EVIDENCE-BASED CASE REPORT MANFAAT LAKTULOSA PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS DENGAN ENSEFALOPATI HEPATIK MINIMAL Oleh: dr. Riahdo J. Saragih 0806359870 PROGRA M PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I DIVISI HEPA TOLOGI - DEPA RTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERA N UNIVERSITAS INDONESIA RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO JANUARI 2012 BAB I PENDAHULUAN Ensefalopati hepatik merupa kan suatu sindroma neuropsikiatri kompleks yang reversibel, bisa sebagai komplikasi penyakit hati akut maupun kronik, biasanya berhubungan dengan gangguan fungsi hepatoseluler, gangguan pintasan portosistemik, atau kombinasi keduanya. Kondisi ini disebut juga ensefalopati portosistemik atau koma hepatikum.1 Sekitar 40% pasien dengan sirosis hati dalam perjalanan penyakitnya pernah mengalami ensefalopati hepatik. Spektrum klinis yang ditemukan cukup luas mulai dari subklinis /minimal sampai suatu keadaan koma. Amonia merupakan salah satu faktor yang berperan dalam patogenesis ensefalopati hepatik. Obat-obatan yang dapat menurunkan produksi dan penyerapan amonia telah diketahui dapat memperbaiki kondisi pasien dengan ensefalopati hepatik. Salah satu modalitas terapi yang sering diberikan adalah laktulosa (beta-galactosidofructose). Obat ini dimetabolisme oleh bakteri kolon menjadi asam lemak rantai pendek sehingga pH kolon menjadi rendah. Dalam kondisi lingkungan intralumen yang asam, a monia yang terbentuk dari NH3 lebih banyak yang bersifat nonabsorbable NH4 + sehingga mengurangi konsentrasi amonia dalam plasma.2 American College of Gastroenterology dalam rekomendasinya (2001) menyatakan bahwa laktulosa merupakan terapi farmakologis lini pertama untuk ensefalopati hepatik.3 Namun demikian diakui pula dalam guideline tersebut bahwa rekomendasi didasarkan pada studi-studi yang kurang baik desainnya. Dengan kata lain efektifitas laktulosa masih diragukan sekalipun telah digunakan sebagai terapi standar. Mengingat laktulosa hampir secara rutin diberikan pada kasus ensefalopati hepatik di ruang perawatan baik sebagai terapi maupun pencegahan, pemberiannya perlu mempertimbangkan kemampuan pasien (secara finansial dan kepatuhan) serta manfaat yang telah terbukti secara ilmiah. Untuk itu pada laporan ini disajikan ilustrasi kasus dan hasil penelusuran yang menilai manfaat pemberian laktulosa dalam memperbaiki keadaan pasien dengan ensefalopati hepatik. BAB II ILUSTRASI KASUS Pasien laki-la ki 63 tahun datang dengan keluhan buang air besar (BAB) berdarah sejak delapan jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Warna feses kehitaman. Pasien tampak gelisah dan tidak mengenali istrinya. Riwayat makan tinggi protein, muntah darah, trauma, demam, batuk, dan sakit perut sebelumya disangkal. Pasien diketahui menderita sirosis hati dan hepatitis B kronik sejak delapan tahun yang lalu. Saat itu terdapat keluhan muntah darah dan BAB hitam yang pertama kali. Ligasi telah dilakukan sebanyak 14 kali dalam kurun waktu delapan tahun terakhir dan tidak pernah terjadi perdarahan. Pada saat evaluasi EGD tiga bulan yang lalu, pasien mulai tampak pikun dan didiagnosis dementia. Keluhan yang sering