil 61 , dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara
langsung, maka kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim cenderung
berhari-hati dalam berpendapat bahwa syura – dalam arti demokrasi populis,
adalah suatu ketentuan agama.
Moh. Mahfud MD. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
(Jakarta: LP3S, 2007), h. 137.
61
66
Musyawarah merupakan ajaran islam yang telah tersurat dalam al-Qur
an.
☺
☺
\
Artinya:
“Sedang dalam urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka” (Q>S As Syura’ : 38)
Seorang ahli tafsir Syi’ah, Syekh Abu Ali al-Fadlal, dalam kitab
tafsirnya, Majma’ al Bayan fi Tafsir Al-qur’an, dalam menjelaskan asbab annuzul Q.S. asy-Syura/42 : 38, mengatakan bahwa kaum anshar telah biasa
melakukan musyawarah, jauh sebelum zaman Islam, juga sebelum kedatangan
Rasulullah ke Madinah. 62
Musyawarah, oleh para pemikir modern, dianggap sebagai doktrin
kemasyarakatan dan kenegaraan yang pokok, tidak saja karena jelas nash-nya
dalam Al-qur’an, tetapi juga karena hal ini diperkuat oleh hadist, serta
merupakan sunnah atau keteladanan Nabi.
Para
pemikir
politik
modern
mengacu
kepada
bentuk-bentuk
musyawarah yang telah berkembang di zaman modern, yang sudah tidak akan
ditemukan secara persis contohnya pada awal perkembangan Islam. Misalnya
munculnya lembaga legislatif (parlemen) yang belum ada pada zaman
Rasulullah sampai zaman pertengahan.
Pembentukan lembaga musyawarah, merupakan salah satu masalah yang
pelaksanaannya diserahkan Tuhan kepada manusia. Dan umat Islam sendiri
M. Dien Syamsuddin, Sistem Kenegaraan Modern Republik dan Kekhilafahan Islam
Klasik, Makalah pada KKA Paramadina, dipresentasikan pada 16 Desember 1997.
62
67
punya
kepentingan
untuk
membentuk
seperti
itu
dalam
rangka
mengakomodasi berbagai aspirasi yang muncul dari berbagai lapisan anggota
masyarakat, karena sekali lagi Tuhan telah mendelegasikan masalah-masalah
keumatan untuk diselesaikan oleh umat sendiri tanpa campur tangan dari-Nya.
Dan ini adalah prinsip kemurahan Allah atas manusia, sehingga manusia bisa
menemukan sistem yang terbaik dan sempurna untuk membangun negara dan
menjalankan pemerintahan dengan bijak.
Pemikiran ketatanegaraan Islam kontemporer terpetakan dalam tiga
kelompok utama, yang masing-masing berbeda nuansa dan variasi
pemikiran 63 . Pertama, dalam rangka menyusun teori politik Islam, yang
ditekankan bukanlah struktur “negara Islam”, melainkan substruktur dan
tujuannya. Sebab, struktur negara akan berbeda-beda di satu tempat dan
tempat yang lain. Ia merupakan ijtihad kaum muslimin yang dapat berubahubah. Sementara itu, subkultur dan tujuannya merupakan prinsip-prinsip
umum dalam bernegara secara Islami.
Kedua, Sistem kenegaraan Islam tidak dapat disebut demokrasi, karena
dalam demokrasi yang berdaulat adalah rakyat, artinya rakyat pula yang
berkuasa untuk membuat undang-undang dan mekalsanakan undang-undang
itu. Maka al-Maududi menawarkan istilah baru yang dinamakan teodemokrasi yang artinya adalah kedaulatan rakyat yang terbatas. tercapai
kesepakatan bahwa demokrasi merupakan jiwa sitem pemerintahan Islam
meskipun mereka sepakat untuk menolak asumsi filosofis “demokrasi Barat”.
Anjar Nugroho SB “Kekuasaan Legislatif dalam Pemikiran Politik Islam”
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/07/24/-kekuasaan-legislatif-dalam-pemikiran-politikislam/
63
68
Ketiga, kekuasaan negara dilakukan oleh tiga lembaga atau badan
hukum ; legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Kepala negara merangkap kepala badan eksekutif atau pemerintahan yang
bertanggungjawab kepada Allah dan kepada rakyat.
