BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Berbagai kasus pelanggaran etika yang dilakukan perusahaan ataupun organisasi di Indonesia telah menarik perhatian publik berkaitan dengan masalah nilai-nilai etika. Kasus pelanggaran etika ini terjadi pada berbagai sektor organisasi di Indonesia. Baik sektor organisasi publik maupun sektor organisasi swasta. Sesuai dengan fakta tersebut, kasus pelanggaran etika memang dapat terjadi di seluruh sektor organisasi (Vardi & Wiener, 1996 dalam Novrianti, 2014). Namun, Dick dan Rayner (2013) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa pelanggaran etika cenderung lebih tinggi terjadi pada karyawan yang bekerja pada sektor publik dibandingkan karyawan yang bekerja pada sektor swasta. Di Indonesia, pegawai pemerintah merupakan salah satu kalangan yang sering terlibat dalam tindakan pelanggaran etika untuk organisasi sektor publik. Banyaknya tindakan pelanggaran etika tersebut dapat dilihat dari terus meningkatnya jumlah kasus pelanggaran yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (Setyawan, 2013; Irsan, 2014; Harian Terbit, 2015). Lebih lanjut, BAPPENAS (2010) dalam Laporan Kajian Manajemen Pengaduan Masyarakat dalam Pelayanan Publik, mengemukakan bahwa keluhan atas pelayanan publik yang disampaikan oleh 1 perorangan, LSM, kelompok masyarakat, organisasi profesi, dan yang lainnya menunjukkan kecenderungan peningkatan yang cukup signifikan. Dari keseluruhan laporan masyarakat tersebut, instansi yang paling banyak dilaporkan oleh masyarakat adalah Pemerintah Daerah sebanyak 360 laporan (31,21%). Instansi lain yang juga banyak dilaporkan oleh masyarakat adalah Kepolisian sebanyak 242 laporan (20,97%), Lembaga Pengadilan sebanyak 161 laporan (13,95%), Badan Pertanahan Nasional sebanyak 97 laporan (8,44%), serta Instansi Pemerintah/Kementerian sebanyak 89 laporan (7,69%). Permasalahan yang sering dikeluhkan masyarakat pada umumnya menyangkut perlakuan yang tidak patut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, hingga permintaan uang, barang, dan jasa. Salah satu bentuk penyimpangan pelayanan publik yang perlu menjadi perhatian lebih ialah adanya praktik pemungutan uang jasa dari masyarakat sebagai pihak yang menerima pelayanan. Adanya praktik ini cenderung merugikan sebagian masyarakat pengguna jasa yang kurang berkenan dengan adanya pungutan sejumlah uang jasa tersebut. Hasil penelitian Government and Decentralization Survey (GDS) 2002 yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada menunjukkan bahwa sebagian besar responden dari tiga provinsi yang disurvei pernah menerima pemberian uang dari masyarakat pengguna jasa (Dwiyanto et al., 2006 dalam BAPPENAS, 2010). 2 Tabel 1.1 Pengakuan Aparat atas Pemberian Uang dari Masyarakat dalam Melakukan Pelayanan Pemberian uang dari masyarakat pengguna jasa Sumatra Barat Daerah Istimewa Yogyakarta N % N Ya 184 64,1 201 Tidak 103 35,9 124 Jumlah 287 100,0 325 Sumber: Dwiyanto et al. (2006) dalam BAPPENAS (2010) % 61,8 38,2 100,0 Sulawesi Selatan N 175 125 300 % 58,3 41,7 100,0 Dari tabel di atas terlihat bahwa tidak adanya perbedaan signifikan antara tiga provinsi yang disurvei. Perbedaan yang tidak signifikan dari hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa praktik penyimpangan pelayanan publik ini telah menjadi hal serius yang perlu ditindaklanjuti karena lebih dari separuh responden masing-masing wilayah (rata-rata sekitar 60%) mengaku pernah menerima pemberian uang dari masyarakat pengguna jasa. Tindakan pelanggaran etika pada sektor publik ini tentu saja tidak hanya merugikan organisasi ataupun anggota organisasi yang lain, namun juga dapat mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara. Peneliti sebelumnya secara konsisten mengemukakan bahwa perilaku kerja negatif (misalnya, pelanggaran etika) dapat merugikan organisasi (Aquino, Lewis, & Bardfield, 1999; Peterson, 2002; Lau, Au, & Ho, 2003). Selain konsekuensi negatif pada segi keuangan, organisasi juga dapat menanggung konsekuensi negatif berupa dampak sosial dan psikologis dari adanya tindakan pelanggaran etika (Peterson, 2002). 