dirasakan sejak saat itu adalah sering tampak gelisah, sulit tidur pada malam hari, inkontinensia uri dan alvi. Selama ini pasien mengkonsumsi secara rutin propranolol 2 x 10 mg, vitamin K 3 x 1 tablet, aldacton 1 x 100 mg, inpepsa 3 x C1, omeprazol 2 x 20 mg, dan lactulax 3 x C1. Pasien masih bisa makan dengan baik. Riwayat jatuh dan imobilisasi disangkal. Diagnosis diabetes melitus (DM) sudah ada sejak 15 tahun yang lalu dan obat terakhir yang digunakan adalah Humulin-R 8-0-4 unit. Pasien pernah mendapat transfusi darah. Pasien datang dengan keadaan kompos mentis dengan bicara agak meracau, tekanan darah 100/60 mmHg, pernafasan 16 kali/menit, nadi 62 kali/menit, dan suhu 36.5 oC. Konjungtiva pucat, namun sklera tidak ikterik. Pada leher, paru dan jantung tidak ditemuka kelainan yang bermakna. Abdomen tampak buncit tanpa ada venektasi maupun kaput medusa. Dinding abdomen lemas, tidak ditemukan nyeri, hepar tidak membesar, dan lien teraba sesuai Schuffner II. Pada perkusi ditemukan shifting dullness dan pada auskultasi bising usus masih normal. Tidak ditemukan edema perifer maupun palmar eritema, namun terdapat flapping tremor. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 5,69 g/dL, Ht 16,2%, leukosit 2.490/uL, trombosit 24.900/uL. GDS 247 mg/dL, Na 134 mEq/L, K 5,04 mEq/L, Cl 107 mEq/L, ureum 33,3 mg/dL, kreatinin 1,1 mg/dL, bilirubin total 1,81 mg/dL, direk 0,61 mg/dL, indirek 1,2 mg/dL, SGOT 33 U/L, SGPT 16 U/L, PT 16,5 s (kontrol 11,4 s), APTT 52,6 s (kontrol 31,3 s), fibrinogen 182,1 mg/dL, DDimer 1,3 mg/L. Dari pemeriksaan sebelumnya diperoleh data albumin 3,4 mg/dL dan HbA1c 6,3%. Hasil USG abdomen ditemukan sirosis hepatis dengan pelebaran vena portohepatika dan vena lienalis, splenomegali, tanpa a danya a scites. Pemeriksaan EGD ditemukan varises esofagus grade-1 disertai gastropati hipertensi portal berat. Pada pasien ditegakkan masalah melena akibat pecah varises esofagus, sirosis hepatis ChildPough B akibat hepatitis B kronik dengan ensefalopati hepatikum grade-1, pansitopenia, DMT2, dementia, inkontinensia urin et alvi. BAB III METODE PENELU SURAN Masalah Klinis Apakah terdapat manfaat pemberian laktulosa pada pasien sirosis hati dengan ensefalopati hepatik? Patient • sirosis • ensefalopati hepatik Interv ention • laktulosa Comparison - Outcome • perbaikan Metode Penelusuran Pencarian literatur untuk menjawab pertanyaan klinis tersebut dilakukan secara penelusuran pus taka on-line dengan menggunakan mesin pencari PubMed. Kata kunci yang digunakan adalah: 1. cirrhosis AND hepatic encephalopathy AND lactulose AND adult AND benefit 2. cirrhosis AND hepatic encephalopathy AND lactulose AND adult AND improvement 3. cirrhosis AND hepatic encephalopathy AND lactulose AND adult AND efficacy 4. cirrhosis AND hepatic encephalopathy AND lactulose AND adult AND prophylaxis BAB IV HASIL PENELUSURAN Pada penelusuran dengan kata kunci “efficacy” ditemukan 20 artikel namun hanya 2 artikel yang relevan dengan permasalahan. Dengan kata kunci “improvement” ditemukan sebanyak 25 artikel namun hanya 4 artikel yang relevan dengan permasala han. Sebanyak 7 artikel ditemukan dengan kata kunci “prophylaxis” dan hanya 2 artikel yang relevan. Dari 8 penelitian yang menilai manfaat laktulosa pada pasien sirosis hati dengan ensefalopati hepatik, 3 artikel dieksklusi karena dipublikasi sebelum tahun 2000 dan telah ada penelitian baru dengan tujuan yang sama. Satu studi meta-analisis ditemukan melalui pencarian dengan cara yang lain. Berikut adalah pembahasan mengenai artikel-artikel penelitian yang dipilih. 