Taridi, Komang Sutawan

advertisement
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM AKTIVITAS BELAJAR
MELALUI PENDEKATAN BUDHISM
Taridi, Komang Sutawan
STIAB Jinarakkhita Lampung
[email protected]
ABSTRAK
Peran pendidikan dalam mewujudkan perkembangan tidak hanya dinilai dari
seberapa besar peserta didik mampu memiliki keterampilan. Pada dasarnya kemampuan
untuk mengimbangi perkembangan jaman memang dibutuhkan. Namun, ada hal yang
lebih penting lagi, bagaimana pendidikan itu mampu memberikan kontribusi bagi peserta
didik untuk memiliki bekal nilai-nilai luhur, etika, toleransi serta karakter yang selaras
dengan budaya dimasyarakat. Menjawab hal itu, perlu adanya strategi untuk
mengupayakan pendidikan karakter yang dilandasi dengan pemahaman spiritual.
Pemahaman spiritual tentunya harus didasari dengan praktik religi sehingga nilai-nilai
luhur dapat menjadi dasar bagi peserta didik agar memiliki karakter sesuai dengan
keribadian yang dimiliki.
Kata kunci: nilai-nilai karakter, religius
A. PENDAHULUAN
Permasalahan pokok yang dihadapi dunia pendidikan saat ini adalah bagaimana
membentuk generasi bangsa yang berkarakter. Pendidikan yang berbasis karakter bangsa
merupakan salah satu langkah dunia pendidikan saat ini guna menghasilkan lulusan yang
berkualitas. Bukan hanya itu, pendidikan karakter memang dibutuhkan saat ini untuk
mengembalikan identitas bangsa, terutama generasi muda penerus perjuangan bangsa.
Generasi yang memiliki nilai-nilai luhur, berkembang baik secara fisik dan mental akan
dapat membentuk kepribadian, mental serta sikap yang baik sehingga terbentuklah
generasi bangsa yang dapat dihandalkan.
Memahami tujuan yang demikian luas. Banyak sekolah memunculkan berbagai
strategi sehingga memunculkan berbagai macam keberagaman.
Keberagaman
pendidikan pada era modern saat ini memunculkan berbagai macam permasalahan.
Tidak sedikit masalah muncul dikarenakan banyak terjadi kompetisi untuk memajukan
pelayanan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini banyak hal yang perlu
dipersiapkan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan dalam persaingan khususnya
dilingkungan masyarakat. Banyak sekolah menawarkan berbagai kegiatan ekstrakurikuler
untuk menambah aktivitas siswa di sekolah. Program pendidikan informal saat banyak
dijumpai untuk memberikan dukungan kepada siswa untuk menyiapkan ujian diakhir
sekolah. Selain itu, alasan klasik yang sering dikemukakan pihak sekolah biasanya takut
jika peserta didik tidak naik kelas dan tidak lulus. Pihak sekolah malu jika sekolahnya
dianggap tidak bermutu dan berkualitas, serta takut jika tidak ada peminat (calon siswa
baru) yang mau sekolah.
Berbagai pertimbangan untuk mewujudkan terjadinya perubahan dalam dunia
pendidikan salah satunya dengan memperbaiki kurikulum. Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 Tentang
Ekuivalensi
Kegiatan Pembelajaran/Pembimbingan Bagi Guru Yang Bertugas Pada SMP/SMA/SMK
yang melaksanakan kurikulum 2013 menjelaskan mengenai beban belajar peserta didik
SMP 38 jam, SMA kelas X 42 jam, SMA kelas XI dan XII 44 jam SMK 48 jam. Jika
dilihat dari waktu yang telah ditentukan rata-rata siswa SMP belajar 6-7 jam per/hari dan
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
untuk anak SMA/SMK 7-8 jam selain itu ditambah lagi pembelajaran di luar sekolah.
Banyak siswa melakukan les atau privat untuk mendukung pembelajaran di sekolah
bahkan ada juga yang melakukan kegiatan pembelajaran mata pelajaran di sekolah.
Sementara itu, Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional mengamanahkan agar pendidikan tidak hanya memberi kesempatan untuk
membentuk insan Indonesia yang cerdas semata, tetapi juga berkepribadian atau
berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang
dengan karakter yang bernafas berdasarkan nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Senada dengan hal ini, 2560 tahun yang lampau Buddha Gautama telah
memberikan contoh pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan metode
upaya kausalya1. Strategi dan metode dalam mengajarkan Dharma kepada muridmuridnya berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini disebabkan karena kondisi
mental serta kemampuan murid-Nya yang berbeda-beda. Proses pembabaran Dharmapun
dilaksanakan sesuai dengan karakter muridnya masing-masing.
