bab i pendahuluan - Perpustakaan BAPPENAS

advertisement
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Penyelenggaraan penataan ruang nasional dilaksanakan berdasarkan asas
keterpaduan,
keserasian,
keselarasan,
dan
keseimbangan,
keberlanjutan,
keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, keterbukaan, kebersamaan dan kemitraan,
perlindungan kepentingan umum, kepastian hukum dan keadilan, serta akuntabilitas. Asas
tersebut
dilaksanakan untuk mewujudkan keharmonisan antara lingkungan alam dan
buatan, keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan
dengan memperhatikan sumber daya manusia, serta perlindungan fungsi ruang dan
pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang, sesuai
dengan tujuan penyelenggaraan penataan ruang, yaitu mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan
Nusantara dan ketahanan nasional. Untuk itu, dalam rangka menyelaraskan dan
menjabarkan strategi dan arahan kebijakan penyelenggaraan penataan ruang nasional di
wilayah provinsi, diperlukan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang
mengakomodir kepentingan nasional, regional dan lokal dalam satu kesatuan penataan
ruang.
Ruang wilayah Provinsi Jawa Barat adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang
laut, ruang udara dan ruang dalam bumi, sebagai tempat masyarakat Jawa Barat
melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya, serta merupakan suatu
sumber daya yang harus ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana. Dengan
demikian RTRWP Jawa Barat sangatlah strategis untuk dapat menjadi pedoman dalam
penyelenggaraan penataan ruang, serta untuk menjaga kegiatan pembangunan agar
tetap sesuai dengan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan, sekaligus mampu
mewujudkan ruang yang
produktif dan berdaya saing menuju Jawa Barat sebagai
Provinsi Termaju di Indonesia pada Tahun 2029.
Hal ini ditegaskan pula oleh Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) yang menetapkan kedudukan Rencana Tata Ruang sebagai acuan utama
Pendahuluan
1
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
pembangunan
sektoral
dan
wilayah,
dan
telah
ditindaklanjuti
dalam
Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Jawa Barat. Sebagai matra
spasial pembangunan, maka RTRWP Jawa Barat disusun berdasarkan pencermatan
terhadap kepentingan-kepentingan jangka panjang, serta dengan memperhatikan
dinamika yang terjadi, baik dalam lingkup eksternal maupun internal.
Sehubungan dengan itu, dalam proses penyusunannya tidak terlepas dari hasil
evaluasi pelaksanaan RTRWP Jawa Barat 2010, sebagai dasar dalam perumusan strategi
dan rencana tata ruang ke depan. Hal ini terutama dikaitkan dengan kinerja penataan
ruang, yang pada kenyataannya masih terdapat penyimpangan, baik dalam aspek
struktur maupun pola ruang. Selanjutnya dari sisi dinamika pembangunan, telah
diperhatikan pula beberapa perubahan yang perlu diantisipasi dan direspon dalam suatu
substansi rencana tata ruang yang mampu menjamin keberlangsungan pelaksanaannya di
lapangan, serta terlebih penting lagi dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan
jangka panjang.
Dalam konteks penataan ruang wilayah provinsi, dinamika eksternal mencakup
pengaruh tataran global, regional dan nasional, seperti tuntutan sistem kepemerintahan
yang baik (good governance), tuntutan pasar dunia (global market forces), dan tuntutan
setiap orang untuk memenuhi hak hidupnya, bebas menyatakan pendapat, mencapai
kehidupan yang lebih baik, serta memenuhi nilai-nilai agama dan kepercayaan yang
dianut. Dinamika eksternal ini juga dipengaruhi oleh perkembangan paradigma baru
dalam penataan ruang sehubungan dengan terbitnya peraturan perundangan penataan
ruang yang baru, serta peraturan perundangan lainnya yang terkait termasuk Norma
Standar Pedoman dan Manual (NSPM) yang telah diterbitkan oleh Pemerintah.
Sedangkan dalam konstelasi global Indonesia digambarkan sebagai sebuah negara
berkembang
yang
memiliki
berbagai
tantangan
dari
segi
perekonomian
dan
pembangunan, di antaranya berupa rendahnya prosentase aliran masuk Foreign Direct
Investment (FDI) ke Indonesia, rendahnya posisi Indonesia dalam rangking Global
Competitiveness Index (GCI), serta rendahnya total nilai perdagangan Indonesia dalam
kegiatan perdagangan intra ASEAN. Fenomena dinamika global juga dipengaruhi faktor
urbanisasi dan munculnya lebih banyak Megacities/Megapolitan/Conurbation, revolusi
teknologi yang mengurangi peranan faktor jarak, waktu, dan lokasi di dalam penentuan
kegiatan-kegiatan ekonomi/ bisnis serta sosial-politik yang melumerkan arti batas-batas
antar negara, serta proses perdagangan dalam hal mempercepat masuknya peranan
Pendahuluan
2
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
aktor-aktor pasar untuk menguasai sumberdaya alam, energi, air bersih, dan bahanbahan mineral diseluruh dunia, sehingga berimplikasi pada sejauhmana penataan ruang
mampu memanfaatkan tantangan yang ada, sebagai peluang untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi wilayah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dari sisi konservasi lingkungan, isu global warming memberikan pengaruh yang
besar terhadap kebijakan penataan ruang dan pembangunan di Indonesia termasuk
Provinsi Jawa Barat. Dengan adanya isu tersebut, tentu kebijakan penataan ruang yang
dihasilkan harus sejalan dengan konservasi dan preservasi lingkungan secara global, serta
upaya-upaya mitigasi bencana. Atau dengan kata lain, kegiatan pembangunan harus
tetap dalam koridor daya dukung lingkungan, oleh karenanya keseimbangan alokasi
ruang antara kawasan budidaya dan kawasan lindung merupakan prasyarat yang tetap
dibutuhkan.
Provinsi Jawa Barat juga menghadapi berbagai tantangan dan dinamika
pembangunan yang bersifat internal. Dinamika internal tersebut lebih menggambarkan
kinerja yang mempengaruhi penataan ruang Jawa Barat, yaitu perubahan fisik, politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya yang berasal dari dalam wilayah Jawa Barat. Isu
internal terutama tingginya pertumbuhan jumlah penduduk tahun 2007 yang mencapai
41,48 juta jiwa dan dalam waktu 20 tahun mendatang, yaitu tahun 2029 akan berjumlah
54,16 juta jiwa. Hal ini tentu akan berimplikasi pada semakin tingginya kebutuhan akan
sumberdaya lahan, air, energi, ketahanan pangan, kesempatan kerja, dan sebagainya.
Selain dari aspek kependudukan, dinamika internal juga ditunjukkan oleh masih
belum optimalnya pencapaian target Indeks Pembangunan Manusia (IPM), target alokasi
luasan Kawasan Lindung sebesar 45%, realisasi pembangunan infrastruktur wilayah,
ketersediaan sarana dan prasarana dasar, meningkatnya permasalahan lingkungan dan
konflik pemanfaatan ruang, rendahnya kinerja Pusat Kegiatan Nasional (PKN) – Pusat
Kegiatan Wilayah (PKW), kerjasama pengelolaan kawasan perbatasan, serta upaya-upaya
dalam mitigasi bencana yang masih membutuhkan peningkatan lebih lanjut.
Berdasarkan penjelasan di atas, perumusan substansi RTRWP Jawa Barat yang
memuat tujuan, kebijakan dan strategi, rencana, arahan pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang, ditujukan untuk dapat menjaga sinkronisasi dan
konsistensi pelaksanaan penataan ruang dan mengurangi penyimpangan implementasi
indikasi program utama yang ditetapkan, serta diharapkan akan lebih mampu merespon
tantangan dan menjamin keberlanjutan pembangunan, melalui berbagai pembenahan dan
Pendahuluan
3
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
pembangunan ruang yang produktif dan berdaya saing tinggi demi terwujudnya
masyarakat Jawa Barat yang lebih sejahtera.
1.2 FUNGSI DAN KEDUDUKAN
RTRWP Jawa Barat 2009-2029 merupakan matra spasial dari RPJPD Provinsi Jawa
Barat, yang berfungsi sebagai penyelaras kebijakan penataan ruang Nasional, Provinsi,
Kabupaten/Kota, serta sebagai acuan bagi instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan
masyarakat untuk mengarahkan lokasi, dan menyusun program pembangunan yang
berkaitan dengan pemanfaatan ruang di Provinsi Jawa Barat.
Kedudukan RTRWP Jawa Barat 2009-2029 adalah sebagai pedoman dalam :
a. Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa
Barat dan rencana sektoral lainnya.
b. Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
c. Perwujudan
keterpaduan,
keterkaitan,
dan
keseimbangan
perkembangan
antarwilayah, Kabupaten/Kota, serta keserasian antarsektor.
d. Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi.
e. Penataan ruang Kawasan Strategis Provinsi.
f.
Penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota.
1.3
RUANG LINGKUP
1.3.1 Lingkup Wilayah
RTRWP
Jawa
Barat
2009-2029
mencakup
perencanaan
seluruh
wilayah
administrasi Provinsi Jawa Barat, yang meliputi :
 Wilayah daratan, seluas 3.709.528,44 Ha;
 Wilayah pesisir dan laut, sepanjang 12 (dua belas) mil dari garis pantai seluas 18.153
Km2;
 Wilayah udara; dan
 Wilayah dalam bumi.
Batas koordinat Provinsi Jawa Barat adalah 104 48’ 00” BT - 108 48’ 00” BT dan
5 50’ 00” LS - 7 50’ 00” LS , dengan batas wilayah sebagai berikut :
 Sebelah utara, berbatasan dengan Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Raya
dan Laut Jawa;
 Sebelah timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah;
Pendahuluan
4
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
 Sebelah selatan, berbatasan dengan Samudera Hindia; dan
 Sebelah barat, berbatasan dengan Provinsi Banten.
1.3.2 Lingkup Substansi
Lingkup subtansi RTRWP Jawa Barat 2009-2029 tidak terlepas dari muatan
substansi yang diatur dalam peraturan perundangan yang mengatur tentang penataan
ruang. Lingkup substansi mencakup penjelasan kondisi dan permasalahan penataan
ruang Jawa Barat selama 5 (lima) tahun, kondisi dan tuntutan penataan ruang Jawa Barat
20 (duapuluh) tahun ke depan, tujuan penataan ruang, kebijakan dan strategi penataan
ruang, rencana tata ruang wilayah, arahan pemanfaatan ruang, serta arahan
pengendalian pemanfaatan ruang.
1.4 DASAR HUKUM
RTRWP Jawa Barat 2009-2029 mengacu pada dasar hukum, meliputi :
1.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat
(Berita Negara Republik Indonesia tanggal 4 Juli 1950) jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1950 tentang Pemerintahan Jakarta Raya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1950 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 15) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4744) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan
Provinsi Banten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4010);
2.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
3.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3274);
Pendahuluan
5
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
4.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
5.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 30, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3472);
6.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3470);
7.
Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3647);
8.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4412);
9.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4152);
10. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4169);
11. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4327);
12. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4411);
Pendahuluan
6
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
13. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073);
14. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4377);
15. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4380);
16. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
17. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844);
18. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4441);
19. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700);
20. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4722);
Pendahuluan
7
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
21. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4723);
22. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725);
23. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739);
24. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4925);
25. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4956);
26. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
27. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4966);
28. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 19, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4974);
29. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
30. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068);
31. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3445);
Pendahuluan
8
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
32. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan
Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3660);
33. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan
Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3776);
34. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran
dan/atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3816);
35. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);
36. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta untuk
Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934);
37. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4145);
38. Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4146);
39. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161);
40. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4242);
41. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4254);
Pendahuluan
9
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
42. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4385);
43. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4452);
44. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4489);
45. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4593);
46. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4624);
47. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4638);
48. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4696);
49. Peraturan
Pemerintah
Nomor
38
Tahun
2007
tentang
Pembagian
Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
50. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4858);
51. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4859);
Pendahuluan
10
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
52. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
53. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4987);
54. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan
Perkotaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5004);
55. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar
Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern;
56. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur;
57. Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5103);
58. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
59. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang
Nasional;
60. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Peran Serta
Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah;
61. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknik
Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya dalam Penyusunan
Rencana Tata Ruang;
62. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pedoman
Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan
Gempa Bumi;
63. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22 Tahun 2007 tentang Pedoman
Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor;
64. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan
Kawasan Perkotaan;
65. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pedoman
Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan;
Pendahuluan
11
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
66. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi
Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah;
67. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2008 tentang Pengembangan
Kawasan Strategis Cepat Tumbuh di Daerah;
68. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2009 tentang Batas Daerah Provinsi
Jawa Tengah dengan Jawa Barat;
69. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11/PRT/M/2009 tentang Pedoman
Persetujuan Substansi dalam Penetapan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota beserta Rencana Rinciannya;
70. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
71. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.28/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Konsultasi dalam rangka Pemberian Persetujuan Substansi Kehutanan
atas Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah;
72. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi
Penataan Ruang Daerah;
73. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2001 tentang Pola Induk
Pengelolaan Sumber Daya Air di Provinsi Jawa Barat;
74. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pembentukan
Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2005 Nomor 13 Seri E, Tambahan
Lembaran Daerah Nomor 15) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pembentukan Peraturan Daerah
(Lembaran Daerah Tahun 2010 Nomor 5 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor
71);
75. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian
Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara (Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor
1 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 38);
76. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2008 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2025
(Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 8 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor
45);
Pendahuluan
12
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
77. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2008 tentang Urusan
Pemerintahan Provinsi Jawa Barat (Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 9 Seri E,
Tambahan Lembaran Daerah Nomor 46);
78. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 6 Tahun 2009 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat (Lembaran Daerah Tahun
2009 Nomor 6 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 64);
1.5 PROFIL WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT
1.5.1 Penduduk
Jumlah penduduk Jawa Barat tahun 2006 adalah 40.737.594 jiwa dengan
komposisi penduduk laki-laki 20.579.308 jiwa (50,51%) dan penduduk perempuan
sebesar 20.158.286 jiwa (49,48%). Sebaran penduduk Jawa Barat tersebut sebagian
besar terkonsentrasi di Kawasan sekitar Ibukota Negara (Kawasan Bogor, Depok, Bekasi)
dan Ibukota Provinsi Jawa Barat (Kawasan Kota Bandung, Cimahi dan sekitarnya).
Sebaran jumlah penduduk per kecamatan tahun 2006 dapat dilihat pada Gambar 1.1.
GAMBAR 1.1
PETA SEBARAN JUMLAH PENDUDUK PER KECAMATAN TAHUN 2006
Pendahuluan
13
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
Persebaran penduduk berdasarkan kepadatan telah mencapai angka sebesar
1.391,47 jiwa per km2. Kepadatan penduduk tertinggi dimiliki Kota Bandung, dengan
kepadatan 13.939,75 jiwa per km2, diikuti Kota Cimahi dengan 12.583,89 jiwa per km2.
Sedangkan kepadatan terendah dimiliki Kabupaten Ciamis dengan 691,62 jiwa per km2
dan Kabupaten Cianjur dengan 713,71 jiwa per km2. Sebaran kepadatan penduduk per
kecamatan di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 1.2.
Kepadatan penduduk di Jawa Barat cenderung memperlihatkan pola konsentrasi
penduduk di kawasan perkotaan. Hal tersebut terjadi di Kawasan Bodebek yang mencapai
persentase sebesar 25,76% dari jumlah penduduk Jawa Barat, diikuti oleh Kawasan
Cekungan Bandung yang mencapai persentase sebesar 20,46% dari jumlah penduduk
Jawa Barat. Sedangkan secara administratif, wilayah dengan jumlah penduduk terbesar
terdapat di Kabupaten Bandung, yang mencapai 10,79% dari jumlah penduduk Jawa
Barat dan diikuti oleh Kabupaten Bogor sebesar 10,35% dari jumlah penduduk Jawa
Barat.
GAMBAR 1.2
PETA SEBARAN KEPADATAN PENDUDUK PER KECAMATAN TAHUN 2006
Ditinjau dari komposisi penduduk terkait dengan kegiatan di kawasan perdesaan
dan kawasan perkotaan, menunjukkan terjadinya peningkatan kegiatan kawasan
perdesaan ke kawasan perkotaan, menjadi 58,8% dari jumlah penduduk Jawa Barat,
Pendahuluan
14
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
meningkat 8,5% dibandingkan komposisi penduduk 5 (lima) tahun sebelumnya.
Peningkatan angka tersebut menunjukkan kegiatan perkotaan yang telah merambah ke
kawasan perdesaan di sekitarnya, yang kemudian diikuti dengan perubahan status pada
beberapa daerah perdesaan menjadi perkotaan.
Ditinjau dari perpindahan penduduk (migrasi) masuk ke Jawa Barat, tahun 2007
terjadi migrasi sebesar 3.911.583 orang. 54,73% diantaranya berasal dari Jakarta, dan
sebagian besar migran tersebut merupakan pekerja yang bekerja di sentra-sentra industri
Kawasan Bodebek. Wilayah yang menjadi tujuan migrasi masuk adalah Cekungan
Bandung dan Metro Cirebon, hal ini dipicu oleh peran wilayah tersebut sebagai pusat jasa,
pendidikan, industri, dan sebagainya. Dampak migrasi masuk menyebabkan banyaknya
angkatan kerja dari luar yang memasuki wilayah tersebut, meningkatnya jumlah pencari
kerja (pengangguran), dan pada akhirnya mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk.
Laju pertumbuhan penduduk (LPP) rata-rata Jawa Barat selama periode 20052007, adalah sebesar 1,94%. Perubahan laju pertumbuhan penduduk secara langsung
maupun
tidak
langsung
mempengaruhi
struktur
penduduk,
dalam
kondisi
ketenagakerjaan, komposisi penduduk usia kerja dan angkatan kerja.
Dalam
ketenagakerjaan,
besar
kecilnya kontribusi
angkatan
kerja dalam
perekonomian dapat dipantau melalui suatu indikator, yaitu Tingkat Partisipasi Angkatan
Kerja (TPAK). Semakin tinggi TPAK semakin besar bagian dari penduduk usia kerja yang
sesungguhnya terlibat, atau berusaha untuk terlibat, dalam kegiatan produktif yaitu
memproduksi barang dan jasa, dalam kurun waktu tertentu. Persentase penduduk
berdasarkan angkatan kerja dan bukan angkatan kerja dapat dilihat pada Tabel 1.1.
TABEL 1.1
PERSENTASE PENDUDUK MENURUT ANGKATAN KERJA
DAN BUKAN ANGKATAN KERJA
Angkatan Kerja
No.
Periode
Bekerja
Mencari
Kerja
1.
Feb 2005
85,27
2.
Nop 2005
84,47
3.
Feb 2006
85,50
4.
Agust 2006
85,41
5.
Feb 2007
85,49
Sumber : Sakernas Feb 2005-Feb 2007
14,73
15,53
14,50
14,59
14,51
TPAK
62,88
61,49
61,83
61,41
60,73
Bukan Angkatan Kerja (BAK)
Mengurus
Sekolah
Rumah
Lainnya
Tangga
20,31
64,53
15,16
20,86
63,52
15,62
21,02
65,73
13,25
19,25
64,73
16,03
21,66
63,05
15,30
Pendahuluan
% BAK
thd PUK
37,12
38,51
38,17
38,59
39,27
15
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
TPAK kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2006, berkisar antara 80-95%.
Hal ini menunjukkan gap partisipasi antara 5-20%, gap ini merupakan angkatan kerja
yang belum bekerja. TPAK tertinggi dimiliki Kabupaten Ciamis dengan tingkat partisipasi
mencapai 94,35%, sedangkan TPAK terendah dimiliki Kota Cimahi sebesar 82,16%.
Berdasarkan data kontribusi sektor yang dominan, sektor sekunder menempati
tingkat paling dominan, yaitu sekitar 50,95% dari PDRB dan menyerap sekitar 31,29%
tenaga kerja. Sedangkan sektor tersier menyerap tenaga kerja sekitar 39,43% dengan
kontribusi sebesar 35,27%.
Kualitas penduduk juga diukur menggunakan komponen-komponen target dalam
Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yaitu Indeks Pendidikan melalui nilai Rata-rata
Lama Sekolah (RLS) dan Angka Melek Huruf (AMH), serta Indeks Kesehatan melalui nilai
Angka Harapan Hidup (AHH). Peta Indeks Pembangunan Manusia tahun 2007 dapat
dilihat pada Gambar 1.3, sedangkan tabel target dan realisasi IPM tahun 2001-2007 dapat
dilihat pada Tabel 1.2.
GAMBAR 1.3
PETA INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA TAHUN 2007
Pendahuluan
16
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
Ditinjau dari Indeks Kemiskinan Manusia (IKM), nilai IKM Jawa Barat pada tahun
2002 sebesar 23,0, menurun dibandingkan tahun 1999 sebesar 26,9, artinya presentase
penduduk kategori miskin semakin berkurang dan memperbaiki peringkat Jawa Barat
secara nasional dari posisi 15 pada tahun 1999 kemudian menjadi peringkat 11 pada
tahun 2002.
TABEL 1.2
TARGET DAN REALISASI IPM JAWA BARAT TAHUN 2001-2007
No.
1.
Komponen
IPM
2.
Indeks Pendidikan
3.
Indeks Kesehatan
4.
Indeks Daya Beli
N i l ai
Target
Realisasi
Target
Realisasi
2001
68,35
66,10
76,90
64,80
2002
70,89
67,45
79,20
78,30
2003
72,37
67,87
80,20
78,40
2004
73,53
68,36
81,20
79,02
2005
74,50
69,35
82,00
79,56
2006
75,60
70,05
82,80
80,61
2007
76,60
70,76
83,60
81,13
Target
Realisasi
Target
Realisasi
66,53
66,33
55,00
55,10
68,00
66,55
65,60
57,42
68,60
66,57
68,20
58,63
69,20
67,23
70,20
58,83
69,60
69,58
72,30
59,18
69,80
70,13
74,20
59,42
70,00
71,03
76,30
60,13
Sumber : BPS Jabar, 2007
Jumlah keluarga miskin di Jawa Barat ditinjau dari tiga kategori, antara lain
kategori hampir miskin, miskin dan sangat miskin. Kategori miskin tertinggi terdapat di
Kota Bandung dengan jumlah keluarga miskin sebesar 221.994 KK (17,58%), dan
Kabupaten Bandung sebesar 123.687 KK (9,79%). Kategori sangat miskin tertinggi
terdapat di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi dengan jumlah masing-masing
adalah 70.882 (11,51%) dan 65.971 KK (10,69%). Jumlah total penduduk miskin Jawa
Barat adalah sekitar 15.510.085 atau 38,01% dari jumlah penduduk Jawa Barat.
Secara umum, indeks IPM dan IKM Jawa Barat relatif tinggi secara nasional,
namun masalah kemiskinan dan pengangguran sangat memerlukan penanganan yang
serius, berupa optimalisasi pengelolaan dan pengendalian penduduk secara terintegrasi
antara
pemerintah,
provinsi
dan
kabupaten/kota.
Penanganan
kependudukan
berkonsekuensi terhadap penataan ruang Jawa Barat, khususnya terhadap guna lahan,
kondisi iklim, ketahanan pangan, kesempatan kerja, kecukupan energi dan air baku.
1.5.2 Ekonomi
Perekonomian Jawa Barat ditinjau dari kontribusi PDRB kabupaten/kota terhadap
PDRB total Provinsi Jawa Barat, memperlihatkan 6 (enam) kabupaten/kota yang memiliki
rata-rata kontribusi PDRB lebih besar dari 5%, diantaranya Kabupaten Bogor (10,99%),
Pendahuluan
17
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
Kabupaten Bandung (8,45%), Kabupaten Karawang (5,91%), Kabupaten Bekasi (18%),
Kota Bandung (9,31%) dan Kota Bekasi (5,34%).
