BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cedera Kepala Cedera kepala

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cedera Kepala
Cedera kepala adalah jejas atau perlukaan jaringan otak bukan
karena proses degeneratif atau bawaan lahir, melainkan akibat dorongan
dari luar yang dapat mengakibatkan penurunan ataupun perubahan status
kesadaran (National Head Injury Foundation, 1985). Berdasarkan
patofisiologi ini, cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi
1. Komosio serebri
Komosio serebri adalah kehilangan fungsi otak sesaat tanpa adanya
kerusakan jaringan otak, seperti pingsan kurang dari 10 menit atau
amnesia pascacedera kepala.
2. Kontusio serebri
Kontusio serebri adalah kerusakan jaringan otak dengan defisit
neurologik yang timbul setara dengan kerusakan otak tersebut, seperti
pingsan lebih atau sama dengan 10 menit atau ada lesi neurologis
yang jelas.
3. Laserasi otak
Laserasi otak adalah kerusakan jaringan otak yang luas disertai
dengan robekan jaringan otak dan umumnya disertai fraktur terbuka
kranium.
Cedera kepala menyebabkan kematian neuron secara langsung
melalui mekanisme disrupsi jaringan otak (cedera primer) atau secara
Universitas Sumatera Utara
tidak langsung melalui mekanisme sekunder (Maas et al., 2000).
Mekanisme ini secara konseptual terbagi menjadi dua, yaitu secondary
brain insult dan secondary brain damage. Secondary brain insult timbul
akibat dari perburukan sistemik dan intrakranial yang memperberat
kerusakan neuron setelah cedera kepala primer. Gejala yang timbul pada
keadaan ini adalah systemic secondary insult dan intrakranial secondary
insult (Teasdale, 1998; Maas et al., 2000). Secondary brain damage
adalah cedera kepala sekunder yang terjadi setelah aktivasi langsung
proses imunologi dan biokimia yang merusak dan menyebar secara ritmik.
Mediator biokima dan inflamasi pada cedera ini terdiri atas asidosis laktat,
kalsium, asam amino eksitatorik, asam arakhidonat, nitric oxide (NO),
radikal bebas, peroksidasi lipid, aktivasi kaskade komplemen, sitokin,
bradikinin, makrofag, dan pembentukan edema serebri (Hsu et al., 1995;
Kossman, 2002; Lezlinger et al., 2001; McIntosh et al., 1999; Maas et al.,
2000; Teasdale, 1998).
2.1.1 Edema serebri
Cedera kepala karena iskemia adalah keadaan lanjutan dari kontusio
primer jaringan otak. Iskemia dapat berlanjut menjadi edema vasogenik
karena terbukanya sawar darah otak (SDO) dan edema sitotoksik yang
karena adanya pembengkakan astrosit (Blumbergs, 2005). Efek dari
sekuel cedera kepala ini biasanya lebih besar dari pada cedera itu sendiri.
Lebih dari itu, peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi merupakan
penentu utama keadaan klinis individu (Ghajar, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Cedera kepala dapat memicu terjadinya berbagai mekanisme
sehingga menyebabkan perlukaan sekunder yaitu edema serebri (Cooper,
1985). Edema serebri adalah peningkatan akumulasi cairan otak
intraselular dan atau ekstraselular (Klatzo, 1967). Keadaan ini ditandai
dengan pembengkakan jaringan otak sesuai dengan peningkatan
progresif kadar cairan otak yang dapat terjadi karena iskemia (Ribeiro et
al., 2006), trauma (Zador et al., 2007), tumor (Saadoun et al., 2002), dan
inflamasi (Papadopoulos dan Verkman, 2005). Terbatasnya rongga
kranium dan pembengkakan progresif jaringan otak mengakibatkan
peningkatan tekanan intrakranial (TIK), penurunan aliran darah ke otak,
herniasi serebri, dan bahkan kematian. Berdasarkan mekanismenya,
Klatzo membagi edema serebri menjadi dua kategori, yaitu edema
sitotoksik atau intraselular dan edema vasogenik atau ekstraselular.
Keduanya dapat diketahui dengan rinci melalui studi mikroskopik dan
ultrastruktural. Pengukuran kadar cairan jaringan melalui pencitraan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat membedakan edema sitotoksik
dan edema vasogenik (Klatzo, 1967).
Edema
sitotoksik
adalah
akumulasi
cairan
di
kompartemen
intraselular (Klatzo, 1967) neuron, mikroglia, dan astrosit (Unterberg et al.,
2004). Edema sitotoksik berhubungan dengan kegagalan pompa Na/K
ATP-dependent yang berhubungan dengan energi. Kegagalan asupan
energi jaringan
memengaruhi
otak yang terjadi
kinerja
pompa
Na/K
pada keadaan
ATP-dependent.
iskemia dapat
Keadaan
ini
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan terganggunya pertukaran ion intrasel dan ekstrasel,
sehingga osmolalitas intrasel meningkat dan cairan akan masuk ke dalam
sel dan kemudian menimbulkan gangguan intrasel. Oleh karena itu,
edema sitotoksik disebut juga edema ionik. Pada keadaan tertentu, bila
cairan yang terakumulasi sangat banyak, dapat terjadi ruptur membran sel
dan cairan keluar ke kompartemen ekstraselular (Marmarou et al., 2000).
Meskipun edema sitotoksik lebih sering terjadi dibandingkan dengan
edema vasogenik, pada akhirnya keduanya dapat meningkatkan TIK dan
berlanjutnya iskemia (Marmarou et al., 2006). Adakalanya edema
sitotoksik tidak menimbulkan peningkatan cairan jaringan otak atau
pembengkakan dan peningkatan TIK, tetapi kerusakan dan kematian sel
yang terjadi berhubungan dengan kerusakan jaringan otak (Donkin dan
Vink, 2010).
Universitas Sumatera Utara
(A)
(B)
(C)
Gambar 2.1 Ilustrasi keadaan Sel Normal (A); Edema Sitotoksik (B),
Edema Vasogenik (C) (Donkin dan Vink, 2010)
Edema vasogenik adalah peningkatan cairan esktrasel yang terjadi
karena kebocoran SDO. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan osmotik
dan cairan ke luar dari pembuluh darah dan kemudian masuk ke dalam
kompartemen ekstraselular. Cairan intravaskular ini keluar melalui endotel
dengan mekanisme pinositosis dan atau tight junction yang bocor. Edema
vasogenik sering disebut juga edema osmotik. Kebocoran SDO dapat
terjadi karena beberapa keadaan seperti cedera kepala, tumor, infeksi,
perdarahan intraserebri, dan inflamasi. Oleh karena itu, edema vasogenik
Universitas Sumatera Utara
sangat
berhubungan
dengan
peningkatan
kadar
cairan
otak,
pembengkakan jaringan otak, dan peningkatan TIK.
Pada keadaan tertentu dapat terjadi edema serebri yang didasari
oleh kedua mekanisme di atas, misalnya edema transependimal. Edema
transependimal adalah peningkatan cairan interstitial periventrikular
karena kerusakan lapisan ependimal dinding ventrikular. Hal ini biasanya
terjadi pada hidrosefalus. Edema hidrostatik adalah bagian dari edema
vasogenik yang terjadi ketika tekanan perfusi serebral meningkat.
Keadaan ini biasanya terjadi pada ensefalopati hipertensi. Pada dasarnya,
baik edema sitotoksik maupun edema vasogenik terjadi ketika osmolalitas
plasma menurun sehingga terjadi pengeluaran cairan. Meskipun demikian,
keduanya dipisahkan menjadi dua klasifikasi yang berbeda. Beberapa
keadaan
klinik
berkembang
menjadi
edema
serebri
berdasarkan
kombinasi mekanisme edema yang berbeda. Ini bergantung pada
gangguan yang timbul akibat penyakit dan waktu perjalanan penyakit (Nag
et al., 2009).
Kerusakan SDO adalah salah satu peran utama dalam terjadinya
edema serebri. Kedua tipe edema, yaitu vasogenik dan sitotoksik
mengakibatkan peningkatan TIK, dan penurunan tekanan perfusi serebral
(TPS), dan pada akhirnya menimbulkan iskemia jaringan. Iskemia
berperan pada terjadinya vasodilasi melalui mekanisme autoregulator
yang berfungsi sebagai restorasi perfusi serebral. Vasodilasi yang terjadi
akan meningkatkan volume darah serebral, dan pada akhirnya juga
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan TIK, menurunkan TPS, serta memicu berlanjutnya iskemia
(Rosner dan Rosner, 1995). Beberapa studi eksperimental menyatakan
bahwa beberapa neurotransmitter, seperti glutamat, asetilkolin, dan
senyawa vasoaktif, seperti serotonin, histamin, prostaglandin, asam
amino, asam laktat, dan lain-lain berperan dalam mediasi, inisiasi, dan
propagasi edema otak. Platelet adalah sumber utama senyawa-senyawa
di atas yang akan memproduksi neurotransmitter ketika melekat di
pembuluh darah kapiler (Baethmann et al., 1980; Baethmann et al., 1991;
Hayes et al., 1991). Prostaglandin berperan pada terjadinya edema
serebri melalui mekanisme (1) peningkatan permeabilitas kapiler serebral,
(2) vasokonstriksi yang menyebabkan iskemia (Yamamoto et al., 1972),
dan (3) potensiasi dari senyawa lain seperti serotonin dan katekolamin.
Gambar 2.2 Pelepasan MPO oleh Sel-sel Imunokompeten pada sistem
SDO (sawar darah otak) (Ke Ding., et al., 2014).
Universitas Sumatera Utara
Proses terjadinya edema serebri diantarai oleh beberapa mediator di
antaranya adalah aquaporin (AQP) dan sitokin. Aquaporin adalah kunci
utama terjadinya edema serebri (Manley et al., 2000; Papadopoulos dan
Verkman, 2008; Taya et al., 2008). Beberapa studi mendapatkan
peningkatan kadar AQP pascacedera kepala dan peranannya pada
kejadian edema serebri (Manley et al., 2000) sehingga penggunaan agen
penghambat AQP diduga berperan dalam pengendalian edema serebri
(Taya et al., 2008). Namun, beberapa studi lain mendapatkan bahwa
perubahan kadar AQP ini berhubungan dengan jenis edema (Ghabriel et
al., 2006; Papadopoulos et al., 2004, Sun et al., 2003). Penelitian pada
hewan coba dengan iskemia serebral mendapatkan, bahwa hambatan
ekspresi AQP berhubungan dengan penurunan tingkat edema dan luas
area infark, serta peningkatan status fungsional. Keadaan ini terjadi pada
edema sitotoksik. Hasil yang berbeda didapatkan pada edema vasogenik,
yang luasnya edema meningkat saat dihambatnya AQP. Hasil ini
menunjukkan bahwa AQP bermanfaat dalam menekan terjadinya edema
vasogenik (Papadopoulos et al., 2004). Studi eksperimental mendapatkan
adanya peningkatan kadar AQP4 pada sel glia dan penurunan kadar
AQP4 perivaskular terhadap terjadinya edema vasogenik (Ghabriel et al.,
2006). Yang patut menjadi perhatian adalah penurunan gejala edema dan
perbaikan status fungsional berhubungan dengan kembalinya AQP4 ke
dalam keadaan normal. Kecepatan perbaikan kadar AQP4 setelah
penatalaksanaan mengindikasikan adanya modifikasi posttranslational
Universitas Sumatera Utara
yang berperan pada sintesis protein (Taya et al., 2009). Peningkatan
kadar cairan jaringan otak ditunjukkan oleh komponen vaskular sebagai
tempat pergeseran kompartemen sitotoksik. Hambatan AQP channel
berperan pada keadaan edema sitotoksik, tetapi tidak pada edema
vasogenik, karena AQP channel melekat pada dinding sel.
