Telaah Buku

advertisement
Telaah Buku
Judul Buku
Penulis
Penerbit
Tebal
:
:
:
:
Introduction to Phenomenology
Robert Sokolowski
Cambridge University Press, 2000
vii + 238
What is Phenomenology? Bagaimana memahami fenomenologi? Inilah
pertanyaan utama dari buku Introduction to Phenomenology. Robert
Sokolowski bahkan menjanjikan pembaca bahwa yang tidak mengenal
Edmund Husserl dengan rincian bahasanya yang rumit-rumit pun akan
dapat diantar ke pemahaman fenomenologi dengan buku itu. Sebuah janji
yang tidak bohong.
Konteks fenomenologi adalah filsafat. Apakah filsafat? Bagaimana
orang memahami filsafat? Jika hendak dibahasakan secara mudah, filsafat
adalah elaborasi relasi saya dengan dunia. Filsafat berada pada rincian
aneka kepentingan refleksi pemahaman dunia saya. Dunia di sini bukan
semata soal dunia fisik, alam, gunung, sungai, sawah. Melainkan, dunia
dalam arti yang luas, mendalam, melimpah. Dunia mencakup segala
perkara yang berurusan dengan hidup saya. Filsafat menyoal tentang
“manusia,” karena soal manusia adalah soal dunia hidup saya. Filsafat
merefleksikan “siapakah aku,” karena wacana tentang aku sebagai manusia
yang menyejarah menunjuk langsung kepada dunia hidupku. Dan,
demikian bahkan filsafat menggagas tentang Tuhan, karena refleksi Sang
Ada absolut mengisi ruang hidupku. Dengan singkat kata, filsafat berupa
elaborasi hubungan saya dengan dunia yang saya hidupi.
Jika diringkas elaborasi relasi manusia dengan dunia dalam sejarah
perkembangan filsafat, akan dijumpai suatu alur yang mengalir. Mula-mula,
pada jaman sebelum filsafat (dalam artian umum), manusia memahami
dunianya dengan segala peristiwanya dalam mitos-mitos. Hujan, misalnya,
merupakan “tangisan dewi.” Penjelasan hujan sebagai suatu tangisan dewi
merupakan mitos, sebab penjelasan itu tidak menyentuh halnya.
Menurut pemikiran modern, hujan tidak lain merupakan jatuhnya uap
air dari udara setelah mencapai titik suhu kenisbian tertentu. Tetapi, harus
segera ditambahkan, bahwa mitos bukan mengatakan salah benar suatu
penjelasan. Dalam pemahaman kemudian, akan dijumpai bahwa mitos
sebenarnya bukanlah dimaksudkan untuk menjelaskan halnya (hujan) atau
proses peristiwanya (berupa air turun dari atas). Melainkan, mitos
dimaksudkan untuk melukiskan relasi manusia dengan alam, dengan
118
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 1, Maret 2005
dunianya, dengan bahkan realitas yang mengatasi hidupnya. Misalnya,
apabila hujan turun berlebihan dan menyebabkan banjir, orang langsung
bertanya apa yang dikehendaki dewa terhadap manusia. Atau, banjir
dimengerti dalam kaitannya dengan bentuk ungkapan kemarahan dewi/
dewa atas hidup manusia yang dirasa tidak memenuhi ketentuan yang
digariskan oleh sang penyelenggara kehidupan. Jadi mitos bukan penjelasan
hal atau peristiwa hujannya melainkan elaborasi relasi manusia dengan
dunia.
Periode awal kehadiran filsafat Yunani ditandai dengan campur baur
mentalitas berpikir. Tidak sepenuhnya mitos ditinggalkan. Tetapi, gerakan
intelektual yang berusaha menarik garis tegas antara penjelasan mitologis
dan ilmiah juga makin menghebat. Apa yang disebut sebagai “ilmiah”
dalam periode awal filsafat Yunani jelas berbeda dengan periode modern.
Ilmiah dalam Yunani awali berkaitan dengan argumentasi, refleksi,
predikasi. Sedangkan, dalam periode modern keilmiahan menunjuk pada
metodologi. Apalagi dengan kebangkitan ilmu-ilmu empiris yang mengalir
kepada ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, pergumulan keilmiahan
berarti pergumulan seputar metodologi. Elaborasi filsafat Yunani awali
berkisar pada pencarian arché. Arché merupakan terminologi filosofis untuk
menyebut prinsip, asal usul. Dengan menemukan arché, orang bisa
menjelaskan segala apa yang ada dalam suatu cara yang mengesankan.