Perkembangan perekonomian yang ditinjau dari Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE),
memperlihatkan rata-rata LPE Jawa Barat tahun 2001-2006 adalah sebesar 5,57%.
Sedangkan pada tahun 2006, sebesar 7,96% lebih tinggi dibandingkan LPE Nasional
sebesar 6,9%. Terdapat 7 (tujuh) Kabupaten yang memiliki rata-rata LPE lebih tinggi dari
rata-rata LPE Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Bogor (6,22%), Kabupaten Karawang
(6,35%), Kabupaten Bekasi (5,94%), Kota Bogor (5,97%), Kota Sukabumi (5,73%), Kota
Bandung
(7,47%),
dan
Kota
Depok
(6,41%).
Pengelompokkan
kabupaten/kota
berdasarkan rata-rata LPE dan kontribusi sektor ekonomi dapat dilihat pada tabel 1.3.
TABEL 1.3
PENGELOMPOKKAN KABUPATEN/KOTA
BERDASARKAN RATA-RATA LPE DAN KONTRIBUSI SEKTOR EKONOMI
Sektor Primer
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kab.
Kab.
Kab.
Kab.
Kab.
Kab.
Sukabumi
Cianjur
Garut
Tasikmalaya
Indramayu
Subang
Rata2
LPE
4,20
3,70
3,76
3,49
4,54
4,75
Sektor Sekunder
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Kab. Bogor
Kab. Bandung
Kab. Purwakarta
Kab. Karawang
Kab. Bekasi
Kab. Bdg Barat
Kota Bekasi
Kota Depok
Kota Cimahi
Rata2
LPE
6,22
1,58
5,02
6,35
5,94
5,04
5,43
6,41
5,32
Sektor Tersier
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Kab. Ciamis
Kab. Kuningan
Kab. Cirebon
Kab. Majalengka
Kab. Sumedang
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kota Bandung
Kota Cirebon
Kota Tasikamalaya
Kota Banjar
Rata2
LPE
4,00
4,13
4,79
4,04
4,05
5,97
5,73
7,47
4,57
4,71
4,58
Sumber : Analisis, 2008
Kontribusi dan pertumbuhan sektor ekonomi, menunjukkan sektor industri
pengolahan memberikan kontribusi mencapai 45% pada tahun 2005, meningkat menjadi
45,94% pada tahun 2006. Sektor perdagangan, hotel dan restoran berkontribusi sebesar
20,19 pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan tipis menjadi 20,34 % pada tahun
2006. Sedangkan sektor pertanian mengalami penurunan kontribusi dari yang semula
14,93% pada 2005 menjadi 13,96% pada 2006.
Hal diatas menunjukkan bahwa Jawa Barat didominasi oleh sektor sekunder
dengan total kontribusi sebesar 48,56%, disusul oleh sektor tersier dengan kontribusi
terhadap total PDRB sebesar 45,12% dan terakhir sektor primer menyumbang sebesar
16,33% terhadap total PDRB Jawa Barat. Jika dibandingkan dengan kontribusi sektor
Pendahuluan
18
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
sekunder di tingkat nasional, kontribusi sektor sekunder terhadap PDRB Jawa Barat jauh
lebih besar. Kontribusi sektor sekunder nasional terhadap PDB Indonesia sebesar 34,57%.
Walaupun secara keseluruhan struktur perekonomian Provinsi Jawa Barat didominasi oleh
sektor sekunder, namun ada beberapa kabupaten/kota yang kegiatan perekonomiannya
didominasi oleh sektor primer dan sebagian lainnya kontribusi terbesarnya berasal dari
sektor tersier.
Kabupaten yang masih didominasi oleh sektor primer adalah Kabupaten Sukabumi,
Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Indramayu dan Subang. Walaupun secara persentase
kontribusi terbesar terhadap PDRB total Provinsi Jawa Barat berasal dari sektor sekunder,
namun ternyata jumlah kabupaten/kota yang ditopang oleh sektor tersier paling banyak,
yaitu 11 (sebelas) kabupaten/kota. Kontribusi sektor tersier di kabupaten/kota tersebut
terutama ditopang oleh sub sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sub sektor jasajasa, khususnya jasa pariwisata.
Dengan memperhatikan kontribusi dan posisi relatif kabupaten/kota terhadap
kontribusi tiap sektor maka diperoleh gambaran kabupaten/kota yang unggul atau
potensial pada setiap sektor. Pada tahun 2002 kabupaten yang memiliki keunggulan pada
sektor pertanian terdiri atas Kabupaten Karawang, Sukabumi, Ciamis, Subang, Bogor,
Indramayu, Garut, Cianjur dan Tasikmalaya. Namun saat ini hanya Kabupaten Cianjur dan
Tasikmalaya saja yang unggul pada sektor ini. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena
produktivitas yang tidak menunjukkan kenaikan yang konstan.
Sektor pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar, hingga
mencapai 26,39% kemudian disusul dengan sektor perdagangan dan jasa serapan
sebesar 25,59%. Hal ini memperlihatkan bahwa ternyata sektor yang berkembang dan
memberikan kontribusi tinggi tidak otomatis menjadi penyerap tenaga kerja. Padahal
dalam paragraf sebelumnya terlihat bahwa sektor sekunder (industri pengolahan)
berkontribusi sampai 45%, namun sektor ini hanya mampu menyerap tenaga kerja
sebesar 17,43%. Sektor lain yang memiliki serapan tenaga kerja yang relatif tinggi adalah
sektor jasa dengan serapan tenaga kerja sebesar 13,53%.
Jawa Barat merupakan daerah tujuan investasi swasta, baik investasi asing
maupun domestik. Pada tahun 2007 total nilai PMA Jawa Barat dalam US$ adalah 1.326,9
(dalam juta) dari total US$ 10.439,6 (dalam juta) nilai PMA Indonesia, atau 12,7% dari
total nilai investasi asing di Indonesia. Sedangkan untuk alokasi PMDN Jawa Barat adalah
sebesar 32,5% dari total investasi domestik yang sebesar Rp. 34.878,7 (dalam miliar),
Pendahuluan
19
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
atau nilai investasi domestik yang terealisasi di Jawa Barat sebesar Rp. 11.347,8 (dalam
miliar). Pada tahun sebelumnya, 2006, total nilai PMA Jawa Barat dalam US$ adalah
5.977,0 (dalam juta) dari total US$ 5.977,0 (dalam juta) nilai PMA Indonesia, atau
32,42% dari total nilai investasi asing di Indonesia. Sedangkan untuk alokasi PMDN Jawa
Barat adalah sebesar 28,2% dari total investasi domestik yang sebesar Rp. 20.788,4
(dalam miliar), atau nilai investasi domestik yang terealisasi di Jawa Barat sebesar Rp.
5.868,7 (dalam miliar). Nilai PMA yang dialokasikan di Jawa Barat mengalami penurunan
pada tahun 2006 jika dibandingkan dengan tahun 2007. Namun nilai PMDN yang
dialokasikan pada Jawa Barat tahun 2007 mengalami peningkatan jika dibandingkan nilai
pada tahun 2006.
Penggunaan lahan, sebaran tenaga kerja, dan realisasi investasi merupakan faktor
yang cukup berperan dalam perkembangan ekonomi suatu wilayah. Perkembangan luas
penggunaan lahan untuk kegiatan ekonomi secara tidak langsung dapat memperlihatkan
perkembangan sektor ekonomi terkait. Berdasarkan pergeseran tutupan lahan Jawa Barat
tahun 2001-2005, guna lahan untuk kegiatan ekonomi yang dominan meliputi guna lahan
pertanian, yaitu sawah berkurang 27,1%, serta kawasan dan zona industri bertambah
37,9%. Dominasi penggunaan lahan lainnya adalah kebun campuran, perkebunan dan
hutan, kecuali bagi Kota Bogor, Bandung, Cirebon dan Bekasi yang memiliki dominasi
penggunaan lahan permukiman, terkait dengan perannya sebagai PKN di Jawa Barat.
Data penggunaan lahan tahun 2005 menunjukkan bahwa di Kabupaten Sukabumi,
Cianjur, Garut, Kuningan, Indramayu, Purwakarta, Karawang, Bekasi, Kota Sukabumi dan
Kota Bekasi tidak ada penggunaan lahan untuk jasa. Namun demikian, statistik
kependudukan memperlihatkan bahwa sektor perdagangan dan jasa cukup dominan di
wilayah-wilayah tersebut. Sedangkan wilayah-wilayah yang tidak memperlihatkan adanya
penggunaan lahan untuk industri adalah Kabupaten/Kota Sukabumi, Kabupaten Garut,
dan Kabupaten Purwakarta.
1.5.3 Penggunaan Lahan
A. Perubahan Guna Lahan
Pada tahun 2005 penggunaan lahan terdiri dari hutan primer 299.287 ha, hutan
sekunder
310.673
ha,
kawasan
dan
zona
industri
17.403
ha,
kawasan
pertambangan/galian 3.335 ha, kebun campuran 843.904 ha, ladang/tegalan 358.914 ha,
padang rumput/ilalang 137.705 ha, perkebunan 624.972 ha, permukiman 261.397 ha,
Pendahuluan
20
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
sawah 680.462 ha, semak belukar 52.919 ha, sungai/tubuh air/danau/waduk/situ 55.827
ha, tambak 42.601 ha dan tanah kosong/terbuka 19.976 ha. Guna lahan Provinsi Jawa
Barat berdasarkan Citra Landsat 2005 dapat dilihat pada Gambar 1.4.
GAMBAR 1.4
PETA GUNA LAHAN TAHUN 2005
Perubahan guna lahan dari tahun 1994 - 2005 masih didominasi oleh penggunaan
lahan berupa sawah dan kebun campuran. Beberapa fungsi lahan mengalami penurunan,
sementara yang lainnya meningkat. Guna lahan yang mengalami penurunan luas paling
tinggi hutan sekunder, yang mencapai rata-rata 3,2% per tahun antara tahun 1994 –
2005. Sedangkan permukiman mengalami peningkatan sangat pesat, mencapai rata-rata
pertumbuhan 3,8% per tahun dalam rentang waktu yang sama. Penggunaan lahan tahun
1994-2005 dapat dilihat pada tabel 1.4.
Fenomena pergeseran penggunaan lahan dalam kurun waktu 1994–2005,
memperlihatkan terjadinya penurunan luas penggunaan lahan hutan primer (-110.334
Ha), hutan sekunder (-150.227 Ha) dan sawah (-182.448 Ha), dan terjadi penambahan
luas penggunaan lahan pemukiman (52.339 Ha), perkebunan (139.023 Ha), serta ladang
dan tegalan (36.919 Ha), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.5.
Pendahuluan
21
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
TABEL 1.4
PENGGUNAAN LAHAN TAHUN 1994 – 2005
Tahun
Guna Lahan
1994
1997
2001
2005
Pergeseran
Guna Lahan
Hutan Primer
431.812
419.775
325.462
321.478
-110.334
Hutan Sekunder
420.470
411.973
291.900
270.243
-150.227
Semak Belukar
39.072
40.681
49.788
53.187
14.115
Kawasan dan Zona Industri
12.607
13.328
15.313
15.393
2.786
3.033
3.041
3.413
3.364
331
Ladang / Tegalan
330.364
350.583
361.570
367.283
36.919
Padang Rumput/Ilalang
109.378
111.733
109.426
127.467
18.089
Perkebunan
505.739
514.536
620.235
644.762
139.023
Permukiman
124.377
133.045
165.250
176.716
52.339
Sawah
933.638
916.899
766.407
751.190
-182.448
Tambak
53.212
58.403
55.633
55.357
2.145
Tanah Kosong / Terbuka
16.981
17.841
17.308
17.606
625
674.235
663.232
873.086
849.658
175.423
54.628
54.307
54.751
55.708
1.080
3.709.546
3.709.377
3.709.542
3.709.412
-134
Kawasan Pertambangan / Galian
Kebun Campuran
Sungai/Tubuh Air/Danau/ Waduk/ Situ
Jumlah
Sumber: Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007
GAMBAR 1.5
GRAFIK PERGESERAN PENGGUNAAN LAHAN JAWA BARAT
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
1000000
900000
800000
700000
600000
500000
400000
300000
200000
100000
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Semak Belukar
Kawasan Zona Industri
Kawasan Pertambangan dan Galian
Ladang / Tegalan
Padang Rumput / Ilalang
Perkebunan
Permukiman
Sawah
Tambak
12. Tanah Kosong
13. Kebun Campuran
14. Sungai Tubuh Air
Penurunan luas hutan primer yang paling tinggi terjadi di Kabupaten Bogor
(28.953 Ha), diikuti oleh Kabupaten Sukabumi dan Cianjur, yaitu seluas 20.890 Ha dan
11.988 Ha. Sementara itu, untuk luas hutan sekunder, penurunan yang paling tinggi
terjadi di Kabupaten Garut yaitu 39.037 Ha dan Kabupaten Bandung yang mencapai
33.142 Ha. Untuk kawasan lindung non hutan, terutama kawasan perkebunan mengalami
Pendahuluan
22
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
peningkatan yang cukup signifikan, yaitu 141.600 Ha. Luasan dan persentase tutupan
lahan berfungsi lindung dapat dilihat pada Tabel 1.5.
TABEL 1.5
LUASAN DAN PERSENTASE TUTUPAN LAHAN BERFUNGSI LINDUNG
Tutupan
Lahan
Luas
Th.2001
(Ha)
Hutan
325,501.1
Primer
Hutan
291,842.7
Sekunder
Perkebunan
620,228.9
Sumber: Analisis, 2007
Persentase
dari Luas
Jawa Barat
Luas
Th.2005
(Ha)
Persentase
dari Luas
Jawa Barat
Perubahan
(Ha)
Persentase
perubahan
8,8
322,397.7
8,7
- 3,103.3
-0,1
7,9
270,151.6
7,3
- 21,691.1
-0,6
16,3
648,058.6
17,5
+ 27,829.7
1,2
Pada kurun waktu 2001 – 2005, dari tiga jenis tutupan lahan berfungsi lindung
yang mengalami perubahan paling besar terjadi pada luasan perkebunan yaitu meningkat
27.829,7 Ha (1,2%). Sedangkan luasan hutan primer maupun sekunder mengalami
penurunan sebesar 21.691,1 Ha (0,6%), untuk luasan hutan primer terjadi penurunan
luasan sebesar 3.103,3 Ha (0,1%).
B. Sumberdaya Hutan
Kerusakan (degradasi) hutan merupakan salah satu masalah lingkungan yang
paling serius, karena berdampak terhadap persediaan kayu, sumberdaya non-kayu, serta
konservasi keanekaragamanhayati dan fungsi ekologis hutan bagi kepentingan hidup
manusia. Besarnya degradasi hutan di Jawa Barat digambarkan dengan luasan tegakan
hutan saat ini kurang dari 10%, dibandingkan fakta bahwa 23% luas wilayah Provinsi
diklasifikasikan sebagai kawasan hutan negara. Pada tahun 1994 sampai dengan 2001,
luas tegakan hutan lindung berkurang sekitar 24%, dan hutan produksi berkurang sekitar
31%. Diperkirakan jika tidak ada upaya-upaya pengendalian konversi fungsi hutan dan
pengendalian penggunaan lebih (over utilization), hutan primer di Jawa Barat akan hilang.
Kerusakan hutan menjadi semakin serius akibat tindakan perambahan secara
langsung oleh beberapa keluarga petani miskin, dan secara tidak langsung oleh
pengusaha komersial karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Statistik
menunjukkan bahwa industri perkayuan di Jawa Barat memerlukan sekitar 2,5 juta m3 per
tahun kayu untuk bahan bakunya. Namun, produksi kayu legal dari Perum Perhutani
hanya berkisar 300.000 sampai dengan 500.000 m3 per tahun. Ketidakseimbangan antara
permintaan dan pemenuhan kayu membuat penebangan liar menjadi lebih marak.
Pendahuluan
23
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
Kerusakan hutan cenderung merubah lahan subur menjadi lahan kritis, dan secara
langsung menurunkan fungsi lindungnya, sehingga tidak dapat melindungi kawasan
bawahannya secara maksimal, dan dapat menyebabkan terjadinya kekeringan, longsor,
dan bencana lainnya. Peristiwa kebakaran hutan juga menjadi salah satu penyebab
berubahnya lahan subur menjadi lahan kritis, dimana kebakaran hutan berdampak pada
hilangnya tegakan tanaman hutan, sehingga tingkat erosi menjadi tinggi. Kenyataan ini
merupakan masalah makro karena mempunyai keterkaitan dengan sistem ekologi dan
hidrologi. Tingkat erosi atau erosifitas di Jawa Barat telah mencapai 32.931.061 ton per
tahun. Erosifitas berdasarkan guna lahan tahun 2005 dapat dilihat pada Gambar 1.6.
GAMBAR 1.6
PETA EROSIFITAS BERDASARKAN GUNA LAHAN TAHUN 2005
Berdasarkan analisis peta kawasan lindung dan peta sebaran lahan kritis tahun
2006, luas kawasan lindung yang berada dalam kondisi kritis mencapai 8,06%. Kondisi
lahan kritis yang cukup parah terjadi di Kawasan Priangan Timur (17,95%), Bopunjur
12.217,4 Ha (9,52%), dan Bandung Utara. Peta lahan kritis dapat dilihat pada Gambar
1.7, dan luas lahan kritis per kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 1.6.
Lahan kritis di Kawasan Priangan Timur disebabkan konversi lahan menjadi
perumahan, penebangan liar di kawasan lindung, pemanfaatan kawasan lindung menjadi
Pendahuluan
24
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
kawasan pertanian, dan lemahnya penegakan hukum. Sedangkan lahan kritis di kawasan
Bandung Utara (KBU) dan Bopunjur disebabkan proses pembukaan lahan yang terus
berlangsung. Hal tersebut diatas terjadi karena lemahnya pengawasan dan pengendalian
terutama dalam pemberian ijin lokasi pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
peraturan rencana tata ruang.
GAMBAR 1.7
PETA SEBARAN LAHAN KRITIS
BERDASARKAN KRITERIA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004
TABEL 1.6
LUAS LAHAN KRITIS PER KABUPATEN/KOTA TAHUN 2003
NO
KABUPATEN/KOTA
LUAS (HA)
1
KAB. GARUT
82,696.46
2
KAB. SUKABUMI
67,525.05
3
KAB. BANDUNG
47,365.08
4
KAB. MAJALENGKA
47,114.92
5
KAB. CIANJUR
46,773.23
6
KAB. BOGOR
45,637.12
7
KAB. INDRAMAYU
40,494.47
8
KAB. KARAWANG
31,123.00
9
KAB. SUBANG
30,897.00
10
KAB. CIAMIS
25,364.31
11
KAB. SUMEDANG
23,689.87
12
KAB. TASIKMALAYA
23,409.03
Pendahuluan
25
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
NO
KABUPATEN/KOTA
LUAS (HA)
13
KAB. PURWAKARTA
18,195.00
14
15
KAB. KUNINGAN
KAB. BEKASI
18,065.45
13,454.00
16
KAB. CIREBON
8,056.00
17
KOTA TASIKMALAYA
4,928.00
18
KOTA BANJAR
2,500.00
19
KOTA BOGOR
883.50
20
KOTA CIMAHI
609.00
21
KOTA DEPOK
432.00
22
KOTA BANDUNG
350.00
23
KOTA SUKABUMI
293.00
24
KOTA BEKASI
279.43
25
KOTA CIREBON
JUMLAH
Sumber : Biro Bina Produksi, 2003
262.00
580,396.92
C. Alih Fungsi Lahan Hutan
Berdasarkan kesepakatan seluruh pemangku kawasan hutan di Jawa Barat, yang
mengacu pada peta tematik dasar kehutanan, luas Kawasan Hutan Jawa Barat adalah
847.986,74 Ha, meliputi kawasan hutan daratan 846.276,74 Ha dan kawasan hutan
perairan 1.710,00 Ha, dengan perincian Hutan Lindung 265.612,73 Ha, Hutan Konservasi
178.600,20 Ha, dan Hutan Produksi 403.773,81 Ha. Peta penunjukkan kawasan hutan
dapat dilihat pada Gambar 1.8.
GAMBAR 1.8
PETA PENUNJUKKAN KAWASAN HUTAN
Pendahuluan
26
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
Beberapa status dan fungsi kawasan hutan lindung tersebut dalam prosesnya
mengalami perubahan, diantaranya perubahan status Kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak, perubahan fungsi kawasan lindung kelompok hutan Gunung Ciremai
menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai, serta perubahan fungsi kawasan hutan lindung
Ujung Karawang – Muaragembong.
Sejak penetapan kawasan hutan Provinsi Jawa Barat tahun 1934 sampai dengan
akhir tahun 2007 telah terjadi proses tukar-menukar kawasan hutan sebanyak 33 lokasi
seluas 21.414,44 Ha. Sesuai peraturan perundangan kehutanan tentang prosedur tukarmenukar kawasan hutan, seharusnya luas kawasan hutan Jawa Barat bertambah karena
ada kewajiban untuk menyediakan lahan pengganti dengan perbandingan minimal 1:1.
Sampai saat ini sebagian besar kawasan yang dimohon dan lahan pengganti belum ada
pengukuhan serta penetapannya.
D. Alih Fungsi Lahan Sawah
Penurunan luas kawasan pertanian lahan basah beririgasi teknis pada tahun 2004
seluas 383.261 Ha, tahun 2005 menjadi 380.996 Ha dan tahun 2006 menjadi 380.348 Ha.
Lahan kawasan pertanian lahan basah beririgasi teknis diharapkan dapat lebih produktif
dibandingkan lahan sawah yang menggunakan jenis irigasi lainnya, namun yang terjadi
adalah penurunan kinerja untuk kawasan sawah. Walaupun luasan pada lahan sawah
dengan irigasi sederhana dan tadah hujan meningkat, namun hal tersebut tidak
memberikan peningkatan kinerja lahan sawah. Penyebabnya adalah kemampuan desa
dalam mengelola dan menggunakan sistem irigasi sederhana, sedangkan lahan sawah
tadah hujan sangat tergantung pada musim untuk memulai masa tanamnya. Sehubungan
dengan hal tersebut, lahan sawah yang menggunakan dua sistem irigasi diatas (irigasi
sederhana dan tadah hujan) tidak seproduktif lahan sawah beririgasi teknis.
Secara agregat, luas lahan sawah di Jawa Barat mengalami penurunan antara
tahun 2004–2005, namun meningkat kembali di tahun 2006 menjadi 923.432 Ha,
terutama disebabkan oleh peningkatan luas lahan tadah hujan dan irigasi sederhana.
Sedangkan ditinjau dari pergeseran luas lahan sawah menurut kabupaten/kota selama
rentang tahun 1994–2005, memperlihatkan penurunan sebesar 171.469,01 Ha (18,4%),
dimana Kabupaten Tasikmalaya mencapai 27.051,63 Ha (15,8%).