Selain AQP, terdapat matriks metalloproteinase (MMP) yang
berperan saat terjadinya edema serebri. Matriks metalloproteinase adalah
enzim endopeptidase zinc-dependent yang berperan dalam perbaikan
jaringan pada berbagai keadaan patologis. Regulasi MMP sangat
kompleks dan terkontrol. Hilangnya kontrol regulasi sangat berperan
dalam patofisiologi kerusakan sinaps dan SDO pada cedera kepala,
stroke, dan neurodegenerasi (Rosenberg dan Yang, 2007; Candelario-Jalil
et al., 2009; Ding et al., 2009; Rosenberg, 2009). Peran MMP dalam
edema serebri adalah kemampuannya dalam memecah berbagai jenis
protein matriks ekstraselular termasuk protein lamina basal neurovaskular
dan protein tight junction SDO (Grossetete et al., 2009; Hayashi et al.,
2009; Vajtr et al., 2009). Kadar MMP terutama MMP2, MMP3, dan MMP9
meningkat pada keadaan cedera kepala (Falo et al., 2006; Vilalta et al.,
2008; Hayashi et al., 2009). Ketiganya menyebabkan kerusakan akut
SDO, edema vasogenik, dan bahkan kematian sel. Peningkatan kadar
MMP9 yang terjadi secara temporer berhubungan dengan kebocoran
SDO dan terbentuknya edema (Gasche et al., 1999; Asahi et al., 2001).
Sejalan dengan ini, defisiensi gen MMP9 pada hewan coba menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
efek protektif pada cedera kepala dengan iskemia fokal dan global (Wang
et al., 2000; Asahi et al., 2001; Gidday et al., 2005). Defisiensi gen MMP9
ini menurunkan kebocoran SDO dan pembentukan edema, menurunkan
respons inflamasi, serta meningkatkan integritas membran sel dan status
fungsional (Fujimoto et al., 2008; Vajtr et al., 2009, Homsi et al., 2009;
Tejima et al., 2009).
Mediator lain untuk edema serebri adalah zat vasoaktif. Zat vasoaktif
dapat meningkatkan permeabilitas SDO dan mengakibatkan edema
serebri (Abbott, 2000). Studi terbaru menyatakan bahwa zat vasoaktif
yang berperan tidak hanya mediator inflamasi klasik, tetapi juga mediator
inflamasi neurogenik. Salah satu contoh zat inflamasi klasik adalah
bradikinin, yaitu anggota kelompok kinin yang berperan penting pada
terjadinya edema serebri (Plesnila et al., 2001). Bradikinin dibentuk dari
pembelahan kininogen oleh kalikrein. Dengan bantuan enzim peptida,
bradikinin menghantarkan sinyalnya melalui dua subtipe reseptor
bradikinin, yaitu reseptor B1 dan B2. Kadar bradikinin meningkat maksimal
pada dua jam pertama pascatrauma dan kedua reseptornya meningkat
signifikan pada 24 jam pertama pascatrauma. Meskipun kedua reseptor ini
meningkat, hanya supresi reseptor B2 saja yang secara bermakna
mengurangi edema dan meningkatkan status fungsional pascaedema
(Trabold et al., 2010). Pemberian antagonis reseptor B2 berperan dalam
menurunkan tekanan intrakranial (TIK) dan volume kontusio pada hewan
coba (Plesnila et al., 2001; Zausinger et al., 2003; Zweckberger dan
Universitas Sumatera Utara
Plesnila, 2009; Su et al., 2009). Anggota lain dari keluarga kinin adalah
takikinin, yaitu sebuah mediator peptida yang berperan pada inflamasi
neurogenik.
Inflamasi neurogenik adalah proses yang terdiri atas vasodilasi,
ekstravasasi plasma, dan hipersensitivitas neuronal yang disebabkan oleh
penglepasan neuropeptida dari neuron sensorik (Geppetti et al., 1995).
Neuropeptida
yang
telah
teridentifikasi
berperan
pada
inflamasi
neurogenik adalah calcitonin gene-related peptide (CGRP), CGRP ini
berperan pada vasodilasi yang senyawa P-nya meningkatkan ekstravasasi
protein plasma (Nimmo et al., 2004).
Ada keterkaitan langsung antara aliran darah otak (ADO) dan
metabolisme tubuh. Penurunan ADO berhubungan dengan hipoksia dan
glikolisis anaerob. Hipoksia dapat menimbulkan gangguan SDO melalui
berbagai mekanisme yang diperantarai oleh VEGF, NO, dan respon
inflamasi. Hipoksia memicu peningkatan produksi Vascular endothelial
growth factor (VEGF) yang berakibat pada peningkatan permeabilitas
vaskular dan pembentukan edema. VEGF diketahui berikatan dengan
reseptor VEGF di pembuluh darah area iskemik dan berperan pada
gangguan dan kebocoran SDO (Zhang et al., 2000; Zhang et al., 2002).
Nitric oxide diketahui dapat memodulasi aliran ion, zat gizi, dan molekulmolekul lain, serta meregulasi fungsi SDO (Janigro et al., 1994). Produksi
NO yang berlebih dapat meningkatkan aliran darah dan permeabilitas
SDO (Shukla et al., 1996; Thiel dan Audus, 2001). Keadaan iskemia-
Universitas Sumatera Utara
hipoksia meningkatkan produksi prostaglandin dan kinin. Kedua mediator
ini selanjutnya menginisiasi respon inflamasi yang dapat berakibat pada
gangguan SDO (Zach et al., 1997; Yang et al., 1999; Saleh et al., 2004).
Kemokin dan sitokin yang diproduksi oleh sel glia dan endotel pada saat
iskemia-hipoksia meningkatkan migrasi limfosit melalui SDO dan juga
permeabilitas pembuluh darah (Zach et al., 1997; Gong et al., 1998; Weiss
et al., 1998; Prat et al., 2001). Selain itu, respon inflamasi dapat
mengaktivasi caspase, translokase, dan endonuklease yang dapat
menginisiasi perubahan membran dan nukleosom DNA secara progresif.
Hipoksia juga menyebabkan penglepasan beberapa neurotransmitter,
seperti glutamat dan aspartat. Neurotransmiter ini akan mengaktivasi
reseptor ionotropik dan metabotropik. Akibat dari ini akan terjadi influks ion
kalsium (Ca) dan ion natrium (Na), serta efluks ion kalium (K). Influks ion
Ca menimbulkan proses katabolisme intraselular, aktivasi enzim lipid
peroksidase, akumulasi asam lemak bebas, dan radikal bebas. Untuk
glikolisis anaerob, keadaan ini menyebabkan deplesi adenosin trifosfat
(ATP) dan terganggunya pompa ion energy dependent di otak. Glikolisis
anaerob ini juga berhubungan dengan akumulasi asam laktat dan
peningkatan permeabilitas membran yang berakibat pada edema serebri.
Tujuan penatalaksanaan edema serebri adalah menjaga aliran darah
otak (ADO) regional dan global untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
otak dan mencegah cedera sekunder dari iskemia serebri.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Sel Mikroglia
Mikroglia dapat dianggap sebagai sel imun dari sistem saraf pusat,
yang berperan setara dengan sel fagosit mononuklear yang ada pada
jaringan soma (Gonzales-Scarano dan Baltuch, 1999), yakni immun
surveillance dan pertahanan tubuh terhadap invasi berbagai proses
infeksi. Namun demikian, jika mikroglia teraktivasi sebagai respon
terjadinya proses inflamasi, mikroglia aktif akan mengalami berbagai
proses diferensiasi, proliferasi, dan menghasilkan berbagai faktor
proinflamasi.
Mikroglia yang aktif akan mensekresi berbagai faktor proinflamasi
dan neuroinflamasi yang bersifat neurotoksik. Faktor-faktor ini bila tidak
dikendalikan maka akan menimbulkan kerusakan yang luas (Liu dan
Hong, 2002). Proses aktivasi mikroglia diawali oleh inflamasi sel dan
jaringan akibat adanya lesi dan/atau iskemia. Mikroglia aktif akan
melepaskan glial derived neurotrophic factor, TNFα, IL-1β, IL-6, NO,
superoxide, eikosanoid, asam kuinolat, plasminogen, dan nuclear factor
(NF)κB (Shigemoto-Mogami et al., 2001; Suzuki et al., 2004). Nuclear
factor (NF)κB adalah suatu faktor transkripsi yang bila teraktivasi akan
mengaktifkan TNFα. TNFα aktif akan meningkatkan ekspresi sitokin
proinflamasi lain, seperti IL-1β, IL-6, dan IL-8. Hasilnya dapat dipahami
jika aktivasi mikroglia tidak terkendali, dapat menimbulkan kerusakan
jaringan otak yang luas.
Universitas Sumatera Utara
Ada berbagai metode dalam mengendalikan aktivasi mikroglia
seperti mekanisme cell adhesion molecules (CAM) oleh neuron (McMillian
et al., 1994), penggunaan reseptor antagonis opioid dan golongan steroid
(Kong et al.,1997), mekanisme vasoactive intestinal peptide (VIP), dan
aktivasi sitokin antiinflamasi, seperti TGF β dan IL-10 melalui mekanisme
mikroglia-deactivating factor (Delgado dan Ganea, 2003).
2.1.3 Malondialdehyde
Malondialdehyde (MDA) adalah senyawa organik dengan rumus
CH2(CHO)2. Struktur senyawa ini lebih kompleks dan sangat reaktif, terjadi
secara alami, dan merupakan penanda stres oksidatif (Romieu et al.,
2008).
Malondialdehyde utama terdapat dalam bentuk enol dengan rumus
kimianya :
CH2(CHO)2
Hoch = CH-CHO
Malondialdehyde merupakan senyawa golongan sebagai hasil
produksi
proses
lipid
peroksida,
yang
bersifat
toksik
pada
sel.
