UNIVERSITAS INDONESIA GROUPTHINK DALAM DINAMIKA

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
GROUPTHINK DALAM DINAMIKA KOMUNIKASI POLITIK
(Studi Kasus Pembahasan dan Pengambilan Keputusan tentang Definisi Badan
Publik dalam RUU Keterbukaan Informasi Publik di Komisi I DPR RI
Masa Bakti 2004-2009)
DISERTASI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor dalam
Bidang Ilmu Komunikasi
LISA ADHRIANTI
1006777311
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA
JUNI 2015
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
KATA PENGANTAR / UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahirabbil a’lamin puji syukur kepada Allah SWT, Tuhan pemilik seluruh
alam, sumber segala ilmu pengetahuan, yang Maha Pengasih lagi Maha Mengetahui setiap
persangkaan hambanya, karena hanya atas izinNYA lah disertasi yang sangat dinanti dalam
rangkaian perjuangan, pengorbanan, dan kepasraahan diri ini akhirnya dapat terselesaikan
dengan baik, dan semoga akan berarti bagi negeri. Aamiin.
Terima kasih pula atas nikmat limpahan ilmu dalam berkehidupan yang telah
dicukupkan dari junjungan besar Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para
sahabatnya, begitu banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari berbagai sunnahnya
sebagai penyemangat bagi saya untuk selalu yakin bahwa menyelesaikan disertasi ini
insyaAllah adalah juga bernilai ibadah.
Disertasi yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor (Dr)
Ilmu Komunikasi dari Program Pasacasarjana Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia ini berawal dari ketertarikan saya terhadap
fenomena komunikasi kelompok dalam situasi pengambilan keputusan politik di tanah air
yang kerap menyisakan berbagai ‘misteri’ di dalam dan kontroversi diluar. Berbekal
keyakinan setelah melakukan telaah ilmiah maka saya memilih landasan teori pemikiran
kelompok (groupthink) dari Irving Janis bagi penelitian ini. Menurut saya groupthink adalah
fenomena menarik dan berpotensi untuk selalu ada dalam aktivitas komunikasi kelompok.
Kelegaan atas rampungnya disertasi ini tidak lepas dari peran orang-orang hebat yang
yang telah banyak menunjukkan kepedulian, mencurahkan doa, memberikan dukungan
pemikiran maupun perhatian terhadap karya yang masih jauh dari sempurna ini. Tanpa
adanya campur tangan mereka mungkin saya masih berada dalam banyak keraguan sehingga
sempat membuat saya ‘diam’ dan berpaling dari berpikir untuk disertasi ini selama kurun
waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, penghargaan dan ucapan terima kasih saya tujukan
kepada :
1. Promotor Prof. Dr. Ilya Revianti Sunarwinadi, M.Si yang biasa saya panggil “Prof
Cantik” karena begitu saya mengagumi kecantikan fisik dan hatinya yang berpadu
sempurna dengan keluasan ilmunya. Sikap bijak dan kelembutannya dalam
membimbing mampu menenangkan saya dengan segala kebingungan ilmiah yang
kerap melanda. Terima kasih atas waktu yang telah banyak tersita untuk saya, semoga
Allah membalas setiap kebaikan yang telah diberikan.
2. Ko-Promotor, Prof. Ikrar Nusa Bhakti, Ph.D., APU yang mengesankan saya dengan
kejujuran pendapat dan kritiknya yang membangun bagi perkembangan penelitian
disertasi saya. Saya merasa beliau telah memerankan devil’s advocate yang selalu
menguji dan menantang saya untuk konsisten dan paham secara detail akan kasus
penelitian disertasi ini. Pengalaman beliau sebagai peneliti politik LIPI sangat
membantu mengasah ketajaman pemikiran saya tentang politik agar dapat
menganalisis teori yang digunakan dengan baik. Ketulusan, kesabaran dan dorongan
semangat dari Promotor dan ko-Promotor handal ini sangat berharga bagi
penyelesaian studi saya.
3. Ketua Dewan Penguji Prof. Isbandi R. Adi, M.Kes., Ph.D. Terima kasih Prof, semoga
sukses selalu membawa nama FISIP UI menjadi yang terbaik.
4. Penguji disertasi, Prof. M. Alwi Dahlan, Ph.D yang telah sejak awal rencana
penyusunan disertasi ini berkenan banyak meluangkan waktu untuk memberikan
saran-saran bagi penelitian. Melalui argumen-argumen beliau tentang teori groupthink
dalam berbagai fenomena komunikasi, membuat saya semakin percaya diri
mengerjakan disertasi ini.
iii
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
5. Penguji disertasi, Prof. Alois A. Nugroho, Ph.D, yang telah banyak memberikan
pemikiran yang sangat bermanfaat bagi penyempurnaan disertasi ini melalui pendapat
kritis nya.
6. Penguji disertasi, Prof. Dr. Billy K. Sarwono, MA, (Bu Oni) yang sekaligus sebagai
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi. Bu Oni senantiasa mengingatkan saya
dan rekan lain yang masih belum rampung disertasinya agar memiliki target waktu
yang jelas bagi disertasi. Dengan himbauan bahasa yang lembut, senyum manis dan
tentunya pelukan hangatnya kepada saya yang telah saya kenal kehangatannya sejak
mengikuti perkuliahan S2 bu Oni mampu semakin menguatkan tekad saya untuk
menyelesaikan disertasi ini ditengah berbagai problema ibu rumah tangga yang saya
hadapi dan beliaulah tempat curhat saya akan hal itu. Pengertiannya membuat saya
haru, terima kasih Bu Oni.
7. Penguji disertasi Prof. Dr. Sasa Djuarsa Sendjaja, MA yang juga banyak melatih
kemampuan berpikir bagi penelitian disertasi dari saya mengikuti mata kuliah seminar
proposal disertasi yang diampunya hingga saya melalui berbagai tahapan ujian yang
disaksikan olehnya. Sifat baik beliau untuk selalu memberikan kemudahan bagi para
mahasiswa membuat saya menjadi nyaman menulis disertasi ini. Terima kasih Prof.
8. Penguji disertasi, Dr. Pinckey Triputra, M.Sc yang sekaligus sebagai Ketua
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI. Berbagai masukan yang diberikan bagi
keberlanjutan penelitian ini menjadi sangat berguna bagi saya. Beberapa kali beliau
bersedia saya temui dengan senang hati untuk konsultasi mengenai kualitas teori dan
metodologi disela kesibukan beliau. Terima kasih yang sebesar-besarnya.
9. Narasumber penelitian ini : Bapak Paulus Widiyanto, Bapak Deddy Jamaluddin
Malik, Bapak Sidharto Dhanusubroto, Bapak Effendy Choirie, Bapak Hajriyanto
Thohari, Bapak Tosari Widjaja, Mas Agus Sudibyo, Bapak Ismail Chawidu, Ibu
Damayanti, Ibu Henny S. Widyaningsih serta Bu Erna bagian Risalah rapat DPR RI,
Pak Narso dan Mba Yanti dari PPID DPR RI yang selalu siap dengan tulus
menyediakan data yang saya minta. Salam sehat dan sukses selalu bagi semuanya.
Terima kasih pula kepada seluruh dosen Pascasarjana Ilmu Komunikasi yang telah
baanyak memberikan ilmu yang bermanfaat selama proses perkualiahan. Untaian doa
terkhusus bagi (alm) Prof. Dedy N. Hidayat, Ph.D atas jasa beliau yang banyak memberikan
sumbangan pemikiran tentang ilmu dan metode penelitian komunikasi. Semoga amalan
Rahimahullah menjadi pemberat timbangan beliau untuk meraih jannahNYA. Aamiin.
Terima Kasih saya kepada dosen penyabar Bapak Drs. Eduard Lukman, MA yang
masih berkenan untuk memberikan banyak masukan mengenai groupthink teori yang
memang sangat beliau kuasai Terima pula kepada dosen Bapak Dr. Firman Kurniawan, M.
Si yang sering saya temui sejak kuliah S2 dikampus yang sama, dan sempat menjadi
pendamping ketika melaksanakan qoloquium proposal disertasi. Kritik dan masukan dari Pak
Firman terkait teori, pemilihan kasus dan metodologi menjadi sangat berarti bagi saya.
Fokus penelitian kepada kelompok politik di parlemen lahir dari hasil diskusi dengan
Dr. Eriyanto (mas Eri) yang pada waktu itu masih menjadi mahasiswa angkatan senior saya.
Ketajaman pemikiran dan dukungan beliau atas topik disertasi ini semakin memantapkan
langkah saya untuk fokus terhadap penelitian ini, terima kasih atas segala kebaikannya
hingga selalu berkenan untuk ‘diganggu’ konsultasi disela kesibukan beliau sebagai dosen UI
dan peneliti senior LSI.
Terima kasih untuk seluruh staf pasca sarjana yang banyak direpotkan oleh saya, Mas
Mugi, Mba Dina, Mas Pepep, Mba Ayu, Mas Yusuf, Mas Agus, Mas Ajat, Pak Taram, Pak
Barnas dan Mas Pri yang selalu siap ikut dikejar deadline jilidan.
Terima kasih kepada seluruh rekan Program S3 Komunikasi UI angkatan 2010 yang
bersama melalui riak-riak perkuliahan di Salemba : Mas Dr. Edi, Mbak Yanti, Mbak Sri,
iv
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Mbak Dini, Mbak Rajiyem, Mas Yudi, Uda Micel, Mbak Angie Sondakh. Serta rekan-rekan
hebat angkatan senior maupun junior sebagai teman curhat dan penyemangat disertasi: Mba
Dr. Nina Armando yang khusus meminjamkan buku untuk memperkaya disertasi, Dr. Dorien,
Mba Dr. Inge, Mba Dr. Nety, Mba Dr. Effy, Mas Dr. Idham, Mas. Dr. Irwansyah, Mba Dr.
Irwa, Mba Dr. Westi, Mas Dr. Fahmi, Mba Dr. Mona, Mba Dr. Dwi, Mba Dr. Monik, Mba
Dr. Lestari, Mba Susi, Mba Lintang, Mba Maya, Mas Guntarto dan terkhusus Teman Trio
Konsultasi yang selalu semangat menyemangati : Mb. Euis, Mb Deri. Sukses selalu
menyertai kalian semuanya. Aamiin
Terima kasih kepada segenap civitas akademika Universitas Bengkulu (UNIB) tempat
saya mengabdi : Rektor dan Wakil Rektor, Dekan dan Wakil Dekan FISIP, Kepala, Sekretaris
dan rekan-rekan dosen Jurusan Komunikasi yang membanggakan dan banyak menyemangati
saya tentang penyelesaian disertasi : Dr. Gushevinalti, M.Si, Kak Rasianna Br. Saragih,
M.Si, Pak Dwi Ajie Budiman, M.Sc, Andi Makhrian, M. Si, Bu Evi Hafizah, M.Si juga
terima kasih kepada Ibu Dr. Titiek Kartika yang banyak saya mintai saran tentang studi dan
Ketua Program Magister Komunikasi UNIB Dr. Lely Arrianie, M.Si yang tulisan dan
pandangannya sebagai pakar komunikasi politik nasional sangat membantu membuka pikiran
saya akan dunia politik tanah air.
Terima kasih juga saya berikan kepada Prof. Dr. Neni Yulianita, M.Si dan Prof. Dr.
Ibnu Hamad yang telah berkenan memberikan rekomendasi bagi saya untuk mengikuti
seleksi masuk Program S3 Komunikasi UI. Semoga Allah membalas budi baik Ibu dan
Bapak.
Demikian pula terima kasih kepada Bapak Dr. H. Aziz Taufik Hirzi, M.Si dosen
Komunikasi Politik semasa saya menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Bandung (UNISBA) yang masih selalu ingat dan sering menanyakan
penyelesaian studi ini. Saya akui, kecintaan saya pada ilmu komunikasi semakin terasah
melalui peran bimbingan para dosen yang menakjubkan di Fikom Unisba : Ibu Dr. Hj. Ani
Yuningsih, M.Si, Ibu Prof. Dr. Atie Rachmiatie, M.Si, Pak Dr. H. Maman Suherman, M.Si,
Ibu Dr. Ike Junita, M.Si, Pak Muhammad E. Fuady, M. Si, Pak Dadi Ahmadi, M.Si, Bu Santi
Indra Astuti, M.Si, Ibu Dr. Nurrahmawati, M.Si, Pak Dekan Fikom Unisba Dr. Hasbiansyah.
Terima kasih atas semua jasa mulia, semoga Fikom Unisba semakin jaya dan mendunia.
Aamiin
Terima kasih kepada sahabat semasa menjalankan tugas paruh waktu di DPR RI :
Mas Ridwan, Mba Ayub, Billy, Mas Marison, Mba Dian, Mas Punto, Windi, Ratih, Nisa
Compi, terutama Heidy dan Cut Amanda yang banyak memberikan masukan serta perhatian
terhadap disertasi ini. Semoga sukses selalu menyertai kalian.
Terima kasih pula kepada sahabat setia seiya sekata yang banyak menyemangati
penyelesaian disertasi dan penampung curhat sejati : Wo Henny Kauri, Macii Ade, Inga
Vely, Dini Nurrohmi, neng Pit Jenal, Mak ‘Ustzah’ Ami, Jeng guru Vita, ‘mykembar’ ceu
Ely, Mba Devi, Ummi Fathi, Mba Wulan Ikhsan, Mba Shelly, dan Cacam Group. Hanya
Allah yang dapat membalas segala kebaikan, semoga bisa tetap bersama di surgaNYA.
Terima kasih kepada guru dan sahabat-sahabat shalihah yang senantiasa mengajak
kepada ketaatan kepadaNYA di Majelis Ilmu Rumah Qur’an (RQ), MT. Qonitah, MT. Tazkia
Aulia, Kelas Tahsin An-Ni’mah, SIT dan Kajian Tauhid Citra Gran Cibubur. Jazakumullahu
Khayran...Barakallahufikum. Melalui majelis inilah saya bisa memperluas perspektif
keilmuan sejati bagi kehidupan, mengobati kegundahan dan menemukan kesejukan disela
pengerjaan disertasi yang sangat melelahkan.
Problem lain dalam penentuan kasus juga menyisakan bait pergulatan yang panjang,
keraguan atas pemilihan kasus membawa saya mengalami bongkar pasang tulisan dalam
disertasi ini. Hingga pada akhirnya pilihan saya jatuh pada kasus perumusan dan
pengambilan keputusan RUU KIP tentang Badan Publik di Komisi I DPR RI periode 2004v
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
2009 setelah banyak diskusi dan bertanya mengenai berbagai kemungkinan pemilihan kasus
bersama pasangan hidup terbaik, Andi Muslim, S.Ds, M.Si yang akhirnya mengusulkan
kepada saya agar mengkaji tentang RUU KIP tersebut dengan niat membantu memudahkan
dalam pencarian data dan informasi narasumber, dikarenakan sesuai dengan fokus bidang
pekerjaannya di Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. Dukungan penuh diberikan
kepada saya untuk tetap fokus hanya kepada penyelesaian disertasi ini dibanding kegiatan
lain, sehingga ikut banyak membantu setiap urusan ketika saya tenggelam berkutat dengan
disertasi ini. Hanya doa tulus yang bisa saya berikan bagi karunia Ilahi Rabbi ini, terima
kasih atas segala perhatian, kehangatan kasih sayang, pecutan, komentar, dan berbagai
sumbangsih yang telah diberikan.
Begitu pula terima kasih kepada ketiga buah hati hebat kesayangan, anak-anakku
Andi Muhammad Firdauzi Musawal (Auzi-8th), Andi Muhammad Ramadhan Al Anshar
(Andra-6th) dan Andi Afifa Nur Asyura (Afifa-2,5th) yang dengan tingkah polah masingmasing berusaha untuk mengerti kesibukan akan disertasi ini. Mereka begitu mandiri dan
banyak bertanya untuk menunjukkan dukungannya terhadap tugas ini. Pertanyaan polos yang
datang jika tiba saat saya bisa santai bersama mereka, “bunda nggak ngetik? bunda nggak ke
kampus?” menjadi sebuah alarm agar kembali menekuni disertasi ini. Maafkan atas hilangnya
banyak waktu bersama untuk kalian, semoga suatu hari nanti kalian akan memahami bahwa
karya ini juga dipersembahkan untuk kalian agar dapat diambil hikmah bermanfaat bagi masa
depan kalian. Tidak lupa terima kasih kepada Bik Lela yang sangat sabar membantu menjaga
dan mengasuh anak-anak di rumah selama saya sibuk dengan disertasi ini. Semoga Allah
SWT membalas dengan pahala berlipat ganda.
Terima kasih juga untuk dukungan seluruh keluarga besar yang menakjubkan. Adinda
Annisa ‘dedek’ dan si kecil Lya, Ibu lombok, nenek, ade Dian, paman, bibi, sepupu di NTB,
kakak-kakak, keponakan-keponakan dan cucu-cucu dari Andi’s Family, juga terlebih Ibok,
Bapak, Madam, Om-om, Tante-tante, sepupu dan keponakan tersayang dari keluarga Djohar,
terkhusus kepada sepupu Andik Hongkong yang sangat berbaik hati membelikan buku
groupthink theory asli dari tulisan Irving Janis, juga sepupu Mbu Nitha yang solehah yang
banyak bertanya tentang perkuliahan, serta keluarga besar Ansyar : Makwo, Ibu, Apak,
Wodang, Wak, Abang-abang dan ayuk-ayuk sepupu serta para keponakan terkasih.
Persembahan terbesar disertasi ini saya tujukan kepada kedua orang tua saya tercinta
Papa H. Sudirman Ansyar, SKM, M. Kes dan Mama Hj. Djusmalinar Djohar, SKM, M. Kes
yang merupakan sosok teladan penuh inspirasi hingga saat ini. Terima kasih atas segala
dukungan baik moril maupun materiil yang telah diberikan. Celoteh merekalah yang
membakar semangat saya agar bisa kembali menekuni disertasi dan segera
menyelesaikannya. Betapa saya sangat bersyukur masih memiliki kedua orang tua yang
diberikan kekuatan dan kesempatan untuk selalu berdiri di belakang saya menyokong dengan
penuh daya bagi keberhasilan saya serta senantiasa mengingatkan agar saya tidak pongah
dalam melangkah demi kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Akhirnya saya semakin yakin bahwa dibalik setiap usaha yang sungguh-sungguh
walaupun hanya sebesar biji zarrah pasti akan selalu ada jalan bagi kebahagiaan. Semoga
karya yang masih jauh dari sempurna ini semakin menyemangati saya dalam pengabdian
sebagai akaedemisi, dan mampu memberikan secercah sinaran bagi kemajuan ilmu
komunikasi. Aamiin ya Mujibasa’ilin.
Depok, 30 Juni 2015
Lisa Adhrianti
vi
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
ABSTRAK
Nama
Program Studi
Judul
: Lisa Adhrianti
: Ilmu Komunikasi
: Groupthink dalam Dinamika Komunikasi Politik
(Studi kasus Pembahasan dan Pengambilan Keputusan mengenai
Badan Publik dalam RUU Keterbukaan Informasi Publik di Komisi I
DPR RI Masa Bakti 2004-2009)
Teori groupthink memberikan perspektif menarik untuk melihat bagaimana cara berpikir
suatu kelompok terikat pada kohesivitas yang tinggi terhadap kelompoknya dan mereka
berupaya semaksimal mungkin untuk mencapai kebulatan suara sehingga mengesampingkan
motivasi untuk berpikir untuk menghasilkan alternatif keputusan realistis. Pada
perkembangannya, teori groupthink umumnya menjadi komoditas barat dengan studi pada
kelompok politik di lingkup eksekutif pemerintahan yang bersifat homogen dan lebih
tertutup, sehingga menarik untuk melihat fenomena groupthink dalam konteks komunikasi
kelompok politik di lingkup legislatif dalam parlemen di negara transisi demokrasi seperti
Indonesia yang anggotanya berlatar heterogen dari multiparpol dan lebih terbuka, namun
sering menghasilkan keputusan yang kontroversial. Penelitian ini menyoroti adanya indikasi
groupthink pada pengambilan keputusan tentang definisi Badan Publik pada RUU
Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Hasil keputusan dianggap gagal dari perspektif
masyarakat sipil karena menghasilkan pasal baru 14,15,16 sebagai hasil tawar menawar
kepentingan (trade-off) antara eksekutif dan legislatif tentang masuknya BUMN, BUMD,
Parpol dan LSM sebagai badan publik. Ditambah lagi dengan faktor pembahasan yang
memakan waktu paling lama sementara tuntutan penyelesaian harus cepat, dan dampak dari
implementasi pasal tersebut masih belum dapat dikatakan baik karena kasus sengketa badan
publik masih tinggi, sanksi hukum tergolong rendah, serta belum tercapai angka persentase
100% badan publik yang memenuhi kewajiban memiliki Pejabat Pembuat Informasi dan
Dokumentasi (PPID) dilingkup organisasinya. Sebagai penelitian kualitatif paradigma
postpostivis yang menggunakan metode studi kasus instrumental dengan objek penelitian
pada kelompok anggota Panitia Kerja (Panja) RUU KIP Komisi I DPR RI masa bakti 20042009, hasil penelitian ini menujukkan bahwa groupthink dapat terjadi di lingkup legislatif
DPR RI karena adanya pertarungan kepentingan dengan kelompok eksekutif, tekanan waktu
dan kelelahan yang kemudian memaksa kelompok legislatif menjadi kohesif dan
menghasilkan keputusan yang tidak dapat dikatakan baik. Terlihat kondisi sebagai upaya
meminimalisasi groupthink melalui peran pimpinan yang lebih akomodatif, adanya proses
hearing, serta adanya peran devil’s advocate, namun ternyata pada akhirnya upaya tersebut
tidak membawa hasil yang signifikan sehingga groupthink tetap terjadi. Secara teoritis,
penelitian ini memperkaya perspektif teori groupthink Irving Janis (1972) yang tidak
menyebutkan bahwa sebenarnya groupthink juga bisa terjadi pada kelompok yang awalnya
heterogen, lebih terbuka, memiliki kekuatan relatif setara namum dikelilingi kepentingankepentingan lain diluar kelompok, yang menekan terhadap proses penyelesaian tugas melalui
upaya kompromi.
Kata kunci: Groupthink, Komunikasi Kelompok Politik, RUU KIP, DPR RI
viii
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
ABSTRACT
Name
Study Program
Judul
: Lisa Adhrianti
: Communication Science
: Groupthink in Political Communication Dynamic
(Case Study of Discussion and Decision Making on Public Body in
Constitution Draft of Public Information Openness Law in 1st
Commission of House of Representatives of Republic of Indonesia
Periode 2004-2009)
Groupthink theory gives us a very interesting perspective to see a thinking process of a highly
cohessive small group in a bigger group and how they put the best effort to reach an
agreement while ignoring motivation on creating other realistic alternative decision.
Groupthink is very common on the west, with studies on political groups in government
executives body with homogen type of members and relatively more introvert, so making this
even more interesting to be researched in group communication context in the legislatives
from a democratic transitional country such as Indonesia. This legislatives consists of
heterogen background members came from multi different political party and more extrovert
but in reality so often in meaking controversial decisions. This research focused on
groupthink indicators in decision making of Public Body definition from constitution draft of
Public Information Opennes. From the perspective of civil society the decission taken
considered fail because verse number 14,15,16 are bargain result between executives and
legislatives on matter of BUMN, BUMD, political party also NGO as public body. More
further, this process took a very long time in process where the demand of finishing stage is
so short, also the impact of these verses is not as expected seen on numbers of disputes of
information petition is so high, the sanctions is so light and there are so many public body has
not appointed Information and Documentation Manager Officer (PPID). As a qualitative with
pospositivist paradigm this research used case study method instrument with members of
Working Committee of constitution draft of Public Information Opennes Law in 1st
Commision of House of Representatives of Republic of Indonesia periode 2004-2009 as the
research object. The result of this research shows that groupthink could be happen
inlegislatives because there are so many conflict of interest with the executives, time
pressuress, and fatigue. This condition forces legislatives became so cohesive and starts
making bad decisions. These facts shown in order to minimize groupthink through the
leader’s role to be come more accommodative, hearing process, and also the role of devil’s
advocate, but still in the end these groupthink prevention process didn’t bring any adequate
results. Groupthink still took place. Theoritically, this research hoped to enrich perspectives
of groupthink theory by Irving Janis (1972). This theory did not mentioned the fact that
groupthink also can happen on a heterogen group, more open, posses the same power among
the members but yet surrounded by other interests from outer group and push the working
process through compromises.
Keywords : Groupthink, Political Group Communication, Constitution Draft of Public
Information Openness Law, House of Representatives of Republic of
Indonesia
ix
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
DAFTAR ISI
ISI
HAL
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
i
HALAMAN PENGESAHAN DISERTASI
ii
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH
iii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI AKADEMIS
vii
ABSTRAK
viii
ABSTRACT
ix
DAFTAR ISI
x
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang............................................................................................................
1
1.1.1 Mengapa harus Badan Publik?.......................................................................
11
1.1.2 Mengapa harus RUU Keterbukaan Informasi Publik?............................
21
1.1.3 Studi-studi Tentang Groupthink Theory yang telah dilakukan
1.1.3.1. Studi-Studi Groupthink di Luar Negeri..............................................
27
1.1.3.2. Studi-Studi Groupthink di Indonesia...................................................... 29
1.1.3.3 Alternatif Pendekatan bagi Studi Groupthink di Indonesia......................
30
1.1.4 Studi-studi tentang Undang-Undang Keterbukaan Informasi
Publik yang Telah Dilakukan........................................................................... 31
1.1.4.1 Studi-Studi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik
di Luar Negeri............................................................................................. 31
1.1.4.2 Studi-Studi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia. 33
1.2
Fokus Penelitian.......................................................................................................... 34
1.3
Rumusan Masalah.......................................................................................................
35
1.4 Alasan dan Tujuan Penelitian
1.4.1 Alasan Penelitian................................................................................................ 35
1.5.2 Tujuan Penelitian..............................................................................................
36
1.6 Signifikansi Penelitian..............................................................................................
37
x
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
1.7 Sistematika Penulisan.............................................................................................. 39
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Titik Tolak Penelitian.................................................................................................
41
2.2 Teori Groupthink sebagai Teori Psikologi Sosial......................................................
43
2.2.1
State of The Art Groupthink Theory.................................................................
45
2.2.2
Kohesivitas Kelompok......................................................................................
59
2.2.3
Asumsi Teori Groupthink.................................................................................. 63
2.2.4 Gejala Groupthink.............................................................................................. 67
2.2.5 Mencegah Groupthink....................................................................................
70
2.2.6 Groupthink Model..........................................................................................
72
2.3 Pengambilan Keputusan........................................................................................
73
2.4 Komunikasi Kelompok
2.4.1 Definisi Komunikasi Kelompok.......................................................................
77
2.4.2 Fungsi Komunikasi Kelompok............................................................................ 81
2.4.3 Tipe-Tipe Kelompok.......................................................................................... 82
2.4.4 Kepemimpinan dalam Kelompok.....................................................................
87
2.5 Komunikasi Politik...................................................................................................
90
2.6 Tinjauan tentang Model Birokrasi Politik...................................................................
96
2.7 Tinjauan Studi Interaksi............................................................................................... 98
2.7 Tinjauan Informasi Publik dan Badan Publik.............................................................
99
2.9 Kerangka Pemikiran ...................................................................................................
105
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan Penelitian................................................................................................. 108
3.2 Paradigma Penelitian..................................................................................................
110
3.3 Metode Penelitian.......................................................................................................
111
3.4 Teknik Pengumpulan Data .......................................................................................... 113
3.5 Sumber dan jenis data penelitian.................................................................................. 114
3.6 Lokasi Penelitian.........................................................................................................
109
3.7 Unit Analisis dan Unit Respon....................................................................................
115
3.8 Instrumen Penelitian...................................................................................................... 115
3.9 Teknik Analisis Data.................................................................................................... 116
3.10 Kualitas dan Keabsahan Penelitian............................................................................
116
xi
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
3.11 Keterbatasan Penelitian..............................................................................................
118
BAB IV. PERJALANAN RUU KIP : TINJAUAN HISTORIS
4.1. Proses Perundangan di DPR RI..................................................................................
120
4.2. RUU KIP sebagai Usul Inisiatif DPR......................................................................... 126
4.3 RUU KIP sebagai Upaya Mewujudkan Good Governance........................................ 133
BAB V. HASIL DAN INTERPRETASI PENELITIAN
145
5.1 Deskripsi Komisi I DPR RI Periode 2004-2009.......................................................... 146
5.2 Deskripsi Data Umum Narasumber ............................................................................ 153
5.3 Anteseden (Kondisi Pendahulu) Groupthink dalam Komisi I..................................... 158
5.3.1 Kohesi Kelompok Pengambil Keputusan............................................................ 161
5.3.2 Faktor Kesalahan Struktural................................................................................ 168
5.3.3 Karakteristik yang menghasilkan Tekanan (Provocative Context).....................
188
5.4 Gejala Groupthink dalam Proses Pembahasan dan Pengambilan Keputusan
Tentang Badan Publik dalam RUU KIP di Komisi I DPR RI..................................... 192
5.4.1 Penilaian Berlebihan mengenai Kelompok (Overestimation of Group)............. 193
5.4.2 Ketertutupan Pikiran (Closed Mindedness)......................................................... 197
5.4.3 Tekanan untuk mencapai Keseragaman (Uniformity Pressures)........................ 209
5.5 Upaya Kelompok Meminimalisir Groupthink............................................................. 222
5.6 Interpretasi Temuan Penelitian..................................................................................... 228
BAB VI. DISKUSI
239
GROUPTHINK PADA PENGAMBILAN KEPUTUSAN POLITIK DI
KELOMPOK PARLEMEN INDONESIA
6.1 Anteseden (kondisi pendahulu) Groputhink versus Temuan Penelitian....................... 243
6.2 Gejala Groupthink versus Temuan Penelitian.............................................................. 254
6.3 Refleksi Temuan Penelitian.......................................................................................... 258
BAB VII PENUTUP
7.1 Kesimpulan................................................................................................................... 263
7.1 Impilkasi...................................................................................................................... 268
7.3 Rekomendasi............................................................................................................... 269
xii
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................
271
BIODATA
LAMPIRAN
xiii
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
: Daftar Pertanyaan Wawancara Penelitian
Lampiran 2
: Kode Kategorisasi Coding
Lampiran 3
: Coding Infroman Utama
Lampiran 4
: Hasil Wawancara Informan Pendukung
Lampiran 5
: UU KIP
Lampiran 6
: Daftar Nama Panja RUU KMIP
xiv
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Rumusan Badan Publik...................... ..........................................
12
Tabel 2.
Jumlah Sengketa Informasi per Tahun........................................
19
Tabel 3.
Rekapitulasi Jumlah PPID (per 3 Desember 2014).....................
20
Tabel 4.
Daftar Studi Tentang Grouptink..................................................
53
Tabel 5
Uraian Badan Publik....................................................................
103
xv
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
DAFTAR GAMBAR/BAGAN
Gambar 1.
Groupthink Model.........................................................................
72
Gambar 2.
Kerangka Pemikiran...........................................................................
107
Gambar 3.
Prosedur Pembentukan UU.......................................................
126
Gambar 4.
Model Pengembangan Teori Grooupthink ..................................
262
pada Pengambilan Keputusan Politik di Indonesia
xvi
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Selama ini tidak jarang kita melihat berbagai hasil keputusan politik yang berasal dari
Dewan Perwakilan Rakyat negeri kita (DPR RI) banyak menuai kontroversi dan kekecewaan
dari berbagai kalangan masyarakat, terlebih yang terkait dengan proses perumusan dan
pengesahan sebuah Rancangan Undang-Undang. Padahal jika dilihat dari substansi dan
tujuan yang harus dicapai dari produk hukum negara tersebut tentu bukan dimaksudkan untuk
menimbulkan pergolakan di masyarakat. Pengakuan klasik pasti selalu terlontar tentang
kepastian adanya pro dan kontra dari sebuah keputusan terlebih bagi sebuah Undang-Undang
yang bersifat politis dan ditujukan untuk memberikan rambu-rambu yang jelas tentang
berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat. Namun apakah memang harus kita yakini pada
sebatas bahwa setiap keputusan pasti akan menimbulkan pro dan kontra? pasti akan ada yang
setuju dan tidak setuju, ada yang kecewa, ada yang bahagia ada pula yang menderita? atau
apakah ada faktor lain yang menyebabkan demikian?
Perspektif teori groupthink yang dikembangkan oleh psikolog Irving Lester Janis
(1972) setidaknya memberikan sebuah gambaran menarik untuk melihat sebuah proses
pengambilan keputusan kelompok dengan menelaah faktor-faktor psikologis yang dihadapi
oleh sebuah kelompok pengambil keputusan. Penelitian studi kasus Janis terhadap beberapa
keputusan pemerintahan bersakala internasional yang berdampak spektakuler, dan terjadi di
negara adidaya Amerika Serikat menjadi bahan bakunya untuk mengkaji tentang adanya
peran groupthink yang menyebabkan dampak buruk terhadap keputusan yang diambil
kelompok kecil pembuat keputusan.
Kajian groupthink menemukan fakta menarik bahwa banyak peristiwa penting yang
berdampak luas disebabkan oleh keputusan sekelompok kecil orang, yang mengabaikan
informasi dari luar mereka. Misalnya dalam peristiwa Pearl Harbour (1941), keputusan fatal
diambil karena mengabaikan informasi penting intelejen sebelumnya. Minggu-minggu
menjelang penyerangan Pearl Harbour di bulan Desember 1941 yang menyebabkan Amerika
Serikat terlibat Perang Dunia II, komandan-komandan militer di Hawaii sebetulnya telah
menerima laporan intelejen tentang persiapan Jepang untuk menyerang Amerika Serikat di
suatu tempat di Pasifik. Akan tetapi para komandan memutuskan untuk mengabaikan
informasi itu. Akibatnya, Pearl Harbour sama sekali tidak siap untuk diserang. Tanda bahaya
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
2
tidak dibunyikan sebelum bom-bom mulai meledak. Akhirnya, perang mengakibatkan 18
kapal tenggelam, 170 pesawat udara hancur dan 3700 orang meninggal.
Contoh lain adalah Penyerangan Bay of Pigs (1961). Presiden John F. Kennedy dan
penasehat militernya pada tahun 1961 mencoba menggulingkan presiden Fidel Castro dari
Kuba dengan menyusupkan 1400 pelarian Kuba yang sudah dilatih oleh CIA (dinas rahasia
AS) ke Kuba melantai pantai Babi (Bay of pigs) di Kuba. Akan tetapi, mereka mengabaikan
peringatan-peringatan intelejen bahwa rencana operasi ini sudah bocor ke pihak Kuba dan
bahwa Kuba sudah bersiap menggagalkan operasi tersebut. Hasilnya, hampir semua
penyusup itu terbunuh atau tertangkap dan Fidel Castro semakin kuat kedudukannya di Kuba,
dan semakin kuat hubungannya dengan Uni Sovyet.
Sejarah telah mencatat bagaimana pemerintahan Presiden Ronald Reagen selama
delapan tahun kekuasannya (1981-1989) melakukan kekeliruan dengan menjual senjata
secara ilegal ke Iran. Hasil penjualan senjata tersebut yang diperkirakan berjumlah 30 juta
dollar AS kemudian dikirim pada pemberontak dukungan AS di Nicaragua. Namun kasus ini
menuai kecaman dari berbagai pihak. Lalu lihat juga skandal Watergate yang dilakukan
pemerintahan Presiden Richard Nixon. Skandal Watergate menyebabkan pengunduran diri
Nixon pada 9 Agustus 1974. Skandal Watergate merupakan suatu skandal politik yang terjadi
di Amerika Serikat pada periode tahun 1972 hingga 1974 yang melibatkan pejabat penting
negara termasuk Presiden Amerika Serikat saat itu, Richard M. Nixon. Skandal tersebut
mengungkap adanya ketidakberesan pada Comittee for the Re-Election of the President, yang
merupakan organisasi milik Nixon. Nama Watergate sendiri merupakan nama dari sebuah
kompleks perkantoran dan apartemen mewah di Washington D.C., yang didalamnya juga
terdapat markas Democratic National Committee atau Komisi Nasional Demokrat. Hal
tersebut yang kemudian mengawali proses panjang penyelidikan skandal yang menyeret
nama Nixon, hingga peristiwa pengunduran dirinya sebagai Presiden Amerika Serikat setelah
memimpin selama kurang lebih tiga setengah tahun.
Melalui kasus-kasus inilah awalnya Janis mengembangkan teori groupthink. Sebagai
seorang psikolog penelitian Janis menggambarkan kesalahan sistematis yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok ketika membuat keputusan kolektif pada kondisi kelompok yang
kohesif (terdapat penyatuan kekuatan). Tidak sedikit keputusan-keputusan yang dibuat secara
groupthink itu yang berlawanan dengan hati nurani anggotanya, maupun orang lain di
luarnya, namun mengingat itu kepentingan kelompok maka mau tidak mau semua anggota
kelompok harus kompak mengikuti arah yang sama agar tercapai suatu kesepakatan bersama.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
3
Kajian Janis tersebut menunjukkan ketertarikannya terhadap suatu fenomena sosial
berlatar poltik dengan menganalisis faktor-faktor psikologis yang ada selama proses interaksi
kelompok. Inilah yang menguatkan bahwa teori groupthink merupakan teori psikologi sosial
yang relevan dengan ilmu komunikasi karena setiap pengambilan keputusan politik tidak
dapat dilepaskan dari adanya pertukaran pendapat diantara individu yang ada di dalamnya..
Groupthink menekankan bahwa keputusan yang diambil adalah berdasarkan tujuan
solidaritas kelompok yang utamanya disebabkan karena adanya faktor kohesi dan isolasi
kelompok sehingga mengabaikan berbagai alternatif lain yang dianggap rasional dengan
menyandarkan pada ketaatan terhadap pimpinan kelompok. Dalam hal ini walaupun hasil
akhir keputusan merupkan hak wewenang pimpinan, namun umumnya pimpinan didukung
oleh anggota kelompok kohesif yang signifikan dan begitu dipercaya oleh pimpinan
kelompok sebagaimana dikatakan “the groupthink hypothesis highlights the importance of the
social support received from close associates” (Janis, 1982 : 191). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa hanya terdapat satu kepentingan yang menjadi orientasi pengambilan
keputusan
kelompok
yaitu
kepentingan
pimpinan
bersama
dengan
tim
kepercayaan/pembisiknya.
Selain itu, faktor adanya homogenitas yaitu terkait kurangnya perbedaan dalam latar
belakang sosial dan ideologi anggota kelompok yang merupakan ciri pembentuk kohesi juga
terlihat dari kasus-kasus yang diteliti oleh Janis. Lingkaran eksekutif yang berisi orang-orang
pilihan pimpinan dan diharuskan memiliki loyalitas tinggi terhadap pimpinan kelompok
membuatnya rentan terhadap groupthink.
Dari sini terlihat bahwa groupthink adalah teori yang dikhususkan untuk memahami
proses pengambilan keputusan dalam kelompok kecil. Janis percaya bahwa kelompok
seringkali membuat keputusan dengan konsekuensi yang besar. Selain itu walaupun ia
memfokuskan studinya pada kelompok kebijakan asing, penerapan dari terminologi
groupthink ini juga ditujukan bagi kelompok pembuat keputusan lainnya, sehingga Janis
menantang adanya kemungkinan lain dari proses terjadinya groupthink di luar konteks negara
barat seperti di Amerika jika memang terdapat data yang memadai dari pertemuan
penggambilan keputusan misalnya dari catatan buku harian dan bukti lain dari interaksi
kelompok (Janis, 1982: 186).
Berdasarkan hal tersebutlah maka studi ini berusaha untuk menelaah proses produksi
sebuah keputusan yang diambil di konteks lembaga legislatif yang bersifat lebih terbuka dan
dinamis serta memiliki beragam ideologi politik yang sarat dengan berbagai kepentingan
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
4
sosial (eksekutif, bisnis dan masyarakat sipil) di negara transisi demokrasi seperti di
Indonesia berdasarkan perspektif groupthink theory. Tentunya terdapat teori lain yang bisa
menjelaskan fenomena psikologis komunikasi politik di DPR RI seperti penelitian politisi
dan pencitraan di panggung politik yang dilakukan oleh Lely Arrianie (2010) dengan
menggunakan perspektif teori interaksionisme simbolik dan dramaturgi untuk menjelaskan
fenomena premanisme politik di DPR RI. Penelitian Effi Rusfian (2010) yang meneliti
variabel-variabel perilaku komunikasi anggota DPR RI dengan teori perilaku komunikasi
konflik, serta Felix Jebarus (2011) yang meneliti pertarungan kepentingan dalam proses
penyusunan dan pembahasan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di DPR RI
dengan menggunakan perspektif teori konflik. Namun penelitian tentang faktor psikologis
yang mengarah kepada groupthink dalam proses pengambilan keputusan di DPR RI belum
ditemukan, padahal fenomena hasil keputusan yang menuai kontroversi sering terjadi di DPR
RI sehingga akan menjadi menarik jika hal tersebut dapat dieksplorasi lebih lanjut, dan teori
groupthink dipandang tepat untuk menjelaskan hal tersebut. Penelitian dalam lingkup
legislatif diharapkan mampu memperkaya perspektif groupthink theory yang biasanya selalu
dilakukan pada konteks eksekutif.
Mengingat adanya selalu interaksi antara eksekutif dan legislatif dalam setiap proses
pembahasan dan pengambilan keputusan sebuah Undang-undang di DPR RI serta adanya
catatan risalah rapat lengkap yang bisa diakses peneliti, maka perpsektif groupthink
dimungkinkan untuk dikaji terhadap kasus pengambilan keputusan di DPR RI yang dianggap
terindikasi groupthink yaitu pada kasus pembahasan dan pengambilan keputusan mengenai
badan publik dalam RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) di kelompok Komisi I DPR
RI periode 2004-2009.
RUU KIP merupakan usul inisiatif dewan yang dipelopori oleh dorongan Koalisi
untuk Memperoleh Kebebasan Informasi yang beranggotakan beberapa Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM). Pada awalnya UU KIP bernama UU Kebebasan Mendapat Informasi
Publik (KMIP) namun setelah melalui berbagai pembahasan kata 'kebebasan' diubah menjadi
'keterbukaan' yang akhirnya menjadi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU
KIP). Rancangan UU KMIP sebenarnya telah disusun sejak Desember 1998 oleh sejumlah
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi untuk Kebebasan
Memperoleh Informasi (KMI).1
1
Koalisi ini di antaranya terdiri dari Masyarakat Pers dan Penyiran Indonesia (MPPI), Yayasan SET (Sain, Estetika dan
Tehnologi), ICW, AJI Indonesia, The Habibie Center, Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
5
Selanjutnya usul ini diadopsi oleh DPR RI untuk menjadi RUU Usul Inisiatif Dewan
dalam salah satu program legislasi nasional (Prolegnas) Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) masa bakti 1999-2004. Walaupun telah dimasukkan dalam Prolegnas tahun 1999, dan
sudah disampaikan oleh Ketua DPR periode 1999-2004 kepada Presiden Megawati Soekarno
Putri sejak Agustus 2004 namun sampai akhir periode DPR RI di 2004 RUU KIP ini belum
menemukan penyelesaian karena belum adanya Amanat Presiden (Ampres) sehingga tidak
ada pembahasan dengan pemerintah. Hingga pada pemerintahan Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono, RUU KIP kembali diajukan oleh DPR kepada Pemerintah dan RUU KMIP
disetujui sebagai usul inisiatif dewan pada paripurna tanggal 5 Juli 2005 terdiri dari 10 bab
dan 95 pasal.
Draft RUU dinilai cukup moderat dan sesuai dengan aspirasi masyarakat yang
mencerminkan akses ganda bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang seluasluasanya, hal ini berbeda dengan prinsip pemerintah yang menginkan membentuk UU tentang
informasi publik saja tanpa membuka akses bagi masyarakat untuk memperoleh informasi.
Anggota DPR dari Fraksi PAN, Djoko Soesilo berpendapat bahwa draft RUU KMIP
yang disusun sangat demokratis dan menjadi terobosan baru untuk mendapatkan akses
informasi, sehingga tidak boleh gagal lagi. Sebagaimana sebelumnya RUU KMIP dianggap
sebagai isu prioritas dan sempat telah dibentuk Pansus (Panitia Khusus) beranggotakan lintas
komisi, pada kenyataannya tidak bisa terwujud karena tidak memperoleh tanggapan dari
pemerintah untuk membahas.
Setelah diajukan kembali di periode 2004-2009 Paripurna menyerahkan pembahasan
khusus kepada Komisi I saja dan dibentuk Panja yang merupakan Panitia Kerja yang bertugas
membahas isu tertentu. Panja dibentuk berdasarkan isu yang dianggap perlu untuk
pembahasan khusus yang ditentukan berdasarkan kesepakatan rapat di Komisi. Pembahasan
diputuskan dilakukan tingkat Panja dalam Komisi I dengan alasan efisiensi mengingat agar
proses pembahasan tidak berjalan terlalu lama denggan tujuan untuk mempercepat. “Ya itu
untuk shortcut” seperti yang diungkap Paulus Widiyanto, sehingga hanya melibatkan 29
anggota Komisi I.
Setelah ditindaklanjuti Presiden SBY dengan penerbitan Amanat Presiden (Ampres)
yang menunjuk Menteri Komunikasi dan Informatika dan Menteri Hukum dan Hak Azasi
Indonesia (YAPPIKA), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), ICEL (Indonesian Center for Environmental
Law), Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), LBH Pers, Imparsial, dan
Kontras.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
6
Manusia sebagai wakil Pemerintah dalam pembahasan dengan DPR yang mulai dibahas 27
Agustus 2005. 2
Proses pembahasan UU KIP merupakan rekor tersendiri dalam sejarah legislasi di
Indonesia. UU KIP baru berhasil diselesaikan dalam jangka waktu sekitar delapan tahun
karena sempat melewati pergantian pemerintahan tahun 2004.3
Yang menarik, dalam prosesnya yang panjang itu, adanya koalisi yang strategis antara
kelompok masyarakat sipil dan para anggota DPR, khususnya di Komisi I meskipun dalam
daftar prioritas RUU Prolegnas Tahun 2005 Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 20052009 dalam Rapat Paripurna DPR 1 Februari 2005, RUU KMIP menempati urutan ketujuh
tepat setelah RUU Rahasia Negara4. Sementara itu, pihak eksekutif (Pemerintah) dipandang
tidak setuju terhadap RUU ini.
Kontroversi pun muncul dalam sejarah proses pembahasan RUU KIP. Apalagi
mengacu pada daftar prioritas RUU Prolegnas 2005, terlihat jelas bahwa RUU KIP tidak
menjadi prioritas utama jika dibandingkan dengan RUU lain saat itu, seperti RUU tentang
Perubahan atas UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, RUU tentang Lembaga
Kepresidenan, dan RUU tentang Kementerian Negara. Ketiga RUU menempati tiga urutan
teratas dari RUU Prolegnas 2005 (Prolegnas 2005-2009 DPR RI).
Penempatan RUU KIP di bawah RUU Rahasia Negara dan RUU lainnya, yang
sedemikian mencoloknya, juga menjadi masalah krusial karena adanya permasalahan
substansi dan persinggungan-persinggungan yang muncul dari keberadaan kedua RUU
tersebut.
Sebelumnya muncul keinginan dari dari Pemerintah untuk RUU Rahasia Negara
(RUU RN) dan RUU Inteligen Negara (RUU IN) dibanding RUU KMIP, atau setidaknya
bersama-sama dalam satu paket pembahasan. Tentu DPR waktu itu menolak RUU yang tibatiba tersebut. Pertama, dengan alasan tidak sesuai skala prioritas program legislasi nasional
(prolegnas) yang telah disepakati bersama antara pemerintah dan DPR. Kedua, urgensi dan
relevansi konstitusional RUU KMIP/KIP jauh lebih tinggi daripada RUU RN dan RUU IN.
KMIP adalah amanat UUD 1945,khususnya Pasal 28F. Pernyataan semacam ini tidak berarti
2
Rifai, Akhmad. Kemerdekaan Informasi dalam UU Keterbukaan Informasi Publik. Jurnal Dakwah Vol. IX No. 2 JuliDesember, 2008, hlm. 101.
3
Lihat Agus Sudibyo, “Transparansi Sepenuh Hati?” dalam Kompas, 7 April 2008.
4
https://untuktabalong.wordpress.com/2010/05/07/menyambut-uu-keterbukaan-informasi-publik/Firmanyusi, diakses
tanggal 25 Februari 2015.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
7
bahwa apa yang disebut dengan rahasia negara itu tidak penting, apalagi tidak diakui. Rahasia
negara tetap penting dan harus dilindungi oleh undang-undang.Perlindungan terhadap RN ini
sudah diatur di dalam banyak undang-undang.
Faktor ketidakselarasan lebih mendorong pihak DPR RI untuk tidak menyetujui
pembahasan RUU RN dan IN tersebut mendahului atau bersamaan dengan RUU KMIP.
Sebagaimana diunggap oleh anggota Komisi I Hajriyanto Thorari :
“Tidak selaras, dalam arti di satu sisi harus membahas keterbukaan informasi melalui
UU KIP sementara itu di sisi lain juga harus dibahas tentang UU rahasia negara yang
banyak ketertutupan.”
pada akhirnya kesepakatan yang terjadi adalah pembahasan RUU KMIP lah yang
didahulukan sehingga RUU KIP disahkan terlebih dahulu daripada RUU Rahasia Negara.
Setelah akhirnya UU KIP disahkan, hal ini cukup melegakan. Di sisi lain, UU KIP
juga mendapat kritikan dan dinilai setengah hati oleh para pejuang KMIP. Misalnya, sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 64 Ayat 1 UU KIP yang menyebutkan penerapan UU KIP baru
efektif berlaku pada 2010 dengan alasan persiapan waktu yang mencukupi bagi aparat dan
lembaga pemerintahan terkait dengan persiapan sarana dan prasarana serta pembentukan
Komisi Informasi.
Bahkan dalam pembahasan yang alot, waktu yang diajukan pemerintah untuk
mempersiapkan infrastruktur untuk mengakomodasi penerapan UU KIP adalah empat sampai
lima tahun. Belum lagi berkaitan dengan masalah judul, definisi, kategori informasi publik
dan rahasia negara, lembaga publik yang wajib memberikan informasi publik, pembentukan
Komisi Informasi (terutama untuk mengategorisasikan informasi yang dapat diakses oleh
publik maupun menangani sengketa terkait), waktu berlakunya UU KIP, serta sanksi hukum
berkaitan dengan penggunaan informasi publik.
UU KIP ini lahir karena didasari alasan: Pertama, desakan yang sangat kuat tentang
perlunya pemberantasan KKN, Kedua, adanya partisipasi dalam pembangunan, dan Ketiga
adanya desakan kuat agar Republik Indonesia memiliki pers yang berkualitas. Selain itu
Keterbukaan Informasi merupakan hak dasar bagi setiap warganya, oleh karenaya menjadi
penting bagi pemerintah agar mampu memenuhi hak-hak tersebut. Hal tersebut terdapat
dalam undang-undang dasar 1945 pada pasal 28 f UUD 1945 yang menyatakan : “Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
8
saluran yang tersedia”. Hadirnya undang-undang KIP merupakan terobosan besar yang
menuntut adanya tranparansi, pemerataan, dan akuntabel dalam suatu pemerintahan.
Kehadiran Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
(UU KIP) yang disahkan DPR pada 3 April 2008 dan kemudian diundangkan pemerintah 30
April 2008 telah menorehkan Indonesia sebagai negara ke-5 di Asia dan ke-76 di dunia yang
secara resmi mengadopsi prinsip-prinsip keterbukaan informasi, sejalan dengan salah satu hal
penting yang menjadi dasar pertimbangan lima point lahirnya UU KIP adalah bahwa
memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik
merupakan ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk
mewujudkan penyeleng-garaan negara yang baik.5
Dengan demikian keberadaan UU KIP merupakan tonggak penting bagi
perkembangan demokrasi di Indonesia. Banyak pihak berharap, hadirnya UU KIP mampu
mendorong iklim keterbukaan yang luas di berbagai level. Keterbukaan informasi publik
diyakini dapat menjadi sarana penting untuk mengoptimalkan pengawasan publik terhadap
penyelenggaraan negara maupun aktivitas badan publik lainnya yang mengurusi kepentingan
publik.
Jika diamati dari rentang waktu yang panjang dan proses legislasi yang berliku-liku
dalam pembahasan UU KIP ini, tentulah pastinya menyebabkan berbagai kepentingan politik
harus dikompromikan. Pada berbagai titik kompromi inilah potensi terjadinya groupthink
menjadi besar dan hal ini menarik untuk diamati dalam pembahasan UU KIP.
Beberapa hal menjadi perdebatan dan dianggap bermasalah (kontroversial)
sebagaimana yang diungkap Jebarus (2011:25), misalnya pertama di proses awal adalah
mengenai masalah judul, yaitu Pemerintah berkeberatan dengan judul yang diusulkan DPR
UU KMIP (Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik) sebab kata
“kebebasan” identik dengan liberal yang mengarah pada anarkis. Pemerintah mengusulkan
agar judul RUU menjadi Hak Warga Negara untuk Memperoleh Informasi. DPR berpendapat
bahwa judul yang diajukan oleh Pemerintah seolah akan mendistorsi kewajiban badan publik,
sehingga UU ini hanya mengatur hak warga negara tanpa mengatur kewajiban badan publik
untuk memenuhi hak tersebut. Kesepakatannya adalah merubah judul menjadi RUU KIP.
5
Selengkapnya dapat disimak pada ketentuan “Menimbang” UU No.14 Tahun 2008.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
9
Kedua, yang diperdebatkan adalah badan publik. Badan publik yang dimaksud badan
publik dalam draft RUU rumusan DPR adalah seluruh penyelenggara negara baik eksekutif,
legislatif maupun yudikatif yang pembiayaannya berasal dari anggaran negara, baik di tingkat
pusat maupun daerah. Ini termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, Pemerintah
menentang dimasukkannya BUMN sebagai bagian dari badan publik dengan alasan bahwa
keterbukaan BUMN hanya akan mempengaruhi daya saing (competitiveness) mengingat
BUMN adalah lembaga yang menjalankan aktivitas bisnis. Anggapan Pemerintah bahwa
BUMN murni sebagai entitas bisnis, namun bagi DPR, BUMN merupakan bagian dari
lembaga penyelenggaraan negara dengan alasan bahwa BUMN menggunakan dana APBN
dan aktivitasnya mengemban amanat konstitusi dalam mengelola sumber-sumber daya negara
demi
kesejahteraan umum. Oleh karena itu, akuntabilitas BUMN harus dapat
dipertanggungjawabkan. Kesepakatan akhir antara DPR dan Pemerintah adalah tidak
mencantumkan secara eksplisit BUMN dalam definisi badan publik, namun dicantumkan
dalam pasal tersendiri yang mengatur tentang kewajiban BUMN untuk menyediakan berbagai
informasi yang semestinya terbuka kepada publik.
Masalah ketiga yang diperdebatkan adalah Komisi Informasi (KI). Pemerintah
menolak usul DPR yang menginginkan dibentuknya KI. KI sebagai lembaga independen
yang akan berfungsi menyelesaikan persoalan jika ada sengketa antara badan publik dan
peminta informasi. Menurut Pemerintah, pembentukan dan keberadaan KI hanya akan
memboroskan anggaran negara. Akan tetapi, menurut DPR implementasi UU ini tidak akan
berjalan optimal tanpa adanya KI. Tanpa adanya KI, dikhawatirkan badan publik tetap akan
sewenang-wenang dalam melayani permintaan informasi. Pemerintah akhirnya sepakat
dengan keberadaan KI, dengan catatan adanya unsur pemerintah dalam keanggotaannya. Ini
ditunjukkan adanya klausul yang mengatur tentang anggota KI terdiri dari unsur masyarakat
dan unsur Pemerintah. DPR menerima tawaran Pemerintah ini dengan syarat bahwa proses
rekrutmen calon anggota KI terbuka kepada publik dan seluruh calon anggota KI diseleksi
oleh DPR melalui fit and proper test dan syarat bahwa unsur pemerintah itu bukanlah ex
officio tetapi orang yang sanggup bekerja penuh waktu dalam KI.
Masalah keempat adalah ketentuan sanksi bagi siapa saja yang menyalahgunakan
informasi publik. DPR dan Pemerintah pada awalnya menyepakati klausul yang menyatakan
bahwa setiap orang yang menyalahgunakan informasi publik dapat dikenai pidana penjara 2
tahun dan/atau denda Rp30 juta. Kemudian sejumlah kelompok masyarakat sipil yang
tergabung dalam Koalisi Kebebasan Informasi menyatakan bahwa klausul tersebut tidak
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
10
logis, sebab yang dimaksud dengan informasi publik sudah pasti terbuka, sehingga asumsinya
adalah semua orang pasti sudah mengetahuinya. Sanksi ini hanya akan membuat seseorang
takut untuk meminta informasi kepada badan publik karena khawatir menyalahgunakan
informasi jika di kemudian hari ada pihak yang tidak suka dengan beredarnya informasi
tersebut. Konsekuensinya, pihak yang berpotensi terjerat oleh pasal ini adalah jurnalis. DPR
menyepakati usulan Koalisi ini, tetapi Pemerintah tidak dengan alasan keadilan, sebab jika
ada sanksi bagi badan publik, mengapa tidak ada sanksi bagi pengguna informasi.
Kesepakatan akhir adalah DPR menyetujui adanya sanksi bagi pengguna informasi, dengan
perubahan rumusan, yaitu frasa “penyalahgunaan informasi” diubah menjadi “menggunakan
informasi secara melawan hukum”. Selain itu hukumannya diturunkan menjadi 1 tahun untuk
pidana penjara dan Rp5 juta untuk denda.
Masalah kelima adalah isu mengenai rahasia negara/informasi kekecualian, dimana
terdapat perbedaan pandangan antara Pemerintah dan DPR RI tentang perlunya pembahasan
RUU Rahasia Negara dan RUU Inteligen Negara sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Masalah Keenam adalah isu mengenai waktu pelaksanaan/penerapan RUU KMIP.
Terdapat perbedaan keinginan untuk penerapan RUU KMIP, yakni Pemerintah menginginkan
tidak diterapkan terburu-buru dengan alasan butuh mempersiapkan diri, sementara DPR
menginginkan penerapan segera. Akhirnya disepakati bahwa penerapan RUU KMIP berlaku
setelah 2 (dua) tahun sejak disahkan pada tahun 2008.
Dengan demikian, kelahiran UU KIP menunjukkan bahwa dalam prosesnya terdapat
banyak faktor yang mengakibatkan terjadi perdebatan panjang yang berujung pada
kesepakatan-kesepakatan yang bersifat kompromis. Sebagaimana disebuttkan oleh Mantan
Ketua Pansus RUU KMIP Komisi I DPR RI periode 1999-20046:
“UU KIP yang disahkan dan ada saat ini memang bukan seperti naskah aslinya.
Sangat banyak yang berubah, dan beberapa hal saya kecewa karena tidak sesuai yang
saya inginkan. Banyak kepentingan yang bertarung pada saat itu, baik DPR,
masyarakat sipil, pemerintah, maupun lainnya. Beberapa pasal memang
mengakomodasi kepentingan pemerintah. Namun UU KIP bisa lahir dan ada sekarang
ini sudah luar biasa dan bisa mendorong keterbukaan informasi publik di Indonesia”.
Klausul-klausul hasil kompromi ini dikhawatirkan dalam implementasinya akan
mengganggu keterbukaan itu sendiri dan dianggap mengurangi prinsip-prinsip hak publik
6
http://www.komisiinformasi.go.id/news/view/paulus-widiyanto-uu-harus-dilihat-secara-komprehensif. Date
Publish : 2014-09-16 07:51:32
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
11
atas informasi sebagaimana tertuang dalam petisi koalisi masyarakat sipil untuk kebebasan
informasi.7
Berdasarkan beberapa permasalahan UU KIP tersebut, dalam penelitian ini hanya
akan menitikberatkan analisis pada dinamika komunikasi politik di Komisi I DPR RI
berdasarkan perspektif groupthink Theory dalam perumusan dan pengambilan keputusan
tentang definisi badan publik.
1.1.1
Mengapa harus Badan Publik?
Dari keenam isu yang ada dalam proses pembahasan RUU KIP tersebut, persoalan
Badan Publik memakan waktu pembahasan paling lama dan paling alot, sementara persoalan
tuntutan agar RUU KIP segera diselesaikan karena pembahasan telah memakan waktu hingga
2 (dua) tahun lamanya. Persoalan Badan Publik merupakan pasal krusial yang harus
memerlukan penyelesaian agar RUU KMIP setujui sebagai RUU KIP sekarang. Persoalan
badan publik menjadi mendesak ketika tujuan utama RUU KIP adalah untuk menciptakan
pemerintahan yang bersih karena sebagaimana diketahui bahwa persoalan paradigma
ketertutupan Badan Publik terutama BUMN, BUMD dan BUMS akan menghambat
tercapainya tujuan RUU KIP. Persoalan ini juga menjadi panjang karena adanya perbedaan
keinginan dan kepentingan yang tergambar dalam pendapat-pendapat dari pihak Pemerintah
sebagai eksekutif, DPR RI sebagai legislatif maupun kepentingan lain diluar yaitu dari
Koalisi Masayarakat Sipil. Peliknya proses pengambilan keputusan yang terjadi tentunya
akan menimbulkan berbagai macam gejala psikologis dalam lingkup Komisi I DPR RI yang
rentan menunjukkan sebagai gejala groupthink. Ketika keputusan harus diambil ditengah
berbagai perbedaan pendapat yang tajam sementara waktu semakin sempit untuk mencapai
target dapat mensahkan RUU KIP pastinya dapat mengarahkan kelompok kepada groupthink
yang dapat berujung pada rendahnya kualitas hasil keputusan.
Masalah mendasar yang menjadi perdebatan adalah DPR RI mengusulkan agar
BUMN/BUMD masuk dalam definisi Badan Publik di Pasal 1 ayat 3, sementara Pemerintah
tidak setuju dan menyarankan agar agar Partai Politik dan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) dimasukkan dalam definisi Badan Publik. Walaupun pada akhirnya terjadi
kesepakatan bahwa BUMN dan BUMD masuk dalam kategori Badan Publik dengan merinci
7
http://kontras.org/petisi/LAMPIRAN%20PETISI%20KOALISI%20UNTUK%20KEBEBASAN%20INFORMASI.pdf
diakses tanggal 9 Februari 2015 pukul 1.15 WIB
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
12
dan mempertegas substansi, fungsi, dan kegiatan BUMN/BUMD, Partai Politik dan LSM
yang dibolehkan dibuka, dikecualikan dan tidak bisa dibuka kepada publik di Pasal 14, 15
dan 16 namun secara teks di Pasal 1 ayat 3 pencantuman BUMN/BUMD tetap tidak
disebutkan sebagaimana usul DPR RI pada awalnya. Sebagaimana dapat diamati berikut :
Tabel 1 : Rumusan Badan Publik
RUU Inisiatif DPR
Usulan Pemerintah
Rumusan yang
Disepakati
Badan
publik
adalah
penyelenggara negara yang
meliputi lembaga eksekutif,
legislatif, dan yudikatif, baik di
tingkat pusat maupun daerah
dan badan lain yang fungsi dan
tugas
pokoknya
berkaitan
dengan penyelenggaraan negara,
Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dan Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD), Badan
Hukum Milik Negara (BHMN),
dan organisasi non-pemerintah
yang mendapatkan dana dari
anggaran negara atau anggaran
daerah dan usaha swasta yang
dalam menjalankan kegiatannya
berdasarkan
perjanjian
pemberian pekerjaan dari badan
publik lain dalam menjalankan
sebagian
fungsi
pelayanan
publik.
Badan publik adalah lembaga
eksekutif, legislatif, dan yudikatif,
baik di tingkat pusat maupun
daerah dan lembaga lain yang
fungsi dan tugas pokoknya
berkaitan dengan penyelenggaraan
negara yang mendapatkan dana dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara
dan/atau
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah,
termasuk ke dalam badan publik
adalah organisasi non-pemerintah
yang meliputi Lembaga Swadaya
Masyarakat, Organisasi Massa,
Partai Politik dan/atau institusi
sosial dan/atau kemasyarakatan lain
yang mendapatkan dana dari
sumbangan masyarakat, dan/atau
sumber luar negeri.
Badan
Publik
adalah
lembaga
eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan
badan lain yang fungsi dan
tugas pokoknya berkaitan
dengan
penyelenggaraan
negara, yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber
dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan/
atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah, atau
organisasi nonpemerintah
sepanjang sebagian atau
seluruh dananya bersumber
dari Anggaran Pendapatan
dan
Belanja
Negara
dan/atau
Anggaran
Pendapatan dan Belanja
Daerah,
sumbangan
masyarakat, dan/atau luar
negeri.
(tidak diperoleh data pada
rapat apa rumusan ini
disepakati)
Sumber : Anotasi UU KIP
Pembahasan definisi badan publik yang ditemukan pada rapat Panja RUU KIP
tanggal 3 September 2007 mencakup dua hal: pertama, mengenai masuk atau tidaknya
BUMN/BUMD dalam lingkup badan publik. Kedua, dimasukkannya Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan Partai Politik (Parpol) dalam lingkup badan publik. DPR
memasukkan BUMN/BUMD dalam lingkup badan publik, sedangkan pemerintah tidak.
Alasan pemerintah tidak memasukkan BUMN/BUMD dalam lingkup badan publik adalah:
Adanya transformasi rezim hukum dalam 1) pengelolaan BUMN. Tidak dapat dipungkiri
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
13
bahwa sumber modal BUMN/BUMD adalah APBN/ APBD. Dana APBN/APBD yang
dijadikan modal dalam BUMN/BUMD diistilahkan sebagai penyertaan modal, dalam
terminologi sekarang disebut sebagai penyertaan modal negara. Dengan adanya penyertaan
modal negara, berarti pemerintah telah memisahkan dana publik menjadi modal usaha.
Pemisahan kekayaan negara ini akibat transformasi dana publik ketika dimasukkan dalam
Undang-Undang APBN. Dari APBN, dana tersebut kemudian ditransformasikan ke publik
(dari publik untuk publik) dan ke privat (dari publik untuk privat).
Dana publik yang ditetapkan untuk kepentingan publik adalah dalam hal pemberian
subsidi dan Public Service Obligation (PSO). Sedangkan dana publik yang ditransformasi ke
dalam rezim hukum privat, misalnya gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS). Gaji PNS berasal dari
APBN, ketika diberikan kepada PNS, maka telah terjadi transformasi rezim hukum publik ke
hukum privat. Kita tidak perlu mengetahui untuk apa penggunaan gaji tersebut. Hal ini
berlaku juga pada pemisahan kekayaan negara untuk disertakan
dalam modal
BUMN/BUMD. Transformasi rezim hukum publik ke hukum privat tersebut, terutama
hukum
privat
korporasi,
maka
dengan
sendirinya
pertanggungjawaban
keuangan
BUMN/BUMD tunduk pada mekanisme hukum korporasi. 2) Landasan hukum pengelolaan
BUMN/BUMD dan swasta. Pengelolaan BUMN/BUMD tunduk pada berbagai peraturan
perundangundangan,
yaitu:
Undang-Undang
Keuangan
Negara,
Undang-Undang
Perbendaharaan Negara, Undang-Undang BPK, Undang-Undang BUMN, Undang-Undang
Perseroan Terbatas, Undang-Undang Penanaman Modal, dll.
Dengan demikian, mekanisme transparansi BUMN/BUMD lebih transparan daripada
badan swasta. 3) Maksud dan tujuan pendirian BUMN/BUMD. Maksud dan tujuan pendirian
BUMN/BUMD adalah: memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional
pada umumnya dan perekonomian negara pada khususnya, mengejar keuntungan,
menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang
bermutu tinggi yang memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak (PSO), menjadi
perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan
korporasi. Namun tidak dijelaskan bagaimana korelasi antara maksud dan tujuan tersebut
dengan rezim keterbukaan yang diatur oleh UU KIP. 4) Bentuk aktivitas BUMN/BUMD.
Aktivitas BUMN/BUMN dapat merupakan aktivitas yang merupakan pelaksanaan tugas
penyelenggaraan negara, aktivitas terkait rahasia negara, dan aktivitas murni korporasi.
Aktivitas
pelaksanaan
tugas
penyelenggaraan
negara,
misalnya
pelayanan
kepentingan umum, pemberian subsidi dan PSO. Aktivitas ini tunduk pada rezim keuangan
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
14
negara. Aktivitas terkait rahasia negara, misalnya terkait dengan pertahanan dan keamanan
negara. Sedangkan aktivitas murni korporasi tunduk pada rezim hukum privat korporasi.
Terkait dengan PSO, Pemerintah dalam hal pengadaan barang dan jasa dapat
menugaskan kepada BUMN/BUMD atau swasta untuk melakukannya. Penugasan tersebut
didasarkan pada suatu kontrak pengadaan barang dan jasa. Jadi, keterbukaan bukan pada
korporasinya (BUMN/BUMD dan swasta), tetapi pada kontrak tersebut (antara pemerintah
dengan BUMN/BUMD atau swasta). Pemerintah memiliki kekhawatiran jika BUMD/BUMD
harus terbuka akan mengulang kembali praktek yang terjadi pada Bank Negara Indonesia
(BNI). Pada saat BNI melakukan keterbukaan, justru nasabahnya hengkang ke bank-bank
lain, terutama ke bank-bank asing.
Kemudian apabila BUMN/BUMD terbuka, maka seperti Newmont, Freeport dapat
mengetahui semua tentang Aneka Tambang. Petronas dapat mengetahui tentang Pertamina.
Sedangkan BUMN/BUMD tidak bisa mengetahui mereka. Intinya, menurut pemerintah
kerangka berpikirnya tidak boleh sempit. Artinya, tidak boleh setiap perusahaan dimana
negara menyertakan modal ke dalamnya harus terbuka. Lihat proporsi modalnya, apabila
lebih dari lima puluh satu persen, maka dapat saja terbuka. Namun apabila kurang dari lima
puluh persen, maka kita tidak dapat memaksa perusahaan tersebut untuk terbuka. Lebih dari
itu, Pemerintah mengharapkan tidak terjadi diskriminasi antara BUMN/BUMD dengan
perusahaan swasta. Semua BUMN/BUMD harus terbuka, sedangkan swasta tidak harus
terbuka. Ini dianggap sebagai wujud ketidakadilan informasi yang justru akan membawa
dampak kerugian bagi negara.
Terhadap alasan-alasan yang dikemukakan Pemerintah di atas, anggota DPR RI dari
F-PDIP memberikan tanggapan bahwa keterbukaan dalam BUMN/BUMD justru
dimaksudkan untuk menghindarkan BUMN/BUMD dari aspek aspek ketertutupan yang dapat
menjadi salah satu sumber korupsi di negara ini. Banyak BUMN/BUMD yang tidak
transparan. Selain itu, dari apa yang diungkapkan oleh pemerintah, justru mempertegas
bahwa BUMN/BUMD banyak mengandung unsur publiknya, baik mengenai sumber dana
yang berasal dari keuangan negara, keberadaan BUMN/BUMD, sehingga perlu dimasukkan
ke dalam lingkup badan publik. Alasan lain dari DPR RI bahwa banyak anggaran yang
dialokasikan pada BUMN/BUMD, tetapi kinerja BUMN/BUMD tertutup dari publik dan
masih jauh dari yang diharapkan. Keterbukaan pada BUMN/ BUMD sebenarnya lebih
ditekankan pada transparency, accountability, dan professionalism dari BUMN/BUMD
karena merupakan bagian perwujudan amanat Pasal 33 ayat 3 UUD NRI 1945. Jadi
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
15
BUMN/BUMD seharusnya terbuka. Apabila ada informasi yang memang harus tertutup,
maka dapat diatur dalam ketentuan yang terkait dengan informasi yang dikecualikan. 8
Mantan Ketua Pansus RUU KMIP periode masa bakti anggota DPR RI tahun 19992004 yang merumusakan draft RUU KIP sejak pertama kali, juga menyebutkan
beberapa kelemahan mendasar terkait Badan Publik, yaitu : 9
“Definisi badan publik itu sendiri, bagi saya, juga sempit. Definisi ini tidak termasuk
badan swasta maupun pemerintah yang betul-betul berinteraksi dengan masyarakat
secara luas. Yang dibidik hanya penggunaan anggaran negaranya. Padahal, badan
swasta murni, juga kudu menyediakan informasi publik”.
Sebagai orang yang ikut merumuskan draft RUU KIP sejak awal bernama KMIP,
yang diinginkan sebenarnya adalah definisi badan publik yang luas. Sehingga, badan usaha,
baik milik publik (BUMN) maupun swasta, itu harus termasuk juga. Mereka harus wajib
menyampaikan informasi seluas-luasnya kepada publik. Tentang ada ketentuan kategori
informasi yang dikecualikan, hal tersebut bisa dipahami, namun substansi UU yaitu bahwa
ada perintah yang bersifat imperatif kepada badan publik untuk tunduk.
Namun apa yang terjadi? hingga kini, termasuk juga lembaga pemerintah dan DPR,
perbuatannya tidak sesuai dengan roh UU ini. Tidak sesuai dengan definisi badan publik.
Persoalan yang membuat lama adalah memutuskan apakah Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) termasuk badan publik. Ditambahkan lagi oleh Mantan Ketua Pansus RUU KMIP :
“Bagi saya, BUMN termasuk. Lantas tentu saja pemerintah berpikir, jika ada UU ini,
tentu mereka merasa ada kekuasaan mereka yang berkurang. Mereka pasti timbangmenimbang. UU ini bisa memperluas interest pemerintah gak, atau sebaliknya? Untuk
setiap UU tarik-tarikan interest pasti ada. Apalagi government sebagai birokrat.
Apakah interest-nya terjaga, atau akan tercabut.”
Selain itu, lembaga advokasi yang turut menggagas lahirnya UU KIP, Indonesian
Center for Environmental Law (ICEL) ikut mencatatkan kelemahan mendasar terjadi pada
pendefinisian terhadap badan publik itu sendiri:10
“Kita bisa membaca pasal 1 ayat 3 UU KIP yang mendefinisikan bahwa badan publik
tidak hanya badan publik sebagaimana umumnya yakni pemangku kebijakan atau
8
Anotasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Komisi Informasi Pusat dan ICEL,
Jakarta, 2009, hlm. 33.
9
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18932&cl=Wawancara Paulus Wijayanto, 3 April 2008, diakses 28 Februari
2015 pukul 22.00 WIB.
10
http://syafiie.blogspot.com/2011/04/sisi-lemah-uu-keterbukaan-informasi.html. Senin, 11 April 2011, diakses 28 Februari
2015, pukul 22.10
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
16
pemerintah, tetapi juga mengkatagorikan organisasi-organisasi non pemerintah (LSM,
NGO, Ormas dan lain-lain) sebagai badan- badan publik juga sepanjang “sebagian
atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan atau APBD, sumbangan masyarakat,
dan atau dari luar negeri. Pendefinisian ini jelas mengkaburkan makna dari
penyelenggaraan pelayanan publik sebenarnya”
Beberapa penjabaran lainnya terkait masalah Badan Publik, yaitu: Pertama, UU KIP
tidak menyebutkan secara tegas definisi badan publik yang wajib menyediakan akses
informasi bagi publik. Persoalan mendasar ini terletak pada tidak adanya pengaturan secara
tegas untuk badan usaha swasta yang melakukan kegiatan berdasarkan perjanjian kerja dari
badan publik (pemerintah). Mengingat banyaknya kasus yang dilakukan industri ekstraktif
yang mengatasnamakan pemerintah, menyalahgunakan prinsip pengelolaan lingkungan
dalam dokumen AMDAL, kontrak karya, Rencana Pengelolaan dan Rencana Pemantauan
(RKL/RPL), dan dokumen lainnya.
Kedua, UU KIP tidak taat azas. Dalam hal ini, ketentuan azas Maximum Access
Limited Exemption justru disimpangi dengan adanya ketentuan dalam pasal 14-16 UU KIP
yang membatasi informasi-informasi yang wajib dibuka oleh BUMN/D, Partai Politik, dan
Organisasi Non-Pemerintah. Prinsip maximum access limited exemption ialah prinsip
fundamental dalam hak atas informasi yang menentukan dua hal, pertama, pemberlakuan
pengecualian informasi (yang dapat ditutup aksesnya) atau istilah teknisnya adalah exemption
harus didasarkan pada asas kehati-hatian dengan menggunakan metode uji konsekuensi
(consequential harm test) dan uji menimbang kepentingan publik (balancing public interest
test). Kedua, pemberlakuan status kerahasiaan terhadap informasi memiliki batas waktu
(tidak permanen).
Ketiga, UU KIP mewajibkan peminta informasi untuk memberikan alasan dalam
permohonannya. Ketentuan ini justru bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi,
dimana informasi yang dikelola dari penyelenggaraan badan publik merupakan milik publik,
bukan milik badan publik. Selain itu, berdasarkan ketentuan dalam UU KIP, badan publik
telah diwajibkan untuk mengkategorikan jenis informasi mana yang terbuka dan mana yang
tertutup sesuai dengan alasan yang obyektif dan asas kerahasiaan informasi. Sehingga,
menyertakan alasan dalam setiap permintaan informasi, tidak relevan lagi. Dalam beberapa
kasus, ketentuan ini justru memberi peluang terbukanya conflict of interest badan publik atas
alasan peminta informasi.
Keempat, ketentuan dalam Pasal 6 UU KIP yang menyatakan bahwa Badan Publik
berhak menolak permintaan informasi masyarakat apabila informasi yang diminta salah satu
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
17
data tersebut belum dikuasai atau didokumentasikan oleh badan-badan publik. Kondisi ini
jelas memperlemah terhadap akses publik terhadap data-data publik. Betapa tidak, Badan
Publik dapat menolak permintaan masyarakat untuk memperoleh informasi, dengan alasan
belum didokumentasikan.
Kelima, UU KIP tidak mengatur secara jelas tentang jangka waktu kewajiban Badan
Publik untuk memberikan informasi kepada peminta informasi. Dalam Pasal 22 UU KIP
hanya dinyatakan bahwa Badan Publik hanya wajib memberitahukan informasi yang berada
pada penguasaannya atau tidak kepada peminta informasi selambat-lambatnya sepuluh hari
kerja yang dapat diperpanjang selambat-lambatnya tujuh hari kerja.
Walaupun pada akhirnya BUMN BUMD disepakati untuk dikategorikan sebagai
badan publik di pasal 14 UU KIP, tetap saja hal tersebut masih dianggap menyisakan
kekecewaan bagi kalangan masyarakat sipil karena dalam Pasal 14, 15, 16 tersebut berisi
syarat informasi hanya boleh dibuka. Selain itu penyertaan LSM dan Partai Politik sebagai
kategori badan publik di Pasal 15, dan 16 UU KIP juga dianggap sebagai sesuatu hal yang
kurang tepat, sebagaimana yang disampaikan Manta Ketua Pansus RUU KMIP Paulus
Widiyanto :
“Aneh itu sebenarnya LSM masuk sebagai badan publik karena tidak jauh beda
dengan pengajian sebenarnya, tidak ada memakai APBN/APBD dan kalaupun
menerima dari asing paling tidak seberapa, sama saja posisinya badan usaha swasta
yang tidak dimasukkan sebagai badan publik karena dianggap tidak ada kaitan dengan
APBN/APBN, harusnya kalau kita LSM dimasukkan ya badan usaha swasta juga
harus masuk karena sama-sama di Indonesia”.
Selama ini paradigma ketertutupan terhadap BUMN/BUMD merupakan preseden
buruk bagi perwujudan good governance dan percepatan pemberatasan korupsi di Indonesia
sesuai Inpres No 5 tahun 2005. Apalagi Indonesia telah meratifikasi konvensi internasional
tentang pemberantasan korupsi atau United Nation Convention Against Corruption
(UNCAC), oleh karena itu seharusnya pemerintah wajib mendorong adanya transparansi dan
menjamin akses publik terhadap informasi agar badan-badan publik terhindar dari korupsi.
Menguatnya iklim keterbukaan tentu harus direspon oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono untuk ikut serta mendorong keterbukaan informasi disektor BUMN/BUMD.
Walaupun disadari bahwa dalam rangka persaingan usaha (competitiveness), terdapat
informasi yang tidak bisa dibuka seluas-luasnya. Oleh karena itu keberadaan pasal
Pengecualian Informasi sesungguhnya telah mengakomodasi kepentingan competitiveness
BUMN/BUMD, karena menegaskan bahwa “informasi yang apabila dibuka dan diberikan
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
18
kepada pengguna informasi dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan
intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat” (UU KIP Tahun 2008 Bab V
Pasal 17).
Dalam lapiran petisi Koalisi Masyarakat Sipil yang berjudul “Mendorong
Keterbukaan RUU Keterbukaan Informasi Publik sesuai Prinsip-Prinsip Hak Publik atas
Informasi”, Good Governance dan Good Corporate Governance telah menjadi program
seluruh Departemen termasuk Kementerian BUMN serta telah diterapkan pada sejumlah
BUMN. Oleh karena itu RUU KIP seharusnya bisa menjadi bagian sinergis agar
BUMN/BUMD lebih transparan dan bebas korupsi.
Berdasarkan uraian tersebut, jelas terlihat bahwa keputusan tentang Badan Publik
lahir dari hasil lobby dan kompromi. Pembahasan tentang Badan Publik merupakan
pembahasan paling lama menemukan kesepakatan karena selalu bersatus ditunda sampai
akhirnya dibawa sampai pada rapat Tim Perumus (Timus) di akhir pembahasan. Ketua Tim
Perumus (Timus), Arief Mudatsir Mandan dari Fraksi PPP dalam laporannya kepada Panitia
Kerja (Panja) menyampaikan hingga rapat terakhir, definisi badan publik masih di pending
(tunda). Masih terdapat berbagai perbedaan pendapat mengenai definisi badan publik. Untuk
kelancaran pembahasan RUU ini, maka Timus merekomendasikan pembahasannya dilakukan
lobby di tingkat Panja11. Sampai pada akhirnya keputusan mengenai badan publik tersebut
diakhiri pada 2 April 2008 pada rapat Timus RUU KIP yang memutuskan bahwa terdapat
informasi yang wajib disediakan bagi BUMN BUMD dan badan usaha lainnya di Pasal 14,
informasi yang wajib disediakan oleh Parpol di pasal 15 dan informasi yang wajib disediakan
oleh LSM di pasal 16.
Keputusan yang menghadirkan pasal baru tersebut merupakan hasil kompromi
(adanya proses trade-off/tawar menawar) pada lobby yang sebelumnya telah disepakati
bersama antara Komisi I dengan Pemerintah di sebuah Hotel di Kawasan Petamburan Jakarta.
Pasal baru (14, 15, 16) tersebut menunjukkan bahwa apa yang menjadi keinginan kelompok
Komisi I untuk memasukkan BUMN BUMD sebagai badan publik bisa terpenuhi dan
keinginan pemerintah yang ingin memasukkan partai politik dan LSM sebagai badan publik
juga terpenuhi. Hanya saja teks tentang badan swasta yang juga diusulkan sebagai badan
publik di rumusan draft periode 1999-2004 sudah tidak ada (terhapus). Hal ini cukup
mengecewakan salah satu Ketua Pansus RUU KMIP periode 1999-2004 Paulus Widiyanto.
11
Risalah Rapat Panja RUU KMIP, Komisi I DPR RI, Buku 6, Jakarta, 2008, hlm. 719.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
19
“Badan publik itu waktu mendefinisikan itu hilangnya adalah badan usaha swasta. Waktu
draft awal ada badan usaha swasta, point itulah yang menyebabkan saya mengatakan itu
masih 65%. Kalaupun BUMN masuk pasal 14 itu dengan trade off dengan lobby. Ok masuk
tapi partai politik jug masuk gitu kan, LSM harus masuk. Padahal di dunia, ga ada LSM
masuk dalam undang-undang semacam ini, karena LSM itu adalah masyarakat yang meminta
informasi. Intinya badan publik itu kekurangannya adalah karena didefinisikan dengan
pendekatan dana atau uang, itu gagal, ketidak lengkapannya disitu gitu. Jadi yang pertama
kan badan publik itu yang dibiayai APBN APBD sehingga pendekatannya kan keuangan,
yang kedua kemudian lembaga-lembaga swasta atau partai politik yang memproleh dana jadi
ada kata dana lagi kan sehingga terpaksa bahwa informasi publik itu mempunyai kegunaan
jadi pendekataannya adalah manfaat. Kalau misalkan tidak ada uang kan itu tetap saja
harusnya dibuka. Mereka kan swasta, swasta itu kan mempunyai informasi publik, kalau dia
mempunyai informasi publik yang betul-betul penting bagi orang banyak, penting bagi hajat
hidup orang banyak ya dibuka”.
Dengan hasil RUU KIP yang telah menjadi UU KIP dan telah berjalan 5 (lima) tahun
sejak diberlakukan tahun 2010, dalam implementasinya saat ini Komisi Informasi pada
laporan terakhir Sekretariat Komisi Infromasi Pusat tahun 2014 menyatakan masih banyak
terjadi kasus sengketa informasi badan publik, tercatat total sekitar 2549 kasus dari tahun
2010-2014. Dengan
demikian
sampai
dengan
sengketa sebanyak 1827 kasus atau 71,68%.
akhir
tahun
2014,
jumlah
beban
Namun dapat dikatakan bahwa data ini
sekaligus menunujukkan fenomena semakin meningkatnya pemahaman dan kesadaran publik
akan adanya keterbukaan informasi publik.
Tabel 2
Jumlah Sengketa Informasi per Tahun
Tahun
Jumlah Permohonan Sengketa
2010
76
2011
419
2012
323
2013
377
2014
1354
TOTAL
2549
Sumber : Laporan Tahunan Sekretariat Komisi Informasi Pusat Tahun 2014
Laporan Dirjen Informasi Komunikasi Publik Kementerian Kominfo tercatat belum
seluruh badan publik di Indonesia telah memiliki PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
20
Dokumentasi) yang seharusnya dimiliki oleh setiap Badan Publik sebagaimana diwajibkan
dalam pasal 13 UU KIP “untuk mewujudkan pelayanan cepat, tepat, dan sederhana setiap
Badan Publik : a. Menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi, dan...”.
Tabel. 3
Rekapitulasi Jumlah PPID (per 3 Desember 2014)
No. Lembaga
Jumlah
34
Telah Menunjuk Pejabat Persentase (%)
Pengelola Informasi dan
Dokumentasi (PPID)
34
100, 00 %
1.
Kementerian
2.
42
35, 90 %
3.
Kesekretariatan
117
Lembaga Negara /
Lembaga
setingkat
Menteri / LPNK /
LNS / LPP
Provinsi
34
30
88, 24 %
4.
Kabupaten
399
171
42, 86 %
5.
Kota
98
65
66, 33 %
TOTAL
682
342
50,15 %
Sumber : Dirjen Informasi Komunikasi Publik Kementerian Kominfo
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa produk UU KIP ini belumlah bisa
‘menggigit’ Badan Publik untuk sadar akan keterbukaan informasi publik tersebut, terlebih
sanksi hukum yang diberikan masih terbilang sangat kecil terhadap Badan Publik yang
dengan sengaja tidak menyediakan, memberikan dan / atau tidak menerbitkan informasi
publik yaitu hanya dikenakan pidana paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp
5. 000.000,- (lima juta rupiah) sebagaimana tercantum dalam pasal 52 UU KIP. Jika diamati
sanksi hukum dan nilai uang dengan nominal denda tersebut belumlah sebanding dengan
kecendrungan Badan Publik untuk memilih menutupi berbagai informasi terkait proses tender
dan keuntungan bisnis misalnya.
Mengapa anggota kelompok pembahas RUU KIP di Komisi I DPR RI akhirnya
sepakat dengan rumusan yang diajukan dari pemerintah padahal sebelumnya semua fraksi
rata-rata menolak rumusan/usul pemerintah tersebut? Bagaiamana hal ini bisa terjadi?
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
21
Hal ini dipandang menarik untuk diamati dan diteliti karena fenomena tersebut
mendekati ciri terdapatnya groupthink dalam suatu kelompok tugas yang mampu menjadi
kohesif dalam kasus tertentu ketika awalnya mereka heterogen (berbagai anggota yang
berasal dari berbagai latar belakang fraksi partai politik yang berbeda di DPR RI) diharuskan
untuk bergabung dan bekerja sama guna mencapai tujuan tertentu.
Kepentingan dan proses tawar menawar yang dikomunikasikan dalam proses
pembahasan dan pengambilan keputusan menyisakan keinginan kuat untuk mencapai
ketaatan, dimana keinginan untuk mencapai suatu tujuan atau tugas lebih penting daripada
menghasilkan pemecahan masalah yang masuk akal ketika kelompok sedang berada dalam
mentalitas menjaga “keharmonisan kelompok”, sehingga di titik ini menciptakan perdamaian
lebih penting daripada membuat keputusan yang jelas dan sesuai. 12
1.1.2 Mengapa harus RUU Keterbukaan Informasi Publik?
Informasi adalah inti dari proses komunikasi. Dalam berkomunikasi kita tidak bisa
dilepaskan dengan ketergantungan terhadap informasi bagi berbagai kepentingan pencarian,
pengolahan, pembagian, penyimpanan, peminjaman, penjualan dan tukar menukar informasi.
Dengan kata lain tolak ukur keberhasilan komunikasi sangat tergantung pada informasi.
Lebih dari itu, informasi merupakan unsur penting di luar kegiatan komunikasi, karena
hampir semua aspek dalam kehidupan manusia di muka bumi ini berhubungan dengan
informasi.13
Ketergantungan kita terhadap informasi dapat membantu proses penyampaian pesanpesan dalam berkomunikasi sesuai dengan konteks dan tujuan yang hendak dicapai.
Informasi adalah inti komunikasi yang menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia, baik
sebagai pribadi, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai warga negara. Rasionalisasinya
adalah komunikasi hanya menjadi penting dan merupakan kegiatan dasar bagi kita karena
dalam kehidupan sehari-hari kita perlu mencari, mengolah, membagi, meminjam,
12
Irving L. Janis, Groupthink Psychological Studies of Policy Decision and Fiascoes, Second Edition, Houghton Mifflin
Company. Boston, 1982. Hlm. 9.
13
Alwi Dahlan. Pemerataan Informasi dan Pembangunan. Jakarta, 1997, hlm. 3.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
22
menyimpan, menjual, tukar-menukar, singkatnya: menggunakan informasi. Tidaklah
mengherankan jika tolak ukur keberhasilan komunikasi mengacu pada informasi.14
Informasi dibutuhkan sebagai pribadi, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai warga
negara. Tetapi, sayangnya, pemahaman tentang hakekat informasi sebagai bagian dari hak
asasi manusia masih belum merata. Masih banyak anggota masyarakat yang belum
menyadari tentang hak-hak mereka dalam memperoleh informasi dan berpartisipasi dalam
kehidupan sosial dan kenegaraan. Masih banyak pula anggota masyarakat yang tidak
menyadari hak mereka atas informasi yang tidak muncul di media komunikasi dan
pengumuman resmi pemerintah (Koalisi untuk Kebebasan Informasi, 2003:1).
Dalam era persaingan global, entitas yang bisa bertahan dan mengambil keuntungan
dari persaingan itu adalah entitas yang menguasai sebanyak mungkin informasi. Entitas
dimaksud bisa berupa individu, badan hukum, atau juga negara. Informasi dibutuhkan dalam
setiap aspek kehidupan. Urgensinya semakin nyata dalam relasi-relasi bisnis internasional,
dimana informasi dipergunakan untuk banyak tujuan. Informasi pada dasarnya dipakai
sebagai dasar dalam pengambilan keputusan, menerima dan menggunakan informasi itu
untuk memastikan pemahaman umum kita, dan menggunakannya sebagai sarana menambah
pengetahuan. (Roger Cartwright et al., 2001:109).
Di negara-negara demokratis, pengakuan terhadap hak atas informasi sekaligus
merupakan sarana untuk memantau dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan.
Pemerintahan yang demokratis akan berusaha semaksimal mungkin membuka ruang
informasi yang dibutuhkan publik. Itu sebabnya, di negara demokratis konstitusional,
keterbukaan informasi publik merupakan sarana untuk mengoptimalkan penyelenggaraan
negara secara umum, mengoptimalkan peran dan kinerja badan-badan publik, serta segala
sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik.
Salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelengaraan negara yang terbuka
adalah hak publik untuk memperoleh Informasi sesuai dengan peraturan perundangundangan. Hak atas informasi menjadi sangat penting karena makin terbuka penyelenggaraan
14
Sebagai contoh, tolak ukur komunikasi yang klasik dari Claude Shannon adalah keberhasilan komunikasi secara teknis,
yaitu apakah informasi yang dikirimkan dapat diterima persis sama seperti informasi yang dikirimkan semula meskipun
menghadapi berbagai kendala dalam proses komunikasi. Warren Weaver menambahkan dengan tolok ukur semantic dan
tolok ukur efek : apakah oengertian informasi yang diperoleh si penerima sama dengan makna asli yang dimaksudkan oleh
pengirim, dan apakah informasi mempengaruhi perilaku si penerima. Lihat Claude E. Shannon dan Warren Weaver, The
Mathematical Theory of Communication (Urbana: Univ. of Illinois press, 1949)
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
23
negara
untuk
diawasi
publik,
penyelenggaraan
negara
tersebut
makin
dapat
dipertanggungjawabkan. Hak setiap orang untuk memperoleh informasi juga relevan untuk
meningkatkan kualitas pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik.
Partisipasi atau pelibatan masyarakat tidak banyak berarti tanpa jaminan keterbukaan
informasi publik.
Menurut Conelis Lay (2006) berbagai studi pembangunan politik di negara-negara
yang sudah menikmati stabilitas politik dan harmoni sosial menunjukkan bahwa kebebasan
informasi dan hak rakyat untuk mendapatkan informasi memainkan peranan sentral dalam
keseluruhan proses politik. Tidak ada satu pun negara yang mampu menjamin stabilitas
politik dan tertib sosial secara berkesinambingan, kecuali sistem tersebut difasilitasi dengan
jaminan kebebasan informasi15. Dalam konteks inilah kebebasan informasi publik
menemukan relevansinya dengan governability.
Keterbukaan informasi bukan hanya menguntungkan bagi masyarakat tetapi juga
penyelenggara pemerintahan, baik eksekutif dan legislatif, maupun yudikatif. Jika informasi
publik tersedia dengan cukup, maka pimpinan lembaga penyelenggara pemerintahan dalam
arti luas bisa memanfaatkan pengawasan oleh masyarakat untuk meningkatkan kinerja dan
gerak organisasi hingga ke daerah-daerah. Rodney A Smollar menggambarkan kebutuhan
akan keterbukaan semua elemen masyarakat sebagai berikut:
“A society that wishes to adopt openness as a value of overarching significance will
not merely allow citizen a wide range of individual expressive freedom, but will go on
step further and actually open up the deliberate processes of government itself to the
sunlight of public scrunity. In a truly open culture, the normal rule is that government
does not conduct the business of the people behind closed door. Legislative,
administrative, and judicial proceedings should – as a matter of routine—be open to
the public (Rodney A Smollar, 1992:12).
Tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) mensyaratkan pemerintahan
yang terbuka sebagai salah satu fondasinya, dan kebebasan memperoleh informasi (public
access to information) merupakan salah satu prasyarat untuk menciptakan pemerintahan
terbuka (open government). terbuka, dan partisipatoris. Semakin terbuka penyelenggaraan
negara untuk diawasi publik, maka penyelenggaraan negara tersebut makin dapat
dipertanggungjawabkan. Pada tataran badan usaha, konsep pengelolaan yang baik (good
corporate governance) juga sudah dianggap sebagai suatu kebutuhan.
15
http://politik.kompasiana.com/2012/01/28/keterbukaan-informasi-publik-dalam-perspektif-governability-434151.html,
diakses tanggal 25 Februari 2015, pukul 15.00 WIB.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
24
Banyak contoh kasus yang bisa kita saksikan sehari-hari, yang menggambarkan
kesulitan masyarakat mengakses informasi ke badan-badan publik. Mulai dari persoalan kecil
dokumen kependudukan (akta kelahiran, KTP, dan SIM), hingga akses ke putusan-putusan
pengadilan, dokumen-dokumen kebijakan publik, dan informasi yang sifatnya rahasia.
Koalisi untuk Kebebasan Informasi mencatat ada beberapa hambatan yang paling sering
dialami masyarakat ketika hendak mendapatkan informasi dari badan publik. Misalnya: 1)
Tidak adanya kepastian atau jaminan bagi masyarakat apabila tidak mendapatkan informasi.
Hal ini menyebabkan apabila permintaan informasi dari masyarakat ditolak, mereka tidak
memiliki jaminan hukum untuk mempertahankan haknya; 2) Ketentuan hukum yang
mengatur batasan rahasia negara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1971 tentang Kearsipan sangat luas dan tidak memberikan
batasan yang jelas tentang informasi yang tergolong rahasia; 3) Tidak adanya sanksi hukum
bagi pejabat publik yang dengan sengaja menghambat akses informasi publik. Walhasil,
praktik menghambat akses informasi masyarakat menjadi sesuatu yang lumrah. Informasi
baru dibuka jika ada biaya tambahan yang dibayarkan pemohon informasi; 4) Tidak adanya
mekanisme mendapatkan informasi yang jelas baik waktu maupun skemanya16.
Spirit keterbukaan penyelenggaraan pemerintahan berjalan beriringan dan memiliki
hubungan kausal dengan semangat reformasi yang digulirkan sejak 1998. Terutama dalam
upaya memberantas penyakit kolusi, korupsi, dan nepotisme. Orang yang memberikan
informasi tentang adanya perbuatan kolusi, korupsi, dan nepotisme bukan harus saja
dilindungi hukum, tetapi juga berhak mendapat penghargaan. Prinsip ini sebenarnya
menunjukkan pentingnya sebuah keterbukaan informasi. Desakan untuk melahirkan payung
hukum KMIP bukan tanpa dasar. TAP MPR XVII/MPR/1998, Undang-Undang Hak Asasi
Manusia, dan sejumlah konvensi internasional sudah mengakomodir hak atas informasi.
Dorongan masyarakat terhadap badan-badan pemerintahan semakin kuat, terutama
berkat topangan dan advokasi lembaga-lembaga masyarakat sipil. Spirit keterbukaan itu
akhirnya dituangkan dalam banyak peraturan perundangundangan nasional. Misalnya,
Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang No. 40 Tahun
1999 tentang Pers, Undang- Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Peraturan
Pemerintah No. 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam
16
Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Jakarta, 2008, hlm : 9
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
25
Penyelenggaraan Negara. Dalam konteks informasi sebagai bagian dari hak asasi manusia,
kita bisa merujuk pada spirit yang dikembangkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Tetapi peraturan perundangundangan tersebut belum mengatur
secara rinci apa saja informasi yang bersifat terbuka dan informasi yang dikecualikan. Belum
jelas juga bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa informasi. Sebagian besar peraturan
perundang-undangan tersebut hanya memuat prinsip-prinsip dasar perlunya keterbukaan
informasi, saluran-saluran komunikasi, dan partisipasi masyarakat. Pada praktiknya,
kebutuhan atas informasi membawa implikasi yang jauh lebih luas dan kompleks.
Badan-badan publik harus menyediakan informasi yang karena sifatnya harus dibuka
ke publik. Sebaliknya, lembaga-lembaga negara dan profesi tertentu harus menjaga
kerahasiaan informasi karena diharuskan oleh undang-undang. Misalnya, rahasia dokter
dengan pasien, rahasia advokat dengan klien, bahkan rahasia Ombudsman dengan warga
yang melaporkan pelayanan publik. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya
mengatur mekanisme penyelesaian sengketa informasi dan lembaga independen yang
menyelesaikan sengketa informasi. Sengketa informasi bisa saja muncul antara pemohon
informasi dengan badan publik penyedia informasi. Ketiadaan mekanisme yang jelas justru
berakibat pada ketidakpastian hukum. Salah satu putusan pengadilan yang relevan dijadikan
contoh adalah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 20 Agustus 2008 tentang hasil
penelitian susu. Seorang konsumen susu menggugat ketertutupan informasi hal penelitian
IPB mengenai merek susu tercemar. Menutup-nutupi informasi yang menyangkut
kepentingan publik dinilai sebagai perbuatan melawan hukum. Majelis hakim mengabulkan
gugatan konsumen susu tersebut.
Tentu saja era keterbukaan informasi tetap memiliki catatan. Bila tidak dilakukan
verifikasi, bisa saja sebuah informasi dianggap benar dan penting. Padahal mungkin saja
informasi tersebut menyesatkan. Dunia pasar modal, dimana banyak perusahaan bersifat
terbuka (Tbk) dan dimana kepentingan banyak orang terkait, sudah lama mengatur larangan
memberikan atau menyedikan informasi yang tidak benar dan menyesatkan. Larangan ini
dapat dipahami sebagai upaya menghindari terjadinya distorsi informasi. Salah satu kasus
distorsi informasi yang masuk pengadilan adalah kasus informasi tentang dugaan pemalsuan
tanda tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh seorang Bupati di Maluku Tenggara
Barat. Informasi ini dimuat di sejumlah media, termasuk majalah sekaliber Tempo, padahal
informasi tersebut bohong dan diciptakan karena persaingan pemilihan kepala daerah.
Mahkamah Agung akhirnya menguatkan vonis dua tahun yang dijatuhkan pengadilan di
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
26
bawahnya karena terdakwa menyiarkan berita bohong yang dapat menyesatkan masyarakat
(Putusan MA No. 905K/Pid/2009).
Kedua kasus di atas menunjukkan bahwa informasi bisa menimbulkan sengketa yang
berujung ke meja hijau. Penyelesaian sengketa informasi dengan baik sangat ditentukan
pengaturan mekanismenya lewat peraturan perundangundangan.
Berdasarkan ilustrasi di atas, jelaslah bahwa Undang-undang tentang keterbukaan
Informasi sangat penting dimiliki oleh Indonesia dalam kondisi sebagai negara transisi
demokrasi sekaligus menarik untuk dikaji sebagai suatu penelitian dalam ranah
pengembangan studi komunikasi, sehingga upaya mendorong lahirnya suatu Undang-Undang
tentang Keterbukan Informasi Publik (KIP) terus dilakukan masyarakat sipil, terutama oleh
Koalisi untuk Kebebasan Informasi, yang terbentuk pada Desember 2000. Koalisi
beranggotakan sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan perseorangan ini secara aktif dan
konsisten melakukan advokasi tentang urgensi suatu Undang-Undang yang menjamin akses
terhadap informasi publik ke DPR. Usaha ini tidak sia-sia. Rapat Pleno Badan Legislasi DPR,
23 Februari 2001, menyetujui pembentukan Panitia Kerja (Panja). Dua bulan kemudian,
Panja aktif melakukan sosialisasi RUU KIP yang awalnya bernama RUU Kebebasan
Mendapat Informasi Publik (KMIP) ke sejumlah daerah untuk mendapatkan masukan. Panja
juga mengundang sejumlah pakar. Dari serangkaian acara itu, Panja melakukan
penyempurnaan draft. Pada 19 Oktober 2001, draft disepakati sebagai usul inisiatif anggota
Dewan. Sebulan kemudian, RUU KMIP disampaikan kepada Pimpinan DPR. Sejak saat
itulah tahap demi tahap pembahasan RUU KMIP dilakukan. Namun sangat disayangkan
RUU KIP belum dapat diilahirkan hingga akhir masa bakti di parleman tahun 2004
dikarenakan Komisi I DPR RI yang diserahi amanat untuk membahas RUU KIP belum
mendapatkan respon berupa Daftar Isian Masalah (DIM) dari pemerintahaan Presiden
Megawati Soekarno Puteri, sehingga pada akhirnya RUU KIP kembali diajukan dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan baru dibahas pada awal Desember 2005 hingga
disahkan pada 3 April 2008 dan diundangkan pada 30 April 2008, dan mulai berlaku dua
tahun setelah pengundangan, yakni tanggal 30 April 2010.
Penelitian ini berusaha untuk menyajikan sebagian dinamika komunikasi kelompok
yang terjadi dalam proses perumusan UU KIP di Komisi I DPR RI periode tahun 2004-2009
berdasarkan perspektif groupthink theory.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
27
1.1.3 Studi-studi Tentang Groupthink Theory yang telah dilakukan
1.1.3.1. Studi-Studi Groupthink di Luar Negeri
Pengamatan
terhadap
publikasi
Groupthink
di
jurnal-jurnal
internasional
menunjukkan bahwa studi tentang Pemikiran kelompok (Groupthink) telah dikaji dalam
berbagai topik dan pendekatan bidang studi. Studi groupthink di luar negeri menunjukkan
bahwa teori ini masih relevan untuk disesuaikan dengan berbagai perkembangan kasus dalam
berbagai bidang.
Sehingga sejak perkembangan studi groupthink dilakukan dari awal tahun 1972
hingga kini teori ini masih terus dikaji. Groupthink Janis (1972) yang ditawarkan sebagai
penjelasan teoritis untuk pengambilan keputusan yang salah, tetap memiliki tempat yang
menonjol dalam studi kelompok bagi pengambilan keputusan. Model Janis tentang
groupthink telah menjadi teori yang sangat populer sejak diperkenalkan.
Indeks abstrak/citation ilmu sosial setiap tahunnya mengungkapkan lebih dari 100
kutipan dari teori Janis ini (1971,1972,1982,1989, Janis & Mann, 1977) teori groupthink
dibahas dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk psikologi, bisnis, politik, ilmu pengetahuan,
komunikasi, dan lain-lain.
Metode Studi kasus merupakan metode pertama yang digunakan oleh Janis dirancang
untuk menguji teori groupthink. Analisis empat keputusan kebijakan yang mengakibatkan
kekacauan merupakan dasar utama untuk (1972) pengembangan teori groupthink Janis.
Kasus-kasus tersebut yaitu (1) keputusan pada tahun 1941 oleh Laksamana Kimmel dan
penasehatnya untuk fokus pada pelatihan bukan pada pertahanan Pearl Harbor meskipun
peringatan serangan mendadak dimungkinkan oleh Jepang, (2) keputusan pada tahun 1950
oleh Presiden Truman dan para penasihatnya untuk menambah Perang Korea dengan
melewati jalur ke-38 ke Korea Utara, (3) keputusan pada tahun 1960 oleh Presiden Kennedy
dan penasihatnya untuk mengotorisasi invasi Kuba di Teluk Babi, dan (4) serangkaian
keputusan oleh Presiden Johnson dan para penasihatnya untuk meningkatkan Perang Vietnam
selama 1964-1967.
Janis menentukan dan mengeidentifikasi gejala groupthink dan penyebabnya serta
konsekuensinya dengan membandingkan kasus ini dengan dua kasus sejarah yang
menghasilkan keputusan kebijakan yang baik, yaitu perkembangan Marshall Plan untuk
mencegah keruntuhan ekonomi di pasca-perang Eropa dan penanganan krisis rudal Kuba
pada tahun 1962. Selanjutnya, Janis (1982) menganalisis serangkaian keputusan oleh
Presiden Nixon dan penasihatnya untuk menutupi keterlibatan dari Nixon White House
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
28
dalam pembobolan markas Partai Demokrat di gedung Watergate. Janis menyimpulkan
bahwa groupthink memainkan peran utama dalam penyembunyian skandal Watergate. Janis
juga menggunakan studi kasus Watergate untuk pengembangan teori. Dari kasus Watergate ia
menyimpulkan dua anteseden (penyebab) groupthink yang belum termasuk dalam
sebelumnya (Janis, 1972) yaitu homogenitas ideologi anggota kelompok dan stres yang tinggi
dari ancaman eksternal.
Dapat disimpulkan, studi kasus sejarah yang melibatkan groupthink telah dilakukan
dengan menggunakan berbagai metode. Paling sering yaitu metode tradisional
dengan
menggunakan studi kasus (Raven, 1974).
Metode yang lebih kuantitatif telah diteliti oleh Tetlock (1979) dan Esser dan
Lindoerfer (1989). Tetlock memfokuskan pada gejala groupthink, sedangkan Esser dan
Lindoerfer lebih lengkap mencakup anteseden dan konsekuensi dari groupthink. Satu studi
yang paling komprehensif dan kekat dilakukan oleh Tetlock dan rekan-rekannya (Tetlocket
al., 1992). Menggunakan metodologi semacam Q Sort dikembangkan dalam penelitian ini
dengan membandingkan 10 kasus pada berbagai aspek dinamika kelompok.
Selain studi kasus, perkembangan teori groupthink juga diisi oleh tes-tes
laboratorium. Kebanyakan laboratorium penelitian tentang groupthink telah dirancang untuk
mengevaluasi teori dengan menguji keakuratan hipotesis yang berasal dari teori. Studi-studi
telah berfokus terutama pada anteseden groupthink, menanyakan apakah groupthink bisa
terjadi jika hanya kondisi anteseden yang terjadi, seperti dicatat oleh Park (1990), masingmasing studi telah meneliti efek beberapa penyebab dan konsekuensi groupthink (namun
tidak semua).
Penelitian Laboratorium telah memberikan dukungan yang sedikit untuk keterkaitan
antara kohesi kelompok dan groupthink. Namun, pertanyaannya tetap mengenai peran kohesi
kelompok dalam produksi groupthink. Hipotesis hubungan antara kohesi dan groupthink
mengalamai gagal tes berulang karena dalam setiap tes konstruk itu dioperasionalkan tidak
tepat. Turner et al. (1992) menyarankan bahwa dalam kebanyakan laboratorium studi kohesi
kelompok belum dioperasionalisasi dengan cara yang menggabungkan persyaratan utama
bahwa para anggota menganggap diri mereka sebagai sebuah kelompok.
Di sisi lain, penelitian laboratorium mendukung hubungan antara kurangnya
kepemimpinan yang memihak dan groupthink, serta menyediakan beberapa dukungan untuk
keterkaitan antara prosedur keputusan yang buruk dan groupthink. Untuk faktor ini,
kurangnya standarisasi metodologis dalam penelitian laboratorium pada groupthink
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
29
merupakan kekuatan, karena kepercayaan yang diberikan kepada temuan yang telah
ditunjukkan menggunakan berbagai metode menjadi lebih besar. Tentunya sejumlah kecil tes
laboratorium teori groupthink yang dilakukan dalam 25 tahun sejak pertama kali disajikan
oleh Janis sampai tahun 1998 belum cukup untuk memberikan evaluasi dari masing-masing
kelompok anteseden apalagi evaluasi keseluruhan teori secara lengkap sehingga hingga kini
teori ini masih terus dikaji.
Mulai tahun 1999 penelitian groupthink menunjukkan variasi kasus yang tidak selalu
diwarnai oleh nuansa politik, namun juga banyak di kembangkan di bidang-bidang lain diluar
politik, namun secara metodologi masih berkisar pada studi kasus, survei dan studi literatur.
Tulisan dari Woo-Woo Park
(2000) dari Seoul tentang pembandingan empiris
groupthink model, Yonhoo Kim (Georgia, 2001) tentang abilane paradox dan groupthink,
Judith Chapman (Sydney, 2006) tentang elaborasi model groupthink, Michael Snell (2009)
tentang groupthink di rumah sakit, Paul L. Hatway (2008) mengenai gorupthink di birokrasi,
Bernard Douglas Gambrall (2007) tentang cacat pengambilan keputusan pada siswa pasca
sarjana, Markus Hallgren (2008) yang mengamati groupthink dalam organisasi sementara,
Ronda Lou Tubbe (2010) yang melihat manfaat positif groupthink dalam pengaturan
manajemen puncak dan beberapa penelitian non politik lain menunjukkan bahwa teori ini
cukup luwes dikembangkan di berbagai bidang. Bahkan Robert Mc Keveer (2008) mewarnai
teori ini dengan mengangkat groupthink di era mediasi komputer pada jejaring sosial
facebook. Terdapat pula penelitian dari Jonah Lehler (2012) yang mengupas tentang
groupthink dalam proses brainstorming ide kreatif. Para peneliti terus menginvestigasi
banyak fitur utama teori ini dan terus didiskusikan dalam media. Keputusan kebijakan
pemerintah akan selalu ada, maka groupthink berkemampuan cukup tinggi untuk bertahan di
masa depan (West&Turner, 2008:290).
1.1.3.2. Studi-Studi Groupthink di Indonesia
Penelitian berdasarkan teori groupthink mulai diamati di Indonesia dengan adanya
penelitian dari Maddy Rochanda Pertiwi (2009) yang mengulas groupthink berdasarkan
kajian komunikasi politik di Internet. Feby Grace Adriany (2010) melalui penelitian thesis
untuk memahami groupthink pada organisasi ekstra kampus dengan ideologi tertentu yang
berafiliasi dengan organisasi intra kampus di Universitas Diponegoro Semarang. Atmodjo,
Bernadeth Narulita (2010) Groupthink dalam komunikasi kelompok KDS Surya Community,
Surabaya. Rebekka Rismayanti (2013) yang menganalisis dinamika komunikasi tim kerja
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
30
Public Relations dan B. Kiswanto (2013) yang menganalisis hubungan implementasi dengan
kohesivitas antara kelompok pegawai negeri sipil membuktikan bahwa teori groupthink telah
berhasil melalui pengajian waktu berjalan.
Teori ini berkaitan dengan pengambilan keputusan yang umumnya muncul ketika
sebuah kelompok mengeluarkan perasaan yang luar biasa dari luar karena adanya tekanan
yang kuat.
Mungkin masih terlalu dini untuk mencoba untuk memberikan penilaian tentang teori
groupthink. Sehingga diperlukan banyak penelitian lebih lanjut sebelum dapat ditentukan
apakah teori ini berlaku, apakah modifikasi teori yang diperlukan, atau apakah teori harus
dibuang sama sekali? Sementara ini teori groupthink mampu terus merangsang minat dan
basis penelitian, meskipun kecil, tetapi terus berkembang. Singkatnya, penelitian groupthink
masih hidup dan sehat, bukan karena telah divalidasi, tetapi karena telah mendorong
terkumpulnya dan tumbuhnya pengujian ide-ide tentang keputusan kelompok.
1.1.3.3 Alternatif Pendekatan bagi Studi Groupthink di Indonesia
Berdasarkan pemaparan diatas, studi groupthink dalam proses pengambilan keputusan
politik yang dilakukan ini memiliki arti penting. Pertama, studi tentang groupthink dalam
pengambilan keputusan politik masih sangat sedikit dilakukan di Indonesia. Indonesia
sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki struktur masyarakatnya sendiri,
seperti bersifat komunal, religius, masih kuatnya feodalisme, masyarakat majemuk, dan
sebagainya akan dapat memberi kontribusi untuk pengembangan studi groupthink (lihat
Brandt, 1997: 87, 117; Dahlan, 1980). Sehingga hasil studi ini akan dapat memperkaya studi
groupthink dalam kontek masyarakat Asia.
Kedua, karena fenomena groupthink pada umumnya ada dalam setiap aktivitas
komunikasi kelompok, baik itu menyangkut kelompok yang berskala besar maupun kecil.
Groupthink merupakan suatau kondisi dimana hasil keputusan yang diambil dalam kelompok
mampu mengundang kontroversi dari dalam dan luar kelompok karena lebih dianggap
sebagai suatu keputusan yang cacat/keliru, maka penelitian ini dipandang sangat tepat
digunakan untuk mengkaji permasalahan pengambilan keputusan yang bersifat kontroversial
yang terjadi dalam dinamika perpolitikan Indonesia khususnya di DPR RI yang merupakan
tempat berbagai keputusan penting bagi publik dan pemerintahan ditetapkan. Sejauh ini
penulis belum menemukan studi groupthink yang secara eksplisit mengkaji topik tentang
pengambilan keputusan politik. Sehingga studi ini sekaligus akan memberi sumbangan dalam
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
31
literatur studi komunikasi politik dalam konteks komunikasi kelompok kecil yang terjadi
pada kelompok kerja/tugas (task oriented group).
Ketiga, studi ini merupakan upaya mengembangkan studi dalam kontek masyarakat
non Barat yang selama ini dominan melakukan. Keempat, studi ini sekaligus memberi
perhatian pada fenomena komunikasi tertutup dari aktor-aktor yang dianggap berpengaruh
dalam pengambilan keputusan dalam suatu kelompok yang berlatar belakang politik.
1.1.4 Studi-studi tentang Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang Telah
Dilakukan
1.1.4.1 Studi-Studi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di Luar Negeri
Dari penelusuran ilmiah, studi-studi tentang Undang-Undang Keterbukaan Informasi
Publik telah banyak dilakukan sejak tahun 1980-an dengan topik yang beragam namun
memberikan banyak penekanan bagaimana undang-undang keterbukaan informasi mampu
digunakan untuk menjamin berjalannya pemerintahan yang bersih dan mendorong gairah
pasar. Seperti penelitian Harold C. Relyea (1980) yang berjudul “Freedom of information,
privacy, and official secrecy: The evolution of federal government information policy
concepts”, penelitian dari Lotte E. Feinberg (1986) dengan judul “Managing the Freedom of
Information Act and Federal Information Policy”, Patrick Birkinshaw (1990) yang berjudul
“Freedom of information and open government: The European community/union dimension
yang menyoroti tentang kebebasan informasi dan keterbukaan pemerintah dalam masyarakat
uni Eropa. Penelitian dari Maureen McNichols dan Brett Trueman (1994) yang berjudul
“Public disclosure, private information collection, and short-term trading” dimana
keterbukaan publik akan merangsang investasi.
Selain pemenuhan hak publik akan
informasi, juga diperlukan standar etika dalam meminta dan menerima informasi publik
seperti yang diungkap oleh Candace Cummins Gauthier (1999) yang berjudul “Right to
Know, Press Freedom, Public Discourse”.
Perkembangan di tahun 2000, penelitian tentang Undang-Undang Keterbukaan
Informasi masih banyak mengemukakan pentingnya menjamin hak publik terhadap
informasi, baik dari pemerintah, badan usaha maupun dari media. Studi dari Steven Huddart,
John S. Hughes and Carolyn B. Levine (2001) yang berjudul
Dissimulation of Insider Trades”
“Public Disclosure and
menawarkan pemikiran baru bahwa peraturan untuk
mengungkapkan perdagangan saham ke publik akan menyeimbangkan keuntungan. Suzanne
J. Piotrowski and David H. Rosenbloom Nonmission–Based Values in Results–Oriented
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
32
Public Management: The Case of Freedom of Information (2002) menyebutkan bahwa
kebebasan
informasi
menggambarkan
tentang
melindungi,
nilai-nilai
demokrasi
konstitusional. Solusi bagi sengketa informasi ditelaah oleh Martin E. Halstuk & Bill F.
Chamberlin (2006) melalui A Retrospective on the Rise of Privacy Protection Over the Public
Interest in Knowing What the Government's Up To Communication Law and Policy yang
menemukan adanya konflik ketika hak individu dan hak publik yang merupakan nilai suatu
demokrasi yang vital bertemu guna mendapatkan informasi pemerintah, sehingga Freedom of
Information Act (FOIA) dimaksudkan untuk mengatur keseimbangan seperti ketika mereka
menciptakan dua pengecualian privasi untuk undang-undang. Sementara The impact of the
Freedom of Information Act on central government in the UK: does freedom of information
work? Dari Hazell, R. and Worthy, Benjamin and Glover, M. (2010) dan Ben Worthy (2010 )
melalui More Open but Not More Trusted? The Effect of the Freedom of Information Act
2000 on the United Kingdom Central Government mengungkap bahwa Undang-Undang
Kebebasan Informasi Inggris (FOI) disahkan dengan tujuan membuat pemerintah lebih
transparan, akuntabel dan efektif.
Tetapi terdapat pengecualian dalam Freedom of
information acts and public sector corruption dari Monica Escaleras, Shu Lin, Charles
Register (2009) yang mengungkap bahwa memang betul transparansi yang lebih melalui
Freedom of Information Act (FOIA) dapat mengurangi korupsi di sektor publik, namun
terdapat pengecualian di negara berkembang, tindakan FOIA secara signifikan justru dapat
meningkatkan tingkat korupsi. Temuan ini kemudian bisa dijawab sebagai oleh Adriana S.
Cordis Patrick L. Warren (2014) melalui judul “Sunshine as disinfectant: The effect of state
Freedom of Information Act laws on public corruption, yang menunjukkan bahwa penguatan
hukum FOIA akan menghasilkan dua dampak yaitu mengurangi korupsi dan meningkatkan
kemungkinan bahwa tindakan korupsi terdeteksi, serta melalui upaya penghindaran
privatisasi badan publik sebagaimana temuan Matthew D. Bunker, Reese Phifer Charles N.
Davis (2014) melalui Privatized Government Functions and Freedom of Information: Public
Accountability in an Age of Private Governance yang mengingatkan bahwa upaya privatisasi
telah menimbulkan meningkatnya masalah untuk akses publik.
Berdasarkan beberapa penelitian yang dibahas di atas menunjukkan bahwa studi
tentang Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik mengandung banyak komponen isu
yang menarik untuk diteliti sehingga berpotensi untuk tetap bertahan dalam pengkajian.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
33
1.1.4.2 Studi-Studi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia
Sejak diundangkan tahun 2008, penelitian tentang Undang-Undang Keterbukaan
Informasi Publik (KIP) tercatat telah banyak dilakukan dalam berbagai fokus kajian dan
metode penelitian, baik dalam bentuk skripsi, tesis dan disertasi dan artikel-artikel. Berbagai
bagian dari UU KIP menjadi hal yang menarik untuk dibahas dalam suatu tulisan karya
ilmiah, seperti penelitian tentang dampak misalnya dari Nathalia Gozali (2012) yang
mencoba menguraikan dampak penerapan prinsip good corporate governance terhadap
kinerja perusahaan, penelitian Werimon, Simson dan Ghozali Imam dan Nazir, Mohammad
(2007) tentang Pengaruh Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Kebijakan Publik terhadap
Hubungan antara Pengetahuan Dewan tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD), serta penelitian disertasi Felix Jebarus (2011) tentang pertarungan kepentingan
tentang kebebasan informasi.
Selain itu studi deskriptif tentang manfaat maupun implementasi UU KIP juga kerap
dilakukan, seperti pada penelitian manfaaat konsep Good Governance bagi institusi
pemerintah dan BUMN oleh Pandu Patriadi (2010), Good Corporate Governance dan
penerapannya
di
Indonesia
oleh
Thomas
S.
Kaihatu
(2006),
Riyadi,
Slamet (2012) implementasi Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan
informasi publik untuk mewujudkan Good Governance di Pemerintah Daerah Kabupaten
Kudus.
Tema-tema tentang transparansi
informasi publik dalam berbagai bidang juga
dilakukan, seperti beberapa diantaranya yaitu penelitian dari Karjuni Dt. Maani (2009)
Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pelayananan Publik, Mita Widyastuti
Transparansi dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik
(2009)
serta tema-tema tentang
kehumasan seperti Eko Harry Susanto (2011) Media Relations dan Transparansi Informasi
(Tinjauan Terhadap Kesiapan Badan Publik Dalam Pemberlakuan UU Keterbukaan
Informasi Publik) dan penelitian analisis teks Undang-Undang seperti Isi dan Penyajian
Undang-Undang: Perspektif Hak Publik atas Informasi (Analisis Teks UU No.14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik) oleh Ichwan Efendi (2013).
Dari beberapa hal di atas menunjukkan bahwa penelitian tentang UU KIP lebih
banyak dilakukan pada ranah praktis, sedangkan studi khusus yang mengulas tentang proses
pembahasan pasal per pasal dan kajian terhadap anggota kelompok perumus Undang-undang
berdasarkan perspektif teoritis masih belum ditemukan.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
34
1.2 Fokus Penelitian
Penelitian ini berangkat dari pemikiran perlunya mengembangkan studi tentang
groupthink melalui kajian tentang dinamika komunikasi dalam pengambilan keputusan
politik yang terjadi di DPR RI dalam konteks Indonesia sebagai negara transisi demokrasi.
Perbedaan konteks atas pemilihan kasus dilatar belakangi dari keinginan untuk mengkaji apa
yang ada dibalik proses pengambilan keputusan di lembaga legislatif DPR RI yang sering
kali bersifat kontroversial dan tidak populer.
Janis melakukan studi groupthink pada kelompok eksekutif Pemerintahan pembuat
keputusan kebijakan asing (luar negeri). Walaupun menyebutkan potensi groupthink dapat
terjadi dalam berbagai lingkup organisasi termasuk di legislatif, namun hal tersebut belum
dilakukan sehingga yang ditemukan pada lingkup kelompok eksekutif tersebut yaitu kohesi
yang betul-betul tidak melihat faktor kepentingan atau pendapat luar. Sementara dalam
konteks legislatif yang lebih terbuka dan terdapat berbagai pertarungan kepentingan, anggota
pun bisa menjadi kohesif dan menghasilkan keputusan yang buruk seperti yang dicirikan oleh
groupthink.
Komunikasi politik aktor politik Indonesia yang membawa identitas partai politiknya
masing-masing dalam sebuah tugas di Komisi, memerlukan jawaban apakah komponen
groupthink bekerja di kelompok/panitia kerja pada organisasi politik yang sangat terbuka
seperti DPR RI, yang awalnya berlatar politik heterogen karena berlatar fraksi Partai Politik
yang berbeda dan terikat semangat korps yang kuat pada partai politik asalnya ? namun di
satu sisi anggotanya kerap diikat oleh kohesivitas lain berdasarkan kepentingan yang sama
tentang isu tertentu dalam sebuah kelompok tugas. Fase interaksi kelompok yang terjadi
akan dikaitkan dengan teori analisis proses interaksi dari Robert Bales, serta adanya tawar
menawar kepentingan politik berusaha dihubungkan dengan model birokrasi politik dari
Graham Allison untuk menjabarkan dinamika komunikasi poltik yang berjalan.
Dalam penelitian ini yang akan diamati adalah kelompok Komisi I DPR RI periode
2004-2009 yang membentuk panitia kerja (panja) untuk khusus membahas RUU KIP yang
awalnya bernama RUU KMIP.
Penelitian ini akan berfokus pada kajian untuk melihat kondisi-kondisi pendahulu
(anteseden) dan gejala groupthink yang ada dalam proses pembahasan hingga pengambilan
keputusan mengenai Badan Publik dalam RUU KIP di Komisi I DPR RI, bersama dinamika
komunikasi politik yang terjadi di dalamnya, dengan melibatkan berbagai kepentingan luar
kelompok. Sehingga penelitian ini diharapkan mampu menemukan hal-hal baru dari kondisi
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
35
terjadinya groupthink serta memberikan gambaran tentang model groupthink dalam kondisi
kelompok yang terbuka dan dinamis seperti di DPR RI.
Dengan demikian, bertolak dari asumsi groupthink yang menangkap adanya kondisi
dalam kelompok yang mempromosikan kohesivitas tinggi, rentan terhadap batasan afiliatif
(lebih memilih menahan masukan daripada mengambil risiko ditolak), bersifat kompleks dan
cenderung menghasilkan keputusan yang tidak populer serta memiliki dampak berkelanjutan,
maka hal ini menjadi masalah yang menarik untuk diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini
secara garis besar ingin menjawab “apakah groupthink juga bisa terjadi pada kelompok
yang awalnya heterogen dalam lingkup parlemen yang lebih terbuka dan dinamis
seperti di DPR RI?”
1.3 Rumusan Masalah
Secara khusus penelitian ini akan melihat :
1. Apa saja anteseden dan gejala groupthink yang ada dalam dinamika komunikasi pada
proses pembahasan sampai dengan pengambilan keputusan tentang Badan Publik
RUU KIP di kelompok Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR RI masa bakti 20042009?
2. Apakah terdapat upaya kelompok untuk meminimalisir terjadinya groupthink dalam
proses pembahasan hingga pengambilan keputusan tentang Badan Publik RUU KIP di
kelompok Panja Komisi I DPR RI masa bakti 2004-2009?
3. Bagaimana pola/model dari proses pengambilan keputusan politik dalam konteks
organisasi politik yang sangat terbuka seperti DPR RI?
1.4 Alasan dan Tujuan Penelitian
1.4.1 Alasan Penelitian :
Groupthink telah cukup berpengaruh dalam beberapa bidang ilmu seperti komunikasi,
psikologi kognitif dan sosial, antropologi, dan ilmu politik, sehingga setidaknya ada beberapa
alasan yang mendasari dilakukannya penelitian ini, yaitu :
1. Teori groupthink muncul dari penelitian-penelitian politik dalam konteks
psikologi sosial di Amerika Serikat di lingkup eksekutif pemerintahan yang
bersifat lebih tertutup bagi pengambilan keputusan kebijakan luar negeri. Belum
ada publikasi tentang penelitian groupthink komunikasi politik di Indonesia yang
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
36
mengkaji pengambilan keputusan, khususnya dalam lingkup legislatif di Komisi
DPR RI yang bersifat lebih terbuka.
2. Bertolak dari ruang lingkup teori groupthink yang biasanya mendasarkan pada
kelompok pembuat keputusan dalam periode krisis – dalam hal ini keputusan
kontroversial
yang
menyangkut
perumusan
Rancangan
Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik mengenai definisi badan publik bisa dikategorikan
ke dalam hal tersebut.
3. Didasarkan pada pengujian waktu berjalan teori groupthink, menunjukkan bahwa
kemungkinan groupthink untuk terus bertahan di masa depan masih cukup tinggi
karena putusan kebijakan pemerintah dan politik yang berdampak luas akan selalu
ada.
4. Keputusan mengenai definisi Badan Publik pada RUU KIP Tahun 2008
ditetapkan melalui proses pembahasan yang memakan waktu paling lama dan
mengandung berbagai kompromi, menjadi masalah yang menarik untuk diteliti.
5. Komisi di DPR RI merupakan kelompok politik yang terdiri dari anggota yang
dihubungkan satu sama lain oleh latar belakang fraksi politik yang berbeda
(heterogen), namun pada akhirnya mampu menjadi homogen dan kohesif ketika
harus mengambil keputusan yang dipengaruhi oleh pertarungan kepentingan dan
tekanan waktu, sehingga menjadi rentan terhadap groupthink.
1.4.2
Tujuan Penelitian :
Mengacu pada perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Menjelaskan anteseden dan gejala groupthink yang terjadi dalam dinamika
komunikasi pada proses pembahasan sampai dengan pengambilan keputusan tentang
Badan Publik RUU KIP di kelompok Panja Komisi I DPR RI masa bakti 2004-2009.
2. Menjelaskan upaya kelompok Panja RUU KIP dalam meminimalisir terjadinya
groupthink
3. Menawarkan model/pola pengembangan groupthink teori pada proses pengambilan
keputusan politik dalam konteks organisasi politik yang sangat terbuka dan dinamis
seperti DPR RI.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
37
1.5 Signifikansi Penelitian
ï‚·
Signifikansi Teoritis
1. Teori groupthink awalnya menjadi komoditas barat dan pada konteks kelompok politik
eksekutif pemerintahan, Janis menyarankan untuk melihat kecenderungan groupthink
di negara luar barat. Dalam perkembangannya teori groupthink telah banyak
diaplikasikan pada kelompok berbagai bidang ilmu, namun dalam konteks legislatif di
Indonesia belum ditemukan penelitian tentang groupthink. Dengan demikian, menjadi
menarik untuk melihat fenomena groupthink dalam konteks komunikasi kelompok
politik yang agak berbeda di negara transisi demokrasi Indonesia. Selain itu, teori
groupthink umumnya menunjukkan kondisi yang mempromosikan kohesivitas dan
homogenitas dari awal terbentuknya kelompok, sehingga ada semacam celah (gap)
yang belum terjawab oleh teori groupthink, yakni apakah teori groupthink bisa dipakai
untuk menjelaskan terbentuknya kohesivitas kelompok kecil dari individu yang
awalnya lebih heterogen seperti di kelompok Komisi DPR RI, dimana anggotanya
berhadapan dengan dua identitas dan kepentingan politik berbeda yaitu partai
politiknya yang bersifat tetap dan keanggotaannya di kelompok komisi dengan tujuan
tugas lainnya.
2. Penelitian ini berusaha memenuhi rekomendasi dari penelitian tentang UU KIP
sebelumnya yang diteliti oleh Felix Jebarus (Disertasi UI, 2011) yang menyarankan
adanya penelitian mengenai keberadaan fraksi dari perspektif komunikasi dengan
menggunakan teori groupthink, walaupun fokus dalam penelitian ini kepada kelompok
komisi. Sehingga diharapkan penelitian ini akan memberikan sumbangan sebagai
dasar studi lanjut tentang dinamika interaksi pada komunikasi kelompok yang rentan
terhadap groupthink di kelompok kerja Komisi DPR RI terkait dengan pengambilan
keputusan politik.
3. Studi ini berusaha melengkapi fenomena teori groupthink terutama dalam konteks
komunikasi politik di Indonesia, karena selama publikasi tentang riset groupthink
dalam konteks komunikasi politik di Indonesia masih jarang. Baru ditemukan
penelitian berdasarkan studi literatur tentang mengkritisi hipotesis groupthink dalam
konteks formulasi kebijakan di Indonesia oleh Abdul Firman Ashaf (Unila, 2008) dan
penelitian Maddy Rochana Dewi (UI, 2009) tentang pembentukan groupthink
mengenai partai politik berideologi Islam dalam komunikasi kelompok di Internet
(studi fenomenologi komunikasi kelompok pada anggota milis medicare dengan
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
38
diskusi mengenai PKS). Selebihnya, penelitian groupthink di Indonesia ditemukan
dalam lingkup pembahasan di luar bidang politik dan lainya banyak ditemukan dari
luar Indonesia.
4. Secara khusus, penelitian ini merekomendasikan model komunikasi bagi proses
pengambilan keputusan politik dalam konteks organisasi politik yang sangat terbuka
seperti di DPR RI, yang umumnya masih terikat semangat korps yang kuat pada partai
politik, namun anggota kelompok bisa diikat oleh kohesivitas lain berdasarkan
kepentingan yang sama tentang isu tertentu..
ï‚·
Signifikansi Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memahami dan mengapresiasi peranan dan kedudukan berbagai kelompok politik di
DPR RI kepada publik internal dan ekternal lembaga, sebagai pihak yang berpengaruh
dalam pengambilan keputusan politik yang penting dan berdampak luas.
2. Menjadi referensi praktis berbagai kalangan yang tertarik dengan dinamika
komunikasi kelompok dalam situasi komunikasi politik pada lingkup lembaga negara
seperti DPR RI.
3. Memberikan pemahaman kepada pimpinan dan anggota kelompok tentang pentingnya
mencapai interaksi kelompok yang sehat, serta mengingatkan mereka untuk
meningkatkan kewaspadaan terhadap gejala groupthink dalam sebuah proses
pengambilan keputusan guna menghindari keputusan yang gagal dan tidak populer.
ï‚·
Signifikansi Sosial
Secara sosial penelitian ini diharapkan :
1. Dapat memberikan gambaran kepada masyarakat tentang besarnya peran dan pengaruh
suatu komunikasi kelompok dari aktor politik pada kelompok komisi di DPR RI,
dalam rangka pengambilan keputusan yang akan berdampak bagi citra DPR di
masyarakat.
2. Memberikan pemahaman kepada masyarakat luas akan tingginya tingkat kerentanan
kelompok komisi di DPR RI terkena fenomena groupthink, yang tercipta dari hasil
terbentuknya kohesivitas kelompok, sehingga memiliki kecenderungan besar untuk
menghasilkan keputusan yang gagal dan tidak populer.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
39
3. Memotivasi masyarakat/publik agar senantiasa kritis terhadap berbagai keputusan
politik negara Indonesia yang menyangkut kepentingan publik dan menjadi proaktif
memperjuangkan hak-hak publik, terutama bagi pemenuhan hak atas keterbukaan
informasi publik.
1.6 Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi gambaran secara garis besar masalah yang akan dibahas, yang terdiri dari
latar belakang, perumusan masalah, tujuan, alasan dan signifikansi penelitian, serta
sistematika pembahasan.
BAB II : KERANGKA PEMIKIRAN
Bab ini terdiri dari tinjauan pustaka yang berisi konsep-konsep dasar dan pemikiran
tentang teori groupthink, pengambilan keputusan, komunikasi kelompok, komunikasi
politik, serta serta kajian lainnya yang digunakan untuk membangun kerangka
pemikiran. Termasuk pembahasan tentang teori proses interaksi dari Robert Bales dan
teori birokrasi politik dari Graham Allison.
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini berisi mengenai pendekatan penelitian, termasuk paradigma penelitian,
kemudian metode penelitian yang digunakan, teknik pengumpulan data, dan metode
analisis data.
BAB IV : TINJAUAN HISTORIS RUU KIP
Bab ini berisi tentang perjalanan sejarah dari mulai UU KIP diusulkan, dirumuskan
hingga disahkan oleh DPR RI.
BAB V : HASIL DAN INTERPRETASI PENELITIAN
Bab ini merupakan inti dalam penulisan disertasi ini, yakni sajian data yang diperoleh
dari penelitian dan pembahasannya yang dilakukan secara mendalam.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
40
BAB VI : DISKUSI
Bab ini merupakan diskusi teori yang dikaitkan dengan hasil penelitian.
BAB VII : PENUTUP DAN KESIMPULAN
Bab ini berisi tentang penutup berupa kesimpulan yang diperoleh sebagai hasil dari
analisis dan pembahasan, implikasi penelitian serta mengajukan rekomendasi sebagai
masukan yang dapat memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung
bagi pengembangan teoritis, sosial dan praktis.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
41
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Titik Tolak Penelitian
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya masalah pengambilan keputusan dalam
suatu kelompok politik ditinjau dari kajian ilmu komunikasi setidaknya dapat dilihat melalui
sejumlah kemungkinan teoritis. Penelitian ini memilih perspektif komunikasi kelompok
berdasarkan kerangka groupthink teori dalam mengkaji masalah pengambilan keputusan
politik di lembaga politik negara yang sangat terbuka yaitu DPR RI. Mengapa harus di
lembaga parlemen Indonesia? karena teori groupthink masih jarang diteliti pada konteks
legislatif parlemen, terutama di negara Indonesia sebagai negara transisi demokrasi yang
menganut sistem politik multi partai.
Berbeda dengan penelitian groupthink yang telah dilakukan pencetus teori Irving
Janis yang mengambil kasus pada kelompok tugas eksekutif pemerintahan, dalam konteks
pengambilan keputusan kebijakan luar negeri yang memang dari sejak awal telah
menunjukkan homogenitas, bersifat lebih tertutup sehingga tidak melihat peluang luar
sedikitpun, dan sangat kohesif, maka penelitian ini mencoba berpijak pada konteks yang
berbeda yaitu di kelompok legislatif yang lebih terbuka terhadap pendapat luar, awalnya
heterogen karena berlatar ideologi politik berbeda serta memiliki kekuatan yang relatif sama
(setara) dalam kelompok. Hal ini tentunya mempengaruhi bagaimana teori groupthink
bekerja di lingkup lembaga parlemen multi partai Indonesia.
Asumsi pokok yang dibangun dalam penelitian ini adalah: Pertama, kelompok
kohesif rentan terhadap groupthink. Kedua, bahwa fenomena groupthink dapat hadir dalam
setiap proses pengambilan keputusan kelompok baik kecil maupun besar serta berpotensi
hadir dalam pengambilan keputusan kelompok yang lebih terbuka yang memiliki mekanisme
mendengarkan berbagai masukan luar sekalipun. Ketiga, hasil pengambilan keputusan dalam
lingkup politik sesungguhnya tidak hanya bersumber dari kekuatan/pengaruh partai politik
yang menjadi latar keanggotaan seorang politisi, melainkan bisa datang dari kekuatan lain
yang berasal dari luar kelompok yang mampu mendorong sikap untuk memilih/memutuskan
sesuatu dalam interaksi di kelompoknya, misalnya dari faktor tekanan waktu yang mendesak
untuk menghasilkan sesuatu. Dengan demikian kunci sukses suatu pengambilan keputusan
adalah tentang seberapa besar kemampuan kelompok untuk mengelola kekompakan (kohesi)
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
42
diantara anggota serta mengakomodir berbagai pendapat melalui mekanisme perolehan suara
terbanyak yang dilakukan secara transparan.
Penelitian ini menangkap indikasi adanya groupthink ditemukan pada kelompok
pengambil keputusan politik dalam lingkup DPR-RI, terutama terkait dengan perumusan
definisi Badan Publik pada pembahasan hingga pengambilan keputusan RUU Keterbukaan
Informasi Publik (KIP) yang memakan waktu paling lama diantara isu-isu lain yang terdapat
dalam RUU KIP tersebut. Namun pengamatan terhadap apakah terdapat suatu upaya untuk
meminimalisir groupthink dalam kasus ini juga akan menjadi perhatian.
Pendekatan studi pemikiran kelompok (groupthink) dianggap menarik dalam
mengkaji persoalan pengambilan keputusan kelompok politik dikarenakan umumnya dalam
setiap kelompok politik yang sarat akan konflik kepentingan dan kekuasaan menjadi rentan
terjadi groupthink, dimana akan selalu ada berbagai gesekan dan bermacam-macam pendapat
yang berkembang dalam setiap diskusi untuk membahas suatu isu dan merumusakan berbagai
keputusan. Sehingga diharapkan studi ini akan dapat memberikan sudut pandang baru dalam
melihat setiap proses pengambilan keputusan politik di Indonesia dan sekaligus akan
memberi kontribusi secara akademik.
Teori groupthink yang dikembangkan oleh Irving Janis menyebutkan bahwa
groupthink dapat terjadi apabila terdapat kondisi dalam kelompok dengan kohesivitas tinggi
memberikan tekanan yang besar pada anggota kelompoknya untuk menaati standar kelompok
demi tujuan akhir solidaritas kelompok.
Orang-orang yang tergabung dalam suatu kelompok dinamis seperti di DPR RI yang
berasal dari latar belakang dan identitas partai politik yang berbeda, namun sangat terikat
kepada kepentingan lain tertentu, akan menjadi rentan memiliki pemikiran berbeda dengan
pemikiran partai politik yang menjadi identitasnya, sehingga tentunya mampu menjadi
kohesif di bagian lain seperti di lingkup tugas komisi.
Tingkat kohesivitas kelompok dan dinamika interaksi yang dapat menuntun kepada
groupthink dapat diamati dengan mengkaji faktor pencetus terjadinya groupthink (anteseden)
dan gejala-gejala groupthink yang terbentuk dalam pergaulan kelompok tersebut dan
bagaimana para anggota kelompok tersebut memaknai suatu pengambilan keputusan yang
berdampak luas dan bernilai jangka panjang, berdasarkan perspektif komunikasi kelompok
politik, karena di dalamnya pasti banyak tarik ulur, lobi, tekanan, dan berbagai kesepakatan
terbentuk berdasarkan tingkat kohesifitas yang cenderung tinggi, sesuai dengan ala
komunikasi politik wakil rakyat dalam negara transisi demokrasi Indonesia.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
43
Berikut ini akan dipaparkan teori-teori yang relevan dengan permasalahan penelitian
dan kerangka pemikiran menjadi dasar melakukan penelitian. Terlebih dahulu akan
dipaparkan mengenai state of the art studi groupthink, model teori groupthink, konsep
kohesivitas, komunikasi politik dan pilihan fokus kajian tentang pengambilan keputusan
kelompok, tinjauan mengenai konsep interaksi dan tinjauan tentang informasi publik dan
badan publik.
2.2
Teori Groupthink sebagai Teori Psikologi Sosial
Kehidupan sosial manusia tidak terlepas dari kehidupan individualnya, begitu juga
sebaliknya. Pada tahun 1930, di Amerika Serikat telah dikembangkan psikologi yang secara
khusus mempelajari hubungan antar manusia. Akhirnya muncullah cabang ilmu baru dari
ilmu jiwa ini yang kemudian dikenal dengan istilah psikologi sosial. Masalah-masalah yang
menjadi fokus bahasannya adalah kegiatan-kegiatan manusia dalam hubungannya dengan
kontek sosialnya.
Psikologi sosial merupakan ilmu pengetahuan yang berusaha memahami asal usul dan
sebab-sebab terjadinya perilaku dan pemikiran individual dalam konteks situasi sosial (Baron
& Byrne, 2003:5). Diantara kegiatan-kegiatan tersebut adalah kelompok organisasi,
kepemimpinannya,
anggota
atau
pengikutnya,
prilaku
moralnya,
kekuasaannya,
komunikasinya, dan kebudayaannya (Ahmadi, 2002 ).
Psikologi sosial sebagai salah satu bidang ilmu sosial, menurut Harold A. Phelps
(Fairchild, H.P., dkk.: 1982:290) “Psikologi sosial adalah suatu studi ilmiah tentang proses
mental manusia sebagai makhluk sosial”. Dengan demikian, objek yang dipelajari oleh
psikologi sosial itu, meliputi perilaku manusia dalam konteks sosial yang terungkap pada
perhatian, minat, kemauan, sikap mental, reaksi emosional,
harga diri, kecerdasan,
penghayatan, kesadaran, dan demikian seterusnya.
Secara singakat, Krech, Crutfield dan Ballachey (1982:5) mengemukakan “Psikologi
sosial dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang peristiwa perilaku antar personal”. Ungkapan
ini tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Phelps. Titik berat perhatian kajiannya
itu tertuju pada perilaku manusia dalam hubungan sosialnya.
Psikologi Sosial meninjau hubungan individu yang satu dengan yang lainnya seperti
bagaimana pengaruh terhadap pimpinan, pengaruh terhadap anggota, pengaruh terhadap
kelompok lainnya. Banyak orang memanfaatkan prinsip-prinsip psikologi sosial bahkan tanpa
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
44
menyadari hal itu ketika mereka mencoba untuk mengendalikan kelompok, pengaruh
pendapat seseorang, atau menjelaskan mengapa seseorang berperilaku dengan cara tertentu.
Psikologi sosial melihat pada sikap, keyakinan, dan perilaku baik individu maupun
kelompok. Terlihat bahwa sarjana psikologi sosial lebih menekankan faktor interaksi antar
individu dengan lingkungan sosialnya, artinya perilaku komunikasi manusia ditentukan oleh
selain faktor internal, juga ditentukan oleh faktor eksternal. Penelitian dan kajian semacam ini
bahkan terus dikaji oleh para tokoh psikologi khususnya psikologi sosial untuk memahami
komunikasi politik (Arrianie, 2010:13).
