ANALISIS PENGGUNAAN BOM DALAM PENANGKAPAN IKAN DI KECAMATAN KAO UTARA KABUPATEN HALMAHERA UTARA JURIL CHARLY ONTHONI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Penggunaan Bom Dalam Penangkapan Ikan Di Kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun, kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan, maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagiah akhir tesis ini. Bogor, November 2010 Juril Charly Onthoni C452070274 ABSTRACT JURIL CHARLY ONTHONI. Analysis Using Bombs On Fishing in North Kao District, North Halmahera Regency. Supervised by DOMU SIMBOLON and DEDI JUSADI. Fishing gear used by the fishermans of North Halmahera district to conduct fishing is very diverse, good for catching pelagic, demersal, and reef fish. The dominant fishing gear used by fishermen are fishing yield, multiple hand line, gill nets, etc., using a fleet of boats is simple until a boat or ship with a capacity of 10 gross tonnage. However, the use of destructive fishing gear, the environment still numerous in some areas of North Halmahera waters such as the use of bombs. The tool is dropped into the water contained a lot of fish, and causing an explosion that resulted in the death of small fish and large around the blast site. This action is performed not only in shallow waters sea, but also performed in deep waters sea. This action is very harmful to the environment and fishermen. The fish that have not been feasible arrested will die, and the risk of disability or until death can be experienced by the fishermans. This research is to reveal the root cause of the fishermen still use the bomb in fishing activities. This research was conducted by survey method, and assisted with spreading the field a question to a number of respondents who specified a purposive sampling method. The primary data collected include age composition, education level and income of fishermen. These three variables are expected to have a very close relationship with the activities of the use of fish bombs. The linkage between these three variables against fish bombing were analyzed using multiple regression. Secondary data were analyzed descriptively, and depicted in the form of tables and graphs. Fishermans at 3 study sites classified as a major sideline fishermans and fishermans additional sideline. In fishing, equipment used was simple and limited. Similarly, the boat used to sail a traditional still relatively small size. This has implications for the amount and type of catch that more and more reduced, so that income derived by a relatively small fishermen. The small income derived to meet the needs of families of fishermans caused them to use the bomb as the completeness of fishing gear. The use of bombs in fishing according to various circles who have been doing research is an act that is very damaging to the environment. The use of bombs in the sea can cause damage to coral colonies around the blast site, also can cause death of other organisms that are not the target of an arrest. This activity has been carried out by fishermans in three villages in a long time. The results of this study explains that : (1) The main reason fishermans using bombs in fishing activities is to raise revenue to meet the needs of families, (2) The factors that affect the fishermans using bombs is the length of experience of using the bomb and ease the material needed to make fish bomb, and (3) Education is a very strong factor affecting fishermans not to use bombs in fishing. Keywords: Fishing, Fish Bomb, North Halmahera RINGKASAN JURIL CHARLY ONTHONI. Analisis Penggunaan Bom Dalam Penangkapan Ikan di Kecamatan Kao Utara, Kabupaten Halmahera Utara. Dibimbing oleh DOMU SIMBOLON dan DEDI JUSADI. Alat penangkapan ikan yang dipergunakan oleh masyarakat nelayan Kabupaten Halmahera Utara untuk melakukan penangkapan ikan sangat beragam, baik untuk penangkapan ikan pelagis, ikan demersal, maupun ikan karang. Alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan adalah pancing ulur, jaring dan lain sebagainya, dengan mempergunakan armada perahu/kapal sederhana sampai dengan perahu/kapal dengan kapasitas 10 gross tonage. Namun demikian, penggunaan teknologi penangkapan ikan yang merusak lingkungan masih banyak terdapat di beberapa wilayah perairan Halmahera Utara seperti penggunaan bom. Alat tersebut dijatuhkan ke dalam air yang terdapat banyak ikan, dan menimbulkan ledakan yang berakibat matinya ikan-ikan kecil dan besar di sekitar lokasi ledakan. Tindakan ini dilakukan tidak hanya di perairan dangkal, namun juga dilakukan pada perairan dalam. Tindakan ini sangat berbahaya bagi lingkungan dan nelayan. Ikan-ikan yang belum layak ditangkap akan mati, dan resiko cacat atau sampai kematian dapat dialami oleh nelayan. Penelitian ini untuk mengungkapkan akar penyebab nelayan masih mempergunakan bom dalam kegiatan penangkapan ikan. Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei, dan dibantu dengan menyebarkan isian pertanyaan kepada sejumlah responden yang ditentukan secara purposive sampling method. Data primer yang dikumpulkan meliputi komposisi umur, tingkat pendidikan dan pendapatan nelayan. Ketiga variabel tersebut diduga memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kegiatan penggunaan bom ikan. Keterkaitan antara ketiga variabel tersebut terhadap pemboman ikan dianalisis dengan menggunakan regresi linier berganda. Data sekunder dianalisa secara deskriptif, dan digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik. Nelayan di 3 lokasi penelitian tergolong sebagai nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan. Dalam melakukan penangkapan ikan, alat yang digunakan masih sederhana dan terbatas. Demikian pula dengan perahu yang dipakai untuk melaut masih tradisional dengan ukuran yang relatif kecil. Hal ini berimplikasi pada jumlah dan jenis tangkapan yang makin lama makin berkurang, sehingga penghasilan yang diperoleh nelayan relatif kecil. Kecilnya penghasilan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan keluarga nelayan menyebabkan mereka menggunakan bom sebagai kelengkapan alat tangkap ikan. Penggunaan bom dalam penangkapan ikan menurut berbagai kalangan yang telah melakukan penelitian adalah tindakan yang sangat merusak lingkungan. Penggunaan bom di perairan laut dapat menyebabkan rusaknya koloni karang yang ada di sekitar lokasi ledakan, juga dapat menyebabkan kematian organisme lain yang bukan menjadi target penangkapan. Kegiatan ini telah dilakukan oleh nelayan di 3 desa penelitian dalam waktu yang cukup lama. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa: (1) Alasan utama nelayan menggunakan bom dalam kegiatan penangkapan ikan adalah untuk meningkatkan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan keluarga; (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi nelayan menggunakan bom adalah lamanya pengalaman menggunakan bom dan mudahnya bahan yang dibutuhkan untuk membuat bom ikan; dan (3) Pendidikan adalah faktor yang sangat kuat mempengaruhi nelayan untuk tidak menggunakan bom dalam penangkapan ikan. . Kata kunci: Penangkapan Ikan, Bom Ikan, Halmahera Utara © Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2 Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB ANALISIS PENGGUNAAN BOM DALAM PENANGKAPAN IKAN DI KECAMATAN KAO UTARA KABUPATEN HALMAHERA UTARA JURIL CHARLY ONTHONI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si. PRAKATA Puji dan Syukur patut penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas Berkat dan Rahmat-Nya, sehingga penulis masih bisa diberikan kesempatan untuk menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa dalam proses studi dan dalam upaya menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini begitu banyak bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga ungkapan terima kasih penulis sampaikan, khususnya kepada Bapak Dr. Ir. Domu simbolon, M.Si, dan Bapak Dr. Ir. Dedi Jusadi, M.Sc, sebagai Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis, sehingga proses penelitian dan penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Bupati, Sekretaris Daerah dan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Halmahera Utara, serta Camat Kao, Kapolsek Kao, Camat Kao Utara dan Kepala Desa Doro, Bori, dan Pediwang Kecamatan Kao Utara, atas bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis mengumpulkan data-data penelitian. Curahan kasih dan pengorbanan yang diberikan oleh istri dan anak-anak selama penulis belajar, merupakan dorongan yang sangat besar bagi penulis untuk menyelesaikan studi. Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik moril maupun materil, khususnya Staf Dosen dan Staf Sekretariat PSP IPB serta rekanrekan mahasiswa IPB dari Halmahera Utara, diucapkan terima kasih. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Bogor, November 2010 Penulis RIWAYAT HIDUP Juril Charly Onthoni dilahirkan di Tobelo, pada tanggal 1 April Tahun 1969 dari Bapak Hironimus Onthoni dan Ibu Gerti Makangiras. Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri Tobelo dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Pattimura melalui jalur Sipenmaru, dan diterima sebagai mahasiswa jurusan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Setelah lulus pada tahun 1992, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan bekerja pada Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tenggara sebagai Ajun Penyuluh Keluarga Berencana. Pada tahun 1997 penulis dipindahkan dari Kabupaten Maluku Tenggara ke Kabupaten Maluku Utara, dan bekerja sebagai Penyuluh Keluarga Berencana di Kecamatan Tobelo. Tahun 2003, setelah pemekaran wilayah di Provinsi Maluku Utara, dimana Kecamatan Tobelo masuk sebagai salah satu kecamatan dalam wilayah Kabupaten Halmahera Utara, penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) di kabupaten ini, dan ditempatkan sebagai Kepala Seksi Penanggulangan Korban Bencana pada Dinas Kesejahteraan Sosial setempat. Pada tahun 2006, oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Utara, penulis ditugaskan di Kecamatan Kao sebagai Camat Kao. Mengawali tahun 2009, penulis dipindahkan dari Kecamatan Kao dan ditempatkan sebagai Sekretaris Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Halmahera Utara. Tiga bulan menjabat sebagai Sekretaris KPUD, penulis kembali dipindahkan ke Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Halmahera Utara, dan menjabat sebagai Sekretaris sampai sekarang. Penulis mengikuti kuliah pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008, setelah mengikuti seleksi yang digelar oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Utara yang bekerja sama dengan Sekolah Pascasarjana IPB Bogor dalam program pengembangan SDM Pegawai Negeri Sipil Daerah, dan diterima sebagai mahasiswa pada Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Institut Pertanian Bogor. Penulis dinyatakan lulus dalam ujian tesis pada tanggal 12 Nopember 2010, dengan judul tesis ¨Analisis Penggunaan Bom dalam Penangkapan Ikan di Kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara¨. Penulis telah menikah pada tanggal 16 Pebruari 1989 dengan Sjane Rumpuin, dan dikaruniai 3 orang anak, yaitu Christin Debby Onthoni, Chayne Rivar Onthoni, dan Chayla Chrestella Onthoni. ix DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xv DAFTAR ISTILAH .......................................................................................... xvii 1 PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 2 1 3 4 4 4 6 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 3 Latar Belakang .................................................................................... Perumusan Masalah ........................................................................... Tujuan Penelitian ................................................................................ Manfaat Penelitian ............................................................................. Kerangka Pemikiran ............................................................................ Hipotesis Penelitian............................................................................. Pengeboman Ikan ............................................................................... 7 Mata Pencaharian Alternatif .............................................................. 9 Pemberdayaan Masyarakat.................................................................. 10 Pengelolaan Perikanan yang Berkelanjutan (Berwawasan Lingkungan) ........................................................................................ 13 Perikanan Tangkap .............................................................................. 15 2.5.1 Alat penangkapan ikan .............................................................. 16 2.5.2 Armada perikanan ..................................................................... 18 2.5.3 Nelayan ..................................................................................... 20 2.5.4 Produksi .................................................................................... 24 2.5.5 Pemasaran ................................................................................. 25 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ...................................................... 26 2.6.1 Luas dan letak geografis ........................................................... 26 2.6.2 Penduduk ................................................................................... 28 2.6.3 Ekonomi .................................................................................... 30 METODE PENELITIAN 3.1 3.2 3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................. 31 Metode Pengumpulan data .................................................................. 31 Analisis Data ....................................................................................... 33 3.3.1 Analisis deskriptif ..................................................................... 33 3.3.2 Analisis regresi berganda .......................................................... 33 x 4 HASIL PENELITIAN 4.1 4.2 4.3 5 35 35 38 42 44 46 46 48 49 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 5.2 5.3 5.4 6 Kondisi Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian .............................. 4.1.1 Teknologi alat penangkapan ikan ............................................. 4.1.2 Penangkapan ikan dengan menggunakan bom ......................... 4.1.3 Kondisi sosial budaya masyarakat nelayan .............................. Kondisi Ekonomi Nelayan ................................................................ Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Bom Ikan .......................... 4.3.1 Penggunaan bom ikan di Desa Doro ........................................ 4.3.2 Penggunaan bom ikan di Desa Bori ......................................... 4.3.3 Penggunaan bom ikan di Desa Pediwang ................................. Karakteristik Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian ...................... 5.1.1 Alat penangkapan ikan ............................................................. 5.1.2 Sosial budaya masyarakat nelayan ........................................... 5.1.3 Ekonomi masyarakat nelayan ................................................... Penggunaan bom dalam penangkapan ikan ........................................ Faktor Determinan Penggunaan Bom Ikan ........................................ Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan ................................................ 51 51 52 56 57 61 62 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 6.2 Kesimpulan ........................................................................................ 67 Saran .................................................................................................. 67 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 68 LAMPIRAN ........................................................................................................ 71 xi DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka Pemikiran Penelitian ..................................................................... 6 2 Peta Wilayah Kabupaten Halmahera Utara.................................................. 27 3 Sebaran umur responden di lokasi penelitian............................................... 43 4 Sebaran tingkat pendidikan responden di lokasi penelitian ......................... 44 5 Sebaran tingkat pendapatan responden di lokasi penelitian ......................... 45 xiii DAFTAR TABEL Halaman 1 Jumlah unit penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara ............... 17 2 Jumlah trip penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara ............... 18 3 Jumlah nelayan menurut jenis ukuran kapal di Halmahera Utara............... 19 4 Jumlah dan tingkat kepadatan penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Halmahera Utara, tahun 2009 ...................................................................... 20 5 Jumlah nelayan menurut jenis alat tangkap ................................................. 23 6 Produksi ikan total menurut jenis alat............................................................... 24 7 Data penduduk Kecamatan Kao Utara tahun 2008 ...................................... 29 8 Jenis dan sumber data, serta metode pengumpulan data penelitian ............. 32 9 Instrumen penelitian penggunaan bom ikan ................................................ 34 10 Instrumen penelitian untuk variabel umur ................................................... 34 11 Instrumen penelitian untuk variabel pendidikan .......................................... 34 12 Instrumen penelitian untuk variabel pendapatan.......................................... 34 13 Jenis dan jumlah unit penangkapan ikan di tiga lokasi penelitian ............... 37 14 Persepsi responden terhadap bantuan........................................................... 38 15 Persepsi responden dalam penggunaan bom ikan ........................................ 38 16 Persepsi responden tentang lama menggunakan bom .................................. 40 17 Persepsi responden dalam memperoleh mesiu ............................................. 40 18 Persepsi responden tentang korban penggunaan bom ikan .......................... 42 19 Jumlah penduduk Desa Doro, Bori dan Pediwang....................................... 43 20 Anova penggunaan bom ikan di Desa Doro ................................................ 47 21 Hasil variabel, koevisien regresi, nilai t dan p-value di Desa Doro ............. 47 22 Anova penggunaan bom ikan di Desa Bori ................................................. 48 23 Hasil variabel, koevisien regresi, nilai t dan p-value di Desa Bori .............. 49 24 Anova penggunaan bom ikan di Desa Pediwang ......................................... 50 25 Hasil variabel, koevisien regresi, nilai t dan p-value di Desa Pediwang ..... 