47 BAB III DAMPAK TUMBUKAN DAN SKALA POTENSI

advertisement
BAB III
DAMPAK TUMBUKAN DAN SKALA POTENSI TUMBUKAN
3.1. Dampak-dampak Tumbukan
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa Bumi mengalami tumbukan oleh partikelpartikel kosmik secara konstan. Partikel-partikel yang kecil akan terbakar di atmosfer
sebagai meteor dengan beberapa diantaranya berhasil mencapai Bumi menjadi meteorit
namun kerusakan yang ditimbulkannya relatif kecil. Penumbuk yang berbahaya adalah
yang dapat menimbulkan kerusakan hebat atau dapat menyebabkan kemusnahan massal,
yang terutama diakibatkan oleh benda langit berdiameter kilometeran. Chapman dan
Morrison (1994) membagi kedalam tiga kategori kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh
tumbukan benda langit dan selang terjadinya peistiwa-peristiwa tersebut. :
(1). Fireball dan bolide, yaitu meteorid-meteorid yang hancur jauh tinggi di atmosfer dan
gelombang kejutnya tidak mencapai permukaan Bumi. Jika meledak maka disebut
bolide. Bolide dengan energi berkekuatan bom nuklir Hiroshima (~0,015 MT TNT)
terjadi setahun sekali dan peristiwa dengan energi berkekuatan megaton diperkirakan
terjadi seabad sekali.
(2). Tumbukan yang menyebabkan kerusakan lokal (locally devastating impact). Peristiwa
ini terjadi apabila meteorid besar mampu mencapai jarak ~25 km dari permukaan (atau
berhasil mencapai permukaan) Bumi dengan kecepatan puluhan kilometer perdetik.
Kerusakan yang ditimbulkan dapat dianalogikan dengan kerusakan yang ditimbulkan
oleh bom nuklir dengan energi sama besar, tetapi tanpa radiasi neutron atau γ, dan
jatuhan dari bahan radioaktif. Luas daerah yang mengalami kerusakan dapat dituliskan:
A = 100Y 2 3
(3.1)
dengan A dalam km2, dan Y adalah energi yang dilepaskan dalam Mton, dan akan lebih
luas untuk ledakan di udara (pada ketinggian rendah) daripada ledakan dipermukaan.
Kerusakan dan kematian tetap lokal (atau sepanjang garis pantai untuk tumbukan di
laut) dengan sebagian besar populasi Bumi tidak terpengaruh. Contohnya adalah
peristiwa Tunguska.
(3). Tumbukan yang menyebabkan bencana alam global (globally catastrophic impact).
Peristiwa tumbukan yang sangat jarang terjadi, melibatkan energi yang sangat besar,
47
menimbulkan konsekuensi global dengan kehancuran lokal di dekat posisi tumbukan.
Contohnya adalah peristiwa K/T, yang menyebabkan kemusnahan lebih dari separuh
spesies di Bumi. Peristiwa tersebut melibatkan benda berdiameter 10 km (108 MT);
memicu kehancuran yang merambat dengan cepat, perubahan kimiawi di atmosfer dan
laut, juga gangguan iklim.
Chapman dan Morrison (1994) mendefinisikan tumbukan dengan bencana global
disini adalah tumbukan yang menyebabkan gangguan produksi agrikultural global dan
menimbulkan, langsung maupun tidak langsung, kematian lebih dari seperempat populasi
dunia. Dengan mengasumsikan rata-rata kepadatan populasi penduduk di dunia adalah 10
orang per km2 dan luas wilayah yang mengalami kerusakan akibat tumbukan seperti pada
persamaan (3.1), maka:
rata-rata kematian pertumbukan ~ 103 × Y 2 3
(3.2)
Skala waktu terjadinya tumbukan dan angka kematian untuk tiap diameter
penumbuk dan energi tumbukan dari Chapman dan Morrison (1994) dapat dilihat pada
tabel VI. Sementara itu, gambar 6 memberikan gambaran hubungan antara selang waktu
terjadinya tumbukan dengan diameter penumbuk dan energi tumbukan.
Tunguska
explosion
Chicxulub
impact
Gambar 6. Hubungan antara selang tumbukan dengan diameter penumbuk dan energi
tumbukan (Chapman dan Morrison 1994).
48
Tipe peristiwa
Diameter
penumbuk
Energi
(MT)
Interval
Kematian
(Tahun)
Penumbuk terbakar di atmosfer Bumi
<50 m
<9
sering
~0
Tunguska
50 m-300 m
9-2.000
250
5 × 103
Peristiwa sub-global
300-600 m
2.000-1,5 × 104
35.000
3 × 105
300-1,5 km
2.000-1,5 × 105
25.000
5 × 105
300-5 km
2.000-107
25.000
1,2 × 106
Dampak global pada batas rendah
>600 m
1,5 × 104
70.000
1,5 × 109
Dampak global skala sedang
>1,5 km
2 × 105
500.000
1,5 × 109
Dampak global pada batas tinggi
>5 km
107
6 juta
1,5 × 109
K/T (kepunahan dinosaurus)
>10 km
108
100 juta
5 × 109
Tabel VI. Hubungan antara selang tumbukan dengan diameter penumbuk, energi tumbukan, dan
perkiraan angka kematian untuk tiap tumbukan (Chapman dan Morrison 1994).
