Peranan Eritropoetin dan Granulocyte Colony Stimulating Factor

advertisement
EVIDENCE-BASED CASE REPORT
Peranan Eritropoetin dan Granulocyte Colony
Stimulating Factor Terhadap Sustained Viral
Response Pada Pasien Hepatitis C Yang Mendapat
Terapi Peginterferon dan Ribavirin
Oleh:
dr. Steven David
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
DIVISI HEPATOLOGI - DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO
AGUSTUS 2013
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi virus hepatitis C (Hepatitis C Virus/ HCV) merupakan salah satu penyebab
utama penyakit hati kronis di seluruh dunia [1]. Dampak jangka panjang infeksi virus
hepatitis C pada hati sangat bervariasi, mulai dari perubahan minimal, hepatitis kronis,
fibrosis yang luas, dan sirosis dengan atau tanpa hepatocelluler carcinoma (HCC) . Jumlah
penderita hepatitis C kronis di seluruh dunia ± 200 juta orang, dimana sebagian besar tidak
mengetahui penyakitnya.1
Tujuan utama terapi virus hepatitis C adalah untuk mengeradikasi virus , dimana
keberhasilan pengobatan dinilai dari tidak terdeteksinya virus hepatitis C setelah penghentian
pengobatan. Sustained viral response (SVR), didefinisikan sebagai nilai HCV RNA yang
tidak terdeteksi (<50 IU / ml) 24 minggu setelah pengobatan standar selesai.1,2
SVR
umumnya dikaitkan dengan resolusi dari penyakit hati pada pasien tanpa sirosis.1 Pengobatan
standar yang disetujui untuk hepatitis C kronis adalah kombinasi pegylated interferon (IFN)
dan ribavirin.1,2 Tingkat SVR pada pasien terinfeksi dengan HCV genotype 1 yang telah
mendapat pengobatan standar di Amerika Utara adalah 40% sedangkan di Eropa Barat 50%.
Tingkat SVR yang lebih tinggi didapatkan pada pasien yang terinfeksi HCV genotype 2,3,5,
dan 6 (±80 % , dimana SVR genotype 2 lebih tinggi dibandingkan 3, 5, dan 6). Sedangkan
tingkat
SVR pasien yang terinfeksi dengan HCV genotype 4 % sedikit lebih baik
dibandingan dengan genotype 1. 1
Di samping
banyak keberhasilan yang telah dicapai dengan pengobatan standar
kombinasi pegylated interferon dan ribavirin pada pasien hepatitis C, namun efek samping
dari terapi juga banyak ditemukan yang menyebabkan pengurangan dosis obat (dose
reduction) atau penghentian pengobatan sampai dengan 32%.3 Efek samping umum yang
sering ditemukan adalah gejala seperli flu ( flu like symptoms), depresi, gangguan autoimun,
dan kelainan hematologi. Komplikasi hematologi yang ditimbulkan antara lain anemia,
neutropenia, dan trombositopenia.
Akumulasi ribavirin yang
ekstensif di eritrosit
menyebabkan aktifasi RBV triphosphate sehingga terjadi deplesi adenosine triphosphate
(ATP).
Defisiensi ATP
mengakibatkan
gangguan pertahanan terhadap antioksidan
sehingga menyebabkan kerusakan membran eritrosit dan selanjutnya terjadi hemolisis
ekstravaskular oleh Sistem Retikulo Endotelial. Anemia hemolitik akibat ribavirin bersifat
dose dependent dan reversible, sehingga seringkali
diperlukan pengurangan dosis obat
tersebut atau bahkan penghentian pengobatan. Interferon dapat mensupresi sumsum tulang
sehingga turut berperan memperberat anemia, selain itu juga menyebabkan terjadinya
neutropenia dan trombositopenia.3,4 Kombinasi kedua obat tersebut dapat menurunkan kadar
hemoglobin (Hb) sampai 3.7 g/dL dalam empat minggu pengobatan.5 Anemia juga berkaitan
dengan gejala mudah lelah dan penurunan kualitas hidup.3 Meskipun pengurangan dosis obat
atau penghentian pengobatan dapat memulihkan kelainan-kelainan hematologi tersebut
namun hal ini dapat mengurangi respon virologik dan menurunkan SVR. Faktor pertumbuhan
hematopoietik (hematopoietic growth factor) menjadi alternatif yang berguna untuk
mengatasi efek samping hematologi tanpa mengurangi dosis optimal dari rejimen pengobatan
antivirus standar. Beberapa penelitian telah menunjukkan peranan erythropoietin (EPO) dan
granulocyte colony stimulating factor (G-CSF) dalam mengoptimalkan SVR.
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Pasien Ny.EMN, 60 tahun, datang ke Poli Hepatologi Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM). Pasien dalam pengobatan hepatitis C dengan kombinasi pegylated
IFN-α2a dan ribavirin minggu ke-20. Awalnya pasien mendapat ribavirin dengan dosis 1000
mg ( 3-0-2 tablet/hari), namun pada minggu ke-8 dosis ribavirin diturunkan menjadi 2-0-2
tablet/hari dikarenakan Hb pasien turun menjadi 9.4 g/dL. Setelah nilai Hb kembali naik
dosis ribavirin sempat dinaikkan kembali 1000 mg/hari, namun kembali diturunkan menjadi
800 mg/hari karena nilai Hb kembali turun.
Selain itu pasien juga diberikan Hemapo
(epoetin α) 10000 U per minggu. Dosis Dosis pegylated IFN--α2a saat ini 180 mcg/ minggu.
Keluhan yang dirasakan saat ini badan terasa kadang-kadang pegal. Tidak ada keluhan lemas
maupun mudah lelah saat aktivitas. Keluhan lain tidak ada. Pasien juga memiliki penyakit
diabetes mellitus, selama ini rutin kontrol ke poli endokrin RSCM. Dari pemeriksaan fisik
keadaan umum baik, hemodinamik stabil, status generalis dalam batas normal.
Dari hasil laboratorium terbaru didapatkan nilai hemoglobin 10.2; hematokrit 32.2;
leukosit 3130; trombosit 460000; nilai hitung jenis 0.3/3.5/64.3/21.7/10.2 dengan ANC 2025;
SGOT 42 dan SGPT 33; bilirubin total/direk/indirek 0.63/0.28/0.35; ureum 16 dan kreatinin
0.6; gula darah puasa 117 dan gula darah 2 jam post prandial 172. Nilai HCV RNA sebelum
pengobatan 2.14 x 106 IU/ml dengan tipe HCV genotype 1. Pada minggu ke-12 pengobatan
hasil HCV RNA tidak terdeteksi. Hasil biopsi hati : sirosis hepatis metavir grade (A) 3 stage
(F) 4. Dari pemeriksaan fibroscan terbaru didapatkan hasil F3 dengan hasil ultrasonografi
(USG) masih dalam batas normal.
BAB III
MASALAH KLINIS DAN METODE PENELUSURAN
MASALAH KLINIS
Pada pasien-pasien hepatitis C yang mengalami komplikasi hematologi seperti anemia
dan neutropenia akibat terapi antiviral kombinasi pegylated interferon dan ribavirin, apakah
pemberian hematopoietic growth factor
seperti erythropoietin dan granulocyte colony
stimulating factor (G-CSF) memiliki pengaruh lebih baik dalam mengoptimalkan SVR
dibandingkan dengan pengurangan dosis obat (dose reduction)?