Penelitian psikologi sosial dapat menjelaskan mengapa orang-orang membentuk
massa, bagaimana kelompok membuat keputusan, yang kondisi sosial dapat menyebabkan
perilaku menyimpang, dan berbagai hal lain. Hal inilah yang menguatkan bahwa teori
groupthink yang dikembangkan oleh psikolog sosial Irving Janis merupakan teori psikologi
sosial yang sangat relevan diterapkan dalam konteks ilmu komunikasi khususunya kajian
komunikasi politik, karena sesungguhnya interaksi sosial manusia di masyarakat, baik itu
antar individu, antara individu dengan kelompok atau antar kelompok, tidak dapat dilepaskan
dari fenomena kejiwaan.
Konsep-konsep dasar psikologi sosial yang meliputi emosi terhadap objek sosial,
perhatian, minat, kemauan, motivasi, kecerdasan dalam menanggapi persoalan sosial,
penghayatan, kesadaran, harga diri, sikap mental dan kepribadian terkait dengan berbagai
elemen faktor pendahulu maupun gejala groupthink yang dirumuskan oleh Irving Janis.
Dengan demikian jelaslah bahwa teori groupthink merupakan teori psikologi sosial sebagai
kelompok teori yang termasuk dalam tradisi sosiokultural yang memfokuskan diri pada
bentuk-bentuk interaksi antarmanusia daripada karakteristik individu atau model mental.
Interaksi merupakan proses dan tempat makna, peran, peraturan, serta nilai budaya yang
dijalankan (Littlejohn, 2009:66). Groupthink diyakini mampu menjelaskan proses
pengambilan keputusan mengenai definisi badan publik pada pembahasan RUU KIP di
kelompok Panja Komisi I DPR RI yang bersinggungan dengan beragam kepentingan sosial
terutama pihak eksekutif dan masyarakat sipil (LSM).
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
45
2.2.1
State of the Arts Groupthink Theory
Teori groupthink yang diciptakan oleh Irving L Janis (1972) memperpanjang karya
ilmuwan sosial yang menaruh perhatian besar pada konsep dinamika kelompok bagi
pengambilan keputusan/kebijakan kelompok. Kekuatan komunikasi tatap muka dalam
kelompok untuk mengatur norma-norma yang mempengaruhi anggota kelompok telah dikaji
oleh dua sosiolog terkemuka di awal abad kedua puluh yaitu Charles Horton Cooley dan
George Herbert Mead. Selama periode yang sama, William Graham mendalilkan bahwa
dalam kelompok solidaritas akan meningkat ketika bentrokan timbul dengan kelompok luar.
Berikutnya Kurt Lewin, psikolog sosial yang mulai menggunakan metode empiris
dinamika kelompok selama tahun 1940-an, yang menganalisis perilaku kelompok-kelompok
kecil juga menekankan pentingnya kohesivitas kelompok yaitu motivasi anggota untuk terus
menyatu, dan memiliki. Lewin sangat tertarik pada dampak positif kohesivitas kelompok
tanpa menyelidiki apakah ketika anggota kelompok kohesif
akan berpotensi membuat
kesalahan keliru dan gagal untuk mencapai tujuan awal kelompok.
Efek yang berpotensi merugikan kekompakan kelompok ditekankan oleh ahli teori
lain, Wilfred Bion seorang terapis kelompok terkemuka. Bion menggambarkan bagaimana
efisiensi semua kelompok kerja dapat terpengaruh oleh mitos prasadar dan kesalahpahaman
anggota kelompok yang saling tergantung anggota-yaitu dengan asumsi dasar bersama yang
cenderung melestarikan.
Sejak itu groupthink dilihat sebagai variable penting untuk efektifitas kelompok.
Dalam sebuah kelompok yang sangat kompak, suatu identifikasi bersama yang kuat akan
mempersatukan kelompok tersebut. Penelitian terhadap kelompok kecil menunjukan
kekompakan memiliki pengaruh positif karena dapat membantu sinergi efektif dan
meminimalkan energi intrinsik. Di bawah pengaruh kepeloporannya Kurt Lewin, Leon
Festinger, Harold Kelley, Stanley Schachter, dan psikolog sosial lainnya telah dilakukan
percobaan dan investigasi lapangan terhadap konsekuensi dari kekompakan kelompok.
Dalam sebuah kelompok yang sangat kompak, suatu identifikasi bersama yang kuat
akan mempersatukan kelompok tersebut. Penelitian terhadap kelompok kecil menunjukan
kekompakan memiliki pengaruh positif karena dapat membantu sinergi efektif dan
meminimalkan energi intrinsik.
Kemudian lahirnya konsep groupthink didorong juga oleh kajian secara mendalam
mengenai komunikasi kelompok yang telah dikembangkan oleh Raimond Cattel, yaitu
melalui penelitian yang difokuskan pada kepribadian kelompok sebagai tahap awal. Teori
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
46
yang dibangun menunjukkan bahwa terdapat pola-pola tetap dari perilaku kelompok yang
dapat diprediksi, yaitu :1.Sifat-sifat dari kepribadian kelompok, 2.Struktur internal hubungan
antar anggota, 3.Sifat keanggotaan kelompok.
Temuan teoritis tersebut masih belum mampu memberikan jawaban atas suatu
pertanyaan yang berkaitan dengan pengaruh hubungan antar pribadi dalam kelompok. Hal
inilah yang memunculkan satu hipotesis dari Janis untuk menguji beberapa kasus terperinci
yang ikut memfasilitasi keputusan-keputusan yang dibuat kelompok.
Hasil pengujian ilmiah yang dilakukan Janis, menunjukkan bahwa terdapat satu
kondisi yang mengarah pada munculnya kepuasan kelompok yang tinggi, tetapi tidak
dibarengi dengan hasil keputusan kelompok yang baik (ineffective output). Kemudian Janis
merumuskan teori Groupthink dari penelitian panjang melalui karya ’Victims of Groupthink :
A Psychological Study of Foreign Decisions and Fiascoes (1972), Janis menggunakan istilah
groupthink untuk menunjukkan suatu mode berpikir sekelompok orang yang sifatnya kohesif
(terpadu), ketika usaha-usaha keras yang dilakukan anggota-anggota kelompok untuk
mencapai kata mufakat (kebulatan suara) telah mengesampingkan motivasinya untuk menilai
alternatif-alternatif tindakan secara realistis.
Dari sinilah groupthink dapat didefinisikan sebagai satu situasi dalam proses
pengambilan keputusan yang menunjukkan tumbuhnya kemerosotan efisiensi mental,
pengujian realitas, dan penilaian moral yang disebabkan oleh tekanan-tekanan kelompok.
Selanjutnya diperjelas oleh Janis, bahwa kelompok yang sangat kompak (cohesiveness)
dimungkinkan terlalu banyak menyimpan atau menginvestasikan energi untuk memelihara
niat baik dalam kelompk ini, sehingga mengorbankan proses keputusan yang baik dari proses
tersebut.
Teori groupthink memberikan perspektif menarik untuk melihat bagaimana cara
berpikir suatu kelompok terikat pada kohesivitas yang tinggi terhadap kelompoknya dan
mereka
berupaya
semaksimal
mungkin
untuk
mencapai
kebulatan
suara
serta
mengesampingkan motivasi untuk berpikir menghasilkan alternatif keputusan yang realistis.
Sehingga groupthink hanya akan terjadi manakala kohesivitas dalam kelompok tersebut kuat
dimana anggota berkeyakinan bahwa kelompok mereka diatas segalanya (solidaritas dan
relationship kelompok yang kuat) dan menegasikan keberadaan pribadi.
Groupthink didefinisikan sebagai suatu cara pertimbangan yang digunakan anggota
kelompok ketika keinginan mereka akan kesepakatan melampaui motivasi mereka dalam
menilai semua rencana tindakan yang ada. Kesepakatan antar anggota kelompok atau
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
47
kesepakatan kelompok dalam keinginan mereka akan kekompakan dan kesepakatan serta
mencapai sebuah tujuan atau keputusan lebih besar motivasinya dibandingkan menilai akan
kebenaran keputusan tersebut terhadap moral dan etis kelompok yang berlaku. Teori ini telah
menjadi bagian penting mengenai pengambilan keputusan dalam kelompok (Aldag & Rigs
Fuller, 1998).
Teori groupthink yang diusulkan oleh Janis merupakan teori yang paling berpengaruh
dalam ilmu perilaku. Formula klasik Janis yang menyatakan bahwa kelompok yang memiliki
kemampuan untuk memperkuat berbagai individu ternyata juga berpotensi untuk
menghasilkan kerusakan yang tak terbayangkan (Janis, 1972, 1982) dengan reformulasi yang
diperbarui di 1989 melalui hipotesis bahwa kelompok pembuat keputusan paling mungkin
bisa mengalami groupthink ketika mereka sangat kohesif, terisolasi dari para ahli, melakukan
pencarian informasi dan penilaian yang terbatas serta beroperasi di bawah arahan
kepemimpinan atau anggota yang berpengaruh dan dalam kondisi tekanan tinggi sehingga
menjadi sulit/sedikit harapan untuk mencari solusi yang lebih baik dan akhirnya tergantung
pada apa yang disukai pimpinan atau anggota yang berpengaruh tersebut.
Hal inilah yang menjadi karakteristik terciptanya groupthink yang menghasilkan dua
kategori yang tidak diinginkan pada proses pengambilan keputusan tersebut. Pertama, gejala
tradisional berlabel groupthink, termasuk ilusi rasional, kekebalan kolektif, stereotip luar
kelompok, self-censorship, mindguards, dan keyakinan dalam moralitas yang melekat pada
kelompok. Yang kedua, biasanya diidentifikasi sebagai gejala cacat pengambilan keputusan
yang miskin pencarian informasi, kegagalan untuk menilai risiko, solusi yang lebih disukai
dan pengolahan informasi selektif, termasuk adanya kekuatan-kekuatan gabungan diprediksi
akan menghasilkan keputusan yang sangat rusak terhadap kinerja kelompok.
Sementara itu perkembangan penelitian teori groupthink sampai saat ini groupthink
adalah salah satu dari teori ilmu sosial yang memiliki dampak yang benar-benar
interdisipliner. Misalnya, dalam ilmu politik, komunikasi, teori organisasi, psikologi sosial,
manajemen, strategi, konseling, ilmu pembuat keputusan, ilmu komputer, teknologi
informasi, dan sebagainya. Sebuah video pelatihan manajemen groupthink menjadi best seller
(groupthink, edisi revisi, 1991), dan setidaknya satu penerbit materi pelatihan manajemen
memasarkan kuesioner (Glaser,1993) yang dirancang untuk membantu peserta belajar tentang
groupthink dan untuk menilai kecendrungan groupthink mereka. Popularitas awal groupthink
bisa jadi mungkin disebabkan analisis kasus bersejarah yang dianalisis oleh Janis, didukung
dengan kepiawaian Janis memasarkan ide-idenya ke khalayak luas dengan penerbitan
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
48
pertama di jurnal Psychology Today dengan memunculkan istilah menarik seperti
"groupthink" dan "mindguard".
Namun, penelitian pada teori groupthink dianggap belum sejalan dengan
popularitasnya. Sehubungan dengan ratusan publikasi yang mengutip teori groupthink,
puluhan publikasi laporan studi empiris tentang groupthink dianggap kurang dari
mengesankan. Ulasan literatur empiris Park (1990) tentang groupthink mengungkapkan
bahwa kebanyakan studi hanya menggambarkan dukungan parsial untuk hipotesis yang
berasal dari teori. Kritik menyebutkan bahwa teori ini cacat (Longley&Pruitt, 1980) dan
harus diubah (Moorhead & Montanari, 1986; Neck & Moorhead, 1995; Tetlock, Peterson,
McGuire, Chang, & Feld, 1992) atau bahkan diganti dengan model pengambilan keputusan
kelompok yang lebih umum (Aldag & Fuller, 1993), Demikian pula, Whyte (1989; Whyte &
Levi, 1994) menawarkan teori prospek (Kahneman & Tversky, 1979) sebagai alternatif untuk
groupthink.
Beberapa analisis penelitian tentang groupthink melibatkan analisis yang dikenal
sebagai kasus bersejarah merupakan fungsi utama dari pengembangan teori
dan mulai
menunjukkan kisaran penerapan teori tersebut. Hanya beberapa studi kasus berdasarkan
sejarah melibatkan tes teori.
Analisis empat keputusan kebijakan yang mengakibatkan kekacauan merupakan
bahan baku untuk pengembangan teori groupthink Janis. Kasus-kasus tersebut yaitu (1)
keputusan pada tahun 1941 oleh Laksamana Kimmel dan penasehatnya untuk fokus pada
pelatihan bukan pada pertahanan Pearl Harbor meskipun peringatan serangan mendadak
dimungkinkan oleh Jepang, (2) keputusan pada tahun 1950 oleh Presiden Truman dan para
penasihatnya untuk menambah Perang Korea dengan melewati paralel ke-38 ke Korea Utara,
(3) keputusan pada tahun 1960 oleh Presiden Kennedy dan penasihatnya untuk mengotorisasi
invasi Kuba di Teluk Babi, dan (4) serangkaian keputusan oleh Presiden Johnson dan para
penasihatnya untuk meningkatkan Perang Vietnam selama 1964-1967.
Janis menentukan dan mengidentifikasi gejala groupthink dan penyebabnya serta
konsekuensinya dengan membandingkan kasus ini dengan dua kasus sejarah yang
menghasilkan keputusan kebijakan yang baik, yaitu perkembangan Marshall Plan untuk
mencegah keruntuhan ekonomi di pasca-perang Eropa dan penanganan krisis rudal Kuba
pada tahun 1962. Selanjutnya, Janis (1982) menganalisis serangkaian keputusan oleh
Presiden Nixon dan penasihatnya untuk menutupi keterlibatan dari Nixon White House
dalam pembobolan markas Partai Demokrat di gedung Watergate.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
49
Studi kasus ini adalah yang pertama oleh Janis dirancang untuk menguji umum teori
groupthink. Oleh karena itu, ia melakukan ini analisis kasus yang lebih sistematis dari kasuskasus sebelumnya, untuk menilai penyebab groupthink dan gejala dari proses pengambilan
keputusan yang cacat, serta gejala groupthink. Janis menyimpulkan bahwa groupthink
memainkan peran utama dalam penyembunyian skandal Watergate. Janis juga menggunakan
studi kasus Watergate untuk pengembangan teori. Dari kasus Watergate ia menyimpulkan
dua anteseden (penyebab) groupthink yang belum termasuk dalam sebelumnya (Janis, 1972)
yaitu homogenitas ideologi anggota kelompok dan stres yang tinggi dari ancaman eksternal.
Dapat disimpulkan, studi kasus sejarah yang melibatkan groupthink telah dilakukan
dengan menggunakan berbagai metode. Paling sering yaitu metode tradisional
menggunakan studi kasus
dengan
(Raven, 1974), dan (Hensley & Gritlin, 1986; Janis, 1982).
Metode yang lebih kuantitatif telah diteliti oleh Tetlock (1979) dan Esser dan Lindoerfer
(1989). Tetlock memfokuskan pada gejala groupthink, sedangkan Esser dan Lindoerfer lebih
lengkap mencakup anteseden dan konsekuensi dari groupthink. Satu studi yang paling
komprehensif dan kekat dilakukan oleh Tetlock dan rekan-rekannya (Tetlocket al., 1992).
Menggunakan metodologi semacam Q Sort dikembangkan dalam penelitian ini dengan
membandingkan 10 kasus pada berbagai aspek dinamika kelompok.
Bersamaaan dengan itu, analisis kasus telah memperluas perbendaharaan kasus
groupthink sampai 10 kasus (Nazi Jerman, Pearl Harbor, eskalasi erang Korea, invasi Teluk
Babi Kuba, Krisis Misil Kuba A, eskalasi Perang Vietnam, skandal Watergate, Kontroversi
Kent State gimnasium, peluncuran Space Shuttle Challenger, dan Iran-Contra affair) dan
ditambah juga oleh terhadap kasus terhadap 5 (lima) kasus yaitu : Marshall Plan, Krisis Misil
Kuba B, penyelamatan Mayaguez, penyelamatan sandera Iran, dan DeLorean juri).
Tentunya, hasil penelitian ini memberikan dasar penting untuk studi masa depan yang
melibatkan tambahan kasus nasional.
Kontribusi lebih penting dari studi kasus historis berkaitan dengan perkembangan GT
theory adalah dari dua pertanyaan terkait dengan anteseden groupthink yaitu Pertama,
McCauley (1989) maupun Tetlock et al. (1992) menemukan bahwa kohesi kelompok menjadi
prediksi dari groupthink. Kedua, meskipun Moorhead et al. (1991) menyarankan bahwa
anteseden tekanan waktu diberikan lebih menonjol, baik McCauley (1989) dan Tetlock et al.
(1992) menemukan bahwa faktor situasional-termasuk tekanan waktu tidak memprediksi
terjadinya groupthink.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
50
Selain itu, meskipun Herek et al. (1987) memberikan beberapa konfirmasi bahwa
proses pengambilan keputusan yang dilakukan cacat memang akan menyebabkan hasil
kualitas yang buruk,
pertanyaan juga muncul mengenai konsekuensi dari groupthink.
Hensley dan Griffin (1986) menyarankan untuk menambah tiga gejala pengambilan
keputusan yang salah/cacat ditambahkan untuk membantu mengidentifikasi groupthink, Di
sisi lain, Esser dan Lindoerfer (1989) mengemukakan bahwa tidak semua gejala groupthink
(atau anteseden dan gejala pengambilan keputusan yang buruk) perlu ada untuk
mengkonfirmasi terjadinya groupthink. Mereka menyarankan, sebaliknya, pengamatan
penyebab dari keseluruhan pola dan gejala, daripada kehadiran dari beberapa elemenindividu
dalam mengidentifikasi sindrom groupthink.
Pengaruh Proses terjadinya groupthink juga telah dipertanyakan. Meskipun Janis
(1972, 1982) menyiratkan bahwa utamanya groupthink merupakan proses internalisasi,
analisis McCauley `s (1989) menunjukkan bahwa, setidaknya dalam beberapa waktu,
groupthink terjadi sebagai akibat dari adanya kepatuhan.
Selain studi kasus, perkembangan teori groupthink juga diisi oleh tes-tes
laboratorium. Kebanyakan laboratorium penelitian tentang groupthink telah dirancang untuk
mengevaluasi teori dengan menguji keakuratan hipotesis yang berasal dari teori. Studi-studi
telah berfokus terutama pada anteseden groupthink, menanyakan apakah groupthink
(dibuktikan dengan gejala dan konsekuensi) bisa terjadi jika dan hanya kondisi anteseden
yang terjadi.
Beberapa penelitian laboratorium dari groupthink menunjukkan bahwa tidak ada
paradigma eksperimental tunggal untuk penelitian groupthink. Hampir semua studi telah
menelaah tugas keputusan yang berbeda. Dalam studi ini anteseden, variabel independen dan
akibatnya, variabel dependen telah dioperasionalkan dalam berbagai cara. Selain itu, seperti
dicatat oleh Park (1990), masing-masing studi telah meneliti efek beberapa penyebab dan
konsekuensi groupthink (namun tidak semua). Penelitian Laboratorium telah memberikan
sedikit dukungan untuk keterkaitan antara kohesi kelompok dan groupthink. Namun,
pertanyaannya tetap mengenai peran kohesi kelompok dalam produksi groupthink. Hipotesis
hubungan antara kohesi dan groupthink mengalamai gagal tes berulang karena dalam setiap
tes konstruk itu dioperasionalkan tidak tepat. Turner et al. (1992) menyarankan bahwa dalam
kebanyakan laboratorium studi kohesi kelompok belum dioperasionalisasi dengan cara yang
menggabungkan persyaratan utama bahwa para anggota menganggap diri mereka sebagai
sebuah kelompok.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
51
Di sisi lain, penelitian laboratorium mendukung hubungan antara kurangnya
kepemimpinan yang memihak dan groupthink, serta menyediakan beberapa dukungan untuk
keterkaitan antara prosedur keputusan yang buruk dan groupthink. Untuk faktor ini,
kurangnya standarisasi metodologis dalam penelitian laboratorium pada groupthink
merupakan kekuatan, karena kepercayaan yang diberikan kepada temuan yang telah
ditunjukkan menggunakan berbagai metode menjadi lebih besar.
Penelitian laboratorium terlalu sedikit mencapai kesimpulan mengenai anteseden
groupthink dan konsekuensi hipotesis mereka. Tentunya sejumlah kecil tes laboratorium teori
groupthink yang dilakukan dalam 25 tahun sejak pertama kali disajikan oleh Janis belum
cukup untuk memberikan evaluasi dari masing-masing kelompok anteseden apalagi evaluasi
keseluruhan teori secara lengkap (Esser, 1998: 125).
Dengan demikian teori groupthink dan hasil penelitian groupthink kembali diragukan
telah mendorong banyak pikiran tentang keputusan kelompok. Penelitian groupthink telah
menyebabkan beberapa perbedaan teoritis yang seharusnya membantu menjelaskan dan
mengembangkan pemikiran kita tentang groupthink. Turner et al. (1992; Turner & Pratkanis,
1994) telah membedakan antara berbagai konsepsi dari kohesi kelompok dengan alasan
bahwa groupthink paling baik dipahami sebagai suatu proses dimana anggota kelompok
berusaha untuk mempertahankan identitas positif bersama sebagai sebuah kelompok.
McCauley (1989) membedakan dua proses pengaruh dimana groupthink dapat
beroperasi: kepatuhan dan internalisasi. 't Hart (1991;. Kroon dkk, 1991) mengemukakan
bahwa groupthink berdasarkan penghindaran kolektif kadang-kadang sangat berbeda dari
groupthink berdasarkan optimisme kolektif. Tetlock et al. (1992) memberikan model proses
alternatif pembuatan keputusan gagal kelompok yang dapat dibandingkan dengan groupthink.
Dan Aldag dan Fuller (1993) meminta perhatian anteseden tambahan dan konsekuensi dari
pembuatan keputusan kelompok yang tidak dianggap dalam teori groupthink.
Sehingga selepas 25 tahun perkembangan penelitian teori groupthink dilakukan
sampai tahun 1998, hingga kini teori ini masih terus dikaji. Di tahun 1999 hingga kini studistudi tentang groupthink tidak hanya diwarnai oleh nuansa politik, namun juga banyak di
kembangkan di bidang-bidang lain diluar politik, namun secara metodologi masih berkisar
pada studi kasus, survei dan studi literatur. Tulisan dari Woo-Woo Park (2000) dari Seoul
tentang pembandingan empiris groupthink model, Yonhoo Kim (Georgia, 2001) tentang
abilane paradox dan groupthink, Judith Chapman (Sydney, 2006) tentang elaborasi model
groupthink, Michael Snell (2009) tentang groupthink di rumah sakit, Paul L. Hatway (2008)
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
52
mengenai groupthink di birokrasi, Bernard Douglas Gambrall (2007) tentang cacat
pengambilan keputusan pada siswa pasca sarjana, Markus Hallgren (2008) yang mengamati
groupthink dalam organisasi sementara, Ronda Lou Tubbe (2010) yang melihat manfaat
positif groupthink dalam pengaturan manajemen puncak dan beberapa penelitian non politik
lain menunjukkan bahwa teori ini cukup luwes dikembangkan di berbagai bidang. Bahkan
Robert Mc Keveer (2008) mewarnai teori ini dengan mengangkat groupthink di era mediasi
komputer pada jejaring sosial facebook serta tidak luput juga peneliti dari Indonesia Maddy
Rochanda Pertiwi (2009) ikut mengulas groupthink berdasarkan kajian komunikasi politik di
Internet. Penelitian dari 2012-2013 dari Jonah Lehler (2012) yang mengupas tentang
groupthink dalam proses brainstorming ide kreatif, Rebekka Rismayanti (2013) yang
menganalisis dinamika komunikasi tim kerja Public Relations dan B. Kiswanto (2013) yang
menganalisis hubungan implementasi dengan kohesivitas antara kelompok pegawai negeri
sipil membuktikan bahwa teori groupthink telah berhasil melalui pengajian waktu berjalan.
Para peneliti terus menginvestigasi banyak fitur utama teori ini dan terus didiskusikan
dalam media. Keputusan kebijakan pemerintah akan selalu ada, maka groupthink
berkemampuan cukup tinggi untuk bertahan di masa depan (West&Turner, 2008:290). Teori
ini berkaitan dengan pengambilan keputusan yang umumnya muncul ketika sebuah kelompok
mengeluarkan perasaan yang luar biasa dari luar karena adanya tekanan yang kuat.
Namun perdebatan dalam studi groupthink tetaplah ada. Sejumlah kritik dan
rekomendasi yang ditujukan terhadap studi-studi groupthink datang dari 1. Aldag dan Fuller
(1993) yang menyatakan bahwa analisis groupthink bersifat retrospektif (berlaku surut),
sehingga Janis dapat mengambil bukti-bukti yang mendukung teorinya saja. Keterpaduan
kelompok itu sendiri belum tentu menimbulkan groupthink. Misalnya perkawinan dan
keluarga, dapat tetap terpadu atau kohesif tanpa menimbulkan groupthink, dengan tetap
membiarkan perbedaan pendapat tanpa mengurangi keterpaduan itu sendiri. 2. Tetlock, dkk
(1992) yang menilai, fakta sejarah membuktikan bahwa ada juga kelompok-kelompok yang
sudah mengikuti prosedur yang baik, namun tetap melakukan kesalahan, misalnya ketika
Presiden Carter dan penasehat-penasehatnya merencanakan pembebasan sandera di Iran pada
tahun 1980. Operasi itu gagal total dan Amerika Serikat dipermalukan, walaupun kelompok
itu sudah mengundang berbagai pendapat dari luar dan memperhitungkan segala
kemungkinan secara realistik.
Selain itu, beberapa point kritik muncul dari tulisan John M. Levine dan Michael
A.Hogg dalam Encyclopedia of Group Processes and Intergroup Relations (2010)
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
53
mengangkat kritik teori yang meliputi : (a) miskin karakterisasi dari berbagai komponen dari
proses groupthink, (b) miskin spesifikasi hubungan antara kondisi dan konsekuensi
anteseden, dan (c) definisi ambigu dari kondisi di mana groupthink harus dan harus tidak
terjadi.
Sebagai rekomendasi tentang konsekuensi dari groupthink, Levine dan Hogg
menyarankan pemeriksaan faktor lain yang mungkin mempengaruhi proses groupthink dan
reconceptualizations groupthink dari model asli. Hensley dan Griffin (1986) menyarankan
untuk menambah tiga gejala pengambilan keputusan yang salah/cacat ditambahkan untuk
membantu mengidentifikasi groupthink, Di sisi lain, Esser dan Lindoerfer (1989)
mengemukakan bahwa tidak semua gejala groupthink (atau anteseden dan gejala
pengambilan keputusan yang buruk) perlu ada untuk mengkonfirmasi terjadinya groupthink.
Mereka menyarankan, sebaliknya, pengamatan penyebab dari keseluruhan pola dan gejala,
daripada kehadiran dari beberapa elemen individu dalam mengidentifikasi sindrom
groupthink.
Mungkin masih terlalu dini untuk mencoba untuk memberikan penilaian tentang teori
groupthink. Sehingga diperlukan banyak penelitian lebih lanjut sebelum dapat ditentukan
apakah teori ini berlaku, apakah modifikasi teori yang diperlukan, atau apakah teori harus
dibuang sama sekali? Sementara ini teori groupthink mampu terus merangsang minat dan
basis penelitian, meskipun kecil, tetapi terus berkembang. Singkatnya, penelitian groupthink
masih hidup dan sehat, bukan karena telah divalidasi, tetapi karena telah mendorong
terkumpulnya dan tumbuhnya pengujian ide-ide tentang keputusan kelompok.
Beberapa studi yang pernah dilakukan terkait dengan groupthink dapat dilihat sebagai
berikut :
Tabel 4.
DAFTAR STUDI TENTANG GROUPTHINK
NO STUDI
1.
Yonhoo Kim (2001)
NEGARA
AS (Univ. Georgia)
2.
WON—W0O PARK
(2000)
Seoul, Korea
3.
Judith Chapman
(2006)
Sydney, Australia
TOPIK
The Abilene
Paradox dan
Groupthink
Perbandingan
Empiris GT model
METODE
Kualitatif
JENIS STUDI
Literatur (Non
Politik)
Survei
Psikologi (Non
Politik)
Kecemasan dan
cacat pengambilan
keputusan:
elaborasi dari
Studi Kasus
Sosial (Non Politik)
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
54
4.
PAUL R.
BERNTHAL,
CHESTER A. INSKO
(1993)
Capell Hill North
Carolina, AS
5.
Snell, Michael J
(2009)
AS (Phoenix
University)
6.
Hathaway, Paul L
(2008)
AS.Idaho State
Univ
7.
Celmer, David
Stephen (2007)
AS, Fordham Univ
8.
Gambrall, Bernard
Douglas (2007)
AS, Spalding Univ
9.
McKeever, Robert
(2008)
AS, Gonzaga Univ
10.
Tubbe, Rhonda Lou
(2010)
AS, Phoenix Univ
11.
Smith, Cynthia A
(2004)
AS, Lamar Univ
model groupthink
Analisis peranan
tugas (kohesi
sosial-emosional
dalam kerangka
groupthink)
Faktor-faktor yang
meni©ngkatkan
kejadian groupthink
di rumah sakit:
Persepsi perawat
dan manajer
Fenomena GT
Harga Diri pada
Birokrasi
:Perbandingan
antara organisasi
sektor swasta dan
public
Pemecahan
Masalah dalam
kelompok kecil
Perbandingan
tingkat
kekompakan, cacat
pengambilan
keputusan dan
tanggapan gejala
groupthink antara
kelompok siswa
dewasa sarjana dan
pascasarjana
Groupthink di era
mediasi komputer
pada jejaring sosial
fb :kesalahan
kebijakan
pemerintah dan
organisasi
Manfaat yang
dirasakan dari
groupthink dalam
pengaturan tim
manajemen puncak
(TMT)
Pengaruh berbagai
tingkat isolasi
kelompok,
kepemimpinan, dan
ketersediaan
informasi tentang
kualitas keputusan
Eksperimen
Sosial (non politik)
Sosial (non politik)
Survei
Sosial (non politik)
Studi kasus
Kualitatif
Sosial (non politik)
Survei
Sosial (non politik)
Politik
Kualitatif studi
kasus
Sosial (non politik)
Survei
Sosial (non politik)
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
55
12.
Metlicka, Donna
(2004)
AS, Northern
Illinois University
13.
Shmidt, Jerry L, Jr
(2002)
Capella University
14.
Carrington, Rodney
Dell, Sr (1997)
AS, Lamar
University
15.
Foster, Thomas
Christian (1996)
AS, Lamar
University
16.
Padgett, Jill Lynette
(1996)
AS, Spalding Univ
17.
Hodson, Gordon
(1995)
Kanada , University
of Western Ontario
18.
Richardson, Noni
(1994)
AS, Lamar
University
19.
Rookmin Maharaj
(2007)
Kanada, Calgary
Univ
20.
George Green,
Jonathan C. Lee,
David G. McCalman
(2005)
David Ahlstrom and
Linda C. Wang (2007)
AS
STEVE A. YETIV
(2003)
Gregory Moorhead
(1982)
21.
22.
23.
dan gejala
groupthink
Persepsi groupthink
dalam
pengembangan
profesi guru
The Pied Piper
sindrom: Hubungan
antara intragroup
dikotomisasi dan
bipolar groupthink
Kepemimpinan
Atraktif, kohesi dan
konsensus dini
Pengaruh keinginan
pada kualitas
keputusan dan
adanya gejala
groupthink
Konstruksi terkait
dengan terjadinya
groupthink pada
kelompok
pascasarjana
Peran Orientasi
ketidakpastian
dalam fenomena
groupthink
Efek kesesuaian
predisposisi dan
perilaku pemimpin
pada timbulnya
groupthink dan
kualitas keputusan
kelompok
Survei
Pendidikan (non
politik)
Survei
Sosial (non politik)
Survei
Psikologi (non
politik)
Survei
Psikologi (non
politik)
Survei
Sosial (non politik)
Survei
Sosial (non politik)
Survei
Sosial (non politik)
Tata kelola
perusahaan,
groupthink dan
pengganggu di
ruang rapat
efek groupthink dan
groupshift pada
kecelakaan pesawat
Studi kasus
kualitatif
Politik
AS
Groupthink dan
Kekalahan
Perancis di 1940
Studi Kasus
Politik
Inggris
Groupthink dan
Krisis Teluk
meninjau prinsipprinsip utama dari
Studi Kasus
Politik
Eksperimen
Sosial (non politik)
AS
Politik
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
56
24.
DANIEL B. KLEIN
AND CHARLOTTA
STERN (2009)
Markus Hallgren
(2008)
AS
26.
GLEN WHYTE
(1989)
Kanada, Toronto
Univ
27.
Christopher P. Neckm
and Gregory
Moorheadz (1995)
AS
28.
Ronald R. Sims (1992) Belanda
29.
Ferda Erdem (2003)
University, Antalya,
Turkey
30.
Andrew Sai On Ko
(2005)
Uhiversity of South
Australia
31.
Joseph Mpeera Ntayi,
Warren Byabashaija,
Sarah Eyaa,
Muhammed Ngoma
and Alex Mulira
(2010)
Jerry L. Shmidt, Jr.
Christopher Zapalski,
James Toole (2005)
AS
33.
Conor Mayo, Wilson,
Kevin Zollman, David
Danks (2012)
AS
34.
Scheeringa, Daniel
(2012)
AS
25.
32.
Swedia
AS
hipotesis
groupthink
Groupthink dalam
perpesktif
akademisi
Groupthink dalam
organisasi
sementara
Literatur
Sosial (non politik)
Studi Kasus
Sosial, Non Politik
Fenomena
Groupthink di
kelompok
Literatur
Sosial (non politik)
Revisi Groupthink :
Pentingnya
Kepemimpinan,
Tekanan Waktu,
dan metode
Prosedur
Pengambilan
Keputusan
Keterhubungan
Groupthink untuk
Perilaku Etis dalam
Organisasi
Kepercayaan
optimal dan kerja
sama tim: dari
groupthink untuk
teamthink
Literatur
Sosial (non politik)
Studi Kasus
Sosial (non politik)
Survei
Sosial (non politik)
Komunikasi
Organisasi di Hong
Kong •pendekatan
budaya untuk
groupthink
hubungan antara
kohesi sosial,
groupthink, sikap
etis dan perilaku
etis dari petugas
pengadaan
Hubungan Antara
intragroup
dikotomisasi dan
Bipolar Groupthink
Evaluasi
Groupthink pada
kelompok yang
terisolasi
Studi Kasus
Antropologi (non
politik)
survey
Sosial/organisasi
(non politik)
Survey
Sosial (non politik)
Survey
Sosial (non politik)
GT dalam
Keputusan
menyerang Irak dan
kegagalan
Studi Kasus
Politik
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
57
35.
Hermann, Charles F
(1999)
AS
36.
Amidon, Mark (2005)
AS
37.
Ramon J. AldaG&
Sally Riggs Fuller
(1993)
AS
38.
Carrie R. Leana
(1985)
AS
39.
Gregory Moorhead,
Richard Ference,
Chris P. Neck (1991)
AS
40.
GRACE ADRIANY,
FEBY (2010)
Indonesia, Tesis
Universitas
Diponegoro
41.
REBEKKA
RISMAYANTI (2013)
Indonesia, Skripsi,
Unika Atmajaya
Jogyakarta
41.
B.KISWANTO (2013)
Indonesia, UNPAD
perencanaan
Dinamika
Kelompok Politik
dan penentuan
kebijakan luar
negeri
Dinamika
pengambilan
keputusan
kelompok dan
manuver politik
pada penyelamatan
tahanan Amerika
pada perang
vietnam
Mengevaluasi
fenomena
groupthink dan
merumuskan
pengembangan
model baru
Pengaruh
kohesivitas
kelompok dan
perilaku pemimpin
Keputusan untuk
meluncurkan
pesawat ruang
angkasa Challenger
Memahami
Groupthink pada
organisasi ekstra
kampus dengan
ideologi tertentu
yang berafiliasi
dengan organisasi
intrakampus
Universitas
Diponegoro
Analisis dinamika
komunikasi tim
kerja Public
relations
berdasarkan
Groupthink theory
Hubungan Antara
Implementasi
Groupthink Dengan
Kohesivitasan
Antara Kelompok
Kerja Pada Pegawai
Negeri Sipil di
Literatur
Politik
Studi Kasus
Politik
Studi kasus
Psikologi (non
politik)
Studi kasus
Sosial (non politik)
Studi kasus
politik
studi kasus
eksplanatoris
Non Politik
Studi Deskriptif
Kualitatif
Non Politik
Survai dengan
teknik
korelasional
kuantitatif
Non Politik
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
58
42.
BN Atmodjo (2010)
Indonesia, thesis,
Petra Christian
University Surabaya
43.
Abdul Firman Ashaf
(2008)
Indonesia, Jurnal
Administratio
Universitas
Lampung
44.
Maddy Rochanda
Pertiwi (2009)
Universitas
Indonesia,
Skiripsi.
45.
Jonah Lehrer (2012)
The New
Yorker(New
York) , Jan 30,
2012, Vol. 87, Iss.
46, pg. 22
46.
John R Macarthur
(2010)
The
Spectator(London)
, Oct 23, 2010, pg.
n/aISBN
9780857200440
47.
Jonathan Shandell
(2005)
American
Theatre(New
York) , Feb 2005,
Vol. 22, Iss. 2, pg.
102
Kecamatan
Jagakarsa
Groupthink dalam
komunikasi
kelompok KDS
Surya Community,
Surabaya
Studi Kasus
Sosial (Non Politik)
Mengkritisi
hipotesis
groupthink dalam
konteks formulasi
kebijakan di
Indonesia
Riset
Kepustakaan
Politik
Pembentukan
Groupthink
mengenai partai
politik Berideologi
Islam dalam
komunikasi
kelompok di
internet
Groupthink dalam
proses
brainstorming
(dinamika
komunikasi
kelompok
membahas ide-ide
kreatif)
Groupthink and
doubletalk
(perdebatan antara
Gedung Putih dan
Pentagon atas
kebijakan AS di
Afghanistan)
“Authors! Authors!:
Why dramatic
groupthink is the
new vogue”
Kekacauan dari
balik The Antigone
Project, sebuah
drama kolaborasi
studi
Fenomenologi
komunikasi
kelompok pada
anggota Milis
Mediacare
dengan diskusi
mengenai PKS
Studi kasus
Politik
Case Study
Politik
Case study
Non Politik
Non Politik
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
59
2.2.2
Kohesivitas Kelompok
Kohesivitas adalah mengenai penyatuan kekuatan. Istilah kohesivitas berawal dari
teori Kurt Lewin, Leon Festinger, dan kolega-kolega mereka di Research Center of Group
Dynamics. Lewin, pada tahun 1943, menggunakan istilah cohesive untuk menggambarkan
sebuah kekuatan yang menjaga kelompok agar tetap utuh dengan cara menjaga kesatuan
anggota-aggotanya. Festinger mendefinisikan kohesivitas sebagai total dari sebuah kekuatan
yang berada pada anggota-anggota kelompok yang tetap bertahan pada kelompok tersebut.
Kohesivitas adalah sebuah kesatuan kelompok. Individu dalam kelompok yang
kohesif—dimana kohesivitas diartikan sebagai perasaan kuat dari sebuah keberadaan
komunitas yang terintregasi – akan lebih efektif dalam kelompok, lebih bersemangat, dalam
menghadapi masalah-masalah sosial maupun interpersonal.Kohesivitas adalah sebuah
kesatuan kelompok. Kelompok digambarkan sebagai keluarga, tim, dan komunitas. Banyak
teori-teori yang menjelaskan hal tersebut sebagai “belongingness” atau “we-ness”, yang
merupakan esensi dari kohesivitas kelompok. Anggota-anggota dalam kelompok yang
kohesif memberikan rasa kebersamaan yang tinggi kepada kelompoknya, dan mereka sadar
bahwa terdapat persamaan antar anggota dalam kelompok. Individu dalam kelompok yang
kohesif—dimana kohesivitas diartikan sebagai perasaan kuat dari sebuah keberadaan
komunitas yang terintregasi – akan lebih efektif dalam kelompok, lebih bersemangat, dalam
menghadapi masalah-masalah sosial maupun interpersonal.
Kohesivitas umumnya dikaitkan dengan dorongan anggota untuk tetap bersama dalam
kelompoknya dibanding dorongan untuk mendesak anggota keluar dari kelompok. Bergabung
di suatu organisasi membuat seseorang mempunyai rasa memiliki dan perasaan bersama
(Gibson, dkk., 2003).
Robbins (2002) menyatakan bahwa semakin kohesif suatu kelompok, para anggota
semakin mengarah ke tujuan. Selanjutnya tingkat kohesivitas akan memiliki pengaruh
terhadap komitmen terhadap organisasi tergantung dari seberapa jauh kesamaan tujuan
kelompok dengan organisasi. Pada kelompok dengan kohesivitas tinggi yang disertai adanya
penyesuaian yang tinggi dengan tujuan organisasi maka kelompok tersebut akan berorientasi
pada hasil ke arah pencapaian tujuan.
Johnson dan Johnson (Budiharto, 2004) mendefinisikan kohesivitas kelompok
sebagai daya saling ketertarikan antar anggota kelompok yang menyebabkan anggota
kelompok tersebut berkeinginan untuk tetap tinggal dalam kelompok tersebut, dan juga daya
tarik antar individu dengan kelompok atau organisasinya. Kelompok yang memiliki
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
60
kohesivitas tinggi bercirikan adanya keinginan untuk menetapkan tujuan kelompok dan
keinginan untuk mencapai tujuannya dengan baik. Komitmen terhadap tujuan kelompok dan
keinginan untuk menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya juga sangat tinggi. Hal lainnya
yang merupakan dampak dari kohesivitas kelompok adalah rendahnya tingkat kehadiran
(absenteeism) dan keinginan untuk keluar (turnover). Selain itu, motivasi, keajegan
menyelesaikan tugas sebaik-baiknya, komitmen terhadap kesuksesan
kerjasama anggota
serta keinginan untuk mendengarkan dan mengikuti saran atau pendapat sesama anggota
meningkat. Kelompok yang kohesif merupakan satu kesatuan. Anggota-anggotanya
menikmati interaksi antar mereka, dan mereka tetap bersatu dan bertahan dalam waktu yang
lama.
Kohesivitas merupakan sebuah ketertarikan. Beberapa teori mempertimbangkan
kohesivitas sebagai sebuah ketertarikan personal, adapun menurut Collins dan Raven (1964)
: kekuatan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap tinggal di dalam kelompok dan
mencegahnya meninggalkan kelompok. Kohesivitas adalah batas hingga di mana anggotaanggota suatu kelompok bersedia untuk bekerja bersama. Ini merupakan rasa kebersamaan
dari kelompok tersebut. Kohesi berasal dari sikap, nilai dan pola perilaku kelompok;
kelompok di mana anggota-anggotanya saling tertarik dengan sikap, nilai dan perilaku
anggota lainnya, akan cenderung dapat dikatakan kohesif (West&Turner, 2008:277).
Adapaun elemen dari tingginya tingkat kohesivitas kelompok adalah sebagai berikut :
1.
Isolasi dari kelompok lain menunjukkan - kelompok tidak mencari atau mengizinkan
pihak luar untuk menawarkan pendapat mereka sendiri.
2.
Kepemimpinan agresif dan berpendirian - pemimpin membuat pendapatnya sendiri
atau begitu jelas di awal atau selama perdebatan tentang pilihan yang diadakan diskusi
yang bermanfaat.
3.
Kurangnya norma memerlukan prosedur metodologis - tidak ada tradisi dalam
kelompok yang mendorong pertimbangan penuh pada pilihan metodis.
4.
Homogenitas anggota Latar Belakang / ideologi - sebagian besar anggota kelompok
berasal dari latar belakang sosial dan pendidikan yang sama dan / atau banyak yang
berpikiran sama.
5.
Tinggi tingkat stres - kelompok ditantang oleh masalah yang menyebabkan stress
pada anggota, seperti kebutuhan untuk mencapai keputusan dengan cepat.
6.
Sementara harga diri rendah
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
61
Dalam pernyataan lain, dikatakan bahwa suatu kelompok dikatakan kompak,
memiliki keterikatan, atau kohesivitasnya tinggi akan menunjukkan ciri-ciri sebagai
berikut :
-
Antar anggota kelompok memiliki kesadaran “kita” dan lebih sering berbicara
“kita” dibandingkan “aku”.
-
Antar anggota kelompok lebih bersahabat dan menunjukkan rasa setia kawan.
-
Antar anggota kelompok sering bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama
dan bersedia bekerja keras demi kepentingan kelompok.
-
Antar anggota kelompok bersedia membela nama baik kelompok dari
serangan pihak luar. (Santosa, 2009:75)
Jadi, dapat diartikan bahwa kohesivitas merupakan kekompakan anggota kelompok
yang dihasilkan melalui interaksi dalam kelompok. Kohesivitas ditunjukkan dalam bentuk
kekuatan interaksi yang diisi dengan keramahtamahan antar anggota kelompok, mereka
biasanya senang untuk bersama-sama. Masing-masing anggota merasa bebas untuk
mengemukakan pendapat dan sarannya. Anggota kelompok biasanya juga antusias terhadap
apa yang ia kerjakan dan mau mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan
kelompoknya. Merasa rela menerima tanggung jawab atas aktivitas yang dilakukan untuk
memenuhi kewajibannya. Semua itu menunjukan adanya kesatuan, kereratan, dan saling
menarik dari anggota kelompok.
Kohesivitas kelompok merupakan derajat dimana anggota kelompok saling menyukai,
memiliki tujuan yang sama, dan ingin selalu mendambakan kehadiran anggota lainnya.
Biasanya kohesivitas ini dikaitkan dengan produktivitas kelompok. Namun tidak semua
bentuk kohesivitas kelompok ini berdampak positif, karena anggota bisa merasa tertekan
untuk selalu menyesuaikan terhadap norma kelompok.17
Dalam kelompok yang sangat padu lebih cenderung menghabiskan terlalu banyak
energi untuk menjaga niat baik dalam kelompok agar tidak menggangu pengambilan
keputusan, karena anggota lebih menanamkan energi instrinsik yang terlalu banyak dalam
kelompok karena hadiah (reward) seperti persahabatan, gengsi, dan pengakuan harga diri
bahkan terkadang mencurahkan terlalu banyak energi untuk membangun hubungan positif
atau loyalitas kepada nama kelompok dan pimpinan kelompok. Hal inilah yang akan
mengarahkan pada groupthink.
17
Stephen W. Little John, Karen A. Foss, Theorist of Human Communication, Thomson Wadsworth, Belmont, USA,
2009, hlm. 346.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
62
Kelompok-kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas tinggi seringkali gagal untuk
mempertimbangkan alternatif-alternatif dari tindakan yang mereka ambil. Ketika para
anggota kelompok berpikir sama dan tidak memiliki pemikiran yang berlawanan, mereka
juga memiliki lebih sedikit kemungkinan untuk menyatakan ide-ide yang tidak populer atau
tidak serupa dengan anggota kelompok lainnya. Groupthink menyatakan bahwa kelompokkelompok ini membuat keputusan yang terlalu dini, dan beberapa di antara keputusan
tersebut memiliki dampak yang tragis dan berkelanjutan.18
Dengan demikian groupthink didefinisikan sebagai suatu cara pertimbangan yang
digunakan anggota kelompok ketika keinginan mereka akan kesepakatan melampaui motivasi
mereka dalam menilai semua rencana tindakan yang ada. Kesepakatan antar anggota
kelompok atau kesepakatan kelompok dalam keinginan mereka akan kekompakan dan
kesepakatan serta mencapai sebuah tujuan atau keputusan lebih besar motivasinya
dibandingkan menilai akan kebenaran keputusan tersebut terhadap moral dan etis kelompok
yang berlaku. Teori ini telah menjadi bagian penting mengenai pengambilan keputusan dalam
kelompok (Aldag & Rigs Fuller, 1998).
Teori groupthink yang diusulkan oleh Janis merupakan teori yang paling berpengaruh
dalam ilmu perilaku. Formula klasik Janis yang menyatakan bahwa kelompok yang memiliki
kemampuan untuk memperkuat berbagai individu ternyata juga berpotensi untuk
menghasilkan kerusakan yang tak terbayangkan (Janis, 1972, 1982) dengan reformulasi yang
diperbarui di 1989 melalui hipotesis bahwa kelompok pembuat keputusan paling mungkin
bisa mengalami groupthink ketika mereka sangat kohesif, terisolasi dari para ahli, melakukan
pencarian informasi dan penilaian yang terbatas serta beroperasi di bawah arahan
kepemimpinan atau anggota yang berpengaruh dan dalam kondisi tekanan tinggi sehingga
menjadi sulit/sedikit harapan untuk mencari solusi yang lebih baik dan akhirnya tergantung
pada apa yang disukai pimpinan atau anggota yang berpengaruh tersebut.
Hal inilah yang menjadi karakteristik terciptanya groupthink yang menghasilkan dua
kategori yang tidak diinginkan pada proses pengambilan keputusan tersebut. Pertama, gejala
tradisional berlabel groupthink, termasuk ilusi rasional, kekebalan kolektif, stereotip luar
kelompok, self-censorship, mindguards, dan keyakinan dalam moralitas yang melekat pada
kelompok. Yang kedua, biasanya diidentifikasi sebagai gejala cacat pengambilan keputusan
18
Richard West and Lynn. H. Turner, Introduction Communication Theory- Analysis and Application. 3th Edition. McGraw
Hill, New York, hlm. 260.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
63
yang miskin pencarian informasi, kegagalan untuk menilai risiko, solusi yang lebih disukai
dan pengolahan informasi selektif, termasuk adanya kekuatan-kekuatan gabungan diprediksi
akan menghasilkan keputusan yang sangat rusak terhadap kinerja kelompok.
Kehadiran kohesivitas dalam berbagai kelompok yang umumnya diikat oleh latar
belakang, tujuan yang sama dan interaksi yang lama dapat menjadi berbeda ketika
dihadapkan pada lingkup kelompok politik yang terjadi di DPR RI yang umumnya individuindividu berasal dari latar belakang partai politik yang berbeda-beda (heterogen), ternyata
juga dapat menjadi homogen dan membentuk kohesivitas ketika mereka harus tergabung
dalam suatu komisi yang membentuk Panita Kerja. Hal inilah yang menarik untuk diteliti
bagaimana sebuah kohesivitas dalam konteks politik itu sebenarnya berproses, bukan
terbentuk dari awal dan rentan terhadap groupthink
2.2.3
Asumsi Teori Groupthink
Groupthink merupakan teori yang diasosiasikan dengan komunikasi kelompok kecil.
Bahkan dengan memberikan penekanan pada pentingnya kelompok kecil, Marshall Scott
Poole (1998:94) berpendapat bahwa kelompok kecil harus menjadi “unit analisis yang paling
mendasar”. Janis memfokuskan penelitiannya pada kelompok pemecahan masalah (probelm
solving group) dan kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented group), yang tujuan
utamanya adalah untuk mengambil keputusan dan memberikan rekomendasi kebijakan.
Pengambilan keputusan merupakan bagian penting dari kelompok-kelompok kecil ini.
Kegiatan kelompok kecil lainnya termasuk pembagian informasi, bersosialisasi, berhubungan
dengan orang serta kelompok di luar kelompok mereka, mendidik anggota baru, meperjelas
peranan dan bercerita (Frey&Sunwolf, 2005: Poole & Hirokawa, 1996). Dengan hal tersebut,
berikut ini merupakan tiga asumsi penting yang menuntun teori ini, sebagaimana
dikemukakan West dan Turner (2007: 262) yaitu :
1. Terdapat kondisi-kondisi di dalam kelompok yang mempromosikan kohesivitas
tinggi.
2. Pemecahan masalah kelompok pada intinya merupakan proses yang menyatu.
3. Kelompok dan pengambilan keputusan oleh kelompok sering kali bersifat kompleks.
Asumsi pertama dari groupthink berhubungan dengan karakteristik kehidupan
kelompok: kohesivitas. Terdapat kondisi-kondisi dalam kelompok yang menyebabkan
tingginya tingkat kohesivitas. Ernest Borman (1996) mengamati bahwa anggota kelompok
seringkali memiliki perasaan yang sama atau investasi emosional, dan sebagai akibatnya
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
64
mereka cenderung untuk mempertahankan identitas kelompok. Pemikiran kolektif ini
biasanya menyebabkan sebuah kelompok memiliki hubungan yang baik dan mungkin
memiliki kohesivitas tinggi.
Asumsi yang kedua mempelajari proses pemecahan masalah di dalam kelompok
kecil: hal ini biasanya merupakan kegiatan yang menyatu. Denis Gouran (1998:100)
mengamati bahwa kelompok-kelompok rentan terhadap batasan afiliatif (affiliative
constraints), yang berarti bahwa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan masukan
mereka daripada mengambil risiko ditolak. Menurut Gouran, ketika anggota kelompok benarbenar berpartisipasi, karena takut ditolak, mereka memiliki kecendrungan untuk
“memberikan perhatian lebih pada pemeliharaan kelompok daripada isu-isu yang sedang
dipertimbangkan”. Oleh karena itu anggota kelompok lebih tertarik untuk mengikuti
pemimpin ketika saat pengambilan keputusan tiba.
Asumsi yang ketiga menggarisbawahi sifat dasar dari kebanyakan kelompok
pengambilan keputusan dan kelompok yang berorientasi pada tugas, dimana orang-orang
biasanya tergabung dan bersifat kompleks. Dalam mendiskusikan asumsi ini dapat dilihat
pada kompleksitas dari kelompok kecil dan kemudian pada keputusan yang muncul dari
kelompok tersebut. Pertama, anggota kelompok kecil harus terus menyadari banyaknya
alternatif yang tersedia bagi mereka dan mampu untuk membedakan alternatif-alternatif
tersebut. Selain itu, anggota kelompok tidak boleh hanya memahami tugas yang sedang
mereka tangani melainkan juga orang-orang yang memberikan masukan ke dalam tugas
tersebut.
Marvin Shaw (1981) dan Janet Fulk serta Joseph McGrath (2005) mendiskusikan isuisu tambahan sehubungan dengan kelompok. Mereka melihat bahwa banyak pengaruhpengaruh yang terdapat dalam kelompok kecil – dari usia anggota kelompok, sifat kompetitif
dari anggota kelompok, ukuran kelompok, kecerdasan anggota kelompok, komposisi gender
kelompok, dan gaya kepemimpinan yang ada dalam kelompok. Selain itu latar belakang
budaya dari tiap individu dapat mempengaruhi proses-proses yang terjadi di dalam kelompok
(West&Turner, 2008:278). Misalnya, karena banyak budaya tidak terlalu menghargai
komunikasi yang terbuka dan ekspresif, beberapa anggota kelompok akan menarik diri dari
perdebatan atau dialog, dan hal ini mungkin membuat anggota kelompok lainnya heran. Hal
ini dapat mempengaruhi perpsepsi dari anggota-anggota kelompok baik yang partisipatif
maupun nonpartisipatif.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
65
Proses pemecahan masalah (problem solving) dalam kelompok menghadirkan
dinamika perbedaan pendapat yang akan menguji kohesivitas kelompok. Dalam beberapa
kelompok, kohesi dapat menuntun pada perasaan positif mengenai pengalaman kelompok
dan anggota kelompok yang lain. Kelompok yang sangat kohesif mungkin juga akan lebih
antusias mengenai tugas-tugas mereka dan anggotanya merasa dimampukan untuk
melaksanakan tugas-tugas tambahan. Tetapi kelompok yang sangat kohesif juga dapat
menghasilkan hal yang mengganggu atau groupthink. Janis (1982) berpendapat bahwa
kelompok dengan kohesivitas tinggi memberikan tekanan yang besar pada anggota
kelompoknya untuk menaati standar kelompok. Janis yakin bahwa ketika kelompok
mencapai tingkat kohesivtas yang tinggi, euforia ini cenderung mematikan opini dan
alternatif yang lain.19
Janis menggunakan istilah groupthink untuk menunjukkan suatu mode berpikir
sekelompok orang yang sifatnya kohesif (terpadu), ketika usaha-usaha keras yang dilakukan
anggota-anggota kelompok untuk mencapai kata mufakat (kebulatan suara) telah
mengesampingkan motivasinya untuk menilai alternatif-alternatif tindakan secara realistis.
Dari sinilah groupthink dapat didefinisikan sebagai satu situasi dalam proses pengambilan
keputusan yang menunjukkan tumbuhnya kemerosotan efisiensi mental, pengujian realitas,
dan penilaian moral yang disebabkan oleh tekanan-tekanan kelompok.
Teori Groupthink termasuk kedalam kelompok Group Communication Theory.
Michael Burgoon dan Michael Ruffner dalam bukunya : Human Communication, A Revision
of Approaching Speech/Communication, memberi batasan komunikasi kelompok sebagai
interakasi tatap muka dari tiga atau lebih individu guna memperoleh maksud atau tujuan yang
dikehendaki seperti berbagi informasi, pemeliharaan diri atau pemecah masalah sehingga
semua anggota dapat menumbuhkan karakteristik pribadi anggota lainnya dengan akurat.
Titik berat komunikasi kelompok adalah pada gejala komunikasi kelompok kecil
tentang bagaimana caranya untuk dapat lebih mengerti proses komunikasi kelompok,
memperkirakan hasilnya serta lebih meningkatkan proses komunikasi kelompok.
Teori groupthink merupakan teori yang heuristic; teori ini dan banyak elemennya
telah digunakan dalam banyak kajian dan telah mendapat banyak perhatian dari para ilmuwan
19
Richard West and Lynn. H. Turner, Introduction Communication Theory- Analysis and Application. 3th Edition.
McGraw Hill.. New York, hlm. 265.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
66
komunikasi (Cline, Courtright, Parvitt & Johnson, Turner & Pratkanis dan Yetiv). Teori ini
telah menghasilkan beberpa asumsi mengenai perilaku kelompok dan groupthink tetap
menjadi bagian yang penting dari literatur pengambilan keputusan dalam kelompok (Aldag &
Riggs Fuller, 1998).
Sementara groupthink menurut Rakhmat (2005) adalah proses pengambilan keputusan
yang terjadi pada kelompok yang sangat kohesif, di mana anggota-anggota berusaha
mempertahankan konsensus kelompok sehingga kemampuan kritisnya menjadi tidak efektif
lagi.
Dalam definisi tersebut,
groupthink meninggalkan cara berpikir individual dan
menekankan pada proses kelompok. Sehingga pengkajian atas fenomena kelompok lebih
spesifik terletak pada proses pembuatan keputusan yang kurang baik, serta besar
kemungkinannya akan menghasilkan keputusan yang buruk dengan akibat yang sangat
merugikan kelompok (Sarwono, 1999). Selanjutnya diperjelas oleh Janis, bahwa kelompok
yang sangat kompak (cohesiveness) dimungkinkan terlalu banyak menyimpan atau
menginvestasikan energi untuk memelihara niat baik dalam kelompok ini, sehingga
mengorbankan proses keputusan yang baik dari proses tersebut. Salah satu faktor yang
mendorong kohesivitas adalah bahasa dan interaksinya yang berfungsi untuk memperkuat
kesamaan pendapat yang sama dari masing-masing anggota kelompok.
Setidaknya ada tiga kondisi yang mendorong terjadinya groupthink dalam suatu
kelompok, yaitu :
1. Ketika anggota kelompok merasa memiliki kekuatan yang berlebih dan tidak
gampang digoyahkan;
2. Anggota kelompok menjadi tertutup pemikirannya dan menolak informasi yang
bertentangan dengan mereka;
3. Anggota kelompok mengalami tekanan besar untuk sepakat dengan kelompoknya,
karena adanya hubungan pemimpin yang kuat dengan anggotanya.
Dengan demikian dapat ditambahkan bahwa sejatinya teori groupthink memang
berasal dari pengkajian terhadap kasus-kasus bersejarah/penting terutama yang terkait dengan
bidang politik di luar negeri sehingga pengamatan dan pengkajian terhadap kasus-kasus yang
bersumber dari keputusan-keputusan strategis atau politik di indonesia menjadi menarik
untuk diteliti.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
67
Singkatnya, groupthink terjadi manakala adanya semacam konvergenitas pikiran,
rasa, visi, dan nilai-nilai dalam sebuah kelompok menjadi sebuah entitas kepentingan
kelompok, dan orang-orang yang berada dalam kelompok itu dilihat tidak sebagai individu,
tetapi sebagai representassi dari kelompoknya. Apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan
adalah kesepakatan satu kelompok yang tidak sedikit keputusan-keputusan yang dibuat secara
groupthink itu yang berlawanan dengan hati nurani anggotanya, maupun orang lain di
luarnya. Namum mengingat itu kepentingan kelompok, maka mau tidak mau semua anggota
kelompok harus kompak mengikuti arah yang sama agar tercapai suatu kesepakatan bersama.
2.2.4
Gejala Groupthink
Ilustrasi analisis Janis selanjutnya mengungkapkan kondisi nyata suatu kelompok
yang dihinggapi oleh pikiran kelompok, yaitu dengan menunjukkan delapan gejala perilaku
kelompok sebagai berikut :
1. Persepsi yang keliru (illusions), bahwa ada keyakinan kalau kelompok tidak akan
terkalahkan.
2. Rasionalitas kolektif, dengan cara membenarkan hal-hal yang salah sebagai seakanakan masuk akal.
3. Percaya pada moralitas terpendam yang ada dalam diri kelompok.
4. Stereotip terhadap kelompok lain (menganggap buruk kelompok lain).
5. Tekanan langsung pada anggota yang pendapatnya berbeda dari pendapat kelompok.
6. Sensor diri sendiri terhadap penyimpangan dari konsensus kelompok.
7. Ilusi bahwa semua anggota kelompok sepakat dan bersuara bulat.
8. Otomatis menjaga mental untuk mencegah atau menyaring informasi-informasi yang
tidak mendukung, hal ini dilakukan oleh para penjaga pikiran kelompok
(mindguards).
Sejalan dengan itu, teori mengenai keputusan kelompok yang dikembangkan oleh
Hirokawa, memberikan beberapa kontribusi pemikiran mengenai kesalahan keputusan yang
menganggap sepele penyimpulan dari suatu proses pengambilan keputusan, yaitu:
1. Penafsiran yang tidak akurat terhadap suatu permasalahan yang dihadapi oleh
kelompok.
2. Sumber gangguan dalam proses pengambilan keputusan, terletak pada ketidaktepatan
menentukan sasaran dan objek yang dikaji.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
68
3. Ketidaktepatan menentukan taraf kualitas penafsiran mengenai baik-buruk dan benarsalah.
4. Kelompok sengaja dibiarkan membangun ketidakakurasian dalam mengambil
informasi dan sumbernya, kadangkala terjadi penampilan terhadap informasi yang
bernilai valid dan sebaliknya. Sedangkan banyak informasi bahkan tidak tertata atau
terseleksi dengan baik dan semakin membingungkan, namun informasi yang kurang
berarti justru dengan mudah terungkapkan.
5. Kelompok boleh jadi melakukan kesalahan dengan alasan keliru dalam menyerap
informasi dari sumbernya, namun hal ini dapat teratasi dengan pendekatan
komunikatif dari para anggotanya.
Berdasarkan penelitian yang berkembang pada periode selanjutnya, diperoleh
hipotesisi mengenai faktor-faktor determinan yang terdapat pada pikiran kelompok, yaitu
(Sarwono, 1999) :
1. Faktor Anteseden
Kalau hal-hal yang mendahului ditujukan untuk meningkatkan pikiran kelompok,
maka keputusan yang dibuat oleh kelompok akan bernilai buruk. Akan tetapi, kalau hal-hal
yang mendahului ditujukan untuk mencegah pikiran kelompok, maka keputusan yang akan
dibuat oleh kelompok akan bernilai baik.
2. Faktor Kebulatan Suara
Kelompok yang mengharuskan suara bulat justru lebih sering terjebak dalam pikiran
kelompok, dari pada yang menggunakan sistem suara terbanyak .
3. Faktor Ikatan Sosial-Emosional
Kelompok yang ikatan sosial-emosionalnya tinggi cenderung mengembangkan
pikiran kelompok, sedangkan kelompok yang ikatannya lugas dan berdasarkan tugas belaka
cenderung lebih rendah pikiran kelompoknya.
4. Toleransi terhadap Kesalahan
Pikiran kelompok lebih besar kalau kesalahan-kesalahan dibiarkan daripada tidak ada
toleransi atas kesalahan-kesalahan yang ada. Setelah dilakukan pengujian atas berbagai
hipotesis tersebut, serta didukung oleh data-data historis dari peristiwa sukses di Amerika
khususnya disebabkan oleh proses yang baik dalam pembuatan keputusan kelompok, maka
ada beberapa saran untuk pemimpin kelompok, sebagai upaya mencari jalan keluar dari
belenggu pikiran kelompok. Untuk itu pemimpin kelompok perlu melaksanakan aktifitas
dengan mengkondisikan kelompok seperti berikut ini.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
69
1. Menyampaikan secara terbuka mengenai kemungkinan tumbuhnya pikiran kelompok
dengan sengaja konsekuensinya.
2. Ditekankan perlu adanya keberpihakan atas posisi yang lain.
3. Meminta evaluasi secara kritis dari setiap anggota, dengan memberikan dorongan dan
menguraikan keraguan.
4. Tunjuk satu atau dua orang untuk menjadi kritikus kelompok.
5. Saat tertentu kelompok perlu dipecah menjadi lebih kecil dan efektif, dan saat
kemudian dikembalikan seperti semula untuk memperoleh peran yang maksimal dari
setiap anggota.
6. Menyediakan cukup waktu untuk mempelajari keberadaan kelompok lain (saingan),
dengan
mengidentifikasi
tanda-tanda
atau
pernyataan-pernyataan
ataupun
kemungkinan lainnya yang dinilai membahayakan.
7. Setelah keputusan sementara dicapai, dimintakan kepada anggota untuk mengevaluasi
kembali dalam kesempatan yang berbeda.
8. Menyediakan waktu untuk mengundang pakar-pakar dalam menghadiri pertemuan
kelompok, guna mengkritisi atau menolak pandangan kelompok.
9. Membuka kemungkinan adanya anggota kelompok untuk selalu mendiskusikan secara
terbuka di forum lain, dengan catatan hasilnya semata-mata untuk kelompok.
10. Membuat beberapa kelompok yang bebas tidak saling bergantung (independent),
untuk bekerja secara bersama dalam memecahkan suatu persoalan.
Proses pembuatan keputusan yang menggunakan kiat-kiat tersebut, dapat memakan
waktu yang panjang. Namun manfaat yang dapat diperoleh sangat luar biasa, yaitu kepastian
mengurangi kesalahan sampai tingkat terendah dari proses pengambilan keputusan. Dengan
demikian dapat diperoleh gambaran lebih nyata, bahwa untuk mencapai keputusan kelompok
yang baik, maka pikiran kelompok harus diubah menjadi pikiran tim. Sedangkan untuk
memperoleh pelaksanaan prosedur yang baik dan akurat, sedapat mungkin dikurangi desakan
yang didasarkan pada alasan keterbatasan waktu (Sarwono, 1999).
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
70
2.2.5
Mencegah Groupthink
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah groupthink adalah dengan
menempatkan segala tanggung jawab dan keputusan penting pada satu orang, menghilangkan
semua masalah dari dinamisasi kelompok dari keluar jalur.
Agar pemikiran konstruktif terus berlanjut, sebuah kelompok harus memiliki
keseragaman pemahaman atas nilai dasar dan menghargai sesama. Para anggota harus
mencoba meninggalkan keinginan untuk unjuk gigi dalam adu kekuatan atau mencoba
meraih kepuasan dengan menindas lawan. Beberapa hal berikut dapat diterapkan untuk
mencegah groupthink dalam kelompok20, yakni :
1. Seorang pemimpin pembuat kebijakan harus mengarahkan sikap evaluator kritis kepada
setiap anggotanya, mendorong kelompok tersebut untuk memberi ruang bagi keberatan
dan keraguan. Hal ini harus didukung oleh sikap pemimpin yang mau menerima kritik
dari penilaiannya dalam rangka mengurangi kecenderungan para anggota untuk saling
berbeda pendapat. Hal tersebut diatas secara umum akan meredam tekanan dalam
kelompok yang dikhawatirkan akan melahirkan keputusan prematur.
2. Para pemimpin dalam hirarki organisasi, ketika menugaskan rencana kebijakan kepada
kelompoknya harus bijak ketimbang menyatakan keinginan dan ekspektasi terlebih
dahulu. Hal ini dapat dilakukan dengan membatasi omongan terlalu banyak yang dapat
menimbulkan bias terhadap batasan masalah dan keterbatasan sumber daya, tanpa
menganjurkan usul tertentu yang dia inginkan. Hal ini akan memungkinkan kelompok
untuk membuka peluang luas untuk berbagai alternatif kebijakan.
3. Sebuah organisasi harus secara rutin mencoba melihat bagaimana sebuah perencanaan
kebijakan lain dievaluasi oleh kelompok tersebut dan bekerja atas sebuah kebijakan yang
sama, yang mana masing-masing akan juga memiliki kesalahan dibawah kepemimpinan
yang berbeda. Hal ini akan mencegah dari ketertutupan kelompok untuk mencari opini
lain dari para ahli diluar kelompok. Banyak pemimpin yang takut akan hal ini dengan
alasan bocornya rahasia dari rencana kebijakan ini. Sebenarnya hal ini adalah kewajaran
yang dapat ditelorir.
4. Selama masa dimana kemungkinan dan efektifitas dari alternatif kebijakan sedang
dipantau dan nilai, kelompok pembuat kebijakan secara rutin dari waktu ke waktu
20
Irving L Janis, Groupthink-Psychological Studies of Policy Decisions and Fiascoes, Secon Edition, Houghtom Mifflin
Company, Boston, 1982, hlm. 262-276.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
71
membagi dirinya dalam dua atau lebih sub kelompok untuk bertemu secara terpisah
dibawah pemimpin sub grup yang berbeda untuk menentukan masing-masing perbedaan
sudut pandang mereka.
5. Setiap anggota kelompok pembuat kebijakan harus mendiskusikan pertimbangan
kelompok tersebut secara periodik dengan rekan terpecaya dalam unitnya dan melaporkan
kembali reaksi yang didapat.
6. Satu atau lebih pakar dari luar dalam organisasi tersebut yang mana bukan anggota inti
dari kelompok pembuat kebijakan harus diundang dalam setiap rapat untuk mengkaji
pandangan dari anggota inti.
7. Dalam setiap pertemuan, usahakan untuk mengevaluasi alternatif kebijakan, setidaknya
salah seorang anggota harus ditunjuk sebagai penguji (devil’s advocate). Devil’s advocate
adalah seseorang yang mengambil posisi berlawanan dengan argumen orang lain, bukan
karena tak setuju dengan argumen itu, melainkan hanya ingin menguji keabsahan atau
validitas argumen tersebut.
8. Ketika isu kebijakan terkait dengan hubungan dengan lawan atau organisasi rival, kita
harus secara khusus menyiapkan waktu untuk mensurvey segala tanda peringatan dari
sang lawan dan membangun skenario-skenario alternatif dari tujuan sang lawan.
9. Setelah mencapai sebuah kesepakatan awal dari sebuah pilihan kebijakan, adakan
pertemuan sekali lagi untuk mendengar sisa-sisa keraguan dan kembali mengkaji isu
secara keseluruhan sebelum menjadikan keputusan tadi final.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
72
2.2.6 Groupthink Model
ANTECEDENTS
OBSERVABLE CONSEQUENCES
(A)
Decision makers
(Cohesive Group)
C
Symptoms of
GroupThink
D
Symptoms of Defective
Decisionmaking
1. Overestimation
of Group
a) Illusion of
invulnerability
b) Belief in
morality
1.Incomplete survey of
Alternatives
+
(B-1)
Structural Faults
1. Insulation of Group
2. Lack of Tradition of
Impartial Leadership
3. Lack of Norms for
Methodical
Procedures
4. Homogenity of Group
+
(B-2)
Provocative Context
1. High Stress from
external Threats
2. Low Self Esteem due
to:
ï‚· Recent failures
ï‚· Excessive
ï‚· complexity
ï‚· Moral dilemmas
ï‚· Etc.
Concurrenceseeking
(GroupThink
tendency)
2. ClosedMindedness
a) Collective
rationalization
b) Stereotypes of
outgroups
3. Uniformity
Pressures
a) Self-censorship
b) Illusion of
Unanimity
c) Direct pressure
d) Mindguards
2. Incomplete survey of
objectives
3. Failure to examine
risks of preferred choice
4. Failure to reappraise
rejected choices
5. Poor information
search
6. Selective information
bias
7. Failure to
contingency plan
E
Low Probability of
Successful Outcome
Due to:Impartial
Leadership
Gambar 1
3. Lack of Norms for
Methodical
Sumber: Irving Janis,Victims of Groupthink: A Psychological Study of Foreign-policy
Procedures
Decisions and Fiascoes, Houghton-Mifflin, 1972.
4. Homogenity of Group
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
73
2.3 Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan secara universal didefiniskan sebagai pemilihan diantara
berbagai alternatif. Pengertian ini mencakup baik pembuatan pilihan (choice making) maupun
pemecahan
masalah
(problem
solving).
Barnard
memberikan
perlakukan
analitis
pengambilan keputusan yang menyeluruh dan menyatakan bahwa proses pengambilan
keputusan sepenuhnya merupakan penerapan teknik-teknik untuk penyempitan pilihan. Hal
ini sejalan dengan pendapat MacCrimmon dan Taylor (1983) serta Rowe dan Boulgarides
(1992), pengambilan keputusan merupakan proses evaluasi yang mencakup pemrosesan
informasi dan tindakan memilih dari sejumlah alternative.
Secara konseptual, pengambilan keputusan disebutkan oleh Robert L Trewartha dan
M. Gene Newport adalah proses memilih rangkaian atau tindakan di antara dua macam
alternatif yang ada (atau lebih) guna mencapai pemecahan atas problema tertentu (Winardi,
2000:558). Moorhead dan Griffin (1995: 82) menyatakan pengambilan keputusan sebagai
kegiatan pemilihan diantara berbagai alternatif yang tersedia. Ahli lain, yaitu Gibson, dkk,
(1997: 103) menjelaskan pengambilan keputusan sebagai proses pemikiran dan pertimbangan
yang mendalam yang dihasilkan dalam sebuah keputusan. Pengambilan keputusan
merupakan sebuah proses dinamis yang dipengaruhi oleh banyak kekuatan termasuk
lingkungan organisasi dan pengetahuan, kecakapan dan motivasi
Hampir semua pembahasan proses pengambilan keputusan selalu merincinya menjadi
serangkaian langkah yang berurutan. Menurut Herbert A. Simon dalam bukunya The New
Science of Management Decision (1960), proses pengambilan keputusan pada hakekatnya
terdiri atas tiga langkah utama, yaitu:
1. Kegiatan Intelijen. Dibawa dari pengertian intelijen yang digunakan oleh militer,
langkah awal ini menyangkut pencarian berbagai kondisi lingkungan yang diperlukan
bagi keputusan.
2. Kegiatan desain. Dalam tahap kedua ini, pembuatan, pengembangan dan
penganalisaan sebagai rangkaian kegiatan yang mungkin dilakukan.
3. Kegiatan pemilihan. Tahap ketiga dan terakhir adalah pemilihan serangkaian kegiatan
tertentu dari alternatif-alternatif yang tersedia.
Dalam organisasi, proses pengambilan keputusan sangat bergantung pada individu
dan kelompok. Keputusan individu dan kelompok dapat saja bertentangan sehingga
efektivitas keputusan yang diambil tidaklah maksmal. Hal ini tentu saja dapat mempengaruhi
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
74
kinerja organisasiyang juga tidak maksimal. Menurut Tampubolon (2012) dalam bukunya
Perilaku Organisasi menyampaikan ada beberapa bentuk pengambilan keputusan:
1. Keputusan Individu
Keputusan individu ditentukan oleh empat factor perilaku: nilai individu, kepribadian,
kecenderungan akan risiko, dan kemungkinan ketidakcocokan. Keputusan individu akan
efektif apabila keempat factor tersebut digunakan sebagai pertimbangan dan akan dapat
menghasilkan keputusan yang lebih efektif dan efisien, dengan catatan bahwa naluri
berdasarkan pengalaman individu juga berperan dalam pengambilan keputusan. Makin
banyak pengalaman individu , akan makin baik naluri individu tersebut didalam proses
pengambilan keputusan.
2. Keputusan Kelompok
Dalam praktik, sebenarnya tidak ada keputusan kelompok, tetapi proses pengambilan
keputusan selalu dilakukan kelompok, sedangkan keputusan ditetapkan oleh pimpinan
kelompok. Anggota kelompok bertugas menyiapkan data-data informasi untuk dianalisis
kelompok secara bersama-sama maupun oleh pimpinan kelompok untuk lebih meyakinkan
terhadap keputusan yang akan diambil.
3.
Keputusan Individu vs. Keputusan Kelompok
Keputusan individu dapat dibandingkan dengan keputusan individu lainnya, dan
selanjutnya dapat dibandingkan lagi dengan keputusan kelompok, maupun individu
antarkelompok, dan kelompok dengan kelompok. Perbandingan dapat dibuat antara lain di
dalam:
a) Kecepatan dan akurasi
Kecepatan dan akurasi sangat menentukan efektivitas keputusan yang diambil.
Pengertiannya bahwa kesiapan data atau fakta di dalam proses pengambilan keputusan akan
menentukan kecepatan dan ketepatan terhadap keputusan yang diambil, makin cepat data dan
fakta yang tersedia, akan makin akurat keputusannya
b) Kreativitas
Kreativitas di dalam proses pengambilan keputusan maksudnya adalah bahwa situasi
di dalam proses pengambilan keputusan akan selalu berbeda dan tidak akan sama sehingga
dibutuhkan kreativitas untuk dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan proses
pengambilan keputusan dilakukan, sampai tahap keputusan tersebut diputuskan.
c) Penerimaan/persepsi atas keputusan individu dan keputusan kelompok
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
75
Persepsi individu yang lain beserta kelompok harus dapat diyakinkan akan manfaat
dari keputusan tersebut diambil. Konsekuensi keputusan akan dapat direspon secara positif
oleh individu dan kelompoknya. Pengertiannya, segala akibat dari konsekuensi keputusan itu
menjadi tanggungjawab semua anggota kelompok. Apabila keputusan dapat mencapai tujuan
kelompok, maka dapat disebut sebagai kinerja dan restasi kelompok. Sebaliknya, bila terjadi
kesalahan maupun kegagalan sebagai akibat keputusan itu, maka risikonya adalah
dipergunakan alternatif lain sebagai pengganti atas keputusan itu.
Ciri lain untuk memahami tindak komunikasi dalam kelompok adalah dengan melihat
bagaimana suatu kelompok menggunakan metode-metode tertentu untuk mengambil
keputusan terhadap masalah yang dihadapi.
Berkaitan dengan pengambilan keputusan di DPR RI, Burns (dalam Efriza, 2014:148)
merumuskan hal-hal yang dapat mempengaruhi anggota dewan mengambil keputusan, yakni
:
1. Pengaruh kebijakan anggota dan pendirian filosofis
Orientasi ideologis atau isu merupakan penentu terbaik bagaimana para anggota
dewan akan memberikan suara dalam beragam persoalan.
2. Pengaruh pemilih atau konstituen
Pengaruh utama pada anggota legislatif berasal dari persepsi mereka tentang
bagaimana yang dirasakan oleh konstituen mereka. Tekanan partai dan badan
eksekutif juga berperan, tetapi ketika semua sudah dikatakan dan terlaksana, masa
depan politik anggota bergantung pada bagaimana perasaan mayoritas pemilih tentang
kinerja mereka. Jarang seorang anggota dewan secara konsisten dan sengaja
memberikan suara bertentangan dengan kehendak masyarakat dari dapilnya.
3. Pengaruh kolega
Keputusan voting juga dipengaruhi oleh nasihat dari anggota yang diperoleh dari
wakil lain. Keterbatasan waktu dan keperluan yang sering untuk membuat keputusan
dengan waktu yang relatif singkat memaksa anggota legislatif untuk bergantung pada
orang lain. Kebanyakan anggota membangun persahabatan dengan orang-orang yang
berpikir seperti mereka. Mereka sering saling bertanya apa yang mereka pikirkan
tentang penundaan legislasi. Secara khusus, mereka memerhatikan anggota yang
terpandang dari kerja komisi perundang-undangan.
4. Pengaruh staf dewan
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
76
Staf dewan adalah birokrasi dalam dewan. Tanpa bantuan mereka, para anggota
dewan tidak berfungsi dalam berurusan dengan badan eksekutif dan sangat
bergantung pada informasi yang diberikan kepada mereka, presiden dan pelobi.
5. Pengaruh parpol
Sumber pengaruh lain pada perilaku legislatif adalah parpol. Persahabatan cenderung
berkembang dalam partai. Tentu saja, ada sejumlah kesepakatan yang adil di antara
kolega partai. Pada beberapa persoalan, tekanan untuk sesuai dengan kedudukan garis
partai ialah segera dan langsung. Kadang-kadang ada tekanan untuk mendukung
partai bahkan ketika seorang anggota tidak percaya pada kedudukan partai. Oleh
karena itu, partai menetapkan beberapa mekanisme yang memungkinkan anggota
dewan tetap pada kebijakan atau disiplin partai.
6. Pengaruh presiden dan lembaga lain
Banyak kekuatan – regional, lokal, ikatan persahabatan – dapat mengesampingkan
pengaruh partai. Anggota-anggota dewan kadang-kadang dipengaruhi oleh kelompokkelompok informal (delegasi lokal, kelompok ideologis, kaukus etnis, kelompok
regional, dan bahkan kelompok kolega dengan siapa mereka dipilih). Mereka juga
dipengaruhi oleh kelompok kepentingan yang lebih penting dan pelobi – khususnya
mereka yang membantu dana kampanye sebelum dan akan datang
Selain ke enam dimensi yang dijelaskan oleh Burns, Lowi dan Ginsberg
menambahkan satu dimensi lagi yang mempengaruhi perilaku anggota legislatif; yaitu sistem
komisi.
7.
Sistem komisi
Sistem komisi merupakan ‘the core of legislative body’. Sistem komisi merupakan
struktur organisasi kedua dalam badan legislatif – pertama adalah partai. Meskipun
sistem komisi lebih merupakan suatu pembagian kerja daripada hirarki kekuasaan.
Ketua komisi dan subkomisi mempunyai sejumlah kekuasaan penting, tetapi seperti
ketua partai, kapasitas mereka untuk mendisiplinkan anggota komisi terbatas. Pada
akhirnya, anggota komisi digaji dan dipecat oleh electorate (para pemilih) bukan
kepemimpinan. Ketua komisi harus menyesuaikan diri mereka sendiri bahkan dengan
anggota-anggota yang pandangan-pandangannya tidak disenangi.
Pengambilan keputusan politik merupakan suatu fenomena komunikasi, yang pada
hakikatnya dapat terjadi dalam berbagai situasi. Namun pengambilan keputusan dalam
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
77
lingkup aktivitas politik menjadi lebih menarik untuk diamati ketika kita kerap melihat dan
mendengar bahwa bagitu banyak keputusan politik yang diambil menyisakan berbagai
polemik/kontroversi bahkan berbagai cerita menarik di belakangnya terkait dengan tarik
menarik ataupun tawar menawar berbagai kepentingan diantara orang-orang yang terlibat
dalam pengambilan keputusan tersebut. Hal ini sejatinya sangat lumrah terjadi dalam suatu
aktivitas perpolitikan yang memang berhubungan erat dengan kekuasaan.
Kelompok-kelompok yang berpolitik dalam suatu negara-bangsa ini tentunya selalu
memiliki rencana dan tujuan yang ditetapkan dalam sebuah mekanisme pengambilan
keputusan dengan segala dinamikanya.
2.4 Komunikasi Kelompok
2.4.1 Definisi Komunikasi Kelompok
Sebagai makhluk sosial tentunya kita tidak bisa lepas dari kegiatan berkomunikasi.
Komunikasi sendiri secara serhana merupakan suatu hubungan interaksi yang kita lakukan
baik terhadap diri sendiri maupun dengan orang lain. Hal tersebut kita lakukan baik terhadap
diri sendiri maupun dengan orang lain. Hal tersebut kita lakukan guna mempertahankan
kelangsungan hidup, karena sebagai makhluk sosial kita tidak bisa berdiri sendiri tanpa
bantuan orang lain.
Dalam hubungan antar sesama tersebut, manusia pasti selalu akan menciptakan
kelompok-kelompok yang dapat semakin mempererat jalinan hubungan mereka. Kelompok
merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari aktivitas kita sehari-hari. Kelompok baik
yang bersifat primer maupun sekunder merupakan wahana bagi setiap orang untuk dapat
mewujudkan harapan dan keinginannya berbagi semua informasi dalam hampir semua aspek
kehidupan. Ia bisa merupakan media untuk mengungkapkan persoalan-persoalan pribadi
(keluarga sebagai kelompok primer), ia dapat merupakan sarana meningkatkan pengetahuan
para anggotanya (kelompok belajar) dan bisa pula merupakan alat untuk memecahkan
persoalan bersama yang dihadapi seluruh anggota (kelompok pemecah masalah).
Michael Burgoon dan Michael Ruffner dalam bukunya Human Communication, A
Revisian of Approaching Speech/Comumunication (1978) memberi batasan komunikasi
kelompok sebagai :
“The face-to-face interaction of three or more individuals, for a recognized purpose
such as information sharing, self-maintenance, or problem solving, such that the
members are able to recall personal characteristics of other members accurately”.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
78
Yang diartikan sebagai interaksi tatap muka dari tiga atau lebih individu guna
memperoleh maksud atau tujuan yang dikehendaki seperti berbagai informasi, pemeliharaan
diri atau pemecahan masalah sehingga semua anggota kelompok dapat menumbuhkan
karateristik pribadi anggota lainnya dengan akurat (Sendjaja, 2004 : 3.3). Setidaknya ada
empat elemen yang tercakup dalam definisi di atas, yaitu :
a. Interaksi tatap muka, jumlah partisipan yang terlibat dalam interaksi, maksud atau tujuan
yang dikehendaki dan kemampuan anggota untuk dapat menumbuhkan karakteristik
pribadi anggota lainnya.
b. Terminologi tatap muka (face-toface) mengandung makna bahwa setiap anggota
kelompok harus dapat melihat dan mendengar anggota lainnya dan juga harus dapat
mengatur umpan balik secara verbal maupun nonverbal dari setiap anggotanya. Batasan
ini tidak berlaku atau meniadakan kumpulan individu yang sedang melihat proses
pembangunan gedung/bangunan baru. Dengan demikian, makna tatap muka tersebut
berkait erat dengan adanya interaksi di antara semua anggota kelompok. Jumlah
partisipan dalam komunikasi kelompok berkisar antara 3 sampai 20 orang.
Pertimbangannya, jika jumlah partisipan melebihi 20 orang, kurang memungkinkan
berlangsungnya suatu interaksi di mana setiap anggota kelompok mampu melihat dan
mendengar anggota lainnya. Dan karenannya kurang tepat untuk dikatakan sebagai
komunikasi kelompok.
c. Maksud atau tujuan yang dikehendaki sebagai elemen ketiga dari definisi di atas,
bermakna bahwa maksud atau tujuan tersebut akan memberikan beberapa tipe identitas
kelompok. Kalau tujuan kelompok tersebut adalah berbagi informasi, maka komunikasi
yang dilakukan dimaksudkan untuk menanamkan pengetahun (to impart knowledge).
Sementara kelompok yang memiliki tujuan pemeliharaan diri (self-maintenance),
biasanya memusatkan perhatiannya pada anggota kelompok atau struktur dari kelompok
itu sendiri. Tindak komunikasi yang dihasilkan adalah kepuasan kebutuhan pribadi,
kepuasan kebutuhan kolektif/kelompok bahkan kelangsungan hidup dari kelompok itu
sendiri. Dan apabila tujuan kelompok adalah upaya pemecahan masalah, maka kelompok
tersebut biasanya melibatkan beberapa tipe pembuatan keputusan untuk mengurangi
kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
d. Elemen terakhir adalah kemampuan anggota kelompok untuk menumbuhkan karateristik
personal anggota lainnya secara akurat. Ini mengandung arti bahwa setiap anggota
kelompok secara tidak langsung berhubungan dengan satu sama lain dan maksud/tujuan
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
79
kelompok telah terdefinisikan dengan jelas, di samping itu identifikasi setiap anggota
dengan kelompoknya relatif stabil dan permanen.
Batasan lain mengenai komunikasi kelompok dikemukakan oleh Ronald Adler dan
George Rodman dalam bukunya Understanding Human Communication Mereka
mengatakan bahwa kelompok atau group merupakan “a small collection of people who
interct with each other, usually face to face, over time order to reach goals” atau
sekumpulan kecil orang yang saling berinteraksi, biasanya tatap muka dalam waktu yang
lama guna mencapai tujuan tertentu (Sendjaja, 2004:3.5). Ada empat elemen yang muncul
dari definisi yang dikemukakan oleh Adler dan Rodman tersebut, yaitu :
a. Elemen pertama adalah interaksi dalam komunikasi kelompok merupakan faktor yang
penting, karena melalui interaksi inilah, kita dapat melihat perbedaan antara kelompok
dengan istilah yang disebut dengan coact. Coact adalah sekumpulan orang yang
secara serentak terkait dalam aktivitas yang sama namun tanpa komunikasi satu sama
lain. Misalnya, mahasiswa yang hanya secara pasif mendengarkan suatu perkuliahan,
secara teknis belum dapat disebut sebagai kelompok. Mereka dapat dikatakan sebagai
kelompok apabila sudah mulai mempertukarkan pesan dengan dosen atau rekan
mahasiswa yang lain.
b. Elemen yang kedua adalah waktu. Sekumpulan orang yang berinteraksi untuk jangka
waktu yang singkat, tidak dapat digolongkan sebagai kelompok. Kelompok
mempersyaratkan interaksi dalam jangka waktu yang panjang, karena dengan
interaksi ini akan dimiliki karakteristik atau ciri yang tidak dipunyai oleh kumpulan
yang bersifat sementara.
c. Elemen yang ketiga adalah ukuran atau jumlah partisipan dalam komunikasi kelompk.
Tidak ada ukuran yang pasti mengenai jumlah anggota dalam suatu kelompok. Ada
yang memberi batas 3-8 orang, 3-15 orang dan 3-20 orang. Untuk mengatasi
perbedaan jumlah anggota tersebut, muncul konsep yang dikenal dengan smallness,
yaitu kemampuan setiap anggota kelompk untuk dapat mengenal dan memberi reaksi
terhadap anggota kelompok lainnya. Dengan smallness ini, kuantitas tidak
dipersoalkan sepanjang setiap anggota mampu mengenal dan memberi rekasi pada
anggota lain atau setiap anggota mampu melihat dan mendengar anggota yang
lain/seperti yang dikemukakan dalam definisi pertama.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
80
d. Elemen terakhir adalah tujuan yang mengandung pengertian bahwa keanggotaan
dalam suatu kelompok akan membantu individu yang menjadi anggota kelompok
tersebut dapat mewujudkan satu atau lebih tujuannya.
Kelompok biasanya merupakan pemecahan masalah yang lebih baik dalam jangka
panjang dari pada individu perseorangan karena mereka memiliki akses ke lebih banyak
informasi daripada yang dimiliki oleh seorang individu, dapat melihat kelemahan dan bias
dalam pemikiran satu sama lain, dan kemudian berpikir mengenai hal yang mungkin gagal
dipertimbangkan oleh seorang individu.
Proses pemecahan masalah (problem solving) dalam kelompok menghadirkan
dinamika perbedaan pendapat yang akan menguji kohesivitas kelompok. Dalam beberapa
kelompok, kohesi dapat menuntun pada perasaan positif mengenai pengalaman kelompok
dan anggota kelompok yang lain. Kelompok yang sangat kohesif mungkin juga akan lebih
antusias mengenai tugas-tugas mereka dan anggotanya merasa dimampukan untuk
melaksanakan tugas-tugas tambahan. Tetapi kelompok yang sangat kohesif juga dapat
menghasilkan hal yang mengganggu atau groupthink. Janis (1972) berpendapat bahwa
kelompok dengan kohesivitas tinggi memberikan tekanan yang besar pada anggota
kelompoknya untuk menaati standar kelompok. Janis yakin bahwa ketika kelompok
mencapai tingkat kohesivtas yang tinggi, euforia ini cenderung mematikan opini dan
alternatif yang lain.21
Ketika anggota kelompok memiliki nasib yang sama, terdapat tekanan yang kuat
untuk menuju pada ketaatan. Hal inilah yang rentan terhadap Groupthink. kelompok yang
sangat
kompak
(cohesiveness)
dimungkinkan
terlalu
banyak
menyimpan
atau
menginvestasikan energi untuk memelihara niat baik dalam kelompok ini, sehingga
mengorbankan proses keputusan yang baik dari proses tersebut.
Groupthink kemudian menjadi proses persetujuan-mencari yang diarahkan untuk
mempertahankan bersama pandangan positif tentang fungsi kelompok. Dua anteseden
groupthink, kohesi dan ancaman kolektif sangat penting dalam memproduksi groupthink,
yaitu kondisi pertama; kohesi yang menggabungkan perspektif identitas sosial, memberikan
kontribusi untuk pengembangan persepsi kelompok sebagai identitas yang unik,
meningkatkan pengembangan citra positif bersama kelompok, dan menyediakan dasar pada
21
Richard West and Lynn Turner, Introduction Communication Theory- Analysis and Application, 3th Edition, McGraw
Hill, New York, 2008, hlm. 265.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
81
ancaman yang dapat beroperasi. Kondisi kedua; ancaman kolektif, adalah katalis untuk
proses intragrup yang mempromosikan persetujuan mencari keputusan dan keputusan yang
cacat.
Setelah anteseden groupthink terlihat maka gejala groupthink muncul di keputusan
tersebut (Janis & Mann, 1977). Gejala ini termasuk kolektif rasionalisasi, tekanan untuk
menyesuaikan diri, munculnya mindguards, persepsi bias anggota out-group, self-censorship,
ilusi kekebalan, ilusi moralitas, dan ilusi kebulatan suara. Gejala groupthink ini dapat ditangkap
dari adanya berbagai pengambilan keputusan politik yang dirumuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR).
2.4.2
Fungsi Komunikasi Kelompok
Keberadaan suatu kelompok dalam masyarakat dicerminkan oleh adanya fungsi-
fungsi yang akan dilaksanakannya. Fungsi-fungsi tersebut mencakup fungsi hubungan sosial,
pendidikan, persuasi, pemecahan masalah dan pembuatan keputusan dan fungsi terapi. Semua
fungsi ini dimanfaatkan untuk pembuatan kepentingan masyarakat, kelompok dan para
anggota kelompok itu sendiri.
Fungsi pertama dalam kelompok adalah hubungan sosial, dalam arti bagaimana suatu
kelompok mampu memelihara dan memantapkan hubungan sosial di antara para anggotanya
seperti bagaimana suatu kelompok secara rutin memberikan kesempatan kepada anggotanya
untuk melakukan sktivitas yang informal, santai dan menghibur.
Pendidikan adalah fungsi kedua dari kelompok, dalam arti bagaimana sebuah
kelompok secara formal maupun informal bekerja unutk mencapai dan mempertukarkan
pengetahun. Melalui fungsi pendidikan ini, kebutuhan-kebutuhan dari para anggota
kelompok, kelompok itu sendiri bahkan kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Namun
demikian, fungsi pendidikan dalam kelompok akan sesuai dengan yang diharapkan atau
tidak, bergantung pada tiga faktor, yaitu jumlah informasi baru yang dikontribusikan, jumlah
partisipan dalam kelompok serta frekuensi interaksi di antara para anggota kelompok. Fungsi
pendidikan ini akan sangat efektif jika setiap anggota kelompk membawa pengetahuan yang
berguna bagi kelompoknya. Tanpa pengetahuan baru yang disumbangkan msing-masing
anggota, mustahil fungai edukasi ini akan tercapai.
Fungsi ketiga adalah fungsi persuasi, seorang anggota kelompok berupaya
mempersuasikan anggota lainnya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Seseorang
yang terlibat usaha-usaha persuasif dalam suatu kelompok, membawa resiko untuk tidak
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
82
diterima oleh para anggota lainnya. Misalnya, jika usaha-usaha persuasif tersebut terlalu
bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok, maka justru orang yang
berusaha mempersuasi tersebut akan menciptakan suatu konflik, dengan demikian malah
membahayakan kedudukannya dalam kelompok.
Fungsi keempat dari kelompok dicerminkan dengan kegiatan-kegiatannya untuk
memecahkan persoalan dan membuat keputusan-keputusan. Pemecahan masalah (problem
solving) berkaitan dengan penemuan alternatif atau solusi yang tidak diketahui sebelumnya;
sedangkan pembuatan keputusan (decision making) berhubungan dengan pemilihan antara
dua atau lebih solusi. Jadi, pemecahan masalah menghasilkan materi atu bahan untuk
pembuatan keputusan.
Fungsi kelima dari kelompok adalah terapi. Kelompok terapi memiliki perbedaan
dengan kelompok lainnya, karena kelompok terapi tidak memiliki tujuan. Objek dari
kelompok terapi adalah membantu setiap individu mencapai perubahan personalnhya.
Tentunya, individu tersebut harus berinteraksi dengan anggota kelompok lainnya guna
mendapatkan manfaat, namun usaha utamanya adalh membantu dirinya sendiri, bukan
membantu kelompok mencapai konsensus. Contoh dari kelompok terapi ini adalah kelompok
konsultasi perkawinan, kelompok penderita narkotika, kelompok perokok berat dan
sebagainya. Tindak komunikasi dalam kelompok-kelompok terapi dikenal dengan nama
pengungkapan ciri (self disclosure). Artinya, dalam suasana yang mendukung, setiap anggota
dianjurkan untuk berbicara secara terbuka tentang apa yang menjadi permasalahannya. Jika
muncul konflik antar anggota dalam diskusi yang dilakukan, orang yang menjadi pemimpin
atau yang memberi terapi yang akan mengaturnya.
2.4.3
Tipe-Tipe Kelompok
Ronald B. Adler dan George Rodman dalam bukunya Understanding Human
Communication22 membagi kelompok dalam tiga tipe, yaitu kelompok belajar (learning
group), kelompok pertumbuhan (growth group), dan kelompok pemecahan masalah
(problem-solving group). Masing-masing tipe kelompok memiliki karakteristik dan tujuan
yang berbeda yaitu :
1. Kelompok Belajar (learning group)
22
Sendjaja, S. Djuarsa, dkk. 2004. Teori Komunikasi. Modul SKOM 4204. Universitas Terbuka. h. 3.14.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
83
Kelompok yang memberi keterampilan berenang ataupun kelompok yang
mengkhususkan kegiatannya pada peningkatan kemampuan dalam memberi
pertolongan darurat misalnya, dapat digolongkan ke dalam kelompok belajar tersebut.
Jadi, apa pun bentuknya, tujuan dari learning group ini adalah meningkatkan
pengetahuan atau kemampuan para anggotanya. Satu ciri yang menonjol dari learning
group ini adalah adanya pertukaran informasi dua arah, artinya setiap anggota dalam
kelompok belajar adalah kontributor atau penyumbang dan penerima pengetahuan.
2. Kelompok Petumbuhan (growth group)
Jika learning group para anggotanya terlibat dalam persoalan-persoalan aksternal
sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka kelompok pertumbuhan lebih
memusatkan perhatiannya kepada permasalah pribadi yang dihadapi para anggotanya.
Wujud nyata dari growth group ini adalah kelompok bimbingan perkawinan,
kelompok bimbingan psikologi, kelompok terapi serta kelompok yang memusatkan
aktivitasnya kepada penumbuhan keyakinan diri, yang biasa disebut dengan
consciousness-raising group. Karekateristik yang terlihat dalam tipe kelompok ini
adalah growth group tidak mempunyai tujuan kolektif yang nyata, dalam arti bahwa
seluruh tujuan kelompok diarahkan kepada usaha untuk membentu para anggotanya
mengidentifikasi dan mengarahkan mereka untuk peduli dengan persoalan pribadi
yang mereka hadapi.
3. Kelompok Pemecahan Masalah (problem-solving group)
Orang -orang yang terlibat dalam kelompok pemecahan masalah, bekerja bersamasama untuk mengatasi persoalan bersama yang mereka hadapi. Dalam sebuah
keluarga misalnya, bagaimana seluruh anggota keluarga memecahkan persoalan
tentang cara pembagian kerja yang memungkinkan mereka terlibat dalam pekerjaan
rumah tangga, seperti tugas apa yang harus dilakukan seorang suami, apa yang
menjadi tanggung jawab istri, dan pekerjaan-pekerjaan apa yang dibebankan kepada
anak-anaknya. Atau dalam contoh lain, bagaimana cara warga yang bergabung dalam
satu rukun tetangga (RT) berusaha mengorganisasikan diri mereka sendiri guna
mencegah tindakan pencurian melalui kegiatan sistem keamanan llingkungan atau
lebih dikenal dengan siskamling.
Problem solving group dalam opersionalsasinya, melibatkan dua aktivitas penting.
Pertama, pengumpulan informasi (gathering information); bagaimana suatu
kelompok sebelum membuat suatu keputusan, berusaha mengumpulkan informasi
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
84
yang penting dan berguna untuk landasan pengambilan keputusan tersebut; dan kedua
adalah pembuatan keputusan atau kebijakan itu sendiri yang berdasar pada hasil
pengumpulan informasi.
Dalam konteks Kelompok Politik, terdapat yang dinamakan kelompok kepentingan
(interest group) dan kelompok penekan (pressure group).
a. Kelompok kepentingan
Merupakan adalah sekelompok manusia yang mengadakan persekutuan yang
didorong oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Kepentingan ini dapat berupa
kepentingan umum atau masyarakat luas ataupun kepentingan untuk kelompok
tertentu. Contoh persekutuan yang merupakan kelompok kepentingan, yaitu
organisasi massa, paguyuban alumni suatu sekolah, kelompok daerah asal, dan
paguyuban hobi tertentu (Budiarjo, 2008:176)
Kelompok kepentingan bertujuan untuk memperjuangkan sesuatu “kepentingan”
dengan mempengaruhi lembaga-lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang
menguntungkan atau menghindarkan keputusan yang merugikan. Kelompok kepentingan
tidak berusaha untuk menempatkan wakil-wakilnya dalam Dewan Perwakilan Rakyat,
melainkan cukup mempengaruhi satu atau beberapa partai didalamnya atau instansi yang
berwenang maupun menteri yang berwenang.
Menurut Gabriel A. Almond (Almond, 1966 : 75-81) terdapat empat tipe kelompok
kepentingan yaitu sebagai berikut :
1. Kelompok kepentingan anomik.
Berasal dari kata anomie yang artinya terasing. Kelompok kepentingan ini muncul
secaratiba-tiba dan hanya ada pada saat itu saja. Sifatnya yang muncul secara tiba-tiba
tersebut menyebabkan kelompok kepentingan ini tidak memiliki pengorganisasian masa yang
jelas.Mereka hanya berkumpul pada suatu tempat dan kemudian secara bersamasamamenyuarakan keinginan, kepentingan serta tujuan mereka. Kelompok kepentingan ini
timbul karena kelompok assosiasional belum ada dalam suatu negara. Kelompok ini
terbentuk dari unsur-unsur masayarakat secara spontan dan seketika akibat suatu isu
kebijakanpemerintah,agama, politik dsb. Biasanya kelompok kepentingan anomik ini terjadi
pada negara-negara yang sedang dilanda konflik secara terus menerus atau terjadi pada
negara yangpemerintahanya bersifat tertutup sehingga masyarakat tidak dapat menyampaikan
aspirasinya,keinginan, maupun mengkritik jalannya pemerintahan.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
85
Contoh : Persatuan pedagang yang akan digusur bersatu saat ingin digusur dengan
berdemodan menghilang saat aspirasi mereka terpenuhi.
2. Kelompok kepentingan non assosiasional.
Kelompok kepentingan ini hampir sama dengan kelompok kepentingan anomik
dimanatidak adanya pengorganisasian yang jelas dan terencana. Kelompok kepentingan ini
munculapabila kepentingan-kepentingan yang timbul karena adanya kesamaan daerah asal,
kesamaanagama,dll. kelompok ini berasal dari unsur keluarga dan keturunan atau etnik
regional statusdan kelas yang menyatakan kepentingannya berdasarkan situasi.Kelompok
kepentingan ini sudah muncul baik di negara-negara berkembang maupun di negara-negara
yang sudah maju. Baik di negara-negara berkembang maupun di negara-negara maju.
Kelompok kepentingan non assosiasional ini memiliki peran yang cukup kuat dalam
pembuatankeputusan yang dilakukan oleh pemerintah negara tersebut. Contoh : Persatuan
warga Batak di Jakarta.
3. Kelompok kepentingan institusional.
Berbeda
dengan
kelompok
kepentingan
sebelumnya
yang
timbul
tidak
terorganisasikelompok kepentingan institusional ini timbul secara terorganisir dan sudah
terencana.Kelompok kepentingan institusional ini biasanya berbentuk suatu badan hukum.
Kelompokkepentingan
institusional
ini
memiliki
pengaruh
yang
besar
di
masyarakat.kelompok ini bersifat Formal dan memiliki fungsi-fungsi politik dan sosial.
Anggotanya terkaitdengan kepentingan ekonomi atau bisanya terkait dengan pekerjaan.
Sangat efektif dalammempengaruhi kebijakan pemerintah. Contoh : KOPRI, PGRI, TNI,
POLRI, dll.
4. Kelompok kepentingan assosiasional.
Kelompok kepentingan ini hampir sama dengan kelompok institusional dimana
kelompokkepentingan
asosiasional
muncul
secara
terorganisir.
kelompok
ini
menyatakankepentingannnya secara khusus dan memakai tenaga profesional.Kelompok
kepentingan assosiasional ini muncul pada negara yang sudah maju biasanya munculpada
negara yang menganut paham demokrasi. Namun kelompok kepentingan assosiasional ini
juga dapat muncul pada negara yang menganut paham otokratis. Pada negara yang
menganutpaham otokratis kelompok kepentingan assosiasional berada dibawah pengawasan
yang cukupketat dari pihak pemerintah (Almond, 1966 : 75-81). Contoh : Ikatan Dokter
Indonesia, termasuk serikat perdagangan dan serikat pengusaha.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
86
Tujuan dari kelompok kepentingan ini adalah untuk memperjuangkan sesuatu
kepentingan dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik untuk memperoleh keputusan yang
menguntungkan dan menghindari keputusan yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak
berusaha untuk memasukkan wakil-wakilnya dalam Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi cukup
memengaruhi satu atau beberapa partai di dalamnya, instansi pemerintah, atau menteri yang
berwenang.
Dengan demikian, kelompok kepentingan memiliki orientasi yang jauh lebih sempit
daripada partai politik. Selain itu, organisasi kelompok kepentingan lebih longgar daripada
partai politik.
b.
Kelompok Penekan (Pressure Groups)
Merupakan sekelompok manusia yang berbentuk lembaga kemasyarakatan dengan
aktivitas atau kegiatannya memberikan tekanan kepada pihak penguasa agar keinginannya
dapat diakomodasi oleh pemegang kekuasaan. Contohnya, Lembaga Swadaya Masyarakat
Peduli Nasib Petani, dan Lembaga Swadaya Masyarakat Penolong Korban Gempa. Pada
mulanya, kegiatan kelompok-kelompok ini biasa-biasa saja, namun perkembangan situasi dan
kondisi mengubahnya menjadi pressure group. Kedudukan dari kelompok penekan ini dapat
memaksa atau mendesak pihak yang berada dalam pemerintahan atau pimpinan agar bergerak
ke arah yang diinginkan atau justru berlawanan dengan desakannya. Walaupun tujuan akhir
dari kelompok penekan ini sama seperti tujuan akhir dari kelompok kepentingan sehingga
mereka sering disamakan.
Perbedaan dari kelompok penekan dan kelompok kepentingan terdapat pada orientasi
mereka. Misalnya contoh: apabila pemerintah membutuhkan pers atau media massa untuk
menyampaikan informasi kepada masyarakat secara cepat dan menyeluruh mengenai
peristiwa banjir, maka media massa akan dipergunakan untuk membantu pemerintah dalam
menyampaikan hal tersebut. Pada kasus tersebut, media massa berfungsi sebagai kelompok
kepentingan yang mempunya tugas untuk menyampaikan sesuatu kepada khalayak luas
secara menyeluruh dan merata. Orientasi kelompok kepentingan lebih bersifat dari atas ke
bawah. Sedangkan disisi lain, media massa berfungsi sebagai kelompok penekan bagi
pemerintah setempat atau pemerintah pusat.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
87
2.4.4 Kepemimpinan dalam Kelompok
Kepemimpinan merupakan salah satu peran yang penting dalam interaksi kelompok,
karena peran ini akan menentukan kuantitas dan kualitas komunikasi dalam kelompok, hasil
dari tujuan kelompok, dan harmoni atau keselarasan dalam kelompok. Bahasan mengenai
kepemimpinan dalam kelompok ini dapat ditinjau dari kajian fungsi kepemimpinan dan gaya
kepemimpinan dalam kelompok, sebagaimana berikut :
1. Fungsi Kepemimpinan
Burgoon, Heston dan McCroskey (Sendjaja, 2004:3.18) menguraikan adanya delapan
fungsi kepemimpinan, yaitu fungsi inisiasi (initiation), keanggotaan (membership),
perwakilan (representation), organisasi (organization), integrasi (integration), manajemen
informasi internal (internal information management), fungsi penyaring informasi
(gatekeeping), dan fungsi imbalan (reward).
Dalam fungsi inisiasi, seorang pemimpin perlu mengambil prakarsa untuk
menciptakan gagasan-gagasan baru, namun sebaliknya tugas pemimpin juga memberi
pengarahan ataupun menolak gagasan-gagasan dari anggota kelompoknya yang dinilai tidak
layak. Inisiatif dalam arti menciptakan ataupun menolak ide-ide baru, baik yang berasal dari
pimpinan itu sendiri ataupun dari anggota kelompoknya perlu untuk dilaksanakan, sebab
pemimpin mempunyai tanggung jawab yang lebih besar terhadap keberadaan atau eksistensi
kelompok yang dipimpinnya, disamping itu yang lebih penting adalah tanggung jawab untuk
terlaksananya tujuan-tujuan kelompok.
Sedangkan dalam fungsi keanggotaan, salah satu bagian dari perilaku seorang
pimpinan adalah memastikan bahwa dirinya juga merupakan salah seorang anggota
kelompok. Perilaku tersebut dijalankannya dengan cara meleburkan atau melibatkan dirinya
dalam kelompok serta melakukan aktivitas yang menekankan kepada interaksi informal
dengan anggota kelompok lainnya.
Fungsi keterwakilan
ditunjukkan dengan upaya pimpinan untuk melindungi dan
mempertahankan para anggotanya dari ‘ancaman-ancaman’ yang berasal dari luar dengan
menjadi wakil atau juru bicara kelompok di hadapan kelompok lainnya.
Dalam fungsi organisasi, tanggung jawab terhadap hal-hal yang bersangkut paut
dengan persoalan organisasional seperti struktur organisasi, kelancaran kerja roda organisasi,
dan deskripsi kerja ada di tangan seorang pemimpin, sehingga ia perlu memiliki bekal
kemampuan mengelola organisasi yang tentunya lebih baik dibanding anggota kelompok
lainnya.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
88
Sementara dalam fungsi integrasi, seorang pemimpin perlu mempunyai kemampuan
untuk memecahkan ataupun mengelola dengan baik konflik yang ada dan mucul di
kelompoknya. Dengan bekal kemampuan tersebut diharapkan seorang pemimpin dapat
menciptakan suasana yang kondusif untuk tercapainya penyelesaian konflik yang dapat
memberi kepuasan kepada semua anggota kelompok.
Fungsi manajemen informasi internal dalam kepemimpinan kelompok merujuk pada
suatu kondisi dalam waktu tertentu dimana pemimpin harus memberi sarana bagi
berlangsungnya pertukaran informasi di antara para anggotanya dan juga mencari masukanmasukan tentang bagaimana sebaiknya kelompoknya harus merencanakan, melaksanakan dan
mengevaluasi program kerjanya.
Dalam fungsi penyaring informasi, seorang pemimpin bertindak sebagai penyaring
sekaligus manajer bagi informasi yang masuk dan keluar dari kelompok yang dipimpinnya.
Fungsi tersebut dilakukan sebagai usaha untuk mengurangi terjadinya konflik di dalam
kelompok ataupun dengan kelompok lain, karena informasi yang ada dalam kelompok
tersebut telah tersleksi.
Terakhir, dalam fungsi imbalan atau ganjaran, pemimpin melakukan fungsi evaluasi
dan menyatakan satuju atau tidak setuju terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh
para anggotanya. Hal ini dilakukan pimpinan melalui imbalan-imbalan materi seperti
peningkatan gaji, pemberian kenaikan pangkat jabatan, pujian ataupun penghargaan. Banyak
anggota kelompok sangat sensitif terhadap kekuatan imbalan dari pimpinannya, sehingga
pekerjaan ataupun tugas yang dilakukannya diarahkan untuk memperoleh imbalan tersebut.
2. Gaya Kepemimpinan dalam Kelompok
Gaya kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai tingkat atau derajat pengendalian
yang digunakan seorang pemimpin dan sikapnya terhadap para anggota kelompok (the
degree of control a leader exercise and his attitudes toward group members). Gaya
kepemimpinan dalam kelompok ini bisa dibagi dalam lima ciri, yaitu : authoritarian,
bureaucratic atau supervisory, diplomathic, democratic dan laissezfaire atau groupcentered. Berikut merupakan penjelasan dari gaya kepemimpinan dalam kelompok :
1. Gaya Authoritarian menempatkan seorang pemimpin sebagai seorang pengendali
(cotroler). Kata-kata yang diucapkannya adalah hukum atau peraturan dan tidak dapat
diubah. Seorang pemimpin dalam gaya authoritarian biasanya menyadarkan diri pada
aturan-aturan, memonopoli tindak komunikasi dan seringkali meniadakan umpan
balik dari anggota lainnya. Kelompok yang mempunyai gaya kepemimpinan ini
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
89
memiliki kemungkinan terorganisasi dengan baik dan produktif, namun hubungan
antarpribadi (interpersonal relationship) diantara para anggota keompok cenderung
renggang dan antagonistik.
2. Gaya Pimpinan Birokratik menempatkan pimpinan sebagai pengawas atau supervisor
dan
mengkoordinasikan
aktivitas
kelompok.
Seorang
pemimpin
birokratik
memandang hubungan sosial sebagai hal yang tidak dikehendaki, karenanya ia lebih
suka menjauhkan diri dan tidak memperhatikan persoalan-persoalan antarpribadi yang
dihadapi para anggotanya. Pemimpin birokratik cenderung berkomunikasi melalui
saluran tertulis secara resmi. Kelompok yang memakai gaya kepemimpinan ini akan
lebih produktif sebab segala sesuatunya terorganisasi dengan baik, namun ada
kecendrungan dari anggota kelompok untuk bersikap apatis.
3. Gaya diplomatik disebut dengan gaya manipulator, karena pemimpin melaksanakan
kepemimpinannya supaya menjadi pusat perhatian para anggota kelompoknya.
Pemimpin yang diplomatis cenderung untuk sedikit menggunakan kontrol atau
setidaknya lebih halus dalam memakai kontrol tersebut dan lebih luwes dibanding
pemimpin authoritarian. Ia tidak terpaku terhadap satu aturan khusus dan karenanya
lebih bebas untuk menggunakan strategi-strategi tertentu guna memanipulasi orang
lain. Dengan demikian pemimpin diplomatik terbuka dengan adanya saran dan umpan
balik yang demokratis dari anggota kelompoknya.
4. Gaya Kepemimpinan Demokratik membuat pemimpin tidak banyak menggunakan
kontrol apabila dibandingkan dengan ketiga gaya kepemimpinan sebelumnya.
Pemimpin demokratik menginginkan seluruh anggotanya untuk berbagi tanggung
jawab dan mampu mengembangkan potensi kepemimpinan yang dimilikinya.
Pemimpin yang demokratis memiliki kepedulian terhadap hubungan pribadi maupun
hubungan tugas di antara para anggota kelompok. Meskipun nampaknya kurang
terorganisasi dengan baik, namun gaya ini dapat berjalan dalam suasana yang rileks
dan memiliki kecendrungan untuk menghasilkan produktivitas dan kreativitas, karena
gaya kepemimpinan ini mampu memaksimalkan kemampuan yang dimiliki para
anggotanya.
5. Gaya laissez-faire atau group centered tidak berdasar pada aturan-aturan seorang
pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan ini menginginkan seluruh anggota
kelompoknya berpartisipasi tanpa memaksakan atau menuntut kewenangan yang
dimilikinya. Tindak komunikasi dari pemimpin ini cenderung berlaku sebagai seorang
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
90
penghubung yang menghubungkan kontribusi atau sumbangan pemikiran dari anggota
kelompoknya. Jika tidak ada yang mengendalikannya, kelompok yang memakai gaya
ini akan menjadi tidak terorganisasi, tidak produktif dan anggotanya akan apatis,
sebab mereka merasa bahwa kelompoknya tidak memiliki maksud atau tujuan yang
hendak dicapai. Walaupun begitu, dalam situasi tertentu khususnya dalam kelompok
terapi, gaya kepemimpinan laissez-faire ini adalah yang paling banyak dan efektif dari
gaya-gaya kepemimpinan terdahulu23.
Mengingat penelitian ini tertuju pada konteks kelompok politik dari komisi yang ada
di lembaga negara DPR RI maka dipandang perlu untuk melihat perspektif komunikasi
politik .
2.5
Komunikasi Politik
Para ilmuwan politik sesungguhnya memandang bahwa “politik meliputi komunikasi”
karena banyak definisi komunikasi yang mengandung makna politik. Komunikasi pada
umumnya bertujuan memengaruhi atau berkaitan dengan aspek pengaruh (influence). Sedang
politik mencakup juga pengaruh sebagai konsep khusus dari kekuasaan (power) sebagai titik
sentral kajian politik (Floy Hunter, 1953). Bahkan Laswell dan Kaplan (1950:76)
menganggap bahwa pengaruh merupakan konsep pokok, dan kekuasaan sebagai bentuk khas
dari pengaruh.
Dapatlah dimengerti jika politik bersifat multimakna, dan para ahli memberikan
pengertian yang berbeda-beda tentang politik, sehingga politik juga memiliki multidefinisi.
Aristoteles misalnya menyebut bahwa politik merupakan hakikat keberadaan manusia dalam
kehidupan bermasyarakat. Dalam karyanya Politics yang ditulis tahun 335 sM, menyatakan
bahwa manusia secara alamiah adalah makhluk yang berpolitik (zoon politicon) atau man is
by nature a political anaminal. Selain itu politik juga dapat diartikan sebagai aktivitasaktivitas manusia dalam bermasyarakat. Politik juga sering diungkapkan sebagai perjuangan
mengangkat penguasa yang berfungsi menetapkan kebijakan pemerintah. Namun politik tidak
hanya menyangkut tentang perjuangan, tetapi juga berkaitan dengan kerjasama. Selain itu
politik tidak hanya berkaitan dengan pengangkatan penguasa dan penetapan kebijakan, tetapi
23
Sendjaja, S. Djuarsa, dkk. 2004. Teori Komunikasi. Modul SKOM 4204. Universitas Terbuka. h. 3.19-3.21.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
91
politik juga berkaitan dengan distribusi kekuasaan, implementasi kebijakan dan
pengalokasian nilai-nilai otoritatif. Politik juga selalu berkaitan dengan kelompok manusia
dalam bentuk asosiasi dimana sebuah polis (negara) merupakan satu bentuk asosiasi yang
didalamnya terjalin hubungan antara individu yang hidup bersama.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat, bukan tujuan pribadi
seorang. Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik
dan kegiatan individu (Budiarjo, 2005: 8). Dengan demikian, dalam politik pasti akan selalu
ada kelompok manusia yang berusaha mencapai tujuan bersama sesuai dengan hakikat
manusia sebagai makhluk sosial, yang hanya akan menjadi apa dan siapa bergantung pada
hubungan yang diciptakannya.
Guna menciptakan hubungan
yang harmonis dalam mempertahankan dan
mengembangkan hidup dalam asosiasi terutama negara, selalu ada aturan, kewenangan dan
kekuasaan yang dapat diakomodir oleh aktivitas politik, sehingga semakin jelaslah bahwa
politik pun sesungguhnya menyangkut manusia dalam bentuk kelompok (asosiasi) yang
memiliki hubungan antara individu atau kelompok dengan negara, yang kegiatannya melalui
jalur kewenangan, pengaruh, kekuasaan, kepentingan dan kekuatan bagi berbagai macam
kegiatan yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dan pelaksanaan tujuan itu.
Dari hal tersebut tampak bahwa politik adalah pembicaraan, dan pembicaraan adalah
komunikasi sebagaimana yang dicetuskan oleh David V.J Bell, Mark Roelofs dan Peter
M.Hall (Arifin, 2011:1). Banyak sekali aspek kehidupan politik dapat dilukiskan sebagai
komunikasi, sebagaimana menurut Alfian (1985) bahwa keseluruhan proses politik umumnya
terjadi dalam kerangka konflik dan konsensus atau kompromi.
Inilah yang dinamakan komunikasi politik, dimana kegiatannya meliputi segala
bentuk pertukaran simbol atau pesan yang sampai pada tingkat tertentu dipengaruhi atau
memengaruhi berfungsinya sistem politik serta tidak bebas nilai dalam arti sangat terikat
dengan faktor sejarah dan kultural, termasuk ideologi, sistem politik, sistem sosial dan sistem
ekonomi suatu negara-bangsa. Dengan demikian jelas bahwa nisbat antara komunikasi dan
politik sangatlah tipis. Kajian komunikasi politik menurut Nina. W. Syam (2001:2) dalam
pohon komunikasi, komunikasi politik adalah merupakan : “salah satu cabang komunikasi
organisasional berdasarkan pendekatan publik (public approach). Artinya, komunikasi politik
berlangsung dalam konteks organisasi dan dalam situasi publik. Komunikasi politik juga
mempelajari mata rantai antara komunikasi dan politik atau jembatan metodologis antara
disiplin komunikasi dan politik (hybrid interdisipliner).
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
92
Secara formal objek komunikasi politik adalah dampak atau hasil yang bersifat politik
(political outcomes) di samping sebagai salah satu fungsi yang menjadi syarat untuk
berfungsinya sistem politik. Jika komunikasi politik dilihat sebagai jembatan metodologis
antara disiplin komunikasi dan politik maka objek formal komunikasi politik juga termasuk
proses penciptaan kebersamaan dalam makna (the commoness in meaning) tentang fakta dan
peristiwa politik (Arrianie, 2010:15).
Objek material komunikasi politik menurut Sartori (dalam Rush and Althoff;1971:46)
adalah : “dimensi-dimensi komunikasi dari fenomena politik dan dimensi politis dari
komunikasi” sesuai dengan apa yang diketengahkan oleh Gurevith dan Blumer (1977:72)
yang mengetengahkan empat komponen dalam komunikasi politik yaitu :
1. Lembaga-lembaga politik dalam aspek komunikasinya.
2. Institusi media dalam aspek politiknya.
3. Orientasi khalayak terhadap komunikasi.
4. Aspek budaya politik yang relevan dengan komunikasi.
Dari keempat aspek tersebut, penelitian ini terkait dengan lembaga politik dan aspek
komunikasinya yang di titik beratkan pada proses pengambilan keputusan politik di lembaga
terbuka DPR RI.
Komunikasi Politik itu pada hakikatnya adalah proses penyampaian, penerimaan serta
pengolahan pesan (message) untuk mempengaruhi individu-individu secara langsung maupun
tidak yang terkait pada isu-isu politik secara umum. Karena itu, dalam komunikasi politik
selalu mengandung elemen utama, yaitu :
1. Mengurangi informasi yang bias (uncertainty);
2. Untuk kepentingan masyarakat (public interest);
3. Upaya-upaya memperediksi akan suatu kejadian di waktu ke dapan
4. Merencanakan dan menjelaskan komunikasi strategik.
Elemen utama tersebut merupakan pesan yang dimiliki efek politis yang penting atas
pemikiran, kepercayaan serta perilaku dari individu, kelompok, institusi dan masyarakat di
mana informasi itu berada (Graber, 1993:305)
Istilah komunikasi politik mulai banyak disebut-sebut semenjak terbitnya tulisan
Gabriel Almond (1960) dalam bukunya berjudul The Politics of the Development Areas, dia
membahas komunikasi poliik secara terinci. Menurut Almond (1960:12-17), komunikasi
politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik sehingga terbuka
kemungkinan bagi para ilmuwan politik untuk memperbandingkan berbagai sistem politik
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
93
dengan latar belakang budaya yang berbeda. Dengan demikian, menurut Almond,
komunikasi politik merupakan salah satu dari tujuh fungsi yang dijalankan oleh setiap sistem
politik. Almond (1960:45) menulis :
”All the functions performed in the political system, political socialization and
recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application,
and rule adjudication, are performed by means of communication”.
Tulisan Almond menunjukkan bahwa komunikasi politik bukanlah fungsi yang
berdiri sendiri. Komunikasi Politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi
pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi
politik terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik.
Suatu komunikasi dapat dikatakan sebagai komunikasi politik tergantung pada
karakter pesan dan dampaknya terhadap sistem politik. Semakin jelas pesan komunikasi
berkaitan dengan politik dan semakin kuat dampaknya terhadap sistem politik, maka semakin
signifikan pula komunikasi tersebut dinilai sebagai komunikasi politik (Parwito, 2009:4).
Aktivitas
komunikasi
politik
yang
dijalankan
politisi
berorientasi
pada
korps/semangat partai politik yang melatar belakanginya berdasarkan tujuan dan kepentingan
tertentu dalam fungsi keanggotaan politisi di parlemen, sehingga partai politik yang
dinamakan fraksi di DPR RI selalu berusaha untuk menempatkan wakil-wakilnya sesuai
dengan kompetensi yang dimiliki.
Partai politik sebagai salah satu instrumen politik yang memiliki tujuan untuk meraih
kekuasaan. Selain memiliki tujuan yang jelas adapula fungsi-fungsi yang harus dijalankan
yaitu rekrutmen politik, komunikasi politik, pengendali konflik dan lain-lain. Disamping itu
partai politik merupakan representasi dari beberapa kelompok yang ada di dalam masyarakat.
Partai politik sangat diperlukan untuk menampung seluruh aspirasi rakyat namun pada saat
sekarang ini, partai politik lebih banyak menjadi media atau alat agar penguasa dapat
menjalankan tujuannya.
Secara umum partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggotaanggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Adapun tujuan
dibentuknya sebuah partai adalah untuk memperoleh kekuasaan politik, dan merebut
kedudukan politik dengan cara (yang biasanya) konstitusional yang mana kekuasaan itu
partai politik dapat melaksanakan program-program serta kebijakan-kebijakan mereka.
Berikut beberapa definisi partai politik oleh para ahli :
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
94
ï‚·
Menurut R.H Soltau, partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit
banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan
memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk mengendalikan dan
menguasai pemerintahan serta melaksanakan kebijakan umum mereka.24
ï‚·
Menurut Carl J. Frederich, partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir
secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap
pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan
kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil.
ï‚·
Menurut Sigmund Neumann dalam bukunya Modern Political Parties, partai politik
adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai
kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan
suatu golongan atau golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.25
ï‚·
Menurut Mark N. Hagopian, partai politik adalah suatu organisasi yang dibentuk
untuk mempengaruhi bentuk dan karakter kebijaksanaan publik dalam kerangka
prinsip-prinsip dan kepentingan ideologis tertentu melalui praktek kekuasaan secara
langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan.26
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem multi partai pada akhirnya
menempatkan berbagai perwakilan dari banyak partai politik peserta Sistem multi-partai
dianggap lebih mencerminkan keanekaragaman budaya dan politik, sehingga fungsi partai
politk di negara transisi demokrasi seperti Indonesia adalah :
 Sebagai sarana komunikasi politik
Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan
aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran
pendapat dalam masyarakat bisa diminimalkan.
 Sebagai sarana sosialisasi politik
Partai politik memainkan peran dalam membentuk pribadi anggotanya. Sosialisasi
yang dimaksudkan adalah partai berusaha menanamkan solidaritas internal partai,
mendidik anggotanya, pendukung dan simpatisannya serta bertanggung jawab sebagai
warga negara dengan menempatkan kepentingan sendiri dibawah kepentingan
bersama.
 Sebagai sarana rekruitment politik.
24
Eddi Wibowo dkk.Ilmu Politik Kontemporer. Yogyakarta:YPAPI, 2004, hlm. 69.
Miriam Budiardjo.Dasar-Dasar Ilmu Politik-Edisi Revisi. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 404.
26
Ichlasul Amal. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta:PT. Tiara Wacana Yogya, 1996, hlm. XV.
25
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
95
Partai politik mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam
kegiatan politik sebagai anggota partai. Cara-cara yang dilakukan oleh partai politik
sangat beragam, bisa melalui kontrak pribadi, persuasi atau menarik golongan muda
untuk menjadi kader.
 Sebagai sarana pengatur konflik.
Partai politik harus berusaha untuk mengatasi dan memikirkan solusi apabila terjadi
persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat. Namun, hal ini lebih sering
diabaikan dan fungsi-fungsi diatas tidak dilaksanakan seperti yang diharpakan.
 Sebagai sarana partisipasi politik
Partai politik harus selalu aktif mempromosikan dirinya untuk menarik perhatian dan
minat warga negara agar bersedia masuk dan aktif sebagai anggota partai tersebut.
Partai politik juga melakukan penyaringan-penyaringan terhadap individu-individu
baru yang akan masuk kedalamnya.
 Sebagai sarana pembuatan kebijakan
Fungsi partai politik sebagai pembuat kebijakan hanya akan efektif jika sebuah partai
memegang kekuasaan pemerintahan dan mendominasi lembaga perwakilan rakyat.
Dengan memegang kekuasaan, partai politik akan lebih leluasa dalam menempatkan
orang-orangnya sebagai eksekutif dalam jabatan yang bersifat politis dan berfungsi
sebagai pembuat keputusan dalam tiap-tiap instansi pemerintahan.27
Selain hal tersebut di atas, fungsi partai politik di Indonesia sebagai negara
berkembang diharapkan untuk memperkembangkan sarana integrasi nasional dan memupuk
identitas nasional, karena negara-negara baru sering dihadapkan pada masalah bagaimana
mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, serta suku bangsa yang berbeda corak sosial
dan pandangan hidupnya menjadi satu bangsa.28
Ketika komunikasi politik bertujuan untuk menyampaikan pesan-pesan politik bagi
pengambilan keputusan politik, tentunya diperlukan berbagai hal yang mampu mengarahkan
kepada terciptanya kesepakatan diantara pihak-pihak yang berpolitik, dalam penelitian ini
adalah legislatif (DPR RI) dan eksekutif (Pemerintah). Upaya konsesnsus melalui proses
tawar-menawar, lobby dan kompromi menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan. Untuk
menjelaskan tentang hal tersebut, perspektif teroi birokrasi politik Graham Allison yang
pernah dipergunakan untuk menganalisis pengambilan keputusan pemerintah pada politik
27
28
Eddi Wibowo dkk.Ilmu Politik Kontemporer.(Yogyakarta:YPAPI,2004) hlm 70-76
Ibid., hlm 413
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
96
luar negeri dalam kasus Cuban Missile Crisis (1962) dianggap mampu memperkaya
penelitian ini.
2.6
Tinjauan tentang Model Birokrasi Politik (The Bureaucratic Politics Model)
Model ini menekankan pada peranan (roles) yang dilakukan banyak birokrat yang
terlibat dalam proses politik luar negeri, dan tidak memfokuskan perhatiannya hanya pada
pusat pembuat keputusan politik luar negeri suatu negara. Dengan demikian, para birokrat
memiliki banyak pengaruh dalam merumuskan politik luar negeri. Para birokrat juga
bertanggungjawab pada pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan sehingga mereka dapat
mempengaruhi implementasi politik luar negerinya. Pada model ini pemerintah dianggap
terdiri dari sekian banyak individu dan organisasi. Konsekwensi yang muncul adalah
keputusan tidaklah dipandang sebagai produk rasionalitas melainkan produk dari proses
interaksi dan penyesuaian dari berbagai individu dan organisasi. Dengan kata lain, politik luar
negeri merupakan proses politik yang meliputi rundingan-rundingan (bargaining), kompromi
(compromise), dan penyesuaian-penyesuaian (adjustment).29
Graham Allison dan Philip Zelikow adalah pelopor penelitian birokratik politik dalam
konteks politik luar negeri. Mereka meneliti proses termasuk perilaku para pembuat
keputusan yang berupaya merumuskan respon atas tantangan dan kesempatan yang datang
dari dunia internasional. Pada dasarnya kedua akademisi tersebut memunculkan tiga argumen
utama mengenai bagaimana suatu keputusan luar negeri terbentuk. Argumen pertama
dirangkum dalam ungkapan “Where you stand depends on where you sit”. Artinya,
pandangan atau sikap seseorang atas suatu isu akan secara signifikanatau substansial
dipengaruhi oleh jabatan profesionalnya. Perhatikan kata depend disini jangan diartikan
bahwa posisi setiap saat selalu menentukan sikap. Jabatan yang diemban, termasuk kewajiban
dan otoritas yang melekat di jabatan tersebut, bukan satu-satunya faktor yang berperan disini.
Jabatan seseorang biasanya menuntut seseorang untuk mempertahankan, memperluas
kekuasaan suatu institusi atau organisasi, relevansi, anggaran organisasi tempatnya bekerja.
Selain kepentingan organisasi tersebut, ada 3 (tiga) faktor lain yang mempengaruhi persepsi
29
Peter A. Toma dan Robert F. Gorman. 1991. International Relations : Understanding Global Issues. Pasific
Grove, California : Brooks Cole Publishing Company, hal. 135-136.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
97
serta preferensi mengenai respon yang ideal atas suatu isu, yaitu kepentingan pribadi,
domestik, dan nasional.30
Beralih ke argument kedua, Allison dan Zelikow menjelaskan bahwa dengan
majemuknya cara pandang tersebut dan beragamnya latar belakang yang membentuknya, maka
dapat dipastikan bahwa perdebatan, pertentangan, tarik menarik kepentingan,aliansi antar orangorang yang satu kepentingan, tawar menawar, kompromi diantara para pembuat keputusan
terjadi. Bisa dikatakan bahwatiap-tiap pembuat keputusan tidak akan serta merta menemukan
kata sepakat.
Pengaruh seseorang terhadap hasil akhir ditentukan utamanya oleh dua faktor. Faktor
pertama adalah struktur, yaitu pengaruh atau power yang melekat pada posisi profesionalnya,
seperti otoritas, kewajiban, status, dukungan masyarakat, dukungan dari politisi, atau institusi,
kontrol atas sumber daya, keahlian dan kontrol atas informasi memungkinkan menentukan arah
pendefinisian suatu agenda dan masalah, saran-saran, kontrol atas informasi. Faktor kedua
adalah individu. Maksud dari faktor individu adalah kemauan seseorang menggunakan pengaruh
dalam proses, dan persepsi orang lain terhadap pengaruh yang dimilikinya.
Argumen ketiga yang dikemukan oleh Allison dan Zelikow menyangkut bentuk hasil
akhir atau sesuai istilah mereka disebut resultant atau solusi yang tidak dikehendaki oleh pihakpihak yang terlibat dalam pembuatan keputusan sejak awal. Dengan kata lain, suatu keputusan
akhir adalah produk dari konflik kepentingan, kompromi, kebingungan orang-orang yang
memiliki kepentingan dan pengaruh berbeda-beda, kelalaian atau kesalahan yang tidak
disengaja, maupun kesalahpahaman. Allison dan Zelikow berargumen bahwa perbedaan
pandangan dan sikap membuat perdebatan dan kompromi tidak terhindarkan. Masing-masing
pihak dengan gaya yang berbeda berusaha memajukan kepentingan mereka.
Meskipun karya Allison (1971, 1999) merupakan awal yang besar untuk menjelaskan
pengambilan keputusan pada kasus Cuban Missille Crisis, namun salah satu aspek dari proses
pengambilan keputusan yang masih tidak tergambar adalah efek dinamika kelompok pada proses
pengambilan keputusan. Hal inilah yang kemudian diamati oleh Janis melalui groupthink teori.
Dinamika yang terjadi dalam proses pengambilan keputusan tentunya berisi interaksi
yang melewati beberapa tahapan (fase). Hal ini dapat diamati dengan menggunakan perspektif
teori analisis proses interaksi dari Robert Bales.
30
Graham Allison dan Philip Zellikow (1999), Essence of Decision: Explaining the Cuban Missile Crisis 2nd
Edition, New York: Longman, hal 307.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
98
2.7
Tinjauan Tentang Studi Interaksi
Guna mengamati dinamika interaksi yang terjadi dalam kelompok panitia kerja
komisi I DPR RI teori analisis proses interaksi dari Bales yang termasuk dalam tradisi
sosiopsikologis dapat membantu analisis. Teori Analisis proses interaksi Bales adalah Teori
klasik yang di kembangkan untuk menjelaskan pola diskusi kelompok, terutama dalam hal
kepemimpinan.
Dengan menggunakan penelitian bertahun-tahun sebagai fondasi, Bales
menciptakan sebuah teori terpadu dan dikembangkan dengan baik dari komunikasi kelompok
kecil yang bertujuan untuk menjelaskan jenis pesan yang manusia tukar dalam kelompok31.
Dalam kelompok, setiap individu dapat memperlihatkan sikap positif atau gabungan
dengan (1) menjadi ramah, (2) mendramatisasi (suka bercerita atau berbicara), atau (3)
menyetujui. Sebaliknya, mereka juga dapat menunujukkan sikap negatif atau sikap campur
aduk dengan (1) penolakan, (2) memperlihatkan ketegangan, atau (3) menjadi tidak ramah.
Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap individu dapat (1) menanyakan informasi, (2)
menanyakan opini, (3) meminta saran, (4) memberi saran, (5) memberi opini, dan (6)
memberI informasi.
Teori yang dicapai adalah proses pembuatan untuk menganalisis komunikasi
kelompok. Analisis proses interaksi Bales adalah sistem keseimbangan (equilibrium). Semua
unsur-unsur berada dalam keadaan seimbang. Terdapat jumlah yang sama kategori tugas dan
kategori sosio-emosional, dan dua kategori tersebut dibagi sama dalam unsur positif dan
unsur negatifnya. Selain itu penelitian menunjukkan bahwa kelompok yang terlibat dalam
kegiatan komunikasi yang berkaitan dengan tugas selama satu tahapan sidang, cenderung
“mempertahankan keseimbangan mereka”. Hal ini dilakukan dengan cara meluangkan waktu
yang lebih lama pada kegiatan sosio-emosional dalam tahapan sidang berikut, dan begitu juga
sebaliknya. Semua kelompok harus mencapai keseimbangan, keseimbangan tugas, dan
kebutuhan kepemeliharaan.
Ada tiga tahap dalam model Bales, yaitu:
Tahap 1 : Orientation Phase
Pada tahap orientasi, anggota yang baru masuk dalam suatu kelompok atau baru mendirikan
suatu kelompok akan bertanya, mencari dan saling memberi informasi mengenai tujuan
kelompok dan hakekat tugas-tugas dalam kelompok; pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
31
Littlejohn, Stephen W & Karen Foss (2008). Theories of Human Communication. 9th edition. California:
Wadsworth Thompson Learning. Hal: 326
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
99
antara lain. “apa yang akan kita lakukan”, “mengapa kita melakukannya”, “bagaimana kita
melakukannya” dan “bagaimana mencapai hasil yang terbaik”.
Pada tahapan ini, anggota kelompok akan mencari konfirmasi dan melakukan orientasi akan
keberadaan kelompok tersebut.
Tahap 2 : Evaluation Phase
Pada tahap evaluasi, pertanyaan yang diajukan anggota kelompok berkisar seputar peran
anggota kelompok dalam tugas-tugas atau pekerjaan yang dilakukan oleh kelompok.
Pada tahap ini terjadi semacam pengekspresian opini dan perasaan dari anggota kelompok
tentang berbagai isu yang berkembang.
Tahap 3 : Control Phase
Para anggota kelompok akan saling membuat statement (pernyataan) dan mencari serta
memberi petunjuk pada sesama anggota. Disini akan bermunculan pendapat-pendapat yang
positif atau negatif dari anggota kelompok secara substansial. Pada tahap ini akan mulai
tampak solidaritas kelompok dan minat mereka dalam kelompok
2.8 Tinjauan Tentang Informasi Publik dan Badan Publik
Sebagaimana yang dikatakan mantan Ketua Pansus RUU KMIP Paulus Widiyanto
(2015) Informasi Publik dan Badan Publik adalah bagai dua sisi mata uang yang tidak bisa
dipisahkan dalam membahas Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Kedua bagian
tersebut adalah ruh dari UU KIP tersebut. Jika ditelaah maka terkandung beberapa hal yang
mendukung pengertian tentang Informasi dan Badan Publik tersebut.
Secara Etimologi, Informasi berasal dari bahasa Perancis kuno informacion (tahun
1387) yang diambil dari bahasa Latin informationem yang berarti “garis besar, konsep, ide”.
Informasi merupakan kata benda dari informare yang berarti aktivitas dalam “pengetahuan
yang dikomunikasikan”.Informasi Juga dapat diartikan sebagai data yang telah di olah
menjadi bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi yang menerimanya. Kata inform
sejatinya adalah berarti memberi bentuk, dan informasi ditujukan untuk membentuk orang
yang mendapatkannya, yaitu untuk membuat agar pandangan atau wawasan orang tersebut
berbeda (dibandingkan sebelum memperoleh informasi). Dengan kata lain informasi adalah
pertambahan dalam pengetahuan yang dicapai oleh pihak penerimanya dengan jalan
menyeseuaikan elemen-elemen data yang tepat dengan variabel-variabel sebuah problem.
Informasi merupakan ingredien pokok dalam proses pengambilan keputusan untuk
kebanyakan individu. Sebagaimana dikatakan John G. Burch Jr dan Felix R. Starter Jr bahwa:
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
100
...”information is an occurence or a set of occurences which carry messages and when
perceived by the recipients via any of the senses, will increase their state of knowledge. The
significance or value of information received can only be measured by the recipient”.32
Beberapa definisi tentang informasi dikemukan oleh para ahli seperti : Raymond
Mc.leod, informasi adalah data yang telah diolah menjadi bentuk yang memiliki arti bagi si
penerima dan bermanfaat bagi pengambilan keputusan saat ini atau mendatang. Menurut
Tata Sutabri, informasi adalah data yang telah diklasifikasikan atau diolah atau
diinterpretasikan untuk digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Pengertian
informasi menurut Jogiyanto HM., (1999: 692), “informasi dapat didefinisikan sebagai hasil
dari pengolahan data dalam suatu bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi
penerimanya yang menggambarkan suatu kejadian – kejadian (event) yang nyata (fact) yang
digunakan untuk pengambilan keputusan”. Pengertian informasi menurut McFadden dkk
(1999) mendefinisikan informasi sebagai data yang telah diproses sedemikian rupa sehingga
meningkatkan pengetahuan seseorang yang menggunakan data tersebut. Informasi Menurut
George H. Bodnar, (2000: 1), “Informasi adalah data yang diolah sehingga dapat dijadikan
dasar untuk mengambil keputusan yang tepat”. Pengertian Informasi menurut Lani Sidharta
(1995: 28), “Informasi adalah data yang disajikan dalam bentuk yang berguna untuk
membuat keputusan”. Anton M. Meliono (1990: 331), medefinisikan “Informasi adalah data
yang telah diproses untuk suatu tujuan tertentu, yang tujuan tersebut adalah untuk
menghasilkan sebuah keputusan”. Pengertian Informasi Menurut Gordon B. Davis (1991:
28), “Informasi adalah data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi
penerimanya dan bermanfaat bagi pengambilan keputusan saat ini atau mendatang”.
Dalam perspektif komunikasi, informasi di uraikan oleh teori Shannon dan Weaver
berdasarkan model matematis. Shannon dan Weaver menyatakan bahwa semua sumber
informasi bersifat stochastic alias probabilistik (bersifat kemungkinan). Jika kemungkinan
tersebut bersifat tidak mudah diduga, maka derajat ketidakmudahan ini disebut sebagai
entropy.
Model matematis Shannon dan Weaver menunjukkan hubungan antara elemen sistem
teknologi komunikasi, yaitu sumber, saluran, dan sasaran. Setiap sumber dalam gambaran
Shannon memiliki tenaga atau daya untuk menghasilkan sinyal. Dengan kata lain, pesan apa
pun yang ingin disampaikan melalui komunikasi, perlu diubah menjadi sinyal, dalam sebuah
32
John G. Burch Jr. Felix R. Starter Jr (dalam Winardi, 2000:512)
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
101
proses kerja yang disebut encoding atau pengkodean. Sinyal yang sudah berupa kode ini
kemudian dipancarkan melalui saluran yang memiliki kapasistas tertentu. Saluran ini
dianggap selalu mengalami gangguan (noise) yang mempengaruhi kualitas sinyal. Memakai
hitung-hitungan probabilitas, teori informasi mengembangkan cara menghitung kapasitas
saluran dan kemungkinan pengurangan kualitas sinyal. Sesampainya di sasaran, sinyal ini
mengalami proses pengubahan dari kode menjadi pesan, atau disebut juga sebagai proses
decoding.
Teori informasi Shannon juga menganggap bahwa informasi dapat dihitung
jumlahnya, dan bahwa informasi bersumber atau bermula dari suatu kejadian. Jumlah
informasi yang dapat dikaitkan, atau dihasilkan oleh, sebuah keadaan atau kejadian
merupakan tingkat pengurangan (reduksi) ketidakpastian, atau pilihan kemungkinan, yang
dapat muncul dari keadaan atau kejadian tersebut. Dengan kata yang lebih sederhana, teori ini
berasumsi bahwa kita memperoleh informasi jika kita memperoleh kepastian tentang suatu
kejadian atau suatu hal tertentu. Keunggulan teori Shannon-Weaver terletak pada
kemampuannya membuat persoalan komunikasi informasi menjadi persoalan kuantitas,
sehingga sangat cocok untuk mengembangkan teknologi informasi.
Sedangkan kata publik secara psikologis diartikan sebagai sekelompok orang yang
menaruh perhatian terhadap satu masalah yang sama. Sedangkan secara sosiologis public
adalah sekelompok orang yang menaruh perhatian terhadap suatu masalah.