Peristiwa tumbukan juga dapat mempengaruhi lingkungan. Tabel VII memberikan
efek tumbukan sebagai fungsi dari energi dari Morisson et al. (1994). Menurut Atkinson et
al. (2000) ada beberapa efek utama tumbukan pada lingkungan tempat terjadi tumbukan,
yaitu gelombang ledakan, tsunami (gelombang laut), injeksi material-material ke atmosfer,
dan perubahan elektromagnetik dekat permukaan.
(1). Gelombang ledakan.
Energi yang dilepaskan oleh asteroid atau komet, sampai maupun tidak ke
permukaan Bumi, dilepaskan dalam bentuk ledakan yang menyebabkan gelombang
ledakan. Gelombang tersebut menyebabkan perubahan tiba-tiba pada tekanan dan
membangkitkan angin yang berkecepatan tinggi. Angin dan debu-debu yang
dibawanya tersebutlah yang merupakan penyebab utama kerusakan. Area yang
mengalami kerusakan akibat angin tersebut, yang berkekuatan lebih besar daripada
angin topan, bisa dihitung sebagai ledakan di udara, dan bervariasi tergantung pada
altitude ledakan. Faktor lain yang mempengaruhi adalah komposisi, massa asteroid dan
lintasannya saat menuju Bumi.
Makin besar ukuran penumbuk makin besar energinya, sehingga ledakan
menjadi sangat luas, bisa menyebabkan sebagian atmosfer di atas lokasi terjadinya
tumbukan tertiup dari Bumi. Namun dengan cara itu rangkaian energi yang berubah ke
gelombang ledakan berkurang dan diharapkan hanya merusak beberapa persen
49
Tabel VII. Ringkasan efek tumbukan sebagai fungsi energi (Morisson et al. 1994)
Energi
(Mton)
Interval
(tahun)
Diameter
NEO
Diameter
kawah (km)
<10
10-100
1.000
75 m
1,5
100-1.000
4.000
160 m
3
1.000-10.000
16.000
350 m
6
10.000 sampai
100.000
63.000
700 m
12
100.000 sampai
1 juta
250.000
1,7 km
30
Konsekuensi
Ledakan dari asteroid batu dan komet pada lapisan atmosfer atas;
hanya asteroid besi (<3%) yang berhasil menembus permukaan.
Asteroid besi menimbulkan kawah (kawah Barringer); asteroid batu
menimbulkan ledakan di udara (peristiwa Tunguska). Tumbukan di
darat akan menghancurkan area seluas satu kota (Washington, Paris,
Moscow).
Asteroid-asteroid besi dan batu menimbulkan ledakan di tanah; komet
menimbulkan ledakan di udara. Tumbukan di darat menghancurkan
area seluas wilayah urban yang besar (New York, Tokyo).
Tumbukan di darat menghasilkan kawah; di laut menimbulkan tsunami
yang signifikan. Tumbukan di darat akan menghancurkan wilayah
seluas sebuah negara kecil (Deleware, Estonia).
Menimbulkan tsunami yang mencapai daratan, melampaui kerusakan
dari tumbukan di darat. Tumbukan di darat menimbulkan kerusakan
pada area seluas sebuah negara sedang (Virginia, Taiwan).
Tumbukan darat menimbulkan banyak debu yang mempengaruhi
iklim, membekukan panen, menghancurkan area seluas sebuah
negara besar (California, Prancis, jepang). Tumbukan di laut
Menimbulkan tsunami yang mencapai daratan. Kerusakan global
lapisan ozon.
50
Energi
(Mton)
Interval
(tahun)
Diameter
NEO
Diameter
kawah (km)
1 juta sampai
10 juta
1 juta
3 km
60
10 juta sampai
100 juta
10 juta
7 km
125
100 juta sampai
1 milyar
>1 milyar
100 juta
16 km
250
Konsekuensi
Baik tumbukan darat dan laut menaikkan debu, merubah iklim.
Ejecta tumbukan menyebar global, memicu merambatnya kebakaran.
Tumbukan di darat menghancurkan area seluas negara besar
(Meksiko, India)
Perpanjangan efek-efek iklim, kebakaran besar global, kemungkinan
kemusnahan massal. Kerusakan langsung mendekati skala benua
(Australia, Brazil, Amerika Serikat).
Kemusnahan massal besar-besaran (contoh: kemusnahan massal
K-T).
Ancaman terhadap eksistensi semua bentuk kehidupan lanjut.
1 Mton = kekuatan ledakan 1 megaton TNT, 1 Mton TNT = 4,2 × 1015 Joule
51
permukaan Bumi, dengan area kerusakan diperkirakan seluas wilayah satu negara yang
besar.
(2). Tsunami
Gambar 7. Tumbukan Eltanin,
Dibagian ujung tenggara laut
Pasifik sekitar 2,15 juta tahun lalu.
Bukti tumbukan berupa dasar
lautan yang mengalami kerusakan
seluas ratusan kilometer persegi.
Dua peta disamping didasarkan
pada perhitungan. Peta pertama (di
atas) menunjukkan muka
gelombang setelah 5 jam, tinggi 70
meter dan telah bergerak sejauh
2000 km. Inset menunjukkan kawah
yang terbentuk akibat tumbukan,
lebarnya 60 km dan dalamnya 5 km.
