HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Amplifikasi Sampel Daun Ekstraksi dalam penelitian ini menggunakan metode CTAB yang telah dilakukan terhadap 30 sampel daun. Hasil elektroforesis rata-rata menunjukkan hasil pita DNA yang cukup jelas, namun ada juga beberapa yang kurang jelas. Settanni et al. (2006) menyatakan bahwa suatu sampel DNA dinyatakan berhasil diamplifikasi apabila hasil analisis elektroforesis menunjukkan terdapatnya pita tunggal DNA dengan ukuran sesuai dengan penanda yang telah diketahui sebelumnya. Gambar 2. Hasil elektroforesis dengan visualisasi uv transiluminator dari optimalisasi DNA kemenyan toba. Silalahi (2013) menyatakan bahwa di Provinsi Sumatera Utara terdapat 2 (dua) jenis pohon kemenyan paling dominan yaitu kemenyan toba (Styrax sumatrana) dan kamenyan durame (Styrax benzoin)danpaling banyak di Kabupaten Humbahas, Tapanuli dan sebagian Kabupaten Dairi. Universitas Sumatera Utara Ekstraksi DNA merupakan langkah awal yang harus dikerjakan dalam rekayasa genetika sebelum melangkah ke proses selanjutnya. Prinsip dasar ekstraksi total DNA/RNA dari jaringan adalah dengan memecah dan mengekstraksi jaringan tersebut sehingga akan terbentuk ekstrak sel yang terdiri atas sel-sel jaringan, DNA, dan RNA. Kondisidaun cukup baik dan tidak busuk setelah sampai di Laboratorium dan dapat diisolasi. Perusakan membran sel dilakukan dengan menambahkan buffer ekstraksi, yaitu buffer CTAB, sedangkan perusakan secara fisik dilakukan dengan penggerusan dalam mortal steril. Menurut Ardiana (2009) menyatakan bahwa penggunaan buffer CTAB adalah sebagai pengganti nitrogen cair untuk mengisolasi DNA sehingga dapat menghasilkan produk DNA yang berkualitas tinggi. Hasil ekstraksi daun kemudian dielektroforesis untuk dapat membaca pita DNA. Hasil amplifikasi sampel daun Styrax sumatrana dengan menggunakan CTAB dengan primer trnL-trnF menunjukkan pita yang cukup jelas. Namun ada beberapa pita dari hasil elektrofiresis yang kurang baik. Kegagalan dalam amplifikasi DNA dapat dibebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah adanya zat yang menghambat laju reaksi kimia atau adanya metabolit sekunder yang tidak tercuci sempurna, akibatnya menjadi kontaminan dalam analisis berikutnya. Hal ini disebabkan karena daun kemenyan yang mengandung resin. Hutapea (1994) menyatakan bahwa daun kemenyan mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol. Menurut Sauer (1998), pola bayangan smeardibawah pita DNA dapat menunjukkan adanya kontaminasi dari RNA sedangkan hasil isolasi yang baik ditandai dengan pita yang dihasilkan jelas dan tidak adanya pola bayangan Universitas Sumatera Utara smeardi bawah pita DNA. Kesalahan selanjutnya dapat terjadi karena tidak tepatnya jumlah konsentrasi pereaksi yang digunakan, dan tidak tepatnya pengaturan kondisi PCR. Sekuensing DNA Hasil sekuensing produk PCR dari total 30 sampel yang diamplifikasi menggunakan primer trnL-trnF tidak semua memiliki sekuen dan grafik kromatrogram yang cukup jelas. Namun sebanyak 26 sampel memiliki sekuen yang baik, dan 4 lainnya tidak dapat teridentifikasi dengan baik yaitu Styrax sumatrana yang berasal dari Humbang Hasundutan (SS13HB, dan SS20HB), dan dari Tapanuli Utara (SS23TU dan SS24TU) sehingga tidak diikutsertakan untuk tahapan analisa berikutnya. Elektroforegram terdiri dari beberapa kurva dengan tinggi puncak dan warna yang berbeda