Prosiding SEMAYA 2

advertisement
JUDUL :
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
Revitalisasi Pendidikan Agama Hindu untuk Menciptakan Generasi yang
Ilmiah dan Religius
PENULIS :
Pemakalah Seminar Nasional Agama dan Budaya (Semaya II) Tahun 2016
PENANGGUNG JAWAB :
Dr. Drs. I Nyoman Linggih, M.Si
(Dekan Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar)
EDITOR :
Dr. I Ketut Sudarsana, S.Ag., M.Pd.H
PENYUNTING :
Dr. Ni Komang Sutriyanti, S.Ag., M.Pd.H
I Putu Suweka Oka Sugiharta, S.Pd.H
I Made Arsa Wiguna, S.ST.Par., M.Pd.H
I Nyoman Subagia, S.Ag.,M.Ag
DESAIN SAMPUL:
I Dewa Gede Rat Dwiyana Putra, M.Pd
FOTO PADA SAMPUL:
I Dewa Gede Rat Dwiyana Putra, M.Pd
PENERBIT :
Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar
bekerjasama dengan Jayapangus Press
REDAKSI :
Jl. Ratna No.51 Denpasar -BALI
Telp. (0361) 226656
Fax. (0361) 226656
Email: [email protected]
Website: www.jayapanguspress.org
ISBN : 978-602-71567-6-0
i
| PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
KATA SAMBUTAN
Om Swastyastu,
Atas Asung Kertha Wara Nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa, Fakultas Dharma Acarya khususnya Jurusan Pendidikan
Agama Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar sangat bersyukur karena hasil
Seminar Nasional Agama dan Budaya (Semaya II) dengan tema “Revitalisasi
Pendidikan Agama Hindu untuk Menciptakan Generasi yang Ilmiah dan
Religius” yang diselenggarakan pada tanggal 19 Oktober 2016 di Auditorium
Kampus Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, Jalan Ratna No. 51 telah
diterbitkan dalam Buku Prosiding.
Buku Prosiding ini memuat seluruh artikel yang dibahas pada Seminar
Nasional yang dihadiri tidak hanya oleh mahasiswa dan dosen-dosen di
lingkungan Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, tetapi juga dihadiri oleh
praktisi Agama dan Budaya, para intelektual dari berbagai institusi, para
alumni IHDN serta yang lainnya. Masalah-masalah yang dibahas semua
berkaitan dengan strategi dan metode pembelajaran dalam proses membangun
generasi ilmiah dan religius. Semoga Buku Prosiding ini dapat dimanfaatkan
sebagai salah satu solusi untuk memecahkan masalah pendidikan sehingga
semua harapan dapat terwujud.
Pada kesempatan ini izinkan saya mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu terselenggaranya acara Seminar Nasional
di Jurusan Pendidikan Agama Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar
sampai diterbitkannya semua hasil seminar dalam bentuk Buku Prosiding.
Om Santih, Santih, Santih Om
Denpasar, 19 Oktober 2016
Dekan Fakultas Dharma Acarya
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
Dr. Drs. I Nyoman Linggih, M.Si
NIP. 19561231 197903 1 037
ii
| PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………………….i
KATA SAMBUTAN…………………………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………...……….iii
PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN KARAKTER
I Ketut Widnya…………………………………………………………………………………1
PERAN PENDIDIKAN DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER
Ida Bagus Gede Subawa…………………………………………………………………..13
MELIHAT KEMBALI METODE PENDIDIKAN HINDU KUNO : REVITALISASI
PENDIDIKAN AGAMA HINDU MENUJU GENERASI GEMILANG
Agus Indra Udayana………………………………………………………………………..18
REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU UNTUK
MENCIPTAKAN GENERASI YANG ILMIAH DAN RELIGIUS
I Gusti Made Ngurah……………………………………………………………………….23
KESEIMBANGAN PENGAJARAN PARAVIDYA DAN APARAVIDYA SEBAGAI
UPAYA REVITALISASI PENDIDIKAN HINDU UNTUK MENCIPTAKAN
GENERASI MASA DEPAN YANG ILMIAH DAN RELIGIUS
I Ketut Donder……………………………………………………………………………….39
PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI
PEMBELAJARAN ICT
Ni Ketut Srie Kusuma Wardhani………………………………………………………..54
MENGEMBANGKAN MODEL PEMBELAJARAN AGAMA HINDU
DALAM MEWUJUDKAN PESERTA DIDIK YANG RELIGIUS
Ketut Tanu……………………………………………………………………………………65
PELUANG DAN HAMBATAN MEREALISASIKAN INSTITUSI PENDIDIKAN
BERBASIS HINDU DALAM MENCIPTAKAN GENERASI RELIGIUS DAN ILMIAH
Ni Nyoman Perni…………………………………………………………………………….74
PENANAMAN KARAKTER DALAM KELUARGA SEBAGAI
UPAYA REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU UNTUK
MENCIPTAKAN GENERASI YANG ILMIAH DAN RELIGIUS
Ni Komang Sutriyanti………………………………………………………………………80
| PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
iii
REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU MELALUI TARKAWADA
I Made Adi Surya Pradnya………………………………………………………………...91
PENGENDALIAN DIRI DALAM KIDUNG MITUTURIN AWAK
I Wayan Wirata.. ...........................................................................................96
PEDAGOGIK DALAM STUDI KULTURAL UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI
ILMIAH DAN RELIGIUS
Ni Nengah Selasih ...................................................................................... .102
REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU UNTUK MENCIPTAKAN
GENERASI YANG BERKARAKTER
Setyaningsih .............................................................................................. 110
PRINSIP TAT TVAM ASI DALAM PENDIDIKAN HINDU GUNA
MENCEGAH PRILAKU VERBAL BULLYING
Ni Nyoman Ayu Suciartini .......................................................................... 120
PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN AGAMA HINDU MELALUI
EFEKTIVITAS POLA INTERAKSI DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH
I Ketut Sudarsana………………………………………………………………………..132
REVITALISASI PENDIDIKAN REMAJA HINDU DARI KUTUB ENTROPI
(TRSNA) MENUJU NEGENTROPI (LANGÖ)
I Putu Suweka Oka Sugiharta .................................................................... 141
MEMBANGUN KEMATANGAN JIWA KEAGAMAAN GENERASI
MUDA HINDU MELALUI PEMBELAJARAN ASTANGGA YOGA
Ida Bagus Kade Yoga Pramana ................................................................... 150
iv
| PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN KARAKTER
Oleh :
I Ketut Widnya
Dirjen Bimas Hindu Kemenag RI
Abstrak
Pada awalnya Pendidikan Hindu diberikan kepada para brahmacari
semata-mata untuk tujuan pragmatis. Ada link and match pendidikan
Hindu dengan pekerjaan yang dipilih brahmacari berdasarkan guna dan
karma. Karena itu, para brahmacari dalam pendidikan Hindu lebih banyak
dibekali training atau latihan, yang memadukan pengetahuan dan praktek.
Dengan training para brahmacari mempunyai kompetensi. Selanjutnya
dengan kompetensi para brahmacari berkualifikasi untuk pekerjaan
tertentu. Seluruh mata pelajaran yang harus dipahami dan dikuasai selama
mengikuti pendidikan di Gurukula adalah memadukan antara kognisi, afeksi
dan psikomotorik. Dalam prinsip Veda, pendidikan tidak berakhir ketika
masa brahmacari berakhir. Pendidikan berlangsung terus seumur hidup
(long life education). Sesuai dengan tahapan Catur Asrama, pendidikan
secara berjenjang berlangsung terus dari masa Brahmacari, Grhasta,
Vanaprastha, dan Bhiksuka (sanyasa). Selain secara berjenjang, secara
professional sesuai dengan ajaran Catur Varna, pendidikan juga diberikan
kepada golongasn Catur Varna, yaitu Brahmana, Ksatria, Vaisya dan Sudra.
Perpaduan antara Catur Asrama dan Catur Varna inilah yang melahirkan
pembangunan peradaban rohani (divine society). Tujuannya adalah
mewujudkan empat tujuan hidup manusia (Catur
Purusartha), yaitu
Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Setelah hidup dan dibesarkan dalam
peradaban rohani, seseorang akan mengerti konsep dasar pendidikan
Hindu, yaitu: sambhada jnana, abhideya jnana, dan prayojana jnana. Jadi,
seluruh rangkaian pendidikan Hindu dimasudkan untuk memahami
perbedaan roh dan badan dan selanjutnya membantu manusia untuk
menemukan tujuan hidupnya yang terakhir yaitu pembebasan (prayojana
jnana).
I.
Pendahuluan
Pendidikan dan pembangunan merupakan tema yang sangat umum
dan sering menjadi topik pembicaraan di kalangan akademisi. Tetapi
pembangunan sering diasosiasikan dengan pembangunan ekonomi dan
industri yang selanjutnya diasosiasikan dengan dibangunnya pabrik-pabrik,
jalanan, jembatan sampai kepada pelabuhan, alat-alat transportasi, dan
komunikasi (Tirta rahardja, 2005: 301). Jarang kata “pembangunan” itu
dihubungkan dengan “Pembangunan Peradaban Rohani”. Padahal,
pendidikan merupakan “alur tengah pembangunan dari seluruh sektor
pembangunan” termasuk pembangunan rohaniah (spiritual) yang secara
bulat disebut sebagai pembangunan manusia.
Dalam kenyataannya, pembangunan fisik lebih dominan ketimbang
pembangunan
spiritual.
Pembangunan
rohaniah
bangsa
kurang
mendapatkan
perhatian
dari
pemerintah
dibandingkan
dengan
pembangunan fisik. Wacana tentang pembangunan spiritual hanya menjadi
isu yang digembar-gembornya dalam wacana politik. Gembar-gembor itu
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
1
tidak disikapi dalam kebijakan dan tidak dieksekusi dalam tindakan. Tidak
seperti pembangunan fisik, ditulis dalam dokumen-dokumen resmi
pemerintahan dan dieksekusi dalam kebijakan pembangunan. Dimanamana kita menemukan pembangunan budaya benda (tangible) dan budaya
tak benda (intangible) dibiarkan tidak terurus.
Musem-museum, situs purbakala, kawasan purbakala, bangunan
Candi dan benda artefak (budaya tangible) tidak terbina dengan baik.
Demikian juga budaya tak benda (intangibel) seperti tradisi lisan, seni
pentas, adat istiadat dan perayaan, pengetahuan tentang alam dan semesta,
kerajinan tradisional, tidak dijamah tangan pemerintah. Padahal, kedua
kebudayaan tersebut bersumber dari ajaran Agama.
Akibat dari kita mengabaikan pembangunan spiritual maka terjadilah
katastopi. Suatu mara bencana besar dalam kehidupan manusia. Bencanabencana yang terjadi dalam kehidupan kita dimulai karena kita
mengabaikan pembangunan spiritual. Kurikulum dalam pendidikan Hindu
harusnya mensiasati agar terjadi keseimbangan pembangunan fisik dengan
pembangunan non fisik. Kurikulum pendidikan Hindu terdiri dari 14 mata
pelajaran pokok yang terbagi ke dalam parawidya dan aparawidya
(pengetahuan rohani dan pengetahuan material). Pengetahuan material
harus mendukung pengetahuan rohani, karena keduanya diperlukan dalam
kehidupan.
Pendidikan menurut Tilaar harus dilihat sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan berbudaya (Tilaar, 2008: 1). Seharusnya
pendidikan merupakan bagian dari pembangunan peradaban rohani
bangsa. Kita lahir, tumbuh, berkembang, berketurunan, membangun
keluarga, berintegrasi, dan seterusnya, sebenarnya suatu proses pendidikan
seumur hidup (long life education). Disini, peradaban rohani itu membingkai
kita, artinya, disana kita belajar kehidupan dan akhirnya melalui
pembelajaran kehidupan itu kita mengerti jalan menuju pembebasan
(prayojana janana).
Para Resi dan Yogi yang hidup dalam bingkai peradaban Himalaya
menikmati kehidupan mereka dengan suka cita dan penuh kebahagian.
Mereka mengalami langsung kebenaran sebagai dasar menghancurkan
penderitaan. Orang-orang melihat kehidupan mengasingkan diri sebagai
bentuk
pesimisme.
Sebenarnya
tidak
demikian.
Karena
hidup
mengasingkan diri sebagai pertapa adalah kehidupan yang tercerahkan.
Orang yang tercerahkan bertindak melampau batas-batas kemanusiaan.
Tidak ada pesimisme bagi orang yang tercerahkan. Hidup dalam balutan
hawa dingin (bahkan sampai di bawah nol derajat), tidak menonton televisi,
tidak menikmati hiburan, tidak berkeluarga, adalah sebagian dari pilihan
hidup yang melampaui batas kemanusiaan. Mereka menyadari bahwa
kehidupan akan berakhir dalam kematian. Tetapi tidak berarti bahwa
mereka harus stagnasi dan meratapi terus kematiannya.
Peradaban dimulai dengan mulai berfungsinya Catur Asrama dan
Catur Varma. Fungsi ini dimaksudkan agar tujuan hidup manusia yaitu
Catur Purusartha dapat diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan budaya Veda, menurut pengertian dan tujuannya, sistem
Varna (pembelajaran berdasarkan bakat) dan Asrama (pendidikan seumur
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
2
hidup secara bertahap) mempunyai lembaga-lembaga pendidikan yang
ilmiah dan lengkap didalamnya.
Pendidikan Varna dan Asrama menyediakan pengetahuan yang
lengkap kepada semua anggotanya berdasarkan metodologi dan kurikulum
Veda yang sesuai untuk setiap Varna dan Asrama. Pelatihan dan
pendidikan ini mencakup hal-hal material dan spiritual, yang merupakan
dasar untuk melaksanakan sādhana-bhakti atau pengabdian suci kepada
Tuhan.
Tujuan utama dari semua pendidikan dan pengetahuan adalah untuk
membantu masyarakat luas untuk maju dalam keinsyafan diri dan sadar
akan Tuhan/Kesadaran Rohani. Pendidikan dan pengetahuan, yang
mengabaikan objek-objek tersebut dianggap tidak lengkap dan tidak
sempurna.
II.
2.1
Pembahasan
Pendidikan dan Pencerahan.
Di India, kalau seorang mahasiswa ketahuan menyontek (baca:
ngerepek) pada saat ujian, maka mahasiswa tersebut akan dikeluarkan dari
kelas. Semua mata pelajaran yang diambil pada semester tersebut
dinyatakan tidak lulus. Tidak hanya itu, dia dikeluarkan dari Universitas
dan diumumkan dalam Organisasi Perguruan Tinggi di India, bahwa dia
mempunyai tabiat yang buruk (menyontek). Akibatnya, setelah dikeluarkan
dari universitasnya, dia juga ditolak diterima di seluruh Perguruan Tinggi
lain di India. Maka, tamatlah riwayat mahasiswa tersebut.
Pernah ada kejadian di Delhi University yang berakhir tragis. Seorang
mahasiswa kepergok sedang ngerepek pada saat ujian. Semua hak-haknya
sebagai mahasiswa dieliminasi di seluruh Perguruan Tinggi India. Akhirnya,
dia menembak professor yang memergokinya. Ada juga kejadian lain. Ini
terjadi di Jamia Milia Islamia University, Delhi, melibatkan mahasiswa
Indonesia dari jurusan Bahasa Inggris. Dia ketahuan ngerepek, lalu
dikeluarkan dari university dan diputus bea siswanya di ICCR (Indian
Cultural Centre Relationship). Dia kembali ke Indonesia dengan tangan
hampa.
Dalam pendidikan Hindu, pendidikan dimaksudkan hanya bagi orangorang yang mempunyai kualifikasi. Pendidikan tidak untuk semua orang.
Sedangkan lembaga pendidikan dan kebudayaan dunia seperti UNESCO
menyatakan education for all. Kalau pendidikan diberikan kepada semua
orang, tanpa memperhatikan kualifikasi yang dimilikinya, maka citra
pendidikan akan buruk. Seperti dialami dunia pendidikan dewasa ini. Dunia
pendidikan sudah kehilangan kemuliannya karena orang-orang yang tidak
berkualitas diijinkan masuk didalamnya. Dua mahasiswa yang ketahuan
ngerepek di India seperti contoh di atas adalah bukti bahwa ada orang yang
tidak berkualifikasi diijinkan masuk ke dunia pendidikan. Karena itu, salah
satu usaha untuk menjaga kualitas pendidikan adalah kesesuaian secara
khusus antara sifat-sifat yang dimiliki guru atau dosen dengan murid atau
mahasiswanya. Secara teknis, ada 9 (Sembilan) sifat yang harus dimiliki
Guru/dosen:
1. Sama (kedamaian, peacefulness);
2. Dama (pengendalian diri, self-control);
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
3
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Tapa (pertapaan, austerity);
Saucam (kesucian, purity);
Ksanti (toleransi, tolerance);
Arjavam (kejujuran, honesty);
Jnanam (pengetahuan, knowledge);
Vijnanam (kebijaksanaan, wisdom);
Astikyam (taat pada prinsip keagamaan, religiousness)
(Bhagavad-gītā 18.43)
Sedangkan bagi seorang siswa hanya 3 (tiga) sifat yang
dipersyaratkan, yaitu: pratipat: tunduk hati, prasna: bertanya, seva:
pelayanan. Wawasan ini dikembangkan dari sloka Bhagavad-gita, sbb: tad
viddhi praṇipātena paripraśnena sevayā, upadekṣyanti te jñānam jñāninas
tattva-darśinaḥ. (Bhagavad-gītā 4.34). Selain sifat-sifat yang harus dimiliki
guru (dosen) dan siswa (mahasiswa), raw-input atau penerimaan siswa
(mahasiswa) baru, harus terstandarkan. Semakin tinggi standar penerimaan
siswa (mahasiswa) baru, akan didapatkan bahan baku yang berkualitas.
Sistem evaluasi juga harus standar kalau menginginkan pendidikan yang
berkualitas. Termasuk di dalamnya standar kompetensi lulusan. Tentu saja
kurikulum harus memenuhi aspek kognifi, afeksi, dan psikomotorik. Tetapi
di tangan guru (dosen) berkualitas, proses belajar mengajar tetap saja
berkualitas, meskipun kurikulum tidak standar.
Karena itu, pendidikan harus dibingkai dengan kejujuran, disiplin,
menjaga martabat dan integritas. Selain tentu saja kecerdasan intelektual.
Mahatma Gandhi mengatakan, kalau pendidikan tidak ada karakter, itu
merupakan dosa sosial. Di tempat lain, mengutip dari Canakya Niti Sastra,
Mahatma Gandhi mengatakan, vidya dadati vinayam: pendidikan
dimaksudkan untuk melahirkan orang-orang yang bijaksana. Para rsi dan
yogi Himalaya, dikenal sebagai orang bijaksana. Para resi itu mengatakan
dalam segala keadaan, diri mereka selalu dalam keadaan berbahagia (Swami
Rama, 2002: 3). Dalam Bhagavad-gita para rsi dan yogi itu mengalami apa
yang disebut: susukham. Kebahagiaan tanpa disusul kembali oleh
kedukhaan atau kebahagiaan abadi. Manusia yang hidup di dunia ini pada
umumnya mengalami sukha dan dukha. Tapi mengapa para rsi dan yogi itu
tidak mengalami sukha dan dukha alias mengalami kebahagiaan abadi?
Karena mereka adalah orang-orang yang tercerahkan. Mereka hidup dalam
standar kebudayaan yang tinggi. Budi mereka mengatasi manah, dan
ahamkara. Dia mencapai kedudukan visuddhasattvam, yaitu: mengatai Tri
Guna : satvam, rajas, tamas. Kitab suci Veda (Catur Veda) saja masih
dikuasai oleh Tri Guna (traiguna visaya veda). Karena itu, bagi orang-orang
yang tercerahkan tidak mungkin ada pesimisme. Bahkan kematian selalu
dihadirkan sebagai objek keindahan, yang selalu dirindukan kehadirannya.
Kematian tidak lagi menimbulkan stagnasi bagi orang-orang yang
tercerahkan. Dia tidak mengalami keputusasaan seperti yang bisa dialami
masyarakat umum.
Salah satu keutamaan manusia atau kelebihan manusia ialah
pengetahuan yang dimiliki. Binatang pada umumnya dikuasai oleh tamasa
guna, sehingga sifat suka makan, tidur, kecemaran dan hubungan kelamin,
merupakan sifat dasarnya. Perbedaannya dengan manusia ialah manusia
memiliki sifat pengetahuan. Dengan pengetahuan, ia bisa mempunyai
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
4
wiweka, yaitu bisa membedakan antara yang baik dan tidak baik. Dengan
pengetahuan, manusia bisa membedakan antara roh dan badan, dapat
mengetahui intuisi atau super sensory persepsion. Canaka Niti Sastra
mengatan keutamaan manusia sebagai berikut: āhāra nidrā bhaya
maithunāni, samāni caimāni nṛṇām paśūnām, jñānaṁ narānāmadhiko viśeṣo,
jñānena hīnāḥ paśubhih samānāḥ. Artinya, makan, tidur, kecemasan, dan
hubungan kelamin, semua itu adalah persamaan binatang dengan manusia.
Kelebihan sifat manusia adalah pengetahuan. Orang yang tidak memiliki
pengetahuan sama dengan binatang. (Canakya Niti Sastra 17.17)
2.2
Pendidikan dan Pertapaan.
Seorang siswa jika dia ingin lulus ujian dia harus belajar dengan
keras. Bahkan dalam keadaan biasa atau dalam keadaan tidak ujian dia
harus tetap belajar. Belajar, belajar dan belajar, adalah kewajiban seorang
murid. Canakya Pandit mengatakan, seorang murid mendapatkan
seperempat pendidikan dari gurunya, seperempat melalui kecerdasannya
sendiri, seperempat lainnya melalui teman sekelasnya dan sepempat
terakhir melalui perjalanan waktu. Menurut Sloka ini, seorang murid harus
merangkai hidupnya dengan pembelajaran. Kalau dia (murid) tidak belajar,
maka apakah maksud sebenarnya dia menjadi murid. Etika seorang siswa
harus belajar. Seorang siswa harus tekun belajar kalau dia ingin sukses
dalam pendidikan.
Selanjutnya, jika siswa itu ingin sukses menjalankan etika, maka dia
harus disiplin. Kata kuncinya adalah disipilin. Disiplin ini berlaku bagi
semua Varna, terutama guru dan murid. Untuk bisa mendisiplinkan diri,
seseorang siswa hendaknya hidup sederhana. Kalau kehidupan seseorang
sangat kompleks, maka tidak mungkin dia menjalani kehidupan dengan
kesederhanaan. Mahatma Gandhi mengatakan, hidup sederhana dan
berpikir tinggi. Hidup sederhana yang dimaksudkan Mahatma Gandhi
adalah hidup sebagai vegetarian (tidak makan daging, ikan dan telor).
Sedangkan berpikir tinggi adalah berpikir tentang Tuhan. Manusia
mencapai kehormatan dengan kesederhanaan. Mahatma Gandhi adalah
contoh teladan tentang hal ini. Beliau selalu memakai dauti dan cadar
kemana saja pergi. Ia dihormati karena konsep hidupnya simple life high
thinking.
Dalam Hitopadesa dikatakan: vidhyā dadāti vinayam vinayād yā ti
patratām,pātratvād dhanamāpnoti dhanād dhamam tatah sukham.Artinya,
pendidikan memberikan kesederhanaan; dengan kesederhanaan manusia
mencapai kehormatan; karena kehormatan ia mendapatkan uang: dengan
uang ia mampu memberikan sedekah (dhana) dan dari hal itu (sedekah) ia
mendapatkan kebahagiaan. (Hītopadeśa, dikutip dari Vaiṣṇava Verse Book,
1977: 225).
Dalam sloka ini sedekah (dana) berbanding lurus dengan
kebahagiaan. Mengapa demikian? Karena dana punia merupakan bentuk
pelaksanaan ajaran agama Hindu pada zaman Kali. Pada zaman Kaliyuga
orang kurang tekun melakukan pertapaan dan meditasi, sebagai gantinya
maka dipilihlah dana punia. Kita mendapatkan uang dengan bekerja keras,
karena itu, uang mengikat kita, atau menyebabkan kita mengalami
kemelekatan dengan dunia material (trisna). Sesuatu yang mengikat kita,
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
5
jika kita lepaskan maka pahalanya, juga besar. Dengan demikian,
pendidikan berbanding lurus dengan belajar, disiplin diri, kesederhanaan
dan pada akhirnya kebahagiaan.
Pendidikan juga berbanding lurus dengan pertapaan, seperti
dikatakan Canakya Pandit berikut ini: sukhārthi cetyajed-vidyam,vidyārthi
cetyajet-sukham,sukhārthinah kuto vidyā, kuto vidyārthinah sukham.
Artinya, “kalau menginginkan kesenangan buanglah jauh-jauh ilmu
pengetahuan. Kalau menginginkan ilmu pengetahuan tinggalkan
kesenangan. Oleh karena bagi orang yang menginginkan kesenangan
indriya mana mungkin ada ilmu pengetahuan, dan sebaliknya bagi yang
mengharapkan ilmu pengetahuan mana mungkin ada kesenangan.
(Canakya Niti Sastra 10.3)
Pada Zaman India Kuno, pertapaan merupakan ciri utama
pendidikan. Seorang Brahmacari pada masa India kuno, mempraktekkan
celibacy yaitu tidak melakukan atau memikirkan segala sesuatu yang ada
hubungannya dengan lawan jenis. Hal ini dimaksudkan agar seorang siswa
dapat memfokuskan pikiran dan energinya pada pelajaran dan
pendidikannya.
Seorang brahmacarya hidupnya dirangkai dengan pertapaan. Ia
menjalani proses inisiasi. Ia tinggal di Pasraman melayani gurunya selama
kurun waktu beberapa tahun, mempelajari berbagai bidang ilmu
pengetahuan di bawah pengawasan secara langsung dan ketat dari guru
yang membimbingnya. Selama kurun waktu ini seorang siswa berpisah
dengan keluarganya dan tidak diijinkan untuk menjalin kontak ataupun
saling mengunjungi. Posisi orang tua digantikan oleh sang guru. Guru
adalah Brahman sekaligus orang tua bagi sang siswa, perintahnya adalah
mutlak dan tak terbantah. Seorang siswa sepenuhnya dibawah kuasanya, ia
akan memberikan ajaran-ajaran rahasia hanya jika ia berpuas hati pada
tingkah laku dan kecerdasan sang siswa.
Selama masa menuntut ilmu seorang brahmacari menjalani hidup
suci penuh aturan peraturan yang amat ketat. Hal ini disebabkan karena
ilmu pengetahuan yang mereka sedang timba adalah ilmu pengetahuan suci
Veda yang kelak akan sangat berguna bagi dirinya sendiri maupun
masyarakat. Beberapa aturan peraturan hidup seorang brahmacari
dijelaskan oleh Bhagavan Manu dalam Manusmrti II. 177-181 dan II. 191.
Aturan dan peraturan ini sebenarnya merangkai hidup seorang brahmacari
dalam pertapaan.
2.3
Nilai-nilai Pendidikan Hindu.
Lembaga pendidikan Hindu dibentuk pada era sejarah medieval period
yaitu zaman Purana dan Itihasa (Rāmayana dan Mahabhārata). Lembaga
pendidikan Hindu disebut Guru Kula, sebagaimana disebutkan dalam
Bhagavata Purana 7. 12.2, sbb: brahmacari gurukule, vasan danto guror
hitam, Acaran dasavan nico, gurau sudrdha-suhridah. Artinya, seorang siswa
hendaknya melakukan aktivitas yang sungguh-sungguh untuk mengontrol
hawa nafsunya dan menaruh rasa hormat serta mengembangkan sikap
persahabatan yang tulus kepada gurunya. Seorang siswa (brahmacari)
hendaknya tinggal di Gurukula dan bersumpah untuk melayani gurunya
semata-mata untuk kepentingan gurunya.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
6
Kalau dicermati, tentu saja, banyak hal yang tidak relevan lagi dengan
lembaga pendidikan Hindu, mengingat lembaga pendidikan Hindu (Guru
Kula) berasal dari masa sejarah kuna. Model hubungan Guru dan murid
misalnya. Murid harus bangun pagi sebelum gurunya bangun, atau tidur
pada malam hari setelah gurunya tidur. Demikian juga mengenai makanan,
kalau guru berpuasa, murid harus ikut berpuasa. Tentu hal-hal seperti ini
tidak relevan lagi diterapkan pada zaman modern saat ini. Meskipun
demikian, banyak hal dari nilai-niai pendidikan Hindu yang sangat relevan
diadopsi atau diterapkan dalam dunia modern dewasa ini.
Misalnya pernyataan: sa vidya ya vimuktaye. Artinya, pendidikan
adalah yang membebaskan manusia. Pendidikan berbanding lurus dengan
pembebasan.
Karena
itu
pendidikan
membuat
manusia
abadi
(Vidyayamritamashnute). Keabadian dapat dicapai melalui tiga konsep
dasar pendidikan, yaitu Sambadha jnana (identitas), abhidea jnana
(aktivitas) dan prayojana jana (tujuan). Dengan mengetahui identitas sejati
sebagai atma, dan bertindak menurut pengertian itu (sebagai atma), maka
kita akan mencapai pembebasan. Karena itu dikatakan, kim kim na
sadhyati kalpalateva vidya: Apa yang tidak dijangkau oleh pendidikan? Ia
merupakan sebuah tumbuhan magis atau pohon kebijaksanaan. Menginat
pendidikan bertujuan mencapai pembebasan, tidak berlebihan kalau
pendidikan juga dijuluki seperti mata ketiga (Vidya tritiyo netrah). Mata
ketiga yang dimiliki kepribadian agung, seperti Dewa Siwa misalnya,
merupakan kekuatan rohani yang dapat menghancurkan objek-objek yang
dilihatnya hingga menjadi abu.
Dikatakan: na hi jñānen sadrisham pavitramih vidyate. Artinya, tidak
ada yang lebih murni di dunia ini daripada pengetahuan. Di dunia ini,
pengabdian dan dedikasi yang lebih murni ada di dunia pendidikan. Karena
itu, para guru disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Maksudnya di dunia
pendidikan, orang agar mengabdikan dirinya dengan tulus tanpa
mengharapkan balasan (sepi ing pamerih). Di India, mahasiswa atau
masyarakat yang demo bisa merusak kantor polisi. Tapi tidak merusak
sekolah-sekolah. Sekolah dianggap lambang dari Dewi Saraswati. Di India
orang masih menganggap kekuatan pengetahuan dan kekuatan bulan akan
memberi anugerah kesejahteraan dan kebahagiaan (Vidya balam
chandrabalamstathaiva). Karena itu, pengetahuan merupakan gurunya guru
(Vidya gurunam guruh). Seseorang yang tanpa pengetahuan adalah
binatang (vidya vihinah pashuh). Nilai-nilai pendidikan Hindu masih sangat
relevan diadopsi atau diterapkan dalam dunia modern dewasa ini. Nelson
Mandela mengatakan, pendidikan adalah senjata yang paling ampuh yang
bisa digunakan untuk mengubah dunia. (Nelson Mandela, seperti diucapkan
kembali oleh Karni Ilyas dalam ILC, Selasa 17 Desember 2013, dalam topik:
“Ospek Merenggut Nyawa Lagi”). Pendidikan menemukan eksistensinya
ketika pendidikan itu berguna bagi dunia. Cara pendidikan Hindu untuk
mengubah dunia ialah melalui Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam
pendidikan Hindu, pendidikan yang sejati berarti secara terus menerus
mengembangkan pengetahuan atau jñānam (kasar, material) dan vijñānam
(suci, spiritual) baik secara formal, non-formal maupun informal. Bhagavadgītā 7.2 mengatakan: jñānam te 'ham sa-vijñānam idam vakṣyāmy aśeṣataḥ,
yaj jñātvā neha bhūyo 'nyaj jñātavyam avaśiṣyate. Dalam dunia modern,
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
7
pendidikan tetap merupakan usaha sadar untuk mencerdaskan manusia,
akan tetapi usaha itu bersifat sangat kompleks. Seperti dikatakan Vaclav
Havel dalam Fritjof Capra, pendidikan adalah kemampuan untuk
mempersepsi koneksi-koneksi tersembunyi antar fenomena (Fritjop Capra,
2009: V).
2.4
Pendidikan dan Pembangunan Peradaban.
Pendidikan pada awalnya bersifat pragmatis. Sampai pada zaman
modern dewasa ini idiologi pendidikan tidak bergeser dari sifat pragmatis.
Kebanyakan orang bercita-cita mendapatkan pekerjaan setelah tamat
sekolah. Ada link and match antara pendidikan dengan pekerjaan.
Fenomena di Indonesia para sarjana kebanyakan ingin menjadi pegawai
negeri sipil. Sebagian lagi menginginkan pekerjaan sesuai dengan
pendidikannya. Orang tua dan masyarakat juga menuntut mereka agar
bekerja setelah mengikuti pendidikan. Ada kehormatan kalau setelah tamat
sekolah mendapatkan pekerjaan. Karena itu, idiologi pendidikan yang
bersifat pragmatis sama sekali tidak salah. Kenyataan ini ada dalam sejarah
pendidikan dari zaman kuno sampai sekarang. Adalah sesuatu yang wajar
menginginkan pekerjaan setelah mengikuti pendidikan.
Pendidikan Varna didasarkan pada “bakat pembelajaran” yang
mengarahkan kepada “bakat pekerjaan”. Seorang Brahmana harus
mengikuti pendidikan kebrahmanaan, dan setelah tamat dari pendidikan
kebrahmanaan, ia harus memilih pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan
yang ditekuni (kebrahmanaan). Demikian juga halnya dengan Ksatriya, ia
harus memilih pendidikan kekesatriyaan agar dia berkualifikasi untuk
pekerjaan Ksatriya. Vaisya juga demikian. Dia harus memilih pekerjaan
yang sesuai dengan pendidikannya. Pada zaman kuno, wawasan ini dipilih
berdasarkan guna dan karma. Sedangkan zaman modern sekarang ini
disebut wawasan yang dipilih berdasarkan profesionalisme.
Pendidikan Hindu menekankan pada training agar guna dan karma
menjadi berbanding lurus. Training dimaksudkan untuk memadukan
pengetahuan (kognisi) dan praktek (psikomotorik). Didalam perpaduan
antara pengetahuan dan praktek, terjadi juga perubahan sikap (afeksi),
namun porsinya kecil. Kalau dihubungkan dengan pendidikan yang sangat
ngetrend dan digandrungi pada zaman modern dewasa ini mendekati
pendidikan Vokasi yang ingin mendapatkan akses langsung dengan
pekerjaan. Dengan training para brahmacari mempunyai kompetensi, dan
selanjutnya dengan kompetensi para brahmacari berkualifikasi untuk
pekerjaan tertentu. Jadi, pada pendidikan kuno pun, pendidikan pada awal
mulanya adalah untuk mendapatkan pekerjaan.
Pendidikan tidak hanya melulu idiologi pragmatis. Dalam pendidikan,
yang lebih dominan, justru konsep idial pendidikan. Yang menjadi tujuan
dari konsep idial pendidikan adalah pembangunan peradaban rohani (divine
society). Peradaban rohani dimulai dengan dimulainya sistem Catur Varna
(Brahmana, Kstriya, Vaisya, Sudra) dan Catur
Asrama (Brahmacari,
Grhasta, Vanaprastha, Bhiksuka atau Sanyasin). Secara singkat disebut
pendidikan Varnāsrama Dharma. Berdasarkan budaya Veda, menurut
pengertian dan tujuannya, sistem Varna (pembelajaran berdasarkan bakat)
dan Asrama (pendidikan seumur hidup secara bertahap) mempunyai
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
8
lembaga-lembaga pendidikan yang ilmiah dan lengkap didalamnya.
Pendidikan seumur hidup (long life education) memenuhi kebutuhan fisik,
emosi, kecerdasan dan sosial manusia termasuk kebutuhan rohani.
Pendidikan Varnasrama merujuk pada sistem Varna dan Asrama
sebagai lembaga pendidikan yang berkaitan dengan sang diri berdasarkan
ajaran Veda yang menuntun seseorang dan masyarakat luas terhadap
kesempurnaan hidup. Fungsi-fungsi Catur Varna dan Catur Asrama,
apabila dijalankan akan melahirkan peradaban. Misalnya, Grhastha
Ashrama. Tahapan Grhastha dianggap sebagai yang terpenting dan termulia
dari semua yang lain. Sebab ke-tiga ashrama yang lain berasal dari dan
bergantung sepenuhnya pada Grhastha. Grhastha juga menghasilkan
keturunan dan melakukan yadnya dan korban suci kepada para dewa
sehingga alam beserta isinya dapat tetap terpelihara atas berkah dari dewadewa yang dipuaskan oleh yadnya yang dilakukannya.
Dalam Manawa Dharma Sastra, Resi Manu mengatakan: yatha vayum
samasrtya vartante sarva jantavah, tatha grhasthAsrama srtya vartante
sarva Asramah. Artinya, sebagaimana udara memberi kehidupan kepada
semua mahluk hidup demikian juga ke-tiga Asrama itu dihidupi oleh
Grhastha. Sarvesamapi caitesamvedasruti vidyanatah, Grhastha ucyate
srestah sa trinetanbibhartihi, Tatha nadinadah sarve sagare yanti sanstithim,
Tathaivasraminah sarve grhasthe yantisansthitim. Artinya, dari kesemua
Asrama yang ada, grhastha disebutkan sebagai yang termulia oleh Veda
sruti, sebab ialah yang menjadi penyokong bagi yang lainnya. Sebagaimana
sungai-sungai mengalir dan beristirahat di lautan, demikian pula ke-tiga
Asrama yang lain mendapat tempat bernaung pada grhastha. (Manawa
Dharma Sastra,III.77).
Demikian juga fungsi Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.
Brahmana mempunyai tugas belajar Veda, mengajarkan Veda, memimpin
yajnya untuk dirinya sendiri dan orang lain, menerima dan memberikan
dana punia. Kalau kaum Brahmana melaksanakan fungsinya dalam
masyarakat, maka akan melahirkan peradaban Brahmana. Peradaban
Brahmana adalah peradaban Rohani (divine society). Demikian juga, kalau
Ksatriya, Vaisya dan Sudra, melaksanakan fungsinya dalam masyarakat,
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
9
masing-masing akan melahirkan peradaban. Gabungan dari semua
peradaban ini melahirkan peradaban rohani. Seorang Brahmana dan
Ksatriya secara tradisi mengikuti semua Asrama. Vaisya diwajibkan
mengikuti dua Asrama yaitu Brahmacari dan Grhastha. Sedangkan Sudra
hanya diwajibkan mengikuti Grahastha Asrama.
Sistem Varna dan Asrama ini adalah praktek terbaik bagi masyarakat
petani dimana kehidupan mereka tetap sederhana dan waktu bisa
dimanfaatkan untuk keinsyafan diri. Perkembangan ekonomi tidak lagi
menjadi tujuan utama bagi setiap individu dan masyarakat. Bagaimanapun
juga seseorang seharusnya tidak berspekulasi menyimpulkan bahwa
seseorang secara otomatis akan menjadi miskin dan masyarakat akan tetap
primitif. Kehidupan desa tradisional sangat berharga dan masih tetap ideal
didalam semua segi termasuk segi material.
Peradaban harus berisi 24 nilai seperti dijelaskan Bhagavad-gītā 16.13 berikut ini: (1). Amanityam (sifat rendah hati); (2). Adambhitam (bebas dari
rasa bangga): (3). Ahimsa (tidak melakukan kekerasan): (4). KShantih
(toleransi); (5). Arjawam (kesederhanaan); (6). Acarya-upasanam (mendekati
seorang guru kerohanian yang dapat dipercaya); (7). Saucam (bersih lahir
batin); (8,9). Sthairyam Atma-vinigrahah (kemantapan dan mengendalikan
diri);(10, 11). Indriya arthesu, vairagyam (melepaskan ikatan terhadap
obyek-obyek kepuasan indria-indria); (12). Anahankarah (bebas dari
keakuan palsu); (13-16). Janma, mrityu, jara,vyadh (mengerti buruknya
kelahiran, kematian, usia tua dan penyakit); (17-19). Putra, dara, grha-adisu
(ketidakterikatan terhadap anak-anak, istri, dan rumah); (20). samacittatvam istanistopapattisu (keseimbangan pikiran ditengah-tengah kejadian
yang menyenangkan dan tidak menyenangkan); (21). Bhaktir avyabhicarini
(bhakti kepadaku (Krisna) yang murni dan tidak pernah menyimpang); (22).
Vivikta (bercita-cita tinggal di tempat yang sunyi)(23). Sevitvam aratir janasamsadi (ketidak-terikatan terhadap khalayak ramai); (24). Adhyatma-jnana
(mengakui bahwa keinsafan diri dan usaha mencari Kebenaran Yang Mutlak
dalam filsafat adalah hal yang penting). Masing-masing dari konten ini bisa
dijelaskan panjang lebar.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
10
Catur Asrama yang diajarkan oleh kitab suci Veda adalah sebuah
Pasraman di hutan kehidupan manusia, yang berisikan peta kehidupan
berupa aturan peraturan hidup di dunia yang akan mengantarkan manusia
pada tujuan hidup mereka di dunia ini yaitu Moksatham dan Jagadhita.
Tujuan utama dari ajaran ini adalah untuk menciptakan masyarakat rohani
dan mendorong masyarakat untuk mempelajari dan tetap memegang teguh
ajaran-ajaran Dharma dalam usaha mereka memenuhi empat tujuan
hidupnya yang disebut Catur Purusartha yaitu Dharma, Artha, Kama dan
Moksha.
III.
Penutup
Pendidikan pada awalnya bersifat pragmatis. Sifat pragmatis ini
dimakasudkan untuk memberi bekal ketrampilan agar siswa mempunyai
kompetensi untuk jenis pekerjaan tertentu. Tapi dalam pendidikan
Varnāśrama Dharma, pendidikan tidak hanya bersifat pragmatis. Idiologi
pendidikan Varnāśrama Dharma bersifat idealis. Bahkan sifat idealis ini
mendominasi pendidikan Varnāśrama Dharma. Secara ideal tujuan yang
ingin dicapai dalam pendidikan Varnāśrama Dharma adalah pembangunan
peradaban Rohani (divine society). Dalam pembangunan peradaban rohani
ada sejumlah nilai yang ingin diwujudkan dalam masyarakat melalui dunia
pendidikan. Pendidikan berlangsung seumur hidup (long life education)
melalui tahap-tahap pendidikan Catur
Asrama (brahmacari, grhastha,
vanaprastha dan Bhiksuka atau sanyasin). Profesionalisme dalam dunia
pendidikan adalah wawasan yang dikembangkan melalui Catur Varna
(Brahmana, Ksatriya, vaisya, Sudra) dengan dua konsep inti guna dan
karma, yaitu pendidikanyangdidasarkanpada “bakat pembelajaran” dan
mengarahkan kepada “bakatpekerjaan”. Dalam bingkai peradaban rohani,
pendidikan dimaksudkan untuk melahirkan orang-orang bijaksana (vidya
dadati vinaya) dan menginplementasikan nilai-nilai tanpa kekerasan
(ahimsa) dalam kehidupan. Nilai-nilai pendidikan Hindu juga dapat
mencerahkan batin seseorang. Orang yang tercerahkan bertindak
melampaui batas-batas kemanusiaan. Artinya, ia bebas dari ikatan dan
pengaruh dunia material, sehingga pada dirinya tidak lagi ditemukan
pesimisme. Ia menjalani kehidupan dengan tenang dan damai, seperti yang
dialami oleh para rsi dan yogi Himalaya. Karena itu, pendidikan harus
berbanding lurus dengan pertapaan. Dengan pertapaan dimasudkan belajar
Veda dan disiplin diri untuk mencapai kehormatan. Pada akhirnya,
pendidikan Varnāśrama Dharma dimaksudkan untuk memenuhi empat
tujuan hidup manusia atau Catur Purusartha (Dharma, artha, kama, dan
moksa) yang selanjutnya diwujudkan dalam tiga konsep dasar pendidikan
Hindu, yaitu: sambhada jñāna (identitas), abhidea jñāna (aktivitas), dan
prayojanajñāna (tujuan akhir).
IV.
Daftar Pustaka
Darmayasa.2000.Canakya Niti Sastra. Denpasar: Bali Post.
Darmayasa.Tanpa Tahun Terbit.Studi Ringkas Catur
Veda.Denpasar:
Yayasan Dharma Sthapanam.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
11
Rohiņīnandana dāsa.1990. Vaisnama Verse Book A Compedium of Vedic
Verse (as taught by His Divine Grace A.C. BhaktiVedanta Swami
Prabhupada). Singapura: The BhaktiVedanta Book Ltd.
Subarayudu C.1940. Sanatana Dharma, An Advance Text Book of Hindu
Religion and Ethics. Madras: The Philosophical Publishing house.
Rama, Swami.2002.Hidup Dengan Para Rsi, Yogi Himalaya. Surabaya:
Paramita.
Prabhupada, Sri Srimad A.C. BhaktiVedanta Swami.2000.Bhagavad Gītā
Menurut Aslinya. Jakarta: The BhaktiVedanta Book Trust.
Pudja M.A. G, Rai Sudharta M.A. Tjokorda Rai.2002.Manava Dharma Sastra
(Manu Dharma Sastra) atau Veda Smrti Compendium Hukum Hindu.
Jakarta: CV. Pelita Nursatama Lestari Jakarta.
Tilaar, H.A.R dan Riant Nugroho.2008.Kebijakan Pendidikan. Pengantar
Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan
Sebagai Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tirta rahardja, Prof. Dr. Umar dan Drs. S.L. La Sulo.2005.Pengantar
Pendidikan.Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas dan Penerbit
Rineka Cipta.
Widnya, Prof, Ph.D.
I Ketut. 2015.Peradaban Yang Membunuh Roh.
Denpasar: Sari Kahyangan.
Vaclav Havel. 2009.Dalam Fritjof Capra, The Hidden Connection: Strategi
Sistemik Melawan Kapitalisme Baru.
www. ing.org/intro.to.hinduism/437-ashramas
www.hindupedia.com/en/Varna-Asrama-Dharma
Hinduiwebsite.com/Hinduism/concept/ashramas.asp
12
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
PERAN PENDIDIKAN DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER
Oleh :
Ida Bagus Gede Subawa
Direktur Pendidikan Agama Hindu
I.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses
pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan
tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu,
sehat, dan berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun rohani.
Manusia yang berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat
dituntut untuk dibentuk atau dibangun. Bangsa Indonesia tidak hanya
sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, melainkan
bagaimana bangsa Indonesia mampu merealisasikan konsep pendidikan
dengan cara pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan SDM Indonesia
secara berkelanjutan dan merata. Ini sejalan dengan Undang-undang No. 20
tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan
adalah “… agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Melihat kondisi sekarang dan akan datang, ketersediaan SDM yang
berkarakter merupakan kebutuhan yang amat vital. Ini dilakukan untuk
mempersiapkan tantangan global dan daya saing bangsa. Memang tidak
mudah untuk menghasilkan SDM yang tertuang dalam UU tersebut.
Persoalannya adalah hingga saat ini SDM Indonesia masih belum
mencerminkan cita-cita pendidikan yang diharapkan. Misalnya untuk
kasus-kasus aktual, masih banyak ditemukan siswa yang menyontek di
kala sedang menghadapi ujian, bersikap malas, tawuran antar sesama
siswa, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba, dan lain-lain. Di sisi
lain, ditemukan guru, pendidik yang senantiasa memberikan contoh-contoh
baik ke siswanya, juga tidak kalah mentalnya. Misalnya guru tidak jarang
melakukan kecurangan-kecurangan dalam sertifikasi dan dalam ujian
nasional (UN).
Kondisi
tersebut
jika
dibiarkan
berlarut-larut
sangat
mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia. Untuk itu peran pendidikan
sebagai salah satu cara dalam pembentukan karakter SDM sangatlah
diharapkan. Namun sebelumnya, sebelum ke pokok bahasan pendidikan
karakter ada baiknya kita mengetahui lebih dalam tentang apa itu
pendidikan.
II.
2.1.
Pembahasan
Pendidikan
Pendidikan tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti sekolah
atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki
peran yang sama untuk membentuk kepribadian. UU Sisdiknas No. 20
tahun 2003 kita melihat ketiga perbedaan lembaga pendidikan tersebut.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang
yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
13
formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Sedangkan pendidikan informal jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
Kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan
dalam bentuk kegiatan belajar secara mandiri.
2.2. Karakter
2.2.1 Hakekat Karakter:
Menurut Simon Philips dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa
(2008:235), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu
sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.
Sedangkan Doni Koesoema A (2007:80) memahami bahwa karakter sama
dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri, atau karakteristik,
atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari
bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya lingkungan
keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.” Hal yang
selaras disampaikan dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:233) yang
mengartikan karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan
identitas bangsa.
Winnie memahami bahwa istilah karakter diambil dari bahasa Yunani
yang berarti ‘to mark’ (menandai). Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau
tingkah laku. Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia
menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang
berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut
memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang
berperilaku
jujur,
suka
menolong,
tentulah
orang
tersebut
memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya
dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a
person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.
Sedangkan Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan
akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan
perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul
tidak perlu dipikirkan lagi.
2.3.
Pendidikan Karakter
Pendidikan adalah proses internalisasi nilai afektif, knowledge, dan
budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang
dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer
ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana
pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak
harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh tiga domain pendidikan,
yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak
mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan
kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya
intelektualitas untuk menggali dan mengembang-kan serta menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada
kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan
kompetensi kinestetis.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
14
Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa di Yogyakarta bulan Oktober
1949 pernah berkata bahwa "Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan,
keberadaban, budaya, dan persatuan”. Sedangkan menurut Prof. Wuryadi,
manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa
yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar dapat
dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau hasil
pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan ajar
adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau
perubahan yang direncanakan atau diprogram. Membangun karakter
Mengacu pada Nilai Agama perlu melalui pengkajian, dan pengembangan
karakter dengan fokus menanamkan 9 pilar nilai-nilai luhur universal : (1).
Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; (2) Tanggung jawab,
Kedisiplinan, dan Kemandirian; (3) Kejujuran; (4) Hormat dan Santun: (5)
Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama; (6) Percaya Diri, Kreatif, Kerja
Keras, dan Pantang Menyerah; (7) Keadilan dan Kepemimpinan; (8) Baik dan
Rendah Hati; dan (9) Toleransi, Cinta Damai dan Persatuan.
2.4 Lingkungan Pendidikan Karakter
1.
Lingkungan Keluarga
Pendidikan anak yang paling mendasar adalah pendidikan dalam
keluarga. Pendidikan keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap pembentukan karakter anak dan menjadi kunci utama dalam
membentuk pribadi anak menjadi baik. Seorang anak yang dididik oleh
orang tuanya dengan penuh kasih sayang akan merasa dihargai dan
dibutuhkan, ia pun akan menyayangi keluarganya sehingga akan tercipta
kondisi yang saling menghargai dan saling membantu. Kondisi tersebut
sangat mendukung perkembangan anak karena orang tualah yang berperan
utama dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Di dalam keluarga
yang penuh rasa kasih sayang, menjadikan harga diri anak dapat
berkembang karena ia merasa dihargai, dicintai, dan diterima sebagai
manusia. Dengan dihargai dan dihormati, maka kita juga dapat menghargai
orang lain. Keluarga yang menerapkan pendidikan keluarga dapat
menghasilkan anak yang memiliki kepribadian baik. Oleh karena itu,
pendidikan dalam keluarga harus menjadi dasar yang kuat dalam
membangun kepribadian seorang anak.
2.
Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah merupakan hal yang sangat penting sebagai
pendidikan kedua setelah keluarga. Guru menjadi rol model bagi peserta
didik. Guru berperan memberikan motivasi, dan semangat untuk melatih
kedisiplinan agar anak memiliki tanggung jawab dalam dirinya. Lingkungan
sekolah menekankan pengajaran tentang kedisiplinan, tanggung jawab, dan
ketaatan terhadap aturan-aturan yang berlaku serta norma-norma yang
berlaku di lingkungan masyarakat sehingga anak dapat menempatkan diri
dimanapun dia berada. Lingkungan sekolah memberikan secara utuh 3
domain pendidikan kepada peserta didik.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
15
3.
Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat juga memiliki peran penting bagi
perkembangan anak didik, karena lingkungan masyarakat dapat
memberikan gambaran bagaimana hidup bermasyarakat. Anak didik
berinteraksi secara langsung dengan masyarakat, sehingga masyarakat
dapat menilai anak tersebut apakah dia berkarakter atau tidak
Manusia yang berpendidikan tinggi dengan IQ jenius saja tidak menjamin
kemajuan bangsanya jika tidak memiliki karakter yang baik, bahkan
mungkin saja malah digunakan untuk menghancurkan bangsanya demi
keuntungan pribadi. Tanpa membangun pendidikan karakter, seseorang
akan tumbuh menjadi seseorang yang mungkin saja pandai, tetapi miskin
spiritual dan emosional. Proses pendidikan tanpa disertai pembangunan
karakter, hanya sekedar menjadi sarana pelatihan dan asah otak,
sedangkan tingkah laku dan moral terabaikan. Pendidikan pada dasarnya
bertujuan membantu manusia menjadi cerdas dan pandai serta menjadi
manusia yang baik dan bijak. Untuk menjadikan manusia cerdas dan pintar
bukanlah hal yang sulit dilakukan, tetapi untuk menjadikan seseorang agar
menjadi orang baik dan bijak itu bukan hal yang mudah dilakukan, bahkan
dapat dikatakan sangat sulit.
Pendidikan karakter yang meliputi pendidikan moral, pendidikan
nilai-nilai kehidupan, religius, dan budi pekerti di setiap institusi
pendidikan harus terus dikembangkan. Karakter merupakan pola perilaku
yang bersifat individual.
2.5
Peran Pendidik
Schaps, dan Lewis (2007) serta Azra (2006) menguraikan beberapa
pemikiran tentang peran pendidik, di antaranya :
1. Pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan
mengambil inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan
karakter;
2. Pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki
nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk
mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan
sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang
hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan
siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang
berbagai nilai-nilai yang baik tersebut;
3. Pendidik perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa
tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi dalam mengambil
keputusan;
4. Pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa
pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa siswasiswanya mengalami perkembangan karakter;
5. Pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada
peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang
baik dan yang buruk.
Hal-hal lain yang pendidik dapat lakukan dalam implementasi
pendidikan karakter (Djalil dan Megawangi, 2006) adalah : (1) pendidik
perlu menerapkan metode pembelajaran yang melibatkan partisipatif aktif
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
16
siswa, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, (3)
pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis,
dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving
the good, and acting the good, dan (4) pendidik perlu memperhatikan
keunikan siswa masing-masing dalam menggunakan metode pembelajaran,
yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek kecerdasan
manusia. Agustian (2007) menambahkan bahwa pendidik perlu melatih dan
membentuk karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sehingga
terjadi internalisasi karakter, misalnya mengajak siswanya melakukan
shalat secara konsisten.
III.
Penutup
SDM yang berkarakter sangat diperlukan untuk menghadapi
tantangan global.. Karakter SDM Hindu dapat dibentuk melalui proses
pendidikan formal, non formal, dan informal serta pendidikan Agama dan
pendidikan Keagamaan formal dan informal yang ketiganya harus
bersinergis. Untuk menyinergiskan, peran pendidik dalam pendidikan
karakter menjadi sangat vital sehingga peserta didik menjadi manusia yang
religius, cerdas, mandiri dan disiplin serta jujur sesuai dengan cita-cita dan
tujuan pendidikan nasional.
Kedepan bangsa Indonesia membutuhkan SDM yang mampu
menghadapi tantangan global, dan kini telah masuk dalam MEA. Untuk
itulah SDM Indonesia diharapkan mempunyai keunggulan baik yang terkait
dengan intelegensi, karakter, dan budaya.
17
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
MELIHAT KEMBALI METODE PENDIDIKAN HINDU KUNO :
REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU MENUJU
GENERASI GEMILANG
Oleh :
Agus Indra Udayana
Ashram Gandhi Puri
Email: [email protected]
Abstract
The purpose and ideals of ancient Indian education is to promote selfdevelopment that is simultaneous and harmonious. The ancient Indians
declared that the individual exists is for the people rather than vice versa.
Therefore, the function of education is to introduce the culture of their race.
Ancient India realized that association and imitation plays a major role in
shaping the character and improve the caliber of students. Even a stupid
students will be able to increase his intelligence if he is closely linked with a
brilliant child and imitate his methods. Gurukula system, which requires
students to stay with the teacher or in a house with a recognized reputation, is
one of the most important features of ancient Indian education.
Keywords: Methods of Education, Ancient Hindu, character, intelligence
Abstrak
Tujuan dan cita-cita pendidikan India kuno adalah untuk
mempromosikan pengembangan diri yang simultan dan harmonis. Orang
India kuno menyatakan bahwa individu eksis adalah untuk masyarakat
bukan sebaliknya. Oleh karena itu, fungsi pendidikan adalah untuk
memperkenalkan budaya dari ras mereka. India kuno menyadari bahwa
asosiasi dan imitasi memainkan peran besar dalam membentuk karakter
dan meningkatkan kaliber mahasiswa. Bahkan seorang mahasiswa bodoh
akan dapat meningkatkan kecerdasannya jika dia berhubungan erat dengan
anak brilian dan meniru metodenya. Sistem Gurukula, yang mengharuskan
siswa tinggal dengan gurunya atau di sebuah rumah yang diakui
reputasinya, adalah salah satu fitur yang paling penting dari pendidikan
India kuno. Metode Upanishad menjadi kekuatan bathin Guru dan Murid.
Dialog danpembelajaran terjadi dari kehidupan sehari-hari yang lebih
membawa kepada suasana bathin dan pembelajaransejati.
Kata Kunci: Metode Pendidikan, Hindu Kuno, karakter, kecerdasan
I.
Pendahuluan
Depdiknas dalam dokumen Renstranya menyatakan Visi pendidikan
di Indonesia pada tahun 2025 menghasilkan Insan Kamil/Insan Paripurna
yaitu INSAN INDONESIA CERDAS DAN KOMPETITIF. Insan kamil
dideskripsikan sebagai insan cerdas spiritual beraktualisasi diri melalui
olah hati/kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan,
ketakwaan dan akhlakmulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian
unggul. Cerdas emosional beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk
meningkatkan sensitivitas dan apresiasivitas akan kehalusan dan
keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
18
Cerdas sosial beraktualisasi diri melalui interaksi sosial yang membina dan
memupuk hubungan timbal balik, demokratis, empatik dan simpatik,
menjunjung tinggi hak asasi manusia, ceria dan percaya diri, menghargai
kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara, serta berwawasan
kebangsaan dengan kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara.
Cerdas kinestetik beraktualisasi diri melalui olah raga untuk
mewujudkan insan yang sehat, bugar, berdaya-tahan, sigap, terampil, dan
trengginas sebagai aktualisasi insan adiraga. Kompetitifdengan ciri-ciri
berkepribadian unggul dan gandrung akan keunggulan, bersemangat juang
tinggi, mandiri, pantang menyerah, pembangun dan pembina jejaring,
bersahabat dengan perubahan, inovatif dan menjadi agen perubahan,
produktif, sadar mutu, berorientasi global, dan pembelajar sepanjang hayat
(Putu Panji Sudira, http://eprints.uny.ac.id).
Hindu adalah agama tertua di dunia yang banyak menyimpan
monumen-monumensejarah yang selalu menarik untuk digali dan diteliti.
Banyak para ahli dari Barat yangdatang ke wilayah-wilayah yang dahulu
menjadi pusat-pusat peradaban Hindu untuk dijadikan kajian dari berbagai
macam bidang ilmu seperti : filsafat, humaniora, politik, pendidikan dan
sebagainya.Veda sebagai kitab suci agama Hindu merupakan sumber ajaran
agama Hinduyang juga telah banyak memberikan sumbangan dalam
pengembangan ilmu pengetahuandi bumi ini. Para Mahārṣi yang merupakan
penerima wahyu Veda juga telah mewariskan seluruh pengetahuan suci
tersebut kepada para murid-muridnya. Proses ini telah berlangsung dalam
jangka waktu sang sangat lama dan dilaksanakan secara turuntemurumelalui sistem dan proses pendidikan yang khas (Miswanto, 2008:
1).
II.
2.1
Pembahasan
Cita-Cita Pendidikan Hindu Kuno
Sejak jaman dulu pendidikan yang diselenggarakan oleh instansi
pendidikan sangat menekankan pada penemuan jati diri, kemudian diikuti
oleh karakter. Kedua ini menjadi tujuan utama dari pendidikan di jaman
kuno. Penemuan jati diri dan karakter yang dimaksudkan tidak hanya
datang pada pelajaran agama dan etika, melainkan lebih pada kualitas
materi yang diberikan dan teladan yang diberikan oleh pendidik kepada
siswanya. Banyak orang mengira bahwa pendidikan di jaman dulu melulu
masalah agama. Tetapi meskipun mereka basiknya adalah pendidikan Veda,
sebagian besar mereka belajar tentang sains, filsafat, dan ilmu kejuruan
lainnya yang bisa dimanfaatkan di dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan
langsung dari segala jenis pendidikan di jaman kuno, apakah pendidikan
sastra atau profesional dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Membentuk siswa menjadi anggota masyarakat yang berguna dan
saleh. Pemikir India kuno menyatakan bahwa pencapaian intelektual
belaka merupakan konsekuensi yang paling minimal jika
dibandingkan dengan pengembangan moral dan karakter.
