unsur-unsur arsitektur kolonial pada masjid cipari garut

advertisement
UNSUR-UNSUR ARSITEKTUR KOLONIAL PADA MASJID CIPARI
GARUT
Tawalinuddin Haris, M.S. dan Dimas Seno Bismoko S.Hum
Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok 16424
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Masjid Cipari merupakan bangunan pada masa periode kolonial yang ada di kota Garut yang berasal dari awal abad 20
atau tepatnya tahun 1936 yang terelatak dikawasan Pesantren Cipari. Metode yang digunakan adalah membandingkan
bangunan ini dengan bangunan yang memiliki arsitektur, fungsi dan masa yang sama. Berdasarkan hasil analisis dapat
diketahui bahwa bangunan masjid ini memiliki berbagai macam bentuk gaya lokal dan asing yang ada pada bentuk
bangunannya. Pengaruh unsur arsitektur kolonial pada bangunan ini lebih dominan dibandingkan dengan unsur
lokalnya. Unsur arsitektur kolonial yang berpengaruh adalah nieuwe bouwen. Dengan demikian dari analisis diperoleh
bahwa bangunan Masjid Cipari merupakan salah satu bangunan berarsitektur kolonial pada abad ke 20.
Architectural Elements of Colonial At Masjid Cipari Garut
Abstract
Cipari mosque is a building during the colonial period in the city of Garut derived from the early 20th century, or rather
the 1936 at Pesantren Cipari region. The method used is to compare this building with a building that has the
architecture, functionality and the same period. Based on the results of the analysis can be seen that the building of this
mosque has various forms of local and foreign styles that exist in the form of the building. Influenced by the colonial
architecture in this building is more dominant than the local elements. Influential elements of colonial architecture is
nieuwe bouwen. Thus from the analysis is that the building is a mosque Cipari buildings colonial architecture in the
20th century.
Keywords: Cipari Mosque, Colonial Architectural Elements, Nieuwe Bouwen
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Di beberapa tempat di Nusantara, dapat kita
temukan benda-benda tinggalan arkeologis yang telah
ada sejak lama. Benda-benda tinggalan tersebut
merupakan hasil budaya bangsa, salah satu hasil
budaya bangsa tersebut terwujud dalam sebuah
bangunan. Bentuk bangunan yang ada di Nusantara
jenisnya beranekaragam, salah satunya adalah
bangunan sakral atau bangunan yang digunakan
sebagai
tempat
peribadahan
masing-masing
penganutnya yaitu masjid. Bangunan sakral yang akan
di bahas pada tulisan ini adalah bangunan Masjid
Cipari.
Masjid Cipari merupakan salah satu bentuk
bangunan dari periode Kolonial yang terletak di
Kampung Cipari Desa Babakan Cipari Kecamatan
Pangatikan Kabupaten Garut. Secara keseluruhan
masjid terbuat dari beton dan pada bagian bawah
masjid terbuat dari batu kali. Memiliki denah persegi
panjang. Pada bagian belakang masjid (timur) terdapat
sebuah menara yang menempel langsung dengan
bangunan induknya. Masjid ini menggunakan atap
berbentuk limasan pada bangunan induknya,
sedangkan pada menara masjid menggunakan atap
1 Universitas Indonesia Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
2 kubah. Pada bagian dalam bangunan, berbentuk
memanjang seperti ruang kosong dan sebuah mimbar
yang terdapat di bagian barat ruangan. Pada bagian
dalam tidak terdapat tiang-tiang/kolom penyangga
atap. Tidak terdapat pembatas ruang shalat antara pria
dan wanita. Masjid tidak memiliki serambi di kanan
dan kiri bangunan. Pada sisi Timur masjid terdapat
ruang tambahan yang digunakan sebagai ruangan
serbaguna. Di sebelah timur ruangan serbaguna,
terdapat sebuah kelas Pondok Pesantren. Kedua
ruangan yang berada di sebelah timur masjid,
merupakan bangunan baru.
Keunikan dari Masjid Cipari ini terletak pada
bentuknya yang berbeda dari Masjid Jawa Kuno
umumnya. Masjid Jawa kuno umumnya memiliki
bentuk. Ciri-ciri tetap yang terdapat pada bangunan
masjid adalah, Masjid itu memiliki bentuk dasar denah
persegi; Tidak berdiri di atas tiang-tiang seperti langgar
di Jawa, rumah tinggal di Indonesia yang kuno, tajug di
daerah Sunda, dan bale di daerah Banten, tetapi berdiri
diatas fondasi padat yang agak tinggi; mempunyai atap
meruncing, yang terdiri dari 2 sampai 5 tingkat yang
meruncing ke atas; Di sisi Barat atau Barat Laut ada
bangunan menonjol untuk mihrab; Di bagian depan dan
kadang-kadang di kedua sisinya, ada serambi yang
terbuka atau tertutup; Halaman sekitar masjid
dikelilingi oleh tembok dengan satu atau dua pintu
gerbang. Sedangkan ciri khas bangunan masjid Jawa
ialah bahwa masjid tersebut dibangun di sebelah Barat
alun-alun, sebuah lapangan persegi. Salah satu dari
enam ciri yang khas masjid Jawa adalah sebuah
lapangan terbuka di sekeliling masjid yang dibatasi
tembok, dengan pintu gebang di bagian depan.
Temboknya selalu rendah, terkadang tidak lebih tinggi
dari setengah meter, pada masjid baru pagar tembok
biasanya diubah dengan menggunakan pagar besi atau
batu (Pijper, 1984: 15-16).
Alasan membandingkan Masjid Cipari dengan
Masjid Jawa Kuno adalah karena pada umumnya
masjid yang ada di Indonesia dibangun dengan
mengacu kepada bentuk Masjid Jawa Kuno, namun
berbeda halnya dengan Masjid Cipari yang tidak
mengacu kepada bentuk Masjid Jawa Kuno. Masjid
Cipari lebih mengacu kepada gaya bangunan kolonial
dibandingkan dengan bangunan masjid umumnya.
Masjid ini bukanlah sebuah bangunan alih fungsi dari
bangunan lain, yang fungsinya benar-benar digunakan
sebagai bangunan peribadatan masyarakat muslim yang
memiliki bentuk yang berbeda.
1.2 Permasalahan Penelitian
Dari penjelasan di atas mengenai perbedaan
serta keunikan yang terkandung pada Masjid Cipari,
dapat diambil sebuah permasalah penelitian mengenai
bentuk dan gaya yang terdapat pada Masjid Cipari
memperlihatkan adanya unsur asing pada bentuk
bangunanya. Unsur-unsur tersebut tidak hanya terpaut
oleh satu unsur bangunan saja, bahkan sebuah
bangunan bisa memiiki lebih dari satu unsur bangunan.
Unsur-unsur tersebut membentuk suatu kesatuan yang
menjadikan sebuah bangunan menjadi terlihat indah.
Dengan mengetahui bentuk Masjid Cipari secara
keseluruhan, kita dapat melihat unsur-unsur yang
berbeda dengan masjid pada umumnya. Masjid Cipari
memiliki unsur kebudayaan eropa dengan bentuk dan
material yang dimilikinya, maka dengan demikian
dapat diambil permasalahan penelitian sebagai berikut:
Apa saja pengaruh kebudayaan kolonial dan lokal yang
ada di Masjid Cipari ?.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
melihat pengaruh-pengaruh
unsur-unsur arsitektur
Kolonial yang terdapat pada bangunan Masjid Cipari
ini. sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa Masjid
Cipari lebih mengarah kepada kebudayaan kolonial
atau lokal dengan unsur-unsur budaya yang terkandung
di dalamnya dan bermanfaat sebagai tambahan
pengetahuan atau masukan ilmu pengetahuan baru
mengenai Masjid Cipari serta unsur-unsur asing atau
kolonial yang terdapat di dalam bangunan masjidnya
dan juga dapat dijadikan sebagai sumber referensi bagi
peneliti yang ingin melakukan penelitian sejenis.
1.3 Metode
Menurut Sharer dan Ashmore untuk
mempelajari masa lalu, arkeologi mencoba untuk
menjawab sebuah masalah penelitian dengan
menggunakan beberapa tahapan metode yakni
pengumpulan data, pengolahan data, dan penafsiran
data dari rekaman data arkeologi yang digunakan untuk
menjawab sebuah permasalahan arkeologi (Sharer,
2003: 15).
Tahap pengumpulan data dilakukan dengan
dua cara, yaitu dengan melakukan studi pustaka dan
studi lapangan. Studi pustaka dilakukan dengan cara
mengumpulkan data baik yang berhubungan langsung
dengan objek maupun data yang tidak berhubungan
langsung dengan objek. Melakukan studi lapangan
dengan cara meninjau secara langsung bangunan
masjid. dalam peninjauan secara langsung kelapangan
dilakukan deskripsi secara menyeluruh. Pendeskripsian
secara menyeluruh dimulai dengan mendeskripsikan
bangunan induk serta komponen-komponen yang
terdapat didalamnya.