METODE PENELUSURAN
Prosedur pencarian literatur untuk menjawab masalah klinis tersebut adalah dengan
menyusuri pustaka secara on-line dengan menggunakan instrumen pencari PubMed . Kata
kunci yang digunakan adalah kombinasi dari kata-kata “ erythropoietin” AND “Hepatitis C”
AND “antiviral therapy” AND “anemia” AND “SVR” dengan menggunakan batasan
publikasi bahasa Inggris. Penelusuran lebih lanjut dilakukan secara manual pada daftar
pustaka yang relevan dan didapatkan sebuah metaanalisis, selanjutnya dilakukan pencarian
manual literatur penelitian-penelitian di dalam studi metaanalisis tersebut.
Untuk GCSF dilakukan penelusuran dengan kombinasi kata “ granulocyte colony
stimulating hormone” AND “Hepatitis C” AND “antiviral therapy” AND “neutropenia”
AND “SVR”. Dari hasil penelusuran secara manual didapatkan dua literatur yang relevan.
BAB IV
HASIL PENELUSURAN DAN PEMBAHASAN
A. Eritropoetin dan SVR
Dari penelusuran mengenai erythropoietin pada pasien hepatitis C yang mendapat
antiviral kombinasi dan mengalami anemia, didapatkan sebuah studi meta-analisis oleh
Alavian dkk yang berjudul “Impact of erythropoietin on sustained virological response to
peginterferon and ribavirin therapy for HCV infection : a systematic review and metaanalysis”. Studi tersebut meneliti studi-studi terkontrol acak (randomized controlled studies)
pada pasien dengan infeksi virus hepatitis C kronis dengan kriteria inklusi pasien sebagai
berikut : (i) pasien yang mendapat peginterferon alfa-2a 180 µg atau peginterferon alfa-2b 1.5
µg/kg BB satu kali seminggu dikombinasi dengan ribavirin dengan dosis berdasarkan berat
badan pasien; (ii) mengalami anemia yang didefinisikan penurunan nilai hemoglobin > 2 atau
>2.5 g/dL dari nilai hemoglobin sebelum pengobatan atau nilai hemoglobin < 11 atau 10
d/dL; (iii) dilakukan pengacakan (randomisasi) untuk mendapat erythropoietin atau
pengurangan dosis obat dalam hal tatalaksana anemia selama terapi
atau (iv) mendapat
epoetin alfa, epoetin beta atau darbopoetin sub kutan dengan dosis berapa pun dan
dengan/tanpa modifikasi dosis yang bergantung respon hematologi pada kelompok studi.
Diagnosis infeksi virus hepatitis C kronis berdasarkan nilai HCV RNA yang terdeteksi dalam
durasi minimal enam bulan. Studi-studi yang dieksklusi jika pada pasien studi tersebut
didapatkan kondisi sebagai berikut : (i) penyakit hati dekompensata; (ii) seromarker positif
terhadap HIV atau HBV; (iii) pasien-pasien dengan penyakit komorbid seperti penyakit hati
dekompensata, penyakit autoimun, hemoglobinopati, dan penyakit ginjal kronik.6 Dari studi
meta-analisis oleh Alavian dkk tersebut didapatkan empat studi oleh :
1. Falasca dkk (2010)7
2. Sharvadze dkk (2006)8,
3. Shiffman dkk (2007)9, dan
4. Bertino dkk (2010)10.
Tiga studi oleh Falasca dkk, Sharvadze dkk, dan Bertino dkk melakukan randomisasi
pada pasien-pasien anemia yang mendapat eritropoetin dan pasien-pasien yang mendapat
pengurangan dosis ribavirin, sedangkan studi oleh Shiffman dkk melakukan randomisasi
antara pasien yang mendapat EPO dan yang mendapat plasebo sejak awal studi. Untuk
membandingkan EPO vs pengurangan dosis ribavirin dari studi Shifman dkk, hanya data
pasien yang mengalami anemia baik pada kelompok EPO maupun kelompok kontrol yang
dimasukkan ke dalam analisis. Seluruhnya total 257 pasien yang dimasukkan dalam studi,
dimana 131 pasien mendapatkan terapi EPO dan 126 pasien dilakukan pengurangan dosis
ribavirin.
Tabel 1. Karakteristik Studi
Tabel 2. Protokol terapi eritropoietin dan pengurangan dosis ribavirin
Gambar 1. Perbandingan SVR pada pasien anemia yang mendapat eritropoetin dengan yang
dilakukan pengurangan dosis
Berikut uraian mengenai keempat penelitian tersebut :
1. Falasca dkk7
Falasca dkk pada tahun 2010 melakukan sebuah studi yang berjudul ” Use of epoetin
beta during combination therapy of infection with hepatitis C virus with ribavirin improves a
sustained viral response”.
Subyek penelitian adalah
42 pasien Kaukasia dengan hepatitis C kronis yang
mendapat pengobatan dengan PEG-IFN α-2a atau α -2b ditambah ribavirin (RBV), yang
mengalami setidaknya penurunan 2 log HCV-RNA selama bulan pertama terapi
dan
mengalami penurunan Hb ≥ 2,5 g /dL dari nilai awal atau nilai Hb < 11 g /dL. Pasienpasien tersebut dibagi menjadi kelompok yang mendapat perlakuan EPO-β (grup A) (n = 22
pasien) dan kelompok
dengan pengobatan standar
(standard of care / SOC) yang
dilakukan pengurangan dosis RBV (grup B) (n = 20 pasien). 7
Peg-IFN α-2a 180 µg subkutan diberikan sekali seminggu dan PEG-IFN α -2b 1,5 µg/
kg BB subkutan sekali seminggu; RBV diberikan 1.000-1.200 mg oral / hari untuk genotipe
1 dan 800mg / hari untuk genotipe 2-3 ; tidak ada genotipe 4. Pasien yang dirandomisasi ke
grup EPO-β (grup A) mendapat EPO- β 30.000 U subkutan sekali seminggu. Pengobatan
EPO- β dimulai pada nilai hemoglobin ≤ 11 g / dL , dosis EPO- β selanjutnya disesuaikan
dengan respon hemoglobin. Pasien-pasien dengan pengobatan standar di grup B mendapat
pengurangan dosis RBV menjadi 600 mg per hari.
Tabel 3. Karakteristik klinis dan biokimia
Parameter biokimia dan virologik dievaluasi saat awal (T0), setelah 1 bulan
pengobatan
kombinasi antiviral (T-pre-change), 4 minggu setelah perubahan terapi
(pemberian EPO –β atau pengurangan dosis RBV) (T-1-month), setelah terapi antiviral
selesai (end of treatment response) dan 6 bulan setelah pengobatan selesai (sustained viral
response / SVR) .
Pada data awal (T0) tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik di antara
kedua grup dalam hal usia, jenis kelamin, berat badan, HCV-RNA, pengobatan antiviral
berdasarkan genotype, dan parameter-parameter biokimia lainnya. Pada akhir pengobatan
grup A mencapai respon virologi 95.4% (21/22), sedangkan grup B 80 % (16/20). Evaluasi
enam bulan setelah pengobatan didapatkan grup A mencapai SVR 81.8% (18/22) dimana
secara statistik lebih tinggi dibandingkan grup B ( 45%; 9/20) (P = 0.03) (Gambar 2).
