analisis penggunaan bom dalam penangkapan ikan di kecamatan

advertisement
ANALISIS PENGGUNAAN BOM DALAM PENANGKAPAN
IKAN DI KECAMATAN KAO UTARA KABUPATEN
HALMAHERA UTARA
JURIL CHARLY ONTHONI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Penggunaan Bom
Dalam Penangkapan Ikan Di Kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara,
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing, dan belum diajukan
dalam bentuk apapun, kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan, maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagiah akhir tesis ini.
Bogor, November 2010
Juril Charly Onthoni
C452070274
ABSTRACT
JURIL CHARLY ONTHONI. Analysis Using Bombs On Fishing in North Kao
District, North Halmahera Regency. Supervised by DOMU SIMBOLON and
DEDI JUSADI.
Fishing gear used by the fishermans of North Halmahera district to
conduct fishing is very diverse, good for catching pelagic, demersal, and
reef fish. The dominant fishing gear used by fishermen are fishing yield,
multiple hand line, gill nets, etc., using a fleet of boats is simple until a boat
or ship with a capacity of 10 gross tonnage. However, the use of
destructive fishing gear, the environment still numerous in some areas of
North Halmahera waters such as the use of bombs. The tool is dropped into
the water contained a lot of fish, and causing an explosion that resulted in the
death of small fish and large around the blast site. This action is performed
not only in shallow waters sea, but also performed in deep waters sea. This
action is very harmful to the environment and fishermen. The fish that have
not been feasible arrested will die, and the risk of disability or until death can
be experienced by the fishermans.
This research is to reveal the root cause of the fishermen still
use the bomb in fishing activities. This research was conducted by survey
method, and assisted with spreading the field a question to a number of
respondents who specified a purposive sampling method. The primary data
collected
include age composition, education level and income of
fishermen. These three variables are expected to have a very close
relationship with the activities of the use of fish bombs. The linkage
between these three variables against fish bombing were analyzed using
multiple regression. Secondary data were analyzed descriptively, and
depicted in the form of tables and graphs.
Fishermans at 3 study sites classified as a major sideline fishermans
and fishermans additional sideline. In fishing, equipment used was simple
and limited. Similarly, the boat used to sail a traditional still relatively
small size. This has implications for the amount and type of catch that
more and more reduced, so that income derived by a relatively small
fishermen. The small income derived to meet the needs of families of
fishermans caused them to use the bomb as the completeness of fishing
gear.
The use of bombs in fishing according to various circles who have
been doing research is an act that is very damaging to the environment.
The use of bombs in the sea can cause damage to coral colonies around
the blast site, also can cause death of other organisms that are not the
target of an arrest. This activity has been carried out by fishermans in
three villages in a long time. The results of this study explains that : (1)
The main reason fishermans using bombs in fishing activities is to raise
revenue to meet the needs of families, (2) The factors that affect the
fishermans using bombs is the length of experience of using the bomb and
ease the material needed to make fish bomb, and (3) Education is a very
strong factor affecting fishermans not to use bombs in fishing.
Keywords: Fishing, Fish Bomb, North Halmahera
RINGKASAN
JURIL CHARLY ONTHONI. Analisis Penggunaan Bom Dalam Penangkapan
Ikan di Kecamatan Kao Utara, Kabupaten Halmahera Utara. Dibimbing oleh
DOMU SIMBOLON dan DEDI JUSADI.
Alat penangkapan ikan yang dipergunakan oleh masyarakat nelayan
Kabupaten Halmahera Utara untuk melakukan penangkapan ikan sangat beragam,
baik untuk penangkapan ikan pelagis, ikan demersal, maupun ikan karang. Alat
tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan adalah pancing ulur, jaring dan
lain sebagainya, dengan mempergunakan armada perahu/kapal sederhana sampai
dengan perahu/kapal dengan kapasitas 10 gross tonage. Namun demikian,
penggunaan teknologi penangkapan ikan yang merusak lingkungan masih banyak
terdapat di beberapa wilayah perairan Halmahera Utara seperti penggunaan bom.
Alat tersebut dijatuhkan ke dalam air yang terdapat banyak ikan, dan
menimbulkan ledakan yang berakibat matinya ikan-ikan kecil dan besar di sekitar
lokasi ledakan. Tindakan ini dilakukan tidak hanya di perairan dangkal, namun
juga dilakukan pada perairan dalam. Tindakan ini sangat berbahaya bagi
lingkungan dan nelayan. Ikan-ikan yang belum layak ditangkap akan mati, dan
resiko cacat atau sampai kematian dapat dialami oleh nelayan.
Penelitian ini untuk mengungkapkan akar penyebab nelayan masih
mempergunakan bom dalam kegiatan penangkapan ikan. Penelitian ini
dilaksanakan dengan metode survei, dan dibantu dengan menyebarkan isian
pertanyaan kepada sejumlah responden yang ditentukan secara purposive
sampling method. Data primer yang dikumpulkan meliputi komposisi umur,
tingkat pendidikan dan pendapatan nelayan. Ketiga variabel tersebut diduga
memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kegiatan penggunaan bom ikan.
Keterkaitan antara ketiga variabel tersebut terhadap pemboman ikan dianalisis
dengan menggunakan regresi linier berganda. Data sekunder dianalisa secara
deskriptif, dan digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik.
Nelayan di 3 lokasi penelitian tergolong sebagai nelayan sambilan utama
dan nelayan sambilan tambahan. Dalam melakukan penangkapan ikan, alat yang
digunakan masih sederhana dan terbatas. Demikian pula dengan perahu yang
dipakai untuk melaut masih tradisional dengan ukuran yang relatif kecil. Hal ini
berimplikasi pada jumlah dan jenis tangkapan yang makin lama makin berkurang,
sehingga penghasilan yang diperoleh nelayan relatif kecil. Kecilnya penghasilan
yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan keluarga nelayan menyebabkan
mereka menggunakan bom sebagai kelengkapan alat tangkap ikan.
Penggunaan bom dalam penangkapan ikan menurut berbagai kalangan
yang telah melakukan penelitian adalah tindakan yang sangat merusak
lingkungan. Penggunaan bom di perairan laut dapat menyebabkan rusaknya
koloni karang yang ada di sekitar lokasi ledakan, juga dapat menyebabkan
kematian organisme lain yang bukan menjadi target penangkapan. Kegiatan ini
telah dilakukan oleh nelayan di 3 desa penelitian dalam waktu yang cukup lama.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa: (1) Alasan utama nelayan
menggunakan bom dalam kegiatan penangkapan ikan adalah untuk meningkatkan
pendapatan dalam memenuhi kebutuhan keluarga; (2) Faktor-faktor yang
mempengaruhi nelayan menggunakan bom adalah lamanya pengalaman
menggunakan bom dan mudahnya bahan yang dibutuhkan untuk membuat bom
ikan; dan (3) Pendidikan adalah faktor yang sangat kuat mempengaruhi nelayan
untuk tidak menggunakan bom dalam penangkapan ikan.
.
Kata kunci: Penangkapan Ikan, Bom Ikan, Halmahera Utara
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2 Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS PENGGUNAAN BOM DALAM PENANGKAPAN
IKAN DI KECAMATAN KAO UTARA KABUPATEN
HALMAHERA UTARA
JURIL CHARLY ONTHONI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si.
PRAKATA
Puji dan Syukur patut penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
atas Berkat dan Rahmat-Nya, sehingga penulis masih bisa diberikan kesempatan
untuk menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa dalam proses studi dan dalam upaya
menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini begitu banyak bantuan, dorongan dan
bimbingan dari berbagai pihak, sehingga ungkapan terima kasih penulis
sampaikan, khususnya kepada Bapak Dr. Ir. Domu simbolon, M.Si, dan Bapak
Dr. Ir. Dedi Jusadi, M.Sc, sebagai Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang
telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis,
sehingga proses penelitian dan penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Bupati, Sekretaris Daerah dan
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Halmahera Utara, serta Camat
Kao, Kapolsek Kao, Camat Kao Utara dan Kepala Desa Doro, Bori, dan
Pediwang Kecamatan Kao Utara, atas bantuan dan kemudahan yang diberikan
selama penulis mengumpulkan data-data penelitian. Curahan kasih dan
pengorbanan yang diberikan oleh istri dan anak-anak selama penulis belajar,
merupakan dorongan yang sangat besar bagi penulis untuk menyelesaikan studi.
Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik moril
maupun materil, khususnya Staf Dosen dan Staf Sekretariat PSP IPB serta rekanrekan mahasiswa IPB dari Halmahera Utara, diucapkan terima kasih. Semoga
tulisan ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Bogor, November 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Juril Charly Onthoni dilahirkan di Tobelo, pada tanggal 1 April Tahun
1969 dari Bapak Hironimus Onthoni dan Ibu Gerti Makangiras.
Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri Tobelo dan pada tahun yang
sama lulus seleksi masuk Universitas Pattimura melalui jalur Sipenmaru, dan
diterima sebagai mahasiswa jurusan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik. Setelah lulus pada tahun 1992, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri
Sipil, dan bekerja pada Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tenggara sebagai
Ajun Penyuluh Keluarga Berencana. Pada tahun 1997 penulis dipindahkan dari
Kabupaten Maluku Tenggara ke Kabupaten Maluku Utara, dan bekerja sebagai
Penyuluh Keluarga Berencana di Kecamatan Tobelo. Tahun 2003, setelah
pemekaran wilayah di Provinsi Maluku Utara, dimana Kecamatan Tobelo masuk
sebagai
salah satu kecamatan dalam wilayah Kabupaten Halmahera Utara,
penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) di kabupaten ini,
dan ditempatkan sebagai Kepala Seksi Penanggulangan Korban Bencana pada
Dinas Kesejahteraan Sosial setempat. Pada tahun 2006, oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Halmahera Utara, penulis ditugaskan di Kecamatan Kao sebagai
Camat Kao. Mengawali tahun 2009, penulis dipindahkan dari Kecamatan Kao dan
ditempatkan sebagai Sekretaris Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)
Kabupaten Halmahera Utara. Tiga bulan menjabat sebagai Sekretaris KPUD,
penulis kembali dipindahkan ke Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan
Aset Daerah Kabupaten Halmahera Utara, dan menjabat sebagai Sekretaris
sampai sekarang.
Penulis mengikuti kuliah pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor pada tahun 2008, setelah mengikuti seleksi yang digelar oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Halmahera Utara yang bekerja sama dengan Sekolah
Pascasarjana IPB Bogor dalam program pengembangan SDM Pegawai Negeri
Sipil Daerah,
dan diterima sebagai mahasiswa pada Mayor Sistem dan
Pemodelan Perikanan Tangkap Institut Pertanian Bogor. Penulis dinyatakan lulus
dalam ujian tesis pada tanggal 12 Nopember 2010, dengan judul tesis
¨Analisis Penggunaan Bom dalam Penangkapan Ikan di Kecamatan Kao Utara
Kabupaten Halmahera Utara¨.
Penulis telah menikah pada tanggal 16 Pebruari 1989 dengan Sjane
Rumpuin, dan dikaruniai 3 orang anak, yaitu Christin Debby Onthoni, Chayne
Rivar Onthoni, dan Chayla Chrestella Onthoni.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xv
DAFTAR ISTILAH .......................................................................................... xvii
1
PENDAHULUAN
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6
2
1
3
4
4
4
6
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
3
Latar Belakang ....................................................................................
Perumusan Masalah ...........................................................................
Tujuan Penelitian ................................................................................
Manfaat Penelitian .............................................................................
Kerangka Pemikiran ............................................................................
Hipotesis Penelitian.............................................................................
Pengeboman Ikan ............................................................................... 7
Mata Pencaharian Alternatif .............................................................. 9
Pemberdayaan Masyarakat.................................................................. 10
Pengelolaan Perikanan
yang Berkelanjutan (Berwawasan
Lingkungan) ........................................................................................ 13
Perikanan Tangkap .............................................................................. 15
2.5.1 Alat penangkapan ikan .............................................................. 16
2.5.2 Armada perikanan ..................................................................... 18
2.5.3 Nelayan ..................................................................................... 20
2.5.4 Produksi .................................................................................... 24
2.5.5 Pemasaran ................................................................................. 25
Keadaan Umum Lokasi Penelitian ...................................................... 26
2.6.1 Luas dan letak geografis ........................................................... 26
2.6.2 Penduduk ................................................................................... 28
2.6.3 Ekonomi .................................................................................... 30
METODE PENELITIAN
3.1
3.2
3.3
Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................. 31
Metode Pengumpulan data .................................................................. 31
Analisis Data ....................................................................................... 33
3.3.1 Analisis deskriptif ..................................................................... 33
3.3.2 Analisis regresi berganda .......................................................... 33
x
4
HASIL PENELITIAN
4.1
4.2
4.3
5
35
35
38
42
44
46
46
48
49
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
5.2
5.3
5.4
6
Kondisi Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian ..............................
4.1.1 Teknologi alat penangkapan ikan .............................................
4.1.2 Penangkapan ikan dengan menggunakan bom .........................
4.1.3 Kondisi sosial budaya masyarakat nelayan ..............................
Kondisi Ekonomi Nelayan ................................................................
Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Bom Ikan ..........................
4.3.1 Penggunaan bom ikan di Desa Doro ........................................
4.3.2 Penggunaan bom ikan di Desa Bori .........................................
4.3.3 Penggunaan bom ikan di Desa Pediwang .................................
Karakteristik Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian ......................
5.1.1 Alat penangkapan ikan .............................................................
5.1.2 Sosial budaya masyarakat nelayan ...........................................
5.1.3 Ekonomi masyarakat nelayan ...................................................
Penggunaan bom dalam penangkapan ikan ........................................
Faktor Determinan Penggunaan Bom Ikan ........................................
Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan ................................................
51
51
52
56
57
61
62
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
6.2
Kesimpulan ........................................................................................ 67
Saran .................................................................................................. 67
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 68
LAMPIRAN ........................................................................................................ 71
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Kerangka Pemikiran Penelitian ..................................................................... 6
2
Peta Wilayah Kabupaten Halmahera Utara.................................................. 27
3
Sebaran umur responden di lokasi penelitian............................................... 43
4
Sebaran tingkat pendidikan responden di lokasi penelitian ......................... 44
5
Sebaran tingkat pendapatan responden di lokasi penelitian ......................... 45
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Jumlah unit penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara ............... 17
2
Jumlah trip penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara ............... 18
3
Jumlah nelayan menurut jenis ukuran kapal di Halmahera Utara............... 19
4
Jumlah dan tingkat kepadatan penduduk menurut kecamatan di Kabupaten
Halmahera Utara, tahun 2009 ...................................................................... 20
5
Jumlah nelayan menurut jenis alat tangkap ................................................. 23
6
Produksi ikan total menurut jenis alat............................................................... 24
7
Data penduduk Kecamatan Kao Utara tahun 2008 ...................................... 29
8
Jenis dan sumber data, serta metode pengumpulan data penelitian ............. 32
9
Instrumen penelitian penggunaan bom ikan ................................................ 34
10
Instrumen penelitian untuk variabel umur ................................................... 34
11
Instrumen penelitian untuk variabel pendidikan .......................................... 34
12
Instrumen penelitian untuk variabel pendapatan.......................................... 34
13
Jenis dan jumlah unit penangkapan ikan di tiga lokasi penelitian ............... 37
14
Persepsi responden terhadap bantuan........................................................... 38
15
Persepsi responden dalam penggunaan bom ikan ........................................ 38
16
Persepsi responden tentang lama menggunakan bom .................................. 40
17
Persepsi responden dalam memperoleh mesiu ............................................. 40
18
Persepsi responden tentang korban penggunaan bom ikan .......................... 42
19
Jumlah penduduk Desa Doro, Bori dan Pediwang....................................... 43
20
Anova penggunaan bom ikan di Desa Doro ................................................ 47
21
Hasil variabel, koevisien regresi, nilai t dan p-value di Desa Doro ............. 47
22
Anova penggunaan bom ikan di Desa Bori ................................................. 48
23
Hasil variabel, koevisien regresi, nilai t dan p-value di Desa Bori .............. 49
24
Anova penggunaan bom ikan di Desa Pediwang ......................................... 50
25
Hasil variabel, koevisien regresi, nilai t dan p-value di Desa Pediwang ..... 50
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Peta Kabupaten Halmahera Utara dan wilayah-wilayah kecamatan, serta
lokasi penelitian ........................................................................................... 69
2
Hasil analisis regresi linier berganda menggunakan program SPSS 17 pada
nilai kategori umur, pendidikan dan pendapatan di Desa Doro ................... 70
3
Hasil analisis regresi linier berganda menggunakan program SPSS 17 pada
nilai kategori umur, pendidikan dan pendapatan di Desa Bori .................... 71
4
Hasil analisis regresi linier berganda menggunakan program SPSS 17 pada
nilai kategori umur, pendidikan dan pendapatan di Desa Pediwang ........... 72
5
Bom ikan, kegiatan nelayan dan perahu di Kecamatan Kao Utara .............. 73
xvii
DAFTAR ISTILAH
 Bom : Bahan Peledak.
 Destructive Fishing : Merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan
ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi
pelanggaran hukum.
 Detonator :
 Pappaca : Pemadat.
 Sumbu Bismillah : Sumbu yang ukurannya 2 cm.
 Fishing Ground :
 Bargaining Power :
 Lau : Bulu ayam, Serabut kain.
 Ketinting : Perahu motor tempel.
 Dibo-dibo : Penampung ikan.
1
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Memasuki masa reformasi dalam tahapan Pemerintahan Negara Republik
Indonesia, telah terjadi banyak perubahan mendasar dalam tata pemerintahan
daerah.
Perubahan mendasar dalam masa reformasi adalah diberlakukannya
sistem otonomi daerah, dimana setiap daerah yang dibentuk mempunyai
kebebasan untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri.
Perubahan ini,
dalam prosesnya tidak hanya mempengaruhi aspek pemerintahan saja, namun
selanjutnya cukup memberikan dampak kebebasan pada masyarakat yang ada di
wilayah tersebut.
Kabupaten Halmahera Utara sebagai sebuah daerah yang baru dimekarkan,
memiliki luas perairan laut sekitar 19.536,02 km², memiliki potensi sumber daya
ikan yang melimpah dan memberikan peluang yang sangat besar untuk
dimanfaatkan secara ekonomis. Potensi sumberdaya ikan ini terlihat dari data
keberagaman hasil tangkapan yang diperoleh oleh nelayan yang dikeluarkan oleh
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Halmahera Utara, antara lain:
ikan
pelagis
besar
dan
kecil,
ikan
demersal,
dan
ikan
karang
(DKP Halmahera Utara, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Perikanan Laut (2007),
dalam Dokumen Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Halamahera
Utara (DKP Halmahera Utara, 2008), potensi sumberdaya ikan yang terdapat di
perairan Halmahera Utara cukup besar. Potensi lestari ikan pelagis diperkirakan
211.590 ton/tahun, dan ikan demersal sebesar 135.005 ton/tahun. Potensi ini
merupakan salah satu aset pemerintah daerah yang dapat memberikan manfaat
bagi peningkatan taraf hidup masyarakat setempat, dan meningkatkan pendapatan
asli daerah (PAD) Kabupaten Halmahera Utara.
Sebagaimana sebuah aset penting, potensi sumberdaya ikan yang ada perlu
untuk selalu dijaga keberadaannya.
Menurut Darmawan (2001), dalam
pengelolaan sumber daya alam, kegiatan penangkapan ikan merupakan kegiatan
eksploitasi. Sebagai kegiatan eksploitatif, penangkapan ikan hanya bertujuan
mengambil sumberdaya yang tersedia di alam.
Oleh sebab itu kegiatan
2
penangkapan ikan harus memiliki beberapa pengaturan dan pembatasan agar tidak
menghancurkan sumberdaya yang ada.
Penggunaan bom dalam penangkapan ikan adalah merupakan salah satu
cara penangkapan yang sangat merusak dan juga ilegal di seluruh Indonesia. Bom
dikemas menggunakan bubuk dalam wadah tertentu dan dipasangi sumbu untuk
kemudian dinyalakan dan dilemparkan ke dalam air. Bom akan meledak dan
memberikan guncangan fatal di sepanjang perairan, yang dapat membunuh
hampir semua biota laut yang ada di sekitarnya. Nelayan hanya mengumpulkan
ikan konsumsi yang berharga, tetapi banyak ikan dan hewan laut lainnya
ditinggalkan dalam keadaan mati di antara pecahan karang yang mungkin tidak
dapat pulih kembali (Erdmann, 2004).
Menurut Mukhtar (2007), penggunaan bahan peledak seperti bom dapat
memusnahkan biota dan merusak lingkungan. Penggunaannya di sekitar terumbu
karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu
karang yang ada di sekitar lokasi ledakan, juga dapat menyebabkan kematian
biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak Kepolisian Resort
Halmahera Utara, tindakan kriminal penggunaan bom ikan masih terdapat di
perairann Teluk Kao Pulau Halmahera. Penggunaan alat tangkap yang merusak
lingkungan ini dilakukan oleh nelayan-nelayan kecil untuk memperbanyak hasil
tangkapannya di lokasi yang tidak terlalu jauh dari pantai yang tersebunyi.
Sayangnya aksi nelayan ini belum dapat dicegah karena keterbatasan personil dan
perlengkapan yang dimiliki, dibandingkan dengan luas wilayah yang harus dijaga
dan diawasi.