Langkah selanjutnya adalah tahap pengolahan
data. Dalam tahap ini, seluruh data yang didapatkan
dari data kepustakaan maupun data yang didapatkan
dari studi lapangan disatukan. Dari data yang
terkumpul ini dicoba untuk melakukan pendeskripsian
secara menyeluruh dan lebih detail mengenai
komponen-komponen bangunan yang ada pada Masjid
Universitas Indonesia Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
3 Cipari sehingga didapatkan data yang lebih akurat yang
berupa denah, foto/gambar, ukuran dan kondisi.
Setelah melakukan pendeskripsian dan
penganalisisan tahap selanjutnya adalah tahap
penafsiran. Penafsiran dilakukan dengan cara
membandingkan bangunan Masjid Cipari dengan
bangunan Masjid Agung Manojaya yang berada di
Tasikmalaya yang sama-sama memiliki arsitektur
kolonial. Sehingga dari persamaan-persamaan maupun
perbedaan antara kedua bangunan tersebut dapat
diketahui unsur-unsur budaya pada bangunan Masjid
Cipari. Selain itu Masjid Cipari dibandingkan pula
dengan bangunan kolonial, yaitu Gereja Santo Yosef.
Gereja ini dipilih karena memiliki kemiripan bentuk
dengan Masjid Cipari sehingga dapat diambil
perbandingan. Setelah membandingkan Masjid Cipari
dengan kedua bangunanan tersebut, tahap selanjutnya
adalah melihat unsur lokal dan asing yang ada pada
Masjid Cipari, sehingga dapat diketahui gaya yang
membentuk Masjid Cipari. Alasan diambilnya kedua
bangunan tersebut sebagai data pembanding adalah
karena
kedua
bangunan
tersebt
memiliki
zaman/periode yang sama yaitu pada awal abad ke-20,
selain itu memiliki fungsi yang sama sebagai tempat
peribadahan dan kedua bangunan ini memiliki
komponen-komponen bangunan yang hampir serupa
dengan Masjid Cipari.
2. Sejarah
Masjid Cipari berdiri pada tahun 1936
dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda atas
prakarsa K.H. Yusuf Taudziri, seorang ulama besar di
daerah Garut. Didirikan oleh tokoh-tokoh Pesantren
Cipari dan Syarikat Islam. Arsitek bangunan masjid ini
adalah seorang Belanda yang tidak disebutkan
namanya dan perancang bangunan ini adalah Ir.
Abikoesno. Abikoesno merupakan salah satu anggota
Syarikat Islam. Masjid ini didirikan sebagai pelengkap
Pesantren Cipari yang sudah ada sejak 1895. Selain
fungsi utamanya sebagai bangunan peribadatan, Masjid
Cipari juga memiliki fungsi lainya. Masjid ini pernah
dijadikan sebagai tempat pendidikan santri sebagai
pejuang kemerdekaan. Masjid ini digunakan sebagai
tempat berdirinya Partai Syarikat Islam (PSII) cabang
Garut. Setelah berdirinya PSII masjid ini digunakan
sebagai tempat latihan berperang dan pertahanan. Pada
masa kemerdekaan, fungsi dari bangunan masjid ini
digunakan sebagai basis latihan tentara pejuang. Pada
zaman pembrontakan Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia (DI/TII) masjid ini dijadikan sebagai tempat
perlindungan para pengungsi dan perawatan bagi
pasukan yang terluka. Pada masa G30S/PKI masjid ini
digunakan sebagai tempat perjuangan melawan PKI,
pertahanan dan perlindungan dan dapur umum
(Nuralia, 2008: 31-32).
3. Deskripsi Masjid Cipari
Masjid Cipari terletak di Kampung Babakan Cipari
Desa Cipari Kecamatan Pangatikan Kabupaten Garut.
Secara astronomis terletak pada koordinat 07°09'10,3"
dan 107°59'40,8" BT. Bangunan masjid tepatnya
terletak di tengah-tengah pemukiman penduduk.
Kampung Cipari berbatasan dengan daerah-daerah
lainya yaitu, pada sisi Utara berbatasan dengan
Kampung Pinggirsari dan Kampung Tegalkiang
Kecamatan Sukawening, Sebelah Selatan berbatsana
dengan Kampung Babakan Cipari dan Kampung
Cileuwi Kecamatan Pangatikan, Sisi Barat berbatasan
dengan Pasar Karangsari Kampung Cimaragas dan
persawahan Kecamatan Pangatikan dan sisi Timur
berbatasan dengan Persawahan dan makam Kecamatan
Sukawening (Nuralia, 2008: 23).
Masjid ini dikelilingi oleh Rumah-rumah
penduduk pada bagian Utara, Selatan dan Timurnya
sedangkan pada sebelah Barat dengan bangunan
Sekolah. Pintu gerbang atau pintu masuk Pesantren
Cipari ini berada di sebelah barat. Lingkungan
pesantren ini dibatasi dengan persawahan di sebelah
Utara dan Selatanya, di sebelah Barat berbatasan
dengan jalan. Letak Pesantren Cipari berada di sebelah
Utara bangunan masjidnya sedangkan rumah para kiyai
menyebar di sebelah Utara, Selatan dan Barat
bangunan masjid.
Gambar 1 Denah keletakan Masjid Cipari terhadap
kompleks pesantren
Kondisi masjid masih utuh, terdapat beberapa
bagian yang telah diubah maupun ditambah sesuai
dengan kebutuhan. Beberapa bangunan tambahan pada
masjid ini, seperti tempat wudhu yang berada pada sisi
Utara masjid, ruang serbaguna dan ruang kelas yang
berada pada sisi Timur. Pintu masjid ini sudah di ubah
karena pintu lamanya sudah lapuk. Kaca nako pada
bagian menara yang terdapat di lantai dua pecah di
Universitas Indonesia Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
4 bagian bawahnya, selebihnya bangunan masjid ini
masih sama. Perubahan atau perenofasian hanya
sebatas pengecetan ulang bangunan, penggantian kaca
jendela, penambahan kanopi pada jendela bagian
bawah dan penggantian pintu. Namun beberapa bagian
belun mendapatkan perbaikan seperti kaca nako yang
terletak di menara lantai dua.
Masjid ini memiliki beberpa bagian ruangan.
Ruang utama atau ruang yang dipakai buat shalat,
sebuah mimbar yang letaknya berada pada bagian
Barat masjid yang menjorok keluar, tempat wudhu
yang letaknya berada di bagian utara bangunan,
letaknya menempel pada bagian luar bangunan induk..
Kemudian pada bagian menara yang letaknya
menempel pada bagian Timur bangunan masjid,
terdapat dua buah ruangan yang terletak di sebelah
Utara dan Selatan menara, kedua bangunan ini
menempel pada menara dan bangunan induk. Pada sisi
Timur masjid terdapat bangunan serbaguna dan ruang
kelas, namun kedua bangunan ini tidak akan dibahas
dalam tulisan, sebab kedua bangunan ini merupakan
bangunan yang baru, tidak sekuno bangunan
masjidnya.
belakang dengan Masjid Jawa Kuno yang
menggunakan tembok sebagai pagar kelilingnya.
Pada Masjid Cipari ini, terdapat tiga buah
bangunan yang letaknya saling menempel. Bangunan
masjid digunakan sebagai tempat untuk sarana
beribadah dan kegiatan keagamaan lainya. Pada sisi
Timur terdapat bangunan serbaguna. Sesuai dengan
namanya bangunan ini hanya digunakan jika sewaktuwaktu ada acara maupun hal lainnya yang berhubungan
dengan keagamaan. Di sisi Timur bangunan serbaguna
terdapat sebuah kelas bagi para santri. Bangunan ini
digunakan para santri untuk memperdalam ilmu agama.
Bentuk bangunan induk ini berbeda dengan
bentuk masjid pada umumnya. Bangunan ini
menyerupai sebuah benteng pertahanan yang
memanjang dari Barat ke Timur. Awalnya masjid ini
dibangun sebagai sebuah bangunan pelengkap
pesantren, namun pada kenyataanya bangunan ini
dijadikan sebuah benteng pertahanan warga sekitar dari
bangsa kolonial. Tidak diketahui secara pasti apa yang
menyebabkan terbentuknya bangunan masjid yang
memiliki bentuk yang berbeda.
Foto 1 Bangunan Masjid Cipari
Gambar 2 Denah Masjid Cipari
Masjid ini tidak memiliki halaman atau pagar
keliling yang melindunginya. Pagar keliling bangunan
ini adalah perumahan penduduk yang berada di sebelah
Utara, Selatan dan Timur sedangkan pada bagian Barat
bangunan sekolah seperti yang terlihat pada gambar 1.