3 Adanya kasus pelanggaran etika ini berpotensi menurunkan kepercayaan publik, khususnya bagi para pihak yang memiliki kaitan langsung dengan organisasi yang melakukan pelanggaran, Seperti halnya konsumen, pemegang saham atau bahkan karyawan dari organisasi itu sendiri. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Thomas, Schermerhorn dan Dienhart (2004) mengemukakan bahwa pelanggaran etika, bahkan ketika tetap sejalan dengan hukum, dapat merusak citra dan reputasi organisasi, yang mengakibatkan ketidakpercayaan pelanggan, hilangnya semangat kerja karyawan, dan rendahnya komitmen kerja karyawan. Kerugian organisasi yang disebabkan oleh pelanggaran etika semestinya mendapat perhatian lebih dari para peneliti baik praktisi maupun akademisi untuk melakukan analisis lebih lanjut pada hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran etika. Terutama, terkait dengan faktor-faktor yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya sejumlah kasus pelanggaran etika tersebut. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Lau, Au, dan Ho (2003) menemukan beberapa anteseden dari perilaku kontraproduktif yang dalam kasus ini berwujud tindakan melanggar etika. Faktor organisasional adalah salah satu dari beberapa anteseden tindakan pelanggaran etika tersebut. Faktor organisasional ini dapat berupa kondisi pekerjaan, kondisi fisik organisasional, dan iklim organisasi. Berdasarkan hasil temuan tersebut, salah satu hal penting yang perlu diperhatikan organisasi dalam hal ini adalah iklim organisasi. 4 Iklim adalah persepsi bersama tentang kebijakan dan prosedur yang mengatur perilaku dimana perilaku tersebut diharapkan, didukung, dan dihargai secara bersama. Sedangkan, iklim organisasi merupakan kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung dan dialami oleh anggota organisasi, sehingga mempengaruhi perilaku mereka dan dapat digambarkan sebagai satu set karakteristik atau sifat organsiasi (Schwepker & Good, 2009). Sebuah organisasi dapat terdiri dari berbagai jenis iklim termasuk salah satunya adalah iklim etis (Schneider dalam Schwepker & Good, 2009). Iklim etis organisasional dalam kasus ini dipandang penting bagi organisasi karena dapat menentukan aktivitas manusia sebagai bagian dari pelaksanaan aktivitas pelayanan organisasi pada masyarakat (Fritzsche, 2000). Situasi kerja yang tidak baik akan muncul apabila setiap aktivitas organisasi tidak diiringi oleh adanya iklim etis. Sementara, organisasi yang dapat membangun iklim etisnya sacara baik dan konsisten akan memiliki standar etika yang tinggi sehingga mampu membangun hubungan jangka panjang dan loyalitas pelanggan (Johnston & Marshall, 2003 dalam Mulki et al., 2006). Maka, dalam menyikapi fenomena tersebut sekiranya perlu bagi organisasi untuk mengevaluasi kembali iklim etis di organisasi mereka. Dalam penelitian ini akan digunakan konsep iklim etis organisasional yang telah dikembangkan oleh Victor dan Cullen (1988). Victor dan Cullen (1988) mendefinisikan iklim etis organisasional sebagai persepsi bersama dari sekelompok 5 individu mengenai hal yang berkaitan dengan moral. Persepsi tersebut kemudian diimplementasikan dalam praktik organisasi tempat dimana mereka bekerja. Iklim etis organisasional merupakan bagian yang lebih spesifik dari konsep iklim kerja (Cullen et al., 2003). Iklim kerja ini menentukan apa saja yang merupakan perilaku etis di tempat kerja. Termasuk larangan dan izin di dalam organisasi. Iklim etis membantu para pekerja dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan etika. Seperti halnya, menjawab pertanyaan ―Apa yang seharusnya saya lakukan?