MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyelenggaraan penataan ruang nasional dilaksanakan berdasarkan asas keterpaduan, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, keberlanjutan, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, keterbukaan, kebersamaan dan kemitraan, perlindungan kepentingan umum, kepastian hukum dan keadilan, serta akuntabilitas. Asas tersebut dilaksanakan untuk mewujudkan keharmonisan antara lingkungan alam dan buatan, keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia, serta perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang, sesuai dengan tujuan penyelenggaraan penataan ruang, yaitu mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan ketahanan nasional. Untuk itu, dalam rangka menyelaraskan dan menjabarkan strategi dan arahan kebijakan penyelenggaraan penataan ruang nasional di wilayah provinsi, diperlukan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang mengakomodir kepentingan nasional, regional dan lokal dalam satu kesatuan penataan ruang. Ruang wilayah Provinsi Jawa Barat adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, ruang udara dan ruang dalam bumi, sebagai tempat masyarakat Jawa Barat melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya, serta merupakan suatu sumber daya yang harus ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana. Dengan demikian RTRWP Jawa Barat sangatlah strategis untuk dapat menjadi pedoman dalam penyelenggaraan penataan ruang, serta untuk menjaga kegiatan pembangunan agar tetap sesuai dengan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan, sekaligus mampu mewujudkan ruang yang produktif dan berdaya saing menuju Jawa Barat sebagai Provinsi Termaju di Indonesia pada Tahun 2029. Hal ini ditegaskan pula oleh Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang menetapkan kedudukan Rencana Tata Ruang sebagai acuan utama Pendahuluan 1 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 pembangunan sektoral dan wilayah, dan telah ditindaklanjuti dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Jawa Barat. Sebagai matra spasial pembangunan, maka RTRWP Jawa Barat disusun berdasarkan pencermatan terhadap kepentingan-kepentingan jangka panjang, serta dengan memperhatikan dinamika yang terjadi, baik dalam lingkup eksternal maupun internal. Sehubungan dengan itu, dalam proses penyusunannya tidak terlepas dari hasil evaluasi pelaksanaan RTRWP Jawa Barat 2010, sebagai dasar dalam perumusan strategi dan rencana tata ruang ke depan. Hal ini terutama dikaitkan dengan kinerja penataan ruang, yang pada kenyataannya masih terdapat penyimpangan, baik dalam aspek struktur maupun pola ruang. Selanjutnya dari sisi dinamika pembangunan, telah diperhatikan pula beberapa perubahan yang perlu diantisipasi dan direspon dalam suatu substansi rencana tata ruang yang mampu menjamin keberlangsungan pelaksanaannya di lapangan, serta terlebih penting lagi dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan jangka panjang. Dalam konteks penataan ruang wilayah provinsi, dinamika eksternal mencakup pengaruh tataran global, regional dan nasional, seperti tuntutan sistem kepemerintahan yang baik (good governance), tuntutan pasar dunia (global market forces), dan tuntutan setiap orang untuk memenuhi hak hidupnya, bebas menyatakan pendapat, mencapai kehidupan yang lebih baik, serta memenuhi nilai-nilai agama dan kepercayaan yang dianut. Dinamika eksternal ini juga dipengaruhi oleh perkembangan paradigma baru dalam penataan ruang sehubungan dengan terbitnya peraturan perundangan penataan ruang yang baru, serta peraturan perundangan lainnya yang terkait termasuk Norma Standar Pedoman dan Manual (NSPM) yang telah diterbitkan oleh Pemerintah. Sedangkan dalam konstelasi global Indonesia digambarkan sebagai sebuah negara berkembang yang memiliki berbagai tantangan dari segi perekonomian dan pembangunan, di antaranya berupa rendahnya prosentase aliran masuk Foreign Direct Investment (FDI) ke Indonesia, rendahnya posisi Indonesia dalam rangking Global Competitiveness Index (GCI), serta rendahnya total nilai perdagangan Indonesia dalam kegiatan perdagangan intra ASEAN. Fenomena dinamika global juga dipengaruhi faktor urbanisasi dan munculnya lebih banyak Megacities/Megapolitan/Conurbation, revolusi teknologi yang mengurangi peranan faktor jarak, waktu, dan lokasi di dalam penentuan kegiatan-kegiatan ekonomi/ bisnis serta sosial-politik yang melumerkan arti batas-batas antar negara, serta proses perdagangan dalam hal mempercepat masuknya peranan Pendahuluan 2 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 aktor-aktor pasar untuk menguasai sumberdaya alam, energi, air bersih, dan bahanbahan mineral diseluruh dunia, sehingga berimplikasi pada sejauhmana penataan ruang mampu memanfaatkan tantangan yang ada, sebagai peluang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dari sisi konservasi lingkungan, isu global warming memberikan pengaruh yang besar terhadap kebijakan penataan ruang dan pembangunan di Indonesia termasuk Provinsi Jawa Barat. Dengan adanya isu tersebut, tentu kebijakan penataan ruang yang dihasilkan harus sejalan dengan konservasi dan preservasi lingkungan secara global, serta upaya-upaya mitigasi bencana. Atau dengan kata lain, kegiatan pembangunan harus tetap dalam koridor daya dukung lingkungan, oleh karenanya keseimbangan alokasi ruang antara kawasan budidaya dan kawasan lindung merupakan prasyarat yang tetap dibutuhkan. Provinsi Jawa Barat juga menghadapi berbagai tantangan dan dinamika pembangunan yang bersifat internal. Dinamika internal tersebut lebih menggambarkan kinerja yang mempengaruhi penataan ruang Jawa Barat, yaitu perubahan fisik, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya yang berasal dari dalam wilayah Jawa Barat. Isu internal terutama tingginya pertumbuhan jumlah penduduk tahun 2007 yang mencapai 41,48 juta jiwa dan dalam waktu 20 tahun mendatang, yaitu tahun 2029 akan berjumlah 54,16 juta jiwa. Hal ini tentu akan berimplikasi pada semakin tingginya kebutuhan akan sumberdaya lahan, air, energi, ketahanan pangan, kesempatan kerja, dan sebagainya. Selain dari aspek kependudukan, dinamika internal juga ditunjukkan oleh masih belum optimalnya pencapaian target Indeks Pembangunan Manusia (IPM), target alokasi luasan Kawasan Lindung sebesar 45%, realisasi pembangunan infrastruktur wilayah, ketersediaan sarana dan prasarana dasar, meningkatnya permasalahan lingkungan dan konflik pemanfaatan ruang, rendahnya kinerja Pusat Kegiatan Nasional (PKN) – Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), kerjasama pengelolaan kawasan perbatasan, serta upaya-upaya dalam mitigasi bencana yang masih membutuhkan peningkatan lebih lanjut. Berdasarkan penjelasan di atas, perumusan substansi RTRWP Jawa Barat yang memuat tujuan, kebijakan dan strategi, rencana, arahan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, ditujukan untuk dapat menjaga sinkronisasi dan konsistensi pelaksanaan penataan ruang dan mengurangi penyimpangan implementasi indikasi program utama yang ditetapkan, serta diharapkan akan lebih mampu merespon tantangan dan menjamin keberlanjutan pembangunan, melalui berbagai pembenahan dan Pendahuluan 3 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 pembangunan ruang yang produktif dan berdaya saing tinggi demi terwujudnya masyarakat Jawa Barat yang lebih sejahtera. 1.2 FUNGSI DAN KEDUDUKAN RTRWP Jawa Barat 2009-2029 merupakan matra spasial dari RPJPD Provinsi Jawa Barat, yang berfungsi sebagai penyelaras kebijakan penataan ruang Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, serta sebagai acuan bagi instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk mengarahkan lokasi, dan menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan RTRWP Jawa Barat 2009-2029 adalah sebagai pedoman dalam : a. Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Barat dan rencana sektoral lainnya. b. Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. c. Perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah, Kabupaten/Kota, serta keserasian antarsektor. d. Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi. e. Penataan ruang Kawasan Strategis Provinsi. f. Penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota. 1.3 RUANG LINGKUP 1.3.1 Lingkup Wilayah RTRWP Jawa Barat 2009-2029 mencakup perencanaan seluruh wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat, yang meliputi : Wilayah daratan, seluas 3.709.528,44 Ha; Wilayah pesisir dan laut, sepanjang 12 (dua belas) mil dari garis pantai seluas 18.153 Km2; Wilayah udara; dan Wilayah dalam bumi. Batas koordinat Provinsi Jawa Barat adalah 104 48’ 00” BT - 108 48’ 00” BT dan 5 50’ 00” LS - 7 50’ 00” LS , dengan batas wilayah sebagai berikut : Sebelah utara, berbatasan dengan Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Raya dan Laut Jawa; Sebelah timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah; Pendahuluan 4 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Sebelah selatan, berbatasan dengan Samudera Hindia; dan Sebelah barat, berbatasan dengan Provinsi Banten. 1.3.2 Lingkup Substansi Lingkup subtansi RTRWP Jawa Barat 2009-2029 tidak terlepas dari muatan substansi yang diatur dalam peraturan perundangan yang mengatur tentang penataan ruang. Lingkup substansi mencakup penjelasan kondisi dan permasalahan penataan ruang Jawa Barat selama 5 (lima) tahun, kondisi dan tuntutan penataan ruang Jawa Barat 20 (duapuluh) tahun ke depan, tujuan penataan ruang, kebijakan dan strategi penataan ruang, rencana tata ruang wilayah, arahan pemanfaatan ruang, serta arahan pengendalian pemanfaatan ruang. 1.4 DASAR HUKUM RTRWP Jawa Barat 2009-2029 mengacu pada dasar hukum, meliputi : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia tanggal 4 Juli 1950) jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Jakarta Raya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 15) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4744) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4010); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043); 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274); Pendahuluan 5 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472); 6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470); 7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 8. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 9. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152); 10. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169); 11. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4327); 12. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411); Pendahuluan 6 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 13. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073); 14. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377); 15. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4380); 16. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 17. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 18. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4441); 19. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700); 20. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722); Pendahuluan 7 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 21. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723); 22. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 23. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739); 24. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925); 25. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956); 26. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); 27. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966); 28. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4974); 29. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 30. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068); 31. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445); Pendahuluan 8 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 32. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3660); 33. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3776); 34. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3816); 35. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 36. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934); 37. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4145); 38. Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4146); 39. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161); 40. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4242); 41. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4254); Pendahuluan 9 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 42. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4385); 43. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452); 44. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4489); 45. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 46. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624); 47. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4638); 48. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696); 49. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 50. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4858); 51. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859); Pendahuluan 10 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 52. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833); 53. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987); 54. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5004); 55. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern; 56. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur; 57. Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103); 58. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; 59. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional; 60. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah; 61. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang; 62. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan Gempa Bumi; 63. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor; 64. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan; 65. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan; Pendahuluan 11 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 66. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah; 67. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2008 tentang Pengembangan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh di Daerah; 68. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2009 tentang Batas Daerah Provinsi Jawa Tengah dengan Jawa Barat; 69. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11/PRT/M/2009 tentang Pedoman Persetujuan Substansi dalam Penetapan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota beserta Rencana Rinciannya; 70. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; 71. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.28/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konsultasi dalam rangka Pemberian Persetujuan Substansi Kehutanan atas Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah; 72. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah; 73. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2001 tentang Pola Induk Pengelolaan Sumber Daya Air di Provinsi Jawa Barat; 74. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pembentukan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2005 Nomor 13 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 15) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pembentukan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2010 Nomor 5 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 71); 75. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara (Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 1 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 38); 76. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2025 (Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 8 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 45); Pendahuluan 12 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 77. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Provinsi Jawa Barat (Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 9 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 46); 78. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 6 Tahun 2009 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat (Lembaran Daerah Tahun 2009 Nomor 6 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 64); 1.5 PROFIL WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT 1.5.1 Penduduk Jumlah penduduk Jawa Barat tahun 2006 adalah 40.737.594 jiwa dengan komposisi penduduk laki-laki 20.579.308 jiwa (50,51%) dan penduduk perempuan sebesar 20.158.286 jiwa (49,48%). Sebaran penduduk Jawa Barat tersebut sebagian besar terkonsentrasi di Kawasan sekitar Ibukota Negara (Kawasan Bogor, Depok, Bekasi) dan Ibukota Provinsi Jawa Barat (Kawasan Kota Bandung, Cimahi dan sekitarnya). Sebaran jumlah penduduk per kecamatan tahun 2006 dapat dilihat pada Gambar 1.1. GAMBAR 1.1 PETA SEBARAN JUMLAH PENDUDUK PER KECAMATAN TAHUN 2006 Pendahuluan 13 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Persebaran penduduk berdasarkan kepadatan telah mencapai angka sebesar 1.391,47 jiwa per km2. Kepadatan penduduk tertinggi dimiliki Kota Bandung, dengan kepadatan 13.939,75 jiwa per km2, diikuti Kota Cimahi dengan 12.583,89 jiwa per km2. Sedangkan kepadatan terendah dimiliki Kabupaten Ciamis dengan 691,62 jiwa per km2 dan Kabupaten Cianjur dengan 713,71 jiwa per km2. Sebaran kepadatan penduduk per kecamatan di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 1.2. Kepadatan penduduk di Jawa Barat cenderung memperlihatkan pola konsentrasi penduduk di kawasan perkotaan. Hal tersebut terjadi di Kawasan Bodebek yang mencapai persentase sebesar 25,76% dari jumlah penduduk Jawa Barat, diikuti oleh Kawasan Cekungan Bandung yang mencapai persentase sebesar 20,46% dari jumlah penduduk Jawa Barat. Sedangkan secara administratif, wilayah dengan jumlah penduduk terbesar terdapat di Kabupaten Bandung, yang mencapai 10,79% dari jumlah penduduk Jawa Barat dan diikuti oleh Kabupaten Bogor sebesar 10,35% dari jumlah penduduk Jawa Barat. GAMBAR 1.2 PETA SEBARAN KEPADATAN PENDUDUK PER KECAMATAN TAHUN 2006 Ditinjau dari komposisi penduduk terkait dengan kegiatan di kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan, menunjukkan terjadinya peningkatan kegiatan kawasan perdesaan ke kawasan perkotaan, menjadi 58,8% dari jumlah penduduk Jawa Barat, Pendahuluan 14 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 meningkat 8,5% dibandingkan komposisi penduduk 5 (lima) tahun sebelumnya. Peningkatan angka tersebut menunjukkan kegiatan perkotaan yang telah merambah ke kawasan perdesaan di sekitarnya, yang kemudian diikuti dengan perubahan status pada beberapa daerah perdesaan menjadi perkotaan. Ditinjau dari perpindahan penduduk (migrasi) masuk ke Jawa Barat, tahun 2007 terjadi migrasi sebesar 3.911.583 orang. 