Gambar 2. Perbandingan respon setelah selesai pengobatan (end of treatment response /
ETR) dan SVR pada kedua grup
Pada grup A nilai ALT, AST, Hb, Ht dan trombosit pada 1 bulan pengobatan antiviral
(T-pre-change) secara statistik lebih rendah dibanding sebelum pengobatan antiviral, namun
nilai Hb, Ht, MCV meningkat signifikan pada 4 minggu setelah perubahan terapi / pemberian
EPO-β (T-1- month) dibandingkan T-pre-change. Tidak ada perbedaan signifikan parameterparameter biokimia pada saat akhir pengobatan dibandingkan T-1-month. Setelah 6 bulan
pengobatan nilai Hb, Ht, MCV secara statistik berbeda bermakna dibandingkan pada saat Tpre-change, T-1-month dan saat akhir pengobatan . Nilai AST dan ALT meningkat pada 6
bulan setelah selesai, namun hanya ALT yang signifikan. Tidak ada efek samping EPO
menurut yang ditemukan pada pasien-pasien grup A.
Tabel 4. Karakteristik biokimia pada pasien-pasien grup EPO (n = 22)
Pada grup B terjadi penurunan yang signifikan semua parameter biokimia pada T-prechange dibandingkan T0. Pada T-1-month Hb dan Ht mengalami penurunan yang sedikit
secara statistik. Tidak ada perbedaan signifikan antara saat akhir pengobatan dan T-1-month.
Pada 6 bulan evaluasi didapatkan peningkatan Hb, Ht dan trombosit yang signifikan
dibandingkan akhir pengobatan.
Tabel 5. Karakteristik biokimia pada pasien-pasien grup SOC (n = 20)
Penggunaan EPO-β
mengoptimalkan dosis standar PEG-IFN dan RBV untuk
dipertahankan, sehingga mengurangi efek samping dari pengobatan antivirus, dan
menyebabkan
nilai SVR yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang menjalani
pengurangan dosis RBV. EPO- β efektif dalam mencegah penurunan hemoglobin dan dosis
standar RBV, tetapi durasi pemberian, dosis optimal, dan tingkat nilai hemoglobin masih
belum pasti. Kekurangan EPO antara lain menambah obat parenteral lain untuk rejimen
pengobatan, meningkatkan biaya, ketidaknyamanan dan potensi efek samping
2. Sharvadze dkk
Penelitian oleh Sharvadze dkk dilakukan pada tahun 2006 dengan judul “IFN/RBV
treatment induced anemia and its correction with epoetin alpha in patients with hepatitis C”.
Subyek penelitian terdiri dari 61 pasien dengan hepatitis C kronis aktif. Semua pasien
memiliki HCV genotipe1b. Laki-laki berjumlah 41 pasien, perempuan 20 pasien, dengan
rentang umur
berkisar 33-61 tahun. Semua pasien yang mengalami anemia selama
pemberian terapi kombinasi IFN / RBV dibagi menjadi dua kelompok : kelompok yang
ditatalaksana dengan
pengurangan dosis RBV, dan
kelompok yang ditangani dengan
pemberian epoetin alfa.
Pasien-pasien tersebut mendapat terapi antiviral kombinasi Pegylated interferon alfa
2a atau 2b dan Ribavirin (RBV). Dosis harian RBV yang diberikan 1000/1200 mg yang
disesuaikan dengan berat badan. Karena semua pasien terinfeksi HCV genotype 1b, durasi
pengobatan antiviral diberikan selama 48 minggu. Pemberian epoetin alfa untuk pengelolaan
anemia diberikan
40000 IU satu kali seminggu. Kadar Hb dipantau setiap minggu
mingguan. Nilai SVR dievaluasi pada 6 bulan setelah selesai terapi kombinasi IFN / RBV.
Anemia (Hb <10 atau penurunan Hb > 2 g / dL Hb dari nilai awal) didapatkan pada
41 dari 61 pasien (67,21%). Di antaranya 9 pasien simtomatik (mudah lelah dan dispneu).
Dari 41 pasien yang mengalami anemia tersebut dilakukan randomisasi menjadi dua
kelompok : 21 pasien yang menerima dosis mingguan epoetin alfa 40 000 IU (kelompok I)
dan 20 pasien yang dilakukan penanganan standar (standard of care /SOC) dengan
pengurangan dosis RBV dari 1000/1200 ke 800/600mg (kelompok II). Pada semua 21 pasien
dari kelompok I, yang menerima epoetin alfa 40000 U sekali seminggu, kadar Hb normal
tanpa pengurangan dosis RBV. Dalam kelompok ini pasien yang mencapai SVR pada 6
bulan setelah selesai pengobatan 17 pasien (66%).
Pada 20 pasien dari kelompok II yang dilakukan pengurangan dosis RBV, 5 pasien
mengalami
anemia simtomatik, RBV dihentikan sementara.Pada 15 pasien dosis RBV
berkurang dari 1200 mg sampai 600 mg untuk penanganan anemia. Pasien yang mencapai
SVR berjumlah 7 pasien (25%).
Penggunakan EPOα memungkinkan untuk menatalaksana anemia mempertahankan
dosis RBV sehingga meningkatkan efisiensi pengobatan. Nilai SVR secara signifikan lebih
tinggi pada kelompok EPO dibandingkan dengan kelompok
SOC.
Dari studi ini
disimpulkan, bahwa dosis RBV yang lebih rendah menghasilkan respon pengobatan lebih
rendah pada pasien dengan HCV genotype 1. Pada pasien terinfeksi HCV dengan anemia
akibat / PEG IFN, pemberian EPO mempertahankan dosis RBV dan meningkatkan SVR.
3.
Shiffman dkk9
Shiffman dkk tahun 2007 melakukan penelitian dengan judul “Treatment of chronic
hepatitis C virus genotype 1 with peginterferon, ribavirin, and epoetin alpha”. Desain studi
penelitian tersebut adalah prospective, open-label, randomized, controlled pilot study.
Pasien – pasien yang dimasukkan ke dalam studi ini dengan ketentuan sebagai berikut
: HCV RNA positif dengan genotype 1, biopsi hati konsisten dengan hepatitis C kronis, dan
tidak ada riwayat pengobatan untuk hepatitis C kronis sebelumnya. Pasien dieksklusi dari
penelitian ini jika mereka memiliki penyakit hati kronis lainnya yang terdeteksi oleh tes
serologis dan pemeriksaan histologi jaringan hati. Semua pasien pada penelitian ini memiliki
HbsAg negatif, hasil ANA dan anti SMA yang negatif atau meningkat namun tidak
bermakna, nilai α-1-antitripsin dan seruloplasmin normal. Subyek yang terinfeksi dengan
HCV genotype non-1 juga dieksklusi, atau yang sebelumnya mendapatkan interferon jenis
apapun maupun ribavirin , mereka yang diketahui secara aktif menggunakan obat intravena,
mengkonsumsi alkohol yang berlebihan, HIV positif, hamil, kreatinin serum melebihi batas
atas normal, atau telah menerima transplantasi organ. Kriteria eksklusi lainnya adalah pasien
dengan riwayat asites, ensefalopati, perdarahan varises, skor Child Pugh > 6, trombosit
<80.000 /mL, leukosit < 3.000 / mL, dan Hb< 12 g / dL.
