Rethinking Isratine - Jurnal Universitas Sumatera Utara

advertisement
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010
Indra Kesuma Nasution
ISSN: 0216-9290
Rethinking Isratine
Rethinking Isratine
INDRA KESUMA NASUTION
Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760,
Email: [email protected]
Diterima tanggal 12 April 2010/Disetujui tanggal 20 1 Juni 2010
Seizing the region became the main issue of conflict triggers. This can be seen from the Case of
the Israeli-Palestinian conflict. The conflict has lasted longer and there is no acceptable solution. Even a hard time to be war between the Arab-Israeli conflict in 1967. Because of concern
in this conflict, Muammar Gaddafi, wrote a slim book titled 'The White Book', which offers a solution to the Israeli-Palestinian conflict resolution. According to Muammar Gaddafi cases this
conflict can be resolved by establishing a democratic country in the region location between Israel and Palestine, which was named the country 'Isratine' (a combination of Israel and Palestine). But this idea has many problems. Israel still wants all Palestinian land. On the other
hand, Palestinians who felt that the land has been taken by Israel, and Palestinians want to reclaim land they believe is their right. Feud between the two sides of this country are increasingly frequent. Based on the study of this problem, this study concludes that Isratine is a utopian concept of peace.
Keywords: Social conflict, International conflict, Soft diplomacy.
Pendahuluan
Berbicara konflik Israel-Palestina memang
tiada habisnya. Konflik Israel-Palestina mulai menguat terutama sejak Israel memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1948,
yang dikenal dalam tradisi Arab sebagai
‘nakbah’ (bencana). Sejak tahun tersebut sudah tidak terhitung pembantaian umat manusia dilakukan oleh pihak Israel, mulai dari
Shabra-Shatila hingga Jalur Gaza tahun 2009
lalu. belum lagi terhitung, korban cedera, perusakan perkampungan, lahan pertanian, infrastruktur, sekolah, rumah, rumah ibadah,
dsb. Begitu juga pihak Israel mendapat serangan mortir dari Jalur Gaza walau tidak
mengena sasaran.
Tuntutan perundingan damai, mulai dari
Camp David hingga Oslo selalu menemui
kegagalan karena sikap keras kepala Israel.
Bahkan, dengan naiknya Barack Obama sebagai Presiden AS yang banyak diharapkan
dapat merubah peta perdamaian Timur Tengah, khususnya Israel-Palestina tidak banyak
membantu ke arah tersebut, bahkan semakin
jauh dengan semakin gencarnya Israel
membangun settlement di kawasan sengketa
dan proses yahudisasi kawasan Yerussalem
dan Hebron (Al-Khalil). Dalam menghadapi
situasi sulit tersebut, Pemimpin Libya, Kol.
Muammar Gaddafi menulis sebuah buku tipis yang berjudul ‘the white book’ yang menawarkan solusi penyelesaian konflik kedua
puak bersaudara tua tersebut, yaitu dengan
berdirinya satu negara demokrasi di lokasi
kedua kawasan antara Israel dan Palestina,
yang diberi nama negara ’Isratine’, gabungan
dari Israel dan Palestina. Sebuah alternative
yang bisa jadi pilihan. Tapi apakah hal itu
diterima oleh Israel yang memang hahikatnya ingin menguasai wailayah Timur Tengah
dari Nil hingga Eufrat termasuk Makkah dan
Madinah didalamnya. Studi ini mencoba
memberikan analisis tentang pemecahan
masalah konflik Israel-Palestina khususnya
pemikiran Muammar AlGadhafi tentang
Isratine.
116
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010
Indra Kesuma Nasution
ISSN: 0216-9290
Rethinking Isratine
Kippur
Pendekatan dan Metode
Studi ini dilakukan dengan pendekatan hubungan politik internasional. Fokusnya pada
fenomena konflik Negara Israel dan Palestina. Khususnya tentang upaya pemecahan masalah konflik. Metode yang digunakan untuk
pencarian data dengan menggunakan metode
studi pustaka. Metode analisis menggunakan
metode analisis politik internasional.
1978
1982
Perang
Libanon
19901991
Perang
Teluk
1993
Kesepakatan damai
antara
Palestina
dan Israel
1996
Kerusuhan
teromongan
al Aqsha
Konflik Israel-Palestina
Jika ditinjau dari latar belakang sejarah, konflik Israel-Palestina merupakan bagian dari
konflik Arab-Israel yang lebih luas sejak
1940-an. Agresi Militer Israel terakhir yang
dilancarkan sejak 26 Desember 2008 pada
prinsipnya merupakan bagian yang tidak
terpisah dari konflik Israel-Palestina sebelumnya. Lebih jelasnya, kronologi konflik
Israel-Palestina dapat dipahami melalui Tabel 1.
