PROPOSAL PENELITIAN A. Judul Peningkatan Kompetensi Mengubah Hasil Wawancara Menjadi Karangan Naratif Siswa Kelas VII5 SMPN … Melalui Curah Gagasan dengan Pola Kooperatif Dua-DuaEmpat B. Pendahuluan Berdasarkan Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP), standar kompetensi bahan kajian bahasa Indonesia diarahkan kepada penguasaan empat keterampilan berbahasa, yaitu: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat keterampilan ini menjadi faktor pendukung dalam menyampaikan pikiran, gagasan, dan pendapat, baik secara lisan maupun secara tertulis, sesuai dengan konteks komunikasi yang harus dikuasai oleh pemakai bahasa. Keterampilan menulis merupakan kemampuan yang paling sulit untuk dikuasai siswa dibandingkan dengan keterampilan berbahasa yang lain. Selain itu, pembelajaran keterampilan menulis tampaknya belum menggembirakan. Salah satu realita konkret yang mendukung pernyataan tersebut adalah kondisi pembelajaran keterampilan menulis di kelas VII5 SMPN ..... Berdasarkan pengalaman guru peneliti dan hasil observasi terhadap keadaan pembelajaran menulis di sekolah tersebut serta wawancara awal yang dilakukan dengan sejumlah guru bahasa Indonesia di sekolah tersebut, diperoleh informasi bahwa motivasi dan kemampuan menulis, termasuk menulis karangan naratif siswa masih sangat rendah yang ditandai siswa sering merasa jenuh jika disuruh mengarang, tidak ada siswa yang mempunyai kemampuan yang menonjol dalam pembelajaran mengarang, dan hasil karangan naratif siswa sangat memperihatinkan yang dibuktikan dengan hasil tes mengarang siswa yang hanya sekitar 40% siswa mencapai target SKM 7,0, karangan naratif siswa masih agak singkat (rata-rata ½ halaman), ide/gagasan siswa kurang berkembang, kosakata yang digunakan sederhana dan terbatas, penggunaan kalimat dan organisasi tulisan naratif masih kurang terarah. Fenomena lain yang tampak berdasarkan observasi awal di sekolah yang diteliti adalah sistem pembelajaran menulis yang diterapkan oleh guru cenderung monoton (didominasi 1 2 oleh penggunaan metode ceramah), pembelajaran dengan sistem klasikal yang mengarah pada komunikasi satu arah (guru siswa), dan lebih berorientasi penghapalan materi pembelajaran. Masalah yang timbul dalam proses pembelajaran menulis serta kemampuan siswa dalam menulis/mengarang yang belum memadai (masih rendah) sebagaimana uraian tersebut disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu: faktor siswa dan faktor strategi pembelajaran yang diterapkan oleh guru. Adapun faktor yang berasal dari siswa, antara lain: (1) motivasi siswa dalam menulis sangat minim; (2) konsep atau bahan yang dimiliki siswa untuk dikembangkan jadi tulisan sangat terbatas; (3) kemampuan siswa menafsiran fakta untuk ditulis sangat rendah; (4) kemampuan siswa menuangkan gagasan atau pikiran ke dalam bentuk kalimat-kalimat yang mempunyai kesatuan yang logis dan padu serta diikat oleh struktur bahasa. Adapun faktor yang berasal dari luar diri siswa, antara lain: (1) pokok bahasan menulis tidak memperoleh perhatian serius dari guru; (2) sarana dan metode atau strategi pembelajaran menulis belum efektif; (3) kurangnya hubungan komunikatif antara guru dan siswa serta siswa dengan siswa lainnya sehingga proses interaksi menjadi vakum.. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa dibutuhkan pembenahan dalam pembelajaran menulis. Kompetensi siswa dalam menulis karangan naratif dapat ditingkatkan dengan membenahi segala hal yang menjadi titik kelemahan siswa dalam menulis. Secara umum, menulis merupakan suatu proses sekaligus suatu produk/hasil. Menulis sebagai suatu proses berupa pengelolaan ide atau gagasan dari tema atau topik yang dipilih untuk dikomunikasikan dan pemilihan jenis wacana tertentu yang sesuai atau tepat dengan situasi dan konteksnya. Kemampuan menulis yang menuntut kemampuan untuk dapat melahirkan dan menyatakan kepada orang lain tentang hal yang dirasakan, dikehendaki, dan dapat dipikirkan dengan bahasa tulisan. Keterampilan menulis bukanlah kemampuan yang diwarisi secara turun-temurun dan tidak datang dengan sendirinya. Keterampilan ini menuntut pelatihan yang cukup dan teratur serta pembelajaran yang terprogram. Program-program tersebut disusun dan direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu. 3 Dalam proses belajar menulis (mengarang), berbagai kemampuan itu tidak mungkin dikuasai siswa secara serentak. Semua kemampuan itu dapat dikuasai siswa melalui suatu proses, setahap demi setahap. Karena kemampuan itu tidak bisa dikuasai secara serentak, untuk mempermudah mempelajarinya perlu dibuat skala prioritas. Penentuan prioritas ini diharapkan dapat digunakan sebagai strategi dasar untuk memulai belajar menulis. Sebagai strategi dasar, perioritas yang dimaksud tentu saja tidak hanya berupa suatu rangkaian kemampuan yang mengarah pada terbentuknya sebuah tulisan.. Karangan merupakan pernyataan gagasan atau ide yang bersumber dari pengalaman, pengamatan, imajinasi, pendapat, dan keyakinan dengan menggunakan media tulis sebagai alatnya. Menyusun sebuah karangan bukanlah hal yang mudah. Adakalanya siswa memiliki pengetahuan, gagasan, dan ide yang luas, namun sangat susah menuangkannya dalam bentuk tertulis. Siswa kadang tidak mampu merangkai kata-kata untuk membentuk sebuah paragraf, apalagi wacana. Siswa kadang kurang menyadari hubungan antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Akhirnya, sering ditemukan beberapa kalimat sumbang. Kalimat sumbang dalam sebuah paragraf dapat menimbulkan kekaburan makna atau isi sebuah karangan. Sebaliknya, sebuah karangan akan lebih mudah dipahami jika kalimatkalimatnya tersusun rapi, jelas kohesi dan koherensi antara kalimatnya. Sebuah tulisan pada dasarnya merupakan perwujudan hasil penalaran siswa. Penalaran ini merupakan proses pemikiran untuk memperoleh ide yang logis berdasarkan avidensi yang relevan. Penalaran ini terutama terkait dengan proses penafsiran fakta sebagai ide dasar untuk dikembangkan menjadi tulisan. Setiap penulis harus dapat menuangkan pikiran atau gagasannya secara cermat ke dalam tulisannya. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memunculkan ide adalah dengan curah gagasan. Curah gagasan digunakan untuk menuntun siswa mengembangkan idenya berdasarkan fakta yang ada di sekitar siswa atau peristiwa yang pernah dialami siswa. Selain itu, untuk memperoleh bahan informasi atau bahan yang akan ditulis oleh siswa, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menuntun siswa mencermati suatu bentuk teks dan menyajikannnya kembali dalam bentuk teks yang berbeda, misalnya dari teks wawancara menjadi karangan naratif. Hal itu merupakan salah satu kompetensi dasar menulis yang diharapkan dimiliki oleh siswa kelas VII SMP sebagai hasil dari 4 pembelajaran menulis, yaitu kemampuan mengubah jenis tulisan (wacana) yang satu ke jenis tulisan (wacana) yang lain, termasuk pengubahan teks wawancara yang berbentuk dialog ke dalam bentuk wacana yang berbentuk monolog, seperti karangan naratif. Wawancara dengan narasumber merupakan salah satu sumber informasi yang aktual. Mewawancarai seseorang merupakan salah satu teknik untuk memperoleh informasi sebagai bahan tulisan. Hasil wawancara dapat diubah dan disajikan dalam bentuk paragrafparagraf. Paragraf-paragraf tersebut selanjutnya disusun menjadi sebuah tulisan yang utuh. Keberhasilan pembelajaran menulis karangan naratif juga ditentukan oleh faktor lingkungan dan iklim pembelajaran. Pada dasarnya dalam melaksanakan pembelajaran faktor lingkungan dan iklim pembelajaran pun haruslah menarik dan menyenangkan dari segi psikologis peserta didik. Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika diciptakan belajar alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami hal yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Oleh karena itu, untuk menciptakan suasana belajar yang kooperatif interaktif, menyenangkan, dan bermakna, guru harus cermat memilih dan menerapkan strategi pembelajaran, seperti pembelajaran kooperatif pola DuaDua-Empat. Pendekatan kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang berorientasi pada masyarakat belajar (learning community) yang menganggap bahwa siswa lebih mudah menentukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tesebut dengan temannya. Hal ini dapat membantu para siswa meningkatkan sikap positif siswa terhadap pembelajaran keterampilan menulis, khususnya menulis karangan naratif. Hasil pembelajaran melalui pembelajaran kooperatif diharapkan mampu memberikan pengalaman bermakna sehingga sukar dilupakan oleh siswa. Melalui pembelajaran ini, siswa akan terlatih berpikir dan menghubungkan hal yang mereka pelajari dengan situasi dunia nyata sehingga menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri. Salah satu strategi belajar kooperatif yang dapat diterapkan untuk menumbuhkan minat dan iklim belajar yang kondusif bagi siswa, khususnya dalam pembelajaran menulis 5 karangan naratif dari hasil wawancar adalah pola kooperatif Dua-Dua-Empat. Strategi belajar kooperatif pola Dua-Dua-Empat menekankan pada penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Hal ini merupakan cara yang efektif untuk mengubah pola diskursus siswa dalam kelas. Strategi ini menimbang asumsi bahwa seluruh resitasi dan diskusi perlu dilakukan dalam setting seluruh kelompok yang memancing siswa untuk belajar karena muncul sifat saling membantu. Strategi belajar pola kooperatif Dua-Dua-Empat memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa waktu yang lebih banyak untuk berpikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain. Strategi belajar kooperatif pola Dua-Dua-Empat adalah suatu strategi yang melibatkan siswa lebih banyak menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran. Strategi ini menghendaki siswa saling bekerja sama dalam sebuah kelompok kecil, yang diawali dengan pasangan satu-satu (dua), lalu bertukar pasangan (dua), dan berujung pada penyatuan kedua pasangan tersebut dalam sebuah kelompok (empat). Jadi, pembelajaran kooperatif pola Dua-Dua-Empat pada dasarnya adalah strategi belajar yang mengutamakan kerja sama antara individu dalam kelompok. Dengan demikian, tidak ada siswa yang belajar sendiri-sendiri. Siswa bermasyarakat dengan siswa lain sehingga ketika siswa tidak mengetahui suatu masalah, ia dapat dibantu oleh siswa yang sudah tahu. Dengan penerapan pembelajaran kooperatif pola Dua-Dua-Empat diharapkan segala problematika yang selama ini menghambat peningkatan kompetensi menulis siswa, khususnya menulis karangan naratif dari hasil wawancara dapat diatasi. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini dilakukan dengan judul “Peningkatan Kompetensi Mengubah Hasil Wawancara Menjadi Karangan Naratif Siswa Kelas VII 5 SMPN .... Melalui Curah Gagasan dengan Pola Kooperatif Dua-Dua-Empat”. C. Perumusan dan Pemecahan Masalah 1. Perumusan Masalah 6 Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: Penerapan curah gagasan dengan pola kooperatif dua-dua-empat yang bagaimanakah yang dapat meningkatkan kompetensi mengubah hasil wawancara menjadi karangan naratif siswa kelas VII SMPN ....? 2. Pemecahan Masalah Rencana tindakan yang akan dilakukan untuk memecahkan masalah penelitian adalah penerapan curah gagasan dengan pola kooperatif dua-dua-empat yang mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: a. Tahap 1, guru memberi pemahaman awal kepada siswa tentang cara melakukan wawancara/mengajukan pertanyaan sederhana untuk menggali hal-hal yang pernah dialami siswa lain, lalu mengubah hasil tanya jawab (dialog) tersebut menjadi bentuk monolog yang bersifat naratif. b. Tahap 2, siswa di bawah bimbingan guru menetapkan tema materi wawancara, tetapi diberi kebebasan untuk mengembangkan sendiri pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dalam wawancara. Alternatif tindakan untuk tahap ini adalah siswa di bawah bimbingan guru menetapkan tema materi wawancara, yaitu “Pengalaman ketika mendaftarkan diri sebagai siswa SMPN ....”, lalu bersama-sama melakukan curah gagasan (Brainstorming) untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dalam wawancara. c. Tahap 3, siswa berpasangan satu-satu (pasangan dibentuk berdasarkan posisi lajur kursi siswa) untuk melakukan wawancara (satu sebagai narasumber, sedangkan yang lain sebagai pewawancara) (dua). Alternatif tindakan untuk tahap ini adalah siswa dipasangkan satu-satu (pasangan ditentukan oleh guru dengan mempertimbangkan berbagai hal, antara lain: karakter siswa, jenis kelamin, keakraban siswa) untuk melakukan wawancara dengan menggunakan panduan wawancara yang telah disusun bersama. Setiap pasangan berdiri berhadapan (satu bertindak sebagai pewawancara dan yang lain bertindak sebagai narasumber). Pewawancara mencatat segala informasi yang diperoleh dari narasumber dalam bentuk dialog (dua). 7 d. Tahap 4, dilakukan petukaran pasangan yaitu: pasangan awal berpisah dan bergabung dengan pasangan yang lain (yang tadinya bertindak sebagai pewawancara beralih peran menjadi narasumber, demikian pula sebaliknya) (dua) e. Tahap 5, karena jumlah siswa 32 orang, mereka dikelompokkan menjadi delapan kelompok, setiap kelompok terdiri atas empat siswa yang berasal dari dua pasangan yang telah bekerja sama) (empat) f. Tahap 6, setiap siswa dalam setiap kelompok membuat karangan naratif dengan mengembangkan teks hasil wawancara yang telah dibuatnya. Jika dianggap informasi yang diperoleh belum lengkap, siswa dapat bertanya kepada narasumbernya. g. Tahap 7, karangan siswa dipertukarkan untuk dinilai atau dikoreksi oleh teman sekelompoknya dengan menggunakan pedoman penilaian karangan naratif, lalu karangan tersebut dikembalikan kepada pemiliknya untuk disempurnakan. h. Tahap 8, setelah disempurnakan, semua karangan siswa dalam satu kelompok ditempel pada karton manila, lalu dipajang di dinding. (kelompok yang berada pada baris bangku I dan II memajang karya mereka di dinding sebelah kanan, dan kelompok yang berada pada baris bangku III dan IV memajang di sebelah kiri). i. Tahap 9, setiap kelompok mengunjungi, menilai, dan memilih karya yang dianggap terbaik dengan aturan: 1) kelompok pada baris bangku I mengunjungi kelompok pada baris III; 2) kelompok pada baris bangku II mengunjungi kelompok pada baris IV; 3) kelompok pada baris bangku III mengunjungi kelompok pada baris II; 4) kelompok pada baris bangku IV mengunjungi kelompok pada baris I j. Tahap 10, pemberian penghargaan terhadap karya siswa yang terbaik D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian 8 Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan cara penerapan curah gagasan dengan pola kooperatif dua-dua-empat untuk meningkatkan kompetensi mengubah hasil wawancara menjadi karangan naratif siswa kelas VII SMPN Pinrang. 2. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: a. Bagi peneliti, sebagai bahan masukan atau pengalaman dalam melakukan penelitian tindakan kelas, khususnya yang terkait dengan cara meningkatkan kompetensi mengubah hasil wawancara menjadi karangan naratif siswa kelas VII SMPN Pinrang melalui curah gagasan dengan pola kooperatif dua-dua-empat. b. Bagi guru, sebagai bahan masukan tentang cara menerapkan curah gagasan dengan pola kooperatif dua-dua-empat untuk meningkatkan kompetensi mengubah hasil wawancara menjadi karangan naratif siswa kelas VII SMPN Pinrang. c. Bagi siswa, yaitu melatih siswa untuk berpikir kritis, kreatif, inovatif; meningkatkan motivasi dan rasa kesetiakawanan sosial siswa; menumbuhkan kebiasaan dan mengembangkan kemampuan siswa dalam menulis. E. Kajian Pustaka Tinjauan pustaka yang diuraikan dalam penelitian ini pada dasarnya dijadikan acuan untuk mendukung dan memperjelas penelitian ini. Sehubungan dengan masalah yang akan diteliti, kerangka teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini diuraikan sebagai berikut ini. 1. Wawancara a. Pengertian Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2002: 135). Maksud pengadaan wawancara, seperti di tegaskan oleh Lincoln dan Guba (1985: 266), antara lain: mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, 9 motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain; merekonstruksi peristiwa yang dialami pada masa lalu; memproyeksi peristiwa sebagai hal yang diharapkan dialami pada masa yang akan datang; memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain, baik manusia maupun bukan manusia (triangulasi); dan memverifikasi, mengubah, dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota. b. Jenis-jenis Wawancara Ada bermacam-macam cara pembagian jenis wawancara yang di kemukakan dalam kepustakaan. Dua di antaranya dikemukakan di sini, yaitu menurut Patton (1980: 197) dan Guba dan Lincoln (1981: 160-170). Cara pembagian pertama dikemukakan oleh Patton (1980: 197) sebagai berikut: 1) wawancara pembicaraan informal, 2) pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara, dan 3) wawancara baku terbuka. Pembagian wawancara yang dilakukan oleh Patton didasarkan atas perencanaan pertanyaannya. Pembagian lain dikemukakan oleh Guba dan Lincoln (1981: 160-170). Pembagian mereka adalah 1) wawancara oleh tim atau panel, 2) wawancara tertutup dan wawancara terbuka, 3) wawancara riwayat secara lisan, dan 4) wawancara terstruktur dan tak terstruktur. c. Bentuk-bentuk Pertanyaan Wawancara Jika pewawancara hendak mempersiapkan suatu wawancara, ia perlu membuat beberapa keputusan. Keputusan itu berkenaan dengan pertanyaan apa yang perlu ditanyakan, bagaimana mengurutkannya, sejauh mana kekhususan pertanyaan itu, berapa lama wawancara itu, dan bagaimana memformulasikan pertanyaan. Patton (1980: 207-211) mengemukakan enam jenis pertanyaan dan setiap pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara akan terkait dengan salah satu pertanyaan lainnya, yaitu: (1) pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman atau perilaku; (2) pertanyaan yang berkaitan dengan pendapat atau nilai; (3) pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan; (4) pertanyaan tentang pengetahuan; (5) pertanyaan yang berkaitan dengan indera; (6) pertanyaan yang berkaitan dengan latar belakang atau demografi. d. Penataurutan (sequencing) Pertanyaan 10 Tiga cara penataurutan pertanyaan, menurut Guba dan Lincoln (1981: 180-183), adalah: 1) tata urutan bentuk cerobong, 2) kebalikan bentuk cerobong, dan 3) rencana kuintamensional. Pada tata urutan bentuk cerobong pertanyaan-pertanyaannya dimulai dan segi yang umum mengarah kepada yang khusus. Setiap pertanyaan berikutnya berkaitan dengan yang sebelumnya dengan bentuk yang makin menyempit dan makin mengkhusus. Tata urutan bentuk kebalikan dan cerobong adalah yang cara penyusunan pertanyaannya terbalik jika dibandingkan dengan bentuk cerobong. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dimulai dengan pertanyaan yang khusus terlebih dahulu, kemudian makin mengkhusus dengan catatan bahwa pertanyaan sesudah setiap pertanyaan makin mengkhusus. Tata urutan bentuk ini terutama bermanfaat dalam memotivasi responden yang enggan menjawab atau untuk membuat responden yang pada mulanya malu-malu makin menjadi berani dan akhirnya terbiasa. Hal ini dapat pula diterapkan sewaktu yang diwawancarai merasa seperti terancam oleh pertanyaan-pertanyaan yang cukup sensitif. Mulailah bertanya dengan pertanyaan yang mendiskusikan perilaku yang konkret atau contoh-contoh khusus yang nantinya membuat responden merasa lebih terbiasa untuk menjawab pertanyaan umum, yang bersifat pribadi, atau pertanyaan- pertanyaan afektif. Cara penataurutan kuintamensional adalah cara memfokuskan pertanyaan dan dimensi kesadaran deskriptif menuju dimensi-dimensi afektif, perilaku, perasaan, atau sikap. Penataurutan seperti ini adalah berbentuk “bergulir” dan “jatuh”. Jika hal itu dilakukan dengan tepat, responden akan “jatuh” dan yang lebih deskriptif dan kurang mempribadi ke dalam yang lebih afektif, emosional, atau yang mempribadi. Selain penataurutan pertanyaan, cara memformulasikan pertanyaan merupakan segi lain yang tidak kalah pentingnya dalam wawancara. Gatz dan Hoagland (1978 dalam Guba dan Lincoln, 1981: 177) menyajikan pertimbangan-pertimbangan yang dapat dimanfaatkan oleh pewawancara dalam memformulasikan pertanyaan sebagai berikut: 1) Apakah pertanyaan ini perlu? Bagaimana caranya agar jawaban itu dapat digunakan? Bagaimana analisisnya? 2) Apakah pertanyaan ini mencakup topik? Apakah diperlukan pertanyaan tambahan lainnya? 3) Bagaimana pertanyaan ini ditafsirkan?; Apakah pewawancara memerlukan fakta lainnya sehubungan dengan yang dipersoalkan sebelum jawabannya memberi makna? Apakah pewawancara memerlukan atau menginginkan pengetahuan 11 tentang sikap responden (kesukaan, nilai, kepercayaan) tentang hal yang dipersoalkan? Dimensi apakah yang berharga untuk dijaring? Jika ya, perlukah pewawancara mengajukan pertanyaan pendalaman yang menanyakan konten, intensitas, stabilitas, atau kedalaman sikap, nilai, dan perasaan? Dimensi apakah yang bermanfaat untuk diperoleh? 4) Apakah responden memiliki informasi untuk menjawab pertanyaan? Apakah pewawancara diberi kemungkinan untuk membedakannya? Bagaimanakah tingkat kepercayaan jawaban yang diperoleh? 5) Sejauh manakah kesahihan jawaban yang dijaring? Apakah pertanyaan mengarah? Apakah pertanyaan itu diformulasikan atas dasar istilah yang bebas nilai? Apakah pertanyaan itu merupakan bagian dan keseluruhan perangkat pertanyaan? Apakah jawaban yang diharapkan diperoleh nantinya mencukupi? Apakah yang diwawancarai mau memberikan informasi? Dalam situasi bagaimana? Asumsi implisit apakah yang ada dalam pertanyaan? Apa yang dipertimbangkan oleh pewawancara? Kerangka berpikir bagaimanakah yang diemban oleh pertanyaan itu? e. Perencanaan Wawancara Perencanaan yang diuraikan di sini lebih menitikberatkan wawancara tak terstruktur karena untuk wawancara terstruktur sudah cukup yang tersedia. Persiapan wawancara tak terstruktur dapat diselenggarakan menurut tahap-tahap tertentu. Tahap pertama ialah menemukan siapa yang akan diwawancarai. Langkah kedua ialah mencari tahu bagaimana cara yang sebaiknya untuk mengadakan kontak dengan mereka. Langkah ketiga ialah mengadakan persiapan yang matang untuk pelaksanaan wawancara. f. Pelaksanaan Wawancara Pelaksanaan wawancara menyangkut pewawancara dengan yang di wawancarai. Keduanya berhubungan dalam mengadakan percakapan, dan pewawancaralah yang berkepentingan sedangkan yang diwawancarai bersifat membantu. Oleh karena itu, pewawancara hendaknya mengikuti tata aturan dan kesopanan yang dianut oleh yang diwawancarai. g. Strategi dan Taktik Berwawancara Pewawancara hendaknya merencanakan taktik sehubungan dengan lamanya waktu wawancara yang tersedia. Taktik lainnya adalah upaya memperkenalkan identitas pewawancara. Selain hal-hal di atas ada segi lain yang perlu dijadikan pertimbangan dalam 12 mengatur taktik, yaitu unsur kelamin, usia, dan kedudukan sosial. Segi lain yang perlu diperhatikan sebagai perencanaan taktik pewawancara ialah faktor yang diwawancarai itu sendiri. Dari uraian di atas, dari segi pewawancara diperlukan sejumlah pengetahuan dasar, keterampilan, persiapan, sikap, pribadi, serta persiapan psikis dan mental. Dari segi yang diwawancarai ada sejumlah ciri yang harus dipertimbangkan. Pewawancara perlu mempersiapkan diri, senantiasa siap mental menghadapi suasana apa pun selama wawancara berlangsung. Akhirnya, strategi dan taktik akan makin dipertajam melalui pengalaman yang banyak diperoleh pewawancara. h. Pencatatan Data Wawancara Pencatatan data selama wawancara penting sekali karena data dasar yang akan dianalisis didasarkan atas “kutipan” hasil wawancara. Oieh karena itu, pencatatan data itu perlu dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin. Ada pencatatan data yang dilakukan melalui tape recorder dan ada pula yang dilakukan melalui pencatatan pewawancara sendiri. (Moleong, 2002: 151). i. Kegiatan Sesudah Wawancara Kegiatan sesudah wawancara berakhir cukup penting artinya bagi pewawancara dalam rangka pengecekan keabsahan data. Selain itu, pewawancara hendaknya menggunakan waktu itu untuk mengecek kualitas datanya. Pertama-tama periksalah, apakah taperecorder berfungsi dengan baik atau tidak. Jika sekiranya rusak atau ada gangguan, secepatnya pewawancara membuat catatan lapangan secara lengkap berdasarkan catatan yang telah dibuatnya. Walaupun tape recordernya berfungsi dengan baik, pewawancara tetap membuat catatan lapangan dengan cara yang telah diuraikan (Moleong, 2002: 152). 