Rhenald Kasali berpendapat bahwa publik adalah kumpulan dari orang-orang atau
pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan (Kasali, 2000:57). Mayor Polak
menyampaikan bahwa publik adalah sekelompok orang yang mempunyai minat sama
terhadap suatu kegemaran atau persoalan tertenu. Emory S Bogardus, mendefinisikan publik
merupakan sejumlah orang yang dengan suatu cara mempunyai pandangan yang sama
mengenai suatu masalah atau setidaknya mempunyai kepentingan bersama dalam sesuatu hal.
Herbert Blummer (Jefkin, 2006:80) menyatakan publik adalah sekelompok orang yang (1)
dihadapkan pada suatu permasalahan, (2) berbagi pendapat mengenai cara pemecahan
persoalan tersebut, (3) terlibat dalam diskusi mengenai persoalan itu. Publik adalah kelompok
atau orang-orang yang berkomunikasi dengan suatu oragnisasi, baik secara internal maupun
eksternal atau diartikan sebagai ,unit sosial aktif yang terdiri dari semua pihak yang terlibat
yang mengenali problem bersama yang akan mereka cari solusinya secara bersama-sama
(Dewey, 1927:15).
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
102
Dari definisi di atas maka informasi publik secara umum dapat diartikan adalah
merupakan segala hal/sesuatu yang disampaikan keepada publik dengan maksud dan tujuan
tertentu. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
didefinisikan bahwa Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola,
dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan
penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya
yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan
kepentingan publik. Informasi Publik dapat dikategorikan menjadi (1) Informasi yang wajib
disediakan dan diumumkan secara berkala; (2) Informasi yang wajib diumumkan secara serta
merta; dan (3) Informasi yang wajib disediakan setiap saat. Adapun informasi yang wajib
disediakan tersebut berkaitan dengan (1) Informasi terkait Badan Publik, (2) Informasi yang
mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait, (3) Informasi mengenai laporan
keuangan dan (4) Informasi lain yang diatur dalam perUndang-undangan.
Sedangkan Badan Publik menurut definisi UU Nomor 14 tahun 2008 adalah lembaga
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan
dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian
atau
seluruh
dananya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Terdapat lima ketegori dalam pengertian Badan Publik, yang pertama adalah
Lembaga Eksekutif, Lembaga Eksekutif mencakup seluruh lembaga yang masuk dalam
jajaran pemerintah baik di tingkat pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota hingga Desa. Lembaga
Eksekutif di tingkat pusat yang masuk dalam ketegori Badan Publik antara lain Lembaga
Kepresidenan, Kementerian Negara (misalnya : Kementerian Pendidikan, Kementerian Luar
Negeri). Di tingkat Provinsi antara lain Badan, Dinas dan Biro, sedangkan di tingkat
Kabupaten/Kota misalnya Dinas, Badan, Bagian, dan Camat sampai dengan tingkat Desa.
Kategori kedua adalah Lembaga Legislatif atau lembaga perwakilan rakyat baik di
tingkat pusat (DPR/DPD), maupun di tingkat Provinsi (DPRD Provinsi), Kabupaten/Kota
(DPRD Kabupaten/Kota). Ketiga adalah Lembaga Yudikatif yang termasuk adalah
Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi hingga Pengadilan Negeri, serta lembaga peradilan
lainnya (Pengadilan Militer, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara).
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
103
Kategori keempat adalah Badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan
dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari
APBN/APBD antara lain institusi yang dibentuk berdasarkan perintah peraturan perUndangundangan, misalanya KPU, LIPI, Komisi Penyiaran, dll serta Badan Hukum Milik Negara
seperti Universitas, Sekolah, Rumah Sakit pemerintah.
Kategori kelima adalah Organisasi non Pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh
dananya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri,
misalnya lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat, sepanjang organisasi ini
memperoleh pendanaan baik sebagian atau seluruhnya dari APBN/APBD, mengumpulkan
sumbangan masyarakat atau menerima sumbangan dana luar negeri. Kategori organisasi non
pemerintah ini cukup luas, yang membatasi adalah apabila lembaga tersebut menerima dana
dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat atau luar negeri. Berikut uraian lembaga/badan
yang termasuk Badan Publik :
Tabel. 5
Uraian Badan Publik
No.
a.
Definisi Badan Publik
Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif,
baik di tingkat pusat maupun daerah;
b.
Lembaga lain yang fungsi dan tugas
pokoknya melaksanakan penyelenggaraan
negara;
Lembaga
atau
badan
usaha
yang
melaksanakan penugasan khusus Pemerintah
dengan menggunakan dana dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau
Anggaran Pendapatan dan dan Belanja
Daerah, yang keterbukaan Informasinya
terbatas pada kegiatan penugasan khusus
Pemerintah tersebut.
c.
Lembaga/Badan
Eksekutif:
Lembaga
Kepresidenan/ Wakil Presiden,
Departemen,
Kementerian
Negara, LPND, Pemprov,
Pemkab,
Pemkot,
Pemerintahan
Kecamatan,
Kelurahan dan Desa, TNI,
Polri, Kedutaan, Konsulat,
KPU.
Legislatif : MPR, DPR, DPD,
DPRD, BPK.
Yudikatif : PN, PT, MA, MK,
KY, KPK, Kejaksaan.
BI, Lembaga Adhoc, Komnas
HAM, Ombudsman, BLU,
BHMN.
BUMN, BUMD, BUMS,
LSM, dan lembaga lain
apapun yang mengemban
PSO/Subsidi.
Keterangan
-
-
Prinsipnya
BUMN/BUMD
bukan
badan
publik karena
kegiatannya di bidang
usaha, bukan di bidang
pemerintahan.
BUMN dan BUMD dapat
diakses oleh badan publik
dalam kerangka RUU
KMIP
terbatas
pada
informasi yang berkaitan
dengan
kegiatan
pelaksanaan
penugasan
khusus
Pemerintah
melalui dana PSO/Subsidi
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
104
(APBN/APBD)
d.
Lembaga
dan/atau
Organisasi
non
Pemerintah yang mendapatkan dana dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, dan/atau sumbangan masyarakat,
dan/atau sumber luar negeri, yang
keterbukaan informasinya terbatas pada
kegiatan penggunaan dana dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
dan/atau sumbangan masyarakat tersebut.
Parpol, PMI, Yayasan, LSM,
Pesantren, dan Lembaga non
Pemerintah lainnya.
Sumber : Kementerian Negara BUMN dalam rangka Pembahasan RUU KMIP pada Rapat Kerja dengan
Komisi I tanggal 3 September 2007
Berdasarkan uraian pada tabel tersebut terlihat memang BUMN/BUMD tidak
diharapkan termasuk dikategorikan sebagai badan publik dengan alasan menjalankan
kegiatan di bidang usaha bukan bidang pemerintahan. Kementerian BUMN menyatakan
bahwa BUMN dan Badan Usaha Swasta telah memiliki landasan hukum masing-masing
yaitu untuk BUMN adalah : Paket UU Keuangan Negara, UU 40/2007 PT, UU 19/2003
BUMN, UU 8/1995 Pasar Modal, Paket UU Sektoral dan Paket UU Pemeriksaan. Sedangkan
landasan hukum untuk Badan Usaha Swasta adalah : UU 40/2007 PT, UU8/1995 Pasar
Modal dan Paket UU Sektoral.
Adapun maksud dan tujuan pendirian BUMN berdasarkan Pasal 2 UU No. 19 Tahun
2003 adalah :
1.
Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada
umumnya dan penerimaan Negara pada khususnya.
2.
Mengejar keuntungan.
3.
Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau
jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang
banyak.
4.
Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh
sektor swasta dan koperasi.
5.
Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan
ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Bentuk-bentuk aktivitas BUMN yang berjalan meliputi :
1.
Pelaksanaan Tugas Negara dalam melayani masyarakat, contoh/jenisnya :
PSO/Subsidi (rezim hukum: keuangan negara).
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
105
2.
Pelaksana tugas yang termasuk rahasia negara, contoh/jenisnya: dukungan
Alutista (rezim hukum: rahasia negara).
3.
Korporasi (Perseroan Terbatas), contoh/jenisnya : Perusahaan Terbuka dan
Perusahaan Tertutup (rezim hukum: korporasi).
2.9 Kerangka Pemikiran Penelitian
Setelah membicarakan teori mengenai
groupthink, pengambilan keputusan,
komunikasi kelompok, komunikasi politik, model birokrasi politik dan teori analisis proses
interaksi diatas, maka penelitian ini berangkat dari argumentasi bahwa dalam proses
pengambilan keputusan politik di kelompok lingkup legislatif DPR RI terjadi groupthink
sebagai akibat dari adanya pertarungan kepentingan dengan pihak eksekutif. Kelompok
politik di Komisi I DPR RI yang pada awalnya terdiri dari anggota dengan latar belakang
heterogen karena berbeda ideologi politik dan memiliki kedudukan yang dapat dikatakan
setara dengan label ‘sesama anggota dewan’, pada akhirnya dapat dikatakan homogen dan
menjadi kohesif ketika berhadapan dengan kepentingan pemerintah (eksekutif) dalam
pembahasan mengenai definisi badan publik di RUU KIP tahun 2008.
Pada kondisi tersebut anteseden (kondisi pendahulu) groupthink yaitu adanya : (1)
kelompok kohesif pengambil keputusan, (2) adanya kesalahan struktural dan (3) karakteristik
yang menghasilkan tekanan, dapat muncul dan mengarah kepada tendensi gejala groupthink
berupa : (1) penilaian berlebihan terhadap kelompok, (2) ketertutupan pikiran, dan (3)
tekanan untuk mencapai keseragaman, ketika pihak DPR RI berbeda pendapat dengan pihak
eksekutif dan keduanya (legislatif dan eksekutif) tidak ingin mencapai konsensus
(kesepakatan). Walaupun terdapat upaya yang dikategorikan untuk meminimalisasi
groupthink seperti terdapat proses dengar pendapat, sikap pimpinan yang cenderung
akmodatif maupun peran devil’s advocat yang bisa dibawa oleh anggota dari fraksi yang
tergolong pendukung pemerintah, namun upaya tersebut tidak mampu berpengaruh secara
signifikan karena groupthink telah ada.
Hasil dari interaksi yang ada di dalamnya bisa dilihat dari catatan risalah rapat Panja
RUU KIP Komisi I DPR RI periode 2004-2009. Isi risalah rapat dalam penelitian ini dilihat
sebagai hasil atau produk dari komunikasi kelompok politik di DPR RI yang melibatkan
kepentingan legislatif dan eksekutif yang mengandung kondisi pendahulu dan gejala
groupthink bagi pengambilan keputusan kelompok Komisi I DPR RI dengan didasari oleh
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
106
lobby dan kompromi serta dipengaruhi tekanan waktu, yang tentunya menimbulkan
kekecewaan di sisi lain sehingga mempengaruhi implementasi UU KIP setelah disahkan.
Peran dari teori analisis proses interaksi adalah untuk memahami fase-fase interaksi
dalam dinamika komunikasi politik yang terjadi, sedangkan teori model birokrasi politik
adalah untuk memahami proses tawar menawar yang terjadi antara pemerintah dengan DPR
RI sebagai agen pemerintah lainnya.
Strategi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pada tahap pertama adalah
melakukan penelusuran dan identifikasi berbagai isu yang menonjol dalam RUU KIP pada
kelompok Panitia Kerja (Panja) Komisi I yang diserahi tugas membahas RUU KMIP/KIP.
Pada tahap kedua peneliti akan menelusuri proses pembahasan hingga pengambilan
keputusan pada isu mengenai badan publik dengan cara koding risalah rapat dan melakukan
wawancara mendalam kepada informan yang dipilih secara purposif terhadap pihak-pihak
yang dianggap banyak terlibat dan tahu pasti tentang RUU KIP untuk mendapatkan gambaran
tentang dinamika komunikasi yang berlangsung pada saat itu. Pada tahap ketiga dilakukan
analisis berdasarkan model teori groupthink untuk memastikan telah terjadi groupthink serta
melihat keterkaitan berbagai kepentingan diluar kelompok legislatif dalam dinamika interaksi
dalam rangka pengambilan keputusan. Disinilah peran dari teori analisis proses interaksi dan
teori model birokrasi politik untuk membantu memahami perubahan dari kondisi yang
awalnya jauh dari kecenderungan groupthink menjadi tercipta groupthink.
Dengan demikian kerangka pemikiran penelitian yang dapat digambarkan adalah
sebagai berikut :
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
107
Gambar 2
Kerangka Pemikiran Penelitian
Kelompok kohesif
pengambil keputusan
Kondisi
Pendahulu
Groupthink
Karakteristik Tekanan
Kesalahan Struktural
KELOMPOK KOMISI I
DPR RI YANG
MEMBAHAS RUU KIP
KOHESIF DAN
TERBUKA
Penilaian berlebihan
terhadap kelompok
Gejala
Groupthink
Ketertutupan Pikiran
Tekanan untuk
Keseragaman
Keputusan yang
berpotensi
Gagal/Kontroversi
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
108
BAB III
METODOLOGI
3.1
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma postpositivisme
karena penelitian ini dilakukan berangkat dari teori, melalui pengamatan empiris, untuk
menemukan/mengkonfirmasi hukum sebab-akibat, yang bisa digunakan untuk memprediksi
pola-pola umum gejala sosial tertentu, dengan penggunaan metode kualitatif. Penelitian
dengan paradigma postpositivis berusaha menciptakan pengalaman interaktif antara peneliti
dengan objek yang diteliti, dengan batasan bahwa pengamat harus bersikap senetral mungkin,
sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi.
Pendekatan kualitatif didasarkan dengan pertimbangan tujuan penelitian (eksplorasi
deskripsi) dan juga dikarenakan peneliti ingin mengetahui secara mendalam mengenai
indikasi dan gejala groupthink dalam proses pembahasan dan pengambilan keputusan
mengenai definisi Badan Publik dalam RUU KIP di Komisi I DPR RI. Menurut Bogdan dan
Taylor (Moleong, 2002:3) pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau
perilaku yang dapat diamati. Sedangkan menurut Denzin dan Lincoln (1994:4), istilah
kualitatif menunjuk pada suatu penekanan pada proses-proses dan makna-makna yang tidak
diuji atau diukur secara ketat dari segi kuantitas, jumlah intensitas maupun frekuensi.
Dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran dari perilaku manusia dan
konteks sosial dalam interaksi sosial. Di samping itu, penelitian ini diharapkan menghasilkan
kedalaman infomasi. Menurut Patton, penelitian kualitatif dilakukan untuk memahami
situasi-situasi dalam keunikan atau kekhasan mereka miliki sebagai bagian dari konteks dan
interaksi. Pemahaman ini tidak digunakan untuk memprediksi peristiwa yang akan terjadi di
masa depan, tetapi untuk memahami secara mendalam aspek-aspek ilmiah dari latar
masyarakat (Patton, 2002:1).
Penelitian kualitatif memiliki beberapa karakteristik: interpretif, instrumental dan
deskriptif (Merriam, 2002). Karakteristik pertama menjelaskan bahwa peneliti berusaha
memahami makna-makna yang dibentuk oleh masyarakat tentang dunia dan pengalamannya.
Pemahaman yang akan diperoleh nantinya akan digunakan untuk membuat prediksi-prediksi
tentang apa yang akan terjadi di waktu mendatang. Pemahaman yang diperoleh dari
penelitian ini akan membantu peneliti mengetahui hal-hal seperti misalnya: seperti apa
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
109
dunianya orang yang diteliti, apa arti dunia tersebut bagi orang yang diteliti, apa yang terjadi
oleh orang yang diteliti dalam dunia tersebut. Jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
diatas akan dipakai untuk membuat interpretasi atau mendalam atas subyek penelitian.
Karakeristik kedua menjelaskan bahwa, dalam penelitian kualitatif, peneliti menjadi
alat utama dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Pemahaman mendalam atas subyek
yang diteliti menjadi tujuan dari penelitian kualitatif.
Sedangkan karakteristik yang ketiga, menjelaskan bahwa hasil dari penelitian
kualitatif bersifat deskriptif. Hasil-hasil ini bisa berupa deskripsi atas suatu konteks, informan
yang terlibat atau kegiatan –kegiatan menarik perhatian peneliti. Disamping itu dicantumkan
pula deskripsi hasil penelitian dengan bahan-bahan lain yang terkait seperti misalnya:
kutipan-kutipan, catatan-catatan di lapangan, transkrip wawancara, transkrip film, transkrip
komunikasi elektronik dan sebagainya. Pencantuman bahan-bahan tersebut dimaksudkan
untuk mendukung hasil temuan penelitian.
Ketiga karakteristik diatas menjelaskan bahwa penelitian kualitatif berusaha
memahami dan memaknai suatu fenomena dari perspektif informan atau orang yang diteliti
Dalam penelitian disertasi ini peneliti menggunakan metode pengumpulan data yakni
melakukan studi dokumen melalui risalah rapat tentang bahasan Badan Publik RUU KIP
serta dengan wawancara mendalam kepada informan yang mewakili beberapa fraksi di
Komisi I DPR RI, serta dengan mengambil data dari berbagai teks baik yang diperoleh
secara tertulis maupun dari sumber online untuk diolah sebagai bahan analisis penelitian.
Sementara itu untuk memastikan mengapa sebuah riset menggunakan pendekatan
penelitian tertentu, maka harus menyesuaikan dengan tujuan penelitiannya. Neuman (2011)
mengatakan tujuan seorang peneliti ada tiga yaitu mengeksploitasi topik baru (eksploratif),
mendeskripsikan fenomena sosial (deskriptif) atau menjelaskan alasan munculnya sesuatu
(eksplanatif). Sebuah penelitian bisa memiliki lebih dari satu sifat tujuan, namun tetap saja
salah satu sifat dan tujuan pasti mendominasi. Dari sini tampak bahwa tujuan peneliti dalam
penelitian ini selain berusaha mendeskripsikan fenomena sosial, juga berusaha untuk
menjelaskan kenapa terjadi groupthink dalam sebuah komunikasi kelompok di lingkup
parlemen (DPR RI) tersebut.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
110
3.2
Paradigma Penelitian
Paradigma merupakan sekumpulan kepercayaan dasar (atau metafisika) yang
berhubungan dengan prinsip-prinsip utama dan mewakili ‘pandangan dunia’ yang
menentukan, bagi pemakainya, sifat ‘dunia’ (“… a set of basic beliefs (or metaphysics) that
deals with ultimates or first principles… a world view that defines, for its holder, the nature
of the ‘world’….- (Guba dalam Denzindan Lincoln-2000).
Paradigma menurut Guba dan Lincoln (1994) dalam Hidayat (2004), mengajukan
tipologi yang mencakup empat paradigma : positivisme, postpositivisme, kritikal dan
konstruktivisme. Dikemukakan oleh Guba, bahwa setiap paradigma membawa implikasi
metodologi masing-masing.
Paradigma dalam penelitian ini adalah paradigma postpositivisme yang menempatkan
ilmu sosial seperti ilmu-ilmu alam yakni sebagai suatu metode yang terorganisir untuk
mengkombinasikan deductive logic dengan pengamatan empiris, guna secara probabilistik
menemukan atau memperoleh konfirmasi tentang hukum sebab-akibat yang bisa
dipergunakan memprediksi pola-pola umum gejala sosial tertentu (Hidayat, 2006:3). Hal ini
dikarenakan penelitian yang akan dilakukan berangkat dari teori, melalui pengamatan
empiris, untuk menemukan/mengkonfirmasi hukum sebab-akibat, yang bisa digunakan untuk
memprediksi pola-pola umum gejala sosial tertentu, dengan penggunaan metode kualitatif.
Menurut Denzin & Guba (1990 dalam Salim, Agus, 2001:40). Penelitian kualitatif
merupakan salah satu bentuk perbaikan atas kelemahan dari paradigma positivisme. Pada
paradigma postpositivis, hubungan antara peneliti dengan objek yang diteliti adalah bersifat
interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus bersikap senetral mungkin, sehingga tingkat
subjektivitas dapat dikurangi. (Denzin & Guba, 1990 dalam Salim, Agus, 2001:40).
Secara ontologis, cara pandang aliran ini bersifat critical realism. Sebagaimana cara
pandang kaum realis, aliran ini juga melihat realitas sebagai hal yang memang ada dalam
kenyataan sesuai dengan hukum alam, namun menurut aliran ini, adalah mustahil bagi
peneliti untuk melihat realitas secara benar. Oleh karena itu secara metodologis pendekatan
eksperimental melalui observasi dipandang tidak mencukupi, tetapi harus dilengkapi dengan
metode triangulasi, yaitu penggunaan beragam metode, sumber data, periset, dan teori.
Secara epistemologis hubungan antara periset dan objek yang diteliti tidak bisa
dipisahkan. Namun, aliran ini menambahkan pendapatnya bahwa suatu kebenaran tidak
mungkin bisa ditangkap apabila periset berada di belakang layar, tanpa terlibat dengan
objeknya secara langsung. Aliran ini menegaskan arti penting dari hubungan interaktif antara
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
111
periset dan objek yan diteliti, sepanjang dalam hubungan tersebut periset bisa bersifat netral
(Salim, 2006:70).
3.3
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu studi kasus instrumental tunggal (single instrumental
case study) intrumental. Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan suatu isu yaitu
pembahasan dan pengambilan keputusan mengenai definisi badan publik pada RUU KIP
untuk kemudian digambarkan secara rinci. Pemilihan studi kasus instrumental bertujuan
untuk memberikan pemahaman mendalam atau menjelaskan kembali suatu proses
generalisasi. Dengan kata lain, kasus diposisikan sebagai sarana (instrumen) untuk
menunjukkan penjelasan yang mendalam dan pemahaman tentang sesuatu yang lain dari
yang biasa dijelaskan. Melalui kasus yang dipilih untuk diteliti, peneliti bermaksud untuk
menunjukkan adanya sesuatu yang khas yang dapat dipelajari dari kasus tersebut.
Metode studi kasus (case study) lebih dipahami sebagai pendekatan untuk
mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasi suatu ‘kasus’ dalam konteksnya yang
alamiah tanpa adanya intervensi pihak luar (Salim, 2006:118). Selain itu digunakan untuk
melihat secara detail dan menganalisa suatu kasus dalam individu, kelompok, proses,
aktivitas, dan sebagainya dengan harapan bisa menghasilkan deskripsi yang kaya dan holistik
(Patton, 2002:447).
Sebagai suatu upaya penelitian, studi kasus dapat memberi nilai tambah pada
pengetahuan kita secara unik tentang fenomena individual, organisasi, sosial dan politik.
Studi kasus memungkinkan peneliti untuk mempertahankan karakteristik holistik dan
bermakna dari peristiwa-peristiwa kehidupan nyata – seperti siklus kehidupan sesorang,
proses-proses organisasional dan manajerial, perubahan lingkungan sosial, hubunganhubungan internasional dan kematangan industri-industri (K. Yin, 2005:4).
Studi kasus dalam penelitian ini berusaha mengumpulkan sejumlah besar informasi
yang terkait dengan topik penelitian yaitu tentang kohesivitas kelompok dan dinamika
komunikasi terkait dengan adanya groupthink dalam kasus pembahasan dan pengambilan
keputusan mengenai definisi Badan Publik RUU KIP yang dilakukan oleh kelompok panitia
kerja Komisi I DPR RI periode 2004-2009, untuk kemudian mempelajari, mendalami,
menerangkan atau menginterpretasikannya dalam konteksnya secara mendetail dan natural,
tanpa adanya intervensi dari pihak luar (Denzin & Lincoln, 2000:3).
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
112
Denzin & Guba juga menyatakan bahwa studi kasus berusaha menyoroti suatu
peristiwa dari segi alasan (why?) dan bagaimana penerapannya (how?). Hasil penelitian studi
kasus tidak sekedar dengan memberikan laporan tetapi juga memberikan nuansa, suasana,
dan pikiran-pikiran yang berkembang dalam kasus (Denzin & Guba: 1990, dalam Agus
Salim, 2001:93).
Punch (1998) menyebutkan bahwa yang didefinisikan sebagai kasus adalah fenomena
khusus yang hadir dalam suatu kompleks yang dibatasi (bounded context), meski batas-batas
antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas. Kasus itu dapat berupa individu, peran,
kelompok kecil, organisasi, komunitas, atau bahkan suatu bangsa. Kasus dapat pula berupa
keputusan, kebijakan, proses, atau suatu peristiwa khusus tertentu. Beberapa tipe unit yang
dapat diteliti dalam bentuk studi kasus antara lain: individu-individu, karakteristik atau atribut
dari individu-individu, aksi dan interaksi, peninggalan atau artefak perilaku, setting, serta
peristiwa atau insiden tertentu (Poerwandari, 2001:65).
Selanjutnya, studi kasus dapat dibedakan dalam beberapa tipe, yaitu:
1.
Studi kasus instrinsik: penelitian dilakukan untuk memahami secara utuh kasus
tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep/teori
ataupun tanpa upaya menggeneralisasi.
2.
Studi kasus instrumental: penelitian pada suatu kasus unik tertentu, dilakukan
untuk memahami isu dengan lebih baik, juga untuk mengembangkan dan
memperhalus teori.
3.
Studi kasus kolektif: suatu studi kasus instrumental yang diperluas sehingga
mencakup
beberapa
kasus.
fenomena/populasi/kondisi
umum
Tujuannya
dengan
adalah
lebih
untuk
mempelajari
mendalam.
(Poerwandari,
2001:65).
Metode penelitian yang digunakan dalam hal ini adalah studi kasus instrumental
mengingat kasus perumusan UU KIP ini dianggap berliku dan menarik karena menghabiskan
waktu yang sangat panjang serta banyak menimbulkan perdebatan, selain itu studi kasus
instrumental juga dimaksudkan untuk memahami isu dengan lebih baik, juga untuk
mengembangkan dan memperhalus teori.
Menurut Stake (1994), setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam
penelitian dengan menggunakan studi kasus. Pertama, persoalan keunikan situasi (uniqueness
of situation). Sebuah kasus memiliki keunikan historis. Kasus yang merupakan entitas yang
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
113
kompleks bekerja dalam sejumlah konteks, termasuk konteks fisik, ekonomi , etnis dan
estetik. Dengan demikian, peneliti akan bergerak dalam konteks historis tersebut.
Kedua, isu-isu. Setiap kasus umumnya mencakup isu yang beragam. Ini pula yang
menggerakkan peneliti untuk mengambil posisi. Ketika peneliti menetapkan penelitiannya
terhadap berbagi isu dan tidak satu isu tunggal, putusan tersebut berimplikasi dengan caracara peneliti dalam melakukan penelitian.
Ketiga, telling the story, yang berarti bagaimana seorang peneliti mampu
menceritakan cerita-cerita yang dimiliki dalam kasus tersebut. Posisi peneliti adalah
menceritakan bagaimana cerita-cerita itu.
Dari studi kasus ini diharapkan akan didiapatkan informasi yang kaya dengan
pengertian, sehingga bisa menggambarkan fokus penelitian yang mendalam, setil, selaras
dengan konteksnya (Patton, 2002:22).
3.4
Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data atau informasi secara
langsung dari informan melalui in-depth interview, yang didukung dengan studi dokumen.
Dalam melakukan wawancara mendalam dengan para informan, peneliti menggunakan
pedoman wawancara mendalam dengan para informan, peneliti menggunakan pedoman
wawancara (interview guide) – yang berisi pertanyaan-pertanyaan terbuka – sebagai alat
pengumpulan data, dengan disertai probing untuk mendapatkan infromasi yang lebih
mendetail, kaya, mendalam dan lebih mudah dipahami.
Adapun tahap yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut:

Tahap orientasi dan memperoleh gambaran umum. Pada tahap ini dilakukan upaya untuk
mengetahui sesuatu yang perlu diketahui sebagai pengetahuan dasar peneliti tentang
situasi lapangan, melalui berbagai literatur yang berkaitan dengan penelitian yang akan
dilaksanakan. Dengan tahapan ini diharapkan dapat memperoleh informasi tentang latar
belakang yang merupakan acuan dalam merinci informasi yang diperoleh pada tahap
berikutnya. Pada tahap ini dilakukan proses penjajakan ke DPR RI untuk mendapatkan
dokumen risalah rapat RUU KIP tahun 2008 serta dengan melacak keberadaan informan
dan melakukan pendekatan kepada mereka

Tahap eksplorasi. Fokus pada tahap ini dilakukan pengumpulan data dengan meminta
risalah rapat RUU KIP, melakukan wawancara dan observasi kecil untuk melihat situasi
rapat di DPR RI agar diperoleh gambaran yang mendalam tentang subjek penelitian yang
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
114
kemudian dilanjutkan dengan analisis data. Informan yang ditentukan adalah orang yang
dianggap kompeten dan memiliki pengetahuan tentang fokus penelitian.

Tahap pengecekan data. Hasil wawancara dan pengamatan dari tiap informan dicatat
dalam transkrip kemudian diinfromasikan kepada informan yang bersangkutan untuk
dibaca dan dinilai kesesuaiannya dengan informasi yang telah diberikan. Hal ini ditujukan
untuk memperbaiki jika terjadi kesalahan atau penambahan informasi. Dengan tahapan
ini informan dapat mengecek kebenaran transkrip hasil wawancara guna membangun
derajat kepercayaan pada informasi yang diperoleh.
3.5
Sumber dan Jenis Data Penelitian
Ditinjau dari asal data yang diperoleh, di dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua,
yakni data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara
langsung terhadap subyek atau obyek penelitian, dalam hal ini mereka yang merupakan
informan-informan dalam penelitian. Sedangkan data sekunder adalah data pendukung yang
diperoleh tidak secara langsung dari subyek atau obyek penelitian. Data sekunder ini dapat
berupa data-data dokumen, publikasi, catatan-catatan tertentu, jejak dan rekaman, diary dan
sebagainya.
Namun ditinjau dari sumber data yang digunakan, sesuai dengan klasifikasi yang
dikemukakan Guba dan Lincoln (1994) dibedakan menjadi dua kelompok besar, yakni human
(informan) dan nonhuman. Sumber data penelitian dalam eksistensinya sebagai manusia
digali karena kepentingan informasi yang dimiliki seseorang tersebut. Demikian pula sumber
data dalam bentuknya yang nonhuman dapat mencakup ranah yang sangat luas, antara lain
dokumen, publikasi, peristiwa atau kejadian, artifak, catatan-catatan, diary, artikel, rekaman,
dan seterusnya.
Informan dalam penelitian ini diambil dengan cara tertentu dari para pihak yang
karena kedudukan atau kemampuannya dianggap dapat merepresentasikan masalah yang
dijadikan objek penelitian. Teknik yang digunakan untuk menentukan penarikan informan
adalah dengan purposive sampling technique untuk memilih informan yang sesuai (kredibel)
bagi pemberian informasi tentang kasus yang dipilih karena banyak mengetahui tentang
proses pembahasan dan pengambilan keputusan mengenai Badan Publik pada RUU KIP di
kelompok Panja Komisi I DPR RI.
Total informan dalam penelitian ini berjumlah 10 (sepuluh) orang. Dengan komposisi
informan kunci (pokok) yang dianggap memiliki informasi pokok yang diperlukan dalam
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
115
penelitian adalah para politisi yang duduk sebagai anggota Komisi I DPR RI periode 20042009 yang berjumlah 5 (lima) orang dan berasal dari fraksi partai politik yang berbeda-beda,
yaitu dari PDIP, PAN, Golkar, PPP, dan PKB. Tidak semua perwakilan fraksi berhasil
dimintai keterangan karena peneliti mendapatkan kesulitan dalam melacak dan menemukan
keberadaannya. Ditambah dengan informan biasa yaitu masyarakat yang terlibat secara
langsung dalam interaksi sosial yang diteliti berjumlah 4 (empat) orang dengan komposisi 2
(dua) orang dari perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, 1 (satu) orang dari Kementerian
Komunikasi dan Informatika serta 1 (orang) dari Sekretarial Jenderal Komisi I DPR RI. Serta
terdapat 1 (satu) orang informan tambahan dari Komisi Informasi Pusat yang dapat
memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial yang sedang
diteliti.
Sedangkan data sekunder adalah berasal dari literatur, rekaman ataupun publikasi dan
sebagainya yang mampu mendukung keabsahan data primer baik melalui literatur asli
maupun online.
3.6
Unit Analisis dan Unit Respon
Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini berupa identifikasi terhadap faktor-faktor pendahulu
dan gejala groupthink yang ada dalam kelompok yang membatas tentang definisi Badan
Publik di Pasal 1 ayat 3 RUU KIP di Komisi I DPR RI.
Unit Respon
Dalam penelitian ini, yang menjadi unit respon adalah individu dan dokumen.
Individu yang menjadi sasaran penelitian adalah kelompok kerja di Komisi I DPR RI,
sedangkan dokumen yang menjadi rujukan penelitian adalah risalah rapat mengenai
pembahasan RUU KIP.
3.7
Instrumen Penelitian
Di dalam penelitian ini yang akan digunakan ada dua intrumen penelitian: instrumen
utama dan instrumen pendukung. Instrumen utama adalah diri peneliti yang akan meneliti
langsung ke lapangan. Instrumen pendukung adalah daftar pertanyaan terbuka. Selain itu
digunakan sarana pendukung lain seperti misalnya : recorder, kamera, dan alat tulis untuk
keperluan dan pengumpulan informasi.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
116
3.8
Teknik Analisis Data
Analisa data dilakukan dengan cara interpretasi melalui pemberian makna, dengan
mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan informan. Untuk menghindari subjektifitas
peneliti, analisa akan dilakukan dengan mendasarkan pada sudut pandang informan, dengan
menyertakan kutipan pernyataan mereka serta konteks yang melatarbelakanginya. Kutipan
pernyataan-pernyataan tersebut nantinya juga akan turut disajikan sebagai penguat dalam
analisa data. Analisis data dilakukan melalui beberapa tahap, sebagai berikut:

Tahap mereduksi data, yaitu melakukan coding terhadap informasi-informasi penting
yang berkaitan dengan masalah penelitian, yang dilanjutkan dengan pengelompokan
data berdasarkan permasalahan penelitian.

Tahap selanjutnya, data yang dikelompokkan disusun dalam bentuk narasi sehingga
menjadi rangkaian informasi yang memiliki kesesuaian arti dengan permasalahn
penelitian.

Tahap pengambilan kesimpulan atas dasar berdasarkan narasi pada tahap kedua,
sehingga permasalahan penelitian memperoleh jawaban.

Tahap pembuktian hasil analisis data dari informan yang didapat. Tahap ini dilakukan
untuk menghindari kesalahan interpretasi dari hasil wawancara dengan informan yang
dapat mengaburkan makna permasalahan dari fokus penelitian.
Dalam penelitian ini, data disajikan dalam bentuk narasi yang disusun secara
deskriptif dan sistematis berdasarkan proses dan urutan kejadian untuk mempermudah
pemahamannya. Kutipan pernyataan-pernyataan para informan dan konteks situasi yang
melatarbelakanginya juga akan disajikan dengan mendetail, sistematis dan berurutan
sehingga perkembangan kejadian dan hubungan sebab-akibatnya dapat lebih mudah terlihat
dan lebih mudah dimengerti.
3.9
Kualitas dan Keabsahan Penelitian
Kualitas penelitian kualitatif bergantung sejauhmana temuan merupakan refleksi
otentik dari realitas yang dihayati oleh pelaku soial (Authenticity dan Reflectivity). Penelitian
ini menawarkan aplikasi teori groupthink pada konteks yang tidak diamati sebelumnya yaitu
dalam sebuah lingkup kelompok legislatif yang cenderung lebih heterogen dan terbuka di
DPR RI dimana groupthink memiliki potensi untuk tetap ada karena tidak jarang berbagai
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
117
keputusan politik yang dihasilkan menuai kecaman, kekecewaan, dan dampak buruk di
masyarakat sehingga temuan penelitian akan memperkaya perspektif teori groupthink yang
telah ada sebelumnya (Fairness). Penelitian ini juga akan membantu untuk mencapai
pemahaman tentang kondisi yang terjadi dalam proses pembahasan dan pengambilan
keputusan sebuah produk hukum RUU KIP yang ditujukan bagi kepentingan publik dalam
rangka penciptaan keterbukaan informasi publik oleh badan publik (ontological authenticity),
membantu memberikan gambaran mengenai pertarungan kepentingan yang mengandung
groupthink dalam sebuah proses pembahasan dan perumusan suatu Undang-Undang di DPR
RI (educative authenticity), sehingga mampu mendorong kemampuan untuk melakukan
perubahan metode pengambilan keputusan politik yang lebih baik misalnya melalui
kesepakatan suara terbanyak (catalic authenticity), yang akhirnya mampu memberikan
kekuatan kepada kelompok untuk berpikir rasional dan mengambil langkah tepat demi
menghindari resiko cacat pengambilan keputusan (tactical authenticity).
Selain itu hal ini juga bergantung pada pelaksanaan metodologi yang tepat, sensitifitas
dan integritas peneliti itu sendiri. Sehingga sistematika dan kerigidan pengamatan menjadi
sangat berarti dari pada sekedar kehadiran dan pengamatan sekilas peneliti, demikian juga
ketrampilan melakukan wawancara sangat dibutuhkan daripada sekedar tanya jawab biasa.
Serta analisa isi lebih berperan daripada sekadar membaca untuk melihat apa yang terjadi di
lapangan (Patton, 2002). Untuk itu peneliti dalam hal ini akan melakukan pendekatan
metodologi penelitian dengan cara sistematis dan terstruktur, serta tidak melupakan
keterampilan untuk melakukan wawancara di lapangan.
Sementara itu untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik
pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu,
yaitu :
1.
Credibility (kepercayaan)
Pada dasarnya menggantikan validitas internal pada kuantitatif. Penerapan kriteria
kepercayaan ini berfungsi untuk menunjukan derajat kepercayaan hasil-hasil
penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan yang sedang diteliti.
Dalam penelitian ini kualitas aspek credibility dicapai melalui wawancara mendalam
untuk melihat fenomena yang ada dari perspektif informan dengan menyajikan
jawaban dan kutipan-kutipan untuk memperkuat kesimpulan. Sementara teksnya
sendiri akan dianalisa mendalam, termasuk ketika ada kutipan dari risalah rapat RUU
KIP di Komisi I DPR RI.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
118
2.
Transferability (keteralihan)
Keteralihan sebaga persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara konteks
pengirim dan penerima. Untuk melakuakn pengalihan tersebut seorang peneliti
hendaknya mencari dan mengumpulkan konteks. Dengan demikian peneliti harus
menyediakan data deskriptif secukupnya. Dalam penelitian ini kualitas transferability
dicapai dengan cara menyediakan data deskriptif lebih lengkap, misalnya melalui latar
belakang informan, jawaban dari pertanyaan wawancara, peran informan dalam
kelompok yang membahas RUU KIP di Komisi I DPR RI dan lain-lain.
3. Confirmability (kepastian)
Kriteria kepastian berasal dari konsep objektivitas pada non-kualitatif. Jika sesuatu itu
objektif, berarti dapat dipercaya, faktual, dan dapat dipastikan. Dalam penelitian ini,
peneliti berusaha menyajikan pengalaman dari subjek yang diteliti dengan data
pendukung mengenai fenomena groupthink dalam pembahasan dan pengambilan
keputusan terkait dengan definisi Badan Publik di Pasal 1 ayat 3 RUU KIP (Bryman,
2008 : 377-380).
Kualitas confirmability dalam penelitian ini dicapai dengan
menunjuk secara jelas atas fenomena dan informan yang ada sehingga bisa dilakukan
cross-check ulang dengan informan tersebut, serta menyajikan data yang lengkap.
4. Dependability yaitu sama dengan reliabilitas. Berkaitan dengan terdapatnya akses
untuk menilai dalam keseluruhan tahapan penelitian oleh kolega. Misalnya, peneliti
menunjukkan naskah laporan dan sumber sumber data yang dimiliki kepada
koleganya untuk diberi penilaian apakah yang dilakukannya sudah memadai.
Utamanya dalam penelitian peran tersebut dilakukan oleh Promotor dan Co-Promotor,
serta dengan orang-orang yang dianggap ahli/kompeten terhadap topik penelitian ini.
3.10
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki sejumlah keterbatasan yaitu :
1. Penelitian ini hanya menemukan sebagian elemen groupthink yang ada/terjadi dalam
proses pembahasan dan pengambilan keputusan kelompok Panja RU KIP Komisi I
DPR RI yang anggotanya terikat terikat pada dua identitas yaitu di partai politiknya
dan di kelompok tugasnya Komisi I, tanpa memfokuskan pada teori identitas sosial
secara khusus.
2. Tidak teramatinya secara langsung proses pada saat merancang dan memutuskan UU
KIP oleh Komisi I DPR RI dikarenakan umumnya fenomena groupthink baru
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
119
disadari/ditemukan ketika sebuah kasus telah selesai dan berdampak bagi publik. Oleh
karena itu yang menjadi sumber validitas untuk menelusuri peristiwa tersebut adalah
dengan mempelajari risalah rapat yang ada dan dapat diakses keluar.
3. Wawancara narasumber yang dilakukan juga tidak meliputi seluruh anggota
kelompok Panja RUU KIP di Komisi I DPR RI, melainkan hanya dipilih dari
perwakilan beberapa fraksi.
4. Penelitian ini tidak mampu menganalisis seluruh pembahasan pasal perpasal dalam
RUU KIP melainkan hanya memfokuskan pada perdebatan tentang Badan Publik
yang ada di pasal 1 ayat 3.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
120
BAB IV
PERJALANAN RUU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK (KIP) DI DPR RI :
TINJAUAN HISTORIS
4.1
Proses Perundangan di DPR RI
DPR RI disebut parlemen yang berasal kata parle berarti bicara, artinya mereka harus
menyuarakan hati nurani rakyat. Maksudnya setelah mengartikulasikan dan mengagregasikan
kepentingan rakyat, mereka harus membicarakan dalam sidang parlemen kepeda pemerintah
yang berkuasa. Oleh karena itu, DPR dibentuk di pusat untuk mengkritisi pemerintah pusat
dan dibentuk di daerah untuk mengkritisi pemerintah daerah baik Provinsi maupun kabupaten
sesuati tingkatannya (Syafiie, 2014:55). DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang
berkedudukan sebagai lembaga negara. DPR mempunyai kedudukan yang sama dengan
Lembaga Negara lainnya. Kedudukan DPR RI kuat, karena tidak dapat dibubarkan oleh
Presiden dan dapat senantiasa mengawasi Presiden.
Salah satu tugas dan wewenang DPR adalah bersama-sama dengan Presiden
membentuk Undang-Undang (UU). Dalam hal ini, Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat
berasal dari Presiden (Pemerintah) atau DPR. Jadi, prosedur awal pembentukan UU berasal
dari Pemerintah maupun DPR.
Sebuah Undang-undang – seperti halnya RUU KIP – sebelum menjadi sebuah produk
politik harus melewati serangkaian tahapan, mulai dari tahap perencanaan (Program Legislasi
Nasional), tahap persiapan (penyusunan naskah akademik), tahap penyusunan (merancang
draft),
tahap
pembahasan
(tahapan
pembahasan
di
DPR),
tahap
pengesahan
(Penandatanganan Presiden atau berlaku otomatis), tahap pengundangan (Menteri Hukum
dan HAM), hingga tahap penyebarluasan Undang-Undang (Pasal 1ayat 1 UU No. 10 tahun
2004; Ronny S.H Bakoo, dkk, 2007).
Berbagai proses dalam tahapan kegiatan ini memiliki makna penting yang terkait
dengan kualitas dari sebuah undang-undang yang dihasilkan. Setiap tahapan yang dilewati
dalam pemrosesan sebuah rancangan undang-undang hingga menjadi undang-undang
mempunyai pengaruh besar terhadap aktivitas para pihak yang terlibat dalam kegiatan ini.
Ada rancangan undang-undang yang terhenti pada tahap Prolegnas (perencanaan), ada yang
berhasil sampai tahap pembahasan di DPR namun terhenti atau dibatalkan karena tekanan
pihak tertentu.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
121
Secara runut, tahapan tersebut mencakup: Pertama, perencanaan adalah proses
dimana DPR dan Pemerintah menyusun rencana dan skala prioritas UU yang akan dibuat
oleh DPR dalam suatu periode tertentu. Proses ini diwadahi oleh suatu program yang
bernama “Program Legislasi Nasional” (Prolegnas). Kegiatan legislasi diatur melalui Badan
Legislasi (BALEG). Secara umum, kegiatan perencanaan itu meliputi beberapa kegiatan
pokok yaitu : kegiatan kompilasi; Klasifikasi dan sinkronisasi; konsultasi, komunikasi dan
sosialisasi; kegiatan penyusunan naskah prolegnas (naskah akademik) dan kegiatan
pengesahan.
Kedua, tahap persiapan (penyusunan naskah akademik). Tahap persiapan
pembentukan Undang-undang dimulai dengan pengusulan rancangan Undang-undang oleh
lembaga-lembaga tinggi negara yang telah disebutkan disertai dengan surat resmi sebagai
pemberitahuan kepada lembaga yang lainnya. Setelah draf rancangan diterima, maka wakil
dari lembaga negara melakukan pembahasan rancangan bersama Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR).
Ketiga, Teknik Penyusunan (drafting stage). Penyusunan RUU dilakukan oleh
Menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen, disebut sebagai pemrakarsa,
yang mengajukan usul penyusunan RUU. Penyusunan RUU dilakukan oleh pemrakarsa
berdasarkan prolegnas. Dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar
Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada Presiden.
Pengajuan permohonan izin prakarsa ini disertai dengan penjelasan mengenai konsepsi
ppengaturan UU yang meliputi (i). Urgensi dan tujuan penyusunan, (ii). Sasaran yang ingin
diwujudkan, (iii). Pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur, dan (iv). Jangkauan
serta arah pengaturan.
Keempat, tahap pembahasan. Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama
Presiden atau Menteri yang ditugaskan, dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan yang
dilakukan dalam serangkaian rapat, seperti : Rapat Komisi, Rapat Pansus dan Lain-lain.
Pembahasan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan
dengan mengikutkan DPD.
Pembahasan RUU terdiri dari dua tingkat pembicaraan, tingkat pertama dalam rapat
komisi, rapat Baleg ataupun Pansus; sedangkan tingkat dua dalam rapat paripurna DPR.
Pembahasan tingkat pertama melalui tahap-tahap berikut yaitu:
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
122
(1)
Pandangan fraksi-fraksi dan DPD apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD.
Hal ini bila rancangan UU berasal dari Presiden. Sedangkan bila RUU berasal dari DPR,
pembicaraan tingkat satu didahului dengan pandangan dan pendapat Presiden, ataupun
pandangan Presiden dan DPD dalam hal RUU berhubungan dengan kewenangan DPD.
(2)
Tanggapan Presiden atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan alat kelengkapan
DPR atas pandangan Presiden.
(3)
Pembahasan RUU oleh DPR dan Presiden berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah
(DIM)
Dalam pembahasan tingkat pertama dapat juga dilakukan:
1. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)
2. Mengundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain, apabila materi RUU
berhubungan dengan lembaga lain.
3. Didahului rapat intern
Sedangkan dalam pembahasan tingkat dua meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
1. Laporan hasil pembicaraan tingkat I
2. Pendapat akhir Fraksi
3. Pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh Menteri yang mewakilinya.
Kelima, Tahap pengesahan (penandatanganan Presiden atau berlaku otomatis). Tahap
ini dilakukan setelah rancangan undang-undang oleh DPR dan lembaga negara lainnnya,
termasuk Presiden. RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, disampaikan
oleh pimpinan DPR kepada presiden untuk disahkan menjadi UU. Penyampaian RUU
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
persetujuan bersama (Gde, 2008: 113 dalam Jebarus, 2011:8). Pengesahan undang-undang
dilakukan oleh Presiden paling lambat lima belas hari kerja sejak rancangan undang-undang
yang disepakati dikirim oleh DPR kepada Presiden.
Keenam, Tahap Pengundangan. Rancangan undang-undang yang telah ditandatangani
oleh Presiden dikirim ke Sekretariat Negara untuk diregistrasi dan diundangkan. Undangundang ini kemudian dimasukkan dalam lembaran negara. Tahap pengundangan menjadi
suatu kegiatan yang sangat strategis karena pada tahap itu mulai ditentukan kapan sebuah
undang-undang mulai diterapkan dan dijalankan. Setiap peraturan perundang-undangan mulai
berlaku pada saat diundangkan. Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya
peraturan perundang-undangan bersangkutan saat diundangkan, hal ini hendaknya dinyatakan
secara tegas di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan (Isra, 2010:230)
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
123
Ketujuh, Penyebarluasan. Penyebarluasan undang-undang yang telah disahkan dan
diundangkan dapat disebarluaskan melalui berbagai media, baik media cetak maupun media
elektronik. Selain itu, undang-undang yang telah disahkan dapat disebarkan melalui internet,
antara lain melalui website resmi DPR.
Setiap fase atau tahapan dalam proses pembuatan Undang-undang tentu mengundang
perdebatan. Perdebatan mulai timbul sejak RUU itu masuk dalam tahap Program Legislasi
Nasional (Prolegnas). Dalam tahap Prolegnas berbagai pihak akan memberikan pandangan
tentang relevansi atas undang-undang yang dibuat.
Terkait dengan pengajauan RUU dari Pemerintah maupun dari DPR terdapat beberapa
perbedaan sebagaimana berikut ini:
a. RUU dari Pemerintah
Rancangan Undang-Undang (RUU) dari pemerintah disampaikan kepada pimpinan
DPR dengan surat pengantar Presiden, disertasi dengan keterangan yang menyebutkan
Menteri yang akan mewakili pemerintah dalam melakukan pembahasan RUU tersebut di
DPR. Setelah RUU diterima oleh pimpinan DPR dalam Rapat Paripurna berikutnya, Ketua
Rapat memberitahukan kepada anggota tentang masuknya RUU dari pemerintah, yang
disertai dengan pendistribusian RUU tersebut kepada anggota DPR.
Proses pembahasan RUU di DPR dilakukan melalui empat tingkat pembahasan RUU
di DPR dan pemerintah tersebut adalah : Pembicaaan Tingkat I, yang dilakukan dalam
suatu Rapat Paripurna. Dalam pembicaraan Tingkat I ini pemerintah memberikan
keterangan/penjelasan mengenai RUU tersebut. Sebelum diadakan pembicaraan tingkat
selanjutnya (II, III, dan IV) diadakan lebih dahulu rapat fraksi.
Pembicaraan Tingkat II, yang dilakukan dalam suatu Rapat Paripurna. Dalam
pembicaraan tingkat ini, ada pandangan umum anggota DPR, membawakan suara fraksi yang
mempunyai
hak
penuh
(anggota
fraksi
di
atas
10
anggota)
atas
RUU
dari
penjelasan/keterangan pemerintah pada pembicaraan Tingkat I sebelumnya. Selanjutnya,
pemerintah memberikan jawaban terhadap pemandangan umum anggota DPR tadi. Dan
setelah selesai jawaban pemerintah, Badan Musyawarah menentukan alat kelengkapan DPR
yang akan menangani RUU tersebut di pembicaraan Tingkat III. Alat kelengkapan yang
dimaksud adalah Komisi, Gabungan Komisi, atau Panitia Khusus.
Pembicaraan Tingkat III, yang dilakukan dalam suatu Rapat Komisi, Rapat
Gabungan Komisi atau Rapat Panitia Khusus, yang dilakukan bersama-sama dengan
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
124
pemerintah. Apabila dipandang perlu, dapat pula dilakukan pembahasan substansi secara
intern dalam Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi atau Rapat Panitia Khusus.
Pembicaraan Tingkat IV, dilakukan dalam suatu Rapat Paripurna untuk
pengambilan keputusan. Dalam Rapat Paripurna ini, proses yang dilakukan adalah : (1)
Laporan hasil pembicaraan tingkat III; (2) Pendapat akhir fraksi-fraksi yang mempunyai hak
penuh, dan apabila dipandang perlu, dapat disertai catatan tentang pendirian masing-masing
fraksi; (3) Sambutan pemerintah terhadap pengambilan keputusan UU.
Setelah melewati empat tingkat pembicaraan di DPR, RUU yang telah disetujui oleh
DPR, kemudian dengan surat pengantar dari Pimpinan DPR disampaikan kepada Presiden
untuk disahkan menjadi UU paling lambat dalam tempo 15 hari setelah UU tersebut
diputuskan.
b. RUU dari DPR
Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR disebut juga RUU Usul Inisiatif
DPR. RUU Usul Inisiatif ini dapat diusulkan oleh sekurang-kurangnya 10 anggota DPR, atau
Komisi atau Gabungan Komisi. RUU tersebut disampaikan kepada Pimpinan DPR secara
tertulis, yang disertai penjelasan, nama, tanda tangan pengusul, dan nama fraksinya. Setelah
RUU diterima, dalam Rapat Paripurna berikutnya, ketua rapat memberitahukan dan
membagikan kepada anggota tentang masuknya usul RUU tersebut. Kemudian Badan
Musyawarah (Bamus) mengadakan rapat untuk menentukan jadwal waktu pembicaraan.
Proses selanjutnya adalah RUU Usul Inisiatif dibawa ke Rapat Paripurna berikutnya,
di mana akan diputuskan apakah RUU tersebut diterima menjadi RUU Usul Inisiatif DPR.
Dalam Rapat Paripurna ini diberikan kesempatan kepada pengusul untuk memberikan
penjelasan tentan RUU yang akan disampaikan tersebut. Kemudian setiap fraksi memberikan
pendapatnya terhadap RUU itu.
Jika Rapat Paripurna memberikan persetujuan untuk dijadikan RUU Usul Inisiatif
DPR, kemudian DPR menugaskan Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Khusus untuk
membahas dan menyempurnakan RUU Usul Inisiatif DPR tersebut. Selama RUU tersebut
belum mendapat persetujuan Rapat Paripurna untuk dijadikan RUU Usul Inisiatif DPR, para
pengusul berhak menarik usulnya kembali.
Selanjutnya, RUU Usul Inisatif DPR ini disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada
Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang mewakili pemerintah,
dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama-sama dengan DPR.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
125
Prosedur berikutnya yang dilakukan adalah melalui pembicaraan empat tingkat di
DPR, yang dilakukan bersama-sama dengan pemerintah. Pembicaraan empat tingkat
dimaksud adalah :
Pembicaraan Tingkat I, yang dilakukan dalam suatu Rapat Paripurna. Dalam
pembicaraan Tingkat I ini, ada keterangan atau penjelasan Pimpinan Komisi/ Gabungan
Komisi/Pansus atas nama DPR terhadap RUU Usul Inisiatif DPR ini.
Pembicaraan Tingkat II, dilakukan dalam suatu Rapat Paripurna. Dalam
pembicaraan tingkat ini, ada acara jawaban atau tanggapan pemerintah atas keterangan atau
penjelasan Pimpinan Komisi/Gabungan Komisi/ Pansus terhadap RUU Usul Inisiatif DPR.
Selanjutnya,
masih
dalam
pembicaraan
Tingkat
I,
Pimpinan
Komisi/Gabungan
Komisi/Pansus atas nama DPR memberikan jawaban terhadap tanggapan pemerintah.
Pembicaraan Tingkat III, dilakukan dalam suatu Rapat Komisi, Rapat Gabungan
Komisi atau Rapat Panitia Khusus, yang dilakukan bersama-sama dengan pemerintah.
Apabila dipandang perlu, dapat pula dilakukan bersama-sama dengan pemerintah. Apabila
dipandang perlu, dapat pula dilakukan pembahasan secara intern dalam Rapat Komisi, Rapat
Gabungan Komisi atau Rapat Panitia Khusus.
Pembicaraan Tingkat IV, dilakukan dalam suatu Rapat Paripurna untuk
pengambilan keputusan. Dalam rapat paripurna ini, proses yang dilakukan (1) pembacaan
hasil pembicaraan Tingkat III, (2) Pendapat akhir fraksi yang mempunyai hak penuh, dan
apabila dipandang perlu, dapat disertai dengan catatan tentang pendirian masing-masing
fraksi, (3) sambutan pemerintah terhadap pengambilan keputusan UU.
Setelah melewati empat tingkat pembicaraan di DPR, RUU Usul Inisiatif Dewan yang
telah disetujui oleh DPR, kemudian dengan surat pengantar dari Pimpinan DPR, disampaikan
kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU paling lambat dalam tempo 15 hari setelah UU
tersebut diputuskan.
Secara umum, skema prosedur pembentukan UU dapat digambarkan sebagai berikut :
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
126
Gambar 3
Skema Prosedur Pembentukan UU
Presiden
Pimpinan DPR
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Anggota, min 10 orang
Komisi
Gabungan Komisi
Pemberitahuan/
Pembagian RUU
Kepada Anggota
Dewan
Pembahasan di DPR
Tingkat I : Rapat Paripurna
Tingkat II : Rapat Paripurna
Tingkat II : Rapat Komisi,
Gabungan Komisi, Pansus
bersama-sama Pemerintah
Tingkat IV : Rapat Paripurna
Rapat Badan
Musyawarah
Rapat Paripurna
Pengesahan oleh
Presiden
Usul RUU menjadi
Inisiatif DPR
Menjadi UU
Penyempurnaan RUU
Inisiatif DPR
Sumber : Selayang Pandang DPR RI
4.2
RUU KIP sebagai Usul Inisiatif DPR RI
RUU KMIP sejak awal diwacanakan pada kurun waktu 1999 telah menimbulkan pro
kontra baik antara Pemerintah dengan DPR, serta koalisi masyarakat sipil. Pro kontra
terhadap perlunya undang-undang ini pada akhirnya mengakibatkan proses pembahasan
terhadap RUU KMIP menyedot waktu yang sangat lama bahkan hingga sembilan tahun.
Nampak bahwa penolakan terhadap RUU KMIP terjadi karena perbedaan pemahaman atas
berbagai isu pokok berkaitan dengan kebebasan informasi itu sendiri.
Undang-undang yang merupakan usul inisiatif DPR RI pada awal pengajuannya
bernama Rancangan Undang-Undang tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
127
(KMIP), menurut Tumbu Saraswati (A-101) Anggota DPR RI atas nama pengusul pada
Rapat Paripurna DPR RI tanggal 11 Maret 2002 menyatakan manfaat KMIP disamping untuk
menciptakan pemerintahan yang bresih, efisien, mampu mencegah praktek KKN, sekaligus
juga untuk meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan publik.
Awal mula RUU KMIP berasal dari proposal yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat
Sipil. Sejumlah LSM yang dipelopori ICEL (Indonesian Center for Environmental Law),
sebuah LSM/NGO yang bergerak di bidang hukum lingkungan hidup, berinisiatif membuat
usulam RUU KMIP. ICEL pun menggalang kekuatan bersama sejumlah LSM dan lembaga
independen pers seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan (LSPP), Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dan lainnya membentuk “Koalisi
untuk Kebebasan Informasi”.
Koalisi LSM menyampaikan draf RUU KMIP melalui Badan Legislasi DPR (19992004)33, hal ini sejalan dengan kewenangan DPR yang merupakan salah satu pihak
penginisiatif dalam pembuatan undang-undang. Perubahan yang terjadi dalam proses
perundang-undangan, turut mendorong koalisi LSM mengajukan sebuah rancangan undangundang melalui DPR periode 1999-2004.
Para anggota DPR ini pada dasarnya adalah mereka yang terpilih melalui Pemilu
tahun 1999 yang secara keseluruhan terbagi dalam sejumlah fraksi di DPR seperti Fraksi
PDI-P; fraksi Golkar; Fraksi PPP; Fraksi Kebangkitan Bangsa; Fraksi TNI/POLRI; Fraksi
PBB; Fraksi PDU; Fraksi KKI.
Draft pertama RUU KMIP versi koalisi LSM ini disusun dengan bantuan tenaga ahli
Indonesia misalnya, Prof. Dr. Kusnadi Hardjasoemantri, Prof. Mardjono Reksodiputri, Dr.
Hikmahanto Juwana serta bantuan ahli asing seperti Prof. John Boninen dari Oregon
University, Charlie Tebbut dari USA dengan dukungan The Office of Transititional Initiative.
Draft pertama RUU KMIP ini didasarkan pula pada kajian pengambilan kebebasan informasi
di Thailand, Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Afrika, dan Australia yang dibuat oleh
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Draft ini kemudian disempurnakan berdasarkan diskusi
lanjutan dengan ahli-ahli nasional dan stakeholders, selanjutnya disampaikan kepada Badan
Legislasi DPR RI (Saefudin, 2007:144).
33
DPR periode 1999-2004, merupakan hasil Pemili 1999. DPR periode ini dikelompokkan dalam sejumlah Fraksi yaitu:
Fraksi PDI-P; Fraksi Golkar; Fraksi PPP; Fraksi PKB, Fraksi TNI/Polri; Fraksi PBB; Fraksi PDU; Fraksi KKI.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
128
Pada 5 Maret tahun 2002 RUU KMIP diajukan ke Badan Legislasi DPR RI. Ketua
Badan Laegislasi (Baleg) DPR, Zain Badjeber yang bersama-sama Wakil Ketua DPR,
Soetardjo Soerjogoeritno manerima aktivis LSM yang tergabung dalam KOKI (Koalisi
Ornop untuk Kebebasan Informasi) yang dipimpin Ahmad Santosa (Direktur ICEL)
menjamin pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebebasan Memperoleh
Informasi (KMI) di DPR diprioritaskan. RUU itu menurut Zain Badjeber bahkan akan
dibahas lebih dahulu daripada RUU Rahasia Negara (Suara Pembaruan, 06 Maret 2002).
Pada 11 Maret 2002, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi mengajukan
RUU KMIP sehingga dibahas dalam Rapat Paripurna DPR RI. RUU yang disampaikan DPR
ini terdiri 10 bab dan 61 pasal yang disertai dengan lampiran yang memuat perlunya akses
informasi dan mengatur sanksi pidana bagi mereka yang menghambat akses informasi
(Media Indonesia, 11 Maret 2002).
Pada rapat peripurna DPR 21 Maret 2002 hampir seluruh fraksi di DPR menyatakan
dapat menyetujui usulan tentang RUU KMIP yang diajukan sejumlah anggota DPR sebagai
RUU Usul Inisiatif DPR. Namun menurut Mayjen Slamet Supriadi, Juru Bicara Fraksi TNI
Polri, diperlukan sejumlah penyempurnaan tentang informasi yang dikecualikan, sehingga
sejalan dengan rahasia Negara (Suara Pembaruan, 21 Maret 2002)
Sesuai
dengan
mekanisme
dalam
proses
perundang-undangan,
Bamus
menunjuk/membentuk Pansus untuk menindaklanjuti pemrosesan RUU KMIP. Akomodasi
yang diberikan DPR terhadap pembentukan sebuah RUU KMIP baru benar-benar
diwujudkan pada Februari 2003 dengan dibentuknya Panitia Khusus (PANSUS) KMIP.34
Paulus Widiyanto selaku Ketua Pansus KMIP mengundang berbagai pihak untuk
mendapat masukan. Misalnya, mengundang pihak akademisi, perbankan dan sebagainya.
Berdasarkan catatan dari DPR, Pansus DPR yang menangani RUU KMIP ini
menyelenggarakan serangkaian kegiatan selama periode 2003 untuk memperdalam masalah
kebebasan infromasi.
Melalui kegiatan-kegiatan yang juga didukung dengan kegiatan studi banding ke
negara-negara yang sudah menerapkan UU Kebebasan Informasi, DPR memperoleh
34
Sesuai dengan ketentuan undang-undang, Pansus adalah alat kelengkapan DPR yang dibentuk untuk melaksanakan tugastugas tertentu dalam jangka waktu tertentu pula berdasarkan Rapat Paripurna. Komposisi keanggotaan Pansus ditetapkan
dalam Rapat Paripurna berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap Fraksi. Pimpinan Pansus dalam kaitan dengan RUU
KMIP pada periode ini adalah Paulus Widiyanto dari PDI-P.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
129
pemahaman yang matang mengenai masalah kebebasan informasi yang pada akhirnya
menjadi sebuah undang-undang yang relevan untuk Indonesia.
Setelah melakukan serangkaian kegiatan untuk mematangkan draft RUU KMIP,
akhirnya DPR langsung menyerahkan draftnya ke pemerintah melalui Kementerian
Komunikasi dan Informasi (Kompas, 10 November 2004). Sesuai dengan ketentuan Undangundang RUU yang berasal dari DPR (usul inisiatif DPR) yang disampaikan kepada Presiden
harus mendapatkan tanggapan dari Presiden paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak Surpim
DPR diterima. Menteri yang ditunjuk Presiden selanjutnya mengkoordinasikan persiapan
pembahasan dengan Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan
perundang-undangan.
Namun RUU KMIP yang disampaikan Pansus DPR itu hingga berakhirnya masa
kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, tidak mendapat kejelasan. Upaya yang dilakukan
DPR melalui Pansus untuk merancang draf RUU KMIP itu menjadi sia-sia. Ada beberapa
kemungkinan yang menyebabkan tidak keluarnya tanggapan Presiden untuk RUU ini.
Presiden dan jajarannya tengah mempersiapkan Pemilu untuk memilih Presiden baru 20042009. Kemungkinan lain, pemerintah memang tidak mengehendaki UU seperti ini muncul
karena berbagai alasan. (Jebarus, 2011:14)
Pada era pemerintahan baru, dibawah SBY-JK, kalangan LSM terus mendesak DPR
dan Pemerintah memprioritaskan pembahasan RUU KMIP. Pembahasan RUU KMIP
semakin menempuh jalan yang panjang dan berbelit-belit. Betapa tidak, Pemerintah melalui
Badan Inteligen Negara (BIN) mengusulkan agar pemabahasan RUU KMIP dilakukan
terintegrasi dengan pembahasan RUU Kerahasiaan Negara, RUU Inteligen, dan RUU
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Bisnis Indonesia, 11 November 2004).
Sampai dengan bulan Agustus tahun 2004, draft RUU KMIP telah selesai diproses
oleh DPR, namun kegiatan legislasinya terhambat. Amanat Presiden (AMPRES) tentang
pembahasan RUU KMIP belum dikeluarkan. Tanpa keluarnya AMPRES tentang pembahasan
RUU KMIP tersebut, proses legislasi atas RUU ini terhenti di tengah jalan (Kompas, 29
Januari 2005).
Hingga akhirnya Pada Maret 2005, Komisi I DPR sepakat mengajukan kembali usul
inisiatif baru RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP), tanpa mengubah draf
RUU yang sudah ada. Selanjutnya, Komisi I menjadikan RUU tersebut sebagai prioritas
utama yang akan dibahas pada masa persidangan (Republika, 8 Maret 2005).
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
130
Komisi I DPR berkomitmen menjadikan RUU itu sebagai prioritas pertama. Dalam
rapat dengar pendapat itu, Koordinator Koalisi Kebebasan Informasi, Agus Sudibyo
menegaskan bahwa tanpa adanya RUU KMIP pemberantasan korupsi hanya akan menjadi
wacana. Pemberantasan korupsi membutuhkan jaminan hak publik untuk mengamati perilaku
pejabat dalam menjalankan tugas; jaminan hak akses informasi; jaminan hak publik untuk
berpartisipasi; dan jaminan hak publik untuk dilindungi dalam mengungkapkan kebenaran
(Kompas, 8 Maret 2005).
Sementara itu, pada waktu yang hampir bersamaan, sejumlah anggota DPR, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dan penyandang cacat mendeklarasikan sebuah wadah yang
dinamakan (Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) Club. Isi deklarasinya sebagai
berikut : “Kami warga Negara Indonesia yang peduli kebebasan memperoleh informasi
dengan ini menyatakan bahwa informasi itu oksigen demokrasi. Karena itu, diperlukan
Undang-Undang tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik agar demokrasi tidak mati
di bumi pertiwi. Hal-hal yang berkenaan dengan upaya mendorong pembentukan dan
pengesahan UU KMIP di DPR diselenggarakan dengan cara seksama dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya. Jakarta, 31 Mei 2005”.
Deklarasi KMIP Club ini dihadiri: Wakil Ketua Komisi I DPR, Effendy Choirie;
Ketua Kelompok Kerja Informasi dan Komisi I, Deddy Djamaluddin Malik, Ketua Badan
Legislasi DPR, AS. Hikam; Hinca Panjaitan dari Indonesia Media Law and Policy Centre;
Agus Sudibyo dan Agus Pambagyo dari Koalisi LSM untuk KMI, Samsul Masri dari
Penyandang Cacat Bandung ( Kompas, 2 Juni 2005).
Dengan adanya deklarasi ini, Komisi I DPR RI menyatakan menyetujui untuk
membahas RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yang telah lama mandeg. Hampir
semua fraksi di komisi I sepakat meletakkan RUU KMIP tersebut sebagai prioritas yang
perlu segera diselesaikan menjadi UU. RUU draft di DPR terdiri dari 59 Pasal dan 10 bab.
Menurut Cyprianus Aur, Ketua Kelompok Kerja (POKJA) Informasi dan Komunikasi
(Kominfo) Komisi I DPR, untuk sementara belum ada sinyal penolakan dari fraksi di DPR.
Namun kemungkinan penolakan fraksi terutama fraksi pemerintah, itu akan muncul dalam
pembahasan RUU di Panitia Khusus (Pansus) nanti (Suara Pembaruan, 14 Juni 2005).
Koordinator Lobi Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Agus Sudibyo menegaskan
bahwa RUU KMIP mempertaruhkan komitmen DPR. Persetujuan paripurna DPR atas usulan
inisiatif itu akan menjadi langkah awal pengesahan aturan yang diyakini bakal menjadi
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
131
perangkat dasar kontrol masyarakat (Kompas, 2 Juli 2005). Pada kurun waktu ini, RUU
KMIP termasuk dalam 55 RUU prioritas legislasi nasional pada 2005.
Walaupun Pemerintah belum menunjukkan kesediaan untuk membahas RUU KMIP,
DPR nampaknya tetap bersikukuh menuntut agar pembahasan RUU itu harus diprioritaskan.
Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Sidharto Danusubroto menegaskan
bahwa DPR tetap mendesak pemerintah untuk memprioritaskan RUU KMIP dalam program
legislasi (Suara Pembaharuan, 18 September 2005).
Puncaknya, dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa 5 Juli 2005 menyetujui
Rancangan RUU KMIP sebagai usul inisiatif DPR. Sekalipun menyertakan catatan atas
usulan rancangan tersebut, kesepuluh Fraksi sependapat, usulan inisiatif itu dapat dibahas
dalam masa persidangan berikut. Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR Soetardjo
Soerjogoeritno, sejumlah fraksi seperti Fraksi Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Partai
Demokrat menyarankan pembahasan RUU KMIP diserahkan ke komisi I agar lebih efektif
(Kompas, 6 Juli 2005).
Selanjutnya, Ketua Pokja Kominfo Komisi I DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional
(FPAN) Deddy Djamaludin Malik mengatakan bahwa DPR sudah selesai menggodok RUU
KMIP dan menempatkan RUU itu sebagai prioritas tahun 2005 walau pemerintah bersikap
sebaliknya. Untuk itu, DPR sudah menulis surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
meminta Pemerintah segera membahasnya dan menjadikan RUU KMIP sebagai prioritas.
Deddy mengatakan bahwa pihaknya sudah mengetahui kalau pemerintah tidak menginginkan
RUU KMIP sebagai yang diprioritaskan, karena lebih mengutamakan undang-undang siber
(Cyber Law) yang diusung oleh komunitas bisnis, sementara DPR melihar cyber law belum
menjadi prioritas, sehingga meminta pemerintah untuk menundanya.
Setelah sekian lama menunggu, pada tanggal 19 Oktober 2005, Amanat Presiden
(Ampres) mengenai pembahasan RUU KMIP dikeluarkan Presiden SBY. DPR dan
Pemerintah pun terlibat dalam berbagai rapat, dialog, perdebatan yang menyita waktu.
Sementara itu, koalisi LSM yang semula membidani pembentukan sebuah UU mengenai
Kebebasan Informasi itupun berpartisipasi aktif, baik dengan cara memberikan tekanan dan
dukungan kepada DPR, menggalang kerjasama dengan media, atau pun melakukan sosialisasi
kepada masyarakat tentang penting dan manfaat kebebasan informasi. Payung hukum untuk
kebebasan informasi yang di kemudian hari berbentuk Undang-Undang Keterbukaan
Informasi Publik, merupakan salah satu produk hukum yang menarik untuk dikaji.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
132
Namun, sejumlah anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan kecewa
karena Pemerintah belum juga menyampaikan Daftar Isian Masalah (DIM) Rancangan
Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Menurut Djoko Susilo dari
FPAN, kalau DIM tidak segera dikirim, sama saja RUU KMIP tidak bisa dibahas. Padahal
Komisi I sudah sepakat menyelesaikan RUU. Sementara itu, Boy MW Saul, anggota Komisi
I DPR dari Partai Demokrat, menyatakan khawatir kelambanan ini bisa menimbulkan citra
negatif. Bahwa pemerintah akan terkesan dengan sengaja mengulur-ulur waktu pembahasan
RUU KMIP (Kompas, 22 November 2005).
Pada 26 Desember 2005, Koalisi LSM – anata lain, Agus Pambagio dan Roman N.
Lendong dari Visi Anak Bangsa (VAB); Dono Faisol dan Tri Maryani dari Institut Studi Arus
Informasi (ISAI); Endri dan Jose dari ICEL dan Abdul Manan dari Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) – menemui Menteri Komunikasi dan Informatika, Sofyan Djalil. Dalam
pertemuan tersebut, para aktivis LSM itu kembali mendesak pemerintah memberikan respons
terhadap upaya pembahasan RUU KMIP. Dalam pertemuan tersebut, Sofyan Djalil
memberikan harapan pada koalisi LSM.
Sofyan Djalil berjanji akan memproses legislasi RUU KMIP karena RUU tersebut
sudah diusulkan oleh DPR RI. Sofyan menyampaikan akan mengeluarkan DIM dan
kemudian disampaikan kepada koalisi dan publik, setelah sebelumnya diberikan kepada DPR
RI. Keterlambatan DIM terjadi karena Menkominfo harus mengkoordinasi masalah tersebut
dengan Departemen lainnya yangg terkait misalnya: Bank Indonesia, Departemen Keuangan,
Badan Intelijen Negara (BIN) dan Departemen Pertahanan dan sebagainya (Suara
Pembaruan, 27 Desember 2005).
Pemerintah belum sepenuhnya memberikan perhatian yang serius terhadap legislasi
RUU KMIP. Hal itu bisa dilihat dari berlarut-larutnya penyusunan Daftar Isian Masalah
(DIM) dan proses internal pemerintah yang tidak transparan. Hal itu dikatakan AS Hikam,
anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, DPR RI. Menurutnya, belum ada jaminan bahwa
RUU KMIP akan diundangkan dalam waktu dekat walaupun pemerintah sudah mengeluarkan
Amanat Presiden (Anpres) dan menjanjikan DIM akan keluar tanggal 31 Januari 2006.
Sejalan dengan dikeluarkannya, Amanat Presiden mengenai Pembahasan RUU KMIP,
maka Tim antar Departemen Pemerintah, yang dimpimpin Prof. Dr. Ahmad Ramly
menyerahkan DIM RUU KMIP pada 14 Pebruari 2006 (Media Indonesia, 28 Pebruari 2006).
Praktis setelah sekian lama terkatung-katung, RUU KMIP ituu pun sejak 7 Maret 2006 mulai
dibahas oleh DPR dan Pemerintah. Sejak kurun waktu itu, DPR dan pemerintah terlibat
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
133
dalam berbagai rapat, dialog, perdebatan yang menyita waktu. Sementara itu, Koalisi LSM
yang semula membidani pembentukan sebuah UU mengenai Kebebasan Informasi itupun
berpartisipasi aktif baik dengan cara memberikan tekanan kepada DPR, menggalang
kerjasama dengan media, atau pun melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang penting
dan manfaatnya kebebasan informasi.
Perdebatan menyangkut isu-isu strategis tentang kebebasan memperoleh informasi
ternyta tidak hanya berlangsung pada tahap atau proses legislasi tetapi berlanjut pada prosesproses pembahasan pada forum rapat di DPR, baik rapat kerja, panja dan sebagainya.
Perdebatan antara DPR dengan Pemerintah yang terlibat dalam proses pembahasan RUU
KMIP turut membuat alot pengesahan undang-undang itu.
Isu-isi pokok yang menjadi perdebatan pada proses pembahasan RUU KMIP antara DPR dan
Pemerintah menyangkut : (Jebarus, 2011:25)
1. Isu mengenai kebebasan vs keterbukaan
2. Isu BUMN/BUMD sebagai Badan Publik
3. Isu mengenai perlu tidaknya Komisi Informasi
4. Isu mengenai pembuatan peraturan pemerintah
5. Isu mengenai Rahasia negara/informasi Kekecualian
6. Isu mengenai Waktu pelaksanaan/penerapan UU Kebebasan Memperoleh Informasi
Dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah khusus mengenai isu Badan Publik.
4.3
RUU KIP sebagai upaya mewujudkan Good Governance
Isu Keterbukaan Informasi Publik masih tergolong baru bagi sebagian besar
masyarakat Indonesia. Sejarah mencatat bahwa isu ini mulai muncul ketika krisis ekonomi
melanda Asia pada periode tahun 1997-1998 silam. Di Indonesia, inisiasi untuk melahirkan
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik membutuhkan waktu bertahun-tahun. Namun
demikian, Indonesia menjadi negara ke-5 di Asia yang mengesahkan Undang-Undang KIP
pada 30 April 2008 lalu. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia termasuk negara Asia yang
responsif terhadap dorongan demokratisasi informasi.
Langkah pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang KIP ini sejalan dengan
fenomena global yang disebut “acces to government records and information”. Fenomena
tersebut mendorong setiap negara untuk semakin terbuka dan memberi akses terhadap
informasi-informasi yang diperlukan oleh publik atau masyarakat.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
134
Kelahiran fenomena keterbukaan informasi ini setidaknya bisa dirujuk dari pendapat
David Banisar dalam bukunya berjudul: “Freedom of Information and Access to Government
Record Laws Around the World.” Banisar menyatakan “A new era of government
transparency has arrived. It is now widely recognized that the culture of secrecy that has
been the modus operandi of governments for centuries is no longer feasible in a global age of
information. Government in the information age must provide information to succeed.”
(Maroli, 2012:61)
Dapar diartikan dari pernyataan Banisar di atas bahwa sebuah era baru dalam
pemerintahan telah tiba. Sebagaimana telah diketahui secara luas, budaya kerahasiaan
menjadi modus operandi dalam pemerintahan selama berabad-abad tak lagi layak di era
informasi global. Pemerintahan di era informasi harus menyediakan informasi untuk berhasil.
Pendapat ini kian menegaskan arti pentingnya keterbukaan informasi untuk publik yang harus
dijalankan oleh pemerintah. Senada dengan Banisar, Sosiolog Jurgen Habermas juga
menyebutkan bahwa keterbukaan komunikasi merupakan tuntutan sejarah dan keniscayaan
evolusi sosial. Karenanya cepat atau lambat keterbukaan komunikasi ini pasti akan datang.
Orang yang tidak setuju hanya bisa menunda memperlambat sejarah, namun arah sejarah
tidaklah bisa diubah oleh siapapun.
Dari sisi konstitusi di Indonesia, hak publik untuk bisa mendapatkan informasi
sebetulnya sudah mendapat pondasi yang kuat. Dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 F disebutkan bahwa “setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki dan menyimpan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Transparansi informasi juga terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi
seseorang untuk mengatur penyelenggaraan negara. Dalam konteks penyelenggaraan negara,
transparansi akan informasi diharapkan mendorong partisipasi masyarakat dalam kerangka
perumusan kebijakan serta mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik yaitu transparan,
efektif, efisien, akuntabel, serta dapat dipertanggung jawabkan sehingga mampu memenuhi
enam hak publik bagi perwujudan pemerintah terbuka dan transparan, yaitu : (1) Hak publik
untuk memantau dan mengamati perilaku pejabat publik dalam menjalankan fungsi publiknya
(Right to Observe), (2)
Hak publik untuk mendapatkan informasi publik (Access to
Information), (3) Hak publik untuk berpartisipasi dalam pembentukan kebijakan publik
(Right to Participate), (4) Hak publik untuk dilindungi dalam mengungkap fakta dan
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
135
kebenaran (Whistle Blower Protection), (5) Hak/kebebasan berekspresi yang diwujudkan
melalui kebebasan pers yang berkualitas, serta (6) Hak publik untuk mengajukan keberatan
(Right to Appeal).35
Keenam hak publik ini menjadi alasan kuat mengapa sebuah produk Undang-undang
yang mampu mengakomodir kepentingan publik terkait dengan penyediaan berbagai
informasi menjadi sangat penting untuk dihadirkan, sebagaimana hak atas informasi tersebut
meliputi : 1. Hak untuk mengetahui (Right to Know), 2. Hak untuk menghadiri pertemuan
publik (Right to observe/right to attend public meeting), 3. Hak untuk mendapatkan salinan
informasi (Right to Obtain the Copy/Akses Pasif), 4. Hak untuk diinformasikan tanpa harus
ada permintaan (Right to be Informed/Akses Aktif), 5. Hak untuk menyebarluaskan informasi
(Right to disseminate).
Di negara-negara demokratis, pengakuan terhadap hak atas informasi sekaligus
merupakan sarana untuk memantau dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan.
Pemerintahan yang demokratis akan berusaha semaksimal mungkin membuka ruang
informasi yang dibutuhkan publik. Itu sebabnya, di negara demokratis konstitusional,
keterbukaan informasi publik merupakan sarana untuk mengoptimalkan penyelenggaraan
negara secara umum, mengoptimalkan peran dan kinerja badan-badan publik, serta segala
sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik.
Transparansi atau keterbukaan merupakan salah satu pilar utama manajemen
organisasi. Pada dasarnya, dalam pemerintahan yang terbuka, keterbukaan informasi publik
adalah suatu keharusan. Kebebasan memperoleh informasi publik ini mendapat jaminan
secara internasional, terutama dalam pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(Universal Declaration of Human Rights) PBB, dimana disebutkan bahwa, “Setiap orang
berhak untuk mengeluarkan pendapat dan ekspresinya; hak ini mencakup kebebasan untuk
memiliki pendapat tanpa adanya campur tangan, dan juga hak untuk mencari, menerima, dan
menyebarkan informasi dan ide melalui media apa pun, dan tak boleh dihalangi.”
Kehadiran UU KIP merupakan pengejawantahan Pasal 28 F dan Pasal 28 J UUD
1945. Pasal 28 F UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi,
menyebarkan, dan mendapatkan informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
35
Buku 1 Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Sekretariat
Jenderal DPR RI, Jakarta, 2008, hlm. 109.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
136
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Sementara
itu, pasal 28 J UUD 1945 menyebutkan (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (2)
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan masksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)
merupakan pintu gerbang menuju sistem kepemerintahan yang baik (good governance).
Melalui UU KIP, hak masyarakat untuk mengakses informasi dijamin. Seluruh informasi
tentang aktivitas badan publik, selain yang dikecualikan UndangUndang, kini wajib dibuka
kepada masyarakat. Dengan cara tersebut, masyarakat dapat memantau aktivitas badan
publik. Melalui keterbukaan informasi tersebut, masyarakat diharapkan dapat mendorong
transparansi dan akuntabilitas badan publik, dan lebih jauh lagi berpartisipasi aktif dalam
perumusan kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan publik. Menurut, Wakil Ketua
Komisi I DPR RI Periode 2004-2009, Sidharto Danusubroto, mewakili pengusul menyatakan
keterbukaan informasi publik merupakan cara untuk mengatasi permasalahan utama bangsa
ini, yaitu dengan menciptakan transparansi untuk berjalannya mekanisme check and balances
antara penyelenggara negara, masyarakat sipil dan sektor swasta, agar penyelenggaraan
negara menjadi lebih efektif dan efisien. Ketrebukaan informasi dibutuhkan untuk
meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan publik yang luas
dalam pengelolaan sumber daya publik.36
UU KIP yang memegang prinsip maximum access, limited exemption, telah membuka
akses informasi publik seluas-luasnya bagi warga negara dengan pengecualian yang terbatas.
Jika sebelumnya semua informasi di badan publik itu seolah-olah milik sendiri, kini ada
mekanismenya agar bisa diakses masyarakat dengan cepat, tepat waktu, dan berbiaya UU
ringan.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
memberikan legalitas asas-asas transparansi badan publik yang mencakup hak-hak
masyarakat untuk mengontrol dan mengakses informasi tentang kinerja badan publik serta
36
Setjen DPR RI, Proses Pembahasan RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik Buku 1, hal 103.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
137
pejabat-pejabat publik. Dengan dasar mudah oleh masyarakat. Dalam Undang-undang No. 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan itu maka semua informasi publik yang disimpan badan
publik harus dapat diakses dengan Informasi Publik (UU KIP) ditegaskan bahwa hak akses
terhadap informasi merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan
yang baik dan bertanggungjawab (good governance).
Membuka akses informasi merupakan kewajiban bagi badan publik. Secara
fundamental, sebuah informasi adalah milik publik, bukan milik pemerintah atau badan
publik. Akan tetapi memang badan publik memang harus menjaga keseimbangan antara
menutup informasi dan kepentingan publik. Namun, bagaimanapun, kepentingan publik tetap
harus didahulukan.
Dari sisi konstitusi di Indonesia, hak publik untuk bisa mendapatkan informasi
sebetulnya sudah mendapatkan pondasi yang kuat. Dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 F disebutkan : “Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Transparansi informasi juga terkait
dengan Hak asasi Manusia (HAM) bagi seseorang untuk mengatur penyelenggaraan negara.
“Keterbukaan informasi berarti Indonesia sudah mulai menghargai Hak asasi manusia. HAM
yang sudah diatur dalam UU adalah Hak asasi mendapatkan informasi juga HAM. Sementara
sudah diatur dalam UUD pasal 28 F. Indonesia mulai membuka diri bahwa keterbukaan
informasi membuat orang bisa lebih diawasi dan dikawal dalam penyelenggaraan negara”
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dibahas sejak tahun 1999, setelah
melewati proses selama sembilan tahun, karena tuntutan akan tata kelola kepemerintahan
yang baik (good governance) yang mensyaratkan adanya akuntabilitas, tranparansi dan
partisipasi masyarakat dalam setiap proses terjadinya kebijakan publik UU KIP disahkan
DPR pada tanggal 3 April 2008, dan diundangkan pada tanggal 30 April 2008. Diberikan
waktu dua tahun untuk melaksanakan Undang-undang ini. Pada tanggal 30 April 2010,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik efektif
diberlakukan di seluruh Indonesia.
Dalam UU KIP disebutkan bahwa pada dasarnya setiap informasi publik bersifat
terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik. Kecuali informasi publik
yang tertuang pada Pasal 17 Bab V tentang informasi yang dikecualikan. Dengan adanya
undang-undang ini, semua harus terbuka kecuali yang tertutup. Dalam UU KIP itu,
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
138
disebutkan pula pengelolaan dan pelayanan informasi yang wajib disediakan badan publik
agar masyarakat dapat mendapatkan akses seluas-luasnya terhadap informasi yang dimiliki
dan dikelola oleh badan publik.
UU KIP mengatur tentang informasi yang dapat diakses publik, atau yang oleh
masyarakat awam sering disebut dengan informasi yang terbuka, serta informasi yang tidak
bisa diakses publik atau informasi yang dikecualikan. Namun karena pengkategoriannya
bersifat umum, masih banyak pihak yang bingung dalam implementasinya. Kebingungan
terutama terkait dengan kategori informasi yang dikecualikan. Masih banyak masyarakat
yang belum memahami apa yang dimaksud dengan informasi yang dikecualikan ini.
Buktinya, dari kasus sengketa informasi yang masuk ke Komisi Informasi, sebagian besar di
antaranya terkait dengan informasi publik yang dikecualikan.
Berikut adalah daftar istilah beserta pengertiannya:
1. Informasi
adalah
keterangan, pernyataan,
gagasan, dan tanda-tanda
yang
mengandung nilai, makna, dan pesan, baik berupa data, fakta maupun penjelasannya
yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan
format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara
elektronik ataupun nonelektronik.
2. Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim,
dan/atau diterima oleh badan publik serta informasi lain yang berkaitan dengan
kepentingan publik sesuai dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
3. Informasi Publik yang Terbuka adalah informasi yang mencakup kategori
informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala; yang wajib
diumumkan secara serta merta; dan yang wajib tersedia setiap saat.
4. Informasi Publik yang Tertutup adalah informasi publik yang dikecualikan.
Informasi-informasi yang masuk dalam pengecualian dapat dibagi menjadi dua jenis,
yaitu di bidang: (1) informasi publik; dan (2) informasi privat. Pengecualian di bidang
informasi publik dilakukan untuk melindungi kepentingan publik yang terkait dengan:
(1) keamanan; (2) pertahanan; (3) kebijakan keuangan; (4) proses peradilan (5)
hubungan internasional
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat dirinci bahwa Informasi yang terbuka
mencakup informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala; informasi publik
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
139
yang wajib diumumkan secara serta merta; dan informasi publik yang wajib tersedia setiap
saat.
Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala sekurang-kurangnya
terdiri atas:
a. Informasi tentang profil badan publik, yang meliputi:
(1) Informasi tentang kedudukan atau domisili beserta alamat lengkap, ruang lingkup
kegiatan, maksud dan tujuan, tugas dan fungsi badan publik serta unit-unit dibawahnya.
(2) Struktur organisasi, gambaran umum tiap satuan kerja, profil singkat pejabat.
b. Ringkasan informasi tentang program dan/atau kegiatan yang sedang dijalankan dalam
lingkungan badan publik yang sekurangnya terdiri atas:
(1) Nama program/kegiatan;
(2) Penanggungjawab, pelaksana program dan kegiatan serta nomor telepon dan/atau alamat
yang dapat dihubungi
(3) Target dan/atau capaian program dan kegiatan;
(4) Jadwal pelaksanaan program dan kegiatan;
(5) Anggaran program dan kegiatan yang meliputi sumber dan jumahnya;
(6) Agenda penting terkait pelaksanaan tugas badan publik;
(7) Informasi khusus lain yang berkaitan langsung dengan hak-hak masyarakat;
(8) Informasi tentang penerimaan calon pegawai dan/atau pejabat badan publik;
(9) Informasi tentang penerimaan calon peserta didik pada badan publik yang
menyelenggarakan kegiatan pendidikan untuk umum.
c. Informasi tentang kinerja dalam lingkup badan publik berupa narasi realisasi program dan
kegiatan yang telah maupun sedang dijalankan;
d. Informasi tentang laporan keuangan yang sekurang-kurangnya meliputi :
(1) Rencana dan laporan realisasi anggaran.
(2) Neraca.
(3) Laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun
sesuai standar akuntansi yang berlaku.
(4) Daftar aset dan investasi.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
140
e. Ringkasan akses informasi publik sekurangnya terdiri atas
(1) jumlah permohonan Informasi Publik yang diterima
(2) waktu yang diperlukan dalam memenuhi setiap permohonan Informasi Publik
(3) jumlah permohonan Informasi Publik yang dikabulkan baik sebagian atau seluruhnya dan
permohonan Informasi Publik yang ditolak
(4) alasan penolakan permohonan Informasi Publik
f. Ringkasan tentang peraturan, keputusan, dan/atau kebijakan yang mengikat dan/atau
berdampak bagi publik yang dikeluarkan oleh Badan Publik yang sekurang-kurangnya terdiri
atas:
(1) daftar rancangan dan tahap pembentukan Peraturan Perundangundangan, Keputusan,
dan/atau Kebijakan yang sedang dalam proses pembuatan;
(2) daftar Peraturan Perundang-undangan, Keputusan, dan/atau kebijakan yang elah disahkan
atau ditetapkan.
g. Informasi tentang hak dan tata cara memperoleh Informasi Publik, serta tata cara
pengajuan keberatan serta proses penyelesaian sengketa Informasi Publik berikut pihak-pihak
yang bertanggungjawab yang dapat dihubungi;
h. Informasi tentang tata cara pengaduan penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran yang
dilakukan baik oleh pejabat Badan Publik maupun pihak yang mendapatkan izin atau
perjanjian kerja dari Badan Publik yang bersangkutan;
i. Informasi tentang pengumuman pengadaan barang dan jasa sesuai dengan peraturan
perundang-undangan terkait;
j. Informasi tentang prosedur peringatan dini dan prosedur evakuasi keadaan darurat di setiap
kantor Badan Publik.
2. Informasi publik yang wajib diumumkan secara serta merta adalah informasi yang dapat
mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum antara lain:
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
141
a. Informasi tentang bencana alam seperti kekeringan, kebakaran hutan karena faktor alam,
hama penyakit tanaman, epidemik, wabah, kejadian luar biasa, kejadian antariksa atau bendabenda angkasa;
b. Informasi tentang keadaan bencana non-alam seperti kegagalan industri atau teknologi,
dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan keantariksaan;
c. Bencana sosial seperti kerusuhan sosial, konflik sosial antar kelompok atau antar
komunitas masyarakat dan teror;
d. Informasi tentang jenis, persebaran dan daerah yang menjadi sumber penyakit yang
berpotensi menular;
e. Informasi tentang racun pada bahan makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat; atau
f. Informasi tentang rencana gangguan terhadap utilitas publik.
3. Informasi publik yang wajib tersedia setiap saat sekurang-kurangnya terdiri atas:
a. Daftar Informasi Publik yang sekurang-kurangnya memuat:
1. Nomor
2. Ringkasan isi informasi
3. Pejabat atau unit/satuan kerja yang menguasai informasi
4. Penanggungjawab pembuatan atau penerbitan informasi
5. Waktu dan tempat pembuatan informasi
6. Bentuk informasi yang tersedia
7. Jangka waktu penyimpanan atau retensi arsip;
b. Informasi tentang peraturan, keputusan dan/atau atau kebijakan Badan Publik yang
sekurang-kurangnya terdiri atas:
1. Dokumen pendukung seperti naskah akademis, kajian atau pertimbangan yang mendasari
terbitnya peraturan, keputusan atau kebijakan tersebut.
2. Masukan-masukan dari berbagai pihak atas peraturan, keputusan atau kebijakan tersebut.
3. Risalah rapat dari proses pembentukan peraturan, keputusan atau kebijakan tersebut.
4. Rancangan peraturan, keputusan atau kebijakan tersebut.
5. Tahap perumusan peraturan, keputusan atau kebijakan tersebut
6. Peraturan, keputusan dan/atau kebijakan yang telah diterbitkan;
c. Seluruh informasi lengkap yang wajib disediakan dan diumumkan secara
berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
142
d. Informasi tentang organisasi, administrasi, kepegawaian, dan keuangan,
antara lain:
1. Pedoman pengelolaan organisasi, administrasi, personil dan keuangan62
2. Profil lengkap pimpinan dan pegawai yang meliputi nama, sejarah karir
atau posisi, sejarah pendidikan, penghargaan dan sanksi berat yang pernah
diterima
3. Anggaran Badan Publik secara umum maupun anggaran secara khusus
unit pelaksana teknis serta laporan keuangannya
4. Data statistik yang dibuat dan dikelola oleh Badan Publik;
e. Surat-surat perjanjian dengan pihak ketiga berikut dokumen pendukungnya;
f. Surat-menyurat pimpinan atau pejabat Badan Publik dalam rangka pelaksanaan tugas
pokok dan fungsinya;
g. Syarat-syarat perizinan, izin yang diterbitkan dan/atau dikeluarkan berikut
dokumen pendukungnya, dan laporan penaatan izin yang diberikan;
h. Data perbendaharaan atau inventaris;
i. Rencana strategis dan rencana kerja Badan Publik;
j. Agenda kerja pimpinan satuan kerja;
k. Informasi mengenai kegiatan pelayanan Informasi Publik yang dilaksanakan, sarana dan
prasarana layanan Informasi Publik yang dimiliki beserta kondisinya, sumber daya manusia
yang menangani layanan Informasi Publik beserta kualifikasinya, anggaran layanan Informasi
Publik serta laporan penggunaannya;
l. Jumlah, jenis, dan gambaran umum pelanggaran yang ditemukan dalam pengawasan
internal serta laporan penindakannya;
m.Jumlah, jenis, dan gambaran umum pelanggaran yang dilaporkan oleh masyarakat serta
laporan penindakannya;
n. Daftar serta hasil-hasil penelitian yang dilakukan;
o. Informasi Publik lain yang telah dinyatakan terbuka bagi masyarakat berdasarkan
mekanisme keberatan dan/atau penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik
p. Informasi tentang standar pengumuman informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
bagi penerima izin dan/atau penerima perjanjian kerja;
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
143
q. Informasi dan kebijakan yang disampaikan pejabat publik dalam pertemuan yang terbuka
untuk umum.
5. Informasi Yang Dikecualikan
Informasi Publik yang dikecualikan sifatnya rahasia dan tidak dapat diakses oleh
publik sesuai dengan kriteria yang diatur dalam Pasal 17 UU KIP. Informasi Publik
dikecualikan secara limitatif berdasarkan pada Pasal 17 UU KIP, yaitu apabila dibuka dapat:
1. Menghambat proses penegakan hukum;
2. Mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan
dari persaingan usaha tidak sehat;
3. Membahayakan pertahanan dan keamanan negara;
4. Mengungkapkan kekayaan alam Indonesia;
5. Merugikan ketahanan ekonomi nasional;
6. Merugikan kepentingan hubungan luar negeri;
7. Mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat
seseorang;
8. Mengungkap rahasia pribadi seseorang;
Selain itu, yang termasuk Informasi Publik yang dikecualikan adalah:
1. Memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik yang menurut
sifatnya dirahasiakan, kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan.
2. Informasi Publik yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.
Setiap badan publik dengan kehadiran UU KIP berkewajiban menunjuk Pejabat
Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) untuk melaksanakan pelayanan informasi dan
menyusun serta mengembangkan sistem pelayanan informasi dalam rangka menjamin
tersampaikannya informasi kepada warga negara. Selain penunjukkan PPID, pelaksanaan UU
KIP ditandai pula oleh pembentukan Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi Provinsi, dan
adanya pelayanan informasi oleh badan publik serta permohonan informasi oleh masyarakat.
Di sisi lain, Pemerintah Indonesia juga telah berkomitmen untuk merealisasikan
inisiatif pemerintahan yang terbuka (Open Government Initiative) dan berkomitmen dalam
gerakan multilateral Open Government Partnership (OGP). Gerakan multilateral ini
bertujuan untuk mempromosikan transparansi, pemberdayaan, perlawanan korupsi, dan
inovasi baru untuk memperkuat pemerintahan.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
144
Dari uraian diatas jelas bahwa keterbukaan bukanlah sebuah kebebasan apalagi
ketelanjangan, karena justru keberadaan UU KIP ini merupakan sebuah garansi atas
keamanan dari informasi itu sendiri. Juga sebagai penjamin badan publik untuk dapat
menjalankan fungsinya dengan lebih terukur dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai
dengan sepuluh prinsip pokok UU KIP yakni:
2. Sebagai “Payung”/ penyelaras bagi seluruh peraturan perundang-Undangan
yang terkait dengan Informasi.
3. Memberikan jaminan terhadap kelima jenis hak atas informasi (komprehensif)
4. Informasi publik merupakan hak setiap orang, sehingga tidak memerlukan
alasan bagi sebuah permintaan.
5. Akses Maksimum Pengecualian Terbatas (Maximum Access Limited
Exemption – MALE), yaitu ;
-
Pemberlakuan pengecualian harus didasarkan pada asas kehati-hatian
dengan menggunakan metoda Uji Konsekuansi (Consequential Harm
Test) dan Uji Menimbang Kepentingan Publik Yang Paling Besar
(Balancing Public Interest Test)
-
Pemberlakuan Status Kerahasiaan Terhadap Informasi Memiliki Batas
Waktu (Non Permanen)
-
Ruang Lingkup Badan Publik (Penyedia Akses Informasi) tidak
terbatas pada institusi negara (state institutions), tetapi institusi di luar
negara yang mendapatkan serta menggunakan anggaran negara.
6. Akses Horisontal sama pentingnya dengan Akses Vertikal Informasi.
7. Akses Informasi secara murah, cepat, utuh dan tepat waktu.
8. Kewajiban Institusi Publik memiliki Pengelolaan Informasi dan sistem
Pelayanan Publik yang baik
9. Penyelesaian Sengketa secara Cepat, Murah, Kompeten, dan Independen
melalui proses konsensual maupun ajudikatif.
10. Ancaman hukuman bagi pihak-pihak yang menghambat akses informasi
11. Klausul yang memungkinkan PEMDA untuk memiliki kebijakan tentang
kebebasan memperoleh informasi yang sifatnya lebih progresif (dibandingkan
dengan UU KMI) dalam menerjemahkan elemen-elemen penting dalam
kebebasan memperoleh informasi.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
145
BAB V
HASIL DAN INTERPRETASI PENELITIAN
Pada bab ini berisi data berdasarkan temuan peneliti di lapangan tentang proses
pembahasan RUU KIP Tahun 2008 yang berlangsung di DPR RI dengan pembahas Komisi I
bersama-sama dengan Pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Komunikasi dan
Informatika dan Kementerian Hukum dan HAM, dengan pengawalan dari Koalisi
Masyarakat Sipil yang berasal dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Penyajian dan pembahasan difokuskan pada dinamika komunikasi yang terjadi
terhadap permasalahan dan pengambilan keputusan mengenai perdebatan Badan Publik yaitu
perihal posisi BUMN/BUMD yang harus atau tidak dimasukkan sebagai Badan Publik di
RUU KIP. Bahasan tentang badan publik dalam UU KIP merupakan salah satu isu yang
memakan waktu paling lama dibahas sampai mencapai kesepakatan rumusan.
Teknik pengumpulan data dilaksanakan dengan cara penelusuran terhadap risalah
rapat pembahasan RUU KIP khusus pembahasan tentang BUMN/BUMD sebagai Badan
Publik beserta wawancara mendalam dengan orang-orang yang dianggap berkompeten untuk
mendukung data penelitian, yaitu dari beberapa perwakilan anggota Panitia Kerja (Panja)
RUU KIP di Komisi I DPR RI yang berasal dari Fraksi Partai Politik berbeda dengan
identitas nama samaran, yaitu :
Deli (FPAN), Sindoro (FPDI), Eko (PKB), Hartanto
(Golkar), Tojaka (PPP) ditambah 1 (satu) orang notulen rapat di Komisi I DPR RI, 1 (satu)
perwakilan dari pihak Pemerintah yang berasal dari Humas Kementerian Komunikasi dan
Informatika dan 1 (satu) perwakilan dari Komisi Informasi Pusat beserta 2 (dua) orang
perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil yang ikut sebagai pengusul RUU KIP yaitu
Pujiyanto (nama samaran) sebagai mantan anggota DPR RI Komisi I yang sekaligus mantan
Ketua Pansus RUU KMIP periode 1999-2004 dan Anggodo (nama samaran) dari Yayasan
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
146
Sains Estetika dan Teknologi (SET). Guna lebih mendapatkan gambaran suasana yang
berlangsung pada saat rapat pembahasan, wawancara juga dilakukan dengan sekretaris rapat
pembahasan RUU KIP. Dengan demikian total informan yang berhasil diwawancarai
berjumlah 10 (sepuluh) orang yang berasal dari orang-orang yang terlibat dan paham tentang
pembahasan RUU KIP.
Pertanyaan-pertanyaan pada hasil wawancara merupakan bagian dari turunan
pertanyaan penelitian berdasarkan gambaran model groupthink theory untuk menjawab fokus
penelitian ini.
Agar uraian menjadi sistematis dan terarah, maka peneliti mengelompokkannya
menjadi beberapa sub pembahasan, yaitu :
1.
Deskripsi Komisi I DPR RI periode 2004-2009 sebagai bagian yang diserahi mandat
pembahasan RUU KIP.
2.
Deskripsi data umum narasumber.
3.
Deskripsi Hasil dan Analisis penelitian untuk menjawab tujuan penelitian.
5.1 Deskripsi Komisi I DPR RI periode 2004-2009
Komisi adalah badan utama di dalam DPR, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat
kelengkapan yang bersifat tetap. Komisi merupakan tempat utama RUU dibahas,
dipertimbangkan, dan perubahan atas RUU dibuat. Komisi memegang kekuasaan untuk
menolak, menunda, atau melancarkan RUU dan menentukan isinya. Komisi juga merupakan
salah satu bentuk utama kontak formal antara lembaga eksekutif dan DPR serta wilayah
utama yang mana parlemen menjalankan kekuasaan formal dan praktisnya terhadap Presiden,
Menteri-menteri, serta badan-badan pemerintahan.
Komisi merupakan wadah pengelompokan anggota DPR yang terdiri dari satu bidang
keahlian dan tugas yang ditetapka sendiri oleh DPR dengan surat keputusan. Tugas komisi
meliputi bidang perundang-undangan, anggaran, pengawasan. Untuk menjalankan tugasnya,
komisi dapat melakukan dengar pendapat, rapat kerja, mengajukan pertanyaan, dan
kunjungan kerja atau bila perlu memanggil aparat pemerintah atau masyarakat umum, baik
atas permintaan komisi maupun pihak lain.
Susunan keanggotaan komisi ditetapkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna menurut
perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi, pada permulaan masa
keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang. Setiap Anggota, kecuali Pimpinan
MPR dan DPR, harus menjadi anggota salah satu Komisi. Jumlah Komisi, Pasangan Kerja
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
147
Komisi dan Ruang Lingkup Tugas Komisi diatur dengan Keputusan DPR yang didasarkan
pada institusi pemerintah, baik lembaga kementerian negara maupun lembaga nonkementerian, dan sekretariat lembaga negara, dengan mempertimbangkan keefektifan tugas
DPR.
Pimpinan Komisi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif. Pimpinan
Komisi terdiri atas 1 (satu) orang Ketua dan 3 (tiga) orang Wakil Ketua, yang dipilih dari dan
oleh anggota Komisi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional
menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi di DPR, dalam Rapat Komisi yang
dipimpin oleh Pimpinan DPR, setelah penetapan susunan dan keanggotaan Komisi.
Komisi I DPR RI periode 2004-2009 merupakan satu dari 11 (Sebelas) Komisi yang
ada di DPR RI berdasarkan hasil pemilihan umum tingkat nasional pada 5 April 2004.
Anggota DPR terplih diambil sumpahnya pada Jumat, 1 Oktober 2004, oleh ketua Mahkamah
Agung, Prof. Dr. Bagir Manan. Terdapat 16 partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi
di DPR periode ini. DPR periode ini terdiri atas 550 kursi dan 10 fraksi.
Komisi I DPR RI sebagai salah satu Alat Kelengkapan DPR RI dibentuk oleh DPR RI
untuk setiap awal keanggotaan DPR RI dengan beranggotakan 50 orang, yang terdiri dari :
a. Pimpinan : 4 orang dengan komposisi Ketua Komisi 1 (satu) orang dan Wakil Ketua
Komisi 3 (tiga) orang.
b. Anggota : 46 orang
F-PG
: 11 Orang
F-PDI-P
: 9 Orang
F-PPP
: 5 Orang
F-PD
: 5 Orang
F-PAN
: 5 Orang
F-PKB
: 3 Orang
F-PKS
: 4 Orang
F-BPD
: 1 Orang
F-PBR
: 1Orang
F-PDS
: 1 Orang
Ruang lingkup tugas Komisi I DPR RI adalah di bidang:
a. Pertahanan
b. Luar Negeri
c. Komunikasi dan Informatika
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
148
d. Intelijen
Pasangan Kerja Komisi I DPR RI adalah sebagai berikut:
1. Kementerian Pertahanan (Kemenhan);
2. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu);
3. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo);
4. Panglima TNI/Mabes TNI AD, AL dan AU;
5. Badan Intelijen Negara (BIN);
6. Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg);
7. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas);
8. Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas);
9. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI);
10. Komisi Informasi Pusat (KI Pusat);
11. Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (LPP TVRI);
12. Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI);
13. Dewan Pers;
14. Perum LKBN Antara;
15. Lembaga Sensor Film (LSF).
Dalam setiap tahun masa sidang, terjadi pergantian keanggotaan ataupun unsur
pimpinan. Apabila terjadi pergantian unsur pimpinan, maka dilakukan pengesahan Pimpinan
Komisi yang baru dalam Rapat Intern Komisi I DPR RI yang dipimpin oleh salah seorang
Pimpinan DPR RI, yaitu Pimpinan DPR RI yang membidangi komisi terkait, dalam hal ini
Komisi I DPR RI berada dalam bidang Politik dan Keamanan (Korpolkam).
Komisi I DPR RI mempunyai tugas dalam :
1.
Pembentukan Undang-Undang (Legislasi)
Dalam pembentukan undang-undang, Komisi I DPR RI mempunyai tugas
mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan Rancangan UndangUndang yang termasuk dalam ruang lingkup tugas Komisi I DPR RI. Komisi I DPR RI dapat
melaksanakan pembahasan terhadap:
a. RUU Usul Inisiatif Pemerintah
b. RUU Usul Inisiatif DPR
c. RUU Pengesahan Perjanjian Internasional (Ratifikasi)
2.
Bidang anggaran
Dalam bidang anggaran, Komisi I DPR RI mempunyai tugas:
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
149
a.
Mengadakan pembicaraan pendahuluan RAPBN yang meliputi Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) serta Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian dan Lembaga
(RKAKL) dalam ruang lingkup tugas Komisi I DPR RI dan usulan Anggota mengenai
program pembangunan daerah pemilihan bersama dengan Pemerintah.
b.
Mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan RAPBN serta
mengusulkan perubahan RKAKL yang termasuk dalam ruang lingkup tugas Komisi I
DPR RI dan usulan Anggota mengenai program pembangunan daerah pemilihan
bersama dengan Pemerintah.
c. Membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi dan program
Kementerian/Lembaga (KL) yang menjadi Mitra Kerja Komisi I DPR RI.
d. Menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan RAPBN dan menyampaikan hasil
pembahasan RAPBN, RKAKL, dan alokasi anggaran untuk fungsi dan program KL
yang menjadi Mitra Kerja Komisi I DPR RI kepada Badan Anggaran untuk
disinkronisasi.
e. Membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi dan program KL yang
menjadi Mitra Kerja Komisi I DPR RI berdasarkan hasil sinkronisasi alokasi
anggaran KL oleh Badan Anggaran
f. Menyerahkan kembali kepada Badan Anggaran hasil pembahasan komisi untuk bahan
akhir penetapan APBN
g. Membahas dan menetapkan alokasi anggaran per program yang bersifat tahunan dan
tahun jamak yang menjadi Mitra Komisi I DPR RI.
h. Mengadakan pembahasan laporan keuangan negara dan pelaksanaan APBN; dan
i. Memmbahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan
ruang lingkup tugas Komisi I DPR RI.
3.
Bidang Pengawasan
Dalam bidang pengawasan, Komisi I DPR RI mempunyai tugas:
a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk APBN, serta
peraturan pelaksanaannya yang termasuk dalam ruang lingkup tugas Komisi I DPR
RI.
b. Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang
lingkup tugas Komisi I DPR RI.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
150
c. Memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan,
hambatan pemeriksaan , serta penyajian dan kualitas laporan berkaitan dengan ruang
lingkup tugas Komisi I DPR RI.
d. Melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah.
e. Membahas dan menindaklanjuti usulan DPD; dan
f. Menjalin hubungan luar negeri, baik dengan institusi negara maupun swasta, sesuai
dengan bidang tugas setiap komisi dan dikoordinasikan oleh Badan Kerjasama
Antar-Parlemen.
Dalam melaksanakan tugas tersebut diatas, Komisi I DPR RI dapat mengadakan :
A. Rapat Kerja (Raker) dengan Pemerintah yang diwakili oleh Menteri/Pimpinan
Lembaga.
Dalam hal ini Komisi I DPR RI dapat mengadakan Raker dengan Menteri/Pimpinan
Lembaga yang menjadi Mitra Kerja Komisi I DPR RI, yaitu:
a.
(1) Menteri Pertahanan, (2) Menteri Luar Negeri, (3) Menteri Komunikasi dan
Informatika, (4) Panglima TNI, (5) Kepala BIN.
b.
Menteri/Pimpinan Lembaga yang bukan menjadi Mitra Kerja Komisi I DPR RI,
apabila dipandang perlu dalam pelaksanaan tugas Komisi I DPR RI di bidang
legislasi, pengawasan, dan anggaran, seperti:
1.
Menkopolhukam,
dalam
rangka
mendapatkan
masukan
terhadap
permasalahan-permasalahan krusial dan berkaitan dengan ruang lingkup
Komisi I DPR RI.
2.
Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas, dalam rangka pembahasan anggaran
Mitra Kerja Komisi I DPR RI.
3.
Menteri Hukum dan HAM, dalam rangka pembahasan Rancangan UndangUndang.
B. Konsultasi dengan DPD
C. Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Pejabat Pemerintah yang Mewakili
Instansinya.
Dalam hal ini, Komisi I DPR RI dapat mengadakan RDP dengan:
A. Pejabat Pemerintah yang menjadi Mitra Kerja Komisi I DPR RI, yaitu Pejabat di:
1.
Kemenhan
2.
Kemenlu
3.
Kemenkominfo
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
151
4.
Mabes TNI AD, AL dan AU
5.
BIN
6.
Lemsaneg
7.
Lemhannas
8.
Wantannas
9.
KPI
10.
Komisi Informasi Pusat
11.
LPP TVRI
12.
LPP RRI
13.
Dewan Pers
14.
Perum LKBN Antara
15.
LSF
16.
Assosiasi/Perusahaan,
seperti
Industri
Pertahanan,
Perusahaan
Telekomunikasi, dan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP)
17.
Organisasi Pemerintah lainnya
B. Pejabat Pemerintah yang bukan merupakan Mitra Kerja Komisi I DPR RI, apabila
dipandang perlu dalam melaksanakan tugas Komisi I DPR RI di bidang legislasi,
pengawasan, dan anggaran.
D.
Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)
Dalam hal ini, Komisi I DPR RI dapat mengadakan RDPU dengan Masyarakat,
Organisasi Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Kalangan Swasta, Pakar, dan
Akademisi, baik atas permintaan Komisi I DPR RI maupun atas permintaan pihak lain dalam
rangka mendapatkan masukan terkait dengan tugas Komisi I DPR RI di bidang legislasi,
pengawasan, dan anggaran.
E.
Rapat Kerja Gabungan
Dalam melaksanakan tugasnya baik di bidang legislasi, pengawasan, maupun
anggaran, Komisi I DPR RI dapat mengadakan Rapat Kerja Gabungan dengan Komisi
lainnya yang terkait dengan materi/substansi yang akan dibahas.
F.
Kunjungan Kerja
a. Kunjungan Kerja dalam Masa Reses
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
152
Dalam setiap reses masa persidangan, Komisi I DPR RI dapat melaksanakan
Kunjungan Kerja ke daerah untuk mendapatkan masukan/informasi yang berkaitan dengan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Mitra Kerja Komisi I DPR RI di daerah dan
melihat secara langsung kondisi sarana dan prasarana yang ada.
Hasil Kunjungan Kerja ini dilaporkan dalam Rapat Intern Komisi I DPR RI dan
selanjutnya disampaikan kepada Mitra Kerja Komisi I DPR RI (Menteri/Pimpinan Lembaga
terkait) untuk dapat ditindak lanjuti.
Disamping melaksanakan Kunjungan Kerja ke daerah, dalam Masa Reses Komisi I
DPR RI juga dapat melaksanakan Kunjungan Kerja ke Luar Negeri dalam rangka mengawasi
sejauhmana pemerintah termasuk Duta Besar dan KBRI menjalankan tugasnya sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan, kebijakan dan program pemerintah, serta permasalahan dan
kendala yang dihadapinya.
Disamping itu juga untuk menjalankan pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi
pemerintahan di luar negeri, yaitu diplomasi untuk memperjuangkan kepentingan nasional
Indonesia, serta berpartisipasi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, dan melaksanakan prinsip politik luar
sesuai dengan perundang-undangan.
Tugas pengawasan dalam bidang hubungan luar negeri dilaksanakan Komisi I DPR
RI untuk memastikan bahwa ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menegaskan, bahwa Presiden harus mendapat persetujuan DPR RI dalam
hal Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain,
atau perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat, terkait dengan keuangan Negara, atau mengakibatkan perubahan undangundang, terlaksana sebagaimana mestinya.
DPR RI ikut melaksanakan diplomasi dalam rangka memelihara perdamaian dan kerja
sama internasional serta meningkatkan hubungan dan kerjasama dengan negara-negara di
dunia berdasarkan prinsip Politik Luar Negeri Bebas Aktif yang diabdik bagi kepentingan
nasional. Kegiatan memperjuangkan kepentingan nasional yang dilaksanakan DPR RI
melalui forum pertemuan antar parlemen, baik bilateral, multilateral, regional maupun
internasional merupakan kegiatan Diplomasi Parlemen (Parliamentary Diplomacy) dan
secara khusus dilaksanakan Komisi I DPR RI, dalam kunjungan kerjanya melalui pertemuan
dengan pimpinan parlemen dan pemerintahan terkait di negara yang dikunjungi.
b. Kunjungan Kerja Spesifik
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
153
Apabila terjadi kasus-kasus yang bersifat spesifik yang berkaitan dengan permasalahan
dalam ruang lingkup dan tugas Komisi I DPR RI, maka Komisi I DPR RI dapat
melaksanakan Kunjungan Kerja Spesifik, baik ke daerah maupun ke luar negeri dalam rangka
mendapatkan masukan/informasi langsung mengenai permasalahan yang terjadi dan mencari
solusi penyelesaian terhadap permasalahan tersebut. Kunjungan Kerja Spesifik ini dilakukan
dalam masa sidang yang hasilnya dilaporkan dalam Rapat Intern Komisi I DPR RI untuk
ditindaklanjuti atau disampaikan kepada Mitra Kerja komisi I DPR RI terkait.
c.
Kunjungan Kerja Gabungan
Komisi I DPR RI dapat melaksanakan Kunjungan Kerja Gabungan apabila dipandang
perlu dalam melaksanakan tugas Komisi I DPR RI di bidang pengawasan, legislasi, dan
anggaran.
Dalam penelitian ini yang diamati adalah aktivitas kelompok Panitia Kerja (Panja)
RUU KMIP/KIP Komisi I DPR RI yang dibentuk dalam keputusan sidang paripurna pada
tanggal 5 Juli 2005 setelah diusulkan kembali dikarenakan di periode sebelumnya 1999-2004
RUU tersebut gagal dibahas. Pemilihan pembahasan hanya di Komisi I terkait dengan alasan
bahwa substansi RUU terkait dengan bidang kerja Komisi I dengan Kemitraan Pemerintah
yang sudha jelas serta dengan tujuan agar pembahasan menjadi lebih cepat sehingga tidak
sampai gagal kembali.
Panja RUU KMIP terdiri dari 29 orang dengan unsur pimpinan berasal dari pimpinan
Komisi I DPR RI dan anggota dari perwakilan fraksi-fraksi yang ada di Komisi I.
5.2
Deskripsi Data Umum Narasumber
Penelitian ini mengambil informan utama sebanyak 5 (lima) orang yang ditulis dengan
nama samaran, yaitu :
1.
Deli. Tokoh yang menjabat sebagai anggota Panitia Kerja (Panja) serta Tim Perumus
(Timus) RUU KIP yang berasal dari perwakilan Fraksi Partai Amanat Nasional
(PAN).
2.
Sindoro. Politisi senior sebagai pimpinan Panja yang berasal dari perwakilan Fraksi
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
3.
Eko. Sebagai anggota Panja RUU KIP yang berasal dari Fraksi Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB).
4.
Hartanto. Sebagai anggota Panja dan Timus/Timsin RUU KIP, sebagai perwakilan
dari Fraksi Partai Golkar.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
154
5.
Tojaka. Seorang politisi senior basis partai Islam, sebagai salah satu unsur pimpinan
di Panja RUU KIP yang berasal dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP).
Ditambah dengan informan lain sebagai informan biasa (dengan nama samaran) yang
banyak terlibat dalam proses pembahasan dan pengambilan keputusan RUU KIP sebanyak
4 (empat) orang yaitu:
1.
Pujiyanto sebagai pengawal pembahasan RUU KIP di DPR RI dari kelompok Koalisi
Masyarakat Sipil yang sebelumnya adalah anggota Komisi I DPR RI periode 19992004 yang sekaligus sebagai Ketua Pansus RUU KMIP pada waktu pertama kali
diusulkan.
2.
Anggodo sebagai pengawal pembahasan RUU KIP di DPR RI dari Perwakilan LSM
Yayasan SET sebagai Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil.
3.
Icel, sebagai Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo)
yang sebelumnya ditunjuk sebagai perwakilan untuk mendampingi Menteri Kominfo
dalam pembahasan RUU KIP di DPR RI.
4.
Danti. Seorang yang pada saat pembahasan RUU KIP bertindak sebagai Sekretaris
Rapat untuk mencatat risalah rapat dalam pembahasan RUU KIP.
Serta dilengkapi dengan informan tambahan 1 (orang) yaitu Heryani (dalam nama
samaran), yang tidak terlibat dalam proses pembahasan RUU KIP namun banyak mengetahui
tentang informasi RUU KIP khususnya mengenai permasalahan badan publik, karena beliau
merupakan salah seorang komisioner dari Komisi Informasi Pusat.
Peneliti mengadakan wawancara mendalam kepada seluruh informan baik dari
narasumber utama maupun pendukung berdasarkan dengan daftar pertanyaan yang telah
dibuat dan disusun untuk menjawab permasalahan penelitian, kecuali dengan IP-4 karena
mendadak beliau dipanggil untuk rapat.
Sebelum mengajukan pertanyaan pokok penelitian, peneliti meminta kesediaan
informan untuk mengisi identitas pribadi yang berisi tentang nama, jenis kelamin,
pengalaman kerja dan pekerjaan/profesi saat ini.
Dari pengisian tersebut diperoleh petunjuk bahwa utama dan informan biasa no. 1-3
berjenis kelamin Laki-laki, sedangkan informan biasa no. 4 dan informan tambahan berjenis
kelamin Perempuan.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
155
Riwayat pengalaman kerja/organisasi informan utama umumnya sama yaitu berangkat
dari keaktifan di Partai Politik walaupun latar belakang sebelum berkecimpung dalam dunia
politik berbeda-beda. Deli sebelum menjadi politisi lebih banyak menghabiskan waktu di
dunia kampus dengan bidang Ilmu Komunikasi disebuah Universitas swasta di Bandung,
Sindoro memiliki riwayat dari Kepolisian sebelum terjun di dunia politik, sedangkan Eko dan
Hartanto berangkat dari organisasi keagamaan berbasis Islam kemudian berkecimpung di
partai politik, Tojaka banyak berkecimpung dalam lembaga swasta dan organisasi keagamaan
sebelum akhirnya bergabung dalam Partai Politik berbasis Islam dan menjadi anggota DPR
RI.
Kelima informan utama memiliki riwayat berkecimpung di dunia parlemen berbedabeda. Deli menjadi anggota DPR RI selama dua periode kurun waktu 2004-2009 dan 20092014, Sindoro menjadi anggota DPR RI selama tiga periode kurun waktu 1999-2004, 20042009, dan 2009-2014 namun di 2013 sampai dengan 2014 beliau ditunjuk jadi Ketua MPR RI
menggantikan Taufik Kiemas, Eko menjadi anggota DPR RI selama tiga periode kurun
waktu 1999-2004, 2004-2009 dan 2009-2014 namun berhenti di 2013 karena kisruh politik
sehingga akhirnya beliau pindah Partai Politik, Hartanto menjadi anggota DPR RI selama
kurun waktu 2004-2009 dan menjadi wakil ketua MPR RI di 2009-2014, sedangkan Tojaka
berkiprah dahulu di MPR selama hampir dua periode di 1978-1983 dan 1997-1999 kemudian
di 1999-2004 menjadi anggota DPR RI yang berlanjut di masa bakti 2004-2009.
Selepas menjabat sebagai anggota parlemen setiap informan memiliki kesibukan yang
beragam saat ini. Deli kembali ke dunia kampus dan menempuh studi Doktor di Bandung,
Sindoro menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Eko banyak
berada di daerah asalnya Jawa Timur dan masih menyibukkan diri dalam dunia politik di
partai yang baru, Hartanto saat ini lebih banyak mencurahkan waktunya untuk fokus ke
organisasi yang membesarkannya yaitu Muhammadiyah dan Tojaka baru selesai menjalankan
tugas sebagai Duta Besar Indonesia untuk Maroko.
Sebagai politisi, Deli terlihat cukup terbuka menyampaikan pendapat dan perasaannya
ketika harus mengingat tentang RUU KIP. Deli juga terlihat aktif berpendapat ketika
mengikuti rapat seperti terlihat dalam risalah rapat. Sindoro yang merupakan salah satu
pimpinan Panja RUU KIP adalah politisi senior partai berlambang moncong putih yang
masih terlihat energik dan semangat dalam mengemukakan pendapatnya, hingga tidak jarang
melontarkan ungkapan-ungkapan sinis, tajam namun menggelitik ketika menceritakan
tentang RUU KIP. Eko yang kini berpindah haluan partai politik menjadi lebih hati-hati
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
156
bicara dan kurang terbuka mengikuti frekuensinya sekarang yang jarang terdengar berbicara
di publik, padahal dahulu terkenal dengan suaranya yang vokal ketika di parlemen. Hartanto
merupakan pribadi yang ramah dan sangat terbuka, pendapat yang terlontar lebih berani,
mungkin karena merasa sudah tidak punya beban moral karena tidak menjabat lagi sebagai
anggota dewan. Dalam pernyataan-pernyatannya baik di risalah maupun secara langsung
terlihat bahwa Hartanto sangat berada di pihak Koalisi Masyarakat Sipil dan termasuk yang
vokal di parlemen ketika membahas RUU KIP. Tojaka berkarakter lebih bijaksana, dan
termasuk unsur pimpinan dalam Panja RUU KIP. Politisi dari partai berbasis Islam ini sangat
senang menggunakan peci dikepala, teratur dalam bertutur kata dan senang bercerita apa saja.
Pengalaman yang menempa dalam lingkup parlemen dan hubungan luar negeri, membuatnya
sempat dipercaya menjadi duta besar. Ketika mengungkapkan pendapat tentang RUU KIP
mengenai isu Badan Publik, Tojaya sangat antusias membuka pengalamannya.
Sementara itu untuk informan lainnya diperoleh riwayat pekerjaan dan profesi yang
berbeda-beda saat ini. Pujianto merupakan ahli literasi media yang memiliki riwayat menjadi
anggota DPR RI periode 1999-2004 di Komisi I dan ditunjuk sebagai Ketua Pansus RUU
KMIP, selepas itu beliau ikut mengawal pembahasan RUU KIP bersama Koalisi Masyarakat
Sipil serta saat ini disibukkan menjadi narasumber yang banyak dimintai pemikirannya
tentang bidang literasi media, komunikasi dan penyiaran. Pujiyanto berkarakater energik di
tengah usianya yang tak lagi muda, sangat ramah dan sangat senang bercerita ketika ditanya
tentang UU KIP. Pengalamnnya di bidang politik membuatnya banyak menguasai tentang
proses perundang-undangan dan berbagai permasalahan dalam perumusannya.
Anggodo, seorang aktivis LSM yang masih muda sekaligus sebagai peneliti,
konsultan media, komunikasi politik dan informasi publik yang aktif menulis ini memiliki
karakter yang lebih tenang dan low profile, namun jawaban-jawabannya sangat kritis
berkaitan dengan pembahasan RUU KIP terutama terkait dengan badan publik.
Pengalamannya terjejeak di Lembaga Swadaya Masyarakat yang membidangi komunikasi
dan informasi, sempat berkarir sebagai peneliti di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dan
menjadi Deputi Direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET) Jakarta, beliau
kemudian ditunjuk sebagai Koordinator Loby Koalisi untuk Kebebasan Informasi pada saat
memperjuangkan pengesahan RUU KIP, saat ini duduk sebagai Redaktur Pelaksana di Jurnal
Prisma dan Direktur Eksekutif di Matriks Indonesia yang melayani survey opini publik,
analisis isi media massa dan media sosial, training dan konsultasi media relation, media
ombudsman dan pendampingan implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
157
Icel merupakan informan yang banyak membuka rahasia di balik pembahasan dan
pengambilan keputusan RUU KIP, karakternya cukup ramah dan tegas. Beliau adalah
seorang Pegawai Negeri Sipil yang mendedikasikan dirinya kepada Kementerian Komunikasi
dan Informatika sejak mulai berkarir sampai pada waktu pembahasan RUU KIP bersama
Komisi I DPR RI juga mendampingi Menkominfo. Sempat menjabat sebagai Sekretaris
Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo dan saat ini menjabat sebagai
Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Sekretariat Janderal Kementerian
Kominfo sehingga dinilai layak dimintai keterangan sebagai wakil dari Pemerintah sehingga
memiliki gambaran langsung situasi pembahasan RUU KIP.
Danti adalah sosok perempuan lincah dengan pembawaan ramai kalau berkata.
Sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil yang bertindak sebagai Sekretaris sehingga
bertanggung jawab terhadap notulensi rapat pada saat pembahasan RUU KIP, Danti
tergolong sangat sibuk dalam menjalankan tugasnya Sekretariat Jenderal DPR RI. Informasi
dari Danti diperlukan untuk memberikan gambaran mengenai situasi yang terjadi pada saat
rapat pembahasan hingga selesai diputuska nserta mengkonfirmasi validitas catatan rapat
berdasarkan runutan waktu kejadian.
Heryanti adalah informan tambahan yang tidak terlibat langsung selama proses
pembahasan dan pengambilan keputusan RUU KIP namun memiliki pengatahuan banyak
tentang hal tersebut dikarenakan telah dua periode menjabat sebagai Komisioner Komisi
Informasi Pusat. Pembawaannya yang kalem, tenang dan murah senyum membuat cerita
tentang UU KIP menjadi menarik untuk didengar dalam waktu lama. Berlatar sebagai
seorang akademisi di Fisip UI, keterangan beliau dipandang penting bagi penelitian untuk
mendapatkan perspektif kekinian tentang implementasi Undang-undang KIP terutama terkait
dengan kasus-kasus tentang sengekta Badan Publik yang ada.
Dari deskripsi data pribadi informan tersebut, dapat dinyatakan bahwa informan yang
dipilih dalam penelitian ini telah sesuai untuk mewakili seluruh anggota kelompok dan pihakpihak yang terlibat dalam pembahasan RUU KIP yang tidak mungkin semua dapat dimintai
keterangannya. Informan dalam penelitian ini dinilai kredibel dan banyak memahami tentang
perumusan RUU KIP terutama mengenai isu Badan Publik.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan anteseden dan gejala groupthink yang ada
dalam dinamika komunikasi pembahasan dan pengambilan keputusan tentang definisi Badan
Publik di kelompok Panja Komisi I DPR RI masa bakti 2004-2009, menjelaskan upaya yang
dilakukan kelompok untuk meminimalisir terjadinya groupthink serta pada akhirnya
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
158
menawarkan pola/model pengembangan groupthink teori pada proses pengambilan keputusan
politik dalam konteks organisasi politik yang sangat terbuka dan dinamis seperti di DPR RI.
Penggalian data dilakukan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan
panduan dari model teori groupthink Irving Janis. Setelah dilakukan wawancara dan
penelusuran risalah kepada informan-informan tersebut terungkap hasil penelitian
sebagaimana penjelasan berikut :
5.3 Anteseden (Kondisi Pendahulu) Groupthink dalam Dinamika Komunikasi pada
Kelompok Panja Komisi I DPR RI yang membahas RUU KIP tentang Badan
Publik.
Indikasi adanya groupthink dalam suatu kelompok pengambil keputusan disebutkan
oleh Janis adalah hasil akhir keputusan tersebut dianggap gagal (cacat) dan dianggap
kontroversial.
Penilaian secara umum RUU KIP yang disahkan pada 3 April tahun 2008 adalah
membanggakan karena pembahasan berhasil dituntaskan setalah sempat gagal di periode
sebelumnya (1999-2004). Namun sesungguhnya keputusan tersebut tidak bisa dipandang baik
karena masih terdapat hal yang dianggap kurang memuaskan bagi beberapa kalangan baik
yang terlibat dalam pembahasan di Komisi I DPR RI maupun dari pihak Koalisi Masyarakat
Sipil yang pertama kali mengusulkan Undang-Undang tersebut kepada DPR RI, misalnya
tidak termasuknya Badan Usaha Swasta sebagai Badan Publik, tidak rasionalnya LSM
dimasukkan dalam kategori badan publik. Di dukung dengan laporan implementasi 5 (lima)
tahun berjalannya Undang-Undang pun masih menyisakan banyak kasus sengketa Badan
Publik dan belum seluruh Badan Publik telah membentuk PPID (Pejabat Pengelola Informasi
dan Dokumentasi) sehingga UU KIP dianggap masih belum memiliki kekuatan maksimal
sebagai sebuah produk hukum.
Terdapat hal yang menarik untuk menguatkan penelitian ini bahwa telah terjadi
groupthink dalam perumusan RUU KIP tersebut adalah keseluruh informan menyatakan
bahwa Undang-Undang KIP merupakan produk fenomenal dan kontroversi terkait dengan
waktu pembahasan yang lama, seperti yang disampaikan Sindoro :
“Iya betul, UU KIP adalah produk Komisi I yang fenomenal.”
Faktor lama terjadi karena banyak mengandung perdebatan terutama pertentangan
dengan pihak pemerintah (eksekutif) sebagaiman yang diungkapkan Eko :
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
159
“Iya, KIP, itu kan juga perdebatan lama sementara nama KMIP itu kan sudah akrab
didengar public karena begitu lamanya pembahasan, begitu lamanya memperoleh
perhatian dengan nama KMIP diberi nama oleh DPR, iya kan. Begitu perdebatan di
DPR bersama pemerintah kan berubah-berubah. DPR bertahan, ternyata DPR kan
tidak satu suara, tidak KMIP, dari fraksi lain berubah, berubah lagi akhirnya
kemudian ikut usulan pemerintah..”
Selain itu ditambahkan Deli bahwa RUU KIP kurang mendapat dukungan dari
pemerintah sehingga memakan waktu lama :
“Saya kira secara politis memang UU itu tidak menguntungkan birokrasi sehingga
pembahasan memakan waktu lama dan banyak perdebatan..”
Hal senada juga dibenarkan oleh pendapat Hartanto yang menyatakan bahwa
sesungguhnya kesadaran pemerintah memang kurang antusias terhadap RUU KIP :
“Ya, factor pembahasan Undang-undang KIP yang begitu Panjang itu banyak ya, tapi
yang pertama pemerintah. Pemerintah memang tidak memiliki kesadaran yang cukup
bagi pentingnya Undang-undang kebebasan menerima informasi public. Ini dulu kan
namanya KMIP (Kebebasan Menerima Informasi Publik) jadi KIP belakangan. Jadi
kesadaran pemerintah tentang pentingnya KIP memang tidak cukup sehingga tidak
nampak sekali adanya antusiasme.”
Sementara pendapat lebih positif datang dari Tojaya yang menilai sikap pemerintah
yang terkesan kurang antusias terhadap RUU KIP tidak lain disebabkan karena harus banyak
diskusi dahulu dengan berbagai kalangan :
“Kadang-kadang begini, kalau memang terkait dengan kepentingan pemerintah, itu
pemerintah lama karena didiskusikan dengan parlemen, dengan menteri-menteri yang
lain. Memang ada ketentuan tata tertib jika UU yang dibahas dalam periode tertentu
tidak selesai itu kemudian boleh diusulkan pada periode berikutnya tidak saat yang
sama.”
Pendapat informan pokok yang merupakan anggota Komisi I DPR RI tentang lamanya
proses bagi RUU KIP ini juga dilihat oleh para informan lainnya yang dipilih, Pujiyanto yang
mantan Ketua Pansus RUU KIP periode tahun 1999-2004 dan berperan menjadi pengawal
pembahasan RUU KIP dari kaelompok Koalisi Masyarakat Sipil dengan gambang
memberikan penilain terhadap hasil RUU KIP :
“Saya belum puas dengan Undang-undang ini karena apa yang saya perjuangkan baru
65%.” (IP-1)
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
160
Hal senada juga disampaikan oleh Anggodo yang juga sebagai pengawal dan berasal
dari kelompok LSM.
“Iya karena bagi DPR belum prioritas waktu itu, jadi kan Komisi 1 itu kan tahun-tahun
2000 – 2002 itu kan konsentrasinya Undang-undang Penyiaran. Nggak sempurna,
banyak kelemahan tapi kalau kita mampir ke Negara-negara lain, Undang-undang KIP
kita not bad menurut saya. Atau kalau kita bandingkan dengan achievement yang
dicapai oleh Koalisi-koalisi, NGO-NGO lain untuk Undang-undang lain, UU KIP itu
mending. Jadi persentasi-persentasi, klausul-klausul, pasal-pasal yang diajukan oleh
Koalisi Masyarakat Sipil yang diterima oleh DPR itu tinggi. Menurut saya mending
karena prinsip-prinsip dasarnya diadopsi oleh DPR, oleh Pemerintah. Mungkin mereka
tidak sadar saja bahayanya buat mereka.”
Dari pihak pemerintah sendiri diakui oleh Icel bahwa memang pemerintah masih dalam
masa transisi sehingga belum maksimal sehingga banyak hal yang akhirnya menjadi
perdebatan dan membuat lama penyelesaian :
“Nah pada waktu itu biasalah, sebagai sebagai negara yang baru mulai, sementara
dari pihak pemerintah belum maksimal, masih transisi. Tarik menarik terus, titik
temunya tuh panjang sekali, 2009, eh 99, kan baru terakhir 2008 ya..”
Sementara itu pendapat dari notulis yang juga ikut selalu menyaksikan situasi
pembahasan RUU KIP juga mengakui hal yang sama :
“Jadi pokoknya ini memang lama gitu ya. Disepadankan terus tapi ya kelar juga kalo
semua ngotot-ngototan terus dua setengah tahun ga kelar juga. Itu kan udah dibahas
dua setengah tahun..”
Perdebatan tentang faktor judul RUU dan badan publik memang termasuk yang paling
alot dalam pembahasan RUU KIP. Terutama badan publik itu adalah tentang sejauh mana
batasan definisi badan publik sebagaimana yang diungkapkan oleh Heryanti :
“Iya ini memang lama ya sampai menghabiskan dua periode, hampir sepuluh tahun
Undang-Undang ini dibuat. Diskusinya terlalu lama. Awalnya adalah tentang
keterbukaan dan kebebasan informasi itu ya akhirnya jadi didudukkan dari awalanya
kebebasan memperoleh informasi sekarang menjadi keterbukaan informasi. Kemudian
yang juga lama adalah perdebatan soal badan publik sampai mana batasan badan
publik.”
Pernyataan di atas menjadi penguat indikasi bahwa groupthink muncul pada saat
pembahasan RUU KIP di Komisi I DPR RI. Pengungkapan penilaian informan tentang RUU
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
161
KIP yang mengandung banyak perdebatan karena dicetus oleh berbagai faktor seperti karena
Undang-undang tersebut tidak diharapkan, bukan menjadi prioritas sehingga membuat
pembahasan menjadi lama, banyaknya hal yang menjadi perdebatan dan akhirnya diberi cap
sebagai UU ‘fenomenal’ dan dinilai 65 % tentunya menyimpan banyak hal yang menarik di
dalam prosesnya.
Indikasi adanya groupthink dalam suatu kelompok ditandai oleh kondisi pendahulu
yaitu (1) kelompok kohesif pengambil keputusan, (2) adanya kesalahan struktural dan (3)
karakteristik yang menghasilkan tekanan. Hasil temuan mengenai kondisi pendahulu tersebut
dijabarkan sebagaimana uraian di bawah ini.
5.3.1 Kohesi Kelompok Pengambil Keputusan
Titik awal interaksi dalam pembahasan definisi badan publik diawali dengan seputar
dimasukkan atau tidaknya BUMN,BUMN, BHMN sebagai Badan Publik. Pada saat rapat
Paripurna menyetujui kembali RUU KMIP sebagai usul inisiatif DPR pada tanggal 5 Juli
2005, setelah sebelumnya (tahun 1999-2004) sempat terputus karena belum mendapatkan
respon dari pemerintah hingga kepemimpinan Presiden Megawati berakhir, rapat pembahasan
mulai dilakukan ketika Amanat Presiden (Ampres) mengenai pembahasan RUU KMIP
dikeluarkan Presiden SBY.
Berdasarkan perhitungan jumlah rapat yang tercatat dalam kumpulan risalah buku
pembahasan RUU KMIP tercatat ada 63 kali dilakukan rapat RUU KMIP (KIP) dari tanggal
12 Oktober 2005 hingga 3 April 2008, dengan rincian 21 kali rapat kerja terbuka, 12 kali
rapat panja terbuka, 14 kali rapat panja tertutup, 1 kali rapat timus terbuka, 12 kali rapat
timus tertutup, 2 kali rapat timsin tertutup, serta 1 kali RDP dan RDPU. Kesemua rapat ratarata berlangsung di ruang rapat Komisi I DPR RI serta ada beberapa kali di lakukan di Kopo
Bogor serta di beberapa hotel seperti Santika Petamburan.
Dimulai dengan rapat kerja pertama pada tanggal 12 Oktober 2005 dengan
Menkominfo dan MenkumHAM pada pukul 15.00 wib. Pada saat ini fase interaksi masih
dinamakan orientasi yaitu tahap dimana kelompok tugas yang baru terbentuk tersebut saling
memberi informasi mengenai tujuan kelompok dan hakekat tugas-tugas dalam kelompok.
Rapat kerja pertama tersebut bersifat terbuka dan didahului dengan informasi yang
diberikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan A. Djalil, S.H., M.H., MALD
bahwa pemerintah memandang RUU KMIP merupakan hal baru yang dalam pembahasannya
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
162
perlu dilakukan langkah-langkah cermat sehingga hasilnya akan memberikan nilai tambah
dan kemaslahatan yang besar bagi masyarakat dan negara. Menkominfo juga menyampaikan
bahwa Daftar Isian Masalah (DIM) telah dibuat sebagai kewajiban konstitusional dengan
sebelumnya telah dilakukan berbagai penelitian sebagai bahan pertimbangan lebih lanjut.
Selain itu Menkominfo menghimbau bahwa hal yang perlu mendapat perhatian adalah
mengenai kesiapan masyarakat dan Badan Publik serta sosialisasi kepada pejabat yang tidak
mengerti mengenai regulasi ini sehingga muncul asosiasi negatif terhadap regulasi tersebut.
Lebih jauh Menkominfo juga mengingatkan untuk memperhatikan kewajiban negara untuk
melindungi bberbagai informasi strategis dan sensitif yang apabila tidak dilindungi dapat
merugikan berbagai pihak baik negara maupun hak masyarakat dan hak azasi perseorangan
dalam implementasi RUU KMIP.
Hal yang terpenting adalah pemerintah mengajukan usul perubahan terhadap undangundang yang akan dibahas yaitu: (1) usul perubahan mengenai nama, nama undang-undang
diusulkan menjadi Rancangan Undang-Undang Hak Warga Negara untuk memperoleh
Informasi yang disesuaikan dengan ketentuan Pasal28 F UUD 1945, (2) Definisi tentang
Badan hukum sehingga definisi Badan Publik juga termasuk elemen, Lembaga Swadaya
Masyarakat, Partai Politik, Organisasi Kemasyarakatan lain yang bergerak di bidang sosial
kemasyarakatan yang mendapat dana dari Pemerintah atau dana dari masyarakat baik dari
dalam maupun luar negeri, yang dalam kaitan terkait dalam sektor publik dan
kemsayarakatan di Indonesia.
Menanggapi pernyataan pemerintah tersebut, ketua rapat Drs. Theo L. Sambuaga
menyampaikan apresiasi dan penghargaan yang mendalam terhadap komitmen Menkominfo
dan jajarannya yang mewakili Pemerintah serta kepada anggota Komisi I DPR RI untuk
membahas RUU KMIP sesuai dengan mekanisme di Dewan serta mengungkapkan bahwa
hakekat substansi RUU KMIP adalah menjamin hak setiap orang untuk melihat dan
mendapatkan informasi yang akurat, benar, up to date dan dapat dipertanggungjawabkan
tanpa memerlukan alasan yang melatar belakangi permintaan dengan akses yang bersifat
sederhana, biaya ringan, cepat dan tepat waktu. Selain itu RUU juga mengandung kewajiban
Badan Publik untuk mengungkap informasi yang dimiliki secara berkala tanpa adanya
permintaan, namun yang diharapkan bukanlah keterbukaan yang tanpa batas sehingga perlu
ditekankan bahwa jaminan kebebasan informasi yang dianut oleh RUU ini bersifat maximum
acces dan limited acception yang pada dasarnya seluruh informasi publik bersifat terbuka
walaupun tidak semua informasi dapat diakses karena ada mekanisme pengecualian.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
163
Ketua rapat juga menghimbau agar seluruh pihak yang terlibat bisa mencurahkan
perhatian waktu dan tenaga untuk melakukan kerja besar tersebut sesuai dengan jadwal yang
akan ditetapkan bersama.
Pada fase ini kohesi kelompok yang berpotensi mengarahkan kepada groupthink telah
terbentuk hanya saja belum terlalu kuat mengaingat pembahasan belum masuk kepada
substansi RUU mengenai badan publik. Kohesi kelompok didefinisikan sebagai kekuatan
yang mendorong anggota kelompok untuk tetap tinggal dalam kelompok, dan mencegahnya
meninggalkan kelompok.
Kohesi kelompok tidak serta merta tercipta mengingat anggota kelompok Panja
merupakan para politisi dengan latar belakang ideologi politik yang berbeda (heterogen) serta
mereka cenderung masih beranggapan bahwa kedudukan diantara mereka sama (setara) yaitu
sebagai anggota DPR RI, walaupn terdapat pemisahan jabatan yaitu ada yang dipercaya
sebagai pimpinan Komisi, aataupun Pimpinan Panja.
Namun ketika mereka memutuskan untuk bergabung atau telah ditunjuk untuk
bergabung dan dipercaya untuk membahas dan menuntaskan tugas bersama, dapat dikatakan
bahwa simpul-simpul kohesivitas mulai terbangun.
Kohesivitas dalam kelompok Komisi I DPR RI yang membahas RUU KIP dilihat
dengan menggali beberapa faktor yaitu : motivasi/alasan bergabung di Komisi I DPR RI
periode 2004-2009, perasaan ditempatkan di Komisi I DPR RI, perasaan akrab dengan
sesama anggota Komisi I DPR RI, keberadaan rekan terdekat, penggunaan kata kita/kami
dalam berpendapat membahas RUU KIP, upaya untuk melindungi kelompok jika ada
pendapat yang memojokkan.