Kemampuan Buddha yang sempurna dalam kebijaksanaan serta pengetahuan
memberikan contoh bahwa pendidikan kontekstual, berkarakter, akan memberikan
dampaknya kepada aktivitas belajar siswa. Aktivitas ini terefleksi dalam proses dan
tindakan siswa dalam perkembangan mentalnya. Pada akhirnya, siswa akan mengalami
kematangan dalam berpikir, spiritual meningkat, yang tercermin dalam pikiran, ucapan
dan perbuatannya yang bersih dan terbebas dari kekotoran batin.
B. ANALISIS
1. Kontekstual Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter merupakan wahana menanamkan nilai- nilai kebaikan
kepada anak baik dari aspek kognitif, afektif maupun psikomotor (Isnaini, 2013). Untuk
itu pemahaman mengenai pendidikan karakter dalam pelaksanaannya
harus
menumbuhkan konsep internal siswa. Konsep ini setidaknya akan memberikan nilai-nilai
kebaikan bagi siwa. Oleh sebab itu, penanaman karakter merupakan dasar dalam proses
pendidikan. Selaras dengan pendapat (Kartadinata, 2009) “Pendidikan adalah persoalan
kemanusiaan yang harus didekati dari perkembangan manusia itu sendiri”.
Pemahaman itu tentunya dapat menjadi pertimbangan bahwa pembelajaran harus
kontekstual. Pembelajaran memerlukan cara yang sesuai dengan karakter peserta didik.
Oleh sebab itu pendidikan tidak mengarah pada satu aspek yaitu pengetahuan saja.
Menurut Wibowo (2013: 38) “Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti yang
melibatkan aspek pengetahuan, perasaan dan tindakan”. Dari ketiga aspek ini sama hal
nya dengan pemahaman mengenai pembelajaran yang harus menyeimbangkan baik aspek
kognitif, psikomotor maupun afektifnya. Dengan kata lain, seyogyanya para pendidik
tidak membedakan perhatiannya kepada siswa yang memiliki dominan kecerdasan
tertentu.
Seperti yang diketahui bahwa setiap individu memiliki keceradasan yang
berbeda. Menurut Gardner (1983), kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan
dan menyelesaikan masalah dan menghasilkan produk mode yang merupakan
konsekuensi dalam suasana budaya atau masyarakat tertentu." Adapun kecerdasankecerdasan tersebut yaitu:
a. Kecerdasan linguistik adalah kemampuan untuk menggunakan dan mengolah katakata secara efektif, baik secata oral maupun tertulis.
b. Kecerdasan matematis-logis adalah kemampuan untuk menangani bilangan dan
perhitungan, serta pemikiran logis dan ilmiah.
c. Kecerdasan ruang-spasial adalah kemampuan untuk menangkap dunia ruang-spasial
secara tepat.
1
Upaya kausaliya : metode sederhana yang dilakukan oleh Buddha untuk mengajarkan ajarannya
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
d. Kecerdasan musikal adalah kemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan,
dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara.
e. Kecerdasan kinestetik-badani adalah kemampuan menggunakan tubuh atau gerak
tubuh untuk mengekspresikan gagasan atau perasaan.
f. Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan untuk mengerti dan peka terhadap
perasaan, intensi, motivasi, watak, dan temperamen orang lain.
Dari konsep kecerdasan, tentunya bisa menumbuhkan kebijaksanan bagaimana
seorang tenaga pendidik melakukan pengajaran. Pengajaran yang baik bisa dilakukan
apabila pengajar mampu memahmi kemampuan serta karakter siswa. Sehingga penentuan
strategi dapat dilakukan berdasarkan analisis kebutuhan. Memahami bahwa setiap siswa
memiliki perkembangan yang berbeda tentunya, dalam proses pembelajaran juga
memerlukan cara yang berbeda. Buddha mengibaratkan “ bermacam-macam pohon,
besar, sedang, atau kecil, menerima air hujan sesuai dengan kebutuhan untuk tumbuh
berkembang” (kitab suci Buddhis: Sadharmapundarika-Sutra V2).
Hal ini dapat menjadi dasar bahwa pendidikan harus mengutamakan kebutuhan
individu untuk berkembang sesuai dengan apa yang diinginkan. Bukan sekedar
pembekalan ilmu pengetahuan yang membutakan pada pelaksanaan yang sesuai dengan
nilai-nilai kebaikan. Buddha bersabda, “meskipun seseorang banyak membaca kitab suci,
tetapi tidak berbuat sesuai ajaran, orang yang lengah itu ibarat pengembala sapi yang
menghitung sapi milik orang lain, ia tidak mendapat manfaat apa-apa” (Kitab suci
Buddhis: Dhammapada3.19).
