analisis potensi kejadian badai guntur rodiah

advertisement
ANALISIS POTENSI KEJADIAN BADAI GUNTUR
RODIAH MUTIARA NOVIANI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Potensi
Kejadian Badai Guntur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015
Rodiah Mutiara Noviani
NIM G24110034
ABSTRAK
RODIAH MUTIARA NOVIANI. Analisis Potensi Kejadian Badai Guntur.
Dibimbing oleh SOBRI EFFENDY.
Badai guntur merupakan salah satu faktor terjadinya kecelakaan pesawat.
Tingginya potensi badai guntur di wilayah Bogor menyebabkan kegiatan
penerbangan lebih sedikit dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia.
Prediksi badai guntur mengunakan parameter udara atas dapat meminimalkan
resiko yang ditimbulkan badai guntur. RAOB merupakan software untuk
menganalisis atmosfer bagian udara atas. Software ini akan menghasilkan
parameter seperti LI(Lifted Index), CAPE (Convective Available Potential
Energy), dan PW (Precipitable Water) yang dapat digunakan untuk memprediksi
kejadian badai guntur. Tujuan penelitian ini adalah mengamati fluktuasi dan
kecenderungan kejadian badai guntur berdasarkan parameter PW, LI dan CAPE
tahun 2014 wilayah Landaan Udara Atang Sendjaja. Kejadian badai guntur pada
Landasan Udara Atang Sendjaja terbanyak yaitu pada bulan april yang merupakan
puncak musim peralihan. Badai guntur cenderung mengalami peningkatan ketika
parameter LI menurun. Setiap wilayah memiliki akurasi parameter yang berbedabeda untuk wilayah Landasan Udara Atang Sendjaja Parameter LI merupakan
parameter paling baik dalam memprediksi badai guntur. Residance time massa
udara mengakibatkan dalam proses terjadinya badai guntur mengalami waktu
tunda. Seluruh parameter memiliki akurasi paling baik ketika terjadi residance
time 1 hari dengan akurasi untuk 00 UTC dan 12 UTC sebesar 51% .
Kata kunci: badai guntur, convective available potential energy, lifted index,
precipitable water.
ABSTRACT
RODIAH MUTIARA NOVIANI. Analysis of Thunderstorm Potential Occurance.
Supervised by SOBRI EFFENDY.
Thunderstorm is one of factor in the airplane crash. The high potential of
thunderstorm in the area of Bogor caused aviation activities less than other
regions in Indonesia. Thunderstorm prediction using atmospheric parameters can
minimize the caused thunderstorm. RAOB is a software for analyzing
atmospheric air section above. This software will generate parameters such as LI
(Lifted Index), CAPE (Convective Available Potential Energy), and PW
(precipitable Water) which can be used to predict the incidence of thunderstorms.
The purpose of this research is to observe the fluctuations and trends of incidence
of thunderstorm based on parameters PW, LI and CAPE in 2014. The incidence of
thunderstorm at Atang Sendjaja airfield is the most on April which is the peak
season transition. The incidence of Thunderstorm increase when the parameter LI
decrease. Every region has a has a different parameters of accuracy, LI parameter
is a parameter of the most excellent in predicting thunderstorm at Atang Sendjaja
airfield. Residance time the air mass causing time lag in the process formation of
a thunderstorm. All parameter have best accuracy when one day of residance time
with accuracy to 00 UTC and 12 UTC same respectively by 51%.
Keywords: convective available potential energy, lifted index, precipitable water,
thunderstorm
ANALISIS POTENSI KEJADIAN BADAI GUNTUR
RODIAH MUTIARA NOVIANI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika Dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2014 ini ialah
Analisis Potensi Kejadian Badai Guntur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Sobri Effendy, M.Si
selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran, kritik dan nasihat serta
Jajaran Staff Bagian Meteorologi Markas Besar TNI AU dan Bapak Junadi Selaku
Kepala Bagian Meteorologi Landasan Udara Atang Sendjaja, yang telah
membantu selama pengumpulan data. Di Samping itu, terima kasih kepada
Margareta Puspasari, S.Si yang membantu Penulis dalam penerapan metode, serta
kepada seluruh dosen dan staf departemen GFM. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada seluruh GFM 48 terutama teman seperjuangan mahasiswa
bimbingan Bapak Sobri, serta Atu, Erika, Hawa dan Priyo yang terus memberikan
dukungan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Mama,
Hazmi, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2015
Rodiah Mutiara Noviani
DAFTAR ISI
PRAKATA
Halaman
v
DAFTAR ISI
vi
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
BAB I PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2
Badai Guntur (Thunderstrom)
2
Rawinsonde Observation (RAOB)
3
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
4
Lokasi dan Waktu
4
Alat dan Bahan Penelitian
4
Prosedur Penelitian
4
Pengumpulan Data
4
Analisis Data
5
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Fluktuasi Kejadian Badai Guntur tiap bulan
7
Fluktuasi Parameter Precipitable Water, Lifted Index,
dan Convective Available Potential Energy Tiap Musim
8
Precipitable Water (PW)
8
Lifted Index (LI)
10
Convective Available Potential Energy (CAPE)
13
Akurasi Lifted Index Dibandingkan dengan parameter
Precipitable Water dan Convective Available Potential
Energy Serta kecenderungannya Tiap Selang
BAB V SIMPULAN
17
23
Simpulan
23
DAFTAR PUSTAKA
23
RIWAYAT HIDUP
25
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Skala kandungan embun berdasarkan nilai PW
Stabilitas atmosferberdasarkan nilai LI
Ketidakstabilan atmosfer berdasarkan nilai CAPE
Distribusi nilai Precipitable Water (PW), Lifted Index (LI),
Convective Avaliable Potential Energi (CAPE) tiap 3 bulan pada
00 UTC
Distribusi nilai Precipitable Water (PW), Lifted Index (LI),
Convective Avaliable Potential Energi (CAPE) tiap 3 bulan pada
12 UTC
Nilai PW, LI, dan CAPE dengan TSS tertinggi tiap periode
Tabel 7 Perhitungan parameter Precipitable Water, Lifted Index,
dan Convective Available Potential Energy berdasarkan tiga
kondisi residance time.
Akurasi parameter LI (%) dibandikan parameter PW daan CAPE
sebagai prediktor Badai guntur
Hasil Perbandingan Berbagai Penelitian
8
11
13
17
17
17
18
19
19
DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir penelitian
2 Fluktuasi badai guntur tiap bulan
3 Fluktuasi parameter Precipitable Waer (PW) pada empat periode
(a) periode DJF (b) periode MAM (c) periode JJA (d) periode
SON
4 Fluktuasi parameter Lifted Index (LI) pada empat periode (a)
periode DJF (b) periode MAM (c) periode JJA (d) periode SON
5 Fluktuasi parameter Convective Avaliable Potential Energy
(CAPE) pada empat periode (a) periode DJF (b) periode MAM
(c) periode JJA (d) periode SON
6 Distribusi suhu rata-rata, suhu maksimum dan suhu minimum
wilayah Landasan Udara Atang Sendjaja tahun 2014
7 Distribusi curah hujan wilayah Landasan Udara Atang Sendjaja
tahun 2014
8 Distribusi kelembaban relatif rata-rata wilayah Landasan Udara
Atang Sendjaja tahun 2014
9 Distribusi kecepatan angin rata-rata wilayah Landasan Udara
Atang Sendjaja tahun 2014
10 Jumlah kejadian badai guntur berdasarkan nilai precipitable water
(PW) tiap selang pukul 00 UTC (a) dan 12 UTC (b)
5
7
9
12
14
15
15
16
16
20
11 Jumlah kejadian badai guntur berdasarkan nilai lifted index (LI)
tiap selang pukul 00 UTC (a) dan 12 UTC (b)
12 Jumlah kejadian badai guntur berdasarkan nilai convective
available potential energy (CAPE) tiap selang pukul 00 UTC (a)
dan 12 UTC (b)
21
22
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Badai guntur merupakan salah satu kejadian cuaca yang mempengaruhi
kehidupan manusia. Badai guntur (Thunderstrom) terjadi pada awan
kumulonimbus. Daerah di sepanjang Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ)
lebih banyak mengalami kejadian badai guntur dibandingkan dengan daerah yang
berada di luar garis ITCZ. Bogor merupakan salah satu wilayah yang dekat
dengan garis ITCZ. Menurut Zoro (2005) Bogor mengalami kejadian badai
guntur terbanyak di dunia dengan rata-rata 350 badai dalam setahun.
