6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Kecacingan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi Kecacingan
Kecacingan merupakan penyakit endemik dan kronik yang diakibatkan
oleh cacing parasit (Zulkoni, 2009). Infeksi cacing tidak hanya terjadi di negara
tropis dan subtropis tetapi juga di berbagai
daerah yang tingkat kebersihan
lingkungannya rendah (Pagariya, et al., 2013). Badan Kesehatan Dunia
memperkirakan lebih dari 1,5 miliar (24%) dari penduduk dunia terinfeksi cacing
parasit dengan jumlah terbesar di wilayah Afrika, Amerika, Cina dan Asia
Tenggara (WHO., 2015). Angka kecacingan mencapai 28% (Kemenkes., 2015)
dan diperkirakan lebih dari 60% anak-anak terinfeksi cacing parasit di Indonesia
(Tjay dan Rahardja, 2002).
Prevalensi infeksi cacing yang tinggi berdampak buruk bagi kesehatan,
walaupun jarang menyebabkan kematian, namun infeksi cacing menyebabkan
penderita khususnya anak-anak mengalami kekurangan gizi, kemunduran
pertumbuhan fisik, mental, kognitif dan intelektual (Tiwow, dkk., 2013), pada
orang dewasa menyebabkan menurunnya produktivitas kerja. Kecacingan dapat
mengakibatkan menurunnya kualitas sumber daya manusia dalam jangka panjang
(Zulkoni, 2010).
2.2 Penyebab Kecacingan
Filum utama cacing yang mempengaruhi kesehatan manusia yaitu filum
Platyhelminthes dan filum Nemathelminthes. Filum Platyhelminthes terdapat 2
kelas penting, yaitu kelas Cestoda dan kelas Trematoda. Filum Nemathelminthes
6
Universitas Sumatera Utara
yang penting adalah kelas Nematoda (Soedarto, 2008). Nematoda atau cacing
bundar berbentuk bulat, tidak bersegmen, memiliki rongga tubuh dengan saluran
pencernaan dan kelamin terpisah (Zulkoni, 2010). Nematoda menyebabkan
infeksi pada usus, darah dan jaringan. Trematoda atau cacing pipih berbentuk
seperti daun dan bersifat hermaphrodit kecuali cacing hati (Zulkoni, 2010).
Cestoda atau cacing pita secara khas berbentuk pita yang besegmen, bersifat
hermaphrodit, tidak memiliki saluran pencernaan (Zulkoni, 2010) dan menempel
pada usus (Tjahyanto dan Salim, 2013).
Infeksi cacing umumnya masuk melalui mulut atau luka di kulit atau lewat
telur (kista) atau larvanya yang ada di atas tanah dan pembuangan kotoran yang
dilakukan dengan sembarangan yang tidak memenuhi syarat kebersihan (Zulkoni,
2010; Tjay dan Rahardja, 2002). Kebiasaan penggunaan kotoran sebagai pupuk
tanaman menyebabkan semakin luasnya pengotoran tanah. Persediaan air rumah
tangga dan makanan tertentu, misalnya sayuran yang tidak dicuci bersih,
kebiasaan makan masyarakat mengkonsumsi makanan mentah atau setengah
matang sepeti ikan, kerang, daging atau sayuran akan meningkatkan penderita
kecacingan, bila dalam makanan tersebut terdapat kista atau larva cacing maka
dapat mengakibatkan kecacingan pada manusia (Entjang, 2003).
Tergantung dari jenisnya, cacing tetap bermukim dalam saluran cerna atau
berpenetrasi ke jaringan. Cacing menyerap nutrisi dari tubuh manusia yang
ditumpanginya, penyerapan ini akan menyebabkan kelemahan tubuh dan penyakit,
dalam saluran pencernaan jika terdapat 20 ekor cacing dewasa, cacing-cacing
tersebut bisa menyedot 2,8 g karbohidrat dan 0,7 g protein dalam sehari (Zulkoni,
2009; Tjay dan Rahardja, 2002). Gejala dan keluhan kecacingan dapat disebabkan
oleh penyumbatan usus halus dan saluran empedu atau penarikan gizi yang
7
Universitas Sumatera Utara
penting bagi tubuh. Sering kali gejala tidak begitu nyata dan hanya berupa
gangguan lambung-usus, seperti mual, muntah, mulas, kejang-kejang dan diare
berkala dengan hilangnya nafsu makan. Tuan rumah dapat menderita kekurangan
darah akibat terinfeksi sejumlah cacing yang menghisap darah, misalnya
disebabkan oleh cacing tambang, pita dan cambuk (Tjay dan Rahardja, 2002).
