PENDAHULUAN Latar Belakang Usia prasekolah adalah bagian dari periode usia dini yang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan pesat dalam siklus kehidupan dan turut menentukan kualitas manusia. Pembangunan sumberdaya manusia perlu diarahkan untuk membangun manusia berkualitas baik dari aspek fisik maupun aspek rohani secara seimbang. Aspek fisik dapat digambarkan melalui kondisi kesehatan, kekuatan dan ketahanan jasmani sehingga memungkinkan seseorang bisa hidup sehat, aktif, dan produktif (Syarief H 1997). Oleh karena itu perhatian terhadap aspek kesehatan, gizi dan pendidikan pada anak merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam upaya menciptakan manusia yang berkualitas. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam pendidikan adalah keadaan kesehatan dan gizi anak. Keadaan gizi pada usia dini yang terus dipertahankan secara optimal sampai anak usia sekolah, akan berpengaruh besar pada perkembangan otak. Menurut Jalal F (2003) gizi yang tidak seimbang serta derajat kesehatan anak yang rendah akan menghambat pertumbuhan otak, dan pada gilirannya akan menurunkan kemampuan otak dalam mencatat, menyerap, menyimpan, memproduksi dan merekonstruksi informasi. Disisi lain dikatakan bahwa pertumbuhan otak anak ditentukan oleh bagaimana cara orangtua mengasuh dan memberi makan serta menstimulasi anak pada usia dini. Namun demikian stimulasi psikososial untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan anak tidak akan bermanfaat bagi masa depan anak jika derajat kesehatan dan gizi anak pada kondisi yang tidak baik. Gutama (2004) mengemukakan bahwa pada usia prasekolah anak masih mengalami kemajuan yang luar biasa sebagaimana usia sebelumnya, baik dalam hal fisik, emosional maupun sosial sehingga anak sangat berpotensi untuk belajar apa saja. Selanjutnya dikatakan bahwa hasil penelitian di bidang neurologi, psikologi, fisiologi dan gizi menunjukkan separuh perkembangan kognitif berlangsung dalam kurun waktu antara konsepsi sampai usia 4 tahun, dan 30 % berlangsung pada usia 4-8 tahun. Sehingga pada periode ini anak sangat memerlukan gizi yang memadai agar kapasitas otak yang terbentuk dapat maksimum. Sampai saat ini masih banyak ditemukan masalah gizi pada anak-anak baik masalah gizi mikro maupun masalah gizi makro. Prevalensi anemia pada anak balita 47.0 %, kekurangan vitamin A subklinis yang ditandai dengan serum retinol < 20 mcg/dL 50 % anak balita (Depkes 2005). Kasus defisiensi vitamin B12 khususnya pada anak-anak di Indonesia belum ada dilaporkan, namun dari beberapa penelitian di negara lain prevalensi defisiensi vitamin B12 cukup tinggi pada anak-anak. Penelitian di Kenya menunjukkan bahwa 80,7 % anak usia sekolah (5 sampai 14 tahun) mengalami defisiensi vitamin B12 tingkat berat dan sedang (Siekmann JH et al. 2003) dan di Guatemala terdapat 33 % anak usia 8-12 tahun yang mengalami defisiensi vitamin B12 (Rogers LM et al 2003). Sementara pada kelompok dewasa dan usia lanjut sudah ada dilaporkan walaupun juga masih terbatas. Penelitian Shibly UF (1999) dari Bagian Kardiologi Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta) menunjukkan bahwa terdapat 30 % defisiensi vitamin B12 pada penderita PJK (Penyakit Jantung Koroner) dan 30 % pada non penderita PJK. Martoatmodjo S dkk (1973) menemukan 28 % ibu hamil mengalami kekurangan vitamin B12 di daerah dengan pola makan beras (Jawa Barat) dan 7 % pada ibu hamil di daerah dengan pola makan gaplek dan beras (Jawa Tengah). Disamping masalah gizi mikro, masalah gizi makro juga masih tetap menjadi permasalahan gizi anak balita di Indonesia. Prevalensi gizi kurang (underweight) terus mengalami kenaikan dari 24 % tahun 2000 menjadi 26,1 %, 27,3 % dan 27,5 % pada tahun 2001, 2002 dan 2003 (Depkes 2004) dan 28 % tahun 2005 (Atmarita 2006). Defisiensi vitamin B12 berhubungan dengan fungsi kognitif yang diduga melalui fungsinya sebagai kofaktor dalam metabolisme zat-zat gizi yang berperan dalam sistem syaraf pusat dan pembentukan sel-sel darah merah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa status vitamin B12 yang rendah berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif (Bryan J et al 2002; Black 2003; Morris MS et al 2007). Selain itu beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pada keadaan defisiensi vitamin B12 pemberian intervensi dengan vitamin B12 dapat memperbaiki status vitamin B12 (Eussen SJ et al 2006; Hin H et al 2006; Dhonukshe-Rutten RAM et al 2005; Siekmann JH et al 2003), sementara pengaruhnya terhadap perbaikan fungsi kognitif masih belum konsisten. Vitamin B12 juga berkaitan erat dengan proses perpindahan neurotransmitter melalui perannya dalam metabolisme asam lemak esensial untuk pemeliharaan myelin syaraf. Defisiensi vitamin B12 dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan sistem syaraf yang tidak dapat diperbaiki dan akhirnya dapat menyebabkan kematian sel-sel syaraf (http://www.parhealth.com/druginfo). Vitamin B12 umumnya ditemukan dalam pangan hewani seperti daging, susu, dan telur, sehingga diperkirakan anak yang jarang makan makanan tersebut akan mengalami defisiensi vitamin B12. Sumber pangan hewani umumnya relatif lebih mahal dibandingkan dengan pangan nabati, sehingga diperkirakan konsumsi pangan hewani sedikit pada keluarga dengan ekonomi rendah. Tempe sebagai bahan pangan hasil fermentasi dari kedele juga merupakan sumber vitamin B12 yang potensial dan mengandung sekitar 1.5 mikrogram per 100 gram tempe kering (http://www.tempeh.info/), atau sekitar 0.36 mikrogram per 100 gram tempe mentah. Namun konsumsi tempe masih cukup rendah yaitu rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 6,45 kg atau sekitar 17 gram per orang per hari, selain itu bioavailabilitasnya juga masih belum diketahui secara pasti. Menurut Hardinsyah (2001) sebagian besar anak di Indonesia masih mempunyai masalah ketidakcukupan gizi terutama zat-zat gizi mikro. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1997 menunjukkan bahwa hanya setengah dari jumlah anak Indonesia yang memperoleh pangan hewani, bahkan semakin tua umur anak semakin sedikit persentase yang memperoleh pangan hewani. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak sejak usia dini sudah mempunyai resiko kekurangan gizi mikro yang akhirnya berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Bila anak mendapat ASI (Air Susu Ibu) sampai usia 2 tahun kemungkinan zat-zat gizi mikro akan tercukupi bahkan dapat disimpan sebagai cadangan bila ibu dalam kondisi gizi baik. Pada usia pada 4 tahun diperkirakan cadangan gizi mulai berkurang sementara asupan dari makanan tidak mencukupi, oleh karena itu anak-anak usia ini berisiko mengalami kekurangan gizi. Sampai saat ini penelitian tentang vitamin B12 di Indonesia masih sangat terbatas, dan mengingat vitamin B12 cukup besar perannya dalam perkembangan kognitif, diperlukan kajian-kajian yang lebih mendalam dan bersifat eksperimental tentang defisiensi vitamin B12 dan faktor resikonya serta pengaruhnya terhadap fungsi kognitif. Tujuan Tujuan Umum : Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis masalah defisiensi vitamin B12 dan faktor resikonya, dan pengaruh suplementasi vitamin B12 terhadap vitamin B12 serum, hemoglobin serta dampaknya terhadap daya ingat anak prasekolah Tujuan Khusus : 1. Menganalisis masalah defisiensi vitamin B12 serta faktor risiko terjadinya defisiensi vitamin B12 pada anak prasekolah 2. Menganalisis pengaruh pemberian suplemen vitamin B12 terhadap serum vitamin B12 pada anak prasekolah 3. Menganalisis pengaruh pemberian suplemen vitamin B12 terhadap kadar hemoglobin pada anak prasekolah 4. Menganalisis pengaruh pemberian suplemen vitamin B12 terhadap daya ingat anak prasekolah Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan masalah defisiensi vitamin B12 khususnya pada anak-anak di Indonesia, dan menghasilkan suatu bentuk pendekatan yang praktis bagi program perbaikan gizi untuk melengkapi program pemerintah melalui Departemen terkait, pemerintah daerah serta keterlibatan sektor swasta dalam upaya memperbaiki status gizi mikro dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak usia prasekolah. Hipotesis Hipotesis 1 : Peningkatan serum vitamin B12 pada kelompok intervensi lebih besar dibanding pada kelompok kontrol. Hipotesis 2 : Peningkatan kadar hemoglobin pada kelompok intervensi lebih besar dibanding pada kelompok kontrol Hipotesis 3 : Peningkatan skor daya ingat anak pada kelompok intervensi lebih besar dibanding pada kelompok kontrol Hipotesis 4 : Pemberian suplemen vitamin B12 berpengaruh positif dan signifikan pada daya ingat anak prasekolah TINJAUAN PUSTAKA Biokimia dan Fungsi Vitamin B12 Vitamin B12 termasuk vitamin yang larut dalam air, merupakan bagian terbesar dari vitamin B komplek, dengan berat molekul lebih dari 1000. Vitamin B12 mempunyai struktur kimia yang besar dan sangat komplek dibandingkan vitamin lainnya. Vitamin B12 ini termasuk unik diantara vitamin lain karena mengandung ion logam yaitu cobalt. Untuk alasan ini cobalamin adalah istilah yang digunakan untuk merujuk senyawa yang mempunyai aktivitas vitamin B12. Nama yang lebih spesifik untuk vitamin B12 adalah cobalamin. Vitamin B12 terdiri dari cincin corrin (corrin ring) yang terbuat dari 4 “pyrroles” dengan atom cobalt pada pusat cincin (Gambar 1). Vitamin B12 merupakan kristal berwarna merah, tahan panas, rusak diatas temperatur 2100 C, dan tidak tahan sinar ultra violet (FAO/WHO2001; Coleman http://www.vegan-straight-edge.org.uk/) Gambar 1 Struktur Vitamin B12 (cobalamin) (Coleman http://www.vegan-straight-edge.org.uk/) Bentuk umum dari vitamin B12 adalah cyanocobalamin (CN-Cbl), keberadaannya dalam tubuh sangat sedikit dan jumlahnya tidak tentu. Selain cyanocobalamin di alam ada 2 bentuk lain dari vitamin B12; yaitu hydroxycobalamin dan aquacobalamin, dimana hydroxyl dan air masing-masing terikat pada cobal. Bentuk sintetis (buatan) vitamin B12 yang terdapat dalam suplemen dan pangan fortifikasi adalah cyanocobalamin, dimana sianida terikat pada logam kobal. Ketiga bentuk vitamin B12 ini diaktifkan secara enzimatik menjadi methylcobalamin (MetCbl) dan adenosylcobalamin (AdeCbl) (FAO/WHO 2001; Higdon J 2003). Pada kondisi kekurangan gizi, enzim dalam tubuh akan terganggu bahkan ada yang rusak, yang menyebabkan penurunan kemampuan tubuh cyanocobalamin. untuk mensintesis bentuk aktif vitamin B12 dari Sebagian besar vitamin B12 disimpan dalam hati sebagai 5-deoxydenosylcobalamin (65-70 %), hydroxycobalamin (20-30 %), dan methylcobalamin (1-5%). Bentuk dominan dalam plasma adalah methylcobalamin dengan kadar normal 135 - 425 pmol/L (Sauberlich HE 1999). Vitamin B12 berperan sebagai koenzim yang dibutuhkan beberapa reaksi biologis penting. Koenzim tersebut ada dua yaitu methylcobalamin yang terdapat dalam plasma, dan 5-deoxyadenosyl-cobalamin yang ditemukan dalam hati, sebagian besar jaringan tubuh, dan makanan (Gibson 2005). Di dalam tubuh vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk dua reaksi enzim. Pertama, vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk enzim L-methilmalonyl-CoA mutase. Enzim L-methilmalonyl-CoA mutase membutuhkan adenosylcobalamin untuk mengubah L-methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA (Gambar 2). Reaksi biokimia yang menghasilkan succinyl-CoA ini berperan penting dalam produksi energi dari lemak dan protein. Succinyl CoA juga diperlukan untuk sintesis hemoglobin yang merupakan pigmen pada sel darah merah sebagai pembawa oksigen keseluruh jaringan tubuh. Bila terjadi defisiensi vitamin B12, L-methylmalonyl-CoA tidak dapat dirubah menjadi succinyl-CoA sehingga terakumulasi dan akhirnya dipecah menjadi methylmalonic acid methylmalonic acid oleh suatu enzim hydrolase. Keberadaan dalam darah atau yang dikeluarkan melalui urin dapat merupakan indikator terjadinya kekurangan vitamin B12 (Gibson 2005; Carmel R 2006; Herbert V 1996). Gambar 2 Peran vitamin B12 dalam metabolisme L-methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA (Stabler SP et al 1997) Peran yang kedua dari vitamin B12 sebagai kofaktor untuk enzim methyonine synthase. Enzim ini membutuhkan methylcobalamin dan tergantung pada folat untuk mensintesis asam amino methyonine dari homocysteine. Methyonin dibutuhkan untuk sintesis S-adenosylmethionine suatu kelompok donor methyl yang berguna dalam reaksi biologi methylation, termasuk methylation DNA dan RNA (Gambar 3). Bila reaksi ini rusak akan mempengaruhi pembentukan DNA yang akhirnya dapat menyebabkan anemia macrocytic megaloblastic (Sauberlich HE 1999; Herbert V 1996; Carmel R 2006). Selain itu methylation DNA diperlukan untuk mencegah kanker. Oleh karena itu bila fungsi methionine synthase terganggu dapat menyebabkan penumpukan homocysteine yang dihubungkan dengan peningkatan risiko cardiovasculer. Vitamin B12 dibutuhkan untuk penyerapan folat, penyimpanan dan aktivasi untuk bentuk koenzim. Jadi vitamin B12 bekerja secara bersama dengan folat untuk mendukung replikasi seluler. Kekurangan salah satu vitamin ini dapat mempengaruhi fungsi keduanya. Peran yang unik juga ditemukan dari vitamin B12 yaitu dalam pembentukan myelin, suatu lapisan yang melindungi serat-serat syaraf. Kerusakan neurologi berhubungan dengan defisiensi vitamin B12 yang dapat terjadi tanpa dipengaruhi oleh kecukupan intake asam folat (http//www.northwestern.edu). Gambar 3 Peran vitamin B12 dalam metabolisme homocysteine menjadi methionine (Stabler SP et al 1997) Fungsi utama vitamin B12 adalah dalam pembentukan sel-sel darah merah dan pemeliharaan kesehatan sistem syaraf. Vitamin B12 penting untuk sistesis DNA dengan cepat selama pembelahan sel pada jaringan dimana pembelahan sel berlangsung cepat, terutama jaringan sum-sum tulang yang bertanggungjawab untuk pembentukan sel darah merah (Sauberlich HE 1999). Vitamin B12 berperan dalam berbagai reaksi seluler, dan mempunyai fungsi penting dalam metabolisme asam folat. Vitamin B12 diperlukan untuk merubah koenzim folat menjadi bentuk aktif yang dibutuhkan dalam reaksi-reaksi metabolisme penting seperti sintesis DNA. Tanpa vitamin B12 reaksi-reaksi yang membutuhkan bentuk aktif folat tidak akan terjadi dalam sel. Jadi, defisiensi vitamin B12 juga berperan