Selaras dengan hal itu, Bloom yang dikenal dengan taksonomi Bloom serta
didukung dengan teori lainnya menjelaskan hakikat pendidikan memiliki ranah-ranah
yaitu pengetahuan (kognitif), melainkan sikap (afektif), dan pelaksanaan (psikomotorik)
siswa. Dari dasar itu sudah menjadi hal penting bagaimana seorang tenaga pendidik
mengarakan siswanya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Selain itu kecerdasan yang diharapkan dalam membentuk karakter siswa saat ini
bukan hanya intelektual saja, melainkan kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual. Pola
lain yang selaras dengan menerapkan pembelajaran inkuiri.
“Pembelajaran yang
menerapkan prinsip inkuiri dapat mengembangkan berbagai karakter, antara lain berfikir
kritis, logis, kreatif, dan inovatif, rasa ingin tahu, menghargai pendapat orang lain, santun,
jujur, dan tanggung jawab. (Khusniati, 2012).
2. Nilai –Nilai Luhur Karakter
Sesuai UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Dari tujuan pendidikan tersebut terlihat bahwa pendidikan tidak
hanya semata-mata untuk mengajarkan tentang pengetahuan. Hal yang paling penting
adalah memunculkan nilai-nilai luhur yang sesuai jati diri bangsa dalam kehidupan di
masyarakat.
Pendidikan akan memberikan kontribusi bagi masyarakat apabila pendidikan itu
mampu membawa perubahan baik materi maupun maupun moral. Dalam pandangan
Buddha keberhasilan belajar dan latihan ditandai dengan pemahaman dan kecakapan
dalam “hal: 1. Memahami maksud dan tujuan, mampu menjelaskan atau menjabarkan
secara rinci dan mampu mempertimbangkan akibat, 2. Memahami intisari atau mampu
2
3
salah satu bagian kitab suci dari aliran Mahayana dalam agama Buddha
Kitab suci yang berisi tentang syair-syair kebenaran
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
meringkas, dan meneliti atau menunjukkan penyebab, 3. Cakap memilih kata atau
menggunakan bahasa yang tepat, yang mudah dimengerti dengan benar, 4. kelancaran
dalam cara penerapan atau penyesuaian dan dengan bijaksana mampu menguasai
persoalan yang timbul mendadak (Kitab Budhis. Anguttara Nikaya.ii.1604).
Merujuk pada ajaran Buddha keberhasilan pendidikan tentunya didasari dengan
perilaku yang baik, memiliki moralitas yang baik serta kebijaksanaan. Implementasinya
nilai-nilai luhur tentang karakter akan tercermin dalam perbuatan. Perbuatan (Karma)
dilakukan melalui tiga pintu yaitu: ucapan, perbuatan badan jasmani dan perbuatan
melalui pikiran.
Dari pintu karma yang pertama yaitu pikiran. Pikiran adalah sumber segala
bentuk perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Untuk itu pikiran merupakan hal yang
mendominasi untuk membentuk karakter. Pembentukan karakter melalui pikiran menurut
dalam agama Buddha bisa dilakukan dengan meditasi5. Meditasi adalah salah satu cara
untuk menjaga ketenangan. Selain itu meditasi merupakan salah satu cara untuk
mengurangi dan bahkan melenyapkan stress (Sujarwo, 2012).
Menurut praktisi meditasi (Riponche, 2008) Meditasi sebenarnya adalah sebuah
latihan yang sederhana untuk berdiam di dalam kondisi alami pikiran saat ini, dan
membuat diri hanya hadir dan jernih saat ini terhadap bentuk- bentuk pikiran, sensasi, dan
perasaan yang muncul. Mengaitkan keadaan pikiran dengan pembelajaran maka pikiran
yang penuh ketenangan akan menciptakan suasana pembelajaran yang efektif. Tentunya
ini akan berdampak pada pengontrolan diri bagi siswa untuk menjaga sikap dan perilaku
dalam setiap aktivitas.
Setiap aktivitas yang dilakukan tentunya tidak terlepas dari komunikasi.
Komunikasi yang baik dan berkarakter akan muncul dari ucapan yang berkualitas. Jika
dikaitkan dengan ucapan, terdapat empat macam ucapan yang tidak sesuai dengan
dhamma6, yaitu: 1) berdusta demi tujuannya sendiri, 2) berbicara dengan jahat, 3)
berbicara dengan kasar, mengucapkan kata-kata dengan kasar, keras, menyakitkan orang
lain, mengecap orang lain, berbatas dengan kemarahan dan tidak mengarah pada
konsentrasi, 4) seorang penggunjing (kitab Buddhis Majjhima Nikaya .i.288). Memahami
bahwa ucapan merupakan hal sangat penting dalam membentuk karakter. Untuk itu
sudah menjadi tugas pendidikan untuk mewujudkannya sehingga siswa mampu memiliki
pengendalian diri serta etika dalam berbicara.
