TINJAUAN PUSTAKA Aves (Bangsa Burung) Burung atau aves adalah hewan yang memiliki bulu, tungkai atau lengan depan termodifikasi untuk terbang, tungkai belakang teradaptasi untuk berjalan, berenang dan hinggap, paruh tidak bergigi, jantung memiliki empat ruang, rangka ringan memiliki kantong udara, berdarah panas, tidak memiliki kandung kemih dan bertelur (Welty, 1982). Burung diklasifikasikan dalam kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, dan kelas Aves. Alikondra (2010) menjelaskan bahwa domestikasi adalah suatu urutan proses pembentukan spesies dalam suatu populasi yang semakin lama semakin disesuaikan dengan keadaan tidak liar, melalui mekanisme-mekanisme penjinakan dari banyak generasi untuk mendekati/mencapai tuntutan kebutuhan manusia. Berdasarkan proses domestikasi kelas Aves terbagi menjadi unggas dan burung. Unggas Unggas merupakan jenis (spesies) burung yang telah mengalami domestikasi dan mempunyai manfaat utama sebagai penghasil pangan (Donham dan Haase, 1980). Beberapa jenis unggas seperti ayam Kampung, itik, puyuh dan merpati dijelaskan dibawah ini: Ayam Kampung. Ayam kampung (Gallus gallus domesticus) memiliki kekerabatan yang dekat dengan dua sub spesies dari ayam hutan merah (G. gallus spadiceus) di China dan ayam hutan merah (G. gallus gallus) di Thailand (Sulandari dan Zein, 2009). Ayam kampung didefinisikan sebagai ayam yang tidak mempunyai ciri-ciri khas tertentu, dengan kata lain penampilan fenotipenya masih sangat beragam. Sifatsifat kualitatif seperti warna bulu, warna kulit dan bentuk jengger yang sangat bervariasi (Sartika dan Iskandar, 2007; Sartika, 2000). Ayam kampung jantan memiliki bulu ekor sama panjang dengan panjang tubuh dan berpenampilan gagah, sedangkan betina bulu ekor lebih pendek dari panjang tubuh, memiliki ukuran badan dan kepala lebih kecil (Gambar 1). Itik. Itik merupakan salah satu ternak unggas yang dikenal sebagai penghasil telur dan daging. Itik jantan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan 3 itik betina (Brahmantiyo et al., 2003). Itik liar mengalami perubahan morfologi yang bervariasi sesuai dengan tempat berkembangnya setelah mengalami domestikasi seperti itik alabio, itik tegal, itik mojosari dan lain-lain (Srigandono, 1997). Pola warna bulu itik mojosari sebagian besar didominasi oleh warna lurik-coklat gelap. Variasi warna diantaranya adalah kombinasi warna lurik dengan belang putih pada daerah leher dan bagian dada. Dari sebagian kecil dari populasi itik mojosari muncul warna bulu putih polos (Suparyanto, 2003) (Gambar 1). Puyuh. Puyuh merupakan jenis Aves yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan penghasil daging dan telur sehingga sering dipelihara oleh masyarakat (Minvielle, 2004). Puyuh jantan dan betina dapat dibedakan dari pola warna. Ciri-ciri puyuh jantan yaitu pada bagian bulu kepala sampai ke bagian belakang terdapat warna putih yang berbentuk garis melengkung tebal, bulu leher, dan dadanya yang berwarna cokelat muda (cinamon) tanpa ada bercak kehitaman, bulu punggung berwarna campuran cokelat gelap, abu-abu dengan garis putih dan bulu sayap seperti bulu punggung dengan belang kehitaman. Ciri-ciri puyuh betina yaitu warna bulu pada kerongkongan dan dada bagian atas berwarna cokelat muda lebih terang (sawo matang) dengan bercak cokelat tua atau kehitamhitaman (Kasiyati, 2009) (Gambar 1). Merpati. Merpati termasuk dalam