50 xv DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta Kabupaten Halmahera Utara dan wilayah-wilayah kecamatan, serta lokasi penelitian ........................................................................................... 69 2 Hasil analisis regresi linier berganda menggunakan program SPSS 17 pada nilai kategori umur, pendidikan dan pendapatan di Desa Doro ................... 70 3 Hasil analisis regresi linier berganda menggunakan program SPSS 17 pada nilai kategori umur, pendidikan dan pendapatan di Desa Bori .................... 71 4 Hasil analisis regresi linier berganda menggunakan program SPSS 17 pada nilai kategori umur, pendidikan dan pendapatan di Desa Pediwang ........... 72 5 Bom ikan, kegiatan nelayan dan perahu di Kecamatan Kao Utara .............. 73 xvii DAFTAR ISTILAH Bom : Bahan Peledak. Destructive Fishing : Merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi pelanggaran hukum. Detonator : Pappaca : Pemadat. Sumbu Bismillah : Sumbu yang ukurannya 2 cm. Fishing Ground : Bargaining Power : Lau : Bulu ayam, Serabut kain. Ketinting : Perahu motor tempel. Dibo-dibo : Penampung ikan. 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memasuki masa reformasi dalam tahapan Pemerintahan Negara Republik Indonesia, telah terjadi banyak perubahan mendasar dalam tata pemerintahan daerah. Perubahan mendasar dalam masa reformasi adalah diberlakukannya sistem otonomi daerah, dimana setiap daerah yang dibentuk mempunyai kebebasan untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri. Perubahan ini, dalam prosesnya tidak hanya mempengaruhi aspek pemerintahan saja, namun selanjutnya cukup memberikan dampak kebebasan pada masyarakat yang ada di wilayah tersebut. Kabupaten Halmahera Utara sebagai sebuah daerah yang baru dimekarkan, memiliki luas perairan laut sekitar 19.536,02 km², memiliki potensi sumber daya ikan yang melimpah dan memberikan peluang yang sangat besar untuk dimanfaatkan secara ekonomis. Potensi sumberdaya ikan ini terlihat dari data keberagaman hasil tangkapan yang diperoleh oleh nelayan yang dikeluarkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Halmahera Utara, antara lain: ikan pelagis besar dan kecil, ikan demersal, dan ikan karang (DKP Halmahera Utara, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Perikanan Laut (2007), dalam Dokumen Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Halamahera Utara (DKP Halmahera Utara, 2008), potensi sumberdaya ikan yang terdapat di perairan Halmahera Utara cukup besar. Potensi lestari ikan pelagis diperkirakan 211.590 ton/tahun, dan ikan demersal sebesar 135.005 ton/tahun. Potensi ini merupakan salah satu aset pemerintah daerah yang dapat memberikan manfaat bagi peningkatan taraf hidup masyarakat setempat, dan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Halmahera Utara. Sebagaimana sebuah aset penting, potensi sumberdaya ikan yang ada perlu untuk selalu dijaga keberadaannya. Menurut Darmawan (2001), dalam pengelolaan sumber daya alam, kegiatan penangkapan ikan merupakan kegiatan eksploitasi. Sebagai kegiatan eksploitatif, penangkapan ikan hanya bertujuan mengambil sumberdaya yang tersedia di alam. Oleh sebab itu kegiatan 2 penangkapan ikan harus memiliki beberapa pengaturan dan pembatasan agar tidak menghancurkan sumberdaya yang ada. Penggunaan bom dalam penangkapan ikan adalah merupakan salah satu cara penangkapan yang sangat merusak dan juga ilegal di seluruh Indonesia. Bom dikemas menggunakan bubuk dalam wadah tertentu dan dipasangi sumbu untuk kemudian dinyalakan dan dilemparkan ke dalam air. Bom akan meledak dan memberikan guncangan fatal di sepanjang perairan, yang dapat membunuh hampir semua biota laut yang ada di sekitarnya. Nelayan hanya mengumpulkan ikan konsumsi yang berharga, tetapi banyak ikan dan hewan laut lainnya ditinggalkan dalam keadaan mati di antara pecahan karang yang mungkin tidak dapat pulih kembali (Erdmann, 2004). Menurut Mukhtar (2007), penggunaan bahan peledak seperti bom dapat memusnahkan biota dan merusak lingkungan. Penggunaannya di sekitar terumbu karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi ledakan, juga dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak Kepolisian Resort Halmahera Utara, tindakan kriminal penggunaan bom ikan masih terdapat di perairann Teluk Kao Pulau Halmahera. Penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan ini dilakukan oleh nelayan-nelayan kecil untuk memperbanyak hasil tangkapannya di lokasi yang tidak terlalu jauh dari pantai yang tersebunyi. Sayangnya aksi nelayan ini belum dapat dicegah karena keterbatasan personil dan perlengkapan yang dimiliki, dibandingkan dengan luas wilayah yang harus dijaga dan diawasi. Penggunaan bom dalam penangkapan ikan di perairan Kabupaten Halmahera Utara sudah tentu dapat mengancam kelestarian dari potensi sumberdaya yang ada. Potensi yang merupakan aset untuk dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat bisa rusak, dan mungkin tidak dapat pulih kembali. Keberlanjutan dari sumberdaya ini juga mungkin tidak dapat dinikmati oleh generasi selanjutnya atau setidaknya sulit untuk diperoleh di masa yang akan datang. 3 1.2 Perumusan Masalah Bom yang digunakan dalam penangkapan ikan merupakan sebuah alat yang dapat merusak (destruktif). Penggunaan bom dalam penangkapan ikan menyebabkan kerusakan sumberdaya dan lingkungan di laut, khususnya ekosisem terumbu karang (Subandi, 2004). Selanjutnya DWF (2003), diacu dalam Subandi (2004) mengungkapkan, hasil survei beberapa LSM yang menunjukkan bahwa aktifitas tersebut tetap marak dilakukan oleh nelayan hingga saat ini. Bahkan beberapa metode penangkapan ikan legal yang umum digunakan oleh nelayan seperti pukat cincin (purse seine), bagan tancap (stationary lift net) dan bagan perahu (mobile lift net) juga telah menggunakan bahan peledak untuk melumpuhkan ikan dan mempermudah proses penangkapannya. Kabupaten Halmahera Utara yang merupakan sebuah kabupaten yang memiliki areal perairan laut dalam wilayahnya, dan memiliki kandungan sumberdaya ikan yang sangat besar, sudah tentu wajib menjaga dan melestarikan sumberdaya tersebut untuk tetap lestari dan berkelanjutan. Penanganan dan pemanfaatannya merupakan kewenangan daerah di wilayah laut sebagaimana diamanatkan dalam pasal 10 UU 22/1999, dan pasal 18 UU 34/2004 yang mencakup eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan laut sebatas wilayahnya (Suharyanto, 2005). Menurut hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Halmahera Utara, berbagai program telah dilaksanakan untuk dapat menggarap potensi yang ada, seperti pengembangan alat penangkapan ikan, peningkatan SDM nelayan, penanganan hasil tangkapan dan program-program lainnya yang dilakukan untuk dapat meningkatkan peran serta nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada secara baik dan benar. Namun dalam kenyataannya, penggunaan bom oleh nelayan dalam penangkapan ikan masih tetap ada di beberapa lokasi perairan dalam wilayah Kabupaten Halmahera Utara. Penggunaan bom oleh nelayan setempat, dilakukan secara sembunyisembunyi pada areal pantai yang jauh dari pemukiman untuk menghindari petugas ataupun aparat kepolisian. Bahan baku yang mudah diperoleh, proses perakitan yang sederhana, dan jumlah tangkapan yang lebih banyak dalam waktu singkat, membuat masyarakat nelayan setempat melengkapi alat penangkapan ikannya 4 dengan bom. Ancaman resiko cacat dan kematian yang mungkin terjadi bisa diabaikan, pengalaman-pengalaman yang tinggi dan rendahnya pengetahuan serta kemiskinan yang dialami oleh nelayan, dapat menjadi pengaruh yang menyebabkan nelayan menggunakan alat tangkap tersebut. Kondisi ini apabila tetap dilakukan oleh nelayan, bisa berdampak buruk bagi kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya ikan yang ada di perairan Kabupaten Halmahera Utara. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1 Mengidentifikasi alasan-alasan nelayan menggunakan bom dalam penangkapan ikan di lokasi penelitian. 2 Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi nelayan menggunakan bom dalam penangkapan ikan di lokasi penelitan. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1. Bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Utara dan jajarannya, serta lembaga-lembaga lainnya, dalam penentuan dan pengelolaan program-program perikanan. 2. Bahan masukkan dan informasi bagi berbagai kalangan pemerhati lingkungan, khususnya pada pemerhati perikanan laut. 3. Menambah referensi khasanah keilmuan terkait dengan kondisi perikanan di perairan Kao Utara. 1.5 Kerangka Pemikiran Kabupaten Halmahera Utara memiliki potensi sumberdaya ikan yang cukup besar. Potensi sumber daya ikan ini, terdiri dari beragam ikan dan hewan laut yang bernilai ekonomis tinggi. Kegiatan penangkapan ikan di perairan ini dilakukan dengan menggunakan pancing ulur, jaring, dan berbagai alat tangkap lainnya, yang merupakan jenis-jenis alat tangkap yang ramah lingkungan dan direkomendasikan untuk digunakan di areal perairan. Disamping alat tangkap ramah lingkungan tersebut, beberapa nelayan juga masih menggunakan alat 5 penangkapan ikan tidak ramah lingkungan (unfriendly technology), seperti: bom ikan. Fenomena yang menarik perhatian banyak pihak adalah penggunaan bom ikan (blast fishing). Tingkat kerusakan penggunaan teknologi bom terhadap lingkungan perairan sangat signifikan dan mempunyai resiko tinggi terhadap nelayan, namun kegiatan ini masih tetap dilakukan bahkan dengan intensitas yang semakin tinggi. Sayangnya tidak ada data kuantitatif yang akurat tentang isu ini, hanya secara kualitatif dirasakan keberadaannya pada beberapa nelayan yang berada di Kabupaten Halmahera Utara. Sudah tentu oleh masyarakat nelayan setempat memiliki alasan-alasan yang kuat dalam penggunaan alat penangkapan yang merusak ini. Oleh karena itu, dilakukan analisis yang sistematis terhadap berbagai faktor yang diduga dapat mempengaruhi penggunaan bom, seperti umur, pendidikan dan pendapatan. Seseorang dikatakan miskin apabila belum mampu memenuhi kebutuhan fisik manusia, meliputi papan, pangan dan sandang, mental spiritual (pendidikan) dan sosial. Tingkat pemenuhan kebutuhan tersebut ditentukan oleh tingkat pendapatan serta kemudahan dalam memperoleh materi kebutuhan pokoknya (Muhsin, 1994). Walaupun resiko yang dihadapi oleh nelayan terbilang besar dalam menggunakan bom dalam penangkapan ikan, seperti cacat parmanen dan kematian, namun demi memperjuangkan kehidupan yang lebih baik, hal tersebut tetap masih dilakukan. Berdasarkan uraian di atas, muncul beberapa pertanyaan mendasar terkait dengan penggunaan bom dalam penangkapan ikan di perairan Halmahera Utara, yaitu : 1. Mengapa masyarakat nelayan di Kabupaten Halmahera Utara menggunakan bom dalam penangkapan ikan? 2. Sejauh mana keterlibatan masyarakat nelayan di Kabupaten Halmahera Utara menggunakan bom dalam penangkapan ikan? Untuk mempermudah memahami fenomena tersebut, maka dilakukan pengkajian sistematis terkait dengan penggunaan bom dalam penangkapan ikan di Kabupaten Halmahera Utara. Hasil dari kajian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi pihak-pihak terkait, guna penanggulangan penangkapan ikan yang menggunakan bom agar potensi sumberdaya ikan tetap lestari dan usaha 6 penangkapan ikan dapat berkelanjutan. Adapun kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Potensi Sumberdaya Ikan Kabupaten Halmahera Utara Masyarakat nelayan Alat tangkap tradisional (ramah lingkungan) Karakteristik Nelayan Pengguna Bom Ikan (destruktif) Faktor-faktor yang mempengaruhi Umur Pendidikan Pendapatan Analisis Regresi Berganda Alasan alasan nelayan menggunakan bom ikan Analisis Deskriptif Rekomendasi Penanggulangan Bom Ikan Pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 1.6 Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah penggunaan bom oleh nelayan di Kabupaten Halmahera Utara dipengaruhi oleh faktor umur, pendidikan dan pendapatan nelayan. 7 2 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Pengeboman Ikan Destructive fishing merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi pelanggaran hukum. Secara umum, maraknya destructive fishing disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) Rentang kendali dan luasnya wilayah pengawasan tidak seimbang dengan kemampuan tenaga pengawas yang ada saat ini, (2) Terbatasnya sarana dan armada pengawasan di laut, (3) Lemahnya kemampuan SDM nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi, (4) Masih lemahnya penegakan hukum, (5) Lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak hukum (Mukhtar, 2007). Pengeboman ikan adalah cara penangkapan ikan yang sangat merusak, dan juga ilegal di seluruh Indonesia. Bom buatan sendiri dibuat dengan mengemas bubuk ke dalam botol bir atau minuman ringan. Sumbu biasanya dibuat dari kepala korek yang digerus dan dimasukkan ke dalam pipa sempit, lalu diikat kuat dengan kawat. Sumbu dinyalakan lalu botol dilemparkan ke dalam air. Bom akan meledak di bawah air dan memberikan guncangan fatal di sepanjang perairan, yang dapat membunuh hampir semua makhluk hidup di sekitarnya. Nelayan hanya mengumpulkan ikan konsumsi yang berharga, tetapi banyak ikan dan hewan laut lain ditinggalkan dalam keadaan mati di antara pecahan karang yang mungkin tidak dapat pulih kembali (Erdmann, 2004). Kerusakkan terumbu karang terindikasi oleh faktor fisik seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, dan pengambilan biota laut lainnya dengan benda keras, seperti pembongkaran terumbu karang dengan menggunakan linggis (Suharyanto, 2006). Alat tangkap destruktif yang digunakan di Indonesia pada umumnya adalah bom dan bius. Penggunaan bom dimaksudkan untuk mencegah ikan lolos melarikan diri setelah ditangkap sebelum diangkat naik ke kapal/perahu. Ikan dibom dulu supaya mati, lalu tinggal dipunguti, dimasukkan ke jaring, lalu diangkat naik ke atas kapal atau perahu. Sebelum membom ikan, di atas 8 kapal/perahu, para nelayan biasanya mengamati terlebih dahulu kualitas (dalam hal ini jenisnya) dan kuantitas ikan yang akan dibom. Ritual ini untuk memprakirakan berapa keuntungan mereka kelak jika membom suatu jenis ikan, termasuk di dalamnya menghitung biaya yang sudah dikeluarkan untuk membeli mesin dan alat tangkap, bagi hasil dengan punggawa, sampai penjualannya. Setiap kilogram bom yang meledak, radius menghancurkan bisa mencapai 5 meter. Bisa dibayangkan berapa ratus ribu bahkan mungkin ratus juta biota laut yang ikut rusak dan mati terkapar tak berdaya jika radius 250 kg bom menjangkau ribuan meter. Apalagi jika ditambah makhluk-makhluk laut (misalnya plankton) yang tidak kasat mata (mikroskopis). Ini hanya untuk satu jenis alat tangkap, yakni bom. Alat dan bahan yang digunakan untuk merakit bom di antaranya detonator (umumnya berjenis 66 dan 88), bubuk bom yang dicampur minyak tanah, laddo sebagai pemberat agar bom mudah tenggelam hingga ke dasar laut, penyulut (biasanya obat nyamuk) untuk menyalakan sumbu, pappaca’ (pemadat), kantong plastik untuk membungkus detonator agar tidak basah terkena air, kemasan (botol minuman, jerigen, atau galon) dan sumbu untuk membakar. Ada berbagai ukuran sumbu yang digunakan, misalnya 12 cm, 7 cm, 5 cm, 3 cm, dan 2 cm ,tergantung kedalaman laut lokasi penangkapan. Jika lautnya dalam, maka sumbunya harus panjang, dan jika lautnya dangkal, sumbunya juga harus pendek. Ini dimaksudkan agar bom meledak tepat waktu dan sasaran. Sumbu yang ukurannya 2 cm disebut juga sumbu bismillah sebab pembom harus mengucapkan ”Bismillah” tepat di saat bom dilepas ke laut supaya tidak meledak di tangan. Ikan target pemboman biasanya ikan yang bergerombol (sejenis) dan ikan yang berlindung/berkumpul di karang-karang (tidak sejenis). Adapun ciri-ciri ikan yang sudah dibom di antaranya tulangnya patah-patah, mata menonjol keluar dan dagingnya lembek (Anonimous, 2008). Penggunaan bahan peledak seperti bom dapat memusnahkan biota dan merusak lingkungan. Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di sekitar daerah terumbu karang, menimbulkan efek samping yang sangat besar, selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan, juga dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan. Penggunaan bahan peledak berpotensi menimbulkan kerusakan yang luas 9 terhadap ekosistem terumbu karang. Penangkapan ikan dengan cara menggunakan bom, mengakibatkan biota laut seperti karang menjadi patah, terbelah, berserakan dan hancur menjadi pasir, dan meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang. Indikatornya adalah karang patah, terbelah, tersebar berserakan dan hancur menjadi pasir, meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang (Mukhtar, 2007). Mukhtar (2007) lebih lanjut mengatakan bahwa, secara umum penanganan destructive fishing dapat dilakukan dengan cara: 1. Meningkatkan kesadaran masyarakat melalui sosialisasi, penyuluhan atau penerangan terhadap dampak negatif yang diakibatkan oleh penangkapan ikan secara illegal. 2. Mencari akar penyebab kenapa destructive fishing itu dilakukan, apakah motif ekonomi atau ada motif lainnya, dan setelah diketahui permasalahan, upaya selanjutnya melakukan upaya preventif. 3. Meningkatkan penegakan dan penaatan hokum. 4. Melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya ikan. 5. Perlu adanya dukungan kelembagaan dari pemerintah, yang artinya harus ada yang mengurusi kasus ini. 2.2 Mata Pencaharian Alternatif Kegiatan mata pencaharian alternatif bertujuan untuk menyediakan jenis usaha berkelanjutan bagi masyarakat yang selama ini melakukan kegiatan usaha yang bersifat tidak ramah lingkungan. Mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan ini harus menguntungkan dan tidak merusak lingkungan. Kelompok masyarakat yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi yang merusak lingkungan seperti penangkapan dengan bom atau meting, perlu merubah jenis usahanya sebelum terlambat dan tidak ada yang tersisa untuk generasi mendatang (Erdmann, 2004). Pomeroy and Williams (1999) diacu dalam Nikijuluw (2002), menyatakan bahwa keberhasilan manajemen sumberdaya perikanan lebih bergantung pada keterlibatan atau partisipasi pemegang kepentingan (stakeholder). Jika nelayan adalah salah satu pemegang kepentingan tersebut, 10 biarkanlah nelayan memutuskan sendiri keinginan dan tujuannya. Jika keinginannya untuk meningkatkan pendapatan, hal tersebut harus ditempatkan sebagai salah satu tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan. Fakor-faktor yang menyebabkan pendapatan nelayan rendah antara lain adalah unit penangkapan yang terbatas yang dikarenakan penguasaan teknologi yang rendah, skala usaha/modal yang dimiliki kecil dan masih bersifat tradisional. Kemampuan nelayan dalam memanfaatkan peluang usaha dan mengatasi tantangan lingkungan yang rendah, dikarenakan masyarakat yang masih bergantung pada musim penangkapan. Dalam penentuan fishing ground, nelayan yang mempunyai izin untuk melakukan operasi di tempat tersebut akan memperoleh hasil yang banyak, tetapi bagi nelayan yang tidak memiliki akses ke lokasi yang produktif tersebut, selain hasil tangkapan yang tidak maksimal juga biaya operasi yang tinggi. Eksternalitas teknologi terjadi karena nelayan cenderung melakukan penangkapan ikan pada lokasi yang sama, atau setidaknya saling berdekatan satu dengan yang lain, sehingga terjadi pertemuan antara alat tangkap ikan yang digunakan, yang menjurus pada kerusakan atau perusakan (Nikijuluw, 2002). Faktor lainnya adalah law enforcement yang tidak berpihak kepada nelayan, diantaranya terjadinya ego sektoral, regulasi yang tidak mendukung, terbatasnya peran kelembagaan, baik pemerintah maupun non pemerintah, penetapan bahan baku (ikan) yang kurang adil, belum ditetapkannya undang-undang anti monopoli, pembagian keuntungan yang tidak proporsional, dan kebijakan ekonomi secara mikro yang lebih banyak memberikan kerugian di pihak nelayan, dibandingkan memberikan keuntungan. 