tinjauan spesifisitas penulisan diagnosis dan ketepatan kode

advertisement
1
TINJAUAN SPESIFISITAS PENULISAN DIAGNOSIS DAN
KETEPATAN KODE BERDASARKAN ICD-10 PADA PASIEN
JAMKESMAS KASUS FRAKTUR DI RUMAH SAKIT UMUM
KOTA SEMARANG PERIODE 2012
KARYA TULIS ILMIAH
Disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar diploma (A.Md, PK)
dari Program Studi Rekam Medis dan Informasi Kesehatan
Oleh :
SAKA INDRA PRATAMA
NIM D22.2009.00859
PROGRAM STUDI DIII REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN
FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO
SEMARANG
2013
2
Program Studi DIII Rekam Medis dan Informasi Kesehatan
Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
Semarang
2013
ABSTRAK
SAKA INDRA PRATAMA
TINJAUAN
SPESIFITAS
PENULISAN
DIAGNOSIS
DAN
KETEPATAN
KODE
BERDASARKAN ICD-10 PADA PASIEN JAMKESMAS KASUS FRAKTUR DI RUMAH SAKIT
UMUM KOTA SEMARANG PERIODE 2012.
Rumah sakit umum kota Semarang merupakan rumah sakit tipe C menjadi kelas B non
pendidikan yang telah menggunakan ICD-10 sebagai pedoman koding, di rumah sakit tersebut
belum pernah diadakan penelitian mengenai tinjauan antara spesifitas penulisan diagnosis
utama dan ketepatan kode berdasarkan ICD-10 pada pasien Jamkesmas kasus fraktur di
rumah sakit umum kota Semarang periode 2012. Berdasarkan survey awal terhadap 10 DRM
rawat inap, peneliti melakukan observasi mendapatkan 30% kode tidak tepat dimana 70% DRM
diantaranya penulisan diagnosisnya tidak spesifik.
Penelitian ini mengunakan metode observasi dengan pendekatan crossectional dan
jenis penelitian deskriptif, sedangkan populasi dari penelitian ini adalah 174 berkas rekam
medis rawat inap pasien Jamkesmas pada kasus fraktur periode 2012 sehingga diperoleh
sampel sebanyak 63 berkas yang diambil dengan menggunakan teknik random sampling.
Hasil pengamatan jumlah penulisan diagnosis utama yang spesifik pada dokumen
rekam medis pasien Jamkesmas kasus fraktur sebanyak 84,12% dokumen rekam medis
jamkesmas kasus fraktur, sedangkan ketepatan kode kode penyakit pada diagnosis yang
spesifik sebanyak 85,71% dokumen , dan ketepatan kode penyakit pada diagnosis utama yang
tidak spesifik sebanyak 10% dokumen rekam medis pasien jamkesmas kasus fraktur.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah bahwa mendapatkan ketepatan kode penyakit,
tidak hanya dipengaruhi penulisan diagnosis utama yang spesifik saja namun dipengaruhi juga
oleh ketelitian petugas koding serta faktor-faktor lain yang mempengaruhinya , oleh sebab itu
petugas koding wajib aktif dalam mencari informasi jika menemukan diagnosis utama yang
tidak spesifik serta perlu adanya peningkatan pengetahuan petugas koding dengan keikutan
dalam pelatihan koding ICD-10. Disarankan perlu adanya audit terhadap koding secara spesifik
dan peningkatan pengetahuan petugas koding dengan cara diikutsertakan dalam pelatihan
koding. Selain itu petugas koding sebaiknya lebih aktif dan teliti dalam mencari informasi
dengan menganalisis lembar-lembar rekam medis lain.
Kata Kunci
: spesifitas diagnosis utama, kode penyakit ICD-10
Kepustakaan : 9 (1997-2012)
3
DIII Studies Program Medical Record and Health Information
Medical Faculty of the Dian Nuswantoro University
Semarang
2013
ABSTRACT
SAKA INDRA PRATAMA
review the specificity and accuracy of diagnosis of writing code based on ICD-10 in
patients jamkesmas fractures in the city's public hospitals semarang period 2012
Semarang city public hospital hospital type C is a class B non-education who have used
the ICD-10 coding guidelines, the hospital has never conducted research on writing a review
between specificity and accuracy of primary diagnosis codes based on ICD-10 in patients
Jamkesmas fractures in the general hospital in Semarang period of 2012. Based on the initial
survey of the 10 DRM hospitalization, researchers conducted observations get 30% incorrect
code where 70% of them writing DRM nonspecific diagnosis.
This study uses cross-sectional observation method with the approach and descriptive
research, while the population of this study were 174 inpatient medical record file on the case of
fracture patients Jamkesmas 2012 period in order to obtain a sample of 63 files were taken
using random sampling techniques.
Observations principal amount of writing specific diagnoses on the patient's medical
record documents Jamkesmas fractures as much as 84.12% jamkesmas medical records
document cases of fracture, whereas the accuracy of disease at diagnosis code code specific
document as much as 85.71%, and accuracy of disease at diagnosis code no specific major as
much as 10% jamkesmas patient's medical record documents fractures.
The conclusion is obtained, namely, that in order to get the accuracy of disease code,
not only influenced the writing of the specific primary diagnosis alone, but is also influenced by
the accuracy of coding personnel and other factors that influence it, and therefore the coding
clerk shall actively seek information if found diagnosis no specific major as well as a need to
increase knowledge officer with coding in ICD-10 coding training. Obtained advice that is
necessary to have a specific audit of coding and coding staff knowledge increased participation
in the way coding training. Besides coding staff should be more active and thorough in finding
information by analyzing strands other medical records.
Keywords :primary diagnosis specificity, ICD-10 disease code
Bibliography : 9 (1997-2012)
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, unit rekam medis sangat diperlukan
dalam berbagai pelayanan kesehatan terutama rumah sakit. Rekam medis merupakan
sebuah catatan atau berkas yang berisikan sebuah perekaman mengenai hasil
pengobatan
pasien.
Catatan
tersebut
berupa
identitas
pasien,
pemeriksaan,
pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan
kesehatan.
Rekam medis juga dapat membantu meningkatkan mutu pelayanan kesehatan,
tetapi hal ini perlu didukung oleh beberapa faktor, diantaranya terkait dengan
perekaman data medis pasien yang informatif, lengkap dan berkesinambungan. Oleh
sebab itu, unit rekam medis diharapkan mampu memberikan pelayanan dan informasi
yang berkesinambungan pada pasien, dokter, dan tenaga medis.(1)
Tidak hanya dalam segi medis saja, rekam medis juga berperan besar dalam
menentukan besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien dalam kegiatan
pengobatannya. Terutama biaya pengobatan yang berhubungan jasa asuransi,
informasi rekam medis berupa kode penyakit sangat diperlukan informasi dan
kesesuaiannya. Kode penyakit akan digunakan pihak asuransi sebagai dasar untuk
mengklaim asuransi yang sudah disepakati bersama oleh pihak penyedia asuransi dan
pengguna asuransi tersebut.
