POLA HUBUNGAN ANTARA JUMLAH RETIKULOSIT DENGAN

advertisement
POLA HUBUNGAN ANTARA JUMLAH RETIKULOSIT DENGAN MEAN
CORPUSCULAR VOLUME (MCV)
Oleh
Nugroho Tristyanto
Prodi Analis Kesehatan AAKMAL Malang
ABSTRAK
Retikulosit merupakan eritrosit muda, sehingga jika terjadi peningkatan nilai
hitung jumlah retikulosit maka kemungkinan nilai MCV ( Mean Corpuscular Volume )
juga akan meningkat. Hitung retikulosit merupakan indikator aktivitas sumsum tulang
dan digunakan sebagai diagnosis banding anemia. Banyaknya retikulosit dalam darah tepi
menggambarkan eritropoesis yang hampir akurat. Peningkatan jumlah retikulosit di darah
tepi menggambarkan akselerasi produksi eritrosit dalam sumsum tulang.
Dari hasil uji laboratorium yang telah dilakukan dapat dilihat hubungan MCV (
Mean Corpuscular Volume ) dan nilai jumlah Retikulosit. Pada kurva korelasi nilai
jumlah Retikulosit dan MCV ( Mean Corpuscular Volume ) dapat terlihat bahwa pada
nilai jumlah Retikulosit di atas 1,5 % mulai tampak penurunan nilai MCV ( Mean
Corpuscular ). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan nilai jumlah Retikulosit disetai
juga dengan penurunan nilai MCV ( Mean Corpuscular Volume ). Dari data-data yang
diperoleh masih sulit menentukan hubungan jumlah Retikulosit dan nilai MCV ( Mean
Corpuscular Volume ), karena pada nilai jumlah Retikulosit diatas 1,5 % juga ditemukan
adanya nilai MCV ( Mean Corpuscular Volume ) dalam batas normal. Oeh karena itu,
belum dapat ditentukan bagaimana hubungan nilai jumlah Retikulosit berbanding lurus
atau berbanding terbalik.
Kata Kunci : Retikulosit, MCV( Mean Corpuscular Volume ), Eritrosit
PENDAHULUAN
Retikulosit merupakan eritrosit muda, sehingga jika terjadi peningkatan nilai
hitung jumlah retikulosit maka kemungkinan nilai MCV (Mean Corpuscular Volume)
juga akan meningkat. Hitung retikulosit merupakan indikator aktivitas sumsum tulang
dan digunakan sebagai diagnosis banding anemia. Banyaknya retikulosit dalam darah tepi
menggambarkan eritropoesis yang hampir akurat. Peningkatan jumlah retikulosit di darah
tepi menggambarkan akselerasi produksi eritrosit dalam sumsum tulang. (Riswanto,
2009)
Nilai indeks eritrosit yang terdiri dari MCV (Mean Corpuscular Volume), MCH
(Mean Corpuscular Hemoglobin), MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin
Concentration) juga akan terpengaruh dengan adanya peningkatan jumlah retikulosit.
MCV mengindikasikan nilai rata-rata volume sel darah merah, MCH mengindikasikan
kadar hemoglobin didalam eritrosit tanpa memperhatikan ukurannya, dan MCHC
mengindikasikan konsentrasi hemoglobin per unit volume eritrosit. Dari ketiga nilai
tersebut, yang paling erat kaitannya dengan nilai jumlah retikulosit adalah nilai MCV
(Mean Corpuscular Volume). (Eastham R D. 1984).
Melalui penelitian ini, penulis dapat mengetahui bagaimana pola hubungan antara
Jumlah Retikulosit dan MCV.
Permasalahan bagaimana pola hubungan antara Jumlah Retikulosit dan MCV ?
Tujuan Mengetahui pola hubungan antara Jumlah Retikulosit dan MCV
61
Tinjauan Pustaka
Eritropoesis
Definisi
Eritropoesis adalah proses produksi sel darah merah, yang dimulai di yolk sac
dari embrio dan akhirnya berlanjut sepanjang hidup manusia di sumsum tulang merah.
