Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis PERAN PARA AKTOR DALAM IMPLEMENTASI AKUNTANSI AKRUAL SEKTOR PEMERINTAHAN DI INDONESIA (2000 - 2014) Rahadian Setyo Noegroho | Ade Palupi Kementerian Keuangan Republik Indonesia | Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga ABSTRAK Penelitian ini adalah tentang proses reformasi akuntansi sektor pemerintahan di Indonesia dari akuntansi berbasis kas ke akuntansi berbasis akrual. Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti bagaimana peran para aktor dalam implementasi akuntansi akrual sektor pemerintahan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan Luder's Contingency Model yang telah dimodifikasi oleh Christensen (2002) untuk mengidentifikasi bagaimana peran para aktor dalam proses implementasi akuntansi akrual sektor pemerintahan di Indonesia. Data yang menjadi bahan analisis meliputi wawancara, dokumen resmi pemerintah, dan informasi lain yang terkait dengan proses reformasi akuntansi sektor pemerintahan di Indonesia pada periode tahun 2000-2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stimuli utama dalam implementasi akuntansi akrual sektor pemerintahan di Indonesia adalah perintah undang-undang untuk melaksanakan akuntansi pemerintah berbasis akrual. Penelitian ini mengidentifikasi pihak-pihak yang berperan sebagai promotors of change (PoCs), producers of information (PoIs), dan users of information (UoIs) dalam konteks akuntansi pemerintahan di Indonesia, termasuk peran dan interaksinya dalam proses implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia. Penelitian ini juga mengidentifikasi beberapa faktor kontijensi yang berperan dalam menghambat implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia.Batasan penelitian ini adalah ketiadaan informan yang mampu merepresentasikan peran dari para aktor di KSAP, DPR, BPKP, IAI, akademisi dan akuntan publik. Kata kunci: Reformasi akuntansi sektor pemerintahan; akuntansi akrual; contingency model. ABSTRACT This study is about the process of public sector accounting reform in Indonesia from cash-based accounting to accrual-based accounting. The purpose of this study is to examine how the role of the actors in the implementation of accrual accounting in the Indonesian government sector. This study uses Luder's Contingency Model that has been modified by Christensen (2002) to identify how the role of the actors in the process of implementation of accrual accounting in the Indonesian government sector. The data used in this study include interviews, official government documents, and other information related to the process of public sector accounting reform in Indonesia in the period 2000-2014. The results showed that the main stimuli of the implementation of accrual accounting in the public sector in Indonesia is the command of laws to execute accrual-based government accounting. This study identifies the parties who act as promotors of change (POCs), producers of information (POIs), and users of information (UoIs) in the context of government accounting in Indonesia, including the roles and its interaction in the process of implementation of accrual accounting in the Indonesian government sector. This study also identifies several contingency factors that play a role in inhibiting the implementation of accrual accounting in the Indonesian government sector. Limitations of this study is the lack of informants who are able to represent the role of the actors in KSAP, DPR, BPK, IAI, academics and public accountants. Keywords: public sector accounting reform; accrual accounting; contingency model. - 165 - Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis PENDAHULUAN Adanya fenomena transformasi manajemen publik yang mengacu pada konsep New Public Management (NPM) pada tahun 1980-an telah mendorong terjadinya reformasi di bidang manajemen pemerintah di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris Raya, Selandia Baru, Australia (Kickert, 1997). Negara-negara tersebut mulai melihat bahwa praktikpraktik di bidang manajemen yang berhasil diterapkan di sektor swasta merupakan “contoh sukses” yang perlu untuk dipertimbangkan untuk diterapkan juga di sektor pemerintah. NPM merupakan praktik-praktik manajemen yang menekankan pada privatisasi, komersialisasi, desentralisasi, dan orientasi pada output (Connolly dan Hyndman, 2006). Elemen NPM terdiri dari beberapa hal yang merupakan praktikpraktik manajemen yang diadopsi dari praktik-praktik di sektor swasta ke entitas sektor publik dan bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional di organisasi pemerintahan (Broadbent dan Guthrie, 2008; Osborne dan Gaebler, 1992). Penerapan akuntansi akrual pada sektor pemerintah merupakan salah satu bentuk dari reformasi di bidang manajemen pemerintah yang sesuai dengan konsep NPM (Buhr, 2012). Penerapan akuntansi akrual pada sektor pemerintah disebut sebagai salah satu pilar utama dari praktik manajemen keuangan yang modern (Blondal, 2003). Tujuan penerapan akuntansi akrual pada sektor pemerintah adalah agar pemerintah mampu mengukur secara akurat dan andal untuk aset dan kewajibannya, kekayaan bersih serta perbaikan dalam pengambilan keputusan untuk kesinambungan kebijakan fiskal (Allen dan Tommasi, 2001). Penerapan akuntansi akrual pada sektor pemerintah dapat memberikan informasi yang lebih akurat dan relevan untuk pengambilan keputusan (IFAC, 2011). Penerapan akuntansi akrual di sektor pemerintah bukan merupakan sesuatu hal yang mudah untuk dilaksanakan.Fakta menujukkan bahwa sampai dengan tahun 2013 baru terdapat 26 negara yang telah menerapkan akuntansi akrual (Pricewaterhouse Cooper, 2013) Laporan dari Deloitte (2013) menyatakan bahwa diantara negara-negara di dunia yang telah menerapkan akuntansi akrual, hanya 6 negara di dunia yang berhasil menerapkan akuntansi akrual secara konsisten sesuai dengan persyaratan IPSAS1. bendaharaan Negara mengamanatkan pemerintah Indonesia untuk menerapkan akuntansi berbasis akrual di organisasi pemerintahan seluruh Indonesia. Kedua undang-undang di bidang keuangan negara tersebut secara eksplisit mengharuskan penerapan akuntansi akrual pada sistem akuntansi pemerintah paling lambat pada tahun 2008. Untuk melaksanakan amanat undang-undang tersebut diatas, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya dalam rangka proses penerapan akuntansi akrual pada sistem akuntansi pemerintahan di Indonesia. Pemerintah telah menerbitkan Standar Akuntansi Pemerintahan, Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah, dan juga telah melakukan pendidikan dan pelatihan secara kontinu dalam rangka proses penerapan akuntansi akrual pada sistem akuntansi pemerintahan di Indonesia. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, penerapan akuntansi akrual secara penuh pada sistem akuntansi pemerintah belum berhasil dilaksanakan oleh pemerintah. Sampai dengan tahun 2014, pemerintah belum berhasil menerbitkan laporan keuangan yang disusun berdasarkan akuntansi akrual. Sebagai contoh, LKPP tahun 2012 masih disusun dengan menggunakan basis kas menuju akrual (Pemerintah RI, 2013). Dalam basis kas menuju akrual ini, pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam Laporan Realisasi Anggaran masih diakui dengan basis kas, sedangkan aset, kewajiban dan ekuitas dana diakui dengan basis akrual (Pemerintah RI, 2013). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa permasalahan penerapan akuntansi akrual pada sektor pemerintah di Indonesia tidak hanya dilihat dari aspek teknisnya saja, melainkan juga perlu untuk dilihat dari aspek socio-cultural-nya (Djamhuri, 2009; Harun, 2007; Harun dan Robinson, 2010; Harun et al., 2012; Marwata, 2008; Palupi, 2013) Penelitian ini mengembangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Harun dan Robinson (2010) dengan melakukan beberapa hal, yaitu: (1) Fokus terhadap peran aktor baik internal maupun eksternal dalam mendorong implementasi akuntansi akrual di sektor pemerintahan; (2) Mengaplikasikan teori Luder's Contingency Model yang telah dimodifikasi oleh Christensen (2002); Indonesia termasuk dalam salah satu negara yang saat ini sedang berusaha untuk menerapkan akuntansi akrual sesuai dengan persyaratan IPSAS. Undangundang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang No. 1 tahun 2004 tentang Per- - 166 - Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis (3) Membagi periode transformasi dari akuntansi kas ke akuntansi akrual berdasarkan tahapan/ strategi yang dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2000 sampai dengan 2014, antara lain: a. Tahapan persiapan, penguatan kerangka hukum dan kerangka institusional, sebagai landasan utama untuk implementasi akuntansi akrual; b. Tahapan transisi, meliputi pemilihan dan pelaksanaan metode transisi dalam rangka penerapan akuntansi akrual; dan c. Tahapan implementasi, meliputi pemilihan dan pelaksanaan metode penerapan akuntansi akrual. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti bagaimana peran para aktor dalam implementasi akuntansi akrual sektor pemerintahan di Indonesia sejak tahun 2000 sampai dengan 2014. Adapun untuk memenuhi tujuan tersebut penelitian ini berfokus untuk: (1) mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mendorong perlu dilakukannya perubahan menuju akuntansi akrual (stimuli); (2) mengidentifikasi para aktor utama yang terlibat dalam proses perubahan menuju akuntansi akrual; (3) mengidentifikasi hambatan/permasalahan dan fasilitator apa saja yang dihadapi dalam proses perubahan menuju akuntansi akrual; (4) mengidentifikasi peranan para aktor utama dalam mengatasi hambatan dan mengakomodasi faktor penunjang dalam proses perubahan menuju akuntansi akrual. KERANGKA TEORITIS Penelitian ini menggunakan Luder's Contingency Model yang telah dimodifikasi oleh Christensen (2002) untuk mengidentifikasi bagaimana peran para aktor dalam proses implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia. Contingency model didasarkan pada suatu premise bahwa tidak terdapat sebuah sistem akuntansi yang dapat diterapkan secara universal pada semua organisasi dalam semua keadaan (Otley, 1980) Kesesuaian fitur-fitur dalam sistem akuntansi akan tergantung pada keadaan spesifik yang ada pada organisasi itu sendiri (Otley, 1980) Contingency model digunakan sebagai sebuah kerangka untuk memahami variabel-variabel contingency yang menjelaskan mengapa dan bagaimana akuntansi telah berubah dan bagaimana faktor-faktor yang berbeda mempengaruhi perubahan akuntansi dalam berbagai cara yang berbeda (Innes dan Mitchell, 1990; Otley, 1980; Waweru et al., 2004). Oliorilanto, 2008; Saleh dan Pendlebury, 2006; Upping dan Oliver, 2011; Yamamoto, 1999). Di sektor publik, Luder (1992) mengembangkan sebuah contingency model untuk menjelaskan inovasi akuntansi pemerintah dari sistem akuntansi tradisional menuju ke sistem akuntansi yang lebih informatif. Model tersebut banyak diadopsi dan dikembangkan oleh banyak peneliti untuk menjelaskan perubahan akuntansi dari sistem yang berbasis kas menuju sistem yang berbasis akrual di berbagai negara (Christensen, 2002; Godfrey et al., 2001; Jaruga dan Nowak, 1996; Luder, 1992; Merrouche et al., 1996; Luder's Contingency Model yang telah dimodifikasi oleh Christensen (2002) terdiri dari 3 kelompok aktor yang merespons satu dengan yang lain dan juga bereaksi terhadap stimuli perubahan. Model ini Christensen's Contingency Model (2002) ini dapat mengidentifikasi hambatan dan fasilitator yang berhubungan dengan implementasi perubahan metode akuntansi dari akuntansi kas ke akuntansi akrual di organisasi pemerintahan.Luder's Contingency Model yang telah dimodifikasi oleh Christensen (2002) memiliki 5 bagian: (1) Stimuli Stimuli eksternal untuk perubahan (kekuatan eksogen) di sektor publik adalah konteks yang dibentuk oleh lingkungan politik dan lingkungan sosial yang berlaku. Stimuli eksternal merupakan diskusi yang relatif luas yang berpusat pada masalah yang dirasakan dan menawarkan solusi berbasis filosofis untuk masalah tersebut. (2) Promoters of change Promoters of change (PoC) diidentifikasi sebagai orang dan/atau organisasi yang mendorong pengenalan permasalahan dan memberitahukan sebuah solusi.Meskipun dapat diidentifikasi, PoC mungkin tidak secara aktif atau harus diketahui oleh masyarakat umum. - 167 - Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis (3) Users of information Users of information (UoI) adalah para aktor politik meliputi menteri, anggota-anggota oposisi dan penasihat politik meliputi lembaga audit, komite akuntan publik, dan komite parlemen. (4) Producers of information Producers of Information (PoIs) adalah para aktor birokrasi dengan beberapa kewenangan terhadap informasi akuntansi. Kewenangan ini dapat diberikan oleh kantor pusat dan oleh pimpinan instansi lini dimana CEOs, financial controllers dan akuntan memegang kewenangan terhadap keluaran akuntansi. (5) Implementation barriers Implementation barriers merupakan kekuatan endogen berupa karakteristik organisasi sektor publik dan sistem akuntansi yang berperan untuk membatasi opsi-opsi yang tersedia dalam implementasi perubahan. Implementation barriers juga merupakan fitur-fitur dari lingkungan politik dan birokrasi yang berperan meningkatkan biaya atau menambah waktu yang diperlukan untuk mengimplementasikan perubahan akuntansi. Stimuli Implementations barriers Legend : Determinant influence Significant influence Minor influence Implementation of a new public sector accounting system Sumber: (Christensen, 2002: 2009) Gambar 3.1 Process Model of Public Sector Accounting Change (Christensen, 2002) METODOLOGI PENELITIAN Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana penulis adalah sebagai instrumen kunci. Data yang menjadi bahan analisis meliputi wawancara, dokumen resmi pemerintah, dan informasi lain yang terkait dengan proses reformasi akuntansi sektor pemerintahan di Indonesia pada periode tahun 2000-2014. Wawancara dilakukan melalui 2 cara yaitu: (1) wawancara secara langsung dan (2) wawancara melalui email. Informan yang akan diwawancarai adalah pihak-pihak yang dapat merepresentasikan promotors of change, producers of information, dan users of information terkait dengan proses implementasi akuntansi akrual pada sektor pemerintah di Indonesia. Tabel 1 menunjukkan daftar informan yang dijadikan subjek wawancara dalam penelitian ini. - 168 - Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Tabel 1 Daftar Informan dalam penelitian Kategori Users of Information Informan (orang/organisasi) 1. 2. Producers of Information 1. 2. 3. Promotors of change 1. 2. Pemeriksa di Itjen Kementerian Keuangan Republik Indonesia Wawancara 1 Pemeriksa di Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Wawancara 2 dan Wawancara 3 Pejabat di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Surabaya I, Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Wawancara 4 Pejabat di Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Propinsi Jawa Timur Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Wawancara 5 Pejabat di Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Wawancara 6 Pejabat di Direktorat Transformasi Perbendaharaan Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Wawancara 7 Pejabat di Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Wawancara 8 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Tahapan Persiapan (2000-an – 2004): Identifikasi Stimuli dan Promotors of Change Tahap persiapan merupakan tahap pertama setelah adanya stimuli perubahan politik tahun 1998 dari sistem otokrasi menjadi demokrasi serta tahapan dimana dampak dari krisis ekonomi dan moneter masih dirasakan oleh pemerintah Indonesia. Seiring dengan kondisi ekonomi dan politik yang tidak stabil, terdapat dorongan dari IMF (1997) agar pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara dilakukan oleh pemerintah Indonesia secara akuntabel dan transparan. Untuk merespon kebutuhan tersebut, pada tahap ini muncul upaya pemerintah untuk memperkuat pengaturan kelembagaan dan landasan hukum sebagai dasar perubahan sistem manajemen keuangan pemerintah dan akuntansi pemerintahan di Indonesia. (1) Kerangka hukum (legal framework) Dukungan politik merupakan faktor utama yang mempengaruhi proses implementasi akuntansi akrual sektor pemerintahan (IFAC, 2011). Demikian juga yang terjadi di Indonesia, dimana dukungan politik ditunjukkan dengan adanya komitmen politik antara pemerintah dan lembaga legislatif yaitu DPR.Undang-undang adalah representasi dari komitmen politik tersebut yang melibatkan lembaga eksekutif sebagai pengelola pemerintahan dan DPR sebagai lembaga perwa- - 169 - kilan rakyat di Indonesia. Keberadaan undangundang menunjukkan seberapa besar komitmen politik dari pemerintah dan DPR dalam mendukung sebuah proses perubahan. Pada awal tahun 2000-an, Pemerintah Indonesia bersama-sama dengan DPR menerbitkan 3 undang-undang di bidang keuangan negara yang memiliki peranan besar dalam mendorong implementasi akuntansi akrual sektor pemerintahan di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2005 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Ketiga undang-undang ini lahir sebagai upaya untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang profesional, terbuka, dan bertanggung jawab. Pasal 36 ayat 1Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan pasal 70 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mengamanatkan penerapan akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia paling lambat pada tahun 2008. Dengan demikian amanat kedua undang-undang ini merupakan kerangka hukum yang sangat berharga untuk pengembangan akuntansi pemerinthan dalam mengadopsi akuntansi basis akrual. Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Undang undang keuangan negara yang dimotori oleh pemerintah dalam hal ini adalah kementerian keuangan mempunyai pandangan bahwa sistem akuntansi akrual dapat menghasilkan informasi yang lebih komprehensif dan ini disetujui oleh DPR. Wawancara 6 yang dalam hal ini berkapasitas sebagai peserta rapat dengan DPR dalam memutuskan undang undang keuangan negara mengatakan bahwa: “DPR menanyakan menurut pandangan pemerintah, mana yang lebih bagus dalam hal pertanggungjawaban pemerintah, mana yang lebih komprehensif. Pada saat itu, pemerintah menjelaskan bahwa akuntansi akrual mampu memberikan informasi yang komprehensif, dan dapat menilai kinerja pemerintah secara lebih baik, karena informasi diukur sesuai dengan capaian-capaian pemerintah” (Wawancara 6 – Penyusun dan Pengkonsolidasi Laporan Keuangan Pemerintah Tingkat Pusat). Demikian juga bagi penyusun dan pengembang sistem akuntansi pemerintah pusat yang merupakan promotor untuk mengubah sistem akuntansi pemerintah berbasis kas menjadi sistem akuntansi pemerintah berbasis akrual dalam menyusun laporan keuangan pemerintah pusat. “Landasan hukum kita…. menyebutkan bahwa… akuntansi akrual harus diterapkan. (Wawancara 8 – Penyusun dan Pengembang Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat). Dengan demikian, kondisi di Indonesia memperlihatkan bahwa adanya undang-undang pengelolaan keuangan negara yang baru menimbulkan suatu kesadaran bagi pelaku akuntansi pemerintahan untuk melakukan perubahan. Berbeda dengan konteks yang ada di negara maju yang mendasarkan suatu kesadaran untuk bertindak lebih efisien dalam mengelola keuangan negara akibat adanya defisit fiskal sebagai suatu stimuli untuk mengubah sistem akuntansi pemerintahan (Christensen, 2002; Pallot, 1996) maka di Indonesia kesadaran tersebut belum ada. Perpindahan dari sistem akuntansi pemerintah berbasis kas ke sistem akuntansi pemerintah berbasis akrual hanya dianggap sebagai suatu kepatuhan terhadap undang-undang daripada sebagai keinginan untuk bertindak efisien dalam mengelola keuangan negara lihat Djamhuri (2009) Dengan demikian dapat dikatakan bahwa DPR yang merupakan lembaga legislatif yang berperan sebagai pengawas pemerintah tidak berada dalam posisi pendorong diberlakukannya sistem