54,73% diantaranya berasal dari Jakarta, dan sebagian besar migran tersebut merupakan pekerja yang bekerja di sentra-sentra industri Kawasan Bodebek. Wilayah yang menjadi tujuan migrasi masuk adalah Cekungan Bandung dan Metro Cirebon, hal ini dipicu oleh peran wilayah tersebut sebagai pusat jasa, pendidikan, industri, dan sebagainya. Dampak migrasi masuk menyebabkan banyaknya angkatan kerja dari luar yang memasuki wilayah tersebut, meningkatnya jumlah pencari kerja (pengangguran), dan pada akhirnya mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk (LPP) rata-rata Jawa Barat selama periode 20052007, adalah sebesar 1,94%. Perubahan laju pertumbuhan penduduk secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi struktur penduduk, dalam kondisi ketenagakerjaan, komposisi penduduk usia kerja dan angkatan kerja. Dalam ketenagakerjaan, besar kecilnya kontribusi angkatan kerja dalam perekonomian dapat dipantau melalui suatu indikator, yaitu Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Semakin tinggi TPAK semakin besar bagian dari penduduk usia kerja yang sesungguhnya terlibat, atau berusaha untuk terlibat, dalam kegiatan produktif yaitu memproduksi barang dan jasa, dalam kurun waktu tertentu. Persentase penduduk berdasarkan angkatan kerja dan bukan angkatan kerja dapat dilihat pada Tabel 1.1. TABEL 1.1 PERSENTASE PENDUDUK MENURUT ANGKATAN KERJA DAN BUKAN ANGKATAN KERJA Angkatan Kerja No. Periode Bekerja Mencari Kerja 1. Feb 2005 85,27 2. Nop 2005 84,47 3. Feb 2006 85,50 4. Agust 2006 85,41 5. Feb 2007 85,49 Sumber : Sakernas Feb 2005-Feb 2007 14,73 15,53 14,50 14,59 14,51 TPAK 62,88 61,49 61,83 61,41 60,73 Bukan Angkatan Kerja (BAK) Mengurus Sekolah Rumah Lainnya Tangga 20,31 64,53 15,16 20,86 63,52 15,62 21,02 65,73 13,25 19,25 64,73 16,03 21,66 63,05 15,30 Pendahuluan % BAK thd PUK 37,12 38,51 38,17 38,59 39,27 15 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 TPAK kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2006, berkisar antara 80-95%. Hal ini menunjukkan gap partisipasi antara 5-20%, gap ini merupakan angkatan kerja yang belum bekerja. TPAK tertinggi dimiliki Kabupaten Ciamis dengan tingkat partisipasi mencapai 94,35%, sedangkan TPAK terendah dimiliki Kota Cimahi sebesar 82,16%. Berdasarkan data kontribusi sektor yang dominan, sektor sekunder menempati tingkat paling dominan, yaitu sekitar 50,95% dari PDRB dan menyerap sekitar 31,29% tenaga kerja. Sedangkan sektor tersier menyerap tenaga kerja sekitar 39,43% dengan kontribusi sebesar 35,27%. Kualitas penduduk juga diukur menggunakan komponen-komponen target dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yaitu Indeks Pendidikan melalui nilai Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan Angka Melek Huruf (AMH), serta Indeks Kesehatan melalui nilai Angka Harapan Hidup (AHH). Peta Indeks Pembangunan Manusia tahun 2007 dapat dilihat pada Gambar 1.3, sedangkan tabel target dan realisasi IPM tahun 2001-2007 dapat dilihat pada Tabel 1.2. GAMBAR 1.3 PETA INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA TAHUN 2007 Pendahuluan 16 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Ditinjau dari Indeks Kemiskinan Manusia (IKM), nilai IKM Jawa Barat pada tahun 2002 sebesar 23,0, menurun dibandingkan tahun 1999 sebesar 26,9, artinya presentase penduduk kategori miskin semakin berkurang dan memperbaiki peringkat Jawa Barat secara nasional dari posisi 15 pada tahun 1999 kemudian menjadi peringkat 11 pada tahun 2002. TABEL 1.2 TARGET DAN REALISASI IPM JAWA BARAT TAHUN 2001-2007 No. 1. Komponen IPM 2. Indeks Pendidikan 3. Indeks Kesehatan 4. Indeks Daya Beli N i l ai Target Realisasi Target Realisasi 2001 68,35 66,10 76,90 64,80 2002 70,89 67,45 79,20 78,30 2003 72,37 67,87 80,20 78,40 2004 73,53 68,36 81,20 79,02 2005 74,50 69,35 82,00 79,56 2006 75,60 70,05 82,80 80,61 2007 76,60 70,76 83,60 81,13 Target Realisasi Target Realisasi 66,53 66,33 55,00 55,10 68,00 66,55 65,60 57,42 68,60 66,57 68,20 58,63 69,20 67,23 70,20 58,83 69,60 69,58 72,30 59,18 69,80 70,13 74,20 59,42 70,00 71,03 76,30 60,13 Sumber : BPS Jabar, 2007 Jumlah keluarga miskin di Jawa Barat ditinjau dari tiga kategori, antara lain kategori hampir miskin, miskin dan sangat miskin. Kategori miskin tertinggi terdapat di Kota Bandung dengan jumlah keluarga miskin sebesar 221.994 KK (17,58%), dan Kabupaten Bandung sebesar 123.687 KK (9,79%). Kategori sangat miskin tertinggi terdapat di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi dengan jumlah masing-masing adalah 70.882 (11,51%) dan 65.971 KK (10,69%). Jumlah total penduduk miskin Jawa Barat adalah sekitar 15.510.085 atau 38,01% dari jumlah penduduk Jawa Barat. Secara umum, indeks IPM dan IKM Jawa Barat relatif tinggi secara nasional, namun masalah kemiskinan dan pengangguran sangat memerlukan penanganan yang serius, berupa optimalisasi pengelolaan dan pengendalian penduduk secara terintegrasi antara pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota. Penanganan kependudukan berkonsekuensi terhadap penataan ruang Jawa Barat, khususnya terhadap guna lahan, kondisi iklim, ketahanan pangan, kesempatan kerja, kecukupan energi dan air baku. 1.5.2 Ekonomi Perekonomian Jawa Barat ditinjau dari kontribusi PDRB kabupaten/kota terhadap PDRB total Provinsi Jawa Barat, memperlihatkan 6 (enam) kabupaten/kota yang memiliki rata-rata kontribusi PDRB lebih besar dari 5%, diantaranya Kabupaten Bogor (10,99%), Pendahuluan 17 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Kabupaten Bandung (8,45%), Kabupaten Karawang (5,91%), Kabupaten Bekasi (18%), Kota Bandung (9,31%) dan Kota Bekasi (5,34%). Perkembangan perekonomian yang ditinjau dari Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE), memperlihatkan rata-rata LPE Jawa Barat tahun 2001-2006 adalah sebesar 5,57%. Sedangkan pada tahun 2006, sebesar 7,96% lebih tinggi dibandingkan LPE Nasional sebesar 6,9%. Terdapat 7 (tujuh) Kabupaten yang memiliki rata-rata LPE lebih tinggi dari rata-rata LPE Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Bogor (6,22%), Kabupaten Karawang (6,35%), Kabupaten Bekasi (5,94%), Kota Bogor (5,97%), Kota Sukabumi (5,73%), Kota Bandung (7,47%), dan Kota Depok (6,41%). Pengelompokkan kabupaten/kota berdasarkan rata-rata LPE dan kontribusi sektor ekonomi dapat dilihat pada tabel 1.3. TABEL 1.3 PENGELOMPOKKAN KABUPATEN/KOTA BERDASARKAN RATA-RATA LPE DAN KONTRIBUSI SEKTOR EKONOMI Sektor Primer 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kab. Kab. Kab. Kab. Kab. Kab. Sukabumi Cianjur Garut Tasikmalaya Indramayu Subang Rata2 LPE 4,20 3,70 3,76 3,49 4,54 4,75 Sektor Sekunder 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Kab. Bogor Kab. Bandung Kab. Purwakarta Kab. Karawang Kab. Bekasi Kab. Bdg Barat Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Rata2 LPE 6,22 1,58 5,02 6,35 5,94 5,04 5,43 6,41 5,32 Sektor Tersier 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Kab. Ciamis Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Majalengka Kab. Sumedang Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Tasikamalaya Kota Banjar Rata2 LPE 4,00 4,13 4,79 4,04 4,05 5,97 5,73 7,47 4,57 4,71 4,58 Sumber : Analisis, 2008 Kontribusi dan pertumbuhan sektor ekonomi, menunjukkan sektor industri pengolahan memberikan kontribusi mencapai 45% pada tahun 2005, meningkat menjadi 45,94% pada tahun 2006. Sektor perdagangan, hotel dan restoran berkontribusi sebesar 20,19 pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan tipis menjadi 20,34 % pada tahun 2006. Sedangkan sektor pertanian mengalami penurunan kontribusi dari yang semula 14,93% pada 2005 menjadi 13,96% pada 2006. Hal diatas menunjukkan bahwa Jawa Barat didominasi oleh sektor sekunder dengan total kontribusi sebesar 48,56%, disusul oleh sektor tersier dengan kontribusi terhadap total PDRB sebesar 45,12% dan terakhir sektor primer menyumbang sebesar 16,33% terhadap total PDRB Jawa Barat. Jika dibandingkan dengan kontribusi sektor Pendahuluan 18 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 sekunder di tingkat nasional, kontribusi sektor sekunder terhadap PDRB Jawa Barat jauh lebih besar. Kontribusi sektor sekunder nasional terhadap PDB Indonesia sebesar 34,57%. Walaupun secara keseluruhan struktur perekonomian Provinsi Jawa Barat didominasi oleh sektor sekunder, namun ada beberapa kabupaten/kota yang kegiatan perekonomiannya didominasi oleh sektor primer dan sebagian lainnya kontribusi terbesarnya berasal dari sektor tersier. Kabupaten yang masih didominasi oleh sektor primer adalah Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Indramayu dan Subang. Walaupun secara persentase kontribusi terbesar terhadap PDRB total Provinsi Jawa Barat berasal dari sektor sekunder, namun ternyata jumlah kabupaten/kota yang ditopang oleh sektor tersier paling banyak, yaitu 11 (sebelas) kabupaten/kota. Kontribusi sektor tersier di kabupaten/kota tersebut terutama ditopang oleh sub sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sub sektor jasajasa, khususnya jasa pariwisata. Dengan memperhatikan kontribusi dan posisi relatif kabupaten/kota terhadap kontribusi tiap sektor maka diperoleh gambaran kabupaten/kota yang unggul atau potensial pada setiap sektor. Pada tahun 2002 kabupaten yang memiliki keunggulan pada sektor pertanian terdiri atas Kabupaten Karawang, Sukabumi, Ciamis, Subang, Bogor, Indramayu, Garut, Cianjur dan Tasikmalaya. Namun saat ini hanya Kabupaten Cianjur dan Tasikmalaya saja yang unggul pada sektor ini. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena produktivitas yang tidak menunjukkan kenaikan yang konstan. Sektor pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar, hingga mencapai 26,39% kemudian disusul dengan sektor perdagangan dan jasa serapan sebesar 25,59%. Hal ini memperlihatkan bahwa ternyata sektor yang berkembang dan memberikan kontribusi tinggi tidak otomatis menjadi penyerap tenaga kerja. Padahal dalam paragraf sebelumnya terlihat bahwa sektor sekunder (industri pengolahan) berkontribusi sampai 45%, namun sektor ini hanya mampu menyerap tenaga kerja sebesar 17,43%. Sektor lain yang memiliki serapan tenaga kerja yang relatif tinggi adalah sektor jasa dengan serapan tenaga kerja sebesar 13,53%. Jawa Barat merupakan daerah tujuan investasi swasta, baik investasi asing maupun domestik. Pada tahun 2007 total nilai PMA Jawa Barat dalam US$ adalah 1.326,9 (dalam juta) dari total US$ 10.439,6 (dalam juta) nilai PMA Indonesia, atau 12,7% dari total nilai investasi asing di Indonesia. Sedangkan untuk alokasi PMDN Jawa Barat adalah sebesar 32,5% dari total investasi domestik yang sebesar Rp. 34.878,7 (dalam miliar), Pendahuluan 19 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 atau nilai investasi domestik yang terealisasi di Jawa Barat sebesar Rp. 11.347,8 (dalam miliar). Pada tahun sebelumnya, 2006, total nilai PMA Jawa Barat dalam US$ adalah 5.977,0 (dalam juta) dari total US$ 5.977,0 (dalam juta) nilai PMA Indonesia, atau 32,42% dari total nilai investasi asing di Indonesia. Sedangkan untuk alokasi PMDN Jawa Barat adalah sebesar 28,2% dari total investasi domestik yang sebesar Rp. 20.788,4 (dalam miliar), atau nilai investasi domestik yang terealisasi di Jawa Barat sebesar Rp. 5.868,7 (dalam miliar). Nilai PMA yang dialokasikan di Jawa Barat mengalami penurunan pada tahun 2006 jika dibandingkan dengan tahun 2007. Namun nilai PMDN yang dialokasikan pada Jawa Barat tahun 2007 mengalami peningkatan jika dibandingkan nilai pada tahun 2006. Penggunaan lahan, sebaran tenaga kerja, dan realisasi investasi merupakan faktor yang cukup berperan dalam perkembangan ekonomi suatu wilayah. Perkembangan luas penggunaan lahan untuk kegiatan ekonomi secara tidak langsung dapat memperlihatkan perkembangan sektor ekonomi terkait. Berdasarkan pergeseran tutupan lahan Jawa Barat tahun 2001-2005, guna lahan untuk kegiatan ekonomi yang dominan meliputi guna lahan pertanian, yaitu sawah berkurang 27,1%, serta kawasan dan zona industri bertambah 37,9%. Dominasi penggunaan lahan lainnya adalah kebun campuran, perkebunan dan hutan, kecuali bagi Kota Bogor, Bandung, Cirebon dan Bekasi yang memiliki dominasi penggunaan lahan permukiman, terkait dengan perannya sebagai PKN di Jawa Barat. Data penggunaan lahan tahun 2005 menunjukkan bahwa di Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut, Kuningan, Indramayu, Purwakarta, Karawang, Bekasi, Kota Sukabumi dan Kota Bekasi tidak ada penggunaan lahan untuk jasa. Namun demikian, statistik kependudukan memperlihatkan bahwa sektor perdagangan dan jasa cukup dominan di wilayah-wilayah tersebut. Sedangkan wilayah-wilayah yang tidak memperlihatkan adanya penggunaan lahan untuk industri adalah Kabupaten/Kota Sukabumi, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Purwakarta. 1.5.3 Penggunaan Lahan A. Perubahan Guna Lahan Pada tahun 2005 penggunaan lahan terdiri dari hutan primer 299.287 ha, hutan sekunder 310.673 ha, kawasan dan zona industri 17.403 ha, kawasan pertambangan/galian 3.335 ha, kebun campuran 843.904 ha, ladang/tegalan 358.914 ha, padang rumput/ilalang 137.705 ha, perkebunan 624.972 ha, permukiman 261.397 ha, Pendahuluan 20 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 sawah 680.462 ha, semak belukar 52.919 ha, sungai/tubuh air/danau/waduk/situ 55.827 ha, tambak 42.601 ha dan tanah kosong/terbuka 19.976 ha. Guna lahan Provinsi Jawa Barat berdasarkan Citra Landsat 2005 dapat dilihat pada Gambar 1.4. GAMBAR 1.4 PETA GUNA LAHAN TAHUN 2005 Perubahan guna lahan dari tahun 1994 - 2005 masih didominasi oleh penggunaan lahan berupa sawah dan kebun campuran. Beberapa fungsi lahan mengalami penurunan, sementara yang lainnya meningkat. Guna lahan yang mengalami penurunan luas paling tinggi hutan sekunder, yang mencapai rata-rata 3,2% per tahun antara tahun 1994 – 2005. Sedangkan permukiman mengalami peningkatan sangat pesat, mencapai rata-rata pertumbuhan 3,8% per tahun dalam rentang waktu yang sama. Penggunaan lahan tahun 1994-2005 dapat dilihat pada tabel 1.4. Fenomena pergeseran penggunaan lahan dalam kurun waktu 1994–2005, memperlihatkan terjadinya penurunan luas penggunaan lahan hutan primer (-110.334 Ha), hutan sekunder (-150.227 Ha) dan sawah (-182.448 Ha), dan terjadi penambahan luas penggunaan lahan pemukiman (52.339 Ha), perkebunan (139.023 Ha), serta ladang dan tegalan (36.919 Ha), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.5. Pendahuluan 21 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 TABEL 1.4 PENGGUNAAN LAHAN TAHUN 1994 – 2005 Tahun Guna Lahan 1994 1997 2001 2005 Pergeseran Guna Lahan Hutan Primer 431.812 419.775 325.462 321.478 -110.334 Hutan Sekunder 420.470 411.973 291.900 270.243 -150.227 Semak Belukar 39.072 40.681 49.788 53.187 14.115 Kawasan dan Zona Industri 12.607 13.328 15.313 15.393 2.786 3.033 3.041 3.413 3.364 331 Ladang / Tegalan 330.364 350.583 361.570 367.283 36.919 Padang Rumput/Ilalang 109.378 111.733 109.426 127.467 18.089 Perkebunan 505.739 514.536 620.235 644.762 139.023 Permukiman 124.377 133.045 165.250 176.716 52.339 Sawah 933.638 916.899 766.407 751.190 -182.448 Tambak 53.212 58.403 55.633 55.357 2.145 Tanah Kosong / Terbuka 16.981 17.841 17.308 17.606 625 674.235 663.232 873.086 849.658 175.423 54.628 54.307 54.751 55.708 1.080 3.709.546 3.709.377 3.709.542 3.709.412 -134 Kawasan Pertambangan / Galian Kebun Campuran Sungai/Tubuh Air/Danau/ Waduk/ Situ Jumlah Sumber: Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007 GAMBAR 1.5 GRAFIK PERGESERAN PENGGUNAAN LAHAN JAWA BARAT 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 1000000 900000 800000 700000 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Hutan Primer Hutan Sekunder Semak Belukar Kawasan Zona Industri Kawasan Pertambangan dan Galian Ladang / Tegalan Padang Rumput / Ilalang Perkebunan Permukiman Sawah Tambak 12. Tanah Kosong 13. Kebun Campuran 14. Sungai Tubuh Air Penurunan luas hutan primer yang paling tinggi terjadi di Kabupaten Bogor (28.953 Ha), diikuti oleh Kabupaten Sukabumi dan Cianjur, yaitu seluas 20.890 Ha dan 11.988 Ha. Sementara itu, untuk luas hutan sekunder, penurunan yang paling tinggi terjadi di Kabupaten Garut yaitu 39.037 Ha dan Kabupaten Bandung yang mencapai 33.142 Ha. Untuk kawasan lindung non hutan, terutama kawasan perkebunan mengalami Pendahuluan 22 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 peningkatan yang cukup signifikan, yaitu 141.600 Ha. Luasan dan persentase tutupan lahan berfungsi lindung dapat dilihat pada Tabel 1.5. TABEL 1.5 LUASAN DAN PERSENTASE TUTUPAN LAHAN BERFUNGSI LINDUNG Tutupan Lahan Luas Th.2001 (Ha) Hutan 325,501.1 Primer Hutan 291,842.7 Sekunder Perkebunan 620,228.9 Sumber: Analisis, 2007 Persentase dari Luas Jawa Barat Luas Th.2005 (Ha) Persentase dari Luas Jawa Barat Perubahan (Ha) Persentase perubahan 8,8 322,397.7 8,7 - 3,103.3 -0,1 7,9 270,151.6 7,3 - 21,691.1 -0,6 16,3 648,058.6 17,5 + 27,829.7 1,2 Pada kurun waktu 2001 – 2005, dari tiga jenis tutupan lahan berfungsi lindung yang mengalami perubahan paling besar terjadi pada luasan perkebunan yaitu meningkat 27.829,7 Ha (1,2%). Sedangkan luasan hutan primer maupun sekunder mengalami penurunan sebesar 21.691,1 Ha (0,6%), untuk luasan hutan primer terjadi penurunan luasan sebesar 3.103,3 Ha (0,1%). B. Sumberdaya Hutan Kerusakan (degradasi) hutan merupakan salah satu masalah lingkungan yang paling serius, karena berdampak terhadap persediaan kayu, sumberdaya non-kayu, serta konservasi keanekaragamanhayati dan fungsi ekologis hutan bagi kepentingan hidup manusia. Besarnya degradasi hutan di Jawa Barat digambarkan dengan luasan tegakan hutan saat ini kurang dari 10%, dibandingkan fakta bahwa 23% luas wilayah Provinsi diklasifikasikan sebagai kawasan hutan negara. Pada tahun 1994 sampai dengan 2001, luas tegakan hutan lindung berkurang sekitar 24%, dan hutan produksi berkurang sekitar 31%. Diperkirakan jika tidak ada upaya-upaya pengendalian konversi fungsi hutan dan pengendalian penggunaan lebih (over utilization), hutan primer di Jawa Barat akan hilang. Kerusakan hutan menjadi semakin serius akibat tindakan perambahan secara langsung oleh beberapa keluarga petani miskin, dan secara tidak langsung oleh pengusaha komersial karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Statistik menunjukkan bahwa industri perkayuan di Jawa Barat memerlukan sekitar 2,5 juta m3 per tahun kayu untuk bahan bakunya. Namun, produksi kayu legal dari Perum Perhutani hanya berkisar 300.000 sampai dengan 500.000 m3 per tahun. Ketidakseimbangan antara permintaan dan pemenuhan kayu membuat penebangan liar menjadi lebih marak. Pendahuluan 23 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Kerusakan hutan cenderung merubah lahan subur menjadi lahan kritis, dan secara langsung menurunkan fungsi lindungnya, sehingga tidak dapat melindungi kawasan bawahannya secara maksimal, dan dapat menyebabkan terjadinya kekeringan, longsor, dan bencana lainnya. Peristiwa kebakaran hutan juga menjadi salah satu penyebab berubahnya lahan subur menjadi lahan kritis, dimana kebakaran hutan berdampak pada hilangnya tegakan tanaman hutan, sehingga tingkat erosi menjadi tinggi. Kenyataan ini merupakan masalah makro karena mempunyai keterkaitan dengan sistem ekologi dan hidrologi. Tingkat erosi atau erosifitas di Jawa Barat telah mencapai 32.931.061 ton per tahun. Erosifitas berdasarkan guna lahan tahun 2005 dapat dilihat pada Gambar 1.6. GAMBAR 1.6 PETA EROSIFITAS BERDASARKAN GUNA LAHAN TAHUN 2005 Berdasarkan analisis peta kawasan lindung dan peta sebaran lahan kritis tahun 2006, luas kawasan lindung yang berada dalam kondisi kritis mencapai 8,06%. Kondisi lahan kritis yang cukup parah terjadi di Kawasan Priangan Timur (17,95%), Bopunjur 12.217,4 Ha (9,52%), dan Bandung Utara. Peta lahan kritis dapat dilihat pada Gambar 1.7, dan luas lahan kritis per kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 1.6. Lahan kritis di Kawasan Priangan Timur disebabkan konversi lahan menjadi perumahan, penebangan liar di kawasan lindung, pemanfaatan kawasan lindung menjadi Pendahuluan 24 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 kawasan pertanian, dan lemahnya penegakan hukum. Sedangkan lahan kritis di kawasan Bandung Utara (KBU) dan Bopunjur disebabkan proses pembukaan lahan yang terus berlangsung. Hal tersebut diatas terjadi karena lemahnya pengawasan dan pengendalian terutama dalam pemberian ijin lokasi pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peraturan rencana tata ruang. GAMBAR 1.7 PETA SEBARAN LAHAN KRITIS BERDASARKAN KRITERIA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 TABEL 1.6 LUAS LAHAN KRITIS PER KABUPATEN/KOTA TAHUN 2003 NO KABUPATEN/KOTA LUAS (HA) 1 KAB. GARUT 82,696.46 2 KAB. SUKABUMI 67,525.05 3 KAB. BANDUNG 47,365.08 4 KAB. MAJALENGKA 47,114.92 5 KAB. CIANJUR 46,773.23 6 KAB. BOGOR 45,637.12 7 KAB. INDRAMAYU 40,494.47 8 KAB. KARAWANG 31,123.00 9 KAB. SUBANG 30,897.00 10 KAB. CIAMIS 25,364.31 11 KAB. SUMEDANG 23,689.87 12 KAB. TASIKMALAYA 23,409.03 Pendahuluan 25 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 NO KABUPATEN/KOTA LUAS (HA) 13 KAB. PURWAKARTA 18,195.00 14 15 KAB. KUNINGAN KAB. BEKASI 18,065.45 13,454.00 16 KAB. CIREBON 8,056.00 17 KOTA TASIKMALAYA 4,928.00 18 KOTA BANJAR 2,500.00 19 KOTA BOGOR 883.50 20 KOTA CIMAHI 609.00 21 