Kesepakata
n Camp
David
1997
1998
2000
Perjanjian
Wye River
2004
Tahun
1917
1922
19361939
1947
Pristiwa
Deklarasi
Balfour
Mandat
Palestina
Revolusi
Arab
Rencana
pembagian
wilayah
oleh PBB
1948
Deklarasi
Negara
Israel
1949
Perseteujua
n gencatan
senjata
1956
Perang
Suez
1964
Organisasi
Pembebasa
n Palestina
(PLO)
berdiri
Perang
enam hari
1967
Resolusi
Khartoum
1968
Palestina
menuntut
pembekuan
Israel
1970
War of
Attrition
1973
117
Perang
Yom
Deskripsi
2 November 1917 Inggris memenangkan Deklarasi
Balfour yang dipandang pihak Yahudi dan Arab
sebagai janji untuk mendirikan tanah air bagi kaum
Yahudi di Palestina.
Pimpinan Amin al Husein yang menyebabkan tidak
kurang 5000 warga Arab terbunuh
29 November 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa
menyetujui untuk mengakhiri Mandat Britania untuk
Palestina dari tanggal 1 Agustus 1948 dengan
pemecahan wilayah mandat
Israel diproklamirkan pada tanggal 14 Mei 1948,
sehari kemudian langsung diserang oleh tentara dari
Libanon, Yordania, Mesir, Irak, dan negara Arab
lainnya. Israel berhasil memenangkan peperangan
dan merebut + 70% dari luas total wilayah mandat
PBB Britania Raya.
3 April 1949, Israel dan Arab sepakat untuk
melakukan gencatan senjata. Israel mendapat
kelebihan 50 persen lebih banyak dari yang
diputuskan rencana pemisahan PBB
29 Oktober 1965, Krisis Suez, sebuah serangan
meliter terhadap Mesir dilakukan oleh Britania Raya,
Perancis dan Israel.
Mei 1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO)
resmi berdiri, tujuannya untuk menghancurkan
Israel.
Dikenal dengan perang Arab-Israel 1967, merupakan
peperangan antara Israel menghadapi gabungan tiga
negara Arab: Mesir, Yordania dan Suriah, yang
mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab
Saudi, Sudan dan Aljazair. Perang tersebut
berlangsung selama 132 jam 30 menit.
Sebuah pertemuan 8 pemimpin negara Arab pada
tanggal 1 September 1967 karena terjadinya perang
enam hari. Resolusi ini berlanjut ke perang Yom
Kippur tahun 1973.
Perjanjian Nasional Palestina dibuat, dan secara
resmi Palestina menuntut pembekuan Israel.
Setelah perang enam hari (5-10 Juni 1967), terjadi
insiden serius di Terusan Suez. Tembakan pertama
dilepaskan 1 Juli 1967, ketika pasukan Mesir
menyerang patroli Israel, dan ini merupakan awal
dari perang War of Attrition.
Dikenal juga dengan Perang Ramadhan pada tanggal
6-26 Oktober 1973 karena bertepatan dengan bulan
2005
2006
2008
13 September 1993, Israel dan PLO sepakat untuk
saling mengakui kedaulatan masing-masing. Pertemuan Yaser Arafat dan Israel Yitzhak Rabin berhasil
melahirkan kesepakatan OSLO. Rabin bersedia
menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Jalur Gaza
serta memberi Arafat kesempatan menjalankan
sebuah lembaga semiotonom yang bisa memerintah
di kedua wilayah. Arafat mengakui hak negara Israel
untuk eksis secara aman dan damai.
Israel sengaja membuka terowongan Masjid al
Aqsha untuk memikiat para turis dan
membahayakan fondasi mesjid bersejarah,
pertempuran berlangsung beberapa hari.
Israel menarik pasukannya dari Hebron, Tepi Barat
Oktober 1998, Perjanjian Wye River yang berisi
penarikan Israel dan dilepaskannya tahanan politik
dan kesediaan Palestina untuk menerapkan butirbutir perjanjian Oslo, termasuk soal penjualan
senjata ilegal.
KTT Camp
David
2002
Tabel 1
Anatomi Konflik Israel-Palestina
ramadhan. Perang ini merupakan perang antara
pasukan Israel melawan koalisi negara-negara Arab
yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah, terjadi pada
hari raya Yom Kipur, hari raya yang paling besar
dalam tradisi orang-orang Yahudi.