‖ ketika dihadapkan dengan dilema moral (Homans, 1950 dalam Cullen et al., 2003). Selain itu, iklim etis juga membantu para karyawan untuk mengidentifikasi adanya masalah etika di dalam organisasi mereka. Dengan pendekatan tersebut, iklim etis organisasional dapat dikonseptualisasikan sebagai karakteristik suatu organisasi yang menjadi landasan terbentuknya berbagai keputusan, terutama yang berkaitan dengan isu moral. Dalam suatu studi empiris, Victor dan Cullen (1988) memaparkan bahwa iklim etis memiliki tiga kriteria pertimbangan moral, yaitu egoisme (egoism), kemurahan hati (benevolence), dan prinsip (principle). Selain itu, studi empiris tersebut juga mengidentifikasi beberapa kelompok rujukan atau referensi yang digunakan sebagai dasar untuk memisahkan beberapa jenis iklim etis organisasional. Tiga kelompok rujukan tersebut meliputi individu (individual), lokal (local), dan kosmopolitan (cosmopolitan). 6 Berdasarkan tiga kriteria pertimbangan moral (egoisme, kemurahan hati, dan prinsip) dan kelompok rujukan (individu, lokal, dan kosmopolitan) dikembangkan sembilan tipe iklim etis organisasional. Namun setelah dilakukan beberapa penelitian untuk menguji validitasnya, sembilan dimensi iklim etis yang dikembangkan dari konsep tersebut tidak dikonfirmasi (Wyld & Jones, 1997). Pada akhirnya, Victor dan Cullen (1987) menemukan lima dimensi iklim etis sebagai hasil dari analisis faktor dalam studi mereka (Erben & Guneser, 2008). Kelima tipe iklim tersebut antara lain peduli (caring), instrumental, aturan (rules), hukum dan kode (law and code), dan kebebasan (independent). Pengelolaan iklim etis organisasional yang kurang optimal memang berpotensi menimbulkan berbagai macam bentuk pelanggaran etika yang mungkin dilakukan oleh anggota organisasi. Hal tersebut bercermin dari kasus pelanggaran etika yang terjadi di sektor organisasi Indonesia, seperti yang telah dibahas sebelumnya. Pengelolaan iklim etis organisasional tentunya memerlukan keterlibatan dari seluruh anggota organisasi di dalamnya. Anggota organisasi memiliki peran yang penting dalam hal pengelolaan iklim etis di organisasi, khususnya anggota organisasi yang memiliki kewenangan atau kekuatan tertentu. Karena, iklim organisasi merupakan refleksi dari nilai-nilai dan basis kognitif yang dianut oleh aktor yang memiliki kekuatan di dalam organisasi (Hambrick & Mason, 1984). Pada umumnya, aktor yang memiliki kekuatan ataupun memiliki koalisi dominan dalam organisasi adalah pemimpin organisasi. Serupa dengan pernyataan 7 tersebut, Kish-Gephart et al. (2010), melalui meta analisis yang dilakukan, menemukan bahwa iklim etis melibatkan elemen organisasi tertentu seperti halnya kepemimpinan. Seorang pemimpin dengan gaya kepemimpinannya akan membawa nilai-nilai individualnya ke dalam organisasi, kemudian nilai-nilai tersebut memainkan peran penting dalam menentukan strategi, struktur, budaya, dan iklim organisasi (Dickson et al., 2001). Dalam situasi ini, pemimpin berperan dalam hal sosialisasi berbagai perilaku yang diterima dan perilaku yang tidak dapat diterima yang nantinya akan menghasilkan lebih sedikit keputusan tidak etis di tempat kerja. Berdasarkan konsep tersebut dapat dikatakan bahwa pengaruh perilaku kepemimpinan berperan dalam membangun iklim etis di organisasi. Salah satu gaya kepemimpinan yang perlu dianalisis lebih lanjut dalam kasus ini ialah Kepemimpinan Paternalistik. Kata ―paternalistik‖ berasal dari bahasa Latin yakni ―pater‖ yang berarti ayah. Paternalistik berhubungan erat dengan perlindungan. Hubungan paternalistik pada umunya melibatkan dua sisi, satu sisi memiliki posisi superioritas dan sisi yang lain ialah pihak yang dianggap lebih rapuh dan cenderung untuk menerima perlindungan khusus (Rohrmann & Rego, 2014). Dengan demikian, hubungan paternalistik menyiratkan hubungan hirarkis dimana salah satu pihak dianggap lebih mampu dan siap sehingga memberikan perlindungan pada pihak yang lemah. Seperti halnya seorang ayah yang melindungi anak dan menjaga keluarganya. Pemimpin paternalistik sering dipandang positif karena perhatian yang mereka 8 berikan selayaknya seorang ayah dan upaya mereka untuk menciptakan atmosfer kerja yang menyerupai keluarga (Erben & Guneser, 2008). Konsep kepemimpinan ini umumnya berlaku di negara-negara non-Barat, dimana pemimpin memiliki peran untuk memberikan