Chapter III-IV - Universitas Sumatera Utara

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstraksi dan Amplifikasi Sampel Daun
Ekstraksi dalam penelitian ini menggunakan metode CTAB yang telah
dilakukan terhadap 30 sampel daun. Hasil elektroforesis rata-rata menunjukkan
hasil pita DNA yang cukup jelas, namun ada juga beberapa yang kurang jelas.
Settanni et al. (2006) menyatakan bahwa suatu sampel DNA dinyatakan berhasil
diamplifikasi apabila hasil analisis elektroforesis menunjukkan terdapatnya pita
tunggal DNA dengan ukuran sesuai dengan penanda yang telah diketahui
sebelumnya.
Gambar 2. Hasil elektroforesis dengan visualisasi uv transiluminator dari optimalisasi
DNA kemenyan toba.
Silalahi (2013) menyatakan bahwa di Provinsi Sumatera Utara terdapat 2
(dua) jenis pohon kemenyan paling dominan yaitu kemenyan toba (Styrax
sumatrana) dan kamenyan durame (Styrax benzoin)danpaling banyak di
Kabupaten Humbahas, Tapanuli dan sebagian Kabupaten Dairi.
Universitas Sumatera Utara
Ekstraksi DNA merupakan langkah awal yang harus dikerjakan dalam
rekayasa genetika sebelum melangkah ke proses selanjutnya. Prinsip dasar
ekstraksi total DNA/RNA dari jaringan adalah dengan
memecah dan
mengekstraksi jaringan tersebut sehingga akan terbentuk ekstrak sel yang terdiri
atas sel-sel jaringan, DNA, dan RNA. Kondisidaun cukup baik dan tidak busuk
setelah sampai di Laboratorium dan dapat diisolasi.
Perusakan membran sel dilakukan dengan menambahkan buffer ekstraksi,
yaitu buffer CTAB, sedangkan perusakan secara fisik dilakukan dengan
penggerusan dalam mortal steril. Menurut Ardiana (2009) menyatakan bahwa
penggunaan buffer CTAB adalah sebagai pengganti nitrogen cair untuk
mengisolasi DNA sehingga dapat menghasilkan produk DNA yang berkualitas
tinggi. Hasil ekstraksi daun kemudian dielektroforesis untuk dapat membaca pita
DNA.
Hasil amplifikasi sampel daun Styrax sumatrana dengan menggunakan
CTAB dengan primer trnL-trnF menunjukkan pita yang cukup jelas. Namun ada
beberapa pita dari hasil elektrofiresis yang kurang baik. Kegagalan dalam
amplifikasi DNA dapat dibebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah adanya
zat yang menghambat laju reaksi kimia atau adanya metabolit sekunder yang tidak
tercuci sempurna, akibatnya menjadi kontaminan dalam analisis berikutnya. Hal
ini disebabkan karena daun kemenyan yang mengandung resin. Hutapea (1994)
menyatakan bahwa daun kemenyan mengandung saponin, flavonoid, dan
polifenol. Menurut Sauer (1998), pola bayangan smeardibawah pita DNA dapat
menunjukkan adanya kontaminasi dari RNA sedangkan hasil isolasi yang baik
ditandai dengan pita yang dihasilkan jelas dan tidak adanya pola bayangan
Universitas Sumatera Utara
smeardi bawah pita DNA. Kesalahan selanjutnya dapat terjadi karena tidak
tepatnya jumlah konsentrasi pereaksi yang digunakan, dan tidak tepatnya
pengaturan kondisi PCR.
Sekuensing DNA
Hasil sekuensing produk PCR dari total 30 sampel yang diamplifikasi
menggunakan primer trnL-trnF tidak semua memiliki sekuen dan grafik
kromatrogram yang cukup jelas. Namun sebanyak 26 sampel memiliki sekuen
yang baik, dan 4 lainnya tidak dapat teridentifikasi dengan baik yaitu Styrax
sumatrana yang berasal dari Humbang Hasundutan (SS13HB, dan SS20HB), dan
dari Tapanuli Utara (SS23TU dan SS24TU) sehingga tidak diikutsertakan untuk
tahapan analisa berikutnya.