dalam terjadinya defisiensi folat. Jika terjadi defisiensi vitamin B12, pembentukan DNA berkurang dan sel-sel darah merah tidak normal, disebut dengan kejadian megaloblas yang akhirnya menjadi anemia. Gejalanya meliputi keletihan, sesak nafas, kelesuan, pucat serta penurunan kekebalan tubuh terhadap infeksi. Gejala lain berupa penurunan rasa (untuk makanan), luka pada lidah, dan gangguan menstruasi (Wardlaw et al 1992). Fungsi vitamin B12 dalam pemeliharaan sistem syaraf dapat dijelaskan melalui perannya yang cukup penting dalam metabolisme asam lemak esensial untuk pemeliharaan myelin. Syaraf dikelilingi lapisan lemak dibungkus oleh kompleks protein yang disebut myelin. Komposisi myelin terdiri dari sekitar 80 % lipid dan 20 % protein. Defisiensi vitamin B12 dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan sistem syaraf yang tidak dapat diperbaiki dan kemungkinan dapat menyebabkan kematian sel-sel syaraf (Dhopeshwarkar 1983; http://www.parhealth.com/druginfo). Penelitian Pfeifer dan Lewis tahun 1979 yang mempelajari pengaruh pemberian diet rendah vitamin B12 pada tikus selama 20 minggu, mengungkapkan bahwa ketiadaan vitamin B12 dapat mengganggu perubahan linoleat menjadi PUFA rantai panjang (20:4ω6 dan 22:5ω6). Penelitian lain menunjukkan bahwa kelainan genetik menyebabkan kerusakan transformasi vitamin B12 menjadi bentuk koenzim yang dilaporkan dari kematian seorang bayi berumur 2 tahun, dan terjadi retardasi mental yang berat pada anak perempuan yang meninggal pada usia 7 tahun (Dhopeshwarkar 1983). Konsentrasi methionin yang rendah dapat terjadi bila vitamin B12 tidak ada. Perubahan konsentrasi ini akan menyebabkan berkurangnya aliran asam amino untuk pembentukan protein di otak. Hipotesis ini didukung oleh Gandy et al pada tahun 1973 melalui penelitiannya dengan memberikan “1-aminocyclopentane carboxyc acid” (yang dapat mengganggu reaksi homocystein menjadi methionin) pada tikus. Penelitian tersebut menunjukkan ketidaknormalan fungsi syaraf yang ditandai dengan kehilangan rasa, lumpuh, dan “demyelination spinal cord” (Dhopeshwarkar 1983). Dari beberapa kasus tersebut Dhopeshwarkar menyimpulkan bahwa defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan kerusakan sistem syaraf pusat. Kerusakan tersebut meliputi pembentukan myelin yang tidak sempurna mulai dari sistem syaraf peripheral dan akhirnya pada sistem syaraf pusat. Absorbsi Vitamin B12 Penyerapan vitamin B12 dalam tubuh manusia termasuk unik diantara vitamin-vitamin lainnya. Penyerapan vitamin B12 berlangsung secara spesifik di ileum dan tergantung pada intrinsic factor (IF) suatu jenis protein yang diproduksi oleh sel-sel asam lambung dan berperan sebagai reseptor vitamin B12 (Wardlaw et al 1992; Herbert V V 1996; WHO 2001; Robert C & Brown DL 2003; Carmel R 2006). Setelah makanan masuk melalui mulut sampai ke lambung, vitamin B12 dalam pangan dipisahkan dari bahan-bahan lain oleh pepsin lambung yang aktifitasnya optimal pada pH asam lambung yang normal. Kemudian vitamin B12 berikatan dengan suatu protein yang disebut R-protein yang diproduksi oleh kelenjar saliva dalam mulut (Gambar 4). Gambar 4 Absorbsi vitamin B12 dalam saluran pencernaan (Carmel R 2006) Ikatan R-protein-vitamin B12 masuk ke dalam usus halus dan di usus halus Rprotein dipisahkan dengan vitamin B12 oleh enzim tripsin yang dikeluarkan oleh pankreas. Dalam usus halus vitamin B12 bebas kembali, kemudian berikatan dengan intrinsic factor. Hasil ikatan intrinsic factor dengan vitamin B12 masuk ke bagian akhir usus halus yang disebut ileum. Sel-sel ileum menyerap vitamin B12 dan mentransfernya kedalam darah yang selanjutnya berikatan dengan transport protein yang dikenal sebagai transkobalamin. Proses penyerapan vitamin B12 secara normal melalui ikatan vitamin B12 dengan intrinsic factor diperkirakan 30-70 % dapat diserap tergantung pada kebutuhan tubuh. Kegagalan penyerapan melalui sistem ini vitamin B12 masih dapat diserap secara pasif melalui proses difusi namun hanya sekitar 1-2 % dari vitamin B12 yang ada dalam makanan. Penyerapan vitamin B12 dapat terganggu misalnya karena pembentukan intrinsic factor yang tidak efisien, defisiensi sintesis R-protein secara genetik, atau adanya infestasi cacing (Robert C & Brown DL 2003). Bila terjadi defisiensi vitamin B12 biasanya diperlukan suplemen melalui oral atau injeksi vitamin B12 yang langsung dapat diserap. Tabel 1 menggambarkan jumlah atau persentase vitamin B12 yang diserap secara aktif (melalui sistem intrinsic factor) dan secara pasif (tanpa intrinsic factor) dari pemberian berbagai dosis. Availabilitas vitamin B12 tergantung pada berapa banyak vitamin B12 yang dipisahkan dari pangan oleh pepsin dan enzim-enzim lambung lainnya, kemampuan sistem penyerapan melalui intrinsic factor, dan jumlah vitamin B12 dalam pangan yang dimakan. Jika sistem penyerapan melalui intrinsic factor sempurna, lebih dari 50 % vitamin B12 yang ada dalam pangan atau suplemen dapat diserap secara aktif, namun penyerapan melalui sistem intrinsic factor ini tidak dapat melebihi 2 μg. Pemberian vitamin B12 dengan dosis 0.25 μg akan diserap sebesar 0.19 μg (75 %). Vitamin B12 yang diserap secara aktif semakin besar dengan peningkatan dosis mulai dari 0.25 μg sampai 10 μg. Pada pemberian dosis 10 μg penyerapan vitamin B12 secara aktif mencapai batas optimum yaitu 1.6 μg, dan pemberian diatas dosis tersebut misalnya 50 μg hanya 1.5 μg vitamin B12 diserap melalui sistem intrinsic factor. Penyerapan vitamin B12 pada pemberian dosis tinggi seperti dalam suplemen melampaui kapasitas intrinsic factor, dan penyerapan vitamin B12 akan terjadi secara pasif dengan jumlah penyerapan sekitar 1-2 % (Tabel 1). Tabel 1 Penyerapan vitamin B12 dari pemberian berbagai dosis secara oral pada kondisi penyerapan normal dan tidak normal (tanpa intrinsic factor) Dosis oral (μg) Jumlah yang diserap melalui IF dan non-IF/ pasif μg % 0,25 0,19 75 1 0,56 56 2 0,92 46 3 5 1,4 28 10 1,6 16 50 1,5 3 100 500 Sumber: Carmel R (2006) Jumlah yang diserap secara pasif (non-IF) μg % 0,02 2 0,08 3 0,2 2 0,5 1 1,8 1,8 6 1,2 Transport dan Metabolisme Vitamin B12 Vitamin B12 yang masuk ke dalam darah melalui membran sangat sedikit dan tergantung pada beberapa protein pengikat untuk transport. Segera setelah vitamin B12 diserap masuk ke dalam saluran darah, transport dan penggunaannya tergantung pada protein spesifik pengikat kobalamin (cobalaminbinding protein) yang disebut transcobalamin II (TC II) atau sering disebut TC. Sedangkan transcobalamin I (TC I) juga berperan mengikat kobalamin dalam darah namun perannya belum dapat dijelaskan (Carmel R 2006). Kobalamin dari TC I yang masuk ke empedu sekitar 1,4 μg per hari dan diperkirakan 70 % diabsorpsi kembali dalam keadaan normal, sisanya dibuang melalui feses. TC disintesis oleh beberapa sel termasuk sel-sel khusus endhotelial. II Gen pembentuknya sama dengan IF tetapi berada pada kromosom yang berbeda. TC II dengan cepat mengantar kobalamin ke semua sel dalam tubuh. Masa hidup holoTC II dalam plasma hanya 90 menit. Pertama sekali dan sebagain besar kobalamin diantar ke hati, tetapi reseptor yang spesifik untuk TC II sebenarnya ditemukan pada semua sel dan dalam kompleks holo-TC II oleh pinocytosis (Carmel R 2006). Enzim yang mengandung vitamin B12 memindahkan kelompok methyl dari methylfolate, sementara regenerasi tetrahydrofolat (THF) dari 5,10- methylene THF diperlukan untuk sistesis thymidilate. Karena methylfolate merupakan bentuk vitamin yang dominan dalam serum dan hati, dan karena hanya methylfolate yang mengembalikan folat ke cadangan tubuh melalui proses yang tergantung vitamin B12, maka bila terjadi defisiensi vitamin B12 akan menyebabkan folat terperangkap sebagai methylfolate digunakan untuk fungsi metabolik. sehingga tidak dapat Folat yang terperangkap akhirnya dapat menyebabkan kerusakan hematologik akibat defisiensi vitamin B12 yang tidak dapat dibedakan dari defisiensi folat. Kedua defisiensi tersebut menyebabkan kerusakan yang sama sebagai akibat dari ketidakcukupan 5,10-methylene THF untuk berpartisipasi dalam pembentukan DNA (Herbert V 1996; Beck 2003; Carmel R 2006). Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5 bahwa pada kondisi normal penyerapan vitamin B12 dari pangan memerlukan kondisi lambung yang normal; asam lambung dan enzim yang membebaskan vitamin B12 dari ikatan peptide dalam pangan oleh proteolisis, kemudian vitamin B12 terikat pada protein saliva dan sel-sel parietal lambung mengeluarkan intrinsic factor suatu glikoprotein yang penting untuk absorbsi vitamin B12 dari usus halus. Penyerapan yang normal juga membutuhkan kondisi pankreas yang normal sehingga tripsin dan bikarbonat (yang dihasilkan pada pH lebih dari 8) dapat memisahkan vitamin b12 dari protein saliva dan kemudian berikatan dengan intrinsic factor, dan akhirnya pada kondisi ileum yang normal reseptor sel pemukaan dapat menangkap vitamin B12 yang terikat pada intrinsic factor dengan batuan ion kalsium. Bila terjadi gangguan pankreas sehingga ion kalsium tidak tersedia maka penyerapan vitamin B12 akan terganggu (Herbert V 1996). Penyerapan vitamin B12 dapat diperbaiki dengan memberikan kalsium, bikarbonat atau cairan pankreas yang dapat meningkatkan ketersediaan kalsium. Pentingnya kalsium dalam penyerapan vitamin B12 telah dijelaskan pada suatu studi yang menunjukkan bahwa penyerapan vitamin B12 yang terganggu akibat penggunaan obat diabetes (metformin) karena mengikat kalsium akhirnya dapat diperbaiki dengan pemberian susu yang kaya kalsium atau tablet kalsium karbonat (Herbert V 1996). REABSORPTION INGESTION (Enterohepatic circulation 1 Food B12 *MDR – 0,1 μg daily 1. Unch anged 2. Oxidi 2 Acid Enzymes PH > 6 (Food B12 – 1F Complex) 1F TRANSPORT 8 Ca B12 - TC II X - B12 - TC II In serum ++ B12 Coenzymes B12 - TC I & B12 - TC III 6 DELIVERY ILEAL EPITHELIAL CELL 7 EXCRETION Bile, saliva, Urine, etc 14 B12* (Co oxidation B12 +++ 10 ) Deoxyadenosyl B12 13 ++ (Co PPPi Deoxyadenosyl transferase ATP 12 11 B12* Reductas e + B12* (Co ) Methionine Methyl transferase 16 Homocysteine Methyl THF 15 AMe Methyl THF Methyl - B12 Other B12 Forms Succinyl – CoA Methylmalonyl – CoA – Mutase L-Methylmalonyl CoA B12* Reductase DPNH B12* B12 4 Methil B12 – B12 - binding α in serum 9 *Releasing Factor 3 ABSORPTIO 5 X - B12 - TC II Surface receptor Food B12 – 1F Surface receptor ++ Ca Trypsin TISSUE CELL Gambar 5 Metabolisme vitamin B12 pada manusia (Herbert V 1996) - Setelah proses uptake, kobalamin dipisahkan dalam endosom dan masuk ke sitoplasma terutama berbentuk methylcobalamin, atau diambil oleh mitokondria. Methylcobalamin diikat oleh methionine synthase dan membantu remetilasi homocysteine. Deoxyadenosyl cobalamin dalam mitokondria diikat oleh methylmalonyl-CoA-mutase dan berperan dalam metabolisme propionat. Tidak ada protein pengikat intraseluler lain yang diidentifikasi untuk kobalamin, dan tidak ada juga peran metabolik (Herbert V 1996; Carmel R 2006). Selanjutnya dikatakan bahwa ginjal juga kaya akan reseptor TC II, yang berperan penting dalam meminimalkan kehilangan kobalamin melalui urin. Vitamin B12 dapat disimpan dalam hati. Total simpanan tubuh pada subyek omnivore dalam keadaan sehat sekitar 2 – 3 mg. kehilangan vitamin B12 dapat terjadi melalui desquamasi epithelium dan sekresi dalam empedu. Sebagian besar vitamin B12 yang disekresi empedu diabsorbsi kembali dan dapat digunakan untuk fungsi metabolik. Kehilangan pada orang dewasa diperkirakan 1–3 μg/hari (sekitar 0.1 % dari cadangan dalam tubuh). Jumlah pengeluaran vitamin B12 melalui stool proporsional dari cadangan tubuh, sehingga perkembangan defisiensi lebih lambat pada orang yang kekurangan vitamin B12 misalnya vegetarian dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai intrinsic factor atau yang mengalami malabsorbsi (Gibson 2005). Defisiensi Vitamin B12 Defisiensi vitamin B12 adalah kondisi yang menunjukkan bahwa jumlah vitamin B12 tidak cukup untuk melakukan fungsi biokimia secara normal. Proses defisiensi vitamin B12 terjadi secara bertahap yang diawali dari penurunan cadangan tubuh yang disebut dengan deplesi, namun pada saat ini fungsi biokimia belum terganggu. Tahap awal defisiensi vitamin B12 ketika terjadi keseimbangan negatif yang dapat dideteksi dengan penurunan persentase kejenuhan serum TC II. Keseimbangan negatif merupakan gambaran situasi dimana jumlah vitamin B12 yang diabsorbsi menurun sampai dibawah jumlah yang hilang setiap hari (Herbert V 1996). Keseimbangan negatif dengan cepat menyebabkan deplesi, dan bila tidak dilakukan penambahan akan berlanjut menjadi defisiensi (Tabel 2). Tabel 2 Tahapan perkembangan status vitamin B12 dari normal sampai defisiensi Keseimbangan negatif Deplesi Defisiensi Stage I Stage II Stage III Stage IV Normal Early Negative B12 Balance B12 Depletion Damaged Metabolism B12 Deficient Erytropoiesis Clinical Damage B12 Deficiency Anemia > 50 Low Low Low Low TC II % sat. >5% <4% <4% <4% <4% Holohap (pg/mL) > 180 > 180 < 150 < 100 < 100 dU suppression Normal Normal Normal Abnormal Abnormal No No No Yes Yes TBBC % sat. > 15 % > 15 % > 15 % < 15 % < 10 % Hap % sat. > 20 % > 20 % > 20 % < 20 % < 10 % > 160 > 160 > 160 < 140 < 100 Erythrocytes Normal Normal Normal Normal Macroovalocytic MCV Normal Normal Normal Normal Elevated Hemoglobin Normal Normal Normal Normal Low TC II Normal Normal Normal Elevated Elevated Methylmalonate Normal Normal Normal High High Homocysteine Normal Normal Normal High High No No No ? Frequent HoloTC II (pg/mL) Hypersegmentation RBC folate (ng/mL) Myelin Damage Sumber: Herbert V (1996) Serum holoTCII yang rendah dapat dijadikan sebagai indikator awal terjadinya keseimbangan negative vitamin B12 dan dapat dijadikan sebagai pengganti Schilling test dan suatu ukuran ketidakcukupan vitamin B12 yang dibawa ke seluruh sel-sel pembentuk DNA (Herbert V 1996). Selanjutnya jika keseimbangan negatif terjadi dalam waktu yang lama, akan terjadi deplesi vitamin B12 yang ditandai dengan penurunan konsentrasi holohaptocorin sampai dibawah 150 pg/mL akan tetapi fungsi biokimia masih normal. Keadaan keseimbangan negatif ini ditemukan juga pada kelompok usia lanjut dengan konsentrasi vitamin B12 serum yang rendah yaitu < 221 pmol/L atau < 