Familia Columbidae dari Ordo Columbiformes. Merpati termasuk dalam kelas unggas yang telah lama dikenal di Indonesia dengan sebutan burung dara. Merpati Indonesia merupakan jenis merpati lokal yang berasal dari merpati liar (Columba livia) yang telah lama dibudidayakan dan asal penyebarannya dari Eropa (Antawidjaja, 1988). Merpati merupakan salah satu plasma nutfah di Indonesia. Para hobies menjadikan merpati sebagai hewan kesayangan untuk dijadikan merpati balap (Darwati et al., 2010). Merpati dapat dibedakan jenis kelaminnya setelah dewasa kelamin. Merpati betina biasanya lebih kecil dan tidak terlalu ribut sewaktu kawin, sedangkan merpati jantan tubuhnya lebih besar, lebih kasar, lehernya lebih tebal dan saat sedang kawin, jantan membuat gerakan melingkar, memekarkan bulu ekor dan merebahkan bulu sayapnya (Blakely & Bade, 1994) (Gambar 1). 4 Burung Burung merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup di dalam ekosistem alam dengan jumlah populasi yang tinggi. Fimbel et al (2001) menyebutkan bahwa fungsi ekologis burung yaitu sebagai pollinator, penyebar dan pemangsa benih. Indonesia memiliki kekayaan hayati berupa burung yang berlimpah. Populasi burung saat ini mengalami penurunan karena meningkatnya populasi manusia sehingga habitat asli burung menjadi terganggu. Tingginya permintaan pasar juga salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya populasi burung endemik Indonesia di alam. Hal ini menyebabkan perlunya pengembangbiakan yang diharapkan mampu meningkatkan populasi dan kelestariannya dengan upaya penangkaran. Alikondra (2010) menyebutkan bahwa penangkaran satwa liar adalah perkembangbiakan dan pemeliharaan satwa liar dalam keadaan terkurung oleh manusia untuk mencapai sasaran tertentu. Beberapa jenis burung yang saat ini populasinya menurun akibat tingginya permintaan pasar yaitu kakatua kecil jambul kuning, kakatua molukan dan beo Nias. Kakatua Kecil Jambul Kuning dan Kakatua Molukan. Burung kakatua merupakan jenis burung yang sangat dekat dan banyak digemari oleh masyarakat karena perilaku yang khas, lucu, riang dan suka menirukan suara. Burung kakatua merupakan spesies endemik Indonesia (Gambar 1). Indonesia memiliki 77 spesies dari burung paruh bengkok (Ordo: Psttaciformes, Family: Pssittacidae) yaitu 61 spesies diantaranya masuk ke dalam daftar perdagangan pasar internasional sejak tahun 1983-1999. Hal ini menyebabkan populasi burung ini mendekati kepunahan akibat permintaan pasar yang tinggi. Semua burung paruh bengkok Indonesia terdaftar dalam Appendix CITES yaitu Appendix I (terancam punah) sebanyak 4 spesies dan Appendix II (genting) sebanyak 73 spesies. Salah satu spesies yang termasuk dalam Appendix I yaitu kakatua molucan (Cacatua moluccensis) (Soehartono dan Mardiastuti, 2002). Beo Nias Burung beo merupakan burung yang paling pintar berbicara di dunia. Burung ini dapat menirukan suara yang didengarnya dengan cermat (Gambar 1). Burung beo memiliki sebutan yang berbeda-beda di setiap daerah di Indonesia dan dalam bahasa 5 Inggris disebut Mynah (Campbell dan Lack, 1985). Burung beo adalah burung monomorfik yaitu sulit dibedakan antara jantan dan betina. Hampir semua jenis burung beo terancam kelestariannya akibat penangkapan dari habitat alaminya. Burung beo termasuk daftar burung paruh bengkok yang popular dalam pedagangan burung internasional (Soehartono dan Mardiastuti, 2002). Gambar 