Peta kedua (dibawah) menunjukkan
tsunami yang menyebar ke seluruh
lautan Pasifik, mencapai Jepang
dalam waktu 20 jam, dan ke laut
Atlantik menuju pantai Afrika
bagian selatan. (Steven Ward/Eric
Asphaug, UCal, Santa Cruz dalam
Atkinson et al. 2000)
Karena dua pertiga permukaan Bumi berupa lautan, maka lebih besar
kemungkinan tumbukan untuk terjadi di lautan. Kawah juga terbentuk, namun tidak
stabil dan terisi kembali dengan cepat. Hal tersebut menimbulkan rangkaian gelombang
air yang dalam, yang disebut tsunami. Gelombang tersebut merambat ke arah luar dari
titik tumbukan, dengan kecepatan umumnya 500 km/jam atau lebih untuk lautan yang
dalam (Paine 1999). Kerusakan yang ditimbulkannya bisa sangat luar biasa, yang
disebabkan oleh amplifikasi tinggi gelombang saat mendekati garis pantai. Gelombang
52
tsunami ini dapat menimbulkan kerusakan material sama besar dengan kematian yang
ditimbulkan. Untuk benda langit berukuran 200 m sampai 1000 m tsunami mungkin
adalah konsekuensi dari tumbukan yang paling menghancurkan karena cukup banyak
populasi manusia yang tinggal di dekat tepi pantai. Contoh tsunami akibat tumbukan
adalah tsunami yang terjadi di Chicxulub, membawa endapan material sampai jauh ke
daratan ke Haiti, Texas, dan Florida. Tsunami lain akibat tumbukan adalah tsunami
tumbukan Eltanin yang terjadi 2,15 juta tahun lalu.
(3). Injeksi material-material ke atmosfer.
Dari lapisan yang menandai peristiwa K-T, didapatkan partikel-partikel seukuran
tetes hujan yang meleleh saat peristiwa tumbukan tersebut. Partikel-partikel dengan
ukuran tersebut hanya akan bertahan satu atau dua hari di atmosfer, sehingga tidak
terlalu berpengaruh dalam mengurangi sinar matahari yang sampai ke Bumi. Energi
yang diradiasikan mereka saat mendingin, yang membakar material-material mudah
terbakar, yang berbahaya karena dapat meracuni udara.
Partikel-partikel lebih kecil dapat bertahan lebih lama, berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun, dan jika partikel-partikel tersebut berjumlah banyak, bisa mengurangi
sinar matahari yang sampai ke Bumi. Jika itu terjadi maka akan menimbulkan efek
pendinginan yang dinamakan nuclear winter effect (efek musim dingin nuklir). Efek
tersebut bagi Bumi akan menghancurkan semua bentuk kehidupan termasuk manusia.
Beberapa perubahan kimiawi juga menyusul peritiwa tumbukan, seperti terbentuknya
nitrogen oksida yang merupakan sumber hujan asam dan merusak lapisan ozon yang
mengurangi perlindungan dari radiasi sinar ultra violet.
(4). Efek elektromagnetik di atmosfer bagian atas.
Ledakan senjata nuklir di atmosfer mengakibatkan gangguan sampai ke
ionosfer. Walaupun ledakan terjadi pada altitude rendah, gelombang kejutnya dapat
mencapai 100-200 km. Tumbukan oleh NEO dapat menimbulkan energi yang jauh
lebih besar dari ledakan nuklir, maka efek elektromagnetiknya yang ditimbulkannya
juga akan lebih besar, dapat memicu pemanasan dalam skala besar dan gangguan
elektromagnetik dalam skala intensitas yang tinggi. Dalam ledakan-ledakan udara yang
sering terjadi (10 kali pertahun) dari benda-benda berukuran kecil, gangguan sederhana
dalam komunikasi radio seringkali tercatat dan terjadi kegagalan saluran listrik.
53
Gangguan yang lebih besar lagi akan dapat mengacaukan instalasi-instalasi listrik
lainnya.
3.2. Skala Potensi Tumbukan antara Asteroid dengan Bumi.
Berdasarkan Chesley et al. (2002), minimal ada tiga faktor yang masing-masing
sama penting dalam pengukuran potensi tumbukan dari suatu asteroid, waktu tumbukan,
energi tumbukan, dan probabilitas tumbukan. Waktu yang tersedia sampai peristiwa
tumbukan menentukan waktu yang tersedia untuk bereaksi terhadap ancaman tumbukan,
yang sangat mempengaruhi tindakan yang perlu diambil. Probabilitas tumbukan yang
tinggi untuk jangka waktu sebulan, setahun, satu dekade, satu abad, atau milenium di masa
yang akan datang, masing-masing akan memerlukan strategi mitigasi dan memiliki tingkat
kepentingan publik yang berbeda-beda.
Kunci dalam pertimbangan pengambilan tindakan terhadap ancaman tumbukan
adalah mengetahui konsekuensi dari suatu peristiwa tumbukan. Di atas telah dituliskan
dampak-dampak tumbukan yang berhubungan dengan energi tumbukan. Suatu peristiwa
tumbukan dapat menyebabkan kerusakan lokal, regional, atau global. Ada juga tumbukan
yang tidak akan merusak sama sekali, yang hanya penting bagi penelitian ilmiah.
Kemungkinan benar-benar terjadinya suatu tumbukan juga merupakan faktor yang
sangat penting. Signifikannya prediksi suatu peristiwa tumbukan relatif terhadap frekuensi
rata-rata tumbukan bisa memberikan gambaran tingkat kepentingan terhadap situasi yang
akan dihadapi.