2.3 Pemberdayaan Masyarakat Bantuan dari pemerintah dapat diberikan kepada pihak swasta (pengusaha kecil) maupun kepada koperasi. Bentuk campur tangan pemerintah ini dapat berupa pemberian kredit produksi dengan bunga rendah tanpa agunan, pembebasan bea masuk komponen-komponen alat pengolahan dan unit penangkapan, pembebasan PPN penjualan dalan negeri, pengembangan teknologi pengolahan yang tepat guna, penetapan UMR bidang perikanan dan kemudahan perizinan investasi. Peningkatan pendapatan nelayan diukur dari tingkat upah 11 berdasarkan upah minimum regional. Efisiensi tata niaga diukur dari keuntungan masing-masing biaya perniagaan (harga ikan segar, biaya angkut, restribusi TPI) dan keuntungan pedagang pengumpul. Efektifitas ekspor dapat dilihat dari jumlah dan nilai ekspor produk perikanan dan kontribusi ekspor produk perikanan terhadap PDB nasional. Perluasan lapangan kerja dapat diukur dari persentase angkatan kerja yang terserap. Peningkatan devisa dapat diukur dari persentase peningkatan sumbangan devisa dari ekspor produk-produk perikanan. Parameter kebijakan berdasarkan pada tercapainya seluruh output yang dikehendaki seoptimal mungkin, dan menghindari munculnya output yang tidak dikehendaki, (Sari, 2004). Kusnadi (2003), menganalisa bahwa terdapat sebab yang kompleks mengapa kemiskinan nelayan terus terjadi. Ia menjelaskan ada sebab internal dalam masyarakat nelayan dan ada problem eksternal. Sebab internal antara lain: keterbatasan sumber daya manusia, kemampuan modal usaha, relasi pemiliknelayan buruh, kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan dan ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut. Sebab kemiskinan yang bersifat eksternal yang berkaitan dengan kondisi di luar diri dan aktivitas kerja nelayan, antara lain: kebijaksanaan pembangunan perikanan yang berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, sistem pemasaran hasil perikanan yang mengundang pedagang perantara, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan, penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan, dan kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun. Lebih lanjut Kusnadi (2003) menambahkan bahwa problem kemiskinan masyarakat nelayan mulai muncul ke permukaan, setelah satu dekade dilaksanakannya kebijakan nasional tentang motorisasi perahu dan modernisasi peralatan tangkap pada awal tahun 1970-an. Kebijakan ini dikenal dengan istilah revolusi biru (blue revolution). Proyek besar ini berimplikasi pada keserakahan sosial atas sumber daya perikanan yang mendorong setiap individu untuk berkuasa penuh terhadap sumber daya tersebut. Keserakahan ini akan berakibat pada kelangkaan sumber daya perikanan. Kompetisi yang semakin tinggi dan 12 kesenjangan akses dan pendapatan yang berimplikasi pada timbulnya kesenjangan sosial ekonomi antar pengguna sumber daya perikanan. Kebijakan motorisasi dan modernisasi, ternyata banyak menimbulkan kritik dari berbagai pihak. Beberapa penelitian memperlihatkan dampak negatif dari proyek yang dikenal dengan istilah blue revolution ini. Donald K. Emerson (1979) diacu dalam Mubyarto et al. (1984) menyatakan bahwa, pemberian bantuan teknologi motorisasi, memberikan dampak negatif bagi produktivitas nelayan; karena motorisasi, ikan-ikan yang semula biasa ditangkap nelayan tradisional akan disedot oleh nelayan yang memiliki kapal modern bermesin dengan alat yang berdaya tangkap besar. Purna (2000), menyatakan bahwa salah satu permasalahan mendasar bagi pembangunan kelautan dan perikanan, khususnya yang bergerak dalam skala mikro dan kecil adalah sulitnya akses permodalan dari lembaga keuangan/perbankan formal. Akibatnya nelayan seringkali terjerat oleh renteneer yang menawarkan pinjaman dengan cepat dan mudah, namun diimbangi dengan tingkat bunga yang tinggi. Keterbatasan permodalan ini diperburuk dengan sistem penjualan yang cenderung dimonopoli oleh para tengkulak. Akibatnya nelayan tidak memiliki bargaining power yang memadai sehingga pendapatan yang diperoleh habis untuk bayar hutang dan makan. Lingkaran kemiskinan ini selalu berputar dan menyebabkan di sektor kelautan dan perikanan lekat dengan kemiskinan. Peran lembaga perbankan dalam penyaluran kredit komersial untuk membantu pemgembangan usaha kecil dan menengah tidak efektif. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan bank-bank umum mendanai sektor-sektor usaha yang bergerak dalam bidang industri pengolahan hasil laut, serta pedagang besar hasil laut, dan belum menyentuh pada nelayan secara individu. Hal ini disebabkan oleh kebijakan prudential banking serta persyaratan pada pemberian kredit yang ditetapkan oleh otoritas moneter, yang memberikan batasan gerak bagi perbankan umum, untuk dapat menjangkau masyarakat miskin, khususnya masyarakat miskin yang ada di daerah pesisir (Saleh, 2004). Selanjutnya dikatakan bahwa, keterbatasan yang selama ini cukup dominan dalam pemberian kredit kepada masyarakat/pelaku ekonomi di daerah pesisir adalah, penyediaan 13 jaminan yang merupakan syarat pemberian kredit oleh bank umum. Fasilitas kredit yang diberikan untuk membantu kelancaran usaha lebih dikenal dengan kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan perbankan guna membantu para pengusaha untuk memperlancar dan meningkatkan kegiatan usahanya, yang terdiri dari kredit investasi dan kredit modal kerja. 2.4 Pengelolaan Perikanan yang Berkelanjutan (Berwawasan Lingkungan) Dalam rangka mendayagunakan potensi perikanan secara optimal sebagai ujung tombak perekonomian daerah, maka kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan di Kabupaten Halmahera Utara diarahkan untuk : 1. Memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan. 2. Meningkatkan penerimaan devisa negara dari ekspor hasil perikanan. 3. Meningkatkan kesejahteraan nelayan. 4. Meningkatkan kecukupan gizi dari hasil perikanan. 5. Meningkatkan penyerapan tenaga kerja di bidang kelautan dan perikanan. Untuk pencapaian tujuan yang telah digariskan, maka perlu adanya dukungan kebijakan pemerintah terhadap beberapa komponen yang mencakup kebijakan tentang infrastruktur, kebijakan sumberdaya nelayan, kebijakan perikanan tangkap, kebijakan perikanan budidaya, kebijakan pemasaran hasil perikanan, serta pembangunan dan pengembangan pelabuhan perikanan. Secara umum, teknologi ramah lingkungan adalah teknologi yang hemat sumberdaya lingkungan (meliputi bahan baku material, energi dan ruang), dan karena itu juga sedikit mengeluarkan limbah (baik padat, cair, gas, kebisingan maupun radiasi) dan rendah resiko menimbulkan bencana. Penggunaan kapal perikanan modern yang lebih ramah lingkungan perlu dikembangkan, yakni yang menggunakan mesin dan sekaligus layar mekanis. Layar dapat dikembangkan otomatis jika arah dan kecepatan angin menguntungkan. Penggunaan energi angin dapat menghemat bahan bakar hingga 50%. Teknologi energi dan transportasi yang ramah lingkungan termasuk yang saat ini paling dilindungi oleh industri negara maju dan karenanya paling mahal. Namun, teknologi modern yang ramah lingkungan ini sangat diperlukan dalam 14 pengelolaan sumber daya laut meskipun mengeluarkan biaya yang tidak sedikit (http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/agribisnis/1id30666.html). Secara teoritis, ada dua bentuk regulasi dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, yakni open access dan controlled access regulation. Open access adalah regulasi yang membiarkan nelayan menangkap ikan dan mengeksploitasi sumber daya hayati lainnya kapan saja, dimana saja, berapapun jumlahnya, dan dengan alat apa saja. Regulasi ini mirip ”hukum rimba” dan ”pasar bebas”. Secara empiris, regulasi ini menimbulkan dampak negatif, antara lain apa yang dikenal dengan tragedy of common baik berupa kerusakan sumber daya kelautan dan perikanan maupun konflik antar nelayan. Sebaliknya, contolled access regulation adalah regulasi terkontrol yang dapat berupa (1) pembatasan input (input restriction), yakni membatasi jumlah pelaku, jumlah jenis kapal, dan jenis alat tangkap, (2) pembatasan output (output restriction), yakni membatasi berupa jumlah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan kuota. formulasi dari pembatas input itu menekankan penggunaan fishing adalah right territorial (hak use memanfaatkan Salah satu right yang sumberdaya perikanan) dalam suatu wilayah tertentu dalam yurisdiksi yang jelas. Pola fishing right system ini menempatkan pemegang fishing right yang berhak melakukan memiliki kegiatan fishing perikanan right tidak di suatu diizinkan wilayah, sementara yang tidak beroperasi di wilayah itu (http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian /agribisnis/1id30666.html). Selain diatur siapa yang berhak melakukan kegiatan perikanan, juga diatur kapan dan dengan alat apa kegiatan perikanan dilakukan. Sistem yang menjurus pada bentuk pengkavlingan laut ini menempatkan perlindungan kepentingan nelayan kecil yang beroperasi di wilayah pantai-pesisir serta kepentingan kelestarian fungsi sumber daya sebagai fokus perhatian. UU No. 32 tahun 2004 yang membuat pengaturan tentang yurisdiksi laut provinsi (12 mil) dan kabupaten/kota (4 mil) mengindikasikan bahwa produk hukum itu menganut konsep pengkavlingan laut. Konsep pengkavlingan laut merupakan instrumen dari konsep regulasi akses terkontrol (contolled access regulation) dalam pola pembatasan input (territorial use right). UU No. 32 tahun 2004 sebenarnya entry point penerapan territorial use right. 15 2.5 Perikanan Tangkap Perikanan tangkap adalah usaha ekonomi dengan mendayagunakan sumber hayati perairan dan alat tangkap untuk menghasilkan ikan dan memenuhi permintaan akan ikan (Achmad, 1999). Pengusahaan perikanan yang tidak terawasi dapat mengakibatkan penangkapan yang berlebih (overfishing), penurunan mutu, bahkan dapat merusak produktivitasnya (Naamin, 1991). Sumberdaya ikan terdiri dari ikan pelagis dan ikan demersal, dimana ikan pelagis mencakup ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil yang hidup di pemukaan laut atau didekatnya (Djatikusumo, 1975; Merta et al., 1998). Ikan pelagis yang banyak terdapat di wilayah perairan dekat pantai adalah pelagis kecil, misalnya ter, kembung, laying, selar dan bentong (Merta et a.,l 1998). Ikan demersal merupakan kelompok ikan yang hidup di dasar atau dekat dasar perairan, dimana beberapa spesiesnya merupakan spesies ikan karang yang mempunyai nilai ekonomis penting, yakni bambangan (Lutjanidae), kerapu (Serranidae), baronang (Siganidae) ekor kuning (caesionidae) serta speciesspecies ikan hias seperti napoleon (Labridae) dan ikan konsumsi lainnya (Aoyama, 1973; Badrudin et a.,l 1998; Djamali et al., 1998). Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang sifatnya terbatas dan dapat pulih (renewable), yang berarti bahwa setiap pengurangan yang disebabkan kematian maupun penangkapan akan dapat memulihkan sumberdaya tersebut kembali ke tingkat produktivitas semula (Anonymous 1993). Namun apabila tekanan pengusahaan atau penangkapan tersebut cukup tinggi intensitasnya hingga melampaui daya dukung, maka untuk pulih kembali akan memerlukan waktu yang relatif lama (Anonymous, 1993; Dahuri, 1999). Sumber daya dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (mariculture). Sumber daya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas (Dahuri, 2000; Halim, 2003). 16 2.5.1 Alat penangkapan ikan Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan karang umumnya bersifat pasif sehingga dibutuhkan suatu pemikat, agar ikan berenang mendekati alat tangkap. Contoh pemikat ini adalah umpan. Saat ini terdapat berbagai jenis alat yang dapat digunakan untuk menangkap ikan-ikan karang. Secara umum alat penangkap ikan tersebut tergolong kedalam jenis bubu, muro ami dan teknik lain dengan menggunakan peledak dan racun (Antariksa dan Bandiyono, 1999). Alat tangkap ikan yang merupakan salah satu sarana pokok adalah penting dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan secara optimal dan berkelanjutan (Anonymous, 1993). Adapun jenis alat tangkap yang dominan digunakan, mencakup jaring insang (gill net), rawai (longline), pukat cincin (purse seine) dan jaring udang (trawl) (Ayward, 1992; Mulyanto, 1995). Jaring insang merupakan alat tangkap yang mempunyai besar mata jaring yang disesuaikan dengan sasaran ikan atau non-ikan yang akan ditangkap. Ikan tertangkap karena terjerat pada bagian tutup insangnya (Subani dan Barus, 1989; Mulyanto, 1995). Rawai merupakan alat tangkap yang berbentuk rangkaian tali temali panjang yang bercabang-cabang dan setiap ujung cabangnya diikatkan sebuah mata pancing (hook) dengan berbagai ukuran (Hayward, 1992; Subani dan Bares, 1989). Pukat cincin merupakan alat tangkap yang dilengkapi dengan cincin dan tali kerut pada bagian bawah jaring, yang gunanya untuk menyatukan bagian bawah jaring sewaktu operasi dengan cara menarik tali kerut tersebut ( Hayward, 1992; Mulyanto, 1995; Subani dan Bares, 1989). Pukat udang dari segi operasionalnya sama dengan pukat harimau yang penggunaannya dilarang oleh pemerintah (Keppres No.39 tahun 1980) , yang membedakan adalah adanya tambahan alat pemisah ikan (Subani dan Bares, 1989; Mulyanto, 1995). Perkembangan alat penangkap ikan di Kabupaten Halmahera Utara sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 menurut jenis alat tangkap, disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa alat tangkap pukat pantai mempunyai jumlah yang tetap selama selang waktu 2004-2008. Beberapa jenis alat tangkap yang mengalami kenaikkan jumlah yang relatif kecil adalah: alat tangkap pukat 17 cincin, jaring lingkar, trammel net, bagan tancap, rawai tetap, rawai tuna, pancing tonda dan sero. Tabel 1 Jumlah unit penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Jumlah alat menurut tahun Alat tangkap menurut jenisnya No Pukat pantai Pukat cincin Jaring lingkar Jaring insang hanyut Jaring insang tetap Jaring klitik Trammel net Bagan perahu Bagan tancap Rawai tetap Rawai tuna Rawai hanyut Huhate Pancing tonda Pancing ulur Sero Bubu 2004 23 32 26 43 35 4 16 59 7 21 32 8 50 122 859 2 27 2005 23 33 28 43 35 4 17 60 8 21 33 7 52 124 939 4 27 2006 23 37 28 43 35 4 17 60 8 22 33 8 53 124 1.029 4 30 2007 23 37 28 41 33 3 18 60 8 22 34 10 55 124 1.155 4 27 2008 23 40 30 41 33 3 18 40 8 22 34 10 40 140 1.250 4 26 Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara, 2009. Alat tangkap yang mengalami kenaikkan jumlah yang cukup signifikan pada setiap tahun yaitu: pancing ulur. Alat tangkap yang mengalami penurunan jumlah sampai pada akhir tahun 2008 yaitu: jaring insang hanyut, jaring insang tetap, jaring klitik, bagan perahu, huhate dan bubu. Jumlah unit penangkapan tersebut melaksanakan operasi penangkapan sebanyak sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan jumlah tripnya bahwa fluktuasi jumlah trip setiap tahun selang periode 2004-2008 tidak sama dengan fluktuasi jumlah alat tangkap, kecuali pada alat tangkap pancing ulur, terlihat jelas terjadi kenaikkan jumlah trip setiap tahun secara signifikan. Jumlah trip penangkapan menunjukkan besarnya aktivitas penangkapan dari setiap alat penangkapan dalam beroperasi. 18 Tabel 2 Jumlah trip penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Alat tangkap menurut jenisnya Pukat pantai Pukat cincin Jaring lingkar Jaring insang hanyut Jaring insang tetap Jaring klitik Trammel net Bagan perahu Bagan tancap Rawai tetap Rawai tuna Rawai hanyut Huhate Pancing tonda Pancing ulur Sero Bubu Jumlah trip menurut tahun 2004 2005 2006 2007 2008 5.796 5.646 5.106 5.244 5.380 6.680 7.600 8.140 7.548 8.200 6.240 6.320 5.712 5.600 6.240 4.320 4.343 4.301 4.018 4.961 7.400 7.140 7.022 7.194 7.260 402 432 435 324 331 3.005 3.060 3.043 3.564 3.672 1.872 9.840 9.509 9.840 6.720 588 640 672 669 656 2.764 3.549 3.696 3.586 3.960 5.376 5.544 5.537 6.120 6.188 1.524 1.428 1.632 1.800 1.790 9.088 10.608 10.812 11.220 7.860 21.600 24.396 25.296 29.140 28.021 254.880 262.639 276.221 296.835 317.500 168 176 180 200 232 2.268 2.510 2.670 2.144 2.755 Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara, 2009. Fluktuasi jumlah trip disesuaikan dengan keadaaan iklim dan cuaca pada setiap tahunnya. Perubahan-perubahan cuaca dan iklim yang tidak seragam setiap tahun membuat kesempatan melaut juga berbeda setiap tahun. Sekalipun demikian diharapkan dunia perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera Utara dapat menjawab tantangan peningkatan taraf hidup masyarakat di waktu yang akan datang. 2.5.2 Armada perikanan Unit penangkapan ikan yang ada di Kabupaten Halmahera Utara terdiri dari beberapa unit penangkapan ikan yang mencakup kapal, alat tangkap dan nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah penangkapan. Dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, kapal perikanan didefinisikan sebagai perahu, kapal, atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, mendukung 19 operasi pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan. Kategori berdasarkan ukuran kapal atau perahu di Indonesia menurut Statistik Kelautan dan Perikanan (Ditjen Perikanan Tangkap DKP, 2005) terdiri atas tiga kategori yaitu: (1) Perahu Tanpa Motor (2) Motor Tempel, dan (3) Kapal Motor, yang selanjutnya terbagi menurut ukuran Gross Tonagenya yaitu: < 5 GT; 5-10 GT; 10-20 GT; 20-30 GT; 30-50 GT; 50-100 GT; 100200 GT dan > 200 GT. Perkembangan jumlah kapal perikanan di Kabupaten Halmahera Utara, disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, terlihat dengan jelas bahwa kapal penangkap didominasi oleh Kapal motor berukuran 0 – 5 GT. Kapal motor jenis ini di Kabupaten Halmahera Utara didominasi oleh perahu jenis pambut dengan mesin jenis katinting. Perahu jenis ini banyak digunakan karena memiliki daya jelajah yang cukup jauh, serta mampu bergerak dalam keadaan laut yang bergelombang karena bahan perahunya yang ringan, dan memiliki keseimbangan yang baik. Tabel 3 Jumlah nelayan menurut jenis ukuran kapal di Halmahera Utara No 1 2 3 Tahun PTM Motor Tempel Kapal Motor : 0 - 5 GT 5 - 10 GT 10 - 20 GT 20 - 30 GT 30 - 50 GT 50 - 100 GT 100 - 200 GT > 200 GT 2004 2005 2006 2007 2008 318 183 346 205 415 263 451 290 455 348 762 50 17 - 865 58 21 - 1.021 60 25 - 1.117 62 27 - 1.176 64 31 - Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara, 2009. 