1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit jantung dan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan penyebab utama kematian
secara global, termasuk Indonesia. Pada tahun 2001, World Health Organization
(WHO) melaporkan 1 dari 3 orang di seluruh dunia meninggal karena penyakit
jantung dan pembuluh darah. Sepertiga dari seluruh populasi dunia tahun 2001
berisiko tinggi mengalami penyakit jantung dan pembuluh darah. Pada tahun yang
sama, WHO mencatat sekitar 17 juta orang meninggal karena penyakit ini dan
melaporkan bahwa sekitar 32 juta orang mengalami serangan jantung dan stroke
setiap tahunnya (Muchid dkk., 2006). Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007
memperlihatkan bahwa prevalensi beberapa penyakit jantung dan pembuluh darah
seperti hipertensi di Indonesia sangat tinggi, yaitu sebesar 31,7%; sedangkan
penyakit jantung 7,2%; dan stroke 8,3 per 1.000 penduduk (Kementerian
Kesehatan, 2009). Berdasarkan data dari instalasi rekam medik, pasien IMA rawat
inap di RS Panti Rapih selama tahun 2013 sebanyak 246 dan di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta selama tahun 2011-2014 sebanyak 185.
Salah satu manifestasi klinik penyakit jantung koroner (PJK) yang utama dan
paling sering mengakibatkan kematian adalah infark miokard akut (IMA) yang
dapat berupa angina pektoris tidak stabil (APTS), non-ST elevation myocardial
infarction (NSTEMI), dan ST elevation myocardial infarction (STEMI) (Muchid
dkk., 2006).
1
Prinsip penatalaksanaan IMA adalah mengembalikan aliran darah koroner
dengan trombolitik atau percutaneous transluminal coronary angioplasty (PTCA)
primer untuk menyelamatkan jantung dari infark miokard, membatasi luasnya
infark miokard, dan mempertahankan fungsi jantung. Tenggang waktu antara
mulai keluhan-diagnosis dini sampai dengan mulai terapi reperfusi akan sangat
mempengaruhi prognosis. Terapi
IMA harus dimulai sedini mungkin,
reperfusi/rekanalisasi sudah harus terlaksana sebelum 4-6 jam (Muchid dkk.,
2006).
Luaran pasien IMA dipengaruhi oleh implementasi pedoman penatalaksanaan
seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Badano et al. (1999). Pada
penelitiannya, diketahui bahwa pencapaian tingkat aPTT yang adekuat pada 24
jam pertama lebih tinggi dibandingkan kelompok subyek yang ditangani sebelum
implementasi pedoman (62% banding 14%; p<0,0001). Lama hari rawat di ICCU
juga lebih singkat 0,5 hari dibandingkan kelompok subyek yang ditangani
sebelum implementasi pedoman (p<0,0001).
Keoptimalan terapi medik juga mempengaruhi luaran pasien IMA. Huffman
et al. (2013) membandingkan dampak terapi medik yang optimal dan nonoptimal
pada pasien IMA. Pada penelitiannya, terapi medik yang optimal didefinisikan
mendapat lima obat berikut: aspirin, klopidogrel, heparin, β-blocker, dan statin.
Penelitian tersebut memberikan hasil bahwa pasien yang mendapat terapi medik
rawat inap yang optimal memiliki tingkat mortalitas sebesar 3,6% dibandingkan
4,1% pada yang mendapat terapi medik yang nonoptimal (OR=0,86; IK 95%
0,76-0,98). Pada tahun 2012, Berwanger et al. mengevaluasi pengaruh materi
2
edukasi terhadap peningkatan penggunaan terapi berbasis bukti dan insiden
kejadian kardiovaskuler mayor pada pasien IMA. Salah satu materi edukasi yang
diberikan adalah terapi IMA berbasis bukti. Pada penelitiannya, terapi IMA
berbasis bukti minimal yang ditetapkan untuk diberikan dalam 24 jam pertama
pasien masuk rumah sakit adalah aspirin, klopidogrel, antikoagulan, dan statin.
Penelitian tersebut memberikan hasil bahwa angka kejadian kardiovaskuler di
rumah sakit pada kelompok intervensi lebih rendah dibandingkan kontrol (5,5%
banding 7,0%) dan kematian karena semua penyebab pada 30 hari pada kelompok
intervensi lebih rendah dibandingkan kontrol (7,0% banding 8,4%).
Pada tahun 2012, Vavalle et al. mencari faktor-faktor yang mempengaruhi
lama hari rawat pasien NSTEMI. Pada penelitiannya, luaran klinik dikategorikan
menjadi lama hari rawat ≥4 hari dan lama hari rawat <4 hari. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa pasien dengan lama hari rawat ≥4 hari cenderung
kurang mendapat terapi berbasis bukti dibandingkan pasien dengan lama hari
rawat <4 hari. Pada kasus STEMI, berdasarkan penelitian terdahulu telah berhasil
diketahui bahwa penggunaan obat fibrinolisis merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi lama hari rawat pasien STEMI (Newby et al., 2000).
Rawat inap yang lama dapat menyebabkan meningkatnya risiko infeksi
nosokomial, trombosis vena dalam, emboli paru, dan medical error (Mark and
Newby, 2003; Saleh et al., 2010). Selain itu lama perawatan di rumah sakit yang
tidak berkontribusi terhadap perbaikan yang berarti pada kondisi pasien
merupakan pengeluaran layanan kesehatan yang bersifat boros (Mark and Newby,
2003; Polverejan et al., 2003; Soekhlal et al., 2013), sedangkan rumah sakit dan
3
penyedia layanan kesehatan terus ditekan untuk menurunkan biaya pengobatan.
