Null and Void Perjanjian Kerja Sama No.2 Tahun 1991 Antara

advertisement
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Dalam Bab ini, sesuai dengan judulnya, Penulis mengemukakan suatu
tinjauan atau analisis kepustakaan mengenai prinsip-prinsip dan kaedah hukum yang
mengatur mengenai keadaan null and void. Termaktup dalam bagian ini hakikat asas
batal demi hukum atau null and void menurut kepustakaan yang ada; syarat sahnya
perjanjian; dan asas-asas dalam hukum perjanjian juga, menurut kepustakaan yang
ada.
Menyusul uraian atau gambaran konsepsual tentang null and void itu, Penulis
juga akan mengemukakan suatu arti penting dari tinjauan kepustakaan mengenai
prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah hukum yang mengatur mengenai null and void
tersebut. Hal-hal tersebut itu Penulis kemukakan dalam Bab II ini dengan suatu
tujuan, yaitu menjawab perumusan masalah penelitian dan penulisan karya tulis
kesarjanaan ini yaitu Bagaimana asas null and void dalam Perjanjian Kerja Sama
Pemerintah Kota Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera Cabang Surakarta
tentang Peningkatan dan Penataan (Renovasi) Pasar Lama, Pasar Berdikari, Pasar
14
Baru, dan Kompleks Pertokoan Morodadi Cs Menjadi Pasaraya dan Pusat Pertokoan
Salatiga 22 ?
2.1.
Hakikat Batal Demi Hukum
Subekti berpendapat bahwa suatu perjanjian dalam hal ini suatu dokumen
yang memuat hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak yang mengikatkan diri
dengan dokumen itu tidak sah apabila suatu syarat obyektif, tidak terpenuhi.
Dimaksudkan dengan suatu syarat objektif tersebut adalah hal tertentu atau causa
yang halal. Seperti telah dikemukakan dalam Bab terdahulu, apabila suatu syarat
obyektif tersebut tidak terpenuhi maka perjanjian menjadi batal demi hukum (null
and void). Dalam hal yang demikian, ada ahli yang menuruti begitu saja dikte hukum
(the dictate of the law) lalu menulis dalam kepustakaan bahwa secara yuridis dari
semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula perikatan antara orang-orang
yang bermaksud membuat perjanjian. Tujuan para pihak menurut ahli itu, untuk
meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak
dapatlah pihak yang satu tentu pihak dalam perjanjian itu menuntut pihak yang lain di
depan hakim, karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim sekalipun apabila kepadanya
dibawakan perjanjian itu untuk memeriksa dan menilai perjanjian tersebut diwajibkan
22
Mengenai rumusan masalah Penelitian dan Penulisan karya tulis ini, periksa Bab I Sub
Judul 1.3 skripsi ini. Rumusan Masalah dalam Bab I skripsi ini, hal., 12. Dalam kaitan itu, Tujuan
Penelitian juga dapat dilihat pada halaman yang sama dari skripsi ini, Supra.
15
karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau
perikatan. 23
Ada juga kepustakaan mengatakan kebatalan (null and void) atau pembatalan
(voidable) suatu perjanjian, menurut Pasal KUH Perdata. Pengertian kebatalan atau
pembatalan perjanjian menurut pihak-pihak yang mencoba memahami isi KUH
Perdata itu adalah sebagai berikut:
Ada suatu pembatalan mutlak (absolute nietigheid), apabila suatu perjanjian
harus dianggap batal, meskipun tidak diminta oleh suatu pihak. Dan perjanjian
dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapapun juga. Perspektif ini seolaholah menorehkan suatu isyarat bahwa tanpa mengajukan ke pengadilan untuk
membatalkan perjanjian tersebut; perjanjian itu secara otomatis batal atau tidak ada.
Melanjutkan pemahaman kebatalan (null and void) sebagaimana di
kemukakan di atas tersebut, kepustakaan juga menegaskan bahwa batal mutlak terjadi
manakala suatu perjanjian, yang diadakan tanpa mengindahkan cara (vorm) yang
secara mutlak dikehendaki oleh undang-undang. Juga batal mutlak terjadi manakala
suatu perjanjian, yang causanya bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban
umum (open bare orde). 24 Dus, dalam keadaan batal mutlak atau null and void yang
demikian itu pihak yang mengetahui hal itu tidak perlu repot-repot membawa hal itu
ke depan hakim untuk memperoleh deklarasi kebatalan atau batal demi hukum lagi.
