GEOLOGI DAN TIPE MINERALISASI ENDAPAN EMAS-PERAK EPITHERMAL PADA DAERAH PINUSAN, KECAMATAN BENDUNGAN KABUPATEN TRENGGALEK PROPINSI JAWA TIMUR. Oleh: Wahyu Haryadi dan Tommy Rostio H ABSTRAKSI Kendali geologi yang meliputi geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi yang kompleks sangat mempengaruhi kehadiran mineral-mineral yang bernilai ekonomis seperti emas dan perak di daerah telitian. Endapan emas-perak yang ada pada daerah penelitian banyak ditemukan pada tipe alterasi filik dengan zonasi urat kuarsa-vuggy yang mempunyai kandungan emas berkisar antara 0,16-0,72 ppm dan kadar perak terbesar mencapai 8 ppm. Hasil analisa inklusi fluida (temperatur homogenitas 232,2 - 248,40 oC) pada sampel kuarsa (level tubuh jalur urat 1) diduga tipe mineralisasi adalah epithermal tipe sulfidasi rendah (epithermal low sulphidation), diketahui pembentukan mineralisasi pada daerah Pinusan berada pada kedalaman 260 meter di bawah paleosurface dan masuk pada zona Precious Metal (Buchanan, 1981). Kata-kata kunci: Kendali geologi, Tipe mineralisasi, Epithermal PENDAHULUAN Salah satu yang mendasari diadakannya eksplorasi di daerah Pinusan Kecamatan Bendungan Kabupaten Trenggalek Propinsi Jawa Timur adalah karena Pegunungan Selatan Jawa Timur diperkirakan merupakan salah satu jalur mineralisasi di Indonesia. Daerah yang merupakan wilayah konsesi PT. Aneka Tambang Tbk. ini merupakan daerah yang dianggap cukup menarik dijadikan sebagai daerah penelitian, mengingat banyak kondisi geologi dan 1 mineralisasi yang perlu dipelajari seperti litologi yang menyusunnya serta tipe dan penyebaran mineralisasinya. Untuk mengetahui adanya jalur urat mineralisasi di daerah Pinusan sehingga pengembangan dan perencanaan eksploitasi dapat terarah dan efektif bagi perencanaan dan pengembangan selanjutnya, perlu dilakukan penelitian. Daerah petelitian termasuk ke dalam zona Pegunungan Selatan Jawa Timur yang merupakan jalur pegunungan yang banyak mengandung sumber daya mineral. Adanya batuan terobosan pada daerah Trenggalek menyebabkan terbentuknya mineralisasi pada batuan yang mengubah batuan menjadi bernilai ekonomis, seperti adanya kandungan emas, galena, perak pada urat-urat batuan. Berdasarkan data pendukung geologi, antara lain litologi, struktur geologi, vulkanisme dan proses magmatik, maka di wilayah petelitian mempunyai prospek terjadinya proses mineralisasi. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka menarik bagi penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai geologi dan tipe mineralisasi endapan emas-perak epithermal pada daerah Pinusan kecamatan Bendungan Kabupaten Trenggalek Propinsi Jawa Timur. Mineralisasi adalah proses introduksi (penetrasi), akumulasi suatu masa yang akan membentuk mineral bijih dan mineral penyerta (gangue) pada suatu batuan, sehingga terbentuk endapan mineral (mineral deposits) (Rinawan, Roesman dan Oesman, Zulkifli). Terkonsentrasinya mineral-mineral logam (khususnya emas dan perak) pada suatu proses mineralisasi dipengaruhi oleh adanya: 1. Proses Differensiasi Pada proses ini terjadi kristalisasi secara fraksional (fractional crystallization), yaitu pemisahan mineral-mineral berat pertama kali 2 dan mengakibatkan terjadinya pengendapan kristal-kristal magnetit, kromit dan ilmenit. Pengendapan kromit sering berasosiasi dengan pengendapan intan dan platinum. Larutan sulfida akan terpisah dari magma panas dengan membawa mineral Ni, Cu, Au, Ag, Pt dan Pd. 2. Adanya aliran gas yang membawa mineral-mineral logam hasil pengkayaan dari magma. Endapan bijih epithermal adalah endapan yang terbentuk pada lingkungan hidrothermal dekat permukaan, mempunyai temperatur dan tekanan yang relatif rendah berasosiasi dengan kegiatan