Elektroforegram terdiri dari beberapa kurva dengan tinggi puncak dan
warna yang berbeda tergantung dari jenis basa. Setiap jenis basa memiliki notasi
yang berbeda-beda yaitu notasi A untuk adenin, notasi T untuk timin, notasi G
untuk guanin, dan notasi C untuk sitosin. Seringkali terdapat lebih dari satu
puncak yang bertumpuk pada satu posisi dengan tinggi puncak yang berbeda-beda
atau terlalu rendahnya puncak yang dihasilkan dari suatu nukleotida yang
dinotasikan dengan N. Hal ini disebabkan karena jumlah molekul DNA kloroplas
yang sangat banyak dalam satu sel. Puncak yang rendah menunjukkan jumlah
nukleotida yang jumlahnya sedikit atau minoritas, sedangkan puncak yang tinggi
menunjukkan jumlah nukleotida yang banyak atau mayoritas.
Karakterisasi Sekuen
Panjang sekuen yang diperoleh adalah 941 bp setelah disejajarkan. Sekuen
yang dihasilkan memiliki variasi genetik karena beberapa nukleotida mengalami
Universitas Sumatera Utara
substitusi, inersi dan delesi. Variasi genetik tersebut membagi sekuen ke dalam
empat haplotipe yang dapat dilihat dari polimorfisme basa pada sekuen. Haplotipe
dasar diperoleh dari perbedaan basa nukleotida yang paling sedikit.
Tabel 1. Perbedaan jenis basa pada urutan nukleotida trnL-trnFStyrax sumatrana.
Single Nucleotide Polymorphism keHaplotipe
Kode
146
585
617
680
755
SS27TU, SS28TU,
Haplotipe I
C
A
A
T
T
SS29TU, SS30TU
SS21TU, SS22TU, SS25TU,
Haplotipe II
A
A
A
T
T
SS26TU, SS11HB, SS12HB
SS01PB, SS02PB, SS03PB,
SS04PB, SS05PB, SS06PB,
Haplotipe III
A
C
A
T
T
SS07PB, SS08PB, SS09PB,
SS10PB
Haplotipe IV
SS14HB, SS15HB, SS16HB,
A
SS17HB, SS18HB, SS19HB
A
C
G
C
Keterangan : Kode SS27TU adalah untuk sampel Styrax sumatrana yang berasal dari
Tapanuli Utara pohon ke-27 dari total seluruh pohon sampel. Kode SS01PB adalah untuk
sampel yang berasal dari Pakpak Bharat, sedangkan kode SS14HB adalah untuk sampel
yang berasal dari Humbang Hasundutan.
Haplotipe I dianggap sebagai haplotipe dasar atau awal. Haplotipe II
diperoleh dari adanya satu perbedaan polimorfisme basa ke-146 dengan haplotipe
1, yaitu A yang menggantikan C. Haplotipe III diperoleh dari adanya dua
perbedaan polimorfisme basa ke-146 dan ke-558 dengan haplotipe 1, yaitu A dan
C yang menggantikan C dan A pada haplotipe 1. Haplotipe IV diperoleh dari
adanya tiga perbedaan polimorfisme basa ke-146, 617, dan 680 dengan haplotipe
1, yaitu A, C, G, yang menggantikan C, A, T.
Frekuensi mutasi paling tinggi dan mudah diamplifikasi maupun disekuen
secara langsung karena ukurannya yang tidak terlalu panjang. Variasi terbanyak
terjadi pada Styrax sumatrana yang berasal dari daerah bagian intron sekuen trnLtrnF dari jenis ini yaitu pada basa ke- 617, 680 dan 755.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3. Peta persebaran 4 haplotipe dari kemenyan toba di tiga daerah
(Sumber: Phylogeoviz.org.)
Keterangan : Diagrampie berwarna merah untuk haplotipe I dan berwarna biru untuk
haplotipe II pada daerah Tapanuli Utara; diagram pie berwarna biru untuk haplotipe II
dan berwarna kuning untuk haplotipe VI pada daerah Humbang Hasundutan; dan diagram
pie berwarna ungu untuk haplotipe III pada daerah Pakpak Bharat.