1. Beberapa Jenis Aves: Ayam Kampung Jantan (A.1) dan Betina (A.2)1, Puyuh Jantan (B.1) dan Betina (B.2)2, Itik Jantan (C.1) dan Betina (C.2)3, Merpati (D)4, Beo Nias (E)5, Kakatua Molukan (F)6, dan Kakatua Kecil Jambul Kuning (G)7. Sumber: 1(Candrawati, 2007) 2 (www.cybex.deptan.go.id) 3 (www.litbang.deptan.go.id) 4 (www.karantina.deptan.go.id) 5 (Shepherd, 2006) 6 (Harrison, 2005) 7 (Harrison, 2005) Penentuan Jenis Kelamin pada Aves Penentuan jenis kelamin pada aves dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu secara non molekuler dan secara molekuler. Penentuan jenis kelamin secara non molekuler diantaranya yaitu autosexing, vent sexing, karyotyping, steroid sexing pada feses dan laparoskopi. Penentuan jenis kelamin secara molekuler umumnya menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan menggunakan penanda genetik khusus jenis kelamin (Cerit dan Avanus, 2007a). Cara-cara untuk menentukan jenis kelamin secara non molekuler ini memiliki beberapa kelemahan. Cara penentuan jenis kelamin secara non molekuler yaitu sebagai berikut: 6 Autosexing. Penentuan jenis kelamin day old chick (DOC) merupakan pekerjaan yang sangat penting dalam reproduksi di suatu pembibitan. Fakta menarik mengenai jenis kelamin DOC yang baru menetas dapat diketahui dari bulu menggunakan gen marker K-k yang berlokasi pada kromosom sex Z. Saat menetas jantan dilihat dari pertumbuhan bulu primer yang lambat, sementara itu betina diketahui dari pertumbuhan bulu primer yang lebih cepat. Hal ini menjadi cara yang mudah, tingkat akurasi yang tinggi dan cepat dalam menentukan jenis kelamin pada ayam sehingga sering digunakan di pembibitan unggas skala industri (Mincheva et al., 2012). Autosexing ayam diketahui dari warna bulu akibat mutasi yang terpaut kelamin. Jantan dan betina dapat diidentifikasi saat penetasan melalui warna bulunya yang unik (Elbrecht dan Smith, 1992). Vent Sexing. Vent sexing merupakan metode yang dipopulerkan oleh seorang profesor Jepang, Kiyoshi Masui pada tahun 1930. Metode ini mengidentifikasi jenis kelamin berdasarkan area kloaka untuk melihat keberadaan alat kelamin jantan. Metode itu membutuh orang yang terlatih dan banyak pengalaman. Vent sexers yang sangat terlatih dengan mudah mengidentifikasi jenis kelamin day old chick (DOC) dengan tingkat keberhasilan hingga 95%. Seorang ahli juga dapat mengalami kesalahan dalam mengidentifikasi burung yang monomorfik (Bramwell, 2003). Laparoskopi (Pembedahan). Karakteristik saluran reproduksi dapat langsung dilihat dengan menggunakan laparoskopi. Gonad burung dewasa lebih mudah divisualisasi dibandingkan dengan anakan. Metode ini dilakukan dengan penyayatan kecil pada sisi kiri tubuh burung sehingga memiliki resiko yang tinggi yaitu cedera pada organ vital burung yang dibedah. Pemeriksaan ini dapat berbahaya dan bahkan mematikan burung tersebut (Swengel, 1996; Cerit dan Avanus, 2007a). Steroid Sexing pada feses. Metode ini didasarkan pada tingkat hormon estrogen/testosterone (E/T) dalam kotoran burung. Kotoran burung betina memiliki rasio E/T yang tinggi daripada burung jantan. Hasil terbaik dapat diperoleh dari burung-burung dewasa selama musim kawin dan dilakukan pada feses segar (Swengel, 1996; Cerit dan Avanus, 2007a). 