PERBANDINGAN KONSEP KETUHANAN KRISTEN DENGAN KETUHANAN SAPTA DARMA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Moch. Agus Khoerul Ikhsan NIM: 1112032100031 JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H./2017 M. i ii iii ABSTRAK Moch. Agus Khoerul Ikhsan Perbandingan Konsep Ketuhanan Kristen dengan Ketuhanan Sapta Darma Sejak dulu hingga kini keingintahuan manusia tentang Tuhan tidak pernah berhenti. Tuhan masih merupakan misteri terbesar dalam kehidupan manusia yang belum pernah terpecahkan, sehingga konsep Ketuhanan merupakan bagian paling penting dalam setiap agama, termasuk Sapta Darma dan Kristen yang penulis angkat menjadi skripsi ini. Sapta darma dipilih karena merupakan salah satu bahasan yang sangat menarik dan sapta darma juga salah satu dari warisan budaya nenek moyang bangsa Indonesia yang sangat berharga dan sudah seharusnya kita lestarikan. Adapun Kristen dipilih sebagai perbandingan karena merupakan salah satu agama terbesar di dunia dan memiliki konsep ketuhanan yang cukup kompleks. Objek yang diteliti adalah semua buku yang bertemakan konsep ketuhanan Kristen dan Sapta Darma. Selain itu, untuk melengkapi penelitian, penulis juga mengkaji buku-buku perihal materi pendukung lainnya, serta dilakukan juga wawancara dengan tokoh dan penganut Sapta Darma. Penulis menggunakan jenis penelitian studi pustaka dengan pendekatan teologis, serta metode wawancara langsung terhadap objek penelitian, yang dalam hal ini Sapta Darma, bahkan penulis juga turut serta mengikuti peribadatan mereka guna memperkaya pengetahuan dasar serta menghayatinya. Selanjutnya, digunakan analisis data kualitatif komparatif dengan teknik pelaporan yang bersifat deskriptif. Setelah melakukan penelitian dan wawancara, akhirnya diketahuilah bahwa dari masing-masing konsep ketuhanan yang ada pada Sapta Darma, ada juga di konsep ketuhanan Kristen. Namun, tentu lebih banyak perbedaannya. Maka, konsep ketuhanan setiap agama tidak bisa digeneralisir. Karena menyederhanakan (menyamaratakan) padangan mereka berarti menghapuskan identitas dan keragaman pandangan dari masing-masing agama. iv KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang senantiasa melimpahkan rahmat serta karunianya dalam segala hal, sehingga penulis dapat menyelesaikan Sekripsi ini dengan judul “Perbandingan Konsep Ketuhanan Kristen dengan Ketuhanan Sapta Darma”. Sholawat serta selam selalu terlimpah curahkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw, kepada keluarganya, para Sahabatnya, serta kepada umatnya hingga akhir zaman. Amin ya rabbal alamin. Penulisan skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu pada Program Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat banyak kesan dan pelajaran dalam setiap proses yang amat panjang dalam menyelesaikannya. Selesainya skripsi ini bukanlah semata-mata hasil kerja keras penulis sendiri. Penulis menyadari, skripsi ini tidak akan selesai jika tidak ada dukungan dari berbagai pihak. Maka dari itu sudah selayaknya penulis ingin memberikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang turut membantu dalam setiap proses untuk menyelesaikan skripsi ini. Baik berupa dukungan, bantuan, serta ucapan semangat yang tiada henti hentinya kepada penulis. Oleh karena itu setelah rampungnya penulisan skripsi ini, penulis ingin menyebutkan beberapa nama yang teramat berkesan dihati penulis, yaitu: 1. Dr. Hamid Nasuhi, MA selaku dosen pembimbing yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini, yang tidak pernah bosan memberikan saran dan motivasi, bimbingan, do’a, dan kepercayaan yang sangat berarti bagi penulis. 2. Dr. Media Zainul Bahri, MA, dan Dra. Halimah Mahmudy, MA, selaku ketua dan sekretaris jurusan Setudi Agama-agama, yang telah membantu dan memberikan masukan serta saran yang bermanfaat bagi penulis. v 3. Prof. Dr. Masri Mansoer, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Segenap jajaran dosen dan guru besar Setudi Agama-agama, Dr. Hamid Nasuhi, MA, Ismatu Ropi, Ph.D, Dr. Ahmad Ridho, DESA, Pros. Dr. Kautsar Azhari Noer, Prof. Dr. Ridwan Lubis, MA, Dra. Hermawati, MA, Drs. M. Nuh Hasan, MA, Dr. Amin Nurdin, MA, Dr. Abdul Muthalib dan Dra. Siti Nadroh, MA, yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis. 5. Staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas, Perpustakaan Utama Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional, yang telah membantu menyediakan referensi yang dibutuhkan penulis. 6. Persatuan Warga Sapto Darmo (PERSADA) Kabupaten Pemalang terkhusus untuk Bapak Rahmat Purwantoro selaku Ketua PERSADA Jawa Tengah, dan juga kepada Bapak Sarnoto Selaku Ketua PERSADA Kabupaten Pemalang, serta kepada Saudara Anindita Purwira Nugraha, dan Bapak Susilo, yang telah memberikan banyak kontribusinya kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir. 7. Keluarga Besarku, Ayahanda tercinta Moch Idris Musthofa, Almarhum Ibunda tercinta Siti Khotimah yang menjadikan pacuan penulis untuk tidak patah semangat. Kakak-kakaku Siti Muzaroah, Moch. Subhan, Siti Nurhayati, Siti Adawiyah, Siti Nikmatun Hasanah, Moch. Agus Syukron Musthofa, Siti Naela Nathofa Nitof, dan Moch. Agus Hamid Musthofa yang selalu membantu dan memberi dukungan baik doa maupun materi. 8. Tak lupa pula penulis ucapkan terimakasih kepada Keluarga besar Hajah Tsamrotul Fuaddiyah dan Almarhum Bapak H. Solehudin, serta kepada M. Sultoni, Nur Etikah, Nur Afidah, Nur hikmawati, dan Nur Azizah Selaku Keluarga Kedua penulis yang selalu memberikan dukungan baik motifasi, saran dan Doa. 9. Serta tidak terlewatkan ucapan banyak terima kasih kepada kekasih tercinta Qurotul Aeni yang sudah 8 Tahun menemani penulis dalam suka maupun vi duka. Dan untuk semua Sahabat-sahabatku Ardiansyah, Haris, Eki, Adel, Heri yang banyak berkontribusi dalam menyelesaikan skripsi ini, dan keluarga besar Ikatan Mahasiswa Pelajar Pemalang - Jakarta (IMPP-J) Wildan Dzil Afkar, Nofal Ulinuha, Sinatria Abdul Jabar, Aslakhul Fathi, Ulya Azmi, dan para senior IMPP-J Zaenun Numan, Agus Syukur, Tamam Al Khadik, dan Zuhdan Ali yang tiada bosan memberikan semangat dan menemani hari-hari penulis penuh dengan keceriaan. 10. Teman-teman Setudi Agama-agama angkatan 2012, yang telah memberikan semngat, kritikan, saran dan motifasi kepada penulis selama menimba ilmu di Fakultas Ushuluddin. 11. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata ( KKN ) Simpati yang telah memberikan arti pengalaman kerja sama tim di desa kecil Leuweung Kolot Kabupaten Bogor Semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya, Kritik dan saran akan penulis terima dengan lapang dada. Jakarta, 2 Mei 2017 Moch. Agus Khoerul Ikhsan vii DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ i LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .......................................... ii LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... iii ABSTRAK ................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ................................................................................. v DAFTAR ISI ................................................................................................ viii BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 B. Rumusan Masalah .................................................................... 11 C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 12 D. Manfaat Penelitian ................................................................... 12 E. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 12 F. Metode Penelitian .................................................................... 13 G. Sistematika Penulisan .............................................................. 14 BAB II: KONSEP KETUHANAN KERISTEN A. Sejarah Kristen .......................................................................... 15 B. Konsep Ketuhanan Kristen ....................................................... 22 BAB III: KONSEP KETUHANAN SAPTA DARMA A. Sejarah Sapta Darma ................................................................. 51 B. Ajaran Pokok Sapta Darma....................................................... 58 C. Konsep Ketuhanan Sapta Darma .............................................. 65 viii BAB IV: ANALISIS PERBANDINGAN A. Analisis Persamaan Konsep Ketuhanan Keristen Dan Sapta Darma. ............................................................................ 72 B. Analisis Perbedaan Konsep Ketuhanan Keristen Dan Sapta Darma.. ............................................................................ 79 BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................. 87 B. Saran ........................................................................................ 88 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 90 ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam dunia ini ada banyak hal yang dapat kita kenal dan ketahui, dan hal ini sejalan dengan banyaknya hal yang ingin kita kenal dan ketahui juga. Ini dibuktikan dengan adanya banyak fakultas dan akademi pada perguruan tinggi, di mana orang dapat berkecimpung memuaskan hatinya mengadakan penyelidikan pada bidang yang ia gemari. Sekarang ini manusia tengah mencurahkan perhatiannya kepada ilmu pengetahuan modern, dunia dan segala rahasianya. Usaha mengetahui hal-hal tersebut hanya mungkin dapat dilakukan dengan cara mengerahkan segenap tenaga dan pikiran. Tanpa itu tidak mungkin kita dapat mendapatkan pengetahuan-pengetahuan tersebut.1 Begitu pula adanya dengan keinginan manusia untuk mengetahui Tuhan sebagai bagian dari misteri terbesar dalam kehidupan manusia yang tidak dan belum terpecahkan dari dulu hingga sampai saat ini. Hampir semua umat manusia mempercayai adanya Tuhan yang mengatur alam raya ini. Orang-orang Yunani kuno menganut paham politeisme (keyakinan akan banyak Tuhan), bintang adalah Tuhan (Dewa), Venus adalah Tuhan (Dewa Kecantikan), Mars adalah Dewa Peperangan, Minerva adalah Dewa Kekayaan, sedangkan Tuhan tertinggi adalah Apollo atau Dewa Matahari.2 1 Harun Hadiwijono, Firman Hidup: Seri 6 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1971), h. 12. Iwan Taunuzi, Monoteisme Kriten dalam Perdebatan: Mengurai Doktrin Ketuhanan menurut Jamaat Allah Global Indonesia (JAGI) Semarang (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin Program Studi Perbandingan Agama,2009), h. 2-3. 2 1 2 Konsep ketuhanan yang penulis anggap paling kompleks dalam agama-agama besar adalah konsep ketuhanan Kristen. Bagaimana tidak, sepanjang sejarahnya dalam internal Kristen sendiri terjadi banyak perdebatan mengenai tuhan yang bahkan sampai saat ini masih belum dianggap selesai sepenuhnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya aliran-aliran atau sekte-sekte Kristen yang sangat banyak jika dibandingkan dengan agama lainnya, misalnya Islam. Dan terutama penulis ketahui bahwa perdebatan mereka bukanlah dalam masalah yang bersifat cabang, melainkan dalam hal-hal yang bersifat fundamental, yaitu tuhan. lain halnya dengan Islam yang kebanyakan perdebatannya hanya di sekitar cabang, bukan fundamental ketuhanan. Dalam Kristen kita kenal ada yang disebut dengan Trinitas atau Tritunggal. Ini juga termasuk ajaran gereja Roma Katolik sebagaimana yang tercantum dalam Kredo Iman Rasuli, yaitu Tritunggal yang terdiri dari Allah Bapa, Allah Putra dan Roh Kudus. Ketiga-tiganya adalah pribadi Allah dan ketiga-tiga pribadi tersebut adalah Allah.3 Semuanya Maha kudus, Maha sempurna, Maha tahu, Maha kuasa dan kekal. Oleh karena itu ketiga-tiganya disembah dengan cara yang sama. Sekalipun terdiri dari tiga pribadi, namun hanya satu Allah, yang masing-masing memiliki suatu pengetahuan Illahi, satu kehidupan Illahi, sehingga disebut dengan Tritunggal yang Maha kudus. Untuk dapat mengetahui rahasia ajaran Tritunggal tersebut manusia memerlukan akal-illahi yang justru tidak dimiliki oleh manusia. Maka, manusia dapat mengetahui bahwa Allah terdiri dari tiga pribadi itu adalah 3 Namun, ada juga yang menyebutkan bahwa ketiganya memiliki pribadi masing-masing, bukan satu pribadi yang sama. 3 karena Yesus Kristus mewahyukan rahasia tersebut kepada manusia. Umat Kristen pada umumnya bersyukur kepada Allah Tritunggal karena Allah Bapa adalah Pencipta segala sesuatu, Allah Putera adalah Sang Penebus dosa manusia dan Roh Kudus adalah Yang menyucikan manusia.4 Di dalam Alkitab ada beberapa ayat yang mengungkapkan ketritunggalan itu secara langsung. Kita mendengar perintah Tuhan Yesus untuk membaptiskan di dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus (Mat. 28:19); Rasul Paulus mengucapkan berkatnya sebagai “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus” (2 Kor. 13:13), yang secara lebih luas lagi disebutkan dalam 1 Kor. 12:4-6; Ep.4:4-6; 1 Ptr. 1:1-2; Yud. 20,21. Secara tidak langsung ada banyak juga ayat di dalam Perjanjian Baru yang menunjuk kepada ketritunggalan itu. Di dalam berita tentang kelahiran Tuhan Yesus kita telah mendengar perkataan malaikat, bahwa anak Maria itu disebut Anak Allah Yang Maha tinggi, serta bahwa Roh Kudus akan turun atas Maria, serta kuasa Allah Yang Maha tinggi akan menaunginya (Luk. 1:32,35). Pada waktu Tuhan Yesus dibaptis, kita membaca bahwa Roh Allah turun ke atas-Nya seperti burung merpati, dan bahwa Tuhan Allah berfirman: “Inilah Anak yang Kukasihi” (Mat. 3:16,17; Mrk. 1:10,11; Luk. 3:22). Selain daripada itu, Tuhan Yesus sendiri mengaku di hadapan Sanhedrin bahwa Ia adalah Anak Allah (Mat. 27:43; Mrk. 14:61). Di hadapan orang Yahudi Ia menyebut Tuhan Allah Bapanya (Yoh. 5:19, 23-26; 10-30), 4 Djam’annuri, “Agama Kristen” dalam Mukti Ali (Ed), Agama-agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 362. 4 sedang orang lain menyebut Dia Anak Allah (Mat. 4:3,6 oleh Iblis; Mrk. 3:11; 5:7; oleh Petrus di Mat. 16:16,17). Mengenai Roh Kudus disebutkan bahwa Allah Yesus akan mengutus Roh-Nya dari pada Bapa (Yoh. 15:26; 14:16,17) dan sebagainya.5 Menurut Origenes (meninggal pada tahun 254 M), Tuhan Allah menjadi sebab segala sesuatu yang ada. Dengan perantara Logos atau Firman, Tuhan Allah, yang Roh adanya, berhubungan dengan dunia benda. Logos ini berdiri sendiri sebagai suatu zat yang memiliki kesadaran illahi dan asas-asas duniawi. Ia adalah gambaran Allah yang sempurna. sejak kekal ia dilahirkan dari Allah. Karena kekuasaan kehendak Illahi ia terus menerus dilahirkan dari Zat Illahi. Ia memiliki tabiat yang sama dengan Allah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Ia satu dengan Allah. Akan tetapi, sebagai yang keluar dari Allah Bapa, ia lebih rendah daripada Allah Bapa. Ia adalah pangkat pertama dari perpindahan dari “Yang Esa” kepada “Yang Banyak”, atau pangkat kedua di dalam Zat Allah. Aktivitas Logos atau Anak ini juga lebih rendah dibanding dengan aktivitas Bapa. Ia adalah pelaksana kehendak Allah Bapa, yang melaksanakan intruksi Allah Bapa. Roh Kudus dianggapnya juga sebagai Zat yang ada pada Allah, yaitu pangkat ketiga di dalam Zat Allah itu. Roh Kudus ini adanya karena Anak. Hubungannya dengan Anak sama dengan hubungan Anak dengan Bapa. Bidang kerja-Nya juga lebih sempit dibanding dengan bidang kerja Anak. 5 Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), h. 103. 