tergantung dari jenis basa. Setiap jenis basa memiliki notasi yang berbeda-beda yaitu notasi A untuk adenin, notasi T untuk timin, notasi G untuk guanin, dan notasi C untuk sitosin. Seringkali terdapat lebih dari satu puncak yang bertumpuk pada satu posisi dengan tinggi puncak yang berbeda-beda atau terlalu rendahnya puncak yang dihasilkan dari suatu nukleotida yang dinotasikan dengan N. Hal ini disebabkan karena jumlah molekul DNA kloroplas yang sangat banyak dalam satu sel. Puncak yang rendah menunjukkan jumlah nukleotida yang jumlahnya sedikit atau minoritas, sedangkan puncak yang tinggi menunjukkan jumlah nukleotida yang banyak atau mayoritas. Karakterisasi Sekuen Panjang sekuen yang diperoleh adalah 941 bp setelah disejajarkan. Sekuen yang dihasilkan memiliki variasi genetik karena beberapa nukleotida mengalami Universitas Sumatera Utara substitusi, inersi dan delesi. Variasi genetik tersebut membagi sekuen ke dalam empat haplotipe yang dapat dilihat dari polimorfisme basa pada sekuen. Haplotipe dasar diperoleh dari perbedaan basa nukleotida yang paling sedikit. Tabel 1. Perbedaan jenis basa pada urutan nukleotida trnL-trnFStyrax sumatrana. Single Nucleotide Polymorphism keHaplotipe Kode 146 585 617 680 755 SS27TU, SS28TU, Haplotipe I C A A T T SS29TU, SS30TU SS21TU, SS22TU, SS25TU, Haplotipe II A A A T T SS26TU, SS11HB, SS12HB SS01PB, SS02PB, SS03PB, SS04PB, SS05PB, SS06PB, Haplotipe III A C A T T SS07PB, SS08PB, SS09PB, SS10PB Haplotipe IV SS14HB, SS15HB, SS16HB, A SS17HB, SS18HB, SS19HB A C G C Keterangan : Kode SS27TU adalah untuk sampel Styrax sumatrana yang berasal dari Tapanuli Utara pohon ke-27 dari total seluruh pohon sampel. Kode SS01PB adalah untuk sampel yang berasal dari Pakpak Bharat, sedangkan kode SS14HB adalah untuk sampel yang berasal dari Humbang Hasundutan. Haplotipe I dianggap sebagai haplotipe dasar atau awal. Haplotipe II diperoleh dari adanya satu perbedaan polimorfisme basa ke-146 dengan haplotipe 1, yaitu A yang menggantikan C. Haplotipe III diperoleh dari adanya dua perbedaan polimorfisme basa ke-146 dan ke-558 dengan haplotipe 1, yaitu A dan C yang menggantikan C dan A pada haplotipe 1. Haplotipe IV diperoleh dari adanya tiga perbedaan polimorfisme basa ke-146, 617, dan 680 dengan haplotipe 1, yaitu A, C, G, yang menggantikan C, A, T. Frekuensi mutasi paling tinggi dan mudah diamplifikasi maupun disekuen secara langsung karena ukurannya yang tidak terlalu panjang. Variasi terbanyak terjadi pada Styrax sumatrana yang berasal dari daerah bagian intron sekuen trnLtrnF dari jenis ini yaitu pada basa ke- 617, 680 dan 755. Universitas Sumatera Utara Gambar 3. Peta persebaran 4 haplotipe dari kemenyan toba di tiga daerah (Sumber: Phylogeoviz.org.) Keterangan : Diagrampie berwarna merah untuk haplotipe I dan berwarna biru untuk haplotipe II pada daerah Tapanuli Utara; diagram pie berwarna biru untuk haplotipe II dan berwarna kuning untuk haplotipe VI pada daerah Humbang Hasundutan; dan diagram pie berwarna ungu untuk haplotipe III pada daerah Pakpak Bharat. Untuk analisis mutasi dilakukan dengan mengurutkan nukleotida setiap sampel yang telah disejajarkan menggunakan software BioEdit. Penyejajaran dilakukan dengan tujuan untuk menentukan tingkat homologi dari urutan basa DNA sampel yang dianalisis. Sekuen yang dihasilkan memiliki variasi genetik karena beberapa nukleotida mengalami substitusi, inersi dan