HEMATOLOGI MENGHITUNG JUMLAH RETIKULOSIT KELOMPOK 4 A ANGGOTA : NI KADEK LULUS SARASWATI (P07134013007) NI WAYAN DIAN NOVIANI (P07134013013) BENNY TRESNANDA (P07134013027) LUH PUTU SUCIANA CANDRA DEWI (P07134013037) I.G.A TARI DIVA PRADNYA DEWI (P07134013047) KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR JURUSAN D-III ANALIS KESEHATAN TAHUN AKADEMIK 2014/2015 MENGHITUNG JUMLAH RETIKULOSIT I. TUJUAN a. Tujuan Intruksional Umum 1. Untuk mengetahui jumlah retikulosit dalam darah 2. Untuk mengetahui metode penghitungan jumlah retikulosit dalam darah b. Tujuan Intruksional Khusus 1. Untuk mengetahui dan memahami penghitungan jumlah retikulosit dengan metode supravital 2. Untuk dapat melaksanakan penghitungan jumlah retikulosit dengan metode supravital 3. Untuk dapat menginterpretasikan hasil penghitungan jumlah retikulosit dalam darah II. METODE Hitung retikulosit umumnya menggunakan metode pewarnaan supravital. Sampel darah dicampur dengan larutan brilliant cresyl blue (BCB) atau new methylene blue maka ribosom akan terlihat sebagai filament berwarna biru. Jumlah retikulosit dihitung per 1000 eritrosit dan dinyatakan dalam %, jadi hasilnya dibagi 10. III. PRINSIP Retikulosit dalam darah diwarnai dengan cara supravital, kemudian jumlahnya dibandingkan dengan jumlah eritosit dan dinyatakan dalam % atau promil. IV. DASAR TEORI Darah merupakan jaringan cair yang sangat penting bagi manusia yang memiliki banyak kegunaan untuk menunjang kehidupan. Tanpa darah yang cukup seseorang dapat mengalami gangguan kesehatan dan bahkan dapat mengakibatkan kematian. Darah terdiri atas dua bagian, bagian cair yang disebut plasma dan unsur –unsur padat yaitu sel-sel darah. Darah membentuk 6 sampai 8% dari berat badan tubuh total, volume darah secara keseluruhan kira – kira 5 liter. Tiga jenis sel darah utama adalah sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping darah (trombosit). Cairan kekuningan yang membentuk medium cairan darah yang disebut plasma darah membentuk 55% dari volume darah total. Sedangkan 45% sisanya adalah sel darah. Eritrosit menempati bagian besar volumenya yaitu sekitar 99%, trombosit (0,6 – 1,0%) dan leukosit (0,2%). (Ronald A.Sacher, Richard A.McPherson, 2004; Evelyn C.Pearce, 1979) Macam – macam hematopoiesis Proeritroblas Basofilik Eritroblas Sel eritrosit Polikromatik Eritroblas Normoblas Hematopoesis Retikulosit Eritrosit Leukosit Granulosit Sel leukosit Leukosit non granuler Seri Eritrosit (Eritropoesis). Perkembangan eritrosit ditandai dengan penyusutan ukuran (makin tua makin kecil), perubahan sitoplasma (dari basofilik makin tua acidofilik), perubahan inti yaitu nukleoli makin hilang, ukuran sel makin kecil, kromatin makin padat dan tebal, warna inti gelap. 9 Tahapan perkembangan eritrosit yaitu sebagai berikut : a. Proeritroblas Proeritroblas merupakan sel yang paling awal dikenal dari seri eritrosit. Proeritroblas adalah sel yang terbesar, dengan diameter sekitar 15-20μm. Inti mempunyai pola kromatin yang seragam, yang lebih nyata dari pada pola kromatin hemositoblas, serta satu atau dua anak inti yang mencolok dan sitoplasma bersifat basofil sedang. Setelah mengalami sejumlah pembelahan mitosis, proeritroblas menjadi basofilik eritroblas. b. Basofilik Eritroblas Basofilik Eritroblas agak lebih kecil daripada proeritroblas, dan diameternya ratarata 10μm. Intinya mempunyai heterokromatin padat dalam jala-jala kasar, dan anak inti biasanya tidak jelas. Sitoplasmanya yang jarang nampak basofil sekali. c. Polikromatik Eritroblas (Rubrisit) Polikromatik Eritoblas adalah Basofilik eritroblas yang membelah berkali-kali secara mitotris, dan menghasilkan sel-sel yang memerlukan hemoglobin yang cukup untuk