Untuk analisis mutasi dilakukan dengan mengurutkan nukleotida setiap
sampel yang telah disejajarkan menggunakan software BioEdit. Penyejajaran
dilakukan dengan tujuan untuk menentukan tingkat homologi dari urutan basa
DNA sampel yang dianalisis. Sekuen yang dihasilkan memiliki variasi genetik
karena beberapa nukleotida mengalami substitusi, inersi dan delesi. Pada hasil
penyejajaran muncul gapyang ditandai dengan garis putus-putus. Gap
menunjukkan terjadinya proses mutasi baik berupa delesi maupun inersi.
Sedangkan substitusi ditandai dengan polimorfisme salah satu nukleotida seperti
yang ditampilkan pada Tabel 1.
Terjadinya delesi dan insersi basa pada ketiga jenis tersebut kemungkinan
karena adanya seleksi alam melalui fluktuasi lingkungan yang ekstrim pada waktu
Universitas Sumatera Utara
lampau dan/atau waktu sekarang. Waktu terjadinya mutasi tersebut secara tepat
sulit ditentukan, tetapi berdasarkan sifat DNA kloroplas yang konservatif dan
kecepatan mutasi yang rendah yaitu 3.2 x 10-5dan 7.9 x 10-5(Provan et al. 1999)
boleh jadi peristiwa mutasi terjadi pada masa lampau. Gen yang mengalami
mutasi satu basa dapat mengakibatkan perubahan asam amino yang dihasilkan
sehingga berdampak pada perubahan fenotipe tanaman di lapangan.
Adanya mutasi genetik seperti substitusi, delesi, dan inersi dapat
menghasilkan beberapa haplotipe. Haplotipe (haploid genotipe) adalah urutan
DNA yang telah diwarisi dari satu induk. Jenis variasi yang paling umum di
antara haplotipe yang dimiliki oleh individu dalam populasi adalah Single
Nucleotide Polymorphism(SNP), di mana nukleotida berbeda (alel) hadir di lokasi
tertentu (Gusfield & Orzack, 2001).
Genetika populasi Styrax sumatrana di daerah Humbang Hasundutan dan
Tapanuli Utara lebih bervariasi yaitu memiliki 2 haplotipe dibandingkan dengan
di daerah Pakpak Bharat yang hanya memiliki satu haplotipe. Hal ini dapat dilihat
pada Gambar 4.4 yaitu peta persebaran 4 haplotipe dari kemenyan toba di tiga
daerah. Diagram pie berwarna ungu untuk haplotipe III pada daerah Pakpak
Bharat menunjukkan bahwa DNA Styrax sumatrana di daerah tersebut bersifat
unik atau terisolasi karena hanya terdapat pada daerah Pakpak Bharat saja.
Sedangkan pada daerah Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara terjadi sharing
genetik.
Humbang Hasundutan memiliki diagram pie berwarna kuning untuk
haplotipe VI sebesar 75% dan diagram pie berwarna biru untuk haplotipe II
sebesar 25%. Tapanuli Utara memiliki diagram pie berwarna biru untuk haplotipe
Universitas Sumatera Utara
II sebesar 50% dan merah untuk haplotipe I sebesar 50%. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, menurut Hamrick dan Godt (1990) kondisi geografi merupakan
faktor yang paling besar peranannya dalam variasi genetik (32%), diikuti
mekanisme kehidupan (25%), serta sistem perkawinan dan penyebaran biji
(±17%).
Kondisi geografis berpengaruh penting terhadap distribusi haplotipe. Pada
penelitian ini, kondisi lingkungan dari ketiga lokasi berbeda-beda dilihat dari
ketinggian tempat, jarak antar lokasi dan keadaan fisik lingkungan seperti gunung,
sungai, dan bukit. Lokasi pengambilan sampel di Pakpak Bharat yaitu Desa
Pardomuan, Kecamatan Sitellu Tali Urang Julu, tepatnya berada di bukit Lae
Jerring. Bukit Lae Jerring terletak di ketinggian 1113 mdpl yang merupakan
bagian dari punggung bukit barisan. Dapat dilihat pada peta bahwa terdapat
hamparan bukit barisan yang tinggi nya lebih dari lokasi pengambilan sampel di
Pakpak Bharat, sehingga menjadi faktor penghambat terjadinya gene flow dari
daerah Humbang Hasundutan maupun Tapanuli Utara.