2.2.1 Infeksi nematoda
Infeksi nematoda yang sering dijumpai adalah:
a. Onkoserkiasis (river blindness)
Penyakit ini disebabkan oleh Onchocerca volvulus yang ditandai dengan adanya
benjolan dibawah kulit, ruam kulit yang terasa gatal dan lesi okular yang sering
menyebabkan kebutaan (Tjahyanto dan Salim, 2013).
b. Enterobiasis (penyakit cacing kremi)
Penyebab penyakit ini adalah infeksi dari Enterobius vermicularis (Tjahyanto dan
Salim, 2013). Cacing kremi biasanya menimbulkan gatal di sekitar dubur (anus)
dan kejang hebat pada anak-anak. Infeksi ini dapat menyebabkan radang umbaiusus buntu akut (Tjay dan Rahardja, 2002). Gejala penyakit cacing kremi yaitu
gatal disekitar dubur terutama pada malam hari pada saat cacing betina
meletakkan telurnya, gelisah dan sukar tidur (Irianto, 2013).
c. Askariasis (penyakit cacing gelang)
Penyebab penyakit ini adalah Ascaris lumbricoides. Panjangnya 10-15 cm dan
biasanya bermukim pada usus halus. Cacing betina mengeluarkan telur dalam
jumlah sangat banyak, sampai 200.000 telur dalam sehari yang dikeluarkan dalam
tinja (Tjay dan Rahardja, 2002). Gejala penyakit cacing gelang yaitu adanya rasa
tidak enak pada perut (gangguan lambung), kejang perut, diselingi diare,
kehilangan berat badan dan demam (Irianto, 2013).
8
Universitas Sumatera Utara
d. Trikuriasis (penyakit cacing cambuk)
Agen penyebab penyakit ini adalah Trichuris trichiura. Umumnya terdapat di
negara beriklim panas dan lembab. Cacing cambuk bermukim di mukosa usus
halus dan usus besar dalam tubuh manusia, biasanya dengan menimbulkan
kerusakan dan peradangan (Tjay dan Rahardja, 2002). Gejala penyakit cacing
cambuk yaitu nyeri di ulu hati, kehilangan nafsu makan, diare dan anemia (Irianto,
2013).
e. Ankilostomiasis (penyakit cacing tambang)
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus. Cacing ini disebut cacing tambang atau cacing terowongan karena
terdapat di daerah tambang dan terowongan di gunung. Penularannya terjadi oleh
larva yang memasuki kulit kaki yang terluka. Setelah memasuki vena, larva
menuju ke paru-paru dan bronki, akhirnya masuk ke saluran cerna (Tjay dan
Rahardja, 2002). Cacing menempel pada mukosa usus dan menyebabkan
anoreksia dengan gejala adanya luka mengakibatkan pendarahan usus kronis yang
menyebabkan anemia, selain itu gejala penyakit ini adalah gangguan pencernaan
berupa mual, muntah, diare, nyeri ulu hati, pusing, nyeri kepala, lemas, lelah dan
gatal di daerah masuknya cacing (Irianto, 2013).
f. Trikinosis (cacing rambut)
Agen penyebab penyakit ini adalah Trichinella spiralis, biasanya disebabkan oleh
konsumsi daging yang tidak cukup matang, khususnya babi (Tjahyanto dan Salim,
2013).
g. Strongiloidiasis (penyakit cacing benang)
Penyebab penyakit ini adalah Strongyloides stercoralis (Tjahyanto dan Salim,
2013). Penularannya lewat larva yang berbentuk benang yang menembus kulit.
9
Universitas Sumatera Utara
Cacing dapat bertahan puluhan tahun lamanya di mukosa bagian atas usus halus,
ditempat ini cacing merusak jaringan dan menimbulkan reaksi radang (Tjay dan
Rahardja, 2002).
