1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Bahasa sebagai alat komunikasi umat manusia merupakan alat
penggabung akal budi, perasaan, maupun untuk menjalin kerja sama yang sangat
penting (Sudaryanto, 1993: 54). Bahasa merupakan alat interaksi sosial atau alat
komunikasi manusia. Dalam setiap komunikasi, manusia saling menyampaikan
informasi yang berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara
langsung dalam bentuk tindakan atau tingkah tutur individual. Oleh karena itu,
dalam setiap telaah tindak komunikasi tersebut termasuk dalam ranah kajian
tindak tutur.
Istilah tindak tutur muncul karena di dalam mengucapkan sesuatu penutur
tidak semata-mata menyatakan tuturan, tetapi dapat mengandung maksud di balik
tuturan. Tuturan adalah kalimat yang diujarkan penutur ketika sedang
berkomunikasi. Austin (dalam Nababan, 1992: 29) menyatakan bahwa ujaran
yang bentuk formalnya adalah pernyataan, biasanya memberi informasi, tetapi ada
juga yang berfungsi lain yakni melakukan tindakan bahasa tertentu. Tindak tutur
merupakan perwujudan konkret fungsi-fungsi bahasa yang merupakan pijakan
analisis pragmatik (Rahardi, 2005).
Menurut Wijana (1996: 13) yang menjadi pusat kajian pragmatik adalah
maksud pembicara yang secara tersurat atau tersirat di balik tuturan yang
dianalisis. Tuturan yang digunakan dalam rangka pragmatik merupakan bentuk
1
2
dari tindak tutur yang di dalamnya tersusun dari beberapa kalimat. Kemudian
Wijana (1996: 4) menjelaskan bahwa tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak
tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung adalah
tindak tutur dilihat dari penggunaan kalimat secara konvensional. Artinya, jika
kalimat berita difungsikan untuk mengatakan sesuatu, kalimat tanya untuk
bertanya, kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon, dan sebagainya.
Sementara tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang diutarakan secara
tidak langsung, tetapi harus segera dilaksanakan maksud yang terimplikasi di
dalamnya (Wijana, 1996: 30). Sebagai contoh tindak tutur langsung dan tindak
tutur tidak langsung adalah ungkapan berikut:
(1) Sidin mempunyai lima buah apel (Wijana, 1996: 30).
Contoh ungkapan (1) di atas adalah untuk memberitahukan bahwa Sidin
mempunyai apel sebanyak lima buah. Ini termasuk tindak tutur langsung.
(2) Ada makanan di almari (Wijana, 1996: 30).
Kalimat (2) tersebut dalam konteks diucapkan kepada seorang teman yang
membutuhkan makanan. Hal ini dimaksudkan untuk memerintah mitra tuturnya
mengambil makanan yang ada di almari yang dimaksud, bukan sekedar untuk
menginformasikan bahwa di almari ada makanan. Ini termasuk tindak tutur tidak
langsung. Dalam studi pragmatik, tindak tutur tidak langsung yang dimaksudkan
untuk memerintah dapat diungkapkan dengan kalimat berita, kalimat tanya dan
kalimat perintah.
Di dalam komunikasi dibutuhkan adanya saling pemahaman antara pelaku
tutur. Pemahaman tersebut terjadi jika antara pelaku tutur berusaha agar
3
tuturannya relevan dengan kontek dan saling memberikan kontribusi secukupnya
sesuai dengan tujuan percakapan serta mematuhi prinsip percakapan yang ada.
Prinsip percakapan dalam kajian pragmatik mencakup dua prinsip, yakni
prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan. Prinsip kerja sama diterapkan agar
percakapan tersebut terjadi secara kooperatif atau terbuka dan bisa dimengerti
oleh pertisipan dalam dialog. Sementara, prinsip kesantunan diterapkan agar
percakapan menjadi santun atau sopan. Prinsip kerja sama akan terjadi apabila
pelaku tutur saling memahami tuturan yang diucapkan. Tuturan yang digunakan
dalam rangka pragmatik merupakan bentuk dari tindak tutur yang di dalamnya
tersusun dari beberapa kalimat, salah satunya adalah kalimat perintah.
Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa yang ada di dunia ini. Bahasa
Arab digunakan oleh orang-orang Arab untuk mengungkapkan maksud mereka
(al-Gulāyainī, 2008: 3). Ungkapan-ungkapan perasaan atau maksud tersebut dapat
berupa ujaran lisan maupun tulis dengan menggunakan kata-kata yang tersusun
menjadi sebuah kalimat yang dapat dipahami oleh lawan bicara atau mitra tutur.
Dalam hal ini Gulāyainī menjelaskan, sebagaimana juga bahasa-bahasa yang lain,
bahwa dalam bahasa Arab kata dibagi menjadi tiga, yaitu : ḥarf (partikel), ism
(kata benda), dan fi’l (kata kerja).
Fi’l adalah kata yang menunjukan atas suatu makna yang berkaitan dengan
waktu (Zakariya, 2009 : 3). Fi’l dibagi menjadi tiga, yaitu : fi’l māḍi, fi’l muḍāri’
dan fi’l amr. Fi’l amr merupakan fi’l yang berisi tuntutan yang dikehendaki oleh
pembicara sebagai orang yang memerintah agar dilakukan oleh lawan bicara
sebagai orang yang diperintah.
4
Berkaitan dengan penjelasan di atas maka penulis akan mencoba mengkaji
prinsip kerjasama dalam tindak tutur yang terdapat dalam naskah drama Izis
Karya Taufiq Al-Hakim dengan analisis pragmatik.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang muncul
adalah bagaimana kerja sama dalam tindak tutur yang terdapat pada naskah drama
Īzīs dapat terjadi?
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan bagaimana kerja
sama antar peserta tutur dalam tindak tutur yang terdapat dalam naskah drama Īzīs
dapat terjadi atau terwujud.
1.4
Tinjauan Pustaka
Di dalam bahasa Arab bentuk kalimat dikenal dengan kalām. Kalimat
(kalām) tersebut dibagi menjadi dua, yaitu kalimat berita (kalām khabar) dan
kalimat bukan berita (kalām insyā’). Kalām khabar adalah kalimat yang
mengandung kebenaran dan ketidakbenaran, sedangkan kalām insyā’ adalah
kalimat yang mengandung kebenaran dan ketidakbenaran (Hāsyimī, 2009).
Permasalahan kalimat perintah yang memakai fi’l amr sebelumnya pernah diteliti
oleh Bakhtiyar Salam (2007) dalam skripsinya yang berjudul “Kesantunan
Kalimat Perintah (imperatif) dalam Novel An-Nidā’u Al-Khālidu karya Najīb alKailānī (analisis sosiolinguistik)”. Skripsi tersebut membahas tentang kesantunan
kalimat perintah dengan analisis sosiolinguistik yang isinya membahas bentuk
kesantunan, tingkatan kesantunan dan fungsi kesantunan kalimat perintah bahasa
5
Arab dalam novel An-Nidā’u Al-Khālidu karya Najīb al-Kailānī. Kajian fi‘l amr
juga diteliti oleh Luqman (2006) dalam skripsinya yang berjudul “Maksud
Kalimat Perintah dalam Ṣuwarun min Ḥayah As-Saḥābah Juz II karya
Abdurrahman Ra‘fat Al-Pasya (analisis pragmatik)”. Skripsi tersebut membahas
kalimat perintah dengan analisis pragmatik yang isinya membahas bentuk dan
maksud kalimat perintah dalam novel Ṣuwarun min Ḥayah As-Saḥābah Juz II
karya Abdurrahman Ra‘fat Al-Pasya. Kajian fi’l amr juga pernah diteliti oleh
Miftachurrohman (1989) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Verba dalam
Ḥimārul-Ḥākim karya Taufīq Al-Hakīm (analisis morfologi)”. Dalam skripsi
tersebut dibahas tentang verba bahasa Arab yang terdapat dalam buku ḤimārulḤākim karya Taufīq Al-Hakīm. Selain itu, fi’l amr juga pernah diteliti oleh Amir
Ma’ruf pada tahun 1980 dalam laporan penelitiannya yang berjudul “Siyag AlAmr Fi Al-Lugah Al-Arabiyyah Wa Fawaiduha”, ia menuliskan tentang berbagai
bentuk kalimat perintah dalam bahasa Arab dan beberapa faedah serta makna
yang terkandung di dalamnya secara umum.