Penggunaan bom dalam penangkapan ikan di perairan Kabupaten
Halmahera Utara sudah tentu dapat mengancam kelestarian dari potensi
sumberdaya yang ada. Potensi yang merupakan aset untuk dapat memberikan
kesejahteraan kepada masyarakat bisa rusak, dan mungkin tidak dapat pulih
kembali. Keberlanjutan dari sumberdaya ini juga mungkin tidak dapat dinikmati
oleh generasi selanjutnya atau setidaknya sulit untuk diperoleh di masa yang akan
datang.
3
1.2
Perumusan Masalah
Bom yang digunakan dalam penangkapan ikan merupakan sebuah alat
yang dapat merusak (destruktif).
Penggunaan bom dalam penangkapan ikan
menyebabkan kerusakan sumberdaya dan lingkungan di laut, khususnya ekosisem
terumbu karang (Subandi, 2004). Selanjutnya DWF (2003), diacu dalam Subandi
(2004) mengungkapkan, hasil survei beberapa LSM yang menunjukkan bahwa
aktifitas tersebut tetap marak dilakukan oleh nelayan hingga saat ini. Bahkan
beberapa metode penangkapan ikan legal yang umum digunakan oleh nelayan
seperti pukat cincin (purse seine), bagan tancap (stationary lift net) dan bagan
perahu (mobile lift net) juga telah menggunakan bahan peledak untuk
melumpuhkan ikan dan mempermudah proses penangkapannya.
Kabupaten Halmahera Utara yang merupakan sebuah kabupaten yang
memiliki areal perairan laut dalam wilayahnya, dan memiliki kandungan
sumberdaya ikan yang sangat besar, sudah tentu wajib menjaga dan melestarikan
sumberdaya tersebut untuk tetap lestari dan berkelanjutan.
Penanganan dan
pemanfaatannya merupakan kewenangan daerah di wilayah laut sebagaimana
diamanatkan dalam pasal 10 UU 22/1999, dan pasal 18 UU 34/2004 yang
mencakup eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan laut sebatas
wilayahnya (Suharyanto, 2005).
Menurut hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Halmahera Utara, berbagai program telah dilaksanakan untuk dapat
menggarap potensi yang ada, seperti pengembangan alat penangkapan ikan,
peningkatan SDM nelayan, penanganan hasil tangkapan dan program-program
lainnya yang dilakukan untuk dapat meningkatkan peran serta nelayan dalam
memanfaatkan sumberdaya yang ada secara baik dan benar.
Namun dalam
kenyataannya, penggunaan bom oleh nelayan dalam penangkapan ikan masih
tetap ada di beberapa lokasi perairan dalam wilayah Kabupaten Halmahera Utara.
Penggunaan bom oleh nelayan setempat, dilakukan secara sembunyisembunyi pada areal pantai yang jauh dari pemukiman untuk menghindari petugas
ataupun aparat kepolisian. Bahan baku yang mudah diperoleh, proses perakitan
yang sederhana, dan jumlah tangkapan yang lebih banyak dalam waktu singkat,
membuat masyarakat nelayan setempat melengkapi alat penangkapan ikannya
4
dengan bom. Ancaman resiko cacat dan kematian yang mungkin terjadi bisa
diabaikan, pengalaman-pengalaman yang tinggi dan rendahnya pengetahuan serta
kemiskinan yang dialami oleh nelayan, dapat menjadi pengaruh yang
menyebabkan nelayan menggunakan alat tangkap tersebut. Kondisi ini apabila
tetap dilakukan oleh nelayan, bisa berdampak buruk bagi kelestarian dan
keberlanjutan sumberdaya ikan yang ada di perairan Kabupaten Halmahera Utara.
1.3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1
Mengidentifikasi alasan-alasan
nelayan menggunakan bom
dalam
penangkapan ikan di lokasi penelitian.
2
Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi nelayan menggunakan bom
dalam penangkapan ikan di lokasi penelitan.
1.4
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1. Bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Utara
dan
jajarannya, serta lembaga-lembaga lainnya, dalam penentuan dan
pengelolaan program-program perikanan.
2. Bahan masukkan dan informasi bagi berbagai kalangan pemerhati
lingkungan, khususnya pada pemerhati perikanan laut.
3. Menambah referensi khasanah keilmuan terkait dengan kondisi perikanan
di perairan Kao Utara.
1.5
Kerangka Pemikiran
Kabupaten Halmahera Utara memiliki potensi sumberdaya ikan yang
cukup besar. Potensi sumber daya ikan ini, terdiri dari beragam ikan dan hewan
laut yang bernilai ekonomis tinggi. Kegiatan penangkapan ikan di perairan ini
dilakukan dengan menggunakan pancing ulur, jaring, dan berbagai alat tangkap
lainnya, yang merupakan jenis-jenis alat tangkap yang ramah lingkungan dan
direkomendasikan untuk digunakan di areal perairan. Disamping alat tangkap
ramah lingkungan tersebut, beberapa nelayan juga masih menggunakan alat
5
penangkapan ikan tidak ramah lingkungan (unfriendly technology), seperti: bom
ikan. Fenomena yang menarik perhatian banyak pihak adalah penggunaan bom
ikan (blast fishing).
Tingkat kerusakan penggunaan teknologi bom terhadap
lingkungan perairan sangat signifikan dan mempunyai resiko tinggi terhadap
nelayan, namun kegiatan ini masih tetap dilakukan bahkan dengan intensitas yang
semakin tinggi. Sayangnya tidak ada data kuantitatif yang akurat tentang isu ini,
hanya secara kualitatif dirasakan keberadaannya pada beberapa nelayan yang
berada di Kabupaten Halmahera Utara. Sudah tentu oleh masyarakat nelayan
setempat memiliki alasan-alasan yang kuat dalam penggunaan alat penangkapan
yang merusak ini. Oleh karena itu, dilakukan analisis yang sistematis terhadap
berbagai faktor yang diduga dapat mempengaruhi penggunaan bom, seperti umur,
pendidikan dan pendapatan.
Seseorang dikatakan miskin apabila belum mampu memenuhi kebutuhan
fisik manusia, meliputi papan, pangan dan sandang, mental spiritual (pendidikan)
dan sosial.
Tingkat pemenuhan kebutuhan tersebut ditentukan oleh tingkat
pendapatan serta kemudahan dalam memperoleh materi kebutuhan pokoknya
(Muhsin, 1994). Walaupun resiko yang dihadapi oleh nelayan terbilang besar
dalam menggunakan bom dalam penangkapan ikan, seperti cacat parmanen dan
kematian, namun demi memperjuangkan kehidupan yang lebih baik, hal tersebut
tetap masih dilakukan.
Berdasarkan uraian di atas, muncul beberapa pertanyaan mendasar terkait
dengan penggunaan bom dalam penangkapan ikan di perairan Halmahera Utara,
yaitu :
1. Mengapa
masyarakat
nelayan
di
Kabupaten
Halmahera
Utara
menggunakan bom dalam penangkapan ikan?
2. Sejauh mana keterlibatan masyarakat nelayan di Kabupaten Halmahera
Utara menggunakan bom dalam penangkapan ikan?
Untuk mempermudah memahami fenomena tersebut, maka dilakukan
pengkajian sistematis terkait dengan penggunaan bom dalam penangkapan ikan di
Kabupaten Halmahera Utara. Hasil dari kajian ini diharapkan dapat menjadi
rekomendasi bagi pihak-pihak terkait, guna penanggulangan penangkapan ikan
yang menggunakan bom agar potensi sumberdaya ikan tetap lestari dan usaha
6
penangkapan ikan dapat berkelanjutan. Adapun kerangka pemikiran penelitian ini
dapat dilihat pada Gambar 1.
Potensi Sumberdaya Ikan
Kabupaten Halmahera Utara
Masyarakat nelayan
Alat tangkap
tradisional (ramah
lingkungan)
Karakteristik Nelayan
Pengguna Bom Ikan
(destruktif)
Faktor-faktor yang
mempengaruhi
Umur
Pendidikan
Pendapatan
Analisis Regresi
Berganda
Alasan alasan nelayan
menggunakan bom ikan
Analisis
Deskriptif
Rekomendasi
Penanggulangan Bom Ikan
Pemanfaatan sumberdaya
berkelanjutan
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
1.6
Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah penggunaan bom oleh nelayan di
Kabupaten Halmahera Utara dipengaruhi oleh faktor umur, pendidikan dan
pendapatan nelayan.
7
2
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pengeboman Ikan
Destructive fishing merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan
ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi
pelanggaran hukum. Secara umum, maraknya destructive fishing disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu: (1) Rentang kendali dan luasnya wilayah pengawasan tidak
seimbang dengan kemampuan tenaga pengawas yang ada saat ini, (2) Terbatasnya
sarana dan armada pengawasan di laut, (3) Lemahnya kemampuan SDM nelayan
Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi,
(4) Masih lemahnya penegakan hukum, (5) Lemahnya koordinasi dan komitmen
antar aparat penegak hukum (Mukhtar, 2007).
Pengeboman ikan adalah cara penangkapan ikan yang sangat merusak, dan
juga ilegal di seluruh Indonesia. Bom buatan sendiri dibuat dengan mengemas
bubuk ke dalam botol bir atau minuman ringan. Sumbu biasanya dibuat dari
kepala korek yang digerus dan dimasukkan ke dalam pipa sempit, lalu diikat kuat
dengan kawat. Sumbu dinyalakan lalu botol dilemparkan ke dalam air. Bom akan
meledak di bawah air dan memberikan guncangan fatal di sepanjang perairan,
yang dapat membunuh hampir semua makhluk hidup di sekitarnya. Nelayan
hanya mengumpulkan ikan konsumsi yang berharga, tetapi banyak ikan dan
hewan laut lain ditinggalkan dalam keadaan mati di antara pecahan karang yang
mungkin tidak dapat pulih kembali (Erdmann, 2004).
Kerusakkan terumbu
karang terindikasi oleh faktor fisik seperti penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan peledak, dan pengambilan biota laut lainnya dengan benda
keras, seperti pembongkaran terumbu karang dengan menggunakan linggis
(Suharyanto, 2006).
Alat tangkap destruktif yang digunakan di Indonesia pada umumnya
adalah bom dan bius. Penggunaan bom dimaksudkan untuk mencegah ikan lolos
melarikan diri setelah ditangkap sebelum diangkat naik ke kapal/perahu. Ikan
dibom dulu supaya mati, lalu tinggal dipunguti, dimasukkan ke jaring, lalu
diangkat naik ke atas kapal atau perahu.
Sebelum membom ikan, di atas
8
kapal/perahu, para nelayan biasanya mengamati terlebih dahulu kualitas (dalam
hal ini jenisnya) dan kuantitas ikan yang akan dibom.
Ritual ini untuk
memprakirakan berapa keuntungan mereka kelak jika membom suatu jenis ikan,
termasuk di dalamnya menghitung biaya yang sudah dikeluarkan untuk membeli
mesin dan alat tangkap, bagi hasil dengan punggawa, sampai penjualannya.
Setiap kilogram bom yang meledak, radius menghancurkan bisa mencapai 5
meter. Bisa dibayangkan berapa ratus ribu bahkan mungkin ratus juta biota laut
yang ikut rusak dan mati terkapar tak berdaya jika radius 250 kg bom menjangkau
ribuan meter. Apalagi jika ditambah makhluk-makhluk laut (misalnya plankton)
yang tidak kasat mata (mikroskopis). Ini hanya untuk satu jenis alat tangkap,
yakni bom. Alat dan bahan yang digunakan untuk merakit bom di antaranya
detonator (umumnya berjenis 66 dan 88), bubuk bom yang dicampur minyak
tanah, laddo sebagai pemberat agar bom mudah tenggelam hingga ke dasar laut,
penyulut (biasanya obat nyamuk) untuk menyalakan sumbu, pappaca’ (pemadat),
kantong plastik untuk membungkus detonator agar tidak basah terkena air,
kemasan (botol minuman, jerigen, atau galon) dan sumbu untuk membakar. Ada
berbagai ukuran sumbu yang digunakan, misalnya 12 cm, 7 cm, 5 cm, 3 cm, dan 2
cm ,tergantung kedalaman laut lokasi penangkapan. Jika lautnya dalam, maka
sumbunya harus panjang, dan jika lautnya dangkal, sumbunya juga harus pendek.
Ini dimaksudkan agar bom meledak tepat waktu dan sasaran.
Sumbu yang
ukurannya 2 cm disebut juga sumbu bismillah sebab pembom harus mengucapkan
”Bismillah” tepat di saat bom dilepas ke laut supaya tidak meledak di tangan.
Ikan target pemboman biasanya ikan yang bergerombol (sejenis) dan ikan yang
berlindung/berkumpul di karang-karang (tidak sejenis).
Adapun ciri-ciri ikan
yang sudah dibom di antaranya tulangnya patah-patah, mata menonjol keluar dan
dagingnya lembek (Anonimous, 2008).
Penggunaan bahan peledak seperti bom dapat memusnahkan biota dan
merusak lingkungan. Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di
sekitar daerah terumbu karang, menimbulkan efek samping yang sangat besar,
selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan, juga dapat
menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan.
Penggunaan bahan peledak berpotensi menimbulkan kerusakan yang luas
9
terhadap ekosistem terumbu karang.
Penangkapan ikan dengan cara
menggunakan bom, mengakibatkan biota laut seperti karang menjadi patah,
terbelah, berserakan dan hancur menjadi pasir, dan meninggalkan bekas lubang
pada terumbu karang.
Indikatornya adalah karang patah, terbelah, tersebar
berserakan dan hancur menjadi pasir, meninggalkan bekas lubang pada terumbu
karang (Mukhtar, 2007).
Mukhtar (2007) lebih lanjut mengatakan bahwa, secara umum penanganan
destructive fishing dapat dilakukan dengan cara:
1. Meningkatkan kesadaran masyarakat melalui sosialisasi, penyuluhan atau
penerangan terhadap dampak negatif yang diakibatkan oleh penangkapan
ikan secara illegal.
2. Mencari akar penyebab kenapa destructive fishing itu dilakukan, apakah
motif ekonomi atau ada motif lainnya, dan setelah diketahui permasalahan,
upaya selanjutnya melakukan upaya preventif.
3. Meningkatkan penegakan dan penaatan hokum.
4. Melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya ikan.
5. Perlu adanya dukungan kelembagaan dari pemerintah, yang artinya harus
ada yang mengurusi kasus ini.
2.2
Mata Pencaharian Alternatif
Kegiatan mata pencaharian alternatif bertujuan untuk menyediakan jenis
usaha berkelanjutan bagi masyarakat yang selama ini melakukan kegiatan usaha
yang bersifat tidak ramah lingkungan.
Mata pencaharian alternatif yang
berkelanjutan ini harus menguntungkan dan tidak merusak lingkungan.
Kelompok masyarakat yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi yang
merusak lingkungan seperti penangkapan dengan bom atau meting, perlu merubah
jenis usahanya sebelum terlambat dan tidak ada yang tersisa untuk generasi
mendatang (Erdmann, 2004).
Pomeroy and Williams (1999) diacu dalam Nikijuluw (2002),
menyatakan bahwa keberhasilan manajemen sumberdaya perikanan lebih
bergantung
pada
keterlibatan
atau
partisipasi
pemegang
kepentingan
(stakeholder). Jika nelayan adalah salah satu pemegang kepentingan tersebut,
10
biarkanlah nelayan memutuskan sendiri keinginan dan tujuannya.
Jika
keinginannya untuk meningkatkan pendapatan, hal tersebut harus ditempatkan
sebagai salah satu tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan.
Fakor-faktor yang menyebabkan pendapatan nelayan rendah antara lain
adalah unit penangkapan yang terbatas yang dikarenakan penguasaan teknologi
yang rendah, skala usaha/modal yang dimiliki kecil dan masih bersifat tradisional.
Kemampuan nelayan dalam memanfaatkan peluang usaha dan mengatasi
tantangan lingkungan yang rendah, dikarenakan masyarakat yang masih
bergantung pada musim penangkapan. Dalam penentuan fishing ground, nelayan
yang mempunyai izin untuk melakukan operasi di tempat tersebut akan
memperoleh hasil yang banyak, tetapi bagi nelayan yang tidak memiliki akses ke
lokasi yang produktif tersebut, selain hasil tangkapan yang tidak maksimal juga
biaya operasi yang tinggi.
Eksternalitas teknologi terjadi karena nelayan
cenderung melakukan penangkapan ikan pada lokasi yang sama, atau setidaknya
saling berdekatan satu dengan yang lain, sehingga terjadi pertemuan antara alat
tangkap ikan yang digunakan, yang menjurus pada kerusakan atau perusakan
(Nikijuluw, 2002). Faktor lainnya adalah law enforcement yang tidak berpihak
kepada nelayan, diantaranya terjadinya ego sektoral, regulasi yang tidak
mendukung, terbatasnya peran kelembagaan, baik pemerintah maupun non
pemerintah, penetapan bahan baku (ikan) yang kurang adil, belum ditetapkannya
undang-undang anti monopoli, pembagian keuntungan yang tidak proporsional,
dan kebijakan ekonomi secara mikro yang lebih banyak memberikan kerugian di
pihak nelayan, dibandingkan memberikan keuntungan.
2.3
Pemberdayaan Masyarakat
Bantuan dari pemerintah dapat diberikan kepada pihak swasta (pengusaha
kecil) maupun kepada koperasi. Bentuk campur tangan pemerintah ini dapat
berupa pemberian kredit produksi dengan bunga rendah tanpa agunan,
pembebasan bea masuk komponen-komponen alat pengolahan dan unit
penangkapan, pembebasan PPN penjualan dalan negeri, pengembangan teknologi
pengolahan yang tepat guna, penetapan UMR bidang perikanan dan kemudahan
perizinan investasi. Peningkatan pendapatan nelayan diukur dari tingkat upah
11
berdasarkan upah minimum regional. Efisiensi tata niaga diukur dari keuntungan
masing-masing biaya perniagaan (harga ikan segar, biaya angkut, restribusi TPI)
dan keuntungan pedagang pengumpul. Efektifitas ekspor dapat dilihat dari jumlah
dan nilai ekspor produk perikanan dan kontribusi ekspor produk perikanan
terhadap PDB nasional. Perluasan lapangan kerja dapat diukur dari persentase
angkatan kerja yang terserap. Peningkatan devisa dapat diukur dari persentase
peningkatan sumbangan devisa dari ekspor produk-produk perikanan. Parameter
kebijakan berdasarkan pada tercapainya seluruh output yang dikehendaki
seoptimal mungkin, dan menghindari munculnya output yang tidak dikehendaki,
(Sari, 2004).
Kusnadi (2003), menganalisa bahwa terdapat sebab yang kompleks
mengapa kemiskinan nelayan terus terjadi. Ia menjelaskan ada sebab internal
dalam masyarakat nelayan dan ada problem eksternal. Sebab internal antara lain:
keterbatasan sumber daya manusia, kemampuan modal usaha, relasi pemiliknelayan buruh, kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan dan
ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut. Sebab kemiskinan yang
bersifat eksternal yang berkaitan dengan kondisi di luar diri dan aktivitas kerja
nelayan, antara lain: kebijaksanaan pembangunan perikanan yang berorientasi
pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, sistem
pemasaran hasil perikanan yang mengundang pedagang perantara, kerusakan
ekosistem pesisir dan laut, penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah
lingkungan, penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan, dan
kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut
sepanjang tahun.
Lebih lanjut Kusnadi (2003) menambahkan bahwa problem kemiskinan
masyarakat nelayan mulai muncul ke permukaan, setelah satu dekade
dilaksanakannya kebijakan nasional tentang motorisasi perahu dan modernisasi
peralatan tangkap pada awal tahun 1970-an. Kebijakan ini dikenal dengan istilah
revolusi biru (blue revolution). Proyek besar ini berimplikasi pada keserakahan
sosial atas sumber daya perikanan yang mendorong setiap individu untuk
berkuasa penuh terhadap sumber daya tersebut. Keserakahan ini akan berakibat
pada kelangkaan sumber daya perikanan. Kompetisi yang semakin tinggi dan
12
kesenjangan akses dan pendapatan yang berimplikasi pada timbulnya kesenjangan
sosial ekonomi antar pengguna sumber daya perikanan.
Kebijakan motorisasi dan modernisasi, ternyata banyak menimbulkan
kritik dari berbagai pihak. Beberapa penelitian memperlihatkan dampak negatif
dari proyek yang dikenal dengan istilah blue revolution ini. Donald K. Emerson
(1979) diacu dalam Mubyarto et al. (1984) menyatakan bahwa, pemberian
bantuan teknologi motorisasi, memberikan dampak negatif bagi produktivitas
nelayan; karena motorisasi, ikan-ikan yang semula biasa ditangkap nelayan
tradisional akan disedot oleh nelayan yang memiliki kapal modern bermesin
dengan alat yang berdaya tangkap besar.