KOTA DEPOK 432.00 22 KOTA BANDUNG 350.00 23 KOTA SUKABUMI 293.00 24 KOTA BEKASI 279.43 25 KOTA CIREBON JUMLAH Sumber : Biro Bina Produksi, 2003 262.00 580,396.92 C. Alih Fungsi Lahan Hutan Berdasarkan kesepakatan seluruh pemangku kawasan hutan di Jawa Barat, yang mengacu pada peta tematik dasar kehutanan, luas Kawasan Hutan Jawa Barat adalah 847.986,74 Ha, meliputi kawasan hutan daratan 846.276,74 Ha dan kawasan hutan perairan 1.710,00 Ha, dengan perincian Hutan Lindung 265.612,73 Ha, Hutan Konservasi 178.600,20 Ha, dan Hutan Produksi 403.773,81 Ha. Peta penunjukkan kawasan hutan dapat dilihat pada Gambar 1.8. GAMBAR 1.8 PETA PENUNJUKKAN KAWASAN HUTAN Pendahuluan 26 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Beberapa status dan fungsi kawasan hutan lindung tersebut dalam prosesnya mengalami perubahan, diantaranya perubahan status Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, perubahan fungsi kawasan lindung kelompok hutan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai, serta perubahan fungsi kawasan hutan lindung Ujung Karawang – Muaragembong. Sejak penetapan kawasan hutan Provinsi Jawa Barat tahun 1934 sampai dengan akhir tahun 2007 telah terjadi proses tukar-menukar kawasan hutan sebanyak 33 lokasi seluas 21.414,44 Ha. Sesuai peraturan perundangan kehutanan tentang prosedur tukarmenukar kawasan hutan, seharusnya luas kawasan hutan Jawa Barat bertambah karena ada kewajiban untuk menyediakan lahan pengganti dengan perbandingan minimal 1:1. Sampai saat ini sebagian besar kawasan yang dimohon dan lahan pengganti belum ada pengukuhan serta penetapannya. D. Alih Fungsi Lahan Sawah Penurunan luas kawasan pertanian lahan basah beririgasi teknis pada tahun 2004 seluas 383.261 Ha, tahun 2005 menjadi 380.996 Ha dan tahun 2006 menjadi 380.348 Ha. Lahan kawasan pertanian lahan basah beririgasi teknis diharapkan dapat lebih produktif dibandingkan lahan sawah yang menggunakan jenis irigasi lainnya, namun yang terjadi adalah penurunan kinerja untuk kawasan sawah. Walaupun luasan pada lahan sawah dengan irigasi sederhana dan tadah hujan meningkat, namun hal tersebut tidak memberikan peningkatan kinerja lahan sawah. Penyebabnya adalah kemampuan desa dalam mengelola dan menggunakan sistem irigasi sederhana, sedangkan lahan sawah tadah hujan sangat tergantung pada musim untuk memulai masa tanamnya. Sehubungan dengan hal tersebut, lahan sawah yang menggunakan dua sistem irigasi diatas (irigasi sederhana dan tadah hujan) tidak seproduktif lahan sawah beririgasi teknis. Secara agregat, luas lahan sawah di Jawa Barat mengalami penurunan antara tahun 2004–2005, namun meningkat kembali di tahun 2006 menjadi 923.432 Ha, terutama disebabkan oleh peningkatan luas lahan tadah hujan dan irigasi sederhana. Sedangkan ditinjau dari pergeseran luas lahan sawah menurut kabupaten/kota selama rentang tahun 1994–2005, memperlihatkan penurunan sebesar 171.469,01 Ha (18,4%), dimana Kabupaten Tasikmalaya mencapai 27.051,63 Ha (15,8%). Pendahuluan 27 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 GAMBAR 1.9 PETA TUTUPAN LAHAN SAWAH TAHUN 2005 TABEL 1.7 PERGESERAN LAHAN SAWAH MENURUT JENIS PENGAIRANNYA TAHUN 2007 No Kabupaten/ Kota Areal Irigasi Pemerintah (Ha) Potensial Fungsional Areal Irigasi Perdesaan (Ha) Areal Tadah Hujan (Ha) Jumlah Areal (Ha) 1 2 Kab Bogor Kota Bogor 12.752 256 12.752 200 41.261 598 5.618 0 59.631 798 3 4 Kota Depok Kab Sukabumi 821 20.792 821 20.792 347 35.316 214 7.465 1.382 63.573 5 6 Kota Sukabumi Kab Cianjur 0 24.913 0 24.068 2.480 46.705 0 4.967 2.480 75.740 7 8 Kab Bandung Kota Bandung 23.829 321 19.026 258 28.318 2.775 10.143 0 57.487 3.033 9 10 Kota Cimahi Kab Garut 68 13.690 68 12.207 293 26.172 63 20.186 424 58.565 11 12 Kab Tasikmalaya Kota Tasikmalaya 14.063 5.243 12.472 5.243 23.241 3.220 13.943 155 49.656 8.618 13 14 Kab Ciamis Kota Banjar 20.544 1.916 19.339 1.916 23.381 216 11.137 1.123 53.857 3.255 15 16 Kab Cirebon Kota Cirebon 56.385 430 47.420 430 4.506 30 5.375 184 57.301 644 17 18 Kab Kuningan Kab Majalengka 10.395 25.250 9.855 21.795 21.312 19.907 3.684 9.343 34.851 51.045 Pendahuluan 28 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Kabupaten/ Kota No Areal Irigasi Pemerintah (Ha) Potensial Fungsional Areal Irigasi Perdesaan (Ha) Areal Tadah Hujan (Ha) Jumlah Areal (Ha) 19 20 Kab Sumedang Kab Indramayu 7.814 108.644 21 22 Kab Karawang Kab Bekasi 105.771 59.202 105.771 59.202 1.876 513 0 1.354 107.647 61.069 23 24 Kota Bekasi Kab Subang 572 80.999 572 80.999 0 17.555 70 2.529 642 101.083 11.351 606.021 11.351 582.462 21.929 367.261 0 113.980 33.280 1.063.703 25 Kab Purwakarta Total Sumber: Analisis, 2007 7.718 108.187 44.260 1.050 6.236 10.191 58.214 119.428 TABEL 1.8 PERGESERAN LUAS LAHAN SAWAH MENURUT KABUPATEN/KOTA TAHUN 1994 – 2005 (HA) No Luas Tahun 1994 Luas Tahun 2005 1 Kabupaten/Kota Kab Bogor 80.678,80 68.556,90 Pergeseran Luas -12.121,90 2 Kab Sukabumi 70.255,10 56.346,20 -13.908,90 3 Kab Cianjur 62.851,70 57.149,30 -5.702,40 4 Kab Bandung 56.877,60 46.309,30 -10.568,30 5 Kab Garut 53.320,20 37.659,60 -15.660,60 6 Kab Tasikmalaya 57.027,80 29.976,20 -27.051,60 7 Kab Ciamis 42.789,90 25.434,60 -17.355,30 8 Kab Kuningan 26.428,30 19.097,40 -7.330,90 9 Kab Cirebon 34.598,10 27.009,70 -7.588,40 10 Kab Majalengka 19.066,80 11.662,70 -7.404,10 11 Kab Sumedang 17.121,60 11.472,40 -5.649,20 12 Kab Indramayu 103.403,60 89.645,30 -13.758,30 13 Kab Subang 92.977,00 85.454,20 -7.522,80 14 Kab Purwakarta 18.925,30 17.147,90 -1.777,40 15 Kab Karawang 95.631,60 89.927,90 -5.703,70 16 Kab Bekasi 70.820,00 65.920,20 -4.899,80 17 Kota Bogor 2.077,90 1.550,60 -527,30 18 Kota Sukabumi 2.663,90 2.492,50 -171,40 19 Kota Bandung 3.397,80 2.024,60 -1.373,20 20 Kota Cirebon 422,9 96,7 -326,20 21 Kota Bekasi 669,8 294,8 -375,00 22 Kota Depok 5.712,80 4.912,30 -800,50 23 Kota Cimahi 973,9 844,9 -129,00 24 25 Kota Tasikmalaya Kota Banjar 9.803,10 3.642,60 9.007,10 676 -796,00 --2.966,60 Total 932.138,10 Sumber: Dinas PSDA Jawa Barat, 2008 760.669,30 171.468,80 Pendahuluan 29 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 1.5.4 Infrastruktur Wilayah 1.5.4.1 Sumber Daya Air dan Irigasi Jawa Barat memiliki curah hujan tahunan rata-rata berkisar antara 2000-4000 mm/tahun dan memiliki potensi sumber daya air khususnya air permukaan mencapai rata-rata 48 Milyar m3/tahun dalam kondisi normal. Potensi tersebut baru dimanfaatkan sekitar 50% atau 24 Milyar m3/tahun, sedang sisanya langsung terbuang ke laut. Potensi sumber daya air tersebut mengalir pada 5 (lima) Wilayah Sungai (WS) yang terbagi dalam 41 Daerah Aliran Sungai (DAS) atau sekitar 2.745 buah sungai induk dan anak-anak sungainya. Peta pembagian WS dapat dilihat pada Gambar 1.10, dan peta DAS dapat dilihat pada Gambar 1.11. Sekitar 35,9 Milyar m3/tahun (75%) dari jumlah potensi tersebut mengalir pada 2.078 buah sungai yang secara geografis lintas kabupaten/kota, sedangkan sisanya yaitu 12,1 Milyar m3/tahun (25%) berada pada 1.170 buah sungai. Potensi air permukaan dan luas setiap wilayah sungai yang terdapat di Jawa Barat, dapat dilihat pada Tabel 1.9. Wilayah Sungai di Jawa Barat, sesuai penetapan wilayah sungai, terbagi dalam 2 wewenang dan tanggung jawab, terdiri atas : Wewenang dan Tanggung Jawab Pemerintah : 1. Cidanau-Ciujung-Cidurian-Cisadane-Ciliwung-Citarum 2. Cimanuk-Cisanggarung 3. Citanduy Wewenang dan Tanggung Jawab Pemerintah Provinsi: 1. Ciwulan-Cilaki 2. Cisadea-Cibareno TABEL 1.9 POTENSI DAN LUAS WILAYAH SUNGAI MENURUT KEWENANGAN Luas (Km2) Juta m3 / tahun Lintas Prov./ Lokal Kab./Kota Kab./Kota No Wilayah Sungai 1. 15.810,3 16.367,06 2.095,99 18.463,06 2. Cidanau-CiujungCidurian-CisadaneCiliwung-Citarum Cimanuk-Cisanggarung 6.972,80 7.572,64 305,43 7.878,07 3. Citanduy 8.033,70 7.069,50 3.625,68 10.695,19 4. Ciwulan-Cilaki 5. Cisadea-Cibareno 8.813,06 4.908,71 6.078,76 10.987,47 Total 39.629,86 35.917,91 12.105,86 48.023,77 Total Sumber : Dinas PSDA dan Hasil Analisis, 2008 Pendahuluan 30 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 GAMBAR 1.10 PETA PEMBAGIAN WILAYAH SUNGAI Kewenangan Provinsi GAMBAR 1.11 PETA DAERAH ALIRAN SUNGAI Pendahuluan 31 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Selain sumber daya air alami, Jawa Barat memiliki situ-situ dan waduk-waduk buatan. Tidak kurang dari 20 waduk mempunyai kapasitas tampung lebih dari 6,8 Milyar m3, diantaranya 3 waduk dibangun pada Sungai Citarum yaitu Waduk Saguling, Waduk Cirata, dan Waduk Juanda. Ketiga waduk tersebut mempunyai daya tampung total mencapai 5,83 Milyar m3. Sedangkan situ/danau dan embung, sampai dengan tahun 2004 telah terinventarisir sebanyak 456 buah situ. Namun sebagian besar situ/danau yang ada tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan mengalami penurunan kapasitas tampung. Peta infrastruktur sumberdaya air dapat dilihat pada Gambar 1.12. Secara umum pola pemanfaatan sumber daya air hanya diarahkan pada air permukaan. Pemanfaatan air tanah sifatnya conjunctive use dan diprioritaskan untuk keperluan domestik serta dikembangkan hanya untuk daerah-daerah tertentu yang benarbenar tidak bisa terpenuhi oleh air permukaan. Namun eksisting pemanfaatan sumberdaya air juga menggunakan air tanah, terutama oleh kegiatan perkotaan dan industri yang tumbuh dengan pesat. GAMBAR 1.12 PETA INFRASTRUKTUR SUMBERDAYA AIR Potensi air tanah terdiri dari air tanah dangkal dan air tanah dalam. Air tanah dangkal pada umumnya dipergunakan untuk keperluan domestik yang kapasitasnya kecil. Ketersediaan air tanah dangkal biasanya akan bergantung dari curah hujan, karena Pendahuluan 32 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 proses imbuhnya terjadi secara langsung dari curah hujan. Dari hasil estimasi, potensi air tanah dangkal adalah sebesar 16,8 Milyar m3/tahun. Estimasi lainnya, dengan asumsi bahwa tebal rata-rata akuifer 3 m, potensi air tanah dangkal yang dapat dimanfaatkan adalah sebesar 2.20 Milyar m3/tahun. Sedangkan potensi air tanah dalam yang bisa dimanfaatkan di Jawa Barat adalah sekitar 3.52 Milyar m3/tahun, yang terdiri 2.04 Milyar m3/tahun air tanah dalam semi tertekan dan 1.48 Milyar m3/tahun air tanah dalam tertekan. Pengembangan sumber daya air pada wilayah sungai ditujukan untuk peningkatan kemanfaatan fungsi sumber daya air guna memenuhi kebutuhan air baku untuk rumah tangga, pertanian, industri, pariwisata, dan untuk keperluan lainnya. Pemenuhan kebutuhan air baku untuk pertanian dilakukan dengan pengembangan sistem irigasi dan merupakan wewenang dan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Kriteria pembagian tanggung jawab pengelolaan irigasi selain didasarkan pada keberadaan jaringan tersebut terhadap wilayah administrasi juga didasarkan pada strata luasannya sebagai berikut : Daerah Irigasi (DI) dengan luas < 1000 Ha dan berada dalam satu kabupaten/kota menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Daerah Irigasi (DI) dengan luas 1000 - 3000 Ha atau DI yang bersifat lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah provinsi. Daerah Irigasi (DI) dengan luas > 3000 Ha atau DI yang bersifat lintas provinsi, strategis nasional, dan lintas negara menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah. Sawah beririgasi di Jawa Barat seluas 973.976 Ha (6.954 DI) terbagi menjadi kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan desa, dapat dilihat dalam Gambar 1.13. Pada Tahun 2008, kondisi daerah irigasi kewenangan Provinsi di Jawa Barat menunjukkan bahwa sebagian besar daerah irigasi mengalami rusak ringan dan rusak berat yang mencapai 41%. Kinerja pengelolaan jaringan irigasi kewenangan pemerintah Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1.10. Pendahuluan 33 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 GAMBAR 1.13 SKEMA PEMBAGIAN LUASAN SAWAH BERDASARKAN JENIS PENGAIRAN DAN KEWENANGAN LUAS SAWAH 1.087.956 HA (6.954 DI) SAWAH BERIRIGASI 973.976 HA (6.954 DI) 89,52% KEWENANGAN PUSAT 405.864 Ha (20 DI) 41,67 % KEWENANGAN PROV 88.728 Ha (89 DI) 9,11 % SAWAH TADAH HUJAN 113.980 HA (10,48 %) KEWENANGAN KAB/KOTA 96.693 Ha (396 DI) 9,93 % Lintas Provinsi 5.484 Ha (2 DI) Lintas Kab/Kota 22.246 Ha (47 DI) Areal > 3.000 Ha 400.380 Ha (18 DI) Areal 1000-3000 ha 66.482 Ha (42 DI) LUAS IRIGASI DESA 382.691 Ha (6.449 DI) 39,29 % Sumber : Dinas PSDA, 2008 TABEL 1.10 KINERJA PENGELOLAAN JARINGAN IRIGASI KEWENANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN URAIAN Jumlah daerah irigasi (DI) Prov (buah) Intensitas tanam (%) Jaringan irigasi yang rusak (%) 2003 2004 2005 2006 2007 2008 74 74 74 84 84 86 182 184 185 187 190 192 74 65 51 49 46 41 Sumber : PSDA, 2008 1.5.4.2 Jalan dan Perhubungan A. Jalan Berdasarkan pembagian kewenangan penanganan jalan, sistem jaringan jalan di Jawa Barat ditinjau dari status jalan, terdiri atas jalan nasional sepanjang 1.140,69 Km, jalan provinsi sepanjang 2.199,18 Km, dan jalan kabupaten/kota sepanjang 14.520,18 Km. Selain itu, terdapat pula ruas-ruas jalan yang belum memiliki status dan fungsi yang seharusnya menjadi bebannya. Salah satu ruas jalan yang masih belum memiliki status, namun memiliki urgensi dalam meningkatkan pengembangan wilayah adalah ruas- Pendahuluan 34 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 ruas jalan dalam koridor horisontal bagian selatan, yang membentang dari Kabupaten Sukabumi (Surade) sampai dengan perbatasan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis (Kalapagenep), dengan panjang 257,74 km. Kondisi jalan di Jawa Barat digambarkan melalui kondisi kemantapan jalan. Pada Tahun 2007, kemantapan jalan nasional di Jawa Barat mencapai 85%, sementara kondisi kemantapan untuk ruas jalan provinsi berdasarkan survey Integrated Road Management System (IRMS) tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 1.11. TABEL 1.11 KONDISI KEMANTAPAN JALAN Jalan Mantap Jalan Tidak Mantap Baik Sedang Jumlah Jumlah Rusak Ringan Rusak Berat Jumlah Total Panjang (Km) 504,76 1.415,38 1.920,14 182,70 96,34 Persentase (%) 22,95 % 64,36 % 87,31 % 8,31 % 4,38 % Kondisi 279,04 2.199,18 12,69 % 100,00 % Untuk ruas jalan kabupaten/kota memiliki tingkat kemantapan yang lebih rendah, bahkan di beberapa wilayah banyak yang berada dibawah angka 50%. Selain ruas-ruas jalan tersebut, terdapat juga jaringan jalan tol, dengan panjang sekitar 251 Km, dengan perincian sebagai berikut : Jalan Tol Jakarta –Cikampek, dengan panjang 72 km Jalan Tol Jagorawi, dengan panjang 46 km Jalan Tol Palimanan-Kanci, dengan panjang 26 km Jalan Tol Padaleunyi, dengan panjang 47 km Jalan Tol Cipularang, dengan panjang 60 km Dalam pengembangan jalan tol yang ditujukan terutama untuk mendukung pusat pertumbuhan ekonomi, menghubungkan antar kawasan, serta mengatasi kemacetan di daerah perkotaan, terdapat rencana jalan tol yang masih dalam proses pembangunan, meliputi : Jalan Tol Cinere-Jagorawi, dengan panjang 15 km Jalan Tol Depok-Antasari, dengan panjang 21 km Jalan Tol Bogor Ring Road, dengan panjang 11 km Jalan Tol Cimanggis-Cibitung, dengan panjang 25,4 Km Pendahuluan 35 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Kebijakan pengembangan jalan tol lainnya yang sedianya diperlukan dalam mendukung perkembangan pembangunan Jawa Barat, diarahkan pada : Pengembangan Jalan Sekunder dan pendukung Pulau Jawa yang meliputi: CiawiSukabumi-Bandung dan Cileunyi-Sumedang-Dawuan, Pengembangan Jalan tol daerah perkotaan, antara lain di wilayah Jabodetabek dan Bandung. Pola jaringan jalan di Jawa Barat terdiri dari tiga jaringan utama, yaitu : 1. Koridor Utara : DKI Jakarta – Cikampek – Cirebon 2. Koridor Tengah : Jasinga – Bogor – Cianjur – Bandung – Banjar 3. Koridor Selatan : Pelabuhanratu – Sagaranten – Sindangbarang – Pameungpeuk – Cipatujah – Kalapagenep – Pangandaran. Secara umum kondisi jaringan jalan di Jawa Barat bagian utara dan tengah relatif baik, terutama untuk sistem horizontal. Untuk Jawa Barat bagian selatan, koridor Pelabuhanratu-Sagaranten–Sindangbarang–Pameungpeuk–Cipatujah–Pangandaran– Kelapagenep, belum memiliki kondisi yang baik, dalam sistem jaringan lintas vertikal maupun horizontal. GAMBAR 1.14 PETA INFRASTRUKTUR JALAN DAN PERHUBUNGAN EKSISTING Pendahuluan 36 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 B. Perhubungan Darat Berkaitan dengan jaringan pelayanan kereta api, tidak semua jaringan yang tersedia dioperasikan. Kondisi jalur-jalur tersebut dipandang masih cukup prospektif untuk dikembangkan, mengingat sarana transportasi ini memiliki daya tarik yang kuat bagi masyarakat, selain juga sejalan dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan ketersediaan transportasi masal. Jalur-jalur yang tidak dimanfaatkan adalah Rancaekek– Tanjung Sari, Banjar–Cijulang, Bandung–Soreang–Ciwidey. Adapun jalur-jalur yang masih dapat dioperasikan, namun perlu peningkatan kualitas adalah jalur Bandung–Cianjur– Sukabumi, Sukabumi–Bogor, Padalarang–Cicalengka. Selain jaringan rel, terdapat pula jaringan prasarana yang terdiri dari simpulsimpul berupa stasiun kereta api. Stasiun kereta api yang cukup besar di Jawa Barat adalah : 1. Jalur Selatan, yang meliputi Stasiun Bandung, Stasiun Tasikmalaya, Stasiun Banjar 2. Jalur Utara, yang meliputi Stasiun Bekasi, Stasiun Cikampek, Stasiun Cirebon. B. Perhubungan Laut Pelabuhan Laut yang terdapat di Jawa Barat, terdiri dari : Pelabuhan Regional Muara Gembong, Kab. Bekasi, merupakan pelabuhan kelas V Pelabuhan Regional Pangandaran, Kab. Ciamis, merupakan pelabuhan kelas V dengan kapasitas 300 DWT Pelabuhan Internasional Cirebon, Kota Cirebon, dengan kapasitas 4.000 DWT, yang dikelola oleh PT. Pelindo II (Cabang Cirebon) Pelabuhan Regional Khusus Kejawanan, Kab. Cirebon Pelabuhan Regional Indramayu, Kab. Indramayu, merupakan pelabuhan kelas V dengan kapasitas 300 DWT Pelabuhan Nasional Pamanukan, Kab. Subang, merupakan pelabuhan kelas V dengan kapasitas 300 DWT Pelabuhan Regional Pelabuhan Ratu, Kab. Sukabumi, merupakan pelabuhan kelas V dengan kapasitas 500 DWT. Selain pelabuhan laut yang berfungsi sebagai moda transportasi laut, yang berorientasi ekonomi dan distribusi orang dan barang, Jawa Barat juga memiliki pelabuhan khusus, yaitu : Pelabuhan khusus Pertamina untuk BBM dan PLTG di Balongan Kabupaten Indramayu Pendahuluan 37 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Pelabuhan Khusus milik PT. PLN yaitu Pelabuhan Khusus PLTU Muara Tawar di Kabupaten Bekasi Pelabuhan Khusus milik PT. Pupuk Kujang di Pamanukan Kabupaten Subang Pelabuhan Khusus yang berlokasi di Kabupaten Sukabumi yaitu Pelabuhan Perikanan Samudera Pelabuhan Khusus PT. Sinar Surya Makmur yang dikhususkan untuk memuat dan membongkar bahan Batubara. C. Perhubungan Udara Sampai dengan tahun 2007, Jawa Barat memiliki beberapa bandar udara yang cukup mendukung pergerakan orang dan barang, diantaranya : Bandara Husein Sastranegara, Bandung, dengan run way 2.250 m x 45 m, dikelola oleh PT. Angkasa Pura II Bandara Udara Nusa Wiru, Pangandaran dengan run way 1. 