Semua pasien dilakukan randomisasi ke dalam 3 kelompok perlakuan yaitu :
(1) pegIFN α-2b 1,5 µg / kgBB/ minggu ditambah dengan ribavirin standar berdasarkan berat
badan (weight-based ribavirin/ WBR) (pegIFN+ WBR),± 13,3 mg / kg / hari;
(2) pegIFN α-2b 1,5µg /kgBB /minggu, ditambah dengan WBR standar ± 13,3 mg / kg / hari
dan EPO 40000 unit / minggu (pegIFN +WBR+ EPO), atau
(3)PegIFN alfa-2b 1,5 µg /kgBB / minggu ditambah
ribavirin dosis tinggi (high dose
ribavirin/ HDR), ± 15,2 mg / kgBB / hari, ditambah EPO 40000 unit / minggu (pegIFN
+HDR+ EPO)
Dosis awal pegIFN α-2b adalah 1,5 µg /kgBB /minggu, dosis tersebut dikurangi
sebesar 0,5 µg /kgBB pada pasien yang mendapat efek samping interferon. Pengobatan
dihentikan
pada pasien yang mengalami
efek samping berat , yang meliputi: ANC <
500/ml, leukosit 800/ml, trombosit < 30.000/ml, “flu-like symptoms” yang berat dan tidak
bisa ditoleransi,serta depresi berat. Ribavirin dan EPO diberhentikan pada pasien yang tidak
bisa melanjutkan pegIFN.
Dosis awal ribavirin disesuaikan dengan berat badan ± 13,3 mg / kgBB/ hari dengan
rincian sebagai berikut: <65 kg ( 800 mg / hari) , 66-85 kg (1000 mg / hari) , 86-105 kg
(1200 mg / hari), dan > 105 kg (1400 mg / hari). Pasien-pasien tersebut dirandomisasi untuk
mendapatkan HDR (± 15,2 mg / kgBB /hari), dengan dosis awal 200 mg / hari lebih besar
pada setiap kelompok berat badan yakni masing-masing sebagai berikut: 1000, 1200, 1400,
dan 1600 mg / hari. Dosis ribavirin dikurangi
200 mg pada pasien yang mengalami
penurunan hemoglobin kurang dari 10 g / dL atau pada pasien yang mengalami efek
samping obat ini. Dosis ribavirin dinaikkan kembali jika hemoglobin naik > 10 g / dl atau jika
efek samping obat teratasi. Secara umum, dosis ribavirin disesuaikan dan dimaksimalkan
tergantung tolerabilitas pasien. Ribavirin dihentikan pada pasien yang mengalami penurunan
hemoglobin sampai < 8,5 g/dl atau mereka yang mengalami efek samping yang berat dan
tidak respon terhadap pengurangan dosis ribavirin. Pasien-pasien tersebut dapat melanjutkan
pengobatan dengan pegIFN dengan atau tanpa EPO.
Dosis awal EPO adalah 40000 IU/minggu. Dosis tersebut dimulai pada semua pasien
di grup B dan C selama Hb < 15 g/dl. Jika Hb > 15 g/dl dilakukan evaluasi tiap minggu dan
EPO segera dimulai jika Hb turun di bawah 15 g/dl. Dosis EPO dinaikkan menjadi 60000 IU
jika Hb turun > 2g/dl atau jika Hb tidak naik setidaknya 1 g/dl. Jika Hb naik sampai ≥ 15
g/dl, EPO mingguan tidak diberikan dan dosisnya dikurangi 20000 IU/minggu. Selanjutnya
dosis EPO disesuaikan antara 20000 sampai 60000 IU per minggu untuk menjaga rentang Hb
antara 12-15 g/dl. Nilai Hb dipantau setiap minggu selama bulan pertama, setiap dua minggu
pada bulan kedua, dan setiap bulan setelah nilai Hb stabil. Penelitian ini tidak menggunakan
granulocyte colony stimulating factor maupun interleukin-11 untuk mengatasi neutropenia
dan trombositopenia.
Nilai awal HCV RNA diperiksa sesaat sebelum mulai terapi dan selanjutnya HCV
RNA diperiksa setiap bulan sampai pasien mencapai HCV RNA yang tidak terdeteksi atau
gagal untuk mencapai EVR. Terapi antiviral dihentikan pada semua pasien yang gagal
mencapai EVR, atau pada pasien yang masih terdeteksi HCV RNA pada minggu ke -24.
Hanya pasien dengan HCV RNA yang tidak terdeteksi sebelum atau saat minggu ke-24
pengobatan yang masih dilanjutkan terapi antiviral, selanjutnya pasien-pasien tersebut
diperiksa pada minggu-ke 36, minggu ke-48 (akhir pengobatan), minggu ke-60 dan 72 ( 12
dan 24 minggu setelah pengobatan selesai).
Pasien-pasien yang drop out dari protokol penelitian karena efek samping obat tetap
menjalani pemeriksaan HCV RNA setiap bulan setelah minggu ke-24. Pasien-pasien tersebut
dengan HCV RNA yang tidak terdeteksi tetap diikuti dalam protokol penelitian.
Penelitian ini menggunakan dua tipe analisis. Pada tipe intention-to-treat analysis,
semua pasien yang setidaknya mendapat 1 dosis dari obat penelitian ikut dimasukkan, dan
pasien-pasien yang drop out dihitung sebagai non responder tanpa memperhatikan respon
virologiknya (VR). Analisis yang kedua adalah per-protocol analysis, dimana dilakukan
eksklusi terhadap pasien-pasien yang drop out dari penelitian sebelum respon virologik (VR)
mereka
dievaluasi. Kriteria non responder pada analisis ini adalah pasien yang telah
mendapat pengobatan selama 12 minggu dan gagal mencapai EVR, mereka yang telah
diobati selama 24 minggu namun HCV RNA masih terdeteksi, atau mereka yang mengalami
breakthrough antara minggu ke-24 sampai minggu ke-48 masa pengobatan. Untuk pasienpasien yang menghentikan kedua obat setelah HCV RNA negatif namun sebelum minggu ke48, penelitian ini tetap mengikuti mereka sampai minggu ke-72 dan selanjutnya ditentukan
sebagai kelompok relaps atau SVR
Dari tabel 6 dapat dilihat usia rata-rata pasien 47 than, 61% pasien laki-laki, 39%
pasien Afro Amerika, berat badan rata-rata 82 kg, nilai ALT rata-rata 101 IU/l, nilai ratarata log HCV RNA 5.5 IU/ml, dan 5 % pasien memiliki sirosis. Tidak terdapat perbedaan
yang signifikan parameter-parameter di antara ketiga grup.
.
.Tabel 6. Karakteristik klinis dan demografi populasi studi pada saat awal penelitian
Evaluasi VR berdasarkan intention-to-treat analysis selama selama penelitian dpat
dilihat pada gambar 3A. Dari penelitian ini HCV RNA yang tidak terdeteksi dan pasien yang
telah mencapai RVR Pada minggu ke-4 pengobatan sebanyak
9%, 8%, dan 11% dari
masing-masing kelompok pegIFN+WBR, pegIFN+ WBR+EPO, dan PegIFN+HDR+EPO.