Koding merupakan salah satu bagian dari unit rekam medis yang fungsinya
memberi kode pada diagnosa utama yang sesuai dengan aturan ICD-10. Tujuan
5
penggunaan ICD-10 itu sendiri untuk menyeragamkan nama dan golongan penyakit
serta faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan, sedangkan manfaatnya untuk
mempermudah perekaman yang sistematis, analisa, interpretasi dan perbandingan data,
sedangkan dalam kegiatannya dapat mempermudah pelayanan dan penyajian informasi
untuk tujuan epidemiologi umum dan manajemen kesehatan.(1)
Dalam pengunaannya, ICD-10 kini digunakan sebagai buku pedoman standar
untuk menentukan kode diagnosis utama pasien. Dalam proses koding, ICD-10
menyediakan pedoman khusus untuk menyeleksi kausa atau kondisi yang akan dikode
dan proses kodingnya. Aturan dan pedoman tentang seleksi kondisi atau sebab tunggal
yang dipakai untuk tabulasi rutin dalam sertifikat kematian atau rekaman morbiditas ini
telah diadopsi oleh WHO dalam siding World Health Assembly, khususnya berkaitan
dengan dengan revisi ICD. Pedoman dan aturan koding morbiditas dan mortalitas
dicantumkan secara rinci dalam buku volume 2 tentang pedoman penggunaan
(instruction manual).(2)
Salah satu penentu ketepatan kode diagnosis utama penyakit adalah spesifitas
diagnosis utama, bahwa masing-masing pernyataan diagnostik harus bersifat informatif
atau mudah dipahami agar dapat menggolongkan kondisi-kondisi yang ada ke dalam
kategori ICD yang paling spesifik sehingga akan memudahkan penentuan rincian kode.
Rincian informasi yang disyaratkan menurut ICD-10 dapat berupa kondisi
akut/kronis, letak anatomik yang detail, tahapan penyakit, ataupun komplikasi atau
kondisi penyerta, penulisan diagnosis yang tidak spesifik seringkali menyulitkan koder
dalam pemilihan kode penyakit yang sesuai, dan berujung pada kesalahan pengkodean
(miscoding).(3)
6
Pengkodean penyakit yang tidak tepat dapat merugikan rumah sakit terutama
dalam bidang mutu di unit rekam medis. Hal ini akan menyebabkan kerugian pada
rumah sakit dimana klaim yang diajukan tidak dapat dipenuhi oleh pihak asuransi karena
kode penyakit yang tidak tepat. Selain itu pihak pasien juga dirugikan jika pengkodean
tidak sesuai dengan pelayanan kesehatan yang mereka terima.
Berdasarkan survei awal terhadap 10 DRM rawat inap, peneliti melakukan
observasi mendapatkan 30 % kode tidak tepat di mana 70 % dokumen rekam medis
diantaranya penulisan diagnosisnya tidak spesifik. Sehingga dalam hal ini peneliti ingin
mendeskripsikan spesifitas penulisan diagnosis dan ketepatan kode berdasarkan ICD10 pada pasien Jamkesmas Rumah Sakit Umum Kota Semarang .
Mengingat pentingnya hubungan antara spesifisitas diagnosis dengan ketepatan
kode terhadap kode diagnosis yang akan dihasilkan, dan sebagai salah satu tolak ukur
untuk kontrol kualitas di bagian koding unit Rekam Medis maka dalam penulisan tugas
akhir ini, peneliti ingin membahas tentang “TINJAUAN SPESIFISITAS PENULISAN
DIAGNOSIS DAN KETEPATAN KODE BERDASARKAN ICD-10 PADA PASIEN
JAMKESMAS KASUS FRAKTUR DI RUMAH SAKIT UMUM KOTA SEMARANG
PERIODE 2012”.
7
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah tinjauan spesifisitas penulisan diagnosis dan ketepatan
kode
berdasarkan ICD-10 pada pasien Jamkesmas kasus fraktur di RSUD kota Semarang
periode 2012?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mendeskripsikan
spesifisitas
penulisan
diagnosis
dan
ketepatan
kode
berdasarkan ICD-10 pada pasien Jamkesmas kasus fraktur di Rumah Sakit
Umum Kota Semarang periode 2012.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui penulisan diagnosa utama dan kode pada RM1 pasien
Jamkesmas kasus fraktur
b. Mengetahui spesifisitas penulisan diagnosis utama pada pasien jamkesmas
pada kasus fraktur
c. Mengetahui ketepatan kode diagnosis utama berdasarkan ICD-10 pasien
Jamkesmas kasus fraktur
d. Menghitung
persentase spesifikasi diagnosis utama dan persentase
ketepatan kode berdasarkan ICD-10 pasien Jamkesmas kasus fraktur.
8
D. Manfaat
1. Bagi Peneliti
Menambah pengalaman dan memperluas wawasan serta pengetahuan dalam ilmu
rekam medis khususnya klasifikasi penyakit dan tindakan (KPT).
2. Bagi Rumah Sakit
Memberikan masukan untuk evaluasi rumah sakit mengenai kesesuaian kode diagnosis
dokter dan koding ICD-10 pada dokumen RM1 pasien jamkesmas.
3. Bagi Akademik
Sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya sekaligus sebagai referensi yang
dapat menambah khazanah keilmuan rekam medis khususnya koding.
9
E.Ruang Lingkup
1. Lingkup Keilmuan
Penelitian ini termasuk dalam lingkup ilmu Rekam Medis
2. Lingkup Materi
Penelitian ini dibatasi oleh materi kodefikasi penyakit dan tindakan (kode morbiditas)
3. Lingkup Lokasi
Penelitian ini dilakukan di bagian koding unit Rekam Medis Rumah Sakit Umum Kota
Semarang
4. Lingkup Metode
Penelitian ini menggunakan metode observasi dan wawancara.
5. Lingkup Objek atau Sasaran
Sasaran dari penelitian adalah berkas rekam medis pasien jamkesmas kasus fraktur
6. Lingkup Waktu
Penelitian ini mulai dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus tahun 2013.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Rekam medis
1. Pengertian Rekam medis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Rekam Medis adalah hasil perekaman
yang berupa keterangan mengenai hasil pengobatan pasien, sedangkan rekam
kesehatan yaitu hasil perekaman yang berupa keterangan mengenai kesehatan
pasien.
Dalam peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 269 tahun 2008 tentang
rekam medis disebutkan bahwa rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan
dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan,
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien , dimana pasien adalah setiap
orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung
kepada dokter atau dokter gigi dan atau tenaga kesehatan tertentu.(2)
Menurut Huffman EK, 1992 menyampaikan batasan rekam medis dalah rekaman
atau catatan mengenai siapa, apa, mengapa, bilamana pelayanan yang diberikan
kepada pasien selama masa perawatan yang memuat pengetahuan mengenai pasien
dan pelayanan yang diperolehnya serta memuat informasi yang cukup untuk
mengidentifikasi pasien, membenarkan diagnosis dan pengobatan serta merekam
hasilnya.(4)
Dari definisi rekam medis diatas , dapat disimpulkan bahwa rekam medis
merupakan kumpulan fakta tentang kehidupan seseorang dan riwayat penyakitnya,
termasuk keadaan sakit, pengobatan saat ini dan saat lampau yang ditulis oleh para
11
praktisi kesehatan dalam upaya mereka memberikan pelayanan kesehatan kepada
pasien.
2. Tujuan Rekam medis
Rekam medis bertujuan untuk menyediakan informasi guna memudahkan
pengelolaan dalam pelayanan kepada pasien dan memudahkan pengambilan
keputusan manajerial (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan,
penilaian dan pengendalian) oleh pemberi pelayanan klinis dan administrasi pada
sarana pelayanan kesehatan.(5)
3. Manfaat Rekam Medis
Menurut permenkes no. 749a tahun 1989 menyebutkan bahwa rekam medis
memiliki 5, manfaat yaitu :
a. Sebagai dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan.
b. Sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum.
c. Bahan untuk kepentingan penelitian
d. Sebagai dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan
e. Sebagai bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan.
Sedangkan menurut Gilbony 1991 rekam medis memiliki 6 manfaat, yang
terangkum dalam kata ALFRED :
a. Administration
Rekam medis merupakan rekaman data administratif pelayanan kesehatan.
b. Legal
Rekam medis dapat dijadikan sebagai bahan bukti di pengadilan
12
c. Financial
Rekam medis dapat dijadikan dasar untuk perincian biaya pelayanan kesehatan
yang harus dibayar oleh pasien.
d. Research
Data rekam medis dapat dijadikan sebagai bahan untuk penelitian dalam
lapangan kedokteran, keperawatan dan kesehatan.
e. Education
Data-data rekam medis dapat dijadikan sebagai bahan pengajaran dan
pengajaran dan pendidikan mahasiswa kedokteran, kerawatan, serta tenaga
kesehatan lainnya.
f.
