BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cedera Kepala Cedera kepala adalah jejas atau perlukaan jaringan otak bukan karena proses degeneratif atau bawaan lahir, melainkan akibat dorongan dari luar yang dapat mengakibatkan penurunan ataupun perubahan status kesadaran (National Head Injury Foundation, 1985). Berdasarkan patofisiologi ini, cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi 1. Komosio serebri Komosio serebri adalah kehilangan fungsi otak sesaat tanpa adanya kerusakan jaringan otak, seperti pingsan kurang dari 10 menit atau amnesia pascacedera kepala. 2. Kontusio serebri Kontusio serebri adalah kerusakan jaringan otak dengan defisit neurologik yang timbul setara dengan kerusakan otak tersebut, seperti pingsan lebih atau sama dengan 10 menit atau ada lesi neurologis yang jelas. 3. Laserasi otak Laserasi otak adalah kerusakan jaringan otak yang luas disertai dengan robekan jaringan otak dan umumnya disertai fraktur terbuka kranium. Cedera kepala menyebabkan kematian neuron secara langsung melalui mekanisme disrupsi jaringan otak (cedera primer) atau secara Universitas Sumatera Utara tidak langsung melalui mekanisme sekunder (Maas et al., 2000). Mekanisme ini secara konseptual terbagi menjadi dua, yaitu secondary brain insult dan secondary brain damage. Secondary brain insult timbul akibat dari perburukan sistemik dan intrakranial yang memperberat kerusakan neuron setelah cedera kepala primer. Gejala yang timbul pada keadaan ini adalah systemic secondary insult dan intrakranial secondary insult (Teasdale, 1998; Maas et al., 2000). Secondary brain damage adalah cedera kepala sekunder yang terjadi setelah aktivasi langsung proses imunologi dan biokimia yang merusak dan menyebar secara ritmik. Mediator biokima dan inflamasi pada cedera ini terdiri atas asidosis laktat, kalsium, asam amino eksitatorik, asam arakhidonat, nitric oxide (NO), radikal bebas, peroksidasi lipid, aktivasi kaskade komplemen, sitokin, bradikinin, makrofag, dan pembentukan edema serebri (Hsu et al., 1995; Kossman, 2002; Lezlinger et al., 2001; McIntosh et al., 1999; Maas et al., 2000; Teasdale, 1998). 2.1.1 Edema serebri Cedera kepala karena iskemia adalah keadaan lanjutan dari kontusio primer jaringan otak. Iskemia dapat berlanjut menjadi edema vasogenik karena terbukanya sawar darah otak (SDO) dan edema sitotoksik yang karena adanya pembengkakan astrosit (Blumbergs, 2005). Efek dari sekuel cedera kepala ini biasanya lebih besar dari pada cedera itu sendiri. Lebih dari itu, peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi merupakan penentu utama keadaan klinis individu (Ghajar, 2000). Universitas Sumatera Utara Cedera kepala dapat memicu terjadinya berbagai mekanisme sehingga menyebabkan perlukaan sekunder yaitu edema serebri (Cooper, 1985). Edema serebri adalah peningkatan akumulasi cairan otak intraselular dan atau ekstraselular (Klatzo, 1967). Keadaan ini ditandai dengan pembengkakan jaringan otak sesuai dengan peningkatan progresif kadar cairan otak yang dapat terjadi karena iskemia (Ribeiro et al., 2006), trauma (Zador et al., 2007), tumor (Saadoun et al., 2002), dan inflamasi (Papadopoulos dan Verkman, 2005). Terbatasnya rongga kranium dan pembengkakan progresif jaringan otak mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK), penurunan aliran darah ke otak, herniasi serebri, dan bahkan kematian. Berdasarkan mekanismenya, Klatzo membagi edema serebri menjadi dua kategori, yaitu edema sitotoksik atau intraselular dan edema vasogenik atau ekstraselular. Keduanya dapat diketahui dengan rinci melalui studi mikroskopik dan ultrastruktural. Pengukuran kadar cairan jaringan melalui pencitraan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat membedakan edema sitotoksik dan edema vasogenik (Klatzo, 1967). Edema sitotoksik adalah akumulasi cairan di kompartemen intraselular (Klatzo, 1967) neuron, mikroglia, dan astrosit (Unterberg et al., 2004). Edema sitotoksik berhubungan dengan kegagalan pompa Na/K ATP-dependent yang berhubungan dengan energi. Kegagalan asupan energi jaringan memengaruhi otak yang terjadi kinerja pompa Na/K pada keadaan ATP-dependent. iskemia dapat Keadaan ini Universitas Sumatera Utara berhubungan dengan terganggunya pertukaran ion intrasel dan ekstrasel, sehingga osmolalitas intrasel meningkat dan cairan akan masuk ke dalam sel dan kemudian menimbulkan gangguan intrasel. Oleh karena itu, edema sitotoksik disebut juga edema ionik. Pada keadaan tertentu, bila cairan yang terakumulasi sangat banyak, dapat terjadi ruptur membran sel dan cairan keluar ke kompartemen ekstraselular (Marmarou et al., 2000). Meskipun edema sitotoksik lebih sering terjadi dibandingkan dengan edema vasogenik, pada akhirnya keduanya dapat meningkatkan TIK dan berlanjutnya iskemia (Marmarou et al., 2006). Adakalanya edema sitotoksik tidak menimbulkan peningkatan cairan jaringan otak atau pembengkakan dan peningkatan TIK, tetapi kerusakan dan kematian sel yang terjadi berhubungan dengan kerusakan jaringan otak (Donkin dan Vink, 2010). Universitas Sumatera Utara (A) (B) (C) Gambar 2.1 Ilustrasi keadaan Sel Normal (A); Edema Sitotoksik (B), Edema Vasogenik (C) (Donkin dan Vink, 2010) Edema vasogenik adalah peningkatan cairan esktrasel yang terjadi karena kebocoran SDO. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan osmotik dan cairan ke luar dari pembuluh darah dan kemudian masuk ke dalam kompartemen ekstraselular. Cairan intravaskular ini keluar melalui endotel dengan mekanisme pinositosis dan atau tight junction yang bocor. Edema vasogenik sering disebut juga edema osmotik. Kebocoran SDO dapat terjadi karena beberapa keadaan seperti cedera kepala, tumor, infeksi, perdarahan intraserebri, dan inflamasi. Oleh karena itu, edema vasogenik Universitas Sumatera Utara sangat berhubungan dengan peningkatan kadar cairan otak, pembengkakan jaringan otak, dan peningkatan TIK. Pada keadaan tertentu dapat terjadi edema serebri yang didasari oleh kedua mekanisme di atas, misalnya edema transependimal. Edema transependimal adalah peningkatan cairan interstitial periventrikular karena kerusakan lapisan ependimal dinding ventrikular. Hal ini biasanya terjadi pada hidrosefalus. Edema hidrostatik adalah bagian dari edema vasogenik yang terjadi ketika tekanan perfusi serebral meningkat. Keadaan ini biasanya terjadi pada ensefalopati hipertensi. Pada dasarnya, baik edema sitotoksik maupun edema vasogenik terjadi ketika osmolalitas plasma menurun sehingga terjadi pengeluaran cairan. Meskipun demikian, keduanya dipisahkan menjadi dua klasifikasi yang berbeda. Beberapa keadaan klinik berkembang menjadi edema serebri berdasarkan kombinasi mekanisme edema yang berbeda. Ini bergantung pada gangguan yang timbul akibat penyakit dan waktu perjalanan penyakit (Nag et al., 2009). Kerusakan SDO adalah salah satu peran utama dalam terjadinya edema serebri. Kedua tipe edema, yaitu vasogenik dan sitotoksik mengakibatkan peningkatan TIK, dan penurunan tekanan perfusi serebral (TPS), dan pada akhirnya menimbulkan iskemia jaringan. Iskemia berperan pada terjadinya vasodilasi melalui mekanisme autoregulator yang berfungsi sebagai restorasi perfusi serebral. Vasodilasi yang terjadi akan meningkatkan volume darah serebral, dan pada akhirnya juga Universitas Sumatera Utara meningkatkan TIK, menurunkan TPS, serta memicu berlanjutnya iskemia (Rosner dan Rosner, 1995). Beberapa studi eksperimental menyatakan bahwa beberapa neurotransmitter, seperti glutamat, asetilkolin, dan senyawa vasoaktif, seperti serotonin, histamin, prostaglandin, asam amino, asam laktat, dan lain-lain berperan dalam mediasi, inisiasi, dan propagasi edema otak. Platelet adalah sumber utama senyawa-senyawa di atas yang akan memproduksi neurotransmitter ketika melekat di pembuluh darah kapiler (Baethmann et al., 1980; Baethmann et al., 1991; Hayes et al., 1991). Prostaglandin berperan pada terjadinya edema serebri melalui mekanisme (1) peningkatan permeabilitas kapiler serebral, (2) vasokonstriksi yang menyebabkan iskemia (Yamamoto et al., 1972), dan (3) potensiasi dari senyawa lain seperti serotonin dan katekolamin. Gambar 2.2 Pelepasan MPO oleh Sel-sel Imunokompeten pada sistem SDO (sawar darah otak) (Ke Ding., et al., 2014). Universitas Sumatera Utara Proses terjadinya edema serebri diantarai oleh beberapa mediator di antaranya adalah aquaporin (AQP) dan sitokin. Aquaporin adalah kunci utama terjadinya edema serebri (Manley et al., 2000; Papadopoulos dan Verkman, 2008; Taya et al., 2008). Beberapa studi mendapatkan peningkatan kadar AQP pascacedera kepala dan peranannya pada kejadian edema serebri (Manley et al., 2000) sehingga penggunaan agen penghambat AQP diduga berperan dalam pengendalian edema serebri (Taya et al., 2008). Namun, beberapa studi lain mendapatkan bahwa perubahan kadar AQP ini berhubungan dengan