20 2.5.3 Nelayan Penduduk Kabupaten Halmahera Utara pada tahun 2009 tercatat sebanyak 163.836 jiwa. Bila dibandingkan dengan luas wilayah daratannya, maka tingkat kepadatan penduduk di wilayah Kabupaten Halmahera Utara pada setiap kecamatan dapat disajikan seperti pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa, penyebaran penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Tobelo, yaitu 746 jiwa/km2, sedangkan konsentrasi yang relatif rendah terdapat di Kecamatan Kao Barat dan Tobelo Barat, yakni masing-masing sebanyak 14 jiwa/km2 dan 15 jiwa/km2. Adapun faktor yang mempengaruhi tidak meratanya persebaran penduduk adalah faktor topografi wilayah dan kurangnya aksebilitas jalan yang berakibat rendahnya kegiatan perekonomian di daerah-daerah tersebut. Tabel 4 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Jumlah dan tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Halmahera Utara, tahun 2009 Kecamatan Jumlah penduduk (jiwa) menurut kecamatan di Luas daerah (km2) Kao Teluk 6.911 135,4 Malifut 10.349 374,1 Kao 7.212 111,2 Kao Barat 8.632 596,7 Kao Utara 7.112 128,8 Tobelo Barat 4.497 294,7 Tobelo Timur 6.828 120 Tobelo Selatan 13.411 204,3 Tobelo Tengah 10.713 56 Tobelo 24.604 33 Tobelo Utara 10.427 100,4 Galela 7.910 138,7 Galela Selatan 8.948 84,5 Galela Barat 9.636 45,5 Galela Utara 8.951 255,3 Loloda Utara 10.231 390,4 Loloda Kepulauan 7.464 63,3 Jumlah 163.836 3.132 Sumber: Dinas Catatan Sipil Kabupaten Halmahera Utara, 2009. Kepadatan penduduk (jiwa/km2) 51 28 65 14 55 15 57 66 191 746 104 57 106 212 35 26 118 21 Nelayan adalah orang ikan/binatang air lainnya dilaut. yang mata pencahariannya menangkap Secara umum nelayan dapat dikategorikan sebagai : nelayan tetap, nelayan sambilan utama, nelayan sambilan tambahan, nelayan pengusaha, maupun buruh nelayan dan biasanya bermukim didaerah pesisir sehingga sering disebut sebagai masyarakat pesisir (Sari, 2004). Menurut Undang-undang (UU) No 31 tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan adalah orang yang mata pencariannya melakukan penangkapan ikan. Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan, binatang air lainnya atau tanaman air. Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat atau perlengkapan ke dalam perahu atau kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap dimasukkan sebagai nelayan, walaupun tidak secara langsung melakukan penangkapan. Berdasarkan curahan waktu kerjanya nelayan dibedakan menjadi: 1. Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan 2. Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan 3. Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil dari waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan (Direktorat Jenderal Perikanan, 1999). Menurut Hermanto (1986), berdasarkan bagian yang diterima dalam usaha penangkapan ikan, nelayan dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu: 1. Juragan darat adalah orang yang mempunyai perahu dan alat penangkapan ikan laut. Juragan darat hanya menerima bagi hasil tangkapan yang diusahakan oleh orang lain. Pada umumnya juragan darat menanggung seluruh biaya operasi penangkapan. 2. Juragan laut adalah orang yang tidak punya perahu dan alat tangkap, tetapi bertanggung jawab dalam operasi penangkapan ikan di laut. 3. Juragan darat-laut adalah orang yang memiliki perahu dan alat tangkap sekaligus ikut dalam operasi penangkapan ikan di laut. Juragan darat-laut 22 menerima bagi hasil sebagai nelayan dan bagi hasil sebagai pemilik unit penangkapan. 4. Buruh atau pandega adalah orang yang tidak memiliki unit penangkapan dan hanya berfungsi sebagai anak buah kapal, umumnya menerima bagi hasil tangkapan dan jarang diberikan upah harian. 5. Anggota kelompok adalah orang yang berusaha pada suatu unit penangkapan secara berkelompok. Perahu yang dioperasikannya adalah perahu yang dibeli dari modal yang dikumpulkan oleh semua anggota kelompok. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 mendefinisikan nelayan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkapan dikategorikan sebagai nelayan meskipun mereka tidak melakukan kegiatan menangkap (Dirjen Perikanan Tangkap 2004). Dengan demikian maka yang dimaksud dengan nelayan adalah semua orang yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Selanjutnya berdasarkan waktu yang dialokasikan untuk melakukan penangkapan ikan, nelayan dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu: 1. Nelayan yang seluruh waktunya dialokasikan untuk melakukan penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan penuh 2. Nelayan yang sebagian besar waktunya dialokasikan untuk melakukan penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan sambilan utama. Dalam kategori ini, nelayan dapat pula mempunyai pekerjaan lain 3. Nelayan yang sebagian kecil waktunya dialokasikan untuk melakukan penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan sambilan tambahan. Dalam kategori ini, nelayan mempunyai pekerjaan pokok yang lain. Sebagian besar nelayan di Kabupaten Halmahera Utara merupakan nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan, karena mereka mempunyai kebun, sehingga pada saat panen tanaman pertanian, mereka istirahat melaut. Jumlah nelayan menurut jenis alat periode tahun 2004–2008 lihat Tabel 5. 23 Tabel 5 Jumlah nelayan menurut jenis alat tangkap No Jumlah nelayan menurut jenisnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Pukat pantai Pukat cincin Jaring lingkar Jaring insang hanyut Jaring insang tetap Jaring klitik Trammel net Bagan perahu Bagan tancap Rawai tetap Rawai tuna Rawai hanyut Huhate Pancing tonda Pancing ulur Sero Bubu 2004 276 628 364 130 98 6 18 59 7 28 35 8 900 124 859 2 10 Jumlah trip menurut tahun 2005 2006 2007 276 646 358 130 98 6 20 60 8 28 38 7 930 126 939 4 10 274 722 360 130 98 6 20 61 8 30 38 9 954 126 1.029 4 10 276 722 360 120 86 5 22 61 8 30 40 11 990 126 1.155 4 10 2008 276 780 386 120 86 5 22 40 8 30 40 11 720 142 1.250 4 8 Sumber Data : DKP Kabupaten Halmahera Utara 2009. Tabel 5 menunjukkan bahwa nelayan sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing, berikut jaring insang tetap, pukat cincin, jaring lingkar dan huhate. Alat tangkap pancing dan jaring insang merupakan alat tangkap yang sederhana dengan mayoritas kepemilikan tunggal dengan tingkat penyerapan tenaga kerja per unit penangkapan sangat rendah. Pada kelompok alat ini, setiap unit penangkapan ikan menyerap 1 – 3 tenaga kerja saja. Alat tangkap pukat cincin, jaring lingkar dan huhate merupakan alat tangkap dengan daya penyerapan tenaga kerja yang tinggi per unit penangkapan. Setiap unit penangkapan dari ketiga jenis alat ini mampu menyerap tenaga kerja antara 12 – 20 orang bahkan terkadang ada yang lebih dari 20 orang. 24 2.5.4 Produksi Produksi hasil perikanan merupakan output dari proses penangkapan ikan. Produksi tersebut ditentukan oleh berbagai faktor seperti sarana penangkapan ikan, kemampuan atau keterampilan nelayan, manajemen, dan beberapa faktor lainnya termasuk infrastruktur pendukung seperti pelabuhan perikanan atau pangkalan pendaratan ikan. Data yang diperoleh dari hasil survei lapangan di seluruh Kabupaten Halmahera Utara, diperoleh data produksi dari setiap jenis alat tangkap untuk periode tahun 2004–2008, dapat disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Produksi ikan total menurut jenis alat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Jumlah produksi (ton) menurut tahun Alat tangkap Pukat pantai Pukat cincin Jaring lingkar Jaringinsang hanyut Jaring insang tetap Jaring klitik Trammel net Bagan perahu Bagan tancap Rawai tetap Rawai tuna Rawai hanyut Huhate Pancing tonda Pancing ulur Sero Bubu Jumlah 2004 417,688 4.858,05 354,883 224,924 231,884 4,257 96,61 2.962,76 257,643 287,416 877,615 117,922 4.683,22 742,804 620,401 9,758 52,006 2005 634,82 5.690,42 371,496 226,026 264,67 2,998 45,938 6.283,03 359,292 207,588 2.700,13 99,063 8.272,82 1.904,72 579,4 21,627 54,373 2006 501,407 5.847,04 376,284 272,039 285,237 4,066 89,968 2.853,66 231,719 477,624 1.232,78 142,215 7.860,60 1.337,26 569,838 8,264 55,34 2007 444,297 6.319,49 386,195 226,147 267,427 4,032 91,753 2.705,99 205,375 484,474 1.522,95 160,423 8.471,56 1.240,11 895,291 4,892 49,702 2008 615,194 8.625,46 439,9 181,431 245,757 3,188 166,886 3.146,17 122,681 535,3 2.148,58 235,03 7.773,09 1.506,32 1.213,72 3294 50,648 16.800 27.718 22.145 23.480 30.303 Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara 2009. Tabel 11 menunjukkan bahwa, sumbangan hasil tangkapan terbesar diperoleh dari operasi perikanan yang menggunakan perikanan pukat cincin dan huhate, dilihat dari rata-rata hasil tangkapan pertahun, maka alat tangkap huhate memberikan sumbangan terbesar, berikut adalah alat tangkap pukat cincin. Alat tangkap yang memberikan sumbangan hasil tangkapan paling rendah yaitu jaring klitik dan sero. 25 2.5.5 Pemasaran Komoditas perikanan yang dijual di pasar lokal di Kabupaten Halmahera Utara hampir seluruhnya berasal dari produksi perikanan tangkap dan dalam keadaan segar. Untuk ikan segar yang berukuran besar, biasanya sebelum dijual dipotong-potong terlebih dahulu menjadi beberapa potong. Ikan hasil tangkapan sebagian besar tanpa pengawet es. Ikan didaratkan dan diletakkan begitu saja di dalam keranjang plastik tanpa adanya upaya penanganan. Ikan diangkut atau menunggu untuk diangkut ke pasar tanpa adanya pemberian es untuk mencegah proses kemunduran mutu. Pemberian es baru dilakukan setelah ikan tiba di pasar dan akan disimpan dalam kotak pendingin untuk dijual pada hari berikutnya. Salah satu kendala tidak diterapkannya pengawetan ikan tersebut adalah karena harga es balok untuk penanganan ikan masih terbatas dan mahal harganya, kareana permintaan untuk kepentingan lain juga cukup besar. Akibat penanganan yang kurang baik ini, maka mutu ikan segar cepat menurun, sehingga nelayan dan pedagang menerima harga yang rerlatif rendah, sementara konsumen juga memakan ikan yang rendah kualitasnya. Sekalipun demikian, mutu ikan yang rendah ini hanya diperoleh pada daerah-daerah yang jauh dari lokasi pasar. Secara umum daerah penangkapan terletak tidak terlalu jauh dari lokasi pasar sehingga dugaan turunnya mutu ikan tangkapan masih tidak terlalu besar. Sebagian besar ikan yang dikonsumsi masih tergolong segar, walaupun belum kena bahan pengawet es. Kegiatan pemasaran terutama diperankan oleh pedagang borongan (penyalur) yang kemudian disalurkan ke pedagang eceran. Rata-rata setiap unit penangkapan telah memiliki pedagang penyalur yang disebutkan sebagai pengurus (istilah daerah setempat). Pengurus memegang peranan penting dalam menyalurkan hasil tangkapan untuk sampai di tangan konsumen. 26 2.6 Keadaan Umum Lokasi Penelitian 2.6.1 Luas dan letak geografis Wilayah Halmahera Utara dibentuk berdasarkan Undang-Undang Tahun 2003 No. 1 dan secara administratif kenegaraan, resmi menjadi wilayah kabupaten baru pada tanggal 31 Mei 2003. Kabupaten Halmahera Utara memiliki luas wilayah sebesar 24.983,32 km2, dan luas daratan sebesar 5.447,3 km2 atau sebesar 22% dari luas wilayah kabupaten. Luas perairannya sebesar 19.536,02 km2 atau sebesar 78% dari luas wilayah kabupaten. Kabupaten Halmahera Utara secara administratif terdiri dari 22 kecamatan yang terdiri dari 260 desa. Sebagian besar wilayah kecamatannya yakni 18 kecamatan merupakan kecamatan pesisir dan 4 kecamatan lainnya merupakan kecamatan pedalaman. Kabupaten Halmahera Utara memiliki 94 buah pulau sedang maupun kecil, berpenghuni maupun tidak berpenghuni. Kabupaten Halmahera Utara secara geografis terletak di bagian Utara dari Pulau Halmahera, tepatnya berada pada koordinat 1o57’-3o00’ LU dan 127o17’128o08’ BT, serta memiliki wilayah yang terbentang dari utara ke selatan sepanjang 333 km dan dari barat ke timur sepanjang 148 km. Peta Kabupaten Halmahera Utara dapat dilihat pada Gambar 2. Secara geografis dan administratif, Kabupaten Halmahera Utara memiliki batas-batas wilayah yang berbatasan dengan wilayah daerah lain, sebagai berikut: (1) sebelah utara berbatasan dengan samudera pasifik, (2) sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Wasilei, Kabupaten Halmahera Timur, (3) sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Jailolo Selatan, Kabupaten Halmahera Barat, (4) sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Loloda Selatan, Kabupaten Halmahera Barat dan laut Sulawesi. Sumber daya alam pantai yang banyak terdapat di Kabupaten Halmahera Utara yaitu : ketam kenari (Birgus latro), penyu, burung laut, dan hutan mangrove. Di samping itu, juga terdapat jenis udang (Penaied sp), kepiting (Brachyura sp), cumi-cumi (Chaphalopoda sp), kerang mutiara (Pinctada maxima), tapis-tapis (Pinctada margarititera), lola (Thodws nilotice), teripang (Holothuridae sp), dan rumput Laut (sea weeds). 27 U Gambar 2 Peta Wilayah Kabupaten Halmahera Utara. Perairan laut Kabupaten Halmahera Utara diperkirakan memiliki potensi sumber daya perikanan tangkap (standing stock) sebesar 89.865,69 ton/tahun, dengan potensi lestari (MSY) atau potensi ikan yang boleh dimanfaatkan sebesar 44.932,85 ton/tahun, yang terdiri dari perikanan pelagis sebesar 26.946,41 ton/tahun dan perikanan demersal sebesar 17.986,44 ton/tahun. Potensi hutan mangrove terdiri dari mangrove primer 3.720,612 Ha dan mangrove sekunder 1.456,880 Ha (Data Tata Ruang 2007), serta Potensi terumbu karang seluas 539,6 Ha dan padang lamun seluas 6.126,14 Ha. Kecamatan Kao Utara adalah sebuah kecamatan yang berada di bagian pesisir sebelah Timur Pulau Halmahera dan terletak di sebelah selatan dari ibu kota Kabupaten Halmahera Utara, yang dapat dijangkau dengan mudah 28 mempergunakan kendaraan darat, dengan jarak tempuh sekitar 50 km dari ibu kota Kabupaten. Kecamatan ini memiliki topografi wilayah yang sebagian besar datar dengan bukit-bukit kecil dan tampak subur ditanami berbagai jenis tanaman. Pada wilayah pantai, yang menghadap perairan Teluk Kao, kecamatan ini memiliki areal terumbu karang yang cukup besar, dan tersebar di seluruh pesisir wilayah, dengan areal pantai berpasir dan karang. Kedalaman perairan laut dalam wilayah Kecamatan Kao Utara tidak terlalu dalam, hanya paling tinggi 80 m dari permukaan laut. Batas wilayah kecamatan Kao Utara pada bagian Utara, berbatasan dengan Kecamatan Tobelo Barat, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kao Barat, Sebelah Selatan Berbatasan dengan Kecamatan Kao, dan bagian timur berbatasan di perairan Teluk Kao dengan Kecamatan Wasiley Kabupaten Halmahera Timur. Jumlah desa yang ada di dalam wilayah Kecamatan Kao Utara berjumlah 12 desa, 9 desa memiliki wilayah dan areal pemukiman penduduk berada di pesisir pantai, 2 desa memiliki wilayah dan areal pemukiman yang tidak berbatasan langsung dengan pantai, sedangkan 1 desa, yakni Desa Bobale memiliki wilayah dan areal pemukiman pada sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Bobale, dengan luas daratan pulau sekitar 4 km², yang terletak di tengah perairan Teluk Kao. 2.6.2 Penduduk Berdasarkan data pada Kantor Kecamatan Kao Utara, penduduk Kecamatan Kao Utara pada tahun 2008 berjumlah 11.115 jiwa dari 2.694 kk, yang tersebar pada 12 desa dengan kepadatan penduduk terbesar berada pada Desa Daru yang merupakan Ibu kota Kecamatan Kao Utara, sedangkan jumlah penduduk paling sedikit terdapat pada desa Boulamo (Tabel 7). Kondisi penduduk yang terdapat pada setiap desa terlihat masih tradisional, dengan rata-rata penduduk berprofesi sebagai petani dan nelayan. Sebagai petani, masyarakat menggarap lahan pertanian yang umumnya ditanami kelapa untuk menghasilkan kopra yang dipanen setiap 4 bulan sekali. Untuk tanaman pala, cengkih, juga terdapat di wilayah ini, namun jumlahnya tidak terlalu banyak. Ketela pohon, ubi, padi ladang dan pisang, juga ditanami oleh 29 sebagian masyarakat, namun sebagian besar hasilnya tidak untuk dijual, tetapi hanya untuk konsumsi keluarga. Tabel 7 Data penduduk Kecamatan Kao Utara tahun 2008 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Desa Kepala Keluarga Daru Wateto Warudu Tunuo Pediwang Bori Doro Dowongimaiti Bobale Gamlaha Boulamo Gulo 423 197 88 212 338 260 394 75 197 277 46 187 Jumlah 2.694 Sumber : Laporan Penduduk Kantor Kecamatan Tahun 2009. Jumlah Penduduk 1.679 793 318 878 1.456 1.145 1.695 263 857 1.067 190 774 11.115 Disamping mengandalkan hasil perkebunan, masyarakat di Kecamatan Kao Utara juga menggarap berbagai potensi laut yang ada di perairan Teluk Kao. Berbagai macam ikan, baik demersal maupun pelagis menjadi tangkapan rutin, disamping beberapa jenis kerang laut yang juga sering mereka peroleh dari areal terumbu karang, pada saat air laut surut. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor CSR (Corporate Social Responsibility) PT. Nusa Halmahera Minerals, jumlah kelompok nelayan yang mengusulkan program untuk memperoleh bantuan alat tangkap di Kecamatan Kao Utara, berjumlah 27 kelompok nelayan, dengan rata-rata jumlah anggota sebanyak 10 sampai 12 orang. Sedangkan data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Halmahera Utara menyatakan bahwa jumlah nelayan sambilan utama yang berada di Kecamatan Kao Utara berjumlah 162 orang, dengan jumlah Rumah Tangga Perikanan sebanyak 87 RTP. 30 2.6.3 Ekonomi Kondisi perekonomian di Kecamatan Kao Utara terlihat masih terbelakang. Untuk menjual hasil panen perkebunan, dilakukan oleh masyarakat kepada pedagang-pedagang keturunan yang membuka toko-toko kecil yang juga menjual kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat. Pasar untuk kebutuhan harian hanya dilakukan setiap hari Rabu dan Sabtu di ibu kota kecamatan, yakni Desa Daru. Dimana oleh masyarakat nelayan, hasil-hasil tangkapan yang diperoleh banyak dijual di pasar tersebut, disamping dijual kepada pedagang pengumpul (dibo-dibo) yang berkeliling desa-desa untuk mengumpulkan ikan yang dibeli dari nelayan yang melakukan penangkapan ikan. Lembaga-lembaga ekonomi seperti perbankan tidak ditemukan di kecamatan ini. Lembaga-lembaga koperasi yang beranggotakan masyarakat nelayan atau petani ada di beberapa tempat, namun aktifitasnya tidak terlihat. Koperasi yang terlihat aktif adalah koperasi-koperasi simpan pinjam yang dimiliki secara pribadi oleh oknum-oknum tertentu, yang dengan berkedok koperasi, melakukan praktek simpan pinjam kepada masyarakat setempat dengan bunga yang sangat tinggi. 31 3 3.1 METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tiga desa yang berada di Kecamatan Kao Utara, yaitu: Desa Doro, Desa Bori dan Desa Pediwang (Lampiran 1). Penetapan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa, ketiga desa tersebut merupakan desa yang masyarakat nelayannya lebih sering menggunakan racun dan bahan peledak (bom ikan) dalam kegiatan penangkapan ikan di Halmahera Utara. Penelitian ini dilakukan selama empat bulan, yang dimulai dari bulan September-Desember 2009. Persiapan yang meliputi penelusuran studi kepustakaan dan studi pendahuluan dilakukan pada bulan September hingga Oktober 2009, dan dilanjutkan dengan observasi lapangan pada bulan Oktober hingga Desember 2009. 