Berdasarkan keterangan dari para informan diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa
pada umumnya informan menyatakan ada semacam keterikatan berdasarkan rasa tanggung
jawab mereka terhadap tugas yang diembankan sehingga terjalin sebuah kepaduan dalam
dinamika perbedaan pendapat yang juga banyak.
Kesempatan menjadi anggota Komisi 1 DPR RI Periode 2004-2009 bagi anggota
kelompok Panja dilandasi oleh permintaan khusus maupun penunjukkan dari fraksi. Hal ini
diakui merupakan sebuah penempatan yang dipandang sesuai dengan keinginan dan
kemampuan dari masing-masing anggota. Deli yang memang berlatar akademisi ilmu
komunikasi mengaku mengusulkan untuk ditempatkan di Komisi I DPR RI :
“Waktu itu saya yang mengusulkan. Jadi pertimbangannya waktu itu karena saya
bidang komunikasi ya tentu harus sesuai dengan kompetensinya lah gitu meskipun itu
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
164
politik jadi harus ada basis profesionalnya.
Infokom.”
Makanya di situ saya jadi Pokja
Begitu pula dengan Hartanto yang memang masuk ke Komisi I DPR RI karena
mendaftar.
“Saya memang daftar no pilihan 1 Komisi I. Saya dua periode di Komisi I, 19992004 di Komisi I, 2004-2009 di Komisi I”
Jika Deli dan Hartanto mengusulkan untuk masuk ke Komisi I, maka Sindroro
mengaku keberadaannya di komisi I DPR RI periode 2004-2009 adalah karena dipilih :
“Dipilih. Saya waktu di Komisi I lima tahun kan pertahanan luar negeri itu kan
sesuai bidang saya, ya biar ok ya kita kuasai, kalau Komisi Hukum juga bidang saya
kan.”
Serupa pula dengan Eko yang mengatakan bahwa bergabungnya di Komisi I karena
ditunjuk :
“Saya 13 tahun di Komisi I terus. Ditunjuk, saya tidak pernah mengajukan diri saya.”
Pendapat yang sama juga datang dari Tojaka yang menyatakan bahwa penempatannya
di Komisi I DPR RI terjadi karena penunjukan fraksi :
“Saya tidak pernah meminta. Saya di Komisi I tahun 2004-2009 Jadi saya
menyerahkan penilaian kepada fraksi tetapi kalau saya merasa tidak mampu saya
memberikan alasan.”
Setelah ditempatkan di Komisi I DPR RI, terdapat berbagai perasaan yang
diungkapkan oleh para informan utama ini. Perasaan senang diungkapkan oleh Deli,
Hartanto, dan Tojaka :
“Iya begitulah kira-kira diakomodir keinginan saya.” (Deli)
“Ya sesuai saja dengan pilihan, senenglah. Ketika semuanya dijalani dengan serius
dan ikhlas, terlebih bagi kepentingan bangsa dan negara, sebuah produk undangundang menjadi semacam kebanggan tersendiri. (Hartanto)
“Perasaannya terutama ya harus disyukuri. Saya senang ditempatkan berdasarkan
ketertarikan bidang tertentu termasuk di Komisi I.” (Tojaka)
Sementara bagi Sindoro dan Eko tidak ada perasaan yang terlalu berbeda mengingat
harus siap ditempatkan dimana saja :
“Rasanya ya biasa aja tidak terlalu gimana juga karena udah lama di DPR RI.
(Sindoro)
“Biasa saja karena harus siap ditempatkan di bidang tugas manapun atau Komisi
manapun.” (Eko)
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
165
Dengan latar belakang partai politik yang berbeda-beda, masing-masing perwakilan
fraksi di Komisi I tidak merasa ada semacam jarak dengan sesama anggota terlebih beberapa
orang merupakan anggota periode lama yang kembali dipercaya untuk melanjutkan tugasnya
di Komisi I. Hal inilah yang membuat komunikasi diantara mereka cenderung berlangsung
akrab. Sebagaimana diungkapkan oleh Deli :
“Ya cukup solid walau beda fraksi soal ini karena kita satu tujuan untuk keberhasilan
RUU KIP”.
Bagi Sindoro, perasaan akrab lebih dirasakan ketika berada di luar forum resmi,
misalnya ketika bisa minum kopi bersama lebih cair dan dapat dibawa ke ranah pembicaraan
diluar rapat, misalnya sambil minum kopi atau teh di luar ruang rapat. :
“Oh iya ngopi akrab, walaupun kita saling maki-maki kalau di luar akrab.”
Begitu pula dengan yang disampaikan Tojaka bahwa ada keterkaitan diantara sesama
:
“Ya ada keterkaitan karena memang begini posisi fraksi itu pada dasarnya kan
sebenarnya instrument.”
Sedangkan bagi Hartanto, proses adaptasi di DPR RI tergolong cepat, terlebih bagi
pembahasan RUU KIP yang dimensi politiknya tidak terlalu menonjol urainya :
“Nggak ada masalah biasanya politisi di DPR itu kan adaptasinya cepat.
Adaptasinya cepat kemudian segera tune in lah gitu, apalagi kalau Undang-undang
dimensi politiknya nggak terlalu menonjol, artinya dimensi politik menonjol itu tidak
terlalu terkait dengan kepentingan partai politik. Kalau misalnya Undang-undang
tentang partai politik atau tentang pemilu, wah itukan dimensi politiknya tinggi, kalau
Undang-undang tentang KIP ini kan nggak terlalu politis jadi kita lebih cair.”
Sementara itu bagi Eko, perasaan akrab tidak bisa selalu sama derajatnya melainkan
tergantung kepada tergantung kepada tugas, tujuan dan pandangan yang ada pada masingmasing anggota, sehingga merasa kurang terjalin kekompakan spesifik dalam kelompok
akibat ide-ide yang ada selama pembahasan berasal dari masing-masing fraksi dan disamakan
dalam rapat-rapat pembahasan RUU:
“Ya kadang kompak kadang tidak, tapi tidak ada satu pandangan jadi bebas saja
berpendapat. Kalo sama-sama ya sama-sama aja tujuannya. DPR itu masing-masing
fraksi, nanti kemudian menyamakan.”
Keakraban yang terjalin kemudian mampu memunculkan kedekatan dengan anggotaanggota tertentu yang semakin mampu memperkuat kohesi kelompok diantara mereka,
sebagaimana berikut ini :
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
166
“Biasanya sama pak happy bone (golkar), Andreas pariera (pdip) sama pak
Hajriyanto (golkar) kita biasa diskusi dan menyamakan persepsi. Bisa juga dilihat di
risalah rapat bagaimana sikap saya dan teman-teman.” (Deli)
“Sama Sama sih semua, kadang sama Andreas Pariera kadang sama pak Theo
Sambuaga sama aja.” (Sindoro)
“Wah sama semua mbak, saya ya deket semua. (Eko)
“Yaaa waktu itu siapa ya?paling andreas pariera dari PDIP terus pak Dedy dari
PAN, pak Efendy Choirie dari PKB.”(Hartanto)
“Pak Arif Mutasir dia satu fraksi, ya ada yang meninggal ada lagi Andreas Pareira
namanya dari PDIP, Happy Bone (Golkar), Annis Matta (PKS), Deddy Djamaluddin
Malik (PAN).” (Tojaka)
Dengan munculnya nama-nama yang dinyatakan sebagai rekan terdekat dari fraksi
partai politik yang berlainan menunjukkan bahwa terdapat kohesi dalam kelompok Panja
Komisi I DPR RI yang membahas RUU KIP. Hal ini diperkuat dengan pengungkapan diri
mereka ketika berpendapat di luar cenderung menggunakan kata “kami”, sebagaimana diakui
oleh oleh para informan, penggunaan kata ‘kami’ atau ‘kita’ tergantung konteks pembicaraan
diluar sehingga pengungkapan berdasarkan ‘saya’ juga masih ada jika memang pendapat
pribadi yang diminta. Seperti yang diakui oleh Deli, Eko, Hartanto, dan Tojaka:
“Ya campur si kalo itu, tapi lebih banyak kami.” (Deli)
“Kalau yang menyampaikan secara pribadi digunakan saya biasanya namun ya
terkadang menyelipkan kata kita.” (Eko)
“Oh campur-campur itu, tergantung apa yang diutarakan. Kalau misalnya belum ada
pembicaraan sebelumnya artinya spontan ya saya tapi kalau misalnya sudah ada
pembahasan dulu sama rekan-rekan ya kita gitu.” (Hartanto)
“Kalau atas kesepakatan kelompok pakai kita biasanya, namun jika berdasarkan
pemikiran pribadi ya saya. Wah saya ga ingat persis ya, kayaknya kita karena
memang banyak yang sama-sama telah dipahami.” (Tojaka)
Namun bagi Sindoro, karena posisi nya lebih banyak berperan sebagai pimpinan
maka pengungkapan dengan memakai ‘saya’ menjadi jarang dan yang dominan menjadi
‘kita’ :
“Saya karena banyak jadi pimpinan jadi jarang pakai saya, paling ya kita.”
Sikap lain yang ditunjukkan oleh anggota Panja untuk menunjukkan adanya kohesi
adalah ketika mereka dihadapkan pada berbagai argumen luar yang berusaha untuk
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
167
memojokkan atau mempertanyakan kinerja mereka terhadap tugas yang di percayakan.
Argunen luar dapat datang dari wartawan media yang biasanya menanyakan progress kinerja
anggota kelompok. Diakui bahwa jawaban yang dapat diberikan adalah dengan tetap
menjelaskan dan memberikan klarifikasi apabila diperlukan. Seperti yang diungkapkan oleh
Deli :
“Ya kalau saya ditanya oleh wartawan ya saya jelasakan saja yang sebenarnya
bahwa maksud kita baik, itu keliru misalnya gitu. Biasalah begitu terkadang yang
diluar nggak ngerti kondisi kita di dalam.”
Begitu pula dengan yang diungkap oleh Sindoro, Eko, dan Hartanto :
“Ya santai saja,nanti juga tahu tugas kita gimana. Kalau ditanya wartawan ya saya
jelaskan. Kita kan bekerja untuk kepentingan publik juga.” (Sindoro)
“Ya lihat dulu mbak urgensi pendapatnya, kalu misalnya dirasa sangat mengganggu
dan tidak benar ya perlu kita klarifikasi.” (Eko)
“Oya pasti ada itu, kita sikapi dengan bijak saja. Kalau saya sih cukup blak-blakan
ya misalnya ada wartawan nanya yang kurang sesuai gitu. Biasalah ada pro kontra.
Yang jelas kita kan kerja, lama itu ya karena kerja bukan lama dianggurin.”
(Hartanto)
Sedikit berbeda dengan informan lain, Tojaka menyatakan tidak terlalu perduli
dengan sikap luar terutama wartawan :
“Ga kita gubris ya kecuali ada yang berani wawancara ya saya siap saja. Selagi
masih bisa diatasi dan tidak sampai menimbulkan kerusakan ya biar sajalah.”
(Tojaka)
Kohesivitas yang terbentuk karena adanya kesamaan lingkup tugas menyebabkan
proses adaptasi dalam kelompok lebih cepat. Kekompakan mereka ditandai dengan adanya
diskusi untuk menyamakan persepsi setelah banyak berdebat dalam rapat, sehingga terjalin
kelompok kecil yang merasa akrab satu sama lain dalam komisi I tersebut.
Penggambaran kohesivitas juga ditunjukkan dengan adanya upaya untuk melindungi
kelompok terhadap berbagai pendapat luar yang bernada negatif atau memojokkan dengan
bersedia untuk memberikan klarifikasi, walaupun terdapat beberapa anggota yang bersikap
seolah mengabaikan saja.
Beberapa informan tambahan lain juga memiliki penilaian terhadap kelompok Komisi
I yang membahas RUU KIP terkait dengan indikator kohesivitas kelompok (kekeratan
kelompok) ini, seperti IP-1 melihat anggota Komisi I DPR RI bisa berbeda pendapat dengan
fraksinya sendiri dan sependapat dengan yang lain fraksi.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
168
“Ya nggak kompak jugalah menurut saya dalam arti mungkin ada yang suaranya
siapa, ada yang suaranya siapa. Bisa saja satu fraksi tapi nggak sepaham”(Pujiyanto)
Pernyataan ini didukung juga oleh Anggodo yang melihat bahwa kekompakan yang
dibawa oleh kelompok Komisi I DPR RI yang membahas RUU KIP tidak terlalu dibawa oleh
latar belakang fraksinya melainkan bisa lebih bebas berkembang berdasarkan pemikiran
masing-masing anggota, sebagaimana pernyataan berikut :
“Banyak perdebatan diantara mereka, artinya jaman itu saya melihat ada peluang
bagi anggota DPR untuk menyuarakan opininya pribadi, pendapatnya pribadi.”
Icel mengakui banyak perdebatan dalam pembahasan RUU KIP namun umumnya
kelompok Komisi I DPR RI satu suara dalam mempertahankan pendapat yang telah menjadi
rumusan DPR. Sebagaimana dinyatakan :
“Itu juga agak lama ya, artinya mereka banyak perdebatan namun cenderung satu
suara terutama soal Badan Publik inginnya BUMN/BUMD dimasukkan.”
Sementara itu Danti yang selalu terlibat saat rapat pembahasan RUU di Komisi I DPR
berpandapat bahwa kelompok cukup concern walaupun berbeda pendapat, seperti pernyataan
berikut :
“Saya melihat untuk pembahasan ee KIP ini ya, itu kan amanat dari reformasi, mereka
semua concern, tidak ada yang anti maksudnya tidak ada yang menolak. Tetapi ee
memang itulah isinya masih perdebatan tuh iya tapi tidak ada yang menolak, bagus
si.”
Dari pernyataan beberapa informan pendukung tersebut terlihat bahwa kohesivitas yang
terjadi dalam kelompok pengambil keputusan di Komisi I DPR dibangun atas dasar kesamaan
tujuan akan peran dan fungsi tugas keanggotaan mereka yang diamanahkan untuk membahas
rancangan Undang-undang tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) tanpa membawa
sifat keeratan dari fraksi yang melatar belakangi keanggotaan permanen mereka.
5.3.2 Faktor Kesalahan Struktural
Janis mengamati bahwa karakteristik struktural yang spesifik, atau kesalahan dapat
mendorong terjadinya groupthink. Faktor-faktor ini biasanya termasuk isolasi kelompok,
kurangnya kepemimpinan imparsial, kurangnya prosedur yang jelas dalam mengambil
keputusan dan homogenitas latar belakang sosial dan ideologi dari anggota kelompok (Janis,
1982:42).
Diitemukan hasil bahwa faktor kesalahan struktural yang ada dalam kelompok Komisi
I pembahas RUU KIP tersebut tidak terjadi secara keseluruhan melainkan hanya terdapat
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
169
beberapa faktor saja yang terpenuhi. Dari keempat faktor yang merupakan syarat dari adanya
kesalahan struktural yaitu: (1) isolasi kelompok, (2) kurangnya tradisi kepemimpinan
imparsial, (3) kurangnya norma bagi prosedur pengambilan keputusan, (4) homogenitas dari
anggota kelompok/kurangnya perbedaan dalam latar belakang sosial dan ideologi tergambar
bahwa hanya faktor isolasi kelompok dan homogenitas kelompok yang dominan dalam
kelompok pembahas RUU KIP di Komisi I DPR RI.
Hal ini dapat dilihat dari pernyataan informan berdasarkan pertanyaan tentang adanya
keempat faktor tersebut dalam kelompoknya. Mengenai isolasi kelompok yang merujuk pada
kemampuan kelompok untuk tidak terpengaruh dunia luar diakibatkan karena seringnya
mereka bertemu sehingga menjadi kebal dengan apa yang terjadi di luar pengalaman
kelompok mereka, digali dengan pertanyaan tentang, kekerapan bertemu/berkumpul antar
anggota serta aktivitas yang dilakukan ketika berkumpul, kehadiran rutin dalam rapat, dan
peran fraksi serta interaksi dengan kelompok fraksi asal.
Faktor kekerapan bertemu/berkumpul ditunjukkan oleh adanya keberadaan anggota
kelompok dalam rapat-rapat resmi maupun dalam pertemuan tidak resmi. Rapat resmi di luar
gedung dewan biasanya terjadi Wisma DPR Puncak, sementara di luar situasi resmi anggota
kelompok Panja kerap berkumpul dalam suasana yang lebih santai dan biasa dilakukan di
sela-sela kegiatan resmi. Dalam pertemuan tersebut mereka biasanya membicarakan hal yang
lebih ringan walaupun terkadang juga sering menyelipkan isu tentang RUU KIP. Informan
Deli mengatakan bahwa sering berkumpul dan berdiskusi dengan rekannya yaitu Pak Hapy
Bone, Hajriyanto dari Golkar sama Andreas Periera dari PDIP dalam suasana semi formal.
Sementara Sindoro menyatakan sering berkumpul untuk ‘ngopi-ngopi’ sambil
membicarakan UU KIP. Informan Eko menyatakan bahwa terjadinya suatu perkumpulan jika
ada yang memulai mengajak dan biasanya terjadi pada jam istirahat.. Hartanto menyatakan
sering berkumpul tanpa membicarakan RUU KIP:
“Iya sering, tapi kalau di luar nggak pernah membicarakan, anggota DPR kalau di
luar mana mau membicarakan itu. Yang ringan-ringan ngakak-ngakak saja, mana
ada anggota DPR diluar mau membahas Undang-undang, kecuali politik tapi
Undang-undang, males terlalu serius.”
Pengakuan Tojaka sedikit berbeda yang mengakui adanya kekerapan berkumpul
antara anggota sesama komisi jika ada jeda dalam rapat dan biasanya dalam suasana
‘morning tea.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
170
Faktor kehadiran rutin dalam rapat RUU KIP diakui oleh seluruh informan rata-rata
mereka selalu rajin untuk menghadiri rapat (jarang absen) dikarenakan rasa tanggung jawab
untuk menyelesaikan tugas. Sebagaimana diungkapkab berikut :
“Saya hampir tidak pernah absen ya, bisa dicek di data risalah. Kalau kabur terus ya
ga etislah.” (Deli)
“Ya ada si ga hadir kalau misal lagi ga bisa, tapi saya cukup mengikuti terus kok,
masih seringlah dateng.” (Sindoro)
“Saya kan komandan dari PKB. Oiya saya cukup banyak bersuara dan saya memang
jarang absen mbak.” (Eko)
“Oiya saya sering hadir, jarang absen kok.”. (Hartanto)
“Saya jarang absen jadi ikut terus rata-rata.” (Tojaka)
Dengan kondisi totalitas terhadap tugas membahas RUU KIP, menyebabkan frekuensi
anggota Panja untuk mengikuti kegiatan fraksinya sendiri menjadi lebih jarang. Seperti yang
diungkapkan Deli pada dasarnya peran fraksi sangat mendukung dan cenderung
membebaskan anggotanya dalam RUU KIP karena nuansa politisnya kurang kental.
Himbauan yang diberikan tetap seperti rumusan DPR RI yaitu mendukung penyelesaian
pembahasan dengan rumusan yang telah diajukan oleh DPR :
“Fraksi ya cukup mendukung Undang-undang ini, perannya ya paling mensupport
kita mengingatkan agar bisa fokus dan menyelesaikan dengan baik gitu. Himbauan
khusus si ga ada ya karena nuansa politisnya juga ga terlalu kental si ya. Ya sesekali
pasti ada pertemuan, tapi kalau seringnya ya sering sama Komisi.” (Deli)
Hal ini juga dinyatakan oleh anggota kelompok yang lain seperti Sindoro dan Eko
bahwa pada dasarnya peran fraksi tidak terlalu dominan sehingga anggota lebih leluasa untuk
menentukan sikapnya :
Ya ga terlalu dominan juga si. Di Fraksi memang punya sikap untuk mendukung kita
agar berhasil mengesahkan RUU itu. Paling kalau ada rapat fraksi ya ketemu tapi ya
banyakan sering sama Komisi waktu bahas undang-undang. (Sindoro)
Yang jelas dari fraksi ada himbauan untuk mengoalkan RUU KIP namun kalau untuk
banyak terlibat ya tidak juga si, kita relatif bebas karena interaksi lebih sering dengan
komisi kalau lagi ada garapan Undang-undang. (Eko)
Dengan adanya keleluasaan lebih dari fraksi menyebabkan secara idak langsung,
anggota bisa lebih kohesif dengan kelompok tugasnya yaitu Komisi I DPR RI. Hal ini
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
171
ditunjukkan oleh sikap dari Hartanto yang menyatakan keberaniaannya untuk menentuka
sikap jika memang ada sesuatu yang dianggap logis namun tidak disukai fraksinya :
“Kalau saya ini orangnya berani ya kalau lihat mana yang dianggap logis ya jalan
walaupun harus diprotes fraksi. Ya banyakan komisi, rapat fraksi kadang-kadang
saja.”
Kondisi ini juga berlaku bagi sikap fraksi terhadap pembahasan badan publik yang juga
lebih banyak mendukung dan tidak ada upaya mengintervensi anggota, sebagaimana yang
diungkap oleh Tojaka :
“Fraksi waktu itu ya mendukung saja apa yang sekiranya bisa kita sampaikan
misalnya batasan keterbukaan itu, harus jelas apa yang bisa bermanfaat atau hanya
mendatangkan mudhorat. Kalau soal badan publik ya sama juga intinya harus bisa
masuk badan publik semua institusi bisnis baik yang mendapat subsidi pemerintah
maupun yang swasta/pribadi yang penting berkegiatan di Indonesia.”
Temuan yang menarik dalam penelitian ini adalah adanya faktor isolasi kelompok yang
ditandai dengan semua informan mengakui bahwa terjadi kekerapan antara anggota
kelompok untuk terlibat dalam pertemuan-pertemuan di luar pertemuan resmi dalam rapat
dan sifatnya cenderung santai dan cair, diisi dengan kegiatan minum teh dan kopi sambil
berbincang hal yang sifatnya ringan walaupun sesekali ada yang menyatakan juga
membicarakan tentang RUU KIP. Hal ini menjadi pendukung bahwa telah terjalin ikatan
kebersamaan (kohesi) dalam kelompok tersebut, karena terjadi diantara sesama anggota
kelompoknya di Komisi I DPR RI ketika membahas RUU KIP, sehingga interaksi dengan
anggota komisi lain atau interaksi antara anggota sesama fraksi menjadi jarang dilakukan
ketika para anggota ini terlibat dalam tugas yang sama yaitu sedang membahas RUU KIP.
Isolasi kelompok yang terjadi karena minimnya peran fraksi dalam proses tugas
anggota kelompok, diakui oleh Anggodo :
“Tidak ada instruksi yang tegas dari partai seperti apa, jadi anggota-anggota DPR
itu bisa menyuarakan pendapatnya pribadi dia, dan itu konsisten. Saya mengikuti
Undang-undang Penyiaran dan Undang-undang KIP itu saya juga punya sandi
sendiri, jadi pada jaman itu, anggota DPR itu lumayan independensi relative lah
terhadap partai politiknya sehingga ia cukup mudah untuk mengadopsi masukanmasukan dari luar kalau dibandingkan dengan sekarang ya beda jauh, dulu tuh
menurut saya lebih sehat meskipun untuk jaman itu kita sudah kritik-kritik itu, DPR,
anggota DPR kurang tegas, tapi kalau di bandingkan dengan hari ini atau katakanlah
DPR periode lalu, periode waktu itu. Ya, kalau DPR periode itu ya, tahun 2000an itu
sampai 2008, itu jauh lebih berkualitas ya, independent, bisa bersuara, bisa berbeda
pendapat dengan fraksi lain”.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
172
Informan pendukung juga menyatakan hal yang sama dengan informan utama dalam
melihat faktor isolasi kelompok ini, seperti:
“Ya saya rasa seringlah mereka kumpul di luar rapat, mereka juga kerap undang LSM
diskusi gitu juga”. (Pujiyanto)
“Kalau diantara sesama mereka tanpa kita si kayaknya ada ya karena sama kita juga
sering kumpul kalau lagi mentok, jadi suasananya diindahkan. Suasanya memang
dialogis, lebih enak, tidak formal, tidak melalui sidang, sering ko.” (Icel)
“Kumpul antar mereka ya paling di lorong-lorong aja mba lisa sering saya perhatikan.
Cuma kita ada pernah rapat diluar sekali di Kopo waktu itu.” (Danti)
Sedangkan untuk faktor kurangnya tradisi kepemimpinan imparsial untuk
mengetahui apakah terdapat kepemimpinan yang hanya berlandaskan atas minat pribadi
terhadap hasil akhir sebuah keputusan kelompok, didasarkan pada penggalian data terhadap
alasan pemilihan pimpinan kelompok, kemampuan pimpinan mengakomodir pendapat
anggota serta sikap pimpinan terhadap anggota yang berbeda fraksi.
Pimpinan Panja RUU KIP di Komisi I DPR RI dipilih dengan mengacu kepada
pimpinan Komisi yang biasanya di isi oleh anggota-anggota dari fraksi dengan jumlah
perolehan suara paling besar, sehingga hal tersebut dapat dikatakan sebagai jatah yang
diberikan kepada anggota Komisi I sebagaimana diungkapkan oleh Sindoro :
“Ga ada lobby tapi itu jatah. Komisi I jatahnya PDIP, Golkar gitu-gitu lah ya.”
Sehingga dapat dikatakan bahwa mekanisme pemilihan pimpinan berdasarkan
kesepakatan siapa yang paling dijagokan oleh fraksi. Walaupun terdapat keterangan bahwa
penetapan pimpinan dalam Komisi I adalah ‘jatah’ dari hasil lobby fraksi namun hal tersebut
tidak terungkap jelas dari informan.
Penunjukakn Pimpinan tersebut tidak pernah menimbukan permasalahan pada
anggota karena unsur pimpinan dalam suatu komisi dianggap bukanah sebagai suatu jabatan
yang mampu mendominasi anggota atau harus disegani berlebihan.
Pimpinan yang dipilih umumnya dapat diterima oleh semua anggota DPR RI sehingga
tidak ada pertarungan sengit untuk memperebutkan pimpinan Komisi. Untuk berikutnya,
pimpinan komisi biasanya juga akan terus bertindak sebagai pimpinan pansus sampai kepada
panja, sebagaimana yang diungkap oleh Tojaka :
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
173
“Pimpinan komisi I dipilih berdasarkan siapa yang dianggap layak dan mau dari
fraksi yang paling banyak perolehan suaranya di pemilu, nanti pimpinan Komisi I ini
juga terus bertindak sebagai pimpinan pansus sampai panja biasanya”.
Dengan adanya latar kondisi tersebut maka sesungguhnya peran pimpinan di lembaga
legislatif seperti DPR RI lebih kepada peran untuk mengakomodir pendapat anggota dan
menetapkan pengambilan keputusan. Dalam rapat pembahasan, pimpinan berhak untuk
memberikan peluang kepada seluruh anggota yang ingin berpendapat. Sebagaimana diakui
oleh Sindoro :
“Kalau soal itu kita cukup demokratis, nggak boleh kita tidak memberikan peluang
orang bicara tidak boleh.”
Pimpinan lebih bertindak seperti polisi lalu-lintas yang mengatur alur diskusi dalam
rapat, sehingga terkadang tidak bisa mengungkapkan pendapat pribadinya sendiri
sebagaimana yang diungkapkan oleh Tojaka yang bertindak sebagai pimpinan Pansus RUU
KIP :
“Kalau jadi pimpinan itu cuma jadi polisi lalu lintas nggak sempat ngomong.. Iya
ngatur-ngatur siapa yang bisa duluan berpendapat dalam rapat, semua dikasih dan
terkadang dengan memberikan arahan begini-begini padahal pimpinan banyak ide tapi
agak sulit diutarakan, makanya saya kurang suka jadi pimpinan karena tidak bebas
berpendapat, sibuk ngatur pendapat orang aja hehehehe. Jadi kadang kalau kita
ketemu dengan teman kita diskusikan.”
Pimpinan dalam kelompok Komisi I lebih banyak bertindak sebagai moderator dalam
rapat pembahasan yang mengatur alokasi waktu untuk para anggota yang ingin berpendapat
mengeluarkan idenya, sehingga sikap keberpihakan terhadap anggota sesama fraksi juga
tidak terlihat dalam unsur pimpinan di Komisi I jika terjadi perbedaan pendapat diantara para
anggotanya.
Dengan adanya sikap pimpinan seperti tersebut diatas maka suara anggota dari yang
berbeda fraksi juga cenderung dapat didengarkan oleh pimpinan. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Hartanto :
“Iya semua dipersilahkan kok selagi ada waktu. Nggak ada bela-belaan, karena ini
Undang-undang yang sifatnya itu inisiatif dari DPR, itu sudah satu suara DPR itu
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
174
sehingga yang menjadi problem dalam pembahasan ini dengan pemerintah bukan
lagi antar fraksi”
Namun untuk pengambilan keputusan yang mengandung perdebatan alot seperti
mengenai definisi badan publik pimpinan panja RUU KIP sikap berbeda ditampilkan
pimpinan ketika hendak mengambil keputusan, seperti terlihat pada rapat tertutup ketika akan
mensinkronkan rumusan badan publik pada tanggal 26 Maret 2008, Pimpinan Panja meminta
kepada anggota yang dianggap vokal untuk mengeluarkan argumen agar dapat dicapai
kesepakatan, seperti yang tercatat dalam risalah rapat :
“Jadi habis Pak Har, Pak Del solusi pak...”
“Jadi nanti kita diskusikan lebih mendalam kata Pak Del...”
Pimpinan terlihat lebih memilih Hartanto dan Deli untuk membantu dalam
pengambilan keputusan, mengingat anggota ini memang terlihat lebih vokal dibanding yang
lain dan memang keduanya walaupun berasal dari fraksi yang berbeda namun menyatakan
diri sebagai teman dekat ketika diwawancara.
Pernyataan informan mengenai hal ini diperkuat juga oleh pernyataan dari informan
tambahan lain yang menyebutkan bahwa unsur Pimpinan di Komisi I ketika membahas RUU
KIP hanya memposisikan diri sebagai pemandu (moderator) jalannya rapat umumnya seluruh
anggota diberi kesempatan yang sama untuk mengutarakan pendapatnya walaupun dari fraksi
yang berbeda dengan unsur pimpinan, selain itu disebutkan juga bahwa dalam UU KIP tidak
terlalu ada kepentingan yang menonjol dari pihak ketiga misalnya industri jadi sikap fraksi
dan DPR bisa akomodatif, berbeda dengan UU Penyiaran yang melibatkan industri
penyiaran. Hal tersebut terlihat dari pernyataan berikut :
“Saya kan di fraksi balkon kalau rapatnya terbuka, umumnya si terbuka semua. Ya
wajar ajalah Pimpinan cukup baik memimpin jalanya rapat, semua dipersilahkan
kalau waktunya cukup”. (Pujiyanto)
“Ga ada masalah, pimpinan masih kooperatif ga terlalu menonjol juga. Kalau di UU
KIP pimpinan partai fraksi pun cukup akomodatif terhadap aspirasi ataupun pendapat
anggota fraksinya karena yang menarik mungkin bisa dibandingkan dengan Undangundang penyiaran, Undang-undang penyiaran itu disparitas antara sikap anggota DPR
dengan sikap fraksinya itu bisa cukup lebar disparitas karena ada pihak ke tiga yang
punya kepentingan yang sangat kuat dan mencoba mempengaruhi pimpinan DPR yaitu
industri televise. Inikan bedanya waktu itu kan, kalau Undang-undang penyiaran ya itu
ya. DPR, Masyarakat Sipil, Pemerintah, Industri, Media. Media ini berbeda pendapat
dengan pemerintah, maka media ini mempengaruhi DPR, mempengaruhi pemerintah
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
175
gitu lho. Jadi beberapa kali sikap pimpinan fraksi dengan anggota fraksi beda tapi
kalau kalau dengan KIP kan cuma 3 pihaknya, pemerintah, DPR, Masyarakat Sipil
untuk industri nggak ada”. (Anggodo)
“Pimpinannya dari pimpinan Komisi I yang telah terbentuk di awal, oke-oke aja cukup
tegas dan bisa berjalan tertib rapat kita walaupun rame interupsinya.” (Icel)
“Oh Pak Theo pimpinan tapi tidak pak Theo terus, kalau ga ada dia ya wakil-wakilnya
menggantikan. Pimpinan semua bisa menguasai jalannya rapat ya dengan memberikan
kesempatan kepada siapa yang mau bersuara, mereka mengakomodir, tidak memihak,
sebagai mediator, intinya bagus gitu ya karena mereka memang pengen Undangundang ini jadi.” (Danti)
Bagi informan tambahan yang mengetahui jalannya pembahasan RUU KIP - kecuali
Heryanti karena beliau bekerja setelah Undang-Undang KIP disahkan - Pimpinan dalam
Panja RUU KIP dinilai menjalankan tugasnya dengan baik karena terlihat memiliki itikad
untuk menjamin berjalannya rapat melalui sikap kooperatif dengan memberikan kesempatan
bersuara kepada para anggota yang ingin berpendapat, tidak terlihat memihak kepada salah
satu anggota atau fraksi, mampu mengakomodir berbagai pendapat-pendapat yang
menimbulkan perdebatan. Selain itu dalam risalah rapat terlihat bahwa Pimpinan kerap
memulai rapat dengan pembacaan ulang hasil rapat sebelumnya, membacakan kesimpulan
rapat dan mengingatkan tentang jadwal rapat yang akan datang dan telah disepakati bersama
sebelumnya, sebagaimana contoh berikut ini :
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
176
Berkaitan dengan faktor kurangnya prosedur pengambilan keputusan, diperoleh
jawaban tentang prosedur apa yang dilakukan oleh kelompok Komisi I dalam pembahasan
RUU KIP sampai dengan terjadinya kesepakatan berkaitan dengan perumusan mengenai
BUMN/BUMD sebagai Badan Publik. Syarat yang digunakan untuk mendapatkan jawaban
mengenai hal ini adalah berkaitan dengan (1) bagaimana jalannya pembahasan RUU KIP
secara umum? Adakah prosedur yang tertulis dan terjadwal secara rinci dan berlangsung urut
yang disampaikan kepada anggota kelompok atau disepakati sebelumnya dalam kelompok?,
(2) apakah metode pengambilan keputusan terutama mengenai keputusan dimasukkannya
BUMN/BUMD sebagai Badan Publik telah berjalan sesuai dengan yang telah ditetapkan
ataukah banyak mengandung kompromi-kompromi maupun lobby?, (3) Sejauh apa upaya
yang dilakukan kelompok Komisi I DPR untuk menganalisis masalah mengenai perdebatan
tentang kedudukan BUMN/BUMD sebagai Badan Publik?.
Jalannya pembahasan dinilai sangat sesuai jadwal, walaupun terkadang ada yang
tertunda namun biasanya diganti ke hari yang lain, sehingga dinilai cukup fleksibel namun
diakui bahwa jadwal mundur kerap terjadi selama proses pembahasan RUU KIP,
sebagaimana diungkapkan oleh Eko :
“Satu saja DPR itu fleksibel, bisa mundur tapi nggak pernah maju yang terjadi lebih
banyak mundurnya, tetapi mundurnya ada, ya mundurnya banyak sekali makanya
KMIP ini kan salah satu Undang-undang yang paling lama, bahkan yang sudah di
bahas Undang-undang lain di DPR itu sudah di bahas sudah hampir di putuskan juga
bisa di batalkan bisa di nol kan. Ya lah, misalnya kayak Undang-undang tentang
rahasia Negara, jadi, dulu setelah membahas Undang-undang KMIP, RUU KMIP itu
kan setelah itu membahas tentang UU tentang Rahasia Negara. Itu sudah hampir
rampung, kan terus kemudian batal semua total sampai sekarang kan nggak dibahas
lagi kan, sampai sekarang belum di ajukan lagi.”
Prosedur jalannya pembahasan terkait jadwal memang sering dibahas dalam rapat di
Komisi I DPR RI dari sejak dimulainya pembahasan. Dalam risalah rapat tergambar adanya
tahap orientasi kelompok yang berlangsung dalam rapat kerja pertama di Komisi I DPR RI
yang membahas tentang mekanisme dan jadwal pembahasan RUU KMIP. Berbagai usulan
dan interupsi muncul dalam rapat kerja pertama ini. Mulai dari keluhan akan ketidak hadiran
Menteri Hukum dan HAM dalam rapat yang disampaikan oleh Drs. Ali Mochtar Ngabalin (FBPD) dan DR. Muhammad A.S Hikam (F-PKB), sampai dengan berbagai usulan dari
beberapa anggota yang mengatakan bahwa yang terpenting dalam pembahasan bukanlah
masalah prosedur atau tata tertib, tetapi lebih kepada semangat dari pemerintah untuk
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
177
mendukung kegiatan atau keterlibatan dalam RUU KMIP (Abdillah Toha/F-PAN).
Sementara dari Fraksi Demokrat yang diwakili oleh Boy M.W Saul meminta agar pimpinan
menetapkan tempat pelaksanaan pembahasan jika ada gedung lain di DPR RI yang akan
dipergunakan.
Setelah ketua rapat menyampaikan permasalahan tempat akan dilakukan di gedung
DPR RI dan jika ada pertimbangan untuk rapat diluar yang difasilitasi DPR RI akan
disampaikan lebih lanjut, komunikasi dalam rapat akhirnya mengerucut pada jadwal kegiatan
yang bisa disesuaikan dengan masing-masing anggota yang memang banyak terlibat dalam
kepanitian khusus lainnya (misalnya pansus antar komisi) yang mendapat usulan seputar
jadwal pembahasan dari beberapa anggota seperti dari H.A Afifuddin Thaib, S.H (F-PG),
DR. Muhammad A.S Hikam (F-PKB), Abdillah Toha, S.E (F-PAN), Marzuki Darusman,
S.H (F-PG), Drs. Dedi Djamaludin Malik, M.Si (F-PAN), Shidki Wahab (F-Demokrat).
Akhirnya ketua rapat memutuskan bahwa rapat kerja berikutnya akan dilangsungkan pada
hari Selasa tanggal 21 Maret 2006 pukul 14.00 dengan toleransi hingga pukul 15.00 wib dan
selebihnya mencoba memanfaatkan hari-hari lain sesuai dengan prosedur dan izin yang
diberikan.
Dari gambaran ini terlihat bahwa terdapat prosedur jalannya pembahasan yang
dikomunikasikan dengan baik kepada seluruh anggota Panja. Kesesuaian jadwal dan tertib
acara bagi pembahasan sampai kepada kesepatakan dalam perumusan RUU KIP telah diatur
sedemikan rupa dan rapi oleh Komisi I, namun dalam perjalanannya terdapat beberapa kali
penghalang sehingga ada jadwal yang dilaksanakan tidak sesuai rencana (mengalami
keterlambatan) yang disebabkan karena faktor individu misalnya anggota yang tidak hadir,
terlebih jika ada dari fraksi dengan perwakilan kecil maka kehadirannya sangat
diperhitungkan dan pastinya menyebabkan kegagalan pembahasan jika tidak ada yang
mewakili.
Selain itu dalam prosesnya terjadi perdebatan cukup alot mengenai BUMN/BUMD
sebagai Badan Publik sehingga banyak terjadi kompromi antara pihak DPR sebagai pengusul
UU dan kepetingan Pemerintah bagi UU. Hal tersebut sangat disadari oleh anggota Komisi I
sehingga mereka tetap berusaha untuk membuka diri dan mencari tahu penyebab dan sejauh
apa masalah tersebut dengan mengadakan berbagai diskusi, mendengar pendapat ahli, sampai
kepada menurunkan tensi kelompoknya sendiri guna orientasi jangka panjang tujuan utama
yaitu bahwa RUU KIP harus tuntas dan berhasil disahkan.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
178
Metode pengambilan keputusan tentang badan publik, terutama terkait dengan
masuk/tidaknya BUMN BUMD sebagai badan publik didapat hasil bahwa hal tersebut
berubah dan mengandung kompromi. Sebagaimana diakui oleh Deli :
“Ya berubah, ada kompromi. Yang dikompromikan itu mana yang termasuk badan
public itu. Itu kan panjang memang diskusinya itu.Ya, karena perdebatannya kan
panjang, pemerintah juga tetap ngotot gitu lalu di sebagian DPR juga ngotot
akhirnya bagaimana membuat rumusan yang bisa diterima oleh semua pihak gitu.
Nah ketika rumusan yang diterima oleh semua pihak memang kemudian menjadi
tidak ideal kan. Ya kategorinya itu dan meyangkut substansi dan perspektifnya
perspektif politik, ada perspektif hukum misalnya kan gitu. Pemerintah kelihatannya
tadi tentu ada politik hukum ya untuk mem-protect gitu masih ada nuansa itu.”
Sindoro juga menyatakan bahwa rumusan mengenai badan publik adalah yang paling
lama dan sulit menemui titik temu antara DPR dan Pemerintah :
“Hanya rumusan tentang Badan Publik ini yang beda jadi sempat pending tapi
kemudian terus lagi. Kita maunya terbuka BUMN/BUMD dimasukkan sebagai Badan
Publik. Pemerintah tidak. Semua Undang-undang isinya kompromi politik tujuannya
mencari suatu rumusan yang acceptable by everybody. Everybody itu ya everybody
parpol yang elected by people.”
Kompromi yang terjadi dinyatakan oleh Eko cukup kencang. Suara DPR RI tentang
badan publik adalah badan yang aktivitasnya memang di public, untuk kepentingan public,
dibiayai oleh public atau dibantu oleh public. Sementara pemerintah memiliki pandangan
yang berbeda karena faktor kepentingan uang. Pihak DPR RI memiliki pandangan bahwa
semua badan usaha terutama BUMN harus masuk ke dalam kategori badan publik karena
jelas menggunakan dana APBN, dan dana APBN itu adalah mutlak dari dan untuk publik :
“Intinya waktu itu komprominya lumyan kencang. Badan public itu yang sering kami
suarakan adalah badan yang aktivitasnya memang di public, untuk kepentingan
public, dibiayai oleh public atau dibantu oleh public. nah disini ada perbedaan
pandangan karena itu kan uang. Jadi saya masih inget kalau nggak salah BUMN
atau BUMD itu kan dibiayai oleh Negara, itu kan uang Negara yang dipisahkan
untuk berbisnis mewakili Negara, jadi BUMN atau BUMD itu badan bisnis yang
mewakili Negara. Nah itu berarti juga badan public sementara pemerintah pada saat
itu punya pandangan “Oh, tidak, itu kan perusahaan terbatas, itu bukan badan
public, dia kan bisnis, memang dia menggunakan uang Negara yang dipisahkan tapi
pertanggungjawabannya tidak langsung ke public, pertanggungjawabannya adalah si
PT itu, pelaku pelaksana perusahaan itu kepada pemerintah” kira-kira seperti itu,
jadi disitu ada perbedaan.”
Hartanto pun mengakui bahwa di lembaga politik terdapat misi kepada kompromikompromi. Perbedaan dengan Pemerintah mengenai definisi badan publik sulit menemukan
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
179
titik temu jika tanpa kompromi. Upaya kompromi diambil sebagai jalan tengah untuk
mencapai kesepakatan yang bisa diteriman kedua belah pihak, walaupun pastinya ada yang
merasa tidak puas terhadap hal tersebut :
“Misalnya pemerintah nggak mau Bank BUMN itu terbuka pemerintah nggak mau
misalnya. DPR maunya ya bank itu harus terbuka juga dong dibuka, aksesnya public
juga pemerintah tidak mau maksudnya dibuat kompromi oke bank boleh dibuka pada
aspek-aspek tertentu, tadinya kan pemerintah mengatakan nggak bisa, bank itu
rahasia, DPR bilang nggak rahasia ini uang public kok dan sebagainya harus dibuka.
Komprominya oke boleh dibuka tapi apa yang dibuka misalnya satu, komposisi
permodalan, yang kedua laporan keuangan tahunan, yang ketiga misalnya jumlah
funding dan jumlah landing misalnya gitu. Tapi yang tidak bisa dibuka misalnya satu,
nama-nama nasabah, nama komisaris nama direksi boleh dong itu dibuka, tapi namanama nasabah nggak boleh itu rahasia bank.”
Kompromi bagi Tojaka diartikan sebagai upaya untuk mencapai kesamaan bahasa,
sehingga bukan dianggap sebagai suatu kekalahan :
“Komprominya itu kan sebenarnya banyak, jadi komprominya kan begini kadangkadang begini, pemahaman satu orang terhadap satu bahasa itu berbeda dengan
yang lain, tujuannya sama lalu yang mana yang mau dipakai, ini kan kompromi itu.
Jadi itu tidak dianggap sebagai kekalahan karena memang ingin menyelesaikan
pekerjaan, Akhirnya masuk semua. BUMN masuk, Parpol, pokoknya begini jadi pada
prinsipnya setiap lembaga yang menerima apakah karena kewajiban menerima atau
karena bantuan dana APBN atau APBD atau bantuan luar negeri, dia harus masuk
dalam kategori lembaga yang berhak melakukan KIP.”
Upaya-upaya yang dilakukan kelompok untuk menganalisis masalah mengenai
perdebatan tentang badan publik ditempuh dengan jalan kompromi. Kompromi bertujuan
untuk mencapai penyelesaian tugas sebagaimana diungkapkan oleh Deli :
“Ya kita terus diskusi, mencoba mempertahankan rumusan kita dan meminta
pendapat dari beberapa ahli dari kalangan akademisi dan masukan dari Koalisi
Masyarakat Sipil. Tapi disisi lain pemerintah juga sama membawa ahli-ahlinya
termasuk meminta masukan dari Menteri BUMN. Tapi ya kembali lagi mikirnya
daripada berdebat panjang akhirnya ga ada penyelesaian ya sudah kita coba
turunkan tensi juga.”
Perdebatan antara Pemerintah dan DPR RI didasarkan atas perdebatan substansi dan
perdebatan semantik. Pihak legislatif (DPR RI) menginginkan agar ada keterbukaan dari
badan publik, namun ternyta terdapat implikasi lain karena pemerintah sangat tidak mau
dengan selalu mengulur-ulur waktu sehingga pembahasan menjadi lama. Pihak DPR RI yang
memang memihak pada Koalisi Masyarakat Sipil telah menduga bahwa keterbukaan badan
publik seperti BUMN BUMD akan tidak menguntungkan pemerintah sehingga ketika
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
180
pemerintah kemudian mengusulkan memperluas badan publik menjadi LSM dan Parpol pun
diusulkan sebagai badan publik, pihak DPR menangkap hal tersebut mengandung nuansa
politis.
Disebutkan pula bahwa kompromi merupakan jalan tengah bagi adanya sikap yang
sama-sama keras antara Pemerintah dan DPR RI. Ketika memutuskan untuk kompromi,
pihak DPR RI akhirnya terpaksa menurunkan ‘tensi’, sebagaimana ungkap Hartanto :
“Saya termasuk yang menentang ketidakbersediaan pemerintah untuk BUMN,
terutama bank ya. Saya juga bukan hanya di sidang saya berdebat dengan menteri
Sofyan Djalil bahkan juga di polemic di Koran ya, di Koran saya juga banyak
mengkritik dan menghantam menteri Djalil atau kalau bilang keras kepala, ya
sudahlah. Kita kan buat rumusan itu tentunya ga sembarang, sudah didiskusikan
dengan melibatkan ahli yang berkompeten terus kemudian muncul perdebatan dari
pemerintah yang tidak setuju dimasukkannya BUMN/BUMD sebagai badan publik itu
diluar perkiraan kita sebenarnya, dan pemerintah tentunya juga sudah banyak
berdiskusi dan meminta pendapat soal sikapnya itu. Pada jalannya kami berusaha
untuk tetap mempertahankan dan sekaligus juga tidak menutup hal logis yang
disampaikan pemerintah karena tujuan awal bersama masih kita pegang yaitu UU ini
harus selesai dan membanggakan.
Ungkapan senada mengenai upaya kompromi disampaikan oleh Tojaka bahwa hal
tersebut bertujuan untuk menghindari agar pembahasan terlalu lama dan akhirnya tidak
selesai seperti periode sebelumnya, oleh karena itu jalan kompromi dipandang adalah jalan
yang bisa membawa pihak Panja Komisi I berhasil menuntaskan pembahasan RUU KIP.
“Pertama, kita menyadari perbedaan pendapat itu sebagai sesuatu yang wajar dalam
perumusan UU di DPR. Kedua kita mencoba melakukan kompromi dengan
pemerintah, ya ada semacam tawar menawar maunya masing-masing seperti apa
agar jangan sampai pembahasan terlalu lama dan akhirnya ga selesai lagi.”
Beberapa informan tambahan memberikan pernyataan terhadap prosedur pengambilan
keputusan yang berlangsung selama membahas RUU KIP terkait dengan BUMN/BUMD
sebagai Badan Publik, seperti yang dikemukakan oleh Pujiyanto :
“Bagi saya tingkat keberhasilan UU ini sekitar 60-65% lah. Orang Komisi I banyak
tanya saya karena mereka juga banyak yang belum terlalu paham KIP. Rumusan yang
diajukan itu sebelumnya kami yang buat di periode 1999. Iya kan bagi saya BUMN
termasuk, lantas pemerintah berfikir jika ada Undang-undang ini mereka bisa
merasakan kekuasaan mereka yang berkurang iya kan kok bisa? mereka pasti timbang
menimbang.”
Menurut pendapat Pujiyanto, UU KIP ini bisa men-cross interest pemerintah atau
sebaliknya, untuk setiap undang-undang tarik menarik kepentingan pasti selalu ada terlebih
goverment sebagai birokrat tentunya berkaitan dengan apakah kepentingan akan tercabut ?.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
181
Pada dasarnya, pemerintah yang memiliki kepentingan akan berusaha memasukkan
kepentingannya. Dengan cara bisa melobi bisa beragument secara nalar.
Menurut Pujiyanto tentunya telah pihak pemerintah meminta pendapat dari Menteri
BUMN, namun dikarenakan kelompok Panja sudah tidak punya cara lain untuk mempercepat
proses RUU, sehingga Panja menurunkan derajatnya. Derajatnya Itu tidak pada tekstualistis
di Pasal 1 ayat 3 tentang definisi Badan Publik namun pada akomodasi ke pasal baru 14, 15,
16 RUU KIP.
Informan Anggodo menyatakan bahwa tentang prosedur atau kesesuaian jadwal
termasuk telah terpenuhi walaupun terdapat perubahan-perubahan beberapa kali. Yang sering
terlihat menurut Anggodo adalah lobby-lobby dan kompromi. Terutama terkait dengan
dafinisi badan publik yang sangat memakan waktu dalam pembahasan dikarenakan sikpa
pemerintah dan DPR RI yang selalu bertentangan, namun pada akhirnya kompromi
menyebabkan kelegaan dari sisi waktu penyelesaian, namun menimbulkan kekecewaan bagi
Koalisi Masyarakat Sipil karena masih terdapatnya pengecualian informasi yang wajib
disediakan oleh badan publik sebagaimana termaktub dalam pasal 14, 15 dan 16 RUU KIP :
“Kalo prosedur sesuai jadwal saya rasa si terpenuhi ya walaupun ada perubahanperubahan jadwal. Yang sering ya banyak lobby-lobbynya. Kita sering ngundang
seminar ke daerah dan diskusi juga. Banyak kompromi-kompromi kayak gitu dari
BUMN, Partai Politik, di sendirikan, itu kompromi. Terus LSM masuk bagian dari
badan public, kompromi juga. Jadi ditampung, tapi kan nggak maksimal, maksudnya
ditampung dalam arti BUMN tetap menjadi bagian dari badan public, nah itu kan
mengadopsi, itu kan mengafirmasi masukan pemerintah masyarakat sipil tapi ternyata
pengaturannya itu disendirikan. Ada acception kan untuk BUMN begini begini, nah itu
mengecewakan.”
Informan Danti menyatakan hal yang serupa terkait dengan prosedur pembahasan.
Menurutnya anggota Panja cukup concern namun memang substansi tentang badan publik
termasuk yang berat sehingga memakan waktu sangat lama untuk menyelesaikannya.
“Sesuai prosedur, kalo ga sesuai prosedur ga bakal 2,5 tahun mba. Jadi mereka
concern tapi memang substansinya susah ya maksudnya kompleks jadi 2,5 tahun.
Cukup intens kita rapat cukup teratur minimal seminggu dua kali ya dan semuanya
dicatat. Kalau soal perdebatan Badan Publik itu memang panjang di panja dan sampai
ke timus nanti timus selesai kita laporkan lagi ke panja, panja lapor lagi ke raker untuk
tujuan akhirnya. Jadi sempet beberapa kali bolak balik sampai kita sempat bilang ini
lagi ini lagi hehehe. Tapi saya lihatnya akhrinya ya sudahlah eee ini yang paling baik
aja, saya yakin sudah dipikirkan. Kalau semua ngotot-ngototan 2,5 tahun ga kelar
juga dan ini adalah usulan luncuran dari periode sebelumnya mba. Tapi walaupun
waktu itu rame, biar debat biar berantem tapi mereka keluar ruangan ya biasa lagi ga
ada urusan.”
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
182
Sementara dari pihak pemerintah yang diwakili IP-3 memiliki pendapat bahwa
mekanisme jalannya pembahasan memang telah sesuai prosedur walaupun ada beebrapa kali
terjadi pergeseran jadwal. Tentang perdebatan BUMN/BUMD sebagai Badan Publik,
sebelumnya dinyatakan memang telah dilakukan diskusi lintas kementerian untuk
menetapkan argumen pemerintah di DPR walaupun bahasan menjadi lama karena adanya
lobby dan kompromi, sampai akhirnya bisa diatasai bersama karena DPR menurunkan tensi
dan terjadilah “kesepakatan khusus” yang dilangsungkan di luar ruang rapat Komisi I DPR
RI, yaitu di Hotel Ibis Petamburan Jakarta setelah mengadakan loby sehari penuh di bulan
puasa. Hal ini sebagaimana diungkap oleh IP-3:
“Saya pikir prosedur dalam arti mekanisme perumusan UU itu telah berjalan dan
dipatuhi semua, namum soal kompromi ya itu pasti ada karena ini produk politik. Kami
melihat masalah soal Badan Publik dengan berusaha mencari pijakan yang jelas agar
argumen juga bisa sinkron dengan DPR. Kementrian kominfo yang diwakili oleh
Mentri negara membuat satu draft, konsep, jadi ada dua draft, buat sama-sama maju
ke DPR. Sesuai prosedur lah. kita waktu itu bekerjasama dengan UNDIP UNPAD, kita
juga ke akademik, kajian akademiklah. Akhirnya kesepakatanya itu DIM yang terakhir
dibahas itu masuk badan publik, tetapi yang belum dibuka hanya dalam undangundang, pasal berapa itu. Waktu itu kan tuduhanya begini, kalau BUMN itu tidak
dibuka, itu kan, itu kan jadi satu perahan oleh negara sendiri, tempat pencowo partaipartai, makanya harus dibuka. Ya artinya keputusanya mengatakan bahwa okelah kita
terima juga usulan dari DPR bahwa BUMN memang harus terbuka tapi tidak boleh
terbuka telanjang. Caranya bagaimana ya tentukan mana yang boleh dibuka mana
yang tidak dan itu disepakati, karena tadi kita katakan bahwa dia juga ada rezim bisnis
di situ gitu. Untuk menjaga kita punya, apa namanya eksistensi perusahaan negara
bahwa sebuah rezim bisnis itu harus ada strategi-strategi binis yang harus dijaga.
Ujungnya pada bisa nerima juga, itu sih itu kan politik memang harus gitu, apa
namanya suasanya dalam pembahasan undang-undang yang sifatnya politik. Waktu itu
yang menjadi penegah itu Pak Arif Mudasir, almarhum. Itu saya inget betul itu
diputuskan di hotel Ibis di Petamburan kalo ga salah itu sampe kita mau sahur itu dari
sebelum buka hahahaha. Terakhir itu, saya masih ingat tapi tanggal nya saya lupa. Ini
kesepakatan sebelum masuk ke timsin itu maknya keluarlah Pasal 14 itu, tadinya kan
ga ada.” (IP-3)
Indikator ke empat dari faktor kesalahan struktural yang merupakan kondisi
pendahulu (anteseden) groupthink adalah homogenitas kelompok (Homogenity of Group).
Faktor homogenitas kelompok ini tidak serta merta terbentuk dari awal kelompok
terjadi karena memang secara latar belakang ideologi politik para anggota berebeda-beda
yang juga membedakannya dengan penelitian Janis yag dilakukan pada kelompok yang
memang dari sejak awal telah homogen dan kohesif.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
183
Kelompok Panja RUU KIP di Komisi I dapat disebut homogen ketika melihat latar
belakang pada jenis profesi dan tujuan kelompoknya. Walaupun berbeda fraksi Partai Politik,
namun secara profesi mereka adalah sama-sama politisi dan memiliki tujuan yang sama
dalam tugas yang diembankan untuk pembahasan RUU KIP.
Tingkat homogenitas yang ada dalam kelompok pembahasan RUU KIP di Komisi I
digali dengan beberapa pertanyaan tentang adanya perasaan yang menyatu dan seberapa
banyak kesamaan diantara anggota kelompok.
Bagi informan perasaan menyatu dalam kelompok ketika membahas RUU KIP itu ada
karena usulan RUU KIP merupakan usul inisatif dewan yang memang telah disepakati oleh
anggota Komisi I DPR RI sehingga dalam bayangan mereka draft yang telah ada tersebut
tidak memerlukan perdebatan panjang dan pertentangan dalam kelompok Komisi I sendiri.
Hal tersebut memang terbukti, dari catatan risalah rapat terlihat bahwa anggota kelompok
cukup solid mempertahankan argumennya terhadap draft yang telah ada sehingga tidak
terlalu ada perbedaan tajam diantara mereka. Hanya saja yang menjadi pelik adalah
pertentangan dengan kelompok pemerintah terkait dengan rumusan badan publik.
Pemerintah mengusulkan agar BUMN, BUMD dan Badan Usaha Swasta tidak
dimasukkan dengan alasan bahwa sistem akuntansinya mereka telah mempunyai mekanisme
korporasi, ada lembaga yang mengaudit, BPK, BPKP, atau BUMN publik, Akuntan Publik.
Pemerintah menginginkan bahwa Badan Publik itu bukan hanya Pemerintah, tetapi
lebih diperluas, termasuk badan publik yang mendapatkan dana dari APBN, sehingga
cakupan badan publik bisa menyentuh : LSM, Organisasi Massa, Partai Politik atau Institusi
Sosial kemasyarakatan yang mendapatkan sumbangan dari masyarakat atau sumber luar
negeri. Tujuannya yaitu agar bisa diketahui dana itu digunakan untuk apa, darimana,
digunakan untuk apa, apa motivasi di balik pembiayaan, misalnya terhadap lembagalemabaga terutama LSM.
Argumen yang disampaikan oleh Menkominfo Sofyan Djalil tersebut langsung
mendapat respon keras dari hampir seluruh Fraksi di Komisi I DPR RI yang menolak
argumen Pemerintah dan tetap bertahan untuk mendukung rumusan RUU yang diajukan
DPR. Jefresy Johannes Massie dari F-PDS menyatakan bahwa saat sekarang justru BUMN
merupakan salah satu badan publik yang paling tidak bisa diakses informasinya sehingga
rentan terhadap korupsi jadi harus menjadi salah satu bagian dari Badan Publik. Ade Daud
Nasution dari F-PBR menyatakan jika BUMN tidak dimasukkan sebagai badan publik maka
good government akan mundur lagi dan bisa digunaka penguasa untuk alat kampanye pemilu.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
184
Sementara Hilman Rosyad Shihab dari F-PKS menyatakan untuk menghindari ekslusifitas
BUMN maka tetap harus dimasukkan sebagai badan publik, namun mengenai usul LSM,
Parpol dan Organisasi Massa lain yang diusulkan dimasukkan oleh Pemerintah itu setuju
untuk ikut dimasukkan.
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa homogenitas dalam artian adanya perasaan
menyatu dalam kelompok tercipta karena adanya kesamaan tujuan dalam rangka tugas yang
diembankan. Informan anggota Panja mengakui adanya perasaan menyatu namun mereka
dalam rangka untuk menjalankan tugas dengan baik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Deli :
“Ya ada lah karena kami berusaha menjalankan tugas dengan baik. Sebenarnya
bagaimanapun berbedanya misalnya pandangan fraksi itu kemudian menjadi cair
lagi”
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Eko bahwa soal penyatuan sebenarnya
tergantung isi kepala masing-masing namun untuk RUU KIP memang lebih menyatu karena
usulan dari DPR sehingga memiliki satu visi :
“Di DPR itu tergantung isi kepala masing-masing, tapi kalo dibilang kita sevisi iya”
Sementara Sindoro menyatakan bahwa perasaan menyatu itu sebenarnya lebih kepada
keinginan agar RUU KIP cepat diselesaikan, dan Hartanto mengungkapkan bahwa terdapat
beberapa orang yang sangat menyatu dengannya di Komisi I yang sama-sama concern dan
vokal sehingga menjadi klik :
“Kita cukup terbuka aja diskusi, soal menyatunya itu ya lumyanlah ada beberapa
orang yang cukup concern dan klik dengan saya.”
Sementara itu Tojaka menayatakan bahwa perasaan menyatu pasti ada di balik sikap
untuk tetap harus terbuka dan kritis agar tidak dipandang sebelah mata oleh rakyat :
“Menyatu itu pasti ada tapi karena kita disuruh terbuka dan kritis dalam menghadapi
sebuah isu ya tentunya terbiasa melahirkan pemikiran-pemikiran sebagai masukan
agar hasil akhir bisa lebih baik. Jadi saya hanya ingin menunjukkan bahwa anggota
DPR itu yang dikatakan hebat itu bukan karena di Pers, tapi semua yang enak dilihat
bagaimana anggota DPR itu memperjuangkan kepentingan rakyat ketika membahas
perUUan, cuma ada keliru juga dari rakyat, yang namanya anggota DPR itu harus
datang membawa uang, padahal perjuangan anggota DPR itu kan membuat UU
kepentingan rakyat, bukan bagi-bagi duit.”
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
185
Berdasarkan uraian jawaban informan tersebut, hanya Eko yang kurang melihat
adanya semacam homogenitas dalam kelompok pembahas RUU KIP di Komisi I karena
dianggap semua sikap diatur berdasarkan pemikiran sendiri yang tidak mendapat kungkungan
dari fraksi dalam hal itu. Sementara informan anggota lainnya menyatakan bahwa perasaan
menyatu dan kesamaan yang ada bukan terletak pada kesempatan untuk mengutarakan
pendapat yang berbeda, melainkan merupakan suatu konsep yang terbangun dari keinginan
untuk mencapai tujuan keberhasilan perumusan RUU KIP. Namun semua informan
menyatakan selama pembahasan tidak ada konflik yang terjadi dalam kelompok selain soal
konflik pemikiran saja. Hal ini juga dibenarkan oleh pendapat informan tambahan Danti yang
merupakan sekretaris rapat dalam pembahasan RUU KIP :
“Nggak ada konflik. Jadi intinya mereka memang pengen undang-undang ini jadi.
Semua Aman terkendali.”
Konflik pemikiran dalam arti adanya perbedaan pemikiran mamng terjadi namun
tidak sampai menghancurkan hubungan dan perbedaan tersebut tidaklah setajam dengan
pemerintah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Deli :
“Kita sama-sama ingin pembahasan berhasil, berjalan lancar kok. Konflik ga ada
yang gimana-gimana. Yang dimaksud dengan koflik itu ya konflik pemikiran kerja
tetapi dari konflik fisik atau misalkan konflik sampai gimana nggak”
Hal ini diperkuat dengan pendapat Hartanto yang menyatakan bahwa tidak ada
konflik yang serius karena kredibilitas anggota kelompok telah teruji :
:
“Nggak ada konflik yang serius, Ya di DPR itu kalau politisnya sudah senior-senior,
canggih-canggih itu kan kalau berubah kan nggak kelihatan kan, ya pelan-pelan,
kalau terlalu cepat kelihatan bisa ketahuan. Ketahuan ada apa ini mungkin dia sudah
dilobi oleh menteri.”
Sementara Tojaka memiliki penilaian bahwa perberbedaan sangat wajar terjadi dalam
lingkup parlemen namun biasanya hal tersebut berubah seiring dengan berjalannya waktu
untuk mencapai kesepakatan maka tentunya penyatuan tersebut dapat terjadi :
“Ya biasanya begini, diawal mungkin kira-kira setengah atau tiga perempat itu
banyak perbedaannya Diawal, karena kita punya konsep sendiri-sendiri tapi setelah
mendengar disana dengan alasannya, artinya menyatu, menyiapkan sepertiga
terakhir itu sudah mulai mendekat. Jadi itu gini prosesnya seperti itu, jadi kalau ada
pembahasaan UU diawal sudah setuju-setuju, itu nggak benar itu. Menurut saya
kalau orang melihat dari luar ya bukan anggota DPR kalo ga tegang adu, bukan adu
argumentasi, tegang mempertahankan idenya untuk menangkan partainya kan begitu,
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
186
sebenarnya tidak kesana jadi kalau sudah pembicaraan-pembicaraan kaitannya
dengan kepentingan public, kepentingan rakyat itu saya kira semua partai sama cuma
kadang-kadang cara merumuskannya berbeda.”
Yang menarik adalah perdebatan antara DPR dan Pemerintah diisi dengan upaya
dukungan terhadap pemerintah dari fraksi yang merupakan fraksi pendukung pemerintah
seperti fraksi PKS. Seperti dapat digambarkan bahwa Pemerintah melalui Menkominfo
menginginkan bahwa Partai Politik dan LSM lah yang menjadi badan publik :
“Penekanan pemerintah adalah lebih pada Partai Politik, Organisasi Massa, Institusi
Sosial dan LSM yang menerima sumbangan, karena ini sangat penting. LSM
mendapatkan sumbangan dari luar negeri, bisa jadi itu adalah masalah.” Tegas
Menkominfo (Risalah rapat, 15 Mei 2006, halaman:184)
Menurut Menkominfo, transparansi, akuntabilitas, responsibilitas BUMN/BUMD itu
wajib, persoalannya jangan menyamakan keterbukaan rezim coorporate dengan rezim badan
publik. Badan Publik dimaknai oleh Pemerintah hanya menyangkut badan-badan politik atau
badan-badan negara yang tidak mencari keuntungan. “kita harus lindungi BUMN dan BUMD
dari intervensi rezim politik, karena kalau diintervensi BUMN/BUMD sangat dirugikan”.
Menanggapi pernyataan Menkominfo tersebut, penolakan langsung disampaikan oleh
Eko dari FPKB :
“Kita masih harus berdebat, apa argumennya lebih jauh tidak menyetujui BUMN,
BUMD tepai justru memasukkan organisasi massa, padahal organisasi massa kalau
misalnya kita lihat dari realitasnya mereka urunan, itu berbeda sama sekali, bagi
saya usulan dari DPR inilah yang paling relevan, yang paling terkait dengan maksud
dan tujuan Undang-Undang tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik.”
(Risalah Rapat tanggal 15 Mei 2006, halaman:190)
Begitupula dengan yang disampaikan oleh F-PAN Djoko Soesilo yang memperkuat
argumentasi teman-temannya :
“Saya hanya memperkuat argumentasi dari teman-teman. Memang agak
mengherankan kalau Pemerintah mendrop tentnag BUMN dan BUMD ini, di lain
pihak kemudian memasukkan Partai Politik dan LSM.” (Risalah Rapat 15 Mei 2006,
halaman : 190)
Namun bagi fraksi PKS yang termasuk pendukung Pemerintah, usulan tentang Badan
usaha sepakat dengan rekan DPR RI agar dimasukkan, namun usulan Pemerintah tentang
organisasi non pemerintah juga didukung oleh F-PKS :
“Sepakat dengan Pemerintahan berkaitan dengan organisasi non pemerintah yang
selanjutnya meliputi LSM, Partai Politik dan lain sebagainya, saya sangat sepakat itu
dimasukkan. Terima Kasih.” (Risalah Rapat, 15 Mei 2006)
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
187
Perdebatan tentang masukknya Organisasi non Pemerintah sebagai badan publik
kemudian bisa dipahami oleh semua anggota namun diharapkan pemeritah juga setuju untuk
tetap memasukkan BUMN dan BUMD sebagai badan publik. Sebagaimana terlihat dari
pendapat F-PPP (alm) Arief Mudatsir Mandan :
“Saya kira hal-hal yang dirumuskan oleh pak Menteri secara substansi sudah
termasuk di dalam draft DPR dengan bunyi organisasi non pemerintah hanya saja
memang untuk BUMN, BUMD dan BHMN itu harus ada juga terutama BUMN dan
BUMD harus masuk karena memang yang dibiayai oleh APBN terbuka untuk akses
publik apalagi yang memang memutar dana publik melalui perusahaan.” (Risalah
Rapat tanggal 15 Mei, halaman :195)
Hal senada juga disampaikan oleh Hartanto dari fraksi Golkar :
“Saya memahami mengapa Pemerintah memasukkan Partai Politik, Ormas, LSM dan
Organisasi-organisasi Non Pemerintah dan lainnya yang menerima sumbangan dari
publik, tetapi saya berharap ini tidak dijadikan dalam satu ayat apalagi dalam satu
tarikan nafas, karena saya khawatirkan rancangan undang-undang
yang
penekanannya kepada penyelenggara negara ini kemudian seakan-akan digeser atau
dialihkan perhatiannya atau dipecah perhatiannya dengan organisasi-organisasi non
pemerintah, organisasi non negara, seperti terutama ormas dan yang lainnya,
misalnya yayasan, taruhlah di sini tentang ormas saja. Saya rasa hal ini sangat tidk
fair dan tidak adil.” (Risalah Rapat 15 Mei 2006, halaman : 199)
Hartono menambahkan sebenarnya sangat sulit dinalar untuk menyamakan satu
Badan Publik yang mengelola dana publik, intinya adalah pajak yang diucapkan dalam satu
tarikan nafas dan diperlakukan sama dengan organisasi yang sumbangan masyarakatnya itu
bersifat sukarela dan kita tahu bahwa pajak itu memaksa, kalau tidak bayar pajak kita
dijebloskan ke penjara Maka wajar kalau pengelola dari dana-dana APBN itu yang
sumbernya adalah pajak itu harus memberikan akses kepada publik dan harus tidak boleh
tertutup, tetapi bagaimana mungkin hal tersebut disejajarkan atau diparalelkan dengan Ormas.
Mengenai keanehan ini juga terutama diungkapkan oleh pihak LSM dari Koalisi
Masyarakat Sipil, seperti Pujiyanto menyatakan :
“Aneh bagi saya LSM dimasukkan sebagai badan publik karena itu sama seperti
pengajian dapat dana banyak dari masyarakat, kalaupun dari asing juga tidak
seberapa. Kalau Partai Politik mungkin masih bisa dimaklumi karena memang dia
ada mendapatkan dana APBN jika berhasil memenangkan pemilu.”
Gambaran bahwa pada akhirnya para anggota Panja bisa sepakat dan setuju terhadap
usulan pemerintah menunjukkan bahwa terdapat homogenitas (perasaan menyatu) dalam
kelompok bagi kepentingan penyelesaian tugas.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
188
5.3.3 Karakteristik yang menghasilkan Tekanan (Provocative Context)
Kondisi pendahulu yang terakhir dari groupthink berhubungan dengan tekanan dari
kelompok, yaitu tekanan internal dan eksternal (internal and external stress) terhadap
kelompok yang dapat memunculkan groupthink. Hal ini dipahami sebagai kondisi dimana
ketika pembuat keputusan sedang berada dalam tekanan yang berat – baik disebabkan oleh
dorongan-dorongan dari luar maupun dari dalam kelompok – sehingga cenderung tidak bisa
menguasai emosi, sehingga biasanya ketika tekanan tinggi, kelompok biasanya mengikuti
pemimpin mereka dan menyatakan keyakinan mereka.
Indikator yang diamati dari kelompok pembahas RUU KIP di Komisi I DPR RI
mengenai karakteristik yang menghasilkan tekanan yaitu berupa identifikasi terhadap tekanan
dari luar dan dari dalam diri anggota kelompok sendiri untuk menyikapi perdebatan yang
cukup panjang dan lama mengenai bahasan tentang penyertaan BUMN/BUMD sebagai
Badan Publik.
Tekanan dari luar yang dirasakan selama membahas RUU KIP tentang Badan Publik
dinyatakan datang dari sikap pemerintah yang terus bersikeras dengan rumusannya,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Deli :
“Ya di pembahasan itu yang terjadi ya pemerintah memang ngotot aja artinya
pendiriannya tadi itu tidak dinegoisasikan. Nah itu kan yang membuat kemudian DPR
itu mundur selangkah. Itu sebagian teman-teman itu meskipun ada yang ngotot. nah
tentu bisa dilihat dirisalah di rapat misalnya ada yang di sending opinion itu selalu
ada.”
Sementara Informan Eko menyebutkan bahwa tekanan lebih kepada pendapatpendapat yang sulit disatukan, namun hal tersebut dianggap tidak terlalu mengganggu :
“Dari luar itu ya paling pendapat-pendapat yang bersebrangan yang maunya
disamaain gitu kan. Misalnya pendapat pemerintah sama LSM maunya begini terus
ya kasih masukan-masukan buat pengaruhi DPR gitulah. Kadang diajak diskusi kita
tapi ya ga sampai mengganggu juga si.”
Terdapat perbedaan dengan Deli dan Eko, informan Hartanto menyatakan pernah
mendapat tekanan dari fraksinya sendiri terkait dengan sikapnya tentang rumusan badan
publik. Hartanto mengaku mendapat teguran dari Ketua Umum Parpolnya agar tidak bersikap
terlalu keras terhadap pemerintah. Hartanto menduga teguran yang datang kepadanya tersebut
berasal dari pengaduan Menteri kepada Ketua Umum Parpolnya :
“Kalau saya dipanggil ketua umum, kemudian Wapres. Pak Jusuf Kalla itu panggil
saya marah dia, “Kamu itu apa-apaan, masa BCA tidak kamu wajibkan dibuka tapi
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
189
bank Mandiri kamu wajibkan buka karena bank Mandiri BUMN, kalau gitu jebol
dong sudah pokoknya nggak bisa bank itu aspek bisnis tidak bisa untuk dibuka gitugitu marah-marah dia karena saya dimarahi oleh ketua umum dirapat ganti saya
marahi menteri nya saya bilang “kalau memang berdebat disini debat disini dong
jangan lapor-lapor diluar saya bilang gitu kan?Sikap pemerintah juga kendalanya.”
Sementara itu Tojaka tidak menyebutkan tekanan dari fraksi ataupun pimpinan,
namun lebih melihat tekanan datang justru dari LSM yang notabene merupakan insiator
adanya RUU KIP, namun diakui bahwa hal tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap sikap
dan kinerja kelompok Panja Komisi I selagi usulan dari LSM dianggap berpihak untuk
kepentingan rakyat pastia akan dipertimbangkan :
“Oh nggak-nggak ada dari fraksi sama pimpinan. kalau yang saya tahu ya LSM. Ya
ada unsur-unsur nekan juga, tapi kan kita bekerja untuk kepentingan rakyat,
sepanjang usulannya itu untuk kepentingan rakyat kita terima oh ya saya lupa itu,
kita masukan.”
Selain unsur tekanan, terdapat pula kendala yang juga mampu menekan kepada
lamanya proses pembahasan RUU KIP. Kendala-kendala tersebut diakui misalnya tentang
perbedaan pemikiran serta tingkat pengetahuan dan pemahaman anggota kelompok terhadap
substansi RUU KIP :
“Kendala si paling
Pemerintah.”(Deli)
soal
beda
pemikiran
aja
yah
antara
DPR
sama
“Ya pengetahuan pemahaman dasar tentang publik dan komponen-komponen dan
variasi-variasinya itu berbeda ya baik pansus maupun pemerintah.” (Eko)
“Ya sikap pemerintah aja si kendalanya.” (Hartono)
“Nah pertama begini, kalau dari kalangan DPR ya, kalangan DPR itu tidak semua
anggota DPR mempunyai kemampuan yang sama. Kemampuan, latar belakang, saya
juga punya pengalaman tidak selamanya seorang Professor atau katakan intelektual
mampu bermain di dalam DPR, karena berbeda. “(Tojaka)
Sementara itu terkait dengan faktor tekanan dari dalam lebih dirasakan hadir dari
kecemasan terhadap terget waktu bagi penyelesaian tugas. Panja Komisi I DPR RI
sebanarnya menginginkan bahasan mengenai badan publik dalam RUU KIP bisa cepat
selesai, sebagaimana yang dikeluhkan oleh Pimpinan rapat :
“Kita sudah berdiskusi secara non stop dan secara sangat mendalam dan masih
sumir dan masih ada beberapa yang belum selesai dan mesti harus kita selesaikan
entah itu sampai kapan, yang pertama mengenai badan publik, yang kedua memgenai
pemberlakuan dim 353. Saya kira sih diskusi soal BUMN dan lain-lain itu sudah
habis-habisan karena sudah berkali-kali. Yah itu-itu saja yang kita diskusikan
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
190
persoalannya tidak ada kesepakatan pihak pemerintah dan kita” (Risalah Rapat
tanggal 20 Sepetember 2007, halaman : 108)
Pernyataan ini menunjukkan bahwa kelompok Panja sudah terlihat lelah membahas
RUU KIP mengenai badan publik dan menginginkan agar pembahasan bisa terselesaikan.
Pendapat yang membenarkan hal tersebut datang dari informan Deli bahwa memang
problem utama yang menekan untuk RUU KIP khusus mengenai badan publik adalah soal
waktu dan soal pemberlakuan UU :
“Ya untuk mempercepat ini pelaksanaan UU. O ya waktu itu kita meminta waktu itu
UU segera diberlalukan. Jadi kan misalnya selama setelah selesai pembahasan itu
setelah masuk keParipurna, nah itu 30 hari itu berapa di UU itu kalau misalnya
presiden tidak tanda tangan itu otomatis berlaku itu”
Diamati bahwa tekanan yang dirasakan oleh anggota kelompok Komisi I DPR RI
yang membahas RUU KIP adalah lebih kepada adanya perbedaan argumen dari pihak –pihak
luar yang berkepentingan terhadap RUU KIP yaitu Pemerintah dan LSM. Kelompok Komisi
I berada pada posisi yang pelik untuk dapat mempertimbangkan dan menguatkan argumen
yang dianggap paling mendekati dengan rumusan DPR RI. Sedangkan dari dalam diri
kelompok sendiri dirasakan terdapat semacam beban yang menekan mereka untuk dapat
menyelesaikan tugas tanpa kesia-siaan seperti yang terjadi di periode sebelumnya, khusus
bagi pembahasan RUU KIP ini.
Mengenai adanya tekanan-tekanan ini juga disampaikan oleh Informan tambahan
Pujiyanto seperti beberapa pernyataan berikut ini :
“Nggak intinya ini, setiap kepentingan tadi berusaha memasukkan kepentingannya,
caranya apa? caranya bisa satu, dua, tiga, empat, lima, caranya ini kan cara melobi
bisa beragument secara nalar tapi dengan juga argument-argument lain kan gitu.
Jadi kalau di dalam teori tentang regulatory, itu memasukan kepentingan dengan
cara-cara apapun itu dilakukan oleh siapapun termasuk korporasi termasuk BUMN.
Namanya kalau didalam teori regulatory capture jadi regulatory capture adalah
sebuah teori kepentingan-kepentingan perusahaan tadi dimasukkan oleh anggota
untuk memperoleh pasal pasal yang akan menguntungkan dia. Nah dia akan menjadi
rugi apabila terminology BUMN ini masuk, dia mendapat kerugian karena dia ada
beban tapi kemudian yang badan usaha swasta tadi kan nggak masuk, nah dia juga
mendapat keuntungan dengan dia masuk kan padahal harus disisi sebelumnya, ini
pendapat saya semata kan. Kemenangan korporasi cukup signifikan karena dia atau
mereka tidak terekplisitkan secara factual tapi tatkala dia disembunyikan maka akan
ada cara-cara untuk menafsir kepentingan yang tersembunyi tadi lewat jalur-jalur
hukum tertentu yang bagi perusahaan itu sangat mudah karena dia bisa beli lawyer
kan, tapi masyarakat biasa yang lemah, yang tidak mempunyai kemampuan ekonomis
untuk membayar lawyer mesti akan diabaikan.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
191
Pujiyanto menyatakan bahwa tekanan ada lebih karena adanya kepentingan. Dalam
kasus BUMN/BUMD sebagai Badan Publik terdapat beberapa kepentingan yang terbesar
berasal dari kalangan pemerintah dan BUMN sendiri sehingga untuk mengakomodir
kepentingan ini terjadilah berbagai perdebatan dan kompromi yang memakan waktu lama.
Mengenai peran BUMN yang berusaha mempengaruhi pembahasan tersebut juga
diungkapkan oleh Anggodo dari kalangan Koalisi Masyarakat Sipil (LSM), seperti berikut :
Iya BUMN kan yang menekan tapi mereka tidak pernah diikutsertakan dalam rapat,
tapi kan mereka diam-diam mempengaruhi pemerintah kelihatan. Waktu itu nggak
bisa diprediksi tapi kelihatan gitu, jadi kan waktu itu menteri BUMN siapa, Sofyan
Djalil, tapi kita nggak punya bukti tapi kelihatan sekali mereka. Yaitu tadi BUMN itu
masuk nggak sebagai bagian dari badan public. Nggak kelihatan karena BUMN itu
kan bagian dari pemerintah ya tapi itu kan kelihatannya tadi risalah rapat tadi kan
DPR mengatakan “kok anda berubah-ubah sikapnya?” itu kan indikasi.
Namun perspektif lain tentang tekanan eksternal disampaikan oleh Danti sebagai
sekretaris rapat, yaitu bahwa tekanan yang utama adalah dari LSM, sebagaimana pernyataan
berikut :
Tekanan itu justru datang dari LSM. Ya tapi kan itu hak mereka yah. Kadang-kadang
ada selebaran. Jadi kita kalo masukin bahan itu kan harus melalui saya. Saya kasih
ke ketua, ketua membagikan apapun masukanlah. Tapi LSM tuh suka kurang ajar
juga hehehehe, dia tanpa sepengetahuan saya langsung bagi keanggota. Itu yang
saya ga suka tanpa permisi. Kayak gitu2 yang saya ga suka karena kan kita ada
mekanisme. Jadi biasanya dikumpulkan ketua menyampaikan ini ada masukan dari
anu. Ga boleh ee gelap begitu. Aku sebeeel banget, kita udah ngatur kan supaya
semua itu tercatat masukan dari siapa aja ada mekanismenya. Kan ga fair tuh, dia
maunya terbuka tapi dianya sendiri yang diem-diem masuk masukin gitu.
Sementara itu informan tambahan dari kalangan pemerintah yaitu Icel memberikan
pendapat yang berbeda, bahwa sebenarnya yang dilakukan oleh pemerintah kepada DPR
bukanlah sebagai tekanan, melainkan merupakan argumen yang logis yang sesuai dengan
hasil diskusi yang mereka lakukan antara lintas kementerian.
“Ya kita berpandangan draft rumusan dari DPR ini sangat copy paste dengan
punyanya FOI. Ini kesanlah ya, jadi kesanya ini adalah itu, kebablasan, kalau begini
caranya jadi sangat-sangat liberal sekali. Sehingga tidak lagi menyisahkan bagian
dari rahasia negara. Jadi sekali lagi persepsi kesan, tapi tidak dikeluarkan secara
kelembagaan ya. Begini, kami dari pemerintah kan kita bahas internal dulu dengan
pemerintah tentang pasal BUMN di forum lintas kementrian, kan emang ada
namanya kementrian antar lembaga. Kita punya BI, Bank Indonesia. Kita panggil
BUMN, kita panggil BIN, kita panggil apa namanya, Departemen Pertahanan, itu
harus mengakomodir semua Nah jadi waktu itu kesanyanya waktu itu adalah,
katakanlah BUMN di sini. Kan penjelasan dari BUMN bahwa ini rezimnya harus
dibahas, dipisahkan dua Ada rezim keterbukaan, ada rezim pure ekonomi. Sehingga
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
192
pada saat menetapkan badan publik itu itulah ya, lalu kemudian pembahasan menjadi
tajam, terdapat pertanyaan-pertanyaan di sini, apakah BUMN BUMND secara utuh
itu masuk dalam badan publik, nah dibahaslah pada waktu itu bahwa sebenarnya
BUMN, BUMD, memang betul di situ ada unsur publik, karena dia bekerja untuk
publik Tetapi jangan salah bahwa penyertaan modal negara di BUMN itu tidak
semuanya harus terbit. Kenapa? karena kalau ada satu badan usaha yang berusaha
di satu sektor yang sama lalu yang satu dibuka, satu ditutup ya ga bisa dong, ga fair.
Contoh, PT. Telkom, antara Telkom dengan Indosat . Indosat tersebut perusahaan
bisnis, jadi dia bukan badan publik. Bukan..sahamnya saham publik semua, tidak ada
saham negara di situ. Tapi sementara Telkom, dia kan badan publik, karena dia ada
saham negara di situ. Ada negara di situ. Kalau dia, apa namanya, ditutup,
disamakan dibuka semuanya bagaimana dia bersaing dalam hal yang sama? itu kan
ada yang namanya rahasia perusahaan Argumen pemerintah yang diwakili oleh
sekertaris BUMN, Pa Said kan, ya jelas. Akhirnya kesepakatanya itu DIM terakhir
dibahas itu masuk badan publik, tetapi yang belum dibuka hanya dalam undangundang, pasal berapa itu 14,makanya akhirnya DPR pada paham. Waktu itu kan
tuduhanya begini, kalau BUMN itu tidak dibuka, itu kan, itu kan jadi satu perahan
oleh negara sendiri, tempat pencowo partai-partai, makanya harus dibuka.”
Mengenai kendala dari dalam diri pribadi atau kelompok disebutkan bahwa kendala
serius dipastikan tidak terlalu besar, hanya menyangkut soal lamanya pembahasan, perbedaan
pemikiran serta kemampuan dari masing-masing anggota untuk memahami substansi
pembahasan. Sedangkan tekanan dari dalam diri maupun anggota kelompok dinyatakan
bahwa
ada
semacam
kekhawatiran
bahwa
Undang-undang
akan
lama
dapat
diterapkan/diberlakukan sehingga menginginkan pembahasan bisa segera tuntas, selebihnya
mereka menyatakan tidak ada tekanan internal yang besar dan semua berjalan dengan
musyawarah yang baik.
5.4
Gejala Groupthink dalam Proses Pembahasan dan Pengambilan Keputusan
tentang cakupan Badan Publik pada RUU KIP di Komisi I DPR RI
Gejala groupthink dalam suatu kelompok ada manakala kondisi yang telah ada
sebelumnya menuntun kelompok untuk melakukan pencarian persetujuan (concurrence
seeking) pada saat kelompok berusaha untuk mencapai kesepakatan bersama dalam
keputusan akhir mereka. Kecendrungan yang nampak adalah ketika kelompok memberikan
prioritas yang tinggi untuk memberikan dukungan emosional terhadap satu sama lain dan
memilih untuk tidak menantang satu sama lain. Janis (1982) mengamati bahwa terdapat tiga
kategori
gejala dari
groupthink,
yaitu penilaian berlebihan mengenai
kelompok
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
193
(overestimation of group), ketertutupan pikiran (closed mindedness), dan tekanan untuk
mencapai keseragaman (uniformity pressures).
Beberapa kondisi pendahulu yang dominan nampak dalam kelompok pembahas RUU
KIP dianggap mampu menuntun kelompok untuk mencari persetujuan yang akhirnya masuk
kepada gejala groupthink yang tergambar dalam uraian hasil wawancara berikut ini.
5.4.1
Penilaian Berlebihan mengenai Kelompok (Overestimation of Group)
Gejala groupthink dalam kategori ini meliputi ilusi akan ketidakrentanan (Illusion of
Invulnerability) dan keyakinan akan moralitas yang tertanam di dalam kelompok (Belief in
Morality).
Ilusi akan ketidakrentanan didefinisikan sebagai keyakinan kelompok bahwa
mereka cukup istimewa untuk mengatasi rintangan atau permasalahan apapun sehingga
bersedia untuk mengambil resiko dan yakin bahwa kelompoknya tidak terkalahkan.
Sementara itu, keyakinan akan moralitas yang tertanam di anggota kelompok meliputi
suatu pemikiran bahwa “kami adalah kelompok yang baik dan bijaksana (Janis, 1982:256),
karena mereka menganggap diri mereka baik sehingga yakin bahwa pengambilan keputusan
mereka akan baik pula. Dengan memiliki kepercayaan tersebut, anggota kelompok dapat
tampil percaya diri walaupun mereka kurang mengindahkan implikasi etis atau moral dari
keputusan mereka.
Berdasarkan hasil wawancara kepada informan yang merupakan anggota kelompok
pengambil keputusan yang dianggap cukup vokal pada pembahasan RUU KIP di Komisi I
DPR RI tahun 2004-2009 lalu, diperoleh hasil bahwa mereka umumnya yakin bahwa ada
perasaan istimewa (ilusi akan ketidakrentanan) ketika bisa kembali dipercaya untuk
merumuskan RUU KIP setelah sempat gagal di periode sebelumnya tahun 1999, sebagaimana
pernyataan informan berikut :
“Ya yang pertama bahwa ya saya misalnya kan orang kampus itu yang pertama.
Yang kedua, karena orang kampus terus kemudian ini peluang untuk tadi, ini lebih
bagus dalam hal kebebasan kan gitu. Nah ini tidak bisa lepas dalam konteks
kebebasan berkomunikasi dari public dan akuntabilitas transparasi, itu kan
delibrated communication itu di syaratkan itu ada akuntabilitas, ada transparansi.
Nah kemudian munculah itu demokrasi delebrasi itu pengambilan-pengambilan
putusan itu harus lewat diskusi, dialog, debat gitu bukan hanya oleh representasi
anggota-anggota DPR atau institusi-institusi yang sudah ada, yang pada dasarnya
memang belum optimal gitu baru prosedur. Nah jadi saya melihat itu ada semacam
panggilan sejarah lah dan itu momentumnya cukup. Ini tentu saya dalam karena itu
saya serius, ya pernah tidak hadir karena itu saya melihat itu bagian dari momentum
sejarah untuk berhikmat lah ya kepada bangsa ini.” (Deli)
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
194
Waktu itu saya anggap salah satu Undang-undang yang paling bagus dianggap oleh
DPR. Loh iya itu bikin semua terbuka loh, seluruh lembaga Negara, swasta yang
menerima dana publik itu harus terbuka, itu luar biasa itu. Itulah apa transparasi
demokrasi itulah mulai, iya nggak?(Sindoro)
Sama aja.semua undang-undang kan bermanfaat jadi sama aja. Istimewanya karena
ini penting bagi penciptaan good governance. (Eko)
Adalah walaupun nggak juga, karena sudah biasa sih dengan pekerjaan anggota
DPR itu. Ya istimewanya itu begini bagai yang,kalau saya gitu bisa mengalir dengan
baik. Saya membuat tab MPR tentang penyelenggaraan, KKN rekomendasi
percepatan pencegahan korupsi, oh ini diperlukan sekian UU diperlukan sekian
badan yang dibentuk berdasarkan UU ini kok bisa mengalir dan jadi gitu, senang,
bangga, “wah Indonesia akan jadi Negara yang bersih, nanti tidak akan ada korupsi
gitu kan”. (Hartanto)
Saya merasa bangga ikut di situ, karena apa jadi kalau kita bicara soal demokrasi itu
artinya keterbukaan, bagaimana kita bisa bilang keterbukaan kalau proses
keterbukaannya sendiri tidak ada aturannya. (Tojaka)
Disamping itu mereka cukup yakin bahwa apa yang telah menjadi usulan rumusan
yang dibuat DPR berdasarkan hasil diskusi dan sharing dari berbagai pihak terutama dengan
Koalisi Masyarakat Sipil sehingga rumusannya dianggap sesuatu yang baik/logis dan cukup
ideal. Sebagaimana pernyataan dari informan berikut ini:
Iya, jadi semua memang telah rapi dipersiapkan dan harus jadi. Yang pertama kalau
soal rancangan UU itu kan kita ajukan ke pemerintah, sudah diserahkan kemudian
pemerintah merespon. Nah dari respon pemerintah itu kemudian masing-masing
fraksi merespon lagi. Nah respon dari masing-masing fraksi kan bisa beda-beda
tetapi sebenarnya yang lebih ril itu tergantung situasi di forum. Jadi sebetulnya
kekuatannya itu kekuatan ya argumennya, tentu saja argument yang rasional yang
agumentatif. Nah itu yang bisa dipertimbangkanoleh para pihak, fraksi-fraksi dan
selama ini argumen kami saya lihat cukup layak ya.”(Deli)
“Semua-semua semua stakehoder di bidang itu kita undang semua itu. Public hearing
itu 6 bulan sendiri. Itu seminggu sampai 5-6 narasumber dalam seminggu. Jadi
memang kita persiapkan matang sebelumnya, jadi ketika akhirnya ada pendapat yang
beda dari pemerintah ya kita ngotot dulu lah” (Sindoro)
“Sebenarnya rumusan tentang RUU KIP ini kan sudah ada sejak sebelum periode
2004-2009 jadi kita tinggal melanjutkan saja. Saya pikir ya isinya udah baik ya, soal
tambal sulamnya dianggap hal yang biasa saja.” (Eko)
Ya biasanya gitu-gitu kan RDPU, RDPU itu sebenarnya sebelum pembahasan,
sebelum masuk pembahasan pasal perpasal itu kita rapat dengar pendapat dengan
misalnya ada pikiran LSM-LSM harus terbuka kita undang LSM-LSM sehingga
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
195
memang posisi argumen kita juga cukup kuat untuk dihadapkan sama pemerintah.
(Hartanto)
Iya, jadi saya hanya ingin menunjukkan bahwa anggota DPR itu yang dikatakan
hebat itu bukan karena di Pers, tapi semua yang enak dilihat bagaimana anggota
DPR itu memperjuangkan kepentingan rakyat ketika membahas perUUan, cuma ada
keliru juga dari rakyat, yang namanya anggota DPR itu harus datang membawa
uang, padahal perjuangan anggota DPR itu kan membuat UU kepentingan rakyat,
bukan bagi-bagi duit. Kita ini kerja loh dan untuk memperjuangkan sebuah rumusan
yang telah digodok dipikirkan bersama apalagi dari usul iniasiatif DPR itu
sebetulnya bisa lebih kompak dibanding Undang-undang yang merupakan usulan
pemerintah. (Tojaka)
Para anggota kelompok tersebut terlihat cukup percaya diri untuk membuat rumusan
RUU KIP yang merupakan usul insiatif DPR dan diterima dengan baik tanpa melalui proses
yang lebih lama lagi seperti periode sebelumnya, walaupun pada akhirnya terdapat sejumlah
perdebatan, loby dan kompromi maupun pasal-pasal baru terlebih yang terkait dengan
bahasan badan publik. Berkaitan dengan ini informan Pujiyanto yang sempat menjadi Ketua
Pansus KMIP di periode 1999-2004 menyebutkan bahwa senanstiasa mengingatkan
temannya di Komisi I DPR mengenai hal apa saja yang harus dipertahankan termasuk tentang
Badan Publik. Sebagaimana pernyataan :
“Di Periode 1999-2004 saya sebagai Ketua Pansus KMIP dan memperjuangkan itu
sampai jadi draft, tapi ketika kasih draft ke pemerintah diresponnya lama sampai
habis masa pemerintahan belum keluar DIM. Kemudia saya pengawal pengawasan
UU KMIP pada periode 2004-2009 saya berada pada masyarakat sipil. Nah pada
waktu mereka membahas, saya selalu mengingatkan teman-teman saya yang di
Pansus itu apa-apa saja yang harus dipertahankan blab la bla, jadi saya sebagai
fraksi balkon lah yang memberikan masukan kepada mereka dan pada waktu diketok
Pak Theo Sambuaga memberikan applause kepada saya sebagai pengawas
disebutkan di pidatonya “kita berterima kasih kepada Pak Paulus Widiayanto yang
mengawal, ucapan terima kasih kepada saya”, pada waktu diketok 2008 itu saya
diwawancara wartawan bagaimana sikap saya terhadap Undang-undang ini, saya
belum puas dengan Undang-undang ini karena apa yang saya perjuangkan baru
65%, saya ngerti anak mata panah termasuk pasal yang dipertanyakan itu tentang
Badan Publik, nah itu pasal yang paling berat yang masuk dalam wilayah yang
paling berat.”
“Itu tu filosofinya disitu hak untuk tahu, hak untuk memperoleh informasi dan itu jadi
sebetulnya kami memperjuangkan hak. Memperjuangkan hak sudah dijamin secara
konstitusional tapi juga legal formalnya harus lebih diurai pada Undang-undang
bagi saya itu adalah bisa para low makers, low makersnya ada dua, pemerintah dan
DPR, tim anggotanya yang saya sebutkan tadi dan pemerintah juga orang yang
bekerja, dia itu memperjuangkan public interest ataukah yang saya sebutkan tadi
corporate interest atau ini-ini disitulah apa, statement problemnya akan kelihatan.
Saya berikan contoh perkembangan definisi itu karena dulu saya tetap
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
196
memperjuangkan badan usaha swasta pun ada badan public apabila dia
mengerjakan-mengerjakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya oleh Negara untuk
menjalankan itu atau dia juga menjalankan sesuatu yang merupakan kekayaan
negara. Saya sejak awal prinsip saya itu, perjuangan saya misalnya Freeport itu
adalah badan public. Karena apa dia mengolah kekayaan Indonesia Nah yang
menguasai dalam pemikiran mereka (pemerintah) namanya rezim keuangan, padahal
dengan adanya putusan MK tentang konsep keuangan negara, saya mengatakan itu
adalah suatu perintah dari MK bahwa BUMN pun dan badan-badan lain pun adalah
Badan Publik. Inilah yang kami perjuangkan dengan gigih.”
Sementara itu mengenai adanya keyakinan akan moralitas yang tertanam di dalam
kelompok ditandai oleh adanya pernyataan bahwa anggota kelompok yang terlibat
pengambilan keputusan mengenai definisi Badan Publik di Komisi I merupakan kelompok
yang baik dan bijaksana, sedang menjalankan misi mulia dan percaya bahwa pengambilan
keputusan akan baik pula. Sebagaimana terlihat dalam pernyataan berikut :
“Ya panggilan jiwa lah ya, memang ini serius dan perdebatannya ya mati-matian lah
gitu ya. Hasilny juga cukup baik walaupun saya rasa perlu pengkajian ulang
misalnya lebih mengelaborasi tentang rahasia Negara.” (Deli)
“Ya iyalah misi mulia banget dong, bedalah sama Undang-Undang yang lain, KIP
salah satu yang paling bagus”. (Sindoro)
“Oh pastilah. Undang-undang ini bagian dari transparansi. Penciptaan suatu
kehidupan berbangsa dan benegara yang diselenggrakan oleh penyelenggara negara
namanya eksekutif, legislatif, yudikatif. Itukan harus transparan dan undang-undang
ini memaksa mereka untuk transparan. Undang-undang ini memaksa ke mereka mau
tidak mau para pemerintah khususnya itu harus terbuka kepada rakyatnya.karena
ada fakta selama ini pemerintah itu tidak terbuka kepada rakyatnya padahal
pemerintah kan dipilih. Pemerintah demokrasi kan dari rakyat oleh rakyat untuk
rakyat. Karena itu semua yang dia lakukan termasuk anggaran yang dia miliki
termasuk kalau rakyatnya ingin tahu apa-apa yang dilakukan, berapa anggarannya
kan harus diketahui.harus diberikan harus diinformasikan pada publik gitu. Nah
undang-undang ini ee kesitu arahnya dan otomatis dengan begitu lagi maka
berikutnya akan semakin mengurangi ee apa korupsi.kan begitu.” (Eko)
“Ya biasa karena memang tugasnya itu, karena semua UU kan bentuknya mulia,
yang nggak mulia itu kalau ada transaksi itu lho.” (Hartanto)
“Saya yakin kita berhasil setelah sebelumnya gagal di periode 1999-2004. Undangundang sanga bermanfaat bagi negara kita apalagi di Asia belum semua nya
punya.Walaupun artinya juga sangat tergantung pada pelaksananya, siapa yang
melaksanakan, pemerintah. Hampir semua pada akhirnya berharap rumusan yang
kita ini ingin mengabdi buat sebaik-baiknya karena untuk kepentingan akhir
baiknya”. (Tojaka)
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
197
Jawaban-jawaban informan di atas memperlihatkan perhatian anggota kelompok
terhadap tugas yang diembankan kepada mereka. Mereka beranggapan bahwa tugas tersebut
adalah penting dan produk undang-undang yang dihadirkan setelahnya akan banyak
membawa manfaat bagi mereka sendiri sebagai perumus maupun sebagai warga negara
Indonesia.
5.4.2 Ketertutupan Pikiran (Closed Mindedness)
Groupthink dicirikan dengan adanya ketertutupan pikiran, dimana kelompok tidak
mengindahkan pengaruh-pengaruh dari luar terhadap kelompok. Dalam hal ini yang
dikategorikan oleh Janis yaitu sterotip kelompok luar dan rasionalisasi kolektif.
Rasionalisasi koletif
(collective rationalization) merujuk pada situasi dimana
anggota-anggota kelompok tidak mengindahkan peringatan yang dapat mendorong mereka
untuk mempertimbangkan kembali pemikiran dan tindakan mereka sebelum mereka
mencapai keputusan akhir.
Dalam penelitian ini diamati apakah masukan-masukan dari luar terutama dari
kelompok Pemerintah yang memiliki pendapat yang berbeda dan ditujukan untuk
mendapatkan perspeektif yang luas tentang konsepsi Badan Publik pada saat perumusan
RUU KIP tersebut dapat diterima dengan baik oleh kelompok panja di Komisi I? Diperoleh
jawaban dan pengamatan dari risalah bahwa pada awalnya kelompok di Komisi I terutama
dari anggota-anggota yang dianggap vokal seperti Andre (PDI-P), Hartanto (Golkar), Eko
(PKB), Deli (PAN), Djoko (PAN) sangat menetang argumen Pemerintah tentang
BUMN/BUMD yang dianggap tidak termasuk Badan Publik di Pasal 1 ayat 3 UU KIP.
Pemerintah menginkan Partai Politik dan LSM lah dimasukkan sebagai Badan Publik.
Rasionalisasi kolektif sebagai ketertutupan pikiran terlihat pada anggota kelompok
pembahas RUU KIP terhadap usulan (pendapat) pemerintah yang selalu ditentang keras,
sementara dukungan dari luar yang sepemikiran seperti dukungan kalangan Koalisi
Masyarakat Sipil yang berasal dari LSM dan ahli yang dipanggil mereka dengarkan.
Sehingga di awal pembahasan anggota memiliki sikap untuk tetap bertahan dalam argumen
semula, kecuali terdapat beberapa anggota dari partai pengusung pemerintah yang tidak
terlalu keras mendebat. Namun pada akhirnya anggota dapat terbuka dengan argumen
pemerintah berdasarkan tawar-menawar politik (kompromi) yang ada.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
198
Uraian tentang adanya ketertutupan pikiran di tahap awal pembahasan tentang definisi
badan publik dalam RUU KIP tergambar dari risalah rapat DPR yang dapat diuraikan sebagai
berikut :
 Rapat 1 : Raker Terbuka (15 Mei 2006)
Pembahasan mengenai definisi Badan publik dilakukan ditengah waktu setelah ketua
rapat mengetok palu kesepakatan bahwa pembahasan tentang informasi publik akan
diteruskan di rapat Panja.
Isu Badan Publik menimbulkan perdebatan karena Pemerintah menolak memasukkan
“BUMN dan BUMD” sebagai badan publik. Namun di sisi lain Pemerintah mengusulkan
untuk memasukkan Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Massa, Partai Politik sebagai
badan publik. Disinilah muncul pertentangan diantara para anggota kelompok Komisi I yang
umumnya tidak menyetujui usul Pemerintah tersebut. Ada semacam kecurigaan yang
tergambar dari kelompok di Komisi I maupun kalangan LSM yang tergabung dalam Koalisi
Masyarakat Sipil terhadap sikap Pemerintah yang menolak memasukkan BUMN/BUMD
sebagai badan publik tetapi malah memasukkan LSM serta Partai Politik sebagai badan
publik.
Menurut Menkominfo Sofyan Djalil, Pemerintah sangat sepakat dalam rangka
menciptakan Good Governanace, masyarakat yang lebih compatable, masyarakat LSM yang
lebih compatable, semua masyarakat kita penting sekali ada kompabilitas, karena
kompabilitas itulah yang menciptakan kita jadi bertanggung jawab. Oleh sebab itu,
Pemerintah menginginkan bahwa Badan Publik itu bukan hanya Pemerintah, tetapi lebih
diperluas, termasuk badan publik yang mendapatkan dana dari APBN, sehingga cakupan
badan publik bisa menyentuh : LSM, Organisasi Massa, Partai Politik atau Institusi Sosial
kemasyarakatan yang mendapatkan sumbangan dari masyarakat atau sumber luar negeri.
Tujuannya yaitu agar bisa diketahui dana itu digunakan untuk apa, darimana, digunakan
untuk apa, apa motivasi di balik pembiayaan, misalnya terhadap lembaga-lemabaga terutama
LSM.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
199
Oleh karena itu, Pemerintah mengusulkan agar BUMN, BUMD dan Badan Usaha
Swasta tidak dimasukkan dengan alasan bahwa sistem akuntansinya mereka telah mempunyai
mekanisme korporasi, ada lembaga yang mengaudit, BPK, BPKP, atau BUMN publik,
Akuntan Publik.
Pemerintah melalui Menkominfo Sofyan Djalil menegaskan pula BUMN/BUMD
diatur dengan undang-undang lain sehingga dianggap biarlah mereka tertutup dari security
informasi publik kecuali dengan mekanisme yang wajar dari sistem akuntansi kita.
Dinyatakan bahwa KMIP itu mengatur rezim politik yang tidak profit, namun BUMN itu
adalah rezim corporate, domain private yang profit. Di Amerika ada Freedom Information
Act, tetapi hal tersebut tidak menyentuh korporasi dan untuk mencegah korupsi di korporasi,
ada Service of the Act. Service of the Act ini dapat menghukum Direksi Perusahaan, BUMN,
Perusahaan publik yang membuat laporan tidak benar.
Upaya pemerintah memisahkan BUMN dan BUMD dari Badan Publik adalah sesuatu
yang tidak berdasar. Bagi Effedy Choirie (F-PKB) hal tersebut merupakan suatu keanehan. Ia
mengatakan, ketika pemerintah menginginkan BUMN dan BUMD tidak masuk sementara
LSM, Organisasi Massa, Partai Politik justru dimasukkan hal tersebut aneh. BUMN, BUMD
jelas-jelas milik negara, jelas-jelas milik rakyat. Lalu dibedakan karena ada undang-undang
yang mengatur BUMN dan BUMD, kalau begitu organisasi massa, organisasi partai politik
ada undang-undangnya yang mengatur. Oleh karena itu rumusan dan definisi atau pengertian
yang diajukan dalam RUU yang diajukan DPR justru megakomodir semuanya.
Djoko Susilo dari Fraksi PAN tetap mendesak BUMN dan BUMD harus masuk
dalam kategori Badan Publik sebagaimana yang dimaksudkan RUU KMIP. Menurut Djoko
Susilo, BUMN/BUMD mengelola dana ratusan trilliun, jumalh BUMN dan BUMD pun
mungkin terhitung ratusan. Tetapi dengan asset sebesar itu, kontribusi atau profitnya sangat
tidak seimbang, sekian banyak selalu merugi atau dibikin rugi?. Selain itu beliau menyatakan
dari segi good corporate governance, ada banyak masalah. Banyak praktek menyimpang,
baik dalam pengelolaan BUMN apalagi BUMD, seperti di daerah Kabupaten Joko Susilo
mencontohkan betapa PDAM itu menjadi “sapi perah” para pejabat setempat. Selanjutnya,
ditingkat Propinsi, ada pula bank-bank BUMD yang menjadi sapi perahan pejabat di tingkat
Propinsi. Pendapat lain yang menetang argumen pemerintah berasal dari Abdillah Toha (FPAN), Hajriyanto Thohari (F-PG), Alm. Arief Mudatsir Mandan (F-PPP), dan Soewarno (FPDI).
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
200
Suara pendapat yang kurang menyerang argumen pemerintah datang dari partai
pendukung pemerintah yaitu Fraksi Partai Demokrat yang diwakili oleh Marcus Silano yang
hanya mengusulkan tentang penggabungan DIM Pemerintah dengan rumusan DPR.
Pada akhirnya rapat ditutup pada pukul 12.30 wib karena diskors untuk makan siang
dan sholat dan disepakati untuk sekaligus ditutup dan dilanjutkan minggu depan tanggal 22
Mei 2006.
 Rapat 2 : Raker Terbuka (22 Mei 2006)
Raker yang berlangsung pada hari Senin pukul 14.00 WIB di Ruang Rapat Komisi I
DPR RI ini masih membahas lanjutan pembahasan sebelumnya dan sikap pemerintah masih
tetap pada pendirian semula yang menolak memasukkan BUMN dan BUMD sebagai Badan
Publik karena dikhawatirkan oleh Menkominfo akan terjadi kekacauan rezim yaitu rezim
bisnis dimana transparansinya sudah ditentukan oleh berbagai ketentuan pasar modal dan itu
berlaku universal. Dengan demikian Pemerintah meyakini bahwa dengan menundukkan
BUMN dan BUMD pada ketentuan hukum bisnis, ketentuan hukum pasar modal dan ketika
dia dikatakan sebagai perusahaan publik atau perusahaan terbuka maka dia wajib
menyampaikan laporannya secara berkala kepada Bursa Efek atau melaporkan laporannya
kepada Bapepam, sehingga semua orang akan bisa mendapatkan akses, tetapi dia tidak
tunduk kepada Undang-Undang KMIP yang lebih kepada nuansa politik, ungkap Sofyan
Djalil.
Menanggapi argumen pemerintah tersebut anggota Komisi I mayoritas masih
memberikan suara yang serupa yaitu tetap menolak usulan Pemerintah dengan berbagai
macam argumen misalnya dari Antarini Malik (F-PG) yang menyatakan alasan pentingnya
memasukkan BUMN dan BUMD sebagai badan publik karena merupakan lembaga yang
mendapatkan dana dari APBN dan APBD. Kemudian Abdillah Toha dari Fraksi PAN mulai
menyatakan penghargaannya terhadap argumen Pemerintah namun tetap mengusulkan agar
BUMN dimasukkan dalam bagian lembaga publik demi menghindari kekhawatiran akan
informasi keuangan yang tidak dipublikasikan ketika aktivitasnya menggunakan uang
masyarakat atau uang negara.
Komentar agak keras datang dari A. S Hikam (F-PKB) yang mengatakan bahwa
usulan DPR RI lah yang paling relevan karena milik negara harus menjadi atau harus
mampu menjalankan
good corporate governement dan BUMN merupakan salah satu
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
201
persoalan ekonomi terbesar bangsa ini karena banyaknya permainan uang dan klaim tentang
kerugian padahal mungkin tidak semuanya merugi.
Menanggapi berbagai keberatan dari DPR RI maka Pemerintah mengajukan 2 usulan
yaitu : Pertama, BUMN tetap seperti yang diusulkan yaitu adalah badan publik tetapi nanti
ketika akan menjelaskan prinsip-prinsip transparansi harus dipisahkan, agar jangan nanti
BUMN itu sama dengan jabatan pemerintah, BUMN itu bagaimana security nasionalnya,
lembaga-lembaga swasta yang mendapatkan dana dari Pemerintah sehingga jangan nanti
transparansi BUMN diharapkan sama dengan transparansi kepada badan-badan yang tidak
mencari keuntungan. Kedua, BUMN itu bisa dikatakan badan usaha atau perusahaan publik
yang tunduk dengan ketentuan Undang-undang pasar modal. Dimana Undang-undang pasar
modal itu sebenarnya menginginkan tidak transparan tetapi yang transparan di Undangundang pasar modal adalah transparansi yang cukup menjamin transparansi tanpa merugikan
cara berbisnis mereka, tanpa merugikan persaingan, tanpa merugikan inhern di dalam
pengelolaan bisnis.
Pendapat Menkominfo ini kemudian dikuatkan oleh unsur (jajaran) pemerintah yatu
Prof. Ahmad Ramli yang menyatakan bahwa di beberapa negara lain semisal Inggris, tidak
dijelaskan secara tegas BUMN itu masuk, kemudian di Thailand menyatakan Badan Publik
itu adalah eksekutif, legislatif dan yudikatif dengan tidak menyebutkan kriteria apapun,
namun di Amerika yang namanya eksekutif itu tertutup sama sekali begitu juga dengan
parlemennya, sehingga diusulkan bahwa jangan sampai dengan membuka semuanya jadi
berakibat yang tidak produktif.
Walaupun demikian pada rapat ini DPR tetap bersikeras juga menanggapi dengan
penolakan yang sama. Seperti misalnya H. Untung Wahono dari FPKS menyatakan bahwa
tidak perlu ada pengecualian terhadap badan publik sehingga yang diperlukan adalah melihat
hal-hal yang terbuka-terbukanya bisa merugikan dan tertutup-tertutupnya bisa merugikan. Di
sisi lain Abdillah Toha dari fraksi PAN mengomentari ketidak tepatan garis mengenai
BUMN dalam hal rezim politik dan rezim usaha, dikatakan tidak tepat karena BUMN bisa
dikatakan sebagai entitas politik karena ketika dia didirikan dan ketika dibubarkan pun
merupakan keputusan politik dan maupun ketika dalam rapat umum pemegang saham si
BUMN ingin melakukan ekspansi itu juga sebuah keputusan politik.
Sementara itu Hajriyanto Thohari dari Fraksi Golkar mengusulkan pemisahan antara
Badan Publik yang mendapatkan APBN/APBD dengan badan publik dana dari sumbangan
masyarakat ataupun sumbangan luar negeri sebagaimana Partai Politik, LSM dan Organisasi
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
202
Massa karena jika dijadikan satu kategori dalam satu tarikan nafas hal tersebut sangat tidak
fair, selain itu Hajriyanto menegaskan bahwa sebenarnya posisi BUMN, BUMD, BHMN dan
Organisasi non pemerintah yang dibiayai APBN dan APBD itu bisa dikatakan Badan Publik
sebagaimana keinginan dari pemerintah juga, namun sebaiknya penyebutan dipisah dari mana
yang anggarannya murni APBN/APBD dan mana yang sumbangan masyrakat atau asing.
Pembahasan mengenai DIM 15 tentang badan publik ini belum menemui kesepakatan
dan kemudian diputuskan untuk dilanjutkan ke Panja.
 Rapat 3 : Raker Terbuka (26 Maret 2007)
Pada raker yang dilakukan di ruang rapat Komisi I DPR RI puku 09.00 WIB ini hanya
memutuskan bahwa menyangkut perumusan sistematika penyelesaian hal-hal yang belum
selesai di tingkat Komisi termasuk tentang Badan Publik akan dibawa ke rapat Panja. Panja
dibentuk terdiri dari 29 orang anggota Komisi I yang terdiri dari Pimpinan DPR, Pimpinan
Komisi dan anggota-anggota. Sebagaimana pernyataan Ketua rapat Theo Sambuaga berikut
ini :
 Rapat 4 : Rapat Panja Tertutup (29 Mei 2007)
Rapat Panja dilakukan hari Selasa pukul 09.00 wib di ruang rapat Komisi I DPR RI
bersama dengan Menkominfo beserta jajarannya. Rapat di ketuai oleh Drs. H. Tosari Widjaja
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
203
dari Fraksi PPP yang membuka dengan membacakan kesimpulan rapat yang pernah
dilakukan sebelumnya terkait dengan bahasan Badan Publik, yaitu bahwa usul Pemerintah
adalah memasukkan organisasi non Pemerintah yang meliputi Lembaga Swadaya
Masyarakat, Organisasi Massa, Partai Politik dan atau institusi sosial dan atau masyarakat
lain yang mendapatkan dana dari sumbangan masyarakat dan atau sumber keluar negeri serta
pemerintah mengusulkan akses informasi badan-badan usaha perlu dibatasi untuk
menghindari persaingan usaha yang tidak sehat.
Ketua rapat menyampaikan resume sikap sejumlah fraksi dalam rapat kerja yang
sebelumnya telah dilakukan, misalnya pendapat dari Fraksi PAN tentang adanya badan
publik yang menggunakan keuangan masyarakat tapi tidak dilaporkan, sehingga tidak perlu
ada kekhawatiran jika BUMN dimasukkan. Dari Fraksi PKB menyampaikan bahwa semangat
dari reformasi adalah perbaikan disegala bidang, BUMN adalah salah satu persoalan dari
ekonomi karena secara umum selalu merugi, publik tidak mengetahui secara benar dan apa
adanya persoalan yang terjadi dalam BUMN tersebut, contoh Garuda, penumpangnya selalu
penuh tetapi dalam laporannya selalu merugi. Fraksi PKS juga memberikan penjelasan dan
Pemerintah menyatakan BUMN tidak dimasukkan, BUMN dijadikan badan publik sepesial.
Pendapat dari Antarini Malik (F-PG) kembali menyatakan sikap bahwa dari Fraksi
Golkar tetap harus memasukkan BUMN dan BUMD karena mereka mendapatkan anggaran
dari Pemerintah. Pendapat Fraksi PDIP yang diwakili oleh Andreas Pariera mengusulkan agar
Pemerintah perlu menyampaikan dasar-dasar mengapa Pemerintah mengusulkan itu.
Pihak Pemerintah yang diwakili oleh Prof. Ramli menyampaikan bahwa dasar
pemerintah mengusulkan hal tersebut adalah dari hasil pengkajian atas undang-undang lain
yang telah ada (sebagai landasan) misalnya undang-undang nomor 19 tahun 2003, undangundang nomor 1 tahun 2005 tentang Perseroan Terbatas, dan undang-undang nomor 3 tahun
1982 tentang wajib daftar perusahaan dan lain-lain, temasuk undang-undang nomor 8 tahun
1995 tentang Pasar Modal sehingga pemerintah berpendapat sebaiknya BUMN itu diserahkan
kepada undang-undang yang mengaturnya secara sendiri.
Terhadap alasan pemerintah tersebut, Andreas Pariera dari fraksi PDI-P mencoba
mengingatkan pemerintah bahwa pada waktu pertemuan akhir pemerintah sempat
menyinggung tentang kriteria lain yang penting dan publik perlu tahu tentang badan publik
dan akan diatur dalam undang-undang yang lain dan RUU KIP adalah undang-undang yang
akan memayungi undang-undang lain tersebut. Dengan demikian harus diberikan kesempatan
pada UU KIP untuk memasukkan lembaga publik yang mempergunakan anggaran dari
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
204
negara yang didanai dari uang rakyat. Andreas juga menghimbau harus ada kesepahaman
dulu tentang definisi apa yang dimaksudkan dengan lembaga publik baru bicara soal
rumusan. Begitu pula pendapat dari fraksi PPP yang disampaikan oleh Muhammad Al
Haidar yang tetap menginginkan bahwa BUMN dan BUMD dimasukkan dalam badan publik
dengan alasan pendanaannya dari APBN, sehingga informasinya harus bisa diakses.
Ditambahkan lagi oleh Dedi Djamaludddin Malik dari fraksi PAN mengapa BUMN BUMD
harus masuk karena memang prinsipnya seluruh lembaga yang mendapatkan dana APBN
baik sebagian atau seluruhnya itu harus dipertanggung jawabkan, ini terkait dengan unsur
preventif dari pemanfaatan dana Negara yang ujung-ujungnya terkait dengan Good
Governance dan Cleans Governance, sehingga tidak berasalasan kalau Pemerintah
menganggap tidak perlu dimasukkan, demikian ungkap Dedi.
Pendapat yang sama yaitu menolak usulan Pemerintah juga datang dari fraksi PKB
yang disampaikan oleh Suharno menyatakan bahwa usulan rumusan dari DPR adalah yang
paling relevan. Pendapat ini pun didukung langsung oleh Hilman Rosyad Shihab dari frasksi
PKS yang mengatakan bahwa PKS tetap pada pendirian semula yaitu menginginkan BUMN
dan BUMD harus dimasukkan dalam definisi Badan Publik.
Pendapat berbeda datang dari Fraksi Partai Demokrat yang disampaikan oleh F.X
Soekarno yang cenderung mencoba memperjelas dan mendukung pendapat Pemerintah
bahwa BUMN dan BUMD bisa dimasukkan sebagai badan publik namun dibatasi khusus
pada hal-hal yang tidak dilarang.
Terhadap hal ini kembali Andreas Pariera menegaskan sikapnya “apa jadinya kalau
BUMN ini kita tempatkan di luar, tidak di dalam Definisi Badan Publik, apakah kemudian
kita tidak ingin melihat, misalnya kasus seperti Jamsostek, Pertamina, Bulog dan selama ini
kasus-kasus ini adalah kasus-kasus penyelewengan keuangan negara yang masuk dalam
delik aduan korupsi” sehingga menurutnya agumentasi dari pemerintah dianggap belum
cukup meyakinkan dan boleh dikatakan lemah karena sesuai dengan faktanya bahwa yang
namanya BUMN itu diaudit oleh BPK, serta dasar pendirian dari pembentukan BUMN juga
berdasarkan pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa untuk kepentingan pelayanan
publik oleh karena itu diberikan kesempatan untuk menguasai bidang ekonomi yang menjadi
bidang layanan publik tersebut, disamping itu fungsi BUMN sendiri adalah pelayanan publik
dan jika dilihat bahwa pengambilan keputusan penting politik di dalam BUMN adalah bagian
dari keputusan politik, sehingga tidaklah tepat jika kalau dikatakan BUMN bebas dari rezim
politik dan hanya harus ditempatkan pada rezim ekonomi saja. Oleh karena itu harus jelas
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
205
dahulu wilayah antara rezim ekonomi dan rezim politik sehingga di dalam definisi badan
publik tidak ada wilayah abu-abu yang akan membuat kebingungan dalam pendefinisian bdan
publik.
Pendapat ini didukung oleh Hajriyanto Thohari dari fraksi Golkar, sekaligus beliau
menghimbau kepada peserta rapat yang hadir bahwa jika pembahasan tidak beranjak dari
penolakan secara kategoris maka tidak akan ditemukan titik temu bahkan sampai pada rapat
tim perumus (timus) atau Paripurna sekalipun.
Kesimpulan akhir, rapat diputuskan dipending dan akan dibicarakan lebih lanjut
dalam forum tersendiri, apakah lobby dan lain-lain.
 Rapat 5 : Rapat Panja Terbuka (10 September 2007)
Dalam rapat panja yang berlangsung pukul 12.00 wib di ruang rapat Komisi I DPR RI
ini tidak ada bahasan khusus mengenai badan publik, namun di kesimpulan akhir Ketua rapat
membacakan bahwa terdapat beberapa pembahasan yang masih bersifat pending, salah
satunya adalah keputusan tentang kategori Badan Publik, sehingga diputuskan untuk dibawa
ke Timus (Tim Perumus). Ketua rapat di akhir pernyataan menyampaikan bahwa tugas
sebagai Panja telah selesai dan beberapa hal yang masih pending akan diselesaikan di tim
perumus.
Dari gambaran kondisi rapat yang berlangsung tersebut, hingga rapat ke -5 (dari total
ada 8 kali rapat tentang badan publik) masih tercipta ketertutupan pikiran pada kelompok
Panja Komisi I RUU KIP. Sebagaimana yang diperkuat oleh informan berikut ini :
“Jadi gini di fraksi itu ada orang yang begitu involved dengan persoalan itu. Ada
yang melaksanakan kewajiban saja jadi maksudnya tiap fraksi punya pandangan gitu
ya dan itu di share kemudian pandangan bagaimana fraksi ini, fraksi ini gitu kan
misalnya di situ kan terjadi perdebatan. Nah yang kemudian bisa berubah itu ialah
ketika terjadi perdebatan maka ada orang yang tadi gimana baiknya gitu. Jadi ketika
pemerintah ngotot ya tadi ikut pemerintah gitu. Nah sementara yang lain tetap
bertahan misalnya. Ya sudah pokoknya kita tahu posisi dia begitu, kapasitasnya
kemudian ininya kan gitu kalau sudah keputusan politik kan bukan kekuatan logika
lagi. Ini sudah kepentingan ya, kita ya ini memang forum kepentingan lagi kan. Ya,
akhirnya diam. cuma kita sudah tahu nih tik taknya dengan siapa kan gitu, oh kalau
misalnya dengan PDIP dengan Golkar Pak Hartono, dengan PDIP Andre misalnya
gitu. PKB Pak Eko itu aja yang kelihatannya kalau anda coba dicek lagi kelihatannya
yang dominan.” (Deli)
“Karena saya sebagai pimpinan jadi ga banyak bersuara ya, tapi pada akhirnya Saya
merasa saya bisa accepted people by the power of citizen. Nah orang kalau bukan
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
206
pede, kalau kita punya pengetahuan yang cukup, kita punya keyakinan bahwa kalau
kita ini based on knowledge. (Sindoro)
“Ada kan kita ee pikiran-pikiran yang kita kemukakan itu ya pikiran-pikiran dari
publik dari lsm, penggiat-penggiat ee demokrasi dari kelompok-kelompok civil society
yang ahli di bidang kepentingan publik itu. Kita umumnya berpandangan sama
kecuali DPR dari pendukung pemerintah ya. Justru negara itu hal-hal yang terkait
dengan APBN terkait dengan kebijakan yang meyangkut hajat hidup orang banyak,
itu bukan rahasia. Itu hak publik harus tahu. Sehingga ada unsur kekhawatirankekhawatiran dari pihak pemerintah. Atau pihak DPR juga yang memang DPR kan
juga banyak dari kalangan birokrat. Jadi begini semua adalah hasil proses dialektik
intelektual, dialektik wawasan, dialektik kepentingan, dialektik wacana, lalu
kemudian...itu wajar dalam konteks demokrasi. Yang kedua semua gagasan,
pendapat, segala macem itu masing-masing mengandung unsur relativitas. Tidak ada
pendapat satu manusia itu mutlak benar. Nah kemudian hasil proses itu terjadilah
keputusan seperti itu. Menurut saya yaa sesuatu yang terbaik. Ini kan cermin dari
perjalanan suatu bangsa yang diwakili yang di representasikan oleh wakil-wakilnya
yang ada dilembaga negara gitu kan?” (Eko)
“Ya itu juga banyak perdebatan, kita punya sikap tapi pemerintah maunya banyak
sekali informasi maunya DPR yang dibelakangnya LSM-LSM itu maunya informasi
yang dikecualikan itu sedikit saja tapi pemerintah maunya yang banyak. Logikanya
DPR kalau yang dikecualikan banyak namanya yang tidak dikecualikan dong ,
dikecualikan ini misalnya dari sepuluh kecuali dua atau kecuali satu. Nah ini dari
sepuluh kok kecualinya sembilan itu namanya ya nggak benar, itu yang pertama itu.
Yang kedua, definisi yang dikecualikan, bagi pemerintah pokoknya asal tertulis disitu
dikecualikan artinya. Tapi ya ujungny sepakat jugalah.” (Hartanto)
“Setiap kebutuhan, ada deadlock satu rumusan, itu kita cari, kita lapor ke fraksi,
biasanya yang begitu-begitu pengamat politik, itu kita undang, saya lupa namanya.
Pengamat politik kemudian kalangan universitas juga kita undang. Nah yang ahli
agama di Islam itu kita undang juga karena jangan sampai kita PPP punya asas
Islam jangan sampai bertentangan rumusan-rumusan itu. Jadi kalau rumusan yang
dimasukkan bertentangan dengan Islam kita harus berteriak. Jadi di situ kontrolnya,
bukan benderanya. Jadi begini, masukan dari luar itu bisa Pansus itu sendiri
meminta atas usul anggota, minta dengar pendapat, siapa usulkan ini diundang, itu
bisa tetapi fraksi-fraksi juga mengadakan sendiri-sendiri, semua fraksi karena itu
nanti kan saya sebagai kopral di lapangan kan diadu. Kalau saya tidak diberi peluru
iya nggak bisa bunyi. Hampir semua dari kami menguatkan dan meyakinkan
pandangan, jadi kalau tingkat pertama begini, dari tidak ada jadi ada walaupun tidak
100%. Nah, kita sudah sepakat kan untuk menyatakan, kita membahas RUU KIP itu
sendiri kan harus meyakinkan pemerintah bahwa itu perlu tapi untuk meyakinkan
pemerintah bahwa itu perlu, mau menerima untuk bersidang itu kan persoalan
sendiri kan. Nah tapi setelah itu artinya perlu ada, kita setahap demi setahap itulah
akhirnya menjadi lama. Tapi alhamdulillah pada akhirnya semua bisa diakomodir
tentang BUMN/BUMD itu, kita terima.” (Tojaka)
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
207
Dari informan tambahan juga menyatakan pendapat yang relatif sama dengan
informan utama yaitu bahwa pada akhirnya ada semacam penerimaan oleh Komisi I DPR
terhadap argumen dari pemerintah, sebagaimana dinyatakan Anggodo :
“Kalau komisi I ya bukan puas, nggak puas tapi mereka menerima itu kan keputusan
mereka sendiri. Mereka senang karena UUnya terlalu lama dan membebani kerja kita
Parameternya kan nggak ada yang menolak kan, nggak ada yang istilahnya apa, walk
out, nggak ada kan semuanya menerima, semuanya tanda tangan mereka berarti.”
Sedangkan untuk indikator ketertutupan pikiran yang kedua adalah adanya sterotip
kelompok luar (stereotypes of
outgroups), yaitu persepsi sterotip mengenai rival atau
musuh. Sterotip-sterotip ini menekankan fakta bahwa lawan terlalu lemah sehingga tidak
layak untuk didengar. Hal ini berkaitan dengan penjabaran di atas bahwa sebenarnya tidak
ada yang dianggap musuh oleh kelompok komisi I DPR RI sebagai pembahas RUU KIP,
walaupun dalam hal tersebut pemerintah memiliki persepsi/argumen yang berbeda, termasuk
juga kalangan LSM yang banyak mencoba untuk tetap meyakinkan DPR dengan usulan awal.
Namun jika melihat hasil akhir keputusan yang mampu mengakomodir keinginan DPR dan
Pemerintah terkait Badan Publik, maka terlihat bahwa kelompok masih dapat menerima
pandangan-pandangan pemerintah. Seperti sebagaimana diungkap oleh informan ;
“Terkait dengan hal tersebut ya kita cukup memaklumi bahwa begitulah dinamika
dalam perumusan undang-undang namun bukan berarti ketidak setujuan dari pihak
lain tersebut sebagai suatu penghalang bagi kita untuk menyelesaikan tugas, ya
pastinya kita dengarkan, saring dan diskusikan.” (Deli)
“Ya itu karena ada sesuatu yang logis dan dapat diterima saya rasa ya ga ada
masalah. Tapi saya lupa itu persisnya bagaimana, yang jelas bisa diterimalah.”
(Sindoro)
“Ya itu kan hasil asahan pikiran yang berlangsung terus. Kembali lagi tujuan
awalnya ini apa, harus selesai tho? itulah hasil maksimal yang kita capai. Itu produk
dari apa namanya tingkat kemampuan kita itu juga cermin dari keberagaman
masyarakat kita.itu aja. Itu juga sekaligus cermin masyarakat gitu ya. Jadi kalau
produk apa yang kita produk itu tidak modern betul tidak hebat betul itu juga cermin
dari masyarakat.” (Eko)
“Ya nggak begitu juga karena kita kan mencari kesepakatan. Saya bertahan sampai
itu, BUMN yang tidak boleh masuk, tidak dimasukkan dalam badan public, BUMN
tidak dibolehkan masuk dalam badan public. Ya sampai kemudian ada di kompromi,
di pasal itu coba saya lihat, sampai terjadi kompromi di pasal sehingga munculnya
pasal 14 itu sebagai konsekeensi dari tidak disetujui, tidak disepakatinya BUMN
sebagai badan public.” (Hartanto)
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
208
“Iya kita diskusikan, yakinkan, diyakinkan dan kita tidak bermaksud untuk melakukan
tindakan-tindakan otoriter ya. Kita buka saja, umpamanya begini, BUMN harus buka
apa adanya, lalu bagaimana persaingan BUMN 1 dengan BUMN yang lainnya, iya
kan kan umpamanya kan ada dana cadangan, itu dibuka nggak, kalau dibuka
cadangan untuk apa, berapa banyak, kan perusahaan lain, yang sejenis, yang
mestinya bersaing. Dia tahu “wah ini harus dilawan kan terjadi perang, tetapi tetap
hal-hal yang layak diketahui oleh public harus kita buka. Jadi yang saya sebut
pengecualian tadi, ada yang mesti dikecualikan seperti di BUMN, di militer,
intelligent mana ada laporan pertanggungjawaban di situ. Nah itukan tidak boleh
dipaksa, umpamanya saya menyogok ini untuk keperluan mata-mata kan nggak bisa,
tidak ada kuitansinya. Saya mencatat situasi seperti itu disorientasinya memang
untuk kepentingan membuat aturan-aturan yang bisa diterima oleh public. Biasanya
kan begini, kita ini setiap menghadapi pembahasan UU, itu kita mendapatkan
masukan katakanlah peluru dari berbagai penjuru, dari kalangan partai, dari
kalangan public, dari kalangan cendekiawan. Itu kan kita undang semua, kita dengar.
Nah ketika ada masalah yang mungkin kita tidak bisa merumuskan sedangkan
pikiran-pikiran yang akan dirumuskan itu tidak pas, kan kita undang, jadi tetap kita.
semua melakukan begitu dan biasanya dia bertahan tapi setelah terjadi proses, itu
baru bergeser. Turun itu bukan karena loyo kehabisan tenaga karena memang sudah
waktunya ada pendekatan. Nah di situ barangkali banyak orang menyatakan politik
itu kompromi, ya komprominya seperti itu, bukan kompromi dapat berapa, bukan tapi
komprominya itu yang tadinya kita berbeda kemudian kita lakukan pendekatan, kayak
tawar menawar juga.” (Tojaka)
Pendapat tersebut dibenarkan juga oleh informan tambahan dari kalangan Pemerintah
yang mengatakan bahwa terdapat nama-nama anggota Komisi I yang memang agak keras
menentang argumen pemerintah seperti Andre dari PDI-P serta Deli dari PAN, sementara
dari partai Pemerintah yaitu demokrat cenderung sepaham dengan pemerintah, namun karena
jumlah mereka sedikit jadi tidak terlalu terlihat dan terdengar suaranya. Disebutkan oleh
informan perwakilan pemerintah, bahwa yang jadi penengah sehingga pihak DPR bisa
menurunkan tegangan dan akhirnya bisa sepakat dengan pemerintah yaitu (alm) Arief
Mudatsir Mandan dari PPP.
Karena pada dasarnya dipersepsi oleh pemerintah bahwa
penguasaan materi oleh kelompok Komisi I DPR RI tidak “secanggih” penguasaan LSM.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Icel :
“Saya berikan suatu gambaran dalam pembahasan di komisi 1, bahwa penguasaan
terhadap materi penerbitan undang-undang ya, itu tidak secanggih dibanding dengan
penguasaan LSM, ngerti gak? Jadi kalau kita ada pembahasan itu kan Prof. Ahmad
Ramli ahlinya jadi nah betul-betul kan kalo pak Ramli sudah memberikan pencerahan
itu DPR tuh diem hehehe.”
Pada akhirnya keputusanya mengatakan bahwa pemerintah menerima usulan dari
DPR bahwa BUMN memang harus terbuka tapi tidak boleh terbuka telanjang. Caranya
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
209
dengan menentukan mana yang boleh dibuka mana yang tidak melalui Pasal 14, 15, dan 16
RUU KIP dan hal tersebut disepakati. Hal ini diterima oleh Panja Komisi I karena menurut
pemerintah dalam BUMN BUMD terdapat rezim bisnis, sehingga untuk menjaga eksistensi
perusahan negara tidak bisa dibuka seluruhnya.
Dengan demikian setelah diskusi panjang yang dianggap melelahkan akhirnya baik
DPR maupun Pemerintah bersepakat untuk mengakomodir semua keinginan baik dari DPR
dan Pemerintah. Akhirnya BUMN/BUMD dikategorikan sebagai Badan Publik hanya saja
penyebutan dalam teks tidak ditampilkan di Pasal 1 ayat 3 sebagaimana rumusan awal DPR,
melainkan dimunculkan di Pasal 14 dengan syarat informasi yang boleh dibuka oleh
BUMN/BUMD, kemudian LSM dan Parpol juga menjadi dimasukkan sebagai Badan Publik
dengan sejumlah syarat informasi yang boleh dibuka di Pasal 15 dan 16. Dengan demikian
Pasal 14,15,16 adalah pasal baru yang dilahirkan dari hasil kompromi di Komisi I DPR RI.
5.4.3 Tekanan untuk mencapai Keseragaman (Uniformity Pressures)
Faktor ini terjadi ketika adanya keinginan dalam kelompok untuk menjaga hubungan
baik di antara anggota.
Janis mempercayai bahwa dengan adanya gejala ini maka
kemungkinan untuk terlibat di dalam groupthink akan terjadi. Beberapa gejala yang termasuk
dalam ketegori ini adalah sensor diri (self cencorship), ilusi akan adanya kebulatan suara
(illusion of unanimity), tekanan terhadap para penentang (direct pressure) dan mindguards –
semacam anggota kelompok yang melindungi kelompok dari informasi yang tidak
mendukung - .
Pada rapat lanjutan ke -6 hingga ke -8 tergambar bahwa faktor ketertutupan pikiran
yang sebelumnya tidak bisa mengatasi masalah, pada tahap selanjutnya anggota kelompok
Panja Komisi I semakin terdesak waktu sehingga memilih untuk mengambil keputusan atas
dasar kompromi yang tentunya tidak bisa juga dianggap berhasil karena tentunya terdapat
beberapa kekecewaan yang tersisa sebagaimana yang diunggkapkan oleh kalangan Koalisi
Masayakat Sipil bahwa secara tujuan penyelesaian berdasarkan waktu memang Panja Komisi
I DPR RI berhasil merampungkan tugasnya, namun hal tersebut bukannya indikasi bagi
tercapainya keberhasilan keputusan sebagaimana diungkap oleh Anggodo :
“Jadi begini, kita mengira yang kecewa dengan definisi badan public di KIP itu
hanya masyarkat sipil. Orang mengira hanya masyarakat sipil yang kecewa, itu juga
tidak benar karena pemerintah sendiri juga kecewa.”
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
210
Sementara itu Pujiyanto juga menyatakan bahwa hasil yang diberikan terhadap
pengesahan RUU KIP masih sekitar 65% dan masih banyak yang memerlukan penijauan
ulang.
Kronologi dinamika komunikasi yang terjadi jelang pengambilan keputusan
dijabarkan sebagai berikut :
 Rapat 6 : Rapat Timus Terbuka (19 September 2007)
Dalam rapat yang diselenggarakan di Hotel Santika Jakarta Barat pada pukul 18.00
WIB ini dibahas beberapa DIM yang belum tuntas menghasilkan keputusan, termasuk DIM
16 mengenai Badan Publik. Dalam bagian pembahasan yang terkait dengan DIM 16, diawali
dengan penjelasan pemerintah yang diwakili oleh Sekretaris Kementerian Negara BUMN M.
Said Didu menyebutkan bahwa BUMN yang hanya memiliki dua bentuk yaitu Perum dan PT
serta Tbk, dimana yang hanya boleh terbuka yaitu Tbk dan itu pun hanya ada tujuh
komponen yang penting dan boleh dibuka yaitu : satu, perubahan pemilik atau pengendali, 2.
Perubahan kegiatan utama perusahaan; 3. Rencana perusahaan dalam setahun; 4. Hal-hal
yang material yang akan mengganggu aktifitas operasi perusahaan; 5. Laporan keuangan
perusahaan itu bulanan, semesteran dan tahunan; 6. Hal-hal material yang akan mengganggu
perusahaan seperti bencana alam, kebakaran, mogok, masalah bahan baku; 7. Kepailitan dan
tuntutan hukum yaitu tuntutan hukum yang terjadi terhadap Tbk itu harus disampaikan ke
publik bahwa ini kami sedang menghadapi tuntutan hukum, namun di Undang-Undang Pasar
Modal jika ada sekira yang membahayakan Tbk itu dibolehkan tidak dibuka. Sehingga Said
Didu menambahkan jika maunya harus terbuka lebih dari apa yang boleh dibuka
sebagaimana aturan Tbk, maka dipastikan akan dapat mengganggu iklim investasi karena
tidak ada lagi persaingan usaha yang terjadi, sehingga yang paling fair adalah yang masuk
lembaga publik memang yang mendapat tugas Pemerintah, tidak memadang badan
hukumnya apakah BUMN atau non BUMN, jadi lembaga atau badan usaha yang
mendapatkan penugasan.
Terhadap argumen pihak pemerintah (Said Didu) para anggota kelompok masih
belum ada yang mengemukakan sepakat
dan cenderung seperti agak bingung dengan
pemikiran pemerintah sehingga diusulkan bahwa langsung membicarakan ke definisi
rumusan saja (teks) agar bisa cepat disepakati dan pemerintah diminta oleh Ketua rapat
membuat satu rumusan berdasarkan hal tersebut namun Hajriyanto Thohari dari fraksi Golkar
mengusulkan agar DPR dahulu yang mengusulkan rumusan setelah itu lihat bagaimana
Pemerintah. Di sisi lain pendapat ketidak setujuan masih diutarakan oleh Andreas Pariera dari
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
211
fraksi PDIP tentang sistem badan publik penugasan yang disebutkan oleh pemerintah tersebut
karena jikalau hal itu terkait dengan LSM NGO yang bergerak di Indonesia, mendapat
penugasan dan dana dari perusahaan
induknya, namun sementara aktifitas-aktifitas
pekerjaannya mempunyai efek publik yang cukup tinggi, maka mereka itu sama sekali tidak
tersentuh oleh keterbukaan. Pendapat Andreas ini kemudian dibenarkan oleh ketua rapat “ya
makanya ini banyak yang tidak tersentuh, saya kira penjelasannya banyak tetapi malah
banyak yang tidak tersentuh”.
Akhirnya, rapat juga belum bisa menghasilkan keputusan apapun sehingga diputuskan
untuk dilanjut esok harinya.
 Rapat 7 : Rapat Timus Tertutup (20 September 2007)
Rapat yang berlangsung pada hari kamis di Hotel Santika Petamburan Jakarta Pusat
berlangsung tertutup secara khusus membahas lanjutan DIM 16 tentang Badan Publik yang
belum juga selesai. Namun hal yang menarik dalam rapat ini adalah perubahan argumen
pemerintah tentang definsi Badan Publik yang sebelumnya Pemerintah mempunyai konsep
yang awalnya mennyebut lembaga per lembaga, maka pada rapat ini pemerintah membuat
rumusan baru yang lebih generik sehingga tidak pernah menyebut apa itu BUMN, BUMD,
Partai Politik, LSM dan yang lainnya, melainkan menyebutnya dengan satu rumusan yang
lebih generalisir, yang berbunyi seperti :
a. Badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif dari tingkat
pusat maupun daerah,
b. Lembaga lain fungsi dan tugas pokoknya melaksanakan penyelenggaraan
negara.
c. Lembaga atau badan usaha yang melaksanakan penugasan khusus pemerintah
dengan menggunakan dana dari anggaran dari Pendapatan Belanja negara dan
atau anggaran pendapatan belanja daerah yang keterbukaan infromasinya
terbatas pada kegiatan penugasan khusus pemerintah tersebut,
d. Lembaga atau organisasi non Pemerintah yang mendapatkan dana dari
Anggaran Pendapatan belanja negara dan atau anggaran pendapatan belanja
daerah dan atau sumbangan masyarakat dan atau sumber luar negeri yang
keterbukaan infromasinya terbatas pada penggunaan dana dari anggaran
pendapatan dan belanja negara dan atau anggaran pendapatan belanja daerah
dan atau sumbangan masyarakat tersebut.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
212
Dalam rapat ini pembahasan lebih berkisar pada perumusan dan pengelompokan teks
(kata-kata) yang ingin ditampilkan dalam pasal. Andreas Pareira (F-PDIP) dan beberapa
anggota lain seperti dari F-PKS, F-PKB, F-PD, F-PDS, F-PDIP menyatakan hal yang sama
yaitu point a dan b tidak ada persoalan, namun yang belum sepakat adalah point c dan d yang
memerlukan elaborasi lebih lanjut. Pada rapat ini juga belum ada hal yang disepakati dalam
kelompok tersebut.
 Rapat 8 : Raker Panja Terbuka (2 April 2008)
Rapat yang dilakukan pada pukul 19.00 di ruang rapat Komisi I DPR RI ini sudah
berisi kesimpulan/pernyataan sikap DPR (Komisi I) terhadap DIM 16 tentang definisi Badan
publik. Laporan hasil pembahasan dibacakan oleh Ketua Panja Alm. Drs. Arief Mudatsir
Mandan dari fraksi PPP, yaitu: pertama, rapat Panja yang dimulai 15 Mei 2007 sampai
dengan 2 April 2008 hampir 1 tahun ini membahas 318 DIM. Pada awal pembahasan rapat
Panja, disepakati untuk mengubah judul Rancangan Undang-Undang ini, yang semula
Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) menjadi
Rancangan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Dalam rapat panja ini
diputuskan beberapa DIM untuk dibahas dalam rapat panja ini, dibahas di tingkay Tim
Perumus dan Tim Khusus serta 2 DIM yaitu 16 mengennai definisi badan publik dan DIM
344 mengenai sanksi, dibahas dalam Tim Lobby.
Kedua, Rapat Timus dimulai pada tanggal 14 Sepetember 2007sampai dengan 15
Januari 2008 dengan membahas 240 DIM, jadi dari 318 panja kemudian ada sekitar 240 DIM
yang dibahas dalam Tim Perumus beserta penjelasannya. Dalam pembahasannya diputuskan
bahwa beberpaa DIM RUU dan penjelasan harus disahkan kembali dalam Rapat Panja,
sehingga Komisi I melaksanakan kembali Rapat Panja dalam rangka mengesahkan beebrapa
DIM RUU dan penjelasan sebagaimana yang diamanatkan oleh Tim Perumus.
Ketiga, lobby yang dilaksanakan dan disepakati dri kedua DIM akan dijelaskan
kesepakatannya.