Misalnya, bagaimana segala yang ada ini hendak dijelaskan? Segala yang
ada ini berasal dari air. Airlah prinsip ada. Itu pendapat Thales. Filosof lain
akan memiliki pandangan lain, prinsip segala yang ada ialah udara. Ada
lagi yang menyebut tanah. Tetapi, juga ada yang berkata ketiga-tiganya,
air, udara, dan tanah. Dan seterusnya. Pandangan filsafat Yunani awali –
karena menyebut air, udara, dan yang semacamnya – disebut filsafat alam.
Maka, para filosof awali adalah para filosof alam.
Perkembangan filsafat Yunani mencapai puncak sistematis pada
pemikiran Aristoteles. Plato dari sendirinya juga perlu disebut di sini.
Tetapi, elaborasi tentang relasi dunia dan manusia ditemukan dalam cara
yang mengesankan pada Aristoteles, tanpa mengecilkan peran hebat dari
filsafat Plato pula. Bagi Aristoteles relasi manusia dan dunia identik dengan
relasi rasio dan realitas. Artinya, pengetahuan manusia tentang dunia
adalah pengetahuan rasional tentang realitas. Dalam Aristoteles, untuk
pertama kalinya dalam sejarah filsafat, apa yang disebut dengan
pengetahuan ialah soal relasi kesesuaian antara apa yang ada dalam akal
budi dengan obyek real yang diketahui (di luar akal budi). Plato tidak
memikirkan demikian. Kesejatian pengetahuan platonis merujuk dan
menunjuk pada Forma atau Idea. Kesejatian maksudnya keuniversalan.
Berbeda dengan Aristoteles yang realis, Plato adalah seorang idealis.
Kembali kepada Aristoteles. Dalam Aristoteles pengetahuan memiliki
makna, jika pengetahuan itu benar, sahih, valid. Dan apa yang dimaksudkan
Telaah Buku
119
dengan soal kebenaran, kesahihan, dan validitas ialah soal verifikasi apa
yang ada dalam rasio dengan obyek realnya di luar rasio. Jika suatu
pengetahuan akal budi benar, itu maksudnya pengetahuan itu sesuai
dengan obyek real. Dan, kebalikannya, jika pengetahuan salah, artinya
pengetahuan itu tidak sesuai dengan obyeknya. Contoh, Indonesia terdiri
dari tujuh belas ribu pulau. Pengetahuan “Indonesia terdiri dari tujuh belas
ribu pulau” ini benar hanya apabila memang ada sekian jumlahnya dalam
kenyataan. Bila ternyata tidak sampai tujuh belas ribu pulau, berarti
pengetahuan itu salah. Dengan demikian kebenaran suatu ilmu
pengetahuan – dalam cara berpikir Aristotelian – ialah kebenaran obyektif.
Kebenaran obyektif berarti kebenaran yang menunjuk kepada realitas
obyeknya. Dalam filsafat Aristotelian, kebenaran obyektif adalah kebenaran
universal. Berbeda dengan Plato, kebenaran universal tak pernah menunjuk
kepada obyek real. Sebab obyek real hanyalah percikan dari realitas universal, Idea. Gagasan Aristoteles menjadi semacam pondasi metodologi
untuk ilmu pengetahuan modern. Maksudnya, ilmu pengetahuan bertumpu pada obyek realnya. Suatu pernyataan ilmiah ditarik dari realitas
obyektifnya. Inilah sebabnya seringkali filsafat Aristoteles disebut sebagai
filsafat esse. Artinya, filsafat Aristotelian bertolak dari ada, dari realitas, dari
segala apa yang ada.
Dalam konteks epistemologis, filsafat Aristotelian terus berlangsung
sampai Descartes muncul. Descartes adalah pendobrak gaya justifikasi
model Aristotelian. Dia tidak bertolak dari obyek, melainkan dari subyek.