delesi. Pada hasil penyejajaran muncul gapyang ditandai dengan garis putus-putus. Gap menunjukkan terjadinya proses mutasi baik berupa delesi maupun inersi. Sedangkan substitusi ditandai dengan polimorfisme salah satu nukleotida seperti yang ditampilkan pada Tabel 1. Terjadinya delesi dan insersi basa pada ketiga jenis tersebut kemungkinan karena adanya seleksi alam melalui fluktuasi lingkungan yang ekstrim pada waktu Universitas Sumatera Utara lampau dan/atau waktu sekarang. Waktu terjadinya mutasi tersebut secara tepat sulit ditentukan, tetapi berdasarkan sifat DNA kloroplas yang konservatif dan kecepatan mutasi yang rendah yaitu 3.2 x 10-5dan 7.9 x 10-5(Provan et al. 1999) boleh jadi peristiwa mutasi terjadi pada masa lampau. Gen yang mengalami mutasi satu basa dapat mengakibatkan perubahan asam amino yang dihasilkan sehingga berdampak pada perubahan fenotipe tanaman di lapangan. Adanya mutasi genetik seperti substitusi, delesi, dan inersi dapat menghasilkan beberapa haplotipe. Haplotipe (haploid genotipe) adalah urutan DNA yang telah diwarisi dari satu induk. Jenis variasi yang paling umum di antara haplotipe yang dimiliki oleh individu dalam populasi adalah Single Nucleotide Polymorphism(SNP), di mana nukleotida berbeda (alel) hadir di lokasi tertentu (Gusfield & Orzack, 2001). Genetika populasi Styrax sumatrana di daerah Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara lebih bervariasi yaitu memiliki 2 haplotipe dibandingkan dengan di daerah Pakpak Bharat yang hanya memiliki satu haplotipe. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.4 yaitu peta persebaran 4 haplotipe dari kemenyan toba di tiga daerah. Diagram pie berwarna ungu untuk haplotipe III pada daerah Pakpak Bharat menunjukkan bahwa DNA Styrax sumatrana di daerah tersebut bersifat unik atau terisolasi karena hanya terdapat pada daerah Pakpak Bharat saja. Sedangkan pada daerah Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara terjadi sharing genetik. Humbang Hasundutan memiliki diagram pie berwarna kuning untuk haplotipe VI sebesar 75% dan diagram pie berwarna biru untuk haplotipe II sebesar 25%. Tapanuli Utara memiliki diagram pie berwarna biru untuk haplotipe Universitas Sumatera Utara II sebesar 50% dan merah untuk haplotipe I sebesar 50%. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, menurut Hamrick dan Godt (1990) kondisi geografi merupakan faktor yang paling besar peranannya dalam variasi genetik (32%), diikuti mekanisme kehidupan (25%), serta sistem perkawinan dan penyebaran biji (±17%). Kondisi geografis berpengaruh penting terhadap distribusi haplotipe. Pada penelitian ini, kondisi lingkungan dari ketiga lokasi berbeda-beda dilihat dari ketinggian tempat, jarak antar lokasi dan keadaan fisik lingkungan seperti gunung, sungai, dan bukit. Lokasi pengambilan sampel di Pakpak Bharat yaitu Desa Pardomuan, Kecamatan Sitellu Tali Urang Julu, tepatnya berada di bukit Lae Jerring. Bukit Lae Jerring terletak di ketinggian 1113 mdpl yang merupakan bagian dari punggung bukit barisan. Dapat dilihat pada peta bahwa terdapat hamparan bukit barisan yang tinggi nya lebih dari lokasi pengambilan sampel di Pakpak Bharat, sehingga menjadi faktor penghambat terjadinya gene flow dari daerah Humbang Hasundutan maupun Tapanuli Utara. Menurut Henuhili (2008), isolasi genetik yang disebabkan oleh satu atau lebih mutasi hanya dapat timbul sesudah terjadinya