akuntansi akrual, tetapi pemerintah berlaku sebagai pendorong. Sebagai negara yang menganut sistem civil law dimana semua tindak sosial politik diatur dalam perundangan, maka landasan hukum yang dibuat dan diputuskan oleh pemerintah dan DPR merupakan sumber utama yang mendorong (stimuli) diterapkannya sistem akuntansi berbasis akrual di pemerintahan. Hal ini diyakini oleh pihak pemeriksa keuangan negara sebagai pihak pengguna informasi laporan keuangan dan pihak kementerian keuangan sebagai penyusun laporan keuangan pemerintah pusat. “Faktor utama yang mendorong penerapan akuntansi akrual adalah adanya perintah undang-undang. (Wawancara 2 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI). Sebenarnya, sebagai penyusun laporan keuangan, ketika hal itu sudah menjadi undang-undang, maka hal itu menjadi dasar bagi pemerintah untuk menyusun laporan keuangan berbasis akrual” (Wawancara 6 – Penyusun dan Pengkonsolidasi Laporan Keuangan Pemerintah Tingkat Pusat). (2) Pengaturan kelembagaan (institutional arrangements) Keberhasilan suatu proses reformasi akuntansi sektor pemerintahan akan sangat tergantung pada kemampuan lembaga penyusun standar dan lembaga penyusun kebijakan dalam mengelola proses reformasi yang dijalankannya. IFAC (2011) menyatakan bahwa penguatan lembaga penyusun standar dan lembaga penyusun kebijakan di bidang akuntansi pemerintahan merupakan salah satu pendorong utama yang menentukan keberhasilan implementasi akuntansi akrual. Ketiadaan lembaga lembaga penyusun standar dan lembaga penyusun kebijakan di bidang akuntansi pemerintahan yang kuat, kredibel dan independen merupakan salah satu faktor yang menyebabkan lambannya proses reformasi akuntansi sektor pemerintahan (Harun, 2007) - 170 - Strategi penguatan lembaga penyusun standar dan lembaga penyusun kebijakan di bidang akuntansi Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis pemerintahan ditempuh pemerintah dengan membentuk Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP) dan me-reorganisasi tugas dan fungsi BAKUN kedalam Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan. KSAP mengambil peran sebagai lembaga penyusun standar akuntansi pemerintahan, sedangkan Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan berperan sebagai lembaga penyusun kebijakan akuntansi pemerintahan. KSAP dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2004 tentang Komite Standar Akuntansi Pemerintahan. KSAP bertugas mempersiapkan penyusunan konsep Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) sebagai prinsip-prinsip akuntansi yang wajib diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah. Proses pembentukan lembaga penyusun standar akuntansi pemerintahan telah mengalami 3 kali evolusi sejak tahun 1992 sampai dengan tahun 2014 ini. Evolusi pertama terjadi sejak tahun 1992 sampai dengan tahun 2002 dimana lembaga penyusun standar berada dalam kewenangan BAKUN, salah satu unit eselon I di Kementerian Keuangan (Kementerian Keuangan, 1992). Selain mengemban tugas sebagai lembaga penyusun standar akuntansi pemerintahan, BAKUN juga berperan sebagai lembaga yang berwenang untuk menyusun dan mengembangkan sistem akuntansi pemerintahan. Evolusi kedua terjadi pada tahun 2002 dimana pemerintah mulai memisahkan pemegang kewenangan penyusun standar dan pemegang kewenangan penyusun sistem akuntansi pemerintahan, yaitu kepada KSAP sebagai lembaga penyusun standar akuntansi pemerintahan dan BAKUN sebagai lembaga penyusun sistem akuntansi pemerintahan (Kementerian Keuangan, 2002). Sampai tahun 2004, kedua lembaga ini masih berada di bawah kendali Menteri Keuangan RI. Evolusi ketiga terjadi pada tahun 2004 dimana KSAP ditetapkan oleh Presiden RI sebagai lembaga independen, di luar Kementerian Keuangan, yang berwenang untuk menyusun dan mengembangkan standar akuntansi pemerintahan di Indonesia (Presiden RI, 2004). Pada saat dibentuk, KSAP terdiri dari Komite Konsultatif, Komite Kerja, Kelompok Kerja, dan Sekretariat yang para - 171 - anggotanya didominasi unsur pemerintahan daripada praktisi akuntan. Pada saat KSAP didirikan pada tahun 2004, BAKUN juga melebur ke dalam Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan sebagai salah satu organisasi eselon I melalui proses reorganisasi yang dilakukan oleh Departemen Keuangan RI. Ditjen Perbendaharaan merupakan organisasi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 35, 36, dan 37 Tahun 2004 sebagai gabungan dari beberapa fungsi perbendaharaan negara yang sebelumnya berada dalam kewenangan Ditjen Anggaran, Sekretariat Jenderal, BAKUN, dan Ditjen Lembaga Keuangan Departemen Keuangan RI. Ditjen Perbendaharaan memiliki tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perbendaharaan negara sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Menteri Keuangan RI, 2006). Dalam melaksanakan tugasnya, Ditjen Perbendaharaan menjalankan kewenangan kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran, pengelolaan elemen utama dari neraca keuangan negara (kas, piutang, aset tetap, hutang dan kepemilikan pemerintah), serta penyu-sunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Ditjen Perbendaharaan menjalankan 2 peran penting dalam kaitannya dengan implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia. Pertama, Ditjen Perbendaharaan berperan sebagai lembaga penyusun dan pengembang kebijakan di bidang akuntansi pemerintahan. Ditjen Perbendaharaan, melalui Menteri Keuangan, berwenang untuk menetapkan Sistem Akuntansi Pemerintahan dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat sebagai acuan bagi seluruh entitas akuntansi dan entitas pelaporan pemerintah dalam mencatat transaksi keuangan pemerintah dan menyusun laporan keuangan pemerintah. Kedua, Ditjen Perbendaharaan berperan sebagai lembaga yang menyusun dan menerbitkan laporan keuangan pemerintah pusat. Ditjen Perbendaharaan, melalui Menteri Keuangan, berwenang untuk menyusun laporan keuangan konsolidasian dari seluruh entitas pelaporan pemerintah dan menerbitkan laporan keuangan pemerintah pusat sebagai Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis pertanggungjawaban pengelolaan keuangan pemerintah. Dalam penjelasan di tahap persiapan (awal 2000-2004) diatas, dapat disimpulkan bahwa Kementerian Keuangan mengambil peranan utama sebagai aktor yang mempromosikan transformasi akuntansi pemerintahan dari basis kas ke akrual, yang menurut istilah Christensen (2002) sebagai promotors of change dalam implementasi akuntansi sektor publik di Indonesia. Kementerian Keuangan merupakan pelaku utama dengan reorganisasi bagian-bagiannya untuk menjadi pengambil kebijakan standar akuntansi dan kebijakan desain dan aplikasi sistem akuntansi. Penjelasan diatas juga dapat diintepretasikan bahwa semua proses reformasi ada di tangan pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, baik dari pembuat kebijakan di bidang akuntansi pemerintahan serta penyusun desain dan aplikasi sistem akuntansi. Temuan ini mendukung penelitian sebelumnya bahwa pihak akademisi dan profesional tidak mempunyai peranan yang signifikan (Palupi, 2013) Kondisi ini berbeda sekali dengan temuan dari Christensen (2002) yang menyatakan bahwa peran profesional sangat mempengaruhi pemerintah dalam mendorong terjadinya perubahan akuntansi sektor pemerintahan. Kondisi diatas juga membuktikan bahwa perintah undang-undang di bidang keuangan negara sebagai stimuli utama telah dijadikan dasar bagi para promotors of change dan producers of information untuk pengambilan keputusan yang terkait dengan implementasi akuntansi akrual sektor pemerintahan di Indonesia. Hal ini menunjukkan terdapatnya pengaruh yang menentukan (determinant influence) antara stimuli dengan promotors of change dan producers of information. Tahap Transisi (Tahun 2005 – 2013): Identifikasi Producers of Information dan Users of Information (1) Kas menuju akrual sebagai dasar standar akuntansi pemerintahan Sebagai awal implementasi sistem akuntansi pemerintahan berbasis akrual, KSAP telah menerbitkan standar akuntansi pemerintahan yang berbasis kas menuju akrual (cash toward accrual) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005. Akuntansi berbasis kas menuju akrual mencatat akun pendapatan, belanja, dan pembiayaan menurut basis kas dan akun neraca - 172 - dicatat dengan basis akrual (Pemerintah Indonesia, 2005, 2010). Pendapatan atau belanja diakui pada saat diterima atau dikeluarkan di atau dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau oleh entitas pelaporan (Pemerintah Indonesia, 2005, 2010). Aset diakui pada saat potensi manfaat ekonomi masa depan diperoleh oleh pemerintah dan mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal (Pemerintah Indonesia, 2005, 2010). Kewajiban diakui pada saat dana pinjaman diterima atau pada saat kewajiban timbul (Pemerintah Indonesia, 2005, 2010). Standar akuntansi pemerintah berbasis kas menuju akrual dipilih oleh pemerintah sebagai standar akuntansi pemerintahan pada masa transisi (Priyono, 2013; Simanjutak, 2005). Hal ini dimaksudkan sebagai jembatan sebelum diberlakukannya sistem berbasis akrual penuh (full accrual) sesuai dengan persyaratan IPSAS (Hariyanto, 2013). Kebijakan untuk menerapkan standar akuntansi berbasis kas menuju akrual dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa pemerintah masih memerlukan waktu yang lebih lama untuk mempersiapkan segala persyaratan yang harus dipenuhi sebelum menerapkan standar akuntansi pemerintah berbasis akrual.Hal ini khususnya disadari oleh para penyusun laporan keuangan pemerintah pusat. “Sebenarnya, sebagai penyusun laporan keuangan, yang memahami kondisi SDM di pemerintahan maupun para penggunanya, kita terlalu cepat untuk menerapkan laporan keuangan pemerintah berbasis akrual. (Wawancara 6 – Penyusun dan Pengkonsolidasi Laporan Keuangan Pemerintah Tingkat Pusat). Pemerintah pada masa ini juga dihadapkan pada keterbatasan-keterbatasan dalam rangka mewujudkan sistem akuntansi pemerintahan berbasis akrual, antara lain: (1) keterbatasan SDM; (2) dukungan