2. Pengembangan kepribadian. Ini diwujudkan melalui meningkatkan
rasa harga diri, dengan mendorong rasa percaya diri, dengan
menanamkan pengendalian diri dan dengan meningkatkan kekuatan
diskriminasi (viveka).
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
19
3. Penanaman terhadap tugas kemasyarakatan dan sosial. Lulusan
sekolah jangan sampai menjalani hidup secara egois. Dia harus
mengajarkan pengetahuan yang telah diperolehnya kepada generasi
muda meskipun tanpa digaji.
4. Promosi terhadap efisiensi sosial dan kebahagiaan. Hal itu dapat
diwujudkan melalui pelatihan yang tepat terhadap generasi muda di
berbagai cabang ilmu pengetahuan, profesi dan industri.
5. Pelestarian dan penyebaran warisan dan budaya nasional. Diakui
juga bahwa pendidikan adalah sarana utama dari kelangsungan sosial
dan budaya dan tujuan itu akan gagal jika tidak mengajarkan
generasi muda untuk dapat menerima dan mempertahankan tradisi
terbaik dari pikiran dan tindakan dan warisan masa lalu untuk
generasi masa depan. Teori Tiga Hutang (Tri Rna, hutang kepada
Dewa, kepada guru dan orang tua) yang menarik, yang telah
dianjurkan sejak jaman Veda, telah secara efektif mendorong generasi
muda untuk menerima dan mempertahankan tradisi terbaik dari
pemikiran dan tindakan dari generasi masa lalu (Tim Penyusun, 2016:
339-384).
Sistem Gurukula, yang mengharuskan siswa tinggal dengan gurunya
atau di sebuah rumah yang diakui reputasinya, adalah salah satu fitur yang
paling penting dari pendidikan India kuno. Smritis merekomendasikan
bahwa siswa harus mulai hidup di bawah pengawasan guru setelah
Upanayana. Pengakuan akan pentingnya hubungan dan imitasi adalah
salah satu alasan utama sistem Gurukula. Langsung, pribadi dan terusmenerus melakukan kontak dengan guru secara alami akan menghasilkan
efek yang besar pada diri seorang sarjana selama periode dari masa kanakkanak sampai remaja.
Keyakinan umum tentang Gurukulas adalah terletak di hutan jauh
dari hiruk-pikuk kehidupan kota sebagian besar benar. Namun sebagian
besar kasus, Gurukulas berada di desa-desa atau kota-kota. Ini terjadi
secara alami sebab guru biasanya orang yang berrumah tangga. Perhatian
diperlukan untuk mencari Gurukula di tempat terpencil atau taman dan di
lingkungan suci. India kuno, karena itu sangat mementingkan keluarga
dalam skema pendidikan mereka. Mereka menyatakan bahwa anak mulai
menerima pengaruh yang membentuk karakter dan efisiensinya sejak awal
konsepsi (Tim Penyusun, 2016: 339-384).
2.2
Guru dan Siswa
Fungsi guru adalah untuk membimbing siswa dari kebodohan menuju
cahaya pengetahuan. Lampu belajar tersembunyi di bawah penutup, kata
seorang pemikir, guru menghilangkan penutupnya dan memberikan cahaya.
Oleh karena itu siswa harus berterima kasih kepadanya dan menunjukkan
penghormatan tertinggi kepadanya. Dia dihormati melebihi orang tua; sebab
kepada orang tua kita berhutang kelahiran secara fisik, sementara guru
dapat meregenerasi intelektual kita. Dari jaman Veda ke belakang, guru
ditunjuk sebagai bapak spiritual dan intelektual siswa. Kemuliaan yang
melekat pada seorang guru dalam sistem pendidikan kuno dan
penghormatan tinggi yang ditunjukkan kepadanya dalam masyarakat tidak
sulit dipahami. Sejak awal jaman Veda belajar Veda dilakukan secara lisan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
20
di India dari satu generasi ke generasi berikutnya. Model ini terus berlanjut
bahkan ketika seni menulis datang dan menjadi mode umum.
Dengan munculnya sistem mistis filsafat di jaman Upanishad,
penghormatan kepada Guru menjadi lebih diintensifkan; keselamatan
rohani bergantung sepenuhnya pada bimbingan guru. Pemuliaan kepada
guru menghasilkan pengaruh psikologis yang besar pada siswa, sejak anak
usia muda. Meskipun guru dihormati sangat tinggi, tidak pernah muncul
lembaga Pelatihan Guru Sekolah Tinggi sebagaimana pada zaman modern di
masa lalu. Siswa senior diberikan kesempatan untuk mengajar siswa
pemula pada sebagian besar lembaga pendidikan.
Siswa memandang guru sebagai orang yang ideal dan mampu
mengatur perilaku sendiri dengan contoh gurunya. Oleh karena itu terakhir
diharapkan terbentuk orang saleh yang berkarakter tinggi. Dia sangat sabar
dan memperlakukan murid-muridnya secara sama. Di atas semua itu, ia
harus menguasai cabang pengetahuan; ia terus belajar sepanjang hidupnya.
Dia harus memiliki kemampuan menyampaikan pengetahuan secara lancar,
kecerdasan, pikiran yang jernih, memiliki anekdot yang banyak dan
menarik dan harus mampu menjelaskan teks-teks yang paling sulit tanpa
kesulitan atau penundaan. Guru harus mampu menginspirasi serta
menginstruksikan kesalehan, karakter, keilmiuan dan kehidupan
berbudaya, mempunyai pengaruh yang dalam dan permanen kepada siswa
muda mengikuti pelajarannya (Tim Penyusun, 2016: 339-384).
2.3
Metode Pengajaran
Metode mengingat adalah yang paling utama sejak awal system
pendidikan dimulai. Hal ini dilakukan karena tidak adanya ketersediaan
kertas pada jaman itu dan juga tidak ada metode menulis. Kalaupun ada,
menulis secara permanen akan sangat susah karena tiadanya sarana yang
mendukung. Melalui metode ini setiap murid mesti mengingat setiap
pelajaran dengan baik. Sehingga pada saat itu mereka memiliki seni
mengingat agar mudah dan cepat. Dengan system ini murid akan mampu
memahami dengan sangat baik setiap ajaran yang diberikan. Dewasa ini,
karena perkembangan peralatan telah demikian canggih, metode mengingat
telah kehilangan arti. Segala sesuatunya telah bisa di tulis dengan mudah
tidak hanya di dalam kertas, tetapi di dalam sebuah alat elektronik.
Metode debat juga merupakan metode yang sangt efektif pada jaman
itu, dimana sekarang juga mulai ditinggalkan. Pada saat itu kecerdasan
seorang murid akan kelihatan dengan kemampuan debatnya. Dengan
metode ini, setiap murid diharuskan untuk melakukan persiapan dengan
baik sehingga bisa berdebat. Perkembangan pemikiran juga banyak muncul
dari jenis perdebatan ini, sebab berbagai pertanyaan yang diajukan akan
memunculkan jawaban yang bervariasi. Semakin banyak pertanyaan yang
muncul, maka semakin banyak memerlukan jawaban logis dibaliknya,
sehingga mahasiswa dituntut memahami secara komprehensif materi yang
dipelajari. Demikian juga menggunakan farabel untuk menjelaskan materi
pelajaran yang sangat rumit sangat efektif untuk membuat mahasiswa
paham. Dengan adanya pengawasan yang intensif dan jumlah kelas yang
sedikit sangat memungkinkan kelas bisa berjalan lebih baik (Tim Penyusun,
2016: 339-384).
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
21
III
Penutup
Sistem pendidikan tidak hanya bertujuan untuk menanamkan
pengetahuan umum dari sejumlah mata pelajaran; idealnya adalah untuk
melatih agar menjadi ahli di berbagai cabang. Percetakan dan kertas tidak
ada, buku sangat mahal dan perpustakaan praktis tidak ada, karena itu
sistem
pendidikan
menekankan
khusus
untuk
melatih
dan
mengembangkan memori untuk memastikan bahwa apa yang siswa telah
pelajari selama kuliah bermanfaat baik sepanjang hidup mereka. Perhatian
secara pribadi sangat ditekankan kepada setiap siswa untuk memastikan
tingkat kemahiran mereka.
Budaya mendengar menjadi pelajaran terpenting pula di dalam
Revitalisasi pendidikan. Ketika kekuatan dialog dimulai dari mendengar
yang menjadi olah rasa dan pikiran. Ketik abudaya membaca menjadi hanya
copy paste semata maka akan melunturkan daya beda (Viveka) kita.
Meskipun India kuno menyatakan bahwa semua orang harus
menerima manfaat dari pendidikan, namun mereka juga menyatakan bahwa
orang yang secara moral dan intelektual tidak layak menerima itu tidak
dapat merasakan manfaatnya. Baik orang kaya maupun orang miskin mesti
berdisiplin dalam belajar. Waktu dan persiapan yang melelahkan diperlukan
untuk memperoleh landasan nyata dan efisiensi dari mata pelajaran. Tentu
India kuno menyatakan bahwa seorang siswa harus tidak menikah selama
kuliahnya. Istilah Brahmachari, yang digunakan untuk menunjuk
mahasiswa, terutama pada mereka yang menjalani hidup selibat dalam
rangka mewujudkan cita-cita pendidikan ini. Otoritas kita bersikeras bahwa
siswa harus tetap selibat baik dalam pikiran maupun perbuatan. Dia bisa
menikah hanya pada akhir kuliahnya, ketika diijinkan oleh guru untuk
melakukannya.
IV
Daftar Pustaka
Miswanto, 2008. Dunia Pendidikan dalam Perspektif Hindu. Dalam:
https://www.scribd.com. Diunduh: 30-09-2016.
Putu Panji Sudira, tt. Konsep Pendidikan Agama Hindu. Dalam:
http://eprints.uny.ac.id. Diunduh: 30-09-2016.
Tim Penyusun, 2016. Pandangan Sekilas Pendidikan Berbasis Hindu
Dharma. Surabaya: Paramita.
22
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU
UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI
YANG ILMIAH DAN RELIGIUS
Oleh
I Gusti Made Ngurah
Praktisi Agama dan Kebudayaan
I.
Pendahuluan
Pendidikan agama Hindu merupakan sub sistem dari sistem
pendidikan nasional, dimana mutu pendidikan nasional Indonesia sampai
saat ini dianggap lebih rendah dari mutu pendidikan negara-negara lain di
Asia Tenggara, apalagi kalau dibandingkan dengan negara-negara Barat
yang pendidikannya boleh dikatakan sudah maju, karena negaranyapun
sudah disebut negara maju. Sementara Indonesia masih digolongkan negara
sedang berkembang; entah kapan akan nedeng (puncak) berkembangnya ?.
Jika mutu pendidikan nasional rendah pasti termasuk pendidikan
agama Hindu-pun mutunya masih rendah. Pemerintah secara terus nenerus
telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan
nasional, tentunya termasuk pendidikan agama Hindu di dalamnya. Upaya
di maksud antara lain : 1) adanya perubahan paradigma pendidikan
nasional, 2) adanya perubahan kebijakan dalam peraturan perundang undangan pendidikan, 3) adanya upaya peningkatan sarana prasarana
termasuk dana pendidikan, 4) adanya upaya peningkatan SDM
kependidikan, dan 5) adanya peningkatan peranserta masyarakat dalam
penyelengaraan pendidikan.
Jika pendidikan agama Hindu dilihat sebagai sebuah sistem, maka
upaya-upaya yang sama harus dilakukan secara mandiri dan
berkeseimbangan serta berkesinambungan dalam upaya mencapai hasil
pendidikan agama Hindu sesuai dengan yang diharapkan. Tentu dengan
terlebih dahulu menelusuri keberadaan pendidikan agama Hindu saat ini
dibandingkan dengan harapan ke depannya. Untuk hal itu bandingkan
pula dengan start adanya pendidikan agama Hindu dengan pendidikan
agama yang lain, terutama dengan pendidikan agama Islam Indonesia
sangat jauh ketinggalan. Ketertinggalannya disebabkan oleh berbagai hal
yakni antara lain:
1. Pengakuan pemerintah tentang keberadaan agama Hindu di Indonesia
baru terjadi di tahun 1958.
2. Adanya pengekangan dan salah kaprah/salah penafsiran, serta tekanan
pihak hegemoni terhadap istilah ajawera dalam ajaran agama Hindu.
3. Pemberian pendidikan agama Hindu di sekolah secara normative baru
dimulai dengan adanya kurikulum 1968 berlanjut pada kurikulum 1975
dan seterusnya.
4. Ketidak seimbangan fasilitas negara untuk pengembangan sistem
pendidikan agama Hindu.
5. Kelemahan SDM Hindu dalam pelaksanaan manajemen pendidikan
agama Hindu.
6. Peserta didik Hindu tersebar secara sporadis di berbagai wilayah
Indonesia, kecuali di Bali agak terkonsentarasi.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
23
7. Terjadi ketindakseimbangan pelaksanaan pendidikan
agama Hindu
pada tiga jalur pendidikan.
8. Visi dan misi pendidikan agama Hindu yang tidak jelas.
9. Sistem pengkajian materi pendidikan agama Hindu juga tidak jelas dan
tidak fokus, dan lain sebagainya. Itulah berbagai ketimpangan yang ada
selama ini tentang pendidikan agama Hindu di Indonesia.
Walaupun demikian (di balik ketimpangan tersebut) berkat kegigihan
dari pencinta dan pejuang agama Hindu (khususnya bidang pendidikan
agama Hindu) kondisi pendidikan agama Hindu sampai saat ini tidaklah
terlalu buruk dibanding dengan pendidikan agama-agama yang lain di
Indonesia.
Pemerintah dan pemerintah daerah sudah memfasilitasi pelaksanaan
pendidikan agama Hindu, walaupun belum memadai sesuai kebutuhan.
Sesungguhnya umat Hindu Indonesia masih punya kekuatan berupa :
modal sosial, modal intelektual, modal sumber daya pendorong yang bisa
dimanfaatkan untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan agama Hindu
ke depannya. Hanya saja tampaknya semangat Tat Tvam Asi dan semangat
Vasudewa Kutum bakam dalam mengembangkan modal-modal tersebut
masih lemah. Oleh karena itu, beberapa komponen sistem pendidikan
agama Hindu sulit untuk diukur mutu atau kualitasnya. Wajarlah dalam
hal ini dipertanyakan kenapa perlu revitalisasi, apakah tujuan pendidikan
yang ingin dicapai belum tercapai? Apa saja sub-sub sistem pendidikan
agama Hindu yang perlu direvitalisasi, dan upaya apa yang harus
dilakukan?, agar harapan menjadikan generasi ilmiah (ilmuwan) dan
religius (agamawan) bisa tercapai. Mari kita telusuri dilapangan untuk
menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
II
2.1
Pengertian Istilah
Revitalisasi Pendidikan Agama Hindu
Kata ”vital” artinya sangat penting untuk kehidupan.; sehingga kata
revitalisasi maksudnya
adalah sebuah proses atau cara, perbuatan
merevitalkan ( menjadikan vital); menghidupkan kembali spirit lama (tim
penyusun, 1997:840). Jika pendidikan agama Hindu dipandang sebagai
sebuah sistem, maka seluruh sub sistemnya adalah vital. Akan tetapi tentu
ada yang paling vital, lebih vital, vital, kurang vital, sehingga revitalisasi
dalam sebuah sistem pendidikan agama Hindu bisa ada pilihan skala
prioritas terhadap sub-sub sistem mulai dari yang dianggap paling vital
sampai dengan yang tidak terlalu vital. Dinyatakan demikian; karena tidak
mungkin revitalisasi dapat dilakukan satu kaligus secara keseluruhan
dalam satu proses besar terhadap semua komponen pendidikan agama
Hindu itu sendiri..
Mengenai arti ”Pendidikan Agama Hindu” dapat dibahas dengan dua
bagian yaitu: mendahulukan pemahaman pendidikan dalam arti umum dan
kemudian mencoba memahami arti pendidikan agama Hindu secara
khusus. Para pelaku pendidikan tentu sudah paham betul tentang arti,
maksud
dan tujuan pendidikan dalam arti umum, namun agar
pembahasan ini lebih focus maka marilah kita me-recoll sejenak apa arti
pendidikan menurut undang-undang yang kita miliki dan kita jadikan
pedoman bersama dalam mengelola pendidikan saat ini.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
24
Di dalam Undang Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 1 angka 1 dinyatakan:
”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan,
ahlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat
bangsa dan negara”.
Tampaknya pengertian pendidikan dalam ketentuan ini, jika disimak
dengan saksama akan didapatkan pemahaman bahwa :
1. Pendidikan
adalah
usaha
sadar;
berarti
pendidikan
diselenggarakan dalam sebuah sistem yang telah direncanakan
sebelumnya secara matang (tidak ada kata kebetulan atau kata
sekedar).
2. Pendidikan menjadikan suasana belajar dan pembelajaran
menarik dan dapat memotivasi peserta didik agar dapat
mengembangkan potensi yang dimiliki (belajar itu menyenangkan).
3. Pengembangan potensi diri adalah untuk menguatkan dirinya juga
berkenaan dengan penguatan spiritual agama (menumbuh
kembangkan diri sebagai seorang religius/agamawan).
4. Pernyataan pengendalian diri agar siswa menjadi Susilawan,
berperilaku sopan santun.
5. Memiliki keperibadian yang baik, maksudnya dapat hidup sesuai
falsafah hidup dalam diri, warga, dan bangsanya.
6. Bisa mengembangkan kecerdasan yang dimiliki peserta didik, dan
dengan dasar-dasar pengembangan tersebut seorang peserta didik
akan berakhlak mulia (menjadi ilmuwan/ilmiah,intelektual).
Selanjutnya di dalam UURI Nomor 20/2003 tersebut juga dinyatakan:
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan
Undang Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap
tuntutan perubahan jaman. Jadi dalam rumusan pendidikan nasional ini
ternyata nilai-nilai agama termasuk nilai-nilai agama Hindu menjadi akar
atau sumber pertama dan utama dari pelaksanaan pendidikan nasional.
Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa Pendidikan Agama Hindu
adalah pendidikan yang direncanakan (dengan prinsip keseimbangan)
dilaksanakan, dihasilkan berdasarkan ajaran agama Hindu,
baik
pendidikan agama Hindu formal, informal maupun pendidikan agama
Hindu nonformal. Hal dimaksud sesuai dengan adanya tiga jalur pendidikan
yang dinyatakan dalam UU RI No.20 tahun 2003, tentang Sistem
Pendidikan Nsional.
Konsep keseimbangan dalam Pendidikan agama Hindu berkaitan
dengan keseimbangan penerapan konsep menurut ajaran agama dengan
konsep kebijakan pemerintah, keseimbangan antara pembelajaran teori dan
praktik, keseimbangan pelaksanaan pendidikan pada tiga jalur, dan
keseimbangan pendidikan agama dalam aspek fisik material dan mental
spiritual. Secara lebih khusus tampak adanya ide pencapaian pendidikan
agama termasuk pendidikan agama Hindu yaitu menjadikan peserta didik
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, ahlak mulia dan pengendalian diri,
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
25
serta keprinbadian (ciri agama), serta ketrampilan yang diperlukan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
2.2
Generasi yang Ilmiah dan Religius
Mengenai generasi adalah sekalian orang yang kira-kira sama waktu
hidupnya; angkatan, turunan. Atau masa orang-orang satu angkatan hidup.
Sasaran dalam pendidikan lebih diarahkan kepada generasi muda. Oleh
karena itu, generasi muda adalah kelompok (golongan,kaum) muda (Tim
penyusun, 1997:309). Generasi (muda) Hindu di tahun 1940-an, tahun
1960-an, tahun 1990-an, pastilah berbeda dengan genearsi (muda) Hindu
saat ini; dan generasi mendatang. Generasi (muda) Hindu saat ini sangat
dipengaruhi oleh perkembangan IPTEK yang begitu maju pesat. Barang
siapa tidak bisa menguasai, mengendalikan diri dalam memanfaatkan atau
tidak bisa memanfaatkan IPTEK tersebut pasti akan ketinggalan jauh dari
generasi muda yang lain; yang dapat menguasai dan memanfaatkan IPTEK.
Dalam pembahasan ini generasi muda Hindu diharapkan melalui proses
pendidikan agama Hindu bisa menjadi generasi yang ilmiah dan religius.
Kata ”ilmiah” artinya bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan
memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan. Ilmu artinya pengetahuan
tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metodemetode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu dibidang (pengetahuan) itu (Tim penyusun, 1997: 370-371).
Adapun tentang ”riligius” yang berasal dari kata religi sama artinya dengan
kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia. Religius
artinya berseifat religi, bersifat keagamaan: yang bersangkut paut dengan
religi (Tim penyusun 1997: 830)
Jadi generasi (muda) Hindu yang ilmiah dan religius hasil pendidikan
agama Hindu adalah
generasi (muda) Hindu yang menguasai ilmu
pengetahuan, utamanya ilmu pengetahuan agama Hindu dengan baik dan
benar, dan menjadi generasi yang agamawan/religius (menguasai agama,
tahu agama, beragama/agamais, dan melaksanakan agama dengan baik
dan benar).
III
Kesempatan, Arah, dan Tujuan Pendidikan Agama Hindu
Setiap berbicara tentang pendidikan agama pada sistem pendidikan
nasional, tentu di dalamnya termasuk pendidikan agama Hindu. Oleh
karena itu, kesempatan, arah dan tujuan pendidikan agama Hindu dapat
kita simak dari berbagai peraturan tentang pendidikan yang ada dan pada
ketentuan dalam agama Hindu itu, antara lain sebagai berikut.
3.1. UU RI Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan
Nasional
Pada pasal 12, (1) a, UURI No.20/2003 dinyatakan setiap peserta
didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan
agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik
yang seagama. Lebih lanjut dalam penjeleasan undang-undang dimaksud
dinyatakan bahwa: pendidik dan/guru agama yang seagama dengan peserta
didik difasilitasi dan/atau disediakan oleh pemerintah atau pemerintah
daerah sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
26
Dalam hal ini sangat jelas bahwa peserta didik yang beragama Hindu
mempunyai kesempatan untuk mendapat pendidikan agama Hindu dan
diajarkan oleh guru yang juga beragama Hindu. Pengadaan guru agama
Hindu terutama pada sekolah-sekolah negeri menjadi kewajiban pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah untuk memenuhinya.
3.2. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidkan
Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007, tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Pasal 1 ayat (1) dan (2)
dinyatakan:
1) Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan
pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan
keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran
agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui
mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang dan jenis
pendidikan.
2) Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan
peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut
penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau
menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
Selanjutnya pada pasal 38 PP RI No. 55 Tahun 2007 dinyatakan
bahwa :
1. Pendidikan keagamaan Hindu merupakan pendidikan berbasis
masyarakat yang diselenggarakan dalam bentuk Pasraman,
Pesantian, dan bentuk lain yang sejenis.
2. Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Hindu dilakukan
oleh pemerintah, pemerintah daerah/dan atau masyarakat.
3. Pendidikan Pasraman diselenggarakan pada jalur formal dan
nonformal.
Pengaturan lebih lanjut tentang pelaksanaan pasal 38 s/d pasal 41 PP
RI No.55 Tahun 2007, telah terbit Perturan Menteri Agama RI Nomor 56
Tahun 2014, tentang Pendidikan Keagamaan Hindu. Secara lebih teknis
ketentuan ini kemudian diatur dalam berbagai Keputusan Dirjen Bimas
Hindu Kementerian Agama RI.
Memperhatikan ketentuan pada PP RI No.55 Tahun 2007 di atas
dapat dipahami bahwa :
1. Generasi Hindu melalui pelaksanaan pendidikan agama pada
semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, mendapat
pengetahuan (agama Hindu) yang dapat membentuk sikap,
kepribadian, dan keterampilan dalam mengamalkan ajaran
agama Hindu.
2. Generasi Hindu bisa mendapat pendidikan keagamaan Hindu
guna mempersiapkan diri untuk dapat menjalankan peranan
yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama
dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran
agamanya;
melalui Lembaga Pendidikan Hindu berupa
Pasraman Formal dan non formal yang dibangun oleh
masyarakat dan pemerintah.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
27
3.3. Ketentuan Majelis Agama Hindu
Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Agama Hindu selama ini
mengacu pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh majelis
agama Hindu sebagai berikut.
a) Pendidikan agama Hindu sesuai penetapan PHDI dalam rumusan
kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu menyatakan:
1. Pendidikan agama Hindu di luar sekolah merupakan suatu
upaya untuk membina pertumbuhan jiwa masyarakat,
dengan ajaran agama Hindu itu sendiri sebagai pokok materi.
2. Pendidikan agama Hindu di sekolah ialah suatu upaya
untuk membina pertumbuhan jiwa raga anak didik sesuai
dengan ajaran agama Hindu.
b) Berdasarkan ketentuan UU RI No.20/2003, PPRI No.55/2007, dan
Ketentuan Majelis Agama Hindu dapat dinyatakan di sini Bahwa:
1. Dari segi tujuannya Pendidikan Agama Hindu adalah untuk
menjadikan SDM Hindu yang berpengetahuan agama Hindu,
bisa juga menjadi akhli, berperilaku dan/atau berlaksana
berdasarkan agama Hindu, dan melaksanakan agama Hindu
secara seimbang (lahir batin, dan antara penguasaan konsep
dan praktiknya)
2. Pendidikan agama Hindu dilaksanakan di sekolah (formal) dan
di luar sekolah (informal dalam rumah tangga, non formal di
masyarakat).
IV.
Keberadaan Pendidikan Agama Hindu
4.1. Pendidikan Agama Hindu di Luar Bali dan di Bali
Keberadaan pendidikan agama Hindu, sangat terkait dengan sebaran
domisili umat Hindu yang sporadis tidak merata di seluruh tanah air
Indonesia. Keberadaan mereka dapat dikelompokan menjadi dua kelompok
besar yaitu: komunitas umat Hindu di luar Bali dan komunitas umat Hindu
di Bali. Komunitas Umat Hindu di luar Bali bisa dikelompokkan lagi sesuai
domisili dan asal usul mereka yakni:
1. Komunitas Umat Hindu berasal dari Bali dan Jawa yang berada di
daerah transmigrasi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku,
dan Papua.
2. Komunitas Umat Hindu dari penduduk setempat seperti umat
Hindu Kaharingan di Kalimantan, Aluk Todolo di Tanah Toraja,
umat Hindu di daerah Bugis Sidenreng Rapang Sulawesi Selatan,
dan ada komunitas umat Hindu di Pulau Selayar juga di Sulawesi
Selatan. Kemudian ada komunitas umat Hindu Batak di Sumatra,
Maluku (di Pulau Buru dan Kei), di Jawa, Khusus Tengger,
Madura, dan sebagainya.
3. Komunitas umat Hindu lainnya adalah umat Hindu yang ada di
kota-kota besar seperti di ibu kota provinsi dan kabupaten /kota
di seluruh Indonesia.
Keberadaan Pendidikan Agama Hindu pada komunitas umat Hindu di
luar Bali sangat beragam antara lain :
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
28
1. Ada beberapa sekolah yang banyak siswa beragama Hindunya
sudah ada guru agamanya atas fasilitas pemerintah pusat
maupun daerah (tidak masalah).
2. Ada sekolah yang jumlah siswanya yang
beragama Hindu
banyak, namun tidak ada guru agama Hindu yang difasilitasi
pemerintah pusat maupun pemerintah setempat (masalah).
3. Ada sekolah-sekolah yang muridnya tersebar, namun guru
agamanya tidak ada (masalah),dsb.
Dalam kondisi seperti ini diambil langkah untuk mengadakan
Pasraman dibeberapa tempat terutama di kota-kota besar untuk mengisi
pendidikan agama Hindu di maksud. Namun dibeberapa tempat terutama di
daerah pedalaman yang terpencil, pendidikan agama Hindu sama sekali
tidak dapat dilaksanakan, karena berbagai alasan.
Mengenai Komunitas umat Hindu di Bali, kondisi pendidikan agama
nya sedikit berbeda dan tentu tetap juga ada masalah yakni:
1. Hampir di seluruh sekolah umum negeri maupun suasta pada
semua jenjang di Bali ada siswa yang beragama Hindu; bahkan di
sekolah berciri Kristen dan Katolikpun ada siswa Hindunya. Di
sekolah-sekolah tersebut sudah ada guru agamanya, namun karena
setiap tahun ada yang pensiun dan tidak ada pengganti, maka
kekurangan guru masih dirasakan ada.
2. Calon-calon guru agama Hindu tamatan perguruan Tinggi Hindu di
Bali tersedia cukup banyak, namun karena
tidak ada
pengangkatannya, maka terjadi kelebihan stok calon guru,
sementara ada sekolah yang kekurangan guru agama Hindu.
3. Masalah lainnya; masih diketemukan Guru Agama Hindu kualitas
rendah, sehingga hasil pendidikannya tidak maksimal.
4.2.
Peluang dan Keunggulan Konsep.
Saat ini Masyarakat Hindu memiliki peluang besar dan konsep yang
unggul untuk melaksanakan pendidikan agama Hindu formal maupun
nonformal untuk menciptakan generasi yang ilmih dan religius antara lain
sebagai berikut :
1. Berbagai peraturan pemerintah tentang Pendidikan memberi
kesempatan yang sama untuk penyelenggaraan pendidikan agama
Hindu seimbang dengan penyelenggaraan pendidikan agama-agama
yang lain di Indonesia.
2. Kitab Suci Veda sebagai landasan kehidupan beragama Hindu
banyak memberi petunjuk tentang model dan metode dalam
pengembangan pendidikan agama Hindu.
3. Agama Hindu memiliki tradisi penyelenggaraan pendidikan dengan
sistem Pasraman (nonformal) sesuai tingkatan hidup (Catur Asrama
Dharma).
4. Ada konsep Tradisi model pendidikan dengan keteladanan dan
praktek Catur Marga (Karma Marga, Bakti Marga, Jenyana Marga,
Raja/Yoga Marga) seperti di Bali merupakan potensi yang dapat
dibanggakan dan terus dikembangkan. Contoh: anak anak disuruh
membuat sesajen mulai dari yang paling kecil (banten saiban)
samapai tingkat sederhana daksina dalam keseharian. Anak anak
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
29
belajar menari dan menabuh di Bale Banjar. Anak anak sebagai
pendamping dan membantu orang tua dalam pekerjaan seperti
melukis, membuat kerajinan, bertani, ngayah di Pura, dan
pekerjaan praktis yang lainnya.
5. Tradisi ( mesatua) berceritra atau dialog orang tua terhadap anak
sesuai waktu yang tersedia.
6. Adanya kelompok propesi (di Bali ada sekaa) berbagai bidang.,
belum difungsikan maksimal.
7. Tatanan mayarakat tradisi tetapi mengandung konsepsi modern
seperti lembaga adat, subak, banjar (di Bali) di daerah lain ada
peguyuban dan sejenisnya.
8. Adanya forum, paruman atau ikatan propesi seperti paruman
sulinggih, paruman welaka, ikatan pemangku kahyangan, Paruman
Pinandita Sanggraha Nusantara, Perhimpunan Pemuda Hindu
Indonesia, Wanita Hindu Indonesia, Mahasiswa Hindu Indonesia
dsb.nya
9. Sumber belajar baik untuk pendidikan formal dan nonformal
tersedia dalam ajaran agama, praktek budaya, alam lingkungan dan
dalam Iptek itu sendiri
10. Telah ada lembaga pendidikan formal (walaupun masih terbatas)
seperti IHDN,UNHI,STAHN,STAH,STKIP Agama Hindu
dan
beberapa perguruan swasta berciri Hindu.
Tentu masih banyak kekuatan lain yang dimiliki umat Hindu yang
perlu ditelusuri dikaji dan dikembangakan terkait dengan pendidikan agama
Hindu.
4.3
Masalah Pendidikan Agama Hindu
Di samping ada peluang dan keunggulan konsep mengenai
pendidikan agama Hindu terurai diatas, ternyata pendidikan agama Hindu
saat ini masih menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan dan
ditindaklanjuti antara lain sebagai berikut.
1. Hindu belum memiliki lembaga yang khusus mengkaji tentang
pendidikan agama Hindu yang bertangung jawab penuh tentang hal
itu.
2. Belum ada perumusan Visi dan Misi pembinaan dan pengembangan
pendidikan agama Hindu secara terpusat.
3. Dalam pendidikan formal tidak ada lembaga khusus pendidikan
berciri Hindu seperti yang ada di agama lain seperti Madrasah di
Islam. Saat ini baru dalam proses perencanaan berdasarkan
Permenag RI No.56 Tahun 2014.
4. Pendidikan nonformal belum memiliki pedoman yang jelas tentang
penyelenggaraan pendidikan agama Hindu seperti dalam Pasraman
yang sampai saat ini berjalan sendiri - sendiri.
5. Belum ada tindak lanjut penetapan-penetapan majelis agama Hindu
terkait pengembangan dan pembinaan pendidikan agama Hindu.
6. Belum ada satu pemikiran para cendikiawan Hindu tentang
manajemen pendidikan agama Hindu ( dengan pengembangan 8
unsurnya) sampai saat ini yang dapat dijadikan pedoman bersama
dalam pengelolaan pendidikan agama Hindu
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
30
7. Pembinaan pendidikan agama Hindu selama ini hanya mengikuti
ketentuan yang ditetapkan secara formal oleh pemerintah seperti
penanganan pendidikan agama Hindu di sekolah formal tingkat
dasar, menengah dan tinggi.
8. Kualitas pendidikan agama Hindu masih rendah manajemennya,
prosesnya, dan hasilnya.
9. Sosialisasi dan pengembangan pendidikan agama Hindu sesuai
ajaran Veda yang disangga oleh adat dan dudaya penganutnya tidak
terealisasikan dengan baik.
10.Masih banyak generasi Hindu yang tidak dapat mengenyam
pendidikan agama Hindu dengan baik, sehingga mereka tidak punya
daya tahan terhadap ideologi agama dan terhadap perkembangan
dunia yang terus berubah.
11.Belum ada kajian materi pendidikan agama Hindu yang berkaitan
dengan:
a. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi dan
cepat,
b. Merebaknya penyakit sosial (HIV/AIDS, judi, narkoba, seks bebas,
pergaulan bebas, komunikasi dan transportaasi yang mudah),
c. Kondisi umat Hindu yang sudah multi etnis, multi budaya, multi
karakter dsb.nya,
d. Sebaran komunitas yang tidak merata, sehingga pelayananpun
tidak merata.
e. Adanya desakan dan tekanan komunitas lain terhadap umat
Hindu,
f. Adanya perlakuan tidak adil dalam kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat dan lain sebagainya.
12.Kondisi peserta didik dan suasana belajar Pendidikan Agama Hindu
saat ini patut dicermati antara lain sebagai berikut.
a. Peserta didik ingin serba cepat: belajar tidak usah lama-ama.
Dalam hal ini para pembina ataupun pendidik diharapkan bisa
variatif dalam metode pengajaran. Di samping itu juga perlu
tegas, tetapi lugas, luwes, dapat menjadi teladan yang baik dalam
mengarahkan prilaku dan sikap moral siswa. Sangat baik kalau
kondisi sosial pendidik, keberadaannya lebih baik dari pada
peserta didik.
b. Peserta didik ingin belajar dengan santai, tetapi kalau akan ada
penilain mereka ingin mendapat nilai tinggi.
c. Peserta didik telah dipengaruhi oleh pemikiran bahwa mereka
dilindungi HAM. Sedikit saja merasa dikerasin (dicubit misalnya,
apalagi kalau ditampar) mereka boleh jadi akan melapor ke Polisi.
d. Peserta didik lebih banyak memiliki kepedulian dipermukaan
terhadap dirinya saja: sangat kurang perhatiannya terhadap
lingkungan (gurunya, orang tua dan warga masyarakat lainnya).
Dalam hal ini ada gejala menipisnya penguasaan dan
pelaksanaan ajaran etika umum maupun Susila agama yang
diyakini.
e. Peserta didik sekarang lebih cepat dewasa dalam pikiran, akan
tetapi masih kurang dalam logika, tidak tahan banting, mudah
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
31
tersinggung, mudah berputus asa, dan sebagian lagi sangat cepat
mengambil keputusan yang salah dan merugikan dirinya sendiri.
f. Peserta didik telah melengkapi dirinya dengan berbagai alat
eletronik, alat komunikasi canggih yang dapat mengakses berita
positif negatif dengan cepat dan biaya tinggi yang dibebankan
kepada orang tua
g. Dalam Niti Santra dinyatakan mengenai hambatan /musuh bagi
seorang siswa yaitu,
1) kelalaian,
2) kebiasaan melakukan hal-hal yang buruk,
3) penyakit/kelemahan badan,
4) gila asmara,
5) kemiskinan terus menerus,
6) berzinah dan berjudi.
Demikian beberapa masalah pendidikan agama Hindu yang patut
menjadi dasar kebijakan ke depan dalam upaya merevitalisasi pendidikan
agama Hindu untuk menciptakan generasi yang ilmiah dan religius, secara
sungguh-sungguh.
V
5.1
Upaya Merevitalisasi Pendidikan Agama Hindu
Kebijakan Teknis
Untuk mendapatkan hasil pendidikan agama Hindu yaitu generasi
Hindu yang ilmiah dan religius mesti dilakukan upaya yang serius,
berkualitas, serentak, sesegera mungkin antara lain sebagai berikut.
1. Majelis Agama Hindu mestinya aktif menggalang kerjasama dengan
berbagai pihak terutama pihak Dirjen Bimas Hindu Kementerian
Agama untuk segera membentuk Lembaga Pengkajian Pendidikan
Agama Hindu Indonesia; dilengkapi dengan unsur manajemennya.
2. Perlu adanya penetapan Visi dan Misi pendidikan agama Hindu
terpusat. Dalam tulisan ini ditawarkan konsep visi dan misi sebagai
berikut.
a. Visi pendidikan agama Hindu yaitu; “Terwujudnya insan Hindu
yang cerdas, kompetitif, ilmuwan, agamawan, unggul dan dapat
hidup seimbang, harmonis dalam menjalankan Dharma agama dan
Dharma negara serta mampu menhadapi tantangan global”.
b. Misi pendidikan agama Hindu yakni:.
1) Terselenggaranya pendidikan formal pendidikan agama Hindu
di lembaga pendidikan umum dari TK sampai perguruan tinggi
yang menghasilkan insan cerdas, kompetitif, ilmuwan yang
agamawan dan berkeseimbangan.
2) Terselenggaranya pendidikan agama Hindu informal yang
dapat
membangun keluarga sejahtera, rahayu dan bahagia
lahir batin.
3) Terselenggaranya pendidikan agama Hindu nonformal yang
menghasilkan insan Hindu yang trampil, punya keunggulan
dan mampu bersaing dalam membangun masyarakat
jagadhita, rahayu dan damai.
4) Terselenggaranya pendidikan agama Hindu formal di
perguruan tinggi Hindu yang mampu menghasilkan tenagaPROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
32
tenaga (cerdas,ilmuwan, agamawan) yang ahli agama, ahli
pendidikan agama, ahli hukum agama, dan ahli manajemen
pendidikan agama Hindu.
3. Perlu dirumuskan pengelompokan materi pendidikan agama Hindu
pada semua jalur, dan jenjang pendidikan menjadi materi inti, materi
penunjang yang jelas.
a. Materi inti berkenaan dengan Tri Kerangka Agama Hindu yait:
Tattva, Susila, dan Acara agama
b. Materi penunjang berkenaan dengan : Sejarah Agama, Aspek sosial
keagamaan Hindu, Kepekaan sosial terhadap perkembangan dunia
global.
4. Diupayakan agar dalam pendidikan agama Hindu dikembangkan
praktik agama yang bermanfaat langsung (berkaitan dengan lokal
geneus) bagi kehidupan generasi Hindu seperti : pendidikan agama
berupa pelatihan yoga, pembuatan sarana upakara, pengadaan
pakaian/busana Hindu, memaknai pelaksanaan Nyepi, peringatan
hari Suci Agama Hindu terkait pemeliharaan lingkungan (tumpek,
Upacara tawúr dll). Pengenalan pembangunan tempat suci
dihubungkan dengan keseimbangan alam, dsb.
5.2
Pengembangan Metode Pembelajaran
Di samping upaya peningkatan kerja sama kelembagaan, pentepan
visi-misi, kejelasan materi, dan meningkatkan manajemen pendidikan
agama Hindu terurai di atas, dipandang perlu untuk didukung dengan
pengembangan metode pembelajaran pendidikan agama Hindu yang sudah
berjalan selama ini. Di dalam pengembangan metode pembelajaran
pendidikan agama Hindu dalam kekinian, diperlukan pemikiran tokohtokoh pendidikan agama Hindu yang memiliki wawasan, pengetahuan,
pengalaman luas, dan mempunyai rasa tanggung jawab serta pengabdian
untuk bersama-sama merancang, sekaligus melaksanakan pengembangan
dimaksud. Tujuannya agar generasi Hindu benar-benar menjadi cerdas,
unggul, kompetitif positif, menjadi ilmuwan (ilmiah) yang agamawan
(religius), adaptif dan mampu menghadapi tantangan global.
Pengembangan metode pembelajaran pendidikan agama Hindu dalam
kekinian juga dimaksudkan agar setiap orang atau lembaga yang
bertanggung jawab, berperanserta dalam pengelolaan pendidikan agama
Hindu saat ini, dapat menyesuaikan pengembangan metode pembelajaran
yang dapat merangsang peserta didik, mau mempelajari agama dengan baik,
sehingga mereka memiliki keyakinan yang mendalam tentang agama Hindu
dan dapat mengamalkan atau melaksanakan agamanya itu dengan baik dan
benar.
Bertolak dari kondisi peserta didik pendidikan agama Hindu terurai di
atas yang keberadaannya sudah berbeda jauh kalau dibandingkan dengan
sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu dan harapan akan hasil
pendidikan agama Hindu terurai di atas, maka perlu pengembangan metode
pembelajaran yang variatif antara lain sebagai berikut :
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
33
1
Metode Pembinaan Agama sebagai Metode Pendidikan Agama
Hindu.
Berdasarkan Keputusan Maha Sabha ke V Tahun 1986 PHDI seluruh
Indonesia menetapkan metode pembinaan umat Hindu yang di sebut
enam/sad Dharma, dapat diterapkan sebagai metode pembelajaran dalam
pendidikan agama Hindu yaitu sebagai berikut.
a. Dharma Wacana adalah pembinaan melalui pencerahan/ceramah
agama. Acara ini baik dilakukan pada Acara-Acara sosial
keagamaan umat Hindu. Atau pada kegiatan sosial keagamaan
Hindu dalam penyelengaraan panca yadnya. Dharma wacana
dalam penyelenggaraan pendidikan agama Hindu, sama dengan
metode ceramah/monolog seorang pendidik di depan kelas. Dalam
metode
ini
bisa
dimasukkan
metode
berceritra
dalam
pelaksanaannya.
b. Dharma Tula, yaitu suatu metode pembinaan umat dalam bentuk
diskusi, musyawarah, samua, sangkepan dan dialog. Dalam
penyelenggaraan pendidikan agama Hindu, sama dengan diskusi,
seminar, semi loka atau loka karya kependidikan.
c. Dharma Gita, yaitu suatu metode pembinaan umat dengan
melatihkan lagu-lagu kegamaan. Dalam pendidikan agama Hindu,
metode ini penting untuk dilakukan dalam memupuk keterampilan
peserta didik dalam penguasaan lagu-lagu keagamaan. Kemudian
bisa diterapkan
pada setiap acara keagamaan yang
memerlukannya.
d. Dharma Sadhana, yaitu suatu metode pembinaan umat dengan
melatih pengembangan mental spiritual umat, menginternalisasi
ajaran agama ke dalam diri. Saat sekarang banyak dikembangkan
latihan yoga, membangunkan kundalini, dan latihan meditasi.
Dalam penyelenggaraan pendidikan agama Hindu metode ini juga
patut dikembangkan namun, harus dengan cara yang tepat dan
benar, dan bertahap sesuai tingkat kelas peserta didik..
e. Dharma Yatra yaitu suatu metode pembinaan umat dengan
melaksanakan Dharma yatra/tirta
yatra atau kunjungan ke
tempat-tempat suci. Saat ini juga metode ini telah dikembangkan
oleh kelompok-kelompok spritual Hindu. Demikian pula di dalam
penyelenggaraan pendidikan agama Hindu, metode ini dapat
dipakai untuk memantapkan pengetahuan peserta didik secara
impiris, untuk menimbulkan rasa kebanggaan terhadap para
tokoh-tokoh yang membangun dan memelihara tempat-tempat suci
dimaksud, dan rasa kagum terhadap kemurahan Tuhan dalam
melimpahkan berbagai hasil ciptaanNYA untuk manusia.
f. Dharma Shanti, yaitu metode pembinaan umat dengan cara
melakukan Dharma Shanti pada setiap akhir pelaksanaan suatu
Upacara keagamaan Hindu. Dalam istilah lokalnya Acara ini
disebut masima krama ataupun maprani. Dalam Acara Dharma
Shanti umat diajak mengevaluasi segala sesuatu sesuai yang telah
dilaksanakan di masa sebelumnya, yang puncaknya terlaksana
dalam suatu Acara peringatan. Dharma Shanti sampai saat
sekarang ini telah populer dilaksanakan sehari setelah peringatan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
34
Hari Raya Nyepi tahun Baru Saka setiap tahun. Metode ini juga
dapat dipergunakan dalam pelaksanaan pendidikan agama Hindu
untuk mengakhiri suatu kegiatan Upacara di sekolah ataupun
untuk mengakhiri Upacara keagamaan Hindu secara umum untuk
peserta didik.
Penulis mengusulkan satu metode lagi yang disebut Dharma krya.
Dharma kriya merupakan pembinaan pendalaman agama melalui kegiatan
kerja. Misalnya seorang tukang ukir relif atau pelukis sebuah dinding
tembok pura, pelawah gamelan, atau yang lain; menampilkan ukiran atau
lukisan ceritra keagamaan seperti Ramayana dan Maha Bharata. Jadi
aktivitas melukis atau mengukir bagi sesorang, sekaligus dapat mendalami
makna agama yang tertuang dalam ceritra keagamaan yang ditampilkan
dalam ukiran atau lukisan tersebut. Dharma Kriya ini juga dapat dijadikan
metode dalam pelaksanaan pendidikan agama Hindu.
2.
Metode Mendidik Anak dalam Niti Sastra.
Cara mendidik anak yang dinyatakan dalam Niti Sastra adalah
sebagai berikut :
a. Mendidik anak umur 5 tahun dapat diperlakukan seperti raja,
b. Bagi anak yang berumur 7 sampai 10 tahun ajarkanlah kepada
mereka tentang ketaatan, kepatuhan (disiplin),
c. Pada umur 11 sampai 16 tahun dididik mereka dengan
memperlakukan sebagai teman, dan
d. Anak yang telah berumur 17 sampai dengan 20 tahun mereka
sudah bisa mendidik dirinya secara andragogik. Pendidikan
hanya memberi kode atau tanda-tanda tentang hal yang mana
boleh yang mana tidak boleh, yang mana baik dan yang mana
tidak baik.
3.
Metode Pelaksanaan Pendidikan dalam Manawa Dharmasatra.
Dalam bab II Manawa Dharma Sastra sloka 70, 71, dan 74, yang
artinya dalam bahasa Indonesia dinyatakan tentang teknis peleksanaan
pendidikan agama Hindu sebagai berikut :
Bagi siswa yang segera akan mempelajari Veda, akan menerima
perintah setelah terlebih dahulu minum air sesuai dengan Acara
menurut Dharmasastra, dan setelah memberi penghormatan kepada
Tuhan dan berpakaian bersih dan setelah mengendalikan
indrianya(Slk.71)
Pada permulaan dan penutup pelajaran Veda, Ia harus selalu
menyentuh kaki gurunya, dan ia harus belajar mencakupkan kedua
belah tangannya : ini disebut Brahmaanjali, yaitu mencakupkan
tangan untuk Veda(Slk. 72)
Hendaklah mengucapkan pranawa (aksara OM) pada permulaan dan
penutupan pelajaran Veda, karena kalau tak didahului dengan
ucapan OM pelajaran akan tergelincir menyasar dan kalau tidak
diikuti pada penutup maka pelajaran itu akan menghilang (Slk.74)
Selanjutnya dalam sloka 117 ada penegasan sebagai berikut.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
35
Seorang siswa, pertama harus memberi hormat dengan sujud
kepada guru dari mana ia menerima pengetahuan yang menyangkut
soal keduniawian, tentang Veda atau tentang Brahman.
Penjelasan kutipan sloka-sloka di atas memberi petunjuk betapa
pentingnya siswa itu mengikuti disiplin belajar sebagaimana ketentuan
dalam Veda. Dari disiplin tersebut dinyatakan memang ada pahala yang
diperoleh dalam memahami pengetahuan yang dipelajari dan tidak mudah
hilang dari ingatan siswa. Untuk proses pembelajaran pendidikan agama
Hindu di Bali sudah ada beberapa hal yang diupayakan sejak tahun 2003
antara lain :
a. Pada penerimaan siswa baru dilaksanakan Upacara pewintenan
(analog dengan Upanayana).
b. Pada saat penamatan diadakan Upacara sembahyang bersama
(analogdengan samawartana)
c. Pada setiap purnama dan tilem diadakan persembahyangan
bersama, di mana peserta didik berpakaian adat Bali/pakaian
sembahyang.
d. Pada setiap kesempatan diadakan Pasraman untuk melatih
keterampilan siswa dalam berbagai sarana/upakara agama
Hindu, menyeimbangkan pendidikan agama Hindu formal
dengan non-formal.
5.3
Keseimbangan Penyelenggaraan Pendidikan Agama Hindu
Melalui upaya-upaya terurai di atas dapat dipandang sebagai usaha
revitalisasi pendidikan agama Hindu yang diharapkan menghasilkan
generasi Hindu yang ilmiah dan religius. Guna lebih meyakinkan
pencapaian hasil pendidikan agama Hindu, perlu pula memperhatikan
perbaikan dalam penyelenggaraan pendidikan agama Hindu
secara
seimbang antara lain sebagai berikut.
1. Perlu ada keseimbangan proses pendidikan dalam rumah tangga
(informal),di masyarakat (non-formal), dan di sekolah (formal).
Caranya adalah dengan menumbuhkan kesadaran dan peranserta
orang tua dan warga masyarakat, serta warga sekolah secara
seimbang,
tentang
pentingnya
saling
mengisi
dan
saling
mengingatkan dalam proses penyelenggaraan pendidikan agama
Hindu.
2. Perlu ada keseimbangan dalam pemberian materi ajar di satu sisi
berupa konsep dan di sisi lain berupa praktik agama yang bermanfaat
dalam hidup sehari-hari.
3. Perlu ada keseimbangan pemberian pelajaran agama Hindu sesuai
tingkat umur peserta didik.
4. Sistem pengajaran agama diharapkan dapat membuka cakrawala
pendidikan agama Hindu berwawasan multikultural.
5. Pemberian materi ajar juga semestinya diseimbangkan antara Tattva,
Susila dan Acara, dan materi kepekaan sosial dan lingkungan serta
diselaraskan dengan keberadaan umat Hindu yang berasal dari
berbagai etnis dan sumber budaya.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
36
6. Para pendidik sudah seharusnya memiliki kompetensi penuh dalam
pendidikan agama Hindu dan dapat bertugas secara profesional,
dimanapun di tugaskan.
7. Pengajar,pembina, warga masyarakat, warga sekolah, para tokoh
agama dan tokoh masyarakat dapat berperan sebagai motivator,
mediator, katalisator, dan bisa diteladani dalam pengembangan
pembelajaran agama Hindu pada tiga jalur.
8. Perlu diciptakan instrumen pendidikan agama Hindu yang menarik,
mudah dimengerti, murah, di samping berupa buku, juga berupa
VCD. dan juga lewat siaran-siaran di media masa.
Demikian beberapa hal yang dikemukakan di atas sebagai upaya
dalam rangka revitalisasi Pendidikan Agama Hindu untuk menciptakan
generasi Hindu yang ilmiah (ilmuwan) dan religius (agamawan).
VI.
Penutup
Revitalisasi Pendidikan agama Hindu untuk mewujudkan generasi
ilmiah dan religius akan berhasil bila ada keseimbangan pemahaman ide
penyelenggaraan pendidikan agama Hindu oleh pengambil kebijakan dan
penyelenggara pendidikan agama Hindu pada semua jalur, tingkat dan jenis
pendidikan. Di samping keseimbangan dalam pemahaman ide, juga perlu
ada keseimbangan dalam upaya-upaya peningkatan pelaksanaan
pendidikan agama Hindu; baik berkaitan dengan kebijakan, materi
pendidikan, metode, dan manajemn pendidikan agama Hindu itu sendiri.
Dalam hal ini diharapkan semua pihak (pemerintah, pemerintah daerah,
orang tua, tenaga kependidikan, tokoh masyarakat, tokoh agama) bisa
berperanserta secara positif , aktif, dan produktif dalam penyelenggaraan
pendidikan agama Hindu.
Demikian beberapa hal yang dapat saya sampaikan dalam seminar ini.
Mudah-mudahan dapat bermanfaat adanya.
VII. Daftar Pustaka
Anonim. 2003. Undang – Undang RI. Nomor 20 tahun 2003. tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Jakarta. Penerbit PT.Kloang Klede Putra Timur,
bekerjasama dengan Koperasi Primer Praja Mukti Depdagri.
Ali, Muhammad. 2007. Peraturan Pemerintgah Republik Indonesia Nomor 55
Tahun 2007, Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Jakarta: Depag.RI.
Anonim. 2009. Himpunan Undang-Undang Republik Indonesia Guru & Dosen,
Sisdiknas. Jakarta: Wacana Intelektual.
Anonim. 2005. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005. tentang Standar
Nasional Pendidikan, Jakarta. Penerbit Lembaga Kajian Pendidikan
Keislaman dan sosial
Arifin, Anwar. 2003. Memahami Praradigma Baru Pendidikan Nasional.
Jakarta: Depag.RI.
Dosen, Tim.2008. Manajemen Pendidikan. Bandung: Alpabeta.
Mudyahardjo, Redja. 2008. Pengantar Pendidikan, Sebuah Studi Awal Dasardasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
37
Ngurah, I Gusti Made. 1998. Pedoman Guru Pendidikan Agama Hindu
Tingkat Sekolah Dasar, Tantang Pertutan-Peraturan Kependidikan.
Denpasar: Kanwil Depag Prov.Bali.
Ngurah, I Gusti Made. 2011. Kelap Kelip Pendidikan Agama Hindu.
Denpasar, Sari Kahyangan Indonesia.
Siagian, SP. 1973. Filsafat Administrasi. Jakarta: Penerbit Gunung agung.
Suparman, M.Atwi. 2012. Panduan Para pengajar dan Inivator Pendidikan
Desai Instruksional Modern. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Tim Penyusun.1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai
Pustaka.
38
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
KESEIMBANGAN PENGAJARAN
PARAVIDYA DAN APARAVIDYA SEBAGAI UPAYA REVITALISASI
PENDIDIKAN HINDU UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI
MASA DEPAN YANG ILMIAH DAN RELIGIUS
Oleh
I Ketut Donder
Program Doktor Ilmu Agama
E-mail: [email protected]
Abstract
The end goal of the education is relevant to the goal of human life, that is
for achieving the God consciousness which is often called Self-realization. The
achievement of God consciousness which is achieved of conscious level that
Itself is not only body, but Atman (Jiva, Soul) too. Through that level, so
learner will full of conciousness that himself has two kinds of life desires. The
first, material needed to serve his physical body, the second, spiritual needed
to serve his Soul. Relevant to those kinds of the human needs, the holy book of
Manava Dharmasastra V.109 described: “body cleaned by water, mind
cleaned by truth, Soul cleaned by the secret knowledge and tapa brata, and
intellect cleaned by the true knowledge.
For the two human needs, so in the Vedic, especially in Mundaka
Upanisad I.1.4 described: “there are two kind of the knowledges which is
should be understood by humankind in order to make it balance, as the wise
man who has deep understood the essence of brahman said that there are
two kinds of the knowledge, the highest one is called spiritual knowledge or
metaphysic (paravidya) then the other lower one is called science and
technology (aparavidya). Through the capabilities of these two knowledges,
paravidya and aparavidya, then it will be born the human who is a scientist
and religious.
Abstrak
Tujuan akhir dari pendidikan Hindu sejalan dengan tujuan kelahiran
manusia, yaitu untuk mencapai kesadaran Tuhan yang biasa juga disebut
Kesadaran Diri. Pencapaian kesadaran Tuhan adalah tercapainya suatu
level kesadaran bahwa dirinya bukan saja badan tetapi juga Atman (Jiva
atau Roh). Melalui level kesadaran seperti itu, maka si pembelajar akan
menyadari sepenuhnya bahwa dirinya memiliki dua macam kebutuhan
hidup. Pertama kebutuhan materi untuk konsumsi badan fisiknya, kedua,
kebutuhan spiritual untuk konsumsi Sang Jiva. Selaras dengan dua macam
kebutuhan manusia itu, maka pustaka suci Manava Dharmasastra V.109
menyatakan: “tubuh diber-sihkan dengan air; pikiran dibersihkan dengan
kebenaran; Jiva manusia dibersihkan dengan pengetahuan suci dan tapa
brata; kecerdasan dibersihkan dengan pengetahuan yang benar”.
Demi memenuhi kedua kebutuhan manusia itu, maka dalam Veda
utamanya dalam pustaka Mundaka Upanisad I.1.4 menyatakan: “ada dua
macam pengetahuan, yang semesti dipahami oleh manusia secara
seimbang, sebagaimana orang bijaksana yang telah memahami hakikat
brahman mengatakan bahwa ada dua macam pengetahuan yaitu yang lebih
tinggi disebut pengetahuan spiritual atau metafisik (paravidya) dan yang
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
39
lebih rendah disebut ilmu pengetahuan ilmiah atau sain dan teknologi
(aparavidya). Hanya dengan menguasai dua macam pengetahuan paravidya
dan aparavidya maka akan lahir manusia yang ilmiah dan religious.
I.
Pendahuluan
Sesungguhnya manusia adalah mahluk spiritual atau mahluk rohani
yang mengambil baju dalam bentuk tubuh material yang bersifat sementara
sebagai sarana jiwa untuk melakukan tindakan-tindakan mulia. Dengan
kata lain bahwa sesungguhnya dunia material ini adalah laboratorium jiwa
atau roh tempat jiwa menemukan kesejatiannya. Namun demikian, sudah
sejak lama efek energi negatif Kaliyuga yang materialistik, telah menggiring
dan menyeret sebagian besar manusia pada kecenderungan untuk mengejar
hal-hal kemewahan yang bersifat material daripada mengejar hal-hal yang
bersifat spiritual. Bahkan spiritual dianggap sebagai suatu yang nomor
sekian atau kebutuhan yang paling akhir. Kehidupan manusia di era
Kaliyuga menjadi lebih cenderung bersandar pada hal-hal yang material
belaka dan seakan-akan masyarakat manusia kehilangan nuansa spiritual,
sehingga sebagian besar umat manusia melihat dunia ini hanya bendabenda materia yang perlu dikuasai, dicuri dan dirampok. Kemampuan
berkompetisi untuk merebut dan mengalahkan orang lain menjadi dasar
moral kehidupan umat manusia di era Kaliyuga saat ini. Tidak ada ruang
atau celah untuk memberikan kesempatan kepada orang lain untuk
menikmati keunggulan. Pertumbuhan, persemaian dan perkembangbiakan
sifat egois menjadi standard-standard kemanusiaan. Di era Kaliyuga susah
sekali menemukan manusia murni (manusya madhava), sebaliknya di era
Kaliyuga lebih banyak dijumpai manusia-manusia hewani (manusya sato)
dan manusia-manusia kayu (manusya taru). Juga sangat sulit menemukan
manusia suci yang sungguh-sungguh suci, yang kita temukan lebih banyak
adalah manusia-manusia seperti “musang berbulu ayam” atau seperti
“harimau berjubah” yang senantiasa siap memangsa manusia-manusia
lainnya. Realiats ini benar-benar sebagai bukti bahwa dunia Kaliyuga ini
adalah fata morgana yang menyilaukan mata tetapi di bawahnya penuh
krikil tajam yang siap melukai telapak kaki.
