Pengaruh Pemberian Suplemen Vitamin B12

advertisement
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usia prasekolah adalah bagian dari periode usia dini yang mengalami
proses pertumbuhan dan perkembangan pesat dalam siklus kehidupan dan turut
menentukan kualitas manusia. Pembangunan sumberdaya manusia perlu
diarahkan untuk membangun manusia berkualitas baik dari aspek fisik maupun
aspek rohani secara seimbang. Aspek fisik dapat digambarkan melalui kondisi
kesehatan, kekuatan dan ketahanan jasmani sehingga memungkinkan seseorang
bisa hidup sehat, aktif, dan produktif (Syarief H 1997). Oleh karena itu perhatian
terhadap aspek kesehatan, gizi dan pendidikan pada anak merupakan hal yang
perlu diperhatikan dalam upaya menciptakan manusia yang berkualitas.
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam pendidikan adalah
keadaan kesehatan dan gizi anak. Keadaan gizi pada usia dini yang terus
dipertahankan secara optimal sampai anak usia sekolah, akan berpengaruh besar
pada perkembangan otak. Menurut Jalal F (2003) gizi yang tidak seimbang serta
derajat kesehatan anak yang rendah akan menghambat pertumbuhan otak, dan
pada gilirannya akan menurunkan kemampuan otak dalam mencatat, menyerap,
menyimpan, memproduksi dan merekonstruksi informasi. Disisi lain dikatakan
bahwa pertumbuhan otak anak ditentukan oleh bagaimana cara orangtua
mengasuh dan memberi makan serta menstimulasi anak pada usia dini. Namun
demikian
stimulasi
psikososial
untuk
merangsang
pertumbuhan
dan
perkembangan anak tidak akan bermanfaat bagi masa depan anak jika derajat
kesehatan dan gizi anak pada kondisi yang tidak baik. Gutama (2004)
mengemukakan bahwa pada usia prasekolah anak masih mengalami kemajuan
yang luar biasa sebagaimana usia sebelumnya, baik dalam hal fisik, emosional
maupun sosial sehingga anak sangat berpotensi untuk belajar apa saja.
Selanjutnya dikatakan bahwa hasil penelitian di bidang neurologi, psikologi,
fisiologi dan gizi menunjukkan separuh perkembangan kognitif berlangsung
dalam kurun waktu antara konsepsi sampai usia 4 tahun, dan 30 % berlangsung
pada usia 4-8 tahun. Sehingga pada periode ini anak sangat memerlukan gizi
yang memadai agar kapasitas otak yang terbentuk dapat maksimum.
Sampai saat ini masih banyak ditemukan masalah gizi pada anak-anak
baik masalah gizi mikro maupun masalah gizi makro. Prevalensi anemia pada
anak balita 47.0 %, kekurangan vitamin A subklinis yang ditandai dengan serum
retinol < 20 mcg/dL 50 % anak balita (Depkes 2005). Kasus defisiensi vitamin
B12 khususnya pada anak-anak di Indonesia belum ada dilaporkan, namun dari
beberapa penelitian di negara lain prevalensi defisiensi vitamin B12 cukup tinggi
pada anak-anak. Penelitian di Kenya menunjukkan bahwa 80,7 % anak usia
sekolah (5 sampai 14 tahun) mengalami defisiensi vitamin B12 tingkat berat dan
sedang (Siekmann JH et al. 2003) dan di Guatemala terdapat 33 % anak usia 8-12
tahun yang mengalami defisiensi vitamin B12 (Rogers LM et al 2003). Sementara
pada kelompok dewasa dan usia lanjut sudah ada dilaporkan walaupun juga masih
terbatas. Penelitian Shibly UF (1999) dari Bagian Kardiologi Rumah Sakit
Jantung Harapan Kita Jakarta) menunjukkan bahwa terdapat 30 % defisiensi
vitamin B12 pada penderita PJK (Penyakit Jantung Koroner) dan 30 % pada non
penderita PJK. Martoatmodjo S dkk (1973) menemukan 28 % ibu hamil
mengalami kekurangan vitamin B12 di daerah dengan pola makan beras (Jawa
Barat) dan 7 % pada ibu hamil di daerah dengan pola makan gaplek dan beras
(Jawa Tengah). Disamping masalah gizi mikro, masalah gizi makro juga masih
tetap menjadi permasalahan gizi anak balita di Indonesia. Prevalensi gizi kurang
(underweight) terus mengalami kenaikan dari 24 % tahun 2000 menjadi 26,1 %,
27,3 % dan 27,5 % pada tahun 2001, 2002 dan 2003 (Depkes 2004) dan 28 %
tahun 2005 (Atmarita 2006).
Defisiensi vitamin B12 berhubungan dengan fungsi kognitif yang diduga
melalui fungsinya sebagai kofaktor dalam metabolisme zat-zat gizi yang berperan
dalam sistem syaraf pusat dan pembentukan sel-sel darah merah. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa status vitamin B12 yang rendah berhubungan
dengan penurunan fungsi kognitif (Bryan J et al 2002; Black 2003; Morris MS et
al 2007). Selain itu beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pada keadaan
defisiensi vitamin B12 pemberian intervensi dengan vitamin B12 dapat
memperbaiki status vitamin B12 (Eussen SJ et al 2006; Hin H et al 2006;
Dhonukshe-Rutten RAM et al 2005; Siekmann JH et al
2003), sementara
pengaruhnya terhadap perbaikan fungsi kognitif masih belum konsisten. Vitamin
B12 juga berkaitan erat dengan proses perpindahan neurotransmitter melalui
perannya dalam metabolisme asam lemak esensial untuk pemeliharaan myelin
syaraf. Defisiensi vitamin B12 dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan
sistem syaraf yang tidak dapat diperbaiki dan akhirnya dapat menyebabkan
kematian sel-sel syaraf (http://www.parhealth.com/druginfo).
Vitamin B12 umumnya ditemukan dalam pangan hewani seperti daging,
susu, dan telur, sehingga diperkirakan anak yang jarang makan makanan tersebut
akan mengalami defisiensi vitamin B12. Sumber pangan hewani umumnya relatif
lebih mahal dibandingkan dengan pangan nabati, sehingga diperkirakan konsumsi
pangan hewani sedikit pada keluarga dengan ekonomi rendah. Tempe sebagai
bahan pangan hasil fermentasi dari kedele juga merupakan sumber vitamin B12
yang potensial dan mengandung sekitar 1.5 mikrogram per 100 gram tempe
kering (http://www.tempeh.info/), atau sekitar 0.36 mikrogram per 100 gram
tempe mentah. Namun konsumsi tempe masih cukup rendah yaitu rata-rata per
orang per tahun di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 6,45 kg atau sekitar 17
gram per orang per hari, selain itu bioavailabilitasnya juga masih belum diketahui
secara pasti.
Menurut Hardinsyah (2001) sebagian besar anak di Indonesia masih
mempunyai masalah ketidakcukupan gizi terutama zat-zat gizi mikro. Hasil
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1997 menunjukkan bahwa
hanya setengah dari jumlah anak Indonesia yang memperoleh pangan hewani,
bahkan semakin tua umur anak semakin sedikit persentase yang memperoleh
pangan hewani. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak sejak usia dini sudah
mempunyai resiko kekurangan gizi mikro yang akhirnya berpengaruh pada
pertumbuhan dan perkembangan anak. Bila anak mendapat ASI (Air Susu Ibu)
sampai usia 2 tahun kemungkinan zat-zat gizi mikro akan tercukupi bahkan dapat
disimpan sebagai cadangan bila ibu dalam kondisi gizi baik. Pada usia pada 4
tahun diperkirakan cadangan gizi mulai berkurang sementara asupan dari
makanan tidak mencukupi, oleh karena itu anak-anak usia ini berisiko mengalami
kekurangan gizi.
Sampai saat ini penelitian tentang vitamin B12 di Indonesia masih sangat
terbatas, dan mengingat vitamin B12 cukup besar perannya dalam perkembangan
kognitif,
diperlukan
kajian-kajian
yang
lebih
mendalam
dan
bersifat
eksperimental tentang defisiensi vitamin B12 dan faktor resikonya serta
pengaruhnya terhadap fungsi kognitif.
Tujuan
Tujuan Umum :
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis masalah defisiensi vitamin
B12 dan faktor resikonya, dan pengaruh suplementasi vitamin B12 terhadap
vitamin B12 serum, hemoglobin serta dampaknya terhadap daya ingat anak
prasekolah
Tujuan Khusus :
1. Menganalisis masalah defisiensi vitamin B12 serta faktor risiko terjadinya
defisiensi vitamin B12 pada anak prasekolah
2. Menganalisis pengaruh pemberian suplemen vitamin B12 terhadap serum
vitamin B12 pada anak prasekolah
3. Menganalisis pengaruh pemberian suplemen vitamin B12 terhadap kadar
hemoglobin pada anak prasekolah
4. Menganalisis pengaruh pemberian suplemen vitamin B12 terhadap daya ingat
anak prasekolah
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan masalah defisiensi
vitamin B12 khususnya pada anak-anak di Indonesia, dan menghasilkan suatu
bentuk pendekatan yang praktis bagi program perbaikan gizi untuk melengkapi
program pemerintah melalui Departemen terkait, pemerintah daerah serta
keterlibatan sektor swasta dalam upaya memperbaiki status gizi mikro dan
mengoptimalkan tumbuh kembang anak usia prasekolah.
Hipotesis
Hipotesis 1 :
Peningkatan serum vitamin B12 pada kelompok intervensi lebih besar
dibanding pada kelompok kontrol.
Hipotesis 2 :
Peningkatan kadar hemoglobin pada kelompok intervensi lebih besar
dibanding pada kelompok kontrol
Hipotesis 3 :
Peningkatan skor daya ingat anak pada kelompok intervensi lebih besar
dibanding pada kelompok kontrol
Hipotesis 4 :
Pemberian suplemen vitamin B12 berpengaruh positif dan signifikan pada
daya ingat anak prasekolah
TINJAUAN PUSTAKA
Biokimia dan Fungsi Vitamin B12
Vitamin B12 termasuk vitamin yang larut dalam air, merupakan bagian
terbesar dari vitamin B komplek, dengan berat molekul lebih dari 1000. Vitamin
B12 mempunyai struktur kimia yang besar dan sangat komplek dibandingkan
vitamin lainnya. Vitamin B12 ini termasuk unik diantara vitamin lain karena
mengandung ion logam yaitu cobalt. Untuk alasan ini cobalamin adalah istilah
yang digunakan untuk merujuk senyawa yang mempunyai aktivitas vitamin B12.
Nama yang lebih spesifik untuk vitamin B12 adalah cobalamin. Vitamin B12
terdiri dari cincin corrin (corrin ring) yang terbuat dari 4 “pyrroles” dengan atom
cobalt pada pusat cincin (Gambar 1). Vitamin B12 merupakan kristal berwarna
merah, tahan panas, rusak diatas temperatur 2100 C, dan tidak tahan sinar ultra
violet (FAO/WHO2001; Coleman http://www.vegan-straight-edge.org.uk/)
Gambar 1 Struktur Vitamin B12 (cobalamin)
(Coleman http://www.vegan-straight-edge.org.uk/)
Bentuk umum dari vitamin B12 adalah cyanocobalamin (CN-Cbl),
keberadaannya dalam tubuh sangat sedikit dan jumlahnya tidak tentu. Selain
cyanocobalamin di alam ada 2 bentuk lain dari vitamin B12; yaitu
hydroxycobalamin dan aquacobalamin, dimana hydroxyl dan air masing-masing
terikat pada cobal. Bentuk sintetis (buatan) vitamin B12 yang terdapat dalam
suplemen dan pangan fortifikasi adalah cyanocobalamin, dimana sianida terikat
pada logam kobal. Ketiga bentuk vitamin B12 ini diaktifkan secara enzimatik
menjadi
methylcobalamin
(MetCbl)
dan
adenosylcobalamin
(AdeCbl)
(FAO/WHO 2001; Higdon J 2003). Pada kondisi kekurangan gizi, enzim dalam
tubuh akan terganggu bahkan ada yang rusak, yang menyebabkan penurunan
kemampuan
tubuh
cyanocobalamin.
untuk
mensintesis
bentuk
aktif
vitamin
B12
dari
Sebagian besar vitamin B12 disimpan dalam hati sebagai
5-deoxydenosylcobalamin (65-70 %), hydroxycobalamin (20-30 %), dan
methylcobalamin (1-5%). Bentuk dominan dalam plasma adalah methylcobalamin
dengan kadar normal 135 - 425 pmol/L (Sauberlich HE 1999).