Pendahuluan
27
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
GAMBAR 1.9
PETA TUTUPAN LAHAN SAWAH TAHUN 2005
TABEL 1.7
PERGESERAN LAHAN SAWAH MENURUT JENIS PENGAIRANNYA TAHUN 2007
No
Kabupaten/
Kota
Areal Irigasi Pemerintah
(Ha)
Potensial
Fungsional
Areal Irigasi
Perdesaan
(Ha)
Areal Tadah
Hujan (Ha)
Jumlah
Areal (Ha)
1
2
Kab Bogor
Kota Bogor
12.752
256
12.752
200
41.261
598
5.618
0
59.631
798
3
4
Kota Depok
Kab Sukabumi
821
20.792
821
20.792
347
35.316
214
7.465
1.382
63.573
5
6
Kota Sukabumi
Kab Cianjur
0
24.913
0
24.068
2.480
46.705
0
4.967
2.480
75.740
7
8
Kab Bandung
Kota Bandung
23.829
321
19.026
258
28.318
2.775
10.143
0
57.487
3.033
9
10
Kota Cimahi
Kab Garut
68
13.690
68
12.207
293
26.172
63
20.186
424
58.565
11
12
Kab Tasikmalaya
Kota Tasikmalaya
14.063
5.243
12.472
5.243
23.241
3.220
13.943
155
49.656
8.618
13
14
Kab Ciamis
Kota Banjar
20.544
1.916
19.339
1.916
23.381
216
11.137
1.123
53.857
3.255
15
16
Kab Cirebon
Kota Cirebon
56.385
430
47.420
430
4.506
30
5.375
184
57.301
644
17
18
Kab Kuningan
Kab Majalengka
10.395
25.250
9.855
21.795
21.312
19.907
3.684
9.343
34.851
51.045
Pendahuluan
28
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
Kabupaten/
Kota
No
Areal Irigasi Pemerintah
(Ha)
Potensial
Fungsional
Areal Irigasi
Perdesaan
(Ha)
Areal Tadah
Hujan (Ha)
Jumlah
Areal (Ha)
19
20
Kab Sumedang
Kab Indramayu
7.814
108.644
21
22
Kab Karawang
Kab Bekasi
105.771
59.202
105.771
59.202
1.876
513
0
1.354
107.647
61.069
23
24
Kota Bekasi
Kab Subang
572
80.999
572
80.999
0
17.555
70
2.529
642
101.083
11.351
606.021
11.351
582.462
21.929
367.261
0
113.980
33.280
1.063.703
25
Kab Purwakarta
Total
Sumber: Analisis, 2007
7.718
108.187
44.260
1.050
6.236
10.191
58.214
119.428
TABEL 1.8
PERGESERAN LUAS LAHAN SAWAH MENURUT KABUPATEN/KOTA
TAHUN 1994 – 2005 (HA)
No
Luas Tahun 1994
Luas Tahun 2005
1
Kabupaten/Kota
Kab Bogor
80.678,80
68.556,90
Pergeseran Luas
-12.121,90
2
Kab Sukabumi
70.255,10
56.346,20
-13.908,90
3
Kab Cianjur
62.851,70
57.149,30
-5.702,40
4
Kab Bandung
56.877,60
46.309,30
-10.568,30
5
Kab Garut
53.320,20
37.659,60
-15.660,60
6
Kab Tasikmalaya
57.027,80
29.976,20
-27.051,60
7
Kab Ciamis
42.789,90
25.434,60
-17.355,30
8
Kab Kuningan
26.428,30
19.097,40
-7.330,90
9
Kab Cirebon
34.598,10
27.009,70
-7.588,40
10
Kab Majalengka
19.066,80
11.662,70
-7.404,10
11
Kab Sumedang
17.121,60
11.472,40
-5.649,20
12
Kab Indramayu
103.403,60
89.645,30
-13.758,30
13
Kab Subang
92.977,00
85.454,20
-7.522,80
14
Kab Purwakarta
18.925,30
17.147,90
-1.777,40
15
Kab Karawang
95.631,60
89.927,90
-5.703,70
16
Kab Bekasi
70.820,00
65.920,20
-4.899,80
17
Kota Bogor
2.077,90
1.550,60
-527,30
18
Kota Sukabumi
2.663,90
2.492,50
-171,40
19
Kota Bandung
3.397,80
2.024,60
-1.373,20
20
Kota Cirebon
422,9
96,7
-326,20
21
Kota Bekasi
669,8
294,8
-375,00
22
Kota Depok
5.712,80
4.912,30
-800,50
23
Kota Cimahi
973,9
844,9
-129,00
24
25
Kota Tasikmalaya
Kota Banjar
9.803,10
3.642,60
9.007,10
676
-796,00
--2.966,60
Total
932.138,10
Sumber: Dinas PSDA Jawa Barat, 2008
760.669,30
171.468,80
Pendahuluan
29
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
1.5.4 Infrastruktur Wilayah
1.5.4.1 Sumber Daya Air dan Irigasi
Jawa Barat memiliki curah hujan tahunan rata-rata berkisar antara 2000-4000
mm/tahun dan memiliki potensi sumber daya air khususnya air permukaan mencapai
rata-rata 48 Milyar m3/tahun dalam kondisi normal. Potensi tersebut baru dimanfaatkan
sekitar 50% atau 24 Milyar m3/tahun, sedang sisanya langsung terbuang ke laut.
Potensi sumber daya air tersebut mengalir pada 5 (lima) Wilayah Sungai (WS)
yang terbagi dalam 41 Daerah Aliran Sungai (DAS) atau sekitar 2.745 buah sungai induk
dan anak-anak sungainya. Peta pembagian WS dapat dilihat pada Gambar 1.10, dan peta
DAS dapat dilihat pada Gambar 1.11. Sekitar 35,9 Milyar m3/tahun (75%) dari jumlah
potensi tersebut mengalir pada 2.078 buah sungai yang secara geografis lintas
kabupaten/kota, sedangkan sisanya yaitu 12,1 Milyar m3/tahun (25%) berada pada 1.170
buah sungai. Potensi air permukaan dan luas setiap wilayah sungai yang terdapat di Jawa
Barat, dapat dilihat pada Tabel 1.9.
Wilayah Sungai di Jawa Barat, sesuai penetapan wilayah sungai, terbagi dalam 2
wewenang dan tanggung jawab, terdiri atas :

Wewenang dan Tanggung Jawab Pemerintah :
1. Cidanau-Ciujung-Cidurian-Cisadane-Ciliwung-Citarum
2. Cimanuk-Cisanggarung
3. Citanduy

Wewenang dan Tanggung Jawab Pemerintah Provinsi:
1. Ciwulan-Cilaki
2. Cisadea-Cibareno
TABEL 1.9
POTENSI DAN LUAS WILAYAH SUNGAI MENURUT KEWENANGAN
Luas
(Km2)
Juta m3 / tahun
Lintas Prov./
Lokal
Kab./Kota
Kab./Kota
No
Wilayah Sungai
1.
15.810,3
16.367,06
2.095,99
18.463,06
2.
Cidanau-CiujungCidurian-CisadaneCiliwung-Citarum
Cimanuk-Cisanggarung
6.972,80
7.572,64
305,43
7.878,07
3.
Citanduy
8.033,70
7.069,50
3.625,68
10.695,19
4.
Ciwulan-Cilaki
5.
Cisadea-Cibareno
8.813,06
4.908,71
6.078,76
10.987,47
Total
39.629,86
35.917,91
12.105,86
48.023,77
Total
Sumber : Dinas PSDA dan Hasil Analisis, 2008
Pendahuluan
30
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
GAMBAR 1.10
PETA PEMBAGIAN WILAYAH SUNGAI
Kewenangan
Provinsi
GAMBAR 1.11
PETA DAERAH ALIRAN SUNGAI
Pendahuluan
31
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
Selain sumber daya air alami, Jawa Barat memiliki situ-situ dan waduk-waduk
buatan. Tidak kurang dari 20 waduk mempunyai kapasitas tampung lebih dari 6,8 Milyar
m3, diantaranya 3 waduk dibangun pada Sungai Citarum yaitu Waduk Saguling, Waduk
Cirata, dan Waduk Juanda. Ketiga waduk tersebut mempunyai daya tampung total
mencapai 5,83 Milyar m3. Sedangkan situ/danau dan embung, sampai dengan tahun 2004
telah terinventarisir sebanyak 456 buah situ. Namun sebagian besar situ/danau yang ada
tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan mengalami penurunan kapasitas tampung.
Peta infrastruktur sumberdaya air dapat dilihat pada Gambar 1.12.
Secara umum pola pemanfaatan sumber daya air hanya diarahkan pada air
permukaan. Pemanfaatan air tanah sifatnya conjunctive use dan diprioritaskan untuk
keperluan domestik serta dikembangkan hanya untuk daerah-daerah tertentu yang benarbenar tidak bisa terpenuhi oleh air permukaan. Namun eksisting pemanfaatan
sumberdaya air juga menggunakan air tanah, terutama oleh kegiatan perkotaan dan
industri yang tumbuh dengan pesat.
GAMBAR 1.12
PETA INFRASTRUKTUR SUMBERDAYA AIR
Potensi air tanah terdiri dari air tanah dangkal dan air tanah dalam. Air tanah
dangkal pada umumnya dipergunakan untuk keperluan domestik yang kapasitasnya kecil.
Ketersediaan air tanah dangkal biasanya akan bergantung dari curah hujan, karena
Pendahuluan
32
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
proses imbuhnya terjadi secara langsung dari curah hujan. Dari hasil estimasi, potensi air
tanah dangkal adalah sebesar 16,8 Milyar m3/tahun. Estimasi lainnya, dengan asumsi
bahwa tebal rata-rata akuifer 3 m, potensi air tanah dangkal yang dapat dimanfaatkan
adalah sebesar 2.20 Milyar m3/tahun. Sedangkan potensi air tanah dalam yang bisa
dimanfaatkan di Jawa Barat adalah sekitar 3.52 Milyar m3/tahun, yang terdiri 2.04 Milyar
m3/tahun air tanah dalam semi tertekan dan 1.48 Milyar m3/tahun air tanah dalam
tertekan.
Pengembangan sumber daya air pada wilayah sungai ditujukan untuk peningkatan
kemanfaatan fungsi sumber daya air guna memenuhi kebutuhan air baku untuk rumah
tangga, pertanian, industri, pariwisata, dan untuk keperluan lainnya. Pemenuhan
kebutuhan air baku untuk pertanian dilakukan dengan pengembangan sistem irigasi dan
merupakan wewenang dan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah.
Kriteria
pembagian tanggung jawab pengelolaan irigasi selain didasarkan pada keberadaan
jaringan tersebut terhadap wilayah administrasi juga didasarkan pada strata luasannya
sebagai berikut :
 Daerah Irigasi (DI) dengan luas < 1000 Ha dan berada dalam satu kabupaten/kota
menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota.
 Daerah Irigasi (DI) dengan luas 1000 - 3000 Ha atau DI yang bersifat lintas
kabupaten/kota menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah provinsi.
 Daerah Irigasi (DI) dengan luas > 3000 Ha atau DI yang bersifat lintas provinsi,
strategis nasional, dan lintas negara menjadi kewenangan dan tanggung jawab
pemerintah.
Sawah beririgasi di Jawa Barat seluas 973.976 Ha (6.954 DI) terbagi menjadi
kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan desa, dapat dilihat
dalam Gambar 1.13.
Pada Tahun 2008, kondisi daerah irigasi kewenangan Provinsi di Jawa Barat
menunjukkan bahwa sebagian besar daerah irigasi mengalami rusak ringan dan rusak
berat yang mencapai 41%. Kinerja pengelolaan jaringan irigasi kewenangan pemerintah
Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1.10.
Pendahuluan
33
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
GAMBAR 1.13
SKEMA PEMBAGIAN LUASAN SAWAH
BERDASARKAN JENIS PENGAIRAN DAN KEWENANGAN
LUAS SAWAH
1.087.956 HA (6.954 DI)
SAWAH BERIRIGASI
973.976 HA (6.954 DI)
89,52%
KEWENANGAN PUSAT
405.864 Ha (20 DI)
41,67 %
KEWENANGAN PROV
88.728 Ha
(89 DI) 9,11 %
SAWAH TADAH HUJAN
113.980 HA
(10,48 %)
KEWENANGAN KAB/KOTA
96.693 Ha (396 DI)
9,93 %
Lintas Provinsi
5.484 Ha (2 DI)
Lintas Kab/Kota
22.246 Ha (47 DI)
Areal > 3.000 Ha 400.380
Ha
(18 DI)
Areal 1000-3000 ha
66.482 Ha (42 DI)
LUAS IRIGASI DESA
382.691 Ha (6.449 DI) 39,29
%
Sumber : Dinas PSDA,
2008
TABEL 1.10
KINERJA PENGELOLAAN JARINGAN IRIGASI KEWENANGAN PEMERINTAH
PROVINSI JAWA BARAT
TAHUN
URAIAN
Jumlah daerah irigasi (DI) Prov (buah)
Intensitas tanam (%)
Jaringan irigasi yang rusak (%)
2003
2004
2005
2006
2007
2008
74
74
74
84
84
86
182
184
185
187
190
192
74
65
51
49
46
41
Sumber : PSDA, 2008
1.5.4.2 Jalan dan Perhubungan
A. Jalan
Berdasarkan pembagian kewenangan penanganan jalan, sistem jaringan jalan di
Jawa Barat ditinjau dari status jalan, terdiri atas jalan nasional sepanjang 1.140,69 Km,
jalan provinsi sepanjang 2.199,18 Km, dan jalan kabupaten/kota sepanjang 14.520,18
Km.
Selain itu, terdapat pula ruas-ruas jalan yang belum memiliki status dan fungsi
yang seharusnya menjadi bebannya. Salah satu ruas jalan yang masih belum memiliki
status, namun memiliki urgensi dalam meningkatkan pengembangan wilayah adalah ruas-
Pendahuluan
34
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
ruas jalan dalam koridor horisontal bagian selatan, yang membentang dari Kabupaten
Sukabumi (Surade) sampai dengan perbatasan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten
Ciamis (Kalapagenep), dengan panjang 257,74 km.
Kondisi jalan di Jawa Barat digambarkan melalui kondisi kemantapan jalan. Pada
Tahun 2007, kemantapan jalan nasional di Jawa Barat mencapai 85%, sementara kondisi
kemantapan untuk ruas jalan provinsi berdasarkan survey Integrated Road Management
System (IRMS) tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 1.11.
TABEL 1.11
KONDISI KEMANTAPAN JALAN
Jalan Mantap
Jalan Tidak Mantap
Baik
Sedang
Jumlah
Jumlah Rusak Ringan Rusak Berat Jumlah Total
Panjang (Km)
504,76
1.415,38
1.920,14
182,70
96,34
Persentase (%)
22,95 %
64,36 %
87,31 %
8,31 %
4,38 %
Kondisi
279,04
2.199,18
12,69 % 100,00 %
Untuk ruas jalan kabupaten/kota memiliki tingkat kemantapan yang lebih rendah,
bahkan di beberapa wilayah banyak yang berada dibawah angka 50%. Selain ruas-ruas
jalan tersebut, terdapat juga jaringan jalan tol, dengan panjang sekitar 251 Km, dengan
perincian sebagai berikut :
 Jalan Tol Jakarta –Cikampek, dengan panjang 72 km
 Jalan Tol Jagorawi, dengan panjang 46 km
 Jalan Tol Palimanan-Kanci, dengan panjang 26 km
 Jalan Tol Padaleunyi, dengan panjang 47 km
 Jalan Tol Cipularang, dengan panjang 60 km
Dalam pengembangan jalan tol yang ditujukan terutama untuk mendukung pusat
pertumbuhan ekonomi, menghubungkan antar kawasan, serta mengatasi kemacetan di
daerah perkotaan, terdapat rencana jalan tol yang masih dalam proses pembangunan,
meliputi :
 Jalan Tol Cinere-Jagorawi, dengan panjang 15 km
 Jalan Tol Depok-Antasari, dengan panjang 21 km
 Jalan Tol Bogor Ring Road, dengan panjang 11 km
 Jalan Tol Cimanggis-Cibitung, dengan panjang 25,4 Km
Pendahuluan
35
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
Kebijakan pengembangan jalan tol lainnya yang sedianya diperlukan dalam
mendukung perkembangan pembangunan Jawa Barat, diarahkan pada :
 Pengembangan Jalan Sekunder dan pendukung Pulau Jawa yang meliputi: CiawiSukabumi-Bandung dan Cileunyi-Sumedang-Dawuan,
 Pengembangan Jalan tol daerah perkotaan, antara lain di wilayah Jabodetabek dan
Bandung.
Pola jaringan jalan di Jawa Barat terdiri dari tiga jaringan utama, yaitu :
1. Koridor Utara
: DKI Jakarta – Cikampek – Cirebon
2. Koridor Tengah
: Jasinga – Bogor – Cianjur – Bandung – Banjar
3. Koridor Selatan
: Pelabuhanratu – Sagaranten – Sindangbarang – Pameungpeuk –
Cipatujah – Kalapagenep – Pangandaran.
Secara umum kondisi jaringan jalan di Jawa Barat bagian utara dan tengah relatif
baik, terutama untuk sistem horizontal. Untuk Jawa Barat bagian selatan, koridor
Pelabuhanratu-Sagaranten–Sindangbarang–Pameungpeuk–Cipatujah–Pangandaran–
Kelapagenep, belum memiliki kondisi yang baik, dalam sistem jaringan lintas vertikal
maupun horizontal.
GAMBAR 1.14
PETA INFRASTRUKTUR JALAN DAN PERHUBUNGAN EKSISTING
Pendahuluan
36
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
B. Perhubungan Darat
Berkaitan dengan jaringan pelayanan kereta api, tidak semua jaringan yang
tersedia dioperasikan. Kondisi jalur-jalur tersebut dipandang masih cukup prospektif untuk
dikembangkan, mengingat sarana transportasi ini memiliki daya tarik yang kuat bagi
masyarakat, selain juga sejalan dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan
ketersediaan transportasi masal. Jalur-jalur yang tidak dimanfaatkan adalah Rancaekek–
Tanjung Sari, Banjar–Cijulang, Bandung–Soreang–Ciwidey. Adapun jalur-jalur yang masih
dapat dioperasikan, namun perlu peningkatan kualitas adalah jalur Bandung–Cianjur–
Sukabumi, Sukabumi–Bogor, Padalarang–Cicalengka.
Selain jaringan rel, terdapat pula jaringan prasarana yang terdiri dari simpulsimpul berupa stasiun kereta api. Stasiun kereta api yang cukup besar di Jawa Barat
adalah :
1. Jalur Selatan, yang meliputi Stasiun Bandung, Stasiun Tasikmalaya, Stasiun Banjar
2. Jalur Utara, yang meliputi Stasiun Bekasi, Stasiun Cikampek, Stasiun Cirebon.
B. Perhubungan Laut
Pelabuhan Laut yang terdapat di Jawa Barat, terdiri dari :
 Pelabuhan Regional Muara Gembong, Kab. Bekasi, merupakan pelabuhan kelas V
 Pelabuhan Regional Pangandaran, Kab. Ciamis, merupakan pelabuhan kelas V dengan
kapasitas 300 DWT
 Pelabuhan Internasional Cirebon, Kota Cirebon, dengan kapasitas 4.000 DWT, yang
dikelola oleh PT. Pelindo II (Cabang Cirebon)
 Pelabuhan Regional Khusus Kejawanan, Kab. Cirebon
 Pelabuhan Regional Indramayu, Kab. Indramayu, merupakan pelabuhan kelas V
dengan kapasitas 300 DWT
 Pelabuhan Nasional Pamanukan, Kab. Subang, merupakan pelabuhan kelas V dengan
kapasitas 300 DWT
 Pelabuhan Regional Pelabuhan Ratu, Kab. Sukabumi, merupakan pelabuhan kelas V
dengan kapasitas 500 DWT.
Selain pelabuhan laut yang berfungsi sebagai moda transportasi laut, yang
berorientasi ekonomi dan distribusi orang dan barang, Jawa Barat juga memiliki
pelabuhan khusus, yaitu :
 Pelabuhan khusus Pertamina untuk BBM dan PLTG di Balongan Kabupaten Indramayu
Pendahuluan
37
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
 Pelabuhan Khusus milik PT. PLN yaitu Pelabuhan Khusus PLTU Muara Tawar di
Kabupaten Bekasi
 Pelabuhan Khusus milik PT. Pupuk Kujang di Pamanukan Kabupaten Subang
 Pelabuhan Khusus yang berlokasi di Kabupaten Sukabumi yaitu Pelabuhan Perikanan
Samudera
 Pelabuhan Khusus PT. Sinar Surya Makmur yang dikhususkan untuk memuat dan
membongkar bahan Batubara.
C. Perhubungan Udara
Sampai dengan tahun 2007, Jawa Barat memiliki beberapa bandar udara yang
cukup mendukung pergerakan orang dan barang, diantaranya :
 Bandara Husein Sastranegara, Bandung, dengan run way 2.250 m x 45 m, dikelola
oleh PT. Angkasa Pura II
 Bandara Udara Nusa Wiru, Pangandaran dengan run way 1. 400 m x 30 m, dikelola
oleh TNI
 Bandara Penggung/Cakrabuana, Cirebon, dengan run way 1.270 m x 30 m, yang
dikelola oleh UPT Ditjen Perhubungan Udara, merupakan pelabuhan kelas IV.
GAMBAR 1.15
PETA BANDAR UDARA DAN PANGKALAN UDARA
Pendahuluan
38
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
1.5.4.3 Energi dan Telekomunikasi
Jawa Barat memiliki potensi energi fosil berupa gas dan minyak bumi, tenaga air
yang digunakan sebagai pembangkit listrik, dan sumberdaya panas bumi. Selain itu,
memiliki potensi sumberdaya terbarukan lainnya, yaitu energi surya dan energi angin
yang sudah dikembangkan. Energi terbarukan yang akan dikembangkan yaitu biomasa
dan energi gelombang laut.
Potensi cadangan minyak bumi Jawa Barat tersebar di daerah Bekasi, Indramayu,
Karawang, Majalengka dan Subang. Cadangan minyak awal di kelima daerah tersebut
adalah 5.776.252 MSTB (ribu stok tank barrel) dengan pengambilan maksimum 1.604.202
MSTB. Dari sejumlah cadangan minyak yang ada, telah diproduksi sebanyak 1.381.860
MSTB sehingga sisa cadangan yang tersisa sebesar 222.341 MSTB.
Operator Migas
dilaksanakan oleh BP. Indonesia dan PT. Pertamina EP dengan total produksi Minyak Bumi
4% dan Gas 11% dari total produksi Migas Indonesia yang dihasilkan dari 58 lapangan
Migas.
Potensi sumber daya gas alam di Jawa Barat terdapat di Indramayu, Karawang,
Majalengka dan Subang. Cadangan Gas Awal (IGIP – Initial Gas In Place) di daerah
tersebut mencapai 4.327.510,70 MMSCF, pengambilan maksimum adalah 3.100.029,90
MMSCF, produksi kumulatif mencapai 1.827.037,96 MMSCF sehingga masih terdapat sisa
cadangan sebesar 1.272.991,94 MMSCF (MMSCF = juta kaki kubik). Potensi sumber daya
gas alam di Jawa Barat lebih besar dibandingkan potensi minyak bumi, namun potensi
tersebut belum dimanfaatkan secara optimal terutama untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat Jawa Barat. Peta infrastruktur minyak dan gas dapat dilihat pada Gambar
1.16.
Jawa Barat juga memanfaatkan potensi energi yang berasal dari sumber daya air
sebagai sumber pembangkit listrik baik dalam skala besar maupun dalam skala mikro.
Tiga waduk besar yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, menjadi sumber
pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang terkoneksi dalam sistem Jawa Bali. Ketiga
waduk tersebut adalah Waduk Jatiluhur yang memberikan kontribusi listrik sebesar 150
MW, Waduk Cirata dengan kapasitas 1.000 MW, dan Waduk Saguling dengan kapasitas
700 MW.
Pendahuluan
39
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
GAMBAR 1.16
PETA INFRASTRUKTUR MIGAS EKSISTING TAHUN 2006
Pemanfaatan sumberdaya air untuk pengembangan pembangkit listrik skala mikro
(mikrohidro), tersebar di beberapa kabupaten, terutama di wilayah Jawa Barat Bagian
Selatan. Pengembangan mikrohidro dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan listrik
perdesaan yang tidak terlayani melalui jaringan listrik PLN. Potensi sebaran potensi
mikrohidro dapat dilihat pada Tabel 1.12.