300 pg/mL, sehingga angka ini juga dapat dijadikan sebagai indikator keseimbangan negatif (Herbert V 1996; Sauberlich HE 1999). Defisiensi vitamin B12 secara klinis menyebabkan kerusakan sistem hematopoitik sama seperti pada defisiensi asam folat. Macro-ovalocytic erythrocytes sebagai petunjuk sel darah merah tidak normal, dan terjadi penurunan hemoglobin. Pada keadaan ini terjadi juga peningkatan kadar methylmalonic acid (MMA) pada urin namun tidak ditemukan pada anemia akibat defisiensi asam folat (Gibson 2005). Defisiensi vitamin B12 merupakan akibat dari kerusakan reaksi enzim yang memerlukan vit B12. Kerusakan aktifitas pembentukan methionine synthase dapat meningkatkan level homosistein, sementara kerusakan aktifitas L- methylmalonyl-CoA mutase menyebabkan peningkatan metabolit dari methylmalonyl-CoA yang disebut methylmalonic acid (MMA). Seseorang yang mengalami defisiensi vitamin B12 ringan tidak akan terlihat gejalanya walaupun level homosistein dan MMA dalam darah meningkat (Gibson 2005; Herbert V 1996). Akibat dari defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan perubahan dalam tubuh yang disebut sebagai gejala atau efek klinik. Gejala klinik dari defisiensi vitamin B12 dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu gejala hemotologik, neurologik dan gastrointestinal, sebagaimana diuraikan di bawah ini. 1. Gejala hematologik. Gejala hematologik akibat defisiensi vitamin B12 tidak dapat dibedakan dari defisiensi folat, yaitu terjadinya anemia megaloblastic disertai gejala anemia klasik seperti berkurangnya energi dan kemampuan fisik, lemah, sesak nafas, dan jantung berdebar (Gibson 2005; http//www.parhealth.com/druginfo). Aktifitas yang berkurang pada methyonine synthase saat defisiensi vitamin B12 menghambat regenerasi tetrahydrofolate (THF) dan menjebak folat dalam bentuk yang tidak dapat digunakan oleh tubuh, menghasilkan gejala defisiensi folat padahal folat sebenarnya cukup. Jadi, dalam keadaan defisiensi keduanya (folat dan vitamin B12) folat tidak tersedia untuk pembentukan DNA. Kerusakan sintesis DNA ini menyebabkan kecepatan pembelahan sel-sel tulang belakang lebih cepat dari sel-sel lain, menyebabkan sel-sel darah merah berukuran besar, tidak matang dan miskin hemoglobin. Keadaan ini disebut anemia megaloblastic dan gejala untuk penyakitnya disebut anemia pernisius. Suplementasi dengan asam folat akan memberikan folat yang cukup untuk digunakan dalam pembentukan sel-sel darah merah dalam kondisi normal. Namun jika defisiensi vitamin B12 yang merupakan penyebabnya, hasilnya akan tetap anemia. Jadi, anemia megaloblastik tidak selalu harus diperbaiki dengan pemberian asam folat hingga penyebab yang sebenarnya ditetapkan. Karena penurunan cadangan vitamin B12 tubuh lebih lambat dibandingkan folat, (deplesi) menyebabkan gejala klinik defisiensi vitamin B12 juga lebih lama muncul. Pada saat terjadi perubahan biokimia, gejala klinik belum muncul hingga beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah proses yang menyebabkan defisiensi (misalnya malabsorbsi) dimulai. Sedangkan perubahan akibat defisiensi folat sudah muncul dalam beberapa minggu (Carmel R 2006). 2. Gejala Neurologis Gejala-gejala neurologis defisiensi vitamin B12 meliputi kehilangan rasa, rasa geli pada tangan dan kaki, susah berjalan dan melangkah tidak normal, kejang, lekas marah, depresi, dan perubahan kognitif seperti kehilangan konsentrasi dan ingatan (memory), serta dimensia, disorientasi, namun umumnya tanpa perubahan kejiwaan (http://www.parhealth.com/druginfo). Walaupun kemajuan komplikasi neurologik secara umum bertahap, gelaja-gejala tersebut tidak selalu dapat dikembalikan dengan pemberian vitamin B12 apalagi gejala tersebut sudah muncul lama. Komplikasi neurologik tidak selalu berhubungan dengan anemia megaloblastic dan yang mengalami gejala defisiensi vitamin B12 secara klinis hanya sekitar 25 persen kasus. Walaupun defisiensi vitamin B12 diketahui merusak lapisan myelin pada syaraf-syaraf cranial, spinal dan periperal, proses biokimia yang mempengaruhi kerusakan neurologik belum dipahami dengan baik (http:/lpi.oregonstate.edu/infocenter/vitamin/vitaminB12). Efek neurologik defisiensi vitamin B12 dapat terjadi tanpa anemia, terutama pada orang tua diatas 60 tahun. Pada dasarnya defisiensi vitamin B12 mempengaruhi syaraf peripheral dan berlanjut sampai ke spinal cord (http//www.eatright.org). 3. Gejala Gastrointestinal Sakit lidah, kehilangan selera makan, dan konstipasi telah dihubungkan dengan defisiensi vitamin B12. Kebenaran dari gejala ini belum jelas, tetapi mungkin dapat dikaitkan dengan peradangan lambung yang ditemukan pada banyak kasus desisiensi vitamin B12, atau Peningkatan kemampuan menyerang dari kecepatan pembelahan sel-sel gastrointestinal untuk merusak sintesis DNA. Efek defisiensi vitamin B12 terhadap gastrointestinal menyebabkan sering diare dan konstipasi, sakit di bagian perut, kembung, dan luka pada lidah. Anoreksia dan kehilangan berat badan juga merupakan gejala umum kekurangan vitamin B12. Bahkan ada pendapat bahwa kehilangan kemampuan mendengar (tuli) karena pertambahan usia juga berhubungan dengan status vitamin B12 dan folat yang miskin (http://www.parhealth.com/druginfo). Masih sedikit diketahui tentang prevalensi defisiensi vitamin B12 terutama pada anak-anak. Namun, karena vitamin B12 hanya terdapat pada pangan hewani, diperkirakan angka defisiensi vitamin B12 tinggi pada anak-anak yang jarang atau sedikit makan makanan hewani seperti daging, telur dan susu. Penelitian di Kenya (Siekmann JH et al 2003) terhadap 555 anak sekolah (5-14 th) menunjukkan 80,7 % anak mengalami defisiensi vitamin B12 tingkat berat dan sedang. Pemberian makanan tambahan di sekolah berupa daging (60-85 g/hr) dan susu (200-250 ml/hr) atau energi (kalori dari daging dan susu 240-300 Kal/hr) selama satu tahun ajaran. Sampel darah dan tinja dikumpulkan 2 kali yaitu pada waktu sebelum dan sesudah satu tahun intervensi untuk menilai parasit pada tinja, malaria, Hb, serum atau plasma C-reactive protein,ferritin, Zn, Cu, vitamin B12, folat dan retinol, riboflavin eritrosit. Pada saat baseline, ditemukan prevalensi yang tinggi untuk defisiensi gizi mikro (Fe, Zn, vitamin A, vitamin B12, dan riboflavin), dan ferritin rendah pada beberapa anak. Pada akhir intervensi, plasma vitamin B12 meningkat secara signifikan pada anak yang diberi makan daging dan susu, prevalensi defisiensi vitamin B12 turun dari 80,7 % menjadi 64,1 % pada kelompok intervensi daging dan 71,6 % menjadi 45,1 % pada kelompok intervensi susu. Tidak ada perbaikan yang signifikan pada status gizi mikro lainnya. Kesimpulan yang dapat diperoleh bahwa suplemen dengan sejumlah kecil daging dan susu dapat menurunkan prevalensi defisiensi vit B12 pada anak-anak. Rogers LM et al (2003) berdasarkan hasil penelitiannya di Guatemala terhadap 553 anak sekolah usia 8 sampai 12 tahun dari keluarga sosial ekonomi rendah menemukan 11 % anak mempunyai kobalamin plasma yang rendah dan 22 % mempunyai kobalamin plasma yang marginal. Peningkatan serum methylmalonic acid (MMA) dan homosistein plasma lebih