Pada minggu ke-12, EVR telah dicapai oleh 68%, 65%, dan 63% pasien dalam masingmasing kelompok. Pada akhir pengobatan, VR dicapai 46%, 31%, dan 53% oleh pasien dari
masing-masing kelompok. Nilai VR yang sedikit lebih rendah didapatkan pada kelompok
yang menerima WBR standar dan EPO (PegIFN +WBR+ EPO), hal ini dikarenakan pada
kelompok ini terdapat persentase yang lebih tinggi untuk pasien Afrika Amerika dan pasien
dengan sirosis. Tidak ada perbedaan signifikan baik RVR, EVR, atau VR di antara tiga
kelompok tersebut. Tingkat SVR pada dua kelompok yang menerima WBR standar
(pegIFN+WBR dan pegIFN+WBR+EPO) tidak didapatkan perbedaan signifikan (29% dan
19%). Kelompok HDR dan EPO (pegIFN+ HDR +EPO) memiliki SVR 49%, berbeda
signifikan (P< 0,05) dibandingkan dengan 2 kelompok dengan RBV dosis standar. Karena
perbedaan antara tingkat VR tidak berbeda secara signifikan antara ketiga kelompok
perlakuan, maka setiap perbedaan SVR diakibatkan karena relaps (Gambar 3B). Tingkat
kekambuhan dalam
kelompok pegIFN+WBR dan pegIFN +WBR+EPO tidak berbeda
signifikan 36% dan 40%, sebaliknya tingkat kekambuhan kelompok PegIFN+HDR+ EPO
hanya 8% (P < 0,05 dibandingkan dua kelompok dengan RBV standar).
Gambar 3. Evaluasi VR berdasarkan intention-to-treat analysis
Nilai VR pada akhir pengobatan dan juga tingkat SVR berdasarkan per-protocol
analysis (Gambar 4 sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan intention-to-treat analysis
(Gambar3). Tidak ada perbedaan yang signifikan nilai VR pada akhir pengobatan antara tiga
kelompok
tersebut.
Tingkat
SVR
untuk
dua
kelompok
pegIFN+WBR
dan
pegIFN+WBR+EPO adalah 34% dan 22% (tidak berbeda signifikan), sebaliknya kelompok
HDR +pegIFN+EPO memiliki tingkat SVR 49% (P< 0,05 dibanding dua kelompok RBV
standar).
Gambar 4. Evaluasi VR berdasarkan per protocol analysis
Bagi pasien yang menyelesaikan 48 minggu masa pengobatan, pengurangan dosis
pegIFN adalah serupa di ketiga kelompok. Persentase pasien dengan pengurangan dosis
pegIFN adalah 14%, 11%, dan 19%. Hanya 5%, 11%, dan 12% dari pasien dalam ketiga
kelompok menerima pegIFN < 80% dari dosis maksimal.
Dampak EPO pada hemoglobin serum dapat dilihat pada tabel 7. Hemoglobin ratarata sebelum inisiasi pengobatan adalah 15,3 g /dl (tidak ada perbedaan signifikan antara
ketiga kelompok). Penggunaan rutin EPO tidak mencegah ribavirin-induced anemia. Namun
penurunan maksimal Hb dan persentase pasien yang mengalami penurunan Hb sampai
kurang dari 10 g / dl secara signifikan lebih rendah (P<0,05) pada pasien kelompok pegIFN
+WBR+ EPO dibandingkan dengan kelompok pegIFN+WBR.
Tabel 7. Perbedaan kadar hemoglobin pada ketiga kelompok
Dampak EPO pada dosis RBV dirangkum dalam tabel 8 .Dosis ribavirin yang
diterima oleh pasien di kelompok PegIFN+WBR+EPO lebih besar dari pada pasien
kelompok pegIFN+WBR, namun perbedaan ini tidak signifikan. Meskipun EPO diberikan
pada
kelompok
yang
diobati
dengan
dosis
ribavirin
yang
lebih
tinggi
(pegIFN+HDR+EPO),namun 31% dari pasien dalam kelompok ini masih memerlukan
pengurangan dosis RBV dengan rata-rata 102 mg / hari. Pengurangan dosis RBV tampaknya
tidak berdampak negatif terhadap SVR.
Tabel 8. Dampak perubahan dosis ribavirin terhadap SVR
Dampak dosis RBV pada SVR diilustrasikan pada gambar 5. Baik SVR maupun dosis ratarata RBV antara dua kelompok yang mendapat RBV standar adalah serupa. Gambar 5.A
menunujkkan dampak dosis RBV terhadap SVR pada pasien-pasien ras Kaukasia dan Afrika
Amerika. Kedua ras tersebut memiliki SVR yang lebih tinggi ketika diobati dengan dosis
RBV yang lebih tinggi . Gambar 5B menggambarkan dampak dosis RBV terhadap berat
badan. Terlepas dari berat badan, pasien yang dirawat dengan dosis RBV yang lebih tinggi
memiliki nilai SVR yang lebih tinggi.
Gambar 5. Perubahan dosis RBV terhadap respon virology
Alasan untuk menghentikan pengobatan tercantum dalam tabel 9. Kegagalan respon
virologik dan efek samping sistemik pengobatan merupakan alasaan lebih dari 50% pasien
yang berhenti pengobatan pada ketiga kelompok. Dengan pengurangan dosis ribavirin
bertahap 200 mg , hanya 4% dari pasien dalam kelompok tanpa EPO yang berhenti
pengobatan karena anemia.
Tabel 9. Alasan-alasan penghentian pengobatan
4. Bertino dkk
Bertino dkk pada tahun 2010 nmelakukan penelitian dengan judul “Epoetin alpha
improves the response to antiviral treatment in HCV-related chronic hepatitis”. Bentuk
penelitiannya adalah longitudinal, prospective, randomized, open-label, controlled study.
Kriteria pasien yang masuk protocol penelitian adalh usia ≥ 18 tahun , peningkatan serum
transaminase (ALT) selama 6 bulan sebelumnya, anti HCV positif, HCV RNA terdeteksi,
genotype 1b, histology hati (skor Ishak ≤ 13), Hb > 13 (laki-laki) dan > 12 (perempuan),
kreatinin serum ≤1.5. sedangkan kriteria eksklusi adalah sebagai berikut :terinfeksi virus
Hepatitis B, terinfeksi HIV, genotype HCV selain tipe 1b,
skor Ishak ≥ 13,
sirosis
dekompensata, penyakit jantung atherosclerosis yang signifikan (secara klinis dan
pemeriksaan penunjang menunjukkan penyakit jantung koroner dan penyakit jantung kronik),
Hb < 13 (laki-laki) dan < 12 (perempuan), pengguna alcohol atau obat-obat terlarang, riwayat
kelainan hematologi tau penyakit keganasan, hamil, penyakit autoimun, gangguan psikiatri,
penyakit Wilson, dan hemakromatosis.
Subyek penelitian adalah 214 pasien Kaukasia [108 laki-laki dan 106 perempuan),
usia rata-rata 48 (kisaran 37-52) tahun,rata-rata berat badan 68 kg (53-91 kg)]. Dosis pegIFN
alfa-2A yang diberikan 180 ug / minggu dengan dosis ribavirin berdasarkan berat badan
(WBR) 1.000-1.200 mg / hari. Karakteristik subyek penelitian dapat dilihat pada tabel10.
Tabel 10. Karakteristik subyek penelitian
Pada minggu ke 12, 174 dari 214 pasien (81,3%) mencapai EVR, sedangkan 40 dari
214 (18,7%) drop out karena mereka tidak respon erhadap terapi sehingga pengobatan
dihentikan. Empat puluh dari 174 (23%) pasien yang mencapai EVR tidak mengalami
penurunan Hb > 2 g / dl selama masa studi dan semuanya menyelesaikan protokol
pengobatan (kelompok kontrol). Penurunan Hb > 2 g / dl (nilai rata-rata 11,4 ± 1,3 g / dl)
ditemukan pada 134 dari 174 (77%) pasien yang mencapai EVR.