Badai guntur merupakan salah satu faktor terjadinya kecelakaan pesawat.
Tingginya potensi badai guntur di wilayah Bogor menyebabkan kegiatan
penerbangan lebih sedikit dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia.
Badai guntur akan meyebabkan gangguan dan kerusakan pada pesawat. Setiap
gangguan dan kerusakan akibat aktivitas badai guntur dapat mengancam
keselamatan para penumpang dan awak pesawat.
Potensi kejadian badai guntur dapat diprediksi melalui parameter stabilitas
yang diperoleh dengan melakukan pengamatan udara atas. Parameter stabilitas
seperti KI (K-Index), LI (Lifted Index), dan SWEAT (Severe Weather Threat
Index) dapat di peroleh dengan menghitung distribusi vertikal dari suhu, tekanan,
kelembaban dan angin. Analisis kejadian badai guntur dapat dilakukan dengan
mengamati parameter atmosfer melalui pengamatan langsung udara atas. Analisis
pengamatan langsung udara atas dilakukan dengan menggunakan software RAOB
(Rawinsonde Observation Program).
Software RAOB akan menghasilkan parameter seperti LI(Lifted Index),
CAPE (Convective Available Potential Energy), dan PW (Precipitable Water)
yang dapat digunakan untuk memprediksi kejadian badai guntur. Menurut
Haklander dan Delden (2003) software RAOB akan menghasilkan 32 parameter
parameter yang memiliki tingkat akurasi berbeda dalam menghasilkan prediksi
badai guntur di Belanda. Berdasarkan penelitian Mayangwulan et. al (2011)
menunjukan bahwa peluang kejadian di Biak berkorelasi positif dengan nilai PW.
Pemanfaatan kemampuan parameter tersebut dalam memprediksi badai guntur
dapat menjadi antisipasi mengurangi kecelakaan transportasi udara. Hasil
penelitian yang dilakukan dapat meningkatkan prediksi kejadian badai guntur
melalui parameter LI (Lifted Index), CAPE (Convective Available Potential
Energy), dan PW (Precipitable Water) pada suatu wilayah.
Tujuan
Mengamati fluktuasi dan kecenderungan kejadian badai guntur
berdasarkan parameter Precipitable Water, Lifted Index dan Convective Avaliable
Potential Energy tahun 2014 wilayah kajian Landasan Udara Atang Sendjaja.
1
TINJAUAN PUSTAKA
Badai Guntur (Thunderstrom)
Badai guntur merupakan salah satu fenomena cuaca yang terjadi akibat
aktivitas awan konvektif yaitu awan kumulonimbus (Cb). Awan ini terbentuk
karena adanya massa udara naik dan mengalami proses kondensasi. Awan Cb ini
kemudian memindahkan muatan negatif (elektron) lebih ke tanah dan udara
sekitarnya yang menghasilkan kilat dan guntur (Duhah et. Al 2010). Badai guntur
berasal dari awan kumulonimbus tunggal maupun awan kumulonimbus yang
tergabung dari beberapa awan kumulonimbus. Badai guntur akan menghasilkan
angin kencang, hujan lebat bahkan hujan es, serta petir. Badai terbentuk ketika
udara lembab dan hangat naik ke atmosfer di lingkungan yang tidak stabil
(Lutgens et. al 2004).
Badai guntur terdiri atas dua jenis. Badai guntur yang terbentuk akibat
pengaruh lokal yang hanya bertahan dalam hitungan menit merupakan Air-mass
Thunderstorms. Badai guntur ini akan mereda ketika terjadi downdrafts yang akan
menghentikan pasokan udara lembab ke dalam awan kumulonimbus. Akan tetapi
ketika terjadi downdrafts pada awan hujan lebat akan mengintensifkan badai
guntur di awan tersebut. Badai guntur ini diklasifikasikan sebagai Severe
Thunderstorms. Air-mass Thunderstrom merupakan badai guntur yang paling
sering terjadi. Badai guntur ini memiliki masa hidup yang sangat terbatas,
biasanya berlangsung selama kurang dari satu jam. meskipun menyiratkan bahwa
badai ini mungkin menempati seluruh massa udara, air mass thunderstorms ini
hanya bersifat lokal (Aguado et. al 2004).
Pembentukan badai guntur terdiri dari tiga tahap yaitu, tahap kumulus,
tahap mature (matang), dan tahap dispatif. Tahap pertama dalam pembentukan
badai guntur adalah ketika udara yang tidak stabil mulai naik, dengan konveksi
lokal yang sering terjadi karena beberapa permukaan mengalami pemanasan lebih
cepat daripada yang lain. Badai guntur sering terjadi di malam hari ketika udara
lebih dingin, karena adanya proses pengangkatan lain yang dapat memicu
peningkatan awan konvektif.
Tahap mature merupakan tahap yang paling kuat dalam pembentukan
badai guntur, karena pada tahap ini hujan, petir dan badai guntur terjadi sangat
intens. Selama fase badai, terdapat transisi tiba-tiba antara tepi awan dan sekitar
udara yang tak jenuh, karena semakin banyak awan yang menghasilkan hujan
lebat, downdraft menempati porsi peningkatan dasar awan. Ketika downdraft
menempati seluruh dasar awan, pasokan uap air tambahan terputus dan badai
masuk dalam tahap dispatif. curah hujan berkurang dan langit mulai cerah, serta
tetesan air hujan yang tersisa menguap.(Aguado et. al 2004).
Severe thunderstorms merupakan badai guntur kuat yang dapat
mengakibatkan downdraft berat dan banjir bandang yang kuat, angin yang sangat
kencang, hujan es yang kuat, petir dengan frekuensi yang tinggi bahkan
mengakibatkan tornado (Lutgents et. al 2004). Menurut Aguado et. al (2004)
Severe thunderstorm memiliki kecepatan angin higga 93 km/ jam, hujan es yang
memiliki diameter lebih dari 1,9 cm bahkan bisa menyebabkan Tornado seperti di
USA, di Indonesia lebih dikenal sebagai puting beliung. Hampir seluruh belahan
bumi mengalami kejadian badai guntur, akan tetapi wilayah dengn badai guntur
terbanyak adalah wilayah Bogor yang terletak di provinsi Jawa barat Indonesia.
Rawinsonde Observation (RAOB)
RAOB merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk menganalisis
kondisi udara atas. Input yang digunakan RAOB adalah data dari radiosonde atau
P-ballon. Radiosonde dapat mengetahui distribusi suhu, tekanan dan kelembaban
secara vertikal sampai ketinggian 30 km (Asep 2012). Data yang dihasilkan oleh
radiosonde merupakan unsur-unsur meteorologi untuk ketinggian yang berbedabeda. Data radiosonde digunakan sebagai input software RAOB untuk
menganalisis kondisi atmosfer dan mengetahui stabilitas atmosfer serta potensi
pertumbuhan awan konvektif. RAOB akan menganalisis data radiosonde yang
hasilnya ditampilkan dalam bentuk diagram. Diagram yang dihasilkan merupakan
Aerological diagram seperti skew-T, Emagram, atau Tephigram.