Apa artinya bertolak dari subyek? Artinya bertolak dari apa yang paling
melukiskan subyektivitasnya, yaitu rasio, akal budi, kesadaran diri. Filsafat
Descartes sering kali disebut sebagai filsafat kesadaran, semata-mata karena
dia melucuti suatu pengetahuan dari dimensi obyektifnya. Pengetahuan
itu urusan kesadaran. Urusan apa yang paling menentukan subyektivitas
seseorang. Orang mengetahui kapal, misalnya, itu berarti akal budi orang
tersebut sedang “menyadari” kapal. Descartes berkata dengan benar, cogito
ergo sum (saya berpikir maka saya ada). Kesadaran mendahului ada. Atau,
cogito (saya menyadari, berpikir) mendahului sum (realitas ada saya).
Filsafat Descartes juga disebut filsafat cogito, filsafat “saya berpikir,” atau
dengan kata lain filsafat kesadaran (conscientia). Ergo sum (maka saya ada)
lantas mengalir dari kesadaran. Bukan memang realitasnya saya ada, maka
saya menyadari. Dalam Descartes, dengan demikian, seluruh elaborasi
mengenai ada saya berangkat dari kesadaran.
Karena kesadaran memiliki karakter subyektif, maka juga soal
pengetahuan benar atau salah sangat berurusan dengan “pembenahan”
subyektivitas. Artinya, dalam cara berpikir demikian, obyektivitas
(kebenaran yang berkaitan dengan obyeknya) mulai ditinggalkan. Nanti
Descartes akan menegaskan bahwa apa yang disebut dengan pengetahuan
adalah ingatan sejauh manusia menyadari. Pengetahuan manusia adalah
120
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 1, Maret 2005
“bawaan” sejak lahir. Mengenal atau mengetahui berarti mengingat kembali
ide bawaan sejak lahir tersebut.
Dikatakan bahwa Descartes mendobrak filsafat Aristoteles, di mana
letak pendobrakkannya? Di sini, bahwa sejak Descartes peran rasio makin
mengemuka dan menghebat. Maksudnya, akal budi manusia benar-benar
menjadi hampir segala-galanya dalam tataran filsafat. Rasionalisme, dalam
konteks epistemologis, praktis menunjuk pada filsafat Descartes. Kepastian
ilmu pengetahuan bukan lagi perkara korespondensi atau diskrepansi rasio
dengan realitas, melainkan perkara kesadaran rasional manusia. Kerja
tentang perkara sesuai/tidak sesuai antara akal budi dengan obyek realnya
ditinggalkan. Ide tentang subyektivitas atau subyektivisme (kalau itu
berurusan dengan paham) berangkat dari filsafat Cartesius (sebutan dalam
bahasa Latin untuk Descartes).
Rasionalisme Cartesian (Descartes) mengalami puncak elaborasi pada
filsafat Immanuel Kant. Dalam Kant, ilmu pengetahuan bukan ingatan
(Descartes), bukan pula kesesuaian antara rasio dan realitas (Aristoteles),
melainkan sintetis apriori. Artinya, pengetahuan itu ada dalam akal budi
sendiri yang memiliki struktur kategoris. Seakan-akan akal budi itu sendiri
yang memproduksi pengetahuan. Kant menulis buku critique of pure reason, buku yang menggariskan filsafatnya tentang pengetahuan akal budi
murni. Murni artinya tidak tercampur. Tak tercampur apa? Tak tercampur
pengalaman. Pengetahuan itu disebut sintetis apriori (sebelum), sebab
pengetahuan itu tidak mengandaikan pengalaman. Bagi Kant, realitas itu
tertutup. Akal budi kita tidak mungkin menembusnya. Mengenai realitas,
Kant membedakan dua hal: realitas dalam dirinya sendiri (thing in itself)
dan dalam penampakannya (thing in its appearances). Suatu pengetahuan
tentang thing in itself tidak mungkin. Kesadaran kita tertutup sama sekali
mengenai suatu realitas dalam dirinya sendiri. Pengetahuan kita hanyalah
seputar thing in its appearances. Karena tesis filosofis yang demikian, maka
dalam Kant, manusia sesungguhnya “tidak tahu” apa-apa. Maksudnya,
bukan ignorant, tapi skema pengetahuan manusia tentang realitas sudah
ada dalam akal budinya. Bukunya yang sangat terkenal itu diberi judul
critique, bukan karena mengemukakan kritik-kritik melainkan buku itu menjadi semacam diskursus final tuntas tentang pengetahuan manusia. Filsafat
Kant membuat krisis metafisika Aristotelian, dan itu berarti juga teologi
Kristiani (karena teologi kristen bergerak dari model berpikir Aristotelian).