7 Karyotyping. Sumber untuk isolasi kromosom dan penentuan kariotipe dapat diperoleh dari kultur sel yang umumnya berasal dari bulu atau sel darah. Sebagian besar kromosom spesies burung adalah mikrokromosom sehingga sulit untuk menghitung mikrokromosom ini secara akurat. Kromosom Z memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan kromosom W (Archawaranon, 2004). Kelemahan dari metode ini yaitu prosedur yang memakan waktu lama (Cerit dan Avanus, 2007a) Gen CHD (Chromo Helicase DNA Binding) Gen Chromo Helicase DNA binding (CHD) merupakan suatu gen penanda jenis kelamin pada Aves. Gen CHD berada di kromosom Z dan W, yang terdiri dari CHD-Z (berada pada kromosom Z) dan CHD-W (berada pada kromosom W) (Dubiec dan Zagalska-Neubauer, 2006). Gen CHD (chromo helicase DNA binding) merupakan gen pertama yang berlokasi di kromosom W (CHD-W) pada aves (Griffiths and Tiwari, 1995). CHD-Z berlokasi pada kromosom Z (Griffiths and Korn 1997), yang ada pada dua jenis kelamin (ZZ dan ZW). Struktur protein dari CHD-Z dan CHD-W diketahui memiliki perbedaan yang sangat sedikit (Fridolfson dan Ellergen, 1999). Sejauh ini hanya sedikit gen yang terdapat pada kromosom W untuk mengidentifikasi jenis kelamin pada Aves, namun gen yang paling umum digunakan yaitu gen CHD. Aves mempunyai kromosom sex yang berbeda dibandingkan dengan mamalia. Sifat heterogametik pada burung dimiliki oleh betina (ZW) sedangkan jantan merupakan homogametik (ZZ) (Ellergren, 1996). Gen CHD (Chromo Helicase DNA binding) dapat menunjukkan perbedaan antara alel Z dan W pada betina (Griffiths et al., 1996). Perbedaan ini terjadi karena adanya keterpautan (linkage) antara posisi gen CHD dengan kromosom kelamin pada Aves (kromosom Z dan W) (Griffith dan Korn, 1997). Sejak ditemukannya perbedaan pada gen jenis kelamin CHD-Z dan CHD-W pada kebanyakan jenis burung, kemudian gen ini diamplifikasi dengan PCR (Griffiths et al., 1998; Kahn et al., 1998; Fridolfsson dan Ellegren, 1999). Banyak primer yang telah didesain untuk mengenali ukuran intron yang berbeda pada gen CHD. Namun primer yang paling sering digunakan untuk mengidentifikasi jenis kelamin pada Aves yaitu P2 dan P8 (Griffiths et al., 1998). 8 Isolasi DNA Total Teknik PCR memerlukan suatu DNA cetakan (DNA template) yang nantinya akan diperbanyak secara in vitro. DNA cetakan didapatkan dari hasil ekstraksi dan purifikasi suatu sel, jaringan atau organ. Sebagian besar DNA pada sel hewan terdapat di dalam inti dan sebagian yang lain terdapat di organel seperti mitokondria. Ekstraksi dan purifikasi DNA pada prinsipnya adalah suatu cara atau metoda untuk memisahkan DNA total dari komponen sel lainnya (Sulandari dan Zein, 2003). Setiap sel atau jaringan yang memiliki DNA memungkinkan untuk dilakukan ekstraksi DNA. Namun kualitas dan jumlah DNA yang diperoleh dapat bervariasi tergantung asal jaringan, metode penyimpanan, dan cara ekstraksi. Ekstraksi DNA dari fosil, rambut atau bulu, dan feses biasanya lebih sulit dilakukan (Taberlet et al. 1996). Prinsip metode purifikasi pada semua jaringan hewan tidak jauh berbeda, yaitu terdiri atas tiga tahapan utama. Tiga tahapan tersebut secara berurutan adalah penghancuran (lisis) membran sel, pemisahan material DNA dari material organik sel lain, dan pemisahan DNA dari larutannya (presipitasi) (Sambrook et al. 1989). Secara umum dalam studi molekuler burung, DNA total didapatkan dari hasil ekstraksi dan purifikasi darah lengkap (whole blood). Inhibitor (penghambat) yang terdapat pada beberapa jaringan memerlukan perlakuan khusus