Malondialdehyde dapat diukur degan metode Thibarbituric Acid Reactive
Substance (TBARS). Nilai stres oksidatif berdasarkan reaksi asam
thibarbiturat pada suhu 1000C akan menghasilkan krofor berwarna merah
muda yang dapat dibaca pada panjang gelombang 532 m (Halliwell and
Gutterge, 1999).
Malondialdehyde merupakan senyawa yang sangat reaktif yang tidak
biasa diamati dalam bentuk murni. Di Laboratorium dapat dihasilkan
Universitas Sumatera Utara
hidrolis dari 1,1,3,3-tetramethoxypropane, yang tersedia secara komersial.
Hal ini memudahkan hilangnya proton dalam memberikan garam sodium
dari enolat (mp 2450C). Spesies oksigen reaktif menurunkan lipid
polyunsaturated,
dan
membentuk
Malondialdehyde.
Senyawa
ini
merupakan aldehida reaktif dan merupakan salah satu spesies yang
memiliki banyak elektrofil reaktif. Akibatnya dapat menimbulkan stres
toksid dalam sel, dan membentuk protein kovalen adduct yang disebut
akhir lipoxidation sebagai lanjutan produk Advance Lipoxidation Endproduct (ALE), dan mengakhiri glikasi maju-produk Advance Glicostatin
End-product (AGE). Produksi aldehida ini digunakan sebagai biomarker
untuk mengukur tingkat stres oksidatif dalam organisme. Malondialdehyde
bereaksi dengan deoxyadenosine dan deoxyguanosine dalam DNA, serta
membentuk DNA M1G yang mutagenik (Hall, 1995).
Malondialdehyde (MDA) adalah suatu senyawa yang berasal dari
peroksidasi lipid dan biosintesis eicosanoid. Keduanya terdapat dalam
matriks biologis dalam bentuk bebas dan terikat kepada SH atau
kelompok NH2 dari berbagai biomolekul. Meskipun senyawa lain
(isoprostance) telah diusulkan sebagai indikator yang lebih dapat
diandalkan untuk menganalisis kerusakan oksidatif, MDA masih banyak
digunakan di laboratorium kimia klinis untuk memantau stres oksidatif.
Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengevaluasi MDA dalam
sampel biologis, tetapi kondisi analitis yang berbeda yang digunakan dan
belum ada standar internal yang sesuai telah menyebabkan perbedaan
Universitas Sumatera Utara
besar dalam pengukuran, bahkan pada konsentrasi fisiologis MDA plasma
manusia (Cighetti et al., 2002).
2.1.3.1 Malondialdehyde (MDA) sebagai produk hasil Stres Oksidatif
Radikal bebas dihasilkan selama proses fisiologis normal. Namun
pelepasannya meningkat pada keadaan iskemia, reperfusi, reaksi
inflamasi, dan penyakit neuro-degeneratif. Sumber-sumber endogen
pembentukan radikal bebas meliputi sistem NADPH oksidase, reaksi
fosforilasi oksidatif, enzim oksidasi dan metabolisme arakhidonat,
sedangkan sumber oksigennya adalah radiasiionisasi, merokok, alkohol,
paparan polutan, sinar ultraviolet, dan radiasiterionisasi (Droge, 2002).
Pada proses inflamasi terdapat peranan neutrophil yang dapat
memproduksi oksigen radikal dengan peningkatan enzim NADPH
oksidase dan mieloperoksidase. Peningkatan produksi radikal beriringan
dengan peningkatan enzim NADPH oksiadase dan mieloperoksidase.
Peningkatan produksi radikal bebas pada kondisi febris, asma, rheumatoid
arthritis, SLE, psoriasis berhubungan dengan adanya proses inflamasi.
Pada penderita DM peningkatan produksi radikal bebas disebabkan oleh
beberapa mekanisme. Hiperglikemia mengakibatkan peningkatan produksi
superoksid pada mitokondria II yang kompleks, autooksidasi glukosa juga
menghasilkan superoksid dan kemudian terjadi peningkatan LDL yang
teroksidasi dalam sel endotel. Stres mekanik pada hipertensi akan
menginduksi translokasi p47 phox dan kemudian terjadi aktivasi NADPH
oksidase. Aktivasi reseptor AT1 oleh angiotensis II juga mengakibatkan
Universitas Sumatera Utara
teraktivasinya NADPH oksidase dan superoksid diproduksi akibat aktivasi
oleh 12-LO (lipooksigenase) dalam
vasculer smooth muscle cell
(VSMCs). Pada hiperkolesterolemia produksi ROS dan LDL teroksidasi
(Ox-LDL) berhubungan dengan NaDPH oksidase pada subunit p22 phox.
ROS yang diproduksi akibat aktivasi NaDPH oksiadse meningkat secara
bermakna dan secara progresif mencapai kadar puncak saat terjadi
dekompensasi kordis (Ardhibatla et al., 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Walter et al., didapatkan adanya
peningkatan kadar MDA dengan metode TBARS pada perokok,
hipertensi, hiperlipidemia dan diabetes melilitus. (Walter et al., 2004).
Kadar MDA juga meningkat pada penyakit asma, rheumatoid arthritis dan
preeklamsia. (Ladecola and Zhang, 1995).
Endogenous sources
Mitochondrial leak
Respiratory burst
Enzyme reactions
Autooxidation reactions
Environmental sources
Free radical production
cigarette smoke
pollutants
UV light
O2 , H2O2
ionising radiation
xenobiotics
Transition
Metals
Fe2+, Cu+
OH
Lipid peroxidation
Modified DNA bases
Protein damage
Tissue damage
Gambar 2.3 Sumber Eksogen dan Endogen Radikal Bebas (Young and
Woodside)
Universitas Sumatera Utara
Stres oksidatif merupakan keadaan yang tidak seimbang antara
prooksidan dan antioksidan. Produksi radikal bebas dapat melebihi
kemampuan penghambat radikal alamiah atau mekanisme scavenging
(pembersih). Mekanisme penghambat radikal bebas terdiri atas oksidan
endogen dan eksogen. Antioksidan endogen terdiri dari superoksid
dismutase (SOD), Glutathion peroksidase (GPx) dan katalase. Anti
oksidan eksogen terdiri atas vitamin E, betakaroten dan vitamin C.
(Cherubini et al., 1995).
Stres oksidatif pada susunan saraf pusat sangat mematikan sebab
otak manusia utamanya memakai metabolisme oksidatif. Meskipun berat
otak hanya 2 % dari berat tubuh, otak menggunakan sekitar 50% dari
seluruh oksigen tubuh. Faktor lain yang sangat berbahaya adalah stres
oksidatif pada otak dengan kandungan polyunsaturated fatty acid (PUFA)
yang tinggi, yaitu hampir 50 % dari struktur jaringan otak. Jaringan otak
mengandung asam askorabat 100 kali lipat dibandingkan dengan
pembuluh darah perifer, yang juga dapat meningkatkan risiko terjadinya
stres oksidatif. Radikal bebas merusak sel dan bereaksi dengan makro
molekuler sel melalui proses peroksidasi lipid, oksidasi DNA, dan protein
(Gusev and Skvortsova, 2003).
Peroksidasi lipid mengakibatkan gangguan pada fluiditas dan
permiabilitas membran, kerusakan membran sel dan organel, kerusakan
sitoskeleton, hambatan pada metabolisme sel dan gangguan transpor ion.
Kerusakan
mitokondria
juga
dapat
menyebabkan
produksi
ROS
Universitas Sumatera Utara
bertambah. Produk-produk peroksidasi lipid MDA, HNE, dan acrolein juga
dapat bereaksi dengan protein dan mengakibatkan perubahan fungsi
protein (Weigan et al., 1999).
Kerusakan pada DNA baik disebabkan radikal maupun perosinitrit
mengakibatkan terbentuknya single stand break DNA dan struktur ini akan
mengaktivasi poli-ADP ribose polymerase (PARP). Aktivasi PARP
mengakibatkan berkurangnya adenin nukleotida yang akan menghambat
fungsi mitokondria sehingga terjadi penurunan ATP sel dan kematian sel.
PARP
juga
dapat
menaktivasi
apoptoticinducing
factor
(AIF)
di
mitokondria. Mekanisme ini juga didukung dengan berkurangnya infark
otak tikus didapat dengan PARP inhibitor (Lipton, 1999).
Oksidasi protein oleh radikal bebas membentuk kelompok karbonil
atau disfid, dan juga sebagai reduktan, yang menyebabkan formasi S-H
dari ikatan S-s. Kerusakan pada protein, terutama bentuk enzim, akan
mengganggu fungsinya (Cherubini et al., 1999).
2.1.4 Reactive Oxygen Species dan Respon Inflamasi
Reactive oxygen species (ROS) adalah molekul oksigen tunggal
yang diproduksi secara berkesinambungan pada keadaan aerobik dan
terlibat pada berbagai proses di dalam tubuh seperti transformasi,
regulasi, dan atau degradasi (Gardes-Albert et al., 2003; Favier, 2003).
Meskipun demikian kadar ROS dikontrol ketat oleh antioksidan endogen
dalam rangka melindungi tubuh dari efek negatif ROS. ROS mencakup
radikal anion superoxide (O2-) terutama yang diproduksi di sitosol,
Universitas Sumatera Utara
mitokondria, dan retikulum endoplasma; hidrogen peroksida (H2O2) yang
diproduksi peroksisom; radikal hidroksil reaktif (OH); oksigen singlet (1O2).
Ketidakseimbangan oksidatif seperti gangguan keseimbangan produksi
ROS atau radikal bebas atau prooksidan dengan antioksidan dikenal
sebagai stres oksidatif. Keadaan ini dapat menyebabkan berbagai
kerusakan sel yang pada akhirnya berakibat pada hilangnya fungsi dan
integritas sel (Halliwell dan Gutteridge, 1999). Molekul ROS secara
fisiologis berperan sebagai second messenger dalam regulasi proses
apoptosis (Curtin et al., 2002) dalam mengaktivasi faktor transkripsi,
seperti NFκB dan p38-MAPkinase yang berperan pada aktivasi gen
respon imun (Owuor dan Kong, 2002) dan gen yang mengkoding enzimenzim antioksidan (Holgrem, 2003). Peran stres oksidatif sangat krusial
pada modulasi fungsi selular, terutama pada apoptosis dan excitotoxicity
astrosit dan mikroglia. Apoptosis dan produksi ROS berlebih pada
akhirnya akan menimbulkan disfungsi mitokondria (Yun et al., 1996). Stres
oksidatif erat kaitannya dengan respon inflamasi. Sehingga secara teori
respon inflamasi akan meningkatkan produksi ROS.