23
Subekti., Hukum Perjanjian, Intermasa, 1979, Jakarta, hal., 22-23. Halaman yang sama
juga telah Penulis kemukakan dala Bab I Skripsi ini, lihat hal., 3-4, Supra.
24
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo
Persada, 2003, Jakarta, hal., 182. Lihat juga hal., 4 Bab I skripsi ini, Supra.
16
Apabila suatu perjanjian tidak mengikuti syarat formal yang ditetapkan oleh undangundang dan causanya bertentangan dengan kesusilaan, maka otomatis perjanjian
tersebut bukanlah suatu perjanjian.
Selain itu tentang pengertian batal demi hukum juga diberikan berdasar pada
alasan kebatalannya. Suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum, tidak dapat
dipaksakan pelaksanaannya jika terjadi pelanggaran terhadap syarat obyektif dari
sahnya suatu perikatan. Keharusan akan adanya suatu hal tertentu yang menjadi
obyek dalam perjanjian dirumuskan dalam Pasal 1332 sampai Pasal 1334
KUHPerdata diikuti dengan Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1336 KUHPerdata yang
mengatur mengenai rumusan sebab yang halal, yaitu, sebab yang tidak dilarang oleh
undang-undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
Seperti telah dibahas sebelumnya, dengan tidak adanya suatu hal tertentu,
yang terwujud dalam kebendaan yang telah ditentukan, (obyek dalam suatu
perjanjian), maka jelas perjanjian tidak pernah ada. Karenanya, tidak pernah pula
terbit perikatan di antara para pihak (mereka yang bermaksud membuat perjanjian
tersebut). Perjanjian demikian adalah kosong adanya. 25
Selain itu hakikat tentang batal demi hukum dapat dikenali dengan melihat
kriteria-kriteria di bawah ini seperti; perjanjian yang tergolong sebagai perjanjian
formil. Dalam perjanjian yang termasuk kategori formil, tidak dipenuhinya ketentuan
hukum tentang, misalnya bentuk atau format perjanjian, cara pembuatan perjanjian,
25
W. Prodjodikoro., 2011, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2011 hal.,
151.
17
ataupun cara pengesahan perjanjian, sebagaimana diwajibkan melalui peraturan
perundang-undangan, berakibat perjanjian itu secara formil menjadi batal demi
hukum. Perjanjian formil sebagai perjanjian yang tidak hanya didasarkan pada adanya
kesepakatan para pihak, tetapi oleh undang-undang juga disyaratkan adanya
formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah demi hukum. 26
Pasal ini mengisyaratkan kepatuhan kepada perundang-undangan yang berlaku dalam
suatu negara.
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus ada
suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Keduanya, yaitu suatu hal tertentu dan
sebab yang halal sering disebut sebagai syarat objektif untuk sahnya perjanjian.
Syarat objektif pertama, yaitu suatu hal tertentu diartikan oleh Mariam Darus
Badrulzaman 27 dan Herlien Budiono 28 sebagai objek atau pokok perjanjian, atau apa
yang menjadi hak dari kreditor dan kewajiban bagi debitor menurut Subekti 29 .
Seseorang yang mencantumkan kata-kata bohong sebagai objek perjanjian dengan
orang lain misalnya, sudah barang tentu bukan suatu perjanjian tetapi dusta karena
itu, perjanjian seperti itu bukan perjanjian tetapi suatu perbuatan penipuan.
26
Herlien Budiono., Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, Citra Aditya Bhakti, 2009, hal., 47- 48.
27
Mariam Darus Badrulzaman.,“Perikatan pada Umumnya”, dalam buku berjudul Kompilasi
Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung 2001, hal., 79-80.
28
Herlien Budiono Elly Erawati, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, PT.
Gramedia, Jakarta, 2010, hal., 8.
29
Subekti., Hukum Perjanjian, Intermasa, Cetakan V, Jakarta, 1978, hal., 19.
18
Batal demi hukum juga dapat dikenali dengan melihat perjanjian yang
dilakukan oleh orang atau pihak yang menurut undang-undang dinyatakan tidak
berwenang. Ketentuan dalam undang-undang tertentu yang menyatakan bahwa orang
atau pihak tertentu tidak berwenang, merupakan aturan hukum yang bersifat
memaksa sehingga tidak bisa disimpangi. 30
Kriteria selanjutnya adalah mengenai syarat batal dalam sebuah perjanjian.