jenis edema (Ghabriel et al., 2006; Papadopoulos et al., 2004, Sun et al., 2003). Penelitian pada hewan coba dengan iskemia serebral mendapatkan, bahwa hambatan ekspresi AQP berhubungan dengan penurunan tingkat edema dan luas area infark, serta peningkatan status fungsional. Keadaan ini terjadi pada edema sitotoksik. Hasil yang berbeda didapatkan pada edema vasogenik, yang luasnya edema meningkat saat dihambatnya AQP. Hasil ini menunjukkan bahwa AQP bermanfaat dalam menekan terjadinya edema vasogenik (Papadopoulos et al., 2004). Studi eksperimental mendapatkan adanya peningkatan kadar AQP4 pada sel glia dan penurunan kadar AQP4 perivaskular terhadap terjadinya edema vasogenik (Ghabriel et al., 2006). Yang patut menjadi perhatian adalah penurunan gejala edema dan perbaikan status fungsional berhubungan dengan kembalinya AQP4 ke dalam keadaan normal. Kecepatan perbaikan kadar AQP4 setelah penatalaksanaan mengindikasikan adanya modifikasi posttranslational Universitas Sumatera Utara yang berperan pada sintesis protein (Taya et al., 2009). Peningkatan kadar cairan jaringan otak ditunjukkan oleh komponen vaskular sebagai tempat pergeseran kompartemen sitotoksik. Hambatan AQP channel berperan pada keadaan edema sitotoksik, tetapi tidak pada edema vasogenik, karena AQP channel melekat pada dinding sel. Selain AQP, terdapat matriks metalloproteinase (MMP) yang berperan saat terjadinya edema serebri. Matriks metalloproteinase adalah enzim endopeptidase zinc-dependent yang berperan dalam perbaikan jaringan pada berbagai keadaan patologis. Regulasi MMP sangat kompleks dan terkontrol. Hilangnya kontrol regulasi sangat berperan dalam patofisiologi kerusakan sinaps dan SDO pada cedera kepala, stroke, dan neurodegenerasi (Rosenberg dan Yang, 2007; Candelario-Jalil et al., 2009; Ding et al., 2009; Rosenberg, 2009). Peran MMP dalam edema serebri adalah kemampuannya dalam memecah berbagai jenis protein matriks ekstraselular termasuk protein lamina basal neurovaskular dan protein tight junction SDO (Grossetete et al., 2009; Hayashi et al., 2009; Vajtr et al., 2009). Kadar MMP terutama MMP2, MMP3, dan MMP9 meningkat pada keadaan cedera kepala (Falo et al., 2006; Vilalta et al., 2008; Hayashi et al., 2009). Ketiganya menyebabkan kerusakan akut SDO, edema vasogenik, dan bahkan kematian sel. Peningkatan kadar MMP9 yang terjadi secara temporer berhubungan dengan kebocoran SDO dan terbentuknya edema (Gasche et al., 1999; Asahi et al., 2001). Sejalan dengan ini, defisiensi gen MMP9 pada hewan coba menunjukkan Universitas Sumatera Utara efek protektif pada cedera kepala dengan iskemia fokal dan global (Wang et al., 2000; Asahi et al., 2001; Gidday et al., 2005). Defisiensi gen MMP9 ini menurunkan kebocoran SDO dan pembentukan edema, menurunkan respons inflamasi, serta meningkatkan integritas membran sel dan status fungsional (Fujimoto et al., 2008; Vajtr et al., 2009, Homsi et al., 2009; Tejima et al., 2009). Mediator lain untuk edema serebri adalah zat vasoaktif. Zat vasoaktif dapat meningkatkan permeabilitas SDO dan mengakibatkan edema serebri (Abbott, 2000). Studi terbaru menyatakan bahwa zat vasoaktif yang berperan tidak hanya mediator inflamasi klasik, tetapi juga mediator inflamasi neurogenik. Salah satu contoh zat inflamasi klasik adalah bradikinin, yaitu anggota kelompok kinin yang berperan penting pada terjadinya edema serebri (Plesnila et al., 2001). Bradikinin dibentuk dari pembelahan kininogen oleh kalikrein. Dengan bantuan enzim peptida, bradikinin menghantarkan sinyalnya melalui dua subtipe reseptor bradikinin, yaitu reseptor B1 dan B2. Kadar bradikinin meningkat maksimal pada dua jam pertama pascatrauma dan kedua reseptornya meningkat signifikan pada 24 jam pertama pascatrauma. Meskipun kedua reseptor ini meningkat, hanya supresi reseptor B2 saja yang secara bermakna mengurangi edema dan meningkatkan status fungsional pascaedema (Trabold et al., 2010). Pemberian antagonis reseptor B2 berperan dalam menurunkan tekanan intrakranial (TIK) dan volume kontusio pada hewan coba (Plesnila et al., 2001; Zausinger et al., 2003; Zweckberger dan Universitas Sumatera Utara Plesnila, 2009; Su et al., 2009). Anggota lain dari keluarga kinin adalah takikinin, yaitu sebuah mediator peptida yang berperan pada inflamasi neurogenik. Inflamasi neurogenik adalah proses yang terdiri atas vasodilasi, ekstravasasi plasma, dan hipersensitivitas neuronal yang disebabkan oleh penglepasan neuropeptida dari neuron sensorik (Geppetti et al., 1995). Neuropeptida yang telah teridentifikasi berperan pada inflamasi neurogenik adalah calcitonin gene-related peptide (CGRP), CGRP ini berperan pada vasodilasi yang senyawa P-nya meningkatkan ekstravasasi protein plasma (Nimmo et al., 2004). Ada keterkaitan langsung antara aliran darah otak (ADO) dan metabolisme tubuh. Penurunan ADO berhubungan dengan hipoksia dan glikolisis anaerob. Hipoksia dapat menimbulkan gangguan SDO melalui berbagai mekanisme yang diperantarai oleh VEGF, NO, dan respon inflamasi. Hipoksia memicu peningkatan produksi Vascular endothelial growth factor (VEGF) yang berakibat pada peningkatan permeabilitas vaskular dan pembentukan edema. VEGF diketahui berikatan dengan reseptor VEGF di pembuluh darah area iskemik dan berperan pada gangguan dan kebocoran SDO (Zhang et al., 2000; Zhang et al., 2002). Nitric oxide diketahui dapat memodulasi aliran ion, zat gizi, dan molekulmolekul lain, serta meregulasi fungsi SDO (Janigro et al., 1994). Produksi NO yang berlebih dapat meningkatkan aliran darah dan permeabilitas SDO (Shukla et al., 1996; Thiel dan Audus, 2001). Keadaan iskemia- Universitas Sumatera Utara hipoksia meningkatkan produksi prostaglandin dan kinin. Kedua mediator ini selanjutnya menginisiasi respon inflamasi yang dapat berakibat pada gangguan SDO (Zach et al., 1997; Yang et al., 1999; Saleh et al., 2004). Kemokin dan sitokin yang diproduksi oleh sel glia dan endotel pada saat iskemia-hipoksia meningkatkan migrasi limfosit melalui SDO dan juga permeabilitas pembuluh darah (Zach et al., 1997; Gong et al., 1998; Weiss et al., 1998; Prat et al., 2001). Selain itu, respon inflamasi dapat mengaktivasi caspase, translokase, dan endonuklease yang dapat menginisiasi perubahan membran dan nukleosom DNA secara progresif. Hipoksia juga menyebabkan penglepasan beberapa neurotransmitter, seperti glutamat dan aspartat. Neurotransmiter ini akan mengaktivasi reseptor ionotropik dan metabotropik. Akibat dari ini akan terjadi influks ion kalsium (Ca) dan ion natrium (Na), serta efluks ion kalium (K). Influks ion Ca menimbulkan proses katabolisme intraselular, aktivasi enzim lipid peroksidase, akumulasi asam lemak bebas, dan radikal bebas. Untuk glikolisis anaerob, keadaan ini menyebabkan deplesi adenosin trifosfat (ATP) dan terganggunya pompa ion energy dependent di otak. Glikolisis anaerob ini juga berhubungan dengan akumulasi asam laktat dan peningkatan permeabilitas membran yang berakibat pada edema serebri. Tujuan penatalaksanaan edema serebri adalah menjaga aliran darah otak (ADO) regional dan global untuk memenuhi kebutuhan metabolisme otak dan mencegah cedera sekunder dari iskemia serebri. Universitas Sumatera Utara 2.1.2 Sel Mikroglia Mikroglia dapat dianggap sebagai sel imun dari sistem saraf pusat, yang berperan setara dengan sel fagosit mononuklear yang ada pada jaringan soma (Gonzales-Scarano dan Baltuch, 1999), yakni immun surveillance dan pertahanan tubuh terhadap invasi berbagai proses infeksi. Namun demikian, jika mikroglia teraktivasi sebagai respon terjadinya proses inflamasi, mikroglia aktif akan mengalami berbagai proses diferensiasi, proliferasi, dan menghasilkan berbagai faktor proinflamasi. Mikroglia yang aktif akan mensekresi berbagai faktor proinflamasi dan neuroinflamasi yang bersifat neurotoksik. Faktor-faktor ini bila tidak dikendalikan maka akan menimbulkan kerusakan yang luas (Liu dan Hong, 2002). Proses aktivasi mikroglia diawali oleh inflamasi sel dan jaringan akibat adanya lesi dan/atau iskemia. Mikroglia aktif akan melepaskan glial derived neurotrophic factor, TNFα, IL-1β, IL-6, NO, superoxide, eikosanoid, asam kuinolat, plasminogen, dan nuclear factor (NF)κB (Shigemoto-Mogami et al., 2001; Suzuki et al., 2004). Nuclear factor (NF)κB adalah suatu faktor transkripsi yang bila teraktivasi akan mengaktifkan TNFα. TNFα aktif akan meningkatkan ekspresi sitokin proinflamasi lain, seperti IL-1β, IL-6, dan IL-8. Hasilnya dapat dipahami jika aktivasi mikroglia tidak terkendali, dapat menimbulkan kerusakan jaringan otak yang luas. Universitas Sumatera Utara Ada berbagai metode dalam mengendalikan aktivasi mikroglia seperti mekanisme cell adhesion molecules (CAM) oleh neuron (McMillian et al., 1994), penggunaan reseptor antagonis opioid dan golongan steroid (Kong et al.,1997), mekanisme vasoactive intestinal peptide (VIP), dan aktivasi sitokin antiinflamasi, seperti TGF β dan IL-10 melalui mekanisme mikroglia-deactivating factor (Delgado dan Ganea, 2003). 