isolasi geologi dalam waktu yang lama. Isolasi ini menghasilkan perbedaan yang nyata antara kedua kelompok populasi. Apabila dua populasi yang berbeda beradaptasi pada lingkungan yang berbeda, maka masing-masing populasi akan mengakumulasi perbedaanperbedaan yang terjadi dalam kumpulan gen (perbedaan frekuensi alel dan genotip). Sedangkan Humbang Hasundutan terletak di bagian puncak bukit barisan dengan ketinggian 1445 mdpl dan Tapanuli Utara terletak pada punggung bukit Universitas Sumatera Utara barisan di bagian sisi yang berlawanan dengan Pakpak Bharat yaitu dengan ketinggian 990 mdpl. Jarak dari Humbang Hasundutan ke Tapanuli Utara juga lebih dekat daripada Jarak Humbang Hasundutan ke Pakpak Bharat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya sharing genetik atau gen flow antara gen Styrax sumatrana di Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara. Dalam genetika populasi, aliran gen (gene flow) atau migrasi gen merupakan transfer alel gen dari satu populasi ke populasi lainnya. Migrasi ke dalam atau keluar suatu populasi dapat bertanggung jawab terhadap perubahan frekuensi alel (proporsi anggota yang membawa varian gen tertentu). Su, H et al. (2003) menyatakan bahwa terdapat sejumlah faktor-faktor yang memengaruhi aliran gen antara populasi-populasi yang berbeda. Salah satu faktor yang paling signifikan adalah mobilitas. Semakin besar mobilitas suatu individu, semakin besar potensi migrasi individu tersebut.Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi laju aliran gen dapat mencakup jarak antara dua populasi, atau hambatan fisik tertentu seperti gunung, sungai, atau struktur buatan manusia tertentu.Pada tumbuhan, laju aliran gen tergantung pada efektivitas mekanisme penyebaran serbuk sari dan biji yang digunakan. Hal ini dapat terjadi karena adanya bantuan dari angin maupun hewan yang dapat membawa serbuk sari hingga jarak yang cukup jauh. Analisis Filogenetik Analisis filogenetik dilakukan dengan menggunakan software Mega 5, menggunakan metode Neighbour Joining (NJ). Analasis terhadap gen trnLtrnFmelibatkan 57 data. Data tersebut antara lain adalah dari sampel sebanyak 26 dan 27 data spesies Styrax lainnya diunduh dari NCBI dengan pilihan “trnL-trnF Universitas Sumatera Utara gene of Styrax”. Data sekuens trnL-trnF Styrax yang diunduh antara lain Styrax suberifolius, Styrax chinensis, Styrax gentryl, Styrax pentlandianus, Styrax nunezii, Styrax latifolius, Styrax peruvianus, Styraz camporum, Styrax leprosus, Styrax pohlii, Styrax obtusifolius, Styrax ferrugineus, Styrax rotundatus, Styrax acuminatus, Styrax tomentosus, Styrax lanceolatus, Styrax glaber, Styrax portoricensis, Styrax martii, Styrax laberi, Styrax ubargenteus, Styrax officinalis, Styrax benzoin, Styrax aureus, Styrax japonicus, dan Styrax agrestis. Sampel dan data dari NCBI di sejajarkan dengan menggunakan menu Align by Muscle. Pohon filogenetik merupakan grafik yang digunakan untuk menggambarkan hubungan kekerabatan antar spesies yang terdiri atas sejumlah nodus dan cabang dengan hanya satu cabang yang menghubungkan dua nodus paling berdekatan.Setiap nodus mewakili unit-unit taksonomi dan setiap cabang mewakili hubungan antar unit yang menggambarkan hubungan keturunan dengan leluhur. Pohon filogenetik yang dihasilkan oleh metode Neighbour Joining (NJ) menghasilkan hipotesis hubungan kekerabatan antarsampel berdasarkan jarak