Keempat, Panja juga membentuk Tim Sinkronisasi yang bekerja sejak tanggal 25 dan
26 Maret 2008.
Kelima, baik dari hasil lobby maupun Tim Sinkronisasi lalu dilaporkan dalam Panja
pada 31 dan 1 April kemarin, sehingga Panja mengesahkan, pada tanggal 1 kemudia pada
tanggal 2 siang tadi, Panja menyepakati hasil seluruh Panja kemudian dilaporkan dalam rapat
kerja ini.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
213
Berkaitan dengan penugasan Raker, Panja, dan Timus terhadap point-point yang harus
dibahas di tingkat lobby laporan hasil pembahasan di tingkat lobby terkait dengan definisi
badan publik adalah sebagai berikut :
Badan publik adalah lembaga eksekutif koma, legislatif koma, yudikatif koma, dan
badan publik lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara koma, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja negara dalam kurung APBN dan garis miring
atau anggaran pendapatan dan belanja daerah dalam kurung APBD koma, atau
organisasi non pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dana bersumber dari
APBN garis miring APBD koma, sumbangan masyarakat koma, dan garis miring
atau sumber luar negeri.
Definisi ini menyebabkan penambahan beberapa pasal yaitu pasal yang mengatur
informsi publik yang wajib disediakan oleh BUMN dan BUMD, informasi publik yang wajib
disediakan partai politik dan informasi publik yang wajib disediakan oleh organisasi non
pemerintah yaitu pasal termaktub dalam pasal 14 pasal 15 dan psal 16.
Tidak ada lagi keberatan-keberatan dalam rapat ini tentang definisi Badan Publik
artinya semua telah sepaham baik DPR maupun Pemerintah sehingga proses pembahasan dan
panita kerja RUU KIP dinyatakan selesai dan siap disahkan setelah mendengarkan pendapat
akhir mini dari masing-masing Fraksi yang dilaksanakan pada keesokan harinya (3 April
2008).
Dalam kelompok pengambil keputusan di Komisi I beberapa gejala hadir untuk
menegaskan adanya tekanan untuk mencapai keseragaman tersebut, namun beberapa kategori
tidak terlalu tergambar dalam penelitian ini.
Kategori sensor diri yang merujuk pada kecendrungan para anggota kelompok untuk
meminimalkan keraguan mereka dan adanya argumen-argumen yang menentang, ditunjukkan
dengan adanya upaya untuk saling menguatkan pendapat diantara para anggota kelompok
ketika pembasahan RUU KIP belum menemui titik temu. Beberapa orang dari kelima
informan dalam penelitian ini kebetulan memiliki ikatan keakraban sehingga diakui oleh
mereka ada upaya untuk saling menguatkan dan mendukung pendapat satu sama lain. Selain
dari informan yang diwawancarai, tergambar juga di risalah rapat bahwa beberapa orang
anggota juga saling mendukung argumen rekannya walaupun berbeda fraksi, namun untuk
fraksi dari pengusung pemerintah (Fraksi Partai Demokrat) memang terlihat lebih
menyampaikan argumen diplomatis dan netral, bahkan cenderung mendukung argumen
pemerintah.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
214
“Oh,biasanya sama pak happy bone (golkar), andreas pariera (pdip) sama pak
hajriyanto (golkar) kita biasa diskusi dan menyamakan persepsi. Bisa juga dilihat di
risalah rapat bagaimana sikap saya dan teman-teman”. (Deli)
“Ya saya sih biasa saja, karena memang bisa diterima secara logis ya gapapa”.
(Sindoro)
“Sebenarnya di DPR itu mbak ga ada yang terlalu pro ke siapa ke siapa, semua
bebas berpendapat dan kalaupun pada akhirnya disepakati semua ya alamiah saja”.
(Eko)
“Ya ada, di risalah kan kelihatan itu bagaimana kita. Ya waktu itu siapa ya? Paling
Andreas Pariera dari PDIP terus pak Deddy dari PAN, Pak Efenndy Choirie dari
PKB. Kita ya mengingatkan dalam rapat-rapat agar konsisten gitu”. (Hartanto)
“Nah kita juga berbicara tentang itu Kadang-kadang juga bisa saling menopang
seperti yang dikemukakan oleh fraksi PPP. Semua melakukan begitu dan biasanya
dipertahankan tapi setelah terjadi proses, itu baru bergeser. Jangan sampai kita
menerima masukan yang sebenarnya mengadu domba kita atau menjerumuskan kita
dan itu kita jaga juga. Nah di situ barangkali banyak orang menyatakan politik itu
kompromi, ya komprominya seperti itu, bukan kompromi dapat berapa, bukan tapi
komprominya itu yang tadinya kita berbeda kemudian kita lakukan pendekatan, kayak
tawar menawar juga” (Tojaka)
Dalam risalah rapat mengenai bahasan Badan Publik tanggal 15 Mei 2006 terlihat
bahwa rumusan RUU dari DPR tentang Badan Publik disebutkan bahwa BUMN, BUMD,
BHMD dan Organisasi non Pemerintah yang mendapatkan dana dari anggaran negara dan
anggaran daerah atau usaha swasta dalam menyelenggarakan kegiatannya merupakan Badan
Publik, namun Pemerintah mengusulkan LSM, Organisasi Massa, Parpol, Institusi sosial atau
Kemasyarakatan lain yang mendapatkan dana dari sumbangan msayarakat atau sumbangan
luar negeri juga dimasukkan sebagai Badan Publik serta mengusulkan agar BUMN, BUMD
dan Badan Swasta lain tidak dimasukkan dalam Badan Publik dengan alasan karena sistem
akuntansinya sudah mempunyai mekanisme korporasi, sehingga sudah ada lembaga yang
mengauditnya seperti BPK, BPKP atau Akuntan Publik.
Hal ini lah yang kemudian di kritik oleh Komisi I DPR sehingga hampir seluruh
perwakilan fraksi mengemukakan pendapatnya, saling menolak usulan pemerintah tentang
status BUMN, BUMD dan BHMN dan Badan Swasta lain tersebut, serta mempertanyakan
keinginan pemerintah yang mengusulkan organisasi massa dan partai politik masuk sebagai
Badan Publik, seperti yang dinyatakan oleh salah satu anggota kelompok yang tidak
diwawancarai yaitu Ade Daud Nasution dari fraksi PBR :
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
215
Namun pengecualian datang dari Fraksi Demokrat yang diwakili oleh Marcus Silano
yang berusaha memberikan pendapat netral diplomatis karena memang Partai Demokrat
adalah Partainya Pemerintah pada masa itu.
Sikap dukungan dari fraksi pemerintah ini juga dibenarkan oleh informan pendukung
Agus Sudibyo yang menyatakan :
“Kalau DPRnya relative punya pendapat yang sama ya, kayaknya ingat DPR itu dari
Golkar itu mas Hajriyanto Thohari dari PAN itu Pak Djoko Susilo terus kemudian
PDI itu Andreas Parera kalau nggak salah, PKB itu Effendy Choirie, terus PAN itu
Tristanti Mitayani. Kalau Demokrat Nah itu, Shidki Wahab itu yang pro pemerintah.”
(IP-2)
Adapun pendapat informan yang dinilai untuk meminimalkan keraguan dengan
adanya argumen yang tidak sesuai dari pemerintah juga tergambar di risalah sebagaimana
dinyatakan berikut ini :
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
216
Demikian juga yang disampaikan oleh IU-3 tentang keberatannya dalam risalah rapat
yang tergambar sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
217
:
Berkaitan dengan kategori Ilusi Kebulatan Suara (Illusion of Unanimity) ditandai
dengan sikap diam sebagai tanda setuju. Meskipun terdapat pemikiran yang berbeda namun
sikap diam (tanpa protes) mendorong anggota lainnya untuk berpikir bahwa terdapat
konsensus pada keputusan yang diambil.
Mengenai hal ini terdapat suatu kondisi dimana ada beberapa bagian dari kelompok
yang terpaksa ‘diam’ dalam arti agak sulit mengemukakan argumennya dikarenakan adanya
dominasi dari beberapa anggota yang memberikan perhatian penuh dan menguasai substansi
pembahasan. Sebagaimana di ungkapkan oleh informan pendukung 3 dari pemerintah yang
menyatakan :
“Gimana ya, pertama kan saya bilang perhatian dari sekian puluh anggota
didominasi oleh orang-orang tertentu yang memang memberikan perhatian penuh,
gitu ya. Jadi otomatis kalo hanya orang tertentu-tertentu saja tidak bisa dikatakan itu
pendapatnya seperti itu, yang diem cuma diem ngikut aja, makanya tadi nama-nama
yang dominan aja Hajriyanto Golkar dan Andreas Pareira dari PDIP, Djoko Susilo
dan Dedi Djamluddin Malik dari PAN.” (IP-3)
Selain itu berkenaan dengan ‘diam’, maka unsur pimpinan komisi yang lebih banyak
bertindak sebagai moderator selama rapat berlangsung dan jarang mengemukakan pendapat
pribadi secara khusus. Sebagaimana yang diungkapkan Tojaka bahwa beliau sering menolak
untuk menjadi pimpinan di pansus atau panja walaupun terkadang tidak bisa. Hal tersebut
dikarenakan alasan kurang dapat bebas mengemukakan pendapat.
“Nggak saya begini, saya menghindari kalau bisa tapi kadang-kadang nggak bisa,
menghindari jadi pimpinan. Kalau jadi pimpinan itu cuma jadi polisi lalu lintas
nggak sempat ngomong, oke oke saja. Saya juga kadang-kadang heran banyak
teman-teman kepengin duduk dipimpinan.”
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
218
Kesan lain yang nampak dari ciri khas ‘diam’ nya sikap pimpinan di kelompok
Komisi I juga terlihat dari pernyataan-pernyataan dari Sindoro yang menjabat sebagai
Pimpinan Komisi 1 dan juga Pimpinan Panja RUU KIP yang lebih banyak menjawab dengan
singkat serta banyak lupa terhadap proses yang berlangsung selama pembahasan sampai
pengambilan keputusan mengenai Badan Publik di RUU KIP.
“Saya sudah lupa tapi bahasanya seru. Saya Ketua di komisi I, sehabis itu Wakil
ketua. Betul betul, bagian ini saya lupa, pro kontranya saya lupa, yang banyak suara
ya temen-temen aja. Kalau ga salah waktui itu kita ingin terbuka, pemerintah tidak,
saya ingat tapi saya lupa, saya harus baca memory, lahirnya Undang-undang ini ya,
rekamannya saya beli.”
Selain itu informan Anggodo juga menyatakan bahwa Pimpinan di Komisi DPR itu
lebih banyak bersikap netral diantara berbagai argumen maupun kepentingan beberapa pihak.
“Kalau pimpinan DPR itu cenderung untuk mencoba mengambil jalan tengah, nggak
mau terlalu berpihak kepada pemerintah tapi juga nggak mau terlalu menerima
begitu saja masukan-masukan masyarakat sipil.” (IP-2)
Hal ini berbeda tentunya dengan asumsi Janis bahwa dalam kelompok groupthink
dominasi pimpinan cenderung terlihat.
Sikap yang dinyatakan oleh informan dengan ungkapan seperti “sudah terlalu lama
atau lelah” ketika pengambilan keputusan tentang definisi Badan Publik yang disepakati
setelah lobi berjam-jam di luar forum rapat yaitu di Hotel Ibis Petamburan Slipi juga dapat
diartikan sebagai bentuk ‘kepasrahan’ dari keletihan bersitegang dengan pemerintah setelah
2,5 tahun lamanya pembahasan RUU KIP. Pernyataan-pernyataan berikut dianggap dapat
menggambarkan terjadinya kategori ini :
“Ya sudah pokoknya kita tahu posisi dia (pemerintah) begitu, jadi ini bukan soal
logika lagi deh tapi kepentingan.” (Deli)
“Ah, ya biasa lah Mbak di DPR itu, pembahasan Undang-undang ya memang begitu
lah. Biasa lah Mbak, kita ini, jadi kita punya pedoman juga tidak ada kebenaran
mutlak semuanya menjadi relative karena pendapat kita juga kan belum tentu benar
100%. Ya setiap yang kita putuskan ya..sekali lagi happy ga happy ya itu yang kita
produk untuk kepentingan negara bangsa Undang-undang itu hasil maksimal dari
sebuah proses. Ijtihad bersama.” (Eko)
“Ya hasil kompromi ya. Untuk UU pertama itu so far so good kok artinya hasil dari
pembahasan Undang-undang itu relative bagus artinya tidak banyak yang ini. Itu
lebih maju dari UU KIP yang dipunyai Jepang. Itu termasuk maju bahwa itu tidak
seperti yang di angan-angankan oleh kalangan LSM iya, tetapi itu sebenarnya sudah
sangat maju sebagai UU yang pertama. Kalau kita melihat ukurannya kalau kita
membuat Undang-undang itu adalah Undang-undang dasar, kalau Undang-undang
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
219
dasarnya kalau cuma dekat dan tidak bertentangan dengan Undang-undang dasar, ya
oke-oke saja.” (Hartanto)
“Saya kira semua vocal, cuma kadang-kadang begini. Ketika pernah deadlock, ada
yang terlihat sudah pasrah dan menjadi pasif namun saya tegaskan turun itu bukan
karena loyo kehabisan tenaga karena memang sudah waktunya ada pendekatan.”
(Tojaka)
Keterangan informan di atas cukup menunjukkan bahwa ilusi akan adanya kebulatan
suara sebagai gejala dari groupthink muncul dalam kasus tersebut.
Berkaitan dengan gejala tekanan terhadap para penentang (direct pressure) yang
melibatkan adanya tekanan terhadap anggota kelompok yang opini, pandangan, atau
komitmennya berlawanan dengan opini mayoritas hal ini tidak nampak dalam situasi
pembahasan dan pengambilan keputusan tentang Badan Publik, sebagaimana dinyatakan oleh
informan sebagai berikut:
“Ya nggak bisa karena memang itu mereka secara resmi mewakili fraksi masingmasing jadi ya kita harus respek saja lah gitu karena itu wilayah ini sebab kalau
misalnya kita complain seperti itu lalu kan ini memaksakan kepentingan”. (Deli)
“Oh ga ada itu. Biasa saja berbeda pendapat tapi kalu hasil akhir ya lihat opini mayoritas.”
(Sindoro)
“Nggaklah. Biasa saja, sah-sah saja. Ya itu aja itu kan soal pengetahuan. Jadi belum
semua orang Indonesia khususnya di DPR termasuk pemerintah, ini kan sesuatu yang
baru.undang-undang ini sesuatu yang baru sama sekali, bukan merevisi undangundang yang sebelumnya ada ya kan?, sehingga pengetahuan tentang badan-bdan
publik, informasi publik, mana yang rahasia mana yang tidak Itu kan sesuatu yang
baru. sehingga kalo beragam pendpat itu wajar. Yang kedua jadi harus dimaknai
bukan sesuatu yang aneh gitu loh. Itu wajar aja, karena kita juga proses belajar
karena kita ini baru demokrasi ya kan? Jadi pemahaman terhadap hal-hal yang
seperti itu ee baru mengemuka sekarang kan. Baru mengemuka era reformasi kan.
Yang kedua tentu saja orang-orang birokrat yang begitu lama di dalam pemerintahan
itu ada kemudian mantan-mantan tentara misalnya gitu kan. Itu kan punya
pandangan seolah-olah ee apa yang mereka urus semua itu rahasia kan begitu?”
(Eko)
“Jadi pada pembahasan-pembahasan seperti itu, katakan hanya satu fraksi yang
punya pendapat, yang lain fraksi tidak berpendapat, itu artinya bisa diterima semua
fraksi., jadi tidak ada tekanan Saya mencatat situasi seperti itu disorientasinya
memang untuk kepentingan membuat aturan-aturan yang bisa diterima oleh public. ”
(Tojaka)
Sementara Hartanto menyatakan adanya upaya mempengaruhi kepada anggota lain
dari fraksi Partai Demokrat yang merupakan partai pengusung pemerintah. Jumlah
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
220
perwakilan anggota fraksi Partai Demokrat waktu itu masih sedikit sehingga masih minoritas
dalam kelompok.
“Ya pro pemerintah tapi menduukung kita juga kok. Kebetulan di fraksi Demokrat
kan orangnya sedang, pada waktu itu ya nggak pintar-pintar juga jadi gampang lah
kita pengaruhi, ya diapusin dikit. Tapi disitu saya rasa yang paling perannya besar
menteri pada waktu itu masih Sofyan Djalil, Nuh itu akhir-akhir aja dia nemu karena
dia jadi menteri Kominfo baru, ya tinggal beberapa kali rapat gitu, lalu dia yang
tandatangan yang mewakili pemerintah kayaknya produk dia padahal bukan produk
dia, sebenarnya produknya Sofyan Djalil itu.”
Faktor tidak terlihatnya direct pressure (tekanan bagi para penentang) dalam hal ini
juga di dukung oleh pendapat informan tambaha Anggodo yang menyatakan bahwa :
“Kalau di UU KIP pimpinan partai fraksi pun cukup akomodatif terhadap aspirasi
ataupun pendapat anggota.”
Sementara itu, terdapat beberapa informan pendukung yang mengatakan bahwa
tekanan yang diterima oleh DPR adalah dari luar kelompok sendiri yaitu yang utamanya
adalah dari LSM. Terlebih tekanan tersebut dianggap disampaikan tidak sesuai prosedur
karena lebih banyak disampaikan secara sembunyi-sembunyi melalui pesan singkat (SMS)
dari perangkat seluler.
“Begitu ada pertanyaan yang dibahas, kita lemparkan pertanyaanya ada DIM. Itu
kan ada namanya fraksi namanya fraksi balkon, isinya LSM semua, jadi sms ke
anggota DPR, jadi begini (memperagakan cara sms) hehehe iya kan maklum, DPR
kan waktunya untuk menjalani sebuah produk perundang-undangan kan juga
terbatas. Jadi hanya ada beberapa orang yang menonjol”. (Icel)
“Tekanan itu justru datang dari LSM. Ya tapi kan itu hak mereka yah. Kadangkadang ada selebaran. Jadi kita kalo masukin bahan itu kan harus melalui saya. Saya
kasih ke ketua, ketua membagikan apapun masukanlah. Tapi LSM tuh suka kurang
ajar juga hehehehe, dia tanpa sepengetahuan saya langsung bagi keanggota. Itu yang
saya ga suka tanpa permisi. Kayak gitu2 yang saya ga suka karena kan kita ada
mekanisme. Jadi biasanya dikumpulkan ketua menyampaikan ini ada masukan dari
anu. Ga boleh ee gelap begitu. Aku sebeeel banget, kita udah ngatur kan supaya
semua itu tercatat masukan dari siapa aja ada mekanismenya. Kan ga fair tuh, dia
maunya terbuka tapi dianya sendiri yang diem-diem masuk masukin gitu.” (Danti)
Sementara itu gejala terakhir yaitu Mindguards yang diartikan bahwa adanya suatu
kondisi dimana anggota-anggota kelompok melindungi dari informasi yang tidak mendukung
dengan keyakinan bahwa mereka bertindak demi kepentingan terbaik kelompok mereka.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
221
Peran mindguards dalam kelompok pembahas dan pengambil keputusan RUU KIP
tidak terlalu jelas tergambar karena interaksi yang terjadi selama proses tersebut cukup
dinamis dan terbuka sehingga setiap orang bebas mengemukakan pendapatnya. Namun
beberapa informan sempat menyebutkan bahwa fraksi PDIP yang diwakili oleh anggotanya
yang bernama Andre, fraksi PAN yang diwakili oleh Deli dan Djoko serta fraksi Golkar
diwakili oleh pak Hartanto dan PKB oleh EKo adalah orang-orang yang bisa dikatakan
menjalankan peran mindguards karena senantiasa berani membela argumen kelompok
dengan tujuan agar rumusan DPR terkait dengan dimasukkannya BUMN/BUMD sebagai
Badan Publik bisa diterima.
“Kita sudah tahu nih thinktank nya dengan siapa kan gitu, oh kalau misalnya dengan
PDIP dengan Golkar Pak Hajriyanto, dengan PDIP Andreas Pareira misalnya gitu.”
(Deli)
“Ya yang vokal-vokal itulah misalnya Andreas Pariera, Djoko Susilo, Hajriyanto.
Tapi kalau fraksi pro pemerintah si ga ribut ya”. (Sindoro)
“Ya iya lah, saya kan komandan dari PKB”. (Eko)
“Lha iya dong harus kalo nggak buat apa jadi anggota DPR? Harus berani
beragumen jika memang dirasa ada yang penting dan benar untuk disampaikan”.
(Hartanto)
“Ya kalau di KIP ini banyak ya, misalnya yang vokal-vokal seperti PDI Pak Andreas,
PAN Pak deddy sama pak Djoko banyaklah saya kurang ingat”. (Tojaka)
Sebagaimana juga diungkapkan oleh informan Anggodo yang menyatakan bahwa
terdapat beberapa orang anggota yang gigih bersuara dan dominan di kelompok yang
mencoba untuk mempengaruhi pikiran anggota lainnya agar tidak mendukung usulan
pemerintah yang menolak memasukkan BUMN BUMD sebagai Badan Publik.
“Dari Golkar itu mas Hartanto, dari PAN itu Pak terus kemudian PDI itu Andre
kalau nggak salah, PKB itu Eko terus PAN itu Trimiya” (IP-2)
Peran Mindguards yang ditemukan melalui beberapa orang anggota kelompok
merupakan peran khas yang dimainkan oleh kelompok yang mengandung groupthink di
dalamnya, dimana terdapat sekelompok kecil orang dalam kelompok yang berusaha menjaga
keutuhan kelompok dengan mempertahankan pendapat mereka yang dianggap telah ideal
bagi tujuan atau kepentingan kelompok.
Perdebatan tajam yang dilatari oleh kepentingan yang berbeda inilah yang akhirnya
menyebabkan pimpinan cenderung memilih anggota kelompok yang dianggap vokal dan
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
222
kredibel dalam rangka membantu proses pengambilan keputusan. Pembahasan mengenai
definisi badan publik yang memakan waktu paling lama diputuskan menyebabkan pimpinan
banyak berdiskusi dengan anggota lainnya dan cenderung memilih anggota yang vokal untuk
membantu memberikan masukan.
5.5
Upaya Kelompok Meminimalisir Groupthink
Dalam uraian sebelumnya tentang kondisi pendahulu, gejala dan bagaimana
tanggapan terhadap keputusan mengenai definisi dan kategori Badan Publik dalam RUU KIP
yang dibahas oleh Komisi I DPR RI bersama Pemerintah menunjukkan bahwa groupthink
dalam kelompok legislatif Panja Komisi I DPR RI telah terjadi, namun terdapat perbedaan
dalam karakteristik kondisi pendahulu dan gejala groupthink.
Keputusan akhir dari RUU KIP tersebut walaupun tidak mendapat kritik keras sampai
kepada kecaman untuk membatalkan, namun RUU KIP mengandung berbagai ketidak
puasaan dari beberapa pihak luar sehingga boleh dibilang selain fenomenal juga cukup
kontroversial, sebagaimana opini yang berkembang diluar tentang undang-undang ini,
misalnya :
“Jadi begini, kita mengira yang kecewa dengan definisi badan public di KIP itu
hanya masyarkat sipil. Orang mengira hanya masyarakat sipil yang kecewa, itu juga
tidak benar karena pemerintah sendiri juga kecewa. Jadi masyarakat sipil itu kan
maunya kan badan public itu dimasukkan dalam UU KIP termasuk BUMN tanpa
pengecualian sama sekali tapi kan prakteknya kemudian kan definisi tentang apa
yang harus transparan di BUMN, apa yang harus transparan di partai politik itu kan
dirumuskan spesifik gitu ya. Jadi itu mengecewakan buat masyarakat sipil karena ya
maunya tidak ada exception, transparansi yang berlaku dibadan public satu itu
berlaku di badan public yang terkait partai politik, terkait dengan BUMN, terkait
dengan militer itu sama. Itu kontinuenya masyarakat sipil. Ternyata kan yang
diputuskan DPR, pemerintah kan beda. BUMN itu kan disendirikan, itu masyarakat
sipil kecewa. Tapi sebenarnya kalau saya lihat pemerintah juga kecewa, gitu.”
(Anggodo)
“Saya puas dengan angka 65%. Sisanya banyak yang masih harus ditinjau ulang.”
(Pujiyanto)
“Sampai akhirnya sekarang komisioner juga masih menerima dampak-dampak itu
karena ee kami akhirnya membuat juklak dan juknis untuk dua hal yaitu standar
layanan informasi publik dan proses penyelesaian sengketa informasi sesuai dengan
amanah yang diberkan pada kami. Nah di dalam standar layanan informasi publik itu
namanya PERKI, Peraturan Komisi Informasi nomor 1, disitu kita sampai nyatakan
yang mana Badan Publik. Kita gamau nanti kalau tidak dinyatakan dengan melihat
PERKI nya itu ada semua nama Badan Publiknya ditulis karena jangan sampai nanti
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
223
orang mengelak saya bukan Badan Publik dan termasuk Badan Publik lainnya yang
tidak disebutkan tetapi sesuai aturan ini itu masuk Badan Publik karena kita waktu
itu kesulitannya adalah untuk BUMN/BUMD, Parpol sama LSM. Tapi kalo LSM kan
jelas banget di definisinya itu kan ada –dan lembaga non pemerintah lainnya yang
anggarannya itu tadi- jadi dia basic ininya adalah anggaran. Nah maka kita
gampang sekarang dengan mudahnya kita nyatakan ini badan publik atau tidak. Dulu
kan yang anu mungkin baca ya itu yang paling menentang itu BUMN, yaa kenapa
BUMN menentang saya bukan badan publik. Awal-awal dulu putusan kita anda bisa
liat di web kita itu ada di Semarang itu ada BUMD yang bilang dia bukan badan
publik dengan mudahnya. Kita bilang kita sampe pergi ke Presiden waktu komisioner
periode satu dulu untuk khusus ee setelah cerita macem-macem, satu pertanyaan kita
apakah BUMN Badan Publik gitu...kenapa harus bukan Badan Publik?padahal
namanya Badan Umum Milik Negara. Selama itu semua itu adalah aset negara,
walaupun sekarang sudah ada yang namanya pemisahan harta kekayaan itu tetap
saja asetnya negara jadi itu tetap namanya Badan Publik, clear.”(Heryanti)
Namun dari berbagai pro dan kontra terhadap hasil keputusan RUU KIP tersebut,
pada umumnya semua pihak yang terlibat didalamnya baik anggota kelompok Komisi I,
Pemerintah maupun LSM disambut antusiasme syukur dan kebanggaan setelah melalui
berbagai proses yang panjang dan melelahkan.
“Nggak sempurna, banyak kelemahan tapi kalau kita mampir ke Negara-negara
lain, Undang-undang KIP kita not bad menurut saya. Atau kalau kita bandingkan
dengan achievement yang dicapai oleh Koalisi-koalisi, NGO-NGO lain untuk
Undang-undang lain, UU KIP itu mending. Jadi persentasi-persentasi, klausulklausul, pasal-pasal yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang diterima oleh
DPR itu tinggi. Kalau mbak bandingkan dengan Undang-undang Pemilu itu kan
banyak sekali kekecewaan masyarakat sipil, akhirnya banyak yang kecewa.
Undang-undang KIP ini mending, menurut saya mending karena prinsip-prinsip
dasarnya diadopsi oleh DPR, oleh Pemerintah. Mungkin mereka tidak sadar saja
bahayanya apa buat mereka.” (Anggodo)
“Untuk sementara ini saya rasa sudah cukup baik.” (Icel)
“Bermanfaat ya, nah sekarang baru dirasakan waktu itu seperti apa dampaknya
PPATK itu, ternyata sekarang kalau ada transaksi diatas lima ratus juta harus
lapor.” (Tojaka)
Berdasarkan ilustrasi diatas, dapat dikatakan bahwa groupthink yang ada dalam
sebuah kelompok politik yang terbuka dan dinamis seperti di parlemen negara transisi
demokrasi seperti Indonesia agak berbeda karena bersifat sangat tertutup, sehingga tidak
semua kondisi pendahulu dan gejala groupthink memiliki karakteristik sama dengan yang
telah dirumuskan oleh Janis. Pada aktivitas proses pembahasan dan pengambilan keputusan
terhadap sebuah produk Undang-Undang di DPR RI serta ditemukan adanya upaya untuk
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
224
menghindari/meminimalisir terjadinya groupthink namun upaya tersebut dikatakan gagal
karena groupthink tetap terjadi.
Upaya-upaya yang teridentifikasi sebagai bentuk pencegahan terhadap groupthink
dari penelitian ini adalah terjadi pada beberapa kondisi, yaitu : Pertama, Pimpinan/ketua rapat
di kelompok Komisi I dianggap sebagai moderator yang baik dan mampu mengakomodir
semua pendapat maupun kritik dari anggotanya. Posisi ketua juga dianggap bukan sebagai
penekan dalam diskusi dan pada pengambilan akhir keputusan, serta teramati dalam risalah
ketua mampu menampilkan diri untuk selalu mengingatkan anggota akan kesimpulankesimpulan yang sudah disepakati pada setiap pertemuan (rapat) dan mampu mengendalikan
jalannya rapat apabila kondisinya kurang kondusif, biasanya ketua akan menskors rapat
sementara waktu. Hal sebenarnya telah sesuai dengan yang dikemukakan oleh Janis
(1982:260) bahwa seorang pemimpin pembuat kebijakan harus mengarahkan sikap evaluator
kritis kepada setiap anggotanya, mendorong kelompok tersebut untuk memberi ruang bagi
keberatan dan keraguan. Komponen ini harus didukung oleh sikap pemimpin yang mau
menerima kritik dari penilaiannya dalam rangka mengurangi kecenderungan para anggota
untuk saling berbeda pendapat dan secara umum akan meredam tekanan dalam kelompok
yang dikhawatirkan akan melahirkan keputusan yang buruk.
Namun pada akhirnya upaya minimaslisasi groupthink dari sikap pimpinan yang
cenderung berkerakter menyeluruh ini juga menjadi kabur karena adanya peran anggota
kelompok yang signifikan dimana pimpinan menaruh kepercayaan lebih terhadapnya dan
sering meminta kepada anggota ini untuk memberika solusi dalam perdebatan. Sebagaimana
yang telah diurai sebelumnya dalam risalah rapat pimpinan terlihat beberapa kali
mempersilahkan anggota Panja Hartanto dan Deli untuk membantu memberikan solusi.
Apakah hal ini dapat dibenarkan? Dalam konsepnya Janis mempertanyakan tentang
siapa yang mengambil keputusan? Apakah pimpinan seorang atau dengan anggota kelompok
yang signifikan? Jika memang signifikan apakah kelompok tersebut kohesif?. Pertanyaan ini
terjawab dalam penelitian ini yaitu dengan adanya kondisi bahwa di lembaga legislatif seperti
DPR RI umumnya kedudukan relatif setara diantara para anggotanya yang berbeda- beda
fraksi maka jabatan pimpinan hanya terksesan sebagai formalitas dan tidak memiliki
kekuatan yang terlampau melebihi para anggotanya seperti dalam lembaga eksekutif
misalnya. Dengan demikian walaupun terdapat ciri kepemimpinan yang lebih menyeluruh
dalam lingkup legislatif, pada dasarnya hal tersebut juga tidak dapat melepaskan kelompok
dari jerat groupthink jika memang ada anggota-anggota kelompok yang dianggap signifikan
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
225
yang berada dalam sebuah kelompok yang kohesif. Jika dalam kelompok eksekutif,
pemimpin memiliki kekuatan dan kekuasaan super sehingga penasihat yang ada disekitarnya
- walapun dapat lebih didengarkan - namun kemungkinan dorongan pribadi pimpinan juga
besar dalam mengambil keputusan dan jika sudah begitu maka para anggota kelompok yang
bertindak sebagai bawahannya cenderung lebih mematuhi pimpinan karena adanya faktor
ketakutan terhadap pimpinan yang dapat mengancam keberlangsungan posisi anggota dalam
kelompok sehingga solidaritas menjadi terganggu. Hal ini menjadi berbeda dengan di
kelompok legislatif dimana kedudukan antara anggota yang menjabat sebagai pimpinan
dengan anggota yang tidak memiliki jabatan pada hakikatnya adalah sama, dalam artian tidak
terdapat ketakutan-ketakutan dalam kaitan terhadap pemecatan.
Namun yang lebih mendasari kohesi dan hubungan baik dengan pimpinan tidak dapat
dilepaskan dari adanya keinginan untuk mencapai tujuan kelompok yang berhasil
menuntaskan tugasnya.
Sehingga faktor ketertarikan terhadap sesama anggota maupun
terhadap pimpinan memiliki derajat yang seimbang. Hal inilah yang pada akhirnya juga tidak
bisa melepaskan kelompok dalam sebuah situasi groupthink, sebagaimana yang diungkapkan
oleh Janis bahwa faktor ketertarikan pimpinan terhadap anggota kelompok yang dominan
mampu menjerumuskan ke dalam groupthink sebagaimana Janis mengatakan : sindrom
groupthink tidak ditemukan jika anggota tidak suka satu sama lain dan tidak menghargai
keanggotaan mereka dalam kelompok (1982:252).
Upaya kedua yang teramati adalah adanya proses diskusi atau hearing untuk
mendengarkan pendapat ahli yang dilakukan oleh Komisi I melalui proses Rapat Dengar
Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan mengundang kalangan
akademisi, praktisi maupun pihak LSM, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sindoro dan
Hartanto :
Semua-semua semua stakehoder di bidang itu kita undang semua itu. Public hearing
itu 6 bulan sendiri. Itu seminggu sampai 5-6 narasumber dalam seminggu. Jadi
memang kita persiapkan matang sebelumnya, jadi ketika akhirnya ada pendapat yang
beda dari pemerintah ya kita ngotot dulu lah. (Sindoro)
Ya biasanya gitu-gitu kan RDPU, RDPU itu sebenarnya sebelum pembahasan,
sebelum masuk pembahasan pasal perpasal itu kita rapat dengar pendapat dengan
misalnya ada pikiran LSM-LSM harus terbuka kita undang LSM-LSM sehingga
memang posisi argumen kita juga cukup kuat untuk dihadapkan sama pemerintah.
(Hartanto)
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
226
Gambaran ini memang sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh Janis sebagai upaya
untuk mencegah groupthink yang menyatakan bahwa setiap anggota kelompok pembuat
kebijakan harus mendiskusikan pertimbangan kelompok tersebut secara periodik dengan
rekan terpecaya dalam unitnya dan melaporkan kembali reaksi yang didapat, dimana bisa satu
atau lebih pakar dari luar dalam organisasi tersebut yang mana bukan anggota inti dari
kelompok pembuat kebijakan harus diundang dalam setiap rapat untuk mengkaji pandangan
dari anggota inti (Janis, 1982:267).
Namun apakah hal ini betul-betul efektif dilakukan? Ternyata tidak. Dalam
penjabaran hasil rapat dan penggalian melalui wawancara, ditemukan fakta bahwa walaupun
dalam sebuah lembaga legislatif mencerminkan adanya keterbukaan dibandingkan dengan
eksekutif, akan tetapi yang terjadi dalam situasi pembahasan dan pengambilan keputusan
mengenai definisi badan publik dalam RUU KIP di kelompok Komisi I DPR RI adalah
fenomena ketertutupan pikiran dimana antara pemerintah dan DPR RI sangat sulit
menemukan titik temu untuk mencapai kesepakatan. Hingga akhinya diputuskan untuk
melakukan kompromi dan terpaksa menyerah terhadap hasil keputusan kompromi.
Kompromi sebagai jalan untuk membuat RUU KMIP berhasil disahkan sebagai RUU KIP
tercipta dari adanya tekanan waktu dan kelelahan yang panjang dari kelompok pembahas
sehingga illusi kebulatan suara sebagai bagian dari gejala groupthink pun akhirnya terbentuk.
Diyakini oleh salah satu informan dari kalangan Koalisi Masyarakat Sipil bahwa sebenarnya
tidak ada yang bahagia dengan kompromi tersebut, karena baik DPR RI maupun pemerintah
tidak mampu mencapai apa yang menjadi keinginan dan kepentingan mereka. Kehadiran
pasal-pasal baru 14, 15, 16 untuk mengakomodir keinginan dan kepentingan DPR RI dan
Pemerintah menyebabkan mereka sebenarnya berada dalam kondisi yang sama-sama
merugikan sehingga dampak yang terjadi setelah berlakunya UU KIP juga belum dapat
dibilang berhasil.
Upaya ketiga yang nampak dari dinamika kelompok yang berlangsung selama proses
pembahasan sampai kepada pengambilan keputusan mengenai definisi badan publik adalah
adanya peran beberapa anggota kelompok yang seolah-olah mengambil peran sebagai penguji
(devil’s advocate) yang mengambil posisi berlawanan dengan argumen orang lain, bukan
karena tak setuju dengan argumen itu, melainkan hanya ingin menguji keabsahan atau
validitas argumen tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa orang yang dalam risalah rapat
terlihat memainkan peran ini misalnya dari fraksi Partai Demokrat – yang notabene
merupakan partai pengusung pemerintah di kala itu -
yang memilih selalu bersuara
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
227
cenderung netral dan tidak menyatakan dukungan eksplisit terhadap anggota kelompoknya,
sehingga dapat dianggap berlawanan dengan pendapat mayoritas teman-teman kelompoknya.
Namun pada intinya bukan karena tidak pro kepada rekan-rekan sesama anggota
kelompoknya di Komisi I – terbukti dalam pendapatnya cenderung memilih untuk ikut
sependapat menyetujui BUMN dan BUMD sebagai Badan Publik – namun ada upaya ingin
melihat sampai dimana logisnya argumen rekan-rekan kelompoknya dengan mencoba
meminta langsung kepada pihak pemerintah untuk memperjelas alasan-alasan dikeluarkannya
usulan dari pemerintah tersebut. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan anggota-anggota dari
Fraksi Partai Demokrat :
Selain itu peran devil’s advocate ini bisa dilihat juga pada peran yang dilakukan oleh
Pemerintah sebagai pihak luar kelompok namun selalu menjadi bagian dari kelompok Komisi
I yang membahas RUU bersama-sama. Pemerintah memiliki argumen yang sangat
berlawanan dengan mayoritas anggota kelompok di Komisi I DPR RI namun maksudnya
bukan tidak ingin sejalan dengan rumusan DPR RI, melainkan lebih kepada ingin
mendapatkan keabsahan secara rasional tentang urgensi jika memasukkan BUMN dan
BUMD sebagai badan publik sebagaimana yang diusulkan DPR RI.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
228
Melalui adanya semacam peran ‘devil’s advocate’ dalam kelompok maka hasil akhir
keputusan yang dianggap buruk/gagal bisa diminimalisir dampaknya.
Keberadaan devil’s advocate ini dinilai juga tidak dapat memberhentikan terjadinya
groupthink di kelompok Panja RUU KIP Komisi I DPR RI karena pada akhirnya devil’s
advocate pun mengambil posisi diam dan menerima saja apa yang menjadi pendapat
dominan.
5.6
Interpretasi Temuan
Faktor kondisi pendahulu groupthink yang ditunjukkan dengan adanya kohesi
kelompok, kesalahan struktural dan karakteristik yang menimbulkan tekanan memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Kohesi kelompok yang tercipta dari adanya suatu latar yang
heterogen didasarkan atas kedekatan dan kesadaran untuk memelihara kekompakan
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
229
kelompok agar dapat mencapai tujuan kepada keberhasilan pengambilan keputusan. Faktor
kesalahan struktural yang menonjol ditunjukkan dalam kelompok Komisi I yang tergabung
dalam Panitia Kerja pembahas RUU KIP adalah adanya isolasi kelompok dan homogenitas
kelompok. Isolasi kelompok menunjukkan bahwa kelompok tidak mencari atau mengizinkan
pihak luar untuk menawarkan pendapat mereka sendiri (Janis, 1982). Kelompok di Komisi I
DPR RI yang membahas RUU KIP terlihat menujukkan isolasi ketika mereka akhirnya
menjadi jarang berkumpul dengan sesama fraksinya sendiri dan tidak banyak dicampuri
pengaruh pendapat dari fraksinya sendiri, sebagaimana diungkapkan oleh Hartono misalnya
yang pernah ditegur oleh Ketua Umum Partai Parpolnya agar tidak terlalu bersikap keras
terhadap pemerintah yang berbeda pendapat dengan DPR RI terkait definisi Badan Publik.
Sedangkan untuk homogentitas kelompok yang ada di kelompok pembahas RUU KIP
di Komisi I DPR RI ditandai dari kondisi yang membawa mereka kepada kesatupaduan
melalui kesamaan profesi sebagai politisi dan merasa terikat oleh kewajiban yang sama untuk
menyelesaikan tugas bagi penyelesaian RUU KIP.
Indikator kurangnya kepemimpinan menyeluruh (Imparsial) kurang tergambar karena
bahwa pimpinan kelompok Komisi I DPR RI dianggap cukup akomodatif dan memberikan
kebebasan penuh kepada seluruh anggota untuk berpendapat, namun bukan berarti pimpinan
tidak memiliki wewenang untuk mengambil keputusan jika dikelilingi oleh para anggota
yang lebih signifikan.
Sedangkan indikator tentang kurangnya prosedur pengambilan
keputusan tidak tergambar sebagaimana yang diungkapkan oleh Janis, karena pada dasarnya
kelompok melalui berbagai tahapan prosedur yang telah disepakati dengan rapi, kelompok
juga menyadari adanya permasalahan dalam proses pembahasan dan berusaha untuk
menanyakan kepada pihak yang dianggap mengerti terhadap permasalahan badan publik yang
dihadapi melalui proses hearing (dengar pendapat). Namun pada akhirnya hal ini juga tidak
dapat dikatakan mampu menghindari kelompok terhadap groupthink karena prosedur
pengambilan keputusan di detik-detik akhir banyak dilakukan dalam proses lobby dan
kompomi diluar suasana rapat resmi Komisi I.
Kondisi komunikasi yang mengungkapkan adanya indikasi dan gejala groupthink di
kelompok Panja RU KIP Komisi I DPR RI sebenarnya juga telah melalui tahapan fase
interaksi sesuai dengan konsep Robert Bales melalui teori analisis proses interaksinya. Fase
pertama ketika anggota kelompok berada dalam rapat pembahasan RUU KMIP bertemu dan
saling menyamakan perspesi dan tujuan di forum rapat pertama tanggal 12 Oktober 2005.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
230
Pada fase ini kohesi kelompok mulai pelan-pelan terbentuk karena adanya kesamaan tujuan
dari angggota kelompok.
Setelah fase orientasi terjadi rapat kembali bersama pemerintah pada tanggal 15
Oktober 2005 yang bersifat tertutup yang dapat digolongkan ke dalam fase evaluasi yang
disebut dalam model analisis interaksi Bales berisi pertanyaan berkisar seputar peran anggota
kelompok dalam tugas-tugas yang dilakukan oleh kelompok, dimana dalam tahap ini terjadi
semacam pengekspresian opini (pendapat) dan perasaan dari anggota kelompok tentang isu
yang berkembang. Pada fase ini kohesi kelompok semakin terbentuk bersama dengan faktor
kesalahan struktural yang mengungkap adanya isolasi kelompok serta kurangnya
kepemimpinan imparsial. Semenatara mengenai faktor kurangnya prosedur pengambilan
keputusan serta homogenistas kelompok belum terlihat karena pembahasan isu badan publik
belum dibahas.
Berikutnya terjadi fase kontrol yang berisi tentang pembahasan khusus tentang
cakupan Badan Publik. Pada fase ini para anggota kelompok saling membuat pernyataan dan
mencari serta memberi petunjuk pada sesama anggota yang ditandai dengan munculnya
pendapat-pendapat yang positif atau negatif dari anggota kelompok secara substansial
sehingga akan tampak solidaritas dan minat mereka dalam kelompok. Pada fase ini kohesi
kelompok semakin menjejak dan faktor kesalahan struktural lengkap terjadi bersama dengan
adanya gejala groupthink.
Ditemukan karakteristik yang menimbulkan tekanan dalam proses pembahasan dan
pengambilan keputusan pada RUU KIP di kelompok Komisi I DPR RI baik yang berasal dari
luar maupun dari dalam diri anggota kelompok sendiri. Tekanan dari luar (eksternal) yang
dirasakan ketika berlangsung pembahasan mengenai RUU KIP yaitu dari pihak pemerintah
dan LSM yang mencoba menarik kalangan DPR untuk bisa menerima dan menyetujui
argumen mereka serta tekanan dari dalam diri anggota kelompok berupa kekhawatiran untuk
menyelesaikan tugas membahas RUU KIP merupakan hal yang dapat memunculkan
groupthink.
Pemerintah sebagai pihak yang ikut masuk ke dalam lingkup kelompok pembahas di
Komisi I memiliki sejumlah argumen yang memang harus disinkronkan dengan DPR,
sementara dari DPR sendiri juga telah memiliki rumusan yang dianggap layak untuk diterima
Pemerintah karena usul RUU KIP adalah dari DPR, sementara LSM sebagai pengawal juga
memiliki sikap untuk selalu menguatkan DPR agar tidak mudah tergoyang oleh argumen
pemerintah, sehingga DPR bisa dikatakan berada di tengah-tengah.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
231
Tekanan dari luar mengacu kepada adanya kepentingan dari pihak Pemerintah dan
LSM. Pemerintah mengajukan argumen tentang Badan Publik dengan didasarkan atas
kepentingan dana/uang yaitu untuk melindungi persaingan usaha antara BUMN BUMD dan
Badan Swasta, sehingga jika didefiniskan sebagai Badan Publik dengan akses informasi
publik yang terbuka secara luas diprediksi akan berdampak pada perkembangan bisnis yang
dijalankan oleh badan usaha tersebut dan yang alasan lain yang menguatkan bahwa BUMN
BUMD tidak perlu dimasukkan sebagai Badan Publik sehingga harus taan pada UU KIP
dikarenakan mereka sudah memiliki Undang-Undang sendiri sebagai payung dalam
menjalankan kegiatannya. Undang-Undang tersebut adalah Paket UU Keuangan Negara,
Paket UU Sektoral, Paket UU Pemeriksaan, Undang-Undang No. 19/2003 tentang BUMN,
UU No. 40 /2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), UU No 8/1995 tentang Pasar Modal.
Sementara kepentingan pihak LSM sebagai pengusul awal RUU KIP adalah terkait
dengan semangat akan idealisme keterbukaan informasi publik yang telah banyak diadopsi
dari negara-negara luar yang telah dahulu memiliki Undang-Undang Keterbukaan Informasi
Publik. Dasar pijakan dari Pasal 28 f UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia” menjadi kekuatan utama untuk menekan DPR agar mampu bertahan dengan
rumusan awal yang memasukkan BUMN BUMD serta Badan Usaha Swasta sebagai Badan
Publik dalam RUU KIP.
Sebagaimana diperoleh dari pengakuan para informan, bahwa dari segi Badan Publik
memang banyak resistensi untuk tidak tunduk kepada UU KIP dikerenakan mereka sudah
memiliki Undang-Undang tersendiri tentang Badan Usaha, padahal sesungguhnya dengan
argumen seperti itu menunjukkan sektor usaha tersebut tidak memahami esensi bahwa Badan
Publik itu bukan hanya badan yang mendapat anggaran dari negara dari APBN, Badan Publik
bekerja di sektor publik bukan di sektor yang tidak jelas sehingga memang terdapat beberapa
hal-hal yang secara prinsip dimana mereka harus tetap memberikan informasi karena
informasi publik itu bermanfaat bagi kepentingan publik.
Pemerintah beranggapan bahwa LSM (Koalisi Masyarakat Sipil) banyak mengadopsi
rumusan UU Keterbukaan Informasi Publik dari luar negeri sehingga kurang memperhatikan
aspek kondisi soaial budaya masyarakat Indonesia. Rumusan dari DPR dianggap terlalu
‘copypaste’ dari Undang-Undang di Luar (Freedom of Information Act) milik Amerika,
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
232
kemudian dari referensi Undang-Undang milik Inggris untuk kemudian diramu, sehingga
Pemerintah menilai belum tentu konsep-konsep luar tersebut bisa pas jika dipaksakan untuk
diberlakukan di Indonesia. Inti dari konsep keterbukaan di Indonesia
haruslah bisa
memberikan kemanfaatan dan peningkatan kepribadian dari masyarakat, keterbukaan harus
bisa berbanding lurus untuk memberikan kesejahteraan pada masyarakat, bisa memberikan
kepastian hukum dan mendorong partisipasi publik dengan adanya keterbukaan itu.
Di sisi lain LSM berpendapat bahwa peran-peran luar negeri yang telah lebih dahulu
memiliki kesadaran akan pentingnya keterbukaan informasi publik dan telah memiliki UU
Keterbukaan Informasi Publik di negaranya merupakan contoh yang patut dilihat dan bantuan
atau dukungan lembaga asing terhadap pemberlakuan Undang-Undang yang sama bagi
Indonesia dianggap bukan sebagai suatu tekanan, melainkan harus diapresiasi, sebagaimana
pernyataan Mantan Ketua Pansus RUU KMIP periode anggota DPR RI tahun 1999-2004
Paulus Widiyanto :
“Saya tidak merasa ditekan ya, karena memang negara kita adalah negara otoriter ee
setiap saat kita bisa dijerat masuk penjara kalau kita memberikan informasi, dan ini
kita keluar dari sistem negara tertutup, jadi kita negara yang otoriter setiap informasi
dikendalikan oleh departemen penerangan sementara informasi menjadi hak itu”.
Tercatat banyak sekali lembaga asing yang ikut berperan serta dalam mendukung RUU
KIP bagi Indonesia, misalnya melalui sumbangan bagi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan
seminar atau diskusi publik yang digagas oleh Koalisi Masyarakat Sipil. Lembaga asing yang
disebut oleh narasumber banyak berperan selama proses perumusan dan pembahasan RUU
KIP adalah World Bank dan National Democratic Institute. Sebagaimana kembali
diungkapkan oleh IP-1 (Paulus Widiyanto) :
“World Bank sendiri itu mendorong keterbukaan informasi itu dari sektor-sektor ee
dari wilayah-wilayah daerah. Jadi justru daerah-daerah tadi itu mempunyai PerdaPerda transparansi ee di berbagai wilayah bahkan kota Gorontalo adalah kota
pertama yang mempunyai Perda transparansi dan itu menjadi contoh betapa World
Bank yang bekerja untuk pemerataan pemerintah daerah khususnya untuk otonomi
daerah itu berhasil untuk mengoal kan perda-perda transparansi di tingkat daerah.
Jadi dari segi itu Bank Dunia itu berperan mendorong pergerakan perda-perda
transparansi di daerah-daerah, di DPR pusat itu juga mendapat masukan dari
berbagai pihak ya artinya era itu regulasi Indonesia mendapat perhatian penuh dari ee
funding-funding maupun lembaga-lembaga dunia. Banyak sekali funding-funding asing
yang membantu ya, NDI itu termasuk yang mendorong dan membiayai seminarseminar tentang keterbukaan informasi. Banyak sekali seminar-seminar yang dibiayai
oleh internasional, yang dibantu oleh berbagai funding-funding itu, bahkan kami pun
mempelajari model undang-undang itu dari artikel nineteen dari UK. Itu ada modelmodel itu, model-model itu kemudian kita pelajari”.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
233
Posisi kelompok Komisi I DPR RI periode tahun 2004-2009 yang menerima berbagai
kepentingan dari luar yang dirasakan sebagai sebuah tekanan – walaupn diakui kelompok hal
tersebut tidak terlalu mengganggu – dan kemudian ditambah dengan adanya beban dari dalam
diri pribadi serta dalam kelompok sendiri untuk mampu menyelesaikan tugas dengan
berhasil, namun tidak dapat dipungkiri bahwa secara psikologis kelompok Komisi I DPR RI
yang berisi beberapa orang anggota yang dianggap vokal/dominan tersebut akan memiliki
dorongan untuk memikirkan secara cermat dan melakukan upaya mencari dukungan moral
guna menentukan arah pendapat yang akan dipegang teguh dan dipertahankan sebagai
pandangan kelompok. Dalam kondisi inilah sebenarnya kelompok sedang bergerak menuju
groupthink.
Adanya perasaan istimewa sebagai anggota kelompok yang diserahi amanah tugas
RUU KIP dan adanya keyakinan akan moralitas bahwa kelompok merupakan kelompok yang
baik dan bijaksana sehingga diyakini bahwa pengambilan keputusan akan baik pula,
menunjukkan bahwa anggota kelompok ingin melakukan upaya legitimasi tentang
superioritas kelompoknya.
Pada saat kelompok melakukan upaya sensor diri dengan memikirkan ulang ide-ide
mereka sendiri serta membungkam pemikiran pribadi yang menentang dan menggunakan
retorika kelompok hingga tidak semua anggota kelompok mungkin bisa menjadi dominan
dan akhirnya hanya bisa diam sebagai tanda dukungan atau persetujuan terhadap yang
dominan (illusi kebulatan suara) maka sesungguhnya disitulah letak keputusan-keputusan
kelompok dapat diperkuat. Terlebih jika dalam sebuah kelompok - sebagaimana yang
menjadi objek dalam penelitian ini - muncul sebuah proses penyatuan gagasan/pandangan
melalui upaya kompromi dengan tawar menawar (trade-off) pasal dalam RUU KIP, sehingga
menyebabkan gejala sensor diri dan ilusi kebulatan tanpak, maka sesungguhnya hal tersebut
dapat dikatakan mampu memperkaya studi tentang groupthink pada kelompok tugas yang
lebih, dinamis, terbuka pada negara transisi demokrasi multi Parpol seperti di Indonesia.
Dalam penelitian ini ditemukan beberapa upaya untuk meminimalisir groupthink
seperti yang disarankan Irving Janis yaitu : 1. Adanya peran pimpinan yang lebih akomodatif,
2. Adanya proses dengar pendapat (hearing), 3. Adanya peran devil’s advocate. Namun
ternyata upaya ini juga tidak dapat menghilangkan groupthink dalam kelompok Panja Komisi
I tersebut karena pada akhirnya ketiga upaya ini tidak berjalan dengan adanya peran anggota
kelompok yang signifikan sehingga mampu bersama-sama Pimpinan dalam menentukan
pengambilan keputusan, proses hearing yang juga tidak mampu membuat pendapat luar
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
234
(pemerintah) lebih didengar serta peran devil’s advocate yang kemudian menjadi pasif karena
juga mengikuti pendapat mayoritas.
Dengan demikian hadirnya keputusan akhir sebagai keputusan mengenai badan publik
melalui pasal 14, 15, dan 16 RUU KIP menujukkan bahwa kelompok telah melalui fase
kontrol setelah adanya pertukaran pernyataan dan mencari serta memberi petunjuk pada
sesama anggota dalam setiap tahapan pertemuan dalam rapat pembahasan. Dalam tahap akhir
rapat kelompok telah mencapai keseimbangan (equuilibrium) yang dinyatakan oleh Bales
bahwa kelompok yang terlibat dalam kegiatan komunikasi yang berkaitan dengan tugas
selama satu tahapan sidang, cenderung “mempertahankan keseimbangan mereka” yaitu
keseimbangan dalam tugas dan kebutuhan pemeliharaan yang dipicu oleh berbagai kegiatan
sosio-emosional yang dilakukan antar anggota kelompok (Littlejohn, 2008:326).
Proses komunikasi yang terjadi dalam kelompok Panja tersebut sekaligus menegaskan
bahwa penelitian ini dapat dapat menjelaskan sebuah kondisi sosial mengenai bagaimana
kelompok membuat keputusan yang dapat menyebabkan perilaku menyimpang, dan berbagai
hal lain sebagaimana yang menjadi ciri penelitian teori psikologi sosial, yang menyatakan
bahwa sesungguhnya interaksi sosial manusia di masyarakat, baik itu antar individu, antara
individu dengan kelompok atau antar kelompok, tidak dapat dilepaskan dari fenomena
kejiwaan. Hal inilah yang menguatkan bahwa teori groupthink yang dikembangkan oleh
psikolog sosial Irving Janis merupakan teori psikologi sosial yang sangat relevan diterapkan
dalam konteks ilmu komunikasi khususunya kajian komunikasi politik.
Melalui berbagai gejala yang mengindikasikan adanya groupthink yang di kelompok
pembahas dan pengambil keputusan Komisi I DPR RI periode 2004-2009 akhirnya
memunculkan kesan umum bagi RUU KIP, terkhusus mengenai Badan Publik, bahwa masih
tersisa beberapa kekecewaan di balik terselesaikannya tugas mensahkan RUU KIP. Seperti
yang dikemukakan oleh informan Tojaka bahwa UU KIP dinilai masih belum sempurna
karena masih banyak lembaga terlihat belum siap untuk menghadapi konsekuensi dari aspek
kebijakan dan aspek keuangan sehingga diperlukan sosialisasi aktif agar lembaga negara siap
untuk membuka kedua aspek tersebut kepada publik agar masyarakat semakin merasakan
membutuhkan UU KIP.
Proses pengambilan keputusan tersebut pada akhirnya juga mendukung model
birokrasi politik (Bureaucratic Politics of Foreign Policy Decision Making) dari Allison yang
menyatakan bahwa pembuatan kebijakan merupakan proses tawar-menawar antara
pemerintah dengan agen pemerintah lainnya (Kegley&Witkopf, 2001:53).
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
235
Model ini mengaitkan identifikasinya dengan adanya groupthink, karena dikatakan
bahwa kelompok-kelompok kecil orang di bawah tekanan kuat cenderung mengembangkan
mentalitas benteng dan membela kelompok terhadap kritik luar nya, sehingga model ini
dipakai untuk menganalisis kasus-kasus pengambilan keputusan politik besar seperti Cuba
Missil Crises dan dipakai untuk menjelaskan kebijakan pada sejarah orang-orang besar:
Churchill, Stalin, de Gaulle, Hitler, Mussolini, serta orang-orang besar membuat sejarah
kebijakan luar negeri yang dibentuk oleh para pemimpin yang menjalankan negara mereka,
misalnya : George W. Bush, Saddam Hussein, Gerhard Schroeder, Tony Blair, Vladimir
Putin.
Ide sentral politik birokrasi adalah keputusan-keputusan pemerintah merupakan hasil
dari suatu elaborasi permainan politik. Dimana sebagian besar pekerjaan dalam organisasiorganisasi ini adalah pekerjaan rutin yang merujuk pada hasil keputusan sebelumnya dan
terpaku pada Standar Operating Prosedure (SOP). Hal ini ditunjukkan dari keberadaan
Pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang yang di usulkan oleh DPR RI.
Pemerintah sebagaimana lazimnya telah melakukan berbagai prosedur untuk menetapkan
argumen di rapat dengan Komisi I DPR RI seperti melakukan penelitian, melakukan diskusi
antar lintas kementerian serta menyusum Daftar Isian Masalah (DIM) bagi pembahasan RUU
KIP.
Perdebatan yang terjadi antara DPR RI dengan Pemerintah yang diikuti dengan tawar
menawar pasal melalui kompromi, mendukung pernyataan Allison dan Zelikow (1999)
bahwa perbedaan pandangan dan sikap membuat perdebatan dan kompromi tidak
terhindarkan. Masing-masing pihak dengan gaya yang berbeda berusaha memajukan
kepentingan mereka. Sebagaimana diketahui kepentingan Komisi I DPR RI adalah untuk
memasukkan BUMN BUMD sebagai badan publik dengan mengacu kepada kepentingan
koalisi masyarakat sipil dengan alasan pemenuhan hajat rakyat terhadap keterbukaan
informasi,
sementara kepentingan pemerintah untuk menolak usulan DPR RI tersebut
didasari kepentingan untuuk menjaga eksistensi perusahaan (BUMN BUMD) agar bisa
menjalankan bisnis dengan persaingan sehat, selain itu keinginan pemerintah untuk
memasukkan LSM dan Parpol sebagai badan publik tidak lain diduga dari adanya
kepentingan untuk membatasi aksi kritis yang tidak terbendung dari organisasai massa
tersebut sehingga diprediksi dapat meresahkan atau menekan pemerintah jika tidak
dimasukkan sebagai badan publik.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
236
Bentuk hasil akhir yang terjadi sesuai dengan istilah yang disebut resultant atau solusi
yang tidak dikehendaki oleh pihak- pihak yang terlibat dalam pembuatan keputusan sejak
awal. Dengan kata lain, suatu keputusan akhir adalah produk dari konflik kepentingan,
kompromi, kebingungan orang-orang yang memiliki kepentingan dan pengaruh berbedabeda, kelalaian atau kesalahan yang tidak disengaja, maupun kesalahpahaman.
Walaupun secara umum kehadiran UU KIP dinilai cukup baik dan membanggakan
bagi Indonesia karena tidak seluruh negara berani membuat UU tersebut seperti misalnya
yang disampaikan oleh informan SIndoro bahwa di negara Timur Tengah tidak ada UU KIP
bahkan UU KIP yang dimiliki Indonesia juga masih lebih baik dari yang dimiliki oleh Jepang
sebagai sesama negara Asia sebagaimana dikemukakan oleh informan Hartanto, namun
dinilai juga bahwa UU KIP masih memerlukan penyempurnaan dengan pengkajian ulang
sebagaimana disampaikan oleh informan Deli, bahwa pengkajian ulang UU KIP masih
terbuka terutama terkait dengan elaborasi rahasia negara dan sanksi hukum bagi pelanggar
UU KIP sehingga diperlukan koordinasi antara Komisi Informasi dengan Kepolisian maupun
dengan pihak lain agar keberadaannya bisa setaraf dengan KPK sehingga banyak
memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi implementasi UU KIP.
Hal yang hampir
sama juga dinyatakan oleh Hartanto bahwa UU KIP memerlukan revisi ketika telah berjalan
10-15 tahun berlaku, ditambah lagi kekecewaan terhadap Komisi Informasi yang dinilai
belum dikenalnya komisi tersebut oleh publik sehingga kinerjanya perlu ditinjau ulang. Peran
Komisi Informasi diharapkan bisa lebih maksimal sehingga mampu berkekuatan seperti KPK
dan MK. Pernyataan lengkap informan tersebut sebagaimana terlihat di bawah ini :
Beberapa penilaian terhadap kehadiran UU KIP juga dikuatkan oleh pernyataan
informan Pujiyanto yang menyebutkan bahwa nilai yang diberikan bagi UU KIP ini adalah
baru 65% karena dianggap bahwa proses pembahasan berkepanjangan dari UU KIP ini
membuat lelah kelompok Komisi I dan Pemerintah sehingga menurunkan derajat UU KIP
ditambah lagi diakui oleh Pujiyanto, bahwa sebagian besar anggota dewan di Komisi I DPR
RI setelah periode perumusan draft RUU KIP di 1999-2004 tidak paham betul mengenai UU
KIP sehingga dirasakan adanya kehambaran. Beberapa hal yang menyisakan kekecewaan
bagi Pujiyanto yaitu seperti pada pada rumusan badan public, rumusan pada informasiinformasi public, klasifikasi informasi, public interest test kurang terurai yang menyebabkan
hak untuk menghadiri pertemuan-pertemuan public tidak terelaborasi. Hal ini menyebabakan
dalam implementasinya mendapat hambatan pada birokratisasi karena badan publik masih
resisten dan akhirnya memunculkan penyakit endemic, badan publik menjadi resisten untuk
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
237
memberikan informasi, sehingga keengganan itu kemudian menyebabkan mereka menjadi
selalu menunda dengan alasan tertentu. Badan publik menjadi terbebani karena UU KIP
menuntut perubahan kultur sedangkan dari masyarakat sendiri masih berpikiran sempit. UU
KIP secara pasti dirasakan oleh badan publik terutama BUMN mengurangi kekuasaan
mereka bersama pemerintah. Dengan dalih bahwa mereka telah memiliki Undang-Undang
sendiri sehingga tidak berkenan tunduk kepada UU KIP.
Oleh karena itu ditambahkan oleh Pujiyanto, bahwa terlihat mereka tidak memahami
esensi bahwa badan publik itu bukan hanya badan yang mendapat anggaran dari negara
(APBN) namun lebih dari itu ada beberapa hal-hal yang secara prinsip dimana mereka harus
tetap memberikan informasi karena informasi publik itu bermanfaat bagi kepentingan publik,
jadi dari segi kejelasan sektor pekerjaan di sektor publik maka hal tersebut mencakup hak
warga negara secara keseluruhan. Padahal kalau disadari betul bahwa informasi yang
dipegang tersebut bukan hanya milik badan publik sebagai institusi tapi juga milik
masyarakat. Persoalan kekurang pahaman inilah yang masih menjadi persoalan karena masih
banyak badan publik tidak mengerti bahwa informasi publik itu bisa diberikan secara
bertahap. Masih dipahami bahwa informasi publik itu jika tidak diminta maka tidak diberi.
Ditambah lagi kekeliruan dari sudut pandang pemahaman informasi publik. Informasi
publik menjadi sangat keliru atau sangat tidak tepat jika didefinisikan kalau seolah-olah
hanya informasi yang diakui oleh badan publik, padahal informasi itu pun sesungguhnya
dapat diberikan oleh badan publik, badan swasta bahkan oleh perorangan atau siapapun yang
bisa menghasilkan informasi-informasi publik. Dalam UU KIP sebenarnya telah ditegaskan
akan hal tersebut bahwa ada klasifikasi informasi publik yang serta merta, yang berkala,
sampai ke yang dikecualikan dengan sifat pro aktif (harus tersedia setiap saat dalam badan
publik), namun bagi Pujiyanto terdapat satu yang hilang yaitu informasi yang diminta
(prosesnya meminta) serta informasi yang betul-betul dikecualikan. Keduanya ini belum
masuk dalam kategori informasi yang terdapat dalam UU KIP. Berdasarkan argumen inilah
dia menyarankan UU KIP direview dibaca ulang kembali dengan rekomendasi direvisi.
Bagi informan Anggodo, dari kalangan Koalisi Masyarakat Sipil dengan masuknya
BUMN sebagai bagian dari badan publik di UU KIP dianggap tidak maksimal karena masih
terdapat pengecualian terhadap pengaturan pemberian informasi dan hal tersebut menyisakan
kekecewaan. Anggodo menyatakan tidak seharusnya ada pengaturan eksplisit informasi yang
bisa dibuka oleh BUMN sebagai badan publik karena ada penyertaan dana APBN atau APBN
dalam prosesnya sehingga sebaiknya berlaku umumnya saja seperti badan hukum lainnya.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
238
Namun dibalik kekecewaan tersebut masih tersisa harapan bahwa akan semakin
banyak warga Negara yang menggunakan Undang-undang ini untuk kebutuhan hidup seharihari mereka apapun profesinya. Membangun penerimaan publik merupakan hal yang lebih
penting disaat semua perangkat telah tersedia (UU dan Komisi telah ada) agar undangundang ini jadi termakan tempat. Berkaitan dengan kemungkinan revisi, Anggodo menilai hal
tersebut perlu dipikirkan dampak terhadap hasilnya apakah bisa lebih baik atau tidak
sehingga disarankan yang lebih baik adalah memaksimalkan UU yang telah ada.
Bagi Heryanti sebagai komisioner Komisi Informasi, menyatakan bahwa masukknya
BUMN sebagai badan publik sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan dari sejak awal. Jika
alasanya adalah akan menimbulkan persaingan usaha tidak sehat maka hal tersebut kurang
tepat karena kekhwatiran tersebut sudah terjawab dalam Pasal 17b UU KIP sehingga BUMN
dipersilahkan dapat melakukan uji konsekuensi kalau dirasa memang ada persaingan usaha
tidak sehat. Dengan adanya hal ini tidak ada alasan bagi BUMN untuk tidak terkena dalam
ketegori badan publik. Dalam perjalanan implementasi UU KIP dinyatakan bahwa UU KIP
telah berjalan walaupun dirasa belum maksimal, namun perlahan dipastikan dapat
mewujudkan pemerintahan yang lebih bersih bebas korupsi ketika informasi dapat menjadi
lebih terbuka.
Pendapat berbeda dari kalangan Pemerintah melalui informan Icel selaku humas
Kemkominfo yang terlibat dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan RUU KIP
menilai bahwa grafik kontribusi positif yang diberikan dengan kehadiran UU KIP ini masih
dikatakan lambat karena rendahnya tuntutan Undang-Undang terhadap keberadaan PPID
(Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) di setiap badan publik. Sanksi yang
diberikan terlihat tidak ditakuti oleh badan publik yang belum memiliki PPID. Keberadaan
sanksi pidana dari awal juga menimbulkan perdebatan karena banyak terjadi perbedaan
pandangan. Tuntutan pemenuhan permintaan atas informasi dianggap tidak layak untuk
diberikan konsekuensi hukum, sementara jika telah menjadi produk hukum sebuah UndangUndang maka wajib memuat sanksi hukum, oleh karena itulah disepakati bahwa sanksi
pidana ringan saja yaitu hukuman 1 (satu) tahun dengan denda antara 5 hingga 10 Juta
Rupiah. Lebih jauh Icel menngingatkan bahwa hendaknya UU KIP dikembalikan pada
filosofi dasar yaitu harus dapat memberikan kemanfaatan dan peningkatan kepribadian dari
masyarakat karena hal tersebut adalah inti dari sebuah keterbukaan. Keterbukaan harus bisa
berbanding lurus untuk memberikan kesejahteraan masyarakat, bisa memberikan kepastian
hukum dan mendorong partisipasi publik.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
239
BAB VI
DISKUSI :
GROUPTHINK PADA PENGAMBILAN KEPUTUSAN POLITIK DI KELOMPOK
PARLEMEN INDONESIA
Groupthink sebagai sebuah konsep teroritis mengenai suatu kondisi yang seharusnya
dihindarkan dalam sebuah proses komunikasi kelompok dalam rangka pembahasan dan
pengambilan sebuah keputusan pada hakikatnya tidak bisa sepenuhnya dihindari dalam
keseharian aktivitas komunikasi kelompok terlebih dalam komunikasi kelompok politik yang
sarat akan tujuan dan kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan/kedudukan politik
seorang politisi.
Dalam aktivitas komunikasi di sebuah lembaga perlemen seperti di DPR RI politisi
pada hakikatnya tidak membawa pemikiran individu walaupun penyampaian ide-ide
dilakukan secara individu. Banyak hal yang melatar belakangi sebuah sikap atau argumen
politik seorang politisi di DPR RI ketika mereka tergabung dalam sebuah kelompok Komisi
di parlemen yang keanggotaannya berasal dari berbagai macam fraksi partai politik namun
mereka dituntut untuk dapat saling bekerja sama dalam rangka menuntaskan tugas-tugas yang
diembankan kepada mereka terutama berkaitan dengan pembahasan rumusan UndangUndang.
Teori groupthink sebagai teori psikologi sosial yang mempelajari interaksi manusia
antara individu dengan kelompok atau antar kelompok menjadi menarik untuk dipakai dalam
melihat permasalahan komunikasi politik Indonesia dengan konteks yang berbeda dari
penelitian yang telah dilakukan pelopornya Irving Lester Janis (1972).
Konteks penelitian teori groupthink yang biasa dilakukan pada kelompok eksekutif
pemerintahan dalam kasus kebijakan politik luar negeri di negara yang menganut sistem
demokrasi murni dwi partai Amerika Serikat, tentunya akan berbeda dan mampu
memperkaya teori groupthink, mengingat Janis telah mengatakan bahwa potensi terjadinya
groupthink bisa terjadi dalam kondisi kelompok manapun, baik dalam lingkup eksekutif
maupun legislatif, dalam organisasi skala besar maupun skala kecil.
Jika studi-studi groupthink awal bercirikan kelompok kecil yang homogen, tertutup
dan kohesif sejak awal maka dalam penelitian ini kelompok yang diamati merupakan
kelompok kecil Panitia Kerja pada lingkup legislatif di sebuah komisi yang memiliki latar
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
240
belakang heterogen namum pada akhirnya mampu menjadi homogen dan kohesif
sebagaimana ciri dari kelompok yang rentan terhadap groupthink.
Keterikatan dalam kelompok komisi mendorong sebuah tuntutan akan adanya
kepaduan (kohesivitas) baru yang mampu membantu penyelesaian tugas yang diembankan
kepada mereka. Dalam rangka tuntutan ini maka potensi groupthink untuk muncul dalam
lingkup komunikasi politik di parlemen Indonesia yang dalam interaksi antar sesama di
kelompok pada awalnya berlatar belakang ideologi politik yang berbeda tetap dapat muncul.
Terlebih faktor tersebut disandingkan dengan berbagai kepentingan yang ada.
Dengan demikian dapat dipersepsi bahwa bahwa komunikasi di DPR RI tidak berarti
dengan sendirinya mengekspresikan prinsip-prinsip pokok dari rakyat Indonesia yang bersifat
kolektif manakala berbagai perdebatan dan pencarian konsensus terjadi di dalamnya.
Tentunya kemungkinan-kemungkinan lain dapat terjadi seperti misalnya karena kesamaan ide
dan minat, maupun usia yang mungkin mampu menjadi lebih dominan dirasakan ketimbang
identitas asli sebagai seorang politisi dari partai politik tertentu misalnya. Hal inilah yang
membuat anggota kelompok dengan asal ideologi politik yang berbeda tersebut dapat
melebur, membentuk kubu baru atau kohesivitas baru dan banyak berpengaruh dalam rangka
proses pengambilan keputusan dalam sebuah Komisi di DPR RI.
Penelitian ini pada awalnya memperhatikan asumsi teoritis Janis bahwa groupthink
dapat terjadi pada kondisi-kondisi di dalam kelompok yang mempromosikan kohesivitas
tinggi, pemecahan masalah kelompok pada intinya merupakan proses yang menyatu serta
kelompok dan pengambilan keputusan oleh kelompok sering kali bersifat kompleks. Ketika
anggota kelompok merasa memiliki kekuatan yang berlebih dan tidak gampang digoyahkan,
anggota kelompok menjadi tertutup pemikirannya dan menolak informasi yang bertentangan
dengan mereka, serta mengalami tekanan untuk sepakat dengan kelompoknya karena adanya
hubungan pemimpin yang kuat dengan anggotanya, maka kehadiran groupthink bukanah
suatu hal yang mustahil. Dengan kata lain dalam model teori groupthink Janis digambarkan
bahwa terjadinya groupthink dalam suatu kelompok disebabkan oleh adanya (1) kelompok
kohesif pengambil keputusan, (2) adanya kesalahan struktural dan (3) karakteristik yang
menghasilkan tekanan. Tanpa adanya salah satu diantara ketiga faktor pendahulu tersebut
maka groupthink akan sulit muncul.
Berangkat dari hal tersebut dan melalui pengamatan terhadap kasus yang dipilih maka
beberapa asumsi penelitian terkait dengan adanya kohesi kelompok, bahwa groupthink bisa
terjadi dalam kelompok yang terbuka dan mampu mengakomodir berbagai masukan luar
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
241
sekalipun, serta hasil pengambilan keputusan dalam lingkup politik mungkin tidak hanya
bersumber dari kepentingan partai politik yang menjadi latar keanggotaannya, melainkan bisa
datang dari kepentingan lain yang mampu mendorong sikap untuk memilih/memutuskan
sesuatu dalam interaksi di kelompoknya, diajukan untuk melihat dan menemukan rangkaian
cerita apakah demikian adanya groupthink terjadi dalam lingkup kelompok politik di
parlemen negara transisi demokrasi seperti Indonesia ini ?.
Kajian terhadap kelompok politik di DPR RI juga tidak lepas karena pertanyaan Janis
“apakah pada dasarnya groupthink hanya merupakan fenomena Amerika?”. Pertanyaan ini
tentunya muncul karena Janis melakukan penelitian tentang groupthink
hanya pada
kelompok pembuat kebijakan di Amerika yang berasal dari kalangan pimpinan politik dan
militer Amerika.
Janis mempertanyakan apakah ciri khas publik Amerika yang sangat
terkenal dengan semangat mereka untuk menginvestasikan waktu dan uang dalam diskusi
kelompok serta karakter unik eksekutif nasional Amerika yang sangat mengandalkan
dukungan kelompok bagi pembuatan kebijakan dapat terjadi di negara lainnya? Apakah ada
alasan yang dapat percaya bahwa sebenarnya fenomena groupthink tidak hanya terbatas pada
satu negara saja?
Janis menanyakan hal ini karena keterbatasannya yang hanya akrab dengan sejarah
dan pergaulan Amerika dibandingkan dengan negara lain misalnya dari Eropa, Asia maupun
Afrika. Sehingga menurutnya jika bisa paham dengan pergaulan dan sejarah negara di luar
Amerika tentunya dia telah mengungkapkan gejala groupthink yang terjadi di negara luar
Amerika tersebut selagi catatan pengambilan keputusan, pertemuan, memoar, buku harian
dan bukti lain dari musyawarah dan interaksi tersedia.
Studi yang telah dilakukan Janis menunjukkan bahwa eksekutif di Amerika lebih
cenderung mengandalkan penilaian kelompok dan senang untuk memanjakan diri dalam
groupthink. Dalam serangkaian besar keputusan kebijkakan yang dihasilkan oleh komitekomite pemerintah di Amerika, kecenderungan groupthink menjadi cukup kuat untuk
menghasilkan kualitas pengambilan keputusan yang buruk, katakanlah misalnya rata-rata
setiap satu dari tiga keputusan mengandung groupthink, sedangkan bisa jadi di negara-negara
Eropa tidak sebesar itu, mungkin sekitar satu dari enam keputusan. Tetapi tentunya akan
sangat memprihatinkan bila keputusan kebijakan yang masih dikatakan dalam rata-rata
rendah seperti di Eropa itu akhirnya mampu mempengaruhi kehidupan jutaan orang.
Sehingga Janis menantang bisakah kita membuktikan asumsi bahwa kebijakan-kebijakan
komite-komite di negara selain Amerika Serikat terkadang juga menderita gejala groupthink?
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
242
Pertimbangan yang mendasari bahwa studi tentang groupthink dalam pengambilan
keputusan politik di lembaga parlemen Indonesia yang bersifat terbuka dan dinamis belum
ditemukan, serta berdasarkan faktor keterbukaan akses terhadap dokumen risalah lengkap
rapat permbahasan RUU KIP maka studi ini dimaksudkan akan dapat memberikan kontribusi
bagi pengembangan teori groupthink dalam konteks negara Asia. Lebih jauh tentunya akan
memberi sumbangan dalam literatur studi komunikasi politik dalam konteks komunikasi
kelompok kecil yang terjadi pada kelompok kerja/tugas (task oriented group).
Penjabaran elemen kondisi pendahulu, gejala groupthink dalam dinamika komunikasi
yang terjadi pada kelompok Panja pembahas dan pengambil keputusan mengenai badan
publik RUU KIP di DPR RI, menunjukkan bahwa groupthink dapat terjadi lingkup legislatif
dengan beberapa karakteristik yang berbeda.
Terdapat beberapa yang memiliki kemiripan sesuai rumusan Janis, terdapat juga
beberapa indikator yang memiliki perbedaan perspektif dan karakteristik, serta ditandai
dengan munculnya indikator baru sebagai pengembangan studi groupthink berdasarkan hasil
penelitian ini.
Beberapa ciri khas yang menonjol dalam kondisi pendahulu (anteseden) groupthink
yang muncul adalah terdapatnya ciri kohesivitas, isolasi kelompok, homogentitas kelompok
serta adanya karakteristik yang menimbulkan tekanan walaupun tidak terlalu besar.
Sementara faktor kurangnya kepemimpinan imparsial dan kurangnya prosedur pengambilan
keputusan memiliki kerakteristik yang berbeda dalam penelitian ini.
Sementara itu gejala groupthink yang tergambar dalam proses pembahasan dan
pengambilan keputusan tentang definisi badan publik pada RUU KIP di Komisi I DPR RI ini
diperoleh hasil yang mengandung kemiripan dengan konsep Janis walaupun terdapat
beberapa saja yang dominan menonjol. Gejala yang meliputi adanya penilaian yang
berlebihan terhadap kelompok yang ditandai dengan gejala ilusi ketidakrentanan dan
keyakinan akan moralitas kelompok, gejala ketertutupan pikiran serta gejala untuk mencapai
keseragaman yang ditandai dengan adanya sensor diri, ilusi kebulatan suara, karakteristik
yang menghasilkan tekanan, serta peran mindguards dalam kelompok akan diuraikan dalam
sub bab berikut ini berikut pengembangan teori yang dapat ditawarkan dari hasil penelitian
ini.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
243
6. 1
Anteseden (kondisi pendahulu) Groputhink versus Temuan Penelitian
Anteseden (kondisi pendahulu) groupthink yang tandai oleh adanya kohesi kelompok
yang dipandang sebagai sebuah kesatupaduan rasa yang berasal dari ketertarikan personal
akan mendorong anggota kelompok untuk tetap tinggal di dalam kelompok dan mencegahnya
meninggalkan kelompok. Ketika kohesivitas yang ada dalam kelompok kian tinggi maka
pada saat inilah groupthink dapat muncul sehingga kemungkinan berbagai penilaian alternatif
diluar kelompok menjadi kabur dan sulit untuk menembus benteng pertahanan kelompok
walaupun berbagai masukan yang diberikan dinilai tidak mengandung sesuatu hal yang
buruk. Harga diri kelompok seakan dipertaruhkan demi kepuasan kelompok. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Janis bahwa kohesivitas merupakan cikal bakal groupthink namun
tidak secara otomatis menuntun kepada groupthink.
Kohesi kelompok yang diteliti Janis pada kasus bersejarah di Amerika menunjukkan
bahwa umumnya terikat pada suatu kondisi dimana interaksi individu-individu di dalamnya
berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan terbentuk dari berbagai macam persamaan
individu yang bahkan telah ada sebelum kelompok terbentuk dan biasanya terjadi dalam
lingkaran komunikasi yang sangat tertutup. Oleh karena itu penelitian ini memberikan
perspektif yang agak berbeda dengan Janis ketika kohesi kelompok dalam lingkup parlemen
dapat terjadi dari berbagai latar belakang partai politik anggota yang berbeda-beda dalam
sebuah lembaga yang sangat terbuka seperti di DPR RI dan dalam jangka waktu tugas yang
cenderung singkat.
Ciri-ciri kohesivitas dalam kelompok terpenuhi dari penelitian ini dengan adanya
pengakuan-pengakuan dari dalam dan luar kelompok bahwa anggota Komisi I yang
membahas RUU KIP tersebut memiliki perasaan senang dalam kelompok dan akrab dengan
sesamanya sehingga tercipta klik-klik baru dengan rekan satu profesi dalam kelompok serta
adanya upaya anggota untuk melindungi kelompok dari berbagai tudingan-tudingan yang
memojokkan misalnya yang datang dari luar terkait dengan lamanya pembahasan dan
sebagainya.
Kohesivitas yang terjadi dalam kelompok pembahas RUU KIP ini dikarenakan
adanya kesamaan dalam tujuan pemenuhan tugas sehingga tidak serta merta ada atau terbawa
sebelumnya. Pada beberapa anggota yang telah terpilih kembali di periode 2004-2009
mungkin telah terjadi kohesivitas dengan sesama anggota yang juga mengalami
pengembanan tugas di parlemen secara berulang.
Berdasarkan data informan terdapat
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
244
beberapa anggota Komisi 1 yang memang telah mengalami penunjukkan sebagai anggota
DPR RI lebih dari satu kali seperti misalnya Sindoro, Eko dan Tojaka.
Faktor isolasi kelompok dalam penelitian ini juga memiliki perbedaan perspektif
dengan apa yang disebutkan oleh Janis yang merujuk pada kemampuan kelompok untuk tidak
terpengaruh dunia oleh dunia luar manakala kelompok begitu sering bertemu sehingga
menjadi kebal terhadap hal yang terjadi di luar pengalaman kelompok mereka, bahkan
mungkin saja mereka mendiskusikan isu-isu yang memiliki relevansi di dunia luar tetapi
anggota kelompok terlindung oleh pengaruhnya, bahkan orang di luar kelompok yang dapat
membantu dalam pengambilan keputusan, yang mungkin ada dalam organisasi tetapi tidak
diminta untuk berpartisipasi.
Dalam penelitian ini, faktor isolasi kelompok cukup tergambar dengan adanya
kekerapan bertemunya anggota kelompok Komisi I baik dalam kehadiran rutin di rapat resmi
maupun bertemu dalam kegiatan diluar rapat yang diisi dengan pembicaraan ringan sambil
menikmati kopi atau teh sehingga diakui bahwa pertemuan dengan kelompok fraksi partai
politik sendiri menjadi kurang intensitasnya dibandingkan dengan pertemuan dengan sesama
anggota komisi sehingga menyebabkan tidak terlalu besarnya peran fraksi dalam
mempengaruhi pendapat anggota kelompok, disamping adanya pengakuan karena RUU KIP
mengandung nilai politis yang lebih kecil daripada RUU Pemilu misalnya sehingga tingkat
keikutsertaan fraksi dalam mengunci sikap anggotanya berdasarkan kepentingan fraksi tidak
terlihat.
Informan pendukung dari Koalisi Masyarakat Sipil mengakui bahwa anggota Komisi
pada saat membahas RUU KIP cenderung lebih bebas dan berani mengemukakan
pendapatnya walaupun mungkin ada perbedaan dengan sikap fraksinya sendiri. Yang menjadi
agak berbeda dengan konsep Janis tentang isolasi kelompok ini adalah kemampuan kelompok
untuk tidak terpengaruh dunia luar atau terlindung dari pengaruhnya. Beberapa kondisi
menunjukkan bahwa pada kelompok panitia kerja RUU KIP di Komisi I DPR RI terjadi
pergeseran menyikapi pengaruh dunia luar. Pada saat awal-awal pembahasan diakui oleh
anggota kelompok bahwa mereka sangat kontra dengan argumen tentang definisi badan
publik dari pemerintah dan berlindung dengan dukungan dari koalisi masyarakat sipil yang
juga kontra terhadap argumen pemerintah, hingga apa yang diucapkan pemerintah dalam
rapat selalu mendapat pertentangan dan tidak memperoleh titik temu dalam beberapa kali
rapat. Hal ini berarti bahwa kelompok Komisi I cukup kuat untuk tidak terpengaruh dunia
luar walaupun dalam praktiknya mereka bertindak sebagai pengundang pihak luar tersebut
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
245
dan mendengarkan terus pendapat dari pihak luar namun selalu ditanggapi dengan kekebalan
sikap walaupun pemerintah telah mengajukan sejumlah fakta dan data tertulis yang
mendasari argumennya. Pemerintah pun selalu bertahan dan tidak mau merubah argumennya,
hingga kemudian kelompok DPR dan Pemerintah terlibat dalam lobby-lobby yang akhirnya
mampu menurunkan derajat isolasi kelompok dengan adanya pertemuan-pertemuan dalam
lobby-lobby. Artinya, jika Janis berasumsi bahwa isolasi kelompok terjadi cenderung
menetap hingga akhir pencapaian keputusan maka dalam kasus di kelompok politik parlemen
Indonesia isolasi kelompok mampu bergeser derajatnya dari tinggi sekali menuju sedang
kemudian rendah yang kemudian memunculkan apa yang dinamakan sebagai gejala ilusi
kebulatan suara (Ilusi of Unanimity) sebagai bagian dari gejala groupthink ke 7 (tujuh)
dimana akhirnya beberapa anggota kelompok memilih diam sebagai tanda setuju demi
mempertahankan identitas kelompok.
Kondisi pendahulu mengenai kurangnya kepemimpinan imparsial yang merupakan
kesalahan struktural dalam faktor pendahulu groupthink tidak terlalu dominan tampak dalam
aktvitaas interaksi kelompok dalam risalah rapat maupun dari pengakuan informan dalam
wawancara. Padahal jika dilihat dari konsep Janis bahwa sejatinya kelompok yang rentan
terhadap groupthink dipimpin oleh orang yang memiliki minat pribadi terhadap hasil akhir,
sebagaimana sempat dicontohkan dari penelitian groupthink Janis tentang Keputusan
Presiden Kennedy mengenai Teluk Babi bahwa setiap Presiden memimpin rapat mengenai
invasi terhadap Kuba, alih-alih membuka agenda untuk memungkinkan munculnya
pandangan-pandangan oposisi, Presiden hanya mengizinkan perwakilan CIA untuk
mendominasi seluruh diskusi. Presiden mengizinkan mereka untuk langsung menyangkal
semua keraguan tentatif yang mungkin dikemukakan oleh beberapa orang, alih-alih
menanyakan apakah ada orang lain yang memiliki keraguan yang sama atau ingin
mempertanyakan implikasi dari isu baru yang mengkhawatirkan.
Hal ini tidak tergambar dalam penelitian ini karena pimpinan kelompok kerja yang
tergabung dalam Panita Kerja (Panja) RUU KIP terlihat hanya memainkan peran sebagai
penengah, moderator dalam jalannya rapat. Pimpinan yang dipilih berdasarkan penunjukan
sesuai dengan jumlah perolehan suara terbanyak dalam fraksi diakui mampu mengakomodir
pendapat setiap anggota kelompok dan tidak memperlihatkan tendesi untuk memenangkan
minat pribadinya atau hanya memenangkan dominasi anggota yang berasal dari fraksi sejenis
dengannya untuk mendominasi jalannya diskusi.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
246
Dalam hal ini fungsi kepemimpinan yang dijalankan oleh kelompok tugas di Komisi I
DPR RI lebih mencerminkan fungsi keanggotaan dan keterwakilan sebagaimana yang
disebutkan oleh Burgoon, Heston dan McCroskey (2008). Fungsi keanggotaan yang
dijalankan oleh pimpinan panja RUU KIP di Komisi I DPR RI menyebabkan perilaku
pimpinan dijalankannya dengan cara meleburkan atau melibatkan dirinya dalam kelompok
serta melakukan aktivitas yang menekankan kepada interaksi informal dengan anggota
kelompok lainnya untuk menegaskan bahwa dirinya juga merupakan salah seorang anggota
kelompok. Sebagaimana diketahui bahwa pimpinan Komisi adalah merupakan juga anggota
parlemen yang setara dengan anggota lainnya sehingga peran dominan pimpinan ketika
berlaku dalam kelompok tugas menjadi tidak terlalu tergambar karena kecairan hubungan
diantara pimpinan dan anggota kelompok. Pimpinan panja RUU KIP misalnya yang diwakili
oleh Sindoro dan Tojaka menyatakan bahwa kerap terlibat diskusi dan kumpul dalam situasi
tidak resmi dengan anggota kelompok lainnya.
Sedangkan adanya upaya pimpinan untuk melindungi dan mempertahankan para
anggotanya dari ‘ancaman-ancaman’ yang berasal dari luar dengan menjadi wakil atau juru
bicara kelompok di hadapan kelompok lainnya menunjukkan bahwa pimpinan menjalankan
fungsi keterwakilan. Namun fungsi keterwakilan ini tidak juga membuat pimpinan dalam
panja RUU KIP menjadi superior dan mampu berperan dan menggiring pendapat para
anggotanya. Dari hasil wawancara diakui bahwa anggota kelompok tidak merasakan adanya
tekanan dari para pimpinan di Komisi I. Fungsi keterwakilan hanya dilakoni dengan peranan
pimpinan selama rapat yang bertindak mengingatkan hasil dan jadwal rapat, memimpin rapat,
memandu jalannya rapat serta menyimpulkan hasil rapat. Pimpinan di kelompok parlemen
Indoensia tidak terlalu banyak bisa meempengaruhi atau menggiringg opini anggota sesuai
dengan minat pribadi atau minat dari fraksi partai politis dari asalnya pemimpin.
Hal yang menarik dan agak berbeda terjadi kala pengambilan keputusan kian
mendekat setelah proses lobby dan kompromi, beberapa dari unsur pimpinan panja RUU KIP
di Komisi I DPR RI mampu menjadi penengah sebagaimana diakui oleh informan pendukung
yang berasal kelompok pemerintah yaitu dari Kementrian Komunikasi dan Informatika yang
menyatakan bahwa (Alm) Arief Mudatsir Mandan dari fraksi PPP bertindak sebagai
penengah sewaktu terjadi lobby alot di Hotel Ibis Petamburan untuk menghasilkan keputusan
tentang definisi badan publik.
Gambaran kondisi pimpinan tersebut juga menunjukkan bahwa pimpinan di
kelompok panja RUU KIP memiliki gaya kepemimpinan laissez-faire atau group centered,
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
247
yakni seorang pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan ini menginginkan seluruh
anggota kelompoknya berpartisipasi tanpa memaksakan atau menuntut kewenangan yang
dimilikinya. Tindak komunikasi dari pemimpin ini cenderung berlaku sebagai seorang
penghubung yang menghubungkan kontribusi atau sumbangan pemikiran dari anggota
kelompoknya (Burgoon, Heston dan McCroskey, 2008).
Namun yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana mungkin groupthink
bisa terjadi jika faktor kurangnya kepemimpinan imparsial menjadi kurang tergambar?
Fungsi pimpinan dalam kasus ini memang dapat dikategorikan sebagai upaya untuk
meminimalisasi groupthink tetapi dalam kasus penelitian ini apakah upaya tersebut berhasil?
Fakta dalam lingkup kelompok parlemen memang menunjukkan demikian adanya, namun
bukan berarti groupthink tidak dapat terjadi. Janis pernah memberikan pertanyaan terkait
kondisi untuk melihat sebuah groupthink dalam kelompok. Apakah pimpinan sendiri yang
mengambil keputusan atau ada anggota kelompok yang signifikan dalam kelompok kohesif
tersebut?. Jika dilihat dari pertanyaan ini berarti Janis tidak menafikkan peran anggota lain
yang signifikan dalam kelompok yang mampu memberi dukungan kepada pimpinan dalam
rangka proses pengambilan keputusan.
Kondisi itulah yang terjadi di kelompok Panja Komisi I yang membahas dan
mengambil keputusan tentang badan publik pada RUU KIP. Pimpinan yang memiliki
kedudukan relatif setara dengan anggota karena sama-sama disebut sebagai ‘anggota dewan’
dan lebih bersifat akomodatif dalam diskusi, pada akhirnya dengan mudah dapat melebur
dengan sesamanya dan kerap mengandalkan pendapat anggota kelompok yang dianggap
dominan/vokal dalam rangka memberikan solusi bagi pengambilan keputusan. Dengan
demikian jika anggota kelompok yang dominan ini mampu untuk menekan anggota lainnya
untuk mengikuti apa yang menjadi keinginan/tujuannya maka tentulah groupthink bisa
terjadi. Anggota kelompok yang signifikan dan cenderung diperhatikan oleh pimpinan Panja
mengakui pernah melakukan upaya untuk membujuk pendapat dari anggota fraksi pendukung
pemerintah agar memiliki keseragaman pendapat dengan yang lainnya dalam upaya bertahan
dengan argumen awal yang berseberangan dengan argumen pemerintah.
Terkait dengan faktor kurangnya prosedur pengambilan keputusan yang masih
menjadi bagian dari faktor kesalahan struktural dari anteseden (kondisi pendahulu)
groupthink yang disebutkan oleh Janis disebabkan karena kelompok dianggap gagal
menyediakan norma-norma untuk mengatasi masalah kelompok. Janis menjelaskan bahwa
kelompok memiliki prosedur untuk mengambil keputusan namun gagal memiliki norma yang
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
248
telah disepakati untuk mengevaluasi suatu masalah tersebut, sehingga hal ini dapat
menimbulkan groupthink.
Penelitian ini menemukan bahwa kelompok Panja RUU KIP di Komisi I DPR RI
tidak dianggap gagal untuk menemukan norma-norma untuk mengatasi masalah kelompok
yaitu adanya perbedaan argumen mengenai definisi/kategori BUMN sebagai Badan Publik
antara kelompok dengan pihak Pemerintah yang menyebabkan perdebatan yang
berkepanjangan. Hal ini disebabkan karena masih kuatnya prosedur rinci dalam pengambilan
keputusan di parlemen Indonesia yang membuat anggota kelompok cukup disiplin dalam
mematuhinya, sehingga perumusan jadwal rapat selalu dibahas dan disepakati bersama.
Jika terdapat perubahan jadwal maka hal tersebut juga tercatat. Hal ini diakui oleh
seluruh informan utama dalam penelitian ini yang dikuatkan oleh pendapat informan
tambahan yang merupakan Sekretaris Komisi I pada waktu pembahasan RUU KIP. Mereka
mengakui bahwa jalannya prosedur pembahasan RUU KIP telah sesuai, dapat berjalan
dengan baik walaupun terdapat banyak penyesuaian jadwal. Namun apakah dengan adanya
kesesuaian prosedur dan upaya untuk menemukan masalah dalam kelompok dapat
menghindari terjadinya groupthink? ternyata fakta dari temuan penelitian menunjukkan
bahwa pada akhirnya prosedur pengambilan keputusan dijalankan melalui mekanisme di luar
rapat resmi Komisi I melalui lobby dan kompromi yang dilakukan di sebuah hotel. Hal ini
disebabkan karena faktor tekanan waktu yang mendesak kelompok untuk segera mengambil
keputusan mengenai definisi badan publik bagi pengesahan RUU KMIP.
Metode pengambilan keputusan yang didominasi oleh lobby dan kompromi inilah
yang kemudian juga tergolong ke dalam masukan tambahan terhadap gejala groupthink pada
komponen tekanan untuk mencapai keseragaman (Uniformity Pressures).
Metode pengambilan keputusan yang diwarnai dengan lobby dan kompromi
merupakan ciri khas kelompok politik dalam parlemen Indonesia. Hal ini dianggap
merupakan solusi integratif guna menemukan titik temu bagi terwujudnya keberhasilan dalam
pembahasan Undang-Undang. Adapun upaya-upaya yang dilakukan untuk menganalisis
masalah perdebatan tersebut adalah dengan banyak melakukan diskusi untuk menyatukan
persepsi dengan Pemerintah sehingga dalam proses ini biasanya terjadilah tawar menawar
pasal (trade off) yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan.
Dalam kasus ini proses trade off tersebut terjadi sebagai akibat kuatnya pertahanan
kelompok Panja dengan rumusan awal RUU KIP bahwa BUMN BUMD harus tetap masuk
dan tertulis dalam definisi sebagai Badan Publik di Pasal 1 ayat 3 RUU KIP dan menolak
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
249
usulan Pemerintah yang menginginkan LSM dan Partai Politik lah yang seharusnya
dimasukkan dalam definisi Badan Publik dengan alasan BUMN/BUMD sebenarnya tidak
perlu dikategorikan sebagai badan publik karena telah memiliki Undang-Undang tersendiri
serta telah ada lembaga seperti BPK, BPKP dan Akuntan Publik yang mengauditnya,
sehingga jika dimasukkan dalam RUU KIP dikhawatirkan akan menggangu persaingan usaha
dengan badan swasta lain di Indonesia.
Pemerintah melalui pihak Kemkominfo mengakui bahwa sebenarnya DPR RI tidak
banyak memahami urgensi tentang RUU KIP terkait dengan definisi badan publik. Kelompok
Pemerintah menganggap DPR RI lebih banyak di pengaruhi oleh LSM yang disinyalir
mendapat banyak masukan dan bantuan dari asing. Lebih jauh Pemerintah beranggapan
bahwa apa yang merupakan produk hukum yang dicontoh LSM dari Freedom of Information
Act (FOA) dari Amerika dan Inggris tidak bisa sepenuhnya diterapkan di Indonesia karena
perbedaan dalam kultur masyarakat Indonesia sendiri. Bahkan dikatakan Pemerintah bahwa
FOA tidak menyentuh korporasi. Untuk mencegah korupsi di korporasi ada yang dinamakan
Service of the Act yang bisa menghukum Direksi Perusahaan, BUMN, Perusahaan Publik
yang membuat laporan tidak benar. Service of Act inilah yang dianggap Pemerintah telah
terpenuhi dalam landasan hukum masing-masing yaitu untuk BUMN adalah : Paket UU
Keuangan Negara, UU 40/2007 PT, UU 19/2003 BUMN, UU 8/1995 Pasar Modal, Paket UU
Sektoral dan Paket UU Pemeriksaan. Sedangkan landasan hukum untuk Badan Usaha Swasta
adalah : UU 40/2007 PT, UU8/1995 Pasar Modal dan Paket UU Sektoral.
Pemerintah beranggapan bahwa LSM dan Partai Politiklah yang seharusnya berhak
masuk dalam definisi Badan Publik karena belum memiliki Undang-Undang yang mengikat,
dan sudah waktunya LSM dan Partai Politik lebih accountable agar masyarakat menjadi lebih
bertanggung jawab, sehingga good governance dapat terwujud, terlebih LSM dan Parpol juga
mendapatkan sumbangan dari masyarakat atau sumber luar negeri dalam menjalankan
aktivitasnya.
Sementara itu, DPR RI melalui berbagai argumen yang dilontarkan dari kelompok
anggota yang tergolong vokal seperti Djoko (FPAN), Eko (FPKB), Hartanto (FGolkar),
Andre (FPDIP), Deli (FPAN) berkeberatan dengan usulan Pemerintah tentang LSM dan
Parpol tersebut, dan tetap menginginkan bahwa BUMN/BUMD haruslah masuk dalam
definisi atau kategori badan publik dalam RUU KIP mengingat BUMN/BUMD mengelola
dana ratusan trilliun sementara kontribusi atau profitnya dianggap tidak seimbang karena
selalu mengaku merugi atau dibikin rugi dan hal ini juga menyebabkan terhambatnya
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
250
penciptaan good corporate govenance, terlalu banyak masalah dan praktek menyimpang
yang ditemukan dalam praktek pengelolaan BUMN/BUMD menuntut untuk diberlakukannya
transparansi pada badan usaha tersebut.
Pada akhirnya proses trade off terjadi dengan diakomodirnya semua keinginan
pemerintah dan DPR RI terkait ketegori badan publik tersebut, sehingga terdapat pasal baru
yang dihadirkan untuk menerangkan bahwa BUMN, LSM dan Parpol dimasukkan sebagai
badan publik yang wajib memberikan informasi publik dengan syarat-syarat tertentu., yaitu di
Pasal 14, 15, dan 16 UU KIP tahun 2008.
Kelompok DPR RI dan Pemerintah mengakui bahwa proses ini ditempuh untuk
menyelesaikan perdebatan panjang yang telah melelahkan mereka. Namun diakui oleh
beberapa anggota kelompok dari panja RUU KIP bahwa kesepakatan adanya pasal baru
tersebut dipandang cukup logis sehingga menjadi dapat diterima.
Dalam proses ini sebetulnya juga terjadi titik kejenuhan kelompok hingga
menimbulkan sikap pasrah dan seolah diam menerima kesepakatan yang oleh Janis disebut
sebagai gejala groupthink yaitu ilusi kebulatan suara, terlepas dari kondisi ini dapat dianggap
sebagai sesuatu upaya kelompok untuk menyediakan norma-norma bagi masalah yaang
dihadapi kelompok. Walaupun melalui prosedur non resmi namun hal ini dianggap sebagai
sebuah temuan baru bahwa dengan adanya metode prosedur pengambilan keputusan yang
dapat menghasilkan kesepakatan yang dianggap baik pun groupthink bisa muncul.
Prosedur pengambilan keputusan yang mengandung lobby dan kompromi sebagai ciri
khas komunikasi kelompok politik di parlemen Indonesia tersebut diduga kuat dipengaruhi
oleh beberapa hal yang dirumuskan oleh Burns (Efriza, 2014:148) berasal dari pengaruh
kolega.
Pengaruh kolega ini disebabkan karena adanya nasihat yang diperoleh dari anggota
kelompok lain, dikarenakan keterbatasan waktu dan keperluan untuk membuat keputusan
mampu memaksa anggota legislatif untuk bergantung pada orang lain. Kebanyakan anggota
membangun persahabatan dengan orang-orang yang berpikir seperti mereka. Mereka sering
saling bertanya apa yang mereka pikirkan tentang penundaan legislasi. Secara khusus,
mereka memerhatikan anggota yang terpandang dari kerja komisi perundang-undangan.
Kondisi ini terlihat dalam pengakuan informan bahwa mereka sering berkumpul dan
berdiskusi sama lain untuk menyamakan persepsi.
Pengambilan keputusan yang terjadi sebagai hasil dari adanya kompromi politik
dengan adanya proses tawar menawar (trade-off) antara Pemerintah dan Komisi I DPR RI
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
251
juga merupakan penggambaran dari berlakunya model birokrasi politik dari Graham Allison
(Kegley&Witkopf, 2001) yang mengaitkan identifikasinya dengan adanya groupthink dalam
kasus-kasus pengambilan keputusan politik yang menyatakan bahwa pembuatan kebijakan
merupakan proses tawar menawar agen pemerintah dengan agen pemerintah lainnya sehingga
keputusan-keputusan pemerintahan merupakan hasil upaya konsensus melalui proses tawarmenawar, lobby dan kompromi.
Perbedaan lain dalam kondisi pendahulu groupthink terlihat dalam perspektif
homogenitas kelompok dari rumusan Janis yang ditemukan dalam penelitian ini.
Homogenitas kelompok (Homogenity of Group) yang dinyatakan oleh Janis adalah tentang
kurangnya perbedaan dalam latar belakang sosial dan ideologi di antara para anggota dari
sebuah kelompok yang kohesif sehingga membuat mereka lebih mudah menyetujui saran apa
pun yang dikemukakan oleh sang pemimpin.
Sedangkan dalam penelitian ini perspektif homogenitas menjadi lain karena latar
belakang sosial dan ideologi anggota kelompok dalam Komisi I berbeda-beda dari berbagai
macam fraksi partai politik, serta pemimpin yang ada dalam kelompok tersebut juga berasal
dari perwakilan fraksi-fraksi partai politik yang memperoleh suara terbesar dalam Pemilu.
Namun terdapat sebuah perspektif lain untuk menjelaskan tentang homogenitas dalam
penelitian ini, yaitu bahwa suatu kelompok masih dapat dianggap homogen ketika para
anggota yang berkumpul memiliki latar belakang dalam bidang yang sama yaitu politik dan
mereka tergabung dalam suatu kelompok tugas yang diikat oleh masa (waktu) serta memiliki
tujuan yang sama sampai tugas yang diembankan kepada mereka tersebut telah selesai.
Menurut White dan Lippit (1960) homogenitas kelompok dapat juga disebabkan oleh
kesamaaan dalam usia, jenis kelamin dan pandangan/tujuan sehingga terdapat dua alasan
yang menyebabkan homogenitas yaitu : a) banyak kelompok cenderung menarik orang-orang
yang memiliki kesamaan sebelum mereka bergabung, b) kelompok cenderung beroperasi
dengan cara yang memperkuat kesamaan anggota-anggotanya. Dengan demikian kelompok
Komisi I yang memiliki fokus terhadap bidang tertentu dipastikan telah diisi oleh anggota
yang memang memiliki ketertarikan atau dianggap tepat untuk duduk di Komisi I serta selain
itu dari beberapa pernyataan informan yang diuraikan dalam pembahasan tentang kohesi,
terlihat bahwa para anggota sangat menyadari bahwa sebelum RUU KIP dibahas mereka
telah bersepakat untuk saling mendukung dan kompak bagi keberhasilan Undang-Undang
tersebut.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
252
Ciri lain dalam kondisi pendahulu (anteseden) groupthink yaitu berupa karateristik
yang menghasilkan tekanan (provocative context) yang dapat dicetus dari adanya tekanan
luar dan dalam kelompok menunjukkan kemiripian dengan konsep Janis. Disebutkan bahwa
ketika kelompok pembuat keputuasn sedang berada dalam situasi tekanan yang berat karena
dorongan-dorongan dari luar maupun dalam kelompok menyebabkan mereka cenderung tidak
dapat menguasai emosi. Ketika tekanan tinggi tersebut, kelompok biasanya mengikuti
pemimpin mereka dan menyatakan keyakinan mereka. Hal ini terlihat dalam kelompok
politik pembuat keputusan di parlemen Indonesia yaitu ketika terjadi kondisi berupa
dorongan-dorrongan dari dalam diri untuk mampu menuntaskan pembahasan RUU KIP
tersebut yang akhirnya membawa kepada penurunan tegangan untuk mencapai kesepakatan
bersama bagi keberhasilan terselesaikannya RUU KIP. Rasa tanggung jawab kelompok untuk
mampu menyelesaikan tugas tersebut diakui menimbulkan beban tersendiri bagi kelompok
sehingga secara psikologis menekan kondisi mental anggota kelompok. Sedangkan faktor
karakteristik tekanan dari luar adalah terkait dengan masukknya berbagai kepentingan yang
berasal dari Pemerintah dan LSM agar dapat tetap terakomodir pendapatnya. Selain itu diakui
oleh informan Hartono bahwa tekanan pernah diperoleh pada saat beliau membahas RUU
KIP yaitu dari Ketua Umum Partai Golkar yang sempat menegur tentang dimasukkannya
BUMN dalam bahasan UU KIP. Sementara itu, informan pendukung lain menyatakan bahwa
tekanan terbesar dalam kelompok adalah karena adanya peran dari Koalisi Masyarakat Sipil
yang notabene adalah kelompok LSM.
Kelompok LSM yang sebutkan oleh Gabriel A. Almond (Almond, 1966) merupakan
kelompok penekan memang sewajarnya melakukan tekanan tersebut. LSM dianggap sebagai
sekelompok manusia yang berbentuk lembaga kemasyarakatan dengan aktivitas atau
kegiatannya memberikan tekanan kepada pihak penguasa agar keinginannya dapat
diakomodasi oleh pemegang kekuasaan. Kedudukan dari kelompok penekan ini dapat
memaksa atau mendesak pihak yang berada dalam pemerintahan atau pimpinan agar bergerak
ke arah yang diinginkan atau justru berlawanan dengan desakannya.
Keinginan-keinginan LSM sebagai pengusung RUU KIP adalah agar Komisi I DPR
RI dapat mempertahankan pendapat atau argumennya tentang BUMN/BUMD masuk
dikategorikan sebagai badan publik. Sebagaimana dijelaskan oleh informan Danti yang
merupakan sekretaris Komisi I pada saat itu, bahwa tidak jarang pihak LSM memberikan
masukan tidak melalui jalur resmi yang sesuai prosedur, melainkan kerap banyak melalui
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
253
jalur tidak resmi seperti meng-SMS
anggota kelompok
atau membagikan selebaran
himbauan tanpa izin terlebih dahulu dengan Sekretariat Komisi I.
Pihak luar lain yang dianggap memberikan tekanan khusus kepada kelompok
pembahasan RUU KIP adalah pemerintah, dalam kaitannya akan tuntutan merumusakan
definisi dan ketegori dari badan publik tersebut.
Dengan demikian, karakteristik yang menimbulkan tekanan ini tidak lain bersumber
dari sejumlah kepentingan yang berada di sekitar kelompok. Kepentingan pemerintah yang
tidak ingin memasukkan BUMN BUMD sebagai badan publik untuk menghindari terjadinya
persaingan usaha yang tidak sehat dengan badan usaha swasta lainnya serta kepentingan
untuk menekan aksi kritis organisasi massa terutama LSM dalam mengawasi berjalannya
keterbukaan informasi publik membuat pemerintah justru bersikeras mengusulkan untuk
memasukkan LSM dan Partai Politik sebagai Badan Publik. Tentu saja hal ini mengherankan
bagi pihak Koalisi Masyarakat Sipil yang pertama kali mengusulkan dirumuskannya RUU
Keterbukaan Informasi Publik, mengingat dana yang dipakai oleh LSM pada dasarnya
merupakan dana urunan yang tidak terkait dengan APBN/APBD, dan kalaupun mendapat
bantuan luar negeri diakui mereka bahwa hal tersebut tidaklah besar.
Kalangan LSM menyamakan posisi mereka sebagaimana lingkup kelompok
pengajian sehingga hal ini lah yang menyebabkan kekecewaan bagi Koalisi Masyarakat Sipil.
Agar tidak menimbulkan kekecewaan yang terlalu besar maka kepentingan LSM dalam
rangka mewujudkan paradigma keterbukaan bagi BUMN/BUMD sangat diupayakan dengan
merangkul pihak DPR RI dan terus mendorong kelompok Panja agar tetap bertahan dengan
rumusan awal dari draft DPR RI.
Jika melihat pada fakta yang terjadi dalam penelitian ini, maka tampak jelas bahwa
fenomena dalam aktivitas komunikasi politik sangatlah kaya. Banyak sekali aspek kehidupan
politik dapat dilukiskan sebagai komunikasi, sebagaimana menurut Alfian (1985) bahwa
keseluruhan proses politik umumnya terjadi dalam kerangka konflik dan konsensus atau
kompromi. Ketika komunikasi politik bertujuan untuk menyampaikan pesan-pesan politik
bagi pengambilan keputusan politik, tentunya diperlukan berbagai hal yang mampu
mengarahkan kepada terciptanya kesepakatan diantara pihak-pihak yang berpolitik.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
254
6.2 Gejala Groupthink versus Temuan Penelitian
Berbagai kondisi pendahulu (anteseden) groupthink akhirnya mampu menghantarkan
kepada pencarian persetujuan (tendensi) yang terwujud dalam gejala-gejala groupthink.
Irving Janis merumuskan 8 (delapan) gejala groupthink yang dikelompokkan ke dalam 3
(tiga) element besar yaitu (A) Penilaian berlebihan dari Kelompok yang ditandai oleh gejala
(1) ilusi ketidakrentanan dan (2) keyakinan moral; (B) ketertutupan pikiran yang ditandai
oleh gejala (3) rasionalisai koletif dan (4) stereotypes luar kelompok; serta (C) tekanan untuk
mencapai keseragaman yang ditandai oleh gejala (5) sensor diri, (6) ilusi kebulatan suara, (7)
tekanan langsung terhadap para penentang, (8) mindguards.
Dari kedepalapan gejala groupthink yang dikemukakan oleh Irving Janis tersebut,
gejala ketertutupan pikiran yang meliputi adanya rasionalisasi kolektif yang merujuk pada
situasi dimana anggota kelompok tidak mengindahkan pendapat luar, serta adanya stereotip
kelompok luar yang diartikan sebagai persepsi kelompok mengenai rival atau musuh, atau
dalam penelitian ini diartikan persepsi terhadap pihak-pihak yang tidak atau kurang setuju
terhadap argumen kelompok, tidak terlalu konstan dalam penelitian ini karena adanya
kompromi di akhir yang membuat gejala ketertutupan pikiran agak menurun namun bukan
berarti hilang sama sekali.
Walaupun dalam situasi legislatif terdapat proses hearing untuk mendengarkan
pendapat luar, namun dari awal proses pembahasan hingga menuju pengambilan keputusan
kelompok pihak Panja DPR RI tetap bertahan dan tidak mau menerima begitu saja pendapat
pemerintah. Pihak Panja Komisi I cenderung memilih untuk merapatkan barisan dengan
Koalisi Masyarakat Sipil agar BUMN BUMD bisa tetap dimasukkan ke dalam definisi badan
publik di Pasal 1 ayat 3 UU KIP. Hingga akhirnya karena faktor tekanan waktu dan
kelelahan, pihak Panja Komisi I memilih jalan kompromi melalui prosedur di luar rapat resmi
Komisi I, agar pembahasan dapat terselesaikan. Tentunya pilihan tersebut belum tentu juga
memuaskan bagi DPR RI maupun bagi Koalisi Masyarakat Sipil karena terbukti berbagai
kekecewaan muncul dan dampak yang timbul dari implementasi UU tersebut belum
sepenuhnya sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Sebagaimana terlihat dalam penjabaran risalah rapat tentang definisi badan publik
yang merupakan DIM ke 15 terjadi 8 (delapan) kali rapat khusus mengenai hal tersebut dan
hingga rapat ke 7 (tujuh) tidak tercapai kesepakatan maupun pengesahan keputusan apapun
antara kelompok Komisi I dengan mitra kerja Pemerintah dari Kementerian Komunikasi dan
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
255
Infromatika serta Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Dalam setiap rapat diwarnai
dengan perdebatan dan pertentangan yang tidak menemukan titik temu hingga akhirnya
dalam rapat panja ke 8 (delapan) telah terangkum kesimpulan bahwa definisi badan publik
dalam RUU KIP Pasal 1 ayat 3 menjadi :
Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang
fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian
atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan/atau Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi non pemerintah
sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan
masyarakat, dan/atau luar negeri.
Rumusan ini berubah dari rumusan awal draft RUU KIP yang berasal dari DPR RI
yang memasukkan kata BUMN di dalamnya sebagaimana berikut :
Badan publik adalah penyelenggara negara yang meliputi lembaga eksekutif,
legislatif, dan yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah dan badan lain yang
fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Hukum
Milik Negara (BHMN), dan organisasi non-pemerintah yang mendapatkan dana dari
anggaran negara atau anggaran daerah dan usaha swasta yang dalam menjalankan
kegiatannya berdasarkan perjanjian pemberian pekerjaan dari badan publik lain dalam
menjalankan sebagian fungsi pelayanan publik.
Rumusan baru yang disahkan tersebut juga berbeda dengan draft usulan rumusan dari
pemerintah pada awalnya yang berbunyi :
Badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, baik di tingkat pusat
maupun daerah dan lembaga lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara yang mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, termasuk ke
dalam badan publik adalah organisasi non-pemerintah yang meliputi Lembaga
Swadaya Masyarakat, Organisasi Massa, Partai Politik dan/atau institusi sosial
dan/atau kemasyarakatan lain yang mendapatkan dana dari sumbangan masyarakat,
dan/atau sumber luar negeri.
Terdapat perbedaan dari sejak awal antara rumusan inisiatif DPR RI yang
memasukkan teks BUMN sebagai badan publik dalam RUU KIP dengan usulan pemerintah
yang memasukkan teks LSM dan Partai Politik sebagai badan publik di Pasal 1 ayat 3
tersebut. Perbedaan pemikiran inilah yang kemudian membuat gejala groupthink yaitu
rasionalisasi kolektif pada awalnya berjalan. Masing-masing kelompok merasa memiliki
argumen
yang
benar
dan
layak
sehingga
sulit
untuk
mengindahkan
ataupun
mempertimbangkan argumen-argumen logis yang ada dari masing-masing pihak. Tetapi
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
256
ketika dirasa bahwa perdebatan menjadi kian tak berujung dan memakan waktu panjang
maka gejala rasionalisasi kolektif ini menjadi pudar pada saat terjadi kesepakatan melalui
proses lobby dan kompromi yang mengandung tawar menawar pasal (trade off) dalam sebuah
rapat di sebuah hotel.
Kesepakatan untuk saling memasukkan kepentingan melalui kehadiran pasal baru
yaitu 14, 15, 16 pada UU KIP yang berisi tentang kewajiban menyediakan informasi publik
bagi BUMN/BUMD, Parpol dan LSM merupakan hasil dari hilangnya gejala rasionalisasi
kolektif dalam kelompok yang terindikasi groupthink. Disisi lain dapat dinilai bahwa
pencapaian kesepakatan bagi pengambilan keputusan dalam kelompok melalui proses trade
off tersebut merupakan sebuah proses evaluasi yang disebutkan oleh MacCrimmon dan
Taylor (1983) serta Rowe dan Boulgarides (1992) mencakup pemrosesan informasi dan
tindakan memilih sejumlah alternative.
Gejala groupthink lain dari adanya ketertutupan pikiran yaitu stereotip kelompok luar
yang ditunjukkan dari adanya persepsi kelompok terhadap rival/musuh/lawan terlalu lemah
sehingga tidak layak didengar, tidak begitu teramati karena berdasarkan pembacaan risalah
maupun berdasarkan hasil wawancara informan, dinyatakan bahwa tidak ada yang dianggap
lawan atau musuh dalam permasalahan tentang definisi badan publik pada RUU KIP karena
anggota kelompok menyadari bahwa perbedaan dalam ide dan pemahaman merupakan suatu
hal yang lumrah dan wajar dalam komunikasi kelompok politik dalam lingkup parlemen.
Namun yang menjadi persoalan adalah anggapan bahwa terdapat kepentingan-kepentingan
yang melatar belakangi pemerintah untuk tetap bertahan dengan argumen yang berseberangan
dengan pihak Komisi I DPR RI.
Begitu pula dengan gejala groupthink lainnya, pada umumnya tidak memiliki
perbedaan dengan konsep yang diusung oleh Janis. Misalnya mengenai adanya ilusi
ketidakrentanan yang ditunjukkan oleh adanya perasaan berbeda dan bangga (istimewa)
menjadi bagian dari Komisi I yang diserahi amanah menyelesaikan UU KIP serta ditambah
dengan adanya gejala keyakinan moral pada anggota kelompok bahwa mereka mampu
menyelesaikan tugas merumuskan RUU KIP dengan baik dengan hasil yang baik pula.
Gejala groupthink lain dalam faktor tekanan untuk mencapai keseragaman
(Uniformity Pressures) juga tidak memiliki perbedaan dengan apa yang dirumuskan oleh
Janis. Gejala tekanan untuk mencapai keseragaman ditandai dengan adanya sensor diri (self
censorship) untuk saling meminimalkan keraguan, saling menguatkan dan mendukung satu
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
257
sama lain terhadap agumen pemerintah yang berbeda dengan mayoritas argumen anggota
kelompok.
Proses interaksi yang terjadi pada kelompok pembahas rumusan RUU KIP di
percakapan risalah rapat menunjukkan adanya sensor diri dengan para anggota kelompok
melalui adanya upaya untuk saling menguatkan pendapat dalam interaksi yang terjadi dalam
rapat. Sensor diri ini terjadi dalam sebuah fase kontrol yang disebut oleh Robert Bales (1950)
merupakan suatu kondisi dimana para anggota kelompok saling membuat pernyataan dan
mencari serta memberi petunjuk pada sesama anggota yang ditandai dengan munculnya
pendapat-pendapat yang positif atau negatif dari anggota kelompok secara substansial
sehingga akan tampak solidaritas dan minat mereka dalam kelompok. Fase kontrol dalam
interaksi ini bertujuan untuk mengarahkan interaksi untuk mencapai keseimbangan
(equilibrium) hingga keputusan akhir disepakati.
Ilusi akan adanya kebulatan suara (illusion of unanimity), tekanan langsung terhadap
para penentang (dirrect pressure) serta mindguards juga tidak memiliki perbedaan konsep
dengan yang dikemukakan oleh Janis, namun gejala tekanan langsung tidak ditemukan dalam
penelitian ini.
Ilusi kebulatan suara terkait dengan suatu kondisi dimana terdapat beberapa bagian
dari kelompok yang terpaksa ‘diam’ karena ada dominasi dari beberapa anggota yang
memberikan perhatian penuh dan menguasai substansi pembahasan, selain itu unsur
pimpinan komisi juga hanya banyak bertindak sebagai moderator selama rapat berlangsung
dan jarang mengemukakan pendapat pribadi secara khusus sehingga terkesan “diam” dan
terlihat memilih untuk mengikuti/menyetujui saja usulan anggotanya, walaupun sempat
ketika terjadi lobby untuk mencapai kesepakatan tentang definisi badan publik, peran
pimpinan diakui mampu menjadi penengah antara pemerintah dan DPR RI sehingga
mengakibatkan tercapainya konsensus dari hasil kompromi yang menghasilkan tiga pasal
baru dan hal tersebut juga pada akhirnya mampu membuat ‘diam’ para anggotanya karena
sudah merasa lelah terlibat dalam perdebatan berkepanjangan. Anggota-anggota kelompok
yang dianggap vokal dan berperan sebagai mindguards pun pada akhirnya mampu
menurunkan tensinya dan menerima usulan dari adanya kompromi politik tersebut dengan
tentunya ada kekecewaan yang masih tersisa.
Peran mindguards sebagai salah satu gejala groupthink juga tidak memiliki perbedaan
perspektif dengan apa yang dirumuskan oleh Janis. Mindguards yang diperankan oleh Andre
(FPDIP), Deli dan Djoko (FPAN), Hartono (FGolkar) serta Eko (FPKB) senantiasa terlihat
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
258
berani membela argumen kelompok dengan tujuan agar rumusan DPR terkait dengan
dimasukkannya BUMN BUMD sebagai Badan Publik dapat diterima. Hal ini sesuai dengan
apa yang dikemukakan oleh Janis bahwa para mindguards merasa yakin bahwa mereka
bertindak demi kepentingan terbaik kelompok mereka.
Dengan demikian tampak jelas bahwa perbandingan gejala groupthink yang
dirumuskan oleh Janis dengan temuan penelitian tidaklah banyak mengandung perbedaan
perspektif, hanya saja menunjukkan bahwa kedelapan gejala gropthink Janis tersebut terlihat
memiliki beberapa perbedaan karakteristik dengan rumusan teori groupthink. Kemudian
pertanyaannya adalah apakah dengan beberapa perbedaan karakteristik yang ada dari
keseluruhan anteseden (kondisi pendahulu) dan gejala groupthink menunjukkan bahwa kasus
penelitian ini belum dapat disebut sebagai groupthink? Jika merujuk kepada pernyataan Esser
dan Lindoerfer (1989) yang mengemukakan bahwa tidak semua gejala groupthink (anteseden
dan gejala pengambilan keputusan yang buruk) perlu ada untuk mengkonfirmasi terjadinya
groupthink, maka tentulah kasus yang diambil dalam penelitian ini sudah dapat dinyatakan
mengandung groupthink.
6.3 Refleksi Temuan Penelitian
Beberapa pertanyaan mendasar disarankan oleh Janis (1982:194) untuk membuktikan
adanya groupthink mencakup beberapa hal sebagai berikut : 1. Siapa yang membuat
keputusan? apakah hanya pemimpin sendiri atau anggota kelompok berpartisipasi pada
tingkat yang signifikan? Jika anggota berpartisipasi, apakah mereka dalam kelompok
kohesif? 2. Sejauh mana kebijakan menghasilkan prosedur pengambilan keputusan yang
dianggap gagal (defective decisionmaking) dari orang-orang yang dianggap bertanggung
jawab atas hal tersebut? 3. Dapatkah gejala groupthink dilihat dalam pembahasan kelompok?
4. Apakah kondisi yang mendorong sindrom groupthink tersebut? jika jawaban atas
pertanyaan tersebut mengandung nilai positif, dapatkah penelitian tersebut menyarankan
hipotesis baru tentang kondisi yang mempromosikan groupthink?
Penelitian ini secara umum berusaha menjawab pertanyaan mendasar tersebut.
Pertama, dengan didasarkan pada hasil/temuan penelitian maka yang dianggap sebagai
pembuat keputusan tentang BUMN sebagai badan publik yaitu berdasarkan peran pimpinan
Panja RUU KIP yang didasarkan pada sikap dan pengaruh anggota kelompok yang dianggap
kohesif, cukup vokal dan sekaligus bertindak sebagai mindguards dalam kelompok tersebut.
Dalam arti kata guna mendapatkan pengesahan keputusan, peran pimpinan tidak dapat
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
259
dilepaskan walaupun faktor kurangnnya kepemimpinan imparsial (parsial) dalam kelompok
Komisi I tidaklah tergambar dengan dominan karena pimpinan dianggap mampu
mengakomidir pendapat anggota, mampu bersikap netral dan tidak mementingkan minat
pribadi maupun golongannya dari sesama fraksi saja. Peran pimpinan tidak pernah dapat
dilepaskan walaupun hanya banyak menjalankan peran penengah ataupun moderator dalam
diskusi kelompok.
Kedua, prosedur pengambilan keputusan dengan adanya lobby dan kompromi pada
akhirnya mampu memberikan penyelesaian tugas kelompok yaitu dengan terakomodirnya
usulan pemerintah dan DPR ke dalam pasal baru di UU KIP Pasal 14, 15,16. Hasil dari
kompromi politik yang mengandung groupthink tersebut tersebut menyebabkan RUU KIP
berhasil disahkan setelah memakan waktu pembahasan yang cukup panjang dalam kurun
waktu hampir 2 (dua) tahun di periode 2004-2009 setelah sebelumnya sempat terhenti di
periode parlemen 1999-2004.
Keputusan tersebut memang dapat dianggap berhasil jika orientasinya adalah
penyelesaian tugas semata, terlebih memang terbukti adanya upaya kelompok untuk
meminimalisir dampak terhadap buruknya kualitas pengambilan keputusan karena adanya
upaya dari Pemerintah dan Kelompok Komisi I yang menurunkan tegangan untuk
mendapatkan kesamaan dan kepuasan dalam keputusan akhir.
Tetapi yang perlu menjadi catatan dan perenungan kemballi, ternyata jika ditarik dari
sudut pandang yang lebih besar keputusan yang dianggap berhasil tersebut pun ternyata
belum mampu menjawab tujuan inti dihadirkannya Undang-Undang Keterbukaan Informasi
Publik yaitu agar terpenuhi hak-hak publik sebagai warna negara terhadap akses informasi
sebagaimana tertera dalam UUD 1945 Pasal 28f. Harapannya dengan kehadiran UU KIP
tersebut mampu mendorong partisipasi aktif publik dan badan publik untuk mewujudkan
good governance di Indonesia.
Berbagai kekecewaan masih muncul terkait dengan pengambilan keputusan tersebut,
terutama dari kalangan Koalisi Masyarakat Sipil sebagai pengusul pertama diadakannya UU
KIP. Kekecewaan terhadap pembatasan informasi yang bisa disediakan bagi badan publik
terutama BUMN serta penghapusan kategori Badan Usaha Swasta sebagai badan publik
menyisakan penilaian yang masih relatif belum baik yaitu 65% sehingga melahirkan harapan
agar mampu direvisi kembali. Implementasi di lapangan pun menunjukkan bahwa dalam
kurun waktu 5 (lima) tahun sejak diberlakukannya UU KIP ini pembentukan Pejabat
Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang wajib dimiliki oleh setiap badan publik
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
260
juga belum menunjukkan angka 100% untuk kalangan badan usaha, kasus-kasus sengketa
informasi yang tercatat di Komisi Informasi sampai data tahun 2014 pun masih berada di
angka 2549 kasus sengketa informasi publik.
Apakah faktor rendahnya sanksi hukum bagi badan publik yang tidak memenuhi hak
penyediaan informasi yang dihukumi hanya 1 (satu) tahun penjara dengan denda maksimal
Rp 5. 000.000,- dianggap terlalu ringan bagi sebuah badan usaha dengan aset trilliyunan
sehingga tidak menimbulkan kecemasan untuk serius menaati UU KIP ini? pihak pemerintah
pun mengakui bahwa penetapan sanksi hukum bagi kasus informasi publik juga
meninggalkan catatan perdebatan tersendiri yang tidak kalah menarik sehingga akhirnya
diputuskan hukuman yang tertera seolah hanya pemanis atau pelengkap undang-undang
sebagai sebuah produk hukum negara saja, sehingga bagaimana mungkin hal tersebut bisa
tajam mencengkram pemenuhan hak-hak publik? jika keberadaan sanksi yang ringan tersebut
akibatnya menghalangi perhatian publik agar dapat lebih tertarik dan paham akan UU ini?
Dengan demikian apakah dapat dikatakan bahwa dampak terbesar dari adanya pemberlakuan
masuknya BUMN sebagai sebagai badan publik dalam UU KIP sudah menunjukkan suatu
keberhasilan? Tentunya menjadi sulit mengiyakan hal tersebut.
Ketiga, diakui bahwa gejala groupthink memang tidak sepenuhnya dapat terlihat
dalam dokumen catatan pembahasan dan pengambilan keputusan kelompok (risalah rapat)
namun upaya lain yang dijalankan dengan menemui perwakilan anggota kelompok untuk
diwawancarai serta menemui orang-orang diluar kelompok yang paham dan tahu persis
tentang kisah perjalanan UU KIP tersebut merupakan sebuah upaya lain yang dilakukan
untuk memperkuat asusmsi penelitian.
Keempat, mengenai kondisi yang mendorong adanya simptom atau gejala groupthink
tersebut adalah adanya kepentingan yang bertarung dalam proses pembahasan hingga
pengambilan keputusan kelompok mengenai BUMN sebagai kategori bdan publik di RUU
KIP. Kompromi disebabkan karena berbagai kepentingan bertarung di dalamnya yang berasal
dari kepentingan kelompok, kepentingan luar/lain yaitu dari LSM dan BUMN serta
kepentingan Pemerintah. Hasil dari kompromi politik yang mengandung groupthink tersebut
tersebut menyebabkan RUU KIP berhasil disahkan setelah memakan waktu pembahasan
sangat panjang dengan diakomodirnya keinginan Pemerintah dan DPR RI, namun masih
menyisakan kekecewaan bagi koalisi msayarakat sipil ditambah lagi dengan implementasi
UU KIP di lapangan yang belum dapat dinilai berhasil sebagai produk hukum yang mengikat
badan publik.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
261
Terkait dengan pertanyaan terakhir bahwa dapatkah penelitian tersebut menyarankan
hipotesis baru tentang kondisi yang mempromosikan groupthink? Jawabannya sangat dapat.
Bahwasanya groupthink yang ada dalam sebuah kelompok politik yang terbuka dan
dinamis seperti di parlemen negara transisi demokrasi seperti Indonesia agak berbeda dengan
kondisi kelompok politik pada kasus di negara Amerika yang banyak diteliti pada awal teori
groupthink muncul. Amerika Serikat memberikan porsi yang besar untuk kebebasan individu
sehingga memberi ruang bagi individu untuk menggulingkan pemerintahan jika dirasa
mengekang kebebasan mereka. Sementara untuk Indonesia, negara punya legitimasi sebagai
perwujudan kedaulatan rakyat.
Jika bagi Amerika Serikat pemerintah bukan negara, sedang Indonesia pemerintah
adalah negara. Dengan demikian maka keputusan untuk menerima usulan pemerintah tentang
LSM dan Parpol yang juga harus termasuk dalam kategori badan publik walau dirasa berat
namun tetap diterima dan disetujui oleh DPR RI, karena mengingat bahwa pemerintah adalah
negara dan kehadiran UU KIP adalah mutlak bagi pencapaian kehidupan bernegara yang
memiliki hak akan informasi seperti di sebut dalam pasal 28 f UUD 1945.
Berdasarkan hal tersebut, maka temuan penelitian ini mampu memperkaya teori
groupthink Irving Janis (1972) yang tidak menyebutkan bahwa sebenarnya groupthink juga
bisa terjadi pada kelompok yang awalnya heterogen, lebih terbuka, memiliki kekuatan relatif
setara namum dikelilingi kepentingan-kepentingan lain diluar kelompok sebagaimana dalam
kelompok legislatif, yang kemudian mampu menekan terhadap proses penyelesaian tugas
melalui upaya kompromi.
Model pengembangan teori groupthink yang dapat ditawarkan melalui penelitian ini
yaitu bahwa kondisi pendahulu groupthink dalam konteks kelompok pada organisasi terbuka
dan dinamis seperti di DPR RI akan dominan ditandai oleh kohesi, isolasi kelompok,
homogenitas kelompok, tekanan dari luar dan dalam kelompok. Sedangkan gejala yang
kemudian muncul dan menjadi ciri khas dalam komunikasi kelompok di DPR RI ketika
merumusakan sebuah Undang-Undang, yaitu adanya kompromi yang dapat dimasukkan
menjadi bagian dari element faktor tekanan untuk mencapai keseragaman (Uniformity
Pressures). Kompromi disebabkan karena berbagai kepentingan bertarung di dalamnya yang
berasal dari kepentingan kelompok, kepentingan luar/lain yaitu dari LSM dan BUMN serta
kepentingan Pemerintah.
Dengan demikian jika diilustrasikan, model yang dapat diusulkan bagi pengembangan
teori groupthink di Kelompok Politik Indonesia adalah seperti berikut :
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
262
Gambar 4.
Model Pengembangan Teori Groupthink pada Pengambilan Keputusan Politik
Indonesia
Kondisi Pendahulu
Gejala Groupthink
ï‚· Para pembuat keputusan
membentuk
kelompok
kohesif
ï‚· Penilaian
berlebihan
terhadap kelompok :
a. Perasaan istimewa menjadi
anggota kelompok
b.Keyakinan bahwa kelompok
menjalankan misi mulia
ï‚· Kesalahan struktural :
a.Isolasi kelompok
b.Kurangnya
tradisi
kepemimpinan imparsial.
c.Kurangnya
norma
yang
membutuhkan
prosedur
metodologis.
d.homogenitas latar belakang
sosial dan ideologi anggota
Pencarian Persetujuan
(Tendensi Groupthink)
ï‚· Ketertutupan pikiran :
a. Streotip kelompok luar
b.Rasionalisasi kolektif
ï‚· Tekanan untuk mencapai
keseragaman :
a. sensor diri
b.Ilusi kebulatan suara
c. Tekanan
langsung
para
penentang
d.Indvidu
yang
menjaga
kelompok dari informasi yang
tidak mendukung
ï‚· Karakteristik
yang
menghasilkan tekanan :
a. Tekanan dari luar (eksternal)
b. Pertahanan diri yang rendah
(internal)
Kompromi
Kepentingan
Kelompok
Kepentingan
Lain/Luar
Kepentingan Pemerintah
Hasil Keputusan dapat dianggap Berhasil/Baik
Dampak Hasil Keputusan Buruk
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
263
BAB VII
PENUTUP :
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
Dalam Kelompok politik seperti di lingkup Parlemen DPR RI aneka ragam pendapat
dari berbagai fraksi yang berbeda-beda berkembang dan berusaha untuk dipersatukan bagi
pencapaian sebuah produk hukum (Undang-Undang) yang menjadi tugas sentral para
anggotanya. Latar belakang ideologi yang dibawa dari anggota kelompok berbagai fraksi
partai politik yang menganut sistem multi parpol dalam negara transisi demokrasi Indonesia
menyebabkan berbagai kepentingan muncul.
Kepentingan-kepentingan yang ada menyebabkan pengaruh dan tekanan terhadap
kelompok komisi di parlemen berkembang dalam wujud yang beragam. Terkadang hal
tersebut tidak diakui dan dirasakan karena adanya kesamaan etika moral ala Indonesia yang
berlaku umum sehingga prinsip bersatu kita teguh becerai kita runtuh masih menjadi dominan
dihadirkan dalam proses pengambilan keputusan kelompok. Rasionalisasi dalam melihat
masalah dan menetapkan kebijakan kemudian menjadi terpinggirkan.
Kekhasan inilah yang menyebabkan groupthink menjadi rentan untuk hadir dalam
setiap kelompok tugas yang terbentuk di DPR RI walaupun kelompok cenderung bersifat
terbuka dan dinamis. Kecenderungan untuk mengarahkan berbagai kepentingan melalui suatu
proses kompromi guna untuk mempertahankan eksistensi solidaritas maupun identitas dari
kelompok melalui sebuah kohesi dan berbagai tekanan atas beragam kepentingan akan
mampu melahirkan gejala groupthink dalam kelompok.
Berbagai hasil pengambilan keputusan di DPR RI yang acapkali mengandung
kontroversi dan pertentangan dari masyarakat telah banyak menghiasi memori kita selama
ini, salah satunya adalah produk Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang
walaupun dibanggakan keberadaannya namun masih menyisakan berbagai kekecewaan bagi
beberapa kelompok yang mengetahui jalannya proses pembahasan RUU tersebut. Bagi
masyarakat awampun UU KIP mungkin belum dikenali dan dimanfaatkan sepenuhnya secara
luas untuk berbagai kepentingan masyarakat terkait dengan hak untuk memperoleh
keterbukaan informasi publik dari sekian banyak Badan Publik, terlebih dari berbagai Badan
Publik yang dikategorikan sebagai Badan Usaha (BUMN, BUMD, BUMS) masih
menganggap bahwa keterbukaan informasi bagi publik adalah suatu hal yang tidak perlu
karena panduan hukum yang memayungi mereka telah ada sebelumnya.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
264
Dengan demikian jelaslah bahwa pengkategorian BUMN BUMD sebagai Badan
Publik pada awalnya menjadi pemicu perdebatan yang sangat panjang karena adanya
perbedaan perspektif antara Komisi I DPR RI dengan Pemerintah, ditambah lagi dengan
adanya peran dari Koalisi Masyarakat Sipil sebagai pengawal pembahasan RUU KIP yang
berusaha untuk tetap mempengaruhi DPR agar bertahan dengan rumusan awal memasukkan
BUMN BUMD sebagai Badan Publik dengan alasan bahwa pendefinisian Badan Publik
jangan hanya disandarkan pada kekuatan rezim ekonomi yang mensyaratkan adanya
keterlibatan uang/dana negara dalam aktivitas bisnisnya sehingga baru bisa membuka
informasi kepada publik, melainkan harus dilihat pada pemenuhan hak warga atas informasi
yang dipandang berguna bagi mereka.
Keterbukaan informasi publik dianggap akan mengancam persaingan usaha serta
membuka berbagai rahasia perusahaan yang selama ini masih dapat ‘dipermainkan’ di meja
tender sehingga ancaman hukuman bagi Badan Publik yang tidak memberikan informasi
yang dibutuhkan oleh publik, dengan jerat kurungan 1 (satu) tahun penjara dan denda
maksimal Rp 5. 000.000,- pada UU KIP tahun 2008 seolah kurang ‘menggigit’ dan
dipandang sebagai gertak sambal belaka, alhasil kasus sengketa informasi publik dalam kurun
waktu 5 (lima) tahun sejak diberlakukannya UU KIP tahun 2010 hingga saat ini di 2015
masih tinggi dengan total jumal 2549 kasus berdasarkan laporan Komisi Informasi Pusat.
Ditambah lagi, Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang seharusnya
dimiliki oleh setiap Badan Publik juga belum mencapai angka 100% setelah 5 (lima) tahun
Undang-Undang ini diberlakukan
Rangkaian interaksi yang terjalin selama proses pembahasan hingga pengambilan
keputusan mengenai definisi Badan Publik dalam RUU KIP di Komisi I DPR RI menyisakan
gambaran bahwa fenomena groupthink dalam proses pengambilan keputusan politik akan
selalu ada di aktivitas komunikasi kelompok walaupun tidak dapat selalu ditampilkan secara
ideal sebagaimana Irving L. Janis memetakanya. Namun adanya groupthink dalam lembaga
yang terbuka seperti lingkup legislatif Indonesia dengan pertarungan kepentingan di
dalamnya, yang pada akhirnya juga mempu menghasilkan keputusan yang buruk walaupun
terdapat kompromi untuk mencapai konsensus, menjadi menarik dalam penelitian ini. Hal ini
sekaligus mampu menjawab bahwa sesungguhnya kesemua upaya tersebut tidak lain adalah
untuk menjamin legitimasi kelompok agar dianggap solid sebagaimana tujuan akhir adanya
groupthink yang dikemukakan oleh Irving L Janis.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
265
Dengan demikian pada akhirnya penelitian ini menunjukkan bahwa sesungguhnya
groupthink adalah bagian dari dinamika kelompok yang merupakan proses alamiah
pendewasaan kelompok tersebut dimana kesalahan yang terjadi baru akan dapat dikaji dan
diambil pelajaran darinya setelah dampak buruk itu terlihat. Disamping itu, groupthink juga
dapat dipandang bukan hanya sebagai suatu ancaman bagi kelompok namun merupakan
tantangan bagi pencapaian sebuah keputusan yang berhasil dalam sebuah kelompok.
7.1
Kesimpulan
Merujuk kembali kepada tujuan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya maka
beberapa kesimpulan dalam penelitian ini adalah secara umum membenarkan bahwa
groupthink terjadi dalam dinamika komunikasi politik legislatif di kelompok Panja RUU KIP
Komisi I DPR RI pada proses pembahasan dan pengambilan keputusan tentang Badan
Publik. Berbeda dengan groupthink Janis yang menyebutkan bahwa kesolidan kelompok
(kohesi) disebabkan karena terdapat faktor keseganan atau ketakutan terhadap pimpinan
dalam kelompok, yang terjadi dalam fenomena DPR RI adalah kohesi kelompok yang tidak
didasarkan atas faktor ketakutan atau keseganan terhadap sosok pimpinan dalam kelompok,
melainkan karena adanya tekanan waktu bagi penyelesaian tugas, faktor kelelahan dan
pertarungan kepentingan dengan kelompok eksekutif, yang kemudian memaksa
kelompok legislatif menghasilkan keputusan yang tidak dapat dikatakan baik melalui upaya
kompromi yang berhasil menghadirkan pasal baru yaitu 14, 15, dan 16 dalam RUU KIP
tahun 2008.
Kondisi pendahulu dan gejala groupthink teramati dalam fase-fase interaksi
sebagaimana rumusan teori analisis proses interaksi dari Rober Bales. Adanya upaya
kompromi seperti yang disebutkan oleh Allison dalam teori birokrasi politik sebagai bagian
untuk mencapai konsensus antara DPR RI dengan Pemerintah, ternyata juga menghasilkan
keputusan yang tidak sepenuhnya baik.
Hasil identifikasi kondisi pendahulu (Anteseden) groupthink dalam proses
pembahasan dan pengambilan keputusan tentang definisi Badan Publik pada perumusan RUU
KIP berupa: a. Kelompok kohesi (Cohesive Decision Makers Group) pembuat keputusan
ditandai oleh tergabungnya politisi dari berbagai macam fraksi dalam kelompok Komisi I
DPR RI periode 2004-2009 yang diserahi tugas untuk membahas RUU KIP dengan cara ada
yang mengajukan diri maupun yang dipilih dari fraksinya kemudian memiliki perasaan
akrab/kompak diantara sesama sehingga terdapat beberapa kumpulan rekan terdekat, serta
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
266
adanya upaya atau keinginan untuk melindungi kelompok jika terdapat pendapat yang
memojokkan dari luar; serta b. Kesalahan struktural (Structural Faults) yang ditandai dengan
adanya indikator yaitu :
1.
Isolasi kelompok ditunjukkan dengan adanya pangakuan tentang kekerapan
berkumpul dengan sesama anggota komisi dibandingkan dengan kelompok fraksinya
sehingga meminimalkan peran fraksi partai politik yang merupakan latar belakang
ideologi anggota kelompok. Kekerapan berkumpul tersebut tidak hanya ditunjukkan
dalam suasana resmi pada saat rapat namun juga terjadi diluar rapat dalam suasana
yang tidak resmi;
2.
Homogenitas kelompok ditunjukkan oleh adanya latar belakang sebagai sesama
politisi, adanya perasaan menyatu dengan sesama dan adanya keinginan bersama
untuk mencapai tujuan keberhasilan perumusan RUU KIP; c. Karakteristik yang
menghasilkan tekanan (Provocative Context) ditunjukkan dengan adanya beberapa
tekanan dari luar (eksternal) seperti dari Pemerintah yang awalnya tidak ingin
menerima rumusan DPR dan dari LSM yang berusaha untuk menghimbau kepada
Komisi I DPR agar bisa bertahan dengan rumusan yang telah dibuat oleh DPR
sebelumnya, sedangkan tekanan dari dalam diri pribadi atau kelompok disebutkan
tidak terlalu besar, hanya menyangkut soal lamanya pembahasan, perbedaan
pemikiran serta kemampuan dari masing-masing anggota untuk memahami substansi
pembahasan.
3.