Vitamin B12 berperan sebagai koenzim yang dibutuhkan beberapa reaksi
biologis penting. Koenzim tersebut ada dua yaitu methylcobalamin yang terdapat
dalam plasma, dan
5-deoxyadenosyl-cobalamin yang ditemukan dalam hati,
sebagian besar jaringan tubuh, dan makanan (Gibson 2005). Di dalam tubuh
vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk dua reaksi enzim. Pertama, vitamin
B12 berperan sebagai kofaktor untuk enzim L-methilmalonyl-CoA mutase. Enzim
L-methilmalonyl-CoA mutase membutuhkan adenosylcobalamin untuk mengubah
L-methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA (Gambar 2). Reaksi biokimia yang
menghasilkan succinyl-CoA ini berperan penting dalam produksi energi dari
lemak dan protein. Succinyl CoA juga diperlukan untuk sintesis hemoglobin yang
merupakan pigmen pada sel darah merah sebagai pembawa oksigen keseluruh
jaringan tubuh. Bila terjadi defisiensi vitamin B12, L-methylmalonyl-CoA tidak
dapat dirubah menjadi succinyl-CoA sehingga terakumulasi dan akhirnya dipecah
menjadi methylmalonic acid
methylmalonic acid
oleh suatu enzim hydrolase.
Keberadaan
dalam darah atau yang dikeluarkan melalui urin dapat
merupakan indikator terjadinya kekurangan vitamin B12 (Gibson 2005; Carmel R
2006; Herbert V 1996).
Gambar 2 Peran vitamin B12 dalam metabolisme L-methylmalonyl-CoA
menjadi succinyl-CoA (Stabler SP et al 1997)
Peran yang kedua dari vitamin B12 sebagai kofaktor untuk enzim
methyonine synthase. Enzim ini membutuhkan methylcobalamin dan tergantung
pada folat untuk mensintesis asam amino methyonine dari homocysteine.
Methyonin dibutuhkan untuk sintesis S-adenosylmethionine suatu kelompok donor
methyl yang berguna dalam reaksi biologi methylation, termasuk methylation
DNA dan RNA (Gambar 3). Bila reaksi ini rusak akan mempengaruhi
pembentukan DNA yang akhirnya dapat menyebabkan anemia macrocytic
megaloblastic (Sauberlich HE 1999; Herbert V 1996; Carmel R 2006). Selain itu
methylation DNA diperlukan untuk mencegah kanker. Oleh karena itu bila
fungsi methionine synthase terganggu dapat menyebabkan penumpukan
homocysteine yang dihubungkan dengan peningkatan risiko cardiovasculer.
Vitamin B12 dibutuhkan untuk penyerapan folat, penyimpanan dan
aktivasi untuk bentuk koenzim. Jadi vitamin B12 bekerja secara bersama dengan
folat untuk mendukung replikasi seluler. Kekurangan salah satu vitamin ini dapat
mempengaruhi fungsi keduanya. Peran yang unik juga ditemukan dari vitamin
B12 yaitu dalam pembentukan myelin, suatu lapisan yang melindungi serat-serat
syaraf. Kerusakan neurologi berhubungan dengan defisiensi vitamin B12 yang
dapat
terjadi
tanpa
dipengaruhi
oleh
kecukupan
intake
asam
folat
(http//www.northwestern.edu).
Gambar 3 Peran vitamin B12 dalam metabolisme homocysteine
menjadi methionine (Stabler SP et al 1997)
Fungsi utama vitamin B12 adalah dalam pembentukan sel-sel darah merah
dan pemeliharaan kesehatan sistem syaraf. Vitamin B12 penting untuk sistesis
DNA dengan cepat selama pembelahan sel pada jaringan dimana pembelahan sel
berlangsung cepat, terutama jaringan sum-sum tulang yang bertanggungjawab
untuk pembentukan sel darah merah (Sauberlich HE 1999).
Vitamin B12
berperan dalam berbagai reaksi seluler, dan mempunyai fungsi penting dalam
metabolisme asam folat. Vitamin B12 diperlukan untuk merubah koenzim folat
menjadi bentuk aktif yang dibutuhkan dalam reaksi-reaksi metabolisme penting
seperti sintesis DNA.
Tanpa vitamin B12 reaksi-reaksi yang membutuhkan
bentuk aktif folat tidak akan terjadi dalam sel. Jadi, defisiensi vitamin B12 juga
berperan dalam terjadinya defisiensi folat. Jika terjadi defisiensi vitamin B12,
pembentukan DNA berkurang dan sel-sel darah merah tidak normal, disebut
dengan kejadian megaloblas yang akhirnya menjadi anemia. Gejalanya meliputi
keletihan, sesak nafas, kelesuan, pucat serta penurunan kekebalan tubuh terhadap
infeksi. Gejala lain berupa penurunan rasa (untuk makanan), luka pada lidah, dan
gangguan menstruasi (Wardlaw et al 1992).
Fungsi vitamin B12 dalam pemeliharaan sistem syaraf dapat dijelaskan
melalui perannya yang cukup penting dalam metabolisme asam lemak esensial
untuk pemeliharaan myelin. Syaraf dikelilingi lapisan lemak dibungkus oleh
kompleks protein yang disebut myelin. Komposisi myelin terdiri dari sekitar 80 %
lipid dan 20 % protein. Defisiensi vitamin B12 dalam waktu lama dapat
menyebabkan kerusakan sistem syaraf yang tidak dapat diperbaiki dan
kemungkinan dapat menyebabkan kematian sel-sel syaraf (Dhopeshwarkar 1983;
http://www.parhealth.com/druginfo). Penelitian Pfeifer dan Lewis tahun 1979
yang mempelajari pengaruh pemberian diet rendah vitamin B12 pada tikus selama
20 minggu, mengungkapkan bahwa ketiadaan vitamin B12 dapat mengganggu
perubahan linoleat menjadi PUFA rantai panjang
(20:4ω6 dan 22:5ω6).
Penelitian lain menunjukkan bahwa kelainan genetik menyebabkan kerusakan
transformasi vitamin B12 menjadi bentuk koenzim yang dilaporkan dari kematian
seorang bayi berumur 2 tahun, dan terjadi retardasi mental yang berat pada anak
perempuan yang meninggal pada usia 7 tahun (Dhopeshwarkar 1983).
Konsentrasi methionin yang rendah dapat terjadi bila vitamin B12 tidak ada.
Perubahan konsentrasi ini akan menyebabkan berkurangnya aliran asam amino
untuk pembentukan protein di otak. Hipotesis ini didukung oleh Gandy et al pada
tahun 1973 melalui penelitiannya dengan memberikan “1-aminocyclopentane
carboxyc acid” (yang dapat mengganggu reaksi homocystein menjadi methionin)
pada tikus. Penelitian tersebut menunjukkan ketidaknormalan fungsi syaraf yang
ditandai dengan kehilangan rasa, lumpuh, dan “demyelination spinal cord”
(Dhopeshwarkar
1983).
Dari
beberapa
kasus
tersebut
Dhopeshwarkar
menyimpulkan bahwa defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan kerusakan
sistem syaraf pusat. Kerusakan tersebut meliputi pembentukan myelin yang tidak
sempurna mulai dari sistem syaraf peripheral dan akhirnya pada sistem syaraf
pusat.
Absorbsi Vitamin B12
Penyerapan vitamin B12 dalam tubuh manusia termasuk unik diantara
vitamin-vitamin lainnya. Penyerapan vitamin B12 berlangsung secara spesifik di
ileum dan tergantung pada intrinsic factor (IF) suatu jenis protein yang diproduksi
oleh sel-sel asam lambung dan berperan sebagai reseptor vitamin B12 (Wardlaw
et al 1992; Herbert V V 1996; WHO 2001; Robert C & Brown DL 2003; Carmel
R 2006). Setelah makanan masuk melalui mulut sampai ke lambung, vitamin B12
dalam pangan dipisahkan dari bahan-bahan lain oleh pepsin lambung yang
aktifitasnya optimal pada pH asam lambung yang normal. Kemudian vitamin B12
berikatan dengan suatu protein yang disebut R-protein yang diproduksi oleh
kelenjar saliva dalam mulut (Gambar 4).
Gambar 4 Absorbsi vitamin B12 dalam saluran pencernaan
(Carmel R 2006)
Ikatan R-protein-vitamin B12 masuk ke dalam usus halus dan di usus halus Rprotein dipisahkan dengan vitamin B12 oleh enzim tripsin yang dikeluarkan oleh
pankreas. Dalam usus halus vitamin B12 bebas kembali, kemudian berikatan
dengan intrinsic factor. Hasil ikatan intrinsic factor dengan vitamin B12 masuk
ke bagian akhir usus halus yang disebut ileum. Sel-sel ileum menyerap vitamin
B12 dan mentransfernya kedalam darah yang selanjutnya berikatan dengan
transport protein yang dikenal sebagai transkobalamin.
Proses penyerapan vitamin B12 secara normal melalui ikatan vitamin B12
dengan intrinsic factor diperkirakan 30-70 % dapat diserap tergantung pada
kebutuhan tubuh. Kegagalan penyerapan melalui sistem ini vitamin B12 masih
dapat diserap secara pasif melalui proses difusi namun hanya sekitar 1-2 % dari
vitamin B12 yang ada dalam makanan. Penyerapan vitamin B12 dapat terganggu
misalnya karena pembentukan intrinsic factor yang tidak efisien, defisiensi
sintesis R-protein secara genetik, atau adanya infestasi cacing (Robert C & Brown
DL 2003).
Bila terjadi defisiensi vitamin B12 biasanya diperlukan suplemen melalui
oral atau injeksi vitamin B12 yang langsung dapat diserap.
Tabel 1
menggambarkan jumlah atau persentase vitamin B12 yang diserap secara aktif
(melalui sistem intrinsic factor) dan secara pasif (tanpa intrinsic factor) dari
pemberian berbagai dosis. Availabilitas vitamin B12 tergantung pada berapa
banyak vitamin B12 yang dipisahkan dari pangan oleh pepsin dan enzim-enzim
lambung lainnya, kemampuan sistem penyerapan melalui intrinsic factor, dan
jumlah vitamin B12 dalam pangan yang dimakan. Jika sistem penyerapan melalui
intrinsic factor sempurna, lebih dari 50 % vitamin B12 yang ada dalam pangan
atau suplemen dapat diserap secara aktif, namun penyerapan melalui sistem
intrinsic factor ini tidak dapat melebihi 2 μg. Pemberian vitamin B12 dengan
dosis 0.25 μg akan diserap sebesar 0.19 μg (75 %). Vitamin B12 yang diserap
secara aktif semakin besar dengan peningkatan dosis mulai dari 0.25 μg sampai 10
μg. Pada pemberian dosis 10 μg penyerapan vitamin B12 secara aktif mencapai
batas optimum yaitu 1.6 μg, dan pemberian diatas dosis tersebut misalnya 50 μg
hanya 1.5 μg vitamin B12 diserap melalui sistem intrinsic factor. Penyerapan
vitamin B12 pada pemberian dosis tinggi seperti dalam suplemen melampaui
kapasitas intrinsic factor, dan penyerapan vitamin B12 akan terjadi secara pasif
dengan jumlah penyerapan sekitar 1-2 % (Tabel 1).
Tabel 1 Penyerapan vitamin B12 dari pemberian berbagai dosis
secara oral pada kondisi penyerapan normal dan tidak
normal (tanpa intrinsic factor)
Dosis oral
(μg)
Jumlah yang diserap melalui IF
dan non-IF/ pasif
μg
%
0,25
0,19
75
1
0,56
56
2
0,92
46
3
5
1,4
28
10
1,6
16
50
1,5
3
100
500
Sumber: Carmel R (2006)
Jumlah yang diserap
secara pasif (non-IF)
μg
%
0,02
2
0,08
3
0,2
2
0,5
1
1,8
1,8
6
1,2
Transport dan Metabolisme Vitamin B12
Vitamin B12 yang masuk ke dalam darah melalui membran sangat
sedikit dan tergantung pada beberapa protein pengikat untuk transport. Segera
setelah vitamin B12 diserap masuk ke dalam saluran darah, transport dan
penggunaannya tergantung pada protein spesifik pengikat kobalamin (cobalaminbinding protein) yang disebut transcobalamin II (TC II) atau sering disebut TC.
Sedangkan transcobalamin I (TC I) juga berperan mengikat kobalamin dalam
darah namun perannya belum dapat dijelaskan (Carmel R 2006). Kobalamin dari
TC I yang masuk ke empedu sekitar 1,4 μg per hari dan diperkirakan 70 %
diabsorpsi kembali dalam keadaan normal, sisanya dibuang melalui feses. TC
disintesis oleh beberapa sel termasuk sel-sel khusus endhotelial.
II
Gen
pembentuknya sama dengan IF tetapi berada pada kromosom yang berbeda. TC II
dengan cepat mengantar kobalamin ke semua sel dalam tubuh. Masa hidup holoTC II dalam plasma hanya 90 menit.
Pertama sekali dan sebagain besar
kobalamin diantar ke hati, tetapi reseptor yang spesifik untuk TC II sebenarnya
ditemukan pada semua sel dan dalam kompleks holo-TC II oleh pinocytosis
(Carmel R 2006).