Bahan yang diperlukan agar eritropoiesis dapat berlangsung maksimal adalah asam amino
(protein), zat besi, vitamin B12 & B6, asam folat, dan mineral kobalt serta nikel.
Kekurangan salah satu zat ini menyebabkan eritropoiesis yang tidak sempurna. (Mary
Louise Turgeon,1993)
Erythropoietin, merupakan glikoprotein yang disintesis terutama oleh ginjal, dan
diproduksi sebagai respon terhadap hipoksia jaringan. Zat ini bertanggung jawab untuk
merangsang eritropoiesis dan selanjutnya meningkatkan sirkulasi eritrosit. (Mary Louise
Turgeon,1993)
Eritrosit secara cepat mengalami beberapa pembelahan mitosis selama proses
pematangan. Setelah stimulasi erythropoietin, sel induk multipotential memulai
serangkaian langkah pematangan. Rubriblast adalah sel yang diidentifikasi pertama dari
proses ini, kemudian menjadi prorubricyte, rubricyte, metarubricyte, dan tahapan
retikulosit dalam sumsum tulang. Retikulosit memasuki sirkulasi darah dan apabila sudah
sepenuhnya matur menjadi eritrosit fungsional. (Mary Louise Turgeon,1993)
Sebuah kerusakan dalam pematangan nukleus dapat terjadi. Hal ini disebut
sebagai pematangan megaloblastik. Dalam kondisi ini, pematangan nukleus yang
merupakan gangguan kemampuan sel untuk mensintesis DNA, sitoplasma biasanya
tertinggal dan berkembang. (Mary Louise Turgeon,1993)
Retikulosit merupakan tahap pertama dalam pengembangan nonnucleated
erythrocytic. Meskipun pada tahap ini, inti telah hilang dari sel, selama RNA ada, maka
sintesis protein dan heme akan tetap berlanjut. Katabolisme utama RNA, ribosom
disintegratation, dan hilangnya mitokondria merupakan tanda transisi dari tahap
retikulosit untuk pematangan penuh eritrosit. (Mary Louise Turgeon,1993)
Tahapan
Turunan dari sel induk multipotential adalah proeritroblas yang secara morfologi
berupa sel-sel bulat, berdiameter sampai 16mikrometer dengan sitoplasma basofilik,
sedang sekitar inti besar yang sering bernukleoli dua. Ketika berdiferensiasi,
sitoplasmanya menjadi semakin basofilik dan pada mikrograf elektron, ternyata
mengandung poliribosom yang makin banyak. (Don W. Fawcett, 2002).
Pembelahan proeritroblas menghasilkan eritroblas basofilik yang sedikit lebih
kecil, dengan sitoplasma sangat basofilik dan inti yang agak lebih kecil dengan lebih
banyak heterokromatin. Pada mikrograf elektron, sitoplasmanya mengandung banyak
poliribosom namun tidak ada bayangan retikulum endoplasma. Sintesis hemoglobin
terjadi di sitoplasma dan dapat dikenali pada mikrograf sebagai partikel sangat halus dan
berdensitas elektron rendah. Pada sediaan yang dibuat untuk mikroskop cahaya,
keberadaannya tertutup oleh basofilia kuat dari sitoplasma yang penuh ribosom. (Don W.
Fawcett, 2002).
Turunan eritroblas basofilik adalah sel lebih kecil yang disebut eritroblas
polikromatofilik. Mereka mudah dikenali oleh kromatinnya yang lebih padat dan oleh
warna sitoplasmanya yang berkisar kelabu-biru dan kehijauan. Tidak ada nukleolus lagi
dan penghentian produksi ribosom disertai hilangnya. Variasi warnanya yang khas dari
sitoplasma mencerminkan perubahan progresif dalam jumlah relatif ribosom (yang
mengikat komponen biru dari campuran pewarna) dan dari hemoglobin (yang berafinitas
terhadap pewarna merah muda, eosin). Eritroblast polikromatofilik adalah sel terakhir
dari keturunan eritroid yang dapat membelah. Konsentrasi ribosom berkurang oleh
62
sitokinesis sementara pengumpulan hemoglobin dalam sitoplasma sel anak yang berlanjut
terus berakibat eosinofilia yang maik kuat. (Don W. Fawcett, 2002).