Dari penelitian-penelitian yang telah disebutkan di atas, dengan demikian
masih terbuka kesempatan bagi penulis untuk meneliti prinsip kerja sama dalam
tindak tutur berupa perintah pada naskah drama Īzīs karya Taufiq Al-Hakim dari
segi linguistik dengan menggunakan analisis pragmatik.
I.5
Landasan Teori
Pragmatik merupakan cabang ilmu yang mempelajari relasi bahasa dengan
konteksnya yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa
(Levison dalam Nadar, 2009: 4). Sementara Wijana (1996: 2-3) menyatakan
6
pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara
eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi. Jadi,
makna yang dikaji dalam pragmatik adalah makna yang terikat konteks atau
maksud penutur. Dalam bahasa Arab, ilmu yang membahas tentang keadaan
tuturan yang disesuaikan dengan keadaan yang melingkupinya disebut ‘Ilmu
Ma‘ani (Ḥusain, 1984: 79).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik
merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari maksud penutur yang
dipengaruhi oleh konteks atau lingkungan yang mendukungnya. Selain aspek
konteks, yang perlu diperhatikan dalam pragmatik adalah tuturan dan maksud
tuturan tersebut karena di dalam tuturan tersebut kemungkinan ada sesuatu yang
tersirat di balik yang tersurat (Wijana, 1996:13). Kemudian dalam hal ini Leech
(1993: 5-6) menambahkan bahwa pragmatik memperlajari maksud ujaran, yaitu
untuk apa ujaran itu dilakukan; mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada
siapa, di mana, dan bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat
sentral di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain
di bidang ini, seperti peranggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip
kerjasama dan prinsip kesantunan. Retorika tekstual, pragmatik membutuhkan
prinsip kerja sama.
Di dalam komunikasi yang wajar dapat diasumsikan bahwa seorang
penutur mengartikulasikan tuturan dengan maksud mengkomunikasikan sesuatu
kepada lawan bicaranya dan berharap lawan bicaranya dapat memahami kehendak
yang dikomunikasikan (Wijana, 1996:45). Selanjutnya, dia menjelaskan bahwa
7
hendaknya penutur selalu berusaha agar tuturannya relevan dengan konteks, jelas,
padat, ringkas, mudah dipahami, dan selalu pada konteks persoalan sehingga tidak
menghabiskan waktu lawan bicaranya. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi
itu berjalan secara lancar diperlukan adanya prinsip-prinsip kerja sama.
Dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama tersebut Grice (1975)
mengemukakan bahwa setiap penutur harus mematuhi empat maksim percakapan
(coversation maxim), yaitu: maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim
kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim
pelaksanaan (maxim of manner) (Wijana, 1996: 46).
Wijana (1996: 46-50) memberikan penjelasan dari setiap maksim sebagai
berikut: maksim kuantitas menghendaki setiap peserta percakapan memberi
kontribusi secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya,
tidak kurang dan tidak lebih., maksim kualitas mewajibkan setiap peserta
percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan
hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai., maksim relevansi
mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan
dengan masalah pembicaraan., maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta
percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebihlebihan, serta runtut.
Pemanfaatan teori ini dimaksudkan untuk mengetahui prinsip kerja sama
dalam tindak tutur perintah yang terdapat pada naskah drama Īzīs.
8
1.6
Metode Penelitian
Metode dan teknik merupakan dua konsep yang berbeda, tetapi
berhubungan langsung satu sama lain. Keduanya adalah “cara” dalam satu upaya.
Metode adalah cara yang harus dilaksanakan; teknik adalah cara melaksanakan
metode (Sudaryanto, 1993: 9).
Ada tiga tahap strategis yang harus dihadapi dalam sebuah penelitian
(Sudaryanto, 1993: 5). Masing-masing tahap menggunakan metode dan teknik
yang sesuai dengan objek sasaran penelitian. Adapun tahap-tahap tersebut adalah
tahap penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian analisis data.
Pada tahap penyediaan data digunakan metode simak dan teknik catat.