Kategori kurangnya kepemimpinan imparsial (Lack of Tradition Impartial
Leadership) dan kurangnya norma dalam prosedur pengambilan keputusan (Lack of
Norms for Methodical Precedures) dalam penelitian ini terdapat perbedaan
karakteristik karena adanya anggota kelompok yang signifikan yang akhirnya mampu
mendorong pimpinan untuk mengambil keputusan sesuai dengan pemikiran anggota
kelompok yang signifikan tersebut.. Serta adanya prosedur pengambilan keputusan
diluar rapat resmi Komisi I yang terjadi di sebuah hotel sebagai bagian dari upaya
kompromi untuk mencapai kesepakatan ketika kelompok menghadapi limit waktu
penyelesaian pembahasan.
Terdapat beberapa gejala groupthink yang spesifik yaitu:
a. Adanya penilaian berlebihan terhadap kelompok
(overestimation of group) yang
ditandai oleh : 1. Ilusi akan ketidakrentanan (Illusion of invulnerability) berupa adanya
perasaan berbeda dan bangga (istimewa) menjadi bagian dari Komisi I yang diserahi
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
267
amanah menyelesaikan UU yang memiliki nilai manfaat besar bagi publik dan mampu
menjamin pemerintahan yang bersih bebas korupsi, kelompok juga yakin mampu
menyelesaikan tugas merumuskan RUU KIP dengan baik dengan hasil yang baik pula, 2.
adanya keyakinan moral (belief in morality) yang tertanam dalam anggota kelompok
bahwa mereka adalah kelompok yang ‘mulia’ karena memang sedang menjalankan misi
mulia bagi negara melalui RUU KIP;
b. Adanya Ketertutupan pikiran walaupun terdapat proses hearing dengan pihak luar;
c. Adanya tekanan untuk mencapai keseragaman (Uniformity Pressures) yang ditandai
oleh adanya 1. sensor diri (self censorship) untuk saling meminimalkan keraguan, saling
menguatkan dan mendukung satu sama lain terhadap agumen pemerintah yang berbeda
dengan mayoritas argumen anggota kelompok, 2. Ilusi akan adanya kebulatan suara
(illusion of unanimity) pada kondisi dimana ada beberapa bagian dari kelompok yang
terpaksa ‘diam’ karena ada dominasi dari beberapa anggota yang memberikan perhatian
penuh dan menguasai substansi pembahasan,. 3. Adanya peran mindguards yang
senantiasa terlihat berani membela argumen kelompok dengan tujuan agar rumusan DPR
terkait dengan dimasukkannya BUMN BUMD sebagai Badan Publik dapat diterima.
Walaupun ditemukannya upaya-upaya yang teridentifikasi sebagai bentuk pencegahan
groupthink upaya untuk meminimalisir groupthink seperti yang disarankan Irving Janis yaitu
: 1. Adanya peran pimpinan yang lebih akomodatif, 2. Adanya proses dengar pendapat
(hearing), 3. Adanya peran devil’s advocate. Namun ternyata upaya ini juga tidak dapat
menghilangkan groupthink dalam kelompok Panja Komisi I tersebut karena pada akhirnya
ketiga upaya ini tidak berjalan dengan adanya peran anggota kelompok yang signifikan dan
cenderung memliki kedudukan setara dengan pimpinan untuk ikut mengambil keputusan,
masih adanya ketertutupan pikiran dari anggota kelompok Panja Komisi I DPR RI terhadap
argumen/kepentingan luar (pemerintah) walaupun terjadi proses hearing, serta devil’s
advocat yang pada akhirnya juga menjadi diam dan ikut mendukung pendapat dominan.
Dapat disimpulkan juga bahwasanya groupthink yang ada dalam sebuah kelompok
politik yang terbuka dan dinamis seperti di parlemen negara transisi demokrasi Indonesia
memperkaya
perspektif
groupthink
teori
Irving
Janis.
Dengan
demikian
model
pengembangan teori groupthink yang dapat ditawarkan melalui penelitian ini yaitu bahwa
kondisi pendahulu groupthink dalam konteks kelompok pada organisasi terbuka dan dinamis
seperti di DPR RI akan dominan ditandai oleh kohesi, isolasi kelompok, homogenitas
kelompok, tekanan dari luar dan dalam kelompok. Sedangkan gejala yang kemudian
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
268
muncul dan menjadi ciri khas dalam komunikasi kelompok di DPR RI ketika merumusakan
sebuah Undang-Undang, yaitu adanya kompromi yang dapat dimasukkan menjadi bagian
dari element faktor tekanan untuk mencapai keseragaman (Uniformity Pressures).
Kompromi disebabkan karena berbagai kepentingan bertarung di dalamnya yang
berasal dari kepentingan kelompok, kepentingan luar/lain yaitu dari LSM dan BUMN serta
kepentingan Pemerintah. Hasil dari kompromi politik yang mengandung groupthink tersebut
menyebabkan RUU KIP berhasil disahkan setelah memakan waktu pembahasan sangat
panjang dengan diakomodirnya keinginan Pemerintah dan DPR RI, namun masih
menyisakan kekecewaan bagi Koalisi Masyarakat Sipil ditambah lagi dengan implementasi
UU KIP di lapangan yang belum dapat dinilai berhasil sebagai produk hukum yang mengikat
badan publik.
7.2 Implikasi
Secara akademis, penelitian ini melihat indikasi adanya groupthink dalam proses
pembahasan dan pengambilan keputusan pada lingkup kelompok politik yang dinamis dan
terbuka seperti di parlemen Indonesia, dimana anggotanya terdiri dari latar belakang ideologi
politik yang berbeda (heterogen) namun menjadi homogen dan kohesif karena adanya
pertarungan berbagai kepentingan, tekanan waktu, dan faktor kelelahan. Penelitian ini
sekaligus memperkaya perspektif teori groupthink dikarenakan adanya perbedaan konteks
penelitian pada lembaga legislatif di Indonesia. Sebagaimana telah ditelusuri, penelitian
mengenai studi komunikasi kelompok politik berdasarkan perspektif teori groupthink dalam
lingkup interaksi politik di DPR RI belum ada.
Penelitian ini juga menangkap adanya interaksi kelompok yang rentan terhadap
konflik kepentingan dimana lobby dan kompromi selalu mewarnai dalam setiap proses
pembahasan dan pengambilan keputusan yang dilakukan di dalamnya, dengan demikian
penelitian ini mampu melengkapi penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Alm.
Felix Jebarus (UI, 2011) melalui disertasinya yang berjudul
Pertarungan Kepentingan
tentang Kebebasan Informasi dalam Penyusunan dan Pembahasan Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sehingga diharapkan penelitian ini akan memperkaya
studi komunikasi tentang dinamika kelompok politik.
Secara Praktis, penelitian ini membuka perspektif baru bagi para politisi ataupun
calon politisi bahwa hasil pengambilan keputusan dalam lingkup perlemen tidak hanya
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
269
bersumber dari kekuatan/pengaruh kohesivitas partai politik yang menjadi latar belakangnya,
melainkan bisa datang dari kohesivitas lain yang berasal dari keanggotannya dalam kelompok
tugas yang diembannya. Selain itu penelitian ini juga menjelaskan kepada para praktisi
swasta BUMN/BUMD, baik yang berada di bawah label Perum, PT maupun Tbk agar lebih
paham status, fungsi dan perannya saat ini dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi
Publik sehingga mampu ikut mendukung suburnya iklim persaingan usaha sehat demi
mewujudkan pemerintahan yang bersih bebas KKN di Indonesia.
Secara Sosial, penelitian membuka wacana bagi masyarakat luas sekaligus
menegaskan bahwa potensi terjadinya groupthink akan selalu hadir dalam berbagai aktivitas
pengambilan keputusan kelompok baik dalam skala kelompok besar maupun kecil, di dalam
lembaga/organisaasi politik maupun lembaga/organisasi non politik, dalam berbagai bidang
kehidupan manusia, bahkan pada kelompok yang terbuka atau mampu mengakomodir
berbagai masukan luar sekalipun. Dengan demikian kunci sukses suatu pengambilan
keputusan adalah seberapa besar kemampuan kelompok untuk mengelola kekompakan
(kohesi) diantara anggota serta mengakomodir berbagai pendapat melalui mekanisme
perolehan suara terbanyak yang dilakukan secara transparan.
Selain itu, penelitian ini
memberikan gambaran menarik kepada publik tentang aktivitas ‘wakil rakyat’ di DPR RI
yang memiliki otoritas dalam proses penyusunan sebuah naskah Undang-Undang dengan
berbagai tarik menarik kepentingan, kompromi, lobby-lobby dan perdebatan yang ada di
dalamnya, sehingga akhirnya mampu bersikap bijak dalam memberikan penilaian terhadap
anggota DPR RI.
7.3 Rekomendasi
Rekomendasi yang dapat diberikan bagi pengembangan ilmu adalah sebaiknya
terdapat penelitian yang mengkaji mengenai groupthink dalam kelompok pimpinan di DPR
RI untuk memperkaya studi lebih lanjut, karena dalam penelitian ini faktor pengaruh
pimpinan tidak terlalu dominan terjadi. Interaksi antara kelompok pimpinan Komisi, Fraksi,
Pansus atau Panja menarik untuk diamati dengan menggunakan perspektif teori komunikasi
lainnya misalnya game theory atau dramaturgi. Hal lain yang dipandang menarik untuk
dijadikan studi adalah tentang perbandingan derajat kohesivitas kelompok politik di lingkup
komisi DPR RI yang terjadi dalam satu periode kepanitian tugas di komisi.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
270
Penelitian lanjutan pada tataran paradigma konstruktivis yang mengangkat tentang
pembentukan konstruksi sosial berdasarkan proses interaksi dari masing-masings anggota
yang terlibat dalam suatu kelompok dipandang menarik juga untuk dilakukan. Begitupula
dengan studi tentang analisis wacana kritis (teks) yang berfokus dengan membandingkan
undang-undang bernuaansa komunikasi (misalanya UU KIP dan Penyiaran) guna
mengungkap apa yang terjadi di balik setiap keputusan yang dihasilkan oleh kelompok di
DPR RI juga dipandang perlu untuk dilakukan.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
271
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adler, Ronald B., George Rodma. (1985). Understanding Human Communication. Second
Edition. New York : Holt, Rinehart & Winston.
Allison, Graham. (1999). Essence of Decision :Explaining the Cuban Missile Crisis, 2nd
Edition. New York : Longman (google ebook)
Ardana, Komang, dkk. (2009). Perilaku Keorganisasian. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Arifin, Anwar. (2011). Komunikasi Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Arrianie, Lely. (2010). Komunikasi Politik : Politisi dan Pencitraan di Panggung Politik.
Bandung: Widya Padjajaran.
Bambang S dan Sugianto. (2007). .Pendidikan Kewarganegaraan. Surakarta:Penerbit
Grahadi.
Belmon Johnson, David W & Frank P. Johnson. (2012). Dinamika Kelompok: Teori dan
Keterampilan. 9th ed. Jakarta: PT Indekst, USA : Thomson Wadsworth.
Biro Humas dan Pemberitaan, (2014). Selayang Pandang Mekanisme Kerja dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta : Sekretaris Jenderal DPR RI.
Biro Arsip dan Dokumentasi DPR RI. (2008). Proses Pembahasan Rancangan UndangUndang Tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik : Buku 1-7. Jakarta :
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Burgoon, Michael, Michael Ruffner. (1978). Human Communication A Revision of
Approaching Speech/Communication. New York : Holt, Rinehart & Winston.
Budiardjo, Miriam. (2008). Dasar-Dasar Ilmu politik-Edisi Revisi. Jakarta:PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Chaerudin Dkk. (2008). Strategi Pencegahan dan penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi.
Bandung.
Claude E. Shannon dan Warren Weaver. (1949). The Mathematical Theory of
Communication. Urbana: Univ. of Illinois Press.
Dahlan, Alwi. (1997). Pemerataan Informasi dan Pembangunan : Pengukuhan Doktor.
Jakarta : Fisip UI.
Denzin, N.K. dan Lincoln, Y.S. (2000). Handbook of Qualitative Research. Second Edition.
London: SAGE Publications.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
272
Eddi Wibowo dkk. (2004). Ilmu Politik Kontemporer. Yogyakarta : YPAPI.
Efriza. (20140. Studi Parlemen : Sejarah, Konsep, dan Lanskap Politik Indonesia. Malang :
Setara Press.
Forsyth, D.R.. 1999. Group Dynamics. California: Brook/Cole Publishing Company.
Ichlasul Amal. (1996). Teori-Teori Mutakhir Partai Politik.Yogyakarta:PT. Tiara Wacana
Yogyakarta.
George, Alexander L. (1991). Avoiding War: Problems of Crisis Management. USA :
Westview Press.
Gibson, J.L..dkk.. 2003. Organizations: Behavior Structure Processes. New York: McGrawHill.
Griffin, EM. (2006). A First Look At Communcation Theory. Sixth edition. Mc. Graw Hill:
USA.
Gouran, Dennis S&Marshall Scott People. (1999). The Handbook of Group Communication
Theory and Research. London : Sage Publication.
Hog, Michael A. And Dominic Abrams. (1998). Social Identification: A Social Psychology of
Intergroup Relation and Group Processs. London : Routledge.
Janis. I. L. (1982). Groupthink: Psychological Studies of Policy Decisions and Fiascoes (2nd
ed). Boston: Houghton Mifflin.
John, Stephen W. Little, Karen A. Foss. (2009). “Theorist of Human Communication.”
Johnson, David W & Frank P. Johnson. (2012).
Dinamika Kelompok: Teori dan
Keterampilan. 9th ed. Jakarta: PT Indeks.
Moleong, Lexy J. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Mochtar Lubis dan James C. Scott. (1995). Bunga Rampai Korupsi. Cet. ke-3. Jakarta:
LP3ES.
Nimmo, Dan. (1978). Political Communication and Public Opinion in America, Goodyear
Publishing Company, Santa Monica.
___________ (2000), Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media, Rosdakarya,
Bandung.
Newman, W. Lawrence. (2000). Social Research Methods – Qualitative and Quantitative
Approaches – Fourth Edition, USA : A Viacom Company.
Parwito, (2009), Komunikasi Politik – Media Massa dan Kampanye Pemilihan, Yogyakarta :
Jalasutra.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
273
Patton, Michael Quinn. (2002). Qualitative Research & Evaluation Method. Thousand Oaks,
CA : Sage Publications.
Pepper, Gerald L. (1995). Communicating in Organizations: A cultural Approach, McGraw
Hill.
Robbins, S. (2002). Prinsip-Prinsip Perilaku Organisasi. Terjemahan. Jakarta: Erlangga
Robbin, Stephen P. (2003). Organizational Behavior, Thent Edition. New Jersey :
Pearson Education,
Inc.
alih
bahasa:
Molan,
Benyamin. (2006). Perilaku
Organisasi. Jakarta: Gramedia.
Rusfian, Effy. (2009). Perilaku Komunikasi Konflik. Bandung : Arum Mandiri Press.
Santosa, Slamet. (2009). Dinamika Kelompok. Jakarta:Buni Aksara.
Sutarto. (2002). Dasar-dasar Organisasi. Yogyakarta : Gajah Mada University
Sendjaja, S. Djuarsa, dkk. (2004). Teori Komunikasi. Modul SKOM 4204. Universitas
Terbuka.
Sunyoto Usman. (2003). Tantangan Pemberantasan Korupsi (Tinjauan Sosiologi): Jurusan
Sosiologi UGM . Jogyakarta.
Surbakti, Ramlan. (2009). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Subagiyo, Henri. Dkk. (2009). Anotasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang
Keterbukaan Informasi Publik. Jakarta : Komisi Informasi Pusat dan Indonesia Center
for Environmental Law (ICEL).
Syahrial Syarbani. (2002). Sosiologi dan Politik.Jakarta:Ghalia Indonesia.
Syafiie, Inu Kencana. (2014). Proses Legislatif. Bandung : Refika Aditama.
Toma Peter A. and Robert F. Gorman. (1991). International Relations : Understanding
Global Issues. Pasific Grove, California : Brooks Cole Publishing Company.
Wahyono, S. Bayu, dkk. (2011). Ironi Eksistensi Regulator Media di Era Demokrasi.
Yogyakarta : PR2Media dan Yayasan TIFA.
West, L. Richard. Turner, H. Lynn. (2007). Introducing Communication Theory – Analysis
and Application. Third Edition. Mc Graw Hill.
W.J.S. Poerwodiminto. (1976). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Yin, Robert K. (1984). Case Study Research : Design and Methods. California: Sage
Publications.
Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication. 7th edition. California:
Wadsworth Thompson Learning.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
274
JURNAL/HASIL PENELITIAN/ARTIKEL DIPUBLIKASIKAN
Abdul Firman Ashaf. (2008). Mengkritisi hipotesis groupthink dalam konteks formulasi
kebijakan di Indonesia. Jurnal Administratio Universitas Lampung.
Aldag, Ramon J and Sally Riggs Fuller.(1993). “Beyond Fiasco: A Reappraisal of the
Groupthink Phenomenon and a New Model of Group Decision Processes. the
American Psychological Association Vol. 113, No. 3, 533-552.
Alasdair S. Roberts. (2005). Spin Control and Freedom of Information: Lessons for the
United Kingdom from Canada. Public Administration, Volume 83, Issue 1, pages 1–
23.
Alasdair Roberts. (2010). A Great and Revolutionary Law? The First Four Years of India’s
Right to Information Act. Public Administration Review,Volume 70, Issue 6, pages
Foreign Policy Decision Making Models
Ben Worthy. (2010). More Open but Not More Trusted? The Effect of the Freedom of
Information Act 2000 on the United Kingdom Central Government. Governance
Volume 23, Issue 4, pages 561–582.
Bernthal, Paul R.; Insko, Chester. (1993).
A Cohesiveness without groupthink: The
interactive effects of social and task cohesion. Group & Organization Management,
Vol 18(1), 66-87.
Celmer, David Stephen. (2007). Fear, Organizational Learning, and Groupthink in The
Small Work Group. Fordham University. Proquest. UMI Disertations Publishing.
Carrington, Rodney dell, Sr. (1997). Attractive Leadership, Cohesion and Premature
Consensus : Additional Light for Groupthink Research. Lamar University-Beaumont.
ProQuest. UMI Dissertation Publishing.
Chapman, Judith. (2006). Anxiety and defective decision making: an elaboration of the
groupthink model. Management Decision, Vol. 44 Iss: 10, pp.1391 – 1404.
Escaleras, Monica, Shu Lin, Charles Register. (2010). Freedom of information acts and
public sector corruption. Public Choice, Volume 145, Issue 3-4, pp 435-460.
Foster, Thomas Christian. (1996). The Effect of Arousal on Decision Quality and the
Presence of Groupthink Symptoms. Lamar University-Baeumont. ProQuest. UMI
Dissertation Publishing.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
275
Gambrall, Bernard Douglas. (2007). Comparison of the Levels of Cohesiveness, Defective
Decision-Making and Responses Symptomatic of Groupthink Between Cohorts of
Undergraduate and Graduate Adults Students. Proquest. UMI Disertations
Publishing.
Gauthier, Candace Cummins. (1999). Right to Know, Press Freedom, Public Discourse. The
Political Quarterly, Volume 14, Issue 4, pages 197-212.
Hazell, R. and Worthy, Benjamin and Glover, M. (2010). The impact of the Freedom of
Information Act on central government in the UK: does freedom of information work?
Understanding Governance. London, UK: Palgrave Macmillan.
Hodson, Gordon. (1995). Group Decision Making: The Role of Uncertainty Orientation in
the Phenomenon of Groupthink. The University of Western Ontario. ProQuest. UMI
Dissertation Publishing.
Kegley & Wittkopf, (2001). Foreign Policy Decision Making, World Politics, 8th Ed.
Chapter 3, pp. 53 - 83
Leana, Carrie R. (1985) . “A Partial Test of Janis Groupthink Model: Effects of Group
Cohesiveness and Leader Behavior on Defective Decision Making. Journal of
Management Spring vol. 11 no. 15-18.
Lehrer, Jonah. (2012). Groupthink. The New Yorker (New York); Vol. 87; Iss. 46; pg. 22
Lotte E. Feinberg. (1986). Managing the Freedom of Information Act and Federal
Information Policy. Public Administration Review Vol. 46, No. 6 pp. 615-621.
Macarthur, John R. 2010. Groupthink and doubletalk. The Spectator (London)
Martin E. Halstuk & Bill F. Chamberlin. (2006). The Freedom of Information Act 1966–
2006: A Retrospective on the Rise of Privacy Protection Over the Public Interest in
Knowing What the Government's Up To Communication Law and Policy. Volume 11,
Issue 4
Martha L Cottam, Beth Dietz-Uhler, Elena Mastors, Thomas Preston. (2009). Introduction to
Political Psychology. Psychology Press.
Moorhead, Gregory, Richard Ference, Chris P. Neck. (1991). “Group Decision Fiascoes
Continue: Space Shuttle Challenger and a Revised Groupthink Framework. Human
Relations, June vol. 44 no. 6 539-550.
Padgett, Jill Lynette. (1996). Do The Constructs Associated with Groupthink Occur in
Graduate Cohort Models?. Spalding University. ProQuest. UMI Dissertation
Publishing.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
276
Paul Kowert. (2002). Groupthink or Deadlock: When Do Leaders Learn From Their
Advisors?. Suny Press.
Paul L. Hathaway. (2008). Groupthink Phenomenon and Self-Esteem in Bureaucracies: A
Comparison Between Private and Public Sector Organization. Idaho State University.
Proquest. UMI Disertations Publishing.
Paul't Hart. (1997). Beyond groupthink: political group dynamics and foreign policy-making.
University of Michigan Press.
Park, Woo Woo. (2000). A comprehensive empirical investigation of the relationships among
variables of the groupthink model. Journal of Organizational Behavior. Volume 21,
Issue 8, pages 873–887.
Maureen McNichols Brett Trueman. (1994). Public disclosure, private information
collection, and short-term trading. Volume 17, Pages 69–94.
Metlicka, Donna. (2004). The Perception of Groupthink in Teacher Proffesional
Development Delivered Through Master Degree Programs Using The Cohort
Delivery Model in Higher Education. ProQuest. UMI Dissertation Publishing.
Relyea, Harold C. (1980). Freedom of information, privacy, and official secrecy: The
evolution of federal government information policy concepts. Social Indicators
Research, Volume 7, Issue 1-4, pp 137-156.
Richardson, Noni. (1994). The Effects of Conformity Predisposition and Leader Behavior on
the Production of Groupthink and the Quality of a Group’s Decision. Lamar
University-Beaumont. ProQuest. UMI Dissertation Publishing.
Rifai, Akhmad. (2008). Kemerdekaan Informasi dalam UU Keterbukaan Informasi Publik.
Jurnal Dakwah Vol. IX No. Juli-Desember : hal. 101.
Robert McKeever. (2008). Facebooked: Groupthink in the era of computer mediated social
networking. Gonzaga University. Proquest. UMI Disertation Publishing.
Schafer & Scott Crichlow. Antecedents of Groupthink: A Quantitative Study. Department of
Political Science, Louisiana State University.
Shandell, Jonathan. (2005). "Authors Authors!: Why Dramatic Groupthink is the New Vogue.
American Theatre (New York); Feb 01, Vol. 22; Iss. 2; pg. 102
Shmidt, Jerry L, Jr. (2002). The Pield Piper Syndrome : The Relationship between Intragrup
Dichotomization and Bipolar Groupthink. Cappella University. ProQuest. UMI
Dissertation Publishing.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
277
Smith, Cynthia A. (2004). Groupthink: The Effects of Leadership, Group Insulation, and
Information Availability. ProQuest. UMI Dissertations Publishing.
Snell, Michael J. (2011). Factors That Increase The Incidence of Groupthink in Hospitals:
The Perception of Nurses and Managers. ProQuest, UMI Dissertation Publishing.
Steven Huddart, John S. Hughes and Carolyn B. Levine. (2001). Public Disclosure and
Dissimulation of Insider Trades. Econometrica Volume 69, Issue 3, pages 665–681.
Shepherd, Elizabeth, Alice Stevenson, Andrew Flinn.
(2010). Information governance,
records management, and freedom of information: A study of local government
authorities in England. Government Information Quarterly, Volume 27, Issue 4,
October 2010, Pages 337–345.
Tubbe, Rhonda Lou. (2010). A Phenomenological Study to Determine the Extent an
Consequences of Groupthink among the Management Team of an Acute Care
Organization. Proquest. UMI Disertation Publishing.
SKRIPSI, TESIS, DISERTASI :
B.Kiswanto. (2013). Hubungan Antara Implementasi Groupthink Dengan Kohesivitasan
Antara Kelompok Kerja Pada Pegawai Negeri Sipil di Kecamatan Jagakarsa. Tesis.
UNPAD-Bandung.
BN Atmodjo. (2010). Groupthink dalam komunikasi kelompok KDS Surya Community,
Surabaya. Thesis. Petra Christian University Surabaya.
Gazali, Effendi (2004). Communication of Politics and Politics of Communication in
Indonesia : A Study on Media Performance, Responsibility an Accountability.
Doctoral Thesis Radboud University Nijmegen.
Grace Adriany, Feby. (2010). Memahami Groupthink pada organisasi ekstra kampus dengan
ideologi tertentu yang berafiliasi dengan organisasi intrakampus Universitas
Diponegoro. Tesis Universitas Diponegoro Semarang.
Jebarus, Felix. (2011). Pertarungan Kepentingan tentang Kebebasan Informasi (Studi
Dinamika Komunikasi dalam Proses Penyusunan dan Pembahasan Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik. Disertasi. Universitas Indonesia.
Maddy Rochanda Pertiwi. (2009). Pembentukan Goupthink mengenai partai politik
Berideologi Islam dalam komunikasi kelompok di internet. Skripsi-Universitas
Indonesia
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
278
Rebekka Rismayanti. (2013). Analisis dinamika komunikasi tim kerja Public Relations
berdasarkan Groupthink theory. Skripsi, Unika Atmajaya Jogyakarta.
UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik
Selayang Pandang Mekanisme Kerja Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
RISALAH RAPAT DPR RI
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2009). Proses
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Kebebasan Memperoleh Informasi
Publik. Buku 1-7. Jakarta.
SUMBER ONLINE
www.metrotvnews.com 1 September 2010.
jambi.tribunnews.com 30 Mar 2011.
www.kompas.com Sabtu, 2 April 2011 | 11:45 WIB
http://syafiie.blogspot.com/2011/04/sisi-lemah-uu-keterbukaan-informasi.html, SENIN, 11
APRIL 2011
HTTP://PAULUSWIDIYANTO.BLOGSPOT.COM/2012/01/UU-KIP-MASIHBERKERANGKA-PIKIR-SEMPIT.HTML?ZX=CC5701005AD4E2F0 AKSES: 1 MARET
2015 PUKUL 05.00 WIB
http://www.komisiinformasi.go.id/news/view/paulus-widiyanto-uu-harus-dilihat-secarakomprehensif Date Publish : 2014-09-16 07:51:32
http://kebebasan-informasi.blogspot.com/search?q=kronologi+RUU+KMIP,
Maret 2015 pukul 05.00 wib
akses
tgl
1
http://imron46.wordpress.com/2008/09/25/dinamika-kelompok/ diakses pada 11 Oktober
2012.
Rusmana,
Nanang.
t.t.
Konsep
Dasar
Dinamika
Kelompok.
(Online),
(http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI_PEND_DAN_BIMBINGAN/19600501
1986031-NANDANG_RUSMANA/Konsep_Dasar_Dinamika_Kelompok. pdf, diakses 5
September 2012).
Agus Sudibyo, “Transparansi Sepenuh Hati?” dalam Kompas, 7 April 2008.
https://untuktabalong.wordpress.com/2010/05/07/menyambut-uu-keterbukaan-informasipublik/Firmanyusi, diakses tanggal 25 Februari 2015.
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
279
http://politik.kompasiana.com/2012/01/28/keterbukaan-informasi-publik-dalam-perspektifgovernability-434151.html, diakses tanggal 25 Februari 2015, pukul 15.00 WIB.
http://kontras.org/petisi/LAMPIRAN%20PETISI%20KOALISI%20UNTUK%20KEBEBAS
AN%20INFORMASI.pdf diakses tanggal 9 Februari 2015 pukul 1.15 WIB
http://syafiie.blogspot.com/2011/04/sisi-lemah-uu-keterbukaan-informasi.html.
April 2011
Senin,
11
Universitas Indonesia
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LAMPIRAN
1
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Lampiran 1
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA
I. Identitas Informan
a. Nama Informan
b. Jenis Kelamin
c. Pekerjaan/Profesi saat ini
d. Tanggal/ Waktu wawancara
e. Tempat
:
:
:
:
:
:
II. Identifikasi Kondisi Pendahulu/Anteseden
Kategori A : Decision makers (Cohesive Group ) : Pembuat Keputusan adalah Kelompok Kohesif.
Yaitu Kelompok Tugas di Komisi I yang membahas RUU KIP (temporer)
1.
2.
3.
4.
Apa alasan bergabung menjadi anggota DPR RI dan duduk di Komisi I?
Bagaimana perasaan ketika telah bergabung di Komisi I DPR RI?
Adakah rekan dalam kelompok yang dirasa paling dekat?
Jika mengutarakan pendapat biasanya cenderung mengatas namakan pribadi atau menggunakan kata
„kita‟ atau „kami?
5. Ketika terdapat pendapat yang memojokkan misalnya dari media atau dari masyarakat, upaya apa
yang paling sering dilakukan untuk mengatasi hal tersebut?
Kategori B-1
ï‚· Isolasi Kelompok
6. Apakah selama bersama dalam kelompok panja yang membahas RUU KIP sering berkumpul,
mengenal dan menjadi akrab satu sama lain walaupun berbeda fraksi?
7. Apa saja aktivitas yang kerap dilakukan ketika berkumpul selama membahas RUU KIP? Apakah
bertemu hanya membicarakan substansi RUU KIP atau membicarakan hal lain diluar RUU KIP
(misalnya hobby, keluarga, ibadah, asal daerah, tempat tinggal, kegiatan liburan dsb)
8. Selama membahas RUU KIP sering menghadiri pertemuan atau sering izin/absen?
9. Seberapa besar peran fraksi ketika membahas RUU KIP?
10. Bagaimana interaksi dengan kelompok fraksi asal? Sering berdiskusi atau tidak?
ï‚· Kurangnya Kepemimpinan Imparsial
11. Siapa saja yang menjadi pimpinan dalam membahas RUU KIP?dipilih berdasarkan apa dan apakah
merupakan perwakilan dari semua fraksi yang ada di Komisi I?
12. Apakah pimpinan memberikan kesempatan secara merata kepada anggota yang ingin mengajukan
pendapatnya?
13. Apakah pemimpin memiliki sikap yang berbeda apabila ada pendapat dari anggota yang berbeda
fraksi dengan fraksi pimpinan?
ï‚· Kurangny Norma bagi Prosedur Pengambilan Keputusan
14. Bagaimana berjalannya pembahasan RUU KIP secara umum? Adakah prosedur tertulis dan
terjadwal secara urut yang disosialisasikan kepada anggota kelompok sebelum memulai
pembahasan RUU KIP? (jika ada, prosedur tersebut dibuat berdasarkan apa dan siapa yang
membuat?, jika tidak, mengapa?)
15. Apakah metode pengambilan keputusan dalam setiap pembahasan RUU KIP berjalan sesuai
prosedur yang ditetapkan?ataukah banyak mengandung kompromi? Terutama terkait pembahasan
tentang definisi Badan Publik (Jika YA, apa yang menjadi dasar pertimbangan terjadinya suatu
kompromi? Apa saja yang biasanya dikompromikan dalam kegiatan membahas/merumuskan RUU
KIP? )
16. Apa yang menjadi alasan dan tujuan dari sebuah kompromi-kompromi yang terjadi dalam
pembahasan RUU KIP?
ï‚· Homogenitas Kelompok
17. Sebagai anggota kelompok Kerja RUU KIP apakah ada perasaan menyatu dalam kelompok ketika
membahas RUU KIP?
2
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
18. Berapa banyak kesamaan dan perbedaan yang dirasakan dalam interaksi kepada sesama anggota
diluar kesamaan nama komisi dan kesamaan asal fraksi misalnya. Adakah terjadi konflik yang
serius antar anggota selama membahas RUU KIP?
Kategori B-2
19. Adakah kendala yang dirasa agak berat ketika terlibat dalam pembahasan RUU KIP terutama
ketika membahas tentang Pasal 1 ayat 3 tentang definisi badan publik? (jika ada, apakah kendala
itu?, jika tidak mengapa?)
20. Apakah terdapat tekanan-tekanan yang berasal dari dalam yang dirasa mengganggu? (misalnya
tekanan pemenuhan target pembahasan dari pimpinan, ketidakpuasan terhadap berlangsungnya
pembahasan, kekecewaan terhadap rekan sekelompok dari fraksi yang sama atau dari rekan
berbeda fraksi) serta dorongan/tekanan dari luar kelompok (misalnya dari parpol, dari koalisi, dari
pimpinan DPR, dari alat kelengkapan dewan, atau dari media maupun pengusaha?) ketika
membahas RUU KIP terkait definisi Badan Publik?
III. Observable Consequences
Kategori C : Symptoms of GroupThink
ï‚· Overestimation of Group
14. Ketika terlibat dalam kelompok yang membahas RUU KIP, apakah Apakah ada perasaan istimewa dan
berbeda ketika bergabung dalam komisi I dan membahas RUU KIP?
15. Apakah ada perasaan bahwa kelompok yang sedang bekerja membahas RUU KIP merupakan
kelompok yang mulia (menjalankan misi mulia/tugas besar) yang akan membawa dampak besar dalam
kehidupan masyarakat Indonesia sehingga hasil akhir keputusan pastilah akan baik.
ï‚· Closed-Mindedness
16. Rasionalisasi Kolektif: Apakah ada diskusi dengan pihak-pihak luar dengan harapan mendapatkan
perspektif lebih luas tentang konsepsi Badan Publik, terutama untuk point2 yang memuat tentang
syarat-syarat informasi yang boleh diberikan oleh Badan Publik?
17. Stereotypes of Groups: Bagaimana dengan persepsi anda sebagai bagian dari kelompok di Komisi I
terhadap pihak-pihak yang tidak / kurang setuju terhadap keputusan terntang Badan Publik dan syaratsyarat Informasi yang boleh diberikan oleh Badan Publik? (misalnya dari kalangan LSM/Koalisi
Masyarakat Sipil?)
ï‚·
Uniformity Pressures
18. Apakah ada diantara individu di kelompok saling menguatkan pendapat ketika ada agumen-argumen
yang menentang?
19. Apakah ada saat dimana mengalami kebuntuan (misalnya sampai ketika pembahasan Badan Publik
ditunda hingga rapat Timus), rekan-rekan lain bahkan mungkin bapak/ibu sendiri memilih cenderung
ikut suara terbanyak saja?
20. Apakah pernah dirasakan atau teramati bahwa terdapat semacam tekanan ketika ada seseorang dalam
kelompok menyatakan opini, pandangan atau komitmen yang berlawanan dengan opini mayoritas
dalam pembahasan tentang Badan Publik?
21. Apakah terdapat suatu keyakinan dalam diri bapak/ibu yang membuat teguh/yakin ketika
mempertahankan pendapat sebagai tim perumus RUU KIP?
D. Symptoms of Defective Decisionmaking
22. Bagaimana kesan umum/keseluruhan terhadap pengambilan keputusan RUU KIP terkait Badan Publik?
Sudah sempurna atau memerlukan pengkajian/revisi mungkin?
3
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Lampiran 2
KODE KATEGORISASI CODING
001
002
003
004
005
006
007
008
009
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Kohesi Kelompok (Kategori A), meliputi :
Motivasi/Alasan bergabung di Komisi I DPR RI periode 2004-2009.
Perasaan penempatan di Komisi I DPR RI.
Perasaan akrab dengan sesama anggota Komisi I DPR RI.
Keberadaan rekan terdekat.
Penggunaan kata kita/kami dalam berpendapat membahas RUU KIP.
Upaya untuk melindungi kelompok jika ada pendapat yang memojokkan.
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Isolasi Kelompok (Kategori B-1), meliputi :
Kekerapan bertemu/berkumpul dan Aktivitas ketika bertemu/berkumpul
Kehadiran rutin dalam pertemuan membahas RUU KIP
Peran fraksi dan Interaksi dengan kelompok fraksi asal
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Kurangnya Kepemimpinan Imparsial (Kategori B-1), meliputi :
Dasar pemilihan pimpinan kelompok
Kemampuan Pimpinan mengakomodir pendapat anggota kelompok.
Sikap Pimpinan terhadap anggoota yang berbeda fraksi.
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Kurangnya Prosedur Pengambilan Keputusan (Kategori B-1), meliputi :
Jalannya prosedur pembahasan dan pengambilan keputusan RUU KIP.
Metode pengambilan keputusan tentang BUMN/BUMD sebagai badan publik.
Upaya-upaya yang dilakukan kelompok untuk menganalisis masalah perdebatan tentang BUMN
BUMD sebagai badan publik.
ï‚·
ï‚·
Homogenitas kelompok (Kategori B-1), meliputi :
Perasaan yang menyatu dalam kelompok ketika membahas RUU KIP.
Tingkat persamaan dan perbedaan dalam interaksi.
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Karakteristik yang menghasilkan tekanan (Kategori B-2), meliputi :
Tekanan luar yang dirasakan selama membahas RUU KIP Badan Publik
Kendala yang dihadapi selama membahas RUU KIP Badan Publik
Tekanan dari dalam (misalnya : pemenuhan target pembahasan dari pimpinan, ketidakpuasan terhadap
berlangsungnya pembahasan, kekecewaan terhadap rekan).
ï‚·
ï‚·
Penilaian berlebihan terhadap kelompok (Kategori C-1)
Perasaan istimewa dan berbeda ketika bergabung dalam komisi I dan membahas RUU KIP.
Merasa mengemban misi mulia dalam kelompok yang membahasa RUU KIP.
ï‚·
ï‚·
Ketertutupan Pikiran (Kategori C-2)
Rasionalisasai kolektif: Sikap tidak mengindahkan pendapat luar
Persepsi terhadap pihak-pihak yang tidak / kurang setuju terhadap keputusan tentang Badan Publik.
ï‚·
Tekanan untuk mencapai Keseragaman (Kategori C-3)
Sensor diri : Keberadaan individu di kelompok untuk menguatkan pendapat ketika ada agumenargumen yang menentang.
Ilusi Kebulatan Suara: Kecenderungan untuk memilih diam/ikut suara terbanyak.
Adanya tekanan ketika ada seseorang dalam kelompok menyatakan opini, pandangan atau komitmen
yang berlawanan dengan opini mayoritas dalam pembahasan tentang Badan Publik. (direct Pressures)
Keyakinan dalam diri ketika mempertahankan pendapat sebagai tim perumus RUU KIP. (Mindguards)
ï‚·
Penilaian akhir keputusan tentang Badan Publik di RUU KIP (Kategori D)
Kesan umum/keseluruhan terhadap pengambilan keputusan RUU KIP terkait Badan Publik.
ï‚·
ï‚·
ï‚·
010
Hasil Wawancara Informan Utama
4
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
i.
Informan Utama 1
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Nama Informan
Jenis Kelamin
Pekerjaan/Profesi saat ini
Tanggal/ Waktu wawancara
Tempat
Inisial Wawancara
Informan
Pewawancara
: Drs. Deddy Djamaluddin Malik, M. Si (FPAN)
: Laki-laki
: Akademisi di STIKOM Bandung
: 5 Maret 2015, Pukul 20.00 WIB
: Jakarta
: Dedy (De)
: Lisa Adhrianti (LA)
Hasil Wawancara

LA
De
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA:
De
Kategori A : Kohesi Kelompok
: Terima kasih atas waktunya pak. Waktu itu di komisi I atas dasar apa pak?mengajukan diri
atau ditugaskan pak?
: Oh waktu itu saya yang mengusulkan. Jadi pertimbangannya waktu itu karena saya
bidang komunikasi ya tentu harus sesuai dengan kompetensinya lah gitu meskipun itu
politik jadi harus ad basis profesionalnya.
: Makanya di situ saya jadi Pokja Infokom.
: Pokja Infokom ya pak ya.
: Ya, ketua waktu itu.
: Ketua Pokja Infokom ya pak ya. Ada berapa orang itu pak yang ditunjuk oleh DPR.
: Itu sekitar 15 orangan lah.
: Itu langsung bahasan, UU KIP langsung ditangani Pokja Infokom ya pak ya?
: Nggak itu Panja.
: Panja ya oke ya. Jadi waktu bahas Panja itu rapatnya, saya baca di risalah kan banyak juga
ada beberapa kali itu.
: Ya.
: Jadi waktu itu senang sekali ya pak duduk di Komisi I?
: Iya begitulah kira2 diakomodir keinginan saya
: Rekan-rekan di Komisi I gimana pak? Solid ga?
: Ya cukup solid walau beda fraksi soal ini karena kita satu tujuan untuk keberhasilan
RUU KIP
: Itu kan dari sebelumnya kan sempat tertunda ya pak ya, dari periode itu kan diajukan lagi ya
pak ya UU diajukan kembali.
: Itu kan tahun sebelum periode saya, itu memang sudah diajukan terus molor lagi.
: Kira-kira bapak tahu nggak alasannya?
: Saya kira secara politis memang UU itu tidak menguntungkan birokrasi sehingga
pembahasan memakan waktu lama dan banyak perdebatan.
: Jadi diulur-ulur terus ya pak ya.
: Diulur-ulur tapi akhirnya memang kan demokrasi keterbukaan tidak bisa ditutup, akhirnya
direspon dengan, iItu kan inisiatif DPR kemudian muncul inisiatif, muncul respon dari
pemerintah. Jadi ada konsep dari pemerintah ada konsep dari kita.
Itu pas presiden SBY ya respon itu ya. Jadi selama mbahas itu pak kira-kira itu kan khusus
Komisi I yang ditugaskan ya pak ya nggak ada yang dari Komisi lain ya. Itu ada beberapa
fraksi kan di sana ketika membahas itu bisa saling menyatu nggak si pak kompak, sering
kumpul akrab, kan waktu itu taruhlah baru pertama kali tugas bersama itu, kira-kira gimana
kondisinya dalam kelompok Komisi I sendiri?
: Bisalah, kita cukup kompak soal RUU ini. Jadi semua memang telah rapi
dipersiapkan dan harus jadi. Yang pertama kalau soal rancangan UU itu kan kita
5
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
ajukan ke pemerintah, sudah diserahkan kemudian pemerintah merespon. Nah dari
respon pemerintah itu kemudian masing-masing fraksi merespon lagi. Nah respon dari
masing-masing fraksi kan bisa beda-beda tetapi sebenarnya yang lebih ril itu
tergantung situasi di forum. Jadi sebetulnya kekuatannya itu kekuatan ya argumennya,
tentu saja argument yang rasional yang agumentatif. Nah itu yang bisa
dipertimbangkanoleh para pihak, fraksi-fraksi dan selama ini argumen kami saya lihat
cukup layak ya.
: Kalau untuk pembahasan di luar, loby-loby mungkin pak atau itu sering nggak pak itu
dilakukan di luar?
: Yang ada rapat di luar, itu di Puncak misalnya di Wisma DPR itu. . Saya si biasanya
sering kumpul diskusi sama Pak Hapy Bone, Hajriyanto dari Golkar sama Andreas
Periera dari PDIP.
: Biasanya kalau lagi ketemu aktivitasnya bagaimana pak?
: Ngobrol biasa saja, semi formal gitu.
: Itu untuk RUU KIP juga ya pak ya masih dalam proses itu pak ya ?
: Ya, atau misalnya ada pertemuan beberapa pihak misalnya ada Menkumham, untuk
singkronisasi tapi tetap kita kritis, ada dari kita jadi ada dari panja itu ada beberapa pentolan
yang mewakili fraksi misalnya berkumpul. Nah itu memang mengkritisi misalnya saya masih
ingat perdebatan tentang ini rezim politik atau rezim ekonomi ITE ini. Nah pemerintah
rezimnya itu ini rezim bisnis, jadi tidak politik tetapi saya terutama waktu itu mengatakan ke
menteri waktu itu dihadiri oleh menteri, saya bilang ketika satu, birokrasi itu meminta atau
merekrut komisaris atau staf ahli itu politis atau rezim ekonomi, itu kan politis. Birokrasi itu
misalnya ada staf ahli ada komisaris segala macam itu kadang-kadang kan dari partai
misalnya dititipin atau kader partai kan begitu jadi ya memang tidak bisa. ITE ini memang
kalau pemerintah melihatnya ingin gimana system transaksi eletronik ini aman gitu. Ini ITE
atau.
: KIP pak.
: KMP, ya. Nah kalau KMP itu perdebatannya soal kemerdekaan, kalau kita kan kebebasan
informasi gitu. Pemerintah biasanya menolak itu karena konsep itu konsepnya liberal gitu.
Kita mengatakan kalau gitu UUD juga liberal karena kan bicaranya kebebasan, kebebasan
berpendapat kalau itu soal terminologi gitu, ya itulah oke, kemudian disepakati kemudian
menjadi keterbukaan informasi.
: Pak, waktu membahas ruu kip bapak paling akrab sama siapa saja ya pak?
: Oh,biasanya sama pak happy bone (golkar), andreas pariera (pdip) sama pak
Hajriyanto (golkar) kita biasa diskusi dan menyamakan persepsi. Bisa juga dilihat di
risalah rapat bagaimana sikap saya dan teman-teman.”
: Jika mengutarakan pendapat biasanya cenderung mengatas namakan pribadi atau
menggunakan kata „kita‟ atau „kami pak?
: Ya campur si kalo itu, tapi lebih banyak kami.
: Ketika terdapat pendapat yang memojokkan misalnya dari media atau dari masyarakat,
upaya apa yang paling sering dilakukan untuk mengatasi hal tersebut?
: Ya kalau saya ditanya oleh wartawan ya saya jelasakan saja yang sebenarnya bahwa maksud
kita baik, itu keliru misalnya gitu. Biasalah begitu terkadang yang diluar nggak ngerti kondisi
kita di dalam.
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
ï‚·
LA
De
LA
Kategori B1 : Isolasi Kelompok
: Ok Pak, kalau selama membahas RUU KIP sering menghadiri pertemuan atau sering
izin/absen pak?
: Saya hampir tidak pernah absen ya, bisa dicek di data risalah. Kalau kabur terus ya ga
etislah.
: Heheheh iya Pak, kalau peran fraksi ketika membahas RUU KIP kira-kira gimana pak besar
tidak ya?
6
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
De
LA
De
LA
De
LA
De
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
: Eee... fraksi ya cukup mendukung Undang-undang ini, perannya ya paling mensupport kita
mengingatkan agar bisa fokus dan menyelesaikan dengan baik gitu.
: Ooh ga ada himbauan khusus Pak?
: Himbauan khusus si ga ada ya karena nuansa politisnya juga ga terlalu kental si ya.
: Kalau untuk interaksi dengan kelompok Fraksi selama membahas RUU KIP gimana
Pak?jadi sering bertemu, diskusi atau tidak?
: Ya sesekali pasti ada pertemuan, tapi kalau seringnya ya sering sama Komisi.
: Yang lagi saya amati yang soal badan public ini pak, ini gimana pak ceritanya soal badan
public ini kayaknya kan kalau diamati agak alot juga itu pak pembahasannya dimana kan
awalnya DPR mengajukan BUMN itu masuk dalam pasal 1 ayat 3 itu pak yang BUMD,
sementara pemerintah kan tidak memasukan rumusan untuk BUMN dan BUMD itu. Nah
ternyata hasil akhirnya pasal 1 ayat 3 juga tidak ada teks BUMN, BUMD tapi di muncul pada
subjek hukum di pasal 14 dengan syarat-syarat tertentu informasi yang bisa dibuka oleh
BUMN, BUMD itu kira-kira seperti apa pak waktu itu?
Jadi waktu itu yang disebut badan public itu tadi, ya inginnya itu rezim politik gitu kita ini
dan birokrasi itu bagian apalagi kita melihat dengan latar belakang bahwa memang birokrasi
itu masih tertutup misalnya banyak kasus waktu itu dan mungkin sampai sekarang. Kalau ada
persoalan gubernur, walikota atau bupati atau menteri itu menghindar dari pertanyaanpertanyaan wartawan, kan tidak bisa menghindar, itu harus di jawab. Ada misalnya orang
yang meminta informasi dianggap itu rahasia gitu. Nah ini kan tidak ada kepastian hukum,
nah makanya memang harus sasaran kita, target utama kita memang birokrasi tapi memang
perdebatannya alot giitu, sampai istilahnya ya mati-matian pemerintah bertahan supaya
birokrasi itu relative aman, tapi ya kita mainkan diberbagai pasal supaya masuk.
: Dan memang kalau dilihat dari perjalanan meskipun UU itu sudah lahir kultur pejabat kita
belum siap, sehingga waktu itu saya pernah jadi saksi di Komisi Informasi tentang rekening
gendut kepolisian dan dinyatakan dalam sidang Komisi Informasi harus dibuka. Itu sampai
sekarang nggak mau dibuka mereka dengan alsan berbagai UU yang lain kan gitu. Jadi
memang waktu itu memang historical situatednessnya itu memang kita ingin intinya
membuka supaya badan-badan public itu terbuka termasuk kan yayasan, termasuk
partai politik gitu. Nah cuma kemudian ada implikasi lain.
: Termasuk BUMN kan juga pak ya.
: Oh iya, termasuk BUMN dan justru itu sasaran kita.
: Waktu itu pemerintah kok sepeti tidak mau.
: Oh sangat, sangat tidak mau ,ya sudah dari sudut ulur-ulur waktu aja sudah jelas itu
kan tidak menguntungkan pemerintah karena kan harus transparan dengan UU itu.
: Tapi akhirnya dia muncul juga di pasal 14, 15, 16 yang BUMN, Parpol dan LSM itu kan pak
ya cuman didefinisi badan publiknya kenapa akhirnya jadi nggak ada kata-kata BUMN,
BUMD itu pak.
: Jadi waktu itu pemerintah mengusulkan memperluas badan public sampai individu
pun disebut badan publik.
: Waktu itu pak saya lihat di risalah itu kan rata-rata semua fraksi memang menginginkan
bahwa BUMN itu masuk dalam definisi badan public itu tapi pemerintah tetap dengan
argumennya dengan beberapa pertimbangan gitu kan. Akhirnya juga seolah-olah seperti
disembunyikan isi teksnya itu pak, di misal bukan pasal 1 tapi muncul di pasal lain, itu kirakira masih ada apa namanya mungkin kalau bapak lihat mungkin ada semacam unsur untuk
melindungi tanda kutip BUMN mungkin sebagai untuk alat politis, mungkin bagi Parpol atau
pemerintah sendiri itu kira-kira seperti apa?
: Saya menangkap itu, ada nuansa itu politis. Yang pertama kemudian itu goal, pertama
pemerintah memang cukup lihai karena mewakilkan atau mendatangkan itu ahli ahlihukum. Nah sementara kan di DPR untuk teknis meskipun ada orang hukum tapi tidak
begitu ngeh lah.
: Akhirnya-akhirnya DPR menerima aja seperti itu pak.
7
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
D
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
: Yang kedua, tadi karena pembahasan alot dan pemerintah ngotot kan itu memang
harus disepakati meskipun kita ngotot, pemerintah ngotot juga kan nggak bisa jalan itu
UU.
: Jadi?
: Jadi akhirnya beberapa fraksi juga ada yang kemudian menurunkan tensi nya.
: Siapa tu pak kira kira, fraksi apa?
: Waktu itu ya yang pasti Demokrat.
: Karena dia partai pemerintah ya.
: Terus kan partai-partai pendukung gitu kan, PPP terus siapa lagi gitu. Nah kalau PAN
si ngotot waktu itu.
:Waktu itu gimana PAN.
: Waktu itu kita ngotot.
: Masih bertahan ya.
: Tapi kan, ya kita kan dibandingkan dengan banyak fraksi ya tidak kuat juga.
: Melihat masalah yang cukup pelik soal Badan publik itu apakah ada semacam usaha untuk
menganalisis kasus guna mencari hasil akhir yang baik pak?
: Ya kita terus diskusi, mencoba mempertahankan rumusan kita dan meminta pendapat
dari beberapa ahli dari kalangan akademisi dan masukan dari Koalisi Masyarakat
Sipil. Tapi disisi lain pemerintah juga sama membawa ahli-ahlinya termasuk meminta
masukan dari Menteri BUMN. Tapi ya kembali lagi mikirnya daripada berdebat
panjang akhirnya ga ada penyelesaian ya sudah kita coba turunkan tensi juga.
: Ya ya ya, ada nggak pak orang yang selalu mengingatkan maksudnya gini lho apa
mengingatkan tentang subtansi badan public. Jadi kita ni harus ini lho harus konsisten,
maksudnya ada nggak orang yang selalu, seolah-olah dia itu menentang pendapat mayoritas
tapi sebenarnya dia setuju sih dengan pendapat itu tapi seolah olah dia menentang pendapat
yang berkembang di kelompok komisi 1, kira-kira ada nggak pak yang selalu begitu, yang
selalu bilang ini lho badan public itu kan begini begitu misalnya gitu?
: Yang saya tahu itu, yang cukup kritis waktu itu kalau dari PDIP Adreas Pareira terus PKB
itu Gus Choi, terus PPP pak Arif Mudatsir.
: Pak Arif almarhum ya pak.
: Dari Golkar itu ini Hajrianto Tohari.
: Itu mereka apa pak, statement nya seperti apa kira-kira apa yang selalu mereka ungkapkan?
: Ya intinya kalau Gus Choi terus Andreas Pareira terus Hajrianto Tohari. Intinya memang
meng-golkan rancangan UU yang dibuat oleh DPR.
: Pokoknya yang rumusan dari DPR itu harus gol ya pak ya.
: Ya, bahkan dari PAN misalnya kalau anda baca risalahnya dari Pak Abdillah Toha itu cukup
tajam antara rezim korporasi dan rezim politik dalam konteks UU.
: Padahal kalau bapak tahu mereka yang kritis-kritis ini kira-kira akhirnya juga menyetujui
pemerintah atau ya sudah lah atau merasa kecewa juga mungkin dengan hasil akhirnya itu?
: Ya kecewa, karena kan itu kemudian ngotot kemudian buying time terus menerus, ya
kemudian juga diantara fraksi tidak semua ngotot ya itu akhirnya seperti itu. Jadi
mungkin untuk sebagian ini idiologis gitu, untuk sebagian ya udah lah mau apalagi gitu
emang gitu kira-kira seperti itu. Terkait dengan hal tersebut ya kita cukup memahami
bahwa begitulah dinamika dalam perumusan undang-undang namun bukan berarti
ketidak setujuan dari pihak lain tersebut sebagai suatu penghalang bagi kita untuk
menyelesaikan tugas, ya pastinya kita dengarkan, saring dan didiskusikan.”
: Kalau bagi Bapak sendiri gimana pak?
: Ya saya kecewa tentu.
: Agak kecewa ya pak ya gitu ya, jadi kira-kira.
: Jadi saya gini ketika misalnya adu argumentasi meskipun orang mengerti dasar-dasarnya
gitu. Nah tapi kan muncul kalau di politik itu kalau si Pansus atau Panja itu memang kan
politik, jadi akhirnya kalah oleh suara mayoritas, jadi ada logika kekuasaan, ada kekuasaan
logika gitu kan.
: Jadi kalau oleh suara mayoritas ini yang Bapak maksudkan itu apa namanya partai sendiri?
8
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
: Ya beberapa pertama, beberapa fraksi misalnya kan mendukung pemerintah gimana kan kita
nggak bisa stop ya kan.
: Tapi lebih banyak yang mendukung pemerintah ya pak.
: Iya, iya.
: Oke pak, berarti kompromi-kompromi politik di sana kencang juga ya waktu itu ya.
: Ya memang tidak bisa dihilangkan ya, karena kan nanti itu ketika misalnya pemerintah
ngotot kemudian kan bentuk akan komunikasi dengan fraksi dengan pimpinann partai
mungkin gitu kan.
: Oh ya ya oke, pak waktu itu yang jadi pimpinan di dalam bahasan RUU itu berganti-ganti
terus apa gimana ya pak kan kalau saya lihat dirisalah kadang Pak Arif kadang Pak Theo terus
ada pak?
: Oh ya kan pak Arif wakil kan gitu, jadi kalau misalnya nggak ada ya sama pak Arif dan pak
Arif ini cukup punya sikap.
: Kalau yang lain pak, pimpinan yang lain?
: Ya itu tadi misalnya PKS, PPP, seingat saya gitu ya, kan ada partai pendukung pemerintah
kira-kira gitu.
: kalau pak Tosari gimana pak, waktu itu kan juga sempat jadi pimpinan juga di Timmus ya.
: Ya pak Tosari lebih modern lah kalau saya tangkap itu ya.
: Oh gitu pak tapi sejauh yang bapak lihat pimpinan-pimpinan itu dipilih berdasarkan
kesepakatan bersama atau gimana pak waktu membahas RUU KIP ini. Jadi yang dari PPP pak
Tosari, dari Golkar Pak Theo misalnya dari PPP ada pak Arif juga itu kira kira yang milih.
: Iya dipilih berdasarkan jumlah perolehan suara fraksi paling besar. Kalau itu kan
pimpinan unsur pimpinan pak Theo pak Arif itu.
: Jadi memang dari pimpinan komisi 1 nya memang itu ya?
: Jadi kalau nggak ada pak Theo ya pak Arif.
: Mereka memberikan kesempatan yang sama nggak, yang merata nggak kepada yang
ingin mengajukan?
: Saya kira ya, mendengar.
: Sama ya pak ya, terus kalau ada yang kira-kira pendapat yang berbeda dari fraksinya
atau apa pimpinan tetap mengakomodir atau kira-kira lebih condong ke fraksinya aja,
anggota yang satu fraksi aja?
: Ya kalau untuk pengambilan keputusan tentu yang dihandalkan mewakili fraksi tapi
kalau pembahasan rasanya jarang itu, apa langsung itu misalnya loby antar fraksi
nggak. Itu lebih banyak perdebatan-perdebatan dan cukup erat lah perdebatan itu.
: Gitu pak ya, jadi kalau bapak lihat secara umum pembahasan itu sudah sesuai
prosedur yang tertulis atau terjadwal secara urut?
: Oh ya, menurut saya sesuai jadwal semua walaupuan kadang ada yang tertunda. jadi
misalnya perdebatannya itu ada perdebatan substansi, ada perdebatan semantik, apa
istilahnya linguistic dan tim pemerintah itu membawa ahli-ahli bahasa gitu tapi kita
juga berdebat dengan para ahli bahasa gitu.
: Jadi memang sudah terjadwal semua, semua ditepati pak jadwal-jadwal yang sudah di
susun?
: Ya.
: Oke, yang membuwat jadwal itu DPR berarti ini pak ya?
: Ya, bersama pemerintah tentu kan.
: Oh gitu.
: Kadang-kadang pemerintah nggak bisa nanti di cancel kehari lain gitu.
: Oke oke, jadi semuanya sudah sesuai prosedur kalau untuk berjalannya pembahasan itu pak
ya?
: Misalnya kalau suasana forum itu sangat merdeka, hanya ya tadi bahwa pada akhirnya
ketika terjadi difuse satu sama lain mulai dalam diskusi ada perbedaan atau pemerintah
dengan sebagian DPR itu memang dikembalikan lagi ke forum. Nah dari situ kemudian suara
mayoritas itu dijadikan rujukan. Suara mayoritas belum tentu benar, tepat tapi ya itulah politik
kan.
9
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
: Itu akhirnya yang badan public ini akhirnya sampai ke Timmus itu belum diputus ya pak ya?
: Apa.
: Definisi badan public ini diputusnya baru di Timmus ya pak ya.
: Ya.
: Kalau waktu di rapat-rapat Panja belum kan ya pak ya.
: Ya, karena perdebatannya kan cukup panjang, pemerintah juga tetap ngotot gitu lalu
di sebagian DPR juga ngotot akhirnya bagaimana membuat rumusan yang bisa
diterima oleh semua pihak gitu. Nah ketika rumusan yang diterima oleh semua pihak
memang kemudian menjadi tidak ideal kan.
: Iya karena tadi yang mayoritas tadi ya pak ya, jadi itu akhirnya melempemnya di Timmus ya
pak ya.
: Ya itu karena disitu kan ada unsur pimpinan kan gitu, ada unsur fraksi, ada unsur pimpinan
dan pimpinan itu juga mencerminkan ada fraksinya gitu ya.
: Yang biasanya dikompromikan dalam UU itu apa aja pak biasanya terutama untuk
bahasan tentang badan public ini?
: Ya yang dikompromikan itu mana yang termasuk badan public itu. Itu kan panjang
memang diskusinya itu.
: Kategori ya pak ya?
: Ya kategorinya itu dan meyangkut substansi dan perspektifnya perspektif politik, ada
perspektif hukum misalnya kan gitu. Pemerintah kelihatannya tadi tentu ada politik
hukum ya untuk mem-protect gitu masih ada nuansa itu.
: Oke oke, jadi pak kalau bapak lihat ini pak dalam kelompok selama membahas UU KIP itu
ada perasaan yang menyatu nggak diantara satu dengan yang lainya pak atau banyak yang
berseberangan seperti itu?
: Ya ada lah karena kami berusaha menjalankan tugas dengan baik.Sebenarnya mereka
itu bagaimanapun berbedanya misalnya pandangan fraksi itu kemudian menjadi cair
lagi.
: Oh gitu.
: Ya, jadi diantara fraksi ini muncul keterbukaan artinya sepanjang argument itu kuat oke gitu
dan pemerintah tidak keberatan. Nah yang rame itu kan memang antara pemerintah dengan
DPR dan ketika pemerintah ngotot, tidak semua fraksi memang berbeda dengan pemerintah
kan gitu sehingga bisa jadi memang lolos apa yang diinginkan pemerintah, yang pasti
memang itu ada. Jadi gini kalau pemerintah ngototnya itu jelas itu dulu ya pokoknya ini
nggak pokoknya gimana caranya ini nggak berubah kira-kira gitu atau kalaupun berubah
sedikit. Nah itu solid betul, mulai dari menteri kemudian dari staf ahli ngomong gitu yang
mewakili pemerintah gitu. Nah sementara di DPR gitu ketika DPR punya frame, usulan itu
tidak semua fraksi itu mengacu kesitu apalagi mendengar tadi penjelasan-penjelasan
pemerintah.
: Jadi nggak ada konflik yang serius ya pak ya selama membahas RUU KIP.
: Oh nggak.
: Jadi maksudnya walaupun agak ada perbedaan tapi.
: Kita sama-sama ingin pembahasan berhasil, berjalan lancar. Konflik ga ada yang
gimana-gimana. Yang dimaksud dengan koflik itu ya konflik pemikiran kerja tetapi
dari konflik fisik atau misalkan konflik sampai gimana nggak.
: Jadi kendala yang paling berat dihadapi untuk merumuskan definisi badan public itu lebih
kemana pak kendalanya itu. Apakah ada semacam tekanan-tekanan mungkin atau dari
anggota sendiri atau dari pimpinan atau dari pemerintah mungkin atau dari pihak luar untuk?
: Kendala si paling soal beda pemikiran aja yah antara DPR dan Pemerintah. Ya di
pembahasan itu yang terjadi ya pemerintah memang nogot aja artinya pendirinya tadi
itu tidak dinegoisasikan. Nah itu kan yang membuat kemudian DPR itu mundur
selangkah. Itu sebagian teman-teman itu meskipun ada yang ngotot. nah tentu bisa
dilihat dirisalah di rapat misalnya ada yang di sending opinion itu selalu ada.
: Jadi memang ada semacam pemerintah kayaknya benar-benar nggak mau ini ya maksudnya.
: Ya nggak mau kebablasan lah gitu ya kelihatannya ini oke.
10
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
D
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA:
De
LA
De
: Tapi waktu itu mengundang menteri BUMN mungkin pak maksudnya mengajak nggak
waktu itu menteri BUMN atau pemerintah sering berdebat.
e: Memang kordinasi, kan ada perwakilan-perwakilan mereka undang.
: Ya ya ya, kalau tekanan untuk pemenuhan target pembahasan harus selesai ini sekarang atau
apa itu kira-kira ada nggak pak waktu itu?
: O ya waktu itu kita meminta waktu itu UU segera diberlalukan. Jadi kan misalnya
selama setelah selesai pembahasan itu setelah masuk keParipurna, nah itu 30 hari itu
berapa di UU itu kalau misalnya presiden tidak tanda tangan itu otomatis berlaku itu.
: Jadi ada ini ya pak semacam keinginan untuk.
: Ya untuk mempercepat ini pelaksanaan UU.
: Kalau tadi yang bapak bilang ada semacam kekecewaan, itu kekecewaan itu dari seluruh
anggota dewan atau kekecewaan dari fraksi yang bertahan kepada fraksi yang akhirnya ngikut
pemerintah gitu pak.
: Jadi gini di fraksi itu ada orang yang begitu involved dengan persoalan itu. Ada yang
melaksanakan kewajiban saja jadi maksudnya tiap fraksi punya pandangan gitu ya
dan itu di share kemudian pandangan bagaimana fraksi ini, fraksi ini gitu kan misalnya
di situ kan terjadi perdebatan. Nah yang kemudian bisa berubah itu ialah ketika terjadi
perdebatan maka ada orang yang tadi gimana baiknya gitu. Jadi ketika pemerintah
ngotot ya tadi ikut pemerintah gitu. Nah sementara yang lain tetap bertahan misalnya.
: Nah itu ada kira-kira semacam ini nggak pak misalnya ya kamu kalau misalnya bahasa kita
dalam keseharian, yah kok kamu begitu sih kok nggak bertahan sih atau apa itu ada nggak pak
dialog seperti itu?
: Ya nggak bisa karena memang itu mereka secara resmi mewakili fraksi masing-masing jadi
ya kita harus respek saja lah gitu karena itu wilayah ini sebab kalau misalnya kita complain
seperti itu lalu kan ini memaksakan kepentingan.
: Jadi waktu itu ya sudah maksudnya nggak terlalu diributkan pak ya.
: Oh nggak ribut kita ribut, ributnya ya tadi diperdebatan di forum kan gitu ya.
: Maksudnya ketika putusan itu akhirnya memenangkan pemerintah, taruhlah seperti dari, itu
kira-kira maksudnya nggak ada yang saling menuding atau complain gitu ya pak.
: Nggak ya sudah pokoknya kita tahu posisi dia begitu, kapasitasnya kemudian ininya
kan gitu kalau sudah keputusan politik kan bukan kekuatan logika lagi. Ini sudah
kepentingan ya, kita ya ini memang forum kepentingan lagi kan.
: Jadi diam saja ya pak ya.
: Ya akhirnya diam, cuma kita sudah tahu nih tik taknya dengan siapa kan gitu, oh
kalau misalnya dengan PDIP dengan Golkar Pak Hajrianto, dengan PDIP Andreas
Pareira misalnya gitu.
: Ya ya, PKB Ghus Choi.
: PPP pak ini PKB Gus Choi itu aja yang kelihatannya kalau anda coba dicek lagi
kelihatannya yang dominan itu.
: Kalau PKS ini nggak vokal ya pak.
: PKS itu ya lumayan sebetulnya.
: Lumayan, siapa pak yang waktu itu PKS?
: Aduh siapa yang daerah pemilihan Lampung itu.
: Sih ini pak, Mutammimul Ula.
: Mutammimul Ula, bukan. Iya dulu itu ada Mutammimul Ula, ada lagi satu lagi si yang dari
pemilihan Lampung itu, si Muzzamil.
: Wahono bukan.
: Untung Wahono oke.
Untung Wahono PKS ya pak ya.
: Bukannya Mujamil siapa ya waktu itu yang belakangan tapi nggak tahu waktu itu.
: Tapi waktu itu PKS kan termasuk pengusung pemerintah juga ya pak ya, jadi akhirnya
mereka.
: Eh kalau Pak Untung ya lumayan lah.
11
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
: Oke, kalau yang bapak rasakan pak waktu membahas UU KIP dan tergabung dalam komisi
1, ada nggak pak perasaan yang berbeda ya semacam rasa istimewa lah misalnya kayak
merasa bangga karena sedang menjalankan sebuah tugas yang ini. Ada nggak pak perasaan
seperti tu pak?
: Ya yang pertama bahwa ya saya misalnya kan orang kampus itu yang pertama. Yang
kedua, karena orang kampus terus kemudian ini peluang untuk tadi, ini lebih bagus
dalam hal kebebasan kan gitu. Nah ini tidak bisa lepas dalam konteks kebebasan
berkomunikasi dari public dan akuntabilitas transparasi, itu kan delebrated
communication itu di syaratkan itu ada akuntabilitas, ada transparansi. Nah kemudian
munculah itu demokrasi delebrasi itu pengambilan-pengambilan putusan itu harus
lewat diskusi, dialog, debat gitu bukan hanya oleh representasi anggota-anggota DPR
atau institusi-institusi yang sudah ada, yang pada dasarnya memang belum optimal gitu
baru prosedur. Nah jadi saya melihat itu ada semacam panggilan sejarah lah dan itu
momentumnya cukup. Ini tentu saya dalam karena itu saya serius, ya pernah tidak
hadir karena itu saya melihat itu bagian dari momentum sejarah untuk berhikmat lah
ya kepada bangsa ini.
: Jadi bapak merasakan ada suatu perasaan yang.
: Ya panggilan lah ya, memang ini serius dan perdebatannya ya mati-matian lah gitu ya.
: Karena bapak merasakan ini suatu tugas besar, misi mulia ya pak ya dan berdampak besar
juga pada kehidupan masyarakat Indonesia gitu ya pak ya.
: Iya
:Bapak melihat keputusan akhir UU KIP ini sudah ide baik atau memuaskan secara umum,
gimana pak?
: Ya saya kira sudah cukup baik lah ya, tentu terbukalah untuk nanti dikaji ulang.
: Oh Bapak menginginkan ada pengkajian ulang.
: Ya maksud saya sepanjang itu misalnya belum optimal. Bagaimana misalnya lebih
mengelaborasi tentang rahasia Negara misalnya. itu kan bisa dispute itu bisa saja nanti
diperjelas atau nanti itu diberikan ke UU yang lain misalnya karena ini sekarang ada RUU
rahasia Negara misalnya kan begitu. Nah kemudian sanksi hukum misalnya apakah cukup
tegas atau tidak, kemudian bagaimana supaya lembaga-lembaga lain, penegak hukum itu juga
komitmen, punya komitmen dengan UU ini. Saya lihat nggak ada koordinasi antar Komisi
Informasi dengan Kepolisian, dengan pihak-pihak yang lain. Jadi makanya kemudian tidak
seksi seperti KPK kan gitu. Jadi lembaga KIP itu ya lembaga belum memberikan,
menunjukan kontribusinya kepada masyarakat, gitu ya. Tiba misalnya soal dimekanisme
termasuk ya secara dimekanisme perundang-undangannya kan itu dijabarkan oleh peraturanperaturan gitu. Peraturan-peraturan Kementerian Kominfo itu, saya kira itu juga perlu dikritisi
tapi intinya memang saya senang memang di provinsi sudah banyak dibentuk Komisi-komisi
Informasi itu tapi fungsi nasionalisasinya itu masih belum ini.
: Itu hal apa ya?
: Karena seperti di daerah itu tadi ada intervensi juga dari badan bidang infomasi infokom ini
daerah.
: Ya ya .
: Ya kan, misalnya karena fasilitas kantor misalnya disediakan oleh Infokom kan bisa begitu
sehingga ya jadi ini lah, kemudian kan ada unsure pemerintah juga masuk karena pemerintah
itu kan bisa memandulkan juga.
: Gitu ya pak ya, jadi sebenarnya Komisi Informasi harusnya jangan di isi orang-orang dari
pemerintah ya.
: Ya kalau mau kritis sebetulnya, nah kalau mau independen gitu ya, ya seperti itu, cuma
memang di level memang ini persoalan-persoalan teknis itu sehingga tadi jadi mempengaruhi
substansi.
: Ya oke oke.
: Kalau saya kalau mau menggonggong pemerintah, Komisi Informasi itu sebetulnya ya tadi
tidak usah ada wakil pemerintah.
: Jadi bebas seperti KPK ya pak ya.
12
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
LA
De
: Iya, jadi tugasnya terus memantau.
: Jangan di bawah Kominfo ya pak ya.
: Sekarang itu berapa misalnya lembaga-lembaga public yang sudah terbuka.
: Oke.
: Kan nggak ada laporan tiap tahun dari Komisi Informasi misalnya ya kan.
: Jadi harus ada manajeman yang eveluasi ya pak ya.
: Misalnya tiap tahun ada semacam anugrah kayak Adipura gitu, lembaga mana yang paling
terbuka gitu ya kan itu penting untuk ini kinerja biar public tahu.
: Jadi ini sebuah harapan ya pak ya ditengah setelah berapa tahun berjalan kan.
: Ya sebagai pembuat UU lah gitu ya, saya berharap gitu memang Komisi-komisi Informasi
ini bisa memerankan dirinya. Pertama itu memantau keterbukaan instansi-instansi atau badanbadan publik terutama pemerintah yang memang mendapatkan dana dari masyarakat dan apa
saja, hak itu yang harus diutamakan.
: Kalau terkhusus untuk badan public gimana pak, untuk keputusan tentang definisi badan
public ini. Mungkin bapak punya pemikiran kedepan harus digimanakan ini yang sebelumnya
ini agak mengecewakan gitu pak?
: Ya memang kalau, ini kan soal pilihan. Apakah badan public ini mau focus itu ke birokrasi
saja atau dan partai politik misalnya atau kelembaga-lembaga yang lain. Nah memang dari
sudut hukum ya tidak fair kalau tidak menyangkut misalnya termasuk yayasan karena
faktanya ada dana-dana yang masuk ke LSM, ke yayasan, ke lembaga keagamaan kan gitu, ke
Ormas kan gitu. Nah yang itu harus dibuka, karena itu tanggung jawab karena itu dana public.
Jadi yang itu sebetulnya yang dimintakan untuk terbuka itu. Nah yang terjadi apa, banyak
kasus entah Walikota atau Bupati masuk penjara gara-gara ngasih hibah ke LSM dan Komisi
Informasi tidak masuk kesitu. Bagaimana pertanggung jawaban anda ketika anda
mendapatkan dana dari dana publik dan APBD misalnya kan akhirnya jadi kecolongan tuh
Walikota dan Bupati, Gubernur mungkin itu karena ada antar klien misalnya dia pendukung
gitu dan LSMnya jadi-jadian itu kan bisa jadiitu, tapi saya kira disitulah celah harusnya
Komisi Informasi masuk.
: Ya bisa menyelesaikan ya pak ya.
: Betul.
: Selama ini kan yang diselesaikan kan hanya sengketa aja pak ya.
: Ya, jadi fokusnya ya hanya ke sengketa, kalau sengketa jadinya kan tidak pro aktif, pasif
jadinya.
: Ya betul ya ya.
: Karena yang sengketa itu sepanjang memang ada pengaduan, kalau nggak ada ya diam.
: Ya betul. Itu prinsipnya karena dia udah masuk ranah hukum ya pak kalau sengketa.
: Betul.
: Oke pak, ya pak terima kasih atas waktunya.
: Ya nanti kalau ada ini lagi tinggal nanti di SMS.
13
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Hasil Wawancara Informan Utama 2
Nama
Tempat
Tanggal/waktu
Narasumber
Pewawancara
LA
Si
LA
SI
LA
SI
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
: Drs. Sidharto Danusubroto, SH (FPDIP)
: Jakarta (Wantimpres)
: 4 Maret 2015 Pukul 14.00 WIB
: Sidarto (Si)
: Lisa Adhrianti (LA)
: Terima kasih pak sebelumnya kesempatannya. Jadi tadi bapak bilang produk Komisi I yang
fenomenal, UU KIP iya pak ya?
: Iya betul, UU KIP adalah produk Komisi I yang fenomenal.
: Kira-kira, itu kan lama sekali ya pak ya dari periode 1999?
: Mungkin 2 tahun.
: Nggak sebelumnya kan sempat diajukan.
: Oh iya pernah diajukan.
: Waktu itu Bapak nggak ada disana? Waktu yang sebelumnya?
: Waktu itu saya di Komisi 1, sepuluh tahun lho.
: Oh berarti sudah ada yang dari 1999 itu sudah ada ya pak ya?
: 1999 saya di Komisi Hukum, saya di Komisi Hukum, saya di Komisi III. Saya Komisi III 4
tahun, Komisi I 9 tahun, Ketua MPR 1 ½ tahun, lengkap toh Bu?
: Karena dari parpol itu ya pak ya, motivasinya bergabung di parlemen RI?
: Iya, tapi saya bukan politisi yang harus bicara focus, saya nggak bisa. Saya ini
orangnya ceplas ceplos. Jadi motivasinya ya bicara apa adanya.
: Ok ok.
: Politisi kan harus have you would be a good politician, please speak the confused word that
it save you, if you speak strength word that than be the end of you. Jadi politisi itu harus
bicara abu-abu, kalau kamu bicara hitam putih itu akhir dari pada karyamu, jadi kalau kita
dengar politisi ngomong 2 jam kita nggak ngerti itu hebat.
: Itu politisi ya?
: Kalau saya nggak bisa, saya ini dididik sebagai taruna, antara benar dan tidak benar itu ya
warna saya. Ini tidak benar-benar itu salah, untuk politisi salah. Kita bisa main kata-kata
supaya orang bingung.
: Em begitu ya pak ya triknya?
: Iya betul.
: Tapi waktu duduk di Komisi I itu biasanya itu bagaimana pak?
: Saya waktu di Komisi I 5 tahun?
: Iya kan Bapak, maksudnya Komisi itu kita yang minta atau dipilihkan dari?
: Dipilih.
: Dipilihkan pak? Nggak ada kita saya, nanti pesan ya Komisi I.
: Nggak, itu kan pertahanan luar negeri itu kan sesuai bidang saya, ya biar ok ya kita
kuasai, kalau Komisi Hukum juga bidang saya kan? Saya dulu Sastra Hukum keluar dari
Amerika.
: Terus kira-kira setelah masuk di Komisi I gimana rasanya pak?
: Rasanya ya biasa aja tidak terlalu gimana juga karena udah lama di DPR RI
: Iya iya, selama dibahas UU KIP kan Bapak sebagai pimpinan ya?
: Iya.
: Itu sering dengan yang lain di Komisi I sering ada semacam ikatan kumpul terus kan apa
namanya beda-beda fraksi itu pak, itu sering ketemu nggak sih? Maksudnya di luar-luar ini
sering ada interaksi gitu pak ya.
: Oh iya ngopi-ngopi biasanya sambil guyon. Lumayan sering jugalah.
: Jadi udah banyak akrab ya pak ya?
: Akrab, walaupun kita saling maki-maki kalau di luar akrab.
: Bapak paling akrab sama siapa saja pak?
: Ya akrab semua kok saya.
14
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
: Ada yang paling sering bareng nggak pak?
: Sama sih semua, kadang sama Andreas Pariera kadang sama pak Theo Sambuaga
sama aja.
: Biasanya kalau di luar ngomongin KIP juga atau?
: KIP itu apa?
: KMIP.
: Oh iya banyakan Cuma ngomongin KIP
: KIP.
: Keterbukaan Informasi Publik (KIP), Undang–undangnya namanya KIP?
: Iya, biasanya kalau ketemu itu biasanya ngobrolinnya nyambung-nyambung aja ya pak ya?
Jadi ada yang resmi ada yang hobi-hobi dan yang lain.
: Tapi lebih di yang resmi ya.
: Oh begitu ya?
: KIP ini salah satu yang lama karena kita banyak sekali undang narasumber banyak sekali.
: Oiya pak. Ada tidak pak pendapat luar yang memojokkan Komisi I terkait UU KIP ini
misalnya dari wartawan atau masyarakat terkait fenomenal dan lamanya itu?
: Ya ada.biasa itu ada macem-macem opini luar.
: Menghadapinya biasanya gimana pak?
: Ya santai saja,nanti juga tahu tugas kita gimana. Kalu ditanya wartawan ya saya
jelaskan. Kita kan bekerja untuk kepentingan publik juga.
: Kalau mengemukakan pendapat biasanya sering menggunakan kata saya, kita atau kami
pak?
: Saya karena banyak jadi pimpinan jadi jarang pakai saya, paling ya kita.
: Bapak selama membahas RUU KIP, rutin menghadiri atau sering absen pak?
: Walah sudah lupa tuh. Ya ada si ga hadir kalau misal lagi ga bisa, tapi saya cukup
mengikuti terus kok, masih seringlah dateng.
: Kalau peran fraksi waktu bapak di Komisi I bahas RUU KIP gimana pak?
: Ya ga terlalu dominan juga si. Di Fraksi memang punya sikap untuk mendukung kita
agar berhasil mengesahkan RUU itu.
: Oogtu...Kalau untuk interaksi dengan sesama kelompok fraksi waktu bahas RUU KIP sering
atau jadi jarang pak?
: Paling kalau ada rapat fraksi ya ketemu tapi ya banyakan sering sama Komisi waktu
bahas undang-undang.
: Waktu jadi pimpinan membahas UU KIP itu pimpinannya itu dipilih berdasarkan apa pak?
: Oh waktu Pansus saya sudah tidak lagi di Komisi I. Saya 1 tahun atau 5 tahun, saya kan 2
tahun sama dia, saya sudah pada end Komisi I itu. Waktu KIP itu kan 2000.
: Waktu di Timus Bapak jadi termasuk pimpinan nggak waktu itu?
: Nggak, tapi yang mbahas seluruh Komisi ikut mbahas.
: Tapi kalau pimpinan itu biasanya ditentukan berdasarkan apa pak?
: Iya itu dari fraksi ya.
: Tapi kan nggak semua perwakilan duduk di pimpinan?
: Nggak.
: Ada loby-loby juga nggak pak untuk memilih pimpinan?
: Nggak, nggak itu jatah.
: Jatah?
: Komisi I jatahnya PDIP, Golkar gitu-gitu lah ya? Lalu dari Nasdem memilih saya gitu
loh.
: Selama membahas itu pak itu kan ada beberpa kali rapat itu banyak sekali, biasanya
pimpinan kalau yang Bapak amati memberikan kesempatan nggak sih kepada semua anggota
yang pengen mengajukan pendapatnya,
sangat diberikan ya pak ya, kayaknya
dikesampingkan gitu?
: Kalau soal itu kita cukup demokratis, nggak boleh kita tidak memberikan peluang
orang bicara tidak boleh.
: Kalau sikap pimpinan fraksi pak, ada yang berbeda nggak sama anggotanya?
15
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
: Mengenai KIP ini perbedaanya tidak banyak.
: Nggak banyak ya pak ya?
: Ya.
: Misalnya pimpinan fraksi itu setujunya yang begini, ternyata anggota ini.
: KIP ini salah satu Undang-undang kita banyak kesamaan.
: Banyak kesamaan, kompak ya pak ya?
: Artinya apa, kita semua ingin ada satu keterbukaan semua lembaga Negara maupun
swasta yang menerima dana publik harus terbuka.
: Ya betul.
: Pesantren, LSM ya kan terima dana publik nggak itu?
: Iya.
: Harus terbuka, jadi ora iso sa iki sekarang Kyai yang punya pesantren dapat uang nggak
boleh buat kawin lagi nggak boleh itu.
: Jadi kalau Bapak lihat secara umum pembahasan UU KIP sudah sesuai prosedur belum pak?
: Iya dong sangat sesuai, kalau saya bilang itu hukum yang fenomenal karena hasilnya
bagus. Ada waktu itu adalah maksimum akses, minimum exception. KIP itu warnanya harus
memberikan akses maksimum, perkecualiannya sedikit. Nah pengecualiannya ini nanti akan
menjadi Undang-undang Rahasia Negara, misalnya moneter, perbankan, luar negeri,
penyidikan kasus Negara. Ini menjadi undang undang rahasia Negara. Soal-soal pertahanan,
limited ya, moneter, luar negeri memang itu universal, setiap Negara punya rahasia.
: Iya betul, jadi jalannya pembahasannya itu Bapak lihat lebih banyak komprominya atau
lebih banyak sesuai prosedurnya pak? Sesuai prosedur maksudnya bengini pak terjadwal, ini
nanti besok kita nentuin yang ini loh.
: Saya ini mengalami banyak Undang-undang Hukum. Saya ini 3 periode ini mungkin saya
sudah terlibat sudah 30-an Undang-undang. Ketua Pansus 1999 itu saya ketuanya semua,
ketua SKKR pengaturan HAM (Hak Asasi Manusia) lalu terorisme saya ketuanya. Undangundang POLRI, TNI, Pertahanan Keamanan wah itu saya pimpinanya semua lah waktu itu.
: Jadi kira-kira bagaimana pak kalau untuk?
: Kalau KIP ini salah satu Undang-undang yang semua bahasannya sama, mereka ingin
ada keterbukaan.
: Kalau untuk khusus pembahasan badan publik itu kan saya lihat di risalah pending-pending
mulu itu pak. Pending terus dari Raker, Panja sampai itu kira-kira.
: Hanya rumusan tentang badan publik ini yang beda jadi sempat pending tapi
kemudian terus lagi. Kita maunya terbuka BUMN/BUMD dimasukkan sebagai badan
publik, pemerintah tidak. Rumusannya yang beda. Tapi sekarang terus terang saja setelah
KIP ini jadi, lembaga publik yang membukan diri ini belum banyak.
: Belum banyak ya pak ya?
: Belum banyak, sedang ini kalau di aturan kepidanaan kalau tidak membuka diri ada
pidananya loh, pidana loh itu, betul nggak?
: Iya betul, tapi untuk yang khusus badan publik itu kan sempat terjadi ketidaksetujuan dari
PDI untuk BUMN, BUMD itu pak? Kenapa nggak dimasukkan di pasal 1 ayat 3 itu pak?
: Iya iya itu ada, itu ada PDIP?
: Iya PDIP bukan nggak setuju nggak ada, maksudnya nggak setuju kalau itu nggak ada gitu
loh pak. Maksudnya kan pemerintah mengusulkan BUMN, BUMD itu nggak usah
dimasukkan sebagai badan publik.
: Lalu kita protes.
: Iya, waktu itu kan pada protes pak, akhirnya kan tapi akhirnya nggak ada juga, akhirnya
nggak ada tapi munculnya di pasal 14 tapi dengan syarat-syarat tertentu.
: Kita alasannya apa coba nggak jelas, banyak yang keberatan apa.
: Ya karena BUMN itu pakai uang ini juga mengelola uang Negara terus dan katanya ya harus
terbuka, nanti kalau nggak terbuka nanti justru merugikan.
: Nggak tapi karena dulu ada satu pesan dari pemerintah.
: Iya katanya kalau terlalu terbuka jadinya kayak kasus BNI waktu itu pak, pada lari ke bank
asing katanya gitu. Nah itu gimana DPR kira-kira melihatnya kaya gimana pak waktu itu?
16
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
Si
LA
: Betul betul, bagian ini saya lupa, pro kontranya saya lupa. Kita ingin terbuka, pemerintah
tidak, saya ingat tapi saya lupa, saya harus baca memory, lahirnya Undang-undang ini ya,
rekamannya saya beli.
: Risalahnya banyak banget pak. Biaasnya kalau ada kompromi-kompromi dari Undangundang itu biasanya tujuannya biar apa sih pak?
: Semua Undang-undang isinya kompromi politik.
: Iya maksudnya tujuannya biar ada yang ini menang, yang ini apa gitu?
: Tidak tujuannya mencari suatu rumusan yang acceptable by everybody.
: Everybody atau untuk parpolnya pak?
: Parpol.
: Parpol juga?
: Iya, parpol pilihan rakyat kan? Everybody itu ya everybody parpol yang elected by people.
: Berarti dari berbagai.
: Semua Undang-undang itu produk politik, iya nggak?
: Iya betul.
: Tapi selain Undang-undang, everybody harus taat pada law itu walaupun itu kompromi iya
nggak?
: iya.
: Sekarang kayak Undang-undang Pilkada, Pilkada yang terbuka tertutup itu. Saya nggak
setuju terbuka tapi itu putusan kan akibatnya ya itu, NPWP (nomer piro wani piro) itu
sekarang mau dirubah lagi, mau kembali lagi ke tertutup.
: Tertutup, jadi bapak setuju dong ya kalau balik lagi ke tertutup.
: Pol, terbuka itu hancur lah.
: Begitu ya pak ya?
: Itu duit tok lah.
: Iya benar-benar, jadi kira-kira kalau tadi kan bapak bilang.
: Iya terpilih Wong Aceng Fikri terpilih lalu Emilia Contesa terpilih, wong sing bodo-bodo
terpilih kabeh anake dua-duanya terpilih.
: Iya
: Iya ra?
: M. Taufik, Wakil Ketua DPRD Jakarta itu dulu pernah kasus juga.
: Terpidana, jadi banyak hal.
: Nah pak, kembali ke perdebatan soal badan publik tadi, ada tidak pak upaya-upaya yang
dilakukan kelompok untuk menganalisis masalah tentang perdebatan tersebut?
: Ya adalah pastinya upaya. Kita kan banyak dapat masukan dari mana-mana dan
akhirnya ada sesuatu yang kita anggap dapat diterima tadi ya sudah akhirnya
disepakati masuk dan yang lain-lain seperti parpol sama LSM juga masuk kabeh.
: Ya ya ya, pak ada ga perasaan menyatu dalam kelompok komisi I waktu membahas RUU
KIP itu?
: Biasa saja si, nyatu gitu-gitu aja pengennya cepet kelar gitu.
: Selama ini pernah ada konflik serius nggak antar sesama anggota yang membahas UU KIP?
: Nggak.
: Kompak-kompak ya pak ya?
: Ya ada perbedaan pendapat tapi selesai dalam diskusi.
: Kalau ada kendala yang agak berat nggak pak yang dirasa kalau untuk pasal 1 ayat 3 itu
ingat nggak Bapak yang untuk badan publik tadi?
: Itu ada pembahasannya agak lama tapi aku lupa itu, kenapa dulu proses berangkat ya? Ada
satu hal yang pemerintah keberatan kalau dibuka, justru kita mendesak supaya terbuka.
: Tapi akhirnya DPR akhirnya ngikut juga ya pak ya?
: Iya.
: Karena apa itu pak? Karena sudah capek ?
: Ya ada hal yang memang itu receivable, ada hal yang receivable saya lupa itu. Saya
kalau dipancing oleh seorang yang pernah di Komisi I.
: Bisa ya pak ya?
17
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Si
LA
Si
: Ada BUMN yang memang bisa.
: Nggak ada tekanan tekanan?
: Nggak pernah ada tekanan, kalau duit ada, terus kalau pemerintah sudah memaksakan pasal
yah, dia main duit.
LA
: Begitu ya?
Si
: Iya.
LA
: Pemerintah itu?
Si
: Pemerintah pinter banget Undang-undang Asing, saya bukan disitu ya tapi saya dengar aja
itu pake duit. Kalau Komisi I kan tidak ada kepentingan modal kan?
LA
: Iya.
Si
: Pertahanan, keamanan siapa yang modalin pertahanan keamanan, nggak ada.
LA
: Dari pimpinan juga nggak ada pak?
Si
: Pokoknya bangsanya apa itu namanya sumber daya alam, bangsanya perbankan, itu pasti
ada kalau nggak pakai sponsor.
LA
: Kalau ini pemerintah nggak nekan kalau nggak DPR nggak waktu itu pak?
Si
: Nggak, ya mengalir begitu saja lah!
LA:
Mengalir begitu saja.
Si
: Apa perlunya bikin apa?
LA
: Ya misalnya?
Si
: Begini kalau untuk kepentingan bangsa bisa atau tidak, DPR ini kita rahasiakan, ya kita bisa
ngerti, iya nggak?
LA
: Iya.
Si
: Kalau moneter, kalau ke luar negeri, perbankan, pertahanan.
LA
: Iya iya.
Si
: Itu harus minimum exception itu.
LA
: Pengusaha nggak ada yang nekan pak?
Si
: Apa?
LA
: Pengusaha BUMN nya misalnya.
Si
: Nggak pernah saya ditekan, ngapain nekan saya lah.
LA
: Yang lain kali pak? Gitu ya, pak jadi ketika membahas itu Bapak merasa happy ya pak, ada
perasaan istimewa?
Si
: Waktu itu saya anggap salah satu Undang-undang yang paling bagus dianggap oleh DPR.
LA
: Paling bagus ya pak ya?
Si
: Salah satu.
LA
: Salah satu, jadi Bapak bangga dong ya?
Si
: Loh iya itu bikin semua terbuka loh, seluruh lembaga Negara, swasta yang menerima dana
publik itu harus terbuka, itu luar biasa itu. Itulah apa transparasi demokrasi itulah mulai, iya
nggak?
LA
: Iya, jadi misi mulianya jalan ya pak ya?
Si
: Ya betul, misi mulia banget dong, bedalah sama undang-undang yang lain. KIP salah
satu yang paling bagus.
LA
: Karena kan bagus pak katanya UU KIP walaupun masih ada kekecewaan-kekecewaan di
masyarakat sipil terkait dengan syarat-syarat yang harus dibuka, informasi yang harus dibuka
dari BUMN dan BUMD gitu.
Si
: Itu bagian, saya lupa itu ya?
LA
: Begitu ya?
Si
: Memang kalau kita terus terang, Badan Usaha Milik Pemerintah itu kan ingin sesuatu yang
sifatnya monopoli kadang–kadang.
LA
: Iya.
Si: Itu tidak mungkin tanpa proteksi pemerintah itu tidak mungkin. Itulah proteksi, inilah yang saya
kira yang harus dirahasiakan, saya kira yah?
LA: Jadi nggak bisa semuanya dibuka juga ya pak ya?
Si: Nggak bisa, itu dulu ya?
18
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
: Diskusi-diskusi dengan pihak luar biasanya sama siapa saja pak yang untuk khusus badan
publik ini pak, yang bapak ingat?
Si
: Narasumber kita akademisi.
LA
: Meneg BUMN sempat diajak ini nggak pak waktu itu?
Si
: Semua-semua semua stakehoder di bidang itu kita undang semua itu.
LA
: Begitu ya pak ya?
Si
: Iya, public hearing ini kadang-kadang 6 bulan kok sendiri loh saya. Public hearing itu 6
bulan sendiri.
LA
: Enam bulan sendiri ya pak ya?
Si
: Iya, itu seminggu sampai 5-6 narasumber dalam seminggu.
LA
: Dalam seminggu ya pak ya?
Si
: Akademisi, kampus, LSM lalu segala macam lah, aktivis-aktivis lah, pesantren-pesantren,
LSM keberatan ndak dibuka, pak kyai keberatan pak kyai, yang keberatan pak kya biasanya
kan?
LA
: Pak kyai yang mana pak?
Si
: Ya pokoknya pak kyai, kamu kenalannya pak kyai-kyai pada keberatan kan?
LA
: Oh begitu ya pak?
Si
: Iya.
LA
: Pak kyai nggak di ajak waktu itu ya pak?
Si
: Nggak ada.
LA
: Nggak.
Si
: Istrimu berapa pak Kyai? Pasti nggak dibuka kan?
LA: Iya jadi selama.
Si: Jangan direkam suaraku.
LA: Iya tenang pak.
Si: Didengak pak Kyai dimarahin saya.
LA
: Pak ini kan kalangan LSM, masyarakat sipil itu kan kayaknya kurang setuju pak terhadap
keputusan badan publik yang dengan syarat-syaratnya tadi jadi nggak full terbuka untuk kita,
apa lagi di pasal 1 ayat 3 itu dia nggak ada nggak disebut, kira-kira bapak melihat pendapat
yang nggak setuju ini seperti apa?
Si
: Normal.
LA
: Normal, dari kalangan anggota sendiri yang nggak setuju itu bagaimana pak?
Si
: Iya normal, tapi bahwa diketok itu oleh majority, musyawarah mufakat ya kita harus terima
kan?
LA
: Begitu ya pak ya?
Si: Tapi secara umum ya, KIP ini salah satu Undang-undang yang fenomenal.
LA: Iya iya.
Si: Tidak mungkin anda menghasilkan undang undang yang perfect itu imposible.
LA: Imposible ya pak ya?
Si: Walaupun Negara-negara Amerika yang demokrasinya begitu tidak mungkin, pasti di situ ada
kepentingan pemilik modal ya nggak ?
LA: Itu biasanya, misalnya nih kalau kalangan LSM itu kan luar, luar DPR itu kalau mereka nggak
setuju, menentang orang-orang di kelompok di Komisi I ini biasanya saling mendukung nggak pak?
Si: Itu biasanya masuk di kalangan fraksi-fraksi.
LA: Oh iya.
Si: Fraksi-fraksi kan juga ada beda pendapat sendiri kan?
LA: Iya.
Si: Nah itu masuk kesana plang plang plang.
LA: Jadi saling menguatkan, saling support.
Si: menyuarakan suaranya asep itu plang, wah ini suaranya asep itu.
LA: Em ok, jadi ketika dia bahas lama sekali pak terutama badan publik ini kan agak lama sampai di
Timus baru diputuskan itu.
Si: Semua itu melalui Timus, Timsin selalu prosedurnya itu.
LA: Cuma kan ada di Panja udah oke!
19
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Si: Nggak mungkin, selalu melalui Timus dan Timsin.
LA: Iya maksudnya?
Si: Kan harus diluruskan kan?
LA: Iya tapi?
Si: Kalau Panja tidak ada kata-katanya banyak yang keliru kan?
LA: Iya.
Si: Itu harus di Timus baru di lempar lagi ke Panja.
LA: Cuma yang khusus untuk badan publik ini memang agak-agak ini pak muter-muter
pembahasannya kalau saya baca di risalah itu kan? Biasanya kalau sudah banyak yang “sudah lah kita
ikut pemerintah saja” biasanya yang lain pada ngikut atau bagaimana pak masih ada yang ini nggak?
Si: Ada sih tahun ini lama sekali, ini lebih dari setahun loh ya.
LA: Iya.
Si: Lah iya artinya tidak akuntable, nggak begitu dong! Kalau ngikut saja tiga bulan selesai lah.
LA: Pas saat-saat terakhir pak, saat-saat terakhir?
Si: Ya nggak lah.
LA: Pendapat bapak waktu itu diakomodir nggak pak? Bapak ngeluarin suara apa yang paling bapak
di iniin waktu itu?
Si: Saya sudah lupa tapi bahasanya seru.
LA: Maksudnya ketika bapak mengeluarkan pendapat-pendapat Bapak, Bapak merasa punya
dukungan nggak pak dari anggota di Komisi I?
Si: Saya Ketua di komisi I, sehabis itu Wakil ketua.
LA: Jadi PD ya merasa didukung dong?
Si: Lalu Ketua MPR, itu artinya apa? Saya merasa saya bisa accepted people by the power of citizen.
Nah orang kalau bukan PD, kalau kita punya pengetahuan yang cukup, kita punya keyakinan bahwa
kalau kita ini based on knowledge.
LA: Pak, ada Bapak pikir nggak rencana-rencana kedepan untuk UU KIP ini, ada nggak?
Si: Mau diapakan?
LA
: Kesan bapak terhadap RUU KIP bagaimana pak?
Si
: Ini bagus kok ini. Waktu bicara, apa itu namanya ya KIP itu dan Negara yang sudah punya
Undang-undang KIP itu bagus, lumayan. Coba tanya Negara-negara Timur Tengah sana,
nggak mau mereka bukan kayak KIP.
LA
: Kalau untuk hasil akhir khusus badan publik pak?
Si
: Ya harus dilaksanakan, ini yang melaksanakan belum semua. Kalau mau membangun suatu
republic yang transparan itu KIP harus dilaksanakan, karena kalau tidak itu law itu, ada
pidananya.
LA
: Harus bertahan dengan UU KIP yang ada atau harus direvisi mungkin pak khusus untuk
badan public?
Si
: Orang ini saja dilaksanakan belum kabeh kok revisi lagi, ada-ada saja.
LA
: Ya mungkin harus buka semua termasuk transaksi keuangan atau apa gitu gimana pak?
Si
: Orang Indonesia itu nggak suka buka-bukaan kok.
LA
: Hehehe baik pak terima kasih kesediaan waktunya.
Hasil Wawancara Informan Utama 3
Nama
Tempat
Tanggal
Narasumber
Pewawancara
LA
: Dr. H.A Effendy Choirie, M.Ag, MH (FPKB)
: Jakarta
: 7 Maret 2015 Pukul 10.00 Wib
: Effendy Choirie (EC)
: Lisa Adhrianti (LA)
: Terima kasih untuk kesempatan ini. Saya lagi penelitian tentang UU KIP Pak, terutama
tentang bahasan Badan Publik. Lumayan lama juga ya pak ?
20
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
: Begini, proses legislative di DPR itu kalau usul inisiatif itu emang agak lama, itu kan bagian
dari usul inisiatif itu.
: Usul inisiatif DPR ya Pak ya?
: Iya, usul inisiatif DPR pada umumnya lama.
: Kenapa Pak, karena kalau yang inisiatif Presiden biasanya cepet ya Pak ya?
: Iya, karena kalau dari eksekutif kan memang satu suara, kalau legislative kan tidak satu
suara karena di dalam legislative itu banyak fraksi, satu fraksi pun kadang beda fikirannya.
: Oke, jadi waktu itu belum di akomodir aja ya Pak ya Undang-undang KMIP?
: Iya, di awalnya kan ya judulkan kan berubah-berubah, pernah KMIP, terus apa lagi itu ya.
: Akhirnya jadi KIP ya Pak ya?
: Iya, KIP, itu kan juga perdebatan lama sementara nama KMIP itu kan sudah akrab didengar
public karena begitu lamanya pembahasan, begitu lamanya memperoleh perhatian dengan
nama KMIP diberi nama oleh DPR, iya kan. Begitu perdebatan di DPR bersama pemerintah
kan berubah-berubah. DPR bertahan, ternyata DPR kan tidak satu suara, tidak KMIP, dari
fraksi lain berubah, berubah lagi akhirnya kemudian ikut usulan pemerintah.
: Kayaknya kebanyakan ikut usulan pemerintah juga ya Pak ya UU KIP?
: Iya karena begini, Karena du DPR kan nggak konsen orangnya. Jadi misalnya begini, yang
usul inisiatif itu beberapa orang, DPR, kemudian setelah itu pembahasannya melibatkan
anggota DPR lainnya yang dulu tidak pernah ikut terlibat pada proses penyusunan.
: Yang periode sebelumnya, gitu ya Pak ya?
: Ya, pokoknya DPR lah, apakah periode sebelumnya, apalagi sebelumnya setelahnya tidak
ikut. Kemudian mereka tiba-tiba ikut membahas ketika ikut membahas fikirannya kan tidak
ada di kepalanya itu.
: Kalau Pak Effendy waktu itu.
: Sebentar-sebentar, jadi sementara internal anggota DPR nya itu sendiri kan nggak mungkin
ngasih briefing kepada anggota-anggota yang lainnya yang sebelumnya tidak ikut sehingga
ketika mereka masuk dalam Pansus atau masuk dalam Panja mereka pada umumnya
kemudian terpengaruh oleh fikiran DPR, pemerintah, itu begitu itu penyakitnya DPR.
: Iya Pak, terus gimana Pak akhirnya?
: Nah, kalau saya kan memang ikut terlibat sejak proses awal meskipun sekarang sudah
banyak yang lupa saya kan, Tapi kan, saya terlibat sejak awal.
: Sejak awal Bapak memang Komisi I terus atau sempat berganti Pak?
: Saya 13 tahun di Komisi I terus.
: Komisi I terus ya Pak ya, itu alasan Bapak bergabung di komisi I memang Bapak yang
mengajukan atau memang ditunjuk atau gimana Pak?
: Ditunjuk, saya tidak pernah mengajukan diri saya.
: Perasaannya gimana waktu sudah sering di Komisi I pak?
: Ya udah biasa saja.
: Ada perasaan akrab mungkin pak?
: Iya ada sama yang udah lama juga tapi kalau sama yang baru ya berproses.
: Bapak akrab sama siapa saja pak temennya biasanya?
: Wah sama semua mbak, saya ya deket semua.
: Tidak ada teman yang sering bersama mungkin pak?
: Macem-macem mba kadang saya bisa sama siapa saja.
: Baik pak, kalau misalnya dalam berpendapat biasanya lebih banyak menggunakan kata
kami, kita atau saya pak?
: Kalau yang menyampaikan secara pribadi digunakan saya biasanya namun ya terkadang
menyelipkan kata kita.
: Selama membahas UU KIP di fraksi itu kan berbeda-beda Pak, fraksinya itu dalam berbagai
perbedaan itu kira-kira sering berkumpul nggak Pak di luar atau, maksudnya untuk
menyatukan pendapat agar bisa lebih akrab atau gimana seperti itu ada upaya?
: Nggak juga, kalau di DPR itu sudah pasti, kalau di luar itu ada inisiator saja. Begini kurang
upaya untuk ada korp DPR itu tidak ada. Jadi korp DPR itu maksudnya, ini kita ini DPR harus
bersatu melawan pemerintah itu nggak ada, yang ada adalah masing-masing partai bahkan
21
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
EC:
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
masing-masing orang punya pendapatnya sendiri, gitu lho sementara pengetahuan dasar
tentang kebebasan informasi public, jadi filosofi-filosofi tentang pentingnya mengakomodasi,
memperhatikan, memperjuangkan hak-hak dasar public itu kan tidak sama bahkan
pengetahuan seperti itu tuh kan masuk pengetahuan yang tidak dipahami oleh banyak orang,
hanya orang tertentu saja.
: Jadi waktu itu nggak ada semacam untuk biar bisa bersatu, biar bisa kompak gitu, jadi
Bapak.
Nggak ada. Begini Mbak, DPR mulai jaman dulu sampai sekarang itu nggak ada korp. Korp
DPR mempertahankan ide DPR, itu tidak ada. Itu nggak ada jadi kalau dikejar pertanyaan itu
jawabannya nggak ada.
: Jadi walaupun lagi bahas satu tugas nggak bisa nyatu juga ya Pak ya?
: Ya kadang ada yang bisa nyatu ada yang tidak, tetapi yang saya, ya bisa nyatu bisa tidak,
tapi tidak ada satu pandangan, jadi bebas saja berpendapat. Kalo sama-sama ya sama-sama aja
tujuannya. DPR itu masing-masing fraksi, nanti kemudian menyamakan.
: Biasanya kalau lagi kumpul diluar rapat gitu pernah tidak pak?
: Ya pernah.
: Aktivitasnya pada waktu kumpul biasanya gimana pak?
: Ya nggak gimana-gimana juga si, standar aja bicara kalau ada waktu istirahat.
: Kata bapak tadi di DPR itu ide kurang bisa menyatu begitu saja, namun kalau misalnya ada
pendapat luar yang memojokkan apakah ada upaya untuk melindungi kelompok pak?
: Ya lihat dulu mbak urgensi pendapatnya, kalu misalnya dirasa sangat mengganggu dan tidak
benar ya perlu kita klarifikasi.
: Kalau bapak dibiang cukup vokal di Komisi I, berarti frekuensi kehadiran bapak dalam rapat
pembahasan lumayan tinggi ya pak?
: Oiya saya cukup banyak bersuara dan saya memang jarang absen mbak.
: Kalau peran fraksi waktu bapak di Komisi I membahas RUU KIP bagaimana pak?apakah
banyak memberikan masukan?
: Yang jelas dari fraksi ada himbauan untuk mengoalkan RUU KIP namun kalau untuk
banyak terlibat ya tidak juga si, kita relatif bebas karena interaksi lebih sering dengan komisi
kalau lagi ada garapan Undang-undang.
: Waktu di Komisi I Pimpinannya dipilih berdasarkan apa pak?
: Ooh itu sesuai kesepakatan fraksi yang bersangkutan saja mbak siapa yang paling gede
suaranya maka nanti ada yang ditunjuk jadi pimpinan untuk Komisi I gitu.
: Kalau kemampuan pimpinan untuk mengakomodir pendapat anggota gimana pak?
: Ya sama aja, pimpinan itu kan moderator, pimpinan itu tidak punya hak untuk memaksakan
ide.
: Tapi semua pendapat yang ada mereka tampung ya pak walaupun dari berbeda-beda fraksi?
: Iya begitu ditampung saja semua sama pimpinan.
: Jadi kalau Bapak nilai berjalannya pembahasan UU KIP secara umum itu kira-kira
prosedurnya berjalan nggak Pak, misalnya kan ada jadwal yang tertulis, terus yang di
umumkan kepada anggota sebelum pembahasan, itu kira-kira semuanya berjalan atau tidak
Pak?
: Ya, fleksibel lah ya. Satu saja DPR itu fleksibel, bisa mundur tapi nggak pernah maju yang
terjadi lebih banyak mundurnya, tetapi mundurnya ada, ya mundurnya banyak sekali makanya
KMIP ini kan salah satu Undang-undang yang paling lama, bahkan yang sudah di bahas
Undang-undang lain di DPR itu sudah di bahas sudah hampir di putuskan juga bisa di
batalkan bisa di nol kan. Ya lah, misalnya kayak Undang-undang tentang rahasia Negara, jadi,
dulu setelah membahas Undang-undang KMIP, RUU KMIP itu kan setelah itu membahas
tentang UU tentang Rahasia Negara. Itu sudah hampir rampung, kan terus kemudian batal
semua total sampai sekarang kan nggak dibahas lagi kan, sampai sekarang belum di ajukan
lagi.
: Bisa sampai begitu ya Pak ya?
: Ya, di DPR memang begitu, itu DPR kita ya, nggak tahu DPR Negara lain ya, DPR kita
begitu.
22
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
: Jadi walaupun ini, jadwal tuh bisa mundur tapi nggak pernah maju ya Pak?
: Nggak pernah maju..
: Tapi akhirnya juga sampai disahkan itu.
: Iya, itu perjuangan panjang juga.
: 2004 – 2009 itu memakan waktu 2 tahun ya Pak ya, sampai 2008. Kalau untuk kompromikompromi Pak kira-kira seberapa banyak ya Pak, terutama untuk pasal definisi badan public
itu Pak?
: Wah itu perdebatannya panjang sekali lah.
: Bisa cerita nggak Pak kira-kira apa sih.
: Saya lupa ya, tapi begini ya, yang begini ini kan ada dalam pembahasan Undang Undang
seperti ini, ini ada namanya memorie van toelichting.
: Apa tuh Pak?
: Memorie Van Toelichting itu bahasa Belanda, itu ada satu catatan yang, catatan dari
perdebatan yang terjadi dan itu mungkin ada di Komisi I atau ada di Pansus yang terkait
dengan ini. Nah, itu pasti siapa ngomong apa, jam berapa, hari apa, itu ada semua. Nah kalau
disuruh menceritakan yang seperti itu saya sudah lupa.
: Bapak cukup aktif waktu itu Pak saya lihat di risalah dan saya dengar dari beberapa orang
kan Bapak termasuk cukup aktif di pembahasan RUU KIP. Nah untuk yang badan public itu
Pak, itu kan awalnya usulan dari DPR itu kan memasukan BUMN dan BUMD dalam
rumusan definisi badan public sementara dari pemerintah tidak seperti itu dan akhirnya yang
keluar di produk Undang-undang juga tidak keluar tapi menjadi subjek hukum sendiri di pasal
14 tentang masyarakat yang boleh, informasi yang boleh di buka oleh BUMN itu kira-kira
seperti apa, maksudnya kenapa sampai akhirnya, akhirnya usulan DPR tidak jadi muncul di
situ sementara saya baca di buku anotasi Undang-undang KIP yang di terbitkan oleh Komisi
Informasi disebutkan bahwa sebelumnya telah terjadi kesepakatan dengan Menteri
Mochammad Nuh bahwa pemerintah akhirnya menyetujui untuk memasukan BUMN sebagai
badan public, seperti itu, itu kira-kira bagaimana ya Pak, kenapa ada semacam, sepertinya
terjadi perubahan lagi, seperti itu?
: Wah itu perdebatannya panjang sekalilah, saya udah banyak agak lupa ya, tapi di risalah
ada. Intinya waktu itu komprominya lumayan kencang.
: Waktu itu yang sering Bapak tekankan untuk badan public yang sering Bapak suarakan apa
Pak?
: Badan public itu yang sering kami suarakan adalah badan yang aktivitasnya memang di
public, untuk kepentingan public, dibiayai oleh public atau dibantu oleh public.
: Jadi waktu itu Bapak menginginkan, termasuk orang yang menginginkan BUMN, BUMD
dicantumkan dalam?
: Iya, karena apa, karena itu kan uang, nah disini ada perbedaan pandangan, jadi saya masih
inget kalau nggak salah BUMN atau BUMD itu kan dibiayai oleh Negara, itu kan uang
Negara yang dipisahkan untuk berbisnis mewakili Negara, jadi BUMN atau BUMD itu badan
bisnis yang mewakili Negara. Nah itu berarti juga badan public sementara pemerintah pada
saat itu punya pandangan “Oh, tidak, itu kan perusahaan terbatas, itu bukan badan public, dia
kan bisnis, memang dia menggunakan uang Negara yang dipisahkan tapi
pertanggungjawabannya tidak langsung ke public, pertanggungjawabannya adalah si PT itu,
pelaku pelaksana perusahaan itu kepada pemerintah” kira-kira seperti itu, jadi disitu ada
perbedaan, sementara kita punya pandangan semua apakah itu uang Negara yang dipisahkan
atau apapun namanya intinya harus, apalagi kalau, ya itu pemahaman birokrasi lama,
meskipun di pisahkan tapi kalau kita untuk demokrasi sekarang ini ketika kita mau nyuntik
BUMN berapa itukan harus lewat APBN, kalau lewat APBN itu mutlak, itu public. Ya kan
misalnya sekarang ini memang jaman Pak Harto dulu kan pikiran-pikiran lama kan, bahwa
menyuntik BUMN langsung bahwa pemerintah dipisahkan langsung masukan disitu, kan
begitu kan? Nah sekarang kan buktinya Bank mandiri mau minta suntikan, uang tambahan,
ini uang itu kan minta kepada DPR ini, melalui APBN, kira-kira begitu.
23
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
: Bagaimana dengan upaya yang dilakukan oleh DPR Komisi I sendiri untuk semacam
menganalisis perdebatan tentang Badan Publik itu demi mencapai hasil kesepakatan yang
dianggap baik pak?
EC
: Ya perdebatan itu lumrah ya dan kita bersuara sesuai dengan pikiran dan nurani kita saja.
Analisisnya sebatas obrolan antara kita aj kenapa begini kalau harus begitu gimana. Kan beda
banget waktu itu sama pemerintah tarik menariknya lumayan juga.
LA
: UU KIP ini kan tadi seperti yang bapak bilang merupakan usulan DPR RI, berarti bisa
dibilang satu visi kan pak ya, ada perasaan menyatu ga pak walau beda pendapat?
EC
: Wah kalo di DPR itu kadang nyatu kadang nggak mbak, tergantung isi kepala masingmasinglah. Tapi kalau dibilang kita sevisi iya.
LA
: Cuma banyak bedanya ya pak?
EC
: Ya banyak bedanya si karena kan pemikiran sendiri. Mungkin kalo sama-sama pengen jadi
undang-undang ya itu, tapi kalo soal sama-sama soal pendapat ya itu ga bisa tetap, ada
dinamikalah.
LA
: Tapi waktu itu Bapak sempat terus mengingatkan rekan-rekan Pak untuk tetap teguh di atas
rumusan dari DPR atau bagaimana?
EC:
Begini Mbak, jadi jangan dikira di DPR itu bisa saling mengingatkan, tidak bisa, di DPR itu
sejajar jadi kita per orang ini tidak bisa mengingatkan DPR yang lain, itu nggak bisa, di DPR
itu adalah berfikir sendiri.
LA: Walaupun fraksi juga nggak bisa Pak?
EC: Nggak bisa, nah kalau fraksi sih bisa dengan pendapat fraksi kan ada tapi dengan fraksi lain itu
nggak bisa, itu saling ini aja, bahkan kadang kala saja bisa berbeda kalau sudah begitu.
LA
: Jadi waktu itu yang Bapak ingat kira-kira yang agak kuat untuk mempertahankan rumusan
soal BUMN atau BUMD masuk kedalam definisi badan public, kira-kira fraksi yang manamana saja Pak atau malah yang akhirnya ngekor jadi pro ke pemerintah yang mana-mana saja
mungkin masih ingat Pak?
EC
: Sebenarnya di DPR itu mbak ga ada yang terlalu pro ke siapa ke siapa semua bebas
berpendapat dan kalaupun pada akhirnya disepakati semua ya alamiah saja.
LA
: Bapak waktu itu ikut sampai selesai atau gimana Pak?
EC
: Ya iya lah, saya kan komandan dari PKB.
LA
: Iya, iya betul, tapi waktu itu PKB terus bertahan ya Pak ya dengan rumusan awal?
EC
: Perdebatannya seperti itu.
LA
: Tapi kira-kira ketika Bapak merasa sebagai inisiator terus kemudian hasil akhirnya di pasal
1 ayat 3 itu tetap dengan rumusan pemerintah, itu kira-kira ada semacam kekecewaan nggak
Pak?
EC
: Ah, ya biasa lah Mbak di DPR itu, pembahasan Undang-undang ya memang begitu lah.
Biasa lah Mbak, kita ini, jadi kita punya pedoman juga tidak ada kebenaran mutlak semuanya
menjadi relative karena pendapat kita juga kan belum tentu benar 100%.
LA
: Kendala-kendala yang dirasakan ada waktu membahas ruu kip itu ee tentang keberagaman
pendapat itu ya pak? Atau ada yang lain mungkin pak?
EC
: Ya itu aja
LA
: Mungkin menurut pak efendy, khusus mengenai pembahasan definisi badan publik itu
kendala yg dirasa agak menggajal itu mungkin bisa dijelaskan lagi pak?
EC
: Ya pengetahuan pemahaman dasar tentang publik dan komponen-komponen dan variasivariasinya itu berbeda
LA
: Ooh itu dari masing-masing anggota komisi I maksud bapak?
EC
: Ya baik pansus maupun Pemerintah.
LA
: oh oke. Kalau untuk tekanan-tekanan yang berasal dari dalam anggota pak.ada yang dirasa
menggangu ga pak?
EC
: oh ga ada
LA
: Misalnya tentang pemenuhan target pembahasan dari pimpinan atau ketidakpuasan dari
berlangsungnya pembahasan atau kekecewaan terhadap kelompok fraksi atau dari fraksi yang
lainnya?
EC
: ga ada sih, kita jalani biasa saja.
24
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC
LA
EC:
LA
EC
:dorongan-dorongan dari parpol, atau dari koalisi atau dari alat kelengkapan dewan ada ga
kira-kira pak?
:ga ada. Ga ada dpr itu longgar aja, biasa aja.perbedaan itu biasa aja.ga ada tekanan apalagi
pimpinan. Pimpinan kan hanya moderator jadi ga bisa nekan-nekan anggota.
: Kalau dari luar pak?ada tekanan ga kira-kira?
: Dari luar itu ya paling pendapat-pendapat yang bersebrangan yang maunya disamaain gitu
kan. Misalnya pendapat pemerintah sama LSM maunya begini terus ya kasih masukanmasukan buat pengaruhi DPR gitulah. Kadang diajak diskusi kita tapi ya ga sampai
mengganggu juga si.
: Oogitu. Kalau untuk perasaan bapak sendiri ketika membahas ruu kip itu ada semacam
perasaan yang agak berbeda mungkin istimewa karena sedang melaksanakan tugas yang
berfaedah atau apa..kira-kira ada ga yang bapak rasakan?
: sama aja.semua undang-undang kan bermanfaat jadi sama aja.Istimewanya karena ini
penting bagi penciptaan good governance.
:oke, jadi bapak waktu membahas ruu kip itu ada semacam perasaan wah ini penting untuk
publik jadi kita harus berhasil.kira kira begitu ga pak?
: oh pastilah. Undang-undang ini bagian dari transparansi. Penciptaan suatu kehidupan
berbangsa dan benegara yang diselenggrakan oleh penyelenggara negara namanya eksekutif,
legislatif, yudikatif. Itukan harus transparan dan undang-undang ini memaksa mereka untuk
transparan. Undang-undang ini memaksa ke mereka mau tidak mau para pemerintah
khususnya itu harus terbuka kepada rakyatnya.karena ada fakta selama ini pemerintah itu
tidak terbuka kepada rakyatnya padahal pemerintah kan dipilih. Pemerintah demokrasi kan
dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Karena itu semua yang dia lakukan termasuk anggaran
yang dia miliki termasuk kalau rakyatnya ingin tahu apa-apa yang dilakukan, berapa
anggarannya kan harus diketahui.harus diberikan harus diinformasikan pada publik gitu. Nah
undang-undang ini ee kesitu arahnya dan otomatis dengan begitu lagi maka berikutnya akan
semakin mengurangi ee apa korupsi.kan begitu..
: Ya itu tujuan utamanya ya pak?
: Yaa salah satu tujuannya
: Kalau untuk diskusi dengan pihak-pihak luar dengan harapan mungkin mendapatkan
perspektif lebih luas tentang ee definisi badan publik itu kira-kira ada tidak pak?
: Ada kan kita ee pikiran-pikiran yang kita kemukakan itu ya pikiran-pikiran dari publik dari
lsm, penggiat-penggiat ee demokrasi dari kelompok-kelompok civil society yang ahli di
bidang kepentingan publik itu.
: Kalau dari pemerintah sendiri ee mungkin yang bapak ketahui dari menteri bumn atau pihak
yang lagi diperdebatkan disitu, kira-kira mereka ada semacam lobi-lobi atau apa bahwa di dpr
ini BUMN tidak boleh utuh ditampilkan seperti itu? Kira-kira mungkin bapak tahu?
Nggak ada lobi-lobi khusus ga ada
: Ga ada ya pak ya. Kalau pihak-pihak yang tadi ga setuju termasuk mungkin bapak kurang
setuju terhadap keputusan kalau BUMN itu ee apa tidak bisa untuk tidak dijadikan atau tidak
dimasukkan menjadi badan publik, itu yang lain gimana pak pendapat-pendapat yang kurang
setuju itu ditanggap seperti apa oleh yang lainnya?
: Ya itu aja itu kan soal pengetahuan. Jadi belum semua orang Indonesia khususnya di DPR
termasuk pemerintah, ini kan sesuatu yang baru.undang-undang ini sesuatu yang baru sama
sekali, bukan merevisi undang-undang yang sebelumnya ada ya kan?, sehingga pengetahuan
tentang badan-bdan publik, informasi publik, mana yang rahasia mana yang tidak Itu kan
sesuatu yang baru. sehingga kalo beragam pendpat itu wajar. Yang kedua jadi harus dimaknai
bukan sesuatu yang aneh gitu loh. Itu wajar aja, karena kita juga proses belajar karena kita ini
baru demokrasi ya kan?
LA: iya
EC
: Jadi pemahaman terhadap hal-hal yang seperti itu ee baru mengemuka sekarang kan. Baru
mengemuka era reformasi kan. Yang kedua tentu saja orang-orang birokrat yang begitu lama
di dalam pemerintahan itu ada kemudian mantan-mantan tentara misalnya gitu kan. Itu kan
punya pandangan seolah-olah ee apa yang mereka urus semua itu rahasia ka begitu?
25
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
EC
: Iya
: Padahal kan tidak. Justru negara itu hal-hal yang terkait dengan APBN terkait dengan
kebijakan yang meyangkut hajat hidup orang banyak, itu bukan rahasia. Itu hak publik harus
tahu. Sehingga ada unsur kekhawatiran-kekhawatiran dari pihak pemerintah. Atau pihak DPR
juga yang memang DPR kan juga banyak dari kalangan birokrat. Artinya pengalaman
birokrasi, pengalaman di tentara kan begitu kan? Bukan semua orang DPR itu produk aktivis
civil society.bukaaan....sehingga pikiran-pikirannya kadang tidak maju, tidak pro publik itu
kan juga masih banyak DPR itu. Lain dengan orang yang dulunya wartawan, dulunya aktivis
pergerakan itu kan cepat menangkap hal-hal terkait dengan kepentingan-kepentingan publik.
Okeh yaa apa lagi?
LA
: jadi untuk hasil akhirnya itu kira-kira ada seperti ini, Ya sudah ikut suara terbanyak aja
misalnya ketika ada perdebatan?
EC
: Jadi begini semua adalah hasil proses dialektik intelektual, dialektik wawasan, dialektik
kepentingan, dialektik wacana, lalu kemudian...itu wajar dalam konteks demokrasi. Yang
kedua semua gagasan, pendapat, segala macem itu masing-masing mengandung unsur
relativitas. Tidak ada pendapat satu manusia itu mutlak benar. Nah kemudian hasil proses itu
terjadilah keputusan seperti itu. Menurut saya yaa sesuatu yang terbaik. Ini kan cermin dari
perjalanan suatu bangsa yang diwakili yang di representasikan oleh wakil-wakilnya yang ada
dilembaga negara gitu kan?
LA: iya betul.
EC: Itu juga sekaligus cermin masyarakat gitu ya. Jadi kalau produk apa yang kita produk itu tidak
modern betul tidak hebat betul itu juga cermin dari masyarakat.
LA: hmmm gitu ya pak ya
EC: Iya.seperti media massa itu kan cermin dari masyarakat. Kalau media massa itu burem warna
warninya begitu beragam itu masyarakat kita juga burem ya beragam ya seperti itu.
LA
: Ok. jadi bapak menilai ee hasil akhir kputusan ruu kip itu kira-kira sudah baik atau belum
pak?
EC
: Ya itulah hasil maksimal yang kita capai. Itu produk dari apa namanya tingkat kemampuan
kita itu juga cermina dari keberagaman masyarakat kita.itu aja.
LA
: Perlu pengkajian lagi atau revisi mungkin pak UU KIP?
EC
: Moso baru satu tahun dua tahun tiga tahun direvisi lagi sementara belum semua diterapkan.
Ini belum semua kepala daerah menerapkan itu. Belum semua menerapkan itu, belum semua
kedutaan besar kita menerapkan itu, belum semua lembaga-lembaga yang lain menerapkan
itu. Jadi dicoba dulu itu kan.
LA
: Jadi harapan bapak ke depan untuk undang-undang ini terutama untuk bagian badan publik
tadi kira-kira apa pak?
EC
: Ya semua diterapkan dulu, diterapkan dulu.aa setelah itu kemudian ee ini apa namanya
mana yang kurang mana yang kurang sempurna ya perlu disempurnakan. Jangan setiap orang
yang tidak cocok kemudian ingin langsung merevisi kan gitu ya...setiap undang-undang itu
kan ada landasannya, satu filosofis, dua yuridis, tiga sosiologis. Nah yang saya ceritakan tadi
itu semua produk kita itu cermin dari masyarakat kita itu kan cermin sosiologis. Nah yang
sosiologis itu menjadi salah satu dasar untuk pembuatan undang-undang.
LA: Ok. Waktu itu bapak masuk sebagai tim perumus juga ga pak?
EC: Iyalah
LA: Iya pak?waktu di tim perumus itu hal-hal yang belum
EC: Pokoknya begini deh, saya lupa detil-detilnya tapi initinya yang dari PKB yang menekuni bidang
itu dulu saya mulai dari proses awal ee inisiator sampai proses pembahasan sampe berikutnya
berikutnya itu ya secara umum saya ikutlah. Detil-detilnya itu sudah lupa.
LA: Bapak happy ga pak dengan undang-undang ini?
EC: Ya setiap yang kita putuskan ya..sekali lagi happy ga happy ya itu yang kita produk untuk
kepentingan negara bangsa. Undang-undang itu hasil maksimal dari sebuah proses. Ijtihad bersama
LA: Jadi kira-kira sudah berhasil belum pak untuk undang-undang yang ini nih menurut bapak?
EC: Lha saya tadi sudah jawab.
26
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Cerminan masyarkat ya pak ya?
EC: Iya dan dpr itu juga cerminan masyarakat. produk dpr itu ya juga cerminan dari beragam
kepentingan masyarakat.
LA: Baik. Terima kasih atas waktu untuk wawancaranya pak.
EC: Ya ya.
Hasil Informan Utama 4
Narasumber
Tempat
Tanggal
Narasumber
Pewawancara
LA
: Drs. Hajriyanto Y Thohari, MA (FGolkar)
: Jakarta
: 10 Maret 2015, Pukul 12.00 WIB
: Hajriyanto Tohari (HT)
: Lisa Adhrianti (LA)
: Ya pak mungkin kita bisa mulai. Terimakasih untuk waktunya pada siang ini sudah bersedia
menjadi narasumber penelitian saya. Penelitian saya ini tentang pembahasan RUU KIP di
Komisi I periode 2004-2009 pak. Jadi saya khusus melihat tentang pembahasan mengenai
definisi badan publik. Jadi kan waktu itu RUU KIP kan memang agak lama dibahas dan
27
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
mungkin Bapak bisa cerita mengapa bisa itu akhirnya nggak selesai di periode sebelumnya
dan dilanjutkan ke periode berikutnya?
: Ya, factor pembahasan Undang-undang KIP yang begitu Panjang itu banyak ya, tapi yang
pertama pemerintah.
: Pemerintah ya pak?
: Ya, pemerintah memang tidak memiliki kesadaran yang cukup bagi pentingnya Undangundang kebebasan menerima informasi public. Ini dulu kan namanya KMIP (Kebebasan
Menerima Informasi Publik) jadi KIP belakangan. Jadi kesadaran pemerintah tentang
pentingnya KIP memang tidak cukup sehingga tidak nampak sekali adanya antusiasme.
: Keseriusan ya pak ya?
: Ya, antusiasmenya saja tidak nampak, jadi akhirnya pemerintah menyetujui untuk
membahas RUU itu ya lebih karena terpaksa, karena dipaksa terus jadi hampir dalam setiap
rapat kerja anggota Komisi I selalu mendesak pada menteri, menteri Kominfo pada waktu itu.
: Sofyan DJalil?
: Ya, jadi maunya karena terdesak saja itu yang pertama. Yang kedua, pemerintah ada
resistensi karena Undang-undang ini akan menjadi beban bagi pemerintah.
: Begitu ya pak?
: Karena jadi beban pemerintah yang selama ini suka mempunyai banyak informasi yang dia
sebutkan sebagai rahasia nanti akan dibuka, jadi intinya pemerintah ngak mau berubah
sebetulnya.
: Walaupun sudah.
: Reformasi.
: Iya.
: Sudah mereka kan nggak ngerti reformasi, ini kan manusia-manusianya kan sama. Manusia
sebelum reformasi sama reformasi ini kan sama nggak beda, jadi sesuatu yang selama ini jadi
privilege ya dia tidak mau dibuka. Yang ketiga, pemerintah tidak tahu manfaatnya.
: Oh gitu ya pak?
: Ya, kan kira-kira teorinya kan begini, korupsi itu kan dari ketidakterbukaan, korupsi itu kan
sembunyi-sembunyi tertutup, nah maka salah satu cara untuk mencegah terjadinya korupsi
itu dengan memulai keterbukaan.
: Iya.
: Tentu KIP ini nggak bisa untuk memberantas korupsi tapi untuk mencegah korupsi bisa.
Nah kalau sudah memberantas ya bukan KIP tapi untuk mencegah. Kalau segala sesuatunya
terbuka kalau orang buat anggaran terbuka semua tahu, peruntukannya untuk apa terbuka
tahu, kan nggak kan ada korupsi. Beli computer harganya berapa terbuka ya nggak kan ada
yang korupsi begitu kan. Kalau diam-diam tendernya, diam-diam sembunyi-sembunyi ya
pasti akan membuka itu. Nah itu factor yang paling besar.
: Yang ketiga ya pak ya?
: Factor yang paling besar itu. Jadi pemerintah memang dari awalnya nggak bersemangat.
Yang kedua tidak mau sesuatu yang selama ini menjadi keistimewaan mereka untuk
sembunyi-sembunyi, untuk tidak membuka informasi sedikit-sedikit bilang rahasia Negara
maka dia nggak mau.
: Iya.
: Dan yang ketiga mereka nggak ngerti manfaatnya, nggak ngerti manfaatnya bahwa itu
menjadi tool menjadi Instrument untuk pencegahan korupsi, bahkan pemerinta nggak tahu
bahwa Undang-undang KIP itu merupakan bagian dari apa, dari rumpun Undang-undang
pencegahan dan pemberantasan korupsi, jadi yang masuk rumpun Undang-undang
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi itu kan KPK, Undang-undang tentang KPK,
Undang-undang tentang perlindungan saksi dan korban, keterbukaan informasi public,
Undang-undang tetnang pencucian uang, Undang-undang Tipikor, banyak banget. Nah
Undang-undang tentang KIP salah satuya ini pemerintah nggak ngerti nggak dong.
: Nggak dong jadi lama.
: Jadi pemerintahannya kaya kebo gitu loh, artinya dia jalan kalau di pecut kalau di gebuggebug kita jalan-jalan-jalan.
28
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
: Setelah di pecut baru jalan.
HT: Iya bolak balik ditanyain, diprotes, didesak baru akhirnya mau.
LA
: Tapi ini merupakan unsur inisiatif DPR yang datang dari LSM atau murni dari DPR pak?
HT
: Undang-undang ini dari sudut ide, itu dari para anggota DPR yang juga merangkap menjadi.
LA
: Aktivis pak waktu itu?
HT
: Bukan, menjadi badan pekerja MPR.
LA
: Oh.
HT
: Kenapa itu?
LA
: Badan pekerja MPR pak.
HT
: Badan pekerja MPR yang meng-amandemen Undang-undang dasar membuat macemmacem itu, termasuk membuat tap MPR tentang penyelenggara Negara yang bersih dan
bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme kan desainnya dari situ. Wah ini untuk mencegah
korupsi ini harus ada sekian Undang-undang dan sekian lembaga. Undang-undang tentang
KPK, wah harus dibuat Komisi KPK, Undang-undang tentang perlindungan saksi dan korban
harus dibuat apa itu LPSK lembaganya LPSK tapi Undang undang dibuat, terus Undangundang tentang pencucian uang dibuat PPATK. Nah tentang ini supaya yang sembunyisembunyi tiu dibuka maka dibuat Undang-undang tentang KMIP harus ada Komisi Informasi
Public, dibawa dari sana idenya tapi kemudian dapat sambutan dari LSM, LSM juga tahu
pentingnya soal itu maka kemudian rancangan drafnya di buat oleh LSM terutama oleh
Koalisi Kebebasan Informasi. Ada koalisi.
LA
: Poin-poinnya dari mereka ya pak?
HT
: Iya, Koalisi Masyarakat Sipil tapi yang bergerak dibidang ini mereka tapi kan nerubah-rubah
tergantung apa itu, sebagai kepanitiaan ad hock itu atau apa namanya lalu buat itu.
LA
: Draf itu ya pak?
HT
: Iya draf itu.
LA
: Mereka yang buat atau bersama-sama dengan DPR?
HT
: Mereka buat kemudian diserahkan ke DPR.
LA
: Ke badan?
HT
: Ke anggota-anggota dulu lalu anggota-anggota buat usulan.
LA
: Ke badan legislasi?
HT
: Ya kan untuk rancangan Undang-undang inisiatif DPR kan harus ada usulan, minimal
ditanda tangani berapa orang waktu itu ya, Kalau nggak salah waktu itu masih 13 atau sudah
25 ya?
LA
: Waktu awal itu ya pak?
HT
: Iya. Ya tentu dilakukan pembenahan juga meskipun nggak terlalu baik.
LA
: Kalau untuk di baleg sendiri ada orang yang ikut memudahkan jalannya biar masuk kedalam
program legislasi itu?
HT
: Ya relative kalau di DPR tidak terlalu ada penentangan ya. Mungkin tidak adanya
penentangan di DPR karena nggak paham juga anggotanya DPR.
LA
: Akhirnya yang masuk.
HT
: Akhirnya yang paham inisiator-inisiator itu, ya kami-kami yang di badan pekerja MPR yang
tahu desain, desain kedepan ini, ya tapi dimana saja selalu begitu kan nggak usah banyakbanyak kan, yang tahu tahu dikit saja yang lain diyakinkan iki penting wes menengo wae
setuju gitu loh kalau bahasa jawanya.
LA
: Iya jadi masuk ke prolegnas itu ya pak ya?
HT
:Iya.
LA
: Setelah tidak selesai dibahas itu berarti apa diusulkan lagi kemudian dimasukan lagi.
HT:
Memang belum dibahas pada waktu itu artinya kan dibahas dalam pengertian.
LA
: Berbentuk draf ya pak?
HT
: Gini sudah diputuskan di DPR ini jadi inisiatif tapi pemerintah belum setuju.
LA
: Waktu itu Ibu Mega ya pak ya?
HT:
Iya kalau pemerintah belum setuju kan nggak bisa dibahas di Undang-undang, kalau
Undang-undang kan harus dibahas bersama-sama antara DPR dengan pemerintah dengan
presiden.
29
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA:
HT
LA
HT
LA
HT:
LA
HT:
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
: Tapi waktu itu sudah ada penunjukkan untuk Komisi I?
: Belum, awalnya belum sampai berakhir bab pemilu 2000, itu kan periode 1999-2004 tapi
sampai selesai 2004 itu nggak jadi, baru setelah 2004 terbentuk DPR yang baru lagi,
didorong-dorong lagi maka mulai baru bisa presiden setuju, masuk prolegnas, presiden setuju
presiden membuat Ampres kan, siapa menteri yang ditugaskan lalu disepakati si Komisi I itu.
: Berarti awal pembahasannya itu semua Komisi I terlibat ya pak?
: Ya, karena Komisi menjadi Pansus.
: Oh Komisi I menjadi Pansus?
: Ya kan begini di DPR ini Pansus itu bisa lintas Komisi dibentuk Pansus sendiri anggotanya
dari berbagai Komisi tetapi bisa juga kalau disepakati Komisi yang bertindak sebagai Pansus.
Jadi kalau untuk ini Komisi I ya pak ya?
: Ya, kalau dimensinya nggak terlalu banyak itu Komisi biasanya, misalnya Undang-undang
tentang haji itu kan Komisi Agama saja lah gitu.
: Jadi memang Pansus ya pak waktu awalnya itu.
: Jadi Komisi yang bertindak sebagai Pansus.
: Pansus ya pak ya?
Pimpinannya yang pimpinan Komisi itu.
: Cuma lama kelamaan sampai ke timus-timus ini nggak semuanya ikut ya pak ya?
Pembahasan rapat kerja kemudian Panja kemudian ke tim perumus, tim singronisasi
semuanya nggak ikutan lagi kan yang di anggota Komisi I yang perwakilan saja ya pak ya
mengerucut ?
Iya Pansus juga begitu sebetulnya sama nggak ada bedanya. Komisi yang menjadi Pansus
atau dibentuk Pansus itu namanya ada sidang pleno Pansus, kalau Komisi ya berarti sidang
Pleno Komisi, nanti kalau sudah ada pembahasan dibentuk Panja yang lain di Pansus pun juga
nggak ikut Panja, nanti Panja itu biasanya separuh dari anggota Pansus.
: Itu memang prosedurnya ya pak?
: Iya, setelah itu timus, tim perumus itu lebih kecil lagi nanti 1/4nya anggota Pansus, 1/2nya
Panja.
: Penunjukan-penunjukan yang ikut ke Panja yang ikut timus itu?
: Itu haknya fraksi.
: Haknya fraksi ya pak ya, bukan pimpinan ya pak?
: Bukan, fraksi. Pimpinan minta kepada fraksi ini anggota Panja misalnya 25 lalu dibuat
proposional ,PDIP 3, Golkar 2 ini gini ya sudah, mana Golkar 2, mana PDIP 3 yang nunjuk
orangnya fraksi.
: Waktu itu bapak berarti di Komisi I terus ya pak ya dari tahun 1999 itu bapak Komisi I ya
pak ya?
: Iya.
: Sampai 2009 itu masih di Komisi I ya pak?
: Iya.
: Itu bapak yang mengajukan atau memang penunjukan fraksi Bapak harus di Komisi I?
: Setiap fraksi beda-beda.
: Iya.
: Setiap fraksi itu cara menunjuk anggota di Komisi beda-beda, ada yang fraksi aja kamu
tugasnya di Komisi ini ini ini.
: Kalau bapak waktu itu seperti apa pak?
: Ada juga yang kombinasi, kombinasi gini artinya setiap anggota boleh menulis pilihan di
formulir 3 Komisi nanti yang menentukan pimpinan fraksi.
: Kalau Bapak waktu itu?
: Saya memang Komisi I.
: Mengajukan bapak?
: Iya saya memang daftar no pilihan 1 Komisi I.
: Oh gitu.
: Saya dua periode di Komisi I, 1999-2004 di Komisi ,I 2004-2009 di Komisi I.
: Setelah itu baru ganti ya pak? Yang kemaren 2014.
30
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT:
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
: 2009-2014 saya jadi wakil ketua MPR.
: Oh ya.
: Jadi kalau jadi pimpinan MPR atau DPR itu nggak boleh jadi anggota Komisi.
: Waktu sudah berhasil masuk di komisi I gimana pak?
: Ya sesuai saja dengan pilihan, senenglah.
: Pak kan di Komisi I kan berbagai macam fraksi yang tergabung Komisi disiitu, ini selama
membahas RUU KIP ini itu ininya bagaimana pak, menjadi akrab atau memang sudah saling
kenal sebelumya atau ini kan baru periode nih 2004-2009 misalnya seperti itu, waktu itu
bagaimana pak waktu membahas UU KIP ini?
: Nggak ada masalah biasanya politisi di DPR itu kan adaptasinya cepat.
: Cepat ya pak ya?
: Adaptasinya cepat kemudian segera tune in lah gitu, apalagi kalau Undang-undang dimensi
politiknya nggak terlalu menonjol, artinya dimensi politik menonjol itu tidak terlalu terkait
dengan kepentingan partai politik. Kalau misalnya Undang-undang tentang partai politik atau
tentang pemilu, wah itukan dimensi politiknya tinggi, kKalau Undang-undang tentang KIP
ini kan nggak terlalu politis.
: Biasanya lebih cair ya pak ya?
: Lebih cair.
: Oke, biasanya selama, selain didalam lingkup pembahasan itu sering ketemu nggak pak di
luar, sering kumpul nggak pak sering interaksi si luar dengan sesama Komisi I seperti itu?
: Iya sering, tapi kalau di luar nggak pernah menbicarakan, anggota DPR kalau di luar mana
mau membicarakan itu.
: Nggak pernah ya pak?
: Nggak penah kalau ini ketemu di luar di restoran atau di.
: Misalnya ada rapat yang di luar gitu pak nggak ada?
: Nggak ada, paling di puncak itu.
: Tapi memang rapat ya pak ya?
Di Wisma Kopo iya.
: Jadi selain substansi kerjaan.
: Diluar paling Wisma Kopo memang wisma DPR kan?
: Iya, selebihnya jarang ketemu pak?
: Selebihnya ketemu sering tapi nggak membahas begitu, mana mau anggota DPR kalau
sudah kumpul-kumpul di tempat itu.
: Biasanya yang dibahas apa pak, yang ringan-ringan?
: Yang ringan-ringan ngakak-ngakak saja, mana ada anggota DPR diluar mau membahas
Undang-undang, kecuali politik tapi Undang-undang, males terlalu serius.
: Kalau mengemukakan pendapat biasanya lebih sering pakai kata kita atau kami atau saya
pak?
: Oh campur-campur itu, tergantung apa yang diutarakan. Kalau misalnya belum ada
pembicaraan sebelumnya artinya spontan ya saya tapi kalau misalnya sudah ada pembahasan
dulu sama rekan-rekan ya kita gitu.
: Yang lebih sering mana pak?
: Wah lupa,coba cek di risalah saja deh.
: Oke pak. Waktu membahas itu kan lama tadi ya pak ya? Pastinya penilaian masyarakat atau
opini media beragam. Ada tidak yang memojokkan pak? Menyikapinya bagaimana?
: Oya pasti ada itu, kita sikapi dengan bijak saja. Kalau saya sih cukup blak-blakan ya
misalnya ada wartawan nanya yang kurang sesuai gitu. Biasalah ada pro kontra. Yang jelas
kita kan kerja, lama itu ya karena kerja bukan lama dianggurin.
: Ooiya. Terus waktu itu bapak hadir terus pak dalam tiap rapat?
: Oiya saya sering hadir, jarang absen kok.
: Kalau untuk peran fraksi dan interaksi dengan fraksi waktu bahas RUU KIP gimana pak?
: Fraksi dengan bahasan RUU KIP ini si ngga terlalu gimana juga ya, mendukung aja tapi ya
tetap kita ada himbauan mengenai sikap begitu. Cuma kalau saya ini orangnya berani ya kalau
lihat mana yang dianggap logis ya jalan walaupun harus diprotes fraksi.
31
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
: Oke oke....kalau untuk interaksi dengan fraksi dibanding komisi banyakan mana pak?
: Ya banyakan komisi, rapat fraksi kadang-kadang saja.
: Pak waktu itu yang menjadi pimpinan dalam membahas RUU KIP?
: Pimpinan Komisi.
: Termasuk Bapak ya?
: Nggak, saya baru ikut pimpinan di Panja.
: Oh setelah beberapa kali raker ya pak ya?
: Iya.
: Itu pilihan pimpinan untuk itu memang berdasarkan pimpinan Komisi saja atau ada factor
lain pak?
: Ya seperti saya tadi bilang Pansus itu bisa di bentuk Pansus yang lintas Komisi yang
anggotanya dari berbagai macam Komisi, walau itu nanti kemudian Pansus kumpul terbentuk
lalu kumpul milih pimpinan.
: Nah itu berdasarkan apa pak?
: Tetapi kalau Pansus itu Komisi yang bertindak sebagai Pansus artinya Pansusnya pada saat
itu Komisi I itu ya pimpinannya ya nggak usah dipilih lagi udah dari Komisi. Berdasarkan
siapa yang dijagokan fraksi saja terus kita biasanya ya setuju aja.
: Itu pimpinan kira-kira menurut Bapak memberikan kesempatan yang sama nggak pada
seluruh anggota untuk mengajukan pendapatnya atau ada yang pro hanya ke fraksinya saja?
: Iya semua dipersilahkan kok selagi ada waktu
: Kalau ada yang berbeda pendapat terutama sama Fraksinya pimpinan, iitu pimpinan jadi
gimana pak?terlihat acuh tak acuh atau ada semacam himbauan tegas tidak?
: Oh nggak. Karena ini Undang-undang yang sifatnya itu inisiatif dari DPR, itu sudah satu
suara DPR itu sehingga yang menjadi problem dalam pembahasan ini dengan pemerintah
bukan lagi antar fraksi.
: Oh gitu ya pak ya?
: Karena nggak ada lagi dim fraksi, yang ada dim-nya DPR dan dim nya pemerintah.