Cedera kepala akan menimbulkan respon inflamasi yang mencakup
serangkaian respon neurohormonal dan pengeluaran sejumlah mediator
biokimia. Respon neurohormonal yang terjadi di antaranya adalah
stimulasi poros hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) (Amaral, 2006).
Stimulasi hipotalamus di antaranya dapat meningkatkan sekresi AQP4.
Selain itu, melalui poros HPA, hipotalamus akan menstimulasi kelenjar
Universitas Sumatera Utara
pituitari atau hipofisis. Stimulasi kelenjar pituitari meningkatkan sekresi
adrenocoticotropin hormone (ACTH) dan stimulasi kelenjar adrenal.
Kelenjar adrenal yang terstimulasi akan mengeluarkan katekolamin dan
menstimulasi sel makrofag dan limfosit. Stimulasi makrofag dan limfosit
selanjutnya menyebabkan pengeluaran sitokin, yaitu mediator biokimia
yang berperan besar pada respon inflamasi seperti edema serebri (Visser
dan Labadarios, 2002).
Sitokin adalah glikoprotein yang disintesis oleh mikroglia, astrosit,
dan beberapa sel tubuh lainnya, seperti makrofag, limfosit, sel Kupffer,
dan lain- lain. Sitokin berperan dalam menghantarkan sinyal antar sel- sel
sistem imun dan memodifikasi metabolisme (Lin et al., 2001; Visser dan
Labadarios, 2002). Sitokin memiliki ukuran molekul relatif besar (8-65 kDa)
dan bersifat hidrofilik. Oleh karena itu, secara fisiologis tidak dapat
melewati SDO. Protein ini dapat berhubungan dengan sel otak melalui
empat mekanisme, yaitu (1) transpor pasif sitokin ke dalam otak pada
daerah ventrikel yang tidak melewati SDO, seperti antero-ventral ventrikel
III, eminensia mediana, area postrema, hipofisis posterior, sub komisura,
dan glandula pineal, (2) ikatan sitokin pada endotel pembuluh darah otak
sehingga memicu pembentukan second messenger seperti prostaglandin
dan nitic oxide. (3) transpor yang diantarai oleh pembawa sitokin ke otak
sehingga dapat melewati SDO, dan (4) aktivasi sitokin pada terminal saraf
aferen perifer pada tempat penlepasan sitokin (McKeating dan Andrew,
1998; Turnbull dan Rivier, 1999)
Universitas Sumatera Utara
Sitokin diregulasi secara bertahap dengan cara induksi dari sitokin
sebelumnya yang akan memicu produksi sitokin berikutnya. Respon
spesifik terhadap sitokin dihasilkan oleh reseptor sitokin yang sangat unik
sehingga sel yang mengekspresikan reseptor fungsional terhadap satu
sitokin hanya akan beresipon terhadap sitokin tersebut. Aktivitas sitokin
beraneka ragam, tetapi seluruhnya berfungsi terutama sebagai mediator
inflamasi
(Hirano
et
al.,
1990;
McKeating
dan
Andrew,
1998;
Baratawidjaja, 2002). Sitokin pada dasarnya terdiri atas dua jenis yaitu
sitokin proinflamasi dan sitokin antiinflamasi (Tabel 2.1), pembedaan ini
berdasarkan kemampuan mereka dalam memengaruhi proses inflamasi
dan respon imun (Lin et al., 2001). Sitokin proinflamasi secara langsung
ataupun tidak memengaruhi timbulnya berbagai keadaan pascacedera
kepala. Sebaiknya sitokin antiinflamasi seperti IL-4, IL-10 dan IL-12
berperan dalam menekan proses inflamasi dengan cara menurunkan
fungsi sel, menurunkan sintesis sitokin lain, dan sebagai penghambat
reaksi imunitas tubuh (Tabel 2.1) (Maas, 2000; Dokka, 2001). Pengaruh
langsung sitokin adalah secara lokal dan sistemik sesuai dengan beratnya
proses inflamasi. Sitokin berperan dalam proses penyembuhan luka dan
perbaikan jaringan karena dapat menyebabkan: (1) vasodilatasi sehingga
aliran darah meningkat, (2) peningkatan ambilan neutrofil, monosit, dan
elemen darah lain untuk mencegah infeksi, (3) bertahannya hemostasis
melalui peningkatan koagulasi darah, (4) induksi angiogenesis dan
proliferasi sel, serta (5) induksi respon fase akut (RFA). Respon fase akut
Universitas Sumatera Utara
adalah serangkaian proses fisiologis sistemik yang terjadi segera setelah
terjadinya infeksi, trauma, dan beberapa jenis keganasan sehingga terjadi
berbagai perubahan patologis dan metabolik seperti demam, peningkatan
permeabilitas vaskular, dan yang paling mencolok adalah peningkatan
protein fase akut (PFA).
Tabel 2.1. Jenis Sitokin berdasarkan aktivitas Biologis
Sitokin
Interferon
(IFN)-α
IFN-β
IFN-γ
Aktivitas biologis
Sekresi di Reseptor
otak
di otak
Antivirus,
antiproliferatif, +
+
meningkatkan ekspresi kompleks
histokompatibilitas
mayor,
pirogenik, antitumor
Antivirus,
antiproliferatif, ?
+
meningkatkan ekspresi kompleks
histokompatibilitas
mayor,
pirogenik, antitumor
Rujukan
Antivirus,
aktivasi
makrofag, +
meningkatkan ekspresi kompleks
histokompatibilitas
mayor,
pirogenik, antitumor, memicu
protein fase akut
Sitotoksis,
aktivasi
sel
T, +
pirogenik, antitumor, renjatan
septik
+
McIntosh et al.,
1999; Lezlinger
et al., 2001
+
Teasdale, 1998;
Kossman, 2002
+
+
Teasdale, 1998;
Kossman, 2002
+
+
+
?
Maas
dan
Dearden, 2000
McKeating dan
Andrew, 1998
+
+
Tumor
necrosis
factor
(TNF)α
Tumor
Sitotoksis,
aktivasi
sel
T,
necrosis
antitumor, renjatan septik
factor
(TNF)β
Eritropoietin Stimulasi
pertumbuhan
sel
eritroid
Granulo-sit Stimulasi pertumbuhan granulosit
colony
stimula-ting
factor
Interleukin
Aktivasi sel T, B, dan endotel
(IL)1α
pirogenik, memicu protein fase
akut, hematopoiesis
McIntosh et al.,
1999; Lezlinger
et al., 2001
McIntosh et al.,
1999; Lezlinger
et al., 2001
Kronfol
dan
Ziad,
2000;
Woichichowsk,
2002
Universitas Sumatera Utara
IL-1β
Aktivasi sel T, B, dan endotel +
pirogenik, memicu protein fase
akut, hematopoiesis
+
IL-2
Aktivasi sel T, B, dan NK +
antitumor
Pertumbuhan dan diferensiasiasi +
sel hematopoietik, hematopoiesis
+
Aktivasi sel T, B, dan NK IgG dan +
IgE, supresi monosit, antitumor
Proliferasi
dan
diferensiasi +
eosinofil, produksi IgA, eosinofilia
Produksi IgG, aktivasi sel T, +
pemicu
protein
fase
akut,
pirogenik, hematopoiesis
?
Kemotaksis neutrofil dan sel T, +
pengeluaran netrofil
Inhibisi sintesis sitokin, proliferasi +
sel T, inhibisi renjatan septik
+
Stimulasi pertumbuhan sel NK, +
penurunan produksi IgE
?
IL-3
IL-4
IL-5
IL-6
IL-8
IL-10
IL-12
Kronfol
dan
Ziad,
2000;
Woichichowsk,
2002
Eduardo
dan
Arantxa, 2003
Arand, 2001
+
Young et al.,
1981
Turnbull
dan
Rivier, 1999
Hirano et al.,
1990;
Dimopoulou et
al., 2004
Kishimoto et al.,
1995
MorgantiKossman
dan
Rancan, 2002
MorgantiKossman
dan
Rancan, 2002
?
+
+
Sumber: Cytokines and The Brain, Am J Psychiatry, 2000
Inflamasi
berperan
saat
terjadinya
gangguan
neurologis
pascatrauma (Lenzlinger et al., 2001; Morganti-Kossmann et al., 2002;
Hutchinson et al., 2007; Laird et al., 2008). Peningkatan kadar sitokin
proinflamasi pada cairan serebrospinal secara klinis berhubungan dengan
peningkatan
TIK
dan
kerusakan
neurologis
pascacedera
kepala
(Hayakata et al., 2004; Hutchinson et al., 2007). Konsisten dengan
hubungan kausatif
antara IL-1β dan edema serebri, penelitian pada
hewan coba dengan defisiensi reseptor IL-1 tipe 1 (IL-1R) menunjukkan
penurunan intensitas edema vasogenik dan sitotoksik pascaiskemia-
Universitas Sumatera Utara
hipoksia (Lazovic et al., 2005). Pemberian IL-1β diketahui dapat
meningkatkan
ekspresi
AQP4
melalui
aktivasi
faktor
transkripsi
proinflamasi, yaitu NFκB. Data ini menunjukkan peran IL-1β dalam
terjadinya edema serebri melalui regulasi AQP4 (Ito et al., 2006).
2.1.5 Sawar Darah Otak
Sawar darah otak (SDO) atau blood brain barrier adalah struktur
penting untuk menjaga homeostatik lingkungan internal otak. Struktur
SDO memisahkan jaringan otak dengan aliran darah secara selektif.
Struktur terpenting dari SDO adalah sel endotel kapiler yang satu dan
lainnya dihubungkan satu sama lain oleh tight junction. Berbeda dengan
kapiler ekstraserebral, sel endotel serebral bersifat nonfenestrated, minim
celah intraselular, mengandung sedikit vesikel pinositik, memiliki banyak
mitokondria, dan tertutup oleh astrosit. Terbukanya tight junction
merupakan kunci utama terjadinya edema vasogenik. Akumulasi cairan
pada keadaan edema mencapai 14–78 mL/hari (Reulen et al., 1990).
Kebocoran protein plasma SDO adalah penentu utama terjadinya
akumulasi cairan dalam ruang ekstraselular (Abbott et al., 2010). Berbagai
mekanisme dapat berperan dalam terjadinya disintegrasi SDO, yang salah
satu di antaranya adalah inflamasi jaringan otak (Sandoval dan Witt,
2008).