2. Keterampilan Menulis a. Hakikat Keterampilan Menulis Menulis atau mengarang pada hakikatnya adalah suatu proses yang menggunakan lambang-lambang (huruf) untuk menyusun, mencatat, dan mengkomunikasikan serta dapat 13 menampung aspirasi atau makna yang ingin disalurkan kepada orang lain. Pesan yang ingin disampaikan itu dapat berupa tulisan yang dapat menghibur, memberi informasi, mempengaruhi, dan menambah pengetahuan. Hasil kegiatan mengarang seperti ini disebut karangan yang dapat berwujud sebuah wacana argumentasi, eksposisi, deskripsi, dan narasi. Keterampilan seseorang menggunakan bahasa tulis sebagai alat, baik wadah maupun media untuk memaparkan isi jiwanya, penghayatan, dan pengalamannya secara teratur disebut kemampuan menulis/mengarang. Kemampuan menulis sangat penting dimiliki untuk menunjang tugas-tugas keseharian yang terkait dengan kegiatan tulis-menulis. b. Penilaian Tulisan Selanjutnya, Tolla dan Hartini (1991: 31-32) mengemukakan kriteria penilaian holistik dalam ranah kemampuan menulis yang umum dikenal dalam pembelajaran menulis bahasa Indonesia yang sekaligus dijadikan sebagai indikator penilaian dalam penelitian ini adalah: (1) isi karangan, (2) organisasi karangan, (3) penggunaan bahasa (kalimat efektif), (4) pilihan kata, (5) ejaan dan tanda baca. Kriteria penilaian holistik yang dikemukakan berikut ini didasarkan pada kriteria yang dikemukakan oleh Omaggio (dalam Tolla dan Hartini, 1991: 31-32), yaitu: 1) Isi karangan dengan alternatif penilaian: a. bermakna, menarik, tetap, jalan pikiran baik; b. pada umumnya baik, tetapi faktanya tidak dikembangkan sehingga terjadi banyak pengulangan; c. pengembangan kurang relevan dengan isi yang diminta; d. isi karangan tidak relevan dengan isi yang diminta; e. tidak tampak usaha membuat karangan yang bermakna. 2) Organisasi karangan dengan alternatif penilaian: a) paragraf tersusun rapi, pemakaian kalimat topik baik, organisasi meyakinkan, alur karangan mudah dimengerti; b) ada usaha menyusun paragraf yang baik, tetapi batas ide paragraf tidak jelas; c) fakta tersusun dalam paragraf dengan baik, tetapi berbelit-belit; d) urutan paragraf sulit diikuti, sulit dipahami; e) paragraf tidak terencana dengan baik. 3) penggunaan bahasa dengan alternatif penilaian: a) kalimat lancar, cermat, meskipun ada sedikit kesalahan tata bahasa; b) kalimat lancar, cermat, tetapi ada beberapa kesalahan tata bahasa; 14 c) kesalahan tata bahasa yang cukup prinsipil sehingga menyebabkan kalimat tidak gramatikal; d) ada beberapa kalimat yang tidak dapat dipahami; e) kalimat dalam karangan tidak dapat dipahami. 4) Pilihan kata dengan alternatif penilaian: a) pemakaian kata lancar, tepat, tidak bernada ganda; b) kata yang digunakan jelas, tetapi tidak jelas penggunaannya; c) kata kurang jelas dan kurang jelas penggunaannya; d) banyak kata yang digunakan, tetapi menyebabkan kalimat sulit dipahami; e) pemakaian kata yang tidak tepat, bentuk kata semua salah. 5) Penggunaan ejaan, dengan alterniatif penilaian: a) pemakaian ejaan dan tanda baca baik sekali, penulisan suku kata semua benar; b) ada kesalahan ejaan dan tanda baca; c) banyak kesalahan ejaan dan tanda baca, tetapi masih dapat dipahami; d) kesalahan ejaan dan tanda baca banyak sekali; e) penggunaan ejaan dan tanda baca serba salah. 3. Karangan Narasi a. Pengertian Narasi (Pengisahan) Narasi adalah semacam bentuk wacana yang berusaha menyajikan sesuatu peristiwa atau kejadian sehingga peristiwa itu tampak seolah-olah dialami sendiri oleh para pembaca (Keraf, 2001: 17). Narasi menyajikan peristiwa berdasarkan urutan waktu dan rangkaian perisitiwa kecil-kecil yang bertalian. Menurut Alwi (1998: 46), kiasan atau narasi merupakan gaya atau pengalaman manusia yang disajikan berdasarkan perkembangannya dari waktu ke waktu. Ambo Enre (1994: 156) mengemukakan bahwa narasi (wacana pengisahan) berhubungan dengan penyajian beberapa peristiwa dalam suatu karangan yang utuh. Pokok masalahnya adalah tindakan atau perbuatan dalam hubungannya dengan suatu peristiwa yang disusun dalam bentuk cerita. Lebih lanjut, Ambo Enre (1994: 157) berpendapat bahwa kata cerita sering dihubungkan dengan sebuah bentuk tulisan yang menunjukkan urutan perkembangan; pengisahan dalam arti sebenarnya terbatas pada peristiwa dalam kerangka waktu tertentu. Seperti halnya dengan pemerian, narasi bertolak dari suatu perkenalan menuju kepada hal yang lebih konkret dan hidup. Meskipun fiksi modern memperlihatkan beberapa teknik penceritaan, tetapi pengisahan dalam arti dasarnya adalah rangkaian persitiwa yang dijalin sedemikian rupa untuk mengantarkan pembaca dari suatu 15 permulaan menuju kepada suatu akhir dengan cara membangkitkan kesan atau kenyataan yang hidup. Selanjutnya, Arifin & Tasai (1987: 130) mengatakan bahwa karangan narasi biasanya dihubung-hubungkan dengan cerita. Oleh karena itu, sebuah karangan narasi atau paragraf narasi hanya terdapat dalam novel, cerpen, atau hikayat. Sejalan dengan itu, Syamsuddin, dkk. (1998: 15) menyatakan bahwa karangan naratif adalah rangkaian tuturan yang menceritakan atau menyajikan suatu hal atau kejadian melalui penonjolan tokoh pelaku (orang I atau III) dengan maksud memperluas pengetahuan pendengar atau pembaca. Kekuatan karangan ini terletak pada urutan cerita berdasarkan waktu dan cara-cara bercerita yang diatur melalui alur (plot). Narasi adalah jenis wacana berupa cerita yang menyajikan suatu peristiwa atau kejadian berdasarkan urutan waktu sehingga peristiwa itu tampak seolah-olah dialami sendiri oleh pembaca. Dengan kata lain, narasi adalah bentuk wacana yang berusaha menggambarkan sesuatu sejelas-jelasnya kepada pembaca tentang peristiwa yang terjadi (Tarigan, 1986: 56). Junus (2002: 63) mengemukakan ciri-ciri karangan narasi, antara lain: 1) menggambarkan dengan sejelas-jelasnya suatu peristiwa yang terjadi; 2) produksi masa lampau merupakan bidang utamanya; 3) terikat pada waktu (jadi bersifat dinamis) 4) menambah pengetahuan melalui jalan cerita; 5) berusaha menjawab “apa yang telah terjadi?”; 6) narasi berbentuk kisah. b. Unsur-Unsur Struktur Narasi (Pengisahan) Ambo Enre (1994: 156-161) mengemukakan bahwa unsur-unsur struktur narasi adalah 1) urutan waktu yakni seperangkat kejadian dalam rentang waktu, 2) motif yakni semua pengisahan yang berhubungan dengan tindakan manusia atau ide/tujuan yang ada pada benak pelaku yang mendorongnya melakukan suatu tindakan, 3) pertikaian (konflik) yaitu perbenturan dua kepentingan yang berbeda, 4) titik kisah (sudut pandang) yang paling umum digunakan adalah yang bersifat analitik, 5) pusat perhatian, yaitu cara menyelesaikan masalah yang diciptakan dalam cerita tersebut. c. Bentuk Narasi 16 Keraf (1989: 136) mengemukakan narasi mempunyai dua bentuk, yaitu: narasi ekspositoris dan narasi sugestif. Narasi ekspostoris bertujuan menggugah pikiran para pembaca untuk mengetahui hal yang dikisahkan. Sasaran utamanya adalah rasio, yaitu berupa perluasan pengetahuan para pembaca sesudah membaca kisah tersebut. Narasi ekspositoris menyampaikan informasi mengenai berlangsungnya suatu peristiwa. Narasi ekspositoris ini dapat bersifat khas (khusus) dan dapat bersifat generalisasi. Narasi yang bersifat khusus adalah narasi yang berusaha menceritakan suatu peristiwa yang khas, yang hanya terjadi satu kali, peristiwa yang tidak dapat diulang kembali. Narasi generalisasi menyampaikan suatu prose yang umum yang dapat dilakukan secara berulang-ulang. Narasi sugestif mempunyai tujuan atau sasaran utama untuk memberi makna atas peristiwa atau kejadian sebagai suatu pengalaman sehingga selalu melibatkan daya khayal/imajinasi. (Keraf, 1989: 137). 