Dengan kata lain halaman masjid ini langsung
berhubungan dengan bangunan-bangunan yang
mengelilinginya. Betuk pagar seperti ini bertolak
Denah pada Masjid Cipari berbentuk persegi
panjang yang memanjang dari Barat ke Timur.
Bangunan masjid memiliki ukuran 30x10m dengan
ketinggian 8m yang keseluruhan berupa tembok beton.
Ruang shalat, memiliki bentuk yang memanjang tanpa
sekat atau pawestern sebagai pembatas antara ruang
shalat pria dan wanita. Pada sisi Barat terdapat
bangunan yang menjorok keluar yang digunakan
sebagai mihrab. Masjid ini menggunakan fondasi masif
yang mengelilinginya. Atap masjid ini tidak ditopang
dengan tiang-tiang melainkan dengan tembok-tembok
keliling yang tinggi dan tebal.
Fondasi masif pada masjid Cipari terbuat dari
batu kali yang disusun yang mengelilingi seluruh
bagian masjid. Susunan batu kali ini memiliki
ketinggian dari permukaan tanah 170cm yang
mengelilingi bangunan masjid. Kaki pada bagian
Universitas Indonesia Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
5 Timur bangunan menempel langsung dengan ruang
serbaguna, tinggi susunan batu kali pada bagia timur
70cm. pada bagian timur ini ketinggian masjid
ditinggikan 1m.
Di sekeliling tembok bangunan masjid
terdapat pelipit geometris yang sangat banyak yang
menyebar hampir di seluruh bagian bangunan. pada
bagian atas dinding bangunan terdapat bagian-bagian
yang ditinggikan dan direndahkan sebagai hiasan, yang
diberi pelipit yang mengikuti naik turunya tembok
seperti yang terlihat pada foto1.
Ruang dalam pada masjid ini berbentuk
persegi panjang yang berorientasi dari Barat-Timur.
Tidak terdapat sekat pada ruangan ini, hanya berupa
ruangan besar seperti ruangan kelas yang pada bagian
Baratnya terdapat Mihrab sebagai tempat imam
memimpin shalat. Ruangan ini dapat dimasuki dari tiga
buah pintu yang terdapat pada masjid ini. Ruangan ini
cukup luas yang dapat menampung banyak orang pada
bagian dalamnya. Tidak terdapat tiang-tiang penopang
langit-langit pada bangunan ini, bangunan ini hanya
ditopang dengan tembok-tembok masjid yang
mengelilinginya. Bentuk mihrab pada masjid ini sangat
sederhana dan kecil berdenah persegi panjang yang
memang hanya difungsikan sebagai tempat imam
shalat. Mihrab pada bangunan masjid ini hanya
berukuran 3x1,5m dengan ketinggian 3m. Pada bagian
tengah dinding mihrab terdapat sebuah ventilasi kecil.
Di bagian kiri mihrab terdapat mimbar berupa bangku
dan meja yang terbuat dari kayu yang dapat dipindah
sewaktu-waktu. Pada bagian bagian kanan dan kiri
mihrab tidak terdapat ruangan yang biasanya
digunakan sebagai tempat pengurus masjid beristirahat.
Atap pada bangunan
Masjid Cipari ini
memiliki bentuk limasan. Atap limasan merupakan
atap dengan empat bidang miring yang pada bagian
atasnya saling bertemu. Bentuk seperti ini banyak
digunakan pada rumah-rumah tinggal. Atap seperti
sangat cocok digunakan pada wilayah yang beriklim
tropis seperti Indonesia. Dengan atap seperti ini, air
hujan yang turun otomatis akan langsung turun
kebawah dan tidak tertahan pada bagian atas.
Atap masjid ini memiliki empat sisi, dengan
sisi utara dan selatanya lebih panjang daripada sisi
bagian barat dan timur. Atap masjid ini terbuat dari
genteng berwarna oranye, dan disekeliling atap ini
dikelilingi tembok beton. Atap seperti ini ditopang oleh
kerangka atap membentuk kuda-kuda sebagai penahan
atap yang terbuat dari kayu. Tembok beton tidak terlalu
besar hanya terlihat sebagai penghalang air hujan.
Hujan yang turun tidak langsung jatuh kebawah
melalui genteng, air hujan akan tertahan diatas untuk
selanjutnya mengalir melalui pipa pembuangan. Tinggi
tembok beton 30cm dengan panjang temboknya sekitar
1,5m, yang bentuknya selang seling naik dan turun
setiap 2m, yang membuat masjid ini terlihat seperti
sebuah kastil. Kondisi atap pada bangunan masjid ini
masih tampak bagus dan tidak terdapat kerusakan
walaupun hanya terbuat dari genteng, sedangkan atap
bagian menara memiliki bentuk kubah, yang terbuat
dari beton dengan warna emas. Bentuk atap kubah pada
menara masjid ini hampir sama dengan bentuk-bentuk
atap kubah masjid lainya hanya terdapat sedikit
tambahan ornamen pada bagian badanya. Salah satu
masjid yang menggunakan atap kubah di Garut adalah
Masjid Agung Garut. Pada bagian dalam atap kubah ini
hanya berupa ruangan kosong yang terdapat tangga
terbuat dari kayu untuk menuju lantai paling atas.
Terdapat empat buah jenis jendela, jendela
dengan bingkai kayu serta panil-panil kaca, fixed
window, jendela tanpa kaca dan jendela nako. Pada
bangunan induk secara keseluruhan terdapat 44 buah
jendela, yang disetiap bagian Utara dan Selatannya
terdapat 20 buah sedangkan pada bagian Barat terdapat
4 buah. Sedangkan untuk masing-masing barisnya
terdapat 10 jendela. Beberapa jendela pada bagian
bawah diberikan kanopi yang terbuat dari besi dengan
atap asbes. Jendela bagian bawah memiliki ukuran
120x60 cm sedangkan pada bagian atas memiliki
ukuran 100x60 cm. Jendela pada bangunan induk dan
pada bangunan menara juga memiliki ukuran yang
berbeda.
Sedangkan pada menara, jendela pada masingmasing lantai memiliki ukuran dan jumlah yang
berbeda-beda. Letak jendela pada bagian menara hanya
berada di lantai satu hingga lima. Pada lantai satu
terdapat dua buah Jendela yang bentuknya serupa
dengan kaca pada bangunan induk dengan ukuran
120x60 cm dengan bingkai dan panil-panil kaca. Pada
lantai dua terdapat tiga buah jendela. satu buah jendela
nako pada bagian tengah yang mengarah kebagian
Timur masjid yang terhalang oleh bangunan serbaguna
dengan ukuran 132x80cm. Kondisi jendela nako ini
sudah mengalami kerusakan yang pada beberapa
bagian kacanya telah pecah. Pada ruang istirahat dan
gudang lantai dua terdapat jendela kecil berukuran
60x50 cm, kedua kaca ini terbuat dari kaca dan kusen
kayu serta dua panil horizontal pada bagian kacanya
yang memiliki satu daun jendela. Pada lantai tiga
terdapat tiga buah jendela, Jendela pada dinding Utara
dan Selatan memiliki ukuran yang sama dengan ukuran
140x125cm namun tidak terdapat kaca pada jendela ini
dan bagian luarnya tertutup oleh genteng, sedangkan
jendela pada dinding Timur memiliki ukuran yang
lebih kecil dan memiliki kaca dengan ukuran
132x80cm. Pada lantai empat terdapat empat buah
jendela yang masing-masing memiliki ukuran yang
sama dengan ukuran 132x80cm yang merupakan
jendela mati. Jendela dinding Utara, Selatan dan Barat
memiliki balkon kecil. Pada lantai kelima terdapat
empat buah jendela yang memiliki ukuran yang sama
dengan lantai empat, namun tidak terdapat balkon
pada bagian luarnya.
Bentuk lobang angin yang terdapat pada
Masjid Cipari memiliki bentuk yang serupa dengan
cara kedua. Bentuk lobang angin seperti ini terdapat
Universitas Indonesia Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
6 pada tiap deretan jendela bagian atas yang masingmasing jendela tersebut terdapat lubang angin yang
berada pada bagian atasnya. Selain itu lubang angin
seperti ini juga terlihat pada dinding sebelah timur
yang posisinya berada di kanan dan kiri pintu masuk.
Lubang angin ini juga terdapat pada lantai dua
bangunan menara. Lubang angin pada bagian ini
berhubungan langsung dengan bagian dalam bangunan
masjid.