Purna (2000), menyatakan bahwa salah satu permasalahan mendasar bagi
pembangunan kelautan dan perikanan, khususnya yang bergerak dalam skala
mikro
dan
kecil
adalah
sulitnya
akses
permodalan
dari
lembaga
keuangan/perbankan formal. Akibatnya nelayan seringkali terjerat oleh renteneer
yang menawarkan pinjaman dengan cepat dan mudah, namun diimbangi dengan
tingkat bunga yang tinggi. Keterbatasan permodalan ini diperburuk dengan sistem
penjualan yang cenderung dimonopoli oleh para tengkulak. Akibatnya nelayan
tidak memiliki bargaining power yang memadai sehingga pendapatan yang
diperoleh habis untuk bayar hutang dan makan. Lingkaran kemiskinan ini selalu
berputar dan menyebabkan di sektor kelautan dan perikanan lekat dengan
kemiskinan.
Peran lembaga perbankan dalam penyaluran kredit komersial untuk
membantu pemgembangan usaha kecil dan menengah tidak efektif.
Hal ini
disebabkan oleh kecenderungan bank-bank umum mendanai sektor-sektor usaha
yang bergerak dalam bidang industri pengolahan hasil laut, serta pedagang besar
hasil laut, dan belum menyentuh pada nelayan secara individu.
Hal ini
disebabkan oleh kebijakan prudential banking serta persyaratan pada pemberian
kredit yang ditetapkan oleh otoritas moneter, yang memberikan batasan gerak bagi
perbankan umum, untuk dapat menjangkau masyarakat miskin, khususnya
masyarakat miskin yang ada di daerah pesisir (Saleh, 2004).
Selanjutnya
dikatakan bahwa, keterbatasan yang selama ini cukup dominan dalam pemberian
kredit kepada masyarakat/pelaku ekonomi di daerah pesisir adalah, penyediaan
13
jaminan yang merupakan syarat pemberian kredit oleh bank umum. Fasilitas
kredit yang diberikan untuk membantu kelancaran usaha lebih dikenal dengan
kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan perbankan guna membantu para
pengusaha untuk memperlancar dan meningkatkan kegiatan usahanya, yang terdiri
dari kredit investasi dan kredit modal kerja.
2.4
Pengelolaan Perikanan yang Berkelanjutan (Berwawasan Lingkungan)
Dalam rangka mendayagunakan potensi perikanan secara optimal sebagai
ujung tombak perekonomian daerah, maka kebijakan pembangunan kelautan dan
perikanan di Kabupaten Halmahera Utara diarahkan untuk :
1. Memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan
berkelanjutan.
2. Meningkatkan penerimaan devisa negara dari ekspor hasil perikanan.
3. Meningkatkan kesejahteraan nelayan.
4. Meningkatkan kecukupan gizi dari hasil perikanan.
5. Meningkatkan penyerapan tenaga kerja di bidang kelautan dan perikanan.
Untuk pencapaian tujuan yang telah digariskan, maka perlu adanya
dukungan kebijakan pemerintah terhadap beberapa komponen yang mencakup
kebijakan tentang infrastruktur, kebijakan sumberdaya nelayan, kebijakan
perikanan tangkap, kebijakan perikanan budidaya, kebijakan pemasaran hasil
perikanan, serta pembangunan dan pengembangan pelabuhan perikanan.
Secara umum, teknologi ramah lingkungan adalah teknologi yang hemat
sumberdaya lingkungan (meliputi bahan baku material, energi dan ruang), dan
karena itu juga sedikit mengeluarkan limbah (baik padat, cair, gas, kebisingan
maupun radiasi) dan rendah resiko menimbulkan bencana. Penggunaan kapal
perikanan modern yang lebih ramah lingkungan perlu dikembangkan, yakni yang
menggunakan mesin dan sekaligus layar mekanis. Layar dapat dikembangkan
otomatis jika arah dan kecepatan angin menguntungkan. Penggunaan energi
angin dapat menghemat bahan bakar hingga 50%. Teknologi energi dan
transportasi
yang
ramah
lingkungan
termasuk
yang
saat
ini
paling
dilindungi oleh industri negara maju dan karenanya paling mahal. Namun,
teknologi modern yang ramah lingkungan ini sangat diperlukan dalam
14
pengelolaan sumber daya laut meskipun mengeluarkan biaya yang tidak sedikit
(http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/agribisnis/1id30666.html).
Secara teoritis, ada dua bentuk regulasi dalam pengelolaan sumber daya
kelautan dan perikanan, yakni open access dan controlled access regulation.
Open access adalah regulasi yang membiarkan nelayan menangkap ikan dan
mengeksploitasi sumber daya hayati lainnya kapan saja, dimana saja, berapapun
jumlahnya, dan dengan alat apa saja. Regulasi ini mirip ”hukum rimba” dan
”pasar bebas”. Secara empiris, regulasi ini menimbulkan dampak negatif, antara
lain apa yang dikenal dengan tragedy of common baik berupa kerusakan sumber
daya kelautan dan perikanan maupun konflik antar nelayan. Sebaliknya, contolled
access regulation adalah regulasi terkontrol yang dapat berupa (1) pembatasan
input (input restriction), yakni membatasi jumlah pelaku, jumlah jenis kapal, dan
jenis alat tangkap, (2) pembatasan output (output restriction), yakni membatasi
berupa jumlah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan kuota.
formulasi dari pembatas input itu
menekankan
penggunaan
fishing
adalah
right
territorial
(hak
use
memanfaatkan
Salah satu
right
yang
sumberdaya
perikanan) dalam suatu wilayah tertentu dalam yurisdiksi yang jelas. Pola
fishing right system ini menempatkan pemegang fishing right yang berhak
melakukan
memiliki
kegiatan
fishing
perikanan
right
tidak
di
suatu
diizinkan
wilayah, sementara yang tidak
beroperasi
di
wilayah
itu
(http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian /agribisnis/1id30666.html).
Selain diatur siapa yang berhak melakukan kegiatan perikanan, juga diatur
kapan dan dengan alat apa kegiatan perikanan dilakukan. Sistem yang menjurus
pada bentuk pengkavlingan laut ini menempatkan perlindungan kepentingan
nelayan kecil yang beroperasi di wilayah pantai-pesisir serta kepentingan
kelestarian fungsi sumber daya sebagai fokus perhatian. UU No. 32 tahun 2004
yang membuat pengaturan tentang yurisdiksi laut provinsi (12 mil) dan
kabupaten/kota (4 mil) mengindikasikan bahwa produk hukum itu menganut
konsep pengkavlingan laut. Konsep pengkavlingan laut merupakan instrumen
dari konsep regulasi akses terkontrol (contolled access regulation) dalam pola
pembatasan input (territorial use right). UU No. 32 tahun 2004 sebenarnya entry
point penerapan territorial use right.
15
2.5
Perikanan Tangkap
Perikanan tangkap adalah usaha ekonomi dengan mendayagunakan
sumber hayati perairan dan alat tangkap untuk menghasilkan ikan dan memenuhi
permintaan akan ikan (Achmad, 1999).
Pengusahaan perikanan yang tidak
terawasi dapat mengakibatkan penangkapan yang berlebih (overfishing),
penurunan mutu, bahkan dapat merusak produktivitasnya (Naamin, 1991).
Sumberdaya ikan terdiri dari ikan pelagis dan ikan demersal, dimana ikan
pelagis mencakup ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil yang hidup di
pemukaan laut atau didekatnya (Djatikusumo, 1975; Merta et al., 1998). Ikan
pelagis yang banyak terdapat di wilayah perairan dekat pantai adalah pelagis
kecil, misalnya ter, kembung, laying, selar dan bentong (Merta et a.,l 1998).
Ikan demersal merupakan kelompok ikan yang hidup di dasar atau dekat
dasar perairan, dimana beberapa spesiesnya merupakan spesies ikan karang yang
mempunyai nilai ekonomis penting, yakni bambangan (Lutjanidae), kerapu
(Serranidae), baronang (Siganidae) ekor kuning (caesionidae) serta speciesspecies ikan hias seperti napoleon (Labridae) dan ikan konsumsi lainnya
(Aoyama, 1973; Badrudin et a.,l 1998; Djamali et al., 1998).
Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang sifatnya terbatas dan
dapat pulih (renewable), yang berarti bahwa setiap pengurangan yang disebabkan
kematian maupun penangkapan akan dapat memulihkan sumberdaya tersebut
kembali ke tingkat produktivitas semula (Anonymous 1993). Namun apabila
tekanan pengusahaan atau penangkapan tersebut cukup tinggi intensitasnya
hingga melampaui daya dukung, maka untuk pulih kembali akan memerlukan
waktu yang relatif lama (Anonymous, 1993; Dahuri, 1999).
Sumber daya dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut,
termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (mariculture). Sumber daya
tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas
(Dahuri, 2000; Halim, 2003).
16
2.5.1 Alat penangkapan ikan
Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan karang umumnya
bersifat pasif sehingga dibutuhkan suatu pemikat, agar ikan berenang mendekati
alat tangkap. Contoh pemikat ini adalah umpan. Saat ini terdapat berbagai jenis
alat yang dapat digunakan untuk menangkap ikan-ikan karang. Secara umum alat
penangkap ikan tersebut tergolong kedalam jenis bubu, muro ami dan teknik lain
dengan menggunakan peledak dan racun (Antariksa dan Bandiyono, 1999).
Alat tangkap ikan yang merupakan salah satu sarana pokok adalah penting
dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan secara optimal dan
berkelanjutan (Anonymous, 1993).
Adapun jenis alat tangkap yang dominan
digunakan, mencakup jaring insang (gill net), rawai (longline), pukat cincin (purse
seine) dan jaring udang (trawl) (Ayward, 1992; Mulyanto, 1995).
Jaring insang merupakan alat tangkap yang mempunyai besar mata jaring
yang disesuaikan dengan sasaran ikan atau non-ikan yang akan ditangkap. Ikan
tertangkap karena terjerat pada bagian tutup insangnya (Subani dan Barus, 1989;
Mulyanto, 1995). Rawai merupakan alat tangkap yang berbentuk rangkaian
tali temali panjang yang bercabang-cabang dan setiap ujung cabangnya
diikatkan
sebuah
mata
pancing
(hook)
dengan
berbagai
ukuran
(Hayward, 1992; Subani dan Bares, 1989).
Pukat cincin merupakan alat tangkap yang dilengkapi dengan cincin dan
tali kerut pada bagian bawah jaring, yang gunanya untuk menyatukan bagian
bawah jaring sewaktu operasi dengan cara menarik tali kerut tersebut ( Hayward,
1992; Mulyanto, 1995; Subani dan Bares, 1989).
Pukat udang dari segi
operasionalnya sama dengan pukat harimau yang penggunaannya dilarang oleh
pemerintah (Keppres No.39 tahun 1980) , yang membedakan adalah adanya
tambahan alat pemisah ikan (Subani dan Bares, 1989; Mulyanto, 1995).
Perkembangan alat penangkap ikan di Kabupaten Halmahera Utara sejak
tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 menurut jenis alat tangkap, disajikan pada
Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa alat tangkap pukat pantai mempunyai
jumlah yang tetap selama selang waktu 2004-2008. Beberapa jenis alat tangkap
yang mengalami kenaikkan jumlah yang relatif kecil adalah: alat tangkap pukat
17
cincin, jaring lingkar, trammel net, bagan tancap, rawai tetap, rawai tuna, pancing
tonda dan sero.
Tabel 1 Jumlah unit penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Jumlah alat menurut tahun
Alat tangkap
menurut jenisnya
No
Pukat pantai
Pukat cincin
Jaring lingkar
Jaring insang hanyut
Jaring insang tetap
Jaring klitik
Trammel net
Bagan perahu
Bagan tancap
Rawai tetap
Rawai tuna
Rawai hanyut
Huhate
Pancing tonda
Pancing ulur
Sero
Bubu
2004
23
32
26
43
35
4
16
59
7
21
32
8
50
122
859
2
27
2005
23
33
28
43
35
4
17
60
8
21
33
7
52
124
939
4
27
2006
23
37
28
43
35
4
17
60
8
22
33
8
53
124
1.029
4
30
2007
23
37
28
41
33
3
18
60
8
22
34
10
55
124
1.155
4
27
2008
23
40
30
41
33
3
18
40
8
22
34
10
40
140
1.250
4
26
Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara, 2009.
Alat tangkap yang mengalami kenaikkan jumlah yang cukup signifikan
pada setiap tahun yaitu: pancing ulur. Alat tangkap yang mengalami penurunan
jumlah sampai pada akhir tahun 2008 yaitu: jaring insang hanyut, jaring insang
tetap, jaring klitik, bagan perahu, huhate dan bubu. Jumlah unit penangkapan
tersebut
melaksanakan
operasi
penangkapan
sebanyak
sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan
jumlah
tripnya
bahwa fluktuasi
jumlah trip setiap tahun selang periode 2004-2008 tidak sama dengan fluktuasi
jumlah alat tangkap, kecuali pada alat tangkap pancing ulur, terlihat jelas terjadi
kenaikkan jumlah trip setiap tahun secara signifikan. Jumlah trip penangkapan
menunjukkan besarnya aktivitas penangkapan dari setiap alat penangkapan dalam
beroperasi.
18
Tabel 2 Jumlah trip penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Alat tangkap
menurut jenisnya
Pukat pantai
Pukat cincin
Jaring lingkar
Jaring insang hanyut
Jaring insang tetap
Jaring klitik
Trammel net
Bagan perahu
Bagan tancap
Rawai tetap
Rawai tuna
Rawai hanyut
Huhate
Pancing tonda
Pancing ulur
Sero
Bubu
Jumlah trip menurut tahun
2004
2005
2006
2007
2008
5.796
5.646
5.106
5.244
5.380
6.680
7.600
8.140
7.548
8.200
6.240
6.320
5.712
5.600
6.240
4.320
4.343
4.301
4.018
4.961
7.400
7.140
7.022
7.194
7.260
402
432
435
324
331
3.005
3.060
3.043
3.564
3.672
1.872
9.840
9.509
9.840
6.720
588
640
672
669
656
2.764
3.549
3.696
3.586
3.960
5.376
5.544
5.537
6.120
6.188
1.524
1.428
1.632
1.800
1.790
9.088 10.608 10.812 11.220
7.860
21.600 24.396 25.296 29.140 28.021
254.880 262.639 276.221 296.835 317.500
168
176
180
200
232
2.268
2.510
2.670
2.144
2.755
Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara, 2009.
Fluktuasi jumlah trip disesuaikan dengan keadaaan iklim dan cuaca pada
setiap tahunnya. Perubahan-perubahan cuaca dan iklim yang tidak seragam setiap
tahun membuat kesempatan melaut juga berbeda setiap tahun.
Sekalipun
demikian diharapkan dunia perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera Utara
dapat menjawab tantangan peningkatan taraf hidup masyarakat di waktu yang
akan datang.
2.5.2 Armada perikanan
Unit penangkapan ikan yang ada di Kabupaten Halmahera Utara terdiri
dari beberapa unit penangkapan ikan yang mencakup kapal, alat tangkap dan
nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah
penangkapan. Dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, kapal perikanan
didefinisikan sebagai perahu, kapal, atau alat apung lain yang digunakan untuk
melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, mendukung
19
operasi pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan
perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan.
Kategori berdasarkan ukuran kapal atau perahu di Indonesia menurut
Statistik Kelautan dan Perikanan (Ditjen Perikanan Tangkap DKP, 2005) terdiri
atas tiga kategori yaitu:
(1) Perahu Tanpa Motor
(2) Motor Tempel, dan
(3) Kapal Motor, yang selanjutnya terbagi menurut ukuran Gross Tonagenya
yaitu: < 5 GT; 5-10 GT; 10-20 GT; 20-30 GT; 30-50 GT; 50-100 GT; 100200 GT dan > 200 GT.
Perkembangan jumlah kapal perikanan di Kabupaten Halmahera Utara,
disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, terlihat dengan jelas bahwa kapal
penangkap didominasi oleh Kapal motor berukuran 0 – 5 GT. Kapal motor jenis
ini di Kabupaten Halmahera Utara didominasi oleh perahu jenis pambut dengan
mesin jenis katinting. Perahu jenis ini banyak digunakan karena memiliki daya
jelajah yang cukup jauh, serta mampu bergerak dalam keadaan laut yang
bergelombang karena bahan perahunya yang ringan, dan memiliki keseimbangan
yang baik.
Tabel 3 Jumlah nelayan menurut jenis ukuran kapal di Halmahera Utara
No
1
2
3
Tahun
PTM
Motor Tempel
Kapal Motor :
0 - 5 GT
5 - 10 GT
10 - 20 GT
20 - 30 GT
30 - 50 GT
50 - 100 GT
100 - 200 GT
> 200 GT
2004
2005
2006
2007
2008
318
183
346
205
415
263
451
290
455
348
762
50
17
-
865
58
21
-
1.021
60
25
-
1.117
62
27
-
1.176
64
31
-
Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara, 2009.
20
2.5.3 Nelayan
Penduduk Kabupaten Halmahera Utara pada tahun 2009 tercatat sebanyak
163.836 jiwa. Bila dibandingkan dengan luas wilayah daratannya, maka tingkat
kepadatan penduduk di wilayah Kabupaten Halmahera Utara pada setiap
kecamatan dapat disajikan seperti pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa,
penyebaran penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Tobelo, yaitu 746
jiwa/km2, sedangkan konsentrasi yang relatif rendah terdapat di Kecamatan Kao
Barat dan Tobelo Barat, yakni masing-masing sebanyak 14 jiwa/km2 dan 15
jiwa/km2.
Adapun faktor yang mempengaruhi tidak meratanya persebaran
penduduk adalah faktor topografi wilayah dan kurangnya aksebilitas jalan yang
berakibat rendahnya kegiatan perekonomian di daerah-daerah tersebut.
Tabel 4
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Jumlah dan tingkat kepadatan penduduk
Kabupaten Halmahera Utara, tahun 2009
Kecamatan
Jumlah penduduk
(jiwa)
menurut kecamatan di
Luas daerah
(km2)
Kao Teluk
6.911
135,4
Malifut
10.349
374,1
Kao
7.212
111,2
Kao Barat
8.632
596,7
Kao Utara
7.112
128,8
Tobelo Barat
4.497
294,7
Tobelo Timur
6.828
120
Tobelo Selatan
13.411
204,3
Tobelo Tengah
10.713
56
Tobelo
24.604
33
Tobelo Utara
10.427
100,4
Galela
7.910
138,7
Galela Selatan
8.948
84,5
Galela Barat
9.636
45,5
Galela Utara
8.951
255,3
Loloda Utara
10.231
390,4
Loloda Kepulauan
7.464
63,3
Jumlah
163.836
3.132
Sumber: Dinas Catatan Sipil Kabupaten Halmahera Utara, 2009.
Kepadatan
penduduk
(jiwa/km2)
51
28
65
14
55
15
57
66
191
746
104
57
106
212
35
26
118
21
Nelayan
adalah
orang
ikan/binatang air lainnya dilaut.
yang
mata
pencahariannya
menangkap
Secara umum nelayan dapat dikategorikan
sebagai : nelayan tetap, nelayan sambilan utama, nelayan sambilan tambahan,
nelayan pengusaha, maupun buruh nelayan dan biasanya bermukim didaerah
pesisir sehingga sering disebut sebagai masyarakat pesisir (Sari, 2004).
Menurut Undang-undang (UU) No 31 tahun 2004 tentang Perikanan,
nelayan adalah orang yang mata pencariannya melakukan penangkapan ikan.
Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi
penangkapan ikan, binatang air lainnya atau tanaman air. Orang yang hanya
melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat atau
perlengkapan ke dalam perahu atau kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan.
Ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap dimasukkan
sebagai nelayan, walaupun tidak secara langsung melakukan penangkapan.
Berdasarkan curahan waktu kerjanya nelayan dibedakan menjadi:
1. Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya dipergunakan
untuk melakukan operasi penangkapan ikan
2. Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu
kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan
3. Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil dari
waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan
(Direktorat Jenderal Perikanan, 1999).
Menurut Hermanto (1986), berdasarkan bagian yang diterima dalam usaha
penangkapan ikan, nelayan dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
1. Juragan darat adalah orang yang mempunyai perahu dan alat penangkapan
ikan laut. Juragan darat
hanya menerima bagi hasil tangkapan yang
diusahakan oleh orang lain. Pada umumnya juragan darat menanggung
seluruh biaya operasi penangkapan.
2. Juragan laut adalah orang yang tidak punya perahu dan alat tangkap, tetapi
bertanggung jawab dalam operasi penangkapan ikan di laut.
3. Juragan darat-laut adalah orang yang memiliki perahu dan alat tangkap
sekaligus ikut dalam operasi penangkapan ikan di laut. Juragan darat-laut
22
menerima bagi hasil sebagai nelayan dan bagi hasil sebagai pemilik unit
penangkapan.
4. Buruh atau pandega adalah orang yang tidak memiliki unit penangkapan
dan hanya berfungsi sebagai anak buah kapal, umumnya menerima bagi
hasil tangkapan dan jarang diberikan upah harian.
5. Anggota kelompok adalah orang yang berusaha pada suatu unit
penangkapan secara berkelompok. Perahu yang dioperasikannya adalah
perahu yang dibeli dari modal yang dikumpulkan oleh semua anggota
kelompok.