1. Studi oleh Dhiman RK (2000) bertujuan menilai peranan la ktulosa dalam pengobatan ensefalopati hepatik subklinis (SHE).4 Terda pat 40 pasien dengan sirosis hati subklinis (33 laki-laki dan 7 perempuan) menjalani pemeriksaan psikometrik kuantitatif yaitu: number connection tests (NCT), figure connection test (FCT) bagian A dan B, picture completion, dan block design. Diagnosis ensefalopati hepatik ditegakkan apabila ditemukan minimal dua hasil abnormal. Secara random, pasien yang mengalami ensefalopati hepatik subklinis dibagi menjadi treatment group (laktulosa; SHE-L) dan no-treatment group (SHE-NL). La ktulosa yang diberikan 30-60 ml dalam dosis terbagi dua kali sehari selama tiga bulan dengan target dua sampai tiga kali defekasi sehari dengan feses luna k. Dari 26 pasien (65%) yang didiagnosis SHE, 14 pasien masuk dalam grup SHE-L dan 12 masuk dalam grup SHE-NL. Karakteristik pasien dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Karakteristik klinis pasien. Nilai normal untuk masing-masing pemeriksaan disajikan pada Tabel 1.2. Selain FCT-A, tidak ada perbedaan bermakna dalam skor tes psikometrik diantara kedua grup sebelum pemeriksaan. Sebanyak 4 pasien dari grup SHE-L dan 4 pasien dari grup SHE-NL mengalami drop out. Tabel 1.2. Nilai normal tes psikometrik dan prevalensi pada subyek. Hasil akhir penelitian (end point) adalah rerata jumlah tes psikometrik yang abnormal. Didapatkan bahwa pada grup SHE-L menurun secara bermakna (2.9 ± 0.9 vs 0.8 ± 1.2; P = 0.004) setela h tes psikometrik diulang tiga bulan kemudian. Tidak ada perubahan bermakna pada grup SHE-L, bahkan dua pasien pada grup tersebut berkembang menjadi overt encephalopathy. Tabel 1.3. Perbedaan rerata jumla h test psikometrik yang abnormal SHE mengalami perbaikan pada 8 (80%) pasien dengan pemberian laktulosa dan tetap ada pada 8 (100%) pasien yang tidak mendapat pengobatan. Dari studi tersebut peneliti mengambil kesimpulan bahwa laktulosa efektif sebagai terapi pada pasien sirosis hati dengan SHE. 2. Studi yang dilakukan Prasad (2007) bertujuan untuk menilai pengaruh terapi terhadap performa psikomotor dan health-related quality of life (HRQOL) pada pasien dengan minimal hepatic encephalopathy (MHE).5 Dia gnosis sirosis hati ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, biokimiawi, ultrasonografi, dan data histologi. Dia gnosis MHE ditegakkan berdasarkan kombinasi penilaian neurofisiologis yang terdiri dari NCT (A dan B), FCT (A dan B), Wechsler Adult Intelligence Scale (picture completion test dan block design test). Perubahan HRQOL dinilai dengan menghitung perubahan nilai Sickness Impact Profile (SIP). Dari 210 pasien dengan sirosis hati, 90 pasien (42,9%) memenuhi kriteria untuk mengikuti penelitian dengan perbandingan 80 la ki-laki dan 10 perempuan. Sebanyak 29 pasien tidak