400 m x 30 m, dikelola oleh TNI Bandara Penggung/Cakrabuana, Cirebon, dengan run way 1.270 m x 30 m, yang dikelola oleh UPT Ditjen Perhubungan Udara, merupakan pelabuhan kelas IV. GAMBAR 1.15 PETA BANDAR UDARA DAN PANGKALAN UDARA Pendahuluan 38 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 1.5.4.3 Energi dan Telekomunikasi Jawa Barat memiliki potensi energi fosil berupa gas dan minyak bumi, tenaga air yang digunakan sebagai pembangkit listrik, dan sumberdaya panas bumi. Selain itu, memiliki potensi sumberdaya terbarukan lainnya, yaitu energi surya dan energi angin yang sudah dikembangkan. Energi terbarukan yang akan dikembangkan yaitu biomasa dan energi gelombang laut. Potensi cadangan minyak bumi Jawa Barat tersebar di daerah Bekasi, Indramayu, Karawang, Majalengka dan Subang. Cadangan minyak awal di kelima daerah tersebut adalah 5.776.252 MSTB (ribu stok tank barrel) dengan pengambilan maksimum 1.604.202 MSTB. Dari sejumlah cadangan minyak yang ada, telah diproduksi sebanyak 1.381.860 MSTB sehingga sisa cadangan yang tersisa sebesar 222.341 MSTB. Operator Migas dilaksanakan oleh BP. Indonesia dan PT. Pertamina EP dengan total produksi Minyak Bumi 4% dan Gas 11% dari total produksi Migas Indonesia yang dihasilkan dari 58 lapangan Migas. Potensi sumber daya gas alam di Jawa Barat terdapat di Indramayu, Karawang, Majalengka dan Subang. Cadangan Gas Awal (IGIP – Initial Gas In Place) di daerah tersebut mencapai 4.327.510,70 MMSCF, pengambilan maksimum adalah 3.100.029,90 MMSCF, produksi kumulatif mencapai 1.827.037,96 MMSCF sehingga masih terdapat sisa cadangan sebesar 1.272.991,94 MMSCF (MMSCF = juta kaki kubik). Potensi sumber daya gas alam di Jawa Barat lebih besar dibandingkan potensi minyak bumi, namun potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa Barat. Peta infrastruktur minyak dan gas dapat dilihat pada Gambar 1.16. Jawa Barat juga memanfaatkan potensi energi yang berasal dari sumber daya air sebagai sumber pembangkit listrik baik dalam skala besar maupun dalam skala mikro. Tiga waduk besar yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, menjadi sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang terkoneksi dalam sistem Jawa Bali. Ketiga waduk tersebut adalah Waduk Jatiluhur yang memberikan kontribusi listrik sebesar 150 MW, Waduk Cirata dengan kapasitas 1.000 MW, dan Waduk Saguling dengan kapasitas 700 MW. Pendahuluan 39 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 GAMBAR 1.16 PETA INFRASTRUKTUR MIGAS EKSISTING TAHUN 2006 Pemanfaatan sumberdaya air untuk pengembangan pembangkit listrik skala mikro (mikrohidro), tersebar di beberapa kabupaten, terutama di wilayah Jawa Barat Bagian Selatan. Pengembangan mikrohidro dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan listrik perdesaan yang tidak terlayani melalui jaringan listrik PLN. Potensi sebaran potensi mikrohidro dapat dilihat pada Tabel 1.12. TABEL 1.12 POTENSI TENAGA AIR SKALA MIKRO UNTUK TENAGA LISTRIK Tahun Kabupaten Kecamatan Desa Jumlah KK Daya (kVA) 2001 2002 2003 Garut Sukabumi Cianjur Garut Tasikmalaya Bungbulang Cisolok Cidaun Cikelet Cipatujah 2004 Garut 2005 Cianjur Ciamis Tasikmalaya Mekarbakti Simaresmi Mekarjaya Linggamanik Nagrog 400 800 600 400 120 40 65 25 40 12 Bungbulang Mekarwangi 50 17,5 APBN Sd. Barang Cigugur Cipatujah Girimukti Harumandala Mertajaya 135 135 230 50 15,6 26 APBD Prop APBD Prop APBN Pendahuluan Pembiayaan APBD Prop APBD Prop APBD Prop APBD Prop APBN 40 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Tahun 2006 Kabupaten Kecamatan Desa Jumlah KK Daya (kVA) 60 200 3130 2470 400 10 35 336,1 235,6 55,5 Sukabumi Cidadap Hegarmulya Garut Cibalong Segara Jumlah Keseluruhan APBD Provinsi Jawa Barat APBN (Dekonsentrasi) Pembiayaan APBD APBD Sumber: Distamben Jawa Barat, 2005 Potensi panas bumi di Jawa Barat berasal dari gunung berapi aktif yang berada di daerah patahan geologi dan memiliki potensi panas bumi yang cukup besar, diperkirakan mencapai 5.311 MW (± 21,7% dari total potensi panas bumi Indonesia dan tersebar di 43 lokasi di 11 Kabupaten). Distribusi potensi geothermal dapat dilihat pada Gambar 1.17 dan Gambar 1.18. GAMBAR 1.17 PETA DISTRIBUSI POTENSI GEOTHERMAL DI JAWA BARAT 0 REGENCY 40 Km 1. BOGOR 2. SUKABUMI 3. BANDUNG 4. SUBANG 5. CIANJUR PLTP Awibengkok G. Salak 6. GARUT 7. TASIKMALAYA 8. CIAMIS 9. KUNINGAN 10. CIREBON 11. SUMEDANG PLTP Kamojang PLTP Darajat PLTP Wayang Windu TOTAL POTENTIAL = 6101 MW SPECULATIVE : 1850 MW ESTIMATED : 1457 MW HYPOTHETICAL : 864 MW PROBABLE : 488 MW DISTRIBUTION MAP OF GEOTHERMAL POTENTIAL IN WEST JAVA PROVEN : 1442 MW Pendahuluan 41 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 GAMBAR 1.18 PETA SEBARAN POTENSI PANAS BUMI YANG DIMANFAATKAN SEBAGAI ENERGI LISTRIK TOTAL LISTRIK TERBANGKITKAN : 749 BEKA INDRAMA Cadangan = 600 MWe Kapasitas terpasang = 354 MW BOG PURWAKA SUKABU CIREB SUMEDA CIANJ Sumber daya = 75 MWe Cadangan = 385 MWe Kapasitas terpasang = 110 BANDUNG KUNING GAR TAS Cadangan = 350 MWe Kapasitas terpasang = 145 MW BANJ Cadangan = 300 MWe Kapasitas terpasang = 140 MW Sumber : Distamben, 2004 Sebagian potensi panas bumi telah dieksplorasi untuk pembangkit listrik sebesar 705 MW, (sekitar 93,6% dari potensi listrik panas bumi nasional), yakni PLTP Kamojang sebesar 140 MW, PLTP Darajat sebesar 145 MW, PLTP Gunung Salak sebesar 380 MW dan PLTP Wayang Windu sebesar 110 MW. Jumlah energi terpasang ini hanya sekitar 35% dari cadangan terbukti (sekitar 3% dari total potensi energi panas bumi yang tersedia). Sebagian potensi lainnya telah direncanakan sebagai proyek komitmen sebesar 1.150 MW. Dengan demikian masih terdapat potensi panas bumi sebesar 3.456 MWe yang belum termanfaatkan. Pengembangan panas bumi sebagai sumber energi listrik akan dikembangkan di 3 (tiga) lokasi yaitu Gunung Tangkuban Parahu dengan kapasitas 2 x 30 MW, Cisolok-Sukarame dengan kapasitas 2 x 15 MW, dan Gunung Tampomas dengan kapasitas sebesar 30 MW. Tabel 1.13 menunjukkan potensi pengembangan panas bumi pada ketiga lokasi tersebut. Pendahuluan 42 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 TABEL 1.13 PEMANFAATAN ENERGI PANAS BUMI UNTUK TENAGA LISTRIK Description Cisolok-Sukarame Cisukarame Ciater Tampomas Generated Power 30 MW (2x15 MW) 60 MW (2x30 MW) 30 MW Total Investment US $ 54.28 Million US $ 95.76 Million US $ 54.28 Million NPV 5.014 US $ Million 17.197 US $ Million 8.955 US $ Million IRR 13.07 % 16.13 % 15.44 % Payout Time Between year 11 to 12 Between year 9 to 10 Between year 10 to 11 Pengembangan energi surya telah dilakukan dalam skala kecil (rumah tangga), ditujukan bagi masyarakat yang tidak mendapatkan jaringan listrik PLN. Kendala yang dihadapi pada pengembangan energi surya adalah elemen dan pemeliharaan yang masih cukup mahal. Disamping itu, efisiensi tenaga surya masih dianggap terlalu kecil, yaitu sekitar 5%, sehingga pemanfataan energi surya hanya dapat digunakan untuk kebutuhan dasar saja (penerangan). Pengembangan energi angin skala kecil baru dikembangkan di wilayah Pantura Jawa Barat, berupa pemanfaatan angin untuk memompa air bagi lahan pertanian. Pengembangan energi alternatif lainnya adalah bioenergi, yaitu biomasa dan biofuel. Biomasa yang dikembangkan sampai dengan saat ini adalah yang berasal dari kotoran ternak. Sedangkan biofuel baru mulai dikembangkan melalui pengembangan bioethanol dan biokerosin, yang ditujukan untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap energi fosil. Pengembangan pemanfaatan energi surya untuk tenaga listrik (solar home system) secara kontinyu dikembangkan untuk memfasilitasi daerah terpencil, dapat dilihat pada Tabel 1.14. Pendahuluan 43 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 TABEL 1.14 PEMANFAATAN ENERGI SURYA UNTUK TENAGA LISTRIK Tahun 2004 2005 2006 Kabupaten Majalengka, Kec. Kertajati, UPT Sukamaju Desa Mekarjaya Cianjur Majalengka Majalengka Indramayu Cianjur Kuningan Jumlah Jumlah (unit) 60 50 32 57 100 3 302 Sumber: Distamben Jawa Barat, 2006 Terkait dengan pemanfaatan listrik yang berasal dari PLN, pasokan listrik dipenuhi dari Sistem Ketenagalistrikan Jawa Madura Bali (Jamali). Pengelolaan pasokan listrik dilakukan oleh : 1. PT. PLN P3B (Persero) Region Jawa Barat, untuk daerah Karawang, Cianjur, Purwakarta, Cimahi, Bandung, Majalaya, Sumedang, Cirebon, Garut, Tasikmalaya. 2. PT. PLN P3B (Persero) Region Jakarta dan Banten, untuk daerah Sukabumi, Bogor, Depok dan Bekasi. Distribusi pasokan Listrik Provinsi Jawa Barat mempunyai dua mekanisme pasokan, yakni melalui pasokan listrik PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten, dan sumber listrik sendiri (captive power) yang digunakan untuk memenuhi berbagai sektor pengguna, termasuk yang berada pada kawasan industri Jababeka dan Cikarang Listrindo yang mempunyai hak khusus (IUKU) menyediakan listrik untuk kawasan tersebut. Rasio jumlah captive power yang tersambung dengan jaringan listrik PLN sebesar 70,2%. Hal ini menunjukkan bahwa sudah cukup besar captive power yang terinterkoneksi dengan sistem jaringan listrik nasional. Selain itu terdapat juga berbagai captive power yang digunakan oleh masyarakat untuk kepentingannya sendiri, yang berasal dari berbagai jenis pembangkit, seperti PLTD, PLTMH, PLTS dan sebagainya. Peta infrastruktur listrik dapat dilihat pada Gambar 1.19. Pendahuluan 44 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 GAMBAR 1.19 PETA INFRASTRUKTUR LISTRIK PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2006 Kebutuhan listrik Provinsi Jawa Barat dari tahun ke tahun dapat dilihat dalam Neraca Daya Listrik. Dalam membuat Neraca Daya Listrik, diambil suatu asumsi bahwa kebutuhan daya listrik Provinsi Jawa Barat harus dipenuhi oleh pembangkit listrik yang ada di Provinsi Jawa Barat. Beban Puncak dalam Neraca Daya ini adalah hasil prakiraan beban puncak Provinsi Jawa Barat tahun 2006 – 2016. Pasokan daya listrik dalam neraca daya ini adalah Daya Mampu Netto pembangkit di Provinsi Jawa Barat yang ada saat ini. Daya Mampu Netto (DMN) pembangkit di Jawa Barat sampai dengan akhir tahun 2007 adalah 4.337,05 MW. Jumlah pelanggan listrik PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten di Provinsi Jawa Barat hingga Oktober 2007 adalah 7.642.236 pelanggan, terdiri dari pelanggan rumah tangga (6.652.101 rumah tangga atau 87%), sedangkan sisanya adalah pelanggan bisnis, publik, sosial, dan pelanggan industri. Walaupun pelanggan rumah tangga memiliki jumlah pelanggan terbesar, tetapi bila dilihat dari daya tersambung serta jumlah konsumsi dari setiap tipe pelanggan, pelanggan industri merupakan pelanggan dengan komsumsi listrik paling besar di Jawa Barat. Pendahuluan 45 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Untuk tingkat pedesaan, berdasarkan cakupan infrastruktur ketenagalistrikan di Jawa Barat telah menunjukkan data yang menggembirakan dengan telah tercapainya tingkat elektrifikasi sebesar 99,59%, dimana hanya tinggal 12 desa yang belum teraliri listrik yaitu 7 desa di Kabupaten Cianjur (Desa Cibuluh, Desa Cimaragang, Desa Mekarjaya, Desa Gelarpawitan, Desa Karangwangi, Desa Puncak Sari, dan Desa Mekarlaksana) dan 5 desa di Kabupaten Garut (Desa Cikarang, Desa Karangsewu, Desa Purwajaya, Desa Mekarmukti, dan Desa Girimukti). Walaupun tingkat elektrifikasi telah memberikan angka yang tinggi, angka rasio elektrifikasi (RE) rumah tangga pada akhir 2007 baru mencapai 60,41%, atau setara 6.652.101 rumah tangga dari total 11.011.044 rumah tangga di Jawa Barat yang dapat mengakses listrik. Dari 16 Kabupaten/Kota di Jawa Barat, rasio elektrifikasi terbesar adalah 76,62% (Kabupaten Kuningan), sedangkan rasio elektrifikasi terkecil adalah 41,76% (Kabupaten Subang). Konsumsi listrik Jawa Barat sebesar 594,36 kWh/kapita, menunjukkan konsumsi masyarakat Jawa Barat diatas rata-rata nasional yang hanya mencapai 428 kWh/kapita. Namun masih terdapat disparitas yang sangat besar antar wilayah Jawa Barat, dimana untuk Jawa Barat bagian selatan memiliki konsumsi listrik perkapita yang masih sangat jauh dibawah rata-rata Jawa Barat. Untuk melayani jasa telekomunikasi telepon tetap bagi masyarakat di wilayah Jawa Barat, PT. Telkom membaginya dalam 2 (dua) Divisi Regional (Divre) yaitu Divre II Jakarta dan Divre III Jawa Barat dengan area pelayanan sebagai berikut : 1. Divre II Jakarta melayani kebutuhan telekomunikasi masyarakat Jakarta, Banten, dan sebagian Jawa Barat. Divre II Jakarta mempunyai 8 (delapan) Kantor Daerah Pelayanan Telekomunikasi (Kandatel), di mana 2 (dua) Kandatel melayani sebagian wilayah Jawa Barat, dengan area pelayanan sebagai berikut: a. Kandatel Bekasi Area pelayanan Bekasi, Purwakarta dan Karawang b. Kandatel Bogor Area pelayanan Bogor dan Depok 2. Divre III Jawa Barat melayani kebutuhan telekomunikasi masyarakat sebagian besar wilayah Jawa Barat. Divre III Jawa Barat mempunyai 7 (tujuh) Kandatel dengan area pelayanan sebagai berikut : a. Kandatel Bandung Area Pelayanan Bandung dan Sumedang Pendahuluan 46 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 b. Kandatel Garut Area Pelayanan Garut c. Kandatel Subang Area Pelayanan Subang d. Kandatel Cirebon Area Pelayanan Cirebon, Kuningan, Indramayu dan Majalengka e. Kandatel Tasikmalaya Area Pelayanan Tasikmalaya dan Ciamis f. Kandatel Cianjur Area Pelayanan Cianjur g. Kandatel Sukabumi Area Pelayanan Sukabumi Jumlah satuan sambungan telepon (SST) dari PT. Telkom secara rinci untuk wilayah Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1.15. TABEL 1.15 DATA JUMLAH SST DI JAWA BARAT No Kabupaten/ Kota Jumlah Penduduk (jiwa) Jumlah Telepon SST Jml Jumlah % Penduduk yg Pengguna Pengguna belum *) Telepon Telepon terlayani Teledensitas 1 Kabupaten Bogor 3,060,618 161,159 805,795 2,254,823 26.33% 5.3 2 Kabupaten Sukabumi 1,956,188 26,757 133,785 1,822,403 6.84% 1.4 3 Kabupaten Cianjur 1,964,571 31,927 159,635 1,804,936 8.13% 1.6 4 Kabupaten Bandung 3,326,899 87,047 435,235 2,891,664 13.08% 2.6 5 Kabupaten Garut 1,919,711 29,120 145,600 1,774,111 7.58% 1.5 6 Kabupaten Tasikmalaya 1,408,903 8,182 40,910 1,367,993 2.90% 0.6 7 Kabupaten Ciamis 1,574,298 16,734 83,670 1,490,628 5.31% 1.1 8 Kabupaten Kuningan 966,958 7,207 36,035 930,923 3.73% 0.7 9 Kabupaten Cirebon 1,843,096 21,405 107,025 1,736,071 5.81% 1.2 10 Kabupaten Majalengka 1,129,738 9,910 49,550 1,080,188 4.39% 0.9 11 Kabupaten Sumedang 904,063 9,589 47,945 856,118 5.30% 1.1 12 Kabupaten Indramayu 1,563,323 15,393 76,965 1,486,358 4.92% 1.0 13 Kabupaten Subang 1,248,047 27,796 138,980 1,109,067 11.14% 2.2 14 Kabupaten Purwakarta 638,964 21,345 106,725 532,239 16.70% 3.3 15 Kabupaten Karawang 1,649,219 47,932 239,660 1,409,559 14.53% 2.9 16 Kabupaten Bekasi 1,330,389 42,281 211,405 1,118,984 15.89% 3.2 17 Kota Bogor 691,421 58,917 294,585 396,836 42.61% 8.5 18 Kota Sukabumi 246,847 13,927 69,635 177,212 28.21% 5.6 Pendahuluan 47 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 No Kabupaten/ Kota Jumlah Penduduk (jiwa) Jumlah Telepon SST Jml Jumlah % Penduduk yg Pengguna Pengguna belum Telepon*) Telepon terlayani Teledensitas 19 Kota Bandung 1,806,090 257,279 1,286,395 519,695 71.23% 14.2 20 Kota Cirebon 252,180 26,725 133,625 118,555 52.99% 10.6 21 Kota Bekasi 1,294,258 200,448 1,002,240 292,018 77.44% 15.5 22 Kota Depok 949,207 61,135 305,675 643,532 32.20% 6.4 23 Kota Cimahi 368,343 34,686 173,430 194,913 47.08% 9.4 24 Kota Tasikmalaya 516,054 24,123 120,615 395,439 23.37% 4.7 Sumber : Data Survey Infrastruktur Telekomunikasi, Sekda Jawa Barat, 2002 Catatan : Perhitungan jumlah pengguna telepon menggunakan asumsi 1 sst (atau satuan sambungan) dipakai untuk 1 KK atau oleh 5 (lima) orang % Pengguna dihitung dari : jumlah pengguna dibagi jumlah penduduk Teledensitas dihitung dari : jumlah sst dibagi jumlah penduduk dikali 100 Data SST tersebut menunjukkan bahwa teledensitas tinggi (lebih besar dari 10) terdapat di Kota Bandung (14.2), Kota Cirebon (10.6) dan Kota Bekasi (15.5); teledensitas sedang (5-10) terdapat di Kota Cimahi, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor; teledensitas rendah (lebih kecil dari 5) untuk kabupaten lainnya. Coverage area pelayanan telepon seluler dan telepon tetap di Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 1.20. GAMBAR 1.20 PETA KONDISI COVERAGE AREA PELAYANAN TELEPON SELULER & TETAP Pendahuluan 48 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 1.5.5 Sumberdaya Alam, Lingkungan Hidup & Kelautan A. Pertambangan Jawa Barat memiliki potensi bahan galian (mineral) yang beraneka ragam dan tersebar di 17 (tujuh belas) Kabupaten. Bahan galian meliputi bahan galian mineral logam, mineral industri, dan bahan galian konstruksi. Bahan galian mineral logam (base metal) yang ada di Jawa Barat antara lain emas, timbal (timah hitam), besi (bijih besi dan pasir besi) dan mangan. Bahan galian industri antara lain barit, batuapung, batugamping, belerang, bentonit, bond clay, chert (rijang), diatomea, dolomit, felspar, fosfat, gipsum, jasper, kalsedon, kalsit, kaolin, lempung, marmer, obsidian, oker, oniks, pasir kuarsa, perlit, toseki, dan zeolit. Sedangkan bahan galian konstruksi antara lain batu andesit, pasir, sirtu, tanah urug dan lain-lain. Peta potensi mineral dan bahan tambang dapat dilihat pada Gambar 1.21. GAMBAR 1.21 PETA POTENSI MINERAL DAN BAHAN TAMBANG PROVINSI JAWA BARAT Sebaran beberapa jenis sumber daya bahan galian mineral logam di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1.16 dan Gambar 1.22 dan Gambar 1.23. Pendahuluan 49 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Tabel 1.16 Sebaran Beberapa Komoditi Mineral (Logam Dasar) Jenis Mineral Emas Kecamatan/Kabupaten Nanggung dan Leuwiliang Kab. Bogor. Ciemas, Ciracap, Pelabuhan Ratu, Warung Kiara, Cikidang, dan Tegal Buleud Kab. Sukabumi. Cibeber, Kab. Cianjur Sukatani dan Campaka, Kab. Purwakarta Kec. Cililin, Kab. Bandung Kec. Salopa, Pancatengah, Cineam Kab. Tasikmalaya Timbal Tembaga Kec. Jasinga dan Cigudeg Kab. Bogor Kec. Karangnunggal Kab. Tasikmalaya Kec. Ciamis, Ciamis Alumunium Kec. Pangalengan, Kab. Bandung Mangan Kec. Karangnunggal, Pancatengah, dan Cikatomas, Kab. Tasikmalaya Besi Titan Kec. Ciracap, Surade, dan Pelabuhan Ratu Kab. Sukabumi, Kec. Cibuaya Kab. Karawang, Kec. Sindang Barang Kab. Cianjur, Kec. Pamanukan Kab. Subang, Kec. Cipatujah, Bantarkalong, Cikalong Kab. Tasikmalaya, Kec. Cijulang & Pangandaran Kab. Ciamis. Kec. Sindangbarang Kab. Cianjur, Kec. Cisalak Kab. Subang, Kec. Pamengpeuk Kab. Garut Kec. Sukatani, Kab. Purwakarta Besi Seng Keterangan Merupakan urat kuarsa pada zona sesar. Merupakan urat kuasa pada zona sesar maupun akibat terobosan andesit basal pada Formasi Jampang. Merupakan urat kuarsa pada andesit tua terpropilitkan Merupakan urat kuarsa Urat sulfida pada andesit terpropilitkan. Merupakan endapan placer (Kec. Salopa), stockwork pada batuan andesit dan breksi gunungapi (Kec. Pancatengah), urat kuarsa yang berkembang dalam tuff Formasi Jampang (Kec. Cineam). Merupakan endapan hidrothermal. Urat kuarsa pada granit-granodiorit, tuf dan breksi, dan berasosiasi dengan timbal dan seng Urat kuarsa pada andesit, berasosiasi dengan timbal dan seng Terbentuk oleh kegiatan vulkanik pada andesit di bawah kaldera. Bijih mangan terdapat pada lapisan batugamping berbentuk lensa-lensa, serta adanya pengayaan supergen. Umumnya merupakan endapan pasir pantai yang mengandung ilmenit dan magnetit. Berupa limonit dan hematit sedimenter, serta endapan pasir besi. Berupa endapan primer yang berupa urat-urat yang terdapat pada batuan andesit. Sumber : Direktorat Sumber daya Mineral, 1994 Pendahuluan 50 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 GAMBAR 1.22 PETA POTENSI LOGAM DAN MINERAL DALAM ZONA KELAYAKAN TAMBANG GAMBAR 1.23 PETA POTENSI LOGAM DAN ZONA LAYAK TAMBANG Pendahuluan 51 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Bahan galian industri dan konstruksi termasuk dalam bahan galian Golongan C, berupa bahan galian utama pasir dan batu di sepanjang alur sungai, basalt dan andesit dari daerah pegunungan, tanah lempung-tanah liat dari endapan alluvial yang digunakan sebagai bahan dan/atau konstruksi bangunan dan juga batugamping. Bahan galian konstruksi masih merupakan primadona investasi, diterbitkan dan dari terlihat dari jumlah SIPD yang jumlah luasan SIPD. Distribusi pemegang SIPD Gubernur dapat dilihat pada Tabel 1.17. Tabel 1.17 Distribusi Pemegang SIPD Gubernur di Jawa Barat Menurut Jumlah pada Kondisi Triwulan II Tahun 2008 KAB. Bekasi Karawang Purwakarta Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Bandung Barat Subang Sumedang Garut Tasikmalaya Ciamis Majalengka Indramayu Kuningan Cirebon Jumlah Jabar PasirSirtu Andesit Batukapur / Gamping 4 1 8 36 8 30 1 1 1 9 53 6 3 16 18 18 28 10 14 9 10 18 12 7 126 214 1 6 8 7 1 2 42 3 6 7 131 23 8 Marmer Trass/ Tanah urug 1 Feldsfar zeolite Bentonit Batu Ares Galena/ Spalerit 1 6 9 1 1 2 7 2 30 4 1 3 3 4 6 11 2 3 11 1 1 28 11 1 12 29 29 1 18 4 12 1 3 6 21 57 4 4 1 20 Sumber : Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat, 2008 B. Air Permukaan Kuantitas dan kualitas sumberdaya air di Jawa Barat mengalami penurunan. Lima sungai besar di Jawa Barat yaitu Ciliwung, Cileungsi, Citarum, Cimanuk dan Citanduy dinyatakan tidak layak untuk bahan baku air minum, karena telah terkontaminasi bakteri coli melampaui baku mutu air minum, yaitu lebih dari 2000/100ml. Sungai Citarum memiliki kualitas air yang paling buruk, akibat pertumbuhan industri, permukiman, pertanian dan peternakan