Documentation
Rekam medis merupakan sarana untuk penyimpanan berbagai dokumen yang
berkaitan dengan kesehatan pasien.(5)
B. ICD – 10
1. Pengertian ICD-10
ICD-10 adalah singkatan The International Statistical Classsification of Disease
and Related Health Problem – 10thRevision. Dimana ICD-10 ini digunakan untuk
klasifikasi penyakit dan masalah kesehatan lain yang terekam dalam berbagai jenis
rekaman vital dan kesehatan. Pada praktiknya ICD telah menjadi standard
internasional klasifikasi diagnosis untuk semua tujuan epidemiologi umum dan
manajemen kesehatan.(1)
13
2. Tujuan ICD
Tujuan penyusunan ICD – 10 adalah sebagai berikut :
a.
Untuk mempermudah perekaman yang sistematis, untuk keperluan analisis,
interpretasi
dan
komparasi
data
morbiditas
maupun
mortalitas
yang
dikumpulkan dari berbagai daerah pada saat yang berlainan.
b.
Untuk menerjemahkan diagnosis penyakit dan masalah kesehatan lainnya dari
kata-kata menjadi kode alfanumerik, yang memudahkan penyimpanan, retrieval
dan analisi data.(1)
C. Koding
1. Pengertian Koding
Koding adalah pemberian penetapan kode menggunakan huruf atau angka,
kombinasi huruf dalam angka mewakili komponen data, sedangkan pengkodean
adalah bagian dari usaha pengorganisasian proses penyimpanan dan pengambilan
kembali data yang memberi kemudahan bagi penyajian informasi tersebut.
2. Tujuan Koding
Koding merupakan fungsi yang cukup penting dalam jasa pelayanan informasi
kesehatan. Data klinis yang terkode dibutuhkan untuk meretreive informasi guna
kepentingan asuhan pasien, penelitian, peningkayan performasi pelayanan,
perencanaan
dan
manajemen
sumber
daya,
serta
untuk
mendapatkan
reimbursement yang sesuai bagi jasa pelayanan kesehatan yang diberikan.
3. Langkah-langkah Koding
Adapun langkah-langkah koding adalah sebagai berikut :
a. Identifikasi tipe pertanyaan yang akakn dikode, kemudian carilah dalam buku
volume 3 pada bagian yang sesuai
b. Cari lead-term nya.
14
c. Baca catatan yang tercantum dibawah lead-term.
d. Baca semua terminologi yang ada dalam kurung atau parentheses
dibelakang lead-term
e. Ikuti secara hati-hati semua cross-references (kata “see” dan “see also”)
yang termasuk dalam indeks.
f.
Rujuk daftar tabulasi dalam volume 1 untuk verifikasi kesesuaian nomor kode
yang telah dipilih.
g. Berpedomanlah pada “inclusion” atau “exclusion terms” yang ada dibawah
kode terpilih, atau dibawah judul bab, blok atau kategori.
h. Tentukan kode yang sesuai.
D. Formulir RM 1
Formulir Lembar Masuk dan Keluar adalah formulir rekam medis yang digunakan
untuk mencatat ringkasan perjalanan penyakit sejak pasien masuk sampai keluar rumah
sakit. Formulir ini juga selalu menjadi lembaran paling depan pada suatu berkas Rekam
Medis. Isi pokok formulir ini adalah identitas pasien dan dokter yang merawat, keluhan
utama dan keluhan tambahan, riwayat ringkasan penyakit terdahulu, diagnosis awal
atau diagnosis utama, diagnosis komplikasi, infeksi nosokomial, tindakan dan sebab
kematian.
Isi dari formulir ini adalah sebagai berikut :
1. Identias Pasien
Nama Pasien
No. RM
Alamat
Umur
Jenis Kelamin
15
Tanggal Lahir
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
2. Informasi yang perlu dicatat
Cara pelayanan pasien atau keikutsertaan dalam asuransi
Cara penerimaan pasien
Asal pasien
Nama dan keluarga terdekat
Nama penanggung jawab
Tanggal dan jam masuk rawat inap
Tanggal dan jam keluar rawat inap
Lama dirawat
Diagnosa awal
Diagnosa tambahan
Kode diagnosa
Tindakan operasi
Infeksi nosokomial dan penyebabnya
Imunisasi yang pernah didapat
Tranfusi darah (jika ada)
Keadaan dan cara keluar
Nama dan tanda tangan dokter yang merawat
Sebab kematian (jika ada)
16
E. Formulir Pendukung Dokumen Rekam Medis
Adapun formulir-formulir yang mendukung dokumen rekam medis adalah
sebagai berikut :
1. Anamnesa
Lembar anamnesa yaitu formulir yang berisikan catatan tentang hasil kegiatan
wawancara antara pasien dengan dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang
berwenang untuk memperoleh keterangan-keterangan tentang keluhan dan
penyakit yang diderita pasien.
2. Pemeriksaan Fisik
Lembar anamnesa yaitu formulir yang berisi tentang hasil pemeriksaan yang
dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain yang berwenang yang
didalamnya meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
3. Pemeriksaan Penunjang
Yaitu suatu formulir yang berisikan tentang hasil pemeriksaan medis yang
dilakukan atas indikasi medis tertentu guna memperoleh keterangan-keterangan
yang lebih lengkap.(3)
F. Diagnosis Utama
Diagnosis utama merupakan kata / frasa yang digunakan oleh dokter untuk
menyebutkan suatu penyakit yang diderita seorang pasien yang memerlukan, mencari
atau menerima asuhan medis. Diagnosis diperoleh pada saat dokter telah melakukan
pemeriksaan terhadap pasien sedangkan diagnosis utama adalah penyakit atau cacat,
luka, keadaan sakit yang utama dari pasien yang dirawat di rumah sakit, adapun
batasan-batasan diagnosa utama dalah sebagai berikut :
1. Diagnosis ditentukan setelah cermat dikaji (determinated after study)
17
2. Menjadi alasan (penyebab) (fakta) admission (masuk rawat) (caused this particular
admission)
3. Menjadi fakta asuhan terapi atau pengobatan (tindakan lain yang dilaksanakan)
untuk menegakkan diagnose (focus of treatment).(6)
G. Macam-macam Diagnosis Menurut WHO
1.
Principal Diagnosis
Adalah diagnosis yang ditegakkan setelah dikaji, yang terutama bertanggung
jawab menyebabkan Admission pasien ke rumah sakit.
2.
Other Diagnosis
Diagnosis selain principal diagnosis yang menggambarkan suatu kondisi dimana
pasien mendapatkan pengobatan, atau dimana dokter mempertimbangkan
kebutuhan-kebutuhan untuk memasukkannya dalam pemeriksaan kesehatan lebih
lanjut.
3. Complication
Suatu diagnosis yang menggambarkan suatu kondisi yang muncul setelah
dimulainya observasi dan perawatan di rumah sakit yang mempengaruhi perjalanan
penyakit pasien atau asuhan medis yang dibutuhkan.(3)
H. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Akurasi Kode Penyakit
1.
Kelengkapan Rekam Medis
Ketidaklengkapan dalam pengisian rekam medis akan sangat mempengaruhi
mutu rekam medis. Sebelum melakukan pengkodean diagnosis penyakit, petugas
rekam medis diharuskan mengkaji data pasien dalam lembar-lembar rekam medis
tersebut diatas untuk memastikan rincian diagnosis yang dimaksud, sehingga
18
penentuan kode penyakit dapat mewakili sebutan diagnosis tersebut secara utuh
dan lengkap, sebagaimana aturan yang digariskan dalam ICD-10.
2.