5 Bapa adalah asas beradanya segala sesuatu, sedang Roh Kudus adalah asas penyucian segala sesuatu. Jadi, ketritunggalan Allah dipandang sebagai berpangkat-pangkat. Oleh karena itu, ajaran ini disebut Subbordinasianisme. Di sini perdebatan di antara Bapa, Anak dan Roh Kudus dipertahankan, dan keesaan atau kesatuannya ditiadakan.6 Di samping itu ada pula ayat yang justru memperkuat paham Allah Esa: “Inilah hidup yang kekal itu, bahwa mereka mengenal Engkau satusatunya Allah yang benar dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” (Yohanes 17:3). Ayat di atas adalah bagian dari doa Yesus untuk murid-muridnya menjelang penyalibannya di Golgota. Dalam doa terakhir itu Yesus hendak menyimpulkan semua pengajarannya yang telah diberikan kepada murid selama misinya di dunia. Salah satunya tentang dasar iman Kekristenan yang mengakui bahwa Tuhan itu Esa, “Engkau satu-satunya Allah “dan “Yesus Kristus yang Engkau utus.”7 Di sepanjang sejarah Gereja tampaklah pergumulan Gereja yang masih muda itu untuk merumuskan kepercayaannya mengenai Tuhan Allah. Di dalam pergumulannya tadi kita menyaksikan bagaimana Gereja di satu pihak berusaha untuk menghindarkan diri dari hanya mempertahankan keesaan Allah dengan melepaskan ketritunggalannya. Artinya bahwa orang sedemikian menekankan kepada ajaran bahwa Allah adalah esa, sehingga 6 Harun Hadiwijono, Iman Kristen, h.107. Iwan Taunuzi, Monoteisme Kriten dalam Perdebatan: Mengurai Doktrin Ketuhanan menurut Jamaat Allah Global Indonesia (JAGI) Semarang, h. 52. 7 6 sebutan Bapa, Anak dan Roh Kudus seolah-olah hanya dipandang sebagai sifat-sifat Allah saja. Di lain pihak kita menyaksikan bagaimana Gereja bergumul untuk menghindarkan diri dari bahaya mempertahankan ketritunggalan Allah dengan melepaskan keesaannya. Artinya bahwa orang sedemikian menekankan kepada perbedaan di antara Bapa, Anak dan Roh Kudus, hingga ketiganya itu seolah-olah berdiri sendiri-sendiri tanpa ada kesatuan.8 Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan hanya milik agama-agama besar, namun juga merupakan warisan budaya spiritual Bangsa Indonesia. Kepercayaan ini telah lama dihayati oleh nenek moyang kita dan menjadi ciri utama dari kebudayaan bangsa jauh sebelum agama-agama yang ada dan berkembang sekarang ini di Indonesia. Aliran kebatinan atau kepercayaan masyarkat sudah diakui keberadaaannya di Indonesia dan dicantumkan dalam GBHN tahun 1978 yang diwadahi dalam sayap kata “Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.”9 Tidak dapat disangkal bahwa semenjak proklamasi kemerdekaan Negera Republik Indonesia, bermunculanlah bermacam-macam aliran kebatinan. Rahmat Subagyo di dalam bukunya, “Kepercayaan, Kebatinan, kerohanian, Kejiwaan dan Agama memuat suatu daftar dengan 285 aliran Kebatinan. Sekalipun disebutkan bahwa di antara aliran-aliran itu ada yang 8 Harun Hadiwijono, Iman Kristen, h. 104. Abas Sambas, Konsepsi Wahyu dalam Ajaran Sapta Darma (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin Program Studi Perbandingan Agama, 2011), h. 1. 9 7 terdapat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Biak dan Lombok, namun sebagian besar dari aliran-aliran itu terdapat di Jawa.10 Kebatinan merupakan hasil pemikiran dari angan-angan manusia yang menimbulkan suatu aliran kepercayaan bagi penganutnya dengan melakukan ritual-ritual tertentu. Mereka berusaha untuk mencapai derajat tertinggi, dimana ketenangan batin dan kesempurnaan hidup akan tercapai. Dalam kebatinan, manusia adalah ciptaan Tuhan. Jika manusia berusaha dengan sungguh-sungguh, maka manusia bisa mengadakan kontak dengan Tuhan. Ini berarti bahwa setiap manusia bisa menerima wahyu. Wahyu dalam kebatinan itu sendiri pada dasarnya adalah untuk menunjukkan jalan bagaimana manusia bisa bersatu dengan Tuhan.Sehingga manusia dapat memperoleh kebahagiaan sejati.11 Oleh karena itu, maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tuhan merupakan bagian yang paling penting dalam sebuah agama atau kepercayaan. Dalam penulisan skripsi ini, di samping memfokuskan pembahasannya pada ketuhanan Kristen, penulis juga membuat analisis perbandingan dengan konsep ketuhanan Sapta Darma. Penulis pilih Sapta Darma, karena penulis anggap paling dapat mewakili ajaran kebatinan. Sapta Darma adalah salah satu aliran terbesar yang ada di Indonesia dan aliran termuda, yang didirikan di Pare oleh Hardjosapoero yang mendapat 10 Harun Hadiwijono, Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), h. 102. 11 Abas Sambas, Konsepsi Wahyu dalam Ajaran Sapta Darma (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin Program Studi Perbandingan Agama, 2011), h. 1-3. 8 gelar Panutan Agung Sri Gutama, yang dianugerahkan langsung oleh Hyang Maha Kuasa. Nama Sapta Darma diambil dari bahasa Jawa; “Sapto” artinya tujuh dan “Darmo” artinya kewajiban suci. Jadi, Sapta Darma artinya tujuh kewajiban suci. Ajaran Sapta Darma diwahyukan kepada pendirinya pada tanggal 27 Desember 1952 pukul satu malam. Pada waktu itu dengan sekonyaong-konyong Hardjosapoero digerakkan seluruh tubuhnya dengan gerak yang sekarang dijadikan pedoman bagi persujudan Sapta Darma sambil mengucapkan segala kalimat yang sekarang juga dipergunakan pada upacara persujudan itu.12 Menurut Sri Pawenang S.H., yaitu pemimpin yang sekarang dari aliran Sapta Darma, segala istilah yang dipergunakan Sapta Darma adalah asli (original), karena didapatkan dari wahyu, bukan pengambilan dari sumber lain. Pada tanggal 27 Desember 1955 Hardjosapoero yang sementara itu sudah dapat gelar resi Brahmono dijejerkan (ditahbiskan) menjadi Sri Gutomo dengan disertai adanya hujan lebat semalam suntuk. Pada tanggal 19 Agustus 1956, gelar itu diperluas oleh Illahi dengan sebutan Panutan Agung, sehingga sebutan lengkapnya adalah Panutan Agung Sri Gutomo. Ada suatu keajaiban pada waktu jenazah Sri Gutomo dimandikan, matahari dilingkari oleh pelangi di atas jenazahnya. 12 Rolly Rahman, Konsepsi Sujud Dalam Ajaran Sapta Darma (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin Program Studi Perbandingan Agama, 2013), h. 4-5. 9 Intisari ajaran Sapta Darma seperti yang dijelaskan oleh Sri Pawenang di dalam buku kecil “Wewerah Agama Sapta Darma”13 adalah hendak menghayu-hayu bahagianya buwana, yang artinya akan membimbing manusia untuk mencapai suatu kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.14 Dalam Sapta Darma ada cara ibadah wajib satu kali dalam 24 jam yang dilakukan dengan sujud. Sujud dasar Sapta Darma ini terdiri dari tiga kali sujud.15 Hasil dari sujud Sapta Darma diantaranya adalah dapat bersatu dengan Tuhan.16 Manusia dapat bersatu dengan Tuhan karena Manusia dipandang sebagai suatu kombinasi dari roh dan benda. Roh, yaitu jiwa manusia, berasal daripada Allah. Roh itu adalah sinar cahaya Allah yang dipandang sebagai sama dengan hawa murni yang ada di sekitar dan di dalam manusia, yang memberikan hidup kepada manusia. Roh ini juga disebut Yang Maha Suci dan Roh Suci, yang dapat berhubungan dengan Allah yang Maha Kuasa.17 Kita beribadah kepadah Tuhan karena menurut ajaran Sapta Darma bahwa manusia hidup karena diberi hidup oleh Hyang Maha Kuasa berupa sinar cahaya Hyang Maha Kuasa yang menjadi getaran-getaran yang meliputi pribadi manusia. Segala sesuatu yang hidup diberi sinar ini dan tidak memakai perantara siapa pun. Panuntun Agung Sri Gutama hanyalah sebuah 13 Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), h. 28-29. Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan Jawa (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 233. 15 Rahnip, Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam Sorotan.(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 75. 16 Rahnip, Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam Sorotan, h. 77. 17 Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 31. 14 10 petunjuk jalan saja. Dalam ajaran Sapta Darma diyakini bahwa Tuhan adalah Zat yang mutlak pangkal segala sesuatu, serta pencipta segala yang ada.18 Tiap makhluk yang hidup diberi hidup oleh Allah. tetapi ada perbedaan antara manusia dan makhluk lainnya. Manusia diberi hidup yang sempurna sedemikian rupa hingga manusia memiliki nafsu, budi dan pikiran. Maka manusia adalah makhluk yang tertinggi dan ia berkewajiban bersujud kepada Allah Yang Maha Kuasa. Makhluk yang lebih rendah daripada manusia adalah binatang, yang diberi hidup yang kurang sempurna. Hal ini berarti bahwa binatang hanya diberi nafsu dan budi. Makhluk yang paling rendah dari semuanya adalah tumbuh-tumbuhan, karena hanya diberi hidup yang tidak sempurna.19 Sapta Darma termasuk aliran kebatinan yang sederhana. Oleh karenanya, maka ajarannya tentang Allah juga singkat sekali. Dalam pembicaraan tentang Allah, Sri Pawenang berkata: “Tuhan yang juga kami sebut Yang Maha Kuasa atau Allah atau Sang Hyang Widi ialah Zat mutlak yang Tritunggal, pangkal segala sesuatu, serta pencipta segala yang terjadi serta mempunyai 5 sifat keagungan mutlak, ialah: Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa (Maha Kuasa) dan Maha Langgeng (Maha Kekal).” Di sini disebutkan bahwa Allah adalah Zat yang Mutlak, pangkal segala sesuatu, serta pencipta segala yang terjadi. Jika kita mengingat akan sebutan: Zat yang Mutlak, pangkal segala sesuatu, kita mendapat kesan 18 Rolly Rahman, Konsepsi Sujud Dalam Ajaran Sapta Darma, h. 27. Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 32. 19 11 bahwa Tuhan adalah Yang Mutlak dalam arti falsafah, artinya bahwa Ia adalah Zat yang bebas dari pada segala hubungan, nisbah serta sebab-sebab. Tetapi jika mengingat akan tambahan: pencipta segala yang terjadi, kita mendapat kesan bahwa Tuhan itu berpribadi, artinya jika “Pendipta” itu diartikan sebagai yang menjadikan segala sesuatu tanpa bahan, bukan emanasi, pengaliran dari Tuhan. Tambahan selanjutnya, yang menyebutkan sifat Tuhan sebagai Yang Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wawesa dan Maha Langgeng, agaknya menjuruskan pemikiran kita ke arah pandangan tentang Tuhan seperti yang ada pada orang Islam dan Kristen. Sifat Tuhan yang Maha Agung diterangkan sebagai sifat Allah yang melebihi segala makhluk. Tidak ada yang menyemai Tuhan dalam kelurusan hati-Nya. Maha Rokhim berarti bahwa tidak ada yang menyamai-Nya dalam belas kasih-Nya. Maha Adil berarti bahwa tidak ada yang menyamai-Nya dalam keadilan-Nya. Maha Wawesa dan Langgeng berarti bahwa Tuhan adalah kekal dalam arti mutlak, tidak ada yang menyamai-Nya (tidak ada yang setara dengan-Nya).20 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka skripsi ini akan membatasi permasalahan tentang bagaimana perbandingan konsep ketuhanan Kristen dengan Sapta Darma? 20 Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 28. 12 C. Tujuan Penelitian Mengetahui konsep ketuhanan Kristen dan konsep ketuhanan Sapta Darma, serta memahami dan membuktikan bahwa memang ada persamaan antara konsep ketuhanan dalam Sapta Darma dengan Kristen. D. Manfaat Penelitian Ada beberapa manfaat yang ingin dicapai, diantaranya yaitu manfaat skripsi ini dapat memperkaya khazanah pengetahuan pembaca pada umumnya, khususnya memberikan dan membuka wawasan baru bagi para pelaku dan peneliti yang berkecimpung baik di bidang agama Kristen, Sapta Darma, aliran kepercayaan, kebudayaan, dan lain sebagainya. Serta khususnya lagi untuk menambah kepustakaan Ushuluddin. Selain itu manfaat lain yang ingin dicapai adalah skripsi ini dapat dijadikan rujukan bagi masyarakat pada umumnya dan pemerintahan khususnya, agar dapat lebih menghargai Sapta Darma dan beberapa aliran kepercayaan lainnya sebagai sebuah agama layaknya Kristen. E. Tinjauan Pustaka Ada beberapa kajian terdahulu yang membahas mengenai topik yang penulis ambil ini, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Diantaranya ada sebuah skripsi yang ditulis oleh dua mahasiswa program studi Perbandingan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu Abas Sambas, yang berjudul “Konsepsi Wahyu dalam Ajaran Sapta Darma” dan Rolly Rahman, yang berjudul “Konsepsi Sujud dalam Ajaran Sapta Darma.” 13 Dari skripsi tersebut, penulis dapat mengambil beberapa hasil dari penelitian yang mereka lakukan mengenai Sapta Darma dan mengolahnya kembali, serta lebih memfokuskan pembahasan kepada konsep ketuhanannya dan membandingkannya dengan kosep ketuhanan Kristen. F. Metode Penelitian Dalam rangka menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis diharapkan dapat menemukan beberapa data informasi dan menuliskannya dengan menggunakan metode deskriptif dan analitis. Deskriptif digunakan agar mampu memahami dan memberikan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang terkait dengan isi skripsi ini serta dapat menyusun skripsi ini dalam bentuk yang sistematis. Sedangkan analitis digunakan agar dapat memberikan pendapat-pendapat yang argumentatif perihal data-data yang penulis temukan. Selain itu, penulis juga menggunakan beberapa metode lainnya, yaitu studi kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian atas buku-buku bacaan, diktat-diktat, jurnal, majalah, artikel, surat kabar dan bahan-bahan informasi lainnya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Dengan menyatukan metode-metode tersebut, maka akan ditemukan penjelasan yang membuahkan pencerahan bagi para pembaca, dan dapat memberikan kesimpulan yang benar. 14 G. Sistematika Penulisan Dalam Penulisan skripsi ini, Penulis menggunakan buku Pedoman Akademik Program Strata 1 tahun 2012/2013 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tepatnya pada Bab Pedoman Penulisan Skripsi. BAB II KONSEP KETUHANAN KRISTEN A. Sejarah Kristen Sesuai dengan petunjuk sejarah, Yesus Kristus adalah pembawa agama Kristen. Ia lahir kurang lebih pada tahun ke-4 SM, tetapi sebagian ada yang berpendapat antara tahun 7-5 SM. Yesus Kristus berasal dari Nazaret. Ketika berumur kurang lebih 27 tahun, ia mulai mengajar di Galilea dan kemudian meluas di kalangan penduduk Palestina. Ia dipercayai membawa kabar gembira tentang penebusan dosa di samping memperbuat banyak mukjizat. Untuk kelanjutan ajaran yang dibawanya ia mengangkat 12 orang rasul. Satu tahun kemudian ia meninggal dunia di kayu salib pada 7 April 30 M. Ketika ia berusia kurang lebih 30-31 tahun, Yesus telah membentuk gereja di Yerussalem, yaitu ketika ia menunjuk Petrus, salah seorang muridnya yang dua belas, sebagai tempat ia mendirikan gereja. Dalam Injil Matius (16-18) disebutkan: “Dan aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.” Bahkan, Yesus mengangkat Petrus sebagai kepala Gereja yang tertinggi, sebagaimana diisyaratkan dalam Injil Yahya (21-17). Akan tetapi, sebenarnya “kelahiran Gereja” secara resmi diakui berdiri baru pada hari Pentakosta, yaitu pada hari kelimapuluh setelah kebangkitan Yesus Kristus dari kuburnya atau pada hari keempat puluh setelah kenaikan Yesus, yang kemudian duduk di sebelah kanan Allah Bapa. Pada hari 15 16 Pentakosta itu, Roh Kudus diyakini turun kepada para Rasul untuk memberikan semangat kepada mereka untuk menyampaikan kabar gembira tentang Yesus Kristus. Sebagaimana yang telah disinggung di atas, Pertuslah yang menjadi juru bicaranya. Berkat usaha para rasul tersebut, banyak orang Yahudi yang dipermandikan. Pada awal mulanya, jemaat Kristen terdiri dari orang-orang Yahudi. Merekalah yang disebut dengan jemaat Purba atau jemaat Yerussalem, atau ada pula yang menyebut mereka dengan jemaat Nazaret. Pada tahun 42 M, Petrus pindah ke Roma dan menjadi paus pertama. Petrus menjabat sebagai paus selama 25 tahun dan meninggal dunia pada tahun 67 M. Petrus adalah orang pertama dalam Gereja dan dianggap sebagai pemimpin jemaat induk di Yerussalem.1 Pada tahun 54-57 M diperkirakan agama Kristen sudah terorganisasi dengan baik di Roma, di mana Paulus dibawa sebagai tawanan pada tahun 60 M. Paulus adalah seorang rasul yang mempunyai peranan besar dalam penyiaran agama Kristen. Ia berasal dari Tartus di Sisilia, tetapi juga orang Yahudi, sebagaimana halnya Petrus. Pada mulanya ia menjadi penentang agama Kristen. Pada tahun 36 M, ia pergi ke Damaskus untuk mencari orangorang Kristen yang hendak ia siksa. Tetapi di depan pintu gerbang kota tersebut, konon Yesus menampakkan diri kepadanya sehingga ia jatuh pingsan. Dalam sejarah hidupnya, disebutkan bahwa ia menyiarkan agama 1 Mukti Ali (Ed). Agama–agama di Dunia. (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h.342-343. 