2. Keputusan Majlis Syura (legislatif) pada umumnya diambil atas dasar suara
terbanyak, dengan catatan bahwa suara terbanyak dalam Islam tidak
mencerminkan kebenaran.
3. Anggota Majlis Syura tidak dibenarkan terbagi ke dalam kelompokkelompok atau partai-partai.
4. Keanggotaan Majlis Syura terdiri dari warga nergara yang beragama Islam,
dewasa dan laki-laki, yang shaleh serta cukup capable dalam menafsirkan
dan menerapkan syari’at.
Jika dirangkum semua pemikiran ketatanegaraan Islam kontemporer, inti
dari semua tema dan gagasan yang dikemukakan adalah bagaimana membatasi
kekuasaan yang di tangan penguasa dan menerapkan etika-moral Islam dalam
kehidupan berpolitik secara utuh. Satu hal yang paling menonjol dalam
pemikiran mereka adalah, mutlak adanya Majelis Syura sebagai implementasi
kongkret dari perintah melakukan musyawarah yang terdapat dalam AlQur’an. Majelis Syura (legislatif) mempunyai kekuasaan yang independen dan
bebas campur tangan penguasa atau kepala Negara 64
64
Ibid
69
C. Analisa Perbandingan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia dengan Majelis Syura dalam Hukum Ketatanegaraan Islam.
Secara jujur, harus dikatakan bahwa sebenarnya tugas Majelis
Syuradidalam negara Islam identik dengan tugas Majelis Permusyawaratan
Rakyat didalam negara sekuler, walaupun tidak secara mutlak. Seperti halnya
didalam mengangkat dan menurunkan seorang imam (pemimpin), membuat
undang-undang, mempelajari problematika umat dan mencari solusinya.
Namun demikian, ada beberapa perbedaan mendasar antara dua lembaga
tertinggi negara tersebut, sehingga banyak ulama yang menolak eksistensi
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi didalam sebuah
negara, dengan sistem demokrasi yang banyak dianut oleh negara-negara
Islam. Adapun perbedaan sistem khilafah dengan Majelis Syura dengan sistem
Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah sebagai berikut ;
1. Dari Segi Perkembangannya
Sistem majlis Syura berkembang sejak adanya pemerintahan Islam
pertama kali pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq Adapun sistem parlemen
berkembang akibat benturan antara kekuasaan dan gereja yang terjadi di
Eropa, dan mulai menjadi sistem yang mapan setelah revolusi Perancis pada
tahun 1789M.
2. Dari Segi Keanggotaan
A. Di dalam sistem Majelis Syura, anggotanya harus seorang muslim yang
adil. Adapun dalam sistem parlemen, anggotanya tidak harus beragama
70
Islam, orang Komunis/atheis pun bisa menjadi anggota, bahkan
menjadi ketua DPR/MPR , selama rakyat mendukung
B.
Di dalam sistem Majelis Syura anggotanya harus seorang laki-laki.
Namun dalam sistem parlemen, perempuan dibolehkan mejadi anggota
didalamnya.
C. Anggota Majelis Syuraharus seorang yang berpengetahuan luas terhadap
ajaran Islam, sedangkan anggota Parlemen boleh dari orang yang
paling bodoh tentang masalah agama.
3. Dari Segi Tugas dan Peranannya.
Tugas Majelis Syura harus sesuai denga aturan Syariah Islamiyyah.
Mereka tidak boleh merubah aturan Allah dan Rasul-Nya yang sudah
paten dan mapan, walau seluruh anggota dan rakyat menghendaki
perubahan itu. Adapun didalam Parlemen, mereka bebas dan leluasa
menentukan sebuah hukum, undang-undang, dan bahkan merubah hukum
Allah selama hal itu disepakati seluruh anggota atau atas kehendak rakyat.
Majelis Syura dengan suasana ukhuwwah, kekeluargaan dan kerjasama
didalam kebaikan dan ketaqwaan. Keanggotaan Parlemen diwarnai rasa
Ta'ashub terhadap golongan, sektarian, dan penuh dengan persaingan yang
tidak sehat.