perhatian, perlindungan, dan bimbingan kepada bawahan baik dalam konteks pekerjaan maupun di luar konteks pekerjaan (Aycan & Gelfand, 2012). Kepemimpinan paternalistik tersebut berada dalam budaya yang ditandai dengan power distance tinggi dan kolektivisme tinggi, terutama pada beberapa negara Asia. Selain itu, Erben dan Guneser (2008) juga menyatakan bahwa karakteristik budaya paternalisme banyak ditemui di negara dengan perekonomian yang bergantung pada sektor pertanian. Dengan demikian, Indonesia dapat diprediksi sebagai salah satu negara yang menjadi tempat berkembangnya gaya kepemimpinan paternalistik (Irawanto, 2009; Suryani et al., 2012). Karena telah memenuhi beberapa karakteristik negara berbudaya paternalisme seperti yang dijelaskan di atas. Cheng et al. (2004) mendefinisikan kepemimpinan paternalistik sebagai gaya kepemimpinan yang mengkombinasikan disiplin dan kewenangan yang kuat dengan kemurahan hati serta integritas moral melalui figur yang menyerupai seorang ayah. Berdasarkan definisi tersebut, kemudian kepemimpinan paternalistik dibagi menjadi tiga elemen penting yakni kepemimpinan otoritarianime (authoritarianism), kemurahan hati (benevolence), dan moralitas (morality). Beberapa karakteristik dari seorang pemimpin paternalistik tersebut dinilai sangat berkaitan dengan iklim etis organisasional, salah satunya yakni moralitas. 9 Sikap moral (morality) dapat secara luas digambarkan sebagai perilaku seorang pemimpin yang cenderung memiliki kebaikan hati yang mulia, disiplin, tidak egois, dan menunjukkan perilaku sebagai warga negara yang baik (Cheng et al., 2004). Seorang pemimpin akan membawa nilai-nilai individualnya ke dalam organisasi, kemudian nilai-nilai tersebut yang nantinya berperan penting dalam menentukan iklim organisasi (Dickson et al., 2001). Apabila pemimpin mampu membawa nilai moralitasnya secara konsisten, maka sikap moralitas pemimpin tesebut akan diikuti oleh para pengikutnya. Moralitas pemimpin dan para pengikutnya ini yang kemudian dapat membangun iklim kerja etis di dalam organisasi. Prediksi tersebut sejalan dengan penelitian Schminke et al. (2005) yang mengemukakan bahwa perkembangan moral pemimpin dan konsistensi antara perkembangan dan tindakan moral pemimpin terbukti berinteraksi untuk mempengaruhi iklim etis. Sehingga, ketika pemimpin berperilaku adil, jujur, perhatian, dan dapat dipercaya, maka pemimpin ini mampu menciptakan iklim kerja etis yang memungkinkan bawahan untuk berkembang secara moral (Neubert et al., 2009). Tindakan moral dari pemimpin tersebut akan timbul sebagai kondisi yang diperlukan untuk membentuk sebuah organisasi dengan iklim etis. Misalnya, seorang CEO berkewajiban untuk memberikan contoh moral pada para anggotanya sehingga mengurangi upaya meningkatkan profit yang dilakukan melalui aktivitas yang dapat merugikan masyarakat (Aronson, 2001). Prediksi tersebut juga didasari oleh teori pembelajaran sosial (social learning theory) yang diidentifikasi oleh Bandura (1971). Teori ini menggambarkan 10 bagaimana seorang individu memperoleh perilaku baru dengan meniru perilaku orang lain yang ia jadikan model. Pembelajaran sosial tersebut dilakukan melalui pengalaman langsung dan observasi pada perilaku orang lain sebagai model yang ia tiru. Berdasarkan konsep tersebut dapat dikatakan bahwa ketika seorang karyawan memiliki perilaku baru yang muncul dari dalam dirinya maka perilaku tersebut merupakan hasil observasi yang ia lakukan pada lingkungan sekitar, termasuk observasi terhadap perilaku pemimpin mereka. Apabila karyawan menilai bahwa perilaku pemimpin baik dan patut untuk dicontoh, secara otomatis karyawan akan meniru perilaku pemimpin tersebut. Dengan demikian, ketika pemimpin menunjukkan tindakan moral, kemurahan hati dan sikap disiplin maka karyawan akan merespon hal tersebut dengan melakukan hal yang sama. Tindakan moral, kemurahan hati serta disiplin yang dilakukan secara bersama-sama oleh pemimpin dan para pengikutnya ini yang kemudian dapat membangun iklim etis di organisasi