politik dari pimpinan yang masih rendah; (3) budaya korupsi dan perilaku yang bertentangan dengan prinsip-prinsip akuntabilitas: dan (5) keterbatasan sarana teknologi informasi (Harun, 2007; Palupi, 2013; Simanjutak, 2005). Dengan demikian, karakteristik lingkungan akuntansi pemerintahan di Indonesia sangat kompleks sehingga perlu waktu untuk mengadaptasi standar-standar IPSAS yang berbasis akrual. Langkah selanjutnya untuk memenuhi amanat Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Keuangan Negara, KSAP menyusun standar akuntansi pemerintahan berbasis akrual yang dilegalisasi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Namun peraturan ini tidak sepenuhnya mendukung penerapan akuntansi akrual secara penuh (full accrual) karena peraturan ini menganut dualisme penerapan sistem akuntansi pemerintah berdasarkan basis akrual dan basis kas menuju akrual. Artinya pemerintah masih diperbolehkan menggunakan standar akuntansi pemerintah berbasis kas menuju akrual dalam menyusun laporan keuangan pemerintah. “Jika berbicara masalah mana yang lebih baik (manfaat-nya), maka akan selalu ada trade-off diantara basis kas menuju akrual dan basis akrual, misalnya masalah reliabilitas dan relevansi informasi dalam laporan keuangan. (Wawancara 2 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI). “Kemudian dari sisi informasi, saya melihat dari sisi kebutuhan informasi tidak ada hal yang penting-penting amat dari penerapan akuntansi akrual (dibandingkan dengan CTA)” (Wawancara 8 – Penyusun dan Pengembang Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat). Selain faktor toleransi yang diberikan oleh peraturan, faktor urgensi penyusunan laporan keuangan berbasis akrual juga dirasakan belum terlalu mendesak. Hal ini disebabkan karena kebutuhan untuk informasi berbasis akrual masih belum dibutuhkan secara total oleh para pelaku akuntansi pemerintahan. Sebagai contoh BPK sebagai auditor pemerintah tidak menaruh urgensi untuk penyusunan laporan keuangan pemerintah berbasis akrual karena masih terpaku dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. “Dalam pandangan saya sebagai pemeriksa, antara basis kas menuju akrual dan basis akrual itu adalah pilihan dari pemerintah dalam mengambil sebuah kebijakan akuntansi. Selama dilaksanakan secara memadai, apakah itu basis kas menuju akrual atau basis akrual itu tidak menjadi masalah.” (Wawancara 2 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI). “Namun demikian, BPK akan kembali lagi dengan standar apa yang digunakan oleh pemerintah, apakah itu basis cash toward accrual atau basis akrual (sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010), sebagai kriteria yang digunakan untuk menilai laporan keuangan pemerintah. (Wawancara 2 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI). Dari pengkajian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa penerapan akuntansi akrual di organisasi pemerintahan Indonesia mengalami hambatan. Pilihan basis kas menuju akrual masih dipertahankan karena selain faktor karakteristik organisasi yang kompleks di lingkungan pemerintah, kebutuhan informasi berbasis akrual juga belum penting untuk kebutuhan manajerial dan pemeriksaan. Dengan demikian KSAP yang didominasi oleh pemerintah mengakomodasi keadaan yang ada di lapangan dengan memutuskan bahwa standar berbasis kas menuju akrual masih boleh digunakan. Faktor rendahnya urgensi ini dapat dipahami karena para aktor yang terlibat dalam lingkungan akuntansi pemerintah masih merasa bahwa manfaat dari penerapan akuntansi pemerintah berbasis akrual, dibanding dengan akuntansi berbasis kas, masih debatable. Berdasarkan kondisi diatas juga dapat disimpulkan bahwa BPK sebagai salah satu users of information tidak menggunakan undang-undang di bidang keuangan negara sebagai salah satu kriteria dalam pengambilan keputusan, terutama dalam pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat. Hal ini menunjukkan bahwa undangundang sebagai stimuli tidak memiliki pengaruh yang signifikan (minor influence) terhadap users of information. (2) Pengembangan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat dan Bagan Akun Standar Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan memberikan definisi tentang entitas akuntansi dan entitas pelaporan dalam lingkup akuntansi pemerintahan. Entitas akuntansi merupakan unit pada pemerintahan yang mengelola anggaran, kekayaan, dan kewajiban yang menyelenggarakan akuntansi dan menyajikan laporan keuangan atas dasar akuntansi yang diselenggarakannya. Entitas pelaporan merupakan unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih entitas akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang- - 173 - Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis undangan wajib menyajikan laporan pertanggung jawaban berupa laporan keuangan yang bertujuan umum. Pihak-pihak yang berwenang untuk menyusun laporan keuangan pemerintah pusat sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, meliputi: (a) Pemerintah pusat; (b) Masing-masing kementerian negara atau lembaga di lingkungan pemerintah pusat; (c) Satuan organisasi di lingkungan pemerintah pusat atau organisasi lainnya, jika menurut peraturan perundang-undangan satuan organisasi dimaksud wajib menyajikan laporan keuangan. Entitas pelaporan tersebut diatas memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat (SAPP) dan menyusun penyusunan laporan keuangan pemerintah pusat sesuai dengan tugas fungsi dan kewenangannya. Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan bertanggung jawab dalam penyusunan dan pengembangan Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat (SAPP). SAPP adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan Pemerintah Pusat (Menteri Keuangan, 2005; 2007; 2011). SAPP terdiri dari Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (SABUN) yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara/Lembaga. Pemerintah melakukan pengembangan SAPP untuk menghasilkan suatu sistem yang mampu melakukan pencatatan, pemrosesan, dan pelaporan transaksi keuangan secara konsisten sesuai dengan standar dan praktik akuntansi yang diterima secara umum. Pengembangan SAPP juga ditujukan agar pemerintah mampu menyediakan informasi tentang anggaran dan kegiatan keuangan Pemerintah Pusat secara yang akurat, tepat waktu, dan dapat dipercaya, yang berguna sebagai dasar penilaian kinerja, perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian keuangan pemerintah secara efisien. Sampai tahun 2014, Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan mengembangkan SAPP - 174 - dengan basis akuntansi kas menuju akrual (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 233/PMK.05/ 2011). SAPP ini telah menerapkan prinsip akuntansi sistem pembukuan berpasangan (double-entry system), sistem dana tunggal dan desentralisasi kegiatan akuntansi pada unit-unit akuntansi. SAPP berbasis kas menuju akrual juga memiliki ciri bahwa semua proses akuntansi dan pelaporan telah dilakukan secara terkomputerisasi yang dilengkapi dengan fasilitas pengiriman data secara elektronik. Fitur lain yang berbeda dengan SAPP sebelumnya adalah dilakukannya mekanisme pelaporan keuangan secara berjenjang dari unit organisasi sebagai entitas pelaporan terendah sampai ke entitas pelaporan tertinggi yaitu pemerintah pusat. Dalam proses penyusunan laporan dan pelaporan keuangan dilakukan proses rekonsiliasi data berjenjang antara unit organisasi di kementerian/lembaga dengan unit organisasi di Kementerian Keuangan untuk menjamin kualitas dan reliabilitas data. Dalam proses penyusunan dan pengembangan SAPP, terdapat interaksi yang sangat erat antara Ditjen Perbendaharaan sebagai penyusun dan pengembang SAPP dan unit kerja penyusun laporan keuangan pemerintah yang masih di lingkungan kementerian keuangan. “Teman-teman yang ada di Direktorat APK terlibat langsung dalam proses penyusunan kebijakan akuntansi pemerintah, terutama subdit akuntansi dan pelaporan keuangan Direktorat APK sebagai penyusun laporan keuangan. Sedangkan untuk kanwil dan KPPN dilakukan secara tidak langsung melalui subdit konsolidasi laporan keuangan kanwil dan KPPN.Tetapi setiap akan ada penyusunan kebijakan mereka tetap kita informasikan” (Wawancara 8 – Penyusun dan Pengembang Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat). Kerjasama antara pengembang SAPP dan penyusun laporan keuangan pemerintah pusat ditujukan agar dapat mengakomodasi kebutuhan penyusun laporan keuangan: “Penyusun laporan keuangan adalah pengguna sistem akuntansi pemerintah pusat. Dalam proses pengembangan sistem akuntansi, maka kami sebagai penyusun laporan keuangan terlibat secara aktif dalam proses penyusunan sistem akuntansi pemerintah agar sistem akuntansi tersebut sesuai dengan kebutuhan pelaporan kita. Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis (Wawancara 6 – Penyusun dan Pengkonsolidasi Laporan Keuangan Pemerintah Tingkat Pusat) Interaksi antara promotors of change yaitu Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan dengan penyusun laporan keuangan dilanjutkan juga pada saat sistem akuntansi yang baru tersebut diaplikasikan. Dalam hal terdapat permasalahan yang dihadapi dalam proses penyusunan laporan keuangan pemerintah pusat, penyusun laporan keuangan (PoIs) akan meminta bantuan solusi dari Ditjen perbendahraan sebagai PoCs. “Setiap ada permasalahan kita secara langsung menyampaikan ke kantor pusat untuk mendapatkan tindak lanjut. Setiap aplikasi yang kita gunakan, akan kita coba agar setiap permasalahan dapat segera kita sampaikan ke kantor pusat” (Wawancara 5 - Penyusun dan Pengkonsolidasi Laporan Keuangan Pemerintah Tingkat Wilayah). “Kita hanya menyampaikan permasalahan ke pusat, baik melalui contact person, email atau surat resmi. Dalam hal ini kita tidak memiliki kewenangan untuk mengatasi permasalahan sendiri” (Wawancara 4 - Penyusun dan Pengkonsolidasi Laporan Keuangan Pemerintah Tingkat Instansi). Selain dengan penyusun laporan keuangan, Ditjen Perbendaharaan melibatkan pengguna laporan keuangan seperti BPK dan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dalam proses penyusunan dan pengembangan SAPP melalui hubungan tidak langsung. Artinya BPK dan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan tidak terlibat secara day-to-day dalam memberikan masukan tetapi hanya pada waktu-waktu tertentu misalnya dalam konsultasi publik dalam proses penyusunan dan pengembangan kebijakan dan peraturan di bidang akuntansi pemerintahan. “Dalam hal pembuatan kebijakan, BPK tidak dilibatkan secara aktif dalam proses penyusunan standar atau peraturan tentang akuntansi akrual. BPK hanya memberikan pendapat dalam proses public hearing/uji publik yang dilakukan dalam proses penyusunan standar atau peraturan tentang akuntansi akrual” (Wawancara 2 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI). - 175 - “Sebenarnya baru sejak tahun 2012, upaya untuk melibatkan users dalam pembuatan kebijakan mulai dilakukan dalam bentuk konsultasi publik. BPK, Kementerian/ Lembaga, Itjen Kementerian Keuangan, Setjen kementerian Keuangan. Walaupun tidak semua pendapat mereka akan kita akomodir. Dalam beberapa kesempatan juga pernah kita undang dalam rapat tentang pembahasan penyusunan kebijakan akuntansi pemerintah” (Wawancara 8 – Penyusun dan Pengembang Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat). Pengkajian diatas menunjukan bahwa promotors of change dalam hal ini Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan dan producers of information yaitu unit penyusun laporan keuangan sama sama merupakan bagian dari kementerian keuangan. Hal ini mengakibatkan pengembangan sistem akuntansi dapat dilakukan dengan mudah dan komunikasi antara kedua belah pihak dapat berjalan lancar. Berbeda dengan hasil Christensen (2002) yang menemukan bahwa producers of information mengalami kesulitan teknis dalam implementasi sistem akuntansi yang baru dimana hal ini sulit dikomunikasikan dengan promotors of change sebagai pihak pembuat kebijakan akuntansi. Meskipun pihak pemeriksa yaitu BPK dan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan sebagai users of information dilibatkan oleh Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan dalam dalam pengembangan kebijakan sistem akuntansi, tetapi interaksi keduanya bukan faktor utama dalam proses keputusan kebijakan akuntansi. Pengambil keputusan utama terletak pada Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan. interaksi BPK sebagai users of information dengan Unit Penyusun Laporan Keuangan Pemerintah di Kementerian Keuangan juga tidak secara aktif dan khusus dalam mendesak pemerintah untuk segera mengaplikasikan akuntansi akrual secara penuh. BPK hanya akan memberikan pendapat atau pandangan terhadap hal-hal yang terkait dengan temuan pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah. “Dalam berinteraksi dengan penyusun LKPP, BPK memberikan dukungan dalam bentuk 2 hal, pertama adalah pendapat BPK yang disampaikan oleh Ketua BPK kepada pemerintah dan rekomendasi yang Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis dihasilkan dalam proses pemeriksaan terhadap LKPP. Terkait dengan proses penerapan akuntansi akrual, keterlibatan BPK hanya terbatas pada pemberian pendapat dan rekomendasi kepada pemerintah, sesuai dengan hal-hal khusus yang ditemukan dalam proses pemeriksaan” (Wawancara 2 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI). “Dalam beberapa diskusi antara pemerintah dan BPK, BPK sering memberikan pandangan faktual terhadap beberapa isu tentang penerapan akuntansi akrual, meskipun BPK tidak memberikan pendapat secara resmi tentang hal tersebut karena takut nantinya akan dijadikan acuan oleh semua pihak” (Wawancara 2 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI). Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis akrual dilaksanakan sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 (KSAP, 2010, 2011). (3) Peningkatan Kualitas Pegawai Pemerintah di Bidang Akuntansi Pemerintahan Selain pengembangan sistem akuntansi, KSAP dan pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Keuangan juga memimpin program peningkatan kualitas pegawai pemerintah di bidang akuntansi pemerintahan di lingkungan organisasi kementerian secara keseluruhan. Terdapat dua cara yang digunakan untuk membina pegawai di bidang akuntansi pemerintahan, yaitu kegiatan sosialisasi, pelatihan dan bimbingan teknis dan melalui Pelaksanaan Program Percepatan Akuntabilitas Keuangan Pemerintah (PPAKP). Kegiatan sosialisasi, pelatihan dan bimbingan teknis tentang kebijakan/peraturan di bidang akuntansi pemerintahan dilakukan oleh para promotors of change yaitu KSAP dan Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan. Sesuai dengan kewenangannya, KSAP mengadakan kegiatan sosialisasi, pelatihan dan bimbingan teknis tentang standar akuntansi pemerintahan dan aturan lain turunan dari standar akuntansi pemerintahan ke entitas akuntansi dan entitas pelaporan di lingkungan akuntansi pemerintahan. Kegiatan sosialisasi dan pelatihan tentang Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis kas menuju akrual dilaksanakan sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 di beberapa kota dan perguruan tinggi di Indonesia (KSAP, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009). Kegiatan sosialisasi dan pelatihan tentang Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang - 176 - Ditjen Perbendaharaan juga melakukan kegiatan sosialisasi, pelatihan, dan bimbingan teknis tentang perangkat peraturan dan kebijakan pemerintah dalam rangka mengimplementasikan standar akuntansi pemerintahan ke dalam sistem akuntansi dan pelaporan pemerintah pusat ke semua entitas akuntansi dan entitas pelaporan. Materi sosialisasi antara lain berupa peraturan tentang sistem akuntansi dan pelaporan pemerintah pusat, kebijakan akuntansi pemerintah pusat, bagan akun standar, jurnal standar dan posting rules sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan berbasi kas menuju akrual. Selain itu, Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan juga melakukan kegiatan bimbingan teknis tentang sistem aplikasi yang digunakan untuk menjalankan sistem akuntansi dan pelaporan pemerintah pusat. Kegiatan sosialisasi tentang rencana implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia juga dilaksanakan oleh Unit Penyusun Laporan Keuangan di Kementerian Keuangan kepada para Users of Information (UoIs) sebagai pengguna laporan keuangan pemerintah pusat. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi adanya perbedaan interpretasi antara producer of information dan user of information dalam membaca informasi pada laporan keuangan pemerintah pusat: “Sampai saat ini kita telah melakukan training of trainers dan sosialisai kepada para eksekutif kementerian/lembaga, badan anggaran DPR sebagai pengguna laporan keuangan. karena ini adalah perubahan mindset, baik dari sisi penyusun laporan keuangan maupun dari sisi pengguna laporan keuangan.” (Wawancara 6 – Penyusun dan Pengkonsolidasi Laporan Keuangan Pemerintah Tingkat Pusat). Pelaksanaan Program Percepatan Akuntabilitas Keuangan Pemerintah adalah usaha kedua yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan untuk mendidik dan melatih demi meningkatkan kualitas pegawai di bidang akuntansi pemerintahan. Tujuan utama program ini adalah untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan pemerintah pusat yang tercermin dalam opini BPK terhadap laporan keuangan pemerintah pusat. Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis PPAKP telah dilaksanakan sejak tahun 2007 dan masih berlangsung sampai dengan 2014.Selama kurun waktu ini, PPAKP telah berhasil memberikan pendidikan dan pelatihan kepada 30.531 orang peserta yang terdiri dari para pegawai pengelola keuangan negara di seluruh kementerian negara/lembaga pada level pimpinan dan level pelaksana (www.perbendaharaan.go.id). Dalam periode ini, fokus utama dari PPAKP adalah memberikan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan tentang sistem akuntansi dan pelaporan pemerintah berbasis kas menuju akrual sebagai transisi menuju ke implementasi sistem akuntansi dan pelaporan pemerintah berbasis akrual pada tahun 2015. Kajian diatas menyimpulkan terdapat berbagai interaksi antara promotors of change, productions of information dan users of information dalam periode transisi ini. Interaksi terjadi pada saat dan proses penyusunan kebijakan dan edukasi dan sosialisasi dari kebijakan. Interaksi yang intensif terjadi antara promotors of change yaitu KSAP dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan RI dengan penyusun laporan keuangan pada saat pengembangan kebijakan dan implementasi teknis kebijakan. Setiap kebijakan yang ditetapkan oleh para promotors of change akan selalu dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan akuntansi dan pelaporan oleh para producers of information, demikian juga keterlibatan para producers of information juga dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan dalam proses penyusunan kebijakan oleh para promotors of change. Hal ini menunjukkan terjadinya interaksi secara determinan (determinant influence) diantara kedua aktor ini. Hal yang berbeda terjadi pada interaksi antara producers of information dengan users of information dimana interaksi yang terjadi adalah interaksi yang tidak signifikan (minor influence). Hal ini dapat dipahami karena BPK sebagai users of information berusaha untuk independen terhadap producers of information dan tidak dapat mendasarkan keputusan pemeriksaan laporan keuangan pemerintah atas dasar interaksi yang terjadi diantara keduanya. (4) Pengembangan Sistem Informasi Akuntansi Pemerintah Pusat Dalam rangka melaksanakan standar akuntansi pemerintahan berbasis akrual dan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah berbasis akrual, pada akhir akhir masa transisi ini Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan juga mengembangkan Sistem Informasi Akuntansi dan Manajemen Keuangan Terintegrasi (SiAMAT). SiAMAT merupakan salah satu upaya dalam rangka modernisasi sistem dan proses bisnis pengelolaan perbendaharaan dan anggaran negara yang sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. SiAMAT didesain untuk dapat digunakan 2 basis akuntansi yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, yaitu basis kas menuju akrual dan basis akrual. SiAMAT adalah suatu sistem pengelolaan keuangan negara yang mengintegrasikan pengelolaan keuangan ke dalam satu sistem terintegrasi, yang meliputi fungsi penganggaran, pelaksanaan anggaran dan pertanggungjawaban keuangan negara. SiAMAT merupakan program transformasi berskala besar di bidang keuangan negara yang bertujuan meningkatkan efisiensi, efektivitas, akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan anggaran dan perbendaharaan negara melalui penyempurnaan proses bisnis dan pemanfaatan teknologi informasi yang terintegrasi. Penjelasan secara mendalam mengenai SiAMAT dilanjutkan pada periode implementasi. (5) Tahapan Implementasi (2014 – sekarang): Identifikasi Implementation Barriers Tahap implementasi melanjutkan pengembangan SiAMAT yang terdiri dari sistem penganggaran, pelaksanaan anggaran dan pertanggungjawaban keuangan negara. Basis akuntansi yang digunakan untuk penyusunan laporan keuangan dalam SiAMAT adalah basis akrual. Transaksi akan diakui dan dicatat pada saat terjadinya walaupun kas belum masuk ke rekening kas negara atau keluar dari kas negara (Islam et al., 2010: 9) Untuk menunjang implementasi akuntansi akrual pada SiAMAT, maka program ini mengintegrasikan antara Sistem Akuntansi Umum (SAU) dan Sistem Akuntansi Kas Umum Negara (SAKUN) dan penggunaan 2 ledger akuntansi yang berisi ledger akrual dan ledger kas. Pengintegrasian SAU dan SAKUN dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa sistem aplikasi yang akan digunakan dalam SiAMAT hanya 1 sistem aplikasi yang telah terintegrasi. - 177 - Proses penjurnalan dilakukan oleh program SiAMAT berdasarkan basis akrual yang terdiri dari kelompok jurnal standar yang menjadi acuan dalam proses penjurnalan setiap transaksi keuangan pemerintah. Kelompok jurnal tersebut Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis adalah jurnal pada tahap pengesahan APBN, dan DIPA, timbulnya komitmen, realisasi APBN, jurnal pada akhir periode untuk penyesuaian, penutup, koreksi dan konsolidasi dan jurnal koreksi setelah audit. Demikianlah proses pengembangan institusi akuntansi pemerintah di Indonesia terjadi. Proses tersebut melibatkan aktor KSAP, Ditjen Perbendaharaan, Unit Penyusun laporan keuangan sebagai aktor utama. Sedangkan peran users of information tidak significant dalam proses ini. Temuan ini berbeda dengan hasil penelitian Christensen (2002) dimana PoIs dalam konteks akuntansi sektor pemerintah di Australia adalah central agencies dan managers of line agencies. Sedangkan di Indonesia, Ditjen Perbendaharaan sebagai PoC sekaligus PoI merupakan pusat dari proses perubahan akuntansi pemerintahan di Indonesia. Kementerian Keuangan sebagai tokoh utama dalam proses perubahan di Indonesia mirip dengan yang terjadi di Albania (Godfrey et al., 2000; Oliorilanto, 2008) Walaupun pembangunan institusi untuk implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia sudah dijalankan dengan benar, hasil pembangunan institusi belum optimal. Hasil yang belum optimal ini merupakan kendala dalam pencapain implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia. Studi ini mengelompokan hambatan tersebut menjadi empat kelompok, yaitu kualitas, kuantitas, dan mindset SDM yang masih rendah, lamanya penyusunan peraturan teknis tentang implementasi akuntansi akrual, kekhawatiran penurunan opini laporan keuangan pemerintah dan ketidaksiapan sistem informasi akuntansi sebagai alat pendukung implementasi akuntansi akrual. (a) Kualitas, Kuantitas, dan Mindset SDM yang masih rendah Salah satu hambatan utama dalam implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia adalah faktor sumber daya manusia, baik dari sisi kualitasnya, kuantitasnya, maupun dari sisi mindsetnya. Hambatan di bidang sumber daya manusia ini dikonfirmasi oleh semua kategori informan dalam penelitian ini. Para pegawai yang memiliki kemampuan di bidang akuntansi pemerintahan dinilai masih rendah, baik dari sisi petugas penyusun laporan keuangan pemerintah maupun dari sisi petugas pemeriksa laporan - 178 - keuangan keuangan pemerintah: “Dari sisi personil (SDM) harus diakui bahwa pemerintah sebenarnya belum siap. Dari sudut pandang BPK sendiri, upaya untuk meningkatkan kemampuan tentang akuntansi akrual masih berada di level eselon 4 keatas.” (Wawancara 2 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI). “Selain itu juga ada keterbatasan dalam personil karena yang bertugas untuk menyusun aturan dan sistem akuntansi jumlahnya terbatas” (Wawancara 8 – Penyusun dan Pengembang Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat). “Untuk kemampuan SDM, kalau di lingkungan Kementerian Keuangan sudah siap, sedangkan di kementerian lainnya sangat bervariatif. Yang harus diantisipasi adalah cara melakukan judgment seperti apa, nah ini yang harus dikuatkan” (Wawancara 8 – Penyusun dan Pengembang Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat). Penyebab dari masih rendahnya kemampuan para pegawai di bidang akuntansi pemerintahan disebabkan oleh dua faktor penting. Pertama adalah faktor masih rendahnya kesadaran untuk merekrut pegawai yang berlatar belakang akuntansi pemerintahan. Kedua adalah faktor pelatihan SDM di bidang akuntansi pemerintahan yang masih belum optimal: “Pertama adalah kesiapan SDM.Saat ini kesadaran untuk merekrut pegawai berlatar belakang akuntansi masih rendah” (Wawancara 3 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI). “Tentunya hal ini membutuhkan waktu yang cukup untuk mendidik seluruh KL agar dapat memahami implementasi akuntansi akrual. Sayangnya sekalipun pada diklat PPAKP saat ini sudah diajarkan akuntansi akrual namun masih terbatas pada teori-teori umum dan belum bisa dipraktekkan dengan tools aplikasi yang mendukung akuntansi akrual pemerintah” (Wawancara 1 – Pemeriksa Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan). Salah satu unsur SDM lain yang tidak kalah pentingnya adalah terkait dengan mindset Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis para pegawai yang masih banyak yang berorientasi akuntansi berbasis kas. Hal ini tentu juga memiliki kontribusi untuk menghambat implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia karena banyak diantara mereka masih resisten terhadap perubahan ke arah akuntansi akrual: “Karakteristik lingkungan akuntansi pemerintah memang kondisinya belum sepenuhnya mendukung penerapan akuntansi akrual mengingat “mindset” yang ada masih pada akuntansi berbasis Kas” (Wawancara 1 – Pemeriksa Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan). “Sebetulnya kebutuhan akan akuntansi akrual sudah mendesak mengingat informasi yang dibutuhkan lebih tersedia jika diterapkan akuntansi akrual namun masih banyak pihak yang merasa “nyaman” dengan akuntansi berbasis kas” (Wawancara 1 – Pemeriksa Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan). (b) Lamanya Penyusunan Peraturan Teknis tentang implementasi akuntansi akrual Faktor kedua yang menghambat implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia adalah lamanya proses penyusunan peraturan teknis sebagai turunan dari Undangundang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara serta Peraturan Pemerintah tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. “Dari sisi peraturan, pemerintah memerlukan waktu yang panjang untuk merumuskan PMK sebagai petunjuk teknis pelaksanaan undang-undang dan peraturan pemerintah tentang penerapan akuntansi akrual. Terbukti, sejak tahun 2003 (UndangUndang diterbitkan) dan sejak tahun 2010 (PP No. 71 tentang SAP diterbitkan) pemerintah memerlukan beberapa tahun untuk menyusun PMK sebagai petunjuk teknis pelaksanaannya´ (Wawancara 2 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI). “Belum adanya pedoman teknis akuntansi akrual yang merupakan turunan dari PP 71 Tahun 2010 dan khususnya dengan implementasi SiAMAT adalah pedoman yang telah disesuaikan dengan disain akrual di dalam SiAMAT. Pedoman ini seyogyanya - 179 - diterbitkan oleh Ditjen Perbendaharaan khususnya Dit APK dan Dit.TP dan dipahami terlebih dahulu oleh lingkungan Kementerian Keuangan sebelum disosialisasikan ke seluruh satker K/L” (Wawancara 1 – Pemeriksa Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan). (c) Kekhawatiran Penurunan Opini Laporan Keuangan Pemerintah Faktor ketiga yang menjadi penghambat implementasi akuntansi akrual adalah adanya kekhawatiran tentang kemungkinan terjadinya penurunan opini BPK atas laporan keuangan pemerintah. Risiko ini terkonfirmasi oleh pandangan ketiga kelompok informan dalam penelitian ini. Risiko penurunan opini BPK atas laporan keuangan pemerintah adalah hal yang paling dihindari karena akan membawa konsekuensi politis bagi pemerintah: “Penurunan opini menjadi pemikiran utama kita. Kalau nantinya opininya adalah masih sama WDP dengan saat ini, maka pemerintah tidak perlu berpikir keras. Tetapi kalau turun opininya (menjadi disclaimer) maka itu yang akan bermasalah, karena laporan keuangan adalah pertanggungjawaban pemerintah ke DPR. Karena kalau turun, hal ini menjadi masalah politik juga.” (Wawancara 6 – Penyusun dan Pengkonsolidasi Laporan Keuangan Pemerintah Tingkat Pusat) “Terkait dengan opini laporan keuangan, ada kekhawatiran yang bersifat politis di pemerintah jika akuntansi akrual dilaksanakan sedangkan pemerintah masih belum sepenuhnya siap, akan terjadi penurunan terhadap opini yang diberikan oleh BPK.” (Wawancara 2 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI). “Kalaupun lingkungan akuntansi pemerintah tidak mendukung, hal ini lebih disebabkan kekhawatiran hasil audit BPK akan berdampak terhadap penurunan kualitas opini yang diberikan oleh BPK” (Wawancara 1 – Pemeriksa Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan). “Akrual ini kan memungkinkan adanya perbedaan persepsi dalam menilai judgement tadi. Jadi saya melihat, potensi perbedaan pendapat dengan BPK ini sangat Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis besar. Ada kemungkinan penurunan opini sangat besar. Karena aturannya masih belum lengkap, dan karena judgement yang bersifat subjektif” (Wawancara 8 – Penyusun dan Pengembang Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat). (d) Ketidaksiapan sistem informasi akuntansi sebagai alat pendukung implementasi akuntansi akrual Faktor keempat yang menghambat implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia adalah ketidaksiapan sistem informasi yang digunakan sebagai alat eksekutor dalam melakukan proses akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah. Faktor ini terkonfirmasi oleh semua kelompok informan dalam penelitian ini. “Infrastruktur juga harus disiapkan, sistem akuntansinya, karena tidak gampang menyusun laporan keuangan berbasis akrual.Menyusun laporan keuangan 4 saja (berbasis CTA) masih sulit, apalagi harus menyusun 7 (berbasis akrual).” (Wawancara 6 – Penyusun dan Pengkonsolidasi Laporan Keuangan Pemerintah Tingkat Pusat). “Sistem akuntansi pemerintah pusat masih belum dikembangkan dengan baik.Pada tahun 2003 pada saat undang-undang diterbitkanpun, pemerintah belum memiliki sistem akuntansi yang mendukung penerapan akuntansi akrual.” (Wawancara 3 – Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan RI). Pengembangan Sistem Informasi Akuntansi dan Manajemen Keuangan Terintegrasi yang diharapkan mampu berperan sebagai sistem utama yang mendukung implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia ternyata berjalan dengan lambat dan tidak sesuai harapan sehingga berisiko untuk mengganggu rencana implementasi akuntansi akrual pada tahun 2015. Pengembangan sistem informasi baru (selain Sistem Informasi Akuntansi dan Manajemen Keuangan Terintegrasi) sebagai rencana perubahan dirasa sangat mepet dan dikhawatirkan tidak optimal, baik dari sisi fungsinya maupun dari sisi sosialisasinya kepada para pengguna. “Sejak tahun 2010, sebenarnya diwajibkan menggunakan SiAMAT. Namun dengan berjalannya waktu di tahun 2013, SiAMAT - 180 - belum dapat diimplementasikan pada tahun 2015……Nah, baru pada tahun 2013 dengan melihat progress dari SiAMAT, kita diminta untuk menyiapkan sistem akuntansi instansi berbasis akrual (SAIBA) dalam rangka penerapan akuntansi akrual, karena SiAMAT dinilai belum siap, sedangkan kita tetap harus melaksanakan akuntansi akrual di tahun 2015” (Wawancara 8 – Penyusun dan Pengembang Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat). “Sistem Informasi Akuntansi berbasis akrual yang dibangun memang belum sepenuhnya siap. Saat ini sebelum implementasi SiAMAT diterapkan, terdapat aplikasi “perantara” yaitu SAIBA. Masalahnya, sosialisasi dan edukasi kepada satkersatker K/L tidak cukup waktu untuk mengejar implementasi akuntansi akrual yang sebetulnya sudah ada dalam SiAMAT” (Wawancara 1 – Pemeriksa Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan). Adanya hambatan-hambatan diatas menunjukan bahwa pembangunan institusi tidak akan optimal jika cakupan proses perubahan dalam skala yang besar, komitmen perubahan yang kurang dan tingkat pengetahuan yang juga kurang. Pembangunan personil belum mencapai hasil optimal meskipun sudah ada program pelatihan yang dipelopori oleh Kementerian Keuangan mengingat ukuran pemerintah Republik Indonesia sangatlah besar dan perubahan ini tidak hanya melibatkan kementerian keuangan saja tetapi juga BPK dan DPR. Lambatnya peraturan teknis dan pengembangan sistem akuntansi dapat menunjukan bahwa pemerintah masih belum memiliki komitmen yang tinggi dalam mengakselerasi implementasi akuntansi akrual secara penuh dalam penyusunan laporan keuangan. Kekhawatiran penurunan kualitas opini audit akibat diaplikasikannya sistem akuntansi pemerintah berbasis akrual dapat merupakan perwujudan kurang pahamnya pengetahuan mengenai akuntansi akrual. Jika aplikasi akuntansi akrual dilakukan dengan benar dan bersih tentulah kekhawatiran tersebut tidak ada. Berdasarkan kondisi diatas dapat disimpulkan bahwa implementation barriers dalam implementasi akuntansi akrual sektor pemerintahan di Indonesia lebih banyak diperoleh Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis dari kontribusi promotors of change dan producers of information. Promotors of change berkontribusi dalam hal terlalu lamanya proses penyusunan peraturan teknis dan kekurangsiapan pengembangan sistem aplikasi dalam rangka mendukung implementasi akuntansi akrual. Producers of information berkontribusi dalam hal masih rendahnya kualitas, kuantitas dan mindset SDM serta terlalu tingginya kekhawatiran terjadinya penurunan opini BPK terhadap laporan keuangan pemerintah apabila akuntansi akrual telah diimplementasikan. Hal ini menunjukkan pengaruh yang menentukan (determinant influence) antara promotors of change dan producers of information terhadap implementation barriers dalam proses implementasi akuntansi sektor pemerintahan di Indonesia. SIMPULAN Penelitian ini adalah untuk meneliti bagaimana peran para aktor dalam implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia sejak tahun 2000 sampai dengan 2014. Untuk memenuhi tujuan tersebut penelitian ini berfokus untuk: (1) mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mendorong perlu dilakukannya perubahan menuju akuntansi akrual (stimuli); (2) mengidentifikasi para aktor utama yang terlibat dalam proses perubahan menuju akuntansi akrual; (3) mengidentifikasi hambatan/permasalahan dan fasilitator apa saja yang dihadapi dalam proses perubahan menuju akuntansi akrual; dan (4) mengidentifikasi peranan para aktor utama dalam mengatasi hambatan dan mengakomodasi faktor penunjang dalam proses perubahan menuju akuntansi akrual. kan aktor utama dalam proses transformasi sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pemeritahan dari berbasis kas menjadi berbasis akrual pada periode tahun 2000 – 2014. Dengan menggunakan Luder's Contingency Model yang dimodifikasi oleh Christensen (2002), penelitian ini menghasilkan 5 temuan tentang bagaimana peran para aktor dalam implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia. Pertama, faktor utama yang berperan dalam mendorong implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia (stimuli) adalah perintah undang-undang untuk melaksanakan akuntansi pemerintah berbasis akrual. Kondisi di Indonesia pada periode tahun 2000 – 2014 memperlihatkan bahwa adanya undang-undang di bidang keuangan negara menimbulkan suatu kesadaran bagi pelaku akuntansi pemerintahan untuk melakukan perubahan. Perpindahan dari sistem akuntansi pemerintah berbasis kas ke sistem akuntansi pemerintah berbasis akrual hanya dianggap sebagai suatu kepatuhan terhadap undang-undang daripada sebagai keinginan untuk bertindak efisien dalam mengelola keuangan negara (lihat Djamhuri (2009)). Kedua, pihak-pihak yang memiliki peran sebagai pendorong proses implementasi akuntansi akrual di Indonesia adalah KSAP dan Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan. Kedua lembaga ini merupa- Ketiga, pihak-pihak yang berperan sebagai para penyusun laporan keuangan pemerintah pusat di Indonesia (PoIs) terdiri dari: (1) Pemerintah RI cq. Kementerian Keuangancq. Ditjen Perbendaharaan, sebagai penyusun laporan keuangan tingkat pusat; (2) Kementerian Negara/Lembaga, sebagai penyusun laporan keuangan tingkat Kementerian Negara/ Lembaga; dan Unit organisasi Kementerian Negara/ Lembaga di tingkat wilayah dan di tingkat instansi, sebagai penyusun laporan keuangan pemerintah di tingkat wilayah dan di tingkat instansi. Temuan ini secara umum mendukung hasil penelitian Christensen (2002) dimana PoIs dalam konteks akuntansi sektor pemerintah di New South Wales adalah para central agencies dan managers of line agencies. Keempat, pihak-pihak yang diidentifikasi sebagai pengguna informasi dalam laporan keuangan pemerintah pusat di Indonesia (UoIs) adalah: (1) masyarakat; (2) wakil rakyat, lembaga pengawas, dan lembaga pemeriksa; (3) pihak yang memberi atau berperan dalam proses donasi, investasi, dan pinjaman; dan (4) pemerintah. Temuan ini menunjukkan kondisi yang hampir sama antara UoIs dalam penelitian ini dengan UoIs dalam penelitian Christensen (2002) di New South Wales. Hal yang berbeda adalah bahwa pene-litian ini memasukkan kembali masyarakat sebagai salah satu UoIs sebagaimana hasil penelitian Luder (1992). Kelima, faktor-faktor socio-cultural yang menjadi hambatan dalam akselerasi implementasi akuntansi akrual sektor di sektor pemerintahan di Indonesia. Faktor-faktor tersebut adalah (1) kualitas, kuantitas, dan mindset pegawai pemerintah di bidang akuntansi pemerintahan yang masih rendah; (2) Lamanya - 181 - Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Penyusunan Peraturan Teknis tentang implementasi akuntansi akrual; (3) Kekhawatiran Penurunan Opini Laporan Keuangan Pemerintah; dan (4) Ketidaksiapan sistem informasi akuntansi sebagai alat pendukung implementasi akuntansi akrual. Penyelesaian terhadap keempat faktor hambatan diatas menjadi critical success factor bagi pemerintah Indonesia untuk melaksanakan akuntansi akrual sektor pemerintahan pada 2015. yang digariskan oleh para PoCs sehingga PoIs harus mengetahui dan memahami betul setiap standar dan peraturan sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penyusun laporan keuangan. Demikian juga sebaliknya, dalam setiap proses penyusunan dan pengembangan peraturan PoI juga selalu dilibatkan agar peraturan yang dibuat oleh PoCs tersebut sesuai dengan kebutuhan pelaporan dari PoIs. Penelitian ini juga menghasilkan temuan tentang interaksi yang terjadi antara para aktor dalam proses implementasi akuntansi akrual sektor publik di Indonesia. Pertama, stimuli berupa perintah undangundang merupakan faktor penentu bagi para PoCs dan PoIs mengimplementasikan akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia. Stimuli ini tidak memberikan pengaruh yang signifikan bagi para UoIs dalam menjalankan peranannya. Ketiga, interaksi antara Ditjen Perbendaharaan sebagai PoIs dengan UoIs yaitu BPK dan DPR terjadi walaupun interaksi ini tidak membawa pengaruh signifikan bagi PoI untuk mempercepat proses perubahan. PoIs bertindak diatas UoI karena berperan sebagai pendidik bagi UoIs yaitu DPR agar mereka memiliki pandangan dan interpretasi yang sama sehingga dapat membaca laporan keuangan dari sudut pandang yang sama dengan PoIs. Namun demikian, BPK sebagai UoIs juga tidak memberikan pengaruh signifikan bagi PoIs karena BPK.BPK merasa tidak berkewajiban mendorong Ditjen Perbendaharaan dalam pengimplementasikan full accrual. Kedua, interaksi yang terjadi antara PoCs dan PoIs terjadi secara timbal balik dan bersifat sangat menentukan. Di dalam negara yang menganut sistem civil law, para PoIs dalam penelitian ini selalu patuh dan tunduk terhadap setiap standar dan peraturan KETERBATASAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Penelitian ini memiliki 2 batasan. Pertama, informan dalam penelitian ini dipilih secara subjektif oleh penulis berdasarkan pertimbangan keterbatasan waktu dan sumber dana sehingga belum dapat memotret sudut pandang dari semua aktor yang terlibat dalam proses implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia, khususnya aktoraktor di KSAP, DPR, BPKP, IAI, akademisi dan para akuntan publik. Kedua, data yang bersumber dari dokumentasi berupa peraturan dan perundangan, jurnal ilmiah, buku, dan sumber-sumber lainnya belum dapat mencakup seluruh referensi tentang reformasi akuntansi sektor pemerintah karena faktor keterbatasan penulis untuk mendapatkan akses terhadap sumber data. buka ruang untuk keterlibatan para akademisi dan akuntan profeisonal dalam proses implementasi akuntansi akrual sektor pemerintah di Indonesia, khususnya dalam hal melakukan pelatihan dan pendidikan kepada para producers of information. Penelitian ini memberikan implikasi terhadap penelitian-penelitian lebih lanjut tentang proses reformasi akuntansi sektor pemerintah di Indonesia, baik dengan menggunakan teori kontijensi maupun teori-teori lainnya. Hasil dari penelitian ini mendorong perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut tentang peran dari pendidikan dan pelatihan, peran pemeriksa (khususnya BPK), peran sistem informasi akuntansi dalam menentukan keberhasilan reformasi akuntansi sektor pemerintah di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga mendorong perlu dilakukannya penelitian yang mampu membuktikan secara empiris peran dari masyarakat sebagai salah satu pengguna laporan keuangan pemerintah. Terakhir, penelitian ini memberikan saran agar Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan dapat mem- - 182 - Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Stimuli Perintah Undang-undang di bidang Keuangan Negara Promotors of Change : • KSAP • Pemerintah RI cq. Kementerian Keuangan cq. Ditjen Perbendaharaan Producers of information : • Pemerintah RI cq. Kementerian Keuangan • Kementerian Negara/Lembaga • Unit organisasi Kementerian Negara/Lembaga di tingkat Wilayah dan di tingkat Instansi Users of information : • masyarakat; • wakil rakyat, lembaga pengawas, dan lembaga pemeriksa; pihak yang memberi atau berperan dalam proses donasi, investasi, dan pinjaman; dan • pemerintah Implementation Barriers , Kuantitas, , dan Mindset • Kualitas, SDM yang masih rendah. • Lamanya Penyusunan Peraturan Teknis tentang implementasi akuntansi akrual • Kekhawatiran Penurunan Opini Laporan Keuangan Pemerintah • Ketidaksiapan sistem informasi sebagai alat pendukung implementasi akuntansi akrual Implementation of a new public sector accounting system Legend: Determinant influence Significant influence Minor influence Sumber: Dimodifikasi dari Process Model of Public Sector Accounting Change (Christensen, 2002) Gambar 5.1 Model Proses dari Perubahan Akuntansi Sektor Pemerintahan di Indonesia - 183 - Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis REFERENSI Allen, R., dan Tommasi, D. 2001. Managing Public Expenditure [electronic resource]: A Reference Book for Transition Countries: OECD Publishing. Blondal, J. R. 2003. Budget Reform in OECD Member Countries: Common Trends. OECD Journal on Budgeting, 2(4), 7-26. Broadbent, J., dan Guthrie, J. 2008. Public Sector to Public Services: 20 Years of "Contextual" Accounting Research. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 21(2), 129-169. Buhr, N. 2012. Accrual Accounting by Anglo-American Governments: Motivations, Developments, and Some Tensions Over The Last 30 Years. Accounting History, 17(3-4), 287-309. Christensen, M. 2002. Accrual Accounting in the Public Sector: The Case of the New South Wales Government. Accounting History, 7(2), 93-124. Connolly, C., dan Hyndman, N. 2006. The Actual Implementation of Accruals Accounting: Caveats From A Case Within The UK Public Sector. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 19(2), 272-290. Deloitte. (2013). Deloitte IPSAS on Your Pockets: Deloitte. Djamhuri, A. (2009). A Case Study of Governmental Accounting and Budgeting Reform at Local Authority in Indonesia [HD 28-70]. Universiti Sains Malaysia. Godfrey, A. D., et al. 2000. Government accounting development within a transitional economy-Albania a case study. Journal of Applied Accounting Research, 5(3), 53-86. Godfrey, A. D., et al. (2001). A Diffusion-Contingency Model for Government Accounting Innovations International Comparative Issues in Government Accounting (pp. 279-296): Springer. Hariyanto, A. 2013. Penggunaan Basis Akrual Dalam Akuntansi Pemerintahan di Indonesia. Dharma Ekonomi, 36(36). Harun. 2007. Obstacles to Public Sector Accounting Reform in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 43(3), 365-376. Harun, dan Robinson, P. 2010. The Adoption of Accrual Accounting in the Indonesian Public Sector. Research in Accounting in Emerging Economies, 10, 233-250. Harun, et al. 2012. Institutionalization of Accrual Accounting in the Indonesian Public Sector. Journal of Accounting & Organizational Change, 8(3), 257-285. IFAC. 2011. Transition to the Accrual Basis of Accounting: Guidance for Public Sector Entities: Study 14. Retrieved from http://www.ifac.org/sites/default/files/publications/files/IPSASB-study-14-3e.pdf IMF. 1997. Memorandum of Economic and Financial Policies of October 31, 1997: Letter of Intent of the Government of Indonesia to the International Monetary Fund. Washington, D.C.: IMF (International Monetary Fund). Innes, J., dan Mitchell, F. 1990. The Process of Change in Management Accounting: Some Field Study Evidence. Management Accounting Research, 1(1), 3-19. Islam, S., et al. 2010. Future Model Sistem Akuntansi. Jakarta: Kementerian Keuangan. Jaruga, A., dan Nowak, W. A. 1996. Toward A General Model of Public Sector Accounting Innovations. Research in Governmental and Nonprofit Accounting, 21-32. Kickert, W. 1997. Public Management in the United States and Europe. Public Management and Administrative Reform in Western Europe. UK: Edward Elgar. KSAP. (2004). Laporan Tahun 2004. Jakarta. KSAP. (2005). Laporan Tahun 2005. Jakarta. - 184 - Tahun XXV, No. 2 Agustus 2015 Jurnal Ekonomi dan Bisnis KSAP. (2006). Laporan Tahun 2006. Jakarta. KSAP. (2007). Laporan Tahun 2007. Jakarta. KSAP. (2008). Laporan Tahun 2008. Jakarta. KSAP. (2009). Laporan Tahun 2009. Jakarta. KSAP. (2010). Laporan Tahun 2010. Jakarta. KSAP. (2011). Laporan Tahun 2011. Jakarta. Luder, K. 1992. A Contingency Model of Governmental Accounting Innovations in the Political Administrative Environment. Research in Governmental and Nonprofit Accounting, 7, 99-127. Marwata. (2008). Doctoral Research Abstract: Understanding Governmental Accounting Change in Developing Country Context the Case of Accrual-Based Accounting Systems Adoption by Indonesian Local Government. Merrouche, C., et al. 1996. Local Government Accounting in Algeria and Moroco. Research in Governmental and Nonprofit Accounting, 9, 139-156. Oliorilanto, R. H. 2008. Contingency Factors Affecting the Adoption of Accrual Accounting in Malagasy Municipalities. International Journal on Governmental Financial Management, 8(1), 37-50. Osborne, D., dan Gaebler, T. 1992. Reinventing Government: How The Entrepreneurial Spirit Is Transforming The Public Sector. Harv. Blackletter J., 9, 163. Otley, D. T. 1980. The Contingency Theory of Management Accounting: Achievement and Prognosis. Accounting, Organizations and Society, 5(4), 413-428. Pallot, J. 1996. Innovations in national government accounting and budgeting in New Zealand. Research in Governmental and Nonprofit Accounting, 323-348. Palupi, A. (2013). A Sociological Analysis of the Field of Public Sector Accounting in Indonesia from the 1960s to 2010. (Doctoral), Macquarie University, Australia. PricewaterhouseCooper. (2013). PwC Global Survey on Accounting and Reporting by Central Government (2013): Toward A New Era in Government Accounting and Reporting: PwC. Priyono, N. 2013. Perkembangan Akuntansi Pemerintahan di Indonesia Periode Sebelum Reformasi sampai dengan Pasca-Reformasi. Majalah Ilmiah Dinamika, 37(1). Saleh, Z., dan Pendlebury, M. W. 2006. Accruals Accounting in Government-Developments in Malaysia. Asia Pacific Business Review, 12(4), 421-435. Simanjuntak, B. H. 2005. Menyongsong Era Baru Akuntansi Pemerintahan di Indonesia. Jurnal Akuntansi Pemerintah, 1(1). Upping, P., dan Oliver, J. 2011. Accounting Change Model for The Public Sector: Adapting Luder's Model for Developing Countries. International Review of Business Research Papers, 7(1), 364-380. Waweru, N. M., et al. 2004. Management Accounting Change in South Africa: Case Studies from Retail Services. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 17(5), 675-704. Yamamoto, K. 1999. Accounting System Reform in Japanese Local Governments. Financial Accountability & Management, 15(3?4), 291-307. - 185 -