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 mendefinisikan nelayan sebagai
orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Ahli mesin dan
juru masak yang bekerja di atas kapal penangkapan dikategorikan sebagai nelayan
meskipun mereka tidak melakukan kegiatan menangkap (Dirjen Perikanan
Tangkap 2004). Dengan demikian maka yang dimaksud dengan nelayan adalah
semua orang yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Selanjutnya berdasarkan waktu yang dialokasikan untuk
melakukan penangkapan ikan, nelayan dapat diklasifikasikan dalam tiga
kelompok yaitu:
1. Nelayan
yang
seluruh
waktunya
dialokasikan
untuk
melakukan
penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan penuh
2. Nelayan yang sebagian besar waktunya dialokasikan untuk melakukan
penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan sambilan utama. Dalam
kategori ini, nelayan dapat pula mempunyai pekerjaan lain
3. Nelayan yang sebagian kecil waktunya dialokasikan untuk melakukan
penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan sambilan tambahan.
Dalam kategori ini, nelayan mempunyai pekerjaan pokok yang lain.
Sebagian besar nelayan di Kabupaten Halmahera Utara merupakan
nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan, karena mereka
mempunyai kebun, sehingga pada saat panen tanaman pertanian, mereka istirahat
melaut. Jumlah nelayan menurut jenis alat periode tahun 2004–2008 lihat Tabel 5.
23
Tabel 5 Jumlah nelayan menurut jenis alat tangkap
No
Jumlah nelayan
menurut jenisnya
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Pukat pantai
Pukat cincin
Jaring lingkar
Jaring insang hanyut
Jaring insang tetap
Jaring klitik
Trammel net
Bagan perahu
Bagan tancap
Rawai tetap
Rawai tuna
Rawai hanyut
Huhate
Pancing tonda
Pancing ulur
Sero
Bubu
2004
276
628
364
130
98
6
18
59
7
28
35
8
900
124
859
2
10
Jumlah trip menurut tahun
2005
2006
2007
276
646
358
130
98
6
20
60
8
28
38
7
930
126
939
4
10
274
722
360
130
98
6
20
61
8
30
38
9
954
126
1.029
4
10
276
722
360
120
86
5
22
61
8
30
40
11
990
126
1.155
4
10
2008
276
780
386
120
86
5
22
40
8
30
40
11
720
142
1.250
4
8
Sumber Data : DKP Kabupaten Halmahera Utara 2009.
Tabel 5 menunjukkan bahwa nelayan sebagian besar menggunakan alat
tangkap pancing, berikut jaring insang tetap, pukat cincin, jaring lingkar dan
huhate. Alat tangkap pancing dan jaring insang merupakan alat tangkap yang
sederhana dengan mayoritas kepemilikan tunggal dengan tingkat penyerapan
tenaga kerja per unit penangkapan sangat rendah. Pada kelompok alat ini, setiap
unit penangkapan ikan menyerap 1 – 3 tenaga kerja saja. Alat tangkap pukat
cincin, jaring lingkar dan huhate merupakan alat tangkap dengan daya penyerapan
tenaga kerja yang tinggi per unit penangkapan. Setiap unit penangkapan dari
ketiga jenis alat ini mampu menyerap tenaga kerja antara 12 – 20 orang bahkan
terkadang ada yang lebih dari 20 orang.
24
2.5.4 Produksi
Produksi hasil perikanan merupakan output dari proses penangkapan ikan.
Produksi tersebut ditentukan oleh berbagai faktor seperti sarana penangkapan
ikan, kemampuan atau keterampilan nelayan, manajemen, dan beberapa faktor
lainnya termasuk infrastruktur pendukung seperti pelabuhan perikanan atau
pangkalan pendaratan ikan. Data yang diperoleh dari hasil survei lapangan di
seluruh Kabupaten Halmahera Utara, diperoleh data produksi dari setiap jenis alat
tangkap untuk periode tahun 2004–2008, dapat disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Produksi ikan total menurut jenis alat
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Jumlah produksi (ton) menurut tahun
Alat tangkap
Pukat pantai
Pukat cincin
Jaring lingkar
Jaringinsang hanyut
Jaring insang tetap
Jaring klitik
Trammel net
Bagan perahu
Bagan tancap
Rawai tetap
Rawai tuna
Rawai hanyut
Huhate
Pancing tonda
Pancing ulur
Sero
Bubu
Jumlah
2004
417,688
4.858,05
354,883
224,924
231,884
4,257
96,61
2.962,76
257,643
287,416
877,615
117,922
4.683,22
742,804
620,401
9,758
52,006
2005
634,82
5.690,42
371,496
226,026
264,67
2,998
45,938
6.283,03
359,292
207,588
2.700,13
99,063
8.272,82
1.904,72
579,4
21,627
54,373
2006
501,407
5.847,04
376,284
272,039
285,237
4,066
89,968
2.853,66
231,719
477,624
1.232,78
142,215
7.860,60
1.337,26
569,838
8,264
55,34
2007
444,297
6.319,49
386,195
226,147
267,427
4,032
91,753
2.705,99
205,375
484,474
1.522,95
160,423
8.471,56
1.240,11
895,291
4,892
49,702
2008
615,194
8.625,46
439,9
181,431
245,757
3,188
166,886
3.146,17
122,681
535,3
2.148,58
235,03
7.773,09
1.506,32
1.213,72
3294
50,648
16.800
27.718
22.145
23.480
30.303
Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara 2009.
Tabel 11 menunjukkan bahwa, sumbangan hasil tangkapan terbesar
diperoleh dari operasi perikanan yang menggunakan perikanan pukat cincin dan
huhate, dilihat dari rata-rata hasil tangkapan pertahun, maka alat tangkap huhate
memberikan sumbangan terbesar, berikut adalah alat tangkap pukat cincin. Alat
tangkap yang memberikan sumbangan hasil tangkapan paling rendah yaitu jaring
klitik dan sero.
25
2.5.5
Pemasaran
Komoditas perikanan yang dijual di pasar lokal di Kabupaten Halmahera
Utara hampir seluruhnya berasal dari produksi perikanan tangkap dan dalam
keadaan segar. Untuk ikan segar yang berukuran besar, biasanya sebelum dijual
dipotong-potong terlebih dahulu menjadi beberapa potong.
Ikan hasil tangkapan sebagian besar tanpa pengawet es. Ikan didaratkan
dan diletakkan begitu saja di dalam keranjang plastik tanpa adanya upaya
penanganan. Ikan diangkut atau menunggu untuk diangkut ke pasar tanpa adanya
pemberian es untuk mencegah proses kemunduran mutu. Pemberian es baru
dilakukan setelah ikan tiba di pasar dan akan disimpan dalam kotak pendingin
untuk dijual pada hari berikutnya.
Salah satu kendala tidak diterapkannya
pengawetan ikan tersebut adalah karena harga es balok untuk penanganan ikan
masih terbatas dan mahal harganya, kareana permintaan untuk kepentingan lain
juga cukup besar.
Akibat penanganan yang kurang baik ini, maka mutu ikan segar cepat
menurun, sehingga nelayan dan pedagang menerima harga yang rerlatif rendah,
sementara konsumen juga memakan ikan yang rendah kualitasnya. Sekalipun
demikian, mutu ikan yang rendah ini hanya diperoleh pada daerah-daerah yang
jauh dari lokasi pasar. Secara umum daerah penangkapan terletak tidak terlalu
jauh dari lokasi pasar sehingga dugaan turunnya mutu ikan tangkapan masih tidak
terlalu besar.
Sebagian besar ikan yang dikonsumsi masih tergolong segar,
walaupun belum kena bahan pengawet es.
Kegiatan pemasaran terutama diperankan oleh pedagang borongan
(penyalur) yang kemudian disalurkan ke pedagang eceran. Rata-rata setiap unit
penangkapan telah memiliki pedagang penyalur yang disebutkan sebagai
pengurus (istilah daerah setempat). Pengurus memegang peranan penting dalam
menyalurkan hasil tangkapan untuk sampai di tangan konsumen.
26
2.6
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
2.6.1 Luas dan letak geografis
Wilayah Halmahera Utara dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Tahun 2003
No. 1
dan secara administratif kenegaraan, resmi menjadi wilayah
kabupaten baru pada tanggal 31 Mei 2003. Kabupaten Halmahera Utara memiliki
luas wilayah sebesar 24.983,32 km2, dan luas daratan sebesar 5.447,3 km2 atau
sebesar 22% dari luas wilayah kabupaten. Luas perairannya sebesar 19.536,02
km2 atau sebesar 78% dari luas wilayah kabupaten.
Kabupaten Halmahera Utara secara administratif terdiri dari 22 kecamatan
yang terdiri dari 260 desa.
Sebagian besar wilayah kecamatannya yakni 18
kecamatan merupakan kecamatan pesisir dan 4 kecamatan lainnya merupakan
kecamatan pedalaman.
Kabupaten Halmahera Utara memiliki 94 buah pulau
sedang maupun kecil, berpenghuni maupun tidak berpenghuni.
Kabupaten Halmahera Utara secara geografis terletak di bagian Utara dari
Pulau Halmahera, tepatnya berada pada koordinat 1o57’-3o00’ LU dan 127o17’128o08’ BT, serta memiliki wilayah yang terbentang dari utara ke selatan
sepanjang 333 km dan dari barat ke timur sepanjang 148 km. Peta Kabupaten
Halmahera Utara dapat dilihat pada Gambar 2.
Secara geografis dan administratif, Kabupaten Halmahera Utara memiliki
batas-batas wilayah yang berbatasan dengan wilayah daerah lain, sebagai berikut:
(1) sebelah utara berbatasan dengan samudera pasifik, (2) sebelah timur
berbatasan dengan Kecamatan Wasilei, Kabupaten Halmahera Timur, (3) sebelah
selatan berbatasan dengan Kecamatan Jailolo Selatan, Kabupaten Halmahera
Barat, (4) sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Loloda Selatan, Kabupaten
Halmahera Barat dan laut Sulawesi.
Sumber daya alam pantai yang banyak terdapat di Kabupaten Halmahera
Utara yaitu : ketam kenari (Birgus latro), penyu, burung laut, dan hutan
mangrove. Di samping itu, juga terdapat jenis udang (Penaied sp), kepiting
(Brachyura sp), cumi-cumi (Chaphalopoda sp), kerang mutiara (Pinctada
maxima), tapis-tapis (Pinctada margarititera), lola (Thodws nilotice), teripang
(Holothuridae sp), dan rumput Laut (sea weeds).
27
U

Gambar 2 Peta Wilayah Kabupaten Halmahera Utara.
Perairan laut Kabupaten Halmahera Utara diperkirakan memiliki potensi
sumber daya perikanan tangkap (standing stock) sebesar 89.865,69 ton/tahun,
dengan potensi lestari (MSY) atau potensi ikan yang boleh dimanfaatkan sebesar
44.932,85 ton/tahun, yang terdiri dari perikanan pelagis sebesar 26.946,41
ton/tahun dan perikanan demersal sebesar 17.986,44 ton/tahun. Potensi hutan
mangrove terdiri dari mangrove primer 3.720,612 Ha dan mangrove sekunder
1.456,880 Ha (Data Tata Ruang 2007), serta Potensi terumbu karang seluas
539,6 Ha dan padang lamun seluas 6.126,14 Ha.
Kecamatan Kao Utara adalah sebuah kecamatan yang berada di bagian
pesisir sebelah Timur Pulau Halmahera dan terletak di sebelah selatan dari ibu
kota Kabupaten Halmahera Utara, yang dapat dijangkau dengan mudah
28
mempergunakan kendaraan darat, dengan jarak tempuh sekitar 50 km dari ibu
kota Kabupaten. Kecamatan ini memiliki topografi wilayah yang sebagian besar
datar dengan bukit-bukit kecil dan tampak subur ditanami berbagai jenis tanaman.
Pada wilayah pantai, yang menghadap perairan Teluk Kao, kecamatan ini
memiliki areal terumbu karang yang cukup besar, dan tersebar di seluruh pesisir
wilayah, dengan areal pantai berpasir dan karang. Kedalaman perairan laut dalam
wilayah Kecamatan Kao Utara tidak terlalu dalam, hanya paling tinggi 80 m dari
permukaan laut.
Batas wilayah kecamatan Kao Utara pada bagian Utara, berbatasan dengan
Kecamatan Tobelo Barat, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kao Barat,
Sebelah Selatan Berbatasan dengan Kecamatan Kao, dan bagian timur berbatasan
di perairan Teluk Kao dengan Kecamatan Wasiley Kabupaten Halmahera Timur.
Jumlah desa yang ada di dalam wilayah Kecamatan Kao Utara berjumlah
12 desa, 9 desa memiliki wilayah dan areal pemukiman penduduk berada di
pesisir pantai, 2 desa memiliki wilayah dan areal pemukiman yang tidak
berbatasan langsung dengan pantai, sedangkan 1 desa, yakni Desa Bobale
memiliki wilayah dan areal pemukiman pada sebuah pulau kecil yang bernama
Pulau Bobale, dengan luas daratan pulau sekitar 4 km², yang terletak di tengah
perairan Teluk Kao.
2.6.2 Penduduk
Berdasarkan data pada Kantor Kecamatan Kao Utara, penduduk
Kecamatan Kao Utara pada tahun 2008 berjumlah 11.115 jiwa dari 2.694 kk, yang
tersebar pada 12 desa dengan kepadatan penduduk terbesar berada pada Desa
Daru yang merupakan Ibu kota Kecamatan Kao Utara, sedangkan jumlah
penduduk paling sedikit terdapat pada desa Boulamo (Tabel 7).
Kondisi penduduk yang terdapat pada setiap desa terlihat masih
tradisional, dengan rata-rata penduduk berprofesi sebagai petani dan nelayan.
Sebagai petani, masyarakat menggarap lahan pertanian yang umumnya ditanami
kelapa untuk menghasilkan kopra yang dipanen setiap 4 bulan sekali. Untuk
tanaman pala, cengkih, juga terdapat di wilayah ini, namun jumlahnya tidak
terlalu banyak. Ketela pohon, ubi, padi ladang dan pisang, juga ditanami oleh
29
sebagian masyarakat, namun sebagian besar hasilnya tidak untuk dijual, tetapi
hanya untuk konsumsi keluarga.
Tabel 7 Data penduduk Kecamatan Kao Utara tahun 2008
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Desa
Kepala Keluarga
Daru
Wateto
Warudu
Tunuo
Pediwang
Bori
Doro
Dowongimaiti
Bobale
Gamlaha
Boulamo
Gulo
423
197
88
212
338
260
394
75
197
277
46
187
Jumlah
2.694
Sumber : Laporan Penduduk Kantor Kecamatan Tahun 2009.
Jumlah
Penduduk
1.679
793
318
878
1.456
1.145
1.695
263
857
1.067
190
774
11.115
Disamping mengandalkan hasil perkebunan, masyarakat di Kecamatan
Kao Utara juga menggarap berbagai potensi laut yang ada di perairan Teluk Kao.
Berbagai macam ikan, baik demersal maupun pelagis menjadi tangkapan rutin,
disamping beberapa jenis kerang laut yang juga sering mereka peroleh dari areal
terumbu karang, pada saat air laut surut.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor CSR (Corporate Social
Responsibility) PT. Nusa Halmahera Minerals, jumlah kelompok nelayan yang
mengusulkan program untuk memperoleh bantuan alat tangkap di Kecamatan Kao
Utara, berjumlah 27 kelompok nelayan, dengan rata-rata jumlah anggota sebanyak
10 sampai 12 orang. Sedangkan data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Halmahera Utara menyatakan bahwa jumlah nelayan
sambilan utama yang berada di Kecamatan Kao Utara berjumlah 162 orang,
dengan jumlah Rumah Tangga Perikanan sebanyak 87 RTP.
30
2.6.3
Ekonomi
Kondisi perekonomian di Kecamatan Kao Utara terlihat masih
terbelakang. Untuk menjual hasil panen perkebunan, dilakukan oleh masyarakat
kepada pedagang-pedagang keturunan yang membuka toko-toko kecil yang juga
menjual kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat. Pasar untuk kebutuhan harian
hanya dilakukan setiap hari Rabu dan Sabtu di ibu kota kecamatan, yakni Desa
Daru. Dimana oleh masyarakat nelayan, hasil-hasil tangkapan yang diperoleh
banyak dijual di pasar tersebut, disamping dijual kepada pedagang pengumpul
(dibo-dibo) yang berkeliling desa-desa untuk mengumpulkan ikan yang dibeli dari
nelayan yang melakukan penangkapan ikan.
Lembaga-lembaga ekonomi seperti perbankan tidak ditemukan di
kecamatan ini.
Lembaga-lembaga koperasi yang beranggotakan masyarakat
nelayan atau petani ada di beberapa tempat, namun aktifitasnya tidak terlihat.
Koperasi yang terlihat aktif adalah koperasi-koperasi simpan pinjam yang dimiliki
secara pribadi oleh oknum-oknum tertentu, yang dengan berkedok koperasi,
melakukan praktek simpan pinjam kepada masyarakat setempat dengan bunga
yang sangat tinggi.
31
3
3.1
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tiga desa yang berada di Kecamatan Kao
Utara, yaitu: Desa Doro, Desa Bori dan Desa Pediwang (Lampiran 1). Penetapan
lokasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa, ketiga desa tersebut merupakan
desa yang masyarakat nelayannya lebih sering menggunakan racun dan bahan
peledak (bom ikan) dalam kegiatan penangkapan ikan di Halmahera Utara.
Penelitian ini dilakukan selama empat bulan, yang dimulai dari bulan
September-Desember 2009.
Persiapan yang meliputi penelusuran studi
kepustakaan dan studi pendahuluan dilakukan pada bulan September hingga
Oktober 2009, dan dilanjutkan dengan observasi lapangan pada bulan
Oktober hingga Desember 2009.
3.2
Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, dengan
melakukan observasi terhadap kegiatan pengeboman ikan dan mewawancarai
nelayan yang melakukan pengeboman ikan.
Selain itu, pengumpulan data
dilakukan dengan pengisian daftar isian pertanyaan (kuesioner) oleh responden.
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data sekunder
yang dikumpulkan meliputi kondisi umum perikanan tangkap di Kabupaten
Halmahera Utara, dan hal-hal lain yang erat kaitannya dengan topik penelitian ini.
Data sekunder ini diperoleh melalui kegiatan penelusuran pustaka dari hasil-hasil
penelitian sebelumnya dan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Halmahera Utara,
Badan Pusat Statistik Halmahera Utara, da instansi terkait lainnya.
Data primer diperoleh melalui kegiatan survei (observasi) dengan
mengamati kegiatan nelayan yang menggunakan bom ikan, mulai dari kegiatan
perakitan bom, hingga kegiatan operasi penangkapan ikan. Pengumpulan data
primer ini juga dilakukan dengan mewawancarai sejumlah nelayan pelaku
pengeboman ikan.
Untuk mengklarifikasi dan melengkapi data/informasi
tersebut, ditentukan sebanyak 60 responden. Responden ini ditetapkan secara
32
sengaja (puposive sampling method) yang berasal dari ketiga desa sampel,
masing-masing sebanyak 20 responden. Pertimbangan yang digunakan dalam
menentukan responden ini adalah (1) Responden bersedia dan mengerti untuk
mengisi daftar pertanyaan yang diajukan, (2) Responden berasal dari desa sampel
yang telah ditentukan (Ugiyono, 2006), dan (3) Responden menggunakan bom
dalam kegiatan penangkapan ikan.
Data/informasi yang terkait dengan proses kegiatan pengeboman ikan
diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara.
Data primer lainnya
dikumpulkan melalui pengisian kuesioner oleh para responden yang telah
ditentukan.
Data yang dikumpulkan melalui pengisian daftar pertanyaan
(kuesioner) oleh responden adalah: (1) komposisi umur nelayan, (2) tingkat
pendidikan (3) persepsi responden dalam penggunaan bom ikan, (4) kondisi sosial
ekonomi nelayan, termasuk pendapatan, (5) perkembangan jumlah nelayan yang
menggunakan bom ikan (6) jumlah tangkapan nelayan dengan penggunaan bom
ikan, dan (7) alasan nelayan menggunakan bom. Jenis dan sumber data, dan
metode pengumpulan data disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Jenis dan sumber data, serta metode pengumpulan data penelitian
No
1
2
Data
Primer:
 Komposisi Umur
 Tingkat Pendidikan
 Besar Pendapatan
 Alasan nelayan
menggunakan bom
Sekunder:
 Potensi SDI
 Infrastruktur dan
sarana usaha perikanan
 Data perikanan
Kabupaten
 Data Sosial Ekonomi
Sumber Data
Nelayan yang
menggunakan
bom ikan
Metode
Pengumpul Data
 Wawancara/kuesioner
 Purposive sampling
 DKP Kab
Halut
 Purposive sampling
 BPS Kab
Halut
 Studi literatur
 Instansi terkait
33
3.3
Analisis Data
3.3.1
Analisis deskriptif
Analisis deskripsi ini menyajikan distribusi frekuensi secara tematik
berupa tabel dan gambar (grafik). Analisis deskripsi ini bertujuan untuk melihat
kecenderungan persepsi responden dengan variabel penelitian yang digunakan dan
faktor pendorong nelayan menggunakan bom dalam penangkapan ikan. Analisis
ini digunakan untuk menganalisis karakteristik perikanan di lokasi penelitian.
3.3.2 Analisis regresi berganda
Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi penggunaan bom ikan
sebagai alat penangkapan ikan, dianalisa dengan persamaan regresi berganda
(Walpole, 1995), dengan formula:
Y  b0  b1 X1  b2 X 2  b3 X 3
Keterangan : Ỹ = aktifitas penggunaan bom.