Kaitannya dengan istilah "DPR/MPR", atau istilah-istilah baru lainnya,
yang semuanya tidak tercantum di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau
belum pernah digunakan sebelumnya oleh para ulama-ulama tsiqoh didalam
kajian keilmuan mereka, maka hendaknya kita tinjau dahulu substansinya.
71
Seandainya sesuai dengan Islam, maka istilah itu kita terima (walaupun
demikian, sebaiknya kita gunakan istilah syar'i yang sudah ada). Namun
kalau bertentangan, dengan tegas kita menolaknya.
Yang menjadi permaslahan kita sekarang, apabila 'istilah baru' tersebut
mengandung dua sisi : 'kebenaran dan kebatilan'.Dalam arti yang lebih luas,
bahwa istilah tersebut bersifat elastis, bisa ditafsirkan macam-macam,
menurut
versi
pengamatnya.
Kalau
dia
seorang
sekuler,
maka
penafsirannyapun cenderung ke arah sekuler, sebaliknya jika pengamatnya
seorang cendikiawan muslim, maka akan diembel-embeli dengan sifat-sifat
ke-Islaman. Seperti istilah-istilah yang sedang ngetrend dan berkembang
luas di dunia Islam yaitu : Demokrasi, Theokrasi, Monarki, Sosialisme,
Kapitalisme, Nasionalisme, Parlemen, DPR/ MPR, dll yang tidak mungkin
disebut satu persatu di sini. Maka, sikap seorang muslim didalam
menghadapi Ma'rokatul Mushtholahat (Perang Istilah) hendaknya merujuk
kepada sikap dan pendapat para ulama salaf dan tsiqoh ketika mereka
menghadapai peperangan seperti ini. Kita dapatkan, mereka enggan
menggunakan istilah–istilah yang diimpor dari luar Islam tersebut, selama
substansinya belum jelas dan masih dipertentangkan oleh para ulama.
Karena hal itu akan mengakibatkan porak porandanya pemikiran seorang
muslim
di
sesungguhnya.
dalam
memahami
kontek-kontek
ajaran
Islam
yang
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Adapun konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
adalah lembaga perwakilan rakyat yang terdiri atas: anggota 2 lembaga
negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
Perubahan UUD 1945 telah memberikan perubahan besar bagi Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Karena dasar yuridis untuk menjalankan
kedaulatan rakyat telah dicabut oleh amandemen UUD 1945. Tugas dan
73
wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat
kemudian dijelaskan
dalam UUD 1945 dan Undang-undang tentang susunan dan kedudukan
MPR, DPR, DPD dan DPRD dan a Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia akhirnya hanya mempunyai 2 tugas yaitu “Melantik
Presiden dan Wakil Presiden (pasal 3 UUD 1945)”. Tugas yang
merupakan akibat dari ditetapkannya aturan tentang Pemilihan Presiden
dan secara langsung. Apabila telah terpilih Presiden dan Wakil Presiden
dalam Pemilihan Umum maka MPR mempunyai suatu kewajiban untuk
melantik Presiden dan Wakil Presiden. MPR setelah adanya Undangundang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD
mempunyai tugas untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden
apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya.
2.
Dalam ketatanegaraan Islam, ada banyak penyebutan untuk majelis
syuro ini antara lain; ahlul hal wal ‘aqdi, ulil amri dan ummah,
mengingat kedudukan dan wewenangnya berbada dalam praktek dan
teori yang dijelaskan oleh para pakar hukum tata negara Islam, karena
dalam tata negara Islam tidak mengenal konsep yang baku dalam majelis
syuro ini semuanya diserahkan kesepakatan umat yang sesuai dengan
kondisi dan waktu, karena hal itu merupakan adat bukan ibadah, yang
telah dipraktekan dan disebut rinciannya dalam beragama seperti ibadah
sholat.