Dengan menggunakan ketiga faktor-faktor diatas, kemudian dapat dikarakterisasi
resiko tumbukan, untuk sepanjang selang waktu, energi, dan probabilitas tumbukan. Resiko
tumbukan akan digambarkan dalam dua skala, skala resiko intrinsik (intrinsic risk), yang
terbebas dari skala waktu dan resiko latar dari tumbukan, dan yang satunya mengukur
resiko relatif dengan membandingkan resiko intrinsik dengan ancaman latar belakang.
Skala yang kedua tersebut dinamakan resiko ternormalisasi (normalized risk) Masingmasing skala memiliki interpretasi yang berbeda-beda, dan bersama-sama memberikan
gambaran yang sangat berguna mengenai keseriusan suatu ancaman tumbukan.
54
3.2.1. Energi Tumbukan
Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, konsekuensi dari suatu peristiwa
tumbukan dipengaruhi oleh energi yang dihasilkan oleh tumbukan. Energi yang dilepaskan
dalam suatu tumbukan dapat dihitung menggunakan persamaan energi kinetik.
E=
1
MV 2
2
(3.3)
Energi tumbukan tersebut akan sulit ditentukan dikarenakan adanya ketidakpastiaan
dalam massa benda M dari benda langit.. Pembahasan mengenai penentuan massa asteroid
akan dibahas pada sub bab berikutnya. Sementara nilai kecepatan V bisa dihitung dengan
presisi yang tinggi karena lintasan tumbukan untuk tiap tumbukan dapat diketahui. Untuk
mendapatkan nilai V, bisa didapatkan dari persamaan:
V 2 = V∞2 + Ve2
(3.4)
dengan V∞ adalah kecepatan ekses hiperbolik suatu benda langit relatif terhadap Bumi, dan
Ve adalah kecepatan lepas Bumi dimana:
Ve 2 =
2GM ⊕
(11,18 km/det) 2
r⊕
(3.5)
GM⊕ adalah konstanta gravitasi Bumi dikalikan massa Bumi dan r⊕ adalah radius ekuator
Bumi. Nilai GM⊕ = 3,98600441 × 1014 m3s-2 dan r⊕ = 6,378136 × 106 m (Schubert dan
Walterscheid 2000). Untuk benda-benda dengan orbit heliosentris, V∞ dapat dihitung
dengan menggunakan teori encounter Öpik (Öpik 1976 dalam Chesley et al. 2002):
⎡
⎤
a (1 − e 2 )
a
V∞ = GM : /a⊕ ⎢3 − ⊕ − 2
cos i ⎥
⎢
⎥
a
a⊕
⎣
⎦
(3.6)
dengan G M : adalah konstanta Matahari sebesar 1,33 × 1020 m3s-2, a⊕ = 1 AU adalah
sumbu setengah panjang Bumi, sementara a, e, i adalah sumbu setengah panjang,
eksentrisitas, dan inklinasi orbit heliosentris penumbuk. Teori Öpik mensyaratkan bendabenda kecil memiliki orbit hiperbolik relatif terhadap kerangka geosentris, dan untuk benda
langit dengan orbit geosentris elips yang weakly-bound, V∞ dapat diasumsikan nol. Teori
tersebut juga mengasumsikan bahwa planet memiliki eksentrisitas rendah, yang
sepenuhnya menjamin tumbukan dengan Bumi.
55
3.2.2. Probabilitas Tumbukan
Probabilitas akan benar-benar terjadinya suatu tumbukan merupakan input eksternal
dalam evaluasi resiko tumbukan. Pada tingkat pertama, setiap dinamika perbedaan lintasan
yang menuju ke arah terjadinya tumbukan harus melewati analisis resiko berdasarkan
probabilitas untuk tiap-tiap tahap menuju tumbukan.
Untuk menghitung probabilitas tumbukan, lakukan fitting (pencocokkan) terlebih
dahulu parameter-parameter orbit terhadap hasil pengukuran posisi dari benda langit (yang
di sini berupa asteroid). Hasil fitting tersebut adalah parameter-parameter orbit memiliki
wilayah ketidakpastian. Setelah itu yang perlu diperhatikan adalah orbit nominal asteroid,
di sini yang diperhatikan adalah di titik saat asteroid berada paling dekat dari Bumi
(maximum approach). Periode dari close encounter sangatlah sebentar dibandingkan
dengan periode orbit asteroid tersebut, sehingga orbit dapat dianggap berupa sebuah garis
lurus di wilayah closest approach. Dari sana dapat didefinisikan bidang target (target
plane) yang orthogonal terhadap orbit asteroid dan mencakup didalamnya titik maximum
approach dan Bumi.
Orbit yang diketahui dari asteroid hanya berupa pendekatan, maka titik maximum
approach pada bidang target dikelilingi oleh wilayah dari semua kemungkinan orbit.
Sementara itu Bumi sendiri juga merupakan suatu wilayah karena dimensinya. Dimensi
tersebut sedikit lebih besar dari radius Bumi dengan atmosfernya (karena adanya
gravitational focusing). Probabilitas tumbukan dapat dihitung sebagai perbandingan cross
section Bumi dan yang termasuk ke dalam area yang dipengaruhi gravitational focusing
tadi dan semua kemungkinan orbit asteroid (gambar 8).