dapat diperlihatkan di dalam sediaan yang diwarnai. Setelah pewarnaan Leishman atau Giemsa, sitoplasma warnanya berbeda-beda, dari biru ungu sampai lila atau abu-abu karena adanya hemoglobin terwarna merah muda yang berbeda-beda di dalam sitoplasma yang basofil dari eritroblas. Inti Polikromatik Eritroblas mempunyai jala kromatin lebih padat dari basofilik eritroblas, dan selnya lebih kecil. d. Ortokromatik Eritroblas (Normoblas) Polikromatik Eritroblas membelah beberapa kali secara mitosis. Normoblas lebih kecil daripada Polikromatik Eritroblas dan mengandung inti yang lebih kecil yang terwarnai basofil padat. Intinya secara bertahap menjadi piknotik. Tidak ada lagi aktivitas mitosis. Akhirnya inti dikeluarkan dari sel bersama-sama dengan pinggiran tipis sitoplasma. Inti yang sudah dikeluarkan dimakan oleh makrofagmakrofag yang ada di dalam stroma sumsum tulang e. Retikulosit Retikulosit adalah sel-sel eritrosit muda yang kehilangan inti selnya, dan mengandung sisa-sisa asam ribonukleat di dalam sitoplasmanya, serta masih dapat mensintesis hemoglobin. (Child, J.A, 2010 ; Erslev AJ, 2001) f. Eritrosit Eritrosit merupakan produk akhir dari perkembangan eritropoesis. Sel ini berbentuk lempengan bikonkaf dan dibentuk di sumsum tulang. Pada manusia, sel ini berada di dalam sirkulasi selama kurang lebih 120 hari. Jumlah normal pada tubuh laki – laki 5,4 juta/μl dan pada perempuan 4,8 juta/μl. setiap eritrosit memiliki diameter sekitar 7,5 μm dan tebal 2 μm. (Ganong, William F.1998) Retikulosit adalah sel-sel eritrosit muda yang telah kehilangan inti sel, dan mengandung sisa-sisa asam ribonukleat di dalam sitoplasmanya, serta masih dapat mensintesis hemoglobin.(Brown, 1973: 111-116) Retikulosit di dalam perkembangannya melalui 6 tahap: pronormoblast, basofilik normoblas, polikromatofilik normoblas, ortokromik normoblas, retikulosit, dan eritrosit. Dalam keadaan normal keempat tahap pertama terdapat pada sumsum tulang. Retikulosit terdapat baik pada sumsum tulang maupun darah tepi. Di dalam sumsum tulang memerlukan waktu kurang lebih 2 – 3 hari untuk menjadi matang, sesudah itu lepas ke dalam darah. (Rodak dan Bell, 2002: 202) PERKEMBANGAN DAN PEMATANGAN RETIKULOSIT Selama proses eritropoiesis sel induk eritrosit yang paling tua atau late-stage erytroblasts akan mengalami pematangan dengan menghilangnya inti sehingga menjadi retikulosit. Dalam periode beberapa hari proses pematangan ini ditandai dengan: (1) penyempurnaan pembentukan hemoglobin dan protein lainya seperti halnya SDM yang matang; (2) adanya perubahan bentuk dari besar kelebih kecil, unifom dan berbentuk biconcave discoid; dan (3) terjadinya degradasi protein plasma dan organel internal serta residual protein lainnya. Bersamaan dengan adanya perubahan intrinsik ini retikulosit akan bermigrasi kesirkulasi darah tepi. Namun demikian populasi retikulosit ini bukanlah sesuatu yang homogen oleh karena adanya tingkatan maturasi yang berbeda dari retikulosit tersebut. Dengan meningkatnya rangsangan eritropoisis seperti misalnya adanya proses perdarahan atau hemolisis, jumlah dan proporsi dari sel retikulosit muda akan meningkat baik didalam sumsum tulang maupun didarah tepi. Ada perbedaan masa hidup antara retikulosit normal dan retikulosit muda (imatur) yaitu membran retikulosit imatur akan lebih kaku dan tidak stabil, disamping itu retikulosit imatur ini masih mempunyai reseptor untuk protein adesif sedangkan retikulosit normal telah kehilangan reseptor ini begitu sel ini bermigrasi ke perifer. Suatu studi memperkirakan lama waktu tinggal retikulosit disumsum tulang sebelum memasuki sirkulasi darah tepi bervariasi antara 17 jam pada tikus normal sampai 6,5 jam pada tikus yang