2.2.2 Infeksi trematoda
Infeksi trematoda yang sering dijumpai adalah:
a. Skistosomiasis
Penyakit ini disebabkan oleh Schistosoma mansoni dan Schistosoma japonicum
yang merupakan cacing pipih. Penyakit ini ditularkan melalui sejenis keong
sebagai pembawa larva. Parasit ini menembus kulit manusia dan memasuki
peredaran darah. Skistosomiasis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
disebarkan melalui air yang terinfeksi di beberapa bagian dunia (Tjay dan
Rahardja, 2002). Lokasi infeksi utama adalah traktus gastrointestinal. Kerusakan
pada dinding usus disebabkan oleh respons inflamasi terhadap telur-telur yang
disimpan dalam daerah tersebut. Telur-telur tersebut juga mensekresikan enzim
proteolitik yang menambah kerusakan jaringan. Gambaran klinis berupa
pendarahan GI, diare dan kerusakan hati (Tjahyanto dan Salim, 2013). Penyakit
ini juga disebabkan oleh Schistosoma haematobium, lokasi infeksi utama adalah
vena kandung kemih. Penyakit ini ditularkan melalui penetrasi pada kulit secara
langsung. Bentuk skistomiasis ini didiagnosa dengan menemukan telur yang khas
dalam urin atau dinding kantung kemih (Tjahyanto dan Salim, 2013).
b. Paragonimiasis
Penyakit ini disebabkan oleh Paragonisum westermani (trematoda paru).
Organisme berpindah dari saluran pencernaan ke paru, yang merupakan tempat
10
Universitas Sumatera Utara
kerusakan utama. Infeksi dapat menimbulkan batuk yang menghasilkan sputum
dengan darah. Penyakit ini ditularkan dengan memakan daging kepiting yang
mentah. Parogonimiasis didiagnosa dengan menemukan telur dalam sputum dan
feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).
c. Klonorkiasis
Penyakit ini disebabkan oleh Clonorchis sinensis. Lokasi infeksi utama adalah
saluran empedu, responnya berupa inflamasi yang dapat menyebabkan fibrosis
dan hiperplasia. Penyakit ini ditularkan dengan memakan ikan air tawar yang
mentah. Klonorkiasis didiagnosis dengan menemukan telur dalam feses
(Tjahyanto dan Salim, 2013).
2.2.3 Infeksi cestoda
Infeksi cestoda yang sering dijumpai adalah:
a. Ekinokokkosis
Penyakit ini juga disebut sebagai penyakit hidatid yang disebabkan oleh
Echinococcus granulosis (cacing pita anjing). Infeksi menyebabkan kista hidatid
yang besar di dalam hati, paru dan otak. Reaksi anafilaktik terhadap antigen
cacing dapat terjadi bila terjadi ruptur kista. Penyakit timbul sesudah tercernanya
telur dalam feses anjing. Domba sering berperan sebagai perantara. Einokokkosis
didiagnosa melalui CT-scan atau biopsi jaringan yang terinfeksi dan diterapi
dengan eksisi kista melalui pembedahan (Tjahyanto dan Salim, 2013).
b. Taeniasis
Bentuk penyakit ini disebabkan oleh Taenia solium dewasa (cacing pita babi).
Usus merupakan lokasi infeksi utama, organisme dapat menyebabkan diare,
walaupun demikian, sebagian besar infeksi ini bersifat tidak bergejala. Penyakit
11
Universitas Sumatera Utara
ini ditularkan melalui larva dalam daging babi yang kurang matang atau melalui
penelanan telur cacing pita. Taeniasis didiagnosa melalui deteksi proglotid di
dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013). Penyakit ini juga disebabkan oleh larva
dari Taenia saginata (cacing pita sapi). Organisme ini terutama menginfeksi usus.
Penyakit ini ditularkan oleh larva dalam daging sapi yang kurang matang atau
mentah. Taeniasis didiagnosa melalui deteksi proglotid dalam feses (Tjahyanto
dan Salim, 2013).
Taenia sukar sekali dibasmi karena kepalanya (scolex) yang relatif kecil
dibenamkan ke dalam selaput lendir usus hingga tidak bersentuhan dengan obat.