Ditandatangani pada tanggal 17 September 1978 di
Gedung Putih yang diselenggarakan untuk
perdamaian di Tmur Tengah. Jimmy Carter
(Presiden Amerika Serikat) memimpin perundingan
rahasia yang berlangsung selama 12 hari antara
Presiden Mesir, Anwar Sadat, dan Perdana Menteri
Israel, Menachem Begin.
Perang antara Israel dan Libanon yang terjadi pada
tanggal 6 Juni 1982 ketika angkatan bersenjata Israel
menyerang Libanon Selatan.
Mahmud
Abbas
terpilih
menjadi
Presiden
Hamas
memenangk
an Pemilu
Israel membangun tembok pertahanan di tepi Barat
diiringi rangkaian serangan bunuh diri Palestina
Mahkamah Internasional menetapkan pembangunan
batas pertahanan menyalahi hukum internasional dan
Israel harus merobohkannya
9 Januari 2005, Mahmud Abbas dari al Fatah terpilih
sebagai Presiden Otoritas Palestina menggantikan
Yaser Arafat yang wafat pada 11 November 2004
Juni 2005, pertemuan Mahmud Abbas dan Ariel
Sharon di Yerusalem. Mahmud Abbas mengulur
Jadwal Pemili karena mengkhawatirkan kemenangan
diraih pihak Hammas
Agustus 2005, Israel hengkang dari pemukiman
Gaza dan empat wilayah pemukiman di Tepi Barat
Januari 2006, Hammas memenangkan kursi Dewan
Legislatif, menyudahi dominasi fatah selama 40
tahun
Januari-Juli, ketegangan meningkat di Gaza. Israel
memutus suplai listrik dan gas, Hamas dituding tidak
mampu mengendalikan kekerasan
November 2008, Hamas batal ikut serta dalam
pertemuan univikasi Palestina yang dilaksanakan di
Kairo, Mesir. Serangan roket kecil berjatuhan di
wilayah Israel.
26 Desember 2008, Agresi Israel ke Jalur Gaza.
Israel melancarkan Operasi Oferet Yetsuka, yang
dilanjutkan dengan serangan udara ke pusat-pusat
operasi Hamas.
Sumber: Disadur dari berbagai Sumber
Tabel 1 menjelaskan bahwa konflik Israel
Palestiana merupakan fenomena konflik yang
bermula dari sejarah yang panjang kondisi
politik internasional. Mulai dari Deklarasi
Negara Israel 1948 sampai dengan tahun
2008 masih belum ada upaya yang menunjukkan perkembangan konflik menuju keadaan yang damai. Bahkan Tabel 1 menunjukkan pernah terjadi perang yang keras antara
Arab-Israel 1967, merupakan peperangan
antara Israel menghadapi gabungan tiga
negara Arab: Mesir, Yordania dan Suriah,
yang mendapatkan bantuan aktif dari Irak,
Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair.
Perang tersebut berlangsung selama 132 jam
30 menit.
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010
Indra Kesuma Nasution
Konflik Israel-Palestina dengan sendirinya
dapat diposisikan sebagai konflik sosial
mengingat kasus ini dapat disoroti dari beberapa aspek: politik dan teologi. Konflik sosial
sendiri – sebagaimana dikatakan Oberschall
mengutip Coser–diartikan sebagai "...a
strugle over values or claims to status, power, and scare resource, in wich the aims of
the conflict groups are not only to gain the
desired values, but also to neutralise injure
or eliminate rivals.1 Pengertian ini
menunjukkan bahwa konflik sosial meliputi
spektrum yang lebar dengan melibatkan berbagi konflik yang membingkainya, seperti:
konflik antar kelas (social class conflict),
konflik ras (ethnics and racial conflicts),
konflik antar pemeluk agama (religions conflict), konflik antar komunitas (communal
conflict), dan lain sebagainya. Dalam kasus
Israel-Palestina, aspek politik bukanlah satusatunya dimensi yang dapat digunakan untuk
menyoroti konflik kedua negara tersebut,
demikian halnya dengan dimensi teologis
yang oleh banyak pihak dianggap tidak ada
hubungannya dengan konflik ini. Sebagian
pihak memandang konflik Israel-Palestina
murni sebagai konflik politik, sementara
sebagian yang lain memandang konflik ini
sarat dengan nuansa teologis. Nuansa teologis dalam konflik Israel-Palestina bukan saja
ditunjukkan dengan terbangunnya stigma perang Yahudi-Islam, akan tetapi kekayikan
terhadap "tanah yang dijanjikan" sebagai tradisi teologis Yahudi juga tidak dapat dipisahkan dalam kasus ini.