X1 = umur
X2 = pendidikan
X3 = pendapatan
b = konstanta
b1, b2, b3, = koefisien regresi
Dalam setiap variabel, baik variabel X maupun variabel Y , ditentukan
kategori untuk masing-masing variabel, yang dapat dilihat dalam Tabel 9, Tabel
10, Tabel 11, dan Tabel 12.
34
Tabel 9 Instrumen penelitian penggunaan bom ikan
No
1
2
3
4
Kategori
Skor
Melakukan pengeboman
Turut serta
Menikmati hasil
Tidak melakukan
1
2
3
4
Tabel 10 Instrumen penelitian untuk variabel umur
No
1
2
3
4
Umur
20
31
41
51
-
Skor
30 tahun
40 tahun
50 tahun
60 tahun
1
2
3
4
Tabel 11 Instrumen penelitian untuk variabel pendidikan
No
1
2
3
4
5
Pendidikan
Tidak sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Skor
1
2
3
4
5
Tabel 12 Instrumen penelitian untuk variabel pendapatan
No
1
2
3
4
Pendapatan
Rp.0
Rp.300.000.
Rp.600.000.
Rp.900.000.
- < Rp.300.000
- < Rp.600.000
- < Rp.900.000
- < Rp1.200.000
Skor
1
2
3
4
35
4
HASIL PENELITIAN
4.1
Kondisi Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian
4.1.1
Teknologi alat penangkapan ikan
Umumnya jenis teknologi penangkapan ikan yang digunakan nelayan
Kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara adalah relatif sederhana. Alat
tangkap yang rata-rata dipakai adalah pancing ulur dan jaring insang hanyut dan
tetap (gillnet). Pancing ulur dapat digunakan dengan umpan atau dengan pemikat
yang dibuat dari serabut kain, atau bulu ayam yang disebut lau. Pengoperasian
alat penangkapan ikan dengan lau, biasanya dilakukan pada batas antara terumbu
karang yang biasanya dangkal, dan perairan yang lebih dalam (pada kedalaman
40m – 100 m). Ujung tali pancing dipasang pemberat (potongan besi), kait yang
telah dipasangi lau diikat di tengah tali pancing (bisa 5 sampai dengan 25 kait
dipasang berurutan dengan jarak 50 -100 cm), dan tali pancing diturunkan ke
dalam air mengikuti pemberat sampai ke dasar perairan, dan ditarik kembali
dengan gerakan turun naik. Lau yang terpasang pada kait memikat ikan (karena
menyerupai ikan kecil yang sedang berenang), dan memakan pemikat tersebut,
ikanpun terkait dan ditangkap.
Pancing ulur yang menggunakan lau juga digunakan oleh nelayan hanya
dengan 1 kait. Kait yang dipasang lau diikat di ujung tali pancing kemudian
ditenggelamkan ke dasar perairan menggunakan batu yang diikat pada potongan
daun kelapa, dan setelah batu menyentuh dasar, tali pancing ditarik dengan keras
agar lepas dari potongan daun, kemudian tali pancing ditarik dengan cepat. Lau
yang menyerupai ikan kecil sedang berlari ditangkap oleh ikan besar, ikan itupun
terkait pada kait yang ada, dan ditarik naik ke atas perahu. Pancing ulur lainnya
juga menggunakan kait, namun pemikat yang dipasang pada kait adalah potongan
daging ikan, yang apabila dimakan oleh ikan sasaran akan terkait pada kait yang
ada. Jenis alat tangkap ini sangat dominan digunakan oleh nelayan di Kecamatan
Kao Utara.
Perahu yang dipergunakan oleh nelayan setempat dalam mengoperasikan
alat tangkap umumnya masih termasuk dalam skala tradisional yang dibuat dari
36
batang kayu yang digali dan dibentuk menjadi perahu, yang disebut jukung. Pada
jukung ini dipasang penyeimbang yang disebut sema-sema.
Pada beberapa
nelayan tertentu, sudah ada yang mempergunakan perahu yang dibuat dari bahan
kayu lapis anti air, yang ditempelkan menjadi badan perahu pada rangka yang
telah dibuat, dan dipasang mesin ketinting di dalamnya. Mesin ini adalah mesin
serba guna yang biasanya digunakan juga dalam usaha-usaha parutan kelapa atau
singkong. Kapasitas mesin berkisar antara 3 – 5 horse power.
Dalam melakukan operasi penangkapan ikan dengan menggunakan
pancing ulur, nelayan-nelayan di Kecamatan Kao Utara biasanya melakukannya
secara sendiri-sendiri atau satu orang.
Namun demikian, sebagian unit
penangkapan ikan terdiri dari 2 orang anak buah kapal (ABK)..
Alat tangkap yang juga dipergunakan oleh nelayan dalam melakukan
operasi penangkapan ikan di lokasi penelitian adalah, jaring insang tetap dan
jaring insang hanyut.
Jaring insang tetap biasanya digunakan pada perairan-
perairan dangkal, seperti di atas terumbu karang dengan cara dilingkarkan pada
gerombolan ikan yang ada, atau ditempatkan di sekitar hutan mangrove, untuk
menghalau ikan-ikan pada saat air laut surut. Ikan yang terperangkap pada mata
jaring kemudian diangkat bersama jaring ke atas perahu dan dilepaskan dari
jeratan jaring yang ada. Penggunaan jaring hanyut biasanya dilakukan dengan
cara jaring dilepas di perairan yang dalam, dan dibiarkan hanyut terbawa arus.
Ujung jaring diikatkan pada pelampung, dan ujung jaring sebelahnya diikatkan
pada perahu. Penggunaan alat tangkap ini dilakukan oleh nelayan antara 2 – 4
orang, dengan mempergunakan perahu yang cukup untuk memuat nelayan, alat
tangkap dan hasil yang diperoleh. Apabila jumlah tangkapan melebihi dari daya
muat perahu, terkadang para nelayan setempat meminta bantuan kepada nelayan
lainnya yang sedang menangkap ikan untuk membantu mengangkat ikan yang ada
keatas perahu nelayan tersebut. Pembagian hasil akan dilakukan oleh nelayan
yang mempunyai jaring kepada nelayan yang menyertainya (ikut) dan kepada
nelayan lain yang turut membantu, apabila hasilnya lebih.
Hasil yang diperoleh oleh nelayan setelah melakukan operasi penangkapan
ikan, biasanya dijual ke pasar tradisional di ibukota kecamatan yang berjarak
kurang lebih 15 km, yang dibuka pada setiap hari Rabu dan Sabtu. Atau dijual
37
kepada penampung ikan (dibo-dibo) yang biasanya mengelilingi desa-desa di
pesisir Teluk Kao untuk mengumpulkan ikan hasil tangkapan nelayan, yang akan
dijual ke ibukota kabupaten, atau dijual kepada perusahaan tambang emas yang
berjarak dari desa penelitian kurang lebih 80 km. Harga perkilogram ikan apabila
dijual ke pasar, biasanya Rp.10.000.- sampai dengan Rp.15.000.- per kilogram,
namun apabila dijual kepada pedagang pengumpul, kisaran harganya bisa turun
sampai Rp.7.500.- per kilogram ikan.
Jenis dan jumlah unit penangkapan yang terdapat di ketiga desa lokasi
penelitian dapat dilihat pada Tabel 13. Berdasarkan Tabel 13, jumlah nelayan
yang paling banyak berada di Desa Pediwang, yakni sebanyak 148 orang,
kemudian Desa Doro sebanyak 142, dan di Desa Bori sebanyak 111 orang.
Penggunaan alat tangkap yang dominan adalah pancing ulur, sebanyak 69 unit di
Desa Doro, 55 unit di Desa Pediwang dan 51 unit di Desa Bori. Alat tangkap
lainnya adalah jaring insang yang terlihat sedikit di masing-masing desa, dimana
yang terbanyak di Desa Pediwang 3 unit, di Desa Doro 2 unit, dan di Desa Bori 1
unit.
Tabel 13 Jenis dan jumlah unit penangkapan ikan di tiga lokasi penelitian
Desa
Doro
Bori
Pediwang
Jumlah
Jumlah
nelayan
142
111
148
401
Jumlah alat tangkap (unit)
Pancing Ulur Jaring Insang
69
2
51
1
55
3
175
6
Jumlah
Perahu
36
30
39
105
Sumber: Kantor desa Doro, Bori dan Pediwang
Pemerintah telah memberikan bantuan alat tangkap dan perahu untuk lebih
memberdayakan nelayan di Kabupaten Halmahera Utara. Namun, jumlah nelayan
yang menerima bantuan ini masih sangat terbatas. Berdasarkan hasil survei dan
wawancara yang dilakukan terhadap nelayan responden di ketiga desa, ternyata
nelayan di lokasi sampel penelitian ini juga sebagian kecil telah pernah menerima
bantuan tersebut, yaitu sebanyak 14 orang.
Bantuan yang diperoleh nelayan
dalam bentuk perahu (pambut), alat tangkap jaring insang dan air compressor
untuk penyelaman teripang atau mutiara.
38
Tabel 14 Persepsi responden terhadap bantuan
Desa
Doro
Bori
Pediwang
Jumlah
Menerima bantuan
belum
sudah
17
3
18
2
11
9
46
14
4.1.2 Penangkapan ikan dengan menggunakan bom
Dalam melakukan operasi penangkapan ikan, nelayan pada tiga desa
penelitian terkadang menggunakan bom sebagai alat penangkapannya.
Hasil
survei yang dilakukan terhadap 60 responden nelayan yang berasal dari 3 desa
menunjukkan bahwa sebagian nelayan tidak melakukan pengeboman ikan lagi
karena takut kepada petugas. Namun demikian, masih banyak di antara nelayan
yang tetap menggunakan bom dalam penangkapan ikan.
Nelayan ini hanya
mengambil ikan-ikan ukuran besar dan bernilai ekonomis tinggi, sedangkan ikanikan ukuran kecil yang ikut mati atau terbius akibat bom dibiarkan, lalu pergi ke
lokasi lain mencari daerah yang lebih potensial. Ketika nelayan yang melakukan
pengeboman ikan pergi, biasanya ada nelayan lain yang mengambil ikan mati atau
terbius yang ditinggalkan oleh nelayan yang melakukan pengeboman ikan.
Adapun komposisi jumlah nelayan responden yang melakukan pengeboman ikan,
nelayan yang hanya sekedar mengambil ikan yang mati/terbius, dan nelayan yang
tidak melakukan pengeboman ikan disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15 Persepsi responden dalam penggunaan bom ikan
Penggunaan bom
Desa
Doro
Bori
Pediwang
Jumlah
Melakukan
Pengumpul sisa ikan
Tidak lagi
7
8
3
18
4
1
3
8
9
11
14
34
Penggunaan bom di Kecamatan Kao Utara pernah dilakukan oleh banyak
nelayan dalam operasi penangkapan ikan. Berdasarkan Tabel 15, sebanyak 34
responden atau sebanyak 57% yang menyatakan bahwa mereka sudah tidak mau
lagi melakukan pengeboman ikan. Nelayan yang masih menggunakan bom ikan
39
adalah sebanyak 18 orang atau sekitar 30%.
menggunakan
bom
dalam
kegiatan
Sedangkan nelayan yang tidak
penangkapan
ikan
tetapi
mereka
mengumpulkan sisa ikan yang telah mati/terbius sebanyak 8 orang, atau sebesar
13%. Pengumpulan hasil tangkapan ini biasanya hanya mengumpulkan sisa-sisa
ikan, biasanya yang berukuran kecil untuk dijadikan umpan.
Tren menurunnya nelayan menggunakan bom pada ketiga desa lebih kuat
di desa Pediwang, karena tidak ada lagi nelayan responden yang mau ikut serta
dalam kegiatan penggunaan bom ikan. Namun demikian, masih ada sebanyak 3
responden yang aktif melakukan pemboman ikan di desa tersebut dan 3 responden
yang mengumpulkan sisa-sisa ikan yang dibom. Untuk Desa Bori, terdapat 8
orang responden atau 40% (dari total responden 20 orang) yang melakukan
pengeboman ikan, hanya 1 responden sebagai pengumpul sisa ikan, dan yang
lainnya tidak melakukan pengeboman ikan lagi. Sedangkan di Desa Doro, dari 20
responden, terdapat 7 orang yang masih melakukan pengeboman ikan, dan 4
orang sebagai pengumpul sisa ikan, dan 9 orang yang tidak mau melakukan lagi.
Alasan nelayan di 3 desa penelitian menggunakan alat penangkapan ikan
dengan bom berdasarkan hasil survei, menunjukkan bahwa dari 11 orang nelayan
yang melakukan pengeboman menyatakan, penggunaan bom yang mereka
lakukan dalam penangkapan ikan disebabkan karena: 1) bahan mudah ditemukan,
2) sederhana dalam proses perakitan dan penggunaannya, 3) memperoleh
tangkapan lebih banyak, dan 4) resiko kecelakaan yang timbul terhadap diri
merupakan kelalaian nelayan itu sendiri.
Nelayan yang melakukan kegiatan pengeboman ikan menyatakan bahwa
sebagian besar dari mereka telah berpengalaman melakukannya lebih dari 4 tahun,
yakni sebanyak 16 orang (88 %), dan sebanyak 2 orang (12 %) menyatakan
bahwa mereka telah berpengalaman selama 1 tahun. Responden nelayan yang
memiliki pengalaman selama 2 tahun dan 3 tahun tidak ada (Tabel 16). Hal ini
menunjukkan bahwa transfer pengalaman untuk menggunakan bom dalam
penangkapan ikan tidak terjadi setiap tahun, namun dapat terjadi sewaktu-waktu
tergantung keberanian dan dorongan tertentu yang menyebabkan seorang nelayan
menggunakan bom ikan.
40
Tabel 16 Persepsi responden tentang lama menggunakan bom
Desa
Doro
Bori
Pediwang
Jumlah
1 tahun
1
1
0
2
Pengalaman menggunakan bom
2 tahun
3 tahun
> 4 tahun
0
0
6
0
0
7
0
0
3
0
0
16
Bom yang digunakan oleh nelayan di 3 desa penelitian dalam operasi
penangkapan ikan, diperoleh dengan cara merakit sendiri, atau membeli dari
nelayan lain. Sebagian besar dari nelayan yang menggunakan bom memiliki
kemampuan untuk merakit bom ikan, walaupun sebagian kecil dari mereka hanya
membeli bom yang sudah jadi dari nelayan lain.
Namun sebagian nelayan
melakukan penyelaman di dasar laut untuk mencari bom sisa waktu perang tempo
dulu (Tabel 17).
Tabel 17 Persepsi responden dalam memperoleh mesiu
Desa
Doro
Bori
Pediwang
Jumlah
Memperoleh mesiu
beli
menyelam
3
1
4
0
2
1
9
2
Harga 4 buah bom yang sudah dirakit jika dijual kepada nelayan berkisar
antara Rp.100.000.- sampai dengan Rp.200.000.-
Hasil wawancara dengan
responden, diperoleh informasi bahwa, bahan bom yang berupa bubuk mesiu
dapat diperoleh dengan cara menyelam ke dasar laut menggunakan bantuan air
compressor di sekitar perairan Teluk Kao yang banyak terdapat bom-bom bekas
perang dunia kedua, yang banyak dibuang ke laut oleh tentara Jepang, setelah
kalah dari tentara Sekutu. Bom yang telah lama berada di dasar laut tersebut,
kemudian dibuka menggunakan gergaji besi sambil disiram air, atau bom tersebut
telah terbuka akibat termakan karat. Berat bom yang diangkat, bisa berkisar
antara 50 kg – 100 kg. Isi bom tersebut (mesiu) adalah bahan utama dari
pembuatan bom ikan yang dilakukan oleh nelayan di Kecamatan Kao Utara.
Harga 1 kg. bubuk mesiu yang dijual kepada nelayan lain berkisar Rp.50.000.-
41
sampai dengan Rp.100.000.-, dimana untuk 1 kg bubuk mesiu, dapat dirakit antara
3 – 4 bom rakitan
Proses pembuatan bom sangat sederhana dan bahan-bahan pendukungnya
mudah diperoleh. Botol bekas atau pipa bekas (Ø ¾ inchi) yang dipotong
sepanjang ± 10 – 20 cm, disumbat ujung sebelahnya dengan erat menggunakan
kayu, kemudian dimasukkan mesiu di dalamnya. Ujung sebelahnya kemudian
ditutup dengan kayu atau karet sandal bekas yang telah dilobangi bagian
tengahnya untuk dipasangi sumbu. Sumbu konfensional dibuat menggunakan
pipa sempit (Ø 2 – 3 mm) dan dipotong sepanjang 3 – 4 cm, dan diisi dengan
bahan kepala korek api yang digerus dan dipadatkan kedalam pipa sempit,
kemudian dipasang ke dalam lubang yang telah disiapkan pada perangkat bom.
Bom jenis ini adalah bom yang dilempar dari atas perahu setelah sumbu dibakar
menggunakan bara rokok atau bara obat nyamuk. Sumbu terbaru yang saat ini
juga digunakan oleh nelayan di Kecamatan Kao Utara adalah menggunakan
bohlam lampu pijar yang biasanya digunakan untuk senter, dipecahkan tanpa
merusak fillamen (yang berpijar dalam bohlam) bohlam.
Fillamen tersebut
kemudian dimasukkan secara hati-hati kedalam lubang sumbu pada perangkat
bom, dan direkatkan agar kedap air, dimana pada kutub positif dan negatif
bohlam disambungkan dengan seutas kabel positif dan negatif yang cukup
panjang. Cara kerjanya, bom yang telah siap kemudian diturunkan ke kedalaman
laut tertentu yang telah diamati oleh seorang nelayan yang melakukan penyelaman
untuk melihat posisi ikan. Setelah bom diturunkan pada kedalaman yang
diinginkan (terdapat banyak ikan), ujung kabel positif dan negatif yang berada di
atas perahu kemudian disambungkan dengan kutub positif dan negatif pada
beterai atau accu sepeda motor, dan menyebabkan sumbu (fillamen) yang terdapat
di dalam mesiu menyala dan memicu bom meledak.
Ikan-ikan yang telah
ditangkap dengan bom kemudian dikumpulkan dengan cara menyelam oleh para
nelayan yang ada, mempergunakan keranjang tali, ataupun dikumpulkan dengan
tangan.
Hasil wawancara dengan responden nelayan di ketiga desa menunjukkan
bahwa korban akibat penggunaan bom selama kurun waktu 5 tahun terakhir tidak
ada, baik yang cacat maupun meninggal. Korban pernah terjadi pada 10 sampai
42
15 tahun lalu yang menyebabkan cacat dan kematian pada beberapa nelayan
(Tabel 18), seperti Desa Doro korban meninggal 1 orang, di Pediwang korban
meninggal 1 orang dan cacat 1 orang, sedangkan korban di Desa Bori, 2 orang
cacat parmanen.
Tabel 18 Persepsi responden tentang korban penggunaan bom ikan
Korban bom
cacat
meninggal
0
1
2
0
1
1
9
2
Desa
Doro
Bori
Pediwang
Jumlah
4.1.3 Kondisi sosial budaya masyarakat nelayan
Kondisi umum sosial budaya masyarakat nelayan dijelaskan dengan
pendekatan responden. Variabel responden yang digunakan untuk meggambarkan
karakteristik tersebut, yaitu: jumlah penduduk, budaya, umur dan pendidikan.
Dengan mengetahui variabel kondisi responden tersebut diharapkan dapat
menjelaskan struktur sosial budaya masyarakat nelayan di Kecamatan Kao Utara
secara umum.
Penduduk Desa Doro, Bori dan Pediwang rata-rata adalah petani dan
nelayan yang menggantungkan hidupnya pada hasil-hasil kebun dan hasil-hasil
laut. Lokasi ketiga desa ini saling bersebelahan, apabila diurutkan dari bagian
utara yaitu Desa Pediwang, Desa Bori, dan Desa Doro.
Jumlah penduduk
terbanyak adalah Desa Doro, diikuti Desa Pediwang dan Desa Bori (Tabel 19).
Tabel 19 Jumlah penduduk Desa Doro, Bori dan Pediwang
Jumlah
Desa
Jiwa
KK
Doro
1.695
394
Bori
1.145
260
Pediwang
1.456
338
4.296
992
Sumber: Data diolah dari Laporan Penduduk Kantor Kecamatan Kao Utara
43
Variabel umur responden di tiga desa, menunjukkan 25-45% responden
berumur antara 41-50 tahun, 15-40% berumur 51-60 tahun, 10-25% berumur 3140 tahun dan 15-20% berumur 20-30 tahun. Variabel umur ini menunjukkan
bahwa sebagian besar responden nelayan berusia 41-50 tahun. Kisaran 41-50
tahun didominasi responden Desa Pediwang (45%), Desa Bori (35%) dan Desa
Doro (25%), seperti disajikan pada Gambar 3.
DORO
BORI
PEDIWANG
50%
45%
45%
40%
40%
35%
35%
% Responden
35%
30%
25%
20%
15%
25%
25%
20%
20%
15% 15%
15%
10%
10%
5%
0%
20 - 30 tahun
31 - 40 tahun
41 - 50 tahun
51 - 60 tahun
Komposisi Umur
Gambar 3 Sebaran umur responden di lokasi penelitian
Sebaran umur responden nelayan sangat bervariasi dari sekolah dasar (SD)
hingga lulusan sekolah lanjutan atas (SMA), bahkan ada sebagian dari mereka
tidak pernah bersekolah (Gambar 4).
