akibat hukum suatu pensyaratan (reservation) - E

advertisement
AKIBAT HUKUM SUATU PENSYARATAN (RESERVATION)
DALAM PERJANJIANINTERNASIONAL
Oleh : Setyo Widagdo, SH. MH1
Abstraksi: Pensyaratan (Reservation) dalam suatu perjanjian internasional
merupakan suatu hal yang sangat penting, karena ketentuan tentang dibolehkannya
suatu perjanjian internasional dapat diberikan pensyaratan, akan membuka
kesempatan seluas-luasnya bagi negara-negara untuk ikut serta dalam perjanjian
internasional. Walaupun tidak dapat dihindari bahwa ketika suatu negara mengajukan
pensyaratan terhadap suatu perjanjian internasional yang akan diikutinya, maka akan
timbul pula akibat-akibat hukum dari adanya pensyaratan tersebut. Hal ini disebabkan
karena ada negara yang menerima dan ada pula negara yang menolak terhadap
pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara. Tulisan ini bermaksud membahas akibat
hukum dari pensyaratan terhadap suatu perjanjian internasional dan praktek Indonesia
terhadap pensyaratan yang pernah dilakukan terhadap suatu perjanjian internasinal.
Kata kunci: Pensyaratan, Perjanjian InternasionaL
Pendahuluan
Dalam suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral, sangat
dimungkinkan suatu negara yang ikut serta sebagai pihak dalam perjanjian tersebut tidak
dapat menyetujui seluruh materi perjanjian itu, karena diantara materi atau ketentuan
perjanjian itu ada yang tidak sesuai dengan kepentingan nasional dari negara yang
bersangkutan. Dalam keadaan yang demikian ini, biasanya suatu negara menyatakan
dirinya ikut serta atau sebagai pihak dalam perjanjian tersebut dengan suatu atau
beberapa pensyaratan atau reservasi (reservation), yang akan menimbulkan beberapa
akibat hukum.
Sedangkan dalam perjanjian internasional yang bersifat bilateral, apabila terdapat
salah satu pihak mengajukan suatu pensyaratan, yang mana pensyaratan tersebut ditolak
oleh pihak yang lain, atau pihak lain menyatakan keberatan terhadap pensyaratan yang
diajukan, maka perjanjian tersebut akan batal. Oleh karena itu pensyaratan atau reservasi
dalam perjanjian bilateral sama sekali tidak mempunyai makna.
Berbeda halnya dengan perjanjian internasional yang bersifat multilateral, yaitu apabila
suatu negara mengajukan pensyaratan, dimana pensyaratan tersebut tidak disetujui atau
ditolak oleh satu atau beberapa negara peserta yang lain, maka akan timbul beberapa
masalah, antara lain sejauh manakah akibat hukum dari suatu pensyaratan atau reservasi
dalam hubungannya antara negara yang mengajukan pensyaratan dengan negara yang
menerima pensyaratan itu, dan dalam hubungannya antara negara yang mengajukan
pensyaratan dengan negara yang menolak pensyaratan tersebut ? Bagaimana pula akibat
hukum mengenai status negara yang mengajukan pensyaratan itu, apabila pensyaratan
yang diajukannya tidak sesuai dengan tujuan dan maksud perjanjian ? Dua persoalan
inilah yang penulis coba untuk dibahas dalam tulisan ini.
Ketentuan Mengenai Pensyaratan/Reservasi Dalam Konvensi Wina 1969
Dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, ketentuan
mengenai pensyaratan ini secara terperinci diatur dalam pasal 19 sarnpai dengan pasal 23.
Dimana masing-masing pasal mengatur masalah penyusunan suatu pensyaratan (pasal
19), penerimaan dan penolakannya (pasal 20), akibat hukum dari penerimaan dan
penolakan pensyaratan (pasal 21), pembatalan atau penarikan kembali suatu pensyaratan
(pasal 22) dan prosedur mengenai pensyaratan (pasal 23).
