JUDUL : PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) Revitalisasi Pendidikan Agama Hindu untuk Menciptakan Generasi yang Ilmiah dan Religius PENULIS : Pemakalah Seminar Nasional Agama dan Budaya (Semaya II) Tahun 2016 PENANGGUNG JAWAB : Dr. Drs. I Nyoman Linggih, M.Si (Dekan Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar) EDITOR : Dr. I Ketut Sudarsana, S.Ag., M.Pd.H PENYUNTING : Dr. Ni Komang Sutriyanti, S.Ag., M.Pd.H I Putu Suweka Oka Sugiharta, S.Pd.H I Made Arsa Wiguna, S.ST.Par., M.Pd.H I Nyoman Subagia, S.Ag.,M.Ag DESAIN SAMPUL: I Dewa Gede Rat Dwiyana Putra, M.Pd FOTO PADA SAMPUL: I Dewa Gede Rat Dwiyana Putra, M.Pd PENERBIT : Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar bekerjasama dengan Jayapangus Press REDAKSI : Jl. Ratna No.51 Denpasar -BALI Telp. (0361) 226656 Fax. (0361) 226656 Email: [email protected] Website: www.jayapanguspress.org ISBN : 978-602-71567-6-0 i | PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) KATA SAMBUTAN Om Swastyastu, Atas Asung Kertha Wara Nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, Fakultas Dharma Acarya khususnya Jurusan Pendidikan Agama Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar sangat bersyukur karena hasil Seminar Nasional Agama dan Budaya (Semaya II) dengan tema “Revitalisasi Pendidikan Agama Hindu untuk Menciptakan Generasi yang Ilmiah dan Religius” yang diselenggarakan pada tanggal 19 Oktober 2016 di Auditorium Kampus Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, Jalan Ratna No. 51 telah diterbitkan dalam Buku Prosiding. Buku Prosiding ini memuat seluruh artikel yang dibahas pada Seminar Nasional yang dihadiri tidak hanya oleh mahasiswa dan dosen-dosen di lingkungan Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, tetapi juga dihadiri oleh praktisi Agama dan Budaya, para intelektual dari berbagai institusi, para alumni IHDN serta yang lainnya. Masalah-masalah yang dibahas semua berkaitan dengan strategi dan metode pembelajaran dalam proses membangun generasi ilmiah dan religius. Semoga Buku Prosiding ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu solusi untuk memecahkan masalah pendidikan sehingga semua harapan dapat terwujud. Pada kesempatan ini izinkan saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya acara Seminar Nasional di Jurusan Pendidikan Agama Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar sampai diterbitkannya semua hasil seminar dalam bentuk Buku Prosiding. Om Santih, Santih, Santih Om Denpasar, 19 Oktober 2016 Dekan Fakultas Dharma Acarya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Dr. Drs. I Nyoman Linggih, M.Si NIP. 19561231 197903 1 037 ii | PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………………….i KATA SAMBUTAN…………………………………………………………………………….ii DAFTAR ISI…………………………………………………………………………...……….iii PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN KARAKTER I Ketut Widnya…………………………………………………………………………………1 PERAN PENDIDIKAN DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER Ida Bagus Gede Subawa…………………………………………………………………..13 MELIHAT KEMBALI METODE PENDIDIKAN HINDU KUNO : REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU MENUJU GENERASI GEMILANG Agus Indra Udayana………………………………………………………………………..18 REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI YANG ILMIAH DAN RELIGIUS I Gusti Made Ngurah……………………………………………………………………….23 KESEIMBANGAN PENGAJARAN PARAVIDYA DAN APARAVIDYA SEBAGAI UPAYA REVITALISASI PENDIDIKAN HINDU UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI MASA DEPAN YANG ILMIAH DAN RELIGIUS I Ketut Donder……………………………………………………………………………….39 PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI PEMBELAJARAN ICT Ni Ketut Srie Kusuma Wardhani………………………………………………………..54 MENGEMBANGKAN MODEL PEMBELAJARAN AGAMA HINDU DALAM MEWUJUDKAN PESERTA DIDIK YANG RELIGIUS Ketut Tanu……………………………………………………………………………………65 PELUANG DAN HAMBATAN MEREALISASIKAN INSTITUSI PENDIDIKAN BERBASIS HINDU DALAM MENCIPTAKAN GENERASI RELIGIUS DAN ILMIAH Ni Nyoman Perni…………………………………………………………………………….74 PENANAMAN KARAKTER DALAM KELUARGA SEBAGAI UPAYA REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI YANG ILMIAH DAN RELIGIUS Ni Komang Sutriyanti………………………………………………………………………80 | PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) iii REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU MELALUI TARKAWADA I Made Adi Surya Pradnya………………………………………………………………...91 PENGENDALIAN DIRI DALAM KIDUNG MITUTURIN AWAK I Wayan Wirata.. ...........................................................................................96 PEDAGOGIK DALAM STUDI KULTURAL UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI ILMIAH DAN RELIGIUS Ni Nengah Selasih ...................................................................................... .102 REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI YANG BERKARAKTER Setyaningsih .............................................................................................. 110 PRINSIP TAT TVAM ASI DALAM PENDIDIKAN HINDU GUNA MENCEGAH PRILAKU VERBAL BULLYING Ni Nyoman Ayu Suciartini .......................................................................... 120 PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN AGAMA HINDU MELALUI EFEKTIVITAS POLA INTERAKSI DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH I Ketut Sudarsana………………………………………………………………………..132 REVITALISASI PENDIDIKAN REMAJA HINDU DARI KUTUB ENTROPI (TRSNA) MENUJU NEGENTROPI (LANGÖ) I Putu Suweka Oka Sugiharta .................................................................... 141 MEMBANGUN KEMATANGAN JIWA KEAGAMAAN GENERASI MUDA HINDU MELALUI PEMBELAJARAN ASTANGGA YOGA Ida Bagus Kade Yoga Pramana ................................................................... 150 iv | PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN KARAKTER Oleh : I Ketut Widnya Dirjen Bimas Hindu Kemenag RI Abstrak Pada awalnya Pendidikan Hindu diberikan kepada para brahmacari semata-mata untuk tujuan pragmatis. Ada link and match pendidikan Hindu dengan pekerjaan yang dipilih brahmacari berdasarkan guna dan karma. Karena itu, para brahmacari dalam pendidikan Hindu lebih banyak dibekali training atau latihan, yang memadukan pengetahuan dan praktek. Dengan training para brahmacari mempunyai kompetensi. Selanjutnya dengan kompetensi para brahmacari berkualifikasi untuk pekerjaan tertentu. Seluruh mata pelajaran yang harus dipahami dan dikuasai selama mengikuti pendidikan di Gurukula adalah memadukan antara kognisi, afeksi dan psikomotorik. Dalam prinsip Veda, pendidikan tidak berakhir ketika masa brahmacari berakhir. Pendidikan berlangsung terus seumur hidup (long life education). Sesuai dengan tahapan Catur Asrama, pendidikan secara berjenjang berlangsung terus dari masa Brahmacari, Grhasta, Vanaprastha, dan Bhiksuka (sanyasa). Selain secara berjenjang, secara professional sesuai dengan ajaran Catur Varna, pendidikan juga diberikan kepada golongasn Catur Varna, yaitu Brahmana, Ksatria, Vaisya dan Sudra. Perpaduan antara Catur Asrama dan Catur Varna inilah yang melahirkan pembangunan peradaban rohani (divine society). Tujuannya adalah mewujudkan empat tujuan hidup manusia (Catur Purusartha), yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Setelah hidup dan dibesarkan dalam peradaban rohani, seseorang akan mengerti konsep dasar pendidikan Hindu, yaitu: sambhada jnana, abhideya jnana, dan prayojana jnana. Jadi, seluruh rangkaian pendidikan Hindu dimasudkan untuk memahami perbedaan roh dan badan dan selanjutnya membantu manusia untuk menemukan tujuan hidupnya yang terakhir yaitu pembebasan (prayojana jnana). I. Pendahuluan Pendidikan dan pembangunan merupakan tema yang sangat umum dan sering menjadi topik pembicaraan di kalangan akademisi. Tetapi pembangunan sering diasosiasikan dengan pembangunan ekonomi dan industri yang selanjutnya diasosiasikan dengan dibangunnya pabrik-pabrik, jalanan, jembatan sampai kepada pelabuhan, alat-alat transportasi, dan komunikasi (Tirta rahardja, 2005: 301). Jarang kata “pembangunan” itu dihubungkan dengan “Pembangunan Peradaban Rohani”. Padahal, pendidikan merupakan “alur tengah pembangunan dari seluruh sektor pembangunan” termasuk pembangunan rohaniah (spiritual) yang secara bulat disebut sebagai pembangunan manusia. Dalam kenyataannya, pembangunan fisik lebih dominan ketimbang pembangunan spiritual. Pembangunan rohaniah bangsa kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah dibandingkan dengan pembangunan fisik. Wacana tentang pembangunan spiritual hanya menjadi isu yang digembar-gembornya dalam wacana politik. Gembar-gembor itu PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 1 tidak disikapi dalam kebijakan dan tidak dieksekusi dalam tindakan. Tidak seperti pembangunan fisik, ditulis dalam dokumen-dokumen resmi pemerintahan dan dieksekusi dalam kebijakan pembangunan. Dimanamana kita menemukan pembangunan budaya benda (tangible) dan budaya tak benda (intangible) dibiarkan tidak terurus. Musem-museum, situs purbakala, kawasan purbakala, bangunan Candi dan benda artefak (budaya tangible) tidak terbina dengan baik. Demikian juga budaya tak benda (intangibel) seperti tradisi lisan, seni pentas, adat istiadat dan perayaan, pengetahuan tentang alam dan semesta, kerajinan tradisional, tidak dijamah tangan pemerintah. Padahal, kedua kebudayaan tersebut bersumber dari ajaran Agama. Akibat dari kita mengabaikan pembangunan spiritual maka terjadilah katastopi. Suatu mara bencana besar dalam kehidupan manusia. Bencanabencana yang terjadi dalam kehidupan kita dimulai karena kita mengabaikan pembangunan spiritual. Kurikulum dalam pendidikan Hindu harusnya mensiasati agar terjadi keseimbangan pembangunan fisik dengan pembangunan non fisik. Kurikulum pendidikan Hindu terdiri dari 14 mata pelajaran pokok yang terbagi ke dalam parawidya dan aparawidya (pengetahuan rohani dan pengetahuan material). Pengetahuan material harus mendukung pengetahuan rohani, karena keduanya diperlukan dalam kehidupan. Pendidikan menurut Tilaar harus dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan berbudaya (Tilaar, 2008: 1). Seharusnya pendidikan merupakan bagian dari pembangunan peradaban rohani bangsa. Kita lahir, tumbuh, berkembang, berketurunan, membangun keluarga, berintegrasi, dan seterusnya, sebenarnya suatu proses pendidikan seumur hidup (long life education). Disini, peradaban rohani itu membingkai kita, artinya, disana kita belajar kehidupan dan akhirnya melalui pembelajaran kehidupan itu kita mengerti jalan menuju pembebasan (prayojana janana). Para Resi dan Yogi yang hidup dalam bingkai peradaban Himalaya menikmati kehidupan mereka dengan suka cita dan penuh kebahagian. Mereka mengalami langsung kebenaran sebagai dasar menghancurkan penderitaan. Orang-orang melihat kehidupan mengasingkan diri sebagai bentuk pesimisme. Sebenarnya tidak demikian. Karena hidup mengasingkan diri sebagai pertapa adalah kehidupan yang tercerahkan. Orang yang tercerahkan bertindak melampau batas-batas kemanusiaan. Tidak ada pesimisme bagi orang yang tercerahkan. Hidup dalam balutan hawa dingin (bahkan sampai di bawah nol derajat), tidak menonton televisi, tidak menikmati hiburan, tidak berkeluarga, adalah sebagian dari pilihan hidup yang melampaui batas kemanusiaan. Mereka menyadari bahwa kehidupan akan berakhir dalam kematian. Tetapi tidak berarti bahwa mereka harus stagnasi dan meratapi terus kematiannya. Peradaban dimulai dengan mulai berfungsinya Catur Asrama dan Catur Varma. Fungsi ini dimaksudkan agar tujuan hidup manusia yaitu Catur Purusartha dapat diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan budaya Veda, menurut pengertian dan tujuannya, sistem Varna (pembelajaran berdasarkan bakat) dan Asrama (pendidikan seumur PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 2 hidup secara bertahap) mempunyai lembaga-lembaga pendidikan yang ilmiah dan lengkap didalamnya. Pendidikan Varna dan Asrama menyediakan pengetahuan yang lengkap kepada semua anggotanya berdasarkan metodologi dan kurikulum Veda yang sesuai untuk setiap Varna dan Asrama. Pelatihan dan pendidikan ini mencakup hal-hal material dan spiritual, yang merupakan dasar untuk melaksanakan sādhana-bhakti atau pengabdian suci kepada Tuhan. Tujuan utama dari semua pendidikan dan pengetahuan adalah untuk membantu masyarakat luas untuk maju dalam keinsyafan diri dan sadar akan Tuhan/Kesadaran Rohani. Pendidikan dan pengetahuan, yang mengabaikan objek-objek tersebut dianggap tidak lengkap dan tidak sempurna. II. 2.1 Pembahasan Pendidikan dan Pencerahan. Di India, kalau seorang mahasiswa ketahuan menyontek (baca: ngerepek) pada saat ujian, maka mahasiswa tersebut akan dikeluarkan dari kelas. Semua mata pelajaran yang diambil pada semester tersebut dinyatakan tidak lulus. Tidak hanya itu, dia dikeluarkan dari Universitas dan diumumkan dalam Organisasi Perguruan Tinggi di India, bahwa dia mempunyai tabiat yang buruk (menyontek). Akibatnya, setelah dikeluarkan dari universitasnya, dia juga ditolak diterima di seluruh Perguruan Tinggi lain di India. Maka, tamatlah riwayat mahasiswa tersebut. Pernah ada kejadian di Delhi University yang berakhir tragis. Seorang mahasiswa kepergok sedang ngerepek pada saat ujian. Semua hak-haknya sebagai mahasiswa dieliminasi di seluruh Perguruan Tinggi India. Akhirnya, dia menembak professor yang memergokinya. Ada juga kejadian lain. Ini terjadi di Jamia Milia Islamia University, Delhi, melibatkan mahasiswa Indonesia dari jurusan Bahasa Inggris. Dia ketahuan ngerepek, lalu dikeluarkan dari university dan diputus bea siswanya di ICCR (Indian Cultural Centre Relationship). Dia kembali ke Indonesia dengan tangan hampa. Dalam pendidikan Hindu, pendidikan dimaksudkan hanya bagi orangorang yang mempunyai kualifikasi. Pendidikan tidak untuk semua orang. Sedangkan lembaga pendidikan dan kebudayaan dunia seperti UNESCO menyatakan education for all. Kalau pendidikan diberikan kepada semua orang, tanpa memperhatikan kualifikasi yang dimilikinya, maka citra pendidikan akan buruk. Seperti dialami dunia pendidikan dewasa ini. Dunia pendidikan sudah kehilangan kemuliannya karena orang-orang yang tidak berkualitas diijinkan masuk didalamnya. Dua mahasiswa yang ketahuan ngerepek di India seperti contoh di atas adalah bukti bahwa ada orang yang tidak berkualifikasi diijinkan masuk ke dunia pendidikan. Karena itu, salah satu usaha untuk menjaga kualitas pendidikan adalah kesesuaian secara khusus antara sifat-sifat yang dimiliki guru atau dosen dengan murid atau mahasiswanya. Secara teknis, ada 9 (Sembilan) sifat yang harus dimiliki Guru/dosen: 1. Sama (kedamaian, peacefulness); 2. Dama (pengendalian diri, self-control); PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 3 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Tapa (pertapaan, austerity); Saucam (kesucian, purity); Ksanti (toleransi, tolerance); Arjavam (kejujuran, honesty); Jnanam (pengetahuan, knowledge); Vijnanam (kebijaksanaan, wisdom); Astikyam (taat pada prinsip keagamaan, religiousness) (Bhagavad-gītā 18.43) Sedangkan bagi seorang siswa hanya 3 (tiga) sifat yang dipersyaratkan, yaitu: pratipat: tunduk hati, prasna: bertanya, seva: pelayanan. Wawasan ini dikembangkan dari sloka Bhagavad-gita, sbb: tad viddhi praṇipātena paripraśnena sevayā, upadekṣyanti te jñānam jñāninas tattva-darśinaḥ. (Bhagavad-gītā 4.34). Selain sifat-sifat yang harus dimiliki guru (dosen) dan siswa (mahasiswa), raw-input atau penerimaan siswa (mahasiswa) baru, harus terstandarkan. Semakin tinggi standar penerimaan siswa (mahasiswa) baru, akan didapatkan bahan baku yang berkualitas. Sistem evaluasi juga harus standar kalau menginginkan pendidikan yang berkualitas. Termasuk di dalamnya standar kompetensi lulusan. Tentu saja kurikulum harus memenuhi aspek kognifi, afeksi, dan psikomotorik. Tetapi di tangan guru (dosen) berkualitas, proses belajar mengajar tetap saja berkualitas, meskipun kurikulum tidak standar. Karena itu, pendidikan harus dibingkai dengan kejujuran, disiplin, menjaga martabat dan integritas. Selain tentu saja kecerdasan intelektual. Mahatma Gandhi mengatakan, kalau pendidikan tidak ada karakter, itu merupakan dosa sosial. Di tempat lain, mengutip dari Canakya Niti Sastra, Mahatma Gandhi mengatakan, vidya dadati vinayam: pendidikan dimaksudkan untuk melahirkan orang-orang yang bijaksana. Para rsi dan yogi Himalaya, dikenal sebagai orang bijaksana. Para resi itu mengatakan dalam segala keadaan, diri mereka selalu dalam keadaan berbahagia (Swami Rama, 2002: 3). Dalam Bhagavad-gita para rsi dan yogi itu mengalami apa yang disebut: susukham. Kebahagiaan tanpa disusul kembali oleh kedukhaan atau kebahagiaan abadi. Manusia yang hidup di dunia ini pada umumnya mengalami sukha dan dukha. Tapi mengapa para rsi dan yogi itu tidak mengalami sukha dan dukha alias mengalami kebahagiaan abadi? Karena mereka adalah orang-orang yang tercerahkan. Mereka hidup dalam standar kebudayaan yang tinggi. Budi mereka mengatasi manah, dan ahamkara. Dia mencapai kedudukan visuddhasattvam, yaitu: mengatai Tri Guna : satvam, rajas, tamas. Kitab suci Veda (Catur Veda) saja masih dikuasai oleh Tri Guna (traiguna visaya veda). Karena itu, bagi orang-orang yang tercerahkan tidak mungkin ada pesimisme. Bahkan kematian selalu dihadirkan sebagai objek keindahan, yang selalu dirindukan kehadirannya. Kematian tidak lagi menimbulkan stagnasi bagi orang-orang yang tercerahkan. Dia tidak mengalami keputusasaan seperti yang bisa dialami masyarakat umum. Salah satu keutamaan manusia atau kelebihan manusia ialah pengetahuan yang dimiliki. Binatang pada umumnya dikuasai oleh tamasa guna, sehingga sifat suka makan, tidur, kecemaran dan hubungan kelamin, merupakan sifat dasarnya. Perbedaannya dengan manusia ialah manusia memiliki sifat pengetahuan. Dengan pengetahuan, ia bisa mempunyai PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 4 wiweka, yaitu bisa membedakan antara yang baik dan tidak baik. Dengan pengetahuan, manusia bisa membedakan antara roh dan badan, dapat mengetahui intuisi atau super sensory persepsion. Canaka Niti Sastra mengatan keutamaan manusia sebagai berikut: āhāra nidrā bhaya maithunāni, samāni caimāni nṛṇām paśūnām, jñānaṁ narānāmadhiko viśeṣo, jñānena hīnāḥ paśubhih samānāḥ. Artinya, makan, tidur, kecemasan, dan hubungan kelamin, semua itu adalah persamaan binatang dengan manusia. Kelebihan sifat manusia adalah pengetahuan. Orang yang tidak memiliki pengetahuan sama dengan binatang. (Canakya Niti Sastra 17.17) 2.2 Pendidikan dan Pertapaan. Seorang siswa jika dia ingin lulus ujian dia harus belajar dengan keras. Bahkan dalam keadaan biasa atau dalam keadaan tidak ujian dia harus tetap belajar. Belajar, belajar dan belajar, adalah kewajiban seorang murid. Canakya Pandit mengatakan, seorang murid mendapatkan seperempat pendidikan dari gurunya, seperempat melalui kecerdasannya sendiri, seperempat lainnya melalui teman sekelasnya dan sepempat terakhir melalui perjalanan waktu. Menurut Sloka ini, seorang murid harus merangkai hidupnya dengan pembelajaran. Kalau dia (murid) tidak belajar, maka apakah maksud sebenarnya dia menjadi murid. Etika seorang siswa harus belajar. Seorang siswa harus tekun belajar kalau dia ingin sukses dalam pendidikan. Selanjutnya, jika siswa itu ingin sukses menjalankan etika, maka dia harus disiplin. Kata kuncinya adalah disipilin. Disiplin ini berlaku bagi semua Varna, terutama guru dan murid. Untuk bisa mendisiplinkan diri, seseorang siswa hendaknya hidup sederhana. Kalau kehidupan seseorang sangat kompleks, maka tidak mungkin dia menjalani kehidupan dengan kesederhanaan. Mahatma Gandhi mengatakan, hidup sederhana dan berpikir tinggi. Hidup sederhana yang dimaksudkan Mahatma Gandhi adalah hidup sebagai vegetarian (tidak makan daging, ikan dan telor). Sedangkan berpikir tinggi adalah berpikir tentang Tuhan. Manusia mencapai kehormatan dengan kesederhanaan. Mahatma Gandhi adalah contoh teladan tentang hal ini. Beliau selalu memakai dauti dan cadar kemana saja pergi. Ia dihormati karena konsep hidupnya simple life high thinking. Dalam Hitopadesa dikatakan: vidhyā dadāti vinayam vinayād yā ti patratām,pātratvād dhanamāpnoti dhanād dhamam tatah sukham.Artinya, pendidikan memberikan kesederhanaan; dengan kesederhanaan manusia mencapai kehormatan; karena kehormatan ia mendapatkan uang: dengan uang ia mampu memberikan sedekah (dhana) dan dari hal itu (sedekah) ia mendapatkan kebahagiaan. (Hītopadeśa, dikutip dari Vaiṣṇava Verse Book, 1977: 225). Dalam sloka ini sedekah (dana) berbanding lurus dengan kebahagiaan. Mengapa demikian? Karena dana punia merupakan bentuk pelaksanaan ajaran agama Hindu pada zaman Kali. Pada zaman Kaliyuga orang kurang tekun melakukan pertapaan dan meditasi, sebagai gantinya maka dipilihlah dana punia. Kita mendapatkan uang dengan bekerja keras, karena itu, uang mengikat kita, atau menyebabkan kita mengalami kemelekatan dengan dunia material (trisna). Sesuatu yang mengikat kita, PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 5 jika kita lepaskan maka pahalanya, juga besar. Dengan demikian, pendidikan berbanding lurus dengan belajar, disiplin diri, kesederhanaan dan pada akhirnya kebahagiaan. Pendidikan juga berbanding lurus dengan pertapaan, seperti dikatakan Canakya Pandit berikut ini: sukhārthi cetyajed-vidyam,vidyārthi cetyajet-sukham,sukhārthinah kuto vidyā, kuto vidyārthinah sukham. Artinya, “kalau menginginkan kesenangan buanglah jauh-jauh ilmu pengetahuan. Kalau menginginkan ilmu pengetahuan tinggalkan kesenangan. Oleh karena bagi orang yang menginginkan kesenangan indriya mana mungkin ada ilmu pengetahuan, dan sebaliknya bagi yang mengharapkan ilmu pengetahuan mana mungkin ada kesenangan. (Canakya Niti Sastra 10.3) Pada Zaman India Kuno, pertapaan merupakan ciri utama pendidikan. Seorang Brahmacari pada masa India kuno, mempraktekkan celibacy yaitu tidak melakukan atau memikirkan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan lawan jenis. Hal ini dimaksudkan agar seorang siswa dapat memfokuskan pikiran dan energinya pada pelajaran dan pendidikannya. Seorang brahmacarya hidupnya dirangkai dengan pertapaan. Ia menjalani proses inisiasi. Ia tinggal di Pasraman melayani gurunya selama kurun waktu beberapa tahun, mempelajari berbagai bidang ilmu pengetahuan di bawah pengawasan secara langsung dan ketat dari guru yang membimbingnya. Selama kurun waktu ini seorang siswa berpisah dengan keluarganya dan tidak diijinkan untuk menjalin kontak ataupun saling mengunjungi. Posisi orang tua digantikan oleh sang guru. Guru adalah Brahman sekaligus orang tua bagi sang siswa, perintahnya adalah mutlak dan tak terbantah. Seorang siswa sepenuhnya dibawah kuasanya, ia akan memberikan ajaran-ajaran rahasia hanya jika ia berpuas hati pada tingkah laku dan kecerdasan sang siswa. Selama masa menuntut ilmu seorang brahmacari menjalani hidup suci penuh aturan peraturan yang amat ketat. Hal ini disebabkan karena ilmu pengetahuan yang mereka sedang timba adalah ilmu pengetahuan suci Veda yang kelak akan sangat berguna bagi dirinya sendiri maupun masyarakat. Beberapa aturan peraturan hidup seorang brahmacari dijelaskan oleh Bhagavan Manu dalam Manusmrti II. 177-181 dan II. 191. Aturan dan peraturan ini sebenarnya merangkai hidup seorang brahmacari dalam pertapaan. 2.3 Nilai-nilai Pendidikan Hindu. Lembaga pendidikan Hindu dibentuk pada era sejarah medieval period yaitu zaman Purana dan Itihasa (Rāmayana dan Mahabhārata). Lembaga pendidikan Hindu disebut Guru Kula, sebagaimana disebutkan dalam Bhagavata Purana 7. 12.2, sbb: brahmacari gurukule, vasan danto guror hitam, Acaran dasavan nico, gurau sudrdha-suhridah. Artinya, seorang siswa hendaknya melakukan aktivitas yang sungguh-sungguh untuk mengontrol hawa nafsunya dan menaruh rasa hormat serta mengembangkan sikap persahabatan yang tulus kepada gurunya. Seorang siswa (brahmacari) hendaknya tinggal di Gurukula dan bersumpah untuk melayani gurunya semata-mata untuk kepentingan gurunya. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 6 Kalau dicermati, tentu saja, banyak hal yang tidak relevan lagi dengan lembaga pendidikan Hindu, mengingat lembaga pendidikan Hindu (Guru Kula) berasal dari masa sejarah kuna. Model hubungan Guru dan murid misalnya. Murid harus bangun pagi sebelum gurunya bangun, atau tidur pada malam hari setelah gurunya tidur. Demikian juga mengenai makanan, kalau guru berpuasa, murid harus ikut berpuasa. Tentu hal-hal seperti ini tidak relevan lagi diterapkan pada zaman modern saat ini. Meskipun demikian, banyak hal dari nilai-niai pendidikan Hindu yang sangat relevan diadopsi atau diterapkan dalam dunia modern dewasa ini. Misalnya pernyataan: sa vidya ya vimuktaye. Artinya, pendidikan adalah yang membebaskan manusia. Pendidikan berbanding lurus dengan pembebasan. Karena itu pendidikan membuat manusia abadi (Vidyayamritamashnute). Keabadian dapat dicapai melalui tiga konsep dasar pendidikan, yaitu Sambadha jnana (identitas), abhidea jnana (aktivitas) dan prayojana jana (tujuan). Dengan mengetahui identitas sejati sebagai atma, dan bertindak menurut pengertian itu (sebagai atma), maka kita akan mencapai pembebasan. Karena itu dikatakan, kim kim na sadhyati kalpalateva vidya: Apa yang tidak dijangkau oleh pendidikan? Ia merupakan sebuah tumbuhan magis atau pohon kebijaksanaan. Menginat pendidikan bertujuan mencapai pembebasan, tidak berlebihan kalau pendidikan juga dijuluki seperti mata ketiga (Vidya tritiyo netrah). Mata ketiga yang dimiliki kepribadian agung, seperti Dewa Siwa misalnya, merupakan kekuatan rohani yang dapat menghancurkan objek-objek yang dilihatnya hingga menjadi abu. Dikatakan: na hi jñānen sadrisham pavitramih vidyate. Artinya, tidak ada yang lebih murni di dunia ini daripada pengetahuan. Di dunia ini, pengabdian dan dedikasi yang lebih murni ada di dunia pendidikan. Karena itu, para guru disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Maksudnya di dunia pendidikan, orang agar mengabdikan dirinya dengan tulus tanpa mengharapkan balasan (sepi ing pamerih). Di India, mahasiswa atau masyarakat yang demo bisa merusak kantor polisi. Tapi tidak merusak sekolah-sekolah. Sekolah dianggap lambang dari Dewi Saraswati. Di India orang masih menganggap kekuatan pengetahuan dan kekuatan bulan akan memberi anugerah kesejahteraan dan kebahagiaan (Vidya balam chandrabalamstathaiva). Karena itu, pengetahuan merupakan gurunya guru (Vidya gurunam guruh). Seseorang yang tanpa pengetahuan adalah binatang (vidya vihinah pashuh). Nilai-nilai pendidikan Hindu masih sangat relevan diadopsi atau diterapkan dalam dunia modern dewasa ini. Nelson Mandela mengatakan, pendidikan adalah senjata yang paling ampuh yang bisa digunakan untuk mengubah dunia. (Nelson Mandela, seperti diucapkan kembali oleh Karni Ilyas dalam ILC, Selasa 17 Desember 2013, dalam topik: “Ospek Merenggut Nyawa Lagi”). Pendidikan menemukan eksistensinya ketika pendidikan itu berguna bagi dunia. Cara pendidikan Hindu untuk mengubah dunia ialah melalui Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam pendidikan Hindu, pendidikan yang sejati berarti secara terus menerus mengembangkan pengetahuan atau jñānam (kasar, material) dan vijñānam (suci, spiritual) baik secara formal, non-formal maupun informal. Bhagavadgītā 7.2 mengatakan: jñānam te 'ham sa-vijñānam idam vakṣyāmy aśeṣataḥ, yaj jñātvā neha bhūyo 'nyaj jñātavyam avaśiṣyate. Dalam dunia modern, PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 7 pendidikan tetap merupakan usaha sadar untuk mencerdaskan manusia, akan tetapi usaha itu bersifat sangat kompleks. Seperti dikatakan Vaclav Havel dalam Fritjof Capra, pendidikan adalah kemampuan untuk mempersepsi koneksi-koneksi tersembunyi antar fenomena (Fritjop Capra, 2009: V). 2.4 Pendidikan dan Pembangunan Peradaban. Pendidikan pada awalnya bersifat pragmatis. Sampai pada zaman modern dewasa ini idiologi pendidikan tidak bergeser dari sifat pragmatis. Kebanyakan orang bercita-cita mendapatkan pekerjaan setelah tamat sekolah. Ada link and match antara pendidikan dengan pekerjaan. Fenomena di Indonesia para sarjana kebanyakan ingin menjadi pegawai negeri sipil. Sebagian lagi menginginkan pekerjaan sesuai dengan pendidikannya. Orang tua dan masyarakat juga menuntut mereka agar bekerja setelah mengikuti pendidikan. Ada kehormatan kalau setelah tamat sekolah mendapatkan pekerjaan. Karena itu, idiologi pendidikan yang bersifat pragmatis sama sekali tidak salah. Kenyataan ini ada dalam sejarah pendidikan dari zaman kuno sampai sekarang. Adalah sesuatu yang wajar menginginkan pekerjaan setelah mengikuti pendidikan. Pendidikan Varna didasarkan pada “bakat pembelajaran” yang mengarahkan kepada “bakat pekerjaan”. Seorang Brahmana harus mengikuti pendidikan kebrahmanaan, dan setelah tamat dari pendidikan kebrahmanaan, ia harus memilih pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan yang ditekuni (kebrahmanaan). Demikian juga halnya dengan Ksatriya, ia harus memilih pendidikan kekesatriyaan agar dia berkualifikasi untuk pekerjaan Ksatriya. Vaisya juga demikian. Dia harus memilih pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya. Pada zaman kuno, wawasan ini dipilih berdasarkan guna dan karma. Sedangkan zaman modern sekarang ini disebut wawasan yang dipilih berdasarkan profesionalisme. Pendidikan Hindu menekankan pada training agar guna dan karma menjadi berbanding lurus. Training dimaksudkan untuk memadukan pengetahuan (kognisi) dan praktek (psikomotorik). Didalam perpaduan antara pengetahuan dan praktek, terjadi juga perubahan sikap (afeksi), namun porsinya kecil. Kalau dihubungkan dengan pendidikan yang sangat ngetrend dan digandrungi pada zaman modern dewasa ini mendekati pendidikan Vokasi yang ingin mendapatkan akses langsung dengan pekerjaan. Dengan training para brahmacari mempunyai kompetensi, dan selanjutnya dengan kompetensi para brahmacari berkualifikasi untuk pekerjaan tertentu. Jadi, pada pendidikan kuno pun, pendidikan pada awal mulanya adalah untuk mendapatkan pekerjaan. Pendidikan tidak hanya melulu idiologi pragmatis. Dalam pendidikan, yang lebih dominan, justru konsep idial pendidikan. Yang menjadi tujuan dari konsep idial pendidikan adalah pembangunan peradaban rohani (divine society). Peradaban rohani dimulai dengan dimulainya sistem Catur Varna (Brahmana, Kstriya, Vaisya, Sudra) dan Catur Asrama (Brahmacari, Grhasta, Vanaprastha, Bhiksuka atau Sanyasin). Secara singkat disebut pendidikan Varnāsrama Dharma. Berdasarkan budaya Veda, menurut pengertian dan tujuannya, sistem Varna (pembelajaran berdasarkan bakat) dan Asrama (pendidikan seumur hidup secara bertahap) mempunyai PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 8 lembaga-lembaga pendidikan yang ilmiah dan lengkap didalamnya. Pendidikan seumur hidup (long life education) memenuhi kebutuhan fisik, emosi, kecerdasan dan sosial manusia termasuk kebutuhan rohani. Pendidikan Varnasrama merujuk pada sistem Varna dan Asrama sebagai lembaga pendidikan yang berkaitan dengan sang diri berdasarkan ajaran Veda yang menuntun seseorang dan masyarakat luas terhadap kesempurnaan hidup. Fungsi-fungsi Catur Varna dan Catur Asrama, apabila dijalankan akan melahirkan peradaban. Misalnya, Grhastha Ashrama. Tahapan Grhastha dianggap sebagai yang terpenting dan termulia dari semua yang lain. Sebab ke-tiga ashrama yang lain berasal dari dan bergantung sepenuhnya pada Grhastha. Grhastha juga menghasilkan keturunan dan melakukan yadnya dan korban suci kepada para dewa sehingga alam beserta isinya dapat tetap terpelihara atas berkah dari dewadewa yang dipuaskan oleh yadnya yang dilakukannya. Dalam Manawa Dharma Sastra, Resi Manu mengatakan: yatha vayum samasrtya vartante sarva jantavah, tatha grhasthAsrama srtya vartante sarva Asramah. Artinya, sebagaimana udara memberi kehidupan kepada semua mahluk hidup demikian juga ke-tiga Asrama itu dihidupi oleh Grhastha. Sarvesamapi caitesamvedasruti vidyanatah, Grhastha ucyate srestah sa trinetanbibhartihi, Tatha nadinadah sarve sagare yanti sanstithim, Tathaivasraminah sarve grhasthe yantisansthitim. Artinya, dari kesemua Asrama yang ada, grhastha disebutkan sebagai yang termulia oleh Veda sruti, sebab ialah yang menjadi penyokong bagi yang lainnya. Sebagaimana sungai-sungai mengalir dan beristirahat di lautan, demikian pula ke-tiga Asrama yang lain mendapat tempat bernaung pada grhastha. (Manawa Dharma Sastra,III.77). Demikian juga fungsi Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra. Brahmana mempunyai tugas belajar Veda, mengajarkan Veda, memimpin yajnya untuk dirinya sendiri dan orang lain, menerima dan memberikan dana punia. Kalau kaum Brahmana melaksanakan fungsinya dalam masyarakat, maka akan melahirkan peradaban Brahmana. Peradaban Brahmana adalah peradaban Rohani (divine society). Demikian juga, kalau Ksatriya, Vaisya dan Sudra, melaksanakan fungsinya dalam masyarakat, PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 9 masing-masing akan melahirkan peradaban. Gabungan dari semua peradaban ini melahirkan peradaban rohani. Seorang Brahmana dan Ksatriya secara tradisi mengikuti semua Asrama. Vaisya diwajibkan mengikuti dua Asrama yaitu Brahmacari dan Grhastha. Sedangkan Sudra hanya diwajibkan mengikuti Grahastha Asrama. Sistem Varna dan Asrama ini adalah praktek terbaik bagi masyarakat petani dimana kehidupan mereka tetap sederhana dan waktu bisa dimanfaatkan untuk keinsyafan diri. Perkembangan ekonomi tidak lagi menjadi tujuan utama bagi setiap individu dan masyarakat. Bagaimanapun juga seseorang seharusnya tidak berspekulasi menyimpulkan bahwa seseorang secara otomatis akan menjadi miskin dan masyarakat akan tetap primitif. Kehidupan desa tradisional sangat berharga dan masih tetap ideal didalam semua segi termasuk segi material. Peradaban harus berisi 24 nilai seperti dijelaskan Bhagavad-gītā 16.13 berikut ini: (1). Amanityam (sifat rendah hati); (2). Adambhitam (bebas dari rasa bangga): (3). Ahimsa (tidak melakukan kekerasan): (4). KShantih (toleransi); (5). Arjawam (kesederhanaan); (6). Acarya-upasanam (mendekati seorang guru kerohanian yang dapat dipercaya); (7). Saucam (bersih lahir batin); (8,9). Sthairyam Atma-vinigrahah (kemantapan dan mengendalikan diri);(10, 11). Indriya arthesu, vairagyam (melepaskan ikatan terhadap obyek-obyek kepuasan indria-indria); (12). Anahankarah (bebas dari keakuan palsu); (13-16). Janma, mrityu, jara,vyadh (mengerti buruknya kelahiran, kematian, usia tua dan penyakit); (17-19). Putra, dara, grha-adisu (ketidakterikatan terhadap anak-anak, istri, dan rumah); (20). samacittatvam istanistopapattisu (keseimbangan pikiran ditengah-tengah kejadian yang menyenangkan dan tidak menyenangkan); (21). Bhaktir avyabhicarini (bhakti kepadaku (Krisna) yang murni dan tidak pernah menyimpang); (22). Vivikta (bercita-cita tinggal di tempat yang sunyi)(23). Sevitvam aratir janasamsadi (ketidak-terikatan terhadap khalayak ramai); (24). Adhyatma-jnana (mengakui bahwa keinsafan diri dan usaha mencari Kebenaran Yang Mutlak dalam filsafat adalah hal yang penting). Masing-masing dari konten ini bisa dijelaskan panjang lebar. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 10 Catur Asrama yang diajarkan oleh kitab suci Veda adalah sebuah Pasraman di hutan kehidupan manusia, yang berisikan peta kehidupan berupa aturan peraturan hidup di dunia yang akan mengantarkan manusia pada tujuan hidup mereka di dunia ini yaitu Moksatham dan Jagadhita. Tujuan utama dari ajaran ini adalah untuk menciptakan masyarakat rohani dan mendorong masyarakat untuk mempelajari dan tetap memegang teguh ajaran-ajaran Dharma dalam usaha mereka memenuhi empat tujuan hidupnya yang disebut Catur Purusartha yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksha. III. Penutup Pendidikan pada awalnya bersifat pragmatis. Sifat pragmatis ini dimakasudkan untuk memberi bekal ketrampilan agar siswa mempunyai kompetensi untuk jenis pekerjaan tertentu. Tapi dalam pendidikan Varnāśrama Dharma, pendidikan tidak hanya bersifat pragmatis. Idiologi pendidikan Varnāśrama Dharma bersifat idealis. Bahkan sifat idealis ini mendominasi pendidikan Varnāśrama Dharma. Secara ideal tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan Varnāśrama Dharma adalah pembangunan peradaban Rohani (divine society). Dalam pembangunan peradaban rohani ada sejumlah nilai yang ingin diwujudkan dalam masyarakat melalui dunia pendidikan. Pendidikan berlangsung seumur hidup (long life education) melalui tahap-tahap pendidikan Catur Asrama (brahmacari, grhastha, vanaprastha dan Bhiksuka atau sanyasin). Profesionalisme dalam dunia pendidikan adalah wawasan yang dikembangkan melalui Catur Varna (Brahmana, Ksatriya, vaisya, Sudra) dengan dua konsep inti guna dan karma, yaitu pendidikanyangdidasarkanpada “bakat pembelajaran” dan mengarahkan kepada “bakatpekerjaan”. Dalam bingkai peradaban rohani, pendidikan dimaksudkan untuk melahirkan orang-orang bijaksana (vidya dadati vinaya) dan menginplementasikan nilai-nilai tanpa kekerasan (ahimsa) dalam kehidupan. Nilai-nilai pendidikan Hindu juga dapat mencerahkan batin seseorang. Orang yang tercerahkan bertindak melampaui batas-batas kemanusiaan. Artinya, ia bebas dari ikatan dan pengaruh dunia material, sehingga pada dirinya tidak lagi ditemukan pesimisme. Ia menjalani kehidupan dengan tenang dan damai, seperti yang dialami oleh para rsi dan yogi Himalaya. Karena itu, pendidikan harus berbanding lurus dengan pertapaan. Dengan pertapaan dimasudkan belajar Veda dan disiplin diri untuk mencapai kehormatan. Pada akhirnya, pendidikan Varnāśrama Dharma dimaksudkan untuk memenuhi empat tujuan hidup manusia atau Catur Purusartha (Dharma, artha, kama, dan moksa) yang selanjutnya diwujudkan dalam tiga konsep dasar pendidikan Hindu, yaitu: sambhada jñāna (identitas), abhidea jñāna (aktivitas), dan prayojanajñāna (tujuan akhir). IV. Daftar Pustaka Darmayasa.2000.Canakya Niti Sastra. Denpasar: Bali Post. Darmayasa.Tanpa Tahun Terbit.Studi Ringkas Catur Veda.Denpasar: Yayasan Dharma Sthapanam. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 11 Rohiņīnandana dāsa.1990. Vaisnama Verse Book A Compedium of Vedic Verse (as taught by His Divine Grace A.C. BhaktiVedanta Swami Prabhupada). Singapura: The BhaktiVedanta Book Ltd. Subarayudu C.1940. Sanatana Dharma, An Advance Text Book of Hindu Religion and Ethics. Madras: The Philosophical Publishing house. Rama, Swami.2002.Hidup Dengan Para Rsi, Yogi Himalaya. Surabaya: Paramita. Prabhupada, Sri Srimad A.C. BhaktiVedanta Swami.2000.Bhagavad Gītā Menurut Aslinya. Jakarta: The BhaktiVedanta Book Trust. Pudja M.A. G, Rai Sudharta M.A. Tjokorda Rai.2002.Manava Dharma Sastra (Manu Dharma Sastra) atau Veda Smrti Compendium Hukum Hindu. Jakarta: CV. Pelita Nursatama Lestari Jakarta. Tilaar, H.A.R dan Riant Nugroho.2008.Kebijakan Pendidikan. Pengantar Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tirta rahardja, Prof. Dr. Umar dan Drs. S.L. La Sulo.2005.Pengantar Pendidikan.Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas dan Penerbit Rineka Cipta. Widnya, Prof, Ph.D. I Ketut. 2015.Peradaban Yang Membunuh Roh. Denpasar: Sari Kahyangan. Vaclav Havel. 2009.Dalam Fritjof Capra, The Hidden Connection: Strategi Sistemik Melawan Kapitalisme Baru. www. ing.org/intro.to.hinduism/437-ashramas www.hindupedia.com/en/Varna-Asrama-Dharma Hinduiwebsite.com/Hinduism/concept/ashramas.asp 12 PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | PERAN PENDIDIKAN DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER Oleh : Ida Bagus Gede Subawa Direktur Pendidikan Agama Hindu I. Pendahuluan Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat, dan berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun rohani. Manusia yang berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut untuk dibentuk atau dibangun. Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, melainkan bagaimana bangsa Indonesia mampu merealisasikan konsep pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjutan dan merata. Ini sejalan dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah “… agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Melihat kondisi sekarang dan akan datang, ketersediaan SDM yang berkarakter merupakan kebutuhan yang amat vital. Ini dilakukan untuk mempersiapkan tantangan global dan daya saing bangsa. Memang tidak mudah untuk menghasilkan SDM yang tertuang dalam UU tersebut. Persoalannya adalah hingga saat ini SDM Indonesia masih belum mencerminkan cita-cita pendidikan yang diharapkan. Misalnya untuk kasus-kasus aktual, masih banyak ditemukan siswa yang menyontek di kala sedang menghadapi ujian, bersikap malas, tawuran antar sesama siswa, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba, dan lain-lain. Di sisi lain, ditemukan guru, pendidik yang senantiasa memberikan contoh-contoh baik ke siswanya, juga tidak kalah mentalnya. Misalnya guru tidak jarang melakukan kecurangan-kecurangan dalam sertifikasi dan dalam ujian nasional (UN). Kondisi tersebut jika dibiarkan berlarut-larut sangat mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia. Untuk itu peran pendidikan sebagai salah satu cara dalam pembentukan karakter SDM sangatlah diharapkan. Namun sebelumnya, sebelum ke pokok bahasan pendidikan karakter ada baiknya kita mengetahui lebih dalam tentang apa itu pendidikan. II. 2.1. Pembahasan Pendidikan Pendidikan tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki peran yang sama untuk membentuk kepribadian. UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 kita melihat ketiga perbedaan lembaga pendidikan tersebut. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 13 formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Sedangkan pendidikan informal jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan dalam bentuk kegiatan belajar secara mandiri. 2.2. Karakter 2.2.1 Hakekat Karakter: Menurut Simon Philips dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:235), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sedangkan Doni Koesoema A (2007:80) memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.” Hal yang selaras disampaikan dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:233) yang mengartikan karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa. Winnie memahami bahwa istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’ (menandai). Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Sedangkan Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. 2.3. Pendidikan Karakter Pendidikan adalah proses internalisasi nilai afektif, knowledge, dan budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh tiga domain pendidikan, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembang-kan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 14 Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa di Yogyakarta bulan Oktober 1949 pernah berkata bahwa "Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya, dan persatuan”. Sedangkan menurut Prof. Wuryadi, manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram. Membangun karakter Mengacu pada Nilai Agama perlu melalui pengkajian, dan pengembangan karakter dengan fokus menanamkan 9 pilar nilai-nilai luhur universal : (1). Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; (2) Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian; (3) Kejujuran; (4) Hormat dan Santun: (5) Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama; (6) Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah; (7) Keadilan dan Kepemimpinan; (8) Baik dan Rendah Hati; dan (9) Toleransi, Cinta Damai dan Persatuan. 2.4 Lingkungan Pendidikan Karakter 1. Lingkungan Keluarga Pendidikan anak yang paling mendasar adalah pendidikan dalam keluarga. Pendidikan keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan karakter anak dan menjadi kunci utama dalam membentuk pribadi anak menjadi baik. Seorang anak yang dididik oleh orang tuanya dengan penuh kasih sayang akan merasa dihargai dan dibutuhkan, ia pun akan menyayangi keluarganya sehingga akan tercipta kondisi yang saling menghargai dan saling membantu. Kondisi tersebut sangat mendukung perkembangan anak karena orang tualah yang berperan utama dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Di dalam keluarga yang penuh rasa kasih sayang, menjadikan harga diri anak dapat berkembang karena ia merasa dihargai, dicintai, dan diterima sebagai manusia. Dengan dihargai dan dihormati, maka kita juga dapat menghargai orang lain. Keluarga yang menerapkan pendidikan keluarga dapat menghasilkan anak yang memiliki kepribadian baik. Oleh karena itu, pendidikan dalam keluarga harus menjadi dasar yang kuat dalam membangun kepribadian seorang anak. 2. Lingkungan Sekolah Lingkungan sekolah merupakan hal yang sangat penting sebagai pendidikan kedua setelah keluarga. Guru menjadi rol model bagi peserta didik. Guru berperan memberikan motivasi, dan semangat untuk melatih kedisiplinan agar anak memiliki tanggung jawab dalam dirinya. Lingkungan sekolah menekankan pengajaran tentang kedisiplinan, tanggung jawab, dan ketaatan terhadap aturan-aturan yang berlaku serta norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakat sehingga anak dapat menempatkan diri dimanapun dia berada. Lingkungan sekolah memberikan secara utuh 3 domain pendidikan kepada peserta didik. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 15 3. Lingkungan Masyarakat Lingkungan masyarakat juga memiliki peran penting bagi perkembangan anak didik, karena lingkungan masyarakat dapat memberikan gambaran bagaimana hidup bermasyarakat. Anak didik berinteraksi secara langsung dengan masyarakat, sehingga masyarakat dapat menilai anak tersebut apakah dia berkarakter atau tidak Manusia yang berpendidikan tinggi dengan IQ jenius saja tidak menjamin kemajuan bangsanya jika tidak memiliki karakter yang baik, bahkan mungkin saja malah digunakan untuk menghancurkan bangsanya demi keuntungan pribadi. Tanpa membangun pendidikan karakter, seseorang akan tumbuh menjadi seseorang yang mungkin saja pandai, tetapi miskin spiritual dan emosional. Proses pendidikan tanpa disertai pembangunan karakter, hanya sekedar menjadi sarana pelatihan dan asah otak, sedangkan tingkah laku dan moral terabaikan. Pendidikan pada dasarnya bertujuan membantu manusia menjadi cerdas dan pandai serta menjadi manusia yang baik dan bijak. Untuk menjadikan manusia cerdas dan pintar bukanlah hal yang sulit dilakukan, tetapi untuk menjadikan seseorang agar menjadi orang baik dan bijak itu bukan hal yang mudah dilakukan, bahkan dapat dikatakan sangat sulit. Pendidikan karakter yang meliputi pendidikan moral, pendidikan nilai-nilai kehidupan, religius, dan budi pekerti di setiap institusi pendidikan harus terus dikembangkan. Karakter merupakan pola perilaku yang bersifat individual. 2.5 Peran Pendidik Schaps, dan Lewis (2007) serta Azra (2006) menguraikan beberapa pemikiran tentang peran pendidik, di antaranya : 1. Pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter; 2. Pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut; 3. Pendidik perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan; 4. Pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa siswasiswanya mengalami perkembangan karakter; 5. Pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk. Hal-hal lain yang pendidik dapat lakukan dalam implementasi pendidikan karakter (Djalil dan Megawangi, 2006) adalah : (1) pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yang melibatkan partisipatif aktif PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 16 siswa, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, (3) pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good, dan (4) pendidik perlu memperhatikan keunikan siswa masing-masing dalam menggunakan metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek kecerdasan manusia. Agustian (2007) menambahkan bahwa pendidik perlu melatih dan membentuk karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi karakter, misalnya mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten. III. Penutup SDM yang berkarakter sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan global.. Karakter SDM Hindu dapat dibentuk melalui proses pendidikan formal, non formal, dan informal serta pendidikan Agama dan pendidikan Keagamaan formal dan informal yang ketiganya harus bersinergis. Untuk menyinergiskan, peran pendidik dalam pendidikan karakter menjadi sangat vital sehingga peserta didik menjadi manusia yang religius, cerdas, mandiri dan disiplin serta jujur sesuai dengan cita-cita dan tujuan pendidikan nasional. Kedepan bangsa Indonesia membutuhkan SDM yang mampu menghadapi tantangan global, dan kini telah masuk dalam MEA. Untuk itulah SDM Indonesia diharapkan mempunyai keunggulan baik yang terkait dengan intelegensi, karakter, dan budaya. 17 PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | MELIHAT KEMBALI METODE PENDIDIKAN HINDU KUNO : REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU MENUJU GENERASI GEMILANG Oleh : Agus Indra Udayana Ashram Gandhi Puri Email: [email protected] Abstract The purpose and ideals of ancient Indian education is to promote selfdevelopment that is simultaneous and harmonious. The ancient Indians declared that the individual exists is for the people rather than vice versa. Therefore, the function of education is to introduce the culture of their race. Ancient India realized that association and imitation plays a major role in shaping the character and improve the caliber of students. Even a stupid students will be able to increase his intelligence if he is closely linked with a brilliant child and imitate his methods. Gurukula system, which requires students to stay with the teacher or in a house with a recognized reputation, is one of the most important features of ancient Indian education. Keywords: Methods of Education, Ancient Hindu, character, intelligence Abstrak Tujuan dan cita-cita pendidikan India kuno adalah untuk mempromosikan pengembangan diri yang simultan dan harmonis. Orang India kuno menyatakan bahwa individu eksis adalah untuk masyarakat bukan sebaliknya. Oleh karena itu, fungsi pendidikan adalah untuk memperkenalkan budaya dari ras mereka. India kuno menyadari bahwa asosiasi dan imitasi memainkan peran besar dalam membentuk karakter dan meningkatkan kaliber mahasiswa. Bahkan seorang mahasiswa bodoh akan dapat meningkatkan kecerdasannya jika dia berhubungan erat dengan anak brilian dan meniru metodenya. Sistem Gurukula, yang mengharuskan siswa tinggal dengan gurunya atau di sebuah rumah yang diakui reputasinya, adalah salah satu fitur yang paling penting dari pendidikan India kuno. Metode Upanishad menjadi kekuatan bathin Guru dan Murid. Dialog danpembelajaran terjadi dari kehidupan sehari-hari yang lebih membawa kepada suasana bathin dan pembelajaransejati. Kata Kunci: Metode Pendidikan, Hindu Kuno, karakter, kecerdasan I. Pendahuluan Depdiknas dalam dokumen Renstranya menyatakan Visi pendidikan di Indonesia pada tahun 2025 menghasilkan Insan Kamil/Insan Paripurna yaitu INSAN INDONESIA CERDAS DAN KOMPETITIF. Insan kamil dideskripsikan sebagai insan cerdas spiritual beraktualisasi diri melalui olah hati/kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan dan akhlakmulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul. Cerdas emosional beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan apresiasivitas akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 18 Cerdas sosial beraktualisasi diri melalui interaksi sosial yang membina dan memupuk hubungan timbal balik, demokratis, empatik dan simpatik, menjunjung tinggi hak asasi manusia, ceria dan percaya diri, menghargai kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara, serta berwawasan kebangsaan dengan kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara. Cerdas kinestetik beraktualisasi diri melalui olah raga untuk mewujudkan insan yang sehat, bugar, berdaya-tahan, sigap, terampil, dan trengginas sebagai aktualisasi insan adiraga. Kompetitifdengan ciri-ciri berkepribadian unggul dan gandrung akan keunggulan, bersemangat juang tinggi, mandiri, pantang menyerah, pembangun dan pembina jejaring, bersahabat dengan perubahan, inovatif dan menjadi agen perubahan, produktif, sadar mutu, berorientasi global, dan pembelajar sepanjang hayat (Putu Panji Sudira, http://eprints.uny.ac.id). Hindu adalah agama tertua di dunia yang banyak menyimpan monumen-monumensejarah yang selalu menarik untuk digali dan diteliti. Banyak para ahli dari Barat yangdatang ke wilayah-wilayah yang dahulu menjadi pusat-pusat peradaban Hindu untuk dijadikan kajian dari berbagai macam bidang ilmu seperti : filsafat, humaniora, politik, pendidikan dan sebagainya.Veda sebagai kitab suci agama Hindu merupakan sumber ajaran agama Hinduyang juga telah banyak memberikan sumbangan dalam pengembangan ilmu pengetahuandi bumi ini. Para Mahārṣi yang merupakan penerima wahyu Veda juga telah mewariskan seluruh pengetahuan suci tersebut kepada para murid-muridnya. Proses ini telah berlangsung dalam jangka waktu sang sangat lama dan dilaksanakan secara turuntemurumelalui sistem dan proses pendidikan yang khas (Miswanto, 2008: 1). II. 2.1 Pembahasan Cita-Cita Pendidikan Hindu Kuno Sejak jaman dulu pendidikan yang diselenggarakan oleh instansi pendidikan sangat menekankan pada penemuan jati diri, kemudian diikuti oleh karakter. Kedua ini menjadi tujuan utama dari pendidikan di jaman kuno. Penemuan jati diri dan karakter yang dimaksudkan tidak hanya datang pada pelajaran agama dan etika, melainkan lebih pada kualitas materi yang diberikan dan teladan yang diberikan oleh pendidik kepada siswanya. Banyak orang mengira bahwa pendidikan di jaman dulu melulu masalah agama. Tetapi meskipun mereka basiknya adalah pendidikan Veda, sebagian besar mereka belajar tentang sains, filsafat, dan ilmu kejuruan lainnya yang bisa dimanfaatkan di dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan langsung dari segala jenis pendidikan di jaman kuno, apakah pendidikan sastra atau profesional dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Membentuk siswa menjadi anggota masyarakat yang berguna dan saleh. Pemikir India kuno menyatakan bahwa pencapaian intelektual belaka merupakan konsekuensi yang paling minimal jika dibandingkan dengan pengembangan moral dan karakter. 