Pendidikan responden tamatan SMA
berkisar 40-60%, tamatan SMP sebanyak 5-15%, tamatan SD sebanyak 5-20%,
tidak tamat SD sebanyak 5%, dan tidak sekolah sebanyak 10-35%. Responden
untuk tamatan SMA didominasi responden Desa Bori dan Pediwang dan
responden tidak sekolah banyak terdapat di Desa Doro dan Bori. Mayoritas
tingkat pendidikan masyarakat nelayan (responden) adalah tamatan SMA dan
tidak tamat sekolah. Kondisi tersebut di atas mengindikasikan bahwa SDM di
ketiga desa tersebut dapat digolongkan masih rendah.
44
70%
60% 60%
60%
DORO
BORI
PEDIWANG
% Responden
50%
40%
40%
35% 35%
30%
20%
20%
15%
10%
10%
10%
5%
5%
0% 0%
5%
0%
0%
Tidak sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Tingkat Pendidikan
Gambar 4 Sebaran tingkat pendidikan responden di lokasi penelitian
4.2
Kondisi Ekonomi Nelayan
Kondisi ekonomi masyarakat nelayan di lokasi penelitian dijelaskan
berdasarkan variabel tingkat pendapatan. Pendapatan dan tingkat kesejahteraan
nelayan di Kabupaten Halmahera Utara seyogianya cukup besar karena potensi
ikan cukup banyak, ikan memiliki nilai ekonomis/harga tinggi, dan permintaan
cukup banyak. Namun fakta menunjukkan bahwa nelayan di daerah tersebut
termasuk kelompok miskin. Bahkan atribut bagi mereka adalah termiskin di antara
yang miskin ”the poorest of the poor”. Kemiskinan itu terjadi karena nilai tukar
nelayan yang rendah yang disebabkan komoditas yang mereka hasilkan dibayar
murah (Nikijuluw, 2002).
Hasil survey dalam penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata
pendapatan responden di tiga desa lokasi penelitian mayoritas antara
Rp.300.000,00 hingga Rp.600.000,00 per bulan (Gambar 5). Angka pendapatan
ini diketahui dari rata-rata pengeluaran keluarga nelayan per bulan.
Jumlah
pendapatan diasumsikan sama dengan jumlah pengeluaran, karena dari sejumlah
belanja nelayan, tidak ada yang dialokasikan untuk ditabung.
45
DORO
BORI
PEDIWANG
60%
50%
40%
40%
35%
20%
15%
10% 10%
10%
10%
0%
0 - < Rp.300.000
Rp.300.000 - <
Rp.600.000
Rp.600.000 - <
Rp.900.000
Rp.900.000 - < Rp
1.200.000
Gambar 5 Sebaran tingkat pendapatan responden di lokasi penelitian
Disamping hasil yang diperoleh dari usaha penangkapan, responden
nelayan di tiga desa lokasi penelitian juga mempunyai penghasilan dari usahausaha perkebunan. Tanaman yang menjadi andalan mereka untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya adalah kelapa yang dibuat kopra. Dari hasil wawancara
dengan responden diperoleh data bahwa rata-rata jumlah tanaman kelapa yang
dimiliki oleh responden nelayan adalah 300 pohon kelapa dengan produksi
sebanyak 2,1 ton per kwartal atau per empat bulan. Harga produk ini berkisar
antara Rp.2.000.- sampai Rp.3.000.- per kilogramnya.
Apabila masa panen
kelapa, seorang nelayan memperoleh penghasilan kotor sebesar Rp.4.000.000.sampai Rp.6.000.000.- tergantung harga kopra.
Penghasilan ini akan dibuka
untuk buruh tani yang melakukan pemetikan kelapa (nae), mengeluarkan daging
kelapa (kore) sampai dengan pengasapan (fufu), yang dihitung ½ dari hasil
penjualan kopra yang telah jadi. Hasil kebun nelayan di 3 desa lokasi penelitian
berkisar antara Rp.2.000.000.- sampai dengan Rp.3.000.000.- per empat bulan.
Dukungan permodalan yang biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga
perekonomian tidak pernah dinikmati oleh responden nelayan, disebabkan karena
rendahnya pengetahuan nelayan tentang hal tersebut.
Dari responden yang
diwawancarai, sebanyak 87% dari mereka menyatakan bahwa mereka tidak tahu
caranya, dan sebanyak 13% dari responden takut melakukan pinjaman modal.
Ironisnya, dari 60 responden yang ada, terdapat 42% yang tidak melakukan
46
pinjaman kepada koperasi simpan pinjam, namun 58% responden nelayan
melakukan pinjaman kepada koperasi simpan pinjam yang dimiliki oleh orangorang tertentu secara pribadi dengan dikenakan bunga pinjaman sebesar 20% dari
total pinjaman yang dikembalikan setiap hari.
4.3
Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Bom Ikan
Tingkat penggunaan bom ikan dalam penangkapan ikan oleh nelayan di
Kecamatan Kao Utara diduga dipengaruhi variabel umur, tingkat pendidikan dan
pendapatan. Untuk melihat sejauh mana, setiap variabel tersebut mempengaruhi
penggunaan bom ikan, dilakukan analisis regresi linier berganda.
4.3.1 Penggunaan bom ikan di Desa Doro
Hasil analisis regresi linier berganda terhadap variabel bebas dan tidak
bebas di Desa Doro pada taraf kesalahan < 5%, menunjukkan hasil nilai R2
adalah 0,988 (Lampiran 2). Artinya, sebanyak 98,8% perubahan-perubahan pada
variabel terkait (aktifitas penggunaan bom) dapat diterangkan dengan variabel
bebas yang terlibat (umur, tingkat pendidikan dan pendapatan). Dengan kata lain,
pengaruh variabel X terhadap Y cukup kuat. Hasil uji statistik anova disajikan
pada Tabel 20.
Tabel 20 Anova penggunaan bom ikan di Desa Doro
Model
Regression
Residual
Total
Sum of
Squares
df
Mean Square
34,388
3
0,412
16
34,800
19
F
Sig.
11,463 445,017 0,000a
0,026
Predictors: (Constant), pendapatan, pendidikan, umur
Dependent Variable: aktifitas pengeboman ikan
Hasil analisis regresi linier berganda pada setiap variabel bebas pada
taraf < 5%, menunjukkan bahwa,
variabel
tunggal
yang
memberikan
sumbangan nyata/signifikan terhadap perubahan Y adalah variabel pendidikan
(p-value=0,000 < 0,05) seperti tersaji pada Tabel 21. Artinya bahwa, semakin
tinggi pendidikan, semakin berkurang penangkapan ikan dengan bom, sedangkan
47
untuk umur dan pendapatan tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Hal ini
bisa dipahami, karena tingkat pendidikan akan membuka wawasan dalam berpikir
dan menganalisis resiko tinggi dari penggunaan bom. Bukan hanya kerusakan
ekosistem dan lingkungan perairan, tetapi dapat mengancam keselamatan dirinya.
Tabel 21 Hasil variabel, koefisien regresi, nilai t dan p-value di Desa Doro
No.
1.
2.
3.
4.
Varibel
(Constant)
X1 = Umur
X2 = Pendidikan
X3 = Pendapatan
Koefisien Regresi
T
Sig.
0.245
-0,108
0,804
0,016
1,302
-1,892
22,959
0,334
.211
0,077
0,000*
0,743
Keterangan: * signifikan pada taraf nyata < 5% .
Berdasarkan dari analisis regresi berganda pada Tabel 21, maka dapat
dituliskan model hubungan antara variabel bebas yang berpengaruh nyata
terhadap perubahan tingkat aktifitas pengeboman ikan di Desa Doro. Model
persamaan tersebut adalah:
Y = 0,245 -0,108X1 + 0,804X2 + 0,016X3
Keterangan:
Y = Tingkat aktifitas penggunaan bom ikan
X1 = Umur
X2 = Pendidikan
X3 = Pendapatan
4.3.2
Penggunaan bom ikan di Desa Bori
Hasil analisis regresi linier berganda terhadap variabel bebas dan tidak
bebas di Desa Bori pada taraf kesalahan < 5%, menunjukkan hasil nilai R2 adalah
0,982 (Lampiran 3).
Artinya, sebanyak 98,2% perubahan-perubahan pada
variabel terkait (aktifitas penggunaan bom) dapat diterangkan dengan variabel
bebas yang terlibat (umur, tingkat pendidikan dan pendapatan). Dengan kata lain,
pengaruh variabel X terhadap Y cukup kuat. Hasil uji statistik anova disajikan
pada Tabel 22.
48
Tabel 22 Anova penggunaan bom ikan di Desa Bori
Sum of
Squares
Model
Regression
Residual
Total
df
Mean Square
36,281
3
0,669
16
36,950
19
F
Sig.
.000a
12,094 289,328
0,042
Predictors: (Constant), Pendapatan, Pendidikan, Umur
Dependent Variable: Aktifitas pengeboman ikan
Hasil analisis regresi linier berganda pada setiap variabel bebas pada taraf
< 5%, menunjukkan bahwa, variabel tunggal yang memberikan sumbangan
nyata/signifikan terhadap perubahan Y adalah variabel
pendidikan (p-
value=0,000 < 0,05) seperti tersaji pada Tabel 23. Artinya bahwa, semakin tinggi
pendidikan, semakin berkurang penangkapan ikan dengan bom, sedangkan untuk
umur dan pendapatan tidak memberikan pengaruh yang signifikan.
Tabel 23 Hasil variabel, koefisien regresi, nilai t dan p-value di Desa Bori
No.
Varibel
Koefisien Regresi
1. (Constant)
0,480
2. X1 = Umur
0,167
3. X2 = Pendidikan
0,746
4. X3 = Pendapatan
-0.225
Keterangan: * signifikan pada taraf nyata < 5% .
t
2,398
2,835
15,554
-1,883
Sig.
0,029
0,012
0,000*
0,078
Berdasarkan dari analisis regresi berganda pada Tabel 23, maka dapat
dituliskan model hubungan antara variabel bebas yang berpengaruh nyata
terhadap perubahan tingkat pengeboman ikan di Desa Bori, sebagai berikut:
Y = 0,480 +0,168X1 + 0,746X2 - 0,225X3
Keterangan:
Y = Tingkat aktifitas penggunaan bom ikan
X1 = Umur
X2 = Pendidikan
X3 = Pendapatan
49
4.3.3
Penggunaan bom ikan di Desa Pediwang
Hasil analisis regresi linier berganda terhadap variabel bebas dan tidak
bebas di Desa Bori pada taraf kesalahan < 5%, menunjukkan hasil nilai R2 adalah
0,565 (Lampiran 4). Artinya, sebanyak 56,6% perubahan-perubahan pada variabel
terkait (aktifitas penggunaan bom) dapat diterangkan dengan variabel bebas yang
terlibat (umur, tingkat pendidikan dan pendapatan). Dengan kata lain, pengaruh
variabel X terhadap Y kuat. Hasil uji statistik anova disajikan pada Tabel 24.
Hasil analisis regresi linier berganda pada setiap variabel bebas pada taraf
< 5%, menunjukkan bahwa, variabel tunggal yang memberikan sumbangan
nyata/signifikan
terhadap
perubahan
Y
adalah
variabel
pendidikan
(p-value=0,008 < 0,05), seperti tersaji pada Tabel 25. Artinya bahwa, semakin
tinggi pendidikan, semakin berkurang penangkapan ikan dengan bom, sedangkan
untuk umur dan pendapatan tidak memberikan pengaruh yang signifikan.
Tabel 24 Anova penggunaan bom ikan di Desa Pediwang
Model
Sum of
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Regression
15,368
3
5,123
6,927
0,003a
Residual
11,832
16
0,740
Total
27,200
19
Predictors: (Constant), Pendapatan, Pendidikan, Umur
Dependent Variable: Aktifitas pengeboman ikan
Tabel 25 Hasil variabel, koefisien regresi, nilai t dan p-value di Desa Pediwang
No.
1.
2.
3.
4.
Varibel
(Constant)
X1 = Umur
X2 = Pendidikan
X3 = Pendapatan
Koefisien Regresi
1,142
0,028
0,632
-0,357
Keterangan: * signifikan pada taraf nyata < 5% .
T
0,912
0,084
3,050
-0,981
Sig.
0,375
0,934
0,008*
0,341
50
Berdasarkan dari analisis regresi berganda pada Tabel 25, maka dapat
dituliskan model hubungan antara variabel bebas yang berpengaruh nyata
terhadap perubahan tingkat pengeboman ikan di Desa Pediwang, sebagai berikut:
Y = 1,142 +0,028X1 + 0,632X2 - 0,357X3
Keterangan:
Y = Tingkat aktifitas penggunaan bom ikan
X1 = Umur
X2 = Pendidikan
X3 = Pendapatan
51
5
5.1
PEMBAHASAN
Karakteristik Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian
5.1.1 Alat penangkapan ikan
Pada dasarnya dalam suatu operasi penangkapan ikan penggunaan
bermacam-macam jenis alat penangkapan ikan sesuai dengan target ikan yang
akan ditangkap itu dibolehkan. Dalam rangka mewujudkan tujuan pengelolaan
perikanan seperti yang diamanatkan dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan yaitu agar SDI tetap lestari serta pemanfaatannya dapat optimal dan
berkelanjutan maka perlu dilakukan beberapa langkah yang berkaitan dengan
penggunaan Alat Penangkapan Ikan di antaranya ([email protected]
Blog : http://mukhtar-api.blogspot.com) :
1. Pembuatan ketentuan-ketentuan/peraturan-peraturan yang mengatur tentang
penggunaan Alat Penangkapan Ikan.
2. Pencantuman jenis dan dimensi utama Alat Penangkapan Ikan yang digunakan
dalam SIPI.
3. Pengawasan penggunaan Alat Penangkapan Ikan di lapangan.
Alat penangkapan ikan utama yang digunakan oleh nelayan Kecamatan
Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara adalah pancing ulur dan jaring hanyut
(gillnet). Sebagian besar teknologi penangkapan ikan yang dipergunakan nelayan
setempat masih sederhana. Armada penangkapan ikan didominasi oleh perahu
dayung dan perahu motor tempel (ketinting) dengan ukuran dibawah 2 GT. Jenis
teknologi penangkapan yang masih sederhana dan armada skala kecil
menyebabkan daerah penangkapan ikan terbatas di perairan pantai sekitar 2-3 mil.
Berdasarkan waktu kerja dari nelayan di Desa Pediwang, Bori, dan Desa
Doro Kecamatan Kao Utara, mereka tergolong sebagai nelayan sambilan utama
dan nelayan sambilan tambahan. Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang
sebagian besar waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi
penangkapan ikan. Sedangkan Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang
sebagian kecil dari waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi
penangkapan (Ditjen Perikanan Tangkap, 2005).
52
Keterbatasan alat tangkap yang dimiliki nelayan di Desa Pediwang, Desa
Doro, dan Desa Bori merupakan salah satu faktor yang cukup dominan yang
menyebabkan produktifitas hasil tangkapan nelayan menjadi rendah. Daya jelajah
perahu yang digunakan umumnya terbatas, dan berimplikasi pada jumlah dan
jenis tangkapan ikan yang makin lama makin berkurang. Rata-rata penghasilan
yang diperoleh nelayan miskin relatif kecil sehingga hanya untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, bahkan bagi nelayan yang memiliki tanggungan keluarga
yang lebih besar, terpaksa hidup kekurangan. Disamping mengandalkan hasil laut
sebagai penopang kebutuhan keluarga, sebagian besar dari masyarakat nelayan di
ketiga desa tersebut juga mengandalkan hasil-hasil perkebunan. Rata-rata
masyarakat nelayan di tiga desa memiliki kebun yang menghasilkan kelapa
(kopra) yang bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
5.1.2 Sosial budaya masyarakat nelayan
Masyarakat nelayan di Kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara
yang bergerak di sektor perikanan rata-rata kualitas sumberdaya manusianya
masih rendah. Umumnya mereka mengelola usaha perikanan bersifat turun
temurun dan hanya mengandalkan kemampuan fisik. Tingkat pendidikan bukan
merupakan keharusan untuk menjadi nelayan, namun terpenting bagi mereka
memiliki kemauan dan motivasi kerja. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap
adopsi teknologi dan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang ramah
lingkungan. Akibatnya nelayan di Kabupaten Halmahera Utara masih tetap
menggunakan bom ikan sesuai dengan kebiasaan yang turun-temurun dari
generasi sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Boeke (1983, bahwa
aktivitas ekonomi masyarakat nelayan senantiasa ditundukkan pada dan dicampur
dengan berbagai macam motif yaitu, motif sosial, keagamaan, etis dan tradisional.
Dari sisi konsumsi, kehidupan ekonomi desa tradisional dibangun atas dasar
“prinsip swasembada”, dimana hampir seluruh kebutuhan hidup kesehariannya
diproduksi/dipenuhi oleh desa tradisional sendiri. Kemampuan desa tradisional
membangun struktur ekonomi demikian, karena didukung penuh oleh adanya
ikatan-ikatan sosial yang asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhankebutuhan yang tak terbatas dan bersahaja, prinsip produksi pertanian semata-
53
mata untuk keperluan keluarga, pengekangan pertukaran sebagai alat untuk
memuaskan kebutuhan, serta tidak terlalu berorientasi kepada laba (non profit
oriented).
Selanjutnya,
Boeke
(1983)
menyatakan
bahwa
kehidupan
sosial
masyarakat desa yang tradisional sulit diklasifikasikan menurut pekerjaan mereka,
tidak seperti struktur kehidupan sosial pada masyarakat perkotaan dalam
klasifikasi yang jelas dan terstruktur. Masyarakat desa tradisional yang hidup di
daerah-daerah pertanian pedalaman hidup dalam komunitas-komunitas yang
cenderung bersikap “tertutup”, serta dengan semangat kelompok yang kuat,
karena mereka menganggap bahwa eksistensi individu terletak di dalam
kehidupan berkelompok atau bermasyarakat.
Nelayan di Kecamatan Kao utara termasuk nelayan sambilan utama. Oleh
karena itu, karakteristik usaha nelayan di lokasi penelitian ini masih tergolong
skala kecil dengan berbagai permasalahan yang dihadapinya. Kehidupan
masyarakat pada 3 desa ini masih bersifat tradisional dan memiliki budaya yang
lebih mengagungkan orang yang lebih tua, dan sistem kekerabatan yang masih
kuat berdasarkan adat istiadat setempat. Gaya hidup yang cenderung tradisional
masih terlihat di Desa Bori. Dalam menjalankan kehidupannya, rata-rata
masyarakat pada 3 desa ini memiliki lahan kebun yang ditanami berbagai
tanaman. Tanaman yang sangat dominan di areal kebun masyarakat adalah kelapa,
yang dipanen dan diolah menjadi kopra setiap 4 bulan sekali. Untuk kebutuhan
makan setiap harinya, masyarakat 3 desa ini disamping membeli beras, sebagian
juga mengusahakan dari hasil dari kebun seperti sagu, pisang, singkong, ubi, dan
padi ladang. Untuk kebutuhan konsumsi ikan, masyarakat 3 desa dapat membeli
dari anggota masyarakat desa yang menangkap ikan, atau melakukan
penangkapan ikan sendiri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Dalam
sehari, jumlah tangkapan yang dicari hanya sebatas untuk dikonsumsi harian, dan
apabila lebih, dapat dijual kepada anggota masyarakat lainnya atau ke pedagang
pengumpul.
Aspek sosial lainnya yang menggambarkan karektersitik masyarakat
nelayan Kecamatan Kao Utara, yaitu umur, pendidikan dan pendapatan. Sebagian
besar nelayan di ke-3 desa berkisar antara 40- 60 tahun. Tingkat umur responden
54
mayoritas antara 40-60 tahun, menunjukan profesi di sektor perikanan sebagai
nelayan tidak menarik bagi kaum muda. Usaha perikanan yang memerlukan
modal dan resiko tinggi menyebabkan kaum muda di tiga desa tersebut lebih
memilih pekerjaan sebagai buruh di perkebunan, pelabuhan dan tukang ojek.
Salah satu permasalahan mendasar bagi pembangunan kelautan dan
perikanan, khususnya yang bergerak dalam skala mikro dan kecil adalah sulitnya
akses permodalan dari lembaga keuangan/perbankan formal. Akibatnya nelayan
seringkali terjerat oleh renteneer yang menawarkan pinjaman dengan cepat dan
mudah, namun diimbangi dengan tingkat bunga yang tinggi. Keterbatasan
permodalan ini diperburuk dengan sistem penjualan yang cenderung dimonopoli
oleh para tengkulak (Purna, 2000). Akibatnya nelayan kaum muda menganggap
bahwa profesi sebagai nelayan tidak menantang dan tidak menarik. Realitas
lingkaran kemiskinan nelayan yang mereka amati kaum muda juga diduga
menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sektor kelautan dan perikanan ini
menjadi tidak menarik.