2.1.3 Malondialdehyde Malondialdehyde (MDA) adalah senyawa organik dengan rumus CH2(CHO)2. Struktur senyawa ini lebih kompleks dan sangat reaktif, terjadi secara alami, dan merupakan penanda stres oksidatif (Romieu et al., 2008). Malondialdehyde utama terdapat dalam bentuk enol dengan rumus kimianya : CH2(CHO)2 Hoch = CH-CHO Malondialdehyde merupakan senyawa golongan sebagai hasil produksi proses lipid peroksida, yang bersifat toksik pada sel. Malondialdehyde dapat diukur degan metode Thibarbituric Acid Reactive Substance (TBARS). Nilai stres oksidatif berdasarkan reaksi asam thibarbiturat pada suhu 1000C akan menghasilkan krofor berwarna merah muda yang dapat dibaca pada panjang gelombang 532 m (Halliwell and Gutterge, 1999). Malondialdehyde merupakan senyawa yang sangat reaktif yang tidak biasa diamati dalam bentuk murni. Di Laboratorium dapat dihasilkan Universitas Sumatera Utara hidrolis dari 1,1,3,3-tetramethoxypropane, yang tersedia secara komersial. Hal ini memudahkan hilangnya proton dalam memberikan garam sodium dari enolat (mp 2450C). Spesies oksigen reaktif menurunkan lipid polyunsaturated, dan membentuk Malondialdehyde. Senyawa ini merupakan aldehida reaktif dan merupakan salah satu spesies yang memiliki banyak elektrofil reaktif. Akibatnya dapat menimbulkan stres toksid dalam sel, dan membentuk protein kovalen adduct yang disebut akhir lipoxidation sebagai lanjutan produk Advance Lipoxidation Endproduct (ALE), dan mengakhiri glikasi maju-produk Advance Glicostatin End-product (AGE). Produksi aldehida ini digunakan sebagai biomarker untuk mengukur tingkat stres oksidatif dalam organisme. Malondialdehyde bereaksi dengan deoxyadenosine dan deoxyguanosine dalam DNA, serta membentuk DNA M1G yang mutagenik (Hall, 1995). Malondialdehyde (MDA) adalah suatu senyawa yang berasal dari peroksidasi lipid dan biosintesis eicosanoid. Keduanya terdapat dalam matriks biologis dalam bentuk bebas dan terikat kepada SH atau kelompok NH2 dari berbagai biomolekul. Meskipun senyawa lain (isoprostance) telah diusulkan sebagai indikator yang lebih dapat diandalkan untuk menganalisis kerusakan oksidatif, MDA masih banyak digunakan di laboratorium kimia klinis untuk memantau stres oksidatif. Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengevaluasi MDA dalam sampel biologis, tetapi kondisi analitis yang berbeda yang digunakan dan belum ada standar internal yang sesuai telah menyebabkan perbedaan Universitas Sumatera Utara besar dalam pengukuran, bahkan pada konsentrasi fisiologis MDA plasma manusia (Cighetti et al., 2002). 2.1.3.1 Malondialdehyde (MDA) sebagai produk hasil Stres Oksidatif Radikal bebas dihasilkan selama proses fisiologis normal. Namun pelepasannya meningkat pada keadaan iskemia, reperfusi, reaksi inflamasi, dan penyakit neuro-degeneratif. Sumber-sumber endogen pembentukan radikal bebas meliputi sistem NADPH oksidase, reaksi fosforilasi oksidatif, enzim oksidasi dan metabolisme arakhidonat, sedangkan sumber oksigennya adalah radiasiionisasi, merokok, alkohol, paparan polutan, sinar ultraviolet, dan radiasiterionisasi (Droge, 2002). Pada proses inflamasi terdapat peranan neutrophil yang dapat memproduksi oksigen radikal dengan peningkatan enzim NADPH oksidase dan mieloperoksidase. Peningkatan produksi radikal beriringan dengan peningkatan enzim NADPH oksiadase dan mieloperoksidase. Peningkatan produksi radikal bebas pada kondisi febris, asma, rheumatoid arthritis, SLE, psoriasis berhubungan dengan adanya proses inflamasi. Pada penderita DM peningkatan produksi radikal bebas disebabkan oleh beberapa mekanisme. Hiperglikemia mengakibatkan peningkatan produksi superoksid pada mitokondria II yang kompleks, autooksidasi glukosa juga menghasilkan superoksid dan kemudian terjadi peningkatan LDL yang teroksidasi dalam sel endotel. Stres mekanik pada hipertensi akan menginduksi translokasi p47 phox dan kemudian terjadi aktivasi NADPH oksidase. Aktivasi reseptor AT1 oleh angiotensis II juga mengakibatkan Universitas Sumatera Utara teraktivasinya NADPH oksidase dan superoksid diproduksi akibat aktivasi oleh 12-LO (lipooksigenase) dalam vasculer smooth muscle cell (VSMCs). Pada hiperkolesterolemia produksi ROS dan LDL teroksidasi (Ox-LDL) berhubungan dengan NaDPH oksidase pada subunit p22 phox. ROS yang diproduksi akibat aktivasi NaDPH oksiadse meningkat secara bermakna dan secara progresif mencapai kadar puncak saat terjadi dekompensasi kordis (Ardhibatla et al., 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Walter et al., didapatkan adanya peningkatan kadar MDA dengan metode TBARS pada perokok, hipertensi, hiperlipidemia dan diabetes melilitus. (Walter et al., 2004). Kadar MDA juga meningkat pada penyakit asma, rheumatoid arthritis dan preeklamsia. (Ladecola and Zhang, 1995). Endogenous sources Mitochondrial leak Respiratory burst Enzyme reactions Autooxidation reactions Environmental sources Free radical production cigarette smoke pollutants UV light O2 , H2O2 ionising radiation xenobiotics Transition Metals Fe2+, Cu+ OH Lipid peroxidation Modified DNA bases Protein damage Tissue damage Gambar 2.3 Sumber Eksogen dan Endogen Radikal Bebas (Young and Woodside) Universitas Sumatera Utara Stres oksidatif merupakan keadaan yang tidak seimbang antara prooksidan dan antioksidan. Produksi radikal bebas dapat melebihi kemampuan penghambat radikal alamiah atau mekanisme scavenging (pembersih). Mekanisme penghambat radikal bebas terdiri atas oksidan endogen dan eksogen. Antioksidan endogen terdiri dari superoksid dismutase (SOD), Glutathion peroksidase (GPx) dan katalase. Anti oksidan eksogen terdiri atas vitamin E, betakaroten dan vitamin C. (Cherubini et al., 1995). Stres oksidatif pada susunan saraf pusat sangat mematikan sebab otak manusia utamanya memakai metabolisme oksidatif. Meskipun berat otak hanya 2 % dari berat tubuh, otak menggunakan sekitar 50% dari seluruh oksigen tubuh. Faktor lain yang sangat berbahaya adalah stres oksidatif pada otak dengan kandungan polyunsaturated fatty acid (PUFA) yang tinggi, yaitu hampir 50 % dari struktur jaringan otak. Jaringan otak mengandung asam askorabat 100 kali lipat dibandingkan dengan pembuluh darah perifer, yang juga dapat meningkatkan risiko terjadinya stres oksidatif. Radikal bebas merusak sel dan bereaksi dengan makro molekuler sel melalui proses peroksidasi lipid, oksidasi DNA, dan protein (Gusev and Skvortsova, 2003). Peroksidasi lipid mengakibatkan gangguan pada fluiditas dan permiabilitas membran, kerusakan membran sel dan organel, kerusakan sitoskeleton, hambatan pada metabolisme sel dan gangguan transpor ion. Kerusakan mitokondria juga dapat menyebabkan produksi ROS Universitas Sumatera Utara bertambah. Produk-produk peroksidasi lipid MDA, HNE, dan acrolein juga dapat bereaksi dengan protein dan mengakibatkan perubahan fungsi protein (Weigan et al., 1999). Kerusakan pada DNA baik disebabkan radikal maupun perosinitrit mengakibatkan terbentuknya single stand break DNA dan struktur ini akan mengaktivasi poli-ADP ribose polymerase (PARP). Aktivasi PARP mengakibatkan berkurangnya adenin nukleotida yang akan menghambat fungsi mitokondria sehingga terjadi penurunan ATP sel dan kematian sel. PARP juga dapat menaktivasi apoptoticinducing factor (AIF) di mitokondria. Mekanisme ini juga didukung dengan berkurangnya infark otak tikus didapat dengan PARP inhibitor (Lipton, 1999). Oksidasi protein oleh radikal bebas membentuk kelompok karbonil atau disfid, dan juga sebagai reduktan, yang menyebabkan formasi S-H dari ikatan S-s. Kerusakan pada protein, terutama bentuk enzim, akan mengganggu fungsinya (Cherubini et al., 1999). 