TABEL 1.12
POTENSI TENAGA AIR SKALA MIKRO UNTUK TENAGA LISTRIK
Tahun
Kabupaten
Kecamatan
Desa
Jumlah KK
Daya (kVA)
2001
2002
2003
Garut
Sukabumi
Cianjur
Garut
Tasikmalaya
Bungbulang
Cisolok
Cidaun
Cikelet
Cipatujah
2004
Garut
2005
Cianjur
Ciamis
Tasikmalaya
Mekarbakti
Simaresmi
Mekarjaya
Linggamanik
Nagrog
400
800
600
400
120
40
65
25
40
12
Bungbulang
Mekarwangi
50
17,5
APBN
Sd. Barang
Cigugur
Cipatujah
Girimukti
Harumandala
Mertajaya
135
135
230
50
15,6
26
APBD Prop
APBD Prop
APBN
Pendahuluan
Pembiayaan
APBD Prop
APBD Prop
APBD Prop
APBD Prop
APBN
40
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
Tahun
2006
Kabupaten
Kecamatan
Desa
Jumlah KK
Daya (kVA)
60
200
3130
2470
400
10
35
336,1
235,6
55,5
Sukabumi
Cidadap
Hegarmulya
Garut
Cibalong
Segara
Jumlah Keseluruhan
APBD Provinsi Jawa Barat
APBN (Dekonsentrasi)
Pembiayaan
APBD
APBD
Sumber: Distamben Jawa Barat, 2005
Potensi panas bumi di Jawa Barat berasal dari gunung berapi aktif yang berada di
daerah patahan geologi dan memiliki potensi panas bumi yang cukup besar, diperkirakan
mencapai 5.311 MW (± 21,7% dari total potensi panas bumi Indonesia dan tersebar di
43 lokasi di 11 Kabupaten). Distribusi potensi geothermal dapat dilihat pada Gambar 1.17
dan Gambar 1.18.
GAMBAR 1.17
PETA DISTRIBUSI POTENSI GEOTHERMAL DI JAWA BARAT
0
REGENCY
40 Km
1. BOGOR
2. SUKABUMI
3. BANDUNG
4. SUBANG
5. CIANJUR
PLTP Awibengkok
G. Salak
6. GARUT
7. TASIKMALAYA
8. CIAMIS
9. KUNINGAN
10. CIREBON
11. SUMEDANG
PLTP Kamojang
PLTP Darajat
PLTP Wayang
Windu
TOTAL POTENTIAL = 6101
MW
SPECULATIVE : 1850 MW
ESTIMATED : 1457 MW
HYPOTHETICAL : 864 MW
PROBABLE : 488 MW
DISTRIBUTION MAP OF
GEOTHERMAL
POTENTIAL IN WEST JAVA
PROVEN : 1442 MW
Pendahuluan
41
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
GAMBAR 1.18
PETA SEBARAN POTENSI PANAS BUMI
YANG DIMANFAATKAN SEBAGAI ENERGI LISTRIK
TOTAL LISTRIK
TERBANGKITKAN : 749
BEKA
INDRAMA
Cadangan = 600 MWe
Kapasitas terpasang = 354 MW
BOG
PURWAKA
SUKABU
CIREB
SUMEDA
CIANJ
Sumber daya = 75 MWe
Cadangan = 385 MWe
Kapasitas terpasang = 110
BANDUNG
KUNING
GAR
TAS
Cadangan = 350 MWe
Kapasitas terpasang = 145 MW
BANJ
Cadangan = 300 MWe
Kapasitas terpasang = 140 MW
Sumber : Distamben, 2004
Sebagian potensi panas bumi telah dieksplorasi untuk pembangkit listrik sebesar
705 MW, (sekitar 93,6% dari potensi listrik panas bumi nasional), yakni PLTP Kamojang
sebesar 140 MW, PLTP Darajat sebesar 145 MW, PLTP Gunung Salak sebesar 380 MW
dan PLTP Wayang Windu sebesar 110 MW. Jumlah energi terpasang ini hanya sekitar
35% dari cadangan terbukti (sekitar 3% dari total potensi energi panas bumi yang
tersedia). Sebagian potensi lainnya telah direncanakan sebagai proyek komitmen sebesar
1.150 MW. Dengan demikian masih terdapat potensi panas bumi sebesar 3.456 MWe
yang belum termanfaatkan. Pengembangan panas bumi sebagai sumber energi listrik
akan dikembangkan di 3 (tiga) lokasi yaitu Gunung Tangkuban Parahu dengan kapasitas
2 x 30 MW, Cisolok-Sukarame dengan kapasitas 2 x 15 MW, dan Gunung Tampomas
dengan kapasitas sebesar 30 MW. Tabel 1.13 menunjukkan potensi pengembangan panas
bumi pada ketiga lokasi tersebut.
Pendahuluan
42
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
TABEL 1.13
PEMANFAATAN ENERGI PANAS BUMI UNTUK TENAGA LISTRIK
Description
Cisolok-Sukarame
Cisukarame
Ciater
Tampomas
Generated Power
30 MW (2x15 MW)
60 MW (2x30 MW)
30 MW
Total Investment
US $ 54.28 Million
US $ 95.76 Million
US $ 54.28 Million
NPV
5.014 US $ Million
17.197 US $ Million
8.955 US $ Million
IRR
13.07 %
16.13 %
15.44 %
Payout Time
Between year 11 to 12 Between year 9 to 10
Between year 10 to 11
Pengembangan energi surya telah dilakukan dalam skala kecil (rumah tangga),
ditujukan bagi masyarakat yang tidak mendapatkan jaringan listrik PLN. Kendala yang
dihadapi pada pengembangan energi surya adalah elemen dan pemeliharaan yang masih
cukup mahal. Disamping itu, efisiensi tenaga surya masih dianggap terlalu kecil, yaitu
sekitar 5%, sehingga pemanfataan energi surya hanya dapat digunakan untuk kebutuhan
dasar saja (penerangan).
Pengembangan energi angin skala kecil baru dikembangkan di wilayah Pantura
Jawa Barat, berupa pemanfaatan angin untuk memompa air bagi lahan pertanian.
Pengembangan energi alternatif lainnya adalah bioenergi, yaitu biomasa dan biofuel.
Biomasa yang dikembangkan sampai dengan saat ini adalah yang berasal dari kotoran
ternak. Sedangkan biofuel baru mulai dikembangkan melalui pengembangan bioethanol
dan biokerosin, yang ditujukan untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap energi
fosil. Pengembangan pemanfaatan energi surya untuk tenaga listrik (solar home system)
secara kontinyu dikembangkan untuk memfasilitasi daerah terpencil, dapat dilihat pada
Tabel 1.14.
Pendahuluan
43
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
TABEL 1.14
PEMANFAATAN ENERGI SURYA UNTUK TENAGA LISTRIK
Tahun
2004
2005
2006
Kabupaten
Majalengka, Kec. Kertajati, UPT
Sukamaju Desa Mekarjaya
Cianjur
Majalengka
Majalengka
Indramayu
Cianjur
Kuningan
Jumlah
Jumlah (unit)
60
50
32
57
100
3
302
Sumber: Distamben Jawa Barat, 2006
Terkait dengan pemanfaatan listrik yang berasal dari PLN, pasokan listrik dipenuhi
dari Sistem Ketenagalistrikan Jawa Madura Bali (Jamali). Pengelolaan pasokan listrik
dilakukan oleh :
1. PT. PLN P3B (Persero) Region Jawa Barat, untuk daerah Karawang, Cianjur,
Purwakarta, Cimahi, Bandung, Majalaya, Sumedang, Cirebon, Garut, Tasikmalaya.
2. PT. PLN P3B (Persero) Region Jakarta dan Banten, untuk daerah Sukabumi, Bogor,
Depok dan Bekasi.
Distribusi pasokan Listrik Provinsi Jawa Barat mempunyai dua mekanisme
pasokan, yakni melalui pasokan listrik PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten, dan sumber
listrik sendiri (captive power) yang digunakan untuk memenuhi berbagai sektor
pengguna, termasuk yang berada pada kawasan industri Jababeka dan Cikarang Listrindo
yang mempunyai hak khusus (IUKU) menyediakan listrik untuk kawasan tersebut.
Rasio jumlah captive power yang tersambung dengan jaringan listrik PLN sebesar
70,2%. Hal ini menunjukkan bahwa sudah cukup besar captive power yang
terinterkoneksi dengan sistem jaringan listrik nasional. Selain itu terdapat juga berbagai
captive power yang digunakan oleh masyarakat untuk kepentingannya sendiri, yang
berasal dari berbagai jenis pembangkit, seperti PLTD, PLTMH, PLTS dan sebagainya. Peta
infrastruktur listrik dapat dilihat pada Gambar 1.19.
Pendahuluan
44
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
GAMBAR 1.19
PETA INFRASTRUKTUR LISTRIK PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2006
Kebutuhan listrik Provinsi Jawa Barat dari tahun ke tahun dapat dilihat dalam
Neraca Daya Listrik. Dalam membuat Neraca Daya Listrik, diambil suatu asumsi bahwa
kebutuhan daya listrik Provinsi Jawa Barat harus dipenuhi oleh pembangkit listrik yang
ada di Provinsi Jawa Barat. Beban Puncak dalam Neraca Daya ini adalah hasil prakiraan
beban puncak Provinsi Jawa Barat tahun 2006 – 2016. Pasokan daya listrik dalam neraca
daya ini adalah Daya Mampu Netto pembangkit di Provinsi Jawa Barat yang ada saat ini.
Daya Mampu Netto (DMN) pembangkit di Jawa Barat sampai dengan akhir tahun 2007
adalah 4.337,05 MW.
Jumlah pelanggan listrik PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten di
Provinsi Jawa Barat hingga Oktober 2007 adalah 7.642.236 pelanggan, terdiri dari
pelanggan rumah tangga (6.652.101 rumah tangga atau 87%), sedangkan sisanya adalah
pelanggan bisnis, publik, sosial, dan pelanggan industri. Walaupun pelanggan rumah
tangga memiliki jumlah pelanggan terbesar, tetapi bila dilihat dari daya tersambung serta
jumlah konsumsi dari setiap tipe pelanggan, pelanggan industri merupakan pelanggan
dengan komsumsi listrik paling besar di Jawa Barat.
Pendahuluan
45
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
Untuk tingkat pedesaan, berdasarkan cakupan infrastruktur ketenagalistrikan di
Jawa Barat telah menunjukkan data yang menggembirakan dengan telah tercapainya
tingkat elektrifikasi sebesar 99,59%, dimana hanya tinggal 12 desa yang belum teraliri
listrik yaitu 7 desa di Kabupaten Cianjur (Desa Cibuluh, Desa Cimaragang, Desa
Mekarjaya, Desa Gelarpawitan, Desa Karangwangi, Desa Puncak Sari, dan Desa
Mekarlaksana) dan 5 desa di Kabupaten Garut (Desa Cikarang, Desa Karangsewu, Desa
Purwajaya, Desa Mekarmukti, dan Desa Girimukti). Walaupun tingkat elektrifikasi telah
memberikan angka yang tinggi, angka rasio elektrifikasi (RE) rumah tangga pada akhir
2007 baru mencapai 60,41%, atau setara 6.652.101 rumah tangga dari total 11.011.044
rumah tangga di Jawa Barat yang dapat mengakses listrik. Dari 16 Kabupaten/Kota di
Jawa Barat, rasio elektrifikasi terbesar adalah 76,62% (Kabupaten Kuningan), sedangkan
rasio elektrifikasi terkecil adalah 41,76% (Kabupaten Subang).
Konsumsi listrik Jawa Barat sebesar 594,36 kWh/kapita, menunjukkan konsumsi
masyarakat Jawa Barat diatas rata-rata nasional yang hanya mencapai 428 kWh/kapita.
Namun masih terdapat disparitas yang sangat besar antar wilayah Jawa Barat, dimana
untuk Jawa Barat bagian selatan memiliki konsumsi listrik perkapita yang masih sangat
jauh dibawah rata-rata Jawa Barat.
Untuk melayani jasa telekomunikasi telepon tetap bagi masyarakat di wilayah
Jawa Barat, PT. Telkom membaginya dalam 2 (dua) Divisi Regional (Divre) yaitu Divre II
Jakarta dan Divre III Jawa Barat dengan area pelayanan sebagai berikut :
1. Divre II Jakarta melayani kebutuhan telekomunikasi masyarakat Jakarta, Banten, dan
sebagian Jawa Barat. Divre II Jakarta mempunyai 8 (delapan) Kantor Daerah
Pelayanan Telekomunikasi (Kandatel), di mana 2 (dua) Kandatel melayani sebagian
wilayah Jawa Barat, dengan area pelayanan sebagai berikut:
a. Kandatel Bekasi
Area pelayanan Bekasi, Purwakarta dan Karawang
b. Kandatel Bogor
Area pelayanan Bogor dan Depok
2. Divre III Jawa Barat melayani kebutuhan telekomunikasi masyarakat sebagian besar
wilayah Jawa Barat. Divre III Jawa Barat mempunyai 7 (tujuh) Kandatel dengan area
pelayanan sebagai berikut :
a. Kandatel Bandung
Area Pelayanan Bandung dan Sumedang
Pendahuluan
46
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
b. Kandatel Garut
Area Pelayanan Garut
c. Kandatel Subang
Area Pelayanan Subang
d. Kandatel Cirebon
Area Pelayanan Cirebon, Kuningan, Indramayu dan Majalengka
e. Kandatel Tasikmalaya
Area Pelayanan Tasikmalaya dan Ciamis
f.
Kandatel Cianjur
Area Pelayanan Cianjur
g. Kandatel Sukabumi
Area Pelayanan Sukabumi
Jumlah satuan sambungan telepon (SST) dari PT. Telkom secara rinci untuk
wilayah Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1.15.
TABEL 1.15
DATA JUMLAH SST DI JAWA BARAT
No
Kabupaten/ Kota
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
Jumlah
Telepon
SST
Jml
Jumlah
%
Penduduk yg
Pengguna
Pengguna
belum
*)
Telepon
Telepon
terlayani
Teledensitas
1
Kabupaten Bogor
3,060,618
161,159
805,795
2,254,823
26.33%
5.3
2
Kabupaten Sukabumi
1,956,188
26,757
133,785
1,822,403
6.84%
1.4
3
Kabupaten Cianjur
1,964,571
31,927
159,635
1,804,936
8.13%
1.6
4
Kabupaten Bandung
3,326,899
87,047
435,235
2,891,664
13.08%
2.6
5
Kabupaten Garut
1,919,711
29,120
145,600
1,774,111
7.58%
1.5
6
Kabupaten Tasikmalaya
1,408,903
8,182
40,910
1,367,993
2.90%
0.6
7
Kabupaten Ciamis
1,574,298
16,734
83,670
1,490,628
5.31%
1.1
8
Kabupaten Kuningan
966,958
7,207
36,035
930,923
3.73%
0.7
9
Kabupaten Cirebon
1,843,096
21,405
107,025
1,736,071
5.81%
1.2
10
Kabupaten Majalengka
1,129,738
9,910
49,550
1,080,188
4.39%
0.9
11
Kabupaten Sumedang
904,063
9,589
47,945
856,118
5.30%
1.1
12
Kabupaten Indramayu
1,563,323
15,393
76,965
1,486,358
4.92%
1.0
13
Kabupaten Subang
1,248,047
27,796
138,980
1,109,067
11.14%
2.2
14
Kabupaten Purwakarta
638,964
21,345
106,725
532,239
16.70%
3.3
15
Kabupaten Karawang
1,649,219
47,932
239,660
1,409,559
14.53%
2.9
16
Kabupaten Bekasi
1,330,389
42,281
211,405
1,118,984
15.89%
3.2
17
Kota Bogor
691,421
58,917
294,585
396,836
42.61%
8.5
18
Kota Sukabumi
246,847
13,927
69,635
177,212
28.21%
5.6
Pendahuluan
47
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
No
Kabupaten/ Kota
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
Jumlah
Telepon
SST
Jml
Jumlah
%
Penduduk yg
Pengguna
Pengguna
belum
Telepon*)
Telepon
terlayani
Teledensitas
19
Kota Bandung
1,806,090
257,279
1,286,395
519,695
71.23%
14.2
20
Kota Cirebon
252,180
26,725
133,625
118,555
52.99%
10.6
21
Kota Bekasi
1,294,258
200,448
1,002,240
292,018
77.44%
15.5
22
Kota Depok
949,207
61,135
305,675
643,532
32.20%
6.4
23
Kota Cimahi
368,343
34,686
173,430
194,913
47.08%
9.4
24
Kota Tasikmalaya
516,054
24,123
120,615
395,439
23.37%
4.7
Sumber : Data Survey Infrastruktur Telekomunikasi, Sekda Jawa Barat, 2002
Catatan : Perhitungan jumlah pengguna telepon menggunakan asumsi 1 sst (atau satuan sambungan) dipakai untuk 1
KK atau oleh 5 (lima) orang
% Pengguna dihitung dari : jumlah pengguna dibagi jumlah penduduk
Teledensitas dihitung dari : jumlah sst dibagi jumlah penduduk dikali 100
Data SST tersebut menunjukkan bahwa teledensitas tinggi (lebih besar dari 10)
terdapat di Kota Bandung (14.2), Kota Cirebon (10.6) dan Kota Bekasi (15.5); teledensitas
sedang (5-10) terdapat di Kota Cimahi, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor; teledensitas
rendah (lebih kecil dari 5) untuk kabupaten lainnya. Coverage area pelayanan telepon
seluler dan telepon tetap di Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 1.20.
GAMBAR 1.20
PETA KONDISI COVERAGE AREA PELAYANAN TELEPON SELULER & TETAP
Pendahuluan
48
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
1.5.5 Sumberdaya Alam, Lingkungan Hidup & Kelautan
A. Pertambangan
Jawa Barat memiliki potensi bahan galian (mineral) yang beraneka ragam dan
tersebar di 17 (tujuh belas) Kabupaten. Bahan galian meliputi bahan galian mineral
logam, mineral industri, dan bahan galian konstruksi. Bahan galian mineral logam (base
metal) yang ada di Jawa Barat antara lain emas, timbal (timah hitam), besi (bijih besi
dan pasir besi) dan
mangan. Bahan galian industri antara lain barit, batuapung,
batugamping, belerang, bentonit, bond clay, chert (rijang), diatomea, dolomit, felspar,
fosfat, gipsum, jasper, kalsedon, kalsit, kaolin, lempung, marmer, obsidian, oker, oniks,
pasir kuarsa, perlit, toseki, dan zeolit. Sedangkan bahan galian konstruksi antara lain batu
andesit, pasir, sirtu, tanah urug dan lain-lain. Peta potensi mineral dan bahan tambang
dapat dilihat pada Gambar 1.21.
GAMBAR 1.21
PETA POTENSI MINERAL DAN BAHAN TAMBANG PROVINSI JAWA BARAT
Sebaran beberapa jenis sumber daya bahan galian mineral logam di Jawa Barat
dapat dilihat pada Tabel 1.16 dan Gambar 1.22 dan Gambar 1.23.
Pendahuluan
49
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
Tabel 1.16
Sebaran Beberapa Komoditi Mineral (Logam Dasar)
Jenis
Mineral
Emas
Kecamatan/Kabupaten
Nanggung dan Leuwiliang Kab.
Bogor.
Ciemas, Ciracap, Pelabuhan Ratu,
Warung Kiara, Cikidang, dan Tegal
Buleud Kab. Sukabumi.
Cibeber, Kab. Cianjur
Sukatani dan Campaka, Kab.
Purwakarta
Kec. Cililin, Kab. Bandung
Kec. Salopa, Pancatengah, Cineam
Kab. Tasikmalaya
Timbal
Tembaga
Kec. Jasinga dan Cigudeg Kab.
Bogor
Kec. Karangnunggal Kab.
Tasikmalaya
Kec. Ciamis, Ciamis
Alumunium
Kec. Pangalengan, Kab. Bandung
Mangan
Kec. Karangnunggal, Pancatengah,
dan Cikatomas, Kab. Tasikmalaya
Besi Titan
Kec. Ciracap, Surade, dan
Pelabuhan Ratu Kab. Sukabumi,
Kec. Cibuaya Kab. Karawang, Kec.
Sindang Barang Kab. Cianjur, Kec.
Pamanukan Kab. Subang, Kec.
Cipatujah, Bantarkalong, Cikalong
Kab. Tasikmalaya, Kec. Cijulang &
Pangandaran Kab. Ciamis.
Kec. Sindangbarang Kab. Cianjur,
Kec. Cisalak Kab. Subang, Kec.
Pamengpeuk Kab. Garut
Kec. Sukatani, Kab. Purwakarta
Besi
Seng
Keterangan
Merupakan urat kuarsa pada zona sesar.
Merupakan urat kuasa pada zona sesar maupun
akibat terobosan andesit basal pada Formasi
Jampang.
Merupakan urat kuarsa pada andesit tua
terpropilitkan
Merupakan urat kuarsa
Urat sulfida pada andesit terpropilitkan.
Merupakan endapan placer (Kec. Salopa),
stockwork pada batuan andesit dan breksi
gunungapi (Kec. Pancatengah), urat kuarsa
yang berkembang dalam tuff Formasi Jampang
(Kec. Cineam).
Merupakan endapan hidrothermal.
Urat kuarsa pada granit-granodiorit, tuf dan
breksi, dan berasosiasi dengan timbal dan seng
Urat kuarsa pada andesit, berasosiasi dengan
timbal dan seng
Terbentuk oleh kegiatan vulkanik pada andesit
di bawah kaldera.
Bijih mangan terdapat pada lapisan
batugamping berbentuk lensa-lensa, serta
adanya pengayaan supergen.
Umumnya merupakan endapan pasir pantai
yang mengandung ilmenit dan magnetit.
Berupa limonit dan hematit sedimenter, serta
endapan pasir besi.
Berupa endapan primer yang berupa urat-urat
yang terdapat pada batuan andesit.
Sumber : Direktorat Sumber daya Mineral, 1994
Pendahuluan
50
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
GAMBAR 1.22
PETA POTENSI LOGAM DAN MINERAL DALAM ZONA KELAYAKAN TAMBANG
GAMBAR 1.23
PETA POTENSI LOGAM DAN ZONA LAYAK TAMBANG
Pendahuluan
51
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
Bahan galian industri dan konstruksi termasuk dalam bahan galian Golongan C,
berupa bahan galian utama pasir dan batu di sepanjang alur sungai, basalt dan andesit
dari daerah pegunungan, tanah lempung-tanah liat dari endapan alluvial yang digunakan
sebagai bahan dan/atau konstruksi bangunan dan juga batugamping. Bahan galian
konstruksi masih merupakan primadona investasi,
diterbitkan dan dari
terlihat dari jumlah SIPD yang
jumlah luasan SIPD. Distribusi pemegang SIPD Gubernur dapat
dilihat pada Tabel 1.17.
Tabel 1.17
Distribusi Pemegang SIPD Gubernur di Jawa Barat
Menurut Jumlah pada Kondisi Triwulan II Tahun 2008
KAB.
Bekasi
Karawang
Purwakarta
Bogor
Sukabumi
Cianjur
Bandung
Bandung
Barat
Subang
Sumedang
Garut
Tasikmalaya
Ciamis
Majalengka
Indramayu
Kuningan
Cirebon
Jumlah
Jabar
PasirSirtu
Andesit
Batukapur
/ Gamping
4
1
8
36
8
30
1
1
1
9
53
6
3
16
18
18
28
10
14
9
10
18
12
7
126
214
1
6
8
7
1
2
42
3
6
7
131
23
8
Marmer
Trass/
Tanah
urug
1
Feldsfar zeolite
Bentonit
Batu
Ares
Galena/
Spalerit
1
6
9
1
1
2
7
2
30
4
1
3
3
4
6
11
2
3
11
1
1
28
11
1
12
29
29
1
18
4
12
1
3
6
21
57
4
4
1
20
Sumber : Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat, 2008
B. Air Permukaan
Kuantitas dan kualitas sumberdaya air di Jawa Barat mengalami penurunan. Lima
sungai besar di Jawa Barat yaitu Ciliwung, Cileungsi, Citarum, Cimanuk dan Citanduy
dinyatakan tidak layak untuk bahan baku air minum, karena telah terkontaminasi bakteri
coli melampaui baku mutu air minum, yaitu lebih dari 2000/100ml.