: Lebih susah, pak saya dengar itu katanya lebih susah Undang-undang yang memang unsur
inisiatif DPR dari pada unsur inisiatif presiden atau pemerintah, apakah begitu pak. Jadi kalau
pembahasan dari inisatif dari DPR memang kayaknya agak susah karena memang pemerintah
kurang tadi seperti yang tadi bapak bilang?
: Iya resikonya sama saja, cuma kan begini anggota DPR kan sering tidak ngeh misalnya
kalau RUU itu dari DPR itu kan logikanya suara DPR itu sudah satu, nah tetapi karena lebih
banyak RUU itu datangnya dari pemerintah maka ketika membahas RUU yang datangnya
dari DPR itu, ada kecenderungan nggak ngehnya itu mengira tanpa sadar ini kayak RUU
yang datang dari pemerintah sehingga masing-masing fraksi ngomong bergiliran padahal
kalau UU itu inisiatif dari DPR itu sebenarnya nggak perlu giliran sudah wakil dari DPR
gimana, nah ibaratnya pemerintah pengen kata dapat, DPR pengen kata bisa yang benar ya
dapat. apa bisa gitu lho nggak ada pendapat fraksi-fraksi yang lain. Itu pembahasan di situ ya
sering kali seperti itu, baru nanti diingatkan oleh pimpinan, ini inisiatif lho ya, oh ya oke.
Maka ketika misalnya issue tentang judul , DPR ingin KMIP (Kebebasan Memperoleh
Informasi Public), pemerintah nggak mau pengertiannya kok kebebasan itu konotasinya kok
liberal. Kenapa nggak menghilangkan kata itu, saja pemerintah takut waktu itu, nah DPR
ingin ganti. Yang kedua misalnya definisi tentang badan public, pemerintah beda dengan
DPR ya gitu persoalan-persoalannya.
: Kalau untuk prosedur secara umum menurut Bapak itu memang berjalan sesudah sesuai
terjadwal, urut atau bagaimana pak untuk pembahasan RUU KIP ini.
: Ya sama dengan pembahasan UU yang lain di DPR kalau sudah seperti itu kan jadwal itu
disepakati dari awal.
: Ngaak ada yang molor, maksudnya ada yang nggak dijalankan atau.
: Ya dijalankan.
: Jalan semua ya sesuai prosedur ya.
: oh iya.
32
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
HT
LA
HT:
LA
HT
LA
HT
LA
HT
LA
HT
: Kalau untuk metode pengambilan keputusannya pak, kira-kira sudah sesuai juga tidak atau
banyak kompromi-kompromi didalam pembahasan KIP.
: Ya pasti ya, kalau sudah dilembaga politik itu kan misinya kompromi-kompromi, misalnya
DPR minta judulnya KMIP, pemerintah apa ya, akhirnya disepakatinya jadi KIP, kata
kebebasannya dihilangkan, misalnya pemerintah nggak mau Bank BUMN itu terbuka
pemerintah nggak mau misalnya. DPR maunya ya bank itu harus terbuka juga dong dibuka,
aksesnya public juga pemerintah tidak mau maksudnya dibuat kompromi oke bank boleh
dibuka pada aspek-aspek tertentu, tadinya kan pemerintah mengatakan nggak bisa , bank itu
rahasia, DPR bilang nggak rahasia ini uang public kok dan sebagainya harus dibuka.
Komprominya oke boleh dibuka tapi apa yang dibuka misalnya satu, komposisi permodalan,
yang kedua laporan keuangan tahunan, yang ketiga misalnya jumlah funding dan jumlah
landing misalnya gitu. Tapi yang tidak bisa dibuka misalnya satu, nama-nama nasabah, nama
komisaris nama direksi boleh dong itu dibuka, tapi nama-nama nasabah nggak boleh itu
rahasia bank. Eni misalnya punya tabungan seratus milyar rahasia itu nggak boleh dibuka itu
rahasia Negara itu, tapi nanti ada klausul di informasi yang dikecualikan boleh itu dibuka
kalau Eni menjadi tersangka kasus korupsi, baru boleh dibuka misalnya gitu.
: Waktu itu saya baca di risalah kan agak lumayan alot dan panjang sampai timus itu sampai
Panja terakhir itu belum diputus untuk definisi badan public untuk pasal 1 ayat 3 itu, kira-kira
keberatan-keberatannya itu dimana pak apa seperti tadi yang bapak sebutkan sebelumnya.
Ya, yang saya sebutkan tiga tadi, yang bikin ini.
: Terus saya baca di buku anotasi UU KIP yang diterbitkan Komisi Informasi sama LSM
ICEL, itu katanya sebenarnya sudah ada kesepakatan antara Menkominfo Muhammad Nuh
sama DPR bahwa BUMN akan dimasukan kedalam definisi badan public pasal 1 ayat 3
berdasarkan isi rapat pada tanggal 18 apa gitu ya Cuma saya tidak menemukan risalahnya di
DPR. Saya tidak menemukan risalahnya dan mungkin Bapak ingat nggak pak kira-kira
memang begitu atau bagaimana ya pak soalnya kan terakhir hasil akhir dipasal 1 ayat 3 nggak
ada seperti rumusan yang dari pemerintah saja jadinya bukan seperti yang di DPR tapi malah
adanya di pasal 14 BUMN masuk dengan syarat-syarat informasi yang bpleh dibuka seperti
ini ini seperti itu. Kira-kira itu gimana pak, saktu itu siapa saja yang mungkin agak vocal atau
agak menentang pemerintah gitu gitu gimana pak.
: Saya termasuk yang menentang ketidakbersediaan pemerintah untuk BUMN, terutama bank
ya. Saya juga bukan hanya di sidang saya berdebat dengan menteri Sofyan Djalil bahkan juga
di polemic di Koran ya, di Koran saya juga banyak mengkritik dan menghantam menteri
Djalil atau kalau bilang keras kepala, ya sudahlah.
: Bapak ada mengingatkan anggota lain nggak pak maksudnya diKomisi satu yang untuk tetap
konsisten dengan rumusan awal dari DPR.
: Ya, karena itu tidak interfensi kok dan menteri Sofyan Djalil ini juga melobi ketua-ketua
umum partai. Golkar kan ketua umumya Jusuf Kalla waktu itu tapi Jusuf Kalla di laporin juga
sama Sofyan Djalil kenapa begitu karena saya dimarahin oleh pak Jusuf Kalla.
: Oh gitu pak.
: Ya, Pak Jusuf Kalla itu panggil saya marah dia, “Hajriyanto itu apa-apaan, masa BCA tidak
kamu wajibkan dibuka tapi bank Mandiri kamu wajibkan buka karena bank Mandiri BUMN,
kalau gitu jebol dong sudah pokoknya nggak bisa bank itu aspek bisnis tidak bisa untuk
dibuka gitu” marah-marah dia karena saya dimarahi oleh ketua umum dirapat ganti saya
marahi menteri nya saya bilang “kalau memang berdebat disini debat disini dong jangan
lapor-lapor diluar saya bilang gitu kan.
: Kalau untuk partai-partai pengusung pemerintah misalnya Demokrat kan sepertinya
mendukung pemerintah pak, sementara yang lain mencoba bertahan terhadap rumusan DPR.
Apa waktu itu ada semacam himbauan mungkin pak untuk opini yang minoritas ?
: Ya pro pemerintah tapi menduukung kita juga kok. Kebetulan di fraksi Demokrat kan
orangnya sedang, pada waktu itu ya nggak pintar-pintar juga jadi gampang lah kita pengaruhi,
ya diapusin dikit. Tapi disitu saya rasa yang paling perannya besar menteri pada waktu itu
masih Sofyan Djalil, Nuh itu akhir-akhir aja dia nemu karena dia jadi menteri Kominfo baru,
33
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
ya tinggal beberapa kali rapat gitu, lalu dia yang tandatangan yang mewakili pemerintah
kayaknya produk dia padahal bukan produk dia, sebenarnya produknya Sofyan Djalil itu.
LA: Tapi kan sempat berganti ke Muhammad Nuh.
HT: Oh iya, bagaimana nggak ganti orang dia ikut rapat akhir-akhir.
LA: Berarti yang duluan Sofyan Djalil atau Muhammad Nuh pak?
HT: Ya Sofyan Djalil dong kan itu, Nuh itu mengganti Sofyan Djalil jadi menteri.
LA: Jadi waktu ketika Muhammad Nuh, kira-kira pemerintah masih agak keras atau.
HT: Sudah mau selesai seperti saya bilang tadi, Nuh itu kurang, nggak berperan banyak sudah mau
rampung seperti tadi saya bilang berkelahinya kan dengan Sofyan Djalil.
LA: Ya ya ya.
HT: Ini sudah mau selesai, itu ibarat orang mau pergi ke Bandung atau dimana sudah sampai pada
Padalarang baru supirnya diganti Nuh.
LA
: Terus kira-kira dengan putusan akhir yang hanya muncul dipasal 14 bukan didefinisi badan
public seperti yang rumusan DPR itu kira-kira kesannya menurut Bapak ada nggak semacam
kekecewaan atau apa?
HT
: Ya tentu ada kekecewaan tapi kan Negara ini kan diurusi oleh orang banyak, masa kita ikut
pusing-pusing sendiri juga kalau mau diperbaiki ya oke lah ayuk, tapi kalau diajak perbaiki ya
sulit-sulit sudah kan bukan Negara saya Negara orang banyak gitu kan.
LA
: Tapi akhirnya yang waktu itu yang menurunkan tensi berarti DPR ya pak ya.
HT
: Ya memang.
LA
: Di akhir-akhir itu.
HT
: Ya, karena defensif sekali pemerintah ini seperti saya bilang tadi defensif, resisten. Misalnya
gini kalau pemerintah suruh terbuka, LSM-LSM juga dong maka nanti definisi publicnya
akhirnya diperluas bukan hanya tadi. Tadinya kan konsep awalnya itu yang dimaksud dengan
badan public yang harus terbuka itu adalah eksecutive, legislative, yudikatif, BUMN
termasuk BUMD, Universitas-universitas Negeri atau lembaga-lembaga yang dibiayai dengan
APBN gitu aja kan, lalu pemerintah bilang, kalau kami suruh terbuka LSM-LSM itu dapat
dana dari luar, ngumpulin dana dari masyarakat juga kalau gitu dibuka juga dong.
LA
: Akhirnya komprominya di situ pak ya.
HT
: Pemerintah kan kayak gitu, jadi kayak orang curi listrik dipinggir jalan lalu ditegur bilang,
itu tetangga saya juga. Kalau saya suruh terbuka yang lainnya juga.
LA
: Akhirnya semuanya pada nerima dong pak ya.
HT
: Partai politik akhirnya juga dimasukin disitu padahal sebenarnya di UU partai politik sudah
ada, jadi itu menunjukan defensifnya pemerintah itu disitu.
LA
: Bapak selama membahas RUU KIP ada semacam perasaan menyatu ga pak dengan yang
sesama komisi?
HT
: Kita cukup terbuka aja adiskusi, soal menyatunya itu ya lumyanlah ada beberapa orang yang
cukup concern dan klik dengan saya.
LA
: Jadi waktu itu pak ketika akhirnya DPR mulai menurunkan tensi dan akhirnya mungkin
akan mengikuti maunya pemerintah, itu kira-kira waktu itu didalam Komisi I sendiri ada
semacam pergolakan ngak pak maksudnya ada semacam konflik mungkin atau tetap menyatu
atau akhirnya ya sudahlah atau gimana?
HT:
Nggak ada konflik yang serius. Ya di DPR itu kalau politisnya sudah senior-senior, canggihcanggih itu kan kalau berubah kan nggak kelihatan kan, ya pelan-pelan, kalau terlalu cepat
kelihatan bisa ketahuan. Ketahuan ada apa ini mungkin dia sudah dilobi oleh menteri .
LA: Jadi yang Bapak lihat gimana pak waktu itu.
HT: Ya saya rasa memang ada banyak kompromi di UU itu.
LA: Tapi nggak ada konflik yang serius ya pak.
HT: Nggak ada.
LA: Antara anggota?
HT: Nggak ada.
LA
: Atau mungkin ada tekanan-tekanan dari luar gitu pak atau dari dalam anggota Komisi I
sendiri yang.
HT
: Yang paling kayak gitu kalau saya dipanggil ketua umum, kemudian Wapres.
34
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
HT
: Atau mungkin dari pimpinan ada nggak pak semacaam.
: Kalau pimpinan di DPR itu kan tidak bisa nekan-nekan, pimpinan DPR itu beda dengan
menteri, dengan rektor.
LA
: Kalau dari fraksi nggak ada juga pak tekanan itu sendiri.
HT
: Nggak.
LA
: Keanggota harus begini gitu pak.
HT
: Kadang pimpinan fraksi nggak dong juga.
LA
: Jadi kendala yang dirasa agak berat yaitu mungkin sikap pemerintah aja pak ya.
HT
: Ya.
LA
: Pak waktu membahas itu pak, ada semacam perasaan yang istimewa nggak pak, apa yang
agak berbeda ketika bergabung di Komisi I dan membahas RUU KIP ini.
HT
: Adalah walaupun nggak juga, karena sudah biasa sih dengan pekerjaan anggota DPR itu.
LA
: Nggak ada perasaan ini misi mulia harus jadi.
HT
: Ya biasa karena memang tugasnya itu, karena semua UU kan bentuknya mulia, yang nggak
mulia itu kalau ada transaksi itu lho.
LA
: kalau khusus KIP nggak ada istimewanya pak.
HT
: Ya istimewanya itu begini bagai yang,kalau saya gitu bisa mengalir dengan baik. Saya
membuat tab MPR tentang penyelenggaraan, KKN rekomendasi percepatan pencegahan
korupsi, oh ini diperlukan sekian UU diperlukan sekian badan yang dibentuk berdasarkan UU
ini kok bisa mengalir dan jadi gitu, senang, bangga, “wah Indonesia akan jadi Negara yang
bersih, nanti tidak akan ada korupsi gitu kan”.
LA: Bayangannya seperti itu pak ya.
HT: O iya, ternyata makin marak juga korupsinya.
LA: Kalau untuk diskusi dengan pihak-pihak luar pak untuk mendapat prospektif tentang badan
public tadi itu sudah sejauh mana dilakukan waktu itu, kan pembahasannya pending-pending terus tuh
yang badan public, ada nggak pak dari pihak-pihak luar yang dimintain masukan untuk mungkin lebih
mengerucut ininya seperti itu mendapatkan masukan seperti itu.
HT: Nggak.
LA
: Yakin hasil RUU KIP bisa baik ga pak? Masukan dari menteri BUMN waktu itu ada
nggak? kalangan LSM mungkin?
HT
: Ya biasanya gitu-gitu kan RDPU, RDPU itu sebenarnya sebelum pembahasan, sebelum
masuk pembahasan pasal perpasal itu kita rapat dengar pendapat dengan misalnya ada pikiran
LSM-LSM harus terbuka kita undang LSM-LSM. Sehingga memang posisi argumen kita juga
cukup kuat untuk dihadapkan sama pemerintah.
LA: Itu sebelum kan pak, kalau setelah berjalan ditengah-tengah itu.
HT: Nggak ada dan nggak lazim.
LA: Oh gitu pak ya, diskusi-diskusi yang nggak resmi juga nggak ada ya pak diluar itu.
HT: Ada tapi yang menyelenggarakan LSM-LSM itu.
LA: Mengundang orang DPR nggak pak.
HT: Ya, mengundang. Ada juga studi banding, melihat Negara lain gimana itu waktu itu kan sempat.
LA: Tadi kan Bapak bilang termasuk yang menentang pemerintah untuk definisi badan public yang
dari rumusan pemerintah, nah kalau untuk teman-teman yang pro ke pemerintah misalnya pak, itu
gimana sikap bapak terhadap mereka, apa ditegur atau diingatkan atau apa gitu untuk kembali ini lho
rumusan DPR itu seperti ini kita harus bertahan dengan ini, itu ada nggak bapak mengingatkan seperti
itu?
HT: Ya, menginggatkan itu dalam rapat-rapat..
LA: Di luar rapat nggak ada pak?
HT: Nggak, anggota DPR itu kalau diluar tempat rapat malu membicarakan materi persidangan itu
malu.
LA: Tapi bapak sempat.
HT: Meskipun di situ dia debat macam-macam begitu keluar dari pintu tempat rapat itu sudah bicara
yang lain, ngopi-ngopi yuk, udud-udud yuk, gitu aja.
35
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
: Kalau untuk syarat-syarat yang akhirnya muncul di pasal 14 itu kok nggak ada beberapa
persyaratan informasi yang boleh dibuka oleh BUMN, itu kira-kira kalangan DPR atau LSM
itu bisa menerima nggak dengan gitu?
HT
: Ya itu juga banyak perdebatan, pemerintah maunya banyak sekali informasi maunya DPR
yang dibelakangnya LSM-LSM itu maunya informasi yang dikecualikan itu sedikit saja tapi
pemerintah maunya yang banyak. Logikanya DPR kalau yang dikecualikan banyak namanya
yang tidak dikecualikan dong , dikecualikan ini misalnya dari sepuluh kecuali dua atau
kecuali satu. Nah ini dari sepuluh kok kecualinya sembilan itu namanya ya nggak benar, itu
yang pertama itu. Yang kedua, definisi yang dikecualikan, bagi pemerintah pokoknya asal
tertulis disitu dikecualikan artinya.
LA
: Nggak boleh.
HT
: Artinya tidak boleh dibuka tapi bagi DPR yang dikecualikan itu harus diuji oleh pengadilan.
LA
: Uji konsekuensi.
HT
: Uji konsekuensi tidak otomatis saja, karena ini dikecualikan maka ini ditutup nggak boleh.
LA
: Terus waktu itu gimana Pak akhirnya?
HT
: Ya dia panjang, dia debat-debat panjang.
LA
: Cuma untuk yang ini Pak, untuk yang sudah tertera di Undang-undang ini kan ada point
sampai ini Pak yang boleh dibuka sama BUMN dan BUMD, ini hasil akhir seperti ini ini
sudah merupakan kesepakatan.
HT
: Ya kalau sudah sampai di situ ya kesepakatan, sampai kesempatan di DPR itu begini jadi
kalau rapat pada tingkat Pansus kalau disepakati isinya, disepakati kalimatnya langsung di tok
sepakat gitu kan, yang kedua disepakati isinya atau disepakati substansinya tapi rumusannya
belum disepakati, rumusan kalimatnya itu dilempar ke Panja atau dilempar ke timus nanti, eh
tim perumus sajalah pokoknya intinya setiap orang harus pergi kekampus misalnya gitu
intinya itu, kalimatnya seperti apa nanti di timus. Ada juga yang belum disepakati
substansinya apalagi rumusannya, nah itu dibawa ke lobi.
LA
: Ke lobi.
HT
: Lobi itu ya lobi itu di situ-situ ya, ngobrol pura-pura dulu deh, dimana saja kalau lobi itu.
LA: Cuma di point-point ini kan tidak menjelaskan bahwa BUMN harus membuka asal usul
kepemilikan dari badan usaha itu siapa punya siapa, direksinya darimana, Komisarisnya darimana,
nah itu kira-kira waktu pada waktu itu ada pembicaraan nggak untuk hal ini apakah mungkin?
HT: Kepemilikan beda dengan Direksi, kepemilikan itu pemegang saham.
LA: Ya itu kan nggak ada disini Pak, itu waktu itu ada pembicaraan nggak mengenai itu harus dibuka
atau mungkin pemerintah mempunyai kekhawatiran kan kalau itu dibuka seperti itu, pernah ada
usulan nggak Pak mengenai hal itu?
HT: Lupa saya, coba dibuka di risalah ya, mungkin saya yang background-background aja kalau
isinya risalah saya lupa ya.
LA: Ya mungkin ada kekhawatiran dengan pemerintah gitu ka.n
HT: Ya pasti isinya khawatir aja takut seperti yang saya bilang tadi khawatir, takut, nanti rahasiarahasia harus dibuka.
LA: Kalau Bapak nggak takut ya Pak?
HT: Memo, ada memo saja disebut rahasia gimana, kan ada istilah rahasia Negara.
LA
: Bapak dan rekan-rekan kira-kira pernah berpikir tidak bahwa pendapat yang berseberangan
katakanlah pemerintah itu ga layak didengar saja?
HT
: Ya nggak begitu juga karena kita kan mencari kesepakatan. Saya bertahan sampai itu,
BUMN yang tidak boleh masuk, tidak dimasukkan dalam badan publik. BUMN tidak
dibolehkan masuk dalam badan publik. Ya sampai kemudian ada kompromi, di pasal itu coba
saya lihat. Sampai terjadi kompromi di pasal sehingga munculnya pasal 14 sebagai
konsekuensi dari tidak disetujui, tidak disepakatinya BUMN sebagai badan publik dalam
rumusan di Pasal 1 ayat 3.
LA
: Diantara rekan sekelompok tugas itu ada tidak pak upaya untuk saling menguatkan pendapat
untuk meminimalisisr keraguan terhadap argumen-argumen yang menentang ?
36
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
HT
: Ya ada, di risalah kan kelihatan itu bagaimana kita. Ya waktu itu siapa ya? Paling Andreas
Pariera dari PDIP terus pak Deddy dari PAN, Pak Efenndy Choirie dari PKB. Kita ya
mengingatkan dalam rapat-rapat agar konsisten gitu.
LA
: Jadi Pak waktu akhirnya DPR menurunkan tensi itu, banyak yang akhirnya seperti tanda
kutip menyerah ya Pak, maksudnya ya udahlah ikutin suara yang terbanyak ajalah gitu nggak
Pak waktu itu kondisinya?
HT
: Ya hasil kompromi ya. Untuk UU pertama itu so far so good kok artinya hasil dari
pembahasan Undang-undang itu relative bagus artinya tidak banyak yang ini.
LA
: LSM juga waktu itu menerima dengan ini Pak.
HT
: Oh kalau itu kita nggak ada urusannya, kalau LSM-LSM menolak ya tolak saja, kita kalau
gitu.
LA
: Nggak DPR waktu itu sudah.
HT
: Ya kita nggak ada.
LA
: Kesepakatan ya
HT
: LSM judul itu juga menolak tapi kita nggak perduli memang kita orangnya suruhannya LSM
gitu, kalau kita melihat ukurannya kalau kita membuat Undang-undang itu adalah Undangundang dasar, kalau Undang-undang dasarnya kalau cuma dekat dan tidak bertentangan
dengan Undang-undang dasar, ya oke-oke saja.
LA: Pak waktu itu yang dapat tekanan kan Bapak bilang Pak Yusuf Kalla negur Bapak gitu, ada
nggak Pak teman-teman lain yang sama?
HT: Nggak tahu saya, oh kalau dari Golkar nggak ada sih.
LA: Kalau dari fraksi lain?
HT: Kalau dari Golkar saya saja.
LA: Kalau dari fraksi lain mungkin
HT: Karena saya yang paling depan untuk itu.
LA: Kalau yang lain Bapak nggak tahu?
HT: Nggak tahu.
LA: Bapak waktu itu bertahan dengan pendapat Bapak sampai dimana Pak waktu itu Pak?
HT: Sampai itu, BUMN yang tidak boleh masuk, tidak dimasukkan dalam badan public, BUMN tidak
dibolehkan masuk dalam badan public.
LA: Mempertahankan pendapat Bapak tuh sampai .
HT: Ya sampai kemudian ada di kompromi, di pasal itu coba saya lihat. Sampai terjadi kompromi di
pasal.
LA: 14 Pak.
HT: Ya, ya betul sampai ke “N” itu, tadinya nggak ada pasal ini.
LA: Nggak ada Pak ya, dari DPR juga belum ada kan pak ya waktu itu?
HT: Belum ada, nggak relevan dong, nggak relevan untuk ada, kalau namanya BUMN apalagi Bank
BUMN sudah masuk di pekerjaan badan public ya sudah otomatis nggak perlu ada pasal 14 itu.
LA: Jadi ini baru ya Pak ya waktu pembahasan itu baru muncul ya?
HT: Itu sebagai konsekeensi dari tidak disetujui, tidak disepakatinya BUMN sebagai badan public.
LA
: Bapak waktu itu termasuk yang berani dan vokal ya pak? Bersama beberapa nama lain saya
lihat berusaha untuk mempertahankan argumen tentan definisi Badan Publik. Merasa perlu
seperti itu ya pak?
HT
: Lha iya dong harus kalo nggak buat apa jadi anggota DPR? Harus berani beragumen jika
memang dirasa ada yang penting dan benar untuk disampaikan.
LA
: Pertanyaan 3 terakhir nih, rencana Bapak yang Bapak fikirkan untuk UU KIP terutama
tentang badan public tadi apa Pak, mungkin ada semacam pemikiran ke depan yang
tergambar di fikiran Bapak?
HT
: Ya, yang biasanya orang, kita di DPR itu kalau sudah selesai selesai membahas UU lalu
membentuk apa yang jadi amanat UU itu kan berharap kinerja dari badan itu maksimal sesuai
dengan apa yang kita cita-citakan, atau ketika kemudian UU KIP disahkan kemudian Komisi
Informasi masih terbentuk, kita Komisi Informasi betul-betul berfungsi untuk mengawal
barisan informasi public itu, tapi dalam perjalanannya seringkali kita mesti kecewa ternyata
37
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
HT
LA
HT
LA
LA
HT
LA
HT
LA
HT
Komisi Informasi nggak terlalu beken amat, kinerjanya kita nggak begitu bagus terbukti dari
public masih sangat asing dengan lembaga itu, banyak yang nggak tahu tentang KIP. Ini kan
berarti kelemahan-kelemahan di Komisi itu, ya itu kita kecewa, kita berharap Komisi itu
kinerjanya baik, masyarakat tahu, public bisa mengambil manfaat sesuai dengan kewenangan
yang diberikan UU. Kita ingin kan Komisi- Komisi itu menjadi seperti KPK, artinya
kelihatan, jadi seperti MK, seperti Komnasham dan state regulation body lainnya.
: Tapi kalau untuk UU nya sendiri Bapak lihat udah cukup sempurna?
: Ya, untuk UU pertama itu so far so good, itu lebih maju dari UU KIP yang dipunyai Jepang.
Itu termasuk maju bahwa itu tidak seperti yang di angan-angankan oleh kalangan LSM iya,
tetapi itu sebenarnya sudah sangat maju sebagai UU yang pertama. Kedepan nanti setelah 10
atau 15 tahun mungkin perlu dilakukan revisi-revisi agar dapat dilihat bagaimana ketika UU
itu diimpelentasikan selama ini, tapi revisinya sudah sampai pada tingkat apa kelemahankelemahan yang terjadi ketika diimplementasikan bukan lagi teoritis seperti kemarin kan
ketika belum ada Komisi informasi, belum ada UU tentang informasi public orang cuma perlu
teori kan. Nah sekarang sudah ada UU itu prakteknya seperti apa, kendalanya dimana,
kelemahannya dimana, perlu ditambah apa, perlu dikurangi yang mana itu kan lebih kongkrit.
: Berarti harus berdasarkan evaluasi Pak ya?
: Ya, jadi harus di audit UU itu dan juga implementasinya.
: Baik Pak, sudah cukup, terimakasih atas waktunya.
: Pak, waktu bahas ruu kip paling akrab sama siapa saja pak?
: Wah ya akrab semualah....saya ga punya musuh politik.
: Hehehehe yang paling sering bareng gitu pak?
: Sama saja suka bareng semua
: Yang suka dicurhatin mungkin pak?
: Kayak abg saja curhat-curhatan. Yaaa waktu itu siapa ya?paling andreas pariera dari PDIP
terus pak Dedy dari PAN, pak Efendy Choirie dari PKB
Hasil Wawancara Informan Utama 5
Narasumber
Tempat
Tanggal
Narasumber
Pewawancara
: Drs. Tosari Widjaja (FPPP)
: Jakarta
: 17 Maret 2015
: Tosari Widjaja (TW)
: Lisa Adhrianti (LA)
38
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA
TW
LA
TW
LA
TW
LA
TW
LA
TW:
LA
TW
LA
TW
LA
TW
LA
TW
LA
TW
LA
TW
LA
TW
LA
LA
TW
LA
TW
LA
TW
LA
TW
LA
: Terimakasih Pak waktunya atas wawancara ini, nanti akan ada beberapa pertanyaan yang
saya ajukan dan mohon Bapak bisa mengalir saja ceritanya.
: Ya.
: Bapak waktu itu menjadi anggota DPR berapa periode pak?
: Kalau sampai saya berhenti periodenya ada lima, lima periode.
: Ada lima ya pak, jadi yang terakhir itu UU KIP atau 2009?
: KIP kalau nggak salah periode ke empat.
: Oh berarti setelah itu Bapak menjabat lagi ya?
: Saya terakhir kan 2004-2009 itu KIP itu.
: Oh itu terakhir?
Iya terakhir.
: Berarti itu yang kelima dong pak?
: Kelima iya, waktunya saya kurang hafal.
: Ya karena KIP dibahasnya dua periode, maksudnya bukan dibahas, ada usulannya di periode
sebelumnya.
: Sebelumnya iya, terus dimulai lagi.
: RUU KIP kan sebelumnya ada di 1999-2004 ya pak ya?
: Iya, nah itu begini, memang ada ketentuan tata tertib jika UU yang dibahas dalam periode
tertentu tidak selesai itu kemudian boleh diusulkan pada periode berikutnya tidak saat yang
sama.
: Itu mudah nggak pak mengusulkannya itu?
: Tidak mudah karena harus, prosedurnya kan begini, yang mengusulkan siapa, baik
pemerintah maupun parlemen boleh mengusulkan, dulu jaman orde baru kan tidak. Era
demokrasi itu artinya DPR boleh mengajukan usul kemudian pemerintah juga boleh
mengajukan usul, masuk kedalam kalau kemudian usul itu masuk kedalam Bamus (Badan
Musyawarah).
: Iya.
: Badan Musyawarah itu menyusun program menyusun agenda rancangan UU yang akan
dibahas. Lalu itulah yang disebut dengan setahun harus sekian, selama lima tahun sekian tapi
setiap tahun itu ada. Biasanya kalau yang mengusulkan itu dari DRP, itu DPR harus membuat
draftnya.
: Oh iya.
: Kalau yang mengusulkan pemerintah itu mereka yang buat draftnya.
: DPR bikin DIMnya ya pak?
: DIM nya di kita dan sebaliknya juga begitu.
: Biasanya yang lebih lama responya dari pemerintah atau dari, maksudnya begini saya
mendengar ketika undang undang itu menjadi usulan DPR itu akan jauh lebih sulit ketika itu
usulan dari pemerintah apa betul begitu pak?
TW: Kalau saya begini, tidak menjadi apa ya perumusan seperti itu, tidak dijadikan
kesimpulan seperti itu. Kadang-kadang begini, kalau memang terkait dengan kepentingan
pemerintah, itu pemerintah lama karena didiskusikan dengan parlemen, dengan menterimenteri yang lain. Kalau kita kan sama semua semua apa yang masuk dari pemerintah kan
mesti dibahas dalam penyusunan DIM itu.
: Jadi selama lima periode itu Bapak di Komisi I terus atau?
: Tidak, berpindah.
: Yang di Komisi I berapa kali pak?
: Yang terakhir saja.
: Oh terakhir saja, berarti yang di 1999-2004 Bapak nggak di Komisi I?
: Di Komisi I tapi sebagian.
: Maksudnya?
: Jadi begini, kan fraksi itu punya jumlah anggota tidak selamanya berada di Komisi I terus
gitu.
: Oh begitu pak?
39
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
TW
: Jadi dilihat kalau memang dalam periode ini titik beratnya pada pembicaraan-pembicaraan
apa, lalu siapa anggota yang punya.
LA
: Jadi dipindah ya pak ya?
TW
: Iya dimutasi.
LA
: Dimutasi, oh bisa begitu ya pak ya?
TW
: Bisa, jadi saya pernah di Komisi Perhubungan pada periode sebelumnya, pernah di Komisi
ESDM Minyak dan Gas, pernah di Komisi Ketenagakerjaan dan Kesehatan kemudian tapi
ketika saya menjadi wakil ketua DPR kan pernah mejadi wakil ketua DPR di tahun 19992004, saya tidak boleh masuk dalam Komisi.
LA
: Karena pimpinan?
TW
: Karena pimpinan tetapi mengkoordinir sejumlah Komisi.
LA
: Berarti yang full di komisi I di 2004-2009 ya pak?
TW:
Iya 2004-2009 dan sebelum 19.
LA
: 1999.
TW
: Iya 1999.
LA
: Di ujung atau diawal Bapak di Komisi I ketika periode 1999?
TW
: Disebelumnya sebelum 2004 kan saya sudah masuk.
LA
: Oh berarti Bapak dari awal UU KMIP diusulkan itu sudah ada ya Pak ya?
TW
: Nggak, saya belum masuk karena masih pimpinan waktu itu sampai 2004 kan saya?
LA
: Iya
TW
: Lalu masuk ke, sebenarnya di Komisi I saja saya 1 tahun sama saya, di komisi IX jadi
Kesehatan dan Tenagakerjaan.
LA
: Penempatan Bapak di Komisi I dan itu memang usulan dari fraksi atau pernah bapak
usulkan juga Pak, mengajukan?
TW
: Oh nggak, saya tidak pernah meminta.
LA
: Oh oke oke.
TW
: Jadi saya menyerahkan penilaian kepada fraksi tetapi kalau saya merasa tidak mampu saya
memberikan alasan.
LA
: Berarti memang itu keputusan berdasarkan fraksi ya pak?
TW
: Keputusan fraksi, itulah perlunya fraksi tapi sekarang kan lain.
LA
: Ya kan da juga pak yang jawabannya saya mengajukan kok karena sesuai dengan.
TW
: Ada memang karena lebih interest pada bidang-bidang tertentu gitu.
LA
: IYa ya, ternyata kalau bapak nggak ya Pak ya?
TW
: Nggak saya nggak saya berikan kebebasan kepada fraksi, bahkan disini kurang, boleh diisi
saya.
LA
: Perasaan waktu itu ditempatkan di Komisi I gimana pak?
TW
: Perasaannya terutama ya harus disyukuri. Saya senang ditempatkan berdasarkan ketertarikan
bidang tertentu termasuk di Komisi I.
LA
: Oke, Pak selama di Komisi I kan banyak fraksi pak beda-beda?
TW
: Iya.
LA
: Itu semuanya kan apa ada beberapa anggota ya Pak ya di Komisi itu?
TW
: Iya.
LA
: Ada berapa pak kira-kira 50an?
TW
: Ada 50 ya kurang lebih sedikit.
LA
: Tapi ketika membahas RUU KIP itu Pak, kira-kira sering ada semacam solidaritas nggak
Pak yang terbentuk berkumpul misalnya atau jadi akrab satu sama lain walapun beda fraksi?
TW
: Oh iya cukup akrablah.
LA
: Prosedurnya RUU KIP gimana pak?
TW
: Jadi begini, prosedur resminya dulu setelah rancangan RUU diterima oleh pemerintah
kemudian dijadwalkan oleh Badan Musyawarah dilengkapkan, disahkan oleh Paripurna.
LA
: Paripurna.
TW
: Paripurna yang menyebutkan dibahas di Komisi I. Ketika dibahas di Komisi I itu terus
masing-masing fraksi di Komisi I itu terus melakukan pembahasan di fraksinya. Nah itulah yang
disebut dengan DIM (Daftar Isian Masalah) jadi masing-masing begitu. Itu memang agak lama karena
40
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
pada penyusunan DIM itu tidak cukup anggota Komisi di Komisi I dan tidak juga tidak cukup hanya
dengan hanya anggota fraksi PPP yang membahas. Bisa juga kita mengundang pihak-pihak luar, para
ahli untuk memberikan masukan.
LA: Termasuk LSM ya pak?
TW: Termasuk LSM, semua yang perorangan, professor di perguruan tinggi itu diundang
memberikan masukan. Nah sebenarnya pada dasarnya proses belajar disitu juga terjadi yang saya
berada di Komisi I, Komisi yang lain juga belajar disitu, disitu terjadi perumusan-perumusan.
LA
: Disitu terjadi semacam rasa keterkaitan ya pak ya?
TW
: Ya keterkaitan karena memang begini posisi fraksi itu pada dasarnya kan sebenarnya
instrument.
LA
: Iya.
TW
: Bukan penguasa.
LA
: Iya.
TW
: Instrument itu artinya media atau saluran untuk menampung dari masyarakat, apakah dari
cabang, apakah Wilayah atau di luar itu kan masuknya ke fraksi. Nah fraksi lalu
mengistruksikan “nih ada masukan dari luar” silahkan.
LA
: Iya.
TW
: Jadi salurannya jelas.
LA: Jadi waktu itu selain rapat-rapat di dalam Pak, sering nggak ketemu di luar kumpul
membicarakan?
TW: Oh bisa soal kesempatan saja kan kadang-kadang begini, salah satu contoh umpamanya kita
rapat kerja dengan Menteri itu kan kadang-kadang dari jam 09.00-02.00 malam dengan Menteri itu
hanya berhenti sholat lalu makan jam 02.00 padahal hari berikutnya akan ada rapat dan ternyata rapat
lagi yang lain kan rapat itu tidak hanya di Komisi I, ada yang lain.
LA: Iya.
TW: Ada jabatan-jabatan tertentu yang juga harus diisi, merangkap lah.
LA: Merangkap.
TW: Saya sendiri juga ada di badan kerja sama antar parlemen.
LA: Antar parlemen?
TW: Ya, itu tadi nggak memerlukan perhatian juga karena politik luar negerinya parlemen itu disitu.
Itu juga tejadi waktu pembahasan yang cukup panjang, apa yang terjadi, nah disini bagaimana
mengkompromikan dengan yang ada di Komisi I dan saya tidak ingin ditinggal karena saya sudah ada
ide, ada gagasan, ada DIM yang harus kita diperjuangkan. Nah itu yang kadang-kadang membuat
terhambat apa memerlukan waktu panjang, molor.
LA: Ya ya, jadi sering ya pak ya ada interaksi di luar membahas ini?
TW: Oh iya biasanya.
LA: Biasanya ngomongin apa sih Pak, ngomongin UU KIP atau banyak hal-hal pribadi?
TW: Oh nggak, ya kalau pribadi itu kan tidak temasuk dalam lah itu cuma sambilan yang tidak
pernah menjadi pertimbangan.
LA: Oh gitu ya pak ya, cuma fokus pada saat itu membahas apa?
TW: Kalau memang menghendaki umpamanya kita ingin bicara di luar kumpul karena begini, kalau
siapa namanya mba?
LA: Lisa.
TW: Mba Lisa tahu kondisi ruangan kerja kita ini sangat pengap jadi kalau dibandingkan dengan
parlemen di luar itu sehingga kadang-kadang kita mengundang orang luar, kita adakan di luar.
LA: Di luar ya pak ya?
TW: Jadi kita diskusi disitu kadang-kadang istilahnya itu morning tea.
LA: Morning tea.
TW: Kita sodorkan itu sebelumnya, kita sodorkan mereka bicara kita diskusi makan pagi di situ,
nggak ada masalah itu.
LA: Waktu itu Bapak yang paling akrab sama siapa sih pak selain, maksudnya begini loh kan
mungkin ada dari anggota fraksi lain atau siapa yang paling sering bareng-bareng Bapak siapa waktu
itu?
41
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
TW: Saya agak lupa-lupa ingat, saya kira begini, biasanya dalam suatu pembahasan saya ini nggak
tahu kalau yang lain, oh ini dari fraksi ini jalan pikirannya jernih begitu jadi obyektif, saya dekati itu
saya jadikan sahabat.
LA: Siapa itu pak?
TW: Ya umpamanya kalau di PDIP yang saya ingat itu almarhum siapa yang meninggal itu.
LA: PDIP pak?
TW: PDIP.
LA: Bukan pak Arif, kalau pak Arif satu fraksi ya pak ya?
TW: Siapa?
LA: Pak Arif.
TW: Pak Arif Mutasir oh dia satu fraksi, ya ada yang meninggal ada lagi Pereira namanya.
LA: Oh pak Andreas Pereira.
TW: Andreas Pereira kalau kau ketemu salam pak Tosari begitu kan. Ada lagi siapa namanya yang
agak pincang?
LA: Happy Bone bukan pak?
TW: Bukan Happy Bone itu, Golkar.
LA: Ini PDIP ya pak ya?
TW: Ini PDIP dua.
LA: PDIP ada dua orang ya pak ya?
TW: Ya yang sering.
LA : Yang sering bapak.
TW: Umpamanya ada di luar duduk-duduk, kita dekat kita ngobrol kita mendiskusikan bagaimana
pendirian kita ini pendirian mereka, bagaimana kita mempertemukan kadang-kadang maksudnya
sama tapi merumuskannya berbeda, nah itu juga perlu waktu itu.
LA: Iya ya.
TW: Kemudian dari PKS.
LA: PKS.
TW: PKS itu yang ada beberapa.
LA: Coba saya cek.
TW: Coba kalau ada nama-nama fraksi di fraksi I.
LA: Pak Suripto PKS, Hilman Rosyad.
TW: Pak Suripto jarang.
LA: Hilman Rosyad.
TW: Siapa?
LA: Hilman Rosyad.
TW: Nggak-nggak disitu.
LA: Untung Wahyono terus Annis Mata bukan Pak?
TW: Iya Annis Mata, dia masih anggota Komisi I, jadi sering begitu.
LA: Kumpul ya pak ya?
TW: Ya bahkan ketika saya di Maroko, dia beberpa kali kesana.
LA: Oh pak Annis ya pak ya?
TW: Pak Annis iya.
LA: Oh ya ya.
TW: Ya seperti itu, kalau Golkar seperti Happy Bone terus.
LA: Kalau pak Dedy Pak?
TW: Siapa?
LA: Dedy Djamaluddin.
TW: Dedy Djamaluddin iya dari PAN, itu dekat.
LA: Dekat juga ya pak ya?
TW: Ya saya dekat paling tidak ya punya basis yang sama lah begitu, sama Islamnya yang idenya
sama.
LA: Kalau pak Andreas idenya ya Pak ya karena beda agama
TW: Beda agama tapi ide-ide kerakyatannya sama jadi dinamikanya disitu.
42
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Waktu itu yang menjadi pimpinan dalam membahas RUU KIP ini Pimpinan Komisi I atau dipilih
lagi pak?
TW: Nggak, Pimpinan komisi I.
LA: Berarti dari perwakilan fraksi-fraksi juga pak ya.
TW: Ya ada perwakilan termasuk ada pemerintahnya disitu.
LA: Waktu itu bapak termasuk pimpinan nggak?
TW: Nggak saya begini, saya menghindari kalau bisa tapi kadang-kadang nggak bisa, menghindari
jadi pimpinan.
LA: Kenapa pak?
TW: Kalau jadi pimpinan itu cuma jadi polisi lalu lintas nggak sempat ngomong, oke oke.
LA: Jadi cuma ini ya pak ya, memberi kesempatan.
TW: Iya ngatur-ngatur begini-begini padahal banyak ide kadang kalau kita ketemu dengan teman kita
diskusikan.
LA: Itu alasannya ya pak ya.
TW: Saya juga kadang-kadang heran banyak teman-teman kepengin duduk dipimpinan.
LA: Oh gitu.
TW: Ya silahkan saja kalau menurut saya, bahkan ketika UU Kementerian Negara merumuskan itu
sampai saat terakhir karena saya tidak mau jadi pimpinan jadi ada teman saya yang jadi pimpinan,
saya mengatakan minderheit nota, pendirian saya seperti ini walaupun tidak diintruksi oleh fraksi.
Materinya begini syarat-syarat calon menteri, saya mengusulkan menteri itu tidak merangkap ketua
umum partai, karena saya punya pengalaman praktis, jadi harus nonaktif tapi kalau sudah berhenti
jadi menteri boleh kembali lagi. Nah itu ternyata pemerintah juga nggak setuju usulan saya. Jadi
dipikir saya mau menolong pemerintah begitu supaya kabinet ini bekerja dengan bersih dengan tenang
ngurusi Negara, ternyata pemerintah juga beda. Saat terakhir tinggal saya satu-satunya mengatakan
tidak setuju dan silahkan ambil keputusan catat saya tidak setuju, boleh.
LA: Ya ya, jadi memang berdasarkan itu akhirnya bapak nggak dijadikan pimpinan pak ya.
TW: Nggak saya harus menolak pimpinan, karena kalau jadi pimpinan nggak bisa begitu.
LA: Tapi waktu yang Bapak amati dari pimpinan yang ada selama membahas UU KIP mereka mau
memberi kesempatan yang sama tidak?
TW: Sama.
LA: Untuk semua anggota yang misalnya ingin berpendapat.
TW: Ya, saya kira sangat terbuka.
LA: Nggak ada memihak ke fraksinya mungkin?
TW: Oh nggak, bahkan kalau sudah sampai keputusan-keputusan yang diambil itu tidak dikonsultasi
lagi ke fraksinya karena dia sudah mendapat mandat penuh berbicara untuk mengambil keputusan.
LA: Gitu pak ya.
TW: Iya.
LA: Jadi nggak dibolehin ke fraksinya ya.
TW: Nggak, nah ada terjadi pada sisi-sisi lain di luar ini, mungkin kepentingan partai politik tidak
terakomodasi di sini karena ini kepentingan public. Itu terjadi sudah di Panja atau di Komisi itu sudah
disepakati begitu dibawa ke Paripurna, ada yang usul begini biasanya PDIP itu yang suka begitu
karena masih oposisi itu. Nah sekarang sudah nggak berani.
LA: Karena sekarang ini.
TW: Sudah dianggap berkuasa.
LA: Iya, pemerintah.
TW: Jadi ada, tapi pada dasarnya menurut saya kebersamaan itu muncul bukan karena kepentingankepentingan kolektif tapi sebenarnya karena orientasinya untuk kepentingan siapa. Nah itu
kebersamaan itu muncul, kadang-kadang kalau saya usulkan kata-kata begini, kurang tepat harus
diganti begini. Itu biasanya tidak dalam forum sidang biasanya kan di skors kalau ada yang macet kan
kita di skors. Perundingannya itu detail sekali kalau sudah dig anti, lho kok diganti begini kalau begini
bagaimana, sebenarnya kata-kata keterbukaan itu datangnya dari pemerintah akhirnya sebelumnya
kan bukan keterbukaan, kebebasan. Nah kebebasan itu berarti dihawatirkan, belakangan itu usul dari
pemerintah. Kita semua mencari itu, kata-kata apa yang tepat jadi jangan kebebasan kalau kebebasan
itu artinya tanpa batas.
43
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Tanpa control.
TW: Iya tanpa control, tanpa batas. Semua sepakat oke, cari kesimpan nggak tuh ini yang dari
pemerintah itu kalau tidak salah dulu dekan Fakultas Prof. Ramli, saya dekat dengan dia sering kalau
lagi istirahat disini ada konflik apa gitu kita berdua mojok.
LA: Jadi yang tergambar nggak ada sikap yang berbeda dari pimpinan Pak ketika apa melihat
anggotanya punya pendapat yang berbeda dengan fraksinya tidak ada ya?
TW: Tidak, bahwa berbeda itu dipersilahkan jadi tidak kemudian dimusuhi gitu, jadi karena begini.
LA: Jadi nggak ada yang sepertinya sikapnya membela atau apa, itu nggak ya.
TW: Oh nggak, jadi sangat demokratais lah.
LA: Kalau untuk berjalan secara umum pembahasan pak, apakah sudah sesuai prosedur terjadwal
secara urut kemudian disosialisasikan kepada anggota yang akan membahas di Komisi I atau mungkin
banyak yang molor-molor, bolong-bolong atau nggak sesuai jadwal mungkin pak.
TW: Kalau itu memang agak sulit ya, kadang-kadang begini, kenapa nggak ikut kemarin umpamanya
gitu, wah saya dapat tugas dari partai apa yang mau lagi saya katakan.
LA: Berarti faktornya dari anggota kalau untuk terjadwal dari sekertariat ini.
TW: Sudah bagus kita susun bersama, jadi kita ikut nyusun kadang-kadang kita juga melanggar.
LA: Jadi kalau banyak yang nggak hadir bisa jadi tertunda ya pak ya.
TW: Tertunda. Nah paling tidak perwakilan fraksi ada karena setiap fraksi tidak sama jumlahnya. Nah
yang susah kan ada fraksi umpamanya sudah sampai di Panja ada fraksi cuma satu tidak datang itu
ditunggu itu, coba bayangkan kalau Panja itu kadang-kadang diambilnya Jumat, Sabtu, Minggu di
hotel, karena terlalu mahal kalau berada di gedung itu juga masyarakat, Pers protes gitu, coba
bayangin kalau kita sidang diruangan harus nyalakan AC seluruh gedung kan lebih baik sewa hotel
lebih murah. Nah itu juga kadang-kadang nggak dipandang.
LA: Jadi dipandangnya sebelah mata ya pak ya.
TW: Jadi situasi itu nggak dipahami, sama halnya juga uang kerja anggota DPR itu sendiri walaupun
sekarang sudah dianggap lebih baik ketimbang dulu tapi itu masih belum memenuhi persyaratan
sebagai legislator. Legislator itu mestinya hari ini mau pergi tidak perlu tanya ada uang apa nggak. Itu
harus sudah jalan, kalau sekarang kan nggak.
LA: Kondisi di Indonesia ya pak ya.
TW: Jadi legislatornya itu masih setengah fungsi.
LA: Pak itu kalau, berarti Komisi I yang membahas KIP ini dinamakan Panja atau atau apa.
TW: Pansus.
LA: Jadi bedanya itu gimana pak penetapannya?
TW: Jadi gini, Paripurna itu menyerahkan kepada Pansus.
LA: Pansus.
TW: Ya.
LA: Komisi I.
TW: Belum menyebut Komisi I ini umum ya, jadi RUU itu disetujui oleh paripurna diserahkan
kepada Pansus. Nah Pansus itu bisa Pansus antar Komisi, bisa Pansus hanya di satu Komisi, itu
tergantung kepada substansi RUU kalau substansi itu RUU memang menyangkut beberapa Komisi,
umpamanya tadi Kementerian Negara kan tidak ada Komisinya itu, semua fraksi mengambil dari
beberapa Komisi, tapi kalau karena ini keterbukaan itu seperti UU Penyiaran itu juga ada di Komisi I
maka pimpinan paripurna lalu mengarahkan untuk Komisi I sebagai Pansus. Pansus itu apa, seluruh
anggota Komisi menjadi Pansus.
LA: Gitu ya pak ya.
TW: Tapi setelah Pansus itu terus membahas tentang DIM, ada yang disetujui, ada yang nggak
disetujui itu boleh diputar lagi ke Pansus atau Pansus sepakat yang tidak ada kesepakatan diserahkan
pada Panja.
LA: Itu dibentuk lagi pak?
TW: Dibentuk lagi, jadi biasanya Panja itu kalau tidak salah sekitar 26 orang dari 50 itu, karena juga.
LA: Itu pemilihannya berdasarkan apa pak?
TW: Berdasarkan pada fraksi, jadi umpamanya ada beberapa fraksi lalu setiap fraksi dapat berapa,
umpamanya yang anggota fraksinya banyak dapat banyak tapi tidak ada fraksi yang tidak dapat jadi
fraksi yang paling kecilpun juga dapat.
44
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Itu yang mentukan pimpinan pak?
TW: Pimpinan fraksinya, tapi pimpinan fraksi kalau sudah berada di Komisi, Komisi yang
mengusulkan ini, ini, ini.
LA: Setelah Panja baru ke Timmus.
TW: Setelah panja Timmus (Tim Perumus).
LA: Itu dipilih lagi.
TW: Dipilih lagi diantara 26 itu, setelah Timmus ada Timci (Tim Kecil) itu sudah lebih teliti.
LA: Sinkronisasi sama nggak pak?
TW: Ya, termasuk Timcil itu.
LA: Jadi ketika misalnya seseorang dari Panja dia nggak dipilih ke Timmus akhirnya sudah selesai.
TW: Sudah selesai, tapi kalau saya kebetulan dijadikan Timus ada masalah saya bisa konsultasi, tetap
kita minta pendapatnya.
LA: Untuk rapat-rapat dia nggak ikut?
TW: Nggak ikut, itu dia sudah sibuk di Pansus yang lain.
LA: Oh gitu.
TW: Ya, nah yang berbahaya, bukan berbahaya, menyulitkan itu yang anggota fraksinya sedikit di
Komisi I saja anggotanya sudah 1 dia kemudian menjadi Pansus di Komisi lalu juga ditunjuk oleh
fraksinya suruh menjadi Pansus ditempat lain bisa 2, 3, 4 Pansus dan itu yang sering menghambat.
LA: Karena ketidakhadiran gitu ya pak.
TW: Karena tidak ada orang sehingga tidak bisa hadir, ketia oke Pansus taruh di Komisi I, dia ikut
dalam Pansus kalau Panja dia tetap ikut lagi saja, kalau di Panja terus masuk terus itu tapi isinya ya
gitu-gitu aja jadi tidak ada kemajuan.
LA: Jadi kalau untuk jadwal Komisi I sendiri yang bikin ya pak?
TW: Oh ya.
LA: Bukan sekertariat Komisi I pak?
TW: Ngakk, jadi seketariat itu draf, bisa draft ya bisa dajukan tapi pada akhirnya Pansus atau Komisi
harus menyetujui jadi draf tetap ada tapi kalau dikerjakan sendiri oleh Komisi, saya kira nggak cukup
waktu.
LA: Kalau untuk metode pengambilan keputusannya Pak kira-kira sudah sesuai prosedur yang
ditetapkan atau tata-tertib atau banyak kompromi-kompromi.
TW: Pada akhirnya kan harus kompromi, jadi ini politik, komprominya itu kan sebenarnya.
LA: Untuk UU KIP banyak nggak pak?
TW: Banyak, jadi komprominya kan begini kadang-kadang begini, pemahaman satu orang terhadap
satu bahasa itu berbeda dengan yang lain, tujuannya sama lalu yang mana yang mau dipakai, ini kan
kampromi itu. Jadi itu tidak dianggap sebagai kekalahan karena memang ingin menyelesaikan
pekerjaan.
LA: Oke, kalau terkait dengan masalah pembahasan badan public Pak, kan kalau saya lihat dirisalah
agak panjang ya pak ya.
TW: Itu yang draft.
LA: Sampai di Panja juga belum putus akhirnya di Timsin, akhirnya baru diputusin sidang.
TW: Ada konsultasi pimpinan, konsultasi itu ya kalau kaitannya dengan pembahasan bisa konsultasi
dengan pimpinan fraksi atau bisa konsultasi dengan partai kalau fraksinya menghendaki, tapi kalau
Pansus atau Panja itu ada deadlock pembahasan secara kolektif sama, ya konsultasinya ke pimpinan
DPR.
LA: Oh pimpinan DPR.
TW: Pimpinan DPR dikonsultasikan, jadi antara Panja atau Pansus berbicara bertukar informasi lalu
cari way out nya seperti apa, nah kalau sampai juga tidak bisa. Nah ada kesepakatan di kita yang
melakukan dengan membangun konsultasi itu antar partai, jadi antar partai itu bisa juga atau antar
fraksi, jadi tidak boleh ada loncatan-loncatan sehingga pengambil keputusan, kalau difraksi ada
pimpinan kalau di partai ada pimpinan nah itu jangan sampai berontak sampai kalau diperlukan nanti
pimpinan DPR konsultasi dengan pimpinan Negara yaitu Presiden.
LA: Kalau untuk khusus badan public tadi Pak, kira-kira apa saja sih yang menjadi titik-titik
kompromi yang?
45
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
TW: Ya banyak jadi gini, kan idenya kalau dilihat dirumusan pasal 1 ayat 3 itu kan idenya dalam
kerangka membangun menegakan demokrasi itu, ini salah satu pilarnya keterbukaan informasi
sehingga tidak ada lagi otoriter dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan public. Nah lalu siapa itu,
sementara awalnya dikira hanya badan-badan yang mengelola keuangan, itu tidak, jadi semua
lembaga Negara yang menggunakan anggaran belanja Negara itu harus terbuka tapi kayaknya
sekarang belum dilaksanakan, bukan belum dilaksanakan, masyarakat belum tahu kepentingannya.
LA: Cuma waktu itu kan pak usulan dari DPR itu memasukan BUMN, BUMD, dan BUMN sebagai
badan public dalam definisi ya badan public.
TW: Betul.
LA: Tapi kan dari pemerintah kemudian nggak setuju.
TW: Tadinya keberatan.
LA: Malah mereka menginginkan Parpol dan LSM masuk dan menjadi badan public.
TW: Akhirnya masuk semua.
LA: Akhirnya Masuk semua ya pak ya dipasal 14, 15, 16.
TW: BUMN masuk, Parpol, pokoknya begini jadi pada prinsipnya setiap lembaga yang menerima
apakah karena kewajiban menerima atau karena bantuan dana APBN atau APBD atau bantuan luar
negeri, dia harus masuk dalam kategori lembaga yang berhak melakukan KIP.
LA: Tapi waktu itu tidak full ya pak dibuka jadi ada persyaratan lagi yang wajib dibuka, yang bisa
dibuka sehingga poin-poin ini, ini.
TW: Ya, jadi begini kita juga harus menerima dan kita harus memahami bahwa kalau kaitannya
dengan anggaran atau policy yang jika menimbulkan konflik kenegaraan, nah itu harus berani kita,
tidak termasuk dalam yang harus diinformasikan.
LA: Waktu itu suasananya kira-kira kan sempat adu argumennya cukup panjang kan pak ya.
TW: Panjang dan tegang.
LA: Dan DPR sepertinya tetap kukuh mempertahankan pendapatnya untuk memasukkan BUMN itu
sebagai badan public.
TW: Ya.
LA: Dan pemerintah juga tetap tegas menolaknya, nah akhirnya itu terjadilah suatu kesepakatan yang
akhirnya mengakomodir semuanya.
TW: Ya.
LA: Walaupun dipasal yang berbeda tidak lagi dipasal 1 ayat 3 tapi di pasal 14, 15, 16.
TW: Ya, jadi itu yang disebut pengecualian.
LA: Ya, waktu itu gimana Pak sampai akhirnya tercapai semacam kesamaan, kesatuan, apakah ada
semacam ya sudahlah lah sudah terlalu lama seperti itu.
TW: Nggak, jadi gini.
LA: Apa lagi yang vokal-vokal seperti PDIP, kan waktu itu keras juga ya pak ya terus.
TW: Saya kira semua vocal, cuma kadang-kadang begini.
LA: Maksudnya DPR kayaknya satu suara untuk menolak suara pemerintah.
TW: Memang begini kita harus mengerti temperamen orang. Ada yang suara keras menolak kayak
mau perang gitu tapi ada yang lemah lembut, tapi isinya nolak juga kan gitu yang kayak begini ini
kalau jadi pimpinan kan harus paham itu, jadi semuanya didengarkan akhirnya perbedaan itu
didekatkan lalu rumusannya apa tapi rumusan yang dekat itu masih juga ada perbedaan, nah itu.
LA: Waktu itu sempat nggak pak ada semacam kayak tanda kutip provokasi lah dari DPR apa salah
satu anggota kelompok Komisi I yang ingin agar kita jangan goyang nih, jangan sampai ini ni.
TW: Bisa, kalau soal itu kan biasa itu.
LA: Waktu itu ada pak?
TW: Jadi begini, umpamanya kita lagi duduk ngopi, ini ada topic yang dibahas berbeda kan kita
diskusi disitu itu provokasi atau diskusi kan gitu, jadi bagaimana ide-ide saya itu juga bisa diterima
dan didukung oleh dia tapi juga tidak jarang juga ide-ide saya juga bisa ditolak.
LA: Waktu itu siapa Pak yang cukup gencar untuk merangkul sesama anggota agar tetap satu suara
seperti itu pak?
TW: Saya kira nggak ada itu.
LA: Nggak ada pak?
46
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
TW: Memang pada dasarnya kan begini ketika terjadi katakan PPP lah ya, terjadi perbedaanperbedaan itu pada kesempatan tertentu diluar persidangan kan kita kumpul sesama anggota fraksi,
kita diskusikan, bisa saja yang tadinya saya punya pendapat A bisa berubah menjadi pendapat B
setelah kita diskusikan. Jadi itu satu dinamika saya kira jadi tidak ada masalah kok, jadi jangan
perbedaan-perbedaan untuk menemukan persamaan itu dijadikan hambatan, itu yang penting sehingga
semua yang diterima dalam bentuk pembahasan pada keputusan terakhir itu sebenarnya menjadi
kesepakatan kita semua jangan ada yang mengganjal, nah biasanya kalau ada yang mengganjal terus
di Paripurna, ribut.
LA: Berarti cukup kondusif ya Pak ya?
TW: Menurut saya kalau orang melihat dari luar ya bukan anggota DPR kan mesti tegang adu, bukan
adu argumentasi, tegang mempertahankan idenya untuk menangkan partainya kan begitu, sebenarnya
tidak kesana jadi kalau sudah pembicaraan-pembicaraan kaitannya dengan kepentingan public,
kepentingan rakyat itu saya kira semua partai sama cuma kadang-kadang cara merumuskannya
berbeda.
LA: Itu kalau misalnya nggak ada yang terlalu seperti itu kok bisa lama sekali itu Pak yang khusus
untuk badan public ini.
TW: Ya saya kira bisa mengerti lama bukan saja di pembahasan kan kadang-kadang begini
pemerintah minta di skors, mau konsultasi dulu dengan antar departemen itu dan jangan lupa disitu
juga ada tentara, itu kan susah disentuh itu. Nah kita minta tetap harus dibuka.
LA: Berarti tujuan atau alasan dari kompromi-kompromi yang ada itu khususnya dalam membahas
UU KIP ini lebih kepada bagaimana suatu rumusan yang akan dihasilkan nanti menjadi rumusan yang
bisa diterima secara umum dengan baik ya Pak ya.
TW: Betul, pertama diterima oleh parlemen tapi ketika oleh parlemen sudah disahkan itu tidak
menjadi kontroversial diluar, itu juga menjadi pertimbangan oleh karena itu kan ada juga LSM-LSM
yang selalu kirim SMS ketika ada pembahasan.
LA: Jadi nggak melalui jalur resmi ya.
TW: Jalur resmi ada SMS itu ada.
LA: Berarti dia agak nekan-nekan juga ya pak ya.
TW: Ya ada unsur-unsur nekan juga, tapi kan kita bekerja untuk kepentingan rakyat, sepanjang
usulannya itu untuk kepentingan rakyat kita terima oh ya saya lupa itu, kita masukan.
LA: Berarti memang ada perasaan menyatu ya pak ya waktu membahas itu.
TW: Hampir semua pembahasan itu sebenarnya sama, yang berat begini begini ada partai-partai yang
mengutus anggotanya itu yang tidak punya kemampuan pada bidang ini juga ditempat lain juga
begitu, saya kan bertemu dengan beberapa contohnya yang sederhana aja, artis lah.
LA: Ya.
TW: Iya, jadi saya hanya ingin menunjukkan bahwa anggota DPR itu yang dikatakan hebat itu bukan
karena di Pers, tapi semua yang enak dilihat bagaimana anggota DPR itu memperjuangkan
kepentingan rakyat ketika membahas perUUan, cuma ada keliru juga dari rakyat, yang namanya
anggota DPR itu harus datang membawa uang, padahal perjuangan anggota DPR itu kan membuat
UU kepentingan rakyat, bukan bagi-bagi duit.
LA: Ya itu.
TW: Itu dampaknya buruk itu.
LA: Persepsi yang keliru ya.
TW: Keliru, yang pasti yang keliru jadi akhirnya apa, anggota DPR itu lalu berusaha untuk merapikan
korup lah katakan begitu, apa kerjasama dengan perusahaan, kerjasama dengan pemerintah, bahkan
pemerintah juga kasih DPR disalahkan korupsi tapi ya pemerintah ngasih nggak diperiksa, ya gitu.
LA: Jadi Pak waktu itu yang dirasakan itu lebih banyak persamaan yang berkembang atau
perbedaannya yang berkembang Pak?
TW: Ya biasanya begini, diawal mungkin kira-kira setengah atau tiga perempat itu banyak
perbedaannya.
LA: Gitu ya Pak diawal.
TW: Diawal, karena kita punya konsep sendiri-sendiri tapi setelah mendengar disana dengan
alasannya, artinya menyatu, menyiapkan sepertiga terakhir itu sudah mulai mendekat.
LA: Gitu ya Pak.
47
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
TW: Jadi itu gini prosesnya seperti itu, jadi kalau ada pembahasaan UU diawal sudah setuju-setuju,
itu nggak benar itu.
LA: Ya jadi garing ya Pak.
TW: Ya iya ngapain perlu anggota DPR kalau begitu.
LA: Jadi kendala-kendala yang dirasa agak berat waktu itu apa Pak, yang menurut Bapak kendala
mungkin yang agak berat?
TW: Nah pertama begini, kalau dari kalangan DPR ya, kalangan DPR itu tidak semua anggota DPR
mempunyai visi dan kemampuan yang sama.
LA: Oh gitu ya.
TW: Itu yang juga kadang-kadang kita harus mengerti dan ini masih panjang perjalanan DPR yang
sesungguhnya, bahkan buku yang sedang saya persiapkan itu saya membayangkan DPR pada 2030.
LA: 2030 Pak.
TW: Iya.
LA: Lagi nulis ya Pak.
TW: Saya lagi nulis mau jadi buku.
LA: Jadi itu ya Pak yang lebih utama itu ya.
TW: Iya.
LA: Kurangnya.
TW: Kemampuan, latar belakang, kalau begini saya juga punya pengalaman tidak selamanya seorang
Professor atau katakan intelektual mampu bermain di dalam DPR, karena berbeda, karena pernah
anggota saya begitu jadi sesudah tiga bulan berada disini dia datang pada saya pada waktu saya
pimpinan partai juga pimpinan fraksi, saya minta mengundurkan diri, professor dia. Kemudian kenapa
saya kira ini bukan lapangan saya, jadi sportif dia tetapi dia sudah terpilih, saya katakan oke, saya
berikan kesempatan tiga bulan lagi. Jadi baru tiga bulan menjadi anggota DPR coba lakukan beginibegini lalu tiga bulan lagi datang dia akhirnya menerima, saya baru paham.
LA: Gitu ya Pak.
TW: Iya, nah ini kebetulan professor jadi enak diajak ngomongnya.
LA: Iya.
TW: Coba bayangin kalau tukang tambal ban.
LA: Bakalan lama lagi ya Pak, iya betul-betul kalau tekanan-tekanan yang berasal dari dalam yang
dirasa mengganggu itu ada nggak Pak, misalnya pemenuhan target pembahasaan dari pimpinan atau
Komisi sendiri atau tidak kepuasaan dari berlangsungnya pembahasan mungkin, atau kekecewaan
terhadap rekan atau kelompok dari yang sama fraksi atau yang dari beda-beda fraksi, ada nggak kirakira Pak?
TW: Ada tapi kecil.
LA: Dari dalam itu kecil.
TW: Ada tapi kecil, artinya begini namanya kita punya jadwal waktu Panja ini sekian, kemudian
masuk team Timus, tapi kan ada anggota-anggota kita yang sebenarnya dia hanya satu-satunya sering
tidak datang, dia tidak mau melepas itu jangan, jadi kita ingin memberikan sumbangsih juga.
LA: Iya jadi itu ya yang dirasa agak menganjal ya Pak?
TW: Iya mengganjal, jadi mungkin kedepan bisa anggota fraksi itulah harus jumlahnya minimalnya
berapa, kalau saya seharusnya anggota fraksi itu tiga kali jumlah Komisi.
LA: Lebih banyak ya.
TW: Lebih banyak jadi sehingga ketika di Komisi itu ada satu partainya, fraksi itu ada disitu kalau
ada ditugaskan ke lain masih ada orang gitu.
LA: Kalau dari luar Pak misalnya dari parpol atau koalisi atau dari pimpinan DPR atau kelengkapan
dewan, media atau pengusaha, nah itu ada nggak Pak tekanan-tekanan?
TW: Oh nggak-nggak kalau yang saya tahu LSM.
LA: LSM ya.
TW: LSM, karena LSM bergerak pada bidang itu.
LA: Khususnya yang badan public tadi yang LSM juga ya Pak.
TW: Iya hampir semua pembahasaan itu LSM ada, kalau parpol kan lewat fraksinya.
LA: Nggak ada ya Pak?
TW: Nggak ada.
48
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Kalau pengusaha, pengusaha mungkin yang dibidang telekomunikasi atau di badan-badan public
yang ini?
TW: Saya kira
LA: Yang kira-kira?
TW: Saya tidak tahu ya kepada saya tidak, saya tidak menemukan nggak tahu mungkin tidak mau
didekati barangkali, karena saya objektif saja. Saya ingin berikan contoh begini ketika saya jadi wakil
ketua DPR, kasus BLBI itu berlangsung dan kebetulan saya bidang ekonomi dan keuangan, berapa
banyak pengusaha datang kepada saya, mau datang kerumah, mau makan dimana, saya suka bilang di
kantor saja?
LA: Jadi mereka agak kapok juga ya Pak.
TW: Ya masih saja anu pikiran saya begini, apa sih yang mau dicari kok sampai berkolaborasi,
korupsi dan sebagainya dengan pengusaha. Coba pikir makan paling cuma satu piring kan nggak
berpiring-piring, tidur paling satu tempat tidur satu malam, masak ada enam tempat tidur pindahpindah. Jadi saya sudah merasa senang bisa makan, cukup, ingin haji sudah ada yang bayarin karena
tugas, ya udah lebih baik bersih-bersih saja.
LA: Jadi lebih kepada orientasinya ya Pak.
TW: Orientasi.
LA: Pribadi ya Pak.
TW: Pribadi, iya kemungkinan saja ada tapi saya tidak mau tahu dan tidak ingin tahu.
LA: Iya Pak jadi waktu itu membahas UU KIP itu ada semacam perasaan istimewa ya Pak, ketika
maksudnya gini ini lagi sesuatu UU yang akan berguna buat masyarakat ada nggak Pak perasaan
istimewa itu?
TW: Saya merasa bangga ikut di situ, karena apa jadi kalau kita bicara soal demokrasi itu artinya
keterbukaan, bagaimana kita bisa bilang keterbukaan kalau proses keterbukaannya sendiri tidak ada
aturannya.
LA: Iya betul.
TW: Jadi sebenarnya UU KIP itu adalah pilar penegakan demokrasi, jadi bukan partai politik saja,
partai politik iya kemudian Pers iya, LSM iya tetapi jangan lupa UU itu sendiri punya peran.
LA: Iya betul betul, jadi ada semacam perasaan bangga dan merasakan bahwa ini adalah tugas yang
mulia ya Pak seperti itu, tugas besar yang akan berdampak besar sehingga pada waktu itu diramalkan
nggak Pak, sehingga pasti nih nanti hasil akhirnya akan baik, itu ada nggak Pak?
TW: Oh ya.
LA: Pandangan begitu.
TW: Hampir semua pada akhirnya berharap rumusan yang kita ini ingin mengabdi buat sebaikbaiknya karena untuk kepentingan akhir baiknya seperti umpamanya saya tidak ikut membahas tapi
menjadi bagian ketika UU PPATK.
LA: Oh PPATK.
TW: Jadi itu kemudian termasuk koordinasi saya.
LA: Koordinasi keuangan ya Pak?
TW: Iya, koordinasi saya yang menandatangani saya UU itu dari DPR yang dikirim ke presiden. Saya
merasa bangga itu jadi ternyata pada saat itu saya berfikir kalau ini berhasil, apa lagi bisa dilakukan,
apalagi saya menandatangani, saya memimpin rapat paripurna disetujui dan saya tandatangani bukan
kontribusi saya loh.
LA: Bermanfaat ya.
TW: Bermanfaat, nah sekarang baru dirasakan waktu itu seperti apa dampaknya PPATK itu, ternyata
sekarang kalau ada transaksi diatas lima ratus juta harus lapor.
LA: Harus lapor.
TW: Karena di kita ini pendapatan manusia Indonesia itu tidak ada kontrol, sementara dinegara lain
ada control. Nah itu saya mengganggap ini salah satu untuk melakukan control artinya bisa
mengurangi korupsi, bisa orang Indonesia lebih pada tidak konsumtif pada produktif dari
keuangannya itu. Nah itu kan secara tidak langsung itu menjadi sumbangan saya sekecil apa pun.
LA: Pak mungkin kita stop.
LA: Iya Pak, jadi tadi kan memang merasa ada sesuatu yang bisa dianggap bernilai besar ya pak bagi
bangsa dan Negara dengan hadirnya UU KIP itu ya Pak.
49
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
TW: Saya yakin kita berhasil setelah sebelumnya gagal di periode 1999-2004. Undang-undang sangat
bermanfaat bagi negara kita apalagi di Asia belum semua nya punya.Walaupun artinya juga sangat
tergantung pada pelaksananya, siapa yang melaksanakan, pemerintah.
LA: Iya, waktu itu diskusi dengan pihak luar itu seberapa sering pak dilakukan?
TW: Setiap kebutuhan, ada deadlock satu rumusan, itu kita cari, kita lapor ke fraksi.
LA: Kalau badan public itu Pak.
TW: Iya, itu sama.
LA: Cukup sering juga ya pak, waktu itu siapa saja yang sering dimintai pendapat?
TW: Biasanya yang begitu-begitu pengamat politik, itu kita undang, saya lupa namanya. Pengamat
politik kemudian kalangan universitas juga kita undang. Nah yang ahli agama di Islam itu kita undang
juga karena jangan sampai kita PPP punya asas Islam jangan sampai bertentangan rumusan-rumusan
itu. Jadi kalau rumusan yang dimasukkan bertentangan dengan Islam kita harus berteriak. Jadi di situ
kontrolnya, bukan benderanya.
LA: Jadi memang cukup ini ya Pak, maksudnya DPR, Komisi I banyak mendapatkan masukan dari
luar juga.
TW: Oh iya, saya rasa semua Komisi, setiap Pansus saya kira begitu. Jadi begini, masukan dari luar
itu bisa Pansus itu sendiri meminta atas usul anggota, minta dengar pendapat, siapa usulkan ini
diundang, itu bisa tetapi fraksi-fraksi juga mengadakan sendiri-sendiri, semua fraksi karena itu nanti
kan saya sebagai kopral di lapangan kan diadu. Kalau saya tidak diberi peluru iya nggak bisa bunyi.
Saya tidak tahu anggota DPR.
LA: Waktu itu kalau mengundang mereka yang dari luar itu sifat rapatnya terbuka ya Pak?
TW: Terbuka.
LA: Kalau tertutup itu gimana Pak, waktu itu kan, ini kan UU KIP kenapa masih ada rapat-rapat yang
tertutup, gitu lho pak?
TW: Iya, jadi kalau tertutup itu ada pada tingkat perumusan. Sebenarnya garis besarnya, prinsipnya
sudah diketahui. Nah, terus ini masih boleh didengar orang tapi kalau sudah tingkat perumusan, itu
sebenarnya sudah tidak ada lagi yang perlu diberitahukan kepada mereka dan dikhawatirkan pula
nanti mengintervensi, justru akan merusak tatanan itu.
LA: Iya, iya, kalau persepsi Bapak sebagai bagian dari kelompok Komisi I terhadap pihak-pihak luar
yang menentang atau kurang setuju lah terhadap keputusan tentang badan public atau misalnya dari
LSM yang menyatakan kekecewaan bahwa kenapa informasi-informasi yang dibuka itu harus
disyaratkan sedemikian rupa untuk badan-badan public, itu gimana Pak menurut Bapak persepsinya?
TW: Iya begini, bagaimanapun kita akan memberikan keterbukaan itu, kan pada dasarnya tidak ingin
menghancurkan Negara, kalau kita tanpa batas melakukan keterbukaan itu justru akan menimbulkan
persoalan-persoalan di luar. Nah siapa yang bertanggung jawab kalau sudah begitu. Orang hanya akan
mengatakan kan UU nya bunyinya begitu, tapi dampak di masyarakat itu kan bisa luar biasa merusak
tatanan itu. Nah kalau sudah begitu kan artinya tidak arif, tidak bijak kalau begitu, Nah kita juga
berbicara tentang itu.
LA: Sering menasehati pak, maksudnya sering berargumen ketika ada pendapat atau banyak yang
tidak setuju dari luar misalnya.
TW: Iya kita diskusikan, yakinkan, diyakinkan dan kita tidak bermaksud untuk melakukan tindakantindakan otoriter ya. Kita buka saja, umpamanya begini, BUMN harus buka apa adanya, lalu
bagaimana persaingan BUMN 1 dengan BUMN yang lainnya, iya kan kan umpamanya kan ada dana
cadangan, itu dibuka nggak, kalau dibuka cadangan untuk apa, berapa banyak, kan perusahaan lain,
yang sejenis, yang mestinya bersaing. Dia tahu “wah ini harus dilawan kan terjadi perang, tetapi tetap
hal-hal yang layak diketahui oleh public harus kita buka. Jadi yang saya sebut pengecualian tadi, ada
yang mesti dikecualikan seperti di BUMN, di militer, intelligent mana ada laporan
pertanggungjawaban di situ. Nah itukan tidak boleh dipaksa, umpamanya saya menyogok ini untuk
keperluan mata-mata kan nggak bisa, tidak ada kuitansinya.
LA: jadi waktu itu terus diyakinkan bahwa sesuatu yang akan diambil didalam situ yang sesuai, yang
relevan dengan public.
TW: Iya, jadi kalau tingkat pertama begini, dari tidak ada jadi ada walaupun tidak 100%. Nah, kita
sudah sepakat kan untuk menyatakan, kita membahas RUU KIP itu sendiri kan harus meyakinkan
pemerintah bahwa itu perlu tapi untuk meyakinkan pemerintah bahwa itu perlu, mau menerima untuk
50
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
bersidang itu kan persoalan sendiri kan. Nah tapi setelah itu artinya perlu ada, kita setahap demi
setahap itulah akhirnya menjadi lama, kan tidak bisa semua.
LA: Waktu itu yang bantuin, maksudnya yang sering meyakinkan itu selain Bapak, siapa saja Pak?
TW: Oh iya hampir semua.
LA: Hampir semua.
TW: Dan ini kadang-kadang juga perlu barangkali ya, kita mengadakan studi banding ke Kuwait. Ini
kadang-kadang diprotes itu, saya dikirim ke Jepang umpamanya, saya kan harus bertemu dengan
beberapa pimpinan lembaga di sana. Saya tanya “bagimana dengan UU KIP karena dia punya”, tidak
dijelaskan. Coba bayangkan kalau saya tidak bisa membanding-bandingkan di sana, apa jadinya kan
tenden sekali. Nah, tidak bisa dipungkiri ada anggota studi banding cuma main-main, tapi yang
sungguh-sungguh juga banyak.
LA: Pak tadi yang dekat-dekat sama Bapak serius semua ya Pak, maksudnya yang.
TW: Yang mikir-mikirnya dia, serius ini.
LA: Iya iya, yang ikut membantu meyakinkan, urgensinya.
TW: Kadang-kadang juga bisa saling menopang seperti yang dikemukakan oleh fraksi PPP. Saya
berpendapat setuju karena begini, begini, begini resmi dibuka jadi tidak diam-diam. Jadi sebaliknya
saya juga begitu, saya menghargai, saya sependapat dengan Anda, saya menghargai kalau pemerintah
mengatas ini perlu kita perbincangkan.
LA: Pernah mengalami kebuntuan nggak waktu itu?
TW: Pernah, deadlock.
LA: Banyak Pak.
TW: Saya lupa ya tapi ada waktu itu seperti umpamanya ketika akan menetapkan BUMN, tadinya kan
BUMN mau ditolak, tidak. Itu sudah dilihat atau belum artinya kita runding, kita bertemu di luar.
LA: Nah, di rundingan itu ada nggak yang merasa “ya sudahlah ikut saja gitu”.
TW : Kita sangat terbuka untuk mendiskusikan, hasil keputusan cukup logis.
LA: Jadi terbuka ya pak, kalau untuk apa, tadi kan misalkan banyak opini yang berlawanan dengan
mayoritas seperti itu Pak, itu kira-kira ada nggak yang jadi baris terdepan nih yang membela yang ini
gitu loh Pak?
TW: Jadi pada pembahasan-pembahasan seperti itu, katakan hanya satu fraksi yang punya pendapat,
yang lain fraksi tidak berpendapat, itu artinya bisa diterima semua fraksi. Jadi saya mencatat situasi
seperti itu disorientasinya memang untuk kepentingan membuat aturan-aturan yang bisa diterima oleh
public.
LA: Pendapat-pendapat yang diteguhkan didalam hati oleh, dari anggota Komisi I DPR berdasarkan
rumusan awal tentang badan public itu kira-kira berdasarkan hasil pemikiran, diskusi atau memang
berdasarkan keteguhan hati “ini lho paling betul, ini lho yang paling baik itu menurut saya”
TW: Dari UU nya atau dari substansinya?
LA: Dari substansi badan public ini Pak.
TW: Biasanya kan begini, kita ini setiap menghadapi pembahasan UU, itu kita mendapatkan masukan
katakanlah peluru dari berbagai penjuru, dari kalangan partai, dari kalangan public, dari kalangan
cendekiawan. Itu kan kita undang semua, kita dengar. Nah ketika ada masalah yang mungkin kita
tidak bisa merumuskan sedangkan pikiran-pikiran yang akan dirumuskan itu tidak pas, kan kita
undang, jadi tetap kita.
LA: Jadi ketika suatu pendapat itu keluar dari pikiran masing-masing anggota, itu memang
berdasarkan sudah kemantapan hati, keteguhan hati bahwa ya ini yang paling dirasakan baik, begini
pak.
TW: Betul, semua melakukan begitu dan biasanya dia bertahan tapi setelah terjadi proses, itu baru
bergeser.
LA: Tadi ya Pak, diawal-awal tensinya agak tinggi akhirnya turun gitu-gitu.
TW: Turun itu bukan karena loyo kehabisan tenaga karena memang sudah waktunya ada pendekatan.
Nah di situ barangkali banyak orang menyatakan politik itu kompromi, ya komprominya seperti itu,
bukan kompromi dapat berapa, bukan tapi komprominya itu yang tadinya kita berbeda kemudian kita
lakukan pendekatan, kayak tawar menawar juga.
LA: Bargaining.
TW: Bargain itu.
51
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Jadi kalau upaya untuk melindungi kondusifitas yang ada di pembahasan itu dari informasiinformasi yang tidak mendukung dari luar atau dari dalam sendiri, katakanlah itu ada upaya?
TW: Ada umpamanya begini, LSM itu kan keras, ditolak saja ini jadi kita diadu, nah ini kan semua
dapat, gimana ini, kumpul itu.
LA: Jadi ada semacam upaya untuk melindungi kondusifitas didalam kelompok ya Pak.
TW: Jadi bukan saya kondisinya yang harus kita lindungi tapi substansinya. Jangan sampai kita
menerima masukan yang sebenarnya mengadu domba kita atau menjerumuskan kita dan itu kita jaga
juga.
LA: Betul, betul, betul kalau rencana kedepan yang Bapak pikirkan untuk keputusan badan public
secara umum UU KIP lah, kira-kira ada nggak Pak rencana kedepan, mungkin masih ada pemikiran
Bapak yang menganjal untuk itu?
TW: Tidak, itu kan, kalau yang saya rasakan ya, itu UU itu belum berjalan.
LA: Implementasinya.
TW: Implementasi, nah sehingga tidak bisa mengukur. Nah tidak berjalannya itu karena begini,
sosialisasi tentang pelaksanaan itu sangat elit sekali. Mungkin umpamanya kalau saya di KBRI tahutahu ada intruksi ada tim memberikan sosialisasi tentang KIP, itu cuma begitu, tapi seberapa jauh
rakyat itu nangkap terus mau bergerak waktu itu belum ada, masih kurang. Nah sebenarnya ini sangat
penting bagi kalangan Pers, karena Pers bisa mengkoreksi banyak dengan menggunakan UU ini, tapi
kalau salah menggunakannya dia bisa masuk penjara, karena kita kan perlu dilindungi juga, di
perusahaan-perusahaan, di lembaga-lembaga kalau kita cuma ingin menekan, itu mencari informasi
menekan lalu diberitakan. Kepentingannya sebenarnya tidak ada hanya sekedar berita, kan itu akan
menjerumuskan, nah kita lindungi. Jadi berhak juga menolak kalau memang dikhawatirkan tetapi
nanti ada Komisinya.
LA: Kesan umum untuk pembahasan RUU KIP sendiri menurut Bapak sudah sempurna atau perlu
direvisi?
TW: Saya kira, saya kira belum sempurna tapi secara minimal untuk memulai sebuah pekerjaan saya
kira sudah ada. Jadi artinya yang ada ini lembaga-lembaga Negara terutama, kan ada 2 aspek, aspek
keuangan dan aspek kebijakan itu kan harus siap tetapi juga masyarakatnya juga merasakan
membutuhkan itu. Nah ini sekarang kayaknya nggak, jadi sosialisasi mungkin ditingkatkan sekarang.
LA: Kalau untuk pembahasannya sudah belum mencapai kesempurnaan?
TW: Iya, saya kira belum sempurna.
LA: Tapi hasilnya menurut Bapak cukup baik atau?
TW: Hasilnya saya anggap sudah maksimal sesuai dengan kondisi pada saat itu, seperti umpamanya
bagaimana begini, yang saya tahu atau yang saya dengar, BUMN itu selama ini sejak zaman orde baru
itu kan cuma menjadi ATM nya pejabat. Nah dengan UU ini kan sebenarnya harus tahu, berapa sih
anggaran yang kau punya, itu kan bisa dikorek, ada nggak yang mengalir ke pejabat, kan tidak ada
yang mengorek, biarkan saja jalan begitu. Coba Pertamina, di beberapa Negara perusahaan minyak itu
yang menghidupi Negara. Di sini malah menghidupi pejabat. Nah ini sebenarnya itu hati saya, bahwa
ya wartawan itu atau yang punya idealisme ini memberikan sosialisasi terus lakukan gerakan itu. Kita
bukan bermaksud ingin menjatuhkan atau menuduh, ingin membersihkan jangan sampai terjadi. Jadi
semacam preventif, kalau ada tindakan itu kan prevensi untuk tindakan-tindakan korupsi.
LA: Tapi nama pemilik BUMN, komisaris atau pemegang saham di situ kalau saya lihat di UU juga
nggak ada ya Pak, tidak disertakan untuk dibuka. Nah itu kira-kira Bapak tahu nggak kenapa, pernah
ada usulan nggak, kan kadang.
TW: Yang mana itu?
LA: Tentang informasi yang boleh dibuka oleh BUMN, itu kan hanya nama perusahaan. Di sini kan
tercatatnya kan.
TW: Saya sudah lupa-lupa.
LA: Lupa, ini kan nama dan kedudukan, maksud, tujuan, jenis kegiatan, jangka waktu, permodalan
dan sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar. Apa memang ada juga nama pemegang saham,
siapa anggota direksi cuma untuk menjelaskan asal-usul sang direksi atau komisaris ini darimana,
latar belakanganya apa, itu nggak ada di sini, waktu itu.
TW: Nggak tahu, ada nggak itu disebutkan selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah?
LA: Nggak ada Pak.
52
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
TW: Biasanya kan prinsipnya itu UU itu tidak detail tapi membuat koridor tapi detailnya itu diatur
dalam Peraturan Pemerintah. Nah kalau tidak ada di situ kemudian dipertanyakan oleh masyarakat, itu
kan suatu permulaan yang bagus, kemudian pemerintah harus berfikir membuat Peraturan Pemerintah
karena nanti kalau tidak diatur sementara itu dibutuhkan oleh masyarakat, kan akhirnya.
LA: Karena tadi seperti yang Bapak bilang seperti ATM pejabat. Perusahaan ini kan kita tidak tahu
siapa, memang sih namanya si A yang tercantum cuman kan yang tidak tahu asal-usul si A siapa,
anaknya siapa, kerabatnya siapa, kan kita tidak bisa tahu?
TW: Istri pejabat datang ke London itu dibiayai semua satu keluarga. Nah itu yang harus kita jaga
gitu, kepentingannya dimana, apakah itu uang suaminya atau bonus suaminya.
LA: Itu kadang nggak ada di sini, jadi mungkin agak ada yang mengganjal ya Pak.
TW: Iya jadi memang begini, BUMN kayaknya diprotect oleh pemerintah tapi paling tidak bahwa dia
sudah bisa disentuh.
LA: Iya betul dengan UU ini.
TW: Dengan UU ini, yang selama ini kan tidak bisa disentuh. Coba, namanya BUMN, BUMN itu
paling tidak assetnya itu kan asset Negara. Sudah diberi asset masih ditambah lagi dengan modal
APBN setiap tahun dan tidak pernah untung. Coba bayangin, terus merugi, merugi terus.
LA: Merugi terus laporannya.
TW: Nah paling tidak sekarang ke sana, kalau ada umpamanya lembaga katakan LSM yang punya
perhatian terhadap anggaran BUMN umpamanya itu, anggaran Pertamina usut saja itu, buntutin terus
begitu. Itu akan pelan-pelan akan termotivasi untuk menjadi bersih dan itu belum.
LA: Iya betul.
TW: Nah prinsip saya, pikiran-pikiran saya ketika yang pokok sudah bisa diterima kemudian ada yang
sebenarnya pokok tapi ada belum diterima, ya saya bisa mengatakan paling tidak sudah bisa disentuh,
masuk ke sana sudah ada jalan. Nah selama ini kan tidak aja jalan, dianggap hanya akan mengacaukan
saja. Jadi banyak hal-hal seperti itu. Nah kalau saya berharap sebenarnya masyarakat punya perhatian
terhadap persoalan ini, bukan saja karena aspek pengawasan, itu kan sebagai aspek pengawasan, tapi
aspek membangun demokrasi yang benar. Jadi kan kalau mau demokrasi yang benar kan sebenarnya
kan semuanya terbuka. Kita musyawarahkan, anggarannya terbuka, jadi kita musyawarahkan, jangan
ada yang disembunyikan, ada uang siluman.
LA: Iya kan tujuannya juga good government itu ya Pak.
TW: Iya arahnya ke sana.
LA: RUU KIP ini, iya Pak mungkin saya rasa untuk sekarang cukup, kalau misalnya nanti ada yang
saya perlukan sebagai tambahan, berkenan ya Pak.
TW: Silahkan, jadi kalau nggak bisa kontak saya, kalau kontak saya bisa, saya nggak apa-apa, Cuma
kan kebetulan saya berada di belakang karena komputer saya ada di belakang, sinyal nggak ada. Tapi
kalau tidak bisa lewat Dek Tita, dia sering kesini, tadi malam di sini.
LA: Baik Pak, terima kasih banyak waktunya.
53
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LAMPIRAN 4
Hasil Wawancara Informan Pendukung
1. Informan Pendukung 1
Nama
: Paulus Widiyanto (Koalisi Masyarakat Sipil)
Tempat
: Jakarta
Tanggal
: 27 Februari 2015, Pukul 12.00 WIB
Narasumber : Paulus Widianto (PW)
Pewawancara : Lisa Adhrianti (LA)
LA : Terima kasih atas waktunya pak, saya mulai rekam ya pak. Bisa cerita pak bagaimana perjalanan
UU KIP?
PW: Ya jadi ada tahap perumusan dan tahap pemeriksaan. Nah sebagai penyiapan itu Undang-undang
ini berasal dari masyarakat sipil itu 1998, 1999. Jadi tahapan penyiapan itu, kalau sudah
penyiapan dari Masyarakat Sipil itu ada dua lembaga penting yang sebetulnya harus kamu, tanya
kalau seandainya kamu akan bertanya, yang pertama itu ICEL. Itu reformasi. Nah takkala 1998
itu apa jadi reformasi DPR itu pada waktu itu 97, 98, 99 itu kan bergolak reformasi, nah pada
saat itulah kemudian di situ masuk usaha-usaha untuk menempatkan hak-hak masyarakat untuk
reformasi fredoom of the press masuk. Nah pada tahun 1999 berakhir reformasi regurali per
Undang-undangan itu hanya berhasil me-reform Undang-undang Pers 40, 1999 dan Undangundang Telekomunikasi 36, 1999 tetapi tidak sempurna. Undang-undang Penyiaran yang akan
direformasi juga itu nggak sempat selesai, sehingga dilanjutkan oleh DPR 1999-2004. Nah saya
masuk pada disitu, pada masa 1999-2004 itu setelah Undang-undang Penyiaran saya sebagai
ketua Pansus ya kan kemudian masuk juga masyarakat sipil menggolkan RUU KMIP. Nah
disitulah pada saat yang bersamaan saya ditunjuk sebagai ketua Pansus KMIP.
LA: Oh waktu itu ya Pak.
PW: Dua, nah status saya kalau mau ditanya saya adalah Ketua Pansus dari penyiapan dan perumusan
draft RUU KMIP.
LA: Ketua Pansus ya Pak?
PW: Ketua Pansus saya, wakil ketuanya waktu itu dari Golkar Prof. Bapak Patunrumi Parawansyah
terus wakil ketua berikutnya adalah Ibu Aisyah Amini, wakil ketua Pansus berikutnya Effendi
Choirie. Nah tiga orang ini kan nggak pernah ketemu tapi anggota-anggota Pansus Undangundang KMIP tadi itu menjadi juga anggota DPR pada periode 2004-2009. Nah saya tidak lagi
menjadi ketua karena sudah tidak terpilih lagi, saya berada di Koalisi Masyarakat Sipil.
LA: Posisinya waktu itu ya Pak.
PW: Saya pengawal pengawasan UU KMIP pada periode 2004-2009 saya berada pada masyarakat
sipil. Nah pada waktu mereka membahas, saya selalu mengingatkan teman-teman saya yang di
Pansus itu apa-apa saja yang harus dipertahankan blab la bla, jadi saya sebagai fraksi balkon lah
yang memberikan masukan kepada mereka dan pada waktu diketok Pak Theo Sambuaga
memberikan applause kepada saya sebagai pengawas disebutkan di pidatonya “kita berterima
kasih kepada Pak Paulus Widiayanto yang mengawal, ucapan terima kasih kepada saya”, pada
waktu diketok 2008 itu saya diwawancara wartawan bagaimana sikap saya terhadap Undangundang ini, saya belum puas dengan Undang-undang ini karena apa yang saya perjuangkan baru
65%, saya ngerti anak mata panah termasuk pasal yang dipertanyakan itu, nah itu pasal yang
paling berat yang masuk dalam wilayah yang paling berat.
LA: Tapi paling menarik ya Pak?
PW: Paling berat tapi ada juga part yang paling berat tapi dia masa kamu hanya separuh.
LA: Iya.
PW: Yang masalah badan public itu adalah informasi public.
LA: Oh iya betul-betul.
54
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
PW: Jadi definisi badan public dan informasi pribadi, itu semacam dua sisi dalam satu mata uang
yang sama.
LA: Iya.
PW: Dua-duanya tidak bisa dipisahkan karena apa tatkala kita bicara public information dan public
body, dua-duanya ini perdefinisi itu sangat berat dirumuskan. Sekarang tinggal point yang kamu
mau kejar mana persoalan yang ini.
LA: Jadi Bapak terlibat di UU KIP yang ?
PW: Namanya KMIP, kemudian dirubah menjadi KIP.
LA: Yang awal KMIP itu Bapak terlibat sampai mana itu Pak.
PW: Sampai jadi draft.
LA: Sampai jadi draft ya.
PW: Draft itu kita kirim buat pemerintah, udah selesai nih draftnya.
LA: Udah selesai terus nunggu.
PW: Pada waktu dibahas eh sorry pada waktu kita kirim ke pemerintah bulan Juli tahun 2004 sudah
selesai isi draft pemerintah itu sedang menyiapkan DIMnya, peringati pemerintah.
LA: Oke Pak, Pak coba kita stop.
PW: Ini di meja ini sudah sebulan, karena persoalan biasanya kalau ganti tahun saya membuang
kertas, kalau nggak masuk keranjang sampah, tempat pot. Nah kemudian ini saya sisihkan karena
memang pada permintaan kepada saya soal pada waktu itu kan teman-teman men-GR Undangundang KIP yang soal pasal secretariat.
LA: Oh sekretaris komisi.
PW: Sekretarias komisi yang berada dibawah komisi.
LA: Informasi.
PW: Pasal itu yang diganti, GR itu. Nah sebelumnya di NTT itulah saya ceramah terakhir dikalangan
komisioner KIP, KIP provinsi dan kabupaten pusat, gimana?
LA: Sampai draft nunggu DIM belum sudah habis masa itunya, terus berikutnya Bapak ngawalin dari
awal sampai akhir itu Pak?
PW: Sampai akhir,
LA: Jadi Bapak ikut rapat-rapat terus,
PW: Iya di fraksi balkon
LA: Fraksi balkon yang diatas itu?
PW: Iya kemudian.
LA: Selalu itu Pak?
PW: Selalu dan ada yang.
LA: Tertutup juga.
PW: Tertutup dan nggak bisa tetapi saya hanya memberikan masukan-masukan kepada mereka itu.
LA: Jadi Bapak berdebat nggak bisa ya Pak?
PW: Perdebatan-perdebatan tidak hanya di DPR, persoalan ini adalah perdebatan di DPR yang kau
sebutkan tertutup dan terbuka juga dilakukan perdebatan lebih semacam pertarungan pendapat di
kalangan pemerintah, masyarakat sipil dan DPR, jadi kan kamu hanya bicara pada level low
makersnya, kamu komunikasi kan?
LA: Iya.
PW: Oke, hanya diantara pemerintah dan DPR padahal Masyarakat Sipil juga punya kepentingan
yang DPR pun juga bertanya kepada kita, jadi tidak hanya pertarungan yang kamu sebutkan ada
kelompok ini, kelompok ini juga butuh amunisi, kami berikan amunisinya.
LA: Oke oke, jadi yang mendasari usul utama membuat RUU KIP pada waktu awalnya itu
sebenarnya apa sih Pak?
PW: Nah itu kan banyak sekali tapi intinya.
LA: Intinya kenapa itu bukan dari pemerintah Pak datangnya?
PW: Nah ini kamu harus tahu filosofinya, filosofinya kamu harus ambil pada Undang-undang HAM.
LA: Ya ya yang 28 f itu.
PW: Pasal 28 f kemudian yang amademen 28 itu ya disitulah kita memperjuangkan hak-hak
masyarakat. Nah amandemen Undang-undang Dasar 1945 itu kan juga mendepankan hak-hak
masyarakat juga, jadi itu prinsip utamanya adalah bahwa memperoleh informasi merupakan hak.
55
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Iya.
PW: Nah itu tu filosofinya disitu hak untuk tahu, hak untuk memperoleh informasi dan itu jadi
sebetulnya kami memperjuangkan hak.
LA: Iya.
PW: Memperjuangkan hak sudah dijamin secara konstitusional tapi juga legal formalnya harus lebih
diurai pada Undang-undang.
LA: Ya maksud saya sayangnya usul itu tidak datang dari pemerintah kan tapi dari masyarakat.
PW: Karena pemerintah kan bukan tidak tapi justru karena desakannya dari masyarakat kan kita.
LA: Desakannya ya Pak?
PW: Kan kita reformasi desakannya kan dari masyarakat iya kan, membutuhkan apa, membutuhkan
hak-haknya termasuk hak-haknya apa? Termasuk dalam konstitusi kemudian diturunkan pada
Undang-undang kan begitu, jadi pemerintah kan pada waktu itu kan pemerintah sedang kolaps.
LA: Iya.
PW: Transisi, berubah rezim, nah kami yang memperjuangkannya gitu.
LA: Jadi waktu awalnya itu ada kendala nggak sih Pak?
PW: Maksudnya?
LA: Waktu awal-awal Bapak jadi perumusan draft itu ada kendala nggak, selain dari menunggu DIM
yang tidak pernah turun, nah itu kenapa bisa lama itu?
PW: Itu terlalu jauh masih jauh. Gini masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak memperoleh
informasi itu juga tidak masyarakat Republik Indonesia itu juga harus belajar dari pengalaman
Negara-negara lain yang mempercayakan hak-hak sipil dan itu kan hak-hak dunia. Nah pada
waktu masyarakat sipil belajar memperjuangkan hak-haknya, dia kan harus belajar bagaimana
standar hak-hak memperoleh informasi itu diakui oleh global dunia. Nah masyarakat sipil itu
juga melakukan study, mengadakan rujukan, mencari rujukan termasuk saya pun melakukan
study atau mencari rujukan. Salah satunya itu dulu standar yang juga kita rujuki malah dari
teman-teman artikel Nineteen tau kan artikel Nineteen Artikel Nineteen itu ada NGO dunia yang
ada di London yang mencoba membuat standar tentang Undang-undang Penyiaran, Undangundang, kita juga belajar dari standar itu punya segudang tapi nggak sempat saya bongkar itu,
nah itu ada standartnya.
LA: Iya.
PW: Saya juga pergi ke Inggris artikel Nineteen pada waktu saya ketua Pansus untuk berdialog
dengan artikel Nineteen tentang apa model, model Undang-undang. Nah model Undang-undang
ini masyarakat sipil peroleh kemudian mereka men-draft, daaftnya itu berkembang dari ini-ini
jadi konsep berfikirnya ini yang harus dilihat bagaimana merumuskan yang kau sebut badan
public, bagaimana merumuskan apa informasi public jadi hak-haknya itu apa saja. Jadi haknya
banyak itu, badan publiknya juga banyak, informasinya juga banyak yang menarik dari tiga sisi
tadi maka sebetulnya ketika kamu bicara badan public, ini kan orang yang kita desak untuk
mengeluarkan informasi public kan begitu. Jadi kalau badan public adalah Negara maka kita
bicara warga Negara yang mempunyai hak memperoleh informasi iya kan, tapi hak memperoleh
informasinya itu apa saja, itu ada beberapa banyak. Nah badan public Negara yang harus
mempunyai kewajiban untuk tell jadi obligation to tell-nya pada dia right to know-nya kita,
obligation to tell-nya pada dia, ya disitulah kita saling belajar bagaimana hak-hak kami itu
terungkap dengan jelas kayak gini-gini dan pemerintah juga mengerti bahwa dia punya
kewajiban apa saja, kan dua ini. Nah badan public yang kamu tanyakan itu pada waktu kami
mendraft itu kan diajak bicara tahapnya baru pada penyiapan dan perumusan, iya kan. Nah ini
pun saya minta pada mereka ini bahan-bahan dari mereka yang saya peroleh bisa dimulai dari
awal apa itu yang namanya badan public. Jadi badan public yang sudah dirumuskan didalam
Undang-undang KIP 14 2008 itu adalah sebuah proses kompromi dari pertarungan konsep sejak
awal.
LA: Jadi gini Pak apa namanya itu intinya saya mau melihat suatu model pengambilan keputusan
yang didasarin oleh kohesivitas tinggi dari kelompok kohesif, tapi sepertinya menghasilkan
keputusan yang keliru gitu, kenapa disebut keliru karena saya menemukan dari petisi masyarakat
sipil kan ada beberapa catatan atas RUU KIP itu kenapa teks kategori BUMN sebagai badan
publik akhirnya berubah.
56
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
PW: Iya itu makanya tadi yang saya katakan pertarungan kepentingan.
LA: Iya.
PW: Si Felix kan pernah, saya memang mau mengatakan dia, dulu kan pilihan, akhirnya pilih dia
Felix itu pertarungan kepentingan luar biasa Felix terus saya ambil pertarungan kepentingan. Nah
saya mengatakan sebab teori Undang-undang, sebab Undang-undang itu punya elemen-elemen
kepentingan, punya elemen kepentingan secara lebih akademis itu kita melihat anatomi
kepentingan itu. Anatomi kepentingannya itu selalu saya katakan empat atau lima, yang pertama
itu adalah kepentingan state atau Negara tapi kemudian direduksi menjadi bukan state Negara
tapi direduksi menjadi kepentingan birokrasi.
LA: Itu yang pertama ya Pak.
PW: Itu selalu direduit jadi tidak untuk merumuskan kepentingan negara, kepentingan pemerintah
yang melibatkan birokrasi itupun tidak sanggup, karena antara birokrasi satu dengan yang lain
pun nggak sama. Cara berfikirnya kan saya baru tahap berfikirnya, yang kedua itu kepentingan
masyarakat atau warga Negara (public interest), ini pun cara berfikirnya tidak utuh tetapi dia
lebih apa ya, lebih luas kepentingan publiknya. Yang ketiga itu kepentingan korporasi, dia
motifnya berbeda-beda iya kan terus derajat, korporasi kan punya sector birokrasi paling macet,
itu kan berbeda-beda. Yang keempat itu adalah kepentingan individu-individu (individual
interest) yang sebetulnya kalau dikaitkan dengan individual semacam konsumen (consumer
interest). Nah yang tidak bisa dipisahkan juga dengan umum juga biasanya adalah proffesional
interest. Jadi sebenarnya lima ini yang selalu saya lihat ada didalam kerangka besar konflik
kepentingan selain mengesampingkan sementara global interest. Saya kesampingkan dulu tapi
didalam konteks Indonesia ada lima sudut tadi, segi lima kepentingan tadi, contoh yang konkrit
itu adalah profesi misalnya wartawan itu profesi tapi perusahaan media lain, bisa aja kepentingan
wartawan dan kepentingan koorperasi media itu bertabrak-tabrakan gitu loh. Individual juga ada
kepentingannya dengan demikian kepentingan profesi untuk Undang-undang KIP juga ada
misalnya pengacara, professional interest misalnya konsultan, misalnya notaris, misalnya dokter,
nah itu kepentingan-kepentingan juga tidak bisa dikelompokkan menjadi kelompok public tapi
lebih pada professional interest, nah itu juga masuk didalam perdebatan-perdebatan. Nah takkala
mau membicarakan badan public itu nah disitu persoalannya siapa yang harus tunduk kepada
Undang-undang KIP itu, namanya badan public tadi, nah ini yang pertarungan kepentingan besar
yang mengatakan “aku nggak masuk loh” .
LA: Iya.
PW: Aku masuk dong iya begitu kan nah di situ namanya subject punya rumusan itu padahal
sebetulnya public information tadi yang paling utama, jadi melihatnya, kalau saya melihatnya
bukan pada public internal tapi pada public informationnya dulu.
LA: Informasi yang mana dulu ya Pak ya yang harus disediakan.
PW: Nah ini yang saya menjadi saksi ahli tatkala Bank Syariah, BNI bank Syariah itu ingin
dikeluarkan sebagai bukan badan public yang tunduk pada Undang-undang kita. Padahal dulu
bank BNI Syariah itu adalah bagian dari entitas Bank BNI, dia ada didalam. Pada waktu ada
orang meminta informasi kepada Bank BNI terkait dengan bank Syariah itu dia masih masuk tapi
kemudian dia dipisahkan, dikeluarkan dari entitas baru. Nah orang yang meminta informasi ini,
meminta informasi pertama kali itu ke bank BNI nya dilanjutkan tapi sekarang kan Bank
Syariahnya sudah terpisah bukan lagi Bank BNI, dipisah. Nah Bank BNI Syariah tadi “kan saya
bukan badan public, kan saya bukan BUMN”. Nah saya menjadi saksi ahli di Jakarta Pusat apa
itu tapi intinya itu KIP (komisi informasi pusat) itu dianggap melanggar perbuatan melawan
hukum karena memerintahkan supaya informasi yang dimiliki oleh bank BNI Syariah ini dibuka
dan ini dibutuhkan untuk penegakkan hukum dan saya jadi saksi ahli, dalam kesaksian saya
sebagai saksi ahli didalam maupun diluar dengan pengacara saya sampaikan, yang utama yang
harus disepakati bukan badan publiknya tapi informasi publiknya. Saya dengan hakimnya
“hakim yang utama persoalannya bukan pada badan public atau bukan badan public, yang harus
utama adalah informasi public itu apa, karena yang menghasilkan informasi public bukan saja
badan public tapi individu”. Individupun menghasilkan information public, apa yang dikejar apa,
kalau dirumah saya misalkan ada gas beracun wajib hukumnya saya mengatakan kepada
masyarakat sebagai individu dirumah saya ada gas beracun yang membahayakan masyarakat luas
57
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
beedasarkan informasi itu karena tanggung jawab saya sebagai individu bahwa akan ada
masyarakat yang kena dampaknya apabila saya tidak memberikan informasi public, jadi
informasi public tidak hanya dihasil badan public tapi juga individupun mempunyai kewajiban
memberikan informasi public. Misalnya di jalan raya ada BBM tumpah yang licin kami pasang
supaya hati-hati yang akan mencelakakan, itu informasi public kan harus saya lapor kepada
Dinas Perhubungan bahwa itu, langsung saya serta merta saya umumkan bahwa disana ada ini,
dan segera saya laporkan Pak disana ada itu tapi masalahnya sudah terselamatkan, public
information kekuatannya di situ. Nah kemudian ini hakim kaget juga bahwa terus kemudian saya
contohkan juga kepada Bapak pengacara, PDAM Air dan PT Palyja Jaya sama-sama
meghasilkan air tapi satunya PDAM pada BUMD, PT Palyja adalah PT swasta kalau ada orang
minta informasi tentang air kepada PT Palyja sama derajatnya informasi yang diberikan oleh PT
PDAM tadi, karena apa, air merupakan sumber kehidupan manusia dan ia mempunyai public
interest yang sangat tinggi dan informasi harus disebut. Nah ini jadi sebetulnya kamu mulai
dengan badan public, apa itu badan public? Nah ini sangat, ini sangat multi dimensi, nah
sekarang kamu akan masuk dimensinya dimana gitu loh. Nah itu menjadi perumusan apakah
definisi tadi yang jadi, ini kelemahannya dalam rumusan itu karena pasal kompromi bukan di
hidden, disembunyikan rumusan yang menyembunyikan sesuatu.
LA: Iya nah itu Pak.
PW: Nah disini persoalannya, kamu mengejar pada orang-orang yang kamu tanyakan itu dimana
kok sampai mengeluarkan ini dan ini, bagi saya itu adalah bisa para low makers, low makersnya
ada dua, pemerintah dan DPR, tim anggotanya yang saya sebutkan tadi dan pemerintah juga
orang yang bekerja, dia itu memperjuangkan public interest ataukah yang saya sebutkan tadi
corporate interest atau ini-ini disitulah apa, statement problemnya akan kelihatan. Saya berikan
contoh perkembangan definisi itu karena dulu saya tetap memperjuangkan badan usaha swasta
pun ada badan public apabila dia mengerjakan-mengerjakan tugas-tugas yang diberikan
kepadanya oleh Negara untuk menjalankan itu atau dia juga menjalankan sesuatu yang
merupakan kekayaan negara.
LA: Waktu itu Bapak mau begitu ya Pak?
PW: Saya sejak awal prinsip saya itu, perjuangan saya misalnya Freeport itu adalah badan public.
LA: Oh asing
PW: Karena apa dia mengolah kekayaan Indonesia.
LA: Ya seharusnya.
PW: Kekayaan itu terus kemudian telling, tau telling itu sisa-sisa tanah yang dibuang itu mencemari
di ujung sungai sana, pencemaran yang dihasilkan oleh Freeport, aliran ini, itu public information
tapi kan dulu saya kan diawal corporate interest kan lihat badan publiknya lemah .
LA: Iya
PW: Nah yang menguasai dalam pemikiran mereka namanya rezim keuangan .
LA: Rezim keuangan iya.
PW: Yang menguasai rezim keuangan itu dia, maka teori tentang kekayaan Negara yang dipisahkan
itu menjadi rezim keuangan. Nah di situ sebenarnya kekalahan dari teman-teman
menterjemahkan konsep keuangan Negara yang kemudian sudah berhasil merumuskan bagus
oleh MK beberapa bulan yang lalu. Jadi BUMN itu juga kalau nggak salah BPKP itu akan
mengawasi sampai mana, termasuk mana oleh MK disebutkan kekayaan Negara yang dipisahkan
itu pun menjadi kekayaan yang harus diawasi oleh BPKP, jadi kekayaan modal yang dipisahkan
itu tetap juga adalah subjek pengawasan BPKP karena dia menjadi subjek yang diawasi oleh
BPKP analogi berfikirnya adalah dia subjek untuk UU KIP.
LA: Ya harusnya masuk ya Pak ya?
PW: Bukannya harus masuk, dengan keputusan itu saya mengatakan itu adalah suatu perintah dari
MK bahwa BUMN pun dan badan-badan lain pun adalah.
LA: Badan public.
PW: Badan public tapi kan kemarin waktu saya disuruh teman-teman KIP kan saya juga masih di
aktif di jaringan masyarakat sipil kan ini masuk badan informasi extand, jadi perusahaanperusahaan extraktif yang mengolah kekayaan itu kan harus subjek to Undang-undang KIP juga
baik swasta maupun Negara.
58
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Tapi usulan dari pemerintah itu kok nggak ada ya Pak, itu karena tadi rezim keuangan tadi.
PW: Rezim keuangan, kepentingannya keuangan kuat, jadi rezim keuangan itu ada rezim keuangan
Negara, rezim BUMN itu kan cara berfikirnya kuat tapi saya kan rezimnya adalah bukan itu,
makanya kan disini diperdebatkan saya bisa tunjukkan kamu, saya nggak tahu kamu dapatkan di
teman kamu, saya juga punya data.
LA: Apa tu Pak?
PW: Ada pendekatan financial, pendekatan fungsional, dan pendekatan insiden yuridis. Tadi yang
saya katakan rezim keuangan itu pendekatan financial gitu loh yaitu badan-badan yang
pendanaannya bersumber dari badan Negara oke yang tadi. Pendekatan fungsional yaitu badanbadan yang lingkup tugas dan visinya adalahuntuk pelayanan public (public service) iya kan
terus pendekatan insiden yuridis yaitu badan-badan yang berasal dari perUndang-undangan yang
akan sebagai badan public, ini definisi dari ketiga pendekatan itu.
Pendekatan Pemerintah yang pada undang kita yang terakhir itu, itu pendekatan financial pada
rezim keuangan, ngerti nggak? Jadi kalau misalnya Negara memberikan tugas itu namanya
delegasi, mendelegasikan kewenangannya kepada institusi, pendelegasian, delegation of, maka
dia badan hokum. Bisa didelegasikan misalkan PT X itu diberikan tugas untuk mengerjakan
proyek Kapuas, kan dananya dari APBN, dia melaksanakan tugas untuk mengerjakan itu, dia
open harus.
LA: Iya.
PW: Tapi nggak dengan Undang-undang ini nggak, gitu loh ngerti nggak maksud saya, karena apa.
LA: Nggak masuk.
PW: Iya gitu loh salah satu contoh. Nah kemudian yang berikutnya penugasannya misalkan kontrak
minyak, kan dia yang mengolah minyak juga berapa sih yang keluar, berapa ini kan orang Tanya
dia harus memberikan informasinya.
LA: Tapi yang ini-ini nggak bisa.
PW: Nggak bisa, itu yang tadi saya melakukan pendekatan informasi disini, kamu melihatnya badan
public. Nah itu yang kemudian, jadi lupa saya nggak intinya itu kemudian diselundupkan. Kamu
nggak bawa Undang-undangnya?
LA: Ada Pak.
PW: Coba yang saya coret-coret.
LA: Yang dicoret-coret.
PW: Jadi yang diselundupkan itu rumusannya yang ini, ini kan sangat lemah. Nah jadi yang badan
public yang sangat lemah sehingga tadi apa yang saya sebutkan sebagai diselundupkan,
disembunyikan itu masuknya pada rumusan informasi, informasi lain yang terkait dengan
kepentingan public itu adalah pintu masuk apa yang saya perjuangkan baru selamat disitu
sebetulnya. Takkala si Komisi Informasi mengatakan dia termasuk informasi yang berkaitan
dengan public apapun badan harus, nah disitu.
LA: Tapi ini dimanfaatkan karena BUMN nggak ada disini mereka bisa.
PW: Bukan BUMN masuk disini, ada pasal berikutnya kan, BUMN kan ada. Badan public kan
termasuk BUMN, ini pasalnya BUMN pasal 14 ini. BUMN adalah badan perusahaan milik
Negara dan badan usaha lainnya yang dimiliki oleh Negara dalam Undang-undang, yang pasal
14.
LA: Tapi kok nggak disebutin ya Pak di pasal 1 ayat 3.
PW:Kan tadi saya sudah bicarakan bahwa cara pembahasan ini, itu saling sembunyi
menyembunyikan, makanya waktu saya kritik Undang-undang ini tidak konsisten, rumusannya
tidak ada didalam dalam-dalam apa namanya. Itu namanya pertarungan kepentingan.
LA: Kalau dipasal 14 bunyinya baru ada ya pak BUMN?
PW: Ya pasal itu sudah ada duluan tapi rumusannya badan itu yang terakhir, detik-detik terakhir.
LA: Iya yang diadaptasi, makanya saya di halaman 34 ini saya bawakan, agak mengherankan juga
tentang BUMN, BUMD ini Pak, halaman 34.
PW: Ini?
LA: Iya, tapi saya agak bingung di risalah rapat yang tercantum itu nggak ada rapat tanggal 18 Juni ini
Pak, itu bagaimana Pak? ini Pak di DPR kan ada buku satu sampai tujuh itu nggak ada yang
tanggal 18.
59
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
PW: Begini DPR membikin risalah itu tidak lengkap.
LA: Ooooo.
PW: Jadi kalau kamu hanya mengandalkan pada itu, itukan kemampuan si mendokumenkan tadi.
Apakah seratus persen itu lengkap atau tidak lengkap kan disitu persoalannya .
LA: Tapi ini ada Pak, apakah betul?
PW: Ya makanya saya harus buka, itu kan dulu lembaran kertas-kertas dulu, kertas-kertas di.
LA: Tapi Menkominkonya bukannya Sofyan Djalil Pak?
PW: Siapa yang bilang itu.
LA: Kok disini dibilang Mohammad Nuh.
PW: Siapanya.
LA: Ini dibuku itu Mohammad Nuh apa salah tulis atau gimana?
PW: Bukan kan dulu ada dua Pak Sofyan Djalil dengan Mohammad Nuh.
LA: Mohammad Nuh sebagai apa waktu itu.
PW: Menteri selama Sofyan Djalil maka dilihat pada pergantian Menterinya .
LA: Iya ya dua kali ya Pak .
PW: Iya dua kali, Pak Sofyan Djalil.
LA: Yang pertama Mohammad Nuh dulu.
PW: Jadi Pak Sofyan yang pertama.
LA: Oh Pak Sofyan Djalil yang pertama .
PW: Iya dia yang pertama kemudian dia menjadi Menteri BUMN, Pak Mohammad Nuh yang
meneruskan, coba di cek.
LA: Iya tapi nah gini kan, jadi ada salah satu anggota berkaitan dengan pembahasan Undang-undang
Komisi Satu dan ini kan disebutkan “salah satu anggota DPR mengingatkan hasil kesepakatan
pada raker sebelumnya tanggal 18 Juni 2007 menyatakan pada kesimpulan butir kesembilan
bahwa ini Pak” terkait berkaitan dengan itu Menkominfo sepakat bahwa BUMN dan BUMD
masuk dalam kategori.
PW: Itu ada dua rapat, satu rapat Pansus satu lagi rapat bukan Pansus tapi materi Pansus bisa
dirapatkan pada raker yaitu rapat kerja biasa.
LA: Iya.
PW: Bisa saja waktu di raker Pansus mentok dibicarakan lagi di raker yang non Pansus jadi dua. Nah
itu kesimpulan rapat, nah itu beda laporan ada namanya laporan singkat. Laporan ada jenis-jenis
laporannya, dugaan saya itu adalah diputuskan diluar raker Pansus tapi dilakukan pada raker non
Pansus, itu harus di cek ulang.
LA: Gitu ya, makanya kan jadi agak nggak tahu salah satu anggotanya nggak tahu siapa ya Pak? kan
disebutin disini salah satu anggota DPR mengingatkan, nah itu Bapak tahu nggak kira-kira.
PW: Saya tidak jelas siapa ya tapi itu memang itu ada rekamannya, rekaman rapat-rapat Komisi Satu
tahun itu.
LA: Iya tapi itu nggak ada, nggak keluar.
PW: Ya itulah makanya kan saya kan Tanya, pada itu kan anak-anak buah saya, kok nggak semuanya
di transkrip misalkan gitu, ada lagi karena hilang jadi itu masih berupa kaset yang dikerjakan
oleh waktu pada jaman saya dulu itu. Nah makanya itu ini kan sebenarnya soal-soal alat bukti
yang mendukung ya memang harus dikejar, siapa yang itu tapi kan kemudian masuk ini kan.
LA: Disini sih dibilang memang yang berikutnya PDI yang.
PW: Ya makanya si PDI bisa Andreas Parera, bisa Pak Sidarto, bisa.
LA: Effendi Simbolan, nggak aktif sih ini siapa lagi.
PW: Nanti bisa di cek Andre Parera.
LA: Andre Parera ya Pak.
PW: Saya sms no telepon yang dia tapi nggak jawab-jawab mungkin sudah ganti , nanti saya cek
ulang ke teman.
LA: Iya makanya saya siapa nih bertanya-tanya juga kalau memang sempat ada begini kan kenapa
akhirnya berubah lagi gitu loh Pak?
PW: Kan ada rapat kerja Pansus, ada rapat kerja Komisi Satu, nah itu ada dua raker.
LA: Nah itu berarti kan dilobi lagi Pak.
PW: Tapi yang saya ingin katakan cara berfikir tadi semacam itu.
60
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Pak dalam arti didalam UU KIP ini masuk lagi di prolegnas 2005 ya? sebelumnya di 2001.
PW: Ya itu di 2000 pas jaman saya kan ada terminology prolegnas tapi kan cepat sekali jaman SBY.
Kita kan dulu reformasi betul mana Undang-undang. Nah intinya membuat draft itu dilanjutkan
oleh teman-teman 2004, 2009
LA: Kalau Tumbu Saraswati itu siapa pak?
PW: Teman saya, itu anggota Pansus saya. Jadi kan begini saya jelaskan jadi draft ini disusun oleh
Pansus DPR RI kami itu Pansus besar. Pansus besar itu terdiri dari beberapa anggota DPR RI
masing-masing Komisi. Pada waktu Undang-undang ini dibahas namanya Pansus kecil karena
hanya dibahas oleh Komisi Satu. Nah yang kamu sebutkan ibu Tumbu Saraswati tadi itu adalah
anggota DPR Komisi Dua pada waktu itu.
LA: Oh Komisi Dua.
PW: Tapi anggota Pansus saya Komisi Dua dari PDI Perjuangan, kamu kenapa Tanya Bu Tumbu
kenapa?
LA: Saya lihat di internet katanya diusulkan oleh Bu Tumbu Saraswati, ya KIP ini.
PW: Oh bukan dia itu baleg.
LA: Iya baleg.
PW: Kan gini untuk mengusulkan tanda tangan ini kan teman-teman kan baleg Bu Tumbu gitu loh.
LA: Dia dulu Komisi Dua.
PW: Komisi Dua, PDI Perjuangan teman saya, bu kamu yang ngusulin teman saya dia yang ketuanya,
LA: Jadi dibaleg ya Pak?
PW: Jadi terminology itu harus pas.
Ad : Dulu Pak Paulus PDI ya Pak?
PW: Iya PDI, saya ketua Pansus banyak sebenarnya. Waktu itu rahasia Negara mau dikasihkan ke
saya, ya saya tolak, wah saya nggak mau.
LA: Nah terus rahasia Negara posisinya kayaknya UUKIP dibawah rahasia Negara ya Pak waktu.
PW: Rahasia Negara kita tunggu.
LA: Nggak jadi ya Pak?
PW: Dari jaman saya, saya mau dijadikan ketua Pansus saya nggak mau, udah saya bilang sama
teman-teman di DPR. jangan deh itu, itu istilahnya dua Undang-undang yang saling tarik
menarik.
LA: Iya.
PW: Jangan deh.
LA: Tadinya kan mau barengan kan ya Pak?
PW: Jadi kalau secara historis itu Undang-undang ini diusulkan melalui baleg kan, dia memang
ditempat baleg. Nah jadi baleg itu sebagai tempat keluarnya inisiatif DPR tempatnya disitu biar
cepat gitu loh. Ada Nyoman Gunawan, ada nama saya juga itu teman-teman saya juga, saya
masih pegang Undang undang penyiaran kan nah kamu teken-teken, soal teken kan teken saja
saya bilang ya keabsahan itu paling nggak 26 orang.
LA: Jadi risalah itu yang tertulis itu sebenarnya nggak lengkap ya Pak?
PW: Ya nggak lengkap?
LA: Nggak semuanya.
PW: Iya.
LA: Buktinya kan yang tanggal 18 itu.
PW: Yang inipun mungkin nggak ada juga, yang diluar ini juga nggak ada usulan Polri ada.
LA: Itu kenapa kira-kira kenapa kok bisa nggak lengkap itu apa karena mereka ini atau.
PW: Apakah kesadaran dari teman-teman mengarsip dokumentasi itu sederajat atau selevel dengan
teman-teman di Komisi Satu. Kadang-kadang kan kalau nggak diperintahkan nggak jalan.
LA: Yang nggak jalan Komisi Satu atau ardocnya Pak?
PW: Ardocnya, kalau mereka bisa karena anggarannya nggak ada ini nggak ada. Sampai dulu itu saya
waktu ketua Pansus dengan uang saya saya mintakan transkrip, saya kasih uang.
LA: Oh gitu.
PW: Jadi jangan bicara bahwa nggak ada, kamu mencari bukti . Kelemahannya adalah seolah-olah
terbius alat bukti yang paling utama padahal itu adalah bagian dari kesepakatan-kesepakatan. Jadi
alat tertulis itu kesepakatan.
61
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Iya.
PW: Ini bukti lisan, yang lainnya kan bukti tertulis ada buktinya, atau lobi itu tidak tertulis, dulu kita
lobi itu tidak tertulis kalau tertulis kan gimana.
LA: Jadi yang saya terima risalah dari mereka itu yang saya lihat kan ada di rapat beberapa tanggal
dari raker sampai Panja itu, itu memang nggak, dipending-pending terus gitu Pak ya yang badan
public ini.
PW: Iya di pending-pending terus sampai .
LA: Iya gitu kan dari tanggal Maret sampai beberapa kali sampai akhirnya diputuskan ya udah kita
bawa ke Timus saja katanya gitu kan, kira-kira kok sampai begitu yang lain-lain kan sudah
diputus semua, diputus sudah sepakat-sepakat.
PW: Justru itu, cara membahasnya saya kan sekarang menjadi orang yang bebas menilai, cara
membahasnya itu tidak runtun dari awal jadi rumusan-rumusan yang ini tadi yang kept tadi itu
loncat-loncat, zig zag tadi konsistensi terminology. Misalkan terminology kelompok,
terminology pengguna, pemakai itu juga nggak benar. Contohnya saya dulu pernah minta sama
namanya si Krishma, Krishma baca ulang, nggak usah Pak kalau dibaca ulang nanti dua tahun
lagi baru selesai karena dulu si Krishma staff ahlinya Komisi Satu. Ini dia saya sederhanakan
saja kan kita harus konsisten dengan terminology informasi, kamu lihat aja deh ini kan informasi
yang wajib disegan dan diunggah kok hilang publiknya, kalau kita concern dengan informasi
maka yang harus kamu tangkap adalah definisi informasi butir pertama. Kalau kamu bicara
informasi public maka kamu harus merujuk pada definisi ini, ini nggak salah ini yang wajib.
Informasi wajib diumumkan kenapa bukan informasi public yang wajib diumumkan ini satu yang
tidak konsisten, informasi lain nggak konsisten padahal ini Undang-undang informasi public
coba ini aja.
LA: Iya maksudnya.
PW: Iya itu tadi karena mereka tidak membaca lagi secara keseluruhan. Oke tadi itu pasal masih yang
wajib, informasi yang wajib didalamnya tapi punya informasi public dari terminologyterminology ini nggak sama.
LA: Oh iya.
PW: Nah sekarang informasi public oke.
LA: Jadi kekurang ketelitian pada waktu itu.
PW: Ya kesana-kesini, kesana-kesini pas waktu baca kecampur aduk, mana awal mana akhir, terus ini
pasal ini kategorisasi ada terminology yang lupa, eh bukan lupa yang tadinya ada dibuang tapi
masih wujud. Lihat pasal 52 “…public bla-bla bla-bla tidak…public”, tidak menerbitkan
informasi public berupa informasi public secara berkala masuk kategorisasi, informasi public
yang masih diunggah secara serta merta apa satu kali berikutnya, yang wajib kerja setiap saat
kategori berikutnya dan keempat informasi yang harus diberikan bedasarkan permintaan. Jadi
harus ada kategori disini informasi bedasarkan kategori permintaan kan, kok hilang di situ, yang
dihilangkan kan tapi pada pasal ini masih muncul lupa dia mengdeletenya. Nah jadi disini
tempatnya kategorisasinya disini, kategorinya di awal karena mereka nggak teliti karena
informasi yang wajib bedasarkan permintaan, ini termasuk kategori tapi dihilangkan.
LA: Nggak ada ya Pak.
PW: Tapi disana nggak kehapus, tapi didalam perdebatan-perdebatan karena ada di sana, pasti masuk
juga dong tapi terlalu tersembunyi. Jadi hak orang untuk informasi itu tetap ada.
LA: Tapi karena disini nggak.
PW: Tapi kemudian itu dihidupkan oleh standar informasi public, itu dihidupkan di ininya.
LA: Jadi bisa ya Pak.
PW: Ya artinya begitu cara-caranya menghidupkan yang hilang itu kan saya kasih tahu dulu. Itulah
Undang-undang ini minta di ini kan kategorinya, disediakan, serta merta.
LA: Serta merta, ada empat tadi ya Pak?
PW: Setiap saat dikecualikan yang satu itu ada permintaan. Salah satunya ada kata permintaannya,
jadi diminta, jadi ada informasi yang diminta, ini tahun berapa yang 2013 kalau nggak salah.
LA: Oh beda-beda terus Pak?
PW: Ya dikembangkan.
LA: Direvisi ya Pak?
62
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
PW: Jadi ada terminology yang atas permintaan. Kamu bisa lihat ini kan ada kategori keempat,
kategori setiap saat tadi, nih.
LA: Berkala.
PW: Berkala, formatnya setiap saat atas adanya permintaan, baru informasi yang dikecilkan ini
historisnya. Jadi kalau kamu mau bisa mindset Undang-undang itu tidak konsisten, penuh dengan
kompromi untuk menyembunyikan sesuatu yang kemudian sangat multi interperasi hasilnya.
Multi interperasi itu maksud saya, itu didalam istilahnya itu perdebatannya itu mungkin
interprasi, kamu sekarang meneliti itu yang saya sampaikan waktu saya di Mataram, saya punya
paper nya ternyata.
LA: Boleh dong Pak minta.
PW: Itu yang saya, ini dia.
LA: Jadi Pak pencantuman BUMN, BUMD yang nggak ada dalam pasal 1 ayat 3 itu bisa dibilang
karena tadi itu ya Pak, ada kompromi dan aspek-aspek itu tadi kepentingan anggaran tadi ya Pak.
PW: Ini ni dulu waktu saya di Mataram. Suami kamu ada disana saya kan membaca ulang kalau
membaca Undang-undang kept itu tadi secara yang saya sebutkan. Tahapan pembahasan di DPR
tadi yang penyiapan, perumusan, pembahasan terus aturan-aturan atau registrasi yang tadi
disebutkan Bu Tumbu bla-bla, Pansus besar, Pansus kecil. Nah ini yang penting text awal sampai
text akhir. Nah kamu itu mempelajari sebuah text yang akhir kalau tidak tahu proses awalnya itu
akan-akan bingung. Nah itu kan artinya ada intensi integritasnya apa ini dia ada pihak yang
menang dan ada pihak yang kalah.
LA: Nah itu Pak maksud saya seolah-olah DPR kalah dong.
PW: Ya apapun lah yang disebut ya silahkan aku bebas, kamu akademisi punya freedom of
LA: Nah itu yang mau saya kritik kenapa bisa ini nih?
PW: Oke pasal-pasal buat kompromi, ambigu, trade-off, apa itu trade-off?
LA: Maksudnya apa Pak saya nggak ngerti.
PW: You masuk yang lain juga harus masuk.
LA: Oh, pasal-pasal yang begitu.
PW: Trade-off, iya.
LA: Yang ini masuk yang ini juga harus masuk.
PW: Pasal trade-off nya ini. Trade-offnya adalah dimasukkannya terminology partai politik dan NGO
dalam Undang-undang, kok pemerintah aja DPR juga dong loh partai-partai politik, masuklah
partai-partai politik.
LA: Di badan public.
PW: Diawalnya kan nggak ada begini-begini ini, makanya subjeknya siapa badan publiknya kan
badan public dapat uang dari Negara APBN itu wajib dong.
LA: Akhirnya ngalah ya mau juga.
PW: Rezim, rezimnya ada rezim keuangan.
LA: Tapi BUMN kenapa nggak dimasukin.
PW: Masuk, masuk juga, itu treat- off tapi tidak dirumuskan didalam tapi ditransaksikan pada ini tadi.
LA: Pasal 14 tadi.
PW: Yang itu transaksinya disitu makanya disembunyikan dimana.
LA: Di pasal 14 kan Pak.
PW: Bukan-bukan itu penjelasannya, kamu nggak lihat di pasal penjelasannya, kamu nggak lihat
penjelasannya.
LA: Nggak, belum.
PW: Ini pasal 14 kan BUMN, oke pasal 15 kamu nggak sebutkan, pasal 16 tidak mau sebutkan
padahal trade-off.
LA: Pasal 15 juga.
PW: 14, 15 itu trade-off jual beli, transaksi, draft pada awalnya nggak ada itu.
LA: BUMN nggak ada ya.
PW: Artinya begitulah. Nah ini kamu, buku saya yang sudah saya coret jelas banget ketumpuk, nah
ini dia. Jadi waktu ada disini sebetulnya, jadi waktu.
LA: Harusnya di pasal 1 ayat 3 disebutin aja ya Pak kalau memang ada di pasal 14, 15.
PW: Bukan pasal-pasal, pasal 14 sudah ada tapi nggak mau dirumuskan diawal itu.
63
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Iya, ya harusnya.
PW: Nah kamu kan seharusnya nggak mau kan.
LA: Iya itu dia.
PW: Apa penjelasannya, ini kamu harus lihat penjelasannya kan tadi kan pasal 14, nih oke, yang
dimaksud dengan Undang-undang yang terkait dengan bla-bla bla-bla hanya ini-ini ini-ini, ini
koma kan ini kan penjelasan yang disembunyikan, yang dimaksud ini adalah ini-ini, ini-ini, ini
harus kamu baca hati-hati.
Sekarang pasal d, yang dimaksud dengan Undang-undang yang terkait dengan Undang-undang di
partai politik yang dimaksud dengan organisasi non poltik dalah organisasi baik berbadan hukum
maupun tidak berbadan hukum, arisan pun, kelompok ibu-ibu majelis taklim pun itu wajib
membuka informasinya, yang tidak berbadan hukum toh yang meliputi perkumpulan.
Perkumpulan loh lembaga masyarakat badan usaha pemerintah disini disembunyikan, badan
usaha non pemerintah. Apakah yang dimaksud dengan badan usaha swasta, saya mengatakan
badan usaha swasta.
LA: Berarti badan usaha swasta juga bisa.
PW: Karena Undang-undang ini disembuyikan tadi yang sebagian dan seluruhnya bersumber dari
APBN, sumbangan masyarakat dan atau luar negeri, yang dimaksud dengan badan usaha.
LA: Ini pasal 16 Pak bukan 15.
PW: Pasal 15 partai politik kalau 16 NGO, ini cara menyembunyikannya.
LA: Ya, ya-ya.
PW: Ngerti kan sekarang badan public.
LA: Iya ya disembunyi-sembunyikan kalau nggak jeli juga nggak ini juga ya
PW: Ya tadi saya kan ngerti, pertarungan saya dan mereka diluar dengan BUMN dengan Said Didu.
Jadi sekretaris utama Menteri BUMN dan Said Didu teman saya. Oh gubrak, beradu argument di
luar kan tapi bukan di DPR, di diskusi di luar, di jurnal nasional yang tadi kompromi
ketidaksesuaian antar pihak. Nah kalau kita mau membantu harus menyatu dan bukan parsial.
Sekarang menilai undang undang KIP, ini Undang-undang KIP gimana kemanjuran,
kemujaraban Undang-undang ini untuk keterbukaan informasi public. Apakah secara kapasitas
itu menghasilkan pengaruh yang diinginkan, sesuai yang diharapkan kan saya ini kan mengajak
orang. Ternyata sudah diputuskan oleh KIP Badan Publik Negara nggak mau juga jadi lemah
pada kekuatan eksekusinya oke.
Ini dia apakah kemudahan, kecepatan, saya melihat ada birokratis baru dalam proses ini.
Membaca Undang-undang KPI semacam ini termasuk yang tadi saya katakan, kan saya menjadi
saksi ahi untuk Bank BNI Syariah tunduk nggak saya bilang tunduk. Nah, penulisan naskah KIP,
penggunaan kata yang sah, yang jelas apa ambigu apa manipulasi, rumusan-rumusan dan tekhnis
jenis hukum dan kebijakan. Nah yang rumusan tadi rumusan akademis, rumusan tekhnis,
rumusan hukum atau semua kebijakan, iya kan. Batang tubuh dan penjelasan tadi kan yang
disebut batang tubuh ini, penjelasannya ini kan beda-beda. Pengkaidahan dan norma yang tersisa
gila lo yang ini nggak dibahas ini mau dimasukin kemana ya, dimasukan yang tadi yang layan
tadi.
Norma yang tersulit masuk tanpa sadar dan terselubungi pasal 52 itu lupa kan terselip, jadi
membaca ,saya kan mengajari mereka membaca Undang-undang itu tolong dibaca kamu.
Membaca ini membaca soal ini, soal penulisan kan ini namanya teks-tekstual, terus cara umum
menafsirkan jadi the theory off interpretation-nya. Nah text koalistis, pemahaman arti isi
semantik dan biasa umum dari naskah tadi intensionalistis atau intensionitasnya, keinginan
perancang yang tadi kau sebutkan, secara proporsinya apa tujuan Undang-undang tapi kemudian
kita juga bisa menggambungkan dua pendekatan untuk menilai sebuah Undang-undang. Saya
kan memberikan masukan karena ada hal-hal yang ditafsirkan macam-macam oleh merekamereka itu kan secara masuk sudah, nah ini tadi disampaikan oleh informasi public, yang
berkaitan dengan ini, ini yang disembunyikan.
LA: Padahal ada disitu Cuma ya ya ya.
PW: Serta informasi lain atau entry apa pintu masuk untuk, kalau nggak bisa nah ini yang jadi kita
berdalil, berarti pada ini berkaitan dengan public jadi harus dong apa rumusannya, saya
rumusannya bisa, ini pandangan public yang saya sebutkan tadi bahwa .
64
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Hmm Iya.
PW: Iya kan.
LA: Rezim keuangan dominan, ya betul.
PW: Ini dia, ini waktu saya ceramah di NTT udah beberapa kali tempat terbuka. Suamimu mungkin
dia tahu karena dia tahu Saya, saya, ini penjelasan pasal 16 tadi ya. Yang dimaksud dengan
organisasi non formil adalah organisasi baik berbadan hukum dan tidak berbadan hukum yang
melebihi perkumpulan, lembaga swadaya masyarakat badan usaha non pemerintah, ini yang saya
inikan ini penjelasannya. Ini yang sisinya kemudian orang perorang, pengguna dan pemohon
tad,i oke. Nah ini yang saya larikan ke sengketa nggak penting tapi intinya apa saya katakan ini.
Nah ini juga penting ini, nah ini kan kamu badan public maka akan bertarung pada konsep badan
hokum public dan badan hokum private. Badan hukum itu bisa public bisa privat, hal dan
kewajiban badan hukum apa, badan melakukan perbuatan hokum, apa badan hukum dilakukan
oleh pengurusnya, badan public, penyelenggara Negara. Nah pendelegasian Negara kepada
swasta, perizinan Negara kepada swasta. Jadi rezim perizinan pun harus tunduk kepada Undangundang .
LA: Ya harus tunduk.
PW: Misalkan, nah itu yang masuk Undang-undang penyiaran itu memberikan frekwensi yang
digunakan 5 tahun, 10 tahun, itu rezim perizinan menggunakan ranah public.
LA: Pak maksudnya yang pasal 3 ini pasal 1 ayat 3 ini badan public adalah badan eksekutif yang
legislatif, dan edukatif dan lain, badan lain ini bisa maksudnya.
PW: Nah itu dia, lembaga KIB, KPI, Komnasham, KPK.
LA: BUMN juga termasuk disini.
PW: Bukan, BUMN sebetulnya dari tad,i badan lain ini badan lain yang kau sebut ini yang ini harus
dikaitkan dengan penyelenggara Negara.
LA: Ya berarti BUMN.
PW: Kategorinya pada Negara ya bukan, pda waktu itu yang masuk adalah badan lain yang lembaga
non Negara non structural, Badan pengawasan obat, makanan dan minuman, BKMG, apa
namanya KBI, KIP, Komnasham, KPK, Kompolnas badan lain yang penyelenggara Negara gitu
iya kan.
LA: Kalau kayak Pertamina itu.
PW: Itu yang tunduknya pada BUMN yang merupakan uang Negara masuk, kan ada uang Negaranya.
LA: Maksudnya kenapa tidak dicantumin saja sekalian aja BUMN.
PW: Bukan, bukan itu kompromi supaya BUMN gitu loh.
LA: Iya ya betul.
PW: Jadi kamu jangan meng-insert khayalan kamu, cara berfikir kamu itu kan itu namanya.
LA: Nah itu makanya selama mereka membahas kan ribut soal itu saja pencantuman tentang BUMN,
merek BUMN dan BUMD maksudnya ex BUMN, BUMD.
PW: Sebagai term yang mudah artinya sebagai term yang mudah untuk di
LA: Iya gitu kalau ada itu kan orang jadi mudah inget.
PW: Justru itu yang disembunyikan.
LA: Kita bisa meminta informasi kepada mereka dengan mudah gitu loh Pak tapi kalau nggak ada
teksnya itu kan orang-orang jadi bertanya-tanya gitu loh Pak, oh nggak kalau orang nggak baca
semuanya.
PW:Makanya kalau kamu bicara badan public yang diperdebatkan itu, kalau rezimnya rezim
keuangan itu sangat lemah. Jadi kita melihat sesuatu secara utuh komperensif, saya melakukan
itu dengan pendekatan tiga dimensi. Mana yang badan public atau mana yang tidak badan public
itu dengan tiga dimensi bukan dua dimensi iya kan. Apakah public atau private bukan itu
melainkan pengajuan pertanyaan apakah entitas itu adalah public atau private harus terkait
dengan sesuai sebagai cara pendekatan dalam tiga dimensi itu saya gunakan teori ini.
LA: Dengan kata lain walaupun BUMN nggak tercantum di pasal 1 di ayat 3 itu ya tetap aja dia
termasuk badan public?.
PW: Nah itu dia teorinya apa, nah itu makanya teori. Jadi kalau menurunkan rezim keuangan Negara
nah itu terus kemudian teori hajat hidup orang banyak dalam pasal 33 bumi, air dan kekayaan
alam yang dikuasai oleh Negara ini adalah badan public. Penyiaran itu telekomunikasi itu badan
65
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
public menurut saya karena dia menguasai hidup orang banyak. Nah teori hajat hidup banyak
saya masukkan sebagai teori untuk mengatakan siapapun masuk. Nah informasi yang berkaitan
dengan kepentingan public tadi, pasal oh rumusan yang terakhir yang no 2 adalah yang berkaitan
dengan.
LA: Informasi lain.
PW: Nah kan.
LA: Yang berkaitan dengan kepentingan public.
PW: Apa itu nah public offences, public comitmen, public function, public head, public order, public
important, public anxiety, itu adalah badan public karena menggait kepada kepentingan public
tadi karena saya tadi masuk kedalam ranah kepentingan public masih badan public, kalau masih
nggak bisa masuk dari sana ya masuk dari sini. Kepentingan sebagian masyarakat atau semua
orang atau sekelompok orang adalah kepentingan public juga karena sekecil apapun kelompok
itu mereka dapat mempengaruhi kuantitas atau bobot dari kepentingan public sehingga lebih
besar dan banyak manfaat. Mungkin teorinya adalah teori tentang menimbang public test, public
test pasal ini kan pakai uji test. Public test ini ada dua teori yang satu Harm test, itu apakah test
itu akan mencampurkan, membahayakan tapi yang pertama public interest testnya dulu, di test
pada kepentingan publiknya. Nah ini yang harus melakukan adalah badan public tapi yang
penting argumentnya, nah tatkala anda mengatakan ini bukan kepentingan public, test ya gimana.
Nah kecil ajapun itu menjadi, nah ini yang kemarin saya ceramahkan di Mataram dan ditempat
lain ini.
LA: Jadi kalau Bapak melihat perdebatan, pertarungan didalam pembahasan itu mulai dari Raker,
Panja.
PW: Karena perdebatannya hanya masuk pada perdebatan rezim keuangan Negara bukan rezim pada
public interest.
LA: Rezim keuangan Negara ya Pak.
PW:Tadi kan ada tiga ada pendekatan ada pendekatan financial, pendekatan fungsional dan
pendekatan yuridis formal. Nah saya menggunakan, bukan financial tapi pendekatan fungsional
tadi.
LA: Tapi kalau Bapak melihat mereka itu begitu, mereka itu kompak nggak si Pak?
PW: Ya nggak lah mungkin ada yang suaranya siapa, ada yang suaranya siapa. Itulah yang namanya
fraksi balkon tadi memberikan masukan supaya mereka ya berdebat kan mereka amunisinya
kadang-kadang amunisinya apa lagi.
LA: Mereka cenderung ngikutin pimpinan disitu atau masing-masing?
PW: Saya tidak tahu tapi kadang-kadang juga tidak mengikuti atau kadang mereka mengikuti dirinya
sendiri kadang-kadang mereka juga ada yang kritis juga.
LA: Walaupun satu fraksi .
PW: Bisa saja satu fraksi tapi nggak sepaham.
LA: Bisa juga yang Golkar sepaham dengan yang PDI gitu ya.
PW: Jadi low makers ya disitu.
LA: Kalau untuk pimpinanya pak sama juga kayak begitu maksudnya usulan-usulan dari anggota
mereka banyak tampung atau banyak apa atau malah mereka banyak memihak kepada yang satu
ini aja.
PW: Makanya cara untuk tadi mengetest, menguji apakah pemikiran dia orisinal atau tidak orisinal
ada pada konsistensi cara berfikirnya. Si X, Abdullah siapalah namanya ngomongnya nggak,
tatkala pada detiknya kok berubah, nah dia kok pemikirannya berubah dipengaruhi atau apalah
saya nggak tahu, tapi kamu kan bicara soal badan public, badan public itu yang tadi. Apakah
badan public melobi anggota DPR, sikap kompromi atau tidak, merekalah.