magmatisme kalkalkali sub-aerial, sering kali (tidak selalu) endapannya dijumpai di dalam produk volkanik (dan sedimen volkanik). Tabel 1. Ciri-ciri umum endapan epithermal (Lindgreen, 1933) Kedalaman Temperatur Pembentukan Zona bijih Logam bijih Mineral Bijih Mineral penyerta (gangue) Ubahan batuan samping Tekstur dan Struktur Permukaan hingga 1500 m. 50 – 2000C Pada batuan sedimen atau batuan, terutama yang berasosiasi dengan batuan intrusif dekat permukaan atau ekstrusif, biasanya disertai sesar turun, kekar, dsb. Urat-urat yang simple, beberapa tidak beraturan dengan pembentukan kantong-kantong bijih, juga seringkali terdapat pada pipa dan stocwork Pb, Zn, Au, Ag, Hg, Sb, Cu, Se, Bi, U Native Au, Ag, electrum, Cu, Bi Pirit, Markasit, Sfalerit, Galena, Kalkopirit, Cinabar, Stibnite, Realgar, Orpiment, Ruby Silver, Argentite, Selenides, Tellurides. Kuarsa, Chert, Kalsedon, Ametis, Serisit, Klorit rendah Fe, Epidot, Karbonat, Fluorit, Barite, Adularia, Alunit, Dickite, Rhodochrosite, Zeolit Sering sedikit chertification (silifikasi), kaolinisasi, piritisisasi, dolomitisasi, kloritisisasi. Crustification (banding), sangat umum sering sebagai fine banding, cockade, vugs, urat terbreksikan. Ukuran butir (kristal) sangat bervariasi 3 Beberapa endapan epithermal pada umumnya (tidak selalu) endapannya dijumpai dalam produk volkanik (dan sedimen volkanik). Dalam sistem epithermal sulfidasi rendah, fluida magmatik yang didominasi gas (SO2 dan HCl) direduksi pada saat bereaksi dengan batuan samping (wall rock) sehingga terjadi dilusi (pengenceran) akibat adanya sirkulasi fluida meterorik (air hujan). Proses tersebut terjadi pada bagian bawah dari sistem sulfidasi rendah yang membawa zat volatil (termasuk unsur logam didalamnya), hal ini menyebabkan fluida didominasi oleh H2S sebagai sumber sulfur yang paling besar yang juga melarutkan garam (terutama NaCl) pada temperatur 170270oC dan kedalaman 50-1000 m (Hedenquist & Houghton, 1988 dalam Corbett dan Leach, 1996) [Gambar 1]. Gambar 1. Model Mineralisasi Emas – Perak Pacific Rim. (Corbett & Leach, 1996) Inklusi fluida (Fluid Inclusion) adalah material fluida berukuran mikro yang terdapat dalam suatu mineral yang umumnya hadir dalam bentuk tiga 4 fase/fluida, yaitu padat, cait atau gas. Fluida tersebut mengisi sisa ruangan dan terperangkap pada saat pendinginan karena adanya perbedaan koefisien tingkat penyusutan yang lebih besar dari pada mineral pengandungnya (Yuwono, 1994). Adanya pertumbuhan kristal yang tidak sempurna mengakibatkan fluida pada kristal terperangkap dalam rongga tipis yang biasanya berukuran < 100 µm (Evans, 1982). Permasalahan yang akan diteliti yaitu geologi daerah telitian beserta keberadaan urat/vein yang mengandung mineral bijih yang bersifat ekonomis yang nantinya menyangkut dana operasional untuk melakukan eksplorasi lebih lanjut. Permasalahan tersebut dirumuskan menjadi: (1) Bagaimana kendali geologi terhadap kehadiran mineral emas-perak di daerah telitian? (2) Bagaimana pola penyebaran zona mineralisasi melalui media/rekahan yang berkembang? dan (3) Bagaimana hubungan mineralisasi yang berasosiasi dengan endapan emas-perak pada daerah telitian? Penelitian ini bertujuan mencari penyebaran vein-vein dan pola struktur geologi pada daerah dibentuk oleh dua arah urat (vein) yang tidak menerus disekitar Gunung Mranggu, penyebaran zona mineralisasi dengan menggunakan parit uji dan hubungan mineralisasi yang berasosiasi dengan endapan emas-perak yang ada pada daerah telitian. METODE PENELITIAN Metode Kualitatif. Jenis dan pemrosesan data yang dihimpun dari lapangan atau daerah penelitian secara regional maupun detail dari daerah telitian, yaitu: (a) Pemetaan geologi permukaan yang akan