Mereka secara acak
didistribusikan ke dalam dua kelompok: 67 pada kelompok 1 menerima epoetin alfa subkutan
10.000 IU dua kali seminggu sebagai tambahan terapi pegIFN alfa-2A 180 mg / minggu +
WBR 1.000-1.200 mg / hari, sedangkan 67 pasien di kelompok 2 menerima peg-IFN alfa-2A
180mg / minggu danpengurangan dosis RBV (800-1.000 mg / hari). Kedua kelompok studi
dan kelompok kontrol dikuti setiap bulan selama 48 minggu pengobatan hingga 6 bulan
setelah penghentian pengobatan. Pada kelompok 1, 42dari 67 pasien (62,7%) didapatkan
HCV RNA tidak terdeteksi pada minggu ke 48 (end-of-treatment responders /ETR). Pada
kelompok 2 didapatkan 35 dari 67 pasien (52,5%) merupakan ETRS. Enam bulan setelah
akhir pengobatan (minggu 72) didapatkan 40 dari 67 pasien dalam kelompok 1 (59,7%)
mencapai SVR, 2 dari 67 pasien (3%) mengalami kekambuhan penyakit dimana HCV RNA
terdeteksi dan terjadi peningkatan transaminase. Pada kelompok 2, 23 dari 67 (34,4%)
pasien mencapai SVR, 12 dari 67 pasien kambuh (17,9%). Pada kelompok kontrol, 26 dari
40 (65%) adalah ETRS dan 24 dari 40 (60%) mencapai SVR, 2 dari 40 (5%) adalah kambuh
(Gambar 6).
Gambar 6. Skema Penelitian
Selama pengobatan, tidak ada pasien yang mengalami penurunan Hb <10 g / dl.
Namun, pada 19 dari 67 pasien (28,3%) yang mencapai EVR, terapi dihentikan selama 3
minggu karena asthenia berat, penurunan kualitas hidup dan kepatuhan yang tidak lengkap
selama terapi. Perbedaan tingkat SVR secara statistik signifikan antara kelompok 2 dengan
kelompok 1 dan kelompok kontrol (p <0,01). Sedangkan SVR pada kelompok 1 dengan
kelompok kontrol tidak berbeda signifikan. Tingkat ETR antara semua kelompok dapat
dilihat pada tabel 11.
Tabel 11. Respon virologi kedua kelompok
Pasien dalam kelompok 2 dengan pengurangan dosis RBV tidak mengalami peningkatan Hb.
Sedangkan pasien dalam kelompok 1, dengan dosis standar terapi dan penambahan epoetin
alpha mengalami peningkatan Hb yang signifikan dari kadar serum Hb (Gambar 7). Hanya
pada kelompok 1 yang mengikuti aturan "80/80/80 aturan" yaitu: pemberian terapi dengan
minimal 80% dari dosis peg-IFN dan RBV untuk setidaknya 80% dari masa pengobatan.
Tidak didapatkan efek samping eritropoetin yang ditemukan pada pasien kelompok 1.
Gambar 7. Perubahan kadar hb pada kedua kelompok
Pasien-pasien yang mencapai EVR setelah 12 minggu terapi ( penurunan HCV RNA
minimal 2log10) dan mencapai aturan 80/80/80, memiliki kemungkinan yang besar untuk
mencapai SVR. Pasien yang terinfeksi HCV genotype 1b yang mendapat 80% dari dosis
penuh peg-IFN dan RBV selama 48 minggu menunjukkan SVR yang lebih tinggi
dibandingkan pasien dengan virologi yang sama yang mengalami pengurangan dosis obat.
Hal ini karena pemeliharaan dosis obat yang optimal memungkinkan penghambatan replikasi
virus dengan kuat dan lengkap.
Sebagai kesimpulan penelitian ini, pasien dengan infeksi hepatitis C genotype 1b yang
mengalami anemia selama terapi dengan peg-IFN alfa-2A dan RBV, epoetin alfa dapat
diberikan untuk mempertahankan kadar Hb dan meningkatkan SVR, menjamin dosis RBV
yang optimal, sehingga meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan sehingga
kualitas hidup mereka lebih baik. Namun perlu lebih banyak data mengklarifikasi waktu
untuk memulai pemberian epoetin alfa, lama pemberian, dosis yang optimal, efek terhadap
SVR, dan biaya.
B. Granulocyte Colony Stimulating Factor (GCSF) dan SVR
Manfaat pemberian granulocyte colony stimulating factor (GCSF) terhadap SVR
didapatkan pada dua studi oleh Koskinas dkk tahun 2009 dan Koirala dkk tahun 2007.
1. Koirala dkk
Koirala dkk melakukan studi berjudul “Granulocyte colony-stimulating factor dosing in
pegylated interferon alpha-induced neutropenia and its impact on outcome of anti-HCV
therapy“.
Penelitian ini mengobservasi pasien dengan infeksi HCV kronis di
Fakultas
Kedokteran, Springfield, Illinois , Amerika Serikat, antara tahun 2003 dan 2006. Pasienpasien ini mendapat PEG-IFN (alfa-2a atau 2b) dikombinasi dengan ribavirin. Semua pasien
dengan anti-HCV positif dilakukan pemeriksaan PCR HCV-RNA kualitatif, diikuti oleh PCR
HCV RNA kuantitatif, dan genotip. Pasien dengan
HCV genotype 1, viremia, dan
peningkatan enzim transaminase selanjutnya menjalani biopsi hati sebelum pengobatan.
Pasien dengan genotype 1 menjalani terapi selama 48 minggu. Pasien dengan genotype 2 atau
3, viremia, dan peningkatan enzim hati, umumnya tidak menjalani biopsi hati dan menjalani
pengobatan selama total 24 minggu. Dilakukan pemeriksaan untuk mengekslusi penyakit hati
lainnya yaitu pemeriksaan skrining serologi untuk hepatitis A, hepatitis B, autoimun dengan
(ANA, faktor rheumatoid) dan hemokromatosis. Semua pasien diminta untuk berhenti minum
alkohol setidaknya 3 bulan sebelum biopsi hati. Rejimen pengobatan terdiri dari PEG-IFN
(baik alfa-2a atau 2b) dikombinasikan dengan ribavirin. Dosis pegIFNalfa-2a dosis 180 µg
subkutan sekali seminggu, dan pegIFN alfa-2b 1,5 µg subkutan sekali seminggu. Dosis
ribavirinberdasarkan berat badan pasien: 800 mg / hari untuk <65 kg, 1000 mg / hari untuk
65-75 kg, dan 1200 mg / hari untuk > 75 kg. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk
menentukan dosis G-CSF yang tepat dan waktu optimal pemberian GCSF terhadap PEGIFN-alpha.
Subyek penelitian adalah pasien > 18 tahun dengan jumlah neutrofil yang turun di
bawah 1.000 sel / µL selama pengobatan kombinasi pegIFN dan ribavirin. Pada awalnya
semua subyek penelitian mendapat GCSF 300 µg subkutan sekali seminggu, baik 1-2 hari
sebelum dosis mingguan PEG-IFN-alfa (grup pre-IFN) atau 1-2 hari setelahnya (grup pascaIFN). Dosis penyesuaian dilakukan sesuai kebutuhan jika tidak terjadi peningkatan neutrofil
absolut atau jika neutrofil meningkat menjadi lebih tinggi dari batas normal. Pasien diikuti
setiap bulanan. Mereka dipantau untuk efek samping, perubahan hematologi, enzim hati, dan
viral load HCV.