2. Pengembangan kepribadian. Ini diwujudkan melalui meningkatkan rasa harga diri, dengan mendorong rasa percaya diri, dengan menanamkan pengendalian diri dan dengan meningkatkan kekuatan diskriminasi (viveka). PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 19 3. Penanaman terhadap tugas kemasyarakatan dan sosial. Lulusan sekolah jangan sampai menjalani hidup secara egois. Dia harus mengajarkan pengetahuan yang telah diperolehnya kepada generasi muda meskipun tanpa digaji. 4. Promosi terhadap efisiensi sosial dan kebahagiaan. Hal itu dapat diwujudkan melalui pelatihan yang tepat terhadap generasi muda di berbagai cabang ilmu pengetahuan, profesi dan industri. 5. Pelestarian dan penyebaran warisan dan budaya nasional. Diakui juga bahwa pendidikan adalah sarana utama dari kelangsungan sosial dan budaya dan tujuan itu akan gagal jika tidak mengajarkan generasi muda untuk dapat menerima dan mempertahankan tradisi terbaik dari pikiran dan tindakan dan warisan masa lalu untuk generasi masa depan. Teori Tiga Hutang (Tri Rna, hutang kepada Dewa, kepada guru dan orang tua) yang menarik, yang telah dianjurkan sejak jaman Veda, telah secara efektif mendorong generasi muda untuk menerima dan mempertahankan tradisi terbaik dari pemikiran dan tindakan dari generasi masa lalu (Tim Penyusun, 2016: 339-384). Sistem Gurukula, yang mengharuskan siswa tinggal dengan gurunya atau di sebuah rumah yang diakui reputasinya, adalah salah satu fitur yang paling penting dari pendidikan India kuno. Smritis merekomendasikan bahwa siswa harus mulai hidup di bawah pengawasan guru setelah Upanayana. Pengakuan akan pentingnya hubungan dan imitasi adalah salah satu alasan utama sistem Gurukula. Langsung, pribadi dan terusmenerus melakukan kontak dengan guru secara alami akan menghasilkan efek yang besar pada diri seorang sarjana selama periode dari masa kanakkanak sampai remaja. Keyakinan umum tentang Gurukulas adalah terletak di hutan jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota sebagian besar benar. Namun sebagian besar kasus, Gurukulas berada di desa-desa atau kota-kota. Ini terjadi secara alami sebab guru biasanya orang yang berrumah tangga. Perhatian diperlukan untuk mencari Gurukula di tempat terpencil atau taman dan di lingkungan suci. India kuno, karena itu sangat mementingkan keluarga dalam skema pendidikan mereka. Mereka menyatakan bahwa anak mulai menerima pengaruh yang membentuk karakter dan efisiensinya sejak awal konsepsi (Tim Penyusun, 2016: 339-384). 2.2 Guru dan Siswa Fungsi guru adalah untuk membimbing siswa dari kebodohan menuju cahaya pengetahuan. Lampu belajar tersembunyi di bawah penutup, kata seorang pemikir, guru menghilangkan penutupnya dan memberikan cahaya. Oleh karena itu siswa harus berterima kasih kepadanya dan menunjukkan penghormatan tertinggi kepadanya. Dia dihormati melebihi orang tua; sebab kepada orang tua kita berhutang kelahiran secara fisik, sementara guru dapat meregenerasi intelektual kita. Dari jaman Veda ke belakang, guru ditunjuk sebagai bapak spiritual dan intelektual siswa. Kemuliaan yang melekat pada seorang guru dalam sistem pendidikan kuno dan penghormatan tinggi yang ditunjukkan kepadanya dalam masyarakat tidak sulit dipahami. Sejak awal jaman Veda belajar Veda dilakukan secara lisan PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 20 di India dari satu generasi ke generasi berikutnya. Model ini terus berlanjut bahkan ketika seni menulis datang dan menjadi mode umum. Dengan munculnya sistem mistis filsafat di jaman Upanishad, penghormatan kepada Guru menjadi lebih diintensifkan; keselamatan rohani bergantung sepenuhnya pada bimbingan guru. Pemuliaan kepada guru menghasilkan pengaruh psikologis yang besar pada siswa, sejak anak usia muda. Meskipun guru dihormati sangat tinggi, tidak pernah muncul lembaga Pelatihan Guru Sekolah Tinggi sebagaimana pada zaman modern di masa lalu. Siswa senior diberikan kesempatan untuk mengajar siswa pemula pada sebagian besar lembaga pendidikan. Siswa memandang guru sebagai orang yang ideal dan mampu mengatur perilaku sendiri dengan contoh gurunya. Oleh karena itu terakhir diharapkan terbentuk orang saleh yang berkarakter tinggi. Dia sangat sabar dan memperlakukan murid-muridnya secara sama. Di atas semua itu, ia harus menguasai cabang pengetahuan; ia terus belajar sepanjang hidupnya. Dia harus memiliki kemampuan menyampaikan pengetahuan secara lancar, kecerdasan, pikiran yang jernih, memiliki anekdot yang banyak dan menarik dan harus mampu menjelaskan teks-teks yang paling sulit tanpa kesulitan atau penundaan. Guru harus mampu menginspirasi serta menginstruksikan kesalehan, karakter, keilmiuan dan kehidupan berbudaya, mempunyai pengaruh yang dalam dan permanen kepada siswa muda mengikuti pelajarannya (Tim Penyusun, 2016: 339-384). 2.3 Metode Pengajaran Metode mengingat adalah yang paling utama sejak awal system pendidikan dimulai. Hal ini dilakukan karena tidak adanya ketersediaan kertas pada jaman itu dan juga tidak ada metode menulis. Kalaupun ada, menulis secara permanen akan sangat susah karena tiadanya sarana yang mendukung. Melalui metode ini setiap murid mesti mengingat setiap pelajaran dengan baik. Sehingga pada saat itu mereka memiliki seni mengingat agar mudah dan cepat. Dengan system ini murid akan mampu memahami dengan sangat baik setiap ajaran yang diberikan. Dewasa ini, karena perkembangan peralatan telah demikian canggih, metode mengingat telah kehilangan arti. Segala sesuatunya telah bisa di tulis dengan mudah tidak hanya di dalam kertas, tetapi di dalam sebuah alat elektronik. Metode debat juga merupakan metode yang sangt efektif pada jaman itu, dimana sekarang juga mulai ditinggalkan. Pada saat itu kecerdasan seorang murid akan kelihatan dengan kemampuan debatnya. Dengan metode ini, setiap murid diharuskan untuk melakukan persiapan dengan baik sehingga bisa berdebat. Perkembangan pemikiran juga banyak muncul dari jenis perdebatan ini, sebab berbagai pertanyaan yang diajukan akan memunculkan jawaban yang bervariasi. Semakin banyak pertanyaan yang muncul, maka semakin banyak memerlukan jawaban logis dibaliknya, sehingga mahasiswa dituntut memahami secara komprehensif materi yang dipelajari. Demikian juga menggunakan farabel untuk menjelaskan materi pelajaran yang sangat rumit sangat efektif untuk membuat mahasiswa paham. Dengan adanya pengawasan yang intensif dan jumlah kelas yang sedikit sangat memungkinkan kelas bisa berjalan lebih baik (Tim Penyusun, 2016: 339-384). PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 21 III Penutup Sistem pendidikan tidak hanya bertujuan untuk menanamkan pengetahuan umum dari sejumlah mata pelajaran; idealnya adalah untuk melatih agar menjadi ahli di berbagai cabang. Percetakan dan kertas tidak ada, buku sangat mahal dan perpustakaan praktis tidak ada, karena itu sistem pendidikan menekankan khusus untuk melatih dan mengembangkan memori untuk memastikan bahwa apa yang siswa telah pelajari selama kuliah bermanfaat baik sepanjang hidup mereka. Perhatian secara pribadi sangat ditekankan kepada setiap siswa untuk memastikan tingkat kemahiran mereka. Budaya mendengar menjadi pelajaran terpenting pula di dalam Revitalisasi pendidikan. Ketika kekuatan dialog dimulai dari mendengar yang menjadi olah rasa dan pikiran. Ketik abudaya membaca menjadi hanya copy paste semata maka akan melunturkan daya beda (Viveka) kita. Meskipun India kuno menyatakan bahwa semua orang harus menerima manfaat dari pendidikan, namun mereka juga menyatakan bahwa orang yang secara moral dan intelektual tidak layak menerima itu tidak dapat merasakan manfaatnya. Baik orang kaya maupun orang miskin mesti berdisiplin dalam belajar. Waktu dan persiapan yang melelahkan diperlukan untuk memperoleh landasan nyata dan efisiensi dari mata pelajaran. Tentu India kuno menyatakan bahwa seorang siswa harus tidak menikah selama kuliahnya. Istilah Brahmachari, yang digunakan untuk menunjuk mahasiswa, terutama pada mereka yang menjalani hidup selibat dalam rangka mewujudkan cita-cita pendidikan ini. Otoritas kita bersikeras bahwa siswa harus tetap selibat baik dalam pikiran maupun perbuatan. Dia bisa menikah hanya pada akhir kuliahnya, ketika diijinkan oleh guru untuk melakukannya. IV Daftar Pustaka Miswanto, 2008. Dunia Pendidikan dalam Perspektif Hindu. Dalam: https://www.scribd.com. Diunduh: 30-09-2016. Putu Panji Sudira, tt. Konsep Pendidikan Agama Hindu. Dalam: http://eprints.uny.ac.id. Diunduh: 30-09-2016. Tim Penyusun, 2016. Pandangan Sekilas Pendidikan Berbasis Hindu Dharma. Surabaya: Paramita. 22 PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI YANG ILMIAH DAN RELIGIUS Oleh I Gusti Made Ngurah Praktisi Agama dan Kebudayaan I. Pendahuluan Pendidikan agama Hindu merupakan sub sistem dari sistem pendidikan nasional, dimana mutu pendidikan nasional Indonesia sampai saat ini dianggap lebih rendah dari mutu pendidikan negara-negara lain di Asia Tenggara, apalagi kalau dibandingkan dengan negara-negara Barat yang pendidikannya boleh dikatakan sudah maju, karena negaranyapun sudah disebut negara maju. Sementara Indonesia masih digolongkan negara sedang berkembang; entah kapan akan nedeng (puncak) berkembangnya ?. Jika mutu pendidikan nasional rendah pasti termasuk pendidikan agama Hindu-pun mutunya masih rendah. Pemerintah secara terus nenerus telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, tentunya termasuk pendidikan agama Hindu di dalamnya. Upaya di maksud antara lain : 1) adanya perubahan paradigma pendidikan nasional, 2) adanya perubahan kebijakan dalam peraturan perundang undangan pendidikan, 3) adanya upaya peningkatan sarana prasarana termasuk dana pendidikan, 4) adanya upaya peningkatan SDM kependidikan, dan 5) adanya peningkatan peranserta masyarakat dalam penyelengaraan pendidikan. Jika pendidikan agama Hindu dilihat sebagai sebuah sistem, maka upaya-upaya yang sama harus dilakukan secara mandiri dan berkeseimbangan serta berkesinambungan dalam upaya mencapai hasil pendidikan agama Hindu sesuai dengan yang diharapkan. Tentu dengan terlebih dahulu menelusuri keberadaan pendidikan agama Hindu saat ini dibandingkan dengan harapan ke depannya. Untuk hal itu bandingkan pula dengan start adanya pendidikan agama Hindu dengan pendidikan agama yang lain, terutama dengan pendidikan agama Islam Indonesia sangat jauh ketinggalan. Ketertinggalannya disebabkan oleh berbagai hal yakni antara lain: 1. Pengakuan pemerintah tentang keberadaan agama Hindu di Indonesia baru terjadi di tahun 1958. 2. Adanya pengekangan dan salah kaprah/salah penafsiran, serta tekanan pihak hegemoni terhadap istilah ajawera dalam ajaran agama Hindu. 3. Pemberian pendidikan agama Hindu di sekolah secara normative baru dimulai dengan adanya kurikulum 1968 berlanjut pada kurikulum 1975 dan seterusnya. 4. Ketidak seimbangan fasilitas negara untuk pengembangan sistem pendidikan agama Hindu. 5. Kelemahan SDM Hindu dalam pelaksanaan manajemen pendidikan agama Hindu. 6. Peserta didik Hindu tersebar secara sporadis di berbagai wilayah Indonesia, kecuali di Bali agak terkonsentarasi. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 23 7. Terjadi ketindakseimbangan pelaksanaan pendidikan agama Hindu pada tiga jalur pendidikan. 8. Visi dan misi pendidikan agama Hindu yang tidak jelas. 9. Sistem pengkajian materi pendidikan agama Hindu juga tidak jelas dan tidak fokus, dan lain sebagainya. Itulah berbagai ketimpangan yang ada selama ini tentang pendidikan agama Hindu di Indonesia. Walaupun demikian (di balik ketimpangan tersebut) berkat kegigihan dari pencinta dan pejuang agama Hindu (khususnya bidang pendidikan agama Hindu) kondisi pendidikan agama Hindu sampai saat ini tidaklah terlalu buruk dibanding dengan pendidikan agama-agama yang lain di Indonesia. Pemerintah dan pemerintah daerah sudah memfasilitasi pelaksanaan pendidikan agama Hindu, walaupun belum memadai sesuai kebutuhan. Sesungguhnya umat Hindu Indonesia masih punya kekuatan berupa : modal sosial, modal intelektual, modal sumber daya pendorong yang bisa dimanfaatkan untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan agama Hindu ke depannya. Hanya saja tampaknya semangat Tat Tvam Asi dan semangat Vasudewa Kutum bakam dalam mengembangkan modal-modal tersebut masih lemah. Oleh karena itu, beberapa komponen sistem pendidikan agama Hindu sulit untuk diukur mutu atau kualitasnya. Wajarlah dalam hal ini dipertanyakan kenapa perlu revitalisasi, apakah tujuan pendidikan yang ingin dicapai belum tercapai? Apa saja sub-sub sistem pendidikan agama Hindu yang perlu direvitalisasi, dan upaya apa yang harus dilakukan?, agar harapan menjadikan generasi ilmiah (ilmuwan) dan religius (agamawan) bisa tercapai. Mari kita telusuri dilapangan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. II 2.1 Pengertian Istilah Revitalisasi Pendidikan Agama Hindu Kata ”vital” artinya sangat penting untuk kehidupan.; sehingga kata revitalisasi maksudnya adalah sebuah proses atau cara, perbuatan merevitalkan ( menjadikan vital); menghidupkan kembali spirit lama (tim penyusun, 1997:840). Jika pendidikan agama Hindu dipandang sebagai sebuah sistem, maka seluruh sub sistemnya adalah vital. Akan tetapi tentu ada yang paling vital, lebih vital, vital, kurang vital, sehingga revitalisasi dalam sebuah sistem pendidikan agama Hindu bisa ada pilihan skala prioritas terhadap sub-sub sistem mulai dari yang dianggap paling vital sampai dengan yang tidak terlalu vital. Dinyatakan demikian; karena tidak mungkin revitalisasi dapat dilakukan satu kaligus secara keseluruhan dalam satu proses besar terhadap semua komponen pendidikan agama Hindu itu sendiri.. Mengenai arti ”Pendidikan Agama Hindu” dapat dibahas dengan dua bagian yaitu: mendahulukan pemahaman pendidikan dalam arti umum dan kemudian mencoba memahami arti pendidikan agama Hindu secara khusus. Para pelaku pendidikan tentu sudah paham betul tentang arti, maksud dan tujuan pendidikan dalam arti umum, namun agar pembahasan ini lebih focus maka marilah kita me-recoll sejenak apa arti pendidikan menurut undang-undang yang kita miliki dan kita jadikan pedoman bersama dalam mengelola pendidikan saat ini. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 24 Di dalam Undang Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 angka 1 dinyatakan: ”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara”. Tampaknya pengertian pendidikan dalam ketentuan ini, jika disimak dengan saksama akan didapatkan pemahaman bahwa : 1. Pendidikan adalah usaha sadar; berarti pendidikan diselenggarakan dalam sebuah sistem yang telah direncanakan sebelumnya secara matang (tidak ada kata kebetulan atau kata sekedar). 2. Pendidikan menjadikan suasana belajar dan pembelajaran menarik dan dapat memotivasi peserta didik agar dapat mengembangkan potensi yang dimiliki (belajar itu menyenangkan). 3. Pengembangan potensi diri adalah untuk menguatkan dirinya juga berkenaan dengan penguatan spiritual agama (menumbuh kembangkan diri sebagai seorang religius/agamawan). 4. Pernyataan pengendalian diri agar siswa menjadi Susilawan, berperilaku sopan santun. 5. Memiliki keperibadian yang baik, maksudnya dapat hidup sesuai falsafah hidup dalam diri, warga, dan bangsanya. 6. Bisa mengembangkan kecerdasan yang dimiliki peserta didik, dan dengan dasar-dasar pengembangan tersebut seorang peserta didik akan berakhlak mulia (menjadi ilmuwan/ilmiah,intelektual). Selanjutnya di dalam UURI Nomor 20/2003 tersebut juga dinyatakan: Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan jaman. Jadi dalam rumusan pendidikan nasional ini ternyata nilai-nilai agama termasuk nilai-nilai agama Hindu menjadi akar atau sumber pertama dan utama dari pelaksanaan pendidikan nasional. Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa Pendidikan Agama Hindu adalah pendidikan yang direncanakan (dengan prinsip keseimbangan) dilaksanakan, dihasilkan berdasarkan ajaran agama Hindu, baik pendidikan agama Hindu formal, informal maupun pendidikan agama Hindu nonformal. Hal dimaksud sesuai dengan adanya tiga jalur pendidikan yang dinyatakan dalam UU RI No.20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nsional. Konsep keseimbangan dalam Pendidikan agama Hindu berkaitan dengan keseimbangan penerapan konsep menurut ajaran agama dengan konsep kebijakan pemerintah, keseimbangan antara pembelajaran teori dan praktik, keseimbangan pelaksanaan pendidikan pada tiga jalur, dan keseimbangan pendidikan agama dalam aspek fisik material dan mental spiritual. Secara lebih khusus tampak adanya ide pencapaian pendidikan agama termasuk pendidikan agama Hindu yaitu menjadikan peserta didik memiliki kekuatan spiritual keagamaan, ahlak mulia dan pengendalian diri, PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 25 serta keprinbadian (ciri agama), serta ketrampilan yang diperlukan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. 2.2 Generasi yang Ilmiah dan Religius Mengenai generasi adalah sekalian orang yang kira-kira sama waktu hidupnya; angkatan, turunan. Atau masa orang-orang satu angkatan hidup. Sasaran dalam pendidikan lebih diarahkan kepada generasi muda. Oleh karena itu, generasi muda adalah kelompok (golongan,kaum) muda (Tim penyusun, 1997:309). Generasi (muda) Hindu di tahun 1940-an, tahun 1960-an, tahun 1990-an, pastilah berbeda dengan genearsi (muda) Hindu saat ini; dan generasi mendatang. Generasi (muda) Hindu saat ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan IPTEK yang begitu maju pesat. Barang siapa tidak bisa menguasai, mengendalikan diri dalam memanfaatkan atau tidak bisa memanfaatkan IPTEK tersebut pasti akan ketinggalan jauh dari generasi muda yang lain; yang dapat menguasai dan memanfaatkan IPTEK. Dalam pembahasan ini generasi muda Hindu diharapkan melalui proses pendidikan agama Hindu bisa menjadi generasi yang ilmiah dan religius. Kata ”ilmiah” artinya bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan. Ilmu artinya pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metodemetode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu (Tim penyusun, 1997: 370-371). Adapun tentang ”riligius” yang berasal dari kata religi sama artinya dengan kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia. Religius artinya berseifat religi, bersifat keagamaan: yang bersangkut paut dengan religi (Tim penyusun 1997: 830) Jadi generasi (muda) Hindu yang ilmiah dan religius hasil pendidikan agama Hindu adalah generasi (muda) Hindu yang menguasai ilmu pengetahuan, utamanya ilmu pengetahuan agama Hindu dengan baik dan benar, dan menjadi generasi yang agamawan/religius (menguasai agama, tahu agama, beragama/agamais, dan melaksanakan agama dengan baik dan benar). III Kesempatan, Arah, dan Tujuan Pendidikan Agama Hindu Setiap berbicara tentang pendidikan agama pada sistem pendidikan nasional, tentu di dalamnya termasuk pendidikan agama Hindu. Oleh karena itu, kesempatan, arah dan tujuan pendidikan agama Hindu dapat kita simak dari berbagai peraturan tentang pendidikan yang ada dan pada ketentuan dalam agama Hindu itu, antara lain sebagai berikut. 3.1. UU RI Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pada pasal 12, (1) a, UURI No.20/2003 dinyatakan setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Lebih lanjut dalam penjeleasan undang-undang dimaksud dinyatakan bahwa: pendidik dan/guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi dan/atau disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 26 Dalam hal ini sangat jelas bahwa peserta didik yang beragama Hindu mempunyai kesempatan untuk mendapat pendidikan agama Hindu dan diajarkan oleh guru yang juga beragama Hindu. Pengadaan guru agama Hindu terutama pada sekolah-sekolah negeri menjadi kewajiban pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk memenuhinya. 3.2. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidkan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007, tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Pasal 1 ayat (1) dan (2) dinyatakan: 1) Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan. 2) Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. Selanjutnya pada pasal 38 PP RI No. 55 Tahun 2007 dinyatakan bahwa : 1. Pendidikan keagamaan Hindu merupakan pendidikan berbasis masyarakat yang diselenggarakan dalam bentuk Pasraman, Pesantian, dan bentuk lain yang sejenis. 2. Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Hindu dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah/dan atau masyarakat. 3. Pendidikan Pasraman diselenggarakan pada jalur formal dan nonformal. Pengaturan lebih lanjut tentang pelaksanaan pasal 38 s/d pasal 41 PP RI No.55 Tahun 2007, telah terbit Perturan Menteri Agama RI Nomor 56 Tahun 2014, tentang Pendidikan Keagamaan Hindu. Secara lebih teknis ketentuan ini kemudian diatur dalam berbagai Keputusan Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI. Memperhatikan ketentuan pada PP RI No.55 Tahun 2007 di atas dapat dipahami bahwa : 1. Generasi Hindu melalui pelaksanaan pendidikan agama pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, mendapat pengetahuan (agama Hindu) yang dapat membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan dalam mengamalkan ajaran agama Hindu. 2. Generasi Hindu bisa mendapat pendidikan keagamaan Hindu guna mempersiapkan diri untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya; melalui Lembaga Pendidikan Hindu berupa Pasraman Formal dan non formal yang dibangun oleh masyarakat dan pemerintah. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 27 3.3. Ketentuan Majelis Agama Hindu Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Agama Hindu selama ini mengacu pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh majelis agama Hindu sebagai berikut. a) Pendidikan agama Hindu sesuai penetapan PHDI dalam rumusan kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu menyatakan: 1. Pendidikan agama Hindu di luar sekolah merupakan suatu upaya untuk membina pertumbuhan jiwa masyarakat, dengan ajaran agama Hindu itu sendiri sebagai pokok materi. 2. Pendidikan agama Hindu di sekolah ialah suatu upaya untuk membina pertumbuhan jiwa raga anak didik sesuai dengan ajaran agama Hindu. b) Berdasarkan ketentuan UU RI No.20/2003, PPRI No.55/2007, dan Ketentuan Majelis Agama Hindu dapat dinyatakan di sini Bahwa: 1. Dari segi tujuannya Pendidikan Agama Hindu adalah untuk menjadikan SDM Hindu yang berpengetahuan agama Hindu, bisa juga menjadi akhli, berperilaku dan/atau berlaksana berdasarkan agama Hindu, dan melaksanakan agama Hindu secara seimbang (lahir batin, dan antara penguasaan konsep dan praktiknya) 2. Pendidikan agama Hindu dilaksanakan di sekolah (formal) dan di luar sekolah (informal dalam rumah tangga, non formal di masyarakat). IV. Keberadaan Pendidikan Agama Hindu 4.1. Pendidikan Agama Hindu di Luar Bali dan di Bali Keberadaan pendidikan agama Hindu, sangat terkait dengan sebaran domisili umat Hindu yang sporadis tidak merata di seluruh tanah air Indonesia. Keberadaan mereka dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar yaitu: komunitas umat Hindu di luar Bali dan komunitas umat Hindu di Bali. Komunitas Umat Hindu di luar Bali bisa dikelompokkan lagi sesuai domisili dan asal usul mereka yakni: 1. Komunitas Umat Hindu berasal dari Bali dan Jawa yang berada di daerah transmigrasi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. 2. Komunitas Umat Hindu dari penduduk setempat seperti umat Hindu Kaharingan di Kalimantan, Aluk Todolo di Tanah Toraja, umat Hindu di daerah Bugis Sidenreng Rapang Sulawesi Selatan, dan ada komunitas umat Hindu di Pulau Selayar juga di Sulawesi Selatan. Kemudian ada komunitas umat Hindu Batak di Sumatra, Maluku (di Pulau Buru dan Kei), di Jawa, Khusus Tengger, Madura, dan sebagainya. 3. Komunitas umat Hindu lainnya adalah umat Hindu yang ada di kota-kota besar seperti di ibu kota provinsi dan kabupaten /kota di seluruh Indonesia. Keberadaan Pendidikan Agama Hindu pada komunitas umat Hindu di luar Bali sangat beragam antara lain : PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 28 1. Ada beberapa sekolah yang banyak siswa beragama Hindunya sudah ada guru agamanya atas fasilitas pemerintah pusat maupun daerah (tidak masalah). 2. Ada sekolah yang jumlah siswanya yang beragama Hindu banyak, namun tidak ada guru agama Hindu yang difasilitasi pemerintah pusat maupun pemerintah setempat (masalah). 3. Ada sekolah-sekolah yang muridnya tersebar, namun guru agamanya tidak ada (masalah),dsb. Dalam kondisi seperti ini diambil langkah untuk mengadakan Pasraman dibeberapa tempat terutama di kota-kota besar untuk mengisi pendidikan agama Hindu di maksud. Namun dibeberapa tempat terutama di daerah pedalaman yang terpencil, pendidikan agama Hindu sama sekali tidak dapat dilaksanakan, karena berbagai alasan. Mengenai Komunitas umat Hindu di Bali, kondisi pendidikan agama nya sedikit berbeda dan tentu tetap juga ada masalah yakni: 1. Hampir di seluruh sekolah umum negeri maupun suasta pada semua jenjang di Bali ada siswa yang beragama Hindu; bahkan di sekolah berciri Kristen dan Katolikpun ada siswa Hindunya. Di sekolah-sekolah tersebut sudah ada guru agamanya, namun karena setiap tahun ada yang pensiun dan tidak ada pengganti, maka kekurangan guru masih dirasakan ada. 2. Calon-calon guru agama Hindu tamatan perguruan Tinggi Hindu di Bali tersedia cukup banyak, namun karena tidak ada pengangkatannya, maka terjadi kelebihan stok calon guru, sementara ada sekolah yang kekurangan guru agama Hindu. 3. Masalah lainnya; masih diketemukan Guru Agama Hindu kualitas rendah, sehingga hasil pendidikannya tidak maksimal. 4.2. Peluang dan Keunggulan Konsep. Saat ini Masyarakat Hindu memiliki peluang besar dan konsep yang unggul untuk melaksanakan pendidikan agama Hindu formal maupun nonformal untuk menciptakan generasi yang ilmih dan religius antara lain sebagai berikut : 1. Berbagai peraturan pemerintah tentang Pendidikan memberi kesempatan yang sama untuk penyelenggaraan pendidikan agama Hindu seimbang dengan penyelenggaraan pendidikan agama-agama yang lain di Indonesia. 2. Kitab Suci Veda sebagai landasan kehidupan beragama Hindu banyak memberi petunjuk tentang model dan metode dalam pengembangan pendidikan agama Hindu. 3. Agama Hindu memiliki tradisi penyelenggaraan pendidikan dengan sistem Pasraman (nonformal) sesuai tingkatan hidup (Catur Asrama Dharma). 4. Ada konsep Tradisi model pendidikan dengan keteladanan dan praktek Catur Marga (Karma Marga, Bakti Marga, Jenyana Marga, Raja/Yoga Marga) seperti di Bali merupakan potensi yang dapat dibanggakan dan terus dikembangkan. Contoh: anak anak disuruh membuat sesajen mulai dari yang paling kecil (banten saiban) samapai tingkat sederhana daksina dalam keseharian. Anak anak PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 29 belajar menari dan menabuh di Bale Banjar. Anak anak sebagai pendamping dan membantu orang tua dalam pekerjaan seperti melukis, membuat kerajinan, bertani, ngayah di Pura, dan pekerjaan praktis yang lainnya. 5. Tradisi ( mesatua) berceritra atau dialog orang tua terhadap anak sesuai waktu yang tersedia. 6. Adanya kelompok propesi (di Bali ada sekaa) berbagai bidang., belum difungsikan maksimal. 7. Tatanan mayarakat tradisi tetapi mengandung konsepsi modern seperti lembaga adat, subak, banjar (di Bali) di daerah lain ada peguyuban dan sejenisnya. 8. Adanya forum, paruman atau ikatan propesi seperti paruman sulinggih, paruman welaka, ikatan pemangku kahyangan, Paruman Pinandita Sanggraha Nusantara, Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Wanita Hindu Indonesia, Mahasiswa Hindu Indonesia dsb.nya 9. Sumber belajar baik untuk pendidikan formal dan nonformal tersedia dalam ajaran agama, praktek budaya, alam lingkungan dan dalam Iptek itu sendiri 10. Telah ada lembaga pendidikan formal (walaupun masih terbatas) seperti IHDN,UNHI,STAHN,STAH,STKIP Agama Hindu dan beberapa perguruan swasta berciri Hindu. Tentu masih banyak kekuatan lain yang dimiliki umat Hindu yang perlu ditelusuri dikaji dan dikembangakan terkait dengan pendidikan agama Hindu. 4.3 Masalah Pendidikan Agama Hindu Di samping ada peluang dan keunggulan konsep mengenai pendidikan agama Hindu terurai diatas, ternyata pendidikan agama Hindu saat ini masih menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan dan ditindaklanjuti antara lain sebagai berikut. 1. Hindu belum memiliki lembaga yang khusus mengkaji tentang pendidikan agama Hindu yang bertangung jawab penuh tentang hal itu. 2. Belum ada perumusan Visi dan Misi pembinaan dan pengembangan pendidikan agama Hindu secara terpusat. 3. Dalam pendidikan formal tidak ada lembaga khusus pendidikan berciri Hindu seperti yang ada di agama lain seperti Madrasah di Islam. Saat ini baru dalam proses perencanaan berdasarkan Permenag RI No.56 Tahun 2014. 4. Pendidikan nonformal belum memiliki pedoman yang jelas tentang penyelenggaraan pendidikan agama Hindu seperti dalam Pasraman yang sampai saat ini berjalan sendiri - sendiri. 5. Belum ada tindak lanjut penetapan-penetapan majelis agama Hindu terkait pengembangan dan pembinaan pendidikan agama Hindu. 6. Belum ada satu pemikiran para cendikiawan Hindu tentang manajemen pendidikan agama Hindu ( dengan pengembangan 8 unsurnya) sampai saat ini yang dapat dijadikan pedoman bersama dalam pengelolaan pendidikan agama Hindu PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 30 7. Pembinaan pendidikan agama Hindu selama ini hanya mengikuti ketentuan yang ditetapkan secara formal oleh pemerintah seperti penanganan pendidikan agama Hindu di sekolah formal tingkat dasar, menengah dan tinggi. 8. Kualitas pendidikan agama Hindu masih rendah manajemennya, prosesnya, dan hasilnya. 9. Sosialisasi dan pengembangan pendidikan agama Hindu sesuai ajaran Veda yang disangga oleh adat dan dudaya penganutnya tidak terealisasikan dengan baik. 10.Masih banyak generasi Hindu yang tidak dapat mengenyam pendidikan agama Hindu dengan baik, sehingga mereka tidak punya daya tahan terhadap ideologi agama dan terhadap perkembangan dunia yang terus berubah. 11.Belum ada kajian materi pendidikan agama Hindu yang berkaitan dengan: a. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi dan cepat, b. Merebaknya penyakit sosial (HIV/AIDS, judi, narkoba, seks bebas, pergaulan bebas, komunikasi dan transportaasi yang mudah), c. Kondisi umat Hindu yang sudah multi etnis, multi budaya, multi karakter dsb.nya, d. Sebaran komunitas yang tidak merata, sehingga pelayananpun tidak merata. e. Adanya desakan dan tekanan komunitas lain terhadap umat Hindu, f. Adanya perlakuan tidak adil dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat dan lain sebagainya. 12.Kondisi peserta didik dan suasana belajar Pendidikan Agama Hindu saat ini patut dicermati antara lain sebagai berikut. a. Peserta didik ingin serba cepat: belajar tidak usah lama-ama. Dalam hal ini para pembina ataupun pendidik diharapkan bisa variatif dalam metode pengajaran. Di samping itu juga perlu tegas, tetapi lugas, luwes, dapat menjadi teladan yang baik dalam mengarahkan prilaku dan sikap moral siswa. Sangat baik kalau kondisi sosial pendidik, keberadaannya lebih baik dari pada peserta didik. b. Peserta didik ingin belajar dengan santai, tetapi kalau akan ada penilain mereka ingin mendapat nilai tinggi. c. Peserta didik telah dipengaruhi oleh pemikiran bahwa mereka dilindungi HAM. Sedikit saja merasa dikerasin (dicubit misalnya, apalagi kalau ditampar) mereka boleh jadi akan melapor ke Polisi. d. Peserta didik lebih banyak memiliki kepedulian dipermukaan terhadap dirinya saja: sangat kurang perhatiannya terhadap lingkungan (gurunya, orang tua dan warga masyarakat lainnya). Dalam hal ini ada gejala menipisnya penguasaan dan pelaksanaan ajaran etika umum maupun Susila agama yang diyakini. e. Peserta didik sekarang lebih cepat dewasa dalam pikiran, akan tetapi masih kurang dalam logika, tidak tahan banting, mudah PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 31 tersinggung, mudah berputus asa, dan sebagian lagi sangat cepat mengambil keputusan yang salah dan merugikan dirinya sendiri. f. Peserta didik telah melengkapi dirinya dengan berbagai alat eletronik, alat komunikasi canggih yang dapat mengakses berita positif negatif dengan cepat dan biaya tinggi yang dibebankan kepada orang tua g. Dalam Niti Santra dinyatakan mengenai hambatan /musuh bagi seorang siswa yaitu, 1) kelalaian, 2) kebiasaan melakukan hal-hal yang buruk, 3) penyakit/kelemahan badan, 4) gila asmara, 5) kemiskinan terus menerus, 6) berzinah dan berjudi. Demikian beberapa masalah pendidikan agama Hindu yang patut menjadi dasar kebijakan ke depan dalam upaya merevitalisasi pendidikan agama Hindu untuk menciptakan generasi yang ilmiah dan religius, secara sungguh-sungguh. V 5.1 Upaya Merevitalisasi Pendidikan Agama Hindu Kebijakan Teknis Untuk mendapatkan hasil pendidikan agama Hindu yaitu generasi Hindu yang ilmiah dan religius mesti dilakukan upaya yang serius, berkualitas, serentak, sesegera mungkin antara lain sebagai berikut. 1. Majelis Agama Hindu mestinya aktif menggalang kerjasama dengan berbagai pihak terutama pihak Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama untuk segera membentuk Lembaga Pengkajian Pendidikan Agama Hindu Indonesia; dilengkapi dengan unsur manajemennya. 2. Perlu adanya penetapan Visi dan Misi pendidikan agama Hindu terpusat. Dalam tulisan ini ditawarkan konsep visi dan misi sebagai berikut. a. Visi pendidikan agama Hindu yaitu; “Terwujudnya insan Hindu yang cerdas, kompetitif, ilmuwan, agamawan, unggul dan dapat hidup seimbang, harmonis dalam menjalankan Dharma agama dan Dharma negara serta mampu menhadapi tantangan global”. b. Misi pendidikan agama Hindu yakni:. 1) Terselenggaranya pendidikan formal pendidikan agama Hindu di lembaga pendidikan umum dari TK sampai perguruan tinggi yang menghasilkan insan cerdas, kompetitif, ilmuwan yang agamawan dan berkeseimbangan. 2) Terselenggaranya pendidikan agama Hindu informal yang dapat membangun keluarga sejahtera, rahayu dan bahagia lahir batin. 3) Terselenggaranya pendidikan agama Hindu nonformal yang menghasilkan insan Hindu yang trampil, punya keunggulan dan mampu bersaing dalam membangun masyarakat jagadhita, rahayu dan damai. 4) Terselenggaranya pendidikan agama Hindu formal di perguruan tinggi Hindu yang mampu menghasilkan tenagaPROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 32 tenaga (cerdas,ilmuwan, agamawan) yang ahli agama, ahli pendidikan agama, ahli hukum agama, dan ahli manajemen pendidikan agama Hindu. 3. Perlu dirumuskan pengelompokan materi pendidikan agama Hindu pada semua jalur, dan jenjang pendidikan menjadi materi inti, materi penunjang yang jelas. a. Materi inti berkenaan dengan Tri Kerangka Agama Hindu yait: Tattva, Susila, dan Acara agama b. Materi penunjang berkenaan dengan : Sejarah Agama, Aspek sosial keagamaan Hindu, Kepekaan sosial terhadap perkembangan dunia global. 4. Diupayakan agar dalam pendidikan agama Hindu dikembangkan praktik agama yang bermanfaat langsung (berkaitan dengan lokal geneus) bagi kehidupan generasi Hindu seperti : pendidikan agama berupa pelatihan yoga, pembuatan sarana upakara, pengadaan pakaian/busana Hindu, memaknai pelaksanaan Nyepi, peringatan hari Suci Agama Hindu terkait pemeliharaan lingkungan (tumpek, Upacara tawúr dll). Pengenalan pembangunan tempat suci dihubungkan dengan keseimbangan alam, dsb. 5.2 Pengembangan Metode Pembelajaran Di samping upaya peningkatan kerja sama kelembagaan, pentepan visi-misi, kejelasan materi, dan meningkatkan manajemen pendidikan agama Hindu terurai di atas, dipandang perlu untuk didukung dengan pengembangan metode pembelajaran pendidikan agama Hindu yang sudah berjalan selama ini. Di dalam pengembangan metode pembelajaran pendidikan agama Hindu dalam kekinian, diperlukan pemikiran tokohtokoh pendidikan agama Hindu yang memiliki wawasan, pengetahuan, pengalaman luas, dan mempunyai rasa tanggung jawab serta pengabdian untuk bersama-sama merancang, sekaligus melaksanakan pengembangan dimaksud. Tujuannya agar generasi Hindu benar-benar menjadi cerdas, unggul, kompetitif positif, menjadi ilmuwan (ilmiah) yang agamawan (religius), adaptif dan mampu menghadapi tantangan global. Pengembangan metode pembelajaran pendidikan agama Hindu dalam kekinian juga dimaksudkan agar setiap orang atau lembaga yang bertanggung jawab, berperanserta dalam pengelolaan pendidikan agama Hindu saat ini, dapat menyesuaikan pengembangan metode pembelajaran yang dapat merangsang peserta didik, mau mempelajari agama dengan baik, sehingga mereka memiliki keyakinan yang mendalam tentang agama Hindu dan dapat mengamalkan atau melaksanakan agamanya itu dengan baik dan benar. Bertolak dari kondisi peserta didik pendidikan agama Hindu terurai di atas yang keberadaannya sudah berbeda jauh kalau dibandingkan dengan sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu dan harapan akan hasil pendidikan agama Hindu terurai di atas, maka perlu pengembangan metode pembelajaran yang variatif antara lain sebagai berikut : PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 33 1 Metode Pembinaan Agama sebagai Metode Pendidikan Agama Hindu. Berdasarkan Keputusan Maha Sabha ke V Tahun 1986 PHDI seluruh Indonesia menetapkan metode pembinaan umat Hindu yang di sebut enam/sad Dharma, dapat diterapkan sebagai metode pembelajaran dalam pendidikan agama Hindu yaitu sebagai berikut. a. Dharma Wacana adalah pembinaan melalui pencerahan/ceramah agama. Acara ini baik dilakukan pada Acara-Acara sosial keagamaan umat Hindu. Atau pada kegiatan sosial keagamaan Hindu dalam penyelengaraan panca yadnya. Dharma wacana dalam penyelenggaraan pendidikan agama Hindu, sama dengan metode ceramah/monolog seorang pendidik di depan kelas. Dalam metode ini bisa dimasukkan metode berceritra dalam pelaksanaannya. b. Dharma Tula, yaitu suatu metode pembinaan umat dalam bentuk diskusi, musyawarah, samua, sangkepan dan dialog. Dalam penyelenggaraan pendidikan agama Hindu, sama dengan diskusi, seminar, semi loka atau loka karya kependidikan. c. Dharma Gita, yaitu suatu metode pembinaan umat dengan melatihkan lagu-lagu kegamaan. Dalam pendidikan agama Hindu, metode ini penting untuk dilakukan dalam memupuk keterampilan peserta didik dalam penguasaan lagu-lagu keagamaan. Kemudian bisa diterapkan pada setiap acara keagamaan yang memerlukannya. d. Dharma Sadhana, yaitu suatu metode pembinaan umat dengan melatih pengembangan mental spiritual umat, menginternalisasi ajaran agama ke dalam diri. Saat sekarang banyak dikembangkan latihan yoga, membangunkan kundalini, dan latihan meditasi. Dalam penyelenggaraan pendidikan agama Hindu metode ini juga patut dikembangkan namun, harus dengan cara yang tepat dan benar, dan bertahap sesuai tingkat kelas peserta didik.. e. Dharma Yatra yaitu suatu metode pembinaan umat dengan melaksanakan Dharma yatra/tirta yatra atau kunjungan ke tempat-tempat suci. Saat ini juga metode ini telah dikembangkan oleh kelompok-kelompok spritual Hindu. Demikian pula di dalam penyelenggaraan pendidikan agama Hindu, metode ini dapat dipakai untuk memantapkan pengetahuan peserta didik secara impiris, untuk menimbulkan rasa kebanggaan terhadap para tokoh-tokoh yang membangun dan memelihara tempat-tempat suci dimaksud, dan rasa kagum terhadap kemurahan Tuhan dalam melimpahkan berbagai hasil ciptaanNYA untuk manusia. f. Dharma Shanti, yaitu metode pembinaan umat dengan cara melakukan Dharma Shanti pada setiap akhir pelaksanaan suatu Upacara keagamaan Hindu. Dalam istilah lokalnya Acara ini disebut masima krama ataupun maprani. Dalam Acara Dharma Shanti umat diajak mengevaluasi segala sesuatu sesuai yang telah dilaksanakan di masa sebelumnya, yang puncaknya terlaksana dalam suatu Acara peringatan. Dharma Shanti sampai saat sekarang ini telah populer dilaksanakan sehari setelah peringatan PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 34 Hari Raya Nyepi tahun Baru Saka setiap tahun. Metode ini juga dapat dipergunakan dalam pelaksanaan pendidikan agama Hindu untuk mengakhiri suatu kegiatan Upacara di sekolah ataupun untuk mengakhiri Upacara keagamaan Hindu secara umum untuk peserta didik. Penulis mengusulkan satu metode lagi yang disebut Dharma krya. Dharma kriya merupakan pembinaan pendalaman agama melalui kegiatan kerja. Misalnya seorang tukang ukir relif atau pelukis sebuah dinding tembok pura, pelawah gamelan, atau yang lain; menampilkan ukiran atau lukisan ceritra keagamaan seperti Ramayana dan Maha Bharata. Jadi aktivitas melukis atau mengukir bagi sesorang, sekaligus dapat mendalami makna agama yang tertuang dalam ceritra keagamaan yang ditampilkan dalam ukiran atau lukisan tersebut. Dharma Kriya ini juga dapat dijadikan metode dalam pelaksanaan pendidikan agama Hindu. 2. Metode Mendidik Anak dalam Niti Sastra. Cara mendidik anak yang dinyatakan dalam Niti Sastra adalah sebagai berikut : a. Mendidik anak umur 5 tahun dapat diperlakukan seperti raja, b. Bagi anak yang berumur 7 sampai 10 tahun ajarkanlah kepada mereka tentang ketaatan, kepatuhan (disiplin), c. Pada umur 11 sampai 16 tahun dididik mereka dengan memperlakukan sebagai teman, dan d. Anak yang telah berumur 17 sampai dengan 20 tahun mereka sudah bisa mendidik dirinya secara andragogik. Pendidikan hanya memberi kode atau tanda-tanda tentang hal yang mana boleh yang mana tidak boleh, yang mana baik dan yang mana tidak baik. 3. Metode Pelaksanaan Pendidikan dalam Manawa Dharmasatra. Dalam bab II Manawa Dharma Sastra sloka 70, 71, dan 74, yang artinya dalam bahasa Indonesia dinyatakan tentang teknis peleksanaan pendidikan agama Hindu sebagai berikut : Bagi siswa yang segera akan mempelajari Veda, akan menerima perintah setelah terlebih dahulu minum air sesuai dengan Acara menurut Dharmasastra, dan setelah memberi penghormatan kepada Tuhan dan berpakaian bersih dan setelah mengendalikan indrianya(Slk.71) Pada permulaan dan penutup pelajaran Veda, Ia harus selalu menyentuh kaki gurunya, dan ia harus belajar mencakupkan kedua belah tangannya : ini disebut Brahmaanjali, yaitu mencakupkan tangan untuk Veda(Slk. 72) Hendaklah mengucapkan pranawa (aksara OM) pada permulaan dan penutupan pelajaran Veda, karena kalau tak didahului dengan ucapan OM pelajaran akan tergelincir menyasar dan kalau tidak diikuti pada penutup maka pelajaran itu akan menghilang (Slk.74) Selanjutnya dalam sloka 117 ada penegasan sebagai berikut. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 35 Seorang siswa, pertama harus memberi hormat dengan sujud kepada guru dari mana ia menerima pengetahuan yang menyangkut soal keduniawian, tentang Veda atau tentang Brahman. Penjelasan kutipan sloka-sloka di atas memberi petunjuk betapa pentingnya siswa itu mengikuti disiplin belajar sebagaimana ketentuan dalam Veda. Dari disiplin tersebut dinyatakan memang ada pahala yang diperoleh dalam memahami pengetahuan yang dipelajari dan tidak mudah hilang dari ingatan siswa. Untuk proses pembelajaran pendidikan agama Hindu di Bali sudah ada beberapa hal yang diupayakan sejak tahun 2003 antara lain : a. Pada penerimaan siswa baru dilaksanakan Upacara pewintenan (analog dengan Upanayana). b. Pada saat penamatan diadakan Upacara sembahyang bersama (analogdengan samawartana) c. Pada setiap purnama dan tilem diadakan persembahyangan bersama, di mana peserta didik berpakaian adat Bali/pakaian sembahyang. d. Pada setiap kesempatan diadakan Pasraman untuk melatih keterampilan siswa dalam berbagai sarana/upakara agama Hindu, menyeimbangkan pendidikan agama Hindu formal dengan non-formal. 5.3 Keseimbangan Penyelenggaraan Pendidikan Agama Hindu Melalui upaya-upaya terurai di atas dapat dipandang sebagai usaha revitalisasi pendidikan agama Hindu yang diharapkan menghasilkan generasi Hindu yang ilmiah dan religius. Guna lebih meyakinkan pencapaian hasil pendidikan agama Hindu, perlu pula memperhatikan perbaikan dalam penyelenggaraan pendidikan agama Hindu secara seimbang antara lain sebagai berikut. 1. Perlu ada keseimbangan proses pendidikan dalam rumah tangga (informal),di masyarakat (non-formal), dan di sekolah (formal). Caranya adalah dengan menumbuhkan kesadaran dan peranserta orang tua dan warga masyarakat, serta warga sekolah secara seimbang, tentang pentingnya saling mengisi dan saling mengingatkan dalam proses penyelenggaraan pendidikan agama Hindu. 2. Perlu ada keseimbangan dalam pemberian materi ajar di satu sisi berupa konsep dan di sisi lain berupa praktik agama yang bermanfaat dalam hidup sehari-hari. 3. Perlu ada keseimbangan pemberian pelajaran agama Hindu sesuai tingkat umur peserta didik. 4. Sistem pengajaran agama diharapkan dapat membuka cakrawala pendidikan agama Hindu berwawasan multikultural. 5. Pemberian materi ajar juga semestinya diseimbangkan antara Tattva, Susila dan Acara, dan materi kepekaan sosial dan lingkungan serta diselaraskan dengan keberadaan umat Hindu yang berasal dari berbagai etnis dan sumber budaya. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 36 6. Para pendidik sudah seharusnya memiliki kompetensi penuh dalam pendidikan agama Hindu dan dapat bertugas secara profesional, dimanapun di tugaskan. 7. Pengajar,pembina, warga masyarakat, warga sekolah, para tokoh agama dan tokoh masyarakat dapat berperan sebagai motivator, mediator, katalisator, dan bisa diteladani dalam pengembangan pembelajaran agama Hindu pada tiga jalur. 8. Perlu diciptakan instrumen pendidikan agama Hindu yang menarik, mudah dimengerti, murah, di samping berupa buku, juga berupa VCD. dan juga lewat siaran-siaran di media masa. Demikian beberapa hal yang dikemukakan di atas sebagai upaya dalam rangka revitalisasi Pendidikan Agama Hindu untuk menciptakan generasi Hindu yang ilmiah (ilmuwan) dan religius (agamawan). VI. Penutup Revitalisasi Pendidikan agama Hindu untuk mewujudkan generasi ilmiah dan religius akan berhasil bila ada keseimbangan pemahaman ide penyelenggaraan pendidikan agama Hindu oleh pengambil kebijakan dan penyelenggara pendidikan agama Hindu pada semua jalur, tingkat dan jenis pendidikan. Di samping keseimbangan dalam pemahaman ide, juga perlu ada keseimbangan dalam upaya-upaya peningkatan pelaksanaan pendidikan agama Hindu; baik berkaitan dengan kebijakan, materi pendidikan, metode, dan manajemn pendidikan agama Hindu itu sendiri. Dalam hal ini diharapkan semua pihak (pemerintah, pemerintah daerah, orang tua, tenaga kependidikan, tokoh masyarakat, tokoh agama) bisa berperanserta secara positif , aktif, dan produktif dalam penyelenggaraan pendidikan agama Hindu. Demikian beberapa hal yang dapat saya sampaikan dalam seminar ini. Mudah-mudahan dapat bermanfaat adanya. VII. Daftar Pustaka Anonim. 2003. Undang – Undang RI. Nomor 20 tahun 2003. tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. Penerbit PT.Kloang Klede Putra Timur, bekerjasama dengan Koperasi Primer Praja Mukti Depdagri. Ali, Muhammad. 2007. Peraturan Pemerintgah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007, Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Jakarta: Depag.RI. Anonim. 2009. Himpunan Undang-Undang Republik Indonesia Guru & Dosen, Sisdiknas. Jakarta: Wacana Intelektual. Anonim. 2005. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005. tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta. Penerbit Lembaga Kajian Pendidikan Keislaman dan sosial Arifin, Anwar. 2003. Memahami Praradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Depag.RI. Dosen, Tim.2008. Manajemen Pendidikan. Bandung: Alpabeta. Mudyahardjo, Redja. 