Musyawarah memang ajaran agama dan dipraktekan oleh
pemerintahan Nabi Muhammad saw. dan Khulafa al Rasyidin, dan
74
kelembagaan syuro menjadi prasyarat untuk musyawarah dengan banyak
orang dalam sekala negara, mengingat banyaknya rakyat yang
memungkinkan banyaknya silang pendapat,
wilayah yang jauh satu
sama lain, dan tidak memungkinkannya rakyat berkumpul dalam satu
tempat. Kewajiban untuk menegakkan ammar ma’ruf nahi munkar. Taat
kepada ulil amri. Lembaga ini terdiri dari berbagai kelompok sosial yang
memiliki profesi dan keahlian yang berbeda. Baik dari birokrat
pemerintahan maupun bukan, yang lazim disebut pemimpin formal dan
informal.Adapun tugas majelis syuro adalah mempunyai hak pilih, yaitu
memilih presiden, memberhentikan presiden. Mekanisme pengangkatan
pemimpin dalam pemerintahan Islam juga berbeda-beda, adakalanya
dipilih oleh majelis syuro dan adakalanya melalui mandat dari pemimpin
sebelumnya.
3.
MPR RI merupakan Majelis Syurayang didalamnya ada mekanisme
yang kewenangnya pada dasarnya mengubah undang-undang dengan
cara musyawarah dengan segala lapisan rakyat kemudian melantik
presiden dan wakil presiden berdasarkan hasil pemilihan umum
langsung
sebagai
bentuk
pelaksanaan
sistem presidensiil
yang
didalamnya tetap menerapkan musyawarah untuk kepentingan bersama.
B. Saran
1. Pertama, Perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan tugas dan
wewenang MPR yang diatur dalam Undang-Undang Dasar dan undang-
75
undang tentang susunan dan kedudukan secara jelas. Sehingga tidak
terjadi interprestasi yang dibuat oleh lembaga negara yang lain walaupun
hal itu bisa diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Seharusnya
Undang-Undang Dasar dan undang-undang mengaturnya dengan jelas.
MPR juga harus mampu meningkatkan peran dan tanggung jawab dalam
rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya.
2
Mengembangkan mekanisme checks and balances serta meningkatkan
kualitas kinerja para anggota MPR.
3
Lembaga MPR RI selayaknya juga mengambil sepirit dari Majelis
Syurayang dianut dalam ketatanegaraan Islam yakni kekuasaan ditangan
ummat yang telah didelegasikan oleh Allah selain cheks and balances
yang tertuang dalam amanat undang-undang. juga dapat memungkinkan
umat untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik. Tidak akan
pernah ada kekuasaan yang absolut dan mutlak di tangan penguasa sipil
di bumi, karena yang absolut dan mutlak itu hanya kekuasaan Allah di
langit.
4
MPR juga benar-benar merupakan lembaga rakyat yang bertujuan
permusywaratan untuk masalah-maslah kenegaraan dan kemasyarakatan
dan mencari solusi yang lebih memihak rakyat.
76
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Al Rasyid, Harun, Pengisian Jabatan Presiden, Grafiti, Jakarta: PT Pustaka
Utama Grafiti, 1993
__________, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: UI Press,
2002
__________, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara, UI Press, Jakarta:UI
Press, 1996.
Al-Qardhawy, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al Quran Dan Sunnah, Jakarta:
Pustaka AlQautsar,1997
Arinanto, Satya, Hukum Dan Demokrasi, Jakarta: Ind Hill-Co, 1991
77
Asshiddiqie, Jimly, Pergumulan Peran Pemerintah Dan
Sejarah, Jakarta:UI Press, 1996
Parlemen Dalam
____________, Gagasan Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994
____________, Konsolidasi Naskah UUD 1945
Setelah Perubahan
Keempat,Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2002
____________, Teori Dan Aliran
Jakarta:Ind.Hill-Co, 1998
Penafsiran
Hukum
Tata
Negara,
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1998
_________________, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan
Demokrasi Pancasila, Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama,1998
Busroh, Abubakar, Abudaud, Hukum Tata Negara, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1984
Burns, James; Peltason, J.W.; Cronin, Thomas, Government By The People, New
Jersey: Prentice Hall, 1989.