Pada masjid ini, terdapat tiga buah pintu
masuk. pintu utama letaknya terdapat pada bagian
Utara dan Selatan bangunan, sedangkan pintu lainya
berada pada bagian timur bangunan yang letaknya
menempel dengan bangunan menara. Ketiga pintu
terbuat dari kayu dan kaca. Ketiga pintu ini langsung
berhubungan dengan ruangan utama masjid. Ketiga
pintu memiliki ukuran yang sama dan letaknya
menjorok kedalam. pintu masuk utama (Utara dan
Selatan) diapit oleh dua buah pilar di bagian kanan dan
kirinya yang terbuat dari beton. Pada bagian atas pintu
terdapat plafon yang terbuat dari beton. Ketiga pintu ini
terbuat dari bahan kayu dan kaca yang masing-masing
memiliki ukuran 2x1m. Pintu pada bagian Timur
berhubungan lansung atau menempel dengan menara.
Pada ketiga pintu ini, tidak terdapat ornamen atau
hiasan, ornamen garis-garis horizontal hanya terdapat
pada tembok-tembok luar pintu. Untuk memasuki
ruangan masjid melalui pintu Utara dan Selatan
terdapat lima buah anak tangga yang terbuat dari tegel
berwarna abu-abu. Lantai anak tangga memiliki bentuk
yang serupa dengan lantai bagian dalam masjid dengan
ukuran 20x20cm. Lantai pada bagian dalam dilapisi
dengan karpet masjid. Pada Masjid Cipari lantai tidak
memiliki motif hias. Kondisi keseluruhan lantai pada
masjid ini tidak terlihat sepenuhnya karena tertutup
oleh karpet masjid, yang terlihat hanya sebagian kecil
di dekat pintu dan anak tangga.
Plafon merupakan sebuah bagian langit-langit
dari sebuah ruangan yang berhubungan langsung
dengan atap. Plafon pada Masjid Cipari ini berbentuk
datar dengan warna putih pada plafon ini terdapat
ornamen berbentuk garis-garis tibul dengan pembagian
yang simetris yang membentuk persegi merupakan ciri
lokal. Pada plafon masjid tidak terdapat hiasan dan
hanya terdapat dua buah lampu gantung. Plafon pada
ruangan lain masjid ini hanya merupakan plafon biasa
yang tidak terdapat motif hias.
Ornamen yang menonjol pada Masjid Cipari
lebih berbentuk pelipit pipih geometris. ornamenornamen seperti ini dapat dilihat pada bagian bangunan
induk masjid pada sisi tembok luar, pada menara dan
pada plafon ruang dalam. Pada bagian dinding elemen
geometris ini sangat terlihat dominan karena ornamen
ini hampir terdapat diseluruh bagian dinding yang bisa
dilihat pada foto 1.
Menara pada masjid ini terdiri dari tujuh lantai
dan masing-masing lantai memiliki ruangan dan fungsi
yang berbeda-beda. Menara berbentuk segi delapan
yang tegak lurus ke atas. Pada setiap lantai terdapat
tangga yang terbuat dari kayu, tangga ini berukuran
kecil hanya dapat dilewati satu orang. Di setiap lantai
dilapisi dengan karpet bewarna hijau. Beberapa lantai
memiliki jendela yang memiliki ukuran yang berbedabeda. Pada menara terdapat atap berbentuk kubah yang
terbuat dari beton dengan warna emas, seperti kubahkubah pada masjid lainya. pada bagian kemuncak
diberi hiasan bulan sabit dan bintang yang terbuat dari
aluminium, bertangkai besi berbentuk memanjang
vertikal.
Foto 2 Menara Masjid Cipari
Lantai pertama hanya merupakan sebuah
ruangan dengan lebar sebesar 4x3m dengan ketinggian
sekitar 2,5m. pada ruangan ini terdapat sebuah tangga
untuk menuju kelantai dua. Ruangan ini digunakan
sebagai gudang, hampir sama dengan ruangan yang ada
di sebelahnya namun ruangan yang satu tidak terdapat
tangga untuk mencapai lantai selanjutnya.
Gambar 3 Denah lantai satu
Lantai kedua terdapat tiga ruangan, ruangan
pertama adalah sebuah ruangan yang digunakan
sebagai tempat barang, ruangan ini juga berhubungan
langsung dengan ruangan di sebelahnya. Ruangan ini
berukuran 3x2,5m dengan ketinggian 2m. Lantai pada
ruangan ini lebih rendah ruangan disebelahnya.
Universitas Indonesia Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
7 Gambar 4 Denah lantai dua
Lantai ketiga hanya berupa ruangan kosong
dengan tangga untuk menuju lantai selanjutnya yang
berukuran 3x4m. Pada lantai tiga ini terdapat tiga buah
jendela. Dua buah jendela dengan ukuran yang cukup
besar yang pada bagian Utara dan Selatannya yang
pada bagian luarnya ditutupi oleh genteng atap masjid.
Ukuran jendela ini 140x125cm, jendela dengan ukuran
seperti ini hanya terdapat di lantai ketiga. Tidak
terdapat kaca pada jendela ini, hanya kusennya saja
yang terbuat dari kayu. Pada bagian Timur terdapat
jendela yang memiliki ukuran lebih kecil yang terbuat
dari kusen kayu dan kaca yang memiliki ukuran
132x80cm yang dapat dibuka maupun ditutup. Dari
hasil wawancara dengan pengurus masjid, pada masa
perjuangan jendela ini digunakan sebagai tempat untuk
membidik musuh dari balik genteng yang menutupi
jendela.
Ruang pada lantai lima memiliki denah
berukuran 2x2,5m. pada lantai ini terdapat tangga yang
terbuat dari kayu untuk menuju lantai selanjutnya.
lantai ini hanya merupakan ruangan kosong. Pada
dinding lantai lima ini terdapat empat buah jendela
berbentuk persegi panjang yang memiliki ukuran yang
sama. Jendela pada dinding lantai ini sama dengan
jendela pada ruang lantai empat yaitu 132x80cm yang
terbuat dari kaca dan kusen beton yang merupakan
jendela mati.
Gambar 7 Denah lantai lima
Lantai enam memiliki ukuran 2x2m. Pada
lantai ini terdapat tangga naik yang terbuat dari bambu
untuk menuju lantai tujuh. Lantai ini merupakan
ruangan kubah. tidak terdapat apa-apa pada ruangan ini
dan hanya merupakan ruangan kosong. Tidak terdapat
jendela pada ruangan ini sebagai keluar masuknya
cahaya, hanya terdapat fentilasi kecil pada bagian
dinding-dindingnya.
Gambar 5 Denah lantai tiga
Lantai keempat hanya berupa ruangan kosong
dengan tangga untuk menuju lantai berikutnya dengan
2,5x3m. terdapat empat buah jendela yang berbentuk
persegi panjang dengan ukuran 132x80cm yang tidak
dapat dibuka dan ditutup karena merupakan jendela
mati. Letak jendela ini berada pada masing-masing
tembok yang berbentuk persegi. Pada dinding lantai
empat terdapat jendela yang memiliki balkon yang
dibatasi pagar pembatas yang terbuat dari baja. ukuran
balkon ini tidak terlalu besar dan tidak dapat dimasuki
orang.
Gambar 8 Denah lantai enam
Lantai ketujuh merupakan puncak dari menara
dengan ukuran kecil hanya muat untuk satu-dua orang
dengan ukuran sekitar 1x1m. Untuk memasuki lantai
ini terdapat sebuah pintu kecil yang terbuat dari baja,
pintu ini bisa dibuka maupun ditutup agar pada musim
hujan air tidak dapat masuk. Pada lantai tujuh,
lantai/pijakan terbuat dari plat baja yang dikelilingi
balkon untuk duduk yang terbuat dari plat baja. Pada
lantai ini terdapat pengeras suara yang berfungsi untuk
mengumandangkan adzan maupun pemberitahuan
mengenai sesuatu.
Gambar 6 Denah lantai empat
Universitas Indonesia Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
8 Gambar 9 Denah lantai tujuh
Hampir setiap ruangan yang terdapat pada
masing-masing lantai tidak memiliki fungsi, hanya
ruangan pada lantai satu dan ruangan pada lantai dua
saja yang memiliki fungsi. Pada lantai satu terdapat dua
buah ruangan yang fungsi dari masing-masing sebagai
gudang. Pada lantai dua ruangan paling Selatan
memiliki fungsi sebagai tempat beristirahat. Sedangkan
fungsi ruangan pada lantai-lantai dan ruangan
selanjutnya tidak jelas dan kebanyakan hanya
digunakan sebagai ruangan kosong. Lantai pada
menara terbuat dari kayu sehingga langit-langit pada
menara berupa sebuah barisan kayu. Tangga naik
terbuat dari kayu yang memiliki pegangan sedangkan
pada tangga lantai enam menuju lantai tujuh tidak
memiliki pegangan.