Menurut Henuhili (2008), isolasi genetik yang disebabkan oleh satu atau
lebih mutasi hanya dapat timbul sesudah terjadinya isolasi geologi dalam waktu
yang lama. Isolasi ini menghasilkan perbedaan yang nyata antara kedua kelompok
populasi. Apabila dua populasi yang berbeda beradaptasi pada lingkungan yang
berbeda, maka masing-masing populasi akan mengakumulasi perbedaanperbedaan yang terjadi dalam kumpulan gen (perbedaan frekuensi alel dan
genotip).
Sedangkan Humbang Hasundutan terletak di bagian puncak bukit barisan
dengan ketinggian 1445 mdpl dan Tapanuli Utara terletak pada punggung bukit
Universitas Sumatera Utara
barisan di bagian sisi yang berlawanan dengan Pakpak Bharat yaitu dengan
ketinggian 990 mdpl. Jarak dari Humbang Hasundutan ke Tapanuli Utara juga
lebih dekat daripada Jarak Humbang Hasundutan ke Pakpak Bharat. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya sharing genetik atau gen flow antara gen Styrax
sumatrana di Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara.
Dalam genetika populasi, aliran gen (gene flow) atau migrasi gen
merupakan transfer alel gen dari satu populasi ke populasi lainnya. Migrasi ke
dalam
atau
keluar suatu
populasi
dapat
bertanggung jawab
terhadap
perubahan frekuensi alel (proporsi anggota yang membawa varian gen tertentu).
Su, H et al. (2003) menyatakan bahwa terdapat sejumlah faktor-faktor
yang memengaruhi aliran gen antara populasi-populasi yang berbeda. Salah satu
faktor yang paling signifikan adalah mobilitas. Semakin besar mobilitas suatu
individu, semakin besar potensi migrasi individu tersebut.Faktor-faktor lain yang
dapat mempengaruhi laju aliran gen dapat mencakup jarak antara dua populasi,
atau hambatan fisik tertentu seperti gunung, sungai, atau struktur buatan manusia
tertentu.Pada tumbuhan, laju aliran gen tergantung pada efektivitas mekanisme
penyebaran serbuk sari dan biji yang digunakan. Hal ini dapat terjadi karena
adanya bantuan dari angin maupun hewan yang dapat membawa serbuk sari
hingga jarak yang cukup jauh.
Analisis Filogenetik
Analisis filogenetik dilakukan dengan menggunakan software Mega 5,
menggunakan metode Neighbour Joining (NJ). Analasis terhadap gen trnLtrnFmelibatkan 57 data. Data tersebut antara lain adalah dari sampel sebanyak 26
dan 27 data spesies Styrax lainnya diunduh dari NCBI dengan pilihan “trnL-trnF
Universitas Sumatera Utara
gene of Styrax”. Data sekuens trnL-trnF Styrax yang diunduh antara lain Styrax
suberifolius, Styrax chinensis, Styrax gentryl, Styrax pentlandianus, Styrax
nunezii, Styrax latifolius, Styrax peruvianus, Styraz camporum, Styrax leprosus,
Styrax pohlii, Styrax obtusifolius, Styrax ferrugineus, Styrax rotundatus, Styrax
acuminatus, Styrax tomentosus, Styrax lanceolatus, Styrax glaber, Styrax
portoricensis, Styrax martii, Styrax laberi, Styrax ubargenteus, Styrax officinalis,
Styrax benzoin, Styrax aureus, Styrax japonicus, dan Styrax agrestis. Sampel dan
data dari NCBI di sejajarkan dengan menggunakan menu Align by Muscle.
Pohon
filogenetik
merupakan
grafik
yang
digunakan
untuk
menggambarkan hubungan kekerabatan antar spesies yang terdiri atas sejumlah
nodus dan cabang dengan hanya satu cabang yang menghubungkan dua nodus
paling berdekatan.Setiap nodus mewakili unit-unit taksonomi dan setiap cabang
mewakili hubungan antar unit yang menggambarkan hubungan keturunan dengan
leluhur.
Pohon filogenetik yang dihasilkan oleh metode Neighbour Joining (NJ)
menghasilkan hipotesis hubungan kekerabatan antarsampel berdasarkan jarak
genetik pada gen trnL-trnF (Gambar 4). Pohon filogenetik yang telah
direkonstruksi diuji secara statistik untuk meningkatkan nilai kepercayaan. Pada
penelitian kali ini, pohon filogenetik diuji secara statistik menggunakan metode
bootstrap sebanyak 1000 ulangan.
