Melihat kembali Nasionalisme melalui

advertisement
Melihat kembali Nasionalisme melalui Angkringan
Oleh : Abdul Rokhim
Saat dunia semakin didekatkan satu sama lain melalui globalisasi, semangat
nasionalisme menghadapi tantangan baru sebagai akibat dari dialektika zaman. Globalisasi pada
dasarnya mempunyai dua sisi yang saling berlainan satu sama lain. Di satu sisi kita bisa melihat
bahwa globalisasi menawarkan segala kemudahan, produk, bahkan akses informasi yang tidak
terbatas. Tetapi disisi lain, globalisasi memaksakan segala efek buruk yang ada pada dirinya
kepada suatu masyarakat, terutama masyarakat dunia ketiga. Untuk tetap memahami eksistensi
nasionalisme, kita harus memahami esensi nasionalisme dari sudut pandang yang berbeda.
Indonesia, sebagai negara dunia ketiga tidak luput dari pengaruh globalisasi. Keluar
masuknya arus informasi menyebakan pergerakan informasi dari satu tempat ke tempat yang
lainnya dapat dilakukan secepat kilat. Hanya dengan meng-klik tombol, segala jenis informasi
dapat kita dapatkan dari seantero nusantara. Berbagai iklan televisi menampilkan berbagai
macam produk dengan segala macam kegunaannya. Disetiap kota muncul pusat-pusat
perbelanjaan yang menawarkan berbagai produk luar negeri. Perpindahan arus barang dan jasa
sudah tidak bisa dikendalikan, pasar memegang peranannya sebagai prinsip-prinsip ekonomi.
Pasar bergerak atas permintaan dan permintaan yang ada didalam masyarakat, sedangkan
masyarakat sendiri disuguhi oleh berbagai iklan.
Konsumerisme yang diciptakan oleh pasar membuat masyarakat Indonesia menjadi
masyarakat yang bersifat shopping-holic. Setiap hari, pusat-pusat perbelanjaan dan mall tidak
pernah sepi dengan berbagai barang impor mewah terpampang disetiap sudutnya. Masyarakat
Indonesia yang dulu terkenal dengan kesederhanaannya tergantikan oleh budaya baru, budaya
konsumerisme. Orang sekarang membeli barang bukan karena lagi kebutuhannya tetapi lebih
karena keinginan. Konsumerisme buta seperti itu yang akhirnya menciptakan sifat-sifat
hedonisme yang ada di masyarakat.
Pada titik tertentu, masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap produk dalam negeri.
Produk dalam negeri dianggap tidak berkualitas dibandingkan oleh produk-produk luar. Rasa
kehilangan kepercayaan terhadap produk dalam negeri semakin menyulitkan berbagai produk
dalam negeri untuk semakin bersaing dengan produk luar. Semangat nasionalisme yang ada
didalam masyarakat sendiri terkikis sedikit demi sedikit digantikan dengan gaya hidup
konsumerisme buta. Jika kondisi ini tidak diubah, bisa jadi nasionalisme hanya akan menjadi
simbol-simbol eksistensi saja, tanpa memahami esensi nasionalisme itu sendiri.
Apakah semangat nasionalisme sudah hilang dalam megahnya gedung-gedung
perkotaan? Setiap kali kita berjalan diantara sudut-sudut gedung megah di perkotaan, kita bisa
menemukan jejak-jejak nasionalisme yang masih tetap mempertahankan nilai-nilai nasionalis itu
sendiri. Jejak itu bisa kita lihat di sebuah warung angkringan. Angkringan merupakan tempat
yang menjajakan berbagai macam makanan, dan yang paling sering kita dengar adalah ‘nasi
kucing’-nya. Angkringan hadir ditengah-tengah kemegahan masyarakat perkotaan dan di
pelosok-pelosok pedesaan. Tetapi angkringan sendiri tetap mempertahankan cirri khas-nya
sendiri tanpa terpengaruh oleh berbagai perkembangan masuknya budaya luar.
Angkringan, tetap mempertahankan produk lokal ditengah pasar global
Dalam dunia yang sudah dikuasai oleh kapitalisme internasional, arus keluar-masuk
barang menjadi semakin mudah. Produk-produk luar sudah menjamah sampai tingkatan desa.