diproses menjadi peta geologi, peta lintasan, profil, peta sebaran trenching dan peta alterasi, dan (b) Sampling, digunakan untuk menganalisis batuan yang meliputi, 5 analisis petrografi, mineragrafi, AAS dan inklusi fluida. Metode yang digunakan adalah channel sampling, yaitu sampel diambil dengan cara membuat alur pada parit, test-pit. Metode Kuantitatif. Metode yang dilakukan di laboratorium, meliputi: (a) Analisa stereografis, digunakan untuk mengetahui jenis struktur geologi yang bekerja pada daerah telitian, serta arah umum kekar yang ada pada daerah telitian. (b) Analisa Petrografi, digunakan untuk mengetahui dan menentukan jenis mineral–mineral penyusun litologi (batuan samping) dan urat mikroskopis dan digunakan juga untuk identifikasi mineral sekunder yang terbentuk oleh alterasi hidrothermal sehingga dapat ditentukan tipe alterasinya. (c) Analisa Mineragrafi, digunakan untuk mengidentifikasi mineral bijih penyusun urat dan batuan samping. Dan (d) Analisis inklusi fluida dan analisis kimia. Data-data inklusi fluida, meliputi data temperatur homogenisasi (Th), temperatur pelelehan (Tm) dan salinitas fluida hidrothermal. Data-data ini dianalisis untuk mendapatkan/mengetahui kedalaman dan temperatur pembentukan mineralisasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Geologi Daerah Telitian Geomorfologi. Berdasarkan pengontrol morfologinya maka daerah telitian mempunyai bentukan asal struktural yang terbagi menjadi 3 (tiga) satuan geomorfik, yaitu: 1. Punggungan monoklin (S2). Satuan geomorfik ini menempati kurang lebih 15% dari luas daerah telitian. Disusun oleh perselingan breksi volkanik dengan lava yang sebagian sudah mengalami pelapukan. 6 2. Perbukitan Monoklin Bergelombang Kuat (S3). Satuan geomorfik ini menempati kurang lebih 45% dari luas daerah telitian. Disusun oleh perselingan breksi volkanik dengan lava batupasir tufan 3. Perbukitan Monoklin Bergelombang Lemah (S4). Satuan geomorfik ini menempati kurang lebih 30% dari luas daerah telitian Stratigrafi. Stratigrafi daerah penelitian dibagi menjadi 2 (dua) yaitu Satuan Breksi Vulkanik Mandalika dan Satuan Lava Mandalika. Tabel 2. Stratigrafi Daerah telitian UMUR FORMASI Oligosen – Mandalika Miosen Awal SATUAN BATUAN Lava Mandalika Breksi volkanik mandalika SIMBOL PEMERIAN Satuan batuan ini menempati kurang lebih 3% dari total luas keseluruhan, warna abu-abu, kecoklatan, masif, hipokristalin, granularitas, fanerik halus, inequigranular, komposisi: kuarsa, biotit, plagioklas Satuan batuan ini menempati kurang lebih 97% dari total luas keseluruhan, coklat kehitaman, masif, fragmen: andesit, basal, trakit, silika, berbutir halus sampai kerakal, buruk, menyudut tanggung, terbuka Struktur geologi. Struktur geologi yang dijumpai pada daerah telitian antara lain berupa: (1) Struktur monoklin, dipengaruhi oleh lapisan miring 7 yang hanya satu arah. Secara umum kemiringan lapisan litologi pada daerah Pinusan sebesar 32o dengan penyebaran litologi berupa breksi vulkanik, lava dan batupasir tufan, (2) Sesar (Patahan). Di daerah penelitian, peneliti menemukan dua buah bidang sesar berlokasi di Gunung Mranggu dan Kaligandul dengan lokasi pengamatan pada LP 25 dan LP 47. Sesar Gunung Mranggu. Di lokasi ini dijumpai kenampakan gores garis dan cermin sesar dengan step gash menunjukkan pergerakan ke kanan. Sesar ini memotong jalur urat mineralisasi. Hasil pengukuran gores garis diketahui arah bearing yaitu N 196oE dengan besar sudut penunjaman (plunge) yang dibentuk 29 o dan Rake 32o. Berdasarkan pada klasifikasi Rickard, 1972 diketahui jenis sesar tersebut adalah Normal Right Slip Fault. Sesar Kaligandul. Kedudukan bidang sesar hasil pengukuran di Kaligandul (LP 47) menunjukkan kedudukan