Enzim yang mengandung vitamin B12 memindahkan kelompok methyl
dari methylfolate,
sementara regenerasi tetrahydrofolat (THF) dari 5,10-
methylene THF diperlukan untuk sistesis thymidilate. Karena methylfolate
merupakan bentuk vitamin yang dominan dalam serum dan hati, dan karena hanya
methylfolate yang mengembalikan folat ke cadangan tubuh melalui proses yang
tergantung vitamin B12, maka bila terjadi defisiensi vitamin B12 akan
menyebabkan folat
terperangkap sebagai methylfolate
digunakan untuk fungsi metabolik.
sehingga tidak dapat
Folat yang terperangkap akhirnya dapat
menyebabkan kerusakan hematologik akibat defisiensi vitamin B12 yang tidak
dapat dibedakan dari defisiensi folat. Kedua defisiensi tersebut menyebabkan
kerusakan yang sama sebagai akibat dari ketidakcukupan 5,10-methylene THF
untuk berpartisipasi dalam pembentukan DNA (Herbert V 1996; Beck 2003;
Carmel R 2006).
Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5 bahwa pada kondisi normal
penyerapan vitamin B12 dari pangan memerlukan kondisi lambung yang normal;
asam lambung dan enzim yang membebaskan vitamin B12 dari ikatan peptide
dalam pangan oleh proteolisis, kemudian vitamin B12 terikat pada protein saliva
dan sel-sel parietal lambung mengeluarkan intrinsic factor suatu glikoprotein
yang penting untuk absorbsi vitamin B12 dari usus halus.
Penyerapan yang
normal juga membutuhkan kondisi pankreas yang normal sehingga tripsin dan
bikarbonat (yang dihasilkan pada pH lebih dari 8) dapat memisahkan vitamin b12
dari protein saliva dan kemudian berikatan dengan intrinsic factor, dan akhirnya
pada kondisi ileum yang normal reseptor sel pemukaan dapat menangkap vitamin
B12 yang terikat pada intrinsic factor dengan batuan ion kalsium. Bila terjadi
gangguan pankreas sehingga ion kalsium tidak tersedia maka penyerapan vitamin
B12 akan terganggu (Herbert V 1996). Penyerapan vitamin B12 dapat diperbaiki
dengan memberikan kalsium, bikarbonat atau cairan pankreas yang dapat
meningkatkan ketersediaan kalsium. Pentingnya kalsium dalam penyerapan
vitamin B12 telah dijelaskan pada suatu studi yang menunjukkan bahwa
penyerapan vitamin B12 yang terganggu akibat penggunaan obat diabetes
(metformin) karena mengikat kalsium akhirnya dapat diperbaiki dengan
pemberian susu yang kaya kalsium atau tablet kalsium karbonat (Herbert V 1996).
REABSORPTION
INGESTION
(Enterohepatic
circulation
1
Food B12
*MDR – 0,1 μg daily
1.
Unch
anged
2.
Oxidi
2
Acid
Enzymes
PH > 6
(Food B12 – 1F Complex)
1F
TRANSPORT
8
Ca
B12 - TC II
X - B12 - TC II
In serum
++
B12
Coenzymes
B12 - TC I &
B12 - TC III
6
DELIVERY
ILEAL
EPITHELIAL CELL
7
EXCRETION
Bile, saliva,
Urine, etc
14
B12* (Co
oxidation B12
+++
10
)
Deoxyadenosyl B12
13
++
(Co
PPPi
Deoxyadenosyl
transferase
ATP
12
11
B12*
Reductas
e
+
B12* (Co )
Methionine
Methyl transferase 16
Homocysteine
Methyl THF
15
AMe
Methyl
THF
Methyl - B12
Other B12 Forms
Succinyl – CoA
Methylmalonyl –
CoA – Mutase
L-Methylmalonyl
CoA
B12* Reductase
DPNH
B12*
B12
4
Methil B12 –
B12 - binding α
in serum
9
*Releasing
Factor
3
ABSORPTIO
5
X - B12 - TC II Surface
receptor
Food B12 – 1F Surface
receptor
++
Ca
Trypsin
TISSUE CELL
Gambar 5 Metabolisme vitamin B12 pada manusia (Herbert V 1996)
-
Setelah proses uptake, kobalamin dipisahkan dalam endosom dan masuk
ke sitoplasma terutama berbentuk methylcobalamin, atau diambil oleh
mitokondria. Methylcobalamin diikat oleh methionine synthase dan membantu
remetilasi homocysteine.
Deoxyadenosyl cobalamin dalam mitokondria diikat
oleh methylmalonyl-CoA-mutase dan berperan dalam metabolisme propionat.
Tidak ada protein pengikat intraseluler lain yang diidentifikasi untuk kobalamin,
dan tidak ada
juga peran metabolik (Herbert V 1996; Carmel R
2006).
Selanjutnya dikatakan bahwa ginjal juga kaya akan reseptor TC II, yang berperan
penting dalam meminimalkan kehilangan kobalamin melalui urin.
Vitamin B12 dapat disimpan dalam hati.
Total simpanan tubuh pada
subyek omnivore dalam keadaan sehat sekitar 2 – 3 mg. kehilangan vitamin B12
dapat terjadi melalui desquamasi epithelium dan sekresi dalam empedu. Sebagian
besar vitamin B12 yang disekresi empedu diabsorbsi kembali dan dapat
digunakan untuk fungsi metabolik. Kehilangan pada orang dewasa diperkirakan
1–3 μg/hari (sekitar 0.1 % dari cadangan dalam tubuh). Jumlah pengeluaran
vitamin B12 melalui stool proporsional dari cadangan tubuh, sehingga
perkembangan defisiensi lebih lambat pada orang yang kekurangan vitamin B12
misalnya vegetarian dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai intrinsic
factor atau yang mengalami malabsorbsi (Gibson 2005).
Defisiensi Vitamin B12
Defisiensi vitamin B12 adalah kondisi yang menunjukkan bahwa jumlah
vitamin B12 tidak cukup untuk melakukan fungsi biokimia secara normal. Proses
defisiensi vitamin B12 terjadi secara bertahap yang diawali dari penurunan
cadangan tubuh yang disebut dengan deplesi, namun pada saat ini fungsi biokimia
belum terganggu. Tahap awal defisiensi vitamin B12 ketika terjadi keseimbangan
negatif yang dapat dideteksi dengan penurunan persentase kejenuhan serum TC II.
Keseimbangan negatif merupakan gambaran situasi dimana jumlah vitamin B12
yang diabsorbsi menurun sampai dibawah jumlah yang hilang setiap hari (Herbert
V 1996). Keseimbangan negatif dengan cepat menyebabkan deplesi, dan bila
tidak dilakukan penambahan akan berlanjut menjadi defisiensi (Tabel 2).
Tabel 2 Tahapan perkembangan status vitamin B12
dari normal sampai defisiensi
Keseimbangan negatif
Deplesi
Defisiensi
Stage I
Stage II
Stage III
Stage IV
Normal
Early
Negative
B12
Balance
B12
Depletion
Damaged
Metabolism
B12 Deficient
Erytropoiesis
Clinical
Damage
B12 Deficiency
Anemia
> 50
Low
Low
Low
Low
TC II % sat.
>5%
<4%
<4%
<4%
<4%
Holohap (pg/mL)
> 180
> 180
< 150
< 100
< 100
dU suppression
Normal
Normal
Normal
Abnormal
Abnormal
No
No
No
Yes
Yes
TBBC % sat.
> 15 %
> 15 %
> 15 %
< 15 %
< 10 %
Hap % sat.
> 20 %
> 20 %
> 20 %
< 20 %
< 10 %
> 160
> 160
> 160
< 140
< 100
Erythrocytes
Normal
Normal
Normal
Normal
Macroovalocytic
MCV
Normal
Normal
Normal
Normal
Elevated
Hemoglobin
Normal
Normal
Normal
Normal
Low
TC II
Normal
Normal
Normal
Elevated
Elevated
Methylmalonate
Normal
Normal
Normal
High
High
Homocysteine
Normal
Normal
Normal
High
High
No
No
No
?
Frequent
HoloTC II (pg/mL)
Hypersegmentation
RBC folate (ng/mL)
Myelin Damage
Sumber: Herbert V (1996)
Serum holoTCII yang rendah dapat dijadikan sebagai indikator awal
terjadinya keseimbangan negative vitamin B12 dan dapat dijadikan sebagai
pengganti Schilling test dan suatu ukuran ketidakcukupan vitamin B12 yang
dibawa ke seluruh sel-sel pembentuk DNA (Herbert V 1996). Selanjutnya jika
keseimbangan negatif terjadi dalam waktu yang lama, akan terjadi deplesi vitamin
B12 yang ditandai dengan penurunan konsentrasi holohaptocorin sampai dibawah
150 pg/mL akan tetapi fungsi biokimia masih normal. Keadaan keseimbangan
negatif ini ditemukan juga pada kelompok usia lanjut dengan konsentrasi vitamin
B12 serum yang rendah yaitu < 221 pmol/L atau < 300 pg/mL, sehingga angka ini
juga dapat dijadikan sebagai indikator keseimbangan negatif (Herbert V 1996;
Sauberlich HE 1999).
Defisiensi vitamin B12 secara klinis menyebabkan kerusakan sistem
hematopoitik sama seperti pada defisiensi asam folat.
Macro-ovalocytic
erythrocytes sebagai petunjuk sel darah merah tidak normal, dan terjadi penurunan
hemoglobin. Pada keadaan ini terjadi juga peningkatan kadar methylmalonic acid
(MMA) pada urin namun tidak ditemukan pada anemia akibat defisiensi asam
folat (Gibson 2005).
Defisiensi vitamin B12 merupakan akibat dari kerusakan reaksi enzim
yang memerlukan vit B12. Kerusakan aktifitas pembentukan methionine synthase
dapat
meningkatkan level homosistein, sementara kerusakan aktifitas L-
methylmalonyl-CoA
mutase
menyebabkan
peningkatan
metabolit
dari
methylmalonyl-CoA yang disebut methylmalonic acid (MMA). Seseorang yang
mengalami defisiensi vitamin B12 ringan tidak akan terlihat gejalanya walaupun
level homosistein dan MMA dalam darah meningkat (Gibson 2005; Herbert V
1996).
Akibat dari defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan perubahan dalam
tubuh yang disebut sebagai gejala atau efek klinik. Gejala klinik dari defisiensi
vitamin B12 dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu gejala hemotologik,
neurologik dan gastrointestinal, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
1. Gejala hematologik.
Gejala hematologik akibat defisiensi vitamin B12 tidak dapat dibedakan
dari defisiensi folat, yaitu terjadinya anemia megaloblastic disertai gejala anemia
klasik seperti berkurangnya energi dan kemampuan fisik, lemah, sesak nafas, dan
jantung berdebar (Gibson 2005; http//www.parhealth.com/druginfo).
Aktifitas
yang berkurang pada methyonine synthase saat defisiensi vitamin B12
menghambat regenerasi tetrahydrofolate (THF) dan menjebak folat dalam bentuk
yang tidak dapat digunakan oleh tubuh, menghasilkan gejala defisiensi folat
padahal folat sebenarnya cukup. Jadi, dalam keadaan defisiensi keduanya (folat
dan vitamin B12) folat tidak tersedia untuk pembentukan DNA.
Kerusakan
sintesis DNA ini menyebabkan kecepatan pembelahan sel-sel tulang belakang
lebih cepat dari sel-sel lain, menyebabkan sel-sel darah merah berukuran besar,
tidak matang dan miskin hemoglobin. Keadaan ini disebut anemia megaloblastic
dan gejala untuk penyakitnya disebut anemia pernisius. Suplementasi dengan
asam folat akan memberikan folat yang cukup untuk digunakan dalam
pembentukan sel-sel darah merah dalam kondisi normal. Namun jika defisiensi
vitamin B12 yang merupakan penyebabnya, hasilnya akan tetap anemia. Jadi,
anemia megaloblastik tidak selalu harus diperbaiki dengan pemberian asam folat
hingga penyebab yang sebenarnya ditetapkan. Karena penurunan
cadangan vitamin B12 tubuh lebih lambat dibandingkan folat,
(deplesi)
menyebabkan
gejala klinik defisiensi vitamin B12 juga lebih lama muncul. Pada saat terjadi
perubahan biokimia, gejala klinik belum muncul hingga beberapa bulan bahkan
beberapa tahun setelah proses yang menyebabkan defisiensi (misalnya
malabsorbsi) dimulai. Sedangkan perubahan akibat defisiensi folat sudah muncul
dalam beberapa minggu (Carmel R 2006).