dalam proses ekstraksi sehingga hasilnya akan sulit untuk di PCR. Ekstraksi DNA dapat dilakukan secara manual ataupun menggunakan DNA extraction kit (kit). Ekstraksi DNA dengan menggunakan kit umumnya menghasilkan DNA dengan kualitas yang lebih baik (Schill, 2007). Bulu merupakan struktur khusus sebagai penciri dalam kelas Aves. Bulu burung mempunyai prospek menjadi sumber DNA karena pada pangkal bulu (calamus) banyak mengandung sel epitel. Bulu dapat diperoleh secara langsung (pada saat mabung) maupun tak langsung (dicabut) dengan tingkat resiko kecil pada burung tersebut. Namun karena pada bulu banyak mengandung unsur keratin dan sudah mengeras, maka sulit untuk didapatkan DNAnya. Komponen bulu terdiri dari α dan β-keratin yang tersusun oleh bermacam-macam asam amino (Harrap dan Woods, 1964). 9 Seleksi Menggunakan Penanda Molekuler Metode seleksi sederhana berdasarkan informasi fenotipe telah banyak dilakukan untuk perbaikan produktivitas ternak, namun terdapat beberapa keterbatasan seperti perbedaan jenis kelamin dan sifat-sifat yang sulit atau mahal untuk diukur dan diamati (Vischer et al., 2000). Salah satu metode untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah dengan melakukan seleksi menggunakan penanda molekuler. Poymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu reaksi in vitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu thermocycler. Panjang target DNA berkisar antara puluhan sampai ribuan nukleotida yang posisinya diapit sepasang primer. Primer yang berada sebelum daerah target disebut sebagai primer forward dan yang berada setelah daerah target disebut primer reverse. Enzim yang digunakan sebagai pencetak rangkaian molekul DNA baru dikenal sebagai enzim polymerase. Untuk mencetak rangkaian tersebut dalam teknik PCR, diperlukan juga dNTPs (deoxynucleoside triphosphat) yang mencakup dATP (nukleotida berbasa Adenine), dCTP (Cytosine), dGTP (Guanine) dan dTTP (Tymine) (Muladno, 2002). Proses PCR terdiri dari tiga tahapan yaitu : (1) Denaturasi, yaitu perubahan struktur DNA utas ganda menjadi utas tunggal, (2) Annealing, yaitu penempelan primer pada sekuens DNA komplementer yang akan diperbanyak, dan (3) Ekstensi, yaitu pemanjangan primer oleh DNA polymerase. PCR biasanya berlangsung dalam 35-40 siklus (Muladno, 2002). Tahap denaturasi DNA berlangsung dalam suhu 94 ºC sehingga DNA untai ganda dapat terpisah menjadi utai tunggal. Tahap yang paling menentukan adalah tahap penempelan primer, karena setiap pasang primer memiliki suhu penempelan primer yang spesifik. Tahap pemanjangan primer berlangsung pada suhu 27 ºC. Pada tahap ini enzim taq polymerase, buffer, dNTP, dan Mg2+ memulai aktifitasnya memperpanjang primer (Viljoen et al., 2005). Proses PCR disajikan pada Gambar 2. 10 Gambar 2. Proses Poymerase Chain Reaction (PCR) (Nicholas, 2004) Polymerase Chain Reaction-Single Strand Comformation Polymorphism (PCR-SSCP) merupakan salah satu metode analisis lebih lanjut yang memanfaatkan produk PCR. Metode ini merupakan pemisahan asam nukleat rantai tunggal (single stranded nucleic acids) hasil amplifikasi PCR dengan elektroforesis melalui gel poliakrilamid dan berdasarkan pada perbedaan berat model pasangan basa, sehingga dapat menghasilkan perbedaan struktur sekuen gen (Orita et al., 1989). Prinsip yang mendasari metode analisis SSCP adalah perbedaan asam nukleotida yang akan mempengaruhi bentuk