Selanjutnya pada aspek tindakan yang dilakukan melalui badan jasmani. Segala
perbuatan harus diarahkan pada pengendalian diri serta sikap yang menunjukkan rasa
hormat. Nilai karakter ini oleh Mukti (2006: 317) bisa dilakukan dengan tiga hal yaitu:
1) Pendekatan positif : menunjukkan apa yang baik dan hasil yang menimbulkan
kebahagiaan, 2) pendekatan negatif: menunjukkan apa yang tidak baik dan hasilnya yang
menimbulkan penderitaan dan 3) gabungan pendekatan positif dan negatif. Oleh sebab
itu, untuk memunculkan nilai-nilai karakter tentu aspek pengendalian pikiran, ucapan dan
perbuatan badan jasmani merupakan hal yang sangat penting.
3. Implementasi Nilai-Nilai Buddhism dalam Aktivitas Pembelajaran
Strategi dalam pembelajaran agar anak memiliki karakter menurut (Meria, 2012)
berupa keteladanan dari pihak-pihak yang menjadi panutan bagi peserta didik,
pembiasaan pada hal-hal yang baik, pemberian nasihat secara kontinyu, pengawasan
berupa tindakan evaluatif yang dilakukan secara edukatif, serta keseimbangan antara
pemberian hukuman (punishment) dan penghargaan (reward). Selaras dengan hal itu
Kurniawan (2011: 19) menyebutkan beberapa prinsip pembelajaran yang mendasari
dalam pembelajaran antara lain: “perhatian dan motivasi, keaktifan, keterlibatan langsung
atau berpengalaman, pengulangan, tantangan, dan penguatan, dan perbedaan individual.
4
Bagian dari suta pitaka yang berisi tentang psikologi dan etika Buddhis
Melatih pikiran untuk menjadi tenang, kosentrasi, dan untuk memunculkan kebijaksanaan
6
Ajaran kebenaran
5
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
Dalam agama Buddha ada beberapa praktik yang dapat digunakan untuk
menumbuhkan nilai-nilai karakter dalam aktivitas pembelajaran. Strategi penerapan
pendidikan karakter dalam aktivitas belajar dapat dilakukan dengan melaksanakan
kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Pelaksanaan kegiatan puasa (Uposatha)
Istilah Uposatha arti harafiahnya adalah „masuk untuk berdiam (dalam keluhuran)
(Rasyid :40).‟. Maksud dari berdiam dalam keluhuran adalah menjalankan delapan
aturan moralitas pada saat pelaksanaan Uposhta. Pelaksanaan uposatha dilakukan
pada tanggan 1, 8, 15 dan 23 bulan lunar. Secara umum Uposhata sama dengan puasa
namun agama Buddha memiliki metode yang berbeda. Dalam pelaksanaanya umat
Buddha harus mematuhi delapan aturan yang disebut (atthasila)7. Delapan aturan itu
yakni, menghindari pembunuhan, pencurian, seks, pembicaran yang tidak benar
(berbohong, berbicara kasar, berbicara kotor, menggosip), menghindari minuman,
makanan yang memabukkan, makan di malam hari atau jam-jam yang tidak
diperbolehkan, menghindari penggunaan bunga dan parfum, dan menghindari tidur di
tempat yang mewah.
Terkait dengan pendidikan karakter dalam aktivitas belajar, uposatha dapat
diterapkan kepada siswa. Penerapan dimaksudkan agar siswa memiliki pengalaman
belajar religius yang baik sehingga dapat membentuk sikap, tingkah laku serta
kebiasaan baik dalam aktivitas belajar. Karakter siswa dapat terbentuk dengan
membiasakan siswa untuk dapat menjalankan sila (peraturan moral). Pelatihan ini
mengarahkan agar siswa memiliki rasa tanggung jawab, pola hidup sederhana dan
disiplin moral. Tentunya dalam pelaksanaanya perlu strategi yang baik dalam
mengenalkannya. Salah satunya dengan membuat program religius di sekolah.
Manfaat yang diperoleh melalui perenungan dan pelaksanaan uposatha ini sangatlah
besar. Harapan yang diinginkan tentunya siswa lebih bisa memiliki kejujuran,
pengendalian diri untuk tidak menyakiti sesama, dan tentunya belajar untuk hidup
dalam kesederhanaan. Hal ini jika dipraktikan tentunya akan memberikan kontribusi
bagi siswa untuk memiliki karakter yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
b. Pelatihan kegiatan meditasi
Kata „meditasi‟ berasal dari bahasa latin, meditatio, artinya hal bertafakur, hal
merenungkan; memikirkan, mempertimbangkan; atau latihan, pelajaran persiapan.
Meditasi dalam agama Buddha adalah usaha untuk melatih batin agar dapat
konsentrasi terhadap suatu objek tertentu. Meditasi dalam agama Buddha adalah
usaha konsentrasi pikiran yang diarahkan kepada objek. Salah satunya obyek sering
digunakan adalah obyek pernafasan. Buddha bersabda “Wahai para bhikkhu,
konsentrasi melalui perhatian terhadap napas ini, apabila dikembangkan dan dilatih
terus menerus, ia akan memberikan kedamaian dan keluhuran, ia adalah kediaman
luhur yang tidak palsu, dan ia menghapus dengan seketika serta menenangkan
pikiran-pikiran buruk yang merugikan begitu mereka muncul” (kitab suci Vinaya
pitaka8. iii, 70 ).