Rekonstruksi atau pembuatan pohon filogenetik berdasarkan marka
molekuler trnL-trnF menunjukkan pemisahan beberapa kelompok ingroup.
Kelompok sampel Styrax sumatrana didukung dengan nilai bootstrap 83% yang
terdiri dari empat sub kelompok dengan nilai bootstrap 62% yaitu Styrax
Universitas Sumatera Utara
sumatrana pohon ke 1 sampai 10 yang berasal dari Pakpak Bharat, Styrax
sumatrana pohon ke 27 sampai 30 tang berasal dari Tapanuli Utara dengan nilai
bootstrap 64%, Styrax sumatrana pohon ke 11 dan 12 dari Humbang Hasundutan
dan pohon ke 21, 22, 25, dan 26 yang berasal dari Tapanuli Utara dengan nilai
bootstrap 56%, dan Styrax sumatrana pohon ke 14 sampai 19 yang berasal dari
Humbang Hasundutan dengan nilai bootstrap 94%.
Dari pohon filogenetik dapat dilihat bahwa Styrax sumatrana memiliki
monofiletik yang sama dengan Styrax suberifolius dengan Styrax chinensis yaitu
dengan nilai bootstrap 63%. Sedangkan Styrax sumatrana dengan Styrax benzoin
berjarak cukup jauh walaupun tumbuh dilokasi yang sama dengan lokasi
pengambilan sampel.
Nilai bootstrap diantara 70-100 menunjukkan bahwa percabangan dan
pohon filogenetik tidak akan berubah. Sebaliknya, jika nilai bootstrap kurang dari
70 maka peluang terjadinya susunan percabangan sangat tinggi, sehingga ketika
dilakukan analisis pohon filogenetik yang dibentuk masih dapat berubah-ubah
(Simpson, 2006).
Universitas Sumatera Utara
SS 09PB
SS 10PB
SS 08PB
SS 07PB
62
SS 06PB
SS 05PB
SS 04PB
SS 03PB
SS 02PB
SS 01PB
SS 27TU
56
SS 28TU
64
SS 29TU
SS 30TU
SS 12HB
SS 11HB
SS 26TU
83
SS 25TU
SS 22TU
SS 21TU
SS 14HB
SS 15HB
63
SS 16HB
94
SS 17HB
SS 18HB
SS 19HB
KP793324 Styrax suberifolius
73
KP793323 Styrax chinensis
KP793333 Styrax radians
Gambar
4. Pohon
65
KP793332 Styrax gentryi
56
KP793341 Styrax pentlandianus
KP793340 Styrax nunezii
KP793348 Styrax latifolius
KP793342 Styrax peruvianus
KP793355 Styrax camporum
KP793339 Styrax leprosus
KP793354 Styrax pohlii
KP793352 Styrax obtusifolius
KP793357 Styrax ferrugineus
75
62
KP793351 Styrax rotundatus
KP793350 Styrax acuminatus
KP793343 Styrax tomentosus
KP793338 Styrax lanceolatus
KP793346 Styrax glaber
KP793353 Styrax portoricensis
KP793349 Styrax martii
KP793359 Styrax sieberi
KP793344 Styrax subargenteus
EU863157 Styrax officinalis
DQ924315 Styrax benzoin
KP793326 Styrax aureus
JN102145 Styrax japonicus
100
KP793325 Styrax agrestis
filogenetik berdasarkan sekuens trnL-trnF.
Panjang sekuen trnL-trnF yang diperoleh antara lain 941 bp setelah di
sejajarkan, hal ini sesuai dengan pernyataan Holt et al. (2005) yang menyatakan
Universitas Sumatera Utara
bahwa plastid trnL (UAA) dan trnF (GAA) merupakan gen pengkode RNA
transfer dan di antara kedua gen tersebut terdapat sekitar 1.000 bp sekuen daerah
non-pengkode (intron dari trnL (UAA) dan intergenic spacer (IGS) dari trnLtrnF (GAA).