2. Gejala Neurologis
Gejala-gejala neurologis defisiensi vitamin B12 meliputi kehilangan rasa,
rasa geli pada tangan dan kaki, susah berjalan dan melangkah tidak normal,
kejang, lekas marah, depresi, dan perubahan kognitif seperti kehilangan
konsentrasi dan ingatan (memory), serta dimensia, disorientasi, namun umumnya
tanpa perubahan kejiwaan (http://www.parhealth.com/druginfo). Walaupun
kemajuan komplikasi neurologik secara umum bertahap, gelaja-gejala tersebut
tidak selalu dapat dikembalikan dengan pemberian vitamin B12 apalagi gejala
tersebut sudah muncul lama. Komplikasi neurologik tidak selalu berhubungan
dengan anemia megaloblastic dan yang mengalami gejala defisiensi vitamin B12
secara klinis hanya sekitar 25 persen kasus. Walaupun defisiensi vitamin B12
diketahui merusak lapisan myelin pada syaraf-syaraf cranial, spinal dan periperal,
proses biokimia yang mempengaruhi kerusakan neurologik belum dipahami
dengan baik (http:/lpi.oregonstate.edu/infocenter/vitamin/vitaminB12).
Efek
neurologik defisiensi vitamin B12 dapat terjadi tanpa anemia, terutama pada orang
tua diatas 60 tahun. Pada dasarnya defisiensi vitamin B12 mempengaruhi syaraf
peripheral dan berlanjut sampai ke spinal cord (http//www.eatright.org).
3. Gejala Gastrointestinal
Sakit lidah, kehilangan selera makan, dan konstipasi telah dihubungkan
dengan defisiensi vitamin B12. Kebenaran dari gejala ini belum jelas, tetapi
mungkin dapat dikaitkan dengan peradangan lambung yang ditemukan pada
banyak kasus desisiensi vitamin B12, atau Peningkatan kemampuan menyerang
dari kecepatan pembelahan sel-sel gastrointestinal untuk merusak sintesis DNA.
Efek defisiensi vitamin B12 terhadap gastrointestinal menyebabkan sering diare
dan konstipasi, sakit di bagian perut, kembung, dan luka pada lidah. Anoreksia
dan kehilangan berat badan juga merupakan gejala umum kekurangan vitamin
B12.
Bahkan ada pendapat bahwa kehilangan kemampuan mendengar (tuli)
karena pertambahan usia juga berhubungan dengan status vitamin B12 dan folat
yang miskin (http://www.parhealth.com/druginfo).
Masih sedikit diketahui tentang prevalensi defisiensi vitamin B12 terutama
pada anak-anak.
Namun,
karena vitamin B12 hanya terdapat pada pangan
hewani, diperkirakan angka defisiensi vitamin B12 tinggi pada anak-anak yang
jarang atau sedikit makan makanan hewani seperti daging, telur dan susu.
Penelitian di Kenya (Siekmann JH et al 2003) terhadap 555 anak sekolah (5-14
th) menunjukkan 80,7 % anak mengalami defisiensi vitamin B12 tingkat berat
dan sedang. Pemberian makanan tambahan di sekolah berupa daging (60-85 g/hr)
dan susu (200-250 ml/hr) atau energi (kalori dari daging dan susu 240-300 Kal/hr)
selama satu tahun ajaran. Sampel darah dan tinja dikumpulkan 2 kali yaitu pada
waktu sebelum dan sesudah satu tahun intervensi untuk menilai parasit pada tinja,
malaria, Hb, serum atau plasma C-reactive protein,ferritin, Zn, Cu, vitamin B12,
folat dan retinol, riboflavin eritrosit. Pada saat baseline, ditemukan prevalensi
yang tinggi untuk defisiensi gizi mikro (Fe, Zn, vitamin A, vitamin B12, dan
riboflavin),
dan ferritin rendah pada beberapa anak.
Pada akhir intervensi,
plasma vitamin B12 meningkat secara signifikan pada anak yang diberi makan
daging dan susu, prevalensi defisiensi vitamin B12 turun dari 80,7 % menjadi
64,1 % pada kelompok intervensi daging dan 71,6 % menjadi 45,1 % pada
kelompok intervensi susu. Tidak ada perbaikan yang signifikan pada status gizi
mikro lainnya.
Kesimpulan yang dapat diperoleh bahwa suplemen dengan
sejumlah kecil daging dan susu dapat menurunkan prevalensi defisiensi vit B12
pada anak-anak.
Rogers LM et al (2003) berdasarkan hasil penelitiannya di Guatemala
terhadap 553 anak sekolah usia 8 sampai 12 tahun dari keluarga sosial ekonomi
rendah menemukan 11 % anak mempunyai kobalamin plasma yang rendah dan
22 % mempunyai kobalamin plasma yang marginal. Peningkatan serum
methylmalonic acid (MMA) dan homosistein plasma lebih tinggi pada anak
dengan kobalamin plasma yang rendah dan marginal dibandingkan dengan anak
yang mempunyai kobalamin plasma normal.
Kasus yang ditemukan di Georgia tahun 2001 menunjukkan bahwa anak
yang diberi ASI oleh ibu vegetarian didiagnosa mengalami defisiensi vitamin
B12, menderita anemia makrositik, dan kerusakan sistem syaraf serta
keterlambatan perkembangan mental (CDC 2003). Penelitian lain terhadap anakanak penderita cacing di Spanyol yang dilakukan oleh Olivares et al (2002)
menunjukkan bahwa anak yang terinfeksi cacing giardia lamblia dan enterobius
vermicularis mempunyai kadar vitamin B12 yang lebih rendah dibandingkan
dengan anak yang tidak terinfeksi cacing. Hal ini berhubungan dengan gangguan
penyerapan pada mukosa usus. Oleh karena itu, untuk kasus infeksi parasit selain
penanggulangan infeksi cacing perlu juga dilakukan suplementasi vitamin B12.
Penelitian Allen LH et al (1995) terhadap anak-anak dan dewasa di mexico
menunjukkan bahwa prevalensi defisiensi vitamin B12 yang dinilai berdasarkan
plasma viatmin B12 berkisar antara 19 % sampai 41 %, sementara status plasma
folat normal untuk semua individu. Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat 62 %
ibu menyusui yang mempunyai konsentrasi vitamin B12 ASI rendah.
Beberapa penelitian di Indonesia tentang status vitamin B12 sudah mulai
dilakukan sejak tahun 70 an walaupun masih terbatas pada orang dewasa.
Penelitian Martoatmodjo S dkk (1973) dari Pusat penelitian Gizi dan Makanan
Depkes RI, menunjukkan bahwa terdapat 28 % wanita hamil di daerah Jawa Barat
mengalami kekurangan vitamin B12. penelitian lain dilakukan oleh Shylbi UF
(2007) dari Bagian Kardiologi Rumah Sakit Jantung Harapan Kita di Jakarta,
menemukan 30 % kasus defisiensi vitamin B12 pada penderita Penyakit Jantung
Koroner (PJK) dan 30 % juga pada non penderita PJK.
Penelitian ini juga
menunjukkan adanya tingginya defisiensi asam folat yaitu 82 % pada penderita
PJK dan 83 % pada nonpenderita PJK, serta adanya hubungan negatif antara
defisiensi vitamin B12 dan defisiensi folat dengan kadar homocysteine.
Beberapa penelitian di luar negeri juga menunjukkan defisiensi vitamin
B12 pada kelompok dewasa dan usia lanjut. Hin H et al (2006) berdasrkan
penelitiannya di Inggris menunjukkan bahwa terdapat 13 % dari partisipas usia
lanjut mengalami defisiensi vitamin B12. Dengan pemberian intervensi suplemen
1000 mikrogram intramuskuler per bulan dapat memperbaiki status biokimia
vitamin B12 walaupun secara klinis tidak dapat diperbaiki. Penelitian Clarke R
et al (2003) di Inggris menunjukkan prevalensi defisiensi vitamin B12 10 % pada
usia 65-74 tahun dan 20 % pada usia diatas 75 tahun. Selanjutnya berdasarkan
penelitiannya pada usia lanjut di Inggris (Clarke R et al 2004) menemukan bahwa
prevalensi defisiensi vitamin B12 meningkat dengan bertambahnya umur.
Defisiensi vitamin B12 ditemukan pada 1 dari 20 orang yang berumur 65-74
tahun dan 1 dari 10 orang yang berumur diatas 75 tahun. Hao Ling et al (2003)
dari China mengemukakan prevalensi defisiensi vitamin B12 pada orang dewasa
berumur 35-64 tahun sebesar 11 % di China bagian Selatan dan 39 % di China
bagian Utara, yang selanjutnya mengatakan prevalensi defisiensi vitamin B12
lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Sementara Tucker KL et al (2000)
berdasarkan penelitiannya pada
orang dewasa berumur diatas 26 tahun
menemukan 39 % mempunyai kadar vitamin B12 plasma < 350 pg/mL.
Berikut ini dikemukakan beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya
defisiensi vitamin B12, antara lain :
1. Vegetarian
Orang yang hanya mengkonsumsi pangan nabati (vegetarian) mempunyai
resiko kekurangan vitamin B12 karena tanaman tidak mengandung vitamin B12.
Dengan kata lain vitamin B12 hanya ada dalam pangan hewani. Hal ini dapat
dilihat dari bayi yang diberi ASI eksklusif oleh ibu penganut vegetarian
mengalami gejala defisiensi vitamin B12 pada beberapa bulan pertama setelah
dilahirkan (Brody 1999; American Dietetic Association http//www.eatright.org).
Oleh karena itu vegetarian dianjurkan untuk memasukkan tempe dan pangan yang
difortifikasi vitamin B12 ke dalam menu makanan sehari-hari.
Gao X et al (2003) dalam penelitian pola makan pada populasi perkotaan
di China menunjukkan bahwa lebih dari 40 % dari kelompok dengan pola sereal
mempunyai plasma homosistein yang tinggi dan konsentrasi asam folat plasma
rendah, 67 % mempunyai konsentrasi plasma vitamin B12 rendah. Pola sereal
mempunyai risiko 4 dan 5.2 kali lebih mungkin mempunyai homosistein yang
tinggi dan vitamin b12 yang rendah dibandingkan kelompok dengan pola buah
dan susu.
2. Anemia Pernisius
Gangguan penyerapan (malabsorbsi) vitamin B12 dapat terjadi selama
proses pencernaan.
Suatu kondisi yang menyebabkan terjadinya malabsorbsi
adalah penyakit auto-immun, disebut anemia pernisius. Pada sebagian besar kasus
anemia pernisius, antibodi yang dihasilkan menyerang sel-sel parietal yang
menyebabkan sel parietal tersebut atropi, sehingga kehilangan kemampuan untuk
menghasilkan faktor intrinsik, yang berfungsi mengeluarkan asam hidroklorik.
Anemia pernisius juga terjadi karena ketidakmampuan mengabsorbsi vitamin B12
yang dihasilkan oleh empedu. Diperkirakan vitamin B12 yang dikeluarkan oleh
empedu sekitar 0,3 – 0,5 μg/hari. Keadaan ini disebut sirkulasi enterohepatik
vitamin B12 yang menyebabkan tubuh mengalami keseimbangan negatif untuk
vitamin. Walaupun vitamin B12 dalam tubuh cukup untuk persediaan selama 3-5
tahun, anemia pernisius menyebabkan gangguan absorbsi vitamin yang baru
dikonsumsi, ditambah lagi kehilangan vitamin karena keseimbangan negatif. Bila
cadangan vitamin B12 berkurang, akhirnya tahapan defisiensi terjadi sangat cepat,
dan bila tidak diobati dapat menyebabkan kematian dalam beberapa bulan
(FAO/WHO
2001; American Dietetic Association http://www.eatright.org).
Anemia pernisius sebagai penyebab defisiensi vitamin B12 merupakan kasus yang
jarang terjadi, mungkin pengaruhnya hanya 1 persen sampai beberapa persen pada
kelompok lanjut usia.
3. Atrophic gastritis
Anggapan terbaru mengatakan bahwa masalah yang lebih umum adalah
hypochlodhydria yang berkaitan dengan atropic gastritis, dimana semakin
bertambah umur terjadi penurunan kemampuan sel parietal untuk mensekresi
asam
hidroklorik
(FAO/WHO
2001;
American
Dietetic
Association
http//www.eatright.org). Diperkirakan lebih dari seperempat jumlah lanjut usia
mempunyai berbagai tingkat hypochlodhydria sebagai hasil atrophic gastritis.
Selain itu ada anggapan bahwa pertumbuhan bakteri yang berlebihan pada
lambung dan usus pada individu yang menderita atrophic gastritis dapat
menurunkan penyerapan vitamin B12.
Atrophic gastritis
tidak mencegah
penyerapan kembali vitamin yang dikeluarkan empedu, oleh karena itu tidak
menyebabkan keseimbangan negatif sebagaimana terjadi pada penderita anemia
pernisius. Namun, bila terjadi dalam waktu yang lama, jumlah vitamin yang
diabsorbsi dari makanan berkurang akhirnya cadangan vitamin B12 akan habis,
selanjutnya dapat menyebabkan defisiensi vitamin B12.