Parameter atmosfer dapat diidentifikasi menggunakan parameter yang di
hasilkan oleh aplikasi RAOB. Parameter RAOB yang digunakan untuk
menentukan ketinggian dasar awan adalah CCL (Convective Condensation Level),
LCL (Lifting Condensation Level), dan LFC (Level Free Convection). Parameter
CCL, LFC, dan LCL digunakan untuk menentukan keawanan di suatu wilayah.
Akan tetapi menurut Davies (2004) nilai LCL dan LFC dapat mengindikasikan
terjadinya badai pada ketinggian 832 mdpl dan 1361 mdpl. Parameter lain dalam
program RAOB antara lain: PW (Precipitable Water), LI (Lifted Index), KI (KIndex), CAPE (Convective Available Potential Energy), SWEAT Index, dan lainlain.
PW (Precipitable Water), LI (Lifted Index) dan CAPE (Convective
Available Potential Energy) saling berkaitan yaitu ketika nilai PW dan CAPE
meningkat maka akan diikuti oleh penurunan nilai LI. Ketiga parameter tersebut
akan merepresentasikan pertumbuhan awan secara vertikal, sehingga ketiga
parameter RAOB ini dapat digunakan untuk menganalisis kejadian badai guntur.
PW (Precipitable Water) adalah jumlah kandungan massa uap air dalam kolom
udara yang dapat turun sebagai hujan jika semua uap air tersebut mengembun.
Menurut Syaifullah (1998) semakin tinggi nilai PW maka titik embun akan
semakin tinggi sehingga uap air yang terbentuk akan berpotensi sebagai awan
potensial. LI adalah parameter stabilitas yang digunakan untuk menentukan
potensi badai.
Nilai LI didapatkan dari perbedaan suhu parsel udara yang bergerak naik
secara adiabatik dengan suhu lingkungan pada tekanan 500 mb di atmosfer (AWS
1990). Nilai LI positif menunjukan atmosfer dalam kondisi stabil, tetapi jika
bernilai negatif menunjukan atmosfer pada kondisi tidak stabil (terdapat gaya
angkat yang dapat mendukung proses terjadinya hujan (Haby 2006). Selain itu
menurut Kim dan Lee (2005) semakin negatif nilai LI hingga mencapai -6 akan
menyebabkan terjadinya hujan dengan intensitas lebat.
CAPE (Convective Available Potential Energy) merupakan jumlah energi
yang dimiliki oleh sebuah parsel udara jika di angkat secara vertikal pada jarak
tertentu di atmosfer. CAPE dapat menggambarkan bouyancy positif dari sebuah
parsel udara dan dapat mengindikasikan ketidakstabilan atmosfer (Asep 2011).
Peningkatan nilai CAPE umumnya menyebabkan konveksi semakin kuat sehingga
3
nilai ini dapat digunakan sebagai parameter stabilitas atmosfer (AWS 1990).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kim dan Lee (2005) nilai CAPE antara
1779
hingga 2521
akan menyebabkan terjadinya hujan dengan
intensitas sangat lebat.
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan mulai Desember 2014 hingga Maret 2015 di
Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan
Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor. Wilayah kajian penelitian adalah Landasan Udara Atang Sendjaja.
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan berupa data, antara lain:
Data observasi udara atas tahun 2014 pukul 00 dan 12 UTC atau 07.00 WIB
dan 19.00 WIB yang diambil dari http://ready.arl.noaa.gov/READYamet.php.
2. Data kondisi cuaca harian Landasan udara Atang Sendjaja terletak di antara
6.55° LS dan 106.7° BT.
Alat yang digunakan berupa seperangkat alat komputer dengan perangkat
lunak RAOB (RAwinsonde Observation), Ms.Word, dan Ms. Excel.
1.
Prosedur Penelitian
1.
Pengumpulan Data
Data yang diambil dari situs NOAA (National Oceanic and Atmospheric
Administration) merupakan data observasi udara atas untuk lokasi Landasan
Udara Atang Sendjaja. Data diolah menggunakan RAOB sehingga dipeoleh nilai
PW, LI dan CAPE yang masing-masing mewakili parameter kandungan uap air
dan stabilitas atmosfer. Nilai PW, LI, dan CAPE ditabulasi dan dihubungkan
dengan kejadian badai guntur yang tercatat di stasiun terkait. Berikut adalah
tahapan pengolahan data (Gambar 1).
mulai
Data Sounding pukul 00
UTC dan 12 UTC
Data Kondisi Cuaca
Khusus Lanud Atang
Sendjaja
Menentukan nilai PW, LI dan
CAPE dengan RAOB
Menabulasi data dengan
Ms.Excel
Menentukan
kecenderugan Indeks
PW, LI, dan CAPE
Menentukan
Fluktuasi Badai
Guntur
Menentukan Nilai
Ambang Batas
Menginterpretasikan hasil
pengolahan
Analisis Fluktuasi dan kecenderungan
badai guntur
Gambar 1 Diagram alir penelitian
2.
Analisis Data
Kecenderungan kejadian badai guntur dilihat dari presentase kejadian tiap
interval nilai PW, LI dan CAPE. Presentase tersebut diperoleh dari banyaknya
angka satu dari total kejadian dalam persen (%). Seluruh prediktor dibagi kedalam
lima kelas (k). Range atau sebaran (R) data merupakan hasil dari pengurangan
nilai parameter tertinggi dan terendah. Interval (I) tiap kelas ditentukan oleh
persamaan:
I=R / k………………………….. (1)
Keterangan :
I : Interval
R : Range atau sebaran
k : Banyaknya kelas
5
Parameter PW, LI dan CAPE data kondisi cuaca Landasan Udara Atang
Sendjaja juga dibuat presentase kejadian tiap interval. Selanjutnya kemampuan
PW dan LI sebagai prediktor dilihat dengan metode TSS (True Skill Statistic)
sehingga diperoleh suatu nilai ambang batas atau threshold terbaik. Nilai TSS
merupakan presentase dari jumlah kejadian badai guntur yang terprediksi
dikurangi jumlah bukan kejadian badai guntur yang tidak terprediksi (Haklander
dan Delden 2003). Peningkatan PW meningkatakan potensi terbentuknya awan
kumulonimbus sedangkan penurunan nilai LI meningkatkan ketidakstabilan
sehingga badai guntur diprediksi terjadi saat lebih besar atau sama dengan nilai
ambang batas PW dan lebih kecil atau sama dengan nilai ambang batas LI.
Penentuan nilai TSS tertinggi didasarkan pada kriteria antara prediksi dan
observasi (Tabel 1) dengann persamaan TSS matematis sebagai berikut :
TSS = (h / (h + s)) – (f / (f + q))…………….. (2)
Keterangan :
TSS
h (hits)
s (surprises)
f (false alarm)
q (quiescent cases)
: Ambang batas prediktor
: prediksi kejadian badai guntur sesuai dengan observasi
: prediksi bukan kejadian badai guntur tidak sesuai dengan
observasi
: prediksi kejadian badai guntur tidak sesuai dengan
observasi
: prediksi bukan kejadian badai guntur sesuai dengan
observasi
Setiap prediktor dilakukan akurasi untuk merepresentasikan seberapa
besar jumlah prakiraan yang sesuai secara keseluruhan. Akurasi tiap prediktor
ditentukan dengan menggunakan persamaan matematis berikut ini:
Akurasi (%) = JOS / Total * 100%…………………..(3)
Keterangan :
Akurasi
: Presentase ketepatan parameter sebagai prediktor
JOS
: Jumlah nilai prediksi yang sesuai dengan nilai observasi
Total
: Jumlah seluruh data observasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Badai guntur adalah salah satu fenomena cuaca berupa kilat dan guntur
disertai hujan serta angin kencang yang terjadi akibat aktifitas awan konvektif
yaitu awan kumulunimbos (Cb). Awan ini terbentuk karena adanya massa udara
naik dan mengalami proses kondensasi. Awan Cb sangat menganggu aktivitas
penerbangan baik selama take off, penerbangan dan landing termasuk aktivitas
penerbangan pada Landasan Udara Atang Sendjaja. Badai guntur merupakan
fenomena cuaca kategori khusus pada Landasan Udara Atang Sendjaja. Sehingga
pengamatan badai guntur dilakukan setiap hari untuk meminimalkan adanya
kecelakaan pesawat.