Dunia pendidikan secara umum kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan
oleh siswa maupun guru, seringkali menemui kendala dalam hal konsentrasi pikiran
terhadap materi pelajaran. Maka perlu sekali bagi siswa maupun guru untuk
berlatih meditasi agar tujuan dalam kegiatan belajar mengajar dapat tercapai.
Pada saat sekarang ini perlu adanya pembelajaran yang tidak hanya berbasis
pengetahuan, tetapi perlu juga pembelajaran dengan pengontrolan emosional. Hal
perlu dilakukan agar siswa dapat belajar dengan emosi yang baik sehingga siswa
7
8
Peraturan moralitas yang berisi delapan aturan
Kitab suci yang berisi peraturan para bhiku
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
dapat menjaga tingkat kesetresan ketika menghadapi pembelajaran yang dirasa sulit.
Memahami itu perlu tindakan untuk memberikan penguatan control emosi kepada
siswa, salah satunya dengan meditasi.
Meditasi pada prinsipnya adalah latihan pengendalian diri. Untuk itu perlu
dipraktikan. Sebelum praktik tentunya perlu pemahaman mengenai meditasi. Berikut
persyaratan dalam melakukan meditasi:
1) Persyaratan Internal Meditator
Pada umumnya orang yang ingin melatih meditasi memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a) Memiliki sīla9, yaitu tidak melakukan perbuatan buruk dan melaksanakan tugas
atau kebajikan,; sehingga membuat hati dan pikiran harmonis, mendukung dan
mempertahankan sifat-sifat baik.
b) Mendekati guru dengan cara yang benar, hormat dan percaya terhadap guru,
memberitahukan apa yang kita inginkan darinya.
c) Mempelajari objek meditasi dengan baik, objek yang bersifat umum sesuai
dengan watak praktisi.
d) Memilih tempat atau lingkungan untuk latihan meditasi, sesuai dengan watak
praktisi.
e) Mempunyai objek meditasi yang sesuai dengan watak masing-masing yang
dominan.
f) Melenyapkan rintangan-rintangan kecil, misal janji yang belum dipenuhi,
simpanan makanan, hal-hal yang menyangkut jasmani seperti rambut dan
jenggot.
2) Persyaratan Eksternal Meditator
Terdapat tujuh hal yang pantas, yang membantu seorang meditator agar ia berhasil
melaksanakan meditasinya, yaitu:
a) Tempat yang pantas, misalnya jauh dari keramaian, bebas dari gangguan,
memberi kemudahan.
b) Wilayah yang pantas, atau yang mendukung, khususnya sebagai sumber
mendapatkan makanan.
c) Pembicaraan yang pantas, seperlunya, yang baik dan berguna, menimbulkan
motivasi dan menambah pengertian tentang meditasi.
d) Orang-orang yang pantas, yaitu guru yang memberi petunjuk, teman-teman baik
yang dapat diajak berbicara mengenai Dhamma, orang yang memberi sokongan
sehingga kebutuhannya terpenuhi.
e) Makanan yang pantas, yang bermanfaat sesuai dengan watak praktisi, yang sehat,
dan melindungi jasmani dari penyakit.
f) Iklim yang pantas, tidak terlalu panas atau dingin, yang nyaman, sedikitnya
selama jangka waktu tertentu, dan udara yang baik.
g) Posisi tubuh yang pantas, apakah duduk, berdiri, berjalan atau berbaring.
Berdasarkan pengalaman, praktisi dapat menetapkan posisi yang paling
menguntungkan agar mudah memusatkan pikiran dan mempertahankannya.
3) Persiapan Meditasi
Latihan meditasi dimulai dengan pengertian yang benar, pikiran yang bersih, itikad
yang baik dan tekad yang kuat. Setelah memilih objek meditasi, praktisi
mengundurkan diri ke tempat yang tenang dan nyaman. Lingkungan yang sesuai
tidak memberi arti tanpa kesunyian dalam diri praktisi, dan tempat yang ramai bisa
jadi tidak menjadi masalah bagi mereka yang tenang pikirannya.
Pemula sebaiknya tetap bermeditasi di tempat yang sama, biasanya pagi atau
malam hari, ketika pikiran segar, aktif, dan keadaan fisik tidak lelah, tidak juga lapar.
9
Aturan moralitas
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
Lama meditasi kira-kira sepanjang waktu yang dibutuhkan oleh sebatang dupa hingga
terbakar habis, paling tidak dua puluh hingga tiga puluh menit.