17 Kristen karena mendapat wahyu dari Tuhan, sekalipun ia bukan murid Yesus dan belum pernah berjumpa dengannya. Paulus menyebarkan Kristen sampai ke Yunani dan Eropa. Ia membentuk jemaat gereja. Dia menempuh kebijaksanaan yakni pada setiap daerah yang ada kelompok Kristennya dia mengangkat seorang pemuka sebagai pemimpinnya, sementara dia sendiri sebagai koordinator atau kuasa uskup. Ketika berada di Korintus, Paulus mengirim surat ke Roma, dan ada petunjuk bahwa gereja-gereja di Yerussalem mengadakan kontak yang intensif dengan gereja Roma.2 Sementara itu, kelahiran Protestan banyak dipengaruhi oleh latar belakang perkembangan masyarakat Eropa Barat pada abad-abad menjelang kelahirannya, yaitu abad ke-16. Secara fundamental dan radikal terjadi pembaharuan masyarakat sesudah zaman pertengahan; dan mulailah zaman renaisans selama abad 15 sampai abad 16. Pertumbuhan individualisme dan humanisme merupakan faktor yang sangat penting, karena di satu pihak menimbulkan pertumbuhan-pertumbuhan kebudayaan bangsa Eropa, akan tetapi di lain pihak gereja yang mapan terkena akibatnya. Kemerosotan moral pada lapisan pimpinan mulai dari paus sampai raja-raja. Perpecahan pada tingkat kepausan terjadi, sebaliknya raja-raja mempunyai pengaruh yang lebih kuat, sehingga wibawa Paus menjadi merosot di benua Eropa. Rohaniawan telah kehilangan monopoli mereka dalam kehidupan masyarakat sehingga kehidupan gereja mendapatkan kritik-kritik yang 2 Ali (Ed). Agama–agama di Dunia, h.343-345. 18 mendasar di tengah-tengah nasyarakat luas. Pada puncaknya, ketika penyalahgunaan wewenang gereja merajalela tanpa memedulikan tanggung jawab mereka, yaitu dengan adanya penjualan surat indulgensia. Hal ini menimbulkan pertentangan, protes dan kejengkelan dari para anggota jemaat gereja di berbagai negara. Kondisi demikian dirasakan oleh Martin Luther sebagai titik tolak untuk memulai pembaharuan gereja. Luther adalah anggota ordo Agustin, suatu ordo yang sangat ketat dan keras di bawah pimpinan Johan Van Staupitz. Luther adalah seorang doktor teologia dari Universitas Wittenberg. Tugasnya sampai tahun 1517 adalah menafsirkan Alkitab meliputi Mazmur, Surat-surat Paulus kepada Jemaat Roma dan Galatia, dan surat kepada orangorang Ibrani. Melalui studinya terhadap Alkitab, ia merasakan penghayatannya terhadap Tuhan secara baru, sehingga corak keadaan yang dihadapi dalam kehidupan gereja tidak bisa tidak harus diubahnya. Luther menjadikan peristiwa penjualan surat-surat penghapusan dosa (indulgensia) sebagai pokok pembicaraan antara sarjana-sarjana teologi. Untuk itu ia merumuskan 95 dalil mengenai penghapusan siksa. Pada tahun 1517, dalil-dalil tersebut diperkenalkan dan ditempelkan pada dinding pintu gereja di Wittenberg. Sejak itu, gereja Roma Katolik menuduh Luther sebagai penyesat ajaran gereja.3 Dengan berbagai cara dan siasat, gereja Roma Katolik berusaha memadamkan gerakan dan ajaran Luther. Akan tetapi, ajaran-ajarannya 3 Ali (Ed). Agama–agama di Dunia, h. 383-385. 19 mendapatkan sambutan di mana-mana, sementara usaha memadamkan dan menghancurkannya tidak berhasil. Cara dan siasat gereja Roma Katolik tersebut antara lain berbentuk ancaman pengucilan. Akhirnya, pada tahun 1529, diadakan “Reichstag” (Rapat Negara) di Speyer, yang dihadiri oleh raja-raja yang terpengaruh oleh ajaran Luther. Sidang tersebut mengambil keputusan untuk mengapuskan Edicta Warms tahun 1926, dan mengeluarkan dektrit pelanggaran gerakan reformasi disertai pemberian kebebasan membuat misa kudus bagi gereja Katolik di daerah gereja Reformasi. Raja-raja yang pro Luther (Injili) membuat protes keras secara resmi. Dari tindakan protes itulah, lahir nama agama Protestan. Gerakan mereka juga melahirkan pembaharuan di Swiss yang dipelopori oleh Ulrich Zwingli, seorang pastor dari Einsedeln. Gerakan Protestan ini sebagai bagian dari reformasi gereja, kemudian lebih disempurnakan oleh Calvin di Prancis yang kemudian mengembangkan ajarannya di Swiss hingga meninggal pada tahun 1564.4 Di Indonesia, agama Kristen juga dimasukkan oleh kolonialisme Barat. Pengaruhnya masih dapat dilihat, misalnya Portugis yang berpengaruh kuat dalam perkembangan agama Katolik Romawi, dan Belanda (VOC) yang berpengaruh terhadap perkembangan agama Kristen Protestan. Perkembangan agama Kristen Protestan di Indonesia dapat dilihat dalam dua periode besar, yaitu periode VOC (1595-1799) dan periode sesudah VOC (1800 hingga sekarang). Pada tahun 1596 Belanda datang ke Indonesia, dan pada tahun 1602 didirikan VOC. Ambon adalah daerah 4 Ali (Ed). Agama–agama di Dunia, h. 385. 20 pertama yang diduduki oleh VOC, menyusul kemudian Minahasa dan Sangir. Daerah-daerah ini adalah bekas jajahan Portugis. Di daerah-daerah baru tersebut gereja Protestan mengalami kemajuan atas dukungan VOC. Semua pemeluk Katolik dipaksa untuk memeluk Protestan. Sekalipun demikian, jumlah pemeluk Protestan pada periode ini masih sedikit karena kebijakan VOC lebih ditekankan pada kepentingan perdagangan daripada kepentingan gereja. Pada tahun 1800 pemerintah Hindia Belanda mengambil alih kekuasaan VOC seraya tetap melanjutkan kebijaksanaan VOC di bidang gereja, sehingga gereja menjadi gereja negara. Langkah-langkah yang diambil pemerintah Hindia Belanda antara lain memelihara jemaat gereja Protestan Indonesia. Pendeta ditambah terus menerus. DI kota-kota besar diangkat pendeta-pendeta dari Eropa, dan guru-guru jemaat digaji oleh pemerintah. Pada abad ke-20, setelah organisasi gereja Protestan mengalami pembaharuan, yakni berupa dilepaskannya gereja dari negara, maka terbentuklah gereja-gereja lokal, milsanya gereja Kristen Maluku (1935), Gereja Kristen Indonesia Barat (1945), dan lainnya. Akibatnya, gereja menjadi berpuluh-puluh, yang tersebar di seluruh Indonesia. Maka, pada tahun 1950 didirikan organisasi Dewan Gereja Indonesia (DGI), yang kemudian pada tahun 1980-an diubah menjadi Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI).5 5 Ali (Ed). Agama–agama di Dunia, h. 402-403. 21 Organisasi ini tampaknya merupakan bagian dari upaya gereja seDunia dalam rangka memulihkan kesatuan yang telah dilaksanakan oleh Dewan Gereja-gereja se-Dunia sejak abad ke-19. Peristiwa pertama untuk melahirkan kesatuan gereja-gereja (disebut “oikumene”) terjadi dalam Konferensi Pekabaran Injil se-Dunia di Edinburg (1910). Konferensi ini merupakan titik tolak yang penting untuk gerekan oikumenis pada masa ini hingga lahirnya Dewan Gereja-gereja se-Dunia pada tahun 1948. Hingga dewasa ini, gerakan oikumenis telah mampu menyatukan 200 gereja lebih, yang meliputi gereja-gereja Protestan dan gereja-gereja Ortodoks Timur, termasuk juga Gereja Rusia Ortodoks. Gereja Katolik Romawi menolak gerekan ini, karena baginya “oikumene” adalah semata-mata takhluk pada Paus di Vatikan, bukan yang lain. Problema yang dihadapi gereja-gereja di Indonesia antara lain adalah: 1) Tentang keesaan gereja Di Indonesia banyak sekali organisasi gereja, baik yang besar maupun yang kecil, yang kaya maupun yang miskin, dengan perbedaan ajaran dan organisasi, sehingga dirasakan sebagai suatu persoalan yang perlu diwujudkan dengan keesaan gereja. 2) Banyaknya anggota yang dibaptis tanpa persiapan yang wajar. 3) Hubungan antara agama Kristen dan kebudayaan serta masyarakat Indonesia yang kurang erat.6 6 Ali (Ed). Agama–agama di Dunia, h. 403. 22 B. Konsep Ketuhanan Kristen 1. Permasalahan Konsep Trinitas Ajaran ketuhanan dalam agama Kristen termasuk gereja Roma Katolik adalah sebagaimana tercantum dalam Kredo Iman Rasuli, yaitu Trinitas/Tritunggal, yang terdiri dari Allah Bapa, Allah Putra dan Roh Kudus. Ketiga-tiganya adalah pribadi Allah dan ketiga-tiganya adalah Allah. Semuanya mahakudus, Mahasempurna, Mahatahu, Mahakuasa dan kekal. Oleh karena itu, ketiga-tiganya disembah dengan cara yang sama. Sekalipun terdiri dari tiga pribadi, namun hanya satu Allah, yang masing-masing memiliki suatu pengetahuan ilahi, satu kehendak ilahi, satu kehidupan ilahi, sehingga disebut dengan Tritunggal yang Mahakudus. Untuk dapat mengetahui rahasia ajaran Tritunggal tersebut, manusia memerlukan akal-ilahi yang justru tidak dimiliki oleh manusia. Manusia dapat mengetahui bahwa Allah terdiri dari tiga pribadi karena Yesus Kristus mewahyukan rahasia tersebut kepada manusia. Umat Kristen pada umumnya bersyukur kepada Allah Tritunggal karena Allah Putra telah menebus dosa manusia, dan karena Roh Kudus telah mensucikan manusia.7 Namun, sebagaimana yang telah kita singgung di dalam latar belakang skripsi ini, bahwa pemahaman konsep ketuhanan dalam Kristen tidak hanya Trinitas, tetapi ada juga umat Kristiani yang memercayai bahwa Tuhan mereka adalah satu, bukan tiga.8 Maksudnya ialah, ada beberapa sekte Kristen yang tidak mempercayai, bahwa Yesus bukan bagian dari trinitas. Di mana, 7 Ali (Ed). Agama–agama di Dunia, h. 362. Iwan Taunuzi, Monoteisme Kriten dalam Perdebatan: Mengurai Doktrin Ketuhanan menurut Jamaat Allah Global Indonesia (JAGI) Semarang, h. 52. 8 23 Yesus hanyalah seorang Nabi dan Rasul, yang di utus oleh Allah untuk bangsa Israel. Kodrat Yesus terpisah dari kodrat Allah, hal ini yang dipercayai oleh Saksi Yehuwa. Pertama-tama, penting untuk dicatat bahwa ajaran tentang Trinitas tidak berasal dari sumber-sumber non-Kristen sebagaimana disangkakan orang pada masa lampau.9 Dalam hal ini masih terjadi perdebatan, antara Kristen yang pro terhadap trinitas dan Kristen yang kontra terhadap trinitas. Bagi yang pro, mereka mengklaim bahwa trinitas berdasarkan Alkitab, sedangkan yang kontra, berpendapat bahwa landasan trinitas tidak ada dalam Alkitab. Perhatian utamanya adalah untuk memlihara monoteisme dalam Kekristenan. Kaum Monarkis berpendapat bahwa masalah itu dapat diselesaikan dengan memahami keilahian Anak sebagai yang sekedar dijabarkan, atau dengan melihat dalam Anak hanya sebagai sekedar mode atau cara penampilan Bapa. Selain itu, ada juga sistem gnostik yang berkembang di abad ke-2 M, yang juga mempengaruhi pembentukan ajaran gereja menganai Trinitas. Adalah benar kalau dikatakan bahwa kaum gnostik10 tidak memperkembangkan ajaran mereka sendiri mengenai Trinitas. Yang mereka lakukan adalah mencakupkan Allah Bapa, Allah Anak, dan Roh Kudus di 9 Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1963), h. 46. 10 Gnostik adalah sebuah aliran (agama) yang meyakini gnosis (pengetahuan) sebagai satusatunya jalan keselamatan. Untuk memahami ketuhanan, kaum gnostik mempelajarinya sendiri tanpa bantuan atau perantara rabbi, pendeta, uskup, imam atau pemimpin agama yang lain. (https://deuteronomi.wordpress.com/tentang-gnostik/) 24 antara aeon-aeon mereka yang banyak. Menurut sistem gnostik, Kristus hanyalah mempunyai satu tubuh maya dalam dunia ini, yang Ia tinggalkan lagi sebelum penyaliban-Nya. Karena itu bukan Kristus, Anak Allah itu yang mati, tetapi hanya seorang manusia Yesus. Menjelang akhir abad ke-2 M, suatu penjelasan yang lebih besar diperkenalkan ke dalam ajaran tentang Allah. Diantara tokoh-tokohnya adalah sebagai berikut: a) Irenaeus Ireneus adalah Uskup Lyons. Dalam pembicaraannya mengenai Allah ada dua segi dasar yang menonjol. 1) ia berkata-kata tentang keberadaan Allah yang bersifat batiniah, dan 2) tentang penyingkapan Allah yang besifat progresif dalam sejarah keselamatan (Heilsgshichte). Ireneus menekankan begitu kuat tentang keesaan Allah. Anak dan Roh itu hanya sekedar penampilan-penampilan dari satu Allah. Dengan cara ini Irenaeus berharap untuk menghindari setiap ungkapan yang bersifat pluralisits dengan pengacuan terhadap Allah. Irenaeus memiliki pendapat yang sama dengan kaum apologis dari gereja purba, khususnya Theofilus dari Antiokhia, ketika ia mengajarkan bahwa Allah sejak dari kekal telah bersama-sama dengan Firman dan Hikmat-Nya. Inilah yang disebut hypostasis. Ia melahirkan Firman dan Hikmat-Nya sebelum segala sesuatu dijadikan. Anak dildahirkan sebelum adanya waktu. Iranaeus menolak 25 setiap spekulasi yang mencoba untuk menembus misteri mengenai kelahiran Anak ini.11 b) Tertullianus Tertullianus hidup di Kartago dan seorang teolog gereja yang pertama menulis dalam bahasa Latin. Ia mengungkapkan hal serupa dengan Irenaeus mengenai ajaran tentang Allah.Ia berkata bahwa tiga pribadi ada dalam satu substansi, namun tetaplah hanya ada satu Allah. Tetapi bagi sejarah keselamatan, terdapatlah perbedaan yang bersisi tiga dari kesatuan itu. Dalam suatu pernyataan yang diformulasikan dengan ketepatan yang akurat Tertullianus berkata bahwa pribadi-pribadi itu dibedakan bukan dalam kondisi, tetapi dalam derajat; bukan dalam substansi, tetapi dalam bentuk; bukan dalam kuasa, tetapi dalam aspek. c) Origenes (w. 254 M) Ajaran Origenes mengenai Trinitas sama seperti Irenaeus dan Tertullianus, ia memberikan tekanan besar pada keesaan Allah. Origenes berpendapat, oleh karena Allah Bapa itu adalah sempurna dalam kebaikan dan kuasa-Nya, maka Ia mestinya senantiasa telah mempunyai sasaransasaran bagaimana melaksanakan kebaikan dan kuasa. Atas dasar praanggapan ini Origines mengajarkan ajaran yang meingatkan kita pada sistem-sistem gnostik tertentu, yaitu bahwa sebelum penciptaan kosmos, Allah telah lebih dulu menciptakan suatu dunia yang terdiri dari makhlukmakhluk spiritual yang sedari kekal bersama-sama dengan Dia. 11 Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, h. 51-55. 26 Dunia sejarah diciptakan Allah hanyalah pada saat dunia makhlukmakhluk spiritual itu jatuh. Selanjutnya makhluk-makhluk kekal ini sejak semula telah tunduk kepada Allah Bapa. Dengan demikian, seorang perantara antara kesatuan mutlak Allah dengan keberagaman makhluk itu dibutuhkan. Perantara tersebut adalah Anak.12 d) Arius (w. 336 M) Arius berasal dari Mazhab Lucian Antiokhia. Perhatian utama Arius adalah pkeunikan dan transendensi Allah. Anak adalah suatu ciptaan yang sempurna, tetapi Ia bukanlah ciptaan lainnya. Kesatuan Bapa dan Anak secara substansial tidak lah ada. Bagi Arius, ini merupakan bidat terburuk. Namun, Allah itu tidaklah senantiasa sebagai Bapa, ada saatnya Dia sendirian dan belum merupakan Bapa. Terhadap Anak juga tidak dapat diterapkan kata kekekalan seperti halnya terhadap Bapa. Memang Anak itu dapat saja dipanggil Allah, namun keillahian-Nya bukanlah merupakan atribut terhadap keberadaan-Nya. Hal itu hanyalah sesuatu yang dilimpahkan kepada-Nya oleh anugerah Allah.13 Selain tokoh-tokoh di atas, masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya yang masing-masing dari mereka memiliki banyak pertentangan pendapat, sampai akhirnya diadakan Konsili-konsili hampir selama lima dasawarsa. Bahkan sampai di zaman modern ini pun masih terdapat perbedaan pendapat dari masing-masing gereja maupun tokoh perseorangan, diantaranya penulis ambil Harun Hadiwijono. 12 Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, h. 51-55. Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, h. 55-59. 13 27 Harun Hadiwijono memiliki penafsiran yang sedikit berbeda terhadap kata “esa”. Di dalam Perjanjian Baru, kata “esa” atau “satu” tidak menekankan kepada angka satu secara tematik. Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, senantiasa mementingkan konsekuensi dari penyembahan kepada satu-satunya yang boleh disebut Allah. Penyembahan kepada Allah yang satu-satunya itu membawa konsekuensi secaraetis. Misalnya, kepada pemuda yang kaya, pemuda yang merasa telah memenuhi segala hukum Allah, Tuhan Yesus berkata: “Masih tinggal satu hal lagi yang harus kau lakukan, juallah segala yang kau miliki dan bagi-bagikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di Sorga, kemudian datanglah ke sini dan ikutlah bersama-Ku.” Yang dimaksud Tuhan Yesus ialah bahwa jika pemuda tersebut sungguh-sungguh mengasihi Allah, ia harus mengasihi-Nya dengan seluruh eksistensinya, dengan seluruh miliknya, bahkan jika perlu semua ynga menjadi miliknya harus dapat dipersembahkan kepada Allah. Tuntunan yang demikian itu juga dikemukakan Tuhan Yesus kepada Marta, saudara Maria: “Marta, Marta, engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu, Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil daripadanya.” (Luk. 10:41-42). Marta masih memikirkan banyak sekali perkara, tetapi belum juga menyerahkan dirinya, atau belum menyerahkan seluruh eksistensinya kepada Tuhan. Di sekitar Kristus dan di sekitar Allah, hanya ada satu hal saja yang perlu, yaitu kasih 28 yang sedalam-dalamnya, yang dinyatakan dengan seluruh eksistensi atau seluruh kehidupan manusia. Di dalam Perjanjian Baru, hal ini semua mendapat arti yang jauh mendalam lagi. Sebab satu-satunya Allah yang benar-benar Allah itu ternyata telah memberikan kesempurnaan kasih-Nya di dalam firman dan karya-Nya, yaitu di dalam mengutus anak-Nya yang Tunggal, Yesus Kristus. Maka konsekuensi etis dari penyembahan kepada Allah yang benar-benar Allah tadi, bagi hidup bersama ialah, bahwa orang beriman harus sehati dan sejiwa (Kis. 4:32; Flp. 2:2,3; dll).14 Menurut Kitab Suci, percaya bahwa hanya ada Allah satu memang baik sekali. Tetapi jika hanya berhenti di situ saja, jauh belum mencukupi. Pengakuan bahwa Allah adalah satu atau esa membawa konsekuensi. Di Yak. 2:19 disebutkan: “Engkau percaya bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik ! Tetapi setan juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” Yang penting ialah menaati perintah Allah, yaitu mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap kekuatan, serta mengasihi sesama seperti mengasihi diri kita sendiri. Lahir dan batin hidup manusia harus dipersembahkan kepada Allah dan kepada sesamanya. Allah yang satu-satunya itu di dalam Kitab Suci memperkenalkan diriNya kepada umat-Nya sebagai Allah yang Mahakuasa, yang Mahakudus, yang Mahaadil dan sebagainya, tetapi juga memperkenalkan diri-Nya sebagai Bapa, sebagai Anak dan sebagai Roh Kudus. 14 Hadiwijono, Inilah Sahadatku, h. 197-198. 29 Sejak semula, harus kita pegang teguh, bahwa jika kita mengakui bahwa Allah yang satu-satunya itu memperkenalkan diri-Nya sebagai yang Mahakuasa, yang Mahakudus, dan yang Mahaadil, umpamanya kita tidak bermaksud mengakui bahwa ada tiga Allah yang lebih. Demikian juga halnya dengan pengakuan bahwa Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Bapa, sebagai Anak dan sebagai Roh Kudus. Dengan pengakuan itu, kita tidak bermaksud mengakui bahwa ada tiga Allah.15 Supaya lebih jelas, kita harus mengingat kembali apa yang telah diuraikan mengenai kedudukan Allah sebagai Bapa, Kristus sebagai Anak, dan Roh Kudus. Di sini kita akan merangkumkan apa yang telah dikemukakan mengenai semuanya itu. 1. Pertama-tama harus dikemukakan bahwa pengertian Bapa, Anak dan Roh Kudus harus diartikan secara dinamis, artinya bahwa kedudukan sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus itu diungkapkan di dalam firman dan karyakarya Allah, dengan Allah membuktikan kepada umat-Nya, bahwa Ia adalah Sekutu umat-Nya. 2. Allah disebut Bapa Israel, sebab Dialah yang menciptakan Israel, yang menyebabkan Israel dapat hidup sebagai bangsa (Ul. 32:6; Yes. 64:8), dan Dialah yang telah memilih Israel untuk menjadi sekutu-Nya, dan karena Dialah yang telah mengangkat Israel menjadi Anak-Nya. Dengan nama Bapa itu Allah memperkenalkan kepada Israel bahwa Ia adalah Penciptanya dan Pemeliharanya. 15 Hadiwijono, Inilah Sahadatku, h. 198-199. 30 Di dalam Perjanjian Baru, Allah disebut Bapa orang beriman, dalam arti yang sama dengan di dalam Perjanjian Lama. Hanya harus ditambahkan bahwa Allah menjadi Bapa orang beriman itu karena karya penyelamatan Kristus.16 Dalam Perjanjian Lama, untuk mendapatkan tebusan dosa, mereka biasa menyembelih hewan yang darahnya di aliri, sedangkan di dalam Perjanjian Baru, penebusan dosa harus melalui Yesus, karena Yesus sendiri, lebih dari penebus dosa, yaitu sebagai penyelamat. Kristus sebagai Penyelamat umat-Nya menyebut Allah juga Bapa. Akan tetapi kedudukan Allah sebagai Bapa Kristus berbeda sekali dengan kedudukan Allah sebagai Bapa orang beriman, sebab di antara Allah sebagai Bapa dan Kristus sebagai Anak Allah ada hubungan yang erat sekali. Di Yoh. 10:30 disebutkan bahwa Kristus dan Bapa adalah satu. Akan tetapi kesatuan itu diungkapkan di dalam firman dan karya-Nya. Apa yang difirmankan Kristus diterima-Nya dari Allah sebagai Bapa-Nya (Yoh. 14:24) dan yang diajarkan oleh Bapa kepada-Nya (Yoh. 8:28). Apa yang dikerjakan Kristus adalah apa yang dikerjakan Allah sebagai Bapa (Yoh. 5:19; 8:28; 10:32; 17:4). Demikianlah kebapaan Allah terhadap Kristus, adalah kebapan yang dibuktikan di dalam firman dan karya-Nya. Kesatuan Allah sebagai Bapa dengan Kristus sebagai Anak-Nya adalah kesatuan dalam firman dan karyaNya. 16 Hadiwijono, Inilah Sahadatku, h. 199-200. 31 3. Di dalam Perjanjian Lama, sebutan anak Allah dikenakan kepada Israel karena Israel adalah sekutu Allah. Oleh karena itu, Israel sebagai anak Allah atau sebagai sekutu Allah harus menampakkan hidup Ilahi di dalam hidupnya. Hal itu hanya dapat dilaksanakan jika Israel menaati segala perintah Allah. Sebagai anak Allah, Israel harus mempersembahkan seluruh hidupnya bagi Allah, Bapanya. Di dalam Perjanjian Baru, orang beriman diangkat menjadi anak Allah (Yoh. 3:16) atau Anak Allah sendiri (Rm. 8:3). Seperti yang telah dikemukakan di atas mengenai Allah sebagai Bapa Kristus, kedudukan Kristus sebagai Anak erat sekali antara Kristus dan Allah, hubungan yang begitu erat, sehingga keduanya disebut satu. “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh. 10:30). Tetapi juga di sini kesatuan itu adalah kesatuan dalam firman dan karya-Nya17 Jadi, baik kedudukan sebagai Bapa maupun kedudukan sebagai Anak, keduanya diuangkapkan dalam firman dan karya, keduanya bersifat dinamis bukan statis. Jika Kristus disebut Anak Allah yang sejati, hal ini disebabkan karena Dialah yang dapat menunaikan tugas menjadi Anak Allah, yaitu mencerminkan hidup Ilahi di dalam hidup-Nya, dengan menaati segala perintah Allah. Adam gagal, begitu juga dengan Israel. “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaanNya.” Demikian pernyataan Tuhan Yesus (Yoh. 4:34). Ketaatan kepada kehendak Allah sebagai Bapa-Nya itu dilakukan sedemikian rupa hingga Ia 17 Keterangan tentang Allah sebagai Bapa Kristus diantaranya ada di Yoh. 14:24; 8: 28; 5:19; 10:25,32; 17:4). 32 mati di kayu salib. Di Flp. 2:8 disebutkan bahwa dalam keadaan sebagai manusia Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan hingga Ia mati di kayu salib. Sebagai Anak Allah yang sejati, Kristus adalah Sekutu Allah yang sejati, sebab Dialah yang memenuhi secara sempurna fungsi “menjadi sekutu Allah.”18 Hal ini dapat dijelaskan lebih mudah dengan perumpamaan sebagai berikkut: A membenci B, dan bermaksud membunuhnya. Tetapi A tidak melaksanakannya secara langsung, ia memperalat C. Akhirnya C lah yang membunuh B. Maka, C adalah alat pelaksana kehendak A, yang pada hakikatnya di dalam diri C itu A sendirilah yang membunuh B. Perumapamaan di atas sekarang kita terapkan pada karya penyelamatan Allah terhadap umat-Nya. Ia memakai alat Tuhan Yesus. Karya penyelamatan Kristus itu menampakkan isi Tuhan Allah, yaitu sebagai penyelamat umat-Nya. Atau dapat dikatakan bahwa di dalam karya penyelamatan Kristus itu tampak kebapaan Allah terhadap umat-Nya. Itu sebabnya dalam Yoh. 14:9 Tuhan Yesus dapat berkata: “Barang siapa yang telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa.” Itulah juga sebabnya Tuhan Yesus disebut bayang-bayang Allah (Kol. 1:14,15), atau zat Allah yang kelihatan (Ibr. 1:1) atau gambar Allah. Menjadi gambar Allah menurut Alkitab berarti terpanggil untuk mencerminkan hidup ilahi di dalam hidupnya. Tugas sebagai gambar Allah sama dengan tugas menjadi anak Allah, yaitu menceminkan 18 Hadiwijono, Inilah Sahadatku, h. 197-202. 33 hidup Bapanya. Hal ini hanya dapat terlaksana jika anak menaati kehendak Bapanya. Sebagai Anak Allah, Tuhan Yesus adalah gambar Allah yang di dalam hidupnya menampakkan hidup ilahi secara sempurna, yaitu bahwa Tuhan Allah adalah sekutu umat-Nya atau penyelamat umat-Nya. Oleh karena di dalam karya Tuhan Yesus itu Tuhan Allah sendiri yang datang berbuat, maka Kristus selain disebut Anak Allah juga disebut Allah, dan sebagainya. Maka, dapat dikatakan bahwa Tuhan Allah adalah Bapa di dalam karya-Nya sebagai sekutu umat-Nya, serta mengambil inisiatif atau prakarsa untuk menyelamatkan umat-Nya, serta memanggil umat-Nya untuk menjadi sekutu-Nya dengan hidup sebagai anak-anak-Nya. Tuhan Yesus adalah Anak Allah di dalam karya-Nya untuk merealisasikan hakikat Tuhan Allah sebagai sekutu umat-Nya, yaitu menyelamatkan umat-Nya. Di dalam Yesus Kristus itu Tuhan Allah sendiri berbuat. Di dalam Yesus Kristus itu Tuhan Allah sendiri betindak sebagai Anak Allah, yaitu menampakkan karya penyelamatan Allah.19 Demikianlah di dalam diri Kristus dipenuhi fungsi Allah sebagai “Sekutu Allah.” Jelaslah bahwa di dalam diri Kristus itu Allah sendiri datang untuk menyelamatkan umat-Nya. Di dalam diri Kristus, yang adalah Anak Allah, Allah berfungsi sebagai Anak yang menyelamatkan. 4. Mengenai Roh Kudus telah ditunjukkan bahwa Roh Kudus adalah nafas Allah atas hidup Ilahi, yang juga dinyatakan di dalam firman dan karya 19 Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), h. 147-148. 34 Allah yang dinamis. Roh inilah daya pencipta Allah yang menampakkan diri sebagai daya hidup firman yang menciptakan (Mzm. 33:6). Roh ini jugalah yang menjadikan orang diperbaharui hidupnya. Demikianlah menurut Perjanjian Lama, Roh Allah adalah Allah sendiri sebagai daya hidup yang dinamis, yang menciptakan, baik di bidang jasmani maupun di bidang rohani. Juga di dalam Perjanjian Baru, Roh Kudus adalah daya hidup Ilahi yang menghidupkan. Hanya saja, di dalam Perjanjian Baru, karya Allah yang menghidupkan juga dihubungkan dengan diri Kristus. Di dalam Kristuslah Allah menjadi Roh yang menghidupkan. Hal ini tampak dari pembicaraan Tuhan Yesus dengan seorang perempuan Samaria (Yoh. 4:24).20 Di Yes. 11:2, disebutkan bahwa Roh Tuhan akan ada pada Mesias sebagai Hamba Tuhan, yaitu roh hikmat dan pengertian, roh nasihat dan keperkasaan, roh pengenalan dan takut akan Tuhan. Demikianlah, di dalam diri Mesias telah terangkum seluruh umat Allah. Itulah sebabnya karya Kristus sebagai Anak Allah berlaku bagi umat-Nya, sebab Ia mewakili umatNya di dalam segala karya-Nya.21 Karya Kristus yang dilakukan atas nama Allah Bapa adalah karya Allah Bapa sendiri di dalam penyelamatan-Nya itu dapat juga dipandang sebagai pelaksanaan Roh atau kekuatan Ilahi yang dinamis di dalam menyelamatkan umat-Nya. Dengan demikian, ada hubungan yang erat sekali antara karya Kristus sebagai Anak Allah atau sebagai pelaksana karya 20 Hadiwijono, Inilah Sahadatku, h. 202-203. Hadiwijono, Inilah Sahadatku, h. 202-203. 21 35 penyelamatan Allah sebagai Bapa, dengan karya Roh Kudus sebagai kekuatan Ilahi atau sebagai daya Ilahi. Hubungan itu sedemikian eratnya, hingga Roh Kudus juga disebut Roh Kristus (1 Ptr. 1:11). Kristus mendatangi para orang milik-Nya di dalam Roh (Yoh. 14:18; Mat. 28:20). Demikianlah Kitab Suci menyamakan Roh Kudus dengan Kristus. Di 2 Kor. 3:17 disebutkan bahwa Tuhan (yaitu Kristus yang telah dimuliakan) adalah Roh, dan di mana ada Roh Allah di situ ada kemerdekaan. Hal ini cocok juga dengan Mzm. 33:6 di mana Firman Allah diidentikkan dengan Roh-Nya. Berdasarkan hal itu, maka dapat dikatakan bahwa di dalam Roh Kudus itu Tuhan Yesus Kristus hadir dan berbuat. Telah dikemukakan bahwa Anak adalah Allah dalam karya penyelamatan-Nya, sedangkan Roh Kudus adalah Anak dalam karya-Nya menjadikan orang beriman menikmati hasil karya penyelamatan Kristus. Berdasarkan hal ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Allah memperkenalkan diri sebagai Bapa dalam karya penciptaan dan pemeliharaan-Nya. 2) Allah memperkenalkan diri sebagai Anak dalam karya penyelamatannNya. 3) Allah memperkenalkan diri sebagai Roh Kudus dalam karya-Nya untuk menjadikan orang beriman menikmati membebaskan umat-Nya.22 22 Hadiwijono, Inilah Sahadatku, h. 203-204. karya penyelamatan-Nya 36 Demikianlah Allah adalah Bapa, Anak dan Roh Kudus dalam karyaNya sebagai Pencipta, Penyelamat dan Pembebas umat-Nya. Dengan karyakarya-Nya ini Allah yang satu-satunya Allah itu membuktikan diri-Nya sebagai sekutu umat-Nya. Allah adalah esa, dalam arti bahwa tiada Allah yang lain kecuali Tuhan, sebab tiada Allah yang seperti Tuhan, yang karena kasih karunia-Nya telah sanggup menyelamatkan manusia dari dosa, menyelamatkan anak-Nya yang memberontak itu, hingga sampai kepada kesempurnaan.23 2. Sifat-sifat Utama Tuhan Allah a. Tuhan Allah adalah Esa Sifat Tuhan Allah Yang Mahaesa tidak perlu penulis bahas lagi, karena dalam pembahasan mengenai trinitas di atas telah dijelaskan secara panjang lebar. b. Tuhan Allah adalah Mahatinggi Di Mzm. 2:4 disebutkan bahwa Tuhan bersemayam di Sorga. Ungkapan ini pertama-tama menunjukkan bahwa Tuhan Allah tersembunyi bagi manusia, sebab Sorga disebut “tinggi sekali” atau “jauh dari bumi” (Ayb. 22:12; Mzm. 103:11). Tuhan disebutka bersemayam di Sorga menunjukkan pada adanya jarak antara Allah dan manusia, karena jauhnya, hingga manusia tidak dapat melihat Tuhan. Tuhan Allah adalah tinggi, bukan karena Ia gaib dalam arti taidak berjasad (berupa Roh, bukan benda), juga bukan karena tabiat ilahi-Nya 23 Hadiwijono, Inilah Sahadatku, h. 204. 37 atau ketuhanan-Nya tidak mungkin ditembus oleh akal manusia. Sebab, jika Israel bersaksi akan ketinggian Allah itu bukan karena ia berspekulasi tentang Allah, bukan karena Israel berpikir dengan memakai hukum akal, melainkan karena Israel mengenal Allahnya dari Firman dan karya-Nya. Kepada Israel senantiasa ditekankan bahwa Allah berbeda dengan manusia. Tuhan Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Yang tersembunyi, karena Tuhan Allah tidak menghendaki Israel terlalu dekat dengan Tuhan-Nya seperti yang terjadi di antara orang kafir dengan dewa-dewanya. Jarak di antara Allah dengan manusia harus tetap dipelihara, karena Tuhan bukanlah manusia. Inilah juga sebabnya di Horeb, ketika Tuhan Allah memperkenalkan nama-Nya kepada Musa, Ia menyebut nama-Nya bukan dengan bentuk kata nama benda, melainkan dengan bentuk kata kerja, “Aku berada dengan berbuat.” Tuhan tidak menghendaki nama-Nya disalahgunakan oleh Israel seperti halnya dengan nama dewa-dewa yang dijadikan mantera oleh pengikut-pengikut-Nya. Tuhan Allah adalah Mahatinggi bukan hanya menunjukkan perbedaan-Nya dengan manusia, melainkan juga kasih-Nya, sebab Tuhan Allah jauh lebih tinggi daripada manusia, dan lebih mulia. Di dalam Mzm. 2 dikatakan bahwa Ia tertawa atau menertawakan segala perbuatan manusia yang memberontak kepada-Nya, dan mengolok-olok mereka. “Dia yang bersemayam di Sorga, tertawa; Tuhan mengolok-olok mereka,” (Mzm. 2:4). Jadi, Tuhan mahatinggi dan Mahamulia berarti bahwa Ia memiliki segala kekuasaan yang mutlak atas segala kejadian di dunia ini, 38 bahwa Ia sebagai Raja di Raja bersemayam di atas singgasana-Nya, dengan nyata-nyata memerintah umat-Nya dan segala makhluk di bumi.24 Hakikat Allah yang Mahatinggi dan Mahamulia itu mengungkapkan karya-Nya atas dunia ini. Dan karya itu ditujukan untuk keselamatan umat-Nya. Tuhan menertawakan mereka yang memusuhi umat-Nya. Maka, nyatalah bahwakemahatinggian-Nya itu dipakai untuk menyatakan kasih-Nya kepada umat-Nya. Bahkan ini tampak terlihat lebih jelas lagi di dalam Perjanjian Baru, sebab di dalam Kristus yang Mahatinggi itu sudah menghampakan Diri-Nya menjadi sama dengan manusia demi keselamatan manusia (Fil. 2:6-11). Itulah sebabnya ketika Kristus dilahirkan para malaikat memuji, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.” (Luk. 2:14) c. Tuhan Allah adalah Kudus Menurut Alkitab, Tuhan Allah adalah kudus. Ini bukan hasil pemikiran (akal ) manusia, melainkan karena pengalaman Israel di dalam pergaulannya dengan Allah. Kata kudus berasal dari pokok kata Ibrani, yang berarti memisahkan. Jika Tuhan Allah disebut kudus, hal ini berarti bahwa Ia dipisahkan dari segala yang dosa. Oleh karena itu, maka di 1 Sam. 2:2 disebutkan: “Tidak ada yang kudus seperti Tuhan, sebab tidak ada yang lain kecuali Engkau.” 