Bagian cacing yang bersentuhan dengan obat telah dimatikan dan kemudian
scolex dilepaskan dan terbentuk kembali menjadi segmen-segmen baru (Tjay dan
Rahardja, 2002).
c. Sistiserkosis
Penyakit ini disebabkan oleh larva Taenia solium. Infeksi menghasilkan sitiserki
dalam otak (menimbulkan kejang, sakit kepala dan muntah) dan di mata. Penyakit
ini terjadi sesudah penelanan telur dari feses manusia. Sistiserkosis didiagnosa
melalui CT-scan atau biopsi (Tjahyanto dan Salim, 2013).
d. Difilobotriasis
Penyakit ini disebabkan oleh Diphyllobothrium latum (cacing pita ikan). Cacing
dewasa pada usus penderita dapat sepanjang 15 meter. Penyakit ini ditularkan
oleh larva dalam ikan yang mentah atau kurang matang. Difilobotriasis didiagnosa
melalui deteksi telur yang khas di dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).
12
Universitas Sumatera Utara
2.3 Pengobatan Kecacingan
Antelmintik adalah obat yang digunakan untuk memberantas atau
mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh (Gunawan dan Sulistia,
2011).
2.3.1 Antelmintik untuk infeksi nematoda
a. Tiabendazol
Tiabendazol merupakan benzimidazol sintetik berspektrum luas terhadap
nematoda. Obat ini efektif mengobati strongiloidiasis yang disebabkan oleh
cacing benang, larva migran kutaneus dan stadium awal trikinosis. Thiabendazol
bekerja dengan mempengaruhi agregasi mikrotubulus (Tjahyanto dan Salim,
2013; Gunawan dan Sulistia, 2011).
b. Ivermektin
Ivermektin merupakan hasil fementasi dari jamur Streptomyces avermitilis (Tjay
dan Rahardja, 2002). Ivermektin adalah antelmintik pilihan untuk pengobatan
onkoserkiasis yang disebabkan oleh Onchocerca volvulus, larva migran kutaneus
dan strongiloidosis. Ivermektin membidik reseptor kanal Cl- yang bergerbang
glutamat pada parasit. Aliran masuk klorida meningkat dan terjadi hiperpolarisasi,
menyebabkan paralisis cacing (Tjahyanto dan Salim, 2013).
c. Mebendazol
Mebendazol merupakan senyawa benzimidazol sintetik yang berspektrum luas
terhadap nematoda. Obat ini banyak digunakan sebagai monoterapi untuk
penanganan infeksi cacing tunggal maupun infeksi campuran dengan dua atau
lebih cacing (Tjay dan Rahardja, 2002). Mebendazol merupakan obat pilihan pada
terapi infeksi oleh cacing cambuk, cacing kremi, cacing tambang dan cacing
gelang. Mebendazol bekerja dengan mengikat dan mengganggu pembentukan
13
Universitas Sumatera Utara
mikrotubulus parasit serta menurunkan ambilan glukosa (Tjahyanto dan Salim,
2013; Tjay dan Rahardja, 2002).
d. Pirantel pamoat
Pirantel pamoat bersama dengan mebendazol, efektif pada pengobatan infeksi
cacing gelang, cacing kremi dan cacing tambang. Obat ini bekerja sebagai agen
penghambat neuromuskular dan depolarisasi, menyebabkan aktivasi permanen
pada reseptor nikotinik parasit. Cacing yang terparalisis kemudian dikeluarkan
dari saluran cerna (Tjahyanto dan Salim, 2013).
e. Dietilkarbamasin
Dietilkarbamasin digunakan pada pengobatan filiarisis karena kemampuannya
melumpuhkan mikrofilaria dan membuat mikrofilaria rentan terhadap mekanisme
pertahanan (Tjahyanto dan Salim, 2013).
2.3.2 Antelmintik untuk infeksi trematoda
Infeksi trematoda, secara umum diobati dengan praziquantel. Obat ini
adalah agen pilihan untuk pengobatan seluruh bentuk skistosomiasis dan infeksi
trematoda lainnya, serta infeksi cestoda seperti sistiserkosis. Permeabilitas
membran sel terhadap kalsium meningkat, meyebabkan kontraktur dan paralisis
parasit (Tjahyanto dan Salim, 2013).