mereka. Sejumlah peneliti telah menunjukkan hasil temuan yang sama mengenai hubungan kepemimpinan paternalistik dan iklim etis organisasional. Namun, hasil yang tidak konsisten pada hubungan kepemimpinan paternalistik dan iklim etis organisasional masih ditemukan dalam beberapa penelitian empiris lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Cheng dan Wang (2015) menemukan bahwa kepemimpinan paternalistik memiliki pengaruh positif pada iklim etis organisasional. Perilaku pemimpin patrenalistik yang menunjukkan sikap kepedulian terhadap bawahan dan memberikan perhatian untuk kesejahteraan bawahan terbukti dapat 11 membangkitkan respon psikologis bawahan berupa rasa syukur dan keinginan untuk membalas budi pemimpin mereka. Akibatnya, bawahan cenderung melebihi peran mereka di dalam organisasi yang merupakan contoh dari perilaku kewargaan organisasi. Dalam situasi tersebut, perilaku bawahan tidak akan berorientasi pada kepentingan diri sendiri melainkan berorientasi pada kepentingan bersama, atau berorientasi pada aturan yang berlaku di organisasi mereka. Sehingga, ketika para bawahan menerima atau merasakan perilaku paternalistik dari pemimpin mereka, bawahan akan cenderung bersedia mengikuti atau taat pada peraturan dan prosedur organisasi. Dengan kata lain, perilaku paternalistik dari pemimpin akan mendorong terciptanya iklim etis organisasional. Sedangkan, penelitian lain yang dilakukan oleh Wu dan Tsai (2012) justru menemukan pengaruh negatif pemimpin paternalistik pada iklim etis organisasional. Pemimpin paternalistik mungkin kurang setuju untuk mengikuti aturan atau normanorma, terutama pada situasi yang mengharuskan adanya hukuman bagi bawahan. Pemimpin paternalistik cenderung lebih memilih untuk melindungi bawahan, bahkan ketika mereka membuat kesalahan serius. Selain itu, pemimpin ini cenderung menunjukkan kepedulian terhadap bawahan termasuk ketika bawahan menunda pekerjaan mereka sebagai akibat dari situasi tak terduga. Seperti halnya karena penyakit atau kerusakan mesin. Para pemimpin ini cenderung menerapkan aturan dan norma-norma organisasi dengan cara yang lebih fleksibel dan memiliki kemungkinan yang lebih 12 kecil untuk menerapkan hukuman kepada bawahan. Dengan demikian, masuk akal bahwa pemimpin paternalistik cenderung menerapkan aturan dan norma-norma organisasi dengan lebih fleksibel, yang kemudian meminimalkan munculnya iklim etis di dalam organisasi. Perbedaan hasil kedua penelitian tersebut mengindikasikan bahwa kepemimpinan paternalistik bukan merupakan prediktor terbaik dalam memprediksi iklim etis organisasional. Ketidakkonsistenan hasil sejumlah penelitian tersebut dapat disebabkan oleh adanya faktor situasional yang mempengaruhi arah ataupun kuat lemahnya hubungan antara kepemimpinan paternalistik dan iklim etis organisasional (Novrianti, 2014). Dalam rangka mengatasi kesenjangan penelitian yang ditimbulkan oleh ketidakkonsistenan hasil penelitian terdahulu dan untuk melihat kembali arah pengaruh kepemimpinan paternalistik pada iklim etis organisasional, maka dalam kesempatan ini peneliti memerlukan variabel pemoderasi yang berupa faktor situasional ke dalam penelitian. Adapun faktor situasional yang dimaksud adalah keadilan organisasional. Pada prinsipnya, konsep keadilan organisasional merupakan persepsi keadilan dalam pengaturan organisasi (Greenberg, 1990a; 1990b). Persepsi karyawan terhadap keadilan organisasional tersebut dipandang sebagai evaluasi individu apakah organisasi tempat karyawan bekerja telah memperlakukan anggotanya secara adil atau tidak adil. Persepsi karyawan terhadap hal ini dapat mempengaruhi berbagai sikap dan perilaku kerja karyawan. 