Tenaga Medis
Kualitas kode yang dihasilkan oleh petugas koding terutama ditentukan oleh data
dasar yang ditulis dan ditentukan oleh tenaga medis penanggung jawab pasien.
Oleh karena itu, penting bagi tenaga medis terkait untuk mengetahui dan
memahami proses koding dan data dasar yang dibutuhkan, sehingga dalam proses
pereakaman dapat memenuhi bebrapa persyaratan kelengkapan data guna
menjamin keakurasian kode. Di sisi lain, petugas koding bertanggung jawab atas
keakurasian kode diagnosis, oleh karenannya apabila adahal-hal kurang jelas atau
meragukan dalam penentuan kode, perlu dikomunikasikan terhadap dokter
penanggungjawab.
3.
Tenaga Rekam Medis
Kunci
utama
dalam
pelaksanaan
koding
adalah
koder
atau
petugas
koding.Akurasi Koding (penentuan kode) merupakan tanggung jawab tenaga rekam
medis, khususnya tenaga koding.Kurangnya tenaga pelaksana rekam medis
khususnya tenaga koding baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kualitas petugas
koding di URM di RS dapat dilihat dari :
a. Pengalaman Kerja
Pengalaman kerja yang dimiliki oleh petugas koding sangat mendukung
dalam pelaksanaan tugasnya.Petugas koding yang berpengalaman dapat
menentukan kode penyakit lebih cepat berdasarkan ingatan dan kebiasaan.
b. Pendidikan
Keakuratan pilihan kode diagnosis dalam ICD adalah essensial bagi
manajemen kesehatan.Kesalahan mengutip, memindahkan dan memilih kode
secara tepat merupakan kesalahan yang sering terjadi pada saat pengkodean
19
diagnosis penyakit.Salah satu penyebab kesalahan tersebut umumnya adalah
karena kurangnya pengetahuan mengenai aturan-aturan dalam koding yang
menggunakan ICD-10. Kemampuan koding merupakan salah satu kompetisi
kritis yang tidak dimiliki oleh tenaga ksehatan lain, karena koding merupakan
salah satu tugas pokok tenaga rekam medis.
c. Pelatihan
Apabila
tenaga
koding
belum
mempunyai
kesempatan
untuk
mendapatkan pendidikan khusus dibidang rekam medis dan informasi
kesehatan, maka untuk mendapatkan hasil yang baik, setidaknya petugas
memperoleh pelatihan yang cukup tenang seluk-beluk pekerjaannya selaku
tenaga rekam medis. Pelatihan yanng bersifat aplikatif berupa in-house atau onthe-job training akan sangat membantu meningkatkan pemahaman dan
keterampilan tenaga koding, terutama bila latar belakang pendidikan sama sekali
tidak menunjang kesesuaian penentuan kode.
4. Faktor Lain
Sebagaimana halnya tenaga kerja / SDM pada umumnya, tentunya
kualitas tenaga juga dipengaruhi oleh faktor SDM lain seperti usia, system
renunerasi, motivasi, sanksi, dan lain- lain.
4.
Sarana
Sesuai dengan standar pelayanan rekam medis, maka fasilitas dan peralatan
yang cukup harus disediakan guna tercapainya pelayaanan yang efisien, adapun
sarana dalam pelaksanaan pengkodean dalah ICD-10 yang terdiri atas volume 1,2,
dan 3, kamus bahasa inggris dan terminology medis bagi petugas koding yang
belum menguasai kedua bahasa tersebut dengan baik.
20
5.
Kebijakan
Kebijakan rumah sakit yang dituangkan dalam bentuk SK Direktur, Protap
(prosedur tetap) atau SOP (Standar Operating Procedures) akan mengikat dan
mewajibkan semua petugas di rumah sakit yang terlibat dalam pengisian lembarlembar rekam medis untuk melaksanakannya sesuai dengan peraturan dan
perundangan yang berlaku. Selain itu dalam rangka penjaminan kualitas
penyelenggaraan pelayanan rekam medis di rumah sakit, kebijakan yang
dituangkan dalam aturan tertulis akan sangat berperan sebagai dasar pelaksanaan
dan pedoman penyelenggaraan pelayanan rekam medis, sehingga pengawasan
juga menjadi lebih mudah dengan adanya standar atau acuan yang baku. Adanya
akreditas di rumah sakit juga dapat menjadikan acuan penyelenggaraan pelayanan
rekam medis berkualitas di rumah sakit.(1)
I. Aturan Morbiditas
1.
Prinsip Umum
Seorang praktisi medis yang bertanggung jawab terhadap pengobatan pasien
harus memilih kondidsi utama dan kondidsi lain untuk masing-masing episode
asuhan kesehatan. Informasi ini harus disusun secara sistematis menggunakan
standar pencatatan.
2.
Detail dan Spesifilitas
Semua pernyataan diagnosis yang terekam harus se-informatif mungkin agar
dapat menggolongkan kondisi-kondisi yang ada ke dalam kategori ICD yang paling
spesifik. Penulisan diagnosis yang detail dan spesifik akan memudahkan penentuan
rincian kode sampai dengan karakter ke-4 dan ke-5.
21
Rincian informasi yang disyaratkan menurut ICD-10 dapat berupa kondisi
akut/kronis, letak anatomik yang detail, tahapan penyakit, ataupun komplikasi atau
kondisis penyerta. Penulisan diagnosis yang tidak spesifik seringkali menyulitkan
koder dalam pemilihan kode penyakit yang sesuai, dan berujung pada kesalahan
penetapan kode (miscoding).
3.
Diagnosis atau gejala yang tak tentu
Bilamana sampai dengan akhir episode perawatan tidak didapatkan diagnosis
pasti (definate) tentang penyakit atau masalah, maka informasi yang paling spesifik
dan kondisi yang dikethaui memerlukan perawatan atau pemeriksaan saat itulah
yang direkam. Hal ini dilakukan dengan menyatakan suatu gejala, masalah atau
temuan abnormal sebagai diagnosis. Pernyataan diagnosis yang ditulis sebagai
“mungkin” (possible)“dipertanyakan” (questionable) atau “dicurigai” (suspected),
menunjukan bahwa kondisi tersebut sudah dipertimbangkan namun belum dapat
dipastikan.
4.
Alasan non-morbid kontak dengan pelayanan kesehatan
Episode asuhan kesehatan atau saat kontak dengan pelayanan kesehatan tidak
selalu berkaitan dengan pengobatan atau pemeriksaan penyakit/cidera saat ini.
Episode tersebut juga dapat terjadi manakala seseorang yang (mungkin) tidak
dalam keadaan sakit namun membutuhkan atau menerima pelayanan kesehatan
tertentu : rincian dari keadaan tersebut diatas haruslah direkam sebagai „main
condition’ (kondisi utama).
5.
Kondisi Ganda
Bilamana suatu periode perawatan menyangkut menyangkut sejumlah kondisi
yang saling terkait (misalnya cidera multiple, sekuale multiple dari cidera atau
penyakit sebelumnya, atau kondisi multiple yangterjadi pada penyakit HIV), makan
22
dalam aturan morbiditas ICD-10 dinyatakan bahwa salah satu kondisi yang jelas
paling parah serta membutuhkan lebih banyak sumber daya dibandingkan dengan
yang lainnya harus direkam sebagai “main condition” (kondisi utama), sedangkan
kondisi yang lain sebagai “other condtiton”. Bila tidak ada kondisi yang lebih
dominan, maka istilah seperti “multiple fraktures”, “multiple head injuris” atau “HIV
disease resulting in multiple infection” dapt direkam sebagai “main condition” yang
diikuti oleh daftar kondidsi tersebut.
6.