Mekanisme absorpsi membantu menjaga keseimbangan antara
terbentuknya edema dan absorbsi edema. Sebelum masuk ke dalam
pembuluh darah mikro, cairan edema masuk ke dalam ventrikel otak
Universitas Sumatera Utara
melalui aliran transependimal. Protein ekstraselular seperti okludin,
klaudin, dan molekul adesi junctional adalah komposisi molekular tight
junction. Bila protein ekstraselular ini berlebih, akan dikeluarkan melalui
mekanisme fagositosis oleh astrosit dan mikroglia (Furuse et al., 1993;
Hirase et al., 1997; Furuse et al., 1998; Martin Padura et al., 1998;
Papadopoulos et al., 2001; Davies, 2002). Protein ekstraselular ini disebut
juga protein transmembran yang pada kenyataannya berikatan dengan
protein intraselular, seperti ZO-1 dan ZO-2. Ikatan ini bertautan
membentuk perlekatan antara tight junction dan sitoskeleton sel endotel.
Penurunan ekspresi dan/atau fungsi dari protein tight junction ini akan
menyebabkan terbukanya tight junction dan terbentuknya edema.
Ternyata mediator utama dari mekanisme ini adalah VEGF (Liebner et al.,
2000; Papadopoulos 2001).
2.1.6 Vascular Endothelial Growth Factor.
Vascular endothelial growth factor (VEGF) atau disebut juga dengan
vascular permeability factor (VPF) adalah suatu polipeptida pleotropik
yang disekresi berbagai sel jaringan pada manusia dimana dapat
memediasi
sel
endotel
untuk
menginduksi
angiogenesis
dan
vaskulogenesis. Angiogenesis adalah pertumbuhan pembuluh darah baru
yang berasal dari pembuluh darah yang sudah ada sedangkan
vaskulogenesis adalah pembentukan pembuluh darah yang berasal dari
jaringan avaskular sebelumnya. Proses angiogenesis terdiri dari 4 tahap
yaitu: Digesti (pencernaan) membran basemen disekeliling pembuluh
Universitas Sumatera Utara
darah oleh sekresi protease sel endothel. 2. Migrasi sel endothelial
ketempat pembentukan pembuluh darah dimana sel akan berproliferasi
membentuk cikal bakal pembuluh darah baru. 3. Selanjutnya terjadi
proliferasi dan diferensiasi membentuk lumen pada pembuluh darah baru.
4. Sekresi faktor pertumbuhan (growth factor) oleh sel endotel yang
menarik sel pendukung seperti perisit dan sel otot polos serta membentuk
membran besemen. Sel pendukung dan membran besemen penting
sebagai fungsi dan stabilitas pembuluh darah baru. Pada tahap akhir ini,
pembuluh juga berkembang secara khusus sesuai dengan jaringan atau
organ yang disuplai (Jain, 2003).
Kontribusi VEGF terhadap angiogenesis dapat terjadi secara normal
maupun patologis. VEGF dan platelet-derived growth factor (PDGF)
merupakan faktor angiogenik poten yang mempunyai aktivitas sebagai
sitokin proinflamasi dengan meningkatkan permebialitas sel endotel dan
menaikkan regulasi molekul adhesi sel endotel (Ferrara, Geber, LeCouter,
2004: Matsune et al., 2008). Faktor utama yang menstimulasi terjadinya
angiogenesis adalah kekurangan oksigen (hipoksia), disamping itu
endotoksin bakteri dan sitokin inflamatori. Tekanan oksigen yang rendah
memicu sekresi faktor proangiogenik terutama VEGF menstimulasi
pembentukan pembuluh darah baru untuk mensuplai kebutuhan. Bila
tekanan oksigen telah normal, produksi faktor proangiogenik dihambat,
pembuluh darah matur akan bertahan dan beberapa sisa pembuluh darah
immatur akan mengalami regresi. VEGF adalah glikoprotein hemodimerik
Universitas Sumatera Utara
34-46kDa yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel dalam merespon
berbagai rangsangan. VEGF bekerja pada sel endothel vaskuler dengan
mengikat rangsangan transmembran yang spesifik. Pengikatan pada
signaling pathway menghasilkan proliferasi dan migrasi sel endotel
vaskuler, mempertahankan sel endotel immatur dan meningkatkan
permebilitas vaskular (Ferrara, Gerber, LeCouter, 20004).
Vascular endothelial growth factor adalah faktor permeabilitas
vaskular yang berfungsi sebagai regulator angiogenesis dan permeabilitas
vaskular (Senger et al., 1983). Molekul ini berikatan dengan sel endotel
melalui interaksi dengan high-affinity tyrosine kinase receptor. Reseptor ini
diproduksi predominan di sel endotel SDO (de Vries et al., 1992; Millauer
et al., 1993). Vascular endothelial growth factor memiliki aktivitas
permeabilitas vaskular yang sangat kuat (beberapa ribu kali lebih kuat dari
histamin) dan memiliki efek langsung pada tight junction endotel SDO
(Connolly, 1991; Criscuolo, 1993). Selain itu, VEGF memicu terjadinya
edema serebri melalui sintesis dan pelepasan NO, yaitu suatu aktivator
cyclic GMP- dependent (Mayhan, 1999). Salah satu metabolit VEGF, yaitu
VEGF phosphorylates occludin dapat mengganggu fungsi okludin dan
mengakibatkan terbukanya tight junction serta terbentuknya edema
(Papadopoulos, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4 Hif1 adalah regulator utama homeostasis oksigen.
Sedangkan normoxia menginduksi Hif1α degradasi
proteosomal, di bawah hipoksia stabil dan translokasi ke inti
di mana ia membentuk kompleks dengan phospho-STAT3
dan CBP / p300 untuk meningkatkan ekspresi VEGF, dan
dengan demikian hipoksia menginduksi angiogenesis
(Tocharus, et al., 2014).
Studi lain mendapatkan VEGF dapat menginduksi fenestrasi endotel
dan meningkatkan permeabilitas kapiler melalui mekanisme ini (Roberts
dan Palade, 1997). Peran VEGF dalam memediasi edema vasogenik
tampak pada gambar 2.5.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5 Mekanisme VEGF dalam memediasi Edema Vasogenik
(Kaal dan Vecht, 2004)
Selain seluruh faktor di atas, SDO atau tepatnya endothelial
astrocytic foot process juga memproduksi AQP yang berperan pada
pembentukan edema serebri. Belum diketahui pasti, apakah peningkatan
regulasi AQP dapat meningkatkan kejadian edema atau justru sebaliknya
(Kaal dan Vecht, 2004).
2.1.7 Aquaporin-4
Aquaporin (AQP) adalah protein membran integral kecil dengan
berat molekul kurang dari 30.000 kDa, memiliki permeabilitas tinggi,
berperan dalam transportasi cairan di membran plasma sel, dan
ditemukan secara luas di berbagai jaringan tubuh yang berbeda
(Verkman, 2005). Sebuah molekul AQP terdiri atas enam protein helix
transmembran yang membentuk satu bagian selektif terhadap cairan
berupa tetramer pada bagian tengah molekul. Secara keseluruhan
terdapat 11 anggota keluarga AQP, dua jenis AQP yaitu AQP1 dan AQP4
adalah jenis terutama yang terdapat di ventrikel serebral dan ruang
Universitas Sumatera Utara
subarachnoid. Kedua AQP ini terutama berperan dalam homeostasis
cairan di susunan saraf pusat (SSP) (Rash et al., 1998). Namun, pada
tulisan ini akan lebih ditekankan pada pembahasan AQP4.
Secara struktural bagian terpenting dan unik dari AQP4 adalah
bentuk dan ukuran tetramernya yang besar (100 nm) yang disebut
orthogonal array particle (OAP) dan tampak oleh mikroskop elektron
(Rash et al., 1998). Aquaporin-4 (AQP4) berperan dalam transportasi
cairan di berbagai kompartemen jaringan otak yaitu ruang cairan
cerebrospinal atau ventrikel serebral dengan ruang subarachnoid,
parenkim otak yang terdiri atas ruang intrasellular dan ekstrasellular, serta
kompartemen intravaskular (Zador et al., 2007). Aquaporin AQP4 tersebar
secara luas di berbagai kompartemen dan berpartisipasi pada regulasi
homeostasis cairan otak di sistem saraf pusat. Ekspresi AQP terbatas
pada astrosit yang tersebar luas di jaringan otak dan sumsum tulang
belakang, serta sel ependimal yang membatasi ventrikel serebral.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.6 Struktur organisasi dari AQP4 dalam membran astrosit. (A)
Skema gambar dari AQP4 homo-tetramer (B) Dalam otak
normal, hubungan antara isoform AQP4-m1 (lingkaran
merah) dan AQP4-m23 (lingkaran biru) berkontribusi untuk
membentuk susunan orthogonal partikel (OAPs). (C) Dalam
cedera kepala, peningkatan AQP4-m1 memberikan
kontribusi pada gangguan OAPs dengan terjadinya
perubahan dalam ukuran OAP dapat menurunkan jumlah
pori sentral dan mungkin tidak hanya mempengaruhi
pergerakan air, tetapi juga gerakan ion dan gas (Pallab, et
al., 2014).
Ekspresi AQP4 diketahui berperan dalam berlanjutnya cedera otak.
Penelitian pada hewan coba mendapatkan bahwa ekspresi AQP4
meningkat pada lokasi cedera otak (Sun et al., 2003) dan regulasinya
meningkat pada cedera kepala non-trauma, seperti stroke dan intoksikasi
Universitas Sumatera Utara
cairan (Taniguchi et al., 2000). Supresi gen AQP4 menunjukkan
penurunan gejala edema pada 24 jam setelah iskemia serebri. Hemisfer
serebri membesar karena edema menurun 35 % pada 24 jam pertama
setelah iskemia (Manley et al., 2000). Studi dengan autopsi pada jaringan
otak manusia mendapatkan bahwa immunoreaktivitas AQP4 meningkat
pascainfark serebri (Aoki et al., 2003). Hu et al mendapatkan kadar AQP4
meningkat 15 jam sampai dengan delapan hari pascacedera kepala (Hu et
al., 2004). Ada korelasi yang signifikan antara peningkatan ekspresi AQP4
dengan kerusakan SDO (Aoki et al., 2003; Saadoun et al., 2002).
Aquaporin 4 terdapat di sekitar pembuluh darah mikro jaringan otak. Hua
et al., mendapatkan bahwa ekspresi AQP4 meningkat secara rutin
pascacedera kepala. Peningkatan ini berlanjut terus sampai dengan 15
jam pasca perlukaan, dengan peningkatan tertinggi pada delapan jam
pasca perlukaan (Hua et al., 2005). Hasil ini konsisten dengan uji pada
hewan coba, di mana terjadi peningkatan ekspresi mRNA AQP4 pada 4
jam pascacedera dan peningkatan ini mulai berkurang pada 24 jam
pascacedera (Sun et al., 2003). Hasil sedikit berbeda didapatkan oleh
Tourdias et al., di mana studi pada hewan coba dengan inflamasi jaringan
otak menunjukkan dua fase perkembangan edema yaitu fase awal edema
dan fase resolusi edema. Fase awal edema terjadi pada masa inflamasi
aktif yang mencapai puncak setelah 7 hari inflamasi. Setelah itu terjadi
fase resolusi edema, yaitu pada hari kedelapan sampai keduapuluh pasca
inflamasi. Pada fase resolusi edema ini terjadi pembentukan jaringan parut
Universitas Sumatera Utara
sel glia dan peningkatan regulasi AQP4. Sejatinya AQP4 meningkat pada
kedua fase edema, namun tingkat transkripsi dan translasi ekspresi AQP4
jauh lebih tinggi pada fase resolusi (Tourdias et al., 2011). Regulasi
ekspresi AQP4 adalah penentu utama jumlah cairan otak secara
keseluruhan dan resolusi edema. Beratnya cedera berhubungan dengan
peningkatan regulasi AQP4 dan edema interstitial (Tourdias et al., 2009).