mengalami MHE (NMHE) dan 61 pasien (67,7%) mengalami MHE yang secara acak (randomized) dibagi la gi menjadi MHE-L (mendapat la ktulosa 30-60 ml/hari selama 3 bulan; 31 pasien) dan MHE-NL (tanpa laktulosa; 30 pasien). Tabel 2.1. Karakteristik klinis dan demografi pasien. Tabel 2.2. Perubahan rerata skor neurofisiologis pada masing-masing kelompok Oleh karena berbagai alasan, di akhir studi grup MHE-L menjadi 25 pasien dan MHE-NL 20 pasien. Rerata nilai tes neurofisiologis turun bermakna (baseline, 2.74 [95% CI 2.40-3.08]; setela h 3 bulan , 0.75 [95% CI .36-1.16]) dibandingkan kelompok yang tidak mendapat laktulosa (baseline, 2.47 [95% CI 2.19-2.74]; setelah 3 bulan, 2.55 [95% CI 2.16-2.94]); multivariate analysis of variance (MANOVA) untuk waktu dan pengobatan dengan P=0.001. Rerata total SIP mengalami perbaikan bermakna (baseline, 10.39 [95% CI 9.36-11.43]; setelah 3 bulan, 3.77 [95% CI 2.52-5.02]) dibandingkan kelompok tanpa laktulosa (baseline, 10.36 [95% CI 8.98-11.73]; setela h 3 bulan, 10.39 [95% CI 8.36-12.42]); MANOVA untuk waktu dan pengobatan dengan P=0.002. Hasil ini dapat dilihat pada Tabel 2.2, 2.3, dan 2.4. Tabel 2.3. Skor SIP pada masing-masing kelompok. Tabel 2.4. Perubahan skor stiap skala SIP pada kelompok MHE-L dan MHE-NL. Dari studi ini para peneliti menyimpulkan bahwa pemberian laktulosa pada pasien sirosis dengan MHE akan memperbaiki fungsi kognitif dan HRQOL. Namun demikian tidak dapat ditentukan apakah laktulosa dapat mencegah atau memperlambat progresi menjadi overt-HE sehingga disarankan untuk melakukan studi prognostik. 3. Sharma BC (2009) melakukan studi untuk menilai pengaruh laktulosa dalam pencegahan ensefalopati hepatik berulang (profila ksis sekunder).6 Pasien yang dijadikan subyek penelitian telah didiagnosis sirosis hati tanpa adanya karsinoma hepatoseluler. Pasien menjalani pemeriksaan FCT (A dan B), NCT (A dan B), object assembly test, digit symbol test, critical flicker frequency test (CFF), dan kadar amonia. Studi ini melibatkan 140 pasien sirosis hati dengan profil yang dapat dilihat pada Tabel 3.1. Follow up direncanakan minimal selama 6 bulan dengan pembagian kelompok dan intervensi laktulosa yang serupa seperti studi sebelumnya. Tabel 3.1. Profil klinis dan demografis kedua grup. Dari 61 pasien kelompok HE-L yang akhirnya diikutkan dalam, sebanyak 12 (19,6%) mengalami overt ensefalopati hepatik. Pada kelompok HE-NL terdapat 30 (46,8%) dari 64 pasien yang berkembang menjadi overt ensefalopati hepatik. Infeksi sebagai faktor presipitasi lebih sering ditemukan pada kelompok HE-NL (5 [42%] pada HE-L dan 16 [53.3%] pada HE-NL; P =0.01). Tidak ada perbedaan dalam waktu median terjadinya ensefalopati hepatik berulang (7.5 bulan pada HE-L dengan 6.0 bulan pada HE-NL; p=0,27). Tidak ada perbedaan bermakna persentase kematian kedua kelompok (5 (8%) pada HE-L dan 11 (17%) pada HE-NL; p=0.18). Dengan intention-to-treat analysis diperoleh perbedaan bermakna angka rekurensi ensefalopati hepatik (21 [30%] dari 70 pasien pada HE-L dan 34 [48.5%] dari 70 pasien pada HE-NL group; P =0.03). Adanya nilai abnormal tes psikometrik yang ≥ 2 pada baseline berkorelasi dengan perkembangan menjadi overt ensefalopati hepatik (r = 0.369, P = 0.02). Sebagai kesimpulan, laktulosa efektif mencegah terjadinya ensefalopati hepatik berulang. 