Pasal-pasal tersebut pada pokoknya menentukan bahwa larangan atau pembatasan
terhadap pensyaratan, atau perumusan syarat-syarat khusus untuk mengatur
penerimaannya, harus diatur oleh ketentuan-ketentuan yang dimuatkan di dalam
perjanjian yang bersangkutan (Budiono Kusumohamidjojo, 1986:10)
Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan secara singkat ketentuan yang
terdapat dalam pasal-pasal tersebut.
Penyusunan, penerimaan dan penolakan suatu pensyaratan
Menurut ketentuan pasal 19 Konvensi Wina 1969, negara berhak mengemukakan
pensyaratan pada saat penandatanganan, penyerahan instmmen ratifikasi, menerima suatu
perjanjian, menyatakan turut serta, kecuali apabila perjanjian itu melarang untuk
mengadakan pensyaratan, atau perjanjian tersebut menyebutkan bahwa hanya
pensyaratan khusus yang diperbolehkan, sedangkan pensyaratan lain tidak
diperkenankan, atau pensyaratan itu bertentangan dengan maksud dan tujuan dari
perjanjian itu sendiri.
Pasal 20 ayat 1 Konvensi Wina 1969 menyebutkan bahwa bila pensyaratan diijinkan
oleh perjanjian, maka tidak perlu meminta suatu pernyataan diterima oleh negara lain,
kecuali jika hal demikian itu disebutkan dalam perjanjian itu. Sedangkan pasal 20 ayat 2
menghendaki bahwa dalam keadaan khusus, yakni jika perjanjian tersebut harus berlaku
secara keseluruhan (seutuhnya), maka persetujuan dari setiap negara peserta perjanjian
disyaratkan. Kemudian pasal 20 ayat 3 menjanjikan bahwa jika perjanjian dimaksud
merupakan suatu Anggaran Dasar suatu organisasi internasional, misalnya PBB, kecuali
ditentukan lain, maka pensyaratan memerlukan persetujuan dari lembaga yang
berwenang dari organisasi internasional itu.
Selanjutnya pasal 20 ayat 4 Konvensi Wina 1969 mengatur tentang akibat hukum dari
pensyaratan, yaknisebagai berikut:
a. Suatu pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara dan diterima oleh negara
peserta lain, maka antara negara yang menyatakan pensyaratan dan
negara yang menerimanya, perjanjian itu akan berlaku di antara mereka;
b. Suatu keberatan oleh negara peserta lain terhadap suatu pensyaratan tidak
mengesampingkan berlakunya perjanjian (diantara mereka), kecuali jika maksud
yang bertentangan secara tegas dinyatakan oleh negara yang berkeberatan
tersebut;
c. Suatu tindakan yang menyatakan keinginan suatu negara untuk diikat dalam suatu
perjanjian dan berisikan suatu persyaratan,mulai berlaku sejak setidak-tidaknya
satu peserta lain menerima persyaratan tersebut.
Sedangkan pasal 20 ayat 5 Konvensi Wina 1969 menegaskan bahwa kecuali
dinyatakan lain, suatu pensyaratan dianggap diterima oleh suatu negara, jika tidak
menimbulkan suatu keberatan terhadap pensyaratan tersebut dan pada akhir 12 bulan
setelah pensyaratan itu diajukan, atau pada saat dijelaskan keinginannya untuk
mengikatkan diri pada perjanjian.