4. Konsumsi alkohol berlebih
Orang yang mengkonsumsi alkohol berlebih cenderung mengalami
kekurangan beberapa zat gizi esensial termasuk vitamin B12 (American Dietetic
Association, http//www.eatright.org; Nutrion.gov; http//nutrition.gov).
Kebutuhan dan Sumber Pangan Vitamin B12
Hanya sedikit vitamin B12 yang dapat disimpan dalam tubuh.
Total
simpanan dalam tubuh sekitar 2-5 mg pada orang dewasa, sekitar 80 % disimpan
dalam hati. Vitamin B12 yang masuk dalam empedu dapat diserap kembali secara
efektif, yang disebut sebagai sirkulasi enterohepatik. Kelebihan vitamin B12
dikeluarkan melalui ginjal dalam jumlah yang bervariasi mulai dari 1 – 10 μg/hari.
Vitamin B12 dibutuhkan dalam jumlah yang relatif kecil. Kecukupan
vitamin B12 pada anak dibawah usia 4 tahun < 1 μg/hari, pada usia 4 –12 tahun
sekitar 1 – 1,8 μg/hari dan bagi usia 13 tahun sampai
dewasa 2,4 μg/hari.
Sedangkan ibu hamil dan menyusui memerlukan tambahan masing-masing 0,2
μg/hari dan 0,4 μg/hari (Tabel 3).
Vitamin B12 banyak ditemukan dalam pangan hewani, seperti daging,
susu, telur, ikan, kerang dan lain-lain. Menurut Sauberlich HE (1999) pangan
hewani satu-satunya sumber vitamin B12 dalam penyediaan pangan. Daging
menyumbang sekitar 69 persen, susu 21 persen, dan telur 8,5 persen. Sereal yang
difortifikasi dengan vitamin B12 hanya menyediakan sedikit sekali vitamin ini
yaitu sekitar 1,6 persen. Sedangkan pangan nabati tidak mengandung vitamin
B12, kecuali yang terkontaminasi oleh mikroorganisme yang diperoleh dari tanah
seperti bakteri dan ragi. Salah satu pangan hasil olahan melalui proses fermentasi
adalah tempe ternyata mengandung vitamin B12 sehingga tempe merupakan
pangan yang baik sebagai sumber vitamin B12. Vitamin B12 dalam tempe tidak
dibentuk oleh ragi yang ditambahkan saat pembuatan tempe akan tetapi dibentuk
oleh bakteri kontaminan jenis klebsiella (http://www.ivs-online.org).
Namun
demikian belum diteliti lebih lanjut tentang bioavailabilitas dari vitamin B12 yang
ada dalam tempe.
Tabel 3 Kecukupan vitamin B12 berdasarkan kelompok umur
Kelompok Umur
0
7
1
4
7
AKG (μg/hr)
- 6 bl
- 12 bl
- 3 th
- 6 th
- 9 th
0,4
0,5
0,9
1,2
1,5
10 - 12 th
13 - 15 th
16 - 18 th
19 - 29 th
30 - 49 th
50 - 64 th
65 + th
1,8
2,4
2,4
2,4
2,4
2,4
2,4
Pria
Wanita
10 - 12 th
13 - 15 th
16 - 18 th
19 - 29 th
30 - 49 th
50 - 64 th
65 + th
Ibu hamil (+an)
Trimester 1
Trimester 2
Trimester 3
Ibu menyusui (+ an)
- 6 bulan pertama
- 6 bulan kedua
Sumber: Setiawan B & Rahayuningsih S (2004)
1,8
2,4
2,4
2,4
2,4
2,4
2,4
0,2
0,2
0,2
0,4
0,4
Penilaian Status Vitamin B12
Status vitamin B12 dalam tubuh dapat ditentukan dengan menggunakan
berbagai indikator dan metode penilaian. Berikut ini akan diuraikan beberapa
indikator dan jenis penilaian status vitamin B12 serta kekuatan dan kelemahan
setiap indikator..
1. Vitamin B12 dalam serum
Dari seluruh vitamin B12 dalam serum, 20 persen terikat pada protein
transport transcobalamin (TC II), sisanya 80 % merupakan ikatan campuran
glyco-protein B12, dikenal sebagai TC I dan TC III, dan akhirnya diketahui
sebagai haptocorrin (Herbert V 1996; Gibson 2005; Carmel R 2006). Menurut
Sauberlich HE (1999) konsentrasi vitamin B12 serum dapat memberi informasi
status gizi vitamin B12, karena cadangan vitamin B12 dalam tubuh yang rendah
berhubungan dengan level vitamin B12 serum yang rendah. Sedangkan menurut
Herbert V (1996) pengukuran vitamin B12 dalam serum merupakan indikator
defisiensi vitamin B12 yang relatif terlambat karena pada keadaan normal 80 %
dari total vitamin B12 dalam serum terikat pada holohaptocorrin, dan hanya 20 %
yang yang terikat sebagai holotranscobalamin II dalam serum. Holohaptocorrin
menggambarkan vitamin B12 dalam cadangan tubuh (terutama di hati), yang
mengalami penurunan dengan lambat sesuai dengan terjadinya keseimbangan
negatif vitamin B12.
Serum holotranscobalamin II adalah protein yang bersirkulasi dalam darah
mengantar vitamin B12 ke sel-sel pembentukan DNA.
Keseimbangan negatif
merupakan gambaran situasi dimana sejumlah vitamin B12 yang diabsorbsi setiap
hari menurun sampai di bawah jumlah yang hilang setiap hari. Keseimbangan
negatif yang cepat menyebabkan deplesi, jika tidak diperbaiki akan berlanjut
menjadi defisiensi. Serum holoTC II rendah merupakan indikator awal terjadinya
keseimbangan negatif, suatu ukuran ketidakcukupan vitamin B12 untuk sintesis
DNA. Pada saat keseimbangan negatif terjadi, konsentrasi serum vitamin B12
menurun sampai nilainya antara 150 sampai 100 pg/mL; namun fungsi biokimia
masih dalam keadaan normal (Herbert V 1996).
Allen RH et al (1990) mengemukakan bahwa penilaian kobalamin serum
adalah tes diagnostik yang penting untuk defisiensi vitamin B12 terutama untuk
tujuan screening karena sebagian besar pasien yang mengalami defisiensi vitamin
B12 secara klinis mempunyai level vitamin B12 serum yang rendah. Walaupun
pada akhirnya ada studi terbaru yang menunjukkan keadaan sebaliknya, dimana
orang yang mempunyai serum vitamin B12 rendah tidak selalu mengalami
defisiensi vitamin B12. Methylmalonic acid (MMA) dan homosysteine dalam
serum meningkat pada penderita defisiensi vitamin B12. Namun akhirnya
diketahui juga bahwa homosysteine serum tidak spesifik karena tidak selalu
meningkat pada penderita defisiensi vitamin B12 sedangkan methylmalonic acid
serum selalu meningkat.
Oleh karena itu methylmalonic acid lebih tepat
digunakan sebagai indikator terjadinya defisiensi vitamin B12.
Penentuan cut off point untuk defisiensi vitamin B12 masih beragam
pendapat. Menurut Gibson (1990) konsentrasi serum vitamin B12 pada keadaan
normal untuk orang sehat berada pada kisaran 200 – 900 pg/mL (148 – 682
pmol/L). Nilai dibawah 100 pg/mL (74 pmol/L) selalu menunjukkan keadaan
defisiensi vitamin B12
dan dihubungkan dengan anemia megaloblastik.
Sedangkan FAO/WHO tahun 1988, merekomendasikan penggunaan cut off point
di bawah 80 pg/mL (59 pmol/L) untuk defisiensi vitamin B12. Menurut Gibson
(2005) total vitamin B12 serum adalah tes biokimia yang dapat digunakan secara
rutin
untuk
screening
defisiensi
vitamin
B12
karena
konsentrasinya
menggambarkan intik vitamin B12 dan sekaligus cadangan dalam tubuh, namun
sensitifitasnya rendah. Hal ini ditunjukkan dari penelitian terhadap usia lanjut
yang mempunyai konsentrasi vitamin B12 serum rendah sampai normal (111-295
pmol/L atau 150-400 pg/mL) mempunyai fungsi biokimia yang tidak normal.
Beberapa peneliti lain menggunakan cut off point 300 pg/mL sebagai batas bawah
keadaan normal untuk vitamin B12 (Herbert V 1996; Sauberlich HE 1999;
Siekmann 2003; Eussen SJ et al 2006) dengan alasan bahwa pada batas tersebut
sering sudah mulai dapat ditemukan tanda-tanda klinis defisiensi vitamin B12.
Penilaian konsentrasi vitamin B12 serum dapat dilakukan dengan
“microbiological assay” dan “radioisotope dilution methods” atau disebut
“Radioassay”. Metode “radioisotope dilution methods” memberi hasil yang lebih
tinggi dari penilaian mikrobiologi. Metode radioisotop
sangat sederhana,
memerlukan waktu yang singkat, dan tidak dipengaruhi oleh antibiotik atau
kemoterapetik kanker (Gibson 2005).
Metode lain yaitu AxSYM System yang
merupakan penilaian mikropartikel enzim intrinsic factor untuk menentukan
jumlah vitamin B12 dalam serum atau plasma manusia (Abbott Laboratories
2005).
2. Vitamin B12 dalam eritrosit
Penilaian eritrosit untuk vitamin B12 mempunyai keterbatasan, beberapa
hasil diperoleh dengan nilai yang tidak dapat membedakan antara kondisi subyek
normal dengan defisiensi.
Selain itu konsentrasi vitamin B12 eritrosit juga
cenderung rendah pada saat terjadi defisiensi folat karena vitamin B12 berperan
penting untuk pemanfaatan folat oleh se-sel darah merah. Dengan demikian
vitamin B12 dalam eritrosit kurang spesifik (Gibson 2005).
3. Methylmalonic acid (MMA)
Methylmalonic acid (MMA) merupakan hasil dari methylmalonyl-CoA
yang terakumulasi bila terjadi defisiensi vitamin B12 yang membatasi aktifitas
methylmalonyl-CoA mutase. Konsentrasi MMA serum meningkat bila terjadi
defisiensi vitamin B12, tetapi tidak terjadi pada defisiensi asam folat. Ekskresi
MMA melalui urin juga meningkat bila terjadi defisiensi vitamin B12 (Sauberlich
HE 1999). Sehingga konsentrasi methylmalonic acid dalam urin dan serum sering
digunakan untuk screening defisiensi vitamin B12. Peningkatan konsentrasi
methylmalonic acid dalam serum atau plasma merupakan indikator awal
terjadinya defisiensi vitamin B12. Pengukuran serum MMA telah berhasil
mengidentifikasi subyek dengan defisiensi vitamin B12, bahkan dengan defisiensi
subklinik. Pengukuran MMA lebih sensitif untuk mengukur defisiensi vitamin
B12 dibandingkan dengan pengukuran konsentrasi vitamin B12 serum.
Menurut Bolann et al (2000) untuk diagnostik awal status vitamin B12
dapat dilakukan melalui penilaian kobalamin serum. Bila dengan diagnostik
tersebut tidak dapat diperoleh hasil yang jelas, maka dilakukan pengujian kadar
MMA dan homocystein yang akan memberikan pembedaan tambahan, yang
berarti MMA lebih spesifik untuk penilaian status vitamin B12.
Secara tradisional ada anggapan bahwa status vitamin B12 yang rendah
berhubungan dengan level vitamin B12 dalam serum atau plasma yang rendah.
Namun akhir-akhir ini pendapat tersebut telah dibantah oleh beberapa ahli yang
mengatakan bahwa proporsi orang yang mempunyai level vitamin B12 normal
kenyataannya mengalami defisiensi vitamin B12. Selanjutnya dikatakan bahwa
peningkatan homocysteine plasma dan MMA plasma lebih sensitif sebagai
indikator status vitamin B12 (FAO/WHO 2001). Hal ini didukung oleh Klee
(2000) yang mengatakan bahwa homocysteine dan methylmalonicacid adalah
indikator metabolik yang paling baik untuk defisiensi vitamin B12 dan folat pada
level jaringan. Namun, dikatakan juga bahwa belum ada “gold standard” untuk
mendiagnosis kondisi kelainan vitamin B12, dan masih ditemukan kontroversi
dalam pemilihan diagnostik tersebut.
Methylmalonic acid (MMA) dapat diukur dengan metode gabungan “gaschromatography mass-spectrometry” dalam serum dan urin (Carmel R 2004;
Gibson 2005). Metode ini sangat sensitif dan reliabel untuk mengukur
methylmalonic acid dalam urin. Namun, tehnik mengukurannya agak sulit dan
waktunya lama karena memerlukan sampel urin selama 24 jam.
Sedangkan
sampel urin sesaat dapat digunakan untuk keperluan screening. Pada kondisi
normal 1,5 sampai 2 mg mehyilmalonic acid yang dikeluarkan melalui urin per 24
jam, sedangkan bila terjadi defisiensi vitamin B12 dapat mencapai 300 mg per 24
jam (Gibson 2005).