Dalam rangka meminimalkan variasi dari jumlah neutrofil, sampel darah untuk
analisis hematologi dikumpulkan di pagi yang sama sebelum pemberian G-CSF. Evaluasi
data setelah menyelesaikan pengobatan dilakukan pada 6 bulan, 12 bulan dan
setahun
sesudahnya. Tujuan sekunder dari penelitian ini adalah untuk membandingkan hasil
pengobatan pada pasien yang menerima G-CSF dengan mereka yang tidak menerimanya.
Kelompok kontrol terdiri dari kelompok sebanding pasien yang menjalani pengobatan untuk
infeksi HCV kronis pada periode yang sama yang tidak menerima sitokin lain selain PEGIFN-alfa.
Terdapat total 163 pasien dengan infeksi HCV kronis, dan 91 dari mereka menjalani
terapi antivirus. Enam puluh pasien yang menyelesaikan pengobatan dengan PEG-IFN-alfa
dan ribavirin dilibatkan dalam penelitian ini. Di antara mereka, 30 pasien menerima GCSF
(GCSF arm) dan 30 lainnya yang tidak diberikan GCSF sebagai kelompok pembanding
(non-G-CSF arm). Seperti terlihat pada Tabel 12 perbandingan awal data demografi termasuk
usia, jenis kelamin dan ras dari pasien pada kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan. Baseline viral load hepatitis C pasien pada grup GCSF dan grup non-GCSF
masing-masing adalah 6,3 log10 IU / mL dan 7,2 log10 IU / mL. Di antara 30 pasien yang
menerima GCSF, 24 pasien genotype 1, tiga pasien genotype 2 dan tiga pasien genotype 3. Di
antara 30 pasien dalam kelompok non-GCSF, 18 pasien memiliki genotype 1, enam pasien
memiliki genotype 2 dan enam genotype 3. Tidak ada perbedaan signifikan secara statistic
pada kedua kelompok dalam hal distribusi viral load, enzim hati (SGPT), dan hasil biopsi
hati. (Tabel 12).
Tabel 12. Karakteristik subyek penelitian
Tiga puluh pasien mengalami penurunan ANC di bawah 1000 sel / µL setelah ratarata 13 minggu (antara 2-40 minggu, SD 10 minggu) setelah memulai pengobatan dengan
pegIFN-alfa. Mereka kemudian diberikan GCSF 300 µg subkutan sekali seminggu sekali.
Peningkatan ANC pada follow up pertama rata-rata 3900 sel / µL. Rata-rata ANC relatif
sama selama follow up berikutnya. Gambar.8 menggambarkan perubahan dalam jumlah
leukosit dan ANC pada pasien yang terinfeksi HCV pada awal sebelum menerima pegIFNalfa, sebelum terapi GCSF, dan setelah memulai G-CSF seminggu sekali.
Gambar 8. Perubahan jumlah leukosit dan ANC
ANC mengalami peningkatan dengan rata-rata 3100 sel / µL (SD 3800) pada grup
pra-IFN (GCSF diberikan 2 hari sebelum setiap dosis PEG-IFN) dan 2000 sel / µL (SD 2400)
pada grup pasca-IFN (GCSF diberikan 2 hari setelah dosis masing-masing PEG-IFN). Tidak
ada perbedaan signifikan secara statistik di antara kedua grup tersebut. Dua puluh (66%)
pasien tetap dengan dosis GCSF yang sama (300 µg sekali seminggu). Delapan pasien
membutuhkan dosis GCSF yang lebih tinggi (1 pasien 480 µg / minggu, 3 pasien 2x300 µg
seminggu, dan 4 pasien diperlukan 3x300 µg seminggu). Dua pasien diperlukan dosis
pengurangan sampai 150 µg / minggu. Tidak ada pasien yang mengalami infeksi oportunistik
akibat neutropenia. Efek samping paling sering dari GCSF adalah nyeri tulang (lebih ringan
jika diberikan selang 2 hari dari pemberian PEG-IFN-alfa). Hanya satu pasien dihentikan GCSF karena ruam kulit.
Pada akhir pengobatan, 23 dari 30 pasien (77%) di grup GCSF memiliki ETVR tidak
terdeteksi, sedangkan 27 dari 30 pasien (90%) dalam grup non-GCSF (Gambar 9). Tidak ada
perbedaan
statistik
yang
signifikan
antara
kedua
kelompok
(P
=
0,17).
SVR didapatkan 13 dari 21 (61%) pasien dalam kelompok GCSF pada periode follow up
rata-rata 16,6 bulan (6-36 bulan) setelah selesainya pengobatan antivirus. Demikian pula 13
dari 17 (76%) pasien dalam kelompok non-GCSF mencapai SVR pada periode follow up
rata-rata 13,3 bulan (6 -24 bulan) setelah pengobatan selesai. Tidak ada perbedaan yang
signifikan (P = 0,18) di antara SVR kedua kelompok (Gambar 9).
Di antara tujuh pasien dalam kelompok G-CSF yang memiliki viremia persisten di
akhir terapi, 2 pasien telah dihentikan obat antivirus akibat efek samping depresi berat dan 5
pasien gagal mencapai ETVR tidak terdeteksi. Dalam grup non-G-CSF lengan, tidak ada
pasien yang dihentikan terapi antivirus, tapi 3 pasien gagal mencapai ETVR tidak terdeteksi.
Tidak ada perbedaan yang signifikan statistik (P = 0,3) untuk hasil antara kedua kelompok.
.
Gambar 9. Perbandingan ETR dan SVR pada kedua grup GCSF dan non GCSF
Perbedaan persentase ETVR dan SVR pada kedua kelompok kemungkinan karena
jumlah pasien dengan genotype 2 dan 3 pada kelompok non-GCSF lebih banyak
dibandingkan pada kelompok GCSF, dan juga jumlah pasien dengan fibrosis stadium 4 di
kelompok GCSF sedikit lebih tinggi. Tidak ada satu pun dari pasien yang memerlukan
pengurangan dosis peg-IFN ataupun ribavirin. Dari studi ini pemberian GCSF meningkatkan
respon hematologi pada pasien hepatitis C yang mengalami neutropenia akibat terapi
antivirus, namun tidak ada perbedaan signifikan pada respon virologi. Keterbatasan penelitian
ini adalah bukan merupakan studi randomized dan double-blinded clinical.
2. Koskinas dkk
Studi oleh Koskinas dkk berjudul “Granulocyte colony stimulating factor in HCV
genotype-1patients who develop Peg-IFN-α2b related severe neutropenia: a preliminary
report on treatment, safety and efficacy”. Studi ini berupa retrospective, cross-matched study.