4) Posisi tubuh
Pemula biasanya memilih sikap duduk bersila, kaki kanan di atas paha kiri dan kaki
kiri di atas paha kanan (sikap teratai), atau salah satu kaki di atas paha yang lain.
Kedudukan badan tegak lurus, tetapi tidak kaku dan tidak bersandar pada belakang
kursi atau pada dinding. Hidung dan pusar terletak pada satu garis yang tegak lurus
terhadap lantai. Kedua tangan diletakkan dengan santai di atas pangkuan, tangan
kanan di atas tangan kiri, bertumpu dengan ibu jari saling menyentuh.
Mata terbuka sedikit, memandang santai pada ujung hidung hingga jarak
beberapa kaki ke depan, atau boleh dipejamkan sepanjang kantuk tidak menyerang.
Lidah menyentuh langit-langit mulut dengan lembut, dan bibir terkatup rapat. Agar
terasa nyaman, tubuh tentunya harus bersih, dan pakaian longgar.
Praktisi yang memilih posisi berdiri, menempatkan kakinya sedikit renggang.
Kedua tangan di depan tubuh, tangan kanan memegang tangan kiri. Keseimbangan
tubuh harus dijaga supaya batin tenang. Meditasi cara berjalan disebut cankamana10.
Pemula berjalan perlahan-lahan agar dapat mengembangkan perhatian. Terdapat
beberapa cara berjalan:
a) Berjalan dengan menghitung langkah kaki;
b) Berjalan dengan menyadari langkah maju, mundur, ke kiri dan ke kanan.
Menyadari gerakan kaki kanan sewaktu kaki kanan melangkah, kaki kiri sewaktu
kaki kiri melangkah. Gerakan setiap tangan pada waktu berjalan juga harus
disadari.
c) Berjalan dengan menggunakan objek meditasi gambaran tubuh, seolah-olah
melihat tubuh sendiri, dan mengamati seluruh kegiatan atau gerakan tubuh.
Posisi berbaring dilakukan dengan tubuh rebah ke arah kanan, dengan kaki kiri
diatas kaki kanan. Posisi tubuh seperti ini adalah salah satu bagian dilakukan saat
Buddha Buddha Gotama di saat parinibbana. Posisi arah sebaliknya juga
dimungkinkan, yang penting bagaimana pikiran dapat diarahkan.
Sebelum bisa melakukan suatu perenungan, pikiran harus dikendalikan agar tidak
berloncatan kian kemari. Hal ini di atasi dengan membaca doa, atau memperhatikan
dan menghitung nafas. Hindari nafas yang kuat hingga terdengar oleh telinga sendiri,
atau yang dibuat-buat, embusan terlalu panjang sehingga harus cepat-cepat menarik
nafas lagi, atau bernafas terlalu pendek.
Seringkali orang hidup sebagaimana pikirannya terikat pada masa lalu atau
perubahan angan-angan masa mendatang. Bermeditasi itu melatih hidup pada saat
sekarang. Setiap orang harus sadar pada apa yang dilakukan setiap detik. Maka dalam
keadaan duduk, berdiri, berjalan, atau berbaring ia tekun mengembangkan kesadaran.
Pada prinsipnya latihan meditasi adalah latihan hidup berkesadaran. Hal ini dapat
dipraktikan dalam aktivitas belajar. Contoh pada saat akan dimulai proses
pembelajaran siswa dapat diajak terlebih dahulu bermeditasi. Pelaksanaan meditasi
tentunya jangan terlalu lama. Cukup bermeditasi selama 5 menit saja. Meditasi yang
digunakan dengan melakukan meditasi samatha bhavana11.
Tekniknya, siswa diajak untuk mengamati keluar masuknya pernafasan secara
alami. Meditasi ini akan memberikan efek rileks dan ketenangan. Pada saat pikiran
terkondisi tenang dan rileks tentunya akan memberikan efek konsentrasi dalam diri
siswa. Selajutnya untuk menjaga kestabilan praktik meditasi ini dilakukan kembali
pada akhir pembelajaran. Namun yang paling penting praktik meditasi dapat
dilakukan kapan saja dengan melihat syarat dan pemahaman mengenai meditasi.
10
11
Latihan meditasi berjalan dengan mengamati langkah kaki
Meditasi untuk memperoleh ketenangan
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
c. Pelatihan calon bhikkhu sementara (Pabbaja12)
Pabbaja dapat diartikan secara umum sebagai penahbisan. Dalam praktiknya
pabbaja merupakan praktik moralitas
yang mengendapankan disiplin dan
pengendalian diri. Hampir sama dengan praktik atthasila yang sama-sama
berhubungan dengan moralitas. Pabbaja dilakukan dengan pengambilan tekad.