Kondisi Akibat Sebab Luar
Bila mana suatu kondisi seperti misalnya cidera, keracunan, atau akibat lain dari
sebab luar terekam, sangat penting artinya untuk menggambarkan secara lengkap
kondisi yang ada dan keadaan lingkungan yang menyebabkan timbulnya hal
tersebut. Jadi untuk diagnosis cedera sebaiknya digunakan kode ganda, satu kode
utama untuk kondisi cedera yang diderita, dan kode tambahan untuk menjelaskan
sebab luar apa yang menyebabkan kondisi tersebut, meliputi: jenis sebab luar,
tempat kejadian, dan aktivitas saat kejadian.
Kode ini sangat penting artinya jika dikaitkan dengan epidemiologi cedera dan
kecelakaan, khususnya kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, dan kecelakaan
domestik. Statistik yang baik untuk sebab cedera ini dapat digunakan untuk upaya
pencegahan dan penanggulanagan cedera dan keracunan.
7.
Pengobatan untuk squelae
Bilamana
suatu
episode
perawatan
ditunjukkan untuk
perawatan
atau
pemeriksaan dari kondisi residual (squelae) dari suatu penyakit yang sudah tidak
lagi, squelae tersebut harus digambarkan secara lengkap dan disebutkan kondidsi
asalnya, disertai indikasi yang jelas bahwa penyakit asalnya sudah tidak ada lagi.
Jadi kode squelae ini diberikan bila pelayanan kesehatan yang diberikan adalah
23
untuk gejala sisa dari suatu penyakit dengan disertai bukti atau keterangan bahwa
penyakitnya sendiri telah sembuh.(3)
J. Aturan Reseleksi Kondisi Utama
1.
RULE MB 1
Bilamana suatu kondisi minor atau kondisi yang sudah lama terjadi, atau
masalah yang bersifat insidental tercatat sebagai „kondisi utama‟, sedangkan
kondisi yang lebih signifikan dan lebih relevan terhadap pengobatan yang diberikan
dan tau yang lebih sesuai dengan spesialisasi yang merawat pasien, terekam
sebagai „kondisi lain‟, mungkin perlu dilakukan reseleksi, dimana yang disebutkan
terakhir justru menjadi „kondisi utama‟.
2.
RULE MB 2
Bilamana beberapa kondisi baik yang tak dapat dikode dengan kondisi multiple
ataupun kategori kombinasi, terekam sebagai „kondisi utama‟ Sedangkan rincian
lain pada catatan mengacu pada salah satu kondisi sebagai „kondisi utama‟
berdasarkan pelayanan kesehatan yang diterima oleh pasien, maka pilihlah kondisi
yang terakhir ini, atau pilih saja kondisi yang pertama disebutkan, apabila tidak ada
keterangan yang memadai.
3.
RULE MB 3
Bila suatu gejala (symptom) atau tanda (sign) yang umumnya terklasifikasi dalam
bab XVIII, atau masalah non-morbid yang terklasifikasikan pada bab XXI, terekam
sebagai „kondisi utama‟ dan hal tersebut secara jelas menggambarkan tanda, gejala
atau permasalahan dari kondisi yang didiagnosis di bagian lain, sedangkan
perawatan atau pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien tersebut sesuai
dengan gambaran diagnosis tadi, maka reseleksi dengan memilih diagnosis yang
terakhir tadi sebagai “kondisi utama‟ yang harus dikode.
24
4.
RULE MB 4
Apabila diagnosis yang terekam sebagai „kondisi utama‟ menggambarkan suatu
kondisi dengan istilah yang lebih umum (general) sedangkan terminology yang lebih
spesifik tau dapat memberikan informasi yang lebih presisi tentang lokasi atau
gambaran lengkap dari kondisi tersebut diletakkan dibagian lain, maka reseleksilah
kondisi lebih spesifik tadi sebagai „kondisi utama‟ yang akan dikode.
5.
RULE MB 5
Bilamana suatu gejala atau tanda direkam sebagai „kondisi utama‟ dengan indikasi
bahwa kondisi tersebut mungkin disebabkan oleh kondisi lainnya, atau sebab lain di
luar yang terekam, maka sebaiknya pilih gejala (sympton) tersebut sebagai „kondisi
utama‟. Sedangkan bila terdapat dua atau lebih yang terekam sebagi pilihan
diagnosis „utama‟, dan keduanya memungkinkan untuk dipilih sebagai kondisi
utama, maka pilihlah yang pertama kali direkam.(3)
K. Fraktur
Fraktur adalah rusak atau hilangnya sebagian jaringan kulit atau terputusnya
kesinambungan sebagian atau seluruh tulang atau tulang rawan trauma ekstriminitas.
Pada ICD-10 banyak kategori kode fraktur yaitu S02, S06, S12, S22, S26, S27, S32,
S36, S37, S42, S52, S62, dst terdapat subdivisi untuk penggunaan opsional dengan
posisi karakter supplemen (karakter ke-5) bilamana tidak memungkinkan atau tidak
menginginkan penggunaan kode multiple untuk identifikasi fraktur dan luka terbuka.
Subdivisi tersebut biasa sebagai berikut :
0
tertutup
1
terbuka
Khususnya untuk fraktur, prinsipnya : suatu fraktur diklasifikasikan sebagai fraktur
tertutup bila tidak diindikasikan terbuka atau tertutup.
25
Beberapa kategori lain mempunyai subdivisi sebagai berikut :
0
tanpa luka terbuka ke dalam rongga
1
dengan luka terbuka ke dalam rongga
khususnya untuk cedera yang mengenai organ dalam atau rongga tubuh.
L. Jamkesmas
1.
Pengertian Jamkesmas
Jamkesmas adalah program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi
masyarakat miskin dan tidak mampu.Program ini diselenggarakan secara nasional
agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang
menyeluruh bagi masyarakat miskin.Pada hakekatnya pelayanan kesehatan
terhadap masyarakat miskin menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan bersama
oleh
Pemerintah
Pusat
dan
Pemerintah
Daerah.Pemerintah
Propinsi/
Kabupaten/Kota berkewajiban memberikan kontribusi sehingga menghasilkan
pelayanan yang optima. Manfaat jaminan yang diberikan ke peserta dalam bentuk
pelayanan kesehatan yang bersifat menyeluruh (komprehensif) berdasarkan
kebutuhan medik sesuai dengan standar pelayanan medik yang “cost effective” dan
rasional, bukan berupa uang tunai (1)
UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.Pasal 2 dan 3
Undang-undang
ini
menyatakan
bahwa
tujuan
penjaminan
agar
peserta
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan.Pasal 17 Undang –undang ini mengatur sumber
pembiayaan program Jamkesmas sebagaimana dinyatakan dalam butir 4, iuran
program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh
pemerintah. Pasal 19 Menyatakan bahwa jaminan kesehatan bagi masyarakat
miskin
diselenggarakan
secara
nasional
berdasarkan
prinsip
asuransi
26
sosial.Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin membutuhkan perhatian dan
penanganan khusus dari pemerintah.Kesehatan merupakan kebutuhan dasar
manusia untuk dapat hidup layak dan produktif, sehingga perlu dikelola secara
efektif dan efisien, termasuk aspek pembiayaan.Salah satu sistem pembiayaan
kesehatan yang telah berhasil dengan baik di berbagai negara adalah asuransi
kesehatan sosial.(2)
2.
Tujuan Jamkesmas
Ada dua tujuan dari penyelenggaraan jamkesmas yaitu :
a. Tujuan umum yaitu terselenggaranya akses dan mutu pelayanan kesehatan
terhadap seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu agar tercapai derajat
kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien.
b. Tujuan khususnya yaitu meningkatkan cakupan masyarakat dan tidak
mampu yang mendapat pelayanan kesehatan di puskesmas serta
jaringannya dan di Rumah Sakit, serta meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan bagi masyarakat miskin.
3.
Kepesertaan Jamkesmas
a. Masyarakat miskin (maskin).
b. Peserta PKH (Program Keluarga Harapan).
c. Masyarakat miskin yang berasal dari penghuni panti sosial, penghuni Lapas
dan Rutan, akibat korban bencana paska tanggap darurat.
d. Gelandangan, pengemis , anak dan orang terlantar.
e. Penderita Thalassemia Mayor.