Di era Kaliyuga ini spiritual hanya menjadi kedok, tempat pelarian
orang-orang stress dan putus asa yang tidak berhasil memenangkan
egonya. Spiritual seharusnya tidak boleh dicampur-adukkan dengan
pelipatan ego, sebab spiritual tidak lain adalah Dharma yang seharusnya
menjadi tujuan utama dan pertama dalam kehidupan manusia, setelah itu
baru materia atau artha, namun dalam realitasnya terbalik. Itulah sebabnya
sehingga cara pandang manusia di era Kaliyuga ini juga lebih banyak
terbaik, mereka tidak mampu membedakan mana yang sakral dan mana
yang sekuler. Lebih parahnya lagi, adalah seakan-akan manusia sudah
tidak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buru; atau
mana yang salah dan mana yang benar. Kekayan, uang, pangkat, jabatan,
kekuasaan, materia dll., telah menjadi ukuran kualitas kebenaran manusia
di era Kaliyuga ini, sungguh parah kualitas manusia dewasa ini. Yang
disebut manusia luar biasa di era Kaliyuga bukannya manusia yang mampu
melindungi kebajikan, kebenaran, keluhuran, tetapi, yang disebut manusia
hebat di era Kaliyuga adalah manusia yang mampu merendahkan manusia
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
40
dan kemanusiaan, jika perlu membasmi kemanusiaan. Kecendikiawanan,
kepandaian, kemuliawanan bukan menjadi standard moralitas manusia era
Kaliyuga, karena itu pantas juga pustaka Sarasamuscaya 282 menyindir
keburukan sifat manusia dengan menyatakan: Ika tang daridra, yadyapin
pràjña tuwi, tan hinidëp juga ikang senujarakënya, yadyapi mangëne
kàladeûa tuwi, cabda hitàwasàna tuwi, nguniweh yan apunggunga ikang
wwang daridra, pisaningun hanà sambega rumëngwà sojarnya (Orang yang
miskin itu biarpun ia pandai, tidak diindahkan segala yang dikatakannya
walaupun tepat waktunya, tempatnya dan ucapannya sungguh-sungguh
bermanfaat; apalagi jika si miskin itu bodoh, pasti tidak akan ada orang
yang dengan senang mendengarkan kata-katanya). Sloka ini menunjukkan
bahwa di era Kaliyuga harta kekayaan telah menjadi standard penilaian
kemuliaan. Karena itu betapapun kemuliaan dan kesucian seseorang jika
miskin, maka ia tidak akan mendapat penghargaan dari masyarakat. Oleh
karena sedemikian materialistic pandangan manusia di era Kaliyuga, maka
menguasai materia dengan cara apapun menjadi tradisi manusia. Hal ini
juga yang menyebabkan para spiritualis takut sekali kekurangan materi,
sehingga mereka juga harus berlepotan dengan lumpur materi.
Tampaknya di era Kaliyuga ini tujuan hidup untuk menguasai harta
kekayaan materi sebanyak-banyaknya tidak saja dilakukan oleh orangorang vaisya (petani dan pedagang) yang memang ruang lingkup profesi
mereka di seputar harta benda atau kekayaan, tetapi juga dilakukan oleh
orang-orang yang dianggap Brahmana. Banyak orang yang dianggap suci
atau disucikan mengambil jalan bisnis properti; alasannya adalah tidak ada
larangan orang spiritual menjadi kaya. Alasan lainnya lagi, bahwa manusia
harus hidup secara seimbang dalam material dan spiritual. Katanya lagi
bahwa selama manusia hidup di dunia material, maka selama itu manusia
akan terikat dengan materi. Semua alasannya itu benar dan masuk akal,
namun mengapa para spiritualis tidak memberikan contoh riil yang benar
tentang tujuan akhir kehidupan manusia, yaitu mencapai moksha. Jika
orang-orang spiritual masih materialistik, lalu kapan mokshanya? Lebih
parah lagi, jika para spiritual yang materialistic dijadikan kesuksesan hidup
manusia, maka tujuan mulia kelahiran manusia kedunia yang diajarkan
oleh agama tidak akan dihormati dan dipercayai lagi.
Disinyalir oleh banyak pakar pendidikan bahwa semakin terpuruknya
kemanusiaan dan kesadaran spiritual manusia dewasa ini disebabkan oleh
faktor pendidikan yang lebih menekankan pada kecerdasan otak kiri yang
materialistic matematik daripada penekanan pada kecerdasan otak kanan
yang metafisik spiritualistik. Akhirnya, setelah tidak terhitung jumlahnya
korban-korban kemanusiaan, para penguasa baru menyadari efek negatif
dari pengajaran materialistik dan kemudian membangun kembali dasardasar pendidikan karakter. Tetapi, program penyelenggaraan pendidikan
karakter tersebut tidak serta-merta dapat menghapus tradisi pendidikan
kompetitif materialistik itu. Peletakan dasar-dasar pendidikan karakter
masih harus menempuh perjalanan yang panjang untuk memperbaiki moral
manusia dewasa ini, karena sebagian besar umat manusia sudah sangat
enjoy dengan pendidikan materialistik yang berlangsung selama ini. Bahkan
saya (penulis artikel ini) tidak yakin pendidikan karakter yang dicanangkan
pemerintah saat ini akan berhasil. Keraguan ini didasarkan atas adanya
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
41
ketentuan bahwa untuk menempati jabatan tertentu harus melamar. Hal ini
justeru bertentangan dengan sistem penilaian hasil kerja yang dilakukan
oleh seorang pimpinan atau atasan. Jika benar-benar suatu sistem kerja
yang diikuti oleh suatu sistem penilaian yang professional, orang lainlah
dalam hal ini atasanlah yang mengetahui kualitas professional seseorang.
Dengan melamar jabatan, hal ini dapat menumbangkan penilaian atasan.
Sekalipun ada standar-standar mutu hasil kerja yang berhubungan dengan
beban kerja, hal itu masih mengandung subjektifitas yang tinggi. Karena
semua alasan itu, dan masih banyak alasan lainnya, pendidikan karakter
yang dicanangkan saat ini harus berhadapan dengan tantangan yang berat.
II. Pembahasan
2.1 Pemahaman yang Benar terhadap Hakikat Dua Pengetahuan
Dunia material ini sesungguhnya pada awalnya adalah ātman atau roh,
demikian pernyataan Brihad Aranyaka Upanisad. Pernyataan ini merujuk
bahwa dunia alam semesta ini berasal dari yang tidak tampak secara kasat
mata, kemudian tampak. Karena itu
sesungguhnya dunia fisik ini tidak bisa
dipisakan dengan yang metafisik atau
yang tidak tampak oleh mata. Artinya
bahwa Sang Pencipta (Roh) dan ciptaanNya (dunia) merupakan satu kesatuan,
inilah pengetahuan advaita. Tetapi, bagi
orang-orang yang tidak berpengetahuan
secara sempurna akan melihat dunia ini
sebagai dualitas yang membingungkan.
Namun, dunia akan tampak sebagai
sorga bagi orang-orang yang telah
melampaui
paham
dualitas
dan
menjadikan paham sebagai non-dualitas
atau advita. Selama dunia ini dipandang sebagai dualitas, selama itu pula
dunia akan menyesatkan manusia. Karena itu manusia sangat penting
memahami asal-usul dunia ini sehingga dapat menjadikan dunia ini sebagai
sorga yang dapat menyenangkan jiwa yang sedang melaksanakan
Dharmanya di dunia ini. Untuk memahami asal-usul dunia ini dapat
ditelusuri melalui pustaka-pustaka upanisad. Brhad-āranyaka Upaniṣad
I.4.1 menyatakan: ātmaivedam agra āsῑt puruṣavidhaḥ … ‘pada
permulaannya dunia ini adalah ātman…’ (Radhakrishnan, 2008:119). Hal
senanda juga dinyatakan dalam pustaka Aitarea Upanisad I.1 sebagai
berikut: ātmā vā idam eka evāgra āsῑt … ‘Ātman sajalah sesungguhnya yang
ada pada permulaannya …’ (Radhakrishnan, 2008:397); senada dengan itu
juga dinyatakan didalam pustaka Chandogya Upanisad III.14.1 yang
menyatakan: sarvam khalv idam brahma, … ‘Sesungguhnya seluruh jagat ini
adalah brahman, …,’ (Radhakrishnan 2008:300).
Karena dunia ini mengandung kegandaan, yang bersifat oposisi biner,
maka ajaran Hindu menyiapkan dua macam pengetahuan yaitu yang satu
tentang yang sakala (dunia material yang kasat mata) dan yang kedua
adalah pengetahuan yang niskala (dunia metafisik yang tidak kasat mata).
Kedua pengetahuan tersebut tidak boleh diabaikan melain harus menjadi
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
42
sesuatu yang bersifat saling melengkapi dan harus selalu bersifat harmonis.
Artinya, bahwa kedua hal itu harus saling mendukung satu sama lainnya
untuk mencapai tujuan hidup ideal bagi umat manusia, yaitu mencapai
moksha. Tegasnya, semua hal yang sakala atau yang material harus
diupayakan untuk mendukung atau merealisasikan pencapaian tujuan
kelahiran manusia dan bukan membuat manusia terlalu melekat hingga
menyesatkan manusia dari tujuan kelahirannya. Pustaka suci Mundaka
Upanisad I.1.4 menyatakan: “tasmai sa hovàca: dve vidye veditavye iti ha
sma
yad
brahmavido
vadanti, parà caivàparà ca”.
Arti bebasnya bahwa: “ada
dua macam pengetahuan
yang semesti dipahami oleh
manusia secara baik dan
benar, sebagaimana dipahami oleh para bijak bahwa
ada dua macam pengetahuan, yaitu yang satu
lebih tinggi (paravidya) dan
yang satunya lagi lebih
rendah (aparavidya)”.
Orang yang memiliki
pemahaman
yang
benar
terhadap
kedua
macam
pengetahuan paravidya dan
aparavidya sebagaimana uraian di atas, maka ia tidak akan terseret oleh
hal yang bersifat materi. Ia akan melihat segala sesuatu secara seimbang,
artinya ia senantiasa mampu menilai mana yang bersifat sementara dan
mana yang bersifat kekal. Ia akan senantiasa menggunakan segala hal yang
dunia ini untuk meningkatkan spiritualnya.
2.2 Efek Negatif dari Penyelenggaraan Pendidikan yang Buruk
Pemahaman yang benar terhadap esensi dua pengetahuan paravidya
dan aparavidya sebagaimana uraian di atas hanya mungkin jika manusia
sejak dini ditanamkan pemahaman yang benar terhadap dua pengetahuan
tersebut melalui sistem pendidikan formal. Tetapi, realitas kualitas manusia
dewasa ini semakin hari semakin merosot, kenyataan menunjukkan bahwa
orang-orang berpendidikan tinggi tidak dijamin mereka lebih baik daripada
orang-orang yang tidak berpendidikan atau orang buta huruf. Bahkan,
realitas juga menunjukkan bahwa kejahatan korupsi yang menyebabkan
kerugian negara yang sangat besar justeru dilakukan oleh orang-orang yang
sangat terpelajar dengan gelar kesarjanaan yang tinggi dan berderet-deret.
Hal ini, disinyalir disebabkan oleh buruknya sistem pendidikan yang buruk
di berbagai belahan dunia, sebagaimana dinyatakan oleh hasil simposium
pendidikan tingkat dunia yang diselenggarakan di Bangkok seperti dicatat
oleh Chaudry. Simposium tingkat dunia itu mencatat bahwa: Present day
education develops the intellect and skills but does little to develop good
qualities. Of what avail is all the knowledge in the world, if one has not got
good character. It is like water going down the drain. There is no use if
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
43
knowledge grows while desires multiply. It makes one a hero in words and a
zero in action (‘Pendidikan saat ini hanya berorientasi mengembangkan
kepandaian dan keterampilan dengan sedikit menitik beratkan pada
kualitas yang baik. Apalah artinya semua pendidikan yang ada di dunia jika
seseorang tidak memiliki karakter yang baik, ibarat mata air yang makin
lama makin kering. Tidak ada gunanya jika pendidikan berkembang disertai
dengan nafsu keinginan yang berlebihan. Inilah yang membuat manusia
menjadi pahlawan dalam kata-kata tetapi tidak pernah berbuat apa-apa’
(Donder, 2004:1).
Chaudry sebagaimana dikutip oleh Donder (2004;2005) menguraikan
bahwa ada sinyalemen yang diperoleh dari hasil simposium pendidikan
tingkat dunia tentang Pendidikan Nilai-nilai Kemanusiaan Untuk Zaman
Baru (Education in Human Values For The New Age) yang diselenggarakan
oleh organisasi “Sri Sathya Sai Trust” yang dilaksanakan di Bangkok pada
tanggal 30 Oktober-1 Nopember 1987, mensinyalir bahwa; situasi dan
kondisi sistem pendidikan hingga samapai pada tingkat dunia saat ini
sudah sampai pada tarap pendidikan “gila”. Hasil simposium tingkat dunia
itu menyimpulkan bahwa; orientasi sebagian besar orang-orang telah
mengira bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mendapatkan gelar
kesarjanaan. Karena pemahaman mereka pendidikan itu hanya untuk
mendapat gelar kesarjanaan, karena gelar itu mereka anggap sebagai alat
bagi mereka agar memiliki martabat. Maka ijazah kesarjanaan menjadi motif
utama atau tujuan utama mereka masuk ke lembaga pendidikan. Di otak
mereka hanya ada satu lembar kertas berstempel yang menyatakan diri
mereka telah sarjana. Karena kertas selembar dan gelar kesarjanaan itu
saja yang mengisi memberan otaknya, sehingga mereka tidak pernah
merasa memiliki tanggungjawab terhadap gelar mereka. Lalu apa arti gelar
BA itu? Jika dirunut-runut, hakikat gelar kesarjanaan (degree yang dapat
disingkat dengan huruf D) sesuai dengan kondisi pendidikan dewasa ini,
maka mula-mula orang-orang terpelajar akan mendapat gelar sarjana muda
yang dalam bahasa Inggris disebut Bechelor of Art (BA) bila ditambahkan
dengan singkatan degree (D), maka gelar BA itu jika ditambahkan dengan
huruf D akan menjadi BA + D = BAD artinya ‘buruk’. Selanjutnya bila
seseorang melanjutkan pendidikannya lagi, akan memperoleh gelar lebih
tinggi lagi, misalnya MA, jika gelarnya ditambahkan dengan D, menjadi MA
+ D = MAD artinya ‘gila’. Inilah realitas atau kenyataan hasil dari sistem
pendidikan dewasa ini yang sangat menekankan pada gelar kesarjanaan
ditambah lagi dengan kemampuan untuk merebut segala peluang. Inti sari
situasi pendidikan dewasa ini di seluruh dunia mengajarkan kepada setiap
orang yang berpendidikan harus mampu menang dan jangan siap kalah.
Oleh karena itu, maka sejak awal proses pendidikan secara langsung
maupun secara tidak langsung para pengajar dan pembelajar telah terbiasa
melakukan manipulasi-manipulasi agar unggul atau menang. Karena itu
pula, maka secara kualitatif lembaga-lembaga pendidikan telah memproduk
banyak sarjana dengan kualitas integritas kesarjanaan yang rendah. Situasi
pendidikan yang berorientasi pada gelar inilah yang mengakibatkan ada
banyak pejabat dan lembaga pendidikan tersandung hukum pidana karena
membeli dan menjual ijazah sarjana. Akibat dari situasi pendidikan yang
berorientasi pada gelar, gelar, dan gelar; maka melalui pendidikan mulaPROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
44
mula “orang-orang yang tadinya di rumahnya baik-baik saja kemudian
setelah memiliki gelar kesarjanaan menjadi buruk (BAD)” dan kemudian
dengan pendidikannya yang lebih tinggi maka akhirnya hasil pendidikan
mereka menjadikan mereka “orang-orang gila (MAD)”. Ya, mereka telah gila
karena terlalu bangga dengan gelar kesarjanaan untuk memenangkan
kompetisi dalam mendapat jabatan, materi yang sebesar-besarnya. Hanya
sangat disayangkan mereka tidak sadar dengan kegilaannya dan tidak ada
orang yang berusaha menyembuhkan kegilaan mereka. Sarjana-sarjana
buruk dan sarjana-sarjana gila tidak memiliki rasa malu menyandang gelar
kesarjanaan; orientasi mereka uang, harta, jabatan, kehormatan.
Jika para sarjana melihat dengan matanya yang jujur, objektif, dan
terbuka nampaknya kata-kata Chaudrya di atas memang benar, sebab
memang banyak orang tergila-gila dengan gelar kesarjanaan; bahkan bisa
ada banyak orang mau membeli ijazah kesarjanaan tanpa menghiraukan
kualitas dirinya. Memasang gelar di depan maupun di belakang nama
merupakan tradisi penghormatan di lingkungan akademik juga terjadi di
lingkungan masyarakat luas. Kenyataan itu menyebabkan munculnya
komersialisasi dunia pendidikan yang banyak dikuasai oleh orang-orang
yang memiliki modal besar. Akhirnya banyak sekali ditemukan wajah-wajah
para sarjana yang tidak elok, tidak tahu malu, bahkan tidak punya malu
sama sekali seperti slogan menyatakan sarjana-sarjana muka tembok.
Menyaksikan realitas pendidikan seperti ini, maka IHDN Denpasar
sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pada ajaran Hindu yang
bersumber pada Veda, maka sudah layak melakukan kajian yang mendalam
tentang esensi pendidikan Hindu dan termasuk melakukan revitalisasi
pendidikan Hindu agar lembaga yang terhormat ini mampu mencetak
ilmuwan yang agamawan (religius) atau sarjana yang sujana sesuai dengan
visi dan misi IHDN Denpasar. Jika tidak, maka lembaga ini akan lebih
banyak melahirkan sarjana-sarjana durjana (jahat). Dengan demikian tidak
boleh ada alasan seorang guru atau dosen yang kuliah lagi dengan alasan
kuala pang dadi sarjana ‘asal jadi sarjana. Slogan kuala ‘asal’ atau ‘yang
penting’ jadi sarjana atau doktor harus diubah menjadi ‘supalaan’ atau
‘puputan’; sebab seorang sarjana apalagi seorang sarjana dengan gelar
doktor adalah seorang “pendekar intelektual”. Karena itu seorang pendekar
intelektual atau jawarah intelektual akan senantiasa menggunakan
intelektualitasnya untuk membela, melindungi umat manusia. Sebalik-nya
seorang yang lahir dari prinsip sarjana kuala ‘asal sarjana’ akan
menggunakan gelarnya untuk membenarkan segala tindakan adharma-nya.
Berebut kedudukan hingga menggunakan magic adalah kebiasaan para
sarjana kuala. Sarjana-sarjana kuala seperti itu akan dicibir sebagaimana
slogan Bali menyatakan, sebagai sarjana ngentuk-ngetukin natah ‘sarjana
yang membuat pemandangan halaman rumah kacau balau’. Atau juga akan
disebut sebagai sarjana sing karuan tek ‘sarjana yang tidak memiliki
identitas’. Karena itu, tuntutan institusional kepada para guru dan dosen
untuk memenuhi kualifikasi pendidikan harus benar-benar diadakan
“kontrak mutu”, jika ternyata seorang pendidik yang sudah tamat dari
pendidikan yang lebih tinggi namun tidak menunjukkan adanya
peningkatan kualifikasinya, maka perlu diberikan sangsi moral dalam
bentuk penundaan kenaikan pangkat atau hak sesuai kualifikasinya.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
45
2.3 Semua Pengetahuan Bersumber pada Veda
Ajaran Hindu bersumber dari Veda yang berarti ‘pengetahuan’, dengan
demikian Veda menaungi segala macam pengetahuan dan menjadi sumber
inspirasi segala macam ilmu pengetahuan, sebagaimana dinyatakan oleh
seorang yogi suci abad modern, yaitu Sivananda. Ia menyatakan bahwa:
Veda Merupakan buku yang tertua dalam kepustakaan umat manusia.
Kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam semua agama diperoleh dari
Veda dan akhirnya dapat ditelusuri melalui Veda. Veda merupakan sumber
utama dari agama. Veda merupakan sumber akhir, dari situlah semua
pengetahuan keagamaan dapat ditelusuri, karena agama merupakan asalusul pengetahuan ketuhanan, yang diwahyukan Tuhan kepada manusia
pada zaman dahulu kala, Ia diwujudkan dalam Veda. Veda berasal dari
nafas Tuhan dan merupakan kata-kata Tuhan. Veda tidak diucapkan oleh
seseorang dan bukan merupakan kumpulan buah pikiran siapa pun juga,
dan tidak pernah dituliskan atau diciptakan. Veda bersifat abadi dan tanpa
pribadi. Tanggal atau waktu turunnya tidak akan pernah dapat ditentukan.
Ia merupakan kebenaran spiritual abadi, Ia juga merupakan perwujudan
dari pengetahuan ketuhaan. Buku-buku mungkin dapat dihancurkan tetapi
pengetahuan ketuhanan tidak mungkin dapat dimusnahkan. Pengetahuan
itu adalah abadi, sehingga dalam pengertian ini Veda juga abadi (Sivànanda
dalam Donder, 2006:iii).
Selama ini pengetahuan agama oleh sebagian besar orang-orang baik
oleh orang yang menekuni agama maupun yang tidak menekuni ilmu agama
hanya dianggap sebagai pengetahuan yang hanya mempelajari hal-hal
berkaitan dengan dunia kepercayaan terhadap yang gaib-gaib atau yang
metafisik yang jauh dari pikiran rasional. Pandangan ini sama sekali tidak
benar, namun demikian pandangan ini masih kuat dipegang oleh sebagian
besar orang dari berbagai lembaga pendidikan. Bahkan Prof. Nengah Bawa
Atmadja dalam suatu Seminar Nasional Teologi di IHDN menyatakan bahwa
“para pakar ilmu sosial dan juga pakar ilmu agama kerap minder terhadap
para pakar ilmu eksakta, sebab pengetahuan sosial dan pengetahuan
agama kerap dianggap tidak ilmiah”. Kenyataan yang dipaparkan oleh Prof.
Bawa tersebut sesungguhnya disebabkan oleh pihak institusi agama yang
belajar agama tidak mencoba menghubungkan pengetahuan keagamaannya
dengan pengetahuan ilmiah rasional. Demikian juga sebaliknya, di antara
para pakar ilmu eksakta mayoritas mereka tidak mengetahui tentang agama
bahkan tidak mau tahu tentang agama, disebabkan oleh adanya sejarah
dan dendam berdarah antara agamawan dan ilmuwan. Seperti sejarah
hegemoni gereja terhadap klaim kebenaran yang tidak mengakui adanya
kebenaran di luar gereja sejak lama telah mencekoki pikiran masyarakat
beragama terutama kaum Semitis, sehingga bagi mereka menyatakan
bahwa tidak ada hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan ilmiah.
Hanya baru belakangan ini kedua belah pihak, agamawan dan ilmuwan
menyadari tentang pentingnya membangun yang harmonis antara agama
dengan ilmu pengetahuan ilmiah. Dalam Hindu kesadaran seperti ini sejak
awal telah ditanamkan kepada umat manusia. Veda sebagai sumber segala
sumber pengetahuan tidak akan pernah ketinggalan zaman betapapun
majunya pikiran, pengetahuan dan peradaban manusia.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
46
2.4 Pengetahuan Harus Mengentaskan Kemiskinanan
Pengentasan kemiskinan merupakan tugas pertama dan utama dari
pengetahuan tersebut. Kemiskinan bukan saja menyangkut kekurangan
materi, yang lebih parah adalah kemiskinan mental. Kemiskinan mental
jauh lebih parah daripada kemiskinan materi. Sebab orang yang mengalami
kemiskinan mental, maka berapapun kekayaan yang telah dimiliki ia akan
tetap merasa kekurangan. Di era Kaliyuga ini kemiskinan mental yang
melihat materi sebagai segala-galanya telah digambarkan oleh pustaka suci
Sarasamuscaya, sebagaimana dinyatakan: Apan ikang daridra ngaranya,
yadyapin ika makweh guna kawruhanya, tan prakāca ika, tan paripūrna
halêpnya, apan sri nimitaning gunan paripūna halêpnya, kadi rūpa sang
hyang ādityan prakācākên ika nāng sarvabhūta, sira nimittanyān katon.
Artinya: ‘Sebab yang disebut orang miskin itu meskipun ia itu banyak
pengetahuannya (namun ia) tidak akan (menjadi) terkenal dan (tetap) tidak
sempurna kelihatan (semua) kebaikannya, karena kekayaanlah yang
menyebabkan (semua) kebajikannya itu menjadi sempurna, sebagaimana
matahari menerangi segala yang ada; matahari itulah yang menyebabkan
segalanya itu kelihatan’ (Sarasamuccaya 283).
Uraian Sarasamuscaya 283 itulah adalah gambaran dari sebagian
besar umat manusia dewasa ini yang menganggap harta, kekayaan, uang,
pangkat, jabatan sebagai segala-galanya sehingga hal-hal material dianggap
memiliki nilai paling tinggi dalam kehidupan umat manusia. Manusia telah
mempercayai uang sebagai Tuhan (money theism). Inilah bentuk kemiskinan
paling berbahaya dan paling mencemaskan, sehingga Veda menyebutnya
sebagai avidya atau kegelapan yang paling gelap. Veda mengamanatkan
perlunya umat manusia memahami hakikat kemiskinan karena tidak
memiliki ilmu pengetahuan sebagai sumber dari segala sumber malapetaka.
Amanat Veda itu pada masyarakat Bali dituangkan dalam bentuk geguritan,
sebagaimana bunyi Geguritan Sucita I.VIII.1-3 pupuh Ginanti berikut:
1. Mirib suba liyu tahu, kadine mungguh ring aji, jatin sangsara punika,
wetu saking tingkah pelih, pelih saking ketambetan, tambet dadi dasar sedih
Arti bebasnya: ‘Sebagaimana sudah banyak orang mengetahuinya,
seperti tercantum dalam sastra (aji, pengetahuan suci), sesungguhnya
yang disebut dengan sengsara itu, lahir dari perilaku yang salah,
kesalahan itu lahir dari kebodohan, dan kebodohan itu adalah dasar
atau sumber segala kesedihan’. Bait pupuh ini dengan jelas menyatakan
bahwa kebodohan adalah sumber segala penderitaan, bukan sedikitnya
materi yang menjadi sumber kesedihan atau penderitaan. Karena itu
memiliki pengetahuan yang benar dan suci amat penting.
2. Tambete ngawinang lacur, bulak balik manumadi, bingkih malahibin
duhka, dekah nguber sukan hati, ngalih hidup mati bakat, ngalih bajang
tuwa panggih
Arti bebasnya: ‘Kebodohan adalah penyebab segala kemiskinan,
termasuk bolak-balik reinkarnasi ke dunia, juga tergopoh-gopoh lari
menghindari rasa duka, kemudian terbirit-birit mengejar rasa kesukaan
hati, tetapi akhirnya mati juga yang diperoleh, harapan untuk selalu
muda, usia tua juga yang diharus diterima sebagai hukum alam)’. Pupuh
ini dengan tegas menyatakan bahwa kebodohan adalah penyebab segala
kemiskinan, karena itu kebodohanlah yang harus diperangi.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
47
3. Tambet tan lyan puniku, dadi kranan sami-sami, krana jenged kadi
jantra, suka duhka malinder panggih, jani sedih nyanan girang, suwud
girang sedih malih
Arti bebasnya: ‘Kebodohan itu tiada lain, penyebab segala-galanya,
segala sesuatu yang ada di dunia ini berputar bagaikan roda pedati,
perputaran suka dan duka harus dijumpai, suatu saat kita akan
mengalami kesedihan dan suatu saat juga akan disusul oleh rasa girang,
sehabis girang kita harus bersiap-siap untuk menerima kesedihan lagi’.
Berdasarkan uraian tiga bait pupuh Ginanti di atas dapat diketahui
secara jelas bahwa kebodohan adalah sumber segala sumber kemiskinan
dan penderitaan. Kebodohan yang dimaksud adalah tidak mampunya
manusia membedakan antara mana yang hakiki dan mana yang sementara.
Selama orang tidak mampu membedakan mana yang hakiki dan mana yang
sementara, maka selama itu manusia akan mengalami kebodohan, dan
selama itu pula manusia akan menderita. Sebaliknya, ketika seseorang
memahami bahwa kekayaan materi itu bersifat sementara dan kekayaan
pengetahuan Atma adalah kekayaan yang kekal, maka pada saat itu orang
akan menjadi pemiliki segala-galanya. Karena itu “hakikat pengetahuan
yang benar” itu harus menjadi perhatian bagi setiap seseorang apalagi
seorang pembelajar (siswa dan mahasiswa). Oleh karena itu, orang-orang
atau lembaga yang mengelola lembaga pendidikan harus juga menekankan
pengajaran yang mentransformasikan hakikat pengetahuan yang benar itu.
Seorang pembelajar (siswa dan mahasiswa) apalagi para sarjana sejati tidak
kalah menghadapi masyarakat yang mendewakan materi, masyarakat yang
mendewa-dewakan kekayaan materi sebagai Tuhan adalah masyarakat yang
diliputi kegelapan. Para sarjana sejati harus keluar dari kegelapan seperti
yang dialami oleh masyarakat hedonis itu. Kebodohan dan kemiskinan
adalah saudara kembar yang harus dikenali sungguh-sungguh, karena itu
orang yang mau bebas dari pengaruh kebodohan dan kemiskinan maka ia
harus memiliki pengetahuan yang benar (Manava Dharmasastra V.109).
Bhagawan Sri Sathya Sai Baba menyatakan: Man’s achievements in the
field of science and technology have helped to improve the material conditions
of living. What we need today, however is a transformation of the spirit.
Education should serve not only to develop one’s intelligence and skills, but
also help to broaden one outlook and make him useful to society and the world
at large. This possible only when cultivation of the spirit is promoted along
with education in the physical science. Moral and spiritual education waill
train a man to lead a disciplined life. ‘Kemampuan manusia di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi telah banyak mengangkat derajat kehidupan
material manusia itu sendiri. Apa yang kita butuhkan saat ini adalah
perubahan semangat. Pendidikan seharusnya tidak hanya mengembangkan
kepandaian dan keterampilan seseorang, tetapi juga harus dapat
memperluas cakrawala dan cara pandang seseorang sehingga dapat
membuatnya menjadi orang yang berguna bagi masyarakat luas. Hal ini
hanya mungkin terjadi jika pengembangan semangat tersebut dilaksanakan
bersama-sama dengan pendidikan ilmu-ilmu fisik. Pendidikan moral dan
spiritual akan melatih manusia ke dalam kehidupan yang lebih disiplin’
(Donder, 2004:26)
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
48
Selanjutnya Bhagawan Sri Sathya Sai Baba menyatakan: Education
without self-control is no education at all. True education should make a
person compassionate and humane. It should not make himself centered and
narrow minded. Spontaneous sympathy and regard for all beings should be
keen to serve society rather than be preoccupied with his own acquisitive
aspirations. This should be the real purpose of education in its true sense.
‘Pendidikan tanpa pengendalian diri bukanlah pendidikan. Pendidikan sejati
harus dapat menjadikan manusia menajdi lebih tabah dan manusiawi.
Pendidikan jangan sampai membuat manusia menjadi egois dan berpikiran
sempit. Rasa simpati yang spontan dan penghargaan terhadap seluruh
mahluk harus menjadi landasan dalam melayani masyarakat daripada
hanya bergelut dengan keinginan dan kesenangan pribadi. Pada intinya hal
inilah yang harus menjadi tujuan yang sebenarnya dari pendidikan itu
sendiri’ (Donder, 2004:82).
Dua kitpan di atas menunjukkan bahwa sistem dan penyelenggaraan
pendidikan formal dan informal baik yang dilaksanakan oleh negara dan
masyarakat yang berimplikasi pada pola perilaku masyarakat. Oleh sebab
itu kondisi dunia saat ini yang diselimuti oleh berbagai kejahatan manusia,
seperti korupsi, prostitusi, narkoba, pembuhan, pemerkosaan pasti ada
hubungannya dengan konsep, system dan penyelenggaraan pendidikan.
Karena itu sangat perlu dilakukan revitasi pendidikan untuk kebaikan dan
perbaikan kualitas manusia dari masyarakat hewani ke masyarakat dewani.
2.5 Penanaman Nilai-nilai Kemanusiaan dan Revitalisasi Pendidikan
Revitasi di bidang pendidikan Hindu penting dilaksanakan mengingat
bahwa Agama Hindu dan masyarakat Hindu merupakan bagian integral dari
komunitas bangsa. Sebagai bagian integral dari komunitas bangsa, maka
sekecil apapun perbaikan sistem yang dilakukan oleh institusi, lembagalembaga, organisasi-organisasi Hindu akan ikut menyumbang kebaikan dan
perbaikan sistem kenegaraan. Itulah sebabnya keikutsertaan masyarakat
utamanya para intelektual Hindu untuk merevitalisasi pendidikan dianggap
sangat penting.
Implementasi nilai-nilai kemanusiaan harus menjadi bagian terpenting
dari revitalisasi pendidikan Hindu. Karena puncak dari pendidikan adalah
kemanusiaan; puncak dari kemanusiaan adalah ketuhanan; puncak dari
ketuhanan adalah kasih-sayang, dan puncak kasih-sayang adalah kesatuan
di dalam manusia. Inilah konsep nilai-nilai kemanusiaan yang menjadikan
pendidikan memiliki nilai ketuhanan. Hanya penyelenggaraan pendidikan
yang disertai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan yang akan
mampu mewujudkan masyarakat yang damai.
Arnaya (dalam Singh, 2016: v) menyatakan bahwa pencetus program
pendidikan nilai-nilai kemanusiaan (PNK) adalah Sri Sathya Sai Baba,
seorang guru sejati caliber internasional dan tokoh pendidikan yang paling
dihormati secara luas baik di India maupun di seluruh dunia. Itulah
sebabnya program ini dinamakan Pendidikan Nilai-nilai Kemanusiaan
Sathya Sai. Program ini telah diterapkan dengan cepat sebagai sistem
pengajaran di berbagai negara di seluruh dunia. Cepatnya penerapan sistem
ini disebabkan karena dewasa ini banyak sekali timbul kekhawatiran di
kalang para pemikir. Mereka merasa bahwa kemajuan yang pesat dalam
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
49
bidang ilmiah dan material belum terimbangi oleh kemampuan yang setara
dalam budi perkerti dan kebajikan manusia. Banyak pengamat merasa
bahwa nilai-nilai moral sudah lenyap di segala bidang, baik secara umum
maupun dalam kehidupan pribadi. Program pendidikan nilai-nilai kemanusiaan digerakkan dengan keyakinan bahwa pembaharuan semacam itu
akan turut mengembalikan moralitas dan spiritualitas umat manusia.
Bhagawan Sri Sathya Sai Baba (dalam Singh, 2016:2) menyatakan
bahwa tujuan pendidikan adalah tumbuh dan berkembangnya watak yang
baik. Watak yang baik merupakan bagian dari kepribadian manusia yang
memberikan kedamaian dan kegembiraan dalam hidup manusia. Watak
yang baik melahirkan kearifan dan kemampuan untuk membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk. Oleh karena itu, untuk membina watak
yang baik perlu ditanamkan nilai-nilai kejujuran, kebajikan, kedamaian,
kasih dan tanpa kekerasan. Program pendidikan nilai-nilai kemanusiaan
membangkitkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kepribadian anak yang
sedang tumbuh, hal ini akan memudahkan mereka mengembangkan
potensi sepenuhnya dalam kehidupan. Sekaligus mereka akan berbagi
dengan orang-orang yang kurang beruntung dan turut menyumbangkan
dharma baktinya bagi masyarakat luas, negara, bahkan dunia.
Lebih lanjut Baba (dalam Singh, 2016:3) menguraikan bahwa melalui
program Pendidikan Nilai-nilai Kemanusiaan (PNK) diharapkan anak-anak
akan dapat: (1) Menghargai lima nilai kemanusiaan yang utama, yaitu (a)
satya ‘kebenaran’, (b) Dharma ‘kebajikan’’, (c) shanti ‘kedamaian’, (d) prema
‘kasih saying’, dan (e) ahimsa ‘tanpa kekerasan’ sebagai hal yang penting
dan mendasar dalam pembinaan anak. (2) Memperoleh keterampilan yang
diperlukan untuk membantu mereka menerapkan dan menghayati kelima
nilai kemanusiaan. (3) Mengalami dan menghayati kelima nilai tersebut
secara relevan dan dinamis sehingga mereka dapat meneruskannya dalam
kehidupan sehari-hari. (4) Menghormati kebudayaan, adat istiadat dan
agama orang lain agar dapat menghargai persaudaraan antar manusia. (5)
Mampu mengambil keputusan yang memudahkan perkembangan pelajaran
moral. (6) Mengembangkan rasa tanggungjawab terhadap akibat perbuatan
mereka dan bertindak dengan menghormati dan mempertimbangkan hak,
kehidupan serta harga diri semua orang. (7) Bersikap konsisten terhadap
nilai-nilai kemanusiaan tersebut dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.
(8) Mengembangkan disiplin diri dan kepercayaan diri yang diperlukan
untuk membantu mengembangkan potensi-potensi mereka. (9) Mengembangkan sikap yang sehat terhadap lingkungan. (10) Mengembangkan
keahlian nilai yang diperlukan untuk keharmonisan pribadi, keluarga,
masyarakat, nasional dan dunia.
Program Pendidikan Nilai-nilai Kemanusiaan (PNK) di atas bertujuan
untuk membantu perkembangan watak dalam seluruh aspek kepribadian.
Kepribadian akan terpadu sepenuhnya bila ada keharmonisan dalam
pikiran, perkataan dan perbuatan. Hasilnya, ketika kepribadian merupakan
watak yang baik dan ketika tujuan pendidikan itu tidak dapat dipisahkan
dengan tujuan hidup, maka inilah realisasi dari Pendidikan Nilai-nilai
Kemanusiaan (PNK). Program Pendidikan Nilai-nilai Kemanusiaan (PNK)
menekankan pada lima aspek kepribadian manusia, yaitu: (a) intelek, (b)
fisik, (c) emosional, (d) psikis, dan (e) spiritual. Setiap aspek dari kelimanya
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
50
berhubungan dengan satu nilai keutamaan yang dimiliki manusia. Kelima
aspek keutamaan kepribadian manusia dan hubungannya dengan nilai-nilai
kemanusiaan dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Intelek
terkait dengan
: kebenaran (truth)
2. Fisik
terkait dengan
: tindakan benar (right action)
3. Emosional
terkait dengan
: kedamaian (peace)
4. Psikis
terkait dengan
: kasih (love)
5. Spiritual
terkait dengan
: tanpa kekerasan (non-violence)
Top goal dari kelima aspek keutamaan kepribadian manusia itu adalah
terwujudnya kedamaian (peace); tanpa terwujudnya rasa damai; tanpa ada
kedamaian di dunia, maka semua usaha manusia dalam bidang pendidikan
akan sia-sia. Terkait dengan lima aspek keutamaan manusia dan upaya
untuk menciptakan kedamaian dunia, maka Donder (2015) dalam satu
pertemuan internasional aliansi tokoh umat beragama di Surabaya
menguraikan: that created for the world peace we should developed our
Divinity in side us. From Divinity in our inside and then the love for all human
being will be rise, from the love we can establish the peace. Before all of them
we can be practice, we should prepare by practice of unity, purity, Divinity.
After that, we can declare that our self is the form of PEACE. One cannot say
that his/her peace if he/she hate to the others, only think good; say good and
do good; and the through look to all of human being as the Soul or the God
then people become the form of peace. Dengan demikian menemukan nilainilai ketuhanan dalam diri setiap orang merupakan kunci pokok untuk
mewujudkan kedamaian dunia.
Di bawah ini Singh (2016:11) memberikan table kelima unsur
Pendidikan Nilai-nilai Kemanusiaan (PNK) tersebut, sebagai berikut:
51
Tabel: PNK (Sumber, Singh, 2016:11)
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
Berdasarkan uraian-uraian di atas dan juga menyaksikan realitas umat
Hindu yang juga mulai terkena imbas Kaliyuga dan imbas globalisasi yang
materialistik; membuat banyak juga umat Hindu mengalami distorsi dan
degradasi mental spiritual. Hal ini perlu dievaluasi kembali untuk mencari
solusi demi kebaikan umat Hindu dan umat manusia pada umumnya.
Reevaluasi itu tidak saja menjadi tanggungjawab pemerintah atau instansiinstansi pemerintah, tetapi juga setiap orang. Seperti, kerap dinyatakan oleh
Bhagawan Sri Sathya Sai Baba, “jika di dalam diri masing-masing keluarga
ada kebaikan, maka di rumah tangga aka nada kebaikan; jika di setiap
rumah tangga ada kebaikan maka di lingkungan RT aka nada kebaikan; jika
di lingkungan RT ada kebaikan maka di lingkungan RW aka nada kebaikan,
dst., dst., semua dimulai dari individu. Kesadaran inilah yang penting.
III. Penutup
Berdasarkan uraian abstrak, pendahuluan dan pembahasan dapat
disimpulan bahwa revitalisasi pendidikan Hindu sudah layak dilakukan.
Pentingnya revitalisasi tersebut bukan hanya karena adanya oknum-oknum
umat Hindu melakukan tindak pidana kejahatan korupsi, prostitusi,
narkoba, perdagangan anak, dan kejahatan lainnya. Tetapi, revitalisasi
pendidikan Hindu memang sangat penting dilakukan, mengingat situasi
masyarakat dunia dewasa ini semakin hari semakin materialistik, hedonis
dan semakin jauh dari prinsip-prinsip religius dan spiritual. Harta, uang,
kekayaan, jabatan menjadi standar ukuran penilaian manusia; semakin
banyak harta kekayaan seseorang semakin terhormat posisinya. Hal ini
terjadi karena konsep dan pelaksanaan pendidikan yang terlalu duniawi.
IV.
Daftar Pustaka
Abhedananda, Swami, (6th edition 2012). Ideal of Education, Kolkata:
Ramakrishna Vedanta Math
Anandamurti, Shrii Shrii, 1998. A Guide to Human Conduct, Jakarta:
Persatuan Ananda Marga Indonesia
Budhananda, Swami, 2009 in 13th edition. Can one be Scientific and Yet
Spiritual?, Kolkata: Advaita Ashram
Darmayasa, 2014. Bhagavad Gītā (Nyanyian Tuhan), Denpasar: Yayasan
Dharma Sthapana
Donder, I Ketut, 2004. Sisya Sista – Pedoman Menjadi Siswa Mulia,
Denpasar: Pustaka Bali Post
Donder, I Ketut, 2006. Sisya Sista – Pedoman Menjadi Siswa Mulia ‘Sisya
Sista – Guidance to Become the Honorable Student’, Surabaya:
Paramita Publisher
Donder, I Ketut, 2009. Acharya Sista – Guru dan Dosen Bijaksana ‘Acharya
Sista – Teacher and Wisdom’ Lecturer’, Surabaya: Paramita Publisher
Drucker, A., 1998. Baba, Bhagavan Sri Sathya and Discourses on the
Bhagavad Gita, Andhra Pradesh: Sri Sathya Sai Books and Publication
Trust
Ghosh, Suresh Chandra, 2001. The History of Education in Ancient India c.
3000 BC to AD 1192, New Delhi: Munshiram Manoharlal Publishers
Pvt.Ltd.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
52
Krishna, Ananda, 2015. Bhagavad Gītā Bagi Orang Modern, Jakarta:
Gramedia
Maswinara, I Wayan, 1997. Srimad Bhagavad Gītā, Surabaya: Paramita
Pandit, Bansi, 2010. The Hindu Mind, New Delhi: New Age
Paramananda, Swami, 2012. Faith is Power, Chennai: Sri Ramakrishna
Math
Prabhupada, A.C. BhaktiVedanta Swami, 1968, The Science of SelfRealization, Mumbai: The BhaktiVedanta Book Trust
Singh, Vishwanath P., 2016. Pendidikan Nilai-Nilai Kemanusiaan Sathya Sai
‘Sathya Sai Education in Human Values Manual for Teachers’ (Penterj.
Dra. Retno S. Buntoro dkk.), Jakarta: YSSBI
53
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN
MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI
PEMBELAJARAN ICT
Oleh
Ni Ketut Srie Kusuma Wardhani
Staf Pengajar Pascasarjana IHDN Denpasar
Abstrak
Tugas utama pemerintah dalam dunia pendidikan mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak/karakter bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa Dewasa ini pengemban
pendidikan terus berupaya mengembangkan pendidikan nasional guna
menjawab berbagai tantangan dan perubahan yang terus berlangsung pada
semua aspek kehidupan di negara Indonesia. Oleh karena itu,
dikembangkan strategi baru pendidikan yang diimplementasikan untuk
meningkatkan mutu pendidikan dengan penerapan teknologi informasi
dalam pendidikan seperti Pembelajaran melalui Informasi Communikasi dan
Teknologi. Di era global informasi tidak lain adalah bentuk aplikasi jenisjenis teknologi informasi mutakhir sekaligus usaha memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam pendidikan. Proses belajar mengajar yang menerapkan
teknologi dalam pendidikan dapat berupa penggunaan modul, media belajar
cetak, dan media elektronik seperti radio, TV, internet dan sistim jaringan
komputer, serta bentuk-bentuk teledukasi lainnya. Penggunaan teknologi
dalam dunia pembelajaran memiliki manfaat yang sangat baik, karena
dapat menambah wawasan berpikir dan mengurangi kebosanan.
Kata Kunci: Mutu pendidikan, Teknologi Pembelajaran ICT
I.
Pendahuluan
Sejalan dengan derap Pembangunan Nasional Dewasa ini Pemerintah
sedang melaksanakan semangat pendidikan nasional yang tertuang dalam
Pancasila dan Undang-UndangDasar Tahun 1945 yang berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak/karakter bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Eksistensinya
untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan, sehingga mampu
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa atau Sradhabhaktikepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhak
mulia, sehat,cerdas, terampil, menguasai ilmu pengetahuan, dan teknologi
(IPTEK), cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggungjawab (Depdiknas 2003). Selanjutnya dalam pasal 1 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa, pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik mampu mengembangkan potensi
dirinya secara maksimal untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta trampil
yang diperlukan untuk dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Untuk mencapai hasil pendidikan yang memadai baik dilihat dari segi
kualitas maupun kuantitasnya, dapat ditempuh melalui jalur pendidikan,
jenjang dan satuan pendidikan. jalur formal, nonformal, dan informal. Pada
setiap jenjang pendidikan (Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003). Untuk
menghasilkan output yang berkualitas perlu juga diterapkan prinsip
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
54
pendidikan berbasis luas yang tidak hanya berorientasi pada bidang
akademik semata, tetapi juga memberikan bekal learning how to learn
sekaligus learning how to unlearning, tidak hanya belajar teori tetapi juga
mempraktekkan untuk memecahkan masalah atau problema kehidupan
sehari-hari (Benthiy, 2000).
Selain itu, pembangunan pendidikan nasional juga diarahkan untuk
membangun karakter dan wawasan kebangsaan bagi peserta didik, yang
menjadi landasan penting bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan
bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam
hal ini, pemerintah mempunyai kewajiban konstitusional untuk memberi
pelayanan pendidikan yang dapat dijangkau oleh seluruh warga negara.
Oleh karena itu, upaya peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan
yang lebih berkualitas merupakan mandat yang harus dilakukan bangsa
Indonesia sesuai dengantujuannegara Indonesia didirikan.
Selanjutnya, untuk mewujudkan cita-cita pendidikan tersebut,
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) sebagai lembaga yang
bertanggungjawab secara nasional tentang penyelenggaraan pendidikan di
tanah air, telah melakukan berbagai upaya konkrit dengan telah
merumuskan visi pendidikan nasional sebagai berikut.
“Visi Kemdiknas2010 – 2014 adalah terselenggaranya layanan prima
pendidikan nasional untuk membentuk insan Indonesia cerdas kompetitif”.
Untuk mewujudkan visi tersebut, Kemdiknasmerumuskan misinya yang
dikenal dengan 5K, yakni: (1) meningkatkan ketersediaan layanan
pendidikan; (2) memperluas keterjangkauan layanan pendidikan; (3)
meningkatkan kualitas/mutu dan relevansi layanan pendidikan; (4)
mewujudkan kesetaraan dalam memperoleh layanan pendidikan; dan (5)
menjamin kepastian memperoleh layanan pendidikan (Kemdiknas, 2010:9).
Melalui proses pembangunan pendidikan kita hendak membangun
manusia Indonesia seutuhnya sebagai subyek yang bermutu. Membangun
manusia seutuhnya pada hakekatnya adalah mengembangkan seluruh
potensi manusia melalui keseimbangan olah hati, olah pikir, olah rasa, dan
olah raga yang dilakukan seiring dengan pembangunan peradaban bangsa.
Tuntutan akan lulusan lembaga pendidikan yang bermutu semakin
mendesak karena semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja.
Salah satu implikasi globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi
yang membuka peluang lembaga pendidikan (termasuk perguruan tinggi
asing) membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu persaingan di
pasar kerja akan semakin berat.
Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta
tantangan yang semakin besar dan kompleks, tiada jalan lain bagi lembaga
pendidikan untuk mengupayakan segala cara untuk meningkatkan daya
saing lulusan serta produk-produk akademik lainnya, yang antara lain
dicapai melalui peningkatan mutu pendidikan.
II.
Pembahasan
Dalam tulisan ini dibahas tentang paradigma baru dalam pendidikan,
bagaimana menghasilkan mutu bisa berlangsung dalam pendidikan, dan
bagaimana peran teknologi serta sistem manajemen untuk mendukung
berlangsungnya pencapaian mutu pendidikan tersebut.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
55
2.1
Fenomena dunia pendidikan kita saat ini
Setidak tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan kondisi dunia
pendidikan kita saat ini, yaitu: issu seputar masalah guru, kebijakan
pemerintah sebagai penyelenggara Negara, manajemen internal sekolah dan
issu sarana dan prasarana belajar mengajar.
1. Issu seputar masalah guru
Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru
merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan
bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan
formal maupun informal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan
kualitas pendidikan di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal
yang berkaitan dengan eksistensi guru itu sendiri. Filosofi sosial budaya
dalam pendidikan di Indonesia, telah menempatkan fungsi dan peran guru
sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah di
posisikan mempunyai peran ganda bahkan multi fungsi. Mereka di tuntut
tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilainilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak
didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai orang kedua,
setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara global. Dalam
konteks sosial budaya Bali misalnya, kata guru sering dikonotasikan
sebagai kepanjangan dari kata “digugu dan ditiru” (menjadi panutan utama).
Begitu pula dalam khasanah bahasa Indonesia, dikenal adanya sebuah
peribahasa yang berunyi “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.
Semua perilaku guru akan menjadi panutan bagi anak didiknya.
Sebuah posisi yang mulia dan sekaligus memberi beban psykologis
tersendiri bagi para guru kita. Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang
berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu:
pertama, masalah kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan
masih kurang, ketiga, masalah distribusi guru.
(1) Masalah kualitas guru
Kualitas guru kita, saat ini disinyalir sangat memprihatinkan.
Berdasarkan data tahun 2011/2012, dari 1,2 juta guru SD kita
saat ini, hanya 8,3%nya yang berijasah sarjana. Realitas semacam
ini, pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang
dihasilkan. Belum lagi masalah, dimana seorang guru sering
mengajar lebih dari satu mata pelajaran yang tidak jarang, bukan
merupakan corn/inti dari pengetahuan yang dimilikinya, telah
menyebabkan proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal.
(2) Jumlah guru yang masih kurang
Jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang, apabila
dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu,
jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yag tersedia saat ini,
dirasakan masih kurang proporsional, sehingga tidak jarang satu
raung kelas sering di isi lebih dari 30 sampai 40 anak didik.
Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar
dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi
tidak lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses
belajar mengajar yang maksimal.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
56
(3) Masalah distribusi guru
Masalah distribusi guru yang kurang merata, merupakan masalah
tersendiri dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di daerah-daerah
terpencil, masing sering kita dengar adanya kekurangan guru
dalam suatu wilayah, baik karena alasan keamanan maupun
faktor-faktor lain, seperti masalah fasilitas dan kesejahteraan guru
yang dianggap masih jauh yang diharapkan.
2. Kebijakan pemerintah
Tidak dapat disangkal lagi bahwa pemerintah sebagai institusi
penyelenggara Negara mempunyai peranan tersendiri dalam meningkatkan
kualitas pendidikan nasional. Kebijakan pemerintah, pada dasarnya dapat
dikatagorikan dalam dua bentuk, yaitu kebijakan yang bersifat
konstitusional dan kebijakan yang bersifat operasional. Kebijakan
konstitusional lebih mengarah pada bagaimana pemerintah menetapkan
perundang-undangan maupun peraturan-peraturan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan nasional kita. Dalam Konteks ini, beberapa langkah
maju telah dicapai oleh pemerintah saat ini. Lahirnya UU Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan strategi jangka
panjang dalam membenahi carut marut dunia pendidikan kita. Sudah
barang tentu, Undang-undang tersebut masih diperlukan penjabaran lebih
lanjut dalam berbagai bentuk
peratutan-peraturan yang berada
dibawahnya, termasuk issu Badan Hukum Pendidikan (BHP), peraturan
perbukuan maupun sertifikasi bagi para pengajar untuk meningkatkan
standar kualitas mereka.
Kebijakan operasioanal pemerintah, lebih mengarah pada kebijakan
alokasi anggaran yang ditujukan bagi sektor pendidikan nasional. UU No.
20 Tahun 2003, memang telah mengamanatkan menglaokasikan 20% dari
APBN/APBD untuk sektor pendidikan. Namun mengingat kemampuan
keuangan Negara yang masih terbatas, maka alokasi 20% ini rencananya
akan dicapai dalam beberapa tahap sesuai dengan kemampuan keuangan
Negara. Dalam tahun anggaran 2007 dan berturut-turut sampai tahun 2009
ini, diharapkan anggaran untuk sektor pendidikan akan menjadi 17,40%
dan 20,10%.
3. Manajemen sekolah
Manajemen pendidikan di Indonesia, secara umum dikatagorikan
dalam dua kelompok yaitu yang diatur dan dibawah kendali langsung
pemerintah (sekolah negeri) dan sekolah-sekolah yang di kelola oleh pihak
swasta (sekolah swasta). Perbedaan manajemen ini pada akhirnya, sedikiit
banyak akan mempengaruhi mutu dan kualitas anak didik di masing-masih
sekolah serta secara tidak langsung telah ikut menciptakan “ketimpangan”
dalam pengelolaan sekolah. Bagi para keluarga yang secara ekonomi mapan,
maka mereka cenderung akan mampu memasukkan anak-anaknya pada
sekolah-sekolah favorit yang biasanya memerlukan alokasi dana yang tidak
sedikit. Begitu pula sebaliknya, bagi yang keluarga yang kurang mampu,
biaya sekolah dirasakan mahal dan menjadi beban tersendiri bagi ekonomi
keluarga. Belum lagi kebijakan pemerintah dimasa lampau yang cenderung
membedakan berbabagai bentuk bantuan untuk sekolah negeri dan swasta,
secara langsung maupun tidak telah ikut memperparah ketimpangan dunia
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
57
pendidikan. Dalam konteks ini, pemerintah telah mengambil kebijakan
untuk tidak membedakan antara sekolah yang di kelola oleh Negara
maupun sekolah yang di kelola oleh pihak swasta.
4. Saran dan prasarana sekolah
Sarana dan prasarana sekolah, merupakan salah satu kendala yang
masih dihadapi oleh dunia pendidikan kita. Kemampuan keuangan yang
masih terbatas, salah kelola maupun tingkat KKN dan Korupsi yang masih
tinggi serta faktor-faktor lain, telah menyebabkan kondisi sekolah masih
jauh dari memadai. Mulai dari jumlah gedung yang rusak, ruang kelas yang
terbatas maupun kelengkapan alat-alat laboratorium yang sangat
dibutuhkan dalam pencapaian proses belajar mengajar yang belum
maksimal, merupakan beberapa kendala nyata yang masih kita hadapi.
2.2
Paradigma Baru Dunia Pendidikan
Untuk mencapai terselenggaranya pendidikan bermutu, perlunya
paradigma baru pendidikan yang difokuskan pada : (1) otonomi, (2)
akuntabilitas, (3) akreditasi, dan (4) evaluasi. Keempat pilar manajemen ini
diharapkan pada akhirnya mampu menghasilkan pendidikan bermutu
(Wirakartakusumah, 1998). Mutu adalah suatu terminologi subjektif dan
relatif yang dapat diartikan dengan berbagai cara dimana setiap definisi bisa
didukung oleh argumentasi yang sama baiknya. Secara luas mutu dapat
diartikan sebagai gregat karakteristik dari produk atau jasa yang
memuaskan kebutuhan konsumen/pelanggan. Karakteristik mutu dapat
diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendidikan, mutu adalah
suatu keberhasilan proses belajar yang menyenangkan dan memberikan
kenikmatan.Pelanggan bisa berupa mereka yang langsung menjadi
penerima produk dan jasa tersebut atau mereka yang nantinya akan
merasakan manfaat produk dan jasa tersebut.
1) Otonomi . Pengertian otonomi dalam pendidikan belum sepenuhnya
mendapatkan kesepakatan pengertian dan implementasinya. Tetapi
paling tidak, dapat dimengerti sebagai bentuk pendelegasian
kewenangan seperti dalam penerimaan dan pengelolaan peserta didik
dan staf pengajar/staf non akademik, pengembangan kurikulum dan
materi ajar, serta penentuan standar akademik. Dalam penerapannya di
sekolah, misalnya,
paling tidak bahwa guru/pengajar semestinya
diberikan hak-hak profesi yang mempunyai otoritas di kelas, dan tak
sekedar sebagai bagian kepanjangan tangan birokrasi di atasnya.
2) Akuntabilitas. Akuntabilitas diartikan sebagai kemampuan untuk
menghasilkan output dan outcome yang memuaskan pelanggan.
Akuntabilitas menuntut kesepadanan antara tujuanlembaga pendidikan
tersebut dengan kenyataan dalam hal norma, etika dan nilai (values)
termasuk semua program dan kegiatan yang dilaksanakannya. Hal ini
memerlukan transparansi (keterbukaan) dari semua pihak yang terlibat
dan akuntabilitas untuk penggunaan semua sumberdayanya.
3) Akreditasi. Suatu pengendalian dari luar melalui proses evaluasi tentang
pengembangan mutu lembaga pendidikan tersebut. Hasil akreditasi tersebut
perlu diketahui oleh masyarakat yang menunjukkan posisi lembaga pendidikan
yang bersangkutan dalam menghasilkan produk atau jasa yang bermutu.
Pelaksanaan akreditasi dilakukan oleh suatu badan yang berwenang.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
58
4) Evaluasi. Evaluasi adalah suatu upaya sistematis untuk mengumpulkan
dan memproses informasi yang menghasilkan kesimpulan tentang nilai,
manfaat, serta kinerja dari lembaga pendidikan atau unit kerja yang
dievaluasi, kemudian menggunakan hasil evaluasi tersebut dalam proses
engambilan keputusan dan perencanaan. Evaluasi bisa dilakukan secara
internal atau eksternal.
2.3 Bagaimana Menghasilkan Mutu Pendidikan
Untuk bisa menghasilkan mutu, menurut Slamet (1999) terdapat
empat usaha mendasar yang harus dilakukan dalam suatu lembaga
pendidikan, yaitu: (1) Menciptakan situasi “menang-menang” (win-win
solution) dan bukan situasi “kalah-menang” diantara fihak yang
berkepentingan dengan lembaga pendidikan (stakeholders). Dalam hal ini
terutama antara pimpinan lembaga dengan staf lembaga harus terjadi
kondisi yang saling menguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu
produk/jasa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut. (2)
Perlunya ditumbuhkembangkan adanya motivasi instrinsik pada setiap
orang yang terlibat dalam proses meraih mutu. Setiap orang dalam lembaga
pendidikan harus tumbuh motivasi bahwa hasil kegiatannya mencapai
mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan
kebutuhan dan harapan pengguna/langganan, (3) Setiap pimpinan harus
berorientasi pada proses dan hasil jangka panjang. Penerapan manajemen
mutu terpadu dalam pendidikan bukanlah suatu proses perubahan jangka
pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten dan terus menerus. (4)
Dalam menggerakkan segala kemampuan lembaga pendidikan untuk
mencapai mutu yang ditetapkan, harus dikembangkan adanya kerjasama
antar unsur-unsur pelaku proses mencapai hasil mutu. Janganlah diantara
mereka terjadi persaingan yang mengganggu proses mencapai hasil mutu
tersebut. Mereka adalah satu kesatuan yang harus bekerjasama dan tidak
dapat dipisahkan satu sama lain untuk menghasilkan mutu sesuai yang
diharapkan.
Faktor lain yang harus dilakukan dalam mencapai peningkatan kutu
pendidikan adalah, perlunya perubahan paradigma dalam proses belajar
menajar. Anak didik tidak lagi ditempatkan sekedar sebagai obyek
pembelajaran tetapi harus berperan dan diperankan sebagai obyek. Sang
guru tidak lagi sebagai instruktur yang harus memposisikan dirinya lebih
tingi dari anak didik, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator atau
konsultator yang bersifat saling melengkapi. Dalam konteks ini, guru di
tuntut untuk mampu melaksanakan proses pembelajaran yang efektif,
kreatif dan inovatif secara dinamis dalam suasana yang demokratis. Dengan
demikian proses belajar mengajar akan dilihat sebagai proses
pembebasandan pemberdayaan, sehingga tidak terpaku pada aspek-aspek
yang bersifat formal, ideal maupun verbal. Penyelesaian masalah yang
aktual berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah harus menjadi orientasi dalam
proses belajar mengajar. Oleh sebab itu, out put dari pendidikan tidak hanya
sekedar mencapai IQ (intelegensia Quotes), tetapi mencakup pula EQ
(Emotional Quotes) dan SQ (Spiritual Quotes).
Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu, usaha
pendidikan tidak lain adalah merupakan usaha “jasa” yang memberikan
pelayanan kepada pelangggannya, yaitu mereka yang belajar dalam lembaga
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
59
pendidikan tersebut (Karsidi, 2000). Para pelanggan layanan pendidikan
terdiri dari berbagai unsur paling tidak empat kelompok (Sallis,1993).
Mereka
itu
adalah
pertama
yang
belajar,
bisa
merupakan
mahasiswa/pelajar/murid/peserta belajar yang biasa disebut klien/
pelanggan primer(primary external customers). Mereka inilah yang langsung
menerima manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut. Kedua, para
klien terkait dengan orang yangmengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu
orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini kita
sebut sebagai
pelanggan sekunder
(secondary
external customers).
Pelanggan lainnya yang ketiga bersifat tersier adalah Lapangan kerja bisa
pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary
external customers).Selain itu, yang keempat, dalam hubungan kelembagaan
masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal dari intern lembaga;
mereka itu adalah para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi lembaga
pendidikan,
serta
pimpinan
lembaga
pendidikan
(internal
customers).Walaupun para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi, serta
pimpinan lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam proses pelayanan
jasa, tetapi mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan
manajemen. Mereka berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk maju,
karena semakin maju dan berkualitas dari suatu lembaga pendidikan
mereka akan diuntungkan, baik kebanggaan maupun finansial.
Seperti disebut diatas bahwa program peningkatan mutu harus
berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan
pendidikan suatu lembaga haruslah memperhatikan masing-masing
pelanggan diatas. Kepuasan dan kebanggaan dari mereka sebagai penerima
manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi program
peningkatan mutu layanan pendidikan. Potensi perkembangan, dan
keaktifan murid tentu saja merupakan yang paling utama dalam
peningkatan mutu pendidikan. Perkembangan fisik yang baik, baik jasmani
maupun otak, menentukan kemajuannya. Demikian pula dengan lainnya,
misalnya bakat, perkembangan mental, emosional, pibadi, sosial, sikap
mental, nilai-nilai, minat, pengertian, umur, dan kesehatan; kesemuanya
akan mempengaruhi hasil belajar dan mutu seseorang. Untuk itu, maka
perhatian terhadap paserta didik menjadi sangat penting.
2.4 Penerapan Teknologi Dalam Pendidikan
Aplikasi teknologi pada pendidikan secara langsung akan
mempengaruhi keputusan-keputusan tentang proses pendidikan yang
spesifik. Umpama: aplikasi itu mempunyai dampak penting terhadap isi
(content) yang akan diajarkan, tingkat standarisasi dan pemilihan isi,
jumlah dan kualitas sumber-sumber yang tersedia. Masalah-masalah pokok
yang dihadapi pendidikan di Indonesia yang terpenting adalah mengenai:
peningkatan mutu, pemerataan kesempatan pendidikan, dan relevansi
pendidikan dengan pembangunan nasional. Demikian luas dan jauhnya
jangkauan yang hendak dicapai oleh program pembangunan pendidikan
kita, padahal di lain pihak sumber-sumber yang tersedia bertambah
terbatas dan langka. Kenyataan-kenyataan yang dikemukakan di atas
menunjukkan bahwa pemecahan masalah-masalah pendidikan kita
membutuhkan alternatif-alternatif lain disamping cara-cara penyelesaian
yang konvensional yang dikenal selama ini. Berbagai potensi yang dimiliki
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
60
oleh teknologi dalam pendidikan lantas memungkinkannya diajukan sebagai
suatu alternatif untuk memecahkan masalah-masalah tadi. Secara umum
aplikasi teknologi dalam pendidikan akan mampu :
1. Menyebarkan informasi secara meluas, seragam dan cepat.
2. Membantu, melengkapi dan (dalam hal tertentu) menggantikan
tugas guru.
3. Dipakai untuk melakukan kegiatan instruksional baik secara
langsung maupun sebagai produk sampingan.
4. Menunjang kegiatan belajar masyarakat serta mengundang
partisipasi masyarakat.
5. Menambah keanekaragaman sumber maupun kesempatan
belajar.
6. Menambah daya tarik untuk belajar.
7. Membantu mengubah sikap pemakai.
8. Mempengaruhi pandangan pemakai terhadap bahan dan
proses.
9. Mempunyai
keuntungan
rasio
efektivitas
biaya,
bila
dibandingkan dengan sistem tradisional. (Miarso, 1981)
Pemilihan teknologi dalam pendidikan akan membuka kemungkinan
untuk lahirnya berbagai alternatif bentuk kelembagaan baru yang
menyediakan fasilitas belajar, disamping dapat melayani segala bentuk
lembaga pendidikan yang telah ada Misalnya kemungkinan bagi suatu
bentuk sekolah terbuka yang fasilitas dan tata belajarnya berbeda sekali
dengan sekolah konvensional, tetapi dengan hasil (output) yang sama.
Serangkaian kriteria pemanfaatan teknologi dalam pendidikan, antara lain:
harus dijaga kesesuaiannya (kompatibilitas) dengan sarana dan teknologi
yang sudah ada, dapat menstimulasikan perkembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan, serta mampu memacu usaha peningkatan mutu pendidikan
itu sendiri. Dengan adanya penerapan suatu teknologi dalam pendidikan
akan sangat mungkin terjadi perubahan besar-besaran dalam interaksi
belajar mengajar antara sumber-sumber belajar dengan pelaku belajar.
Salah satu kemungkinan perubahan tersebut adalah penerapan dan
perubahan teknologi informasi dalam pendidikan melalui penyelenggaraan
belajar jarak jauh.
2.5
Peranan Informasi dan Revolusi Teknologi Informasi
Salah satu esensi dari proses pendidikan tidak lain adalah penyajian
informasi. Dalam menyajikan informasi, haruslah komunikatif. Dalam
komunikasi pada umumnya, demikian pula dalam pendidikan, informasi
yang tepat disajikan adalah informasi yang dibutuhkan , yakni yang
bermakna, dalam arti: (1) secara ekonomis menguntungkan. (2) secara
teknis memungkinkan dapat dilaksanakan, (3) secara sosial-psikologis
dapat diterima sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang ada, dan (4) sesuai
atau sejalan dengan kebijaksanaan/ tuntutan perkembangan yang ada.
Konsep “bermakna” ini penting bagi keberhasilan penyebarluasan informasi
yang dapat diserap dan dilaksanakan sasaran/peserta didik. Karena itu,
Williams (1984) menyebutkan bahwa komunikasi adalah saling pertukaran
simbol-simbol yang bermakna.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
61
Williams menekankan bahwa : (1) kita tidak dapat saling bertukar
makna, (2) kita hanya secara fisik bertukar simbol, dan (3) komunikasi tidak
akan terjadi, kecuali kita berbagi makna untuk simbol-simbol tertentu.
Dalam memberikan/menyampaikan informasi kepada orang lain (misalnya
kepada peserta didik), maka informasi tersebut haruslah informasi yang
bermakna bagi orang yang bersangkutan. Untuk dapat mengetahui dan
memahami informasi yang benar-benar dibutuhkan, bahkan prioritas
informasi yang dibutuhkan perlu kita pahami, komunikator perlu bertindak
sebagai pengamat dan pendengar yang baik. Jadi bukan informasi yang kita
ketahui yang disampaikan, tetapi yang kita sampaikan adalah informasi
yang benar-benar bermakna dan dibutuhkan sasaran. Informasi yang
dibutuhkan
dan
bermakna
adalah
informasi
yang
mampu
membantu/mempercepat pengambilan keputusan untuk terjadinya
perubahan, dan yang bermanfaat untuk mendorong terjadinya perubahan
tersebut. Untuk itulah maka, pemilihan informasi harus benar-benar
selektif dengan mempertimbangkan jenis teknologi mana yang tepat dipilih
sebagai medianya. Dengan berkembangnya komputer dan sistim informasi
modern, kembali menawarkan pencerahan baru. Revolusi teknologi
informasi menjanjikan struktur interaksi kemanusiaan yang lebih baik,
lebih adil, dan lebih efisien.
Revolusi informasi global adalah keberhasilannya menyatukan
kemampuan komputasi, televisi, radio dan telefoni menjadi terintegrasi. Hal
ini merupakan hasil dari suatu kombinasi revolusi di bidang komputer
personal, transmisi data, lebar pita (bandwitdh), teknologi penyimpanan
data
(data storage) dan penyampaian data
(data access), integrasi
multimedia dan jaringan komputer. Konvergensi dari revolusi teknologi
tersebut telah menyatukan berbagai media, yaitu suara (voice, audio), video,
citra (image), grafik, dan teks (Sasono, 1999).
Akibat adanya revolusi teknologi informasi telah, sedang dan akan
merubah kehidupan umat manusia dengan menjanjikan cara kerja dan cara
hidup yang lebih efektif, lebih bermanfaat, dan lebih kreatif. Sebagaimana
dua sisi, baik dan buruk, dari suatu teknologi, teknologi informasi juga
memiliki hal yang demikian. Kemana seharusnya teknologi ini diarahkan
dan ditempatkan dan dimanfaatkan dengan sebenar-benarnya haruslah
diperhitungkan, karena apabila keliru, suatu bangsa akan mengalami
akibatnya secara fatal.
Terkait dengan
dunia pendidikan, revolusi informasi akan
mempengaruhi jenis pilihan teknologi dalam pendidikan, bahkan, revolusi
ini secara pasti akan merasuki semua aspek kehidupan, (termasuk
pendidikan), segala sudut usaha, kesehatan, entertainment, pemerintahan,
pola kerja, perdagangan, pola produksi, bahkan pola relasi antar
masyarakat dan antar individu. Inilah yang merupakan tantangan bagi
semua bangsa, masyarakat dan individu. Siapkah lembaga pendidikan kita
menyambutnya? Perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi)
menyebabkan peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan akan mulai
bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran
karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu. Peran
guru juga tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar karena banyak
sumber belajar dan sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
62
untuk belajar. Wen (2003) seorang usahawan teknologi mempunyai gagasan
mereformasi sistem pendidikan masa depan. Menurutnya, apabila anak
diajarkan untuk mampu belajar sendiri, mencipta, dan menjalani
kehidupannya dengan berani dan percaya diri atas fasilitasi lingkungannya
(keluarga dan masyarakat) serta peran sekolah tidak hanya menekankan
untuk mendapatkan nilai-nilai ujian yang baik saja, maka akan jauh lebih
baik dapat menghasilkan generasi masa depan. Orientasi pendidikan yang
terlupakan adalah bagaimana agar lulusan suatu sekolah dapat cukup
pengetahuannya dan kompeten dalam bidangnya, tapi juga matang dan
sehat kepribadiannya. Bahkan konsep tentang sekolah di masa yang akan
datang, menurutnya akan berubah secara drastis. Secara fisik, sekolah
tidak perlu lagi menyediakan sumber-sumber daya yang secara tradisional
berisi bangunan-bangunan besar, tenaga yang banyak dan perangkat
lainnya. Sekolah harus bekerja sama secara komplementer dengan sumber
belajar lain terutama fasilitas internet yang telah menjadi “sekolah maya”.
Bagaimanapun kemajuan teknologi informasi di masa yang akan datang,
keberadaan sekolah tetap akan diperlukan oleh masyarakat. Kita tidak
dapat menghapus sekolah, karena dengan alasan telah ada teknologi
informasi yang maju. Ada sisi-sisi tertentu dari fungsi dan peranan sekolah
yang tidak dapat tergantikan, misalnya hubungan guru-murid dalam fungsi
mengembangkan kepribadian atau membina hubungan sosial, rasa
kebersamaan, kohesi sosial, dan lain-lain.
Teknologi informasi hanya mungkin menjadi pengganti fungsi
penyebaran informasi dan sumber belajar atau sumber bahan ajar. Bahan
ajar yang semula disampaikan di sekolah secara klasikal, lalu dapat diubah
menjadi pembelajaran yang diindividualisasikan melalui jaringan internet
yang dapat diakses oleh siapapun dari manapun secara individu. Dunia
pendidikan harus menyiapkan seluruh unsur dalam sistim pendidikan
agar tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh perkembangan tersebut. Melalui
penerapan dan pemilihan yang tepat teknologi informasi (sebagai bagian
dari teknologi pendidikan), maka perbaikan mutu yang berkelanjutan dapat
diharapkan termasuk belajar jarak jauh seperti Universitas Terbuka (UT).
Perbaikan yang berlangsung terus menerus secarakonsisten/konstan akan
mendorong untuk berorientasi pada perubahan untuk memperbaiki secara
terus menerus dunia pendidikan. Adanya revolusi informasi dapat menjadi
tantangan bagi lembaga pendidikan seperti UT karena mungkin kita belum
siap menyesuaikan. Sebaliknya, juga akan menjadi peluang yang baik bila
lembaga pendidikan seperti UT
mampu menyikapi dengan penuh
keterbukaan dan berusaha memilih jenis teknologi informasi yang tepat,
sebagai penunjang pencapaian mutu pendidikan.
III.
Penutup
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) mempunyai peran yang sangat strategis bagi
terwujudnya masyarakat, bangsa, dan Negara yang berjiwa nasional.
Dengan demikian, tugas utama pengemban pendidikan adalah terus
berupaya mengembangkan pendidikan nasional guna menjawab berbagai
tantangan dan perubahan yang terus berlangsung pada semua aspek
kehidupan di negara Indonesia. Oleh karena itu, implementasi (penerapan)
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
63
teknologi dalam pendidikan seperti belajar jarak jauh di era global informasi
tidak lain adalah bentuk aplikasi jenis-jenis teknologi informasi mutakhir
sekaligus usaha memenuhi kebutuhan masyarakat dalam pendidikan.
Proses belajar mengajar yang menerapkan teknologi dalam pendidikan
dapat berupa penggunaan modul, media belajar cetak, dan media elektronik
seperti radio, TV, internet dan sistim jaringan komputer, serta bentukbentuk teledukasi lainnya. Pemilihan jenis media sebagai bentuk aplikasi
teknologi dalam pendidikan harus dipilih secara tepat, cermat dan sesuai
kebutuhan, serta bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan bangsa
Indonesia.
IV.
Daftar Pustaka
Agustian, Ary Ginanjar. 2001. ESQ. Emotional Spiritual Quotient. Jakarta:
Arga.
Daerah. Yogyakarta: Adicipta.
Depdiknas, 2005. Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas
.................... 2006. RencanastrategisDepdiknas 2005-2025, Jakarta
:Balitbang
Gilley, Jerry W. dan Steven A. Eggland. 1989. Principles of Human
ResourchesDevelopment. New York: Addison Wesley Pub. Company.
Inc.
Jalal, Fasli dan Dedi Supriyadi (ed). 2001. Reformasi Pendidikan dalam
Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicipta.
Karsidi, Ravik. 2000.
Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidika.
Surakarta: Bahan Ceramah.
Sallis, Edward. 1993. Total Quality Management in Education. London:
Kogam Page
Slamet, Margono, 1999.
Filosofi Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip
Manajemen Mutu Pendidikan.
Bogor: IPB
Surya, Muhammad. 2003. Percikan Perjuangan Guru. Semarang: Aneka
Ilmu.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. 2003. Bandung : Fokusmedia
64
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
MENGEMBANGKAN MODEL PEMBELAJARAN AGAMA HINDU
DALAM MEWUJUDKAN PESERTA DIDIK YANG RELIGIUS
Oleh
Ketut Tanu
Staf Pengajar Program Pasca Sarjana IHDN Denpasar
Abstract
Learning model development Hinduism in schools should be tailored to
the level of learning followed by learners, such as primary and secondary
education. Hindu Religious Education of the promulgation of Law No. 4/1950
about education and teaching, to Law No. 20/2003 remains a sub system of
national education. However, learning Hinduism in schools experiencing
various problems are very complex.
Such conditions seem to be an obstacle in the realization of the Hindu
learning effective and efficient, especially the learning process in Hinduism
requires changes in attitudes and behavior of real diversity of learners who
are able to balance religious knowledge with other sciences. This requires the
development of the learning Hinduism in school, and be able to mediate
religious knowledge with other knowledge through a multidisciplinary
approach
Abtrak
Pengembangann model pembelajaran Agama Hindu di sekolah
hendaknya disesuaikan dengan jenjang pembelajaran yang diikuti oleh
peserta didik, seperti pendidikan dasar dan menengah. Pendidikan Agama
Hindu sejak keluarnya Undang-undang No. 4 tahun 1950 tentang pendidikan
dan pengajaran, hingga UU No. 20/2003 masih tetap merupakan sub sistem
dari pendidikan nasional. Akan tetapi, pembelajaran Agama Hindu di
Sekolah mengalami berbagai persoalan yang sangat kompleks.
Kondisi seperti itu tampaknya merupakan hambatan dalam
mewujudkan pembelajaran agama Hindu yang efektif dan efesien, terlebih
proses pembelajaran dalam Agama Hindu menuntut adanya perubahan sikap
dan perilaku keberagamaan peserta didik secara nyata yang mampu
menyeimbangkan pengetahuan agama dengan ilmu pengetahuan lainnya.
Untuk itu, diperlukan adanya pengembangan terhadap pembelajaran Agama
Hindu di Sekolah, serta mampu memediasi pengetahuan agama dengan
pengetahuan lainnya melalui pendekatan multidisipliner
I.
Pendahuluan
Tugas tenaga pendidik semakin hari semakin ditingkatkan hal itu
sejalan dengan adanya dinamika masyarakat dan kebutuhan dunia kerja
yang terus berkembang, terlebih paradigm baru pendidikan nasional adalah
menyeimbangkan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam setiap
proses pembelajaran agama Hindu di sekolah. Hal itu juga disebabkan oleh
perangkat pembelajaran agama di sekolah tampaknya kurang relevan
dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan masyarakat. Selain itu,
masyarakat tampaknya kurang siap menerima perubahan yang terjadi
dalam pembelajaran yakni prosesnya berlangsung sangat cepat sementara
itu masyarakat memiliki kemampuan sangat terbatas.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
65
Tillar (2001) menyatakan bahwa pembelajaran itu memiliki cirri-ciri
sebagai berikut: 1) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat
cepat, 2) munculnya kesadaran manusia terhadap HAM, 3) adanya
persaingan bebas atau mega kompetitif, dan 4 dunia tanpa batas. Kondisi
seperti itu secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap pembelajaran
Agama Hindu di sekolah. Jika tidak! Maka pembelajaran Agama Hindu akan
ditinggalkan oleh peserta didik atau peserta didik merasa asing dengan
kemajuan jaman yang terus berubah.
Pendidikan Agama Hindu sejak keluarnya Undang-undang No. 4
tahun 1950 tentang pendidikan dan pengajaran, hingga UU No. 20/2003
masih tetap merupakan sub sistem dari pendidikan nasional. Akan tetapi,
pembelajaran Agama Hindu di Sekolah mengalami berbagai persoalan yang
sangat kompleks.
Terbatasnya sumber daya manusia yang professional yang benarbenar memahami karakteristik pembelajaran Agama Hindu tampaknya
merupakan kendala dalam mengadakan inovasi pembelajaran. Akibatnya,
permasalahan yang muncul dalam pembelajaran Agama Hindu di sekolah
tidak terselesaikan dengan tuntas. Selain itu keberadaan tenaga pendidik
Agama Hindu di Sekolah memiliki tugas dan tanggung jawab sangat berat
dalam membentuk perilaku peserta didik.
Ketimpangan yang terjadi dalam proses pembelajaran di sekolah
selama ini adalah kurang nyambungnya standar isi dengan materi
pembelajaran Agama Hindu serta jenjang pendidikan berikutnya, sehingga
proses pembentukan perilaku tidak utuh dan tidak menunjukkan
keterkaitan. Sementara itu gejala yang muncul adalah pertumbuhan dan
perkembangan perilaku peserta didik di sekolah tampaknya masih alami
dan belum kena pengaruh luar sehingga peserta didik sangat patuh pada
pendidiknya.
Kondisi seperti itu tampaknya merupakan hambatan dalam
mewujudkan inovasi pembelajaran agama Hindu yang efektif dan efesien,
terlebih proses pembelajaran dalam Agama Hindu menuntut adanya
perubahan sikap dan perilaku keberagamaan peserta didik secara nyata
yang mampu menyeimbangkan pengetahuan agama dengan ilmu
pengetahuan lainnya. Untuk itu, diperlukan adanya inovasi terhadap
pembelajaran Agama Hindu di Sekolah yang mampu memediasi
pengetahuan agama dengan pengetahuan lainnya melalui pendekatan
multidisipliner.
II.
Pembahasan
Pembelajaran merupakan bagian yang sangat dominan dalam
mewujudkan kualitas proses dan lulusan pendidikan. Pembelajaran sangat
tergantung dari kemampuan guru dalam mengemas dan melaksanakan
proses pembelajaran. Pembelajaran yang dilaksanakan dengan baik dan
tepat akan memberikan kontribusi sangat dominant bagi siswa, sebaliknya
pembelajaran yang dilaksanakan degan cara yang tidak baik akan
menyebabkan potensi siswa sulit dikembangkan. Oleh karena itu, guru
harus tahu dan mengerti mengapa inovasi pembelajaran dilakukan, apa
pengertian inovasi inovasi pembelajaran, dan bagaimana konsep belajar dan
pembelajaran. Terlebih peradigma baru pembelajaran menuntut adanya
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
66
keterpaduan antara penanaman pengetahuan, sikap, dan keterampilan
beragama bagi peserta didik. Hal itu disebabkan oleh penanaman aspekaspek pembelajaran tampaknya belum dapat dilakukan secara seimbang
diantara ketiga ranah tersebut. Sehingga menimbulkan berbagai
permasalahan didalam pembelajaran Agama Hindu di sekolah. Untuk itu
berikut ini akan disajikan hal-hal sebagai berikut :
1.
Karakteristik Pembelajaran Agama Hindu di Sekolah
Pembelajaran merupakan suatu perencanaan atau suatu pola yang
digunakan sebagai pedoman didalam merencanakan pembelajaran secara
periodik. Kegiatan pembelajaran hendaknya direncanakan secara kronologis
dan sistematis. Tujuannya agar proses pembelajaran dapat diwujudkan
sesuai tujuan yang hendak dicapai. Arends dalam Trianto (2007:10)
mengatakan bahwa inovasi pembelajaran mengacu pada pendekatan
pembelajaran yang akan digunakan, seperti: tujuan pengajaran yang
hendak dicapai, tahap-tahap kegiatan pembelajaran yang akan
dikembangkan, lingkungan pembelajaran yang akan berlangsung, dan
adanya pengelolaan klas.
Ahmadi (2001) membedakan model pembelajaran agama kedalam 3
(tiga) jenjang pembelajaran yang ada, diantaranya adalah sebagai berikut: 1)
model pembelajaran agama pada jenjang pembelajaran dasar, 2) model
pembelajaran agama pada jenjang pembelajaran menengah, dan 3) model
pembelajaran agama pada jenjang pembelajaran tinggi. Masing-masing
jenjang pembelajaran tampaknya model pembelajaran agama telah memiliki
bentuk-bentuk pendekatan sesuai tingkat dan usia peserta didik.
Pembelajaran Agama Hindu merupakan bagian dari pembelajaran
agama yang ada, maka model pembelajarannya juga mengadopsi model
pembelajaran yang dikemukakan oleh Ahmadi. Menurut hemat penyaji
model pembelajaran Agama Hindu juga dibedakan menjadi tiga jenjang
dengan karakterisitk masing-masing, seperti: 1) model pembelajaran Agama
Hindu pada jenjang pembelajaran dasar menitik beratkan pada proses
pembiasaan yakni pembelajaran Agama Hindu pada jenjang ini lebih
didekatkan pada penanaman sikap dan keterampilan beragama secara
nyata dan mampu menyentuh aktivitas kehidupan nyata sehari-hari, 2)
model pembelajaran Agama Hindu pada jenjang pembelajaran menengah
ditekankan pada penguatan terhadap ajaran Agama Hindu, tujuannya agar
ajaran-ajaran agama tersebut dapat diterima akal secara logika dan bersifat
rasional, sehingga peserta didik pada usia ini dapat meyakini bahwa agama
yang dianutnya mampu menuntun kehidupannya, dan 3) model
pembelajaran Agama Hindu pada jenjang pembelajaran tinggi yakni lebih
menekankan pada bentuk-bentuk kajian yakni ajaran Agama Hindu
tersebut perlu dikaji kembali melalui pendekatan ilmiah, tujuannya agar
ajaran agama tersebut dapat dijelaskan dengan pola-pola ilmiah dan dapat
deterima secara realitas oleh masyarakat.
Terkait dengan hal tersebut tampaknya umat Hindu belum memiliki
model pembelajaran inovatif Agama Hindu yang bersumber akal, rasio, dan
logika dan lebih banyak bersifat gugon tuwon. Hal itu disebabkan oleh
model pembelajaran agama yang dikembangkan di sekolah masih
mengadopsi model pembelajaran yang ada pada pembelajaran agama secara
umum sehingga, pengembangan model pembelajaran Agama Hindu
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
67
tampaknya masih berorientasi pada pola-pola yang bertentangan dengan
kepentingan masyarakat atau umat Hindu secara nyata. Salah satu
contohnya adalah pengembangan model pembelajaran inovatif Agama Hindu
di Sekolah belum mampu dikembangkan kedalam konsep-konsep
pembiasaan yang dapat menyentuh kebutuhan peserta didik secara
langsung.
Model pembelajaran agama yang efektif adalah model pembelajaran
yang mampu menyentuh kebutuhan peserta didik secara langsung atau apa
yang sedang dialami oleh peserta didik, misalnya setiap pembahasan materi
hendaknya
ditanamkan
pengetahuan,
keterampilan,
dan
sikap
keberagamaan kepada peserta didik secara seimbang. Dengan demikian,
peserta didik diharapkan mampu menyeimbangkan materi pembelajaran
Agama Hindu yang didapat di sekolah dengan kenyataan yang dihadapi di
keluarga dan masyarakat (Tanu, 2007:31)
2.
Pengembangan Model Inovasi Pembelajaran Agama Hindu di Sekolah
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat cepat sehingga
mendorong tenaga pendidik untuk senantiasa mengadakan perubahan
(inovasi) terhadap model pembelajaran Agama Hindu di sekolah, terutama
mulai Sekolah, jika tidak, maka pembelajaran Agama Hindu kurang
diminati oleh peserta didik. Sementara ini fenomena yang terjadi dalam
pembelajaran Agama Hindu di sekolah, termasuk di Sekolah tampaknya
peserta didik kurang berminat terhadap pelajaran Agama Hindu, dan ada
kecendrungan mengenyampingkan mata pelajaran Agama Hindu dan
mempreoritaskan mata pelajaran lainnya.
Ketimpangan lainnya yang muncul adalah sebagai akibat adanya
kebijakan pemerintah dalam bidang pembelajaran yang tidak adil serta
adanya dikotomi antara pembelajaran agama dan non agama, artinya
pemerintah melalui kebijakan sekolah hanya menitik beratkan pada mata
pelajaran yang diuji secara nasional, sementara itu mata pelajaran non UN
tampaknya kurang mendapat perhatian akan tetapi dalam proses pelulusan
mata pelajaran tersebut ikut menentukan tingkat keberhasilan peserta didik
dalam menyelesaikan studi akhirnya.( Tillar, 2001)
Acends (2001) mengatakan bahwa ada enam macam model
pembelajaran yang dapat digunakan oleh pendidik didalam kegiatan
mengajar, diantaranya adalah sebagai berikt: 1) model pembelajaran
presentasi, 2) model pembelajaran pengajaran langsung, 3) model
pembelajaran pengajaran konsep, 4) model pembelajaran pengajaran
kooperatif, 5) model pembelajaran pengajaran bedasarkan masalah, dan 6)
model pembelajaran diskusi klas. Keenam model pembelajaran tersebut
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan oleh karena itu, dalam
aplikasinya sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi peserta didik di klas.
Model
pembelajaran
merupakan
fenomena
baru
dalam
penyelenggaraan pembelajaran Agama Hindu di sekolah. Hal itu disebabkan
oleh model pembelajaran memiliki fungsi sebagai pedoman atau ramburambu dalam kegiatan pembelajaran. Hal itu disebabkan oleh pandangan
keliru dalam paradigma lama bahwa yang belajar hanya peserta didik,
sementara pendidik hanya melakukan tugas mengajarnya saja. Seperti
dikatakan oleh andrean Harepa (2000) bahwa pembelajaran merupakan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
68
pengembangan proses yang lebih luas yakni melibatkan peserta didik,
pendidik, dan masyarakat. Dengan demikian paradigma baru pembelajaran
adalah melibatkan semua komponen pembelajaran.
Meningkatkan daya saing peserta didik sesungguhnya diawali dengan
pemilihan maupun pengembangan model pembelajaran Agama Hindu mulai
sekolah, salah satunya adalah pengembangan model pembelajaran
berwawasan spiritual, sains dan teknologi. Dengan demikian antara agama,
sains, dan teknologi merupakan satu kesatuan yang utuh sebagaimana
proses masuknya pengaruh budaya Asing (India) ke Indonesia yakni IPTEK
merupakan bagian yang berpengaruh terhadap kebudayaan Indonesia selain
agama, bangunan, dan kesusastraan.
Berdasarkan fenomena tersebut maka ilmu pengetahuan dan
teknologi tampaknya memberi andil cukup besar dalam perkembangan
kebudayaan masa itu. Untuk itu tidaklah berlebihan jika ada pemikiranpemikiran baru untuk mengembangkan model pembelajaran Agama Hindu
di sekolah dikaitkan dengan sains dan teknologi. Tujuannya adalah untuk
memberi pengetahuan kepada peserta didik agar tidak buta atau awam
terhadap teknologi informasi.
3
Inovasi dan Pengembangan Model Pembelajaran Agama Hindu di
Sekolah
Setiap otak manusia itu memiliki keunikan. Keunikan itu dipengaruhi
oleh berbagai faktor, termasuk faktor genetika dan lingkungan. Otak
memiliki ukuran dan berat yang bervariasi di antara semua manusia. Otak
juga berkembang dengan caranya sendiri. Setiap hari otak mengalami
perkembangan. Perkembangan ini dipengaruhi oleh stimulus yang diberikan
pada otak. Stimulus dalam bentuk apapun akan diproses oleh otak. Proses
ini dilakukan oleh sel-sel otak yang aktif melakaukan komunikasi. Semakin
baru dan menantang stimulus yang biberikan maka semakin otok dalam
mengaktivasi jalan barunya. Namun, jika stimulus itu dianggap sebagai
sesuatu yang tidak berarti bagi otak maka informasi itu akan menjadi
prioritas rendah dan akan mudah hilang. Jika otak merasakan sesuatu
yang penting maka otak akan menyimpan informasi iti dalam memori
jangka panjang (long term memory) dan memori itu semakin berpotensi.
Pada setiap tahap perkembangan, beberapa gen mengalami
perkembangan yang dipengaruhi oleh lingkungan. Gen itu tidak membentuk
pola pembelajaran, namun merepresentasikan kesempatan yang diperkaya.
Seseorang yag dilhirkan dari gen seorang yang jenius tidak menjamin orang
itu menjadi jenius. Jika lingkungan sekitara diperkaya maka orang itu akan
jenius, tetapi jika lingkungan tidak diperkaya maka akan iti akan menjadi
yang biasa saja. Jika seorang anak yang dilahirkan dari gen seorang yang
biasa tetapi lingkungan sekitar diperkaya maka anak itu bisa menjadi anak
yang jenius.
Berdasarkan penomena tersebut, maka pembelajaran ikut serta
mempengaruhi perkembangan otak anak. Pembelajaran yang diselaraskan
dengan cara otak yang didesain secara alami untuk belajar merupakan
salah satu cara agar otak anak dapat berkembang dengan baik.
Pembelajaran ini disebut juga Pembelajaran Berbasis Otak. Pembelajaran ini
didesain agar otak selalu bisa membuat keputusan secara alamiah.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
69
Pembelajaran berbasis otak mempertimbangkan bagaimana anak bisa selalu
menggunakan otaknya dalam pembelajaran.
Setiap anak itu unik, baik perkembangan maupun pemikirannya.
Anak itu memiliki cara sendiri dalam belajar. Anak itu bukan mesin yang
dapat bekerja sesuai dengan program yang disetel. Anak itu memiliki
potensi yang sangat besar. Potensi itu harus selalu digali agar tidak mati.
Oleh karena itu pembelajaran harus didesain sedemikian rupa sehingga
dapat menjangkau seluruh pembelajar.
Terlebih budaya global menuntut adanya keseimbangan antara
pengetahuan, sikap, dan keterampilan beragama. Hal itu disebabkan oleh
pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi sangat cepat tanpa, diimbangi
oleh pengetahuan agama maka dapat menyebabkan peserta didik sebagai
intelektual tanpa moral dan tanpa etika. Bahkan akan muncul pandangan
keliru dikalangan peserta didik bahwa pada era global dapat melakukan apa
saja secara bebas tanpa memperhatikan nilai dan etika yang tumbuh, dan
berkembang di masyarakat sebagai identitas Bangsanya.
Berdasarkan fenomena tersebut pemerintah melalui badan atau
Instansi terkait telah mengantisipasinya dengan cara memperluas tujuan
pembelajaran pada setiap satuan dan jenjang yang ada. Tujuannya adalah
agar peserta didik tidak gagap teknologi bahkan teknologi itu diharapkan
mampu sebagai bagian dari proses pembelajaran.
Upaya lain yang dapat dikembangkan kedalam pembelajaran Agama
Hindu di sekolah, adalah inovasi terhadap model pembelajaran Agama
Hindu secara terpadu. Pengembangan model pembelajaran Agama Hindu
terpadu menurut hemat penyaji didasari atas beberapa pertimbangan
diantaranya adalah sebagai berikut: 1) model pembelajaran Agama Hindu
memiliki keterkaitan dengan model-model pembelajaran pada mata
pelajaran lainnya secara integral, 2) nilai-nilai ajaran yang terdapat didalam
Agama Hindu dapat dikembangkan atau disisipkan ke mata pelajaran
lainnya, dan 3) penanaman ajaran Agama Hindu dapat dilakukan oleh
semua guru mata pelajaran melalui pendekatan multidisipilin.
Perubahan sistem pendidikan yang dierlakukan oleh pemerintah,
terutama sejak berlakunya kurikulum berbasis kompetensi model
pembelajaran terpadu merupakan pilihan yang paling tepat. Dikatakan
demikian karena, model pembelajaran Agama Hindu terpadu dapat
mengantarkan peserta didik yang mampu memahami keanekaragaman yang
ada dalam pembelajaran Agama Hindu. Selain itu model pembelajaran
terpadu juga dimaksudkan mampu menyeimbangkan ranah kognitif, afektif,
dan psikomotorik di lingkungan peserta didik sebagai individu yang sedang
tumbuh dan berkembang.
Model pembelajaran terpadu merupakan konsep pembelajaran yang
mampu melibatkan berapa bidang studi untuk memberikan pengalaman
dan pengetahuan yang bermakna . dikatakan dikatakan bermakna karena
peserta didik dapat dapat mempelajari konsep-konsep tersebut secara utuh
dan adanya hubungan yang saling terkait pada masing-masing materi
pelajaran.
Dikotomi pembelajaran agama dan non agama yang muncul sekarang
tampaknya kurang mampu meningkatkan daya saing manusia Indonesia
dipasar global. Hal itu disebabkan oleh peserta didik hanya memahami
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
70
ajaran agama yang dianutnya saja sehingga, muncul berbagai pandangan
atau kecendrungan yang menyebabkan berwawasan sempit dan senantiasa
memandang orang lain lebih rendah darinya. Gejala seperti itu
menimbulkan berbagai isu nasional maupun internasional yakni:
menurunnya moral manusia Indonesia, menurunnya mutu pembelajaran
nasional, dan kurang siapnya manusia Indonesia didalam menerima
perubahan.
Menurut hemat penyaji ada beberapa solusi yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan daya saing manusia Indonesia, khususnya umat
Hindu didalam menyambut persaingan bebas tersebut, adalah sebagai
berikut: 1) proses pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan akar dan
budaya masyarakat, 2) kurikulum pembelajaran termasuk kurikulum
pembelajaran Agama Hindu di sekolah hendaknya disesuaikan dengan
kondisi masyarakat, 3) materi pembelajaran Agama Hindu di sekolah
hendaknya diberikan secara seimbang antara pengetahuan agama, sikap,
dan keterampilan beragama kepada peserta didik, 4) kebijakan pemerintah
dalam pembelajaran agama termasuk pembelajaran Agama Hindu
hendaknya ditinjau kembali agar tidak menimbulkan sikap eksklusip
bergama, dan 5) model pembelajaran Agama Hindu hendaknya dilakukan
secara terpadu dengan mata pelajaran lainnya secara intergral.
Belajar merupakan aktivitas yang membedakan manusia dengan
makhluk lainnya. Manusia melakukan aktivitas belajar sepanjang hidupnya.
Rangkaian proses belajar dilakukan dengan mengikuti pendidikan formal,
informal, maupun nonformal. Proses belajar dilakukan agar mendapatkan
perubahan dalam diri pelakunya, baik pengetahuan, sikap, maupun
ketrampilan. Perubahan itu sebagai akibat dari proses pengalaman yang
alami maupun yang sengaja dirancang. Belajar itu tidak hanya dilakukan
oleh pelajar, tapi dilakukan oleh setiap manusia agar dapat memecahkan
masalah yang dialaimi dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Ciri-ciri belajar adalah perubahan perilaku yang merupakan hasil interaksi
individu dengan lingkungan, serta perilaku tersebut bersifat permanen.
Proses pembelajaran tidak dapat dipisahkan dari proses dan hasil
belajar. Pembelajaran mengacu pada segala kegiatan yang dirancang untuk
mendukun proses belajar yang ditandai dengan adanya perubahan perilaku
individu yang sesuai tujuan pembelajaran. Proses pembelajaran ini harus
dengan sengaja diorganisasikan dengan baik agar dapat menumbuhkan
proses belajar yang baik dan mencapai hasil belajar yang optimal. Oleh
karena itu, jenis-jenis proses belajar dan hasil belajar menjadi pusat
perhatian dari metode pembelajaran.
III.
Penutup
Berdasarkan uraian pada pembahasan tersebut maka dapat
simpulkan hal-hal sebagai berikut :
a. Simpulan
1. Pengembangann inovasi dan model pembelajaran
Hindu di sekolah hendaknya disesuaikan dengan
pembelajaran yang diikuti oleh peserta didik,
pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.
penyaji
Agama
jenjang
seperti
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
71
b.
2. Model dan inovasi pembelajaran Agama Hindu diera global
dapat dikembangkan secara integral kedalam bidang sains
dan teknologi. Sehingga peserta didik lapah dengan
keberadaan IPTEK
3. Upaya yang dapat dikembangkan kedalam pengembangan
inovasi dan model pembelajaran Agama Hindu di sekolah
adalah
pembelajaran terpadu, dengan meningkatkan
peran dan tugas sebagai pendidik yang profesional
Saran.
Era global menuntut adanya perubahan, oleh karena itu
kepada tenaga pendidik Agama Hindu harapkan mampu
melahirkan inovasi nyata dalam pembelajaran Agama
Hindu, sedangkan kepada pengambil kebijakan agar
memberi perhatian yang cukup terhadap pembelajaran
Agama Hindu.
IV.
Daftar Pustka
ABD, Rahmat Asegep. 2004. Pendidikan Tanpa Kekerasan. Jogjakarta:Tiara
Wacana.
Abuddin Nata, 2003. Menejemen Pendidikan. Jakarta: PT Pranada Media.
A. Chaedar Alwasilah, 2007. Contextual teaching and learning. Jakarta: MLC.
Ade Irawan, dkk. 2006. Buruk Wajah Pendidikan Dasar. Jakarta: Indonesia
corruption watch.
Adriono, 2006. Melejitkan Potensi Anak Didik. Bandung: .Mizan Media
Utama.
Agus Salim, dkk. 2007. Indonesia Belajarlah ! Membangun Pendidikan
Indonesia. Semarang: Tiara Wacana
Ahmadi, Abu. 2001. Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: Rineka cipta.
Ali Maskun, 2004. Paradigma Pendidikan Universal. Jogjakarta, Irchisod.
Ali Imron, 2002.Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia. Bandung: Bumi
Aksara.
Amin Abdulah, 2005. Pendidikan Agama Era Multikultural Multi Religius.
Malang: Pusat Studi Agama Mohamadiyah.
Andi Harisn, 2000. Paradigma Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi
Tahun 2000. Surakarta: Universitas Mohamadiah.
Andrean Harefa. 2001. Mutiara Pembelajar. Jogjakarta: Gloria cyber
Ministries.
Andrean Harefa. 2002.Menjadi Manusia Pembelajar. Jogjakarta: Pustaka
Pelajar.
A, Tresna Widjaya. 1991. Pengembangan Program Pengajaran. Jogjakarta:
Rineka Cipta.
Budingingsih, 2004. Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karakteristik Siswa
Dan Budayanya. Jakarta: Rineka Cipta.
Brian Fay, 2002. Filsafat Ilmu Sosial Konterporer. Jogjakarta: PT Jendela.
Darmaningtyas, 2004. Pendidikan Yang Memiskikan. Jakarta: Galang Press.
Dakir, 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum.Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Devi, S. 2007. Jadilah Pembimbing Dan Guru Bagi Putra Putri
Anda.Bandung: CV Nuansa.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
72
Dedy Pradipta, 2007.Belajar Sejati VS Kurikulum Nasional. Jogjakarta: PT
Kanisius.
Doni Kesuma, A. 2007. Pendidikan Karakter Setrategi Mendidik Anak Di
Jaman Global. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Edgar Morin, 1999. Tujuh Materi Penting Bagi Dunia Pendidikan. Jogjakarta:
Kanisius.
Frank Gaotano Morales, 2006. Semua Agama Tidak Sama. Denpasar: PT
Swadarma.
Jalaludin Rahmat, 2004. Psikologi Agama.Bandung: Mizan Media Utama.
Jalaludin Rahmat, 2007. Belajar Cerdas, Belajar Berbasis Otak.Bandung: PT
MLC.
Jereme Arcaro, 2006. Pendidikan Berbasis Mutu. Jogjakarta: Pustaka
Pelajar.
Karda, dkk. 2007. Sistem Pendidikan Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Kaswadi, 1993. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: PT
Gramedia Widiaswara Indonesia.
73
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
PELUANG DAN HAMBATAN MEREALISASIKAN INSTITUSI
PENDIDIKAN BERBASIS HINDU DALAM MENCIPTAKAN GENERASI
RELIGIUS DAN ILMIAH
Oleh
Ni Nyoman Perni
Dosen IHDN Denpasar
Email: [email protected]
Abstract
Religious education plays an important role in developing the scientific and
religious behavior of students to be balanced. Therefore, religious education
especially Hindu religious education has a significant role to develop the
standard of good morality (religiosity), and scientific attitude mature.
Therefore, establishing a Hindu-based institutions to be very important in
realizing the role siginfikansi Hindu religious education in the birth of a
generation that has a holistic intelligence. However, in establishing such an
institution, of course, there are opportunities and obstacles. The chances are,
of course referring to the legislation and regulations that can be used as a
legal basis. But resistance is also very much, which is the low quality of
teachers and impartiality policies made by the central government.
Abstrak
Pendidikan agama memegang peranan penting dalam mengembangkan
perilaku ilmiah dan religius anak didik agar seimbang. Oleh karena itu,
pendidikan agama khususnya pendidikan agama Hindu memiliki peranan
signifikan guna mengembangkan standar moralitas yang baik (religiusitas),
dan sikap ilmiah yang matang. Oleh sebab itu, mendirikan institusi berbasis
Hindu menjadi sangat penting dalam merealisasikan peran siginfikansi
pendidikan agama Hindu dalam melahirkan generasi yang memiliki
kecerdasan holistik. Namun dalam mendirikan institusi tersebut, tentunya
ada peluang dan hambatan. Peluangnya, sudah tentu mengacu pada
perundang-undangan dan peraturan yang dapat dijadikan landasan
yuridis.Namun hambatannya juga sangat banyak, yakni rendahnya mutu
pendidik dan ketidak berpihakan kebijakan yang dibuat pemerintah pusat.
I.
Pendahuluan
Melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas, pendidikan harus
mampu menanamkan kepada peserta didik kecerdasan yang holistik. Dalam
artian, pendidikan harus mampu mengembangkan potensi peserta didik
baik dari aspek intelektual dan spiritual (baca: ilmiah dan religius).
Sebagaimana teori yang dikembangan Bloom, bahwasannya tiga ranah
harus dikembangkan bagi peserta didik, yakni aspek afektif atau perilaku,
kognitif atau intelektualitas dan psikomotor atau keterampilan serta adabtif
terhadap lingkungan (Sukardjo, 2012:8).Namun pendidikan dewasa ini
hanya menekankan pada aspek intelektualitas yang terkadang
mengkesampingkan aspek perilaku, moralitas atau sikap religius, sehingga
pendidikan dewasa ini sangat banyak melahirkan orang yang cerdas tetapi
tidak memiliki moralitas yang baik.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
74
Berdasarkan pada hal tersebut, pendidikan agama memegang
peranan penting dalam mengembangkan perilaku ilmiah dan religius anak
didik agar seimbang.Oleh karena itu, pendidikan agama khususnya
pendidikan
agama
Hindu
memiliki
peranan
signifikan
guna
mengembangkan standar moralitas yang baik (religiusitas), dan sikap ilmiah
yang matang.Sebagaiamana pendidikan agama Hindu merupakan salah
satu pendidikan agama yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan
umum, memiliki andil besar dalam rangka menciptakan sumber daya
manusia Hindu yang berkualitas untuk menjawab tantangan di era
global.Senanda dengan itu Tanu (2011: 3) menjelaskan bahwa pendidikan
agama, termasuk pendidikan agama Hindu di sekolah merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan umum.Oleh sebab itu,
penyelenggaraan pendidikan agama pertama kali diatur dalam UU No.4
tahun 1950, yakni tentang pendidikan dan pengajaran.Tepatnya pasal 20
UU tersebut menyaakan bahwa pendidikan agama wajib diberikan di
sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah mulai dari Taman
Kanak-Kanak hingga perguruan tinggi.Sedangkan sekolah swasta telah
menetapkan mata pelajaran agama sebagai mata pelajaran wajib.
Bertitik tolak pada bunyi UU tersebut, maka masyarakat Hindu
memiliki peluang yang sangat besar dalam mengembangkan jalur
pendidikan yang berkarakteristik Hindu, dan tentunya berkualitas serta
bermutu.Selama ini ada indikasi bahwa pendidikan agama Hindu belum
sepenuhnya mampu menangani berbagai masalah dalam dunaia
pendidikan, terlebih melahirkan peserta didik yang berkualitas dalam
menjawab era global. Sebagaimana Tanu (2011 : 2) menjelaskan bahwa
gejala yang muncul dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, termasuk
dalam pendidikan agama Hindu di sekolah adalah :(1) menurunnya akhlak
dan moral peserta didik, (2) menurunnya mutu pendidikan dan (3)
menurunnya peringkat pendidikan. Gejala tersebut mengindikasikan bahwa
pemerintah, termasuk pendidikan agama Hindu di sekolah tampaknya
belum mampu menangani masalah yang terjadi. Merunut pada hal tersebut,
maka masyarakat Hindu dan pemerintah sangat perlu serta memiliki
peluang dalam mengembangkan jalur pendidikan berkarakteristik Hindu
untuk menjawab gejala-gejala yang muncul dalam penyelengaraan
pendidikan nasional, sehingga dapat melahirkan generasi Hindu yang ilmiah
dan religius.
II.
Pembahasan
2.1. Peluang Merealisasikan Institusi Pendidikan Agama Hindu
Penyelenggaraan
pendidikan
agama
adalah
tangung
jawab
masyarakat demikian juga pemerintah dalam rangka pencapaian dari
tujuan pendidikan nasional, seperti yang termaktub dalam Undang-Undang
No.20 Tahun 2003.Terlebih muncul stigma bahwa pendidikan agama telah
gagal dalam membentuk siswa yang memiliki budi pekerti. Sebagaimana
menurut Susetyo (2005 : 87) menguraikan sebagai berikut.
Pelaksanaan pendidikan agama di Indonesia telah gagal membentuk
manusia-manusia yang berbudhi pekerti.Sebagaimana yang telah
diajarkan oleh agamanya masing-masing.Pelajaran agama yang
diajrakan di sekolah lebih banyak bersifat ritual dan dogmatik.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
75
Tekanan pengajaran agama masih berkisar pada to have religion,
bukanya pada to be religiouse.Pengajaran yang demikian akan
mengarahkan manusia beragama tetapi tidak beriman.
Berdasarkan pada hal itu, pendidikan agama harus mampu menjawab
kritik tersebut dengan berupaya merevitalisasi pengajaran, kurikulum dan
komponen pendidikan agama yang lain, sehingga menjadi lebih
berkualitas.Mengacu pada perundang-undangan, pendidikan agama
menjadi sangat penting dalam mengembangkan potensi peserta didik pada
aspek kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian dan sejenisnya, seperti
yang terbingkai dalam UU No.20/2003.Oleh karena itu, pendidikan agama
harus diselenggarakan oleh masyarakat sebagai perwujudan pendidikan
dari, oleh dan untuk masyarakat. Sejalan dengan itu, Subawa (2013) dalam
uraian makalah ilmiahnya yang berjudul Kebijakan Ditjen Bimas Hindu
Tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan Hindu yang disampaikan pada
seminar nasional di lingkungan Program Pasca Sarjana IHDN Denpasar
menyatakan sebagai berikut :
Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh masyarakat sebagai
perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat.Jauh
sebelum bangsa Indonesia merdeka, perguruan-perguruan keagamaan
sudah lebih dahulu berkembang.Selain menjadi akar budaya bangsa,
agama didasari merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
pendidikan.Pendidikan keagamaan juga berkembang akibat dari mata
pelajaran atau kuliah, sehingga pendidikan agama dinilai menghadapi
berbagai keterbatasan pada sekolah-sekolah formal.
Mencermati hal tersebut, maka secara implisit terkandung
pemahaman bahwa pendidikan agama sebagai akar budaya diselenggarakan
oleh masyarakat dan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan itu sendiri.
Demikian pula pendidikan keagamaan adalah sangat penting diaplikasikan
dalam jalur formal, informal dan non formal. Sebagaimana hal tersebut
ditegaskan dalam pasal 30 Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan :(1) Pendidikan agama dan
keagamaan dapat diselenggarakan oleh pemerintah dan atau kelompok
masyarakat dari pemeluk agama sesuai peraturan perundang-undangan
yang ada, (2) pendidikan agama berfungsi menyiapkan peserta didik
menjadi masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran
agamanya dan atau menjadi ahli agama, (3) pendidikan agama dapat
dilakukan melalui beberapa jalur formal, informal, dan non formal, (4)
pendidikan agama dapat berbentuk Diniyah, Pesantren, Pasraman, Pabhaja
Samanera dan sejenisnya (Redaksi Sinar Grafika, 2013 : 112).
Bertumpu pada uraian yuridis dalam UU tersebut, maka sudah
sangat jelas pendidikan agama boleh diselenggarakan oleh masyarakat dan
pemerintah.Oleh sebab itu, dalam konteks ini pendidikan agama Hindu
dapat diselengarakan oleh masyarakat Hindu dan pemerintah.Bunyi dari
perundang-undangan tersebut dapat dijadikan landasan yuridis yang kuat
dalam mengembangkan institusi pendidikan yang berbasis agama Hindu,
sehingga masyarakat Hindu dan pemerintah memiliki peluang yang cukup
besar dalam merealisasikan hal tersebut.Perealisasian institusi pendidikan
agama, khususnya pendidikan agama Hindu dapat juga mengacu pada
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
76
pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing, dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Jadi,
berdasarkan pada bunyi UUD 45 tersebut, masyarakat Hindu, komponen
pendidikan Hindu dan pemerintah dapat menentukan kebijakan dalam
membangun lembaga pendidikan berkarakteristik Hindu.
2.2
Hambatan Dalam Merealisasikan Institusi Pendidikan Agama
Hindu
Hambatan yang berasal dari eksternal atau dari luar muncul dari
dominasi agama-agama non Hindu yang melakukan hegemoni terhadap
agama minoritas.Agama mayoritas aliran ekstrim kanan melakukan
penetrasi politik yang terkadang mempersulit agama minoritas dalam
merealisasikan arah kebijakan, sehingga berimplikasi pada terhambatnya
perkembangan agama Hindu. Meskipun UUD 45 dan perundang-undagan
sudah mengatur bahwa ada persamaan hak dan kemerdekaan dalam
penyelengaraan pendidikan agama atau keberagamaan, akan tetapi di sisi
lain kemerdekaan seolah ditelanjangi oleh sikap apologetic ekstrim dari
agama mayoritas. Hal yang demikian akan berdampak pada tidak
terealisasinya kebijakan yang telah dibuat.
Selaian hambatan yang datang dari eksternal, hambatan yang datang
dari internal adalah sangat penting untuk diperhatikan, mengingat selama
ini masyarakat Hindu memiliki beberapa titik kelemahan.Hambatan yang
datang dari internal adalah sumber daya manusia tenaga pendidik Hindu.
Sebagaimana Tanu (2011 : 15) menguraikan bahwa selama ini banyak kritik
yang ditujukan pada cara pendidik mengajar. Tanaga pendidik terlalu
banyak memberikan informasi berupa hafalan yang terkadang tidak
bermanfaat bagi subjek didik.Kenyataannya di lapangan, siswa hanya dapat
menghafal, sehingga tidak dapat memahami, kurang mampu menentukan
masalah dan merumuskannya. Selain itu Donder (2007:9) mengemukakan
kritik terhadap pendidik atau guru yang selama ini mengajar hanya mampu
menekankan pada aspek kecerdasan intelektual. Guru yang sebenarnya
adalah mendidik, sehingga segala potensi yang dimiliki peserta didik dapat
berkembang terutama aspek rohani, dan guru hendaknya memandang
peserta didik adalah refleksi Tuhan yang harus dilayani dengan baik.
Dua pendapat tersebut di atas dapat dijadikan acuan yang sahih
bahwasannya, tenaga pendidik agama Hindu belum oftimal dalam
menjalankan ke profesionalannya dalam mentransfer ilmu pengetahuan
kepada peserta didik.Mendirikan lembaga bernuansa Hindu, hendaknya
memiliki tenaga pendidik yang benar-benar bermutu, sehingga ke depannya
mampu mendidik dalam mengembangkan segala potensi siswa Hindu,
sehingga melahirkan generasi ilmiah dan religius.Tanu (2011:182)
menjelaskan bahwa eksistensi tenaga pendidik agama Hindu di sekolah
memiliki beberapa kendala, seperti :
1. Jenjang pendidikan yang dimiliki oleh peserta didik;
2. Jumlah tenaga pendidik di setia jenjang pendidikan sangat
terbatas;
3. Penyebaran tenaga pendidik di masing-masing sekolah tidak
merata, dan termarginalkannya pendidik agama Hindu.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
77
Merujuk pada uraian tersebut, menjadi sebuah yang tendensius
ketika mencermati kendala dari keberadaan guru pendidikan agama Hindu
di sekolah.Keterbatasan jumlah tanaga pendidik, dan marginalisasinya guru
Hindu disebabkan oleh kebijakan pemerintah pusat yang terkadang tidak
memberikan peluang bagi tenaga pendidik Hindu untuk menjalankan tugas
sebagai tanaga pendidik.Sebut saja jatah pengangkatan guru Hindu yang
sangat terbatas, dan tidak berimbang dangan agama mayoritas yang
notabene memiliki institusi pendidikan agama lebih banyak. Namun ke
depannya, bukan tidak mungkin akan dibutuhkan tenaga pendidikan
agama Hindu yang banyak, jika masyarakat Hindu dan yang terkait mampu
mewujudkan institusi pendidikan berkarakteristik Hindu dari tingkat dasar
sampai perguruan tinggi maupun non formal.
III.
Penutup
Berdasarkan atas deskripsi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan agama Hindu memiliki peranan penting dalam menciptakan
generasi yang ilmiah dan religius.Oleh sebab itu, mendirikan institusi
berbasis Hindu menjadi sangat penting dalam merealisasikan peran
siginfikansi pendidikan agama Hindu dalam melahirkan generasi yang
memiliki kecerdasan holistik.Namun dalam mendirikan institusi tersebut,
tentunya ada peluang dan hambatan.Peluangnya, sudah tentu mengacu
pada perundang-undangan dan peraturan yang dapat dijadikan landasan
yuridis.Namun hambatannya juga sangat banyak, yakni rendahnya mutu
pendidik dan ketidak berpihakan kebijakan yang dibuat pemerintah pusat.
IV.
Daftar Pustaka
Ari. 2013. Undang-Undag Pendidikan dan Standar Nasional Pendidikan.
Yogyakarta : Pustaka Mahardika.
Dantes, Nyoman. 2008. Pendidikan Teknohumanistik (Suatu Rangkaian
Perspektif Dan Kebijakan Pendidikan Menghadapi Tantangan
Global). (Makalah Ilmiah dan Tiak dipublikasikan).Singaraja :
Undhiksa.
Donder I Ketut.2007. Guru Sistha Pedoman Menjadi Guru Mulia.Surabaya :
Paramita.
Ngurah I Gusti Made. 1999. Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan
Tinggi.Surabaya : Paramita.
Poerwati dan Amri. 2013. Panduan Memahami Kurikulum 2013. Jakarta :
Prestasi Pustaka Karya.
Redaksi
Sinar
Grafika.
2013.
Amandemen
Standar
Nasional
Pendidikan.Jakarta : Sinar Grafika.
Sukardjo. M. 2012. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya.Jakarta :
Raja Grafindo Persada.
Subawa, Ida Bagus Gede. 2014. Kebijakan Ditjen Bimas Hindu Tentang
Pendidikan Agama dan Keagamaan Hindu (Makalah Ilmiah Tidak
Dipublikasikan. Jakarta : Ditjen Bimas Hindu.
Sudira, Putu. 2014. Konsep dan Praksis Pendidikan Hindu Berbasis Tri Hita
Kara (Makalah Ilmiah Seminar Tidak Dipublikasikan. Jakarta :
Universitas Negeri Yogyakarta.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
78
Susetyo,
Beni. 2005. Politik Pendidikan Penguasa (Kritik Terhadap
Pendidikan Agama). Yogyakarta : Pelangi Aksara LKIS.
Tanu, I Ketut. 2011. Pendidikan Agama Hindu di Tengah Masyarakat
Modernisasi. Denpasar : Yayasan Sari Kahyangan Indonesia.
…………,2008. Isu-Isu Kontenporer Pendidikan Agama Hindu di Sekolah
Dasar (Perspektif Kritis Cultural Studies).Denpasar : Yayasan Sari
Kahyangan Indonesia
79
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
PENANAMAN KARAKTER DALAM KELUARGA
SEBAGAI UPAYA REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU UNTUK
MENCIPTAKAN GENERASI YANG ILMIAH DAN RELIGIUS
Oleh
Ni Komang Sutriyanti
Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
e-mail: [email protected]
Abstrak
Karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas sumber daya
manusia karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu
bangsa. Keluarga sebagai jalur pendidikan pertama dan utama memiliki
tugas utama dalam penanaman karakter. Baik buruknya hubungan atau
interaksi antara suami dan istri, orang tua dan anak, serta anak dengan
anak sangat menentukan kesuksesan pendidikan karakter di lingkungan
keluarga, terutama dalam menciptakan situasi dan interaksi edukatif.
Situasi edukatif adalah terciptanya suasana atau keadaan yang
memungkinkan terjadinya proses tindakan yang mengarah pada proses
pendidikan. Penanaman nilai-nilai karakter dalam keluarga merupakan
salah satu upaya revitalisasi pendidikan agama Hindu untuk menciptakan
generasi yang ilmiah dan religius.
Kata Kunci: Karakter, Keluarga, Revitalisasi, Pendidikan Agama Hindu,
Ilmiah dan Religius.
I.
Pendahuluan
Pembangunan karakter bangsa merupakan sebuah kebutuhan asasi
dalam proses berbangsa karena hanya bangsa yang memiliki karakter dan
jati diri kuat akan eksis. Secara ideologis, pembangunan karakter
merupakan upaya mengejawantahkan ideologi Pancasila dan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Secara normatif, pembangunan karakter bangsa
merupakan wujud nyata langkah mencapai tujuan negara. Secara historis,
pembangunan karakter bangsa merupakan sebuah dinamika inti proses
kebangsaan yang terjadi tanpa henti dalam kurun sejarah, baik pada zaman
penjajah, maupun pada zaman kemerdekaan.
Secara sosiokultural,
pembangunan karakter bangsa merupakan suatu keharusan dari suatu
bangsa yang multikultur.
Karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas sumber daya
manusia karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu
bangsa. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia
dini, bahkan semasih dalam kandungan. Menurut Freud (dalam Muslich,
2011: 35) menyatakan bahwa kegagalan penanaman kepribadian yang baik
di usia dini dapat membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya
kelak. Pembentukan karakter pada anak di usia dini menjadi sebuah hal
yang problematik.
Salah satu lembaga pendidikan tertua mengemban tugas dan
tanggung jawab dalam mencapai tujuan pendidikan adalah keluarga. Oleh
sebab itu, keluarga seharusnya mampu menciptakan situasi dan kondisi
yang baik sehingga mampu menghasilkan generasi yang berkualitas
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
80
(suputra). Apabila anak tidak mendapatkan pendidikan yang baik di
keluarga, maka secara tidak langsung pendidikan akan mencetak anak yang
tidak baik (kuputra). Ki Hajar Dewantara (dalam Shochib, 1998: 10)
menjelaskan bahwa keluarga merupakan pusat pendidikan yang pertama
dan terpenting karena sejak timbulnya adab kemanusiaan sampai saat ini,
keluarga selalu memengaruhi pertumbuhan budi pekerti tiap-tiap manusia.
Disamping itu, orang tua dapat menanamkan benih kebatinan yang sesuai
dengan kebatinannya sendiri ke dalam jiwa anak. Inilah hak orang tua yang
utama dan tidak bisa dibatalkan oleh orang lain.
Keluarga merupakan jalur pendidikan pertama dan utama bagi anak
merupakan tempat pertama kalinya anak-anak memperoleh pendidikan
dan pengajaran dari orang tua. Mulai dari belajar bercakap-cakap,
mengenal nama anggota badan, anggota keluarga, mengenal warna,
penanaman disiplin tentang makan, tidur dan sebagainya. Keluarga juga
memiliki tempat dan fungsi yang sangat unik, dinamis, memiliki peran
sosial, pendidikan sekaligus peran keagamaan. Seorang anak sebelum
mengenal masyarakat yang lebih luas dan mendapat bimbingan dari
sekolah, lebih awal memperoleh bimbingan dari keluarga. Seorang anak
pertama kalinya mendapatkan penanaman dan pembentukan karekter dari
kedua orang tua. Demikian pula dalam keseluruhannya kehidupan anak
lebih banyak dihabiskan dalam lingkungan keluarga.
Lickona (2012: 81) menegaskan keluarga sebagai pendidik karakter
yang paling utama. Keluarga adalah pihak pertama yang paling penting
dalam memengaruhi karakter anak. Tugas sekolah adalah memperkuat nilai
karakter positif (etos kerja, rasa hormat, tanggung jawab, jujur, dan lainlain) yang diajarkan di rumah. Kenyataannya, tentu saja ini sering terjadi
sebaliknya. Banyak orang tua yang tidak memenuhi aturan peran penting
sebagai pendidik dalam membentuk karakter anak. Seharusnya keluarga
meletakkan fondasi sebagai dasar, dan sekolah membangun di atas fondasi
itu. Penjelasan tersebut di atas, telah menginspirasi penulis untuk
membahas tentang “Penanaman Karakter dalam Keluarga Sebagai Upaya
Revitalisasi Pendidikan Agama Hindu untuk Menciptakan Generasi yang
Ilmiah dan Religius”.
II.
Pembahasan
2.1
1)
Etika dalam Keluarga
Etika Suami dan Istri
Hubungan pernikahan sebagai hubungan yang dilakukan atas dasar
cinta kasih, atas dasar saling menyukai dan direstui oleh para orang tua
kedua belah pihak. Lebih penting bahwa pernikahan itu dilakukan dengan
perjanjian yang melibatkan nama Tuhan Yang Maha Agung, menjadikanNya sebagai saksi dan juga disaksikan oleh semua manusia yang hadir.
Oleh karena itulah perjanjian dalam pernikahan merupakan perjanjian yang
teramat sakral dan bukan sandiwara atau main-main.
Pada dasarnya yang menjadi kewajiban suami tidaklah hanya menjadi
hak bagi istri, tetapi juga menjadi kewajiban istrinya. Sebaliknya, yang
menjadi kewajiban istri, tidaklah hanya menjadi hak suaminya, tetapi juga
sckaligus sebagai kewajiban suami. Dengan kata lain, hak dan kewajiban
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
81
suami adalah juga menjadi hak dan kewajiban istri. Hanya peran yang
bersifat fitrah yang tidak bisa ditukar atau digantikan oleh pasangannya,
seperti mengandung atau hamil, haid atau menyusukan anak yang menjadi
kewajiban istri yang tentunya tidak bisa digantikan perannya oleh suami.
Selain itu, yang juga penting adalah adanya komunikasi yang baik
antara suami dan istri. Sekarang ini dengan alasan untuk memperbaiki
tingkat ekonomi keluarga, banyak pasangan suami-istri, memilih untuk
bekerja mencari nafkah. Kesibukan yang terus meningkat membuat
pasangan suami-istri sering lupa akan pentingnya komunikasi tatap muka
untuk menjaga hubungan pernikahan tetap harmonis. Minimnya
komunikasi seperti itu rentan memunculkan permasalahan dalam
hubungan suami istri. Jika dibiarkan, bisa jadi pasangan itu akhirnya
harus bercerai (Kurniawan, 2013: 67-68).
Baik buruknya hubungan atau interaksi antara suami dan istri atau
ayah dan ibu sangat menentukan kesuksesan pendidikan karakter di
lingkungan keluarga, terutama dalam menciptakan situasi dan interaksi
edukatif. Situasi edukatif adalah terciptanya suasana atau keadaan yang
memungkinkan terjadinya proses tindakan yang mengarah pada proses
pendidikan. Sementara interaksi edukatif adalah interaksi yang
mengandung nilai-nilai pendidikan. Situasi dan interaksi
ini tidaklah
muncul dengan sendirinya, tetapi harus diciptakan, diusahakan bahkan
direkayasa oleh suami-istri atau ayahibu, dan orang-orang dewasa lain yang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan karakter di lingkungan
keluarga.
2)
Etika Orang Tua dengan Anak
Setiap orang tua atau pasangan suami-istri atau ayah-ibu senantiasa
mengharapkan kehadiran anak sebagai bukti dari buah cinta kasih mereka.
Namun hubungan antara orang tua dan anak bukanlah hubungan
kepemilikan, melainkan hubungan pemeliharaan. Hubungan atau interaksi
antara orang tua dengan anak selalu ditandai dengan perkataan dan
perbuatan. Namun, tidak sedikit dari perilaku atau perangai orang tua
justru membuat anak tertekan atau stres bahkan depresi.
Dalam kekawin Niti Sastra VIII.3 disebutkan ada lima kriteria yang
menjadi kewajiban orang tua yang disebut Panca Vida yang terdiri dari Sang
Ametwaken (melahirkan), Sang Nitya Maweh Binojana (orang tua
mempunyai kewajiban untuk memberikan makan dan minum), Sang
Manggupadyaya (orang tua berkewajiban untuk mengupayakan pendidikan
bagi anak-anaknya), Sang Anyangaskara (kewajiban orang tua menyucikan
pribadi anak secara utuh lahir dan bathin), dan Matulung Urip Rikalaning
Baya (kewajiban orang tua untuk menolong si anak di saat mendapat suatu
bencana atau kesusahan) (Swastika, 2007: 16-18).
Anak merupakan dambaan bagi setiap keluarga. Tidak ada orang
yang telah bersuami istri tidak menginginkan anak. Anak adalah generasi
peners bagi kelangsungan keluarganya. Di dalam Slokantara disebutkan
sebagai berikut.
Kalinganya, dening anibākna warah-warah ring anak, yan limang
tahun tuwuhnya, kadi dening angering anak sang prabhu dening
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
82
anibāken warah iriya. Matuha pwa ya ikang swaputra, kateka ring
sadaśa tahun tuwuhnya, irika ta yan warah hulun dening anibāken
warah-warah iriya, Kunang yan atuha ikang anak, kateka ring
nembelas tahun tuwuhnya, ika ta yan kadi dening amarah-marah ing
mitra dening anibāken warah-warah iriya, mangkana karma ning
marah-marah putra, ling Sang Hyang Aji.
(Slokantara, 22)
Terjemahannya:
Perlakuan orang tua terhadap anak-anaknya ialah sebagai berikut:
selama lima tahun dari bayi ia harus diperlakukan sebagai raja.
Ketika sampai anak itu bertambah umur sepuluh tahun lagi ia harus
dilatih sebagai pelayan. Dan jika setelah anak itu berumur enam belas
ia harus diperlakukan sebagai kawan terhadap kawan. Inilah cara
mendidik anak. Demikian ketentuan dalam kitab suci (Sudharta,
2003: 83-84).
Kutipan tersebut di atas memberikan cara mendidik anak bagi para
orang tua dengan selalu memperhatikan perkembangan anaknya yang
berdasarkan pada umur dari anak bersangkutan. Saat ini model seperti ini
mungkin juga telah dilupakan oleh para orang tua, karena orang tua
sekarang telah menyerahkan anaknya 100% di sekolah, sehingga sentuhan
pendidikan karakter yang mestinya dapat diberikan di tingkat rumah tangga
menjadi kabur. Anak sekarang hanya dijejali dengan pengetahuanpengetahuan yang hanya mengutamakan kepintaran saja.
3)
Etika Anak dengan Orang Tua
Menciptakan keluarga yang damai, rukun, dan bahagia diperlukan
adanya kerjasama yang harmonis diantara semua anggota keluarga. Saling
pengertian dan saling menghormati menjadi suatu keharusan dalam sebuah
keluarga. Tidak akan mungkin tercipta keluarga yang sejahtera apabila
diantara anggota keluarga tidak adanya hidup saling menghormati tugas
dan kewajiban seperti yang telah disebutkan seperti di atas itu. Untuk ini
perlu juga dikutipkan salah satu isi dari pustaka suci Veda seperti berikut.
sam gacchadhvam sam vadadhvam
sam vo manamsi janatam
dewa bhagam yatha purve
sanjanana upasate
(Rgveda, X. 191. 2)
Terjemahannya:
Wahai umat manusia anda seharusnya berjalan bersama-sama
dengan pikiran yang sama seperti halnya para pendahulumu
bersama- sama membagi tugas mereka, begitulah anda mestinya
memakai hakmu (Titib, 1998: 348).
83
Kutipan tersebut di atas sebagai motivasi untuk sebuah keluarga yang
mendambakan keluarga yang sejahtera secara lahir dan batin. Perlu
adanya kesamaan-kesamaan sehingga apa yang dicita-citakan dapat
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
terwujud secara sempurna dan juga Bangsa dan Negara juga mendapat
dampaknya sehingga kesejahteraan secara umum juga akan terwujud
dengan baik.
4)
Etika Anak dengan Anak
Interaksi antar-anak adalah hubungan timbal balik antar-anak yang
belum dewasa dalam keluarga pada satu rumah. Interaksi atau hubungan
timbal balik antar anak-anak yang belum dewasa dalam keluarga pada satu
rumah. Interaksi antar anak tersebut dapat berupa hubungan timbal balik
antara adik-kakak, atau antara anak yang berbeda jenis kelamin (anak lakilaki dan anak perempuan).
Salim (dalam Kurniawan, 2013: 75) menyatakan bahwa, pola interaksi
antar-anak di rumah dapat dibedakan menjadi dua bentuk. Pertama,
interaksi antar-anak yang berbeda usia (yang muda dengan yang tua), yaitu
hubungan timbal balik antara adik dan kakak. Interaksi itu harus
menunjukkan situasi dan interaksi edukatif. Pihak yang muda harus
menunjukkan sikap hormatnya kepada yang lebih tua dan yang lebih tua
menunjukkan kasih sayang, mengayomi dan melindungi yang lebih muda.
Kualitas interaksi antar-anak tersebut dapat diamati dalam tutur kata,
sikap, dan tindakan keseharian selama mereka berada dan bergaul di
rumah.
Kedua, interaksi antaranak yang berbeda jenis kelamin, yaitu
hubungan timbal balik antara anak laki-laki dan anak perempuan yang
berada dalam satu rumah. Dalam pergaulannya anak laki-laki dan
perempuan dapat saling memengaruhi. Jika salah satunya lebih
mendominasi dan salah satunya memiliki kecenderungan mengikuti yang
lainnya, dapat memengaruhi sifat dan sikap kesehariannya. Kemudian pada
gilirannya dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
kejiwaannya, terutama jika interaksi keduanya tidak terawasi secara baik
oleh orang tua atau orang dewasa lain yang ada di rumah. Sebagai contoh,
anak laki-laki yang cenderung mengikuti anak perempuan, mulai cara
berpakaian, permainan sampai pada cara bertutur kata atau berperilaku
maka kecenderungan anak laki-laki tersebut akan bergaya seperti
perempuan. Sebaliknya, jika anak yang perempuan yang lebih cenderung
mengikuti gaya anak laki-laki, anak perempuan tersebut akan memiliki
kecenderungan menjadi tomboy (bersifat dan berpenampilan seperti lakilaki). Di samping itu, karena perbedaan jenis kelamin juga berarti berbeda
baik fisik dan sifat maka perlu ada batas-batas tertentu yang boleh dan
tidak boleh dilakukan selama mereka melakukan interaksi. Jika salah
seorang dari anak tersebut sudah berusia sepuluh tahun, sebaiknya segera
dipisahkan tempat tidurnya bahkan akan lebih baik sebelum mencapai usia
tersebut.
2.2
1)
Penanaman Nilai-nilai Karakter dalam Keluarga
Nilai Religius
84
Religius merupakan sikap dan perilaku yang menunjukkan keyakinan
akan adanya kekuatan sang pencipta atau Tuhan Yang Maha Esa.
Keyakinan ini disertai kepatuhan dan ketaatan dalam mengikuti perintah
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
dan menjauhi segala larangan-Nya. Ini diwujudkan dengan taat beribadah
dan berperilaku yang sesuai dengan apa yang telah diatur oleh agama dan
tidak melakukan apa yang dilarang oleh agama (Titib, 2006: 67). Sikap dan
perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,
toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan
pemeluk agama lain (Balitbangpuskur, 2010: 37). Adapun religiusitas
merupakan orang yang menganggap beragama sebagai sesuatu yang
“penting” lebih dikenal sebagai orang yang bekerja untuk mereka yang
memerlukan pertolongan, ikut serta berkampanye untuk keadilan sosial,
dan menyisihkan uang untuk memberikan pertolongan, terutama dalam
jangka waktu yang panjang (Suhardi, 2014: 189).
Mengenai nilai religius anak, sesuai dengan yang dinyatakan oleh
Stark dan Glock (dalam Suhardi, 2014: 3) menyebutkan ada lima unsur
yang dapat mengembangkan manusia menjadi religius. Yaitu, keyakinan
agama, ibadat, pengetahuan agama, pengalaman agama, dan konsekuensi
dari keempat unsur tersebut. Keyakinan agama adalah kepercayaan atas
doktrin ketuhanan, seperti percaya terhadap adanya Tuhan, akhirat, surga,
neraka, takdir dan lain-lain. Ibadat adalah cara melakukan penyembahan
kepada Tuhan dengan segala rangkaiannya. Pengetahuan agama adalah
pengetahuan tentang ajaran agama meliputi berbagai segi dalam suatu
agama. Pengalaman agama adalah perasaan yang dialami orang beragama,
seperti rasa tenang, tenteram, bahagia, syukur, patuh, taat, takut,
menyesal, bertobat dan lainnya. Terakhir konsekuensi dari keempat unsur
tersebut adalah aktualisasi dari doktrin agama yang dihayati oleh seseorang
yang berupa sikap, ucapan, dan perilaku atau tindakan.
Nilai religius pada anak tidak cukup diberikan melalui pelajaran,
pengertian, penjelasan, dan pemahaman. Kemudian, membiarkan anak
berjalan sendiri. Penanaman nilai religius pada anak memerlukan
bimbingan, yaitu usaha untuk menuntun, mengarahkan sekaligus
mendampingi anak dalam hal-hal tertentu, terutama ketika anak
merasakan ketidakberdayaannya atau ketika anak sedang mengalami suatu
masalah yang dirasakannya berat. Maka, kehadiran orang tua dalam
membimbingnya akan sangat berarti dan berkesan bagi anak-anaknya.
Keteladanan orang tua juga merupakan hal penting dalam penanaman nilai
religius pada anak. Anak cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan
orang tua, baik pada ibu ataupun pada ayahnya. Segala ucapan, gerak-gerik
atau tingkah laku keseharian orang tua akan diperhatikan oleh anak dan
cenderung akan diikuti, paling tidak akan dikritisi oleh anaknya. Orang tua
yang selalu berbicara dan berperilaku santun akan lebih mudah
mengingatkan anaknya untuk bicara dan berperilaku santun. Demikian
pula orang tua yang suka berderma di hadapan anaknya akan menjadi
pelajaran dan pengalaman baik bagi anaknya. Kebiasaan-kebiasaan baik
orang tua yang mencerminkan pengamalan nilai-nilai religius ini akan
menjadi contoh bagi anak-anaknya, yang suatu saat akan muncul dalam
perilaku keseharian anak-anaknya (Kurniawan, 2013: 85).
Nilai religius merupakan nilai pembentuk karakter yang sangat
penting. Manusia berkarakter adalah manusia yang religius. Religius adalah
penghayatan dan implementasi ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari
(Naim, 2012: 124). Sikap religius merupakan cerminan orang beriman yang
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
85
memiliki keyakinan yang mantap terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam
kitab Rgveda IX.64.21 dijelaskan:
abhi venā anūsateyakShanti pracetasah,
mjjanty-avicetasah.
Terjemahannya:
Orang yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa yang terpelajar
mempersembahkan doa-doa dan para ahli keagamaan yang
dicerahkan berniat menghaturkan yajña. Orang yang tidak beriman
kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan orang yang bodoh akan
tenggelam (Titib, 2006: 67).
Sloka tersebut di atas menegaskan bahwa orang yang beriman kepada
Tuhan Yang Maha Esa, orang yang terpelajar selalu mempersembahkan
doa-doa pujian. Orang yang tidak beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta orang yang bodoh akan tenggelam ke jurang penderitaan. Oleh karena
itu, menjadi manusia harus selalu mempertebal sradha dan bhakti kepada
Tuhan Yang Maha Esa karena manusia tidak ada apa-apanya dihadapan
Tuhan.
2)
Nilai Mandiri
Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada
orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Dalam keluarga, kemandirian
(self-relience) adalah salah satu nilai karakter yang harus dibentuk oleh
orang tua dalam kehidupan sehari-hari. Mustari (2014: 78) menyatakan
bahwa orang mandiri adalah orang yang cukup-diri (self-sufficient), yaitu
orang yang mampu berpikir dan berfungsi secara independen, tidak perlu
bantuan orang lain, tidak menolak risiko dan bisa memecahkan masalah,
bukan hanya khawatir tentang masalah-masalah yang dihadapinya. Orang
seperti ini akan percaya pada keputusannya sendiri, jarang membutuhkan
orang lain untuk meminta pendapat atau bimbingan orang lain. Orang yang
mandiri dapat menguasai kehidupannya sendiri dan menangani apa saja
dari kehidupan ini yang ia hadapi.
Kemandirian merupakan salah satu modal penting bagi anak-anak
untuk bertahan hidup kelak saat mereka dewasa. Karenanya mengajarkan
kemandirian merupakan salah satu tanggung jawab terpenting yang dimiliki
orang tua. Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua untuk
mulai menanamkan kemandirian pada anak-anak.
Nilai kehormatan dan harga diri yang terdapat dalam kemandirian
tidak bisa dinilai dengan sesuatu apa pun. Sebab, apabila harga diri dan
kehormatan seseorang tidak ada maka habislah ia. Menumbuhkan
kemandirian dalam diri anak didik bisa dilakukan dengan melatih bekerja
dan menghargai waktu. Misalnya, anak didik dilatih untuk berwirausaha
dari hal-hal kecil, seperti menjual kerupuk, es batu, dan lain sebagainya.
Atau, anak didik diberi tanggung jawab mencari makan untuk kambing
sekali atau dua kali dalam seminggu. Selain itu, anak dilatih untuk menabung sebagai investasi jangka panjang, tidak menghabiskan uang seketika
tanpa berpikir masa depan. Membangun kemandirian berarti menanamkan
visi dalam diri anak. Dalam kemandirian inilah, terdapat nilai-nilai agung
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
86
yang menjadi pangkal kesuksesan seseorang, seperti kegigihan dalam
berproses, semangat tinggi, pantang menyerah, kreatif, inovatif, dan
produktif, serta keberanian dalam menghadapi tantangan, optimis, dan
mampu memecahkan masalah yang dihadapi (Asmani, 2012: 92-93).
3)
Nilai Toleransi
Toleransi merupakan kebajikan moral berharga yang dapat
mengurangi kebencian, kekerasan, dan kefanatikan. Dengan toleransi, kita
juga memperlakukan orang lain secara baik, hormat, dan penuh pengertian.
Toleransi tidak melarang kita melakukan penilaian moral, tetapi menuntut
kita menghargai perbedaan (Borba, 2008: 225).
Toleransi merupakan sebuah sikap yang memiliki kesetaraan dan
tujuan bagi mereka yang memiliki pemikiran, ras, dan keyakinan berbedabeda. Toleransi adalah sesuatu yang membuat dunia setara dari berbagai
bentuk perbedaan (Lickona, 2012: 74). Nilai toleransi merupakan sikap dan
tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap,
dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya (Balitbangpuskur, 2010:
10).
Toleransi berarti sikap membiarkan ketidakpekatan dan tidak
menolak pendapat, sikap, ataupun gaya hidup yang berbeda dengan
pendapat, sikap, dan gaya hidup sendiri. Sikap toleran dalam
implementasinya tidak hanya dilakukan terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan aspek spiritual dan moral yang berbeda, tetapi harus dilakukan
terhadap aspek yang luas, termasuk ideologi dan politik yang berbeda
(Naim, 2012: 139).
Berkaitan dengan nilai toleransi, orang tua perlu mendidik apa
artinya toleransi dan rasa hormat kepada orang lain yang bisa saja
menganut pemahaman berbeda darinya. Toleransi adalah kemampuan
seseorang untuk menerima perbedaan dari orang lain. Hal ini baru bisa
dilakukan oleh seseorang jika ia sudah merasakan dan memahami
keterikatan, regulasi diri, afiliasi, dan kesadaran. Ketika ia sudah mampu
menjaga hubungan yang sehat dan dekat, merasa berada dalam sebuah
kelompok serta merasa nyaman di dalamnya, juga mampu menilai sebuah
situasi, melihat kekuatan, kebutuhan, dan ketertarikan orang lain. Rasa
hormat merupakan kemampuan untuk melihat serta merasakan nilai di
dalam diri kita dan orang lain. Butuh emosi, kognitif, serta kematangan
sosial. Membangun rasa menghormati adalah tantangan seumur hidup,
namun prosesnya dimulai sejak dini (Kurniawan, 2013: 86).
Berikut adalah beberapa aspek yang perlu diingat oleh orang tua
dalam mengajarkan toleransi dan rasa hormat pada orang lain kepada anak.
a) Buat anak merasa bahwa dirinya spesial, aman, dan dicintai. Jangan
menghemat kata-kata pujian saat ia memang melakukan hal yang
baik dan membanggakan. Anak yang dikasihi akan belajar mengasihi
orang lain.
b) Ciptakan sarana belajar di tempat baru, orang-orang baru, dan
budaya berbeda. Paparkan pada anak pada banyaknya perbedaan di
dunia ini. Ada banyak buku, makanan, event budaya, dan perayaan
untuk dikenalkan pada anak. Ajak anak ke Acara-Acara budaya,
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
87
kenalkan is akan ritual agama lain. Ajar anak untuk berinteraksi
dengan orang yang berbeda darinya dengan cara yang sehat.
Pahamkan pada anak bahwa tidak ada yang salah dari perbedaan,
asal saling menghormati dan toleransi.
c) Gunakan komentar positif untuk membentuk sikap si anak. Hindari
penggunaan kata-kata “menuduh”, seperti “Jangan begitu, dong!”
Coba gunakan kata-kata alternatif yang mendidik, tetapi tidak
menyuruh dan membuatnya merasa rendah diri, misal, “Yang lembut
ke adik, ya, dia masih kecil, gampang terluka.”
d) Tunjukkan caranya. Anak akan belajar untuk bersikap lebih baik,
sensitif, dan menghormati orang lain dengan melihat orang tuanya,
misalnya dalam berdiskusi, berpikiran terbuka, dan menghargai orang
lain (tidak pula menjelek-jelekkan orang lain karena golongannya
berbeda dengan Anda).
4)
Nilai Disiplin
Disiplin merupakan suatu tindakan yang menunjukkan perilaku
tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan (Balitbangpuskur,
2010: 9). Disiplin adalah kepatuhan untuk menghormati dan melaksanakan
suatu sistem yang mengharuskan orang untuk tunduk kepada keputusan,
perintah, dan peraturan yang berlaku. Juga diartikan bahwa disiplin adalah
sikap mentaati peraturan dan ketentuan yang telah diterapkan tanpa
pamrih (Naim, 2012: 142-143).
Menurut kamus Webste (dalam Ngurah,dkk, 2007: 37) dijelaskan
bahwa disiplin mempunyai beberapa pengertian (1) disiplin diartikan
kepatuhan terhadap peraturan atau tunduk pada pengawasan, (2) disiplin
diartikan latihan yang bertujuan mengembangkan watak agar dapat
mengendalikan diri, berperilaku tertib dan efisien, (3) disiplin diartikan
sebagai hasil latihan pengendalian diri agar berperilaku tertib.
Disiplin tidak bisa dibangun secara instan dibutuhkan suatu proses
panjang agar disiplin menjadi kebiasaan yang melekat kuat dalam diri
seorang anak. Oleh karena itu penananaman disiplin harus dilakukan sejak
dini. Tujuannya untuk mengarahkan anak agar merasa belajar mengenai
hal-hal baik yang merupakan persiapan bagi masa dewasa. Jika sejak dini
sudah ditanamkan disiplin, meraka akan menjadikannya sebagai kebiasaan
dan bagian dari dirinya (Naim, 2012: 143).
Bernhard (dalam Shochib, 1998: 3) menyatakan bahwa tujuan disiplin
diri adalah mengupayakan pengembangan minat anak dan mengembangkan
anak menjadi manusia yang baik, yang akan menjadi sahabat, tetangga,
dan warga negara yang baik. Dalam hal ini terdapat perbedaan yang
fundamental antara keluarga di Barat dengan keluarga di Indonesia dalam
mengupayakan anak untuk memiliki dasar-dasar dan mengembangkan
disiplin diri. Hal ini karena keluarga di Indonesia dituntut selaras dengan isi
yang dikandung oleh undang-undang di atas. Secara tersirat ada tanggung
jawab pendidikan yang kodrati dalam memberikan keyakinan beragama
yang ditempatkan pada urutan pertama dan menjadi dasar dari substansi
lainnya. Oleh sebab itu, tujuan pendidikan yang esensial pada keluarga
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
88
Indonesia adalah pembinaan, dan pengembangan kepribadian secara utuh
dan terintegrasi.
Kurniawan (2013: 87) menyebutkan beberapa hal yang perlu
diperhatikan orang tua dalam menanamkan nilai-nilai disiplin pada
anaknya yaitu.
a) Orang tua harus konsisten (tidak berubah), yaitu ada kesepakatan
antara kedua orang tua (ayah dan ibu) sehingga setiap tindakan
dalam menanamkan kedisiplinan tidak berubah-ubah.
b) Berikan aturan yang sederhana dan jelas sehingga anak mudah
melakukannya.
c) Jangan menegur anak di hadapan orang lain karena hal itu akan
membuat anak merasa malu sehingga tetap mempertahankan tingkah
laku tersebut.
d) Alasan dan tata tertib yang dilakukan itu perlu dijelaskan pada anak
sehingga anak melakukannya dengan penuh kesadaran.
e) Hadiah berupa pujian, penghargaan, barang/kegiatan (misalnya
memperbolehkan bermain, nonton TV, dan lain-lain) diberikan apabila
anak melakukan perilaku positif. Hal tersebut akan menumbuhkan
rasa percaya diri.
f) Orang tua harus berhati-hati dalam memberikan hukuman, jangan
sampai menyakiti fisik/jiwa anak. Hukuman tidak dapat diberikan
terhadap anak di bawah usia tiga tahun, apalagi memukulnya.
Hukuman merupakan “pilihan terakhir”, lebih baik memuji
perbuatannya yang benar daripada menghukum kesalahannya.
Demikian pula dalam menghukum anak, sebaiknya hindari emosi
yang berlebihan.
g) Jangan terlalu kaku dalam menegakkan disiplin, sesuaikan dengan
keadaan situasi anak.
h) Sebaiknya anak dilibatkan dalam setiap membuat tata tertib sehingga
anak merasa dihargai dan diakui dalam keluarga.
i) Bersikap tegas bukan berarti bersikap kasar baik dalam tindakan
fisik/ perbuatan.
III.
Penutup
1. Karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas SDM karena
kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa.
Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini,
bahkan semasih dalam kandungan.
2. Keluarga merupakan jalur pendidikan pertama dan utama bagi anak
merupakan tempat pertama kalinya anak-anak
memperoleh
pendidikan dan pengajaran dari orang tua. Keluarga yang rukun dan
harmonis akan berpengaruh terhadap karakter anak tersebut.
3. Baik buruknya hubungan atau interaksi antara suami dan istri,
orang tua dan anak, serta anak dengan anak sangat menentukan
kesuksesan pendidikan karakter di lingkungan keluarga, terutama
dalam menciptakan situasi dan interaksi edukatif.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
89
4. Penanaman nilai-nilai karakter dalam keluarga merupakan salah
satu upaya peningkatan mutu pendidikan karakter sehingga
terwujud sumber daya manusia yang berkualitas.
IV.
Daftar Pustaka
Agung Oka, I Gusti. 1992. Slokantara. Jakarta: Hanuman Sakti.
Asmani, Jamal Ma’mur. 2012. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan
Karakter di Sekolah. Jogjakarta: Diva Press.
Balitbangpuskur. 2010. Bahan Ajar Pelatihan Penguatan Metodologi
Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk
Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kemendiknas.
Borba, Michele. 2008. Membangun Kecerdasan Moral. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Kurniawan, Syamsul. 2013. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Lickona, Thomas. 2012. Educating For Character( Mendidik Untuk
Membentuk Karakter). Jakarta: Bumi Aksara.
…………………. 2012. Character Matters (Persoalan Karakter). Jakarta: Bumi
Akasara.
Mustari, Mohamad. 2014. Nilai Karakter Refleksi Untuk Pendidikan. Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada.
Naim, Ngainun. 2012. Character Building. Jogjakarta: AR. Ruzzmedia.
Ngurah, Ida Bagus. Dkk. 2007. Dharma Prawerti Bahan Ajar Pendidikan
Budhi Pekerti Untuk Siswa SMA/K Kelas X. Denpasar: PT. Tri Agung.
Sudharta, Tjok. 2003. Slokantara. Surabaya: Paramita.
Suhardi, Didik. 2014. Nilai Karakter Refleksi Untuk Pendidikan. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Swastika, I Ketut Pasek. 2007. Suputra Bhakti Kepada Leluhur. Denpasar:
CV Kayumas Agung.
Titib, I Made. 1998. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya:
PT. Paramita.
Titib, I Made dan Sapariani, Ni Ketut. 2006. Keutamaan Manusia Dan
Pendidikan Budhi Pekerti. Surabaya: Paramita.
90
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU MELALUI TARKAWADA
Oleh
I Made Adi Surya Pradnya
Dosen IHDN Denpasar & Pendiri MGSN
Abstrak
Pendidikan agama Hindu yang diajarkan di perguruan tinggi Hindu,
khususnya pada mahasiswa strata I (S1) perlu direvitalisasi terutama
metode pembelajaranya dan juga materi perkuliahan. Salah satunya melalui
tarkawada, yaitu seni berdebat, diskusi, dialog untuk menemukan
kebenaran. Tarkawada mesti dijadikan habit mahasiswa dan pemahaman
terhadap teks dan konteks dalam melahirkan generasi muda yang ilmiah
dan religius.
Tarkawada sebagai habit, dilakukan dengan mengadakan kompetisi
antar mahasiswa, sehingga secara tidak langsung pemahaman terhadap
materi agama diketahui dengan baik, disamping itu merangsang peserta
didik untuk mampu berargumentasi secara ilmiah serta menguatkan mental
peserta didik, agar logika tidak melahirkan keegoan dan perasaan tidak
melahirkan emosi, inilah disebut keseimbangan kecerdasan SQ dengan IQ.
Materi yang disampaikan peserta didik dalam berargumen saat
tarkawada, dikuatkan dengan revitalisasi terhadap teks yang terdiri dari
teori-teori dan kitab suci, sedangkan konteksnya terimplementasi dari teks
melalui argumentasi yang ilmiah, sehingga permasalahan atau isu-isu di
masyarakat dapat dilesaikan dengan pengetahuan ilmiah dan religius.
Kata Kunci: Revitalisasi, Pendidikan Hindu, Tarkawada
I.
Pendahuluan
Pedidikan generasi muda Hindu saat ini mengalami titik
perkembangan pemikiran, terlebih adanya perguruan tinggi agama Hindu
yang memberikan pemahaman khusus ajaran Hindu, namun perlu
direvitalisasi sebab ajaran Hindu sulit dipahami dalam dunia akademik,
karena ajaran Hindu tidak pure diberikan pada mahasiswa, karena
masuknya budaya, adat dan tradisi Bali. Menjadi persoalan ketika
mahasiswa ataupun generasi muda yang tidak berasal dari Bali sulit
memahami contoh, khasanah yang diambil dari keseharian umat Hindu di
Bali.
Melahirkan generasi muda Hindu yang religius dan ilmiah, perlu
perubahan dari proses pembelajaran yang diberikan kepada anak didik,
salah satunya dengan memberikan tarkawada atau ilmu debat, diskusi,
sehingga memicu generasi muda untuk berkreatifitas dalam mengkritisi,
menganalisis persoalan. Inilah disebut proses berpikir yaitu suatu gejala
mental yang bisa menghubungkan hal-hal yang diketahui, tarkawada juga
disebut proses dialektis, artinya selama berpikir terjadi tanya jawab, untuk
bisa meletakan hubungan-hubungan antara pengetahuan dengan tepat,
Tanya jawab itu kemudian memberikan arah kepada pikiran (Mustari, 2011:
85). Oleh karena itu, bagaimana tarkawada menjadi habit bagi anak didik
khususnya? dan teori-teori ilmiah seperti apa yang mesti diberikan kepada
generasi muda? Inilah pembahasan dalam tulisan ini.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
91
II.
2.1
Pembahasan
Tarkawada Sebagai Habit Mahasiswa
Melahirkan generasi muda intelektual yang mengacu pada nilai-nilai
akademis yang rasional sangat sesuai dengan pengetahuan ilmiah yang
mengacu pada konteks seorang ilmuan. Ada beberapa syarat dalam
pengetahuan ilmiah, menurut Lubis (2016: 64) berdasarkan tujuanya
pengetahuan ilmiah menemukan kebenaran, memperluas, pemahaman atau
pengetahuan, diskripsi, eksplanasi, interpretasi, prediksi, retrodiksi,
penemuan, aplikasi, kontrol; Berdasarkan metodenya adalah kualitatif dan
kuantitatif; dan Berdasarkan bahasa yang digunakan adalah lugas dan
tepat, verifikatif dan falsifikasi.
Hal-hal seperti itu akan mudah dipahami jika lembaga perguruan
tinggi dapat membuat event bulanan dengan kompetisi di masing-masing
peserta didik untuk diajak melakukan tarkawada, membiasakan dan
membudayakan (habit) debat ilmiah pada generasi muda khususnya dalam
perguruan tinggi Hindu. Inilah disebut rangsangan, tanggungjawab sebagai
peserta didik yang ilmiah. Zaman Socrates (Jallaluddin, 2013: 79), pula
dilakukan tarkawada, terbukti epistemology diperoleh dengan bertanya dan
mempertanyakan jawaban yang disebut filsafat, proses ini dilakukan dengan
mempertanyakan tentang arche (dasar) atau asal mula, asal usul alam dan
berusaha menjawabnya dengan menggunakan logos (rasio). Sokrates juga
mulai membawa manusia sebagai subjek moral-etis yang memiliki
kemampuan untuk berpikir dan berbuat serta bisa berhubungan dengan
sesamanya. Terlebih lagi zaman tersebut penekanan ajaran Sokrates adalah
tentang Tuhan (Kebung, 2008: 49).
Perlombaan dan kompetisi adalah suatu tradisi akademis yang wajib
dilaksanakan, apalagi menjadikan generasi muda Hindu berpikir ilmiah
melalui berbicara ilmiah. Seorang belajar pendidikan Hindu, maka yang
ditonjolakan adalah gaya berbicara, sebab ajaran agama adalah ajaran
sosial yang mesti dibicarakan dan diskusikan, ajaran agama tidak dapat
dipikirkan sehingga menjadikanya sebagai rumus matematika. Seorang ahli
agama adalah ahli retorika, sehingga umat yang mendengarkan mengikuti
apa yang dikatakan oleh gurunya.
Melalui tarkawada, secara tidak langsung mengasah nalar peserta
didik untuk berbicara sesuai konten masalah atau isu-isu yang diangkat
sebagai bentuk kecerdasan intelektual. Sesungguhnya melalui media
diskusi, hal yang tidak terungkap dan belum diketahui oleh peserta diskusi
menjadi lebih dipahami, karena peserta diskusi membawa pengetahuanya
masing-masing.
Seni berdebat juga memberikan pengaruh terhadap mental peserta
didik dalam menyikapi persoalan yang didebatkan, mental adalah sesuatu
hal terpenting bagi seorang intelektual maupun spiritual, sebab seorang
generasi muda Hindu dalam seni berdebat, mesti mampu menyeimbangkan
pemikiran ilmiah dan religius. Menurut Jujun Suriasumantri (dalam Latif,
2014: 87) pengetahuan adalah khazanah mental, karena tiap pengetahuan
menjawab tiap jenis pertanyaan yang diajukan. Secara ontologis ilmu
membatasi diri pada objek yang berada dalam lingkup pengalaman
manusia, sedangkan agama memasuki daerah penjelajahan yang bersifat
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
92
transcendental
yang berada diluar pengalaman manusia. Inilah
keseimbangan Intelektual Question (IQ), Emotional Question (EQ) dengan
Spiritual Question (SQ). melalui tarkawada, seorang peserta didik diajarkan
berpikir ilmiah yang merupakan representasi logika yang berasal dari kepala
mampu menganalisis isu yang terjadi, begitu pula emosi yang merupakan
representasi sikap yang berasal dari hati, dapat dikendalikan dengan
melakukan meditasi. Penting melaksanakan ini, sebab jika dalam berdebat
emosi menguasai logika, maka terjadi mada (kebingungan) yang mengarah
pada kroda (kemarahan) berakibat kekerasan fisik. Begitu pula logika
mendominasi emosi menyebabkan keegoan yang liar, sehingga melalui
tarkawada, seorang peserta didik diajak bergerak menyeimbangkan logika
dengan emosi inilah disebut aweareness.
2.2
Memahami Teks dan Konteks Ajaran Hindu
Ajaran Hindu adalah ajaran yang mengarah pada pemahaman
terhadap teks yang tertuang dalam kitab suci, maupun teori-teori ilmiah
yang dipelajari dalam setiap pertemuan kuliah. Namun dalam praktiknya
teori ilmiah dan kitab suci belum diajarkan dalam perguruan tinggi Hindu,
khususnya mahasiswa strata I (S1). Tuntutan ilmiah dalam penulisan karya
ilmiah justru memperdebatkan teori, sehingga terjadilah kesemrautan
intelektual dalam penulisan karya ilmiah (skripsi). Bahkan ketika penguji
skripsi menanyakan teori kepada mahasisiwa yang tidak mendapatkan
materi teori, dan pertanyaanya penguji menyudutkan mahasiswa dalam
ulasan teori, kemudian mahasiswa tidak mampu memberikan argumen,
maka penguji memberitau untuk mengganti teori dan mengurangi nilai
peserta didik, karena dianggap tidak menguasai teori dalam karya
ilmiahnya. Inilah yang disebut dengan gagal paham atau keterbelakangan
intelektual.
Inilah potret yang terjadi di beberapa perguruan tinggi, oleh karena
itu perlu revitalisasi terhadap materi, silabus dalam perkulihan agar
menyertakan mata kuliah teori dan teks, sehingga peserta didik dapat
sistematis menjelaskan fenomena atau isu-isu yang layak untuk di analisis
dan didiskusikan, sesuai dengan teori, karena teori adalah alur logika atau
penalaran, yang merupakan seperangkat konsep, definisi, dan proposisi
yang disusun secara sistematis. Secara umum teori mempunyai tiga fungsi,
yaitu untuk menjelaskan (explanation), meramalkan (prediction) dan
pengendalian (control). Penyusunan teori memenuhi dua criteria yaitu cocok
dengan situasi empiris dan melakukan fungsi teori, yaitu meramalkan,
menerangkan dan menafsirkan suatu gejala (Sugiyono, 2010: 81; Moleong,
2001: 17).
Salah satu pemahaman yang mesti dimiliki oleh peserta didik agar
terlahir generasi muda Hindu yang ilmiah dan religious adalah diberikan
materi tentang teks atau kitab suci dalam materi perkulihan sehingga
ajaran agama murni dapat diajarkan, sebab perkuliahan Agama Hindu
selama ini adalah lebih banyak menjelaskan budaya, tradisi, adat di Bali,
sehingga para peserta didik yang berasal dari luar Bali tidak memahami
contoh-contoh yang disampaikan. Inilah yang menjadi tantangan oleh
Soyomukti (2015: 342) bahwa pendidikan adalah ajang pertarungan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
93
ideologis. Bagaimana bukan pertarungan jika pada kenyataan apa yang
menjadi tujuan pendidikan adalah berbenturan dengan kepentingan yang
lain. Lembaga pendidikan adalah wilayah yang mana kesadaran
diperebutkan oleh kepentingan: kepentingan untuk membebaskan manusia
(peserta didik) dengan kesadaran dan dorongan untuk terlibat aktif dalam
aktifitas dan kegiatan yang mengarah pada kemanusiaan dengan
kepentingan untuk menjadikan peserta didik hanya tunduk pada kesadaran
yang dapat melanggengkan sistem penindasan dan menjadikan peserta
didik hanya sebagai objek dalam pembangunan budaya yang
menguntungkan kekuasaan yang menindas kemanusiaan.
Kitab suci adalah kunci utama yang dipelajari peserta didik, sehingga
mereka mengenal kebenaran agamanya. Ketika berbicara tentang sebuah
isu seorang intelektual agama mesti menyertakan dalil-dalil agamanya yang
tertuang dan tercantum dalam teks kitab sucinya. Inilah yang disebut
intelektual agama, sehingga analisis terhadap kebenaran isu yang diangkat
tidak menyimpang dari kebenaran keilmuanya, sebagai generasi muda
ilmiah dalam bidang agama.
Akademik adalah ruang yang menjadi bridge (jembatan) keilmuan
antara pemikiran ortodok agama dengan pemikiran fundamentalis, maupun
spiritual keagamaan. Akademis adalah ruang yang melampaui kebenaran
diantara pemikiran tersebut, sehingga melalui jalur akademis pemikiran
ortodok, modern, spiritual, fundamentalis dapat disatukan melalui kajian
ilmiah. Apalagi menurut Weber (dalam Raho, 2013: 59) agama-agama pada
masyarakat asli cenderung terarah kepada hal-hal yang bersifat magis.
Inilah pentingnya revitalisasi pendidikan dalam perguruan tinggi
Agama Hindu, sehingga lahirlah generasi muda ilmiah yang religious,
karena kebenaran yang disampaikan berdasarkan teori dan kitab suci.
Dengan demikian lahir buku-buku agama maupun karya ilmiah lainya yang
berstandar ilmiah dan inilah harapan dari perguruan tinggi Hindu. Dengan
memahami ajaran yang tertuang dalam kitab sucinya dan memahami tafsir
dari dalil kitab suci, maka eksistensi ajaran Hindu yang adi luhung terus
berjaya. Inilah disebut penelitian normative Agama (Maman, dkk, 2006: 9).
Mempelajari kitab suci beserta ilmu tafsirnya, sesungguhnya secara
tidak langsung peserta didik diajarkan tentang religiusitas maupun religious
keagamaan. Akibatnya dalam konteks permasalahan yang dihadapi umat
dapat diselesaikan dengan sebaiknya melalui tarkawada yang dapat
diimplementasikan dalam Dharma wacana ataupun Dharma tula. Harus
diakui bahwa pembelajaran agama Hindu dalam masyarakat sangat sulit
disampaikan terlebih lagi di Bali, karena habit mendengarkan ajaran agama,
lebih didominasi oleh praktik keagamaan, berupa Upacara. Akibatnya
konteks ajaran Hindu lebih didominasi oleh ajaran tata cara praktik
daripada inti ajaran agamanya. Inilah menurut Maman, dkk (2006: 10)
disebut sebagai penelitian agama nonnormatif.
Oleh karena itu, dimulai dari dunia akademis, mesti digalakan
kembali ajaran tarkawada sehingga kebiasaan berdiskusi, berdebat,
menganalisis sesuatu masalah dapat menjawab permasalah kompleks umat
khususnya pada inti keagamaanya, tidak dalam praktik keagamaanya,
karena ranah dalam dunia akademis adalah membahas konteks melalui
teks dalam teori maupun kitab sucinya.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
94
Revitalisasi pendidikan Hindu melalui tarkawada adalah modal
intelektual yang dapat ditawarkan kepada umat Hindu, sehingga secara
berlahan-lahan pembelajaran Hindu dapat diarahkan pada inti
keagamanya, bukan pada praktik keagamaanya, sehingga pembelajaran
melalui upanisad (duduk disamping guru untuk mendapatkan pengetahuan
rohani) dapat dilakukan oleh umat Hindu dalam kekinian, sehingga
kecerdasan umat Hindu terhadap agamanya lebih dapat diimplementasikan
melalui ajaran agama dalam teks.
III.
Penutup
Melalui habit tarkawada, seorang peserta didik dapat memahami
ajaran agamanya dan terbiasa berdialog tentang ajaran agamanya, sehingga
dalam tarkawada terjadi keseimbangan (balance) antara intelektual
question (IQ), Emotional Question (EQ) dengan Spiritual Question (SQ),
diharapkan peserta didik memiliki kecerdasan berlogika dan emosi yang
stabil, agar isu-isu keagamaan yang sensitive dapat diselesaikan dengan
baik, berdasarkan kajian ilmiah yang religious.
Tarkawada mengajarkan seseorang untuk dapat berperilaku ilmiah
dan religius, apabila dalam kuliah diajarkan teks dalam bentuk teori
maupun kitab suci.
Kedua pengetahuan teks ini kemudian dapat
mencerdasakan umat beragama melalui pembelajaran yang dimulai dari
ranah akademis, sehingga umat terpacu belajar inti agama, bukan praktik
agama.
IV.
Daftar Pustaka
Jalaluddin, H, 2013. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Kebung, Konrad, 2008. Rasionalisasi dan Penemuan Ide-Ide. Jakarta:
Prestasi Pustaka
Latif, Mukhtar, 2014. Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta:
Prenada Media Group
Lubis, Akhyar Yusuf, 2016. Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Maman, dkk, 2006. Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktik. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Moleong, Lexy, 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Mustari, Mohamad, 2011. Nilai Karakter Refleksi Untuk Pendidikan Karakter.
Yogyakarta: LaksBang Press
Raho, Bernard, 2013. Agama Dalam Perspektif Sosiologi. Jakarta: Obor
Soyomukti, Nurani, 2015. Teori-Teori Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzzmedia
Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta
95
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
PENGENDALIAN DIRI DALAM KIDUNG MITUTURIN AWAK
Oleh
I Wayan Wirata
Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Gde Pudja Mataram
e-mail : [email protected]
Abstrak
Kidung merupakan suatu hasil karya sastra yang mengungkapan
perasaan penulis yang mampu memberikan pengalaman, pengetahuan, dan
wawasan bagi pembacanya melalui media bahasa sebagai alatnya. Melalui
karya sastra seorang penulis maupun pembaca dapat melakukan evaluasi
terhadap perubahan pada zamannya.
Karya sastra sebagai kajian ilmu memberikan konsep berfikir serta
analisa berdasarkan pendekatan keilmuannya. Pada prinsipnya ilmu dapat
menempatkan sesuatu berdasarkan kemampuan daya nalar manusia.
Kebenaran dalam konteks ilmu merupakan kebenaran yang tergantung
sepenuhnya pada kemampuan daya nalar manusia. Kemampuan berpikir
atau bernalar merupakan satu bentuk kegiatan akal manusia melalui
pengetahuan yang diterima melalui panca indera, diolah, dan ditujukan
untuk mencapai suatu kebenaran.
Hubungan pengetahuan dan pendidikan filsafat sangat erat, bila
dipandang dari sudut intensitasnya. Kedua bidang ini merupakan
manisfestasi bentuk pemikiran radikal manusia yang bertujuan untuk
mengungkapkan sebab dan rahasia terdalam kehidupan manusia. Oleh
karena itu untuk mengkaji suatu karya sastra seorang peneliti atau
penikmat sastra melibatkan ilmu filsafat sebagai ilmu bantu untuk
memahami suatu karya sastra, agar diperoleh pemahaman yang intensif,
komprehensif dan simultan. Di samping ilmu filsafat kerap mengangkat
suatu karya sastra menjadi objek kajian.
Luasnya kehidupan manusia telah terekam di dalam sebuah karya
sastra yang melibatkan berbagai displin ilmu untuk memberikan beragam
kontribusi terhadap proses penciptaan karya sastra, sampai pada proses
pemberian makna atau interpretasi terhadap karya sastra itu sendiri. Ini
merupakan suatu fenomena yang wajar, mengingat karya sastra dan ilmu
sastra itu sendiri tidak mengenal kata berhenti dalam proses
perkembangannya. Adanya gerak dinamis dalam bidang sastra tersebut
telah pula menghasilkan suatu hubungan simbiosis dengan bidang atau
ilmu lain, di samping akan memberikan nilai pendidikan terutama
pendidikan karakter kepada para penikmat sastra.
Kata Kunci : Nilai Pendidikan dan Kidung Mituturin Awak
I.
Pendahuluan
Karya sastra lahir dan hidup di tengah-tengah masyarakat
berdasarkan aspek penerimaan secara rasional dan emosional dari pembaca
karya sastra tersebut. Hubungan antara karya dan masyarakat dapat
dipengaruhi oleh suatu karya sastra dan karya sastra merupakan cerminan
dari kondisi masyarakat. Masyarakat sebagai sandaran tempat hidup
pengarang mempengaruhi pengarang dalam menghasilkan karya sastranya
sehingga masyarakat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
96
perkembangan pendidikan serta ikut menentukan segala sesuatu yang
ditulis oleh pengarang, bagaimana menulisnya, apa tujuannya, dan untuk
siapa karya sastra itu ditulis, akibatnya karya sastra yang merupakan
produk dari anggota masyarakat akan mencerminkan dinamika kehidupan
masyarakat atau sebaliknya yang dijadikan cermin oleh masyarakat
(Damono, 1984: 3-4).
Sebagai sastra profetik dalam bidang pendidikan, Kidung dapat
diasumsikan memiliki semangat profetik sentral atau pusat bertemunya
dimensi sosial dan transedental. Dimensi sosial menunjuk pada kehidupan
kemanusiaan di alam nyata atau bersifat profan (sakala). Dimensi
transendental menunjuk pada kehidupan yang lebih tinggi (niskala), yang
berpuncak pada Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dimensi transendental ini memberikan kedalaman pada sastra Kidung yang
dapat menopang nilai-nilai kerohanian, membuat karya Kidung bersifat
vertikal. Dengan demikian, sastra Kidung dapat dipandang sebagai jalan
menuju Tuhan atau ibadat keindahan serta merupakan sarana menuju
penemuan dan pengenalan kembali hakikat diri manusia. Karena itu,
Kidung dapat dilihat sebagai sistem simbol yang berfungsi mengarahkan
tingkah laku atau bentuk-bentuk simbolik yang dianggap sebagai media
penyimpan makna.
Hubungan simbiosis tersebut merupakan suatu hubungan yang
mengikat dua bidang atau ilmu yang berbeda namun terlihat sejalan dalam
pengkajian obyek serta proses perkembangan kedua bidang atau ilmu
tersebut. Beberapa ilmu yang digunakan sebagai ilmu bantu yang relevan
dengan ilmu sastra seperti linguistik, pendidikan, psikologi, antropologi,
ilmu sosial/kemasyarakatan, ilmu filsafat, dan sebagainya.
Ilmu dan filsafat adalah dua bidang ilmu yang bersenyawa. Kedua
bidang ilmu ini sama-sama memfokuskan manusia dan nilai-nilai
kemanusiaan menjadi objek kajian. Dalam hal ini penulis mengutip
pendapat Tabir Sitepu (1982: 6) sebagai berikut:
”Filsafat dan ilmu adalah dua bidang kajian yang masing-masing
mempunyai kedudukan yang otonom. Namun, filsafat salah satu ilmu dari
bermacam-macam ilmu kerabat sastra, kelihatannya bersenyawa dengan
cipta sastra. Filsafat mempunyai sikap sistematis terhadap kehidupan
manusia. Sedangkan cipta sastra bersikap imajinatif dan orisinil terhadap
kehidupan manusia”. Dari berbagai pendapat yang telah disebutkan di atas,
sehingga pengertian filsafat dapat dirangkum sebagai berikut: Filsafat
adalah hasil pikiran manusia yang kritik dan dinyatakan dalam bentuk
yang sistematik. Filsafat adalah hasil pikiran manusia yang paling dalam.
Filsafat adalah refleksi lebih lanjut daripada ilmu pengetahuan atau
pendalaman lebih lanjut ilmu pengetahuan. Filsafat adalah hasil analisa
dan abstraksi. Filsafat adalah pandangan hidup. Filsafat adalah hasil
perenungan jiwa manusia yang mendalam, mendasar dan menyeluruh. Dari
contoh di atas dapat dikemukakan ciri-ciri berfilsafat antara lain sebagai
berikut: deskriptif, kritik dan analitik, evaluatik atau normatif, spekulatif,
sistematik, mendalam, mendasar, menyeluruh.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
97
II.
Pembahasan
Dalam Kidung Mituturin Awak sarat dengan dengan nilai-nilai filsafat
terutama filsafat pendidikan yaitu tentang pendidikan karakter. Filsafat
merupakan berpikir secara kritik, sistematik, dan rasional sehingga
menghasilkan segala sesuatu yang runtut, runtun, sistematik, dan
komprehensif. Hal ini dipertegas oleh pendapat Beekman (1973: 12) dalam
bukunya berjudul Filosofie, Filosofen, Filosoferen, yang memberikan definisi
sebagi berikut: "Filsafat memainkan peranan dalam hubungannya dengan
semua ilmu pengetahuan. Filsafat tidak hanya harus menggali informasi
dari sisi ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan, akan tetapi harus
memberikan sejenis pimpinan kepada semua ilmu pengetahuan".
Di samping itu Agastia (1994: 8) menyatakan, bahwa Kidung
merupakan karya sastra puisi yang mempunyai kaidah-kaidah tertentu.
Garis besar kaidah-kaidah bentuknya adalah mempunyai jumlah silabel
tertentu dalam tiap baitnya, dan dalam jumlah silabel tertentu dari bagian
bait tersebut memakai bunyi tertentu (misalnya bunyi a, i, dan u).
Sekalipun Kidung adalah kata Jawa asli, tapi isinya banyak mengandung
nilai-nilai yang tertuang dalam ajaran agama terutama pendidikan agama
Hindu. Hal ini dipertegas oleh Bandem (1983: 31) menyatakan bahwa
Kidung adalah jenis puisi yang menggunakan metric dan bahasa Jawa
Tengahan, yang biasa digunakan dalam lontar-lontar cerita Panji atau Malat
di Jawa. Namun dalam perkembangannya setelah masuk ke Bali, Kidung
sering dimainkan bersama dengan istrumen dan lagu-lagu pokok Kidung
ditulis dalam lontar Tabuh-Tabuh Gambang. Kidung adalah warisan yang
adiluhung yang memiliki nilai-nilai kearifan ajaran agama Hindu. Nilai
pendidikan ini mengandung kebenaran yang abadi. Nilai-nilai seperti ini
seharusnya ditransmisikan dan ditranformasikan dalam usaha membangun
kesadaran spiritual.
Bait-bait awal (1b-3a) Kidung mitutrin awak telah menceritakan
tentang konsep pendidikan terkait dengan konsep rwa-bhinedadan. Konsep
tersebut mengindikasikan adanya suatu perbedaan yang harus ada di dunia
ini untuk menciptakan keharmonisan dan keseimbangan alam semesta
Keseimbangan dalam kehidupan merupakan sebuah konsep yang sangat
mendasar dalam kehidupan. Semua yang ada, baik dalam dunia mikro
(micro cosmos) maupun dalam dunia makro (macro cosmos). Demikian juga
yang ada dalam dunia yang kelihatan (sekala) maupun yang tidak kelihatan
(niskala), tidak luput mengikuti konsep alam ini. sebagai dua hal berbeda
dalam kehidupan yang selalu menjadi satu dan tidak terpisahkan satu sama
lain. Rwa Bhineda inilah yang menjadi dasar dari hukum keseimbangan
dalam semesta. Petikan baitnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
..... yen sugih da pati bangga, Yen dahak da pati duka, Anak tuwah
pada matemu, Melah teken jelene, Eluh tekening muani, Menek
kelawan tuwun, Sangkan ada pada tumbuh, Siwa budha dadinane,
Yen ring sastra mawak windu, Latri tekening rahina, Sankaning ada
manusa…..
Aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari, jika dalam kehidupan
mengalami kesenangan, tidaklah disarankan untuk congkak dan berbangga
hati secara berlebihan, karena semuanya itu sifatnya hanya sementara.
Suatu saat tentulah kesedihan dalam tingkat yang serupa akan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
98
mengunjunginya sehingga pada akhirnya, semuanya akan berjalan secara
seimbang. Sebaliknya, jika mengalami kesedihan yang mendalam,
janganlah
terlalu
murung
berlebihan
karena
semua
itu
ada
penyeimbangnya. Kebahagiaan dalam bentuk yang lain mungkin suatu saat
akan datang.
Dalam konteks ini dapat merefleksikan seluruh komponen-komponen
ilmu pengetahuan. Meskipun demikian filsafat dapat dibedakan dengan
ilmu pengetahuan itu sendiri. Pembedaan ini mungkin secara teoritik dapat
ditolak, tetapi setiap filosof dalam prakteknya menjelaskan bahwa filsafat
bukan ilmu pengetahuan yang biasa, namun pengetahuan secara
menyeluruh dan komprehensif. Di dalam bukunya Perspectives in Social
Philosophy, Beck (1967: 11) berpendapat bahwa berfilsafat dilakukan
melalui kegiatan spekulatif, fenomenologik atau deskriptif, normatif atau
evaluatif dan kegiatan kritik atau analitik.
Konsep rwa bhineda ini kemudian menjadi pengantar terhadap
hukum alam yang lainnya yang sangat kuat mengakar pada kehidupan
masyarakat sehari-hari yakni hukum karma yang juga bertumpu pada
keseimbangan dalam bentuk lain. Apapun yang dilakukan dalam hidup ini,
suatu saat akan membuahkan hasil yang serupa. Bila kebaikan yang
tanam, maka kebahagiaanlah yang akan dituai. Sebaliknya jika keburukan
yang lakukan, maka penderitaanlah yang akan menghampiri. Semuanya
soal pilihan dalam menjalani kehidupan yang memiliki konsekuensinya
masing-masing.
Bait (3b-9b) Kidung mituturin awak adalah inti ajaran pendidikan yang
akan mengkaji nilai-nilai filsafatnya. Dalam naskah ini konsep pengendalian
diri dengan mengalahkan musuh-musuh dalam diri (dasendriya) harus
diutamakan, mulai menyadari bahwa mengendalikan pikiran adalah hal
yang terpenting. Mengendalikan dalam konteks ini adalah “amuter tutur”
membalik kesadaran secara benar. Artinya kesadaran yang sebelumnya
cenderung mengarah keluar dan suka berada di luar diri adalah kesadaran
yang lebih cenderung terjebak, karena seringkali didasari oleh pengetahuan
yang keliru. Maksudnya pikiran hendaknya diusahakan berdasar atas
pengetahuan yang benar.
Dengan bekal pengetahuan yang benar diharapkan setiap insan
mampu mengamalkan nilai-nilai ajaran sebuah karya sastra sebagai
prioritas utama dalam kehidupan. Karena adanya panutan nilai, moral, dan
norma dalam diri manusia dan kehidupan akan sangat menentukan
totalitas diri individu atau jati diri manusia, lingkungan sosial, dan
kehidupan individu.
Berkaitan dengan hal ini, maka Kidung mituturin awak akan dikaji
lebih mendalam agar nilai-nilai filsafat yang terkandung di dalam naskah ini
dapat dipahami, karena studi terhadap karya-karya sastra masa lampau
dapat mengungkap segala informasi mengenai berbagai segi kehidupan
sehingga inti ajaran yang ada di dalam karya sastra itu dapat dipahami oleh
para pembaca.