bidang 65o pada N 093oE dengan pergerakan relatif ke kanan. Hasil pengukuran gores garis diketahui arah bearing yaitu N 114oE dengan besar sudut penunjaman (plunge) yang dibentuk 38o dengan rake 46o. Hasil pengukuran diperkirakan Hanging wall relatif turun. Berdasarkan pada klasifikasi Rickard, 1972 diketahui jenis sesar tersebut adalah Right Normal Right Slip Fault. (3) Kekar (rekahan). Data-data kekar yang berhasil di dapat berada pada 8 (delapan) lokasi yang berbeda yaitu pada LP 4, LP 7, LP 9, LP 28, LP 29, LP 32, LP 35, LP 52, dan LP 68. Kumpulan data kekar kemudian dilakukan analisa menggunakan Stereo Net (The Polar Equal Area Net dan Kalsbeek Counting Net). Dari hasil analisa didapatkan data-data sebagaimana pada tabel 3. Metode Channel sampling, yaitu suatu metode dalam pengambilan sampel batuan (channel sampling) yang dilakukan dengan menelusuri arah urat/vein dan membuat bukaan parit hingga urat mineralisasi tersingkap di permukaan dengan posisi parit memotong tubuh urat mineralisasi. Data-data 8 pengukuran hasil pembuatan parit yang dilakukan pada LP 24, LP 29, Lp 69, dan LP 70, yaitu sebagaimana tertera pada Tabel 4. Tabel 3. Kedudukan umum Kekar (rekahan) daerah telitian No LP 4 Kedudukan umum 72o pada N 340oE dan 60o pada N 130oE 71o pada N 160oE 9 35 72o pada N 315oE dan 71o pada N 218oE 76o pada N 192oE 68 74o pada N 188oE 32 - No LP 7 29 52 28 Kedudukan umum 70o pada N 189oE 71o pada N 184oE, 69o pada N 211oE, dan 72o pada N 275oE 68o pada N 061oE 68o pada N 183oE , dan 70o pada N 213oE 69o pada N 059oE 71o pada N 186oE, dan 73o pada N 218oE, dan 72o pada N 268oE Jalur Urat Mineralisasi Mranggu. Struktur yang terisi mineralisasi diinterpretasikan terjadi sebelum adanya aktivitas hidrothermal. Struktur ini diperlukan guna tersedianya rongga/ruang untuk dilaluinya larutan hidrothermal sekaligus sebagai tempat pengendapan mineralisasi (Bateman, 1981). Jalur urat mineralisasi pada daerah Pinusan dibagi menjadi 2 (dua), yaitu jalur urat mineralisasi Mranggu 1 dengan arah N 216 oE (relatif Timurlaut-baratdaya) dan jalur urat mineralisasi Mranggu 2 dengan arah N 182oE (relatif utara-selatan). Kedudukan urat hasil pengukuran pada jalur urat mineralisasi Mranggu 2 yaitu sebagai berikut: N 183oE/78o, N 174oE/80o, N 177oE/82o, N 189oE/76o, N 184oE/78o, dan N 191oE/79o Mineral Bijih. Kehadiran mineral bijih dapat diamati secara langsung di lapangan dan dilakukan analisa mineragrafi pada sayatan poles contoh urat mineralisasi yang ada pada daerah telitian. 9 Tabel 4. Data-data pengukuran hasil pembuatan parit LP Panjang (m) Kedalaman (m) 24 29 0,5 29 21 0,5 69 30 0,4 70 13 0,3 Hasil Pengukuran Ketebalan Kedudukan urat urat mineralisasi (m) 3 N 218oE / 80o 2,4 N 189oE / 76o N 184oE / 78o Keterangan Disertai dengan pengambilan sampel batuan untuk analisa petrografi dan mineragrafi Tidak ditemukan adanya urat mineralisasi Disertai dengan pengambilan sampel batuan untuk analisa petrografi dan mineragrafi Tidak dilakukan pengambilan sampel batuan karena sudah mengalami pelapukan 10 Pengamatan secara megaskopis dan hasil analisa minegrafi sayatan poles contoh TM-4, TM 8, TM 18, TM 20, TM 26, TM 32. Maka mineral bijih yang berkembang pada daerah Pinusan adalah kalkopirit (CuFeS2), pyrit (FeS2), magnetit (Fe2O4) , hematit (Fe2O3), perak (Ag), emas (Au). Analisis Data AAS (Atomic Absorption spectrophotometry) dan Inklusi Fluida Kadar Endapan Emas-Perak daerah Pinusan Kandungan emas dan perak yang ada pada daerah telitian dapat diketahui dari hasil analisis AAS (Atomic Absorption spectrophotometry). Pada zona kuarsa-vuggy endapan emas hadir dengan kadar berkisar 0,16 – 0,72 ppm dan kadar endapan peraknya bervariatif dengan kadar tertinggi 8 ppm. Sedang pada