Carter, April, Otoritas Dan Demokrasi, Jakarta: CV Rajawali,1985
De Tocqueville, Alexis, Democracy In America, New York: Washington Square
Press, 1965
76
Diamond, Larry, Revolusi Demokrasi Perjuangan Untuk Kebebasan Dan
Pluralisme Di Negara Sedang Berkembang, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1994
Dicey,AV, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution,
London:Mc. Millan Education LTD, 1959
Djokosutono . Ilmu Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985
Dood, Lawrence, Coalitions in Parliamentary Government, New Jersey:
Princeton University Press, 1976
Echols, John, Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1997
78
Eidelberg, Paul, The Philosopy Of The American Constitution, Toronto: CollierMacmillan Canada, 1968
Garner, Bryan, Black’s Law Dictionary , sevent edition, St Paul, Minn:West
Group, 1999
Hasan, Ismail, Pemilihan Umum 1987, Jakarta:PT Pradnya Paramita, 1986
Hariadi, Didit, Estiko, Amandemen UUD 1945 Dan Implikasinya Terhadap
Pembangunan Sistem Hukum, Jakarta: Tim Hukum Pusat Pengkajian
Dan Pelayanan Informasi Sekretaris Jendral, 2001
Hermawan, Eman, Politik Membela Yang Benar Teori Kritik Dan Nalar,
Yogyakarta: KLIK dan DKN GARDA BANGSA, 2003,
Hornby, AS, Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current English, London:
Oxford University Press, 1987
Huntington, Samuel, Benturan Antara Peradaban Dan Masa Depan Politik
Dunia, Yogyakarta: CV Qalam Yogyakarta, 2003
Ibrahim, Harmaily, Majelis Permjusyawaratan Rakyat Suatu Tinjauan Dari Sudut
Hukum Tata Negara, Jakarta: Sinar Bakti, 1979
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: PT. Bina Aksara ,
1984
Khaldun, Ibnu, Mukaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus,2000
Kusnardi, Mohammad, Ibrahim, Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara,
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 1988
Kusumaatmaja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Bina Cipta,
1990
Laski, Harold. A Grammmar Of Politics, London: George Allen & Unwin LTD,
1938.
Manan, Bagir, Konvensi Ketatanegaraan, Bandung:Armico, 1987
__________________,
Teori Dan Politik Konstitusi, Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2000,
h. 15
Geoffrey Marshal, Parliamentary Sovereignty And The Commonwealth,Oxford:
Oxford University Press, 1957
79
Meny, Yves; Knap, Andrew, Government And Politics In Western Europe, third
edition, New York:Oxford University Press,1998
Mulyono, Doto, Kekuasaan MPR Tidak Mutlak, Erlangga, Jakarta, 1985
Naning, Ramdlon, Lembaga Legislatif Sebagai Pilar Demokrasi Dan Mekanisme
Lembaga Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Yogyakarta: Liberty
1982
Nurtjahjo, Hendra, Perwakilan Golongan Di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara UI2002.
O’Donnel, Schmitter, Whitehead, Transisi Menuju Demokrasi Kasus Eropa
Selatan, Jakarta: LP3S, tanpa tahun
Plato, Republik, Jakarta:Bentang, 2002
Poerwadarminta, WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1976
Puspa, Pramadya, Yan, Kamus Hukum, Semarang:CV. Aneka Ilmu, 1977
Purbopranoto, Kuntjoro, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan Dan
Peradilan Administrasi, Bandung: Alumni, 1981
Thaib, Dahlan. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945,
Yogyakarta: Liberty, 1989
Thaib, Dahlan; Hamidi, Jazim; Huda, Ni’matul , Teori Hukum Dan Konstitusi,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999
Ranawijaya, Usep, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1983
Rapar, J.H, Filsafat Politik Aristoteles, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1988.
Redaksi Sinar Grafika, Tiga Undang-Undang Dasar: Undang-Undang Dasar
1945, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1950,
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950,
Jakarta: Sinar Grafika, 2000
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, Dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio
Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2002
80
Samsul Wahidin, MPR Dari Masa Kemasa, Jakarta: Bina Aksara, 1986
Sekretariat Jendral MPR RI, Proses Reformasi Konstitusional : Sidang Istimewa
MPR 1998, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, Cetakan 2, Jakarta,
2001
Shklar, Judith, Montesqieu Penggagas Trias Politica, Jakarta : Pustaka Utama
Grafiti,1996
Sekretariat Jendral MPR RI, Himpunan Ketetapan MPRS Dan MPR Tahun 1960
S/D 2002, Jakarta:Sekretariat Jendral MPR RI, 2002
Sjadzali, Munawir, Islam Dan Tata Negara Ajaran Sejarah Dan Pemikiran,
Jakarta: UI Press, 1993
Simorangkir, J.C.T, Hukum Dan Konstitusi Indonesia, Jakarta:CV. Masagung,
1988
Simanjuntak, Marsilam, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur Dan
Riwayatnya, Jakarta:Pustaka Utama Grafiti, 1994
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty,1980
Soekanto,
Soerjono.