4. Analisis
4.1 Gaya Bangunan Asing
Pada awal abad 20 di Hindia Belanda muncul
berbagai gaya arsitektur modern yang di bawa dari
Eropa diantaranya Imperium, Art Deco, Art Nouveau,
De Stijl dan Amsterdam School. Gaya-gaya ini
memiliki cirinya masing-masing. Imperium memiliki
ciri gaya arsitektur Eropa yang dipadukan dengan
arsitektur Yunani dan Romawi klasik. Bentuknya
digambarkan dengan penggunaan tiang-tiang seperti
ionik dan hiasan-hiasan yang rinci pada bangunanya
(Nas, 2009: 173).
Art Deco menunjukan kesan mewah dan
romantisme pada bentuk bangunannya, pemakaian
bahan dasar yang langka serta mahal yang jarang
digunakan pada gaya lain, memiliki bentuk yang masif,
kuat dan kokoh yang dapat bertahan lama,
menggunakan atap datar dan lain-lain yang
menggambarkan kemegahan dari sebuah bangunan. Art
Nouveau ditandai dengan hiasan organik yang
berbentuk sulur-suluran, tanaman maupun bunga yang
menggambarkan bahwa seni menjadi bagian kehidupan
sehari-hari. Intinya seni ini lebih menekankan pada
bentuk organik dengan dekorasi yang berlebihan
(Calloway, 1996: 336).
De Stijl memiliki bentuk yang sederhana yang
menggunakan garis lurus horizontal maupun vertikal
dan bentuk-bentuk persegi panjang pada arsitekturnya.
Menggunakan teknologi-teknologi canggih yang
menggunakan mesin sebagai penghasil karyanya. Para
arsitek gaya ini menganggap hasil karya mereka
sebagai estetika publik atau estetika universal yang
siapa saja dapat memilikinya (Handinoto, 2007: 48).
Selain itu ciri gaya bangunan ini berdiri di atas lahan
luas terbuka, yang menerapkan konsep kesederhanaan,
kemurnian, keseimbangan dan keselarasan (Sumalyo,
1997: 184).
Pengaruh Amsterdam School bisa dibilang
tidak terlalu besar di Nusantara. Amsterdam School
menekankan kepada keorisinilan dari sebuah arsitektur,
yang berarti ide atau pkiran seorang arsitek harus
terlihat didalam bentuk bangunan. Selain itu
mengekspresikan ide dari suatu gagasan lebih penting
dibanding suatu studi rasional atas kebutuhan
perumahan. Para arsitektur Amsterdam School juga
lebih memperhatikan bentuk interior agar seimbang
dengan bentuk eksteriornya. Bangunan jenis ini
biasanya dibuat dari susunan bata yang dikerjakan
dengan keahlian yang tinggi (Handinoto, 2007: 51-53).
Selain gaya-gaya tersebut pada tahun 1920
muncul sebuah gaya yang disebut Nieuwe Bouwen.
Gaya ini mencoba untuk memperlihatkan bentuk
sederhana tanpa hiasan yang tidak seperti gaya-gaya
bangunan yang ada sebelumnya yang menggunakan
kemegahan dalam bentuk bangunan. Gaya ini mencoba
untuk memperlihatkan bahwa dengan kesederhanaan
dapat membentuk sebuah bangunan yang lebih baik.
Karakteristik dari gaya bangunan ini adalah memiliki
warna putih yang dominan diseluruh bagian,
menggunakan atap datar, gevel horizontal dan volume
bangunan berbentuk kubus (Hardinoto, 1993:13).
Ciri-ciri dari bangunan Nieuwe Bouwen,
memiliki bentuk bangunan yang masif dan kokoh yang
dibangun dengan alat-alat modern, bentuk bangunan
sederhana dengan keterbatasan lahan dan beradaptasi
dengan gaya setempat, sekala yang digunakan lebih
manusiawi dan tidak terlalu tinggi, dinding di plester
dan di cat putih, detail bangunan diperhatikan, beratap
datar, volume bangunan berbentuk kubus, penggunaan
material modern seperti beton, baja dan lain-lain. Tidak
seperti gaya-gaya bangunan sebelumnya yang
memperlihatkan kemegahan dan keagungan sebuah
bangunan yang terkesan pamer.
Arsitektur Indis pada awal abad ke-20
menyatakan
sebuah
gambaran
realitas,
atas
keterikatannya dengan adat istiadat "lokal" dan juga
sebagai ungkapan status translokal. Gaya indis
merupakan gaya percampuran antara kebudayaan lokal
dengan kebudayaan asing. Kebudayaan Indis
mencangkup kehidupan sehari-hari masyarakat.
Nieuwe Bouwen di sisi lain juga mengajukan
penegasan yang sama dengan tradisi para pendukung
modernisme yang lebih bersifat "formalistik", lebih
"otonom" dan "Universal". Indis dan Nieuwe Bouwen
sama-sama berusaha untuk menyingkirkan kebudayaan
imperium (Nas, 2009:180).
Universitas Indonesia Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
9 Gaya-gaya tersebut merupakan gaya murni
yang dibawa oleh arsitek-arsitek Belanda, dengan
bercampurnya kebudayaan asing dengan kebudayaan
lokal menghasilkan sebuah kebudayaan perkawinan
atau kebudayaan campuran yang disebut dengan
kebudayaan Indische.
4.2 Masjid Agung Manonjaya
Masjid Manonjaya memiliki arsitektur
kolonial namun dalam bentuk bangunanya tetap
menggunakan ciri masjid kuno Jawa berbeda dengan
Masjid Cipari yang hampir secara keseluruhan
berbentuk bangunan kolonial.
Gambar 10 Denah Masjid Agung Manonjaya
Foto 3 Masjid Agung Manonjaya
Perbandingan antara Masjid Cipari dengan
Masjid Agung Manonjaya yang pertama terletak pada
bentuk denah. Seperti yang telah dijelaskan pada bab 3,
denah Masjid Cipari berbentuk persegi panjang dengan
ukuran 30x10m yang pada tembok bagian Barat
terdapat bangunan yang menjorok yang merupakan
sebuah mihrab. Pagar keliling masjid ini berupa
perumahan penduduk pada arah Utara, Selatan dan
timurnya, sedangkan pada arah Barat pagar keliling
berupa bangunan sekolah (lihat gambar 3.1) .
Sedangkan denah pada Masjid Agung Manonjaya
berbentuk bujur sangkar berukuran 22,85x24,40 m
yang pada tembok bagian Barat terdapat bangunan
mihrab yang merupakan salah satu ciri penting
bangunan masjid. Memiliki pagar tembok disekeliling
masjid. Terdapat beberapa ruangan pada masjid ini
yang terdiri dari ruang shalat, perpustakaan, serambi,
gudang dan pawestern. Pada bagian sebelah Timur
masjid terdapat bangunan tambahan yang terdiri dari
penampil serambi Timur, koridor dan menara.
Fondasi pada Masjid Cipari berbentuk persegi
panjang yang mengikuti bentuk denahnya sedangkan
pada Masjid Agung Manojaya berbentuk bujursangkar.
Bentuk dari kedua fondasi ini mengikuti bentuk
bangunan masjidnya. Kedua masjid ini menggunakan
pondasi masif yang merupakan tembok pejal dengan
tinggi 1 m di atas permukaan tanah. Ketinggian
pondasi ini merata keseluruh komponen bangunan.
Pada Masjid Cipari bagian kaki dilapisi dengan
susunan batu kali sedangkan pada Masjid Agng
Manonjaya hanya berupa tembok biasa.
Masjid Cipari dan Masjid Agung Manonjaya
menggunakan tegel pada lantainya. Pada Masjid Cipari
lantai tegel berwarna abu-abu berukuran 20x20cm yang
terdapat disemua sisi bangunan dan dilapisi oleh karpet
masjid. Pada bagian menara, lantai satu dilapisi dengan
tegel yang sama dengan yang ada di ruang shalat,
sedangkan pada lantai dua hingga lantai enam
menggunakan lantai kayu yang dilapisi dengan karpet
berwarna hijau. Sedangkan pada lantai tujuh dilapisi
dengan plat baja. Pada Masjid Agung Manonjaya
Lantai permukaan dilapisi oleh tegel warna merah
dengan ukuran 30x30. Pada lantai diruangan mihrab
tegel dilapisi dengan karpet yang berwarna hijau.
Dinding pada Masjid Cipari secara
keseluruhan terbuat dari dinding beton. Selain dinding
yang terbuat dari beton, dinding ini juga dilengkapi
dengan motif hias berupa pelipit-pelipit yang ada
diseluruh bagian tembok. Dinding juga dilengkapi
dengan lubang angin dan berbagai macam bentuk
jendela. Pada bagian menara secara keseluruhan terbuat
dari beton yang dilengkapi dengan lubang angin dan
jendela. Hampir sama dengan Masjid Cipari dinding
pada Masjid Agung Manonjaya juga terbuat dari beton.
Universitas Indonesia Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
10 Penggunaan material beton pada dinding, membuat
bangunan terlihat lebih kokoh.