4.
Prosedur Pelayanan
a. Pelayanan dasar (Puskesmas) :
Peserta harus menunjukkan kartu jamkesmas atau kartu PKH atau surat
ket./rekomendasi Dinas Sosial/Lapas/Rutan.
27
b. Pelayanan tingkat lanjut ( rumah sakit ) :
1)
Peserta harus menunjukkan kartu Jamkesmas/ PKH/surat
ket/rekomendasi dr Dinsos/Lapas/ Rutan, KTP asli dan C1 asli, serta
surat rujukan dari Puskesmas sejak awal sebelum mendapatkan
pelayanan kesehatan kecuali kasus emergency tidak perlu rujukan.
2)
Pada keadaan gawat darurat, apabila setelah penanganan
kegawatdaruratan selesai memerlukan rawat inap dan identitas
kepesertaan belum lengkap maka yang bersangkutan diberi waktu 2 x
24 jam hari kerja untuk melengkapi status kepesertaannya.
3)
Peserta Jamkesmas tidak boleh ditarik iuran biaya.
28
M. Kerangka Teori
Tenaga Medis
(dokter)
Faktor yang
mempengaruhi
kode diagnosis :
Spesifikasi
Penulisan
Diagnosis utama pada RM 1
1. Kelengkapan
Rekam Medis
Identifikasi menggunakan ICD10 vol 3 dan cari lead-termnya
2. Tenaga Medis
3. Tenaga
Rekam Medis
4. Sarana
Baca semua terminologi dan
rujuk daftar tabulasi dalam ICD10 vol 1
Prasarana
5. kebijakan
Berpedoman pada inclusion
term atau exclusion term
Kode Penyakit
Tepat
tidakTepat
N. Kerangka Konsep
Tepat
Spesifikasi
Penulisan
diagnosa utama
Kode Penyakit
Dengan ICD10
Tidak Tepat
29
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Variabel Penelitian
1. Diagnosa Utama
2. Persentase Spesifisitas Penulisan Diagnosis Utama
3. Kode diagnosa utama
4. Persentase Ketepatan Kode Diagnosis Utama.
B. Definisi Operasional
No
Variabel Penelitian
1
Diagnosis Utama
Defenisi Operasional
Diagnosis utama adalah cacat, luka atau keadaan sakit
yang utama dari pasien yang ditegakkan setelah dikaji dan
menyebabkan
pasien
memerlukan/mencari/menerima
asuhan medis (medical care) sesuai lembar RM1.
Kategori
2
a. Diagnosis utama
spesifik
Penulisan diagnosis utama sesuai dengan ketentuan
rincian informasi ICD-10 yaitu berupa kondisi akut/kronis,
letak anatomik yang detail, tahapan penyakit, ataupun
kondisi komplikasi atau penyerta.
b. Diagnosis utama
tidak spesifik
Penulisan diagnosis utama tidak sesuai dengan ketentuan
rincian informasi ICD-10 yaitu berupa kondisi akut/kronis,
letak anatomik yang detail, tahapan penyakit, ataupun
kondisi komplikasi atau penyerta.
Persentase
Spesifisitas
Penulisan Diagnosis
utama
Proporsi penulisan diagnosis utama yang spesifik dan tidak
spesifik menurut rincian informasi ICD-10 dalam satuan
persen (%).
30
3
Kode diagnosa
utama
Kode diagnosa utama adalah pemberian penetapan kode
menggunakan huruf atau angka, huruf dalam angka sesuai
lembar RM1.
kategori
4
a. Kode Tepat
Kode tepat dan sesuai dengan kategori klasifikasi ICD-10.
b. Kode Tidak Tepat
Kode tidak tepat dan tidak sesuai dengan kategori yang
diklasifikasikan dalam ICD-10.
Persentase
Ketepatan Kode
Diagnosis utama
Proporsi kode diagnosis utama yang tepat dan tidak tepat
dalam satuan persen (%)
C. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif, penelitian deskripsif adalah penelitian yang
berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian pada saat sekarang.
Metode yang digunakan yaitu metode observasi, sedangkan pendekatan yang
digunakan ialah cross sectional yakni pengumpulan data variabel dilakukan pada saat
bersamaan.
31
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah lembar RM1 dokumen rekam medis pasien
jamkesmas pada kasus fraktur pada bagian filling tahun 2012 sebanyak 174
Dokumen Rekam Medis.
2. Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik semi sistematik
random sampling yaitu dengan menggunakan ujung pensil yang dijatuhkan diatas
tabel random, tabel random diperoleh dari angka acak (random number)
menggunakan komputer, setelah pensil dijatuhkan sekali pada tabel random
kemudian ditarik garis secara vertikal ke atas, ke kanan dan ke bawah dengan
memberikan interval 2 baris untuk diambil nomornya pada tabel random sesuai
dengan jumlah sampel yang ditentukan, nomor urut yang dibaca sebanyak 3 digit
dari belakang pada tabel random untuk dilihat nomor urutnya pada buku register
pasien jamkesmas untuk mendapatkan nomor rekam medis yang kemudian akan
dicari pada bagian filling. Adapun besar sampel yang diperoleh dari hasil
perhitungan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Rumus Sampel (n) yaitu
n=
N
1 + N (d2)
Keterangan :
n = Jumlah Sampel
N = Jumlah Populasi
32
d2 = Tingkat Keakuratan 10 % (0,1)(2)
Dari jumlah 174 DRM, akan dihitung jumlah sampel populasi dengan
perhitungan rumus n :
N
=
N
1 + N (d2)
=
174
1 + 126.(0,12)
=
174
1 + 174. 0,01
=
174
1 + 1,74
=
174
2,74
= 63,5=> 63 DRM
Dengan demikian, didapatkan sampel untuk dokumen rekam medis
jamkesmas kasus fraktur sejumlah 63 dokumen rekam medis. Tabel random
untuk dilihat nomor urutannya pada buku register pasien jamkesmas untuk
mendapatkan nomor rekam medis yang kemudian akan dicari pada bagian filling.
33
E. Instrument Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Check – list untuk memasukkan kode yang sudah diperoleh dan untuk mengetahui
sesuai atau tidaknya kode yang dihasilkan, yang selanjutnya ditabulasikan ke dalam
tabel.
F. Metode Pengumpulan Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder, pengumpulan data
dilakukan dengan cara observasi, yaitu pengumpulan data dengan pengamatan
secara langsung pada lembar RM 1 pada dokumen rekam medis pasien jamkesmas.
G. Pengolahan dan Analisa Data
1.
Pengolahan Data
Terhadap data yang diperoleh dilakukan pengolahan data sebagai berikut :
a. Editing, yaitu meneliti kembali penulisan data yang dikumpulkan
b. Tabulating, yaitu membuat tabel tentang keakuratan kode dan
spesifikasi penulisan diagnosis utama.
c. Penyajian data, yaitu menyajikan data dalam bentuk tabel sehingga
dapat diketahui gambaran ke dalam bentuk naratif.
2.
Analisis data
Data yang sudah terkumpul dan diolah kemudian dianalisis dengan
menggunakan analisis deskriptif yaitu menggambarkan spesifitas diagnosis dan
ketepatan kode berdasarkan ICD-10 pada pasien Jamkesmas kasus fraktur.
34
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
1. Gambaran Umum RSU Kota Semarang
a. Sejarah Singkat Rumah Sakit
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang adalah Rumah Sakit Umum yang
diresmikan penggunaannya pada tanggal 13 Januari 1991 dengan mengandalkan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tingkat II Semarang. Konsep pemikiran
didirikannya Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang diprakarsai oleh dr. H.Imam
Soebakti, MPH yang mengatasi data pasien rumah sakit Dr.Kariadi yang sebagian
besar adalah warga kota semarang, maka untuk mengurangi beban rumah sakit dr.