Dengan terus dilakukannya pengamatan, ketidakpastian orbit asteroid tadi akan
mengecil sehingga wilayah kemungkinan orbit juga akan makin mengecil. Inilah yang
menjadi alasan kenapa dengan makin banyaknya pengamatan probabilitas tumbukan makin
membesar. Tetapi probabilitas tersebut juga bisa makin mengecil bahkan menjadi nol
karena tidak adanya suatu wilayah yang sama atau pertemuan pada/antara cross section
Bumi dengan wilayah dari semua kemungkinan orbit asteroid.
Jika kemudian probabilitas menjadi makin besar, baru analisis kedua yang
menggunakan komputasi dibuat. Disini digunakan asteroid virtual, yang mewakili asteroid
yang sesungguhnya di wilayah ketidakpastian disekitar asteroid nominal, dengan elemenelemen orbit yang berbeda-beda sedikit. Pergerakan asteroid-asteroid virtual tesebut
56
beserta wilayah ketidakpastian lokal masing-masing dianalisis sebagai analisa awal.
Diambil sampel lengkap dari wilayah ketidakpastian dengan integrasi terhadap waktu
asteroid virtual sampai tumbukan dengan Bumi terjadi. Sebagai contoh, jika dari total 105
asteroid virtual hanya dua yang mampu menumbuk Bumi maka probabilitas tumbukan
untuk asteroid yang sebenarnya sebesar 5 × 10-4. Probabilitas sebagai probabilitas
kumulatif dari semua tumbukan yang terdeteksi dari sebuah asteroid dalam kerangka waktu
ratusan tahun, umumnya berada pada selang 10-4 sampai 10-10.
A3
planet
A1
A2
Gambar 8. Contoh kemungkinan perpotongan dalam bidang target. A1 adalah perhitungan pertama
kemungkinan orbit, A2 dan A3 perhitungan setelah data pengamatan yang lebih baik tersedia.
Probabilitas tumbukan meningkat dari A1 ke A2, tetapi turun ke nol pada A3.
3.2.3. Resiko Intrinsik, Resiko Latar, dan Resiko Relatif
Dengan mengetahui energi tumbukan E dan probabilitas tumbukan Pl dapat
dihitung energi yang diharapkan Ẽ untuk suatu peristiwa tumbukan tertentu yang, yaitu:
Ẽ = Pl E
(3.7)
Ẽ sebenarnya merupakan probabilitas energi, yaitu energi rata-rata yang diharapkan akan
terjadi. Nilai tersebut memberikan indikasi jumlah keseluruhan resiko yang dimunculkan
oleh suatu benda tanpa konteks waktu atau resiko latar. Energi yang diharapkan ini
merupakan cara yang cukup baik untuk mengevaluasi suatu peristiwa dalam ancamannya
terhadap manusia, ekonomi dan lingkungan.
57
Energi yang diharapkan ini juga bisa menjadi pemandu yang berguna dalam
mencari tumbukan yang potensial. Daripada memonitor semua benda ke tingkat tertentu
probabilitas tumbukan, akan lebih baik mencari sampai pada tingkat Ẽ tertentu. Cara
tersebut lebih beralasan dan memberikan strategi monitoring yang lebih optimal dari
perspektif perlindungan terhadap Bumi.
Sangatlah penting untuk mengukur resiko yang dihadirkan oleh tumbukan atau
benda tertentu relatif terhadap statistik, yaitu ancaman rata-rata dari keseluruhan populasi
komet dan asteroid terhadap rentang waktu yang sangat panjang. Chesley et al. (2002)
memberikan fungsi eksponen sederhana untuk frekuensi tumbukan dengan energi yang
lebih besar dari E:
fB =
3 −4 5 −1
E yr
100
(3.8)
fB adalah frekuensi tumbukan, E energi dalam satuan Mton TNT (1 Mton TNT = 4,2 × 1015
J).
Resiko yang mengacu pada benda-benda yang belum ditemukan seperti ini disebut
resiko “latar”, akan mengecil seiring dengan waktu dengan bertambah penemuan bendabenda yang baru. Resiko latar ini dapat diukur dengan menghitung semua tumbukan pada
tingkat energi yang lebih tinggi menggunakan persamaan (3.8) atau mengestimasi fluks
energi untuk tumbukan pada energi tertentu. Untuk mengestimasi fluks tersebut
diasumsikan untuk nilai yang rendah, frekuensi tumbukan (per tahun) sebanding dengan
probabilitas tahunan untuk tumbukan pada tingkat energi tersebut atau yang lebih besar
lagi. Dari sini dapat diturunkan kerapatan probabilitas tumbukan pertahunnnya, γ (E), pada
energi E:
γ (E) =
3 −9 5
E Mton TNT −1
125
sehingga
∞
∫E γ ( E )dE
(3.9)
akan memberikan persamaan untuk fB pada persamaan (3.8) di atas.
Dengan kerapatan probabilitas tumbukan, sekarang dapat dihitung fluks energi yang
diharapakan pertahunnya, ẼB, untuk lebar pita energi tertentu, (α – α-1)E, berdasarkan
persamaan:
uE
E B ( E , α ) = ∫ Eγ ( E ) dE
Eα
58
(
)
3 15
α − α −1 5 E1 5 Mton TNT
(3.10)
25
Dengan definisi resiko latar dapat dihitung perbandingan energi yang diharapkan
=
dari suatu peristiwa tumbukan terhadap resiko latar fluks energi dari peristiwa pada energi
yang sama sepanjang tahun sebelum tumbukan:
Rα =
E
E B ( E , α ) ΔT
(3.11)
Dengan ∆T adalah jumlah tahun yang tersisa sampai peristiwa tumbukan terjadi.