2.1.4 Reactive Oxygen Species dan Respon Inflamasi Reactive oxygen species (ROS) adalah molekul oksigen tunggal yang diproduksi secara berkesinambungan pada keadaan aerobik dan terlibat pada berbagai proses di dalam tubuh seperti transformasi, regulasi, dan atau degradasi (Gardes-Albert et al., 2003; Favier, 2003). Meskipun demikian kadar ROS dikontrol ketat oleh antioksidan endogen dalam rangka melindungi tubuh dari efek negatif ROS. ROS mencakup radikal anion superoxide (O2-) terutama yang diproduksi di sitosol, Universitas Sumatera Utara mitokondria, dan retikulum endoplasma; hidrogen peroksida (H2O2) yang diproduksi peroksisom; radikal hidroksil reaktif (OH); oksigen singlet (1O2). Ketidakseimbangan oksidatif seperti gangguan keseimbangan produksi ROS atau radikal bebas atau prooksidan dengan antioksidan dikenal sebagai stres oksidatif. Keadaan ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan sel yang pada akhirnya berakibat pada hilangnya fungsi dan integritas sel (Halliwell dan Gutteridge, 1999). Molekul ROS secara fisiologis berperan sebagai second messenger dalam regulasi proses apoptosis (Curtin et al., 2002) dalam mengaktivasi faktor transkripsi, seperti NFκB dan p38-MAPkinase yang berperan pada aktivasi gen respon imun (Owuor dan Kong, 2002) dan gen yang mengkoding enzimenzim antioksidan (Holgrem, 2003). Peran stres oksidatif sangat krusial pada modulasi fungsi selular, terutama pada apoptosis dan excitotoxicity astrosit dan mikroglia. Apoptosis dan produksi ROS berlebih pada akhirnya akan menimbulkan disfungsi mitokondria (Yun et al., 1996). Stres oksidatif erat kaitannya dengan respon inflamasi. Sehingga secara teori respon inflamasi akan meningkatkan produksi ROS. Cedera kepala akan menimbulkan respon inflamasi yang mencakup serangkaian respon neurohormonal dan pengeluaran sejumlah mediator biokimia. Respon neurohormonal yang terjadi di antaranya adalah stimulasi poros hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) (Amaral, 2006). Stimulasi hipotalamus di antaranya dapat meningkatkan sekresi AQP4. Selain itu, melalui poros HPA, hipotalamus akan menstimulasi kelenjar Universitas Sumatera Utara pituitari atau hipofisis. Stimulasi kelenjar pituitari meningkatkan sekresi adrenocoticotropin hormone (ACTH) dan stimulasi kelenjar adrenal. Kelenjar adrenal yang terstimulasi akan mengeluarkan katekolamin dan menstimulasi sel makrofag dan limfosit. Stimulasi makrofag dan limfosit selanjutnya menyebabkan pengeluaran sitokin, yaitu mediator biokimia yang berperan besar pada respon inflamasi seperti edema serebri (Visser dan Labadarios, 2002). Sitokin adalah glikoprotein yang disintesis oleh mikroglia, astrosit, dan beberapa sel tubuh lainnya, seperti makrofag, limfosit, sel Kupffer, dan lain- lain. Sitokin berperan dalam menghantarkan sinyal antar sel- sel sistem imun dan memodifikasi metabolisme (Lin et al., 2001; Visser dan Labadarios, 2002). Sitokin memiliki ukuran molekul relatif besar (8-65 kDa) dan bersifat hidrofilik. Oleh karena itu, secara fisiologis tidak dapat melewati SDO. Protein ini dapat berhubungan dengan sel otak melalui empat mekanisme, yaitu (1) transpor pasif sitokin ke dalam otak pada daerah ventrikel yang tidak melewati SDO, seperti antero-ventral ventrikel III, eminensia mediana, area postrema, hipofisis posterior, sub komisura, dan glandula pineal, (2) ikatan sitokin pada endotel pembuluh darah otak sehingga memicu pembentukan second messenger seperti prostaglandin dan nitic oxide. (3) transpor yang diantarai oleh pembawa sitokin ke otak sehingga dapat melewati SDO, dan (4) aktivasi sitokin pada terminal saraf aferen perifer pada tempat penlepasan sitokin (McKeating dan Andrew, 1998; Turnbull dan Rivier, 1999) Universitas Sumatera Utara Sitokin diregulasi secara bertahap dengan cara induksi dari sitokin sebelumnya yang akan memicu produksi sitokin berikutnya. Respon spesifik terhadap sitokin dihasilkan oleh reseptor sitokin yang sangat unik sehingga sel yang mengekspresikan reseptor fungsional terhadap satu sitokin hanya akan beresipon terhadap sitokin tersebut. Aktivitas sitokin beraneka ragam, tetapi seluruhnya berfungsi terutama sebagai mediator inflamasi (Hirano et al., 1990; McKeating dan Andrew, 1998; Baratawidjaja, 2002). Sitokin pada dasarnya terdiri atas dua jenis yaitu sitokin proinflamasi dan sitokin antiinflamasi (Tabel 2.1), pembedaan ini berdasarkan kemampuan mereka dalam memengaruhi proses inflamasi dan respon imun (Lin et al., 2001). Sitokin proinflamasi secara langsung ataupun tidak memengaruhi timbulnya berbagai keadaan pascacedera kepala. Sebaiknya sitokin antiinflamasi seperti IL-4, IL-10 dan IL-12 berperan dalam menekan proses inflamasi dengan cara menurunkan fungsi sel, menurunkan sintesis sitokin lain, dan sebagai penghambat reaksi imunitas tubuh (Tabel 2.1) (Maas, 2000; Dokka, 2001). Pengaruh langsung sitokin adalah secara lokal dan sistemik sesuai dengan beratnya proses inflamasi. Sitokin berperan dalam proses penyembuhan luka dan perbaikan jaringan karena dapat menyebabkan: (1) vasodilatasi sehingga aliran darah meningkat, (2) peningkatan ambilan neutrofil, monosit, dan elemen darah lain untuk mencegah infeksi, (3) bertahannya hemostasis melalui peningkatan koagulasi darah, (4) induksi angiogenesis dan proliferasi sel, serta (5) induksi respon fase akut (RFA). Respon fase akut Universitas Sumatera Utara adalah serangkaian proses fisiologis sistemik yang terjadi segera setelah terjadinya infeksi, trauma, dan beberapa jenis keganasan sehingga terjadi berbagai perubahan patologis dan metabolik seperti demam, peningkatan permeabilitas vaskular, dan yang paling mencolok adalah peningkatan protein fase akut (PFA). Tabel 2.1. Jenis Sitokin berdasarkan aktivitas Biologis Sitokin Interferon (IFN)-α IFN-β IFN-γ Aktivitas biologis Sekresi di Reseptor otak di otak Antivirus, antiproliferatif, + + meningkatkan ekspresi kompleks histokompatibilitas mayor, pirogenik, antitumor Antivirus, antiproliferatif, ? + meningkatkan ekspresi kompleks histokompatibilitas mayor, pirogenik, antitumor Rujukan Antivirus, aktivasi makrofag, + meningkatkan ekspresi kompleks histokompatibilitas mayor, pirogenik, antitumor, memicu protein fase akut Sitotoksis, aktivasi sel T, + pirogenik, antitumor, renjatan septik + McIntosh et al., 1999; Lezlinger et al., 2001 + Teasdale, 1998; Kossman, 2002 + + Teasdale, 1998; Kossman, 2002 + + + ? Maas dan Dearden, 2000 McKeating dan Andrew, 1998 + + Tumor necrosis factor (TNF)α Tumor Sitotoksis, aktivasi sel T, necrosis antitumor, renjatan septik factor (TNF)β Eritropoietin Stimulasi pertumbuhan sel eritroid Granulo-sit Stimulasi pertumbuhan granulosit colony stimula-ting factor Interleukin Aktivasi sel T, B, dan endotel (IL)1α pirogenik, memicu protein fase akut, hematopoiesis McIntosh et al., 1999; Lezlinger et al., 2001 McIntosh et al., 1999; Lezlinger et al., 2001 Kronfol dan Ziad, 2000; Woichichowsk, 2002 Universitas Sumatera Utara IL-1β Aktivasi sel T, B, dan endotel + pirogenik, memicu protein fase akut, hematopoiesis + IL-2 Aktivasi sel T, B, dan NK + antitumor Pertumbuhan dan diferensiasiasi + sel hematopoietik, hematopoiesis + Aktivasi sel T, B, dan NK IgG dan + IgE, supresi monosit, antitumor Proliferasi dan diferensiasi + eosinofil, produksi IgA, eosinofilia Produksi IgG, aktivasi sel T, + pemicu protein fase akut, pirogenik, hematopoiesis ? Kemotaksis neutrofil dan sel T, + pengeluaran netrofil Inhibisi sintesis sitokin, proliferasi + sel T, inhibisi renjatan septik + Stimulasi pertumbuhan sel NK, + penurunan produksi IgE ? IL-3 IL-4 IL-5 IL-6 IL-8 IL-10 IL-12 Kronfol dan Ziad, 2000; Woichichowsk, 2002 Eduardo dan Arantxa, 2003 Arand, 2001 + Young et al., 1981 Turnbull dan Rivier, 1999 Hirano et al., 1990; Dimopoulou et al., 2004 Kishimoto et al., 1995 MorgantiKossman dan Rancan, 2002 MorgantiKossman dan Rancan, 2002 ? + + Sumber: Cytokines and The Brain, Am J Psychiatry, 2000 Inflamasi berperan saat terjadinya gangguan neurologis pascatrauma (Lenzlinger et al., 2001; Morganti-Kossmann et al., 2002; Hutchinson et al., 2007; Laird et al., 2008). Peningkatan kadar sitokin proinflamasi pada cairan serebrospinal secara klinis berhubungan dengan peningkatan TIK dan kerusakan neurologis pascacedera kepala (Hayakata et al., 2004; Hutchinson et al., 2007). Konsisten dengan hubungan kausatif antara IL-1β dan edema serebri, penelitian pada hewan coba dengan defisiensi reseptor IL-1 tipe 1 (IL-1R) menunjukkan penurunan intensitas edema vasogenik dan sitotoksik pascaiskemia- Universitas Sumatera Utara hipoksia (Lazovic et al., 2005). Pemberian IL-1β diketahui dapat meningkatkan ekspresi AQP4 melalui aktivasi faktor transkripsi proinflamasi, yaitu NFκB. Data ini menunjukkan peran IL-1β dalam terjadinya edema serebri melalui regulasi AQP4 (Ito et al., 2006). 2.1.5 Sawar Darah Otak Sawar darah otak (SDO) atau blood brain barrier adalah struktur penting untuk menjaga homeostatik lingkungan internal otak. Struktur SDO memisahkan jaringan otak dengan aliran darah secara selektif. Struktur terpenting dari SDO adalah sel endotel kapiler yang satu dan lainnya dihubungkan satu sama lain oleh tight junction. Berbeda dengan kapiler ekstraserebral, sel endotel serebral bersifat nonfenestrated, minim celah intraselular, mengandung sedikit vesikel pinositik, memiliki banyak mitokondria, dan tertutup oleh astrosit. Terbukanya tight junction merupakan kunci utama terjadinya edema vasogenik. Akumulasi cairan pada keadaan edema mencapai 14–78 mL/hari (Reulen et al., 1990). Kebocoran protein plasma SDO adalah penentu utama terjadinya akumulasi cairan dalam ruang ekstraselular (Abbott et al., 2010). Berbagai mekanisme dapat berperan dalam terjadinya disintegrasi SDO, yang salah satu di antaranya adalah inflamasi jaringan otak (Sandoval dan Witt, 2008). Mekanisme absorpsi membantu menjaga keseimbangan antara terbentuknya edema dan absorbsi edema. Sebelum masuk ke dalam pembuluh darah mikro, cairan edema masuk ke dalam ventrikel otak Universitas Sumatera Utara melalui aliran transependimal. Protein ekstraselular seperti okludin, klaudin, dan molekul adesi junctional adalah komposisi molekular tight junction. Bila protein ekstraselular ini berlebih, akan dikeluarkan melalui mekanisme fagositosis oleh astrosit dan mikroglia (Furuse et al., 1993; Hirase et al., 1997; Furuse et al., 1998; Martin Padura et al., 1998; Papadopoulos et al., 2001; Davies, 2002). Protein ekstraselular ini disebut juga protein transmembran yang pada kenyataannya berikatan dengan protein intraselular, seperti ZO-1 dan ZO-2. Ikatan ini bertautan membentuk perlekatan antara tight junction dan sitoskeleton sel endotel. Penurunan ekspresi dan/atau fungsi dari protein tight junction ini akan menyebabkan terbukanya tight junction dan terbentuknya edema. Ternyata mediator utama dari mekanisme ini adalah VEGF (Liebner et al., 2000; Papadopoulos 2001). 