Dimana suatu peristiwa atau fakta tertentu yang belum tentu akan terjadi di masa
depan, namun para pihak dalam perjanjian itu sepakat bahwa bila peristiwa atau fakta
tersebut benar terjadi maka perjanjian tersebut menjadi batal. Perjanjian dengan
syarat batal yang menjadi batal demi hukum karena syarat batal tersebut terpenuhi,
menimbulkan akibat kembalinya keadaan pada kondisi semula pada saat timbulnya
perikatan itu atau dengan kata lain, perjanjian yang batal demi hukum seperti itu
berlaku surut hingga ke titik awal perjanjian itu dibuat. Dalam Bab terdahulu, Penulis
katakan bahwa hal seperti ini disebut dengan void ab initio. Void artinya batal atau
tidak ada, sedangkan ab initio artinya kembali ke keadaan sejak sebelum suatu
perbuatan yang batal demi hukum itu dilakukan.
Pasal 1265 KUH Perdata mengatur hal ini dengan menyebut bahwa:
“suatu syarat batal adalah yang bila dipenuhi akan
menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali
pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu
perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia
30
Herlien Budiono Elly Erawati, Op.Cit hal., 13.
19
hanya mewajibkan kreditur mengembalikan apa yang telah
diterimanya, bila yang dimaksudkan terjadi”. 31
I.G. Rai Widjaya mengatakan apabila unsur syarat objektif ada yang tidak
terpenuhi (suatu hal tertentu atau suatu sebab yang legal), akibat hukumnya adalah
batal demi hukum (disebut null and void atau nietig verklaard). Batal demi hukum
artinya, sejak awal tidak pernah lahir suatu perjanjian sehingga tidak pernah ada
perikatan. Karena tidak pernah lahir perjanjian, maka perjanjian adalah tidak ada
akibat hukum apapun, sehingga, tidak ada dasar hukum yang dapat dijadikan alas hak
untuk melakukan gugatan atau penuntutan. 32 Seseorang yang sudah tahu bahwa tidak
ada hak bagi orang itu untuk mengajukan gugatan atas dasar perjanjian kemudian
nekat membawa gugatan tersebut ke depan hakim adalah mungkin mengalami
gangguan jiwa.
Selanjutnya, batal demi hukum atau batal dengan sendirinya (otomatis) adalah
apabila terdapat kontrak yang tidak memenuhi syarat obyek tertentu atau tidak
mempunyai causa atau causanya tidak diperbolehkan (Pasal 1320 KUH Perdata
angka (3) dan (4) jis. 1335, 1337, 1339 KUH Pedata), berakibat, kontrak tersebut
batal demi hukum (nietig). Dengan demikian makna pembatalan lebih mengarah pada
proses pembentukan kontrak (penutupan kontrak). Akibat hukum pada pembatalan
31
Ibid hal., 13-14.
32
I.G.Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak “Contract Drafting dan Praktik” Kesaint
Blanc, Bekasi Timur hal., 54.
20
kontrak adalah “pengembalian pada posisi semula, sebagaimana halnya sebelum
penutupan kontrak”, 33 restorasi.
Konsepsi
null and void ini juga dirumuskan dalam kepustakaan selain
kepustakaan-kepustakaan yang telah dikemukakan di atas dengan kata-kata yang
sama persis dan juga struktur analisis yang sama juga. Misalnya, seperti diketahui ada
2 (dua) persyaratan yang menentukan sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320 KUH
Perdata), persyaratan tersebut adalah: Persyaratan subyektif, yaitu kesepakatan dan
kecakapan; Persyaratan obyektif, yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
Apabila persayaratan tersebut di atas tidak terpenuhi maka akibatnya ialah bahwa
dengan tidak dipenuhinya persyaratan subyektif (kesepakatan dan kecakapan) maka
perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak melalui pengadilan, sedangkan
apabila yang tidak tepenuhi syarat objektif (suatu hal tertentu dan suatu sebab yang
halal) maka perjanjian batal demi hukum.
Mengenai batal demi hukum atau batal dengan sendirinya (batal secara
otomatis) adalah apabila persyaratan obyektif (suatu hal tetentu dan suatu sebab yang
halal) tidak dipenuhi. Ini berarti bahwa perjanjian tersebut seolah-olah tidak pernah
ada, atau sejak semula secara yuridis tidak pernah ada perikatan. Ini berarti pula
bahwa salah satu pihak tidak mempunyai alasan/dasar melakukan tuntutan hukum
terhadap pihak yang lain, karena tidak ada unsur hukumnya. Sehubungan dengan hal
33
Agus Yudha Hernoko., Hukum Perjanjian”Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komesial” Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, hal., 264.