Sebagai akibat perubahan ini, sel-sel tahap berikut dari eritropoiesis, disebut
eritroblast otokromatik (atau normoblas) memiliki sitoplasma merah muda yang agak
kebiruan. Kondensasi kromatin berlanjut dan intinya sekarang cukup kecil, eksentrik, dan
terpulas kuat. Pada mikrograf elektron, heterokromatin padat terdapat berkelompok besar
dengan sedikit atau tanpa selingan eukromatin. Sitoplasma, kaya hemoglobin, tampak
bergranul halus, tanpa organel kecuali mitokondria. Masih dapat ditemukan kelompok
kecil ribosom yang tersebar luas. Inti eksentrik dari eritroblas otokromatik akhirnya
dikeluarkan, terbungkus sedikit sitoplasma dan sebagian membran sel, meninggalkan
sebuah eritrost tanpa inti. Inti yang tertolak keluar dilahap dan dihancurkan oleh
makrofag dalam stroma sumsum tulang. Saat dilepaskan kedalam peredaran, eritrosit baru
itu belum berwarna merah muda eritrosit dewasa namun agak kehijauan karena
mengandung sedikit ribosom. Jika hapusan darah segar dipulas dengan biru kresil, sisa
ribosom dalam eritrosit polikromatofilik ini membentuk agregat yang tampak sebagai jala
kebiruan dalam sitoplasma yang merah muda. Karenanya eritrosit baru itu disebut
retikulosit. Biasanya ada cadangan retikulosit dalam sumsum yang sedikit lebih banyak
daripada yang dalam peredaran. (Don W. Fawcett, 2002).
Dalam perkembangan lebih lanjut, retikulosit membebaskan diri dari organel
sitoplasma dan unsur membran yang tidak bermanfaat untuk eritrosit yang tidak lebih dari
larutan hemoglobin bermembran. Meskipun modifikasi lanjut ini tak dapat diamatai
dengan mikroskop, mereka dapat dideteksi secara biokimia. Gumpalan ribosom yang
memberi retikulosit itu pemulasan khas diduga dihancurkan intrasel. Sejumlah fungsi
berhubungan dengan membran permukaan hilang, termasuk yang terlibat dalam transport
glukosa dan asam amino. Reseptor bagi protein pengangkut-besi, transferin, juga hilang
dalam transisi dari retikulosit ke eritrosit. Dalam pergantian eritrosit dalam darah, jumlah
yang dilepaskan kedalam peredaran dari sumsum setiap harinya kurang lebih sama
dengan jumlah eritrosit tua dan rusak yang dibuang dan dihancurkan dalam limpa. Besi
yang dibebaskan dalam penghancuran hemoglobin oleh makrofag dalam limpa,
dikembalikan ke sumsum oleh protein transport transferin dan dipakai kembali dalam
sintesis hemoglobin oleh sel eritropoetik. Residu lain dari hemoglobin ditransformasi oleh
hati dan diekskresi sebagai pigmen empedu bilirubin (Don W. Fawcett, 2002).
Retikulosit
Retikulosit merupakan sel darah merah yang tak bernukleus, berdiameter 710mikrometer, mengandung RNA, mitokondria kecil dan ribosom. Ribosom ini terutama
merupakan polyribosom yang memberikan pewarnaan dengan pewarna Romanowsky dan
penampilan retikuler dengan New Methylene Blue. Retikulosit dapat rusak bentuknya
apabila motil dan memiliki batas sel yang tidak beraturan. Denukleasi dari eritroblast
polikromatik akhir dalam parenkim sumsum diikuti oleh migrasi retikulosit, dirangsang
oleh eritropoietin, serta melalui saluran yang berkembang di sel-sel endotel. Sebagai sel
retikulum dewasa, sel ini menjadi lebih sedikit hingga hanya menjadi beberapa butiran
tetap, pematangan ini membutuhkan 1-2 hari di sumsum tulang, kemudian dilanjutkan 24
jam dalam sirkulasi. (John Wiley & Sons, 1973).