Berbagai tantangan baru untuk pemerintah mulai bermunculan. Tetap mempertahankan
eksistensi ekonomi masyarakat pribumi adalah suatu keharusan ditengah membanjirnya produk
luar. Produk-produk lokal harus bisa berjuang untuk tetap bisa bersaing dengan produk-produk
luar negeri. Angkringan sebagai sebuah contoh usaha yang tetap mempertahankan eksistensi
dirinya dengan menjual produk-produk dalam negeri. Hampir setiap angkringan yang ada
menjual makanan dari hasil bumi sendiri. Nasi kucing, wedang jahe, tempe goreng dan berbagai
makanan yang dijual merupakan produk-produk yang dihasilkan dalam negeri.
Angkringan sebagai sebuah cara bagi masyarakat untuk tetap mempertahankan produkproduk dalam negeri harus bisa bersaing dengan berbagai jenis makanan modern. Tetapi
ditengah persaingan usaha, angkringan tetap mempertahankan ciri khas-nya sendiri. Iklim usaha
yang seringkali berubah tidak terlalu berpengaruh terhadap usaha ini karena angkringan
memiliki pamasaran yang tidak hanya terbatas oleh satu jenis pembeli saja. Dari anak-anak
hingga orang tua, berbagai latar belakang pendidikan, ataupun dari berbagai latar belakang
kebudayaan dapat menjadi calon pembeli yang memungkinkan. Artinya usaha ini mempunyai
pasar yang luas sebagai usaha yang hanya bergerak dalam bidang makanan.
Sebagai bangsa yang berbudaya, kita harus bisa membudayakan ekonomi kita sendiri.
Angkringan menjadi contoh nyata dari perjuangan untuk tetap mempertahankan eksistensi
ekonomi melalui produk dalam negeri. Dari sebuah usaha kecil ini, kita bisa melihat dan
mengambil peran dalam mempertahankan esensi dan eksistensi nasionalisme kita sebagai
bangsa yang berbudaya.
Alternatif usaha dengan modal minimum
Dari tahun ke tahun, jumlah usia produktif di Indonesia terus meningkat. Hal ini
menimbulkan masalah baru yang harus segera diselesaikan agar tidak menimbulkan ‘efek
domino’ yang lebih luas. Jumlah perusahaan-perusahaan juga tidak seimbang dengan jumlah
usia produktif sehingga dibutuhkan alternatif baru seperti peningkatan jumlah wirausaha sebagai
penyeimbang antara usia produktif dan lapangan pekerjaan yang ada. Tetapi tidak semua jenis
wirausaha bisa dilaksanakan karena kendala modal yang terbatas dan sumber daya manusia yang
tidak memadai.
Dalam menjawab tantangan ini, dibutuhkan suatu usaha yang tidak membutuhkan modal
besar dan ketrampilan yang tidak terlalu sulit. Angkringan sebagai sebuah bentuk usaha untuk
mengurangi pengangguran dapat memenuhi syarat modal dan ketrampilan. Secara umum, usaha
ini tidak membutukan modal yang besar. Rata-rata angkringan hanya membutuhkan modal
sekitar 2-3 juta untuk dapat memulai usaha ini. Dengan modal yang tergolong tidak terlalu
besar, angkringan bisa digunakan sebagai salah satu solusi dalam mengurangi pengangguran.
Masalah ketrampilan juga tidak terlalu dibutuhkan dalam membangun usaha ini. Ketrampilan
yang dibutuhkan tidak bersifat spesifik dan mudah untuk dipelajari.
Masalah minim modal dan ketrampilan yang tidak terlalu sulit menjadikan usaha ini
mempunyai nilai plus tersendiri. Pasaran usaha ini juga tidak bersifat monoton, dari sudut-sudut
perkotaan hingga pelosok-pelosok desa, dari anak kecil sampai orang tua dapat menjadi pasar
yang memungkinkan. Artinya, usaha ini cocok dilakukan oleh masyarakat Indonesia terutama
dari golongan kecil sebagai penyeimbang jumlah pengangguran di Indonesia.
Kembali ke ‘kesederhanaan’ khas Indonesia
Indonesia sebagai negara yang terkenal dengan kesederhanaannya, menghadapi
tantangan baru dalam dunia globalisasi. Gaya hidup konsumerisme dan hedonistik merupakan
akibat tidak langsung dari globalisasi. Gaya hidup konsumerisme dan hedonistik berkembang
karena meningkatnya taraf hidup tetapi kesadaran terhadap nasionalisme dan budaya sendiri
berkurang. Hal ini banyak dijumpai didaerah perkotaan, dimana taraf hidup orang yang tinggal
disana lebih tinggi dari masyarakat yang hidup dipedesaan. Pada titik tertentu, nasionalisme dan
budaya sendiri akan hilang atau hanya masuk dalam museum jika kondisi ini tidak berubah.