24 Harun Hadiwijono, Apa dan Siapa Tuhan Allah. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974), h. 40-41. 39 Jadi, kekudusan Tuhan Allah pertama-tama menunjukkan akan perbedaan-Nya dengan manusia. Tuhan bukan manusia, Ia jauh lebih tinggi dari manusia, serta terpisah dari manusia yang yang berdosa. Tetapi kelainan Tuhan yang disebabkan karena kekudusan-Nya itu tampak di dalam Firman dan karya-Nya, di dalam pergaulan-Nya dengan umat-Nya di dalam sejarah. Dari segaka Firman dan karya-Nya tampaklah bahwa Allah tidak dapat bersekutu dengan yang dosa.25 Dari yes. 57:15 kita dapat mengetahui bahwa kekudusan Tuhan Allah dihubungkan dengan kemahatinggian-Nya, sebab di situ disebutkan bahwa Tuhan adalah Yang Mahatinggi dan Yang Mahamulia dan Yang Mahakudus nama-Nya (Bnd. Yes. 6:2). Meskipun demikian, hakikat Allah yang kudus itu bukan hanya menunjukkan bahwa Ia terpisah dari manusia yang bedosa, tetapi kekudusan Tuhan Allah itu justru menjadi jalannya Israel mendapat keselamatan. Dari Kitab Hosea umpamanya, kita dapat mengetahui bagaimana Israel pada waktu itu menghinakan kekudusan Tuhannya dengan menyeret diri ke dalam upacara-upacara kebaktian bangsa kafir (Hos. 14:1 dbr). Oleh karena itu Israek dihukum oleh Tuhan.26 Akan tetapi Tuhan yang sudah menghukum Israel itu akan menyembuhkannya lagi dengan alasan: “Hati-Ku berbalik dalam diri-Ku, belas kasihan-Ku berbalik serentak. Aku tidak akan melaksanakan murkaKu yang menyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efraim kembali. 25 Hadiwijono, Apa dan Siapa Tuhan Allah, h. 41. Hadiwijono, Apa dan Siapa Tuhan Allah, h. 41-42. 26 40 Sebab aku ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengahtengahmu, dan Aku tidak datang untuk menghanguskan.” (Hos. 11:8,9). Ancaman hukuman Allah di sini diganti dengan pernyataan yang mengharukan akan kasih Tuhan Allah terhadap Israel. Tuhan tidak akan dapat membinasakan Israel karena kasih-Nya akan bangsa itu. Kasih ini menahan Tuhan Allah untuk mencurahkan muraka-Nya secara sempurna. Tidak dapat disangkal bahwa hukuman Tuhan benar-benar mendatangi Israel, tetapi tidak sampai menghanguskannya. Sebabnya ialah: “Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia.” Ia adalah Yang Kudus di tengahtengah Israel. Sebagai Yang Kudus, Tuhan Allah berlainan sekali jika dibandingkan dengan manusia yang berdosa. Manusia di dalam murkanya sering tidak mengenal kasihan, sering ia hanya terseret oleh nafsunya saja. Akan tetapi Tuhan Allah bukan manusia, oleh karena itu Tuhan dapat berbuat yang berlainan sekali dari perbuatan manusia. Di dalam kemurkaan-Nya, Ia tidak terseret oleh daya-daya dosa. Di dalam murkaNya, Tuhan juga ingat akan kasih-Nya. Demikianlah hakikat Tuhan Allah yang mengungkapkan kekudusan-Nya itu menjadi jaminan akan perjanjian-Nya dengan umatNya. Justru karena Tuhan itu kudus Ia akan tetap menjadi Sekutu umatNya, dan akan mencari keselamatan umat-Nya. (Bnd. Yes. 41:14; 43:3; 49:7). Kasih Tuhan yang diungkapkan di dalam kekudusan-Nya tampak dengan jelas di dalam hal bahwa Yang Kudus itu didosakan (dijadikan 41 dosa). Di dalam korban Kristus, kalam yang menjadi manusia, keadilan dan kebaikan, kekudusan dan belaskasihan Tuhan dijadikan satu. Pengungkapan yang termulia dari kekudusan Allah ialah b ahwa Tuhan membenarkan orang durhaka (Rm. 4:5; 1:17; Mzm. 97:11, 12).27 d. Tuhan Allah adalah Kekal Di Kej. 21:33 disebutkan bahwa di Bersyeba Abraham mamnggil nama Tuhan Allah Yang Kekal. Menurut Alkitab, ungkapan “kekal” menunjukkan kepada waktu yang panjang, sejak dahulu hingga sekarang dan sampai selama-lamanya. Hal ini terlihat jelas dari Ul. 33:27 yang menyebutkan bahwa sudah dari dahulu (kekal) Allah adalah perlindungan Israel. Dan juga dari Kej. 9:16 yang menyebutkan bahwa Tuhan allah akan mengingat janji-Nya yang kekal (tanpa akhir) antara Allah dan segala makhluk yang hidup yang ada di bumi. Oleh karena itu di Yes. 44:6 disebutkan bahwa Tuhan Allah adalah yang terdahulu dan yang terkemudian, dan bahwa tiada Allah lain kecuali Tuhan. Di Why. 1:8 juga disebutkan bahwa Tuhan adalah Alfa dan Omega, yang ada dan yang sudah ada, dan yang akan datang. Akan tetapi harus diingat bahwa Tuhan Allah disebut kekal bukanlah hasil dari pemikiran Israel yang berdaasrkan hukum akal, melainkan atas dasar pengalaman Israel di dalam pergaulannya dengan Tuhan Allah. Tuhan Allah kekal tidak berarti bahwa Tuhan Allah sudah 27 Hadiwijono, Apa dan Siapa Tuhan Allah, h. 42-43. 42 ada sejak dahulu kala secara statis (tanapa bergerak dan mandeg) seperti halnya matahari, bulan, bintang, dan sebagainya. Kehadiran Tuhan yang ada sejak dahulu kala itu adalah kehadiran yang aktif di daam firman dan karya-Nya sebagai sekutu umat-Nya. Kekekalan Allah itu diungkapkan di dalam Firman dan karya-Nya. Hal ini jelas terlihat dari Ul. 33:27 tadi, yaitu bahwa dahulu kala Allah adalah pelindung Israel dengan lengan yang kekal. Adapun ungkapan yang mengatakan bahwa Tuhan Allah sejak dahulu adalah pelindung Israel, berarti bahwa sejak dahulu kala terus-menerus Ia menjadi tempat berlindung Israel. Tuhan yang kekal memberi jaminan kepada Israel bahwa Israel untuk selama-lamanya boleh berlindung pada Tuhan Allahnya.28 Menurut Yes. 40:28 disebutkan bahwa Tuhan yang kekal berarti juga bahwa Tuhan tidak pernah menjadi lelah dan lesu. Meskipun sudah sekian abad lamanya Tuhan melindungi Israel, akan tetapi tiada satu saatpun Tuhan tidak mampu melanjutkan perlindungan-Nya. Sebagai Yang kekal, Yang tidak terbatas oleh waktu, Tuhan hidup selamalamanya. Tuhan tidak akan dipengaruhi oleh perubahan waktu atau zaman. Bagaimana pun keadaannya, Tuhan akan tetap secara terusmenerus menjadi Sekutu umat-Nya. Tuhan bukanlah Allah yang kekuasaan-Nya serba terbatas. Ia mengatasi segala zaman. Keadaan boleh silih berganti, dan Israel boleh sajadipengaruhi oleh keadaan yang 28 Hadiwijono, Apa dan Siapa Tuhan Allah, h. 43. 43 berganti-ganti, tetapi keadaan itu tidak akan dapat mengubah sikap Tuhan Allah, sebab Tuhan Allah adalah kekal. Ia adalah Yang Mahakudus dari sejak dulu (Hab. 1:12). Dari sini terlihat jelas bahwa hakikat Allah yang mengungkapkan kekekalan-Nya berhubungan dengan karya-Nya yang ditujukan kepada umat-Nya. Kekekalan Allah memisahkan Allah dari umat-Nya, namun juga menghubungkan Allah dengan manusia di dalam kasih-Nya. Kekekalan Allah juga jelas berhubungan erat sekali dengan kekudusan, keestiaan serta kemahakuasaan-Nya. Hal yang demikian diajarkan juga di dalam Perjanjian Baru. Di sini jelas bahwa Yang kekal, Yang meliputi segala zaman dan waktu di dalam Diri Tuhan Yesus Kristus sudah menjadi terikat dengan waktu (ditakhlukkan dan dibatasi oleh waktu) demi untuk mengungkapkan kasih-Nya sebagai Sekutu umat-Nya. Berdasarkan hal itu, maka hakikat Tuhan Allah yang kekal itu juga diungkapkan di dalam Diri Tuhan Yesus Kristus, sehingga Yesus Kristus oleh Alkitab disebut, “Tiada berubah, baik kemarin, baik hari ini dan selama-lamanya” (Ibr. 13:8; Ibr. 1:10).29 29 Hadiwijono, Apa dan Siapa Tuhan Allah, h. 43-44. BAB III KONSEP KETUHANAN SAPTA DARMA A. Sejarah Sapta Darma 1. Riwayat Hidup Pendiri Sapta Darma Hardjosapoero yang bergelar Sri Gautama dilahirkan di Desa Pare Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur pada tanggal 27 Desember 1914. Hardjosapoero merupakan anak pertama dari pasangan suami istri Soehardjo dan Soelijah. Ia juga mempunyai adik kandung yang bernama Jatimah. Ayahnya adalah mantan pegawai kantor pos dan telepon, Kawedaan Pare. Hardjosapoero bekerja sebagai tukang cukur, di samping itu ia juga memiliki usaha lain di bidang perdagangan. Hardjosapoero selaku Panutan Agung Sapta Darma, dalam melaksanakan tugas peruatan dan penyebaran ajaran Sapta Darma, membangun Sanggar (tempat ibadah) yang diberi nama Sanggar Agung Ajaran Sapta Darma. Sapuro, nama kecil Hardjosapoero, sejak usia satu tahun sudah ditinggalkan oleh orang tuanya. Ia hidup dengan Ibunya yang bernama Soleijah dan diasuh oleh nenek dan kakeknya yang bernama Kartodinomo. Pada tahun 1920 Sapuro mulai mengenyam pendidikan dasar dan lulus pada tahun 1925. Setelah lulus Sekolah Dasar, Sapuro tidak dapat melanjutkan sekolahnya, karena kakeknya meninggal. Ia berusaha membantu 51 52 ibu dan neneknya untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya seharihari.1 Pada tahun 1939 tepatnya pada usia 25 tahun, Hardjosapoero melaksanakan pernikahan dengan Nona Sarijem. Setelah menikah, nama Sapuro diganti menjadi Hardjosapoero, dan dikaruniai tujuh orang anak. Uuntuk mencukupi kebutuhan keluarganya, Hardjosapoero bekerja sebagai tukang cukur dan pedagang kecil, jual beli emas berlian. Ia adalah orang yang suka bekerja keras, sedangkan ibu Sarijem membantu usaha suaminya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dengan berjualan bunga. Setelah melalui perjuangan hidup yang cukup berat, akhirnya pada tanggal 27 Desember 1952, Hardjosapoero menerima wahyu ajaran Sapta Darma, dan wahyu nama Sri Gautama sebagai Panuntun agung ajaran Sapta Darma serta wahyu penyebaran ajaran Sapta Darma, maka ia sepenuhnya melaksanakan tugas dari Allah Hyang Maha Kuasa. Dengan begitu, ia tidak dapat lagi bekerja sebagai tukang cukur dan pedagang kecil. Hardjosapoero harus melaksanakan tugas dari Allah Hyang Maha Kuasa, yaitu untuk menerima wahyu ajaran Sapta Darma secara lengkap dan menyebarkannya. Oleh karena itu, sejak 27 Desember 1952 ibu Sarijem berusaha sendiri untuk mencukupi kebutuhan keluarganya sampai akhir hayatnya. 1 Abas Sambas. Konsepsi Wahyu dalam Ajaran Sapta Darma. (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin Program Studi Perbandingan Agama, 2011). h. 10-11. 53 Hardjosapoero meninggal dunia pada Rabu pahing, 16 Desember 1964 pukul 12:10 di Pare keidir Jawa Timur. Tugas dan perjuangan beliau diteruskan oleh Ibu Sri Pawenang.2 2. Masa Turun Wahyu Di Pandean, Gang Koplakan, Hardjosapoero tinggal. Selama hidupnya, ia tidak pernah mendalami ajaran agama apapun dan tidak mempercayai cara-cara perdukunan, ia hanya percaya kepada adanya Hyang Maha Kuasa yang memberi kehidupan terhadap seluruh umatnya. Pada hari Kamis pon, 26 Deesmber 1952, Hardjosapoero sepanjang hari berada di rumahnya dan tidak bekerja seperti biasanya sebagai tukang cukur, sebab hatinya gelisah, sekalipun tidak ada beban batin maupun pikiran. Sore harinya, ia menghadiri undangan ke rumah temannya. Meskipun di tempat tersebut sidah banyak orang berkumpul, tapi kegelisahan batin yang dialaminya tidak hilang, bahkan semakin terasa. Menjelang pukul 24:00 ia pamit pulang. Setelah sampai di rumah, ia mengambil tikar yang digelar di atas dipan untuk dipindahkan ke lantai dengan maksud digunakan untuk berbaring agar dapat meredakan kegelisahannya. Tepat pukul 01:00 malam, tiba-tiba badannya dibangnkan dan digerakkan oleh suatu daya berupa getaran yang kuat yang menempatkan dirinya dalam keadaan duduk menghadap timur dengan kaki bersila dan kedua tangan bersidakep.3 Meskipun demikian, alam pikirannya masih dalam keadaan sadar, sehingga ada keinginan untuk melepaskan diri dari gerakan dan getaran 2 3 Sambas. Konsepsi Wahyu dalam Ajaran Sapta Darma, h. 11-12. Sambas. Konsepsi Wahyu dalam Ajaran Sapta Darma, h. 12-13. 54 tersebut. Namun, ia tidak mampu. Maka, dia pun pasrah dan bersedia untuk mati pada saat itu. Kemudian, di luar kontrolnya, ia mengucapkan suatu kalimat dengan suara keras, yaitu: Allah Hyang Maha Agung Allah Hyang Maha Rokhim Allah Hyang Maha Adil Dalam keadaan masih bergetar dan bergerak, badannya merasa bergerak membungkuk dengan sendirinya, sehingga dahinya menyentuh tanah/tikar, seraya mengucapkan kalimat: Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa Kemudian duduk dan membungkuk kembali, sehingga dahi menyentuh tikar dan meneriakkan: Kesalahan Hyang Maha Suci Nyuwun Ngapura Hyang Maha Kuawasa Kesalahane Hyang Maha Suci Nyuhun Kapura Hyang Maha Kuwasa Kesalahane Hyang Maha Suci Nyuwun Ngapura Maha Kwasa4 4 Sambas. Konsepsi Wahyu dalam Ajaran Sapta Darma, h. 13. 55 3. Berdirinya Ajaran Sapta Darma Ajaran ini diberi nama Sapta Darma karena mengandung tujuh macam Wewerah Suci yang merupakan kewajiban bagi penganut ajaran Sapta Darma yang tidak boleh ditinggalkan. Sapta Darma diartikan sebagai tujuh kewajiban, atau tujuh amal suci. Kamil Kartapradja mengartikan Sapta Darma adalah tujuh tuntunan atau pedoman. Maka, Sapta Darma adalah aliran yang menganut tujuh kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan oleh para penganutnya, karena hal itu merupakan pokok dari ajaran Sapta Darma. Jika para penganut ajaran Sapta Darma mengamalkan Wewerah, pasti akan mendapatkan kesempurnaan pribadi serta kebahagiaan hidup di dunia dan alam langgeng. Pada saat penerimaan wahyu, nama lengkap ajaran kerohanian atau aliran kepercayaan Sapta Darma adalah “Agama Sapta Darma.” Hardjosapoero menjelaskan istilah agama bagi Sapta Darma mempunyai pengertian yang khusus, yaitu: A : Asal mula manusia GA : Gama atau Kama (air suci) MA : Maya atau sinar Cahaya Allah Jadi, definisi agama menurut ajaran Sapta Darma adalah “asal mula manusia dari kama dan maya.” Akan tetapi, sejak dikeluarkannya PANPRES no. 1/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan pedoman agama, nama “Agama Sapta 56 Darma” disesuaikan menjadi “Kerohanian atau Aliran Kepercayaan Sapta Darma.”5 Hardjosapoero merupakan tokoh utama yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah kelahiran dan perkembangan aliran Sapta Darma. Walaupun menurut namanya Sapta Darma adalah nama yang berdiri sendiri dan sama sekali tidak mengandung unsur-unsur dari nama Hardjosapoero, tapi Hardjosapoero dapat dikatakan sebagai pendiri aliran Sapta Darma, sebab aliran Sapta Darma didirikan atas dasar sabda yang diterima atas perantara Hardjosapoero, dan disaksikan oleh enam penganutnya yang kemudian bertindak sebagai pengurus Tuntunan Agung Sapta Darma. Adapun kedudukan Hardjosapoero dalam Sapta Darma adalah sebagai Panuntun Agung Sri Gutama. Sebagai suatu organisasi, Sapta Darma didirikan pada tanggal 27 Desember 1952 atas perintah Allah Hyang Maha Kuasa, kemudian terbentuklah susunan tuntunan agung yang terdiri dari: 1) Panuntun Agung Sri Gutama (Hardjosapoero) 2) Juru bicara Tuntunan Agung (Ibu Sri Pawenang), sekaligus sebagai Tuntunan Wanita, yang berwenang menyiarkan dan memberikan keterangan mengenai ajaran Sapta Darma 3) Staf Panuntun Agung Sri Gutama (Soedomo Poerwodihardjo), yang diharapkan dapat membantu Panuntun Agung maupun juru bicara Panuntun Agung dalam melaksanakan tugasnya.6 5 Sambas. Konsepsi Wahyu dalam Ajaran Sapta Darma, h. 22-23. 57 Berikut ini adalah tugas-tugas pokok Tuntunan Agung, yang bersumber pada fatwa Panuntun Agung Sri Gutama, baik secara tertulis maupun tidak tertulis: 1) Mampu tidaknya Tuntunan melaksanakan tugasnya adalah tergantung pada kemauan, keinsyafan dan keikhlasannya. 2) Menjadi tuntunan berarti mengabdi pada warganya, untuk memenuhi dan mengajar, serta membimbing para warganya untuk berdarma dalam hidupnya, demi tercapainya cita-cita luhur Satria Utama. 3) Usahakan tugas Tuntunan harus dilaksanakan. 4) Para Tuntunan dapat berdarma sesuai kemampuan dari nafsu, budi dan pakartinya. 5) Tuntunan harus mengadakan penyelidikan dan penelitian terhadap pengolahan dan pelaksanaan ajaran kerohanian Sapta Darma. 6) Fatwa yang tertulis adalah yang dilaksanakan pada tanggal 1 s/d 8 Februari 1964 dalam rangka mengembangkan dan menentukan sujud penggalian intisari kerohanian Sapta Darma. Pada saat itu juga Panuntun Agung berpesan kepada para stafnya sebagai berikut: 1) Bapak Panuntun Agung Sri Gutama telah mengangkat juru bicara, yaitu Ibu Sri Pawenang yang bertugas menerbitkan sistematika ajaran Sapta Darma, baik kepada pemerintah maupun masyarakat. 