2.1.6 Vascular Endothelial Growth Factor. Vascular endothelial growth factor (VEGF) atau disebut juga dengan vascular permeability factor (VPF) adalah suatu polipeptida pleotropik yang disekresi berbagai sel jaringan pada manusia dimana dapat memediasi sel endotel untuk menginduksi angiogenesis dan vaskulogenesis. Angiogenesis adalah pertumbuhan pembuluh darah baru yang berasal dari pembuluh darah yang sudah ada sedangkan vaskulogenesis adalah pembentukan pembuluh darah yang berasal dari jaringan avaskular sebelumnya. Proses angiogenesis terdiri dari 4 tahap yaitu: Digesti (pencernaan) membran basemen disekeliling pembuluh Universitas Sumatera Utara darah oleh sekresi protease sel endothel. 2. Migrasi sel endothelial ketempat pembentukan pembuluh darah dimana sel akan berproliferasi membentuk cikal bakal pembuluh darah baru. 3. Selanjutnya terjadi proliferasi dan diferensiasi membentuk lumen pada pembuluh darah baru. 4. Sekresi faktor pertumbuhan (growth factor) oleh sel endotel yang menarik sel pendukung seperti perisit dan sel otot polos serta membentuk membran besemen. Sel pendukung dan membran besemen penting sebagai fungsi dan stabilitas pembuluh darah baru. Pada tahap akhir ini, pembuluh juga berkembang secara khusus sesuai dengan jaringan atau organ yang disuplai (Jain, 2003). Kontribusi VEGF terhadap angiogenesis dapat terjadi secara normal maupun patologis. VEGF dan platelet-derived growth factor (PDGF) merupakan faktor angiogenik poten yang mempunyai aktivitas sebagai sitokin proinflamasi dengan meningkatkan permebialitas sel endotel dan menaikkan regulasi molekul adhesi sel endotel (Ferrara, Geber, LeCouter, 2004: Matsune et al., 2008). Faktor utama yang menstimulasi terjadinya angiogenesis adalah kekurangan oksigen (hipoksia), disamping itu endotoksin bakteri dan sitokin inflamatori. Tekanan oksigen yang rendah memicu sekresi faktor proangiogenik terutama VEGF menstimulasi pembentukan pembuluh darah baru untuk mensuplai kebutuhan. Bila tekanan oksigen telah normal, produksi faktor proangiogenik dihambat, pembuluh darah matur akan bertahan dan beberapa sisa pembuluh darah immatur akan mengalami regresi. VEGF adalah glikoprotein hemodimerik Universitas Sumatera Utara 34-46kDa yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel dalam merespon berbagai rangsangan. VEGF bekerja pada sel endothel vaskuler dengan mengikat rangsangan transmembran yang spesifik. Pengikatan pada signaling pathway menghasilkan proliferasi dan migrasi sel endotel vaskuler, mempertahankan sel endotel immatur dan meningkatkan permebilitas vaskular (Ferrara, Gerber, LeCouter, 20004). Vascular endothelial growth factor adalah faktor permeabilitas vaskular yang berfungsi sebagai regulator angiogenesis dan permeabilitas vaskular (Senger et al., 1983). Molekul ini berikatan dengan sel endotel melalui interaksi dengan high-affinity tyrosine kinase receptor. Reseptor ini diproduksi predominan di sel endotel SDO (de Vries et al., 1992; Millauer et al., 1993). Vascular endothelial growth factor memiliki aktivitas permeabilitas vaskular yang sangat kuat (beberapa ribu kali lebih kuat dari histamin) dan memiliki efek langsung pada tight junction endotel SDO (Connolly, 1991; Criscuolo, 1993). Selain itu, VEGF memicu terjadinya edema serebri melalui sintesis dan pelepasan NO, yaitu suatu aktivator cyclic GMP- dependent (Mayhan, 1999). Salah satu metabolit VEGF, yaitu VEGF phosphorylates occludin dapat mengganggu fungsi okludin dan mengakibatkan terbukanya tight junction serta terbentuknya edema (Papadopoulos, 2001). Universitas Sumatera Utara Gambar 2.4 Hif1 adalah regulator utama homeostasis oksigen. Sedangkan normoxia menginduksi Hif1α degradasi proteosomal, di bawah hipoksia stabil dan translokasi ke inti di mana ia membentuk kompleks dengan phospho-STAT3 dan CBP / p300 untuk meningkatkan ekspresi VEGF, dan dengan demikian hipoksia menginduksi angiogenesis (Tocharus, et al., 2014). Studi lain mendapatkan VEGF dapat menginduksi fenestrasi endotel dan meningkatkan permeabilitas kapiler melalui mekanisme ini (Roberts dan Palade, 1997). Peran VEGF dalam memediasi edema vasogenik tampak pada gambar 2.5. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.5 Mekanisme VEGF dalam memediasi Edema Vasogenik (Kaal dan Vecht, 2004) Selain seluruh faktor di atas, SDO atau tepatnya endothelial astrocytic foot process juga memproduksi AQP yang berperan pada pembentukan edema serebri. Belum diketahui pasti, apakah peningkatan regulasi AQP dapat meningkatkan kejadian edema atau justru sebaliknya (Kaal dan Vecht, 2004). 2.1.7 Aquaporin-4 Aquaporin (AQP) adalah protein membran integral kecil dengan berat molekul kurang dari 30.000 kDa, memiliki permeabilitas tinggi, berperan dalam transportasi cairan di membran plasma sel, dan ditemukan secara luas di berbagai jaringan tubuh yang berbeda (Verkman, 2005). Sebuah molekul AQP terdiri atas enam protein helix transmembran yang membentuk satu bagian selektif terhadap cairan berupa tetramer pada bagian tengah molekul. Secara keseluruhan terdapat 11 anggota keluarga AQP, dua jenis AQP yaitu AQP1 dan AQP4 adalah jenis terutama yang terdapat di ventrikel serebral dan ruang Universitas Sumatera Utara subarachnoid. Kedua AQP ini terutama berperan dalam homeostasis cairan di susunan saraf pusat (SSP) (Rash et al., 1998). Namun, pada tulisan ini akan lebih ditekankan pada pembahasan AQP4. Secara struktural bagian terpenting dan unik dari AQP4 adalah bentuk dan ukuran tetramernya yang besar (100 nm) yang disebut orthogonal array particle (OAP) dan tampak oleh mikroskop elektron (Rash et al., 1998). Aquaporin-4 (AQP4) berperan dalam transportasi cairan di berbagai kompartemen jaringan otak yaitu ruang cairan cerebrospinal atau ventrikel serebral dengan ruang subarachnoid, parenkim otak yang terdiri atas ruang intrasellular dan ekstrasellular, serta kompartemen intravaskular (Zador et al., 2007). Aquaporin AQP4 tersebar secara luas di berbagai kompartemen dan berpartisipasi pada regulasi homeostasis cairan otak di sistem saraf pusat. Ekspresi AQP terbatas pada astrosit yang tersebar luas di jaringan otak dan sumsum tulang belakang, serta sel ependimal yang membatasi ventrikel serebral. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.6 Struktur organisasi dari AQP4 dalam membran astrosit. (A) Skema gambar dari AQP4 homo-tetramer (B) Dalam otak normal, hubungan antara isoform AQP4-m1 (lingkaran merah) dan AQP4-m23 (lingkaran biru) berkontribusi untuk membentuk susunan orthogonal partikel (OAPs). (C) Dalam cedera kepala, peningkatan AQP4-m1 memberikan kontribusi pada gangguan OAPs dengan terjadinya perubahan dalam ukuran OAP dapat menurunkan jumlah pori sentral dan mungkin tidak hanya mempengaruhi pergerakan air, tetapi juga gerakan ion dan gas (Pallab, et al., 2014). Ekspresi AQP4 diketahui berperan dalam berlanjutnya cedera otak. Penelitian pada hewan coba mendapatkan bahwa ekspresi AQP4 meningkat pada lokasi cedera otak (Sun et al., 2003) dan regulasinya meningkat pada cedera kepala non-trauma, seperti stroke dan intoksikasi Universitas Sumatera Utara cairan (Taniguchi et al., 2000). Supresi gen AQP4 menunjukkan penurunan gejala edema pada 24 jam setelah iskemia serebri. Hemisfer serebri membesar karena edema menurun 35 % pada 24 jam pertama setelah iskemia (Manley et al., 2000). Studi dengan autopsi pada jaringan otak manusia mendapatkan bahwa immunoreaktivitas AQP4 meningkat pascainfark serebri (Aoki et al., 2003). Hu et al mendapatkan kadar AQP4 meningkat 15 jam sampai dengan delapan hari pascacedera kepala (Hu et al., 2004). Ada korelasi yang signifikan antara peningkatan ekspresi AQP4 dengan kerusakan SDO (Aoki et al., 2003; Saadoun et al., 2002). Aquaporin 4 terdapat di sekitar pembuluh darah mikro jaringan otak. Hua et al., mendapatkan bahwa ekspresi AQP4 meningkat secara rutin pascacedera