Konsentrasi MMA serum dikategorikan normal bila
konsentrasi MMA serum < 638 nmol/L, kadar MMA serum ≥ 638 nmol/L
dikategorikan defisiensi vitamin B12 (Sauberlich HE 1999).
4. Homocysteine
Homocysteine adalah bentuk antara dari metabolisme asam amino esensial
yang mengandung sulfur yaitu methionine. Homocycteine akan dirubah kembali
menjadi methionine pada proses remetilasi yang tergantung pada folat dan
kobalamine, atau transformasi menjadi cysteine melalui enzim yang tergantung
pada vitamin B6 yaitu cystathionine B synthase.
Namun konsentrasi
homocysteine plasma tidak dapat menunjukkan apakah subyek defisiensi vitamin
B12 atau folat.
Kedua defisiensi tersebut menyebabkan peningkatan total
homocysteine plasma.
Kelebihan intik protein dan methionine dapat
meningkatkan homocysteine dalam plasma dengan meningkatkan sintesis
homocysteine (Sauberlich HE 1999).
Dengan demikian kadar homocysteine
plasma kurang spesifik sebagai indikator defisiensi vitamin B12. Konsentrasi total
homocysteine plasma dapat diukur dengan “fluorescent atau electrichemical
detection”,
prosedur
“enzymatic”
atau
dengan
metode
“capillary
gas
chromatography mass spectrometry” (Gibson 2005).
5. Deoxyuridine suppression test (DxdUST)
Penilaian ini digunakan untuk mendeteksi defisiensi vitamin B12 dan/atau
folat.
Dalam penilaian ini, sum-sum tulang,
lymposit darah periperal, atau
sampel darah keseluruhan dari individu dipreinkubasi dalam tes tube dengan
nonradioaktif deoxyuridine dan kemudian dengan prekursor radioaktif DNA
(Herbert V 1996; Gibson 2005).
Penilaian dengan Deoxyuridine suppression test
ini telah
digunakan
dalam beberapa penelitian. Namun prosedurnya agak sedikit lambat dan
membosankan untuk dilakukan, tidak praktis dan tidak reliable untuk digunakan
secara luas (Sauberlich HE 1999; Gibson 2005).
6. Schilling test
Bila defisiensi vitamin B12 telah didiagnosa, hal yang penting diketahui
adalah apakah penyebabnya gangguan penyerapan.
Hal ini dapat diperoleh
dengan menentukan absorbsi pemberian dosis rendah secara oral (0,5 – 2 μg)
dalam keadaan puasa, dengan mengukur pengeluaran dari urin. Prosedur ini
disebut dengan “Schilling test”.
Namun schilling test mempunyai beberapa
kelemahan antara lain tes ini tidak mempunyai standar yang baik diantara
laboratorium; waktu yang diperlukan cukup lama sejak diberi dosis oral sampai
dikeluarkan melalui urin, level isotop dosis, dan lamanya pengumpulan urin
(Gibson 2005).
Berdasarkan uraian diatas tentang beberapa indikator penilaian status
vitamin B12 berikut pada Tabel 4 diuraikan secara ringkas kekuatan dan
kelemahan berbagai metode dan indikator penilaian status vitamin B12. Dari
beberapa jenis indikator dan metode penilaian status vitamin B12 yang dijelaskan
masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan, dengan demikian dalam
pemilihan indikator atau metode yang digunakan perlu disesuaikan dengan tujuan
penelitian serta mempertimbangkan situasi dan kondisi subyek dan lapangan
penelitian serta ketersediaan sarana pendukung seperti laboratorium beserta
peralatan dan metodenya.
Tabel 4 Kekuatan dan kelemahan beberapa indikator/metode
penilaian status vitamin B12
No
Indikator /Metode
Kekuatan
Kelemahan
1
Vitamin B12 serum/
Transcobalamin II (TC II)
Metode : Radioassay
Metode sederhana,
waktu singkat
Hanya 20 % vitamin
B12 yang terikat
pada TC II, kurang
sensitif
Kurang spesifik,
sulit dibedakan
dengan defisiensi
folat
2
Vitamin B12 dalam eritrosit
-
3
Methylmalonic acid (MMA)
dalam serum atau urin
Metode: gas chromatographymass spectrometry
Cukup Spesifik dan
Sensitif, Metode
reliable
Teknik pengukuran
sulit, waktu relatif
lama, bila
menggunakan urin
perlu sampel urin
selama 24 jam
4
Homocystein plasma
-
5
Deoxyuridine suppression test
(DxdUST)
-
6
Schilling test
Dapat mengukur
tingkat absorpsi
Kurang spesifik,
sulit dibedakan
dengan defisiensi
folat
Prosedur agak
lambat,
membosankan,
kurang praktis, dan
tidak reliable
Belum ada standar
yang baku,
waktunya lama
Hemoglobin dan Vitamin B12
Hemoglobin adalah suatu molekul protein dalam sel-sel darah merah yang
membawa oksigen dari paru-paru keseluruh jaringan tubuh, dan membawa
kembali karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru. Besi yang terkandung
dalam hemoglobin akan memberi warna merah pada darah.
Sebagaimana
umumnya protein, “blueprint” untuk hemoglobin dibuat dalam DNA (bahan dasar
pembentuk gen). Hemoglobin terbuat dari dua protein yang sama disebut “stick
together”. Kedua protein ini harus ada agar hemoglobin dapat mengambil dan
melepas oksigen secara normal. Komponen protein tersebut adalah Alpha dan
Betha. Pada saat seseorang belum lahir (janin) protein betha tidak ada, yang ada
protein gamma dan digantikan secara otomatis pada saat seseorang lahir
(http://sickle.bwh.harvard.edu/hemoglobin.html).
Level hemoglobin ditunjukkan sebagai jumlah hemoglobin dalam gram
per desiliter darah (g/dl). Batas normal hemoglobin tergantung pada umur dan
mulai remaja dibedakan menurut jenis kelamin. Bila kadar hemoglobin lebih
rendah dari batas normal maka seseorang disebut anemia. Batasan normal yang
digunakan di Indonesia yang ditetapkan oleh Depkes RI (2003) adalah :
•
Anak balita
: 11 g/dl
•
Anak usia sekolah
: 12 g/dl
•
Wanita dewasa
: 12 g/dl
•
Pria dewasa
: 13 g/dl
•
Ibu hamil
: 11 g/dl
•
Ibu menyusui >3 bln : 12 g/dl
Dalam hubungannya dengan vitamin B12 dapat dijelaskan dari fungsi
vitamin B12 pada pembentukan hemoglobin.
Vitamin B12 berperan sebagai
koenzim yang dibutuhkan beberapa reaksi biologis penting. Ada dua bentuk
koenzim tersebut yaitu methylcobalamin yang terdapat dalam plasma, dan 5deoxyadenosyl-cobalamin yang ditemukan dalam hati, sebagian besar jaringan
tubuh, dan makanan (Gibson, 2005). Salah satu fungsi vitamin B12 sebagai
kofaktor untuk L-methilmalonyl-CoA mutase.
Enzim ini membutuhkan
adenosylcobalamin untuk mengubah L-methylmalonyl-CoA menjadi succinylCoA. Reaksi biokimia ini berperan penting dalam produksi energi dari lemak dan
protein. Succinyl-CoA juga diperlukan untuk sintesis hemoglobin yang merupakan
pigmen pada sel darah merah sebagai pembawa oksigen. Sehingga bila terjadi
terjadi kekurangan vitamin B12 dalam tubuh akan berpengaruh pada pembentukan
hemoglobin (Carmel R 2006; Herbert V 1996; Wardlaw G et al 1992). Penelitian
Kartika V dkk (1998) di Bogor menunjukkan bahwa intervensi melaui pemberian
tablet yang berisi campuran besi, folat dan vitamin B12 paling efektif menurunkan
anemia defisiensi vitamin B12 dibanding tablet besi + vitamin B12 atau besi +
folat.
Daya Ingat
Daya ingat atau ingatan (memory) adalah kemampuan untuk mengingat
kembali suatu pikiran paling tidak sekali dan biasanya berulang-ulang.
Sedangkan belajar adalah kemampuan sistem syaraf untuk menyimpan ingatan.
Menurut Morgan et al (1986), ada tiga jenis pemrosesan informasi, yaitu proses
encoding (pengkodean), proses storage (penyimpanan), dan proses retrival
(mendapatkan kembali). Encoding merupakan proses penerimaan input sensori
dan transformasi input tersebut menjadi format atau kode yang dapat disimpan,
atau disebut juga dengan proses persiapan stimulus untuk dapat disimpan. Dalam
proses persiapan tersebut melibatkan pengorganisasian stimuli dan kemudian
dilanjutkan dengan proses penyimpanan.
Penyimpanan merupakan peletakan
informasi yang telah dikode ke dalam memori. Sedangkan retrieval merupakan
proses mendapatkan akses pada informasi yang telah disimpan dan dikode ketika
informasi tersebut diperlukan.
Dengan demikian tujuan pengkodean adalah
membuat informasi menjadi siap untuk disimpan dan mempermudah pemanggilan
informasi tersebut bila diperlukan.
Kemudahan untuk memanggil kembali
informasi sangat tergantung pada proses encoding (Morgan et al. 1986).
Ada dua kemungkinan level pemrosesan dalam encoding menurut Craik
dan Lockhart (1972), yaitu berdasarkan makna atau semantik dan kedalaman
pemrosesan. Analisis semantik menghasilkan pemrosesan yang lebih bermakna
daripada analisis nonsemantik. Encoding yang lebih mendalam berdampak pada
ingatan yang semakin baik. Dengan demikian proses encoding sangat ditentukan
oleh strategi yang dipilih oleh seseorang dan informasi lain yang menyertai
stimulus. Strategi yang digunakan dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki
seseorang, dan seberapa besar usaha yang dilakukan untuk melakukan proses
pengkodean tersebut.
Suatu sistem pemrosesan informasi dikemukakan oleh Atkinson dan
Shiffrin yang disebut juga dengan “Atkinson and Shiffrin’s Store Model”
(Gambar 6).
Di dalam model tersebut dijelaskan bahwa ada tiga bagian sistem
pemrosesan informasi, yaitu sensory register, short-term memory store, dan longterm memory store yang berperan sebagai hardware dari sistem.
RESPONSE
OUTPUT
STIMULUS
INPUT
RESPONS
S
E
N
S
O
R
Y
LONG TERM
MEMORY
STORE
storage
R
E
G
I
S
T
E
R
SHORT TERM
MEMORY
STORE
Recognition
Recall
retrieval
CONTROL PROCESSES
OR MENTAL STRATEGIES
Attention
Rehearsal
Organization
Elaboration
Recontruction
Gambar 6 Sistem pemrosesan informasi :
Atkinson and Shiffrin’s store model (Berk 1989)
Model tersebut menunjukkan adanya control processes yang berperan
sebagai software dari sistem.
Control processes merupakan strategi yang
membantu seseorang meningkatkan efisiensi dan kapasitas penyimpanan (Berk
1989). Seperti halnya program komputer, control processes dapat mengarahkan
aktivitas pada setiap tahapan pemrosesan informasi, menjaga agar informasi tetap
berada pada tempatnya yang merupakan bagian sistem memori, dan memastikan
seluruh sistem bekerja secara harmonis. Dengan demikian control processes
membantu manusia untuk mengatasi keterbatasan yang terkait dengan seberapa
banyak informasi yang dapat diproses.
Ada berbagai tingkat daya memori (ingatan) yang diklasifikasi sebagai berikut :
1. Ingatan sensoris
Kemampuan untuk menyimpan sinyal sensoris di dalam daerah sensoris
otak untuk jangka waktu yang sangat singkat setelah pengalaman sensoris yang
sebenarnya. Menurut Seifort KL & Hoffnung RJ (1997) biasanya sinyal ini tetap
tersedia untuk analisa selama beberapa ratus millidetik tetapi digantikan oleh
sinyal sensoris baru dalam waktu kurang dari satu detik, proses ini merupakan
stadium awal proses ingatan.
2. Ingatan jangka pendek (Short term memory)
Ingatan jangka pendek adalah ingatan mengenai beberapa fakta, kata,
bilangan, huruf atau keterangan-keterangan kecil lainnya selama beberapa detik
sampai satu menit atau lebih pada suatu waktu. Menurut Berk (1989) dan Seifort
KL & Hoffnung RJ (1997) pada memori jangka pendek informasi tinggal hanya
beberapa saat mungkin sekitar 20 detik. Salah satu segi terpenting dari ingatan
jangka pendek adalah informasi dalam simpanan ingatan ini segera tersedia
sehingga orang tersebut tidak perlu mencari-cari hal tersebut di dalam ingatannya
seperti yang dilakukan ketika mencari informasi yang telah disimpan di dalam
simpanan ingatan jangka panjang.