Tingkat pendidikan tertinggi masyarakat nelayan (responden) adalah
tamatan SMA. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masih di tingkat
menengah ke bawah, bahkan banyak yang tidak sekolah. Kondisi ini
menggambarkan bahwa SDM di ketiga desa tersebut dapat digolongkan masih
rendah. Begitu banyaknya nelayan tidak sekolah, menunjukkan pendidikan bagi
ke tiga desa tersebut merupakan kebutuhan primer yang harus diperhatikan oleh
pemerintah. Pada kondisi dewasa ini, biaya yang dibutuhkan untuk bersekolah
pada tingkatan yang lebih tinggi memerlukan biaya cukup besar. Sehingga hal ini
bisa dipahami, mengingat rata-rata pendapatan responden di tiga desa lokasi
penelitian sangat rendah yaitu antara Rp.800.000.- hingga Rp.1.350.000.perbulan.
Secara
sosial-ekonomi-budaya
konsep
pembangunan
berkelanjutan
mensyaratkan, bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan
penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan
untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan tersebut, terutama
mereka yang ekonomi lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan
ekonomi wilayah itu sendiri. Untuk negara berkembang, seperti Indonesia, prinsip
55
ini sangat mendasar, karena banyak kerusakan lingkungan pesisir misalnya
penambangan batu karang, penebangan mangrove, penambangan pasir pantai dan
penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, berakar pada kemiskinan
dan tingkat pengetahuanyang rendah dari para pelakunya.
Faktor-faktor sosial budaya masyarakat nelayan yang berpengaruh
terhadap pelestarian kemampuan sumber daya perikanan laut antara lain adalah
sikap menyatu dengan alam atau pasrah, hal ini menyebabkan perkembangan
sumber daya perikanan tidak seimbang dengan pemanfaatan perikanan oleh
nelayan yang sebagian besar masih menggunakan alat tangkap bom ikan.
Sedangkan apabila menggunakan alat tangkap moderen dan sikap ingin
memanfaatkan sumber daya perikanan semaksimal mungkin, hal ini mungkin
akan menurunkan kemampuan sumber daya perikanan yang ada. Tindakan atau
kebijakan Pemerintah Daerah yang dibutuhkan oleh nelayan dan petani kecil guna
meningkatkan taraf hidup mereka tanpa merusak kemampuan dan kelestarian
sumber daya perikanan dan sumber daya alam lainnya di wilayah pantai adalah
melalui izin usaha perikanan yang diberikan kepada para pengusaha. Langkah
operasional Pemerintah Daerah untuk meningkatkan taraf hidup dan kualitas
sumber daya manusia dan untuk perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup
serta pemahaman nelayan dalam bidang usahanya adalah dilakukan dengan
penyuluhan-penyuluhan melalui tenaga lapangan yang ada (PPL Perikanan). Di
samping hal tersebut juga para nelayan disarankan untuk masuk menjadi anggota
Koperasi Unit Desa Perikanan. Keuntungannya adalah demi kelancaran
pemasaran dan stabilnya harga serta yang tak kalah pentingnya adalah para
nelayan dapat menikmati SHU (sisa hasil usaha) dalam bentuk uang yaitu pada
masa nelayan dalam keadaan paceklik.
5.1.3 Ekonomi masyarakat nelayan
Pendapatan masyarakat nelayan pada tiga desa lokasi penelitian tergantung
pada sistem perekonomian yang ada di Kecamatan Kao Utara. Keberadaan pasar
yang masih tradisional dan hanya dibuka 2 kali dalam satu minggu, menyebabkan
aktivitas jual beli masyarakat nelayan untuk menjual hasil tangkapan terbatas, dan
paling banyak terjual pada pedagang pengumpul (dibo-dibo) dengan harga yang
rendah. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada responden nelayan di 3 desa,
56
diperoleh gambaran bahwa pendapatan nelayan responden mayoritas Rp.300.000.sampai dengan Rp.600.000.- per bulan, yang diperoleh dari hasil penangkapan
ikan. Pendapatan ini juga ditunjang dengan pendapatan yang berasal dari hasilhasil perkebunan yang berkisar Rp.500.000.- sampai Rp.750.000.- per bulan. Jika
dijumlahkan, maka pendapatan masyarakat nelayan yang ada di ketiga desa
penelitian adalah sekitar Rp.800.000 - Rp.1.350.000.- per bulan. Besar
penghasilan masyarakat nelayan ini tergolong cukup apabila dihitung jumlah
pengeluaran nelayan per hari yaitu rata-rata sebanyak Rp.40.000.-. Sehingga total
pengeluaran masyarakat nelayan dapat berkisar Rp.1.200.000.-. Menghitung
pendapatan nelayan dan pengeluaran yang dilakukan oleh seorang nelayan,
terdapat selisih sebesar Rp.150.000.- per bulan. Jumlah kelebihan tersebut tidak
digunakan untuk ditabung, namun digunakan untuk membeli kebutuhan alat
tangkap (pancing ulur), seperti senar atau kait, dan kebutuhan keluarga lainnya,
serta biaya transportasi ke toko peralatan tangkap yang ada di ibukota kabupaten.
Lembaga-lembaga keuangan seperti bank yang belum ada di Kecamatan
Kao Utara, menyebabkan perputaran ekonomi di kecamatan ini lambat.
Rangsangan lembaga keuangan seperti koperasi-koperasi simpan pinjam, hanya
dilakukan untuk mencari keuntungan semata, tanpa keberpihakan kepada
masyarakat kecil, dengan menetapkan suku bunga pinjaman yang besar dan
memberatkan masyarakat nelayan, menyebabkan pendapatan masyarakat nelayan
tidak cukup untuk membiayai kebutuhan yang ada. Hal ini merupakan tanggung
jawab pemerintah yang harus diperhatikan sehingga kesejahteraan masyarakat
nelayan akan terpenuhi.
Peran lembaga perbankan dalam penyaluran kredit komersial untuk
membantu pemgembangan perikanan tangkap di Kecamatan Kao Utara mutlak
diperlukan. Namun demikian, akses nelayan terhadap perbankan di lokasi
penelitian ini masih terbatas karena mereka pada umumnya belum mengetahui
proses untuk memperoleh pinjaman, di samping agunan yang tidak ada sesuai
dengan yang disyaratkan oleh lembaga keuangan. Saleh (2004) mengemukakan
bahwa kecenderungan bank-bank umum mendanai sektor-sektor usaha yang
bergerak dalam bidang industri pengolahan hasil laut, serta pedagang besar hasil
laut, dan belum menyentuh pada nelayan secara individu. Hal ini disebabkan oleh
57
kebijakan prudential banking serta persyaratan pada pemberian kredit yang
ditetapkan oleh otoritas moneter, yang memberikan batasan gerak bagi perbankan
umum, untuk dapat menjangkau masyarakat miskin, khususnya masyarakat
miskin yang ada di daerah pesisir (Saleh, 2004).
Pembangunan wilayah pesisir pada umumnya dikaitkan dengan upaya
pengentasan kemiskinan nelayan yang kehidupannya tergantung pada usaha
perikanan. Sektor perikanan pada hakekatnya dapat dikembangkan sebagai
alternatif bagi perbaikan ekonomi masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan
merupakan salah satu dari sekian banyak golongan ekonomi lemah. Persoalan
tersebut harus diatasi dengan mendayagunakan segala potensi atau sumberdaya
yang tersedia yang ditunjang dengan penerapan strategi yang efektif. Strategi
yang efektif dapat dicapai melalui penggunaan teknologi, tenaga kerja intensif,
modal
dan
keterampilan
serta
pemberdayaan
kelembagaan
untuk
meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat miskin. Peraturan pemerintah
berisi tentang ketentuan-ketentuan dalam pengelolaan kawasan konservasi laut
daerah yang dilakukan secara terpadu, termasuk hal yang bersifat dilarang dan
diperbolehkan untuk dilakukan sanksi/denda, serta hal-hal khusus yang
menyangkut kawasan konservasi laut daerah.
5.2
Penggunaan bom dalam penangkapan ikan
Penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan pemboman ikan
merupakan praktek yang umum dilakukan serta dapat memberikan dampak
negatif bagi ekosistem terumbu karang. Nelayan selama ini selalu dianggap oleh
berbagai pihak lain sebagai perusak lingkungan, khususnya terumbu karang.
Beberapa jenis teknologi yang mereka gunakan untuk menangkap ikan tidak
ramah lingkungan atau merusak lingkungan (unfriendly technology), contohnya
adalah bom ikan, potassium sianida (Baker, 2004).
Fenomena yang banyak
menarik perhatian banyak pihak adalah nelayan pengguna bom ikan karena dua
alasan. Pertama, tingkat kerusakan yang ditimbulkan teknologi ini terhadap
terumbu karang sangat signifikan, dan kedua adalah meningkatnya jumlah
nelayan pengguna bom ikan ini bersamaan dengan masa krisis ekonomi Indonesia.
58
Kegiatan pengeboman ikan di perairan Kecamatan Kao Utara akan
berpengaruh terhadap degradasi ekosistem. Namun demikian, degradasi akibat
penggunaan bom ini perlu dikaji secara mendetail lagi. Menurut Indrapramana
(2010), degradasi ekosistim terumbu karang secara umum disebabkan oleh 2
faktor yaitu: faktor alami (antogenic causes) seperti bencana alam dan aktivitas
manusia (antrophogenic causes) baik secara langsung maupun tidak langsung.
Aktivitas manusia lainnya merusak terumbu karang dan ekosistim lainnya secara
langsung adalah penangkapan ikan tidak ramah lingkungan dengan menggunakan
bahan berbahaya seperti cyanida dan bahan peledak (bom) dapat menyebabkan
kematian hewan-hewan karang serta kerusakan secara fisik terumbu karang.
Penggunaan bahan peledak dan racun dalam penangkapan ikan menimbulkan
efek sampingan yang sangat besar. Selain rusaknya koloni karang yang ada
disekitar lokasi peledakan juga dapat menyebabkan kematian organisme lain
yang bukan merupakan target penangkapan.
Tingkat kerusakan karang bervariasi dan sangat tergantung pada jarak titik
ledakan (pusat ledakan) dari karang tersebut, bobot bahan peledak serta struktur
karang itu sendiri. Dalam hal ini jenis karang yang mempunyai struktur yang lebih
kuat, seperti golongan karang batu (stone coral) dan karang otak (brain coral)
mengalami tingkat kerusakan yang lebih ringan, seebaliknya karang yang
strukturnya rapuh seperti golongan karang cabang (branching coral) mengalami
tingkat kerusakan yang lebih parah (Subandi 2004).
Menurut Mann (2000), dampak aktivitas manusia yang penting terhadap
terumbu karang yaitu eurotrofikasi, potensi minyak, penambangan karang, serta
praktek perikanan yang merusak lingkungan. Selain itu pula ditambahkan oleh
Murdiyanto (2003), beberapa metode penangkapan ikan yang memberikan
dampak fisik terhadap terumbu karang seperti penggunaan pukat pantai, dan
penggunaan bahan peledak. Selain itu penangkapan ikan dengan bahan peledak
(dynamite) dan cyanide membuat ikan menjadi pingsan di koloni karang. Hal ini
mempunyai dampak yang sangat serius pada terumbu karang serta keduanya
merusak secara fisik terumbu karang dan mempengaruhi kesehatan karang dan
organisme lain yang berasosiasi dengan terumbu karang (Rosenberg, et al. 2004).
59
Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom di kawasan
perairan Kecamatan Kao Utara telah berlangsung cukup lama. Menurut informasi
yang diperoleh dari masyarakat bahwa aktivitas pengeboman dimulai kurang lebih
pada awal tahun 1980-an dan masih berlangsung sampai sekarang. Pengetahuan
tentang cara membuat dan menggunakan bom ikan diturunkan dari teman/orang
desa dan dari nelayan lain diluar desa. Kegiatan penangkapan ikan dengan
menggunakan bom telah menjadi kebiasaan nelayan di ke tiga desa tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa
aktivitas nelayan dalam mendapatkan hasil tangkapan dengan menggunakan bom
ikan di perairan Teluk Kao masih berlangsung sampai saat ini. Dari 60 responden
yang dipilih dalam penelitian ini menunjukkan bahwa 18,3 % aktivitas
penggunaan bom dalam penangkapan ikan di perairan Teluk Kao masih
berlangsung sampai saat ini. Penggunaan bom ini hanya merupakan kelengkapan
alat tangkap sampingan yang dimiliki oleh nelayan, karena alat tangkap lain yang
utama adalah pancing ulur. Pengoperasian alat penangkapan yang dapat merusak
lingkungan ini, menurut nelayan responden yang menggunakan, hanya dilakukan
sewaktu-waktu, disaat terdapat gerombolan ikan di atas terumbu karang, ataupun
di perairan dalam. Bom ini diperoleh dengan cara merakit sendiri, atau membeli
dari nelayan lain di desa setempat atau desa tetangga yang mempunyai keahlian
dalam membuat/merakit
bom ikan. Bahan baku pembuatan bom terdiri dari
botol/pipa bekas, diisi dengan mesiu yang diperoleh dengan mudah dari dasar
perairan Teluk Kao dimana masih banyak terdapat bom bekas peninggalan perang
dunia kedua yang dibuang ke dasar laut. Bom-bom bekas perang tersebut dicari
oleh beberapa nelayan yang melakukan penyelaman ke dasar perairan Teluk Kao
menggunakan air compressor, kemudian dibuka di tempat-tempat yang
tersembunyi dan diambil isinya (mesiu). Mesiu yang telah ditemukan, kemudian
dirakit menjadi bom ikan, atau dijual kepada nelayan lain yang juga merakit bom
sendiri. Harga per kilogram mesiu yang dijual Rp.50.000 – Rp.100.000.- dapat
digunakan untuk membuat bom ikan 3 – 4 buah. Satu buah bom apabila
dioperasikan dapat memberikan hasil tangkapan sebesar 10 kali lipat dari hasil
dengan pancing ulur.
60
Pengoperasian bom ikan dalam penangkapan ikan, dilakukan secara
tersembunyi, atau dilakukan pada saat menemukan gerombolan ikan. Walaupun
terdapat nelayan lain yang ada di sekitarnya, pengoperasiannya tetap dapat
dilakukan, karena nelayan lain juga akan turut terlibat dalam pengumpulan hasil
tangkapan. Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar nelayan yang
melakukan pengeboman sadar dan tahu bahwa pengoperasian alat tangkap ini
adalah tindak pidana yang dapat menyeret pelaku ke penjara. Namun tidak adanya
pengawasan dari pihak instansi terkait menyebabkan praktek ini leluasa digunakan
oleh nelayan setempat. Pengalaman yang cukup lama menggunakan bom dalam
penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan, menyebabkan nelayan dapat
meminimalisir resiko yang mungkin timbul seperti cacat dan kematian.
Menghentikan kebiasaan penangkapan ikan menggunakan bom ini, sangat
sulit. Kebijakan yang ditempuh aparat keamanan (Polsek Kao) untuk mengawasi
perairan telah dilakukan dengan membangun 1 pos polisi di Desa Daru (Ibukota
Kecamatan Kao Utara), namun personil yang ditempatkan hanya 1 orang. Hal ini
tentunya sangat sulit untuk melakukan pengawasan terhadap perairan yang luas
dan perdagangan hasil tangkapan nelayan sangat terbatas. Kebijakan instansiinstansi pemerintah seperti DKP, Kantor Kecamatan dan Kantor Kepala Desa
belum terkoordinasi dengan baik menyebabkan pengawasan terhadap praktekpraktek penggunaan bom yang merusak ini dapat dilakukan dengan leluasa.
Alternatif kebijakan yang perlu ditempuh adalah dengan mengadakan koordinasi
secara bersama-sama antara instansi pemerintah, masyarakat, kepolisian untuk
menentukan solusi yang tepat sehingga kegiatan pengeboman yang dilakukan
masyarakat akan semakin berkurang. Selain itu penyuluhan yang terkait dengan
dampak negatif yang ditimbulkan kegiatan pengeboman ikan ini juga perlu
disosialisasikan kepada nelayan.
5.3
Faktor Determinan Penggunaan Bom Ikan
Hasil analisis regresi linier berganda pada setiap variabel bebas pada taraf
< 5%, menunjukkan bahwa, variabel tunggal yang memberikan sumbangan
nyata/signifikan di ke-3 desa lokasi penelitian terhadap perubahan Y adalah
variabel
pendidikan. Artinya bahwa, semakin tinggi pendidikan, semakin
berkurang aktivitas penangkapan dengan bom, sedangkan untuk umur dan
61
pendapatan tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Hal ini bisa dipahami,
tingkat pendidikan akan membuka wawasan dalam berpikir dan menganalisis
resiko tinggi dari penggunaan bom. Sedangkan umur yang lebih tua memberikan
kemampuan bagi seorang nelayan untuk lebih berpengalaman menggunakan bom
dalam kegiatan penangkapan yang dilakukan, dan tingkat pendapatan yang rendah
untuk memenuhi kebutuhan hidup, dapat menyebabkan seorang nelayan
menggunakan bom dalam penangkapan ikan. Program lain yang berhubungan
dengan konservasi dan rehabilitasi lingkungan hidup adalah pembuatan karang
buatan, penanaman kembali bakau, konservasi kawasan laut dengan jenis ikan
tertentu serta penegakan hukum terhadap kegiatan penangkapan ikan dengan
menggunakan bom, racun, dan alat tangkap lainnya yang bersifat destruktif adalah
program-program pembangunan yang secara tidak langsung akan mempengaruhi
kesejahteraan nelayan.
Faktor yang dapat mempengaruhi tingkat aktivitas penggunaan bom ikan
pada penelitian ini adalah tingkat pendidikan. Dalam arti bahwa tingkat
pendidikan yang semakin tinggi ternyata dapat mengurangi kegiatan pengeboman
ikan. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah perlu menggalakkan wajib belajar 9
tahun, bahkan mendorong agar masyarakat nelayan khususnya dapat memperoleh
tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini tidak hanya dimaksudkan untuk
meningkatkan kesadaran dan menambah wawasan masyarakat terhadap bahaya
yang ditimbulkan pengeboman ikan dan praktek-praktek penangkapan ikan yang
destruktif lainnya. Namun, dengan tingkat pendidikan yang lebih baik, maka
mereka dapat turut serta berperan aktif dalam pengelolaan potensi sumberdaya
lokal, termasuk perikanan.
5.4
Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan
Praktek penangkapan ikan tidak ramah lingkungan yang menggunakan
bahan peledak (bom) dan racun (bius) makin marak dilakukan di perairan
Indonesia. Praktek semacam ini selain menimbulkan dampak kerugian ekologi,
juga menimbulkan dampak social ekonomi yang memprihatinkan terutama akibat
menurunnya produktifitas terumbu karang. Jika hal ini berlangsung lama maka
akan berpengaruh terhadap biota laut.
62
Agar keberlanjutan sumberdaya dapat dipertahankan, maka aktivitas
manusia (antrophogenic causes) yang baik secara langsung maupun tidak
langsung berpotensi merusak keberlanjutan sumberdaya ekosistem terumbu
karang
mestinya
diminimalisasi,
salah
satunya
adalah
penanggulangan
penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak.
Penggunaan bom dalam kegiatan penangkapan ikan di Kecamatan Kao
Utara adalah kegiatan yang destruktif dan dapat merusak lingkungan perairan
yang ada. Keberadaan potensi sumberdaya ikan yang menjadi aset Kabupaten
Halmahera Utara dapat hancur dan punah. Oleh karena itu, penggunaan bom
dalam kegiatan penangkapan ikan di perairan Kecamatan Kao utara harus perlu
untuk ditangani secara serius, agar potensi potensi sumberdaya ikan yang ada
dapat lestari dan dapat dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya. Dalam upaya
meminimalisasi penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dengan
menggunakan bahan peledak (bom) dan racun (sianida) khususnya adalah
(Indrapramana, 2010):
(1)
Pengembangan mata pencaharian
Masyarakat pesisir (nelayan) dikategorikan masih miskin memiliki tingkat
pendidikan yang sangat rendah. Perilaku masyarakat yang cenderung
destruktif sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi (kemiskinan) dalam
memenuhi kebutuhannya dan diperparah dengan sifat keserakahan dalam
mendapatkan hasil yang maksimal walaupun ditempuh dengan cara-cara
yang
merugikan karena bukan saja merusak lingkungan, akan tetapi
memutuskan rantai mata pencaharian anak cucu. Faktor rendahnya tingkat
pendidikan juga mempengaruhi perilaku masyarakat tersebut. Dengan
adanya
alternatif
mata
pencaharian
tambahan
diharapkan
dapat
memberikan nilai tambah sehingga masyarakat nelayan destruktif akan
berkurang.
(2)
Penegakkan hukum
Beberapa kasus penggunaan bom dalam penangkapan ikan yang tidak
dapat diselesaikan dengan baik, tuntas, dan transparan memicu perobahan
perilaku
masyarakat
(nelayan).
Ketidakpuasan
masyarakat
akibat
63
penanganan pelanggaran tersebut semestinya diperbaiki dimulai dari
aparat penegak hukum yang terkait dalam masalah ini.