Fluktuasi Kejadian Badai Guntur Variasi Bulanan
Puncak kejadian badai guntur wilayah Landasan Udara Atang Sendjaja
terjadi pada bulan april 2014 yang merupakan puncak musim peralihan dari
musim hujan ke musim kemarau dengan 25 kejadian badai guntur selama bulan
april. Sedangkan yang paling sedikit kejadian badai guntur pada bulan september
yang merupakan awal musim peralihan dari musim kemarau ke musim hujan
dengan 4 kejadian (Gambar 2).
30
25
20
15
10
5
0
Dec
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Gambar 2 Fluktuasi badai guntur tiap bulan
Kejadian badai guntur lebih banyak pada musim peralihan musim hujan ke
kemarau atau selama periode MAM karena pada musim peralihan stabilitas
atmosfer cenderung tidak stabil. Selain itu, pada wilayah Landasan Udara Atang
Sendjaja faktor orografis lebih mendominasi sehingga mengakibatkan banyak
terbentuk awan konvektif. Selama periode JJA kejadian badai guntur lebih sedikit
daripada periode DJF, MAM, dan SON karena kandungan uap air selama periode
JJA lebih rendah daripada periode lainnya.
Menurut Pinto et al. (2006) adanya fenomena fisis seperti ITCZ
mendukung potensi badai guntur. ITCZ merupakan wilayah pertemuan udara
permukaan dari belahan bumi utara (BBU) dan selatan (BBS) yang terbentuk di
atas wilayah Indonesia pada bulan Januari. Peningkatan suhu permukaan laut
sekitar ITCZ menambah kandungan uap air di atmosfer. Sistem tekanan rendah
yang terbentuk di wilayah ini dan ketersediaan uap air mendukung pembentukan
awan kumulonimbus.
7
Fluktuasi Parameter Precipitable Water, Lifted Index dan Convective
Available Potential Energy Tiap Musim
Precipitable Water (PW)
Badai guntur dalam proses pembentukannya memerlukan kandungan uap
air yang cukup besar. Precipitable water (PW) merupakan parameter yang
merepresentasikan jumah kandungan uap air dalam kolom udara yang mengalami
kondensasi menjadi awan dan dapat turun sebagai presipitasi.
Pada penelitian Haby (2006) menunjukan semakin tinggi nilai PW berarti
titik embun akan semakin tinggi sehingga uap air yang terbentuk akan berpotensi
menjadi awan potensial yang ditunjukan pada Tabel 1. Penelitian Kim dan Lee
(2005) menunjukan bahwa nilai PW antara 51.9 mm – 56.9 mm mengindikasikan
akan terjadi hujan dengan intensitas sangat lebat sedangkan penelitian Rohmawati
(2009) menunjukkan nilai PW berkisar 49.9 mm – 69.5 mm dapat terjadi pada
kejadian banjir.
Tabel 1 Skala kandungan embun berdasarkan nilai PW (Haby 2006)
PW (mm)
< 12.7
12.7-31.8
31.8-45.0
45.0-50.8
>50.8
Kandungan Embun
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Nilai parameter Precipitable Water (PW) dipengaruhi oleh banyak faktor
salah satunya adalah pergantian musim. Pergantian musim mengakibatkan nilai
parameter berfluktuatif sepanjang tahun 2014. Selain itu, parameter PW bisa
berubah nilainya dalam satu hari, terlihat dari adanya perbedaan nilai parameter
PW pada 00 UTC dan 12 UTC. Nilai parameter PW pada 00 dan 12 UTC tidak
memiliki perbedaan nilai yang terlalu besar.
Pada awal periode DJF parameter PW berada pada selang kandungan
embun yang tinggi (45-50.8 mm) sehingga pada awal musim hingga menuju
puncak musim diindikasikan terjadi hujan dengan intensitas yang lebat (Gambar 3
(a)). Pada periode ini nilai parameter cenderung tidak memiliki perubahan nilai
yang besar pada 00 dan 12 UTC. Parameter PW mengalami penurunan secara
drastis pada puncak musim hujan yaitu pertengahan Januari hingga awal Februari.
Pada pertengahan bulan januari nilai parameter berada pada selang rendah (12.731.8 mm).
00 UTC
60
40
20
01-Dec-13
01-Jan-14
01-Feb-14
60
40
20
01-Mar-14
01-Apr-14
Tanggal
12 UTC
00 UTC
PW (mm)
PW (mm)
(b)
60
40
20
01-Jun-14
01-Jul-14
01-Aug-14
tanggal
01-May-14
Tanggal
(a)
00 UTC
12 UTC
12 utc
PW (mm)
PW (mm)
00 utc
12 UTC
60
40
20
01-Sep-14
01-Oct-14
01-Nov-14
Tanggal
(c)
(d)
Gambar 3 Fluktuasi parameter Precipitable Water (PW) pada empat periode : (a) DJF (b) MAM (c) JJA (d) SON
9
Kondisi kandungan embun yang rendah meminimalkan pengangkatan
massa udara ke atmosfer. Pada musim peralihan hujan-kemarau (MAM) nilai
parameter precipitable water mengalami peningkatan hingga akhir musim
peralihan (Gambar 3 (b)). Kandungan embun berada pada selang 12.7 hingga
31.8 mm pada awal periode MAM yang selanjutnya nilai PW terus meningkat
hingga akhir periode MAM. Hal ini menunjukan semakin menuju ke akhir musim
peralihan hingga awal musim kemarau semakin banyak terjadi pengangkatan
massa udara. Pada periode MAM parameter precipitable water untuk 00 dan 12
UTC memiliki nilai relatif tidak memiliki perbedaan yang besar, namun nilai
parameter dominan lebih besar pada 12 UTC untuk periode MAM.
Nilai parameter PW pada musim kemarau (JJA) relatif konstan
dibandingkan musim lainnya. Pada periode JJA parameter precipitable water
untuk 00 dan 12 UTC sama seperti periode lainnya nilai parameter tidak memiliki
perbedaan yang sangat besar, namun pada saat 12 UTC nilai parameter PW lebih
besar dibandingkan dengan 00 UTC (Gambar 3 (c)). Pada periode ini nilai
parameter tidak mengalami perubahan nilai yang relatif besar. Selama musim
kemarau nilai parameter terus berada di antara 45 dan 50.8 mm yang menunjukan
kandungan embun pada periode JJA yang tinggi dan mengindikasikan banyak
awan konvektif yang menghasilkan hujan dengan intensitas lebat. Parameter
precipitable water (PW) periode SON memiliki karakteristik hampir sama dengan
periode MAM yaitu semakin menuju ke akhir periode nilai parameter PW terus
meningkat hingga akhir periode. Pada periode SON peningkatan nilai parameter
tidak terlalu besar seperti yang terjadi pada periode MAM. Kandungan embun
pada periode SON berada pada selang tinggi (45-50.8 mm) sehingga banyak awan
konvektif yang terbentuk pada periode ini (Gambar 3 (d)).