Ruangan pada Masjid Cipari memiliki ukuran
29x9 meter. Berdenah persegi panjang yang dibentuk
oleh empat buah dinding berbentuk siku-siku. Dilapisi
lantai tegel berwarna abu-abu dengan ukuran 20x20 cm
yang dilapisi dengan karpet masjid. Tidak terdapat
tiang-tiang sebagai penopang atap, atap hanya di tahan
oleh tembok keliling bangunan.
Pada Masjid Agung Manonjaya memiliki
denah ruang shalat yang sama yang berbentuk persegi
panjang dengan ukuran 22,8x16,70 meter yang
dibentuk oleh sudut siku-siku. Pada masjid Agung
Manonjaya dilapisi lantai tegel berwarna merah yang
hampir keseluruhan lantai ditutupi dengan karpet
masjid.
Bentuk atap Masjid Cipari memiliki
perbedaan bentuk dengan bentuk atap Masjid Agung
Manojaya. Atap Masjid Cipari berbentuk limasan
dengan sisi Utara dan Selatan lebih panjang
dibandingkan sisi Barat dan Timur, berbahan tanah liat
dengan warna oranye. Atap pada masjid ini di topang
oleh susunan kuda-kuda yang terbuat dari kayu yang
diperkuat dengan paku. Bentuk atap pada bagian
menara Masjid Cipari berbentuk kubah. Sedangkan
bentuk atap pada masjid Agung Manonjaya berbentuk
tumpang, yang lazim digunakan pada masjid Kuno
Jawa. Atap ini juga menggunakan kuda-kuda kayu
sebagai penahan atap yang direkatkan dengan paku.
Sedangkan bentuk atap pada bagian menara masjid
memiliki bentuk meruncing.
Seperti yang telah dijelaskan dalam bab
deskripsi sebelumnya, menara Masjid Cipari terletak
pada bagian Timur masjid yang menempel dengan
dinding masjid. Denah menara berbentuk segi delapan
berjumlah satu yang terbuat dari tembok beton dan
terdiri dari 7 lantai yang masing-masing lantai
dihubungkan dengan tangga kayu. Pada setiap
lantainya terdapat sebuah ruangan kosong, pada lantai
satu dan dua ruangan tersebut memiliki fungsi yang
jelas, yaitu lantai satu digunakan sebagai gudang
sedangkan lantai dua digunakan sebagai tepat
beristirahat pengurus masjid sedangkan pada lantai
selanjutnya banyak ruangan yang tidak memiliki fungsi
dan dibiarkan kosong. Atap menara masjid ini
berbentuk kubah yang terbuat dari beton.
Menara pada masjid Agung Manonjaya
berjumlah dua buah yang terletak pada bagian Timur
masjid yang berhubungan langsung dengan koridor,
dengan kata lain letak menara ini menempel dengan
bangunan masjidnya. Selain itu, menara pada masjid
ini keseluruhan terbuat dari tembok beton dengan
denah berbentuk segi delapan. Terdiri dari beberapa
lantai, yang setiap lantai memiliki fungsi yang berbedabeda dan masing-masing lantai di hubungkan dengan
tangga kayu. Atap menara berbentuk kerucut yang
meruncing.
Ragam hias pada Masjid Cipari hanya terdiri dari satu
jenis saja. Jenis ornamen yang ada pada masjid ini
berupa pelipit-pelipit geometris memanjang yang
hampir terlihat diseluruh dinding masjid. Jenis seperti
ini merupakan ciri khas dari ragam hias jenis Art Deco
yang menunjukan kemegahan dan keindahan dari
sebuah bangunan. Pada Masjid Agung Manonjaya
terdapat berbagai macam bentuk ragam hias, seperti
pelipit, pilaster, lengkungan, tunas, antefiks dan lainlain. Ragam hias yang diambil sebagai perbandingan
adalah pelipit. Jenis pelipit yang terdapat pada Masjid
Cipari merupakan jenis pelipit penyangga, sedangkan
pada Masjid Agung Manonjaya terdapat dua jenis
pelipit penyangga dan setengah lingkaran.
Pagar keliling masjid ini terbentuk dari
bangunan-bangunan
pemukiman
yang
ada
disekelilingnya sehingga membentuk pagar keliling
(Lihat ganbar 1). Pada sisi Utara, Selatan dan Timur
pagar masjid ini berupa perumahan penduduk
sedangkan pada sisi Barat pagar masjid berupa
bangunan sekolah.
Pada Masjid Agung Manonjaya pagar keliling
berupa tembok seperti pada masjid umumnya yang
memiliki dua buah pintu untuk masuk kedalam
lingkungan masjid.Walaupun memiliki jenis bentuk
pagar keliling yang berbeda, namun kedua masjid ini
sma-sama dibatasi oleh pagar yang merupakan ciri
khas dari masjid kuno yang ada di Jawa.
Tabel 1 Persamaan dan perbedaan bentuk, bahan dan
kondisi Masjid Cipari dan Masjid Agung Mannojaya
Universitas Indonesia Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
11 4.3 Gereja Santo Yosef
Selain Masjid Agung Manojaya, data
pembanding juga diambil dari bangunan kolonial lain
yang memiliki bentuk yang sama. Data pembanding
yang digunakan adalah Gereja Santo Yosef. Gereja ini
terletak di Jalan Matraman Raya, Nomor 127, Jakarta
Timur, yang berdiri pada tahun 1923. Gereja ini
diambil sebagai data pembanding dengan Masjid
Cipari karena memiliki kemiripan bentuk.
Foto 4 Gereja Santo Yosef
Jika dilihat secara langsung, Gereja Santo
Yosef ini memiliki bentuk denah yang memanjang
seperti bentuk persegi, namun kenyataanya gereja ini
memiliki denah berbentuk salib. Bentuk salib tersebut
tidak terlalu menonjol pada bentuk denahnya, sehingga
bentuk denah pada gereja ini terlihat seperti bentuk
persegi panjang.
Fondasi pada Gereja Santo Yosef merupakan
fondasi masif begitu juga dengan Masjid Cipari.
Persamaan yang lebih mencolok terlihat pada susunan
batu kali yang terletak pada bagian kaki bangunan.
Kedua bangunan ini menggunakan susunan batu kali
pada bangunanya.
Dinding pada Gereja Santo Yosef ini secara
keseluruhan terbuat dari dinding beton yang pada
bagian kakinya terdiri atas susunan batu kali. Bentuk
dinding gereja ini sama dengan bentuk dinding Masjid
Cipari yang secara keseluruhan yang terbuat dari beton.
Selain itu terdapat deretan jendela pada dinding bagian
kanan dan kiri bangunan yang terdiri dari dua tingkat.
Bentuk jendela pada bangunan gereja ini memiliki
bentuk yang cukup besar yang menunjukan bahwa
bangunan tersebut merupakan bangunan sakral dengan
gaya ghotic.
Pada bangunan Gereja Santo Yosef terdapat
tiga buah atap yang berbentuk limasan dengan genteng
berwarna oranye yang terbuat dari tanah liat. Atap pada
sisi kanan dan kiri sekarang ditinggikan dibandingkan
dengan atap yang ada pada bagian tengah, bentuk ini
berbeda dengan bentuk awal yang ketiganya memiliki
ketinggian yang sama.
Terdapat tiga buah menara pada Gereja Santo
Yosef. Terdapat satu buah menara utama yang tinggi
serta dua buah menara samping yang lebih pendek.
Setiap menara ditutupi dengan atap kubah. Pada bagian
puncak menara terdapat lambang salib. Terdapat hiasan
dekoratif pada bagian menara berbentuk pelipit yang
dipadukan dengan jendela bulat. Terdapat jendela
kurus panjang pada bagian tengah menara (Heuken,
2002: 213-214).
Bentuk hiasan pelipit pada gereja ini memiliki
bentuk hiasan yang hampir sama pada Masjid Cipari.
Menara pada kedua bangunan ini lebih di dominasi
dengan hiasan-hiasan pelipit pada bangunanya. Hiasan
pelipit seperti ini merupakan ciri dari gaya art deco.
Ragam hias pada Gereja Santo Yosef hanya berupa
pelipit pada bagian menara dan dibeberapa kolom
dinding bangunan. Bentuk pelipit seperti ini merupakan
bentuk pelipit penyangga. Pelipit-pelipit ini terletak
pada bagian pondasi pejal, siku luar kolom bangunan
gereja serta pada bagian menara. Bentuk ragam hias
pelipit ini memberikan kesan romantisme pada
bangunan yang merupakan ciri khas dari gaya art deco,
namun demikian bentuk ragam hias yang sederhana
dan tidak berlebihan merupakan ciri dari gaya nieuwe
bouwen
Tabel 2 Persamaan dan perbedaan bentuk, bahan dan
kondisi Masjid Cipari dan Gereja Santo Yosef
Universitas Indonesia Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
12 Denah pada bangunan Masjid Cipari ini berbentuk
persegi panjang memanjang dari Barat ke Timur.