Menurut Seifort dan Hoffnung (1997) jenis informasi yang masuk pada
memori jangka pendek biasanya terbatas pada kira-kira tujuh keterangan kecil.
Selanjutnya dikatakan bahwa ada perbedaan antara anak-anak dan dewasa pada
kemampuan test digit. Pada anak-anak biasanya hanya dapat mengingat tiga digit
sedangkan orang dewasa dapat mengingat sampai tujuh digit.
3. Ingatan jangka panjang (Long term memory)
Ingatan jangka panjang merupakan simpanan informasi di dalam otak yang
dapat diingat kembali pada suatu waktu di masa yang akan datang bermenitmenit, berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan atau bertahun-tahun kemudian.
Jenis ingatan ini disebut ingatan pasti (permanen). Ingatan jangka panjang dapat
dibagi dua, yaitu : ingatan sekunder yaitu ingatan jangka panjang yang disimpan
dengan jejak ingatan yang lemah, karena itu mudah untuk dilupakan. Kadangkadang sulit untuk diingat kembali; membutuhkan waktu yang relatif lama untuk
mencari informasi tersebut. Ingatan tersier adalah ingatan yang telah sedemikian
melekat di dalam pikiran sehingga ingatan tersebut biasanya dapat bertahan
seumur hidup. Sangat kuatnya jejak ingatan pada jenis ingatan ini membuat
informasi yang disimpan tersedia dalam sekejap mata.
Proses ingatan ini
berlangsung dalam otak, dimana otak akan dapat berfungsi secara optimal dengan
adanya suplai glukosa.
Menurut Morgan et al (1986) ingatan sesaat dapat berlangsung selama 20
atau 30 detik. Informasi dalam ingatan sesaat yang tidak mengalami pemrosesan
lebih lanjut akan hilang dalam waktu sekitar 15 detik. Informasi tersebut akan
dipertahankan sedikit lebih lama apabila mengalami pemrosesan secara dangkal.
Namun apabila mengalami pemrosesan yang lebih mendalam, informasi tersebut
akan dipertahankan jauh lebih lama. Selanjutnya dikatakan bahwa informasi yang
megalami pemrosesan lebih mendalam, yakni perhatian yang terfokus pada
informasi tersebut (mungkin melalui pengulangan-pengulangan) atau informasi
dihubungkan dengan informasi lain yang telah tersimpan di memori, maka akan
dimasukkan ke dalam ingatan jangka panjang. Informasi yang sudah ditempatkan
di dalam ingatan jangka panjang biasanya merupakan informasi yang sudah
terorganisasi ke dalam kategori.
Informasi tersebut akan bertahan selama
beberapa hari hingga selama hidup.
Pengukuran Daya Ingat
Beberapa perbedaan yang terdapat dalam memori tergantung pada bagian
mana dari model pemrosesan informasi yang digunakan. Memori jangka pendek
merupakan suatu ciri dari pemikiran informasi sekeliling dan hanya untuk suatu
periode yang pendek mungkin hanya sekitar 20 detik. Kemampuan memori jangka
pendek pada anak usia sekolah sekolah lebih sedikit dibandingkan dengan orang
dewasa.
Berdasarkan tes digit pada usia sekitar 8 tahun biasanya hanya
mengingat 3 digit sedangkan orang dewasa dapat mengingat sampai 7 digit
(Seifort KL & Hoffnung RJ 1997).
Pengukuran ingatan dapat dilakukan dengan dua cara (Seifort KL &
Hoffnung RJ 1997) yaitu mengenali kembali (recognation memory) dan
mengingat kembali (recall memory). Pada recognation memory seseorang hanya
membandingkan stimulus atau isyarat yang diberikan dengan pengalaman atau
pengetahuan yang sebelumnya dia peroleh. Misalnya ketika anak-anak melihat
gambar atau foto-foto saat liburan beberapa bulan yang lalu, mereka akan dapat
menggambarkan kembali hal-hal yang terjadi saat liburan tersebut yang
sebelumnya sudah mereka lupakan. Sedangkan pada recall memory yang terjadi
sebaliknya, seseorang diminta untuk mengingat kembali informasi tanpa
memberikan rangsangan atau isyarat tertentu. Misalnya seseorang diminta untuk
mengingat nomor telepon temannya tanpa melihat nomor tersebut.
Recall
umumnya lebih sulit dibandingkan dengan recognation, akan tetapi dalam
perkembangannya menunjukkan pola yang sama yaitu mengalami perubahan
sesuai dengan pertambahan umur.
Alat bantu yang digunakan dalam pengukuran ingatan seseorang dapat
berupa huruf, kata atau gambar. Menurut penelitian Kustiyah (2004) pada anak
sekolah,
dalam
pengukuran
ingatan
lebih
baik
menggunakan
gambar
dibandingkan dengan kata. Hal ini terkait dengan sistem pemrosesan informasi
yang lebih mendalam pada gambar dibanding kata. Hal ini didukung oleh Paivio
(1971) yang mengemukakan bahwa stimulan berupa gambar lebih mudah diingat
karena mempunyai kode ganda yaitu kode visual dan verbal. Sedangkan menurut
Nelson (1979) gambar lebih mudah diingat daripada kata-kata karena kode
visualnya superior, dan representasi dari gambar lebih mudah dibedakan daripada
kata-kata.
Selanjutnya dikatakan oleh Norman (1976) bahwa stimulan yang
dikenal misalnya berupa gambar yang dibuat berdasarkan kondisi lingkungan
setempat sesuai dengan struktur kognitif, karena stimulan tersebut akan diproses
secara lebih mendalam dan lebih bertahan lama daripada stimulan yang kurang
dikenal oleh contoh.
Hubungan Gizi dengan Daya Ingat
Daya ingat (ingatan) anak merupakan suatu proses yang terjadi di otak
tentunya sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan organ otak dan bagaimana
stimulasi atau rangsangan diberikan agar otak dapat berkembang optimal
menjalankan fungsinya. Keadaan gizi sejak janin dalam kandungan sampai bayi
lahir dan usia dini perlu terus dipertahankan secara optimal sampai anak usia
sekolah, karena akan berpengaruh pada perkembangan otak. Menurut Pollit
(1990) apabila anak lahir dengan berat badan rendah akan mengalami gangguan
fungsi kognitif dan kecerdasan intelektual pada usia sekolah. Kekurangan gizi
pada masa bayi hingga usia 2 tahun dapat mengakibatkan terganggunya
perkembangan mental dan kemampuan motoriknya, bahkan dapat mengakibatkan
cacat permanen.
Gizi yang tidak seimbang, gizi buruk, serta derajat kesehatan anak yang
rendah akan menghambat pertumbuhan otak, dan pada gilirannya akan
menurunkan
kemampuan
otak
dalam mencatat,
menyerap,
menyimpan,
memproduksi dan merekonstruksi informasi. Selanjutnya dikatakan bahwa
pertumbuhan otak anak ditentukan oleh bagaimana cara orangtua mengasuh dan
memberi makan serta menstimulasi anak pada usia dini. Namun stimulasi
psikososial untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan anak tidak akan
bermanfaat bagi masa depan anak jika derajat kesehatan dan gizi anak pada
kondisi yang tidak baik. Keadaan gizi pada usia dini yang terus dipertahankan
secara optimal sampai anak usia sekolah, akan berpengaruh besar pada
perkembangan otak (Jalal F 2003).
Banyak penelitian yang menilai dampak defisiensi gizimikro pada
perkembangan anak merupakan pengaruh langsung, kemungkinan melalui
perubahan anatomi syaraf atau neurotransmission.
Namun demikian, ada
kemungkinan lain bahwa perubahan perilaku berhubungan dengan defisiensi
gizimikro disamping perawatan anak, sehingga mempengaruhi perkembangan
anak dimasa selanjutnya (Black 2003). Faktor yang berpengaruh terhadap sintesis
neurotransmitter di dalam syaraf antara lain keberadaan prekursor dan enzimenzim.
Prekursor tersebut tidak dapat disintesis oleh otak sehingga harus
diperoleh dari sirkulasi darah. Kadar prekursor dalam plasma darah
secara
normal berfluktuasi tergantung pada asupan makanan dan daya serap
(bioavailabilitas). Pada kondisi normal, peningkatan konsumsi makanan yang
mengandung prekursor akan menstimulasi pembentukan neurotransmitter.
Namun laju prekursor memasuki otak bervariasi sesuai dengan konsentrasinya
dalam plasma (Kanarek dan Mark-Kaufman 1991). Selanjutnya dikatakan bahwa
sejumlah vitamin juga mempunyai peranan yang penting dalam mendukung
fungsi syaraf pusat dan perkembangan manusia. Vitamin ini meliputi tiamin,
niasin, piridoksin, cobalamin (vitamin B12), dan asam folat, yang sudah banyak
dibuktikan melalui penelitian terhadap hewan percobaan.
Hubungan antara zat gizi dengan fungsi kognitif merupakan topik
kesehatan masyarakat yang menarik untuk dibicarakan pada saat ini, terutama zatzat gizimikro. Vitamin B12, vitamin B6 dan asam folat mempengaruhi fungsi
kognitif terutama melalui perannya sebagai kofaktor dalam pembentukan dan
pemeliharaan sistem syaraf pusat (Bryan J et al
2002) melalui dua proses
mekanisme. Pertama, disebut hipotesis hypomethyllation bahwa vitamin B secara
langsung mempengaruhi penghambatan penyediaan methyl yang diperlukan pada
reaksi-reaksi komponen sistem syaraf pusat seperti protein, pospolipid, DNA;
metabolisme neurotransmitter seperti monoamin (depamin, norepineprin, dan
serotonin), melatonin, yang berperan penting untuk status neurologi dan psikologi.
Kedua, hipotesis homosyistein, bahwa asam folat, vitamin B6 dan vitamin B12
secara tidak langsung dan mungkin dalam waktu yang lama berpengaruh pada
otak melalui cerebrovasculature, dan berfungsi memelihara integritas sistem
syaraf pusat melalui perannya dalam mencegah penyakit vasculer, yang sangat
penting dalam fungsi kognitif.
Beberapa penelitian yang menunjukkan hubungan antara defisiensi
vitamin B12 dengan penurunan fungsi kognitif pada subyek kelompok dewasa
dan usia lanjut telah banyak dilakukan. Hasil penelitian Bryan J et al (2002) di
Australia menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dari supelemen
vitamin B12, vitamin B6 dan asam folat terhadap kemampuan memori yang
diukur melalui kecepatan pemerosesan, kemampuan mengingat dan mengenal
serta kemampuan verbal. Sedangkan penelitian Lewerin C et al (2005) pada
kelompok lanjut usia di swedia, menunjukkan bahwa plasma homosistein dan
serum Methyl Malonic Acid (MMA) yang tinggi berkorelasi terbalik dengan
kemampuan kognitif dan kemampuan bergerak. Pemberian vitamin B12 secara
oral dapat menormalkan kadar plasma homosistein dan serum MMA, walaupun
tidak berpengaruh pada kemampuan kognitif dan kemampuan bergerak. Hal ini
kemungkinan disebabkan penurunan fungsi kognitif saat kekurangan vitamin
tidak dapat dikembalikan (irreversible) atau mungkin dosis dan lama pemberian
yang kurang tepat. Penelitian lain oleh Ellen MW et al (2002) dari pusat
penelitian kedokteran University of Pittsburgh, mengemukakan bahwa subyek
dengan level vitamin B12 yang rendah secara signifikan mempunyai skor kognitif
yang lebih rendah dan skor demensia yang lebih tinggi dibandingkan subyek yang
mempunyai level vitamin B12 normal.
Selain berkaitan dengan defisiensi vitamin B12, penurunan fungsi kognitf
sering juga dihubungkan dengan zat gizi lain seperti asam folat yang merupakan
komponen penting dalam pembentukan hemoglobin disamping zat gizi lain.
Quadri P et al (2004) mengemukakan bahwa defisiensi folat dapat mendahului
terjadinya
Alzheimer
Disease
(AD)
dan
Vascular
Dementia
(VaD).
Hiperhomosisteinemia atau tingginya kadar homosistein dalam darah juga
merupakan faktor risiko awal terjadinya penurunan kognitif pada lanjut usia,
walaupun perannya dalam demensia masih belum jelas sehingga masih diperlukan
studi longitudinal. Morris MS et al (2007) dalam penelitiannya pada kelompok
usia lanjut di Amerika menemukan bahwa
status vitamin B12 yang rendah
berhubungan dengan anemia dan penurunan fungsi kognitif walaupun serum folat
tinggi. Selanjutnya dikatakan bahwa bila status vitamin B12 normal dan
konsentrasi folat tetap tinggi akan dapat mencegah penurunan fungsi kognitif. Hal
ini menunjukkan vitamin B12 berkaitan dengan fungsi kognitif. Hasil penelitian
Mooijaart SP et al (2005) menunjukkan peningkatan serum homosistein dan
penurunan asam folat dihubungkan dengan penurunan kognitif pada lanjut usia,
tetapi tidak dapat diprediksi besarnya penurunan kognitif tersebut.