Sungai Citarum memiliki kualitas air yang paling buruk, akibat pertumbuhan
industri, permukiman, pertanian dan peternakan di sepanjang wilayah DAS Citarum. Di
Pendahuluan
52
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
sekitar DAS tersebut terdapat 542 industri dengan jumlah penduduk sebanyak 8,6 juta
jiwa dan sekitar 79,8 ha sawah pertanian yang berpotensi menyumbang limbah. Kondisi
ini diperparah dengan semakin tingginya fluktuasi debit antara musim hujan dan musim
kemarau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun semua industri mengolah
limbahnya, namun jika fluktuasi debit tidak berubah, maka kualitas sungai akan tetap
buruk. Demikian halnya dengan Sungai Citarum, kualitas kelima sungai utama lainnya
juga dalam kondisi tercemar berat dari hulu sampai hilir.
Berdasarkan pemantauan terhadap 7 sungai lintas DAS Provinsi yaitu Citarum,
Ciliwung, Cisadane, Cileungsi, Cilamaya, Cimanuk dan Citanduy menunjukkan bahwa
ketujuh sungai tersebut status mutunya tercemar berat (D).
C. Air Tanah
Potensi
air
tanah
di
Jawa
Barat
terbagi
menjadi
15
cekungan
lintas
kabupaten/kota, 8 cekungan non lintas (lokal) dan 4 cekungan lintas provinsi, dapat
dilihat pada Gambar 1.24. Kondisi saat ini memperlihatkan ketidakseimbangan antara
pengambilan dan kemampuan pengimbuhan air tanah yang ditandai dengan semakin
menurunnya permukaan air tanah bahkan di beberapa daerah kondisinya sudah mencapai
kriteria kritis.
GAMBAR 1.24
PETA CEKUNGAN AIR BAWAH TANAH
Pendahuluan
53
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
CAT Bandung, CAT Bogor dan CAT Bekasi – Karawang, sudah termasuk dalam
zona kritis. Dari ketiga cekungan tersebut CAT Bandung merupakan cekungan yang
tingkat kerusakan paling parah, di beberapa tempat sudah dalam kondisi kritis.
Pengukuran di beberapa tempat menunjukkan penurunan muka air tanah sejak
tahun 1960 sampai tahun 2005 antara 66 – 69 meter. Kerusakan sumber daya air tanah
ini akan semakin parah apabila tidak segera dilakukan langkah-langkah pengendalian
secara sinergis melalui strategi kebijakan pengelolaan air tanah yang utuh menyeluruh
dan dilaksanakan secara terkoordinasi.
D. Udara
Penurunan daya dukung udara diakibatkan semakin meningkatnya berbagai
polutan dari aktivitas manusia. Kontribusi terbesar pencemaran udara berasal dari
penggunaan energi fosil untuk transportasi, industri, pembangkit listrik dan rumah
tangga, pembakaran sampah serta konversi lahan dan kebakaran hutan. Pencemaran
udara terutama terjadi di beberapa kota besar seperti seperti Bandung, Bogor, Bekasi,
dan Cirebon. Secara umum pengukuran kualitas udara ambien di beberapa kota besar
menunjukkan kualitas udara ambien di bawah nilai ambang batas.
Transportasi dianggap sebagai penyumbang polutan tertinggi (sekitar 60% dari
pencemaran total), karena semakin tingginya pengguna kendaraan pribadi terutama
kendaraan bermotor roda dua. Hasil pengukuran yang dilakukan tahun 2007 bahwa 38 %
kendaraan bermotor dengan bahan bensin dan lebih dari 75% kendaraan berbahan bakar
solar yang diuji tidak memenuhi Bahan Mutu Emisi (BME). Kecenderungan kandungan
Hidrokarbon (HC) juga meningkat di atas ambang batas hingga 4-8 kali dari konsentrasi
ambang batas baku mutu udara ambien (169 mg/m3/3 jam). Sebagai Contoh, Kota
Bandung hanya memiliki 55 hari sehat dalam 1 tahunnya.
Sumber polutan lainnya adalah kegiatan industri, sejalan dengan naiknya harga
minyak bumi banyak industri yang mulai mengalihkan sumber energinya ke batu bara,
walaupun kandungan polutan yang dimiliki lebih tinggi dibanding minyak bumi dan gas.
Lemahnya pengendalian pencemaran udara serta penggunaan teknologi yang tidak ramah
lingkungan menyebabkan masalah pencemaran udara dari pemenuhan kebutuhan energi
masih terus menjadi permasalahan utama. Batu bara menghasilkan emisi terbesar
sedangkan gas menghasilkan emisi yang paling rendah, karena itu sering kali gas
dianggap sebagai energi yang ramah lingkungan.
Pendahuluan
54
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
TABEL 1.18
PERBANDINGAN EMISI PADA PEMBANGKIT LISTRIK
Type of
emission
Emission (pound/109 BTU of
Coal
Crude Oil
208
164
2.591
1,122
2.744
84
457
448
208
33
CO2
SOx
PM10
NOx
CO
Energi)
Gas
117
1
7
92
40
Sumber: Bappenas 2006
Pencemaran udara yang terjadi berkontribusi terhadap terjadinya pemanasan
global dan perubahan iklim. Efek pemanasan global terhadap perubahan iklim terutama
terjadi karena peningkatan secara gradual temperatur permukaan global akibat efek emisi
gas-gas rumah kaca (terutama CO2). Kemudian, terkait pula dengan keberadaan luasan
hutan yang semakin berkurang serta meningkatnya pencemaran dan kerusakan
lingkungan. Perubahan iklim berimplikasi sangat luas terhadap berbagai aspek, seperti
perubahan musim dan bencana. Kejadian bencana banjir tahunan di musim hujan dan
kekeringan panjang di musim kemarau, memberi dampak ikutan seperti kebakaran hutan,
penyebaran penyakit dan keringnya sumber air bersih, yang juga tidak luput mengancam
keberadaan lahan pangan di Jawa Barat. Potensi terjadinya hujan asam juga harus
dicermati, karena tingginya tingkat konsentrasi CO2 yang bercampur dengan air hujan
juga akan membentuk asam karbonat yang menyebabkan tingginya tingkat keasaman.
Hal tersebut menimbulkan kerugian terhadap berbagai infrastruktur pembangunan,
karena mempercepat korosi dan juga sangat berpengaruh terhadap kerusakan ekosistem.
E. Pesisir dan Laut
Kewenangan provinsi dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah laut mencakup
eksplorasi,
eksploitasi,
konservasi
dan
pengelolaan
kekayaan
laut,
pengaturan
administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum terhadap peraturan yang
dikeluarkan oleh provinsi atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, ikut
serta dalam pemeliharaan keamanan dan pertahanan kedaulatan negara. Dalam hal ini
kewenangan pengelolaan sumberdaya di wilayah laut paling jauh adalah 12 mil laut
diukur dari garis pantai ke arah laut lepas, dan atau ke arah perairan kepulauan provinsi.
Secara geografis wilayah pesisir dan laut Provinsi Jawa Barat terbagi menjadi 2
wilayah, yaitu wilayah pantai utara (Pantura) dan wilayah pantai selatan (Pansela).
Pendahuluan
55
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
Panjang pantura adalah 417,5 km, dan panjang pansela adalah 399,32 km, sehingga luas
wilayah lautan Jawa Barat sampai wilayah 12 mil laut adalah 18.153 km2.
Kondisi fisik dasar pesisir utara Jawa Barat yang terdiri dari dataran pantai dan
rawa alluvial pantai dengan kemiringan lereng 0% -5%, merupakan daerah yang
bertopografi landai, perairan dangkal, memiliki substrat lumpur, berpasir dan berawa,
pola arus yang dipengaruhi arus laut Jawa, serta bervegetasi mangrove dan terumbu
karang. Sungai-sungai yang bermuara ke pantura diantaranya Sungai Cimanuk,
Cipunagara, Citarum, Kali Bekasi, Pagadungan, Cilamaya, Ciasem, Kali Beji, Cipanas,
Cimanggis, Ciwaringin, Kali Bunder, Bangkaderes, dan Cisanggarung. Perairan laut relatif
tenang menjadi lingkungan yang kondusif bagi perkembangan wilayah, dimana aktivitas
sosial dan pertumbuhan ekonomi relatif berkembang cukup pesat.
Sementara di pesisir selatan, kondisi yang berbukit dengan seismisitas relatif
tinggi, bertopografi terjal, perairan dalam, memiliki substrat pasir dan karang, pola arus
dipengaruhi arus Samudera Hindia, dan vegetasi cenderung berupa hutan pantai dan
mangrove. Batimetri pantai umumnya curam dan berhadapan langsung dengan Samudera
Hindia, sehingga timbul gelombang laut yang besar, kadang dapat timbul gelombang
badai (2-5 m), serta arus laut yang relatif kuat, menjadi faktor kendala di dalam
pengembangan wilayah. Selain itu pemanfaatan pelayaran memerlukan tingkat keamanan
yang cukup tinggi. Perbedaan kondisi fisik tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi
ketimpangan perkembangan wilayah antara pesisir utara dan selatan. Sungai-sungai yang
bermuara ke pansela diantaranya Sungai Citepus, Cimandiri, Cikaso, Cibuni, Cisokan,
Cisadea, Ciujung, Cipandak, Cilaki, Cikandang, Cipalebuh, Cikaengan, Cisanggiri,
Cipatujah, Ciwulan, Cimedang, Cijulang, dan Citanduy. Selain itu, wilayah Pansela ini
terletak di Lempeng Eurosia dan Lempeng Australia yang merupakan zona aktif gempa
dan berpotensi bencana tsunami. Ancaman lainnya adalah gelombang laut pasang, akresi
dan abrasi, sedimentasi yang besar di muara-muara sungai yang menyebabkan
pendangkalan, penyumbatan aliran sungai, rawan banjir bandang, erosi sungai, dan
terbentuknya delta baru. Abrasi yang telah terjadi sejak lama terdapat di Teluk
Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi.
Wilayah pesisir dan laut Jawa Barat memiliki pulau-pulau kecil, di pesisir selatan
pesisir Pulau Nusamanuk dan Batukolotok serta di pesisir utara yaitu Gugusan Pulau
Biawak.
Pendahuluan
56
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
GAMBAR 1.25
PETA ZONA WILAYAH LAUT PROVINSI JAWA BARAT
Wilayah Pesisir dan Laut Jawa Barat memiliki potensi kegiatan perekonomian
beragam, seperti perikanan baik tangkap maupun budidaya (tambak), pertanian,
pemukiman, pariwisata, pelayaran, pertambangan, pelabuhan, perdagangan serta
konservasi alam. Produksi perikanan tangkap Jawa Barat tahun 2008 adalah sebesar
176.448,77 ton, yang didominasi dari produksi Kabupaten Cirebon, Indramayu, Subang
dan Sukabumi. Sedangkan produksi perikanan budidaya tambak adalah sebesar
102.293,33 ton, yang didominasi dari produksi Kabupaten Bekasi, Cirebon dan Subang.
Kegiatan pariwisata pesisir dan laut berupa wisata alam pantai dan laut, wisata
budaya, serta wisata pendidikan dan penelitian. Potensi pariwisata terkonsentrasi di
Pansela, namun belum berkembang secara optimal, karena rendahnya aksesibilitas,
kurangnya infrastruktur pendukung, sarana dan prasarana wisata, serta rendahnya
investasi, sehingga menyebabkan kurangnya minat wisatawan untuk berkunjung ke
Pansela.
Wilayah Pantura merupakan bagian dari lintasan jalur perekonomian utama Jawa
sehingga perkembangan fisik wilayah ini tumbuh dengan pesat. Disisi lain, wilayah ini
memiliki kepadatan penduduk lebih tinggi dengan aktivitas yang tinggi pula. Percepatan
pertumbuhan tersebut menimbulkan tingkat perubahan fungsi lahan lebih cepat
Pendahuluan
57
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
dibandingkan wilayah Pansela. Perubahan fungsi lahan dan aktivitas penduduk di wilayah
pesisir tentunya mengurangi daya dukung dan daya tampung yang dimiliki, dan
berdampak pada kualitas lingkungan, terutama pencemaran air laut, akresi, abrasi dan
fenomena gelombang laut pasang. Indeks pencemaran air laut di Pantura antara 7,3919,843 yang menunjukan bahwa wilayah ini sudah tercemar berat. Tingkat abrasi di
pantura sebesar 370,3 ha/tahun, sedangkan di pansela tingkat abrasi sebesar 35,35
ha/tahun. Gelombang laut pasang lebih intens terjadi di Pantura, karena kondisi geografis
yang relatif landai. Perubahan iklim yang sudah menjadi isu global diyakini telah
menyebabkan perubahan sistem alam termasuk wilayah pesisir. Gelombang pasang yang
terjadi pada setiap awal dan akhir tahun semakin meluas jangkauannya, dengan periode
yang semakin singkat dan intensitas yang semakin meningkat.
Ekosistem pesisir Pantura adalah mangrove, terumbu karang dan rumput laut.
Mangrove ditemui di Kabupaten Bekasi (590.98 Ha), Karawang (332.43 Ha), Kabupaten
Subang (3.886,08 Ha), Kabupaten Cirebon ( 347 Ha ), Kota Cirebon (21.96 Ha) dan
Kabupaten Indramayu (1.103,46 Ha ). Berdasarkan hasil survey, kondisi hutan mangrove
di pesisir utara Jawa Barat dapat dikategorikan sebagai rusak sampai dengan rusak berat,
ditunjukkan oleh persen tutupan kurang dari 50% dan kerapatan pohon per hektare
kurang dari 1.000. Data menunjukkan bahwa umumnya ketebalan mangrove berkisar 50–
100 meter, sementara di beberapa tempat bahkan “tipis” sekali, kurang dari 30 meter.
Meski mungkin saja persen tutupan lebih dari 50% dan jumlah pohon per hektare
(setelah konversi luasan) mencapai lebih dari 1.000, rendahnya ketebalan ekosistem
mangrove menunjukan bahwa secara umum kondisi ekosistem mangrove di pesisir utara
Jawa Barat masuk ke dalam kategori rusak sampai dengan rusak berat.
Terumbu karang
pada umumnya dalam kondisi rusak
dan mengancam
perkembangbiakan ikan dan biota laut lainnya. Kerusakan disebabkan oleh eksploitasi
dalam mencari ikan dan tingkat pencemaran yang tinggi. Terumbu karang terdapat di di
pesisir Kabupaten Subang (Brobos) dan Kabupaten Karawang (Karang Sedulang Kec.
Cilamaya) dan Kabupaten Indramayu (Pulau Rakit, Pulau Gosong, dan Pulau Cendikian,
Majakerta dan Kec. Indramayu). Padang lamun terdapat di perairan Pulau Biawak, dalam
keadaan sedang sampai rusak, dengan ketebalan rendah (sekitar 20 meter), umumnya
dijumpai dalam bentuk gugusan/patch berukuran kecil dan tidak ada yang memiliki
tutupan diatas 5%.
Pendahuluan
58
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
Ekosistem pesisir di Pansela berupa ekosistem mangrove terdapat di pesisir
Kabupaten Ciamis (Bojong Salawe) seluas 237,59 ha, Kabupaten Sukabumi seluas 9 ha,
Kabupaten Garut 50,9 ha, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Cianjur. Ekosistem
mangrove di Pansela tidak banyak dijumpai karena kondisi fisik pantai pesisir selatan yang
tidak landai, terjal dan berbatu. Sehingga ekosistem pesisir yang lebih dominan berupa
hutan pantai, yang berfungsi sebagai kawasan perlindungan setempat berupa suaka
margasatwa dan cagar alam, diantaranya di Cagar Alam Pananjung Pangandaran-Ciamis,
Suaka Margasatwa Laut Sindang Kerta Cipatujah-Tasikmalaya, Cagar Alam Leuweung
Sancang Cibalong-Garut, Cagar Alam Jayanti Cidaun-Cianjur, dan Suaka Margasatwa
Cikepuh Ciracap-Sukabumi.
Ekosistem terumbu karang ditemui di perairan Ujung Genteng Kabupaten
Sukabumi, perairan Pameungpeuk dan Rancabuaya Kabupaten Garut, perairan Parigi dan
Pangandaran di Kabupaten Ciamis. Selain sebagai habitat dari ikan hias, terumbu karang
juga berfungsi sebagai obyek wisata bahari dan penahan gelombang alamiah. Selain itu
ditemui pula ekosistem rumput laut di pantai Pangandaran, dan pantai Ujung Genteng
Kecamatan Surade. Pengembangan budidaya rumput laut dilakukan di perairan
Kabupaten Ciamis, Pameungpeuk Kabupaten Garut dan Kecamatan Cidaun Kabupaten
Cianjur. Padang lamun terdapat di perairan Pangandaran, Batukaras dan Madasari
Kabupaten Ciamis, dengan kondisi yang jauh lebih baik dibandingkan Pantura. Ketebalan
padang lamun mencapai 200-300 meter di beberapa lokasi, kondisi tutupan pada
umumnya tinggi, berkisar 60-80% dan diikuti dengan tutupan ganggang laut yang
mencapai 100 m.
Wilayah Pansela, walaupun memiliki tingkat pencemaran dan abrasi yang relatif
rendah dibandingkan Pantura, namun tetap harus mewaspadai tingginya aktivitas
pertambangan yang tidak mempertimbangkan lingkungan. Potensi pertambangan di
pantai diantaranya adalah pasir besi, fosfat, kalsit, bentonit, dan zeolit, namun
sumberdaya pertambangan tersebut belum terukur baik lokasi maupun besaran
kandungannya.
Karakteristik Pantura dan Pansela diuraikan dalam Tabel 1.19-1.20, serta Gambar
1.26-1.29.
Pendahuluan
59
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
TABEL 1.19
KARAKTERISTIK PANTAI UTARA
No.
1
Kabupaten/ Kota
Kab. Bekasi, panjang
pantai 37,829 km
Sungai
Kali Bekasi,
Cikarang,
Citarum
2
Kab. Karawang,
panjang pantai
84,230 km
Cijalu, Jarong,
Cilamaya
3
Kab. Subang,
panjang pantai 68 km
Ciasem,
Cipunagara
4
Kab. Indramayu,
panjang pantai 114
km
Cilalanang,
Cemara,
Cimanuk
5
Kab. Cirebon,
panjang pantai 54 km
Ciwaringin
6
Kota Cirebon,
panjang pantai 7 km
Cisanggarung
Ekosistem Pesisir
- Mangrove seluas 590,98 ha. Lokasi dominan
di Kec. Babelan, Muaragembong, dan
Tarumajaya.
Ekosistem mangrove berkurang, akibat
penebangan untuk tambak, permukiman,
fasilitas umum & fasilitas sosial lainnya.
- Terumbu karang di sekitar Cilamaya (Gugus
Karang Sedulang). Kondisi sebagian besar
telah mati karena sedimentasi dan kegiatan
manusia.
- Rumput laut di Gugus Karang Sedulang.
Jumlahnya sangat sedikit, dan kondisi
perairan yang tidak memungkinkan
pembudidayaan rumput laut.
- Mangrove di Cibuaya & Cilamaya, luas 332,43
ha. Terjadi penurunan hutan mangrove sejak
1984, akibat konversi menjadi tambak &
industri. Rehabilitasi oleh Perhutani Unit III
Jabar, BKPH Cikeong.
- Terumbu karang di daerah Bobos, dan
terdapat pula terumbu karang buatan
sebanyak 3 unit.
- Mangrove di bagian utara, binaan Perum
Perhutani BKPH Ciasem-Pamanukan bersama
masyarakat. Luas 3886,08 ha. Daerah wisata
Pondok Bali.
- Terumbu karang di Majakerta Kec.
Indramayu, P. Rakit, P. Gosong, P. Rakit
Utara, Cantikian + 500 ha.
- Ekosistem mangrove 1.103,46 ha. Di
Losarang relatif sedikit. Pengelolaan dilakukan
oleh Perhutani BKPH Indramayu. Selain itu
ditemukan juga di Kadanghaur, Sindang, dan
Eretan (relatif lebih sedikit).
- Padang lamun di perairan Pulau Biawak,
kondisi sedang sampai rusak.
Mangrove seluas 275,49 ha. Di Kec. Babakan
seluas 0,25 ha. Penanaman mangrove oleh
penduduk setempat.
Luas ekosistem mangrove 21,96 ha
Pendahuluan
60
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
TABEL 1.20
KARAKTERISTIK PANTAI SELATAN
No.
Kabupaten
1
Kabupaten
Sukabumi,
panjang pantai
114 km
Flora/Fauna
Flora :
- Kerusakan hutan
pantai
- Di Ciracap, Ciomas
pelabuhan ratu
Fauna :
- Kerusakan habitat
penyu Ciracap
- Tempat bertelur
penyu di Ujung
Genteng
2
Kabupaten
Cianjur,
panjang pantai
80km
Flora :
- Pandan laut di
Cidaun
- Perambahan hutan
cagar alam di
Cidaun
Ekosistem pesisir
- Mangrove seluas 9 ha, mengalami
konversi untuk kayu bakar dan
kegiatan lain, Cikepuh,
Pangumbahan
- Terumbu karang di pantai Karang
Hawu, Cisolok, Citepus 150m-500m.
ditemukan juga di Surade (pantai
Ujung Genteng luas 1.305 ha),
Ciracap dan Ciwaru.
Lain-lain
- Potensi
kerusakan
akibat
pertambangan
Pelabuhan ratu
- Abrasi terjadi di
bagian barat
Pelabuhan Ratu
- Rumput laut di Ujung Genteng
- Mangrove di S. Cisokan, Cisadea,
Cidamar, Ciujung dan Cipandan
- Rumput laut pembudidayaan di
Kecamatan Cidaun
- Penambangan
pasir besi di
Sindang barang
dan Cidaun
seluas 450 ha
Fauna :
- Penyu di
Sindangkerta dan
Cipatujah
3
Kabupaten
Garut panjang
pantai 50 km
Cagar alam Sancang
sepanjang 12 km.
Berkurangnya hutan
pantai Sepanjang
Caringin,
Bungbulang,
Pameung-peuk
- Mangrove seluas 50,9 ha, di Santolo
dan Cagar Alam Sancang
- Penambangan
tak terkendali
- Terumbu karang di Kecamatan
Pameungpeuk seluas 6.200 ha,
kondisi relatif baik, kerusakan hanya
terjadi di deka pantai akibat lego
jangkar. ditemui juga di Ranca
Buaya.
- Abrasi di
Cipatujah
- Rumput laut pembudidayaan di
Pantai Sayang Heulang Pamengpeuk
4
Kabupaten
Tasikmalaya,
panjang pantai
49 km
Flora :
- Hutan pandan
Cikalong sepanjang
22 km
Fauna :
- Penyu di
Sindangkerta
- Mangrove di muara Sungai
Cimedang, Ciwulan, Cipatireman dan
Cilangla
- Sungai
Ciwulan, erosi
tebing.
- Terumbu karang terhampar dari
Cipatujah sampai Karangtawulang,
sepanjang 32 km-100m, dan
Cikalong.
- Penambangan
di Cipatujah
Pendahuluan
61
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
No.
Kabupaten
5
Kabupaten
Ciamis,
panjang pantai
62 km
Flora/Fauna
Pantai Keusik Luhur
Cimerak tempat
bertelur penyu
Ekosistem pesisir
- Mangrove seluas 237,59 ha,
berbenturan dengan pariwisata,
terdapat di Kec. Kalipucang,
Citanduy. Kerusakan mangrove di
Kalipucang
- Terumbu karang di pantai Krapyak
sepanjang 2,5 km - lebar 75 km. Di
pantai timur dan barat CA Pananjung
1,5 km -50m. dan di pantai Karang
Jaladri 200m-100m. Kerusakan
terumbu karang. Terumbu karang di
Kalipucang dan Pangandaran rusak
akibat penangkapan ikan tidak
ramah lingkungan. Di Kecamatan
Sidamulih, Parigi, Cijulang dan
Cimerak dalam kondisi baik.