Lifted Index (LI)
LI adalah parameter stabilitas yang digunakan untuk menentukan potensi
badai. Nilai parameter LI positif menunjukkan atmosfer berada dalam kondisi
stabil, tetapi jika bernilai negatif, menunjukkan atmosfer pada kondisi tidak stabil
(terdapat gaya angkat ke atas) yang dapat mendukung proses terjadinya hujan
(Tabel 2).
Haklander & Delden (2003) Kondisi udara tidak stabil ditunjukkan dari
nilai LI yang bernilai negatif tetapi tidak semua badai guntur terjadi saat nilai LI
negatif untuk kejadian hujan ringan memiliki nilai LI sangat rendah mencapai -6
yang menunjukkan kondisi atmosfer sangat tidak stabil. Parameter LI di hitung
menggunakan persamaan matematis sebagai berikut.
LI = T500 – TP500…………………………… (4)
Keterangan :
T500
: Suhu Lingkungan di lapisan 500 mb
TP500
: Suhu parsel udara di lapisan 500 mb
Tabel 2 Stabilitas atmosfer berdasarkan nilai LI (Haby 2006)
Nilai LI
Stabilitas atmosfer
LI > 6
1-6
0 – (-2)
(-2) – (-6)
Kondisi sangat stabil
Kondisi stabil
Agak tidak stabil, terjadi mekanisme pengangkatan
Tidak stabil, Thunderstorm sangat mungkin
Sangat tidak stabil, thunderstorm diikuti dengan
mekanisme pengangkatan
LI < -6
Stabilitas atmosfer wilayah Atang Sendjaja memiliki karakteristik
berbeda-beda pada tiap periode. Nilai parameter LI sangat berfluktuatif pada
periode DJF (Gambar 4 (a)). Pada awal musim nilai parameter LI berada pada
selang agak tidak stabil yaitu antara 0 hingga -2 yang menunjukan adanya
pengangkatan massa udara. Memasuki pertengahan bulan januari parameter LI
meningkat pada kondisi stabil, kondisi tersebut tidak memungkinkan terjadinya
hujan Pada periode DJF nilai parameter LI jauh lebih besar pada 12 UTC,
meskipun pada 00 dan 12 UTC nilai LI cenderung tidak memiliki perbedaan yang
besar. Memasuki musim peralihan hujan-kemarau (MAM) nilai parameter LI
semakin kecil hingga -6 yang menunjukan kondisi stabilitas atmosfer hingga akhir
musim semakin tidak stabil yang mengindikasikan banyak awan konvektif yang
menghasilkan badai guntur terbentuk. Pada periode MAM nilai parameter LI lebih
besar pada 12 UTC dibandingkan dengan 00 UTC. Hal tersebut menunjukan pada
00 UTC kondisi atmosfer lebih tidak stabil(Gambar 4 (b)).
Parameter LI pada periode JJA (Gambar 4 (c)) tidak memiliki perubahan
nilai parameter yang begitu besar atau relatif konstan berada pada selang yang
sama hingga akhir musim. Pada periode ini nilai parameter berada pada selang
antara -2 hingga -6 yang menujukan stabilitas atmosfer tidak stabil. Pada periode
ini memungkinkan banyak terjadi badai guntur. Nilai parameter ketika 00 UTC
lebih rendah dibandingkan dengan ketika 12 UTC untuk periode JJA. Berbeda
dengan periode lainnya, periode SON nilai parameter LI lebih berfluktuatif
(Gambar 4 (d)). Pada periode SON nilai parameter LI secara perlahan terus
meningkat hingga akhir periode hingga memasuki periode lain (DJF). Semakin
meningkatnya nilai parameter menunjukan semakin menuju akhir periode
atmosfer semakin stabil, sehingga semakin menuju akhir musim semakin sedikit
badai guntur yang terbentuk.
11
00 UTC
00 UTC
12 UTC
12 UTC
2
LI
LI
2
01-Dec-13
-3
01-Jan-14
-8
01-Feb-14
01-Mar-14
-3
-8
Tanggal
01-Apr-14
01-May-14
Tanggal
(a)
(b)
2
LI
01-Jun-14
-3
LI
2
01-Jul-14
01-Sep-14
-3
01-Oct-14
01-Aug-14
-8
-8
01-Nov-14
Tanggal
Tanggal
00 UTC
12 UTC
(c)
00 UTC
12 UTC
(d)
Gambar 4 Fluktuasi parameter Lifted Index LI pada empat periode : (a) DJF (b) MAM (c) JJA (d) SON
Convective Available Potential Energy (CAPE)
Convective Available Potential Energy (CAPE) merupakan parameter
yang menunjukan jumlah energi yang dimiliki oleh parsel udara yang diangkat
secara vertikal pada atmosfer. Konveksi semakin kuat jika terjadi peningkatan
nilai parameter CAPE (Tabel 2). Kim dan Lee (2005) menyatakan nilai CAPE
berkisar antara 1779 J/kg – 2521 J/kg menyebabkan hujan lebat. Penelitian lain
menunjukan semakin tinggi nilai CAPE Total maka awan yang terbentuk akan
memiliki ukuran yang tinggi karena pergerakan massa udara ke atas akan semakin
cepat dan pembentukan butiran air akan cepat terbentuk sehingga proses
kondensasi akan sangat cepat terjadi.
Tabel 3 Ketidakstabilan atmosfer berdasarkan nilai CAPE (Ferdiansyah 2012)
Nilai CAPE
Ketidakstabilan Atmosfer
(J/kg)
< 1000
Lemah
1000 - 2500
Sedang
>2500
Kuat
Nilai parameter CAPE untuk wilayah Atang Sendjaja tiap musim memiliki
variasi berbeda-beda dan berfluktuatif. Pada awal periode DJF nilai CAPE
berkisar antara 1000 hingga 2500 J/kg yang menunjukan ketidakstabilan atmosfer
sedang. Pada selang ini memungkinkan terjadi hujan lebat di sertai badai guntur
dengan kekuatan yang tidak terlalu kuat (air-mass thunderstrom), akan tetapi
semakin menuju ke puncak periode nilai parameter menurun hingga mencapai
nilai 0 pada pertengahan Januari hingga awal Februari. Hal ini menunjukan Pada
periode ini nilai parameter lebih besar pada 00 UTC dibandingkan dengan 12
UTC (Gambar 5 (a)). Memasuki musim peralihan periode MAM nilai parameter
CAPE semakin meningkat hingga akhir periode yang menunjukan kondisi
stabilitas atmosfer semakin tidak stabil yang memungkinkan banyak awan
konvektif yang menghasilkan badai guntur terbentuk. Pada periode MAM nilai
parameter CAPE lebih besar pada 00 UTC dibandingkan dengan 12 UTCyang
mengindikasikan pada 00 UTC kondisi atmosfer tidak stabil (Gambar 5 (b)).
Nilai parameter CAPE periode JJA untuk 00 dan 12 UTC cenderung
konstan dan tidak memiliki perbedaan nilai yang sangat besar, namun pada saat
12 UTC nilai parameter CAPE lebih bervariasi dibandingkan dengan 00 UTC.
Pada periode ini stabilitas atmosfer berada pada selang sedang (1000-2500 J/kg)
hingga tinggi (>2500 J/kg) yang mengindikasikan banyak terbentuk awan
konvektif yang menghasilkan hujan dengan intensitas lebat hingga badai guntur
yang kuat (Gambar 5 (c)). Nilai parameter CAPE periode SON berfluktuatif
pada 00 UTC ataupun 12 UTC (Gambar 5 (d)). Pada periode SON nilai parameter
CAPE terus menurun secara perlahan hingga akhir periode. Nilai parameter yang
semakin menurun menunjukan secara perlahan atmosfer atmosfer semakin stabil,
sehingga semakin menuju akhir musim semakin sedikit badai guntur yang
terbentuk.