Mengapa? Karena dengan Kant esse atau realitas seakan tidak diperlukan
lagi. Pengetahuan sudah tercakup dalam akal budi manusia sedemikian
rupa. Critique of pure reason menisbikan pengalaman akan realitas. Padahal
Thomas Aquinas, misalnya, kalau memberi kuliah tentang pembuktian
eksistensi Tuhan berangkat dari pengalaman akan realitas. Umpamanya
dalam jalan pertama bukti eksistensi Tuhan, Aquinas menyebut pengalaman
bahwa segala apa yang ada ini bergerak. Nah, gila bukan itu filsafat Kantian.
Telaah Buku
121
Ia benar-benar membuntu secara telak diskursus tentang Tuhan dari
pengalaman!
Ilmu-ilmu empiris memiliki jalur yang lain lagi. Natural scientists
menggagas keilmiahan dalam suatu cara yang baru sama sekali. Keilmiahan
berurusan dengan metodologi. Metodologi ilmiah bagi para ilmuwan ilmuilmu alam berarti metodologi penelitian yang memiliki komponen
karakteristik: experimental, kalkulatif, matematis. Segala apa yang tidak
bisa dihitung, dikalkulasi, distatistikkan itu omong kosong belaka. Cuma
ilusi. Para punggawa ilmu-ilmu empiris tidak main-main. Sebab, memang
siapakah yang dapat membuktikan bahwa dalil-dalil matematis tidak abadi.
Tidak ada yang dapat melampoi kepastian kebenaran matematis.
Gaya berpikir yang mengedepankan cara-cara penghitungan semacam
ini – dalam perkembangan filsafat selanjutnya – disebut positivisme. Artinya,
sebagaimana dimaksudkan dalam terminologinya (ponere-posui-positus),
sesuatu itu disebut sahih, valid, benar kalau bisa “diletakkan”. Maksudnya,
sesuatu itu meyakinkan bila dapat dihitung, dikalkulasi,
dieksperimentasikan. Auguste Comte adalah pendekar positivisme untuk
bidang ilmu sosial, yang kemudian akan dikenal dengan ilmu sosiologi.
Warisan positivisme Comte diteruskan oleh pada ahli-ahli ilmu sosial yang
hampir semuanya meninggalkan cara-cara berpikir yang spekulatif, bawaan
semangat Abad Pertengahan.
Comte di sosiologi. Di bidang psikologi, model-model eksperimentasi
dengan hitungan-hitungan prediktif juga sangat dominan. Dalam ilmu
psikologi, gaya berpikir yang semacam itu lantas pada awal abad ke-dua
puluh-an disebut psikologisme. Positivisme dalam ilmu psikologi menjadi
puncak “kejayaan” perkembangan ilmu-ilmu humanities.
Tetapi, seorang ahli matematika yang sangat tersohor justru gelisah.
Gelisah oleh pertanyaan benarkah sebuah ilmu pengetahuan itu baru
meyakinkan kalau sudah menunjukkan hitungan-hitungan matematis yang
sahih dan valid? Tidakkah, bila demikian halnya, kebenaran itu lantas
seakan hanya menjadi hak paten dari satu dua orang yang bernama ilmuwan
belaka? Benarkah kebenaran itu hanya milik dari segelintir orang yang tahu
statistik, hitungan aritmatika, geometri? Sang ahli matematika yang tersohor
itu ialah Edmund Husserl.
Husserlah pencetus fenomenologi, meski Brentano juga mengatakan
terlebih dahulu hal yang kurang lebih sama. Apakah fenomenologi?
Fenomenologi itu filsafat, ilmu pengetahuan, sekaligus metodologi.
Fenomenologi membuka horison cara berpikir baru (filsafat), sekaligus
menggebrak kesombongan para scientists positivistik dan menjadi sekaligus
metode untuk meraih sebuah kebenaran-kebenaran yang mencengangkan.
Dalam wacana introduktif semacam inilah buku dari Robert Sokolowski,
Introduction to Phenomenology menemukan sumbangsihnya yang sangat
122
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 1, Maret 2005
besar. Buku ini mengantar kepada pemahaman-pemahaman awal yang rinci
– meski terkadang njlimet – tentang segala hal yang diperlukan untuk
mengenal fenomenologi.
FENOMENOLOGI memiliki tema-tema sentral yang sangat penting.