kepala. Peningkatan ini berlanjut terus sampai dengan 15 jam pasca perlukaan, dengan peningkatan tertinggi pada delapan jam pasca perlukaan (Hua et al., 2005). Hasil ini konsisten dengan uji pada hewan coba, di mana terjadi peningkatan ekspresi mRNA AQP4 pada 4 jam pascacedera dan peningkatan ini mulai berkurang pada 24 jam pascacedera (Sun et al., 2003). Hasil sedikit berbeda didapatkan oleh Tourdias et al., di mana studi pada hewan coba dengan inflamasi jaringan otak menunjukkan dua fase perkembangan edema yaitu fase awal edema dan fase resolusi edema. Fase awal edema terjadi pada masa inflamasi aktif yang mencapai puncak setelah 7 hari inflamasi. Setelah itu terjadi fase resolusi edema, yaitu pada hari kedelapan sampai keduapuluh pasca inflamasi. Pada fase resolusi edema ini terjadi pembentukan jaringan parut Universitas Sumatera Utara sel glia dan peningkatan regulasi AQP4. Sejatinya AQP4 meningkat pada kedua fase edema, namun tingkat transkripsi dan translasi ekspresi AQP4 jauh lebih tinggi pada fase resolusi (Tourdias et al., 2011). Regulasi ekspresi AQP4 adalah penentu utama jumlah cairan otak secara keseluruhan dan resolusi edema. Beratnya cedera berhubungan dengan peningkatan regulasi AQP4 dan edema interstitial (Tourdias et al., 2009). Penelitian pada hewan coba menunjukkan bahwa AQP inhibitor memiliki indikasi klinis sebagai diuretik dan penatalaksanaan edema serebri (Verkman, 2002). Sejalan dengan ini, pengurangan AQP4 diketahui bersifat protektif terhadap edema serebri vasogenik (Manley et al., 2000; Vajda et al., 2002). Hasil berbeda didapatkan pada edema sitotoksik, di mana ekspresi berlebih AQP diketahui dapat mengurangi gejala edema sitotoksik (Meng et al., 2004). Studi lain menyatakan bahwa AQP4 memberikan efek bidirectional transport pada cairan otak yaitu regulasi masuk dan keluar (Amiry-Moghaddam et al., 2003). Meskipun didapatkan hasil berbeda untuk kedua jenis edema namun beberapa studi menyatakan bahwa AQP4 dapat digunakan sebagai sasaran penatalaksanaan edema serebri (Fu et al., 2007). Papadopoulos et al., mendapatkan, AQP4 tidak hanya berperan pada terjadinya edema namun juga absorpsi cairan yang berlebih. Ketika cairan interstitial berlebih dan mencapai barrier antara parenkim otak dan kompartemen cairan pada keadaan edema vasogenik, cairan ini harus dieliminasi melalui jalur transcellular AQP4-dependent. Sedangkan AQP4 inhibitor dapat Universitas Sumatera Utara mengurangi edema sitotoksik jika diberikan awal untuk memperlambat masuknya cairan edema ke parenkim otak. Pemberian AQP4 inhibitor yang terlambat pada edema sitotoksik diduga dapat meningkatkan edema serebri. (Papadopoulos et al., 2004). Sejalan dengan ini dan mengacu pada peran AQP4 dalam memodulasi cairan serebri, beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa penurunan ekspresi AQP4 dapat digunakan sebagai pilihan baru terapi edema serebri (Manley et al., 2000; Papadopoulos dan Verkman, 2007; Kleffner et al., 2008). 2.2 Melatonin Melatonin (5-metoksi-N-asetiltriptamin) adalah hormon derivat asam amino triptofan yang diproduksi oleh kelenjar pineal dan bersifat sebagai antioksidan (Brzezinski, 1997). Berdasarkan strukturnya Melatonin bersifat ampifilik, dan berbeda dengan antioksidan lain yang bersifat hidrofilik atau lipofilik. Dengan kata lain, Melatonin dapat larut dalam air dan lemak sehingga ia dapat melewati sawar atau barrier fisiologis berupa lemak dan cairan tubuh (Reiter, 2004). Gambar 2.7 Struktur Melatonin (Kaur et al., 2008) Universitas Sumatera Utara 2.2.1 Metabolisme dan Biosintesis Melatonin Melatonin adalah hasil dari metabolisme asam amino triptofan (Ebadi, 1984). Triptofan ditransportasikan secara aktif ke dalam sel pinealosit. Kemudian, enzim triptofan hidroksilase (TRPH) mengkonversi triptofan menjadi 5-hidroksi triptofan (5-OHTRP). Aktivitas enzim TRPH dapat dihambat oleh p-klorofenilalanin, yaitu suatu asam amino yang menurunkan kadar serotonin di kelenjar pineal (Underwood, 1980). Enzim 5-hidroksi triptofan dekarboksilase (5-OHTRPD) menghilangkan gugus karboksil terminal dari 5-OHTRP dan menyebabkan terbentuknya serotonin. Aktivitas 5-OHTRPD di kelenjar pineal adalah yang tertinggi dibandingkan dengan jaringan lain dan aktivitasnya tidak dipengaruhi oleh irama sirkadian (Hall, 1991). Enzim serotonin n-acetil-transferase (SNAT) menganalisis transfer gugus asetil dari asetil-CoA ke serotonin sehingga terbentuk N-asetilserotonin (NAS). Enzim hidroksindole-O-metiltransferase (HIOMT) menganalisis gugus O-metilasi NAS untuk membentuk Melatonin (Sugden, 1989). Tahap ini adalah tahap terakhir biosintesis Melatonin. Aktivitas enzim SNAT di kelenjar pineal terjadi selama 24 jam, tetapi pada saat malam hari aktivitasnya meningkat menjadi 20–100 kali dari pada siang hari sehingga kadar Melatonin meningkat pada malam hari (Reiter, 1991). Metabolisme dan biosintesis Melatonin dirangkum seperti pada Gambar 2.4. Universitas Sumatera Utara CO2 O2 TRPH 5-OHTRPD Triptofan serotonin 5-OHTRP Asetil-KoA N A T SAM HIOMT Melatonin N-asetil serotonin Gambar 2.8 Metabolisme dan biosintesis Melatonin (Morera et al., 2009) 2.2.2 Regulasi Melatonin Kadar Melatonin dipengaruhi oleh ritme sirkadian serta disekresikan secara ritmik di bawah kendali siklus malam-siang dan poros hipotalamohipofisis (Arendt, 1988). Produksi Melatonin meningkat pada malam hari dan menurun pada siang hari. Kadar Melatonin serum mulai meningkat pukul 21.00–23.00, mencapai puncaknya pada pukul 01.00–03.00, dan mulai menurun pada pukul 07.00–09.00 (Brzezinski, 1997). Mandera et al., mendapatkan bahwa kompresi kelenjar pineal dapat menurunkan sekresi Melatonin secara bermakna pada pagi hari (Mandera et al., 2003). Pencahayaan minimal dan tidur lelap akan meningkatkan produksi Melatonin (Brzezinski, 1997) dan sebaliknya (Dauchy et al., 1999). Universitas Sumatera Utara Meskipun Melatonin terutama disekresikan oleh kelenjar pineal, ada beberapa sel dan organ tubuh lainnya yang juga memproduksi Melatonin, seperti medulla spinalis (Conti et al., 2000), kantung empedu (Tan et al.,1999a; Koppisetti et al., 2008), cairan serebrospinal dari ventrikel tiga (Skinner dan Malpaux,1999; Tricoire et al., 2002; Longatti et al., 2007; Leston et al., 2010), usus (Bubenik, 2000), kulit (Slominski et al., 2005; Slominski et al., 2005b), retina (Tosini dan Menaker, 1998; Liu et al., 2004; Kaur et al., 2007), platelet (Champier et al., 1997), dan limfosit (CarrilloVico, 2004). Terkait dengan cedera otak, sebuah studi pendahuluan menyatakan bahwa penderita cedera kepala menunjukkan penurunan kadar Melatonin serum dan profil sekresi sirkadian Melatonin. Studi Paparrigopoulos et al., mengukur hubungan antara tingkat cedera kepala dan kadar Melatonin serum. Tingkat cedera kepala diukur dengan parameter skor Glasgow coma scale (GCS) dan skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II. Ada korelasi negatif bermakna (r = -0,778; p = 0,023) antara skor GCS dan rerata kadar Melatonin serum. Begitu pula dengan skor APACHE II, terdapat korelasi negatif yang bermakna (r = -0,849; p = 0,008) dengan kadar Melatonin serum. Pada kesimpulannya, dinyatakan bahwa semakin berat cedera kepala, maka semakin rendah pola sekresi diurnal Melatonin (Papparigopoulos et al., 2006). Universitas Sumatera Utara 2.2.3 Fungsi Melatonin Melatonin dapat berperan sebagai antioksidan (Reiter et al., 1997; Reiter, 1998; Reiter et al., 2003), modulator biologis untuk mood, tidur, perilaku seksual, sistem reproduksi, ritme sirkadian (Beyer et al., 1998; Nowak et al., 1998), serta immunoregulator (Haldar et al., 2001; Maestroni, 2001). Selain itu, Melatonin juga dapat berperan sebagai antikonvulsan (Turgut et al., 2003; Yahyavi- Firouz- Abadi, 2006; Yildirim dan Marangouz, 2006), freparat antipenuaan (Reiter, 1994), bersifat onkostatik terhadap berbagai jenis tumor (Anisimov et al., 1997; Gilad et al., 1999; Petranka et al.,1999; Kanishi et al., 2000; Siu et al., 2002; Kiefer et al., 2002; Lissoni et al., 2003); memengaruhi berbagai gangguan yang terkait ritme sirkadian, seperti jet lag dan bekerja dengan sistem shift (Croughs dan de Bruin, 1996; Arendt et al., 1997; Arendt, 1998 Manfredini et al., 2000; Parry, 2002). Beberapa studi mendapatkan bahwa Melatonin bersifat neuroprotektif di SSP, seperti pada cedera kepala (Beni, et al., 2004), cedera kepala iskemik (Gupta et al., 2003; Pei dan Cheung, 2004), alzheimer (Feng et al., 2004), amyotrophic lateral sclerosis (Weishaupt et al., 2006), parkinson (Mayo et al., 2005; Sharma et al., 2006), dan gangguan neuropsikiatri (Srinivasan, 2006). Melatonin juga dapat mengurangi kebocoran vaskular pada otak dan retina ketika terjadi kerusakan SDO dan sawar darah retina (SDR) (Kaur et al., 2006; Kaur et al., 2007). Universitas Sumatera Utara Sifat antioksidan Melatonin adalah kemampuannya dalam membersihkan