13
4000
3000
2000
1000
0
01-Dec-13
12 UTC
00 UTC
CAPE (J/kg)
CAPE (J/kg)
00 UTC
01-Jan-14
01-Feb-14
4000
3000
2000
1000
0
01-Mar-14
12 UTC
01-Apr-14
Tanggal
01-May-14
Tanggal
(a)
00 UTC
12 UTC
4000
4000
3000
3000
CAPE (J/kg)
CAPE (J/kg)
00 UTC
(b)
2000
1000
0
01-Jun-14
01-Jul-14
01-Aug-14
Tanggal
12 UTC
2000
1000
0
01-Sep-14
01-Oct-14
01-Nov-14
Tanggal
(c)
(d)
Gambar 5 Fluktuasi parameter Convective Available Potential Energy (CAPE) pada empat periode : (a) DJF (b) MAM (c) JJA
(d) SON
Ketiga parameter Precipitable Water, Lifted Index dan Convective
Available Potential Energy memiliki pola yang sama. Nilai parameter PW,
LI, dan CAPE menunjukan periode JJA dan SON memiliki potensi
terjadinya kejadian badai guntur dibandingkan periode DJF dan MAM yang
merupakan musim hujan terlihat dari selang dan rata-rata tiap parameter
pada 00 UTC dan 12 UTC. Hasil RAOB berbeda dengan data observasi
cuaca seperti suhu, curah hujan, kelembaban, serta kecepatan angin yang
menunjukan pada periode DJF serta MAM mengalami pengangkatan massa
udara paling banyak.
40
30
20
Tave
10
Tmax
0
Tmin
Gambar 6 Distribusi suhu rata-rata, suhu maksimum, dan suhu minimum
wilayah Landasan Udara Atang Sendjaja tahun 2014
Pada pertengahan bulan Januari hingga pertengahan bulan Februari
2014 seluruh parameter menunjukan pada rentang waktu tersebut tidak
terindikasi pembentukan badai guntur, akan tetapi pada rentang waktu
tersebut suhu rata-rata, suhu maksimum, dan suhu minimum wilayah
Landasan Udara Atang Sendjaja mengalami penurunan nilai sangat drastis
dibandingkan dengan rentang waktu lainnya.
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
Gambar 7 Distribusi curah hujan wilayah Landasan Udara Atang Sendjaja
tahun 2014
16
Data observasi curah hujan untuk pertengahan bulan Januari hingga
pertengahan bulan Februari 2014 menunjukan terjadi hujan hampir setiap
hari,untuk rentang waktu tersebut sedangkan untuk periode JJA yang
diindikasikan mengalami badai guntur terbanyak terlihat hujan terjadi lebih
sedikit dibandingkan periode DJF walaupun pada periode tersebut terjadi
beberapa hujan dengan intensitas tinggi
120
100
80
60
40
20
0
Gambar 8 Distribusi kelembaban relatif rata-rata wilayah Landasan Udara
Atang Sendjaja tahun 2014
Pada wilayah Landasan Udara Atang Sendjaja menunjukan periode
DJF mengalami kelembaban relatif (RH) rata-rata lebih tinggi dibandingkan
dengan periode lainnya hingga memasuki awal periode MAM. Selain itu
juga didukung dengan kecepatan angin yang tinggi pada rentang waktu
tersebut (5 hingga 10 knot) dibandingkan dengan periode lainnya terutama
periode JJA hingga awal memasuki periode SON, pada periode tersebut
nilai RH semakin kecil yang diikuti oleh nilai kecepatan angin yang kecil
yaitu berkisar antara 3 hingga 4 knot.
12
10
8
6
4
2
0
Gambar 9 Distribusi kecepatan angin rata-rata wilayah Landasan Udara
Atang Sendjaja tahun 2014
Data observasi cuaca seperti suhu, curah hujan, kelembaban relatif
rata-rata serta kecepatan angin rata-rata menunjukan ketepatan parameter
Precipitable Water, Lifted Index dan Convective Available Potential Energy
menurun untuk menganalisis potensi badai guntur ketika terjadi hujan terus
16
17
menerus dan ketika memasuki musim kering pada wilayah Atang Sendjaja
tahun 2014.
Tabel 4 Distribusi nilai precipitable water (PW), lifted index (LI) dan
Convective Available Potential Energy (CAPE) tiap 3 bulan pada 00 UTC
00 UTC
Periode
DJF
MAM
JJA
SON
PW (mm)
SELANG RERATA
21 - 67.3
46.7
21.9-62.7
47.5
41.3-64.1
57.0
44.4-64.3
56.3
LI
CAPE (J/kg)
SELANG
RERATA SELANG RERATA
(-4.2) - 4.1
-1.1
0-2008
584.5
(-6.7) - 1.3
-3.7
0-3333
1437.9
(-7.2)-(-2.4)
-5.4
826-3601
2375.3
(-6.3) - (-2)
-4.3
710-2682
1741.0
Tabel 5 Distribusi nilai precipitable water (PW), lifted index (LI) dan
Convective Available Potential Energy (CAPE) tiap 3 bulan pada 00 UTC
12 UTC
Periode
DJF
MAM
JJA
SON
PW (mm)
SELANG RERATA
22.7-65.4
46.2
22.8-66.7
47.2
43.5-64.6
56.5
43.8-65.4
56.2
LI
CAPE (J/kg)
SELANG
RERATA SELANG RERATA
(-4.2) - 4.3
-0.9
0-2011
497.0
(-6.4) - 0.7
-3.0
0-3486
1356.8
(-6.8)-(-2.3)
-4.9
885-3428 2261.4
(-5.8)-(-1.3)
-4.0
600-2800 1698.1
Pada periode JJA ketiga parameter menunjukan pada periode ini
memungkinkan terjadinya badai guntur dibandingkan periode lainnya, akan
tetapi rendahnya jumlah kejadian badai guntur pada periode JJA
menunjukan pada musim kemarau keadaan atmosfer cenderung stabil. Hal
ini juga merepresentasikan bahwa nilai parameter PW, LI ataupun CAPE
memiliki error atau tidak sesuai dengan observasi. Terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi wilayah Landasan Udara Atang Sendjaja berpotensi
terjadi badai guntur lebih banyak terbentuk pada waktu awal memasuki
musim kemarau hingga puncak peralihan musim kemarau ke musim hujan,
yaitu pengaruh lokal (orografis) dan terjadi fenomena cuaca ekstrim seperti
ENSO.
Tabel 6 Nilai PW, LI dan CAPE dengan TSS tertinggi tiap periode
Periode
DJF
MAM
JJA
SON
00 UTC
PW(mm)
38.2
50.3
54.3
54.2
LI CCAPE(J/kg) PPW(mm)
-0.1
1242
50.5
-1.9
1771
46.4
-3.2
1833
48.7
-3.3
1804
50
12 UTC
LI
-1.6
-2.5
-4.3
-3.8
CAPE(J/kg)
1318
1596
1889
1776
Nilai TSS tertinggi PW, LI dan CAPE diduga sebagai penentu badai
guntur terbaik tiap periode. Penentuan nilai TSS tertinggi didasarkan pada
kriteria antara prediksi dan observasi. Nilai PW pada 00 UTC yang terpilih
17
18
untuk periode DJF, MAM, JJA dan SON berturut-turut adalah 38.2, 50.3,
53.3 dan 54.2 mm, untuk nilai LI berturut-turut yaitu -0.1, -1.9, -3.2, -3.3
sedangkan nilai CAPE berturut-turut adalah 1241, 1771, 1833, 1804 J/kg.