63
Gambar 2-2: Retikulosit
Sumber: http://labkesehatan.blogspot.com/2009/12/hitung-retikulosit.html
Sebagai eritrosit yang sedang berkembang, inti akan menjadi lebih dan lebih
kental sampai akhirnya menghilang. Setelah kehilangan inti, suatu eritrosit dewasa tetap
dalam sumsum tulang selama 2 sampai 3 hari sebelum memasuki sirkulasi darah. Pada
saat periode dalam sumsum tulang ini dan saat hari pertama dalam sirkulasi, eritrosit
dewasa ini disebut sebagai retikulosit. (John Wiley & Sons, 1973).
Meskipun retikulosit kekurangan inti, dan mengandung berbagai organel seperti
mitokondria, dan ribosom dalam jumlah besar. Pembentukan ribosom yang baru, akan
berhenti dengan hilangnya inti pada metarubricyte akhir. Meskipun demikian, RNA akan
terbentuk , protein dan sintesis heme terus berlanjut. Selama pematangan retikulosit,
RNA dikatabolisme dan ribosom hancur. Hilangnya ribosom dan mitokondria, bersamaan
dengan hemoglobinization penuh sel, menandai transisi dari tahap retikulosit untuk
pematangan eritrosit secara penuh. (John Wiley & Sons, 1973).
Dalam kondisi normal, jumlah retikulosit dalam sumsum tulang sama dengan
jumlah retikulosit dalam sirkulasi darah. Dalam rangka mempertahankan kelompok
retikulosit dalam sirkulasi yang stabil, sumsum tulang menggantikan jumlah eritrosit yang
telah mencapai masa hidup mereka sepenuhnya. Karena masa hidup normal atau waktu
kelangsungan hidup adalah 120 hari, 1/120th dari jumlah eritrosit hilang setiap hari, dan
jumlah yang sama dari retikulosit dilepaskan ke dalam sirkulasi. (John Wiley & Sons,
1973).
Jika, di bawah stimulus erythropoietin, peningkatan jumlah retikulosit muda
prematur dilepaskan dari sumsum tulang karena kondisi seperti perdarahan akut,
retikulosit inilah yang disebut sebagai stres atau pergeseran retikulosit. Situasi ini analog
dengan penampilan leukosit matang dalam darah perifer selama stres karena infeksi.
(John Wiley & Sons, 1973).
Hitung Jumlah Retikulosit
Pemeriksaan hitung retikulosit dilakukan untuk mengukur jumlah sel darah
merah muda dalam volume darah tertentu. Pada kondisi normal, jumlah retikulosit
mencapai 1% dari total jumlah sel darah merah. Peningkatan pembentukan retikulosit
merupakan respon sumsum tulang terhadap kondisi tubuh yang memerlukan lebih banyak
sel darah merah seperti yang terjadi pada kondisi anemia. Dengan demikian, pemeriksaan
ini merupakan penilaian terhadap fungsi sumsum tulang. Hitung retikulosit dinyatakan
sebagai prosentase jumlah retikulosit per 1000 eritrosit. (John Wiley & Sons, 1973).
Prinsip tes : Retikulosit adalah eritrosit dewasa yang mewakili tahap
perkembangan antara normoblast dan sel dewasa. Retikulosit merupakan sel tidak berinti
yang masih mempertahankan beberapa zat basofilik sehingga muncul sebagai retikulum
ketika terkena pengecatan supravital. (John
WileyRetikulosit
& Sons, 1973)
Jumlah
Jumlah retikulosit (%) =
X 100
1000 eritrosit
Nilai Rujukan adalah 0,5 - 1,5 %
64
Interpretasi : Tingkat retikulositosis sebanding dengan aktivitas erythropoietic.