Penelitian pada hewan coba menunjukkan bahwa AQP inhibitor
memiliki indikasi klinis sebagai diuretik dan penatalaksanaan edema
serebri (Verkman, 2002). Sejalan dengan ini, pengurangan AQP4
diketahui bersifat protektif terhadap edema serebri vasogenik (Manley et
al., 2000; Vajda et al., 2002). Hasil berbeda didapatkan pada edema
sitotoksik, di mana ekspresi berlebih AQP diketahui dapat mengurangi
gejala edema sitotoksik (Meng et al., 2004). Studi lain menyatakan bahwa
AQP4 memberikan efek bidirectional transport pada cairan otak yaitu
regulasi masuk dan keluar (Amiry-Moghaddam et al., 2003). Meskipun
didapatkan hasil berbeda untuk kedua jenis edema namun beberapa studi
menyatakan
bahwa
AQP4
dapat
digunakan
sebagai
sasaran
penatalaksanaan edema serebri (Fu et al., 2007). Papadopoulos et al.,
mendapatkan, AQP4 tidak hanya berperan pada terjadinya edema namun
juga absorpsi cairan yang berlebih. Ketika cairan interstitial berlebih dan
mencapai barrier antara parenkim otak dan kompartemen cairan pada
keadaan edema vasogenik, cairan ini harus dieliminasi melalui jalur
transcellular
AQP4-dependent.
Sedangkan
AQP4
inhibitor
dapat
Universitas Sumatera Utara
mengurangi edema sitotoksik jika diberikan awal untuk memperlambat
masuknya cairan edema ke parenkim otak. Pemberian AQP4 inhibitor
yang terlambat pada edema sitotoksik diduga dapat meningkatkan edema
serebri. (Papadopoulos et al., 2004). Sejalan dengan ini dan mengacu
pada peran AQP4 dalam memodulasi cairan serebri, beberapa penelitian
juga mendapatkan bahwa penurunan ekspresi AQP4 dapat digunakan
sebagai pilihan baru terapi edema serebri (Manley et al., 2000;
Papadopoulos dan Verkman, 2007; Kleffner et al., 2008).
2.2 Melatonin
Melatonin (5-metoksi-N-asetiltriptamin) adalah hormon derivat asam
amino triptofan yang diproduksi oleh kelenjar pineal dan bersifat sebagai
antioksidan (Brzezinski, 1997). Berdasarkan strukturnya Melatonin bersifat
ampifilik, dan berbeda dengan antioksidan lain yang bersifat hidrofilik atau
lipofilik. Dengan kata lain, Melatonin dapat larut dalam air dan lemak
sehingga ia dapat melewati sawar atau barrier fisiologis berupa lemak dan
cairan tubuh (Reiter, 2004).
Gambar 2.7 Struktur Melatonin (Kaur et al., 2008)
Universitas Sumatera Utara
2.2.1 Metabolisme dan Biosintesis Melatonin
Melatonin adalah hasil dari metabolisme asam amino triptofan
(Ebadi, 1984). Triptofan ditransportasikan secara aktif ke dalam sel
pinealosit. Kemudian, enzim triptofan hidroksilase (TRPH) mengkonversi
triptofan menjadi 5-hidroksi triptofan (5-OHTRP). Aktivitas enzim TRPH
dapat dihambat oleh p-klorofenilalanin, yaitu suatu asam amino yang
menurunkan kadar serotonin di kelenjar pineal (Underwood, 1980). Enzim
5-hidroksi triptofan dekarboksilase (5-OHTRPD) menghilangkan gugus
karboksil terminal dari 5-OHTRP dan menyebabkan terbentuknya
serotonin. Aktivitas 5-OHTRPD di kelenjar pineal adalah yang tertinggi
dibandingkan dengan jaringan lain dan aktivitasnya tidak dipengaruhi oleh
irama sirkadian (Hall, 1991). Enzim serotonin n-acetil-transferase (SNAT)
menganalisis transfer gugus asetil dari asetil-CoA ke serotonin sehingga
terbentuk N-asetilserotonin (NAS). Enzim hidroksindole-O-metiltransferase
(HIOMT) menganalisis gugus O-metilasi NAS untuk membentuk Melatonin
(Sugden, 1989). Tahap ini adalah tahap terakhir biosintesis Melatonin.
Aktivitas enzim SNAT di kelenjar pineal terjadi selama 24 jam, tetapi pada
saat malam hari aktivitasnya meningkat menjadi 20–100 kali dari pada
siang hari sehingga kadar Melatonin meningkat pada malam hari (Reiter,
1991). Metabolisme dan biosintesis Melatonin dirangkum seperti pada
Gambar 2.4.
Universitas Sumatera Utara
CO2
O2
TRPH
5-OHTRPD
Triptofan
serotonin
5-OHTRP
Asetil-KoA
N
A
T
SAM
HIOMT
Melatonin
N-asetil serotonin
Gambar 2.8 Metabolisme dan biosintesis Melatonin (Morera et al., 2009)
2.2.2 Regulasi Melatonin
Kadar Melatonin dipengaruhi oleh ritme sirkadian serta disekresikan
secara ritmik di bawah kendali siklus malam-siang dan poros hipotalamohipofisis (Arendt, 1988). Produksi Melatonin meningkat pada malam hari
dan menurun pada siang hari. Kadar Melatonin serum mulai meningkat
pukul 21.00–23.00, mencapai puncaknya pada pukul 01.00–03.00, dan
mulai menurun pada pukul 07.00–09.00 (Brzezinski, 1997). Mandera et
al., mendapatkan bahwa kompresi kelenjar pineal dapat menurunkan
sekresi Melatonin secara bermakna pada pagi hari (Mandera et al., 2003).
Pencahayaan minimal dan tidur lelap akan meningkatkan produksi
Melatonin (Brzezinski, 1997) dan sebaliknya (Dauchy et al., 1999).
Universitas Sumatera Utara
Meskipun Melatonin terutama disekresikan oleh kelenjar pineal, ada
beberapa sel dan organ tubuh lainnya yang juga memproduksi Melatonin,
seperti medulla spinalis (Conti et al., 2000), kantung empedu (Tan et
al.,1999a; Koppisetti et al., 2008), cairan serebrospinal dari ventrikel tiga
(Skinner dan Malpaux,1999; Tricoire et al., 2002; Longatti et al., 2007;
Leston et al., 2010), usus (Bubenik, 2000), kulit (Slominski et al., 2005;
Slominski et al., 2005b), retina (Tosini dan Menaker, 1998; Liu et al., 2004;
Kaur et al., 2007), platelet (Champier et al., 1997), dan limfosit (CarrilloVico, 2004). Terkait dengan cedera otak, sebuah studi pendahuluan
menyatakan bahwa penderita cedera kepala menunjukkan penurunan
kadar Melatonin serum dan profil sekresi sirkadian Melatonin. Studi
Paparrigopoulos et al., mengukur hubungan antara tingkat cedera kepala
dan kadar Melatonin serum. Tingkat cedera kepala diukur dengan
parameter skor Glasgow coma scale (GCS) dan skor Acute Physiology
and Chronic Health Evaluation (APACHE) II. Ada korelasi negatif
bermakna (r = -0,778; p = 0,023) antara skor GCS dan rerata kadar
Melatonin serum. Begitu pula dengan skor APACHE II, terdapat korelasi
negatif yang bermakna (r = -0,849; p = 0,008) dengan kadar Melatonin
serum. Pada kesimpulannya, dinyatakan bahwa semakin berat cedera
kepala,
maka
semakin
rendah
pola
sekresi
diurnal
Melatonin
(Papparigopoulos et al., 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Fungsi Melatonin
Melatonin dapat berperan sebagai antioksidan (Reiter et al., 1997;
Reiter, 1998; Reiter et al., 2003), modulator biologis untuk mood, tidur,
perilaku seksual, sistem reproduksi, ritme sirkadian (Beyer et al., 1998;
Nowak et al., 1998), serta immunoregulator (Haldar et al., 2001;
Maestroni, 2001). Selain itu, Melatonin juga dapat berperan sebagai
antikonvulsan (Turgut et al., 2003; Yahyavi- Firouz- Abadi, 2006; Yildirim
dan Marangouz, 2006), freparat antipenuaan (Reiter, 1994), bersifat
onkostatik terhadap berbagai jenis tumor (Anisimov et al., 1997; Gilad et
al., 1999; Petranka et al.,1999; Kanishi et al., 2000; Siu et al., 2002; Kiefer
et al., 2002; Lissoni et al., 2003); memengaruhi berbagai gangguan yang
terkait ritme sirkadian, seperti jet lag dan bekerja dengan sistem shift
(Croughs dan de Bruin, 1996; Arendt et al., 1997; Arendt, 1998 Manfredini
et al., 2000; Parry, 2002). Beberapa studi mendapatkan bahwa Melatonin
bersifat neuroprotektif di SSP, seperti pada cedera kepala (Beni, et al.,
2004), cedera kepala iskemik (Gupta et al., 2003; Pei dan Cheung, 2004),
alzheimer (Feng et al., 2004), amyotrophic lateral sclerosis (Weishaupt et
al., 2006), parkinson (Mayo et al., 2005; Sharma et al., 2006), dan
gangguan neuropsikiatri (Srinivasan, 2006). Melatonin juga dapat
mengurangi kebocoran vaskular pada otak dan retina ketika terjadi
kerusakan SDO dan sawar darah retina (SDR) (Kaur et al., 2006; Kaur et
al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
Sifat
antioksidan
Melatonin
adalah
kemampuannya
dalam
membersihkan radikal bebas dan menginduksi ekspresi enzim antioksidan
(Burkhardt et al., 2001). Aktivitas dan ekspresi enzim antioksidan seperti
superoksid dismutase, katalase, glutation peroksidase, dan glutation
reduktase meningkat karena Melatonin (Pablo et al., 1995; Ozturk et al.,
2000; Meki dan Hussein, 2001; Reiter et al., 2004; Subramanian et al.,
2007). Meskipun berat jaringan otak hanya 2 % dari berat badan,
penggunaan energi jaringan otak mencapai 20 % dari utilisasi energi
tubuh (Clarke et al., 1994). Keadaan ini menyebabkan produksi ROS otak
lebih banyak daripada jaringan tubuh lain (Reiter et al., 2005). Terlebih
lagi jaringan otak mengandung tinggi asam lemak tidak jenuh ganda atau
polyunsaturated fatty acid (PUFA) dan besi non-heme yang rentan
teroksidasi oleh radikal bebas. Kondisi patologis berhubungan dengan
penurunan kadar antioksidan nonenzimatik plasma dan penurunan
aktivitas enzim antioksidan (Cherubini, 2005). Melatonin diketahui
mencegah produksi inducible nitric oxide synthase (iNOS) (Alonso et al,
2006; Escames et al., 2006). Peningkatan ekspresi iNOS ini terjadi di
berbagai jaringan sebagai respon terhadap hipoksia dan berperan dalam
memicu peningkatan produksi NO dan ROS (Jung et al., 2000). Efek
neuroprotektif Melatonin pada cedera kepala dilaporkan melalui potensiasi
antioksidan jaringan otak, seperti asam askorbat dan menurunkan aktivasi
NFκB (Beni et al., 2004). Aktivasi NFκB inilah yang selanjutnya berperan
besar pada stres oksidatif (Pizzi dan Spano, 2006; Liang et al., 2007;
Universitas Sumatera Utara
Wagner, 2007). NFκB aktif akan memicu produksi berbagai sitokin
proinflamasi dan mikroglia merupakan salah satu sel utama pembentuk
berbagai sitokin (Ye et al., 1999; Yu et al., 2002).