Subyek penelitian adalah pasien-pasien dengan HCV genotype 1 yang mendapat terapi
pegIFN-α2b 1.5µg/kgBB/minggu dan ribavirin dengan dosis berdasarkan berat badan 8001400 mg/hari. Dari 232 pasien yang terinfeksi HCV genotipe 1 yang diobati dengan PegIFNα-2b dan RBV dikelompokkan menjadi dua grup. Grup A: 19 pasien yang mengalami
neutropenia yang signifikan (neutrofil <800/mm3) dan setuju untuk diberikan GCSF 150300 mg berdasarkan berat badan, dua kali seminggu (2 hari setelah dan 2 hari sebelum
pemberian peg-IFN alfa-2b). Tidak ada pengobatan yang diberikan untuk masalah anemia
dan trombositopenia. Grup B terdiri dari 19 pasien yang mendapatkan pengobatan anti-virus
yang sama dan juga mengalami neutropenia signifikan (neutrofil <800/mm3) yang
ditatalaksana dengan penurunan dosis Peg-IFNα-2b untuk 2 minggu awal atau lebih jika
neutropenia persisten, atau penghentian selama 1-2 minggu dalam kasus-kasus yang tidak
membaik, sesuai dengan rekomendasi pengobatan standar. Setiap pasien yang dipilih pada
grup ini dicocokkan dengan pasien-pasien dari grup A dalam hal jenis kelamin, usia, berat
badan, stadium penyakit hati, kadar HCV RNA, hemoglobin, leukosit dan trombosit.
Kelompok ini juga tidak dilakukan pengobatan untuk masalah anemia dan trombositopenia.
Tabel 13. Karakteristik subyek penelitian
Pada pasien yang menerima GCSF, penurunan jumlah neutrofil adalah 1.760 ± 1.030 /
mm3 dengan jumlah nadir adalah 760 ± 130/mm3. Pada grup ini jumlah neutrofil bertahan
antara 1.400 / mm3 dan 2.700 / mm3 (Tabel 14). Tidak ada infeksi bakteri terjadi selama
periode neutropenia. Pasien-pasien grup ini tidak memerlukan pengurangan dosis Peg-IFNα2b.
Dari 19 pasien grup B, 3 pasien pegIFNα-2b distop sementara, 4 pasien
dan
dikurangi dosisnya menjadi 0,5 mcg / kg /minggu, 12 pasien dosisnya dikurangi menjadi 1
mcg / kg / minggu. Rata-rata penurunan jumlah neutrofil adalah 1.630 ± 890/mm3 dengan
jumlah nadir adalah 630 ± 130/mm3.
Tabel 14. Perubahan respon hematologi
Pada grup A,respon virologi pada akhir pengobatan didapatkan pada 12 dari 19
pasien (63%) dan SVR pada 6 dari 19 pasien (32%); dibandingkan dengan grup B 9 dari 19
pasien (47%) dan 4 dari 19 pasien (21%) (P> 0,05), (Gambar 10. Tidak ada pasien yang
mengalami infeksi dan tidak ada efek samping akibat pemberian GCSF yang muncul.
Gambar 10. Perbandingan respon virologi pada grup GCSF dan non-GCSF
Kesimpulan pada penelitian ini pemberian GCSF aman, dapat mempertahankan
jumlah neutrofil normal dan memungkinkan kepatuhan terhadap dosis penuh pegIFNα-2b
dengan ribavirin selama terapi 48 minggu pada pasien terinfeksi HCV genoyipe 1. Terdapat
peningkatan SVR pada kelompok yang mendapat GCSF meskipun tidak signifikan.
Diperlukan penelitian lanjutan dengan skala besar dan studi prospektif dengan randomisasi.
Dari teori yang ada pengurangan dosis pegIFN atau RBV kurang dari 80% dari dosis
kumulatif maksmal selama 12 minggu pertama pengobatan dihubungkan dengan penurunan
yang signifikan terhadap EVR dan SVR. Penggunaan eritropoetin setelah pasien mengalami
anemia meningkatkan hemoglobin sehingga pasien dapat diberikan RBV dengan dosis penuh.
BAB V
KESIMPULAN
Pemberian eritropoeitin pada pasien hepatitis C yang mengalami anemia dengan
setelah pemberian kombinasi terapi pegylated interferon alfa dan ribavirin dapat
meningkatkan respon hematologi (mempertahankan kadar Hb) sehingga ribavirin dapat tetap
dipertahankan dengan dosis penuh, yang pada akhirnya akan mengoptimalkan nilai SVR
Pemberian GCSF pada pasien hepatitis C yang mengalami neutropenia dengan setelah
pemberian kombinasi terapi pegylated interferon alfa dan ribavirin dapat meningkatkan
respon hematologi dalam hal peningkatan jumlah leukosit dan ANC, namun secara statistik
belum ada manfat dalam peningkatan SVR.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. European Association for the Study of the Liver . EASL clinical practice guidelines:
management of hepatitis C virus infection. Journal of Hepatology . 2011; 55: 245–64.
2. Omata M , Kanda T, Yu ML , Yokosuka O, Lim SG, Jafri W et al. APASL
consensus statements and management algorithms for hepatitis C virus infection.
Hepatol Int. 2012
3. Nicholas RM, Norris S. Review article: optimizing SVR and management of the
haematological side effects of peginterferon⁄ribavirin antiviral therapy for HCV – the
role of epoetin, G-CSF and novel agents. Aliment Pharmacol Ther. 2010; 31: 929–37.
4. Ong JP, Younossi ZM. Managing the hematologic side effects of antiviral therapy for
chronic hepatitis C: Anemia, neutropenia, and thrombocytopenia. Cleveland Clinic
Journal of Medicine. 2004; 71 : S17-21.
5. Brau N. Epoetin alfa treatment for acute anaemia during interferon plus ribavirin
combination therapy for chronic hepatitis C. Journal of Viral Hepatitis. 2004; 11:
191–7.
6. Alavian SM, Tabatabaei SV, Behnava B. Impact of erythropoietin on sustained
virological response to peginterferon and ribavirin therapy for HCV infection: a
systematic review and meta-analysis. Journal of Viral Hepatitis. 2012; 19: 88–93
7. Falasca K, Ucciferri C, Mancino P, Gorgoretti V, Pizzigallo E, Vecchiet J. Use of
epoetin beta during combination therapy of infection with hepatitis c virus with
ribavirin improves a sustained viral response. J Med Virol 2010; 82(1): 49–56.
8. Sharvadze L, Tsertsvadze T, Gochitashvili N, Kakabadze T, Dolmazashvili E.
Ifn/Rbv treatment induced anemia and its correction with epoetin alpha in patients
with hepatitis C. Georgian Med News 2006; 137: 62–5.
9. Shiffman ML, Salvatore J, Hubbard S et al. Treatment of chronic hepatitis C virus
genotype 1 with peginterferon, ribavirin, and epoetin alpha. Hepatology 2007; 46(2):
371–9.
10. Bertino G, Ardiri A, Boemi PM et al. Epoetin alpha improves the response to antiviral
treatment in HCV–related chronic hepatitis. Eur J Clin Pharmacol 2010; 66(10):
1055– 63.
11. Koirala J, Gandotra SD, Rao S, Sangwan G, Mushtaq A,. Htwe TH et al. Granulocyte
colony-stimulating factor dosing in pegylated interferon alpha-induced neutropenia
and its impact on outcome of anti-HCV therapy. Journal of Viral Hepatitis. 2007; 14:
782–7.
12. Koskinas J, Zacharakis G, Sidiropoulos J, Elefsiniotis J, Savvas S, Kotsiou S.
Granulocyte colony stimulating factor in HCV genotype-1 patients who develop pegIFN-α2b related severe neutropenia: a preliminary report on treatment, safety and
efficacy. Journal of Medical Virology. 2009; 81:848–52.
Download