tinggi pada anak dengan kobalamin plasma yang rendah dan marginal dibandingkan dengan anak yang mempunyai kobalamin plasma normal. Kasus yang ditemukan di Georgia tahun 2001 menunjukkan bahwa anak yang diberi ASI oleh ibu vegetarian didiagnosa mengalami defisiensi vitamin B12, menderita anemia makrositik, dan kerusakan sistem syaraf serta keterlambatan perkembangan mental (CDC 2003). Penelitian lain terhadap anakanak penderita cacing di Spanyol yang dilakukan oleh Olivares et al (2002) menunjukkan bahwa anak yang terinfeksi cacing giardia lamblia dan enterobius vermicularis mempunyai kadar vitamin B12 yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak terinfeksi cacing. Hal ini berhubungan dengan gangguan penyerapan pada mukosa usus. Oleh karena itu, untuk kasus infeksi parasit selain penanggulangan infeksi cacing perlu juga dilakukan suplementasi vitamin B12. Penelitian Allen LH et al (1995) terhadap anak-anak dan dewasa di mexico menunjukkan bahwa prevalensi defisiensi vitamin B12 yang dinilai berdasarkan plasma viatmin B12 berkisar antara 19 % sampai 41 %, sementara status plasma folat normal untuk semua individu. Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat 62 % ibu menyusui yang mempunyai konsentrasi vitamin B12 ASI rendah. Beberapa penelitian di Indonesia tentang status vitamin B12 sudah mulai dilakukan sejak tahun 70 an walaupun masih terbatas pada orang dewasa. Penelitian Martoatmodjo S dkk (1973) dari Pusat penelitian Gizi dan Makanan Depkes RI, menunjukkan bahwa terdapat 28 % wanita hamil di daerah Jawa Barat mengalami kekurangan vitamin B12. penelitian lain dilakukan oleh Shylbi UF (2007) dari Bagian Kardiologi Rumah Sakit Jantung Harapan Kita di Jakarta, menemukan 30 % kasus defisiensi vitamin B12 pada penderita Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan 30 % juga pada non penderita PJK. Penelitian ini juga menunjukkan adanya tingginya defisiensi asam folat yaitu 82 % pada penderita PJK dan 83 % pada nonpenderita PJK, serta adanya hubungan negatif antara defisiensi vitamin B12 dan defisiensi folat dengan kadar homocysteine. Beberapa penelitian di luar negeri juga menunjukkan defisiensi vitamin B12 pada kelompok dewasa dan usia lanjut. Hin H et al (2006) berdasrkan penelitiannya di Inggris menunjukkan bahwa terdapat 13 % dari partisipas usia lanjut mengalami defisiensi vitamin B12. Dengan pemberian intervensi suplemen 1000 mikrogram intramuskuler per bulan dapat memperbaiki status biokimia vitamin B12 walaupun secara klinis tidak dapat diperbaiki. Penelitian Clarke R et al (2003) di Inggris menunjukkan prevalensi defisiensi vitamin B12 10 % pada usia 65-74 tahun dan 20 % pada usia diatas 75 tahun. Selanjutnya berdasarkan penelitiannya pada usia lanjut di Inggris (Clarke R et al 2004) menemukan bahwa prevalensi defisiensi vitamin B12 meningkat dengan bertambahnya umur. Defisiensi vitamin B12 ditemukan pada 1 dari 20 orang yang berumur 65-74 tahun dan 1 dari 10 orang yang berumur diatas 75 tahun. Hao Ling et al (2003) dari China mengemukakan prevalensi defisiensi vitamin B12 pada orang dewasa berumur 35-64 tahun sebesar 11 % di China bagian Selatan dan 39 % di China bagian Utara, yang selanjutnya mengatakan prevalensi defisiensi vitamin B12 lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Sementara Tucker KL et al (2000) berdasarkan penelitiannya pada orang dewasa berumur diatas 26 tahun menemukan 39 % mempunyai kadar vitamin B12 plasma < 350 pg/mL. Berikut ini dikemukakan beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya defisiensi vitamin B12, antara lain : 1. Vegetarian Orang yang hanya mengkonsumsi pangan nabati (vegetarian) mempunyai resiko kekurangan vitamin B12 karena tanaman tidak mengandung vitamin B12. Dengan kata lain vitamin B12 hanya ada dalam pangan hewani. Hal ini dapat dilihat dari bayi yang diberi ASI eksklusif oleh ibu penganut vegetarian mengalami gejala defisiensi vitamin B12 pada beberapa bulan pertama setelah dilahirkan (Brody 1999; American Dietetic Association http//www.eatright.org). Oleh karena itu vegetarian dianjurkan untuk memasukkan tempe dan pangan yang difortifikasi vitamin B12 ke dalam menu makanan sehari-hari. Gao X et al (2003) dalam penelitian pola makan pada populasi perkotaan di China menunjukkan bahwa lebih dari 40 % dari kelompok dengan pola sereal mempunyai plasma homosistein yang tinggi dan konsentrasi asam folat plasma rendah, 67 % mempunyai konsentrasi plasma vitamin B12 rendah. Pola sereal mempunyai risiko 4 dan 5.2 kali lebih mungkin mempunyai homosistein yang tinggi dan vitamin b12 yang rendah dibandingkan kelompok dengan pola buah dan susu. 2. Anemia Pernisius Gangguan penyerapan (malabsorbsi) vitamin B12 dapat terjadi selama proses pencernaan. Suatu kondisi yang menyebabkan terjadinya malabsorbsi adalah penyakit auto-immun, disebut anemia pernisius. Pada sebagian besar kasus anemia pernisius, antibodi yang dihasilkan menyerang sel-sel parietal yang menyebabkan sel parietal tersebut atropi, sehingga kehilangan kemampuan untuk menghasilkan faktor intrinsik, yang berfungsi mengeluarkan asam hidroklorik. Anemia pernisius juga terjadi karena ketidakmampuan mengabsorbsi vitamin B12 yang dihasilkan oleh empedu. Diperkirakan vitamin B12 yang dikeluarkan oleh empedu sekitar 0,3 – 0,5 μg/hari. Keadaan ini disebut sirkulasi enterohepatik vitamin B12 yang menyebabkan tubuh mengalami keseimbangan negatif untuk vitamin. Walaupun vitamin B12 dalam tubuh cukup untuk persediaan selama 3-5 tahun, anemia pernisius menyebabkan gangguan absorbsi vitamin yang baru dikonsumsi, ditambah lagi kehilangan vitamin karena keseimbangan negatif. Bila cadangan vitamin B12 berkurang, akhirnya tahapan defisiensi terjadi sangat cepat, dan bila tidak diobati dapat menyebabkan kematian dalam beberapa bulan (FAO/WHO 2001; American Dietetic Association http://www.eatright.org). Anemia pernisius sebagai penyebab defisiensi vitamin B12 merupakan kasus yang jarang terjadi, mungkin pengaruhnya hanya 1 persen sampai beberapa persen pada kelompok lanjut usia. 3. Atrophic gastritis Anggapan terbaru mengatakan bahwa masalah yang lebih umum adalah hypochlodhydria yang berkaitan dengan atropic gastritis, dimana semakin bertambah umur terjadi penurunan kemampuan sel parietal untuk mensekresi asam hidroklorik (FAO/WHO 2001; American Dietetic Association http//www.eatright.org). Diperkirakan lebih dari seperempat jumlah lanjut usia mempunyai berbagai tingkat hypochlodhydria sebagai hasil atrophic gastritis. Selain itu ada anggapan bahwa pertumbuhan bakteri yang berlebihan pada lambung dan usus pada individu yang menderita atrophic gastritis dapat menurunkan penyerapan vitamin B12. Atrophic gastritis tidak mencegah penyerapan kembali vitamin yang dikeluarkan empedu, oleh karena itu tidak menyebabkan keseimbangan negatif sebagaimana terjadi pada penderita anemia pernisius. Namun, bila terjadi dalam waktu yang lama, jumlah vitamin yang diabsorbsi dari makanan berkurang akhirnya cadangan vitamin B12 akan habis, selanjutnya dapat menyebabkan defisiensi vitamin B12. 