menderita anemia. Walaupun retikulosit baik di sumsum tulang maupun di darah tepi bisa dipisahkan dari kontaminasi sel yang sama dari kompartemen yang berbeda akan tetapi pemisahan ini tidak sempurna sekali sehingga metode untuk membedakan masih perlu disempurnakan untuk mengetahui dengan tepat fungsi fisiologis dan maturasi dari retikulosit. Diperkirakan waktu pematangan retikulosit adalah berkisar antara 2-5 jam, tergantung metode yang dipakai, spesies yang dipelajari dan juga tingkat stimulasi proses eritropoesis tersebut. Faktor yang menentukan kapan retikulosit keluar dari sumsum tulang ke sirkulasi masih belum jelas diketahui. Ada studi yang mendapatkan bahwa perbedaan spesies dapat menentukan perbedaan jumlah retikulosit yang beredar didarah tepi, dimana pada tikus dan babi didapatkan jumlah retikulosit yang banyak sedang pada manusia, anjing dan kucing jumlahnya sedikit bahkan pada kuda hampir tidak didapatkan atau sedikit sekali. Perbedaan yang unik ini bisa dikenali dengan metode manual dengan pengecatan supravital seperti metode biru metilen. Retikulosit paling muda (imatur) adalah yang mengandung ribosome terbanyak, sebaliknya retikulosit tertua hanya mempunyai beberapa titik ribosome. Pada pewarnaan Wright retikulosit tampak sebagai eritrosit yang berukuran lebih besar dan berwarna lebih biru daripada eritrosit. Retikulum terlihat sebagai bintik- bintik abnormal. Polikromatofilia yang menunjukkan warna kebiru-biruan dan bintikbintik basofil pada eritrosit, sebenarnya disebabkan oleh bahan ribosome tersebut. Hitung retikulosit merupakan indicator aktivitas sumsum tulang dan digunakan untuk mendiagnosis anemia. Banyaknya retikulosit dalam darah tepi menggambarkan eritropoesis yang hampir akurat. Peningkatan jumlah retikulosit di darah tepi menggambarkan akselerasi produksi eritrosit dalam sumsum tulang. Sebaliknya, hitung retikulosit yang rendah terus-menerus dapat mengindikasikan keadaan hipofungsi sumsum tulang atau anemia aplastik. Pemeriksaan retikulosit dapat menggunakan dua cara yaitu dengan sediaan metode basah dan sediaan metode kering, untuk sediaan dengan metode basah tepat dipakai dalam laboratorium rutin karena memiliki keuntungan, yaitu tidak memerlukan waktu yang terlalu lama, di inkubasi, mudah dalam pembuatan sediaan, selain menggunakan BCB 1% dalam methanol, dapat juga menggunakan BCB 1% dalam NaCl. Sedang kerugiannya, yaitu pada saat pembacaan dan penghitungan jumlah retikulosit, komponen dan jenis sel-sel darah masih dapat bergerak, sehingga menyebabkan sel-sel tersebut saling bertumpukan. Sediaan metode kering memiliki keuntungan, yaitu pada proses pembacaan dan penghitungan yang mudah, eritrosit menyebar dan kerugian pada pemeriksaan retikulosit dengan metode kering terletak pada waktu yang memerlukan inkubasi 15-30 menit, sehingga menyebabkan proses pemeriksaan lebih lama (Subowo, 2002). V. ALAT DAN BAHAN a. Alat 1. Objek glass 2. Cover glass 3. Tabung reaksi kecil 4. Pipet Pasteur 5. Mikroskop b. Bahan 1. Darah EDTA c. Reagen Reagen pewarna dengan formula sebagai berikut : 1. Larutan brilliant crecyl blue 1 g 2. NaCl 0,85 g 3. Citrat natricus 0,40 g 4. Aquadest 100 mL VI. PROSEDUR KERJA 1. Ditetesi darah dengan antikoagulan EDTA dicampur dengan 2 tetes larutan pewarna dalam tabung reaksi kecil lalu dikocok dan ditunggu selama 15 menit. 