Metode simak dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto,
1993: 133). Teknik catat dilakukan dengan mencatat semua bahan penelitian
dalam kartu data yang segera dilanjutkan dengan klasifikasi data berdasarkan
maksim yang dikandung. Data berupa kalimat-kalimat perintah dalam drama Īzīs
yang telah diklasifikasi kemudian dikelompokkan dalam empat maksim, yaitu
maksim kuantitas ditunjukan dengan huruf A, maksim kualitas ditunjukan dengan
huruf B, maksim relevansi ditunjukkan dengan huruf C dan maksim pelaksanaan
ditunjukkan dengan huruf D. Kemudian dari empat maksim tersebut diambil dua
tuturan untuk dianalisis.
Pada tahap analisis data, metode yang digunakan adalah metode
kontekstual. Metode kontekstual adalah cara analisis yang diterapkan pada data
dengan mendasarkan, memperhitungkan dan mengkaitkan konteks (Rahardi,
2000: 14). Data yang telah diambil dari drama Īzīs dikaitkan dan dihubungkan
9
dengan konteks yang melingkupi kalimat tersebut sehingga dapat diketahui
dengan jelas prinsip kerja sama menggunakan kalimat perintah bahasa Arab
dalam naskah drama tersebut.
Setelah analisis data selesai, hasil analisis disajikan dalam sebuah laporan.
Pada tahap ini, penyajian laporan dilakukan secara informal, yaitu penyajian
laporan yang berwujud perumusan dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:
145).
1.7
Sistematika Penulisan
Hasil laporan ini akan disajiakan dalam tiga bab, yaitu: Bab I berisi
pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika
penulisan dan pedoman transliterasi. Bab II berisi mengenai drama Īzīs. Bab III
berisi mengenai perinsip kerja sama menggunakan kalimat perintah pada drama
Īzīs. Dan bab IV berisi kesimpulan dari bab-bab sebelumnya yang merupakan
jawaban dari rumusan masalah.
1.8
Pedoman Transliterasi
Pedoman transliterasi Arab ke Indonesia dalam penelitian ini berdasarkan
pada SKB Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no.
158 tahun 1987 dan no. 0543 b/U/1987.
Konsonan
Konsonan bahasa Arab dilambangkan dengan ḥarf hijā`iyyah atau disebut
huruf Arab. Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan
10
dengan tanda, dan sebagian yang lain dengan huruf dan tanda sekaligus. Berikut
huruf konsonan bahasa Arab pada tabel.
No
Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Keterangan
1
‫ﺍ‬
Alif
tidak dilambangkan
Tidak dilambangkan
2
‫ب‬
Ba
B
Be
3
‫ت‬
Ta
T
Te
4
‫ﺙ‬
Ṡa
Ṡ
Es dengan titik di atasnya
5
‫ﺝ‬
Jim
J
Je
6
‫ﺡ‬
Ḥa
Ḥ
Ha dengan titik di bawahnya
7
‫ﺥ‬
Kha
Kh
Huruf ka dan ha
8
‫د‬
Dal
D
De
9
‫ﺫ‬
Żal
Ż
Zet dengan titik di atasnya
10
‫ﺭ‬
Ra
R
Er
11
‫ﺯ‬
Za
Z
Zet
12
‫ﺱ‬
Sin
S
Es
13
‫ش‬
Syin
Sy
Es dan ye
14
‫ﺹ‬
Sad
Ṣ
Es dengan titik di bawahnya
15
‫ﺽ‬
Ḍ
De dengan titik di bawahnya
16
‫ﻁ‬
Ṭa
Ṭ
Te dengan titik di bawahnya
17
‫ظ‬
Ẓa
Ẓ
Zet dengan titik di bawahnya
18
‫ﻉ‬
‘ain
‘
Koma terbalik (di atas)
19
‫ﻍ‬
Gain
G
Ge
20
‫ﻑ‬
Fa
F
Ef
21
‫ﻕ‬
Qaf
Q
Qi
22
‫ك‬
Kaf
K
Ka
23
‫ل‬
Lam
L
El
24
‫ﻡ‬
Mim
M
Em
25
‫ن‬
Nun
N
En
26
‫ﻭ‬
Wawu
W
We
Ḍad
11
No
Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Keterangan
27
‫ﻫ‬
Ha
H
Ha
28
‫ﺀ‬
Hamzah
`
Apostrof condong ke kiri
29
‫ﻱ‬
Ya
Y
Ye
Vokal
Vokal bahasa Arab, terdiri atas vokal tunggal atau monoftong, vokal
rangkap atau diftong, dan vokal panjang atau maddah.
Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau ḥarakat,
transliterasinya sebagai berikut.
Huruf Vokal
Nama
Fatḥah
Huruf Latin
A
Nama
A
َ‫ـ ـ ـ‬
Kasrah
I
I
َ‫ـ ـ ـ‬
Ḍammah
U
U
َ‫ـ ـ ـ‬
contoh:
َ‫كتب‬
/Kataba/
‫ذكر‬
/Żukira/
Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara
ḥarakat dan ḥarf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:
Tanda
ََ‫اي‬
َ‫او‬
contoh:
‫كيف‬
‫حول‬
/Kaifa/
/ḥaula/
Nama
Fatḥah dan ya’
Huruf Latin
Ai
Nama
A-i
Fatḥah dan wau
Au
A-u
12
Vokal Panjang (maddah)
Vokal panjang yang lambangnya berupa ḥarakat dan ḥarf, transliterasinya
berupa huruf dan tanda, yaitu:
Tanda
Nama
Fatḥah dan alif
Huruf Latin
Ā
Nama
a dengan garis di atas
‫ـََى‬
Fatḥah dan ya’
Ā
a dengan garis di atas
‫ـََي‬
Kasrah dan ya’
Ī
i dengan garis di atas
Ū
u dengan garis di atas
‫ـَ ا‬
‫ـََو‬
Ḍammah
dan wau
contoh:
‫قال‬
‫قيل‬
‫يقول‬
/Qāla/
/Qīla/
/Yaqūlu/
Tā Marbūṭah
Ada dua macam transliterasi tā marbūṭah, yakni tā marbūṭah hidup dan tā
marbūṭah mati.
Tā Marbūṭah hidup atau mendapat ḥarakat fatḥah, kasrah, atau ḍammah
transliterasinya adalah /t/.
Tā Marbūṭah mati atau mendapat sukūn, transliterasinya adalah /h/. Kalau
pada kata yang terakhir dengan tā Marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan
kata sandang al serta kedua kata itu terpisah, maka tā Marbūṭah itu
ditransliterasikan dengan /h/.Contoh:
‫املنورة‬
ّ َ‫املدينة‬
/al-Madīnah al-Munawwarah/
atau
13
/al-Madīnatul al-Munawwarah/.
Huruf Ganda (Syaddah atau Tasydīd)
Tanda Syaddah dilambangkan dengan huruf yang sama, baik ketika berada
di awal atau di akhir kata.
Contoh :
‫ّنزل‬
َ‫البر‬
/Nazzala/
/al-birru/
Huruf Sandang “‫”ال‬
Kata sandang “‫ ”ﺍل‬ditransliterasikan dengan “al” diikuti dengan tanda
penghubung “-”, ketika bertemu huruf syamsiyyah dan qamariyyah.
Contoh :
‫الشمس‬
ّ
‫القمر‬
/asy-syamsu/
/al-qamar/
Hamzah
Hamzah ditransliterasikan dengan apostrof jika terletak ditengah dan akhir
kata. Bila terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan karena dalam tulisan Arab
berupa alif.
Contoh :
َ‫إ ّن‬
‫يأخذ‬
‫قرأ‬
/`inna/
/ya`khużu/
/qara`a/
14
Penulisan Kata
Pada dasarnya setiap kata ditulis terpisah, tetapi untuk kata-kata tertentu
yang penulisannya dalam huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain
karena ada huruf atau ḥarakat yang dihilangkan, maka transliterasinya
dirangkaikan dengan kata lain yang mengikutinya.
Contoh :
‫الرازقني‬
ّ َ‫وإ َّنَاهللَهلوَخري‬
/Wa innallāha lahuwa khair ar-rāziqīn/ atau
/wa innallāha lahuwa khairur-rāziqīn/
Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi
dalam transliterasinya huruf kapital digunakan dengan ketentuan Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD).
Contoh:
َ‫حممدَرسولََاهلل‬
/Muḥammadur ar-rasūlullāhi/
Download