Lain-lain
- Abrasi di
Pangandaran,
Pantai
Panunjang dan
sekitar Pantai
Krapyak
- Rumput laut di Pangandaran dan
pembudidayaan rumput laut di
Pantai Sayang Heulang Pamengpeuk
- Padang lamun di perairan
Pangandaran, Batukaras, Madasari
GAMBAR 1.26
PETA SEBARAN EKOSISTEM WILAYAH PANTURA
Pendahuluan
62
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
GAMBAR 1.27
PETA ISU LINGKUNGAN WILAYAH PANTURA
GAMBAR 1.28
PETA SEBARAN EKOSISTEM WILAYAH PANSELA
Pendahuluan
63
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009
2009-2029
GAMBAR 1.29
PETA POTENSI PERIKANAN DAN UPWELLING WILAYAH PANSELA
F. Keanekaragaman Hayati
Hayat
Pelestarian keanekaragaman hayati (termasuk plasma nutfah) Jawa Barat tersebar
dalam kawasan konservasi sebagai lokasi konservasi keanekaragaman ekosistem yang
dilakukan secara insitu dan menekankan terjaminnya dan terpeliharanya keanekaragaman
hayati secara
ra alami melalui proses evolusi, yaitu di kawasan cagar alam, suaka
margasatwa, taman wisata, taman buru, taman nasional, taman hutan raya, dan taman
laut. Selain pelestarian secara insitu, dilakukan pula secara eksitu, dengan cara
memindahkan jenis dan habitat
habitat untuk diletarikan dan diamankan. Pendirian Kebun Raya
Bogor, kebun binatang, penangkaran hewan, dan lain-lain
lain lain merupakan upaya eksitu yang
tidak perlu mengganggu populasi alaminya.
Pemanfaatan sumberdaya hayati untuk berbagai keperluan secara tidak sseimbang
ditandai dengan makin langkanya beberapa jenis flora dan fauna yang kehilangan
habitatnya, kerusakan ekosistem dan menipisnya plasma nutfah. Sebagai upaya
mempertahankan
keanekaragaman
hayati
upaya
yang
harus
dilakukan
berupa
perlindungan, dan penegakan
gakan hukum lingkungan, terutama terhadap berbagai kasus dan
ancaman seperti perburuan dan perdagangan satwa langka, serta perambahan hutan/
penebangan liar.
Pendahuluan
64
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029

Keanekaragaman Flora
Jawa Barat memiliki keanekaragaman tumbuhan yang tinggi, terdapat 3.882 jenis
(spesies) tumbuhan berbunga dan tumbuhan paku asli Jawa Barat dan 258 jenis yang
dimasukkan dari luar. Khusus untuk anggrek (Orchidaceae) terapat 607 jenis alami, 302
jenis (50%) hanya ada di Jawa Barat (Van Steenis dalam Backer & Bakhuizen van de
Brink, 1965). Menurut Comber (1990) di Jawa Barat terdapat 642 jenis anggrek dan yang
hanya terdapat di Jawa Barat 248 jenis.
Tumbuhan yang termasuk pohon, di Jawa Barat terdapat 1.106 jenis (Prawira,
tbt.) dengan 51 jenis disebut dengan pohon-pohon yang penting, diantaranya jati
(Tectona grandis), rasamala (Altingia excelsa), kepuh (Sterculia foetida), jamuju
(Podocarpus imbricatus), bayur (Pterospermum javanicum), puspa (Schima wallichii),
kosambi (Schleichera oleosa), beleketebe (Sloenea sigun), pasang (Lithocarpus spp.),
pedada (Sonneratia alba), bakau (Rhizhopora mucronata), dll.
Tipe-tipe vegetasi yang ada di Jawa Barat adalah (Van Steenis, 1965):
- Vegetasi litoral, termasuk di sini jenis-jenis tumbuhan lamun seperti setu (Enhalus
acoroides), Thalassia hemprichii, dan berbagai jenis alga seperti Gelidium, Gracilaria
dan Euchema yang menghasilkan agar-agar
- Hutan bakau (mangrove), antara lain bakau (Rhizophora spp.), pedada (Sonneratia
spp.), api-api (Avicennia spp.), tarungtung (Lumnitzera littorea).
- Formasi pantai antara lain formasi Barringtonia yang ditandai oleh keben (Barringtonia
asiatica), ketapang (Terminalia catappa), nyamplung (Calophyllum inophyllum), dll.
- Hutan
rawa
dataran
rendah,
antara
lain
reungas
(Gluta
renghas), bungur
(Lagerstroemia spp.), cangkring (Erythrina fusca) dll.
- Hutan hujan dataran rendah dan perbukitan. Formasi ini terdapat pada ketinggian di
bawah 1500 dpl. (Zona tropis 1-1000 dpl., zona submontana 1000-1500 dpl.). Antara
lain berbagai jenis bambu (Bambusa spp., Gigantochloa spp.), mara (Mallotus spp.,
Macaranga spp.), kareumbi (Omalanthus populneus), dan teureup (Artocarpus
elasticus).
- Hutan hujan pegunungan (zona Montana) pada ketinggian 1500-2400 m dpl. Antara
lain rasamala (Altingia excelsa), pasang (Lithocarpus spp.), saninten (Castanopsis
argentea), hamirung (Vernonia arborea), puspa (Schima wallichii), huru (Litsea spp.,
Phoebe spp.), jamuju (Podocarpus imbricatus), dan kihujan (Engelhardia spp.) dll.
Pendahuluan
65
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
- Danau dan rawa pegunungan, tumbuhan rawa seperti Eriocaulon spp., Xyris
campestris, dll. Lumut Sphagnum ditemukan di Gunung Gede dan Patuha.
- Vegetasi sub alpin, di atas 2400 m dpl. Daerah ini lebih miskin daripada hutan hujan
pegunungan, didominasi oleh suku Ericaceae seperti cantigi (Vaccinium spp.),
Rhododendron spp., gandapura (Gaultheria spp.), dan jenis-jenis lain yang khas seperti
ramo kasang (Schefflera spp.), kiteke (Myrica javanica), jirak (Symplocos sessilifolia)
dll.
Menurut Van Steenis (1972) terdapat 39 jenis tumbuhan pegunungan yang
dikategorikan jarang di Jawa Barat, 18 jenis diantaranya sejauh ini diduga endemik
(meskipun ada diantaranya yang ditemukan di tempat lain). Di antara yang endemik
tersebut, 11 jenis adalah anggrek (Orchidaceae). Sebelumnya Van Steenis (dalam Backer
& Bakhuizen van de Brink, 1965) menyebutkan ada dua jenis yang endemik di Jawa Barat
yaitu Heynella lactea (Tjadasmalang) dan Silvorchis colorata (di sekitar Garut).
Menurut Van Steenis (dalam Backer & Bakhuizen van de Brink, 1965) di Pulau
Jawa, dari 6.543 jenis yang ada, 1.523 jenis (23,4 %) adalah tanaman budidaya, sisanya
adalah tumbuhan liar (4.598 jenis) dan tumbuhan asing yang ternaturalisasi (413 jenis).
Sebagian dari tumbuhan alami terdapat di kawasan konservasi yaitu hutan lindung, cagar
alam, suaka margasatwa dan taman nasional. Di Taman Nasional Gunung GedePangrango terdapat 844 jenis tumbuhan berbunga.

Keanekaragaman Fauna
Secara umum dunia fauna dapat dikelompokkan ke dalam kelompok: serangga,
pisces, amfibi, reptil, aves dan mamalia. Jenis fauna dari kelompok-kelompok tersebut
ada yang langsung berhubungan dengan kepentingan manusia yaitu bisa bermanfaat bagi
manusia, bersifat hama, disukai untuk dipelihara atau dikonsumsi dan juga fauna dengan
status khusus seperti fauna endemik (hanya ditemui di suatu daerah tertentu),
langka/hampir punah dan punah. Hal tersebut berlaku juga untuk fauna di Jawa Barat
dan pada umumnya akan dilihat berdasarkan bioregion Jawa dan Bali.
Kelompok serangga seperti belalang dan jangkerik, biasa dimanfaatkan sebagai
sumber makanan burung, reptil dan amfibi. Namun jika populasi jenis belalang tertentu
tidak terkendali dapat bersifat hama terhadap tanaman budidaya seperti padi.
Kelompok ikan, hingga saat ini diketahui ada 132 jenis ikan air tawar yang tercatat
di region Jawa dan Bali, 13 jenis diantaranya adalah jenis endemik. Terjadi kelangkaan
Pendahuluan
66
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
dan kepunahan beberapa jenis ikan ‘indigenous’ di daerah aliran Sungai Citarum yang
disebabkan karena perubahan habitat dari sungai ke danau/waduk, pencemaran dan
‘overfishing’ yang dilakukan untuk kebutuhan pangan. Jenis ikan yang punah tersebut,
yaitu walangi Bagatius yarrelli, dan belut terbesar di dunia Thysoidea macrurus yang ada
di beberapa muara di Jawa Barat.
Kelompok amfibi dan reptil semakin langka, karena habitat yang tersedia semakin
berkurang dan belum satupun dari jenis kelompok ini yang sudah bisa didomestikasi dan
dibudidaya. Kelangkaan beberapa spesies kelompok ini terjadi sebagai akibat perburuan
oleh manusia untuk dikonsumsi dan dipelihara antara lain seperti katak sawah, katak
catang, beberapa jenis ular, biawak, bunglon, kura-kura, dan lain- lain. Beberapa jenis
amfibi dan reptil masih sering dijumpai di beberapa daerah di Jawa Barat seperti biawak
(disekitar daerah aliran Sungai Citarum dan waduk, danau Sanghyang di Tasikmalaya,
dan di Pulau Biawak di Indramayu), kura-kura (di sekitar daerah aliran Sungai Citarum
dan waduk, sungai-sungai di daerah Bogor/Sentul)
Di Jawa dan Bali tercatat setidaknya 142 jenis reptil dan 36 jenis amfibi. Amfibi di
Jawa dan Bali terdapat 42 jenis, termasuk di antaranya 11 jenis amfibi endemik. Jenis
amfibi Jawa yang
perlu dicatat
adalah jenis dari ordo
Gymnophiona karena
penampakannya sering dikelirukan dengan cacing. Catatan tentang diskripsi dan temuan
kedua jenis amfibi, yaitu Ichtyophis javanicus dan Ichtyophis bernisi sejak pertama
kalinya belum ada.
Kelompok burung di Jawa dan Bali tercatat ada 466 jenis burung, termasuk tiga
jenis yang mungkin sudah punah. Tiga jenis burung di Jawa yang dianggap telah punah,
satu diantaranya adalah endemik Jawa yaitu trulek Jawa Hoplopterus macropterus,
mentok rimba Cairina scutulata dan cucak rawa Pycnonotus zeylanicus. Dari jumlah total
jenis burung, Jawa dan Bali merupakan wilayah biogeografi terkaya ketiga setelah Papua
(647 jenis) dan Sumatera (605 jenis). Dari sejumlah tersebut 29 jenis
di antaranya
adalah endemik Jawa dan Bali. Hampir semua jenis burung endemik Jawa dan Bali
tersebut hanya dapat dijumpai di hutan-hutan pegunungan, walaupun beberapa di
anataranya dahulu mungkin terdapat di dataran rendah pada saat hutan dataran rendah
masih ada.
Elompok mamalia di Jawa erdapat 137 jenis mammalia daratan, 22 jenis diantanya
adalah jenis endemik. Jenis mammalia endemik Jawa yang terkenal
adalah surili
Presbytis comata, owa jawa Hylobates moloch, babi jawa Sus verrucosus dan rusa jawa
Pendahuluan
67
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
Cervus timorensis. Penyebaran mammalia terpecah-pecah dalam kantung-kantung hutan
yang relatif kecil. Kelangkaan jenis mamalia disebabkan oleh dua faktor utama yaitu
aktivitas perburuan dan habitat aslinya terganggu. Salah satu contoh penurunan drastis
kelompok ini adalah jarang dijumpainya lagi banteng Bos sondaicus di hutan Sancang
(Garut) dan di Pangandaran. Banteng ini sebenarnya sudah lama menjadi maskot di
kedua daerah tersebut.
Jenis primata endemik Jawa perlu mendapat perhatian khusus yaitu owa jawa
Hylobates moloch, lutung jawa Trachypithecus auratus dan surili Presbytis comata. Tiga
jenis ini awalnya dikatakan sebagai jenis satwa dataran rendah, karena habitatnya hutan
dataran rendah rusak terdesak ke hutan-hutan dataran tinggi. Ketiga jenis primata ini di
Indonesia menempati urutan jenis primata yang paling terancam punah.
Usaha penangkaran kelompok mamalia yang ada seperti penangkaran rusa di
Ranca Upas akan sangat bermanfaat bagi kelestarian spesies ini dan juga bisa dijadikan
tempat tujuan wisata dan pendidikan/penelitian.
G. Kebencanaan
Struktur geologi yang bersifat kompleks menjadikan sebagian wilayah Jawa Barat
memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dari ancaman bencana alam. Sumber-sumber
potensi penyebab bencana alam di Jawa Barat yang perlu diwaspadai adalah 7 (tujuh)
gunung api aktif, 5 (lima) sesar aktif serta aktivitas lempeng tektonik di selatan Jawa
Barat. Sumber penyebab bencana lainnya adalah tingginya intensitas curah hujan yang
memicu gerakan tanah terutama di wilayah Jawa Barat bagian selatan, serta banjir di
wilayah pantai utara dan Cekungan Bandung. Kawasan rawan bencana dapat dilihat pada
Gambar 1. 30.
Pendahuluan
68
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
GAMBAR 1.30
PETA KAWASAN RAWAN BENCANA
Bahaya lingkungan beraspek geologi yang sering terjadi di Jawa Barat antara lain
masalah kegempaan, letusan gunungapi dan aliran lahar, longsor (gerakan tanah),
perubahan garis pantai dan Erosi tebing sungai. Jawa Barat secara geologi terletak
disebelah utara lajur pertemuan dua lempeng aktif yang saling bertumbukan. Kedua
lempeng tektonik yang saling bertumbukan tersebut yaitu lempeng Indo-Australia dengan
lempeng Eropa-Asia. Tumbukan ini mengakibatkan Jawa Barat sering merasakan getaran
dan di landa gempa bumi tektonik serta letusan gunung api.
Bencana gempabumi guncangan tanah menempati urutan pertama sebagai
bencana perusak,
diikuti oleh gerakan tanah dan pelulukan. Patahan permukaan dan
tsunami sangat jarang terjadi disebabkan kekuatan gempabumi di Jawa Barat umumnya
lebih kecil dari 6 pada Skala Richter. Gempabumi tektonik Jawa Barat berasal dari dua
sumber yakni sumber gempabumi penunjaman dan sumber gempabumi sesar aktif.
Bencana dan risiko yang diakibatkan oleh kedua sumber gempabumi tersebut, dikontrol
oleh kekuatan gempabumi, kedalaman gempabumi, jarak pusat gempabumi, kondisi
geologi, kepadatan penduduk serta infrastruktur.
Penyebab terjadinya banjir di wilayah Jawa Barat disebabkan oleh intensitas curah
hujan yang tinggi dengan durasi di atas normal sehingga menghasilkan air limpasan yang
Pendahuluan
69
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
melebihi daya dukung sistem drainase, perubahan penggunaan lahan yang tidak
terkendali serta kondisi geologi dan morfologi lahan. Beberapa wilayah rawan banjir
terlihat pada Gambar 2.32 dengan konsentrasi banjir berada di pesisir pantai utara Jawa
Barat yang meliputi Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, Cirebon (DAS
Cimanuk dan Cipunagara) dan beberapa kecamatan di Cekungan Bandung seperti
Kecamatan Majalaya, Ciparay, Banjaran dan Dayeuh Kolot (DAS Citarum), serta
Kecamatan Padaherang di Kabupaten Ciamis (DAS Citanduy). Daerah rawan banjir dapat
dilihat pada Gambar 1.31.
Daerah rawan kejadian angin ribut terdapat secara tidak menetap pada suatu zona
yang pasti di Jawa Barat. Umumnya angin ribut terbentuk pada saat terjadi perubahan
cuaca yang drastis dan pada daerah tekuk lereng yang memungkinkan terjadinya
perubahan tekanan angin. Sebagian wilayah pesisir utara seperti daerah Majalengka dan
Purwakarta merupakan daerah yang rawan terhadap potensi bencana angin ribut ini.
Daerah rawan bencana gempa bumi merupakan daerah yang memiliki nilai
intensitas atau tingkat kerusakan yang sama dihubungkan oleh suatu garis isoseismal.
Intensitas yang dipakai ialah Modified mercelli Intensity (MMI), dengan kurun nilai dari I
sampai XII.
GAMBAR 1.31
PETA SEBARAN DAERAH RAWAN BANJIR
Sumber : Dinas Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat
Pendahuluan
70
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
Bencana gerakan tanah (tanah longsor) merupakan peristiwa alam yang seringkali
mengakibatkan banyak kerusakan, baik berupa kerusakan lingkungan maupun kerusakan
prasarana dan sarana fisik hasil pembangunan, serta menimbulkan kerugian yang tidak
sedikit baik berupa harta benda maupun korban jiwa manusia. Jabar Selatan merupakan
salah satu daerah yang sangat rawan terhadap gerakantanah, hampir setiap mengalami
bencana gerakantanah dan menimbulkan kerusakan yang cukup besar.
Pada umumnya bencana tanah longsor dipicu oleh turunnya curah hujan yang
cukup tinggi, disamping kondisi kelerengan lahan yang cukup terjal dan tidak tertutup
oleh vegetasi serta sifat batuan atau tanah yang cukup sensitif terhadap kondisi keairan.
Secara umum, daerah potensi longsor di Jawa Barat dapat dirangkum seperti terlihat
pada tabel 1.21.
TABEL 1.21
DAERAH RAWAN LONGSOR
No
Potensi Longsor
1
Menengah – Tinggi
2
Menengah
Lokasi
Bogor (Jonggol, Citeureup, Nanggung), Sukabumi (Tegalbeuleud,
Cidolog, Sagaranten, Jampang Tengah, Palabuhanratu, Parung Kuda),
Cianjur (Pacet, Sukaresmi, Pagelaran, Tanggeung, Kadupandak,
Cibinong, Argabintang, Naringgul, Campaka, Cibeber), Bandung
(Gununghalu), Garut (Palegong, Cisewu, Pakenjeng, Cisompet),
Purwakarta (Wanayasa, Sukatani, Plered), Subang (Sagalaherang),
Sumedang (Tomo, Cadasngampar, Paseh, Congeang, Buah Dua,
Tanjungkerta, Cibugel), Tasikmalaya (Bantarkalong, Sodonghilir,
Cibalong, Taraju, Salawu, Salopa, Cikatomas), Ciamis (Langkaplancar,
Tambaksari, Cisaga, Panawangan), Majalengka (Talaga, Maja,
Rajagaluh, Argapura, Sukahaji, Majalengka, Bantarujeg), Kuningan
(Mandirancan, Cilimus, Subang, Selajambe, Cidahu), Cirebon
(Palimanan, Sumber, Karangsembung, Ciwaringin)
Bogor (Caringin, Cariu), Sukabumi (Cibadak, Nyalindung), Cianjur
(Pacet, Sukaresmi, Pagelaran, Tanggeung, Kadupandak, Cibinong,
Argabinta, Naringgul, Campaka, Cibeber), Bandung (Rongga, Cililin,
Cipongkor, Parongpong, Pangalengan, Arjasari, Cipatat), Garut
(Bungbulang, Bayongbong, Banjarwangi), Purwakarta (Bojong,
Jatiluhur), Subang (Cisalak, Cijambe), Sumedang (Wado, Sumedang
Selatan), Tasikmalaya (Pager Ageung), Ciamis (Cihaurbeuti),
Majalengka (Lemah Sugih), Kuningan (Ciniru, Ciwaru), Cirebon
(Beber, Waled, Sedong)
Sumber : Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005).
Wilayah pantai Selatan Jawa Barat adalah daerah rawan bencana tsunami. Pada
tanggal 17 Juli 2006 pada jam 15.19 WIB telah terjadi bencana alam gempabumi dan
tsunami di Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Bencana alam tersebut sebagai akibat dari
Pendahuluan
71
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
terjadinya gempabumi berkekuatan 6,8 SR yang berdampak pada naiknya air laut setinggi
1 hingga 7 meter. Air laut pasang mengarah ke pantai beradius 500 m ke arah darat.
Erosi pada tebing sungai terdapat berupa longsoran dan runtuhan. Umumnya
terjadi pada alur sungai yang membelok. Erosi terjadi pada tebing busur luar tikungan
yang selalu dihantam oleh kekuatan arus air sungai. Pada daerah dataran lanjutan proses
erosi ini membentuk meander. Selain dari itu perbuatan manusia dapat pula
mempercepat proses erosi tersebut seperti di sekitar lokasi penambangan batu kali.
Seperti terlihat pada sungai Cimandiri di daerah Sukabumi dimana telah mengancam dan
menghancurkan rumah penduduk yang berlokasi di tepi sungai. Pengembilan bongkahan
batu kali dapat mempercepat arus sungai, sehingga kekuatan arus menghantam tebing
lebih kuat dan terjadi lekukan pada kaki tebing sungai.
Daerah Jabar Selatan secara geologis rentan terhadap bencana alam pesisir,
seperti Tsunami. Walaupun jarang terjadi, namun daya hancurnya yang besar
membuatnya harus diperhitungkan. Tsunami umumnya disebabkan oleh gempabumi
dasar laut. Sekitar 70% gempabumi tektonik terjadi di dasar laut yang berpotensi
menyebabkan tsunami (tsunamigenik).
Kriteria terjadinya tsunami adalah magnituda
gempa harus lebih besar dari 6 sekala Richter, gerakan kulit bumi ke arah atas (up
thrusting) dan kedalaman gempabumi kurang dari 80 kilometer, memiliki topografi dasar
laut relatif landai (lebih kecil dari 600). Jarak sumber gempa terhadap pantai di semua
kelompok pantai rata-rata kurang dari 300 kilometer, sedangkan kecepatan rambat
tsunami mencapai 600-700 kilometer per jam, maka tsunami datang dengan amat cepat.
Kurang dari setengah jam setelah gempa mengguncang. Untuk memperkecil resiko
tersebut yang perlu dilakukan adalah mengembangkan manajemen bencana alam
terutama pada tahap mitigasi bencana yang dikaitkan dengan rencana tata ruang yang
didasarkan pada peta rawan bencana alam.
1.5.6 Pemerintahan
Dalam
rangka
meningkatkan
kapasitas
pelayanan
yang
dilakukan
oleh
pemerintahan desa dan kelurahan di Provinsi Jawa Barat, maka sejak tahun 2004-2007
telah terjadi pemekaran desa sebanyak 70 desa, sedangkan pemekaran kelurahan pada
kurun waktu yang sama terjadi pemekaran kelurahan sebanyak 18 kelurahan. Selain itu
juga terjadi perubahan status desa menjadi kelurahan sebanyak 70 desa. Dengan
Pendahuluan
72
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
demikian sampai dengan tahun 2007 jumlah desa/kelurahan di Jawa Barat menjadi 5.863
desa/kelurahan, dengan perincian 5.231 desa dan 632 kelurahan.