Persamaan (3.11) bisa diturunkan ke dalam bentuk persamaan:
Rα =
Pl
κ f B ΔT
(3.12)
dimana
(
κ = 4 α 1 5 − α −1 5
)
(3.13)
Jadi, dengan pita energi yang digunakan untuk perbandingan melebar, κ membesar, dan
resiko relatif berkurang. Jika dipasang κ = 1 didapatkan:
5
⎛ 1 + 65 ⎞
α = ⎜⎜
⎟⎟ − 1,865
⎝ 8 ⎠
(3.14)
(
)
yang secara tidak langsung menyatakan pita energi dengan lebar α − α −1 E − 1,329 E .
Dengan menggunakan nilai α tersebut untuk skala sekarang, didefinisikan resiko
ternormalisasi sebagai:
R=
Pl
f B ΔT
(3.15)
Pada potensi tumbukan yang ditemukan saat-saat ini resiko ternormalisasi
sangtalah kecil mulai dari dibawah 10-11 sampai 10-1, sehingga digunakan fungsi logaritma
untuk mendefinisikan skala resiko:
P = log10R
(3.16)
Skala potensi tumbukan ini dinamakan skala Palermo. Pada skala palermo jika nilai
P <-2 maka peristiwa tersebut tidak akan membahayakan. Untuk nilai -2 ≤ P ≤ 0, maka ini
merupakan kondisi yang membutuhkan pengawasan. Untuk skala Palermo yang bernilai
positif, maka kondisi tersebut memerlukan perhatian pada tingkat tertentu.
59
3.3. Massa Asteroid
Dari Hilton (2002) diketahui bahwa asteroid yang pertama kali ditentukan
massanya adalah asteroid Vesta oleh Hertz di tahun 1966 dengan menggunakan gangguan
terhadap asteroid 197 Arete. Selanjutnya sampai dengan tahun 1989 pengukuran massa
asteroid dilakukan baru untuk tiga asteroid lainnya, yaitu 1 Ceres, 2 Pallas, dan 10 Hygea,
juga dilakukan penentuan ulang massa Vesta. Sampai dengan tahun 2002 baru 24 asteroid
yang ditentukan massanya. Kesulitan dalam menentukan massa asteroid adalah karena
ukurannya yang sangat kecil. Penentuan massa asteroid membutuhkan pengamatan efek
gravitasi dari asteroid terhadap benda lain seperti satelit asteroid, terhadap asteroid lainnya,
atau pesawat ruang angkasa. Metode-metode yang dikembangkan untuk pengukuran massa
asteroid selanjutnya adalah astometri dengan pesawat ruang angkasa, pengamatan satelitsatelit asteroid, pengamatan berakurasi tinggi (~1 milidetik busur) dan pengamatan radar
pada asteroid.
Perhitungan massa asteroid yang dilakukan di sini dilakukan dengan sederhana.
Asumsikan bahwa asteroid berupa bola. Massa dihitung dengan menggunakan persamaan:
M = ρV
(3.17)
volume bisa dihitung dengan menggunakan persamaan volume bola:
4
Vbola = π r 3
3
(3.18)
r adalah jari-jari bola. Dengan mengetahui rapat massa ρ suatu asteroid, dapat dihitung
massa asteroid:
4
M = ρ π r3
3
(3.19)
Jadi yang dibutuhkan disini adalah mengetahui jari-jari dan rapat massa asteroid.
Jari-jari asteroid dapat diketahui dengan menggunakan persamaan yang akan dibahas
berikutnya, yang diperlukan kemudian adalah mengetahui rapat massa asteroid.
Rapat massa dinyatakan sebagai massa persatuan volume. Terdapat dua jenis rapat
massa yaitu grain density dan bulk density. Grain density adalah rapat massa yang dihitung
dari massa sebuah benda dibagi dengan volume yang terisi hanya oleh butir-butir mineral
penyusunnya. Jadi grain density merupakan rapat massa rata-rata dari bagian-bagian padat
batu. Beberapa contoh density grain material-material umum pada asteroid untuk tanah liat
2.2-2.6 g/cm3, untuk mafic silicates pyroxene dan olivine sebesar 3.2-4.37 g/cm3, dan Ni-
60
Fe 7.3-7.7 g/cm3 (Britt et al. 2002). Bulk density merupakan rapat massa yang dihitung dari
massa suatu benda yang dibagi dengan volumenya, termasuk volume dari lubang poriporinya (pore). Nilai dari bulk density biasanya didapatkan dari pengukuran oleh pesawat
ruang angkasa. Perbandingan antara grain density dengan bulk density disebut porositas,
yaitu persentase dari volume bulk sebuah batu yang diisi oleh ruang kosong. Mean bulk
density untuk asteroid-asteroid kelas C, S, dan M berturut-turut adalah 1,4 (±0.05), 2,69
(±0.04), dan 4,7 (±0.5) g/cm3 (Standish 2001 dalam Britt et al. 2002).