Seseorang yang mengambil tekad menjadi pabbajita disebut samanera13 (laki-laki)
perempuan (samaneri). Menggunakan jubah dan menggunduli rabut. Hal ini
dilakukan untuk melakukan penyadaran terhadap badan jasmani agar mengurasi
segala bentuk kehidupan duniawi yang menimbulkan keserakahan.
Siswa yang mengikuti program ini diajarkan tentang pengetahuan umum,
pendidikan Buddhis, serta peraturan-peraturan samanera sehingga dapat mengontrol
diri dalam setiap tindakan di kelas. Keterbiasaan melaksanakan sila (aturan moral)
akan membentuk karakter siswa yang dinamis, tenang, penuh kesadaran dan
konsentrasi dalam aktivitas belajarnya. Dengan melaksanakan aturan moral (sila)
siswa akan memiliki prilaku yang baik, terjaga dari hal-hal negatif termasuk
kenakalan remaja, pergaulan bebas dan narkoba. Bahkan, praktik sila dan program
pabbaja sering digunakan untuk proses rekonstruksi mental serta prilaku siswa yang
menyimpang.
Pentingnya pelaksanaan sila dalam dunia pendidikan dapat memberikan
kontribusi positif bagi perkembangan peserta didik. Oleh sebab itu, kegiatan pabbaja
dapat memberikan kontribusi membentuk nilai karakter yang religius. Sebab, dalam
kegiatanya siswa diarahkan untuk praktik. Nilai-nilai yang muncul dari pelaksanaan
akan dapat dirasakan oleh diri sendiri, orang lain. Hal ini senada dengan penilaian
yang dilakukan oleh (Darmansyah, 2014) “Penilaian sikap dilakukan dengan empat
teknik penilaian yaitu (1) teknik observasi, (2) penilaian diri sendiri, (3) penilaian
antar teman, (4) jurnal harian”. Penilaian ini dilakukan pada pembalajaran secara
kontekstual yang tidak hanya menekankan pada aspek pengetahuan.
C. AKTIVITAS YANG BERKARAKTER
Aktivitas belajar yang berkarakter dalam Buddhism tercermin dalam pikiran serta
dapat dilihat dari ucapan dan perbuatan sehari-hari. Perilaku belajar mencerminkan
bagaimana siswa dapat mentransformasikan dirinya menjadi lebih baik. Sikap, sopan
santun, serta tingkah laku siswa dilingkungan sekolah menjadi salah satu acuan dalam
menilai karakter siswa. Terkait dengan hal itu, merupakan hal yang sangat penting
menumbuhkan rasa hormat kepada siapapun yang pantas untuk di hormati. Terlebih
menghormati para guru.
Rasa hormat bisa diwujudkan dalam suatu bentuk tindakan. Salah satunya
dengan merangkapkan kedua tangan didepan dada membentuk kuncup bunga teratai yang
biasa disebut dengan “Anjali”. Anjali sama dengan salam, dalam Budhism beranjali
dengan merangkapkan tangan didepan dada seperti kuncup bunga teratai memiliki makna
yang dalam. Bunga teratai dalam agama Buddha melambangkan kesucian dan
kebijaksanaan. Oleh karena itu seseorang yang bertemu dengan orang lain dan
memberikan salam berarti mendoakan orang lain itu untuk memiliki kesucian dan
kebijaksanaan. Buddha menjelaskan dalam Manggala Sutta14 “Tak bergaul dengan orangorang dungu, bergaul dengan para bijaksana, menghormat yang patut dihormati, itulah
berkah utama”. Petikan khotbah tersebut menunjukkan bahwa merupakan suatu berkah
jika seseorang dapat menghormati kepada orang yang pantas dihormati.
12
Latihan sementara menjadi calon bhiku dengan menjalankan 10 sila dan 75 peraturan yang
bersifat etika
13
Seseorang yang bertekad menjadi calon bhiku sementara
14
Suta tentang berkah utama
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
Selain itu, rasa hormat dapat pula ditunjukkan melalui sikap cara berbicara.
melalui ucapan seseorang dapat dilihat nilai karakternya. Ucapan merupakan aktivitas
dalam kehidupan sehari-hari dimana seseorang akan terbentuk karakternya melalui
ucapan-ucapan yang dilakukannya setiap hari. Berbicara mengenai ucapan dalam
pancasila budhis sila ke empat mengajurkan agar seseorang berlatih menghindari ucapan
yang tidak benar. Ucapan yang tidak benar yaitu: berkata bohong, berkata kasar, berkata
kotor dan pembicaraan yang tidak bermanfaat. Hal ini yang dipraktikan oleh umat
Buddha untuk melakkukan pengendalian diri. Latihan ini hanya memfokuskan pada
penghindaran yang bersifat pasif. Artinya, harus ada juga tindakan aktif dalam ucapan
agar sikap dapat terbentuk sehingga menjadi karakter yang berbudi luhur.