Penarikan (withdrawal) dan Prosedur Pensyaratan
Tentang penarikan (withdrawal) terhadap suatu pensyaratan, dapat dilakukan setiap
waktu dan dalam hal ini persetujuan suatu negara yang telah menerima pensyaratan itu
tidak diwajibkan. (Lihat pasal 22 ayat 1 Konvensi Wina 1969) Ketentuan yang demikian
itu berlaku pula bagi penolakan terhadap pensyaratan. (Lihat pasal 22 ayat 2 Konvensi
Wina 1969)
Penarikan diri terhadap pensyaratan mulai berlaku dalam hubungannya dengan negara
peserta yang lain apabila pemberitahuan tentang hal itu telah diterima oleh negara yang
bersangkutan, sedangkan penarikan keberatan atau penolakan terhadap pensyaratan mulai
berlaku apabila pemberitahuan tentang hal itu telah diterima oleh negara yang
mengajukan pensyaratan. (Lihat pasal 22 ayat 3 Konvensi Wina 1969)
Prosedur mengenai pensyaratan diatur dalam pasal 23 Konvensi Wina 1969, yang
antara lain disebutkan bahwa pernyataan menerima atau menolak suatu pensyaratan
haruslah diformulasikan secara tertulis dan harus diberitahukan kepada negara peserta
(contracting state) dan negara-negara lain yang berhak menjadi pihak perjanjian.
Demikian pula penarikan terhadap pensyaratan dan penarikan terhadap penolakan
(objecting) suatu pensyaratan juga harus dinyatakan secara tertulis. Namun dalam praktek
seringkali pernyataan menerima atau menolak suatu pensyaratan tidak dilakukan secara
tertulis.
Apabila pensyaratan dirumuskan pada waktu menandatangani perjanjian, berkenaan
denganrn ratifikasi, penerimaan atau persetujuan, maka haruslah dikuatkan secara formal
oleh negara yang mengajukan pensyaratan (reserving state) pada waktu menyatakan
persetujuannya untuk mengikatkan diri pada perjanjian tersebut. Dengan demikian
pensyaratan dianggap telah dibuat pada saat penguatannya. (Lihat pasal 23 ayat 2
Konvensi Wina 1969)
Kemudian suatu pernyataan menerima atau menolak pensyaratan yang dilakukan
sebelum penguatan (confirmation), maka pensyaratan tersebut tidak memerlukan
penguatan lagi.
Demikianlah beberapa ketentuan mengenai pensyaratan menurut Konvensi Wina 1969
yang secara singkat telah diuraikan pokok-pokoknya.
Dengan demikian, melihat ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Wina 1969 tentang
Hukum Perjanjian, khususnya mengenai pensyaratan tersebut, maka sebenarnya
pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara merupakan penerimaan bersyarat dari
negara tersebut terhadap materi perjanjian. Penerimaan bersyarat yang demikian itu pada
prinsipnya merupakan suatu perjanjian yang berlainan dengan perjanjian yang telah
disepakati sebelumnya, (Moh. Radjab, 1963:233) karena materi dari perjanjian itu akan
mengalami perubahan, khususnya bagi pihak yang mengajukan pensyaratan itu, sesuai
dengan apa yang dikemukakan dalam pensyaratannya, apabila pensyaratannya itu
diterima oleh Konvensi.
Disamping itu, dalam Konvensi Wina 1969 terdapat pembatasan-pembatasan tertentu
terhadap hak suatu negara untuk mengajukan pensyaratan ataupun terhadap materi dari
pensyaratan itu sendiri. Pembatasan-pembatasan tersebut terdapat dalam pasal 19, yang
antara lain menyatakan bahwa setiap negara berhak untuk mengajukan pensyaratan
kecuali jika:
a. Perjanjian melarangnya atau ada ketentuan (pasal-pasal) dalam perjanjian yang
bersangkutan yang melarang negara-negara peserta untuk mengajukan
pensyaratan. Larangan itu dapat ditujukan baik terhadap seluruh materi dalam
konvensi ataupun hanya terbatas pada pasal-pasal tertentu saja dari konvensi yang
bersangkutan;
b. Perjanjian menentukan bahwa hanya pensyaratan yang khusus saja yang
diperkenankan;
c. Pensyaratan tidak sesuai dengan tujuan dan maksud perjanjian.