4. Sharma (2011) melakukan studi untuk menilai efikasi laktulosa dalam pencegahan ensefalopati hepatik pada pasien sirosis hati yang mengalami perdarahan saluran cerna atas (upper gastrointestinal bleeding/UGIB).7 Pasien yang disertakan dalam studi ini adalah pasien yang mengalami UGIB dalam 24 jam pertama dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan endoskopi. Desain studi dapat dilihat pada Gambar 4.1 dan karakteristik pasien pada Tabel 4.1. Gambar 4.1. Desain penelitian. Tabel 4.1. Karakteristik dasar pasien. Diperoleh pula data bahwa tidak ada perbedaan baseline antara kedua kelompok dalam hal karakteristik perdarahan. Dosis laktulosa yang diberika n 30 mL tiga sampai empat kali sehari. Sebanyak 5 pasien (14%) pada kelompok laktulosa menjadi ensefalopati hepatik sedangkan pada kelompok non-laktulosa sebanyak 14 pasien (40%); p=0.03. Namun demikian tidak ada perbedaan angka kematian dan lama perawatan. Tabel 4.2. Outcome primer dan sekunder pada kedua kelompok. Dari perbandingan karakteristik baseline, skor Child-Turcotte-Pugh, skor MELD, level amonia arterial, leukosit, bilirubin total, MAP yang lebih rendah secara signifikan berbeda di antara kelompok yang mengalami ensefalopati hepatis dan yang tidak. Dari analisis multivariat diketahui pula bahwa kadar amonia arterial baseline, kebutuhan transfusi selama perawatan, dan pemberian laktulosa merupakan prediktor terjadinya ensefalopati hepatik. Absolute risk reduction (ARR) untuk laktulosa adalah 26,2% dengan relative risk reduction (RRR) 65,5% dan number needed to treat (NNT) 3,8. Tabel 4.3. Analisis multivariat terjadinya ensefalopati hepatik. Dari data-data tersebut disimpulkan bahwa pemberian laktulosa efektif dalam mencegah ensefalopati hepatik pada pasien dengan sirosis hati dan perdarahan akut saluran cerna atas. 5. Sharma P (2010) melakukan studi terhadap pasien sirosis hati yang mengalami ensefalopati hepatik selama kurun waktu 2006-2009.8 Tujuan penelitian tersebut adalah untuk menilai faktorfaktor yang menjadi prediktor nonresponse terhadap pemberian laktulosa. Dari 231 pasoen yang memenuhi kriterian, sebanyak 180 pasien (78%) memberikan respon terhadap laktulosa dan 64 pasien (28%) meninggal dunia dalam perawatan. Didapatkan bahwa skor MELD pada pasien yang meninggal secara signifikan lebih tinggi daripada yang bertahan hidup (22.6±3.8 dan 19.7±4.2, P=0.001). Dari 51 pasien (22%) yang tidak memberikan respon terhadap laktulosa, sebesar 34 pasien (15%) meninggal dunia tanpa adanya perbaikan dari ensefalopati hepatik, bahkan setelah laktulosa dilanjutkan selama sepuluh hari. Apabila baseline dari non-responder dan responder dibandingkan, maka terdapat perbedaan yang signifikan pada usia (42.0±11.9 dan 46.6±12.7 tahun, P=0.02), leukosit total (median, 9300 dan 7300 sel/mm3, P=0.001), kadar natrium serum (129.9±6.2 dan 133.7±7.1 mmol/l, P=0.001), skor MELD (22.9±3.8 dan 19.9±4.2, P=0.001), mean arterial pressure (77.9±10.0 dan 86.3±8.7 mmHg, P=0.001), SGOT serum (median, 114 dan 76 IU/l, P=0.01), SGPT serum (median, 84 dan 48.5 IU/l, P=0.001), SBP [18 (35%) dan 37 (21%), P=0.02], dan adanya karsinoma hepatoseluler [17(33%) dan 14 (7%), P=0.001). Tabel 5.1. Perbandingan baseline non-responder dan responder terhadap laktulosa. Analisis receiver operating characteristic (ROC) dilakukan dan diperoleh cut-off prediktor nonrespon yaitu leukosit total 7.350 sel/mm3 ; skor MELD 21; natrium serum 130.5 mmol/L; dan MAP 79 mmHg. Analisis multivariat yang dilakukan menunjukkan bahwa leukosit total, MELD, MAP, dan karsinoma hepatoselular merupakan prediktor independen tidak respon terhadap pemberian laktulosa. Tabel 5.2. Analisis univariat dan multivariat variabel prediktor Kombinasi skor MELD (>21), nilai MAP (<79 mmHg), dan ada tidaknya karsinoma hepatoseluler menjadi prediktor dengan akurasi paling tinggi (81%). Dari studi tersebut disimpulkan bahwa la ktulosa efektif pada 78% pasien sirosis hati yang mengalami ensefalopati hepatik. Skor MELD yang tinggi, adanya leukositosis, rendahnya MAP dan natrium serum, serta adanya karsinoma hepatoseluler merupakan faktor prediktor bahwa pemberian la ktulosa tidak akan efektif. 6. Sebuah meta-analisis dilakukan oleh Als-Nielsen pada tahun 2004 dengan tujuan menilai efektifitas non-absorbable disaccharides (laktulosa dan laktitol) pada ensefalopati hepatik. 9 Dari literatur yang ditemukan (rentang waktu 1969-2000) terdapat dua kelompok perbandingan yang dilakukan yaitu antara laktulosa dengan tanpa laktulosa dan antara laktulosa dengan antibiotik. Ditemukan 10 studi (280 pasien) yang membandingkan antara laktulosa/laktitol dengan grup yang tidak mendapat intervensi tambahan. Empat studi tidak disertakan dalam analisis oleh karena tidak disajikan dalam bentuk data numerik. Dari total enam studi (207 pasien), laktulosa dinyatakan dapat menurunkan risiko ensefalopati hepatik secara bermakna (Gambar 6.1). Namun demikian apabila dilakukan stratifikasi berdasarkan kualitas desain studi, hasil tersebut menjadi tidak bermakna. Dua penelitian dengan kualitas tinggi (adequate allocation concealment dan adequate blinding) justru menunjukkan hasil yang tidak bermakna. Gambar 6.1. Perbandingan laktulosa dan plasebo/tanpa intervensi pada enam studi. Pada dua kelompok tersebut didapatkan hasil bahwa angka mortalitasnya tidak berbeda (RR=0.41; 0.02 - 8.68, empat studi). Pada studi ini disimpulkan bahwa pemberian laktulosa sebagai terapi standar dalam pengobatan ensefalopati hepatik tidak didukung oleh data yang cukup baik yang menunjukkan manfaatnya. Tabel 7. Resume penelitian. Peneliti (tahun) Desain Laktulosa (do sis) Pembanding Hasil Dhiman, dkk (2000) RCT (not blind) N = 14 (K = 12) 3 bulan 30-60 mL dalam 2-3 dosis terbagi Tanpa laktulosa La ktulosa efektif sebagai terapi pada pasien sirosis hati dengan ensefalopati hepatik subklinis Prasad, dkk (2007) RCT (not blind) N = 31 (K = 30) 3 bulan 30-60 mL dalam 2-3 dosis terbagi Tanpa laktulosa Pemberian la ktulosa pada pasien sirosis dengan ensefalopati hepatik minimal akan memperbaiki fungsi kognitif dan health-related quality of life Sharma, dkk (2009) RCT (not blind) N = 70 (K = 70) 6 bulan 30-60 mL dalam 2-3 dosis terbagi Tanpa laktulosa La ktulosa efektif mencegah terjadinya ensefalopati hepatik berulang