(3)
Pendidikan dan penyadaran tentang lingkungan
Masyarakat (nelayan) yang terindikasi sebagai pelaku penangkapan ikan
dengan merusak lingkungan memiliki tingkat pendidikan yang rendah
sehingga pengetahuan tentang pentingnya ekosistem terumbu karang
terbatas. Dengan pendidikan dan penyadaran tentang lingkungan tersebut
dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya, workshop, studi banding
dapat lebih ditingkatkan sehingga masyarakat dapat memahami pentingnya
ekosistim lingkungan bagi kesejahteraan manusia.
(4)
Pengaturan waktu, jumlah ukuran, dan wilayah tangkap
Dibeberapa daerah lokasi pengaturan waktu, jumlah, ukuran, dan wilayah
tangkap sudah dikembangkan. Namun, di beberapa daerah lain mengalami
kesulitan. Hal ini disebabkan karena terbatasnya penelitian/kajian aspek
dari terumbu karang dan komunitas masyarakat pesisir (nelayan) serta
sumberdaya manusia pelaksana maupun pelaku kebijakan yang masih
terbatas.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan Willkinson dan
Buddemeier, diacu dalam Hartati 2005, besarnya kerusakkan terumbu karang
berdampak buruk terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya dari orangorang yang hidup secara harmonis dan bergantung pada ekosistem tersebut untuk
kebutuhan rekreasi, pengamanan, material dan pendapatan. Hal ini menunjukkan
bahwa, kegiatan-kegiatan yang sifatnya merusak lingkungan perairan seperti
penggunaan bom akan mengancam kelestarian sumberdaya ikan.
Penggunaan bom ikan melanggar undang-undang khususnya pasal 84 UU
No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Faktor undang-undang bersifat mendukung
(dengan adanya UU No. 311 tahun 2004). Faktor sarana dan prasarana bersifat
menghambat karena terbatasnya sarana dan prasarana yang ada. Faktor penegak
hukum menjadi penghambat karena adanya laporan mengenai keterlibatan
anggota dalam menampung ikan hasil dari tangkapan dengan menggunakan bom
ikan. Faktor masyarakat bersifat menghambat karena masih menempuh jalan
pintas yang melanggar hukum, sedangkan masyarakat non pelaku kurang
64
diberdayakan oleh jajaran kepolisian Faktor budaya menjadi pendukung karena
tidak membenarkan adanya upaya pengrusakan lingkungan yang diakibatkan
penggunaan bom ikan. http://125.161.190.253/lontar//file?file=digital/skripsi/4707-142.pdf
Sangat ironis, bahwa sebagian besar nelayan kita masih hidup dalam
kemiskinan. Sementara itu stok ikan semakin menipis, penangkapan ikan dengan
cara-cara destruktif seperti penggunaan bom dan racun sianida masih banyak
terjadi dimana-mana, ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove
telah banyak yang mengalami kerusakan, dan pencemaran telah melanda perairan
pesisir yang mengancam keberlanjutan usaha perikanan. Perikanan liar atau
pencurian ikan oleh nelayan asing juga belum dapat dikendalikan secukupnya.
Selain itu, aspek hukum dan penegakan hukum di laut juga masih menghadapi
berbagai kendala. Kesemua ini mengindikasikan diperlukannya pola perikanan
yang kuat. (Marhaeni.R.S, 2010).
Aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom)
dan racun (cyanida) sangat jarang dilaporkan oleh masyarakat kepada instansi
terkait mengingat kegiatan tersebut dilakukan di area laut yang jarang dilalui oleh
transportasi laut, sedangkan nelayan sendiri sangat kecil kemungkinannya untuk
melaporkan kepada sesama nelayan. Luasnya area laut yang harus diawasi dan
terbatasnya sarana dan prasarana dalam pengelolaan penanggulangan penggunaan
bom ikan. Oleh sebab itu dalam penanggulangan masalah ini, penyidik sebagai
salah satu garda terdepan harus bertindak proaktif dengan tidak hanya menunggu
laporan dari masyarakat atau hanya melakukan patroli secara terbatas tetapi
dengan menerapkan teknik-teknik penyelidikan yang efektif dan murah. Langkahlangkah efektif dimaksud meliputi:
(1)
Melakukan identifikasi terhadap karakteristik (ciri khas) perahu/kapal
yang digunakan dalam pengeboman ikan. Kapal yang digunakan untuk
kegiatan ini umumnya mempunyai wadah tertutup yang kedap air dan diisi
dengan es dalam jumlah banyak yang fungsinya untuk mengawetkan ikan
hasil tangkapan;
(2)
Melakukan identifikasi terhadap alat-alat pendukung yang biasa dibawa
oleh kapal/perahu pelaku pengeboman ikan. Selain menggunakan
65
kapal/perahu dengan rancangan khusus, para pelaku juga membawa
peralatan tambahan seperti: jarring, pancing dan lain-lain untuk
penyamaran. Kapal ini juga dilengkapi dengan kompresor tabung udara
yang natinya digunakan untuk penyelaman untuk mengumpulkan hasil
tangkapan;
(3)
Melakukan pemeriksaan/sampling berkala trehadap hasil tangkapan
Sampling ikan mati dapat dilakukan di perahu/kapal nelayan yang
sementara menangkap atau membawa ikan pada tempat-tempat ikan
didaratkan seperti tempat pendaratan ikan (TPI), atau pelabuhan
pendaratan ikan (PPI);
(4)
Menelusuri jaringan pelaku pengeboman ikan dan jaringan pengedar
bahan berbahaya. Apabila terbukti ikan-ikan yang disampling tersebut
terbukti ditangkap dengan menggunakan bom ikan maka penyidik dapat
menelusuri jaringan pelaku dengan melakukan pengusutan secara berantai
mulai dari pemilik terakhir ikan yang disita oleh penyidik (ikan yang
disampling).
Mengembangkan mata pencaharian alternatif di Kecamatan Kao Utara
merupakan hal yang perlu dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa sumberdaya
pesisir secara umum dan sumberdaya perikanan tangkap secara khusus telah
banyak mengalami tekanan dan degradasi. Namun salah satu alasan yang
mendasar dan perlu dikaji yaitu status sumberdaya perikanan yang bersifat akses
terbuka. Menanggapi hal ini maka pengembangan mata pencaharian alternatif
bagi nelayan merupakan suatu keharusan yang perlu dilakukan. Pengembangan
mata pencaharian bukan saja dalam bidang perikanan seperti pengolahan,
pemasaran, budidaya perikanan tetapi patut diarahkan ke bidang non perikanan
(Nikijuluw V.P.H, 2007). Selanjutnya ditambahkan oleh Smith (1983)
beragumentasi bahwa bila kondisi akses terbuka masih terjadi maka apapun
kesejahteraan yang dilakukan baik pada kegiatan penangkapan ikan maupun pada
kegiatan yang berkaitan seperti pengolahan dan pemasaran ikan tidak akan
memberikan hasil peningkatan kesejahteraan nelayan
Degradasi terumbu karang di perairan pesisir disebabkan oleh berbagai
aktivitas manusia, di antaranya pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebagai
66
sumber pangan (ikan-ikan karang), sumber bahan bangunan (galian karang),
komoditas perdagangan (ikan hias), dan obyek wisata (keindahan dan
keanekaragaman hayati). Degradasi terumbu karang akibat pemanfaatannya
sebagai sumber pangan maupun ikan hias sebagian besar dikarenakan oleh
penggunaan bahan peledak, tablet potas dan sianida. Kenyataan ini dapat dijumpai
di banyak lokasi terumbu karang, berupa karang-karang yang rusak secara fisik
dalam formasi berbentuk cekungan. Selain itu degradasi terumbu karang terjadi
sebagai akibat kegiatan penambangan/penggalian karang untuk kepentingan
konstruksi jalan atau bangunan
Selanjutnya ditambahkan oleh Monintja (2001) bahwa pengelolaan
perikanan tangkap yang sukses haruslah menunjukkan karakteristik usaha
penangkapan yang berkelanjutan :
(1)
Proses penangkapan ramah lingkungan, yaitu : hasil tangkapan sampingan
(by catch minimum), hasil tangkapan terbuang minim, tidak membahayakan
keanekaragaman hayati, tidak menangkap jenis ikan yang dilindungi, tidak
membahayakan habitat, tidak membahayakan kelestarian sumberdaya ikan
target, tidak membahayakan keselamatan dan kesehatan nelayan, dan
memenuhi ketentuan Code of Conduct for Responsible Fisheries
(2)
Volume produksi tidak berfluktuasi drastis (suplai tetap)
(3)
Pasar (buyers) tetap/terjamin
(4)
Usaha penangkapan masih menguntungkan
(5)
Tidak menimbulkan friksi sosial
(6)
Memenuhi persyaratan legal.
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan
Kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah:
(1)
Alasan utama nelayan menggunakan bom dalam kegiatan penangkapan
ikan di Kecamatan Kao utara adalah untuk meningkatkan pendapatan
dalam memenuhi kebutuhan keluarga.
(2)
Faktor-faktor yang mempengaruhi nelayan menggunakan bom di
Kecamatan Kao Utara adalah pengalaman merakit dan menggunakan bom
yang tinggi, dan mudahnya memperoleh bahan pembuatan bom ikan.
(3)
Tingkat pendidikan nelayan yang semakin tinggi berpengaruh nyata
terhadap berkurangnya penggunaan bom dalam kegiatan penangkapan
ikan di perairan Kecamatan Kao Utara.
6.2
Saran
Beberapa hal yang perlu disarankan pada penelitian ini adalah :
(1)
Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Utara, perlu melakukan
penegasan dalam bentuk peraturan daerah, dan melakukan koordinasi di
antara stakeholders terkait dalam pengawasan areal perairan
(2)
Program wajib belajar 9 tahun perlu ditingkatkan, untuk memperkecil
jumlah anggota masyarakat yang tidak bersekolah dan sekaligus untuk
meningkatkan kesadaran dan wawasan masyarakat akan dampak negatif
yang ditimbulkan oleh kegiatan pengeboman ikan.
(3)
Upaya menumbuhkan kesadaran nelayan atas dampak yang timbul dari
penggunaan alat penangkapan ikan destruktif perlu diimbangi dengan
melibatkan mereka dalam kegiatan menjaga kelestarian lingkungannya
sendiri.
(4)
Penggunaan bom ikan dalam aktifitas penangkapan ikan di perairan, dapat
mengancam kelestarian lingkungan laut, sehingga semua stakeholders
perlu disadarkan untuk tidak menggunakan bom dalam kegiatan
penangkapan ikan.
68
DAFTAR PUSTAKA
[Ditjen] Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. DKP. 2005. Definisi dan
Klasifikasi Statistik Perikanan Tangkap. Jakarta: Departemen
Kelautan dan Perikanan. 50 hlm.
______, 2002, Konflik Sosial Nelayan, LKiS, Yogyakarta.
Anonimous. 2008. Lempar bom “Bismillah” lalu kita aturlah.. http://www.
panyingkul.com/ view.php?id=697&jenis=berandakita.
Anonimous. 2007. Dokumen Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya
Kelautan Dan Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Anonimous. 2007. Penangkapan ikan pakai bom berpotensi rugikan Indonesia
US6 juta: http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/agribisnis/id
30666.html
Anonimous. 2008. Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Halmahera Utara.
Anonimous. 1993. Global Marine Biolgical Diversity: A strategy for Building
Conservation into Decision Making. Edited by Norse. E.A. Island
Press, Washington DC. Covelo, California. Page 87-154.
Antariksa, B. S. 1999. Potensi dan Kendala dalam Pengelolaan Terumbu Karang :
Pedoman untuk Intervensi Pengelolaan Berbasis masyarakat (Situs
Bunaken, Kecamatan Molas, Kotamadya Manado, Sulawesi Utara).
Jakarta: LIPI. 96 hlm.
Baker, R. F., P.J. Blanchfield, M.J. Paterson, R.J. Flett, & L. Wesson. 2004.
Evaluation of nonlethal methods for the analysis of mercury in fish tissue.
Transac. Am. Fish. Soc. 133: 568-576.
Boeke, J. H. 1983. Prakapitalisme di asia. Jakarta: Sinar Harapan
Dahuri, R. 1999. Permasalahan Pengelolaan Lingkungan Kawasan Pesisir. 21
hlm.
Dahuri, R. 2000. Strategi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Provinsi
Daerah Istimewa Aceh, Makalah, disampaikan pada Tanggal 17 Juni
2000, Banda Aceh.
David, F. R. 2002. Manajemen Strategis: Konsep. Ed Ke-7. Jakarta: Prenhallindo.
Djamali, A. M., Mudjiona., H. Darsono Aziz., P. Asan., O. Sumadhiharga. 1998.
Sumberdaya Moluska dan Teripang. dalam Potensi dan Penyebaran
SDI Laut di Perairan Indonesia. hal 156-162.
De Jonge, H. 1977. Some Thought on Enterprennur in Maduranesse Country.
69
Erdmann, M. A. 2004. Panduan Sejarah Ekologi Taman Nasional Komodo. The
Nature Conservancy.
Halim, A. 2003. Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Makalah, disampaikan dalam Rakornis Bapedalda SeProvinsi NAD, Banda Aceh.
Hartati, T. H. 2005. Komunitas Ikan Karang di Perairan Pantai Pulau Rakiti dan
Pulau Taikabo, Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia. ISSN 0853-5884. hal 88.
Hermanto. 1986. Analisis Pendapatan dan Pencurahan Tenaga Kerja Nelayan di
Desa Pantai (Studi Kasus di Muncar Bayuwangi). Bogor. Departemen
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat
Penelitian Agroekonomi.
Indrapramana, H. 2010. Pengungkapan Kasus Bahan Peledak dalam Penangkapan
Ikan di Wilayah Perairan Teluk Tomini Gorontalo. http://125.161.190.
253/lontar//file?file= digital/skripsi/47-07-142.pdf
Kusnadi. 2003. Akar Kemiskinan Nelayan, LkiS, Yogyakarta.
Maan, K.H. 2000. Ecology of Social Coastal Waters. With Implication for
Management. Second.Edition Blockwell Science.
Marhaeni, R. S. 2010. Hukum Perikanan nasional dan Internasional.Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama. 273 hal. ISBN.978-979-22-6295-7
Merta, I. G. S., S. Nurhakim, dan J. Widodo. 1998. Sumberdaya Perikanan Pelagis
Kecil dalam Potensi dan Penyebaran SDI Laut di Perairan Indonesia.
hal 89-96
Monintja, D. 2001. Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam bidang Perikanan
Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu.
Bogor 29 oktober- 3 Nopember 2001
Mubyarto., Loekman Sutrisno., Michael Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan:
Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai, Rajawali, Jakarta.
Muhsin, I. 1994. Pengentasan Kemiskinan di Sub Sektor Perikanan. Jurnal Ilmuilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. ISSN 0854-3194. hal 95.
Mukhtar. 2007. Destructive Fishing Di Perairan Propinsi Sulawesi Tenggara.
Makalah (tidak dipublikasikan).
Mukhtar. 2008. Ketentuan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan yang Dibolehkan
dan Dilarang. [email protected] Blog : http://mukhtarapi.
blogspot.com
Mulyanto. 1995. Dasar-dasar Pengelolaan Sumberdaya Perairan. Sekolah Tinggi
Perikanan Jakarta. 121 hal.
Murdiyanto, B. 2003 Mengenal, Memelihara, dan Melestarikan Ekosistim
Terumbu Karang. Proyek Pemberdayaan Masyarakat Pantai dan
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Departemen Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia. Jakarta.
70
Naamin, N. 1991. Petunjuk Teknis Pengelolaan Perairan Laut dan Pantai Bagi
Pembangunan Perikanan. Seri Pengembangan Hasil Penelitian
Perikanan No. PHP/KAN/PT.19/1991. Puslitbang Perikanan Jakarta.
80 hal.
Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 250 hlm.
Nikijuluw, V. P. H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. P3R dan
PT. Pustaka Cidesindo. Jak-sel. 254 hal.
Nikijuluw, V. P. H. 2007. Populasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir serta
Strategi Pemberdayaan mereka dalam Konteks Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir Terpadu.
Purna, Ibnu. 2004. Menuju Sektor Kelautan dan Perikanan Berbasis Ekonomi
Kerakyatan. Proceeding Seminar Nasional ”Strategi Pengembangan
Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Berbasis Ekonomi Kerakyatan”.
hal 73-81
Saleh, J. 2004. Peranan Sektor Perbankan dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan
dan Mendukung Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Melalui Program
Ekonomi Kerakyatan. Proceeding Seminar Nasional ”Strategi
Pengembangan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Berbasis
Ekonomi Kerakyatan”. hal 82-89.
Sari, T. Ersti Yulika. 2004. Mengapa Nelayan Miskin ? (Suatu Tinjauan
Permasalahan). Institut Pertanian Bogor (Makalah Falsafah Sains).
Subandi, N. 2004. Pengembangan Metode Penyidikan Ilmiah untuk Pembuktian
Kasus-Kasus Penangkapan Ikan dengan Bahan Peledak dan Sianida.
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Subani, W. dan H. R. Bares. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang laut di
Indonesia. Jurnal Penelitian Perkanan Laut. ISSN 0216-7727. hal 201.
Suharyanto. 2005. Kinerja Manajemen Perikanan di Perairan Kota Tegal dalam
Perspektif Otonomi Daerah. Jurnal Teknologi Perikanan dan
Kelautan. ISSN 0853-3989. hal 34.
Suharyanto. 2006. Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk Lawelle Kabupaten
Buton Sulawesi Tenggara. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan. ISSN
0853-4489. hal 102.
Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004. Tentang Perikanan. Sekretariat Jenderal
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 35 hal.
Zaelany, A. A. 2002. Becoming The Fish-Bomb Fisherman as an Adaptaion
Strategy in Economic Crisis Period: Case Study of Pulau Karang,
Indonesia. Present in SEAG seminar 14-18 October 2002. Hanoi.
Vietnam.
71
Lampiran 1 Peta Kabupaten Halmahera Utara dan wilayah-wilayah
kecamatan, serta lokasi penelitian
72
Lampiran 2 Hasil analisis regresi linier berganda menggunakan program
SPSS 17 pada nilai kategori umur, pendidikan dan pendapatan di
Desa Doro
Model Summary
Model
R
1
.994
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
R Square
a
.988
.986
.16049
a. Predictors: (Constant), Pendapatan, Pendidikan, Umur
Model Summary
Change Statistics
R Square
Model
Change
1
F Change
.988
df1
445.017
df2
3
Sig. F Change
16
.000
b
ANOVA
Model
1
Sum of Squares
Regression
Residual
Total
df
Mean Square
F
34.388
3
11.463
.412
16
.026
34.800
19
Sig.
445.017
.000
a
a. Predictors: (Constant), Pendapatan, Pendidikan, Umur
b. Dependent Variable: Aktifitas
Coefficients
a
Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1
B
(Constant)
Std. Error
.245
.189
-.108
.057
Pendidikan
.804
Pendapatan
.016
Umur
a. Dependent Variable: Aktifitas
Coefficients
Beta
t
Sig.
1.302
.211
-.093
-1.892
.077
.035
1.070
22.959
.000
.049
.010
.334
.743
73
Lampiran 3 Hasil analisis regresi linier berganda menggunakan program
SPSS17 pada nilai kategori umur, pendidikan dan pendapatan di
Desa Bori
Model Summary
Model
R
1
.991
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
R Square
a
.982
.979
.20445
a. Predictors: (Constant), Pendapatan, Umur, Pendidikan
Model Summary
Change Statistics
R Square
Model
Change
1
F Change
.982
df1
289.328
df2
3
Sig. F Change
16
.000
b
ANOVA
Model
1
Sum of Squares
Regression
Residual
Total
df
Mean Square
F
36.281
3
12.094
.669
16
.042
36.950
19
Sig.
289.328
.000
a
a. Predictors: (Constant), Pendapatan, Umur, Pendidikan
b. Dependent Variable: Aktifitas
Coefficients
a
Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1
B
Std. Error
(Constant)
.480
.200
Umur
.167
.059
Pendidikan
.746
Pendapatan
-.225
a. Dependent Variable: Aktifitas
Coefficients
Beta
t
Sig.
2.398
.029
.126
2.835
.012
.048
1.034
15.554
.000
.119
-.137
-1.883
.078
74
Lampiran 4 Hasil analisis regresi linier berganda menggunakan program
SPSS 17 pada nilai kategori umur, pendidikan dan pendapatan di
Desa Pediwang
Model Summary
Model
R
1
.752
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
R Square
a
.565
.483
.85995
a. Predictors: (Constant), Pendapatan, Pendidikan, Umur
Model Summary
Change Statistics
R Square
Model
Change
1
F Change
.565
df1
6.927
df2
3
Sig. F Change
16
.003
b
ANOVA
Model
1
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Regression
15.368
3
5.123
Residual
11.832
16
.740
Total
27.200
19
Sig.
a
6.927
.003
t
Sig.
a. Predictors: (Constant), Pendapatan, Pendidikan, Umur
b. Dependent Variable: Aktifitas
Coefficients
a
Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1
B
(Constant)
Std. Error
1.142
1.252
Umur
.028
.339
Pendidikan
.632
Pendapatan
-.357
a. Dependent Variable: Aktifitas
Coefficients
Beta
.912
.375
.022
.084
.934
.207
.747
3.050
.008
.364
-.222
-.981
.341
75
Lampiran 5 Gambar bom ikan, kegiatan nelayan dan perahu di Kecamatan Kao
Utara
76
Lampiran 5 (lanjutan)
77
Lampiran 5 (lanjutan)
Download