1986.
Pengantar
Penelitian
Hukum,
Jakarta:
Soekanto, Soerjono, Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta:Raja Grafindo
Persada, 1995
Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar Dan
Pembentukannya. Jakarta: Kanisius, 1998
Soemantri, Sri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989
_____________, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, CV.
Rajawali, Jakarta, 1981
_____________,Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, Cet.4, Alumni,
Bandung, 1987, h.133-134
Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian 2, Jakarta:PT Pradnya Paramita, 2003
_________, Filsafat Hukum Bagian 1, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2002, h.16
Solly, Lubis. Ilmu Negara, Bandung:Mandar Maju, 1989
81
Sunny, Ismail, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru, 1986
____________, Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta: Aksara Baru, 1985
Taimiyah, Ibnu, Pedoman Islam Bernegara, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989
Tambunan, ASS, MPR Perkembangan Dan Pertumbuhannya Suatu Pengamatan
Dan Analisis, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991
Tim IFES, Sistem Pemilu, Jakarta: IFES,UN, IDEA, 2001
Tim PSHK, Semua Harus Terwakili Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan
Lembaga Kepresidenan di Indonesia, Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Dan Kebijakan
Indonesia, 2000
Tim Sekretariat Negara, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretariat
Negara Republik Indonesia, 1995
Varma, SP, Teori Politik Modern, Jakarta:CV Rajawali, 1990
Wahjono, Padmo, Ilmu Negara, Jakarta: Ind Hill-Co, 1996
Yamin, Muhammad, Proklamasi Dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1982
Yara, Muchyar, Pengisian Jabatan Presiden Dan Wakil Presiden Di Indonesia
Suatu Tinjauan Sejarah Hukum Tata Negara, Jakarta: PT.Nadhillah
Ceria Indonesia, 1995
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945
Indonesia, Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar 1945
Indonesia, Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945
Indonesia, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945
Indonesia, Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945
Indonesia, Konstitusi RIS 1949
82
MPR, Ketetapan MPR No 1 tahun 1983 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis
Permusyawaratan Rakyat
MPR, Ketetapan MPR No V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-Produk Yang
Berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
MAKALAH
Ashhidiqie, Jimly, Refleksi Tentang Arah Sistem Hukum Dan Kenegaraan
Indonesia Pasca Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945,
Jakarta, 28 Maret 2003
Suny, Ismail, Implikasi Amandemen UUD 1945 Terhadap Sistem Hukum
Nasional, disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII, BPHN dan DEPKEH HAM RI, Bali, Juli, 2003, h.4
SUMBER INTERNET
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
Republik
Indonesia
,http://www.mpr.go.id/h/tentang/index.php, diakses pada tanggal 10
Januari 2006.
Anjar nugroho SB, Kekuasaan Legislatif Dalam Pemikiran Politik Islam,
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/07/24/kekuasaanlegislatif-dalam-pemikiran-politik-islam/
1
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Al Rasyid, Harun, Pengisian Jabatan Presiden, Grafiti, Jakarta: PT
Pustaka Utama Grafiti, 1993
__________, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945,
Jakarta: UI Press, 2002
__________, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara, UI Press,
Jakarta:UI Press, 1996.
Al-Qardhawy, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al Quran Dan Sunnah,
Jakarta: Pustaka AlQautsar,1997
Arinanto, Satya, Hukum Dan Demokrasi, Jakarta: Ind Hill-Co, 1991
Asshiddiqie, Jimly, Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen
Dalam Sejarah, Jakarta:UI Press, 1996
____________, Gagasan Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam
Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
____________, Konsolidasi Naskah UUD 1945
Setelah Perubahan
Keempat,Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2002
____________, Teori Dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara,
Jakarta:Ind.Hill-Co, 1998
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1998
_________________,
Demokrasi
di
Indonesia
Demokrasi
Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta:PT
Gramedia Pustaka Utama,1998
2
Busroh, Abubakar, Abudaud, Hukum Tata Negara, Jakarta:Ghalia
Indonesia, 1984
Burns, James; Peltason, J.W.; Cronin, Thomas, Government By The
People, New Jersey: Prentice Hall, 1989.