4. Curah Gagasan (Brainstorming) a. Pengertian Curah Gagasan (Brainstorming) Menulis dapat dipandang sebagai suatu proses dan suatu produk atau hasil menulis sebagai suatu proses berupa pengolahan ide atau gagasan dari tema atau topik yang dipilih untuk dikomunikasikan dan pemilihan jenis wacana tertentu yang sesuai atau tepat dengan situasi dan konteksnya. Salah satu teknik untuk memunculkan ide adalah teknik brainstorming. Brainstorming menurut Webster (1996) bararti inspirasi yang muncul secara tiba-tiba, ide yang gemerlang, memberikan pemecahan untuk masalah tertentu dengan memberikan semua ide secara spontan. Brainstorming adalah suatu inspirasi spontan dan ide cerdas. Jika dihubungkan dengan kegiatan menulis, brainstorming berarti memberi lebih banyak perhatian pada topik yang dipilih, kemudian berpikir tentang kemungkinan berupa kata, frasa, dan kalimat yang berhubungan dengan topik untuk ditulis. Hal ini menjadi sumber pertama untuk mengembangkan kalimat menjadi paragraf dengan berbagai ide pendukung. Menurut Keh (Imelda, 2001), braistorming adalah suatu metode untuk melahirkan ide dengan cara siswa diminta untuk memunculkan ide sebanyak mungkin yang berhubungan 17 dengan topik yang menjadi sumber untuk dijadikan petunjuk ketika mengembangkan kalimat atau paragraf. Brainstorming adalah suatu teknik asosiasi bebas untuk membangkitkan energi intelektual. Brainstorming dimulai dengan satu kata atau satu ide tertentu. Tahap selanjutnya adalah menulis segala sesuatu yang berkaitan dengan ide itu dalam suatu waktu tertentu. Biasanya hal itu dapat dilakukan dalam waktu 15 sampai dengan 25 menit. Dalam tahap ini, penulis mencatat segala hal yang muncul dalam pikirannya. Brainstorming umumnya dilakukan sebelum aktivitas menulis. Mayer (Imelda, 2001) mengemukakan bahwa braistorming dapat dilakukan secara individu atau kelompok. Jika secara individu, ide yang muncul umumnya sedikit, jadi sebaiknya secara berkelompok. Cullen (1998) mengemukakan bahwa brainstorming sangat bermanfaat bagi siswa dalam membantu mengembangkan pengetahuannya di dalam kelas pada proses pembelajaran. Lebih lanjut, Cullen (1998) menambahkan bahwa brainstorming dapat digunakan dalam berbicara untuk kegiatan menulis di kelas. Teknik ini lebih dinamis dan menyenangkan digunakan karena setiap siswa diberikan kesempatan untuk berbicara atau menuliskan idenya, pendapat, atau komentator. b. Rangkaian Proses Brainstorming Berdasarkan uraian terdahulu bahwa brainstorming merupakan suatu metode yang digunakan untuk menyusun ide dengan cara siswa mengungkapkan kemungkinan banyaknya ide dari topik yang diberikan. Itu juga dilakukan sebelum menulis. Pada dasarnya brainstorming memiliki ruang lingkup seperti diungkapkan oleh Goldman (1986) berikut ini. 1) Memilih topik Siswa diberikan kesempatan untuk memilih topik yang mereka ingin tulis. 2) Menulis beberapa kemungkinan ide yang berhubungan dengan topik tersebut Pada tahap ini, siswa hanya menuliskan beberapa ide dari topik yang dipilih. Mereka hanya menulis ide-ide dalam bentuk pernyataan berupa kata, frase, atau sebagai informasi. 3) Mengualifikasikan ide 18 Siswa diberikan kesempatan untuk mengkualifikasikan ide yang ditulis pada saat yang sama. Mereka meletakkan ide di luar yang tidak cocok dengan topik. Kemudian mereka juga menyusun ide itu menjadi urutan yang jelas ke dalam kertas. Urutan ide-ide ini, sangat jelas untuk membantu penulis atau siswa untuk menulis pengertian ide pada saat memulai menulis. Brainstorming dapat dilakukan secara kelompok atau secara individual. Apabila dikerjakan secara kelompok, seseorang harus bertindak sebagai pencatat dan bertugas menuliskan ide-ide yang muncul. Dalam hal ini tidak perlu ada kekhawatiran terhadap persoalan tata bahasa, ejaan, dan sebagainya, bahkan tentang kebenaran penjelasan yang dinyatakan oleh anggota kelompok. Hal yang penting di sini adalah mendapatkan sebanyak-banyaknya penjelasan mengenai ide sentral yang telah ditentukan sebelumnya dalam waktu secepat-cepatnya. Apabila dikerjakan secara individual, pada prinsipnya seseorang mengerjakan hal yang sama. Ia juga harus mencatat ide-ide yang ditemukannya selama proses itu berlangsung. Ada dua prinsip penting yang harus diingat dalam melakukan brainstorming. Pertama, belum dipikirkan ide-ide yang dihasilkan itu benar atau salah, penting tidak penting, dapat dipraktikkan atau tidak, dan sebagainya. Yang penting di dalam proses ini adalah pengumpulan ide-ide yang berkaitan dengan topik itu sebanyak-banyaknya. Kedua, terjadinya tumpang tindih ide dianggap sebagai sesuatu yang wajar karena memang belum dievaluasi. Nanti akan dipikirkan kembali sekaligus ide-ide yang terkumpul itu akan dievaluasi dalam kesempatan berikutnya (Darmadi, 1996: 43). c. Keuntungan Penggunaan Teknik Brainstorming Keuntungan pokok yang diperoleh dari proses brainstorming ini adalah bahwa secara sadar atau tidak seorang penulis telah memulai proses berpikir. Rangkaian proses berpikir seperti ini jelas akan membangkitkan energi intelektual yang dimiliki seseorang. Jika proses berpikir itu dilakukan secara berkesinambungan, rangkaian proses berpikir seperti itu akan menghasilkan ide-ide yang lebih menarik daripada ide-ide pada awalnya. Sebuah penemuan yang mengejutkan akan menjadi bagian yang wajar dari kelanjutan proses seperti itu (Darmadi, 1996: 44). 5. Strategi Pembelajaran Kooperatif 19 a. Pengertian Pembelajaran Kooperatif Eggen dan Kauchak (1996: 277) menyatakan bahwa belajar kooperatif adalah sekelompok strategi pembelajaran yang melibatkan siswa belajar secara bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama. Lebih jauh, mereka menyatakan bahwa belajar kooperatif bertujuan untuk meningkatkan partisipasi siswa, memberi pelajaran kepemimpinan dan pengalaman membuat keputusan kelompok, dan memberi kesempatan untuk berinteraksi dan belajar dengan siswa lain yang berasal dari latar belakang budaya dan kemampuan yang berbeda. Berdasarkan penjelasan tersebut diketahui bahwa belajar kooperatif tidak semata-mata mengharapkan siswa dapat bekerja sama dengan pembelajaran, lebih dari itu, melalui strategi ini, para siswa diharapkan dapat saling mengenal dan saling menghargai perbedaanperbedaan yang ada melalui interaksi yang dibentuk dalam pembelajaran di kelas. Lie (2002: 12) menyamakan belajar kooperatif dengan sistem pembelajaran gotong royong. Sistem pembelajaran gotong royong yang dimaksud adalah sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dalam menyelesaikan tugastugas yang terstruktur. Lebih jauh, Lie (2002: 3) menyebutkan lima unsur pembelajaran gotong royong yang ditetapkan dalam pembelajaran kooperatif, yakni (1) saling ketergantungan positif, (2) tanggung jawab perseorangan, (3) tatap muka,(4) komunikasi antaranggota, dan (5) evaluasi proses kelompok. Antara pendapat Eggen dan Kauchak dengan pendapat Lie terdapat sedikit perbedaan. Perbedaan itu terletak pada jangkauan tujuan yang ingin dicapai. Dari sejumlah unsur belajar kooperatif yang dipaparkan Lie, diketahui bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran lebih terfokus pada pencapaian tugas akademik di dalam kelas. Sebaliknya, Eggen dan Kauchak menargetkan tujuan yang lebih luas, yakni terjadinya interaksi sosial siswa di dalam dan di luar sekolah. Senada dengan pendapat di atas, Shepardson (dalam Pratiwi, 2002: 2) menguraikan beberapa ciri belajar kooperatif. Adapun ciri-ciri belajar kooperatif yang disebutkannya ialah (1) guru mengupayakan interaksi antarsiswa dalam kelompok, (2) menciptakan interdependensi positif di kalangan anggota kelompok, (3) kemampuan masing-masing 20 anggota diperhitungkan, (4) menekankan pencapaian tujuan bersama, dan (5) jumlah anggota kelompok dibatasi antara empat sampai dengan enam orang. Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa belajar kooperatif merupakan strategi yang diterapkan dalam pembelajaran dengan menitikberatkan pada penampatan siswa dalam kelompok-kelompok kecil yang heterogen ditinjau dari segi kemampuan, jenis kelamin, dan etnisnya. Selama proses pembelajaran, kelompok-kelompok itu bekerja sama melaksanakan tugas-tugas yang diberikan. Dalam strategi belajar kooperatif, kelompokkelompok kecil seperti itu menjadi wadah bagi siswa dalam memecahkan masalah pembelajaran. b. Tujuan Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif memiliki tujuan seperti yang dikemukakan oleh Ibrahim, dkk. (2000: 7-9) sebagai berikut. 1) Hasil Belajar Akademik Pembelajaran kooperatif bertujuan meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul untuk membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit. Pembelajaran kooperatif meliputi berbagai tujuan sosial. Namun, menurut Ibrahim, dkk. (2000), dalam pembelajaran kooperatif terstruktur, penghargaan dapat meningkatkan penilaian siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. 2) Penerimaan Terhadap Perbedaan Individu Pembelajaran kooperatif memberikan peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja sama, saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, belajar untuk menghargai satu sama lain (Allport dalam Ibrahim, dkk., 2000: 8). 3) Pengembangan Keterampilan Sosial Pengembangan keterampilan sosial bertujuan mengajarkan kepada siswa tentang keterampilan kerja sama dan berkolaborasi, membantu siswa memahami konsep yang sulit. Model ini sangat berguna untuk membantu siswa menumbuhkan kerja sama. Pada kelompok kooperatif, siswa dibagi untuk berbagi tugas, tidak ada siswa yang mendominasi. Scaffolding adalah bimbingan yang di berikan secara ketat pada awal, kemudian beransur- 21 ansur dikurangi dan tanggung jawab diserahkan kepada siswa yang belajar. Dengan demikian, kemandirian secara beransur-ansur dapat dicapai. c. Keterampilan Kooperatif Dalam pembelajaran kooperatif, siswa tidak hanya mempelajari meteri, tetapi juga harus mempelajari keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan ini berfungsi melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan membangun tugas anggota kelompok selama kegiatan. d. Prinsip Dasar Pembelajaran Kooperatif 1) Karakteristik Model pembelajaran kooperatif dikembangkan berpijak pada beberapa pendekatan yang diasumsikan mampu meningkatkan proses dan hasil belajar siswa. Pendekatan yang dimaksud adalah belajar aktif, konstruktivistik, dan kooperatif. Beberapa pendekatan tersebut diintegrasikan dimaksudkan untuk menghasilkan suatu model pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Belajar aktif ditunjukkan dengan adanya keterlibatan intelektual dan emosional yang tinggi dalam proses belajar, tidak sekedar aktivitas fisik semata. Siswa diberi kesempatan untuk berdiskusi, mengemukakan pendapat dan idenya, melakukan eksplorasi terhadap materi yang sedang dipelajari serta menafsirkan hasilnya secara bersama-sama di dalam kelompok. Siswa dibebaskan untuk mencari berbagai sumber belajar yang relevan. Kegiatan demikian memungkinkan siswa berinteraksi aktif dengan lingkungan dan kelompoknya, sebagai media untuk mengembangkan pengetahuannya (Eggen, Kemp, 1997: 56). Pendekatan konstruktivistik dalam model pembelajaran kooperatif dapat mendorong siswa untuk mampu membangun pengetahuannya secara bersama-sama di dalam kelompok. Mereka didorong untuk menemukan dan mengkonstruksi materi yang sedang dipelajari melalui diskusi, observasi atau percobaan. Siswa menafsirkan bersama-sama apa yang mereka temukan atau mereka bahas. Dengan cara demikian, materi pelajaran dapat dibangun bersama dan bukan sebagai transfer dari guru. Pengetahuan dibentuk bersama berdasarkan pengalaman serta interaksinya dengan lingkungan di dalam kelompok belajar sehingga terjadi saling memperkaya di antara anggota kelompok. 22 Berpijak pada karakteristik pembelajaran di atas, diasumsikan model pembelajaran kooperatif mampu memotivasi siswa dalam melaksanakan berbagai kegiatan sehingga mereka merasa tertantang untuk menyelesaikan tugas-tugas bersama secara kreatif. Model pembelajaran ini dapat diterapkan dalam pembelajaran di berbagai bidang studi atau matakuliah, baik untuk topik-topik yang bersifat abstrak maupun yang bersifat konkret. 2) Kompetensi Kompetensi yang dapat dicapai melalui model pembelajaran kooperatif disamping; (1) pemahaman terhadap nilai, konsep atau masalah-masalah yang berhubungan dengan disiplin ilmu tertentu, serta (2) kemampuan menerapkan konsep/memecahkan masalah, dan (3) kemampuan menghasilkan sesuatu secara bersama-sama berdasarkan pemahaman terhadap materi yang menjadi objek kajiannya, juga dapat dikembangkan (4) softskills kemampuan berpikir kritis, berkomunikasi, bertanggung jawab, serta bekerja sama (Lie, 2002: 34). 3) Materi Materi yang sesuai disajikan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif adalah materi-materi yang menuntut pemahaman tinggi terhadap nilai, konsep, atau prinsip, serta masalah-masalah aktual yang terjadi di masyarakat. Materi ketrampilan untuk menerapkan suatu konsep atau prinsip dalam kehidupan nyata juga dapat diberikan (Lie, 2002: 37). 4) Prosedur Pembelajaran Pada dasarnya, kegiatan pembelajaran dipilahkan menjadi empat langkah, yaitu: orientasi, bekerja kelompok, kuis, dan pemberian penghargaan. Menurut Lie (2002: 42-47), setiap langkah dapat dikembangkan lebih lanjut oleh para guru dengan berpegang pada hakikat setiap langkah. 5) Evaluasi Evaluasi belajar dilakukan pada awal pelajaran sebagai prates, selama pembelajaran, serta hasil akhir belajar siswa baik individu maupun kelompok. Selama proses pembelajaran, evaluasi dilakukan dengan mengamati sikap, ketrampilan dan kemampuan berpikir serta berkomunikasi siswa. Kesungguhan mengerjakan tugas, hasil eksplorasi, kemampuan berpikir kritis dan logis dalam memberikan pandangan atau argumentasi, 23 kemauan untuk bekerja sama dan memikul tanggung jawab bersama, merupakan contoh aspek-aspek yang dapat dinilai selama proses pembelajaran berlangsung. Prosedur evaluasi yang dilakukan adalah: a) Penilaian individu adalah evaluasi terhadap tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang dikaji, meliputi ranah kognitif, afektif, dan ketrampilan. b) Penilaian kelompok meliputi berbagai indikator keberhasilan kelompok seperti: kekohesifan, pengambilan keputusan, kerja sama, dsb. Kriteria penilaian dapat disepakati bersama pada waktu orientasi. Kriteria ini diperlukan sebagai pedoman guru dan siswa dalam upaya mencapai keberhasilam belajar, apakah sudah sesuai dengan kompetensi yang telah ditentukan. 