3.2 Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, dengan melakukan observasi terhadap kegiatan pengeboman ikan dan mewawancarai nelayan yang melakukan pengeboman ikan. Selain itu, pengumpulan data dilakukan dengan pengisian daftar isian pertanyaan (kuesioner) oleh responden. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi kondisi umum perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera Utara, dan hal-hal lain yang erat kaitannya dengan topik penelitian ini. Data sekunder ini diperoleh melalui kegiatan penelusuran pustaka dari hasil-hasil penelitian sebelumnya dan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Halmahera Utara, Badan Pusat Statistik Halmahera Utara, da instansi terkait lainnya. Data primer diperoleh melalui kegiatan survei (observasi) dengan mengamati kegiatan nelayan yang menggunakan bom ikan, mulai dari kegiatan perakitan bom, hingga kegiatan operasi penangkapan ikan. Pengumpulan data primer ini juga dilakukan dengan mewawancarai sejumlah nelayan pelaku pengeboman ikan. Untuk mengklarifikasi dan melengkapi data/informasi tersebut, ditentukan sebanyak 60 responden. Responden ini ditetapkan secara 32 sengaja (puposive sampling method) yang berasal dari ketiga desa sampel, masing-masing sebanyak 20 responden. Pertimbangan yang digunakan dalam menentukan responden ini adalah (1) Responden bersedia dan mengerti untuk mengisi daftar pertanyaan yang diajukan, (2) Responden berasal dari desa sampel yang telah ditentukan (Ugiyono, 2006), dan (3) Responden menggunakan bom dalam kegiatan penangkapan ikan. Data/informasi yang terkait dengan proses kegiatan pengeboman ikan diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara. Data primer lainnya dikumpulkan melalui pengisian kuesioner oleh para responden yang telah ditentukan. Data yang dikumpulkan melalui pengisian daftar pertanyaan (kuesioner) oleh responden adalah: (1) komposisi umur nelayan, (2) tingkat pendidikan (3) persepsi responden dalam penggunaan bom ikan, (4) kondisi sosial ekonomi nelayan, termasuk pendapatan, (5) perkembangan jumlah nelayan yang menggunakan bom ikan (6) jumlah tangkapan nelayan dengan penggunaan bom ikan, dan (7) alasan nelayan menggunakan bom. Jenis dan sumber data, dan metode pengumpulan data disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Jenis dan sumber data, serta metode pengumpulan data penelitian No 1 2 Data Primer: Komposisi Umur Tingkat Pendidikan Besar Pendapatan Alasan nelayan menggunakan bom Sekunder: Potensi SDI Infrastruktur dan sarana usaha perikanan Data perikanan Kabupaten Data Sosial Ekonomi Sumber Data Nelayan yang menggunakan bom ikan Metode Pengumpul Data Wawancara/kuesioner Purposive sampling DKP Kab Halut Purposive sampling BPS Kab Halut Studi literatur Instansi terkait 33 3.3 Analisis Data 3.3.1 Analisis deskriptif Analisis deskripsi ini menyajikan distribusi frekuensi secara tematik berupa tabel dan gambar (grafik). Analisis deskripsi ini bertujuan untuk melihat kecenderungan persepsi responden dengan variabel penelitian yang digunakan dan faktor pendorong nelayan menggunakan bom dalam penangkapan ikan. Analisis ini digunakan untuk menganalisis karakteristik perikanan di lokasi penelitian. 3.3.2 Analisis regresi berganda Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi penggunaan bom ikan sebagai alat penangkapan ikan, dianalisa dengan persamaan regresi berganda (Walpole, 1995), dengan formula: Y b0 b1 X1 b2 X 2 b3 X 3 Keterangan : Ỹ = aktifitas penggunaan bom. X1 = umur X2 = pendidikan X3 = pendapatan b = konstanta b1, b2, b3, = koefisien regresi Dalam setiap variabel, baik variabel X maupun variabel Y , ditentukan kategori untuk masing-masing variabel, yang dapat dilihat dalam Tabel 9, Tabel 10, Tabel 11, dan Tabel 12. 34 Tabel 9 Instrumen penelitian penggunaan bom ikan No 1 2 3 4 Kategori Skor Melakukan pengeboman Turut serta Menikmati hasil Tidak melakukan 1 2 3 4 Tabel 10 Instrumen penelitian untuk variabel umur No 1 2 3 4 Umur 20 31 41 51 - Skor 30 tahun 40 tahun 50 tahun 60 tahun 1 2 3 4 Tabel 11 Instrumen penelitian untuk variabel pendidikan No 1 2 3 4 5 Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Skor 1 2 3 4 5 Tabel 12 Instrumen penelitian untuk variabel pendapatan No 1 2 3 4 Pendapatan Rp.0 Rp.300.000. Rp.600.000. Rp.900.000. - < Rp.300.000 - < Rp.600.000 - < Rp.900.000 - < Rp1.200.000 Skor 1 2 3 4 35 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Kondisi Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian 4.1.1 Teknologi alat penangkapan ikan Umumnya jenis teknologi penangkapan ikan yang digunakan nelayan Kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara adalah relatif sederhana. Alat tangkap yang rata-rata dipakai adalah pancing ulur dan jaring insang hanyut dan tetap (gillnet). Pancing ulur dapat digunakan dengan umpan atau dengan pemikat yang dibuat dari serabut kain, atau bulu ayam yang disebut lau. Pengoperasian alat penangkapan ikan dengan lau, biasanya dilakukan pada batas antara terumbu karang yang biasanya dangkal, dan perairan yang lebih dalam (pada kedalaman 40m – 100 m). Ujung tali pancing dipasang pemberat (potongan besi), kait yang telah dipasangi lau diikat di tengah tali pancing (bisa 5 sampai dengan 25 kait dipasang berurutan dengan jarak 50 -100 cm), dan tali pancing diturunkan ke dalam air mengikuti pemberat sampai ke dasar perairan, dan ditarik kembali dengan gerakan turun naik. Lau yang terpasang pada kait memikat ikan (karena menyerupai ikan kecil yang sedang berenang), dan memakan pemikat tersebut, ikanpun terkait dan ditangkap. Pancing ulur yang menggunakan lau juga digunakan oleh nelayan hanya dengan 1 kait. Kait yang dipasang lau diikat di ujung tali pancing kemudian ditenggelamkan ke dasar perairan menggunakan batu yang diikat pada potongan daun kelapa, dan setelah batu menyentuh dasar, tali pancing ditarik dengan keras agar lepas dari potongan daun, kemudian tali pancing ditarik dengan cepat. Lau yang menyerupai ikan kecil sedang berlari ditangkap oleh ikan besar, ikan itupun terkait pada kait yang ada, dan ditarik naik ke atas perahu. Pancing ulur lainnya juga menggunakan kait, namun pemikat yang dipasang pada kait adalah potongan daging ikan, yang apabila dimakan oleh ikan sasaran akan terkait pada kait yang ada. Jenis alat tangkap ini sangat dominan digunakan oleh nelayan di Kecamatan Kao Utara. Perahu yang dipergunakan oleh nelayan setempat dalam mengoperasikan alat tangkap umumnya masih termasuk dalam skala tradisional yang dibuat dari 36 batang kayu yang digali dan dibentuk menjadi perahu, yang disebut jukung. Pada jukung ini dipasang penyeimbang yang disebut sema-sema. Pada beberapa nelayan tertentu, sudah ada yang mempergunakan perahu yang dibuat dari bahan kayu lapis anti air, yang ditempelkan menjadi badan perahu pada rangka yang telah dibuat, dan dipasang mesin ketinting di dalamnya. Mesin ini adalah mesin serba guna yang biasanya digunakan juga dalam usaha-usaha parutan kelapa atau singkong. Kapasitas mesin berkisar antara 3 – 5 horse power. Dalam melakukan operasi penangkapan ikan dengan menggunakan pancing ulur, nelayan-nelayan di Kecamatan Kao Utara biasanya melakukannya secara sendiri-sendiri atau satu orang. Namun demikian, sebagian unit penangkapan ikan terdiri dari 2 orang anak buah kapal (ABK).. Alat tangkap yang juga dipergunakan oleh nelayan dalam melakukan operasi penangkapan ikan di lokasi penelitian adalah, jaring insang tetap dan jaring insang hanyut. Jaring insang tetap biasanya digunakan pada perairan- perairan dangkal, seperti di atas terumbu karang dengan cara dilingkarkan pada gerombolan ikan yang ada, atau ditempatkan di sekitar hutan mangrove, untuk menghalau ikan-ikan pada saat air laut surut. Ikan yang terperangkap pada mata jaring kemudian diangkat bersama jaring ke atas perahu dan dilepaskan dari jeratan jaring yang ada. Penggunaan jaring hanyut biasanya dilakukan dengan cara jaring dilepas di perairan yang dalam, dan dibiarkan hanyut terbawa arus. Ujung jaring diikatkan pada pelampung, dan ujung jaring sebelahnya diikatkan pada perahu. Penggunaan alat tangkap ini dilakukan oleh nelayan antara 2 – 4 orang, dengan mempergunakan perahu yang cukup untuk memuat nelayan, alat tangkap dan hasil yang diperoleh. Apabila jumlah tangkapan melebihi dari daya muat perahu, terkadang para nelayan setempat meminta bantuan kepada nelayan lainnya yang sedang menangkap ikan untuk membantu mengangkat ikan yang ada keatas perahu nelayan tersebut. Pembagian hasil akan dilakukan oleh nelayan yang mempunyai jaring kepada nelayan yang menyertainya (ikut) dan kepada nelayan lain yang turut membantu, apabila hasilnya lebih. Hasil yang diperoleh oleh nelayan setelah melakukan operasi penangkapan ikan, biasanya dijual ke pasar tradisional di ibukota kecamatan yang berjarak kurang lebih 15 km, yang dibuka pada setiap hari Rabu dan Sabtu. Atau dijual 37 kepada penampung ikan (dibo-dibo) yang biasanya mengelilingi desa-desa di pesisir Teluk Kao untuk mengumpulkan ikan hasil tangkapan nelayan, yang akan dijual ke ibukota kabupaten, atau dijual kepada perusahaan tambang emas yang berjarak dari desa penelitian kurang lebih 80 km. Harga perkilogram ikan apabila dijual ke pasar, biasanya Rp.10.000.- sampai dengan Rp.15.000.- per kilogram, namun apabila dijual kepada pedagang pengumpul, kisaran harganya bisa turun sampai Rp.7.500.- per kilogram ikan. Jenis dan jumlah unit penangkapan yang terdapat di ketiga desa lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 13. Berdasarkan Tabel 13, jumlah nelayan yang paling banyak berada di Desa Pediwang, yakni sebanyak 148 orang, kemudian Desa Doro sebanyak 142, dan di Desa Bori sebanyak 111 orang. Penggunaan alat tangkap yang dominan adalah pancing ulur, sebanyak 69 unit di Desa Doro, 55 unit di Desa Pediwang dan 51 unit di Desa Bori. Alat tangkap lainnya adalah jaring insang yang terlihat sedikit di masing-masing desa, dimana yang terbanyak di Desa Pediwang 3 unit, di Desa Doro 2 unit, dan di Desa Bori 1 unit. Tabel 13 Jenis dan jumlah unit penangkapan ikan di tiga lokasi penelitian Desa Doro Bori Pediwang Jumlah Jumlah nelayan 142 111 148 401 Jumlah alat tangkap (unit) Pancing Ulur Jaring Insang 69 2 51 1 55 3 175 6 Jumlah Perahu 36 30 39 105 Sumber: Kantor desa Doro, Bori dan Pediwang Pemerintah telah memberikan bantuan alat tangkap dan perahu untuk lebih memberdayakan nelayan di Kabupaten Halmahera Utara. Namun, jumlah nelayan yang menerima bantuan ini masih sangat terbatas. Berdasarkan hasil survei dan wawancara yang dilakukan terhadap nelayan responden di ketiga desa, ternyata nelayan di lokasi sampel penelitian ini juga sebagian kecil telah pernah menerima bantuan tersebut, yaitu sebanyak 14 orang. Bantuan yang diperoleh nelayan dalam bentuk perahu (pambut), alat tangkap jaring insang dan air compressor untuk penyelaman teripang atau mutiara. 38 Tabel 14 Persepsi responden terhadap bantuan Desa Doro Bori Pediwang Jumlah Menerima bantuan belum sudah 17 3 18 2 11 9 46 14 4.1.2 Penangkapan ikan dengan menggunakan bom Dalam melakukan operasi penangkapan ikan, nelayan pada tiga desa penelitian terkadang menggunakan bom sebagai alat penangkapannya. Hasil survei yang dilakukan terhadap 60 responden nelayan yang berasal dari 3 desa menunjukkan bahwa sebagian nelayan tidak melakukan pengeboman ikan lagi karena takut kepada petugas. Namun demikian, masih banyak di antara nelayan yang tetap menggunakan bom dalam penangkapan ikan. Nelayan ini hanya mengambil ikan-ikan ukuran besar dan bernilai ekonomis tinggi, sedangkan ikanikan ukuran kecil yang ikut mati atau terbius akibat bom dibiarkan, lalu pergi ke lokasi lain mencari daerah yang lebih potensial. Ketika nelayan yang melakukan pengeboman ikan pergi, biasanya ada nelayan lain yang mengambil ikan mati atau terbius yang ditinggalkan oleh nelayan yang melakukan pengeboman ikan. Adapun komposisi jumlah nelayan responden yang melakukan pengeboman ikan, nelayan yang hanya sekedar mengambil ikan yang mati/terbius, dan nelayan yang tidak melakukan pengeboman ikan disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Persepsi responden dalam penggunaan bom ikan Penggunaan bom Desa Doro Bori Pediwang Jumlah Melakukan Pengumpul sisa ikan Tidak lagi 7 8 3 18 4 1 3 8 9 11 14 34 Penggunaan bom di Kecamatan Kao Utara pernah dilakukan oleh banyak nelayan dalam operasi penangkapan ikan. Berdasarkan Tabel 15, sebanyak 34 responden atau sebanyak 57% yang menyatakan bahwa mereka sudah tidak mau lagi melakukan pengeboman ikan. Nelayan yang masih menggunakan bom ikan 39 adalah sebanyak 18 orang atau sekitar 30%. menggunakan bom dalam kegiatan Sedangkan nelayan yang tidak penangkapan ikan tetapi mereka mengumpulkan sisa ikan yang telah mati/terbius sebanyak 8 orang, atau sebesar 13%. Pengumpulan hasil tangkapan ini biasanya hanya mengumpulkan sisa-sisa ikan, biasanya yang berukuran kecil untuk dijadikan umpan. Tren menurunnya nelayan menggunakan bom pada ketiga desa lebih kuat di desa Pediwang, karena tidak ada lagi nelayan responden yang mau ikut serta dalam kegiatan penggunaan bom ikan. Namun demikian, masih ada sebanyak 3 responden yang aktif melakukan pemboman ikan di desa tersebut dan 3 responden yang mengumpulkan sisa-sisa ikan yang dibom. Untuk Desa Bori, terdapat 8 orang responden atau 40% (dari total responden 20 orang) yang melakukan pengeboman ikan, hanya 1 responden sebagai pengumpul sisa ikan, dan yang lainnya tidak melakukan pengeboman ikan lagi. Sedangkan di Desa Doro, dari 20 responden, terdapat 7 orang yang masih melakukan pengeboman ikan, dan 4 orang sebagai pengumpul sisa ikan, dan 9 orang yang tidak mau melakukan lagi. Alasan nelayan di 3 desa penelitian menggunakan alat penangkapan ikan dengan bom berdasarkan hasil survei, menunjukkan bahwa dari 11 orang nelayan yang melakukan pengeboman menyatakan, penggunaan bom yang mereka lakukan dalam penangkapan ikan disebabkan karena: 1) bahan mudah ditemukan, 2) sederhana dalam proses perakitan dan penggunaannya, 3) memperoleh tangkapan lebih banyak, dan 4) resiko kecelakaan yang timbul terhadap diri merupakan kelalaian nelayan itu sendiri. Nelayan yang melakukan kegiatan pengeboman ikan menyatakan bahwa sebagian besar dari mereka telah berpengalaman melakukannya lebih dari 4 tahun, yakni sebanyak 16 orang (88 %), dan sebanyak 2 orang (12 %) menyatakan bahwa mereka telah berpengalaman selama 1 tahun. Responden nelayan yang memiliki pengalaman selama 2 tahun dan 3 tahun tidak ada (Tabel 16). Hal ini menunjukkan bahwa transfer pengalaman untuk menggunakan bom dalam penangkapan ikan tidak terjadi setiap tahun, namun dapat terjadi sewaktu-waktu tergantung keberanian dan dorongan tertentu yang menyebabkan seorang nelayan menggunakan bom ikan. 40 Tabel 16 Persepsi responden tentang lama menggunakan bom Desa Doro Bori Pediwang Jumlah 1 tahun 1 1 0 2 Pengalaman menggunakan bom 2 tahun 3 tahun > 4 tahun 0 0 6 0 0 7 0 0 3 0 0 16 Bom yang digunakan oleh nelayan di 3 desa penelitian dalam operasi penangkapan ikan, diperoleh dengan cara merakit sendiri, atau membeli dari nelayan lain. Sebagian besar dari nelayan yang menggunakan bom memiliki kemampuan untuk merakit bom ikan, walaupun sebagian kecil dari mereka hanya membeli bom yang sudah jadi dari nelayan lain. Namun sebagian nelayan melakukan penyelaman di dasar laut untuk mencari bom sisa waktu perang tempo dulu (Tabel 17). Tabel 17 Persepsi responden dalam memperoleh mesiu Desa Doro Bori Pediwang Jumlah Memperoleh mesiu beli menyelam 3 1 4 0 2 1 9 2 Harga 4 buah bom yang sudah dirakit jika dijual kepada nelayan berkisar antara Rp.100.000.- sampai dengan Rp.200.000.- Hasil wawancara dengan responden, diperoleh informasi bahwa, bahan bom yang berupa bubuk mesiu dapat diperoleh dengan cara menyelam ke dasar laut menggunakan bantuan air compressor di sekitar perairan Teluk Kao yang banyak terdapat bom-bom bekas perang dunia kedua, yang banyak dibuang ke laut oleh tentara Jepang, setelah kalah dari tentara Sekutu. Bom yang telah lama berada di dasar laut tersebut, kemudian dibuka menggunakan gergaji besi sambil disiram air, atau bom tersebut telah terbuka akibat termakan karat. Berat bom yang diangkat, bisa berkisar antara 50 kg – 100 kg. Isi bom tersebut (mesiu) adalah bahan utama dari pembuatan bom ikan yang dilakukan oleh nelayan di Kecamatan Kao Utara. Harga 1 kg. bubuk mesiu yang dijual kepada nelayan lain berkisar Rp.50.000.- 41 sampai dengan Rp.100.000.-, dimana untuk 1 kg bubuk mesiu, dapat dirakit antara 3 – 4 bom rakitan Proses pembuatan bom sangat sederhana dan bahan-bahan pendukungnya mudah diperoleh. Botol bekas atau pipa bekas (Ø ¾ inchi) yang dipotong sepanjang ± 10 – 20 cm, disumbat ujung sebelahnya dengan erat menggunakan kayu, kemudian dimasukkan mesiu di dalamnya. Ujung sebelahnya kemudian ditutup dengan kayu atau karet sandal bekas yang telah dilobangi bagian tengahnya untuk dipasangi sumbu. Sumbu konfensional dibuat menggunakan pipa sempit (Ø 2 – 3 mm) dan dipotong sepanjang 3 – 4 cm, dan diisi dengan bahan kepala korek api yang digerus dan dipadatkan kedalam pipa sempit, kemudian dipasang ke dalam lubang yang telah disiapkan pada perangkat bom. Bom jenis ini adalah bom yang dilempar dari atas perahu setelah sumbu dibakar menggunakan bara rokok atau bara obat nyamuk. Sumbu terbaru yang saat ini juga digunakan oleh nelayan di Kecamatan Kao Utara adalah menggunakan bohlam lampu pijar yang biasanya digunakan untuk senter, dipecahkan tanpa merusak fillamen (yang berpijar dalam bohlam) bohlam. Fillamen tersebut kemudian dimasukkan secara hati-hati kedalam lubang sumbu pada perangkat bom, dan direkatkan agar kedap air, dimana pada kutub positif dan negatif bohlam disambungkan dengan seutas kabel positif dan negatif yang cukup panjang. Cara kerjanya, bom yang telah siap kemudian diturunkan ke kedalaman laut tertentu yang telah diamati oleh seorang nelayan yang melakukan penyelaman untuk melihat posisi ikan. Setelah bom diturunkan pada kedalaman yang diinginkan (terdapat banyak ikan), ujung kabel positif dan negatif yang berada di atas perahu kemudian disambungkan dengan kutub positif dan negatif pada beterai atau accu sepeda motor, dan menyebabkan sumbu (fillamen) yang terdapat di dalam mesiu menyala dan memicu bom meledak. Ikan-ikan yang telah ditangkap dengan bom kemudian dikumpulkan dengan cara menyelam oleh para nelayan yang ada, mempergunakan keranjang tali, ataupun dikumpulkan dengan tangan. Hasil wawancara dengan responden nelayan di ketiga desa menunjukkan bahwa korban akibat penggunaan bom selama kurun waktu 5 tahun terakhir tidak ada, baik yang cacat maupun meninggal. Korban pernah terjadi pada 10 sampai 42 15 tahun lalu yang menyebabkan cacat dan kematian pada beberapa nelayan (Tabel 18), seperti Desa Doro korban meninggal 1 orang, di Pediwang korban meninggal 1 orang dan cacat 1 orang, sedangkan korban di Desa Bori, 2 orang cacat parmanen. Tabel 18 Persepsi responden tentang korban penggunaan bom ikan Korban bom cacat meninggal 0 1 2 0 1 1 9 2 Desa Doro Bori Pediwang Jumlah 4.1.3 Kondisi sosial budaya masyarakat nelayan Kondisi umum sosial budaya masyarakat nelayan dijelaskan dengan pendekatan responden. Variabel responden yang digunakan untuk meggambarkan karakteristik tersebut, yaitu: jumlah penduduk, budaya, umur dan pendidikan. Dengan mengetahui variabel kondisi responden tersebut diharapkan dapat menjelaskan struktur sosial budaya masyarakat nelayan di Kecamatan Kao Utara secara umum. Penduduk Desa Doro, Bori dan Pediwang rata-rata adalah petani dan nelayan yang menggantungkan hidupnya pada hasil-hasil kebun dan hasil-hasil laut. Lokasi ketiga desa ini saling bersebelahan, apabila diurutkan dari bagian utara yaitu Desa Pediwang, Desa Bori, dan Desa Doro. Jumlah penduduk terbanyak adalah Desa Doro, diikuti Desa Pediwang dan Desa Bori (Tabel 19). Tabel 19 Jumlah penduduk Desa Doro, Bori dan Pediwang Jumlah Desa Jiwa KK Doro 1.695 394 Bori 1.145 260 Pediwang 1.456 338 4.296 992 Sumber: Data diolah dari Laporan Penduduk Kantor Kecamatan Kao Utara 43 Variabel umur responden di tiga desa, menunjukkan 25-45% responden berumur antara 41-50 tahun, 15-40% berumur 51-60 tahun, 10-25% berumur 3140 tahun dan 15-20% berumur 20-30 tahun. Variabel umur ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden nelayan berusia 41-50 tahun. Kisaran 41-50 tahun didominasi responden Desa Pediwang (45%), Desa Bori (35%) dan Desa Doro (25%), seperti disajikan pada Gambar 3. DORO BORI PEDIWANG 50% 45% 45% 40% 40% 35% 35% % Responden 35% 30% 25% 20% 15% 25% 25% 20% 20% 15% 15% 15% 10% 10% 5% 0% 20 - 30 tahun 31 - 40 tahun 41 - 50 tahun 51 - 60 tahun Komposisi Umur Gambar 3 Sebaran umur responden di lokasi penelitian Sebaran umur responden nelayan sangat bervariasi dari sekolah dasar (SD) hingga lulusan sekolah lanjutan atas (SMA), bahkan ada sebagian dari mereka tidak pernah bersekolah (Gambar 4). Pendidikan responden tamatan SMA berkisar 40-60%, tamatan SMP sebanyak 5-15%, tamatan SD sebanyak 5-20%, tidak tamat SD sebanyak 5%, dan tidak sekolah sebanyak 10-35%. Responden untuk tamatan SMA didominasi responden Desa Bori dan Pediwang dan responden tidak sekolah banyak terdapat di Desa Doro dan Bori. Mayoritas tingkat pendidikan masyarakat nelayan (responden) adalah tamatan SMA dan tidak tamat sekolah. Kondisi tersebut di atas mengindikasikan bahwa SDM di ketiga desa tersebut dapat digolongkan masih rendah. 