Terdapat dua jenis porositas, mikroporositas dan makroporositas. Mikroporositas
biasa ditemukan di meteorit, dengan ukuran sekitar sepuluh mikrometer. Rekahan-rekahan
dan ruang-ruang kosong yang berukuran lebih besar, bisa seukuran meteorit, pada asteroid
disebut makroporositas. makroporositas merupakan zona struktur lemah yang akan hancur
saat terjadi tumbukan dan yang akan menjadi meteorit (Britt et al. 2002).
Gambar 9. Perkiraan porositas untuk beberapa asteroid (Britt et al. 2002)
61
Berdasarkan penelitian Britt et al. (2002) terhadap asteroid-asteroid sabuk utama,
menemukan asteroid-asteroid dengan porositas yang rendah (<15%) sangatlah jarang, yang
termasuk kelompok ini antara lain 1 Ceres, 2 Pallas, 4 Vesta, dan 20 Massalia. Kebanyakan
asteroid memiliki porositas yang signifikan, dengan porositas sekitar 30%. Asteroid 16
Psyche dan 22 Kalliope memiliki porositas lebih dari 70%. Makroporositas untuk asteroidasteroid tersebut menunjukkan adanya tiga kelompok. Kelompok pertama adalah asteroidasteroid dengan makroporositas yang nol, yaitu 1 Ceres, 2 Pallas, 4 Vesta, dan memiliki
makroporositas rendah yaitu asteroid 20 Massalia. Kelompok kedua makroporositas berada
pada selang 15%-25% seperti asteroid 433 Eros, 243 Ida, 762 Pulcova dan 121 Hermione.
Kelompok terakhir memiliki makroporositas >30%. Dengan asteroid 16 Psyche merupakan
asteroid dengan porositas paling tinggi yang diamati sejauh ini.
Gambar 10. Perkiraan makroporositas beberapa asteroid (Britt et al. 2002)
62
Menurut Britt et al. (2002) porositas dan tumbukan saling mempengaruhi. Materialmaterial yang memiliki porositas merupakan pelemah tekanan kejut dibandingkan dengan
material-material yang berporositas. Porositas akan melemahkan gelombang tekanan yang
dibangkitkan saat tumbukan dengan cara mencurahkan energi yang ditimbulkan oleh
gelombang kejut untuk meruntuhkan ruang-ruang pori. Selain itu ruang-ruang pori juga
menyebarkan atau menghamburkan muka gelombang. Di sisi lain tumbukan dapat
menimbulkan retakan-retakan atau ruang-ruang pori yang baru (memperbesar porositas)
atau sebaliknya untuk asteroid-asteroid dengan porositas yang tinggi tumbukan justru akan
memadatkan asteroid (memperkecil porositas). Dapat dikatakan porositas sangat signifikan
dan berpengaruh saat tumbukan pada asteroid, maka perhitungan massa asteroid akan lebih
baik menggunakan densitiy bulk terutama sekali karena asteroid memiliki porositas yang
tinggi.
3.4. Diameter Asteroid
Untuk menentukan massa dengan menggunakan persamaan (3.19) yang diperlukan
selanjutnya adalah mengetahui diameter asteroid. Dalam menghitung diameter asteroid,
disini digunakan persamaan dari Bowell dan Lumme dan Gehrels (dalam Binzel et al 1989,
hlm 551), dimana:
log pH = 6.259 − 2 log D − 0.4 H
(3.20)
atau
log D = 3.129 − 0.5log p − 0.2 H
(3.21)
dengan D adalah diameter asteroid dalam km. p adalah albedo dengan menggunakan nilai
0,21±0,05 untuk asteroid tipe S dan 0,06±0,02 untuk asteroid tipe C (Dermawan 2004). H
adalah magnitudo mutlak dari asteroid, magnitudo tereduksi pada kecerlangan rata-rata
asteroid dan pada sudut fase (sudut Bumi-Objek-Matahari) α = 00.
Magnitudo rata-rata asteroid sebagai fungsi sudut fase, H(α), dapat dihitung dengan
persamaan Bowell (1989):
H (α ) = H − 2,5log ⎡⎣(1 − G ) Φ1 (α ) + GΦ 2 (α ) ⎤⎦
(3.22)
H(α) adalah magnitudo dalam pita V pada sudut fase α, G adalah indikator dari gradient
kurva fase, dengan G ≈ 0 untuk kurva fase yang curam (albedo rendah) dan G ≈ 1 untuk
63
kurva fase yang dangkal (albedo tinggi). Φ1 dan Φ2 adalah fungsi fase yang dinormalisasi
menjadi kesatuan pada α = 0o. Dengan Φ1 dan Φ2 memiliki rasio 1 – G : G.
Magnitudo tereduksi V(α) bisa didapatkan dari persamaan:
(3.23)
V (α ) = Vobs (α ) − 5log r Δ
dengan Vobs(α) adalah magnitudo yang diamati, r jarak heliosentris dan Δ jarak geosentris
dari asteroid, kedua-duanya dalam AU.