2008. Pengantar Pendidikan, Sebuah Studi Awal Dasardasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 37 Ngurah, I Gusti Made. 1998. Pedoman Guru Pendidikan Agama Hindu Tingkat Sekolah Dasar, Tantang Pertutan-Peraturan Kependidikan. Denpasar: Kanwil Depag Prov.Bali. Ngurah, I Gusti Made. 2011. Kelap Kelip Pendidikan Agama Hindu. Denpasar, Sari Kahyangan Indonesia. Siagian, SP. 1973. Filsafat Administrasi. Jakarta: Penerbit Gunung agung. Suparman, M.Atwi. 2012. Panduan Para pengajar dan Inivator Pendidikan Desai Instruksional Modern. Jakarta: Penerbit Erlangga. Tim Penyusun.1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka. 38 PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | KESEIMBANGAN PENGAJARAN PARAVIDYA DAN APARAVIDYA SEBAGAI UPAYA REVITALISASI PENDIDIKAN HINDU UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI MASA DEPAN YANG ILMIAH DAN RELIGIUS Oleh I Ketut Donder Program Doktor Ilmu Agama E-mail: [email protected] Abstract The end goal of the education is relevant to the goal of human life, that is for achieving the God consciousness which is often called Self-realization. The achievement of God consciousness which is achieved of conscious level that Itself is not only body, but Atman (Jiva, Soul) too. Through that level, so learner will full of conciousness that himself has two kinds of life desires. The first, material needed to serve his physical body, the second, spiritual needed to serve his Soul. Relevant to those kinds of the human needs, the holy book of Manava Dharmasastra V.109 described: “body cleaned by water, mind cleaned by truth, Soul cleaned by the secret knowledge and tapa brata, and intellect cleaned by the true knowledge. For the two human needs, so in the Vedic, especially in Mundaka Upanisad I.1.4 described: “there are two kind of the knowledges which is should be understood by humankind in order to make it balance, as the wise man who has deep understood the essence of brahman said that there are two kinds of the knowledge, the highest one is called spiritual knowledge or metaphysic (paravidya) then the other lower one is called science and technology (aparavidya). Through the capabilities of these two knowledges, paravidya and aparavidya, then it will be born the human who is a scientist and religious. Abstrak Tujuan akhir dari pendidikan Hindu sejalan dengan tujuan kelahiran manusia, yaitu untuk mencapai kesadaran Tuhan yang biasa juga disebut Kesadaran Diri. Pencapaian kesadaran Tuhan adalah tercapainya suatu level kesadaran bahwa dirinya bukan saja badan tetapi juga Atman (Jiva atau Roh). Melalui level kesadaran seperti itu, maka si pembelajar akan menyadari sepenuhnya bahwa dirinya memiliki dua macam kebutuhan hidup. Pertama kebutuhan materi untuk konsumsi badan fisiknya, kedua, kebutuhan spiritual untuk konsumsi Sang Jiva. Selaras dengan dua macam kebutuhan manusia itu, maka pustaka suci Manava Dharmasastra V.109 menyatakan: “tubuh diber-sihkan dengan air; pikiran dibersihkan dengan kebenaran; Jiva manusia dibersihkan dengan pengetahuan suci dan tapa brata; kecerdasan dibersihkan dengan pengetahuan yang benar”. Demi memenuhi kedua kebutuhan manusia itu, maka dalam Veda utamanya dalam pustaka Mundaka Upanisad I.1.4 menyatakan: “ada dua macam pengetahuan, yang semesti dipahami oleh manusia secara seimbang, sebagaimana orang bijaksana yang telah memahami hakikat brahman mengatakan bahwa ada dua macam pengetahuan yaitu yang lebih tinggi disebut pengetahuan spiritual atau metafisik (paravidya) dan yang PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 39 lebih rendah disebut ilmu pengetahuan ilmiah atau sain dan teknologi (aparavidya). Hanya dengan menguasai dua macam pengetahuan paravidya dan aparavidya maka akan lahir manusia yang ilmiah dan religious. I. Pendahuluan Sesungguhnya manusia adalah mahluk spiritual atau mahluk rohani yang mengambil baju dalam bentuk tubuh material yang bersifat sementara sebagai sarana jiwa untuk melakukan tindakan-tindakan mulia. Dengan kata lain bahwa sesungguhnya dunia material ini adalah laboratorium jiwa atau roh tempat jiwa menemukan kesejatiannya. Namun demikian, sudah sejak lama efek energi negatif Kaliyuga yang materialistik, telah menggiring dan menyeret sebagian besar manusia pada kecenderungan untuk mengejar hal-hal kemewahan yang bersifat material daripada mengejar hal-hal yang bersifat spiritual. Bahkan spiritual dianggap sebagai suatu yang nomor sekian atau kebutuhan yang paling akhir. Kehidupan manusia di era Kaliyuga menjadi lebih cenderung bersandar pada hal-hal yang material belaka dan seakan-akan masyarakat manusia kehilangan nuansa spiritual, sehingga sebagian besar umat manusia melihat dunia ini hanya bendabenda materia yang perlu dikuasai, dicuri dan dirampok. Kemampuan berkompetisi untuk merebut dan mengalahkan orang lain menjadi dasar moral kehidupan umat manusia di era Kaliyuga saat ini. Tidak ada ruang atau celah untuk memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menikmati keunggulan. Pertumbuhan, persemaian dan perkembangbiakan sifat egois menjadi standard-standard kemanusiaan. Di era Kaliyuga susah sekali menemukan manusia murni (manusya madhava), sebaliknya di era Kaliyuga lebih banyak dijumpai manusia-manusia hewani (manusya sato) dan manusia-manusia kayu (manusya taru). Juga sangat sulit menemukan manusia suci yang sungguh-sungguh suci, yang kita temukan lebih banyak adalah manusia-manusia seperti “musang berbulu ayam” atau seperti “harimau berjubah” yang senantiasa siap memangsa manusia-manusia lainnya. Realiats ini benar-benar sebagai bukti bahwa dunia Kaliyuga ini adalah fata morgana yang menyilaukan mata tetapi di bawahnya penuh krikil tajam yang siap melukai telapak kaki. Di era Kaliyuga ini spiritual hanya menjadi kedok, tempat pelarian orang-orang stress dan putus asa yang tidak berhasil memenangkan egonya. Spiritual seharusnya tidak boleh dicampur-adukkan dengan pelipatan ego, sebab spiritual tidak lain adalah Dharma yang seharusnya menjadi tujuan utama dan pertama dalam kehidupan manusia, setelah itu baru materia atau artha, namun dalam realitasnya terbalik. Itulah sebabnya sehingga cara pandang manusia di era Kaliyuga ini juga lebih banyak terbaik, mereka tidak mampu membedakan mana yang sakral dan mana yang sekuler. Lebih parahnya lagi, adalah seakan-akan manusia sudah tidak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buru; atau mana yang salah dan mana yang benar. Kekayan, uang, pangkat, jabatan, kekuasaan, materia dll., telah menjadi ukuran kualitas kebenaran manusia di era Kaliyuga ini, sungguh parah kualitas manusia dewasa ini. Yang disebut manusia luar biasa di era Kaliyuga bukannya manusia yang mampu melindungi kebajikan, kebenaran, keluhuran, tetapi, yang disebut manusia hebat di era Kaliyuga adalah manusia yang mampu merendahkan manusia PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 40 dan kemanusiaan, jika perlu membasmi kemanusiaan. Kecendikiawanan, kepandaian, kemuliawanan bukan menjadi standard moralitas manusia era Kaliyuga, karena itu pantas juga pustaka Sarasamuscaya 282 menyindir keburukan sifat manusia dengan menyatakan: Ika tang daridra, yadyapin pràjña tuwi, tan hinidëp juga ikang senujarakënya, yadyapi mangëne kàladeûa tuwi, cabda hitàwasàna tuwi, nguniweh yan apunggunga ikang wwang daridra, pisaningun hanà sambega rumëngwà sojarnya (Orang yang miskin itu biarpun ia pandai, tidak diindahkan segala yang dikatakannya walaupun tepat waktunya, tempatnya dan ucapannya sungguh-sungguh bermanfaat; apalagi jika si miskin itu bodoh, pasti tidak akan ada orang yang dengan senang mendengarkan kata-katanya). Sloka ini menunjukkan bahwa di era Kaliyuga harta kekayaan telah menjadi standard penilaian kemuliaan. Karena itu betapapun kemuliaan dan kesucian seseorang jika miskin, maka ia tidak akan mendapat penghargaan dari masyarakat. Oleh karena sedemikian materialistic pandangan manusia di era Kaliyuga, maka menguasai materia dengan cara apapun menjadi tradisi manusia. Hal ini juga yang menyebabkan para spiritualis takut sekali kekurangan materi, sehingga mereka juga harus berlepotan dengan lumpur materi. Tampaknya di era Kaliyuga ini tujuan hidup untuk menguasai harta kekayaan materi sebanyak-banyaknya tidak saja dilakukan oleh orangorang vaisya (petani dan pedagang) yang memang ruang lingkup profesi mereka di seputar harta benda atau kekayaan, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang yang dianggap Brahmana. Banyak orang yang dianggap suci atau disucikan mengambil jalan bisnis properti; alasannya adalah tidak ada larangan orang spiritual menjadi kaya. Alasan lainnya lagi, bahwa manusia harus hidup secara seimbang dalam material dan spiritual. Katanya lagi bahwa selama manusia hidup di dunia material, maka selama itu manusia akan terikat dengan materi. Semua alasannya itu benar dan masuk akal, namun mengapa para spiritualis tidak memberikan contoh riil yang benar tentang tujuan akhir kehidupan manusia, yaitu mencapai moksha. Jika orang-orang spiritual masih materialistik, lalu kapan mokshanya? Lebih parah lagi, jika para spiritual yang materialistic dijadikan kesuksesan hidup manusia, maka tujuan mulia kelahiran manusia kedunia yang diajarkan oleh agama tidak akan dihormati dan dipercayai lagi. Disinyalir oleh banyak pakar pendidikan bahwa semakin terpuruknya kemanusiaan dan kesadaran spiritual manusia dewasa ini disebabkan oleh faktor pendidikan yang lebih menekankan pada kecerdasan otak kiri yang materialistic matematik daripada penekanan pada kecerdasan otak kanan yang metafisik spiritualistik. Akhirnya, setelah tidak terhitung jumlahnya korban-korban kemanusiaan, para penguasa baru menyadari efek negatif dari pengajaran materialistik dan kemudian membangun kembali dasardasar pendidikan karakter. Tetapi, program penyelenggaraan pendidikan karakter tersebut tidak serta-merta dapat menghapus tradisi pendidikan kompetitif materialistik itu. Peletakan dasar-dasar pendidikan karakter masih harus menempuh perjalanan yang panjang untuk memperbaiki moral manusia dewasa ini, karena sebagian besar umat manusia sudah sangat enjoy dengan pendidikan materialistik yang berlangsung selama ini. Bahkan saya (penulis artikel ini) tidak yakin pendidikan karakter yang dicanangkan pemerintah saat ini akan berhasil. Keraguan ini didasarkan atas adanya PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 41 ketentuan bahwa untuk menempati jabatan tertentu harus melamar. Hal ini justeru bertentangan dengan sistem penilaian hasil kerja yang dilakukan oleh seorang pimpinan atau atasan. Jika benar-benar suatu sistem kerja yang diikuti oleh suatu sistem penilaian yang professional, orang lainlah dalam hal ini atasanlah yang mengetahui kualitas professional seseorang. Dengan melamar jabatan, hal ini dapat menumbangkan penilaian atasan. Sekalipun ada standar-standar mutu hasil kerja yang berhubungan dengan beban kerja, hal itu masih mengandung subjektifitas yang tinggi. Karena semua alasan itu, dan masih banyak alasan lainnya, pendidikan karakter yang dicanangkan saat ini harus berhadapan dengan tantangan yang berat. II. Pembahasan 2.1 Pemahaman yang Benar terhadap Hakikat Dua Pengetahuan Dunia material ini sesungguhnya pada awalnya adalah ātman atau roh, demikian pernyataan Brihad Aranyaka Upanisad. Pernyataan ini merujuk bahwa dunia alam semesta ini berasal dari yang tidak tampak secara kasat mata, kemudian tampak. Karena itu sesungguhnya dunia fisik ini tidak bisa dipisakan dengan yang metafisik atau yang tidak tampak oleh mata. Artinya bahwa Sang Pencipta (Roh) dan ciptaanNya (dunia) merupakan satu kesatuan, inilah pengetahuan advaita. Tetapi, bagi orang-orang yang tidak berpengetahuan secara sempurna akan melihat dunia ini sebagai dualitas yang membingungkan. Namun, dunia akan tampak sebagai sorga bagi orang-orang yang telah melampaui paham dualitas dan menjadikan paham sebagai non-dualitas atau advita. Selama dunia ini dipandang sebagai dualitas, selama itu pula dunia akan menyesatkan manusia. Karena itu manusia sangat penting memahami asal-usul dunia ini sehingga dapat menjadikan dunia ini sebagai sorga yang dapat menyenangkan jiwa yang sedang melaksanakan Dharmanya di dunia ini. Untuk memahami asal-usul dunia ini dapat ditelusuri melalui pustaka-pustaka upanisad. Brhad-āranyaka Upaniṣad I.4.1 menyatakan: ātmaivedam agra āsῑt puruṣavidhaḥ … ‘pada permulaannya dunia ini adalah ātman…’ (Radhakrishnan, 2008:119). Hal senanda juga dinyatakan dalam pustaka Aitarea Upanisad I.1 sebagai berikut: ātmā vā idam eka evāgra āsῑt … ‘Ātman sajalah sesungguhnya yang ada pada permulaannya …’ (Radhakrishnan, 2008:397); senada dengan itu juga dinyatakan didalam pustaka Chandogya Upanisad III.14.1 yang menyatakan: sarvam khalv idam brahma, … ‘Sesungguhnya seluruh jagat ini adalah brahman, …,’ (Radhakrishnan 2008:300). Karena dunia ini mengandung kegandaan, yang bersifat oposisi biner, maka ajaran Hindu menyiapkan dua macam pengetahuan yaitu yang satu tentang yang sakala (dunia material yang kasat mata) dan yang kedua adalah pengetahuan yang niskala (dunia metafisik yang tidak kasat mata). Kedua pengetahuan tersebut tidak boleh diabaikan melain harus menjadi PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 42 sesuatu yang bersifat saling melengkapi dan harus selalu bersifat harmonis. Artinya, bahwa kedua hal itu harus saling mendukung satu sama lainnya untuk mencapai tujuan hidup ideal bagi umat manusia, yaitu mencapai moksha. Tegasnya, semua hal yang sakala atau yang material harus diupayakan untuk mendukung atau merealisasikan pencapaian tujuan kelahiran manusia dan bukan membuat manusia terlalu melekat hingga menyesatkan manusia dari tujuan kelahirannya. Pustaka suci Mundaka Upanisad I.1.4 menyatakan: “tasmai sa hovàca: dve vidye veditavye iti ha sma yad brahmavido vadanti, parà caivàparà ca”. Arti bebasnya bahwa: “ada dua macam pengetahuan yang semesti dipahami oleh manusia secara baik dan benar, sebagaimana dipahami oleh para bijak bahwa ada dua macam pengetahuan, yaitu yang satu lebih tinggi (paravidya) dan yang satunya lagi lebih rendah (aparavidya)”. Orang yang memiliki pemahaman yang benar terhadap kedua macam pengetahuan paravidya dan aparavidya sebagaimana uraian di atas, maka ia tidak akan terseret oleh hal yang bersifat materi. Ia akan melihat segala sesuatu secara seimbang, artinya ia senantiasa mampu menilai mana yang bersifat sementara dan mana yang bersifat kekal. Ia akan senantiasa menggunakan segala hal yang dunia ini untuk meningkatkan spiritualnya. 2.2 Efek Negatif dari Penyelenggaraan Pendidikan yang Buruk Pemahaman yang benar terhadap esensi dua pengetahuan paravidya dan aparavidya sebagaimana uraian di atas hanya mungkin jika manusia sejak dini ditanamkan pemahaman yang benar terhadap dua pengetahuan tersebut melalui sistem pendidikan formal. Tetapi, realitas kualitas manusia dewasa ini semakin hari semakin merosot, kenyataan menunjukkan bahwa orang-orang berpendidikan tinggi tidak dijamin mereka lebih baik daripada orang-orang yang tidak berpendidikan atau orang buta huruf. Bahkan, realitas juga menunjukkan bahwa kejahatan korupsi yang menyebabkan kerugian negara yang sangat besar justeru dilakukan oleh orang-orang yang sangat terpelajar dengan gelar kesarjanaan yang tinggi dan berderet-deret. Hal ini, disinyalir disebabkan oleh buruknya sistem pendidikan yang buruk di berbagai belahan dunia, sebagaimana dinyatakan oleh hasil simposium pendidikan tingkat dunia yang diselenggarakan di Bangkok seperti dicatat oleh Chaudry. Simposium tingkat dunia itu mencatat bahwa: Present day education develops the intellect and skills but does little to develop good qualities. Of what avail is all the knowledge in the world, if one has not got good character. It is like water going down the drain. There is no use if PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 43 knowledge grows while desires multiply. It makes one a hero in words and a zero in action (‘Pendidikan saat ini hanya berorientasi mengembangkan kepandaian dan keterampilan dengan sedikit menitik beratkan pada kualitas yang baik. Apalah artinya semua pendidikan yang ada di dunia jika seseorang tidak memiliki karakter yang baik, ibarat mata air yang makin lama makin kering. Tidak ada gunanya jika pendidikan berkembang disertai dengan nafsu keinginan yang berlebihan. Inilah yang membuat manusia menjadi pahlawan dalam kata-kata tetapi tidak pernah berbuat apa-apa’ (Donder, 2004:1). Chaudry sebagaimana dikutip oleh Donder (2004;2005) menguraikan bahwa ada sinyalemen yang diperoleh dari hasil simposium pendidikan tingkat dunia tentang Pendidikan Nilai-nilai Kemanusiaan Untuk Zaman Baru (Education in Human Values For The New Age) yang diselenggarakan oleh organisasi “Sri Sathya Sai Trust” yang dilaksanakan di Bangkok pada tanggal 30 Oktober-1 Nopember 1987, mensinyalir bahwa; situasi dan kondisi sistem pendidikan hingga samapai pada tingkat dunia saat ini sudah sampai pada tarap pendidikan “gila”. Hasil simposium tingkat dunia itu menyimpulkan bahwa; orientasi sebagian besar orang-orang telah mengira bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mendapatkan gelar kesarjanaan. Karena pemahaman mereka pendidikan itu hanya untuk mendapat gelar kesarjanaan, karena gelar itu mereka anggap sebagai alat bagi mereka agar memiliki martabat. Maka ijazah kesarjanaan menjadi motif utama atau tujuan utama mereka masuk ke lembaga pendidikan. Di otak mereka hanya ada satu lembar kertas berstempel yang menyatakan diri mereka telah sarjana. Karena kertas selembar dan gelar kesarjanaan itu saja yang mengisi memberan otaknya, sehingga mereka tidak pernah merasa memiliki tanggungjawab terhadap gelar mereka. Lalu apa arti gelar BA itu? Jika dirunut-runut, hakikat gelar kesarjanaan (degree yang dapat disingkat dengan huruf D) sesuai dengan kondisi pendidikan dewasa ini, maka mula-mula orang-orang terpelajar akan mendapat gelar sarjana muda yang dalam bahasa Inggris disebut Bechelor of Art (BA) bila ditambahkan dengan singkatan degree (D), maka gelar BA itu jika ditambahkan dengan huruf D akan menjadi BA + D = BAD artinya ‘buruk’. Selanjutnya bila seseorang melanjutkan pendidikannya lagi, akan memperoleh gelar lebih tinggi lagi, misalnya MA, jika gelarnya ditambahkan dengan D, menjadi MA + D = MAD artinya ‘gila’. Inilah realitas atau kenyataan hasil dari sistem pendidikan dewasa ini yang sangat menekankan pada gelar kesarjanaan ditambah lagi dengan kemampuan untuk merebut segala peluang. Inti sari situasi pendidikan dewasa ini di seluruh dunia mengajarkan kepada setiap orang yang berpendidikan harus mampu menang dan jangan siap kalah. Oleh karena itu, maka sejak awal proses pendidikan secara langsung maupun secara tidak langsung para pengajar dan pembelajar telah terbiasa melakukan manipulasi-manipulasi agar unggul atau menang. Karena itu pula, maka secara kualitatif lembaga-lembaga pendidikan telah memproduk banyak sarjana dengan kualitas integritas kesarjanaan yang rendah. Situasi pendidikan yang berorientasi pada gelar inilah yang mengakibatkan ada banyak pejabat dan lembaga pendidikan tersandung hukum pidana karena membeli dan menjual ijazah sarjana. Akibat dari situasi pendidikan yang berorientasi pada gelar, gelar, dan gelar; maka melalui pendidikan mulaPROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 44 mula “orang-orang yang tadinya di rumahnya baik-baik saja kemudian setelah memiliki gelar kesarjanaan menjadi buruk (BAD)” dan kemudian dengan pendidikannya yang lebih tinggi maka akhirnya hasil pendidikan mereka menjadikan mereka “orang-orang gila (MAD)”. Ya, mereka telah gila karena terlalu bangga dengan gelar kesarjanaan untuk memenangkan kompetisi dalam mendapat jabatan, materi yang sebesar-besarnya. Hanya sangat disayangkan mereka tidak sadar dengan kegilaannya dan tidak ada orang yang berusaha menyembuhkan kegilaan mereka. Sarjana-sarjana buruk dan sarjana-sarjana gila tidak memiliki rasa malu menyandang gelar kesarjanaan; orientasi mereka uang, harta, jabatan, kehormatan. Jika para sarjana melihat dengan matanya yang jujur, objektif, dan terbuka nampaknya kata-kata Chaudrya di atas memang benar, sebab memang banyak orang tergila-gila dengan gelar kesarjanaan; bahkan bisa ada banyak orang mau membeli ijazah kesarjanaan tanpa menghiraukan kualitas dirinya. Memasang gelar di depan maupun di belakang nama merupakan tradisi penghormatan di lingkungan akademik juga terjadi di lingkungan masyarakat luas. Kenyataan itu menyebabkan munculnya komersialisasi dunia pendidikan yang banyak dikuasai oleh orang-orang yang memiliki modal besar. Akhirnya banyak sekali ditemukan wajah-wajah para sarjana yang tidak elok, tidak tahu malu, bahkan tidak punya malu sama sekali seperti slogan menyatakan sarjana-sarjana muka tembok. Menyaksikan realitas pendidikan seperti ini, maka IHDN Denpasar sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pada ajaran Hindu yang bersumber pada Veda, maka sudah layak melakukan kajian yang mendalam tentang esensi pendidikan Hindu dan termasuk melakukan revitalisasi pendidikan Hindu agar lembaga yang terhormat ini mampu mencetak ilmuwan yang agamawan (religius) atau sarjana yang sujana sesuai dengan visi dan misi IHDN Denpasar. Jika tidak, maka lembaga ini akan lebih banyak melahirkan sarjana-sarjana durjana (jahat). Dengan demikian tidak boleh ada alasan seorang guru atau dosen yang kuliah lagi dengan alasan kuala pang dadi sarjana ‘asal jadi sarjana. Slogan kuala ‘asal’ atau ‘yang penting’ jadi sarjana atau doktor harus diubah menjadi ‘supalaan’ atau ‘puputan’; sebab seorang sarjana apalagi seorang sarjana dengan gelar doktor adalah seorang “pendekar intelektual”. Karena itu seorang pendekar intelektual atau jawarah intelektual akan senantiasa menggunakan intelektualitasnya untuk membela, melindungi umat manusia. Sebalik-nya seorang yang lahir dari prinsip sarjana kuala ‘asal sarjana’ akan menggunakan gelarnya untuk membenarkan segala tindakan adharma-nya. Berebut kedudukan hingga menggunakan magic adalah kebiasaan para sarjana kuala. Sarjana-sarjana kuala seperti itu akan dicibir sebagaimana slogan Bali menyatakan, sebagai sarjana ngentuk-ngetukin natah ‘sarjana yang membuat pemandangan halaman rumah kacau balau’. Atau juga akan disebut sebagai sarjana sing karuan tek ‘sarjana yang tidak memiliki identitas’. Karena itu, tuntutan institusional kepada para guru dan dosen untuk memenuhi kualifikasi pendidikan harus benar-benar diadakan “kontrak mutu”, jika ternyata seorang pendidik yang sudah tamat dari pendidikan yang lebih tinggi namun tidak menunjukkan adanya peningkatan kualifikasinya, maka perlu diberikan sangsi moral dalam bentuk penundaan kenaikan pangkat atau hak sesuai kualifikasinya. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 45 2.3 Semua Pengetahuan Bersumber pada Veda Ajaran Hindu bersumber dari Veda yang berarti ‘pengetahuan’, dengan demikian Veda menaungi segala macam pengetahuan dan menjadi sumber inspirasi segala macam ilmu pengetahuan, sebagaimana dinyatakan oleh seorang yogi suci abad modern, yaitu Sivananda. Ia menyatakan bahwa: Veda Merupakan buku yang tertua dalam kepustakaan umat manusia. Kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam semua agama diperoleh dari Veda dan akhirnya dapat ditelusuri melalui Veda. Veda merupakan sumber utama dari agama. Veda merupakan sumber akhir, dari situlah semua pengetahuan keagamaan dapat ditelusuri, karena agama merupakan asalusul pengetahuan ketuhanan, yang diwahyukan Tuhan kepada manusia pada zaman dahulu kala, Ia diwujudkan dalam Veda. Veda berasal dari nafas Tuhan dan merupakan kata-kata Tuhan. Veda tidak diucapkan oleh seseorang dan bukan merupakan kumpulan buah pikiran siapa pun juga, dan tidak pernah dituliskan atau diciptakan. Veda bersifat abadi dan tanpa pribadi. Tanggal atau waktu turunnya tidak akan pernah dapat ditentukan. Ia merupakan kebenaran spiritual abadi, Ia juga merupakan perwujudan dari pengetahuan ketuhaan. Buku-buku mungkin dapat dihancurkan tetapi pengetahuan ketuhanan tidak mungkin dapat dimusnahkan. Pengetahuan itu adalah abadi, sehingga dalam pengertian ini Veda juga abadi (Sivànanda dalam Donder, 2006:iii). Selama ini pengetahuan agama oleh sebagian besar orang-orang baik oleh orang yang menekuni agama maupun yang tidak menekuni ilmu agama hanya dianggap sebagai pengetahuan yang hanya mempelajari hal-hal berkaitan dengan dunia kepercayaan terhadap yang gaib-gaib atau yang metafisik yang jauh dari pikiran rasional. Pandangan ini sama sekali tidak benar, namun demikian pandangan ini masih kuat dipegang oleh sebagian besar orang dari berbagai lembaga pendidikan. Bahkan Prof. Nengah Bawa Atmadja dalam suatu Seminar Nasional Teologi di IHDN menyatakan bahwa “para pakar ilmu sosial dan juga pakar ilmu agama kerap minder terhadap para pakar ilmu eksakta, sebab pengetahuan sosial dan pengetahuan agama kerap dianggap tidak ilmiah”. Kenyataan yang dipaparkan oleh Prof. Bawa tersebut sesungguhnya disebabkan oleh pihak institusi agama yang belajar agama tidak mencoba menghubungkan pengetahuan keagamaannya dengan pengetahuan ilmiah rasional. Demikian juga sebaliknya, di antara para pakar ilmu eksakta mayoritas mereka tidak mengetahui tentang agama bahkan tidak mau tahu tentang agama, disebabkan oleh adanya sejarah dan dendam berdarah antara agamawan dan ilmuwan. Seperti sejarah hegemoni gereja terhadap klaim kebenaran yang tidak mengakui adanya kebenaran di luar gereja sejak lama telah mencekoki pikiran masyarakat beragama terutama kaum Semitis, sehingga bagi mereka menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan ilmiah. Hanya baru belakangan ini kedua belah pihak, agamawan dan ilmuwan menyadari tentang pentingnya membangun yang harmonis antara agama dengan ilmu pengetahuan ilmiah. Dalam Hindu kesadaran seperti ini sejak awal telah ditanamkan kepada umat manusia. Veda sebagai sumber segala sumber pengetahuan tidak akan pernah ketinggalan zaman betapapun majunya pikiran, pengetahuan dan peradaban manusia. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 46 2.4 Pengetahuan Harus Mengentaskan Kemiskinanan Pengentasan kemiskinan merupakan tugas pertama dan utama dari pengetahuan tersebut. Kemiskinan bukan saja menyangkut kekurangan materi, yang lebih parah adalah kemiskinan mental. Kemiskinan mental jauh lebih parah daripada kemiskinan materi. Sebab orang yang mengalami kemiskinan mental, maka berapapun kekayaan yang telah dimiliki ia akan tetap merasa kekurangan. Di era Kaliyuga ini kemiskinan mental yang melihat materi sebagai segala-galanya telah digambarkan oleh pustaka suci Sarasamuscaya, sebagaimana dinyatakan: Apan ikang daridra ngaranya, yadyapin ika makweh guna kawruhanya, tan prakāca ika, tan paripūrna halêpnya, apan sri nimitaning gunan paripūna halêpnya, kadi rūpa sang hyang ādityan prakācākên ika nāng sarvabhūta, sira nimittanyān katon. Artinya: ‘Sebab yang disebut orang miskin itu meskipun ia itu banyak pengetahuannya (namun ia) tidak akan (menjadi) terkenal dan (tetap) tidak sempurna kelihatan (semua) kebaikannya, karena kekayaanlah yang menyebabkan (semua) kebajikannya itu menjadi sempurna, sebagaimana matahari menerangi segala yang ada; matahari itulah yang menyebabkan segalanya itu kelihatan’ (Sarasamuccaya 283). Uraian Sarasamuscaya 283 itulah adalah gambaran dari sebagian besar umat manusia dewasa ini yang menganggap harta, kekayaan, uang, pangkat, jabatan sebagai segala-galanya sehingga hal-hal material dianggap memiliki nilai paling tinggi dalam kehidupan umat manusia. Manusia telah mempercayai uang sebagai Tuhan (money theism). Inilah bentuk kemiskinan paling berbahaya dan paling mencemaskan, sehingga Veda menyebutnya sebagai avidya atau kegelapan yang paling gelap. Veda mengamanatkan perlunya umat manusia memahami hakikat kemiskinan karena tidak memiliki ilmu pengetahuan sebagai sumber dari segala sumber malapetaka. Amanat Veda itu pada masyarakat Bali dituangkan dalam bentuk geguritan, sebagaimana bunyi Geguritan Sucita I.VIII.1-3 pupuh Ginanti berikut: 1. Mirib suba liyu tahu, kadine mungguh ring aji, jatin sangsara punika, wetu saking tingkah pelih, pelih saking ketambetan, tambet dadi dasar sedih Arti bebasnya: ‘Sebagaimana sudah banyak orang mengetahuinya, seperti tercantum dalam sastra (aji, pengetahuan suci), sesungguhnya yang disebut dengan sengsara itu, lahir dari perilaku yang salah, kesalahan itu lahir dari kebodohan, dan kebodohan itu adalah dasar atau sumber segala kesedihan’. Bait pupuh ini dengan jelas menyatakan bahwa kebodohan adalah sumber segala penderitaan, bukan sedikitnya materi yang menjadi sumber kesedihan atau penderitaan. Karena itu memiliki pengetahuan yang benar dan suci amat penting. 2. Tambete ngawinang lacur, bulak balik manumadi, bingkih malahibin duhka, dekah nguber sukan hati, ngalih hidup mati bakat, ngalih bajang tuwa panggih Arti bebasnya: ‘Kebodohan adalah penyebab segala kemiskinan, termasuk bolak-balik reinkarnasi ke dunia, juga tergopoh-gopoh lari menghindari rasa duka, kemudian terbirit-birit mengejar rasa kesukaan hati, tetapi akhirnya mati juga yang diperoleh, harapan untuk selalu muda, usia tua juga yang diharus diterima sebagai hukum alam)’. Pupuh ini dengan tegas menyatakan bahwa kebodohan adalah penyebab segala kemiskinan, karena itu kebodohanlah yang harus diperangi. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 47 3. Tambet tan lyan puniku, dadi kranan sami-sami, krana jenged kadi jantra, suka duhka malinder panggih, jani sedih nyanan girang, suwud girang sedih malih Arti bebasnya: ‘Kebodohan itu tiada lain, penyebab segala-galanya, segala sesuatu yang ada di dunia ini berputar bagaikan roda pedati, perputaran suka dan duka harus dijumpai, suatu saat kita akan mengalami kesedihan dan suatu saat juga akan disusul oleh rasa girang, sehabis girang kita harus bersiap-siap untuk menerima kesedihan lagi’. Berdasarkan uraian tiga bait pupuh Ginanti di atas dapat diketahui secara jelas bahwa kebodohan adalah sumber segala sumber kemiskinan dan penderitaan. Kebodohan yang dimaksud adalah tidak mampunya manusia membedakan antara mana yang hakiki dan mana yang sementara. Selama orang tidak mampu membedakan mana yang hakiki dan mana yang sementara, maka selama itu manusia akan mengalami kebodohan, dan selama itu pula manusia akan menderita. Sebaliknya, ketika seseorang memahami bahwa kekayaan materi itu bersifat sementara dan kekayaan pengetahuan Atma adalah kekayaan yang kekal, maka pada saat itu orang akan menjadi pemiliki segala-galanya. Karena itu “hakikat pengetahuan yang benar” itu harus menjadi perhatian bagi setiap seseorang apalagi seorang pembelajar (siswa dan mahasiswa). Oleh karena itu, orang-orang atau lembaga yang mengelola lembaga pendidikan harus juga menekankan pengajaran yang mentransformasikan hakikat pengetahuan yang benar itu. Seorang pembelajar (siswa dan mahasiswa) apalagi para sarjana sejati tidak kalah menghadapi masyarakat yang mendewakan materi, masyarakat yang mendewa-dewakan kekayaan materi sebagai Tuhan adalah masyarakat yang diliputi kegelapan. Para sarjana sejati harus keluar dari kegelapan seperti yang dialami oleh masyarakat hedonis itu. Kebodohan dan kemiskinan adalah saudara kembar yang harus dikenali sungguh-sungguh, karena itu orang yang mau bebas dari pengaruh kebodohan dan kemiskinan maka ia harus memiliki pengetahuan yang benar (Manava Dharmasastra V.109). Bhagawan Sri Sathya Sai Baba menyatakan: Man’s achievements in the field of science and technology have helped to improve the material conditions of living. What we need today, however is a transformation of the spirit. Education should serve not only to develop one’s intelligence and skills, but also help to broaden one outlook and make him useful to society and the world at large. This possible only when cultivation of the spirit is promoted along with education in the physical science. Moral and spiritual education waill train a man to lead a disciplined life. ‘Kemampuan manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah banyak mengangkat derajat kehidupan material manusia itu sendiri. Apa yang kita butuhkan saat ini adalah perubahan semangat. Pendidikan seharusnya tidak hanya mengembangkan kepandaian dan keterampilan seseorang, tetapi juga harus dapat memperluas cakrawala dan cara pandang seseorang sehingga dapat membuatnya menjadi orang yang berguna bagi masyarakat luas. Hal ini hanya mungkin terjadi jika pengembangan semangat tersebut dilaksanakan bersama-sama dengan pendidikan ilmu-ilmu fisik. Pendidikan moral dan spiritual akan melatih manusia ke dalam kehidupan yang lebih disiplin’ (Donder, 2004:26) PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 48 Selanjutnya Bhagawan Sri Sathya Sai Baba menyatakan: Education without self-control is no education at all. True education should make a person compassionate and humane. It should not make himself centered and narrow minded. Spontaneous sympathy and regard for all beings should be keen to serve society rather than be preoccupied with his own acquisitive aspirations. This should be the real purpose of education in its true sense. ‘Pendidikan tanpa pengendalian diri bukanlah pendidikan. Pendidikan sejati harus dapat menjadikan manusia menajdi lebih tabah dan manusiawi. Pendidikan jangan sampai membuat manusia menjadi egois dan berpikiran sempit. Rasa simpati yang spontan dan penghargaan terhadap seluruh mahluk harus menjadi landasan dalam melayani masyarakat daripada hanya bergelut dengan keinginan dan kesenangan pribadi. Pada intinya hal inilah yang harus menjadi tujuan yang sebenarnya dari pendidikan itu sendiri’ (Donder, 2004:82). Dua kitpan di atas menunjukkan bahwa sistem dan penyelenggaraan pendidikan formal dan informal baik yang dilaksanakan oleh negara dan masyarakat yang berimplikasi pada pola perilaku masyarakat. Oleh sebab itu kondisi dunia saat ini yang diselimuti oleh berbagai kejahatan manusia, seperti korupsi, prostitusi, narkoba, pembuhan, pemerkosaan pasti ada hubungannya dengan konsep, system dan penyelenggaraan pendidikan. Karena itu sangat perlu dilakukan revitasi pendidikan untuk kebaikan dan perbaikan kualitas manusia dari masyarakat hewani ke masyarakat dewani. 2.5 Penanaman Nilai-nilai Kemanusiaan dan Revitalisasi Pendidikan Revitasi di bidang pendidikan Hindu penting dilaksanakan mengingat bahwa Agama Hindu dan masyarakat Hindu merupakan bagian integral dari komunitas bangsa. Sebagai bagian integral dari komunitas bangsa, maka sekecil apapun perbaikan sistem yang dilakukan oleh institusi, lembagalembaga, organisasi-organisasi Hindu akan ikut menyumbang kebaikan dan perbaikan sistem kenegaraan. Itulah sebabnya keikutsertaan masyarakat utamanya para intelektual Hindu untuk merevitalisasi pendidikan dianggap sangat penting. Implementasi nilai-nilai kemanusiaan harus menjadi bagian terpenting dari revitalisasi pendidikan Hindu. Karena puncak dari pendidikan adalah kemanusiaan; puncak dari kemanusiaan adalah ketuhanan; puncak dari ketuhanan adalah kasih-sayang, dan puncak kasih-sayang adalah kesatuan di dalam manusia. Inilah konsep nilai-nilai kemanusiaan yang menjadikan pendidikan memiliki nilai ketuhanan. Hanya penyelenggaraan pendidikan yang disertai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan yang akan mampu mewujudkan masyarakat yang damai. Arnaya (dalam Singh, 2016: v) menyatakan bahwa pencetus program pendidikan nilai-nilai kemanusiaan (PNK) adalah Sri Sathya Sai Baba, seorang guru sejati caliber internasional dan tokoh pendidikan yang paling dihormati secara luas baik di India maupun di seluruh dunia. Itulah sebabnya program ini dinamakan Pendidikan Nilai-nilai Kemanusiaan Sathya Sai. Program ini telah diterapkan dengan cepat sebagai sistem pengajaran di berbagai negara di seluruh dunia. Cepatnya penerapan sistem ini disebabkan karena dewasa ini banyak sekali timbul kekhawatiran di kalang para pemikir. Mereka merasa bahwa kemajuan yang pesat dalam PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 49 bidang ilmiah dan material belum terimbangi oleh kemampuan yang setara dalam budi perkerti dan kebajikan manusia. Banyak pengamat merasa bahwa nilai-nilai moral sudah lenyap di segala bidang, baik secara umum maupun dalam kehidupan pribadi. Program pendidikan nilai-nilai kemanusiaan digerakkan dengan keyakinan bahwa pembaharuan semacam itu akan turut mengembalikan moralitas dan spiritualitas umat manusia. Bhagawan Sri Sathya Sai Baba (dalam Singh, 2016:2) menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah tumbuh dan berkembangnya watak yang baik. Watak yang baik merupakan bagian dari kepribadian manusia yang memberikan kedamaian dan kegembiraan dalam hidup manusia. Watak yang baik melahirkan kearifan dan kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Oleh karena itu, untuk membina watak yang baik perlu ditanamkan nilai-nilai kejujuran, kebajikan, kedamaian, kasih dan tanpa kekerasan. Program pendidikan nilai-nilai kemanusiaan membangkitkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kepribadian anak yang sedang tumbuh, hal ini akan memudahkan mereka mengembangkan potensi sepenuhnya dalam kehidupan. Sekaligus mereka akan berbagi dengan orang-orang yang kurang beruntung dan turut menyumbangkan dharma baktinya bagi masyarakat luas, negara, bahkan dunia. Lebih lanjut Baba (dalam Singh, 2016:3) menguraikan bahwa melalui program Pendidikan Nilai-nilai Kemanusiaan (PNK) diharapkan anak-anak akan dapat: (1) Menghargai lima nilai kemanusiaan yang utama, yaitu (a) satya ‘kebenaran’, (b) Dharma ‘kebajikan’’, (c) shanti ‘kedamaian’, (d) prema ‘kasih saying’, dan (e) ahimsa ‘tanpa kekerasan’ sebagai hal yang penting dan mendasar dalam pembinaan anak. (2) Memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk membantu mereka menerapkan dan menghayati kelima nilai kemanusiaan. (3) Mengalami dan menghayati kelima nilai tersebut secara relevan dan dinamis sehingga mereka dapat meneruskannya dalam kehidupan sehari-hari. (4) Menghormati kebudayaan, adat istiadat dan agama orang lain agar dapat menghargai persaudaraan antar manusia. (5) Mampu mengambil keputusan yang memudahkan perkembangan pelajaran moral. (6) Mengembangkan rasa tanggungjawab terhadap akibat perbuatan mereka dan bertindak dengan menghormati dan mempertimbangkan hak, kehidupan serta harga diri semua orang. (7) Bersikap konsisten terhadap nilai-nilai kemanusiaan tersebut dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. (8) Mengembangkan disiplin diri dan kepercayaan diri yang diperlukan untuk membantu mengembangkan potensi-potensi mereka. (9) Mengembangkan sikap yang sehat terhadap lingkungan. (10) Mengembangkan keahlian nilai yang diperlukan untuk keharmonisan pribadi, keluarga, masyarakat, nasional dan dunia. Program Pendidikan Nilai-nilai Kemanusiaan (PNK) di atas bertujuan untuk membantu perkembangan watak dalam seluruh aspek kepribadian. Kepribadian akan terpadu sepenuhnya bila ada keharmonisan dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Hasilnya, ketika kepribadian merupakan watak yang baik dan ketika tujuan pendidikan itu tidak dapat dipisahkan dengan tujuan hidup, maka inilah realisasi dari Pendidikan Nilai-nilai Kemanusiaan (PNK). Program Pendidikan Nilai-nilai Kemanusiaan (PNK) menekankan pada lima aspek kepribadian manusia, yaitu: (a) intelek, (b) fisik, (c) emosional, (d) psikis, dan (e) spiritual. Setiap aspek dari kelimanya PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 50 berhubungan dengan satu nilai keutamaan yang dimiliki manusia. Kelima aspek keutamaan kepribadian manusia dan hubungannya dengan nilai-nilai kemanusiaan dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Intelek terkait dengan : kebenaran (truth) 2. Fisik terkait dengan : tindakan benar (right action) 3. Emosional terkait dengan : kedamaian (peace) 4. Psikis terkait dengan : kasih (love) 5. Spiritual terkait dengan : tanpa kekerasan (non-violence) Top goal dari kelima aspek keutamaan kepribadian manusia itu adalah terwujudnya kedamaian (peace); tanpa terwujudnya rasa damai; tanpa ada kedamaian di dunia, maka semua usaha manusia dalam bidang pendidikan akan sia-sia. Terkait dengan lima aspek keutamaan manusia dan upaya untuk menciptakan kedamaian dunia, maka Donder (2015) dalam satu pertemuan internasional aliansi tokoh umat beragama di Surabaya menguraikan: that created for the world peace we should developed our Divinity in side us. From Divinity in our inside and then the love for all human being will be rise, from the love we can establish the peace. Before all of them we can be practice, we should prepare by practice of unity, purity, Divinity. After that, we can declare that our self is the form of PEACE. One cannot say that his/her peace if he/she hate to the others, only think good; say good and do good; and the through look to all of human being as the Soul or the God then people become the form of peace. Dengan demikian menemukan nilainilai ketuhanan dalam diri setiap orang merupakan kunci pokok untuk mewujudkan kedamaian dunia. Di bawah ini Singh (2016:11) memberikan table kelima unsur Pendidikan Nilai-nilai Kemanusiaan (PNK) tersebut, sebagai berikut: 51 Tabel: PNK (Sumber, Singh, 2016:11) PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | Berdasarkan uraian-uraian di atas dan juga menyaksikan realitas umat Hindu yang juga mulai terkena imbas Kaliyuga dan imbas globalisasi yang materialistik; membuat banyak juga umat Hindu mengalami distorsi dan degradasi mental spiritual. Hal ini perlu dievaluasi kembali untuk mencari solusi demi kebaikan umat Hindu dan umat manusia pada umumnya. Reevaluasi itu tidak saja menjadi tanggungjawab pemerintah atau instansiinstansi pemerintah, tetapi juga setiap orang. Seperti, kerap dinyatakan oleh Bhagawan Sri Sathya Sai Baba, “jika di dalam diri masing-masing keluarga ada kebaikan, maka di rumah tangga aka nada kebaikan; jika di setiap rumah tangga ada kebaikan maka di lingkungan RT aka nada kebaikan; jika di lingkungan RT ada kebaikan maka di lingkungan RW aka nada kebaikan, dst., dst., semua dimulai dari individu. Kesadaran inilah yang penting. III. Penutup Berdasarkan uraian abstrak, pendahuluan dan pembahasan dapat disimpulan bahwa revitalisasi pendidikan Hindu sudah layak dilakukan. Pentingnya revitalisasi tersebut bukan hanya karena adanya oknum-oknum umat Hindu melakukan tindak pidana kejahatan korupsi, prostitusi, narkoba, perdagangan anak, dan kejahatan lainnya. Tetapi, revitalisasi pendidikan Hindu memang sangat penting dilakukan, mengingat situasi masyarakat dunia dewasa ini semakin hari semakin materialistik, hedonis dan semakin jauh dari prinsip-prinsip religius dan spiritual. Harta, uang, kekayaan, jabatan menjadi standar ukuran penilaian manusia; semakin banyak harta kekayaan seseorang semakin terhormat posisinya. Hal ini terjadi karena konsep dan pelaksanaan pendidikan yang terlalu duniawi. IV. Daftar Pustaka Abhedananda, Swami, (6th edition 2012). Ideal of Education, Kolkata: Ramakrishna Vedanta Math Anandamurti, Shrii Shrii, 1998. A Guide to Human Conduct, Jakarta: Persatuan Ananda Marga Indonesia Budhananda, Swami, 2009 in 13th edition. Can one be Scientific and Yet Spiritual?, Kolkata: Advaita Ashram Darmayasa, 2014. Bhagavad Gītā (Nyanyian Tuhan), Denpasar: Yayasan Dharma Sthapana Donder, I Ketut, 2004. Sisya Sista – Pedoman Menjadi Siswa Mulia, Denpasar: Pustaka Bali Post Donder, I Ketut, 2006. Sisya Sista – Pedoman Menjadi Siswa Mulia ‘Sisya Sista – Guidance to Become the Honorable Student’, Surabaya: Paramita Publisher Donder, I Ketut, 2009. Acharya Sista – Guru dan Dosen Bijaksana ‘Acharya Sista – Teacher and Wisdom’ Lecturer’, Surabaya: Paramita Publisher Drucker, A., 1998. Baba, Bhagavan Sri Sathya and Discourses on the Bhagavad Gita, Andhra Pradesh: Sri Sathya Sai Books and Publication Trust Ghosh, Suresh Chandra, 2001. The History of Education in Ancient India c. 3000 BC to AD 1192, New Delhi: Munshiram Manoharlal Publishers Pvt.Ltd. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 52 Krishna, Ananda, 2015. Bhagavad Gītā Bagi Orang Modern, Jakarta: Gramedia Maswinara, I Wayan, 1997. Srimad Bhagavad Gītā, Surabaya: Paramita Pandit, Bansi, 2010. The Hindu Mind, New Delhi: New Age Paramananda, Swami, 2012. Faith is Power, Chennai: Sri Ramakrishna Math Prabhupada, A.C. BhaktiVedanta Swami, 1968, The Science of SelfRealization, Mumbai: The BhaktiVedanta Book Trust Singh, Vishwanath P., 2016. Pendidikan Nilai-Nilai Kemanusiaan Sathya Sai ‘Sathya Sai Education in Human Values Manual for Teachers’ (Penterj. Dra. Retno S. Buntoro dkk.), Jakarta: YSSBI 53 PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI PEMBELAJARAN ICT Oleh Ni Ketut Srie Kusuma Wardhani Staf Pengajar Pascasarjana IHDN Denpasar Abstrak Tugas utama pemerintah dalam dunia pendidikan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak/karakter bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa Dewasa ini pengemban pendidikan terus berupaya mengembangkan pendidikan nasional guna menjawab berbagai tantangan dan perubahan yang terus berlangsung pada semua aspek kehidupan di negara Indonesia. Oleh karena itu, dikembangkan strategi baru pendidikan yang diimplementasikan untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan penerapan teknologi informasi dalam pendidikan seperti Pembelajaran melalui Informasi Communikasi dan Teknologi. Di era global informasi tidak lain adalah bentuk aplikasi jenisjenis teknologi informasi mutakhir sekaligus usaha memenuhi kebutuhan masyarakat dalam pendidikan. Proses belajar mengajar yang menerapkan teknologi dalam pendidikan dapat berupa penggunaan modul, media belajar cetak, dan media elektronik seperti radio, TV, internet dan sistim jaringan komputer, serta bentuk-bentuk teledukasi lainnya. Penggunaan teknologi dalam dunia pembelajaran memiliki manfaat yang sangat baik, karena dapat menambah wawasan berpikir dan mengurangi kebosanan. Kata Kunci: Mutu pendidikan, Teknologi Pembelajaran ICT I. Pendahuluan Sejalan dengan derap Pembangunan Nasional Dewasa ini Pemerintah sedang melaksanakan semangat pendidikan nasional yang tertuang dalam Pancasila dan Undang-UndangDasar Tahun 1945 yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak/karakter bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Eksistensinya untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan, sehingga mampu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa atau Sradhabhaktikepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhak mulia, sehat,cerdas, terampil, menguasai ilmu pengetahuan, dan teknologi (IPTEK), cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (Depdiknas 2003). Selanjutnya dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya secara maksimal untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta trampil yang diperlukan untuk dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Untuk mencapai hasil pendidikan yang memadai baik dilihat dari segi kualitas maupun kuantitasnya, dapat ditempuh melalui jalur pendidikan, jenjang dan satuan pendidikan. jalur formal, nonformal, dan informal. Pada setiap jenjang pendidikan (Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003). Untuk menghasilkan output yang berkualitas perlu juga diterapkan prinsip PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 54 pendidikan berbasis luas yang tidak hanya berorientasi pada bidang akademik semata, tetapi juga memberikan bekal learning how to learn sekaligus learning how to unlearning, tidak hanya belajar teori tetapi juga mempraktekkan untuk memecahkan masalah atau problema kehidupan sehari-hari (Benthiy, 2000). Selain itu, pembangunan pendidikan nasional juga diarahkan untuk membangun karakter dan wawasan kebangsaan bagi peserta didik, yang menjadi landasan penting bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal ini, pemerintah mempunyai kewajiban konstitusional untuk memberi pelayanan pendidikan yang dapat dijangkau oleh seluruh warga negara. Oleh karena itu, upaya peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas merupakan mandat yang harus dilakukan bangsa Indonesia sesuai dengantujuannegara Indonesia didirikan. Selanjutnya, untuk mewujudkan cita-cita pendidikan tersebut, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) sebagai lembaga yang bertanggungjawab secara nasional tentang penyelenggaraan pendidikan di tanah air, telah melakukan berbagai upaya konkrit dengan telah merumuskan visi pendidikan nasional sebagai berikut. “Visi Kemdiknas2010 – 2014 adalah terselenggaranya layanan prima pendidikan nasional untuk membentuk insan Indonesia cerdas kompetitif”. Untuk mewujudkan visi tersebut, Kemdiknasmerumuskan misinya yang dikenal dengan 5K, yakni: (1) meningkatkan ketersediaan layanan pendidikan; (2) memperluas keterjangkauan layanan pendidikan; (3) meningkatkan kualitas/mutu dan relevansi layanan pendidikan; (4) mewujudkan kesetaraan dalam memperoleh layanan pendidikan; dan (5) menjamin kepastian memperoleh layanan pendidikan (Kemdiknas, 2010:9). Melalui proses pembangunan pendidikan kita hendak membangun manusia Indonesia seutuhnya sebagai subyek yang bermutu. Membangun manusia seutuhnya pada hakekatnya adalah mengembangkan seluruh potensi manusia melalui keseimbangan olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga yang dilakukan seiring dengan pembangunan peradaban bangsa. Tuntutan akan lulusan lembaga pendidikan yang bermutu semakin mendesak karena semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja. Salah satu implikasi globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi yang membuka peluang lembaga pendidikan (termasuk perguruan tinggi asing) membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu persaingan di pasar kerja akan semakin berat. Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin besar dan kompleks, tiada jalan lain bagi lembaga pendidikan untuk mengupayakan segala cara untuk meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk akademik lainnya, yang antara lain dicapai melalui peningkatan mutu pendidikan. II. Pembahasan Dalam tulisan ini dibahas tentang paradigma baru dalam pendidikan, bagaimana menghasilkan mutu bisa berlangsung dalam pendidikan, dan bagaimana peran teknologi serta sistem manajemen untuk mendukung berlangsungnya pencapaian mutu pendidikan tersebut. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 55 2.1 Fenomena dunia pendidikan kita saat ini Setidak tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan kondisi dunia pendidikan kita saat ini, yaitu: issu seputar masalah guru, kebijakan pemerintah sebagai penyelenggara Negara, manajemen internal sekolah dan issu sarana dan prasarana belajar mengajar. 1. Issu seputar masalah guru Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal maupun informal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi guru itu sendiri. Filosofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia, telah menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah di posisikan mempunyai peran ganda bahkan multi fungsi. Mereka di tuntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilainilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara global. Dalam konteks sosial budaya Bali misalnya, kata guru sering dikonotasikan sebagai kepanjangan dari kata “digugu dan ditiru” (menjadi panutan utama). Begitu pula dalam khasanah bahasa Indonesia, dikenal adanya sebuah peribahasa yang berunyi “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Semua perilaku guru akan menjadi panutan bagi anak didiknya. Sebuah posisi yang mulia dan sekaligus memberi beban psykologis tersendiri bagi para guru kita. Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu: pertama, masalah kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih kurang, ketiga, masalah distribusi guru. (1) Masalah kualitas guru Kualitas guru kita, saat ini disinyalir sangat memprihatinkan. Berdasarkan data tahun 2011/2012, dari 1,2 juta guru SD kita saat ini, hanya 8,3%nya yang berijasah sarjana. Realitas semacam ini, pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan. Belum lagi masalah, dimana seorang guru sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran yang tidak jarang, bukan merupakan corn/inti dari pengetahuan yang dimilikinya, telah menyebabkan proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal. (2) Jumlah guru yang masih kurang Jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang, apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu, jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yag tersedia saat ini, dirasakan masih kurang proporsional, sehingga tidak jarang satu raung kelas sering di isi lebih dari 30 sampai 40 anak didik. Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang maksimal. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 56 (3) Masalah distribusi guru Masalah distribusi guru yang kurang merata, merupakan masalah tersendiri dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di daerah-daerah terpencil, masing sering kita dengar adanya kekurangan guru dalam suatu wilayah, baik karena alasan keamanan maupun faktor-faktor lain, seperti masalah fasilitas dan kesejahteraan guru yang dianggap masih jauh yang diharapkan. 2. Kebijakan pemerintah Tidak dapat disangkal lagi bahwa pemerintah sebagai institusi penyelenggara Negara mempunyai peranan tersendiri dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Kebijakan pemerintah, pada dasarnya dapat dikatagorikan dalam dua bentuk, yaitu kebijakan yang bersifat konstitusional dan kebijakan yang bersifat operasional. Kebijakan konstitusional lebih mengarah pada bagaimana pemerintah menetapkan perundang-undangan maupun peraturan-peraturan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional kita. Dalam Konteks ini, beberapa langkah maju telah dicapai oleh pemerintah saat ini. Lahirnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan strategi jangka panjang dalam membenahi carut marut dunia pendidikan kita. Sudah barang tentu, Undang-undang tersebut masih diperlukan penjabaran lebih lanjut dalam berbagai bentuk peratutan-peraturan yang berada dibawahnya, termasuk issu Badan Hukum Pendidikan (BHP), peraturan perbukuan maupun sertifikasi bagi para pengajar untuk meningkatkan standar kualitas mereka. Kebijakan operasioanal pemerintah, lebih mengarah pada kebijakan alokasi anggaran yang ditujukan bagi sektor pendidikan nasional. UU No. 20 Tahun 2003, memang telah mengamanatkan menglaokasikan 20% dari APBN/APBD untuk sektor pendidikan. Namun mengingat kemampuan keuangan Negara yang masih terbatas, maka alokasi 20% ini rencananya akan dicapai dalam beberapa tahap sesuai dengan kemampuan keuangan Negara. Dalam tahun anggaran 2007 dan berturut-turut sampai tahun 2009 ini, diharapkan anggaran untuk sektor pendidikan akan menjadi 17,40% dan 20,10%. 3. Manajemen sekolah Manajemen pendidikan di Indonesia, secara umum dikatagorikan dalam dua kelompok yaitu yang diatur dan dibawah kendali langsung pemerintah (sekolah negeri) dan sekolah-sekolah yang di kelola oleh pihak swasta (sekolah swasta). Perbedaan manajemen ini pada akhirnya, sedikiit banyak akan mempengaruhi mutu dan kualitas anak didik di masing-masih sekolah serta secara tidak langsung telah ikut menciptakan “ketimpangan” dalam pengelolaan sekolah. Bagi para keluarga yang secara ekonomi mapan, maka mereka cenderung akan mampu memasukkan anak-anaknya pada sekolah-sekolah favorit yang biasanya memerlukan alokasi dana yang tidak sedikit. Begitu pula sebaliknya, bagi yang keluarga yang kurang mampu, biaya sekolah dirasakan mahal dan menjadi beban tersendiri bagi ekonomi keluarga. Belum lagi kebijakan pemerintah dimasa lampau yang cenderung membedakan berbabagai bentuk bantuan untuk sekolah negeri dan swasta, secara langsung maupun tidak telah ikut memperparah ketimpangan dunia PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 57 pendidikan. Dalam konteks ini, pemerintah telah mengambil kebijakan untuk tidak membedakan antara sekolah yang di kelola oleh Negara maupun sekolah yang di kelola oleh pihak swasta. 4. Saran dan prasarana sekolah Sarana dan prasarana sekolah, merupakan salah satu kendala yang masih dihadapi oleh dunia pendidikan kita. Kemampuan keuangan yang masih terbatas, salah kelola maupun tingkat KKN dan Korupsi yang masih tinggi serta faktor-faktor lain, telah menyebabkan kondisi sekolah masih jauh dari memadai. Mulai dari jumlah gedung yang rusak, ruang kelas yang terbatas maupun kelengkapan alat-alat laboratorium yang sangat dibutuhkan dalam pencapaian proses belajar mengajar yang belum maksimal, merupakan beberapa kendala nyata yang masih kita hadapi. 2.2 Paradigma Baru Dunia Pendidikan Untuk mencapai terselenggaranya pendidikan bermutu, perlunya paradigma baru pendidikan yang difokuskan pada : (1) otonomi, (2) akuntabilitas, (3) akreditasi, dan (4) evaluasi. Keempat pilar manajemen ini diharapkan pada akhirnya mampu menghasilkan pendidikan bermutu (Wirakartakusumah, 1998). Mutu adalah suatu terminologi subjektif dan relatif yang dapat diartikan dengan berbagai cara dimana setiap definisi bisa didukung oleh argumentasi yang sama baiknya. Secara luas mutu dapat diartikan sebagai gregat karakteristik dari produk atau jasa yang memuaskan kebutuhan konsumen/pelanggan. Karakteristik mutu dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan proses belajar yang menyenangkan dan memberikan kenikmatan.Pelanggan bisa berupa mereka yang langsung menjadi penerima produk dan jasa tersebut atau mereka yang nantinya akan merasakan manfaat produk dan jasa tersebut. 1) Otonomi . Pengertian otonomi dalam pendidikan belum sepenuhnya mendapatkan kesepakatan pengertian dan implementasinya. Tetapi paling tidak, dapat dimengerti sebagai bentuk pendelegasian kewenangan seperti dalam penerimaan dan pengelolaan peserta didik dan staf pengajar/staf non akademik, pengembangan kurikulum dan materi ajar, serta penentuan standar akademik. Dalam penerapannya di sekolah, misalnya, paling tidak bahwa guru/pengajar semestinya diberikan hak-hak profesi yang mempunyai otoritas di kelas, dan tak sekedar sebagai bagian kepanjangan tangan birokrasi di atasnya. 2) Akuntabilitas. Akuntabilitas diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan output dan outcome yang memuaskan pelanggan. Akuntabilitas menuntut kesepadanan antara tujuanlembaga pendidikan tersebut dengan kenyataan dalam hal norma, etika dan nilai (values) termasuk semua program dan kegiatan yang dilaksanakannya. Hal ini memerlukan transparansi (keterbukaan) dari semua pihak yang terlibat dan akuntabilitas untuk penggunaan semua sumberdayanya. 3) Akreditasi. Suatu pengendalian dari luar melalui proses evaluasi tentang pengembangan mutu lembaga pendidikan tersebut. Hasil akreditasi tersebut perlu diketahui oleh masyarakat yang menunjukkan posisi lembaga pendidikan yang bersangkutan dalam menghasilkan produk atau jasa yang bermutu. Pelaksanaan akreditasi dilakukan oleh suatu badan yang berwenang. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 58 4) Evaluasi. Evaluasi adalah suatu upaya sistematis untuk mengumpulkan dan memproses informasi yang menghasilkan kesimpulan tentang nilai, manfaat, serta kinerja dari lembaga pendidikan atau unit kerja yang dievaluasi, kemudian menggunakan hasil evaluasi tersebut dalam proses engambilan keputusan dan perencanaan. Evaluasi bisa dilakukan secara internal atau eksternal. 2.3 Bagaimana Menghasilkan Mutu Pendidikan Untuk bisa menghasilkan mutu, menurut Slamet (1999) terdapat empat usaha mendasar yang harus dilakukan dalam suatu lembaga pendidikan, yaitu: (1) Menciptakan situasi “menang-menang” (win-win solution) dan bukan situasi “kalah-menang” diantara fihak yang berkepentingan dengan lembaga pendidikan (stakeholders). Dalam hal ini terutama antara pimpinan lembaga dengan staf lembaga harus terjadi kondisi yang saling menguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu produk/jasa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut. (2) Perlunya ditumbuhkembangkan adanya motivasi instrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam proses meraih mutu. Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi bahwa hasil kegiatannya mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna/langganan, (3) Setiap pimpinan harus berorientasi pada proses dan hasil jangka panjang. Penerapan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan bukanlah suatu proses perubahan jangka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten dan terus menerus. (4) Dalam menggerakkan segala kemampuan lembaga pendidikan untuk mencapai mutu yang ditetapkan, harus dikembangkan adanya kerjasama antar unsur-unsur pelaku proses mencapai hasil mutu. Janganlah diantara mereka terjadi persaingan yang mengganggu proses mencapai hasil mutu tersebut. Mereka adalah satu kesatuan yang harus bekerjasama dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk menghasilkan mutu sesuai yang diharapkan. Faktor lain yang harus dilakukan dalam mencapai peningkatan kutu pendidikan adalah, perlunya perubahan paradigma dalam proses belajar menajar. Anak didik tidak lagi ditempatkan sekedar sebagai obyek pembelajaran tetapi harus berperan dan diperankan sebagai obyek. Sang guru tidak lagi sebagai instruktur yang harus memposisikan dirinya lebih tingi dari anak didik, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator atau konsultator yang bersifat saling melengkapi. Dalam konteks ini, guru di tuntut untuk mampu melaksanakan proses pembelajaran yang efektif, kreatif dan inovatif secara dinamis dalam suasana yang demokratis. Dengan demikian proses belajar mengajar akan dilihat sebagai proses pembebasandan pemberdayaan, sehingga tidak terpaku pada aspek-aspek yang bersifat formal, ideal maupun verbal. Penyelesaian masalah yang aktual berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah harus menjadi orientasi dalam proses belajar mengajar. Oleh sebab itu, out put dari pendidikan tidak hanya sekedar mencapai IQ (intelegensia Quotes), tetapi mencakup pula EQ (Emotional Quotes) dan SQ (Spiritual Quotes). Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu, usaha pendidikan tidak lain adalah merupakan usaha “jasa” yang memberikan pelayanan kepada pelangggannya, yaitu mereka yang belajar dalam lembaga PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 59 pendidikan tersebut (Karsidi, 2000). Para pelanggan layanan pendidikan terdiri dari berbagai unsur paling tidak empat kelompok (Sallis,1993). Mereka itu adalah pertama yang belajar, bisa merupakan mahasiswa/pelajar/murid/peserta belajar yang biasa disebut klien/ pelanggan primer(primary external customers). Mereka inilah yang langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut. Kedua, para klien terkait dengan orang yangmengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini kita sebut sebagai pelanggan sekunder (secondary external customers). Pelanggan lainnya yang ketiga bersifat tersier adalah Lapangan kerja bisa pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary external customers).Selain itu, yang keempat, dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal dari intern lembaga; mereka itu adalah para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi lembaga pendidikan, serta pimpinan lembaga pendidikan (internal customers).Walaupun para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi, serta pimpinan lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju dan berkualitas dari suatu lembaga pendidikan mereka akan diuntungkan, baik kebanggaan maupun finansial. Seperti disebut diatas bahwa program peningkatan mutu harus berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan pendidikan suatu lembaga haruslah memperhatikan masing-masing pelanggan diatas. Kepuasan dan kebanggaan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan pendidikan. Potensi perkembangan, dan keaktifan murid tentu saja merupakan yang paling utama dalam peningkatan mutu pendidikan. Perkembangan fisik yang baik, baik jasmani maupun otak, menentukan kemajuannya. Demikian pula dengan lainnya, misalnya bakat, perkembangan mental, emosional, pibadi, sosial, sikap mental, nilai-nilai, minat, pengertian, umur, dan kesehatan; kesemuanya akan mempengaruhi hasil belajar dan mutu seseorang. Untuk itu, maka perhatian terhadap paserta didik menjadi sangat penting. 2.4 Penerapan Teknologi Dalam Pendidikan Aplikasi teknologi pada pendidikan secara langsung akan mempengaruhi keputusan-keputusan tentang proses pendidikan yang spesifik. Umpama: aplikasi itu mempunyai dampak penting terhadap isi (content) yang akan diajarkan, tingkat standarisasi dan pemilihan isi, jumlah dan kualitas sumber-sumber yang tersedia. Masalah-masalah pokok yang dihadapi pendidikan di Indonesia yang terpenting adalah mengenai: peningkatan mutu, pemerataan kesempatan pendidikan, dan relevansi pendidikan dengan pembangunan nasional. Demikian luas dan jauhnya jangkauan yang hendak dicapai oleh program pembangunan pendidikan kita, padahal di lain pihak sumber-sumber yang tersedia bertambah terbatas dan langka. Kenyataan-kenyataan yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pemecahan masalah-masalah pendidikan kita membutuhkan alternatif-alternatif lain disamping cara-cara penyelesaian yang konvensional yang dikenal selama ini. Berbagai potensi yang dimiliki PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 60 oleh teknologi dalam pendidikan lantas memungkinkannya diajukan sebagai suatu alternatif untuk memecahkan masalah-masalah tadi. Secara umum aplikasi teknologi dalam pendidikan akan mampu : 1. Menyebarkan informasi secara meluas, seragam dan cepat. 2. Membantu, melengkapi dan (dalam hal tertentu) menggantikan tugas guru. 3. Dipakai untuk melakukan kegiatan instruksional baik secara langsung maupun sebagai produk sampingan. 4. Menunjang kegiatan belajar masyarakat serta mengundang partisipasi masyarakat. 5. Menambah keanekaragaman sumber maupun kesempatan belajar. 6. Menambah daya tarik untuk belajar. 7. Membantu mengubah sikap pemakai. 8. Mempengaruhi pandangan pemakai terhadap bahan dan proses. 9. Mempunyai keuntungan rasio efektivitas biaya, bila dibandingkan dengan sistem tradisional. (Miarso, 1981) Pemilihan teknologi dalam pendidikan akan membuka kemungkinan untuk lahirnya berbagai alternatif bentuk kelembagaan baru yang menyediakan fasilitas belajar, disamping dapat melayani segala bentuk lembaga pendidikan yang telah ada Misalnya kemungkinan bagi suatu bentuk sekolah terbuka yang fasilitas dan tata belajarnya berbeda sekali dengan sekolah konvensional, tetapi dengan hasil (output) yang sama. Serangkaian kriteria pemanfaatan teknologi dalam pendidikan, antara lain: harus dijaga kesesuaiannya (kompatibilitas) dengan sarana dan teknologi yang sudah ada, dapat menstimulasikan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, serta mampu memacu usaha peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Dengan adanya penerapan suatu teknologi dalam pendidikan akan sangat mungkin terjadi perubahan besar-besaran dalam interaksi belajar mengajar antara sumber-sumber belajar dengan pelaku belajar. Salah satu kemungkinan perubahan tersebut adalah penerapan dan perubahan teknologi informasi dalam pendidikan melalui penyelenggaraan belajar jarak jauh. 2.5 Peranan Informasi dan Revolusi Teknologi Informasi Salah satu esensi dari proses pendidikan tidak lain adalah penyajian informasi. Dalam menyajikan informasi, haruslah komunikatif. Dalam komunikasi pada umumnya, demikian pula dalam pendidikan, informasi yang tepat disajikan adalah informasi yang dibutuhkan , yakni yang bermakna, dalam arti: (1) secara ekonomis menguntungkan. (2) secara teknis memungkinkan dapat dilaksanakan, (3) secara sosial-psikologis dapat diterima sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang ada, dan (4) sesuai atau sejalan dengan kebijaksanaan/ tuntutan perkembangan yang ada. Konsep “bermakna” ini penting bagi keberhasilan penyebarluasan informasi yang dapat diserap dan dilaksanakan sasaran/peserta didik. Karena itu, Williams (1984) menyebutkan bahwa komunikasi adalah saling pertukaran simbol-simbol yang bermakna. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 61 Williams menekankan bahwa : (1) kita tidak dapat saling bertukar makna, (2) kita hanya secara fisik bertukar simbol, dan (3) komunikasi tidak akan terjadi, kecuali kita berbagi makna untuk simbol-simbol tertentu. Dalam memberikan/menyampaikan informasi kepada orang lain (misalnya kepada peserta didik), maka informasi tersebut haruslah informasi yang bermakna bagi orang yang bersangkutan. Untuk dapat mengetahui dan memahami informasi yang benar-benar dibutuhkan, bahkan prioritas informasi yang dibutuhkan perlu kita pahami, komunikator perlu bertindak sebagai pengamat dan pendengar yang baik. Jadi bukan informasi yang kita ketahui yang disampaikan, tetapi yang kita sampaikan adalah informasi yang benar-benar bermakna dan dibutuhkan sasaran. Informasi yang dibutuhkan dan bermakna adalah informasi yang mampu membantu/mempercepat pengambilan keputusan untuk terjadinya perubahan, dan yang bermanfaat untuk mendorong terjadinya perubahan tersebut. Untuk itulah maka, pemilihan informasi harus benar-benar selektif dengan mempertimbangkan jenis teknologi mana yang tepat dipilih sebagai medianya. Dengan berkembangnya komputer dan sistim informasi modern, kembali menawarkan pencerahan baru. Revolusi teknologi informasi menjanjikan struktur interaksi kemanusiaan yang lebih baik, lebih adil, dan lebih efisien. Revolusi informasi global adalah keberhasilannya menyatukan kemampuan komputasi, televisi, radio dan telefoni menjadi terintegrasi. Hal ini merupakan hasil dari suatu kombinasi revolusi di bidang komputer personal, transmisi data, lebar pita (bandwitdh), teknologi penyimpanan data (data storage) dan penyampaian data (data access), integrasi multimedia dan jaringan komputer. Konvergensi dari revolusi teknologi tersebut telah menyatukan berbagai media, yaitu suara (voice, audio), video, citra (image), grafik, dan teks (Sasono, 1999). Akibat adanya revolusi teknologi informasi telah, sedang dan akan merubah kehidupan umat manusia dengan menjanjikan cara kerja dan cara hidup yang lebih efektif, lebih bermanfaat, dan lebih kreatif. Sebagaimana dua sisi, baik dan buruk, dari suatu teknologi, teknologi informasi juga memiliki hal yang demikian. Kemana seharusnya teknologi ini diarahkan dan ditempatkan dan dimanfaatkan dengan sebenar-benarnya haruslah diperhitungkan, karena apabila keliru, suatu bangsa akan mengalami akibatnya secara fatal. Terkait dengan dunia pendidikan, revolusi informasi akan mempengaruhi jenis pilihan teknologi dalam pendidikan, bahkan, revolusi ini secara pasti akan merasuki semua aspek kehidupan, (termasuk pendidikan), segala sudut usaha, kesehatan, entertainment, pemerintahan, pola kerja, perdagangan, pola produksi, bahkan pola relasi antar masyarakat dan antar individu. Inilah yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu. Siapkah lembaga pendidikan kita menyambutnya? Perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi) menyebabkan peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan akan mulai bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu. Peran guru juga tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar karena banyak sumber belajar dan sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 62 untuk belajar. Wen (2003) seorang usahawan teknologi mempunyai gagasan mereformasi sistem pendidikan masa depan. Menurutnya, apabila anak diajarkan untuk mampu belajar sendiri, mencipta, dan menjalani kehidupannya dengan berani dan percaya diri atas fasilitasi lingkungannya (keluarga dan masyarakat) serta peran sekolah tidak hanya menekankan untuk mendapatkan nilai-nilai ujian yang baik saja, maka akan jauh lebih baik dapat menghasilkan generasi masa depan. Orientasi pendidikan yang terlupakan adalah bagaimana agar lulusan suatu sekolah dapat cukup pengetahuannya dan kompeten dalam bidangnya, tapi juga matang dan sehat kepribadiannya. Bahkan konsep tentang sekolah di masa yang akan datang, menurutnya akan berubah secara drastis. Secara fisik, sekolah tidak perlu lagi menyediakan sumber-sumber daya yang secara tradisional berisi bangunan-bangunan besar, tenaga yang banyak dan perangkat lainnya. Sekolah harus bekerja sama secara komplementer dengan sumber belajar lain terutama fasilitas internet yang telah menjadi “sekolah maya”. Bagaimanapun kemajuan teknologi informasi di masa yang akan datang, keberadaan sekolah tetap akan diperlukan oleh masyarakat. Kita tidak dapat menghapus sekolah, karena dengan alasan telah ada teknologi informasi yang maju. Ada sisi-sisi tertentu dari fungsi dan peranan sekolah yang tidak dapat tergantikan, misalnya hubungan guru-murid dalam fungsi mengembangkan kepribadian atau membina hubungan sosial, rasa kebersamaan, kohesi sosial, dan lain-lain. Teknologi informasi hanya mungkin menjadi pengganti fungsi penyebaran informasi dan sumber belajar atau sumber bahan ajar. Bahan ajar yang semula disampaikan di sekolah secara klasikal, lalu dapat diubah menjadi pembelajaran yang diindividualisasikan melalui jaringan internet yang dapat diakses oleh siapapun dari manapun secara individu. Dunia pendidikan harus menyiapkan seluruh unsur dalam sistim pendidikan agar tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh perkembangan tersebut. Melalui penerapan dan pemilihan yang tepat teknologi informasi (sebagai bagian dari teknologi pendidikan), maka perbaikan mutu yang berkelanjutan dapat diharapkan termasuk belajar jarak jauh seperti Universitas Terbuka (UT). Perbaikan yang berlangsung terus menerus secarakonsisten/konstan akan mendorong untuk berorientasi pada perubahan untuk memperbaiki secara terus menerus dunia pendidikan. Adanya revolusi informasi dapat menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan seperti UT karena mungkin kita belum siap menyesuaikan. Sebaliknya, juga akan menjadi peluang yang baik bila lembaga pendidikan seperti UT mampu menyikapi dengan penuh keterbukaan dan berusaha memilih jenis teknologi informasi yang tepat, sebagai penunjang pencapaian mutu pendidikan. III. Penutup Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mempunyai peran yang sangat strategis bagi terwujudnya masyarakat, bangsa, dan Negara yang berjiwa nasional. Dengan demikian, tugas utama pengemban pendidikan adalah terus berupaya mengembangkan pendidikan nasional guna menjawab berbagai tantangan dan perubahan yang terus berlangsung pada semua aspek kehidupan di negara Indonesia. Oleh karena itu, implementasi (penerapan) PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 63 teknologi dalam pendidikan seperti belajar jarak jauh di era global informasi tidak lain adalah bentuk aplikasi jenis-jenis teknologi informasi mutakhir sekaligus usaha memenuhi kebutuhan masyarakat dalam pendidikan. Proses belajar mengajar yang menerapkan teknologi dalam pendidikan dapat berupa penggunaan modul, media belajar cetak, dan media elektronik seperti radio, TV, internet dan sistim jaringan komputer, serta bentukbentuk teledukasi lainnya. Pemilihan jenis media sebagai bentuk aplikasi teknologi dalam pendidikan harus dipilih secara tepat, cermat dan sesuai kebutuhan, serta bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan bangsa Indonesia. IV. Daftar Pustaka Agustian, Ary Ginanjar. 2001. ESQ. Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: Arga. Daerah. Yogyakarta: Adicipta. Depdiknas, 2005. Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas .................... 2006. RencanastrategisDepdiknas 2005-2025, Jakarta :Balitbang Gilley, Jerry W. dan Steven A. Eggland. 1989. Principles of Human ResourchesDevelopment. New York: Addison Wesley Pub. Company. Inc. Jalal, Fasli dan Dedi Supriyadi (ed). 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicipta. Karsidi, Ravik. 2000. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidika. Surakarta: Bahan Ceramah. Sallis, Edward. 1993. Total Quality Management in Education. London: Kogam Page Slamet, Margono, 1999. Filosofi Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu Pendidikan. Bogor: IPB Surya, Muhammad. 2003. Percikan Perjuangan Guru. Semarang: Aneka Ilmu. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Bandung : Fokusmedia 64 PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | MENGEMBANGKAN MODEL PEMBELAJARAN AGAMA HINDU DALAM MEWUJUDKAN PESERTA DIDIK YANG RELIGIUS Oleh Ketut Tanu Staf Pengajar Program Pasca Sarjana IHDN Denpasar Abstract Learning model development Hinduism in schools should be tailored to the level of learning followed by learners, such as primary and secondary education. Hindu Religious Education of the promulgation of Law No. 4/1950 about education and teaching, to Law No. 20/2003 remains a sub system of national education. However, learning Hinduism in schools experiencing various problems are very complex. Such conditions seem to be an obstacle in the realization of the Hindu learning effective and efficient, especially the learning process in Hinduism requires changes in attitudes and behavior of real diversity of learners who are able to balance religious knowledge with other sciences. This requires the development of the learning Hinduism in school, and be able to mediate religious knowledge with other knowledge through a multidisciplinary approach Abtrak Pengembangann model pembelajaran Agama Hindu di sekolah hendaknya disesuaikan dengan jenjang pembelajaran yang diikuti oleh peserta didik, seperti pendidikan dasar dan menengah. Pendidikan Agama Hindu sejak keluarnya Undang-undang No. 4 tahun 1950 tentang pendidikan dan pengajaran, hingga UU No. 20/2003 masih tetap merupakan sub sistem dari pendidikan nasional. Akan tetapi, pembelajaran Agama Hindu di Sekolah mengalami berbagai persoalan yang sangat kompleks. Kondisi seperti itu tampaknya merupakan hambatan dalam mewujudkan pembelajaran agama Hindu yang efektif dan efesien, terlebih proses pembelajaran dalam Agama Hindu menuntut adanya perubahan sikap dan perilaku keberagamaan peserta didik secara nyata yang mampu menyeimbangkan pengetahuan agama dengan ilmu pengetahuan lainnya. Untuk itu, diperlukan adanya pengembangan terhadap pembelajaran Agama Hindu di Sekolah, serta mampu memediasi pengetahuan agama dengan pengetahuan lainnya melalui pendekatan multidisipliner I. Pendahuluan Tugas tenaga pendidik semakin hari semakin ditingkatkan hal itu sejalan dengan adanya dinamika masyarakat dan kebutuhan dunia kerja yang terus berkembang, terlebih paradigm baru pendidikan nasional adalah menyeimbangkan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam setiap proses pembelajaran agama Hindu di sekolah. Hal itu juga disebabkan oleh perangkat pembelajaran agama di sekolah tampaknya kurang relevan dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan masyarakat. Selain itu, masyarakat tampaknya kurang siap menerima perubahan yang terjadi dalam pembelajaran yakni prosesnya berlangsung sangat cepat sementara itu masyarakat memiliki kemampuan sangat terbatas. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 65 Tillar (2001) menyatakan bahwa pembelajaran itu memiliki cirri-ciri sebagai berikut: 1) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat cepat, 2) munculnya kesadaran manusia terhadap HAM, 3) adanya persaingan bebas atau mega kompetitif, dan 4 dunia tanpa batas. Kondisi seperti itu secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap pembelajaran Agama Hindu di sekolah. Jika tidak! Maka pembelajaran Agama Hindu akan ditinggalkan oleh peserta didik atau peserta didik merasa asing dengan kemajuan jaman yang terus berubah. Pendidikan Agama Hindu sejak keluarnya Undang-undang No. 4 tahun 1950 tentang pendidikan dan pengajaran, hingga UU No. 20/2003 masih tetap merupakan sub sistem dari pendidikan nasional. Akan tetapi, pembelajaran Agama Hindu di Sekolah mengalami berbagai persoalan yang sangat kompleks. Terbatasnya sumber daya manusia yang professional yang benarbenar memahami karakteristik pembelajaran Agama Hindu tampaknya merupakan kendala dalam mengadakan inovasi pembelajaran. Akibatnya, permasalahan yang muncul dalam pembelajaran Agama Hindu di sekolah tidak terselesaikan dengan tuntas. Selain itu keberadaan tenaga pendidik Agama Hindu di Sekolah memiliki tugas dan tanggung jawab sangat berat dalam membentuk perilaku peserta didik. Ketimpangan yang terjadi dalam proses pembelajaran di sekolah selama ini adalah kurang nyambungnya standar isi dengan materi pembelajaran Agama Hindu serta jenjang pendidikan berikutnya, sehingga proses pembentukan perilaku tidak utuh dan tidak menunjukkan keterkaitan. Sementara itu gejala yang muncul adalah pertumbuhan dan perkembangan perilaku peserta didik di sekolah tampaknya masih alami dan belum kena pengaruh luar sehingga peserta didik sangat patuh pada pendidiknya. Kondisi seperti itu tampaknya merupakan hambatan dalam mewujudkan inovasi pembelajaran agama Hindu yang efektif dan efesien, terlebih proses pembelajaran dalam Agama Hindu menuntut adanya perubahan sikap dan perilaku keberagamaan peserta didik secara nyata yang mampu menyeimbangkan pengetahuan agama dengan ilmu pengetahuan lainnya. Untuk itu, diperlukan adanya inovasi terhadap pembelajaran Agama Hindu di Sekolah yang mampu memediasi pengetahuan agama dengan pengetahuan lainnya melalui pendekatan multidisipliner. II. Pembahasan Pembelajaran merupakan bagian yang sangat dominan dalam mewujudkan kualitas proses dan lulusan pendidikan. Pembelajaran sangat tergantung dari kemampuan guru dalam mengemas dan melaksanakan proses pembelajaran. Pembelajaran yang dilaksanakan dengan baik dan tepat akan memberikan kontribusi sangat dominant bagi siswa, sebaliknya pembelajaran yang dilaksanakan degan cara yang tidak baik akan menyebabkan potensi siswa sulit dikembangkan. Oleh karena itu, guru harus tahu dan mengerti mengapa inovasi pembelajaran dilakukan, apa pengertian inovasi inovasi pembelajaran, dan bagaimana konsep belajar dan pembelajaran. Terlebih peradigma baru pembelajaran menuntut adanya PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 66 keterpaduan antara penanaman pengetahuan, sikap, dan keterampilan beragama bagi peserta didik. Hal itu disebabkan oleh penanaman aspekaspek pembelajaran tampaknya belum dapat dilakukan secara seimbang diantara ketiga ranah tersebut. Sehingga menimbulkan berbagai permasalahan didalam pembelajaran Agama Hindu di sekolah. Untuk itu berikut ini akan disajikan hal-hal sebagai berikut : 1. Karakteristik Pembelajaran Agama Hindu di Sekolah Pembelajaran merupakan suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman didalam merencanakan pembelajaran secara periodik. Kegiatan pembelajaran hendaknya direncanakan secara kronologis dan sistematis. Tujuannya agar proses pembelajaran dapat diwujudkan sesuai tujuan yang hendak dicapai. Arends dalam Trianto (2007:10) mengatakan bahwa inovasi pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, seperti: tujuan pengajaran yang hendak dicapai, tahap-tahap kegiatan pembelajaran yang akan dikembangkan, lingkungan pembelajaran yang akan berlangsung, dan adanya pengelolaan klas. Ahmadi (2001) membedakan model pembelajaran agama kedalam 3 (tiga) jenjang pembelajaran yang ada, diantaranya adalah sebagai berikut: 1) model pembelajaran agama pada jenjang pembelajaran dasar, 2) model pembelajaran agama pada jenjang pembelajaran menengah, dan 3) model pembelajaran agama pada jenjang pembelajaran tinggi. Masing-masing jenjang pembelajaran tampaknya model pembelajaran agama telah memiliki bentuk-bentuk pendekatan sesuai tingkat dan usia peserta didik. Pembelajaran Agama Hindu merupakan bagian dari pembelajaran agama yang ada, maka model pembelajarannya juga mengadopsi model pembelajaran yang dikemukakan oleh Ahmadi. Menurut hemat penyaji model pembelajaran Agama Hindu juga dibedakan menjadi tiga jenjang dengan karakterisitk masing-masing, seperti: 1) model pembelajaran Agama Hindu pada jenjang pembelajaran dasar menitik beratkan pada proses pembiasaan yakni pembelajaran Agama Hindu pada jenjang ini lebih didekatkan pada penanaman sikap dan keterampilan beragama secara nyata dan mampu menyentuh aktivitas kehidupan nyata sehari-hari, 2) model pembelajaran Agama Hindu pada jenjang pembelajaran menengah ditekankan pada penguatan terhadap ajaran Agama Hindu, tujuannya agar ajaran-ajaran agama tersebut dapat diterima akal secara logika dan bersifat rasional, sehingga peserta didik pada usia ini dapat meyakini bahwa agama yang dianutnya mampu menuntun kehidupannya, dan 3) model pembelajaran Agama Hindu pada jenjang pembelajaran tinggi yakni lebih menekankan pada bentuk-bentuk kajian yakni ajaran Agama Hindu tersebut perlu dikaji kembali melalui pendekatan ilmiah, tujuannya agar ajaran agama tersebut dapat dijelaskan dengan pola-pola ilmiah dan dapat deterima secara realitas oleh masyarakat. Terkait dengan hal tersebut tampaknya umat Hindu belum memiliki model pembelajaran inovatif Agama Hindu yang bersumber akal, rasio, dan logika dan lebih banyak bersifat gugon tuwon. Hal itu disebabkan oleh model pembelajaran agama yang dikembangkan di sekolah masih mengadopsi model pembelajaran yang ada pada pembelajaran agama secara umum sehingga, pengembangan model pembelajaran Agama Hindu PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 67 tampaknya masih berorientasi pada pola-pola yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat atau umat Hindu secara nyata. Salah satu contohnya adalah pengembangan model pembelajaran inovatif Agama Hindu di Sekolah belum mampu dikembangkan kedalam konsep-konsep pembiasaan yang dapat menyentuh kebutuhan peserta didik secara langsung. Model pembelajaran agama yang efektif adalah model pembelajaran yang mampu menyentuh kebutuhan peserta didik secara langsung atau apa yang sedang dialami oleh peserta didik, misalnya setiap pembahasan materi hendaknya ditanamkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap keberagamaan kepada peserta didik secara seimbang. Dengan demikian, peserta didik diharapkan mampu menyeimbangkan materi pembelajaran Agama Hindu yang didapat di sekolah dengan kenyataan yang dihadapi di keluarga dan masyarakat (Tanu, 2007:31) 2. Pengembangan Model Inovasi Pembelajaran Agama Hindu di Sekolah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat cepat sehingga mendorong tenaga pendidik untuk senantiasa mengadakan perubahan (inovasi) terhadap model pembelajaran Agama Hindu di sekolah, terutama mulai Sekolah, jika tidak, maka pembelajaran Agama Hindu kurang diminati oleh peserta didik. Sementara ini fenomena yang terjadi dalam pembelajaran Agama Hindu di sekolah, termasuk di Sekolah tampaknya peserta didik kurang berminat terhadap pelajaran Agama Hindu, dan ada kecendrungan mengenyampingkan mata pelajaran Agama Hindu dan mempreoritaskan mata pelajaran lainnya. Ketimpangan lainnya yang muncul adalah sebagai akibat adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pembelajaran yang tidak adil serta adanya dikotomi antara pembelajaran agama dan non agama, artinya pemerintah melalui kebijakan sekolah hanya menitik beratkan pada mata pelajaran yang diuji secara nasional, sementara itu mata pelajaran non UN tampaknya kurang mendapat perhatian akan tetapi dalam proses pelulusan mata pelajaran tersebut ikut menentukan tingkat keberhasilan peserta didik dalam menyelesaikan studi akhirnya.( Tillar, 2001) Acends (2001) mengatakan bahwa ada enam macam model pembelajaran yang dapat digunakan oleh pendidik didalam kegiatan mengajar, diantaranya adalah sebagai berikt: 1) model pembelajaran presentasi, 2) model pembelajaran pengajaran langsung, 3) model pembelajaran pengajaran konsep, 4) model pembelajaran pengajaran kooperatif, 5) model pembelajaran pengajaran bedasarkan masalah, dan 6) model pembelajaran diskusi klas. Keenam model pembelajaran tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan oleh karena itu, dalam aplikasinya sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi peserta didik di klas. Model pembelajaran merupakan fenomena baru dalam penyelenggaraan pembelajaran Agama Hindu di sekolah. Hal itu disebabkan oleh model pembelajaran memiliki fungsi sebagai pedoman atau ramburambu dalam kegiatan pembelajaran. Hal itu disebabkan oleh pandangan keliru dalam paradigma lama bahwa yang belajar hanya peserta didik, sementara pendidik hanya melakukan tugas mengajarnya saja. Seperti dikatakan oleh andrean Harepa (2000) bahwa pembelajaran merupakan PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 68 pengembangan proses yang lebih luas yakni melibatkan peserta didik, pendidik, dan masyarakat. Dengan demikian paradigma baru pembelajaran adalah melibatkan semua komponen pembelajaran. Meningkatkan daya saing peserta didik sesungguhnya diawali dengan pemilihan maupun pengembangan model pembelajaran Agama Hindu mulai sekolah, salah satunya adalah pengembangan model pembelajaran berwawasan spiritual, sains dan teknologi. Dengan demikian antara agama, sains, dan teknologi merupakan satu kesatuan yang utuh sebagaimana proses masuknya pengaruh budaya Asing (India) ke Indonesia yakni IPTEK merupakan bagian yang berpengaruh terhadap kebudayaan Indonesia selain agama, bangunan, dan kesusastraan. Berdasarkan fenomena tersebut maka ilmu pengetahuan dan teknologi tampaknya memberi andil cukup besar dalam perkembangan kebudayaan masa itu. Untuk itu tidaklah berlebihan jika ada pemikiranpemikiran baru untuk mengembangkan model pembelajaran Agama Hindu di sekolah dikaitkan dengan sains dan teknologi. Tujuannya adalah untuk memberi pengetahuan kepada peserta didik agar tidak buta atau awam terhadap teknologi informasi. 3 Inovasi dan Pengembangan Model Pembelajaran Agama Hindu di Sekolah Setiap otak manusia itu memiliki keunikan. Keunikan itu dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk faktor genetika dan lingkungan. Otak memiliki ukuran dan berat yang bervariasi di antara semua manusia. Otak juga berkembang dengan caranya sendiri. Setiap hari otak mengalami perkembangan. Perkembangan ini dipengaruhi oleh stimulus yang diberikan pada otak. Stimulus dalam bentuk apapun akan diproses oleh otak. Proses ini dilakukan oleh sel-sel otak yang aktif melakaukan komunikasi. Semakin baru dan menantang stimulus yang biberikan maka semakin otok dalam mengaktivasi jalan barunya. Namun, jika stimulus itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak berarti bagi otak maka informasi itu akan menjadi prioritas rendah dan akan mudah hilang. Jika otak merasakan sesuatu yang penting maka otak akan menyimpan informasi iti dalam memori jangka panjang (long term memory) dan memori itu semakin berpotensi. Pada setiap tahap perkembangan, beberapa gen mengalami perkembangan yang dipengaruhi oleh lingkungan. Gen itu tidak membentuk pola pembelajaran, namun merepresentasikan kesempatan yang diperkaya. Seseorang yag dilhirkan dari gen seorang yang jenius tidak menjamin orang itu menjadi jenius. Jika lingkungan sekitara diperkaya maka orang itu akan jenius, tetapi jika lingkungan tidak diperkaya maka akan iti akan menjadi yang biasa saja. Jika seorang anak yang dilahirkan dari gen seorang yang biasa tetapi lingkungan sekitar diperkaya maka anak itu bisa menjadi anak yang jenius. Berdasarkan penomena tersebut, maka pembelajaran ikut serta mempengaruhi perkembangan otak anak. Pembelajaran yang diselaraskan dengan cara otak yang didesain secara alami untuk belajar merupakan salah satu cara agar otak anak dapat berkembang dengan baik. Pembelajaran ini disebut juga Pembelajaran Berbasis Otak. Pembelajaran ini didesain agar otak selalu bisa membuat keputusan secara alamiah. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 69 Pembelajaran berbasis otak mempertimbangkan bagaimana anak bisa selalu menggunakan otaknya dalam pembelajaran. Setiap anak itu unik, baik perkembangan maupun pemikirannya. Anak itu memiliki cara sendiri dalam belajar. Anak itu bukan mesin yang dapat bekerja sesuai dengan program yang disetel. Anak itu memiliki potensi yang sangat besar. Potensi itu harus selalu digali agar tidak mati. Oleh karena itu pembelajaran harus didesain sedemikian rupa sehingga dapat menjangkau seluruh pembelajar. Terlebih budaya global menuntut adanya keseimbangan antara pengetahuan, sikap, dan keterampilan beragama. Hal itu disebabkan oleh pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi sangat cepat tanpa, diimbangi oleh pengetahuan agama maka dapat menyebabkan peserta didik sebagai intelektual tanpa moral dan tanpa etika. Bahkan akan muncul pandangan keliru dikalangan peserta didik bahwa pada era global dapat melakukan apa saja secara bebas tanpa memperhatikan nilai dan etika yang tumbuh, dan berkembang di masyarakat sebagai identitas Bangsanya. Berdasarkan fenomena tersebut pemerintah melalui badan atau Instansi terkait telah mengantisipasinya dengan cara memperluas tujuan pembelajaran pada setiap satuan dan jenjang yang ada. Tujuannya adalah agar peserta didik tidak gagap teknologi bahkan teknologi itu diharapkan mampu sebagai bagian dari proses pembelajaran. Upaya lain yang dapat dikembangkan kedalam pembelajaran Agama Hindu di sekolah, adalah inovasi terhadap model pembelajaran Agama Hindu secara terpadu. Pengembangan model pembelajaran Agama Hindu terpadu menurut hemat penyaji didasari atas beberapa pertimbangan diantaranya adalah sebagai berikut: 1) model pembelajaran Agama Hindu memiliki keterkaitan dengan model-model pembelajaran pada mata pelajaran lainnya secara integral, 2) nilai-nilai ajaran yang terdapat didalam Agama Hindu dapat dikembangkan atau disisipkan ke mata pelajaran lainnya, dan 3) penanaman ajaran Agama Hindu dapat dilakukan oleh semua guru mata pelajaran melalui pendekatan multidisipilin. Perubahan sistem pendidikan yang dierlakukan oleh pemerintah, terutama sejak berlakunya kurikulum berbasis kompetensi model pembelajaran terpadu merupakan pilihan yang paling tepat. Dikatakan demikian karena, model pembelajaran Agama Hindu terpadu dapat mengantarkan peserta didik yang mampu memahami keanekaragaman yang ada dalam pembelajaran Agama Hindu. Selain itu model pembelajaran terpadu juga dimaksudkan mampu menyeimbangkan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik di lingkungan peserta didik sebagai individu yang sedang tumbuh dan berkembang. Model pembelajaran terpadu merupakan konsep pembelajaran yang mampu melibatkan berapa bidang studi untuk memberikan pengalaman dan pengetahuan yang bermakna . dikatakan dikatakan bermakna karena peserta didik dapat dapat mempelajari konsep-konsep tersebut secara utuh dan adanya hubungan yang saling terkait pada masing-masing materi pelajaran. Dikotomi pembelajaran agama dan non agama yang muncul sekarang tampaknya kurang mampu meningkatkan daya saing manusia Indonesia dipasar global. Hal itu disebabkan oleh peserta didik hanya memahami PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 70 ajaran agama yang dianutnya saja sehingga, muncul berbagai pandangan atau kecendrungan yang menyebabkan berwawasan sempit dan senantiasa memandang orang lain lebih rendah darinya. Gejala seperti itu menimbulkan berbagai isu nasional maupun internasional yakni: menurunnya moral manusia Indonesia, menurunnya mutu pembelajaran nasional, dan kurang siapnya manusia Indonesia didalam menerima perubahan. Menurut hemat penyaji ada beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing manusia Indonesia, khususnya umat Hindu didalam menyambut persaingan bebas tersebut, adalah sebagai berikut: 1) proses pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan akar dan budaya masyarakat, 2) kurikulum pembelajaran termasuk kurikulum pembelajaran Agama Hindu di sekolah hendaknya disesuaikan dengan kondisi masyarakat, 3) materi pembelajaran Agama Hindu di sekolah hendaknya diberikan secara seimbang antara pengetahuan agama, sikap, dan keterampilan beragama kepada peserta didik, 4) kebijakan pemerintah dalam pembelajaran agama termasuk pembelajaran Agama Hindu hendaknya ditinjau kembali agar tidak menimbulkan sikap eksklusip bergama, dan 5) model pembelajaran Agama Hindu hendaknya dilakukan secara terpadu dengan mata pelajaran lainnya secara intergral. Belajar merupakan aktivitas yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Manusia melakukan aktivitas belajar sepanjang hidupnya. Rangkaian proses belajar dilakukan dengan mengikuti pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Proses belajar dilakukan agar mendapatkan perubahan dalam diri pelakunya, baik pengetahuan, sikap, maupun ketrampilan. Perubahan itu sebagai akibat dari proses pengalaman yang alami maupun yang sengaja dirancang. Belajar itu tidak hanya dilakukan oleh pelajar, tapi dilakukan oleh setiap manusia agar dapat memecahkan masalah yang dialaimi dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ciri-ciri belajar adalah perubahan perilaku yang merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungan, serta perilaku tersebut bersifat permanen. Proses pembelajaran tidak dapat dipisahkan dari proses dan hasil belajar. Pembelajaran mengacu pada segala kegiatan yang dirancang untuk mendukun proses belajar yang ditandai dengan adanya perubahan perilaku individu yang sesuai tujuan pembelajaran. Proses pembelajaran ini harus dengan sengaja diorganisasikan dengan baik agar dapat menumbuhkan proses belajar yang baik dan mencapai hasil belajar yang optimal. Oleh karena itu, jenis-jenis proses belajar dan hasil belajar menjadi pusat perhatian dari metode pembelajaran. III. Penutup Berdasarkan uraian pada pembahasan tersebut maka dapat simpulkan hal-hal sebagai berikut : a. Simpulan 1. Pengembangann inovasi dan model pembelajaran Hindu di sekolah hendaknya disesuaikan dengan pembelajaran yang diikuti oleh peserta didik, pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. penyaji Agama jenjang seperti PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 71 b. 2. Model dan inovasi pembelajaran Agama Hindu diera global dapat dikembangkan secara integral kedalam bidang sains dan teknologi. Sehingga peserta didik lapah dengan keberadaan IPTEK 3. Upaya yang dapat dikembangkan kedalam pengembangan inovasi dan model pembelajaran Agama Hindu di sekolah adalah pembelajaran terpadu, dengan meningkatkan peran dan tugas sebagai pendidik yang profesional Saran. Era global menuntut adanya perubahan, oleh karena itu kepada tenaga pendidik Agama Hindu harapkan mampu melahirkan inovasi nyata dalam pembelajaran Agama Hindu, sedangkan kepada pengambil kebijakan agar memberi perhatian yang cukup terhadap pembelajaran Agama Hindu. IV. Daftar Pustka ABD, Rahmat Asegep. 2004. Pendidikan Tanpa Kekerasan. Jogjakarta:Tiara Wacana. Abuddin Nata, 2003. Menejemen Pendidikan. Jakarta: PT Pranada Media. A. Chaedar Alwasilah, 2007. Contextual teaching and learning. Jakarta: MLC. Ade Irawan, dkk. 2006. Buruk Wajah Pendidikan Dasar. Jakarta: Indonesia corruption watch. Adriono, 2006. Melejitkan Potensi Anak Didik. Bandung: .Mizan Media Utama. Agus Salim, dkk. 2007. Indonesia Belajarlah ! Membangun Pendidikan Indonesia. Semarang: Tiara Wacana Ahmadi, Abu. 2001. Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: Rineka cipta. Ali Maskun, 2004. Paradigma Pendidikan Universal. Jogjakarta, Irchisod. Ali Imron, 2002.Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia. Bandung: Bumi Aksara. Amin Abdulah, 2005. Pendidikan Agama Era Multikultural Multi Religius. Malang: Pusat Studi Agama Mohamadiyah. Andi Harisn, 2000. Paradigma Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi Tahun 2000. Surakarta: Universitas Mohamadiah. Andrean Harefa. 2001. Mutiara Pembelajar. Jogjakarta: Gloria cyber Ministries. Andrean Harefa. 2002.Menjadi Manusia Pembelajar. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. A, Tresna Widjaya. 1991. Pengembangan Program Pengajaran. Jogjakarta: Rineka Cipta. Budingingsih, 2004. Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karakteristik Siswa Dan Budayanya. Jakarta: Rineka Cipta. Brian Fay, 2002. Filsafat Ilmu Sosial Konterporer. Jogjakarta: PT Jendela. Darmaningtyas, 2004. Pendidikan Yang Memiskikan. Jakarta: Galang Press. Dakir, 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum.Jakarta: PT Rineka Cipta. Devi, S. 2007. Jadilah Pembimbing Dan Guru Bagi Putra Putri Anda.Bandung: CV Nuansa. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 72 Dedy Pradipta, 2007.Belajar Sejati VS Kurikulum Nasional. Jogjakarta: PT Kanisius. Doni Kesuma, A. 2007. Pendidikan Karakter Setrategi Mendidik Anak Di Jaman Global. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia Edgar Morin, 1999. Tujuh Materi Penting Bagi Dunia Pendidikan. Jogjakarta: Kanisius. Frank Gaotano Morales, 2006. Semua Agama Tidak Sama. Denpasar: PT Swadarma. Jalaludin Rahmat, 2004. Psikologi Agama.Bandung: Mizan Media Utama. Jalaludin Rahmat, 2007. Belajar Cerdas, Belajar Berbasis Otak.Bandung: PT MLC. Jereme Arcaro, 2006. Pendidikan Berbasis Mutu. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Karda, dkk. 2007. Sistem Pendidikan Agama Hindu. Surabaya: Paramita. Kaswadi, 1993. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: PT Gramedia Widiaswara Indonesia. 73 PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | PELUANG DAN HAMBATAN MEREALISASIKAN INSTITUSI PENDIDIKAN BERBASIS HINDU DALAM MENCIPTAKAN GENERASI RELIGIUS DAN ILMIAH Oleh Ni Nyoman Perni Dosen IHDN Denpasar Email: [email protected] Abstract Religious education plays an important role in developing the scientific and religious behavior of students to be balanced. Therefore, religious education especially Hindu religious education has a significant role to develop the standard of good morality (religiosity), and scientific attitude mature. Therefore, establishing a Hindu-based institutions to be very important in realizing the role siginfikansi Hindu religious education in the birth of a generation that has a holistic intelligence. However, in establishing such an institution, of course, there are opportunities and obstacles. The chances are, of course referring to the legislation and regulations that can be used as a legal basis. But resistance is also very much, which is the low quality of teachers and impartiality policies made by the central government. Abstrak Pendidikan agama memegang peranan penting dalam mengembangkan perilaku ilmiah dan religius anak didik agar seimbang. Oleh karena itu, pendidikan agama khususnya pendidikan agama Hindu memiliki peranan signifikan guna mengembangkan standar moralitas yang baik (religiusitas), dan sikap ilmiah yang matang. Oleh sebab itu, mendirikan institusi berbasis Hindu menjadi sangat penting dalam merealisasikan peran siginfikansi pendidikan agama Hindu dalam melahirkan generasi yang memiliki kecerdasan holistik. Namun dalam mendirikan institusi tersebut, tentunya ada peluang dan hambatan. Peluangnya, sudah tentu mengacu pada perundang-undangan dan peraturan yang dapat dijadikan landasan yuridis.Namun hambatannya juga sangat banyak, yakni rendahnya mutu pendidik dan ketidak berpihakan kebijakan yang dibuat pemerintah pusat. I. Pendahuluan Melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas, pendidikan harus mampu menanamkan kepada peserta didik kecerdasan yang holistik. Dalam artian, pendidikan harus mampu mengembangkan potensi peserta didik baik dari aspek intelektual dan spiritual (baca: ilmiah dan religius). Sebagaimana teori yang dikembangan Bloom, bahwasannya tiga ranah harus dikembangkan bagi peserta didik, yakni aspek afektif atau perilaku, kognitif atau intelektualitas dan psikomotor atau keterampilan serta adabtif terhadap lingkungan (Sukardjo, 2012:8).Namun pendidikan dewasa ini hanya menekankan pada aspek intelektualitas yang terkadang mengkesampingkan aspek perilaku, moralitas atau sikap religius, sehingga pendidikan dewasa ini sangat banyak melahirkan orang yang cerdas tetapi tidak memiliki moralitas yang baik. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 74 Berdasarkan pada hal tersebut, pendidikan agama memegang peranan penting dalam mengembangkan perilaku ilmiah dan religius anak didik agar seimbang.Oleh karena itu, pendidikan agama khususnya pendidikan agama Hindu memiliki peranan signifikan guna mengembangkan standar moralitas yang baik (religiusitas), dan sikap ilmiah yang matang.Sebagaiamana pendidikan agama Hindu merupakan salah satu pendidikan agama yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan umum, memiliki andil besar dalam rangka menciptakan sumber daya manusia Hindu yang berkualitas untuk menjawab tantangan di era global.Senanda dengan itu Tanu (2011: 3) menjelaskan bahwa pendidikan agama, termasuk pendidikan agama Hindu di sekolah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan umum.Oleh sebab itu, penyelenggaraan pendidikan agama pertama kali diatur dalam UU No.4 tahun 1950, yakni tentang pendidikan dan pengajaran.Tepatnya pasal 20 UU tersebut menyaakan bahwa pendidikan agama wajib diberikan di sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga perguruan tinggi.Sedangkan sekolah swasta telah menetapkan mata pelajaran agama sebagai mata pelajaran wajib. Bertitik tolak pada bunyi UU tersebut, maka masyarakat Hindu memiliki peluang yang sangat besar dalam mengembangkan jalur pendidikan yang berkarakteristik Hindu, dan tentunya berkualitas serta bermutu.Selama ini ada indikasi bahwa pendidikan agama Hindu belum sepenuhnya mampu menangani berbagai masalah dalam dunaia pendidikan, terlebih melahirkan peserta didik yang berkualitas dalam menjawab era global. Sebagaimana Tanu (2011 : 2) menjelaskan bahwa gejala yang muncul dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, termasuk dalam pendidikan agama Hindu di sekolah adalah :(1) menurunnya akhlak dan moral peserta didik, (2) menurunnya mutu pendidikan dan (3) menurunnya peringkat pendidikan. Gejala tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah, termasuk pendidikan agama Hindu di sekolah tampaknya belum mampu menangani masalah yang terjadi. Merunut pada hal tersebut, maka masyarakat Hindu dan pemerintah sangat perlu serta memiliki peluang dalam mengembangkan jalur pendidikan berkarakteristik Hindu untuk menjawab gejala-gejala yang muncul dalam penyelengaraan pendidikan nasional, sehingga dapat melahirkan generasi Hindu yang ilmiah dan religius. II. Pembahasan 2.1. Peluang Merealisasikan Institusi Pendidikan Agama Hindu Penyelenggaraan pendidikan agama adalah tangung jawab masyarakat demikian juga pemerintah dalam rangka pencapaian dari tujuan pendidikan nasional, seperti yang termaktub dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003.Terlebih muncul stigma bahwa pendidikan agama telah gagal dalam membentuk siswa yang memiliki budi pekerti. Sebagaimana menurut Susetyo (2005 : 87) menguraikan sebagai berikut. Pelaksanaan pendidikan agama di Indonesia telah gagal membentuk manusia-manusia yang berbudhi pekerti.Sebagaimana yang telah diajarkan oleh agamanya masing-masing.Pelajaran agama yang diajrakan di sekolah lebih banyak bersifat ritual dan dogmatik. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 75 Tekanan pengajaran agama masih berkisar pada to have religion, bukanya pada to be religiouse.Pengajaran yang demikian akan mengarahkan manusia beragama tetapi tidak beriman. Berdasarkan pada hal itu, pendidikan agama harus mampu menjawab kritik tersebut dengan berupaya merevitalisasi pengajaran, kurikulum dan komponen pendidikan agama yang lain, sehingga menjadi lebih berkualitas.Mengacu pada perundang-undangan, pendidikan agama menjadi sangat penting dalam mengembangkan potensi peserta didik pada aspek kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian dan sejenisnya, seperti yang terbingkai dalam UU No.20/2003.Oleh karena itu, pendidikan agama harus diselenggarakan oleh masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat. Sejalan dengan itu, Subawa (2013) dalam uraian makalah ilmiahnya yang berjudul Kebijakan Ditjen Bimas Hindu Tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan Hindu yang disampaikan pada seminar nasional di lingkungan Program Pasca Sarjana IHDN Denpasar menyatakan sebagai berikut : Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat.Jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka, perguruan-perguruan keagamaan sudah lebih dahulu berkembang.Selain menjadi akar budaya bangsa, agama didasari merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan.Pendidikan keagamaan juga berkembang akibat dari mata pelajaran atau kuliah, sehingga pendidikan agama dinilai menghadapi berbagai keterbatasan pada sekolah-sekolah formal. Mencermati hal tersebut, maka secara implisit terkandung pemahaman bahwa pendidikan agama sebagai akar budaya diselenggarakan oleh masyarakat dan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan itu sendiri. Demikian pula pendidikan keagamaan adalah sangat penting diaplikasikan dalam jalur formal, informal dan non formal. Sebagaimana hal tersebut ditegaskan dalam pasal 30 Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan :(1) Pendidikan agama dan keagamaan dapat diselenggarakan oleh pemerintah dan atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama sesuai peraturan perundang-undangan yang ada, (2) pendidikan agama berfungsi menyiapkan peserta didik menjadi masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan atau menjadi ahli agama, (3) pendidikan agama dapat dilakukan melalui beberapa jalur formal, informal, dan non formal, (4) pendidikan agama dapat berbentuk Diniyah, Pesantren, Pasraman, Pabhaja Samanera dan sejenisnya (Redaksi Sinar Grafika, 2013 : 112). Bertumpu pada uraian yuridis dalam UU tersebut, maka sudah sangat jelas pendidikan agama boleh diselenggarakan oleh masyarakat dan pemerintah.Oleh sebab itu, dalam konteks ini pendidikan agama Hindu dapat diselengarakan oleh masyarakat Hindu dan pemerintah.Bunyi dari perundang-undangan tersebut dapat dijadikan landasan yuridis yang kuat dalam mengembangkan institusi pendidikan yang berbasis agama Hindu, sehingga masyarakat Hindu dan pemerintah memiliki peluang yang cukup besar dalam merealisasikan hal tersebut.Perealisasian institusi pendidikan agama, khususnya pendidikan agama Hindu dapat juga mengacu pada PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 76 pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing, dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Jadi, berdasarkan pada bunyi UUD 45 tersebut, masyarakat Hindu, komponen pendidikan Hindu dan pemerintah dapat menentukan kebijakan dalam membangun lembaga pendidikan berkarakteristik Hindu. 2.2 Hambatan Dalam Merealisasikan Institusi Pendidikan Agama Hindu Hambatan yang berasal dari eksternal atau dari luar muncul dari dominasi agama-agama non Hindu yang melakukan hegemoni terhadap agama minoritas.Agama mayoritas aliran ekstrim kanan melakukan penetrasi politik yang terkadang mempersulit agama minoritas dalam merealisasikan arah kebijakan, sehingga berimplikasi pada terhambatnya perkembangan agama Hindu. Meskipun UUD 45 dan perundang-undagan sudah mengatur bahwa ada persamaan hak dan kemerdekaan dalam penyelengaraan pendidikan agama atau keberagamaan, akan tetapi di sisi lain kemerdekaan seolah ditelanjangi oleh sikap apologetic ekstrim dari agama mayoritas. Hal yang demikian akan berdampak pada tidak terealisasinya kebijakan yang telah dibuat. Selaian hambatan yang datang dari eksternal, hambatan yang datang dari internal adalah sangat penting untuk diperhatikan, mengingat selama ini masyarakat Hindu memiliki beberapa titik kelemahan.Hambatan yang datang dari internal adalah sumber daya manusia tenaga pendidik Hindu. Sebagaimana Tanu (2011 : 15) menguraikan bahwa selama ini banyak kritik yang ditujukan pada cara pendidik mengajar. Tanaga pendidik terlalu banyak memberikan informasi berupa hafalan yang terkadang tidak bermanfaat bagi subjek didik.Kenyataannya di lapangan, siswa hanya dapat menghafal, sehingga tidak dapat memahami, kurang mampu menentukan masalah dan merumuskannya. Selain itu Donder (2007:9) mengemukakan kritik terhadap pendidik atau guru yang selama ini mengajar hanya mampu menekankan pada aspek kecerdasan intelektual. Guru yang sebenarnya adalah mendidik, sehingga segala potensi yang dimiliki peserta didik dapat berkembang terutama aspek rohani, dan guru hendaknya memandang peserta didik adalah refleksi Tuhan yang harus dilayani dengan baik. Dua pendapat tersebut di atas dapat dijadikan acuan yang sahih bahwasannya, tenaga pendidik agama Hindu belum oftimal dalam menjalankan ke profesionalannya dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik.Mendirikan lembaga bernuansa Hindu, hendaknya memiliki tenaga pendidik yang benar-benar bermutu, sehingga ke depannya mampu mendidik dalam mengembangkan segala potensi siswa Hindu, sehingga melahirkan generasi ilmiah dan religius.Tanu (2011:182) menjelaskan bahwa eksistensi tenaga pendidik agama Hindu di sekolah memiliki beberapa kendala, seperti : 1. Jenjang pendidikan yang dimiliki oleh peserta didik; 2. Jumlah tenaga pendidik di setia jenjang pendidikan sangat terbatas; 3. Penyebaran tenaga pendidik di masing-masing sekolah tidak merata, dan termarginalkannya pendidik agama Hindu. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 77 Merujuk pada uraian tersebut, menjadi sebuah yang tendensius ketika mencermati kendala dari keberadaan guru pendidikan agama Hindu di sekolah.Keterbatasan jumlah tanaga pendidik, dan marginalisasinya guru Hindu disebabkan oleh kebijakan pemerintah pusat yang terkadang tidak memberikan peluang bagi tenaga pendidik Hindu untuk menjalankan tugas sebagai tanaga pendidik.Sebut saja jatah pengangkatan guru Hindu yang sangat terbatas, dan tidak berimbang dangan agama mayoritas yang notabene memiliki institusi pendidikan agama lebih banyak. Namun ke depannya, bukan tidak mungkin akan dibutuhkan tenaga pendidikan agama Hindu yang banyak, jika masyarakat Hindu dan yang terkait mampu mewujudkan institusi pendidikan berkarakteristik Hindu dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi maupun non formal. III. Penutup Berdasarkan atas deskripsi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama Hindu memiliki peranan penting dalam menciptakan generasi yang ilmiah dan religius.Oleh sebab itu, mendirikan institusi berbasis Hindu menjadi sangat penting dalam merealisasikan peran siginfikansi pendidikan agama Hindu dalam melahirkan generasi yang memiliki kecerdasan holistik.Namun dalam mendirikan institusi tersebut, tentunya ada peluang dan hambatan.Peluangnya, sudah tentu mengacu pada perundang-undangan dan peraturan yang dapat dijadikan landasan yuridis.Namun hambatannya juga sangat banyak, yakni rendahnya mutu pendidik dan ketidak berpihakan kebijakan yang dibuat pemerintah pusat. IV. Daftar Pustaka Ari. 2013. Undang-Undag Pendidikan dan Standar Nasional Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Mahardika. Dantes, Nyoman. 2008. Pendidikan Teknohumanistik (Suatu Rangkaian Perspektif Dan Kebijakan Pendidikan Menghadapi Tantangan Global). (Makalah Ilmiah dan Tiak dipublikasikan).Singaraja : Undhiksa. Donder I Ketut.2007. Guru Sistha Pedoman Menjadi Guru Mulia.Surabaya : Paramita. Ngurah I Gusti Made. 1999. Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi.Surabaya : Paramita. Poerwati dan Amri. 2013. Panduan Memahami Kurikulum 2013. Jakarta : Prestasi Pustaka Karya. Redaksi Sinar Grafika. 2013. Amandemen Standar Nasional Pendidikan.Jakarta : Sinar Grafika. Sukardjo. M. 2012. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya.Jakarta : Raja Grafindo Persada. Subawa, Ida Bagus Gede. 2014. Kebijakan Ditjen Bimas Hindu Tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan Hindu (Makalah Ilmiah Tidak Dipublikasikan. Jakarta : Ditjen Bimas Hindu. Sudira, Putu. 2014. Konsep dan Praksis Pendidikan Hindu Berbasis Tri Hita Kara (Makalah Ilmiah Seminar Tidak Dipublikasikan. Jakarta : Universitas Negeri Yogyakarta. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 78 Susetyo, Beni. 2005. Politik Pendidikan Penguasa (Kritik Terhadap Pendidikan Agama). Yogyakarta : Pelangi Aksara LKIS. Tanu, I Ketut. 