di sepanjang wilayah DAS Citarum. Di Pendahuluan 52 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 sekitar DAS tersebut terdapat 542 industri dengan jumlah penduduk sebanyak 8,6 juta jiwa dan sekitar 79,8 ha sawah pertanian yang berpotensi menyumbang limbah. Kondisi ini diperparah dengan semakin tingginya fluktuasi debit antara musim hujan dan musim kemarau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun semua industri mengolah limbahnya, namun jika fluktuasi debit tidak berubah, maka kualitas sungai akan tetap buruk. Demikian halnya dengan Sungai Citarum, kualitas kelima sungai utama lainnya juga dalam kondisi tercemar berat dari hulu sampai hilir. Berdasarkan pemantauan terhadap 7 sungai lintas DAS Provinsi yaitu Citarum, Ciliwung, Cisadane, Cileungsi, Cilamaya, Cimanuk dan Citanduy menunjukkan bahwa ketujuh sungai tersebut status mutunya tercemar berat (D). C. Air Tanah Potensi air tanah di Jawa Barat terbagi menjadi 15 cekungan lintas kabupaten/kota, 8 cekungan non lintas (lokal) dan 4 cekungan lintas provinsi, dapat dilihat pada Gambar 1.24. Kondisi saat ini memperlihatkan ketidakseimbangan antara pengambilan dan kemampuan pengimbuhan air tanah yang ditandai dengan semakin menurunnya permukaan air tanah bahkan di beberapa daerah kondisinya sudah mencapai kriteria kritis. GAMBAR 1.24 PETA CEKUNGAN AIR BAWAH TANAH Pendahuluan 53 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 CAT Bandung, CAT Bogor dan CAT Bekasi – Karawang, sudah termasuk dalam zona kritis. Dari ketiga cekungan tersebut CAT Bandung merupakan cekungan yang tingkat kerusakan paling parah, di beberapa tempat sudah dalam kondisi kritis. Pengukuran di beberapa tempat menunjukkan penurunan muka air tanah sejak tahun 1960 sampai tahun 2005 antara 66 – 69 meter. Kerusakan sumber daya air tanah ini akan semakin parah apabila tidak segera dilakukan langkah-langkah pengendalian secara sinergis melalui strategi kebijakan pengelolaan air tanah yang utuh menyeluruh dan dilaksanakan secara terkoordinasi. D. Udara Penurunan daya dukung udara diakibatkan semakin meningkatnya berbagai polutan dari aktivitas manusia. Kontribusi terbesar pencemaran udara berasal dari penggunaan energi fosil untuk transportasi, industri, pembangkit listrik dan rumah tangga, pembakaran sampah serta konversi lahan dan kebakaran hutan. Pencemaran udara terutama terjadi di beberapa kota besar seperti seperti Bandung, Bogor, Bekasi, dan Cirebon. Secara umum pengukuran kualitas udara ambien di beberapa kota besar menunjukkan kualitas udara ambien di bawah nilai ambang batas. Transportasi dianggap sebagai penyumbang polutan tertinggi (sekitar 60% dari pencemaran total), karena semakin tingginya pengguna kendaraan pribadi terutama kendaraan bermotor roda dua. Hasil pengukuran yang dilakukan tahun 2007 bahwa 38 % kendaraan bermotor dengan bahan bensin dan lebih dari 75% kendaraan berbahan bakar solar yang diuji tidak memenuhi Bahan Mutu Emisi (BME). Kecenderungan kandungan Hidrokarbon (HC) juga meningkat di atas ambang batas hingga 4-8 kali dari konsentrasi ambang batas baku mutu udara ambien (169 mg/m3/3 jam). Sebagai Contoh, Kota Bandung hanya memiliki 55 hari sehat dalam 1 tahunnya. Sumber polutan lainnya adalah kegiatan industri, sejalan dengan naiknya harga minyak bumi banyak industri yang mulai mengalihkan sumber energinya ke batu bara, walaupun kandungan polutan yang dimiliki lebih tinggi dibanding minyak bumi dan gas. Lemahnya pengendalian pencemaran udara serta penggunaan teknologi yang tidak ramah lingkungan menyebabkan masalah pencemaran udara dari pemenuhan kebutuhan energi masih terus menjadi permasalahan utama. Batu bara menghasilkan emisi terbesar sedangkan gas menghasilkan emisi yang paling rendah, karena itu sering kali gas dianggap sebagai energi yang ramah lingkungan. Pendahuluan 54 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 TABEL 1.18 PERBANDINGAN EMISI PADA PEMBANGKIT LISTRIK Type of emission Emission (pound/109 BTU of Coal Crude Oil 208 164 2.591 1,122 2.744 84 457 448 208 33 CO2 SOx PM10 NOx CO Energi) Gas 117 1 7 92 40 Sumber: Bappenas 2006 Pencemaran udara yang terjadi berkontribusi terhadap terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Efek pemanasan global terhadap perubahan iklim terutama terjadi karena peningkatan secara gradual temperatur permukaan global akibat efek emisi gas-gas rumah kaca (terutama CO2). Kemudian, terkait pula dengan keberadaan luasan hutan yang semakin berkurang serta meningkatnya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Perubahan iklim berimplikasi sangat luas terhadap berbagai aspek, seperti perubahan musim dan bencana. Kejadian bencana banjir tahunan di musim hujan dan kekeringan panjang di musim kemarau, memberi dampak ikutan seperti kebakaran hutan, penyebaran penyakit dan keringnya sumber air bersih, yang juga tidak luput mengancam keberadaan lahan pangan di Jawa Barat. Potensi terjadinya hujan asam juga harus dicermati, karena tingginya tingkat konsentrasi CO2 yang bercampur dengan air hujan juga akan membentuk asam karbonat yang menyebabkan tingginya tingkat keasaman. Hal tersebut menimbulkan kerugian terhadap berbagai infrastruktur pembangunan, karena mempercepat korosi dan juga sangat berpengaruh terhadap kerusakan ekosistem. E. Pesisir dan Laut Kewenangan provinsi dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah laut mencakup eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh provinsi atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, ikut serta dalam pemeliharaan keamanan dan pertahanan kedaulatan negara. Dalam hal ini kewenangan pengelolaan sumberdaya di wilayah laut paling jauh adalah 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas, dan atau ke arah perairan kepulauan provinsi. Secara geografis wilayah pesisir dan laut Provinsi Jawa Barat terbagi menjadi 2 wilayah, yaitu wilayah pantai utara (Pantura) dan wilayah pantai selatan (Pansela). Pendahuluan 55 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Panjang pantura adalah 417,5 km, dan panjang pansela adalah 399,32 km, sehingga luas wilayah lautan Jawa Barat sampai wilayah 12 mil laut adalah 18.153 km2. Kondisi fisik dasar pesisir utara Jawa Barat yang terdiri dari dataran pantai dan rawa alluvial pantai dengan kemiringan lereng 0% -5%, merupakan daerah yang bertopografi landai, perairan dangkal, memiliki substrat lumpur, berpasir dan berawa, pola arus yang dipengaruhi arus laut Jawa, serta bervegetasi mangrove dan terumbu karang. Sungai-sungai yang bermuara ke pantura diantaranya Sungai Cimanuk, Cipunagara, Citarum, Kali Bekasi, Pagadungan, Cilamaya, Ciasem, Kali Beji, Cipanas, Cimanggis, Ciwaringin, Kali Bunder, Bangkaderes, dan Cisanggarung. Perairan laut relatif tenang menjadi lingkungan yang kondusif bagi perkembangan wilayah, dimana aktivitas sosial dan pertumbuhan ekonomi relatif berkembang cukup pesat. Sementara di pesisir selatan, kondisi yang berbukit dengan seismisitas relatif tinggi, bertopografi terjal, perairan dalam, memiliki substrat pasir dan karang, pola arus dipengaruhi arus Samudera Hindia, dan vegetasi cenderung berupa hutan pantai dan mangrove. Batimetri pantai umumnya curam dan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, sehingga timbul gelombang laut yang besar, kadang dapat timbul gelombang badai (2-5 m), serta arus laut yang relatif kuat, menjadi faktor kendala di dalam pengembangan wilayah. Selain itu pemanfaatan pelayaran memerlukan tingkat keamanan yang cukup tinggi. Perbedaan kondisi fisik tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi ketimpangan perkembangan wilayah antara pesisir utara dan selatan. Sungai-sungai yang bermuara ke pansela diantaranya Sungai Citepus, Cimandiri, Cikaso, Cibuni, Cisokan, Cisadea, Ciujung, Cipandak, Cilaki, Cikandang, Cipalebuh, Cikaengan, Cisanggiri, Cipatujah, Ciwulan, Cimedang, Cijulang, dan Citanduy. Selain itu, wilayah Pansela ini terletak di Lempeng Eurosia dan Lempeng Australia yang merupakan zona aktif gempa dan berpotensi bencana tsunami. Ancaman lainnya adalah gelombang laut pasang, akresi dan abrasi, sedimentasi yang besar di muara-muara sungai yang menyebabkan pendangkalan, penyumbatan aliran sungai, rawan banjir bandang, erosi sungai, dan terbentuknya delta baru. Abrasi yang telah terjadi sejak lama terdapat di Teluk Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Wilayah pesisir dan laut Jawa Barat memiliki pulau-pulau kecil, di pesisir selatan pesisir Pulau Nusamanuk dan Batukolotok serta di pesisir utara yaitu Gugusan Pulau Biawak. Pendahuluan 56 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 GAMBAR 1.25 PETA ZONA WILAYAH LAUT PROVINSI JAWA BARAT Wilayah Pesisir dan Laut Jawa Barat memiliki potensi kegiatan perekonomian beragam, seperti perikanan baik tangkap maupun budidaya (tambak), pertanian, pemukiman, pariwisata, pelayaran, pertambangan, pelabuhan, perdagangan serta konservasi alam. Produksi perikanan tangkap Jawa Barat tahun 2008 adalah sebesar 176.448,77 ton, yang didominasi dari produksi Kabupaten Cirebon, Indramayu, Subang dan Sukabumi. Sedangkan produksi perikanan budidaya tambak adalah sebesar 102.293,33 ton, yang didominasi dari produksi Kabupaten Bekasi, Cirebon dan Subang. Kegiatan pariwisata pesisir dan laut berupa wisata alam pantai dan laut, wisata budaya, serta wisata pendidikan dan penelitian. Potensi pariwisata terkonsentrasi di Pansela, namun belum berkembang secara optimal, karena rendahnya aksesibilitas, kurangnya infrastruktur pendukung, sarana dan prasarana wisata, serta rendahnya investasi, sehingga menyebabkan kurangnya minat wisatawan untuk berkunjung ke Pansela. Wilayah Pantura merupakan bagian dari lintasan jalur perekonomian utama Jawa sehingga perkembangan fisik wilayah ini tumbuh dengan pesat. Disisi lain, wilayah ini memiliki kepadatan penduduk lebih tinggi dengan aktivitas yang tinggi pula. Percepatan pertumbuhan tersebut menimbulkan tingkat perubahan fungsi lahan lebih cepat Pendahuluan 57 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 dibandingkan wilayah Pansela. Perubahan fungsi lahan dan aktivitas penduduk di wilayah pesisir tentunya mengurangi daya dukung dan daya tampung yang dimiliki, dan berdampak pada kualitas lingkungan, terutama pencemaran air laut, akresi, abrasi dan fenomena gelombang laut pasang. Indeks pencemaran air laut di Pantura antara 7,3919,843 yang menunjukan bahwa wilayah ini sudah tercemar berat. Tingkat abrasi di pantura sebesar 370,3 ha/tahun, sedangkan di pansela tingkat abrasi sebesar 35,35 ha/tahun. Gelombang laut pasang lebih intens terjadi di Pantura, karena kondisi geografis yang relatif landai. Perubahan iklim yang sudah menjadi isu global diyakini telah menyebabkan perubahan sistem alam termasuk wilayah pesisir. Gelombang pasang yang terjadi pada setiap awal dan akhir tahun semakin meluas jangkauannya, dengan periode yang semakin singkat dan intensitas yang semakin meningkat. Ekosistem pesisir Pantura adalah mangrove, terumbu karang dan rumput laut. Mangrove ditemui di Kabupaten Bekasi (590.98 Ha), Karawang (332.43 Ha), Kabupaten Subang (3.886,08 Ha), Kabupaten Cirebon ( 347 Ha ), Kota Cirebon (21.96 Ha) dan Kabupaten Indramayu (1.103,46 Ha ). Berdasarkan hasil survey, kondisi hutan mangrove di pesisir utara Jawa Barat dapat dikategorikan sebagai rusak sampai dengan rusak berat, ditunjukkan oleh persen tutupan kurang dari 50% dan kerapatan pohon per hektare kurang dari 1.000. Data menunjukkan bahwa umumnya ketebalan mangrove berkisar 50– 100 meter, sementara di beberapa tempat bahkan “tipis” sekali, kurang dari 30 meter. Meski mungkin saja persen tutupan lebih dari 50% dan jumlah pohon per hektare (setelah konversi luasan) mencapai lebih dari 1.000, rendahnya ketebalan ekosistem mangrove menunjukan bahwa secara umum kondisi ekosistem mangrove di pesisir utara Jawa Barat masuk ke dalam kategori rusak sampai dengan rusak berat. Terumbu karang pada umumnya dalam kondisi rusak dan mengancam perkembangbiakan ikan dan biota laut lainnya. Kerusakan disebabkan oleh eksploitasi dalam mencari ikan dan tingkat pencemaran yang tinggi. Terumbu karang terdapat di di pesisir Kabupaten Subang (Brobos) dan Kabupaten Karawang (Karang Sedulang Kec. Cilamaya) dan Kabupaten Indramayu (Pulau Rakit, Pulau Gosong, dan Pulau Cendikian, Majakerta dan Kec. Indramayu). Padang lamun terdapat di perairan Pulau Biawak, dalam keadaan sedang sampai rusak, dengan ketebalan rendah (sekitar 20 meter), umumnya dijumpai dalam bentuk gugusan/patch berukuran kecil dan tidak ada yang memiliki tutupan diatas 5%. Pendahuluan 58 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Ekosistem pesisir di Pansela berupa ekosistem mangrove terdapat di pesisir Kabupaten Ciamis (Bojong Salawe) seluas 237,59 ha, Kabupaten Sukabumi seluas 9 ha, Kabupaten Garut 50,9 ha, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Cianjur. Ekosistem mangrove di Pansela tidak banyak dijumpai karena kondisi fisik pantai pesisir selatan yang tidak landai, terjal dan berbatu. Sehingga ekosistem pesisir yang lebih dominan berupa hutan pantai, yang berfungsi sebagai kawasan perlindungan setempat berupa suaka margasatwa dan cagar alam, diantaranya di Cagar Alam Pananjung Pangandaran-Ciamis, Suaka Margasatwa Laut Sindang Kerta Cipatujah-Tasikmalaya, Cagar Alam Leuweung Sancang Cibalong-Garut, Cagar Alam Jayanti Cidaun-Cianjur, dan Suaka Margasatwa Cikepuh Ciracap-Sukabumi. Ekosistem terumbu karang ditemui di perairan Ujung Genteng Kabupaten Sukabumi, perairan Pameungpeuk dan Rancabuaya Kabupaten Garut, perairan Parigi dan Pangandaran di Kabupaten Ciamis. Selain sebagai habitat dari ikan hias, terumbu karang juga berfungsi sebagai obyek wisata bahari dan penahan gelombang alamiah. Selain itu ditemui pula ekosistem rumput laut di pantai Pangandaran, dan pantai Ujung Genteng Kecamatan Surade. Pengembangan budidaya rumput laut dilakukan di perairan Kabupaten Ciamis, Pameungpeuk Kabupaten Garut dan Kecamatan Cidaun Kabupaten Cianjur. Padang lamun terdapat di perairan Pangandaran, Batukaras dan Madasari Kabupaten Ciamis, dengan kondisi yang jauh lebih baik dibandingkan Pantura. Ketebalan padang lamun mencapai 200-300 meter di beberapa lokasi, kondisi tutupan pada umumnya tinggi, berkisar 60-80% dan diikuti dengan tutupan ganggang laut yang mencapai 100 m. Wilayah Pansela, walaupun memiliki tingkat pencemaran dan abrasi yang relatif rendah dibandingkan Pantura, namun tetap harus mewaspadai tingginya aktivitas pertambangan yang tidak mempertimbangkan lingkungan. Potensi pertambangan di pantai diantaranya adalah pasir besi, fosfat, kalsit, bentonit, dan zeolit, namun sumberdaya pertambangan tersebut belum terukur baik lokasi maupun besaran kandungannya. Karakteristik Pantura dan Pansela diuraikan dalam Tabel 1.19-1.20, serta Gambar 1.26-1.29. Pendahuluan 59 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 TABEL 1.19 KARAKTERISTIK PANTAI UTARA No. 1 Kabupaten/ Kota Kab. Bekasi, panjang pantai 37,829 km Sungai Kali Bekasi, Cikarang, Citarum 2 Kab. Karawang, panjang pantai 84,230 km Cijalu, Jarong, Cilamaya 3 Kab. Subang, panjang pantai 68 km Ciasem, Cipunagara 4 Kab. Indramayu, panjang pantai 114 km Cilalanang, Cemara, Cimanuk 5 Kab. Cirebon, panjang pantai 54 km Ciwaringin 6 Kota Cirebon, panjang pantai 7 km Cisanggarung Ekosistem Pesisir - Mangrove seluas 590,98 ha. Lokasi dominan di Kec. Babelan, Muaragembong, dan Tarumajaya. Ekosistem mangrove berkurang, akibat penebangan untuk tambak, permukiman, fasilitas umum & fasilitas sosial lainnya. - Terumbu karang di sekitar Cilamaya (Gugus Karang Sedulang). Kondisi sebagian besar telah mati karena sedimentasi dan kegiatan manusia. - Rumput laut di Gugus Karang Sedulang. Jumlahnya sangat sedikit, dan kondisi perairan yang tidak memungkinkan pembudidayaan rumput laut. - Mangrove di Cibuaya & Cilamaya, luas 332,43 ha. Terjadi penurunan hutan mangrove sejak 1984, akibat konversi menjadi tambak & industri. Rehabilitasi oleh Perhutani Unit III Jabar, BKPH Cikeong. - Terumbu karang di daerah Bobos, dan terdapat pula terumbu karang buatan sebanyak 3 unit. - Mangrove di bagian utara, binaan Perum Perhutani BKPH Ciasem-Pamanukan bersama masyarakat. Luas 3886,08 ha. Daerah wisata Pondok Bali. - Terumbu karang di Majakerta Kec. Indramayu, P. Rakit, P. Gosong, P. Rakit Utara, Cantikian + 500 ha. - Ekosistem mangrove 1.103,46 ha. Di Losarang relatif sedikit. Pengelolaan dilakukan oleh Perhutani BKPH Indramayu. Selain itu ditemukan juga di Kadanghaur, Sindang, dan Eretan (relatif lebih sedikit). - Padang lamun di perairan Pulau Biawak, kondisi sedang sampai rusak. Mangrove seluas 275,49 ha. Di Kec. Babakan seluas 0,25 ha. Penanaman mangrove oleh penduduk setempat. Luas ekosistem mangrove 21,96 ha Pendahuluan 60 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 TABEL 1.20 KARAKTERISTIK PANTAI SELATAN No. Kabupaten 1 Kabupaten Sukabumi, panjang pantai 114 km Flora/Fauna Flora : - Kerusakan hutan pantai - Di Ciracap, Ciomas pelabuhan ratu Fauna : - Kerusakan habitat penyu Ciracap - Tempat bertelur penyu di Ujung Genteng 2 Kabupaten Cianjur, panjang pantai 80km Flora : - Pandan laut di Cidaun - Perambahan hutan cagar alam di Cidaun Ekosistem pesisir - Mangrove seluas 9 ha, mengalami konversi untuk kayu bakar dan kegiatan lain, Cikepuh, Pangumbahan - Terumbu karang di pantai Karang Hawu, Cisolok, Citepus 150m-500m. ditemukan juga di Surade (pantai Ujung Genteng luas 1.305 ha), Ciracap dan Ciwaru. Lain-lain - Potensi kerusakan akibat pertambangan Pelabuhan ratu - Abrasi terjadi di bagian barat Pelabuhan Ratu - Rumput laut di Ujung Genteng - Mangrove di S. Cisokan, Cisadea, Cidamar, Ciujung dan Cipandan - Rumput laut pembudidayaan di Kecamatan Cidaun - Penambangan pasir besi di Sindang barang dan Cidaun seluas 450 ha Fauna : - Penyu di Sindangkerta dan Cipatujah 3 Kabupaten Garut panjang pantai 50 km Cagar alam Sancang sepanjang 12 km. Berkurangnya hutan pantai Sepanjang Caringin, Bungbulang, Pameung-peuk - Mangrove seluas 50,9 ha, di Santolo dan Cagar Alam Sancang - Penambangan tak terkendali - Terumbu karang di Kecamatan Pameungpeuk seluas 6.200 ha, kondisi relatif baik, kerusakan hanya terjadi di deka pantai akibat lego jangkar. ditemui juga di Ranca Buaya. - Abrasi di Cipatujah - Rumput laut pembudidayaan di Pantai Sayang Heulang Pamengpeuk 4 Kabupaten Tasikmalaya, panjang pantai 49 km Flora : - Hutan pandan Cikalong sepanjang 22 km Fauna : - Penyu di Sindangkerta - Mangrove di muara Sungai Cimedang, Ciwulan, Cipatireman dan Cilangla - Sungai Ciwulan, erosi tebing. - Terumbu karang terhampar dari Cipatujah sampai Karangtawulang, sepanjang 32 km-100m, dan Cikalong. - Penambangan di Cipatujah Pendahuluan 61 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 No. Kabupaten 5 Kabupaten Ciamis, panjang pantai 62 km Flora/Fauna Pantai Keusik Luhur Cimerak tempat bertelur penyu Ekosistem pesisir - Mangrove seluas 237,59 ha, berbenturan dengan pariwisata, terdapat di Kec. Kalipucang, Citanduy. Kerusakan mangrove di Kalipucang - Terumbu karang di pantai Krapyak sepanjang 2,5 km - lebar 75 km. Di pantai timur dan barat CA Pananjung 1,5 km -50m. dan di pantai Karang Jaladri 200m-100m. Kerusakan terumbu karang. Terumbu karang di Kalipucang dan Pangandaran rusak akibat penangkapan ikan tidak ramah lingkungan. Di Kecamatan Sidamulih, Parigi, Cijulang dan Cimerak dalam kondisi baik. Lain-lain - Abrasi di Pangandaran, Pantai Panunjang dan sekitar Pantai Krapyak - Rumput laut di Pangandaran dan pembudidayaan rumput laut di Pantai Sayang Heulang Pamengpeuk - Padang lamun di perairan Pangandaran, Batukaras, Madasari GAMBAR 1.26 PETA SEBARAN EKOSISTEM WILAYAH PANTURA Pendahuluan 62 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 GAMBAR 1.27 PETA ISU LINGKUNGAN WILAYAH PANTURA GAMBAR 1.28 PETA SEBARAN EKOSISTEM WILAYAH PANSELA Pendahuluan 63 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009 2009-2029 GAMBAR 1.29 PETA POTENSI PERIKANAN DAN UPWELLING WILAYAH PANSELA F. Keanekaragaman Hayati Hayat Pelestarian keanekaragaman hayati (termasuk plasma nutfah) Jawa Barat tersebar dalam kawasan konservasi sebagai lokasi konservasi keanekaragaman ekosistem yang dilakukan secara insitu dan