Untuk mendapatkan nilai Φ1 dan Φ2, dapat digunakan persamaan:
⎧Φi = W Φ is + (1 − W ) Φ iL ; i = 1, 2
⎪
⎪W = exp ⎛ −90,56 tan 2 1 α ⎞
⎜
⎟
⎪
2 ⎠
⎝
⎪
Ci sin α
⎪Φ = 1 −
is
⎪
0,119 + 1,341sin α − 0, 754sin 2 α
⎪
⎡
1 ⎞ ⎤
⎪
⎛
⎪ΦiL = exp ⎢ − Ai ⎜ tan α ⎟ Bi ⎥
2 ⎠ ⎦
⎝
⎨
⎣
⎪ A = 3,332
⎪ 1
⎪ B1 = 0, 631
⎪
⎪C1 = 0,986
⎪ A2 = 1,862
⎪
⎪ B2 = 1, 218
⎪C = 0, 238
⎩ 2
(3.24)
Bisa diekspresikan dalam bentuk yang lebih sederhana
B
⎧
⎡
1 ⎞ i⎤
⎛
⎪Φ i = exp ⎢ − Ai ⎜ tan α ⎟ ⎥ ; i = 1, 2
2 ⎠ ⎦⎥
⎝
⎪
⎣⎢
⎪
⎪ A1 = 3,33
⎪
⎨ B1 = 0, 63
⎪ A = 1,87
⎪ 2
⎪ B2 = 1, 22
⎪
⎪⎩
(3.25)
Persamaan (3.24) dan (3.25) berlaku untuk sudut fase 0o ≤ α
64
< 120o dan 0 < G < 1.
3.5. Perhitungan Posisi NEA dan PHA
Untuk mendapatkan posisi asteroid-asteroid dapat disini digunakan persamaan
Keplerian dari Standish. Persamaan Keplerian bersama elemen-elemen orbit dan lajunya
umumnya digunakan untuk mendapatkan posisi dari planet-planet utama. Elemen-elemen
orbit yang dapat digunakan pada persamaan Kepler dibawah ini hanya untuk selang waktu
tertentu. Elemen-elemen orbit dan laju perubahannya untuk planet-planet bisa dilihat di
lampiran C yang merupakan elemen-elemen orbit dan laju perubahannya yang berlaku
untuk selang waktu 1800-2050 M dan 3000 SM-3000 M.
Elemen-elemen orbit yang dibutuhkan dalam penentuan posisi yang menggunakan
persamaan Kepler adalah:
.
ao , a = sumbu setengah panjang [au, au/abad]
.
eo , e = eksentrisitas [ , /abad]
.
I o , I = inklinasi [derajat, derajat/abad]
.
Lo , L = mean longitude [derajat, derajat/abad]
.
ϖ o ,ϖ = longitude perihelion [derajat, derajat/abad] (ϖ = ω + Ω )
.
Ωo , Ω = longitude ascending node [derajat, derajat/abad]
Untuk mendapatkan koordinat planet pada Julian Ephemeris Date tertentu, Teph,
lakukan:
.
1). Hitung nilai dari enam elemen-elemen planet: a = ao + aT , dan seterusnya. T adalah
jumlah abad setelah J2000.0, yaitu T = ( Teph-2451545.0)/36525.
2). Hitung argument perihelion, ω, dan mean anomali, M:
ω =ϖ − Ω
(3.26)
M = L − ϖ + bT 2 + c cos( fT 2 ) + s sin( fT)
(3.27)
dengan tiga suku terakhir ditambahkan pada M untuk planet Yupiter dan planet-planet
setelahnya (sampai Pluto), jika persamaan tersebut digunakan untuk mendapatkan M di
selang waktu 3000 SM sampai 3000 M.
65
3). Modulasi (atur) supaya mean anomali -1800 ≤ M ≤ +1800 dan dapatkan anomali
eksentrisitas, E, dari solusi persamaan Kepler:
M = E − e* sin E
dengan e* =
180
π
(3.28)
e = 57, 29578e
(3.29)
Solusi Persamaan Kepler, M = E – e* sin E, untuk nilai mean anomaly, M, dan
eksentritas, e*, kedua-duanya dalam derajat, dimulai dengan menghitung:
E0 = M + e* sin M
(3.30)
Kemudian lakukan iterasi untuk tiga persamaan di bawah ini, dengan n = 0, 1, 2, …,
sampai | ∆E | ≤ tol (perhatikan bahwa e* dalam derajat; e dalam radians) dengan disini
digunakan tol = 10-6 derajat.
∆M = M – (En – e* sin En) ; ∆E = ∆M / (1 – e cos En) ; En+1 = En + ∆E
(3.31)
4). Hitung koordinat heliosentris planet pada bidang orbitnya, r′, dengan sumbu x′ ditarik
dari fokus ke perihelion:
x' = a ( cos E − e ) ; y ' = a 1 − e2 sin E ; z ' = 0
(3.32)
5). Hitung koordinat, recl, pada bidang ekliptik J2000, dengan sumbu x ditarik terhadap
ekuinok: recl = M r' ≡ R z ( −Ω )R x ( − I )R z ( −ω ) r'
sehingga
xecl = ( cos ω cos Ω − sin ω sin Ω cos I ) x '+ ( − sin ω cos Ω − cos ω sin Ω cos I ) y '
(3.33)
yecl = ( cos ω sin Ω + sin ω cos Ω cos I ) x '+ ( − sin ω sin Ω + cos ω cos Ω cos I ) y '
(3.34)
zecl = ( sin ω sin I ) x '+ ( cos ω sin I ) y '
(3.35)
Untuk selanjutnya perhitungan posisi ini akan menggunakan software
AsCaO (Asteroid Close-approach Orbit Computation) yang penjelasannya dapat dilihat
pada lampiran D.
66
Download