Peningkatan aktivitas dengan jumlah retikulosit tinggi mungkin ditemukan setelah
perdarahan akut, anemia hemolitik, dan pengobatan dengan zat hemopoietic. Jumlah
retikulosit rendah berarti penurunan eritropoiesis. Ketika anemia pernisiosa diperlakukan
terapi dan hasilnya sukses dalam meningkatan jumlah retikulosit, namun jika retikulosit
tidak meningkat, dapat dikaitkan adanya kekurangan zat besi. Jumlah retikulosit yang
lebih tinggi dapat terjadi ketika anemia yang lebih parah. Jumlah retikulosit rendah yang
khas pada anemia terkait dengan eritropoiesis tidak efektif, anemia aplastik dan penyakit
di Guglielmo. (John Wiley & Sons, 1973).
MCV (Mean Corpuscular Volume) atau volume eritrosit rata-rata
MCV mengindikasikan ukuran eritrosit, yaitu : mikrositik (MCV lebih kecil
daripada normal), normositik (MCV normal), dan makrositik (MCV lebih besar daripada
normal). Nilai MCV diperoleh dengan mengalikan hematokrit 10 kali lalu membaginya
dengan jumlah eritrosit dalam juta. (Hardjoeno, 2006).
Tes MCV merupakan salah satu dari tes RBC yang menggunakan metode
Impedans.
Prinsip Tes RBC : Sampel yang diencerkan dengan larutan elektrolit dialirkan melalui
microapertura yang telah di kalibrasi. Dua elektroda yang diletakkan di masing-masing
apertura di aliri oleh aliran listrik secara kontinyu. Pada saat sel melewati apertura.
Interpretasi :
- Penurunan nilai MCV terjadi pada pasien anemia mikrositik, Defisiensi besi, arthritis
rheumatoid, talasemia, anemia sel sabit, HBC, keracunan timah, dan radiasi.
- Peningkatan nilai MCV terjadi pada pasien anemia aplastik, anemia hemolitik, anemia
pernisiosa, anemia defisiensi asam folat, penyakit hati kronis, hipotiroidisme, efek obat
vitamin B12, antikonvulsan, dan antimetabolik
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
observational analitik yaitu metode yang menganalisis data sekunder yang sudah
ada serta melakukan penelitian. Data diambil secara acak tanpa ketentuan waktu.
Populasi penelitian ini adalah pasien dengan Hb < 10 g/dl yang juga periksa Jumlah
Retikulosit dan Nilai MCV di Laboratorium Rumah Sakit Panti Nirmala. Sampel
yang
digunakan sebanyak 23 sampel dari pasien yang memeriksakan darah lengkap dan Jumlah
Retikulosit di Laboratorium Rumah Sakit Panti Nirmala.
Kriteria Inklusi; a. Pasien dari semua golongan umur, b.
Pasien
jenis
kelamin
perempuan dan laki-laki, c. Pasien dengan kadar Hb < 10 g/dl, d. Pasien dengan Nilai
Jumlah Retikulosit > 1,5 %
Kriteria Eksklusi; a. Pasien dengan Hb ,Jumlah Retikulosit, Nilai MCV normal
Pengolahan data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan kurva korelasi antara
Jumlah Retikulosit dengan Nilai MCV. Sehingga dapat diketahui hubungan antara Jumlah
Retikulosit dan Nilai MCV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Sampel penelitian sebanyak 23 pasien yang terdiri dari 10 laki-laki dan 13
perempuan dengan rentang umur yang tidak ditentukan. Nilai Jumlah Retikulosit tertinggi
untuk laki-laki adalah 3,6% dengan MCV 76,3 fl . Nilai Jumlah Retikulosit terendah
untuk laki-laki 1,6% dengan MCV 88,1 fl. Nilai Jumlah Retikulosit tertinggi untuk
perempuan adalah 4,6% dengan MCV 94,3 fl . Nilai Jumlah Retikulosit terendah untuk
65
perempuan adalah 1,4% dengan MCV 61,2 fl. Data yang didapatkan dari 23 pasien yang
melakukan pemeriksaan di Laboratorium Rumah Sakit Panti Nirmala, terlihat bahwa 13%
Nilai MCV mengalami peningkatan, 48% mengalami penurunan , serta 39% dalam batas
normal.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari pola hubungan antara Jumlah Retikulosit
dengan nilai MCV, oleh karena itu dibuat kurva korelasi berdasarkan nilai antara MCV
dengan Nilai Jumlah Retikulosit yang merupakan indikator proses eritropoesis.