13 Colquitt et al. (2001) mendefinisikan keadilan organisasional sebagai persepsi karyawan yang mengacu pada adanya keadilan dalam distribusi hasil serta pelaksanaan keputusan dan interaksi antara figur otoritas dengan karyawan dalam suatu organisasi. Saat ini, pandangan umum tentang keadilan organisasi meliputi keadilan distributif, keadilan prosedural dan keadilan interaksional (Moorman, 1991; Colquitt, 2001; Cropanzano, Bowen, & Gilliland, 2007; Kai, 2013). Keadilan distributif mengacu pada persepsi apakah alokasi imbalan untuk staf organisasi sesuai dengan usaha yang telah dilakukan. Keadilan prosedural mengacu pada persepsi keadilan yang terkait dengan kebijakan yang digunakan untuk menentukan distribusi hasil. Sementara, keadilan interaksional mengacu pada persepsi keadilan yang terkait dengan hubungan antarpribadi antara pihak yang memiliki otoritas dengan staf organisasi. Keadilan organisasional memiliki kaitan yang erat dengan iklim etis organisasional. Faktor keadilan organisasional dinilai dapat mempengaruhi keputusan karyawan apakah akan terlibat dalam perilaku kerja yang menyimpang atau tidak (Henle, 2005). Persepsi karyawan mengenai rasa keadilan yang diterima dalam lingkungan organisasi dapat menjadi unsur penting dalam membuat keputusan berperilaku. Pelanggaran etika yang terjadi bisa jadi merupakan bentuk dari reaksi karyawan terhadap ketidakadilan yang dirasakan dalam lingkungan organisasi. Karena, karyawan yang merasa tidak mendapatkan keadilan atau yang diperlakukan secara tidak adil akan lebih mungkin untuk terlibat dalam tindakan atau perilaku yang 14 dapat merugikan organisasi maupun anggota organisasi lainnya (Masterson et al., 2000 dalam Novrianti, 2014). Keadilan organisasional juga memainkan peran penting dalam menentukan cara karyawan mempersepsikan pimpinannya (Bacha & Walker, 2013). Seorang pemimpin paternalistik dinilai memiliki kepedulian yang tinggi dan memiliki moral yang dapat dicontoh oleh karyawan sehingga semestinya mampu menciptakan keadilan di dalam organisasi. Keadilan organisasional tersebut dibutuhkan oleh pemimpin untuk mempengaruhi karyawan menghasilkan perilaku yang positif. Ketika karyawan merasa diperlakukan adil, maka karyawan akan bekerja secara optimal. Di bawah persepsi adil yang tinggi, karyawan dapat mempersepsikan kepemimpinan paternalistik dengan baik sehingga memotivasi untuk memaksimalkan upaya membangun iklim etis organisasional yang diharapkan oleh pemimpin tersebut. Sehingga, kecenderungan karyawan untuk melakukan pelanggaran etika pun semakin rendah. Semakin tinggi persepsi keadilan yang dirasakan oleh karyawan, maka semakin besar pengaruh positif kepemimpinan paternalistik untuk meningkatkan iklim etis di organisasi. Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka dalam penelitian ini peneliti mempertimbangkan keadilan organisasional sebagai variabel pemoderasi. Prediksi tersebut juga didasari oleh teori pertukaran sosial (social exchange theory). Pertukaran sosial berasal dari hubungan informal yang mampu menciptakan kepercayaan dan kewajiban. Norma timbal balik (reciprocity) adalah aturan inti yang 15 mendasari hubungan pertukaran sosial tersebut (Gouldner, 1960 dalam Cropanzano & Mitchell, 2005). Hubungan pertukaran sosial berkembang ketika organisasi dapat ―merawat‖ karyawan sehingga menimbulkan konsekuensi menguntungkan, seperti perilaku kerja yang efektif dan sikap positif karyawan (Peng, Schaubroeck, & Li, 2014). Masterson et al. (2000) menyatakan bahwa hubungan pertukaran sosial terjadi di antara dua pihak melalui serangkaian interaksi satu sama lain. Pertukaran yang terjadi akan menghasilkan pola kewajiban timbal balik di antara masing-masing pihak. Salah satu pihak akan memberikan kontribusi atau menyediakan layanan kepada pihak lain sehingga akan menimbulkan harapan pengembalian pada suatu waktu di masa yang akan datang. Sementara, pihak lain yang telah mendapatkan manfaat maupun sesuatu yang bernilai dari kontribusi atau layanan tersebut akan merasa memiliki kewajiban untuk membalas atas apa yang telah diberikan. Pertukaran sosial dalam suatu hubungan kerja dapat dihasilkan dengan adanya perlakuan yang adil dari organisasi pada karyawan (Novrianti, 2014). Dengan demikian, ketika karyawan merasa bahwa mereka telah memperoleh manfaat atau layanan dengan diperlakukan secara adil oleh organisasi, karyawan tersebut akan