Kariadi dan mensejahterakan masyarakat dibidang kesehatan khususnya masyarakat
Kota Semarang, maka dr. H. Imam Soebakti, MPH bermaksud mendirikan rumah
sakit umum kelas C.Pemerintah Kotamadya Tingkat II Semarang, akhirnya pada
tahun 1989 bertekad mendirikan bangunan pertama (poliklinik) diatas tanah bengkok
Kelurahan Sendang Mulyo sebagai awal dibangunnya Rumah Sakit Umum Daerah
Kota Semarang yang diresmikan penggunaannya pda tanggal 13 Januari 1991 oleh
Walikotamadya Tingkat II Semarang. Pada tahun 1990 / 1991 telah terealisasi
bangunan fisik berupa gedung poliklinik, administrasi, gedung gawat darurat, gedung
perawatan dan gedung persalinan yang masing- masing dibangun sejajar. Pada
tahun 1992 Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang menambah sebuah gedung
perawatan dengan kapasitas 20 tempat tidur. Bulan Juli 1999 Rumah Sakit Kodya
Semarang berubah menjadi Rumah Sakit Umum Kota Semarang.
35
b. Letak Geografis
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang terletak dijalan ketileng raya no.1
semarang, tepatnya di Kelurahan Sendang Mulyo, Kecamatan Tembalang. Bangunan
fisik terdiri diatas tanah seluas ± 9,2 hektar dikelilingi persawahan. Rumah Sakit
Umum Daerah Kota Semarang sangat jauh dari aktifitas perkotaan sehingga menjadi
Rumah Sakit yang nyaman dan menunjang proses penyembuhan penyakit pasien.
Lokasi Rumah Sakit terletak di Semarang Selatan sehingga dapat mencakup
masyarakat di bagian Timur dan Selatan.
c. Status Kepemilikan
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang adalah Rumah Sakit milik
pemerintah yang dipimpin oleh seorang direktur yang secara teknis fungsional
bertanggung jawab kepada Walikota madya kepala daerah. Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Semarang mempunyai tugas pokok melaksanakan upaya kesehatan
secara berdaya gunadan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan
(kuratif), pemulihan (rehabilitative), yang dilaksanakan secara terpadu upaya
peningkatan (promotif ) serta melaksanakan upaya rujukan.
Untuk melaksanakan tugas pokok, Rumah Sakit Umum Daerah mempunyai fungsi :
1) Penyelenggaraan pelayanan medis
2) Penyelenggaraan pelayan dan asuhan keperawatan
3) Penyelenggaraan pelayan rujukan
4) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
5) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan
6) Penyelenggaraan administrasi umum dan keuangan
7) Penyelenggaraan tugas lain yang diberikan oleh Walikota madya kepala daerah
36
d. Visi dan Misi Rumah Sakit Umum Kota Semarang
1) Visi
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang menjadi Rumah Sakit kepercayaan
publik.
2) Misi
a) Meningkatkan pelayanan kesehatan yang professional dan terjangkau
b) Meningkatkan pengelolaan keuangan dan sumber daya manusia
c) Meningkatkan kepuasan pelanggan melalui pelayanan unggulan.
3) Motto
Melayani dengan ikhlas.
2. Gambaran Umum Unit Rekam Medis RS Umum Kota Semarang
a. Sejarah Perkembangan Rekam Medis RSUD Kota Semarang
Pada tahun 2003 Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang kelas C menjadi
kelas B non pendidikan berdasarkan SK.II/2003 tanggal 19 Februari 2003. Pada
tahun yang sama ada dua orang petugas rekam medis yang mengikuti pelatihan
rekam medis di RSUP Dr.Kariadi sedangkan kepala urusan rekam medis saat itu
berpendidikan APK. Pada tahun 1994 s/d 1996, Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Semarang kembali mengirim satu orang petugas rekam medis untuk belajar rekam
medis di RSUP Dr.Kariadi selama satu bulan. TPPRI buka 24 jam sejak Desember
1996 akibat terjadinya wabah penyakit DHF di Semarang. Tahun 1997 pada bulan
Oktober memperoleh pelatihan urusan rekam medis oleh Dr.H.Bambang Shofari,
MMR. Tahun 1997 sampai sekarang dilakukan pembenahan diberbagai System dan
unit mulai tanggal 17 desember 1997 diberlakukan System penomoran dengan Unit
Serial Numbering System, sedangkan System penyimpanan masih menggunakan
sistem desentralisasi.
37
b. Bagian Unit Rekam Medis
1) Tempat Pendaftaran Pasien Rawat Jalan (TPPRJ)
Pelayanan rekam medis di TPPRJ bertujuan menyediakan informasi tentang
identitas pasien rawat jalan, jenis dan tarif pelayanan rawat jalan dan formulir,
catatan dan laporan untuk pendaftaran rawat jalan.
2) Unit Rawat Jalan (URJ)
Unit rawat jalan merupakan tempat pelayanan pasien yang berobat rawat jalan
sebagai pintu pertama untuk menentukan apakah pasien perlu dirawat inap atau
tidak atau perlu dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan lainnya.
3) Instalasi Gawat Darurat (IGD)
Pelayanan rekam medis di instalasi gawat darurat bertujuan menyediakan
informasi hasil anamnese, pemeriksaan fisik, diagnosis, terapi, dan tindakan gawat
darurat, waktu pelayanan dan penanggung jawab pemberi pelayanan gawat
darurat.
4) Tempat Pendaftaran Pasien Rawat Inap (TPPRI)
Pelayanan rekam medis di TPPRI bertujuan menyediakan informasi identitas
pasien rawat inap, jenis dan tarif pelayanan rawat inap dan formulir, catatan dan
laporan untuk pendaftaran rawat inap.
5) Unit Rawat Inap (URI)
Pelayanan rekam medis di unit rawat inap bertujuan menyediakan informasi
hasil anamneses, pemeriksaan fisik, diagnosis, terapi, dan tindakan rawat
inap,waktu pelayanan dan penanggung jawab pemberi pelayanan rawat serta
jumlah dan nama pasien masuk dan keluar disetiap bangsal rawat inap.
38
6) Instalasi Pemeriksaan Penunjang (IPP)
Pelayanan rekam medis di instalasi pemeriksaan penunjang bertujuan
menyediakan informasi hasil-hasil pemeriksaan penunjang bertujuan medis untuk
menegakkan diagnosis atau terapi yang diminta oleh dokter di rumah sakit, oleh
dokter atau pasien luar rumah sakit, waktu pelayanan pemeriksaan penunjang.
3. Spesifisitas Penulisan Diagnosis Utama
Dari 63 sampel yang diteliti diperoleh data sebagai berikut :
Table 4.1 :spesifitas Diagnosis Utama Dokumen Rekam Medis Rawat inap pada pasien
jamkesmas kasus fraktur di RSU Kota Semarang periode 2012.
Σ Diagnosis utama
Spesifisitas
Spesifik
53
Tidak Spesifik
10
Jumlah
63
Hasil penelitian tersebut diatas dapat diperjelas dengan gambaran grafik batang di
bawah ini ;
Grafik4.1 : Spesifitas Diagnosis Utama Dokumen Rekam Medis Rawat Inap
spesifisitas diagnosis
90,00%
80,00%
70,00%
60,00%
50,00%
40,00%
30,00%
20,00%
10,00%
0,00%
84,12%
15,88%
spesifik
tidak spesifik
39
Dari hasil grafik diatas dapat disimpulkan bahwa penulisan diagnosis utama yang
spesifik ( 84,12% ) lebih besar dari pada penulisan diagnosis utama yang tidak spesifik
sebesar ( 15,88% ).
4. Ketepatan Kode Diagnosis Utama
Dari 63 sampel yang diteliti diperoleh data sebagai berikut :
Table 4.2 : Ketepatan Kode Diagnosis utama Dokumen Rekam Medis Rawat Inap di
RSU Kota Semarang periode 2012.