Dengan adanya ketentuan mengenai pensyaratan dalam Konvensi Wina 1969 mi, maka
dapat dikatakan bahwa Konvensi Wina 1969 ini dinilai mengandung unsur-unsur
"progressive development" seperti dikatakan oleh Mieke Komar : " Masalah lain yang
dinilai mengandung unsur progressive development adalah mengenai reservation to
treaty" (Mieke Komar, 1981: 35)
Penilaian atas adanya unsur "progressive development" tersebut karena
Konvensi Wina 1969 memakai "Pan American Doctrine" dalam kaitannya dengan
penerimaan dan penolakan terhadap pensyaratan, dan bukan memakai prinsip lama
yaitu prinsip kebulatan persetujuan (unanimity principe) yang pernah dipakai oleh Liga
Bangs-Bangsa.
Beberapa Contoh Masalah Dan Praktek Negara Mengenai Pensyaratan
Pada tahun 1951, atas permintaaan Majelis Umum PBB, Mahkamah Internasional
telah mengeluarkan suatu advisory opinion mengenai pensyaratan. Advisory Opinion
tersebut berkenaan dengan suatu Konvensi tentang pencegahan dan penghukuman
terhadap kejahatan pembunuhan masal manusia (Genocide Convention). Dimana dalam
konvensi tersebut terdapat persoalan hukum mengenai pensyaratan, persoalan mana
menyangkut masalah kriteria untuk menentukan hak mengajukan pensyaratan dan hak
untuk menolak atau menyatakan keberatan terhadap pensyaratan. (O'Connel, 1970:238)
Dengan perbandingan suara 7:5 Mahkamah mengeluarkan Advisory Opinion nya
sebagai berikut: (Green,: 1978:573)
a. Suatu negara yang telah mengajukan pensyaratan dan ditolak oleh negara peserta
lain, sedangkan negara itu tetap mempertahankan pensyaratannya, maka negara
yang mengajukan pensyaratan (the reserving state) dapat dianggap sebagai peserta
konvensi apabila pensyaratan yang diajukan itu sesuai dengan tujuan dan maksud
dari konvensi, demikian juga sebaliknya.
b. Apabila salah satu pihak peserta konvensi menolak pensyaratan yang diajukan
oleh pihak peserta lain, karena dipandang tidak sesuai dengan tujuan dan maksud
konvensi, maka negara yang menolak (the objecting state) dapat menganggap
bahwa negara yang mengajukan pensyaratan (the reserving state) bukan sebagai
pihak peserta konvensi. Sebaliknya apabila pihak peserta yang lain menerima
pensyaratan tersebut, karena dipandang sesuai dengan tujuan dan maksud
konvensi, maka pihak yang menerima pensyaratan itu dapat menganggap bahwa
pihak yang mengajukan pensyaratan sebagai pihak peserta konvensi.
c. Penolakan terhadap pensyaratan yang dilakukan oleh negara penandatangan
(signatory state), yang belum meratifisir konvensi, dapat mempunyai akibat
hukum, seperti pada huruf (a) diatas, hanya apabila negara itu mengadakan
ratifikasi. (Sri Suwardi, 1979 : 360) Disamping itu, penolakan terhadap
pensyaratan yang dilakukan oleh negara yang berhak menandatangani atau
menyatakan ikut serta tetapi belum melakukannya, tidak mempunyai akibat
hukum.
Dari Advisory Opinion Mahkamah Internasional tersebut, maka sebenarnya
permasalahan yang penulis ajukan dalam tulisan ini telah terjawab, terutaqma pada
bagian (a) dan (b) diatas. Selain itu, pendapat Mahkamah Internasional tersebut juga
mengandung suatu prinsip mengenai pensyaratan dalam hubungannya dengan
penerimaan dan penolakan terhadap pensyaratan, yakni prinsip atau sistem "Pan
American". Hal ini dapat dilihat pada huruf (a) dan (b) diatas.
Dengan demikian prinsip atau sistem "Pan American" yang terkandung dalam
Advisory Opinion Mahkamah Internasional tersebut sam dengan prinsip yang
terkandung dalam Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian internasional.