Akurasi Parameter Lifted Index Dibandingkan dengan parameter
Precipitable Water dan Convective Available Potential Energy serta
Kecenderungannya Tiap Selang
Akurasi Parameter Lifted Index Dibandingkan dengan parameter
Precipitable Water dan Convective Available Potential Energy
Tabel 7 Perhitungan parameter Precipitable Water, Lifted Index, dan
Convective Available Potential Energy berdasarkan tiga kondisi residance
time.
Parameter
PW
LI
CAPE
Non-Lag
00 UTC
48
50
47
12 UTC
49
51
49
Akurasi (%)
residance time
1 Hari
00 UTC 12 UTC
50
50
51
51
50
47
residance time
2 Hari
00 UTC 12 UTC
48
48
53
50
48
45
Akurasi ketiga parameter paling baik secara keseluruhan untuk
menganalisis potensi kejadian badai guntur adalah ketika mengalami
residance time satu hari, akan tetapi nilai parameter paling baik untuk 00
UTC seluruh parameter adalah ketika mengalami residance time 2 hari,
sedangkan untuk 12 UTC pada saat residance time 1 hari. Parameter yang
mengalami peningkatan cukup signifikan adalah parameter PW. LI
merupakan parameter yang paling meningkat jika residance time
ditambahkan satu hari bahkan parameter LI mengalami peningkatan bila
ditambahkan jumlah residance time menjadi dua hari. Proses pembentukan
awan memerlukan uap air yang cukup besar, dalam proses pembentukannya
uap air hanya mengalami residance time dalam waktu beberapa jam saja hal
tersebut mempengaruhi residance time awan kumulunimbus (Emanuel
1994).
Tabel 8 Akurasi parameter LI (%) dibandikan parameter PW daan CAPE
sebagai prediktor Badai guntur
00 UTC
12 UTC
Parameter
JOS
Akurasi (%)
JOS Akurasi (%)
PW
182
50
182
49
LI
185
51
185
51
CAPE
183
50
171
47
18
19
Dalam menentukan parameter mana yang paling baik sebagai
prediktor maka harus ditentukan ketepatannya dengan cara membagi JOS
dengan jumlah seluruh data observasi di mana JOS merupakan jumlah nilai
prediksi yang sesuai dengan nilai observasi. Berdasarkan nilai JOS
frekuensi dan peluang kejadian badai guntur cenderung meningkat jika
terjadi penurunan nilai LI. Nilai LI yang negatif menunjukkan kondisi udara
tidak stabil, walaupun terdapat beberapa kejadian badai guntur yang terjadi
saat LI bernilai positif dengan akurasi masing-masing sebesar 51%untuk 00
UTC dan 51% untuk 12 UTC, sehingga parameter ini dikategorikan cukup
mampu menjadi prediktor badai guntur wilayah Landasan Udara Atang
Sendjaja.
Tabel 9 Hasil Perbandingan Berbagai Penelitian
Sumber Pustaka
LI
Parameter
00 UTC
PW CAPE
LI
12 UTC
PW CAPE
2014 wilayah Bogor, Rodiah
51% 50%
50%
51% 49%
47%
2005-2008, Jakarta, Puspasari
50% 53%
nil
20% 53%
nil
2000-2002, North Dakota
(Amerika), Brothers
nil
79%
nil
77%
Setiap wilayah memiliki akurasi parameter berbeda-beda, untuk
wilayah Bogor dan Jakarta akurasi parameter juga berbeda walaupun pada
satu negara. Parameter yang paling baik sebagai prediktor untuk wilayah
Bogor kawasan Landasan Udara Atang Sendjaja adalah LI, sedangkan pada
penelitian Puspasari (2014) untuk wilayah Jakarta Kawasan Bandara Halim
Perdanakusuma parameter yang paling baik adalah PW. Terdapat banyak
faktor yang mempengaruhi akurasi parameter di antaranya faktor kondisi
wilayah (orografis) dan fenomena cuaca ekstrim. Penelitian Manurung
(2012) untuk wilayah DKI Jakarta untuk prediksi cuaca jangka pendek
parameter yang paling baik merupakan parameter SI.
Sedangkan untuk negara lain seperti Yonchon, Korea Selatan pada
penelitan Kim dan Lee (2006) menyatakan parameter yang paling baik
untuk menduga cuaca buruk seperti badai guntur adalah Lifted Index (LI)
seperti untuk wilayah Amerika di North Dakota dengan akurasi Sebesar
79%. Perbedaan musim antara sub tropis dan tropis akan mengakibatkan
adanya perbedaan dalam proses pengangkatan massa udara dan potensi
badai guntur.
19
20
Jumlah kejadian badai
guntur
Kecenderungan Parameter PW, LI, dan CAPE Tiap Selang
160
110
60
10
-40
21 - 30.3
30.4 - 39.7
39.8 - 49.1
PW (mm)
49.2 - 58.5
58.6 - 67.9
49.4 - 58.2
58.3 - 67.1
Jumlah kejadian badai
guntur
(a)
160
110
60
10
-40
22.7 - 31.5
31.6 - 40.4
40.5 - 49.3
PW (mm)
(b)
Gambar 10 Jumlah kejadian badai guntur berdasarkan nilai precipitable
water (PW) tiap selang pukul 00 UTC (a) dan 12 UTC (b)
Jumlah kejadian badai guntur relatif mengalami peningkatan diikuti
dengan meningkatnya parameter precipitable water (PW). Pada tahun 2014
nilai precipitable water wilayah Atang Sendjaja berada pada kisaran 2167.3 mm dan 22.7-66.7 mm untuk 00 UTC dan 12 UTC. Kejadian badai
guntur pada tiap selang pertama dari kedua waktu pengamatan PW sangat
kecil, yaitu 21–30.3 mm terjadi 23 kejadian dan 22.7-31.5 mm terjadi 28
kejadian badai guntur. Kemunculan nilai PW paling banyak berada pada
selang antara 49.2 mm dan 58.5 mm terjadi sebanyak 155 hari dalam satu
tahun pada 00 UTC dan pada selang antara 49.4-58.2 mm terjadi
kemunculan sebanyak 151 pada 12 UTC, tetapi kondisi tersebut tidak diikuti
dengan kejadian badai guntur (Gambar 10). Awan kumulunimbus setelah
menghasilkan badai gutur tidak langsung hilang tetapi akan bertahan
beberapa saat hingga akhirnya menghilang. Hal tersebut mengakibatkan
besarnya nilai PW walaupun tidak terjadi badai guntur.
20
Jumlah kejadian badai
guntur
21
200
150
100
50
0
(-7.2) - (-4.9) (-4.8) - (-2.5) (-2.4) - (-0.1)
0 - 2.3
2.4 - 4.7
LI
Jumlah kejadian badai
guntur
(a)
200
150
100
50
0
(-6.8) - (-4.6) (-4.5) - (-2.3)
(-2.2) - 0
0.1 - 2.3
2.4 - 4.6
LI
(b)
Gambar 11 Jumlah kejadian badai guntur berdasarkan nilai lifted index (LI)
tiap selang pukul 00 UTC (a) dan 12 UTC (b)
Nilai yang bernilai negatif menunjukan kondisi atmosfer yang tidak
stabil, yang menunjukan banyak awan konvektif yang terbentuk tetapi tidak
semua badai guntur dan awan konvektif terbentuk ketika nilai LI negatif.