2011. Pendidikan Agama Hindu di Tengah Masyarakat Modernisasi. Denpasar : Yayasan Sari Kahyangan Indonesia. …………,2008. Isu-Isu Kontenporer Pendidikan Agama Hindu di Sekolah Dasar (Perspektif Kritis Cultural Studies).Denpasar : Yayasan Sari Kahyangan Indonesia 79 PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | PENANAMAN KARAKTER DALAM KELUARGA SEBAGAI UPAYA REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI YANG ILMIAH DAN RELIGIUS Oleh Ni Komang Sutriyanti Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar e-mail: [email protected] Abstrak Karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas sumber daya manusia karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Keluarga sebagai jalur pendidikan pertama dan utama memiliki tugas utama dalam penanaman karakter. Baik buruknya hubungan atau interaksi antara suami dan istri, orang tua dan anak, serta anak dengan anak sangat menentukan kesuksesan pendidikan karakter di lingkungan keluarga, terutama dalam menciptakan situasi dan interaksi edukatif. Situasi edukatif adalah terciptanya suasana atau keadaan yang memungkinkan terjadinya proses tindakan yang mengarah pada proses pendidikan. Penanaman nilai-nilai karakter dalam keluarga merupakan salah satu upaya revitalisasi pendidikan agama Hindu untuk menciptakan generasi yang ilmiah dan religius. Kata Kunci: Karakter, Keluarga, Revitalisasi, Pendidikan Agama Hindu, Ilmiah dan Religius. I. Pendahuluan Pembangunan karakter bangsa merupakan sebuah kebutuhan asasi dalam proses berbangsa karena hanya bangsa yang memiliki karakter dan jati diri kuat akan eksis. Secara ideologis, pembangunan karakter merupakan upaya mengejawantahkan ideologi Pancasila dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara normatif, pembangunan karakter bangsa merupakan wujud nyata langkah mencapai tujuan negara. Secara historis, pembangunan karakter bangsa merupakan sebuah dinamika inti proses kebangsaan yang terjadi tanpa henti dalam kurun sejarah, baik pada zaman penjajah, maupun pada zaman kemerdekaan. Secara sosiokultural, pembangunan karakter bangsa merupakan suatu keharusan dari suatu bangsa yang multikultur. Karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas sumber daya manusia karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini, bahkan semasih dalam kandungan. Menurut Freud (dalam Muslich, 2011: 35) menyatakan bahwa kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini dapat membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Pembentukan karakter pada anak di usia dini menjadi sebuah hal yang problematik. Salah satu lembaga pendidikan tertua mengemban tugas dan tanggung jawab dalam mencapai tujuan pendidikan adalah keluarga. Oleh sebab itu, keluarga seharusnya mampu menciptakan situasi dan kondisi yang baik sehingga mampu menghasilkan generasi yang berkualitas PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 80 (suputra). Apabila anak tidak mendapatkan pendidikan yang baik di keluarga, maka secara tidak langsung pendidikan akan mencetak anak yang tidak baik (kuputra). Ki Hajar Dewantara (dalam Shochib, 1998: 10) menjelaskan bahwa keluarga merupakan pusat pendidikan yang pertama dan terpenting karena sejak timbulnya adab kemanusiaan sampai saat ini, keluarga selalu memengaruhi pertumbuhan budi pekerti tiap-tiap manusia. Disamping itu, orang tua dapat menanamkan benih kebatinan yang sesuai dengan kebatinannya sendiri ke dalam jiwa anak. Inilah hak orang tua yang utama dan tidak bisa dibatalkan oleh orang lain. Keluarga merupakan jalur pendidikan pertama dan utama bagi anak merupakan tempat pertama kalinya anak-anak memperoleh pendidikan dan pengajaran dari orang tua. Mulai dari belajar bercakap-cakap, mengenal nama anggota badan, anggota keluarga, mengenal warna, penanaman disiplin tentang makan, tidur dan sebagainya. Keluarga juga memiliki tempat dan fungsi yang sangat unik, dinamis, memiliki peran sosial, pendidikan sekaligus peran keagamaan. Seorang anak sebelum mengenal masyarakat yang lebih luas dan mendapat bimbingan dari sekolah, lebih awal memperoleh bimbingan dari keluarga. Seorang anak pertama kalinya mendapatkan penanaman dan pembentukan karekter dari kedua orang tua. Demikian pula dalam keseluruhannya kehidupan anak lebih banyak dihabiskan dalam lingkungan keluarga. Lickona (2012: 81) menegaskan keluarga sebagai pendidik karakter yang paling utama. Keluarga adalah pihak pertama yang paling penting dalam memengaruhi karakter anak. Tugas sekolah adalah memperkuat nilai karakter positif (etos kerja, rasa hormat, tanggung jawab, jujur, dan lainlain) yang diajarkan di rumah. Kenyataannya, tentu saja ini sering terjadi sebaliknya. Banyak orang tua yang tidak memenuhi aturan peran penting sebagai pendidik dalam membentuk karakter anak. Seharusnya keluarga meletakkan fondasi sebagai dasar, dan sekolah membangun di atas fondasi itu. Penjelasan tersebut di atas, telah menginspirasi penulis untuk membahas tentang “Penanaman Karakter dalam Keluarga Sebagai Upaya Revitalisasi Pendidikan Agama Hindu untuk Menciptakan Generasi yang Ilmiah dan Religius”. II. Pembahasan 2.1 1) Etika dalam Keluarga Etika Suami dan Istri Hubungan pernikahan sebagai hubungan yang dilakukan atas dasar cinta kasih, atas dasar saling menyukai dan direstui oleh para orang tua kedua belah pihak. Lebih penting bahwa pernikahan itu dilakukan dengan perjanjian yang melibatkan nama Tuhan Yang Maha Agung, menjadikanNya sebagai saksi dan juga disaksikan oleh semua manusia yang hadir. Oleh karena itulah perjanjian dalam pernikahan merupakan perjanjian yang teramat sakral dan bukan sandiwara atau main-main. Pada dasarnya yang menjadi kewajiban suami tidaklah hanya menjadi hak bagi istri, tetapi juga menjadi kewajiban istrinya. Sebaliknya, yang menjadi kewajiban istri, tidaklah hanya menjadi hak suaminya, tetapi juga sckaligus sebagai kewajiban suami. Dengan kata lain, hak dan kewajiban PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 81 suami adalah juga menjadi hak dan kewajiban istri. Hanya peran yang bersifat fitrah yang tidak bisa ditukar atau digantikan oleh pasangannya, seperti mengandung atau hamil, haid atau menyusukan anak yang menjadi kewajiban istri yang tentunya tidak bisa digantikan perannya oleh suami. Selain itu, yang juga penting adalah adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri. Sekarang ini dengan alasan untuk memperbaiki tingkat ekonomi keluarga, banyak pasangan suami-istri, memilih untuk bekerja mencari nafkah. Kesibukan yang terus meningkat membuat pasangan suami-istri sering lupa akan pentingnya komunikasi tatap muka untuk menjaga hubungan pernikahan tetap harmonis. Minimnya komunikasi seperti itu rentan memunculkan permasalahan dalam hubungan suami istri. Jika dibiarkan, bisa jadi pasangan itu akhirnya harus bercerai (Kurniawan, 2013: 67-68). Baik buruknya hubungan atau interaksi antara suami dan istri atau ayah dan ibu sangat menentukan kesuksesan pendidikan karakter di lingkungan keluarga, terutama dalam menciptakan situasi dan interaksi edukatif. Situasi edukatif adalah terciptanya suasana atau keadaan yang memungkinkan terjadinya proses tindakan yang mengarah pada proses pendidikan. Sementara interaksi edukatif adalah interaksi yang mengandung nilai-nilai pendidikan. Situasi dan interaksi ini tidaklah muncul dengan sendirinya, tetapi harus diciptakan, diusahakan bahkan direkayasa oleh suami-istri atau ayahibu, dan orang-orang dewasa lain yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan karakter di lingkungan keluarga. 2) Etika Orang Tua dengan Anak Setiap orang tua atau pasangan suami-istri atau ayah-ibu senantiasa mengharapkan kehadiran anak sebagai bukti dari buah cinta kasih mereka. Namun hubungan antara orang tua dan anak bukanlah hubungan kepemilikan, melainkan hubungan pemeliharaan. Hubungan atau interaksi antara orang tua dengan anak selalu ditandai dengan perkataan dan perbuatan. Namun, tidak sedikit dari perilaku atau perangai orang tua justru membuat anak tertekan atau stres bahkan depresi. Dalam kekawin Niti Sastra VIII.3 disebutkan ada lima kriteria yang menjadi kewajiban orang tua yang disebut Panca Vida yang terdiri dari Sang Ametwaken (melahirkan), Sang Nitya Maweh Binojana (orang tua mempunyai kewajiban untuk memberikan makan dan minum), Sang Manggupadyaya (orang tua berkewajiban untuk mengupayakan pendidikan bagi anak-anaknya), Sang Anyangaskara (kewajiban orang tua menyucikan pribadi anak secara utuh lahir dan bathin), dan Matulung Urip Rikalaning Baya (kewajiban orang tua untuk menolong si anak di saat mendapat suatu bencana atau kesusahan) (Swastika, 2007: 16-18). Anak merupakan dambaan bagi setiap keluarga. Tidak ada orang yang telah bersuami istri tidak menginginkan anak. Anak adalah generasi peners bagi kelangsungan keluarganya. Di dalam Slokantara disebutkan sebagai berikut. Kalinganya, dening anibākna warah-warah ring anak, yan limang tahun tuwuhnya, kadi dening angering anak sang prabhu dening PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 82 anibāken warah iriya. Matuha pwa ya ikang swaputra, kateka ring sadaśa tahun tuwuhnya, irika ta yan warah hulun dening anibāken warah-warah iriya, Kunang yan atuha ikang anak, kateka ring nembelas tahun tuwuhnya, ika ta yan kadi dening amarah-marah ing mitra dening anibāken warah-warah iriya, mangkana karma ning marah-marah putra, ling Sang Hyang Aji. (Slokantara, 22) Terjemahannya: Perlakuan orang tua terhadap anak-anaknya ialah sebagai berikut: selama lima tahun dari bayi ia harus diperlakukan sebagai raja. Ketika sampai anak itu bertambah umur sepuluh tahun lagi ia harus dilatih sebagai pelayan. Dan jika setelah anak itu berumur enam belas ia harus diperlakukan sebagai kawan terhadap kawan. Inilah cara mendidik anak. Demikian ketentuan dalam kitab suci (Sudharta, 2003: 83-84). Kutipan tersebut di atas memberikan cara mendidik anak bagi para orang tua dengan selalu memperhatikan perkembangan anaknya yang berdasarkan pada umur dari anak bersangkutan. Saat ini model seperti ini mungkin juga telah dilupakan oleh para orang tua, karena orang tua sekarang telah menyerahkan anaknya 100% di sekolah, sehingga sentuhan pendidikan karakter yang mestinya dapat diberikan di tingkat rumah tangga menjadi kabur. Anak sekarang hanya dijejali dengan pengetahuanpengetahuan yang hanya mengutamakan kepintaran saja. 3) Etika Anak dengan Orang Tua Menciptakan keluarga yang damai, rukun, dan bahagia diperlukan adanya kerjasama yang harmonis diantara semua anggota keluarga. Saling pengertian dan saling menghormati menjadi suatu keharusan dalam sebuah keluarga. Tidak akan mungkin tercipta keluarga yang sejahtera apabila diantara anggota keluarga tidak adanya hidup saling menghormati tugas dan kewajiban seperti yang telah disebutkan seperti di atas itu. Untuk ini perlu juga dikutipkan salah satu isi dari pustaka suci Veda seperti berikut. sam gacchadhvam sam vadadhvam sam vo manamsi janatam dewa bhagam yatha purve sanjanana upasate (Rgveda, X. 191. 2) Terjemahannya: Wahai umat manusia anda seharusnya berjalan bersama-sama dengan pikiran yang sama seperti halnya para pendahulumu bersama- sama membagi tugas mereka, begitulah anda mestinya memakai hakmu (Titib, 1998: 348). 83 Kutipan tersebut di atas sebagai motivasi untuk sebuah keluarga yang mendambakan keluarga yang sejahtera secara lahir dan batin. Perlu adanya kesamaan-kesamaan sehingga apa yang dicita-citakan dapat PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | terwujud secara sempurna dan juga Bangsa dan Negara juga mendapat dampaknya sehingga kesejahteraan secara umum juga akan terwujud dengan baik. 4) Etika Anak dengan Anak Interaksi antar-anak adalah hubungan timbal balik antar-anak yang belum dewasa dalam keluarga pada satu rumah. Interaksi atau hubungan timbal balik antar anak-anak yang belum dewasa dalam keluarga pada satu rumah. Interaksi antar anak tersebut dapat berupa hubungan timbal balik antara adik-kakak, atau antara anak yang berbeda jenis kelamin (anak lakilaki dan anak perempuan). Salim (dalam Kurniawan, 2013: 75) menyatakan bahwa, pola interaksi antar-anak di rumah dapat dibedakan menjadi dua bentuk. Pertama, interaksi antar-anak yang berbeda usia (yang muda dengan yang tua), yaitu hubungan timbal balik antara adik dan kakak. Interaksi itu harus menunjukkan situasi dan interaksi edukatif. Pihak yang muda harus menunjukkan sikap hormatnya kepada yang lebih tua dan yang lebih tua menunjukkan kasih sayang, mengayomi dan melindungi yang lebih muda. Kualitas interaksi antar-anak tersebut dapat diamati dalam tutur kata, sikap, dan tindakan keseharian selama mereka berada dan bergaul di rumah. Kedua, interaksi antaranak yang berbeda jenis kelamin, yaitu hubungan timbal balik antara anak laki-laki dan anak perempuan yang berada dalam satu rumah. Dalam pergaulannya anak laki-laki dan perempuan dapat saling memengaruhi. Jika salah satunya lebih mendominasi dan salah satunya memiliki kecenderungan mengikuti yang lainnya, dapat memengaruhi sifat dan sikap kesehariannya. Kemudian pada gilirannya dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kejiwaannya, terutama jika interaksi keduanya tidak terawasi secara baik oleh orang tua atau orang dewasa lain yang ada di rumah. Sebagai contoh, anak laki-laki yang cenderung mengikuti anak perempuan, mulai cara berpakaian, permainan sampai pada cara bertutur kata atau berperilaku maka kecenderungan anak laki-laki tersebut akan bergaya seperti perempuan. Sebaliknya, jika anak yang perempuan yang lebih cenderung mengikuti gaya anak laki-laki, anak perempuan tersebut akan memiliki kecenderungan menjadi tomboy (bersifat dan berpenampilan seperti lakilaki). Di samping itu, karena perbedaan jenis kelamin juga berarti berbeda baik fisik dan sifat maka perlu ada batas-batas tertentu yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama mereka melakukan interaksi. Jika salah seorang dari anak tersebut sudah berusia sepuluh tahun, sebaiknya segera dipisahkan tempat tidurnya bahkan akan lebih baik sebelum mencapai usia tersebut. 2.2 1) Penanaman Nilai-nilai Karakter dalam Keluarga Nilai Religius 84 Religius merupakan sikap dan perilaku yang menunjukkan keyakinan akan adanya kekuatan sang pencipta atau Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan ini disertai kepatuhan dan ketaatan dalam mengikuti perintah PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | dan menjauhi segala larangan-Nya. Ini diwujudkan dengan taat beribadah dan berperilaku yang sesuai dengan apa yang telah diatur oleh agama dan tidak melakukan apa yang dilarang oleh agama (Titib, 2006: 67). Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain (Balitbangpuskur, 2010: 37). Adapun religiusitas merupakan orang yang menganggap beragama sebagai sesuatu yang “penting” lebih dikenal sebagai orang yang bekerja untuk mereka yang memerlukan pertolongan, ikut serta berkampanye untuk keadilan sosial, dan menyisihkan uang untuk memberikan pertolongan, terutama dalam jangka waktu yang panjang (Suhardi, 2014: 189). Mengenai nilai religius anak, sesuai dengan yang dinyatakan oleh Stark dan Glock (dalam Suhardi, 2014: 3) menyebutkan ada lima unsur yang dapat mengembangkan manusia menjadi religius. Yaitu, keyakinan agama, ibadat, pengetahuan agama, pengalaman agama, dan konsekuensi dari keempat unsur tersebut. Keyakinan agama adalah kepercayaan atas doktrin ketuhanan, seperti percaya terhadap adanya Tuhan, akhirat, surga, neraka, takdir dan lain-lain. Ibadat adalah cara melakukan penyembahan kepada Tuhan dengan segala rangkaiannya. Pengetahuan agama adalah pengetahuan tentang ajaran agama meliputi berbagai segi dalam suatu agama. Pengalaman agama adalah perasaan yang dialami orang beragama, seperti rasa tenang, tenteram, bahagia, syukur, patuh, taat, takut, menyesal, bertobat dan lainnya. Terakhir konsekuensi dari keempat unsur tersebut adalah aktualisasi dari doktrin agama yang dihayati oleh seseorang yang berupa sikap, ucapan, dan perilaku atau tindakan. Nilai religius pada anak tidak cukup diberikan melalui pelajaran, pengertian, penjelasan, dan pemahaman. Kemudian, membiarkan anak berjalan sendiri. Penanaman nilai religius pada anak memerlukan bimbingan, yaitu usaha untuk menuntun, mengarahkan sekaligus mendampingi anak dalam hal-hal tertentu, terutama ketika anak merasakan ketidakberdayaannya atau ketika anak sedang mengalami suatu masalah yang dirasakannya berat. Maka, kehadiran orang tua dalam membimbingnya akan sangat berarti dan berkesan bagi anak-anaknya. Keteladanan orang tua juga merupakan hal penting dalam penanaman nilai religius pada anak. Anak cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan orang tua, baik pada ibu ataupun pada ayahnya. Segala ucapan, gerak-gerik atau tingkah laku keseharian orang tua akan diperhatikan oleh anak dan cenderung akan diikuti, paling tidak akan dikritisi oleh anaknya. Orang tua yang selalu berbicara dan berperilaku santun akan lebih mudah mengingatkan anaknya untuk bicara dan berperilaku santun. Demikian pula orang tua yang suka berderma di hadapan anaknya akan menjadi pelajaran dan pengalaman baik bagi anaknya. Kebiasaan-kebiasaan baik orang tua yang mencerminkan pengamalan nilai-nilai religius ini akan menjadi contoh bagi anak-anaknya, yang suatu saat akan muncul dalam perilaku keseharian anak-anaknya (Kurniawan, 2013: 85). Nilai religius merupakan nilai pembentuk karakter yang sangat penting. Manusia berkarakter adalah manusia yang religius. Religius adalah penghayatan dan implementasi ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari (Naim, 2012: 124). Sikap religius merupakan cerminan orang beriman yang PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 85 memiliki keyakinan yang mantap terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kitab Rgveda IX.64.21 dijelaskan: abhi venā anūsateyakShanti pracetasah, mjjanty-avicetasah. Terjemahannya: Orang yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa yang terpelajar mempersembahkan doa-doa dan para ahli keagamaan yang dicerahkan berniat menghaturkan yajña. Orang yang tidak beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan orang yang bodoh akan tenggelam (Titib, 2006: 67). Sloka tersebut di atas menegaskan bahwa orang yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, orang yang terpelajar selalu mempersembahkan doa-doa pujian. Orang yang tidak beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa serta orang yang bodoh akan tenggelam ke jurang penderitaan. Oleh karena itu, menjadi manusia harus selalu mempertebal sradha dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa karena manusia tidak ada apa-apanya dihadapan Tuhan. 2) Nilai Mandiri Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Dalam keluarga, kemandirian (self-relience) adalah salah satu nilai karakter yang harus dibentuk oleh orang tua dalam kehidupan sehari-hari. Mustari (2014: 78) menyatakan bahwa orang mandiri adalah orang yang cukup-diri (self-sufficient), yaitu orang yang mampu berpikir dan berfungsi secara independen, tidak perlu bantuan orang lain, tidak menolak risiko dan bisa memecahkan masalah, bukan hanya khawatir tentang masalah-masalah yang dihadapinya. Orang seperti ini akan percaya pada keputusannya sendiri, jarang membutuhkan orang lain untuk meminta pendapat atau bimbingan orang lain. Orang yang mandiri dapat menguasai kehidupannya sendiri dan menangani apa saja dari kehidupan ini yang ia hadapi. Kemandirian merupakan salah satu modal penting bagi anak-anak untuk bertahan hidup kelak saat mereka dewasa. Karenanya mengajarkan kemandirian merupakan salah satu tanggung jawab terpenting yang dimiliki orang tua. Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua untuk mulai menanamkan kemandirian pada anak-anak. Nilai kehormatan dan harga diri yang terdapat dalam kemandirian tidak bisa dinilai dengan sesuatu apa pun. Sebab, apabila harga diri dan kehormatan seseorang tidak ada maka habislah ia. Menumbuhkan kemandirian dalam diri anak didik bisa dilakukan dengan melatih bekerja dan menghargai waktu. Misalnya, anak didik dilatih untuk berwirausaha dari hal-hal kecil, seperti menjual kerupuk, es batu, dan lain sebagainya. Atau, anak didik diberi tanggung jawab mencari makan untuk kambing sekali atau dua kali dalam seminggu. Selain itu, anak dilatih untuk menabung sebagai investasi jangka panjang, tidak menghabiskan uang seketika tanpa berpikir masa depan. Membangun kemandirian berarti menanamkan visi dalam diri anak. Dalam kemandirian inilah, terdapat nilai-nilai agung PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 86 yang menjadi pangkal kesuksesan seseorang, seperti kegigihan dalam berproses, semangat tinggi, pantang menyerah, kreatif, inovatif, dan produktif, serta keberanian dalam menghadapi tantangan, optimis, dan mampu memecahkan masalah yang dihadapi (Asmani, 2012: 92-93). 3) Nilai Toleransi Toleransi merupakan kebajikan moral berharga yang dapat mengurangi kebencian, kekerasan, dan kefanatikan. Dengan toleransi, kita juga memperlakukan orang lain secara baik, hormat, dan penuh pengertian. Toleransi tidak melarang kita melakukan penilaian moral, tetapi menuntut kita menghargai perbedaan (Borba, 2008: 225). Toleransi merupakan sebuah sikap yang memiliki kesetaraan dan tujuan bagi mereka yang memiliki pemikiran, ras, dan keyakinan berbedabeda. Toleransi adalah sesuatu yang membuat dunia setara dari berbagai bentuk perbedaan (Lickona, 2012: 74). Nilai toleransi merupakan sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya (Balitbangpuskur, 2010: 10). Toleransi berarti sikap membiarkan ketidakpekatan dan tidak menolak pendapat, sikap, ataupun gaya hidup yang berbeda dengan pendapat, sikap, dan gaya hidup sendiri. Sikap toleran dalam implementasinya tidak hanya dilakukan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan aspek spiritual dan moral yang berbeda, tetapi harus dilakukan terhadap aspek yang luas, termasuk ideologi dan politik yang berbeda (Naim, 2012: 139). Berkaitan dengan nilai toleransi, orang tua perlu mendidik apa artinya toleransi dan rasa hormat kepada orang lain yang bisa saja menganut pemahaman berbeda darinya. Toleransi adalah kemampuan seseorang untuk menerima perbedaan dari orang lain. Hal ini baru bisa dilakukan oleh seseorang jika ia sudah merasakan dan memahami keterikatan, regulasi diri, afiliasi, dan kesadaran. Ketika ia sudah mampu menjaga hubungan yang sehat dan dekat, merasa berada dalam sebuah kelompok serta merasa nyaman di dalamnya, juga mampu menilai sebuah situasi, melihat kekuatan, kebutuhan, dan ketertarikan orang lain. Rasa hormat merupakan kemampuan untuk melihat serta merasakan nilai di dalam diri kita dan orang lain. Butuh emosi, kognitif, serta kematangan sosial. Membangun rasa menghormati adalah tantangan seumur hidup, namun prosesnya dimulai sejak dini (Kurniawan, 2013: 86). Berikut adalah beberapa aspek yang perlu diingat oleh orang tua dalam mengajarkan toleransi dan rasa hormat pada orang lain kepada anak. a) Buat anak merasa bahwa dirinya spesial, aman, dan dicintai. Jangan menghemat kata-kata pujian saat ia memang melakukan hal yang baik dan membanggakan. Anak yang dikasihi akan belajar mengasihi orang lain. b) Ciptakan sarana belajar di tempat baru, orang-orang baru, dan budaya berbeda. Paparkan pada anak pada banyaknya perbedaan di dunia ini. Ada banyak buku, makanan, event budaya, dan perayaan untuk dikenalkan pada anak. Ajak anak ke Acara-Acara budaya, PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 87 kenalkan is akan ritual agama lain. Ajar anak untuk berinteraksi dengan orang yang berbeda darinya dengan cara yang sehat. Pahamkan pada anak bahwa tidak ada yang salah dari perbedaan, asal saling menghormati dan toleransi. c) Gunakan komentar positif untuk membentuk sikap si anak. Hindari penggunaan kata-kata “menuduh”, seperti “Jangan begitu, dong!” Coba gunakan kata-kata alternatif yang mendidik, tetapi tidak menyuruh dan membuatnya merasa rendah diri, misal, “Yang lembut ke adik, ya, dia masih kecil, gampang terluka.” d) Tunjukkan caranya. Anak akan belajar untuk bersikap lebih baik, sensitif, dan menghormati orang lain dengan melihat orang tuanya, misalnya dalam berdiskusi, berpikiran terbuka, dan menghargai orang lain (tidak pula menjelek-jelekkan orang lain karena golongannya berbeda dengan Anda). 4) Nilai Disiplin Disiplin merupakan suatu tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan (Balitbangpuskur, 2010: 9). Disiplin adalah kepatuhan untuk menghormati dan melaksanakan suatu sistem yang mengharuskan orang untuk tunduk kepada keputusan, perintah, dan peraturan yang berlaku. Juga diartikan bahwa disiplin adalah sikap mentaati peraturan dan ketentuan yang telah diterapkan tanpa pamrih (Naim, 2012: 142-143). Menurut kamus Webste (dalam Ngurah,dkk, 2007: 37) dijelaskan bahwa disiplin mempunyai beberapa pengertian (1) disiplin diartikan kepatuhan terhadap peraturan atau tunduk pada pengawasan, (2) disiplin diartikan latihan yang bertujuan mengembangkan watak agar dapat mengendalikan diri, berperilaku tertib dan efisien, (3) disiplin diartikan sebagai hasil latihan pengendalian diri agar berperilaku tertib. Disiplin tidak bisa dibangun secara instan dibutuhkan suatu proses panjang agar disiplin menjadi kebiasaan yang melekat kuat dalam diri seorang anak. Oleh karena itu penananaman disiplin harus dilakukan sejak dini. Tujuannya untuk mengarahkan anak agar merasa belajar mengenai hal-hal baik yang merupakan persiapan bagi masa dewasa. Jika sejak dini sudah ditanamkan disiplin, meraka akan menjadikannya sebagai kebiasaan dan bagian dari dirinya (Naim, 2012: 143). Bernhard (dalam Shochib, 1998: 3) menyatakan bahwa tujuan disiplin diri adalah mengupayakan pengembangan minat anak dan mengembangkan anak menjadi manusia yang baik, yang akan menjadi sahabat, tetangga, dan warga negara yang baik. Dalam hal ini terdapat perbedaan yang fundamental antara keluarga di Barat dengan keluarga di Indonesia dalam mengupayakan anak untuk memiliki dasar-dasar dan mengembangkan disiplin diri. Hal ini karena keluarga di Indonesia dituntut selaras dengan isi yang dikandung oleh undang-undang di atas. Secara tersirat ada tanggung jawab pendidikan yang kodrati dalam memberikan keyakinan beragama yang ditempatkan pada urutan pertama dan menjadi dasar dari substansi lainnya. Oleh sebab itu, tujuan pendidikan yang esensial pada keluarga PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 88 Indonesia adalah pembinaan, dan pengembangan kepribadian secara utuh dan terintegrasi. Kurniawan (2013: 87) menyebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua dalam menanamkan nilai-nilai disiplin pada anaknya yaitu. a) Orang tua harus konsisten (tidak berubah), yaitu ada kesepakatan antara kedua orang tua (ayah dan ibu) sehingga setiap tindakan dalam menanamkan kedisiplinan tidak berubah-ubah. b) Berikan aturan yang sederhana dan jelas sehingga anak mudah melakukannya. c) Jangan menegur anak di hadapan orang lain karena hal itu akan membuat anak merasa malu sehingga tetap mempertahankan tingkah laku tersebut. d) Alasan dan tata tertib yang dilakukan itu perlu dijelaskan pada anak sehingga anak melakukannya dengan penuh kesadaran. e) Hadiah berupa pujian, penghargaan, barang/kegiatan (misalnya memperbolehkan bermain, nonton TV, dan lain-lain) diberikan apabila anak melakukan perilaku positif. Hal tersebut akan menumbuhkan rasa percaya diri. f) Orang tua harus berhati-hati dalam memberikan hukuman, jangan sampai menyakiti fisik/jiwa anak. Hukuman tidak dapat diberikan terhadap anak di bawah usia tiga tahun, apalagi memukulnya. Hukuman merupakan “pilihan terakhir”, lebih baik memuji perbuatannya yang benar daripada menghukum kesalahannya. Demikian pula dalam menghukum anak, sebaiknya hindari emosi yang berlebihan. g) Jangan terlalu kaku dalam menegakkan disiplin, sesuaikan dengan keadaan situasi anak. h) Sebaiknya anak dilibatkan dalam setiap membuat tata tertib sehingga anak merasa dihargai dan diakui dalam keluarga. i) Bersikap tegas bukan berarti bersikap kasar baik dalam tindakan fisik/ perbuatan. III. Penutup 1. Karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas SDM karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini, bahkan semasih dalam kandungan. 2. Keluarga merupakan jalur pendidikan pertama dan utama bagi anak merupakan tempat pertama kalinya anak-anak memperoleh pendidikan dan pengajaran dari orang tua. Keluarga yang rukun dan harmonis akan berpengaruh terhadap karakter anak tersebut. 3. Baik buruknya hubungan atau interaksi antara suami dan istri, orang tua dan anak, serta anak dengan anak sangat menentukan kesuksesan pendidikan karakter di lingkungan keluarga, terutama dalam menciptakan situasi dan interaksi edukatif. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 89 4. Penanaman nilai-nilai karakter dalam keluarga merupakan salah satu upaya peningkatan mutu pendidikan karakter sehingga terwujud sumber daya manusia yang berkualitas. IV. Daftar Pustaka Agung Oka, I Gusti. 1992. Slokantara. Jakarta: Hanuman Sakti. Asmani, Jamal Ma’mur. 2012. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Jogjakarta: Diva Press. Balitbangpuskur. 2010. Bahan Ajar Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kemendiknas. Borba, Michele. 2008. Membangun Kecerdasan Moral. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kurniawan, Syamsul. 2013. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Lickona, Thomas. 2012. Educating For Character( Mendidik Untuk Membentuk Karakter). Jakarta: Bumi Aksara. …………………. 2012. Character Matters (Persoalan Karakter). Jakarta: Bumi Akasara. Mustari, Mohamad. 2014. Nilai Karakter Refleksi Untuk Pendidikan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Naim, Ngainun. 2012. Character Building. Jogjakarta: AR. Ruzzmedia. Ngurah, Ida Bagus. Dkk. 2007. Dharma Prawerti Bahan Ajar Pendidikan Budhi Pekerti Untuk Siswa SMA/K Kelas X. Denpasar: PT. Tri Agung. Sudharta, Tjok. 2003. Slokantara. Surabaya: Paramita. Suhardi, Didik. 2014. Nilai Karakter Refleksi Untuk Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Swastika, I Ketut Pasek. 2007. Suputra Bhakti Kepada Leluhur. Denpasar: CV Kayumas Agung. Titib, I Made. 1998. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: PT. Paramita. Titib, I Made dan Sapariani, Ni Ketut. 2006. Keutamaan Manusia Dan Pendidikan Budhi Pekerti. Surabaya: Paramita. 90 PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU MELALUI TARKAWADA Oleh I Made Adi Surya Pradnya Dosen IHDN Denpasar & Pendiri MGSN Abstrak Pendidikan agama Hindu yang diajarkan di perguruan tinggi Hindu, khususnya pada mahasiswa strata I (S1) perlu direvitalisasi terutama metode pembelajaranya dan juga materi perkuliahan. Salah satunya melalui tarkawada, yaitu seni berdebat, diskusi, dialog untuk menemukan kebenaran. Tarkawada mesti dijadikan habit mahasiswa dan pemahaman terhadap teks dan konteks dalam melahirkan generasi muda yang ilmiah dan religius. Tarkawada sebagai habit, dilakukan dengan mengadakan kompetisi antar mahasiswa, sehingga secara tidak langsung pemahaman terhadap materi agama diketahui dengan baik, disamping itu merangsang peserta didik untuk mampu berargumentasi secara ilmiah serta menguatkan mental peserta didik, agar logika tidak melahirkan keegoan dan perasaan tidak melahirkan emosi, inilah disebut keseimbangan kecerdasan SQ dengan IQ. Materi yang disampaikan peserta didik dalam berargumen saat tarkawada, dikuatkan dengan revitalisasi terhadap teks yang terdiri dari teori-teori dan kitab suci, sedangkan konteksnya terimplementasi dari teks melalui argumentasi yang ilmiah, sehingga permasalahan atau isu-isu di masyarakat dapat dilesaikan dengan pengetahuan ilmiah dan religius. Kata Kunci: Revitalisasi, Pendidikan Hindu, Tarkawada I. Pendahuluan Pedidikan generasi muda Hindu saat ini mengalami titik perkembangan pemikiran, terlebih adanya perguruan tinggi agama Hindu yang memberikan pemahaman khusus ajaran Hindu, namun perlu direvitalisasi sebab ajaran Hindu sulit dipahami dalam dunia akademik, karena ajaran Hindu tidak pure diberikan pada mahasiswa, karena masuknya budaya, adat dan tradisi Bali. Menjadi persoalan ketika mahasiswa ataupun generasi muda yang tidak berasal dari Bali sulit memahami contoh, khasanah yang diambil dari keseharian umat Hindu di Bali. Melahirkan generasi muda Hindu yang religius dan ilmiah, perlu perubahan dari proses pembelajaran yang diberikan kepada anak didik, salah satunya dengan memberikan tarkawada atau ilmu debat, diskusi, sehingga memicu generasi muda untuk berkreatifitas dalam mengkritisi, menganalisis persoalan. Inilah disebut proses berpikir yaitu suatu gejala mental yang bisa menghubungkan hal-hal yang diketahui, tarkawada juga disebut proses dialektis, artinya selama berpikir terjadi tanya jawab, untuk bisa meletakan hubungan-hubungan antara pengetahuan dengan tepat, Tanya jawab itu kemudian memberikan arah kepada pikiran (Mustari, 2011: 85). Oleh karena itu, bagaimana tarkawada menjadi habit bagi anak didik khususnya? dan teori-teori ilmiah seperti apa yang mesti diberikan kepada generasi muda? Inilah pembahasan dalam tulisan ini. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 91 II. 2.1 Pembahasan Tarkawada Sebagai Habit Mahasiswa Melahirkan generasi muda intelektual yang mengacu pada nilai-nilai akademis yang rasional sangat sesuai dengan pengetahuan ilmiah yang mengacu pada konteks seorang ilmuan. Ada beberapa syarat dalam pengetahuan ilmiah, menurut Lubis (2016: 64) berdasarkan tujuanya pengetahuan ilmiah menemukan kebenaran, memperluas, pemahaman atau pengetahuan, diskripsi, eksplanasi, interpretasi, prediksi, retrodiksi, penemuan, aplikasi, kontrol; Berdasarkan metodenya adalah kualitatif dan kuantitatif; dan Berdasarkan bahasa yang digunakan adalah lugas dan tepat, verifikatif dan falsifikasi. Hal-hal seperti itu akan mudah dipahami jika lembaga perguruan tinggi dapat membuat event bulanan dengan kompetisi di masing-masing peserta didik untuk diajak melakukan tarkawada, membiasakan dan membudayakan (habit) debat ilmiah pada generasi muda khususnya dalam perguruan tinggi Hindu. Inilah disebut rangsangan, tanggungjawab sebagai peserta didik yang ilmiah. Zaman Socrates (Jallaluddin, 2013: 79), pula dilakukan tarkawada, terbukti epistemology diperoleh dengan bertanya dan mempertanyakan jawaban yang disebut filsafat, proses ini dilakukan dengan mempertanyakan tentang arche (dasar) atau asal mula, asal usul alam dan berusaha menjawabnya dengan menggunakan logos (rasio). Sokrates juga mulai membawa manusia sebagai subjek moral-etis yang memiliki kemampuan untuk berpikir dan berbuat serta bisa berhubungan dengan sesamanya. Terlebih lagi zaman tersebut penekanan ajaran Sokrates adalah tentang Tuhan (Kebung, 2008: 49). Perlombaan dan kompetisi adalah suatu tradisi akademis yang wajib dilaksanakan, apalagi menjadikan generasi muda Hindu berpikir ilmiah melalui berbicara ilmiah. Seorang belajar pendidikan Hindu, maka yang ditonjolakan adalah gaya berbicara, sebab ajaran agama adalah ajaran sosial yang mesti dibicarakan dan diskusikan, ajaran agama tidak dapat dipikirkan sehingga menjadikanya sebagai rumus matematika. Seorang ahli agama adalah ahli retorika, sehingga umat yang mendengarkan mengikuti apa yang dikatakan oleh gurunya. Melalui tarkawada, secara tidak langsung mengasah nalar peserta didik untuk berbicara sesuai konten masalah atau isu-isu yang diangkat sebagai bentuk kecerdasan intelektual. Sesungguhnya melalui media diskusi, hal yang tidak terungkap dan belum diketahui oleh peserta diskusi menjadi lebih dipahami, karena peserta diskusi membawa pengetahuanya masing-masing. Seni berdebat juga memberikan pengaruh terhadap mental peserta didik dalam menyikapi persoalan yang didebatkan, mental adalah sesuatu hal terpenting bagi seorang intelektual maupun spiritual, sebab seorang generasi muda Hindu dalam seni berdebat, mesti mampu menyeimbangkan pemikiran ilmiah dan religius. Menurut Jujun Suriasumantri (dalam Latif, 2014: 87) pengetahuan adalah khazanah mental, karena tiap pengetahuan menjawab tiap jenis pertanyaan yang diajukan. Secara ontologis ilmu membatasi diri pada objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki daerah penjelajahan yang bersifat PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 92 transcendental yang berada diluar pengalaman manusia. Inilah keseimbangan Intelektual Question (IQ), Emotional Question (EQ) dengan Spiritual Question (SQ). melalui tarkawada, seorang peserta didik diajarkan berpikir ilmiah yang merupakan representasi logika yang berasal dari kepala mampu menganalisis isu yang terjadi, begitu pula emosi yang merupakan representasi sikap yang berasal dari hati, dapat dikendalikan dengan melakukan meditasi. Penting melaksanakan ini, sebab jika dalam berdebat emosi menguasai logika, maka terjadi mada (kebingungan) yang mengarah pada kroda (kemarahan) berakibat kekerasan fisik. Begitu pula logika mendominasi emosi menyebabkan keegoan yang liar, sehingga melalui tarkawada, seorang peserta didik diajak bergerak menyeimbangkan logika dengan emosi inilah disebut aweareness. 2.2 Memahami Teks dan Konteks Ajaran Hindu Ajaran Hindu adalah ajaran yang mengarah pada pemahaman terhadap teks yang tertuang dalam kitab suci, maupun teori-teori ilmiah yang dipelajari dalam setiap pertemuan kuliah. Namun dalam praktiknya teori ilmiah dan kitab suci belum diajarkan dalam perguruan tinggi Hindu, khususnya mahasiswa strata I (S1). Tuntutan ilmiah dalam penulisan karya ilmiah justru memperdebatkan teori, sehingga terjadilah kesemrautan intelektual dalam penulisan karya ilmiah (skripsi). Bahkan ketika penguji skripsi menanyakan teori kepada mahasisiwa yang tidak mendapatkan materi teori, dan pertanyaanya penguji menyudutkan mahasiswa dalam ulasan teori, kemudian mahasiswa tidak mampu memberikan argumen, maka penguji memberitau untuk mengganti teori dan mengurangi nilai peserta didik, karena dianggap tidak menguasai teori dalam karya ilmiahnya. Inilah yang disebut dengan gagal paham atau keterbelakangan intelektual. Inilah potret yang terjadi di beberapa perguruan tinggi, oleh karena itu perlu revitalisasi terhadap materi, silabus dalam perkulihan agar menyertakan mata kuliah teori dan teks, sehingga peserta didik dapat sistematis menjelaskan fenomena atau isu-isu yang layak untuk di analisis dan didiskusikan, sesuai dengan teori, karena teori adalah alur logika atau penalaran, yang merupakan seperangkat konsep, definisi, dan proposisi yang disusun secara sistematis. Secara umum teori mempunyai tiga fungsi, yaitu untuk menjelaskan (explanation), meramalkan (prediction) dan pengendalian (control). Penyusunan teori memenuhi dua criteria yaitu cocok dengan situasi empiris dan melakukan fungsi teori, yaitu meramalkan, menerangkan dan menafsirkan suatu gejala (Sugiyono, 2010: 81; Moleong, 2001: 17). Salah satu pemahaman yang mesti dimiliki oleh peserta didik agar terlahir generasi muda Hindu yang ilmiah dan religious adalah diberikan materi tentang teks atau kitab suci dalam materi perkulihan sehingga ajaran agama murni dapat diajarkan, sebab perkuliahan Agama Hindu selama ini adalah lebih banyak menjelaskan budaya, tradisi, adat di Bali, sehingga para peserta didik yang berasal dari luar Bali tidak memahami contoh-contoh yang disampaikan. Inilah yang menjadi tantangan oleh Soyomukti (2015: 342) bahwa pendidikan adalah ajang pertarungan PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 93 ideologis. Bagaimana bukan pertarungan jika pada kenyataan apa yang menjadi tujuan pendidikan adalah berbenturan dengan kepentingan yang lain. Lembaga pendidikan adalah wilayah yang mana kesadaran diperebutkan oleh kepentingan: kepentingan untuk membebaskan manusia (peserta didik) dengan kesadaran dan dorongan untuk terlibat aktif dalam aktifitas dan kegiatan yang mengarah pada kemanusiaan dengan kepentingan untuk menjadikan peserta didik hanya tunduk pada kesadaran yang dapat melanggengkan sistem penindasan dan menjadikan peserta didik hanya sebagai objek dalam pembangunan budaya yang menguntungkan kekuasaan yang menindas kemanusiaan. Kitab suci adalah kunci utama yang dipelajari peserta didik, sehingga mereka mengenal kebenaran agamanya. Ketika berbicara tentang sebuah isu seorang intelektual agama mesti menyertakan dalil-dalil agamanya yang tertuang dan tercantum dalam teks kitab sucinya. Inilah yang disebut intelektual agama, sehingga analisis terhadap kebenaran isu yang diangkat tidak menyimpang dari kebenaran keilmuanya, sebagai generasi muda ilmiah dalam bidang agama. Akademik adalah ruang yang menjadi bridge (jembatan) keilmuan antara pemikiran ortodok agama dengan pemikiran fundamentalis, maupun spiritual keagamaan. Akademis adalah ruang yang melampaui kebenaran diantara pemikiran tersebut, sehingga melalui jalur akademis pemikiran ortodok, modern, spiritual, fundamentalis dapat disatukan melalui kajian ilmiah. Apalagi menurut Weber (dalam Raho, 2013: 59) agama-agama pada masyarakat asli cenderung terarah kepada hal-hal yang bersifat magis. Inilah pentingnya revitalisasi pendidikan dalam perguruan tinggi Agama Hindu, sehingga lahirlah generasi muda ilmiah yang religious, karena kebenaran yang disampaikan berdasarkan teori dan kitab suci. Dengan demikian lahir buku-buku agama maupun karya ilmiah lainya yang berstandar ilmiah dan inilah harapan dari perguruan tinggi Hindu. Dengan memahami ajaran yang tertuang dalam kitab sucinya dan memahami tafsir dari dalil kitab suci, maka eksistensi ajaran Hindu yang adi luhung terus berjaya. Inilah disebut penelitian normative Agama (Maman, dkk, 2006: 9). Mempelajari kitab suci beserta ilmu tafsirnya, sesungguhnya secara tidak langsung peserta didik diajarkan tentang religiusitas maupun religious keagamaan. Akibatnya dalam konteks permasalahan yang dihadapi umat dapat diselesaikan dengan sebaiknya melalui tarkawada yang dapat diimplementasikan dalam Dharma wacana ataupun Dharma tula. Harus diakui bahwa pembelajaran agama Hindu dalam masyarakat sangat sulit disampaikan terlebih lagi di Bali, karena habit mendengarkan ajaran agama, lebih didominasi oleh praktik keagamaan, berupa Upacara. Akibatnya konteks ajaran Hindu lebih didominasi oleh ajaran tata cara praktik daripada inti ajaran agamanya. Inilah menurut Maman, dkk (2006: 10) disebut sebagai penelitian agama nonnormatif. Oleh karena itu, dimulai dari dunia akademis, mesti digalakan kembali ajaran tarkawada sehingga kebiasaan berdiskusi, berdebat, menganalisis sesuatu masalah dapat menjawab permasalah kompleks umat khususnya pada inti keagamaanya, tidak dalam praktik keagamaanya, karena ranah dalam dunia akademis adalah membahas konteks melalui teks dalam teori maupun kitab sucinya. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 94 Revitalisasi pendidikan Hindu melalui tarkawada adalah modal intelektual yang dapat ditawarkan kepada umat Hindu, sehingga secara berlahan-lahan pembelajaran Hindu dapat diarahkan pada inti keagamanya, bukan pada praktik keagamaanya, sehingga pembelajaran melalui upanisad (duduk disamping guru untuk mendapatkan pengetahuan rohani) dapat dilakukan oleh umat Hindu dalam kekinian, sehingga kecerdasan umat Hindu terhadap agamanya lebih dapat diimplementasikan melalui ajaran agama dalam teks. III. Penutup Melalui habit tarkawada, seorang peserta didik dapat memahami ajaran agamanya dan terbiasa berdialog tentang ajaran agamanya, sehingga dalam tarkawada terjadi keseimbangan (balance) antara intelektual question (IQ), Emotional Question (EQ) dengan Spiritual Question (SQ), diharapkan peserta didik memiliki kecerdasan berlogika dan emosi yang stabil, agar isu-isu keagamaan yang sensitive dapat diselesaikan dengan baik, berdasarkan kajian ilmiah yang religious. Tarkawada mengajarkan seseorang untuk dapat berperilaku ilmiah dan religius, apabila dalam kuliah diajarkan teks dalam bentuk teori maupun kitab suci. Kedua pengetahuan teks ini kemudian dapat mencerdasakan umat beragama melalui pembelajaran yang dimulai dari ranah akademis, sehingga umat terpacu belajar inti agama, bukan praktik agama. IV. Daftar Pustaka Jalaluddin, H, 2013. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Raja Grafindo Persada Kebung, Konrad, 2008. Rasionalisasi dan Penemuan Ide-Ide. Jakarta: Prestasi Pustaka Latif, Mukhtar, 2014. Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenada Media Group Lubis, Akhyar Yusuf, 2016. Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada Maman, dkk, 2006. Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktik. Jakarta: Raja Grafindo Persada Moleong, Lexy, 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Mustari, Mohamad, 2011. Nilai Karakter Refleksi Untuk Pendidikan Karakter. Yogyakarta: LaksBang Press Raho, Bernard, 2013. Agama Dalam Perspektif Sosiologi. Jakarta: Obor Soyomukti, Nurani, 2015. Teori-Teori Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzzmedia Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta 95 PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | PENGENDALIAN DIRI DALAM KIDUNG MITUTURIN AWAK Oleh I Wayan Wirata Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Gde Pudja Mataram e-mail : [email protected] Abstrak Kidung merupakan suatu hasil karya sastra yang mengungkapan perasaan penulis yang mampu memberikan pengalaman, pengetahuan, dan wawasan bagi pembacanya melalui media bahasa sebagai alatnya. Melalui karya sastra seorang penulis maupun pembaca dapat melakukan evaluasi terhadap perubahan pada zamannya. Karya sastra sebagai kajian ilmu memberikan konsep berfikir serta analisa berdasarkan pendekatan keilmuannya. Pada prinsipnya ilmu dapat menempatkan sesuatu berdasarkan kemampuan daya nalar manusia. Kebenaran dalam konteks ilmu merupakan kebenaran yang tergantung sepenuhnya pada kemampuan daya nalar manusia. Kemampuan berpikir atau bernalar merupakan satu bentuk kegiatan akal manusia melalui pengetahuan yang diterima melalui panca indera, diolah, dan ditujukan untuk mencapai suatu kebenaran. Hubungan pengetahuan dan pendidikan filsafat sangat erat, bila dipandang dari sudut intensitasnya. Kedua bidang ini merupakan manisfestasi bentuk pemikiran radikal manusia yang bertujuan untuk mengungkapkan sebab dan rahasia terdalam kehidupan manusia. Oleh karena itu untuk mengkaji suatu karya sastra seorang peneliti atau penikmat sastra melibatkan ilmu filsafat sebagai ilmu bantu untuk memahami suatu karya sastra, agar diperoleh pemahaman yang intensif, komprehensif dan simultan. Di samping ilmu filsafat kerap mengangkat suatu karya sastra menjadi objek kajian. Luasnya kehidupan manusia telah terekam di dalam sebuah karya sastra yang melibatkan berbagai displin ilmu untuk memberikan beragam kontribusi terhadap proses penciptaan karya sastra, sampai pada proses pemberian makna atau interpretasi terhadap karya sastra itu sendiri. Ini merupakan suatu fenomena yang wajar, mengingat karya sastra dan ilmu sastra itu sendiri tidak mengenal kata berhenti dalam proses perkembangannya. Adanya gerak dinamis dalam bidang sastra tersebut telah pula menghasilkan suatu hubungan simbiosis dengan bidang atau ilmu lain, di samping akan memberikan nilai pendidikan terutama pendidikan karakter kepada para penikmat sastra. Kata Kunci : Nilai Pendidikan dan Kidung Mituturin Awak I. Pendahuluan Karya sastra lahir dan hidup di tengah-tengah masyarakat berdasarkan aspek penerimaan secara rasional dan emosional dari pembaca karya sastra tersebut. Hubungan antara karya dan masyarakat dapat dipengaruhi oleh suatu karya sastra dan karya sastra merupakan cerminan dari kondisi masyarakat. Masyarakat sebagai sandaran tempat hidup pengarang mempengaruhi pengarang dalam menghasilkan karya sastranya sehingga masyarakat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 96 perkembangan pendidikan serta ikut menentukan segala sesuatu yang ditulis oleh pengarang, bagaimana menulisnya, apa tujuannya, dan untuk siapa karya sastra itu ditulis, akibatnya karya sastra yang merupakan produk dari anggota masyarakat akan mencerminkan dinamika kehidupan masyarakat atau sebaliknya yang dijadikan cermin oleh masyarakat (Damono, 1984: 3-4). Sebagai sastra profetik dalam bidang pendidikan, Kidung dapat diasumsikan memiliki semangat profetik sentral atau pusat bertemunya dimensi sosial dan transedental. Dimensi sosial menunjuk pada kehidupan kemanusiaan di alam nyata atau bersifat profan (sakala). Dimensi transendental menunjuk pada kehidupan yang lebih tinggi (niskala), yang berpuncak pada Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dimensi transendental ini memberikan kedalaman pada sastra Kidung yang dapat menopang nilai-nilai kerohanian, membuat karya Kidung bersifat vertikal. Dengan demikian, sastra Kidung dapat dipandang sebagai jalan menuju Tuhan atau ibadat keindahan serta merupakan sarana menuju penemuan dan pengenalan kembali hakikat diri manusia. Karena itu, Kidung dapat dilihat sebagai sistem simbol yang berfungsi mengarahkan tingkah laku atau bentuk-bentuk simbolik yang dianggap sebagai media penyimpan makna. Hubungan simbiosis tersebut merupakan suatu hubungan yang mengikat dua bidang atau ilmu yang berbeda namun terlihat sejalan dalam pengkajian obyek serta proses perkembangan kedua bidang atau ilmu tersebut. Beberapa ilmu yang digunakan sebagai ilmu bantu yang relevan dengan ilmu sastra seperti linguistik, pendidikan, psikologi, antropologi, ilmu sosial/kemasyarakatan, ilmu filsafat, dan sebagainya. Ilmu dan filsafat adalah dua bidang ilmu yang bersenyawa. Kedua bidang ilmu ini sama-sama memfokuskan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan menjadi objek kajian. Dalam hal ini penulis mengutip pendapat Tabir Sitepu (1982: 6) sebagai berikut: ”Filsafat dan ilmu adalah dua bidang kajian yang masing-masing mempunyai kedudukan yang otonom. Namun, filsafat salah satu ilmu dari bermacam-macam ilmu kerabat sastra, kelihatannya bersenyawa dengan cipta sastra. Filsafat mempunyai sikap sistematis terhadap kehidupan manusia. Sedangkan cipta sastra bersikap imajinatif dan orisinil terhadap kehidupan manusia”. Dari berbagai pendapat yang telah disebutkan di atas, sehingga pengertian filsafat dapat dirangkum sebagai berikut: Filsafat adalah hasil pikiran manusia yang kritik dan dinyatakan dalam bentuk yang sistematik. Filsafat adalah hasil pikiran manusia yang paling dalam. Filsafat adalah refleksi lebih lanjut daripada ilmu pengetahuan atau pendalaman lebih lanjut ilmu pengetahuan. Filsafat adalah hasil analisa dan abstraksi. Filsafat adalah pandangan hidup. Filsafat adalah hasil perenungan jiwa manusia yang mendalam, mendasar dan menyeluruh. Dari contoh di atas dapat dikemukakan ciri-ciri berfilsafat antara lain sebagai berikut: deskriptif, kritik dan analitik, evaluatik atau normatif, spekulatif, sistematik, mendalam, mendasar, menyeluruh. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 97 II. Pembahasan Dalam Kidung Mituturin Awak sarat dengan dengan nilai-nilai filsafat terutama filsafat pendidikan yaitu tentang pendidikan karakter. Filsafat merupakan berpikir secara kritik, sistematik, dan rasional sehingga menghasilkan segala sesuatu yang runtut, runtun, sistematik, dan komprehensif. Hal ini dipertegas oleh pendapat Beekman (1973: 12) dalam bukunya berjudul Filosofie, Filosofen, Filosoferen, yang memberikan definisi sebagi berikut: "Filsafat memainkan peranan dalam hubungannya dengan semua ilmu pengetahuan. Filsafat tidak hanya harus menggali informasi dari sisi ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan, akan tetapi harus memberikan sejenis pimpinan kepada semua ilmu pengetahuan". Di samping itu Agastia (1994: 8) menyatakan, bahwa Kidung merupakan karya sastra puisi yang mempunyai kaidah-kaidah tertentu. Garis besar kaidah-kaidah bentuknya adalah mempunyai jumlah silabel tertentu dalam tiap baitnya, dan dalam jumlah silabel tertentu dari bagian bait tersebut memakai bunyi tertentu (misalnya bunyi a, i, dan u). Sekalipun Kidung adalah kata Jawa asli, tapi isinya banyak mengandung nilai-nilai yang tertuang dalam ajaran agama terutama pendidikan agama Hindu. Hal ini dipertegas oleh Bandem (1983: 31) menyatakan bahwa Kidung adalah jenis puisi yang menggunakan metric dan bahasa Jawa Tengahan, yang biasa digunakan dalam lontar-lontar cerita Panji atau Malat di Jawa. Namun dalam perkembangannya setelah masuk ke Bali, Kidung sering dimainkan bersama dengan istrumen dan lagu-lagu pokok Kidung ditulis dalam lontar Tabuh-Tabuh Gambang. Kidung adalah warisan yang adiluhung yang memiliki nilai-nilai kearifan ajaran agama Hindu. Nilai pendidikan ini mengandung kebenaran yang abadi. Nilai-nilai seperti ini seharusnya ditransmisikan dan ditranformasikan dalam usaha membangun kesadaran spiritual. Bait-bait awal (1b-3a) Kidung mitutrin awak telah menceritakan tentang konsep pendidikan terkait dengan konsep rwa-bhinedadan. Konsep tersebut mengindikasikan adanya suatu perbedaan yang harus ada di dunia ini untuk menciptakan keharmonisan dan keseimbangan alam semesta Keseimbangan dalam kehidupan merupakan sebuah konsep yang sangat mendasar dalam kehidupan. Semua yang ada, baik dalam dunia mikro (micro cosmos) maupun dalam dunia makro (macro cosmos). Demikian juga yang ada dalam dunia yang kelihatan (sekala) maupun yang tidak kelihatan (niskala), tidak luput mengikuti konsep alam ini. sebagai dua hal berbeda dalam kehidupan yang selalu menjadi satu dan tidak terpisahkan satu sama lain. Rwa Bhineda inilah yang menjadi dasar dari hukum keseimbangan dalam semesta. Petikan baitnya dapat dijelaskan sebagai berikut: ..... yen sugih da pati bangga, Yen dahak da pati duka, Anak tuwah pada matemu, Melah teken jelene, Eluh tekening muani, Menek kelawan tuwun, Sangkan ada pada tumbuh, Siwa budha dadinane, Yen ring sastra mawak windu, Latri tekening rahina, Sankaning ada manusa….. Aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari, jika dalam kehidupan mengalami kesenangan, tidaklah disarankan untuk congkak dan berbangga hati secara berlebihan, karena semuanya itu sifatnya hanya sementara. Suatu saat tentulah kesedihan dalam tingkat yang serupa akan PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 98 mengunjunginya sehingga pada akhirnya, semuanya akan berjalan secara seimbang. Sebaliknya, jika mengalami kesedihan yang mendalam, janganlah terlalu murung berlebihan karena semua itu ada penyeimbangnya. Kebahagiaan dalam bentuk yang lain mungkin suatu saat akan datang. Dalam konteks ini dapat merefleksikan seluruh komponen-komponen ilmu pengetahuan. Meskipun demikian filsafat dapat dibedakan dengan ilmu pengetahuan itu sendiri. Pembedaan ini mungkin secara teoritik dapat ditolak, tetapi setiap filosof dalam prakteknya menjelaskan bahwa filsafat bukan ilmu pengetahuan yang biasa, namun pengetahuan secara menyeluruh dan komprehensif. Di dalam bukunya Perspectives in Social Philosophy, Beck (1967: 11) berpendapat bahwa berfilsafat dilakukan melalui kegiatan spekulatif, fenomenologik atau deskriptif, normatif atau evaluatif dan kegiatan kritik atau analitik. Konsep rwa bhineda ini kemudian menjadi pengantar terhadap hukum alam yang lainnya yang sangat kuat mengakar pada kehidupan masyarakat sehari-hari yakni hukum karma yang juga bertumpu pada keseimbangan dalam bentuk lain. Apapun yang dilakukan dalam hidup ini, suatu saat akan membuahkan hasil yang serupa. Bila kebaikan yang tanam, maka kebahagiaanlah yang akan dituai. Sebaliknya jika keburukan yang lakukan, maka penderitaanlah yang akan menghampiri. Semuanya soal pilihan dalam menjalani kehidupan yang memiliki konsekuensinya masing-masing. Bait (3b-9b) Kidung mituturin awak adalah inti ajaran pendidikan yang akan mengkaji nilai-nilai filsafatnya. Dalam naskah ini konsep pengendalian diri dengan mengalahkan musuh-musuh dalam diri (dasendriya) harus diutamakan, mulai menyadari bahwa mengendalikan pikiran adalah hal yang terpenting. Mengendalikan dalam konteks ini adalah “amuter tutur” membalik kesadaran secara benar. Artinya kesadaran yang sebelumnya cenderung mengarah keluar dan suka berada di luar diri adalah kesadaran yang lebih cenderung terjebak, karena seringkali didasari oleh pengetahuan yang keliru. Maksudnya pikiran hendaknya diusahakan berdasar atas pengetahuan yang benar. Dengan bekal pengetahuan yang benar diharapkan setiap insan mampu mengamalkan nilai-nilai ajaran sebuah karya sastra sebagai prioritas utama dalam kehidupan. Karena adanya panutan nilai, moral, dan norma dalam diri manusia dan kehidupan akan sangat menentukan totalitas diri individu atau jati diri manusia, lingkungan sosial, dan kehidupan individu. Berkaitan dengan hal ini, maka Kidung mituturin awak akan dikaji lebih mendalam agar nilai-nilai filsafat yang terkandung di dalam naskah ini dapat dipahami, karena studi terhadap karya-karya sastra masa lampau dapat mengungkap segala informasi mengenai berbagai segi kehidupan sehingga inti ajaran yang ada di dalam karya sastra itu dapat dipahami oleh para pembaca. Manusia sebagai mahluk sosial memerlukan lingkungan untuk berinteraksi memerlukan suatu pengetahuan dan pengalaman. Dalam hidup bermasyarakat memerlukan suatu pengetahuan atau ilmu yang sering disebut sosiologi. Sosiologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 99 suatu pengalaman empiris, profan, positif yang menuju pada pengetahuan yang bersifat universal, tentang struktur, fungsi, serta perubahanperubahan yang dialami suatu kelompok sosial dan kelompok keagamaan. Dalam pendidikan agama khususnya agama Hindu mempelajari satu disiplin ilmu yang merupakan bagian dari ilmu yang mempelajari kondisi masyarakat secara empiris yang bersifat positif yang menuju pada pengetahuan yang bersifat universal, tentang struktur, fungsi, serta perubahan-perubahan yang dialami masyarakat penganutnya. Dalam Kidung mituturin awak salah satu mempelajari pengetahuan dan pengalaman pribadi bahwa dalam hidup selalu membutuhkan pengetahuan dan pengalaman orang lain orang lain untuk berinteraksi dan melakukan hubungan sosial demi terciptanya rasa tenteram, damai, dan sejahtera. Dalam kehidupan di dunia banyak kebutuhan yang harus terpenuhi. Dengan berbagai kebutuhan dan keinginan akan dibutuhkan upaya simultan untuk berusaha dan bekerja. Dengan semakin kompleknya kebutuhan akan pengetahuan, maka pekerjaan yang dilakukan semakin meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas. Dalam melakukan pekerjaan harus dipilih sesuai dengan pekerjaan dan bidangnya masingmasing. Dalam melakukan pekerjaan harus mengacu pada ajaran Dharma yaitu melakukan pekerjaan berdasarkan konsep ajaran agama demi terciptanya hasil pekerjaan yang dapat memberikan kepuasan dan hasil untuk menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kemanusiaan. Suba ambulto bàn ñalimur, di sêbêt ati né, matêpêti nak cêrik, sakité bês kadurus, lêmah-lêmah matatunggu, ñarwang kiyap matané, apang da kasula ibuk, malih ada katuturanña, kocak anak cêrik tuwa. Pada saat mendapat kesedihan diidentikkan seperti seorang yang mengasuh anak kecil. Seorang anak memerlukan banyak perhatian dan bimbingan untuk menjadi anak yang cerdas dan memiliki budi pekerti. Dalam mengasuhnya memerlukan banyak waktu, tenaga, dan pikiran sehingga menghasilkan anak yang suputra. Banyak aktivitas yang dilakukan dari mulai mengajar, mengawasi, menuntun, bahkan mengarahkan sehingga menjadi anak yang memiliki kepribadian yang luhur. Dengan demikian diperlukan pengorbanan sehingga kelak menjadi insan yang berkarakter dan berkepribadian. Hal tersebut sebagai bagian dari kesabaran para pengasuh untuk tetap tabah dan tekun dalam menjalankan tugas dalam mengasuh anak. Dengan kesabaran dan didukung dengan kesadaran bahwa anak merupakan sumber daya untuk menghasilkan anak yang cerdas, berkepribadian, dan berbudi luhur. Suba ambul to ða liyu itung, sok abêsik bêkin, têké-/-ning anaké cêrik, né nongos di marga agung, anak ya suba twah putus, jalan manunas lugrané, andéna mangadu suwung, kêma laku mapayang, ring anaké cêrik tuwa. Tantangan hidup di dunia dianalogkan dengan mengasuh anak kecil yang banyak membutuhkan pikiran, waktu, tenaga, dan lainnya. Pekerjaan tersebut bagian dari membangun kesadaran spiritual demi terwujudnya pikiran yang suci yang dilandasi dengan hati yang tulus dan ikhlas sebagai PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 100 bagian dari permohonan dalam menapak perjalanan spiritual yang penuh kesadaran untuk mencapai moksartam jagathita ya caiti Dharma. III. Penutup Dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: Untuk mempermudah pemahaman nilai pendidikan yang tertuang dalam naskah (lontar) diperlukan adanya transkripsi yang dilanjutkan dengan terjemahan. Hal ini dilakukan agar lebih mudah memahami kandungan isi dari naskah (lontar) Kidung Mituturin Awak. Pengendalian diri terutama dalam pendidikan karakter dalam Kidung mituturin awak pada dasarnya memberikan pitutur atau ajaran kepada manusia tentang betapa pentingnya menjelma menjadi manusia, sehingga tetap tabah, sabar serta tekun menjalankan swadarma sebagai bagian melaksanakan ajaran agama berdasarkan Dharma. Dalam nilai pendidikan bahwa setiap insan yang tumbuh dan berkembang di bumi selalu patuh dan taat terhadap hukum alam (rtam), di samping selalu menjalankan swadarmanya sebagai insan yang memiliki pengetahuan untuk dapat meningkatkan budi pekerti yang luhur dan berkepribadian. Dalam pendidikan mengisyaratkan bahwa manusia selalu menjalin hubungan komunikasi dengan sesama dan lingkungan sehingga tercipta sinergisitas hubungan yang bersifat resiprok dan komperehensif di antara semua mahluk hidup yang tumbuh di bumi. IV. Daftar Pustaka Agastia, IBG. 1994. Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah Pengantar). Denpasar: Yayasan Dharma Sastra Bandem, I Made. 1983. Ensiklopedia Gambelan Bali. Denpasar : Tanpa Penerbit. Furchan, A. 2004. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Intan Purnama Dalem Tilik. IGA 2013. Fitur-Fitur Suprasegmental Kidung Tantri Nandakaharana. Denpasar: Unud Koento Wibisono. 1997. Arti Perkembangan Menurut Auguste Comte. Yogyakarta : Gamapress. Meglino dan Ravlin. 1998. Individual values in organizations: concepts, controversies, and research. Journal of management.Vol 24. pp 351389 Ruslan, Rosady. 2011. Etika Kehumasan. Jakarta: PT RajaGrafindo. Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri PisAcarana. Jakarta: Pustaka Larasan. Suriasumantri, 1986. Filsafat Ilmu. Jakarta: Cahaya. Sukmadinata, Nana Syaodih. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Bandung: Remaja Rosda Karya. Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabet. Tabir Sitepu. 1982. Sastra Lisan Karo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Zoetmulder. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit Djambatan. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 101 PEDAGOGIK DALAM STUDI KULTURAL UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI ILMIAH DAN RELIGIUS Oleh Ni Nengah Selasih Staf Pengajar Pada Pascasarjana Program Studi Sastra Agama Konsentrasi Bahasa Bali Email : [email protected] Abstrak Transformasi sosial sebagai akibat dari modernisasi, maka perlu diperhatikan bahwa perubahan sosial mempunyai banyak dimensi, yaitu dimensi spiritual, kultural, filsafat, sosial, moral, dan dimensi agama. Pendidikan bukan semata-mata transmini kebudayaan dan ilmu pengetahuan, bahkan merupakan proses dekonstruksi dan rekonstruksi kebudayaan. Pedagogik tradisional tidak mengembangkan manusia kritis dan segala sesuatu diterima sebagaimana adanya secara turun menurun. Kekuasaan (power) dalam pendidikan mempunyai konotasi berbeda dengan kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari. Jenis kekuasaan, yakni 1) kekuasaan transformatif; 2) kekuasaan transmitif. Kekuasaan dalam pendidikan adalah kekuasaan bersifat transformatif. Tujuannya adalah dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lain, bahkan membangkitkan refleksi dan refleksi menimbulkan aksi. Aksi atau tindakan yang dilakukan peserta didik dalam pendidikan secara pedagogik kritis dan transformatif, untuk dapat menciptakan generasi ilmiah dan religius, melalui pengembangan ilmu, serta dapat menghadapi tantangan untuk reformasi Pendidikan Nasional menghadapi globalisasi. I. Pendahuluan Transformasi sosial sebagai akibat dari modernisasi, maka perlu diperhatikan bahwa perubahan sosial mempunyai banyak dimensi, yaitu dimensi-dimensi spiritual, kultural, filsafat, sosial, moral, dan dimensi agama. Menurut Soedjatmoko (dalam Tilaar,2003:36) agama dapat mempunyai kekuasaan positif dalam menggerakkan transformasi sosial, tetapi dapat menyebabkan konflik sosial apabila tidak disadari akan bahaya-bahaya inklusivisme yang menggunakan lambang-lambang agama untuk kepentingan masyarakat eksklusif. Menurut Raymond (dalam Tilaar,2003:42) hubungan antara pedagogik dan studi kultural mempunyai sejarah yang sangat panjang, terletak pada kesatuan titik tolak, yaitu proses perubahan sosial. Studi kultural pada hakikatnya mencerminkan perubahan sosial dan terdapat suatu keinginan untuk menjadikan proses belajar sebagai bagian dari proses perubahan sosial. Keduanya merupakan ilmu praksis yang mengkaji dan merefleksikan praktik-praktik kebudayaan dan sebagai ilmu performatif. II. 2.1 Pembahasan Pedagogik Tradisional dan Studi Kultural Tilaar (2003:43) dalam pedagogik tradisional, tidak ada tempat bagi studi kultural. Proses pendidikan terbatas pada proses belajar yang bahkan PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 102 dibatasi di ruang-ruang kelas. Proses pendidikan tidak lebih dari proses transmisi dari sebagian kebudayaan, yaitu ilmu pengetahuan yang disampaikan secara tradisional dan secara estafet dari generasi ke generasi berikutnya. Inilah fungsi reproduksi dari pedagogik tradisional yang pada hakikatnya mempertahankan atau menjadi legitimasi dari struktur kekuasaan yang ada di masyarakat. Pedagogik tradisional tidak mengembangkan manusia kritis dan segala sesuatu diterima sebagaimana adanya secara turun temurun. Dengan demikian, kebudayaan tidak berubah atau menjadi beku tanpa kreativitas. Hak untuk berbeda yang menjadi ciri dari suatu masyarakat demokrasi tidak hidup di dalam pedagogik tradisional. Di dalam sejarahnya, pendidikan pedagogik tradisional dikenal sebagai gerakan pendidikan progresif yang bertitik tolak kepada anak. Perkembangan anak dilihat sebagaimana adanya tanpa mendudukkannya dalam relasi di lingkungan masyarakat dalam kebudayaannya. 2.2 Studi Kultural dalam Pedagogik Kritis dan Pedagogik Transformatif Tilaar (2003:43) pandangan mengenai proses pendidikan yang terisolasi dari masyarakat dan budaya yang dipunyai oleh masyarakat ditentang oleh pedagogik kritis dan pedagogik transformatif. Pendidikan tidak terpisahkan dalam struktur kebudayaan di mana proses pendidikan itu terjadi. Proses pendidikan bukanlah semata-mata transmisi kebudayaan dan ilmu pengetahuan bahkan merupakan proses dekonstruksi dan rekonstruksi kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan itu akan berkembang sesuai dengan kemampuan kreativitas manusia. Manusia dilahirkan dengan potensi-potensi yang dapat berkembang ke arah yang berjenis-jenis. Di sinilah letak peranan kebudayaan dalam menentukan makna hidup seseorang. Dengan kata lain, proses membangun masyarakat merupakan suatu proses pendidikan. Suatu kekeliruan bahwa manusia dilahirkan bebas, tetapi sebenarnya manusia dilahirkan tanpa daya dan akan memperoleh kemerdekaan dalam rangka kebudayaannya. Pandangan kedua yang melihat seakan-akan manusia dilahirkan baik, nyatanya manusia lahir tidak baik dan tidak jelek, tetapi manusia dilahirkan dengan potensi-potensi yang dapat berkembang ke arah yang berjenis-jenis. Di sinilah letak peranan kebudayaan dalam menentukan hidup seseorang. Dengan kata lain, proses membangun masyarakat merupakan suatu proses pendidikan. Ketiga, pandangan yang menganggap manusia lahir dengan dunianya sendiri, sejak lahir hidup dalam suatu jaringan kehidupan yang ditentukan oleh orang-orang dewasa melalui kebudayaan. Oleh sebab itu, seorang sejak lahir telah dihadapkan kepada jaringan-jaringan kehidupan dari semua kelompok unsur manusia. Dalam perkembangan jaman globalisasi dewasa ini pengaruh-pengaruh dari luar ikut menentukan perubahan-perubahan kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Menurut Dewey (dalam Tilaar, 2003:45) bahwa sekolah sebenarnya telah berfungsi sebagai lingkungan yang telah memilih untuk anak. Artinya, sekolah bukanlah suatu lembaga yang netral, tetapi merupakan pelaksana dari sistem kekuasaan yang ada di masyarakat. Studi kultural menjadi PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 103 sangat penting bagi para pendidik, karena studi tersebut memberikan dasar untuk menyimak masalah-masalah penting seperti pemerataan pendidikan, pendidikan seumur hidup, pendidikan dasar sembilan tahun. 2.3 Pedagogik dan Pemberdayaan (Empowerment) Tilaar, (2003:58) pendidikan pada hakikatnya adalah proses menemukan identitas seseorang atau suatu kelompok. Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah yang membebaskan seseorang dari berbagai lingkungan atau empowering atau penyadaran akan kemampuan atau identitas seseorang atau kelompok. Di sinilah letak afinitas dari pedagogik dan studi kebudayaan, yaitu membebaskan manusia dari ikatanikatan yang terdapat di luar dirinya. Meski demikian, pendidikan dapat pula membentuk sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang. Hal ini terjadi, apabila pendidikan dijadikan alat oleh sistem penguasa yang ada untuk mengungkung kebebasan individu. Pendidikan dan kekuasaan merupakan suatu kajian dari suatu kebudayaan bagaimana suatu rezim atau pemerintah melestarikan kekuasaannya melalui lembaga-lembaga pendidikan. Apabila suatu sistem kekuasaan memaksaan kehendaknya dan merampas kemerdekaan individu beserta kebudayaannya, maka pendidikan berubah menjadi alat opperesive bagi perkembangnan individu atau kelompok masyarakat. Apabila berbicara masalah kekuasaan, maka yang tergambar adalah pemerintah dengan birokrasinya, ataupun kekuasaan yang dipegang oleh seseorang, kekuasaan konglomerat, ataupun kekuasaan-kekuasaan lainnya yang dikenal dalam kehidupan masyarakat. Patrick (1968, terjemahan 2000, dalam Tilaar, 2003:61) dalam studi kultural, posisi pendidikan mendapatkan tempat yang sangat istimewa, karena transformasi sosial tidak dapat terlaksana tanpa pendidikan. Oleh sebab itu, masalah kekuasaan, pendidikan, dan studi kultural mempunyai bidang garapan yang bersamaan, karena pendidikan adalah ilmu praksis yang diarahkan kepada suatu refleksi untuk mengubah praksis pendidikan menuju kepada transformasi kehidupan bersama yang lebih maju. Simon (2001:139) kaitan antara pendidikan dan studi kebudayaan atau yang lebih khusus lagi kaitan antara pendidikan transformatif dan studi kultural. Praksis pendidikan dapat dibedakan antara pendidikan informal, pendidikan formal, dan pendidikan nonformal, yang merupakan keseluruhan dari proses pendidikan. Pendidikan informal berkenaan dengan seluruh aspek kebudayaan yang mempengaruhi perkembangan manusia. Manusia bukan hanya berada tetapi juga mengada, yaitu menjadi manusia. Dalam masyarakat yang sudah lebih maju, proses pendidikan sebagian besar dilaksanakan di lembaga pendidikan sekolah (formal) yang melaksanakan kegiatan yang lebih terencana, teratur dan terdeferensiasi. Di samping pendidikan informal dan formal, terdapat pendidikan nonformal yang terlaksana dalam lembaga-lembaga di luar struktur persekolahan formal dan dapat dilaksanakan dalam berbagai jenis lembaga masyarakat. Ketiga proses pendidikan terjadi suatu proses yang diarahkan kepada transformasi sosial. Dalam masyarakat Indonesia, dikenal dengan ungkapan “guru ratu wong atua karo”. Artinya, dalam masyarakat tradisional di Indonesia dikenal adanya tiga sumber kekuasaan yang mengayomi PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 104 masyarakat, yaitu 1) guru; 2) ratu atau pemerintah; 3) orang tua, yaitu pemimpin-pemimpin informal dalam masyarakat. Jadi, ketiga sumber kekuasaan yang ada di masyarakat merupakan pimpinan atau sumber transformasi sosial yang ada. Moedjanto, (2001:vii) Peranan guru adalah menjaga dan melestarikan nilai-nilai kebudayaan yang hidup di masyarakat. Sang ratu atau raja atau disebut pemerintah di jaman modern yang mempunyai kekuasaan mengatur kehidupan bersama masyarakat. Sumber kekuasaannya mungkin saja berasal dari Tuhan atau mungkin berasal dari sumber-sumber transendental lainnya. Kekuasaan raja atau pemerintah ditopang oleh struktur birokrasi yang berjenis-jenis. Kerjasama antara guru sebagai pemelihara dan pengembang nilai-nilai kebudayaan beserta dengan sang ratu atau pemerintah biasanya sangat berat. Kekuatan yang ketiga yang tidak kalah pentingnya dari dua kekuatan yang pertama adalah peranan orang-orang yang dituakan yang dalam masyarakat modern adalah pemimpin-pemimpin informal yang dapat berbentuk kepala adat, pemimpin-pemimpin di berbagai bidang kehidupan, baik kehidupan politik, sosial, dan ekonomi. Bersama-sama guru dan ratu. Mereka merupakan sumber kekuasaan dalam mengatur dan menggerakkan masyarakat yang berbudaya. Dalam masyarakat yang modern, peranan guru sangat penting, statusnya sangat tinggi, dan dihormati. Perubahan sosial atau transformasi sosial berjalan sangat pesat apalagi di kehidupan globalisasi, kemajuan teknoligi, khususnya teknologi informasi telah mempercepat transformasi sosial dalam masyarakat. Proses pendidikan bukan hanya memperhatikan manusia sebagai human being, tetapi memperlakukan manusia untuk menjadi manusia seutuhnya yang mengembangkan kebudayaannya dan mengembangkan hak asasi manusianya. Keberadaan manusia sebagai makhluk yang spesifik karena meskipun dilengkapi dengan kemampuan biologis, tetapi tidak seluruhya diprogram oleh keberadaan biologisnya. Manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak, maka manusia disebut homo egent, yaitu makhluk yang mempunyai self programming. Melalui tindakannya, manusia menentukan posisinya di alam ini. Dengan homo egent ditambah sifat-sifat manusia yang telah digambarkan sebagai homo faber, homo sapiens, homo ludens, dan sebagainya. Berbagai nama terhadap spesies manusia tersebut menunjukkan potensi-potensi yang ada pada manusia, yaitu potensi atau kapasitas untuk mengetahui, berbuat, berbicara, bermain, dan sebagainya. Potensi-potensi tersebut membuat manusia dapat melaksanakan sesuatu yang berbeda dengan yang lainnya, juga membuat manusia lain dari alamnya. Manusia menentukan keterbatasannya dalam menempatkan dirinya di dunia ini. Dalam ajaran agama Hindu, manusia menempatkan dirinya di alam semesta ini dengan selalu menjaga hubungan yang harmonis, baik hubungan antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), manusia dengan manusia (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan), agar manusia dapat mencapai kesejahteraan. Di samping itu, manusia juga disebut sebagai makhluk religius, yaitu makhluk yang ber-Ketuhanan. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 105 Tilaar (2003:100) pengertian kekuasaan (power) dalam pendidikan ternyata mempunyai konotasi yang berbeda dengan pengertian kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dibedakan antara jenis kekuasaan, yakni 1) kekuasaan transformatif; 2) kekuasaan yang berfungsi sebagai transmitif. Kekuasaan dalam pendidikan adalah kekuasaan bersifat transformatif. Tujuannya adalah dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lain, bahkan membangkitkan refleksi dan refleksi menimbulkan aksi. Orientasi yang terjadi dalam aksi tersebut merupakan orientasi advokatif. Dalam proses kekuasaan sebagai transmitif terjadi proses transmisi yang diinginkan oleh subjek yang memegang kekuasaan terhadap subjek yang terkena kekuasaan itu. Orientasi kekuasaan itu bersifat legitimatif. Kekuasaan dalam pendidikan memiliki batas-batas, yang dapat dilihat berbagai sumber kekuasaan dalam pendidikan termasuk praktik kekuasaan dalam menjalankan atau melaksanakan proses pendidikan, maka dapat dicatat beberapa hal yang penting, sebagai berikut. 1) Dilihat pendidikan sebagai suatu proses, menghasilkan manusia yang bebas, yang mempunyai akal-budi dalam mengambil keputusan menghadapi berbagai jenis situasi dan kondisi serta keterikatan manusia dalam lingkungan kebudayaannya. Dalam proses pendidikan berhadapan dengan individu yang “sedang menjadi”, berarti kekuasaan untuk memberikan kesempatan (opportunity) dari kebebasan manusia. 2) Menyimak mengenai kekuasaan dalam pendidikan akan berhadapan dengan batas-batas kekuasaan itu sendiri. Salah satu keterbatasan kekuasaan dalam pendidikan terletak dalam makna kemerdekaan dari seorang individu. Dalam keterbatasan terletak kemerdekaan mengisi secara bersama-sama dengan orang lain, dalam lingkungan kebudayaan yang disebut performing practice. Artinya menghargai akan aktivitas, kreativitas manusia, dan mengakui akan keterbatasan individu serta keampuhan kehidupan bersama dalam kebudayaanya, dalam rangka partisipasi dengan sesama anggota masyarakat laninnya untuk penyempurnaan pengembangan kepribadiannya. 3) Pengakuan atas hak asasi manusia. Kekuasaan dalam pendidikan mengakui akan keterbatasan dan kebebasan manusia, yang merupakan suatu hal yang unik dalam hal kekuasaan ini. Tanpa pengakuan atas hak asasi manusia, tidak mungkin melaksanakan proses pendidikan yang memberdayakan. Setiap manusia diakui sebagai individu yang bebas dalam arti bebas untuk memilih tanpa dipaksakan oleh kehendak orang lain. Proses individualisasi terjadi dalam hubungan interaktif antara sesama manusia dengan menghormati hak masing-masing melalui kesepakatan bersama berpartisipasi untuk membagi pengalaman dalam lingkungan kebudayaannya. 4) Komunikasi pendidik dan peserta didik. Dalam proses belajar yang demokratis, dilihat suatu perubahan dalam komunikasi antara pendidik dengan peserta didik. Keduanya, meskipun berbeda pengalaman tetapi sama-sama mengambil pengalaman yang bermanfaat dari pertemuannya yang baru, memperoleh pengetahuan dan manfaat dari pertemuanpertemuan pendidikan dari keduanya, harus menantang dan memberikan kesempatan kepada refleksi serta kreativitas dari peserta PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 106 didik. Dengan demikian, proses belajar akan bermakna dan bermanfaat bagi keduanya dan ini berarti pula perkembangan kebudayaan. Proses belajar bukan hanya merupakan proses transmisi ilmu pengetahuan, tetapi juga merupakan proses transformasi dari kelakukan dan pandangan dunia dari peserta didik maupun pendidik. Pada jenjang pendidikan yang semakin tinggi, perbedaan pengalaman menjadi semakin menipis, apalagi dalam kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menjelahi pengalaman secara lebih leluasa secara independen, secara ilmiah untuk melakukan penyelidikan dan penemuan-penemuan. Fungsi pendidik dalam hal ini adalah semata-mata memberi jalan dan bukan menstranfer ilmu pengetahuan. 5) Kurikulum. Hubungan antara kurikulum dan kekuasaan berkaitan erat dengan epistemologi sebagaimana yang hidup dan berkembang dalam suatu masyarakat. Isi kurikulum ternyata ditentukan oleh perspektif dari mana seseorang memandang proses pendidikan. Dewasa ini, dalam rangka reformasi pendidikan nasional, orang memperbaiki kurikulum. Penyusunan kurikulum dewasa ini masih berpusat pada kekuasaan yang dipegang oleh negara, antara lain menentukan standar-standar dari proses pendidikan. 6) Pendidikan dan politik. Pendidikan tidak terlepas dari politik, namun bukan dalam arti politik praktis. Dalam kehidupan bernegara tersangkut dalam pelestarian kekuasaan negara melalui politik kebudayaan. Kemauan politik atau sistem kekuasaan secara tidak langsung berada dan merasuk dalam sistem pendidikan dengan bentuk ”hidden curriculum”. Upaya untuk melestarikan kekuasaan negara dapat dibedakan dalam beberapa sistem atau pendekatan, sebagai berikut. - Moralisme religius, artinya negara memberikan arah kepada pendidikan agar memelihara nilai-nilai moral religius yang dianut oleh negara. Dalam sejarah pendidikan dikenal pada zaman scholastic. - Masa Aufklarung. Munculnya intelektualisme mendorong negara mengarahkan pendidikannya kepada pengembangan kemampuan berpikir yang merupakan dasar dari kemajuan. Intelektualisme merupakan tujuan utama dalam pendidikan yang diarahkan oleh negara - Perkembangan nasionalisme. - Lahirnya Demokrasi. - Pendidikan sebagai pengembangan sumber daya manusia. 7) Pendidikan dan ekonomi. Sistem Pendidikan di Indonesia yang hanya terarah kepada kepentingan sebagian kecil masyarakat dan tidak memberdayakan masyarakat banyak. Misalnya pelaksanaan wajib belajar 6 tahun dianggap sudah berhasil dan kini menuntaskan wajib belajar 9 tahun, yang ternyata hasil pendidikan rakyat tidak menambah secara signifikan perbaikan nasib rakyat. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 107 2.4 Pendidikan Multikultural sebagai Tantangan Masyarakat Globalisasi Tilaar (2003:170) menjelaskan masalah yang muncul dari pendidikan multikultural, yaitu 1) pendidikan multikultural merupakan suatu proses. Artinya, konsep pendidikan yang baru di mulai dalam dunia pendidikan di Indonesia memerlukan proses perumusan, refleksi, dan tindakan di lapangan sesuai dengan perkembangan konsep-konsep yang fundamental mengenai pendidikan dan hak asasi manusia; 2) pendidikan multikultural merupakan suatu multifaset oleh sebab itu meminta suatu pendekatan lintas disiplin. Ada empat nilai inti atau core values dari pendidikan multikultural, yaitu a) apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat; b) pengakuan terhadap Harkat manusia dan hak asasi manusia; c) pengembangan tanggungjawab masyarakat dunia; d) pengembangan tanggungjawab manusia terhadap planet bumi. Tilaar (2003:199) menjelaskan empat kekuatan yang perlu dicermati pendidikan nasional dengan mengidentifikasikan Catur Shantika Saruka, antara lain 1) kerjasama regional dan internasional; 2) demokrasi dan peningkatan kesadaran akan hak asasi manusia serta pemberdayaan masyarakat; 3) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi; 4) identitas bangsa dan internasionalisme. Tilaar menekankan dan memberikan rumusan yang lebih terarah sesuai dengan perkembangan kehidupan politik dan sosial budaya di era reformasi, antara lain a) arah pendidikan harus jelas; b) masalah wajib belajar Pendidikan Dasar; c) Konsep Feodalisme Intelektual untuk Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi; d) Pengembangan Program Pelatihan; e) Pengembangan Pusat-Pusat Riset dan Langkah Awal ke Arah Research University. III. Penutup Pendidikan tidak dapat terpisah dalam struktur kebudayaan di mana proses pendidikan itu terjadi. Pendidikan bukan semata-mata transmini kebudayaan dan ilmu pengetahuan, bahkan merupakan proses dekonstruksi dan rekonstruksi kebudayaan. Pedagogik tradisional tidak mengembangkan manusia kritis dan segala sesuatu diterima sebagaimana adanya secara turun menurun. Kekuasaan (power) dalam pendidikan ternyata mempunyai konotasi yang berbeda dengan pengertian kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dibedakan antara jenis kekuasaan, yakni 1) kekuasaan transformatif; 2) kekuasaan yang berfungsi sebagai transmitif. Kekuasaan dalam pendidikan adalah kekuasaan bersifat transformatif. Tujuannya adalah dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lain, bahkan membangkitkan refleksi dan refleksi menimbulkan aksi. Aksi atau tindakan yang dilakukan peserta didik dalam pendidikan secara pedagogik kritis dan transformatif, untuk dapat menciptakan generasi ilmiah dan religius, melalui pengembangan ilmu, serta dapat menghadapi tantangan untuk reformasi Pendidikan Nasional menghadapi globalisasi. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 108 IV Daftar Pustaka Dewey, John. 1998. Budaya dan Kebebasan (terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Moedjanto, G, 2001. Konsep Kepemimpinan dan Kekuasaan Jawa Tempo Dulu Simon, Roger. 2001. Gagasan-Gagasan Politik Gramci. Terjemahan Selection from the Prison Notebooks. Tilaar. H.A.R, 2003. Kekuasaan dan Pendidikan (Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural. Magelang: Indonesiatera. 109 PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI YANG BERKARAKTER Oleh Setyaningsih Dosen DPK STHD Klaten Jawa Tengah Abstrak Karakter merupakan nilai fundamental yang tidak dapat dilepaskan dalam pembentukan kepribadianindividu. Karakter yang terbentuk sempurna dapatmewujudkan kualitas sumber daya manusiayang berpotensi dalam mencapai sebuah kemajuan. UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 yang mewajibkan adanya pembentukan karakter sejak dini. Pendidikan agama Hindu merupakan upaya untuk melahirkan peserta didik yang cerdas baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual. Dalam pelaksanaan keagamaan, tidak bisa terlepas dari Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu yaitu Tattva, Susila dan Upacara, apabila dipahami, dihayatidan dilaksanakan akan menjadikan umat agama Hindu yang dapat membentuk karakter manusia diantaranya Tri Kaya parisudha, Catur Vidya, Catur Marga dan Catur Asrama. Oleh karena itu revitalisasi dalam pendidikan Agama Hindu di sekolah harus diupayakan demi tujuan yang membentuk generasi muda yang berkarakter. Revitalisasi pendidikan Hindu pada masa lalu dalam pendidikan Hindu dewasa ini bukan berarti mengadopsi segala-galanya atau kembali pada pada masa lalu. Revitalisasi yang dimaksudkan di sini adalah dengan mengasimilasi dan akomodasi sistem pendidikan pada masa lalu dalam pendidikan Hindu kontemporer. Dalam pengertian perlu adanya adaptasi sistem pendidikan agama Hindu pada masa lalu dengan konteks kontemporer tanpa harus meningalkan atau merubah esensi dasar dari sistem pendidikan Hindu tersebut. Kata kunci : Revitalisasi, Pendidikan Agama Hindu, Karakter I. Pendahuluan Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kelangsungan hidup manusia. Melalui pendidikan manusia dapat berkembang dan mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam dunia ini. Pendidikan berarti perbuatan mendidik dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik atau pemeliharaan badan batin dan sebagainya (Elmubarok, 2009:1). Setiap orang akan menerima suatu pendidikan yang diperoleh dari sejak lahir sampai akhir hayatnya. Hanya dengan pendidikan yang baik manusia mengetahui hak dan kewajibannya sebagai individu, masyarakat dan mahluk Tuhan (Syarifuddin, 2008:2). Pernyataan tersebut menunjukan bahwa pendidikan sangat diperlukan dalam membantu manusia sebagai mahluk individu, social dan mahluk Tuhan dalam melaksanakan kewajibannya sehingga kehidupannya menjadi terarah dan menjadi baik serta mengalami suatu kemajuan ke arah yang positif tentunya. Dalam suatu pendidikan terdapat berbagai macam aspek yang menjadi suatu sistem atau struktur dan fungsi masing-masing. Setiap PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 110 pendidikan pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai yang merupakan suatu harapan dan cita-cita. Dengan adanya suatu tujuan pendidikan akan menjadi terarah dan terprogram. Sistem atau sistem pendidikan yang dilaksanakan dalam suatu pendidikan sangat memberikan pengaruh terhadap keberhasilan suatu pendidikan. Masing-masing jenis pendidikan memiliki sistem atau sistem yang berbeda-beda. Baik dalam jenis pendidikan informal ataupun formal dan non formal. Apa yang ada dalam dunia pendidikan tentunya memiliki suatu hubungan yang erat dengan kodisi masyarakat. Kedua-duanya merupakan suatu cerminan dari masingmasing. Ketika dalam dunia pendidikan kurang bagus itu pula yang ada dalam suatu masyarakat demikian pula sebaliknya bagaimana kondisi suatu masyarakat juga mencerminkan bagaimana pendidikannya. Hal ini sesuai dengan pendapat para ahli sosial yang menyatakan bahwa pendidikan memiliki relasi dengan kondisi masyarakat. Apabila dilihat kenyataan masyarakat dewasa ini khususnya, maka sangat jelas tercermin suatu pendidikan yang belum mampu mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan seperti yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional. Perubahan yang diharapkan dari instansi pendidikan untuk membentuk manusia yang beradap masih jauh dari harapan. Dalam masyarakat dewasa ini banyak sekali terjadi suatu prilaku yang menyimpang seperti korupsi dimana-mana, tindak kejahatan, dan kesejahteraan yang tidak seimbang. Tindakan-tindakan tersebut mencerminkan suatu yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan. Dimana tujuan pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu untuk memanusiakan manusia. Pendidikan diselengarakan untuk membebaskan manusia dari berbagai persoalan Hidup yang melingkupinya. Pendidikan merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya bagi masa yang akan datang (UU No.2 Tahun 1989, dalam Sanjaya , 2011: 45-46) Karakter merupakan nilai fundamental yang tidak dapat dilepaskan dalam pembentukan kepribadian individu. Karakter yang terbentuk sempurna dapat mewujudkan kualitas sumber daya manusia yang berpotensi dalam mencapai sebuah kemajuan. Itu berarti karakter harus dipahami oleh seluruh masyarakat utamanya bagi generasi muda. Hal ini sejalan dengan isi dari UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 yang mewajibkan adanya pembentukan karakter sejak dini. Menurut Mustari, (2012:3) terdapat lima komponen sosial yang dapat digunakan sebagai media pembentukan karakter meliputi keluarga, diri sendiri, pemerintah, sekolah dan lingkungan masyarakat. Sekolah sebagai pemegang peranan pembentukan karakter primer, harus dilakukan secara terintegritas dan berkesinambungan. Salah satu usaha yang dilakukan sekolah adalah dengan mengintegrasikan nilai karakter ke dalam setiap mata pelajaran di kelas. Salah satu contoh dari implementasi ini adalah pembelajaran agama Hindu yang dikenal sebagai ilmu yang lebih mengarahkan kepada kepribadian yang religius dan berbudi pekerti luhur. Dalam hal memanusiakan manusia perlu adanya suatu kondisi yang mendukung, yaitu suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cinta kasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya, tidak ada pendidikan tanpa dasar cinta kasih (Dantes, PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 111 2008:5). Kondisi semacam tersebut sebenarnya telah diterapkan dalam pendidikan Hindu dengan sistem Gurukula. Akan tetapi, persoalan yang penting dalam pendidikan Hindu kontemporer adalah sama dengan pendidikan secara umum di Indonesia yaitu kualitasnya rendah. Hal ini terlihat dari bagaimana kondisi masyarakat Hindu pada umumnya dewasa ini. Rendahnya kualitas pendidikan tentunya implikasi dari sistem pendidikan yang kurang tepat. Padahal apabila ditinjau dari sejarah pendidikan Hindu pada masa Veda pendidikan Hindu telah terbukti berhasil dalam memanusiakan manusia. Hal ini terlihat dalam bagaimana uamt Hindu yang telah mendapatkan pendidikan tersebut terbukti telah banyak menjadi manusia yang sesunguhnya sehingga konsep memanusiakan manusia terjadi. Dengan demikian tampaknya adanya suatu kesenjangan yang terjadi antara pengalaman pendidikan Hindu masa lalu dengan pendidikan kontemporer sehingga perlu dikaji persoalan-persoalan dari kesenjangan tersebut seperti bagaimanakah sistem pendidikan Veda? Bagaimana sesungguhnya pendidikan Hindu kontemporer? Bagaimana revitalisasi sistem pendidikan Hindu di sekolah? II. Sistem Pendidikan Hindu, Pendidikan Hindu Kotemporer Berorientasi ke Barat, dan Revitalisasi Sistem Pendidikan Hindu dalam pendidikan Hindu Kontemporer 2.1 Sistem Pendidikan Hindu Agama Hindu sebagai agama yang tertua di dunia memiliki istilahistilah mengenai pendidikan yaitu adhyayana, prabodha, siksha, Upanayana, vinaya (Dwivedi, 1994:2). Hindu telah memiliki suatu sistem pendidikan yang khas. Hal tersebut diketahui dari berbagai bentuk lembaga pendidikan yang telah ada pada jaman Veda. Pendidikan tersebut sering disebut Pendidikan Veda dengan bentuk Gurukula (Jayapalan, 2005:4-5). Veda sebagai suatu Wahyu yang diterima oleh para maharsi pada jaman dulu pada awalnya ditradisikan melalui suatu tradisi parampara secara lisan sampai pada akhirnya ditulis. Setelah ditulispun ajaran Veda terus diajarkan melalui suatu bentuk pendidikan. Tujuan pendidikan Hindu pada umumnya untuk mengembangkan potensi manusia dalam kehidupan spiritual (individual) dan sosial budaya. Tujuan kehidupan spiritual (individual) adalah karakter moral yang baik dan moksa. Tujuan dalam kehidupan sosial budaya berupa kemampuan melaksanakan dimensi manusia sebagai mahluk sosial dan berbudaya sesuai dengan konteknya. Pendidikan tersebut bersifat Varnasrama Dharma yaitu pendidikan yang didasarkan pada Varna dan Asramayang ada dalam Hindu atau pendidikan yang berdasarkan kewajiban hidup antara profesi dan tingkatan hidup (Ngurah, dkk, 2006:110). Varna disini berarti potensi yang menonjol dalam diri berupa minat dan bakat yang mendasari dari pekerjaan seseorang dan Asramaberarti tahapan hidup. Hindu menyakini bahwa manusia lahir ke dunia telah membawa bakat dan minat masing-masing. Mengenai Varna ini dijelaskan oleh Sri Krsna dalam kitab Bhagavad Gita. Konsep Varna dalam vanAsrama Dharma di sini sangat berbeda dari kasta atau wamsa, walaupun dinyatakan bahwa wamsa dan kasta awalnya bersumber dari Varna (Titib, 1996:388). PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 112 Dengan demikian pendidikan yang berdasarkan Varna tidak berarti sama dengan berdasarkan kasta atau wamsa. Akan tetapi, hal tersebut mengalami suatu pergeseran dalam masyarakat, sehingga ada pendidikan berdasarkan kasta atau wamsa (kelahiran atau keturunan). Pendidikan yang berdasarkan Varna adalah berdasarkan bakat dan minat yang dimiliki seorang yang akan melakukan suatu pendidikan. Varna dalam ajaran agama Hindu ada dibedakan menjadi empat, yaitu Brahmana, Ksatrya, Vaisya dan Sudra. Varna Brahmana merupakan suatu bakat dan minat pada kerohaniwan. Ksatrya merupakan sifat dan bakat pada kegiatan atau yang berhubungan dengan kesatria, Vaisya merupakan bakat dan minat pada pekerjaan yang berkaitan dengan ekonomi seperti perdagangan, pengusaha, dan yang lainnya. Sudra merupakan bakat dan minat pada pekerjaan dengan tenaga. Keempat Varna tersebut adalah diciptakan oleh Tuhan. Keempat Varna tersebut merupakan suatu sistem dalam dunia dan juga dalam kehidupan manusia, sehingga terjadi suatu keseimbangan dan keselarasan dalam dunia. Masing-masing Varna tersebut saling berhubungan satu sama lainnya. Hubungan yang terjadi dalam masing-masing Varnatersebut disebutkan bahwa Brahmana lahir dari kepala, ksatrya dari lengan, Vaisya dari perut dan Sudra dari kaki (Titib, 2003:283). Sebagai suatu sistem kerjasama yang baik perlu terjadi demi kelangsungan hidup di dunia ini. salah satu mengalami gangguan maka akan mengakibatkan gangguan pada yang lainnya. Kepala tidak berfungsi maka semua bagian yang lainnya juga akan terganggu. Jadi antara Brahmana, ksatrya, Vaisya, dan Sudra merupakan satu-kesatuan yang saling menunjang antara yang satu dengan yang lainnya. Pengunaan Varna dalam pendidikan Hindu pada masa lalu merupakan suatu usaha supaya mengali pontensi yang dimiliki masingmasing. Hal tersebut selaras dengan yang dinyatakan sebagai pendidikan untuk memanusiakan manusia. Hal itu berarti mengembangkan dan meningkatkan potensi yang ada dalam diri manusia. Kemampuan atau potensi yang ada tersebut tentunya berhubungan dengan bakat dan minat. Bakat dan minat yang terdapat dalam diri manusia merupakan suatu potensi. Potensi inilah sebenarnya yang perlu dikembangkan dalam pendidikan. Hal ini tampaknya yang dilakukan dalam pendidikan Hindu tempo dulu pendidikan yang mempertimbangkan bakat dan minat manusia. Cara yang dilakukan pada masa lalu adalah hidup bersama menjadi bagian dari keluarga guru selama beberapa waktu, sehingga guru dapat melihat bakat dan minat yang merupakan potensi dari manusia. Dengan demikian, selanjutnya guru mengarahkan untuk menempuh pendidikan yang sesuai dengan bakat dan minat tersebut. setiap orang tentu memiliki tiga aspek Varna dalam dirinya. Pada masa pendidikan Hindu jaman dulu setiap orang diarahkan untuk menekuni dan mengembangkan potensi tersebut dalam dirinya. Manusia yang memiliki bakat ksatrya dia akan dididik menjadi ksatrya, Brahmana akan dididik menjadi Brahmana dan seterusnya. Di samping berdasarkan Varna juga dilihat berrdasarkan Asrama atau jenjang kehidupan. Dalam Hindu dikenal ada empat jenjang kehidupan yang disebut dengan Catur Asrama. Pendidikan juga dilihat dalam tingkatan kehidupan masing-masing tersebut. Pada masa brahmacari merupakan awal PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 113 jenjang kehidupan dimana manusia fokus untuk mengejar dan belajar mengenai suatu pengetahuan (Titib, 1996:392). Brahmacari mulai dari dalam keluarga selanjutnya setelah berusia 12 tahun dilanjutkan kepada suatu lembaga pengetahuan dalam bentuk Gurukula. Gurukula sendiri berarti hidup dalam keluarga guru. Jenjang untuk fokus menuntut ilmu selama 25 tahun. Setelah itu dilanjutkan dengan grhasta atau masa membina rumah tangga. Dalam masa berumah tangga manusia didik mengenai pelaksanaan Dharma dan yadnya. Pada masa ini manusia belajar menjadi bagian dari masyarakat yang sebenarnya. Oleh karena itu, pada masa ini dia menjadi suatu suatu bagian dalam kelompok masyarakat. Di sini dia belajat melaksanakan tugas tanggung jawab sebagai warga masyarakat sesuai dengan struktur yang ada. Dia diwajibkan melakukan yadnya atau suatu persembahan suci baik yang dalam jenis dewa, pitra, rsi, manusia, dan juga bhuta yadnya (Titib, 2003:293-294). Selanjutnya wanaprasta masa mulai meninggalkan atau mengurangi keterikatan dengan benda atau objek duniawi. Dalam masa ini pendidikan bermaksud untuk memberikan suatu pembelajaran mengenai makna kehidupan. Seseorang mulai mencari sesuatu kesucian dan kebenaran dalam hidup dengan cara melakukan yang berhubungan dengan pencarian Tuhan melalui tandadanda yang jaman dulu dilakukan dengan mengasingkan diri ke hutan melakukan tapa brata . Selanjutnya tingkatan yang terakhir adalah Bhiksuka atau sanyasin yaitu melepaskan diri secara total tanpa keterikatan kepada dunia. Pada masa ini dia belajar untuk melakukan pelepasan keterikatan secara total, sehingga segala hidupnya hanya untuk mencapai kebebasan atau moksa. Sistem pendidikan dalam suatu lembaga pendidikan seperti bentuk Gurukula dalam pendidikan Veda adalah mengedepankan suatu pendekatan kekeluargaan. Dimana peran seorang guru adalah sebagai orang tua dan murid adalah sebagai putra (Jayapalan, 2005:6). Dalam pendidikan semacam itu guru akan memberikan pengetahuan dan keteladanan kepada siswa seperti tidak ubahnya seorang ayah kepada anaknya. Guru menyayangi siswa, demikian pula siswa menghormati dan melayani guru. Pendidikan dalam suatu lembaga merupakan suatu kelanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Dimana dalam keluarga dianggap telah tidak mampu lagi untuk memberikan pengetahuan yang lebih jauh dan luas, maka selanjutnya anak dikirim atau diserahkan pada seoarang guru dalam bentuk lembaga Gurukula. Pada saat anak diserahkan atau akan mengikuti pendidikan, maka terlebih dulu dilakukan suatu Upacara yang disebut dengan Upanayana. Selanjutnya setelah Upacara tersebut dilaksanakan siswa tersebut resmi menjadi siswa dan akan memperoleh pendidikan oleh guru berupa diberikan suatu pengetahuan. Dalam kondisi pendidikan Gurukula, guru sangat serius mendidik siswa dengan menerapkan disiplin yang ketat. Dalam sistem pendidikanGurukula disiplin sangat ditekankan oleh guru. Hal itu mengingat untuk membentuk suatu struktur dalam diri anak supaya terbiasa dengan kehidupan yang berdisiplin. Disiplin merupakan suatu hal yang sangat penting dalam pendidikan Veda dalam bentuk Gurukula . Siswa memiliki disiplin yang harus dilakukan dalam kehidupan sebagai siswa. Disiplin tersebut berupa PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 114 ketaatan terhadap aturan dan tata tertib Gurukula. Aturan dan tata tertib dalam Gurukula harus ditaati oleh siswa karena guru benar-benar akan menegakan aturan tersebut. Apabila dilanggar, maka akan mendapatkan sanksi yang tegas dari guru. Dengan adanya penegakan disiplin seperti itu siswa selalu berusaha mentaatinya. Hal tersebut berlangsung selama masa pendidikan sistem Gurukula berlangsung. Pendidikan dengan sistem Gurukula, siswa akan terdidik untuk disiplin dalam menuntut ilmu maupun dalam kehidupan sehari-harinya dalam Gurukula, sehingga setelah siswa selesai pendidikan, kebiasaan hidup disiplin akan selalu terbawa dalam kehidupannya dalam masyarakat. 2.2 Sistem Pendidikan Hindu Kontemporer Berorientasi ke Barat Pendidikan Hindu kontemporer di Indonesia khususnya sangatlah berbeda dengan pendidikan Hindu yang telah ada pada jaman dulu. Berbagai macam alasan yang membuat atau membentuk pendidikan Hindu menjadi seperti itu. Hal ini tentunya tidak bisa lepas dari peran negara. Dimana pendidikan merupakan suatu hal yang diatur oleh negara. Hal ini menyebabkan berbagai macam sistem harus mengikuti ketentuan dari yang ada di negara. Perkembangan sistem pendidikan di Indonesia banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan barat. Demikian pula tampaknya pendidikan Hindu di Indonesia bersistemkan pendidikan barat, walaupun dewasa ini mulai muncul sistem-sistem pendidikan yang terus dikembangkan, tetapi tetap berkiblat ke barat. Berkiblat ke barat maksudnya bahwa sistem dan kurikulum selalu mengacu negara-negara maju di barat. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana sistem pendidikan agama Hindu, baik di sekolah maupun perguruan tinggi. Pendidikan agama Hindu dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi dewasa ini masih kurang menerapkan atau mengadopsi pola dan nilai-nilai pendidikan Hindu pada masa lalu. Pola-pola yang diadopsi, baik dari input siswa, proses, metode pembelajaran, muatan kurikulum, suasana akademik, dan lainlainnya. Metode yang digunakan dalam pendidikan Hindu selalu mengikuti metode secara umum. Pendidikan Hindu dalam konteks kotemporer mengunakan metode non kekeluargaan. Hal ini menyebabkan interaksi yang terjadi dalam proses pembelajaran yakni guru adalah sebagai guru itu sendiri dan siswa adalah sebagai siswa itu sendiri. Hubungan guru dan siswa tanpa dilandasi adanya rasa kekeluargaan, akan tetapi hanya sekedar hubungan si pencari pengetahuan dan yang memberi pengetahuan tidak lebih. Siswa berhubungan dengan guru sekedar mendapatkan haknya yaitu belajar dari guru. Sementara guru hanya sebatas melaksanakan kewajiban yaitu mengajar (Ibrahim dan Syaodih S., 2003:11). Pengajaran yang dilakukan guru terkadang hanya untuk mendapatkan haknya berupa gajih. Sistem penerimaan siswa dewasa ini hanya sangat berbeda yaitu dilakukan berdasarkan kepentingan bukan berdasarkan bakat dan minat yang sesungguhnya. Di mana siswa memiliki kepentingan untuk masa depan mereka berupa peluang pekerjaan. Pilihan untuk sekolah di lembaga pendidikan didasari atas pilihan rasional dari siswa. Pilihan rasional berupa adanya keuntungan yang didapat siswa dengan bersekolah di sekolah pilihannya (Haryanto, 2012:198) dari dengan sekolah di sekolah tersebut PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 115 dan sekolah berdasarkan kepentingan mendapatkan mahasiswa. Hal semacam ini terus berlangsung sehingga potensi yang dikembangkan bukanlah potensi dari masing-masing siswa akan tetapi hanya sekedar untuk mendapatkan suatu peluang pekerjaan yang dicari. Dengan adanya semacam itu tidak heran apabila kulaitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang ditamatkan dalam suatu sekolah agama Hindu dewasa ini tidak sesuai dengan harapan. Sebagai contoh banyak yang memilih jurusan pendidikan agama Hindu bukan karena minat dan bakat siswa dalam hal menjadi pendidik tetapi lebih karena peluang lebih banyak dari pada jurusan yang lainnya. Oleh karena itu, apa yang siswa lakukan dalam proses pembelajaran tentunya tidak maksimal karena minat dan bakatnya bukan pada jurusan pendidikan. Hal ini mengakibatkan kualitas SDM dari mereka tidak maksimal. Selanjutnaya metode pembelajaran kecenderunganya hanya pada sampai belajar pengetahuan tetapi sangat minim dalam hal belajar untuk melakukan terlebih lagi untuk menjadi sesuai dengan tujuan pendidikan Hindu. Hal ini terlihat dalam metode pengajaran yang diterapkan oleh pengajar dalam pendidikan agama Hindu kecenderungan hanya menyentuh pada ranah kognitif saja. Bukti-bukti yang menunjukan hal tersebut seperti dapat dilihat dalam para alumnus yang telah selesai mendapatkan pendidikan Hindu tersebut. 2.3 Revitalisasi Sistem Pendidikan Hindu di Sekolah Sistem pendidikan Hindu yang ada saat ini belumlah ideal sebagai pendidikan Hindu yang sesungguhnya menekankan pencapaian anak yang sarjana dan suputra. Sarjana berarti orang yang mengetahui atau orang yang mengerti dan memahami pengetahuan (Titib, 1996:440). Sarjana bukan hanya sebagai orang yang berpengetahuan, karena jika hanya sebagai orang berpengetahuan saja, hal itu sangat bertentangan dengan ajaran karma. Berpengetahuan saja berarti hanya memiliki pengetahuan dalam tingkat teori-teori saja, tanpa mengetahui bagaimana prakteknya. Jika mengerti dan memahami pengetahuan berarti seseorang memiliki pengetahuan dan mengetahui cara mempraktekannya. Sebagai contoh jika seorang guru dinyatakan berpengetahuan tentang guru berarti dia hanya memiliki pengetahuan tentang guru hanya pada tataran teori saja. Sedangkan apabila seseorang adalah guru yang mengerti dan memahami pengetahuan tentang guru, maka seseorang tersebut mengetahui sekaligus mampu menerapkannya sebagai seorang guru. Banyak bukti yang ditemukan dari hasil proses belajar mengajar dalam pendidikan agama Hindu tidak sesuai dengan tujuan dari pendidikan Hindu tersebut. Hal tersebut menandakan adanya suatu sistem pendidikan Hindu yang kurang baik dalam pendidikan Hindu kotemporer. Masalah seperti ini tentu tidak dapat dibiarkan terus terjadi. Perlu adanya suatu sistem atau sistem pendidikan yang relevan dengan pendidikan agama Hindu sehingga menghasilkan suatu hasil yang benar-benar sesuai dengan harapan. Seperti telah dijelaskan di atas Hindu secara umum memiliki suatu sistem pendidikan yang telah diterapkan pada masa lalu. Pendidikan Hindu masa lalu telah melahirkan orang-orang yang besar dan berdedikasi tinggi. Pengalaman masa lalu bukan berarti tidak dapat dijadikan sebagai suatu PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 116 contoh yang perlu ditiru dan dikembangkan dalam konteks kontemporer. Sistem pendidikan Hindu masa lalu dapat dibangkitkan kembali atau direvitalisasi kembali terlebih pada pendidikan Hindu kontemporer. Memang selama ini segala sesuatunya berorientasi pada negara maju yaitu negaranegara barat, sehingga banyak ditiru dan menjadi suatu teladan dalam berbagai aspek termasuk pendidikan agama Hindu. Akan tetapi, dewasa ini peluang telah ada dimana arus balik sebagai suatu tanggapan terhadap pandangan orientalisme yang menganggap timur termasuk Indonesia adalah negara yang tidak maju, kolot, dan sebagainya telah terjadi. Berbagai macam arus balik telah muncul seperti mengenai teori-teori mulai muncul teori-teori dari timur. Bahkan sumbangan Hindu bagi perkembangan ilmu di berbagai bidang dalam dunia ini sangat besar. Banyak apa yang ditemukan dalam ilmu pengetahuan sebenarnya telah ada sejak lama dalam ajaran Hindu. Sebagai contoh teori quantum dewasa ini. prinsip-prinsip dasar dari teori quantum telah ada dalam ajaran agama Hindu yaitu dalam tantraisme jauh sebelum teori quantum tersebut ditemukan. Selain itu, masih banyak lagi yang terinpirasi dari ajaran Hindu. Adanya hal seperti itu menunjukan bahwa pendidikan Hindu pada masa lalu telah memberikan suatu pengetahuan dan melahirkan suatu yang besar bagi dunia. Oleh karena itu, banyak dewasa ini para ahli dan tokoh ilmu dunia memberikan penghormatan terhadap Hindu. Revitalisasi pendidikan Hindu pada masa lalu dalam pendidikan Hindu dewasa ini bukan berarti mengadopsi segala-galanya atau kembali pada pada masa lalu. Revitalisasi yang dimaksudkan di sini adalah dengan mengasimilasi dan akomodasi sistem pendidikan pada masa lalu dalam pendidikan Hindu kontemporer. Dalam pengertian perlu adanya adaptasi sistem pendidikan agama Hindu pada masa lalu dengan konteks kontemporer tanpa harus meningalkan atau merubah esensi dasar dari sistem pendidikan Hindu tersebut. Seperti dijelaskan di atas bahwa pendidikan Hindu pada masa lalu menekankan pada pengembangan potensi yang ada dalam diri manusia. Untuk mengetahuai potensi siswa tersebut, maka siswa tersebut harus hidup dengan guru dalam beberapa waktu sehingga sampai akhirnya guru mengetahui potensi dalam diri siswa dengan demikian guru akan mengarahkan dengan menerima siswa yang memiliki bakan dan minat atau Varna yang sesuai dengan pendidikan yang akan guru ajarkan dan mengembalikan siswa tersebut kepada orang tuanya untuk dilanjutkan pada pendidikan yang lain sesuai dengan potensinya. Sistem perekrutan siswa semacam ini dapat dilakukan dalam setiap lembaga pendidikan agama Hindu dalam menerima calon siswa dengan memasukan sistem tersebut dalam orientasi sekolah. Orientasi sekolah yang selama ini hanya digunakan untuk pengenalan sekolah oleh siswa baru digunakan sebagai media untuk pengenalan bakat dan minat siswa oleh lembaga, sehingga nantinya dapat diarahkan kepada jurusan yang ada di sekolah tersebut. sebagi contoh dalam perguruan tinggi Hindu setiap tahunnya menerima mahasiswa pada empat jurusan yaitu pendidikan agama Hindu, Penerangan, Hukum, dan Filsafat. Untuk menentukan atau jurusan mana calon mahasiswa dimasukan disesuaikan dengan bakat dan minat calon mahasiswa yang dilihat melalui media orientasi kampus. Hal PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 117 ini sangat penting mengingat kecenderungan manusia akan senang dan semangat serta sungguh-sunguh dalam melakukan sesuatu apabila sesuatu itu adalah menjadi suatu kesenangannya. Kesenangan mahasiswa tentunya sesuai dengan Varna atau bakat dan minat yang dimiliki. Apabila mahasiswa masuk suatu program sesuai dengan potensi yang ada merupakan modal awal dalam keberhasilan dalam pendidikan selain faktor yang lainnya. Dalam proses pendidikan kontemporer tampak hubungan antara siswa dan guru sepertinnya hanya terbatas pada kewajiban dan hak sebagai siswa dan guru tidak lebih. Hubungan semacam itu dalam pendidikan dapat dinyatakan kurang ideal karena tidak terjalin hubungan yang erat antara keduanya. Ketika haknya telah diterima dan kewajiban telah dilaksanakan, maka hubungan tersebut tidak menutup kemungkinan terputus. Berbeda halnya dengan pendidikan jaman Veda dimana hubungan guru dan siswa akan tetap terjalin sampai seorang siwa selesai mendapatkan pendidikan. Hal itu terlihat seorang siswa selalu akan menghormati gurunya dimanapun mereka berada baik ketika bertemu ataupun jauh sekalipun. Bahkan ketika guru telah meninggal siswa tetap menghormatinya dengan bhakti. Guru dalam pendidikan Hindu merupakan sebagai figur yang diharapkan dan mampu memberikan yang terbaik bagi siswa. Hubungan itu terjalin benar-benar seperti antara anak dan orang tua. Nilai-nilai hubungan semacam ini dapat direvitalisasi dalam proses pendidikan Hindu kontemporer. Prinsip dasar proses pendidikan dilakukan dengan suatu relasi yang terjalin dimana guru atau pengajar berperan selayaknya orang tua dari siswa. Dengan adanya peran guru sebagai orang tua tentunya guru akan berusaha memberikan pengajaran dan teladan bagi siswanya. Demikian pula siswa yang diberlakukan seperti anak sendiri akan lebih mudah untuk berinteraksi serta mentaati petunjuk dan pengetahuan yang diberikan oleh guru. Cara pengajaran pendidikan Hindu jaman dulu yang kecenderungan memberikan suatu pengalaman dengan perpaduan dan keseimbangan antara teori dan praktek (Sharma dan Sharma, 2004:5-6). Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Mookerji (2003:1) bahwa “… Vedic education is tobe studied as an integral part of vedic thought and life.” Dengan demikian, siswa akan mendapatkan pengetahuan dengan membangun pengetahuannya sendiri dari pengetahuan yang telah dimiliki dengan konteks yang ada pada saat realitas dalam prakteknya. Hal itu sesuai dengan pernyataan Dr. R.K Mukerjee (dalam amala, Anupama, dan Rao, 2006:39) “that the objective of education was not merely reading, but the subjective assimilation of knowledge and experience”. Sistem pengajaran yang dilakukan tersebut bila dihubungkan dengan dewasa ini lebih mirip dengan konstruktivisme. III. Penutup Sistem pendidikan Hindu yang telah dilaksanakan pada masa lalu merupakan suatu sistem pendidikan yang dilakukan oleh para maharsi yang notabenenya adalah ahli dalam pengetahuan dan memiliki tingkat spiritual yang tinggi dengan tanpa keterikatan pada duniawi. Dengan demikian sistem pendidikan yang para maharsi lakukan pada masa lampau sesungguhnya adalah sistem pendidikan yang ideal bagi bukan hanya umat PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 118 Hindu tetapi juga pendidikan dunia pada umumnya. Hal itu karena apa yang dilakukan oleh para maharsi adalah untuk kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat nantinya. Sistem pendidikan Hindu adalah berbasis keluarga yaitu pendidikan yang mengunakan sistem pendekatan keluarga yaitu antara anak dan orang tua. Siswa sebagai anak dan guru sebagai orang tua. Dengan demikian, proses pendidikan akan dapat benar-benar terlaksana dengan baik. Guru sebagai orang tua tentunya akan mendidik anak dengan sebaik-baiknya dengan pengetahuan yang bermanfaat dan mengarah pada keberhasilan yang sepenuhnya. Di sisi lain anak akan menerima dengan baik karena guru adalah orang tuanya. Pendidikan Hindu kontemporer jelas apabila dilihat dari sistem yang dilakukan dewasa ini sangat jauh menyimpang dari sistem pendidikan Hindu tersebut di atas. Sistem pendidikan Hindu kontemporer sama seperti halnya pendidikan secara umum mengarah pada globalisasi pendidikan barat. Sistem – sistem ini terlihat dalam kurikulum, guru, metode belajar, metode mengajar dan lainnya. Revitalisasi sistem pendidikan Hindu perlu dilakukan guna kemajuan pendidikan dan umat Hindu ke depan. Revitalisasi yang dimaksud bukan mengadobsi atau berarti kembali pada masa lalu, tetapi mengadaftasikan dan mengasimilasikan pendidikan Hindu pada pendidikan Hindu kontemporer. Esensi tetap pendidikan Hindu tetapi kemasannya adalah pendidikan kontemporer. IV Daftar Pustaka Dantes, Nyoman. 2008. “Perspektif dan Kebijakan pendidikan Menghadapi Tantangan Global”. Makalah di sampaikan dalam seminar Akademik Jurusan PGSD (S1) FIP-Undiksha Haryanto, Sindung. 2012.Spektrum Teori Sosial: Dari Klasik Hingga Posmodern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Ilyasin, H.M. 2011. Pendidikan Pembebasan Dalam Perspektif Barat & Timur.Ar-Ruzz Media Jayapalan, N.2005.History of Education in India.New Delhi: Nice Printing Press. Mookerji, Radha Kumud.2003. Ancient Indian Education: Brahmanical and Buddhist. Delhi:Shri Jainendra Press Ngainun Naim & Achmad Sauqi. 2010. Pendidikan Multikultur : Konsep & Aplikasi . Ar-Ruzz Media. Ngurah, I Gusti, I Gede Sura, I Gede Badjrayasa, Indra Sukarno, I Wayan Mitra Astawa, dan Sujailanto.2006. Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Suirabaya: Paramita Sanjaya, Putu.2011.Filsafat Pendidikan Agama Hindu. Surabaya: Paramita Syarifuddin.2008. Effektivitas Kebijakan Pendidikan Konsep, Strategi, dan Aplikasi Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif. Rineka Cipta. Titib, I Made.1996. Veda Sabda Suci: Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita Titib, I Made.2003. Purana: Sumber Ajaran Hindu Koprehensip. Jakarta: Pustaka Mitra Jaya Zaim Elmubarok.2009. Membumikan Pendidikan Nilai: Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung Yang Terputus dan Menyatukan Yang Tercerai. Bandung: Alfabeta PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 119 PRINSIP TAT TVAM ASI DALAM PENDIDIKAN HINDU GUNA MENCEGAH PRILAKU VERBAL BULLYING Oleh Ni Nyoman Ayu Suciartini Dosen Fakultas Dharma Duta IHDN Denpasar e-mail: [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan, 1) faktor-faktor penyebab munculnya verbal bullying, 2) bentuk verbal bullying yang mengemuka di kehidupan bermasyarakat 3) implementasi konsep ajaran Hindu Tat Tvam Asi sebagai pencegah prilaku verbal bullying. Dalam mencapai tujuan ini, peneliti menggunakan rancangan penelitian deskriptif-kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, wawancara, dan kuesioner. Data yang diperoleh dianalis secara deskriptif kualitatif yang meliputi tiga tahapan yaitu, (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) verifikasi dan penarikan simpulan. Hasil penelitian ini memaparkan bahwa (1) fakto-faktor penyebab munculnya verbal bullying yaitu lingkungan sosail, perkembangan teknologi, dan proteksi diri yang rendah, 2) bentuk verbal bullying yang mengemuka di kehidupan bermasyarakat dikemukakan dalam bentuk menghina, melecehkan, memfitnah, bahkan mengancam lawan tutur 3) implementasi konsep ajaran Hindu Tat Tvam Asi sebagai pencegah prilaku verbal bullying.yaitu seperti bisa menjadi motivator positif, keinginan kuat untuk berbenah, berani menghadapi tantangan hidup, dan mengembalikan hakikat jati diri manusia sebagai mahkluk sosail yang sama sekali tidak sempurna. Kata kunci : verbal bullying, Tat Tvam Asi I. Pendahuluan Bahasa merupakan alat komunikasi sosial yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan interaksi. Menurut Gorys Keraf (1997:1), bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Di dalam berbicara, pembicara dan lawan bicara sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan bicaranya. Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi sosial itu (Wijana, 2006:28). Tujuan seseorang berkomunikasi adalah menyampaikan pesan dan menjalin hubungan sosial. Di dalam penyampaian pesan tersebut, biasanya digunakan bahasa verbal baik lisan maupun tulis, atau nonverbal yang dipahami kedua belah pihak, pembicara dan lawan bicara. Tujuan komunikasi adalah menjalin hubungan sosial yang dilakukan dengan menggunakan beberapa strategi, seperti menggunakan ungkapan kesopanan, ungkapan implisit, dan basa-basi. Strategi tersebut dilakukan oleh pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi berjalan baik; PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 120 dalam arti, pesan tersampaikan secara utuh dan sempurna tanpa merusak hubungan sosial di antara keduanya. Mengingat pentingnya kesantunan dalam bertutur, interaksi yang berlangsung baik secara lisan maupun tertulis seyogianya dilandasi oleh norma-norma kesantunan. Di dalam berkomunikasi, norma-norma tersebut tampak dari perilaku verbal ataupun nonverbal. Perilaku verbal dalam fungsi imperatif, misalnya, terlihat pada cara penutur mengungkapkan perintah, keharusan, atau larangan melakukan sesuatu kepada mitra tutur, sedangkan perilaku nonverbal tampak dari gerak-gerik fisik yang menyertainya. Dalam kenyataannya, prilaku menyalahi ranah kesantunan dalam bertutur, baik yang sering disaksikan lewat media televisi, media sosial, debat publik, bahkan tidak jarang dalam praktik kesehariannya. Media seperti televisi dan media sosial lainnya adalah tempat umum atau publik yang menjadi tempat tumbuh suburnya kasus verbal bullying terhadap suatu kejadian yang sedang heboh diperbincangkan. Banyak orang merasa dirugikan dengan hadirnya verbal bullying ini. Dampak prilaku verbal bullying ini bukan hanya menyerang fisik, melainkan lebih dari itu, yaitu psikologis korban verbal bullying tersebut. Hasil observasi awal yang peneliti lakukan di media televisi juga media sosial, seperti facebook, twitter, instagram, path, bbm, dan lain-lain menunjukkan bahwa banyak terdapat kalimat (bahasa) yang diujarkan pengguna media sosial di facebook dan bbm yang melangkahi koridor kesantunan. Hal ini banyak ditemukan dalam pembahasan soal pemerintahan, politik, bahkan sampai pada ranah pendidikan. Bahkan pengamatan peneliti juga sampai pada sekolah-sekolah di seputaran kota Denpasar. Banyak siswa tanpa sadar telah melakukan praktik verbal bullying pada teman sebayanya atau pada adik tingkatnya. Bahasa-bahasa yang kurang santun ini banyak dilontarkan yang mengandung cacian, umpatan, sindirin, hinaan mengarah pada fisik, namun dilontarkan dengan sikap humor. Tidak semua orang menerima kalimat ini sebagai humor semata. Ada sebagian orang yang merasa terluka jiwanya karena merasa dilecehkan atau tidak dihargai dengan kalimat-kalimat yang tidak menggambarkan diri mereka yang sebenarnya. Bullying berasal dari kata bully, yaitu suatu kata yang mengacu pada pengertian adanya “ancaman” yang dilakukan seseorang terhadap orang lain (yang umumnya lebih lemah atau “rendah” dari pelaku), yang menimbulkan gangguan psikis bagi korbannya (korban disebut bully boy atau bully girl) berupa stress (yang muncul dalam bentuk gangguan fisik atau psikis, atau keduanya; misalnya susah makan, sakit fisik, ketakutan, rendah diri, depresi, cemas, dan lainnya). Bullying biasanya dilakukan berkelompok, menekan bagian minoritas yang pola hidupnya berbeda dari yang mayoritas (Lawson, Terry E dalam Ratna, 2007). Verbal bullying (terkadang disebut verbal abuse) adalah saat seseorang menggunakan perkataan untuk mendapatkan kuasa di antara sesamanya. Verbal bullying menggunakan makian yang tidak habis-habis maupun mengolok-olok korbannya, yang biasanya dinilai dari ketidakmampuan fisiknya, maupun mengatai kebodohan dan kegemarannya, suku, agama, PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 121 maupun fisiknya secara keseluruhan. Walaupun verbal bullying tidak menyebabkan kerusakan fisik, tapi penggencetan seperti ini dapat memberikan dampak buruk pada sisi psikologis korban. Istilah Bullying belum banyak dikenal masyarakat, terlebih karena belum ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia (SuShanti, 2006). Bullying berasal dari kata bully, menurut kamus Inggris-Indonesia karangan Echols dan Shadily (2008) bully diartikan sebagai bully /’bulie/ kb. (j. –lies) penggertak, orang yang mengganggu orang yang lemah. (bullied) menggertak, mengganggu.” Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang seringkali dipakai masyarakat untuk menggambarkan fenomena Bullying di antaranya adalah penindasan, penggencetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan, atau intimidasi (Susanti, 2006). Korban bullying atau victim adalah seseorang yang berulangkali mendapatkan perlakuan agresi dari kelompok sebaya baik dalam bentuk serangan fisik, atau serangan verbal, atau bahkan kekerasan psikologis. Bullying secara verbal, berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan (baik yang bersifat pribadi maupun rasial), pernyataanpernyataan bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual, teror, suratsurat yang mengintimidasi, tuduhan-tuduhan yang tidak benar, kasakkusuk yang keji dan keliru, gosip dan lain sebagainya. Dari ketiga jenis bullying, bullying dalam bentuk verbal adalah salah satu jenis yang paling mudah dilakukan, kerap menjadi awal dari perilaku bullying yang lainnya serta dapat menjadi langkah pertama menuju pada kekerasan yang lebih jauh. Tipe bully secara verbal seperti ini biasanya bertujuan untuk merendahkan harga diri korbannya, misalnya dengan mengatakan dia jelek, atau atribut fisik lainnya yang mungkin saja dimiliki oleh korban tersebut dan membuat dia menjadi “alien” di lingkungannya. Seperti kasus si Budi tadi, mungkin saja dia anak yang lembut, namun perilaku seperti itu di mata teman-temannya tidak pantas dimiliki oleh anak laki-laki sehingga temannya mengibaratkan dia seperti waria yang –maaf- menjajakan diri di jalan-jalan. Verbal bully ini sangat sulit untuk diketahui tanda-tandanya karena tidak ada tanda fisik yang terlihat. Verbal bully ini juga bisa dilakukan secara diam-diam, apalagi di zaman media sosial seperti sekarang, seseorang dapat mengejek orang lain secara anonim, sehingga sekarang muncul istilah cyber bullying (bully di dunia maya). Dalam ajaran agama Hindu mengenal adanya konsep Susila, yaitu Tat Tvam Asi. Kata “Tat Tvam Asi” disebutkan dalam kitab Candogya Upanisad yang berarti: Dikaulah itu; Dikaulah semua itu; Semua makhluk adalah Engkau. Engkau awal mula jiwatman (roh) dann zat (prakrti) semua makhluk. Aku ini adalah makhluk yang berasal dari Mu. Oleh karena itu jiwatmaku dan prakrtiku tunggal dengan jiwatman semua makhluk, dan Dikau sebagai sumberku dan sumber semua makhluk. Oleh karena itu aku adalah Engkau,;aku adalah Brahma.”Aham Brahma Asmi” (Brhadaranyaka Upanisad 1.4.10). Di dalam filsafat Hindu, dijelaskan bahwa Tat Tvam Asi adalah ajaran kesusilaan yang tanpa batas, yang identik dengan “perikemanusiaan” dalam pancasila. Konsepsi sila perikemanusiaan dalam PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 122 pancasila, apabila kita cermati sungguh sungguh adalah merupakan realisasi ajaran Tat Tvam Asi yang terdapat dalam kitab suci Veda. Kalimat Tat Tvam Asi mengandung makna bahwa manusia wajib dan harus mengasihi orang lain sebagaimana menyayangi diri kita sendiri. Inilah dasar utama untuk mewujudkan masyarakat yang Santhi (damai) dan Kertha (makmur). Tat Tvam Asi selalu mengamalkan cinta kasih, bakthi, dan rela beryadnya (berkorban). Dalam kitab suci dikatakan demikian :“Hyang amati – mati wang tan padosa, haywa anglarani sarwa prani, haywa kita tan masih ring wang nista” Artinya :Janganlah menyakiti makhluk hidup, janganlah tidak menaruh belas kasihan terhadap orang miskin atau orang yang ditimpa kemalangan. Cinta kasih sejati ditandai dengan cinta kepada kebenaran dan kebaikan, maka menjadi kewaijban setiap orang untuk berbuat baik dan benar. Bhakti adalah perwujudan hati nurani yang ditunjukkan kepada orang tua, guru, bangsa, dan negara serta Hyang Widhi. Wujud nyata dari ajaran Tat Tvam Asi ini dapat dicermati dalam kehidupan dan perilaku keseharian dari umat manusia yang bersangkutan. Manusia dalam hidupnya memiliki berbagai macam kebutuhan yang dimotivasi oleh keinginan (kama) manusia yang bersangkutan. Sebutan manusia sebagai makhluk hidup itu banyak jenis, sifat, dan ragamnya seperti: manusia sebagai makhluk individu, sosial, religius, ekonomis, budaya dan lain – lainnya. Apabila semua itu harus dapat dipenuhi oleh manusia secara menyeluruh dan bersamaan tanpa memperhitungkan situasi dan kondisinya serta keterbatasan yang dimiliknya, betapa susah dan payah yang dirasakan oleh individu yang bersangkutan. Disinilah manusia perlu mengenal dan melaksanakan rasa kebersamaan, sehingga seberapa berat masalah yang dihadapinya akan terasa ringan. Dengan memahami serta mengamalkan ajaran Tat Tvam Asi, manusia akan dapat merasakan berat dan ringan dalam hidup dan kehidupan ini. Bila ajaran Tat Tvam Asi dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat secara menyeluruh dan sungguh-sungguh, dalam sifat dan prilaku kita maka kehidupan ini akan menjadi sangat harmonis.Satu dengan yang lainnya diantara dapat hidup saling menghormati, mengisi dan damai. Penelitian ini berusaha mengaji kasus verbal bullying yang banyak terjadi di media sosial seperti facebook, bbm, titter, instagram, dan lain-lain. Penelitian ini juga beranjak dari rasa khawatir penulis oleh kebiasaan anakanak sekolah bahkan masyarakat umum yang “melabelkan” bahwa verbal bullying memang sesuatu yang wajar untuk menghadirkan lelucon. Di saat pemerintah sedang gencar melakukan revolusi mental dan pembenahan pendidikan karakter sejak dini, hal semacam ini yang diangkat dalam penelitian ini dianggap penting untuk dikaji. Oleh karena itu, penelitian dengan judul “Penerapan Konsep Tat Tvam Asi dalam Mencegah Prilaku Verbal Bullying” menarik dan penting untuk dilakukan mengingat kesantunan itu tidak terlepas dengan masalah menumbuhkan karakter yang sedang dibahas secara hangat dalam wacana pendidikan. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. (1) apakah faktor yang menyebabkan timbulnya praktik PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 123 verbal bullying? (2) bagaimanakah bentuk prilaku verbal bullying? (3) Bagaimanakah implementasi konsep Tat Tvam Asi untuk mencegah prilaku verbal bullying tersebut? Sejalan dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan: mendeksripsikan faktor penyebab timbulnya prilaku verbal bullying (2) bentuk prilaku verbal bullying, dan (3) implementasi konsep Tat Tvam Asi untuk mencegah prilaku verbal bullying. II. Metode Penelitian Rancangan penelitian merupakan sebuah strategi untuk mengatur latar penelitian sehingga peneliti benar-benar memperoleh data yang valid sesuai dengan karakteristik dan tujuan penelitiannya. Senada dengan permasalahan yang diangkat, yaitu berkaitan dengan konsep Tat Tvam Asi untuk mencegah prilaku verbal bullying verbal, penelitian ini menggunakan rancangan deksriptif kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi, metode wawancara, dan kuesioner. Setiap metode memiliki peran dalam pengumpulan data. Tujuan dari dokumentasi ini adalah untuk memperoleh sudut pandang orisinal dari kejadian situai nyata. Dokumen resmi dipandang mampu memberikan gambar mengenai aktivitas, keterlibatan individu pada suatu komunitas tertentu dalam setting sosial. III. Pembahasan Dalam sajian ini juga sekaligus dilakukan pembahasan langsung terhadap masing-masing hasil penelitian. Secara terinci, hal tersebut mencakup (1) faktor penyebab terjadinya prilaku verbal bullying (2) bentuk verbal bullying, dan (3) implementasi konsep Tat Tvam Asi untuk mencegah prilaku verbal bullying. Kalimat-kalimat yang mengemuka baik di media televisi, media sosial seperti facebook, blackberry messager (bbm), instagram, dan twitter, maupun percakapan remaja sehari-hari mengandung beragam maksud seperti hendak melucu, menasihati, menyindir, menyindir, bahkan mengancam. Disadari atau tidak oleh si pembicara kalimat-kalimat yang digunakannya tersebut dapat menimbulkan efek lain atau mengundang komentar-komentar yang tidak terduga, salah satunya dapat digolongkan ke dalam bentuk verbal bullying. Bentuk verbal bullying ini dinyatakan dalam kalimat yang bermaksud melucu, menasihati, menyindir, menghina, bahkan mengancam. Kalimat-kalimat yang mengemuka dalam percakapan baik di dunia nyata maupun di dunia maya ini diujarkan dengan maksud tertentu yang terkadang tidak berterima di hati lawan tuturnya sehingga menyebabkan tuturan dianggap sebagai tuturan yang tidak santun. Verbal Bullying atau intimidasi secara lisan ini mulai marak mengemuka sebagai sebuah candaan maupun lelucon. Dari kalimat biasa dengan maksud melucu, bahkan kalimat yang secara tersurat bermaksud merendahkan orang lain dapat membawa dampak tertentu terhadap kehidupan sosial orang yang dibully tersebut. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 124 Bullying dikenal luas di Indonesia. ada beberapa jenis bullying, seperti bullying secara fisik, mental, dan secara verbal yang dikenal sebagai verbal bullying. Verbal bullying, yaitu bullying dengan menggunakan kata-kata untuk membuat seseorang berada di dalam tekanan dan membuat orang yang melakukan verbal bullying tersebut menjadi lebih superior (Smokowski:2010). Dalam hasil penelitian telah dipaparkan dan dianalisis berbagai bentuk verbal bullying yang mengemuka. Bentuk verbal bullying seperti dalam pemaparan dalam hasil penetian tersebut, banyak ditemukan sebagai bentuk verbal bullying yang dinyatakan dengan maksud melucu, menyindir, menghina, menasihati, bahkan mengancam. Kelima bentuk verbal bullying ini muncul dalam percakapan yang didominasi para remaja, baik dalam pergaulan maupun siaran televisi dan dunia maya. Dalam teori terkait verbal bullying yang dijabarkan oleh Ratna Djuwita (2007), Nurchaili (2010) dan beberapa landasan teori yang peneliti gunakan untuk menganalisis fenomena verbal bullying ini cenderung menyebutkan bahwa kalimat-kalimat yang biasa digunakan oleh seseorang untuk membully orang lain yaitu kalimat yang bernada menghina, menyindir, mengancam, melecehkan, dan sebagainya. Bullying secara verbal, berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan (baik yang bersifat pribadi maupun rasial), pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual, teror, surat-surat yang mengintimidasi, tuduhan-tuduhan yang tidak benar, kasak-kusuk yang keji dan keliru, gosip dan lain sebagainya ( Ratna, 2007). Banyak faktor yang menyebabkan prilaku verbal bullying terjadi secara masif dan berkelanjutan. Di antaranya adalah (1) faktor lingkungan. Kedekatan orangtua dan orang di sekitaran tempat tinggal bisa menjadi acuan munculnya prilaku verbal bullying di kalangan remaja. Mereka yang terbiasa dengan pergaulan mencomooh kehadiran orang lain akan tumbuh menjadi pelaku verbal bullying yang aktif. Ketidakpedulian masyarakat dan individu itu sendiri terkait dampak psikologis verbal bullying. Dewasa ini tontonan televisi, adanya postingan-postingan di dunia maya cenderung menghadirkan lawakan yang dianggap lucu dengan menonjolkan kelemahan fisik seseorang. Ini dianggap wajar dan biasa terjadi sehingga dalam pergaulan keseharian remaja, khususnya di kota Denpasar banyak yang menganggap kelemahan seseorang sebagai bahan candaan yang biasa saja. Pembully ini tidak sadar bahwa seseorang yang dibully ini bisa jadi mengalami tekanan psikologis tertentu yang menyebabkan rasa rendah diri, merasa tak berharga, dan lain sebagainya. Faktor lainnya adalah terkait efek jera yang tegas belum terwujud bagi mereka yang dengan sengaja maupun tidak sengaja membully seseorang dengan kalimat-kalimat yang sangat tidak sopan. (2) perkembangan teknologi yang tidak bisa dibendung. Kecanggihan akses internet saat ini memungkinkan remaja memilih dunia maya sebagai tempat yang paling nyaman untuk mendapatkan segala perhatian publik. Remaja meonoton, melihat, bahkan melakukan prilaku verbal bullying yang dilontarkan dalam medis sosialnya untuk memberikan efek sindiran kepada teman dunia maya lainnya yang terlibat suatu ketidakcocokan. Di media sosial inilah tumbuh subur prilaku verbal bullying yang melibatkan remaja. Seseorang bisa menuliskan kalimat, kata-kata apapun tanpa ada proteksi yang kuat di media sosial. Media sosial, seperti PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 125 facebook, twitter, instagram, path, bbm, dan lain-lain merupakan lahan subur tumbuhnya penyimpangan-penyimpangan terhadap penggunaan kalimat yang santun. Media sosial merupakan media publik yang diperuntukkan bagi orang banyak yang sudah sepatutnya memperhatikan aspek-aspek komunikasi dan kesantunan berbahasa manakala ingin memposting status maupun berkomentar sebagai netizen dunia maya. Banyak kalimat dari netizen yang melangkahi koridor kesantunan ditinjau dari prinsipi kesantunan berbahasa. (3) Faktor budaya. Saat ini, pergereran budaya telah melangkah jauh lebih modern. Namun, ada hal-hal yang disayangkan justru terjadi di zaman serba modern dan instan ini. Dahulu, seseorang berkomunikasi dengan memegang teguh pakem-pakem kesopanan yang berlaku dan membuat penutur dan mitra tutur merasa saling menghormati dan tidak menimbulkan tekanan psikologis tertentu dari kalimat yang diucapkannya. Namun, melihat perkembangan teknologi yang sedikit banyaknya memengaruhi perubahan budaya, membuat remaja banyak yang bertutur di luar batas kesantunan dengan salah satunya melakukan verbal bullying sebagai budaya kekinian dan wajar untuk dilakukan. Tat Tvam Asi mempunyai arti engkau adalah aku dan aku adalah engkau. Makna mendasar yang dapat dipetik dari Tat Tvam Asi tersebut adalah bagaimana menyayangi diri sendiri demikian juga menyayangi orang lain bahkan lingkungan sekalipun. Atas dasar itu maka tindakan hormat menghormati sangat diperlukan bahkan harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ajaran Tat Tvam Asi sangat selaras dengan ideologi Negara Indonesia yaitu pancasila. Dengan demikian setiap warga Negara mempunyai hak untuk mengaktualisasikan ajarannya ditengah – tengah masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan yang berlaku di masyarakat tersebut serta tetap mengutamakan rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Di dalam kitab Candyoga Upanisad, ada disebutkan Tat Tvam Asi. Di dalam filsafat Hindu dijelaskan bahwa Tat Tvam Asi adalah ajaran kesusilaan yang tanpa batas, yang identik dengan perikemanusiaan dalam Pancasila. Konsepsi sila perikemanusiaan dalam Pancasila, bila dicermati secara sungguh-sungguh merupakan realisasi ajaran Tat Tvam Asi yang terdapat dalam kitab suci Veda. Dengan demikian, dapat dikatakan mengerti dan memahami, serta mengamalkan atau melaksanakan Pancasila berarti telah melaksanakan ajaran Veda. Karena maksud yang terkandung didalam ajaran Tat Tvam Asi adalah ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan semua makhluk adalah sama sehingga bila kita menolong orang lain berarti juga menolong diri kita sendiri. Tat Tvam Asi berasal dari bahasa sansekerta. Tat artinya: itu (ia), Tvam artinya: kamu, dan Asi artinya: adalah. Tat Tvam Asi adalah kata-kata dalam filsafat Hindu yang mengajarkan kesosialan yang tanpa batas karena diketahui bahwa “ia adalah kamu” saya adalah kamu dan segala mahluk adalah sama, yaitu sama-sama memiliki Atman yang bersumber dari Brahman. Tat Tvam Asi memberikan pedoman untuk melihat diri pada makhluk lain dan melihat makhluk lain dalam diri seseorang. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 126 Sebuah ajaran tentang refleksi cinta kasih, tidak hanya kepada sesama manusia tetapi juga kepada semua makhluk. Dengan menyadari bahwa manusia dapat melihat dirinya pada makhluk lain, diajarkan untuk menjauhkan diri dari sifat ego. Dengan menyadari orang lain adalah bagian dari diri, maka seseorang tidak akan mudah melakukan tindakan-tindakan yang dapat menyakiti orang lain karena menyakiti orang lain berarti menyakiti diri sendiri. Melalui kesadaran tersebut sehingga diharapkan yang akan tumbuh dalam diri kita adalah sikap saling mengasihi antar sesama dan mahkluk hidup lainnya. Agama Hindu mengajarkan adanya ajaran toleransi umat beragama agar terciptanya kesejahteraan, seperti diterangkan oleh I Ketut Wiana, Wakil Sekjen Parisada Hindu Dharma Indonesia bahwa banyaknya agama yang diturunkan oleh Tuhan adalah suatu kebijaksaan Tuhan. Jalan yang berbeda-beda itu memiliki satu tujuan yaitu jalan menuju Tuhan. Disamping itu sebagai makhluk sosial umat Hindu tidak semata-semata rukun dengan sesama manusia. Tetapi juga harus harmonis secara vertical dan horizontal. Secara vertikal (ke atas) dekat dengan Tuhan sebagai Raja Alam Semesta (Prajapati), horizontal (kebawah) menanamkan rasa kasih sayang pada semua makhluk secara horizontal mengembangkan kerukunan dengan sesama manusia. Dalam ajaran Kitab suci Veda, agar terciptanya kehidupan yang Kreta Jagadhita dijelaskan secara gamblang dalam ajaran “Tat Tvam Asi”. Ajaran “Tat Tvam Asi” merupakan ajaran sosial tanpa batas. Saya adalah kamu, dan sebaliknya kamu adalah saya, dan segala makhluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri (Upadesa, 2002: 42). Antara saya dan kamu sesungguhnya bersaudara. Hakikat atman yang menjadikan hidup diantara saya dan kamu berasal dari satu sumber yaitu Tuhan. Atman yang menghidupkan tubuh makhluk hidup merupakan percikan terkecil dari Tuhan. Kita sama-sama makhluk ciptaaan Tuhan. Sesungguhnya filsafat “Tat Tvam Asi” ini mengandung makna yang sangat dalam. TaTvam asi mengajarkan agar kita senantiasa mengasihi orang lain atau menyayangi makhluk lainnya. Bila diri kita sendiri tidak merasa senang disakiti apa bedanya dengan orang lain. Maka dari itu janganlah sekali-kali menyakiti hati orang lain. Dan sebaliknya bantulah orang lain sedapat mungkin kamu membantunya, karena sebenarnya semua tindakan kita juga untuk kita sendiri. Bila dihayati dan diamalkan dengnan baik, maka akan tyerwujud suatu kerukunan. Dalam upanisad dikatakan: “Brahma atma aikhyam”, yang artinya Brahman (Tuhan) dan atman sama. Sistem kekeluargaan dan kekerabatan adalah sebuah ciri yang melekat pada seluruh kebudayaan di Indonesia. Tidak terkecuali pada masyarakat Hindu di Bali. Sistem tersebut menjadi hukum adat bagi terciptanya hubungan antara manusia dengan manusia. Hubungan antarmanusia dalam ajaran Hindu di Bali tertuang dalam filosofi “Tat Tvam Asi”sebagai dasar hukum. Secara harfiah Tat artinya ia, Tvamartinya kamu, dan Asi artinya adalah. Secara keseluruhan berarti “ ia adalah kamu”. Saya adalah kamu dan segala mahkluk adalah sama. Ini berarti menolong orang lain berarti menolong diri sendiri. Dan menyakiti orang lain berarti pula PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 127 menyakiti diri sendiri. Prinsip dasar Tat Tvam Asi ini dalam kehidupan adat Bali diberi pengertian ke dalam asas-asas sebagai berikut. a. Asas suka duka, artinya dalam suka dan duka dirasakan bersamasama. b. Asas paras paros, artinya orang lain adalah bagian dari diri sendiri dan diri sendiri adalah bagian dari orang lain. c. Asas salunglung sabayantaka, artinya baik buru, mati hidup ditanggung bersama. d. Asas saling asih, saling asah, saling asuh, artinya saling menyayangi atau mencintai, saling memberi dan mengoreksi, serta saling tolong menolong antar sesama hidup. Ajaran tat Tvam asi mengajak setiap orang penganut agama untuk turut merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain. Seseorang bila menyakiti orang lain sebenarnya ia telah bertindak menyakiti atau menyiksa dirinya sendiri, dan sebaliknya bila telah membuat orang lain menjadi senang dan bahagia, maka sesungguhnya dirinya sendirilah yang ikut merasakan kebahagiaan itu juga. Tat Tvam asi merupakan kata kunci untuk dapat membina agar terjalinnya hubungan yang serasi atas dasar “asah, asih, dan asuh” di antara sesama hidup. Dalam Sarasamuscaya: 317, menyatakan: “Orang arif bijaksana melihat semuanya sama, baik kepada Brahmana budiman yang rendah hati, maupun terhadap makhluk hidup lainnya, orang yang hina papa sekalipun, walaupun perbuatan jahat yang dilakukan orang terhadap dirimu, perbuatan seperti orang sadhu hendaknya sebagai balasanmu. Janganlah sekali-kali membalas dengan perbuatan jahat, sebab oprang yang berhasrat berbuat kejahatan itu pada hakekatnya akan menghancurkan dirinya sendiri” Dalam kehidupan, apabila konsep “Tat Tvam Asi” tidak diterapkan, kesejahteraan tidak akan pernah tercapai, karena egoisme yang tinggi akan mempengaruhi setiap individu. Adapun contoh konsep “Tat Tvam Asi” tidak diterapkan, yaitu adanya konflik antar desa atau antar banjar menjadi bukti nyata. Ketika “Tat Tvam Asi” tidak bisa dijadikan acuan, konflik akan makin melebar. Dampaknya akan ada kasepekangi (pengucilan). Kalau sudah kasepekang, sembahyang ke pura pun tidak boleh, apalagi mau ngaben. Suatu saat nanti sepertinya perlu kuburan umum, desa umum dan pedanda umum bagi mereka yang kena kasepekang. Dari contoh ini dapat kita lihat, apabila ajaran “Tat Tvam Asi” tidak bisa kita terapkan tentunya hanya akan berdampak buruk bagi kehidupan bermasyarakat, Kreta Jagadhita akan semakin menjauh dari kehidupan kita, karena semua orang hanya akan menjalankan kehendaknya sendiri, orang Bali menyebutnya “nganggoang kite”. Dan sebaliknya apabila konsep ini diterapkan, tentunya tidak akan ada istilah mustahil kesejahteraan akan segera terwujud. Konsep Tat Tvam Asi ini bisa menjadi pedoman dalam mencegah prilaku verbal bullying, terutama yang melibatkan remaja sekolah maupun pergaulannya di media sosial. Membully orang lain sesungguhnya prilaku yang tidak dibenarkan karena bisa menyebabkan rasa sakit hati mendalam, apalagi dibully karena kelemahan fisik. Dengan menggali lagi konsep ajaran Hindu dan menanamkannya pada setiap individu dalam melakukan PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 128 interaksi dan komunikasi, niscaya kedamaian untuk menerima kelemahan dan kelebihan orang lain dapat dilakukan. Dapat disaksikan sendiri bagaimana fenomena membully orang lain ini marak terjadi. Bukan hanya orang biasa yang mendapat prilaku tidak mengenakkan ini, bahkan Presiden Joko Widodo tak luput dari kasus verbal bullying yang akhirnya menambah kisruh permasalahan di pemerintahan. Melihat ke dalam diri sebagai manusia yang tidak sempurna, akan mendatangkan kesadaran bahwa tidak ada satu manusia pun yang dilahirkan sempurna. Jika ini sudah dipahami secara mendala, konsep Tat Tvam Asi, jika seseorang menyakiti hati orang lain, maka sesungguhnya dia menyakiti dirinya sendiri, niscaya kedamaian akan terwujud. IV. 1. Penutup Simpulan Bentuk prilaku verbal bullying yang mengemuka baik dalam interaksi komunikasi remaja maupun yang terjadi di media sosial dinyatakan dengan bentuk yang beragam dengan maksud yang beragam pula. Penelitian ini memaparkan verbal bullying yang mengemuka di media sosial yang bermaksud melucu atau menghadirkan kesan humor kepada khalayak dunia maya. Kasus ini menyedot banyak komentar terhadap gambar dan kalimat-kalimat yang tertera untuk mendeskripsikannya. Sang pemilik akun awalnya hanya iseng dan ingin menghadirkan sensasi humor. Namun, di sisi lain banyak komentar yang malah menuduhnya melecehkan suatu peristiwa atau seseorang. Yang kedua, yaitu verbal bullying dalam media sosial yang bermaksud menyindir. Kalimat-kalimat bullying dengan maksud menghina ini banyak mengemuka di media sosial dan menimbulkan komentar-komentar netizen sehingga banyak hal negatif yang mewarnai media sosial tersebut. Ketiga, verbal bullying yang bermaksud menasihati. Kalimat menasihati ini tidak semua sesuai dengan maksud ketika dilontarkan di media sosial. Banyak netizen yang akhirnya membully postingan-postingan yang bermaksud menasihati. Keempat, verbal bullying yang bermaksud menyindir banyak mengemuka di media sosial. bentuk ini ditujukan untuk menyindir tokoh, seseorang atau suatu tempat secara tidak langsung. Kelima, verbal bullying yang bermaksud mengancam. Kalimatkalimat negatif yang memuat verbal bullying mengancam ini ditujukan seseorang atau netizen untuk memberikan efek jera terhadap seseorang atau pelaku tindakan verbal bullying yang disampaikannya lewat media sosial. Faktor yang menyebabkan prilaku verbal bullying ini bisa terjadi yaitu pemahan yang salah atas kelemahan orang lain, budaya melecehkan yang sekarang marak terjadi bahkan semakin diminati untuk dilakukan, perkembangan teknologi yang makin canggih tidak dapat membendung prilaku verbal bullying, terutama di media sosial, dengan beragam fitur, praktek membully semakin menggairahkan. Di tengah dunia yang serba modern dan praktis inilah konsep ajaran agama Hindu, yaitu Tat Tvam Asi masih relevan dijadikan pedoman bagi generasi remaja untuk membendung diri dari prilaku verbal bullying. Konsep “Aku adalah kamu dan kamu adalah aku” diyakini dapat menangkal seseorang dalam tindakan melecehkan orang lain. Ajaran Tat Tvam Asi ini diarahkan untuk saling menerima kelebihan dan kekurangan masingPROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 129 masing orang, tanpa mencelanya, sehingga kedamaian di setiap lini kehidupan bisa terealisasi. Dampak verbal bullying yang mengemuka ini memiliki pengaruh negatif. Dari kesekian pengaruh tersebut, dalam penelitian ini dipaparkan bahwa dampak negatifnya lebih banyak dan lebih mengkhawatirkan, terlebih jika korban verbal bullying tersebut tergolong masih remaja, bahkan anak-anak. Verbal bullying berpengaruh terhadap psikologi korban bullying, mendapat ancaman, merendahkan harga diri, membuat rasa tidak nyaman, selalu mencurigai setiap orang yang berkomentar, dipenjara, intimidasi lingkungan sosial, dan paling parah membuat korban bullying ini menjadi pelaku bullying dan membiasakan verbal bullying sebagai sebuah kewajaran atau wadah lelucon. 2. Saran Berdasarkan temuan penelitian yang telah disajikan sebagai simpulan, berikut ini disampaikan saran, yaitu temuan penelitian ini sepatutnya diimplementasikan oleh semua komponen untuk bertutur secara santun dalam menghadapi berbagai kondisi, terlebih di hadapan umum, seperti media sosial. Dengan bertutur secara santun, tanpa maksudmaksud menyudutkan seseorang atau peristiwa yang terjadi, sehingga atmosfer kedamain dan saling menghargai bisa ditemui di dunia nyata maupun dunia maya. Kebiasaan membully agar tidak menjadi sebuah budaya dan dinilai sebagai sebuah lelucon yang mendongkrak popularitas seseorang. IV Daftar Pustaka Asrori, Imam. 2005. “Tindak Tutur dan Operasi Prinsip Sopan Santun dalam Wacana Rubrik Konsultasi Jawa Pos (Warkonjapos)”. Artikel ilmiah. Malang: Jurnal Bahasa dan Seni. Ayu Suciartini, Ni Nyoman. 2012. Skripsi: Kesantunan Tuturan Guru dan Dampak Psikologisnya terhadap Siswa di SMA PGRI 1 Amlapura. Singaraja: Undiksha. Baron, R.A., Byrne, D. 2005. “Psikologi Sosial Jilid 2” Jakarta: Penerbit Erlangga. Bawa, Wayan. 1996. Dasar-dasar Metodologi Penelitian. Singaraja: STKIP. Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rhineka Cipta Dani Ahmad. Kekerasan verbal. In : google.com [serial online] diakses tanggal 1 Desember 2014 http://dennyhendrata.wordpress.com/kekerasan-verbal F.J. Monks, A.M.P. Knoers, Siti Rahayu H. 2002. Psikologi perkembangan : pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Jakarta Post. (2007). Bullying di Sekolah. http://www.thejakartapost.com. diakses tanggal 13 Oktober 2014. Kusmayati Elli. Child abuse. In. tempo.com [serial online] 2005 diakses pada tanggal 30 Agustus 2014. http://www.tempointeraktif.com/medika/arsip Megawangi, Ratna. 2010. Membangun Karakter Anak Melalui Brain-Based Parentik. Artikel ilmiah. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 130 Mulyani, Yeni. 2009. “Kesantunan Berbahasa dalam Mengungkapkan Perintah”. Artikel ilmiah. Yogyakarta: Humanika. Mustaqim. 2004. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nada, Atmaja I Made. 2010. Etika Hindu. Surabaya: Paramita. Nurchaili. 2010. “Membentuk Karakter Siswa Melalui Keteladanan Guru.” Artikel ilmiah. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Humanika Yogyakarta. Olweus, D. 2001. Bullying at school: What we know and what we can do. Cambridge, MA: Blackwell http://books.google.co.id/books diakses 5 Agustus 2014. Pukul 10.23 WITA Ratna Djuwita. (2007). Bullying: Kekerasan Terselubung di Sekolah. http://www.anakku.net. Diakses tanggal 10 Oktober 2014. Suhardana, Komang. 2010. Tat Tvam Asi. Ajaran Kesamaan Martabat Manusia. Surabaya: Paramita. 131 PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN AGAMA HINDU MELALUI EFEKTIVITAS POLA INTERAKSI DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH Oleh : I Ketut Sudarsana Dosen Pascasarjana IHDN Denpasar Abstrak Sekolah sebagai pendidikan formal merupakan lembaga yang memiliki kewajiban untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi yang berkarakter luhur. Lembaga pendidikan ini seyogyanya dapat membekali siswanya dengan berbagai nilai, sikap, serta kemampuan dan keterampilan dasar yang cukup kuat sebagai landasan untuk menjalani kehidupan yang sebenarnya di masyarakat. Pribadi yang berkarakter luhur ini dibentuk melalui pendidikan agama Hindu yang dilaksanakan secara berkelanjutan di semua jenjang pendidikan. Agar pendidikan agama Hindu ini mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, maka peningkatan mutu pendidikan agama Hindu wajib dilaksanakan, dimana salah satunya dengan meningkatkan efektivitas pola interaksi dalam pembelajaran di sekolah. Kata Kunci : Peningkatan Mutu, Pendidikan Agama Hindu, Pola Interaksi dan Pembelajaran I. PENDAHULUAN Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal seyogyanya dapat membekali siswanya dengan berbagai nilai, sikap, serta kemampuan dan keterampilan dasar yang cukup kuat sebagai landasan untuk menyelesaikan pendidikan pada jenjang berikutnya. Salah satu keterampilan dasar yang mutlak harus dimiliki oleh setiap siswa ialah keterampilan dalam bertingkah laku diantaranya penanaman pendidikan budi pekerti yang luhur sejak dini. Pendidikan sebagai pondasi pendidikan nasional memegang peranan yang sangat penting dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dalam menghadapi era globalisasi. Hampir semua ahli pendidikan sepakat bahwa jenjang pendidikan sekolah sangat penting, karena sebagai peletak dasar perkembangan kepribadian, sikap, dan perilaku, penanaman nilai etika dan moral, di samping juga perkembangan fisik, mental, serta wawasannya. Pendidikan Agama Hindu mengandung beberapa aspek yang sangat penting diberikan kepada anak didik, terutama dari tingkat dasar, yaitu kepribadian, sikap, dan perilaku, nilai etika dan moral dimana merupakan kristalisasi nilai-nilai yang baik dari perilaku seseorang atau manusia. Semua itu harus secara sengaja ditransformasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan ini secara formal diajarkan kepada anak didik di sekolah, juga bisa diajar secara non formal oleh orang tua siswa dan masyarakat, karena anak lebih banyak berada di rumah dibandingkan di sekolah. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 132 Proses belajar bagi seorang anak sudah di mulai sejak anak dalam kandungan, karena anak sudah bisa menerima respon atau bunyi-bunyian sejak dia masih ada di dalam kandungan si Ibu sampai mereka lahir, besar dididik oleh orang tua, sampai umur 7 tahun di mana memasuki usia sekolah, dan sekolah di jenjang pendidikan dasar. Pada saat anak memasuki jenjang pendidikan formal inilah anak biasanya mulai berinteraksi dan terjadi atau terbentuk konsep dan sikap secara psikologis lainnya. Peranan orang tua dan masyarakat tempat anak berinteraksi pertama kali akan tetap terbawa. Setelah memasuki jenjang pendidikan formal, inilah menjadi tugas guru yang sangat penting guna membentuk pribadi siswa secara baik. Guru, khususnnya guru Agama Hindu boleh dikatakan sebagai peletak dasar bagi anak dalam pembentukan mentalnya. Seorang guru dituntut bisa memodifikasi pembelajaran dengan seninya sendiri, agar anak didik tidak bosan. Guru Agama Hindu dianggap sebagai orang yang memegang peranan penting dalam pembentukan sikap mental dan moral anak dengan ajaran sastra-sastra agama yang diajarkan. Menciptakan kondisi yang menyenangkan siswa akan belajar dan terus belajar, jika kondisi pembelajaran dibuat menyenangkan, nyaman, dan jauh dari perilaku yang menyakitkan perasaan siswa. Dewasa ini era globalisasi dan informasi sedang merambah ke segala penjuru dunia termasuk Indonesia. Bagi bangsa Indonesia khususnya banyak manfaat yang diperoleh darinya, tetapi di sisi lain sekecil apapun tentu akan memiliki dampak negatif, baik terhadap dunia politik, perekonomian, sosial budaya maupun terhadap perilaku seseorang. Oleh karena itu, agar kepribadian dan jati diri bangsa Indonesia tidak terkikis oleh pengaruh luar, salah satu upaya untuk menangkal dan menanggulanginya, pendidikan agama Hindu khususnya budi pekerti, etika, moral harus diajarkan kepada semua anak-anak sedini mungkin sesuai dengan tujuan pendidikan. Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, sehat berilmu, cakap, terampil, mandiri dan menjadi warga negara demokratis serta bertanggung jawab (UU No 20 Tahun 2003) prinsip yang terkandung dari tujuan itu bahwa pendidikan berperanan untuk mengembangkan potensi manusia agar terbentuk kompetensi pada dirinya, agar cerdas dan berbudi pekerti luhur. Dalam hal ini agar terjadi interaksi yang harmonis, maka diperlukan sikap dan moral yang positif. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia (Sudharta, 2001:VII). Sikap harus memiliki keyakinan pada diri tanpa dipengaruhi orang lain. Pengaruh orang lain merupakan suatu pendidikan yang mengarahkan siswa atau peserta didik untuk senantiasa dapat memiliki dampak perilaku yang positif yang berguna bagi dirinya, golongan dan masyarakat. Mengingat pendidikan agama Hindu sangat penting bagi kehidupan manusia, maka pendidikan tersebut perlu dikembangkan. Karena adanya perilaku-perilaku manusia yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Agama Hindu bisa disebabkan oleh kesalahan sistem pendidikan dan pengajaran pada jalur PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 133 formal yang selalu bersifat teoretis, bukan pada moralitas dan etika secara praktek yang dapat mengubah perilaku manusia dari sifat keraksasaan menjadi sifat kedewataan. Kegagalan pendidikan dan pengajaran agama Hindu bisa dilihat dari perilaku para siswa yang kurang santun berbicara dengan orang yang lebih tua, dengan guru di sekolah maupun dengan orang tuanya di rumah. Hal tersebut di atas semua pada dasarnya bertentangan dengan citra masyarakat Indonesia yang selama ini dikenal oleh masyarakat internasional yaitu sebagai masyarakat yang santun dan berbudaya. Masyarakat yang juga memiliki budaya yang sopan serta memiliki budi pekerti yang luhur, nilai budi pekerti, nilai kemanusiaan, dan nilai sosial nampaknya sudah mulai bergeser jauh dari norma umum yang layak dalam masyarakat. Pendidikan agama Hindu dapat dikembangkan di tiga pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pengembangan pendidikan agama Hindu pada satu pusat pendidikan akan menimbulkan adanya kepincangan dan bahkan memacetkan pengembangan budi pekerti yang luhur kepada para siswa. Dalam menanamkan semua itu diperlukan berbagai upaya, upaya yang dimaksud yakni bimbingan, pengajaran, dan latihan. Semua upaya itu dilaksanakan dengan tujuan agar anak didik sejak dini memiliki kebiasaan yang baik, sehingga guru maupun orang tua memegang peranan penting untuk mencapai tujuan pendidikan maupun tujuan pendidikan Nasional. Peranan serta guru tidak hanya dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) akan tetapi bagaimana pembentukan sikap, tingkah laku, dalam bentuk pendidikan budi pekerti, sehingga betul-betul memahami dan mempraktekan semua perintah dan nasihat guru di sekolah dan orang tua di lingkungan keluarga. II. PEMBAHASAN 2.1 Konsep Pendidikan Agama Hindu Pembahasan mengenai pendidikan agama Hindu, tidak akan bias dilepaskan dari konsepsi pendidikan secara umum. Menurut Muhibbin (1999:10) pendidikan dapat diartikan secara etimologis yaitu "Pendidikan berasal dari kata didik lalu mendapat awalan “me”, sehingga menjadi mendidik artinya memelihara dan memberi latihan diperlukan ajaranajaran, tuntunan, pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran" Jadi pendidikan tidak hanya menekankan kecerdasan pikiran atau intelegensi semata, tetapi lebih dari itu yakni perubahan tingkah laku melalui pengalaman-pengalaman belajar yang diberikan. Sedangkan menurut Ngalim Purwanto (1998:11) pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Ngalim menegaskan pendidikan sebenarnya berlaku dalam pergaulan antara orang dewasa dan anak. Pergaulan antara orang dewasa tidaklah dapat disebut pergaulan dalam proses pendidikan, sebab di dalam pergaulan itu orang dewasa menerima dan bertanggung jawab sendiri terhadap apa yang terdapat dalam pergaulan itu. Demikian pula halnya dengan pergaulan antara anak-anak dan anak-anak tidak dapat dikatakan pergaulan dalam proses pendidikan, walaupun sering terlihat dalam pergaulan antara anak PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 134 tersebut, seorang anak yang menonjol mampu mempengaruhi anak-anak lainnya akan tetapi kekuasaan yang ada pada akan terhadap temantemannya itu tidak bersifat kekuasaan pendidikan karena kekuasaan itu tidak tertuju pada suatu tujuan pendidikan secara disadarinya atau tidak dilakukan dengan sengaja. Pendidikan sangat memegang peranan penting dalam kehidupan serta dapat menjamin perkembangan dan kelangsungan suatu bangsa. Pendidikan adalah usaha yang sengaja diadakan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk membantu anak yang dalam perkembangannya mencapai kedewasaan, proses pendidikan bersifat formal, informal dan non formal. Dalam kaitannya dengan Pendidikan Agama Hindu, Punyatmaja, (1994:12) menegaskan bahwa pendidikan agama Hindu memberikan tuntunan dalam menempuh kehidupan dan mendidik masyarakat, bagaimana hendaknya berpendirian, berbuat atau bertingkah laku supaya tidak bertentangan dengan dharma, budi pekerti, etika dan agama. Agama dapat menyempurnakan manusia dalam meningkatkan hidup baik secara material maupun spiritual. Pendidikan agama Hindu merupakan kaidah-kaidah atau normanorma yang menuntun manusia untuk selalu berbuat baik demi tercapainya hidup rukun secara damai dan membentuk manusia yang mulai serta selalu astiti bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan penuh pengabdian dan pengorbanan yang sesuai dengan ajaran agama Hindu. Pendidikan agama Hindu merupakan suatu ajaran mengenai pendidikan moral yang dibimbing menurut petunjuk ajaran agama berfungsi sebagai faktor pengamatan yang akan menjadi keselamatan seseorang. Jadi pendidikan agama itu tidak lain dari pada bimbingan atau tuntunan yang diberikan pada seseorang untuk menunjukkan perkembangan budi pekerti dalam menanamkan rasa cinta kepada ajaran agama dan mau berbuat sesuai dengan ajaran agama. Materi ajaran Agama Hindu adalah bersumber dari Weda. Apa yang dicantumkan sesuai dengan kutipan sloka dari Sarasamuçcaya 40 yang berbunyi sebagai berikut : Kunang kangêtakena, sāsing kājar de Sang Hyang çruti dharma ngaranika, ācāranika sang ista, dharma ra ngaranika, çista ngaran Sang Hyang satyawādī, sāng āpta, sang patirthan, sang panadahan upadeça sang kşepa ika katiga, dharma ngaranira Terjemahannya: Adapun yang patut diingat-ingat semua apa yang diajarkan oleh sruti disebut dharma, semua itu diajarkan srutipun dharma namanya, yang disebut cista adalah berkata-kata benar orang yang dipercaya, orang yang menjadi tempat ajaran kerohanian singkatnya ketiga itu dharmanya (Kadjeng, 2003:22). Berdasarkan kutipan sloka di atas, maka dapatlah dilihat materi pokok dari ajaran agama Hindu, sehingga dapatlah dikatakan bahwa pendidikan agama Hindu merupakan suatu upaya untuk membina pertumbuhan dan perkembangan jiwa. sesuai dengan ajaran-ajaran agama Hindu. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 135 2.2 Efektivitas Pola Interaksi dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Hindu di Sekolah Pola yang diterapkan dalam interaksi belajar mengajar merupakan salah satu upaya mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan tidak akan tercapai bila interaksi belajar mengajar tak pernah berlangsung dalam pendidikan. Guru dan siswa merupakan dua unsur penting yang terlibat langsung dalam pendidikan. Interaksi yang dilakukan bagi guru sedapat mungkin menggunakan pola-pola yang bervariasi. 2.2.1 Pola Guru-Anak Didik Pola ini disebut komunikasi sebagai aksi (satu arah). Komunikasi sebagai aksi atau komunikasi sebagai arah menempatkan guru sebagai aksi dan menempatkan anak didik sebagai penerima aksi. Guru aktif dan anak didik pasif. Dalam pola seperti ini guru menggunakan satu metode yaitu metode ceramah. Metode ceramah adalah suatu metode di dalam pendidikan dan pengajaran dimana cara penyampaian pengertianpengertian materi pelajaran kepada anak didik dilaksanakan dengan lisan oleh guru di dalam kelas. Peranan guru atau murid berbeda secara jelas, yaitu guru terutama dalam menuturkan dan menerangkan secara aktif, sedangkan murid atau siswa mendengarkan dan mengikuti secara cermat serta membuat catatan tentang pokok persoalan yang di terangkan oleh guru. Guru dalam menjelaskan materi pelajaran harus melihat atau memahami sub pokok bahasan yang akan dijelaskan. Dengan demikian metode yang digunakan juga tepat, sehingga hasil belajar dapat tercapai. Dalam proses penjelasan materi ini sudah tentu akan terdapat suatu interaksi atau komunikasi yang terjalin antara guru dan siswa sebab tanpa adanya suatu interaksi atau komunikasi yang baik maka keberhasilan belajar akan sulit untuk dicapai. Metode ceramah dapat dilakukan oleh guru menurut Yamin, (2007:140): a. Untuk memberikan pengarahan, petunjuk diawal pembelajaran. b. Waktu terbatas, sedangkat meteri atau informasi banyak yang akan disampaikan c. Lembaga pendidikan sedikit memiliki staf pengajar, sedangkan jumlah siswa banyak. Keterbatasan metode ceramah sebagai berikut : a. Keberhasilan siswa tidak terukur b. Perhatian dan motifasi siswa sulit diukur c. Peran serta siswa dalam pelajaran rendah d. Materi kurang terfokus e. Pembicaraan sering terlantur. 