Manusia sebagai mahluk sosial memerlukan lingkungan untuk
berinteraksi memerlukan suatu pengetahuan dan pengalaman. Dalam
hidup bermasyarakat memerlukan suatu pengetahuan atau ilmu yang
sering disebut sosiologi. Sosiologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
99
suatu pengalaman empiris, profan, positif yang menuju pada pengetahuan
yang bersifat universal, tentang struktur, fungsi, serta perubahanperubahan yang dialami suatu kelompok sosial dan kelompok keagamaan.
Dalam pendidikan agama khususnya agama Hindu mempelajari satu
disiplin ilmu yang merupakan bagian dari ilmu yang mempelajari kondisi
masyarakat secara empiris yang bersifat positif yang menuju pada
pengetahuan yang bersifat universal, tentang struktur, fungsi, serta
perubahan-perubahan yang dialami masyarakat penganutnya. Dalam
Kidung mituturin awak salah satu mempelajari pengetahuan dan
pengalaman pribadi bahwa dalam hidup selalu membutuhkan pengetahuan
dan pengalaman orang lain orang lain untuk berinteraksi dan melakukan
hubungan sosial demi terciptanya rasa tenteram, damai, dan sejahtera.
Dalam kehidupan di dunia banyak kebutuhan yang harus terpenuhi.
Dengan berbagai kebutuhan dan keinginan akan dibutuhkan upaya
simultan untuk berusaha dan bekerja.
Dengan semakin kompleknya
kebutuhan akan pengetahuan, maka pekerjaan yang dilakukan semakin
meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas. Dalam melakukan
pekerjaan harus dipilih sesuai dengan pekerjaan dan bidangnya masingmasing. Dalam melakukan pekerjaan harus mengacu pada ajaran Dharma
yaitu melakukan pekerjaan berdasarkan konsep ajaran agama demi
terciptanya hasil pekerjaan yang dapat memberikan kepuasan dan hasil
untuk menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Suba ambulto bàn ñalimur, di sêbêt ati né,
matêpêti nak cêrik,
sakité bês kadurus, lêmah-lêmah matatunggu, ñarwang
kiyap
matané, apang da kasula ibuk, malih ada katuturanña, kocak anak
cêrik tuwa.
Pada saat mendapat kesedihan diidentikkan seperti seorang yang
mengasuh anak kecil. Seorang anak memerlukan banyak perhatian dan
bimbingan untuk menjadi anak yang cerdas dan memiliki budi pekerti.
Dalam mengasuhnya memerlukan banyak waktu, tenaga, dan pikiran
sehingga menghasilkan anak yang suputra. Banyak aktivitas yang
dilakukan dari mulai mengajar, mengawasi, menuntun, bahkan
mengarahkan sehingga menjadi anak yang memiliki kepribadian yang
luhur. Dengan demikian diperlukan pengorbanan sehingga kelak menjadi
insan yang berkarakter dan berkepribadian.
Hal tersebut sebagai bagian dari kesabaran para pengasuh untuk
tetap tabah dan tekun dalam menjalankan tugas dalam mengasuh anak.
Dengan kesabaran dan didukung dengan kesadaran bahwa anak
merupakan sumber daya untuk menghasilkan
anak yang cerdas,
berkepribadian, dan berbudi luhur.
Suba ambul to ða liyu itung, sok abêsik bêkin, têké-/-ning anaké
cêrik, né nongos di marga agung, anak ya suba twah putus, jalan
manunas lugrané, andéna mangadu suwung, kêma laku mapayang,
ring anaké cêrik tuwa.
Tantangan hidup di dunia dianalogkan dengan mengasuh anak kecil
yang banyak membutuhkan pikiran, waktu, tenaga, dan lainnya. Pekerjaan
tersebut bagian dari membangun kesadaran spiritual demi terwujudnya
pikiran yang suci yang dilandasi dengan hati yang tulus dan ikhlas sebagai
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
100
bagian dari permohonan dalam menapak perjalanan spiritual yang penuh
kesadaran untuk mencapai moksartam jagathita ya caiti Dharma.
III.
Penutup
Dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik simpulan sebagai
berikut:
Untuk mempermudah pemahaman nilai pendidikan yang tertuang
dalam naskah (lontar) diperlukan adanya transkripsi yang dilanjutkan
dengan terjemahan. Hal ini dilakukan agar lebih mudah memahami
kandungan isi dari naskah (lontar) Kidung Mituturin Awak.
Pengendalian diri terutama dalam pendidikan karakter dalam Kidung
mituturin awak pada dasarnya memberikan pitutur atau ajaran kepada
manusia tentang betapa pentingnya menjelma menjadi manusia, sehingga
tetap tabah, sabar serta tekun menjalankan swadarma sebagai bagian
melaksanakan ajaran agama berdasarkan Dharma. Dalam nilai pendidikan
bahwa setiap insan yang tumbuh dan berkembang di bumi selalu patuh dan
taat terhadap hukum alam (rtam), di samping selalu menjalankan
swadarmanya sebagai insan yang memiliki pengetahuan untuk dapat
meningkatkan budi pekerti yang luhur dan berkepribadian. Dalam
pendidikan mengisyaratkan bahwa manusia selalu menjalin hubungan
komunikasi dengan sesama dan lingkungan sehingga tercipta sinergisitas
hubungan yang bersifat resiprok dan komperehensif di antara semua
mahluk hidup yang tumbuh di bumi.
IV.
Daftar Pustaka
Agastia, IBG. 1994. Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah Pengantar).
Denpasar: Yayasan Dharma Sastra
Bandem, I Made. 1983. Ensiklopedia Gambelan Bali. Denpasar : Tanpa
Penerbit.
Furchan, A. 2004. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Intan Purnama Dalem Tilik. IGA 2013. Fitur-Fitur Suprasegmental Kidung
Tantri Nandakaharana. Denpasar: Unud
Koento Wibisono. 1997. Arti Perkembangan Menurut Auguste Comte.
Yogyakarta : Gamapress.
Meglino dan Ravlin. 1998. Individual values in organizations: concepts,
controversies, and research. Journal of management.Vol 24. pp 351389
Ruslan, Rosady. 2011. Etika Kehumasan. Jakarta: PT RajaGrafindo.
Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri PisAcarana. Jakarta: Pustaka
Larasan.
Suriasumantri, 1986. Filsafat Ilmu. Jakarta: Cahaya.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabet.
Tabir Sitepu. 1982. Sastra Lisan Karo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Zoetmulder. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang.
Jakarta: Penerbit Djambatan.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
101
PEDAGOGIK DALAM STUDI KULTURAL UNTUK MENCIPTAKAN
GENERASI ILMIAH DAN RELIGIUS
Oleh
Ni Nengah Selasih
Staf Pengajar Pada Pascasarjana Program Studi Sastra Agama
Konsentrasi Bahasa Bali
Email : [email protected]
Abstrak
Transformasi sosial sebagai akibat dari modernisasi, maka perlu
diperhatikan bahwa perubahan sosial mempunyai banyak dimensi, yaitu
dimensi spiritual, kultural, filsafat, sosial, moral, dan dimensi agama.
Pendidikan bukan semata-mata transmini kebudayaan dan ilmu
pengetahuan, bahkan merupakan proses dekonstruksi dan rekonstruksi
kebudayaan. Pedagogik tradisional tidak mengembangkan manusia kritis
dan segala sesuatu diterima sebagaimana adanya secara turun menurun.
Kekuasaan (power) dalam pendidikan mempunyai konotasi berbeda dengan
kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari. Jenis kekuasaan, yakni 1)
kekuasaan transformatif; 2) kekuasaan transmitif. Kekuasaan dalam
pendidikan adalah kekuasaan bersifat transformatif. Tujuannya adalah
dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi
antara subjek dengan subjek yang lain, bahkan membangkitkan refleksi dan
refleksi menimbulkan aksi. Aksi atau tindakan yang dilakukan peserta didik
dalam pendidikan secara pedagogik kritis dan transformatif, untuk dapat
menciptakan generasi ilmiah dan religius, melalui pengembangan ilmu,
serta dapat menghadapi tantangan untuk reformasi Pendidikan Nasional
menghadapi globalisasi.
I.
Pendahuluan
Transformasi sosial sebagai akibat dari modernisasi, maka perlu
diperhatikan bahwa perubahan sosial mempunyai banyak dimensi, yaitu
dimensi-dimensi spiritual, kultural, filsafat, sosial, moral, dan dimensi
agama. Menurut Soedjatmoko (dalam Tilaar,2003:36) agama dapat
mempunyai kekuasaan positif dalam menggerakkan transformasi sosial,
tetapi dapat menyebabkan konflik sosial apabila tidak disadari akan
bahaya-bahaya inklusivisme yang menggunakan lambang-lambang agama
untuk kepentingan masyarakat eksklusif. Menurut Raymond (dalam
Tilaar,2003:42) hubungan antara pedagogik dan studi kultural mempunyai
sejarah yang sangat panjang, terletak pada kesatuan titik tolak, yaitu proses
perubahan sosial. Studi kultural pada hakikatnya mencerminkan
perubahan sosial dan terdapat suatu keinginan untuk menjadikan proses
belajar sebagai bagian dari proses perubahan sosial. Keduanya merupakan
ilmu praksis yang mengkaji dan merefleksikan praktik-praktik kebudayaan
dan sebagai ilmu performatif.
II.
2.1
Pembahasan
Pedagogik Tradisional dan Studi Kultural
Tilaar (2003:43) dalam pedagogik tradisional, tidak ada tempat bagi
studi kultural. Proses pendidikan terbatas pada proses belajar yang bahkan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
102
dibatasi di ruang-ruang kelas. Proses pendidikan tidak lebih dari proses
transmisi dari sebagian kebudayaan, yaitu ilmu pengetahuan yang
disampaikan secara tradisional dan secara estafet dari generasi ke generasi
berikutnya. Inilah fungsi reproduksi dari pedagogik tradisional yang pada
hakikatnya mempertahankan atau menjadi legitimasi dari struktur
kekuasaan yang ada di masyarakat. Pedagogik tradisional tidak
mengembangkan manusia kritis dan segala sesuatu diterima sebagaimana
adanya secara turun temurun. Dengan demikian, kebudayaan tidak
berubah atau menjadi beku tanpa kreativitas. Hak untuk berbeda yang
menjadi ciri dari suatu masyarakat demokrasi tidak hidup di dalam
pedagogik tradisional. Di dalam sejarahnya, pendidikan pedagogik
tradisional dikenal sebagai gerakan pendidikan progresif yang bertitik tolak
kepada anak. Perkembangan anak dilihat sebagaimana adanya tanpa
mendudukkannya dalam relasi di lingkungan masyarakat dalam
kebudayaannya.
2.2
Studi
Kultural
dalam
Pedagogik
Kritis
dan
Pedagogik
Transformatif
Tilaar (2003:43) pandangan mengenai proses pendidikan yang
terisolasi dari masyarakat dan budaya yang dipunyai oleh masyarakat
ditentang oleh pedagogik kritis dan pedagogik transformatif. Pendidikan
tidak terpisahkan dalam struktur kebudayaan di mana proses pendidikan
itu terjadi. Proses pendidikan bukanlah semata-mata transmisi kebudayaan
dan ilmu pengetahuan bahkan merupakan proses dekonstruksi dan
rekonstruksi kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan itu akan
berkembang sesuai dengan kemampuan kreativitas manusia. Manusia
dilahirkan dengan potensi-potensi yang dapat berkembang ke arah yang
berjenis-jenis. Di sinilah letak peranan kebudayaan dalam menentukan
makna hidup seseorang. Dengan kata lain, proses membangun masyarakat
merupakan suatu proses pendidikan.
Suatu kekeliruan bahwa manusia dilahirkan bebas, tetapi sebenarnya
manusia dilahirkan tanpa daya dan akan memperoleh kemerdekaan dalam
rangka kebudayaannya. Pandangan kedua yang melihat seakan-akan
manusia dilahirkan baik, nyatanya manusia lahir tidak baik dan tidak jelek,
tetapi manusia dilahirkan dengan potensi-potensi yang dapat berkembang
ke arah yang berjenis-jenis. Di sinilah letak peranan kebudayaan dalam
menentukan hidup seseorang. Dengan kata lain, proses membangun
masyarakat merupakan suatu proses pendidikan. Ketiga, pandangan yang
menganggap manusia lahir dengan dunianya sendiri, sejak lahir hidup
dalam suatu jaringan kehidupan yang ditentukan oleh orang-orang dewasa
melalui kebudayaan. Oleh sebab itu, seorang sejak lahir telah dihadapkan
kepada jaringan-jaringan kehidupan dari semua kelompok unsur manusia.
Dalam perkembangan jaman globalisasi dewasa ini pengaruh-pengaruh dari
luar ikut menentukan perubahan-perubahan kebudayaan suatu kelompok
masyarakat.
Menurut Dewey (dalam Tilaar, 2003:45) bahwa sekolah sebenarnya
telah berfungsi sebagai lingkungan yang telah memilih untuk anak. Artinya,
sekolah bukanlah suatu lembaga yang netral, tetapi merupakan pelaksana
dari sistem kekuasaan yang ada di masyarakat. Studi kultural menjadi
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
103
sangat penting bagi para pendidik, karena studi tersebut memberikan dasar
untuk menyimak masalah-masalah penting seperti pemerataan pendidikan,
pendidikan seumur hidup, pendidikan dasar sembilan tahun.
2.3
Pedagogik dan Pemberdayaan (Empowerment)
Tilaar, (2003:58) pendidikan pada hakikatnya adalah proses
menemukan identitas seseorang atau suatu kelompok. Oleh sebab itu,
proses pendidikan yang benar adalah yang membebaskan seseorang dari
berbagai lingkungan atau empowering atau penyadaran akan kemampuan
atau identitas seseorang atau kelompok. Di sinilah letak afinitas dari
pedagogik dan studi kebudayaan, yaitu membebaskan manusia dari ikatanikatan yang terdapat di luar dirinya. Meski demikian, pendidikan dapat pula
membentuk sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang. Hal ini terjadi,
apabila pendidikan dijadikan alat oleh sistem penguasa yang ada untuk
mengungkung kebebasan individu. Pendidikan dan kekuasaan merupakan
suatu kajian dari suatu kebudayaan bagaimana suatu rezim atau
pemerintah
melestarikan
kekuasaannya
melalui
lembaga-lembaga
pendidikan. Apabila suatu sistem kekuasaan memaksaan kehendaknya dan
merampas kemerdekaan individu beserta kebudayaannya, maka pendidikan
berubah menjadi alat opperesive bagi perkembangnan individu atau
kelompok masyarakat.
Apabila berbicara masalah kekuasaan, maka yang tergambar adalah
pemerintah dengan birokrasinya, ataupun kekuasaan yang dipegang oleh
seseorang, kekuasaan konglomerat, ataupun kekuasaan-kekuasaan lainnya
yang dikenal dalam kehidupan masyarakat. Patrick (1968, terjemahan 2000,
dalam Tilaar, 2003:61) dalam studi kultural, posisi pendidikan
mendapatkan tempat yang sangat istimewa, karena transformasi sosial
tidak dapat terlaksana tanpa pendidikan. Oleh sebab itu, masalah
kekuasaan, pendidikan, dan studi kultural mempunyai bidang garapan
yang bersamaan, karena pendidikan adalah ilmu praksis yang diarahkan
kepada suatu refleksi untuk mengubah praksis pendidikan menuju kepada
transformasi kehidupan bersama yang lebih maju.
Simon (2001:139) kaitan antara pendidikan dan studi kebudayaan
atau yang lebih khusus lagi kaitan antara pendidikan transformatif dan
studi kultural. Praksis pendidikan dapat dibedakan antara pendidikan
informal, pendidikan formal, dan pendidikan nonformal, yang merupakan
keseluruhan dari proses pendidikan. Pendidikan informal berkenaan dengan
seluruh aspek kebudayaan yang mempengaruhi perkembangan manusia.
Manusia bukan hanya berada tetapi juga mengada, yaitu menjadi
manusia. Dalam masyarakat yang sudah lebih maju, proses pendidikan
sebagian besar dilaksanakan di lembaga pendidikan sekolah (formal) yang
melaksanakan kegiatan yang lebih terencana, teratur dan terdeferensiasi. Di
samping pendidikan informal dan formal, terdapat pendidikan nonformal
yang terlaksana dalam lembaga-lembaga di luar struktur persekolahan
formal dan dapat dilaksanakan dalam berbagai jenis lembaga masyarakat.
Ketiga proses pendidikan terjadi suatu proses yang diarahkan kepada
transformasi sosial. Dalam masyarakat Indonesia, dikenal dengan ungkapan
“guru ratu wong atua karo”. Artinya, dalam masyarakat tradisional di
Indonesia dikenal adanya tiga sumber kekuasaan yang mengayomi
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
104
masyarakat, yaitu 1) guru; 2) ratu atau pemerintah; 3) orang tua, yaitu
pemimpin-pemimpin informal dalam masyarakat.
Jadi, ketiga sumber kekuasaan yang ada di masyarakat merupakan
pimpinan atau sumber transformasi sosial yang ada. Moedjanto, (2001:vii)
Peranan guru adalah menjaga dan melestarikan nilai-nilai kebudayaan yang
hidup di masyarakat. Sang ratu atau raja atau disebut pemerintah di jaman
modern yang mempunyai kekuasaan mengatur kehidupan bersama
masyarakat. Sumber kekuasaannya mungkin saja berasal dari Tuhan atau
mungkin berasal dari sumber-sumber transendental lainnya. Kekuasaan
raja atau pemerintah ditopang oleh struktur birokrasi yang berjenis-jenis.
Kerjasama antara guru sebagai pemelihara dan pengembang nilai-nilai
kebudayaan beserta dengan sang ratu atau pemerintah biasanya sangat
berat. Kekuatan yang ketiga yang tidak kalah pentingnya dari dua kekuatan
yang pertama adalah peranan orang-orang yang dituakan yang dalam
masyarakat modern adalah pemimpin-pemimpin informal yang dapat
berbentuk kepala adat, pemimpin-pemimpin di berbagai bidang kehidupan,
baik kehidupan politik, sosial, dan ekonomi. Bersama-sama guru dan ratu.
Mereka merupakan sumber kekuasaan dalam mengatur dan menggerakkan
masyarakat yang berbudaya.
Dalam masyarakat yang modern, peranan guru sangat penting,
statusnya sangat tinggi, dan dihormati. Perubahan sosial atau transformasi
sosial berjalan sangat pesat apalagi di kehidupan globalisasi, kemajuan
teknoligi, khususnya teknologi informasi telah mempercepat transformasi
sosial dalam masyarakat. Proses pendidikan bukan hanya memperhatikan
manusia sebagai human being, tetapi memperlakukan manusia untuk
menjadi manusia seutuhnya yang mengembangkan kebudayaannya dan
mengembangkan hak asasi manusianya.
Keberadaan manusia sebagai makhluk yang spesifik karena meskipun
dilengkapi dengan kemampuan biologis, tetapi tidak seluruhya diprogram
oleh keberadaan biologisnya. Manusia mempunyai kemampuan untuk
bertindak, maka manusia disebut homo egent, yaitu makhluk yang
mempunyai self programming. Melalui tindakannya, manusia menentukan
posisinya di alam ini. Dengan homo egent ditambah sifat-sifat manusia yang
telah digambarkan sebagai homo faber, homo sapiens, homo ludens, dan
sebagainya. Berbagai nama terhadap spesies manusia tersebut
menunjukkan potensi-potensi yang ada pada manusia, yaitu potensi atau
kapasitas untuk mengetahui, berbuat, berbicara, bermain, dan sebagainya.
Potensi-potensi tersebut membuat manusia dapat melaksanakan sesuatu
yang berbeda dengan yang lainnya, juga membuat manusia lain dari
alamnya. Manusia menentukan keterbatasannya dalam menempatkan
dirinya di dunia ini.
Dalam ajaran agama Hindu, manusia menempatkan dirinya di alam
semesta ini dengan selalu menjaga hubungan yang harmonis, baik
hubungan antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), manusia dengan
manusia (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan), agar manusia
dapat mencapai kesejahteraan. Di samping itu, manusia juga disebut
sebagai makhluk religius, yaitu makhluk yang ber-Ketuhanan.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
105
Tilaar (2003:100) pengertian kekuasaan (power) dalam pendidikan
ternyata mempunyai konotasi yang berbeda dengan pengertian kekuasaan
dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dibedakan antara jenis kekuasaan,
yakni 1) kekuasaan transformatif; 2) kekuasaan yang berfungsi sebagai
transmitif. Kekuasaan dalam pendidikan adalah kekuasaan bersifat
transformatif. Tujuannya adalah dalam proses terjadinya hubungan
kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang
lain, bahkan membangkitkan refleksi dan refleksi menimbulkan aksi.
Orientasi yang terjadi dalam aksi tersebut merupakan orientasi advokatif.
Dalam proses kekuasaan sebagai transmitif terjadi proses transmisi yang
diinginkan oleh subjek yang memegang kekuasaan terhadap subjek yang
terkena kekuasaan itu. Orientasi kekuasaan itu bersifat legitimatif.
Kekuasaan dalam pendidikan memiliki batas-batas, yang dapat dilihat
berbagai sumber kekuasaan dalam pendidikan termasuk praktik kekuasaan
dalam menjalankan atau melaksanakan proses pendidikan, maka dapat
dicatat beberapa hal yang penting, sebagai berikut.
1) Dilihat pendidikan sebagai suatu proses, menghasilkan manusia yang
bebas, yang mempunyai akal-budi dalam mengambil keputusan
menghadapi berbagai jenis situasi dan kondisi serta keterikatan
manusia dalam lingkungan kebudayaannya. Dalam proses pendidikan
berhadapan dengan individu yang “sedang menjadi”, berarti kekuasaan
untuk memberikan kesempatan (opportunity) dari kebebasan manusia.
2) Menyimak mengenai kekuasaan dalam pendidikan akan berhadapan
dengan batas-batas kekuasaan itu sendiri. Salah satu keterbatasan
kekuasaan dalam pendidikan terletak dalam makna kemerdekaan dari
seorang individu. Dalam keterbatasan terletak kemerdekaan mengisi
secara bersama-sama dengan orang lain, dalam lingkungan kebudayaan
yang disebut performing practice. Artinya menghargai akan aktivitas,
kreativitas manusia, dan mengakui akan keterbatasan individu serta
keampuhan kehidupan bersama dalam kebudayaanya, dalam rangka
partisipasi dengan sesama anggota masyarakat laninnya untuk
penyempurnaan pengembangan kepribadiannya.
3) Pengakuan atas hak asasi manusia. Kekuasaan dalam pendidikan
mengakui akan keterbatasan dan kebebasan manusia, yang merupakan
suatu hal yang unik dalam hal kekuasaan ini. Tanpa pengakuan atas
hak asasi manusia, tidak mungkin melaksanakan proses pendidikan
yang memberdayakan. Setiap manusia diakui sebagai individu yang
bebas dalam arti bebas untuk memilih tanpa dipaksakan oleh kehendak
orang lain. Proses individualisasi terjadi dalam hubungan interaktif
antara sesama manusia dengan menghormati hak masing-masing
melalui
kesepakatan
bersama
berpartisipasi
untuk
membagi
pengalaman dalam lingkungan kebudayaannya.
4) Komunikasi pendidik dan peserta didik. Dalam proses belajar yang
demokratis, dilihat suatu perubahan dalam komunikasi antara pendidik
dengan peserta didik. Keduanya, meskipun berbeda pengalaman tetapi
sama-sama mengambil pengalaman yang bermanfaat dari pertemuannya
yang baru, memperoleh pengetahuan dan manfaat dari pertemuanpertemuan pendidikan dari keduanya, harus menantang dan
memberikan kesempatan kepada refleksi serta kreativitas dari peserta
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
106
didik. Dengan demikian, proses belajar akan bermakna dan bermanfaat
bagi keduanya dan ini berarti pula perkembangan kebudayaan. Proses
belajar bukan hanya merupakan proses transmisi ilmu pengetahuan,
tetapi juga merupakan proses transformasi dari kelakukan dan
pandangan dunia dari peserta didik maupun pendidik. Pada jenjang
pendidikan yang semakin tinggi, perbedaan pengalaman menjadi
semakin menipis, apalagi dalam kemajuan teknologi informasi yang
sangat pesat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menjelahi pengalaman secara lebih leluasa secara independen, secara
ilmiah untuk melakukan penyelidikan dan penemuan-penemuan.
Fungsi pendidik dalam hal ini adalah semata-mata memberi jalan dan
bukan menstranfer ilmu pengetahuan.
5) Kurikulum. Hubungan antara kurikulum dan kekuasaan berkaitan erat
dengan epistemologi sebagaimana yang hidup dan berkembang dalam
suatu masyarakat. Isi kurikulum ternyata ditentukan oleh perspektif
dari mana seseorang memandang proses pendidikan. Dewasa ini, dalam
rangka reformasi pendidikan nasional, orang memperbaiki kurikulum.
Penyusunan kurikulum dewasa ini masih berpusat pada kekuasaan
yang dipegang oleh negara, antara lain menentukan standar-standar
dari proses pendidikan.
6) Pendidikan dan politik. Pendidikan tidak terlepas dari politik, namun
bukan dalam arti politik praktis. Dalam kehidupan bernegara tersangkut
dalam pelestarian kekuasaan negara melalui politik kebudayaan.
Kemauan politik atau sistem kekuasaan secara tidak langsung berada
dan merasuk dalam sistem pendidikan dengan bentuk ”hidden
curriculum”. Upaya untuk melestarikan kekuasaan negara dapat
dibedakan dalam beberapa sistem atau pendekatan, sebagai berikut.
- Moralisme religius, artinya negara memberikan arah kepada
pendidikan agar memelihara nilai-nilai moral religius yang dianut
oleh negara. Dalam sejarah pendidikan dikenal pada zaman
scholastic.
- Masa Aufklarung. Munculnya intelektualisme mendorong negara
mengarahkan pendidikannya kepada pengembangan kemampuan
berpikir yang merupakan dasar dari kemajuan. Intelektualisme
merupakan tujuan utama dalam pendidikan yang diarahkan oleh
negara
- Perkembangan nasionalisme.
- Lahirnya Demokrasi.
- Pendidikan sebagai pengembangan sumber daya manusia.
7) Pendidikan dan ekonomi. Sistem Pendidikan di Indonesia yang hanya
terarah kepada kepentingan sebagian kecil masyarakat dan tidak
memberdayakan masyarakat banyak. Misalnya pelaksanaan wajib
belajar 6 tahun dianggap sudah berhasil dan kini menuntaskan wajib
belajar 9 tahun, yang ternyata hasil pendidikan rakyat tidak menambah
secara signifikan perbaikan nasib rakyat.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
107
2.4
Pendidikan
Multikultural
sebagai
Tantangan
Masyarakat
Globalisasi
Tilaar (2003:170) menjelaskan masalah yang muncul dari pendidikan
multikultural, yaitu 1) pendidikan multikultural merupakan suatu proses.
Artinya, konsep pendidikan yang baru di mulai dalam dunia pendidikan di
Indonesia memerlukan proses perumusan, refleksi, dan tindakan di
lapangan sesuai dengan perkembangan konsep-konsep yang fundamental
mengenai pendidikan dan hak asasi manusia; 2) pendidikan multikultural
merupakan suatu multifaset oleh sebab itu meminta suatu pendekatan
lintas disiplin. Ada empat nilai inti atau core values dari pendidikan
multikultural, yaitu a) apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralitas
budaya dalam masyarakat; b) pengakuan terhadap Harkat manusia dan hak
asasi manusia; c) pengembangan tanggungjawab masyarakat dunia; d)
pengembangan tanggungjawab manusia terhadap planet bumi.
Tilaar (2003:199) menjelaskan empat kekuatan yang perlu dicermati
pendidikan nasional dengan mengidentifikasikan Catur Shantika Saruka,
antara lain 1) kerjasama regional dan internasional; 2) demokrasi dan
peningkatan kesadaran akan hak asasi manusia serta pemberdayaan
masyarakat; 3) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi; 4) identitas
bangsa dan internasionalisme. Tilaar menekankan dan memberikan
rumusan yang lebih terarah sesuai dengan perkembangan kehidupan politik
dan sosial budaya di era reformasi, antara lain a) arah pendidikan harus
jelas; b) masalah wajib belajar Pendidikan Dasar; c) Konsep Feodalisme
Intelektual untuk Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi; d)
Pengembangan Program Pelatihan; e) Pengembangan Pusat-Pusat Riset dan
Langkah Awal ke Arah Research University.
III.
Penutup
Pendidikan tidak dapat terpisah dalam struktur kebudayaan di mana
proses pendidikan itu terjadi. Pendidikan bukan semata-mata transmini
kebudayaan dan ilmu pengetahuan, bahkan merupakan proses
dekonstruksi dan rekonstruksi kebudayaan. Pedagogik tradisional tidak
mengembangkan manusia kritis dan segala sesuatu diterima sebagaimana
adanya secara turun menurun. Kekuasaan (power) dalam pendidikan
ternyata mempunyai konotasi yang berbeda dengan pengertian kekuasaan
dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dibedakan antara jenis kekuasaan,
yakni 1) kekuasaan transformatif; 2) kekuasaan yang berfungsi sebagai
transmitif. Kekuasaan dalam pendidikan adalah kekuasaan bersifat
transformatif. Tujuannya adalah dalam proses terjadinya hubungan
kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang
lain, bahkan membangkitkan refleksi dan refleksi menimbulkan aksi. Aksi
atau tindakan yang dilakukan peserta didik dalam pendidikan secara
pedagogik kritis dan transformatif, untuk dapat menciptakan generasi
ilmiah dan religius, melalui pengembangan ilmu, serta dapat menghadapi
tantangan untuk reformasi Pendidikan Nasional menghadapi globalisasi.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
108
IV
Daftar Pustaka
Dewey, John. 1998. Budaya dan Kebebasan (terjemahan). Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia
Moedjanto, G, 2001. Konsep Kepemimpinan dan Kekuasaan Jawa Tempo
Dulu
Simon, Roger. 2001. Gagasan-Gagasan Politik Gramci. Terjemahan Selection
from the Prison Notebooks.
Tilaar. H.A.R, 2003. Kekuasaan dan Pendidikan (Suatu Tinjauan dari
Perspektif Studi Kultural. Magelang: Indonesiatera.
109
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
REVITALISASI PENDIDIKAN AGAMA HINDU
UNTUK MENCIPTAKAN GENERASI YANG BERKARAKTER
Oleh
Setyaningsih
Dosen DPK STHD Klaten Jawa Tengah
Abstrak
Karakter merupakan nilai fundamental yang tidak dapat dilepaskan dalam
pembentukan kepribadianindividu. Karakter yang terbentuk sempurna
dapatmewujudkan kualitas sumber daya manusiayang berpotensi dalam
mencapai sebuah kemajuan. UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional pasal 3 yang mewajibkan adanya pembentukan
karakter sejak dini. Pendidikan agama Hindu merupakan upaya untuk
melahirkan peserta didik yang cerdas baik secara intelektual, emosional,
maupun spiritual. Dalam pelaksanaan keagamaan, tidak bisa terlepas dari
Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu yaitu Tattva, Susila dan Upacara,
apabila dipahami, dihayatidan dilaksanakan akan menjadikan umat agama
Hindu yang dapat membentuk karakter manusia diantaranya Tri Kaya
parisudha, Catur Vidya, Catur Marga dan Catur Asrama. Oleh karena itu
revitalisasi dalam pendidikan Agama Hindu di sekolah harus diupayakan
demi tujuan yang membentuk generasi muda yang berkarakter. Revitalisasi
pendidikan Hindu pada masa lalu dalam pendidikan Hindu dewasa ini
bukan berarti mengadopsi segala-galanya atau kembali pada pada masa
lalu. Revitalisasi yang dimaksudkan di sini adalah dengan mengasimilasi
dan akomodasi sistem pendidikan pada masa lalu dalam pendidikan Hindu
kontemporer. Dalam pengertian perlu adanya adaptasi sistem pendidikan
agama Hindu pada masa lalu dengan konteks kontemporer tanpa harus
meningalkan atau merubah esensi dasar dari sistem pendidikan Hindu
tersebut.
Kata kunci : Revitalisasi, Pendidikan Agama Hindu, Karakter
I.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam
kelangsungan hidup manusia. Melalui pendidikan manusia dapat
berkembang dan mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam dunia
ini. Pendidikan berarti perbuatan mendidik dan berarti pula pengetahuan
tentang mendidik atau pemeliharaan badan batin dan sebagainya
(Elmubarok, 2009:1). Setiap orang akan menerima suatu pendidikan yang
diperoleh dari sejak lahir sampai akhir hayatnya. Hanya dengan pendidikan
yang baik manusia mengetahui hak dan kewajibannya sebagai individu,
masyarakat dan mahluk Tuhan (Syarifuddin, 2008:2). Pernyataan tersebut
menunjukan bahwa pendidikan sangat diperlukan dalam membantu
manusia sebagai mahluk individu, social dan mahluk Tuhan dalam
melaksanakan kewajibannya sehingga kehidupannya menjadi terarah dan
menjadi baik serta mengalami suatu kemajuan ke arah yang positif
tentunya.
Dalam suatu pendidikan terdapat berbagai macam aspek yang
menjadi suatu sistem atau struktur dan fungsi masing-masing. Setiap
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
110
pendidikan pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai yang merupakan suatu
harapan dan cita-cita. Dengan adanya suatu tujuan pendidikan akan
menjadi terarah dan terprogram. Sistem atau sistem pendidikan yang
dilaksanakan dalam suatu pendidikan sangat memberikan pengaruh
terhadap keberhasilan suatu pendidikan. Masing-masing jenis pendidikan
memiliki sistem atau sistem yang berbeda-beda. Baik dalam jenis
pendidikan informal ataupun formal dan non formal. Apa yang ada dalam
dunia pendidikan tentunya memiliki suatu hubungan yang erat dengan
kodisi masyarakat. Kedua-duanya merupakan suatu cerminan dari masingmasing. Ketika dalam dunia pendidikan kurang bagus itu pula yang ada
dalam suatu masyarakat demikian pula sebaliknya bagaimana kondisi
suatu masyarakat juga mencerminkan bagaimana pendidikannya. Hal ini
sesuai dengan pendapat para ahli sosial yang menyatakan bahwa
pendidikan memiliki relasi dengan kondisi masyarakat.
Apabila dilihat kenyataan masyarakat dewasa ini khususnya, maka
sangat jelas tercermin suatu pendidikan yang belum mampu mencapai
tujuan pendidikan yang diharapkan seperti yang tertuang dalam tujuan
pendidikan nasional. Perubahan yang diharapkan dari instansi pendidikan
untuk membentuk manusia yang beradap masih jauh dari harapan. Dalam
masyarakat dewasa ini banyak sekali terjadi suatu prilaku yang
menyimpang seperti korupsi dimana-mana, tindak kejahatan, dan
kesejahteraan
yang tidak
seimbang. Tindakan-tindakan
tersebut
mencerminkan suatu yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan. Dimana
tujuan pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu untuk
memanusiakan manusia. Pendidikan diselengarakan untuk membebaskan
manusia dari berbagai persoalan Hidup yang melingkupinya. Pendidikan
merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya bagi masa yang
akan datang (UU No.2 Tahun 1989, dalam Sanjaya , 2011: 45-46)
Karakter merupakan nilai fundamental yang tidak dapat dilepaskan
dalam pembentukan kepribadian individu. Karakter yang terbentuk
sempurna dapat mewujudkan kualitas sumber daya manusia yang
berpotensi dalam mencapai sebuah kemajuan. Itu berarti karakter harus
dipahami oleh seluruh masyarakat utamanya bagi generasi muda. Hal ini
sejalan dengan isi dari UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional pasal 3 yang mewajibkan adanya pembentukan karakter sejak dini.
Menurut Mustari, (2012:3) terdapat lima komponen sosial yang dapat
digunakan sebagai media pembentukan karakter meliputi keluarga, diri
sendiri, pemerintah, sekolah dan lingkungan masyarakat. Sekolah sebagai
pemegang peranan pembentukan karakter primer, harus dilakukan secara
terintegritas dan berkesinambungan. Salah satu usaha yang dilakukan
sekolah adalah dengan mengintegrasikan nilai karakter ke dalam setiap
mata pelajaran di kelas. Salah satu contoh dari implementasi ini adalah
pembelajaran agama Hindu yang dikenal sebagai ilmu yang lebih
mengarahkan kepada kepribadian yang religius dan berbudi pekerti luhur.
Dalam hal memanusiakan manusia perlu adanya suatu kondisi yang
mendukung, yaitu suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan
hati, empati, cinta kasih dan penghargaan terhadap masing-masing
anggotanya, tidak ada pendidikan tanpa dasar cinta kasih (Dantes,
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
111
2008:5). Kondisi semacam tersebut sebenarnya telah diterapkan dalam
pendidikan Hindu dengan sistem Gurukula. Akan tetapi, persoalan yang
penting dalam pendidikan Hindu kontemporer adalah sama dengan
pendidikan secara umum di Indonesia yaitu kualitasnya rendah. Hal ini
terlihat dari bagaimana kondisi masyarakat Hindu pada umumnya dewasa
ini. Rendahnya kualitas pendidikan tentunya implikasi dari sistem
pendidikan yang kurang tepat. Padahal apabila ditinjau dari sejarah
pendidikan Hindu pada masa Veda pendidikan Hindu telah terbukti
berhasil dalam memanusiakan manusia. Hal ini terlihat dalam bagaimana
uamt Hindu yang telah mendapatkan pendidikan tersebut terbukti telah
banyak
menjadi
manusia
yang
sesunguhnya
sehingga
konsep
memanusiakan manusia terjadi. Dengan demikian tampaknya adanya suatu
kesenjangan yang terjadi antara pengalaman pendidikan Hindu masa lalu
dengan pendidikan kontemporer sehingga perlu dikaji persoalan-persoalan
dari kesenjangan tersebut seperti bagaimanakah sistem pendidikan Veda?
Bagaimana sesungguhnya pendidikan Hindu kontemporer? Bagaimana
revitalisasi sistem pendidikan Hindu di sekolah?
II.
Sistem Pendidikan Hindu, Pendidikan Hindu Kotemporer
Berorientasi ke Barat, dan Revitalisasi Sistem Pendidikan Hindu
dalam pendidikan Hindu Kontemporer
2.1
Sistem Pendidikan Hindu
Agama Hindu sebagai agama yang tertua di dunia memiliki istilahistilah
mengenai
pendidikan
yaitu adhyayana, prabodha, siksha,
Upanayana, vinaya (Dwivedi, 1994:2). Hindu telah memiliki suatu sistem
pendidikan yang khas. Hal tersebut diketahui dari berbagai bentuk lembaga
pendidikan yang telah ada pada jaman Veda. Pendidikan tersebut sering
disebut Pendidikan Veda dengan bentuk Gurukula (Jayapalan, 2005:4-5).
Veda sebagai suatu Wahyu yang diterima oleh para maharsi pada jaman
dulu pada awalnya ditradisikan melalui suatu tradisi parampara secara
lisan sampai pada akhirnya ditulis. Setelah ditulispun ajaran Veda terus
diajarkan melalui suatu bentuk pendidikan. Tujuan pendidikan Hindu pada
umumnya untuk mengembangkan potensi manusia dalam kehidupan
spiritual (individual) dan sosial budaya. Tujuan kehidupan spiritual
(individual) adalah karakter moral yang baik dan moksa. Tujuan dalam
kehidupan sosial budaya berupa kemampuan melaksanakan dimensi
manusia sebagai mahluk sosial dan berbudaya sesuai dengan konteknya.
Pendidikan tersebut bersifat Varnasrama Dharma yaitu pendidikan yang
didasarkan pada Varna dan Asramayang ada dalam Hindu atau pendidikan
yang berdasarkan kewajiban hidup antara profesi dan tingkatan hidup
(Ngurah, dkk, 2006:110). Varna disini berarti potensi yang menonjol dalam
diri berupa minat dan bakat yang mendasari dari pekerjaan seseorang
dan Asramaberarti tahapan hidup.
Hindu menyakini bahwa manusia lahir ke dunia telah membawa
bakat dan minat masing-masing. Mengenai Varna ini dijelaskan oleh Sri
Krsna dalam kitab Bhagavad Gita. Konsep Varna dalam vanAsrama Dharma
di sini sangat berbeda dari kasta atau wamsa, walaupun dinyatakan
bahwa wamsa dan kasta awalnya bersumber dari Varna (Titib, 1996:388).
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
112
Dengan demikian pendidikan yang berdasarkan Varna tidak berarti sama
dengan berdasarkan kasta atau wamsa. Akan tetapi, hal tersebut
mengalami suatu pergeseran dalam masyarakat, sehingga ada pendidikan
berdasarkan kasta atau wamsa (kelahiran atau keturunan). Pendidikan
yang berdasarkan Varna adalah berdasarkan bakat dan minat yang dimiliki
seorang yang akan melakukan suatu pendidikan. Varna dalam ajaran
agama Hindu ada dibedakan menjadi empat, yaitu Brahmana, Ksatrya,
Vaisya dan Sudra. Varna Brahmana merupakan suatu bakat dan minat
pada kerohaniwan. Ksatrya merupakan sifat dan bakat pada kegiatan atau
yang berhubungan dengan kesatria, Vaisya merupakan bakat dan minat
pada pekerjaan yang berkaitan dengan ekonomi seperti perdagangan,
pengusaha, dan yang lainnya. Sudra merupakan bakat dan minat pada
pekerjaan dengan tenaga.
Keempat Varna tersebut adalah diciptakan oleh Tuhan. Keempat
Varna tersebut merupakan suatu sistem dalam dunia dan juga dalam
kehidupan manusia, sehingga terjadi suatu keseimbangan dan keselarasan
dalam dunia. Masing-masing Varna tersebut saling berhubungan satu sama
lainnya. Hubungan yang terjadi dalam masing-masing Varnatersebut
disebutkan bahwa Brahmana lahir dari kepala, ksatrya dari lengan, Vaisya
dari perut dan Sudra dari kaki (Titib, 2003:283). Sebagai suatu sistem
kerjasama yang baik perlu terjadi demi kelangsungan hidup di dunia ini.
salah satu mengalami gangguan maka akan mengakibatkan gangguan pada
yang lainnya. Kepala tidak berfungsi maka semua bagian yang lainnya juga
akan terganggu. Jadi antara Brahmana, ksatrya, Vaisya, dan Sudra
merupakan satu-kesatuan yang saling menunjang antara yang satu dengan
yang lainnya. Pengunaan Varna dalam pendidikan Hindu pada masa lalu
merupakan suatu usaha supaya mengali pontensi yang dimiliki masingmasing.
Hal tersebut selaras dengan yang dinyatakan sebagai pendidikan
untuk memanusiakan manusia. Hal itu berarti mengembangkan dan
meningkatkan potensi yang ada dalam diri manusia. Kemampuan atau
potensi yang ada tersebut tentunya berhubungan dengan bakat dan
minat. Bakat dan minat yang terdapat dalam diri manusia merupakan
suatu potensi. Potensi inilah sebenarnya yang perlu dikembangkan dalam
pendidikan. Hal ini tampaknya yang dilakukan dalam pendidikan Hindu
tempo dulu pendidikan yang mempertimbangkan bakat dan minat manusia.
Cara yang dilakukan pada masa lalu adalah hidup bersama menjadi bagian
dari keluarga guru selama beberapa waktu, sehingga guru dapat melihat
bakat dan minat yang merupakan potensi dari manusia. Dengan demikian,
selanjutnya guru mengarahkan untuk menempuh pendidikan yang sesuai
dengan bakat dan minat tersebut. setiap orang tentu memiliki tiga aspek
Varna dalam dirinya. Pada masa pendidikan Hindu jaman dulu setiap orang
diarahkan untuk menekuni dan mengembangkan potensi tersebut dalam
dirinya. Manusia yang memiliki bakat ksatrya dia akan dididik menjadi
ksatrya, Brahmana akan dididik menjadi Brahmana dan seterusnya.
Di samping berdasarkan Varna juga dilihat berrdasarkan Asrama atau
jenjang kehidupan. Dalam Hindu dikenal ada empat jenjang kehidupan
yang disebut dengan Catur Asrama. Pendidikan juga dilihat dalam tingkatan
kehidupan masing-masing tersebut. Pada masa brahmacari merupakan awal
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
113
jenjang kehidupan dimana manusia fokus untuk mengejar dan belajar
mengenai suatu pengetahuan (Titib, 1996:392). Brahmacari mulai dari
dalam keluarga selanjutnya setelah berusia 12 tahun dilanjutkan kepada
suatu lembaga pengetahuan dalam bentuk Gurukula. Gurukula sendiri
berarti hidup dalam keluarga guru. Jenjang untuk fokus menuntut ilmu
selama 25 tahun. Setelah itu dilanjutkan dengan grhasta atau masa
membina rumah tangga. Dalam masa berumah tangga manusia didik
mengenai pelaksanaan Dharma dan yadnya. Pada masa ini manusia belajar
menjadi bagian dari masyarakat yang sebenarnya. Oleh karena itu, pada
masa ini dia menjadi suatu suatu bagian dalam kelompok masyarakat. Di
sini dia belajat melaksanakan tugas tanggung jawab sebagai warga
masyarakat sesuai dengan struktur yang ada. Dia diwajibkan melakukan
yadnya atau suatu persembahan suci baik yang dalam jenis dewa, pitra, rsi,
manusia, dan juga bhuta yadnya (Titib, 2003:293-294). Selanjutnya
wanaprasta masa mulai meninggalkan atau mengurangi keterikatan dengan
benda atau objek duniawi. Dalam masa ini pendidikan bermaksud untuk
memberikan suatu pembelajaran mengenai makna kehidupan. Seseorang
mulai mencari sesuatu kesucian dan kebenaran dalam hidup dengan cara
melakukan yang berhubungan dengan pencarian Tuhan melalui tandadanda yang jaman dulu dilakukan dengan mengasingkan diri ke hutan
melakukan tapa brata . Selanjutnya tingkatan yang terakhir adalah
Bhiksuka
atau sanyasin yaitu melepaskan diri secara total tanpa
keterikatan kepada dunia. Pada masa ini dia belajar untuk melakukan
pelepasan keterikatan secara total, sehingga segala hidupnya hanya untuk
mencapai kebebasan atau moksa.
Sistem
pendidikan
dalam
suatu
lembaga
pendidikan
seperti bentuk Gurukula dalam pendidikan Veda adalah mengedepankan
suatu pendekatan kekeluargaan. Dimana peran seorang guru adalah
sebagai orang tua dan murid adalah sebagai putra (Jayapalan, 2005:6).
Dalam pendidikan semacam itu guru akan memberikan pengetahuan dan
keteladanan kepada siswa seperti tidak ubahnya seorang ayah kepada
anaknya. Guru menyayangi siswa, demikian pula siswa menghormati dan
melayani guru. Pendidikan dalam suatu lembaga merupakan suatu
kelanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Dimana dalam keluarga
dianggap telah tidak mampu lagi untuk memberikan pengetahuan yang
lebih jauh dan luas, maka selanjutnya anak dikirim atau diserahkan pada
seoarang guru dalam bentuk lembaga Gurukula. Pada saat anak diserahkan
atau akan mengikuti pendidikan, maka terlebih dulu dilakukan suatu
Upacara yang disebut dengan Upanayana. Selanjutnya setelah Upacara
tersebut dilaksanakan siswa tersebut resmi menjadi siswa dan akan
memperoleh pendidikan oleh guru berupa diberikan suatu pengetahuan.
Dalam kondisi pendidikan Gurukula, guru sangat serius mendidik siswa
dengan
menerapkan
disiplin
yang
ketat.
Dalam
sistem
pendidikanGurukula disiplin sangat ditekankan oleh guru. Hal itu
mengingat untuk membentuk suatu struktur dalam diri anak supaya
terbiasa dengan kehidupan yang berdisiplin.
Disiplin merupakan suatu hal yang sangat penting dalam pendidikan
Veda dalam bentuk Gurukula . Siswa memiliki disiplin yang harus
dilakukan dalam kehidupan sebagai siswa. Disiplin tersebut berupa
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
114
ketaatan terhadap aturan dan tata tertib Gurukula. Aturan dan tata tertib
dalam Gurukula harus ditaati oleh siswa karena guru benar-benar akan
menegakan aturan tersebut. Apabila dilanggar, maka akan mendapatkan
sanksi yang tegas dari guru. Dengan adanya penegakan disiplin seperti itu
siswa selalu berusaha mentaatinya. Hal tersebut berlangsung selama masa
pendidikan
sistem Gurukula
berlangsung. Pendidikan
dengan
sistem Gurukula, siswa akan terdidik untuk disiplin dalam menuntut ilmu
maupun dalam kehidupan sehari-harinya dalam Gurukula, sehingga setelah
siswa selesai pendidikan, kebiasaan hidup disiplin akan selalu terbawa
dalam kehidupannya dalam masyarakat.
2.2
Sistem Pendidikan Hindu Kontemporer Berorientasi ke Barat
Pendidikan Hindu kontemporer di Indonesia khususnya sangatlah
berbeda dengan pendidikan Hindu yang telah ada pada jaman dulu.
Berbagai macam alasan yang membuat atau membentuk pendidikan Hindu
menjadi seperti itu. Hal ini tentunya tidak bisa lepas dari peran negara.
Dimana pendidikan merupakan suatu hal yang diatur oleh negara. Hal ini
menyebabkan berbagai macam sistem harus mengikuti ketentuan dari yang
ada di negara. Perkembangan sistem pendidikan di Indonesia banyak
dipengaruhi oleh sistem pendidikan barat. Demikian pula tampaknya
pendidikan Hindu di Indonesia bersistemkan pendidikan barat, walaupun
dewasa ini mulai muncul sistem-sistem pendidikan yang terus
dikembangkan, tetapi tetap berkiblat ke barat. Berkiblat ke barat
maksudnya bahwa sistem dan kurikulum selalu mengacu negara-negara
maju di barat. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana sistem pendidikan
agama Hindu, baik di sekolah maupun perguruan tinggi. Pendidikan
agama Hindu dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi dewasa ini masih
kurang menerapkan atau mengadopsi pola dan nilai-nilai pendidikan Hindu
pada masa lalu. Pola-pola yang diadopsi, baik dari input siswa, proses,
metode pembelajaran, muatan kurikulum, suasana akademik, dan lainlainnya.
Metode yang digunakan dalam pendidikan Hindu selalu mengikuti
metode secara umum. Pendidikan Hindu dalam konteks kotemporer
mengunakan metode non kekeluargaan. Hal ini menyebabkan interaksi
yang terjadi dalam proses pembelajaran yakni guru adalah sebagai guru itu
sendiri dan siswa adalah sebagai siswa itu sendiri. Hubungan guru dan
siswa tanpa dilandasi adanya rasa kekeluargaan, akan tetapi hanya sekedar
hubungan si pencari pengetahuan dan yang memberi pengetahuan tidak
lebih. Siswa berhubungan dengan guru sekedar mendapatkan haknya yaitu
belajar dari guru. Sementara guru hanya sebatas melaksanakan kewajiban
yaitu mengajar (Ibrahim dan Syaodih S., 2003:11). Pengajaran yang
dilakukan guru terkadang hanya untuk mendapatkan haknya berupa gajih.
Sistem penerimaan siswa dewasa ini hanya sangat berbeda yaitu dilakukan
berdasarkan kepentingan bukan berdasarkan bakat dan minat yang
sesungguhnya. Di mana siswa memiliki kepentingan untuk masa depan
mereka berupa peluang pekerjaan. Pilihan untuk sekolah di lembaga
pendidikan didasari atas pilihan rasional dari siswa. Pilihan rasional berupa
adanya keuntungan yang didapat siswa dengan bersekolah di sekolah
pilihannya (Haryanto, 2012:198) dari dengan sekolah di sekolah tersebut
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
115
dan sekolah berdasarkan kepentingan mendapatkan mahasiswa. Hal
semacam ini terus berlangsung sehingga potensi yang dikembangkan
bukanlah potensi dari masing-masing siswa akan tetapi hanya sekedar
untuk mendapatkan suatu peluang pekerjaan yang dicari.
Dengan adanya semacam itu tidak heran apabila kulaitas Sumber
Daya Manusia (SDM) yang ditamatkan dalam suatu sekolah agama Hindu
dewasa ini tidak sesuai dengan harapan. Sebagai contoh banyak yang
memilih jurusan pendidikan agama Hindu bukan karena minat dan bakat
siswa dalam hal menjadi pendidik tetapi lebih karena peluang lebih banyak
dari pada jurusan yang lainnya. Oleh karena itu, apa yang siswa lakukan
dalam proses pembelajaran tentunya tidak maksimal karena minat dan
bakatnya bukan pada jurusan pendidikan. Hal ini mengakibatkan kualitas
SDM dari mereka tidak maksimal. Selanjutnaya metode pembelajaran
kecenderunganya hanya pada sampai belajar pengetahuan tetapi sangat
minim dalam hal belajar untuk melakukan terlebih lagi untuk menjadi
sesuai dengan tujuan pendidikan Hindu. Hal ini terlihat dalam metode
pengajaran yang diterapkan oleh pengajar dalam pendidikan agama Hindu
kecenderungan hanya menyentuh pada ranah kognitif saja. Bukti-bukti
yang menunjukan hal tersebut seperti dapat dilihat dalam para alumnus
yang telah selesai mendapatkan pendidikan Hindu tersebut.
2.3
Revitalisasi Sistem Pendidikan Hindu di Sekolah
Sistem pendidikan Hindu yang ada saat ini belumlah ideal sebagai
pendidikan Hindu yang sesungguhnya menekankan pencapaian anak yang
sarjana dan suputra. Sarjana berarti orang yang mengetahui atau orang
yang mengerti dan memahami pengetahuan (Titib, 1996:440). Sarjana
bukan hanya sebagai orang yang berpengetahuan, karena jika hanya
sebagai orang berpengetahuan saja, hal itu sangat bertentangan dengan
ajaran karma. Berpengetahuan saja berarti hanya memiliki pengetahuan
dalam tingkat teori-teori saja, tanpa mengetahui bagaimana prakteknya.
Jika mengerti dan memahami pengetahuan berarti seseorang memiliki
pengetahuan dan mengetahui cara mempraktekannya.
Sebagai contoh jika seorang guru dinyatakan berpengetahuan
tentang guru berarti dia hanya memiliki pengetahuan tentang guru hanya
pada tataran teori saja. Sedangkan apabila seseorang adalah guru yang
mengerti dan memahami pengetahuan tentang guru, maka seseorang
tersebut mengetahui sekaligus mampu menerapkannya sebagai seorang
guru. Banyak bukti yang ditemukan dari hasil proses belajar mengajar
dalam pendidikan agama Hindu tidak sesuai dengan tujuan dari pendidikan
Hindu tersebut. Hal tersebut menandakan adanya suatu sistem pendidikan
Hindu yang kurang baik dalam pendidikan Hindu kotemporer. Masalah
seperti ini tentu tidak dapat dibiarkan terus terjadi. Perlu adanya suatu
sistem atau sistem pendidikan yang relevan dengan pendidikan agama
Hindu sehingga menghasilkan suatu hasil yang benar-benar sesuai dengan
harapan.
Seperti telah dijelaskan di atas Hindu secara umum memiliki suatu
sistem pendidikan yang telah diterapkan pada masa lalu. Pendidikan Hindu
masa lalu telah melahirkan orang-orang yang besar dan berdedikasi tinggi.
Pengalaman masa lalu bukan berarti tidak dapat dijadikan sebagai suatu
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
116
contoh yang perlu ditiru dan dikembangkan dalam konteks kontemporer.
Sistem pendidikan Hindu masa lalu dapat dibangkitkan kembali atau
direvitalisasi kembali terlebih pada pendidikan Hindu kontemporer. Memang
selama ini segala sesuatunya berorientasi pada negara maju yaitu negaranegara barat, sehingga banyak ditiru dan menjadi suatu teladan dalam
berbagai aspek termasuk pendidikan agama Hindu. Akan tetapi, dewasa ini
peluang telah ada dimana arus balik sebagai suatu tanggapan terhadap
pandangan orientalisme yang menganggap timur termasuk Indonesia adalah
negara yang tidak maju, kolot, dan sebagainya telah terjadi. Berbagai
macam arus balik telah muncul seperti mengenai teori-teori mulai muncul
teori-teori dari timur. Bahkan sumbangan Hindu bagi perkembangan ilmu
di berbagai bidang dalam dunia ini sangat besar. Banyak apa yang
ditemukan dalam ilmu pengetahuan sebenarnya telah ada sejak lama dalam
ajaran Hindu. Sebagai contoh teori quantum dewasa ini. prinsip-prinsip
dasar dari teori quantum telah ada dalam ajaran agama Hindu yaitu dalam
tantraisme jauh sebelum teori quantum tersebut ditemukan. Selain
itu, masih banyak lagi yang terinpirasi dari ajaran Hindu. Adanya hal
seperti itu menunjukan bahwa pendidikan Hindu pada masa lalu telah
memberikan suatu pengetahuan dan melahirkan suatu yang besar bagi
dunia. Oleh karena itu, banyak dewasa ini para ahli dan tokoh ilmu dunia
memberikan penghormatan terhadap Hindu.
Revitalisasi pendidikan Hindu pada masa lalu dalam pendidikan
Hindu dewasa ini bukan berarti mengadopsi segala-galanya atau kembali
pada pada masa lalu. Revitalisasi yang dimaksudkan di sini adalah dengan
mengasimilasi dan akomodasi sistem pendidikan pada masa lalu dalam
pendidikan Hindu kontemporer. Dalam pengertian perlu adanya adaptasi
sistem pendidikan agama Hindu pada masa lalu dengan konteks
kontemporer tanpa harus meningalkan atau merubah esensi dasar dari
sistem pendidikan Hindu tersebut.
Seperti dijelaskan di atas bahwa pendidikan Hindu pada masa lalu
menekankan pada pengembangan potensi yang ada dalam diri manusia.
Untuk mengetahuai potensi siswa tersebut, maka siswa tersebut harus
hidup dengan guru dalam beberapa waktu sehingga sampai akhirnya guru
mengetahui potensi dalam diri siswa dengan demikian guru akan
mengarahkan dengan menerima siswa yang memiliki bakan dan minat
atau Varna yang sesuai dengan pendidikan yang akan guru ajarkan dan
mengembalikan siswa tersebut kepada orang tuanya untuk dilanjutkan
pada pendidikan yang lain sesuai dengan potensinya.
Sistem perekrutan siswa semacam ini dapat dilakukan dalam setiap
lembaga pendidikan agama Hindu dalam menerima calon siswa dengan
memasukan sistem tersebut dalam orientasi sekolah. Orientasi sekolah yang
selama ini hanya digunakan untuk pengenalan sekolah oleh siswa baru
digunakan sebagai media untuk pengenalan bakat dan minat siswa oleh
lembaga, sehingga nantinya dapat diarahkan kepada jurusan yang ada di
sekolah tersebut. sebagi contoh dalam perguruan tinggi Hindu setiap
tahunnya menerima mahasiswa pada empat jurusan yaitu pendidikan
agama Hindu, Penerangan, Hukum, dan Filsafat. Untuk menentukan atau
jurusan mana calon mahasiswa dimasukan disesuaikan dengan bakat dan
minat calon mahasiswa yang dilihat melalui media orientasi kampus. Hal
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
117
ini sangat penting mengingat kecenderungan manusia akan senang dan
semangat serta sungguh-sunguh dalam melakukan sesuatu apabila sesuatu
itu adalah menjadi suatu kesenangannya. Kesenangan mahasiswa tentunya
sesuai dengan Varna atau bakat dan minat yang dimiliki.
Apabila mahasiswa masuk suatu program sesuai dengan potensi yang
ada merupakan modal awal dalam keberhasilan dalam pendidikan
selain faktor yang lainnya. Dalam proses pendidikan kontemporer tampak
hubungan antara siswa dan guru sepertinnya hanya terbatas pada
kewajiban dan hak sebagai siswa dan guru tidak lebih. Hubungan semacam
itu dalam pendidikan dapat dinyatakan kurang ideal karena tidak terjalin
hubungan yang erat antara keduanya. Ketika haknya telah diterima dan
kewajiban telah dilaksanakan, maka hubungan tersebut tidak menutup
kemungkinan terputus. Berbeda halnya dengan pendidikan jaman Veda
dimana hubungan guru dan siswa akan tetap terjalin sampai seorang siwa
selesai mendapatkan pendidikan. Hal itu terlihat seorang siswa selalu akan
menghormati gurunya dimanapun mereka berada baik ketika bertemu
ataupun jauh sekalipun. Bahkan ketika guru telah meninggal siswa tetap
menghormatinya dengan bhakti. Guru dalam pendidikan Hindu merupakan
sebagai figur yang diharapkan dan mampu memberikan yang terbaik bagi
siswa. Hubungan itu terjalin benar-benar seperti antara anak dan orang
tua. Nilai-nilai hubungan semacam ini dapat direvitalisasi dalam proses
pendidikan Hindu kontemporer.