6) Penutup Model pembelajaran kooperatif tidak terlepas dari kelemahan di samping kekuatan yang ada padanya. Kelemahan tersebut antara lain terkait dengan kesiapan guru dan siswa untuk terlibat dalam suatu strategi pembelajaran yang memang berbeda dengan pembelajaran yang selama ini diterapkan. Guru yang terbiasa memberikan semua materi kepada para siswa nya, mungkin memerlukan waktu untuk dapat secara berangsur-angsur mengubah kebiasaan tersebut. Ketidaksiapan guru untuk mengelola pembelajaran demikian dapat diatasi dengan cara pemberian pelatihan yang kemudian disertai dengan kemauan yang kuat untuk mencobakannya. Sementara itu, ketidaksiapan siswa dapat diatasi dengan cara menyediakan panduan yang antara lain memuat cara kerja yang jelas, petunjuk tentang sumber yang dapat dieksplorasi, serta deskripsi tentang hasil akhir yang diharapkan, sistem evaluasi, dan sebagainya. Kendala lain adalah waktu. Strategi pembelajaran kooperatif memerlukan waktu yang cukup panjang dan fleksibel, meskipun untuk topik-topik tertentu waktu yang diperlukan mungkin cukup dua kali tatap muka ditambah dengan kegiatankegiatan di luar jam pelajaran. 24 F. Metode Penelitian 1. Indikator Penelitian Sesuai dengan masalah penelitian, ada dua strategi yang akan ditetapkan untuk memecahkan masalah, yaitu: a. Curah gagasan dengan indikator: Siswa sudah dapat memunculkan ide sebanyak mungkin yang berhubungan dengan topik “Pengalaman ketika mendaftarkan diri sebagai siswa SMPN ....” sehingga dapat dijadikan petunjuk untuk mengembangkan dan menyusun pertanyaanpertanyaan yang akan diajukan dalam wawancara secara sistematis dan lengkap. b. Pola kooperatif dua-dua-empat: Semua siswa sudah dapat terlibat secara aktif, terbuka mengungkapkan pikiran, teratur, terarah, dan bersemangat mengikuti kegiatan pembelajaran sehingga mereka dapat menghasilkan teks wawancara dan karangan naratif yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. 2. Prosedur Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah dan prosedur kerja seperti yang diuraikan dalam tabel berikut ini. Tabel 1 Desain Pelaksanaan Tindakan Kelas No. Aktivitas Perencanaan 1. Mengonstruksi dan mengembangkan materi tes diagnostik dan merumuskan langkah-langkah program pembelajaran mengubah hasil wawancara menjadi karangan naratif melalui curah gagasan dengan pola kooperatif dua-dua-empat Kegiatan Praktisi Menelaah dan mengkaji kurikulum bidang studi bahasa Indonesia kelas VII SMP Mengidentifikasi pola penerapan curah gagasan dengan pola kooperatif dua-dua-empat dalam pembelajaran mengubah hasil wawancara menjadi karangan naratif Mempelajari, menindaklanjuti, dan mengelaborasi hasil kajian peneliti Bersama dengan timnya, guru merumuskan dan mempersiapkan model penerapan curah Siklus I 25 gagasan dengan pola kooperatif dua-dua-empat dalam pembelajaran mengubah hasil wawancara menjadi karangan naratif Tindakan dan Observasi 1. Mengembangkan model penerapan curah gagasan dengan pola kooperatif duadua-empat dalam pembelajaran mengubah hasil wawancara menjadi karangan naratif 2. Implementasi model penerapan curah gagasan dengan pola kooperatif duadua-empat dalam pembelajaran mengubah hasil wawancara menjadi karangan naratif Bersama dengan anggota tim, guru mengembangkan model penerapan curah gagasan dengan pola kooperatif dua-dua-empat dalam pembelajaran mengubah hasil wawancara menjadi karangan naratif Pertemuan 1: guru memberi pemahaman awal kepada siswa tentang cara melakukan wawancara atau mengajukan pertanyaan sederhana untuk menggali hal-hal yang pernah dialami siswa lain, lalu mengubah hasil tanya jawab (dialog) tersebut menjadi bentuk monolog yang bersifat naratif. siswa di bawah bimbingan guru menetapkan tema materi wawancara, tetapi diberi kebebasan untuk mengembangkan sendiri pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dalam wawancara siswa berpasangan satu-satu untuk melakukan wawancara (satu sebagai narasumber, sedangkan yang lain sebagai pewawancara). Pasangan dipilih oleh siswa sendiri. Pertemuan 2: siswa di bawah bimbingan guru menetapkan tema materi wawancara, yaitu “Pengalaman ketika mendaftarkan diri sebagai siswa SMPN ....”, lalu bersama-sama melakukan curah gagasan (Brainstorming) untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dalam wawancara. siswa dipasangkan satu-satu untuk melakukan wawancara dengan menggunakan panduan wawancara yang telah disusun bersama (pasangan dibentuk berdasarkan posisi lajur kursi siswa). Setiap pasangan berdiri berhadapan (satu bertindak sebagai pewawancara dan yang lain bertindak sebagai narasumber). Pewawancara mencatat segala I I 26 informasi yang diperoleh dari narasumber dalam bentuk dialog (dua). dilakukan petukaran pasangan yaitu: pasangan awal berpisah dan bergabung dengan pasangan yang lain (yang tadinya bertindak sebagai pewawancara beralih peran menjadi narasumber, demikian pula sebaliknya) (dua) Pertemuan 3: oleh karena jumlah siswa 32 orang, mereka dikelompokkan menjadi delapan kelompok, setiap kelompok terdiri atas empat siswa yang berasal dari dua pasangan yang telah bekerja sama) (empat) Setiap siswa dalam setiap kelompok membuat karangan naratif dengan mengembangkan teks hasil wawancara yang telah dibuatnya. Jika dianggap informasi yang diperoleh belum lengkap, siswa dapat bertanya kepada narasumbernya. Pertemuan 4: karangan siswa dipertukarkan untuk dinilai atau dikoreksi oleh teman sekelompoknya dengan menggunakan pedoman penilaian karangan naratif, lalu karangan tersebut dikembalikan kepada pemiliknya untuk dise mpurnakan. setelah disempurnakan, semua karangan siswa dalam satu kelompok ditempel dalam karton manila, lalu dipajang di dinding. (kelompok yang berada pada baris bangku I dan II memajang karya mereka di dinding sebelah kanan, dan kelompok yang berada pada baris bangku III dan IV memajang di sebelah kiri). setiap kelompok mengunjungi, menilai, dan memilih karya yang dianggap terbaik dengan aturan: kelompok pada baris bangku I mengunjungi kelompok pada baris III; kelompok pada baris bangku II mengunjungi kelompok pada baris IV; kelompok pada baris bangku III mengunjungi kelompok pada baris II; kelompok pada baris bangku IV 27 3. Mengoordinasi, memantau, dan mencatat semua peristiwa yang ada selama proses pembelajaran berlangsung Refleksi 1. Merenungkan kembali perencanaan, tindakan yang telah dilakukan, proses pembelajaran, serta hasil kerja siswa (teks wawancara dan karangan naratif siswa) mengunjungi kelompok pada baris I Tim peneliti membuat catatan pada lembar observasi yang telah disiapkan selama proses pembelajaran. Melakukan analisis terhadap hasil observasi I Mendiskusikan hasil yang diperoleh setelah implementasi model curah gagasan dengan pola kooperatif dua-dua-empat dalam pembelajaran mengubah hasil wawancara menjadi karangan naratif (proses pembelajaran, keterlibatan siswa dan guru serta hasil kerja siswa, yaitu: teks wawancara dan karangan naratif siswa) mendiskusikan rencana perbaikan atau perubahan dari siklus I. I Merumuskan sejumlah perubahan atau perbaikan dari hal yang telah dilakukan pada siklus I. Bersama dengan peneliti membuat rencana baru dengan sejumlah perbaikan II Mengulangi kegiatan seperti pada siklus I dengan sejumlah perubahan atau perbaikan/penyempurnaan. II Melakukan perubahan atau terhadap lembar observasi. II Perencanaan Ulang Membuat rencana baru. Tindakan dan Observasi 1. Implementasi rencana baru. Melanjutkan pencacatan pada lembar observasi. Refleksi Menyimpulkan ketercapaian 1. atau keberhasilan proses dan hasil pembelajaran sebagai dasar untuk melakukan tindak lanjut . 2. 