Permasalahan yang dihadapi dalam aspek pemerintahan dan pembangunan desa
antara lain masih rendahnya keterlibatan masyarakat perdesaan dalam kegiatan ekonomi
produktif adalah rendahnya kemampuan mengakses kesempatan berusaha; dan
berkurangnya kesempatan ekonomi/berusaha. Rendahnya kemampuan mengakses
kesempatan berusaha disebabkan oleh terbatasnya kepemilikan produktif, lemahnya
sumberdaya modal usaha, terbatasnya pasar dan informasi pasar kurang sempurna/asimetris, serta rendahnya tingkat kewirausahaan social.
Sedangkan factor-faktor yang
mempengaruhi berkurangnya kesempatan ekonomi/berusaha adalah
ketimpangan
distribusi kekayaan, dan kecurangan praktek bisnes dan degradasi sumberdaya alam dan
lingkungan.
Di samping itu tingkat partisipasi masyarakat perdesaan dalam penetapan
kebijakan masih rendah, hal ini disebabkan kurangnya representasi orang miskin, dan
terbatasnya ruang publik. Kurangnya representasi orang miskin disebabkan oleh
lemahnya
swa-organisasi,
kurang
berkembangnya
kepemimpinan
kelompok,
dan
lemahnya jejaring kaum miskin. Sedangkan factor-faktor yang mempengaruhi terbatasnya
ruang publik disebabkan aparat pemerintah yang kurang member ruang partisipasi, elit
politik yang tidak responsif, dan tata pemerintahan yang otokratis.
1.6 ISU-ISU STRATEGIS PENATAAN RUANG JAWA BARAT
Kondisi Jawa Barat yang penuh dinamika menghadirkan tantangan dan tuntutan
yang berbeda dengan wilayah lainnya. Kondisi penduduk yang terus tumbuh, kebutuhan
perumahan yang meningkat, penurunan luasan budidaya pangan, ekspansi investasi yang
juga memerlukan ruang serta kondisi kebencanaan di wilayah Jawa Barat memunculkan
tantangan yang berbeda. Selain itu kebutuhan ruang untuk pengembangan perkotaan
dan perdesaan perlu menjadi bahan pemikiran dalam merancang dan membangun ruang
Jawa Barat dimasa yang akan datang.
Kewenangan provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang adalah pengaturan,
pembinaan
dan
pengawasan
terhadap
penataan
ruang
wilayah
provinsi
dan
kabupaten/kota, pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, pelaksanaan penataan
ruang kawasan strategis, kerjasama penataan ruang antar provinsi, serta memfasilitasi
kerjasama penataan ruang antar kabupaten/kota. RTRWP merupakan penjabaran strategi
Pendahuluan
73
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
dan arahan kebijakan penyelenggaraan penataan ruang nasional di wilayah provinsi, yang
mengacu kepada pedoman bidang penataan ruang dan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah (RPJPD), agar tercapai keselarasan dengan rencana pembangunan
daerah serta saling melengkapi (komplementer) dengan rencana tata ruang di tingkat
nasional dan daerah.
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Dengan kata lain, penataan ruang diharapkan
mampu mengharmonisasi lingkungan alami dan buatan, menterpadukan penggunaan
sumber daya serta melindungi fungsi ruang demi mencegah dampak negatif yang
mungkin diterima lingkungan sebagai akibat dari pemanfaatan ruang.
Terdapat beberapa isu stategis yang perlu disikapi dalam penataan ruang Jawa
Barat. Isu tersebut meliputi perkembangan global ataupun fenomena global yang perlu
disikapi, yaitu ekonomi dunia yang diperkirakan dapat mempengaruhi ataupun dapat
menjadi peluang perkembangan ekonomi Jawa Barat baik berupa peluang investasi
maupun peluang pasar bagi produk Jawa Barat, kemudian isu global warming yang
ternyata sangat menentukan ketahanan hidup suatu bangsa, termasuk mengenai daya
dukung lingkungan baik udara, laut, daratan, dan air, yang mempengaruhi iklim setempat
dan dunia, termasuk juga sikap Jawa Barat terhadap pemanfaatan industri dan teknologi
yang polutif. Isu lainnya meliputi perkembangan penduduk yang walaupun lajunya dapat
ditekan namun secara jumlah tetap meningkat cukup tajam dan diperkirakan pada tahun
2029 akan mencapai jumlah 54,1 juta jiwa dengan sebaran sebanyak 81,4% berada di
perkotaan. Dampaknya antara lain akan terjadi kecenderungan alih fungsi lahan yang
menuju kepada penurunan daya dukung lingkungan. Sehingga, perlu dilakukan
optimalisasi penggunaan lahan agar daya dukung lahan, udara, air dan ketersediaan
pangan tetap dapat terjaga. Sebaliknya, kualitas dan kuantitas pelayanan prasarana dan
sarana, baik yang dasar maupun wilayah, masih rendah. Perkotaan yang tidak dilengkapi
dengan fasilitas yang memadai akan mendorong suatu fenomena primate city (kampung
besar) dan bukan kehidupan urban yang efisien yang diharapkan sebelumnya.
Selain kawasan yang memiliki arti strategis secara nasional, Jawa Barat memiliki
lokasi-lokasi yang dipandang strategis dalam skala provinsi. Kawasan tersebut antara lain:
wilayah pantai utara yang merupakan kawasan pertanian dan lumbung pangan Jawa
Barat dan nasional, wilayah pantai selatan yang merupakan kawasan yang potensial
untuk perkebunan dan kawasan konservasi bagi beberapa DAS yang menjadi sumber
Pendahuluan
74
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
cadangan air Jawa Barat, 6 (enam) Kawasan Andalan Jawa Barat dengan masing-masing
sektor pengembangannya, jalur penghubung antar PKN-PKW yang ada saat ini, serta
pengembangan
koridor
penghubung
Cekungan
Bandung-Kertajati-Cirebon
(Tol
Cisumdawu).
Beberapa tuntutan yang harus dipenuhi RTRWP Jabar ke depan adalah
penyediaan ruang untuk investasi (insfrastruktur dan kawasan strategis), ruang untuk
kebutuhan kawasan lindung dan kebutuhan pangan, ruang untuk distribusi penduduk
(pengembangan desa dan kota), serta ruang untuk mitigasi bencana.
Pengembangan ruang untuk investasi diperlukan dengan pemikiran bahwa
investasi merupakan salah satu alat yang dapat digunakan dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Keamanan wilayah, investasi dan kesejahteraan merupakan
suatu rantai yang tak terpisahkan. Keamanan wilayah tidak mungkin terlaksana dengan
baik apabila tidak ada iklim investasi, investasi tidak mungkin terjamin jika tidak ada
kesejahteraan masyarakat, dan keamanan wilayah tidak mungkin tercapai jika tidak ada
percepatan dan penambahan investasi serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan dalam pemanfaatan investasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sangat tergantung pada pihak-pihak yang berada langsung di lapangan.
Ruang untuk kebutuhan mitigasi di landasi kenyataan bahwa Jawa Barat,
sebagaimana Pulau Jawa pada umumnya, berada dalam jalur pegunungan berapi aktif
yang disebut Ring Of Fire. Selain itu, terdapat beberapa patahan yang melingkupi
Metropolitan Bandung yang bila mengalami pergeseran dapat mengakibatkan bencana
yang serius. Kemudian, beberapa lokasi di pesisir rawan bencana abrasi dan tsunami,
tentunya, serta daerah rawan gerakan tanah yang meliputi hampir seluruh bagian tengah
dan selatan Jawa Barat. Merupakan kenyataan bahwa kita hidup di daerah rawan
bencana, yang memerlukan kesiapan dan langkah-langkah yang selayaknya menjadi
perhatian dalam penataan ruang dan pengembangan wilayah. Pengembangan ruang
untuk kebutuhan pangan dan kawasan lindung diperlukan untuk mengantisipasi
pertumbuhan penduduk (serta konsekwensi kebutuhan pangan dari pertumbuhan itu) dan
mempertahankan daya dukung lingkungan untuk keberlanjutan kehidupan yang nyaman
dan produktif dari masyarakat Jawa Barat. Ruang untuk kebutuhan distribusi penduduk
didasari pemikiran bahwa pertumbuhan penduduk yang ada perlu diantisipasi dengan
kecukupan sarana dan prasarana yang memadai dan tersebar secara berimbang.
Pengembangan jaringan jalan dan pengembangan sarana-prasarana umum akan
Pendahuluan
75
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
meningkatkan pergerakan orang dan barang serta perekonomian. Namun, perkembangan
ini juga akan mendorong perubahan pusat-pusat kegiatan dan pusat pelayanan yang
berada dalam jaringan tersebut dan akan menjadi timpang apabila seluruh sumberdaya
dipusatkan di perkotaan. Tingkat urbanisasi yang tinggi akan menimbulkan kekosongan
tenaga kerja di perdesaan, yang akan memicu terjadinya perkembangan perkotaan ke
segala arah (sprawl) dan memicu munculnya kekumuhan di kawasan perkotaan/wilayah
padat di perkotaan. Maka, perlu dipertimbangkan bentuk penataan jaringan dan
pengembangan pelayanan umum dengan skala perkotaan di perdesaan, yang diharapkan
dapat membentuk pusat-pusat ekonomi baru di perdesaan dan menekan urbanisasi yang
terjadi karena tekanan ekonomi. Pengembangan fasilitas pelayanan skala kota juga
diharapkan menjadi pendorong masyarakat perdesaan untuk tetap berdiam dan berusaha
di
tempat
yang
sama.
Dengan
demikian
diharapkan
perekonomian
perdesaan
berkembang dengan menekan kemungkinan terjadinya penyedotan sumberdaya dari
perdesaan ke perkotaan.
Kemantapan sektor energi yang sudah tercapai perlu terus terjaga dan
ditingkatkan sehingga pasokan energi terpeliharaan, kemantapan dan kemandirian energi
diperdesaan serta mantapnya kemampuan masyarakat dalam pembangunan energi. Pada
bidang Infrastruktur Wilayah, diperlukan pemantapan infrastruktur wilayah yang telah
terbangun, dengan tetap memperhatikan kualitas kerjasama pemerintah dengan swasta
dan masyarakat, sebagai stakeholder pembangunan. Diperlukan peningkatan kualitas dan
kuantitas jaringan infrastruktur transportasi yang handal dan terintegrasi, pengembangan
sistem transportasi massal (Mass Rapid Transport), kemantapan pemenuhan kebutuhan
air baku untuk berbagai keperluan, kemantapan pengendalian banjir dan kekeringan,
ketersediaan jaringan irigasi yang berkelanjutan, kemantapan pelayanan telekomunikasi,
pemenuhan kebutuhan air bersih dan sanitasi serta pemenuhan kebutuhan rumah bagi
masyarakat.
Penataan
ruang
Jawa
Barat
diharapkan
dapat
mewujudkan
pemerataan
pembangunan antarwilayah di Jawa Barat, sehingga tidak terdapat lagi daerah tertinggal
di seluruh wilayah Jawa Barat. Diharapkan seluruh masyarakat Jawa Barat telah
menikmati sarana dan prasarana baik dasar maupun yang bersifat pelayanan wilayah baik
di perkotaan maupun perdesaan. Penyelenggaraan Penataan Ruang dituntut dapat
dilaksanakan melalui koordinasi yang mantap dan sistematis baik dalam pengaturan,
pembinaan,
pelaksanaan,
dan
pengawasan
penataan
ruang,
di
semua
Pendahuluan
tingkat
76
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
pemerintahan (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota) didukung dengan infrastruktur data
spasial yang mutakhir.
Pada masa yang akan datang, tantangan yang dihadapi dalam pengembangan
sarana dan prasarana wilayah di Jawa Barat adalah meningkatkan kualitas dan cakupan
pelayanan meliputi pengembangan angkutan umum massal terutama untuk kota-kota
yang berpenduduk padat; pengembangan jaringan jalan yang efektif dan efisien, baik
berupa jaringan jalan tol maupun non tol yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan
utama dalam skala regional dan lokal; pengaturan hierarki peran serta fungsi jaringan
transportasi yang lebih baik agar menghasilkan pergerakan yang efisiensi dan efektif;
peningkatan pelayanan bandara-bandara yang telah ada dan mengembangkan bandara
baru yang lebih tinggi kapasitas layanannya untuk menunjang perkembangan kegiatan
perekonomian dan kegiatan-kegiatan lainnya; peningkatan sarana dan prasarana
pelabuhan
yang
ada
dan
mengembangkan
pelabuhan
baru;
revitalisasi
dan
pengembangan jaringan jalan rel untuk melayani pergerakan dalam kota dan antarkota;
pengembangan infrastruktur penampung air baku, baik yang bersifat alami maupun
buatan untuk meminimalisasi terjadinya bencana banjir dan kekeringan; peningkatan
layanan jaringan irigasi untuk menjamin keberlanjutan sistem irigasi serta meningkatkan
intensitas tanam padi sawah serta menjaga alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis
dalam mempertahankan Jawa Barat sebagai lumbung padi; pengembangan jaringan
telekomunikasi baik yang menggunakan jaringan kabel maupun nirkabel, terutama pada
daerah yang teledensitasnya masih rendah; pengembangan sarana dan prasarana dasar
pemukiman, berupa pengembangan rumah susun, meningkatkan cakupan pelayanan air
bersih, dan sanitasi lingkungan serta pengembangan pengelolaan sampah yang berskala
regional. Tantangan lain yang dihadapi dalam pengembangan sarana dan prasarana
wilayah adalah meningkatkan efisiensi dan efiktivitas pengelolaan sarana dan prasarana
wilayah antara lain dengan mengoptimalkan kerjasama antara pemerintah dan swasta
serta kemampuan lembaga pengelola.
Selain itu diperlukan konsistensi yang terjaga antara perencanaan, pemanfaatan,
dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam jangka panjang. Penataan ruang ke depan
perlu mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lahan serta kerentanan
terhadap bencana alam. Aspek regulasi yang jelas diperlukan agar tidak terjadi konflik
pemanfaatan ruang antar sektor. Tantangan lainnya adalah mengurangi kesenjangan
pembangunan antarwilayah khususnya antara wilayah di perkotaan dan perdesaan
Pendahuluan
77
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
khususnya yang berada di Selatan Jawa Barat dan menyeimbangkan Pusat Kegiatan
Nasional, Pusat Kegiatan Wilayah dan Pusat Kegiatan Lokal sehingga dapat berkembang
secara merata dan optimal.
Tantangan aspek pola tata ruang adalah penyediaan kebutuhan lahan untuk
kawasan permukiman terutama di kawasan perkotaan dalam kondisi luasan lahan yang
ada sangat terbatas karena adanya kawasan lindung yang tidak boleh berubah fungsi dan
adanya lahan sawah yang juga harus dipertahankan keberadaannya. Selain itu
pengelolaan kawasan perkotaan akan menjadi tantangan tersendiri dalam mengatur
aktivitas perkotaan dan memenuhi penyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan
dengan tetap memperhatikan prinsip pembangunan perkotaan yang berkelanjutan.
Tantangan besar yang dihadapi Provinsi Jawa Barat sampai tahun 2029 adalah
memulihkan dan menguatkan kembali daya dukung lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan. Bersamaan dengan itu keterlibatan seluruh potensi masyarakat untuk
melakukan berbagai penguatan bagi terwujudnya perilaku dan budaya ramah lingkungan
serta sadar risiko bencana perlu terus ditumbuhkembangkan. Pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan dengan prinsip berkelanjutan menjadi tumpuan bagi upaya
peningkatan kualitas lingkungan hidup ke depan. Pendayagunaan sumber daya alam
harus dilakukan seefektif dan seefisien mungkin, ditopang IPTEK yang memadai sehingga
memberikan nilai tambah yang berarti.
Jawa Barat dengan keanekaragaman potensi sumber daya alamnya tidak hanya
menjadi pengekspor sumber daya alam bernilai rendah dan mengimpornya kembali dalam
bentuk produk bernilai tinggi, melainkan harus menjadi pengekspor sumber daya alam
yang telah diolah dan bernilai tinggi.
Pembiayaan penataan lingkungan merupakan aspek penting yang selama ini sulit
dilaksanakan karena terkait kerja sama dan komitmen antarpihak atau antar daerah.
Penerapan prinsip yang mencemari dan merusak harus membayar, pola pembagian peran
hulu hilir atau pusat-daerah, bagi hasil pajak untuk lingkungan, dana lingkungan, serta
pola pembiayaan pemulihan lingkungan harus mulai dilakukan. Pengawasan secara
berkesinambungan dan penegakan hukum secara konsisten adalah sasaran dalam rangka
pemulihan daya dukung lingkungan lebih maksimal. Pemahaman risiko bencana harus
mulai diintegrasikan pada proses pembangunan ke depan, guna meminimalisasi risiko dan
kerugian yang mungkin timbul atas hasil pembangunan yang dicapai.
Pendahuluan
78
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
Pada masa yang akan datang, tantangan yang dihadapi dalam pengembangan
sarana dan prasarana wilayah di Jawa Barat adalah meningkatkan kualitas dan cakupan
pelayanan meliputi pengembangan angkutan umum massal terutama untuk kota-kota
yang berpenduduk padat; pengembangan jaringan jalan yang efektif dan efisien, baik
berupa jaringan jalan tol maupun non tol yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan
utama dalam skala regional dan lokal; pengaturan hierarki peran serta fungsi jaringan
transportasi yang lebih baik agar menghasilkan pergerakan yang efisiensi dan efektif;
peningkatan pelayanan bandar udara yang telah ada dan mengembangkan bandar udara
baru yang lebih tinggi kapasitas layanannya untuk menunjang perkembangan kegiatan
perekonomian dan kegiatan-kegiatan lainnya; peningkatan sarana dan prasarana
pelabuhan
yang
ada
dan
mengembangkan
pelabuhan
baru;
revitalisasi
dan
pengembangan jaringan jalan rel untuk melayani pergerakan dalam kota dan antarkota;
pengembangan infrastruktur penampung air baku, baik yang bersifat alami maupun
buatan untuk meminimalisasi terjadinya bencana banjir dan kekeringan; peningkatan
layanan jaringan irigasi untuk menjamin keberlanjutan sistem irigasi serta meningkatkan
intensitas tanam padi sawah serta menjaga alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis
dalam mempertahankan Jawa Barat sebagai lumbung padi; pengembangan jaringan
telekomunikasi baik yang menggunakan jaringan kabel maupun nirkabel, terutama pada
daerah yang teledensitasnya masih rendah; pengembangan sarana dan prasarana dasar
pemukiman, berupa pengembangan rumah susun, meningkatkan cakupan pelayanan air
bersih, dan sanitasi lingkungan serta pengembangan pengelolaan sampah yang berskala
regional. Tantangan lain yang dihadapi dalam pengembangan sarana dan prasarana
wilayah adalah meningkatkan efisiensi dan efiktivitas pengelolaan sarana dan prasarana
wilayah antara lain dengan mengoptimalkan kerjasama antara pemerintah dan swasta
serta kemampuan lembaga pengelola.
Hal penting lainnya adalah bagaimana mewujudkan ruang Jawa Barat yang berdaya
saing bagi investor dan investasi yang layak dan penting dikembangkan dalam rangka
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
Jawa
Barat.
Dalam
hal
ini
penting
mempertimbangkan posisi Jawa Barat dalam persaingan lokal, regional maupun global.
Kemampuan wilayah untuk bersaing dalam kompetisi global akan sangat mempengaruhi
kemajuan ekonomi wilayah secara umum. Daya saing ini bukan hanya daya saing sebagai
pasar namun juga daya saing sebagai wilayah investasi dan produsen. Secara kasat mata
Jawa barat memang merupakan potensi pasar yang meyakinkan bila dipandang dari
Pendahuluan
79
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
besarnya jumlah penduduk. Namun perlu juga disadari pentingnya menjadikan wilayah
tersebut memiliki daya tarik ekonomi untuk mendayagunakan potensi yang dimiliki untuk
sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
1.7 KINERJA PENATAAN RUANG JAWA BARAT
1.7.1 Kinerja Struktur Ruang
1.7.1.1 Sistem Perkotaan
Sistem perkotaan di Jawa Barat terdiri dari Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan
Pusat Kegiatan Wilayah (PKW). PKN merupakan kawasan perkotaan yang berfungsi
sebagai :
 Simpul
utama
kegiatan
ekspor-impor
atau
pintu
gerbang
menuju
kawasan
internasional
 Pusat kegiatan industri dan jasa skala nasional atau yang melayani beberapa provinsi
 Simpul utama transportasi skala nasional atau melayani beberapa provinsi
Sedangkan PKW merupakan kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai:
 Simpul kedua kegiatan ekspor-impor yang mendukung PKN
 Pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skala provinsi atau beberapa
kabupaten/kota
 Simpul transportasi yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota
Berdasarkan fungsi tersebut, maka kinerja PKN dan PKW antara lain dinilai
berdasarkan ketersediaan prasarana dan sarana yang mendukung terwujudnya fungsifungsi diatas, yaitu bandara, pelabuhan, terminal, angkutan, dan infrastruktur yang
bersifat regional seperti TPA, pasar induk, rumah sakit, perguruan tinggi dan pengolahan
limbah. Penilaian terhadap kinerja PKN dan PKW telah dilakukan pada evaluasi RTRWP
Jawa Barat 2010 yang dilakukan pada tahun 2007, dapat dilihat pada Tabel 1.22.
TABEL 1.22
EVALUASI KINERJA PKN DAN PKW
Sistem Perkotaan
PKN Bodebek
Rumah sakit tipe A
Terminal regional
tipe A
TPA regional
Lokasi
Kab. Bekasi
Kota Bogor, Kab.
Bekasi
Bekasi/Bogor
Kinerja
Tinggi
Masukan untuk Revisi
RTRWP
 Fungsi PKN sudah dipenuhi
 Penekanan pada pengendalian
perkembangan kawasan
perkotaan
Pendahuluan
80
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
Sistem Perkotaan
Lokasi
Kinerja
Masukan untuk Revisi
RTRWP
 Penekanan pada peningkatan
kualitas pelayanan infrastruktur,
bukan pada pembangunan
infrastruktur baru
PKN
Metropolitan
Bandung
Angkutan massal
Bandara
IPLT
Terminal terpadu
TPA regional
PKN Cirebon
Bandara
IPLT
Pasar induk regional
Pelabuhan laut
nasional
Perguruan tinggi
Rumah sakit tipe A
Terminal tipe A
TPA
PKW
Palabuhanratu
PKW
Tasikmalaya
IPLT
Pasar induk regional
Pelabuhan
pengumpan
Perguruan Tinggi
Rumah sakit tipe B
Terminal tipe B
TPA regional
Bandara sekunder
IPLT
Pasar induk regional
Terminal tipe B
TPA
PKW
Sukabumi
IPLT
Terminal agribisnis
TPA regional
Metropolitan
Bandung
Kota Bandung
Kota Bandung
Gede Bage, Kota
Bandung
Pasir durung,
Cicalengka
Penggung, Kota
Cirebon
Palimanan, Kab.
Cirebon
Kabupaten Cirebon
Kota Cirebon
Sedang
Sedang
Kota Cirebon
Kota Cirebon
Harjamukti, Kota
Cirebon
Palimanan, Kab.
Cirebon
Cisaat,
Palabuhanratu
Palabuhanratu
Palabuhanratu
Rendah
Palabuhanratu
Palabuhanratu
Palabuhanratu
Palabuhanratu
Cibereum,
Tasikmalaya
Kab. Tasikmalaya
Kab./Kota
Tasikmalaya
Kota Tasikmalaya
Kec. Mangunrejo,
Tasikmalaya
Sedang
Cianjur
Cipanas, Cianjur
Sukanagara - Cianjur
Rendah
 Mengoptimalkan infrastruktur
yang telah ada dengan
peningkatan kualitas pelayanan
 Mengimplementasiken
pembangunan terminal terpadu
dan TPA regional dengan skala
pelayanan setara PKN
 Infrastruktur yang dibutuhkan
untuk menjalankan fungsinya
sebagai PKN telah tersedia, tetapi
pelayanannya masih pd skala lokal
 Revisi RTRWP Jawa Barat perlu
menekankan pada peningkatan
kualitas dan memperluas skala
pelayanan infrastruktur di PKN
Cirebon
 Infrastruktur belum memenuhi utk
menjalankan fungsi sbg PKW
 Penekanan pada revisi RTRWP
adalah pada realisasi
pembangunan infrastruktur
regional di Palabuhanratu untuk
memantapkan fungsi sebagai PKW
 Infrastruktur skala regional yang
belum tersedia adalah pasar induk
& TPA regional.