Prinsip dasar proses pendidikan dilakukan dengan suatu relasi yang
terjalin dimana guru atau pengajar berperan selayaknya orang tua dari
siswa. Dengan adanya peran guru sebagai orang tua tentunya guru akan
berusaha memberikan pengajaran dan teladan bagi siswanya. Demikian
pula siswa yang diberlakukan seperti anak sendiri akan lebih mudah untuk
berinteraksi serta mentaati petunjuk dan pengetahuan yang diberikan oleh
guru. Cara pengajaran pendidikan Hindu jaman dulu yang kecenderungan
memberikan suatu pengalaman dengan perpaduan dan keseimbangan
antara teori dan praktek (Sharma dan Sharma, 2004:5-6). Pendapat yang
sama juga disampaikan oleh Mookerji (2003:1) bahwa “… Vedic education is
tobe studied as an integral part of vedic thought and life.” Dengan
demikian, siswa akan mendapatkan pengetahuan dengan membangun
pengetahuannya sendiri dari pengetahuan yang telah dimiliki dengan
konteks yang ada pada saat realitas dalam prakteknya. Hal itu sesuai
dengan pernyataan Dr. R.K Mukerjee (dalam amala, Anupama, dan Rao,
2006:39) “that the objective of education was not merely reading, but the
subjective assimilation of knowledge and experience”. Sistem pengajaran
yang dilakukan tersebut bila dihubungkan dengan dewasa ini lebih mirip
dengan konstruktivisme.
III.
Penutup
Sistem pendidikan Hindu yang telah dilaksanakan pada masa lalu
merupakan suatu sistem pendidikan yang dilakukan oleh para maharsi
yang notabenenya adalah ahli dalam pengetahuan dan memiliki tingkat
spiritual yang tinggi dengan tanpa keterikatan pada duniawi. Dengan
demikian sistem pendidikan yang para maharsi lakukan pada masa lampau
sesungguhnya adalah sistem pendidikan yang ideal bagi bukan hanya umat
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
118
Hindu tetapi juga pendidikan dunia pada umumnya. Hal itu karena apa
yang dilakukan oleh para maharsi adalah untuk kesejahteraan umat
manusia baik di dunia maupun di akhirat nantinya. Sistem pendidikan
Hindu adalah berbasis keluarga yaitu pendidikan yang mengunakan sistem
pendekatan keluarga yaitu antara anak dan orang tua. Siswa sebagai anak
dan guru sebagai orang tua. Dengan demikian, proses pendidikan akan
dapat benar-benar terlaksana dengan baik. Guru sebagai orang tua
tentunya akan mendidik anak dengan sebaik-baiknya dengan pengetahuan
yang bermanfaat dan mengarah pada keberhasilan yang sepenuhnya. Di sisi
lain anak akan menerima dengan baik karena guru adalah orang tuanya.
Pendidikan Hindu kontemporer jelas apabila dilihat dari sistem yang
dilakukan dewasa ini sangat jauh menyimpang dari sistem pendidikan
Hindu tersebut di atas. Sistem pendidikan Hindu kontemporer sama seperti
halnya pendidikan secara umum mengarah pada globalisasi pendidikan
barat. Sistem – sistem ini terlihat dalam kurikulum, guru, metode belajar,
metode mengajar dan lainnya. Revitalisasi sistem pendidikan Hindu perlu
dilakukan guna kemajuan pendidikan dan umat Hindu ke depan.
Revitalisasi yang dimaksud bukan mengadobsi atau berarti kembali pada
masa lalu, tetapi mengadaftasikan dan mengasimilasikan pendidikan Hindu
pada pendidikan Hindu kontemporer. Esensi tetap pendidikan Hindu tetapi
kemasannya adalah pendidikan kontemporer.
IV
Daftar Pustaka
Dantes, Nyoman. 2008. “Perspektif dan Kebijakan pendidikan Menghadapi
Tantangan Global”. Makalah di sampaikan dalam seminar Akademik
Jurusan PGSD (S1) FIP-Undiksha
Haryanto, Sindung. 2012.Spektrum Teori Sosial: Dari Klasik Hingga
Posmodern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Ilyasin, H.M. 2011. Pendidikan Pembebasan Dalam Perspektif Barat &
Timur.Ar-Ruzz Media
Jayapalan, N.2005.History of Education in India.New Delhi: Nice Printing
Press.
Mookerji, Radha Kumud.2003. Ancient Indian Education: Brahmanical and
Buddhist. Delhi:Shri Jainendra Press
Ngainun Naim & Achmad Sauqi. 2010. Pendidikan Multikultur : Konsep &
Aplikasi . Ar-Ruzz Media.
Ngurah, I Gusti, I Gede Sura, I Gede Badjrayasa, Indra Sukarno, I Wayan
Mitra Astawa, dan Sujailanto.2006. Buku Pendidikan Agama Hindu
Untuk Perguruan Tinggi. Suirabaya: Paramita
Sanjaya, Putu.2011.Filsafat Pendidikan Agama Hindu. Surabaya: Paramita
Syarifuddin.2008. Effektivitas Kebijakan Pendidikan Konsep, Strategi, dan
Aplikasi Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif. Rineka Cipta.
Titib, I Made.1996. Veda Sabda Suci: Pedoman Praktis Kehidupan.
Surabaya: Paramita
Titib, I Made.2003. Purana: Sumber Ajaran Hindu Koprehensip. Jakarta:
Pustaka Mitra Jaya
Zaim Elmubarok.2009. Membumikan Pendidikan Nilai: Mengumpulkan
yang Terserak, Menyambung Yang Terputus dan Menyatukan Yang
Tercerai. Bandung: Alfabeta
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
119
PRINSIP TAT TVAM ASI DALAM PENDIDIKAN HINDU GUNA MENCEGAH
PRILAKU VERBAL BULLYING
Oleh
Ni Nyoman Ayu Suciartini
Dosen Fakultas Dharma Duta IHDN Denpasar
e-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan, 1) faktor-faktor penyebab
munculnya verbal bullying, 2) bentuk verbal bullying yang mengemuka di
kehidupan bermasyarakat 3) implementasi konsep ajaran Hindu Tat Tvam
Asi sebagai pencegah prilaku verbal bullying. Dalam mencapai tujuan ini,
peneliti
menggunakan
rancangan
penelitian
deskriptif-kualitatif.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, wawancara, dan
kuesioner. Data yang diperoleh dianalis secara deskriptif kualitatif yang
meliputi tiga tahapan yaitu, (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3)
verifikasi dan penarikan simpulan. Hasil penelitian ini memaparkan bahwa
(1) fakto-faktor penyebab munculnya verbal bullying yaitu lingkungan sosail,
perkembangan teknologi, dan proteksi diri yang rendah, 2) bentuk verbal
bullying yang mengemuka di kehidupan bermasyarakat dikemukakan dalam
bentuk menghina, melecehkan, memfitnah, bahkan mengancam lawan tutur
3) implementasi konsep ajaran Hindu Tat Tvam Asi sebagai pencegah
prilaku verbal bullying.yaitu seperti bisa menjadi motivator positif, keinginan
kuat untuk berbenah, berani menghadapi tantangan hidup, dan
mengembalikan hakikat jati diri manusia sebagai mahkluk sosail yang sama
sekali tidak sempurna.
Kata kunci : verbal bullying, Tat Tvam Asi
I.
Pendahuluan
Bahasa merupakan alat komunikasi sosial yang digunakan oleh
masyarakat dalam melakukan interaksi. Menurut Gorys Keraf (1997:1),
bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol
bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Di dalam berbicara, pembicara dan lawan bicara sama-sama menyadari
bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan
bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan
lawan bicaranya. Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap
tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam
interaksi sosial itu (Wijana, 2006:28).
Tujuan seseorang berkomunikasi adalah menyampaikan pesan dan
menjalin hubungan sosial. Di dalam penyampaian pesan tersebut, biasanya
digunakan bahasa verbal baik lisan maupun tulis, atau nonverbal yang
dipahami kedua belah pihak, pembicara dan lawan bicara. Tujuan
komunikasi adalah menjalin hubungan sosial yang dilakukan dengan
menggunakan beberapa strategi, seperti menggunakan ungkapan
kesopanan, ungkapan implisit, dan basa-basi. Strategi tersebut dilakukan
oleh pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi berjalan baik;
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
120
dalam arti, pesan tersampaikan secara utuh dan sempurna tanpa merusak
hubungan sosial di antara keduanya.
Mengingat pentingnya kesantunan dalam bertutur, interaksi yang
berlangsung baik secara lisan maupun tertulis seyogianya dilandasi oleh
norma-norma kesantunan. Di dalam berkomunikasi, norma-norma tersebut
tampak dari perilaku verbal ataupun nonverbal. Perilaku verbal dalam
fungsi imperatif, misalnya, terlihat pada cara penutur mengungkapkan
perintah, keharusan, atau larangan melakukan sesuatu kepada mitra tutur,
sedangkan perilaku nonverbal tampak dari gerak-gerik fisik yang
menyertainya.
Dalam kenyataannya, prilaku menyalahi ranah kesantunan dalam
bertutur, baik yang sering disaksikan lewat media televisi, media sosial,
debat publik, bahkan tidak jarang dalam praktik kesehariannya. Media
seperti televisi dan media sosial lainnya adalah tempat umum atau publik
yang menjadi tempat tumbuh suburnya kasus verbal bullying terhadap
suatu kejadian yang sedang heboh diperbincangkan. Banyak orang merasa
dirugikan dengan hadirnya verbal bullying ini. Dampak prilaku verbal
bullying ini bukan hanya menyerang fisik, melainkan lebih dari itu, yaitu
psikologis korban verbal bullying tersebut.
Hasil observasi awal yang peneliti lakukan di media televisi juga media
sosial, seperti facebook, twitter, instagram, path, bbm, dan lain-lain
menunjukkan bahwa banyak terdapat kalimat (bahasa) yang diujarkan
pengguna media sosial di facebook dan bbm yang melangkahi koridor
kesantunan. Hal ini banyak ditemukan dalam pembahasan soal
pemerintahan, politik, bahkan sampai pada ranah pendidikan. Bahkan
pengamatan peneliti juga sampai pada sekolah-sekolah di seputaran kota
Denpasar. Banyak siswa tanpa sadar telah melakukan praktik verbal
bullying pada teman sebayanya atau pada adik tingkatnya. Bahasa-bahasa
yang kurang santun ini banyak dilontarkan yang mengandung cacian,
umpatan, sindirin, hinaan mengarah pada fisik, namun dilontarkan dengan
sikap humor. Tidak semua orang menerima kalimat ini sebagai humor
semata. Ada sebagian orang yang merasa terluka jiwanya karena merasa
dilecehkan atau tidak dihargai dengan kalimat-kalimat yang tidak
menggambarkan diri mereka yang sebenarnya.
Bullying berasal dari kata bully, yaitu suatu kata yang mengacu pada
pengertian adanya “ancaman” yang dilakukan seseorang terhadap orang
lain (yang umumnya lebih lemah atau “rendah” dari pelaku), yang
menimbulkan gangguan psikis bagi korbannya (korban disebut bully boy
atau bully girl) berupa stress (yang muncul dalam bentuk gangguan fisik
atau psikis, atau keduanya; misalnya susah makan, sakit fisik, ketakutan,
rendah diri, depresi, cemas, dan lainnya).
Bullying biasanya dilakukan berkelompok, menekan bagian minoritas
yang pola hidupnya berbeda dari yang mayoritas (Lawson, Terry E dalam
Ratna, 2007). Verbal bullying (terkadang disebut verbal abuse) adalah saat
seseorang menggunakan perkataan untuk mendapatkan kuasa di antara
sesamanya.
Verbal bullying menggunakan makian yang tidak habis-habis maupun
mengolok-olok korbannya, yang biasanya dinilai dari ketidakmampuan
fisiknya, maupun mengatai kebodohan dan kegemarannya, suku, agama,
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
121
maupun fisiknya secara keseluruhan. Walaupun verbal bullying tidak
menyebabkan kerusakan fisik, tapi penggencetan seperti ini dapat
memberikan dampak buruk pada sisi psikologis korban.
Istilah Bullying belum banyak dikenal masyarakat, terlebih karena
belum ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia (SuShanti,
2006). Bullying berasal dari kata bully, menurut kamus Inggris-Indonesia
karangan Echols dan Shadily (2008) bully diartikan sebagai bully /’bulie/
kb. (j. –lies) penggertak, orang yang mengganggu orang yang lemah. (bullied)
menggertak, mengganggu.”
Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang seringkali dipakai
masyarakat untuk menggambarkan fenomena Bullying di antaranya adalah
penindasan, penggencetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan, atau
intimidasi (Susanti, 2006). Korban bullying atau victim adalah seseorang
yang berulangkali mendapatkan perlakuan agresi dari kelompok sebaya
baik dalam bentuk serangan fisik, atau serangan verbal, atau bahkan
kekerasan psikologis.
Bullying secara verbal, berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik
kejam, penghinaan (baik yang bersifat pribadi maupun rasial), pernyataanpernyataan bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual, teror, suratsurat yang mengintimidasi, tuduhan-tuduhan yang tidak benar, kasakkusuk yang keji dan keliru, gosip dan lain sebagainya. Dari ketiga jenis
bullying, bullying dalam bentuk verbal adalah salah satu jenis yang paling
mudah dilakukan, kerap menjadi awal dari perilaku bullying yang lainnya
serta dapat menjadi langkah pertama menuju pada kekerasan yang lebih
jauh.
Tipe bully secara verbal seperti ini biasanya bertujuan untuk
merendahkan harga diri korbannya, misalnya dengan mengatakan dia jelek,
atau atribut fisik lainnya yang mungkin saja dimiliki oleh korban tersebut
dan membuat dia menjadi “alien” di lingkungannya. Seperti kasus si Budi
tadi, mungkin saja dia anak yang lembut, namun perilaku seperti itu di
mata teman-temannya tidak pantas dimiliki oleh anak laki-laki sehingga
temannya mengibaratkan dia seperti waria yang –maaf- menjajakan diri di
jalan-jalan. Verbal bully ini sangat sulit untuk diketahui tanda-tandanya
karena tidak ada tanda fisik yang terlihat. Verbal bully ini juga bisa
dilakukan secara diam-diam, apalagi di zaman media sosial seperti
sekarang, seseorang dapat mengejek orang lain secara anonim, sehingga
sekarang muncul istilah cyber bullying (bully di dunia maya).
Dalam ajaran agama Hindu mengenal adanya konsep Susila, yaitu Tat
Tvam Asi. Kata “Tat Tvam Asi” disebutkan dalam kitab Candogya Upanisad
yang berarti: Dikaulah itu; Dikaulah semua itu; Semua makhluk adalah
Engkau. Engkau awal mula jiwatman (roh) dann zat (prakrti) semua makhluk.
Aku ini adalah makhluk yang berasal dari Mu. Oleh karena itu jiwatmaku
dan prakrtiku tunggal dengan jiwatman semua makhluk, dan Dikau sebagai
sumberku dan sumber semua makhluk. Oleh karena itu aku adalah
Engkau,;aku adalah Brahma.”Aham Brahma Asmi” (Brhadaranyaka
Upanisad 1.4.10). Di dalam filsafat Hindu, dijelaskan bahwa Tat Tvam Asi
adalah ajaran kesusilaan yang tanpa batas, yang identik dengan
“perikemanusiaan” dalam pancasila. Konsepsi sila perikemanusiaan dalam
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
122
pancasila, apabila kita cermati sungguh sungguh adalah merupakan
realisasi ajaran Tat Tvam Asi yang terdapat dalam kitab suci Veda.
Kalimat Tat Tvam Asi mengandung makna bahwa manusia wajib dan
harus mengasihi orang lain sebagaimana menyayangi diri kita sendiri. Inilah
dasar utama untuk mewujudkan masyarakat yang Santhi (damai) dan
Kertha (makmur). Tat Tvam Asi selalu mengamalkan cinta kasih, bakthi,
dan rela beryadnya (berkorban). Dalam kitab suci dikatakan demikian
:“Hyang amati – mati wang tan padosa, haywa anglarani sarwa prani,
haywa kita tan masih ring wang nista” Artinya :Janganlah menyakiti
makhluk hidup, janganlah tidak menaruh belas kasihan terhadap orang
miskin atau orang yang ditimpa kemalangan. Cinta kasih sejati ditandai
dengan cinta kepada kebenaran dan kebaikan, maka menjadi kewaijban
setiap orang untuk berbuat baik dan benar. Bhakti adalah perwujudan hati
nurani yang ditunjukkan kepada orang tua, guru, bangsa, dan negara serta
Hyang Widhi.
Wujud nyata dari ajaran Tat Tvam Asi ini dapat dicermati dalam
kehidupan dan perilaku keseharian dari umat manusia yang bersangkutan.
Manusia dalam hidupnya memiliki berbagai macam kebutuhan yang
dimotivasi oleh keinginan (kama) manusia yang bersangkutan. Sebutan
manusia sebagai makhluk hidup itu banyak jenis, sifat, dan ragamnya
seperti: manusia sebagai makhluk individu, sosial, religius, ekonomis,
budaya dan lain – lainnya. Apabila semua itu harus dapat dipenuhi oleh
manusia secara menyeluruh dan bersamaan tanpa memperhitungkan
situasi dan kondisinya serta keterbatasan yang dimiliknya, betapa susah
dan payah yang dirasakan oleh individu yang bersangkutan. Disinilah
manusia perlu mengenal dan melaksanakan rasa kebersamaan, sehingga
seberapa berat masalah yang dihadapinya akan terasa ringan. Dengan
memahami serta mengamalkan ajaran Tat Tvam Asi, manusia akan dapat
merasakan berat dan ringan dalam hidup dan kehidupan ini. Bila ajaran Tat
Tvam Asi dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh
masyarakat secara menyeluruh dan sungguh-sungguh, dalam sifat dan
prilaku kita maka kehidupan ini akan menjadi sangat harmonis.Satu
dengan yang lainnya diantara dapat hidup saling menghormati, mengisi dan
damai.
Penelitian ini berusaha mengaji kasus verbal bullying yang banyak
terjadi di media sosial seperti facebook, bbm, titter, instagram, dan lain-lain.
Penelitian ini juga beranjak dari rasa khawatir penulis oleh kebiasaan anakanak sekolah bahkan masyarakat umum yang “melabelkan” bahwa verbal
bullying memang sesuatu yang wajar untuk menghadirkan lelucon.
Di saat pemerintah sedang gencar melakukan revolusi mental dan
pembenahan pendidikan karakter sejak dini, hal semacam ini yang diangkat
dalam penelitian ini dianggap penting untuk dikaji. Oleh karena itu,
penelitian dengan judul “Penerapan Konsep Tat Tvam Asi dalam Mencegah
Prilaku Verbal Bullying” menarik dan penting untuk dilakukan mengingat
kesantunan itu tidak terlepas dengan masalah menumbuhkan karakter
yang sedang dibahas secara hangat dalam wacana pendidikan.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas,
permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut. (1) apakah faktor yang menyebabkan timbulnya praktik
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
123
verbal bullying? (2) bagaimanakah bentuk prilaku verbal bullying? (3)
Bagaimanakah implementasi konsep Tat Tvam Asi untuk mencegah prilaku
verbal bullying tersebut?
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan:
mendeksripsikan faktor penyebab timbulnya prilaku verbal bullying (2)
bentuk prilaku verbal bullying, dan (3) implementasi konsep Tat Tvam Asi
untuk mencegah prilaku verbal bullying.
II.
Metode Penelitian
Rancangan penelitian merupakan sebuah strategi untuk mengatur
latar penelitian sehingga peneliti benar-benar memperoleh data yang valid
sesuai dengan karakteristik dan tujuan penelitiannya. Senada dengan
permasalahan yang diangkat, yaitu berkaitan dengan konsep Tat Tvam Asi
untuk mencegah prilaku verbal bullying verbal, penelitian ini menggunakan
rancangan deksriptif kualitatif.
Metode
pengumpulan
data
yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi, metode
wawancara, dan kuesioner. Setiap metode memiliki peran dalam
pengumpulan data. Tujuan dari dokumentasi ini adalah untuk memperoleh
sudut pandang orisinal dari kejadian situai nyata. Dokumen resmi
dipandang mampu memberikan gambar mengenai aktivitas, keterlibatan
individu pada suatu komunitas tertentu dalam setting sosial.
III.
Pembahasan
Dalam sajian ini juga sekaligus dilakukan pembahasan langsung
terhadap masing-masing hasil penelitian. Secara terinci, hal tersebut
mencakup (1) faktor penyebab terjadinya prilaku verbal bullying (2) bentuk
verbal bullying, dan (3) implementasi konsep Tat Tvam Asi untuk mencegah
prilaku verbal bullying.
Kalimat-kalimat yang mengemuka baik di media televisi, media sosial
seperti facebook, blackberry messager (bbm), instagram, dan twitter,
maupun percakapan remaja sehari-hari mengandung beragam maksud
seperti hendak melucu, menasihati, menyindir, menyindir, bahkan
mengancam. Disadari atau tidak oleh si pembicara kalimat-kalimat yang
digunakannya tersebut dapat menimbulkan efek lain atau mengundang
komentar-komentar yang tidak terduga, salah satunya dapat digolongkan ke
dalam bentuk verbal bullying. Bentuk verbal bullying ini dinyatakan dalam
kalimat yang bermaksud melucu, menasihati, menyindir, menghina, bahkan
mengancam.
Kalimat-kalimat yang mengemuka dalam percakapan baik di dunia
nyata maupun di dunia maya ini diujarkan dengan maksud tertentu yang
terkadang tidak berterima di hati lawan tuturnya sehingga menyebabkan
tuturan dianggap sebagai tuturan yang tidak santun.
Verbal Bullying atau intimidasi secara lisan ini mulai marak
mengemuka sebagai sebuah candaan maupun lelucon. Dari kalimat biasa
dengan maksud melucu, bahkan kalimat yang secara tersurat bermaksud
merendahkan orang lain dapat membawa dampak tertentu terhadap
kehidupan sosial orang yang dibully tersebut.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
124
Bullying dikenal luas di Indonesia. ada beberapa jenis bullying, seperti
bullying secara fisik, mental, dan secara verbal yang dikenal sebagai verbal
bullying. Verbal bullying, yaitu bullying dengan menggunakan kata-kata
untuk membuat seseorang berada di dalam tekanan dan membuat orang
yang melakukan verbal bullying tersebut menjadi lebih superior
(Smokowski:2010). Dalam hasil penelitian telah dipaparkan dan dianalisis
berbagai bentuk verbal bullying yang mengemuka. Bentuk verbal bullying
seperti dalam pemaparan dalam hasil penetian tersebut, banyak ditemukan
sebagai bentuk verbal bullying yang dinyatakan dengan maksud melucu,
menyindir, menghina, menasihati, bahkan mengancam. Kelima bentuk
verbal bullying ini muncul dalam percakapan yang didominasi para remaja,
baik dalam pergaulan maupun siaran televisi dan dunia maya. Dalam teori
terkait verbal bullying yang dijabarkan oleh Ratna Djuwita (2007), Nurchaili
(2010) dan beberapa landasan teori yang peneliti gunakan untuk
menganalisis fenomena verbal bullying ini cenderung menyebutkan bahwa
kalimat-kalimat yang biasa digunakan oleh seseorang untuk membully
orang lain yaitu kalimat yang bernada menghina, menyindir, mengancam,
melecehkan, dan sebagainya. Bullying secara verbal, berupa julukan nama,
celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan (baik yang bersifat pribadi maupun
rasial), pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan seksual atau pelecehan
seksual, teror, surat-surat yang mengintimidasi, tuduhan-tuduhan yang
tidak benar, kasak-kusuk yang keji dan keliru, gosip dan lain sebagainya (
Ratna, 2007).
Banyak faktor yang menyebabkan prilaku verbal bullying terjadi
secara masif dan berkelanjutan. Di antaranya adalah (1) faktor lingkungan.
Kedekatan orangtua dan orang di sekitaran tempat tinggal bisa menjadi
acuan munculnya prilaku verbal bullying di kalangan remaja. Mereka yang
terbiasa dengan pergaulan mencomooh kehadiran orang lain akan tumbuh
menjadi pelaku verbal bullying yang aktif. Ketidakpedulian masyarakat dan
individu itu sendiri terkait dampak psikologis verbal bullying. Dewasa ini
tontonan televisi, adanya postingan-postingan di dunia maya cenderung
menghadirkan lawakan yang dianggap lucu dengan menonjolkan kelemahan
fisik seseorang. Ini dianggap wajar dan biasa terjadi sehingga dalam
pergaulan keseharian remaja, khususnya di kota Denpasar banyak yang
menganggap kelemahan seseorang sebagai bahan candaan yang biasa saja.
Pembully ini tidak sadar bahwa seseorang yang dibully ini bisa jadi
mengalami tekanan psikologis tertentu yang menyebabkan rasa rendah diri,
merasa tak berharga, dan lain sebagainya. Faktor lainnya adalah terkait
efek jera yang tegas belum terwujud bagi mereka yang dengan sengaja
maupun tidak sengaja membully seseorang dengan kalimat-kalimat yang
sangat tidak sopan. (2) perkembangan teknologi yang tidak bisa dibendung.
Kecanggihan akses internet saat ini memungkinkan remaja memilih dunia
maya sebagai tempat yang paling nyaman untuk mendapatkan segala
perhatian publik. Remaja meonoton, melihat, bahkan melakukan prilaku
verbal bullying yang dilontarkan dalam medis sosialnya untuk memberikan
efek sindiran kepada teman dunia maya lainnya yang terlibat suatu
ketidakcocokan. Di media sosial inilah tumbuh subur prilaku verbal bullying
yang melibatkan remaja. Seseorang bisa menuliskan kalimat, kata-kata
apapun tanpa ada proteksi yang kuat di media sosial. Media sosial, seperti
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
125
facebook, twitter, instagram, path, bbm, dan lain-lain merupakan lahan
subur tumbuhnya penyimpangan-penyimpangan terhadap penggunaan
kalimat yang santun. Media sosial merupakan media publik yang
diperuntukkan bagi orang banyak yang sudah sepatutnya memperhatikan
aspek-aspek komunikasi dan kesantunan berbahasa manakala ingin
memposting status maupun berkomentar sebagai netizen dunia maya.
Banyak kalimat dari netizen yang melangkahi koridor kesantunan ditinjau
dari prinsipi kesantunan berbahasa. (3) Faktor budaya. Saat ini, pergereran
budaya telah melangkah jauh lebih modern. Namun, ada hal-hal yang
disayangkan justru terjadi di zaman serba modern dan instan ini. Dahulu,
seseorang berkomunikasi dengan memegang teguh pakem-pakem
kesopanan yang berlaku dan membuat penutur dan mitra tutur merasa
saling menghormati dan tidak menimbulkan tekanan psikologis tertentu
dari kalimat yang diucapkannya. Namun, melihat perkembangan teknologi
yang sedikit banyaknya memengaruhi perubahan budaya, membuat remaja
banyak yang bertutur di luar batas kesantunan dengan salah satunya
melakukan verbal bullying sebagai budaya kekinian dan wajar untuk
dilakukan.
Tat Tvam Asi mempunyai arti engkau adalah aku dan aku adalah
engkau. Makna mendasar yang dapat dipetik dari Tat Tvam Asi tersebut
adalah bagaimana menyayangi diri sendiri demikian juga menyayangi orang
lain bahkan lingkungan sekalipun. Atas dasar itu maka tindakan hormat
menghormati sangat diperlukan bahkan harus dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Ajaran Tat Tvam Asi sangat selaras dengan ideologi Negara
Indonesia yaitu pancasila. Dengan demikian setiap warga Negara
mempunyai hak untuk mengaktualisasikan ajarannya ditengah – tengah
masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan yang berlaku di
masyarakat tersebut serta tetap mengutamakan rasa persatuan dan
kesatuan bangsa.
Di dalam kitab Candyoga Upanisad, ada disebutkan Tat Tvam Asi. Di
dalam filsafat Hindu dijelaskan bahwa Tat Tvam Asi adalah ajaran
kesusilaan yang tanpa batas, yang identik dengan perikemanusiaan dalam
Pancasila. Konsepsi sila perikemanusiaan dalam Pancasila, bila dicermati
secara sungguh-sungguh merupakan realisasi ajaran Tat Tvam Asi yang
terdapat dalam kitab suci Veda. Dengan demikian, dapat dikatakan
mengerti dan memahami, serta mengamalkan atau melaksanakan Pancasila
berarti telah melaksanakan ajaran Veda. Karena maksud yang terkandung
didalam ajaran Tat Tvam Asi adalah ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan
semua makhluk adalah sama sehingga bila kita menolong orang lain berarti
juga menolong diri kita sendiri. Tat Tvam Asi
berasal dari bahasa
sansekerta. Tat artinya: itu (ia), Tvam artinya: kamu, dan Asi artinya:
adalah. Tat Tvam Asi adalah kata-kata dalam filsafat Hindu yang
mengajarkan kesosialan yang tanpa batas karena diketahui bahwa “ia
adalah kamu” saya adalah kamu dan segala mahluk adalah sama, yaitu
sama-sama memiliki Atman yang bersumber dari Brahman. Tat Tvam Asi
memberikan pedoman untuk melihat diri pada makhluk lain dan melihat
makhluk lain dalam diri seseorang.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
126
Sebuah ajaran tentang refleksi cinta kasih, tidak hanya kepada
sesama manusia tetapi juga kepada semua makhluk. Dengan menyadari
bahwa manusia dapat melihat dirinya pada makhluk lain, diajarkan untuk
menjauhkan diri dari sifat ego. Dengan menyadari orang lain adalah bagian
dari diri, maka seseorang tidak akan mudah melakukan tindakan-tindakan
yang dapat menyakiti orang lain karena menyakiti orang lain berarti
menyakiti diri sendiri. Melalui kesadaran tersebut sehingga diharapkan
yang akan tumbuh dalam diri kita adalah sikap saling mengasihi antar
sesama dan mahkluk hidup lainnya.
Agama Hindu mengajarkan adanya ajaran toleransi umat beragama
agar terciptanya kesejahteraan, seperti diterangkan oleh I Ketut Wiana,
Wakil Sekjen Parisada Hindu Dharma Indonesia bahwa banyaknya agama
yang diturunkan oleh Tuhan adalah suatu kebijaksaan Tuhan. Jalan yang
berbeda-beda itu memiliki satu tujuan yaitu jalan menuju Tuhan.
Disamping itu sebagai makhluk sosial umat Hindu tidak semata-semata
rukun dengan sesama manusia. Tetapi juga harus harmonis secara vertical
dan horizontal. Secara vertikal (ke atas) dekat dengan Tuhan sebagai Raja
Alam Semesta (Prajapati), horizontal (kebawah) menanamkan rasa kasih
sayang pada semua makhluk secara horizontal mengembangkan kerukunan
dengan sesama manusia.
Dalam ajaran Kitab suci Veda, agar terciptanya kehidupan yang Kreta
Jagadhita dijelaskan secara gamblang dalam ajaran “Tat Tvam Asi”. Ajaran
“Tat Tvam Asi” merupakan ajaran sosial tanpa batas. Saya adalah kamu,
dan sebaliknya kamu adalah saya, dan segala makhluk adalah sama
sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri dan menyakiti
orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri (Upadesa, 2002: 42). Antara
saya dan kamu sesungguhnya bersaudara. Hakikat atman yang menjadikan
hidup diantara saya dan kamu berasal dari satu sumber yaitu Tuhan.
Atman yang menghidupkan tubuh makhluk hidup merupakan percikan
terkecil dari Tuhan. Kita sama-sama makhluk ciptaaan Tuhan.
Sesungguhnya filsafat “Tat Tvam Asi” ini mengandung makna yang sangat
dalam. TaTvam asi mengajarkan agar kita senantiasa mengasihi orang lain
atau menyayangi makhluk lainnya. Bila diri kita sendiri tidak merasa
senang disakiti apa bedanya dengan orang lain. Maka dari itu janganlah
sekali-kali menyakiti hati orang lain. Dan sebaliknya bantulah orang lain
sedapat mungkin kamu membantunya, karena sebenarnya semua tindakan
kita juga untuk kita sendiri. Bila dihayati dan diamalkan dengnan baik,
maka akan tyerwujud suatu kerukunan. Dalam upanisad dikatakan:
“Brahma atma aikhyam”, yang artinya Brahman (Tuhan) dan atman sama.
Sistem kekeluargaan dan kekerabatan adalah sebuah ciri yang
melekat pada seluruh kebudayaan di Indonesia. Tidak terkecuali pada
masyarakat Hindu di Bali. Sistem tersebut menjadi hukum adat bagi
terciptanya hubungan antara manusia dengan manusia.
Hubungan
antarmanusia dalam ajaran Hindu di Bali tertuang dalam filosofi “Tat Tvam
Asi”sebagai dasar hukum. Secara harfiah Tat artinya ia, Tvamartinya kamu,
dan Asi artinya adalah. Secara keseluruhan berarti “ ia adalah kamu”. Saya
adalah kamu dan segala mahkluk adalah sama. Ini berarti menolong orang
lain berarti menolong diri sendiri. Dan menyakiti orang lain berarti pula
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
127
menyakiti diri sendiri. Prinsip dasar Tat Tvam Asi ini dalam kehidupan adat
Bali diberi pengertian ke dalam asas-asas sebagai berikut.
a. Asas suka duka, artinya dalam suka dan duka dirasakan bersamasama.
b. Asas paras paros, artinya orang lain adalah bagian dari diri sendiri
dan diri sendiri adalah bagian dari orang lain.
c. Asas salunglung sabayantaka, artinya baik buru, mati hidup
ditanggung bersama.
d. Asas saling asih, saling asah, saling asuh, artinya saling menyayangi
atau mencintai, saling memberi dan mengoreksi, serta saling tolong
menolong antar sesama hidup.
Ajaran tat Tvam asi mengajak setiap orang penganut agama untuk
turut merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain. Seseorang bila
menyakiti orang lain sebenarnya ia telah bertindak menyakiti atau menyiksa
dirinya sendiri, dan sebaliknya bila telah membuat orang lain menjadi
senang dan bahagia, maka sesungguhnya dirinya sendirilah yang ikut
merasakan kebahagiaan itu juga.
Tat Tvam asi merupakan kata kunci untuk dapat membina agar
terjalinnya hubungan yang serasi atas dasar “asah, asih, dan asuh” di
antara sesama hidup. Dalam Sarasamuscaya: 317, menyatakan:
“Orang arif bijaksana melihat semuanya sama, baik kepada
Brahmana budiman yang rendah hati, maupun terhadap makhluk hidup
lainnya, orang yang hina papa sekalipun, walaupun perbuatan jahat yang
dilakukan orang terhadap dirimu, perbuatan seperti orang sadhu
hendaknya sebagai balasanmu. Janganlah sekali-kali membalas dengan
perbuatan jahat, sebab oprang yang berhasrat berbuat kejahatan itu pada
hakekatnya akan menghancurkan dirinya sendiri”
Dalam kehidupan, apabila konsep “Tat Tvam Asi” tidak diterapkan,
kesejahteraan tidak akan pernah tercapai, karena egoisme yang tinggi akan
mempengaruhi setiap individu. Adapun contoh konsep “Tat Tvam Asi” tidak
diterapkan, yaitu adanya konflik antar desa atau antar banjar menjadi bukti
nyata. Ketika “Tat Tvam Asi” tidak bisa dijadikan acuan, konflik akan makin
melebar. Dampaknya akan ada kasepekangi (pengucilan). Kalau sudah
kasepekang, sembahyang ke pura pun tidak boleh, apalagi mau ngaben.
Suatu saat nanti sepertinya perlu kuburan umum, desa umum dan
pedanda umum bagi mereka yang kena kasepekang. Dari contoh ini dapat
kita lihat, apabila ajaran “Tat Tvam Asi” tidak bisa kita terapkan tentunya
hanya akan berdampak buruk bagi kehidupan bermasyarakat, Kreta
Jagadhita akan semakin menjauh dari kehidupan kita, karena semua orang
hanya akan menjalankan kehendaknya sendiri, orang Bali menyebutnya
“nganggoang kite”. Dan sebaliknya apabila konsep ini diterapkan, tentunya
tidak akan ada istilah mustahil kesejahteraan akan segera terwujud.
Konsep Tat Tvam Asi ini bisa menjadi pedoman dalam mencegah
prilaku verbal bullying, terutama yang melibatkan remaja sekolah maupun
pergaulannya di media sosial. Membully orang lain sesungguhnya prilaku
yang tidak dibenarkan karena bisa menyebabkan rasa sakit hati mendalam,
apalagi dibully karena kelemahan fisik. Dengan menggali lagi konsep ajaran
Hindu dan menanamkannya pada setiap individu dalam melakukan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
128
interaksi dan komunikasi, niscaya kedamaian untuk menerima kelemahan
dan kelebihan orang lain dapat dilakukan. Dapat disaksikan sendiri
bagaimana fenomena membully orang lain ini marak terjadi. Bukan hanya
orang biasa yang mendapat prilaku tidak mengenakkan ini, bahkan
Presiden Joko Widodo tak luput dari kasus verbal bullying yang akhirnya
menambah kisruh permasalahan di pemerintahan. Melihat ke dalam diri
sebagai manusia yang tidak sempurna, akan mendatangkan kesadaran
bahwa tidak ada satu manusia pun yang dilahirkan sempurna. Jika ini
sudah dipahami secara mendala, konsep Tat Tvam Asi, jika seseorang
menyakiti hati orang lain, maka sesungguhnya dia menyakiti dirinya
sendiri, niscaya kedamaian akan terwujud.
IV.
1.
Penutup
Simpulan
Bentuk prilaku verbal bullying yang mengemuka baik dalam interaksi
komunikasi remaja maupun yang terjadi di media sosial dinyatakan dengan
bentuk yang beragam dengan maksud yang beragam pula. Penelitian ini
memaparkan verbal bullying yang mengemuka di media sosial yang
bermaksud melucu atau menghadirkan kesan humor kepada khalayak
dunia maya. Kasus ini menyedot banyak komentar terhadap gambar dan
kalimat-kalimat yang tertera untuk mendeskripsikannya. Sang pemilik akun
awalnya hanya iseng dan ingin menghadirkan sensasi humor. Namun, di
sisi lain banyak komentar yang malah menuduhnya melecehkan suatu
peristiwa atau seseorang. Yang kedua, yaitu verbal bullying dalam media
sosial yang bermaksud menyindir. Kalimat-kalimat bullying dengan maksud
menghina ini banyak mengemuka di media sosial dan menimbulkan
komentar-komentar netizen sehingga banyak hal negatif yang mewarnai
media sosial tersebut. Ketiga, verbal bullying yang bermaksud menasihati.
Kalimat menasihati ini tidak semua sesuai dengan maksud ketika
dilontarkan di media sosial. Banyak netizen yang akhirnya membully
postingan-postingan yang bermaksud menasihati. Keempat, verbal bullying
yang bermaksud menyindir banyak mengemuka di media sosial. bentuk ini
ditujukan untuk menyindir tokoh, seseorang atau suatu tempat secara tidak
langsung. Kelima, verbal bullying yang bermaksud mengancam. Kalimatkalimat negatif yang memuat verbal bullying mengancam ini ditujukan
seseorang atau netizen untuk memberikan efek jera terhadap seseorang
atau pelaku tindakan verbal bullying yang disampaikannya lewat media
sosial. Faktor yang menyebabkan prilaku verbal bullying ini bisa terjadi
yaitu pemahan yang salah atas kelemahan orang lain, budaya melecehkan
yang sekarang marak terjadi bahkan semakin diminati untuk dilakukan,
perkembangan teknologi yang makin canggih tidak dapat membendung
prilaku verbal bullying, terutama di media sosial, dengan beragam fitur,
praktek membully semakin menggairahkan.
Di tengah dunia yang serba modern dan praktis inilah konsep ajaran
agama Hindu, yaitu Tat Tvam Asi masih relevan dijadikan pedoman bagi
generasi remaja untuk membendung diri dari prilaku verbal bullying.
Konsep “Aku adalah kamu dan kamu adalah aku” diyakini dapat menangkal
seseorang dalam tindakan melecehkan orang lain. Ajaran Tat Tvam Asi ini
diarahkan untuk saling menerima kelebihan dan kekurangan masingPROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
129
masing orang, tanpa mencelanya, sehingga kedamaian di setiap lini
kehidupan bisa terealisasi. Dampak verbal bullying yang mengemuka ini
memiliki pengaruh negatif. Dari kesekian pengaruh tersebut, dalam
penelitian ini dipaparkan bahwa dampak negatifnya lebih banyak dan lebih
mengkhawatirkan, terlebih jika korban verbal bullying tersebut tergolong
masih remaja, bahkan anak-anak. Verbal bullying berpengaruh terhadap
psikologi korban bullying, mendapat ancaman, merendahkan harga diri,
membuat rasa tidak nyaman, selalu mencurigai setiap orang yang
berkomentar, dipenjara, intimidasi lingkungan sosial, dan paling parah
membuat korban bullying ini menjadi pelaku bullying dan membiasakan
verbal bullying sebagai sebuah kewajaran atau wadah lelucon.
2.
Saran
Berdasarkan temuan penelitian yang telah disajikan sebagai
simpulan, berikut ini disampaikan saran, yaitu temuan penelitian ini
sepatutnya diimplementasikan oleh semua komponen untuk bertutur secara
santun dalam menghadapi berbagai kondisi, terlebih di hadapan umum,
seperti media sosial. Dengan bertutur secara santun, tanpa maksudmaksud menyudutkan seseorang atau peristiwa yang terjadi, sehingga
atmosfer kedamain dan saling menghargai bisa ditemui di dunia nyata
maupun dunia maya. Kebiasaan membully agar tidak menjadi sebuah
budaya dan dinilai sebagai sebuah lelucon yang mendongkrak popularitas
seseorang.
IV
Daftar Pustaka
Asrori, Imam. 2005. “Tindak Tutur dan Operasi Prinsip Sopan Santun dalam
Wacana Rubrik Konsultasi Jawa Pos (Warkonjapos)”. Artikel ilmiah.
Malang: Jurnal Bahasa dan Seni.
Ayu Suciartini, Ni Nyoman. 2012. Skripsi: Kesantunan Tuturan Guru dan
Dampak Psikologisnya terhadap Siswa di SMA PGRI 1 Amlapura.
Singaraja: Undiksha.
Baron, R.A., Byrne, D. 2005. “Psikologi Sosial Jilid 2” Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Bawa, Wayan. 1996. Dasar-dasar Metodologi Penelitian. Singaraja: STKIP.
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rhineka Cipta
Dani Ahmad. Kekerasan verbal. In : google.com [serial online] diakses
tanggal
1
Desember
2014
http://dennyhendrata.wordpress.com/kekerasan-verbal
F.J. Monks, A.M.P. Knoers, Siti Rahayu H. 2002. Psikologi perkembangan :
pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press.
Jakarta Post. (2007). Bullying di Sekolah. http://www.thejakartapost.com.
diakses tanggal 13 Oktober 2014.
Kusmayati Elli. Child abuse. In. tempo.com [serial online] 2005 diakses pada
tanggal
30
Agustus
2014.
http://www.tempointeraktif.com/medika/arsip
Megawangi, Ratna. 2010. Membangun Karakter Anak Melalui Brain-Based
Parentik. Artikel ilmiah. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
130
Mulyani, Yeni. 2009. “Kesantunan Berbahasa dalam Mengungkapkan
Perintah”. Artikel ilmiah. Yogyakarta: Humanika.
Mustaqim. 2004. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nada, Atmaja I Made. 2010. Etika Hindu. Surabaya: Paramita.
Nurchaili. 2010. “Membentuk Karakter Siswa Melalui Keteladanan Guru.”
Artikel ilmiah. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Humanika
Yogyakarta.
Olweus, D. 2001. Bullying at school: What we know and what we can do.
Cambridge, MA: Blackwell http://books.google.co.id/books diakses 5
Agustus 2014. Pukul 10.23 WITA
Ratna Djuwita. (2007). Bullying: Kekerasan Terselubung di Sekolah.
http://www.anakku.net. Diakses tanggal 10 Oktober 2014.
Suhardana, Komang. 2010. Tat Tvam Asi. Ajaran Kesamaan Martabat
Manusia. Surabaya: Paramita.
131
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN AGAMA HINDU MELALUI
EFEKTIVITAS POLA INTERAKSI DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH
Oleh :
I Ketut Sudarsana
Dosen Pascasarjana IHDN Denpasar
Abstrak
Sekolah sebagai pendidikan formal merupakan lembaga yang memiliki
kewajiban untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi yang
berkarakter luhur. Lembaga pendidikan ini seyogyanya dapat membekali
siswanya dengan berbagai nilai, sikap, serta kemampuan dan keterampilan
dasar yang cukup kuat sebagai landasan untuk menjalani kehidupan yang
sebenarnya di masyarakat. Pribadi yang berkarakter luhur ini dibentuk
melalui pendidikan agama Hindu yang dilaksanakan secara berkelanjutan
di semua jenjang pendidikan. Agar pendidikan agama Hindu ini mampu
mewujudkan tujuan pendidikan nasional yakni mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab, maka peningkatan mutu pendidikan agama Hindu wajib
dilaksanakan, dimana salah satunya dengan meningkatkan efektivitas pola
interaksi dalam pembelajaran di sekolah.
Kata Kunci : Peningkatan Mutu, Pendidikan Agama Hindu, Pola Interaksi
dan Pembelajaran
I. PENDAHULUAN
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal seyogyanya dapat
membekali siswanya dengan berbagai nilai, sikap, serta kemampuan dan
keterampilan dasar yang cukup kuat sebagai landasan untuk
menyelesaikan pendidikan pada jenjang berikutnya. Salah satu
keterampilan dasar yang mutlak harus dimiliki oleh setiap siswa ialah
keterampilan dalam bertingkah laku diantaranya penanaman pendidikan
budi pekerti yang luhur sejak dini. Pendidikan sebagai pondasi pendidikan
nasional memegang peranan yang sangat penting dalam menyiapkan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dalam menghadapi era
globalisasi. Hampir semua ahli pendidikan sepakat bahwa jenjang
pendidikan sekolah sangat penting, karena sebagai peletak dasar
perkembangan kepribadian, sikap, dan perilaku, penanaman nilai etika dan
moral, di samping juga perkembangan fisik, mental, serta wawasannya.
Pendidikan Agama Hindu mengandung beberapa aspek yang sangat
penting diberikan kepada anak didik, terutama dari tingkat dasar, yaitu
kepribadian, sikap, dan perilaku, nilai etika dan moral dimana merupakan
kristalisasi nilai-nilai yang baik dari perilaku seseorang atau manusia.
Semua itu harus secara sengaja ditransformasikan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Pendidikan ini secara formal diajarkan kepada anak
didik di sekolah, juga bisa diajar secara non formal oleh orang tua siswa dan
masyarakat, karena anak lebih banyak berada di rumah dibandingkan di
sekolah.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
132
Proses belajar bagi seorang anak sudah di mulai sejak anak dalam
kandungan, karena anak sudah bisa menerima respon atau bunyi-bunyian
sejak dia masih ada di dalam kandungan si Ibu sampai mereka lahir, besar
dididik oleh orang tua, sampai umur 7 tahun di mana memasuki usia
sekolah, dan sekolah di jenjang pendidikan dasar. Pada saat anak
memasuki jenjang pendidikan formal inilah anak biasanya mulai
berinteraksi dan terjadi atau terbentuk konsep dan sikap secara psikologis
lainnya.
Peranan orang tua dan masyarakat tempat anak berinteraksi pertama
kali akan tetap terbawa. Setelah memasuki jenjang pendidikan formal,
inilah menjadi tugas guru yang sangat penting guna membentuk pribadi
siswa secara baik. Guru, khususnnya guru Agama Hindu boleh dikatakan
sebagai peletak dasar bagi anak dalam pembentukan mentalnya. Seorang
guru dituntut bisa memodifikasi pembelajaran dengan seninya sendiri, agar
anak didik tidak bosan.
Guru Agama Hindu dianggap sebagai orang yang memegang peranan
penting dalam pembentukan sikap mental dan moral anak dengan ajaran
sastra-sastra agama yang diajarkan. Menciptakan kondisi yang
menyenangkan siswa akan belajar dan terus belajar, jika kondisi
pembelajaran dibuat menyenangkan, nyaman, dan jauh dari perilaku yang
menyakitkan perasaan siswa. Dewasa ini era globalisasi dan informasi
sedang merambah ke segala penjuru dunia termasuk Indonesia. Bagi
bangsa Indonesia khususnya banyak manfaat yang diperoleh darinya, tetapi
di sisi lain sekecil apapun tentu akan memiliki dampak negatif, baik
terhadap dunia politik, perekonomian, sosial budaya maupun terhadap
perilaku seseorang. Oleh karena itu, agar kepribadian dan jati diri bangsa
Indonesia tidak terkikis oleh pengaruh luar, salah satu upaya untuk
menangkal dan menanggulanginya, pendidikan agama Hindu khususnya
budi pekerti, etika, moral harus diajarkan kepada semua anak-anak sedini
mungkin sesuai dengan tujuan pendidikan. Pendidikan nasional bertujuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, sehat
berilmu, cakap, terampil, mandiri dan menjadi warga negara demokratis
serta bertanggung jawab (UU No 20 Tahun 2003) prinsip yang terkandung
dari tujuan itu bahwa pendidikan berperanan untuk mengembangkan
potensi manusia agar terbentuk kompetensi pada dirinya, agar cerdas dan
berbudi pekerti luhur.
Dalam hal ini agar terjadi interaksi yang harmonis, maka diperlukan
sikap dan moral yang positif. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan
buruk yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia (Sudharta,
2001:VII). Sikap harus memiliki keyakinan pada diri tanpa dipengaruhi
orang lain.
Pengaruh orang lain merupakan suatu pendidikan yang mengarahkan
siswa atau peserta didik untuk senantiasa dapat memiliki dampak perilaku
yang positif yang berguna bagi dirinya, golongan dan masyarakat. Mengingat
pendidikan agama Hindu sangat penting bagi kehidupan manusia, maka
pendidikan tersebut perlu dikembangkan. Karena adanya perilaku-perilaku
manusia yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Agama Hindu bisa
disebabkan oleh kesalahan sistem pendidikan dan pengajaran pada jalur
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
133
formal yang selalu bersifat teoretis, bukan pada moralitas dan etika secara
praktek yang dapat mengubah perilaku manusia dari sifat keraksasaan
menjadi sifat kedewataan. Kegagalan pendidikan dan pengajaran agama
Hindu bisa dilihat dari perilaku para siswa yang kurang santun berbicara
dengan orang yang lebih tua, dengan guru di sekolah maupun dengan orang
tuanya di rumah.
Hal tersebut di atas semua pada dasarnya bertentangan dengan citra
masyarakat Indonesia yang selama ini dikenal oleh masyarakat
internasional yaitu sebagai masyarakat yang santun dan berbudaya.
Masyarakat yang juga memiliki budaya yang sopan serta memiliki budi
pekerti yang luhur, nilai budi pekerti, nilai kemanusiaan, dan nilai sosial
nampaknya sudah mulai bergeser jauh dari norma umum yang layak dalam
masyarakat. Pendidikan agama Hindu dapat dikembangkan di tiga pusat
pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pengembangan
pendidikan agama Hindu pada satu pusat pendidikan akan menimbulkan
adanya kepincangan dan bahkan memacetkan pengembangan budi pekerti
yang luhur kepada para siswa. Dalam menanamkan semua itu diperlukan
berbagai upaya, upaya yang dimaksud yakni bimbingan, pengajaran, dan
latihan. Semua upaya itu dilaksanakan dengan tujuan agar anak didik sejak
dini memiliki kebiasaan yang baik, sehingga guru maupun orang tua
memegang peranan penting untuk mencapai tujuan pendidikan maupun
tujuan pendidikan Nasional.
Peranan serta guru tidak hanya dalam kegiatan belajar mengajar
(KBM) akan tetapi bagaimana pembentukan sikap, tingkah laku, dalam
bentuk pendidikan budi pekerti, sehingga betul-betul memahami dan
mempraktekan semua perintah dan nasihat guru di sekolah dan orang tua
di lingkungan keluarga.
II. PEMBAHASAN
2.1 Konsep Pendidikan Agama Hindu
Pembahasan mengenai pendidikan agama Hindu, tidak akan bias
dilepaskan dari konsepsi pendidikan secara umum. Menurut Muhibbin
(1999:10) pendidikan dapat diartikan secara etimologis yaitu "Pendidikan
berasal dari kata didik lalu mendapat awalan “me”, sehingga menjadi
mendidik artinya memelihara dan memberi latihan diperlukan ajaranajaran, tuntunan, pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran"
Jadi pendidikan tidak hanya menekankan kecerdasan pikiran atau
intelegensi semata, tetapi lebih dari itu yakni perubahan tingkah laku
melalui pengalaman-pengalaman belajar yang diberikan.
Sedangkan menurut Ngalim Purwanto (1998:11) pendidikan adalah
segala usaha orang dewasa dalam pergaulan anak-anak untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Ngalim
menegaskan pendidikan sebenarnya berlaku dalam pergaulan antara orang
dewasa dan anak. Pergaulan antara orang dewasa tidaklah dapat disebut
pergaulan dalam proses pendidikan, sebab di dalam pergaulan itu orang
dewasa menerima dan bertanggung jawab sendiri terhadap apa yang
terdapat dalam pergaulan itu. Demikian pula halnya dengan pergaulan
antara anak-anak dan anak-anak tidak dapat dikatakan pergaulan dalam
proses pendidikan, walaupun sering terlihat dalam pergaulan antara anak
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
134
tersebut, seorang anak yang menonjol mampu mempengaruhi anak-anak
lainnya akan tetapi kekuasaan yang ada pada akan terhadap temantemannya itu tidak bersifat kekuasaan pendidikan karena kekuasaan itu
tidak tertuju pada suatu tujuan pendidikan secara disadarinya atau tidak
dilakukan dengan sengaja.
Pendidikan sangat memegang peranan penting dalam kehidupan serta
dapat menjamin perkembangan dan kelangsungan suatu bangsa.
Pendidikan adalah usaha yang sengaja diadakan baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk membantu anak yang dalam
perkembangannya mencapai kedewasaan, proses pendidikan bersifat
formal, informal dan non formal. Dalam kaitannya dengan Pendidikan
Agama Hindu, Punyatmaja, (1994:12) menegaskan bahwa pendidikan
agama Hindu memberikan tuntunan dalam menempuh kehidupan dan
mendidik masyarakat, bagaimana hendaknya berpendirian, berbuat atau
bertingkah laku supaya tidak bertentangan dengan dharma, budi pekerti,
etika dan agama. Agama dapat menyempurnakan manusia dalam
meningkatkan hidup baik secara material maupun spiritual.
Pendidikan agama Hindu merupakan kaidah-kaidah atau normanorma yang menuntun manusia untuk selalu berbuat baik demi
tercapainya hidup rukun secara damai dan membentuk manusia yang
mulai serta selalu astiti bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan
penuh pengabdian dan pengorbanan yang sesuai dengan ajaran agama
Hindu. Pendidikan agama Hindu merupakan suatu ajaran mengenai
pendidikan moral yang dibimbing menurut petunjuk ajaran agama
berfungsi sebagai faktor pengamatan yang akan menjadi keselamatan
seseorang. Jadi pendidikan agama itu tidak lain dari pada bimbingan atau
tuntunan yang diberikan pada seseorang untuk menunjukkan
perkembangan budi pekerti dalam menanamkan rasa cinta kepada ajaran
agama dan mau berbuat sesuai dengan ajaran agama.
Materi ajaran Agama Hindu adalah bersumber dari Weda. Apa yang
dicantumkan sesuai dengan kutipan sloka dari Sarasamuçcaya 40 yang
berbunyi sebagai berikut :
Kunang kangêtakena, sāsing kājar de Sang Hyang çruti dharma
ngaranika, ācāranika sang ista, dharma ra ngaranika, çista ngaran
Sang Hyang satyawādī, sāng āpta, sang patirthan, sang panadahan
upadeça sang kşepa ika katiga, dharma ngaranira
Terjemahannya:
Adapun yang patut diingat-ingat semua apa yang diajarkan oleh sruti
disebut dharma, semua itu diajarkan srutipun dharma namanya,
yang disebut cista adalah berkata-kata benar orang yang dipercaya,
orang yang menjadi tempat ajaran kerohanian singkatnya ketiga itu
dharmanya (Kadjeng, 2003:22).
Berdasarkan kutipan sloka di atas, maka dapatlah dilihat materi
pokok dari ajaran agama Hindu, sehingga dapatlah dikatakan bahwa
pendidikan agama Hindu merupakan suatu upaya untuk membina
pertumbuhan dan perkembangan jiwa. sesuai dengan ajaran-ajaran agama
Hindu.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
135
2.2 Efektivitas Pola Interaksi dalam Pembelajaran Pendidikan Agama
Hindu di Sekolah
Pola yang diterapkan dalam interaksi belajar mengajar merupakan
salah satu upaya mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan tidak
akan tercapai bila interaksi belajar mengajar tak pernah berlangsung dalam
pendidikan. Guru dan siswa merupakan dua unsur penting yang terlibat
langsung dalam pendidikan. Interaksi yang dilakukan bagi guru sedapat
mungkin menggunakan pola-pola yang bervariasi.
2.2.1 Pola Guru-Anak Didik
Pola ini disebut komunikasi sebagai aksi (satu arah). Komunikasi
sebagai aksi atau komunikasi sebagai arah menempatkan guru sebagai aksi
dan menempatkan anak didik sebagai penerima aksi. Guru aktif dan anak
didik pasif. Dalam pola seperti ini guru menggunakan satu metode yaitu
metode ceramah. Metode ceramah adalah suatu metode di dalam
pendidikan dan pengajaran dimana cara penyampaian pengertianpengertian materi pelajaran kepada anak didik dilaksanakan dengan lisan
oleh guru di dalam kelas. Peranan guru atau murid berbeda secara jelas,
yaitu guru terutama dalam menuturkan dan menerangkan secara aktif,
sedangkan murid atau siswa mendengarkan dan mengikuti secara cermat
serta membuat catatan tentang pokok persoalan yang di terangkan oleh
guru.
Guru dalam menjelaskan materi pelajaran harus melihat atau
memahami sub pokok bahasan yang akan dijelaskan. Dengan demikian
metode yang digunakan juga tepat, sehingga hasil belajar dapat tercapai.
Dalam proses penjelasan materi ini sudah tentu akan terdapat suatu
interaksi atau komunikasi yang terjalin antara guru dan siswa sebab tanpa
adanya suatu interaksi atau komunikasi yang baik maka keberhasilan
belajar akan sulit untuk dicapai. Metode ceramah dapat dilakukan oleh
guru menurut Yamin, (2007:140):
a. Untuk memberikan pengarahan, petunjuk diawal pembelajaran.
b. Waktu terbatas, sedangkat meteri atau informasi banyak yang
akan disampaikan
c. Lembaga pendidikan sedikit memiliki staf pengajar, sedangkan
jumlah siswa banyak.
Keterbatasan metode ceramah sebagai berikut :
a. Keberhasilan siswa tidak terukur
b. Perhatian dan motifasi siswa sulit diukur
c. Peran serta siswa dalam pelajaran rendah
d. Materi kurang terfokus
e. Pembicaraan sering terlantur.
2.2.2 Pola Guru-Anak Didik-Anak Didik-Guru
Dalam pola ini adanya suatu balikan (feed back) bagi guru, tidak ada
interaksi antar siswa (komunikasi sebagai interaksi). Komunikasi sebagai
interaksi atau komunikasi dua arah, guru berperan sebagai pemberi aksi
atau penerima aksi dan sebaliknya anak didik bisa sebagi penerima aksi
atau pemberi aksi. Dalam interaksi ini seorang guru menggunakan metode
ceramah dan tanya jawab.
Metode tanya jawab adalah suatu metode di dalam pendidikan dan
pengajaran guru bertanya sedangkan para siswa menjawab tentang bahan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
136
meteri yang inguin diproleh. Atau sebaliknya siswa mengajukan pertanyaan
kepada guru dari penjelasan materi yang belum dimengerti oleh siswa dan
guru memberikan ulasan atau penjelasan sebagai jawaban pertanyaan tadi.
Metode tanya jawab dapat dinilai sebagai metode yang tepat menurut
Yamin, (142-143), apabila pelaksanaannya ditujuankan untuk:
a. Meninjau ulang pelajaran atua ceramah yang lalu, agar siswa
memusatkan lagi perhatian pada jenis dan jumlah kemajuan yang
telah ducapai sehingga dia dapat melanjutkan pelajaran.
b. Menyelingi pembicaraan agar tetap mendapatkan perhatian siswa,
atau dengan pendekatan lain untuk mengikuti sertakan mereka.
c. Mengarahkan pengamatan dan pemikiran mereka.
Metode tanya jawab tidak wajar digunakan untuk :
a. Menilai kemajuan peserta didik.
b. Mencari jawaban dari siswa, tetapi membatasi jawaban yang dapat
diterima
c. memberi giliran pada siswa tertentu
Kebaikan metode tanya jawab adalah :
a. Tanya jawab dapat memperoleh sambutan yang lebih aktif bila
dibandingkan dengan metode ceramah yang bersifat menolong
b. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan
pendapat sehingga nampak mana, yang belum jelas autau belum
dimengerti.
c. Mengetahui perbedaan-perbedaan pendapat yang ada, yang dapat
dibawa ke arah suatu diskusi..