zona urat Brecciated endapan emas hadir dengan kadar berkisar 0,08 – 0,16 dan kadar perak tertinggi 2 ppm. Analisis inklusi Fluida Berdasarkan Stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Timur yang disusun oleh Hanang Samodra, dkk (1992) diperkirakan ketebalan ”overburden” sebelum proses mineralisasi adalah sekitar 1050 m, sehingga dengan perhitungan didapatkan angka tekanan (pressure) sekitar 278 bars (27,8 Mpa). Adanya perkiraan erosi yang mengenai beberapa satuan batuan pada saat mineralisasi terbentuk, maka untuk koreksi Th menggunakan tekanan overburden dibawahnya yaitu berkisar 25 Mpa. Dari data Th yang ada didapatkan mean Th yaitu 239,63oC, kemudian diplotkan dalam diagram Potter, 1977 dalam Shepherd et.al, 1985 (gambar 9), sehingga diperoleh angka koreksi temperatur sebesar 19oC. 11 Tabel 5. Hubungan tipe alterasi dengan kandungan emas-perak Daerah Pinusan Kode sampel Zona ubahan MGU 222 MGU 232 MGU 235 MGU 237 MGU 174 MGU 172 MGU 171 MGU 175 MGU 173 Propilitik Argilik Propilitik Argilik Filik Filik Filik Filik Filik Kode sampel MGU 156 MGU 158 MGU 162 MGU 152 MGU 153 MGU 151 Zona ubahan Propilitik Argilik Propilitik Filik Filik Filik Urat 1 Zona urat – – – – Brecciated Kuarsa-vuggy Kuarsa-vuggy Kuarsa-vuggy Kuarsa-vuggy Urat 2 Zona urat – – – Brecciated Brecciated Brecciated Analisa AAS (ppm) Au Ag < 0,05 <1 < 0,05 <1 < 0,05 <1 < 0,05 <1 0,08 <1 0,16 2 0,30 3 0,70 7 0,72 8 Analisa AAS (ppm) Au Ag < 0,05 <1 < 0,05 <1 < 0,05 <1 0,10 1 0,12 1 0,16 2 Kedalaman pembentukan mineralisasi dapat diketahui dari hasil plotting mean Th terkoreksi, yaitu 19oC dan salinitas inklusi fluida rata-rata (% wt NaCl eq), yaitu 1, 569551398 pada kurva Haas, 1977 dalam Shepherd et.al, 1985 (Gambar 10), kemudian dapat diketahui hasil kedalaman mineralisasi, yaitu pada kedalaman 260 m dari paleosurface. Berdasarkan jenis maupun sebaran batuan alterasi ditambah dari data analisa fluid inclusion (temperatur homogenisasi berkisar antara 232,2oC – 248,30oC), maka tipe mineralisasi daerah Pinusan adalah ”Epithermal Low Sulphidation” pada elevasi Zona 12 Precious Metal (berdasarkan Hayba, dkk 1986, Heald, dkk 1987, White & Hedenquist, 1995). 13 KESIMPULAN 1. Kendali geologi yang terdiri dari geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi mempengaruhi keberadaan mineral bijih 2. Endapan emas-perak yang ada pada daerah penelitian banyak ditemukan pada tipe alterasi filik dengan zonasi urat kuarsa-vuggy yang mempunyai kandungan emas berkisar antara 0,16-0,72 ppm dan kadar perak terbesar mencapai 8 ppm. 3. Berdasarkan jenis maupun sebaran batuan alterasi dan hasil analisa inklusi fluida (temperatur homogenitas 232,2 - 248,40 oC) yang dilakukan pada sampel kuarsa (level tubuh jalur urat 1) diduga tipe mineralisasi adalah epithermal tipe sulfidasi rendah, diketahui pembentukan mineralisasi pada daerah Pinusan berada pada kedalaman 260 meter dibawah paleosurface dan masuk pada zona Precious Metal (Buchanan, 1981). ____________________________ DAFTAR PUSTAKA Meinert,L.D. 1989. Gold skarn Deposits-Geology and Exploration Criteria; in The Geology of Gold Deposits; The Perspective in 1988, Economic geology, Monograph 6, pages 537-552 Corbett, G.J., dan Leanch, T.M. 1996. Southwest Pacific Rim Gold-Copper System : Structure, Alteration and Mineralization, CMS New Zealand Ltd, Auckland, New Zealand, 374 h Pirajno, F. 1992. Hydrotermal Mineral Deposits. Principles and Fundamental Concepts for The Exploration Geologist, Springer Verlag, Berlin, Heidenberg, New York, London, Paris. Sukandarrumidi. 2007. Geologi Mineral Logam, Gadjah Mada University Press. Van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia, The Hague, Martinus Nijholff, vol. IA. 732 p. 14