 Revisi RTRW ditujukan untuk
merealisasikan pembangunan
infrastruktur yang belum terjadi,
sekaligus meningkatkan kualitas &
skala pelayanan setara fungsi PKW
 Sebelumnya adalah PKW
Sukabumi-Cianjur, dalam RTRWN
diubah menjadi PKW Sukabumi
 Sukabumi belum memiliki
infrastruktur yang memadai untuk
menjalankan fungsi sebagai PKW
karena infrastruktur yang ada
berlokasi di Cianjur
 Revisi RTRWP diharapkan dapat
menekankan pembangunan
infrastruktur di Sukabumi untuk
mendukung fungsi sebagai PKW
Pendahuluan
81
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
Sistem Perkotaan
PKW
Pangandaran
PKW
Cikampek Cikopo
PKW
Kadipaten
Lokasi
Bandara
IPLT
Pelabuhan
pengumpan
Rumah sakit tipe B
Terminal tipe B
TPA regional
Pangandaran
Pangandaran
Pangandaran
IPLT
Cikampek - Cikopo
Pasar induk
Cikampek - Cikopo
Pelabuhan udara
Perguruan Tinggi
Rumah sakit tipe B
Terminal tipe B
TPA regional
Bandara
IPLT
Rumah sakit tipe B
Terminal tipe B
TPA regional
Cikampek Cikampek Cikampek Cikampek Cikampek Kadipaten
Kadipaten
Kadipaten
Kadipaten
Kadipaten
Kinerja
Rendah
Pangandaran
Pangandaran
Pangandaran
Rendah
Cikopo
Cikopo
Cikopo
Cikopo
Cikopo
Rendah
Masukan untuk Revisi
RTRWP
 Pangandaran belum memiliki
infrastruktur yang memadai untuk
menjalankan fungsi sebagai PKW
 Revisi RTRWP diharapkan dapat
menekankan pembangunan
infrastruktur di Pangandaran
untuk mendukung fungsi sebagai
PKW
 Cikampek-Cikopo merupakan
kawasan yang cepat berkembang,
tetapi dalam fungsinya sebagai
PKW, kawasan ini belum memiliki
infrastruktur yang memadai
 Revisi RTRWP diharapkan dapat
menekankan pembangunan
infrastruktur di kawasan
Cikampek-Cikopo untuk
mendukung fungsi sebagai PKW
 Kadipaten belum memiliki
infrastruktur yang memadai untuk
menjalankan fungsi sebagai PKW
 Revisi RTRWP diharapkan dapat
menekankan pembangunan
infrastruktur di Kadipaten untuk
mendukung fungsi sebagai PKW
Sumber: Evaluasi RTRWP Jawa Barat, 2007 dan Hasil Analisis, 2008
1.7.1.2 Infrastruktur Wilayah
Infrastruktur wilayah merupakan aspek penting dalam pembangunan wilayah baik
dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi maupun kehidupan sosial masyarakat
wilayah tersebut. Adapun fungsi dan peranan prasarana wilayah dalam pembangunan
adalah sebagai pengarah pembentukan struktur tata ruang, pemenuhan kebutuhan
wilayah, pemacu pertumbuhan suatu wilayah, dan pengikat wilayah (alat interaksi antar
dan intra wilayah). Infrastruktur wilayah terbagi atas infrastruktur jalan dan perhubungan,
infrastruktur sumberdaya air dan irigasi, infrastruktur energi, infrastruktur telekomunikasi,
dan infrastruktur permukiman.
a. Infrastruktur Jalan dan Perhubungan
Salah satu indikator tingkat keberhasilan penanganan infrastruktur jalan adalah
meningkatnya tingkat kemantapan dan kondisi jalan. Pada kurun waktu tahun 2003 2007, tingkat kemantapan jaringan jalan provinsi sepanjang 2.199,18 km telah meningkat
dari 85,17% menjadi 87,31%. Dengan tingkat kemantapan sebesar 87,31% tersebut,
64,36% dari panjang jaringan jalan provinsi berada pada kondisi sedang. Hal ini
Pendahuluan
82
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
disebabkan karena sudah habisnya umur rencana jalan pada sebagian besar ruas jalan
provinsi sehingga kondisi struktur jalan menjadi labil. Rendahnya tingkat kemantapan
jalan ini juga disebabkan oleh tingginya frekuensi bencana alam serta beban lalu lintas
yang sering melebihi standar muatan sumbu terberat (MST). Selain itu, kurangnya
jaringan jalan tol, serta belum terintegrasinya seluruh jaringan jalan di Jawa Barat dengan
baik termasuk dengan sistem jaringan jalan tol, menyebabkan rendahnya kualitas dan
cakupan pelayanan infrastuktur jaringan jalan di Jawa Barat.
Kondisi infrastruktur jalan dan perhubungan lainnya, diperlihatkan dengan
kurangnya ketersediaan perlengkapan jalan dan fasilitas lalu lintas seperti rambu, marka,
pengaman jalan, terminal, dan jembatan timbang, serta belum optimalnya kondisi dan
penataan sistem hirarki terminal sebagai tempat pertukaran moda, menyebabkan
rendahnya kelancaran, ketertiban, keamanan serta pengawasan pergerakan lalu lintas.
Demikian pula halnya dengan pelayanan angkutan massal seperti kereta api dan bis,
masih belum optimal mengingat infrastruktur jalan dan perhubungan
yang tersedia
belum mampu mengakomodir jumlah pergerakan yang terjadi khususnya pergerakan di
wilayah tengah Jawa Barat.
Keberadaan bandar udara di Jawa Barat masih belum memadai untuk menampung
demand yang ada. Bandara Husein Sastranegara dan beberapa bandara perintis lainnya
belum dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk menampung kebutuhan penumpang
dan kargo baik domestik maupun internasional.
Keberadaan pelabuhan laut di Jawa Barat masih belum memadai untuk
menampung demand yang ada. Pelabuhan Laut Cirebon sebagai pelabuhan terbesar yang
dimiliki Provinsi Jawa Barat saat ini hanya difungsikan sebagai pelabuhan niaga saja
akibat kondisi fisik pelabuhan dan fasilitas yang kurang memadai serta adanya
keterbatasan pengembangan karena kondisi alam yang tidak mendukung. Selain itu
beberapa pelabuhan laut lain yang ada di Jawa Barat hanya berfungsi sebagai pelabuhan
transit dan pelabuhan ikan saja karena kapasitas pelabuhan yang tidak memadai.
b. Infrastruktur Sumberdaya Air dan Irigasi
Kondisi infrastruktur sumber daya air dan irigasi yang mendukung upaya
konservasi, pendayagunaan sumber daya air, pengendalian daya rusak air, keterlibatan
masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air dan sistem informasi sumber daya air
dirasakan masih belum memadai. Potensi sumber daya air di Jawa Barat yang besar
Pendahuluan
83
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang kegiatan pertanian, industri,
dan kebutuhan domestik. Bencana banjir dan kekeringan juga masih terus terjadi antara
lain akibat menurunnya kapasitas infrastruktur sumber daya air dan daya dukung
lingkungan serta tersumbatnya muara sungai karena sedimentasi yang tinggi. Selain itu,
kondisi jaringan irigasi juga belum memadai, walaupun dari tahun 2003 - 2008 jaringan
irigasi dalam kondisi rusak berat dan ringan telah berkurang dari sekitar 74% menjadi
51%. Demikian pula halnya dengan intensitas tanam padi pada daerah irigasi yang
dikelola Pemerintah Provinsi Jawa Barat dirasakan masih belum optimal, walaupun dalam
kurun waktu tersebut telah meningkat dari 182% menjadi 190%. Kinerja pengelolaan
jaringan irigasi dapat dilihat pada Tabel 1.23.
TABEL 1.23
KINERJA PENGELOLAAN JARINGAN IRIGASI KEWENANGAN PROVINSI
URAIAN
TAHUN
2003
2004
2005
2006
2007
2008
74
74
74
84
84
86
182
184
185
187
190
192
74
65
51
49
46
51
Jumlah daerah irigasi (DI) Prov (buah)
Intensitas tanam (%)
Jaringan irigasi yang rusak (%)
c. Infrastruktur Energi dan Kelistrikan
Tingkat keberhasilan penanganan listrik dapat dilihat dari rasio elektrifikasi desa
dan rumah tangga. Sampai pertengahan tahun 2008, telah terjadi peningkatan rasio
elektrifikasi rumah tangga dari 57,73% pada tahun 2006 menjadi 62% pada pertengahan
tahun 2008, yang artinya dari 11.011.044 rumah tangga baru sekitar 6.826.847 rumah
tangga yang telah mendapatkan aliran listrik yang bersumber dari PLN dan non PLN.
Sedangkan untuk listrik perdesaan, cakupan desa yang sudah mendapatkan tenaga listrik
pada pertengahan tahun 2008 hampir mencapai 100%, dimana hanya tinggal 6 desa
yang belum memiliki infrastruktur listrik yaitu sebanyak 2 desa di Kabupaten Garut dan 4
desa di Kabupaten Cianjur. Peningkatan rasio elektrifikasi perdesaan masih terus
diupayakan untuk mewujudkan Jabar Caang pada tahun 2010, sedangkan peningkatan
rasio elektrifikasi rumah tangga terus diupayakan baik melalui pembangunan jaringan
Pendahuluan
84
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
listrik yang bersumber dari PLN, maupun penyediaan sumber-sumber energi alternatif
seperti Pembangkit Listrik Tenaga (PLT) mikro hidro, surya, dan angin.
d. Infrastruktur Telekomunikasi
Cakupan layanan infrastruktur telekomunikasi belum bisa menjangkau setiap
pelosok wilayah, dicirikan dengan adanya beberapa wilayah yang belum terlayani. Khusus
untuk layanan jasa telepon kabel, beberapa daerah perkotaan pada tahun 2005 angka
teledensitasnya sudah tinggi (>10), sedangkan untuk daerah kabupaten kondisi
teledensitasnya masih rendah, terutama untuk jaringan telekomunikasi perdesaan.
Lambatnya pertumbuhan pembangunan sambungan tetap tersebut salah satunya
disebabkan oleh bergesernya fokus bisnis penyelenggara kepada pengembangan
telekomunikasi bergerak
(selular).
Untuk
pengembangan jaringan telekomunikasi
perdesaan saat ini telah dilakukan berbagai upaya salah satunya melalui program
Kemampuan Pelayanan Universal (KPU)/Universal Service Obligation (USO) yang digagas
oleh pemerintah pusat.
e. Infrastruktur Permukiman
Kekurangan penyediaan perumahan (backlog) pada tahun 2007 sebesar 980.000
unit dan diperkirakan akan mencapai 1,164 juta unit pada tahun 2013. Selain itu, terdapat
pula 1.035 kawasan kumuh dengan luas sekitar 25.875 ha yang umumnya terdapat di
wilayah perkotaan dan permukiman nelayan. Tingginya backlog rumah dan kawasan
kumuh di perkotaan disebabkan oleh terbatasnya sumber pembiayaan yang berpihak
pada masyarakat berpenghasilan rendah dan belum seimbangnya pembangunan di
perkotaan dan perdesaan sehingga sulit untuk mengendalikan migrasi penduduk
khususnya ke kota-kota besar. Selama kurun waktu 2003 - 2007, penanganan perumahan
difokuskan pada upaya untuk mendorong pembangunan rumah susun di kota-kota
metropolitan, pengembangan kasiba/lisiba serta penataan kawasan kumuh di perkotaan
dan permukiman nelayan melalui kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Upaya
ini dirasakan telah cukup mampu untuk mendorong penyediaan rumah yang layak huni
bagi masyarakat berpenghasilan rendah, peningkatan kualitas lingkungan perumahan
oleh masyarakat, serta pengembangan kawasan permukiman baru yang lebih tertata.
Namun demikian, percepatan pembangunan rumah layak huni bagi masyarakat
berpenghasilan rendah perlu segera dilakukan dan pelibatan masyarakat serta dunia
Pendahuluan
85
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
usaha dalam pengembangan perumahan di Jawa Barat perlu terus ditingkatkan. Di
samping itu, implementasi pengembangan kasiba/lisiba di daerah masih cukup rendah
sehingga upaya-upaya untuk mendorong percepatan pengembangan kasiba/lisiba sangat
diperlukan. Pemenuhan perumahan dan permukiman yang “mandiri” dan “produktif”
merupakan arah kebijakan pembangunan perumahan permukiman di Jawa Barat yang
berarti bahwa mandiri adalah mendorong masyarakat untuk berpartisipasi penuh,
memberdayakan masyarakat untuk dapat meningkatkan potensi sumberdayanya dalam
menciptakan perumahan yang layak huni, serta produktif berarti mendorong rumah
sebagai sarana pendidikan keluarga, persemaian budaya dan pengembangan ekonomi
serta mendukung pembangunan berawasan lingkungan yang mengacu pada tata ruang
dan budaya lokal. Skema penanganan perumahan permukiman yang mandiri dan
produktif dilakukan dengan skema pembangunan baru secara formal (oleh pengembang)
dan swadaya masyarakat (oleh masyarakat) serta skema perbaikan rumah dan
lingkungan untuk masyarakat berpenghasilan rendah terutama di kawasan kumuh.
Kondisi infrastruktur permukiman masih belum memadai. Pada tahun 2007 rumah
tangga yang menggunakan sumber air minum yang berasal dari air kemasan/
ledeng/pompa sebesar 45,32%. Rendahnya cakupan pelayanan air minum disebabkan
oleh masih tingginya angka kebocoran air (rata-rata 38%), terbatasnya sumber air baku
khususnya di wilayah perkotaan, tarif/retribusi air yang belum berorientasi pada cost
recovery, masih rendahnya partisipasi masyarakat dan swasta dalam pembangunan
sarana dan prasarana air minum, serta terbatasnya sumber dana yang dimiliki oleh
pemerintah. Selama periode 2003-2007, peningkatan cakupan pelayanan air minum
difokuskan pada masyarakat miskin di wilayah Pantura dan perdesaan melalui kerjasama
antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Strategi penyediaan air minum berbasis
masyarakat ini dirasakan telah cukup mampu mendorong peningkatan cakupan pelayanan
dan keberlanjutan sarana dan prasarana air minum yang telah dibangun. Pengembangan
kebijakan air minum diarahkan pada peningkatan cakupan dan kualitas, meningkatkan
alokasi pendanaan,
memperkuat
fungsi kelembagaan dan peraturan perundang
undangan, meningkatkan pengelolaan air baku serta meningkatkan peran serta
masyarakat dalam pengembangan pembangunan air minum. Dalam mengembangkan
sistem pelayanan terhadap air minum dilakukan melalui strategi pengembangan sistem
penyediaan air minum perkotaan dan perdesaaan serta penanganan terhadap bencana
selain itu juga adalah optimalisasi jaringan air minum.
Pendahuluan
86
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
Untuk aspek persampahan, tingkat pelayanan persampahan di Jawa Barat secara
umum masih sangat rendah. Cakupan pelayanan persampahan hingga akhir tahun 2007
sebesar 53% dan sekitar 90% pengolahan sampah di TPA masih dilakukan secara open
dumping. Selain itu kondisi sarana angkutan persampahan masih belum memadai. Untuk
wilayah Metropolitan Bandung dan Kabupaten/Kota Bogor-Kota Depok, pengelolaan
sampah direncanakan akan dilakukan secara regional melalui Tempat Pemrosesan Akhir
Regional Leuwigajah, Legoknangka, dan Nambo serta akan dikelola oleh Pusat
Pengelolaan Persampahan Jawa Barat (P3JB). Namun demikian, hingga akhir tahun 2007,
TPA Leuwigajah belum dapat berfungsi karena masih menghadapi permasalahan sosial
dan teknis operasional pasca bencana longsor, sedangkan TPA Legoknangka baru sampai
tahap kelayakan teknis, lingkungan, dan sosial. Oleh karena itu, dalam jangka pendek,
permasalahan TPA sampah di Metropolitan Bandung masih mengandalkan Tempat
Pengolahan Kompos Sarimukti sampai dengan tahun 2010. Sedangkan untuk TPA Nambo
hingga saat ini masih mencapai tahap pembebasan lahan untuk jalan akses, sehingga
untuk sementara sampai dengan tahun 2010 pengelolaan sampah di Kabupaten/Kota
Bogor-Kota Depok masih dilakukan di TPA masing-masing kabupaten/kota. Selama kurun
waktu 2003-2007, telah dilakukan upaya untuk pembangunan TPA dan penyediaan
sarana dan prasarana pendukungnya, namun upaya-upaya untuk mengurangi volume
sampah dan mengolah sampah menjadi kompos belum mendapatkan perhatian khusus.
Oleh karena itu, kedepan pembangunan TPA serta sarana dan prasarana pendukungnya
perlu pula ditunjang dengan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengurangan
timbulan sampah.
Tingkat pelayanan pengelolaan limbah domestik hingga akhir tahun 2007 masih
sangat rendah. Terdapat 49,01% rumah tangga yang menggunakan tangki/septik tank
sebagai tempat pembuangan tinja dan sisanya menggunakan kolam/ sawah/ kebun/
sungai/
lubang
tanah/lainnya.
Kondisi
prasarana
pengelolaan
limbah
domestik,
menunjukkan bahwa dari 17 unit Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) hanya 11 unit
yang beroperasi dengan baik dan baru 4 kabupaten/kota yang memiliki sistem penyaluran
air limbah domestik perkotaan yaitu Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Bogor, dan
Cirebon.
Pendahuluan
87
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
1.7.2 Kinerja Pola Ruang
1.7.2.1 Kawasan Lindung
Kinerja kawasan lindung dicermati dari perbandingan antara persentase luas
kawasan lindung eksisiting dan yang ditetapkan berdasarkan kriteria dalam RTRWP 2010.
Data kesesuaian tutupan lahan tahun 2005 terhadap fungsi kawasan lindung menurut
RTRWP 2010 dapat dilihat pada Tabel 1.24. Ketidaksesuaian dalam tutupan lahan di
hutan konservasi mencapai 0,7%. Persentase ketidaksesuaian yang lebih tinggi
ditunjukkan oleh hutan lindung yang penyimpangannya mencapai 5,9% dari total yang
ditetapkan oleh RTRWP sebesar 15,1%. Berbeda dengan hutan konservasi dan lindung
yang memiliki ketidaksesuaian yang besar, kawasan lindung non hutan mencapai kategori
kurang sesuai sebesar 14,8%. Total kawasan lindung yang kurang sesuai dengan RTRWP
adalah sebesar 14,8%, sementara itu yang tidak sesuai adalah sebesar 6,7%.
Dengan demikian, capaian kawasan lindung sampai tahun 2005 sebesar 27,5%
yang terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung, dan kawasan lindung non hutan.
Kondisi ini berarti kawasan lindung eksisting telah melebihi target yang ditetapkan dalam
RTRWP Jawa Barat, yaitu 21%.
TABEL 1.24
KESESUAIAN ORIENTASI TUTUPAN LAHAN 2005 TERHADAP FUNGSI
PER KAWASAN LINDUNG RTRWP JAWA BARAT 2010
Kesesuaian
Sesuai
Kurang Sesuai
Tidak Sesuai
Total
Kawasan Lindung
Hutan
%
%
Lindung
Hutan
Konservasi
Non Hutan
%
106.892,8
2,9%
340.320,1
9,2%
571.756,4
15,4%
-
0,0%
-
0,0%
548.810,9
14,8%
25.173,6
0,7%
219.114,0
5,9%
2.135,9
0,1%
132.066,4
3,6%
559.434,1
15,1%
1.122.703,2
41,4%
Sumber: Kajian, 2007
Pencapaian luasan kawasan lindung yang melebihi target dikarenakan adanya
program yang difokuskan untuk mendukung kinerja kawasan lindung. Program tersebut
berasal dari pemerintah pusat melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(GNRHL) yang dimulai sejak tahun 2004 sampai tahun 2008 sedangkan program dari
APBD adalah Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) yang dimulai sejak tahun 2003
sampai dengan tahun 2008. Berdasarkan hasil evaluasi menunjukan bahwa terjadi
Pendahuluan
88
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
penurunan lahan kritis dari 580.397 ha pada tahun 2003 menjadi 240.910,51 ha pada
tahun 2007. Disamping itu Program Pengelolaan Kawasan Lindung merupakan program
prioritas Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam mendukung pencapaian Kawasan
Lindung.
Perubahan status lahan di beberapa kawasan lindung juga berpengaruh terhadap
keberhasilan target luasan kawasan lindung. Tabel 1.25 menunjukan beberapa kawasan
yang telah meningkatkan status fungsinya.
TABEL 1.25
PERUBAHAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN
Lokasi
Status/Fungsi
Semula
Menjadi
Luas
(Ha)
Tahura G. Kunci Sumedang
Hutan produksi terbatas
Hutan lindung
3,3
Taman Nasional Halimun-Salak
HL, HP dan HPT
HK
113.357
Taman Nasional G. Gede Pangrango
HP dan HPT
HK
21.975
Taman Nasional G. Ciremai
HP dan HL
HK
15.500
Catatan :
HL= hutan lindung
HP= hutan produksi
HPT= hutan produksi terbatas
1.7.2.2 Kawasan Budidaya Sawah
Lahan sawah di Jawa Barat mendapat tekanan perubahan yang besar untuk
pengembangan kegiatan industri. Alih fungsi terjadi pada lahan beririgasi teknis di
Kabupaten Subang, Bekasi dan Karawang menjadi dialihkan untuk mendukung
pengembangan kegiatan industri. Lahan pertanian juga dinilai memiliki kelayakan
ekonomi yang rendah dibandingkan kegiatan jasa dan industri. Hal ini terjadi di
Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu dan Kabupaten Bandung. Kelayakan
ekonomi yang rendah ini disebutkan karena lahan sawah dinilai kurang elastis jika
dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya.
Dengan berkurangnya luasan lahan sawah beririgasi teknis maka lahan sawah
yang lebih produktif juga berkurang. Hal ini menyebabkan penurunan kinerja untuk
kawasan sawah. Walaupun luasan pada lahan sawah dengan irigasi sederhana dan tadah
hujan meningkat, namun hal tersebut tidak dengan serta merta meningkatkan kinerja
lahan sawah. Pertama, irigasi sederhana biasanya terhambat batasan desa untuk
Pendahuluan
89
MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029
pengelolaan dan penggunaannya. Kedua, lahan sawah tadah hujan sangat tergantung
pada musim untuk memulai masa tanamnya. Untuk itu, lahan sawah yang menggunakan
dua sistem irigasi diatas tidak akan seproduktif lahan sawah dengan irigasi teknis.
Kebutuhan terhadap lahan nonsawah jelas memberikan tekanan yang besar
terhadap alih fungsi ini. Dengan meningkatnya penduduk dan aktivitas, kebutuhan
terhadap lahan untuk permukiman dan industri semakin besar. Faktor lain yang juga
sering diungkapkan adalah rata-rata kepemilikan lahan yang berkurang, sehingga usaha
tani menjadi kurang prospektif lagi. Minat generasi muda untuk menggeluti usaha
pertaian juga menurun.
Dengan melihat ketetapan menurut RTRWP bahwa luas lahan sawah harus
dipertahankan keberadaannya sebesar 766.218,57 Ha, maka dapat diamati bahwa terjadi
penurunan luas lahan sawah sebesar 2% atau 15.217 Ha (2001-2005).
Pendahuluan
90
Download