21
tersebut maka Hakim karena jabatannya diwajibkan menyatakan bahwa tidak pernah
ada perjanjian atau perikatan. 34
Selanjutnya penjelasan yang sama mengenai konsep batal demi hukum ini
juga dapat dikemukakan dalam kepustakaan lain, dalam hal ini terjadi apabila syarat
objektif dari suatu perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.
Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada
suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tesebut untuk
melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal. Dengan demikian, tidak ada dasar
untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa yang
demikian itu null and void. 35
Demikian juga batal demi hukum ini dijelaskan alasan kebatalannya terjadi
berdasarkan undang-undang. Pada umumnya ketentuan-ketentuan yang sehubungan
dengan kebatalan ini menyangkut persetujuan-persetujuan obligator. Misalnya
persetujuan dengan causa yang tidak halal atau persetujuan jual-beli atau hibah antara
suami isteri adalah batal demi hukum.
Undang-undang menentukan bahwa perbuatan hukum adalah batal demi
hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut perbuatan hukum,
34
Soeroso R, Perjanjian dibawah Tangan “Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi
Hukum” Sinar Grafika, Jakarta, hal., 24-25.
35
H.R Daeng Naja., Contract Drafting “Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis”, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal., 16.
22
ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk melindungi
ketertiban masyarakat. 36
2.2.
Syarat Sahnya Perjanjian
KUH Perdata mengatur sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu
perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal. 37
Selanjutnya, tentang syarat sahnya perjanjian tersebut di atas dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan: kata sepakat (toesteming/izin) kedua belah pihak
adalah konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 Ayat (1) KUH
Perdata, persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak
lainnya. Ditambahkan bahwa yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak
itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain, tetapi menurut hukum harus dibuktikan
ada dalam pernyataan tersebut, tertuang dalam dokumen atau terlihat dari perbuatan.
Terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, terlihat dari adanya: bahasa
yang sempurna dan tertulis; bahasa yang sempurna secara lisan; bahasa yang tidak
sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Hal ini mengingat dalam kenyataan
seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi
36
R. Setiawan., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1977, hal., 122.
37
Soesilo, & Pradmudji R., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 2008, hal., 300.
23
dimengerti oleh pihak lawan; bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak lawan. Pada
dasarnya, cara yang paling digunakan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang
sempurna secara lisan dan tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah
agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang
sempurna dikala timbul sengketa dikemudian hari,38 meskipun, menurut Penulis,
perjanjian yang dipandang lisanpun sebetulnya merupakan suatu perjanjian tertulis
bagi para jurist.
Sedangkan penjelasan mengenai kecakapan bertindak adalah kecakapan atau
kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan
yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan
perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan wenang 39 untuk melakukan
perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yang
cakap/wenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa.
Ukuran kedewasaan ada yang telah berumur 21 tahun dan/atau sudah kawin. Orang
yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum: (1) anak di bawah umur
(minderjarigheid), (2) orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan (3) istri (Pasal
1330 KUH Pedata). Akan tetapi, dalam perkembangannya istri dapat melakukan
38
H. Salim., H. Abdullah, & Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak & Memorandum
of Understanding (MoU), Sinar Grafika, 2007, Jakarta, hal., 9-10.
39
Hal ini sudah Penulis kemukakan dalam hal., 20.
24
perbuatan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 1 tahun 1974 Jo.
SEMA No. 3 tahun 1963, namun harus memeroleh pengetahuan suaminya. 40
Mengenai adanya objek perjanjian (onderwerp van de overeenkomst), dalam
berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi
(pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang
menjadi hak kreditor. Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Prestasi
terdiri atas: (1) memberikan sesuatu, (2) berbuat sesuatu, (3) tidak berbuat sesuatu
(Pasal 1234 KUH Perdata). 41
Perihal adanya kausa yang halal (geoorloofde oorzaak) dalam Pasal 1320
KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian oorzaak (kausa yang halal). Di dalam Pasal
1337 KUH Perdata hanya disebutkan kausa yang terlarang. Suatu sebab adalah
terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban
umum. Hoge Raad sejak tahun 1927 mengartikan oorzaak sebagai sesuatu yang
menjadi tujuan para pihak.
Syarat yang pertama dan kedua yang pemahaman konseptualnya telah
dikemukakan di atas disebut syarat subyektif, karena menyangkut pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian. Adapun syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif,
40
Cantologi.