menekankan terjaminnya dan terpeliharanya keanekaragaman hayati secara ra alami melalui proses evolusi, yaitu di kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata, taman buru, taman nasional, taman hutan raya, dan taman laut. Selain pelestarian secara insitu, dilakukan pula secara eksitu, dengan cara memindahkan jenis dan habitat habitat untuk diletarikan dan diamankan. Pendirian Kebun Raya Bogor, kebun binatang, penangkaran hewan, dan lain-lain lain lain merupakan upaya eksitu yang tidak perlu mengganggu populasi alaminya. Pemanfaatan sumberdaya hayati untuk berbagai keperluan secara tidak sseimbang ditandai dengan makin langkanya beberapa jenis flora dan fauna yang kehilangan habitatnya, kerusakan ekosistem dan menipisnya plasma nutfah. Sebagai upaya mempertahankan keanekaragaman hayati upaya yang harus dilakukan berupa perlindungan, dan penegakan gakan hukum lingkungan, terutama terhadap berbagai kasus dan ancaman seperti perburuan dan perdagangan satwa langka, serta perambahan hutan/ penebangan liar. Pendahuluan 64 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Keanekaragaman Flora Jawa Barat memiliki keanekaragaman tumbuhan yang tinggi, terdapat 3.882 jenis (spesies) tumbuhan berbunga dan tumbuhan paku asli Jawa Barat dan 258 jenis yang dimasukkan dari luar. Khusus untuk anggrek (Orchidaceae) terapat 607 jenis alami, 302 jenis (50%) hanya ada di Jawa Barat (Van Steenis dalam Backer & Bakhuizen van de Brink, 1965). Menurut Comber (1990) di Jawa Barat terdapat 642 jenis anggrek dan yang hanya terdapat di Jawa Barat 248 jenis. Tumbuhan yang termasuk pohon, di Jawa Barat terdapat 1.106 jenis (Prawira, tbt.) dengan 51 jenis disebut dengan pohon-pohon yang penting, diantaranya jati (Tectona grandis), rasamala (Altingia excelsa), kepuh (Sterculia foetida), jamuju (Podocarpus imbricatus), bayur (Pterospermum javanicum), puspa (Schima wallichii), kosambi (Schleichera oleosa), beleketebe (Sloenea sigun), pasang (Lithocarpus spp.), pedada (Sonneratia alba), bakau (Rhizhopora mucronata), dll. Tipe-tipe vegetasi yang ada di Jawa Barat adalah (Van Steenis, 1965): - Vegetasi litoral, termasuk di sini jenis-jenis tumbuhan lamun seperti setu (Enhalus acoroides), Thalassia hemprichii, dan berbagai jenis alga seperti Gelidium, Gracilaria dan Euchema yang menghasilkan agar-agar - Hutan bakau (mangrove), antara lain bakau (Rhizophora spp.), pedada (Sonneratia spp.), api-api (Avicennia spp.), tarungtung (Lumnitzera littorea). - Formasi pantai antara lain formasi Barringtonia yang ditandai oleh keben (Barringtonia asiatica), ketapang (Terminalia catappa), nyamplung (Calophyllum inophyllum), dll. - Hutan rawa dataran rendah, antara lain reungas (Gluta renghas), bungur (Lagerstroemia spp.), cangkring (Erythrina fusca) dll. - Hutan hujan dataran rendah dan perbukitan. Formasi ini terdapat pada ketinggian di bawah 1500 dpl. (Zona tropis 1-1000 dpl., zona submontana 1000-1500 dpl.). Antara lain berbagai jenis bambu (Bambusa spp., Gigantochloa spp.), mara (Mallotus spp., Macaranga spp.), kareumbi (Omalanthus populneus), dan teureup (Artocarpus elasticus). - Hutan hujan pegunungan (zona Montana) pada ketinggian 1500-2400 m dpl. Antara lain rasamala (Altingia excelsa), pasang (Lithocarpus spp.), saninten (Castanopsis argentea), hamirung (Vernonia arborea), puspa (Schima wallichii), huru (Litsea spp., Phoebe spp.), jamuju (Podocarpus imbricatus), dan kihujan (Engelhardia spp.) dll. Pendahuluan 65 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 - Danau dan rawa pegunungan, tumbuhan rawa seperti Eriocaulon spp., Xyris campestris, dll. Lumut Sphagnum ditemukan di Gunung Gede dan Patuha. - Vegetasi sub alpin, di atas 2400 m dpl. Daerah ini lebih miskin daripada hutan hujan pegunungan, didominasi oleh suku Ericaceae seperti cantigi (Vaccinium spp.), Rhododendron spp., gandapura (Gaultheria spp.), dan jenis-jenis lain yang khas seperti ramo kasang (Schefflera spp.), kiteke (Myrica javanica), jirak (Symplocos sessilifolia) dll. Menurut Van Steenis (1972) terdapat 39 jenis tumbuhan pegunungan yang dikategorikan jarang di Jawa Barat, 18 jenis diantaranya sejauh ini diduga endemik (meskipun ada diantaranya yang ditemukan di tempat lain). Di antara yang endemik tersebut, 11 jenis adalah anggrek (Orchidaceae). Sebelumnya Van Steenis (dalam Backer & Bakhuizen van de Brink, 1965) menyebutkan ada dua jenis yang endemik di Jawa Barat yaitu Heynella lactea (Tjadasmalang) dan Silvorchis colorata (di sekitar Garut). Menurut Van Steenis (dalam Backer & Bakhuizen van de Brink, 1965) di Pulau Jawa, dari 6.543 jenis yang ada, 1.523 jenis (23,4 %) adalah tanaman budidaya, sisanya adalah tumbuhan liar (4.598 jenis) dan tumbuhan asing yang ternaturalisasi (413 jenis). Sebagian dari tumbuhan alami terdapat di kawasan konservasi yaitu hutan lindung, cagar alam, suaka margasatwa dan taman nasional. Di Taman Nasional Gunung GedePangrango terdapat 844 jenis tumbuhan berbunga. Keanekaragaman Fauna Secara umum dunia fauna dapat dikelompokkan ke dalam kelompok: serangga, pisces, amfibi, reptil, aves dan mamalia. Jenis fauna dari kelompok-kelompok tersebut ada yang langsung berhubungan dengan kepentingan manusia yaitu bisa bermanfaat bagi manusia, bersifat hama, disukai untuk dipelihara atau dikonsumsi dan juga fauna dengan status khusus seperti fauna endemik (hanya ditemui di suatu daerah tertentu), langka/hampir punah dan punah. Hal tersebut berlaku juga untuk fauna di Jawa Barat dan pada umumnya akan dilihat berdasarkan bioregion Jawa dan Bali. Kelompok serangga seperti belalang dan jangkerik, biasa dimanfaatkan sebagai sumber makanan burung, reptil dan amfibi. Namun jika populasi jenis belalang tertentu tidak terkendali dapat bersifat hama terhadap tanaman budidaya seperti padi. Kelompok ikan, hingga saat ini diketahui ada 132 jenis ikan air tawar yang tercatat di region Jawa dan Bali, 13 jenis diantaranya adalah jenis endemik. Terjadi kelangkaan Pendahuluan 66 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 dan kepunahan beberapa jenis ikan ‘indigenous’ di daerah aliran Sungai Citarum yang disebabkan karena perubahan habitat dari sungai ke danau/waduk, pencemaran dan ‘overfishing’ yang dilakukan untuk kebutuhan pangan. Jenis ikan yang punah tersebut, yaitu walangi Bagatius yarrelli, dan belut terbesar di dunia Thysoidea macrurus yang ada di beberapa muara di Jawa Barat. Kelompok amfibi dan reptil semakin langka, karena habitat yang tersedia semakin berkurang dan belum satupun dari jenis kelompok ini yang sudah bisa didomestikasi dan dibudidaya. Kelangkaan beberapa spesies kelompok ini terjadi sebagai akibat perburuan oleh manusia untuk dikonsumsi dan dipelihara antara lain seperti katak sawah, katak catang, beberapa jenis ular, biawak, bunglon, kura-kura, dan lain- lain. Beberapa jenis amfibi dan reptil masih sering dijumpai di beberapa daerah di Jawa Barat seperti biawak (disekitar daerah aliran Sungai Citarum dan waduk, danau Sanghyang di Tasikmalaya, dan di Pulau Biawak di Indramayu), kura-kura (di sekitar daerah aliran Sungai Citarum dan waduk, sungai-sungai di daerah Bogor/Sentul) Di Jawa dan Bali tercatat setidaknya 142 jenis reptil dan 36 jenis amfibi. Amfibi di Jawa dan Bali terdapat 42 jenis, termasuk di antaranya 11 jenis amfibi endemik. Jenis amfibi Jawa yang perlu dicatat adalah jenis dari ordo Gymnophiona karena penampakannya sering dikelirukan dengan cacing. Catatan tentang diskripsi dan temuan kedua jenis amfibi, yaitu Ichtyophis javanicus dan Ichtyophis bernisi sejak pertama kalinya belum ada. Kelompok burung di Jawa dan Bali tercatat ada 466 jenis burung, termasuk tiga jenis yang mungkin sudah punah. Tiga jenis burung di Jawa yang dianggap telah punah, satu diantaranya adalah endemik Jawa yaitu trulek Jawa Hoplopterus macropterus, mentok rimba Cairina scutulata dan cucak rawa Pycnonotus zeylanicus. Dari jumlah total jenis burung, Jawa dan Bali merupakan wilayah biogeografi terkaya ketiga setelah Papua (647 jenis) dan Sumatera (605 jenis). Dari sejumlah tersebut 29 jenis di antaranya adalah endemik Jawa dan Bali. Hampir semua jenis burung endemik Jawa dan Bali tersebut hanya dapat dijumpai di hutan-hutan pegunungan, walaupun beberapa di anataranya dahulu mungkin terdapat di dataran rendah pada saat hutan dataran rendah masih ada. Elompok mamalia di Jawa erdapat 137 jenis mammalia daratan, 22 jenis diantanya adalah jenis endemik. Jenis mammalia endemik Jawa yang terkenal adalah surili Presbytis comata, owa jawa Hylobates moloch, babi jawa Sus verrucosus dan rusa jawa Pendahuluan 67 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Cervus timorensis. Penyebaran mammalia terpecah-pecah dalam kantung-kantung hutan yang relatif kecil. Kelangkaan jenis mamalia disebabkan oleh dua faktor utama yaitu aktivitas perburuan dan habitat aslinya terganggu. Salah satu contoh penurunan drastis kelompok ini adalah jarang dijumpainya lagi banteng Bos sondaicus di hutan Sancang (Garut) dan di Pangandaran. Banteng ini sebenarnya sudah lama menjadi maskot di kedua daerah tersebut. Jenis primata endemik Jawa perlu mendapat perhatian khusus yaitu owa jawa Hylobates moloch, lutung jawa Trachypithecus auratus dan surili Presbytis comata. Tiga jenis ini awalnya dikatakan sebagai jenis satwa dataran rendah, karena habitatnya hutan dataran rendah rusak terdesak ke hutan-hutan dataran tinggi. Ketiga jenis primata ini di Indonesia menempati urutan jenis primata yang paling terancam punah. Usaha penangkaran kelompok mamalia yang ada seperti penangkaran rusa di Ranca Upas akan sangat bermanfaat bagi kelestarian spesies ini dan juga bisa dijadikan tempat tujuan wisata dan pendidikan/penelitian. G. Kebencanaan Struktur geologi yang bersifat kompleks menjadikan sebagian wilayah Jawa Barat memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dari ancaman bencana alam. Sumber-sumber potensi penyebab bencana alam di Jawa Barat yang perlu diwaspadai adalah 7 (tujuh) gunung api aktif, 5 (lima) sesar aktif serta aktivitas lempeng tektonik di selatan Jawa Barat. Sumber penyebab bencana lainnya adalah tingginya intensitas curah hujan yang memicu gerakan tanah terutama di wilayah Jawa Barat bagian selatan, serta banjir di wilayah pantai utara dan Cekungan Bandung. Kawasan rawan bencana dapat dilihat pada Gambar 1. 30. Pendahuluan 68 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 GAMBAR 1.30 PETA KAWASAN RAWAN BENCANA Bahaya lingkungan beraspek geologi yang sering terjadi di Jawa Barat antara lain masalah kegempaan, letusan gunungapi dan aliran lahar, longsor (gerakan tanah), perubahan garis pantai dan Erosi tebing sungai. Jawa Barat secara geologi terletak disebelah utara lajur pertemuan dua lempeng aktif yang saling bertumbukan. Kedua lempeng tektonik yang saling bertumbukan tersebut yaitu lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eropa-Asia. Tumbukan ini mengakibatkan Jawa Barat sering merasakan getaran dan di landa gempa bumi tektonik serta letusan gunung api. Bencana gempabumi guncangan tanah menempati urutan pertama sebagai bencana perusak, diikuti oleh gerakan tanah dan pelulukan. Patahan permukaan dan tsunami sangat jarang terjadi disebabkan kekuatan gempabumi di Jawa Barat umumnya lebih kecil dari 6 pada Skala Richter. Gempabumi tektonik Jawa Barat berasal dari dua sumber yakni sumber gempabumi penunjaman dan sumber gempabumi sesar aktif. Bencana dan risiko yang diakibatkan oleh kedua sumber gempabumi tersebut, dikontrol oleh kekuatan gempabumi, kedalaman gempabumi, jarak pusat gempabumi, kondisi geologi, kepadatan penduduk serta infrastruktur. Penyebab terjadinya banjir di wilayah Jawa Barat disebabkan oleh intensitas curah hujan yang tinggi dengan durasi di atas normal sehingga menghasilkan air limpasan yang Pendahuluan 69 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 melebihi daya dukung sistem drainase, perubahan penggunaan lahan yang tidak terkendali serta kondisi geologi dan morfologi lahan. Beberapa wilayah rawan banjir terlihat pada Gambar 2.32 dengan konsentrasi banjir berada di pesisir pantai utara Jawa Barat yang meliputi Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, Cirebon (DAS Cimanuk dan Cipunagara) dan beberapa kecamatan di Cekungan Bandung seperti Kecamatan Majalaya, Ciparay, Banjaran dan Dayeuh Kolot (DAS Citarum), serta Kecamatan Padaherang di Kabupaten Ciamis (DAS Citanduy). Daerah rawan banjir dapat dilihat pada Gambar 1.31. Daerah rawan kejadian angin ribut terdapat secara tidak menetap pada suatu zona yang pasti di Jawa Barat. Umumnya angin ribut terbentuk pada saat terjadi perubahan cuaca yang drastis dan pada daerah tekuk lereng yang memungkinkan terjadinya perubahan tekanan angin. Sebagian wilayah pesisir utara seperti daerah Majalengka dan Purwakarta merupakan daerah yang rawan terhadap potensi bencana angin ribut ini. Daerah rawan bencana gempa bumi merupakan daerah yang memiliki nilai intensitas atau tingkat kerusakan yang sama dihubungkan oleh suatu garis isoseismal. Intensitas yang dipakai ialah Modified mercelli Intensity (MMI), dengan kurun nilai dari I sampai XII. GAMBAR 1.31 PETA SEBARAN DAERAH RAWAN BANJIR Sumber : Dinas Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat Pendahuluan 70 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Bencana gerakan tanah (tanah longsor) merupakan peristiwa alam yang seringkali mengakibatkan banyak kerusakan, baik berupa kerusakan lingkungan maupun kerusakan prasarana dan sarana fisik hasil pembangunan, serta menimbulkan kerugian yang tidak sedikit baik berupa harta benda maupun korban jiwa manusia. Jabar Selatan merupakan salah satu daerah yang sangat rawan terhadap gerakantanah, hampir setiap mengalami bencana gerakantanah dan menimbulkan kerusakan yang cukup besar. Pada umumnya bencana tanah longsor dipicu oleh turunnya curah hujan yang cukup tinggi, disamping kondisi kelerengan lahan yang cukup terjal dan tidak tertutup oleh vegetasi serta sifat batuan atau tanah yang cukup sensitif terhadap kondisi keairan. Secara umum, daerah potensi longsor di Jawa Barat dapat dirangkum seperti terlihat pada tabel 1.21. TABEL 1.21 DAERAH RAWAN LONGSOR No Potensi Longsor 1 Menengah – Tinggi 2 Menengah Lokasi Bogor (Jonggol, Citeureup, Nanggung), Sukabumi (Tegalbeuleud, Cidolog, Sagaranten, Jampang Tengah, Palabuhanratu, Parung Kuda), Cianjur (Pacet, Sukaresmi, Pagelaran, Tanggeung, Kadupandak, Cibinong, Argabintang, Naringgul, Campaka, Cibeber), Bandung (Gununghalu), Garut (Palegong, Cisewu, Pakenjeng, Cisompet), Purwakarta (Wanayasa, Sukatani, Plered), Subang (Sagalaherang), Sumedang (Tomo, Cadasngampar, Paseh, Congeang, Buah Dua, Tanjungkerta, Cibugel), Tasikmalaya (Bantarkalong, Sodonghilir, Cibalong, Taraju, Salawu, Salopa, Cikatomas), Ciamis (Langkaplancar, Tambaksari, Cisaga, Panawangan), Majalengka (Talaga, Maja, Rajagaluh, Argapura, Sukahaji, Majalengka, Bantarujeg), Kuningan (Mandirancan, Cilimus, Subang, Selajambe, Cidahu), Cirebon (Palimanan, Sumber, Karangsembung, Ciwaringin) Bogor (Caringin, Cariu), Sukabumi (Cibadak, Nyalindung), Cianjur (Pacet, Sukaresmi, Pagelaran, Tanggeung, Kadupandak, Cibinong, Argabinta, Naringgul, Campaka, Cibeber), Bandung (Rongga, Cililin, Cipongkor, Parongpong, Pangalengan, Arjasari, Cipatat), Garut (Bungbulang, Bayongbong, Banjarwangi), Purwakarta (Bojong, Jatiluhur), Subang (Cisalak, Cijambe), Sumedang (Wado, Sumedang Selatan), Tasikmalaya (Pager Ageung), Ciamis (Cihaurbeuti), Majalengka (Lemah Sugih), Kuningan (Ciniru, Ciwaru), Cirebon (Beber, Waled, Sedong) Sumber : Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005). Wilayah pantai Selatan Jawa Barat adalah daerah rawan bencana tsunami. Pada tanggal 17 Juli 2006 pada jam 15.19 WIB telah terjadi bencana alam gempabumi dan tsunami di Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Bencana alam tersebut sebagai akibat dari Pendahuluan 71 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 terjadinya gempabumi berkekuatan 6,8 SR yang berdampak pada naiknya air laut setinggi 1 hingga 7 meter. Air laut pasang mengarah ke pantai beradius 500 m ke arah darat. Erosi pada tebing sungai terdapat berupa longsoran dan runtuhan. Umumnya terjadi pada alur sungai yang membelok. Erosi terjadi pada tebing busur luar tikungan yang selalu dihantam oleh kekuatan arus air sungai. Pada daerah dataran lanjutan proses erosi ini membentuk meander. Selain dari itu perbuatan manusia dapat pula mempercepat proses erosi tersebut seperti di sekitar lokasi penambangan batu kali. Seperti terlihat pada sungai Cimandiri di daerah Sukabumi dimana telah mengancam dan menghancurkan rumah penduduk yang berlokasi di tepi sungai. Pengembilan bongkahan batu kali dapat mempercepat arus sungai, sehingga kekuatan arus menghantam tebing lebih kuat dan terjadi lekukan pada kaki tebing sungai. Daerah Jabar Selatan secara geologis rentan terhadap bencana alam pesisir, seperti Tsunami. Walaupun jarang terjadi, namun daya hancurnya yang besar membuatnya harus diperhitungkan. Tsunami umumnya disebabkan oleh gempabumi dasar laut. Sekitar 70% gempabumi tektonik terjadi di dasar laut yang berpotensi menyebabkan tsunami (tsunamigenik). Kriteria terjadinya tsunami adalah magnituda gempa harus lebih besar dari 6 sekala Richter, gerakan kulit bumi ke arah atas (up thrusting) dan kedalaman gempabumi kurang dari 80 kilometer, memiliki topografi dasar laut relatif landai (lebih kecil dari 600). Jarak sumber gempa terhadap pantai di semua kelompok pantai rata-rata kurang dari 300 kilometer, sedangkan kecepatan rambat tsunami mencapai 600-700 kilometer per jam, maka tsunami datang dengan amat cepat. Kurang dari setengah jam setelah gempa mengguncang. Untuk memperkecil resiko tersebut yang perlu dilakukan adalah mengembangkan manajemen bencana alam terutama pada tahap mitigasi bencana yang dikaitkan dengan rencana tata ruang yang didasarkan pada peta rawan bencana alam. 1.5.6 Pemerintahan Dalam rangka meningkatkan kapasitas pelayanan yang dilakukan oleh pemerintahan desa dan kelurahan di Provinsi Jawa Barat, maka sejak tahun 2004-2007 telah terjadi pemekaran desa sebanyak 70 desa, sedangkan pemekaran kelurahan pada kurun waktu yang sama terjadi pemekaran kelurahan sebanyak 18 kelurahan. Selain itu juga terjadi perubahan status desa menjadi kelurahan sebanyak 70 desa. Dengan Pendahuluan 72 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 demikian sampai dengan tahun 2007 jumlah desa/kelurahan di Jawa Barat menjadi 5.863 desa/kelurahan, dengan perincian 5.231 desa dan 632 kelurahan. Permasalahan yang dihadapi dalam aspek pemerintahan dan pembangunan desa antara lain masih rendahnya keterlibatan masyarakat perdesaan dalam kegiatan ekonomi produktif adalah rendahnya kemampuan mengakses kesempatan berusaha; dan berkurangnya kesempatan ekonomi/berusaha. Rendahnya kemampuan mengakses kesempatan berusaha disebabkan oleh terbatasnya kepemilikan produktif, lemahnya sumberdaya modal usaha, terbatasnya pasar dan informasi pasar kurang sempurna/asimetris, serta rendahnya tingkat kewirausahaan social. Sedangkan factor-faktor yang mempengaruhi berkurangnya kesempatan ekonomi/berusaha adalah ketimpangan distribusi kekayaan, dan kecurangan praktek bisnes dan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Di samping itu tingkat partisipasi masyarakat perdesaan dalam penetapan kebijakan masih rendah, hal ini disebabkan kurangnya representasi orang miskin, dan terbatasnya ruang publik. Kurangnya representasi orang miskin disebabkan oleh lemahnya swa-organisasi, kurang berkembangnya kepemimpinan kelompok, dan lemahnya jejaring kaum miskin. Sedangkan factor-faktor yang mempengaruhi terbatasnya ruang publik disebabkan aparat pemerintah yang kurang member ruang partisipasi, elit politik yang tidak responsif, dan tata pemerintahan yang otokratis. 