Denah masjid seperti ini banyak digunakan pada
masjid-masjid Kuno Jawa. Dengan denah berbentuk
persegi panjang ini diharapkan masjid dapat menapung
jumlah orang lebih banyak walaupun dengan ukuran
yang kecil.
Masjid Cipari menggunakan fondasi masif
yang merupakan tembok pejal dengan tinggi satu
meter di atas permukaan tanah. Namun pada bagian
fondasi ini disusun oleh susunan batu kali yang umum
digunakan pada bangunan pemukiman kolonial
belanda.
Hampir di seluruh Indonesia letak mihrab
pada bangunan masjid memang terletak pada bagian
Barat atau Barat Laut. Letak ini merupakan sebuah
keharusan bagi setiap masjid yang ada di Indonesia
untuk shalat menghadap ke ka'bah. Ketentuan itu
berlaku bagi setiap warga muslim yang ada di dunia
untuk shalat menghadap ka'bah. Dengan kata lain letak
mihrab pada bangunan Masjid Cipari tidak di
pengaruhi oleh faktor lain melainkan memang sebuah
keharusan bangunan masjid. Sehingga ciri ini
merupakan ciri khas bangunan masjid di Indonesia.
Pada Masjid Cipari letak mihrab berada pada sisi
bagian Barat masjid.
Pada masjid Cipari pagar keliling bukan
dibatasi dengan tembok, melainkan dengan perumahan
penduduk pada sisi Utara, Selatan dan Timur bangunan
sedangkan pada sisi Barat di batasi oleh sekolah. Pagar
pada masjid ini tidak seperti masjid Kuno Jawa yang
berbentuk tembok keliling, namun memanfaatkan
bangunan sekitar menjadi tembok keliling masjid
sehingga masjid tetap terlihat memiliki tembok
keliling.
4.5 Unsur Bangunan Kolonial
Tabel 3 Foto Persamaan dan perbedaan Masjid Cipari,
Masjid Agung Manonjaya dan Gereja Santo Yosef
4.4 Unsur Bangunan Lokal
Komponen bangunan yang menggambarkan
ciri dari pengaruh lokal yang ada pada Masjid Cipari
dapat dilihat pada komponen-komponen bangunan
yaitu denah persegi panjang, pondasi masif, mihrab di
sisi Barat atau Barat Laut dan pagar keliling.
Komponen bangunan yang menujukan
pengaruh asing atau kolonial yang bukan berasal dari
kebudayaan tradisional atau lokal pada Masjid Cipari
dapat dilihat dari komponen bangunan yaitu denah,
fondasi, dinding, pintu, jendela, lantai, atap, menara
dan komponen penunjang.
Pembentukan denah biasanya dipilih menurut
jenis dan fungsi dari sebuah bangunan. Sebagai contoh
bangunan perumahan pada periode kolonial
menggunakan denah persegi atau bujursangkar
sedangkan pada bangunan perkantoran maupun sekolah
yang membutuhkan kapasitas ruangan yang cukup
besar menggunakan bentuk persegi panjang. Jadi dapat
dikatakan bahwa bentuk denah mengikuti fungsi
bangunan itu sendiri.
Fondasi Masjid Cipari terdapat susunan batu
kali yang merupakan ciri has dari bangunan kolonial.
Bangunan kolonial dengan fondasi seperti ini dapat kita
jumpai di rumah-rumah tinggal di sekitar kawasan
Menteng. Penggunaan batu kali sangat cocok pada
Universitas Indonesia Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
13 bangunan yang berada pada iklim tropis yang berguna
sebagai tampiasan air hujan. Dinding dengan material
beton merupakan ciri dari bangunan kolonial. Selain itu
dinding yang tebal dapat memperlihatkan kekokohan
dan kemegahan dari bangunan itu sendiri. Pada dinding
bangunan kolonial biasanya terdapat jenis-jenis
ornamen yang menghiasinya. Jika dilihat dari bentuk
dan jenisnya pintu pada Masjid Cipari ini merupakan
pintu yang mendapat pengaruh asing atau kolonial
dalam pembentukanya karena menggunakan material
kaca.
Jendela dikenal pada saat kedatangan bangsa
kolonial. Jendela dapat berfungsi sebagai keluar
masuknya udara maupun sebagai pencahayaan
terhadap sebuah bangunan. Pada Masjid Cipari terdapat
banyak jendela sehingga bangunan ini memperhatikan
unsur pencahayaan dan udara pada waktu
pembuatanya. Selain itu jenis kaca pada Masjid Cipari
terdiri dari tiga jenis fixed window, casement window
dan nako.
Atap limasan terdapat pada bangunan inti
masjid yang hampir menutupi seluruh bagian masjid.
jenis atap seperti ini menggunakan struktur kuda-kuda
pada bagian dalamnya sebagai penahan atap-atap
tersebut. jenis konstruksi ini merupakan konstruksi
modern. Atap berbentuk kubah berada pada bagian
menara masjid. Kubah pada bangunan masjid ini
terbuat dari material beton. Beton dan jenis atap seperti
ini baru masuk ke Indonesia pada saat kedatangan
oran-orang Eropa.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
menara pada Masjid Cipari terbuat dari beton. Selain
itu pada menara ini dapat terlihat bentuk ornamen
geometris seperti pelipit-pelipit pada bagian tembok
masjid. Bentuk kokoh seperti ini merupakan ciri
bangunan kolonial berjenis Art deco. Salah satu ciri
dari art deco adalah, sebuah bangunan yang dibentuk
mewah dengan kemegahan dari material-material
modern yang terlihat kokoh.
Bentuk lubang angin yang sederhana dan
dengan hanya berbentuk garis mendatar yang panjang
tanpa membentuk motif hias merupakan ciri dari gaya
nieuwe
bouwen
yang
memperlihatkan
ciri
kesederhanaan. Bentuk plafon langit-langit pada
Masjid Cipari berwarna putih dengan motif pelipit
yang membentuk kotak-kotak. Plafon yang memiliki
pola hias mulai terlihat pada periode kolonial. Bentuk
sederhana seperti ini merupakan ciri dari gaya nieuwe
bouwen. Ragam hias pada masjid ini hanya satu jenis
berbentuk pelipit geometris. Bentuk pelipit pada masjid
ini cukup banyak terutama pada dinding luar bangunan
masjid yang menunjukan kesederhanaan merupakan
ciri dari gaya nieuwe bouwen.
Tabel 4.6 Tabel analisis gaya pada bagian-bagian
bangunan Masjid Cipari
Universitas Indonesia Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
14 Jika dilihat dari tabel diatas dapat dilihat gaya
yang mempengaruhi pembentukan Masjid Cipari.
Masing-masing elemen gaya tersebut mewakili bagianbagian bangunan masjid dari bentuk fisik hingga
ornamen-ornamen yang melekat pada Masjid Cipari.
5. Kesimpulan
Masjid Cipari merupakan bangunan masjid
yang memiliki bentuk berbeda dengan bangunan
masjid kuno pada umumnya. Bentuk yang berbeda
tersebut terlihat dari bentuk bangunan yang memanjang
dengan menara yang menempel pada bangunan
induknya. Selain itu sebagai sebuah bangunan masjid,
masjid ini tidak memiliki serambi pada bagian luarnya.
Masjid ini juga tidak memiliki pagar keliling seperti
masjid kuno yang ada di pulau Jawa, melainkan
menggunakan bangunan di sekitarnya sebagai pagar
keliling. Secara keseluruhan masjid ini dibangun dari
material beton yang baru dikenal sejak kedatangan
bangsa Eropa. Selain itu pada bangunan masjid ini juga
terdapat motif hias berupa pelipit-pelipit horizontal
yang mengelilingi bangunan masjid. Ciri atau ornamen
seperti ini sangat banyak ditemukan pada bangunanbangunan Eropa yang pada umumnya menggunakan
ornamen-ornamen sebagai hiasan bangunannya.
Dengan menggunakan ornamen-ornamen seperti ini
sebuah bangunan akan terlihat megah dan berbeda
dengan bangunan lainya. Jenis ornamen-ornamen pada
bangunan kolonial berbeda-beda, salah satunya art
deco yang memiliki ciri hiasan berupa bentukanbentukan garis atau balok yang tersusun secara
berulang terus menerus secara teratur. Selain itu ada
gaya art nouveau yang memiliki ciri berbentuk sulur
atau motif flora yang mengambil dari bentuk alam.