radikal bebas dan menginduksi ekspresi enzim antioksidan (Burkhardt et al., 2001). Aktivitas dan ekspresi enzim antioksidan seperti superoksid dismutase, katalase, glutation peroksidase, dan glutation reduktase meningkat karena Melatonin (Pablo et al., 1995; Ozturk et al., 2000; Meki dan Hussein, 2001; Reiter et al., 2004; Subramanian et al., 2007). Meskipun berat jaringan otak hanya 2 % dari berat badan, penggunaan energi jaringan otak mencapai 20 % dari utilisasi energi tubuh (Clarke et al., 1994). Keadaan ini menyebabkan produksi ROS otak lebih banyak daripada jaringan tubuh lain (Reiter et al., 2005). Terlebih lagi jaringan otak mengandung tinggi asam lemak tidak jenuh ganda atau polyunsaturated fatty acid (PUFA) dan besi non-heme yang rentan teroksidasi oleh radikal bebas. Kondisi patologis berhubungan dengan penurunan kadar antioksidan nonenzimatik plasma dan penurunan aktivitas enzim antioksidan (Cherubini, 2005). Melatonin diketahui mencegah produksi inducible nitric oxide synthase (iNOS) (Alonso et al, 2006; Escames et al., 2006). Peningkatan ekspresi iNOS ini terjadi di berbagai jaringan sebagai respon terhadap hipoksia dan berperan dalam memicu peningkatan produksi NO dan ROS (Jung et al., 2000). Efek neuroprotektif Melatonin pada cedera kepala dilaporkan melalui potensiasi antioksidan jaringan otak, seperti asam askorbat dan menurunkan aktivasi NFκB (Beni et al., 2004). Aktivasi NFκB inilah yang selanjutnya berperan besar pada stres oksidatif (Pizzi dan Spano, 2006; Liang et al., 2007; Universitas Sumatera Utara Wagner, 2007). NFκB aktif akan memicu produksi berbagai sitokin proinflamasi dan mikroglia merupakan salah satu sel utama pembentuk berbagai sitokin (Ye et al., 1999; Yu et al., 2002). Gambar 2.9 Skema mekanisme aksi dari Melatonin (The International Journal of Biochemistry & Cell Biology 38 (2006) 313–316) 2.2.4 Kebutuhan Melatonin Data mengenai kebutuhan Melatonin masih sangat terbatas. Rerata kadar Melatonin serum pada individu normal adalah 200 pg/mL atau 862 pmol/L pada malam hari dan 10 pg/mL atau 43 pmol/L (Hardeland dan Pandi-Perumal, 2005). Sebuah studi menyatakan jika dosis 0,5–50 mg per hari per oral, aman untuk dikonsumsi individu dewasa dalam jangka waktu singkat (van Bockstaele, 2007). Suplementasi oral dengan dosis 1–300 mg (Vijayalaksmi et al., 2004) atau 1000 mg/hari selama 30 hari tidak Universitas Sumatera Utara memberikan efek samping negatif (Nordlund dan Lerner, 1997). Srinivasan et al., mendapatkan suplementasi Melatonin 20 mg/kgBB/ hari dapat menghambat apoptosis dan kerusakan sel hepar karena stres oksidatif pada malaria (Srinivasan et al., 2010). Beberapa studi pada hewan coba menggunakan dosis bervariasi untuk edema serebri. Rerata dosis yang diberikan adalah 5 – 6 mg/kgBB. 2.2.5 Bioavailabilitas Melatonin Melatonin langsung beredar dalam aliran darah dan/atau cairan serebrospinal atau cerebrospinal fluid (CSF) setelah diproduksi oleh kelenjar pineal tanpa disimpan terlebih dahulu. Sebanyak 70% Melatonin terikat albumin untuk transportasi (Cardinali et al., 1972). Waktu paruh Melatonin adalah kurang lebih 30 menit, di mana 30 menit untuk pemberian Melatonin intravena dan 30 – 45 menit untuk pemberian Melatonin per oral (Mallo et al., 1990). Penelitian pada penderita sakit kritis menunjukkan suplementasi Melatonin per oral mengalami penyerapan secara cepat. Melatonin serum meningkat dalam 5 menit dan puncaknya terjadi 16 menit setelah suplementasi (Mistraletti et al., 2010). Studi farmakokinetik pada hewan coba mendapatkan bahwa sekitar 500 mg Melatonin harus diberikan secara berkesinambungan setiap jam agar peningkatan kadar Melatonin serum tetap bertahan 10 kali lebih tinggi dari pada kadar normal (Huether et al., 1992). Melatonin mengalami inaktivasi di hepar dengan dikonversi menjadi 6-hidroksiMelatonin (6HMT) oleh sistem enzim p-450-dependent microsomal mixed-function. Sebagian Universitas Sumatera Utara besar 6HMT diekskresikan melalui urin dan feces dalam bentuk konjugat sulfat 6-sulfatoksiMelatonin (6SMT) dan sisanya dalam bentuk glukuronid (Arendt, 1995). Gangguan fungsi hepar dan ginjal dapat memengaruhi bersihan atau klirens Melatonin (Viljoen et al., 1992). Metabolit utama Melatonin adalah 6SMT, dan konsentrasi dalam urin mencapai 90% setelah suplementasi Melatonin (Arendt, 1995). 2.2.6 Peran Melatonin pada Penurunan Edema Serebri Lotufo et al., menjelaskan modulasi interaksi antara endotel dan leukosit (Lotufo et al., 2001), efek langsung pada sel endotel (Lotufo et al., 2006), penekanan produksi NO pada jaringan otak hipoksia, dan menjelaskan antioksidan (Cuzzocrea et al., 1997; Cuzzocrea et al., 1999; Bilici et al., 2002; El-shenawy et al., 2002). Sifat antioksidan Melatonin ini adalah karena antioksidan dapat menangkap radikal bebas dan memicu ekspresi enzim antioksidan. Melatonin dapat menyingkirkan radikal hidroksil (OH), hidrogen peroksida (H2O2), singlet oxygen, asam hipoklorat, anion peroksinitrit (ONOO-) dan atau asam peroksinitrat (Reiter et al., 2003; Haldar et al., 2001). Melatonin meningkatkan dan ekspresi enzim antioksidan, seperti superoksid dismutase, katalase, glutation peroksidase, dan glutation reduktase meningkat oleh Melatonin (Pablos et al., 1995; Ozturk et al., 2000; Meki dan Hussein, 2001; Reiter et al., 2004; Subramanian et al., 2007). Lebih jauh lagi, efek antioksidan Melatonin terjadi karena kemampuannya dalam menurunkan peroksidasi lipid (Kacmaz et al., 2005). Aldehid seperti Malondialdehyde (MDA) dan 4- Universitas Sumatera Utara hidroksi-2-nonenal terbentuk selama peroksidasi lipid karena kerusakan jaringan dapat meningkatkan kadar radikal bebas (Esterbauer et al.,1991). Melatonin diketahui dapat berinteraksi langsung dengan MDA dan menghindari kerusakan selular karena stres oksidatif (Li et al., 2005). Stres oksidatif ini terjadi bila ada inflamasi dan kerusakan selular terjadi karena produksi sitokin proinflamasi yang berlebih. Melatonin dapat berperan sebagai antiinflamasi karena dapat menyupresi produksi sitokin proinflamasi dan reactive oxygen species (ROS). Produksi sitokin proinflamasi, seperti IL-1, IL-6, dan TNFα diinduksi oleh NFκB yang teraktivasi, transkripsi (Li et al., 2005) ini berperan pada aktivasi sel termasuk sel mikroglia dan pembentukan ROS (Gitto et al., 2004) Universitas Sumatera Utara Gambar 2.10 Signaling Melatonin pada Sel Melalui Aktivasi Gpcr dan Reseptor Inti (Tae-Young., et al., 2014). Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa Melatonin efektif mencegah kerusakan sel. Salah satunya adalah Gitto et al., yang meneliti peran Melatonin terhadap produksi sitokin proinflamasi pasca pembedahan pada hewan coba. Gitto et al., mendapatkan kadar IL-6 dan IL-8 lebih rendah secara bermakna pada kelompok perlakuan yang mendapat suplementasi Melatonin 10 mg/kgBB (Gitto et al., 2004). Penelitian hewan coba mendapatkan bahwa tingkat kerusakan otak pascacedera dapat ditekan Universitas Sumatera Utara dengan pemberian Melatonin 5 mg/kgBB (Mesenge et al., 1998). Penelitian berikutnya adalah dengan memberikan injeksi Melatonin 10 mg/kgBB pada hewan coba dengan cedera kepala lebih berat. Kemudian sampai dengan dua jam pascatrauma diberikan tiga kali injeksi ulang dengan dosis yang sama. Pada hasil akhir didapatkan bahwa volume kontusio menurun secara bermakna. Jumlah dari kerusakan jaringan saraf yang dinyatakan sebagai volume kontusio penting diketahui untuk estimasi defisit neurologis yang timbul akibat cedera (Sarrafzadeh et al., 2002; Kerman et al., 2005). Beni et al., menguji efikasi Melatonin dalam perbaikan gangguan neufisiologi dan perubahan molekular yang sebagai akibat cedera. Pada uji ini digunakan hewan coba yang diberikan Melatonin dengan dosis 1-10 mg/ kgBB setelah induksi trauma. Hasil yang didapat adalah 5 mg/kgBB merupakan dosis efektif untuk menekan kerusakan jaringan saraf. Perbaikan terjadi pada hari pertama, keempat, dan ketujuh pascatrauma. Hewan coba yang mendapat Melatonin mengalami pemulihan lebih cepat dan lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kemudian, diketahui bahwa Melatonin meningkatkan kadar antioksidan, menghambat dengan sempurna aktivasi fase lanjut NFκB, dan menurunkan jumlah apoptocyc (AP)-1. Makna dari penemuan ini adalah bahwa Melatonin menghambat kerusakan intraselular sel saraf melalui peningkatan kadar antioksidan intraselular dan meningkatkan pemulihan neurologis karena menghambat respon inflamasi melalui reduksi NFκB dan AP-1 fase lanjut (Beni et al., 2004). Universitas Sumatera Utara Studi oleh Genovese et al., menguji pemberian kombinasi Melatonin dengan steroid dalam menghadapi stres oksidatif atau nitrosatif. Kelompok perlakuan mendapatkan deksametason 10 mg/kgBB dan Melatonin 0,025 mg/kgBB diberikan secara intraperitoneal pada satu dan empat jam pascatrauma. Sejumlah penanda kerusakan