fragmen DNA untai tunggal (Bastos et al., 2001) akan menyebabkan pola migrasi pada saat elektroforesis dalam gel poliakrilamid (Baroso et al., 1999) walaupun perbedaannya hanya satu nukleotida saja (Nataraj et al., 1999). Elektroforesis Elektroforesis adalah proses bergeraknya molekul bermuatan pada suatu medan listrik. Kecepatan molekul yang bergerak pada medan listrik tergantung pada muatan, bentuk dan ukuran molekulnya. Prinsip kerja dari elekroforesis yaitu berdasarkan pergerakan partikel-partikel bermuatan negatif yang bergerak menuju kutub positif (Klug & Cummings, 1994). Proses elektroforesis membutuhkan agar atau gel sebagai medium untuk pemisahan DNA. Ada dua tipe gel dalam proses elektroforesis yaitu agarose dan poliakrilamid. Gel agarose adalah koloid alami yang 11 diekstrak dari rumput laut. Gel agarose memiliki pori berukuran besar dan kegunaan utamanya untuk memisahkan molekul yang sangat besar dengan berat molekul lebih dari 200 kiladalton (Sambrook et al., 1989). Posisi molekul yang terseparasi dapat dilihat dengan pewarnaan gel. Untuk mendeteksi potongan-potongan DNA berupa larik DNA pada gel agarose digunakan pewarna yang mengandung fluorescen dengan konsentrasi rendah seperti ethidium bromide (EtBr) (Fatchiyah, 2006). Resolusi optimal dalam separasi fragmen DNA akan didapatkan apabila pemilihan konsentrasi gel tepat. Besar kecilnya pori-pori pada agarose ditentukan oleh konsentrasinya, makin tinggi konsentrasi agarose, maka makin kecil pori yang terbentuk. Pori-pori ini berfungsi sebagai saringan molekul, dimana migrasi fragmen DNA yang besar akan lebih lambat daripada fragmen yang lebih kecil (Fatchiyah, 2006). Gel poliakrilamida terbentuk tanpa pemanasan, melainkan dengan pencampuran larutan akrilamida dengan ammonium sulfat dan TEMED (N,N,N’,N’tetramethylethylenediamine). Pencampuran ini akan mengakibatkan monomer akrilamida mengalami polimerisasi menjadi rantai panjang. Penambahan senyawa lain N,N’-methylene bis-akrilamida (bis-akrilamida) di dalam proses polimerisasi, terbentuk cross-linker antar rantai panjang sehingga terbentuk gel yang tingkat porositasnya ditentukan oleh panjang rantai dan derajat penyilangan antar rantai (cross-link). Panjang rantai polimer akrilamida ditentukan oleh konsentrasi akrilamida di dalam reaksi polimerisasi (antara 3.5% dan 20%). Senyawa bisakrilamida yang berfungsi sebagai cross-linker ditambahkan dengan perbandingan 1:29 terhadap akrilamida (Muladno, 2002). Elektroforesis gel poliakrilamida dilakukan pada posisi vertikal. Gel poliakrilamida memiliki tiga keuntungan yaitu: (1) resolusi dalam pemisahan molekul DNA jauh lebih tinggi sehingga panjang molekul DNA yang berbeda hanya satu nukleotida dapat dideteksi, (2) gel poliakrilamida dapat menampung jumlah DNA yang lebih besar daripada gel agarose dan (3) DNA yang diekstrak dari gel poliakrilamida bersifat sangat murni dan dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut (Muladno, 2002). Karakteristik dari gel agarose dan poliakrilamid ditampilkan pada Tabel 1. 12 Tabel 1. Karakteristik Gel Agarose dan Poliakrilamid Jenis Gel Agarose Poliakrilamid Konsentrasi Gel Agarose (%) 0,2 0.4 0,6 0,8 1,0 1,5 2,0 3,0 3,5 5,0 8,0 12,0 15,0 20,0 Kisaran ukuran DNA (pb) 5000-40000 5000-30000 3000-10000 1000-7000 500-5000 300-3000 200-1500 100-1000 1000-2000 80-500 60-400 40-200 25-150 6-100 Sumber: (Sambrook et al., 1989) 13