Berdasarkan uraian mengenai konflik IsraelPalestina sebagaimana dipaparkan di atas,
terlihat jelas bahwa, baik dimensi politik
maupun dimensi teologis menjadi dua hal
yang sulit dipisahkan meskipun keduanya
harus dapat dibedakan. Beberapa catatan
mengenai konflik Israel-Palestina bahkan
memperlihatkan sebuah analisis tentang pandangan konflik yang bermula dari persoalan
politik ke teologis. Fakta semacam ini dapat
dibenarkan, mengingat dalam litaratur Islam
sendiri persoalan persoalan politik lebih dahulu muncul disusul dengan persoalan teologi. Selain itu, sulitnya memisahkan antara
konflik politik dengan konflik teologis tidak
1
A. Oberschall, "Theories of Social Conflict",
Annual Review of Sociology 4 (1978), hal. 291315.
ISSN: 0216-9290
Rethinking Isratine
saja disebabkan oleh pergeseran otomatis
yang terjadi dari masalah politik ke teologi
sebagaimana yang seringkali muncul, akan
tetapi konflik yang bermula dari persoalan
teologi juga tidak jarang memasuki ranah
politik sebagai reaksinya untuk "bertarung"
melawan teologi yang lain. Dengan demikian, konflik politik maupun konflik teologis
menjadi dua hal yang saling membaur dan
membutuhkan peranan yang satu terhadap
yang lainnya.
Dari berbagai catatan mengenai latar belakang konflik Israel-Palestina sebagai bagian
dari konflik Arab-Israel yang lebih luas,
tampak jelas bahwa konflik ini terlebih dahulu dilatarbelakangi oleh masalah politik
yang kemudian menjurus pada persoalan
teologis. Tidak sepenuhnya benar pandangan
yang menganggap bahwa konflik Israel-Palestina murni sebagai persoalan politik, sebab
argumentasi teologis khususnya yang datang
dari pihak Yahudi juga turut mengambil peranan dalam konflik ini. Pernyataan yang
mungkin lebih tepat adalah, konflik Palestina-Israel merupakan konflik yang bermula
dari persoalan politik dan melibatkan persoalan teologis. Namun demikian, sekecil
apapun alasan teologis yang melatar belakangi konflik Israel Palestina, tetap saja alasan tersebut memiliki pengaruh yang besar
pada kebijakan-kebijakan politik yang diambil oleh negara Israel.
Persoalan teologis yang di maksud adalah
keyakinan bangsa Yahudi terhadap tanah
yang dijanjikan dan harus direbut sebagai
bentuk intervensi Tuhan untuk mengembalikan hak bangsa Yahudi yang telah tertindas.
Konsep teologis tidak dimaksudkan sebagai
perang agama yang terjadi antara agama Yahudi dan Islam yang menjadi pandangan
"kolektif" hampir seluruh umat Islam, dan
harus ditegaskan bahwa pandangan semacam
ini merupakan pandangan yang keliru.2 Se2
Dalam beberapa pandangan, agama kerap
ditempatkan sebagai salah satu variable pembentuk konflik, sebab semua agama yang dibawa
oleh para utusan Tuhan pada hakikatnya berada
dalam misi universal yang sama: pertama,
memberikan afirmasi terhadap kebutuhan spiritual manusia; kedua, agama diharapkan mampu
mewadahi bagi terimplementasikannya amalamal sosial dan kemanusiaan. Lihat Rohadi
118
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010
Indra Kesuma Nasution
panjang sejarahnya, konflik antara Yahudi
dan Islam atas nama agama belum pernah
terjadi, sungguhpun konflik Israel-Palestina
telah berlangsung sejak enam puluh tahun
silam. Sebaliknya, konflik atas nama agama
justru dialami Yahudi dengan umat Nasrani,
ketika Ferdinand dan Isabella menaklukan
Granada pada tahun 1942 dan memerintahkan pengusiran perkampungan Yahudi yang
mengakibatkan sekitar 70.000 kaum Yahudi
berpindah ke agama Kristen, dan mereka
yang terusir hidup di bawah perlindungan Islam (Imperium Utsmaniyah).