merasa bahwa mereka memiliki kewajiban untuk membalasnya dengan berperilaku positif, salah satunya dengan terlibat dalam upaya organisasi untuk membangun iklim etis. Serta, berusaha untuk menjauhkan diri dari perilaku tidak etis yang dapat merugikan perusahaan. Apabila organisasi menghargai perilaku etis karyawan dan 16 menghukum karyawan yang berperilaku tidak etis, maka pada situasi ini persepsi keadilan muncul. Potensi keadilan organisasional untuk dapat mempengaruhi iklim etis organisasional diperkuat dengan hasil dari beberapa penelitian terdahulu. Seperti, Trevino dan Weaver (2001) yang menemukan bahwa iklim etis muncul ketika karyawan percaya bahwa organisasi mereka umumnya memperlakukan orang dengan adil. Atau, karyawan organisasi cenderung akan terlibat dalam upaya organisasi membangun iklim etis ketika mereka memiliki persepsi keadilan organisasi yang baik. Situasi tersebut dapat ditandai oleh adanya penurunan signifikan jumlah kasus pelanggaran etika yang terjadi. Selain itu, Fein et al. (2013) menemukan bahwa iklim etis berkaitan dengan persepsi keadilan para karyawan tersebut. Sebagai contoh, apabila sebuah organisasi menunjukkan adanya iklim etis, situasi tersebut semestinya tercermin pada minat organisasi yang tulus dalam memperjuangkan kesejahteraan karyawan. Seperti halnya, minat yang tulus dalam hal memperlakukan karyawan secara adil. Dengan demikian, situasi tersebut semestinya mampu menghasilkan persepsi keadilan yang positif. Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk meginvestigasi pengaruh kepemimpinan paternalistik pada iklim etis organisasional dengan keadilan organisasional sebagai variabel moderasi. Di samping itu, peneliti juga tertarik untuk melakukan penelitian ini pada konteks organisasi 17 pemerintah di Indonesia. Mengingat, tingginya jumlah kasus pelanggraan etika yang terjadi pada konteks organisasi tersebut. 1.2. Rumusan Masalah Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa iklim etis organisasional sangat dipengaruhi oleh pemimpin organisasi (Schminke et al., 2005; Neubert et al., 2009; Aronson, 2001). Oleh karenanya, beberapa penelitian tersebut telah membuka jalan bagi penelitian selanjutnya untuk membahas hubungan antara kepemimpinan dan aspek etika. Namun sebagian besar dari penelitian tersebut menganalisis kepemimpinan transformasional sebagai tipe kepemimpinan yang diprediksi dapat mempengaruhi iklim etis organisasional. Yang mana, kepemimpinan transformasional dianggap sebagai gaya kepemimpinan yang mencerminkan karakteristik budaya Barat. Di sisi lain, terdapat gaya kepemimpinan paternalistik yang memiliki karakteristik dominan budaya Asia Pasifik seperti Cina, Jepang, Korea, dan India (Aycan, Kanungo, & Sinha, 2000). Karena Indonesia adalah bagian dari budaya Asia serta terbukti memiliki karakteristik jarak kekuasaan (power distance) dan kolektivisme tinggi (Irawanto, 2009), maka dapat diharapkan untuk menemukan pemimpin paternalistik dalam organisasi di Indonesia. Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh kepemimpinan paternalistik pada iklim etis organisasional di sektor organisasi Indonesia. 18 Sebagian besar penelitian terdahulu mengenai pengaruh kepemimpinan paternalistik pada iklim etis organisasional memiliki responden dengan mayoritas karyawan yang bekerja di organisasi swasta, industri manufaktur, industri jasa dan mahasiswa (Erben & Guneser, 2008; Otken & Cenkci, 2012; Wu & Tsai, 2012; Cheng, Wang, & Lesmana, 2013; Cheng & Wang, 2015). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan karyawan yang bekerja di organisasi publik, yang dalam hal ini merupakan organisasi pemerintah di Indonesia. Disamping itu, adanya ketidakkonsistenan hasil penelitian terdahulu meyebabkan peneliti tertarik untuk menganalisis kembali pengaruh kepemimpinan paternalistik pada iklim etis organisasional dengan menambahkan keadilan organisasional sebagai variabel moderasi. Berdasarkan analisis sebelumnya, keadilan organisasional diprediksi merupakan faktor situasional yang dapat mempengaruhi kuat lemahnya hubungan ataupun arah dari hubungan kepemimpinan paternalistik dan iklim etis organisasional. Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, penelitian ini akan terfokus pada beberapa pertanyaan penelitian yang meliputi: 1. Apakah kepemimpinan paternalistik berpengaruh positif terhadap iklim etis organisasional? 2. Apakah keadilan organisasional memoderasi pengaruh positif kepemimpinan paternalistik terhadap iklim etis organisasional? 19 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini antara lain: 1. Menguji pengaruh positif kepemimpinan paternalistik terhadap iklim etis organisasional. 2. Menguji peran pemoderasian keadilan organisasional pada pengaruh positif kepemimpinan paternalistik terhadap iklim etis organisasional. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada beberapa pihak, antara lain : 1. Bagi peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk mengetahui dan membuktikan hasil empiris yang telah dilakukan peneliti sebelumnya, sehingga dapat menambah kepemimpinan keluasan paternalistik, objek penelitian keadilan terutama organisaional, mengenai dan iklim teori etis organisasional. 2. Bagi instansi Penelitian ini dapat menjadi sumber referensi bagi para praktisi instansi dalam rangka memperoleh informasi mengenai dampak adanya tipe kepemimpinan paternalistik terhadap iklim etis organisasional dengan keadilan organisasional sebagai pemoderasi, yang berpotensi mempengaruhi perilaku para karyawan. Jika terbukti memiliki pengaruh, penelitian ini dapat membantu instansi 20 mengatur strategi untuk menciptakan iklim etis organisasional yang diharapkan melalui kepemimpinan paternalistik dan keadilan organisasional. 3. Bagi pembaca Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah sumber informasi bagi pembaca pada umumnya. Serta dapat menjadi landasan bagi penelitian selanjutnya mengenai pengaruh kepemimpinan paternalistik terhadap iklim etis organisasional dengan keadilan organisasional sebagai variabel moderasi. 1.5. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan dalam penulisan penelitian dengan judul ―Pengaruh kepemimpinan paternalistik terhadap iklim etis organisasional dengan keadilan organisasional sebagai variabel moderasi‖ tersusun dalam lima bab yaitu: 1. Bab 1: Pendahuluan Bagian pendahuluan menjelaskan latar belakang dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian serta manfaat yang dapat diperoleh pihakpihak terkait dengan dilakukannya penelitian. 2. Bab 2: Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis Bab 2 mencakup landasan teori dari masing-masing variabel penelitian yakni kepemimpinan paternalistik, iklim etis organisasional dan keadilan organisasional. Landasan teori tersebut digunakan peneliti sebagai dasar 21 pengembangan hipotesis yang diajukan oleh peneliti. Selain itu, bagian ini juga dilengkapi dengan gambar yang merupakan model penelitian. 3. Bab 3: Metode Penelitian Bab 3 menjelaskan metode yang digunakan peneliti untuk melaksanakan serangkaian proses penelitian. Aspek-aspek yang dijelaskan yakni desain penelitian, populasi dan sampel penelitian, metode pengumpulan data, definisi operasional dan pengukuran variabel, uji instrumen yang berupa uji validitas dan uji reliabilitas, uji asumsi klasik yang berupa uji multikolinieritas, serta uji hipotesis yang menggunakan model regresi pemoderasi. 4. Bab 4: Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab 4 berisi penjabaran analisis data yang sudah berhasil diperoleh peneliti. Halhal yang peneliti uraikan pada bagian ini antara lain hasil pengumpulan data, karakteristik responden, hasil uji instrumen, hasil uji multikolinieritas, hasil uji hipotesis yang menggunakan model regresi pemoderasi, serta pembahasan hasil penelitian berdasarkan hasil uji hipotesis tersebut. 5. Bab 5: Simpulan dan Saran Bagian penutup menjelaskan kesimpulan penelitian yang telah dilakukan, implikasi penelitian, keterbatasan penelitian dan saran sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya. 22