pada pasien dengan sirosis hati Sharma, dkk (2011) RCT (not blind) 30 ml; 3-4 kali sehari N = 35 (K = 35) 120 jam setelah randomisasi Tanpa laktulosa La ktulosa efektif dalam mencegah ensefalopati hepatik pada pasien dengan sirosis hati dan perdarahan akut saluran cerna atas Sharma, dkk (2010) Kohort N = 231 10 hari Semua pesien diberi laktulosa sampai target defekasi 2-3 feses semisolid sehari La ktulosa efektif pada 78% pasien s irosis hati yang mengalami ensefalopati hepatic. Skor MELD yang tinggi, adanya leukositosis, rendahnya MAP dan natrium serum, serta adanya karsinoma hepatoseluler merupakan faktor prediktor bahwa pemberian laktulosa tidak akan efektif Als-Nielsen, dkk (2004) Meta -analisis 6 studi N = 207 Median 15 hari Median 50 g/hari (range 30 g sampai 84 g/hari) Tidak ditemukan data yang cukup untuk mendukung maupun menyangkal penggunaan nonabsorbable disaccharides pada ensefalopati hepatik Glukosa Sakarosa No-treatment BAB V KESIMPULAN 1. Beberapa studi dengan kualitas yang baik (randomized) telah dilakukan untuk menilai manfaat la ktulosa. 2. La ktulosa bermanfaat memperbaiki ensefalopati hepatik minimal pada pasien sirosis hati terutama fungsi kognitif dan kualitas hidup. 3. La ktulosa dapat mencegah perkembangan ensefalopati hepatik minimal menjadi kondisi lebih berat (ensefalopati hepatik overt) dan efektif sebagai profilaksis pada pasien dengan perdarahan akut saluran cerna bagian atas. 4. La ktulosa kurang bermanfaat pada pasien dengan skor MELD > 21, MAP < 79 mmHg, dan pasien sirosis hati yang telah memiliki karsinoma hepatoseluler. DAFTAR PUSTAKA 1. Tarigan P. Ensefalopati hepatik. Dalam: Sulaiman A, et al (Editor). Buku ajar ilmu penyakit hati. Edisi-1. Jakarta: Jayabadi, 2007.p.407-19. 2. Al-Sibae MR, McGuire BM. Current trends in the treatment of hepatic encephalopathy. Therapeutics and Clinical Risk Management 2009:5;617-26. 3. Blei AT, Cordoba J. Hepatic encephalopathy. Am J Gastroenterol 2001;96:1968-76. 4. Dhiman RK, Sawhney MS, Chawla YK, Das G, Ram S, Dilawari JB. Efficacy of lactulose in cirrhotic patients with subclinical hepatic encephalopathy. Dig Dis Sci. 2000 Aug;45(8):1549-52. 5. Prasad S, Dhiman RK, Duseja A, Chawla YK, Sharma A, Agarwal R. Lactulose improves cognitive functions and health-related quality of life in patients with cirrhosis who have minimal hepatic encephalopathy. Hepatology. 2007 Mar;45(3):549-59. 6. Sharma BC, Sharma P, Agrawal A, Sarin SK. Secondary prophyla xis of hepatic encephalopathy: an open-label randomized controlled trial of la ctulose versus placebo. Gastroenterology. 2009 Sep;137(3):885-91. 7. Sharma P, Agrawal A, Sharma BC, Sarin SK. Prophylaxis of hepatic encephalopathy in acute variceal bleed: a randomized controlled trial of lactulose versus no lactulose. J Gastroenterol Hepatol. 2011 Jun;26(6):996-1003. 8. Sharma P, Sharma BC, Sarin SK. Predictors of nonresponse to lactulose in patients with cirrhosis and hepatic encephalopathy. Eur J Gastroenterol Hepatol. 2010 May;22(5):526-31. 9. Als-Nielsen B, Gluud LL, Gluud C. Nonabsorbable disaccharides for hepatic encephalopathy. BMJ, doi:10.1136/bmj.38048.506134.EE (published 30 March 2004). [disitasi 30 Januari 2012].