selular diamati termasuk sitokin proinflamasi TNFα yang terkait dalam respon inflamasi. Pengamatan dilakukan setiap hari selama sepuluh hari pascatrauma. Setelah diuji, diketahui bahwa terapi kombinasi deksametason dan Melatonin secara bermakna menurunkan kerusakan morfologis sel saraf melalui supresi TNFα (Genovese et al., 2007). Hasil ini konsisten dengan studi Samanta et al., yang memberikan perlakuan Melatonin 45 mg/kgBB pada 15 menit pascatrauma dan diamati selama 48 jam kemudian. Samanta et al., menyatakan bahwa Melatonin menurunkan secara bermakna ekspresi kalpain, respon inflamasi, kerusakan akson, dan kematian sel saraf (Samanta et al., 2008). Secara teoretis, sebagai respon dari terjadinya inflamasi akan terjadi stres oksidatif. Stres oksidatif ini kemudian meningkatkan ekspresi NFκB dan TNFα. Nuclear factor κ-B aktif akan mengaktivasi TNFα. Kemudian, TNFα inilah yang akan menghasilkan dan mengaktifkan berbagai sitokin proinflamasi lain, sehingga penekanan pada NFκB dan TNFα diduga berperan pada hambatan aktivasi sitokin pro inflamasi dan menurunkan produksi MPO dan ROS. (Kaur et al., 2008). Universitas Sumatera Utara Torii et al., meneliti peran Melatonin dalam supresi edema serebri dengan uji klinis pada hewan coba. Kelompok perlakuan mendapatkan Melatonin 6 mg/kgBB per oral sebanyak dua kali, yaitu pada satu jam pascaoklusi middle cerebral artery (MCA) dan satu hari setelah pembedahan. Pada analisis diketahui bahwa volume edema kelompok perlakuan menurun 51,6 % (p< 0,01) dibandingkan dengan kelompok kontrol. Efek protektif Melatonin terhadap edema ini tampak lebih besar pada korteks serebri. Edema korteks serebri menurun 59,8 % (p< 0,01) dibandingkan dengan striatum yang 34,2% (p< 0,05) (Torii et al., 2004). Sebelumnya, Kondoh et al., juga menyatakan bahwa Melatonin berperan dalam menurunkan pembentukan edema serebri pada hewan coba dengan iskemia (Kondoh et al., 2002). Melatonin diketahui dapat menurunkan permeabilitas vaskular karena dapat menurunkan kadar jaringan VEGF (Kaur et al., 2006; Kaur et al., 2007; Sivakumar et al., 2008), sehingga produksi AQP4 dan formasi edema serebri menurun (Kaur et al., 2006). Ayer et al., melakukan penelitian pada hewan coba dengan memberikan Melatonin dosis tinggi, yaitu 150 mg/kgBB pada dua jam pascatrauma. Sebagai pembanding, terdapat dua kelompok kontrol yang satu kelompok mendapat etanol 10% dan satu kelompok lainnya mendapat Melatonin 15 mg/ kgBB. Kemudian hewan coba diamati pada delapan dan 24 jam pascatrauma, dan kemudian diukur kandungan cairan otak pada 24 jam pascatrauma. Pada kesimpulannya Ayer et al., Universitas Sumatera Utara menyatakan bahwa survival rate kelompok perlakuan lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kedua kelompok kontrol. Begitu juga dengan jumlah cairan otak kelompok perlakuan. Hasil ini mengindikasikan adanya hubungan antara jumlah cairan otak dengan edema serebri dan tingkat mortalitas. Melatonin dosis tinggi dapat mencegah peningkatan kadar cairan otak secara bermakna (Ayer et al., 2008). Sejalan dengan Ayer et al., Lee et al., juga melakukan penelitian pada hewan coba untuk mengetahui efek antioksidan Melatonin pada hewan coba pascabedah otak. Lee et al., membagi subjek menjadi tiga kelompok, Kelompok pertama mendapat Melatonin 5 mg/kgBB, kelompok kedua mendapat Melatonin 15 mg/kgBB, dan kelompok ketiga mendapat Melatonin 150 mg/kgBB. Seluruh kelompok mendapat injeksi Melatonin satu jam pasca pembedahan dan kemudian efek Melatonin diamati pada 24 jam pasca pembedahan. Setelah dianalisis, diketahui bahwa Melatonin dosis rendah memiliki kecenderungan menurunkan kadar cairan otak dan Melatonin dosis tinggi (150 mg/kgBB) menurunkan kadar cairan otak dan edema serebri secara bermakna (Lee et al., 2008). Dari beberapa penelitian di atas diketahui peran Melatonin pada penurunan edema serebri. Namun mekanisme pasti yang mendasari ini masih menjadi kontroversi. Selain sifat Melatonin sebagai antioksidan yang dapat menekan kerusakan sel, Kaur et al., menduga hal ini juga karena kemampuan Melatonin dalam menurunkan ekspresi AQP4 dan supresi pembengkakan astrosit. Akibatnya terjadi penurunan ambilan Universitas Sumatera Utara cairan oleh sel dan pembentukan edema dapat ditekan (Kaur et al., 2006). Kemampuan ekspresi Melatonin dalam menurunkan ekspresi AQP4 diduga berhubungan dengan kemampuannya sebagai antioksidan. Sebagai antioksidan, Melatonin berperan dalam menghambat NFκB sehingga aktivasi dan ekspresi NFκB menurun. Penghambatan NFκB ini menurunkan (80%) regulasi AQP4 pascatrauma secara signifikan (p<0,01) (Kakulavarapu et al., 2011). Gambar 2.11 Skematik Tahapan Cedera Kepala Secara Molekuler Universitas Sumatera Utara 2.3 Kerangka Teori CEDERA KEPALA SEL DEBRIS MAKROFAG SITOKIN IL-8 IL-6 TNFα IL-1 LEUKOSITOSIS E-SELEKTIN VCAM VEGF ROS (MDA) MPO MELA TONIN AQP-4 ISKEMIA EDEMA OTAK Universitas Sumatera Utara Pada cedera kepala akan terjadi kerusakan sel (sel debris). Adanya kerusakan sel tersebut akan difagositosis oleh makrofag. Makrofag yang memfagositosis sel debris tersebut akan menjadi aktif dan melepaskan beberapa sitokin antara lain: IL-6, TNF-α, IL-8, IL-1. IL-6 dan TNF-α, dan akan menginduksi sumsum tulang untuk pembentukan leukosit (leukositosis), sedangkan IL-8 berperan sebagai neutrophil chemotactic factor (NCF), sehingga neutrofil migrasi ke perifer. Selain itu, TNF-α menginduksi endotel untuk mengeskpresikan E-selektin, yaitu dalam molekul adesi terhadap eosinofil. Sedangkan IL-1 berperan untuk menginduksi endotel dan mengekspresikan VCAM yang merupakan molekul adesi terhadap monosit. Adanya kedua molekul tersebut mengakibatkan neutrofil dan monosit menempel pada permukaan endotel. Selanjutnya, sel tersebut melepaskan suatu enzim yaitu myeloperoksidase, yang menginduksi pelepasan ROS/MDA. Adanya trombosis dan ROS/MDA tersebut mengakibatkan terjadi gangguan vaskuler pada otak dan akhirnya mengakibatkan terjadinya iskemia. Iskemia tersebut akan mengakibatkan gangguan pompa sodium pada astrosit, sehingga astrosit mengalami swelling (pembengkakan). Selanjutnya, peran IL-1 pada inflamasi (cedera kepala), selain menginduksi endotel pada vaskuler untuk mengekspresikan E-selektin juga menginduksi endotel untuk mengekresikan VEGF, yang menginduksi astrosit untuk mensekresi AQP-4. Aquaporin ini berperan untuk menginduksi dinding vaskuler dan untuk memfasilitasi air masuk ke area interstitial pada jaringan otak sehingga terjadi peningkatan kadar air pada Universitas Sumatera Utara area interstitial. Adanya swelling (pembengkakan) sel-sel pada otak akibat iskemia dan peningkatan kadar air pada area interstitial maka terjadilah perluasan volume otak yang kemudian dikenal sebagai edema otak. Adanya edema otak akan mengakibatkan terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang sangat berbahaya bagi penderita. Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan dengan pemberian Melatonin. Melatonin ini bekerja menghambat myeloperoksidase. Bila enzim ini dihambat, maka tidak akan terjadi pembentukan ROS/MDA sehingga kerusakan jaringan pun tidak terjadi. Oleh karena itu, iskemik dapat dikurangi. Bila iskemik tidak terjadi, pompa sodium dapat berjalan dengan baik sehingga astrosit tidak mengalami pembengkakan. Selain menghambat myeloperoksidase, Melatonin juga bekerja menghambat VEGF. Adanya hambatan VEGF tersebut maka astrosit tidak terinduksi untuk melepaskan AQP-4 sehingga H2O tidak masuk ke cairan interstitial dan akhirnya edema otak dapat diatasi. 2.4 Hipotesis Penelitian 1. Melatonin berperan pada ekspresi MDA pada sel mikroglia hewan coba yang mengalami cedera kepala. 2. Melatonin berperan pada ekspresi MPO pada sel mikroglia hewan coba yang mengalami cedera kepala. 3. Melatonin berperan pada produksi VEGF pada SDO hewan coba yang mengalami cedera kepala. 4. Melatonin berperan pada ekspresi AQP4 pada SDO hewan coba yang mengalami cedera kepala. Universitas Sumatera Utara 5. Terdapat korelasi positif antara produksi VEGF dan AQP-4 pada SDO hewan coba yang diberi Melatonin. 2.5 Kerangka Konseptual Hewan coba : - Kelompok tanpa cedera kepala - Kelompok kontrol dengan cedera kepala - Kelompok perlakuan dengan cedera kepala MELATONIN 2,5 mg/kgBB intraperitoneal satu jam pascacedera dan di ulang tiap 12 jam Cedera kepala: - MDA - MPO - VEGF - AQP4 Hewan coba secara random dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, kelompok tanpa dilakukan cedera kepala, kelompok dilakukan cedera kepala tanpa diberi Melatonin Kontrol (-), kelompok dilakukan cedera kepala dengan diberi Melatonin. Pemberian Melatonin dilakukan 1 jam pascatrauma kepala dan diulang tiap 12 jam selama 7 hari, kemudian semua hewan coba dikorbankan untuk diambil jaringan otaknya dan dilakukan pemeriksaan imunohistokimia untuk melihat MDA, MPO, VEGF dan AQP-4. Universitas Sumatera Utara