6 Sambas. Konsepsi Wahyu dalam Ajaran Sapta Darma, h. 23-24. 58 2) Bapak Panuntun Agung telah mensejajarkan staf beliau yang bertugas mewakili Sri Pawenang untuk menghadap pemerintah apabila dibutuhkan. 3) Materi sujud penggalian belum selesai, akan diteruskan kemudian hari. 4) Galilah rasa yang meliputi seluruh tubuh (kepribadian yang asli).7 Adapun intisari dan tujuan ajaran Sapta Darma yang tercantum dalam kitab sucinya penulis uraikan dalam penjelasan di bawah ini. B. Ajaran Pokok Sapta Darma 1. Sujud Warga Sapta Darma diwajibkan sujud dalam sehari semalam (24 jam) sedikitnya sekali. Lebih dari itu lebih baik, dengan pengertian bahwa yang penting bukan banyaknya ia melakukan sujud, tetapi kesungguhan sujudnya (Jawa: emating sujud). Bila sujud dilakukan di sanggar (tempat sujud bersama/umum), dapat dilakukan bersama-sama dengan Tuntunan Sanggar sewaktu-waktu. Namun, akan lebih baik apabila waktu untuk sujud bersamasama tersebut ditentukan.8 2. Racut Racut berarti memisahkan rasa dengan perasaan (pangrasa: Jawa), dengan tujuan menyatukan diri dengan Sinar Netral atau Roh Suci bersatu dengan Sinar Netral. Ini berarti pada waktu racut dapat digunakan menghadapkan Hyang Maha Suci/Roh Suci manusia ke hadapan Hyang Maha 7 Sambas. Konsepsi Wahyu dalam Ajaran Sapta Darma, h. 24-25. Sejarah Penerimaan Wahyu Wewewrah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama Edisi Pertama. (Yogyakarta: Sekretariat Tuntunan Agung Kerokhanian Sapta Darma Unit Penerbitan, 2010), h. 165. 8 59 Kuasa. Jadi selagi kita masih hidup di dunia, supaya berusaha dapat menyaksikan dimana dan bagaimana tempat kita kelak bila kembali ke alam abadi/langgeng. Dengan demikian, benarlah apa yang tersirat dalam kata-kata “Manusia harus dapat dan berani mati dalam hidup, supaya dapat mengetahui/ mengenal rupa dan rasanya,” bahasa aslinya (Jawa) “Wania mati sajroning urp kareben weruh rupa lan rasane.” Maksudnya, yang dimatikan adalah alam pikiran/angan-angan atau gagasannya, sedang rasanya tetap hidup. Maka, ketika racut kita dapat mengetahui roh kita sendiri naik ke alam abadi (Surga) menghadap Hyang Maha Kuasa. Namun, roh kita juga tetap dapat mengetahui jasmani yang kita tinggalkan sementara terbaring di bawah. 3. Simbul Pribadi Manusia, Wewerah Tujuh dan Sesanti a) Simbul Pribadi Manusia Simbul berarti gambar atau lambang. Simbul Sapta Darma (simbul pribadi manusia) menggambarkan asal mula terjadinya, sifat serta pribadi manusia. Di samping itu juga mengandung petunjuk bagaimana harus berdarma/ berbuat dan ke mana tujuan hidup manusia. 60 Keterangan: a) Bentuk belah ketupat, bersudut empat buah menunjukkan asal mula manusia, yaitu: - Sujud di atas dari Sinar Cahaya Allah. - Sujud di bawah dari sari-sari bumi. - Sujud kanan dan kiri, dari perantara ayah dan ibu. b) Tepi belah ketupat berwarna hijau tua, menggambarkan wadag (raga/jasmani) manusia. c) Dasar berwarna hijau maya menggambarkan Sinar Caya Allah.9 d) Segitiga sama sisi serta berwarna putih dengan tepi kuning emas menunjukkan asal tes dumali manusia dari Tri Tunggal, yaitu: e) - Sudut atas : Sinar Cahaya Allah (Nur Cahaya) - Sudut kanan : Air sarinya Bapak (Nur Rasa) - Sudut kiri : Air sarinya Ibu (Nur Buat) Segitiga sama sisi yang berwarna putih dengan tepi kuning emas tertutup oleh lingkaran dan berbentuk tiga segi tiga dan sebangun masing-masing memiliki tiga sudut, sehingga jumlah sudutnya ada sembilan, menunjukkan bahwa manusia memiliki babahan hawa sanga, yaitu mata (2), hidung (2), telinga (2), mulut (1), kemaluan (1), dan pelepasan (1). f) Lingkaran menggambarkan keadaan yang senantiasa berubah-ubah (anyakra manggilingan). Manusia akan kembali ke asalnya, apabila selama hidup di 9 Sejarah Penerimaan Wahyu Wewerah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama Edisi Pertama, h. 169-172. 61 dunia berjalan di jalan Tuhan atau berperilaku luhur. Rohani akan kembali ke alam langgeng dan jasmani akan kembali ke bumi. g) Lingkaran warna putih yang berada di tengah tertutup oleh gambar Semar, menunjukkan lubang ubun-ubun manusia. Jadi sebenarnya pada diri manusia memiliki lubang yang berjumlah sepuluh, tetapi lubang yang kesepuluh ini dalam keadaan tertutup, karenanya disebut juga Pundak Sinumpet. h) Gambar Semar, mengkiaskan budi luhur dan juga Nur Cahaya, maksudnya warga Sapta Darma supaya berusaha memiliki keluhuran budi seperti Semar. Meskipun jelek rupanya tetapi luhur budi pekertinya, maka dari itu diperibahasakan Semar adalah dewa yang menjelma. i) Tulisan huruf jawa, maksdunya adalah “Nafsu, Budi dan Pakarti”10 b) Wewerah Tujuh Berisi tujuh kewajiban setiap warga Sapta Darma, yaitu: 1) Setia tuhu kepada adanya Pancasila 2) Dengan jujur dan suci hati, harus setia melaksanakan perundang-undangan negara 3) Turut serta menyingsingkan lengan baju, menegakkan berdirinya Nusa dan Bangsanya 4) Menolong kepada siapa saja bila perlu, tanpa mengaharapkan sesuatu balasan, melainkan berdasarkan rasa cinta dan kasih 5) Berani hidup berdasarkan kepercayaan atas kekuatan diri sendiri 10 Sejarah Penerimaan Wahyu Wewerah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama Edisi Pertama, h. 172-174. 62 6) Sikapnya dalam hidup bermasyarakat, kekeluargaan, harus susila besertas halusnya budi pakarti, selalu merupakan penunjuk jalan yang mengandung jasa serta memuaskan 7) Yakin bahwa keadaan dunia itu tiada abadi, melainkan selalu berubahubah (hanyakra manggilingan).11 c) Sesanti (Semboyan) “Ing ngendi bae marang sapa bae warga Sapta Darma kudu sumunar pindha baskara.”, artinya: Kepada warga Sapta Darma di mana saja, harus bersinar laksana surya. 4. Saudara Dua Belas Menurut ajaran Agama Sapta Darma manusia hidup memiliki Saudara Dua Belas yang terdapat di dalam tubuhnya. Saudara Dua Belas mempunyai hubungan dan sesuai pula dengan proses keberadaan manusia itu sendiri, yaitu sebenarnya umur manusia di dalam kandungan seorang ibu adalah 12 bulan lamanya. Hal ini dapat dibuktikan pada adat tata cara upacara temu pengantin (perkawinan) di Jawa Tengah. Pada saat akan bertemunya kedua mempelai, didahului dengan tindakan balang sadak (saling melempar sadak). Kiasan saling melempar sadak mempunyai pengertian tempuknya sinar cahaya antara bakal suami istri tersebut, yang lamanya tiga bulan. Sedangkan orang biasa mengatakan bahwa umur manusia dalam kandungan seorang ibu selama sembilan bulan. 11 Sejarah Penerimaan Wahyu Wewerah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama Edisi Pertama, h. 174-175. 63 5. Tali Rasa Manusia hidup memiliki tali rasa hidup. Di beberapa tempat, simpul-simpul tali rasa tersebut mewujudkan simpul atau sentral rasa setempat. Di seluruh tubuh manusia ada 20 simpul/sentral tali rasa, dan ditandai dengan abjad huruf Jawa. Bila warga Sapta Darma menolong untuk menyembuhkan orang sakit/ lemah urat sarafnya, seperti lumpuh, mati separuh dan sebagainya, dilaksanakan sebagai berikut. Setelah ening meluhurkan Tiga Asma allah (Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rokhim, Allah Hyang Maha Adil), kemudian dirasakan pada ujung jari tangan/ penunggul tangan kanan, setelah terasa ada getaran, maka simpul-simpul tali rasa pada bagian tubuh yang lumpuh tadi diguyar-guyar (Jawa: diuyeg-uyeg), apabila telah dirasa cukup lalu diakhiri dengan sabda “Waras!” (sembuh).12 6. Wasiat Tiga Puluh Tiga 1 Sapujagat 18 Kaca Kencana 2 Kucing Putih 19 Kurungan Kencana 3 Jeruk Purut 20 Kidang Kencana 4 Payung Suci 21 Sarine Kencana 5 Kembang Jayakusuma 22 Sarine Geni 6 Singa Barong 23 Sarine Ban yu 7 Mustikaning Manik 24 Sarine Pangan 12 Sejarah Penerimaan Wahyu Wewerah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama Edisi Pertama, h. 179-181. 64 8 Rembulan 25 Bala Srewu 9 Wit Waringin 26 Candhabirawa 10 Jaran Sembrani 27 Patidhur lan Kasur 11 Upase Nagatahun 28 Barisan Ula 12 Mliwis Putih/ Hitam 29 Barisan Banaspati 13 Piring Kencana 30 Barisan Kethek 14 Mangkok Kencana 31 Barisan Uler (Ulat) 15 Cupu Kencana 32 Barisan Setan 16 Topeng Kencana 33 Barisan lan Guling13 17 Tropong Kencana 7. Wejangan Dua Belas Pada tanggal 12 Juli 1955 setelah para warga Sapta Darma berkumpul di sanggar/rumah Bapak Hardjosapoero, lalu diadakan sujud bersama dalam rangka memperingati hari diterimanya Wahyu Simbol Pribadi Manusia, Wewerah Tujuh dan Sesanti. Dalam sujud bersama yang dilanjutkan dengan ening Bapak Hardjosapoero mendapat perintah dari Allah Hyang Maha Kuasa supaya menyampaikan Wejangan Dua Belas sebagai penjelasan bahwa ajaran budi luhur manusia telah lengkap dan bilamana diajarkan sudah dapat mencapai Jejering Satria Utama.14 13 Sejarah Penerimaan Wahyu Wewerah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama Edisi Pertama, h. 182. 14 Sejarah Penerimaan Wahyu Wewerah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama Edisi Pertama, h. 182-183. 65 C. Konsep Ketuhanan Sapta Darma Sapta Darma termasuk aliran kebatinan yang sederhana, oleh karenanya, ajaran tentang Tuhan juga sangat singkat. Dalam pembicaraan tentang Allah, Sri Pawenang berkata: Tuhan yang juga kami sebut Yang Mahakuasa atau Allah atau Sang Hyang Widi, ialah Zat mutlak yang Tunggal, pangkal segala sesuatu, serta pencipta segala yang terjadi. Tuhan mempunyai lima sifat keagungan mutlak, yaitu: Mahaagung, Maharokhim, Mahaadil, Mahawawesa (Mahakuasa) dan Mahalanggeng (Mahakekal). Di sini disebutkan bahwa Allah adalah Zat yang Mutlak, pangkal segala sesuatu, serta pencipta segala yang terjadi. Jika kita mengingat akan sebutan Zat yang Mutlak, pangkal segala sesuatu, kita mendapat kesan bahwa Tuhan adalah Yang Mutlak. Ia adalah Zat yang bebas dari segala hubungan, nisbah serta sebab-sebab. Tetapi, jika mengingat akan tambahan pencipta segala yang terjadi, kita mendapat kesan bahwa Tuhan itu berpribadi, yaitu “pencipta” yang diartikan sebagai yang menjadikan segala sesuatu tanpa bahan. Tambahan selanjutnya, yang menyebut sifat Tuhan sebagai Yang Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wawesa dan Maha Langgeng, menjuruskan pemikiran kita ke arah pandangan tentang Tuhan seperti pemahaman orang Islam dan Kristen. Sifat Maha Agung diterangkan sebagai sifat Allah yang melebihi segala makhluk. Tidak ada yang menyamai Tuhan dalam kelurusan hati-Nya. Maha Rokhim berarti bahwa tidak ada yang menyamai-Nya dalam belas kasih-Nya. Maha adil berarti bahwa tidak ada yang menyamai-Nya dalam keadilan-Nya. Maha Wawesa berarti bahwa Tuhan Mahakuasa. Maha Langgeng berarti 66 bahwa Tuhan adalah kekal dalam arti yang mutlak, tidak ada yang menyamaiNya. Kelima sifat Tuhan itu disebut Panca Sila Allah.15 Pancasila Allah adalah sebagai berikut: Semua warga Sapta Darma harus mengakui kewajiban dari yang di bawah ini: 1. Beriman kepada Allah a) Allah Maha Agung b) Allah Maha Rokhim c) Allah Maha Adil d) Allah Maha Wawesa e) Allah Maha Langgeng Allah yang maha kuasa itu memiliki sifat keluhuran atau sifat perwujudan, yaitu berbentuk lima perkara di atas. Artinya lima perkara tersebut adalah hakikat yang tidak bisa diserupai atau menyerupainya. a. Allah yang maha Agung, artinya tidak ada satu pun yang memiliki sifat yang sama dengan Allah tersebut. Maka dari itu, manusia harus memiiki watak berbudi luhur sesama umat seperti apa yang dimiliki sifat oleh Allah yang maha Agung. b. Allah yang maha Rokhim, artinya tidak ada yang bisa menyerupai kasih sayang. Maka dari itu, manusia harus memiliki watak kasih sayang kepada sesama umat. c. Allah yang maha Adil, artinya tidak ada yang bisa menyamai keadilan Allah tersebut. Maka manusia harus memiliki keadilan kepada siapa saja dan tidak boleh membeda-bedakan sesama umat. 15 Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 24-25. 67 d. Allah yang maha Wasesa, artinya Allah adalah penguasa alam dan tidak ada yang menyerupai kekuasaannya. Maka dari itu, kita manusia diberikan kekuasaan untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani. e. Allah yang maha Langgeng, artinya Allah itu memiliki sifat yang abadi dan tidak ada yang bisa menyamai keabadiannya. Maka dari itu manusia harus memiliki sifat keabadian rohani dari rohani asal sinar cahaya Allah dan jasmani asal dari sari-sari bumi. Serta manusia harus belajar supaya memiliki sifat budi yang luhur. Keluhuran itu mempertahankan nama. Bila nanti rohani telah meninggalkan jasmani, keluhuran nama tetap terkenal, namun jasmani yang asal mulanya dari sari-sari bumi akan kembali ke asalnya semula, yaitu ke bumi. Dan rohani kembali ke alam abadi atau pusatnya.16 Warga Sapta Darma wajib melakukan sujud sehari semalam paling sedikit satu kali. Bila ada di sanggar melakukannya secara bersama-sama dengan tuntunan, namun itu ditentukan dalam waktu yang senggang dan waktunya ditentukan bersama. Cara melakukan sujud: Melakukan duduk menghadap timur dengan kaki bersila. Kalau untuk perempuan bertumpu kakinya. Untuk seterusnya bisa mengambil posisi yang enak. 16 Sri Pawenang. Buku Wewerah Kerokhanian Sapta Darma Jilid 1. (Yogyakarta: Sekretariat Tuntunan Agung Unit Penerbitan Surokarsan, 1968), h. 12. 68 Keterangan sujud: 1. Sujud pertama mengucapkan Allah maha Agung, Rokhim dan Adil, yang mengutamakan keluhuran nama Allah. Supaya ingat terhadap sifat keluhuran yang maha kuasa. Itu pun diucapkan di dalam hati, tidak hanya sebagai awalan sujud, namun seluruh warga Sapta Darma mengawali hal penting untuk melakukan sabda dan salah satunya mengimani Allah. 2. Sujud yang kedua mengucapkan yang maha suci sujud kepada yang maha kuasa, memaknai Roh Suci itu adalah kita sendiri dari asal mula sinar cahaya Allah yang meliputi seluruh tubuh kita sendiri. Maha kuasa sama dengan meliputi kesucian yang ada dalam pribadi kita di dalam sujud kepada yang Maha Kuasa. Yang Maha Kuasa adalah yang menguasai alam semesta dan isinya termasuk manusia itu sendiri. Jadi, kesimpulannya Roh Suci kita berserah diri dan kuasanya terhadap yang maha kuasa. 3. Sujud yang ketiga. Kesalahan yang maha suci (kita) meminta ampun kepada yang maha kuasa, artinya seluruh kesalahan Roh Suci meminta pengampunan kepada yang Maha kuasa. Setelah Roh Suci sujud, lalu kita teliti kesalahan-kesalahan (dosa) di setiap harinya. Kemudian pasrah minta ampunan terhadap yang maha kuasa, segala dosa-dosa atau kesalahan di masa lampau. Roh suci bertobat kepada yang Maha Kuasa. Setelah meminta ampun, lalu bertobat, dan berjanji tidak akan mengulangi dosadosa lagi.17 17 Pawenang. Buku Wewerah Kerokhanian Sapta Darma Jilid 1, h. 29-30. 69 Perlu diketahui bahwa dalam ajaran Sapta Darma manusia adalah suatu persekutuan antara sinar cahaya Allah dan sari bumi. Di dalam persekutuan ini, karena manusia makan daging dan sayur-mayur, maka manusia ditakhlukkan oleh segala nafsunya. Maka dalam ajaran Sapta Darma dikenal istilah kelepasan. Kelepasan terdiri dari kelepasan roh dari penindasan nafusnya dan pengembalian roh itu kepada asalnya. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa manusia harus menjauhkan diri dari segala macam makanan. Kelepasan manusia terdiri dari kelepasan roh atau jiwa dari kekuasaan hawa nafsunya agar roh bisa bersatu dengan Tuhannya kembali, supaya sinar cahaya Allah dapat kembali kepada sumbernya, yaitu Allah sendiri. Jalan kelepasan bukan terdiri dari menghindarkan diri dari segala makan, sebab tindakan yang demikian menurut Sapta Darma tidak sesuai dengan kodrat manusia. Sapta Darma tetap berpendapat bahwa manusia harus makan sesuai dengan kodratnya. Jika manusia tidak makan, ia akan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kodratnya. Yang menjadi persoalan ialah apakah orang mau diperbudak oleh getarannya yang jahat. Membiarkan getarannya yang jahat adalah sumber segala dosa. Maka menurut ajaran Sapta Darma, agar manusia dapat menggapai kesempurnaan hidup di dunia dan di akhirat, ia harus bersujud (berbakti) kepada Allah serta benar-benar menjalankan dan mengamalkan isi dari Wewerah Pitu (Tujuh Petuah).18 18 Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 32-33. 