Carter, April, Otoritas Dan Demokrasi, Jakarta: CV Rajawali,1985
De Tocqueville, Alexis, Democracy In America, New York: Washington Square
Press, 1965
Diamond, Larry, Revolusi Demokrasi Perjuangan Untuk Kebebasan
Dan Pluralisme Di Negara Sedang Berkembang, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1994
Dicey,AV, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution,
London:Mc. Millan Education LTD, 1959
Djokosutono . Ilmu Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985
Dood, Lawrence, Coalitions in Parliamentary Government, New Jersey:
Princeton University Press, 1976
Echols, John, Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1997
Eidelberg, Paul, The Philosopy Of The American Constitution,
Toronto: Collier-Macmillan Canada, 1968
Garner, Bryan, Black’s Law Dictionary , sevent edition, St Paul, Minn:West
Group, 1999
Hasan, Ismail, Pemilihan Umum 1987, Jakarta:PT Pradnya Paramita, 1986
Hariadi, Didit, Estiko, Amandemen UUD 1945 Dan Implikasinya Terhadap
Pembangunan Sistem Hukum, Jakarta: Tim Hukum Pusat Pengkajian
Dan Pelayanan Informasi Sekretaris Jendral, 2001
Hermawan, Eman, Politik Membela Yang Benar Teori Kritik Dan Nalar,
Yogyakarta: KLIK dan DKN GARDA BANGSA, 2003,
3
Hornby, AS, Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current
English, London: Oxford University Press, 1987
Huntington, Samuel, Benturan Antara Peradaban Dan Masa Depan
Politik Dunia, Yogyakarta: CV Qalam Yogyakarta, 2003
Ibrahim, Harmaily, Majelis Permjusyawaratan Rakyat Suatu Tinjauan
Dari Sudut Hukum Tata Negara, Jakarta: Sinar Bakti, 1979
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: PT.
Bina Aksara , 1984
Khaldun, Ibnu, Mukaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus,2000
Kusnardi, Mohammad, Ibrahim, Harmaily, Pengantar Hukum Tata
Negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI,
1988
Kusumaatmaja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Bandung:
Bina Cipta, 1990
Laski, Harold. A Grammmar Of Politics, London: George Allen &
Unwin LTD, 1938.
Manan, Bagir, Konvensi Ketatanegaraan, Bandung:Armico, 1987
__________________,
Teori Dan Politik Konstitusi, Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2000,
h. 15
Geoffrey Marshal, Parliamentary Sovereignty And The Commonwealth,Oxford:
Oxford University Press, 1957
Meny, Yves; Knap, Andrew, Government And Politics In Western Europe, third
edition, New York:Oxford University Press,1998
Mulyono, Doto, Kekuasaan MPR Tidak Mutlak, Erlangga, Jakarta, 1985
4
Naning, Ramdlon, Lembaga Legislatif Sebagai Pilar Demokrasi Dan
Mekanisme Lembaga Lembaga Negara Menurut UUD
1945, Yogyakarta: Liberty 1982
Nurtjahjo, Hendra, Perwakilan Golongan Di Indonesia, Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara UI2002.
O’Donnel, Schmitter, Whitehead, Transisi Menuju Demokrasi Kasus
Eropa Selatan, Jakarta: LP3S, tanpa tahun
Plato, Republik, Jakarta:Bentang, 2002
Poerwadarminta, WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN
Balai Pustaka, 1976
Puspa, Pramadya, Yan, Kamus Hukum, Semarang:CV. Aneka Ilmu,
1977
Purbopranoto, Kuntjoro, Beberapa Catatan Hukum Tata
Pemerintahan Dan Peradilan Administrasi, Bandung:
Alumni, 1981
Thaib, Dahlan. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD
1945, Yogyakarta: Liberty, 1989
Thaib, Dahlan; Hamidi, Jazim; Huda, Ni’matul , Teori Hukum Dan Konstitusi,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999
Ranawijaya, Usep, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983
Rapar, J.H, Filsafat Politik Aristoteles, Jakarta: Rajawali Grafindo
Persada, 1988.