Menurut prinsip atau doktrin "Pan American" tersebut tidak diperlukan persetujuan
(consent) yang bulat daripada para peserta konvensi atas pensyaratan yang diadakan oleh
negara yang hendak turut serta dalam konvensi, melainkan konvensi itu dianggap berlaku
dengan pensyaratan yang diajukan antara yang mengajukan pensyaratan dengan yang
menerima pensyaratan. Sedangkan diantara negara-negara yang menolak pensyaratan
dengan negara yang mengajukan pensyaratan, konvensi itu dianggap tidak berlaku.
Mochtar Kusumaatmadja (Mochtar, 1981: 125) mengatakan, bahwa pada
sistem "Pan American" ini suatu perjanjian multilateral mungkin merupakan kumpulan
dari perjanjian-perjanjian multilateral yang masing-masing kecil jumlahnya negara
pesertanya atau sekumpulan perjanjian bilateral.
Oleh karena itu, setelah Advisory Opinion dari Mahkamah Internasional mengenai
"Reservation to the Genocide Convention" ini suatu pendekatan yang lebih praktis dan
flexible telah diterima dalam praktek negara-negara karena fakta jika 100 negara yang
berbeda kultur, sistem ekonomi tetap mempertahankan prinsip "kebulatan persetujuan",
maka hal ini akan mengakibatkan keseganan banyak negara untuk turut serta dalam
perjanjian multilateral yang umum. (Mieke Komar, 1981: 35)
Dengan demikian, prinsip atau sistem "Pan American" ini merupakan suatu sistem
yang fleksibel karena memperkenankan atau memungkinkan negara yang mengajukan
pensyaratan itu menjadi pihak peserta perjanjian berhadapan dengan negara yang
menerima pensyaratan yang bersangkutan, sebagaimana dikatakan oleh Brownlie
(Brownlie, 1979 : 606):
"in contrast the members of the Pan American Union, later the Organization of
American States, adopted a flexible system which permitted a reserving state to
become a party vis-a-vis non objecting state "
Yang penting dari pendapat Mahkamah Internasional mengenai Genocide Convention
ini adalah bahwa meskipun pendapat tersebut dimaksudkan hanya terbatas pada kasus
"Genocide Convention", namun pendapat Mahkamah Internasional mengenai
pensyaratan ini sangat penting artinya di dalam perkembangan hukum mengenai
pensyaratan. (Mochtar, 1981 : 127) Disamping itu pendapatnya itu hams dianggap
mempunyai pandangan yang jauh tentang persoalan pensyaratan pada umumnya.
Contoh lain yang dapat dikemukakan dalam tulisan ini adalah pengalaman Indonesia,
yakni pada tahun 1961 Indonesia telah ikut menandatangani Konvensi Tunggal Narkotika
1961 dan dengan UU No 8 tahun 1976 telah pula meratifikasinya.
Pada waktu menandatangani konvensi tersebut, Indonesia mengajukan pensyaratan
terhadap pasal 48 ayat (2) tentang keharusan penyelesaian sengketa pada Mahkamah
Internasional. Pasal 48 ayat (2) Konvensi Tunggal Narkotika selengkapnya berbunyi
sebagai berikut:
"Any such dispute which cannot be settled in the manner precribed shall be
referred to the International Court of Justice for decision ".
Pada intinya pensyaratan yang diajukan Indonesia terhadap pasal 48 ayat (2) Konvensi
Tunggal Narkotika itu adalah bahwa Indonesia tidak mengakui adanya jurisdiksi
mengikat (compulsory jurisdiction) dari Mahkamah Internasional. Alasan yang diajukan
oleh Indonesia adalah bahwa sengketa yang hendak diajukan ke depan Mahkamah
Internasional harus ada persetujuan para pihak dan harus dilihat secara kasuistis.