70 Jalan kelepasan yang tidak bertentangan dengan kodrat manusia adalah jalan sujud. Pada pokoknya, sujud terdiri dari membangkitkan air suci atau minyak tala atau sari hidup (sperma) serta menaikkannya dari tempatnya yang semula, yaitu di tulang tungging, menuju otak besar melalui sendi-sendi tulang belakang. Dengan demikian, maka sinar cahaya Allah atau Nur Cahaya atau Nur Petak atau Hyang Mahasuci, yaitu hawa bersih dapat bersekutu dengan Allah. Buah dari sujudi ialah bahwa manusia dilepaskan dari kekuasaan segala nafsunya dan bahwa manusia mendapatkan suatu kekuatan yang mengatasi atau melebihi kodrat (supernatural), yaitu atom berjiwa. Kekuatan ini dapat dipergunakan untuk menyembuhkan orang sakit, untuk berhubungan dengan roh yang baik maupun yang jahat, serta untuk mengalami mati di dalam hidup (mati sajroning urip) dengan singkat, karena kelepasan itu manusia mendapat bagian dari sifat-sifat Allah. Jika kita meneliti segala keterangan mengenai Allah, kita mendapatkan kesan bahwa Allah oleh Sapta Darma dipandang sebagai suatu Oknum, sebab kepada Allah dikenakan sifat Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wawesa dan Maha Langgeng. Oleh karena itu, maka mengherankan sekali bahwa di dalam ajarannya tentang manusia terdapat keterangan mengenai diri Allah itu sendiri. Sebab diterangkan bahwa jiwa manusia, yaitu roh, rasa, Nur Petak, dan sebagainya, sebagai sinar cahaya Allah, adalah hawa murni, yang ada di sekitar dan di dalam manusia. 71 Hawa, bagaimana pun bersih dan murinya adalah benda yang dapat diukur berat dan volumenya, suatu substansi bendani atau yang berjasad. Sekalipun sinar berbeda dari sumber sinarnya, seperti halnya matahari lain dari sinarnya, atau api adalah lain dari sinarnya, akan tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan. Jika sinar cahaya Allah adalah hawa, sekalipun murni bersih, namun tetap hawa, suatu substansi yang jasmaniah, timbullah pertanyaan, apakah keterangan Sapta Darma yang mengenai jiwa itu tidak membahayakan ajaran Sapta Darma tentang Allah? Bukankah dengan itu orang mendapat kesan seolah-olah Allah itu bersifat jasmaniah? Harun Hadiwijono tidak bermaksud mengatakan bahwa Sapta Darma mengajarkan demikian, dia hanya menunjukkan bahaya yang dihadapi Sapta Darma dengan ajarannya tentang cahaya Allah itu.19 19 Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 40-41. BAB IV ANALISIS KOMPARASI A. Analisis Persamaan Konsep Ketuhanan Kristen dan Sapta Darma 1. Konsep Emanasi Emanasi adalah teori tentang terciptanya alam ini dari pancaran Tuhan.1 Kata emanasi, berasal dari bahasa Inggris emanation yang berarti proses munculnya sesuatu dari pemancaran, bahwa yang dipancarkan, substansinya sama dengan yang memancarkan. Sedangkan dalam filsafat, emanasi adalah proses terjadinya ujud yang beraneka ragam, baik langsung atau tidak langsung, bersifat jiwa atau materi, berasal dari ujud yang menjadi sumber dari segala sesuatu yakni Tuhan, yang menjadi sebab dari segala yang ada karenanya setiap ujud ini merupakan bagian dari Tuhan. Emanasi juga berarti: realitas yang keluar dari sumber (Tuhan, seperti cahaya keluar dari matahari). Dengan beremanasi itu The One tidak mengalami perubahan, emanasi itu terjadi tidak di dalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu terletak pada tinggkat yang paling bawah dalam proses emanasi. Ruang dan waktu adalah suatu pengertian tentang dunia benda. Untuk menjadikan alam, Soul mula-mula menghamparkan sebagian dari kekekalan-Nya, lalu membungkusnya dengan waktu. Selanjutnya energiNya bekerja terus, menyempurnakan alam semesta ini. Waktu berisi kehidupan yang bermacam-macam, waktu bergerak terus sehingga menghasilkan waktu lalu, sekarang, dan akan datang. 1 Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum: dari Metologi sampai Teosofi. (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h.460. 72 73 Ajaran emanasi juga beranggapan bahwa segala yang lebih tinggi berkembang kepada yang lebih rendah; dari yang tak berakhir kepada yang berakhir; secara demikian rupa, di mana pengaliran dari yang tak berakhir adalah secara bertahap menuju kebenaran yang berakhir. Sedangkan emanasi menurut Plotinus, yaitu: Yang satu adalah semuanya, tetapi tidak mengandung di dalamnya satu pun dari barang yang banyak itu. Dasar daripada yang banyak tidak bisa yang banyak itu sendiri. Sebaliknya, yang satu itu adalah semuanya berarti bahwa yang banyak itu adalah padanya. Di dalam yang satu itu yang banyak itu belum ada, tetapi yang banyak itu akan ada. Sebab di dalamnya yang banyak itu tidak ada, yang banyak itu datang dari Dia. Oleh karena Yang satu itu sempurna, tidak mencari apa-apa, tidak memiliki apa-apa, dan tidak memerlukan apa-apa, maka keluarlah sesuatu dari Dia dan mengalir menjadi barang-barang yang ada. Yang demikian tadi dikatakan emanasi dari Dia, datang dari Dia. Oleh Plotinus dalam filosofi. Dalam filosofi klasik Yang Asal itu dikemukakan sebagai yang bekerja atau penggerak pertama. Di situ selalu dihadapkan dua yang bertentangan seperti yang bekerja dan yang dikerjakan, semangat dan benda, pencipta dan yang diciptakan. Penggerak yang pertama itu tempatnya di luar alam yang lahir, sifatnya transedental. Pengertian ini mengisyaratkan adanya realitas tertinggi yang menjadi sumber segala sesuatu, yaitu Tuhan, yang kemudian muncul dalam realitas lain dalam sumber itu dengan jalan melimpah. Dunia manusia merupakan 74 emanasi dari jiwa sedangkan jiwa itu emanasi dari Roh (Nous), dan roh itu emanasi yang pertama dari yang satu (To Hen). Dunia bersatu, karena dirasuki oleh Jiwa Dunia sebagai emanasi dari Jiwa. Dunia dan manusia dibedakan, akan tetapi pada dasarnya semuanya dire sapi oleh daya dan sinar sumbernya, yaitu Yang Satu. Bagi masing¬masing yang ada juga sifatsifatnya diemanasikan dari intinya. Pemunculan kemudian dari yang asal ini merupakan tabiat dari yang asal sebagaimana munculnya panas dari bara api atau munculnya terang dari sumber cahaya. Yang asal itu menjadi sebab dan dasar dari segala-galanya, dan yang kemudian muncul dari yang asal itu dengan sendirinya tanpa bergerak, tanpa dikehendaki, tanpa disetujui.2 Baik Sapta Darma maupun Kristen, keduanya mengajarkan bahwa Tuhan Allah pada hakikatnya tidak dapat dilihat dan tidak dapat diketahui oleh manusia. Selain itu, kedua-duanya mengenal konsep emanasi (pancaran cahaya Tuhan). Maksudnya adalah bahwa alam ini, khususnya manusia adalah bagian dari Tuhan. Perlu diketahui bahwa dalam ajaran Sapta Darma manusia adalah suatu persekutuan antara sinar cahaya Allah dan sari bumi. Di dalam persekutuan ini, karena manusia makan daging dan sayur-mayur, maka manusia ditakhlukkan oleh segala nafsunya. Maka dalam ajaran Sapta Darma dikenal istilah kelepasan. Kelepasan terdiri dari kelepasan roh dari penindasan nafusnya dan pengembalian roh itu kepada asalnya. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa manusia harus menjauhkan diri dari segala macam 2 http://www.referensimakalah.com/2012/07/pengertian-emanasi-pengantar.html. Diakses pada tanggal 15 Mei 2017, pukul 19:01 WIB. 75 makanan. Kelepasan manusia terdiri dari kelepasan roh atau jiwa dari kekuasaan hawa nafsunya agar roh bisa bersatu dengan Tuhannya kembali, supaya sinar cahaya Allah dapat kembali kepada sumbernya, yaitu Allah sendiri.3 Disebutkan bahwa segitiga sama sisi serta berwarna putih dengan tepi kuning emas dalam lambang Sapta Darma menunjukkan asal tes dumali manusia dari Tri Tunggal, yaitu: Sudut atas : Sinar Cahaya Allah (Nur Cahaya) Sudut kanan : Air sarinya Bapak (Nur Rasa) Sudut kiri : Air sarinya Ibu (Nur Buat) Kemudian, salah satu sifat tuhan Allah dalam Sapta Darma adalah maha Langgeng, artinya Allah memiliki sifat yang abadi dan tidak ada yang bisa menyamai keabadiannya. Maka dari itu manusia harus memiliki sifat keabadian rohani dari rohani asal sinar cahaya Allah dan jasmani asal dari sari-sari bumi. Serta manusia harus belajar supaya memiliki sifat budi yang luhur. Keluhuran itu mempertahankan nama. Bila nanti rohani telah meninggalkan jasmani, keluhuran nama tetap terkenal, namun jasmani yang asal mulanya dari sari-sari bumi akan kembali ke asalnya semula, yaitu ke bumi. Dan rohani kembali ke alam abadi atau pusatnya.4 Dalam Kristen dikenal doktrin Citra Allah. Citra Allah adalah sebutan bagi manusia, baik laki-laki dan perempuan yang dipanggil untuk mewujudkan cinta ilahi. Dalam 2 Kor 4:4 dan Kol 1:15, citra Allah yang 3 4 Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 32-33. Pawenang. Buku Wewerah Kerokhanian Sapta Darma Jilid 1, h. 12. 76 utama adalah Kristus. Dalam doktrin Kristen, manusia adalah citra Allah untuk berkuasa atas semua mahluk sebagai wakil yang mewakilkan sang Pencipta. Tugas dari manusia sebagai citra Allah selain berkuasa, juga mengusahakan agar seluruh ciptaan memuliakan Allah. Keberadaan manusia sebagai citra Allah merupakan sebuah anugerah sekaligus tugas bagi setiap manusia.5 Di dalam ajaran Kristen, citra Allah dibedakan menjadi: 1) Citra Allah yang istimewa atau khusus ialah pengetahuan, kebenaran dan kesucian. 2) Citra Allah yang umum ialah segala sifat manusia yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Ajaran citra Allah dalam doktrin Kristen berkaitan dengan kejatuhan umat manusia. Sejak kejatuhan manusia pertama, yaitu Adam dan Hawa, citra Allah menjadi rusak, namun hal citra itu dikembalikan lagi hanya melalui keselamatan oleh Yesus Kristus. Beberapa tokoh yang memegang ajaran ini antara lain Calvin, Bruner, John Baillie, Bavinck, dan Berkouwer. Teologi citra Allah Calvin dikenal sebagai Imago Dei.6 Teologi Citra Allah ini juga didasari oleh Alkitab: Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar- 5 A. Heuken, SJ, Ensiklopedi Gereja (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2004), h. 23. https://id.wikipedia.org/wiki/Citra_Allah#cite_note-Ensiklopedi-1. Diakses pada tanggal 21 Februari 2017, pukul 11:03 WIB. 6 77 Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (Surat Kejadian 1: 26-27). Manusia memiliki keserupaan moral dengan Allah, karena mereka tidak berdosa dan kudus, memiliki hikmat, hati yang mengasihi dan kehendak untuk melakukan yang benar (Ef 4:24). Mereka hidup dalam persekutuan pribadi dengan Allah yang meliputi ketaatan moral (Kej 2:1617) dan hubungan yang intim. Ketika Adam dan Hawa berdosa, keserupaan moral dengan Allah ini tercemar (Kej 6:5). Dalam proses penebusan, orang percaya harus diperbaharui kepada keserupaan moral itu lagi (Ef 4:22-24; Kol 3:10).7 Yesus adalah karya penyelamatan Allah terhadap umat-Nya. Allah menjadikan Tuhan Yesus sebagai alat. Karya penyelamatan Kristus itu menampakkan isi Tuhan Allah, yaitu sebagai penyelamat umat-Nya. Atau dapat dikatakan bahwa di dalam karya penyelamatan Kristus itu tampak kebapaan Allah terhadap umat-Nya. Itu sebabnya dalam Yoh. 14:9 Tuhan Yesus dapat berkata: “Barang siapa yang telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa.” Itulah juga sebabnya Tuhan Yesus disebut bayang-bayang Allah (Kol. 1:14,15), atau zat Allah yang kelihatan (Ibr. 1:1) atau gambar Allah. Menjadi gambar Allah menurut Alkitab berarti terpanggil untuk mencerminkan hidup ilahi di dalam hidupnya. Tugas sebagai gambar Allah sama dengan tugas menjadi anak Allah, yaitu menceminkan hidup Bapanya. Hal ini hanya dapat terlaksana jika anak menaati kehendak Bapanya. 7 http://alkitab.sabda.org/passage.php?passage=kejadian%201:26-28.Diakses pada tanggal 21 Februari 2017, pukul 11:23 WIB. 78 Sebagai Anak Allah, Tuhan Yesus adalah gambar Allah yang di dalam hidupnya menampakkan hidup ilahi secara sempurna, yaitu bahwa Tuhan Allah adalah sekutu umat-Nya atau penyelamat umat-Nya. Oleh karena di dalam karya Tuhan Yesus itu Tuhan Allah sendiri yang datang berbuat, maka Kristus selain disebut Anak Allah juga disebut Allah, dan sebagainya. Maka, dapat dikatakan bahwa Tuhan Allah adalah Bapa di dalam karya-Nya sebagai sekutu umat-Nya, serta mengambil inisiatif atau prakarsa untuk menyelamatkan umat-Nya, serta memanggil umat-Nya untuk menjadi sekutu-Nya dengan hidup sebagai anak-anak-Nya. Tuhan Yesus adalah Anak Allah di dalam karya-Nya untuk merealisasikan hakikat Tuhan Allah sebagai sekutu umat-Nya, yaitu menyelamatkan umat-Nya. Di dalam Yesus Kristus itu Tuhan Allah sendiri berbuat. Di dalam Yesus Kristus itu Tuhan Allah sendiri betindak sebagai Anak Allah, yaitu menampakkan karya penyelamatan Allah.8 2. Pancasila Allah Sapta Darma menyebutkan bahwa ada lima sifat utama Allah, yaitu Mahaagung, MahaRokhim, Mahaadil, Mahawawesa, dan Mahalanggeng. Meskipun Kristen tidak menyebutkan secara sama persis, namun kelima sifat tersebut juga diyakini oleh umat Kristiani melekat pada Tuhannya. 3. Penyebutan nama Tuhan Allah Baik Kristen maupun Sapta Darma, keduanya sama-sama menyebut Tuhan mereka dengan pengucapan yang sama, yaitu Allah (dengan “a” Alla(a)h, bukan “o” Alla(o)h). Meskipun penulis telah mengetahui bahwa di 8 Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 147-148. 79 negara-negara yang berbahasa Arab, baik Kristiani maupun Muslim, samasama mengucapkan Alla(o)h. Namun, khusus di Indonesia penulis meyakini bahwa umat Kristiani mengucapkan Alla(a)h adalah sebagai uapaya untuk memberikan identitas pembeda antara Tuhan Allahnya dengan Allahnya umat muslim. B. Analisis Perbedaaan Konsep Ketuhanan Kristen dan Sapta Darma a) Konsep Tritunggal Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dalam Kristen dikenal istilah Tuhan Bapa, Tuhan Anak dan Roh Kudus. Meskipun ada banyak persepsi dalam arti kata tritunggal di golongan Kristen sendiri, namun tetap yang banyak dipahami oleh masyrakat atau bahkan umat Kristiani sendiri pada umumnya adalah tiga pribadi berbeda. Untuk penjelasan lengkapnya sudah dibahas di bab awal. Beda halnya dengan Sapta Darma, ia hanya mengenal ajaran tentang Tuhan yang tunggal saja tanpa ada tambahan keterangan tentang tritunggal ataupun dewa-dewa. Sri Pawenang berkata: Tuhan yang juga kami sebut Yang Mahakuasa atau Allah atau Sang Hyang Widi, ialah Zat mutlak yang Tunggal, pangkal segala sesuatu, serta pencipta segala yang terjadi. Tuhan mempunyai lima sifat keagungan mutlak, yaitu: Mahaagung, Maharokhim, Mahaadil, Mahawawesa (Mahakuasa) dan Mahalanggeng (Mahakekal). 9 b) Hakikat Tuhan Allah Baik Sapta Darma maupun Kristen, keduanya mengajarkan bahwa Tuhan Allah pada hakikatnya tidak dapat dilihat dan tidak dapat diketahui 9 Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 24-25. 