Gambar 2.9 Skema mekanisme aksi dari Melatonin (The International
Journal of Biochemistry & Cell Biology 38 (2006) 313–316)
2.2.4 Kebutuhan Melatonin
Data mengenai kebutuhan Melatonin masih sangat terbatas. Rerata
kadar Melatonin serum pada individu normal adalah 200 pg/mL atau 862
pmol/L pada malam hari dan 10 pg/mL atau 43 pmol/L (Hardeland dan
Pandi-Perumal, 2005). Sebuah studi menyatakan jika dosis 0,5–50 mg per
hari per oral, aman untuk dikonsumsi individu dewasa dalam jangka waktu
singkat (van Bockstaele, 2007). Suplementasi oral dengan dosis 1–300
mg (Vijayalaksmi et al., 2004) atau 1000 mg/hari selama 30 hari tidak
Universitas Sumatera Utara
memberikan efek samping negatif (Nordlund dan Lerner, 1997).
Srinivasan et al., mendapatkan suplementasi Melatonin 20 mg/kgBB/ hari
dapat menghambat apoptosis dan kerusakan sel hepar karena stres
oksidatif pada malaria (Srinivasan et al., 2010). Beberapa studi pada
hewan coba menggunakan dosis bervariasi untuk edema serebri. Rerata
dosis yang diberikan adalah 5 – 6 mg/kgBB.
2.2.5 Bioavailabilitas Melatonin
Melatonin langsung beredar dalam aliran darah dan/atau cairan
serebrospinal atau cerebrospinal fluid (CSF) setelah diproduksi oleh
kelenjar pineal tanpa disimpan terlebih dahulu. Sebanyak 70% Melatonin
terikat albumin untuk transportasi (Cardinali et al., 1972). Waktu paruh
Melatonin adalah kurang lebih 30 menit, di mana 30 menit untuk
pemberian Melatonin intravena dan 30 – 45 menit untuk pemberian
Melatonin per oral (Mallo et al., 1990). Penelitian pada penderita sakit
kritis
menunjukkan
suplementasi
Melatonin
per
oral
mengalami
penyerapan secara cepat. Melatonin serum meningkat dalam 5 menit dan
puncaknya terjadi 16 menit setelah suplementasi (Mistraletti et al., 2010).
Studi farmakokinetik pada hewan coba mendapatkan bahwa sekitar 500
mg Melatonin harus diberikan secara berkesinambungan setiap jam agar
peningkatan kadar Melatonin serum tetap bertahan 10 kali lebih tinggi dari
pada kadar normal (Huether et al., 1992). Melatonin mengalami inaktivasi
di hepar dengan dikonversi menjadi 6-hidroksiMelatonin (6HMT) oleh
sistem enzim p-450-dependent microsomal mixed-function. Sebagian
Universitas Sumatera Utara
besar 6HMT diekskresikan melalui urin dan feces dalam bentuk konjugat
sulfat 6-sulfatoksiMelatonin (6SMT) dan sisanya dalam bentuk glukuronid
(Arendt, 1995). Gangguan fungsi hepar dan ginjal dapat memengaruhi
bersihan atau klirens Melatonin (Viljoen et al., 1992). Metabolit utama
Melatonin adalah 6SMT, dan konsentrasi dalam urin mencapai 90%
setelah suplementasi Melatonin (Arendt, 1995).
2.2.6 Peran Melatonin pada Penurunan Edema Serebri
Lotufo et al., menjelaskan modulasi interaksi antara endotel dan
leukosit (Lotufo et al., 2001), efek langsung pada sel endotel (Lotufo et al.,
2006), penekanan produksi NO pada jaringan otak hipoksia, dan
menjelaskan antioksidan (Cuzzocrea et al., 1997; Cuzzocrea et al., 1999;
Bilici et al., 2002; El-shenawy et al., 2002). Sifat antioksidan Melatonin ini
adalah karena antioksidan dapat menangkap radikal bebas dan memicu
ekspresi enzim antioksidan. Melatonin dapat menyingkirkan radikal
hidroksil (OH), hidrogen peroksida (H2O2), singlet oxygen, asam
hipoklorat, anion peroksinitrit (ONOO-) dan atau asam peroksinitrat (Reiter
et al., 2003; Haldar et al., 2001). Melatonin meningkatkan dan ekspresi
enzim antioksidan, seperti superoksid dismutase, katalase, glutation
peroksidase, dan glutation reduktase meningkat oleh Melatonin (Pablos et
al., 1995; Ozturk et al., 2000; Meki dan Hussein, 2001; Reiter et al., 2004;
Subramanian et al., 2007). Lebih jauh lagi, efek antioksidan Melatonin
terjadi karena kemampuannya dalam menurunkan peroksidasi lipid
(Kacmaz et al., 2005). Aldehid seperti Malondialdehyde (MDA) dan 4-
Universitas Sumatera Utara
hidroksi-2-nonenal terbentuk selama peroksidasi lipid karena kerusakan
jaringan dapat meningkatkan kadar radikal bebas (Esterbauer et al.,1991).
Melatonin diketahui dapat berinteraksi langsung dengan MDA dan
menghindari kerusakan selular karena stres oksidatif (Li et al., 2005).
Stres oksidatif ini terjadi bila ada inflamasi dan kerusakan selular terjadi
karena produksi sitokin proinflamasi yang berlebih.
Melatonin dapat berperan sebagai antiinflamasi karena dapat
menyupresi produksi sitokin proinflamasi dan reactive oxygen species
(ROS). Produksi sitokin proinflamasi, seperti IL-1, IL-6, dan TNFα
diinduksi oleh NFκB yang teraktivasi, transkripsi (Li et al., 2005) ini
berperan pada aktivasi sel termasuk sel mikroglia dan pembentukan ROS
(Gitto et al., 2004)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.10 Signaling Melatonin pada Sel Melalui Aktivasi Gpcr dan
Reseptor Inti (Tae-Young., et al., 2014).
Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa Melatonin efektif mencegah
kerusakan sel. Salah satunya adalah Gitto et al., yang meneliti peran
Melatonin terhadap produksi sitokin proinflamasi pasca pembedahan pada
hewan coba. Gitto et al., mendapatkan kadar IL-6 dan IL-8 lebih rendah
secara bermakna pada kelompok perlakuan yang mendapat suplementasi
Melatonin 10 mg/kgBB (Gitto et al., 2004). Penelitian hewan coba
mendapatkan bahwa tingkat kerusakan otak pascacedera dapat ditekan
Universitas Sumatera Utara
dengan pemberian Melatonin 5 mg/kgBB (Mesenge et al., 1998).
Penelitian berikutnya adalah dengan memberikan injeksi Melatonin 10
mg/kgBB pada hewan coba dengan cedera kepala lebih berat. Kemudian
sampai dengan dua jam pascatrauma diberikan tiga kali injeksi ulang
dengan dosis yang sama. Pada hasil akhir didapatkan bahwa volume
kontusio menurun secara bermakna. Jumlah dari kerusakan jaringan saraf
yang dinyatakan sebagai volume kontusio penting diketahui untuk
estimasi defisit neurologis yang timbul akibat cedera (Sarrafzadeh et al.,
2002; Kerman et al., 2005). Beni et al., menguji efikasi Melatonin dalam
perbaikan gangguan neufisiologi dan perubahan molekular yang sebagai
akibat cedera. Pada uji ini digunakan hewan coba yang diberikan
Melatonin dengan dosis 1-10 mg/ kgBB setelah induksi trauma. Hasil yang
didapat adalah 5 mg/kgBB merupakan dosis efektif untuk menekan
kerusakan jaringan saraf. Perbaikan terjadi pada hari pertama, keempat,
dan ketujuh pascatrauma. Hewan coba yang mendapat Melatonin
mengalami pemulihan lebih cepat dan lebih baik dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Kemudian, diketahui bahwa Melatonin meningkatkan
kadar antioksidan, menghambat dengan sempurna aktivasi fase lanjut
NFκB, dan menurunkan jumlah apoptocyc (AP)-1. Makna dari penemuan
ini adalah bahwa Melatonin menghambat kerusakan intraselular sel saraf
melalui peningkatan kadar antioksidan intraselular dan meningkatkan
pemulihan neurologis karena menghambat respon inflamasi melalui
reduksi NFκB dan AP-1 fase lanjut (Beni et al., 2004).
Universitas Sumatera Utara
Studi oleh Genovese et al., menguji pemberian kombinasi
Melatonin dengan steroid dalam menghadapi stres oksidatif atau nitrosatif.
Kelompok perlakuan mendapatkan deksametason 10 mg/kgBB dan
Melatonin 0,025 mg/kgBB diberikan secara intraperitoneal pada satu dan
empat jam pascatrauma. Sejumlah penanda kerusakan selular diamati
termasuk sitokin proinflamasi TNFα yang terkait dalam respon inflamasi.
Pengamatan dilakukan setiap hari selama sepuluh hari pascatrauma.