Pentingnya penghematan biaya layanan kesehatan menggaris bawahi perlunya
pemahaman yang lebih baik terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan
lama hari rawat pasien IMA (Anderson et al., 2013).
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dijelaskan, maka salah satu faktor
yang diduga mempengaruhi lama rawat inap di rumah sakit pada pasien IMA
adalah optimalisasi terapi farmakologik, tetapi dampak terapi IMA yang
nonoptimal terhadap luaran lama rawat inap di rumah sakit dan lama hilangnya
nyeri dada perlu diteliti lebih lanjut. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
peneliti ingin melakukan penelitian berjudul ‘Perbandingan lama rawat inap di
rumah sakit dan lama hilangnya nyeri dada antara terapi farmakologik yang
optimal dan nonoptimal pada pasien infark miokard akut’.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana gambaran pola terapi pada pasien infark miokard akut?
2. Apakah terdapat perbedaan lama rawat inap di rumah sakit dan lama hilangnya
nyeri dada antara terapi farmakologik yang optimal dan nonoptimal pada
pasien IMA?
4
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini antara lain:
1. Mengetahui gambaran pola terapi pada pasien infark miokard akut.
2. Mengetahui perbedaan lama rawat inap di rumah sakit dan lama hilangnya
nyeri dada antara terapi farmakologik yang optimal dan nonoptimal pada
pasien IMA.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:
1. Memberikan informasi kepada pihak rumah sakit, farmasi klinik, dan profesi
kesehatan lain mengenai luaran terapi antara yang optimal dan nonoptimal
pada pasien IMA.
2. Memberikan data kepada peneliti yang akan datang untuk membantu
perkembangan pengobatan pasien IMA.
E. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian mengenai evaluasi terapi pasien medik pada pasien infark
miokard dapat dilihat pada Tabel 1.1. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya terletak pada subyek penelitian yaitu pasien rawat inap dengan
diagnosis STEMI dan NSTEMI, metode penelitian yaitu retrospective cohort,
variabel bebas yang dibandingkan yaitu terapi yang optimal dan nonoptimal, dan
variabel terikat yang diukur yaitu lama rawat inap di rumah sakit dan lama
hilangnya nyeri dada di rumah sakit.
5
Tabel 1.1 Beberapa Penelitian Terapi Pasien Penyakit Jantung Iskemik
Terdahulu
Peneliti dan Judul
Penelitian
Berwanger et al. (2012)
Effect of a multifaceted
intervention on use of
evidence-based therapies in
patients
with
acute
coronary syndromes in
Brazil: the BRIDGE-ACS
randomized trial
Vavalle et al. (2012)
Hospital Length of Stay in
Patients
with
Non-STsegment
Elevation
Myocardial Infarction
Metode
Hasil
Intervensional
analitikRandomized trial.
Pasien IMA dari MaretNovember 2011.
Intervensi yang diberikan
berupa edukasi mengenai
terapi IMA berbasis bukti
Kelompok
intervensi
(n=602)
dibandingkan
dengan kontrol (n=548)
baik rawat inap maupun
rawat jalan.
Terapi akut berbasis bukti
yang ditetapkan adalah
mendapat
aspirin,
klopidogrel, antikoagulan,
dan statin.
Proporsi penerima semua terapi akut
lebih tinggi pada kelompok intervensi
dibandingkan
kontrol
(67,9%
banding 49,5%).
Observasional
analitikcross-sectional
Pasien
NSTEMI
(n=39.107) yang menjalani
kateterisasi jantung dari 1
Januari 2007 - 31 Maret
2009.
Pasien dengan lama hari rawat ≥4
hari cenderung kurang mendapat
terapi berbasis bukti dibandingkan
dengan lama hari rawat <4 hari.
Angka kejadian kardiovaskuler di
rumah
sakit
pada
kelompok
intervensi lebih rendah dibandingkan
kontrol (5,5% banding 7,0%).
Kematian karena semua penyebab
pada 30 hari pada kelompok
intervensi lebih rendah dibandingkan
kontrol (7,0% banding 8,4%).
Luaran
klinik
dikategorikan
menjadi
lama hari rawat ≥4 hari
dan lama hari rawat <4
hari.
Huffman et al. (2013)
Optimal In-Hospital and
Discharge Medical Therapy
in
Acute
Coronary
Syndromes
in
Kerala
Results From the Kerala
Acute Coronary Syndrome
Registry
Observasional
analitikKohort retrospektif.
Pasien IMA baik STEMI
maupun NSTEMI dari
tahun 2007-2009.
Kelompok yang mendapat
terapi medik yang optimal
(n=10.307) dibandingkan
dengan yang nonoptimal
(n=15.411) baik rawat inap
maupun rawat jalan.
Terapi rawat inap yang
optimal
didefinisikan
mendapat
aspirin,
klopidogrel, heparin, βblocker, dan statin.
Mortalitas kelompok yang mendapat
terapi
medik
yang
optimal
menurunkan
risiko
mortalitas
dibandingkan
dengan
yang
nonoptimal (3,6% dan 4,1%; OR
0,86; IK 95% 0,76-0,98).
6
Download