4. Konsumsi alkohol berlebih Orang yang mengkonsumsi alkohol berlebih cenderung mengalami kekurangan beberapa zat gizi esensial termasuk vitamin B12 (American Dietetic Association, http//www.eatright.org; Nutrion.gov; http//nutrition.gov). Kebutuhan dan Sumber Pangan Vitamin B12 Hanya sedikit vitamin B12 yang dapat disimpan dalam tubuh. Total simpanan dalam tubuh sekitar 2-5 mg pada orang dewasa, sekitar 80 % disimpan dalam hati. Vitamin B12 yang masuk dalam empedu dapat diserap kembali secara efektif, yang disebut sebagai sirkulasi enterohepatik. Kelebihan vitamin B12 dikeluarkan melalui ginjal dalam jumlah yang bervariasi mulai dari 1 – 10 μg/hari. Vitamin B12 dibutuhkan dalam jumlah yang relatif kecil. Kecukupan vitamin B12 pada anak dibawah usia 4 tahun < 1 μg/hari, pada usia 4 –12 tahun sekitar 1 – 1,8 μg/hari dan bagi usia 13 tahun sampai dewasa 2,4 μg/hari. Sedangkan ibu hamil dan menyusui memerlukan tambahan masing-masing 0,2 μg/hari dan 0,4 μg/hari (Tabel 3). Vitamin B12 banyak ditemukan dalam pangan hewani, seperti daging, susu, telur, ikan, kerang dan lain-lain. Menurut Sauberlich HE (1999) pangan hewani satu-satunya sumber vitamin B12 dalam penyediaan pangan. Daging menyumbang sekitar 69 persen, susu 21 persen, dan telur 8,5 persen. Sereal yang difortifikasi dengan vitamin B12 hanya menyediakan sedikit sekali vitamin ini yaitu sekitar 1,6 persen. Sedangkan pangan nabati tidak mengandung vitamin B12, kecuali yang terkontaminasi oleh mikroorganisme yang diperoleh dari tanah seperti bakteri dan ragi. Salah satu pangan hasil olahan melalui proses fermentasi adalah tempe ternyata mengandung vitamin B12 sehingga tempe merupakan pangan yang baik sebagai sumber vitamin B12. Vitamin B12 dalam tempe tidak dibentuk oleh ragi yang ditambahkan saat pembuatan tempe akan tetapi dibentuk oleh bakteri kontaminan jenis klebsiella (http://www.ivs-online.org). Namun demikian belum diteliti lebih lanjut tentang bioavailabilitas dari vitamin B12 yang ada dalam tempe. Tabel 3 Kecukupan vitamin B12 berdasarkan kelompok umur Kelompok Umur 0 7 1 4 7 AKG (μg/hr) - 6 bl - 12 bl - 3 th - 6 th - 9 th 0,4 0,5 0,9 1,2 1,5 10 - 12 th 13 - 15 th 16 - 18 th 19 - 29 th 30 - 49 th 50 - 64 th 65 + th 1,8 2,4 2,4 2,4 2,4 2,4 2,4 Pria Wanita 10 - 12 th 13 - 15 th 16 - 18 th 19 - 29 th 30 - 49 th 50 - 64 th 65 + th Ibu hamil (+an) Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3 Ibu menyusui (+ an) - 6 bulan pertama - 6 bulan kedua Sumber: Setiawan B & Rahayuningsih S (2004) 1,8 2,4 2,4 2,4 2,4 2,4 2,4 0,2 0,2 0,2 0,4 0,4 Penilaian Status Vitamin B12 Status vitamin B12 dalam tubuh dapat ditentukan dengan menggunakan berbagai indikator dan metode penilaian. Berikut ini akan diuraikan beberapa indikator dan jenis penilaian status vitamin B12 serta kekuatan dan kelemahan setiap indikator.. 1. Vitamin B12 dalam serum Dari seluruh vitamin B12 dalam serum, 20 persen terikat pada protein transport transcobalamin (TC II), sisanya 80 % merupakan ikatan campuran glyco-protein B12, dikenal sebagai TC I dan TC III, dan akhirnya diketahui sebagai haptocorrin (Herbert V 1996; Gibson 2005; Carmel R 2006). Menurut Sauberlich HE (1999) konsentrasi vitamin B12 serum dapat memberi informasi status gizi vitamin B12, karena cadangan vitamin B12 dalam tubuh yang rendah berhubungan dengan level vitamin B12 serum yang rendah. Sedangkan menurut Herbert V (1996) pengukuran vitamin B12 dalam serum merupakan indikator defisiensi vitamin B12 yang relatif terlambat karena pada keadaan normal 80 % dari total vitamin B12 dalam serum terikat pada holohaptocorrin, dan hanya 20 % yang yang terikat sebagai holotranscobalamin II dalam serum. Holohaptocorrin menggambarkan vitamin B12 dalam cadangan tubuh (terutama di hati), yang mengalami penurunan dengan lambat sesuai dengan terjadinya keseimbangan negatif vitamin B12. Serum holotranscobalamin II adalah protein yang bersirkulasi dalam darah mengantar vitamin B12 ke sel-sel pembentukan DNA. Keseimbangan negatif merupakan gambaran situasi dimana sejumlah vitamin B12 yang diabsorbsi setiap hari menurun sampai di bawah jumlah yang hilang setiap hari. Keseimbangan negatif yang cepat menyebabkan deplesi, jika tidak diperbaiki akan berlanjut menjadi defisiensi. Serum holoTC II rendah merupakan indikator awal terjadinya keseimbangan negatif, suatu ukuran ketidakcukupan vitamin B12 untuk sintesis DNA. Pada saat keseimbangan negatif terjadi, konsentrasi serum vitamin B12 menurun sampai nilainya antara 150 sampai 100 pg/mL; namun fungsi biokimia masih dalam keadaan normal (Herbert V 1996). Allen RH et al (1990) mengemukakan bahwa penilaian kobalamin serum adalah tes diagnostik yang penting untuk defisiensi vitamin B12 terutama untuk tujuan screening karena sebagian besar pasien yang mengalami defisiensi vitamin B12 secara klinis mempunyai level vitamin B12 serum yang rendah. Walaupun pada akhirnya ada studi terbaru yang menunjukkan keadaan sebaliknya, dimana orang yang mempunyai serum vitamin B12 rendah tidak selalu mengalami defisiensi vitamin B12. Methylmalonic acid (MMA) dan homosysteine dalam serum meningkat pada penderita defisiensi vitamin B12. Namun akhirnya diketahui juga bahwa homosysteine serum tidak spesifik karena tidak selalu meningkat pada penderita defisiensi vitamin B12 sedangkan methylmalonic acid serum selalu meningkat. Oleh karena itu methylmalonic acid lebih tepat digunakan sebagai indikator terjadinya defisiensi vitamin B12. Penentuan cut off point untuk defisiensi vitamin B12 masih beragam pendapat. Menurut Gibson (1990) konsentrasi serum vitamin B12 pada keadaan normal untuk orang sehat berada pada kisaran 200 – 900 pg/mL (148 – 682 pmol/L). Nilai dibawah 100 pg/mL (74 pmol/L) selalu menunjukkan keadaan defisiensi vitamin B12 dan dihubungkan dengan anemia megaloblastik. Sedangkan FAO/WHO tahun 1988, merekomendasikan penggunaan cut off point di bawah 80 pg/mL (59 pmol/L) untuk defisiensi vitamin B12. Menurut Gibson (2005) total vitamin B12 serum adalah tes biokimia yang dapat digunakan secara rutin untuk screening defisiensi vitamin B12 karena konsentrasinya menggambarkan intik vitamin B12 dan sekaligus cadangan dalam tubuh, namun sensitifitasnya rendah. Hal ini ditunjukkan dari penelitian terhadap usia lanjut yang mempunyai konsentrasi vitamin B12 serum rendah sampai normal (111-295 pmol/L atau 150-400 pg/mL) mempunyai fungsi biokimia yang tidak normal. Beberapa peneliti lain menggunakan cut off point 300 pg/mL sebagai batas bawah keadaan normal untuk vitamin B12 (Herbert V 1996; Sauberlich HE 1999; Siekmann 2003; Eussen SJ et al 2006) dengan alasan bahwa pada batas tersebut sering sudah mulai dapat ditemukan tanda-tanda klinis defisiensi vitamin B12. Penilaian konsentrasi vitamin B12 serum dapat dilakukan dengan “microbiological assay” dan “radioisotope dilution methods” atau disebut “Radioassay”. Metode “radioisotope dilution methods” memberi hasil yang lebih tinggi dari penilaian mikrobiologi. Metode radioisotop sangat sederhana, memerlukan waktu yang singkat, dan tidak dipengaruhi oleh antibiotik atau kemoterapetik kanker (Gibson 2005). Metode lain yaitu AxSYM System yang merupakan penilaian mikropartikel enzim intrinsic factor untuk menentukan jumlah vitamin B12 dalam serum atau plasma manusia (Abbott Laboratories 2005). 