2.2.2 Pola Guru-Anak Didik-Anak Didik-Guru Dalam pola ini adanya suatu balikan (feed back) bagi guru, tidak ada interaksi antar siswa (komunikasi sebagai interaksi). Komunikasi sebagai interaksi atau komunikasi dua arah, guru berperan sebagai pemberi aksi atau penerima aksi dan sebaliknya anak didik bisa sebagi penerima aksi atau pemberi aksi. Dalam interaksi ini seorang guru menggunakan metode ceramah dan tanya jawab. Metode tanya jawab adalah suatu metode di dalam pendidikan dan pengajaran guru bertanya sedangkan para siswa menjawab tentang bahan PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 136 meteri yang inguin diproleh. Atau sebaliknya siswa mengajukan pertanyaan kepada guru dari penjelasan materi yang belum dimengerti oleh siswa dan guru memberikan ulasan atau penjelasan sebagai jawaban pertanyaan tadi. Metode tanya jawab dapat dinilai sebagai metode yang tepat menurut Yamin, (142-143), apabila pelaksanaannya ditujuankan untuk: a. Meninjau ulang pelajaran atua ceramah yang lalu, agar siswa memusatkan lagi perhatian pada jenis dan jumlah kemajuan yang telah ducapai sehingga dia dapat melanjutkan pelajaran. b. Menyelingi pembicaraan agar tetap mendapatkan perhatian siswa, atau dengan pendekatan lain untuk mengikuti sertakan mereka. c. Mengarahkan pengamatan dan pemikiran mereka. Metode tanya jawab tidak wajar digunakan untuk : a. Menilai kemajuan peserta didik. b. Mencari jawaban dari siswa, tetapi membatasi jawaban yang dapat diterima c. memberi giliran pada siswa tertentu Kebaikan metode tanya jawab adalah : a. Tanya jawab dapat memperoleh sambutan yang lebih aktif bila dibandingkan dengan metode ceramah yang bersifat menolong b. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapat sehingga nampak mana, yang belum jelas autau belum dimengerti. c. Mengetahui perbedaan-perbedaan pendapat yang ada, yang dapat dibawa ke arah suatu diskusi.. Kelemahan dari metode tanya jawab bisa menimbulkan penyimpangan dan pokok persoalan. Lebih-lebih jika kelompok siswa memberi jawaban atau mengajukan yang dapat menimbulkan masalah baru dan menyimpang dari pokok persoalan. 2.2.3 Pola Guru-Anak Didik- Anak Didik Dalam pola ini adalah kebalikan bagi guru, anak didik saling belajar satu sama lain. Komunikasi tidak hanya terjadi antara guru dan anak didik. Anak didik dituntut lebih aktif dari pada guru, serta guru dapat berfungsi sebagai sumber belajar bagi anak didik. Dalam hal ini guru menggunakan metode diskusi. Metode diskusi adalah suatu kegiatam kelompok dalam memecahkan masalah untuk mengambil kesimpulan. Menurut Moh. Yamin (2007:144) menyatakan metode diskusi menyatakan interaksi antar siswa atau siswa dengan guru untuk menganalisis, memecahkan masalah, menggali atau memperdebatkan topic atau permasalahan tertentu. Diskusi selalu diarahkan pada pemecahan masalah yang menimbulkan berbagai macam pendapat dan akhirnya diambil suatu kesimpulan yang dapat diterma oleh anggota kelompoknya. Jadi guru disini sebagai pemberi ide dan gagasan permasalahan (bahan diskusi) sedangkan siswa sebagai pencari jalan keluar dari bahan diskusi tersebut. Menurut Yamin, (2007:144-146) Metode diskusi ini digunakan apabila: a. Menyediakan bahan, topic, atau masalah yang akan didiskusikan, b. Menyebutkan bahan-bahan yang akan dibahas atau memberikan studi khusus kepada siswa sebelum menyelenggarakan diskusi. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 137 c. Menugaskan siswa untuk menjelaskan, menganalisis, dan meringkas. d. Membingbing diskusi tidak memberi ceranah e. Sabar terhadap kelompok yang lamban mendiskusikan. f. Waspada terhadap kelompok yang kebingbangan atau berjalan dengan tidak menentut. g. Melatih siswa dalam menghargai pendapat orang lain. Metode diskusi ini tepat digunakan apabila : a. Siswa berada di tahap menengah atau tahap akhir proses belajar. b. Pelajaran pormal atau magang. c. Perluasan pengetahuan yang dikuasai siswa d. Belajar mengidenfikasi dan memecahkan masalah serta mengambil keputusan e. Membiasakan siswa dihadapkan dengan berbagai pendekatan, interprestasi, dan berbagai kepribadian. f. Menghadapi masalah secara berkelompok g. Membiasakan siswa untuk beragumentasi dan berfikir rasional. Metode diskusi memiliki keterbatasan sebagai berikut : a. Menyita waktu lama dan julah siswa sedikit b. Mempersyaratkan siswa mempunyai latar belakang yang cukup tentang topic atau pun masalah yang didiskusikan. c. Metode ini tidak tepat digunakan pada tahap awal proses belajar bila siswa baru dikenalkan kepada bahan pelajaran yang baru d. Apatis bagi siswa yang tidak biasa bicara dalam pormal. 2.2.4 Pola Guru-Anak Didik, Anak Didik-Guru, Anak Didik-Anak Didik Dalam pola ini interaksi optimal antar guru dan anak didik dan antar anak didik dengan anak didik. Setiap anak didik dalam pola ini mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya terhadap masalah yang disampaikan oleh guru, begitu juga antara anak didik dengan anak didik yang lainya. Dalam interaksi seperti ini guru menggunakan metode campuran atau metode gabungan, yaitu antara metode ceramah, tanya jawab, dan diskusi. Interaksi menggunkan metode campuran atau metode gabungan bagi siswa ternyata menunjukan hasil yang baik. Hal ini dapat dilihat dari diskusi kelompok, baik penilaian mengenai afektif, kognetif, maupun psikomotornya, menunjukan bahwa para siswa dalam proses belajar mengajar lebih aktif dalam mengembangkan cara belajarnya. Melalui metode ini para siswa ditutut lebih mandiri, sedangkan guru berperan sebagai pembingbing dalam kegiatan pembelajaran. Metode campuran atau metode gabungan dapat dilakukan oleh guru : a. Untuk memberikan gambaran, petunjuk diawal pembelajaran. b. Meninjau ulang pelajran ceramah yang lalu, agar siswa memusatkan lagi perhatian pada jenis dan jumlah kemajuan yang telah dicapai sehingga mereka dapat melanjutkan pelajaannya. c. Menyediakan bahan, topic atau masalah yang akan didiskusikan d. Melatih siswa dalam menghargai pendapat orang lain. Keterbatasan metode campuran atau metode gabungan sebagai berikut : PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 138 a. b. c. d. e. Keberhasilan siswa tidak terukur. Perhatian dan motivasi siswa sulit diukur Peran serta siswa dalam pelajaran rendah Menyita waktu lama dan jumlah siswa sedikit Metode diskusi tidak tepat pada tahap awal proses belajar bila siswa baru diperkenalkan pada bahan pelajaran baru. Kebaikan metode campuran atau metode gabungan yaitu : a. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapat sehingga nampak nama yang belum jelas atau dimengerti. b. Mengetahui perbedaan-perbedaan pendapat yang ada, yang dapat dibawa kearah suatu diskusi. Penjelasan tersebut untuk mempermudah pengertian mengenai metode gabungan ini dapat dilihat dari interaksi guru dan siswa, dan siswa dengan siswa. Penerapan pembelajaran Agama Hindu di Sekolah jika dilihat dari sudut pandang teori kontruktivistik tampaknya perlu dikembangkan lebih mendalam tujuannya agar penerapan pendidikan Agama Hindu sejak dini dapat memberikan pengetahuan bermakna kepada setiap peserta didik. Pengetahuan bermakna yang muncul sebagai akibat dari proses belajar perlu ditanamkan kepada peserta didik agar anak tersebut berada disekolah. Hal itu disebabkan oleh pemilihan model pembelajaran yang tepat memungkinkan untuk tumbuhnya sikap kritis, dan kreatif, inovatif dan dinamis pada peserta didik dengan menerapkan model pembiasaan yakni pemahaman proses pembelajaran dengan menyeimbangkan aspek pengetahuan dan aspek sikap keberagamaan peserta didik secara nyata. Guru dalam belajar kontruktivistik berperan sebagai seorang yang berperan memberdayakan seluruh potensi siswa agar siswa mampu melaksanakan proses pembelajaran dan berusaha memberdayakan seluruh potensi dan sarana yang dapat membantu siswa untuk membentuk pengetahuan sendiri. Pendidikan Agama Hindu yang diselenggarakan di sekolah, diharapkan mampu menumbuhkan pengetahuan bermakna dalam proses pembelajaran yakni belajar yang dilakukan berdasarkan pengalaman langsung yang dilakukan oleh peserta didik. III KESIMPULAN Peningkatan mutu pendidikan Agama Hindu tidak lepas dari peranan guru yang profesional pula, Sebab itu, menghargai dan sekaligus memberdayakan guru Agama Hindu dalam konteks reformasi pendidikan adalah wajib hukumnya. Sebab profesional guru Agama Hindu merupakan hal paling utama bagi keberhasilan suatu sistem pendidikan. Menghargai dan memberdayakan guru agama Hindu harus sesuai dengan prestasi yang dicapainya. Pola interaksi dalam pembelajaran pendidikan Agama Hindu di sekolah merupakan salah satu upaya mencapai tujuan pendidikan. Pola yang dapat diterapkan adalah: pola guru-anak didik (interaksi satu arah). pola guru- anak didik, anak didik- guru (feed back). pola guru-anak didikanak didik (anak didik saling belajar satu sama lain). PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 139 DAFTAR PUSTAKA Kadjeng, I N. (2003). Sārasamuccaya, Surabaya: Paramita Muhibbin, S. (1999). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Ngalim Purwanto (1998). Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya Punyatmaja, I. B. O. (1994). Cilakrama. Denpasar: Upada sastra Sudharta, T. R. (2001). Ajaran Moral Dalam Bhagawadgita. Surabaya: Paramitha Yamin, M. (2007). Profesionalisasi Guru & Implementasi KTSP. Jakarta: Gaung Persada Press. 140 PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | REVITALISASI PENDIDIKAN REMAJA HINDU DARI KUTUB ENTROPI (TRSNA) MENUJU NEGENTROPI (LANGÖ) Oleh I Putu Suweka Oka Sugiharta I. Pendahuluan Perkembangan pendidikan kehinduan di Indonesia mengalami ketersendatan selama beberapa dekade sehingga sangat sulit dilacak metode pengajaran yang dipergunakan pada masa lampau. Banyak situs pertapaan yang diperkirakan bercorak kehinduan ditemukan pada beberapa tempat namun sayangnya sangat sulit dirunut jejak-jejak keluhurannya. Para arkeolog maupun ahli-ahli yang berkaitan dengan bidang ini telah berupaya mengemukakan banyak argumen, namun terlihat hanya sebagai lemparan spekulasi mentah yang tidak bisa dipastikan validitasnya. Prof. Dr. I Made Titib, Ph.D dalam salah satu makalahnya malah membuat semacam saran agar diadakan penelitian mengenai sistem pendidikan Hindu kuno. Bahkan beliau menyebutkan bila belum ada satupun penelitian yang mengkaji mengenai pola pendidikan yang berlaku dalam katyagan atau situs pertapaan. Beruntung seorang arkeolog Universitas Udayana Ni Ketut Puji Astiti Laksmi sedang menyusun disertasi tentang bentuk dan pola interaksi yang terjadi dalam situs-situs pertapaan kuno dari perspektif epigrafis yang hasilnya tentu sangat dinantikan oleh para praktisi dan pemerhati pendidikan Hindu. Memang harus diakui bila di Bali terdapat beberapa parampara yang menyebut keberadaannya sebagai penjaga warisan pola pembelajaran Hindu Kuno namun sumber-sumber epigrafis yang dimiliki belum dapat menghilangkan missink link yang terjadi dalam pelacakan sisasisa pola pendidikan Hindu Kuno bahkan diantaranya hanya mempercayai semacam mitologi yang dilisankan sesepuhnya. II. Pembahasan Penyair Kālidāsa dalam karyanya Raghuvaṁsa yang diperkirakan ditulis pada abad VII Masehi pada sloka 6.57 menceritakan kehadiran Raja Hemangada dari negeri Kalingga yang dipastikan terletak di Jawa pada Acara pemilihan suami untuk putri Indumati. Dapatlah diduga bila pendidikan Hindu (Veda) ala India sangat mempengaruhi pola pendidikan di Indonesia, bahkan tidak menutup kemungkian terjadi kerjasama diantara keduanya. Kendatipun ada kemiripan namun tidaklah secara serampangan dapat diasamakan antara katyagan-katyagan yang ada di Nusantara dengan Veda Sakha di India. Beberapa ahli menduga kekaburan terjadi manakala Majapahit runtuh sistem pendidikan Hindu beralih dijiwai oleh ajaran Islam menjadi Pesantren pertama di Pulau Jawa yang diperkirakan berada di daerah Ponorogo. Semenjak itulah eksistensi pendidikan generasi-generasi muda Hindu dipertaruhkan yang kemudian menjadi jauh berbeda dengan nasib yang dialami generasi-generasi muda dari agama lain. Lombard, (2000:116) menulis : Semenjak tahun 1900 pemuda-pemuda yang diperkenankan kuliah pada universitas-universitas di Negeri Belanda bertambah, hal ini merupakan kabar gembira bagi bangsa Indonesia karena pemudaPROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 141 pemuda inilah yang selanjutnya mendirikan Indische Vereniging (perhimpunan Indonesia) tahun 1908 dan perhimpunan Indonesia (1922). Pemuda-pemuda yang semenjak usia dini dididik dengan cara yang benar semenjak di kampong halamannya, meskipun kemudian belajar di tanah air penjajah tetap memiliki moralitas yang mengagumkan yakni loyalitas kepada Negaranya walaupun pada masa itu secara formal belum berdiri suatu negara. Akibat lain dari lama berada di universitas-universitas Belanda adalah para Priyayi muda Jawa menjadi dekat dengan sesama mahasiswa dari daerahdaerah Nusantara lainnya, terutama mahasiswa-mahasiswa dari Tanah Minangkabau yang beberapa diantaranya kelak menjadi Mashyur seperti Agus Salim dan Mohammad Hatta Sialnya kabar gembira yang disebutkan Lombard kurang berlaku bagi pemuda-pemuda Hindu terutama yang berdiam di Bali karena sangat sulit untuk memperoleh akses pendidikan yang mempengaruhi pula tingkat keterdidikannya yang harus diakui diwarisi hingga kini. Memang lembagalembaga pendidikan non formal lokal masih bisa memberikan pendidikan keagamaan, namun dimonopoli oleh satu golongan dan golongan lain seakan sengaja dibodohkan. Fenomena itu terlihat dari pelaksanaan ritual keagamaan seperti yang ditulis Clifford Geertz. Greetz menggambarkan kerajaan-kerajaan di Bali pada abad ke-19 sebagai “Negara Teater” karena ritual yang ditekankan oleh penguasa (raja) dengan mengerahkan masa dapat dikatakan sebagai bangunan negara. Jadi, Upacara besar-besaran dan ritual missal menjadi simbolisasi negara. Menurut Geertz, negara teater merupakan kedudukan raja dan pangeran adalah impresario, pendeta adalah sutradara, dan petani adalah pemeran pembantu, awak panggung, dan penonton. (Trisila, dkk, 2012:47-48). Akibat keterbelakangan dalam bidang pendidikan banyak remaja Hindu yang melanggar ajaran Catur Asrama. Aernoudt Lintgenzoon dalam catatan perjalanannya yang diterbitkan pada pertengahan abad XIX menuliskan bahwa ketika Raja Bali menanyakan usianya dan rombongannya, Lintgenzoon menjelaskan antara 20 hingga 30 tahun. Raja kembali bertanya apakah anggota rombongan telah berkeluarga, Lintgenzoon menambahkan penjelasannya bila anggota rombongan belum berkeluarga karena aturan negara yang melarang pernikahan di bawah 26 tahun. Penjelasan Lintgenzoon membuat raja kagum dan menceritakan jika di Pulau Baelle (Bali) pria boleh menikah pada usia 12 tahun serta 9 tahun bagi wanita. Mengingat pahitnya sejarah pendidikan Hindu setelah keruntuhan majapahit maka hendaknya revitalisasi pendidikan Hindu harus dijiwai oleh keindahan. Hindu dikenal sebagai agama yang fleksibel, namun kefleksibelam itu harus dijiwai oleh spirit keindahan agar tidak berujung pada friksi. Keindahan dalam karya sastra berbahasa Jawa kuno seringkali diwakili oleh kata langö atau kalangwan. Seorang pujangga yang identik dengan tingginya kualifkasi kesuciannya dalam mahbahang sang hyang sastra (menjabarkan keutamaan sastra) juga dikenal sebagai sang angdon langö, sang alanglang kalangwan (pencari, penjelajah keindahan). Keindahan (langö) lazimnya diidentikkan dengan cinta seperti yang tersurat dalam Lontar Kidung Gambang Gita Gegrantangan : PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 142 Rakryan sang sāksat hajöng tānuriden kawi bhranti rāga kinumwang ing masa kartika mangun hyun-hyun bhramitāmangö raśmi ning asangwa lèpihan lamlami atingkah hayon tānūsukṣma ring sakalangon pamiśra ning imāsmu riris lwir wenin tāmangun arṣa hriti mar maran ta nūkṣmeng rum rum ning patèr aktèr i dukliyan matra lon bangun larap ning taṭit angdapin imālimunan liringangde arsa Terjemahan : Duhai Juwitaku, kau bagaikan dewi keindahan yang memikat para penyair hingga mabuk asmara. Kau disamut dan dipuja dalam keindahan bulan kapat. Kau membangkikan kegelisahan hati para pujangga unuk menggubah keindahan. Dengan berbekal alat tulis, sang pujangga hanyut dalam ibadat keindahan, menyatu dalam segala keindahan, bersatu dengan kabut dan hujan gerimis. Rambut kepangmu membangkitkan nafsu asmara, bagaikan mengajak kita saling berdekatan, menyusup ke dalam keindahan Guntur yang bergemuruh di ufuk barat. Suaranya terdengar sayup-sayup membangunkan pijakan petir, berkedip menjilat kabut. Lirikan matamu membangkitkan nafsu asmara (Rai, 2011:47). Dalam Kakawin Rāmāyaṇa juga dinyatakan perpaduan antara Asrama yang indah, kerinduan kepada kekasih, dan kesenangan lainnya namun semuanya bermuara pada keseimbangan antara kesenangan dan ketidaksenangan (parama sukha) : sakwehniṅ osadhi anuṅ tinanĕm mahārsi māri n nanā saphala dibya parĕṅ ya mawwah poh ambawaṅ wawaṅ atöb ya kabeh umĕṇḍuh lwirnyān katon kadi sumĕmbahakĕn phalanya (Kakawin Rāmāyaṇa II.28) Terjemahan : Segala obat-obatan yang ditanam (oleh) mahārṣi, tak lagi rusak, dengan buah, mulia sama-sama berbuah. Mangga, bacang, sekonyong-konyong bagus tumbuhnya, semua berbuah banyak. Supanya (jika) dilihat, seperti mempersembahkan buahnya (Poerbatjaraka, 2010:79-80) Wiku paṅḍita Vedapāraga Umahas māmĕṅ riṅ āçrama (Kakawin Rāmāyaṇa IV.19) Terjemahan : Wiku pendeta ahli Veda, kian kemari menghubur-hubur di āçrama (Poerbatjaraka, 2010:158) Patapan ri samīpaniṅ gunuṅ (Kakawin Rāmāyaṇa IV.22) Terjemahan : Pertapaan di samping bukit (Poerbatjaraka, 2010:159) Aneka panamuy mahārsi mĕtu saṅka riṅ yoga ya Amogha manurun manojña kayu pārijātād bhuta Asiṅ sakaharĕp samenaka pawehniraṅ paṇḍita Aho saphalaniṅ tapātiçaya sarwakāmaprada (Kakawin Rāmāyaṇa III.38) Terjemahan : Berwarna-warna penjamu mahārsi, yang keluar dari keramat. Tiba-tiba turun pohon Pārijāta (yang) indah (dan) ajaib. Segala apa kehendak, samaPROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 143 sama enak, ialah pemberian sang pendeta. Aduh! Manfaatnya tapa, sangat memberi kesenangan (Poerbatjaraka, 2010:124-125) Salawasnira r-uṅgu riṅ alas Tamatan len inaṅĕnn-aṅĕnnira Suka-duhkaniraṅ mahāmuni Ya cinittā winiweka riṅ hati (Kakawin Rāmāyaṇa IV.23) Terjemahan : Selama beliau (Rāma) bertempat di hutan, tidak ada lain (yang) dianganangannya, (lain dari pada) senang (dan) susah sang mahāmuni, (tak perduli dengan kesusahan sendiri). Itulah (yang) diperhatikan, diselidiki di dalam hati. (Poerbatjaraka, 2010:159) Nya kunĕṅ kathā carita pūrwakāla ya Irikaṅ purāṇa aji parwa kāṇḍa len Mapasah gĕlāna rasa mātya tambayan Wĕkasan mapaṅguh adulur lawan sĕnĕṅ (Kakawin Rāmāyaṇa VIII. 380) Terjemahan : Inilah gerangan hikayat, cerita zaman dulu. Di dalam kitab, parimbon, babad dan lakon, (diceritakan) (seorang yang) berpisah, gulana, seperti hendak mati rasanya pada permulaannya, (tetapi) akhirnya bertemu (pula) kumpul dengan kasihnya (Poerbatjaraka, 2010:380) Nya ta ya ṅ paṅann inum anekawarṇa ya Kadi tāmaṅan wiṣa pasuknya riṅ gulū ikanaṅ kulĕm kĕlu rikaṅ palaṅka len kadi paṅjarekana diḍĕpkw alah makuṅ (Kakawin Rāmāyaṇa VIII.153) Terjemahan : Itulah barang makanan dan minuman beranekawarna, tetapi masuknya dalam leher sebagai orang makan racun lah. Dan pada waktu malam tidur di peraduan, tetapi rasaku sebagai di penjara, sangat sedih (Poerbatjaraka, 2010: 381) Baribin manahku mulatin sĕkar marūm Suka tāpuluṅ jĕnu sugandha utkaṭa Paḍa maṇlareki sahananya nirguna Magawe prapaṅca ya maweh unĕṅ magöṅ (Kakawin Rāmāyaṇa VIII. 154) Terjemahan : Tertanggu hatiku melihat bunga harum. (Memangnya) senang lah berlumur boreh yang semerbak enak baunya. (tetapi) semua itu membuat sedih, tak ada gunanya, menimbulkan gelisah, memberi rindu besar (Poerbatjaraka, 2010:382) Nya ta len mawoh unĕṅ atīta maṅlare Wiṇarāwahasta maṇuyūyu riṅ kulĕm kiniduṅnya taṅ priyawiyoga suswara Rumarap ta luhku rumĕṅö ya kāsrĕpan (Kakawin Rāmāyaṇa VIII.167 ) PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 144 Terjemahan : Itulah yang pula yang memberi rindu sangat menyakiti (hati), swara kecapi yang menguju-uju pada malam hari, yang dinyanyikan ialah perpisahan kasih dengan suara merdu. Bertitik lah air mataku mendengarnya, terharu (Poerbatjaraka, 2010:385) Umirir tikāṅ aṅin atīs mawor hrĕbuk Mapanas hiḍĕpku riya mimbuhīṅ unĕṅ Kumĕlab hatiṅku rumĕṅö gĕrĕh malon Tumibāṅ hudan kadi ya medi lot huwuṅ (Kakawin Rāmāyaṇa VIII.170) Terjemahan : Meniup anginnya dingin bercampur dengan tepung sari, (tetapi) panas rasaku terhadapnya, menambahi rindu. Terkejut kalbuku mendengar guruh perlahan. Hujannya jatuh sebagai menggoda, selalu riuh (Poerbatjaraka, 2010:386) ya tika dumeh kitāmriha mabuddhya ya laṇḍepana Wiṣaya ta tāryakĕn martan agoṅ ta hayunta lanā Atiçaya cañcalekanaṅ inak kṣaṇamātra hilaṅ Ya ta kĕmitĕn prihĕnta gawayĕn taṅ upāya huwus (Kakawin Rāmāyaṇa V.12) Terjemahan : Itulah makanya kamu harus berusaha, harus membudi, harus menajami (pikiran). Tinggal(kan) lah kesenangan, supaya selalu besar keselamatanmu. Sangat tak teguh (lah) kebahagiaan itu, sebentar saja (bisa) hilang. Itulah (sebabnya kebahagiaan itu) harus dijaga, diusahakan, kerjakanlah, lekas (Poerbatjaraka, 2010:186). Sasaran pendidikan Hindu adalah generasi-generasi muda yang lekat dengan fase percintaan. Keadaan alamiah yang terjadi akibat dorongan hormon-hormon seksual tidak boleh dieliminasi secara ketat dengan kenaifan. Ambivalensi antara keinginan untuk menyalurkan dorongandorongan seksual dengan keharusan untuk mentaati aturan-aturan yang berlaku pra pernikahan menyebabkan kebimbangan dalam diri remaja. Seperti sebuah kasus yang dicontohkan Sarwono (2013:172) : Sepasang remaja, Lela Suhala (13) dan Indra Gunawan (17) yang tengah dimabuk asmara mengakhiri hidup mereka dengan merebahkan diri dan berpelukan di atas rel saat kereta rel listrik melaju cepat dari Jakarta menuju Bogor, kamis malam hingga keduanya tewas seketika. “Selamat Tinggal Mah, jangan menangis yah1” tulis Indra pada sepucuk surat yang ditinggalkan dalam saku kemeja untuk ibunya. Ia juga menulis, perbuatan nekadnya itu terpaksa dilakukan sematamata untuk menutupi aib orang tuanya karena ia bersama pacarnya telah berbuat yang mestinya belum waktunya mereka lakukan. Sepasang kekasih dalam contoh kasus tersebut dipastikan tidak bisa memilih antara keinginan untuk selalu bersama kekasihnya beserta dorongan untuk menyerahkan diri secara utuh dengan dorongan untuk menuruti ajaran agama. Keduanya dianggap berharga, baik cinta kepada pasangannya maupun cinta kepada ajaran agamanya. Bila tidak menjalin PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 145 cinta yang belum saatnya merasa bersalah kepada sang kekasih, jika dilakukan merasa berdosa kepada Tuhan dan keluarganya. Manakala ada salah satu yang telah dicederai maka merasa tidak ada lagi rasa aman dalam hidupnya. Tantangan pendidikan Hindu adalah berusaha sekuat tenaga menyeimbangkan rasa cinta material dengan keindahan universal bahkan spiritual. Kesalahan memposisikan langö dalam ikatan nafsu dan materi menimbulkan bentukan baru berupa tresna seperti yang dinyatakan dalam Sārasamuccaya 449 : Apan kami mangke, tonenta nirun kami, kinawaṣakĕning trsnā, inahasakĕn winawanya ring kadohan kami, parĕk nikang bhoga katon manginginingin ri kami sarisāri tātan hana pahi mami lawan ikang wedus, ininginingin ri dukut sāgĕm tumūt ta ya manggāngalor angidul Terjemahan : Hendaklah anda memperhatikan hamba selaku contoh; hamba dikuasai oleh tresna, disiksa, dibawanya hamba dikejauhan, kemudian didekatkan kepada makanan yang sekedar dapat dilihat, sehingga menimbulkan keinginan yang tidak henti-hentinya, keadaan hamba ini tidak ada bedanya dengan seekor kambing, yang diusahakan agar ingin akan rumput segenggam, yang menyebabkan ia mau menurut ke utara dan ke selatan (Kadjeng, 1997:349-350) Dalam Kitab Natyaśāstra dinyatakan 9 macam rasa yakni : a. Sṛnghara, yaitu rasa cinta b. Hasya, yaitu rasa bangga c. Karuna yaitu rasa sedih d. Raudra yaitu rasa marah e. Wira yaitu rasa bertenaga f. Bhayanaka yaitu rasa bahaya g. Bhibatsa yaitu rasa menjijikan h. Adbhuta yaitu rasa terperanjat i. Santa yaitu puncak dari rasa kebebasan (Yudabakti dan Watra, 2007:22-23) Rasa cinta (Sṛnghara) merupakan salah satu rasa yang perlu diolah untuk mencapai santa rasa sebagai puncak langö. Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohani para remaja, maka agama para remaja berkaitan dengan perkembangan itu. Dalam Tutur Rare Angon dijelaskan tentang perkembangan aspek keagamaan pada remaja sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak : Ri sampune aketus untu ikang rare, citaning rare kahanan budi satwa rajah tamah, yogya uruk mangaji, mwah yogya matepong karma, manurut gama Siwa Buda, mangkana katatwanya, lingning ji Tatwa Iswara Paridana Ri sampuning tutuging daha, kahanan brahmatya, hana pangupakaranya, tegesipun pamarisudan kaletuhan sang kahanan kabrahmatya, ling Aji Tatwa Anggastya. Ri sampun mayusa 16 tahun, hana upakaranya, nga. Matatah, amotong untu, tegesipun ninggalang malaning untu, malaning carma, malaning rambut, mwah i nyama Catur sanak, kinenan palukatan, kaping rwaning pangupakara, amuja smara ratih, anamtami kayowanan, mangkana katatwanya, lingning Aji Tatwa Jarayutantra PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 146 Terjemahan : Setelah bocah itu tanggal gigi susunya (maketus Bhs.Bali), pribadi bocah itu sudah kemasukan : satwa (kejujuran), rajah (kegelapan) dan tamah (kelobaan). Sudah sepatutnya memulai belajar ilmu pengetahuan, juga bertusuk telinga, sesuai dengan ajaran Siwa Budha, demikian uraiannya, sesuai dengan isi Tatwa Aji Iswara Paridana. Setelah akil balik, sudah kemasukan jiwa pancaroba (brahmatya), ada sejenis upakara/ Upacaranya, yang berarti atau bermakna pembersihan atau ruwatan terhadap kecemaran akibat mengalami brahmatya (panca roba) tersebut. Demikian menurut isi dari Aji Tatwa Anggastya. Setelah berusia 16 tahun, ada sejenis upakara berupa Upacara yang disebut dengan: matatah, lazim disebut dengan: Upacara Potong Gigi, yang bermakna membuang kekotoran serta kecemaran pada gigi, kekotoran serta kecemaran pada rambut. Demikian pula Sang Catur Sanak (saudara kita berempat), diberi ruwatan, selanjutnya upakara/ Upacaranya dengan memuja Sang Hyang Semara dan Sang Hyang Ratih, untuk membenahi usia muda (kayowanan). Demikian filsafatnya, sesuai dengan isi dari : Aji Tatwa Jarayutantra (Gautama, 2008:24-26) Dengan Landasan Langö Lembaga pendidikan Hindu dapat memenuhi hasrat generasi-generasi muda untuk mengecap keindahan secara holistik. Perlu pula disadarkan bila keinginan menikmati asmara hanya boleh dilakukan untuk melaksanakan salah satu Dharma sebagai manusia yakni Vivaha samskara. Umumnya latihan mengendalikan hasrat akan asmara tidak mudah dilakukan sehingga peserta didik masih tersesat dalam imajinasi tentang asmara yang terdeviasi. Karya-karya sastra Hindu banyak yang memuat hal-hal asmara yang membangkitkan perasaan trsna namun pada sisi lainnya pastilah diimbangi dengan oposisi biner atas cinta terhadap hal-hal duniawi. Manakala perasaan asmara dapat dihaluskan secara maknawi maka siswa akan mengerti bila masa mudanya tidak boleh mengalami penderitaan akibat perasaan asmara yang superficial. Hal ini dapat dilihat dalam Sarasamuccaya 27: Matangnya deyaning wwang, pengponganikang kayowanan, panedeng ning awak, sadhenakena ri karjaning Dharma, artha, jnana, kunang apan tan pada kasaktining atuha lawan rare, drstanta nahan yang alalang atuha, telas rumepa, marin alandep ika”. Terjemahan : Karenanya perilaku seseorang, hendaklah digunakan sebaik- baiknya masa muda, sebagai badan sedang kuatnya, hendaklah di pergunakan untuk usaha menuntut Dharma, artha dan ilmu pengetahuan, sebab tidak sama kekuatan orangtua dengan kekuatan anak muda; contohnya ialah seperti ilalang yang telah tua itu menjadi rebah, dan ujungnya itu tidak tajam lagi (Kadjeng dkk, 1997: 23-24) Masa percintaan yang dialami oleh remaja hendaknya diekplosikan sebagai rasa syukur dan kecintaan kepada Tuhan, bukan sebaliknya hanya PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 147 mencintai wujud-wujud fisik ciptaan yang tidak kekal. Langö sejati menuntun remaja untuk memahami keindahan secara lebih holistik, gairah untuk mengejar keindahan dilampiaskan untuk mengejar keindahan Tuhan yang lebih transcendent. Keindahan cinta tidak hanya dilampiaskan dengan asmara, namun juga dapat dilakukan dengan kegiatan lain yang lebih produktif seperti pemujaan, lembaga pendidikan keagamaan sangat berperan dalam upaya ini. Sarwono (2013:120) mencontohkan : Salah satu remaja putrid yang berkerudung setelah ikut dalam gerakan remaja masjid seperti itu adalah Umi. Tiga atau empat bulan setelah ia mengikuti pesantren kilat Ramadhan di salah satu masjid yang mempunyai gerakan remaja, Umi memutuskan bahwa sejak itu ia akan memakai kerudung. Sebagai konsekuensinya, ia harus menghentikan berbagai kegiatan yang selama ini digemarinya seperti berenang dan bermain bola basket (ia adalah pemain inti di tim basket sekolahnya), akakn tetapi ia ikhlas menerima konsekuensi ini. Ia merasa lebih tenang berpakaian seperti itu karena selama ini ia merasa kurang sekali mendapat arahan jika jika ia menghadapi masalah. Ayah dan ibunya kurang peduli pada masalah-masalah keagamaan. Sampai-sampai waktu Umi kebingungan untuk memilih antara dua kawan prianya Ronny atau Zul, orang tuanya sama sekali tidak tahu-menahu. Dalam kebingungan itulah Umi terlanjur berbuat sesuatu dengan Zul yang menyebabkan ia menyesal setengah mati dan tetap ia merasa enggan untuk meminta nasihat orang tuanya. Akhirnya, Umi mendapat tempat dan ketenangan di kelompok remaja masjid yang baru dimasukinya ini. III. Penutup Para pujangga zaman dahulu tidak naïf menolak cinta, namun menggunakan cinta sebagai inspirasi menulis puisi untuk dipersembahkan kepada penguasa keindahan seperti yang tersurat dalam Kidung Gambang Gita Gegrantangan : Tuhu-tuhwā nityasa hyun ri tan lung ning smarāngdum rāgi waśāningkah sāri mangduṣṭanapih śarāṇa kāpti ring apti sasmarā satmaka arṣā ngkwāsih-sihan saparatrā rūm nitya ngiringi Terjemahan : Aku berupaya menjauhi kenikmatan asmara dengan menyusun Kidung cinta. Aku memberanikan diri menggubah keindahan bunga. Aku mengenakan kain tapih sebagai sarana untuk mencapai harapan asmara. Ibaratnya aku hendak berkasih-kasihan memadu kasih sampai mati. Keindahan itu senantiasa menyertai diriku (Rai, 2011:48) Manusia lahir dan mendambakan keindahan yang terdapat dalam makanan, minuman, kasih sayang keluarga, dan sarana bermain. Ketika menginjak remaja bertambah lagi dambaan keindahan untuk mengecap asmara. Masa kedewasaan diwarnai dengan hasrat menikmati keindahan yang terkandung dalam keteraturan (cosmos), kearifan (wisdom), dan sebagainya. Kala menginjak masa tua manusia mendambakan keindahan akhirat yang supra abstrak. Sebagian besar orang belum terlalu berhasrat untuk mendambakan pendidikan yang indah dalam siklus hidupnya. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 148 Pendidikan cenderung diberikan jutaan prasangka akan muatan kapitalisme karena secara umum pendidikan akan diperoleh bila tersedia uang, seakan kualitasnya terdiferensiasi dalam harga-harga. Jadilah pendidikan seperti duri dalam daging, bila dibiarkan menyakitkan dan jika dikeluarkanpun harus disertai dengan luka. Generasi-generasi muda jika tidak bersekolah akan dipandang tertinggal dan terancam tidak bisa mempertahankan status sosial yang ditempatinya apalagi untuk melakukan social climbing. Sebaliknya jika pilihan bersekolah ditempuh penderitaan baru akan menanti yang diakibatkan oleh keharusan membayarkan sejumlah uang, bullying di lingkungan sekolah, kesulitan belajar, kesalahan memilih jurusan, dan sebagainya. Hanya pendidikan yang mampu merevitalisasi keindahan yang terkandung dalam dirinya seperti halnya jenis-jenis keindahan yang lain, agar fase menuntut ilmu tidak hanya diidentifikasi sebagai fase “bersakit-sakit”. Lembaga-lembaga pendidikan mampu menjadi semacam terapi yang kuratif, bukan candu yang patologik. Tatkala umat Hindu memilih menyekolahkan anaknya di lembaga-lembaga pendidikan berbasis Hindu daripada sekolah yang bernuansa kapitalis atau bahkan lembaga pendidikan yang terang-terangan berlabelkan non Hindu maka tandanya telah terjadi renaissance dalam dunia pendidikan Hindu. Sang Hyang Langö telah ditahtakan kembali pada pratama vidya hingga maha vidya Pasraman dengan Upacara guru piduka, harapannya kesalahan yang sama tidak terulang lagi. IV. Daftar Pustaka Kajeng, I Nyoman, dkk.1997.Sarasamuccaya.Surabaya:Paramita Lombard, Denys.2000.Nusa Jawa:Silang Budaya.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama Munandar, Agus Haris, dkk.2012.Seribu Tahun Wafatnya Prabu Udayana.Denpasar:Udayana University Press Poerbatjaraka, R.M.Ng.2010.Ramayana Djawa-Kuna.Jakarta:Perpustakaan Nasional RI Rai, Wayan,dkk.2011.Lontar Gambang Gita Gegrantangan.Denpasar:Istitut Seni Indonesia Sarwono, Sarlito W.2013.Psikologi Remaja.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Trisila, Slamat, dkk.2012.Denpasar Tempo Dulu.Denpasar:BPAD Kota Denpasar Yudabakti, I Made, Watra, I Wayan.2007.Filsafat Seni Sakral dalam Kebudayaan Bali.Surabaya:Paramita 149 PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | MEMBANGUN KEMATANGAN JIWA KEAGAMAAN GENERASI MUDA HINDU MELALUI PEMBELAJARAN ASTANGGA YOGA Oleh Ida Bagus Kade Yoga Pramana Abstrak Astangga Yoga merupakan suatu metode disiplin diri kuno yang sudah di terapkan dan masih dikenal hingga saat ini sebagai tren pola hidup sehat yang diakui di belahan penjuru dunia, bahkan yoga di beberapa daerah sudah menjadi mata pelajaran wajib dan melengkapi perkembangan pendidikan agama hindu di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa yoga diyakini dapat membangun kesehatan fisik maupun mental generasi muda hindu, khususnya kematangan jiwa keagamaan yang di miliki oleh anakanak dan remaja sebagai generasi penerus bangsa. Generasi muda hindu penting di tanamkan ajaran etika yoga yang sudah di susun dengan terstruktur oleh maharsi patanjali dalam konsep Astangga Yoga. Karena usia anak-anak dan remaja merupakan masa rentan pembentukan jiwa keagamaan. Kata Kunci : Astangga Yoga, Jiwa Keagamaan, Generasi Muda Hindu. I. Pendahuluan Salah satu naluri yang melekat pada diri manusia, adalah rasa ingin tahu. Manusia pada hakikatnya, selain disebut sebagai Homo erectus, manusia di sebut juga sebagai mahluk yang mencari jati dirinya atau di sebut dengan Homo viator. Hal ini di tunjukkan dengan sikap manusia yang pada perjalanan hidupnya selalu mencoba dan berusaha mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya, orang-orang di sekitarnya serta benda-benda yang ada di sekelilingnya dan adanya hubungan antara suatu situasi dengan situasi yang lain, antara peristiwa satu dengan peristiwa yang lainnya, dan sebagainya. Hingga naluri yang demikianlah yang banyak menunjang lahir dan berkembangnya Psikologi. Psikologi agama adalah cabang ilmu psikologi yang bertujuan mengembangkan pemahaman terhadap prilaku keagamaan dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari kajian terhadap perilaku. Dalam hal tersebut diperlukan suatu penumbuhan jiwa keberagamaan sejak dini untuk membentuk suatu generasi yang dapat memahami dan meningkatkan jiwa keberagamaannya sehingga berdampak terhadap perkembangan anak kearah yang positif. Sedangkan dalam ajaran agama hindu yoga merupakan ajaran kuno yang menekannkan disiplin diri dalam membentuk tidak hanya jiwa tetapi juga sikap, fisik maupun pikiran manusia. Yoga berasal dari suku kata “yuj” yang memiliki menyatukan atau menghubungkan diri dengan Tuhan. Swami Satya Nanda Saraswati (2002:7) menyebutkan Sejarah yoga sebagai pembangunan fisik, mental, dan spiritual sudah di kenal sejak lebih dari sepuluh ribu tahun lalu. Sebutannya ditemukan dalam kesusastraan umat manusia terkenal yang paling tua yaitu Veda yang penuh dengan kebijaksanaan spiritual, yang disusun oleh para rsi dan guru terkenal dimasa itu. Dipercaya oleh beberapa orang bahwa pengetahuan yoga bahkan jauh lebih tua daripada PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 150 Veda tersebut. Swami juga menekankan bahwa yoga adalah pengalaman dari keutuhan atau kesatuan dengan keberadaan batin. Kesatuan itu muncul setelah menghancurkan dualitas pikiran dan masalah ke dalam kesadaran diri. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan yoga bersifat universal sehingga setiap praktisi memiliki berbagai pandangan dalam memahami yoga sebagai realisasi sang diri. kemudian untuk keseimbangan dalam menjalani hidup serta untuk kesehatan jasmani dan rohani semuanya akan bertemu pada satu tujuan yang sama yaitu mencapai kebahagiaan lahir dan batin. Kematangan dan perkembangan jiwa keagamaan pada anak dan remaja generasi muda hindu merupakan suatu hal yang sangat penting untuk menumbuh kembangkan jiwa beragama dan juga mengetahui esensi utama dalam beragama. Dengan demikian yang terpenting adalah bagaimana mengembangkan jiwa keagamaan tersebut. Sesungguhnya tumbuhnya jiwa keagamaan pada anak dan remaja juga dipengaruhi oleh latihan spiritual. Menurut Sukayasa dalam jurnalnya (2015;5) latihan spiritual yang intensif dimaksud dilakukan menurut tahap-tahap yoga yang disebut astangga yoga ‘delapan badan yoga’(YS,II: 9) yang di populerkan oleh Maharsi Patanjali. Delapan badan (tahap) yoga ini dapat dipandang sebagai delapan anak tangga dengan urutan dari anak tangga dasar berturut-turut sampai tangga puncak kebaikan. Hasil tulisan ini diharapkan akan bermanfaat sebagai referensi praktis dalam tata kelola perkembangan jiwa keagamaan pada anak dan remaja, sehingga hal tersebut akan digunakan sebagai pedoman dalam mengkaji, membahas dan menginformasikan segala hal yang terkait dengan psikologi agama khusunya yang mengacu pada kematangan dan perkembangan jiwa keagamaan pada anak dan remaja generasi muda hindu. II 2.1 Pembahasan Kematangan Jiwa Keagamaan Pada Anak-Anak dan Remaja Menurut penelitian Ernest Harms, perkembangan jiwa keagamaan anak-anak melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya ”The Development of Religios on Children” ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan yaitu : 1. The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng) Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Seorang anak pada tingkat perkembangan ini akan menghayati konsep ke Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantasi yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. Mengacu pada pernyataan tersebut, hal ini menjadi suatu dilema yang terjadi dewasa ini karena kurangnya kesadaran orang tua untuk mau mendongeng. Sesungguhnya dalam ajaran agama Hindu banyak sekali cerita-cerita, maupun mitologi-mitologi, salah satunya cerita tantri yang sarat tentang penanaman etika, moralitas yang tentunya akan dapat membangun perkembangan jiwa keagamaan dan juga perkembangan karakter anak. PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 151 2. The Realistic Stage (Tingkatan Kenyataan) Tingkat kenyataan dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga sampai ke usia (masa usia) adolesense. Pada masa ini anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realita). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan pada anak di dasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdarkan hak itu maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindakan keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh minat. 3. The Individual Stage (Tingkat Individu) Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sebenarnya potensi agama sudah ada pada setiap manusia sejak ia dilahirkan. Potensi ini berupa dorongan untuk mengabdi kepada Sang Pencipta. Dengan adanya potensi bawaan ini manusia pada hakikatnya adalah makhluk beragama. Kajian antropologi budaya telah membuktikan kebenaran ini. Edward B. Taylor menyebutkan dengan istilah believe in spiritual being (kepercayaan kepada Dzat adikodrati). Menurut pendapatnya, dorongan ini merupakan cikal bakal dari tumbuhnya kepercayaan atau agama pada manusia (Jalaludin, 2012:59). Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk beragama. Namun, keberadaan keberagamaan tersebut memerlukan bimbingan agar dapat tumbuh dan berkembang secara benar. Untuk itu anak-anak memerlukan tuntunan dan bimbingan sejalan dengan tahap perkembangan yang mereka alami. Tokoh yang paling menentukan dan menumbuhkan rasa keberagamaan pada anak adalah kedua orangtuanya. Sedangkan pada remaja sikap emosional anak akan berada dalam puncaknya, pada masa ini dikatakan masa untuk mencari jati diri dan kerap kali pada masa ini anak-anak bisa terjebak pada perilaku negatif. Perilaku negatif ini yang biasanya menimbulkan banyak permasalahan hingga permalasahan yang serius. Penanaman nilai-nilai keagamaan dirasa sangat perlu dilakukan sejak dini, agar anak-anak tidak mudah terpengaruh akan hal-hal yang bersifat negatif. Penanaman nilai-nilai keagamaan dijadikan sebagai bekal bagi anak untuk memasuki masa remaja. Dalam pembagian tahap perkembangan manusia maka masa remaja menduduki tahap progresif. Dalam pembagian yang agak terurai masa remaja mencakup masa Juvenilitas (Adoleskantium), pubertas dan nubilitas. Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya maka agama pada para remaja turut dipengaruhi perkembangan itu. Maksudnya penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada para remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut. (Jalaluddin. 2012:74) PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 152 2.2 Pembelajaran Astangga Yoga Pengertian belajar telah mengalami perkembangan secara evolusi, sejalan dengan perkembangan cara pandang dan pengelaman para ilmuan. Pengertian belajar dapat didefinisikan sesuai dengan nilai filosofis yang dianut dan pengalaman para ilmuan atau pakar itu sendiri dalam mengajarkan peserta didiknya. Pengertian belajar maupun yang dirumuskan para ahli antara yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaaan. Perbedaan ini disebabkan oleh latar belakang pandangan maupun teori yang dipegang. Belajar adalah suatu aktifitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki prilaku, sikap dan mengokohkan kepribadian. Dalam konteks menjadi tahu atau proses memperoleh pengetahuan menurut pemahaman sains secara konvensional, kontak manusia dengan alam diistilahkan dengan pengalaman yang terjadi berulang kali melahirkan pengetahuan, (knowledge), atau a body of kwnoledge (Suyono,2011;9). Menurut Gagne dalam Sanjaya (2008;26), belajar adalah sebuah proses yang didalamnya suatu organisme berubah prilakunya sebagai akibat pengalaman. Belajar dapat didefinisikan sebagai setiap perubahan tingkah laku yang telatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman. Definisi ini mencakup tiga unsur, yaitu; 1) Belajar adalah perubahan tingkah laku, 2) Perubahan tingkah laku tersebut terjadi karena latihan atau pengalaman, 3) Perubahan tingkah laku tersebut relative permanen atau tetap ada untuk waktu yang cukup lama. Istilah pembelajaran merupakan perkembangan dari istilah pengajaran. Pembelajaran adalah upaya yang dilakukan oleh seorang guru atau yang lain untuk membelajarkan siswa yang belajar (Hasanah,2012;85). Sedangkan pembelajaran menurut Majid (2013;5) adalah suatu konsep dari dua dimensi kegatan (belajar dan mengajar) yang harus direncanakan dan diaktualisasikan, serta diarahkan pada pencapaian tujuan atau penguasaan sejumlah kompetensi dan indikatornya sebagai gambaran hasil belajar. Pendapat di atas dapat diilustrasikan bahwa belajar merupakan proses internal siswa, dan pembelajaran merupakan kondisi eksternal siswa. Pembelajaran astangga yoga sudah di terapkan sejak zaman dahulu oleh umat hindu bahkan dalam epos itihasa maupun Purana, yoga merupakan ajaran pokok yang harus di terima sisya atau murid dari gurunya. Sukayasa dalam jurnalnya (2015;5) latihan spiritual yang intensif dimaksud dilakukan menurut tahap-tahap yoga yang disebut astangga yoga ‘delapan badan yoga’(YS,II: 9) yang di populerkan oleh Maharsi Patanjali. Delapan badan (tahap) yoga ini dapat dipandang sebagai delapan anak tangga dengan urutan dari anak tangga dasar berturut-turut sampai tangga puncak: 1) Yama, yaitu mahawrata ‘janji agung’ yoga. Jumlahnya 5: ahimsa ‘pantang kekerasan, tidak bengis’; satya ‘jujur’; astya ‘pantang mencuri’; brahmacari ‘pantang berselingkuh atau mengendalikan nafsu seks’; dan aparigraha ‘pantang memanjakan tubuh, pantang menerima pemberian yang tidak diperlukan’ (YS,11:35-39). 2) Niyama, yaitu brata pengukuh yama. Jumlahnya juga 5: sauca PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 153 ‘berperilaku bersih dan suci’; samtosa ‘mengendalikan diri agar tetap tenang, penuh rasa syukur, dapat menerima kenyataan apa adanya’; tapa ‘tahan uji, berusaha keras’; swadyaya ‘berusaha atau belajar mandiri’; dan Iswaraparnidhana ‘berbakti kepada Tuhan’ (YS,11:40-45). 3) Asana, yaitu olah fisik dengan fokus spiritual sehingga penekun yoga dapat duduk sempurna atau dapat memiliki tubuh yang bugar (YS,11:47). 4) Pranayama, yaitu olah nafas sehingga penekun yoga dapat bernapas halus, panjang, dan teratur (YS,11:50). 5) Pratydhdra, yaitu menarik indera dari berbagai objek kesukaannya dan menempatkannya di bawah pengawasan pikiran (YS,11:51,54). 6) Dhdrana, yaitu konsentrasi atau memusatkan pikiran pada objek meditasi (YS,11:53; III: 1). 7) Dhyana, yaitu kontemplasi atau menjadikan pikiran mantap menetap pada objek pikiran (YS,III:2). 8) Samadhi, yaitu keadaan manakala yang berkontemplasi telah menunggal dengan Iswara (Spirit yang menjadi objek renungan) atau manakala penekun yoga telah kehilangan kesadaran individunya dalam Kesadaran Semesta (YS,III:3). Astangga yoga merupakan tahapan latihan yang diawali dengan latihan moral melalui latihan Yama dan Niyama, kemudian latihan fisik melalui latihan Asana dan Pranayama, yang di lanjutkan dengan latihan mental melalui latihan Prathyhara dan Dharana, kemudian latihan spiritual berupa Dhyana demi mencapai tujuan akhir yaitu Samadhi. 2.3 Membangun Kemataangan Jiwa Keagamaan Generasi Muda Hindu Melalui Pembelajaran Astangga Yoga Kematangan Jiwa keagamaan generasi muda hindu dapat dilatih sejak anak-anak hingga dewasa, karena kematangan jiwa keagamaan akan membutuhkan suatu proses dan tidak terjadi secara singkat. Hal ini dapat dilakukan sejak masih anak-anak yaitu dengan memberikan pemahaman akan ilmu agama melalui cerita-cerita Purana dan itihasa khususnya mitologi mengenai dewa siva dan saktinya parvati sebagai pendiri yoga itu sendiri. Melalui cerita mitologi yoga seorang anak mendapatkan rangsangan sejak kecil mengenai nilai dan ajaran etika sebagai contoh mengenai bagaimana bhakti seorang murid sekaligus istri dari betara siva yaitu dewi parwati dalam melakukan bhakti kepada dewa siva, yang dimana anak akan secara sadar maupun tidak sadar akan teringat dan berpegang pada cerita dan mitologi tersebut dalam kehidupan dan perkembangannya hingga remaja. Hal ini sejalan dengan penelitian Ernest Harms yang menyatakan bahwa perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development of Religios on Children ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan yaitu tingkat dongeng, tingkat kenyataan dan tingkat individu. Sedangkan pada masa remaja seorang anak akan melewati fase akil balik atau puberitas yang menyebabkan kurang setabilan emosi yang menyebabkan terpengaruhnya moral dari anak-anak remaja itu sendiri sehingga diperlukan disiplin diri yoga berupa astangga yoga dalam memperoses kematangan jiwa keagamaan remaja itu sendiri. Karena latihan PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 154 yoga tidak hanya merupakan latihan spiritual tetapi secara tidak langsung akan mempengaruhi badan, pikiran, emosi hingga jiwa seseorang. Menurut Sukayasa dalam jurnalnya (2015;5) latihan spiritual yang intensif dimaksud dilakukan menurut tahap-tahap yoga yang disebut astangga yoga ‘delapan badan yoga’(YS,II: 9). Delapan badan (tahap) yoga ini dapat dipandang sebagai delapan anak tangga dengan urutan dari anak tangga dasar berturut-turut sampai tangga puncak: 1. Yama, yaitu mahawrata ‘janji agung’ yoga. Jumlahnya 5: ahimsa ‘pantang kekerasan, tidak bengis’; satya ‘jujur’; astya ‘pantang mencuri’; brahmacari ‘pantang berselingkuh atau mengendalikan nafsu seks’; dan aparigraha ‘pantang memanjakan tubuh, pantang menerima pemberian yang tidak diperlukan’ (YS,11:35-39). 2. Niyama, yaitu brata pengukuh yama. Jumlahnya juga 5: sauca ‘berperilaku bersih dan suci’; samtosa ‘mengendalikan diri agar tetap tenang, penuh rasa syukur, dapat menerima kenyataan apa adanya’; tapa ‘tahan uji, berusaha keras’; swadyaya ‘berusaha atau belajar mandiri’; dan Iswaraparnidhana ‘berbakti kepada Tuhan’ (YS,11:40-45). Dengan melakukan latihan yama dan niyama dalam astangga yoga seseorang akan dilatih dalam segi moralnya, seperti sikap dan prilakunya sehingga menunjukkan perbuatan yang baik dan berdasar pada agama atau Dharma. Setelah memiliki dasar sikap dan moral yang baik, tahapan yang harus dilalui adalah : 3. Asana, yaitu olah fisik dengan fokus spiritual sehingga penekun yoga dapat duduk sempurna atau dapat memiliki tubuh yang bugar (YS,11:47). 4. Pranayama, yaitu olah nafas sehingga penekun yoga dapat bernapas halus, panjang, dan teratur (YS,11:50). Melalui asana dan pranayama seorang remaja akan dilatih mengendalikan fisik atau tubuhnya, dengan memiliki fisik yang baik diharapkan seseorang remaja hindu dapat melaksanakan moral yang baik dengan badan yang sehat. Setelah mampu memiliki moral dan fisik yang baik, seorang remaja dilatih untuk mengendalikan mentalnya dengan melakukan latihan : 5. Pratydhdra, yaitu menarik indera dari berbagai objek kesukaannya dan menempatkannya di bawah pengawasan pikiran (YS,11:51,54). 6. Dhdrana, yaitu konsentrasi atau memusatkan pikiran pada objek meditasi (YS,11:53; III: 1). Dengan memiliki dan mampu mengendalikan pikiran sebagai raja indriya diharapkan perkembangan kematangan jiwa seorang remaja hindu akan lebih baik, dan tentu saja perlu di berikan sentuhan latihan akhir, yaitu : 7. Dhyana, yaitu kontemplasi atau menjadikan pikiran mantap menetap pada objek pikiran (YS,III:2). Demi mencapai kemetangan jiwa keagamaan yang sesungguhnya bahkan jika memungkinkan hingga mencapai kebebasan dengan : 8. Samadhi, yaitu keadaan manakala yang berkontemplasi telah menunggal dengan Iswara (Spirit yang menjadi objek renungan) atau manakala penekun yoga telah kehilangan kesadaran individunya dalam Kesadaran Semesta (YS,III:3). PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 155 Jadi generasi muda hindu diharapkan melakukan pembelajaran dan latihan Astangga yoga yang wajib di dampingi oleh seorang Guru dengan tahapan latihan yang diawali dengan latihan moral melalui latihan Yama dan Niyama, kemudian latihan fisik melalui latihan Asana dan Pranayama, yang di lanjutkan dengan latihan mental melalui latihan Prathyhara dan Dharana, sehingga kematangan jiwa keagamaan yang di miliki oleh seorang remaja tidak goyah dan tetap mantap, kemudian jika memungkinkan pada akhirnya latihan spiritual berupa Dhyana dapat dilanjutkan demi mencapai tujuan akhir agama Hindu yaitu Samadhi dengan pembebasan atman (moksa). III Penutup Perkembangan jiwa keagamaan pada generasi muda hindu yang masih anak-anak berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap fairy tale stage (dongengan). Kedua, tahap realistic stage (kenyataan). Ketiga, tahap individual stage (individual). Antara tahap ke-1 dengan tahap- tahap selanjutnya terdapat kaitan yang menunjukkan peningkatan. ketiga tahap perkembangan psikologi anak ini akan mempengaruhi sikap keberagamaannya dengan individu lain, hingga sikap keberagamaannya di masyarakat. Sedangkan Tingkat kematangan jiwa keagamaan pada generasi muda hindu yang sudah mencapai usia remaja, banyak tergantung pada kemampuan mereka menyelesaikan keraguan dan konflik batin yang terjadi dalam diri. Usia remaja memang dikenal sebagai usia rawan. Remaja memiliki karakteristik khusus dalam pertumbuhan dan perkembangan. Secara fisik remaja mengalami pertumbuhan yang pesat dan sudah menyamai fisik orang dewasa. Namun, pesatnya pertumbuhan fisik itu belum diimbangi secara setara oleh perkembangan psikologinya. Kondisi seperti itu menyebabkan remaja mengalami kelabilan. Jadi bagi generasi muda hindu terutama para remaja yang berada pada kondisi labil, diharapkan melakukan latihan Astangga yoga merupakan tahapan latihan disiplin diri, yang diawali dengan latihan moral melalui latihan Yama dan Niyama, kemudian latihan fisik melalui latihan Asana dan Pranayama, yang di lanjutkan dengan latihan mental melalui latihan Prathyhara dan Dharana, sehingga kematangan jiwa keagamaan yang di miliki oleh seorang remaja tidak goyah dan tetap mantap dan kemudian pada akhirnya latihan spiritual berupa Dhyana dapat dilanjutkan demi mencapai keseimbangan pikiran, badan dan jiwa, kemudian jika memungkinkan pada akhirnya latihan spiritual dapat dilanjutkan demi mencapai tujuan akhir agama hindu yaitu Samadhi dengan pembebasan atman (moksa). IV Daftar Pustaka Hasanah, M.Ed, 2012. Pengembangan Profesi Keguruan, Pustaka Setia: Bandung, Jalaluddin, 2012. Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada,. Majid, Abdul, 2013. Strategi Pembelajaran,Bandung; PT. Remaja Rosdakarya PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) | 156 Sanjaya, 2008. Strategi Pembelajaran; Berorentasi setandar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group Saraswati, Swami Satyanada. 2002. Asana, Pranayama, Mudra, Bandha. Surabaya: Paramitha Sukayasa, I Wayan. 2015. Jurnal berjudul “Yoga; Teori dan Metode Psikologi Hindu” Program Pasca Sarjana IHDN Denpasar; Suyono dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya 157 PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) |