3. Instrumen Penelitian perbaikan Melakukan finalisasi model penerapan curah gagasan dengan pola kooperatif dua-duaempat dalam pembelajaran mengubah hasil wawancara menjadi karangan naratif II 28 Instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipakai dalam pelaksanaan penelitian. Instrumen penelitian disesuaikan dengan metode pengumpulan data yang digunakan. Alat bantu yang digunakan, antara lain: a. Catatan observasi, yaitu penulis mengamati, mencatat, atau mengumpulkan data yang terkait dengan pelaksanaan pembelajaran mengubah hasil wawancara menjadi karangan naratif melalui curah gagasan dengan pola kooperatif dua-dua-empat. b. Karya siswa berupa panduan wawancara, hasil wawancara, dan karangan naratif. c. Video rekaman pelaksanaan pembelajaran mengubah hasil wawancara menjadi karangan naratif melalui curah gagasan dengan pola kooperatif dua-dua-empat. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah obsevasi, dokumentasi, dan penugasan. a. Teknik Observasi Observasi dilakukan terhadap aktivitas observer sebagai peneliti, guru, dan siswa selama proses tindakan berlangsung. Tujuan penggunaan teknik ini adalah untuk memperoleh data berupa tindakan observer dan guru dalam mengarahkan dan mengontrol siswa serta tindakan siswa dalam pembelajaran mengubah hasil wawancara menjadi karangan naratif melalui curah gagasan dengan pola kooperatif dua-dua-empat dengan konteks yang melatarinya. b. Teknik Dokumentasi Teknik ini digunakan untuk pendokumentasian gambar aktivitas pembelajaran mengubah hasil wawancara menjadi karangan naratif melalui curah gagasan dengan pola kooperatif dua-dua-empat serta pendokumentasian hasil kerja siswa. c. Teknik Tes Teknik tes digunakan untuk mengumpulkan data hasil kerja siswa. Tes yang digunakan sebagai instrumen dalam penelitian ini di bagi dalam dua bagian, yaitu (1) tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan siswa membuat catatan hasil wawancara dan (2) tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan siswa mengubah hasil wawancara menjadi karangan naratif. Indikator penilaian hasil kerja siswa diuraikan berikut ini. Tabel 2 Indikator Wawancara 29 No 1. 2. 3. 4 Aspek yang dinilai Bobot Kelogisan pertanyaan Sistematika Urutan pertanyaan Kelengkapan informasi Pentingnya peristiwa yang dipertanyakan 25 25 25 25 (Moleong, 2002: 164) Tabel 3 Indikator Penyusunan Karangan Naratif Berdasarkan Hasil Wawancara No 1. 2. 3. 4. 5. Aspek yang dinilai Nilai Rata-rata Kesesuaian isi karangan naratif dengan isi wawancara Susunan paragraf Pengorganisasi kalimat dalam paragraf Pemakaian kosakata Penggunaan ejaan dan tanda baca Jumlah 30 20 20 20 10 100 (Tolla dan Hartini, 1991: 32) Tolok ukur keberhasilan siswa ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagai berikut: ≥85% siswa yang mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) 7,5. Tabel 4 Lembar Observasi Pelaksanaan Pembelajaran Mengubah Hasil Wawancara Menjadi Karangan Naratif Melalui Curah Gagasan dengan Pola Kooperatif DuaDua-Empat Aspek yang Dinilai No. A 1. Pemberian motivasi 2. 3. 4. 6. 7. Strategi guru dalam membagi kelompok Pengaturan kursi Keterlibatan guru dalam mengarahkan kerja kelompok Keaktifan siswa Kerja sama siswa dengan teman kelompok dan tutor sebayanya Kekompakan siswa 8. 9. Kerajinan siswa mengerjakan tugas Respon siswa 5. Catatan: A: Sangat baik B: Baik Penilaian B C D Keterangan 2 C: cukup D: kurang 3 5. Teknik Analisis Data Proses dan hasil belajar menulis karangan naratif siswa melalui curah gagasan dengan pola kooperatif dua-dua-empat dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif model mengalir yang dikemukakan oleh Milles dan Huberman (1992: 18). Model analisis data ini terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi. Tahap-tahap analisis data secara garis besar dapat dijabarkan dalam langkah-langkah berikut. a. Menelaah data yang telah dikumpulkan melalui pengamatan, dan pencatatan. Setelah itu, dilakukan proses transkripsi hasil pengamatan, penyeleksian, dan pemilihan data. Hal ini dilakukan sejak siklus I sampai pada siklus II. Kegiatan menelaah data semacam ini dilakukan sejak awal pengumpulan data. b. Reduksi data mencakup pengategorian dan pengklasifikasian data. Semua data yang telah dikumpulkan diseleksi dan dikelompokkan sesuai dengan fokusnya. Data yang telah dipilahpilah tersebut kemudian diseleksi antara yang relevan dan tidak relevan. Data yang relevan dianalisis dan yang tidak relevan dibuang. c. Penyajian data dilakukan dengan cara mengorganisasikan data yang telah direduksi. Data tersebut pada awalnya disajikan secara terpisah. Namun, setelah data tindakan terakhir direduksi, akhirnya seluruh data tindakan dirangkum dan disajikan secara terpadu. Dengan demikian, diperoleh sajian tunggal berdasarkan fokus pembelajaran mengubah hasil wawancara menjadi karangan naratif melalui curah gagasan dengan pola kooperatif dua-duaempat. d. Menyimpulkan hasil penelitian dan triangulasi. Kegiatan ini merupakan kegiatan penyimpulan akhir temuan penelitian dan pengujian keabsahan temuan penelitian (triangulasi). Kegiatan triangulasi dilakukan dengan cara: a) peninjauan kembali catatan lapangan dan b) bertukar pikiran dengan ahli, teman, dan praktisi. Pengujian keabsahan data dilakukan dengan trianggulasi sumber yang dilakukan dengan cara (1) membandingkan hasil pengamatan dengan data rekaman kegiatan (video) dan catatan/hasil kerja siswa. G. Jadwal Kegiatan Penelitian 4 Penelitian ini dilaksanakan pada September 2009 sampai dengan April 2010. Jadwal pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 5 Jadwal Kegiatan Penelitian No. 1 2 3 4 5 6 Kegiatan Persiapan Pengumpulan Data Tabulasi Data Analisis Data Penyusunan Laporan Publikasi Sept v Okt Nop v v Bulan Des Jan Feb Mar April v v v v V H. Daftar Pustaka Alwi, Hasan., dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Ambo Enre, Fachruddin. 1994. Dasar-Dasar Keterampilan Menulis. Ujung Pandang: IKIP Ujung Pandang. Arifin, E & Amran Tasai. 1987. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Mediatama Sarana Perkasa. Cullen, Brain. 1998. “Brainstorming before Speaking Tasks”. Online (Itelsj. Or. Id/tels/pdf). Diakses 15 September 2003. Darmadi, Kaswan. 1996. Meningkatkan Kemampuan Menulis. Yogyakarta: Andi Yogyakarta. Depdiknas. 2006.Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta. Eggen, Paul D dan Kouchak, Donald P. 1996. Strategi For Teacher, Teaching Conten and Thinking Skill. Boston: Allyn dan Bocon. Eggen, Kemp. 1997. Instruction Design.Pearon Publisher. nIc.California. Goldman, Shephen H. and Hirs, Bernard A. 1986. The Essay Reading for the Writting Process. Boston: Hougton Miffin Company. Guba, Egon G. dan Yvonna S. Lincoln, 1981. Effective Evaluation. San Fransico: Jossey-Bass Publisher. Ibrahim, Muslimi, dkk, 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESE. Junus, Andi Muhammad. 2002. keterampilan Menulis. Makassar: Badan Penerbit UNM. Keraf, Gorys. 1989. Komposisi. Jakarta: PT Grasindo. Keraf, Gorys. 2001. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT Gramedia. Lie, Anita, 2002. Cooperative Learning: Memperaktekkan Cooperative Learning di Ruangruang Kelas. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. 5 Lincoln, Yvonna S., dan Egon G. Guba. 1985. Naturalistic Inquiry. Beverliy Hills: Sage Publication. Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Patton, Michael Quinn. 1980. Qualitative Evaluation Methods. Beverly Hills: Sage Publication. Pratiwi,Yuni. 2002. Strategi Belajar Kooperatif.( Materi TOT CTL SLTP). Malang: fakultas Sastra UM. Syamsuddin, A. R., dkk. 1998. Studi Wacana Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Tolla, Achmad dan Hartini Marlan. 1991. “Retorika Menulis Siswa Kelas II SMAN di Kotamadya Ujung Pandang”. Laporan Penelitian. Ujung Pandang: IKIP Ujung Pandang. Webster’s. 1996. Third New International Dictionary of the English Language. Cambridged: G. & C. Menraiam Company Publisher, Springfield, Massachusets, U.S.A. Www.ditnaga-dikti.org/ditnaga/files/PIP/kooperatif.pdf