1.6 ISU-ISU STRATEGIS PENATAAN RUANG JAWA BARAT Kondisi Jawa Barat yang penuh dinamika menghadirkan tantangan dan tuntutan yang berbeda dengan wilayah lainnya. Kondisi penduduk yang terus tumbuh, kebutuhan perumahan yang meningkat, penurunan luasan budidaya pangan, ekspansi investasi yang juga memerlukan ruang serta kondisi kebencanaan di wilayah Jawa Barat memunculkan tantangan yang berbeda. Selain itu kebutuhan ruang untuk pengembangan perkotaan dan perdesaan perlu menjadi bahan pemikiran dalam merancang dan membangun ruang Jawa Barat dimasa yang akan datang. Kewenangan provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang adalah pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota, pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis, kerjasama penataan ruang antar provinsi, serta memfasilitasi kerjasama penataan ruang antar kabupaten/kota. RTRWP merupakan penjabaran strategi Pendahuluan 73 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 dan arahan kebijakan penyelenggaraan penataan ruang nasional di wilayah provinsi, yang mengacu kepada pedoman bidang penataan ruang dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), agar tercapai keselarasan dengan rencana pembangunan daerah serta saling melengkapi (komplementer) dengan rencana tata ruang di tingkat nasional dan daerah. Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Dengan kata lain, penataan ruang diharapkan mampu mengharmonisasi lingkungan alami dan buatan, menterpadukan penggunaan sumber daya serta melindungi fungsi ruang demi mencegah dampak negatif yang mungkin diterima lingkungan sebagai akibat dari pemanfaatan ruang. Terdapat beberapa isu stategis yang perlu disikapi dalam penataan ruang Jawa Barat. Isu tersebut meliputi perkembangan global ataupun fenomena global yang perlu disikapi, yaitu ekonomi dunia yang diperkirakan dapat mempengaruhi ataupun dapat menjadi peluang perkembangan ekonomi Jawa Barat baik berupa peluang investasi maupun peluang pasar bagi produk Jawa Barat, kemudian isu global warming yang ternyata sangat menentukan ketahanan hidup suatu bangsa, termasuk mengenai daya dukung lingkungan baik udara, laut, daratan, dan air, yang mempengaruhi iklim setempat dan dunia, termasuk juga sikap Jawa Barat terhadap pemanfaatan industri dan teknologi yang polutif. Isu lainnya meliputi perkembangan penduduk yang walaupun lajunya dapat ditekan namun secara jumlah tetap meningkat cukup tajam dan diperkirakan pada tahun 2029 akan mencapai jumlah 54,1 juta jiwa dengan sebaran sebanyak 81,4% berada di perkotaan. Dampaknya antara lain akan terjadi kecenderungan alih fungsi lahan yang menuju kepada penurunan daya dukung lingkungan. Sehingga, perlu dilakukan optimalisasi penggunaan lahan agar daya dukung lahan, udara, air dan ketersediaan pangan tetap dapat terjaga. Sebaliknya, kualitas dan kuantitas pelayanan prasarana dan sarana, baik yang dasar maupun wilayah, masih rendah. Perkotaan yang tidak dilengkapi dengan fasilitas yang memadai akan mendorong suatu fenomena primate city (kampung besar) dan bukan kehidupan urban yang efisien yang diharapkan sebelumnya. Selain kawasan yang memiliki arti strategis secara nasional, Jawa Barat memiliki lokasi-lokasi yang dipandang strategis dalam skala provinsi. Kawasan tersebut antara lain: wilayah pantai utara yang merupakan kawasan pertanian dan lumbung pangan Jawa Barat dan nasional, wilayah pantai selatan yang merupakan kawasan yang potensial untuk perkebunan dan kawasan konservasi bagi beberapa DAS yang menjadi sumber Pendahuluan 74 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 cadangan air Jawa Barat, 6 (enam) Kawasan Andalan Jawa Barat dengan masing-masing sektor pengembangannya, jalur penghubung antar PKN-PKW yang ada saat ini, serta pengembangan koridor penghubung Cekungan Bandung-Kertajati-Cirebon (Tol Cisumdawu). Beberapa tuntutan yang harus dipenuhi RTRWP Jabar ke depan adalah penyediaan ruang untuk investasi (insfrastruktur dan kawasan strategis), ruang untuk kebutuhan kawasan lindung dan kebutuhan pangan, ruang untuk distribusi penduduk (pengembangan desa dan kota), serta ruang untuk mitigasi bencana. Pengembangan ruang untuk investasi diperlukan dengan pemikiran bahwa investasi merupakan salah satu alat yang dapat digunakan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keamanan wilayah, investasi dan kesejahteraan merupakan suatu rantai yang tak terpisahkan. Keamanan wilayah tidak mungkin terlaksana dengan baik apabila tidak ada iklim investasi, investasi tidak mungkin terjamin jika tidak ada kesejahteraan masyarakat, dan keamanan wilayah tidak mungkin tercapai jika tidak ada percepatan dan penambahan investasi serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan dalam pemanfaatan investasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada pihak-pihak yang berada langsung di lapangan. Ruang untuk kebutuhan mitigasi di landasi kenyataan bahwa Jawa Barat, sebagaimana Pulau Jawa pada umumnya, berada dalam jalur pegunungan berapi aktif yang disebut Ring Of Fire. Selain itu, terdapat beberapa patahan yang melingkupi Metropolitan Bandung yang bila mengalami pergeseran dapat mengakibatkan bencana yang serius. Kemudian, beberapa lokasi di pesisir rawan bencana abrasi dan tsunami, tentunya, serta daerah rawan gerakan tanah yang meliputi hampir seluruh bagian tengah dan selatan Jawa Barat. Merupakan kenyataan bahwa kita hidup di daerah rawan bencana, yang memerlukan kesiapan dan langkah-langkah yang selayaknya menjadi perhatian dalam penataan ruang dan pengembangan wilayah. Pengembangan ruang untuk kebutuhan pangan dan kawasan lindung diperlukan untuk mengantisipasi pertumbuhan penduduk (serta konsekwensi kebutuhan pangan dari pertumbuhan itu) dan mempertahankan daya dukung lingkungan untuk keberlanjutan kehidupan yang nyaman dan produktif dari masyarakat Jawa Barat. Ruang untuk kebutuhan distribusi penduduk didasari pemikiran bahwa pertumbuhan penduduk yang ada perlu diantisipasi dengan kecukupan sarana dan prasarana yang memadai dan tersebar secara berimbang. Pengembangan jaringan jalan dan pengembangan sarana-prasarana umum akan Pendahuluan 75 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 meningkatkan pergerakan orang dan barang serta perekonomian. Namun, perkembangan ini juga akan mendorong perubahan pusat-pusat kegiatan dan pusat pelayanan yang berada dalam jaringan tersebut dan akan menjadi timpang apabila seluruh sumberdaya dipusatkan di perkotaan. Tingkat urbanisasi yang tinggi akan menimbulkan kekosongan tenaga kerja di perdesaan, yang akan memicu terjadinya perkembangan perkotaan ke segala arah (sprawl) dan memicu munculnya kekumuhan di kawasan perkotaan/wilayah padat di perkotaan. Maka, perlu dipertimbangkan bentuk penataan jaringan dan pengembangan pelayanan umum dengan skala perkotaan di perdesaan, yang diharapkan dapat membentuk pusat-pusat ekonomi baru di perdesaan dan menekan urbanisasi yang terjadi karena tekanan ekonomi. Pengembangan fasilitas pelayanan skala kota juga diharapkan menjadi pendorong masyarakat perdesaan untuk tetap berdiam dan berusaha di tempat yang sama. Dengan demikian diharapkan perekonomian perdesaan berkembang dengan menekan kemungkinan terjadinya penyedotan sumberdaya dari perdesaan ke perkotaan. Kemantapan sektor energi yang sudah tercapai perlu terus terjaga dan ditingkatkan sehingga pasokan energi terpeliharaan, kemantapan dan kemandirian energi diperdesaan serta mantapnya kemampuan masyarakat dalam pembangunan energi. Pada bidang Infrastruktur Wilayah, diperlukan pemantapan infrastruktur wilayah yang telah terbangun, dengan tetap memperhatikan kualitas kerjasama pemerintah dengan swasta dan masyarakat, sebagai stakeholder pembangunan. Diperlukan peningkatan kualitas dan kuantitas jaringan infrastruktur transportasi yang handal dan terintegrasi, pengembangan sistem transportasi massal (Mass Rapid Transport), kemantapan pemenuhan kebutuhan air baku untuk berbagai keperluan, kemantapan pengendalian banjir dan kekeringan, ketersediaan jaringan irigasi yang berkelanjutan, kemantapan pelayanan telekomunikasi, pemenuhan kebutuhan air bersih dan sanitasi serta pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat. Penataan ruang Jawa Barat diharapkan dapat mewujudkan pemerataan pembangunan antarwilayah di Jawa Barat, sehingga tidak terdapat lagi daerah tertinggal di seluruh wilayah Jawa Barat. Diharapkan seluruh masyarakat Jawa Barat telah menikmati sarana dan prasarana baik dasar maupun yang bersifat pelayanan wilayah baik di perkotaan maupun perdesaan. Penyelenggaraan Penataan Ruang dituntut dapat dilaksanakan melalui koordinasi yang mantap dan sistematis baik dalam pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang, di semua Pendahuluan tingkat 76 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 pemerintahan (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota) didukung dengan infrastruktur data spasial yang mutakhir. Pada masa yang akan datang, tantangan yang dihadapi dalam pengembangan sarana dan prasarana wilayah di Jawa Barat adalah meningkatkan kualitas dan cakupan pelayanan meliputi pengembangan angkutan umum massal terutama untuk kota-kota yang berpenduduk padat; pengembangan jaringan jalan yang efektif dan efisien, baik berupa jaringan jalan tol maupun non tol yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan utama dalam skala regional dan lokal; pengaturan hierarki peran serta fungsi jaringan transportasi yang lebih baik agar menghasilkan pergerakan yang efisiensi dan efektif; peningkatan pelayanan bandara-bandara yang telah ada dan mengembangkan bandara baru yang lebih tinggi kapasitas layanannya untuk menunjang perkembangan kegiatan perekonomian dan kegiatan-kegiatan lainnya; peningkatan sarana dan prasarana pelabuhan yang ada dan mengembangkan pelabuhan baru; revitalisasi dan pengembangan jaringan jalan rel untuk melayani pergerakan dalam kota dan antarkota; pengembangan infrastruktur penampung air baku, baik yang bersifat alami maupun buatan untuk meminimalisasi terjadinya bencana banjir dan kekeringan; peningkatan layanan jaringan irigasi untuk menjamin keberlanjutan sistem irigasi serta meningkatkan intensitas tanam padi sawah serta menjaga alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis dalam mempertahankan Jawa Barat sebagai lumbung padi; pengembangan jaringan telekomunikasi baik yang menggunakan jaringan kabel maupun nirkabel, terutama pada daerah yang teledensitasnya masih rendah; pengembangan sarana dan prasarana dasar pemukiman, berupa pengembangan rumah susun, meningkatkan cakupan pelayanan air bersih, dan sanitasi lingkungan serta pengembangan pengelolaan sampah yang berskala regional. Tantangan lain yang dihadapi dalam pengembangan sarana dan prasarana wilayah adalah meningkatkan efisiensi dan efiktivitas pengelolaan sarana dan prasarana wilayah antara lain dengan mengoptimalkan kerjasama antara pemerintah dan swasta serta kemampuan lembaga pengelola. Selain itu diperlukan konsistensi yang terjaga antara perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam jangka panjang. Penataan ruang ke depan perlu mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lahan serta kerentanan terhadap bencana alam. Aspek regulasi yang jelas diperlukan agar tidak terjadi konflik pemanfaatan ruang antar sektor. Tantangan lainnya adalah mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah khususnya antara wilayah di perkotaan dan perdesaan Pendahuluan 77 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 khususnya yang berada di Selatan Jawa Barat dan menyeimbangkan Pusat Kegiatan Nasional, Pusat Kegiatan Wilayah dan Pusat Kegiatan Lokal sehingga dapat berkembang secara merata dan optimal. Tantangan aspek pola tata ruang adalah penyediaan kebutuhan lahan untuk kawasan permukiman terutama di kawasan perkotaan dalam kondisi luasan lahan yang ada sangat terbatas karena adanya kawasan lindung yang tidak boleh berubah fungsi dan adanya lahan sawah yang juga harus dipertahankan keberadaannya. Selain itu pengelolaan kawasan perkotaan akan menjadi tantangan tersendiri dalam mengatur aktivitas perkotaan dan memenuhi penyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dengan tetap memperhatikan prinsip pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Tantangan besar yang dihadapi Provinsi Jawa Barat sampai tahun 2029 adalah memulihkan dan menguatkan kembali daya dukung lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan. Bersamaan dengan itu keterlibatan seluruh potensi masyarakat untuk melakukan berbagai penguatan bagi terwujudnya perilaku dan budaya ramah lingkungan serta sadar risiko bencana perlu terus ditumbuhkembangkan. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan dengan prinsip berkelanjutan menjadi tumpuan bagi upaya peningkatan kualitas lingkungan hidup ke depan. Pendayagunaan sumber daya alam harus dilakukan seefektif dan seefisien mungkin, ditopang IPTEK yang memadai sehingga memberikan nilai tambah yang berarti. Jawa Barat dengan keanekaragaman potensi sumber daya alamnya tidak hanya menjadi pengekspor sumber daya alam bernilai rendah dan mengimpornya kembali dalam bentuk produk bernilai tinggi, melainkan harus menjadi pengekspor sumber daya alam yang telah diolah dan bernilai tinggi. Pembiayaan penataan lingkungan merupakan aspek penting yang selama ini sulit dilaksanakan karena terkait kerja sama dan komitmen antarpihak atau antar daerah. Penerapan prinsip yang mencemari dan merusak harus membayar, pola pembagian peran hulu hilir atau pusat-daerah, bagi hasil pajak untuk lingkungan, dana lingkungan, serta pola pembiayaan pemulihan lingkungan harus mulai dilakukan. Pengawasan secara berkesinambungan dan penegakan hukum secara konsisten adalah sasaran dalam rangka pemulihan daya dukung lingkungan lebih maksimal. Pemahaman risiko bencana harus mulai diintegrasikan pada proses pembangunan ke depan, guna meminimalisasi risiko dan kerugian yang mungkin timbul atas hasil pembangunan yang dicapai. Pendahuluan 78 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Pada masa yang akan datang, tantangan yang dihadapi dalam pengembangan sarana dan prasarana wilayah di Jawa Barat adalah meningkatkan kualitas dan cakupan pelayanan meliputi pengembangan angkutan umum massal terutama untuk kota-kota yang berpenduduk padat; pengembangan jaringan jalan yang efektif dan efisien, baik berupa jaringan jalan tol maupun non tol yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan utama dalam skala regional dan lokal; pengaturan hierarki peran serta fungsi jaringan transportasi yang lebih baik agar menghasilkan pergerakan yang efisiensi dan efektif; peningkatan pelayanan bandar udara yang telah ada dan mengembangkan bandar udara baru yang lebih tinggi kapasitas layanannya untuk menunjang perkembangan kegiatan perekonomian dan kegiatan-kegiatan lainnya; peningkatan sarana dan prasarana pelabuhan yang ada dan mengembangkan pelabuhan baru; revitalisasi dan pengembangan jaringan jalan rel untuk melayani pergerakan dalam kota dan antarkota; pengembangan infrastruktur penampung air baku, baik yang bersifat alami maupun buatan untuk meminimalisasi terjadinya bencana banjir dan kekeringan; peningkatan layanan jaringan irigasi untuk menjamin keberlanjutan sistem irigasi serta meningkatkan intensitas tanam padi sawah serta menjaga alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis dalam mempertahankan Jawa Barat sebagai lumbung padi; pengembangan jaringan telekomunikasi baik yang menggunakan jaringan kabel maupun nirkabel, terutama pada daerah yang teledensitasnya masih rendah; pengembangan sarana dan prasarana dasar pemukiman, berupa pengembangan rumah susun, meningkatkan cakupan pelayanan air bersih, dan sanitasi lingkungan serta pengembangan pengelolaan sampah yang berskala regional. Tantangan lain yang dihadapi dalam pengembangan sarana dan prasarana wilayah adalah meningkatkan efisiensi dan efiktivitas pengelolaan sarana dan prasarana wilayah antara lain dengan mengoptimalkan kerjasama antara pemerintah dan swasta serta kemampuan lembaga pengelola. Hal penting lainnya adalah bagaimana mewujudkan ruang Jawa Barat yang berdaya saing bagi investor dan investasi yang layak dan penting dikembangkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jawa Barat. Dalam hal ini penting mempertimbangkan posisi Jawa Barat dalam persaingan lokal, regional maupun global. Kemampuan wilayah untuk bersaing dalam kompetisi global akan sangat mempengaruhi kemajuan ekonomi wilayah secara umum. Daya saing ini bukan hanya daya saing sebagai pasar namun juga daya saing sebagai wilayah investasi dan produsen. Secara kasat mata Jawa barat memang merupakan potensi pasar yang meyakinkan bila dipandang dari Pendahuluan 79 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 besarnya jumlah penduduk. Namun perlu juga disadari pentingnya menjadikan wilayah tersebut memiliki daya tarik ekonomi untuk mendayagunakan potensi yang dimiliki untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. 1.7 KINERJA PENATAAN RUANG JAWA BARAT 1.7.1 Kinerja Struktur Ruang 1.7.1.1 Sistem Perkotaan Sistem perkotaan di Jawa Barat terdiri dari Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan Pusat Kegiatan Wilayah (PKW). PKN merupakan kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai : Simpul utama kegiatan ekspor-impor atau pintu gerbang menuju kawasan internasional Pusat kegiatan industri dan jasa skala nasional atau yang melayani beberapa provinsi Simpul utama transportasi skala nasional atau melayani beberapa provinsi Sedangkan PKW merupakan kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai: Simpul kedua kegiatan ekspor-impor yang mendukung PKN Pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota Simpul transportasi yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota Berdasarkan fungsi tersebut, maka kinerja PKN dan PKW antara lain dinilai berdasarkan ketersediaan prasarana dan sarana yang mendukung terwujudnya fungsifungsi diatas, yaitu bandara, pelabuhan, terminal, angkutan, dan infrastruktur yang bersifat regional seperti TPA, pasar induk, rumah sakit, perguruan tinggi dan pengolahan limbah. Penilaian terhadap kinerja PKN dan PKW telah dilakukan pada evaluasi RTRWP Jawa Barat 2010 yang dilakukan pada tahun 2007, dapat dilihat pada Tabel 1.22. TABEL 1.22 EVALUASI KINERJA PKN DAN PKW Sistem Perkotaan PKN Bodebek Rumah sakit tipe A Terminal regional tipe A TPA regional Lokasi Kab. Bekasi Kota Bogor, Kab. Bekasi Bekasi/Bogor Kinerja Tinggi Masukan untuk Revisi RTRWP Fungsi PKN sudah dipenuhi Penekanan pada pengendalian perkembangan kawasan perkotaan Pendahuluan 80 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Sistem Perkotaan Lokasi Kinerja Masukan untuk Revisi RTRWP Penekanan pada peningkatan kualitas pelayanan infrastruktur, bukan pada pembangunan infrastruktur baru PKN Metropolitan Bandung Angkutan massal Bandara IPLT Terminal terpadu TPA regional PKN Cirebon Bandara IPLT Pasar induk regional Pelabuhan laut nasional Perguruan tinggi Rumah sakit tipe A Terminal tipe A TPA PKW Palabuhanratu PKW Tasikmalaya IPLT Pasar induk regional Pelabuhan pengumpan Perguruan Tinggi Rumah sakit tipe B Terminal tipe B TPA regional Bandara sekunder IPLT Pasar induk regional Terminal tipe B TPA PKW Sukabumi IPLT Terminal agribisnis TPA regional Metropolitan Bandung Kota Bandung Kota Bandung Gede Bage, Kota Bandung Pasir durung, Cicalengka Penggung, Kota Cirebon Palimanan, Kab. Cirebon Kabupaten Cirebon Kota Cirebon Sedang Sedang Kota Cirebon Kota Cirebon Harjamukti, Kota Cirebon Palimanan, Kab. Cirebon Cisaat, Palabuhanratu Palabuhanratu Palabuhanratu Rendah Palabuhanratu Palabuhanratu Palabuhanratu Palabuhanratu Cibereum, Tasikmalaya Kab. Tasikmalaya Kab./Kota Tasikmalaya Kota Tasikmalaya Kec. Mangunrejo, Tasikmalaya Sedang Cianjur Cipanas, Cianjur Sukanagara - Cianjur Rendah Mengoptimalkan infrastruktur yang telah ada dengan peningkatan kualitas pelayanan Mengimplementasiken pembangunan terminal terpadu dan TPA regional dengan skala pelayanan setara PKN Infrastruktur yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsinya sebagai PKN telah tersedia, tetapi pelayanannya masih pd skala lokal Revisi RTRWP Jawa Barat perlu menekankan pada peningkatan kualitas dan memperluas skala pelayanan infrastruktur di PKN Cirebon Infrastruktur belum memenuhi utk menjalankan fungsi sbg PKW Penekanan pada revisi RTRWP adalah pada realisasi pembangunan infrastruktur regional di Palabuhanratu untuk memantapkan fungsi sebagai PKW Infrastruktur skala regional yang belum tersedia adalah pasar induk & TPA