2.3.3 Antelmintik untuk infeksi cestoda
a. Albendazol
Albendazol adalah suatu benzimidazol berspektrum lebar yang dapat diberikan
peroral (Gunawan dan Sulistia, 2011). Obat ini bekerja dengan cara berikatan
dengan β-tubulin parasit sehingga menghambat sintesis mikrotubulus dan ambilan
glukosa pada larva atau nematoda dewasa sehingga persediaan glikogen menurun
dan pembentukan ATP berkurang, akibatnya cacing akan mati. Aplikasi
14
Universitas Sumatera Utara
terapeutik utamanya adalah pengobatan infeksi cacing kremi, cacing tambang,
cacing gelang, penyakit neuro-sistiserkosis dan penyakit hidatid (Tjahyanto dan
Salim, 2013; Gunawan dan Sulistia, 2011).
b. Niklosamid
Niklosamid adalah obat pilihan untuk sebagian besar infeksi cestoda (cacing
pita). Kerjanya dianggap menghambat fosforalisasi adenosin difosfat mitokondria
parasit, yang menghasilkan energi yang dapat digunakan dalam bentuk adenosin
trifosfat dan metabolisme anaerobik juga dapat dihambat (Tjahyanto dan Salim,
2013).
Kebanyakan obat cacing efektif terhadap satu macam cacing, hanya
beberapa obat yang memiliki khasiat terhadap lebih jenis cacing (broad
spectrum),
misalnya
mebendazol.
Diagnosis
tepat
diperlukan
sebelum
menggunakan obat cacing. Kebanyakan obat cacing diberikan secara oral, pada
saat makan atau sesudah makan. Beberapa obat cacing perlu diberikan bersama
obat pencahar seperti praziquantel dan niklosamid. Posmedikasi banyak
antelmintik dalam dosis terapi hanya bersifat melumpuhkan cacing, jadi tidak
mematikannya (Gunawan dan Sulistia, 2011; Tjay dan Rahardja, 2002).
Antelmentik dapat menimbulkan efek samping seperti rasa mual,
hilangnya nafsu makan, muntah, sakit kepala dan diare (Vennila, et al., 2015;
Nitave, et al., 2014; Liu dan Weller, 1996). Resistensi cacing parasit pada ternak
juga telah banyak dilaporkan seperti pada golongan benzimidazol, imidotiazoltetrahidropirimidin dan lakton makrosiklik yang digunakan lebih dari periode
yang ditentukan dan diberikan dengan dosis rendah oleh para petani sehingga
menyebabkan resistensi, infeksi cacing dari hewan ternak dapat berlanjut terjadi
pada manusia dan keadaan resistensi kemungkinan kedepannya dapat terjadi pada
15
Universitas Sumatera Utara
manusia (Vercruysse, et al., 2011;
Sutherland dan Leathwick, 2011;
Wolstenholme, et al., 2004). Dilaporkan juga terjadinya kegagalan dan penurunan
efektivitas obat antelmintik dosis tunggal seperti kegagalan pirantel terhadap
cacing tambang Ancylostoma duodenale (Reynoldson, et al., 1997), menurunnya
efikasi mebendazol dan levamisol terhadap cacing tambang dan nematoda pada
saluran pencernaan (Flohr, et al., 2007; Albonico, et al., 2003), menurunnya
efikasi albendazol terhadap cacing tambang (Humphries, et al., 2011) dan
terjadinya kegagalan tiabendazol terhadap Haemochus contortus (Kotze, et al.,
2009). Kegagalan dan penurunan efektivitas obat-obat antelmintik tersebut
merupakan petanda telah terjadinya resistensi pada manusia (Lalchhandama, K.,
2010; Prichard, R.K., 2007). Menggunakan dosis berganda atau dosis berulang
merupakan solusi terbaik, tetapi hal tersebut sulit diaplikasikan oleh masyarakat
karena bermasalah pada waktu penggunaan sehingga dapat menyebabkan
resistensi dan tidak tuntasnya pengobatan (Vercruysse, et al., 2011).
2.4 Potensi Tumbuhan Sebagai Sumber Antelmintik
Masyarakat Indonesia sudah sejak zaman dahulu mengenal dan
memanfaatkan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam
penanggulangan
masalah
kesehatan
yang
dihadapi.