Redaksi Sinar Grafika, Tiga Undang-Undang Dasar: Undang-Undang
Dasar 1945, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Serikat 1950, Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia 1950, Jakarta: Sinar Grafika, 2000
5
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, Dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio
Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2002
Samsul Wahidin, MPR Dari Masa Kemasa, Jakarta: Bina Aksara, 1986
Sekretariat Jendral MPR RI, Proses Reformasi Konstitusional : Sidang Istimewa
MPR 1998, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, Cetakan 2, Jakarta,
2001
Shklar, Judith, Montesqieu Penggagas Trias Politica, Jakarta : Pustaka
Utama Grafiti,1996
Sekretariat Jendral MPR RI, Himpunan Ketetapan MPRS Dan MPR Tahun 1960
S/D 2002, Jakarta:Sekretariat Jendral MPR RI, 2002
Sjadzali, Munawir, Islam Dan Tata Negara Ajaran Sejarah Dan
Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1993
Simorangkir, J.C.T, Hukum Dan Konstitusi Indonesia, Jakarta:CV. Masagung,
1988
Simanjuntak, Marsilam, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur Dan
Riwayatnya, Jakarta:Pustaka Utama Grafiti, 1994
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty,1980
Soekanto,
Soekanto,
Soerjono.
1986.
Pengantar
Penelitian
Soerjono, Mamudji, Penelitian
Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1995
Hukum,
Hukum
Jakarta:
Normatif,
Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: DasarDasar Dan Pembentukannya. Jakarta: Kanisius, 1998
Soemantri, Sri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD
1945. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989
6
_____________, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara,
CV. Rajawali, Jakarta, 1981
_____________,Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, Cet.4, Alumni,
Bandung, 1987, h.133-134
Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian 2, Jakarta:PT Pradnya Paramita, 2003
_________, Filsafat Hukum Bagian 1, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2002, h.16
Solly, Lubis. Ilmu Negara, Bandung:Mandar Maju, 1989
Sunny, Ismail, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru,
1986
____________, Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta: Aksara Baru,
1985
Taimiyah, Ibnu, Pedoman Islam Bernegara, Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1989
Tambunan, ASS, MPR Perkembangan Dan Pertumbuhannya Suatu Pengamatan
Dan Analisis, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991
Tim IFES, Sistem Pemilu, Jakarta: IFES,UN, IDEA, 2001
Tim PSHK, Semua Harus Terwakili Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan
Lembaga Kepresidenan di Indonesia, Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Dan Kebijakan
Indonesia, 2000
Tim Sekretariat Negara, Risalah Sidang Badan Penyelidik UsahaUsaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),
Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995
Varma, SP, Teori Politik Modern, Jakarta:CV Rajawali, 1990
Wahjono, Padmo, Ilmu Negara, Jakarta: Ind Hill-Co, 1996
7
Yamin, Muhammad, Proklamasi Dan Konstitusi Republik Indonesia,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982
Yara, Muchyar, Pengisian Jabatan Presiden Dan Wakil Presiden Di
Indonesia Suatu Tinjauan Sejarah Hukum Tata Negara,
Jakarta: PT.Nadhillah Ceria Indonesia, 1995
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945
Indonesia, Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar 1945
Indonesia, Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945
Indonesia, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945
Indonesia, Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945
Indonesia, Konstitusi RIS 1949
MPR, Ketetapan MPR No 1 tahun 1983 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis
Permusyawaratan Rakyat
MPR, Ketetapan MPR No V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-Produk Yang
Berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
MAKALAH
Ashhidiqie, Jimly, Refleksi Tentang Arah Sistem Hukum Dan Kenegaraan
Indonesia Pasca Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945,
Jakarta, 28 Maret 2003
Suny, Ismail, Implikasi Amandemen UUD 1945 Terhadap Sistem Hukum
Nasional, disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII, BPHN dan DEPKEH HAM RI, Bali, Juli, 2003, h.4
SUMBER INTERNET
8
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
Republik
Indonesia
,http://www.mpr.go.id/h/tentang/index.php, diakses pada tanggal 10
Januari 2006.
Anjar nugroho SB, Kekuasaan Legislatif Dalam Pemikiran Politik Islam,
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/07/24/kekuasaanlegislatif-dalam-pemikiran-politik-islam/
Download