41
Ibid, hal., 10. Sebetulnya, ada literatur yang jauh lebih rinci dari kepustakaan di atas. Lihat;
Jeferson Kameo. Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga.
25
karena menyangkut objek perjanjian, yang disepakati para pihak sebagai subyek
perjanjian.
Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat
dibatalkan. Artinya, salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk
membatalkan pejanjian yang disepakatinya. Akan tetapi, apabila para pihak tidak ada
yang keberatan, maka perjanjian itu tetap dianggap sah meskipun pada suatu waktu
dapat dibatalkan. Apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka perjanjian
itu batal demi hukum, artinya, dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada. 42
2.3.
Asas-asas dalam Hukum Perjanjian
Kaitan dengan pembahasan tentang definisi batal demi hukum berikut ini
Penulis menguraikan sedikit asas-asas hukum perjanjian.
Asas perjanjian yang pertama, yaitu asas konsensualisme. Asas ini dapat
disimpulkan dalam Pasal 1320 Ayat (1) KUH Perdata. Dalam Pasal itu ditentukan
bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah
pihak seperti telah Penulis uraikan di atas. Asas konsensualisme merupakan asas yang
menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi
cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan
persesuain antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Hal
42
ibid, hal., 9-11.
26
ini telah Penulis kemukakan di atas, menjadi obyek perjanjian dan apabila tidak ada
maka perjanjian null and void.
Asas konsensualisme diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman di
mana kedua hukum positif di negara-negara tersebut juga belajar dari Kontrak
sebagai nama ilmu hukum. Di dalam hukum Germani tidak dikenal asas
konsensualisme, tetapi yang dikenal adalah perjanjian riil dan perjanjian formal.
Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata
(kontan dalam hukum Adat). Sedangkan yang disebut perjanjian formal adalah suatu
perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta autentik
maupun akta dibawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus
verbis literis dan contractus innomat. Artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila
memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsesualisme yang dikenal dalam
KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian. Dalam kaitannya dengan
asas batal demi hukum, apabila para pihak bersepakat bahwa perjanjian yang mereka
buat itu tidak terpenuhi formalitasnya maka kedua belah pihak dengan demikian sejak
semula bersepakat bila tidak ada perjanjian di antara mereka.
Asas berikut yakni asas iktikad baik, dapat disimpulkan dari Pasal 1338 Ayat
(3) KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”.
Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur
harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang
teguh atau kemauan baik dari para pihak.
27
Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan
iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah
laku yang nyata dari subyek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada
akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian
tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. Dalam kaitan dengan asas batal
demi hukum, apabila para pihak, baik dengan tingkah laku mereka, misalnya menulis
kata-kata di atas suatu dokumen bahwa menurut akal sehat kedua belah pihak itu
perjanjian mereka harus memeroleh assent dari suatu otoritas, dan menetapkan bahwa
apabila assent itu tidak ada perjanjian mereka batal demi hukum, maka perjanjian
mereka itu beriktikad baik apabila sejak semula memang tidak ada perjanjian bagi
mereka
Asas selanjutnya asas kepribadian, merupakan asas yang menetukan bahwa
seseorang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH
Perdata. Dalam Pasal 1315 KUH Perdata dinyatakan: “ Pada umumnya seorang tidak
dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”.
Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk
kepentingan dirinya sendiri. Dalam
Pasal 1340 KUH Perdata juga dinyatakan:
“Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”. Ini berarti perjanjian
yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
28
Namun, ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimana yang diintrodusir
dalam Pasal 1317 KUH Perdata, bahwa: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk pihak
ketiga, bila suatu perjanjian yang untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada
orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu”.
Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian
untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan
dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri,
tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh
hak dari padanya.
Jika dibandingkan kedua pasal itu maka dalam Pasal 1317 KUH Pedata
mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUH
Perdata untuk kepentingan: dirinya sendiri, ahli warisnya, dan orang-orang yang
memperoleh hak dari padanya. Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang
pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata, ruang lingkupnya luas. 43
Ketentuan Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata, mengatur tentang asas
kebebasan berkontrak yaitu “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk: (1) membuat atau tidak membuat sesuatu; (2)
mengadakan perjanjian dengan siapapun; (3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,
43
Salim H.S, Hukum Kontrak “Teori & Teknik Penyusunan Kontrak”, Sinar Grafika, Jakarta,
2003, hal., 10, 12. Lihat juga pada buku tulisan H.R. Daeng Naja, Contract Drafting “Seri
Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis”, PT. Citra Aditya Bakti, 2006, hal., 8-13.