Pemeliharaan
dan
pengembangan pengobatan tradisional sebagai warisan budaya bangsa terus
ditingkatkan dan didorong pengembangannya melalui penggalian, pengujian dan
penemuan obat-obat baru, termasuk budidaya tanaman yang secara medis dapat
dipertanggungjawabkan (Syukur dan Hernani, 2002). Pengobatan dengan
menggunakan tanaman berkhasiat obat merupakan salah satu alternatif yang
dipilih untuk memperkecil adanya efek samping karena pemberian obat sintetis.
16
Universitas Sumatera Utara
Telah banyak diketahui tanaman obat yang berkhasiat sebagai antelmintik yang
pernah dan masih digunakan hingga saat ini. Dari beberapa penelitian yang telah
dilakukan, diperoleh tanaman yang mempunyai khasiat antelmintik diantaranya
daun pepaya, pare, temu giring, temu hitam, biji pinang (Tiwow, dkk., 2013),
putri malu (Ratnawati, 2013) dan andong (Asih, 2014).
Studi in vitro menunjukkan bahwa beberapa spesies tumbuhan dari famili
Amaranthaceae,
Arecaceae,
Asteraceae,
Crassulaceae,
Dryopteridaceae,
Euphorbiaceae, Fabaceae, Lythraceae, Moraceae, Myrisnaceae, Polygonaceae,
Rutaceae,
Zingiberaceae,
Apiaceae
(Wink,
2012),
Ranunculaceae,
Cucurbitaceae, Dryopteridaceae, Araliaceae, Junglandaceae, Valerianaceae
(Urban, et al., 2015), Lythraceae (Bairagi, et al., 2011), Moraceae (Mughal, et
al., 2013) dan Schropulariaceae (Padal, et al., 2014; Ranjani, et al., 2013) mampu
membunuh cacing pasrasit penyebab infeksi pada manusia.
2.5 Golongan Senyawa Kimia yang Terbukti Berkhasiat Sebagai Antelmintik
Senyawa kimia tumbuhan yang mempunyai aktivitas antelmintik adalah
tanin, flavonoid, terpenoid (Vincent, et al., 2011), alkaloid, saponin (Bidkar, et al.,
2011), glikosida (Bhawan, et al., 2011), leutin, kaempherol, kumarin, steroid
(Tekeshwar, et al., 2011), di-terpenoid (Daked, et al., 2011), geraniol (Katikia, et
al., 2011), ketodiol dan karpenoil ester (Shri, et al., 2011).
2.6 Pugun Tanoh
Salah satu tumbuhan yang berkhasiat obat adalah pugun tanoh. Studi in
vitro menunjukkan bahwa spesies tumbuhan dari famili Schropulariaceae mampu
17
Universitas Sumatera Utara
membunuh cacing pasrasit penyebab infeksi (Padal, et al., 2014; Ranjani, et al.,
2013).
2.6.1 Nama daerah
Nama daerah dari tumbuhan ini adalah empedu taneh (Karo), pugun tanoh,
pugun tana, pagon tanoh (Dairi), tamah raheut (Sunda), kukurang (Maluku) dan
papaita (Ternate) (Prohati, 2015).
2.6.2 Nama asing
Nama asing dari tumbuhan ini adalah beremi, gelumak susu, empedu
tanah, rumput kerak nasi (Malaysia), sagai-uak (Filipina), ku xuan shen, kum ta
tjao (Cina), longritong (india) (Quattrocchi, 2012), kong saden (Laos) dan thanh
(Vietnam) (Globinmed, 2015).
2.6.3 Sinonim
Curanga amara, Curanga amara Juss. dan Picria fel-terrae (Lansdown,
R.V., 2011)
2.6.4 Sistematika dan morfologi tumbuhan
Menurut Lansdown, R.V. (2011) Sistematika tumbuhan pugun tanoh
adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Scrophulariales
Famili
: Scrophulariaceae
Genus
: Curanga
Spesies
: Curanga fel-terrae (Lour.)Merr.