Apalagi budaya konsumerisme dan hedonistik telah menjamah sampai ke pelosok-pelosok desa
sebagai imbas dari berkembangnya media informasi ketingkat desa.
Kesederhanaan sebagai seorang indonesia harus bisa dibangkitkan lagi sebagai ciri khas
bangsa ini. Melalui usaha angkringan, kita bisa melihat bahwa kesederhanaan Indonesia bisa
kita
tumbuhkan
kembali
melalui
usaha
ini.
Angkringan
tetap
mempertahankan
kesederhanaannya ditengah gaya hidup masyarakat yang terus berkembang. Kesederhanaan ini
bisa kita lihat dari bentuk tempat, jenis makanan dan harganya sendiri. Kesederhanaan ini tetap
dipertahankan sebagai suatu ciri khas yang membedakannya dengan usaha lain.
Dari usaha kecil ini, kita bisa melihat bahwa kesederhanaan ini bisa kita pertahankan
sebagai suatu ciri khas masyarakat indonesia. Kita bisa meluaskan kesederhanaan ini dalam
lingkup yang lebih luas kedalam berbagai aspek kehidupan. Dalam dunia yang terus
berkembang ke arah globalisasi, kita tetap bisa mempertahankan kesederhanaan melalui
angkringan.
Hanya perlu pencitraan kembali
Angkringan sebagai sebuah usaha untuk menumbuhkan kembali ekonomi rakyat harus
dapat ditopang agar usaha ini tidak tergerus oleh gaya hidup sekarang. Kesan yang berkembang
dimasyarakat dewasa dalam melihat usaha angkringan ini adalah kumuh, ‘katrok’ dan tidak
gaul. Hal-hal diatas yang membuat usaha ini kurang mendapat respon dari masyarakat maupun
pemerintah, terutama pemerintah daerah. Masalah-masalah seperti itu yang harus dapat
diminimalisir agar usaha ini dapat bersaing dalam pasar.
Kesan kumuh hadir karena tidak adanya pengelolaan dan manajemen yang baik,
sehingga menimbulkan kesan yang jelek dibenak masyarakat. Pada dasarnya orang akan malas
datang jika melihat tempatnya yang terkesan kumuh dan tidak bersih. Maka dari itu, diperlukan
kesadaran dari pemilik usaha angkringan untuk tetap mempertahankan kebersihan dan
menjadikannya lebih menarik untuk dikunjungi. Kesan bersih dan menarik menjadi point
terpenting bagi berkembangnya usaha ini.
Selain malasah kebersihan diatas, usaha ini juga mendapat tantangan lain. Pola pikir dan
gaya hidup yang berkembang di masyarakat dalam melihat usaha ini sebagai sesuatu yang
‘katrok’ dan ‘deso’. Kata ‘katrok’ dan ‘deso’ menjadi satu masalah lain yang dapat membatasi
berkembangnya usaha ini. Angkringan didalam pola pikir masyarakat, terutama masyarakat
generasi muda yang telah banyak terpengaruh oleh berkembangnya informasi memandang
angkringan hanyalah sebagai tempatnya orangtua dan tidak gaul. Maka dari itu diperlukan
terobosan dan campur tangan dari pemerintah daerah untuk mengembangkan usaha ini sebagai
usaha yang banyak dimininati oleh berbagai golongan. Diperlukan re-intrepetasi pola pikir
masyarakat, terutama golongan muda dalam melihat usaha ini. Re-intrepretasi dapat dilakukan
melalui pencitraan lewat media massa. Pencitraan ditujukan khususnya untuk generasi-generasi
muda yang mulai berkurang rasa nasionalismenya. Dengan mengubah paradigma berpikir
diharapkan masyarakat bisa melihat bahwa angkringanpun ‘bisa gaul’. Peran serta pemerintah
daerah sangat diperlukan dalam re-intrepetasi ini karena pemilik tempat usaha ini tidak
mempunyai dukungan serta dana yang mencukupi untuk melakukannya.
Peran serta dukungan dari pemilik, masyarakat maupun pemerintah sendiri menjadi
suatu hal yang mutlak dalam pengembangan usaha angkringan ini menjadi suatu usaha yang
berbasis kerakyatan. Pola pikir masyarakat dewasa ini harus bisa dirubah dalam melihat usaha
ini untuk tetap bersaing dengan tempat usaha ala barat. Sudah saatnya kita sendiri, sebagai
seorang nasionalis bisa melihat bahwa Indonesia mempunyai angkringan yang tidak kalah
dengan mall-mall yang megah. Kalo Indonesia masih mempunyai angkringan, kenapa harus
repot-repot makan ditempat mahal.
Download