44 70% 60% 60% 60% DORO BORI PEDIWANG % Responden 50% 40% 40% 35% 35% 30% 20% 20% 15% 10% 10% 10% 5% 5% 0% 0% 5% 0% 0% Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tingkat Pendidikan Gambar 4 Sebaran tingkat pendidikan responden di lokasi penelitian 4.2 Kondisi Ekonomi Nelayan Kondisi ekonomi masyarakat nelayan di lokasi penelitian dijelaskan berdasarkan variabel tingkat pendapatan. Pendapatan dan tingkat kesejahteraan nelayan di Kabupaten Halmahera Utara seyogianya cukup besar karena potensi ikan cukup banyak, ikan memiliki nilai ekonomis/harga tinggi, dan permintaan cukup banyak. Namun fakta menunjukkan bahwa nelayan di daerah tersebut termasuk kelompok miskin. Bahkan atribut bagi mereka adalah termiskin di antara yang miskin ”the poorest of the poor”. Kemiskinan itu terjadi karena nilai tukar nelayan yang rendah yang disebabkan komoditas yang mereka hasilkan dibayar murah (Nikijuluw, 2002). Hasil survey dalam penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan responden di tiga desa lokasi penelitian mayoritas antara Rp.300.000,00 hingga Rp.600.000,00 per bulan (Gambar 5). Angka pendapatan ini diketahui dari rata-rata pengeluaran keluarga nelayan per bulan. Jumlah pendapatan diasumsikan sama dengan jumlah pengeluaran, karena dari sejumlah belanja nelayan, tidak ada yang dialokasikan untuk ditabung. 45 DORO BORI PEDIWANG 60% 50% 40% 40% 35% 20% 15% 10% 10% 10% 10% 0% 0 - < Rp.300.000 Rp.300.000 - < Rp.600.000 Rp.600.000 - < Rp.900.000 Rp.900.000 - < Rp 1.200.000 Gambar 5 Sebaran tingkat pendapatan responden di lokasi penelitian Disamping hasil yang diperoleh dari usaha penangkapan, responden nelayan di tiga desa lokasi penelitian juga mempunyai penghasilan dari usahausaha perkebunan. Tanaman yang menjadi andalan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah kelapa yang dibuat kopra. Dari hasil wawancara dengan responden diperoleh data bahwa rata-rata jumlah tanaman kelapa yang dimiliki oleh responden nelayan adalah 300 pohon kelapa dengan produksi sebanyak 2,1 ton per kwartal atau per empat bulan. Harga produk ini berkisar antara Rp.2.000.- sampai Rp.3.000.- per kilogramnya. Apabila masa panen kelapa, seorang nelayan memperoleh penghasilan kotor sebesar Rp.4.000.000.sampai Rp.6.000.000.- tergantung harga kopra. Penghasilan ini akan dibuka untuk buruh tani yang melakukan pemetikan kelapa (nae), mengeluarkan daging kelapa (kore) sampai dengan pengasapan (fufu), yang dihitung ½ dari hasil penjualan kopra yang telah jadi. Hasil kebun nelayan di 3 desa lokasi penelitian berkisar antara Rp.2.000.000.- sampai dengan Rp.3.000.000.- per empat bulan. Dukungan permodalan yang biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga perekonomian tidak pernah dinikmati oleh responden nelayan, disebabkan karena rendahnya pengetahuan nelayan tentang hal tersebut. Dari responden yang diwawancarai, sebanyak 87% dari mereka menyatakan bahwa mereka tidak tahu caranya, dan sebanyak 13% dari responden takut melakukan pinjaman modal. Ironisnya, dari 60 responden yang ada, terdapat 42% yang tidak melakukan 46 pinjaman kepada koperasi simpan pinjam, namun 58% responden nelayan melakukan pinjaman kepada koperasi simpan pinjam yang dimiliki oleh orangorang tertentu secara pribadi dengan dikenakan bunga pinjaman sebesar 20% dari total pinjaman yang dikembalikan setiap hari. 4.3 Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Bom Ikan Tingkat penggunaan bom ikan dalam penangkapan ikan oleh nelayan di Kecamatan Kao Utara diduga dipengaruhi variabel umur, tingkat pendidikan dan pendapatan. Untuk melihat sejauh mana, setiap variabel tersebut mempengaruhi penggunaan bom ikan, dilakukan analisis regresi linier berganda. 4.3.1 Penggunaan bom ikan di Desa Doro Hasil analisis regresi linier berganda terhadap variabel bebas dan tidak bebas di Desa Doro pada taraf kesalahan < 5%, menunjukkan hasil nilai R2 adalah 0,988 (Lampiran 2). Artinya, sebanyak 98,8% perubahan-perubahan pada variabel terkait (aktifitas penggunaan bom) dapat diterangkan dengan variabel bebas yang terlibat (umur, tingkat pendidikan dan pendapatan). Dengan kata lain, pengaruh variabel X terhadap Y cukup kuat. Hasil uji statistik anova disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Anova penggunaan bom ikan di Desa Doro Model Regression Residual Total Sum of Squares df Mean Square 34,388 3 0,412 16 34,800 19 F Sig. 11,463 445,017 0,000a 0,026 Predictors: (Constant), pendapatan, pendidikan, umur Dependent Variable: aktifitas pengeboman ikan Hasil analisis regresi linier berganda pada setiap variabel bebas pada taraf < 5%, menunjukkan bahwa, variabel tunggal yang memberikan sumbangan nyata/signifikan terhadap perubahan Y adalah variabel pendidikan (p-value=0,000 < 0,05) seperti tersaji pada Tabel 21. Artinya bahwa, semakin tinggi pendidikan, semakin berkurang penangkapan ikan dengan bom, sedangkan 47 untuk umur dan pendapatan tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Hal ini bisa dipahami, karena tingkat pendidikan akan membuka wawasan dalam berpikir dan menganalisis resiko tinggi dari penggunaan bom. Bukan hanya kerusakan ekosistem dan lingkungan perairan, tetapi dapat mengancam keselamatan dirinya. Tabel 21 Hasil variabel, koefisien regresi, nilai t dan p-value di Desa Doro No. 1. 2. 3. 4. Varibel (Constant) X1 = Umur X2 = Pendidikan X3 = Pendapatan Koefisien Regresi T Sig. 0.245 -0,108 0,804 0,016 1,302 -1,892 22,959 0,334 .211 0,077 0,000* 0,743 Keterangan: * signifikan pada taraf nyata < 5% . Berdasarkan dari analisis regresi berganda pada Tabel 21, maka dapat dituliskan model hubungan antara variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap perubahan tingkat aktifitas pengeboman ikan di Desa Doro. Model persamaan tersebut adalah: Y = 0,245 -0,108X1 + 0,804X2 + 0,016X3 Keterangan: Y = Tingkat aktifitas penggunaan bom ikan X1 = Umur X2 = Pendidikan X3 = Pendapatan 4.3.2 Penggunaan bom ikan di Desa Bori Hasil analisis regresi linier berganda terhadap variabel bebas dan tidak bebas di Desa Bori pada taraf kesalahan < 5%, menunjukkan hasil nilai R2 adalah 0,982 (Lampiran 3). Artinya, sebanyak 98,2% perubahan-perubahan pada variabel terkait (aktifitas penggunaan bom) dapat diterangkan dengan variabel bebas yang terlibat (umur, tingkat pendidikan dan pendapatan). Dengan kata lain, pengaruh variabel X terhadap Y cukup kuat. Hasil uji statistik anova disajikan pada Tabel 22. 48 Tabel 22 Anova penggunaan bom ikan di Desa Bori Sum of Squares Model Regression Residual Total df Mean Square 36,281 3 0,669 16 36,950 19 F Sig. .000a 12,094 289,328 0,042 Predictors: (Constant), Pendapatan, Pendidikan, Umur Dependent Variable: Aktifitas pengeboman ikan Hasil analisis regresi linier berganda pada setiap variabel bebas pada taraf < 5%, menunjukkan bahwa, variabel tunggal yang memberikan sumbangan nyata/signifikan terhadap perubahan Y adalah variabel pendidikan (p- value=0,000 < 0,05) seperti tersaji pada Tabel 23. Artinya bahwa, semakin tinggi pendidikan, semakin berkurang penangkapan ikan dengan bom, sedangkan untuk umur dan pendapatan tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Tabel 23 Hasil variabel, koefisien regresi, nilai t dan p-value di Desa Bori No. Varibel Koefisien Regresi 1. (Constant) 0,480 2. X1 = Umur 0,167 3. X2 = Pendidikan 0,746 4. X3 = Pendapatan -0.225 Keterangan: * signifikan pada taraf nyata < 5% . t 2,398 2,835 15,554 -1,883 Sig. 0,029 0,012 0,000* 0,078 Berdasarkan dari analisis regresi berganda pada Tabel 23, maka dapat dituliskan model hubungan antara variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap perubahan tingkat pengeboman ikan di Desa Bori, sebagai berikut: Y = 0,480 +0,168X1 + 0,746X2 - 0,225X3 Keterangan: Y = Tingkat aktifitas penggunaan bom ikan X1 = Umur X2 = Pendidikan X3 = Pendapatan 49 4.3.3 Penggunaan bom ikan di Desa Pediwang Hasil analisis regresi linier berganda terhadap variabel bebas dan tidak bebas di Desa Bori pada taraf kesalahan < 5%, menunjukkan hasil nilai R2 adalah 0,565 (Lampiran 4). Artinya, sebanyak 56,6% perubahan-perubahan pada variabel terkait (aktifitas penggunaan bom) dapat diterangkan dengan variabel bebas yang terlibat (umur, tingkat pendidikan dan pendapatan). Dengan kata lain, pengaruh variabel X terhadap Y kuat. Hasil uji statistik anova disajikan pada Tabel 24. Hasil analisis regresi linier berganda pada setiap variabel bebas pada taraf < 5%, menunjukkan bahwa, variabel tunggal yang memberikan sumbangan nyata/signifikan terhadap perubahan Y adalah variabel pendidikan (p-value=0,008 < 0,05), seperti tersaji pada Tabel 25. Artinya bahwa, semakin tinggi pendidikan, semakin berkurang penangkapan ikan dengan bom, sedangkan untuk umur dan pendapatan tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Tabel 24 Anova penggunaan bom ikan di Desa Pediwang Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. Regression 15,368 3 5,123 6,927 0,003a Residual 11,832 16 0,740 Total 27,200 19 Predictors: (Constant), Pendapatan, Pendidikan, Umur Dependent Variable: Aktifitas pengeboman ikan Tabel 25 Hasil variabel, koefisien regresi, nilai t dan p-value di Desa Pediwang No. 1. 2. 3. 4. Varibel (Constant) X1 = Umur X2 = Pendidikan X3 = Pendapatan Koefisien Regresi 1,142 0,028 0,632 -0,357 Keterangan: * signifikan pada taraf nyata < 5% . T 0,912 0,084 3,050 -0,981 Sig. 0,375 0,934 0,008* 0,341 50 Berdasarkan dari analisis regresi berganda pada Tabel 25, maka dapat dituliskan model hubungan antara variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap perubahan tingkat pengeboman ikan di Desa Pediwang, sebagai berikut: Y = 1,142 +0,028X1 + 0,632X2 - 0,357X3 Keterangan: Y = Tingkat aktifitas penggunaan bom ikan X1 = Umur X2 = Pendidikan X3 = Pendapatan 51 5 5.1 PEMBAHASAN Karakteristik Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian 5.1.1 Alat penangkapan ikan Pada dasarnya dalam suatu operasi penangkapan ikan penggunaan bermacam-macam jenis alat penangkapan ikan sesuai dengan target ikan yang akan ditangkap itu dibolehkan. Dalam rangka mewujudkan tujuan pengelolaan perikanan seperti yang diamanatkan dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yaitu agar SDI tetap lestari serta pemanfaatannya dapat optimal dan berkelanjutan maka perlu dilakukan beberapa langkah yang berkaitan dengan penggunaan Alat Penangkapan Ikan di antaranya ([email protected] Blog : http://mukhtar-api.blogspot.com) : 1. Pembuatan ketentuan-ketentuan/peraturan-peraturan yang mengatur tentang penggunaan Alat Penangkapan Ikan. 2. Pencantuman jenis dan dimensi utama Alat Penangkapan Ikan yang digunakan dalam SIPI. 3. Pengawasan penggunaan Alat Penangkapan Ikan di lapangan. Alat penangkapan ikan utama yang digunakan oleh nelayan Kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara adalah pancing ulur dan jaring hanyut (gillnet). Sebagian besar teknologi penangkapan ikan yang dipergunakan nelayan setempat masih sederhana. Armada penangkapan ikan didominasi oleh perahu dayung dan perahu motor tempel (ketinting) dengan ukuran dibawah 2 GT. Jenis teknologi penangkapan yang masih sederhana dan armada skala kecil menyebabkan daerah penangkapan ikan terbatas di perairan pantai sekitar 2-3 mil. Berdasarkan waktu kerja dari nelayan di Desa Pediwang, Bori, dan Desa Doro Kecamatan Kao Utara, mereka tergolong sebagai nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan. Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan. Sedangkan Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil dari waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan (Ditjen Perikanan Tangkap, 2005). 52 Keterbatasan alat tangkap yang dimiliki nelayan di Desa Pediwang, Desa Doro, dan Desa Bori merupakan salah satu faktor yang cukup dominan yang menyebabkan produktifitas hasil tangkapan nelayan menjadi rendah. Daya jelajah perahu yang digunakan umumnya terbatas, dan berimplikasi pada jumlah dan jenis tangkapan ikan yang makin lama makin berkurang. Rata-rata penghasilan yang diperoleh nelayan miskin relatif kecil sehingga hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan bagi nelayan yang memiliki tanggungan keluarga yang lebih besar, terpaksa hidup kekurangan. Disamping mengandalkan hasil laut sebagai penopang kebutuhan keluarga, sebagian besar dari masyarakat nelayan di ketiga desa tersebut juga mengandalkan hasil-hasil perkebunan. Rata-rata masyarakat nelayan di tiga desa memiliki kebun yang menghasilkan kelapa (kopra) yang bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 5.1.2 Sosial budaya masyarakat nelayan Masyarakat nelayan di Kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara yang bergerak di sektor perikanan rata-rata kualitas sumberdaya manusianya masih rendah. Umumnya mereka mengelola usaha perikanan bersifat turun temurun dan hanya mengandalkan kemampuan fisik. Tingkat pendidikan bukan merupakan keharusan untuk menjadi nelayan, namun terpenting bagi mereka memiliki kemauan dan motivasi kerja. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap adopsi teknologi dan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Akibatnya nelayan di Kabupaten Halmahera Utara masih tetap menggunakan bom ikan sesuai dengan kebiasaan yang turun-temurun dari generasi sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Boeke (1983, bahwa aktivitas ekonomi masyarakat nelayan senantiasa ditundukkan pada dan dicampur dengan berbagai macam motif yaitu, motif sosial, keagamaan, etis dan tradisional. Dari sisi konsumsi, kehidupan ekonomi desa tradisional dibangun atas dasar “prinsip swasembada”, dimana hampir seluruh kebutuhan hidup kesehariannya diproduksi/dipenuhi oleh desa tradisional sendiri. Kemampuan desa tradisional membangun struktur ekonomi demikian, karena didukung penuh oleh adanya ikatan-ikatan sosial yang asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhankebutuhan yang tak terbatas dan bersahaja, prinsip produksi pertanian semata- 53 mata untuk keperluan keluarga, pengekangan pertukaran sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan, serta tidak terlalu berorientasi kepada laba (non profit oriented). Selanjutnya, Boeke (1983) menyatakan bahwa kehidupan sosial masyarakat desa yang tradisional sulit diklasifikasikan menurut pekerjaan mereka, tidak seperti struktur kehidupan sosial pada masyarakat perkotaan dalam klasifikasi yang jelas dan terstruktur. Masyarakat desa tradisional yang hidup di daerah-daerah pertanian pedalaman hidup dalam komunitas-komunitas yang cenderung bersikap “tertutup”, serta dengan semangat kelompok yang kuat, karena mereka menganggap bahwa eksistensi individu terletak di dalam kehidupan berkelompok atau bermasyarakat. Nelayan di Kecamatan Kao utara termasuk nelayan sambilan utama. Oleh karena itu, karakteristik usaha nelayan di lokasi penelitian ini masih tergolong skala kecil dengan berbagai permasalahan yang dihadapinya. Kehidupan masyarakat pada 3 desa ini masih bersifat tradisional dan memiliki budaya yang lebih mengagungkan orang yang lebih tua, dan sistem kekerabatan yang masih kuat berdasarkan adat istiadat setempat. Gaya hidup yang cenderung tradisional masih terlihat di Desa Bori. Dalam menjalankan kehidupannya, rata-rata masyarakat pada 3 desa ini memiliki lahan kebun yang ditanami berbagai tanaman. Tanaman yang sangat dominan di areal kebun masyarakat adalah kelapa, yang dipanen dan diolah menjadi kopra setiap 4 bulan sekali. Untuk kebutuhan makan setiap harinya, masyarakat 3 desa ini disamping membeli beras, sebagian juga mengusahakan dari hasil dari kebun seperti sagu, pisang, singkong, ubi, dan padi ladang. Untuk kebutuhan konsumsi ikan, masyarakat 3 desa dapat membeli dari anggota masyarakat desa yang menangkap ikan, atau melakukan penangkapan ikan sendiri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Dalam sehari, jumlah tangkapan yang dicari hanya sebatas untuk dikonsumsi harian, dan apabila lebih, dapat dijual kepada anggota masyarakat lainnya atau ke pedagang pengumpul. Aspek sosial lainnya yang menggambarkan karektersitik masyarakat nelayan Kecamatan Kao Utara, yaitu umur, pendidikan dan pendapatan. Sebagian besar nelayan di ke-3 desa berkisar antara 40- 60 tahun. Tingkat umur responden 54 mayoritas antara 40-60 tahun, menunjukan profesi di sektor perikanan sebagai nelayan tidak menarik bagi kaum muda. Usaha perikanan yang memerlukan modal dan resiko tinggi menyebabkan kaum muda di tiga desa tersebut lebih memilih pekerjaan sebagai buruh di perkebunan, pelabuhan dan tukang ojek. Salah satu permasalahan mendasar bagi pembangunan kelautan dan perikanan, khususnya yang bergerak dalam skala mikro dan kecil adalah sulitnya akses permodalan dari lembaga keuangan/perbankan formal. Akibatnya nelayan seringkali terjerat oleh renteneer yang menawarkan pinjaman dengan cepat dan mudah, namun diimbangi dengan tingkat bunga yang tinggi. Keterbatasan permodalan ini diperburuk dengan sistem penjualan yang cenderung dimonopoli oleh para tengkulak (Purna, 2000). Akibatnya nelayan kaum muda menganggap bahwa profesi sebagai nelayan tidak menantang dan tidak menarik. Realitas lingkaran kemiskinan nelayan yang mereka amati kaum muda juga diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sektor kelautan dan perikanan ini menjadi tidak menarik. Tingkat pendidikan tertinggi masyarakat nelayan (responden) adalah tamatan SMA. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masih di tingkat menengah ke bawah, bahkan banyak yang tidak sekolah. Kondisi ini menggambarkan bahwa SDM di ketiga desa tersebut dapat digolongkan masih rendah. Begitu banyaknya nelayan tidak sekolah, menunjukkan pendidikan bagi ke tiga desa tersebut merupakan kebutuhan primer yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Pada kondisi dewasa ini, biaya yang dibutuhkan untuk bersekolah pada tingkatan yang lebih tinggi memerlukan biaya cukup besar. Sehingga hal ini bisa dipahami, mengingat rata-rata pendapatan responden di tiga desa lokasi penelitian sangat rendah yaitu antara Rp.800.000.- hingga Rp.1.350.000.perbulan. Secara sosial-ekonomi-budaya konsep pembangunan berkelanjutan mensyaratkan, bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan tersebut, terutama mereka yang ekonomi lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Untuk negara berkembang, seperti Indonesia, prinsip 55 ini sangat mendasar, karena banyak kerusakan lingkungan pesisir misalnya penambangan batu karang, penebangan mangrove, penambangan pasir pantai dan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, berakar pada kemiskinan dan tingkat pengetahuanyang rendah dari para pelakunya. Faktor-faktor sosial budaya masyarakat nelayan yang berpengaruh terhadap pelestarian kemampuan sumber daya perikanan laut antara lain adalah sikap menyatu dengan alam atau pasrah, hal ini menyebabkan perkembangan sumber daya perikanan tidak seimbang dengan pemanfaatan perikanan oleh nelayan yang sebagian besar masih menggunakan alat tangkap bom ikan. Sedangkan apabila menggunakan alat tangkap moderen dan sikap ingin memanfaatkan sumber daya perikanan semaksimal mungkin, hal ini mungkin akan menurunkan kemampuan sumber daya perikanan yang ada. Tindakan atau kebijakan Pemerintah Daerah yang dibutuhkan oleh nelayan dan petani kecil guna meningkatkan taraf hidup mereka tanpa merusak kemampuan dan kelestarian sumber daya perikanan dan sumber daya alam lainnya di wilayah pantai adalah melalui izin usaha perikanan yang diberikan kepada para pengusaha. Langkah operasional Pemerintah Daerah untuk meningkatkan taraf hidup dan kualitas sumber daya manusia dan untuk perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup serta pemahaman nelayan dalam bidang usahanya adalah dilakukan dengan penyuluhan-penyuluhan melalui tenaga lapangan yang ada (PPL Perikanan). Di samping hal tersebut juga para nelayan disarankan untuk masuk menjadi anggota Koperasi Unit Desa Perikanan. Keuntungannya adalah demi kelancaran pemasaran dan stabilnya harga serta yang tak kalah pentingnya adalah para nelayan dapat menikmati SHU (sisa hasil usaha) dalam bentuk uang yaitu pada masa nelayan dalam keadaan paceklik. 5.1.3 Ekonomi masyarakat nelayan Pendapatan masyarakat nelayan pada tiga desa lokasi penelitian tergantung pada sistem perekonomian yang ada di Kecamatan Kao Utara. Keberadaan pasar yang masih tradisional dan hanya dibuka 2 kali dalam satu minggu, menyebabkan aktivitas jual beli masyarakat nelayan untuk menjual hasil tangkapan terbatas, dan paling banyak terjual pada pedagang pengumpul (dibo-dibo) dengan harga yang rendah. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada responden nelayan di 3 desa, 56 diperoleh gambaran bahwa pendapatan nelayan responden mayoritas Rp.300.000.sampai dengan Rp.600.000.- per bulan, yang diperoleh dari hasil penangkapan ikan. Pendapatan ini juga ditunjang dengan pendapatan yang berasal dari hasilhasil perkebunan yang berkisar Rp.500.000.- sampai Rp.750.000.- per bulan. Jika dijumlahkan, maka pendapatan masyarakat nelayan yang ada di ketiga desa penelitian adalah sekitar Rp.800.000 - Rp.1.350.000.- per bulan. Besar penghasilan masyarakat nelayan ini tergolong cukup apabila dihitung jumlah pengeluaran nelayan per hari yaitu rata-rata sebanyak Rp.40.000.-. Sehingga total pengeluaran masyarakat nelayan dapat berkisar Rp.1.200.000.-. Menghitung pendapatan nelayan dan pengeluaran yang dilakukan oleh seorang nelayan, terdapat selisih sebesar Rp.150.000.- per bulan. Jumlah kelebihan tersebut tidak digunakan untuk ditabung, namun digunakan untuk membeli kebutuhan alat tangkap (pancing ulur), seperti senar atau kait, dan kebutuhan keluarga lainnya, serta biaya transportasi ke toko peralatan tangkap yang ada di ibukota kabupaten. Lembaga-lembaga keuangan seperti bank yang belum ada di Kecamatan Kao Utara, menyebabkan perputaran ekonomi di kecamatan ini lambat. Rangsangan lembaga keuangan seperti koperasi-koperasi simpan pinjam, hanya dilakukan untuk mencari keuntungan semata, tanpa keberpihakan kepada masyarakat kecil, dengan menetapkan suku bunga pinjaman yang besar dan memberatkan masyarakat nelayan, menyebabkan pendapatan masyarakat nelayan tidak cukup untuk membiayai kebutuhan yang ada. Hal ini merupakan tanggung jawab pemerintah yang harus diperhatikan sehingga kesejahteraan masyarakat nelayan akan terpenuhi. Peran lembaga perbankan dalam penyaluran kredit komersial untuk membantu pemgembangan perikanan tangkap di Kecamatan Kao Utara mutlak diperlukan. Namun demikian, akses nelayan terhadap perbankan di lokasi penelitian ini masih terbatas karena mereka pada umumnya belum mengetahui proses untuk memperoleh pinjaman, di samping agunan yang tidak ada sesuai dengan yang disyaratkan oleh lembaga keuangan. Saleh (2004) mengemukakan bahwa kecenderungan bank-bank umum mendanai sektor-sektor usaha yang bergerak dalam bidang industri pengolahan hasil laut, serta pedagang besar hasil laut, dan belum menyentuh pada nelayan secara individu. Hal ini disebabkan oleh 57 kebijakan prudential banking serta persyaratan pada pemberian kredit yang ditetapkan oleh otoritas moneter, yang memberikan batasan gerak bagi perbankan umum, untuk dapat menjangkau masyarakat miskin, khususnya masyarakat miskin yang ada di daerah pesisir (Saleh, 2004). Pembangunan wilayah pesisir pada umumnya dikaitkan dengan upaya pengentasan kemiskinan nelayan yang kehidupannya tergantung pada usaha perikanan. Sektor perikanan pada hakekatnya dapat dikembangkan sebagai alternatif bagi perbaikan ekonomi masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan merupakan salah satu dari sekian banyak golongan ekonomi lemah. Persoalan tersebut harus diatasi dengan mendayagunakan segala potensi atau sumberdaya yang tersedia yang ditunjang dengan penerapan strategi yang efektif. Strategi yang efektif dapat dicapai melalui penggunaan teknologi, tenaga kerja intensif, modal dan keterampilan serta pemberdayaan kelembagaan untuk meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat miskin. Peraturan pemerintah berisi tentang ketentuan-ketentuan dalam pengelolaan kawasan konservasi laut daerah yang dilakukan secara terpadu, termasuk hal yang bersifat dilarang dan diperbolehkan untuk dilakukan sanksi/denda, serta hal-hal khusus yang menyangkut kawasan konservasi laut daerah. 5.2 Penggunaan bom dalam penangkapan ikan Penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan pemboman ikan merupakan praktek yang umum dilakukan serta dapat memberikan dampak negatif bagi ekosistem terumbu karang. Nelayan selama ini selalu dianggap oleh berbagai pihak lain sebagai perusak lingkungan, khususnya terumbu karang. Beberapa jenis teknologi yang mereka gunakan untuk menangkap ikan tidak ramah lingkungan atau merusak lingkungan (unfriendly technology), contohnya adalah bom ikan, potassium sianida (Baker, 2004). Fenomena yang banyak menarik perhatian banyak pihak adalah nelayan pengguna bom ikan karena dua alasan. Pertama, tingkat kerusakan yang ditimbulkan teknologi ini terhadap terumbu karang sangat signifikan, dan kedua adalah meningkatnya jumlah nelayan pengguna bom ikan ini bersamaan dengan masa krisis ekonomi Indonesia. 58 Kegiatan pengeboman ikan di perairan Kecamatan Kao Utara akan berpengaruh terhadap degradasi ekosistem. Namun demikian, degradasi akibat penggunaan bom ini perlu dikaji secara mendetail lagi. Menurut Indrapramana (2010), degradasi ekosistim terumbu karang secara umum disebabkan oleh 2 faktor yaitu: faktor alami (antogenic causes) seperti bencana alam dan aktivitas manusia (antrophogenic causes) baik secara langsung maupun tidak langsung. Aktivitas manusia lainnya merusak terumbu karang dan ekosistim lainnya secara langsung adalah penangkapan ikan tidak ramah lingkungan dengan menggunakan bahan berbahaya seperti cyanida dan bahan peledak (bom) dapat menyebabkan kematian hewan-hewan karang serta kerusakan secara fisik terumbu karang. Penggunaan bahan peledak dan racun dalam penangkapan ikan menimbulkan efek sampingan yang sangat besar. Selain rusaknya koloni karang yang ada disekitar lokasi peledakan juga dapat menyebabkan kematian organisme lain yang bukan merupakan target penangkapan. Tingkat kerusakan karang bervariasi dan sangat tergantung pada jarak titik ledakan (pusat ledakan) dari karang tersebut, bobot bahan peledak serta struktur karang itu sendiri. Dalam hal ini jenis karang yang mempunyai struktur yang lebih kuat, seperti golongan karang batu (stone coral) dan karang otak (brain coral) mengalami tingkat kerusakan yang lebih ringan, seebaliknya karang yang strukturnya rapuh seperti golongan karang cabang (branching coral) mengalami tingkat kerusakan yang lebih parah (Subandi 2004). Menurut Mann (2000), dampak aktivitas manusia yang penting terhadap terumbu karang yaitu eurotrofikasi, potensi minyak, penambangan karang, serta praktek perikanan yang merusak lingkungan. Selain itu pula ditambahkan oleh Murdiyanto (2003), beberapa metode penangkapan ikan yang memberikan dampak fisik terhadap terumbu karang seperti penggunaan pukat pantai, dan penggunaan bahan peledak. Selain itu penangkapan ikan dengan bahan peledak (dynamite) dan cyanide membuat ikan menjadi pingsan di koloni karang. Hal ini mempunyai dampak yang sangat serius pada terumbu karang serta keduanya merusak secara fisik terumbu karang dan mempengaruhi kesehatan karang dan organisme lain yang berasosiasi dengan terumbu karang (Rosenberg, et al. 2004). 59 Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom di kawasan perairan Kecamatan Kao Utara telah berlangsung cukup lama. Menurut informasi yang diperoleh dari masyarakat bahwa aktivitas pengeboman dimulai kurang lebih pada awal tahun 1980-an dan masih berlangsung sampai sekarang. Pengetahuan tentang cara membuat dan menggunakan bom ikan diturunkan dari teman/orang desa dan dari nelayan lain diluar desa. Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom telah menjadi kebiasaan nelayan di ke tiga desa tersebut. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa aktivitas nelayan dalam mendapatkan hasil tangkapan dengan menggunakan bom ikan di perairan Teluk Kao masih berlangsung sampai saat ini. Dari 60 responden yang dipilih dalam penelitian ini menunjukkan bahwa 18,3 % aktivitas penggunaan bom dalam penangkapan ikan di perairan Teluk Kao masih berlangsung sampai saat ini. Penggunaan bom ini hanya merupakan kelengkapan alat tangkap sampingan yang dimiliki oleh nelayan, karena alat tangkap lain yang utama adalah pancing ulur. Pengoperasian alat penangkapan yang dapat merusak lingkungan ini, menurut nelayan responden yang menggunakan, hanya dilakukan sewaktu-waktu, disaat terdapat gerombolan ikan di atas terumbu karang, ataupun di perairan dalam. Bom ini diperoleh dengan cara merakit sendiri, atau membeli dari nelayan lain di desa setempat atau desa tetangga yang mempunyai keahlian dalam membuat/merakit bom ikan. Bahan baku pembuatan bom terdiri dari botol/pipa bekas, diisi dengan mesiu yang diperoleh dengan mudah dari dasar perairan Teluk Kao dimana masih banyak terdapat bom bekas peninggalan perang dunia kedua yang dibuang ke dasar laut. Bom-bom bekas perang tersebut dicari oleh beberapa nelayan yang melakukan penyelaman ke dasar perairan Teluk Kao menggunakan air compressor, kemudian dibuka di tempat-tempat yang tersembunyi dan diambil isinya (mesiu). Mesiu yang telah ditemukan, kemudian dirakit menjadi bom ikan, atau dijual kepada nelayan lain yang juga merakit bom sendiri. Harga per kilogram mesiu yang dijual Rp.50.000 – Rp.100.000.- dapat digunakan untuk membuat bom ikan 3 – 4 buah. Satu buah bom apabila dioperasikan dapat memberikan hasil tangkapan sebesar 10 kali lipat dari hasil dengan pancing ulur. 60 Pengoperasian bom ikan dalam penangkapan ikan, dilakukan secara tersembunyi, atau dilakukan pada saat menemukan gerombolan ikan. Walaupun terdapat nelayan lain yang ada di sekitarnya, pengoperasiannya tetap dapat dilakukan, karena nelayan lain juga akan turut terlibat dalam pengumpulan hasil tangkapan. Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar nelayan yang melakukan pengeboman sadar dan tahu bahwa pengoperasian alat tangkap ini adalah tindak pidana yang dapat menyeret pelaku ke penjara. Namun tidak adanya pengawasan dari pihak instansi terkait menyebabkan praktek ini leluasa digunakan oleh nelayan setempat. Pengalaman yang cukup lama menggunakan bom dalam penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan, menyebabkan nelayan dapat meminimalisir resiko yang mungkin timbul seperti cacat dan kematian. Menghentikan kebiasaan penangkapan ikan menggunakan bom ini, sangat sulit. Kebijakan yang ditempuh aparat keamanan (Polsek Kao) untuk mengawasi perairan telah dilakukan dengan membangun 1 pos polisi di Desa Daru (Ibukota Kecamatan Kao Utara), namun personil yang ditempatkan hanya 1 orang. Hal ini tentunya sangat sulit untuk melakukan pengawasan terhadap perairan yang luas dan perdagangan hasil tangkapan nelayan sangat terbatas. Kebijakan instansiinstansi pemerintah seperti DKP, Kantor Kecamatan dan Kantor Kepala Desa belum terkoordinasi dengan baik menyebabkan pengawasan terhadap praktekpraktek penggunaan bom yang merusak ini dapat dilakukan dengan leluasa. Alternatif kebijakan yang perlu ditempuh adalah dengan mengadakan koordinasi secara bersama-sama antara instansi pemerintah, masyarakat, kepolisian untuk menentukan solusi yang tepat sehingga kegiatan pengeboman yang dilakukan masyarakat akan semakin berkurang. Selain itu penyuluhan yang terkait dengan dampak negatif yang ditimbulkan kegiatan pengeboman ikan ini juga perlu disosialisasikan kepada nelayan. 5.3 Faktor Determinan Penggunaan Bom Ikan Hasil analisis regresi linier berganda pada setiap variabel bebas pada taraf < 5%, menunjukkan bahwa, variabel tunggal yang memberikan sumbangan nyata/signifikan di ke-3 desa lokasi penelitian terhadap perubahan Y adalah variabel pendidikan. Artinya bahwa, semakin tinggi pendidikan, semakin berkurang aktivitas penangkapan dengan bom, sedangkan untuk umur dan 61 pendapatan tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Hal ini bisa dipahami, tingkat pendidikan akan membuka wawasan dalam berpikir dan menganalisis resiko tinggi dari penggunaan bom. Sedangkan umur yang lebih tua memberikan kemampuan bagi seorang nelayan untuk lebih berpengalaman menggunakan bom dalam kegiatan penangkapan yang dilakukan, dan tingkat pendapatan yang rendah untuk memenuhi kebutuhan hidup, dapat menyebabkan seorang nelayan menggunakan bom dalam penangkapan ikan. Program lain yang berhubungan dengan konservasi dan rehabilitasi lingkungan hidup adalah pembuatan karang buatan, penanaman kembali bakau, konservasi kawasan laut dengan jenis ikan tertentu serta penegakan hukum terhadap kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom, racun, dan alat tangkap lainnya yang bersifat destruktif adalah program-program pembangunan yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kesejahteraan nelayan. Faktor yang dapat mempengaruhi tingkat aktivitas penggunaan bom ikan pada penelitian ini adalah tingkat pendidikan. Dalam arti bahwa tingkat pendidikan yang semakin tinggi ternyata dapat mengurangi kegiatan pengeboman ikan. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah perlu menggalakkan wajib belajar 9 tahun, bahkan mendorong agar masyarakat nelayan khususnya dapat memperoleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini tidak hanya dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran dan menambah wawasan masyarakat terhadap bahaya yang ditimbulkan pengeboman ikan dan praktek-praktek penangkapan ikan yang destruktif lainnya. Namun, dengan tingkat pendidikan yang lebih baik, maka mereka dapat turut serta berperan aktif dalam pengelolaan potensi sumberdaya lokal, termasuk perikanan. 5.4 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Praktek penangkapan ikan tidak ramah lingkungan yang menggunakan bahan peledak (bom) dan racun (bius) makin marak dilakukan di perairan Indonesia. Praktek semacam ini selain menimbulkan dampak kerugian ekologi, juga menimbulkan dampak social ekonomi yang memprihatinkan terutama akibat menurunnya produktifitas terumbu karang. Jika hal ini berlangsung lama maka akan berpengaruh terhadap biota laut. 62 Agar keberlanjutan sumberdaya dapat dipertahankan, maka aktivitas manusia (antrophogenic causes) yang baik secara langsung maupun tidak langsung berpotensi merusak keberlanjutan sumberdaya ekosistem terumbu karang mestinya diminimalisasi, salah satunya adalah penanggulangan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak. Penggunaan bom dalam kegiatan penangkapan ikan di Kecamatan Kao Utara adalah kegiatan yang destruktif dan dapat merusak lingkungan perairan yang ada. Keberadaan potensi sumberdaya ikan yang menjadi aset Kabupaten Halmahera Utara dapat hancur dan punah. Oleh karena itu, penggunaan bom dalam kegiatan penangkapan ikan di perairan Kecamatan Kao utara harus perlu untuk ditangani secara serius, agar potensi potensi sumberdaya ikan yang ada dapat lestari dan dapat dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya. Dalam upaya meminimalisasi penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dengan menggunakan bahan peledak (bom) dan racun (sianida) khususnya adalah (Indrapramana, 2010): (1) Pengembangan mata pencaharian Masyarakat pesisir (nelayan) dikategorikan masih miskin memiliki tingkat pendidikan yang sangat rendah. Perilaku masyarakat yang cenderung destruktif sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi (kemiskinan) dalam memenuhi kebutuhannya dan diperparah dengan sifat keserakahan dalam mendapatkan hasil yang maksimal walaupun ditempuh dengan cara-cara yang merugikan karena bukan saja merusak lingkungan, akan tetapi memutuskan rantai mata pencaharian anak cucu. Faktor rendahnya tingkat pendidikan juga mempengaruhi perilaku masyarakat tersebut. Dengan adanya alternatif mata pencaharian tambahan diharapkan dapat memberikan nilai tambah sehingga masyarakat nelayan destruktif akan berkurang. (2) Penegakkan hukum Beberapa kasus penggunaan bom dalam penangkapan ikan yang tidak dapat diselesaikan dengan baik, tuntas, dan transparan memicu perobahan perilaku masyarakat (nelayan). Ketidakpuasan masyarakat akibat 63 penanganan pelanggaran tersebut semestinya diperbaiki dimulai dari aparat penegak hukum yang terkait dalam masalah ini. (3) Pendidikan dan penyadaran tentang lingkungan Masyarakat (nelayan) yang terindikasi sebagai pelaku penangkapan ikan dengan merusak lingkungan memiliki tingkat pendidikan yang rendah sehingga pengetahuan tentang pentingnya ekosistem terumbu karang terbatas. Dengan pendidikan dan penyadaran tentang lingkungan tersebut dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya, workshop, studi banding dapat lebih ditingkatkan sehingga masyarakat dapat memahami pentingnya ekosistim lingkungan bagi kesejahteraan manusia. (4) Pengaturan waktu, jumlah ukuran, dan wilayah tangkap Dibeberapa daerah lokasi pengaturan waktu, jumlah, ukuran, dan wilayah tangkap sudah dikembangkan. Namun, di beberapa daerah lain mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan karena terbatasnya penelitian/kajian aspek dari terumbu karang dan komunitas masyarakat pesisir (nelayan) serta sumberdaya manusia pelaksana maupun pelaku kebijakan yang masih terbatas. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan Willkinson dan Buddemeier, diacu dalam Hartati 2005, besarnya kerusakkan terumbu karang berdampak buruk terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya dari orangorang yang hidup secara harmonis dan bergantung pada ekosistem tersebut untuk kebutuhan rekreasi, pengamanan, material dan pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa, kegiatan-kegiatan yang sifatnya merusak lingkungan perairan seperti penggunaan bom akan mengancam kelestarian sumberdaya ikan. Penggunaan bom ikan melanggar undang-undang khususnya pasal 84 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Faktor undang-undang bersifat mendukung (dengan adanya UU No. 311 tahun 2004). Faktor sarana dan prasarana bersifat menghambat karena terbatasnya sarana dan prasarana yang ada. Faktor penegak hukum menjadi penghambat karena adanya laporan mengenai keterlibatan anggota dalam menampung ikan hasil dari tangkapan dengan menggunakan bom ikan. Faktor masyarakat bersifat menghambat karena masih menempuh jalan pintas yang melanggar hukum, sedangkan masyarakat non pelaku kurang 64 diberdayakan oleh jajaran kepolisian Faktor budaya menjadi pendukung karena tidak membenarkan adanya upaya pengrusakan lingkungan yang diakibatkan penggunaan bom ikan. http://125.161.190.253/lontar//file?file=digital/skripsi/4707-142.pdf Sangat ironis, bahwa sebagian besar nelayan kita masih hidup dalam kemiskinan. Sementara itu stok ikan semakin menipis, penangkapan ikan dengan cara-cara destruktif seperti penggunaan bom dan racun sianida masih banyak terjadi dimana-mana, ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove telah banyak yang mengalami kerusakan, dan pencemaran telah melanda perairan pesisir yang mengancam keberlanjutan usaha perikanan. Perikanan liar atau pencurian ikan oleh nelayan asing juga belum dapat dikendalikan secukupnya. Selain itu, aspek hukum dan penegakan hukum di laut juga masih menghadapi berbagai kendala. Kesemua ini mengindikasikan diperlukannya pola perikanan yang kuat. (Marhaeni.R.S, 2010). Aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom) dan racun (cyanida) sangat jarang dilaporkan oleh masyarakat kepada instansi terkait mengingat kegiatan tersebut dilakukan di area laut yang jarang dilalui oleh transportasi laut, sedangkan nelayan sendiri sangat kecil kemungkinannya untuk melaporkan kepada sesama nelayan. Luasnya area laut yang harus diawasi dan terbatasnya sarana dan prasarana dalam pengelolaan penanggulangan penggunaan bom ikan. Oleh sebab itu dalam penanggulangan masalah ini, penyidik sebagai salah satu garda terdepan harus bertindak proaktif dengan tidak hanya menunggu laporan dari masyarakat atau hanya melakukan patroli secara terbatas tetapi dengan menerapkan teknik-teknik penyelidikan yang efektif dan murah. Langkahlangkah efektif dimaksud meliputi: (1) Melakukan identifikasi terhadap karakteristik (ciri khas) perahu/kapal yang digunakan dalam pengeboman ikan. Kapal yang digunakan untuk kegiatan ini umumnya mempunyai wadah tertutup yang kedap air dan diisi dengan es dalam jumlah banyak yang fungsinya untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan; (2) Melakukan identifikasi terhadap alat-alat pendukung yang biasa dibawa oleh kapal/perahu pelaku pengeboman ikan. Selain menggunakan 65 kapal/perahu dengan rancangan khusus, para pelaku juga membawa peralatan tambahan seperti: jarring, pancing dan lain-lain untuk penyamaran. Kapal ini juga dilengkapi dengan kompresor tabung udara yang natinya digunakan untuk penyelaman untuk mengumpulkan hasil tangkapan; (3) Melakukan pemeriksaan/sampling berkala trehadap hasil tangkapan Sampling ikan mati dapat dilakukan di perahu/kapal nelayan yang sementara menangkap atau membawa ikan pada tempat-tempat ikan didaratkan seperti tempat pendaratan ikan (TPI), atau pelabuhan pendaratan ikan (PPI); (4) Menelusuri jaringan pelaku pengeboman ikan dan jaringan pengedar bahan berbahaya. Apabila terbukti ikan-ikan yang disampling tersebut terbukti ditangkap dengan menggunakan bom ikan maka penyidik dapat menelusuri jaringan pelaku dengan melakukan pengusutan secara berantai mulai dari pemilik terakhir ikan yang disita oleh penyidik (ikan yang disampling). Mengembangkan mata pencaharian alternatif di Kecamatan Kao Utara merupakan hal yang perlu dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa sumberdaya pesisir secara umum dan sumberdaya perikanan tangkap secara khusus telah banyak mengalami tekanan dan degradasi. Namun salah satu alasan yang mendasar dan perlu dikaji yaitu status sumberdaya perikanan yang bersifat akses terbuka. Menanggapi hal ini maka pengembangan mata pencaharian alternatif bagi nelayan merupakan suatu keharusan yang perlu dilakukan. Pengembangan mata pencaharian bukan saja dalam bidang perikanan seperti pengolahan, pemasaran, budidaya perikanan tetapi patut diarahkan ke bidang non perikanan (Nikijuluw V.P.H, 2007). Selanjutnya ditambahkan oleh Smith (1983) beragumentasi bahwa bila kondisi akses terbuka masih terjadi maka apapun kesejahteraan yang dilakukan baik pada kegiatan penangkapan ikan maupun pada kegiatan yang berkaitan seperti pengolahan dan pemasaran ikan tidak akan memberikan hasil peningkatan kesejahteraan nelayan Degradasi terumbu karang di perairan pesisir disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia, di antaranya pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebagai 66 sumber pangan (ikan-ikan karang), sumber bahan bangunan (galian karang), komoditas perdagangan (ikan hias), dan obyek wisata (keindahan dan keanekaragaman hayati). Degradasi terumbu karang akibat pemanfaatannya sebagai sumber pangan maupun ikan hias sebagian besar dikarenakan oleh penggunaan bahan peledak, tablet potas dan sianida. Kenyataan ini dapat dijumpai di banyak lokasi terumbu karang, berupa karang-karang yang rusak secara fisik dalam formasi berbentuk cekungan. Selain itu degradasi terumbu karang terjadi sebagai akibat kegiatan penambangan/penggalian karang untuk kepentingan konstruksi jalan atau bangunan Selanjutnya ditambahkan oleh Monintja (2001) bahwa pengelolaan perikanan tangkap yang sukses haruslah menunjukkan karakteristik usaha penangkapan yang berkelanjutan : (1) Proses penangkapan ramah lingkungan, yaitu : hasil tangkapan sampingan (by catch minimum), hasil tangkapan terbuang minim, tidak membahayakan keanekaragaman hayati, tidak menangkap jenis ikan yang dilindungi, tidak membahayakan habitat, tidak membahayakan kelestarian sumberdaya ikan target, tidak membahayakan keselamatan dan kesehatan nelayan, dan memenuhi ketentuan Code of Conduct for Responsible Fisheries (2) Volume produksi tidak berfluktuasi drastis (suplai tetap) (3) Pasar (buyers) tetap/terjamin (4) Usaha penangkapan masih menguntungkan (5) Tidak menimbulkan friksi sosial (6) Memenuhi persyaratan legal. 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah: (1) Alasan utama nelayan menggunakan bom dalam kegiatan penangkapan ikan di Kecamatan Kao utara adalah untuk meningkatkan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi nelayan menggunakan bom di Kecamatan Kao Utara adalah pengalaman merakit dan menggunakan bom yang tinggi, dan mudahnya memperoleh bahan pembuatan bom ikan. (3) Tingkat pendidikan nelayan yang semakin tinggi berpengaruh nyata terhadap berkurangnya penggunaan bom dalam kegiatan penangkapan ikan di perairan Kecamatan Kao Utara. 6.2 Saran Beberapa hal yang perlu disarankan pada penelitian ini adalah : (1) Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Utara, perlu melakukan penegasan dalam bentuk peraturan daerah, dan melakukan koordinasi di antara stakeholders terkait dalam pengawasan areal perairan (2) Program wajib belajar 9 tahun perlu ditingkatkan, untuk memperkecil jumlah anggota masyarakat yang tidak bersekolah dan sekaligus untuk meningkatkan kesadaran dan wawasan masyarakat akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pengeboman ikan. (3) Upaya menumbuhkan kesadaran nelayan atas dampak yang timbul dari penggunaan alat penangkapan ikan destruktif perlu diimbangi dengan melibatkan mereka dalam kegiatan menjaga kelestarian lingkungannya sendiri. (4) Penggunaan bom ikan dalam aktifitas penangkapan ikan di perairan, dapat mengancam kelestarian lingkungan laut, sehingga semua stakeholders perlu disadarkan untuk tidak menggunakan bom dalam kegiatan penangkapan ikan. 68 DAFTAR PUSTAKA [Ditjen] Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. DKP. 2005. Definisi dan Klasifikasi Statistik Perikanan Tangkap. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 50 hlm. ______, 2002, Konflik Sosial Nelayan, LKiS, Yogyakarta. Anonimous. 2008. Lempar bom “Bismillah” lalu kita aturlah.. http://www. panyingkul.com/ view.php?id=697&jenis=berandakita. Anonimous. 2007. Dokumen Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Anonimous. 2007. Penangkapan ikan pakai bom berpotensi rugikan Indonesia US6 juta: http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/agribisnis/id 30666.html Anonimous. 2008. Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Halmahera Utara. Anonimous. 1993. Global Marine Biolgical Diversity: A strategy for Building Conservation into Decision Making. Edited by Norse. E.A. Island Press, Washington DC. Covelo, California. Page 87-154. Antariksa, B. S. 1999. Potensi dan Kendala dalam Pengelolaan Terumbu Karang : Pedoman untuk Intervensi Pengelolaan Berbasis masyarakat (Situs Bunaken, Kecamatan Molas, Kotamadya Manado, Sulawesi Utara). Jakarta: LIPI. 96 hlm. Baker, R. F., P.J. Blanchfield, M.J. Paterson, R.J. Flett, & L. Wesson. 2004. Evaluation of nonlethal methods for the analysis of mercury in fish tissue. Transac. Am. Fish. Soc. 133: 568-576. Boeke, J. H. 1983. Prakapitalisme di asia. Jakarta: Sinar Harapan Dahuri, R. 1999. Permasalahan Pengelolaan Lingkungan Kawasan Pesisir. 21 hlm. Dahuri, R. 2000. Strategi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Makalah, disampaikan pada Tanggal 17 Juni 2000, Banda Aceh. David, F. R. 2002. Manajemen Strategis: Konsep. Ed Ke-7. Jakarta: Prenhallindo. Djamali, A. M., Mudjiona., H. Darsono Aziz., P. Asan., O. Sumadhiharga. 1998. Sumberdaya Moluska dan Teripang. dalam Potensi dan Penyebaran SDI Laut di Perairan Indonesia. hal 156-162. De Jonge, H. 1977. Some Thought on Enterprennur in Maduranesse Country. 69 Erdmann, M. A. 2004. Panduan Sejarah Ekologi Taman Nasional Komodo. The Nature Conservancy. Halim, A. 2003. Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Makalah, disampaikan dalam Rakornis Bapedalda SeProvinsi NAD, Banda Aceh. Hartati, T. H. 2005. Komunitas Ikan Karang di Perairan Pantai Pulau Rakiti dan Pulau Taikabo, Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. ISSN 0853-5884. hal 88. Hermanto. 1986. Analisis Pendapatan dan Pencurahan Tenaga Kerja Nelayan di Desa Pantai (Studi Kasus di Muncar Bayuwangi). Bogor. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Agroekonomi. Indrapramana, H. 2010. Pengungkapan Kasus Bahan Peledak dalam Penangkapan Ikan di Wilayah Perairan Teluk Tomini Gorontalo. http://125.161.190. 253/lontar//file?file= digital/skripsi/47-07-142.pdf Kusnadi. 2003. Akar Kemiskinan Nelayan, LkiS, Yogyakarta. Maan, K.H. 2000. Ecology of Social Coastal Waters. With Implication for Management. Second.Edition Blockwell Science. Marhaeni, R. S. 2010. Hukum Perikanan nasional dan Internasional.Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. 273 hal. ISBN.978-979-22-6295-7 Merta, I. G. S., S. Nurhakim, dan J. Widodo. 1998. Sumberdaya Perikanan Pelagis Kecil dalam Potensi dan Penyebaran SDI Laut di Perairan Indonesia. hal 89-96 Monintja, D. 2001. Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor 29 oktober- 3 Nopember 2001 Mubyarto., Loekman Sutrisno., Michael Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan: Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai, Rajawali, Jakarta. Muhsin, I. 1994. Pengentasan Kemiskinan di Sub Sektor Perikanan. Jurnal Ilmuilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. ISSN 0854-3194. hal 95. Mukhtar. 2007. Destructive Fishing Di Perairan Propinsi Sulawesi Tenggara. Makalah (tidak dipublikasikan). Mukhtar. 2008. Ketentuan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan yang Dibolehkan dan Dilarang. [email protected] Blog : http://mukhtarapi. blogspot.com Mulyanto. 1995. Dasar-dasar Pengelolaan Sumberdaya Perairan. Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. 121 hal. Murdiyanto, B. 2003 Mengenal, Memelihara, dan Melestarikan Ekosistim Terumbu Karang. Proyek Pemberdayaan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta. 70 Naamin, N. 1991. Petunjuk Teknis Pengelolaan Perairan Laut dan Pantai Bagi Pembangunan Perikanan. Seri Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan No. PHP/KAN/PT.19/1991. Puslitbang Perikanan Jakarta. 80 hal. Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 250 hlm. Nikijuluw, V. P. H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. P3R dan PT. Pustaka Cidesindo. Jak-sel. 254 hal. Nikijuluw, V. P. H. 2007. Populasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir serta Strategi Pemberdayaan mereka dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu. Purna, Ibnu. 2004. Menuju Sektor Kelautan dan Perikanan Berbasis Ekonomi Kerakyatan. Proceeding Seminar Nasional ”Strategi Pengembangan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Berbasis Ekonomi Kerakyatan”. hal 73-81 Saleh, J. 2004. Peranan Sektor Perbankan dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan dan Mendukung Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Melalui Program Ekonomi Kerakyatan. Proceeding Seminar Nasional ”Strategi Pengembangan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Berbasis Ekonomi Kerakyatan”. hal 82-89. Sari, T. Ersti Yulika. 2004. Mengapa Nelayan Miskin ? (Suatu Tinjauan Permasalahan). Institut Pertanian Bogor (Makalah Falsafah Sains). Subandi, N. 2004. Pengembangan Metode Penyidikan Ilmiah untuk Pembuktian Kasus-Kasus Penangkapan Ikan dengan Bahan Peledak dan Sianida. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Subani, W. dan H. R. Bares. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perkanan Laut. ISSN 0216-7727. hal 201. Suharyanto. 2005. Kinerja Manajemen Perikanan di Perairan Kota Tegal dalam Perspektif Otonomi Daerah. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. ISSN 0853-3989. hal 34. Suharyanto. 2006. Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk Lawelle Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan. ISSN 0853-4489. hal 102. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004. Tentang Perikanan. Sekretariat Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 35 hal. Zaelany, A. A. 2002. Becoming The Fish-Bomb Fisherman as an Adaptaion Strategy in Economic Crisis Period: Case Study of Pulau Karang, Indonesia. Present in SEAG seminar 14-18 October 2002. Hanoi. Vietnam. 71 Lampiran 1 Peta Kabupaten Halmahera Utara dan wilayah-wilayah kecamatan, serta lokasi penelitian 72 Lampiran 2 Hasil analisis regresi linier berganda menggunakan program SPSS 17 pada nilai kategori umur, pendidikan dan pendapatan di Desa Doro Model Summary Model R 1 .994 Adjusted R Std. Error of the Square Estimate R Square a .988 .986 .16049 a. Predictors: (Constant), Pendapatan, Pendidikan, Umur Model Summary Change Statistics R Square Model Change 1 F Change .988 df1 445.017 df2 3 Sig. F Change 16 .000 b ANOVA Model 1 Sum of Squares Regression Residual Total df Mean Square F 34.388 3 11.463 .412 16 .026 34.800 19 Sig. 445.017 .000 a a. Predictors: (Constant), Pendapatan, Pendidikan, Umur b. Dependent Variable: Aktifitas Coefficients a Standardized Unstandardized Coefficients Model 1 B (Constant) Std. Error .245 .189 -.108 .057 Pendidikan .804 Pendapatan .016 Umur a. Dependent Variable: Aktifitas Coefficients Beta t Sig. 1.302 .211 -.093 -1.892 .077 .035 1.070 22.959 .000 .049 .010 .334 .743 73 Lampiran 3 Hasil analisis regresi linier berganda menggunakan program SPSS17 pada nilai kategori umur, pendidikan dan pendapatan di Desa Bori Model Summary Model R 1 .991 Adjusted R Std. Error of the Square Estimate R Square a .982 .979 .20445 a. Predictors: (Constant), Pendapatan, Umur, Pendidikan Model Summary Change Statistics R Square Model Change 1 F Change .982 df1 289.328 df2 3 Sig. F Change 16 .000 b ANOVA Model 1 Sum of Squares Regression Residual Total df Mean Square F 36.281 3 12.094 .669 16 .042 36.950 19 Sig. 289.328 .000 a a. Predictors: (Constant), Pendapatan, Umur, Pendidikan b. Dependent Variable: Aktifitas Coefficients a Standardized Unstandardized Coefficients Model 1 B Std. Error (Constant) .480 .200 Umur .167 .059 Pendidikan .746 Pendapatan -.225 a. Dependent Variable: Aktifitas Coefficients Beta t Sig. 2.398 .029 .126 2.835 .012 .048 1.034 15.554 .000 .119 -.137 -1.883 .078 74 Lampiran 4 Hasil analisis regresi linier berganda menggunakan program SPSS 17 pada nilai kategori umur, pendidikan dan pendapatan di Desa Pediwang Model Summary Model R 1 .752 Adjusted R Std. Error of the Square Estimate R Square a .565 .483 .85995 a. Predictors: (Constant), Pendapatan, Pendidikan, Umur Model Summary Change Statistics R Square Model Change 1 F Change .565 df1 6.927 df2 3 Sig. F Change 16 .003 b ANOVA Model 1 Sum of Squares df Mean Square F Regression 15.368 3 5.123 Residual 11.832 16 .740 Total 27.200 19 Sig. a 6.927 .003 t Sig. a. Predictors: (Constant), Pendapatan, Pendidikan, Umur b. Dependent Variable: Aktifitas Coefficients a Standardized Unstandardized Coefficients Model 1 B (Constant) Std. Error 1.142 1.252 Umur .028 .339 Pendidikan .632 Pendapatan -.357 a. Dependent Variable: Aktifitas Coefficients Beta .912 .375 .022 .084 .934 .207 .747 3.050 .008 .364 -.222 -.981 .341 75 Lampiran 5 Gambar bom ikan, kegiatan nelayan dan perahu di Kecamatan Kao Utara 76 Lampiran 5 (lanjutan) 77 Lampiran 5 (lanjutan)