18
Universitas Sumatera Utara
Pugun tanoh merupakan tanaman berbatang basah dan berbaring (Agung
dan Tinton, 2008). Pugun tanoh tumbuh merambat. Tumbuhan pugun tanoh
memiliki tinggi 40 sampai 60 cm. Batangnya dengan cabang-cabang yang
ramping, jarang, tegak atau melata, berakar dibuku-buku dan berbulu halus
(Prohati, 2015). Tangkai daun tumbuh berhadapan, permukaan tidak berbulu, rata
dan tipis. Tandan bunga bewarna merah (Agung dan Tinton, 2008), bunga berupa
tandan di ujung atau di batang, jumlah bunga 2-16, mahkota bunga bentuk tabung
dan berbibir rangkap. Daunnya berbulu halus, berbentuk bundar telur dengan
panjang 3-6 cm dan lebar 2-3 cm, ujung daun agak melancip dan tepi daun
beringgit (Prohati, 2015).
2.6.5 Habitat tumbuhan
Pugun Tanoh terdapat di lereng hutan atau pinggiran hutan (Prohati,
2015), ladang, daerah lembab dan daerah dataran rendah (Lansdown, R.V., 2011).
2.6.6 Khasiat tumbuhan
Masyarakat menggunakan pugun tanoh sebagai obat cacing, obat sakit perut, serta
mengatasi kudis, memar, bengkak, batuk rejan dan sesak napas (Agung dan
Tinton, 2008). Tanaman ini digunakan sebagai obat cacing untuk anak-anak,
mengobati kolik dan malaria di Maluku dan Filipina, di Indonesia, daun dapat
menyembuhkan gatal-gatal dan penyakit kulit lainnya (Prohati, 2015). Pugun
tanoh digunakan sebagai obat malaria, diuretik, demam dan gangguan pada kulit
(Perry, 1980). Pugun tanoh digunakan untuk pengobatan demam, infeksi herpes,
kanker dan inflamasi di Cina Selatan (Zhong, et al., 1979). Daun pugun tanoh di
Sumatera Utara umumnya digunakan sebagai obat untuk diabetes mellitus
(Harfina, et al., 2012; Sitorus, et al., 2014). Pugun tanoh memiliki aktivitas
sebagai antidiuretik (Lewis, 2003), sebagai obat panas (Data, 2003), antidiabetik
19
Universitas Sumatera Utara
(Harahap, dkk., 2013), obat luka bakar ( Fithra, 2013), antiasma (Ramadhani,
2014) dan antiinflamasi (Juwita, 2009).
2.6.7 Kandungan kimia
Pugun tanoh mengandung curangin dan zat pahit (Agung dan Tinton, 2008),
flavonoid (Huang, et al., 1999), saponin (Fang, et al., 2009), tanin, glikosida (Jie,
et al., 2005; Zou, et al., 2005; Zou, et al., 2004; Huang, et al., 1998) serta
steroid/terpenoid (Wang, et al., 2006).
2.7 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa
bahan alam yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan atas simplisia nabati,
simplisia hewani dan simplisia mineral. Simplisia nabati adalah simplisia yang
berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat
tumbuhan ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang
dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya. Simplisia hewani adalah simplisia
yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh
hewan dan belum berupa zat kimia murni. Simplisia pelikan adalah simplisia yang
berupa bahan pelikan yang belum diolah dengan cara sederhana atau belum
berupa zat kimia murni (Depkes RI., 2000).
Simplisia sebagai produk hasil petanian atau pengumpulan dari tumbuhan liar
memiliki kandungan kimia yang tidak terjamin selalu konstan karena adanya
variabel bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara) panen, serta proses
pasca panen dan preparasi akhir. Variasi kandungan senyawa dalam produk hasil
20
Universitas Sumatera Utara
panen tumbuhan obat disebabkan oleh beberapa aspek sebagai berikut (Depkes
RI., 2000):
a. Genetik (bibit)
b. Lingkungan (tempat tumbuh, iklim)
c. Rekayasa agronomi (fertilizer, perlakuan selama masa tumbuh)
d. Panen (waktu dan pasca panen)
Proses pemanenan dan preparasi simplisia merupakan proses yang dapat
menentukan mutu simplisia dalam artian, yaitu komposisi senyawa kandungan
kontaminasi dan stabilitas bahan (Depkes RI., 2000).
2.8 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes
RI., 2000). Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak yaitu sediaan pekat yang
diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia
hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua
pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian
hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI., 2000).