genetik pada gen trnL-trnF (Gambar 4). Pohon filogenetik yang telah direkonstruksi diuji secara statistik untuk meningkatkan nilai kepercayaan. Pada penelitian kali ini, pohon filogenetik diuji secara statistik menggunakan metode bootstrap sebanyak 1000 ulangan. Rekonstruksi atau pembuatan pohon filogenetik berdasarkan marka molekuler trnL-trnF menunjukkan pemisahan beberapa kelompok ingroup. Kelompok sampel Styrax sumatrana didukung dengan nilai bootstrap 83% yang terdiri dari empat sub kelompok dengan nilai bootstrap 62% yaitu Styrax Universitas Sumatera Utara sumatrana pohon ke 1 sampai 10 yang berasal dari Pakpak Bharat, Styrax sumatrana pohon ke 27 sampai 30 tang berasal dari Tapanuli Utara dengan nilai bootstrap 64%, Styrax sumatrana pohon ke 11 dan 12 dari Humbang Hasundutan dan pohon ke 21, 22, 25, dan 26 yang berasal dari Tapanuli Utara dengan nilai bootstrap 56%, dan Styrax sumatrana pohon ke 14 sampai 19 yang berasal dari Humbang Hasundutan dengan nilai bootstrap 94%. Dari pohon filogenetik dapat dilihat bahwa Styrax sumatrana memiliki monofiletik yang sama dengan Styrax suberifolius dengan Styrax chinensis yaitu dengan nilai bootstrap 63%. Sedangkan Styrax sumatrana dengan Styrax benzoin berjarak cukup jauh walaupun tumbuh dilokasi yang sama dengan lokasi pengambilan sampel. Nilai bootstrap diantara 70-100 menunjukkan bahwa percabangan dan pohon filogenetik tidak akan berubah. Sebaliknya, jika nilai bootstrap kurang dari 70 maka peluang terjadinya susunan percabangan sangat tinggi, sehingga ketika dilakukan analisis pohon filogenetik yang dibentuk masih dapat berubah-ubah (Simpson, 2006). Universitas Sumatera Utara SS 09PB SS 10PB SS 08PB SS 07PB 62 SS 06PB SS 05PB SS 04PB SS 03PB SS 02PB SS 01PB SS 27TU 56 SS 28TU 64 SS 29TU SS 30TU SS 12HB SS 11HB SS 26TU 83 SS 25TU SS 22TU SS 21TU SS 14HB SS 15HB 63 SS 16HB 94 SS 17HB SS 18HB SS 19HB KP793324 Styrax suberifolius 73 KP793323 Styrax chinensis KP793333 Styrax radians Gambar 4. Pohon 65 KP793332 Styrax gentryi 56 KP793341 Styrax pentlandianus KP793340 Styrax nunezii KP793348 Styrax latifolius KP793342 Styrax peruvianus KP793355 Styrax camporum KP793339 Styrax leprosus KP793354 Styrax pohlii KP793352 Styrax obtusifolius KP793357 Styrax ferrugineus 75 62 KP793351 Styrax rotundatus KP793350 Styrax acuminatus KP793343 Styrax tomentosus KP793338 Styrax lanceolatus KP793346 Styrax glaber KP793353 Styrax portoricensis KP793349 Styrax martii KP793359 Styrax sieberi KP793344 Styrax subargenteus EU863157 Styrax officinalis DQ924315 Styrax benzoin KP793326 Styrax aureus JN102145 Styrax japonicus 100 KP793325 Styrax agrestis filogenetik berdasarkan sekuens trnL-trnF. Panjang sekuen trnL-trnF yang diperoleh antara lain 941 bp setelah di sejajarkan, hal ini sesuai dengan pernyataan Holt et al. (2005) yang menyatakan Universitas Sumatera Utara bahwa plastid trnL (UAA) dan trnF (GAA) merupakan gen pengkode RNA transfer dan di antara kedua gen tersebut terdapat sekitar 1.000 bp sekuen daerah non-pengkode (intron dari trnL (UAA) dan intergenic spacer (IGS) dari trnLtrnF (GAA). Daerah noncoding merupakan daerah yang menunjukkan frekuensi mutasi paling tinggi sehingga dimungkinkan terdapat banyak perbedaan pada daerah tersebut. Menurut Taberlet (1991) daerah non-pengkode tersebut merupakan daerah yang menunjukkan frekuensi mutasi paling tinggi dan mudah diamplifikasi maupun disekuen