Tabel. 1 Analisa Statistik
Correlations
jumlah
mcv
retikulosit
Mcv
Pearson Correlation
1
,089
Sig. (2-tailed)
,686
N
23
23
jumlah retikulosit Pearson Correlation
,089
1
Sig. (2-tailed)
,686
N
23
23
Pengambilan Keputusan
Dasar pengambilan keputusan :
1. Berdasar nilai koefisien korelasi (r) berkisar antara 1 sampai -1, nilai semakin
mendekati 1 atau -1 berarti hubungan antara dua variabel semakin kuat, sebaliknya
nilai mendekati 0 berarti hubungan antara dua variabel semakin lemah. Nilai positif
menunjukkan hubungan searah (X naik maka Y naik) dan nilai negatif menunjukkan
hubungan terbalik (X naik maka Y turun).
Interpretasi koefisien korelasi sebagai berikut:
0,00
- 0,199
= sangat rendah
0,20
- 0,399
= rendah
0,40
- 0,599
= sedang
0,60
- 0,799 = kuat
0,80
- 1,000
= sangat kuat
2. Berdasar Uji signifikansi koefisien korelasi,digunakan untuk menguji apakah
hubungan yang terjadi itu berlaku untuk populasi.

Menentukan hipotesis
HI : Tidak ada hubungan secara signifikan antara MCV dan jumlah retikulosit

Menentukan tingkat signifikansi
Tingkat signifikansi (Uji t) 10%, karena output untuk uji dua sisi (two tailed)
maka batas kritis menerima atau menolak HI adalah 10% : 2 = 5% (0,05).

Kriteria Pengujian
HI diterima jika Signifikansi > 0,05
HI ditolak jika Signifikansi < 0,05

Membandingkan signifikansi
Signifikansi Koefisien Korelasi Sederhana (Uji t) 0,686 > 0,05
Hasil korelasi antara MCV dan jumlah retikulosit dengan menggunakan program
SPSS menunjukkan hasil 0,089. Hal ini menunjukkan korelasi yang sangat rendah dan
tidak ada hubungan secara signifikan antara MCV dan jumlah retikulosit karena nilai
signifikansi Koefisien Korelasi Sederhana (Uji t) lebih besar dari 0,05.
66
Pembahasan
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah mengambil sampel acak
berdasarkan nilai Hb yang rendah (kurang dari normal) dan juga Nilai Jumlah Retikulosit
> 1,5% (lebih dari normal) serta nilai MCV < 80 fl (kurang dari normal).
Penelitian ini mengambil populasi sebanyak 23 pasien yang memeriksakan Hb,
MCV dan sekaligus memeriksakan Jumlah Retikulosit di Laboratorium Rumah Sakit
Panti Nirmala Malang. Dari data tersebut, dibuat kurva korelasi berdasarkan nilai MCV
dan nilai Jumlah Retikulosit kemudian dianalisis hubungan antara keduanya.