Σ Kode Diagnosis utama
Ketepatan Kode
Tepat
54
TidakTepat
9
Jumlah
63
Hasil penelitian tersebut diatas dapat diperjelas dengan gambaran grafik batang
dibawah ini :
Grafik 4.2 : Ketepatan Kode Diagnosis Utama Dokumen Rekam Medis Rawat Inap
Ketepatan kode diagnosis utama
90,00%
80,00%
70,00%
60,00%
50,00%
40,00%
30,00%
20,00%
10,00%
0,00%
85,71%
14,29%
tepat
tidak tepat
40
Dari hasil grafik diatas dapat disimpulkan bahwa kode diagnosis yang tepat sebesar (
85,71% ) lebih besar dari pada kode diagnosis utama yang tidak tepat ( 14,29% ).
5. Hubungan Spesifisitas Diagnosis utama dan Ketepatan Kode Diagnosis Utama
Dari 63 sampel yang diteliti diperoleh data sebagai berikut :
Table 4.3 : tabulasi silang ketepatan kode diagnosis utama dengan spesifikasi diagnosis
Diagnosis Utama
Kode diagnosis utama
Tepat
Total
TidakTepat
Σ
%
Σ
%
Σ
%
Spesifik
Σ
52
98,20% 1
1,80%
53
100%
Tidak spesifik
Σ
1
10%
90%
10
100%
9
Persentase kode diagnosis utama yang tidak tepat pada diagnosis yang tidak spesifik
sebesar (90%) lebih besar daripada persentase diagnosis yang spesifik (1,80%).
B. Pembahasan
1. Spesifisitas Diagnosis Utama
Dari 63 sampel yang diambil, diketahui bahwa penulisan diagnosis utama yang
spesifik ( 84,12 %) dan diagnosis yang tidak spesifik ( 15,88% ). Penulisan diagnosis
utama yang tidak spesifik disebabkan oleh berbagai faktor seperti kurangnya waktu
dokter untuk menulis diagnosis dan beban kerja yang banyak sehingga menyebabkan
masalah lain seperti tulisan dokter yang tidak terbaca dengan jelas oleh petugas.
Kurangnya
pemahaman dokter mengenai penulisan diagnosis seperti yang
diisyaratkan ICD-10 juga mempengaruhi spesifikasi diagnosis. Selain itu dukungan dari
petugas medis lain sangat diperlukan untuk membantu dokter dalam menulis diagnosis
yang spesifik, terutama dalam mengingatkan dokter untuk melengkapi isi rekam medis.
41
2. Ketepatan Kode Diagnosis Utama
Dari 63 sampel yang diambil, diketahui bahwa kode diagnosis utama yang tepat
( 85,71%) dan diagnosis yang tidak tepat sebesar ( 14,29% ). Tepat atau tidaknya kode
diagnosis utama sangat dipengaruhi oleh penulisan diagnosis yang spesifik. Oleh sebab
itu penulisan diagnosis yang diisyaratkan ICD-10 yang meliputi kondisi akut dan kronis,
letak anatomik yang detail, tahapan penyakit, ataupun komplikasi dan kondisi penyerta,
wajib digunakan sebagai pedoman untuk menetapkan diagnosis guna menghasilkan
kode diagnosis yang tepat.
Selain itu ketelitian petugas koding dalam menganalisis lembar-lembar rekam
medis rawat inap seperti anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, resume
dan lembar-lembar rekam medis juga berpengaruh dalam menghasilkan kode diagnosis
yang tepat dan data yang informatif.
Seperti pada kasus yang saya teliti yaitu kasus fraktur, sebagai petugas koding
harus lebih teliti dalam menganalisa diagnosis fraktur . Hal-hal yang perlu diperhatikan
yaitu letak anatomik yang detail dan keadaan fraktur tersebut apakah dengan luka
terbuka atau tertutup.
3. Spesifikasi Diagnosis Utama terhadap Ketepatan Kode
Dari 63 sampel yang diambil, diketahui bahwa Persentase kode diagnosis utama
yang tidak tepat pada diagnosis yang tidak spesifik sebesar (90%) lebih besar daripada
persentase diagnosis yang spesifik (1,80%). Penulisan diagnosis yang lengkap dan
spesifik sangat mempengaruhi ketepatan kode. Penulisan diagnosis yang spesifik akan
menghasilkan kode diagnosis yang tepat sebaliknya penulisan diagnosis yang tidak
spesifik akan beresiko menghasilkan kode penyakit yang tidak tepat. Oleh sebab itu
pemahaman dokter mengenai penulisan diagnosis seperti yang diisyaratkan ICD-10
sangat diperlukan dan petugas koding wajib menguasai penggunaan ICD-10 serta
mampu menganalisis lembar-lembar rekam medis yang mendukung dalam kegiatan
pengkodean.
42
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV maka dapat disimpulkan :
1. Penulisan diganosa utama dan kode pada RM1 pasien Jamkesmas kasus fraktur
sudah spesifik dan tepat
2. Untuk spesifitas penulisan diagnosis utama pada dokumen rekam medis pasien
jamkesmas pada kasus fraktur didapatkan sebesar 84,12% dokumen rekam
medis dengan penulisan diagnosis yang telah spesifik.
3. Untuk ketepatan kode diagnosis utama pada pasien jamkesmas pada kasus
fraktur didapatkan sebesar 85,71% dokumen rekam medis dengan ketepatan
kode diagnosis utama.
4. Persentase kode diagnosis utama pada pasien Jamkesmas kasus fraktur yang
tidak tepat pada diagnosis yang tidak spesifik sebesar (90%) lebih besar
daripada persentase diagnosis yang spesifik (1,80%).
B. Saran
1. Bagi peneliti lain
Perlu adanya pengembangan penelitian selanjutnya untuk menggali faktor
penyebab penulisan diagnosis utama tidak spesifik.
2. Bagi Manajemen Rumah Sakit
a. Perlu adanya audit terhadap koding yang ditulis secara spesifik dan akurat
sebagai pengawasan terhadap mutu koding ICD-10.
43
b. Perlu adanya peningkatan pengetahuan petugas koding dengan cara diikut
sertakan dalam pelatihan koding.
3. Bagi Petugas Koding
Petugas koding sebaiknya lebih aktif dan teliti dalam mencari informasi jika
menemukan diagnosis utama yang tidak spesifik dengan menganalisis lembarlembar RM lain.
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Kresnowati, Lily. Hand out KPT I General Koding Tidak dipublikasikan. Semarang. 2010.
2. Shofari, Bambang. Pengolahan Sistem Rekam Medis Kesehatan, Semarang. 2004(tidak
dipublikasikan).
3. Kresnowati, Lily. Hand out KPT II Morbiditas Coding Tidak dipublikasikan.
Semarang.2010.
4. Huffman, Edna K Health Information Management Physician Record Company. Borwyn.
Llinois. 1999.
5. Depkes RI. Dirjen Yanmed. Pelatihan Penggunaan Klasifikasi Internasional Mengenai
Penyakit Revisi X (ICD). Jakarta. 2000.
6. Mahawati , Eni. Modul Metodologi Penelitian. D III Rekam Medis Informasi Kesehatan
Fakultas Kesehatan. Universitas Dian Nuswantoro Semarang (tidak dipublikasikan).
7. Dirjen Yanmed, Depkes RI. Pedoman Penegeloaan Rekam Medis Rumah Sakit di
Indonesia. Depkes RI, Jakarta : 1997
8. Jihad, Winner. Uji Kebebasan Chi Square. Winner statistic blogspot.2008 diakses pada
2 Juli 2012
9. Rahmat. Teknik Pengambilan Sampel Simple Random Sampling.bloger.or.id 2011
diakses pada 2 Juli 2012.
45
Download