80 oleh manusia. Namun, bagi Sapta Darma, Tuhan Allah lebih dipadandang sebagai Yang Mutlak dalam arti falsafah. Oleh karena itu Tuhan Allah hanya mewujudkan suatu cita atau ide saja, yang tidak dapat ditembus oleh akal manusia. Meskipun Sapta Darma memberikan sifat-sifat kepada Allah yang secara positif, yaitu Mahaagung, Maharokhim, Mahaadil, Mahawawesa dan Mahalanggeng. Akan tetapi justru dari keterangan mengenai sifat-sifat tersebut kita mendapat kesan bahwa segala sifat positif itu dikenakan kepada Allah dalam perkembangan-Nya yang lebih rendah atau kepada pangkat emanasi Allah yang yang lebih rendah seperti halnya dengan para Brahman dan Apara Brahman di dalam agama Hindu. Oleh karena itu, Tuhan Allah dalam hakikat-Nya yang sebenarnya tidak dapat dikenal oleh manusia. Orang tidak dapat mengenal Allah dalam keadaan-Nya Yang Mutlak itu. Penguraian tentang Tuhan Allah dalam hakikatnya yang tidak pernah jelas, serta mengandung banyak keterangan yang terdengar saling bertentangan tanpa mendapatkan pemecahan yang harmonis. Adapun cara Kristen menguraikan keadaan Tuhan Allah berbeda sekali dengan cara Sapta Darma. Harus diakui bahwa Injil juga menekankan bahwa Tuhan Allah tidak dapat dihampiri, dan bahwa tidak seorang pun pernah melihat Dia, karena manusia memang tidak dapat melihat Dia (1 Tim. 6:16). Akan tetapi penguraian Allah Kristen tidak dilakukan secara falsafah, disebabkan para penulis Alkitab bukan berfalsafah mengenai Tuhan Allah, mereka tidak memakai akalnya untuk berspekulasi (mengotak-atik) tentang Tuhan Allah, melainkan mereka 81 bersaksi akan Allahnya. Mereka sudah menjumpai Tuhan Allah di dalam hidupnya. Mereka sudah bergaul dengan Allahnya, dan atas dasar pengalamannya itulah mereka menyaksikan Allah. Itulah sebabnya penguraian para penulis Alkitab mengenai Allah itu adalah penguraian yang didasarkan atas karya atau perbuatan Allah di dalam sejarah umat-Nya. Jika mereka bersaksi bahwa Allahnya adalah Allah yang esa, hal itu tidak diartikan secara matematis, tetapi keesaan itu didasarkan atas karya Allah yang ditujukan kepada umat-Nya. Di dalam sejarah sejarah umat-Nya, di dalam pergaulan-Nya dengan umat-Nya, terbuktilah bahwa Allah Bapa adalah satu-satunya yang benar-benar Allah, yang lain itu bukanlah Allah. Itulah sebabnya juga bahwa para penulis Alkitab tidak merasa aneh untuk di satu pihak mengemukakan bahwa Tuhan Allah adalah esa, dan di lain pihak memperkenalkan Allah sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Sebab pengertian Bapa, Anak dan Roh Kudus oleh para penulis Alkitab tidak diartikan secara falsafah, tidak diartikan secara ontologis. Allah diakui sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus didasarkan kepada karya Allah di dalam sejarah umat-Nya. Demikianlah, baik keesaan maupun ketritunggalan Allah di dalam Alkitab berlainan sekali dari yang diajarkan oleh Sapta Darma. Dengan caranya menguraikan tentang Allah yang demikian itu, para penulis Alkitab lebih jelas menonjolkan Tuhan Allah sebagai Pribadi yang berhadapan dengan manusia sebagai pribadi yang lain.10 10 Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 173-175. 82 c) Allah Menjadi Manusia Jika kita tinjau secara mendalam, sebenarnya Sapta Darma maupun Kristen mengajarkan bahwa Allah menjadi manusia. Namun, di dalam diri Roh Suci (ajaran Sapta Darma), baik Ia dipandang sebagai pletikan Allah maupun sebagai sinar cahaya Allah, sebenarnya Yang Mutlak menjelma menjadi manusia. Dalam Kristen dapat dikatakan bahwa Yang Mutlak menjadi daging. Ia dipenjara di dalam tubuh. Ia tetap Allah adanya, tetapi karena suasana yang gelap dan sempit di dalam tubuh itu, Yang Mutlak tidak dapt menikmati hidup. Ia merasa tidak enak karena ada banyak rintangan dan gangguan yang merintangi serta menggangu pelaksanaan kecakapannya. Ia tidak dapat bergerak dengan bebas. Kristen juga mengajarkan tentang Allah yang menjadi manusia, yaitu di dalam Firman yang menjadi daging atau menjadi manusia (Yoh, 1:4). Ia yang walaupun dalam rupa Allah dan tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, telah mengosongkan diri-Nya sendiri, mengambil rupa seorang hamba, menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia itu Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib (Flp. 2:6-8). Perlu diketahui bahwa alasan Allah menjadi manusia bukan karena nasib buruk yang menimpa-Nya yang harus diperangi supaya Ia dapat lepas darinya, tetapi karena Ia hendak melepaskan manusia yang dikuasai oleh dosa. Ia sendiri tidak memerlukan kelepasan itu. Ia adalah pengungkapan kasih Allah kepada umat manusia, yang tidak dapat 83 memenuhi panggilan-Nya untuk memantulkan hidup ilahi. Ia adalah gambar Allah yang sejati, yang dapat memantulkan hidup ilahi di dalam hidup-Nya. Di dalam Dia itulah gambar Allah yang rusak pada manusia dapat diperbaharui. Oleh karena manusia tidak berdaya untuk melepaskan dirinya dari kekuasaan dosa, maka Tuhan Allah mengutus Anak-Nya sendiri di dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa (Rm. 8:3). Di dalam daging ituah Kristus memantulkan hidup ilahi dengan cara yang sempurna. Artinya, Ia hidup di dalam suasana kudus, benar dan kasih, serta menaati kehendak Allah. Dengan menjadi daging itu, Ia merendahkan diri-Nya agar Ia mewakili kita di dalam pengadilan Allah. Dengan cara demikian itulah Ia memperbaharui manusia sehingga manusia menjadi serupa dan segambar dengan Allah, yaitu hidup di dalam kebenaran dan kekudusan. Dengan demikian, teranglah bahwa hal Firman yang menjadi daging atau menjadi manusia jika ditinjau lebih dalam itu berlainan dengan ajaran Sapta Darma perihal cahaya Allah. Anak Allah dalam hidup sebagai manusia justru hidup di dalam ketaatan kepada kehendak Allah untuk mengalahkan dosa. Tetapi di dalam Sapta Darma Allah justru dikuasai oleh dosa di dalam keadaan-Nya sebagai manusia. Menurut Kristen, Anak Allah di dalam keadaan manusia itu mengungkapkan kasih Allah kepada manusia, yaitu dengan memasuki kesengsaraan-Nya, tetapi Sapta Darma mengajarkan bahwa Roh Suci karena terpenjara di dalam tubuh. Akhirnya, menurut Kristen, Anak Allah 84 di dalam keadaan manusia itu mati bagi dosa, sekali untuk selamanya, tetapi Sapta Darma mengajarkan bahwa Roh Suci terus-menerus menjadi manusia.11 d) Kelepasan Manusia Baik Sapta Darma maupun Kristen mengajarkan bahwa manusia dapat mendapatkan kelepasan. Sapta Darma mengajarkan bahwa manusia dapat dilepaskan dari menjadi permainan hawa nafsunya, sehingga ia dapat bersekutu dengan Tuhan. Jalan yang harus ditempuh manusia adalah bahwa pertama ia harus mengenal dirinya sendiri. Ia harus tahu terlebih dahulu bahwa ia berasal dari Tuhan Allah, baik sebagai pletikan-Nya maupun sebagai sinar cahaya-nya ataupun sebagai bayangan-Nya. dari sini ia akan menyadari betapa celaka ia, karena dioermainkan oleh hawa nafsunya. Selanjutnya, ia harus “bertobat”, mengubah tujuan hidup, yaitu dari mengarahkan hidupnya ke luar menjadi mengarahkan hidupnya ke dalam. Akunya yang rendah harus diselamkan dari bagian hidupnya yang sadar ke dalam bagian hidupnya yang tidak sadar, yang tidak dapat diketahui, yang gelap, sunyi dan kosong. Di situlah ia akan bertemu dengan intisari hidupnya dan bersekutu dengan Yang Mutlak, Yang Suci, dan Kosong. Di situ akan terjadi peleburan kawula Gusti, peleburan hamba dan Tuhan, di mana hamba akan dilarutkan ke dalam Tuhannya. Kristen juga mengajarkan bahwa manusia dapat dilepaskan dari kekuatan dosa, sehingga dapat bersekutu dengan Tuhannya. Kristen juga mengajarkan bahwa manusia dikuasai oleh dosa, sehingga manusia 11 Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 178-179. 85 hidupdengan berakar di dalam dosa. Akan tetapi, Kristen tidak mengajarkan bahwa sebenarnya masih ada bagian manusia suci. Kristen ttidak mengajarkan adanya dua macam aku, yaitu aku yang rendah dan aku yang tinggi. Sapta Darma mengajarkan bahwa ada jalan kembali yang dapat diusahakan oleh manusia sendiri untuk menemuai Allahnya, sedangkan Kristen mengajarkan bahwa jalan yang demikian itu tidak ada. Manusia tidak dapat menemukan ataupun membuat jalan kembali kepada Allah. Keselamatan manusia hanya bergantung kepada Tuhan Allah. Tuhan Allahlah yang karena kekayaan kemurahan-Nya sudah mendamaikan diriNya sendiri dengan manusia berdosa, yaitu di dalam Anak-Nya, Yesus Kristus, Manusia tinggal menerimanya, yaitu dengan imannya. Dilihat dari pihak manusia, iman adalah alat untuk menerima keselamatan dari Allah, tetapi dilihat dari pihak Allah iman adalah pemberian anugerah Tuhan Allah. Ciri khas iman ialah, bahwa mata orang bukan harus diarahkan ke dalam, melainkan ke luar. Dengan iman orang bukan harus menyelam dari kesadarannya ke dalam bawah sadarnya yang sunyi dan kosong, melainkan orang harus menyerahkan mata rohaninya senantiasa kepada Tuhannya. Sebab segera seteah mata itu mengembara dari Tuhannya kepada hal-hal yang lain, maka orang akan jatuh ke dalam dosa. Buah kelepasan atau buah perdamaian Allah adalah bahwa manusia diperkenankan bersekutu dengan Tuhan Allah. Tetapi persekutuan ini bukan peleburan hamba dan Tuhan, di mana tiada lagi 86 perbedaan antara yang menyembah dan yang disembah. Di dalam persekutuan ini manusia bukan dilarutkan ke dalam Zat Tuhan, sebab manusia tetap manusia, yaitu makhluk, dan Tuhan tetap Tuhan, yang berbeda sekali dari manusia. Hal ini tidak berarti bahwa orang beriman di dalam dunia ini sudah mendapat kesempurnaan. Sebab menurut Injil, hari kemerdekaan kemuliaan para anak Allah itu baru akan dinyatakan kelak pada akhir zaman, yaitu jika Tuhan Yesus datang kembali untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati (Rm. 8:18-23). Oleh karena itu, perjalanan orang beriman sekarang ini baru dengan iman, bukan dengan penglihatan (2 Kor. 5:7). Sekarang ini orang beriman baru melihat dalam cermin gambaran yang samar-samar, tetapi nanti akan melihat muka dengan muka, sekarang ia hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti ia kan mengenal dengan sempurna, seperti ia sendiri dikenal (1 Kor. 13:12). Menurut Kristen, apa yang akan dianugerahkan dengan sempurna pada akhir zaman adalah lanjutan dari apa yang sekarang sudah dianugerahkan kepada orang beriman. Oleh karena itu, maka persekutuan dengan Allah yang secara sempurna, yang kelak akan dianugerahkan itu, bukan peleburan hamba dan Tuhan. Juga di situ masih ada perbedaan antara yang menyembah dan yang disembah. Sbeba Tuhan adalah Tuhan, dan manusia adalah makhluk-Nya.12 12 Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 179-182 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Konsep ketuhanan Sapta Darma dengan Kristen jelas berbeda. Jika Sapta Darma mempercayai konsep Tuhan yang satu, maka Kristen ada konsep tritunggal. Namun tetap ada sisi persamaannya meskipun persamaannya bersifat general (juga dimliki dalam konsep ketuhanan agama lain), yaitu perihal sifat-sifat utama (baik) Tuhan yang ada di dalam Sapta Darma maupun didalam Kristen yaitu penyebutan sifat Tuhan; Mahaagung, yang dimaksud Mahaagung disini adalah tidak ada satu pun yang memiliki sifat yang sama dengan Allah tersebut. Maka dari itu, manusia harus memiiki watak berbudi luhur sesama umat seperti apa yang dimiliki sifat oleh Allah yang maha Agung itu sendiri, MahaRokhim, yang dimaksud Maharohim disini adalah tidak ada yang bisa menyerupai kasih sayang. Maka dari itu, manusia harus memiliki watak kasih sayang kepada sesama umat. Mahaadil, yang dimaksud Mahaadil disini adalah tidak ada yang bisa menyamai keadilan Allah tersebut. Maka manusia harus memiliki keadilan kepada siapa saja dan tidak boleh membeda-bedakan sesama umat. Mahawawesa, yang dimkasud Mahawasesa disini adalah Allah Merupakan penguasa alam dan tidak ada yang menyerupai kekuasaannya. Maka dari itu, kita manusia diberikan kekuasaan untuk memenuhi kebutuhan 87 88 jasmani dan rohani. dan Mahalanggeng. Yang dimaksud dengan Mahalanggeng disini adalah Allah itu memiliki sifat yang abadi dan tidak ada yang bisa menyamai keabadiannya. Maka dari itu manusia harus memiliki sifat keabadian rohani dari rohani asal sinar cahaya Allah dan jasmani asal dari sari-sari bumi. Serta manusia harus belajar supaya memiliki sifat budi yang luhur. Keduanya memiliki persamaan dalam memaknai sifat-sifat Tuhan tersebut. Selain itu, juga baik Kristen maupun Sapta Darma, keduanya samasama menyebut Tuhan mereka dengan pengucapan yang sama, yaitu Allah (dengan “a” Alla(a)h, bukan “o” Alla(o)h). Serta keduanya menyebutkan bahwa konsep emanasi, alam ini, khususnya manusia adalah bagian dari Tuhan menurut konsep Kristen dan Sapta darma keduanya adalah suatu tindakan dari Tuhan itu sendiri, dimana dalam Sapta Darma dan Kristen menyatakan Manusia berasal dari Roh Suci (Pancaran Tuhan), sehingga manusia memiliki sifat Tuhan itu sendiri. B. Saran Harus diakui bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna, terutama dalam pemilihan temanya yang kurang menarik bagi masyarakat luas. Penulis menyarankan untuk siapa saja yang membaca skripsi ini agar dapat melihat kekurangan skripsi ini untuk selanjutnya dilengkapi dengan skripsi atau karya tulis lainnya, sehingga dapat menjadi rujukan bagi pembaca lainnya yang kurang puas dengan skripsi ini. Saran penulis bagi pembaca yang hendak melakukan penelitian lanjutan berkaitan dengan skripsi ini adalah ambil materi unik dan menarik 89 (berbeda) yang tidak ada di agama-agama besar, seperti halnya mengenai Racut. Ini sangat menarik, karena seolah-olah kita diajak untuk dapat merasakan kematian dan bertemu Tuhan dalam kondisi hidup. Ini akan menjadi materi yang segar dan lebih inspiratif dari skripsi ini. Namun, penulis tetap berharap setidaknya skripsi ini dapat memberikan wawasan baru bagi pembaca dan menambah khazanah pengetahuan bidang Studi Agama-agama. DAFTAR PUSTAKA Abdul Hakim, Atang dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum: dari Metologi sampai Teosofi. Bandung: Pustaka Setia, 2008. Ali, Mukti (Ed). Agama –agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988. Al-Qur’an dan Terjemahnya Edisi Ilmu Pengetahuan. Bandung: Al-Mizan, 2009. Al-Maliki, Ahmad Ibn Muhammad Al-Showi. Hasyiyah al-Allamah Al-Showi 'ala Tafsir Al-Jalalain Juz I. Jeddah: Al-Haramain, t.t. Browning, W.R.F. Kamus Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010. Hadiwijono, Harun. Apa dan Siapa Tuhan Allah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974. _______________. Firman Hidup: Seri 6. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1971. _______________. Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986. _______________. Inilah Sahadatku. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981. _______________. Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan, 1983 ______________. Kebatinan dan Injil. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983. ______________. Kebatinan dan Injil. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012. ______________. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1980. Herdiansyah, Haris. Metodologi Humanika, 2012. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba Heuken, SJ. A. Ensiklopedi Gereja. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2004. Djam’annuri. “Agama Kristen” dalam Mukti Ali (ed). Agama-agama di Dunia Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988. Lohse, Bernhard. Pengantar Sejarah Dogma Kristen.Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1963. Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press, 2010. Pawenang, Sri. Buku Wewerah KerokhanianSapta Darma Jilid 1. Yogyakarta: Sekretariat tuntunan Agung Unit Penerbitan Surokarsan, 1968. Quthb, Sayyid. Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an: Di Bawah Naungan Al-Qur’an Jilid 1.Jakarta: Rabbani Press, 2011. 90 91 Rahnip. Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam Sorotan. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Rahman, Rolly. Konsepsi Sujud Dalam Ajaran Sapta Darma. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin Program Studi Perbandingan Agama, 2013. Sejarah Penerimaan Wahyu Wewewrah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama Edisi Pertama. Yogyakarta: Sekretariat Tuntunan Agung Kerokhanian Sapta Darma Unit Penerbitan, 2010. Sou’yb, Joesoef. Agama-agama Besar di Dunia. Jakarta: Al husna Zikra, 1996. S, Suwarno Imam. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan Jawa. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Sambas, Abas. Konsepsi Wahyu dalam Ajaran Sapta Darma. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin Program Studi Perbandingan Agama, 2011. Sutrisno, Hadi. Metodologi Riset. Yogyakarta: Andi Ofset, 1982. Suprayogo, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003. Taunuzi, Iwan. Monoteisme Kriten dalam Perdebatan: Mengurai Doktrin Ketuhanan menurut Jamaat Allah Global Indonesia (JAGI) Semarang. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin Program Studi Perbandingan Agama, 2009. Situr Internet: http://alkitab.sabda.org https://id.wikipedia.org https://mahbubrisad.wordpress.com https://deuteronomi.wordpress.com/tentang-gnostik/ http://www.referensimakalah.com/2012/07/pengertian-emanasi-pengantar.html Software: Kamus 2.04 KBBI offline 1.5.exe