Disamping itu, pensyaratan yang diajukan Indonesia tersebut berdasarkan prinsip untuk
menerima suatu kewajiban untuk mengajukan perselisihan-perselisihan internasional,
dimana Indonesia tersangkut kepada Mahkamah, terutama apabila perselisihan demikian
itu mempunyai segi politis. (Lihat penjelasan UU No 8 Tahun 1976)
Pensyaratan terhadap pasal 48 ayat (2) tersebut juga dilakukan oleh Bulgaria, yang
isinya sama dengan pensyaratan yang diajukan Indonesia, yakni tidak diakuinya
jurisdiksi mengikat dari Mahkamah Internasional, dengan mengatakan :
"The people's Republic of Bulgaria does not consider herself bound to implement
the provisions of article 48, paragraph 2, concerning the obligatory jurisdiction
of International Court". (King Gamble, 1980:384)
Pensyaratan yang diajukan, baik oleh Indonesia maupun oleh Bulgaria tersebut tidak
banyak menimbulkan masalah, karena dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 itu
sendiri diperkenankan adanya pensyaratan demikian. Bahkan dalam pasal 50 ayat (2)
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 disebutkan secara tegas pasal-pasal mana saja yang
boleh mendapatkan pensyaratan. Pasal 50 ayat (2) Konvensi Tunggal Narkotika 1961
tersebut berbunyi:
"Any State may at the time of signature, ratification, or accession make
reservations in respect of the following provisions of this Convention : article 12,
paragraphs 2 and 3; article 13 paragraph 2; arty id e 14 paragraphs 1 and 2;
article 31 paragraphs 1 (b); and article 48"
Dengan demikian, melihat ketentuan diatas, tidak ada persoalan mengenai sah tidaknya
pensyaratan yang diajukan Indonesia maupun Bulgaria. Sedangkan akibat hukum atas
pensyaratan dalam hubungannya dengan negara yang menerima maupun yang menolak
pensyaratan itu, akan berlaku ketentuan seperti yang terdapat dalam "advisory opinion"
Mahkamah Internasional mengenai pensyaratan pada tahun 1951 sebagaimana sudah
diuraikan diatas. Apabila dikaitkan dengan Konvensi Wina 1969 tentang Hukum
Peijanjian, maka akan berlaku ketentuan pasal 20 ayat (4).
Pengalaman lain dari Indonesia adalah ketika mengajukan pensyaratan terhadap
Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut. Dengan UU NO 19 tahun 1961 Indonesia
meratifikasi Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut, dimana sebelumnya Indonesia
telah ikut menandatangani konvensi tersebut.
UU tersebut pada prinsipnya mengandung adanya persetujuan terhadap tiga Konvensi
Jenewa mengenai Hukum Laut, yakni Konvensi mengenai Perikanan dan Perlindungan
Kekayaan Hayati Laut Lepas, Konvensi mengenai Landas Kontinen dan Konvensi
mengenai Laut Lepas. Ikut sertanya Indonesia terhadap ketiga konvensi ini diberikan
dengan suatu pensyaratan, yang pada prinsipnya berkaitan dengan penafsiran terhadap
"territorial sea" dan "Internal Waters". Dalam mana Indonesia menginginkan bahwa
sepanjang yang mengenai perairan Indonesia, maka harus ditafsirkan sesuai dengan UU
No 4 Prp tahun 1960.
Ternyata ratifikasi dengan suatu pensyaratan yang dilakukan oleh Indonesia terhadap
ketiga konvensi tersebut hanyalah ratifikasi mengenai Konvensi tentang Laut Lepas saja
yang diterima oleh Sekjen PBB.
Dengan demikian hanya ratifikasi mengenai Laut Lepas sajalah yang sah menurut
hukum. Sedangkan oleh karena ratifikasi yang disertai dengan pensyaratan terhadap dua
konvensi lainnya ditolak, maka dapat dikatakan bahwa Indonesia bukan merupakan
peserta atas dua konvensi tersebut, karena dua konvensi itu memang tidak
boleh dibubuhi pensyaratan.