Secara keseluruhan bentuk bangunan ini
merupakan
percampuran
kebudayaan
antara
kebudayaan Eropa dengan kebudayaan lokal. Salah
satu bentuk percampuran bentuk bangunan yang
terlihat pada masjid ini adalah pada bagian atap
bangunan. Atap bangunan pada masjid ini berbentuk
limasan yang terbuat dari genteng tanah liat yang
menyesuaikan dengan iklim yang ada disekitar. Selain
itu bentuk dinding yang terbuat dari beton merupakan
ciri bangunan kolonial yang ada di Indonesia. Selain itu
bentuk menara yang menjulang tinggi dengan bentuk
megah dan kokoh merupkan bentuk menara dari
kebudayaan Eropa. Dari ketiga ciri yang terdapat pada
bangunan Masjid Cipari ini dapat dijelaskan bahwa
bangunan ini merupakan bangunan yang memiliki
percampuran kebudayaan.
Permasalahan yang terdapat pada penulisan
ini adalah " Apa saja pengaruh kebudayaan lokal dan
kolonial yang ada di Masjid Cipari?”. Permasalahan
tersebut dapat dijawab dengan melihat eterangan dan
tabel 4.6 yang terdapat pada bab empat. Masjid Cipari
dapat dibilang memiliki percampuran kebudayaan,
percampuran kebudayaan tersebut dapat terlihat dari
kebudayaan lokal dan asing yang apa pada bentuk
bangunanya. Kebudayaan lokal memang tidak terlalu
dominan pada bangunan masjidnya, hanya terletak
pada bagian fisik bangunan yang berarah hadap ke
Barat, fondasi masif, atap yang berbentuk limasan serta
ubin yang tidak memiliki motif hias yang terlihat
sederhana. Sedangkan kebudayaan kolonial atau asing
yang terdapat pada masjid ini cukup banyak.
Kebudayaan asing hampir mendominasi seluruh bagian
masjid. Kebudayaan asing pada masjid ini tidak hanya
satu, namun ada beberapa gaya kebudayaan asing
seperti art deco yang meliputi, dinding, menara dan
ornamen pelipit; adapula gaya Indo-Eropa yang
meliputi, fondasi yang menggunakan batu kali dan atap
limasan yang merupakan percampuran kebudayaan;
selain itu terdapat gaya arsitektur modern yaitu nieuwe
bouwen yang meliputi bentuk dari transparasi ruangan
dengan deretan jendela, bentuk dinding
yang tebal dengan material beton, bagian atap
yang menggunakan kuda-kuda, jendela yang
menggunakan aluminium dengan bentuk sederhana,
pintu berupa material kaca, langit-langit yang
menggunakan ornamen garis timbul dan bentuk lubang
angin yang sederhana berbentuk balok.
Dapat dikatakan bahwa gaya yang dominan
pada Masjid Cipari merupakan gaya asing yaitu nieuwe
bowen yang merupakan arsitektur modern. Gaya
nieuwe bouwen berkembang pada awal abad ke 20,
sehingga tepat bila gaya ini mempengaruhi bentuk
Masjid Cipari yang dibangun pada awal abad ke 20.
Walaupun demikian, terdapat pula unsur-unsur lokal
yang mempengaruhi bentuk masjid ini sehingga lebih
tepat bila bangunan ini disebut sebagai bangunan yang
memiliki kebudayaan indisch.
Daftar Pustaka
Anggapradja, Soelaeman. 1984. Sejarah Garut Dari
Masa ke Masa dan Hari Jadi Garut, 17 Maret 1983.
Garut
Apipudin. 2010. Penyebaran Islam Di Daerah Galuh
Sampai Dengan Abad Ke-17. Jakarta: Badan Litbang
Dan Diklat Kementrian Agama RI
Azyumardi Azra. Islam Nusantara: Jaringan Lokal
dan Global. Bandung: Mizan, 2002.
Calloway, Stephen. 1996. The Element Of Style A
Practical Encyclopedia Of Interior Architectural
Details From 1485 To The Present. New York:
Rockefeller Center.
Deetz, James. 1976. Invitation to Archaeology. New
York: Garden City.
Fanani, Achmad. 2009. Arsitektur Masjid. Yogyakarta:
Bentang Anggota IKAPI.
Universitas Indonesia Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
15 Farouk, Omar. 1993. "Muslim Asia Tenggara dari
Sejarah Hingga Menuju Kebangkitan Islam". Dlama
Saiful Muzani (Editor) Pembangunan dan Kebangkitan
Islam di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. 23-57.
Furnivall, J.S. 1939. Netherlands Indie: A Study of
Plural Economy. London: Cambridge University Press.
Handinoto. 1993. Citroen dan Perkembangan
Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya (1919-1940).
Dimensi Teknik Arsitektur No. 19 Agustus. Surabaya:
Universitas Kristen Petra. 1-15.
------------.
1994. "Indische Empire Style" Gaya
Arsitektur "Tempo Doloe" Yang Sekarang Hampir
Punah. Dimensi Teknik Arsitektur No. 20 Desember.
Surabaya: Universitas Kristen Petra. 1-12.
------------. 1998. Arsitektur Gaya "Indo Eropa" Tahun
1920an di Indonesia. Dimensi Teknik Arsitektur No 26
Desember. Surabaya: Universitas Kristen Petra. 1-8.
------------. 2007. "The Amsterdam School" Dan
Perkembangan Arsitektur Kolonial di Hindia Belanda
Antara 1915-1940. Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 35
No. 1 Juli. Surabaya: Universitas Kristen Petra. 46-58.
Heuken SJ, A. 2001. Menteng 'Kota Taman' Pertama
di Indonesia. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
----------------. 2003. Mesjid-Mesjid Tua di Jakarta.
Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
---------------. 2003. Gereja-Gereja Tua Di Jakarta.
Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
Hurgronje, Snouck. 1989. Islam Di Hindia Belanda.
Jakarta: Bhratara.
Juliadi. 2007. Masjid Agung Banten: Nafas Sejarah
dan Budaya. Yogyakarta: Ombak.
Koentjaraningrat. 1989. Pengantar Ilmu Atropologi.
Jakarta: Aksara Baru.
Korver, A.P.E. Sarekat Islam, Gerakan Ratu Adil.
Jakarta
Kusno, Abidin. 2009. "Gaya Imperium Yang Hidup
Kembali Setelah Mati". Dalam Peter J.M. Nas (editor).
Masa Lalu Dalam Masa Kini. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama
Niel, Robert Van. 1984. Munculnya Elit Modern
Indonesia, terjemahan Ny. Zahara Deliar Noer. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Nuralia, Lia. 2008. “Masjid Cipari Garut: Bangunan
Kolonial Dalam Perspektif
Arkeologi”. Dalam
Supratikno Rahardjo (Editor). Penelitian Dan
Pemanfaatan
Sumberdaya
Budaya.
Bandung:
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Ikatan Ahli
Arkeologi Indonesia. 17-33.
Pijper, G.F..1984. Beberapa Studi Tentang Sejarah
Islam di Indonesia 1900-1950. Diterjemahkan oleh
Tudjimah dan Augusdin. Depok: Universitas
Indonesia.
Pringgodigdo, A.K. 1970. Sejarah Pergerakan Rakyat
Indonesia. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Ricklefs, M.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rochym, Abdul. 1983. Masjid dalam Karya Arsitektur
Nasional Indonesia. Bandung: Angkasa
.
Sharer, Robert dan Wendy Ashmore. 2003.
Archaeology Discovering Our Past.
New
York: The McGraw Hill Companies, Inc.
Sumalyo, Yulianto. 1995. Arsitektur Kolonial Belanda
di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
------------. 2005. Arsitektur Modern: Akhir Abad XIX
Dan Abad XX. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Soekiman, Djoko. 2011. Kebudayaan Indis Dari
Zaman Kompeni Sampai Revolusi. Jakarta: Komunitas
Bambu.
Syafwandi. 1993. Estetika dan Simbolisme Beberapa
Masjid Tradisional di Banten Jawa Barat: Cilegon.
Direktorat pendidikan dan kebudayaan. Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian
Pengkajian dan Pembinaan Nilai Budaya.
Syalabi, A. 1973. Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Jakarta: Jayamurni.
Tjandrasasmita, Uka. 1974. Sejarah Jawa Barat Suatu
Tanggapan. Bandung.
---------.1993. "Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan
Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia". Dalam
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia. Edisi ke-4.
Cetakan ke-18. Jakarta: Balai Pustaka.
--------, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara.
Jakarta: KPG.
Universitas Indonesia Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
16 Yusuf, Mundzirin. 2006. Sejarah Peradaban Islam di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka.
1993. Keanekaragaman Bentuk Masjid di Jawa.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Masjid 2000, Pusat Studi dan Dokumentasi Masjid
Nusantara
Tropen Museum.com (diunduh pada tanggal 6 Juni
2013, pukul 10.30)
jabarprov.go.id (diunduh pada tanggal 8 Juni 2013,
pukul 20.10)
skyscrapercity.com (diunduh pada tanggal 8 Juni 2013,
pukul 20.25)
Gereja-Katolik.net (diunduh pada tanggal 9 Juni 2013,
pukul 15.10)
Universitas Indonesia Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
Download