Ide tentang lifeworld menjadi salah satunya. Lifeworld yang dapat
diterjemahkan dunia-hidup-keseharian memaksudkan kurang lebih persis
dengan apa yang disebut oleh Alfred Schutz sebagai everyday life. Artinya,
keseluruhan dari ruang lingkup hidup saya, relasi-relasi saya, peristiwaperistiwa di sekitar saya, aneka informasi yang mengerumuni saya, budaya
dengan segala cetusannya sehari-hari yang menjadi konteks hidup saya.
Lifeworld juga memiliki makna aktualitas. Lifeworld tidak hanya
berkaitan dengan orientasi masa lalu atau masa depan, tetapi terutama masa
sekarang.
Dari “horison” ke “fenomenon.” Dari cakrawala, orientasi, wacana kepada
peristiwa. Inilah juga yang disumbang oleh fenomenologi. Cinta, misalnya.
Dalam konteks filsafat fenomenologi, bukan lagi sebuah wacana, orientasi.
Melainkan fenomen, peristiwa. Seseorang pasti belum merasa sebagai
manusia jika belum masuk dalam “peristiwa” cinta. Hal yang sama juga
demikian untuk memahami wahyu. Wahyu itu bukan wacana. Bukan pula
suatu orientasi, melainkan suatu peristiwa. Tuhan menghadirkan dirinya.
Tinggal di antara kita. Dengan demikian, lebih dari sekedar berkaitan
dengan dogma-dogma kebenaran iman, wahyu adalah peristiwa Tuhan
yang memasuki lifeworld saya. Hampir-hampir dapat dikatakan bahwa
penghayatan iman yang sejati ialah apabila saya menggarap lifeworld saya
karena Tuhan hadir dan menjadi bagian dari peristiwa hidup saya.
Mengenai fenomenologi, what is not? Yang sudah jelas, fenomenologi
kontra positivisme dan psikologisme. Dua paham yang disebut menandai
sebuah wacana ilmu pengetahuan yang mengandalkan eksperimentasi,
kalkulasi, dan statistik. Selain itu, fenomenologi juga menembus kebuntuan
filsafat Kantian untuk sampai bisa mengenal thing. Fenemonologi memiliki
adagium revolusioner back to the thing itself. Artinya, kesadaran kita adalah
kesadaran yang merujuk (intensional) kepada thing, kepada realitas.
Fenomenologi menyibak kemandegan pengenalan oleh pengalaman yang
telah dinisbikan oleh Kant.
Selain itu, fenomenologi juga bukan idealisme. Idealisme menggagas
realitas dalam ketunggalan, keseluruhan, keuniversalan. Realitas dapat
diringkas dalam idea, dalam apa yang seorang idealis memaksudkannya
sebagai idea. Fenomenologi jauh dari pemaknaan idealis.
Fenomenologi bukan formalisme. Artinya fenomenologi bukan suatu
rincian pemikiran yang memiliki kategori-kategori formal, ketat, rigid.
Formalisme berkaitan dengan disiplin ilmu-ilmu sosial yang memiliki target-target formal menggariskan metodologi sah, sahih, obyektif (dalam
Telaah Buku
123
kacamata tuntutan ilmu mereka). Fenomonologi bukan bagian dari ilmu
sosial. Keketatan pendekatannya mengatasi batas-batas apa yang disebut
sebagai sah, sahih, valid dalam konteks ilmu sosial. Fenomenologi tidak
memiliki ambisi formal apa pun.
Fenomenologi bukan pula realisme. Realisme konteks epistemologis
memiliki akar pandangan dari Aristoteles. Dalam filsafat Aristotelian, suatu
pengetahuan memiliki pondasi kesesuaian/ketidaksesuaian dengan obyek.
Artinya, sebuah pengetahuan pasti berurusan dengan justifikasi,
pembuktian, pembenaran validitas. Realisme menggagas bahwa setiap
pembenaran berarti obyektivasi. Dengan demikian, soal validitas tidak lain
dan tidak bukan adalah soal korespondensi/diskrepansi apa yang saya
ketahui dalam akal budi dengan obyek/realitas dari yang saya ketahui
tersebut. Fenomenologi bukan realisme, karena realisme memiliki
keterkaitan dengan obyektivisme. Obyektivisme jauh dari apa yang disebut
sebagai pemaknaan fenomenologi. Alasannya: obyektivisme merupakan
paham yang memiliki ambisi universalisme suatu pengertian tentang
realitas yang – dalam fenomenologi – sangat tidak bisa diandaikan.