Tindakan aktif dalam ucapan adalah tindakan dimana seseorang itu berkata
dengan dasar kebijaksanaan. Dengan dasar inilah hendaknya seseorang berbicara dengan
bertutur kata yang lembut, menyenangkan, tanpa menyakiti. Selain itu ketika berbicara
hendaknya dapat memahami emosi lawan orang yang akan dibicara dan yang perlu
dipertimbangkan adalah situasi saat seseorang itu melakukan komunikasi. Buddha dalam
(kitab suci Majjhima Nikaya, volume 1.hal 5) mengajarkan kepada para siswa agar
berbicara sesuatu yang benar, bernilai sesuai dengan kenyataan, pada saat yang tepat,
tentang kebajikan, dan tentang ajaran kebenaran.
D. PENUTUP
Isu sentral dunia pendidikan saat ini terfokus pada isu pendidikan karakter.
Pendidikan karakter yang mewakili nilai-nilai dan budaya nusantara yang telah diajarkan
oleh para pendahulu-pendahulu bangsa. Nilai-nilai luhur inilah yang saat ini mulai
dikembangkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter dapat
dikembangkan dan diterapkan dalam aktivitas belajar siswa. Aktivitas belajar dengan
pendekatan Buddhism mengajarkan bagaimana pendidikan karakter tersebut dikaji dan
dikembangkan menurut filosofi Buddhism. Saat ini dunia pendidikan di Indonesia
memiliki pekerjaan rumah yang tidaklah mudah untuk dipecahkan. Tiga ranah pendidikan
haruslah dikembangkan secara berimbang yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Karakter pendidikan nusantara berpatokan pada pengetahuan dan religius.
Pendekatan-pendekatan pendidikan dapat di kembangkan melalui pendidikan
nilai-nilai moralitas dan spiritualitas. Pendekatan Buddhism mengajarkan bagaimana
mengelola proses pembelajaran berdasarkan praktik religius. Strategi pendidikan karakter
dalam pendekatan Buddhism mengacu pada penerapan dan pengembangan spiritual dan
moralitas yang dikemas dalam proses pembelajaran. Dengan demikian dapat diperoleh
aktivitas belajar yang diharapkan sesuai dengan nilai-nilai luhur sehingga membentuk
karakter siswa yang religius.
DAFTAR PUSTAKA
Darmansyah. (2014). Teknik Penilaian Sikap Spritual dan Sosial dalam Pendidikan
Karakter di Sekolah Dasar 08 Surau Gadang Nanggalo. Jurnal Al-Ta’Lim, 21,
10–17.
Gardner, Howard, Frames of Mind: Tbe Theory of Multipk Intelligenees, New York:
Basic Books, 1983.
Isnaini, M. (2013). Inernalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Di Madrasah. Jurnal AlTa’Lim, 1, 445–450.
Khusniati, M. (2012). Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Ipa. Jurnal Pendidikan
IPA Indonesia. Semarang: Universitas Negeri Semarang, Indonesia. Retrieved
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
from http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jpii/article/view/2140
Kartadinata, S. 2009. Mencari Bentuk Pendidikan Karakter Bangsa. Makalah. Fakultas
Ilmu Pendidikan. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
http://file.upi.edu/direktori/fip/jur._psikologi_pend_dan_bimbingan/1950032119
74121-sunarya_kartadinata/mencari_bentuk_pendidikan_karakter_bangsa.pdf. di
unduh : 28 Agustus 2013.
Meria, A. (2012). Pendidikan Islam Di Era Globalisasi. Jurnal Al-Ta‟Lim, 1, 87–92
Mukti, Krishnanda Wijaya, 2006: Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma
Pembangunan dan Ekayana Buddhist centre.
Riponche, Y. M. (2008). The Joy of Living. (K. wijaya Mukti, Ed.). Jakarta:
Karaniya.Sadharmapundarika-Sutra -The Lotus Sutra .1993. Diterjemahkan
oleh Burton Watson. New York: Columbia University Press
Sujarwo, I. K. (2012). Buddhisme dan Sains (edisi 1). Bandung: PVVD.
Rashid Teja S. M, Drs. Sila dan Vinaya. Jakarta: Buddhis Bodhi. 1997 Edi Susanto
Gimin, B. A (Hons). Kisah dan Keajaiban
The Word of the Doctrine (Dhammapada). Terjemahan Norman, K.R. 2000.Oxford: Pali
Text Society.
The Middle Length Sayings (Majjhima Nikaya) Uparipannasa Volume III. Terjemahan
Horner, I.B. (Trnsl.). 1990. Oxford: Pali Text Society.
The Book of the Gradual Sayings (Anguttara-Nikāya) Volume III, Terjemahan Hare,
E.M. 1988. Oxford: Pali Text Society
Wibowo, Agus. 2013. PENDIDIKAN KARAKTER DI PERGURUAN TINGGI. Pustaka
Belajar: Yogyakarta
Download