Kelemahan
dari
metode
tanya
jawab
bisa
menimbulkan
penyimpangan dan pokok persoalan. Lebih-lebih jika kelompok siswa
memberi jawaban atau mengajukan yang dapat menimbulkan masalah baru
dan menyimpang dari pokok persoalan.
2.2.3 Pola Guru-Anak Didik- Anak Didik
Dalam pola ini adalah kebalikan bagi guru, anak didik saling belajar
satu sama lain. Komunikasi tidak hanya terjadi antara guru dan anak didik.
Anak didik dituntut lebih aktif dari pada guru, serta guru dapat berfungsi
sebagai sumber belajar bagi anak didik. Dalam hal ini guru menggunakan
metode diskusi.
Metode diskusi adalah suatu kegiatam kelompok dalam memecahkan
masalah untuk mengambil kesimpulan. Menurut Moh. Yamin (2007:144)
menyatakan metode diskusi menyatakan interaksi antar siswa atau siswa
dengan guru untuk menganalisis, memecahkan masalah, menggali atau
memperdebatkan topic atau permasalahan tertentu. Diskusi selalu
diarahkan pada pemecahan masalah yang menimbulkan berbagai macam
pendapat dan akhirnya diambil suatu kesimpulan yang dapat diterma oleh
anggota kelompoknya. Jadi guru disini sebagai pemberi ide dan gagasan
permasalahan (bahan diskusi) sedangkan siswa sebagai pencari jalan keluar
dari bahan diskusi tersebut. Menurut Yamin, (2007:144-146) Metode
diskusi ini digunakan apabila:
a. Menyediakan bahan, topic, atau masalah yang akan didiskusikan,
b. Menyebutkan bahan-bahan yang akan dibahas atau memberikan
studi khusus kepada siswa sebelum menyelenggarakan diskusi.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
137
c. Menugaskan siswa untuk menjelaskan, menganalisis, dan
meringkas.
d. Membingbing diskusi tidak memberi ceranah
e. Sabar terhadap kelompok yang lamban mendiskusikan.
f. Waspada terhadap kelompok yang kebingbangan atau berjalan
dengan tidak menentut.
g. Melatih siswa dalam menghargai pendapat orang lain.
Metode diskusi ini tepat digunakan apabila :
a. Siswa berada di tahap menengah atau tahap akhir proses belajar.
b. Pelajaran pormal atau magang.
c. Perluasan pengetahuan yang dikuasai siswa
d. Belajar mengidenfikasi dan memecahkan masalah serta mengambil
keputusan
e. Membiasakan siswa dihadapkan dengan berbagai pendekatan,
interprestasi, dan berbagai kepribadian.
f. Menghadapi masalah secara berkelompok
g. Membiasakan siswa untuk beragumentasi dan berfikir rasional.
Metode diskusi memiliki keterbatasan sebagai berikut :
a. Menyita waktu lama dan julah siswa sedikit
b. Mempersyaratkan siswa mempunyai latar belakang yang cukup
tentang topic atau pun masalah yang didiskusikan.
c. Metode ini tidak tepat digunakan pada tahap awal proses belajar
bila siswa baru dikenalkan kepada bahan pelajaran yang baru
d. Apatis bagi siswa yang tidak biasa bicara dalam pormal.
2.2.4 Pola Guru-Anak Didik, Anak Didik-Guru, Anak Didik-Anak Didik
Dalam pola ini interaksi optimal antar guru dan anak didik dan antar
anak didik dengan anak didik. Setiap anak didik dalam pola ini
mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya terhadap
masalah yang disampaikan oleh guru, begitu juga antara anak didik dengan
anak didik yang lainya. Dalam interaksi seperti ini guru menggunakan
metode campuran atau metode gabungan, yaitu antara metode ceramah,
tanya jawab, dan diskusi.
Interaksi menggunkan metode campuran atau metode gabungan bagi
siswa ternyata menunjukan hasil yang baik. Hal ini dapat dilihat dari
diskusi kelompok, baik penilaian mengenai afektif, kognetif, maupun
psikomotornya, menunjukan bahwa para siswa dalam proses belajar
mengajar lebih aktif dalam mengembangkan cara belajarnya. Melalui
metode ini para siswa ditutut lebih mandiri, sedangkan guru berperan
sebagai pembingbing dalam kegiatan pembelajaran. Metode campuran atau
metode gabungan dapat dilakukan oleh guru :
a. Untuk memberikan gambaran, petunjuk diawal pembelajaran.
b. Meninjau ulang pelajran ceramah yang lalu, agar siswa
memusatkan lagi perhatian pada jenis dan jumlah kemajuan yang
telah dicapai sehingga mereka dapat melanjutkan pelajaannya.
c. Menyediakan bahan, topic atau masalah yang akan didiskusikan
d. Melatih siswa dalam menghargai pendapat orang lain.
Keterbatasan metode campuran atau metode gabungan sebagai
berikut :
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
138
a.
b.
c.
d.
e.
Keberhasilan siswa tidak terukur.
Perhatian dan motivasi siswa sulit diukur
Peran serta siswa dalam pelajaran rendah
Menyita waktu lama dan jumlah siswa sedikit
Metode diskusi tidak tepat pada tahap awal proses belajar bila
siswa baru diperkenalkan pada bahan pelajaran baru.
Kebaikan metode campuran atau metode gabungan yaitu :
a. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan
pendapat sehingga nampak nama yang belum jelas atau
dimengerti.
b. Mengetahui perbedaan-perbedaan pendapat yang ada, yang dapat
dibawa kearah suatu diskusi.
Penjelasan tersebut untuk mempermudah pengertian mengenai
metode gabungan ini dapat dilihat dari interaksi guru dan siswa, dan siswa
dengan siswa.
Penerapan pembelajaran Agama Hindu di Sekolah jika dilihat dari
sudut pandang teori kontruktivistik tampaknya perlu dikembangkan lebih
mendalam tujuannya agar penerapan pendidikan Agama Hindu sejak dini
dapat memberikan pengetahuan bermakna kepada setiap peserta didik.
Pengetahuan bermakna yang muncul sebagai akibat dari proses belajar
perlu ditanamkan kepada
peserta didik
agar anak tersebut berada
disekolah. Hal itu disebabkan oleh pemilihan model pembelajaran yang
tepat memungkinkan untuk tumbuhnya sikap kritis, dan kreatif, inovatif
dan dinamis pada peserta didik dengan menerapkan model pembiasaan
yakni pemahaman proses pembelajaran dengan menyeimbangkan aspek
pengetahuan dan aspek sikap keberagamaan peserta didik secara nyata.
Guru dalam belajar kontruktivistik berperan sebagai seorang yang
berperan memberdayakan seluruh potensi siswa agar siswa mampu
melaksanakan proses pembelajaran dan berusaha memberdayakan seluruh
potensi dan sarana
yang dapat membantu siswa untuk membentuk
pengetahuan sendiri. Pendidikan Agama Hindu yang diselenggarakan di
sekolah, diharapkan mampu menumbuhkan pengetahuan bermakna dalam
proses pembelajaran yakni belajar yang dilakukan berdasarkan pengalaman
langsung yang dilakukan oleh peserta didik.
III KESIMPULAN
Peningkatan mutu pendidikan Agama Hindu tidak lepas dari peranan
guru yang profesional pula, Sebab itu, menghargai dan sekaligus
memberdayakan guru Agama Hindu dalam konteks reformasi pendidikan
adalah wajib hukumnya. Sebab profesional guru Agama Hindu merupakan
hal paling utama bagi keberhasilan suatu sistem pendidikan. Menghargai
dan memberdayakan guru agama Hindu harus sesuai dengan prestasi yang
dicapainya. Pola interaksi dalam pembelajaran pendidikan Agama Hindu di
sekolah merupakan salah satu upaya mencapai tujuan pendidikan. Pola
yang dapat diterapkan adalah: pola guru-anak didik (interaksi satu arah).
pola guru- anak didik, anak didik- guru (feed back). pola guru-anak didikanak didik (anak didik saling belajar satu sama lain).
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
139
DAFTAR PUSTAKA
Kadjeng, I N. (2003). Sārasamuccaya, Surabaya: Paramita
Muhibbin, S. (1999). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ngalim Purwanto (1998). Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Punyatmaja, I. B. O. (1994). Cilakrama. Denpasar: Upada sastra
Sudharta, T. R. (2001). Ajaran Moral Dalam Bhagawadgita. Surabaya:
Paramitha
Yamin, M. (2007). Profesionalisasi Guru & Implementasi KTSP. Jakarta:
Gaung Persada Press.
140
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
REVITALISASI PENDIDIKAN REMAJA HINDU DARI KUTUB ENTROPI
(TRSNA) MENUJU NEGENTROPI (LANGÖ)
Oleh
I Putu Suweka Oka Sugiharta
I.
Pendahuluan
Perkembangan pendidikan kehinduan di Indonesia mengalami
ketersendatan selama beberapa dekade sehingga sangat sulit dilacak metode
pengajaran yang dipergunakan pada masa lampau. Banyak situs pertapaan
yang diperkirakan bercorak kehinduan ditemukan pada beberapa tempat
namun sayangnya sangat sulit dirunut jejak-jejak keluhurannya. Para
arkeolog maupun ahli-ahli yang berkaitan dengan bidang ini telah berupaya
mengemukakan banyak argumen, namun terlihat hanya sebagai lemparan
spekulasi mentah yang tidak bisa dipastikan validitasnya. Prof. Dr. I Made
Titib, Ph.D dalam salah satu makalahnya malah membuat semacam saran
agar diadakan penelitian mengenai sistem pendidikan Hindu kuno. Bahkan
beliau menyebutkan bila belum ada satupun penelitian yang mengkaji
mengenai pola pendidikan yang berlaku dalam katyagan atau situs
pertapaan. Beruntung seorang arkeolog Universitas Udayana Ni Ketut Puji
Astiti Laksmi sedang menyusun disertasi tentang bentuk dan pola interaksi
yang terjadi dalam situs-situs pertapaan kuno dari perspektif epigrafis yang
hasilnya tentu sangat dinantikan oleh para praktisi dan pemerhati
pendidikan Hindu. Memang harus diakui bila di Bali terdapat beberapa
parampara yang menyebut keberadaannya sebagai penjaga warisan pola
pembelajaran Hindu Kuno namun sumber-sumber epigrafis yang dimiliki
belum dapat menghilangkan missink link yang terjadi dalam pelacakan sisasisa pola pendidikan Hindu Kuno bahkan diantaranya hanya mempercayai
semacam mitologi yang dilisankan sesepuhnya.
II.
Pembahasan
Penyair Kālidāsa dalam karyanya Raghuvaṁsa yang diperkirakan
ditulis pada abad VII Masehi pada sloka 6.57 menceritakan kehadiran Raja
Hemangada dari negeri Kalingga yang dipastikan terletak di Jawa pada
Acara pemilihan suami untuk putri Indumati. Dapatlah diduga bila
pendidikan Hindu (Veda) ala India sangat mempengaruhi pola pendidikan di
Indonesia, bahkan tidak menutup kemungkian terjadi kerjasama diantara
keduanya. Kendatipun ada kemiripan namun tidaklah secara serampangan
dapat diasamakan antara katyagan-katyagan yang ada di Nusantara dengan
Veda Sakha di India. Beberapa ahli menduga kekaburan terjadi manakala
Majapahit runtuh sistem pendidikan Hindu beralih dijiwai oleh ajaran Islam
menjadi Pesantren pertama di Pulau Jawa yang diperkirakan berada di
daerah Ponorogo. Semenjak itulah eksistensi pendidikan generasi-generasi
muda Hindu dipertaruhkan yang kemudian menjadi jauh berbeda dengan
nasib yang dialami generasi-generasi muda dari agama lain.
Lombard, (2000:116) menulis :
Semenjak tahun 1900 pemuda-pemuda yang diperkenankan kuliah
pada universitas-universitas di Negeri Belanda bertambah, hal ini
merupakan kabar gembira bagi bangsa Indonesia karena pemudaPROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
141
pemuda inilah yang selanjutnya mendirikan Indische Vereniging
(perhimpunan Indonesia) tahun 1908 dan perhimpunan Indonesia
(1922). Pemuda-pemuda yang semenjak usia dini dididik dengan cara
yang benar semenjak di kampong halamannya, meskipun kemudian
belajar di tanah air penjajah tetap memiliki moralitas yang
mengagumkan yakni loyalitas kepada Negaranya walaupun pada
masa itu secara formal belum berdiri suatu negara. Akibat lain dari
lama berada di universitas-universitas Belanda adalah para Priyayi
muda Jawa menjadi dekat dengan sesama mahasiswa dari daerahdaerah Nusantara lainnya, terutama mahasiswa-mahasiswa dari
Tanah Minangkabau yang beberapa diantaranya kelak menjadi
Mashyur seperti Agus Salim dan Mohammad Hatta
Sialnya kabar gembira yang disebutkan Lombard kurang berlaku bagi
pemuda-pemuda Hindu terutama yang berdiam di Bali karena sangat sulit
untuk memperoleh akses pendidikan yang mempengaruhi pula tingkat
keterdidikannya yang harus diakui diwarisi hingga kini. Memang lembagalembaga pendidikan non formal lokal masih bisa memberikan pendidikan
keagamaan, namun dimonopoli oleh satu golongan dan golongan lain
seakan sengaja dibodohkan. Fenomena itu terlihat dari pelaksanaan ritual
keagamaan seperti yang ditulis Clifford Geertz. Greetz menggambarkan
kerajaan-kerajaan di Bali pada abad ke-19 sebagai “Negara Teater” karena
ritual yang ditekankan oleh penguasa (raja) dengan mengerahkan masa
dapat dikatakan sebagai bangunan negara. Jadi, Upacara besar-besaran
dan ritual missal menjadi simbolisasi negara. Menurut Geertz, negara teater
merupakan kedudukan raja dan pangeran adalah impresario, pendeta
adalah sutradara, dan petani adalah pemeran pembantu, awak panggung,
dan penonton. (Trisila, dkk, 2012:47-48).
Akibat keterbelakangan dalam bidang pendidikan banyak remaja
Hindu yang melanggar ajaran Catur Asrama. Aernoudt Lintgenzoon dalam
catatan perjalanannya yang diterbitkan pada pertengahan abad XIX
menuliskan bahwa ketika Raja Bali menanyakan usianya dan
rombongannya, Lintgenzoon menjelaskan antara 20 hingga 30 tahun. Raja
kembali bertanya apakah anggota rombongan telah berkeluarga,
Lintgenzoon menambahkan penjelasannya bila anggota rombongan belum
berkeluarga karena aturan negara yang melarang pernikahan di bawah 26
tahun. Penjelasan Lintgenzoon membuat raja kagum dan menceritakan jika
di Pulau Baelle (Bali) pria boleh menikah pada usia 12 tahun serta 9 tahun
bagi wanita.
Mengingat pahitnya sejarah pendidikan Hindu setelah keruntuhan
majapahit maka hendaknya revitalisasi pendidikan Hindu harus dijiwai oleh
keindahan. Hindu dikenal sebagai agama yang fleksibel, namun
kefleksibelam itu harus dijiwai oleh spirit keindahan agar tidak berujung
pada friksi. Keindahan dalam karya sastra berbahasa Jawa kuno seringkali
diwakili oleh kata langö atau kalangwan. Seorang pujangga yang identik
dengan tingginya kualifkasi kesuciannya dalam mahbahang sang hyang
sastra (menjabarkan keutamaan sastra) juga dikenal sebagai sang angdon
langö, sang alanglang kalangwan (pencari, penjelajah keindahan).
Keindahan (langö) lazimnya diidentikkan dengan cinta seperti yang tersurat
dalam Lontar Kidung Gambang Gita Gegrantangan :
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
142
Rakryan sang sāksat hajöng tānuriden kawi bhranti rāga kinumwang
ing masa kartika mangun hyun-hyun bhramitāmangö raśmi ning
asangwa lèpihan lamlami atingkah hayon tānūsukṣma ring sakalangon
pamiśra ning imāsmu riris lwir wenin tāmangun arṣa hriti mar maran ta
nūkṣmeng rum rum ning patèr aktèr i dukliyan matra lon bangun larap
ning taṭit angdapin imālimunan liringangde arsa
Terjemahan :
Duhai Juwitaku, kau bagaikan dewi keindahan yang memikat para
penyair hingga mabuk asmara. Kau disamut dan dipuja dalam
keindahan bulan kapat. Kau membangkikan kegelisahan hati para
pujangga unuk menggubah keindahan. Dengan berbekal alat tulis,
sang pujangga hanyut dalam ibadat keindahan, menyatu dalam
segala keindahan, bersatu dengan kabut dan hujan gerimis. Rambut
kepangmu membangkitkan nafsu asmara, bagaikan mengajak kita
saling berdekatan, menyusup ke dalam keindahan Guntur yang
bergemuruh di ufuk barat. Suaranya terdengar sayup-sayup
membangunkan pijakan petir, berkedip menjilat kabut. Lirikan
matamu membangkitkan nafsu asmara (Rai, 2011:47).
Dalam Kakawin Rāmāyaṇa juga dinyatakan perpaduan antara
Asrama yang indah, kerinduan kepada kekasih, dan kesenangan lainnya
namun semuanya bermuara pada keseimbangan antara kesenangan dan
ketidaksenangan (parama sukha) :
sakwehniṅ osadhi anuṅ tinanĕm mahārsi
māri n nanā saphala dibya parĕṅ ya mawwah
poh ambawaṅ wawaṅ atöb ya kabeh umĕṇḍuh
lwirnyān katon kadi sumĕmbahakĕn phalanya
(Kakawin Rāmāyaṇa II.28)
Terjemahan :
Segala obat-obatan yang ditanam (oleh) mahārṣi, tak lagi rusak, dengan
buah, mulia sama-sama berbuah. Mangga, bacang, sekonyong-konyong
bagus tumbuhnya, semua berbuah banyak. Supanya (jika) dilihat, seperti
mempersembahkan buahnya (Poerbatjaraka, 2010:79-80)
Wiku paṅḍita Vedapāraga Umahas māmĕṅ riṅ āçrama
(Kakawin Rāmāyaṇa IV.19)
Terjemahan :
Wiku pendeta ahli Veda, kian kemari menghubur-hubur di āçrama
(Poerbatjaraka, 2010:158)
Patapan ri samīpaniṅ gunuṅ
(Kakawin Rāmāyaṇa IV.22)
Terjemahan :
Pertapaan di samping bukit (Poerbatjaraka, 2010:159)
Aneka panamuy mahārsi mĕtu saṅka riṅ yoga ya
Amogha manurun manojña kayu pārijātād bhuta
Asiṅ sakaharĕp samenaka pawehniraṅ paṇḍita
Aho saphalaniṅ tapātiçaya sarwakāmaprada
(Kakawin Rāmāyaṇa III.38)
Terjemahan :
Berwarna-warna penjamu mahārsi, yang keluar dari keramat. Tiba-tiba
turun pohon Pārijāta (yang) indah (dan) ajaib. Segala apa kehendak, samaPROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
143
sama enak, ialah pemberian sang pendeta. Aduh! Manfaatnya tapa, sangat
memberi kesenangan (Poerbatjaraka, 2010:124-125)
Salawasnira r-uṅgu riṅ alas
Tamatan len inaṅĕnn-aṅĕnnira
Suka-duhkaniraṅ mahāmuni
Ya cinittā winiweka riṅ hati
(Kakawin Rāmāyaṇa IV.23)
Terjemahan :
Selama beliau (Rāma) bertempat di hutan, tidak ada lain (yang) dianganangannya, (lain dari pada) senang (dan) susah sang mahāmuni, (tak perduli
dengan kesusahan sendiri). Itulah (yang) diperhatikan, diselidiki di dalam
hati. (Poerbatjaraka, 2010:159)
Nya kunĕṅ kathā carita pūrwakāla ya
Irikaṅ purāṇa aji parwa kāṇḍa len
Mapasah gĕlāna rasa mātya tambayan
Wĕkasan mapaṅguh adulur lawan sĕnĕṅ
(Kakawin Rāmāyaṇa VIII. 380)
Terjemahan :
Inilah gerangan hikayat, cerita zaman dulu. Di dalam kitab, parimbon,
babad dan lakon, (diceritakan) (seorang yang) berpisah, gulana, seperti
hendak mati rasanya pada permulaannya, (tetapi) akhirnya bertemu (pula)
kumpul dengan kasihnya (Poerbatjaraka, 2010:380)
Nya ta ya ṅ paṅann inum anekawarṇa ya
Kadi tāmaṅan wiṣa pasuknya riṅ gulū
ikanaṅ kulĕm kĕlu rikaṅ palaṅka len
kadi paṅjarekana diḍĕpkw alah makuṅ
(Kakawin Rāmāyaṇa VIII.153)
Terjemahan :
Itulah barang makanan dan minuman beranekawarna, tetapi masuknya
dalam leher sebagai orang makan racun lah. Dan pada waktu malam tidur
di peraduan, tetapi rasaku sebagai di penjara, sangat sedih (Poerbatjaraka,
2010: 381)
Baribin manahku mulatin sĕkar marūm
Suka tāpuluṅ jĕnu sugandha utkaṭa
Paḍa maṇlareki sahananya nirguna
Magawe prapaṅca ya maweh unĕṅ magöṅ
(Kakawin Rāmāyaṇa VIII. 154)
Terjemahan :
Tertanggu hatiku melihat bunga harum. (Memangnya) senang lah berlumur
boreh yang semerbak enak baunya. (tetapi) semua itu membuat sedih, tak
ada gunanya, menimbulkan gelisah, memberi rindu besar (Poerbatjaraka,
2010:382)
Nya ta len mawoh unĕṅ atīta maṅlare
Wiṇarāwahasta maṇuyūyu riṅ kulĕm
kiniduṅnya taṅ priyawiyoga suswara
Rumarap ta luhku rumĕṅö ya kāsrĕpan
(Kakawin Rāmāyaṇa VIII.167 )
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
144
Terjemahan :
Itulah yang pula yang memberi rindu sangat menyakiti (hati), swara kecapi
yang menguju-uju pada malam hari, yang dinyanyikan ialah perpisahan
kasih dengan suara merdu. Bertitik lah air mataku mendengarnya, terharu
(Poerbatjaraka, 2010:385)
Umirir tikāṅ aṅin atīs mawor hrĕbuk
Mapanas hiḍĕpku riya mimbuhīṅ unĕṅ
Kumĕlab hatiṅku rumĕṅö gĕrĕh malon
Tumibāṅ hudan kadi ya medi lot huwuṅ
(Kakawin Rāmāyaṇa VIII.170)
Terjemahan :
Meniup anginnya dingin bercampur dengan tepung sari, (tetapi) panas
rasaku terhadapnya, menambahi rindu. Terkejut kalbuku mendengar guruh
perlahan. Hujannya jatuh sebagai menggoda, selalu riuh (Poerbatjaraka,
2010:386)
ya tika dumeh kitāmriha mabuddhya ya laṇḍepana
Wiṣaya ta tāryakĕn martan agoṅ ta hayunta lanā
Atiçaya cañcalekanaṅ inak kṣaṇamātra hilaṅ
Ya ta kĕmitĕn prihĕnta gawayĕn taṅ upāya huwus
(Kakawin Rāmāyaṇa V.12)
Terjemahan :
Itulah makanya kamu harus berusaha, harus membudi, harus menajami
(pikiran). Tinggal(kan) lah kesenangan, supaya selalu besar keselamatanmu.
Sangat tak teguh (lah) kebahagiaan itu, sebentar saja (bisa) hilang. Itulah
(sebabnya kebahagiaan itu) harus dijaga, diusahakan, kerjakanlah, lekas
(Poerbatjaraka, 2010:186).
Sasaran pendidikan Hindu adalah generasi-generasi muda yang lekat
dengan fase percintaan. Keadaan alamiah yang terjadi akibat dorongan
hormon-hormon seksual tidak boleh dieliminasi secara ketat dengan
kenaifan. Ambivalensi antara keinginan untuk menyalurkan dorongandorongan seksual dengan keharusan untuk mentaati aturan-aturan yang
berlaku pra pernikahan menyebabkan kebimbangan dalam diri remaja.
Seperti sebuah kasus yang dicontohkan Sarwono (2013:172) :
Sepasang remaja, Lela Suhala (13) dan Indra Gunawan (17) yang
tengah dimabuk asmara mengakhiri hidup mereka dengan
merebahkan diri dan berpelukan di atas rel saat kereta rel listrik
melaju cepat dari Jakarta menuju Bogor, kamis malam hingga
keduanya tewas seketika.
“Selamat Tinggal Mah, jangan menangis yah1” tulis Indra pada
sepucuk surat yang ditinggalkan dalam saku kemeja untuk ibunya. Ia
juga menulis, perbuatan nekadnya itu terpaksa dilakukan sematamata untuk menutupi aib orang tuanya karena ia bersama pacarnya
telah berbuat yang mestinya belum waktunya mereka lakukan.
Sepasang kekasih dalam contoh kasus tersebut dipastikan tidak bisa
memilih antara keinginan untuk selalu bersama kekasihnya beserta
dorongan untuk menyerahkan diri secara utuh dengan dorongan untuk
menuruti ajaran agama. Keduanya dianggap berharga, baik cinta kepada
pasangannya maupun cinta kepada ajaran agamanya. Bila tidak menjalin
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
145
cinta yang belum saatnya merasa bersalah kepada sang kekasih, jika
dilakukan merasa berdosa kepada Tuhan dan keluarganya. Manakala ada
salah satu yang telah dicederai maka merasa tidak ada lagi rasa aman
dalam hidupnya. Tantangan pendidikan Hindu adalah berusaha sekuat
tenaga menyeimbangkan rasa cinta material dengan keindahan universal
bahkan spiritual. Kesalahan memposisikan langö dalam ikatan nafsu dan
materi menimbulkan bentukan baru berupa tresna seperti yang dinyatakan
dalam Sārasamuccaya 449 :
Apan kami mangke, tonenta nirun kami, kinawaṣakĕning trsnā,
inahasakĕn winawanya ring kadohan kami, parĕk nikang bhoga katon
manginginingin ri kami sarisāri tātan hana pahi mami lawan ikang
wedus, ininginingin ri dukut sāgĕm tumūt ta ya manggāngalor angidul
Terjemahan :
Hendaklah anda memperhatikan hamba selaku contoh; hamba
dikuasai oleh tresna, disiksa, dibawanya hamba dikejauhan,
kemudian didekatkan kepada makanan yang sekedar dapat dilihat,
sehingga menimbulkan keinginan yang tidak henti-hentinya, keadaan
hamba ini tidak ada bedanya dengan seekor kambing, yang
diusahakan agar ingin akan rumput segenggam, yang menyebabkan
ia mau menurut ke utara dan ke selatan (Kadjeng, 1997:349-350)
Dalam Kitab Natyaśāstra dinyatakan 9 macam rasa yakni :
a. Sṛnghara, yaitu rasa cinta
b. Hasya, yaitu rasa bangga
c. Karuna yaitu rasa sedih
d. Raudra yaitu rasa marah
e. Wira yaitu rasa bertenaga
f. Bhayanaka yaitu rasa bahaya
g. Bhibatsa yaitu rasa menjijikan
h. Adbhuta yaitu rasa terperanjat
i. Santa yaitu puncak dari rasa kebebasan (Yudabakti dan Watra,
2007:22-23)
Rasa cinta (Sṛnghara) merupakan salah satu rasa yang perlu diolah
untuk mencapai santa rasa sebagai puncak langö. Sejalan dengan
perkembangan jasmani dan rohani para remaja, maka agama para remaja
berkaitan dengan perkembangan itu. Dalam Tutur Rare Angon dijelaskan
tentang perkembangan aspek keagamaan pada remaja sebagai masa
peralihan dari masa kanak-kanak :
Ri sampune aketus untu ikang rare, citaning rare kahanan budi satwa
rajah tamah, yogya uruk mangaji, mwah yogya matepong karma,
manurut gama Siwa Buda, mangkana katatwanya, lingning ji Tatwa
Iswara Paridana Ri sampuning tutuging daha, kahanan brahmatya,
hana pangupakaranya, tegesipun pamarisudan kaletuhan sang
kahanan kabrahmatya, ling Aji Tatwa Anggastya. Ri sampun mayusa
16 tahun, hana upakaranya, nga. Matatah, amotong untu, tegesipun
ninggalang malaning untu, malaning carma, malaning rambut, mwah i
nyama Catur
sanak, kinenan palukatan, kaping rwaning
pangupakara, amuja smara ratih, anamtami kayowanan, mangkana
katatwanya, lingning Aji Tatwa Jarayutantra
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
146
Terjemahan :
Setelah bocah itu tanggal gigi susunya (maketus Bhs.Bali), pribadi
bocah itu sudah kemasukan : satwa (kejujuran), rajah (kegelapan) dan
tamah (kelobaan). Sudah sepatutnya memulai belajar ilmu
pengetahuan, juga bertusuk telinga, sesuai dengan ajaran Siwa
Budha, demikian uraiannya, sesuai dengan isi Tatwa Aji Iswara
Paridana. Setelah akil balik, sudah kemasukan jiwa pancaroba
(brahmatya), ada sejenis upakara/ Upacaranya, yang berarti atau
bermakna pembersihan atau ruwatan terhadap kecemaran akibat
mengalami brahmatya (panca roba) tersebut. Demikian menurut isi
dari Aji Tatwa Anggastya. Setelah berusia 16 tahun, ada sejenis
upakara berupa Upacara yang disebut dengan: matatah, lazim disebut
dengan: Upacara Potong Gigi, yang bermakna membuang kekotoran
serta kecemaran pada gigi, kekotoran serta kecemaran pada rambut.
Demikian pula Sang Catur Sanak (saudara kita berempat), diberi
ruwatan, selanjutnya upakara/ Upacaranya dengan memuja Sang
Hyang Semara dan Sang Hyang Ratih, untuk membenahi usia muda
(kayowanan). Demikian filsafatnya, sesuai dengan isi dari : Aji Tatwa
Jarayutantra (Gautama, 2008:24-26)
Dengan Landasan Langö Lembaga pendidikan Hindu dapat memenuhi
hasrat generasi-generasi muda untuk mengecap keindahan secara holistik.
Perlu pula disadarkan bila keinginan menikmati asmara hanya boleh
dilakukan untuk melaksanakan salah satu Dharma sebagai manusia yakni
Vivaha samskara. Umumnya latihan mengendalikan hasrat akan asmara
tidak mudah dilakukan sehingga peserta didik masih tersesat dalam
imajinasi tentang asmara yang terdeviasi. Karya-karya sastra Hindu banyak
yang memuat hal-hal asmara yang membangkitkan perasaan trsna namun
pada sisi lainnya pastilah diimbangi dengan oposisi biner atas cinta
terhadap hal-hal duniawi. Manakala perasaan asmara dapat dihaluskan
secara maknawi maka siswa akan mengerti bila masa mudanya tidak boleh
mengalami penderitaan akibat perasaan asmara yang superficial. Hal ini
dapat dilihat dalam Sarasamuccaya 27:
Matangnya deyaning wwang, pengponganikang kayowanan, panedeng
ning awak, sadhenakena ri karjaning Dharma, artha, jnana, kunang
apan tan pada kasaktining atuha lawan rare, drstanta nahan yang
alalang atuha, telas rumepa, marin alandep ika”.
Terjemahan :
Karenanya perilaku seseorang, hendaklah digunakan sebaik- baiknya
masa muda, sebagai badan sedang kuatnya, hendaklah di
pergunakan untuk usaha menuntut Dharma, artha dan ilmu
pengetahuan, sebab tidak sama kekuatan orangtua dengan kekuatan
anak muda; contohnya ialah seperti ilalang yang telah tua itu menjadi
rebah, dan ujungnya itu tidak tajam lagi (Kadjeng dkk, 1997: 23-24)
Masa percintaan yang dialami oleh remaja hendaknya diekplosikan
sebagai rasa syukur dan kecintaan kepada Tuhan, bukan sebaliknya hanya
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
147
mencintai wujud-wujud fisik ciptaan yang tidak kekal. Langö sejati
menuntun remaja untuk memahami keindahan secara lebih holistik, gairah
untuk mengejar keindahan dilampiaskan untuk mengejar keindahan Tuhan
yang lebih transcendent. Keindahan cinta tidak hanya dilampiaskan dengan
asmara, namun juga dapat dilakukan dengan kegiatan lain yang lebih
produktif seperti pemujaan, lembaga pendidikan keagamaan sangat
berperan dalam upaya ini. Sarwono (2013:120) mencontohkan :
Salah satu remaja putrid yang berkerudung setelah ikut dalam
gerakan remaja masjid seperti itu adalah Umi. Tiga atau empat bulan
setelah ia mengikuti pesantren kilat Ramadhan di salah satu masjid
yang mempunyai gerakan remaja, Umi memutuskan bahwa sejak itu
ia akan memakai kerudung. Sebagai konsekuensinya, ia harus
menghentikan berbagai kegiatan yang selama ini digemarinya seperti
berenang dan bermain bola basket (ia adalah pemain inti di tim
basket sekolahnya), akakn tetapi ia ikhlas menerima konsekuensi ini.
Ia merasa lebih tenang berpakaian seperti itu karena selama ini ia
merasa kurang sekali mendapat arahan jika jika ia menghadapi
masalah. Ayah dan ibunya kurang peduli pada masalah-masalah
keagamaan. Sampai-sampai waktu Umi kebingungan untuk memilih
antara dua kawan prianya Ronny atau Zul, orang tuanya sama sekali
tidak tahu-menahu. Dalam kebingungan itulah Umi terlanjur berbuat
sesuatu dengan Zul yang menyebabkan ia menyesal setengah mati
dan tetap ia merasa enggan untuk meminta nasihat orang tuanya.
Akhirnya, Umi mendapat tempat dan ketenangan di kelompok remaja
masjid yang baru dimasukinya ini.
III.
Penutup
Para pujangga zaman dahulu tidak naïf menolak cinta, namun
menggunakan cinta sebagai inspirasi menulis puisi untuk dipersembahkan
kepada penguasa keindahan seperti yang tersurat dalam Kidung Gambang
Gita Gegrantangan :
Tuhu-tuhwā nityasa hyun ri tan lung ning smarāngdum rāgi
waśāningkah sāri mangduṣṭanapih śarāṇa kāpti ring apti sasmarā
satmaka arṣā ngkwāsih-sihan saparatrā rūm nitya ngiringi
Terjemahan :
Aku berupaya menjauhi kenikmatan asmara dengan menyusun
Kidung cinta. Aku memberanikan diri menggubah keindahan bunga.
Aku mengenakan kain tapih sebagai sarana untuk mencapai harapan
asmara. Ibaratnya aku hendak berkasih-kasihan memadu kasih
sampai mati. Keindahan itu senantiasa menyertai diriku (Rai,
2011:48)
Manusia lahir dan mendambakan keindahan yang terdapat dalam
makanan, minuman, kasih sayang keluarga, dan sarana bermain. Ketika
menginjak remaja bertambah lagi dambaan keindahan untuk mengecap
asmara. Masa kedewasaan diwarnai dengan hasrat menikmati keindahan
yang terkandung dalam keteraturan (cosmos), kearifan (wisdom), dan
sebagainya. Kala menginjak masa tua manusia mendambakan keindahan
akhirat yang supra abstrak. Sebagian besar orang belum terlalu berhasrat
untuk mendambakan pendidikan yang indah dalam siklus hidupnya.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
148
Pendidikan cenderung diberikan jutaan prasangka akan muatan kapitalisme
karena secara umum pendidikan akan diperoleh bila tersedia uang, seakan
kualitasnya terdiferensiasi dalam harga-harga. Jadilah pendidikan seperti
duri dalam daging, bila dibiarkan menyakitkan dan jika dikeluarkanpun
harus disertai dengan luka. Generasi-generasi muda jika tidak bersekolah
akan dipandang tertinggal dan terancam tidak bisa mempertahankan status
sosial yang ditempatinya apalagi untuk melakukan social climbing.
Sebaliknya jika pilihan bersekolah ditempuh penderitaan baru akan
menanti yang diakibatkan oleh keharusan membayarkan sejumlah uang,
bullying di lingkungan sekolah, kesulitan belajar, kesalahan memilih
jurusan, dan sebagainya. Hanya pendidikan yang mampu merevitalisasi
keindahan yang terkandung dalam dirinya seperti halnya jenis-jenis
keindahan yang lain, agar fase menuntut ilmu tidak hanya diidentifikasi
sebagai fase “bersakit-sakit”. Lembaga-lembaga pendidikan mampu menjadi
semacam terapi yang kuratif, bukan candu yang patologik. Tatkala umat
Hindu memilih menyekolahkan anaknya di lembaga-lembaga pendidikan
berbasis Hindu daripada sekolah yang bernuansa kapitalis atau bahkan
lembaga pendidikan yang terang-terangan berlabelkan non Hindu maka
tandanya telah terjadi renaissance dalam dunia pendidikan Hindu. Sang
Hyang Langö telah ditahtakan kembali pada pratama vidya hingga maha
vidya Pasraman dengan Upacara guru piduka, harapannya kesalahan yang
sama tidak terulang lagi.
IV.
Daftar Pustaka
Kajeng, I Nyoman, dkk.1997.Sarasamuccaya.Surabaya:Paramita
Lombard, Denys.2000.Nusa Jawa:Silang Budaya.Jakarta:Gramedia Pustaka
Utama
Munandar, Agus Haris, dkk.2012.Seribu Tahun Wafatnya Prabu
Udayana.Denpasar:Udayana University Press
Poerbatjaraka, R.M.Ng.2010.Ramayana Djawa-Kuna.Jakarta:Perpustakaan
Nasional RI
Rai, Wayan,dkk.2011.Lontar Gambang Gita Gegrantangan.Denpasar:Istitut
Seni Indonesia
Sarwono, Sarlito W.2013.Psikologi Remaja.Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Trisila, Slamat, dkk.2012.Denpasar Tempo Dulu.Denpasar:BPAD Kota
Denpasar
Yudabakti, I Made, Watra, I Wayan.2007.Filsafat Seni Sakral dalam
Kebudayaan Bali.Surabaya:Paramita
149
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
MEMBANGUN KEMATANGAN JIWA KEAGAMAAN GENERASI MUDA
HINDU MELALUI PEMBELAJARAN ASTANGGA YOGA
Oleh
Ida Bagus Kade Yoga Pramana
Abstrak
Astangga Yoga merupakan suatu metode disiplin diri kuno yang sudah di
terapkan dan masih dikenal hingga saat ini sebagai tren pola hidup sehat
yang diakui di belahan penjuru dunia, bahkan yoga di beberapa daerah
sudah menjadi mata pelajaran wajib dan melengkapi perkembangan
pendidikan agama hindu di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa yoga
diyakini dapat membangun kesehatan fisik maupun mental generasi muda
hindu, khususnya kematangan jiwa keagamaan yang di miliki oleh anakanak dan remaja sebagai generasi penerus bangsa. Generasi muda hindu
penting di tanamkan ajaran etika yoga yang sudah di susun dengan
terstruktur oleh maharsi patanjali dalam konsep Astangga Yoga. Karena
usia anak-anak dan remaja merupakan masa rentan pembentukan jiwa
keagamaan.
Kata Kunci : Astangga Yoga, Jiwa Keagamaan, Generasi Muda Hindu.
I.
Pendahuluan
Salah satu naluri yang melekat pada diri manusia, adalah rasa ingin
tahu. Manusia pada hakikatnya, selain disebut sebagai Homo erectus,
manusia di sebut juga sebagai mahluk yang mencari jati dirinya atau di
sebut dengan Homo viator. Hal ini di tunjukkan dengan sikap manusia yang
pada perjalanan hidupnya selalu mencoba dan berusaha mengetahui apa
yang terjadi dalam dirinya, orang-orang di sekitarnya serta benda-benda
yang ada di sekelilingnya dan adanya hubungan antara suatu situasi
dengan situasi yang lain, antara peristiwa satu dengan peristiwa yang
lainnya, dan sebagainya. Hingga naluri yang demikianlah yang banyak
menunjang lahir dan berkembangnya Psikologi.
Psikologi agama adalah cabang ilmu psikologi yang bertujuan
mengembangkan pemahaman terhadap prilaku keagamaan dengan
mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari kajian
terhadap perilaku. Dalam hal tersebut diperlukan suatu penumbuhan jiwa
keberagamaan sejak dini untuk membentuk suatu generasi yang dapat
memahami dan meningkatkan jiwa keberagamaannya sehingga berdampak
terhadap perkembangan anak kearah yang positif. Sedangkan dalam ajaran
agama hindu yoga merupakan ajaran kuno yang menekannkan disiplin diri
dalam membentuk tidak hanya jiwa tetapi juga sikap, fisik maupun pikiran
manusia.
Yoga berasal dari suku kata “yuj” yang memiliki menyatukan atau
menghubungkan diri dengan Tuhan. Swami Satya Nanda Saraswati (2002:7)
menyebutkan Sejarah yoga sebagai pembangunan fisik, mental, dan
spiritual sudah di kenal sejak lebih dari sepuluh ribu tahun lalu.
Sebutannya ditemukan dalam kesusastraan umat manusia terkenal yang
paling tua yaitu Veda yang penuh dengan kebijaksanaan spiritual, yang
disusun oleh para rsi dan guru terkenal dimasa itu. Dipercaya oleh
beberapa orang bahwa pengetahuan yoga bahkan jauh lebih tua daripada
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
150
Veda tersebut. Swami juga menekankan bahwa yoga adalah pengalaman
dari keutuhan atau kesatuan dengan keberadaan batin. Kesatuan itu
muncul setelah menghancurkan dualitas pikiran dan masalah ke dalam
kesadaran diri. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan yoga
bersifat universal sehingga setiap praktisi memiliki berbagai pandangan
dalam memahami yoga sebagai realisasi sang diri.
kemudian untuk
keseimbangan dalam menjalani hidup serta untuk kesehatan jasmani dan
rohani semuanya akan bertemu pada satu tujuan yang sama yaitu
mencapai kebahagiaan lahir dan batin.
Kematangan dan perkembangan jiwa keagamaan pada anak dan
remaja generasi muda hindu merupakan suatu hal yang sangat penting
untuk menumbuh kembangkan jiwa beragama dan juga mengetahui esensi
utama dalam beragama. Dengan demikian yang terpenting adalah
bagaimana mengembangkan jiwa keagamaan tersebut. Sesungguhnya
tumbuhnya jiwa keagamaan pada anak dan remaja juga dipengaruhi oleh
latihan spiritual. Menurut Sukayasa dalam jurnalnya (2015;5) latihan
spiritual yang intensif dimaksud dilakukan menurut tahap-tahap yoga yang
disebut astangga yoga ‘delapan badan yoga’(YS,II: 9) yang di populerkan
oleh Maharsi Patanjali. Delapan badan (tahap) yoga ini dapat dipandang
sebagai delapan anak tangga dengan urutan dari anak tangga dasar
berturut-turut sampai tangga puncak kebaikan.
Hasil tulisan ini diharapkan akan bermanfaat sebagai referensi
praktis dalam tata kelola perkembangan jiwa keagamaan pada anak dan
remaja, sehingga hal tersebut akan digunakan sebagai pedoman dalam
mengkaji, membahas dan menginformasikan segala hal yang terkait dengan
psikologi agama khusunya yang mengacu pada kematangan dan
perkembangan jiwa keagamaan pada anak dan remaja generasi muda
hindu.
II
2.1
Pembahasan
Kematangan Jiwa Keagamaan Pada Anak-Anak dan Remaja
Menurut penelitian Ernest Harms, perkembangan jiwa keagamaan
anak-anak melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya ”The
Development of Religios on Children” ia mengatakan bahwa perkembangan
agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan yaitu :
1. The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Seorang
anak pada tingkat perkembangan ini akan menghayati konsep ke Tuhanan
sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Pada tingkatan ini
konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi,
sehingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep
fantasi yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
Mengacu pada pernyataan tersebut, hal ini menjadi suatu dilema yang
terjadi dewasa ini karena kurangnya kesadaran orang tua untuk mau
mendongeng. Sesungguhnya dalam ajaran agama Hindu banyak sekali
cerita-cerita, maupun mitologi-mitologi, salah satunya cerita tantri yang
sarat tentang penanaman etika, moralitas yang tentunya akan dapat
membangun perkembangan jiwa keagamaan dan juga perkembangan
karakter anak.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
151
2. The Realistic Stage (Tingkatan Kenyataan)
Tingkat kenyataan dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga
sampai ke usia (masa usia) adolesense. Pada masa ini anak sudah
mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan
(realita). Konsep ini timbul
melalui lembaga-lembaga keagamaan dan
pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan
pada anak di dasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat
melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdarkan hak itu maka pada
masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang
mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala
bentuk tindakan keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan
penuh minat.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling
tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Sebagai makhluk ciptaan
Tuhan, sebenarnya potensi agama sudah ada pada setiap manusia sejak ia
dilahirkan. Potensi ini berupa dorongan untuk mengabdi kepada Sang
Pencipta. Dengan adanya potensi bawaan ini manusia pada hakikatnya
adalah makhluk beragama. Kajian antropologi budaya telah membuktikan
kebenaran ini. Edward B. Taylor menyebutkan dengan istilah believe in
spiritual being (kepercayaan kepada Dzat adikodrati). Menurut pendapatnya,
dorongan ini merupakan cikal bakal dari tumbuhnya kepercayaan atau
agama pada manusia (Jalaludin, 2012:59).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk
beragama. Namun, keberadaan keberagamaan tersebut memerlukan
bimbingan agar dapat tumbuh dan berkembang secara benar. Untuk itu
anak-anak memerlukan tuntunan dan bimbingan sejalan dengan tahap
perkembangan yang mereka alami. Tokoh yang paling menentukan dan
menumbuhkan rasa keberagamaan pada anak adalah kedua orangtuanya.
Sedangkan pada remaja sikap emosional anak akan berada dalam
puncaknya, pada masa ini dikatakan masa untuk mencari jati diri dan
kerap kali pada masa ini anak-anak bisa terjebak pada perilaku negatif.
Perilaku negatif ini yang biasanya menimbulkan banyak permasalahan
hingga permalasahan yang serius. Penanaman nilai-nilai keagamaan dirasa
sangat perlu dilakukan sejak dini, agar anak-anak tidak mudah
terpengaruh akan hal-hal yang bersifat negatif. Penanaman nilai-nilai
keagamaan dijadikan sebagai bekal bagi anak untuk memasuki masa
remaja. Dalam pembagian tahap perkembangan manusia maka masa
remaja menduduki tahap progresif. Dalam pembagian yang agak terurai
masa remaja mencakup masa Juvenilitas (Adoleskantium), pubertas dan
nubilitas. Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya maka
agama pada para remaja turut dipengaruhi perkembangan itu. Maksudnya
penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan
yang tampak pada para remaja banyak berkaitan dengan faktor
perkembangan tersebut. (Jalaluddin. 2012:74)
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
152
2.2
Pembelajaran Astangga Yoga
Pengertian belajar telah mengalami perkembangan secara evolusi,
sejalan dengan perkembangan cara pandang dan pengelaman para ilmuan.
Pengertian belajar dapat didefinisikan sesuai dengan nilai filosofis yang
dianut dan pengalaman para ilmuan atau pakar itu sendiri dalam
mengajarkan peserta didiknya. Pengertian belajar maupun yang
dirumuskan para ahli antara yang satu dengan yang lainnya terdapat
perbedaaan. Perbedaan ini disebabkan oleh latar belakang pandangan
maupun teori yang dipegang. Belajar adalah suatu aktifitas atau suatu
proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan,
memperbaiki prilaku, sikap dan mengokohkan kepribadian. Dalam konteks
menjadi tahu atau proses memperoleh pengetahuan menurut pemahaman
sains secara konvensional, kontak manusia dengan alam diistilahkan
dengan pengalaman yang terjadi berulang kali melahirkan pengetahuan,
(knowledge), atau a body of kwnoledge (Suyono,2011;9).
Menurut Gagne dalam Sanjaya (2008;26), belajar adalah sebuah
proses yang didalamnya suatu organisme berubah prilakunya sebagai
akibat pengalaman. Belajar dapat didefinisikan sebagai setiap perubahan
tingkah laku yang telatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau
pengalaman. Definisi ini mencakup tiga unsur, yaitu;
1) Belajar adalah perubahan tingkah laku,
2) Perubahan tingkah laku tersebut terjadi karena latihan atau
pengalaman,
3) Perubahan tingkah laku tersebut relative permanen atau tetap ada
untuk waktu yang cukup lama.
Istilah pembelajaran merupakan perkembangan dari istilah
pengajaran. Pembelajaran adalah upaya yang dilakukan oleh seorang guru
atau yang lain untuk membelajarkan siswa yang belajar (Hasanah,2012;85).
Sedangkan pembelajaran menurut Majid (2013;5) adalah suatu konsep dari
dua dimensi kegatan (belajar dan mengajar) yang harus direncanakan dan
diaktualisasikan, serta diarahkan pada pencapaian tujuan atau penguasaan
sejumlah kompetensi dan indikatornya sebagai gambaran hasil belajar.
Pendapat di atas dapat diilustrasikan bahwa belajar merupakan proses
internal siswa, dan pembelajaran merupakan kondisi eksternal siswa.
Pembelajaran astangga yoga sudah di terapkan sejak zaman dahulu oleh
umat hindu bahkan dalam epos itihasa maupun Purana, yoga merupakan
ajaran pokok yang harus di terima sisya atau murid dari gurunya.
Sukayasa dalam jurnalnya (2015;5) latihan spiritual yang intensif
dimaksud dilakukan menurut tahap-tahap yoga yang disebut astangga yoga
‘delapan badan yoga’(YS,II: 9) yang di populerkan oleh Maharsi Patanjali.
Delapan badan (tahap) yoga ini dapat dipandang sebagai delapan anak
tangga dengan urutan dari anak tangga dasar berturut-turut sampai tangga
puncak:
1) Yama, yaitu mahawrata ‘janji agung’ yoga. Jumlahnya 5: ahimsa
‘pantang kekerasan, tidak bengis’; satya ‘jujur’; astya ‘pantang
mencuri’; brahmacari ‘pantang berselingkuh atau mengendalikan nafsu
seks’; dan aparigraha ‘pantang memanjakan tubuh, pantang menerima
pemberian yang tidak diperlukan’ (YS,11:35-39).
2) Niyama, yaitu brata pengukuh yama. Jumlahnya juga 5: sauca
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
153
‘berperilaku bersih dan suci’; samtosa ‘mengendalikan diri agar tetap
tenang, penuh rasa syukur, dapat menerima kenyataan apa adanya’;
tapa ‘tahan uji, berusaha keras’; swadyaya ‘berusaha atau belajar
mandiri’; dan Iswaraparnidhana ‘berbakti kepada Tuhan’ (YS,11:40-45).
3) Asana, yaitu olah fisik dengan fokus spiritual sehingga penekun yoga
dapat duduk sempurna atau dapat memiliki tubuh yang bugar
(YS,11:47).
4) Pranayama, yaitu olah nafas sehingga penekun yoga dapat bernapas
halus, panjang, dan teratur (YS,11:50).
5) Pratydhdra, yaitu menarik indera dari berbagai objek kesukaannya dan
menempatkannya di bawah pengawasan pikiran (YS,11:51,54).
6) Dhdrana, yaitu konsentrasi atau memusatkan pikiran pada objek
meditasi (YS,11:53; III: 1).
7) Dhyana, yaitu kontemplasi atau menjadikan pikiran mantap menetap
pada objek pikiran (YS,III:2).
8) Samadhi, yaitu keadaan manakala yang berkontemplasi telah
menunggal dengan Iswara (Spirit yang menjadi objek renungan) atau
manakala penekun yoga telah kehilangan kesadaran individunya dalam
Kesadaran Semesta (YS,III:3).
Astangga yoga merupakan tahapan latihan yang diawali dengan
latihan moral melalui latihan Yama dan Niyama, kemudian latihan fisik
melalui latihan Asana dan Pranayama, yang di lanjutkan dengan latihan
mental melalui latihan Prathyhara dan Dharana, kemudian latihan spiritual
berupa Dhyana demi mencapai tujuan akhir yaitu Samadhi.
2.3
Membangun Kemataangan Jiwa Keagamaan Generasi Muda Hindu
Melalui Pembelajaran Astangga Yoga
Kematangan Jiwa keagamaan generasi muda hindu dapat dilatih
sejak anak-anak hingga dewasa, karena kematangan jiwa keagamaan akan
membutuhkan suatu proses dan tidak terjadi secara singkat. Hal ini dapat
dilakukan sejak masih anak-anak yaitu dengan memberikan pemahaman
akan ilmu agama melalui cerita-cerita Purana dan itihasa khususnya
mitologi mengenai dewa siva dan saktinya parvati sebagai pendiri yoga itu
sendiri. Melalui cerita mitologi yoga seorang anak mendapatkan rangsangan
sejak kecil mengenai nilai dan ajaran etika sebagai contoh mengenai
bagaimana bhakti seorang murid sekaligus istri dari betara siva yaitu dewi
parwati dalam melakukan bhakti kepada dewa siva, yang dimana anak
akan secara sadar maupun tidak sadar akan teringat dan berpegang pada
cerita dan mitologi tersebut dalam kehidupan dan perkembangannya hingga
remaja. Hal ini sejalan dengan penelitian Ernest Harms yang menyatakan
bahwa perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase
(tingkatan). Dalam bukunya The Development of Religios on Children ia
mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga
tingkatan yaitu tingkat dongeng, tingkat kenyataan dan tingkat individu.
Sedangkan pada masa remaja seorang anak akan melewati fase akil
balik atau puberitas yang menyebabkan kurang setabilan emosi yang
menyebabkan terpengaruhnya moral dari anak-anak remaja itu sendiri
sehingga diperlukan disiplin diri yoga berupa astangga yoga dalam
memperoses kematangan jiwa keagamaan remaja itu sendiri. Karena latihan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
154
yoga tidak hanya merupakan latihan spiritual tetapi secara tidak langsung
akan mempengaruhi badan, pikiran, emosi hingga jiwa seseorang.
Menurut Sukayasa dalam jurnalnya (2015;5) latihan spiritual yang
intensif dimaksud dilakukan menurut tahap-tahap yoga yang disebut
astangga yoga ‘delapan badan yoga’(YS,II: 9). Delapan badan (tahap) yoga
ini dapat dipandang sebagai delapan anak tangga dengan urutan dari anak
tangga dasar berturut-turut sampai tangga puncak:
1. Yama, yaitu mahawrata ‘janji agung’ yoga. Jumlahnya 5: ahimsa
‘pantang kekerasan, tidak bengis’; satya ‘jujur’; astya ‘pantang mencuri’;
brahmacari ‘pantang berselingkuh atau mengendalikan nafsu seks’; dan
aparigraha ‘pantang memanjakan tubuh, pantang menerima pemberian
yang tidak diperlukan’ (YS,11:35-39).
2. Niyama, yaitu brata pengukuh yama. Jumlahnya juga 5: sauca
‘berperilaku bersih dan suci’; samtosa ‘mengendalikan diri agar tetap
tenang, penuh rasa syukur, dapat menerima kenyataan apa adanya’;
tapa ‘tahan uji, berusaha keras’; swadyaya ‘berusaha atau belajar
mandiri’; dan Iswaraparnidhana ‘berbakti kepada Tuhan’ (YS,11:40-45).
Dengan melakukan latihan yama dan niyama dalam astangga yoga
seseorang akan dilatih dalam segi moralnya, seperti sikap dan prilakunya
sehingga menunjukkan perbuatan yang baik dan berdasar pada agama atau
Dharma. Setelah memiliki dasar sikap dan moral yang baik, tahapan yang
harus dilalui adalah :
3. Asana, yaitu olah fisik dengan fokus spiritual sehingga penekun yoga
dapat duduk sempurna atau dapat memiliki tubuh yang bugar
(YS,11:47).
4. Pranayama, yaitu olah nafas sehingga penekun yoga dapat bernapas
halus, panjang, dan teratur (YS,11:50).
Melalui asana dan pranayama seorang remaja akan dilatih
mengendalikan fisik atau tubuhnya, dengan memiliki fisik yang baik
diharapkan seseorang remaja hindu dapat melaksanakan moral yang baik
dengan badan yang sehat. Setelah mampu memiliki moral dan fisik yang
baik, seorang remaja dilatih untuk mengendalikan mentalnya dengan
melakukan latihan :
5. Pratydhdra, yaitu menarik indera dari berbagai objek kesukaannya dan
menempatkannya di bawah pengawasan pikiran (YS,11:51,54).
6. Dhdrana, yaitu konsentrasi atau memusatkan pikiran pada objek
meditasi (YS,11:53; III: 1).
Dengan memiliki dan mampu mengendalikan pikiran sebagai raja indriya
diharapkan perkembangan kematangan jiwa seorang remaja hindu akan
lebih baik, dan tentu saja perlu di berikan sentuhan latihan akhir, yaitu :
7. Dhyana, yaitu kontemplasi atau menjadikan pikiran mantap menetap
pada objek pikiran (YS,III:2).
Demi mencapai kemetangan jiwa keagamaan yang sesungguhnya bahkan
jika memungkinkan hingga mencapai kebebasan dengan :
8. Samadhi, yaitu keadaan manakala yang berkontemplasi telah
menunggal dengan Iswara (Spirit yang menjadi objek renungan) atau
manakala penekun yoga telah kehilangan kesadaran individunya dalam
Kesadaran Semesta (YS,III:3).
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
155
Jadi generasi muda hindu diharapkan melakukan pembelajaran dan
latihan Astangga yoga yang wajib di dampingi oleh seorang Guru dengan
tahapan latihan yang diawali dengan latihan moral melalui latihan Yama
dan Niyama, kemudian latihan fisik melalui latihan Asana dan Pranayama,
yang di lanjutkan dengan latihan mental melalui latihan Prathyhara dan
Dharana, sehingga kematangan jiwa keagamaan yang di miliki oleh seorang
remaja tidak goyah dan tetap mantap, kemudian jika memungkinkan pada
akhirnya latihan spiritual berupa Dhyana dapat dilanjutkan demi mencapai
tujuan akhir agama Hindu yaitu Samadhi dengan pembebasan atman
(moksa).
III
Penutup
Perkembangan jiwa keagamaan pada generasi muda hindu yang
masih anak-anak berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap fairy tale
stage (dongengan). Kedua, tahap realistic stage (kenyataan). Ketiga, tahap
individual stage (individual). Antara tahap ke-1 dengan tahap- tahap
selanjutnya terdapat kaitan yang menunjukkan peningkatan. ketiga tahap
perkembangan
psikologi
anak
ini
akan
mempengaruhi
sikap
keberagamaannya dengan individu lain, hingga sikap keberagamaannya di
masyarakat.
Sedangkan Tingkat kematangan jiwa keagamaan pada generasi muda
hindu yang sudah mencapai usia remaja, banyak tergantung pada
kemampuan mereka menyelesaikan keraguan dan konflik batin yang terjadi
dalam diri. Usia remaja memang dikenal sebagai usia rawan. Remaja
memiliki karakteristik khusus dalam pertumbuhan dan perkembangan.
Secara fisik remaja mengalami pertumbuhan yang pesat dan sudah
menyamai fisik orang dewasa. Namun, pesatnya pertumbuhan fisik itu
belum diimbangi secara setara oleh perkembangan psikologinya. Kondisi
seperti itu menyebabkan remaja mengalami kelabilan.
Jadi bagi generasi muda hindu terutama para remaja yang berada
pada kondisi labil, diharapkan melakukan latihan Astangga yoga
merupakan tahapan latihan disiplin diri, yang diawali dengan latihan moral
melalui latihan Yama dan Niyama, kemudian latihan fisik melalui latihan
Asana dan Pranayama, yang di lanjutkan dengan latihan mental melalui
latihan Prathyhara dan Dharana, sehingga kematangan jiwa keagamaan
yang di miliki oleh seorang remaja tidak goyah dan tetap mantap dan
kemudian pada akhirnya latihan spiritual berupa Dhyana dapat dilanjutkan
demi mencapai keseimbangan pikiran, badan dan jiwa, kemudian jika
memungkinkan pada akhirnya latihan spiritual dapat dilanjutkan demi
mencapai tujuan akhir agama hindu yaitu Samadhi dengan pembebasan
atman (moksa).
IV
Daftar Pustaka
Hasanah, M.Ed, 2012. Pengembangan Profesi Keguruan, Pustaka Setia:
Bandung,
Jalaluddin, 2012. Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada,.
Majid, Abdul, 2013. Strategi Pembelajaran,Bandung; PT. Remaja
Rosdakarya
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
156
Sanjaya, 2008. Strategi Pembelajaran; Berorentasi setandar Proses
Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Saraswati, Swami Satyanada. 2002. Asana, Pranayama, Mudra, Bandha.
Surabaya: Paramitha
Sukayasa, I Wayan. 2015. Jurnal berjudul “Yoga; Teori dan Metode Psikologi
Hindu” Program Pasca Sarjana IHDN Denpasar;
Suyono dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran.Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
157
PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II)
|
Download