secara langsung karena ukurannya yang tidak terlalu panjang. Analisis filogenetik dilakukan untuk mengetahui kekerabatan antara Styrax sumatrana dari tiga daerah di Sumatera Utara dan dengan spesies Styrax yang lainnya yang diunduh dari NCBI. Hubungan kekerabatan dikonstruksi dengan menggunakan fragmen DNA kloroplas yaitu trnL-trnF (daerah dari trnL (UAA) 5’ ekson hingga trnF(GAA)). Pohon filogeni dibentuk dengan menggunakan metode Neighbour Joining (NJ) (Gambar 4). Dari pohon filogenetik dapat dilihat bahwa sampel Styrax sumatrana bersifat monofiletik (mengelompok bersama berdasarkan asalnya). Menurut Hidayat et al. (2005), kelompok monofiletik merupakan kelompok yang anggotanya berasal dari satu nenek moyang. Anggota dalam kelompok monofiletik diasumsikan membawa sifat atau pola genetik yang sama. Ubaidillah dan Sutrisno (2009) juga menjelaskan bahwa penggunaan metode bootstrap dalam menentukan tingkat kepercayaan pohon berdasarkan kenyataan bahwa distribusi karakter dalam data sangat dipengaruhi oleh efek acak Universitas Sumatera Utara sehingga semakin besar nilai bootstrap yang digunakan maka semakin tinggi tingkat kepercayaan topologi pohon hasil konstruksi tersebut. Pohon filogenetik memberi informasi tentang pengklasifikasian populasi berdasarkan hubungan evolusionernya. Akar pada pohon menggambarkan titik percabangan pertama atau asal masing-masing populasi dengan asumsi bahwa laju evolusi berjalan konstan (Dharmayanti, 2011). Panjang cabang menggambarkan jumlah substitusi basa yang dapat berupa polimorfisme DNA atau haplotipe. Analisis jarak antar genetik dilakukan dengan menggunakan Pairwise Distance menggunakan model Kimura-2 parameter (Kimura, 1980). Nilai similaritas = (1 – distance) x 100%. Hasil menunjukkan jarak genetik antara Styrax sumatrana dari Tapanuli Utara dengan Pakpak Bharat adalah 0,003 atau memiliki similaritas 99,7%, nilai similaritas Tapanuli Utara dengan Humbang Hasundutan adalah 99%, sedangkan nilai similaritas Humbang Hasundutan dengan Pakpak Bharat adalah 99,7%. Jarak genetik Styrax sumatrana dengan Styrax chinensis dan Styrax suberifolius adalah 0,005 atau dengan similaritas 99,5%. Sedangkan Styrax sumatrana dengan Styrax benzoin memiliki similaritas 99,3%. Menurut Irawan et al. (2016), semakin sedikit nilai jarak genetik antara dua organisme, semakin dekat pula hubungan kekerabatan keduanya. Universitas Sumatera Utara KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Analisis sekuens dari kemenyan toba (Styrax sumatrana) dengan menggunakan trnL-trnF diperoleh panjang sekuen sebesar 941 bp setelah disejajarkan. Variasi genetik yang dihasilkan tersebut membagi sekuen ke dalam empat haplotipe yang dapat dilihat dari polimorfisme basa pada sekuen. Adanya aliran gen antara dua populasi yaitu Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara, sedangkan gen kemenyan toba di Pakpak Bharat terisolasi dan bersifat unik. Aliran gen dapat dipengaruhi oleh faktor geografis, hambatan fisik, serta jarak antar populasi. Dari pohon filogenetik dapat dilihat bahwa Styrax sumatrana memiliki monofiletik yang sama dengan Styrax suberifolius dengan Styrax chinensis yaitu dengan nilai bootstrap 63%. Saran Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membandingkan analisis kemenyan toba secara genetik dengan analisis secara morfologi agar diperoleh hasil yang lebih tepat. Universitas Sumatera Utara