Daerah noncoding merupakan daerah yang menunjukkan frekuensi mutasi
paling tinggi sehingga dimungkinkan terdapat banyak perbedaan pada daerah
tersebut. Menurut Taberlet (1991) daerah non-pengkode tersebut merupakan
daerah yang menunjukkan frekuensi mutasi paling tinggi dan mudah diamplifikasi
maupun disekuen secara langsung karena ukurannya yang tidak terlalu panjang.
Analisis filogenetik dilakukan untuk mengetahui kekerabatan antara Styrax
sumatrana dari tiga daerah di Sumatera Utara dan dengan spesies Styrax yang
lainnya yang diunduh dari NCBI. Hubungan kekerabatan dikonstruksi dengan
menggunakan fragmen DNA kloroplas yaitu trnL-trnF (daerah dari trnL (UAA)
5’ ekson hingga trnF(GAA)). Pohon filogeni dibentuk dengan menggunakan
metode Neighbour Joining (NJ) (Gambar 4).
Dari pohon filogenetik dapat dilihat bahwa sampel Styrax sumatrana
bersifat monofiletik (mengelompok bersama berdasarkan asalnya). Menurut
Hidayat et al. (2005), kelompok monofiletik merupakan kelompok yang
anggotanya berasal dari satu nenek moyang. Anggota dalam kelompok
monofiletik diasumsikan membawa sifat atau pola genetik yang sama.
Ubaidillah dan Sutrisno (2009) juga menjelaskan bahwa penggunaan
metode bootstrap dalam menentukan tingkat kepercayaan pohon berdasarkan
kenyataan bahwa distribusi karakter dalam data sangat dipengaruhi oleh efek acak
Universitas Sumatera Utara
sehingga semakin besar nilai bootstrap yang digunakan maka semakin tinggi
tingkat kepercayaan topologi pohon hasil konstruksi tersebut.
Pohon filogenetik memberi informasi tentang pengklasifikasian populasi
berdasarkan hubungan evolusionernya. Akar pada pohon menggambarkan titik
percabangan pertama atau asal masing-masing populasi dengan asumsi bahwa laju
evolusi berjalan konstan (Dharmayanti, 2011). Panjang cabang menggambarkan
jumlah substitusi basa yang dapat berupa polimorfisme DNA atau haplotipe.
Analisis jarak antar genetik dilakukan dengan menggunakan Pairwise
Distance menggunakan model Kimura-2 parameter (Kimura, 1980). Nilai
similaritas = (1 – distance) x 100%. Hasil menunjukkan jarak genetik antara
Styrax sumatrana dari Tapanuli Utara dengan Pakpak Bharat adalah 0,003 atau
memiliki similaritas 99,7%, nilai similaritas Tapanuli Utara dengan Humbang
Hasundutan adalah 99%, sedangkan nilai similaritas Humbang Hasundutan
dengan Pakpak Bharat adalah 99,7%.
Jarak genetik Styrax sumatrana dengan Styrax chinensis dan Styrax
suberifolius adalah 0,005 atau dengan similaritas 99,5%. Sedangkan Styrax
sumatrana dengan Styrax benzoin memiliki similaritas 99,3%. Menurut Irawan et
al. (2016), semakin sedikit nilai jarak genetik antara dua organisme, semakin
dekat pula hubungan kekerabatan keduanya.
Universitas Sumatera Utara
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Analisis sekuens dari kemenyan toba (Styrax sumatrana) dengan
menggunakan trnL-trnF diperoleh panjang sekuen sebesar 941 bp setelah
disejajarkan. Variasi genetik yang dihasilkan tersebut membagi sekuen ke dalam
empat haplotipe yang dapat dilihat dari polimorfisme basa pada sekuen. Adanya
aliran gen antara dua populasi yaitu Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara,
sedangkan gen kemenyan toba di Pakpak Bharat terisolasi dan bersifat unik.
Aliran gen dapat dipengaruhi oleh faktor geografis, hambatan fisik, serta jarak
antar populasi. Dari pohon filogenetik dapat dilihat bahwa Styrax sumatrana
memiliki monofiletik yang sama dengan Styrax suberifolius dengan Styrax
chinensis yaitu dengan nilai bootstrap 63%.
Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membandingkan analisis
kemenyan toba secara genetik dengan analisis secara morfologi agar diperoleh
hasil yang lebih tepat.
Universitas Sumatera Utara
Download