Pada nilai Hb yang rendah disertai dengan penurunan MCV dan peningkatan nilai
Jumlah Retikulosit. Hal ini disebabkan karena banyaknya produksi sel muda dari sumsum
tulang yang telah mengalami pematangan menjadi retikulosit, dimana retikulosit adalah
sel muda yang terdapat dalam darah tepi. Kehilangan darah secara menetap (kronik)
seperti gastritis,neoplasma,polip,varises esophagus, hemoroid menyebabkan gangguan
eritropoesis sehingga absorbsi besi dari usus kurang yang mengakibatkan jumlah sel
darah merah sedikit dan kandungan hemoglobin menjadi rendah. Pada kurva korelasi
Jumlah Retikulosit dengan MCV dapat terlihat bahwa nilai Jumlah Retikulosit diatas
1,5% mulai tampak penurunan nilai MCV. Hal ini menunjukkan bahwa pada peningkatan
nilai Jumlah Retikulosit disertai juga dengan penurunan nilai MCV. Kondisi ini
disebabkan karena pada hemoglobin yang kurang dari 10 g/dl, eritropoietin menstimulasi
sumsum tulang menghasilkan produksi sel yang
morfologinya tidak normal sehingga sel-selnya akan menjadi mikrositik hipokromik dan
berpengaruh pada nilai MCV. Selain itu, sumsum tulang akan memproduksi sel yang
belum matur ke pembuluh darah seperti Retikulosit sehingga nilai Jumlah Retikulosit
meningkat. Dari data-data yang diperoleh masih sulit menentukan hubungan jumlah
Retikulosit dan nilai MCV. Selain itu masih banyak faktor-faktor yang perlu diperhatikan
seperti adanya data mengenai kondisi medis lain yang mungkin menyertai pasien.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari data-data yang diperoleh dapat dilihat hubungan antara MCV dan nilai
Jumlah Retikulosit. Pada kurva korelasi nilai Jumlah Retikulosit dan MCV dapat terlihat
bahwa pada nilai Jumlah Retikulosit di atas 1,5% mulai tampak penurunan nilai MCV.
Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan nilai Jumlah Retikulosit disertai juga dengan
penurunan nilai MCV. Dari data-data yang diperoleh masih sulit menentukan hubungan
jumlah Retikulosit dan nilai MCV, karena pada nilai Jumlah Retikulosit diatas 1,5% juga
ditemukan adanya nilai MCV dalam batas normal serta peningkatan nilai MCV. Oleh
karena itu, belum dapat ditentukan bagaimana hubungan nilai Jumlah Retikulosit
berbanding lurus atau berbanding terbalik.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara MCV dan nilai
Jumlah Retikulosit.
2. Untuk penelitian lebih lanjut, akan sangat baik bila disertai dengan data laboratorium
lainnya seperti morfologi sel darah merah.
3. Kesehatan merupakan suatu aset yang sangat berharga dalam hidup kita, oleh karena
itu sebaiknya setiap individu menjaga kesehatan tubuhnya dengan sebaik mungkin.
67
DAFTAR PUSTAKA
Dacie JV and Lewis SM. Practical haematology. Ed 8. Churchill Livingstone,
Edinburgh : 1995.
Eastham RD. 1984. Clinical Haematology . Edisi ke-6. Bristol :
Wright.
Fawcett Don W, 2002, Text Book of Histology (edisi bahasa Indonesia, alih
bahasa Tambayong J.), edisi 12, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Hardjoeno, dkk. 2006. Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik. Makassar
: Hasanudin University Press.
John Wiley & Sons. 1973. Practical Clinical Hematology Interpretations and
Techniques. United States of America : A Wiley Biomedical-Health
Publication ; page 307, 308.
Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. Metabolisme zat gizi sumber, fungsi dan
kebutuhan bagi tubuh manusia . Jilid II Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1993
: 151 – 158.
Riswanto.
2009.Indeks
Eritrosit-Tes
Hematologi.
Diakses
dari
http://labkesehatan.blogspot.com/2009/12/indeks-eritrosit.html .Tanggal 15
Desember 2012.
Turgeon, Mary Louise. 1993. Clinical hematology : Theory and Procedures (2nd
ed.). United States of America : Little, Brown and Company ; page 57, 60, 61.
68
Download
Study collections