Memahami situasi konflik yang terjadi antara
Israel dan Palestina, analisis sosial tentu
menjadi alternatif yang mutlak diperlukan
untuk mencari jalan keluar yang tepat, karena
konflik ini secara luas menyangkut masalah
interaksi sosial yang menyentuh berbagai
aspek. Interaksi sosial tidak selamanya dapat
dipahami sebagai hubungan timbal balik
yang bernilai kooperatif (cooperation), akan
tetapi persaingan (competition) dan pertantangan maupun pertikaian (conflict) merupakan salah satu bentuk interaksi sosial itu
sendiri.3 Holsti bahkan menyebutkan, pada
dasarnya segala jenis hubungan (interaksi)
menunjukkan adanya sifat konflik.4 Karenanya, solusi untuk konflik sosial yang
membingkai interaksi Israel-Palestina hanya
dapat ditempuh melalui analisis sosial mengingat langkah ini dapat mengantarkan pemahaman pada faktor-faktor yang membentuk
interaksi antar kelompok dan situasi yang
membentuk interaksi tersebut pada level
ketegangan maupun hubungan yang harmonis.5
Setidaknya, interaksi Israel-Palestina yang
membentuk konflik teridentifikasi pada dua
masalah besar: politik dan teologis. Jika dilacak dari latarbelakang sejarahnya, masalah
politik pada prinsipnya menjadi pemicu utama yeng membentuk situasi konflik IsraelAbdul Fatah, Sosiologi Agama, (Jakarta: Titian
Kencana Mandiri, 2004), hal.114.
3
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,
(Jakarta: Rajawali Perss, 1996), hal. 76.
4
K. J. Holsti, Politik Nasional, Kerangka untuk
Analisis, (Jakarta: Rajawali Perss, 1988), hal.171.
5
Meutia Ghani, "Analisis Sosial Relasi EtnoReligius di Indonesia", Buletin Kebebasan IV
(2007), hal. 2-5.
119
ISSN: 0216-9290
Rethinking Isratine
Palestina, dan argumentasi teologis tentang
berbagai hal seperti: keyakinan tentang tanah
yang dijanjikan; bangsa terpilih; maupun
"tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah"; menjadi kekuatan lain yang membentuk konflik.
Kegagalan Soft Diplomacy
Berlakunya hukum internasional yang mengikat kepada masyarakat Internasional bersumber pada bermacam komponen. Kategori
komponen sumber hukum internasional ini
sendiri di definisikan oleh berbagai tokoh
yang memandang dari bermacam perspektif
hubungan internasional seperti pemikir hubungan internasional yang berasal dari golongan naturalis dari Belanda yang bernama
Hugo de Groot yang mengkategorikan sumber hukum internasional yaitu bersumber dari
prinsip- prinsip universal bukan berasal dari
buatan manusia. Sedangkan dalam dunia internasional sendiri terdapar lembaga yang
memiliki hak untuk menentukan kualifikasi
dari sumber hukum internasional yang nantinya akan di jalankan oleh masyarakat internasional.
Sebagaimana tugas dan wewenang yang di
miliki pula, Mahkamah Internasional telah
menetapkan substansi dari hukum internasional yang tertuang dalam pasal 38 ayat 1 statuta Mahkamah Internasional. Dalam pasal
itu yang bisa di sebut sebagai sumber hukum
internasional yaitu: 1. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang
bersifat umum ataupun kusus; 2. Kebiasaan
internasional (international customs); 3.Prinsip- prinsip hukum (general principe of law)
yang di akui oleh Negara- Negara beradap.
Masalah-masalah internasional yang diselesaikan mengggunakan hukum internasional
ini pun sangat beragam. Kawasan timur tengah memiliki berbagai konflik yang kerap
di jadikan objek dari hukum internasional.
Salah satu konflik yang hingga kini masih
menjadi masalah bagi dunia internasional
yaitu mengenai masalah Israel-Palestina. Perebutan wilayah dan juga perebutan ideologi
antara dua bangsa yang berbeda ini sampai
saat sekarang masih belum memiliki titik
temu penyelesaian.
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010
Indra Kesuma Nasution
Dalam menyikapi masalah Israel-Palestina
ini asumsi yang di timbulkan oleh publik
internasional tidak jauh dari kata perang.
Dalam implikasinya memang hal itu benarbenar terjadi, baik pihak dari Israel maupun
dari pihak Palestina saling melakukan penyerangan dan perlawanan senjata. Namun, sejatinya terdapat cara-cara efektif dengan menggunakan jalan soft diplomacy sebagai upaya
penyelesaian konflik kedua Negara ini, salah
satunya dengan menyelenggaakan perjanjian
internasional.
Perjanjian Oslo pada tanggal 13 September
1993 dimana Israel yang di wakili oleh
Yitzhak Rabin bernegosiasi dengan Palestina
yang di wakili oleh orang-orang dari Palestine Liberation Organization (PLO) merupakan salah satu implementasi atas upaya
dari Israel dan Palestina untuk menyelesaikan konflik dengan menggunakan soft diplomacy. Perjanjian Oslo yang terjadi sampai
dua periode ini menimbulkan berbagai dampak bagi Palestina maupun Isrel sendiri baik
itu negatif ataupun positif. Dalam perjanjian
Oslo yang pertama ini menghasilkan poin
poin penting bagi kedua belah pihak Negara.