Fenomenologi lantas dekat dengan apa? Fenomenologi dekat sekali
dengan eksistensialisme. Fenomenologi malahan menggarap dunia
eksistensi manusia. Fenomenologi adalah soal pengertian yang mendalam
tentang subyektivitas pengertian tentang dunia.
Relevansi fenomenologi dapat disebut beberapa di bawah ini, misalnya:
1- The sense of actual time. Makna aktualitas time (jaman). Adalah Konsili
Vatikan yang menjadi cetusan paling gamblang dari relevansi
fenomenologi. Ide tentang “membaca tanda-tanda jaman (the signs of
the time)” merupakan ungkapan filosofis yang merujuk pada
fenomenologi. Time bukan lagi dipikirkan dalam konteks kosmologis
(sebagai semata bentuk perubahan-perubahan fisik), pun bukan dalam
konteks metafisis (sebagai suatu aktualitas esse). Melainkan time tampil
sebagai suatu pemaknaan aneka peristiwa, aneka fenomen yang
menjadi everyday life. Hidup keseharian adalah bahasa yang mudah
dicerna dari apa yang disebut lifeworld. Yang dimaksud dengan everyday life bukanlah acara atau kesibukan personal harian kita, melainkan
segenap peristiwa yang menjadi gelombang, gerak, emosi dari
keseluruhan hidup kita pada jaman ini.
2- Berkaitan dengan pemaknaan intersubyektivitas. Gagasan
intersubyektivitas menunjuk pada pandangan yang membuat urusan
subyek mengemuka. Intersubyektivitas adalah kekuatan. Bukan jargon kebersamaan. Dalam makna kekuatan kebersamaan, dicakup
aneka kepentingan subyek yang mengatasi segala upaya
obyektivifikasi. Artinya, setelah intersubyektivitas menyusul apa yang
disebut sebagai komunikasi intersubyektif. Komunikasi intersubyektif
merupakan ciri khas komunitas. Komunikasi intersubyektif – dalam
124
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 5 No. 1, Maret 2005
3-
Habermas – akan dipahami sebagai lawan dari suatu bentuk
komunikasi kepentingan yang digagas oleh Max Weber. Komunikasi
kepentingan mendasarkan komunikasi dalam konteks-konteks
wilayah kepentingan bersama. Komunikasi kepentingan memiliki
tujuan. Maka, sering kali komunikasi semacam ini juga disebut
“komunikasi kepentingan tujuan.” Gagasan ini berasal dari wilayah
ilmu-ilmu sosial. Weber merupakan salah satu pendekarnya. Dalam
konteks ilmu sosial, komukasi itu mesti memiliki karakter efektif.
Efektivitas suatu bentuk komunikasi masyarakat komuniter lantas
sangat bergantung pada sejauh mana masyarakat tersebut mampu
menjaga komunikasi.
Rahmat sebagai suatu fenomen (peristiwa), dan bukan sekedar horison
(orientasi). Dalam teologi, pengertian rahmat sangat jelas. Tapi
umumnya kabur bagi pengalaman konkret manusia. Fenomenologi
menajamkan sebuah refleksi tentang rahmat. Rahmat adalah peristiwa
hidup. Artinya, segala yang menjadi sebuah pemahaman teologis
tentang anugerah Tuhan itu nyata, konkret dan ambil bagian dalam
peristiwa sehari-hari hidup manusia. Itulah sebabnya, evangelisasi
(pewartaan Injil) jika tanpa perjuangan keadilan menjadi tidak
bermakna. Sebab, fenomen ketertindasan manusia tidak bisa
direkonsiliasikan dengan peristiwa rahmat yang dianugerahkan dan
dikehendaki Tuhan.
Belajar fenomenologi bukan saja belajar filsafat, melainkan belajar
tentang kehidupan itu sendiri. Ketika hidup disimak dengan sangat detil
dan teliti, akan tersibak kebenaran-kebenaran yang mengejutkan dan
mencengangkan. Dalam arti inilah fenomenologi menjadi sebuah
keniscayaan model pencarian manusia akan kebenaran hidup dan dirinya.
Robert Sokolowski dengan Introduction to Phenomenology dapat menjadi
teman pencarian itu.
Armada Riyanto
Telaah Buku
125
Download