regional. Revisi RTRW ditujukan untuk merealisasikan pembangunan infrastruktur yang belum terjadi, sekaligus meningkatkan kualitas & skala pelayanan setara fungsi PKW Sebelumnya adalah PKW Sukabumi-Cianjur, dalam RTRWN diubah menjadi PKW Sukabumi Sukabumi belum memiliki infrastruktur yang memadai untuk menjalankan fungsi sebagai PKW karena infrastruktur yang ada berlokasi di Cianjur Revisi RTRWP diharapkan dapat menekankan pembangunan infrastruktur di Sukabumi untuk mendukung fungsi sebagai PKW Pendahuluan 81 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Sistem Perkotaan PKW Pangandaran PKW Cikampek Cikopo PKW Kadipaten Lokasi Bandara IPLT Pelabuhan pengumpan Rumah sakit tipe B Terminal tipe B TPA regional Pangandaran Pangandaran Pangandaran IPLT Cikampek - Cikopo Pasar induk Cikampek - Cikopo Pelabuhan udara Perguruan Tinggi Rumah sakit tipe B Terminal tipe B TPA regional Bandara IPLT Rumah sakit tipe B Terminal tipe B TPA regional Cikampek Cikampek Cikampek Cikampek Cikampek Kadipaten Kadipaten Kadipaten Kadipaten Kadipaten Kinerja Rendah Pangandaran Pangandaran Pangandaran Rendah Cikopo Cikopo Cikopo Cikopo Cikopo Rendah Masukan untuk Revisi RTRWP Pangandaran belum memiliki infrastruktur yang memadai untuk menjalankan fungsi sebagai PKW Revisi RTRWP diharapkan dapat menekankan pembangunan infrastruktur di Pangandaran untuk mendukung fungsi sebagai PKW Cikampek-Cikopo merupakan kawasan yang cepat berkembang, tetapi dalam fungsinya sebagai PKW, kawasan ini belum memiliki infrastruktur yang memadai Revisi RTRWP diharapkan dapat menekankan pembangunan infrastruktur di kawasan Cikampek-Cikopo untuk mendukung fungsi sebagai PKW Kadipaten belum memiliki infrastruktur yang memadai untuk menjalankan fungsi sebagai PKW Revisi RTRWP diharapkan dapat menekankan pembangunan infrastruktur di Kadipaten untuk mendukung fungsi sebagai PKW Sumber: Evaluasi RTRWP Jawa Barat, 2007 dan Hasil Analisis, 2008 1.7.1.2 Infrastruktur Wilayah Infrastruktur wilayah merupakan aspek penting dalam pembangunan wilayah baik dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi maupun kehidupan sosial masyarakat wilayah tersebut. Adapun fungsi dan peranan prasarana wilayah dalam pembangunan adalah sebagai pengarah pembentukan struktur tata ruang, pemenuhan kebutuhan wilayah, pemacu pertumbuhan suatu wilayah, dan pengikat wilayah (alat interaksi antar dan intra wilayah). Infrastruktur wilayah terbagi atas infrastruktur jalan dan perhubungan, infrastruktur sumberdaya air dan irigasi, infrastruktur energi, infrastruktur telekomunikasi, dan infrastruktur permukiman. a. Infrastruktur Jalan dan Perhubungan Salah satu indikator tingkat keberhasilan penanganan infrastruktur jalan adalah meningkatnya tingkat kemantapan dan kondisi jalan. Pada kurun waktu tahun 2003 2007, tingkat kemantapan jaringan jalan provinsi sepanjang 2.199,18 km telah meningkat dari 85,17% menjadi 87,31%. Dengan tingkat kemantapan sebesar 87,31% tersebut, 64,36% dari panjang jaringan jalan provinsi berada pada kondisi sedang. Hal ini Pendahuluan 82 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 disebabkan karena sudah habisnya umur rencana jalan pada sebagian besar ruas jalan provinsi sehingga kondisi struktur jalan menjadi labil. Rendahnya tingkat kemantapan jalan ini juga disebabkan oleh tingginya frekuensi bencana alam serta beban lalu lintas yang sering melebihi standar muatan sumbu terberat (MST). Selain itu, kurangnya jaringan jalan tol, serta belum terintegrasinya seluruh jaringan jalan di Jawa Barat dengan baik termasuk dengan sistem jaringan jalan tol, menyebabkan rendahnya kualitas dan cakupan pelayanan infrastuktur jaringan jalan di Jawa Barat. Kondisi infrastruktur jalan dan perhubungan lainnya, diperlihatkan dengan kurangnya ketersediaan perlengkapan jalan dan fasilitas lalu lintas seperti rambu, marka, pengaman jalan, terminal, dan jembatan timbang, serta belum optimalnya kondisi dan penataan sistem hirarki terminal sebagai tempat pertukaran moda, menyebabkan rendahnya kelancaran, ketertiban, keamanan serta pengawasan pergerakan lalu lintas. Demikian pula halnya dengan pelayanan angkutan massal seperti kereta api dan bis, masih belum optimal mengingat infrastruktur jalan dan perhubungan yang tersedia belum mampu mengakomodir jumlah pergerakan yang terjadi khususnya pergerakan di wilayah tengah Jawa Barat. Keberadaan bandar udara di Jawa Barat masih belum memadai untuk menampung demand yang ada. Bandara Husein Sastranegara dan beberapa bandara perintis lainnya belum dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk menampung kebutuhan penumpang dan kargo baik domestik maupun internasional. Keberadaan pelabuhan laut di Jawa Barat masih belum memadai untuk menampung demand yang ada. Pelabuhan Laut Cirebon sebagai pelabuhan terbesar yang dimiliki Provinsi Jawa Barat saat ini hanya difungsikan sebagai pelabuhan niaga saja akibat kondisi fisik pelabuhan dan fasilitas yang kurang memadai serta adanya keterbatasan pengembangan karena kondisi alam yang tidak mendukung. Selain itu beberapa pelabuhan laut lain yang ada di Jawa Barat hanya berfungsi sebagai pelabuhan transit dan pelabuhan ikan saja karena kapasitas pelabuhan yang tidak memadai. b. Infrastruktur Sumberdaya Air dan Irigasi Kondisi infrastruktur sumber daya air dan irigasi yang mendukung upaya konservasi, pendayagunaan sumber daya air, pengendalian daya rusak air, keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air dan sistem informasi sumber daya air dirasakan masih belum memadai. Potensi sumber daya air di Jawa Barat yang besar Pendahuluan 83 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang kegiatan pertanian, industri, dan kebutuhan domestik. Bencana banjir dan kekeringan juga masih terus terjadi antara lain akibat menurunnya kapasitas infrastruktur sumber daya air dan daya dukung lingkungan serta tersumbatnya muara sungai karena sedimentasi yang tinggi. Selain itu, kondisi jaringan irigasi juga belum memadai, walaupun dari tahun 2003 - 2008 jaringan irigasi dalam kondisi rusak berat dan ringan telah berkurang dari sekitar 74% menjadi 51%. Demikian pula halnya dengan intensitas tanam padi pada daerah irigasi yang dikelola Pemerintah Provinsi Jawa Barat dirasakan masih belum optimal, walaupun dalam kurun waktu tersebut telah meningkat dari 182% menjadi 190%. Kinerja pengelolaan jaringan irigasi dapat dilihat pada Tabel 1.23. TABEL 1.23 KINERJA PENGELOLAAN JARINGAN IRIGASI KEWENANGAN PROVINSI URAIAN TAHUN 2003 2004 2005 2006 2007 2008 74 74 74 84 84 86 182 184 185 187 190 192 74 65 51 49 46 51 Jumlah daerah irigasi (DI) Prov (buah) Intensitas tanam (%) Jaringan irigasi yang rusak (%) c. Infrastruktur Energi dan Kelistrikan Tingkat keberhasilan penanganan listrik dapat dilihat dari rasio elektrifikasi desa dan rumah tangga. Sampai pertengahan tahun 2008, telah terjadi peningkatan rasio elektrifikasi rumah tangga dari 57,73% pada tahun 2006 menjadi 62% pada pertengahan tahun 2008, yang artinya dari 11.011.044 rumah tangga baru sekitar 6.826.847 rumah tangga yang telah mendapatkan aliran listrik yang bersumber dari PLN dan non PLN. Sedangkan untuk listrik perdesaan, cakupan desa yang sudah mendapatkan tenaga listrik pada pertengahan tahun 2008 hampir mencapai 100%, dimana hanya tinggal 6 desa yang belum memiliki infrastruktur listrik yaitu sebanyak 2 desa di Kabupaten Garut dan 4 desa di Kabupaten Cianjur. Peningkatan rasio elektrifikasi perdesaan masih terus diupayakan untuk mewujudkan Jabar Caang pada tahun 2010, sedangkan peningkatan rasio elektrifikasi rumah tangga terus diupayakan baik melalui pembangunan jaringan Pendahuluan 84 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 listrik yang bersumber dari PLN, maupun penyediaan sumber-sumber energi alternatif seperti Pembangkit Listrik Tenaga (PLT) mikro hidro, surya, dan angin. d. Infrastruktur Telekomunikasi Cakupan layanan infrastruktur telekomunikasi belum bisa menjangkau setiap pelosok wilayah, dicirikan dengan adanya beberapa wilayah yang belum terlayani. Khusus untuk layanan jasa telepon kabel, beberapa daerah perkotaan pada tahun 2005 angka teledensitasnya sudah tinggi (>10), sedangkan untuk daerah kabupaten kondisi teledensitasnya masih rendah, terutama untuk jaringan telekomunikasi perdesaan. Lambatnya pertumbuhan pembangunan sambungan tetap tersebut salah satunya disebabkan oleh bergesernya fokus bisnis penyelenggara kepada pengembangan telekomunikasi bergerak (selular). Untuk pengembangan jaringan telekomunikasi perdesaan saat ini telah dilakukan berbagai upaya salah satunya melalui program Kemampuan Pelayanan Universal (KPU)/Universal Service Obligation (USO) yang digagas oleh pemerintah pusat. e. Infrastruktur Permukiman Kekurangan penyediaan perumahan (backlog) pada tahun 2007 sebesar 980.000 unit dan diperkirakan akan mencapai 1,164 juta unit pada tahun 2013. Selain itu, terdapat pula 1.035 kawasan kumuh dengan luas sekitar 25.875 ha yang umumnya terdapat di wilayah perkotaan dan permukiman nelayan. Tingginya backlog rumah dan kawasan kumuh di perkotaan disebabkan oleh terbatasnya sumber pembiayaan yang berpihak pada masyarakat berpenghasilan rendah dan belum seimbangnya pembangunan di perkotaan dan perdesaan sehingga sulit untuk mengendalikan migrasi penduduk khususnya ke kota-kota besar. Selama kurun waktu 2003 - 2007, penanganan perumahan difokuskan pada upaya untuk mendorong pembangunan rumah susun di kota-kota metropolitan, pengembangan kasiba/lisiba serta penataan kawasan kumuh di perkotaan dan permukiman nelayan melalui kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Upaya ini dirasakan telah cukup mampu untuk mendorong penyediaan rumah yang layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah, peningkatan kualitas lingkungan perumahan oleh masyarakat, serta pengembangan kawasan permukiman baru yang lebih tertata. Namun demikian, percepatan pembangunan rumah layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah perlu segera dilakukan dan pelibatan masyarakat serta dunia Pendahuluan 85 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 usaha dalam pengembangan perumahan di Jawa Barat perlu terus ditingkatkan. Di samping itu, implementasi pengembangan kasiba/lisiba di daerah masih cukup rendah sehingga upaya-upaya untuk mendorong percepatan pengembangan kasiba/lisiba sangat diperlukan. Pemenuhan perumahan dan permukiman yang “mandiri” dan “produktif” merupakan arah kebijakan pembangunan perumahan permukiman di Jawa Barat yang berarti bahwa mandiri adalah mendorong masyarakat untuk berpartisipasi penuh, memberdayakan masyarakat untuk dapat meningkatkan potensi sumberdayanya dalam menciptakan perumahan yang layak huni, serta produktif berarti mendorong rumah sebagai sarana pendidikan keluarga, persemaian budaya dan pengembangan ekonomi serta mendukung pembangunan berawasan lingkungan yang mengacu pada tata ruang dan budaya lokal. Skema penanganan perumahan permukiman yang mandiri dan produktif dilakukan dengan skema pembangunan baru secara formal (oleh pengembang) dan swadaya masyarakat (oleh masyarakat) serta skema perbaikan rumah dan lingkungan untuk masyarakat berpenghasilan rendah terutama di kawasan kumuh. Kondisi infrastruktur permukiman masih belum memadai. Pada tahun 2007 rumah tangga yang menggunakan sumber air minum yang berasal dari air kemasan/ ledeng/pompa sebesar 45,32%. Rendahnya cakupan pelayanan air minum disebabkan oleh masih tingginya angka kebocoran air (rata-rata 38%), terbatasnya sumber air baku khususnya di wilayah perkotaan, tarif/retribusi air yang belum berorientasi pada cost recovery, masih rendahnya partisipasi masyarakat dan swasta dalam pembangunan sarana dan prasarana air minum, serta terbatasnya sumber dana yang dimiliki oleh pemerintah. Selama periode 2003-2007, peningkatan cakupan pelayanan air minum difokuskan pada masyarakat miskin di wilayah Pantura dan perdesaan melalui kerjasama antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Strategi penyediaan air minum berbasis masyarakat ini dirasakan telah cukup mampu mendorong peningkatan cakupan pelayanan dan keberlanjutan sarana dan prasarana air minum yang telah dibangun. Pengembangan kebijakan air minum diarahkan pada peningkatan cakupan dan kualitas, meningkatkan alokasi pendanaan, memperkuat fungsi kelembagaan dan peraturan perundang undangan, meningkatkan pengelolaan air baku serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengembangan pembangunan air minum. Dalam mengembangkan sistem pelayanan terhadap air minum dilakukan melalui strategi pengembangan sistem penyediaan air minum perkotaan dan perdesaaan serta penanganan terhadap bencana selain itu juga adalah optimalisasi jaringan air minum. Pendahuluan 86 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 Untuk aspek persampahan, tingkat pelayanan persampahan di Jawa Barat secara umum masih sangat rendah. Cakupan pelayanan persampahan hingga akhir tahun 2007 sebesar 53% dan sekitar 90% pengolahan sampah di TPA masih dilakukan secara open dumping. Selain itu kondisi sarana angkutan persampahan masih belum memadai. Untuk wilayah Metropolitan Bandung dan Kabupaten/Kota Bogor-Kota Depok, pengelolaan sampah direncanakan akan dilakukan secara regional melalui Tempat Pemrosesan Akhir Regional Leuwigajah, Legoknangka, dan Nambo serta akan dikelola oleh Pusat Pengelolaan Persampahan Jawa Barat (P3JB). Namun demikian, hingga akhir tahun 2007, TPA Leuwigajah belum dapat berfungsi karena masih menghadapi permasalahan sosial dan teknis operasional pasca bencana longsor, sedangkan TPA Legoknangka baru sampai tahap kelayakan teknis, lingkungan, dan sosial. Oleh karena itu, dalam jangka pendek, permasalahan TPA sampah di Metropolitan Bandung masih mengandalkan Tempat Pengolahan Kompos Sarimukti sampai dengan tahun 2010. Sedangkan untuk TPA Nambo hingga saat ini masih mencapai tahap pembebasan lahan untuk jalan akses, sehingga untuk sementara sampai dengan tahun 2010 pengelolaan sampah di Kabupaten/Kota Bogor-Kota Depok masih dilakukan di TPA masing-masing kabupaten/kota. Selama kurun waktu 2003-2007, telah dilakukan upaya untuk pembangunan TPA dan penyediaan sarana dan prasarana pendukungnya, namun upaya-upaya untuk mengurangi volume sampah dan mengolah sampah menjadi kompos belum mendapatkan perhatian khusus. Oleh karena itu, kedepan pembangunan TPA serta sarana dan prasarana pendukungnya perlu pula ditunjang dengan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengurangan timbulan sampah. Tingkat pelayanan pengelolaan limbah domestik hingga akhir tahun 2007 masih sangat rendah. Terdapat 49,01% rumah tangga yang menggunakan tangki/septik tank sebagai tempat pembuangan tinja dan sisanya menggunakan kolam/ sawah/ kebun/ sungai/ lubang tanah/lainnya. Kondisi prasarana pengelolaan limbah domestik, menunjukkan bahwa dari 17 unit Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) hanya 11 unit yang beroperasi dengan baik dan baru 4 kabupaten/kota yang memiliki sistem penyaluran air limbah domestik perkotaan yaitu Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Bogor, dan Cirebon. Pendahuluan 87 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 1.7.2 Kinerja Pola Ruang 1.7.2.1 Kawasan Lindung Kinerja kawasan lindung dicermati dari perbandingan antara persentase luas kawasan lindung eksisiting dan yang ditetapkan berdasarkan kriteria dalam RTRWP 2010. Data kesesuaian tutupan lahan tahun 2005 terhadap fungsi kawasan lindung menurut RTRWP 2010 dapat dilihat pada Tabel 1.24. Ketidaksesuaian dalam tutupan lahan di hutan konservasi mencapai 0,7%. Persentase ketidaksesuaian yang lebih tinggi ditunjukkan oleh hutan lindung yang penyimpangannya mencapai 5,9% dari total yang ditetapkan oleh RTRWP sebesar 15,1%. Berbeda dengan hutan konservasi dan lindung yang memiliki ketidaksesuaian yang besar, kawasan lindung non hutan mencapai kategori kurang sesuai sebesar 14,8%. Total kawasan lindung yang kurang sesuai dengan RTRWP adalah sebesar 14,8%, sementara itu yang tidak sesuai adalah sebesar 6,7%. Dengan demikian, capaian kawasan lindung sampai tahun 2005 sebesar 27,5% yang terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung, dan kawasan lindung non hutan. Kondisi ini berarti kawasan lindung eksisting telah melebihi target yang ditetapkan dalam RTRWP Jawa Barat, yaitu 21%. TABEL 1.24 KESESUAIAN ORIENTASI TUTUPAN LAHAN 2005 TERHADAP FUNGSI PER KAWASAN LINDUNG RTRWP JAWA BARAT 2010 Kesesuaian Sesuai Kurang Sesuai Tidak Sesuai Total Kawasan Lindung Hutan % % Lindung Hutan Konservasi Non Hutan % 106.892,8 2,9% 340.320,1 9,2% 571.756,4 15,4% - 0,0% - 0,0% 548.810,9 14,8% 25.173,6 0,7% 219.114,0 5,9% 2.135,9 0,1% 132.066,4 3,6% 559.434,1 15,1% 1.122.703,2 41,4% Sumber: Kajian, 2007 Pencapaian luasan kawasan lindung yang melebihi target dikarenakan adanya program yang difokuskan untuk mendukung kinerja kawasan lindung. Program tersebut berasal dari pemerintah pusat melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang dimulai sejak tahun 2004 sampai tahun 2008 sedangkan program dari APBD adalah Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) yang dimulai sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2008. Berdasarkan hasil evaluasi menunjukan bahwa terjadi Pendahuluan 88 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 penurunan lahan kritis dari 580.397 ha pada tahun 2003 menjadi 240.910,51 ha pada tahun 2007. Disamping itu Program Pengelolaan Kawasan Lindung merupakan program prioritas Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam mendukung pencapaian Kawasan Lindung. Perubahan status lahan di beberapa kawasan lindung juga berpengaruh terhadap keberhasilan target luasan kawasan lindung. Tabel 1.25 menunjukan beberapa kawasan yang telah meningkatkan status fungsinya. TABEL 1.25 PERUBAHAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN Lokasi Status/Fungsi Semula Menjadi Luas (Ha) Tahura G. Kunci Sumedang Hutan produksi terbatas Hutan lindung 3,3 Taman Nasional Halimun-Salak HL, HP dan HPT HK 113.357 Taman Nasional G. Gede Pangrango HP dan HPT HK 21.975 Taman Nasional G. Ciremai HP dan HL HK 15.500 Catatan : HL= hutan lindung HP= hutan produksi HPT= hutan produksi terbatas 1.7.2.2 Kawasan Budidaya Sawah Lahan sawah di Jawa Barat mendapat tekanan perubahan yang besar untuk pengembangan kegiatan industri. Alih fungsi terjadi pada lahan beririgasi teknis di Kabupaten Subang, Bekasi dan Karawang menjadi dialihkan untuk mendukung pengembangan kegiatan industri. Lahan pertanian juga dinilai memiliki kelayakan ekonomi yang rendah dibandingkan kegiatan jasa dan industri. Hal ini terjadi di Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu dan Kabupaten Bandung. Kelayakan ekonomi yang rendah ini disebutkan karena lahan sawah dinilai kurang elastis jika dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Dengan berkurangnya luasan lahan sawah beririgasi teknis maka lahan sawah yang lebih produktif juga berkurang. Hal ini menyebabkan penurunan kinerja untuk kawasan sawah. Walaupun luasan pada lahan sawah dengan irigasi sederhana dan tadah hujan meningkat, namun hal tersebut tidak dengan serta merta meningkatkan kinerja lahan sawah. Pertama, irigasi sederhana biasanya terhambat batasan desa untuk Pendahuluan 89 MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 pengelolaan dan penggunaannya. Kedua, lahan sawah tadah hujan sangat tergantung pada musim untuk memulai masa tanamnya. Untuk itu, lahan sawah yang menggunakan dua sistem irigasi diatas tidak akan seproduktif lahan sawah dengan irigasi teknis. Kebutuhan terhadap lahan nonsawah jelas memberikan tekanan yang besar terhadap alih fungsi ini. Dengan meningkatnya penduduk dan aktivitas, kebutuhan terhadap lahan untuk permukiman dan industri semakin besar. Faktor lain yang juga sering diungkapkan adalah rata-rata kepemilikan lahan yang berkurang, sehingga usaha tani menjadi kurang prospektif lagi. Minat generasi muda untuk menggeluti usaha pertaian juga menurun. Dengan melihat ketetapan menurut RTRWP bahwa luas lahan sawah harus dipertahankan keberadaannya sebesar 766.218,57 Ha, maka dapat diamati bahwa terjadi penurunan luas lahan sawah sebesar 2% atau 15.217 Ha (2001-2005). Pendahuluan 90