Di katakan bahwa: (1).Israel akan menyetujui
pembentukan pemerintahaan otonomi (otoritas Paestina); (2).Wilayah “pemerintahan”
yang di berikan hanya Gaza dan Jericho;
(3).Secara bertahap Israel akan menarik mundur tentaranya dari Tepi Barat. Namun Israel
pun meminta imbalan yang sepadan atas halhal yang akan di lakukan oleh Israel sebagaimana yang telah di sebutkan di atas, yaitu
Palestina harus dan mau melakukan yaitu:
(1).Mengakui kedaulatan Israel; (2). Menjaga
keamanan orang- orang Israel dari serangan
“teroris”.
Atas kesepakatan tersebut Israel pun segera
merealisasikannya dengan memberikan kuasa atas wilayah Gaza, Jericho, Tepi Barat dan
Tel Aviv kepada Palestina. Sayangnya penduduk yang mendiami wilayah itu tetap tidak
tunduk kepada pemerintah otoritas palestina
namun kepada pemerintah Israel. Persiapan
akan penyelenggaraan pemilu Palestina untuk yang pertama kalinya pun di siapkan oleh
aparat pemerintahan. Di samping itu paska di
tanda tanganinya perjanjian Oslo ini jalan
Palestina untuk menjadi sebuah Negara pun
sudah mulai tampak, hal ini di tandai dengan
ISSN: 0216-9290
Rethinking Isratine
di kibarkannya bendera Palestina dan di nyanyikannya lagu kebangsaan Palestian. Bukan
hanya itu saja namun layaknya Presiden foto
Yaser Arafat terpasang di dinding-dinding
gedung instansi pemerintahan dan di sekolah-sekolah. Disini Negara Palestina memang
belum berdiri, namun rumusan dan identitas
dirinya sudah mulai nampak kuat. Kalau kita
melihat isi dari perjanjian Oslo ini sudah sangat baik untuk menciptakan perdamaian antara Israel Palestina melalui pembagian wilayah untuk Israel dan Palestina. Namun cara
itu ternyata gagal.
Dalam paham deskonstruksi postmodernis
yang berkembang memiliki satu tujuan yaitu
untuk mendeskontruksi perspektif realis ataupun liberalis selalu melihat setiap fenomenafenomena yang berkembang dalam hubungan
internasional kepada dua sisi yaitu sisi
“positif” dan “negatif”.
Dalam perjanjian ini terlihat bahwa baik
Israel maupun Palestina sangat bersifat kooperatif dan percaya satu sama lain dengan
duduk dan berunding bukan dengan berperang ataupun cara kekerasan lain. Hal ini
kemudian di tandai dengan terjadinya ekstensionisasi dari Oslo I kepada Oslo II. Beragam
dampak- dampak positif di dapat oleh kedua
belah pihak. Palestina sendiri sejak di sepakatinya perjanjian Oslo secara terbuka dapat
memulai upaya pendirian Negara Palestina,
sebagaimana bendera Palestina dapat di
kibarkan di tanah Palestina bagian manapun
dan lagu kebangsaannya pun mulai di nyanyikan oleh masyarakat Palestina. Begitu pula dengan Israel karena di sini Israel berhasil
mendapatkan pengakuan kedaulatannya dari
masyarakat Palestina.
Dampak negatif pun juga banyak di timbulkan dari perjanjian ini, Palestina khususnya
meskipun telah mendapatkan sebagian yang
di inginkan namun pada kenyataannya isi
perjanjian ini semuanya merupkan buatan
dari Israel, dengan kata lain Palestina tetap
menginduk kepada Israel. Sedangkan dari
kubu Israel sendiri dengan tercapainya kesepakatan ini banyak rakyat Israel yang berasal
dari kelompok radikat merasa tidak percaya
terhadap pemerintah, hal ini Nampak ketika
salah seorang warga Israel membunuh perdana mentri Yitzhak Rabin dengan alasan
120
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010
Indra Kesuma Nasution
bahwa beliau telah berkhianat terhadap Negara Israel.
Isratine: Solusi Perdamaian Recehan
Konsep Isratine harus kita rethinking. Konsep Isratine yang diwacanakan oleh Muammar Al-Ghadafi merupakan konsep perdamaian yang utopis atau sebuah wacana yang
“recehan”. Kenapa recehan? Karena konsep
Isratine tidak menyentuh inti persoalan yang
sedang dihadapi Israel dan Palestina. Persoalannya adalah meskipun wilayah Palestina
dibagi untuk Israel dan Palestina dan kemudian menyatukan diri menjadi satu negara
Isratine maka apakah mungkin Israel akan
mengakui kedaulatan Palestina atau sebaliknya apakah mungkin Palestina akan mengakui kedaulatan Israel.