Faktor yang mempengaruhi kualitas dari ekstrak yaitu faktor biologi dan
faktor kimia. Faktor biologi meliputi: spesies tumbuhan, lokasi tumbuh, waktu
pemanenan, penyimpanan bahan tumbuhan, umur tumbuhan dan bagian yang
digunakan. Faktor kimia yaitu: faktor internal (jenis senyawa aktif, komposisi
kualitatif dan kuantitatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif) dan
faktor eksternal (metode ekstraksi, perbandingan ukuran alat ekstraksi, ukuran,
21
Universitas Sumatera Utara
kekerasan dan kekeringan bahan, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi,
kandungan logam berat dan kandungan pestisida) (Depkes RI., 2000).
Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibagi menjadi
dua cara, yaitu cara panas dan cara dingin (Depkes RI., 2000).
2.8.1 Ekstraksi cara dingin
a.
Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan.
b.
Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna
yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.
2.8.2 Ekstraksi cara panas
a.
Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik.
b. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya
dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah
pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
c. Infundasi
Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC)
selama waktu tertentu (15-20 menit).
22
Universitas Sumatera Utara
d. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur
yang lebih tinggi dari temperatur kamar (40-50oC).
e. Dekoktasi
Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur
sampai titik didih air.
2.9 Uji Aktivitas Antelmintik
Secara umum, uji aktivitas antelmintik dapat dilakukan dengan 2 metode,
yaitu metode in vitro dan metode invivo. Penelitian secara in vitro adalah suatu
proses yang dilakukan untuk menunjukkan gejala yang diteliti dari luar tubuh
makhluk hidup dalam kondisi laboratorium (Djatmiko, 2009). Uji invivo adalah
uji yang dilakukan di dalam tubuh makhluk hidup (Dorland, 2012).
2.9.1 Uji in vitro
Uji in vitro dapat dilakukan dengan metode perendaman. Pengujian ini dilakukan
dengan cara merendam cacing ke dalam ekstrak tanaman yang memiliki aktivitas
antelmintik dengan berbagai konsentrasi dengan parameter yang diperhatikan
yaitu waktu paralisis dan waktu kematian. Perendaman bertujuan agar terjadi
kontak antara larutan antelmintik dengan tubuh cacing, baik melalui kulit maupun
saluran pencernaan, sehingga diharapkan menimbulkan reaksi yang menyebabkan
cacing paralisis dan kemudian mati (Patilaya dan Husori, 2015).
Uji aktivitas antelmintik secara in vitro dapat menggunakan cacing parasit pada
manusia seperti Ascaris lumbricoides (Tjokopranoto, dkk., 2011), atau cacing
parasit pada hewan seperti Fasciola gigantic (Jeyathilakan, et al., 2010), Ascaris
23
Universitas Sumatera Utara
suum (Budiyanti, 2010) dan dapat menggunakan cacing tanah (Pheretima
posthuma). Pheretima posthuma dapat digunakan karena memiliki kemiripan
struktur anatomi dan fisiologis dengan cacing yang menginfeksi saluran cerna
manusia (Vennila, et al., 2015; Nitave, et al, 2014; Borah, et al., 2013; Subash, et
al., 2012; Sharma, et al., 2011; Sharma, 2010).
2.9.2 Uji in vivo
Uji in vivo dapat dilakukan dengan menggunakan hewan sebagai percobaan
dengan menginfeksi hewan dengan cacing parasit, lalu setelah mencapai masa
prepaten, diberi perlakuan. Pemberian dilakukan peroral selama beberapa hari
yang dibagi dalam beberapa kelompok perlakuan yaitu kontrol negatif, ekstrak
tanaman yang memiliki aktivitas sebagai antelmintik dengan berbagai konsentrasi
dan kontrol positif yaitu antelmintik sintetik, kemudian sampel tinja dikumpulkan
untuk menghitung jumlah telur tiap gram tinja. Parameter pengamatan adalah
jumlah telur, jumlah larva, daya tetas telur pada tinja hewan dan sisa telur cacing
yang terdapat pada hewan percobaan. Hewan percobaan dapat berupa kambing,
ayam, domba dan mencit (Fitri dan Sri, 2005; Sanbayu, 2005).
24
Universitas Sumatera Utara
Download