LA: Jadi berarti nggak semua masukan-masukan dari anggota-anggotanya ditampung juga sama
pimpinan ya Pak
PW: Nggak bisa tapi makanya tadi yang disebut dengan keputusan terakhir adalah teks, tapikan
rumusan tapi didalam rumusan mengandung makna-makna pertanyaanya mengapa badan public
tadi enggan untuk dimasukkan secara textual.
LA: Betul, Bapak tahu nggak pak siapa saja orang yang nggak setuju apa.
PW: Susah saya kan nggak sudah agak lupa paling tidak.
66
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Maksudnya siapa saja yang pro ke pemerintah yang.
PW: Saya di PDI Perjuangan.
LA: Berarti kan Bapak pengennya.
PW: Saya kan ke Andre Parera, Apakah Sidarto Danusobroto tapi kan saya sulit untuk.
LA: Nggak maksudnya kan ini kalau PDI pengennya dimasukkin nih teks ini tapi akhirnya nggak
dimasukkin nah itu berarti kan.
PW: Kompromi.
LA: Secara teori ini PDI nurut kan
PW: Bisa ngalah.
LA: Ngalah ya maksudnya.
PW: Mengalah karena kan sudah dimasukkan kesana.
LA: Bapak tahu nggak siapa si kira-kira maksudnya orang-orang yang ngotot nggak usahlah, nggak
usah dimasukkin ke itu.
PW: Saya nggak baca semuanya,
LA: Ketika Bapak mengamati perdebatan itu kan, kira-kira siapa gitu,
PW: Ya yang lumayan vokal tadi itu.
LA: Kalau ngelobi-lobinya Bapak suka ikut nggak?
PW: Tanya ke saya.
LA: Nanya.
PW: Nanya ke saya.
LA: Mereka biasanya ketemu di luar rapat itu.
PW: Ya kita ajak pergi ada diskusi disini, kami harus lembur disini.
LA: Berarti ngundang ahli-ahli lain juga ya waktu itu?
PW: Iya.
LA: Ngundang dari itunya sendiri dari BUMN nya sendiri yang waktu itu ada Pak Said DiDu itu
diajakin.
PW: Komisaris utamanya BUMN itu dia.
LA: Tetap diajakin diluar-luar itu berarti kan.
PW: Muncul nama Said Didu nggak?
LA: Nggak.
PW: Saya buka ada semua disitu.
LA: Berarti yang dibicarakan waktu itu misalkan ketemu pengen ngebahas waktu itu aja atau sama
yang lain-lain Pak.
PW: Yang lain-lain juga.
LA: Yang lain juga nyampur ya Pak, itu sering nggak sih Pak ketemu-ketemu di luar-luar gitu.
PW: Wah saya lupa ini kepentingan notaries, ini kepentingan BI, ini IKAPI ada semua ini, saya nggak
tahu ini masuk apa nggak tapi intinya begitu. Nah ini saya nggak bongkar-bongkar, sekretaris
saya yang kan ini yang menerapkan laporan singkat Panja. Wapanja itu wakil saya misalkan
begini ini draft ya nih, informasi adalah fraksi KP kamu punya ini kan dim-dim ini?
LA: Ada, ini yang pertama ya Pak?
PW: Ini draft perdebatan, perdebatan kan masuk draft. Waktu draft pun ada, ini ketua rapatnya saya.
Nah ini loh anggota-anggota saya dulu ini, ada Pak Toni, Aisyah Amini, Effendi Choirie,
Darmono Bupati Sumedang, Golkar, ini dia. Ini kan nyusun draft kan yang saya sebutkan ini,
nah draft ini yang DIM, ada semua yang intinya memberikan masukkan tadi.
LA: Berarti Bapak melihat banyak tekanan ya Pak dari dalam DPR maupun dari luar.
PW: Terminology tekanannya dimana.
LA: Ya maksudnya, ini harus dimasukkin, ini nggak usah gitu.
PW: Intinya.
LA: Atau kompromi
PW: Nggak intinya ini, setiap kepentingan tadi berusaha memasukkan kepentingannya, caranya apa?
Caranya bisa satu, dua, tiga, empat, lima, caranya ini kan cara melobi bisa beragument secara
nalar tapi dengan juga argument-argument lain kan gitu yaitu kemudian secara teori kan namanya
itu kan kalau teori tentang regulatory, itu memasukan kepentingan dengan cara-cara apapun itu
dilakukan oleh siapapun termasuk korporasi termasuk BUMN. Namanya kalau didalam teori
67
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
regulatory capture jadi regulatory capture adalah sebuah teori kepentingan-kepentingan
perusahaan tadi dimasukkan oleh anggota untukmemperoleh pasal pasal yang akan
menguntungkan dia. Nah dia akan menjadi rugi apabila terminology BUMN ini masuk, dia
mendapat kerugian karena dia ada beban tapi kemudian yang badan usaha swasta tadi kan nggak
masuk, nah dia juga mendapat keuntungan dengan dia masuk kan padahal harus disisi
sebelumnya, ini pendapat saya semata kan. Kemenangan korporasi cukup signifikan karena dia
atau mereka tidak terekplisitkan secara factual tapi tatkala dia disembunyikan maka akan ada
cara-cara untuk menafsir kepentingan yang tersembunyi tadi lewat jalur-jalur hukum tertentu
yang bagi perusahaan itu sangat mudah karena dia bisa beli lawyer kan, tapi masyarakat biasa
yang lemah, yang tidak mempunyai kemampuan ekonomis untuk membayar lawyer mesti akan
diabaikan. Makanya waktu saya menjadi saksi, lawyer yang main, masyarakat pasti nggak akan
kuat jadi gitu lah makanya saya mengatakan bahwa terminology perundang-undangan hukum
yang mengatakan, ini nanti akan diselesaikan di peradilan tidak akan kekal lagi warga Negara,
karena warga Negara di set lemahnya. Warga Negara mencari keadlian itu susah, korporasi
mencari keadilan dia punya kekuatan, lawyer. Nah ini saya mengatakan pasal-pasal tatkala
masuk itu akan melemah tapi kalau diungkapkan secara terbuka tidak interpretasi lagi.
LA: Berarti masukan-masukan koalisi, ya para pengawal KIP itu lah berarti bisa dikatakan mungkin
tidak terakomodir dengan baik ya pak ya.
PW: Ya artinya dia tidak, makanya tadi saya mengatakan broadcast ada di Hukum Online, ada di
pernyataan saya sebetulnya,ini tahun 2000 waktu diundangkan itu, saya langsung dikomentar
oleh teman-teman itu, pak gimana komentarnya, komentar saya ada disini. Saya mengatakan
waktu itu 65% saya puas, 65%.
LA: Bapak bilang waktu itu ya.
PW: Dapat poin 65% jadi saya dulu iti diwawancarai Hukum Online.
LA: Hukum Online, pendapat bapak waktu itu ya.
PW: Tahun 2008 bulan April ingat betul.
LA: April 2008 ya pak ya, setelah disahkan ya.
PW: Pada waktu disahkan langsung.
LA: 65 ya pak, jadi kurang memuaskan ya pak. Jadi kalau misalnya tadi yang bapak bilang akhirnya
jadi ikhlas ini PDI sepertinya akhirnya ikhlas, itu artinya buat menjaga nama baik atau.
PW: Sudah terlalu lama UU dibuat .
LA: Solidaritas kelompoknya atau apa pak.
PW: Bisa, bukan kelompoknya, mungkin sudah tidak punya cara lain untuk mempercepat proses UU
ini sehingga dia menurunkan derajatnya. Derajatnya Itu tidak pada tekstualistis sudah pada
terakomodasi pada tempat lain.
LA: Ya ya.
PW: Jadi bukan pada tapi lebih pada sudah terakomodasi di tempat lain.
LA: Nah kalau bapak lihat sendiri waktu itu orang-orang di Komisi I kira-kira setelah dengan
disyahkan RU KIP itu mereka gimana puas nggak si pak dengan hasil akhir yang mereka bikin
itu.
PW: Saya tidak tahu pasti, akan kelihatan pada waktu mereka rapat kerja. Mereka pun tidak paham
betul anggota-anggota dewan DPR berikutnya tidak paham betul UU KIP itu.
LA: Jadi ya mereka kayaknya hambar-hambar aja pak ya.
PW: Ya, jadi kasihan juga.
LA: Ya ya betul.
PW: Karena itu mereka kemudian selalu tanya saya, saya masih dianggap sesepuhnya Komisi I atau
pakarnya Komisi I untuk hal-hal kalau mereka nggak bertanya saya.
LA: Jadi kalau Bapak lihat jalannya pembahasan itu dari dua periode itu, kesan bapak yang bapak
timbulin ya tadi pak ya, kurang memuaskan tadi pak ya karena.
PW: Ya tadi kekuasaannya, pada rumusan badan public, rumusan pada informasi-informasi public,
klasifikasi informasi yang tadi saya sebutkan terus pada sekertariat KIP terus kemudian pada
proses test nya, public interest, test-nya kurang terurai dan ini karena pasal ini tidak mengurai.
Jadi hak untuk menghadiri pertemuan-pertemuan public ,itu mereka tidak elaborasi.
LA: Di pasal berapa itu pak?
68
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
PW: Pasal awal, setiap orang berhak melihat dan menghadiri pertemuan public yang terbuka untuk
umum untuk informasi public, ini nggak ada.
LA: Nggak ada penjelasan.
PW: Ini sebenarnya informasi public namanya badan public itu, namaya public. Misalkan ikut rapat
ke DPR itu public terbuka, kamu bilang nggak boleh jadi menhadiri pertemuan public nggak
boleh, terus rapat-rapat itu nggak ada padahal pada waktu drafnya, ada standart yang namanya
menghadiri pertemuan public misalkan rapat Desa atau apa nah itu bahan rapat itu harus
diserahkan seminggu sebelumnya.
LA: Kepada public.
PW: Kepada orang akan diundang dengan demikian dia akan mempersiapkan kehadiran itu dan
memberikan kontribusi untuk kepentingan public itu nggak ada, padahal dulu ada.
LA: Waktu draft ada.
PW: Model itu ada dua, jadi banyak yang begitu-begitu pak ya.
LA: Jadi banyak yang begitu-begitu pak ya, jadi bisa dibilang belum sesuai prosedur ya pak ya.
PW: Tidak sesuai dengan standar.
LA: Tidak sesuai dengan standar.
PW: Jadi kita main pada, kan kita tadi mengatakan UU itu harus punya standar. Standar itu
mencakupi prinsip-prinsip apa yang ada dalam UU itu, salah satunya prinsip menghadiri public
forum nggak ada padahal publik forum itu juga menjadi sangat penting.
LA: Jadi bisa dibilang juga UU ini belum terlalu ideal ya pak ya, agak mengecewakan.
PW: Ya tadi yang saya katakan nilainya kan begitu.
LA: Berarti sama juga dengan belum ideal ya pak ya secara umum .
PW: Untuk kepentingan public sudah punya landasan tapi tatkala kita akan menggunakan itu
implimentasinya mendapat hambatan karena birokratisasi karena badan public masih resisten.
Nah pada waktu awal saya ceramah UU ini adalah UU itu menimbulkan penyakit apa.
Penyakitnya adalah penyakit endemic, penyakit endemic,satu lain adalah mereka rentan, resisten
untuk memberikan informasi, yang kedua enggan itu kemudian menjadi mereka selalu menunda,
delay dengan alasan yang tadi ya.
LA: Ya yang bermacam macam ya.
PW: Dan bagi dia kenapa nggak karena dia terbebani karena kulturnya masih kultur dia berubah
kultur. Nah ini kan berubah kultur. Nah itu tidak terjadi, ya itu saja yang, kalau dari segi
masyarakat, penyakit masyarakat apa kan gitu. Penyakit masyarakat adalah UU KIP masih
berfikiran sempit.
LA: Nanti saya mau copy ya pak ya.
PW: Unduh aja.
PW: Ini dia, pada malam bercuaca cerah itu Komisi I DPR bersama menteri Informasi Mohammad
Nuh, Menteri Hukum Andi dan Rahmat Rambi sedang ngebut menyelesaikan sebuah rancangan
UU. Tatkala aturan yang dimaksud ada RUU kepentingan public, itulah PR yang Paulus
Widiyanto, pria itu wariskan kepada anggota DPR periode 2004-2009. Meski sudah tidak duduk
lagi di kursi DPR, Paulus jadi anggota Komisi I DPR baik pemerintah tetap menanti pandangan
dan usulannya. Saya bukan ngarang, ini tulisan orang, maklum penggerak pemenangan. Ini
menjadi ketua Pansus. Malam itu Paulus muncul dan menyimak jalannya rapat kerja.
Terimakasih kepada Pak Paulus yang menaruh perhatian sangat besar pada ini. Pujian Komisi I
mengakui dedikasi Pak Paulus, rapat usai tengah malam. Bukan saya ya yang bercerita. Nih
Kamis esok harinya disaat Paripurna kembali Pak Paulus menyambangi Senayan saya detik demi
detik dia simak, ketika siap disahkan, inilah saat monumental anak yang dia tunggu-tunggu akan
lahir ahkirnya lahir juga, Paulus bisa menghela nafas lega setelah sekian lama, pujian siapa
namanya saya lupa deh dia selalu mgikutin saya kemana-mana, disela-sela sidang diantara
deretan kursi balkon.
LA: Kursi balkon.
PW: Saya masih penasihat ATVLI, masih mengeluarkan catatan kritis kepada produk umum yang dia
gadang-gadangkan berikut-berikut ini. ini sebagai sumber sah balik nggak.
LA: Judulnya apa pak teksnya?
69
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
PW: Aduh ini 2008 bukan ya, UU KIP masih berfikiran sempit iya kan, sebenarnya ngulang, saya
disuruh baca ini sebenarnya.
LA: Iya itu menarik tuh Pak
PW: Apakah mengapa butuh waktu sekian lama untuk menyelesaikan Undang-undang KIP ini, ada
dua RUU yang masuk dalam, RUU Penyiaran disahkan di Undang-undang ini dan dua-duanya
saya jadi ketua Pansusnya. Keduanya penting karena menyangkut public interest. Dua Undangundang ini menyangkut banyak kepentingan yang disebutkan tadi. Undang-undang ini bercover
pada kepentingan korporasi atau industry korporasi. Undang-undang lain juga begitu malah lebih
banyak menyinggung birokrasi. Nah Undang-undang ini didesain untuk mengatur kepentingan
Government dan publiknya, policy dan konsumennya. Tadi yang analisis ya tadi saya bilang
selamat punya kerangka itu, yang lama adalah menentukan batasan-batasan badan public. Badan
public inilah yang wajib memberikan informasi, entry pointnya kan ini, jadi kalau mau ngutip
aku Hukum Online sudah mengatakan ini. Jadi kalau suami kamu mengatakan tanya pak Paulus,
saya sudah mengkritisi sejak lama, treatment-nya apa? Treatment-nya dalam hal apa, satu contoh
saja apakah badan usaha milik Negara termasuk badan milik Negara ni yang bikin lama.
LA: Iya.
PW: Iya kan bagi saya BUMN termasuk, lantas pemerintah berfikir jika ada Undang-undang ini
mereka bisa merasakan kekuasaan mereka yang berkurang iya kan kok bisa, mereka pasti
timbang menimbang Undang-undang ini bisa men-cross interest pemerintah atau sebaliknya,
untuk setiap undang-undang tarik menarik interest pasti ada apalagi goverment sebagai birokrat
apakah interest akan tercabut.
LA: Menarik ya Pak.
LA: Terakhir nih Pak harapan Bapak untuk UU KIP.
PW: Direvisi.
LA: Direvisi, terutama pasal 1 ayat 3.
PW: Oh banyak yang aku sebutkan tadi.
LA: Semuanya ya.
PW: Saya sudah minta Undang-undang dibaca ulang namanya direview, review dibaca kembali
dengan rekomendasi direvisi. Mah persoalannya revisinya total atau tidak total, itu bisa
diperdebatkan karena apa Undang-undang ITE ini direvisi, yang lebih gaung lahirnya beberapa
minggu sebelum undang-undang itu, kan dia No.11 kan ini no 14, dua-duanya saya kawal tapi
dia tidak kawal saya penuh. Ini saya kawal penuh, yang saya kawalpun masih bolong apalagi ini.
LA: Menarik Pak, makasih Pak waktunya, wawancaranya, kalau nanti ada yang perlu ditanyain lagi
bersedia ya Pak.
PW : Ok
Lanjutan wawancara Paulus Widiyanto (IP-1)
Tanggal 28 April 2015 Pukul 18.00 WIB
LA : Pak, mungkin bapak bisa jabarkan lagi pendapat bapak tentang penilaian UU KIP yang hanya
dianggap 65% ?
PW : Ya memang ini intinya ada dua ya sebenarnya, satu badan publik yang harus memberikan
informasi kemudian yang kedua informasi apa yang bisa diberikan. Dari segi badan publik nya itu kan
banyak resisten ee penolakan karena mereka tidak ingin tunduk kepada UU KIP, karena saya punya
undang-undang tersendiri menurut mereka. Nah itu polemik itu saya ingin mengatakan bahwa secara
persentase memang ee badan publik yang tidak mau atau keberatan kan pada umumnya kan dunia
usaha terus kemudian sektor-sektor keamanan. Itu kan sangat resisten untuk menolak ee sedangkan
Departemen Pertahanan, TNI, kemudian Kepolisian, kemudian Inteligen, Luar Negeri ee dan
sekitarnya, dari segi itu kan ini porsi informasi yang ada pada dia kan cukup banyak yang penting
bagi negara, kemudian sektor dunia usaha yang paling keberatan kan sektor perbankan ya. Sektor
perbankan itu mulai BI, sampe pada badan usaha milik negara di bidang perbankan maupun juga
asuransi, juga mengenai jasa-jasa keuangan yang lain ya nah ini juga keberatan. Keberatan itu
memang sudah muncul sejak masa pembahasan, jadi mereka sudah menyatakan ee dia punya ee
punya hukum aturan tersendirinya kan gitu. Nah dari segi itu saya ingin mengatakan bahwa mereka
70
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
tidak memahami esensi bahwa badan publik itu bukan hanya badan yang ee apa mendapat anggaran
dari negara dari APBN tapi juga memang ada beberapa hal-hal yang secara prinsip dimana mereka
harus tetap memberikan informasi karena informasi publik itu bermanfaat bagi kepentingan publik,
jadi dari segi itu dia itu bekerja di sektor publik kan dia bukan bekerja di sektor yang ga jelas. Kalo
kita bicara publik kan sebenarnya warga negara secara keseluruhan, dari segi itu kan mereka sudah
menolak sejak awal yah, sehingga tatkala saya berdebat atau mengatakan dengan mereka ee ke
Departemen Luar Nageri, ee Pertahanan, Keamaan dan sebagainya tadi, itu mereka memang sejak
awal mau tersendiri. Saya kan pakai UU Pertahanan, saya kan UU TNI, saya kan dengan UU
Kepolisian, saya kan dengan UU Luar Negeri dan seterusnya dan seterusnya gitu. Padahal kalau
mereka sadar betul bahwa ee informasi yang dipegang dia itu bukan hanya milik dia sebagai institusi
tapi juga milik masyarakat, nah persoalannya mereka tidak semua mengerti itu, informasi publik itu
bisa diberikan secara bertahap gitu loh, jadi seolah-olah mereka hanya memahami informasi publik itu
tidak diminta tidak diberi, tidak informasi publik itu bisa diberikan dengan masa retensi, masa
berlakunya misalnya dua puluh lima tahun jadi tetap mereka maunya tertutup secara absolut dia
bilang. Jadi ini yang pertama, yang kedua dari sudut pandang informasi publik itu ya. Informasi
publik itu sangat keliru atau sangat tidak tepat didefinisikan kalau seolah-olah hanya informasi yang
diakui oleh badan publik, padahal informasi itu pun dapat diberikan oleh badan publik, badan swasta
bahkan oleh perorangan atau siapapun memang yang bisa menghasilkan informasi-informasi publik.
Jadi ini pengertian dari dua ini saya katakan belum pas kalau saya bilang sehingga klasifikasi
informasi yang ada dalam undang-undang itu kan ada informasi publik yang serta merta, yang
berkala, sampai ke yang dikecualikan, tapi sebetulnya ada yang hilang. Yang hilang adalah informasi
yang diminta, ee prosesnya meminta. Kalau yang tadi informasi publik yang serta merta, berkala,
yang harus tersedia setiap saat itu sifatnya ee aktif pro aktif tapi ada informasi lain yang sifatnya tu
diminta karena misalnya belum masuk ketegori informasi yang tadi disebutkan, masih kategori
informasi lainnya tapi prosesnya diminta. Terus kemudian ada informasi yang betul-betul
dikecualikan. Nah dari kategori ini kemarin tidak sempat membahas tentang informasi publik yang
diminta.
LA: Oh ee waktu pembahasan itu ya pak?
PW: Tapi dalam draft awalnya ada itu, draft awalnya ada tapi hilang gitu kan.
LA: Oogitu
PW: Jadi makanya itu kalau ibu lihat pasal tentang ketentuan Pidana itu, mereka lupa bahwa kalimat
itu yang diminta.
LA: Oh.. di draft awalnya ada ya pak ya?
PW: Draft awalnya ada yang diminta. Jadi informasi itu memnag dihasilkan, yang pro aktif itu badan
publiknya, tetapi kemudian di masyarakat itu kan bisa meminta informasi, apakah informasi itu
dikecualikan kan tidak tahu, nah informasi yang diminta itu, itu harus terus diurai terus kemudian ada
lagi yang hilang. Yang hilang itu adalah hak publik untuk memperoleh informasi dengan menghadiri
pertemuan-pertemuan publik, nah itu hilang itu.
LA: Oh itu hilang ya pak ya? Kalu untuk Badan Publik sendiri ada yang hilang tidak pak?
PW: Ee badan publik itu waktu mendefinisikan itu hilangnya adalah badan usaha swasta. Waktu draft
awal ada badan usaha swasta.
LA: Draft awal itu masih bapak pegang pak?
PW: Masih-masih, tapi kemudian point-ponit itulah yang menyebabkan saya mengatakan itu masih
65%.
LA: Oke,waktu bapak menyusun draft awal itu, masukan itu banyaknya dari LSM atau?
PW: Ooh tidak tidak tidak, jadi dulu waktu awalnya itu usul inisiatif DPR itu paling tidak punya tiga
draft ya, draft dari LSM, Draft dari DPR dan draft dari Kominfo yang sebelumnya itu ee Lembaga
Informasi Nasional. Jadi prosesnya tuh gini, ini Undang-undang yang diusuklan oleh masyarakat,
okee...nah masyarakat menyampaikan itu ke DPR. Nah DPR kemudian menyambutnya, menerimanya
terus kemudian mengkaji. Jadi setelah dikaji undang-undang ini perlu ada kemudian diputuskan untuk
71
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
menyiapkan. Nah menyiapkan itu tugasnya Badan Legislasi DPR yang kemudian setelah disiapkan itu
saya mendukung karena waktu saya juga terbatas tapi saya sempat banyak interaksi termasuk dengan
beberapa teman termasuk ibu teman saya Ibu Tumbu Saraswati pada waktu itu. Nah pada masa
membuat drfat itu kan studi banding ke berbagai negara menyiapkan diri, nah alhasil jadilah draft itu
namanya draft inisiatif DPR, percis DPR. Tetapi pada waktu itu pun masyarakat sipil menggiatkan
draftnya mereka, sehingga ada yang sama ada yang berbeda draft dari lembaga DPR dengan draft
dari masyarakat sipil. Terus kemudian pemerintah pun itu menyiapkan draft sendiri, itu namanya
saya lupa padahal itu masih menjadi bagian informasi nasional. Oke.., nah itu Undang-undangnya,
RUU nya namanya undang-undang transparansi ee informasi publik, lupa.saya ada drfat-draftnya.
Karena draft inilah kemudian kita sering sosialisasi. Ya jadi sosialisasi kemana-mana
LA: Berarti draft usulan DPR itu berubah setelah adanya draft-draft itu atau dikombinasi?
PW : Begini ee kemudian draft itu kamis susun. Saya ketua pansusnya terus kemudiann pada
pembahasan di tingkat DPR saja itu perbedaan anggota DPR pun sudah tajam, nah tajamnya antara
lain ada kelompok yang setuju, ada kelompok fraksi yang setuju adanya kelompok komisi informasi,
ada fraksi yang tidak setuju adanya komisi informasi. Nah itu sempat deadlock.
LA: Itu pembahasan pada waktu periode 2004?
PW: oh bukan-bukan, itu pada era saya, masih namanya RUU KMIP. Nah pada waktu menyusun
drfat saja itu pecah dua, ada drfat yang ada, ada draft yang ada komisi informasi, ada drfat yang tidak
ada komisi infromasi. Nah sebagai ketua Pansus, saya menundanya, kita melakukan lobbi intern, pada
akhirnya disepakati draft yang ada komisi informasinya yang menjadi draft DPR.
LA : Oooh seperti itu ya pak?
PW : Iya, nah kemudian baru draft itu dikirn kepada pemerintah untuk diberikan DIMnya. Pada waktu
itu bulan Juni kalau ga salah, pemerintah belum berhasil memberikan DIMnya keburu DPR selesai
pada era saya, ganti pemerintahan baru.
LA: Hmm ok pak,
PW: Ok 2004 tak berasa tidak menjadi anggota DPR, saya berada di masyarakat sipil untuk mengawal
proses pembahasan Undang-undang ini. Nah pada era 2004-2009 tadi itu draft inisiatif DPR pada
periode saya menjadi tidak bisa dilanjutkan, kemudian draft itu dipakai kembali sebagai draft inisiatif
DPR dengan perubahan kecil.
LA : Perubahan kecil itu apa pak?
PW : Nama Presidennya berubah yang jelas, dari Presiden Megawati ke Pak SBY
LA : Kalau untuk susunannya ga ada yang berubah pak?
PW : Ga ada ga ada yang berubah
LA : Berarti draft lama diajukan kembali ya pak?
PW: Iya iya, pada waktu 2004-2009 itu anggota pansus saya di era saya masih juga terpilih menjadi
anggota DPR Komisi 1, beberapa nama.
LA : Siapa tuh pak?
PW: Misalnya Djoko Susilo, kemudian Effendy Choirie, kemudian Hajriyanto Thohari. Pokoknya
beberapa nama saya ga bisa ingat semua. Saya masih memberikan masukan kepada DPR untuk ee
memperhatikan beberapa hal yang perlu diwaspadai dan menjadi narasumber juga berkali-kali dengan
mereka dan pada akhirnya perdebatan itu cukup seru dan kemudia paling tidak ee yang tadi saya
sebutkan, rumusan badan publik itu menjadi rumusan yang paaaling berat ya. Dan kami mati-matian
di masyarakat sipil untuk mengusahakan agar BUMN masuk dan agar badan usaha swasta juga ikut
masuk didalamnya.
LA : Waktu draft awal itu ya pak ya semua BUMN dan badan usaha swasta ya pak?
72
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
PW : Ada ada ada. Jadi dari segi itu, itu saya mengatakan kekuatan saya dan ee sekarang itu kelihatan
sekali masalahnya seretnya dimana ya kan? Ada yang misalkan saya tidak setuju, itu komisi informasi
itu terdiri dari unsur pemerintah dan masayarakat, saya tidak setuju itu.
LA : Eee kenapa pak?
PW : itu tidak independen itu, unsur pemerintah seharusnya ga usah ada, terus sekretariat komisi itu
dari kominfo sehingga itu menjadi tidak independen. Ini point-point yang mengurangi independesi
kemudian juga mengurangi ee gerak dari komisi informasi.
LA : Waktu perumusan UU KIP atau waktu penyusunan draft itu kan ada kunjungan-kunjungan ya
Pak ya ke luar negeri juga ya pak ya? Itu-kira-kira ee draft disusun dengan masukan-masukan dari
mereka atau bagaimana pak? Adakah lembaga-lembaga asing yang berperan?
PW : Gini, kalau dilihat dari model (sekarang kita model), UU KIP itu merupakan 100 standar dari
negara-negara demokrasi yang menganut asas keterbukaan dan itu menjadi spirit dari pemerintahan
era modern kan gitu, Nah pada waktu itu kan negara kita kan mulai terbuka mulai demokratis
sehingga membutuhkan infrastrukstur hukum, regulasi yang bisa menjamin hak masayarakat terhadap
informasi antara lain ee apa amandemen konstitusi. Amandemen konstitusi itu merupakan salah satu
ciri memasukkan pasal 28 f dalam UU KIP kita, itu menjadi rujukan utamanya kan. Nah kalau
ditanyakan apakah ada instansi asing yang berpengaruh saya ingin mengatakan bahwa ee Bank Dunia
atau World Bank itu juga punya kegiatan yang mengoal kan ide-ide keterbukaan itu, sehingga tatkala
Indonesia ee harus tunduk kepada IMF, harus tunduk kepada World Bank itu kan paling tidak meeka
juga bekerja mendorong supaya pemerintahan terbuka, pemerintahan demokratis, pemerintahan
transparan menjadi ciri yang mengelola Indoensia, ya kan? Nah sehingga ee World Bank sendiri itu
mendorong keterbukaan informasi itu dari sektor-sektor ee dari wilayah-wilayah daerah. Jadi justru
daerah-daerah tadi itu mempunyai Perda-Perda transparansi ee di berbagai wilayah bahkan kota
Gorontalo adalah kota pertama yang mempunyai Perda transparansi dan itu menjadi contoh betapa
World Bank yang bekerja untuk pemerataan pemerintah daerah khususnya untuk otonomi daerah itu
berhasil untuk mengoal kan perda-perda transparansi di tingkat daerah. Nah pemerintah pusat itu
justru ee terlambat dibandingkan dengan daerah-daerah, sehingga justru dulu saya mengatakan hanya
desa mengepung kota atau daerah-daerah mengepung pusat karena daerah itu sudah punya perda
transpransi tapi pusat belum ada. Jadi dari segi itu Bank Dunia itu berperan mendorong pergerakan
perda-perda transparansi di daerah-daerah, di DPR pusat itu juga mendapat masukan dari berbagai
pihak ya artinya era itu regulasi Indonesia mendapat perhatian penuh dari ee funding-funding maupun
lembaga-lembaga dunia.
LA: Misalnya siapa pak?
PW: Ya tadi yang saya sebutkan World Bank. Banyak sekali banyak sekali...
LA: Kalau National Democratic Institute itu termasuk ga pak?
PW: Nah itu NDI itu termasuk yang mendorong dan membiayai seminar-seminar tentang keterbukaan
informasi. Banyak sekali seminar-seminar yang dibiayai oleh internoasional, yang dibantu oleh
berbagai funding-funding itu, bahkan kami pun mempelajari model undang-undang itu dari artikel
nineteen dari UK. Itu ada model-model itu, model-model itu kemudian kita pelajari.
LA: Itu DPR pelajari pak?
PW: Pelajari semua, saya misalkan studi bandingnya ke Thailand. Ada yang studi bandingnya ke
Swedia, kan gitu-gitu. Jadi pada waktu penyusunan draft kami studi banding. Dari segi itu rujukannya
adalah bahwa Indonesia itu harus mempunyai undang-undang itu karena memang era sejak itu
memang semangatnya adalah keterbukaan ya, flow of information. Apalagi pada waktu itu ada
gerakan ee WSIS (World Summit of Information Society), nah itu adalah gerakan masyarakat
informasi dunia, nah itu kemudian juga antara lain itu masuk di dalam pertimbangan dalam UU KIP,
dalam menimbang itu ada usaha supaya terbentuknya masyarakat informasi. Itu adalah ide gagasan
dunia, yang masuk dalam UU KIP itu adalah gagasan dunia tatkala Kominfo ikut World Summit of
Information Society dan dari segi itu sebentulnya spirit dari Undang-Undang itu adalah dunia
memang bergerak ke arah keterbukaan, negara yang terbuka itu akan menjadi negara yang
mengangkat derajat masyarakatnya menjadi lebih demokratis. Dari segi itu saya ingin mengatakan
73
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
bawha anggota DPR juga belajar dan pada waktu itu funding-funding dunia pun ada di Indonesia
untuk membantu termasi NDI, World Bank dan sebagainya.
LA: Ok, tapi mereka ada semacam istilah menekan nggak pak dengan memberikan dana dana dan
sebagainya itu?
PW: saya tidak merasa ditekan ya, karena memang negara kita adalah negara otoriter ee setiap saat
kita bisa dijerat masuk penjara kalau kita memberikan informasi, dan ini kita keluar dari sistem negara
tertutup, jadi kita negara yang otoriter setiap informasi dikendalikan oleh departemen penerangan
sementara informasi menjadi hak itu. Itu perubahan yang sangat ee dahsyat dari hasil reformasi.
Dunia bergerak dan informasi ga bisa ditutup, apalagi teknologi. Kita sudah tahu bahwa teknologi
akan mendobrak ketertutupan, jadi bukan hanya undang-undang, teknologi pun menunggu sehingga
tadi saya sebutkan World Summit of Infromation Society tadi itu kan kita sudah ikut di dalamnya, itu
gerakan dunia untuk menciptakan masyarakat informasi, meskipun ee masyarakat informasi tadi lebih
infromation technology ya tapi paling tidak ee teknologi komunikasi informasi itu menjebol semua
ketertutupan informasi.
LA: Ok, kalau untuk badan publik itu sendiri pak, rumusan yang ada badan publiknya seperti BUMN,
Bdan usaha swasta, itu ada masukan dari luar juga tidak pak?
PW: Nggak, nggak ga ada masukan dari luar, karena itu begini loh prinsipnya itu kita itu punya pasal
33 kekayaan alam, bumi, air dan lainnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat. Makna apa itu?termasuk informasi tentang itu iya kan? Kemudian yang
menguasai hajat hidup orang banyak, itu kan artinya kekayaan alam kita itu rakyat harus tahu apa
yang kita miliki jadi tekanan asing saya merasa tidak pernah, malah saya ingin mengatakan justru kita
itu punya pasal 33 sebetulnya dimana ee hak masayrakat untuk tahu tentang kekayaan alam kita itu
harus dibukan kan? Hanya masalahnya sekarang pemerintah atau badan publik tadi ee belum berani
keluar dari cara berpikir lama ya kan. Cara berpikir lama itu adalah cara berpikir yang tertutup.
Intikan kita mendobrak kultur dari kultur yang disebut tertutup ke terbuka. Itu mengubahnya mind set,
kemudian ada tekbologi yang tidak bisa dibendung, tidak bisa ditunda, tidak bisa dihalang-halangi dia
menjebol ketertutupan itu.
LA: Jadi tidak ada perbandingan dari luar ya pak untuk badan publik ini ga ada acuan dari luar gitu
pak untuk penyusunan draft awalnya di DPR?
PW: Tentu gini, kita kan mencoba ee mencoba mendefinisikan apa awalnya gimana gitu kan. Intinya
kan badan publik itu ee jadi kekurangannya adalah karena didefinisikan dengan pendekatan dana atau
uang, itu gagal, ketidak lengkapannya disitu gitu. Jadi yang pertama kan badan publik itu yang
dibiayai APBN APBD sehingga pendekatannya kan keuangan, yang kedua kemudian lembagalembaga swasta atau partai politik yang memproleh dana jadi ada kata dana lagi kan sehingga terpaksa
bahwa informasi publik itu mempunyai kegunaan jadi pendekataannya adalah manfaat. Kalau
misalkan tidak ada uang kan itu tetap saja harusnya dibuka. Mereka kan swasta, swasta itu kan
mempunyai informasi publik,dia mendapat dana dari APBN, kalau dia mempunyai informasi publik
yang betul-betul penting bagi orang banyak, penting bagi hajat hidup orang banyak ya dibuka.
LA: Tapi ternyata badan usaha swasta ga masuk ya pak?
PW: Ya itu tadi, kalaupun BUMN masuk pasal 14 itu dengan trade off dengan lobby. Ok masuk tapi
partai politik jug masuk gitu kan, LSM harus masuk. Padahal di dunia, ga ada LSM masuk dalam
undang-undang semacam ini, karena LSM itu adalah masyarakat yang meminta informasi.
LA: Itu bapak tahu ceritanya ga pak kenapa bisa masuk, kenapa bisa akhirnya masuk?
PW : Nggak, kami kami kan diluar yang bermain kan di dalam.
LA: Ada bisik-bisik apa ga gitu pak?
PW: ya itu tadi trade off tadi, kalau begitu kamu harus masuk.
LA: Ok pak, jadi dua-dua nya asal masuk ya pak ya.
PW: Iya iya
74
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Pak mungkin badan publik ini jadi ee apa agak kurang takut dengan UU ini apa karena
hukumannya juga rendah pak? Cuma 5 tahun pak.
PW: Sebetulnya gini, UU ini bukan untuk menghukum. UU ini memberikan jaminan atas masyarakat
atas informasi publik karena informasi publik tadi mempunyai manfaat bagi masyarakat ok? Tapi
persoalannya tadi saya katakan, badan-badan publik itu mempunyai spirit untuk terbuka, jadi spirit
keterbukaan tadi masih dianggap merugikan dia bukan menguntungkan, tertutup itu masih
menguntungkan daripada terbuka. Nah itu sehingga membuka itu masih ragu-ragu karena memang
selama ini kultur mereka tertutup, padahal sudah diatur bahwa yang terbuka itu hanya ini nya itu
yang dikecualikan gitu loh, tapi mereka ga mempelajari secara keseluruhan. Tidak membaca ide
gagasan secara utuh. Dia hanya melihat sekeping-keping seiris-iris, sepenggal sepenggal bukan
merrupak total dari konsep sehingga konsep tidak utuh.
LA : Jadi mungkin karena tidak ada spirit jadi kasus-kasus sengketa itu justu masih banyak ya pak ya?
PW : Nah itu, kenapa terjadi banyak kasus? Itu tadi karena memang tidak keluar dari sebuah spirit
yang sama untuk terbuka gitu loh, tidak keluar dari semangat untuk berbagi informasi, tidak keluar
dari semangat untuk ee apa ini punya publik bukan hanya punya saya, jadi ini tidak ada pemahaman
bahwa informasi yang ada itu juga milik publik, tidak ada. Ini murni punya organisasi bukan milik
publik jadi pemahaman itu gitu loh. Misalnya secara sederhana sajalah, saya menjadi saksi ahli untuk
bank syariah, bank syariah itu dulu punya bank Bank BNI menjadi unit dari bank BNI kemudia
dipisah menjadi entitas tersendiri. Nah orang mengatakan entitas tersendiri tadi BNI syariah itu tidak
menjadi badan publik karena terpisah menjadi sebuah PT katanya begitu, nah seolah tidak menjadi
badan publik. Saya katakan bank syariah adalah badan publik juga karena dia merupakan anak dari
BUMN sebagai badan publik jadi anaknya pun termasuk badan publik menurut saya, karena
persentase kepemilikannya masih Bank BNI terbuka yang badan publik. Tidak mungkin saya bilang
ee buaya itu melahirkan cicak dan cicak melahirkan buaya.
LA : Iya iya betul-betul pak, apa karena hukuman masih terbilang kecil bagi badan publik hanya 5
tahun dengan denda 5 juta dibanding UU lainnya seperti UU ITE apa mungkin begitu ya pak?
PW : Kalau dilihat hukuman nya itu ga seberapa tapi menderita hukuman itu juga mempunyai
dimensi-dimensi negatif. Ya ginilah kemabali kepada badan publik itu mempunyai karakter. Tidak
semua badan publik departemen misalkan mempunyai derajat keterbukaan informasi yang sama. Itu
derajatnya berbeda-beda sehingga ee saya dan teman-teman juga masih kurang kerans untuk
mengadvokasi bahwa badan publik itu tidak boleh dibedakan hanya badan publik dan badan privat,
akrena menurut teori kalau misalkan sebuah undang-undang memberikan penugasan kepada badan
swasta untuk mengerjakan tugas-tugas sebagai badan publik ya dia juga badan publik gitu. Jadi ada
penugasan-penugasan kepada swasta untuk bekerja di sektor publik, misalnya pendidikan. Apa sih
apakah pendidikan itu melakukan sesuatu yang harus dirahasiakan? Ada badan publik swasta di
bidang pendidikan tapi ada juga swasta yang tiap menit menghasilkan anak-anak terdidik kan? Lha
terus apa bedanya terhadap swasta? Belajar matematikanya juga sama, belajar bahasa inggrisnya juga
sama, guru-gurunya mempunyai standar yang sama. Apa yang membedakan antara badan publik
negara tadi dan badan publik swasta? Katakanlah atmajaya, apa bedanya atmajaya dan ui?jika
jurusannya sama jurusan hukum paling hanya dosen-dosennya yang berbeda ya kan, tapi mata
pelajaran dan cara menghitungnya apa beda? Badan publik kesehatan, rumah sakit swasta dan rumah
sakit pemerintah, kan isinya orang-orang sakit juga toh, cara menyuntiknya sama, terus apa yang
beda? Nah ini yang berkali-kali saya tekankan apa bedanya gitu loh? Yang beda hanyalah
kepemilikan perusahaan itu ya kan? ini punya negara, ini punya orang perorang. Manajemennya
sama, cara akuntasi publiknya sama. Terus apa yang membedakan?produknya apa? nah ini yang
membedakan, cara melihat itu yang kurang muncul di dalam perdebatan tadi.
LA: Baik pak, terima kasih. Kalau ada yang ingin ditanyakan kembali bisa saya hubungi kembali ya
pak?
PW: Oke-oke.
75
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Hasil Wawancara Informan Pendukung 2
Nama
Tempat
Tanggal
Narasumber
Pewawancara
: Agus Sudibyo (LSM)
: Jakarta
: 28 Februari 2015, Pukul 18.30 WIB
: Agus Sudibyo (AS)
: Lisa Adhrianti (LA)
LA : Terima kasih atas waktunya mas Agus, bisa cerita awal mula hadirnya UU KIP?kan sangat lama
itu proses pembahasan sampai disahkannya.
AS: Ya jadi UU KIP issue nya pada reformasi birokrasi. Maka sebenarnya banyak yang salah kaprah
dalam prakteknya di Indonesia. Misalnya menteri yang membidangi UU KIP itu, itu harusnya Menteri
Pemberdayaan Aparatur Negara.
LA: Menpan ya?
AS: Iya, karena sebenarnya issue nya bukan freedom of the press, freedom of expression. Bagaimana
bikrorasi itu lebih transparan, lebih terbuka, lebih akuntable. Jadi sebenarnya peletakan di
Depkominfo itu sudah salah.
LA: Peletakan di Depkominfo itu.
AS: Sudah salah, karena sebenarnya issue nya bukan makanya banyak masalah waktu
implementasinya karena mereka nggak paham, mereka nggak paham. Jadi either di Mendagri atau di
Menpan sebenarnya. Issue nya adalah reformasi birokrasi, birokrasi sebenarnya. Nah peletakkan di
Komisi I DPR itu juga salah.
LA: Karena dia membidangi itu ya.
AS: Komisi 1 DPR itu membidangi apa, pertahanan, hubungan luar negeri dan media. Media
sebenarnya, jadi karena ada kata-kata keterbukaan informasi dikira terkait dengan media, padahal
kecil saja yang berhubungan dengan media, lebih banyaknya issue reformasi birokrasi. Jadi ada
banyak miss di sana, ada banyak.
LA: Kenapa itu tidak bisa di, maksudnya direm dari awal?
AS: Iya.
LA: Kan issue nya ini kan?
AS: Karena kebebasan informasi sendiri issue nya yang baru. Kita tidak mengenal, gitu ya.
LA: Tapi waktu pertama kali diusulkan itu kan dari Koalisi Masyarakat Sipil kan awalnya?
AS: Betul tapi meletakannya di Komisi 1 bukan, itu kan keputusan politik DPR dan bahwa kemudian
leading sectornya Depkominfo itu kan keputusan pemerintah. Orang itu kan apriori karena ada
keterbukaan informasi disangkanya itu adalah kompentensi Depkominfo. Disangkanya kompetensi
dari Komisi 1 di DPR, nah itu. Nah para user dan peneliti itu juga sering salah sangka. Nah mudahmudahan mbak juga tidak masuk dalam itu, gitu.
LA: Maksudnya pemahaman saya?
AS: Iya pemahaman dan studinya macam-macam kan saya belum baca proposalnya, jangan sampai
terjebak di situ, gitu ya. Banyak mbak skripsi, thesis itu yang setelah saya baca itu, jadi meletakkan
Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik itu pada domain studi media komunikasi.
LA: Tapi saya studi komunikasi kelompok.
AS: Nah, makanya prosesnya kan, oke jadi aman tapi jangan sampai itu karena freedom of
information heavy nya itu terkait bagaimana birokrasi itu dirubah, ditransformasikan menjadi lebih
transparan, akuntable. Kalau transparan akuntable itu memang ada hubungannya dengan media.
Hubungan informasi jadi lebih lancer tapi heavy nya di sini, bukan di sana. Wartawan, peneliti, pakar
itu banyak sekali yang miss mengenai ini.
LA: Gitu ya.
AS: Nggak ini hanya background saja.
LA: Iya ya ya ya.
AS: Oke silahkan lanjut.
LA: Oke,oke, jadi waktu itu mas Agus dalam RUU KIP itu mengawal terus dari awal sampai. Dari
awal tahun 1999.
AS: 1999, 2000 lah.
76
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Itu sempat terhenti ya, maksudnya vakum dan diajukan lagi ya ketika itu tidak selesai
pembahasannya.
AS: Koalisinya jalan terus.
LA: Itu kenapa sempat, ini apa, tidak selesai, apa?
AS: Iya karena bagi DPR belum prioritas waktu itu, jadi kan Komisi 1 itu kan tahun-tahun 2000 –
2002 itu kan konsentrasinya Undang-undang Penyiaran.
LA: Konsentrasi UU Penyiaran ya waktu itu.
AS: RUU Penyiaran waktu itu, jadi UU KIP itu diduakan sampai tahun 2002.
LA: Tapi di prolegnas itu dia di Komisi berapa, mas tahu nggak?
AS: Wah, saya nggak ingat tahun berapa itu tapi begitu UU Penyiaran selesai, mulai jalan tapi lambat
itu, lama sekali, 8 tahun berarti ya. 8 tahun tadi menurut saya hasilnya lumayan, lumayan bagus.
Nggak sempurna, banyak kelemahan tapi kalau kita mampir ke Negara-negara lain, Undang-undang
KIP kita not bad menurut saya. Atau kalau kita bandingkan dengan achievement yang dicapai oleh
Koalisi-koalisi, NGO-NGO lain untuk Undang-undang lain, UU KIP itu mending. Jadi persentasipersentasi, klausul-klausul, pasal-pasal yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang diterima
oleh DPR itu tinggi. Kalau mbak bandingkan dengan Undang-undang Pemilu itu kan banyak sekali
kekecewaan masyarakat sipil, akhirnya banyak yang kecewa. Undang-undang KIP ini mending,
menurut saya mending karena prinsip-prinsip dasarnya diadopsi oleh DPR, oleh Pemerintah. Mungkin
mereka tidak sadar saja bahayanya apa buat mereka.
LA: Jadi dari awal sampai akhir itu Mas yang ikut mengawal bersama mereka di rapat tertutup,
termasuk juga?
AS: Kalau tertutup kan tidak bisa.
LA: Walaupun pengawal tidak bisa masuk ya?
AS: nggak bisa, kalau terbuka baru bisa tapi lebih banyak terbukanya.
LA: Jadi sebenarnya yang mendasari RUU KIP sebenarnya bukan kebebasan informasi pada freedom
of the press itu ya awalnya tapi untuk kebebasan birokrasi ya.
AS: Jadi reformasi birokrasi itu akan lebih akuntable, transparan, pelayanan public jadi lebih baik iya
kan. Korupsi itu diminimalisir karena dari awal sudah transparan dan akuntable.
LA: Iya ya ya, nah soal, khususnya pasal 1 ayat 3 yang soal definisi badan public. Kenapa ya Mas,
nilai kenapa bisa sampai dari awal sampai akhir itu. Kenapa itu bisa sampai, kan yang lain-lain cepat
diputus tapi khusus itu yang pasal 1 ayat 3 itu kan sampai dibawa ke Timmus atau tim itu kan.
Akhirnya diputus pada terakhir itu tapi kan dengan beberapa catatan, dengan meninggalkan beberapa
jejak seperti PDI kan yang tidak setuju kalau BUMN nggak dimasukin karena memang BUMN kan
asal usulnya dari DPR kan ada tapi dari pemerintah kan tidak ada seperti di buku Anostasi.
AS: Jadi begini, kita mengira yang kecewa dengan definisi badan public di KIP itu hanya masyarkat
sipil. Orang mengira hanya masyarakat sipil yang kecewa, itu juga tidak benar karena pemerintah
sendiri juga kecewa. Jadi masyarakat sipil itu kan maunya kan badan public itu dimasukkan dalam
UU KIP termasuk BUMN tanpa pengecualian sama sekali tapi kan prakteknya kemudian kan definisi
tentang apa yang harus transparan di BUMN, apa yang harus transparan di partai politik itu kan
dirumuskan spesifik gitu ya. Jadi itu mengecewakan buat masyarakat sipil karena ya maunya tidak
ada exception, transparansi yang berlaku dibadan public satu itu berlaku di badan public yang terkait
partai politik, terkait dengan BUMN, terkait dengan militer itu sama. Itu kontinuenya masyarakat
sipil. Ternyata kan yang diputuskan DPR, pemerintah kan beda. BUMN itu kan disendirikan, itu
masyarakat sipil kecewa. Tapi sebenarnya kalau saya lihat pemerintah juga kecewa, gitu.
LA: Kenapa, karena kan dari awal pemerintah tidak.
AS: Tidak mau, pemerintah awalnya tidak mau Undang-undang ini ada.
LA: Ohh, karena itu kecewanya.
AS: Oh iya dan mereka sebenarnya, definisi badan public yang mengecewakan masyarakat sipil itu
bukan kemenangan untuk pemerintah gitu lho, malah maunya pemerintah itu, pertama mungkin UU
nya lebih baik nggak usah ada, yang kedua badan public itu dibikin longgar gitu, jadi mereka juga
sebenarnya diam-diam.
LA: Dibikin longgar itu maksudnya dalam arti.
AS: Nggak pengertiannya itu dibikin nggak terlalu ketat gitu lho. Informasi apa sih yang harus di
buka kepublik itu jangan terlalu banyak atau pengecualiannya diperbanyak gitu kan, tapi kan DPR
77
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
sendiri punya kepentingan, masyarakat sipil punya kepentingan, pemerintah punya kepentingan. Jadi
ini kan beradu, beda urusannya kalau DPR pemerintah jadi satu ditambah lagi masyarakat sipil gitu
kan maka mereka juga punya punya tadi yang mba bilang PDIP pun juga pengen BUMN itu terbuka.
LA: Walaupun dipasal 14 sama 16 ya kalau nggak salah saya baca BUMN bisa mengeluarkan
informasi public untuk yang begini-begini dengan syarat ini ini.
AS: Nah makannya itu yang mengecewakan masyarakat sipil karena maunya BUMN itu nggak perlu
didetailkan begitu jadi berlaku umum saja, tidak ada.
LA: Mana informasi yang dibutuhkan oleh public itu harusnya bisa dibuka.
AS: Ya, jadi tidak perlu didetailkan khusus untuk BUMN dan partai politik. Maunya masyarakat sipil
itu karena, ya samakan saja dengan badan public yang lain.
LA: Saya baca di buku Anatasya di halaman 34 itu disebutkan salah satu anggota DPR mengingatkan
tentang hasil kesepakatan pada raker 18 Juni, ada kesimpulan butir ke 9 bahwa Menkominfo
Mochammad Nuh sudah sepakat bahwa BUMN, BUMD itu masuk dalam kategori badan public
dengan memperinci dan mempertegas substansi, ini gimana ceritanya mas.
AS: Ya karena kenapa anggota DPR memperingatkan karena.
LA: Ini siapa mas anggotanya.
AS: Aku lupa mba waduh nggak mungkin hafal itu.
LA: Mungkin ingat dari fraksi mana.
AS: Waduh nggak ingat saya.
LA: Nggak ingat.
AS: Tapi begini saya akan jelaskan, kenapa ada anggota DPR mengingatkan karena sikap pemerintah
itu berubah gitu lho, pemerintah jadi nggak setuju BUMN dimasukkan kedalam badan public.
LA: Tadinya sudah setuju kan.
AS: Ya itu tadinya setuju.
LA: Ya tapi saya tidak menemukan rapat tanggal ini, risalahnya mas.
AS: Memang sulit itu.
LA: Tanggal 19 ada, tanggal 17 ada, tanggal 18 nggak ada.
AS: Waduh saya nggak menbantu itu mba, saya juga nggak punya itu.
LA: Maksudnya kenapa nih gitu kan di risalah sampai tujuh buku itu kan saya periksa, 18 aja yang
nggak ada yang sesuai yang disini. Apa memang khusus disembunyikan atau gimana kan saya kurang
tahu.
AS: Belum ketemu saja saya yakin gitu.
LA: Tapi ternyata memang ada ya mas ini sudah sempat ada tanggal 18 itu ini berarti memang ada
kan kesimpulan butir ke 9 itu sudah ada.
AS: Kalau di sini ada, pasti ada lah.
LA: Ya maksudnya akhirnya kan diingatkan, awalnya kan sudah sepakat akhirnya berubah sikap gitu
kan.
AS: Memang dalam dinamika-dinamika sikap DPR, pemerintah itu ya berubah-ubah.
LA: Sesuai dengan kepentingannya.
AS: Ya kan mereka metting lagi, rapat lagi gini gigni.
LA: Kalau penilaian Mas Dibyo sendiri menurut kelompok di Komisi I itu mulai dari rapat kerja,
Panja, Timus sampai ke Timsin itu, yang bisa mas lihat itu mereka itu sepertinya ada semacam
kekompakan yang tinggi atau mereka cenderung menuruti pendapat pimpinannya atau sebaliknya.
AS: Siapa itu.
LA: Angota-angota di Komisi I, kalau mas Dibyo lihat mulai dari rapat kerja, rapat Panja.
AS: Kalau saya ingat dulu.
LA: Mereka terlihat kompak menuruti pimpinannya atau cenderung banyak perdebatan diantara
mereka.
AS: Banyak perdebatan diantara mereka, artinya jaman itu saya melihat ada peluang bagi anggota
DPR untuk menyuarakan opininya pribadi, pendapatnya pribadi.
LA: Ada peluang?
AS: Ada peluang, cukup besar untuk itu.
LA: Maksudnya melalui forum-forum rapat itu? Tapi yang terjadi seperti apa?
AS: Ya seperti itu, jadi.
78
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Banyak peluang?
AS: Tidak ada instruksi yang tegas dari partai seperti apa, jadi anggota-anggota DPR itu bisa
menyuarakan pendapatnya pribadi dia, dan itu konsisten. Saya mengikuti Undang-undang Penyiaran
dan Undang-undang KIP itu saya juga punya sandi sendiri, jadi pada jaman itu, anggota DPR itu
lumayan independensi relative lah terhadap partai politiknya sehingga ia cukup mudah untuk
mengadopsi masukan-masukan dari luar kalau dibandingkan dengan sekarang ya beda jauh, dulu tuh
menurut saya lebih sehat meskipun untuk jaman itu kita sudah kritik-kritik itu, DPR, anggota DPR
kurang tegas, tapi kalau di bandingkan dengan hari ini atau katakanlah DPR periode lalu, periode
waktu itu.
LA: Boneka Partainya? Maksudnya ini banget sama.
AS: Ya, kalau DPR periode itu ya, tahun 2000an itu sampai 2008, itu jauh lebih berkualitas ya,
independent, bisa bersuara, bisa berbeda pendapat dengan fraksi lain.
LA: Lebih berani ya mas?
AS: Lebih banyak bisa menyerap aspirasi masyarakat juga, lebih bagus ya. Saya ngikutin UU
Penyiaran juga begitu, sikap fraksi itu bisa berbeda dengan sikap anggotanya.
LA: Berarti dengan kata lain dia bisa sejalan dengan fraksi yang lain kan? Bukan mentok dengan
fraksinya saja kan, sikapnya itu?
AS: Ya tergantung fraksi lain sikapnya bagaimana.
LA: Ya maksudnya sesuai dengan pemikiran dia juga, ya kan? Jadi maksudnya nggak melulu
memihak kita Golkar nhi harus sama-sama ini menurut ini, tapi kalau menurut dia baiknya, dia ngekor
yang ini yang sepaham dia kompak dengan yang itu, seperti itu kan? Kalau untuk pimpinannya
gimana mas? Tadi kan anggotanya kalau untuk pimpinannya kira-kira mereka bisa mengakomodir
nggak usulan-usulan dari para anggota atau cenderung ada pemihakan-pemihakan hanya untuk
kadernya saja atau gimana?
AS: Kalau pimpinannya sih, kalau pimpinan DPR itu cenderung untuk mencoba mengambil jalan
tengah, nggak mau terlalu berpihak kepada pemerintah tapi juga nggak mau terlalu menerima begitu
saja masukan-masukan masyarakat sipil.
LA: Tapi terhadap anggota yang di dalam sana anggota mereka, yang terdiri dari berbagai fraksi itu
gimana mereka menangkap pendapat itu cenderung ada, misalnya apa untuk ketok palu itu lebih di
ambil yang lebih pro.
AS: Kalau di UU KIP pimpinan partai fraksi pun cukup akomodatif terhadap aspirasi ataupun
pendapat anggota fraksinya karena yang menarik mungkin bisa dibandingkan dengan Undang-undang
penyiaran, Undang-undang penyiaran itu disparitas antara sikap anggota DPR dengan sikap fraksinya
itu bisa cukup lebar disparitas karena ada pihak ke tiga yang punya kepentingan yang sangat kuat dan
mencoba mempengaruhi pimpinan DPR yaitu industri televise. Inikan bertanya waktu itu kan, kalau
Undang-undang penyiaran ya itu ya. DPR, Masyarakat Sipil, Pemerintah, Industri, Media. Media ini
berbeda pendapat dengan pemerintah, maka media ini mempengaruhi DPR, mempengaruhi
pemerintah gitu lho. Jadi beberapa kali sikap pimpinan fraksi dengan anggota fraksi beda tapi kalau
kalau dengan KIP kan cuma 3 pihaknya, pemerintah, DPR, Masyarakat Sipil untuk industri nggak
ada.
LA: Jadi cenderung lebih.
LA: Jadi, lebih kohesifitas antara pimpinan fraksi dengan anggota fraksi itu lebih mudah.
LA: Mas masih ingat nggak kira-kira pada waktu itu yang kuat banget mempertahankan bahwa harus
masuk nih BUMN, BUMD. Siapa sih fraksi-fraksi yang cukup kuat, ngotot lah untuk mengusulkan
itu, masih ingat nggak waktu itu siapa-siapa?
AS: Individu-individu ya nggak inget ya, kalau DPRnya relative punya pendapat yang sama ya,
kayaknya ingat DPR itu dari Golkar itu mas Hajriyanto Thohari.
LA: Itu yang maksudnya yang pengen
AS: Masuk, BUMN masuk. Dari Golkar itu mas Hajriyanto Thohari, dari PAN itu Pak Djoko Susilo
terus kemudian PDI itu Andreas Parera kalau nggak salah, PKB itu Effendy Choirie, terus PAN itu
Tristanti Mitayani.
LA: PAN selain Djoko Susilo yang berarti, kalau dari PPP? Nggak ada?
AS: PPP nggak ada
79
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Atau ada nggak yang cenderung pro ke pemerintah, maksudnya setuju pro pemerintah, setuju
dengan usulan pemerintah.
AS: Nggak ada seingatku tuh.
LA: Nggak ada yang pro pemerintah?
AS: Saya nggak inget, Demokrat tuh siapa ya?
LA: Demokrat itu saya lihat di risalahnya ada Markus Silano, Siti Wahab, FX Soekarno.
AS: Nah itu, Shidki Wahab itu yang pro pemerintah.
LA: Shidki Wahab yang pro pemerintah?
AS: Nah Pak Suparno itu bukan.
LA: Suparno itu dari mana, Demokrat juga. Jadi hanya sebagian saja yang sepakat maksudnya yang
pro usulan pemerintah ya. Kalau lobi-lobi di luar, Mas tahu nggak, banyak nggak terjadi lobi-lobi di
luar?
AS: Maksudnya lobi-lobi di luar gimana?
LA: Di luar rapat.
AS: Ya banyak, banyak, kita juga lobi-lobi. Kalo prosedur sesuai jadwal saya rasa si terpenuhi ya
walaupun ada perubahan-perubahan jadwal, tapi memang lobi ga bisa dihindari.
LA: Sering itu?
AS: Diluar kita ketemu, gini gini gini. Pak Marzuki Darusman bea cukai waktu itu ya.
LA: Iya, ada.
AS: Terus, Mochtar Ngabalin.
LA: Iya, PBR ya, sering ketemu ya Mas ya?
AS Sering,
LA: Jadi mereka yang undang atau gimana atau masyarakat sipil yang sering ngajakin?
AS: Kita, kita ngundang seminar di daerah, diskusi.
LA: Jadi memang, pembicaraannya memang khusus seputar, kebanyakan UU KIP aja waktu itu ya?
AS: Ya,
LA: Itu ada nggak berpuluh-puluh kali mas?
AS: Wah, itu berpuluh-puluh kali, selama berapa tahun ya.
LA: Selama dari tahun 2004 sampe 2005. Kalau untuk kompromi-kompromi?
AS: Maksudnya untuk kompromi-kompromi gimana?
LA: Ya maksudnya, katanya kan pasal-pasal itu banyak yang hasil-hasil kompromi, seperti itu. Nah
terutama untuk pasal 1 ayat 3 ini kan kenapa akhirnya di sah kan, seperti itu kan, kata Pak Paulus
memang ada banyak kompromi-kompromi di situ.
AS: Iya, kompromi-kompromi kayak gitu dari BUMN, Partai Politik, di sendirikan, itu kompromi.
Terus LSM masuk bagian dari badan public, kompromi juga.
LA: LSM ya parpol ya?
AS: Kalau parpol ya, tapi LSM yang masuk badan public itu agak aneh.
LA: Ya benar-benar tapi kenapa bisa masuk,itu berdasarkan ini juga?
AS: Ya karena pemerintah terlalu tinggi, nggak lucu dong. Pemerintah suruh transparan LSM nggak
mau lantaran DPRnya ya gitu masa kalian nggak mau, ya udah kejepit ya sudah lah sekaligus
pembelajaran buat LSM lah terbuka sekalian tapi sebenarnya nggak lazim karena harusnya hanya
LSM-LSM yang medapatkan dana dari pemerintah yang bisa terbuka.
LA: Kalau tekanan-tekanan sendiri relative nggak terlalu kuat ya mas, maksudnya ada nggak sih
tekanan kalau kayak tadi untuk UU penyiaran kan ada perusahaan media yang banyak berkepentingan
di situ kalau untuk UU KIP ini relative.
AS: Nggak ada.
LA: Lebih ini ya berarti ya dari dalam anggota sendiri dan dari luar itu nggak ada yang terlalu
dominan untuk yang ini lho harus jadi terutama untuk pasal 1 ayat 3 itu.
AS: Iya BUMN kan yang menekan.
LA: BUMN menekan tapi BUMN nggak pernah di ikutsertakan kan.
AS: BUMN nggak pernah tapi kan mereka diam-diam mempengaruhi pemerintah tapi kelihatan.
LA: Siapa mas yang waktu itu?
AS: Waktu itu nggak bisa diprediksi tapi kelihatan gitu, jadi kan waktu itu menteri BUMN siapa,
Sofyan Djalil.
80
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
LA: Sofyan Djalil kan sempat jadi Menkominfo juga terus diganti pak Mochammad Nuh kan.
AS: Ketika disah kan dia kayaknya mentri BUMN dia.
LA: Jadi dia sempat maksudnya penekanan itu justru banyak datang dari BUMN itu sendiri ya.
AS: Iya, tapi kita nggak punya bukti tapi kelihatan sekali mereka.
LA: Contohnya gimana mas.
AS: Yaitu tadi BUMN itu masuk nggak sebagai bagian dari badan public.
LA: Pernah ini nggak apa maksudnya kelihatan nggak.
AS: Nggak kelihatan karena BUMN itu kan bagian dari pemerintah ya tapi itu kan kelihatannya tadi
risalah rapat tadi kan DPR mengatakan “kok anda berubah-ubah sikapnya?” itu kan indikasi.
LA: Terus kalau yang mas lihat sendiri di hasil akhir Komisi I itu kira-kira merasa puas nggak sih
dengan hasil akhir pasal 1 ayat 3 itu atau sama dengan masyarakat sipil?
AS: Kalau komisi I ya bukan puas, nggak puas tapi mereka menerima itu kan keputusan mereka
sendiri.
LA: Jadi cukup-cukup legowo.
AS: Mereka senang karena UUnya terlalu lama dan membebani kerja kita.
LA: Termasuk dari partai-partai yang tadinya nggak setuju yang tadi yang sebagian besar yang nggak
setuju tadi.
AS: Parameternya kan nggak ada yang menolak kan, nggak ada yang istilahnya apa, walk out, nggak
ada kan semuanya menerima, semuanya tanda tangan mereka berarti.
LA: karena sudah terlalu lama juga kali ya.
AS: Iya.
LA: Jadi males.
AS: Mungkin males.
LA: Ya, oke oke oke. Kalau saran-saran dari koalisi terhadap pasal itu waktu itu tapi cukup
ditampung dengan baik kan sama mereka?
AS: Masukan yang gimana?
LA: Yang masukkan yang tentang BUMN itu kan masyarakat.
AS: jadi ditampung, tapi kan nggak maksimal , maksudnya ditampung dalam arti BUMN tetap
menjadi bagian dari badan public, nah itu kan mengadopsi, itu kan mengafirmasi masukan pemerintah
masyarakat sipil tapi ternyata pengaturannya itu disendirikan. Ada acception kan untuk BUMN begini
begini, nah itu mengecewakan.
LA: Kira-kira penerimaan mereka diakhir itu dengan kata mas tadi kan bilang mereka cukup senang
dengan hasil akhirnya dengan segala keputusan itu terutama untuk pasal 1 ayat 3 itu, kira-kira itu
maksudnya sudah terlalu lama mereka capek atau memang untuk mepertahankan solidaritas
kelompok di antara mereka?
AS: Saya nggak tahu ya, tapi satu terlalu lama, yang kedua ya mungkin tidak ada.
LA: Atau menjaga nama baik?
AS: Nggak, memang rumusannya mungkin sudah ketemu. Artinya DPR itu secara psikologis kan
merasa nyaman kalau bisa sudah mengadopsi aspirasi masyarakat dan juga rumusan terakhirnya
diterima oleh mereka. Itu keberhasilan DPR sebagai Legislator sebenarnya, karena ya karena itu tadi,
di kompromi ngerti kan? Buat mereka kan kalau berhasil mempertemukan kepentingan masyarakat
sipil dengan lembaga berarti mereka berhasil.
LA: Tapi kan, bukannya dibilang keberhasilan itu sebenarnya milik pemerintah karena kan usulan
tidak memasukan teks BUMN atau BUMD itu kan dari pemerintah, DPR kan awalnya memasukan
itu, kira-kira gimana. Maksudnya tadi kan Mas bilang DPR cukup bisa senang dengan itu karena bisa
mengakomodir kepentingan masyarakat sipil dengan pemerintah tapi maksudnya bukankah DPR
terlihat jadinya kalah dengan pemerintah ketika pasal ini jadinya seperti mirip usulan pemerintah
bukan usulan DPR.
AS: Bukan, karena untuk usulan pertama kan BUMN belum masuk sama sekali, BUMN masuk kan.
LA: Di pasal 14 itu.
AS: Saya lupa, tapi di pasal, di pengaturan Undang-undang itu ada.
LA: Tapi sepertinya di sembunyikan,
AS: Bukan disembunyikan, tapi.
LA: Tidak masuk di pasal.
81
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
AS: Jadi gini lho, kalau badan public yang lain itu kan setiap badan public itu harus terbuka kepada
masyarakat, sebetulya begitu, untuk BUMN yang harus terbuka tu hanya ini, ini, ini gitu lho,
perbedaannya itu.
LA: Tapi definisi badan public itu tidak disebutkan, maksudnya kenapa mereka nggak mau
menyebutkan, bahwa BUMN itu juga masuk lho dalam definisi badan public.
AS: Masuk.
LA: Di pasal 1 ayat 3 kan nggak disebutkan,
AS: Saya lupa, Mbak bawa Undang-undangnya nggak?
LA: Bawa.
AS: Ada, mungkin nggak di pasal itu tapi di pasal bawah-bawahnya.
LA: Iya di pasal ini nggak masuk, karena disebutin anggarannya aja.
AS: Dan memang ini umum Mbak, umum tapi disini..
LA: Pasal 14 ya kalau nggak salah apa pasal 16.
AS: Nah ini, ya.
LA: Yang di informasi ya.
AS: Informasi yang wajib disediakan oleh BUMN, BUMD adalah ini, jadi BUMN itu masuk bagian
dari badan public, jelas sekali disini.
LA: Cuman, di pasal ini yang disebutkan kan?
AS: Ya, cuma hanya ini aja yang lain-lain nggak harus di buka dia padahal diluar ini tuh masih
banyak menurut kami harus terbuka. Artinya nggak, harusnya nggak perlu di eksplisitkan begini, jadi
berlaku umum saja seperti untuk seperti badan hukum yang lain begitu. Nah maunya pemerintah ini
sama sekali nggak ada.
LA: Maunya pemerintah.
AS: Iya, pokoknya BUMN itu jangan masuk dalam kategori badan public. Awalnya, akhinya kan
pemerintah “ya udah kalau mau tapi dirumuskan ini,.. ini,.. ini,…” jadi mereka juga,..
LA: Dan ngak muncul di awal ya, maksudnya nggak muncul di pasal 1 ayat 3 itu ya?
AS: Sekarang kalau di pasal 1 ayat 3 itu.
LA: Iya, teksnya, teksnya.
AS: Di pasal 1 ayat 7 kang nggak ada yang muncul sama sekali kan.
LA: Iya kan, kalau dari DPR awalnya di buku Anotasi itu kan ada Mas dari DPR, disebutin kalau
usulan dari DPR.
AS: Iya betul tapi legislative, eksekutif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya
berkaitan dengan penyelenggaraan Negara. Nah itu BUMN sudah masuk, yang sebagian atau seluruh
dananya bersumber dari APBN atau APBD, itu BUMN juga masuk. Jadi menurut saya nggak perlu
eksplisit juga nggak apa-apa, buat saya nggak masalah. Yang masalah tuh di pasal 14 tadi, karena
kalau gini aja nggak eksplisit aja tetap masuk. Karena misalnya begini, Rumah Sakit Umum nggak
masuk kan disini, itu masuk dia. Misalnya lembaga Negara non departemen kayak Dewan Pers,
Komnasham nggak masuk disini, nggak eksplisit kan. Dia bukan eksekutif, bukan legislative, bukan
yudikatif, tapi dia masuk dengan definisi ini dia masuk.
LA: Cuman informasinya itu yang nggak semuanya bisa di buka. Terakhir nih Mas, harapannya untuk
UU KIP apa ya Mas?
AS: Harapan saya sih, semakin banyak warga Negara apapun profesinya untuk menggunakan
Undang-undang ini untuk kebutuhan hidup sehari-hari mereka, karena UUnya sudah ada, Komisinya
sudah ada, lembaga-lembaga public juga saya lihat sudah mulai menyiapkan diri, jadi tinggal
membangun public demand. Membangun public demand itu penting karena kalau nggak ada public
demand undang-undang ini jadi termakan tempat aja. Nah public demand ini yang harus di gerakkan,
mungkin teman-teman wartawan, teman-teman NGO, teman-teman kampus yang membantu ya, tapi
ya pokoknya masyarakat harus menggunakan kalau nggak nanti ya.
LA: Implementasinya sejauh ini menurut Mas gimana jalannya setelah beberapa tahun di sahkan?
AS: Ya memang anu ya, kalau beberapa orang mengatakan lambat tapi Undang-undang yang lain juga
banyak yang lebih lambat.
LA: Perlu di revisi nggak kira-kira?
AS: Revisi itu harus dipikirkan, hasilnya bisa lebih baik nggak, kalau kita ngotot revisi tapi hasilnya
lebih buruk kenapa, buat apa. Jadi revisi Undang-undang itu harus mikir sejauh itu, kita harus lihat
82
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
perangai DPR seperti apa, kita harus perangai memerintah gimana? Kita mengajukan usulan revisi ya
usulan kita bagus tapi kan yang mengesahkan DPR dan pemerintah. Jangan-jangan di revisi menjadi
lebih buruk, kalau kondisinya begini menurut saya nggak usah revisi dulu, dimaksimalkan yang ada
ini. Sikap saya terhadap Undang-undang Pers juga begitu, Undang-undang Pers itu banyak punya
kelemahan, saya setuju tapi kalau kita ngotot, kita ajukan anggatan sekarang DPRnya kayak gitu, jadi
malah lebih buruk rasanya. Lebih baik realistis aja, yang ada aja kita maksimalkan.
LA: Waktu itu koalisi ada berapa ya Mas untuk Undang-undang yang tergabung, yang mengawal?
AS: 43 NGO seingat saya.
LA: Se- Indonesia?
AS: Tapi kan berubah-ubah ya,
LA: Maksudnya bertambah-tambah?
AS: Bertambah, menurun.
LA: Nah, Pak Paulus waktu itu kan sudah nggak, berarti dia ikut mengawal aja ya?
AS: Iya dia dari DPR periode 1999-2004 terus nggak terpilih lagi pindah ke Masyarakat Sipil.
LA: Iya kemarin saya wawancara Pak Paulus, dia bilang ya itu banyak ada, yang disembunyikan soal
teks-teks konsep tekstual, jadi rancu-rancu. Oke deh Mas kalau begitu, terima kasih banyak.
AS : Ya begitulah. Ok sama-sama.
Hasil Wawancara Informan Pendukung 3
83
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Nama
: Drs. Ismail Chawidu, M. Si (Humas Kemkominfo)
Tempat
: Jakarta
Tanggal
: 14 Maret 2015, Pukul 11.00 WIB
Narasumber : Ismail (IC)
Pewawancara : Lisa Adhrianti (LA)
LA: Pak terimakasih waktunya atas kesempatan wawancara ini, jadi e..e penelitian yang ingin saya
lakukan tentang e komunikasi yang terjadi, dinamika interaksi, tepatnya, yang terjadi pada saat
membahas RUU KIP Komisi satu DPR periode 2004-2009. Jadi kan sebelumnya RUU KNIP itu kan
diusulkan di tahun 99 udah kan ya pa, tapi akhirnya baru dibahas di 2004-2009. Mungkin bapak bisa
cerita kenapa ee mungkin tau kronologis kenapa sampe RUU KIP dibahas sampe dua periode itu pak?
IC : Jadi begini, ee dulu pertama sekali namanya ini Rancangan Undang-Undang Kebebasan
Memperoleh Informasi Publik. Nah rancangan undang-undang itu sebagai itu diterusin oleh 63
lembaga swadaya masyarakat. Mereka tergabung dalam sebuah koalisi yang mereka sebutkan
namanya itu sebagai koalisi kebebasan, itu sebuah LSM yang memperhatikan kebebasan dalam
koalisi tersebut. Nah mereka ini langsung ke DPR, akhirnya ini menjadi apa namanya hak inisiatif
DPR. Dalam perjalananya waktu itu kelembagaan yang ada di kementrian komite ada dua. Satu
namanya lembaga informasi nasional, satu lagi kementrian negara komunikasi dan informasi. Waktu
itu mentrinya almarhum Syamsyul Maarif. Nah setelah itu lalu ada dua konsep.
L: Itu sebelum 2004 ya pak? karena diperiode sebelumnya
I: Iya nah terus dari situ kementrian kominfo yang diwakili oleh mentri negara membuat satu draft,
konsep, jadi ada dua draft, buat sama-sama maju ke DPR. Mulai 2009 itulah kemudian harus
diputuskan.
L: Oh jadi pemerintah juga bikin draft?
I: Bikin draft
L: Oh itu asalnya pemerintah bikin draft itu setelah ada ini dari DPR atau bagaimana?
I: Nggak, setelah ada masukan dari koalisi itu ke DPR dulu kemudian disounding dibicarakan ke
kominfo. Akhirnya kita waktu itu bekerjasama dengan UNPAD, kita juga mengadakan naskah kajian
akademiklah, akhirnya dua konsep. Yang tajam waktu itu perbedaanya adalah tentang pengambilan
keputusan tentang pembentukan sebuah ee waktu itu namanya lembaga informasi, sekarang namanya
komisi informasi. Pertama ada dua pendapat, apakah dalam undang-undang ini harus ada komisi lagi,
waktu itu, ee Pak Profesor Ahmad Ramli mengatakan yaa kalo mengacuhkan beberapa negara ya ga
perlu ada, karena di beberapa negara kan juga ada dan tidak ada. Tapi ya sudah demikian kemudian
dalam draft Kominfo itu ada namanya draft lembaga informasi, dua draft maju, akhirnya kemudian
mulai 2009 disepakat nggak mungkin dua draft, akhirnya jadi satu draft terus langkahnya lalu adalah
penyusunan DIM
L: DIM
I: DIM. kalo ga salah itu DIMnya kurang lebih 600
L: Enam ratus ya pak ya. Itu Komninfo semua yang bikin kerjasama?
I: Kerjasama sudah, ia sudah dengan DPR waktu itu ya dibahaslah. Nah pada waktu itu biasalah,
sebagai sebagai negara yang baru mulai, itu euforia kebebasan kan, sementara dari pihak pemerintah
kan belum maksimal, masih transisi menuju keterbukaan. Tarik menarik terus, tarik menarik terus,
titik temunya tuh panjang sekali, 2009, eh 99, kan baru terakhir 2008 ya.
L: 2008 disahkan.
I: Ya 2008 disahkan.
L: Bagi pemerintah persepsi terhadap undang-undang KIP ini seperti apa? Kan saya sempat
mendengar UUD ini kan nggak diharapkan ada sama pemerintah. Kalo bisa kata orang-orang LSM
kan pemerintah tuh nggak suka ada undang-undang ini. Itu gimana sih pak?
I: Secara resmi pemerintah tidak pernah memberikan state bahwa....
L: Iya, iya maksudnya ada ini ga, semacam apa, ya mungkin kaya keterkejutan atau gimana nih, kaya
semacam kepanikan atau bagaiamana kira-kira?
84
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
I: Sebenernya yang saya tangkap tuh tidak ada. Tidak ada, hanya proses memahami sebuah ee
keterbukaan itu memang tidak serta merta lalu oke. Karena gini, waktu itu apa yang ada dibenaknya
pemerintah tentang LSM kadang-kadang tidak selalu baik, demikan sebaliknya apa yang ada dibenak
LSM terhadap pemerintah juga tidak pernah baik. Jadi titik temunya yang tidak ada. Jadi kalau ada,
semacam persepsi seperti itu, itu mungkin muncul dari seorang perorang, tapi secara kelembagaan
tidak pernahlah
L: Ga ada ya pak?
I: Karena..kenapa tidak ada, waktu itu Departemen Penerangan sudah mengesahkan undang-undang
namanya undang-undang pers.
L: Pers, iya
I: Itu betapa revolusionernya UU Pers itu, bahkan katanya tidak ada..hanya ada satu kata pemerintah
dalam UU waktu itu. Kita juga waktu itu sudah mengesahkan rancangan undang-undang tentang
kebebasan menyampaikan pendapat di depan umum, UU No.9 tahun 99, itu sama reformasinya juga
sama
L: Terus jadi sebenarnya
I: Sebenernya, ga bisa, saya kalau dikatakan ada komen itu ga setuju saya.
L: Ga setuju ya pak. Jadi emang ga ada semacam ini yah pak..
I: Ga ada
L: Respon yang berlebihan
I: Ga ada
L: Misalnya dari pemerintah, ko ada ini lagi sih, nanti kita bisa kebablasan nih atau apa nih, gimana
kira-kira?
I: Waktu itu ada beberapa rancangan undang-undang yang sudah disounding, di samping UU tadi,
KMIP dulu namanya, juga UU tentang, ee waktu itu Undang-undang masalah keamanan negara kalo
ga salah, pertahanan keamanan negara.
L: Iya kan?
I: Sehingga pak Syamsul mengatakan udahlah tunggu itu, sehingga ini jadi undang-undang payung.
Tapi dalam perjalanannya lalu..
L: Ini duluan
I: Jadi pertama itu saya tidak setuju kalau dalam itu bahasanya itu seakan-akan nanti pemerintah tidak
tidak..
L: Mendukung ya pak?
I: Iya, bahwa ada persepsi masyarakat seperti itu karena kita itu kan masih menuju masa transisi yang
dari rezim ketertutupan menjadi rezim keterbukaan.
L: Keterbukaan
I: Itu jadi nggak mungkin kita multi langkah. Jadi di approach abu-abu dulu kan.
L: Iya jadi ga ada unsur yang mungkin dirasa berat dari pemerintah untuk kehadiran KIP ini pak?
I: Ga ada
L: Ga ada
I: Dalil saya tadi itu, udah ada undang-undang pendahuluan yang sudah kita sahkan kok. Undangundang Pers.
L: Kalo untuk rumusanya sendiri yang diajukan oleh DPR yang hasil masukan-masukan dari LSM
pengusul itu yang masukan ke DPR kemudian diajukan ke pemerintah itu kira-kira ee apa namanya,
bagaimana pak, pemerintah melihatnya terhadap rumusan-rumusan yang mereka ajukan? Ketika akan
membahas?
I: Terus terang gini, ada kesan pada waktu itu bahwa sebenarnya LSM, ee rumusan yang diajukan
LSM ini sangat ee
L: Maksudnya yang udah diiniin sama DPR ya pak ya?
I: Ya..ya ini sangat ee copy paste dengan punyanya FOIA, Freedom of Information Act punyanya
Amerika.
I: Ini kesanlah ya, kesan ya karena kan terus terang mereka kan dalam menyusun ini kan dia tiga
tahun sendiri, dia ambil punyanya Inggris, punyanya Amerika, punyanya punyanya siapa kan. Mereka
kemudian diramu, diramulah. Itu akhirnya ada kesan, jadi kesanya ini adalah seperti ini, pada waktu
itu kesannya sangat kebablasan.
85
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
L: Waktu itu ya pak ya?
I: Iya
L: Kesan pemerintah ya pak yang ditangkap?
I: Iya, kalau begini caranya, ini kok jadi ini ee sangat-sangat liberal sekali. Sehingga tidak lagi, yang
tadi kan jadi dulu ada UU rahasia negara tadi ya...
L: Iya iya
I: Tidak lagi menyisahkan bagian dari rahasia negara. Jadi sekali lagi persepsi kesan, kemudian tapi
tidak dikeluarkan secara kelembagaan, nggak ada.
L: Kalau disampikan secara terbuka di Komisi I tidak juga pak?
I: Oh tidak, hanya tercermin dari pembahasan-pembahasan yang biasalah, ee mengajukkan argumenargumen antara pihak DPR dan pihak pemerintah.
L: Termasuk khususnya bagian pembahasan tentang badan publik. Rumusan di pasal 1 ayat 3 itu kan
awalnya dari DPR kan menuliskan BUMN, BUMD, BHMN, itu masuk dalam teks
I: Itulah DIM yang terakhir yang paling susah diputuskan itu.
L: Nah..itu kira-kira gimana pak? Maksudnya pemerintah menilai masalah itu seperti apa?
I: Masalahnya Gini..
L: He eh, sementara dilain pihak pemerintah memasukkan LSM sama parpol
I: Begini, kami dari pemerintah kan kita bahas internal dulu dengan pemerintah tentang pasal BUMN
L: Itu bahas internal e..saat
I: Tidak melibatkan DPR
L: Iya maksudnya lintas kementrian?
I: Lintas kementrian, kan emang ada namanya panitia antar lembaga.
L: Iya, kementrian apa aja pa?
I: Nah kita panggil BI, Bank Indonesia. Kita panggil BUMN, kita panggil BIN, kita panggil ee apa
namanya, Departemen Pertahanan, itu harus mengakomodir semua
L: Iya
I: Nah jadi waktu itu ee kesannya waktu itu adalah, katakanlah BUMN di sini. Kan penjelasan dari ee
BUMN bahwa ini rezim ini harus dibahas dipisahkan dua.
L: He eh
I: Ada rezim keterbukaan, ada rezim pure ekonomi. Sehingga pada saat menetapkan badan publik itu
kan itulah ya, lalu kemudian pembahasan menjadi tajam, karena terdapat pertanyaan-pertanyaan di
sini, apakah BUMN BUMND secara utuh itu masuk sebagai badan publik? nah dibahaslah pada
waktu itu bahwa sebenarnya BUMN, BUMD, memang betul di situ ada unsur publik, karena dia
bekerja untuk publik.
L: Iya
I: Tetapi jangan salah bahwa penyertaan modal negara di BUMN itu tidak semuanya harus terbit.
Kenapa? karena kalau ada satu badan usaha yang berusaha di satu sektor yang sama lalu yang satu
dibuka, satu ditutup ya ga bisa dong, ga fair. Contoh, PT. Telkom, ya antara Telkom dengan Indosat .
Indosat tersebut perusahaan bisnis, jadi dia bukan badan publik.
L: He..dia bukan badan publik?
I: Bukan..sahamnya saham publik semua, tidak ada saham negara di situ. Tapi sementara Telkom,
Telkomsel, dia kan badan publik, karena dia ada penyertaan saham negara di situ. Ada negara punya
dana di situ. Kalau dia, apa namanya, ditutup, disamakan dengan dibuka semuanya
L: Sama seperti Telkomsel maksudnya?
I: Bagaimana dia bersaing, dalam hal yang sama, itu kan ada yang namanya rahasia perusahaan
L: Hm, itu argumen pemerintah
I: Argumen pemerintah yang diwakili oleh sekertaris BUMN, Pa Said Didu kan, ya jelas. Akhirnya
kesepakatanya itu DIM yang terakhir dibahas itu masuk badan publik, tetapi yang boleh dibuka hanya
tercantum dalam pasa berapa itu dalam undang-undang, pasal berapa katanya?
L: 14 ya
I: 14, makanya mulai dibuka adalah ini ini in, selain itu ga boleh.
L: Kesepakatanya itu ya, waktu itu DPR gimana pak?
I: Akhirnya paham
L: Paham, setelah sebelumnya agak ini ngotot ya?
86
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
I: Iya waktu itu kan tuduhanya hanya kan begini, kalau BUMN itu tidak dibuka, itu kan, itu kan jadi
satu perahan oleh negara sendiri, tempat pencowo partai-partai, makanya harus dibuka.
L: Kata mereka?
I: Kata mereka he eh, tapi pa Said Didu mengatakan, You kalo buka ini bagaimana BUMN kita mau
bersaing dengan BUMN lainnya yang bisnisnya sama dengan itu?
L: Waktu itu yang kira-kira keras, maksudnya anggota yang kira-kira agak susah diiniin siapa pa?
I: Itu Pak siapa ya namanya, dia lagi jadi dubes di suatu negara
L: Pa Tosari, eh
I: Bukan
L: PAN ini..Anis Mata
I: Bukan Anis Mata, saya lupa siapa namanya
L: Itu yang agak keras ya pak ya?
I: Iya iya
L: Dedi Jamaludin Malik oh bukan ya?
I: Dedi Jamaludin Malik termasuk yang..
L: Keras juga?
I: Keras tapi masih bisa menerimanya
L: Kalo PDIP pak?
I: PDIP e..
L: Andreas?
I: Andreas Pareira
L: Yang agak keras untuk bertahan dengan argumennya DPR
I: Iya
L: Berarti kalo ini pak, dari partai pendukung pemerintah seperti Demokrat waktu itu?
I: Waktu itu ada Demokrat ya?
L: Ada pak udah ada, tapi masih kecil porsinya, kan presidenya SBY kan
I: Iya
L: Itu gimana kira-kira kalo, berarti kira-kira partai-partai yang seolah mendukung pemerintah
kayanya setuju sama pemerintah ya pak ya
I: Itu sih itu kan suhu politik memang harus gitu, itu kan apa namanya suasana dalam pembahasan
undang-undang yang sifatnya politik, produk politik.
L: Itu akhirnya mereka bisa menurunkan tensinya itu kira-kira gimana pa?
I: Waktu itu yang menjadi sebagai penengah itu pa Arif Mudasir, almarhum
L: Oh dari PPP? Iya Almarhum
I: Itu saya inget betul itu diputuskan di hotel Ibis di Petamburan kalo ga salah itu
L: Itu dalam rapat
I: Lobi bulan Ramadhan
L: Lobi di Hotel Ibis Petamburan pa itu tentang badan publik itu?
I: Iya
L: Terus gimana pak?
I: Sampe kita mau sahur itu
L: Jadi rapatnya dari jam berapa pak? Dari pagi?
I: Dari sebelum buka
L: Oh waktu itu puasa ya pak?
I: Puasa
L: Oh dari sebelum buka sudah bahas terus?
I: Iya tapi sebelumnya sudah juga di Kopo.
L: Ya..ya tapi maksudnya yang hadir di sana semua panja atau apa?
I: Iya
L: Jadi itu terakhir tuh
I: Terakhir itu, saya masih ingat
L: Ingat tannggal berapa pa?
I: Lupa kalo tanggal
L: Lupa ya
87
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
I: Yang saya ingat bulan puasa
L: Berarti sebelum diiniin di timsin
I: Iya
L: He eh timsin, sinkronisasi
I: Iya udah kita sepakati
L: Kira-kira gimana pa akhirnya waktu itu
I: Makanya keluar pasal 14 itu
L: Di situ keluar pasal 14
I: Ya artinya keputusanya mengatakan bahwa okelah kita terima juga usulan dari DPR bahwa BUMN
memang harus terbuka tapi tidak boleh terbuka telanjang. Caranya bagaimana? ya tentukan mana
yang boleh dibuka mana yang tidak.
L: Itu pemerintah bilang seperti itu ya pak?
I: Dan itu disepakati, karena tadi kita katakana bahwa dia juga ada rezim bisnis di situ gitu. Untuk
menjaga kita punya, apa namanya ee eksistensi badan usaha negara
L: Iya
I: Bahwa sebuah rezim bisnis itu harus ada strategi-strategi binis yang harus di
L: Jaga
I: Dijaga, dalam rangka persaingan usaha.
L: Tapi kenapa setelah itu baru akhirnya, oh iya kan dulu juga udah disampaikan waktu rapat
I: Karena kan pandangan-pandangan yang tadi dikatakan lebih liberal itu.
L: Atau ada tekanan dari luar mungkin pak?
I: Oh ga ada
L: Dari LSM mungkin?
I: Kalo LSM iya si sudah pasti
L: He eh
I: Saya berikan suatu gambaran dalam pembahasan di komisi 1, bahwa penguasaan terhadap materi
penerbitan undang-undang ya, itu tidak secanggih dibanding dengan penguasaan LSM, ngerti gak?
L: He eh he eh
I: Jadi kalau kita ada pembahasan itu kan Prof Ramli ahlinya
L: Iya itu kan Prof Ramli itu
I: Kalau Prof Ramli sudah bicara
L: Itu orang kominfo juga ya?
I: Iya
L: Dia di mana sekarang?
I: Dia staff ahli kan
L: Oh sekarang jadi staff ahli?
I: Enggak, sekarang jadi dirjen HAKI
L: Oh di Jakarta juga?
I: Iya di HAKI, dan itu Pak Ramli meenjadi staf ahli bidang hukum kan di kemkominfo, nah betulbetul kan kalo pak Ramli kan dia menguasai secara mendetail. Sehingga kalau dia memberikan
pencerahan itu DPR tuh diem.
L: Oh gitu
I: Diem, tetapi begitu ada pertanyaan yang dibahas, kita lemparkan pertanyaanya itu tadi. Itu kan ada
satu fraksi yang namanya fraksi balkon, isinya LSM semua.
L: Iya
I: Jadi sms ke anggota DPR, jawabnya begini
L: Oh gitu ya pa
I: Hehehe iya
L: Permainan ya
I: Iya heheheh kan maklum kan harap maklum, DPR kan waktunya untuk mendalami sebuah produk
perundang-undangan kan juga terbatas. Jadi hanya ada beberapa orang-orang yang menonjol.
L: Hajriyanto?
I: Hajriyanto, Andreas Pareira. Ya begitulah, suasananya seperti itu.
88
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
L: Terus pa, akhirnya titik temunya di luar nih pasal 14 itu kan, bahwa informasi yang bisa dibuka
oleh BUMN, BUMD ini ini ini
I: Itu masukan dari mentri BUMN
L: Iya. Kemudian kan pasal 15 dan 16 akhirnya mengakomodir keterbukaan
I: Partai politik
L: Dari parpol dan LSM, seperti yang diinginkan pemerintah dari awal. Itu kira-kira seperti apa pak?
Kan DPR awalnya tidak menginginkan nih awalnya parpol dan LSM
I: Loh kita berikan penjelasan, katakanlah seperti di dalam pasal 17 ada poin tentang memorandum,
memo antar, memo antar apa ya yang tidak boleh dibuka, tadinya kan bahwa yang kan memorandum
itu, ini contoh saja ya
L: He eh
I: Partai politik tuh ga mau dia kalau dikatakan memo memo itu dikatakan rahasia. Terus kita berikan
gambaran, pak partai politik, kalau anda melakukan misalnya namanya PAW
L: Penggantian Antar Waktu itu ya?
I: Penggantian Antar Waktu. Lalu ada usulan masuk dari dalam, bahwa untuk membagikan si A ada 3
calon. Sekarang perrtanyaanya. Apakah nama 3 calon itu anda buka atau tidak? Yanggak dong. Anda
mau buka atau tidak, ya engga dong, ya sama saja, jadi semua memo-memo jadi partai politik
mempunyai sisi-sisi yang dilindungi. Kalau dia punya kebijakan yang on going proces itu biarkanlah
dululah menjadi rahasia sampai dia betul-betul sampai pada sebuah keputusan yang menjadi milik
publiik
L: Hm jadi mereka bisa nerima itu ya
I: Nah sekarang partai politik misalnya apakah semua benar-benar partai politik. Sekarang apakah
sumber-sumber dana partai politik bersumber dari dana negara, kan engga..tapi kan juga bahwa setiap
satu suara demi partai politik ini dihargai sekian rupiah oleh negara, sehingga kalau ada partai politik
mendapatkan sekian kursi tinggal dihitung. Dia ada berapa konsituen di dalamnya pemilih ini, itu
dikali rupiah, makanya dapet jatah sekian dari APBN. Nah itu kan bagian dari yang harus dibuka juga,
tapi kan ada juga sumbangan-sumbangan ada juga bagian-bagian tidak perlu dibuka, kebijakankebijakan tertentu, maka keluarlah pasal itu
L: Kalo bertemu selain dalam rapat komisi itu sering ga pak dilakukan di luar?
I: Oh sering
L: Sering
I: Kalo lagi mentok
L: He eh
I: Ketemu di wisma DPR, kalo gak di DPR ya ketemu di
L: Berarti itu membahas itu lagi pa? Bukan ngobrol santai atau
I: Engga, jadi suasananya yang diindahkankan. Kalo lagi panas mungkin lagi siang-siang atau karena
kehadiran orang LSM, sekali-kali lah tanpa kehadiran orang ketiga lah. Suasanya memang dialogis,
lebih enak, tidak formal, tidak melalui sidang, sering ko
L: Sering ya pa. Waktu itu pemerintah yang sering ikut mewakili pak mentri? Siapa aja?
I: Prof Ramli, kemudian ada direktur harmonisasi dari KumHAM, saya lupa namanya, kemudian dari
bank Indonesia ada, Mas Agus itu biro hukumnya. karena bank Indonesia juga punya kepentingan
dari segi perbankan, kemudian dari BIN juga, kemudian dari Polhukam juga ada, lengkap kok.
L: Bapak selalu ikut waktu itu?
I: Selalu ikut
L: Waktu itu bapak di kementrian kominfo sebagai apa pa? Menjabat
I: Saya waktu itu asisten deputi bidang kelengkapan informasi ya
L: Oh
I: Kementrian negara
L: Waktu itu programnya sebagai?
I: Staff ahli
L: Staff ahli Kominfo ya
I: Staff ahli mentri bidang itu
L: Kalau berarti, diskusi-diskusi dengan mereka perwakilan pemerintah itu sering kali dilakukan pak?
Di luar sepengatahuan DPR, sering ga pak? Misalnya dengan BI
89
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
I: Oh iya dong. Kalo kita ada masalah yang, kan misalnya gini permasalahan bank Indonesia, kan kita
tidak paham, jadi kita secara internal
L: Itu biasanya secara resmi atau dalam situasi yang santai seperti tadi bapak bilang?
I: Itu kan gampang, di hotel kesepakatanya juga bisa, kan bisa kita panggil di BI nya, kita panggil di
kominfo
L: Untuk Membahas ya pak?
I: Iya karena kan kalau ada dim-dim yang itu milik salah satu kementerian, itu harus kita finalkan
internal dulu untuk menghadapi pembahasan secara terbuka di Komisi I.
L: Nah kalo secara umum bapak menilai orang-orang komisi 1 dalam mereka mengeluarkan
pendapatnya, mempertahankan pendapatnya, itu kira-kira dinamikanya seperti apa? Mereka cukup
solid atau ada semacam keraguan-keraguan mungkin konflik, bapak melihat mereka seperti itu untuk
membahas badan publik tadi pa?
I: Itu juga agak lama ya
L: Lupa ya, kira-kira waktu itu gimana yang tergambar dari hari ke hari rapat sama badan publik. Itu
kira-kira sikap mereka itu seperti apa pa?
I: Gimana ya, pertama kan saya bilang perhatian dari sekian puluh anggota didominasi oleh orangorang tertentu yang memang memberikan perhatian penuh, gitu ya. Jadi otomatis kalo hanya orang
tertentu-tertentu saja tidak bisa dikatakan itu pendapatnya seperti itu, yang diem cuma
L: Banyak yang diem pa?
I: Iyalah banyak yang diem
L: Ngikut aja
I: Ngikut aja, makanya tadi nama-nama yang
L: Vokal, dominan ya pa
I: Hajri apa
L: Hajriyanto
I: Hajriyanto, Andreas Parera, Dedy Djamaluddin ee
L: Tosari pa? Pa Tosari? Cukup dominan ga waktu itu?
I: Tosari
L: Kalo pa Sidarto?
I: Ga begitu, yang paling vokal itu tadi satu dari PAN
L: Boleh saya sebut pa?
I: Lalu menjadi duta besar....
L: Abdillah Toha?
I: Bukan, Abdillah Toha enak
L: Joko Susilo?
I: Bukan Joko Susilo
L: Hem
I: Itu yang paling vokal itu. Kalau mau ketemu wawancara sama dia deh
L: PAN ya pak ya. Saya ga punya nomernya, bapak ada ga?
I: Ga ada, lagian sekarang dia jadi duta besar
L: Oh sekarang jadi dubes? Sama kaya pa Tosari ya pak ya
I: Iya saya ga tahu sekarang apakah masih apa sudah selesai.
L: Oh ini termasuk yang vokal yah pa?
I: Iya vokal
L: Berarti yang dari PAN tuh ada Pa Dedi sama dia ya pak ya?
I: Iya iya
L: Kalo dari Golkar pa Hariyanto ya. Kalo dari PDI cuma pak Andreas itu ya?
I: Betul
L: Kalo PPP pak Tosari?
I: Pak Tosari sama pak itu pak..
L: Arif ya
I: Arif Mudatsir
L: Tapi mereka sebagai pemimpin ya waktu itu ya?
I: Ya
90
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
L: Ya oke oke oke. Jadi akhirya titik temunya ketika tadi itu ya pak yah di Petamburan?
I: Tapi pada dasarnya begini, kalau dikatakan proses pengambilan keputusanya kenapa lama, karena
dalam proses itulah terjadi pembelajaran, itu poin yang bisa ditarik. Bahwa manfaat dari sebuah
proses pengambilan keputusan dalam sebuah undang-undang itu karena pengetahuan terhadap poin
tersebut.
L: Substansi ya
I: Substansi tersebut tidak semuanya sama, kadang-kadang lebih kuat dari pemerintah, karena dia
ingin mendalami, kalo dalam kasus BUMN, saya kira lebih kuat pemerintah.
L: Makanya mereka akhirnya bisa nerima
I: Akhirnya kalo kesan saya kalo itu diulur-ulur, diberikanlah kesempatan pemerintah untuk
menjelaskan. Dikatakan dalam tanda petik “nguliahin” mereka. Itu kalo Prof ramli udah ngomong itu
kita jadi kayak kuliah.
L: Ehahaha dengerin ya pak ya?
I: Dengerin kalo orang DPR ngedengerin. Sehingga kalau Prof. Ramli udah ngomong, udah diem.
Karena apa? karena penguasaan substansinnya jauh beda, seorang politisi dan seorang birokrat yang
membidangi. Waktu itu Prof. Ramli kan ini seorang dekan fakultas hukum Unpad, dia staff ahli dan
memang mendalami itu. Enak sekali kalo pak Prof Ramli yang ini, karena dia yang saya ingat dari
dia begini,
L:Punya kontak Prof Ramli ga Pak?
I: Punya, nanti saya kasih. Jadi ee dia dalam mengambil keputusan dalam setiap persoalan hukum
diundang-undang itu pendekatannya itu tidak melulu kepada materi, ee apa namanya itu kebenaran
materil dari undang-undang, tapi pandangan sosiologis masyarakat terhadap persoalan itu harus
menjadi ukuran.
L: Pertimbangan ya pak?
I: Harus menjadi pertimbangan, karena masyarakat yang merasakan itu.
L: Merasakan dampaknya
I: Gituloh, kemudian budaya juga penting. Budaya keterbukaan misalnya, ukuranya kan beda dong
kalo budaya liberalisme di barat dipaksakan, gak bisa kita harus mempertimbangkan budaya lokal
seperti itu.
L: Akhirnya judul tadi berubah
I: Berubah, tadinya kan Kebebasan Mempeeroleh Informasi Publik menjadi Keterbukaan Informasi
Publik. Itu saya ingat betul judul itu dirubah di Kopo itu sehingga tidak ada LSM waktu itu kan.
L: Nah ketika itu sudah berubah pak keluar judul baru, terus nanti keluar pasal-pasal keluar untuk
mengakomodir BUMN, Parpol, itu kira-kira ada semacam protes nggak pak dari LSM sendiri, dari
luar terhadap rumusan yang baru?
I: Yang saya tangkap itu ada beberapa kekecewaan-kekecewaan dari LSM terhadap antara konsep
yang mereka ajukan dengan..
L: Hasil akhir. Jadi sempet dilontarkan pa?
I: Kita liat dalam tulisan-tulisan kan, artikel-artikel tentang bagaimana menyikapi keputusan sebuah
sebuah pasal dalam pembahasan, tapi akhirnya ya begitu.
L: Yang sering nulis siapa pa? Pa Agus? Agus Sudibyo? Atau siapa?
I: Agus Sudibyo itu kan temen saya juga tapi sering berbeda pendapat. Dia juga lagi proses belajar
mba.
L: Iya iya
I: Dia juga lagi proses belajar, tidak bisa langsung dia ke ahli. Karena kan referensinya juga ke
Amerika keluar. Ada juga yang sedang sekolah. Misalnya Katrina, Katrina kan sekolah di Australia.
Itu dari ICEL, seperti siapa lagi yang botak itu di UKP4 yang plontos dari LSM itu, pinter juga itu.
L: Jadi ada semacam kekecewaan pak dari mereka?
I: Kekecewaan dari side mereka, dari kondisi pendapat mereka.
L: Pendapat mereka
I: Yang sudah didominasi oleh kepentingan-kepentingan asing, maka mementingkan kultur yang ada
dalam negara kita, baik kultur ee di masyarakat maupun kultur di pemerintahan.
L: Tapi waktu itu ga ada protes yang keras atau gimana pak?
91
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
I: Oh ga ada, akhirnya setelah itu disahkan mereka berterimakasih, bahwa itulah pencapaian
keterbukaan yang terbaik bagi bangsa.
L: Itu tujuan akhir mereka juga kan tabu kan, undang-undang itu sendiri ya pak.
I: Adanya undang-undang sudah lompatan besar bagi Indonesia waktu itu. Karena coba bayangkan
waktu 2008 itu di ASEAN yang punya Undang-Undang ini cuma Indonesia sama Filipin waktu itu,
Thailand aja belum punya. Singapur belum ada. Kalau di Filipin kan ga ada undang-undang tersendiri,
jadi dia ada di undang-undang. Jadi materi keterbukaanya di setiap ee Undang-undang dia tidak
tersendiri. Kalo di Thailand malah sempet ditunda setahun kalo ga salah.
L: Thailand ya pak ya. Kalau Pemerintah sendiri ee melihat UU KIP ini merasa terpuas juga ga pak?
Atau mungkin ada..?
I: Ukuran puas tidak puas itu sesungguhnya relatif. Justru kalo dari saya, saya yang ikut di dalam
proses ee ini justru tidak puasnya saya terhadap filosofi UUD 45
L: 28 Pak?
I: Oh tanggal 28
L: Oh bukan
I: Pasal 28F UUD 45
L: Oh yang UUD 28 F yang awal
I: Iya. Itu kan landasan filosofi undang-undang itu. Bahwa kebebasan memperoleh informasi itu
diberikan oleh Undang-undang untuk meningkatkan kepribadian dan ilmu-ilmu sosial kan
L : Selain dari untuk menciptakan Good Govenment?
I : Ok waktu itu kan tuntutan waktu itu di sebuah negara demokrasi. Tapi sekarang coba yang
meminta informasi siapa? 90 persen LSM minta informasi.
L: Bukan Publik ya pak?
I : Bukan mahasiswa yang meminta infromasi mau sarjana, bukan pedagang yang meminta informasi.
L: Apa karena sosialisasinya pa?
I: Tidak bisa ditebak seperti itu. Mungkin saja kalau nggak sebelum ada undang-undang ada riset, ada
pooling belum tentu publik Indonesia langsung mau undang-undang itu karena banyak yang lebih
prioritas.
L: He eh he eh
I: Nyatanya selama, misalkan 2008, berlaku 2010, sekarang tahun ke empat
L: Iya
I: Tapi yang dominan mengubah informasi adalah LSM dan semua terkait masalah keuangan. Sekian
persen yang menyangkut untuk ee riset, untuk ee pendidikan, kesehatan, untuk tenaga kerja, hampir
semua...
L: Standarnya kecil ya pa
I: Sangat kecil. Bahwa itu memberikan yang baik pemerintahan bagus. Kenapa, ee hitam putih tadi,
persepsi dari kondisi pemerintahan yang tertutup menjadi terbuka. Secara konsepsional kan itu jadi
sebuah ee lompatan besar.
L: Ya
I: Itu dalam konsep, tapi pertanyaanya apakah pejabat-pejabat badan publik yang ada di Indonesia,
mulai dari pusat sampai ke daerah, terjadi perubahan mindset di benaknya? kan enggak. Indikatornya
apa, waktu hari ini aja saja baru 28 persen bupati walikota yang mau membentuk PPID. Masih ada
persepsi mengatakan, ga usah lah kan kalau ada PPID nanti malah nyusahin itu.
L: Masih banyak yang begitu ya pa
I: Jadi ee dengan kondisi undang-undang yang kaya gitu posrsinnya udah cukup
L: Udah cukup
I: Untuk sementara ini
L: Sementara ini. Walaupun yang lebih diuntungkan LSM ya pak? hehe dengan kata lain.
I: Kalo mau mendalami itu ada apa dibalik itu, ada apa di balik LSM bisa dibuat tesis juga itu haha
L: Penelitian baru ya pak ya hahaha
I: Ada apa kok dia intens sekali. Apakah supaya dia dapat biaya dari luar, supaya eksis menjadi LSM,
apakah motivasinya seperti itu atau memang murni untuk bagaimana supaya filosofi Pasal 28 bekerja
apa namanya ee keraguan pemerintah terjwab, kita kan ga tahu.
L: Waktu itu ga tergambar pak? Waktu pembahasan
92
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
I: Yang tergambar pada waktu itu hanyalah.....
L: Mediumnya publik
I: Ini punya publik, tapi biar mereka dapat anggaran dari luar itu.
L: Waktu itu kira-kira ini ga pak, ada biaya ga ke mereka?
I: Ya pastilah
L: Dibiayayain ya mereka
I: Ya pastilah, dari mana mereka mengadakan workshop, darimana mereka melakukan penelitian,
kalau bukan dari luar, dari mana?
L: Tapi DPR sendiri cukup ini ya dengan mereka, maksudnya cukup pro
I: Karena DPR diperiksa juga, juga nanti dianggap pro ketertutupan
L: Iya..iya, karena DPR juga lembaga yang terbuka
I: Iyaaa, akhirnya pada waktu itu juga penilaian terhadap lembaga yang tertutup yang terkorup juga
termasuk DPR
L: Iya
I: Orang kalo studi banding ke luar negri kan ditanya, siapa yang berangkat, biayanya dari mana
semua, istrinya ikut apanya ikut.
L: Itu ga mau dibuka ya pak? Hahah
I: Iyalah hahahah
L: Harusnya boleh dibuka ya pa?
I: Harusnya dong kalo mau konsisten, bahwa semua dana-dana negara yang dikelola oleh semua
badan publik harus dibuka.
L: Terus yang menjadi pertimbangan dalam poin-poin pasal 14 itu keluar, syarat BUMN, informasi
yang bisa dibuka oleh BUMN ini, ini, ini, itu apa namanya, poin-poin itu murni semuanya dari usulan
pemerintah, atau ada juga dari DPR yang ee berkontribusi di dalam?
I: Pertama murni usulan pemerintah
L: Poin-poin itu pak?
I: Ya, karena pemerintah yang lebih ee berkepentingan terhadaap ee
L: Ada sampai point N ya pak ya?
I: Iya, bahwa itu dibahas iya
L: Per poin itu dibahas pa?
I: Dibahas, ga ada satu poin pun yang tidak memiliki bahasan, kata demi kata juga ada. Jangankan
poin-poin, kata demi kata.
L: Nah ini untuk setelah keluar pasal ini waktu yang bapak bilang di ee lobi Petamburan itu, berarti
belum berwujud point-point ini ya pak?
I: Belum, belum karena baru dasar
L: Oke
I: Kalo kenapa BUMN dikecualikan dengan poin-poin itu dengan penjelasan, karena betul-betul
deadlock
L: Deadlock
I: Kalo misalkan waktu itu BUMN BUMD mau disamakan dengan badan publik lainnya, ga bisa,
lebih baik ga usah.
L: He eh, he eh
I: Karena negara dipertaruhkan di situ. Dipertaruhkan namanya sebagai badan usaha yang
mengemban rezim bisnis juga. Karena sudah ada undang-undang persaingan usaha. Logikanya di
mana coba? Kalo sebuah badan usaha dibuka begitu saja. Sementara mereka menggunakan dana-dana
pinjaman, dana apa, dana apa, kan ya ga fair.
L: Iya, jadi poin ini belum ada ya pa?
I: Secara pointersnya belum, hanya bahwa
L: Garis besar
I: Iya garis besar..
L: Setelah itu baru dibahas lagi diforum resmi ya pak?
I: Ya, mana-mana yang dikecualikan, mana-mana yang harus dimasukkan.
L: Itu kira-kira, pasti ada perdebatan lagi kan?
I: Tapi tidak se..
93
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
L: Tidak se..
I: Kita sudah sepakat bahwa ee filosifinya kenapa BUMN adalah badan publik dikecualikan karena
begini, begini..begini
L: Kalo untuk poin yang menjelaskan tentang latar belakang direksi, asal usul direksi dari mana,
komisiaris dari mana, identitas mereka itu kenapa ga dimasukan ke sini pak?
I: Asal itu saya sudah nggak bisa jawab, udah detail banget itu.
L: Ahahhaa
I: Detail banget. Yang pertama waktunya udah lama sekali, yang kedua itu ee memang ranahnya pak
Said yang mewakili pemerintah. Termasuk pandangan-pandangan dari Indonesia.
L: He eh. Jadi memang ee secara substansi
I: Artinya kita memasukan poin-poin ini, juga untuk menjaga ee bunyi dari undang-undang yang lain
L: Bunyi dari undang-undang yang sudah ada?
I: Ya, artinya nanti jika ada satu poin yang dinyatakan itu tertutup atau terbuka, ada undang-undang
lain menutup, kan salah juga. Semua ada argumentasinya kenapa di... tapi saya secara detail tidak bisa
menjawab, itu kan substansinya dari badan usaha.
L: Jadi secara substansi mugkin DPR kurang menguasai dibandingkan pemerintah ya pak khusus
badan publik, sehingga akhinya mereka menurunkan tensi dan yaa ternyta benar juga?
I: Menurut saya iya, persis seperti itu karena setiap kita sidang di depen kita ada komisi sebelah
kanan ada fraksi balkon, jadi dimaklumi kan, sebagai seorang politisi, kan bukan hanya undangundang itu yang dia kuasi.
L: Iya betul
I: Pembahasan yang lain kan banyak juga.
L: Iya banyak
I: Dibanding sama pemerintah, memang belum. DPR kan memang tugasnya.
L: Tugasnya
I: Tugasnya he eh, dan waktu itu kan tenaga ahli DPR masih terbatas, terbatas
L: Tapi memang katanya soal usulan undang-undang itu dari usulan DPR itu jauh lebih lama dan
lebih susah ya pak daripada usulan pemerintah?
I: Ada banyak faktor sih
L: Kalo saya denger-denger sih begitu, lebih susah
I: Iya iya lebih susah
L: Kenapa tuh pak kira-kira? Karena mungkin kalo dari pemerintah cukup cencern, cukup satu, solid
ya pak ya?
I: Iya
L: Sementara mereka kan banyak
I: Pertama tergantung substansi yang dibawa dalam undang-undang tersebut. Sejauh mana dia
berkolerasi dengan kepentingan orang banyak. Atau kepentingan pengusaha, atau kepentingan
kelompok tertentu. Kalau itu ada pasti itu delay.
L: Delay, eheh seperti ini ya pak ya?
I: Iya
L: Berarti emang banyak kepentingan ya pak di situ?
I: Setiap undang-undang yang dibahas kadang-kadang ada titipan pasal
L: Kalau di isi ada titipan pasal?
I: Ga ada
L: Ga ada pa? Yang ada menambah pasal ya pak?
I: Menambah pasal, kemudian, apa namanya ee
L: Kalau mengurangi pasal ada ga pa di sini?
I: Saya sih sudah lupa kalau ada pengurangan. Tapi kalo ada pasal yang ditambahkan itu hanya untuk
mengakomodir ee kepentingan-kepentingan pasal terhadap undang-undang yang lain.
L: Sudah ada sebelumnya
I: Karena itu kan melalui proses harmonisasi
L: Iya
I: Jangan sampe undang-undang itu bertabrakan.
L: Bertabrakan, ya ya ya
94
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
I: Apalagi lembaga di situ fungsinya anu direktur harmonisasi, pak siapa itu.
L: Kaya pemerintah ya pa?
I: Dari kementrian hukum
L: Oh yayaya. Terakhir pa, harapan bapak ke depanya untuk UU KIP apa pak selanjutnya?
I: Ya itu tadi, kalau saya harapan saya bahwa undang-undang ini dikembalikan pada filosofi dasarnya.
Harus bisa memberikan kemanfaatan dan peningkatan kepribadian dari masyarakat. Itu inti dari
sebuah keterbukaan. Kalo yang namanya filososi, ee apa namanya, tuntutan keterbukaan itu sudah
menjadi bagian dari demokrasi, siapapun harus terbuka tetapi,,
L: Iya
I: Tetapi ee keterbukaan ini harus bisa berbanding lurus untuk memberikan kesejahteraan pada
masyarakat, bisa memberikan kepastian hukum dan mendorong partisipasi publik dengan adanya
keterbukaan itu.
L: Sejauh ini dengan adanya implementasi yang sudah dilakukan, kira-kira grafiknya menunjukkan
hasil yang signifikan, meningkat? Dari tahun ke tahun pak?
I: Ee kalau memberikan kontribusi positif iya, cuma lambat sekali.
L: Lambat ya
I: Karena tadi
L: Itu ga ada tuntutan ya? Mislanya ini belum ada PPIP sampai sudah berapa tahun, itu kira-kira..
I: Ga ada karena di dalam undang-undang ga ada sanksinya kalo nggak bentuk PPIP.
L: Oh jadi
I: Sanksinya hanya mengatakan kalau badan publik tidak memberikan
L: Informasi
I: Informasi, tidak menerbitan, tidak mempublikasikan dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain
maka baru ada pidananya. Jadi ada beberapa ee ketentuan di situ yang harus dipenuhi dulu baru bisa
ya. Misalnya apakah betul kalau tidak memberikan informasi orang akan rugi, kalau dia rugi harus
bisa membuktikan kerugianya dimana. Yang kedua harus ada yang mengadu, iya kan? baru bisa
L: Ya
I: Itu persoalanya, ya jadi lebih kepada kesadaran masing-masing.
L: Kesadaran. Jadi memang karena ga ada tuntutan itu mungkin ya, yang masih keberatan agak susah
ya pak ya untuk..
I: Sebenarnya dulu, perbedaan pandangan juga terjadi ketika mau mencantumkan pidana. Masa orang
awal-awalnya hanya meminta informasi kok berujung pada pidana. Kan jauh, logikanya jauh ke sana.
Tapi lalu mengatakan, iya kalo sebuah undang-undang mewajibkan sebuah konstitusi maupun
institusi lalu tidak ada unsur pidananya, ya cenderung tidak diindahkan, seperti itu, akhirnya ya sudah
cantumkan pidana, makanya pidananya lebih ringan, cuma setahun, ee 10 juta rupiah kan seperti itu.
L: Tapi komisi informasi gaungnya agak kurang ya pa dibanding KPK? Karena apa tuh pa? Karena
itu tadi kali ya pa, mungkin karena sosial budaya, ee kurang sebelumnya diamati, teramati, sehingga
masyarakat juga..
I: Banyak faktor kali itu, tergantung komisionernya juga
L: Tapi kalo komisi informasi ee orang-orang dari kementrian kominfo juga masih ada kan pak
komposisinya di situ?
I: Tidak, tidak dikatakan dari kominfo, tapi dikatakan itu dari unsur pemerintah.
L: Oh
I: Jadi unsure pemerintah dan masyarakat. Jadi kalo unsur komisionernya ada tujuh di pusat, biasanya
yang lima dari masyarakat, yang dua dari pemerintah.
L: Sejauh ini mereka bisa bekerjasama ga pak dengan komisi kominfo? Atau seolah-olah punya
power sendiri
I: Belakangan ini muncul tuntutan kepengen berdiri sendiri, terutama dalam ee penanganan
administrasi kesekretariatan. Sehingga mereka mengajukan judicial review terhadap beberapa pasal
yang sekarang belum ada keputusannya.
L: Ya udah pak, silahkan dimakan dulu
95
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Hasil Wawancara Informan Pendukung 4
Nama
Waktu
Tempat
Lisa
Damayanti
: Dra. Damayanti (Sekretaris Komisi I periode 2004-2009)
: Selasa, 10 maret 2015, Pukul 10.00 WIB
: Jakarta (Sekjen DPR RI)
:L
:D
L
D
: Bagaimana bu cerita soal pembahasan badan publik waktu membahas UU KIP
: wah sudah banyak lupa tuh. Jadi pokoknya memang lama trakhir itu di timus trakhir baru
oke setuju
L
D
: Pas ditimus trakhir itu kenapa kira2 setuju?
: eeh di timus apa ya..saya ga inget.pokokny agak lama.pokoknya disepadankan s sampe
akhirnya lsm, terus psantren itu juga gitu. Saya ga inget ee
L
D
L
D
L
D
L
D
L
D
L
D
L
D
L
D
: Ogtu..waktu catat-catat bu.kira2 banyak perdebatan tidak?
: Banyak2 dan agak lama
: Maksudnya ada seperti semacam konflik gitu?
: Maksudny pada tarik menarik itu iya banyak
: Jadi kalau sudah diluar cair lagi atau gimana?
: Cair lagi.jadi kalau ditempat saya dulu biar debat biar berantem tapi keluar ruangan
ya biasa lagi. Jadi waktu itu memang rame bahasan tentang badan publik. Saling
beradu pendapat gitu, misalny dari partai berbasis islam ngomongin tentang pesantren
ya gitu-gitu
: Waktu itu yang vokal di pembahasan siapa bu?
: Vokal banyak yg vokal. Dari pks vokal, pan juga.rata 2 vokal jadi hanya partai kecil
aja yang nggak terlalu vokal.tapi semua rata-2 mengeluarkan pendapat. Punya ide
sendiri-sendiri. Yang basis islam spt yang saya bilang tadi lebih ke psantren, terus
yang mana yang mana lebih ke BUMN/BUMD terus yang mana lebih ke lsm. Tapi
saya ga inget partai mana, pokoknya rame waktu itu.
: Itu diputusin di timus atau di timsun bu?
: Jadi kalo keputusan yang secara global itu ada di raker biasa terus ke panja. Ini
rasanya lama nya tuh di panjanya.
: waktu yang BUMN itu kan belum putus bu?
: belum belum putus. Tapi itu mungkin ke timus. Timus itu mungkin ada beberapa
pasal 4 atau 5 yang dibawa ke timus. Namun sebagian besar timus itu masih kata
perkata. Maksudnya kalau dibaca bersayap atau nggak. Tapi memang ada bebebrapa
hal yang dibawa ke timus. Nanti timus slesai dibawa lagi ke panja. Panja ngelapor
lagi ke raker kalo ga salah gitu.
: ooh untuk penyetujuan gitu?
: oiya tujuan akhirnya. Waktu udah sampe timus nanti digodok gali.tapi seingat saya
memang di timus ada beberapa yang agak lama bolak baliknya beberapa pasal.saya
ga ingat
: soal badan publik kan yang dipakai lebih mengarah ke usulan pemerintah. Berarti
DPR lebih ngalah dong ya bu?
: Eh bukan soal kalah menang ya. Tapi ini kan soal lobi dilorong disini juga.kita kan
ga pernah rapat dluar. Hanya skali kita rapat dikopo karena waktu itu kita pgen
undang wartawan. Saya melihatnya ini ya sudahlah ini yang paling baik saja. Kalau
semua mau ngotot-ngototan 2,5 tahun ga kelar juga. Itu aja udah 2,5 tahun. Dan ini
adalan lungsuran dari periode sebelumnya. Saya yakin sudh dipikirkan.
96
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
L
D
L
D
L
D
L
D
L
D
L
D
L
D
L
D
L
D
L
D
L
D
L
: Terus kalau untuk rapat-rapat itu biasanya berlangsung bisa tiap hari atau gimana
bu?
: Kalau jaman periode itu ada hari ruu ya tetapi kalau menngejar supaya cepat
memang bener.biasanya raker dulu untuk kerjaan biasa. Seingat saya kalo untuk yang
ini kita dulu sering hari rabukamis. Rabu itu hari undang2, kamis hari badan. Hari
badan biasanya kita malem rapatnya,pernah sampai pagi juga pernah. Maksudnya
rapat teratur dan intens
: Setiap rapat itu harus dicatat di risalah bu?
: Catet. Karena kan direkam langsung. Kita merekam apa yang diomongin sama
anggota
: Ga ad yang terlewat itu bu?
: Nggak dong. Nggak boleh dong karena gini mbak, rekaman itu kan jadi risalah.
Risalah itu sangat berguna ketika ada judicial review. Jadi apa namanya jadi barang
bukti. Jadi kita harus jadi ada standaranyalah risalah tu harus bagaimana. Jadi harus
semua itu wajib
: Tapi saya ada baca di buku tentang perumusan uu kip yang dibuat oleh komisi
informasi sama lsm. Itu kan dia ada nulis ada rapat tanggal 18 mei 2007 kalo ga
salah, tapi saya periksa di risalah ga ad bu. Itu gimana ya kira2?
: Itu kata LSM kali kan bukan kata aku. Aku ga ngerti mbaak coba tanya itu kemana
ya ke bagian ardok.
: Iya sudah saya lihat ke bagian ardok bu, tapi ga ad tanggal itu bu
: Ooh brarti LSM nya salah gitu aja.karena saya ga bisa jawab. Sepanjang saya disitu
insyaAllah ga ada yang terlewat. Karena memang wajib semuanya harus ada
: Jadi waktu itu mesin semua ya bu yang bekerja?
: Waktu itu nggak. Kalo sekarang kan ada ip risalah.waktu itu kita yang buat
semua.editornya saya. Eh bukan editor ya. Saya penyunting akhir gitu ya waktu itu
: Jadi ngerekamnya pake alat terus baru diketik ya bu?
: Iya pake alat terus langsung kita ketik.
: Waktu itu ibu terlibat terus ga bu disetiap rapat itu?
: Ya terliibat dong.ikut terus saya ya ga saya aja.
: Bu waktu itu ibu liat di komisi I walaupun mereka berbeda-beda pendapat gitu
mereka kelihatan kompak atau bagaimana bu?
: Eehm...saya ngelihat untuk pembahasan uu kip ini kan amanat dari reformasi.
Mereka semua concern, tidak ada yang anti. Maksudnya tidak ada yang menolak
tetapi itulah isinya masih perdebatan tuh iya tapi tidak ada yang menolak. Cukup
bagus
: Terus kalo untuk tekanan-tekanan dari dalam ataupun dari luar ibu tau ga bu ada ga
bu?
: Tekanan itu justru datang dari LSM. Ya tapi kan itu hak mereka yah. Kadangkadang ada selebaran. Jadi kita kalo masukin bahan itu kan harus melalui saya. Saya
kasih ke ketua, ketua membagikan apapun masukanlah. Tapi LSM tuh suka kurang
ajar juga hehehehe, dia tanpa sepengetahuan saya langsung bagi keanggota. Itu yang
saya ga suka tanpa permisi. Kayak gitu2 yang saya ga suka karena kan kita ada
mekanisme. Jadi biasanya dikumpulkan ketua menyampaikan ini ada masukan dari
anu. Ga boleh ee gelap begitu. Aku sebeeel banget, kita udah ngatur kan supaya
semua itu tercatat masukan dari siapa aja ada mekanismenya. Kan ga fair tuh, dia
maunya terbuka tapi dianya sendiri yang diem-diem masuk masukin gitu.
: Jadi kalau secara umum jalannya pembahasan ruu kip sudah sesuai prosedur semua
atau?
: Sesuai prosedur. Kalau ga sesuai prosedur ga 2,5 tahun mbak. Mereka concern tapi
memang substansinya susah ya jadi maksudnya kompleks jadi 2,5 tahun. Itupun
cukup intens minimal seminggu 2 kali waktu itu yah.
: Emang undang-undang biasanya berapa lama bu?
97
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
D
L
D
L
D
L
D
L
D
L
D
L
D
: Biasanya si setahun lah apalagi yang di peraturan dpr yang sekarang itu mustinya 6
bulan.
: Ooh berarti itu termasuk lama banget ya?
: Lama banget. Terus waktu itu juga ga seperti sekarang ya. Dulu itu kan ad honor
tapi dibayarnya nanti kalo udh kelar, kalo sekarang kan jauh lebih enaklah. Padahal
ga seberapa si ya dapetnya uang rapat pembahasan. 400rb dapetnya anggota
cuman.itu mau panjang mau pendek itu dapatnya segitu gitu loh kalo udah kelar. 2,5
tahun ya dibayar segitu heheheh. Tapi walau dibayar begitu saya lihat anggota itu
cukup semangat. Dua setengah tahun loh mbak.
Jadi tidak memandang
honorariumnya, ga ada uang apa uang apa lagi. 425 apa ya kalo ga salah waktu itu
saya lupa.
: Bu kalau untuk pimpinan, itu dipilih dari pimpinan komisi ya?
: Komisi. Pak Theo sambuaga, tetapi bukan brarti pak Theo terus. Jadi ketika pak
theo ga ada wakil-wakilnya menggantikan.
: Waktu itu sikap pimpinan di rapat kira2 cukup mengakomodir atau hanya memihak
fraksinya?
: Mengakomodir, tidak memihak, sebagai moderator. Idenya juga bagus gitu yah.
: Jadi ga ada msalah waktu itu ya bu? Ga ad yang aksi walkout gitu bu?
: Nggak ada. Jadi intinya mereka memang pengen undang-undang ini jadi. Aman
terkendali.
: Ibu hafal ga yang tidak setuju kalo BUMN masuk ke pasal RUU?maksudnya yang
pro pemerintah?
: Oh ga inget ga inget. Karena kan waktu itu kan waktu di timed out gitu yah keluar2
ruangany di komisi 1 itu. Maaf mbak saya harus dipanggil rapat.
: Baik ibu terima kasih atas perkenan dan informasinya, jika harus ada tambahan saya
bisa ya bikin jadwal kembali bu?
: Oke mba, udah ya.
98
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Hasil Wawancara Informan Pendukung 5
Nama
Hari/Tanggal
Pukul
Tempat
Lisa
Henny
: Henny S. Widyaningsih (Komisioner Informasi Pusat)
: 31 Maret 2015
: 17.30 wib
: Dewan Pers Jakarta
: Li
: Hn
Li
: Terima kasih atas waktu dan perkenannya bu Henny diganggu disela-sela acara. Saya kan
lagi susun disertasi tentang ee pembahasan RUU KIP di DPR. Mungkin waktu itu ibu bisa cerita
perspektif ibu setelah undang-undang itu jadi karena banyak hal yang saya amati terjadi perdebatan di
dalamnya.
Hn
: Oooh iya jadi itu kan memang terlalu lama dibuatnya, hampir sepuluh tahun dari 1999 2000,
2001 teruus saja hingga dua periode diskusinya lama. Awalnya adalah antara keterbukaan dan
kebebasan informasi itu ya akhirnya menjadi keterbukaan informasi, tadinya kebebasan memperoleh
informasi. Kemudian yang juga lama adalah perdebatan badan publik. Sampai mana batasan badan
publik, juga sampai akhirnya sekarang komisioner juga masih menerima dampak-dampak itu karena
ee kami akhirnya membuat juklak dan juknis untuk dua hal yaitu standar layanan informasi publik dan
proses penyelesaian sengketa informasi sesuai dengan amanah yang diberkan pada kami. Nah di
dalam standar layanan informasi publik itu namanya PERKI, Peraturan Komisi Informasi nomor 1,
disitu kita sampai nyatakan yang mana Badan Publik. Kita gamau nanti kalau tidak dinyatakan dengan
melihat PERKI nya itu ada semua nama Badan Publiknya ditulis karena jangan sampai nanti orang
mengelak saya bukan Badan Publik dan termasuk Badan Publik lainnya yang tidak disebutkan tetapi
sesuai aturan ini itu masuk Badan Publik karena kita waktu itu kesulitannya adalah untuk
BUMN/BUMD, Parpol sama LSM. Tapi kalo LSM kan jelas banget di definisinya itu kan ada –dan
lembaga non pemerintah lainnya yang anggarannya itu tadi- jadi dia basic ininya adalah anggaran.
Nah maka kita gampang sekarang dengan mudahnya kita nyatakan ini badan publik atau tidak. Dulu
kan yang anu mungkin baca ya itu yang paling menentang itu BUMN, yaa kenapa BUMN menentang
saya bukan badan publik. Awal-awal dulu putusan kita anda bisa liat di web kita itu ada di Semarang
itu ada BUMD yang bilang dia bukan badan publik dengan mudahnya. Kita bilang kita sampe pergi
ke Presiden waktu komisioner periode satu dulu untuk khusus ee setelah cerita macem-macem, satu
pertanyaan kita apakah BUMN Badan Publik gitu...kenapa harus bukan Badan Publik?padahal
namanya Badan Umum Milik Negara. Selama itu semua itu adalah aset negara, walaupun sekarang
sudah ada yang namanya pemisahan harta kekayaan itu tetap saja asetnya negara jadi itu tetap
namanya Badan Publik, clear. Waktu itu awalnya seperti itu dan ternyata ya banyak berubah. Nah
memang kelemahan undang-undang kan cuma bilang bahwa ukuran dari badan publik dari anggaran
saja. Anggaran itu kan, sekarang misalnya gini, perusahaan swasta murni tapi dia dapat pinjaman,
dapat internasional donor terus dia bukan badan publik?
Dia badan publik, badan swasta murni. Jadi ukurannya bukan dari dia adalah asetnya mana ya, kalau
BUMN kan jelas. Tapi ini dia bisa namanya adalah lembaga non pemerintah lainnya.
99
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Li
: Ooh masuk kesitu bu ya, terus akhirnya dengan perdebatan itu kan muncul pasal baru yang
14, 15,16 yang berisi tentang informasi yang boleh dibuka.
Hn
: Nah itu juga mbacanya harus hati-hati.. karena badan publik kan dia disebut disitu tuh
BUMN ga bisa mengelak dia sekarang. Nah masalahnya BUMN bersandar pada pasal itu doang, jadi
saya hanya boleh buat ini doang yang lainnya nggak ikut saya. Nah kalau diperhatikan undangundang itu pas begini, yang bagian jenis informasi yang boleh dibuka ada tiga yaitu satu, dia tulisanya
gini, bagian satu informasi yang wajib dan disediakan diumumkan secara berkala, bagian dua
informasi yang wajib diumumkan secara serta merta, bagian satu bagian dua terus ada pasalnya lalu
bagian tiga informasi yang wajib disediakan setiap saat, itu ada pasalnya juga. Jadi kalau mbacanya
adalah pas bagian satu bagian dua itu adalah ikut tidak ada pembedaan tidak ada lex specialis maka
pada saat bagian tiga dia yang ini, kalau badan publik lain ini kamu ini yang tiga itu tadi. Jadi
mbacanya harusnya begitu jadi bukannya saya ini doang yang berkala dan lainnya ga ini ga ikut, siapa
bilang? Ga bisa begitu..karena struktur undang-undangnya. Jadi kan undang-undang itu kan bisa
dilihat dari pembacaan teksnya ya, penempatan teksnya. Jadi teks nya itu adalah maksudnya adalah
apa maksudnya bagian satu? informasi yang bisa diakses publik informasi publik adalah pasal 9,
10,11. Nah si BUMN, Parpol dan itu Lex Specialis pasal 11 saja. Yang ini semua tapi untuk pasal 11
ada yang buat umum ada yang buat kamu gitu, jadi itu banyak kena semua. Ee misalnya yang tidak
menjadi masalah adalah BUMN itu ee di pasal 9 laporan keuangan, profil badan publik yang harus
diberkalai itu dia sudah terkena peraturan dia sendiri yang GCG itu yang SK Bappepam tahun 1997
yang menyatakan bahwa semua BUMN terutama yang Tbk itu adalah wajib terbuka, untuk yang
selain itu tidak ada jadi yang ini tidak perlu dikhawtirkan oleh BUMN maka menurut dia seolah-olah
dia hanya Pasal ini saja yang Pasal 14, pasal 11 saja yang buat saya tapi Pasal 9, 10 bukan, baca
undang-undangnya. Kalau dirinci Pasal 14 nya BUMN itu nanti hanya disitu doang hanya informasi
yang boleh disediakan setiap saat khusus BUMN adalah ini, khusus Parpol adalah ini, LSM ini, kalau
yang umum ini, tapi kebanyakan mereka mbacanya hanya itu saja tidak melihat pasal lain 9 dan 10 itu
sehingga mereka dengan mudahnya bilang saya ini saja, tapi kalau BUMN nggak perlu dikhawtirkan
seperti yang saya bilang tadi. Yang sulit itu kan yayasan, LSM itu sulit untuk menyatakan yang Pasal
9 dan pasal 10 karena dia tidak biasa buat terbuka.
Li
: Tapi akhirnya ee pada akhirnya keputusan BUMN BUMD masuk sebagai badan publik itu
ee apa berdasarkan proses tawar menawar juga di DPR kan ya bu ya, waktu itu ibu mengamatinya
seperti apa bu? Kenapa akhirnya ee putusan itu bisa mengakomodir ya, maksudnya DPR akhirnya
menerima gitu.
Hn
: Ehmmm saya gatau si jalannya, tapi ada yang saya denger jadi sebetulnya BUMN gamau
tapi pada akhirnya jadi masuk pasal itu. Itu kaget banget BUMN. Jadi BUMN dulu awalnya kan yang
paling menentang UU KIP karena dia kesel. Menurut dia tanggapan dia sudah diterima bahwa dia
adalah bukan badan publik, tapi kenapa dia masih muncul juga. Kalau ditelusuri kan menarik, siapa
sebetulnya yang di itu nya yang di Komisi 1 satu kan udah wawancara pak ini pak Paulus? Kata pak
Paulus apa?
Li
: Pak Paulus kan waktu itu nyebutin beberapa yang vokal-vokal si di Komisi 1, tapi memang
pak Paulus waktu itu bilang mereka itu tetap berkeras dengan rumusan dari DPR bahwa BUMN
BUMD harus tetap masuk, tapi pemerintah tetap dengan argumennya bahwa nggak bisa dibuka secara
begitu saja dan tidak bisa jadi badan publik juga.
100
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Hn
: Ya...karena memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Yang dikhawatirkan apa?
Persaingan usaha tidak sehat? Kan sudah ada di Pasal 17b UU KIP, ya silahkan BUMN melakukan uji
konsekuensi kalau itu menurut dia adalah persaingan usaha tidak sehat, nanti akan dibuka jadi gini
gini, tutup saja pakai uji konsekuensi. Jadi ga ada yang perlu dikhawatirkan gitu loh. Jadi memang dia
harus terkena. Sekarang kamu juga begitu. Awal-awal sulit kan ada pertentangan besar besar waah
saya pernah bicara di forum BUMN itu.
Li
: Tapi kemudian DPR menurunkan tensinya dan kemudia oklah berarti di Pasal 1 ayat 3 itu
tidak dimunculkan kata-kata teks BUMN BUMD tapi dia merupakan badan publik yang akhirnya bisa
membuka informasi di pasal berikutnya.
HN
: Ya karena memang ga perlu disebutin pokoknya udah termasuk itu yang punya anggaran
sebagian atau seluruhnya. Kalo BUMN ga dapat dari kita, dapatnya dari internasional kan sama juga
jadinya masuk juga.
Li
: Jadi menurut ibu, ketika ibu amati cerita-cerita dari pembahasan itu kira-kira rumusan yang
dibawa dari pemerintah (DIM Pemerintah) dengan ee rumusan awal dari DPR, itu kira-kira yang lebih
logis dan lebih pas untuk UU KIP itu yang mana bu?
Hn
: Yaa kalo kami sih, kalo badan publik itu kan harus setara. Kalau sudah dikasih rumusan
badan publik adalah eksekutif, yudkatif dan legislatif dan badan lainnya dan dengan base nya adalah
pada anggaran ya harus semunya, ga bisa lagi ini nggak itu nggak, apa previlige nya?
Li
: Kalau untuk Parpol dan LSM?
Hn
: Samma, iya justru disitulah yang rentan tentang kepentingan publik. Banyak tentang
kepentingan publik ada disitu.
Li
: Jadi menurut ibu, rumusan dari DPR yang lebih kuat atau yang dari pemerintah bu?
Hn
: DPR kan maunya BUMN masuk, Pemerintah gamau.
Li
: Jadi memang pasal baru itu lahir setelah ada loby-loby ya bu ya?
Hn
: He eh iya, itu saya inget banget tentang itu.
Li
: Terus saya ada dengar isu lain soal lagi rame juga internal komisi sendiri sekarang, itu kirakira kenapa bu? Di Pasal 29 kalau tidak salah ada judicial review.
Hn
: Oiya...itu, JR nya kan memang bukan JR dari lembaga jadi memang tidak perlu diramaikan.
Itu individu jadi bukan kami yang mengajukan, kami ga boleh. Tapi intinya kita ya bisa menerima
juga itu adalah pasal 29 uu kip yang c dan d terutama yang d itu adalah melemahkan komisi informasi
di propinsi, terutama di Propinsi, kalau yang di pusat itu KI pusat itu di pasal 29 itu membuat kita
adalah bagian dari Kominfo. Disitu dikatakan bahwa ses kita adalah pejabat yang dari kementerian
kominfo sehingga jadinya itu agak terganggu karena KI bukan menjadi lembaga mandiri, karena kan
anggaran dan semuanya itu kan dari kominfo gitu, jadi bisa terganggu itu kalau di pusat, tapi kalau di
Propinsi itu lebih parah lagi itu kata-katanya di situ pasalnya adalah sekretaris komisi informasi
propinsi adalah pejabat...kalu di komisi informasi pusat sekrataris komisi adalah pejabat yang
ditugaskan oleh kominfo jadi dia memang ditugaskan dan langsung di SK kan jadi ses kita. Kalau di
Propinsi nggak, jadi sekretaris komisi informasi adalah pejabat yang bertugas disana, jadi dia adalah
101
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
ex officio, ksana kmari ga boleh kayak kami yang ditugaskan jadi JR kami itu JR dipusatnya itu
adalah untuk kemandirian, di daerah di propinsi itu bukan hanya kemandirian-kemandirian tetapi
bahwa si ses nya itu adalah orang kominfo. Kalo kita kan orang kominfo yang di SK kan jadi
setengahnya baju nya udah dilepas, kalo ini nggak jadi kelemahannya apa?satu dia tidak bisa tetap
disitu padahal komisi informasi kan menyelesaikan sengketa informasi dan itu sengketa informasi
harus ada penitera itu udah pasti itu ga bisa diselesaikan oleh komisionernya sendiri. Jadi kalo dia jadi
ses maka panitera mana? Nah terus kita kan sidang sengketa hampir setiap hari. Kalau mereka lagi
sidang terus dipanggil sama atasannya kan dia harus kesana karena atasan dia disana, beda dengan
pusat. Itu satu melemahkan. Kedua, kalau dia sebagai panitera yang disengketakan adalah badan
publik propinsinya dia, maka yang bikin surat panggilan sidang itu adalah panitera, sementara surat
itu ditujukan untuk atasannya dia, sehingga dia jadi ga enak.
Li
: Itu masalah itu mulai disadari kapan itu bu? Karena kan Undang-undang ini sudah berjalan
beberapa tahun.
Hn
: Kami sudah mulai menyadari udah mulai terasa pada masa pembentukan ki propinsi dan ki
propinsi berjalan dan euforia pembentukan masih ga terasa, mulai ada sengketa informasi akhirnya
lok kok begini git loh.
Li
: Sejauh ini gimana bu untuk implementasi untuk UU KIP kira-kira sosialisasinya berjalan
seperti apa? Apakah sudah tergambar keterbukaan itu di berbagai lini atau kesadaran tentang
keterbukaan itu?
Hn
: Ya iya kita harus bicara data yah, untuk melihat terbuka ga terbuka harus dilihat dari data
sengketanya kita. Sengketanya apa yang menarik. Dulu adalah selalu sengketa informasinya tentang
komponen informasi laporan keuangan dan sebagainya namun semakin kemari udah mulai kepada
sengketa yang berhubungan kepada substansi hak publik atas informasi misalnya hak-hak orang
dikantor, informasi pertanahan, hak informasi nilai ujian SPMB, CPNS yang begitu sekarang sudah
mulai marak. Dari situ artinya hak-hak individu sudah terasa dan berarti undang-undang ini sudah
jalan, kemudian kedua yang juga lagi jalan adalah kita setiap tahun melakukan pemeringkatan badan
publik. Jadi 2011 kita sudah bisa lihat badan publik mana yang paling patuh, ada datanya tahun ini
siapa tahun kemarin saiapa. Itu adalah pemeringkatan, jadi kita menggunakan instrumen semua yang
dari undang-undang jadi kepatuhan itu dilihatnya dari situ, nah dari data itulah kita bilang yaa more
and less undang-undang itu juga jalan. Bahkan di 2014 ee rangking pertama 100 Korea, artinya kita di
checklist punya ini punya ini divisit ada ini ga ada ini ga? Itu ada jadi itu termasuk yang patuh
sehingga membuat kita juga seneng ya jadi artinya undang-undang ini berjalan.
Li
: Jadi menurut ibu undang-undang ini sangat bermanfaat ya bu ya?
Hn
: Justru sekarang ini saya dengar di badan publik itu dulu kalau mau ada proyek di badan
publik itu rebutaan sampe geser-geseran, sekarang dorong-dorongan. Kenapa?karena dokumen semua
dari pada ee perjanjian dengan pihak ketiga itu bisa diakses. Bayangkan? Siapa yang ga takut? Habis
jadi pimpro lelang apa semua harus terbuka gitu, jadi PPID juga bukan yang mudah gitu ya orang
pada takut, tapi itu artinya apa?artinya undang-undang ini cukup memberikan gaung tapi itu bukan
hanya peranan komisi informasi saja namun juga peranan dari si pemohon, karena pemohon adalah
peminta nya ya
Li
: Terakhir bu, harapan ibu untuk UU KIP sendiri kedepannya apa?
102
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Hn
: Saya bicara dokumen ya. Kalau dokumen itu bisa diakses, orang menyelenggarakan
penyelenggaraan negara, uang negara uang rakyat terus hasilnya itu bisa dibuka tentunya
penyelenggara negara itu tidak akan bermain-main ya kan?yang selama ini tidak bisa dibuka sekarang
bisa dibuka, termasuk adalah penyalahgunaan keuangan negara, jadi saya berharap ini secara
perlahan-lahan akan mengurangi korupsi itu sudah pasti. Apabila semua transparan, orang mudah
akses, ga ada yang ditutup-tutupi ya kecuali yang dikecualikan tadi maka akan terjadilah penurunan
korupsi. Di negara-negara lain juga pernah dibuktikan soalnya. Nah kedepannya harapan saya adalah
komitmen dari pimpinan negara ini kita tunggu-tunggu sekali gitu loh, jadi kan kita ga bisa nih kita
dilepas begitu aja kalau ga ada kominfo. Yang saya harapkan juga salah satunya di KPK itu kan ada
interest substitusinya untuk percepatan pemberantasan korupsi, kenapa kita juga ga ada interest
percepatan keterbukaan informasi sehingga bisa sampai di lembaga, saya sedang berjuang ke
Bapennas.
Li
: Iya menarik sekali begitu bu, baik bu terima kasih atas waktunya.
Hn
: Baik, iya ini Undang-undang ini menariknya ini bagusnya undang-undang ini punya memori
karena undang-undang ini berasal dari msayrakat sipil, coba undang-undang yang berasal dari
pemerintah nggak punya..jarang. Menarik banget menelusuri itu.
Li
: Iya bu.
103
Groupthink dalam..., Lisa Adhrianti, FISIP UI, 2015.
Download