Solusi yang terbaik adalah membuat dua negara (Two State System) yang masing-masing memiliki otoritas penuh layaknya negara-negara dunia lainnya. Solusi melalui perjanjian internasional seperti Oslo I dan Oslo
II merupakan solusi “nostalgia” yang tidak
sesuai dengan kondisi sekarang.
Namun menurut Gadhafi Solusi dua negara
itu hanya akan memicu ancaman keamanan
pada Israel, sementara membagi Tepi Barat
sebagai wilayah Yahudi dan Arab juga hanya
akan menciptakan ketegangan. Jadi, satusatunya yang paling netral adalah mewujudkan satu negara bernama ”Isratine”. Dengan
ini, semua pihak merasa sama-sama memiliki
tanah yang mereka injak. ”Lagi pula asimilasi sudah biasa di Israel. Ada lebih dari satu
juta warga Muslim Arab di Israel”.
Logika berfikir Gadhafi adalah kalau negara
Isratine sudah berdiri maka tugas berikutnya
adalah membangunnya. Ini hampir otomatis
berarti membangun ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Dan pembangunan ekonomi di
kawasan itu sangat membutuhkan kerjasama
antara Palestina dan Israel. Kerjasama seperti
ini telah memicu banyak negara merdeka justru mengikat diri pada berbagai pakta ekonomi, seperti Uni Eropa, ASEAN, APEC,
NAFTA, dan sebagainya. Negara anggota
memiliki ideologi yang berbeda, dan bahkan
pernah berperang satu sama lain. Tapi kalau
sudah urusan perut, mereka bersedia mem-
121
ISSN: 0216-9290
Rethinking Isratine
bangun perdagangan bebas. Dan ini pada
esensinya adalah saling bersinergi dalam
produktivitas. Artinya, Kita harus membuang
jauh-jauh permusuhan agar bisa saling bekerjasama menghasilkan inovasi dan nilai
ekonomi.
Dalam logika Gadhafi bahwa setelah berpuluh tahun menghabiskan seluruh daya upaya
dan nyawa untuk saling menghancurkan,
hasilnya adalah kehancuran. Sementara
bangsa-bangsa lain sudah sangat maju, pemerintah Palestina dan Israel bahkan tidak
mampu memberikan kebutuhan yang paling
dasar bagi bangsanya. Untuk sesuatu prinsip
yang sangat abstrak: ideologi. Atau suatu
prinsip yang sangat fatalistik, anihilasi dari
pihak lawan. Kalau orang Arab dan orang
Yahudi bisa bersinergi membangun ekonomi
dengan pengorbanan yang sama besarnya,
pusat peradaban dunia akan bergeser kembali
ke timur tengah.
Dengan demikian, ketakutan Gadhafi tentang
konsep dua negara tidaklah beralasan. Bersinergi bukan diartikan menjadi satu negara
Isratine. Justru konsep satu negara itulah
yang bisa menimbulkan persoalan yang tiada
habisnya. Pengalaman Oslo I dan Oslo II telah membuktikan dimana persoalan batas
wilayah belum juga tuntas.
Jika kita kembali melihat pada kesepakatan
pertama yang di sepakati pada perjanjian
Oslo I maka Palestina yang diwakili oleh
PLO merupakan sarana Israel untuk melindungi diri dari serangan orang-orang Palestina
yang mereka sebut dengan “teroris”. Janji
Palestina yang disebutkan akan menarik pasukan dari jalur Gaza hingga Jericho pun
tidak segera di tepati. Pihak palestina sendiri
pun sejatinya cukup kaget ketika mendengar
kesepakatan ini. Hanan Anshari pun sempat
bersi tegang dengan Mahmood Abbas oleh
karena kesepakatan Oslo I yang telah di
tandatangani. Hanan Anshari memprotes kesepakatan tersebut karena pada kesepakatan
tersebut tidak di jelaskan secara rinci tentang
masalah Kota Jerusalem dan pemukiman
Yahudi yang masih menjadi milik Israel.
Dalam kesepakatan Oslo ini pun Nampak
bahwa rakyat Israel belum sepenuhnya mau
berdamai dengan Palestina, hal itu di buk-
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010
Indra Kesuma Nasution
tikan dengan tregedi terbunuhnya Yitzhak
Rabin.