Namun
demikian penelitian lain oleh Eussen SJ et al (2006) menemukan bahwa
suplementasi oral dengan vitamin B12 atau dikombinasi dengan asam folat selama
24 minggu pada lanjut usia tidak dapat memperbaiki fungsi kognitif. Hal ini
menunjukkan bahwa penurunan fungsi kognitif sulit dikembalikan menjadi
kondisi normal, sehingga yang paling baik dilakukan adalah pencegahan agar
tidak terjadi penurunan fungsi kognitif.
Hubungan antara defisiensi vitamin B12 dengan fungsi kognitif pada
anak-anak juga menjadi topik bahasan yang cukup menarik walaupun masih
terbatas. Studi kasus anemia bayi dan ibu ( yang tidak mampu menyerap vitamin
B12) atau ibu vegetarian.
Bayinya akan berisiko untuk terhambatnya
perkembangan – milestones. Studi observasi anak-anak yang defisiensi vitamin
B12 dari ibu yang hanya mengkonsumsi pangan nabati di Belanda mengalami
hambatan perkembangan motorik dan bahasa dibandingkan dengan bayi dari ibu
yang mengkonsumsi pangan nabati dan hewani. Pada usia 12 tahun, anak-anak
dari ibu yang makan pangan nabati mempunyai tingkat ‘methilmalonic acid’ lebih
tinggi dan skor yang lebih rendah pada penilaian kognitif (termasuk Raven’s
progressive matrices, Digit Span dan Block Design) dibandingkan anak-anak dari
ibu yang mengkonsumsi pangan nabati dan hewani (Black 2003).
Penelitian Kustiyah (2004) terhadap murid sekolah dasar kelas empat, lima
dan enam di kabupaten Bogor, tentang pengaruh pemberian makanan kudapan
terhadap perubahan kadar glukosa darah, hemoglobin dan daya ingat anak. Daya
ingat anak diukur dengan metode mengingat kata dan gambar. Dari penelitian
tersebut diperoleh hasil bahwa pemberian makanan kudapan berpengaruh positif
nyata terhadap kadar glukosa darah. Sedangkan konsumsi protein dan zat besi
berpengaruh positif terhadap kadar hemoglobin. Dengan mengontrol variabel
konsumsi karbohidrat, konsumsi protein dan kadar hemoglobin, kadar glukosa
darah berpengaruh positif sangat nyata
terhadap daya ingat anak terhadap
gambar. Sedangkan daya ingat terhadap kata dipengaruhi secara nyata oleh kadar
hemoglobin dan konsumsi energi.
Sungtthong R et al (2002) dalam studinya pada anak-anak sekolah di
Thailand menemukan bahwa terjadi peningkatan fungsi kognitif sejalan dengan
meningkatnya kadar hemoglobin pada anak yang mengalami defisiensi besi, akan
tetapi tidak terjadi perubahan kadar hemoglobin pada anak-anak yang mempunyai
serum ferritin normal. Anak-anak dengan anemia defisiensi besi mempunyai
fungsi kognitif yang rendah (IQ point dibawah rata-rata), sedangkan anak-anak
yang tidak mengalami defisiensi besi dan kadar hemoglobinnya normal
mempunyai fungsi kognitif yang lebih baik (IQ point diatas rata-rata).
Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan, berikut ini pada Tabel 5 dapat
dilihat beberapa penelitian yang berkaitan dengan vitamin B12 dengan berbagai
disain dan subyek penelitian.
Tabel 5 Beberapa hasil studi tentang defisiensi vitamin B12 dengan berbagai
disain penelitian
No
Sumber
1
Eussen
SJ et al
2006
2
Hin H et
al
2006
Tempat/
negara
Belanda
Inggris
3
Eussen
SJ et al
2005
Belanda
4
Dhonuk
sheRutten
RAM et
al 2005
Belanda
Disain, subyek
Intervensi
Hasil/kesimpulan
Double blind
placebo
controlled trial,
195 orang usia
lanjut (≥ 70
tahun)
Suplemen kapsul
- 1000 μg vitamin
B12
- 1000 μg vitamin
B12 + 400 μg
asam folat
- selama 24
minggu
- Suplemen vitamin
B12 atau kombinasi
dengan asam folat
dapat memperbaiki
status defisiensi
vitamin B12 tetapi
tidak memperbaiki
fungsi kognitif
Cross sectional
study dilanjutkan
intervensi 3
bulan, 1000
orang usia lanjut
(≥ 75 tahun)
Khusus yang
mempunyai serum
vitamin B12 < 133
pmol/L diberi
suplemen 1000 μg
intramuscular/
bulan selama 3
bulan
-
Randimized
parallel group
double blind
dose finding trial,
120 orang usia
lanjut
Two double blind
randomized
controlled
intervention
study, usia lanjut
yang defisiensi
vitamin B12
ringan (≥ 70
tahun)
Suplemen vitamin
B12 secra oral,
dosis 2.5, 100,
250, 500, 1000 μg
selama 16 minggu
- Dosis yang paling
rendah dapat
menormalkan
kondisi defisiensi
vitamin B12 ringan
-
Susu fortifikasi
vit B12 1000
μg/125 ml /hari
Kapsul vitamin
B12 1000 μg/hr
Selama 12
minggu
5
Tucker
KL et al
2004
Am
eri
ka
Se
rik
at
Randomized
double blind trial
189 orang usia
50-85 tahun
Intervensi 1 cangkir
sarapan sereal
yang difortifikasi
dengan 440
μgasam folat, 1.8
mg vitamin B6 dan
4.8 μg vitamin B12
selama 14 minggu
6
Siekma
nn JH et
al 2003
Kenya
Eksperimen:
studi efek
pangan hewani
secara random
menurut sekolah,
555 anak
sekolah (5-14
tahun)
Makanan
tambahan
- daging sapi 6085 g/hr
- susu 200-250
ml/hr
- Suplemen energi
- selama 1 tahun
7
Lewerin
C et al
Swedia
Placebocontrolled
Kapsul berisi 0.5
μg vitamn B12 +
-
13 persen partisipan
menpunyai kadar
vitamin B12 rendah
Intervensi 3 bulan
dapat memperbiki
status biokimia
vitamin B12 namun
tidak memperbaiki
kondisi klinis
- Pemberian vitamin
B12 melalui susu
merupakan alternatif
yang efektif
pengganti kapsul
untuk memperbaiki
status vitamin B12
Proporsi defisisensi
vitamin B12 turun
dari 9 % menjadi 3
%
- Rata-rata vitamin
B12 plasma
meningkat 401±13
menjadi 480±18
pg/mL
- Pemberian daging
dan susu selama 1
tahun dapat
menurunkan
prevalensi defisiensi
vitamin B12
-
-
64 % mempunyai
total homocyctei
2000
randomized
study
0.8 μg asam folat +
3 mg vitamin B6
Diberikan selama 4
bulan
-
8
9
Rustan
E dkk
2001
Kartika
V dkk
1998
Indonesia
Indonesia
Randomised
clinical trial with
double blinded
placebo
controlled study
74 ibu hamil
anemia
Suplemen kapsul
200 mg ferrosus
sulfat dan 0.25 mg
asam folat
Eksperimental
study
155 WUS yang
anemia
suplementasi pil
besi + folat +
vitamin B12
-
-
-
-
yang tinggi dan 11
% mempunyai
konsentrasi MMA
yang tinggi
Pemberian vitamin
B dapat
menormalkan kadar
homocyctein dan
MMA namun tidak
mempebaiki fungsi
kognitif
Kadar homosistein
awal penelitian tidak
menunjukkan
indikasi defisiensi
folat dan vitamin B12
Dosis 250 mg folat
optimal untuk
menurunkan kadar
homosistein plasma
Intervensi pil besi +
asam folat + vit B12
paling baik untuk
menurunkan anemia
sekalipun pola
konsumsi yang
rendah
Alternatif lain adalah
pil besi + vitamin
B12.
10
Clarke
R et al
2007
Inggris
Cohort study
1993-2003, 1648
orang
-
status vitamin B12
yang rendah
berhubungan
dengan penurunan
kognitif
11
Hoey L
et al
2007
Inggris
Cross sectional
study,
662 orang
dewasa
-
Fortifikasi pangan
secara sukarela
berhubungan
dengan peningkatan
intik pangan dan
status biomarker
folat serta
metabolisme vitamin
B12 dan
menguntungkan
bagi kesehatan
12
Morris
MS et al
2007
Boston
Amerika
Cross sectional
study,
1458 orang
umur ≥ 65 tahun
- Status vitamin B12
yang rendah
berhubungan
dengan anemia dan
penurunan fungsi
kognitif walaupun
serum folat tinggi
- Bila status vitamin
B12 normal dan folat
tinggi akan dapat
mencegah
penurunan fungsi
kognitif
13
Bor MV
et al
2006
Denmark
Cross sectional
study
Wanita
postmenopause
(41-75 tahun)
-
14
Clarke
R et al
2004
Inggris
Cross sectional
study,
3511 orang usia
lanjut ≥ 65 tahun
- prevalensi defisiensi
vitamin B12
meningkat dengan
bertambahnya umur
- defisiensi vitamin
B12 ditemukan pada
1 dari 20 orang yang
berumur 65-74 tahun
dan 1 dari 10 orang
yang berumur ≥75
tahun
15
Quadri
P et al
2004
Itali
Cross sectional
study
228 usia lanjut
-
-
Intik 6 μg perlu
untuk memperbaiki
semua ukuran
variabel vitamin B12
pada wanita
postmenopause
konsentrasi folat
yang rendah
berhubungan
dengan gangguan
kognitif
Hcy yang tinggi
merupakan risiko
awal terjadinya
gangguan kognitif
- 33 persen defisiensi
vitamin B12 (11 %
vitamin B12 plasma
rendah dan 22 %
vitamin B12 plasma
marjinal)
16
Rogers
LM et al
2003
Guatemal
a
Cross sectional
study, 553 anak
sekolah (8-12
tahun)
17
Clarke
R et al
2003
Inggris
Cross sectional
study
1562 orang usia
lanjut ≥ 65 tahun
- Prevalensi defisiensi
vitamin B12 10 %
pada usia 65-74
tahun dan 20 %
pada usia ≥ 75
tahun
18
Monsen
AB et al
2003
Norwegia
Cross sectional
study
700 anak umur 4
hari – 19 tahun
-
19
Hao
Ling et
al
2003
China
Cross sectional
study
2407 orang
dewasa (35-64
tahun)
- Prevalensi defisiensi
vitamin B12 11 % di
China selatan dan
39 % di China Utara
- Defisiensi vitamin
B12 dan folat 17 %
Pada bayi umur 6
minggu - 6 bulan
konsentrasi Hcy dan
MMA lebih tinggi
dari kelompok umur
lain
di China utara dan 1
% di China selatan
- prevalensi vitamin
B12 lebih tinggi pada
wanita dibanding
pria
- defisiensi vitamin
B12 berhubungan
dengan intik pangan
hewani yang rendah
terutama ikan dan
produk susu
20
Kwan
LL et al
2002
Amerika
Serikat
Cross sectional
study
449 orang
Hispanic dan 154
orang
nonHispanic
umur 60-93
tahun
-
-
Prevalensi defisiensi
vitamin B12 17 %
pada Hispanic dan
10 % pada
nonHispanic
Prevalensi yang
tinggi pada usia
lanjut Hispanic
berhubungan
dengan
ketidakcukupan intik
vitamin B12
21
Sungtth
ong R et
al 2002
Thailand
Cross sectional
study
427 anak
sekolah
-
Fungsi kognitif
meningkat dengan
meningkatnya kadar
Hb pada anak-anak
yang defisiensi besi
22
Shibly
UF
1999
Indonesia
Cross sectional
study
70 orang
penderita PJK
36 orang
nonpenderita
PJK
-
Defisiensi vitamin
B12 masing-masing
30 % pada penderita
PJK dan
nonpenderita PJK
23
Tucker
KL et al
2000
Amerika
Serikat
Cross sectional
study
2999 orang
dewasa umur ≥
26 tahun
-
39 % plasma vitamin
B12 < 350 pg/mL 17
% plasma vitamin
B12 < 250 pg/mL 9
% plasma vitamin
B12 < 200 pg.mL
Plasma vitamin B12
berhubungan
dengan intik vitamin
B12
Penggunaan
suplemen, sereal
fortifikasi dan susu
dapat mencegah
penurunan
konsentrasi vitamin
B12
-
-
24
Martoat
modjo S
dkk
1973
Indonesia
Cross sectinal
study
- 217 wanita
hamil triwulan
II dan III
-
Kekurangan vitamin
B12 pada wanita
hamil di Jawa barat
28 % dan 7 % di
Jawa tengah
Download