29
dan persyaratannya; (4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Dalam kaitan null and void, kebebasan (freedom of contract) tidak ada, maka mutlak,
perjanjian itu batal demi hukum.
Akhirnya mengenai asas pacta sunt servanda disebut juga dengan asas
kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt
sevanda menggariskan bahwa Hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUH
Perdata: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.
Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal di dalam hukum Gereja. Di
dalam hukum Gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada
kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung
makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan
yang
sakral
dan
dikaitkan
dengan
unsur
keagamaan.
Namun,
dalam
perkembangannya asas pacta sunt servanda diberi arti pactum, yang berarti sepakat
tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Adapun nudus
pactum sudah cukup dengan sepakat saja, 44 dan apabila tidak ada pactum maka null.
44
Ibid, hal., 2-3.
30
2.4.
Arti Penting Tinjauan Kepustakaan
Setelah Penulis menjelaskan tentang hakikat dari null and void serta syarat
sahnya perjanjian berserta asas-asas dalam hukum perjanjian yang ada kaitannya
dengan null and void, semua itu tidak lebih adalah untuk mengetahui tentang arti
pentingnya suatu tinjauan pustaka ini. Rumusan masalah yang penulis kemukakan
pada Bab I dapat terjawab dengan bertitik tolak dari pentingnya tinjauan pustaka ini.
Selain itu juga arti penting tinjauan pustaka ini sebagai acuan atau referensi agar
memahami bagaimana asas batal demi hukum dalam perjanjian kerja sama antara
Pemerintah Kota Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera satuan analisis yang
digambarkan dan dianalisis dalam Bab III.
Dari uraian tinjauan kepustakaan sebagaimana telah dikemukakan di atas, arti
penting dari asas batal demi hukum adalah suatu kontrak secara yuridis dari semula
tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula perikatan antara orang-orang yang
bermaksud membuat perjanjian.
Selain itu juga asas batal demi hukum dalam suatu perjanjian juga di anggap
batal, meskipun tidak di minta oleh suatu pihak. Kemudian suatu perjanjian batal
demi hukum apabila terjadi pelanggaran terhadap syarat obyektif dari sahnya suatu
perikatan.
Berikutnya juga suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya suatu
perjanjian yaitu kata sepakat, kecakapan para pihak, suatu hal tertentu, sebab yang
halal. Sepakat artinya terjadi pesesuaian pernyataan kehendak, terlihat dari bahasa
31
yang sempurna dan tertulis yang dapat di terima pihak lawan. Kecakapan artinya
kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Kemudian suatu hal tertentu atau
mengenai adanya obyek perjanjian adalah prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi
kewajiban antara para pihak. Selanjutnya kausa yang halal atau sebab yang halal
adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Selain asas batal demi hukum dan syarat sahnya suatu perjanjian dalam
membuat perjanjian di perlukan juga asas-asas dalam hukum perjanjian. Asas
konsesualisme atau yang biasa di sebut dengan kesepakatan seperti yang terdapat
dalam Pasal 1320 Ayat (1) KUH Perdata. Selanjutnya asas itikad baik yaitu
perjanjian harus di laksanakan dengan iktikad baik berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Dan yang berikut adalah
asas kepribadian menentukan bahwa seseorang akan melakukan dan atau membuat
kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Asas kebebasan berkontrak ini
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu,
mengadakan perjanjian dengan siapapun, menetukan isi perjanjian, pelaksanaan,
persyaratan, dan menentukan bentuk perjanjian tertulis atau lisan. Terakhir asas pacta
sunt servanda dapat di simpulkan dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata
“perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai undang-undang.
Arti penting selanjutnya apabila orang telah mempunyai pemahaman bahwa
suatu perjanjian dilihat dari batal demi hukum adalah sejak semula perjanjian itu
harus dianggap tidak pernah ada, maka orang itu haruslah mematuhi hal tersebut.
Tidak boleh lagi ada tindakan orang-orang tersebut untuk melaksanakan perjanjian
32
yang batal demi hukum tersebut. Tetapi bagaimana hal itu di dalam kenyataannya?
Berikut pada Bab III Penulis akan menggambarkan suatu perjanjian yaitu Perjanjian
No. 2 yang ada yang mengandung null and void tersebut, berikut analisisnya.
33
Download