Setelah diuji, diketahui bahwa terapi kombinasi deksametason dan
Melatonin secara bermakna menurunkan kerusakan morfologis sel saraf
melalui supresi TNFα (Genovese et al., 2007). Hasil ini konsisten dengan
studi Samanta et al., yang memberikan perlakuan Melatonin 45 mg/kgBB
pada 15 menit pascatrauma dan diamati selama 48 jam kemudian.
Samanta
et al., menyatakan bahwa Melatonin menurunkan secara
bermakna ekspresi kalpain, respon inflamasi, kerusakan akson, dan
kematian sel saraf (Samanta et al., 2008). Secara teoretis, sebagai respon
dari terjadinya inflamasi akan terjadi stres oksidatif. Stres oksidatif ini
kemudian meningkatkan ekspresi NFκB dan TNFα. Nuclear factor κ-B aktif
akan
mengaktivasi
TNFα.
Kemudian,
TNFα
inilah
yang
akan
menghasilkan dan mengaktifkan berbagai sitokin proinflamasi lain,
sehingga penekanan pada NFκB dan TNFα diduga berperan pada
hambatan aktivasi sitokin pro inflamasi dan menurunkan produksi MPO
dan ROS. (Kaur et al., 2008).
Universitas Sumatera Utara
Torii et al., meneliti peran Melatonin dalam supresi edema serebri
dengan uji klinis pada hewan coba. Kelompok perlakuan mendapatkan
Melatonin 6 mg/kgBB per oral sebanyak dua kali, yaitu pada satu jam
pascaoklusi middle cerebral artery (MCA) dan satu hari setelah
pembedahan. Pada analisis diketahui bahwa volume edema kelompok
perlakuan menurun 51,6 % (p< 0,01) dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Efek protektif Melatonin terhadap edema ini tampak lebih besar
pada korteks serebri. Edema korteks serebri menurun 59,8 % (p< 0,01)
dibandingkan dengan striatum yang 34,2% (p< 0,05) (Torii et al., 2004).
Sebelumnya, Kondoh et al., juga menyatakan bahwa Melatonin berperan
dalam menurunkan pembentukan edema serebri pada hewan coba
dengan iskemia (Kondoh et al., 2002). Melatonin diketahui dapat
menurunkan permeabilitas vaskular karena dapat menurunkan kadar
jaringan VEGF (Kaur et al., 2006; Kaur et al., 2007; Sivakumar et al.,
2008), sehingga produksi AQP4 dan formasi edema serebri menurun
(Kaur et al., 2006).
Ayer et al., melakukan penelitian pada hewan coba dengan
memberikan Melatonin dosis tinggi, yaitu 150 mg/kgBB pada dua jam
pascatrauma. Sebagai pembanding, terdapat dua kelompok kontrol yang
satu kelompok mendapat etanol 10% dan satu kelompok lainnya
mendapat Melatonin 15 mg/ kgBB. Kemudian hewan coba diamati pada
delapan dan 24 jam pascatrauma, dan kemudian diukur kandungan cairan
otak pada 24 jam pascatrauma. Pada kesimpulannya Ayer et al.,
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa survival rate kelompok perlakuan lebih tinggi secara
bermakna dibandingkan dengan kedua kelompok kontrol. Begitu juga
dengan jumlah cairan otak kelompok perlakuan. Hasil ini mengindikasikan
adanya hubungan antara jumlah cairan otak dengan edema serebri dan
tingkat mortalitas. Melatonin dosis tinggi dapat mencegah peningkatan
kadar cairan otak secara bermakna (Ayer et al., 2008).
Sejalan dengan Ayer et al., Lee et al., juga melakukan penelitian
pada hewan coba untuk mengetahui efek antioksidan Melatonin pada
hewan coba pascabedah otak. Lee et al., membagi subjek menjadi tiga
kelompok, Kelompok pertama mendapat Melatonin 5 mg/kgBB, kelompok
kedua mendapat Melatonin 15 mg/kgBB, dan kelompok ketiga mendapat
Melatonin 150 mg/kgBB. Seluruh kelompok mendapat injeksi Melatonin
satu jam pasca pembedahan dan kemudian efek Melatonin diamati pada
24 jam pasca pembedahan. Setelah dianalisis, diketahui bahwa Melatonin
dosis rendah memiliki kecenderungan menurunkan kadar cairan otak dan
Melatonin dosis tinggi (150 mg/kgBB) menurunkan kadar cairan otak dan
edema serebri secara bermakna (Lee et al., 2008).
Dari beberapa penelitian di atas diketahui peran Melatonin pada
penurunan edema serebri. Namun mekanisme pasti yang mendasari ini
masih menjadi kontroversi. Selain sifat Melatonin sebagai antioksidan
yang dapat menekan kerusakan sel, Kaur et al., menduga hal ini juga
karena kemampuan Melatonin dalam menurunkan ekspresi AQP4 dan
supresi pembengkakan astrosit. Akibatnya terjadi penurunan ambilan
Universitas Sumatera Utara
cairan oleh sel dan pembentukan edema dapat ditekan (Kaur et al., 2006).
Kemampuan ekspresi Melatonin dalam menurunkan ekspresi AQP4
diduga berhubungan dengan kemampuannya sebagai antioksidan.
Sebagai antioksidan, Melatonin berperan dalam menghambat NFκB
sehingga aktivasi dan ekspresi NFκB menurun. Penghambatan NFκB ini
menurunkan (80%) regulasi AQP4 pascatrauma secara signifikan (p<0,01)
(Kakulavarapu et al., 2011).
Gambar 2.11 Skematik Tahapan Cedera Kepala Secara Molekuler
Universitas Sumatera Utara
2.3 Kerangka Teori
CEDERA KEPALA
SEL DEBRIS
MAKROFAG
SITOKIN
IL-8
IL-6
TNFα
IL-1
LEUKOSITOSIS
E-SELEKTIN
VCAM
VEGF
ROS (MDA)
MPO
MELA
TONIN
AQP-4
ISKEMIA
EDEMA OTAK
Universitas Sumatera Utara
Pada cedera kepala akan terjadi kerusakan sel (sel debris). Adanya
kerusakan sel tersebut akan difagositosis oleh makrofag. Makrofag yang
memfagositosis sel debris tersebut akan menjadi aktif dan melepaskan
beberapa sitokin antara lain: IL-6, TNF-α, IL-8, IL-1. IL-6 dan TNF-α, dan
akan
menginduksi
sumsum
tulang
untuk
pembentukan
leukosit
(leukositosis), sedangkan IL-8 berperan sebagai neutrophil chemotactic
factor (NCF), sehingga neutrofil migrasi ke perifer. Selain itu, TNF-α
menginduksi endotel untuk mengeskpresikan E-selektin, yaitu dalam
molekul adesi terhadap eosinofil. Sedangkan IL-1 berperan untuk
menginduksi endotel dan mengekspresikan VCAM yang merupakan
molekul adesi terhadap monosit. Adanya kedua molekul tersebut
mengakibatkan neutrofil dan monosit menempel pada permukaan endotel.
Selanjutnya,
sel
tersebut
melepaskan
suatu
enzim
yaitu
myeloperoksidase, yang menginduksi pelepasan ROS/MDA. Adanya
trombosis dan ROS/MDA tersebut mengakibatkan terjadi gangguan
vaskuler pada otak dan akhirnya mengakibatkan terjadinya iskemia.
Iskemia tersebut akan mengakibatkan gangguan pompa sodium pada
astrosit, sehingga astrosit mengalami swelling (pembengkakan).
Selanjutnya, peran IL-1 pada inflamasi (cedera kepala), selain
menginduksi endotel pada vaskuler untuk mengekspresikan E-selektin
juga menginduksi endotel untuk mengekresikan VEGF, yang menginduksi
astrosit untuk mensekresi AQP-4.
Aquaporin
ini berperan untuk
menginduksi dinding vaskuler dan untuk memfasilitasi air masuk ke area
interstitial pada jaringan otak sehingga terjadi peningkatan kadar air pada
Universitas Sumatera Utara
area interstitial. Adanya swelling (pembengkakan) sel-sel pada otak akibat
iskemia dan peningkatan kadar air pada area interstitial maka terjadilah
perluasan volume otak yang kemudian dikenal sebagai edema otak.
Adanya edema otak akan mengakibatkan terjadi peningkatan tekanan
intrakranial yang sangat berbahaya bagi penderita. Untuk mengatasi hal
tersebut dilakukan dengan pemberian Melatonin. Melatonin ini bekerja
menghambat myeloperoksidase. Bila enzim ini dihambat, maka tidak akan
terjadi pembentukan ROS/MDA sehingga kerusakan jaringan pun tidak
terjadi. Oleh karena itu, iskemik dapat dikurangi. Bila iskemik tidak terjadi,
pompa sodium dapat berjalan dengan baik sehingga astrosit tidak
mengalami
pembengkakan.
Selain
menghambat
myeloperoksidase,
Melatonin juga bekerja menghambat VEGF. Adanya hambatan VEGF
tersebut maka astrosit tidak terinduksi untuk melepaskan AQP-4 sehingga
H2O tidak masuk ke cairan interstitial dan akhirnya edema otak dapat
diatasi.
2.4 Hipotesis Penelitian
1.
Melatonin berperan pada ekspresi MDA pada sel mikroglia hewan
coba yang mengalami cedera kepala.
2.
Melatonin berperan pada ekspresi MPO pada sel mikroglia hewan
coba yang mengalami cedera kepala.
3.
Melatonin berperan pada produksi VEGF pada SDO hewan coba
yang mengalami cedera kepala.
4.
Melatonin berperan pada ekspresi AQP4 pada SDO hewan coba
yang mengalami cedera kepala.
Universitas Sumatera Utara
5.
Terdapat korelasi positif antara produksi VEGF dan AQP-4 pada
SDO hewan coba yang diberi Melatonin.
2.5 Kerangka Konseptual
Hewan coba :
- Kelompok tanpa cedera kepala
- Kelompok kontrol dengan cedera kepala
- Kelompok perlakuan dengan cedera kepala
MELATONIN
2,5 mg/kgBB intraperitoneal
satu jam pascacedera dan di
ulang tiap 12 jam
Cedera kepala:
- MDA
- MPO
- VEGF
- AQP4
Hewan coba secara random dikelompokkan ke dalam 3 kelompok,
kelompok tanpa dilakukan cedera kepala, kelompok dilakukan cedera
kepala tanpa diberi Melatonin Kontrol (-), kelompok dilakukan cedera
kepala dengan diberi Melatonin. Pemberian Melatonin dilakukan 1 jam
pascatrauma kepala dan diulang tiap 12 jam selama 7 hari, kemudian
semua hewan coba dikorbankan untuk diambil jaringan otaknya dan
dilakukan pemeriksaan imunohistokimia untuk melihat MDA, MPO, VEGF
dan AQP-4.
Universitas Sumatera Utara
Download