Pada 00 UTC rentang nilai parameter LI berkisar antara -7.2-4.7 sedangkan
pada 12 UTC berkisar antara -6.8-4.6. Nilai LI paling banyak berada pada
interval kedua untuk dua waktu yang berbeda yaitu pada rentang antara -4.8
dan (-2.5) untuk 00 UTC serta -4.5 dan (-2.3) untuk 12 UTC. Nilai LI yang
negatif tidak selamanya menunjukkan adanya badai guntur karena ketika
proses pengangkatan massa udara mencapai titik setimbang maka nilai suhu
lingkungan akan menjadi lebih besar dibandingkan dengan suhu parsel dan
kondisi atmosfer menjadi kembali stabil di mana pada kondisi ini sisa awan
konvektif yang menghasilkan badai guntur masih tersisa. Hal ini
mengakibatkan ketika nilai LI negatif tidak diikuti oleh kejadian badai
guntur.
21
Jumlah kejadian badai
guntur
22
120
100
80
60
40
20
0
0 - 720.2
720.3 - 1440.5
1440.6 2160.8
2160.9 2881.1
2881.2 3601.4
2091.9 2789.1
2789.2 3486.4
CAPE (J/kg)
Jumlah kejadian badai
guntur
(a)
120
100
80
60
40
20
0
0 - 697.2
697.3 - 1394.5
1394.6 2091.8
CAPE (J/kg)
(b)
Gambar 12 Jumlah kejadian badai guntur berdasarkan nilai convective
available potential energy (CAPE) tiap selang pukul 00 UTC (a) dan 12
UTC (b)
Kondisi udara tidak stabil ditunjukkan dari nilai convective available
potential energy CAPE yang bernilai besar tetapi tidak semua badai guntur
terjadi saat nilai CAPE besar. Rentang nilai CAPE pada 00 UTC adalah 0
dan 3601 J/kg sedangkan pada 12 UTC berkisar antara 0 dan 3486
J/kg.Badai guntur paling banyak berdasarkan nilai CAPE pada 00 UTC
adalah 1440.6 dan 2160.8 J/kg sedangkan pada 12 UTC berkisar antara
1394.6 dan 2091.8 J/kg. Badai guntur tergolong banyak ketika nilai CAPE
nol pada kedua waktu, hal ini bisa dikarenaan adanya faktor lain yang
mempengaruhi seperti orografis dan adanya fenomena cuaca/iklim ekstrim.
Selain itu nilai CAPE yang menunjukan adanya badai guntur bisa
mengalami error karena mendeteksi awan konvektif lain selain badai guntur.
22
23
SIMPULAN
Simpulan
Kejadian badai guntur meningkat memasuki musim peralihan hujankemarau (MAM) dengan kejadian badai guntur terbanyak pada puncak
musim peralihan yaitu bulan april. Berdasarkan ketiga parameter periode
JJA paling banyak terjadi badai guntur, karena pada periode tingginya ratarata nilai PW dan CAPE serta rendahnya nilai LI. Fluktuasi musiman
kejadian badai guntur lebih dipengaruhi oleh parameter LI dibandingkan
dengan parameter PW dan CAPE. Peluang kejadian badai guntur relatif
terjadi peningkatan ketika penurunan nilai LI. Nilai LI yang negatif
menunjukkan kondisi udara tidak stabil, walau terdapat beberapa kejadian
badai guntur yang terjadi saat LI bernilai positif. Adanya residance time
mempengaruhi akurasi seluruh nilai parameter nilai paramter paling baik
untuk 00 UTC adalah ketika mengalami residance time 2 hari, sedangkan
untuk 12 UTC pada saat residance time 1 hari. Secara keseluruhan ketika
mengalami residance time 1 hari akurasi parameter dianggap paling baik
dengan akurasi masing-masing sebesar 51% dan 51%. Selain itu, setiap
wilayah memiliki akurasi parameter berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
[AWS] Air Weather Service. 1990. The skew T, log P diagram in analysis
and forecasting. Scott Air Force Base: Air Weather Service Technical
Report
http://www-das.uwyo.edu/~geerts/atsc3032/skewT
.
[9
november 2014]
Aguado Edward, James E. Burt. 2004. Understanding Weather and Climate.
Edisi ke-4. New Jersey : Pearson.
Asep F. 2012. Potensi Parameter Keluaran RAOB (Rawinsonde
Observation Programs) sebagai Indikator Kunci dalam Analisis Curah
Hujan [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Duhah syamsyu, Andrius, Rahmad Tauladani. Metode SWEAT untuk
Perkiraan Kejadian Badai Guntur. Di dalam : Penggunaan Metode
SWEAT Untuk Perkiraan Kejadian Badai Guntur di Atas Kota
Pekanbaru Pada Bulan Oktober hingga November Tahun 2009; 1
Oktober 2010; Pekanbaru. hlm 4. [No abstrak tidak diketahui]
Emanuel, Kerry. 1994. Atmospheric Convection. New York : Oxford
University Press
Haby
J.
2006.
Skew-T.
[terhubung
berkala]
http://www.
theweatherprediction.com /habyhints/ [9 November 2014].
Haklander AJ, A Van Delden. 2003. Thunderstorm predictor and ther skil
for Netherland. Atmosphere Research 67-68:273-299.
Kim HY, Lee DK. 2005. An observational study of mesoscale convective
systems with heavy rainfall over the Korean Penisula. J Weather and
Forecasting 21:125-148
23
24
Lutgens Federick K., Edward J. Tarbuck. 2004. The Atmosphere. Edisi ke-9.
New Jersey : Pearson.
Manurung, Martha R. 2012. Prediktabilitas cuaca jangka pendek ditinjau
dari parameter stabilitas di Jakarta. JTM (19)3 : 138-149
Mayangwulan D, Joko W, Plato MS. 2011. Potensi kejadian badai guntur
berdasarkan parameter kelembaban, stabilitas udara, dan mekanisme
pengangkatan (studi kasus : Bandar udara Frans Kaisiepo Biak). Jurnal
Sains Dirgantara (8)2 : 139-156
Pinto O Jr., IRCA Pinto, KP Naccarato. 2006. Maximum cloud-to-ground
lightning flash densities observed by lightning location systems in the
tropical region: a review.
Atmospheric
Research
84:189200.doi:10.1016/j.atmosres.2006.11.007.
Puspasari, Margareta. 2014. Kandungan Uap Air dan Stabilitas Atmosfer
Sebagai Prediktor Kejadian Badai Guntur [skripsi]. Bogor (ID) : Institut
Pertanian Bogor.
Rohmawati FY. 2009. Analisis Kondisi Atmosfer pada Kejadian Banjir
Menggunakan Data Rawinsonde (Studi Kasus: Kabupaten Bojonegoro).
[skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor
Syaifullah D. 1998. Hubungan antara parameter-parameter data rawinsonde
dengan peluang pertumbuhan awan dan hujan. Jurnal IPTEK Iklim dan
Cuaca 2: 37- 41.
Zoro R, Mefiardhi R. 2005. Lightning performance on overhead distribution
lines: field observation at West Java – Indonesia. Bandung (ID) : ITB
press
24
25
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 November 1993,
merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara, putri dari Bapak Muhammad
Ali dan Ibu Entin Supartini. Tahun 2011 penulis lulus dari SMA KORNITA
Bogor dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan kuliah ke Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN Undangan. Penulis diterima
di Program Studi Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Selama masa perkuliahan penulis aktif mengikuti
egiatan kegiatan kepanitiaan yang disenggelarakan oleh BEM FMIPA dan
HIMAGRETO, seperti Pesta Sains dan Masa Perkenalan Departemen
(MPD).
25
Download