Apabila masalah diatas diakitkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Konvensi
Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, maka dapat dikatakan bahwa
ditolaknya pensyaratan yang diajukan Indonesia terhadap Konvensi mengenai Perikanan
dan perlindungan Kekayaan Hayati Laut Lepas dan Konvensi mengenai Landas
Kontinen, karena dianggap pensyaratan yang diajukan Indonesia itu tidak sesuai dengan
tujuan dan maksud konvensi. (Lihat pasal 19 Konvensi Wina 1969) Karena itu
konsekuensi hukumnya adalah bahwa Indonesia sebagai negara yang mengajukan
pensyaratan, dianggap bukan sebagai pihak peserta atas kedua konvensi tersebut, yakni
Konvensi mengenai perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut Lepas dan
Konvensi mengenai Landas kontinen.
PENUTUP
Dari keseluruhan pembahasan diatas, maka dapatlah diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut:



Pada dasarnya setiap negara dalam suatu perjanjian internasional, berhak untuk
mengajukan pensyaratan terhadap mated perjanjian, asalkan pensyaratan tidak
dilarang oleh perjanjian, atau pensyaratan tidak bertentangan dengan tujuan dan
maksud perjanjian;
Penerimaan maupun penolakan oleh suatu negara terhadap suatu pensyaratan
mempunyai akibat hukum sebagai berikut:
penolakan atas suatu pensyaratan oleh satu atau beberapa peserta konvensi,
tidak secara otomatis mengakibatkan status negara yang mengajukan pensyaratan
sebagai pihak peserta perjanjian menjadi hilang, melainkan ia akan tetap dianggap
sebagai pihak peserta oleh yang menerima pensyaratan tersebut. Kecuali antara
pihak yang mengajukan pensyaratan dengan pihak yang menolak, maka perjanjian
akan tetap mengikat bagi kedua belah pihak.
Apabila suatu pensyaratan dianggap "tidak sesuai" dengan tujuan dan maksud
perjanjian, maka akan berakibat bahwa pensyaratan itu akan ditolak oleh seluruh
peserta konvensi, dengan demikian pihak yang mengajukan pensyaratan tidak
dapat menjadi peserta perjanjian dan sebaliknya.

Prinsip atau doktrin Pan Amerika yang terkandung dalam "Advisory Opinion"
Mahkamah Internasional tahun 1951 terhadap masalah pensyaratan pada
Genocide Convention 1948 telah diikuti atau dianut pula dalam Konvensi Ewina
1969, dimana prinsip atau doktrin tersebut memang sesuai dengan perkembangan
hubungan internasional yang semakin kompleks.
DAFTAR PUSTAKA
Brierly, J.L. Hukum Bangsa Bangsa, terjemahan Moh Radjab, Bhatara, Jakarta.
1963.
Brownlie, lan, Principles of Public International Law, 3rd ed, Oxford University
Press. London, 1979.
Budiono Kusumohamidjojo, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi
Wina Tahun 1969 Tentaqng Hukum perjanjian Internasional, Binacipta,
Bandung, 1986.
Green, L.C. International Law Through the Cases, London, 1978
John King Gamble,Jr, Reservation to Multilateral Treaties, A Macroscopic View
of State Practice, dalam AJIL, April 1980, vol 74 NO 2.
Mieke Komar, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina tahun 1969 Tentang
Hukum Perjanjian Internasional, diktat kuliah pada Fakultas Hukum UNPAD,
Bandung, 1981.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung 1978.
_____, Masalah Lebar Laut Territorial Pada Konferensi-Konferensi Hukum
LautJenewa 1958-1960 penerbit Universitas, Bandung, 1962.
_______fengantar hukum Internasional, Buku I, Bag Umum, Binaciptra ,
Bandung, 1981.
O'Connel, International Law, 2nd ed, Vol I Steven & Sons, London 1970.
Sri Setianingsih Suwardi, Persyaratan Dalam Perjanjian Internasional,
dalam majalah Hukum & Pembangunan NO 4 Tahun IX, Juli 1979.
Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional Konvensi
Tunggal Narkotika Tahun 1961] UU No 8 Tahun 1976
Download