Pada perjanjian Oslo II semakin ambisi Israel
akan wilayah kekuasaan yang dimiliki oleh
Palestina. Pembagian wilayah Tepi Barat kepada tiga zona membawa Israel kepada otoritas yang semakin menjadi. Pada zona B yang
merupakan wilayah dari kedua Negara tersebut bahkan masih di kuasai sepenuhnya oleh
tentara Israel. Dalam pembagian kekuasaan
wilayah pun warga Israel membangun tembok-tembok besar yang memisahkan pemukiman oring-orang Palestina dan Yahudi, walaupun pembagian itu melebihi batas aturan
dan merugikan warga Palestina. Bisa juga di
katakan bahwa dalam perjanjian Oslo II ini
Israel semakin menghambat perjuangan Palestina, karena sejatinya perjuangan bangsa
Palestina adalah untuk mengembalikan
warganya ke tanah dan rumahnya masingmasing yang teahdi rampas oleh orang- orang
Israel.
Dengan kata lain, bagaimana mungkin konsep Isratine dengan menyatukan Israel dan
Palestina menjadi satu negara bisa diwujudkan, sementara sejarah membuktikan bahwa
batas wilayah juga belum tuntas.
Hal yang harus dicatat oleh Israel bahwa
perdamaian bisa dimulai dari kemauan Israel
untuk belajar mengatasi perannya sebagai
korban. Dengan demikian, pengintegrasian
negara Israel dalam lingkungan Arab bisa
sepenuhnya terjadi. Permasalahannya, apa
yang bisa dilakukan Israel agar tidak terasing
di kawasan Timur Tengah. Hal terpenting
yang harus bisa dipelajari Israel adalah Israel
memulai sepenuhnya hidup di Timur Tengah.
Hingga kini, kebanyakan warga Israel percaya berumah di Eropa dan Amerika. Seharusnya, warga Israel harus belajar budaya, kebiasaan dan bahasa Arab agar bisa lebih mengerti apa yang terjadi di negara-negara tetangga.
Penutup
Isratine merupakan konsep perdamaian yang
utopis dan recehan. Perebutan wilayah menjadi masalah utama pemicu konflik. Ketika
dunia internasional melalui PBB masuk untuk menjadi penengah dari masalah ini
ISSN: 0216-9290
Rethinking Isratine
dengan mengeluarkan resolusi nomor 181
tentang pembagian kekuasaan tanah Palestina
menjadi dua wilayah Negara maka konflik
ini pun semakin memanas. Israel yang masih
menginginkan seluruh tanah Palestina mencoba segala cara baik dengan cara kekerasan
pun untuk mendapatkannya. Di sisi lain, Palestina yang merasa bahwa tanah mereka
telah di rampas ingin merebut kembali tanah
yang mereka anggap adalah hak mereka.
Perseteruan antara ke dua belah pihak Negara
ini pun semakin kerap terjadi.
Kini ketika kekerasan bukan merupakan
satu-satunya jalan yang dapat di tempuh untuk menyelesaikan konflik maka Israel dan
Palestina pun melakukan cara damai untuk
menyelesaikan konflik yang terjadi. Amerika
sebagai Negara yang menjadi mediator sekaligus dua mengadakan perjanjian antara Israel dan Palestina. Pada saat terjadi konferensi Madrid sebenarnya telah terjadi perundingan yang lebih penting yang mengatur
nasib kedua Negara ini kelak yaitu perjanjian
Oslo yang bertempat di Oslo-Norwegia. Perjanjian yang di hadiri secara resmi oleh
perwakilan Negara masing-masing Negara
ini akhirnya membuahkan hasil yang menjadikan Israel mendapat pengakuan kedaulatan
oleh Palestina dan Palestina mendapat wilayah yang merea perjuangkan. Proses perjanjian ini tidak hanya berjalan sekali saja namun
hingga dua kali ketika di sepakatinya perjanjian Oslo II yang membagi wilayah Tepi
barat menjadi tiga zona. Meskipun tujuan
dari penyelenggaraan perjanjian ini adalah
untuk kebaikan ke dua belah pihak, namun
pada kenyataannya Israel tetaplah memegang
kendali dan mendapat keuntungan yang besar
dari Palestina atas pencapaian kesepakatan
ini.
Daftar Pustaka
Oberschall, A. 1978. Theories of Social Conflict.
Annual Review of Sociology 4: 291-315.
Fatah, Rohadi Abdul. 2004. Sosiologi Agama.
Jakarta: Titian Kencana Mandiri.
Soekanto, Soerjono. 1996. Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta: Rajawali Perss.
Holsti, K. J. 1988. Politik Nasional, Kerangka
untuk Analisis. Jakarta: Rajawali Perss.
Meutia Ghani. 2007. Analisis Sosial Relasi EtnoReligius di Indonesia. Buletin Kebebasan IV:
2-5.
122
Download