2. Dibuat sediaan basah atau kering dari campuran tadi. a. Sediaan basah 1) Satu tetes campuran tadi diteteskan di atas objek glass 2) Lalu ditutup dengan cover glass, kemudian dihitung di bawah mikroskop b. Sediaan kering 1) Diambil 1 tetes campuran tadi dan dibuat hapusan di objek glass 2) Dari sediaan ini bisa langsung dihitung, dapat juga diwarnai dahulu dengan Wright , kemudian baru dihitung di bawah mikroskop 3. Persentanse dari jumlah retikulosit Kadar retikulosit (%) = Jumlah retikulosit 1000 eritrosit × 100% Retikulosit per L darah : Kadar % Jumlah eritrosit per L darah VII. Nilai Rujukan Dewasa : 0.5 - 1.5 % Bayi baru lahir : 2.5 - 6.5 % Bayi : 0.5 - 3.5 % Anak : 0.5 - 2.0 % VIII. Interpretasi Hasil Peningkatan jumlah retikulosit yang disertai kadar HB normal mengindikasikan adanya penghancuran atau penghilangan eritrosit berlebihan yang diimbangi dengan peningkatan sum-sum tulang. Peningkatan retikulosit disertai dengan kadar HB yang rendah menunjukkan bahwa respon tuubuh terhadap anemia tidak adekuat. Penyakit yang disertai peningkatan jumlah retikulosit antara lain anemia hemolitik, anemia sel sabit, talasemia mayor, leukimia, eritroblastik feotalis, HBC dan D positif, kehamilan, dan kondisi paska pendarahan berat. Penurunan jumlah retikulosit yang seharusnya tinggi terjadi pada krisis aplastik yaitu kejadian dimana destruksi eritrosit tetap berlangsung sementara produksi eritrosi terhenti, misalnya pada anemia hemolitik kronis karena HBS, anemia pernisiosa, anemia defisiensi asam folat, anemia aplastik, terapi radiasi, hipofungsi andenocortical, hipofungsi hipofise anterior, dan sirosis hati. IX. Faktor-faktor yang mempengaruhi temuan laboratorium 1. Bila hematokritnya rendah maka perlu ditambahkan darah 2. Cat yang tidak disaring menyebabkan pengendapan cat pada sel-sel eritrosit sehingga terlihat seperti retikulosit 3. Menghitung di daerah yang terlalu padat X. 4. Peningkatan kadar glukose akan mengurangi pewarnaan Sumber Kesalahan Pemeriksaan Retikulosit 1. Tahap Pra Analitik Pengambilan sampel darah vena a. Menggunakan jarum dan spuid yang basah b. Menggunakan ikatan pembendung terlalu kuat dan lama, sehingga menyebabkan hemokonsentrasi. c. Terjadinya bekuan dalam spuid karena lambatnya kerja. d. Terjadinya bekuan dalam botol karena darah tidak tercampur tepat dengan antikoagulan. (Gandasoebrata, R, 2007) 2. Tahap Analitik Pembuatan Darah Apus Faktor – faktor yang mempengaruhi ketidakberhasilan dalam pembuatan darah apus yaitu : a. Darah yang cepat menggumpal atau mengering saat diteteskan pada kaca objek. b. Kurangnya pengalaman dan kesabaran praktikan. c. Ketebalan darah apus mempengaruhi sel.19 d. Lama waktu dalam pewarnaan juga dapat berpengaruh, karena daya serap jaringan berbeda. e. Cat yang tidak disaring akan membentuk endapan pada eritrosit. f. Perubahan pH cat ke arah asam akan menyebabkan retikulum berbentuk granula halus, sedangkan perubahan ke arah alkali akan menyebabkan retikulum berbentuk noktah. 3. Tahap Pasca Analitik Pada tahap ini didapatkan hasil penghitungan retikulosit, namun perlu diperhatikan juga hal-hal yang dapat menimbulkan kesalahan penghitungan sebagai berikut : a. Pengendapan cat pada eritrosit akan tampak sebagai retikulosit, sehingga kemungkinan terhitung sebagai retikulosit. b. Benda inklusi pada eritrosit ditafsirkan sebagai retikulosit, misalnya basofilik stipling. DAFTAR PUSTAKA Gandasoebrata, R. 1984. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta : Dian Rakyat Sutedjo, AY. 2006.Mengenal Penyakit Melalui Pemeriksaan Laboratorium. Yogyakarta:Amara Books. Savage., et al, 1989. Analytic inaccuracy and imprecision in reticulocyte counting: a preliminary report from the College of American Pathologists ReticulocyteProject. J Blood Cells. 1985;11(1):97-112. Watanabe, et al. 1994. Reticulocyte maturity as an indicator for estimating qualitative abnormality of eritropoesis. J Clin Pathol. 1994 Aug;47(8):736-9. Winarno, AA., Setyawati. IPR (Indeks Produksi Retikulosit) pada Berbagai Klasifikasi Anemia. Makalah Bebas Nasional, 2002.