2. Vitamin B12 dalam eritrosit Penilaian eritrosit untuk vitamin B12 mempunyai keterbatasan, beberapa hasil diperoleh dengan nilai yang tidak dapat membedakan antara kondisi subyek normal dengan defisiensi. Selain itu konsentrasi vitamin B12 eritrosit juga cenderung rendah pada saat terjadi defisiensi folat karena vitamin B12 berperan penting untuk pemanfaatan folat oleh se-sel darah merah. Dengan demikian vitamin B12 dalam eritrosit kurang spesifik (Gibson 2005). 3. Methylmalonic acid (MMA) Methylmalonic acid (MMA) merupakan hasil dari methylmalonyl-CoA yang terakumulasi bila terjadi defisiensi vitamin B12 yang membatasi aktifitas methylmalonyl-CoA mutase. Konsentrasi MMA serum meningkat bila terjadi defisiensi vitamin B12, tetapi tidak terjadi pada defisiensi asam folat. Ekskresi MMA melalui urin juga meningkat bila terjadi defisiensi vitamin B12 (Sauberlich HE 1999). Sehingga konsentrasi methylmalonic acid dalam urin dan serum sering digunakan untuk screening defisiensi vitamin B12. Peningkatan konsentrasi methylmalonic acid dalam serum atau plasma merupakan indikator awal terjadinya defisiensi vitamin B12. Pengukuran serum MMA telah berhasil mengidentifikasi subyek dengan defisiensi vitamin B12, bahkan dengan defisiensi subklinik. Pengukuran MMA lebih sensitif untuk mengukur defisiensi vitamin B12 dibandingkan dengan pengukuran konsentrasi vitamin B12 serum. Menurut Bolann et al (2000) untuk diagnostik awal status vitamin B12 dapat dilakukan melalui penilaian kobalamin serum. Bila dengan diagnostik tersebut tidak dapat diperoleh hasil yang jelas, maka dilakukan pengujian kadar MMA dan homocystein yang akan memberikan pembedaan tambahan, yang berarti MMA lebih spesifik untuk penilaian status vitamin B12. Secara tradisional ada anggapan bahwa status vitamin B12 yang rendah berhubungan dengan level vitamin B12 dalam serum atau plasma yang rendah. Namun akhir-akhir ini pendapat tersebut telah dibantah oleh beberapa ahli yang mengatakan bahwa proporsi orang yang mempunyai level vitamin B12 normal kenyataannya mengalami defisiensi vitamin B12. Selanjutnya dikatakan bahwa peningkatan homocysteine plasma dan MMA plasma lebih sensitif sebagai indikator status vitamin B12 (FAO/WHO 2001). Hal ini didukung oleh Klee (2000) yang mengatakan bahwa homocysteine dan methylmalonicacid adalah indikator metabolik yang paling baik untuk defisiensi vitamin B12 dan folat pada level jaringan. Namun, dikatakan juga bahwa belum ada “gold standard” untuk mendiagnosis kondisi kelainan vitamin B12, dan masih ditemukan kontroversi dalam pemilihan diagnostik tersebut. Methylmalonic acid (MMA) dapat diukur dengan metode gabungan “gaschromatography mass-spectrometry” dalam serum dan urin (Carmel R 2004; Gibson 2005). Metode ini sangat sensitif dan reliabel untuk mengukur methylmalonic acid dalam urin. Namun, tehnik mengukurannya agak sulit dan waktunya lama karena memerlukan sampel urin selama 24 jam. Sedangkan sampel urin sesaat dapat digunakan untuk keperluan screening. Pada kondisi normal 1,5 sampai 2 mg mehyilmalonic acid yang dikeluarkan melalui urin per 24 jam, sedangkan bila terjadi defisiensi vitamin B12 dapat mencapai 300 mg per 24 jam (Gibson 2005). Konsentrasi MMA serum dikategorikan normal bila konsentrasi MMA serum < 638 nmol/L, kadar MMA serum ≥ 638 nmol/L dikategorikan defisiensi vitamin B12 (Sauberlich HE 1999). 4. Homocysteine Homocysteine adalah bentuk antara dari metabolisme asam amino esensial yang mengandung sulfur yaitu methionine. Homocycteine akan dirubah kembali menjadi methionine pada proses remetilasi yang tergantung pada folat dan kobalamine, atau transformasi menjadi cysteine melalui enzim yang tergantung pada vitamin B6 yaitu cystathionine B synthase. Namun konsentrasi homocysteine plasma tidak dapat menunjukkan apakah subyek defisiensi vitamin B12 atau folat. Kedua defisiensi tersebut menyebabkan peningkatan total homocysteine plasma. Kelebihan intik protein dan methionine dapat meningkatkan homocysteine dalam plasma dengan meningkatkan sintesis homocysteine (Sauberlich HE 1999). Dengan demikian kadar homocysteine plasma kurang spesifik sebagai indikator defisiensi vitamin B12. Konsentrasi total homocysteine plasma dapat diukur dengan “fluorescent atau electrichemical detection”, prosedur “enzymatic” atau dengan metode “capillary gas chromatography mass spectrometry” (Gibson 2005). 5. Deoxyuridine suppression test (DxdUST) Penilaian ini digunakan untuk mendeteksi defisiensi vitamin B12 dan/atau folat. Dalam penilaian ini, sum-sum tulang, lymposit darah periperal, atau sampel darah keseluruhan dari individu dipreinkubasi dalam tes tube dengan nonradioaktif deoxyuridine dan kemudian dengan prekursor radioaktif DNA (Herbert V 1996; Gibson 2005). Penilaian dengan Deoxyuridine suppression test ini telah digunakan dalam beberapa penelitian. Namun prosedurnya agak sedikit lambat dan membosankan untuk dilakukan, tidak praktis dan tidak reliable untuk digunakan secara luas (Sauberlich HE 1999; Gibson 2005). 6. Schilling test Bila defisiensi vitamin B12 telah didiagnosa, hal yang penting diketahui adalah apakah penyebabnya gangguan penyerapan. Hal ini dapat diperoleh dengan menentukan absorbsi pemberian dosis rendah secara oral (0,5 – 2 μg) dalam keadaan puasa, dengan mengukur pengeluaran dari urin. Prosedur ini disebut dengan “Schilling test”. Namun schilling test mempunyai beberapa kelemahan antara lain tes ini tidak mempunyai standar yang baik diantara laboratorium; waktu yang diperlukan cukup lama sejak diberi dosis oral sampai dikeluarkan melalui urin, level isotop dosis, dan lamanya pengumpulan urin (Gibson 2005). Berdasarkan uraian diatas tentang beberapa indikator penilaian status vitamin B12 berikut pada Tabel 4 diuraikan secara ringkas kekuatan dan kelemahan berbagai metode dan indikator penilaian status vitamin B12. Dari beberapa jenis indikator dan metode penilaian status vitamin B12 yang dijelaskan masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan, dengan demikian dalam pemilihan indikator atau metode yang digunakan perlu disesuaikan dengan tujuan penelitian serta mempertimbangkan situasi dan kondisi subyek dan lapangan penelitian serta ketersediaan sarana pendukung seperti laboratorium beserta peralatan dan metodenya. Tabel 4 Kekuatan dan kelemahan beberapa indikator/metode penilaian status vitamin B12 No Indikator /Metode Kekuatan Kelemahan 1 Vitamin B12 serum/ Transcobalamin II (TC II) Metode : Radioassay Metode sederhana, waktu singkat Hanya 20 % vitamin B12 yang terikat pada TC II, kurang sensitif Kurang spesifik, sulit dibedakan dengan defisiensi folat 2 Vitamin B12 dalam eritrosit - 3 Methylmalonic acid (MMA) dalam serum atau urin Metode: gas chromatographymass spectrometry Cukup Spesifik dan Sensitif, Metode reliable Teknik pengukuran sulit, waktu relatif lama, bila menggunakan urin perlu sampel urin selama 24 jam 4 Homocystein plasma - 5 Deoxyuridine suppression test (DxdUST) - 6 Schilling test Dapat mengukur tingkat absorpsi Kurang spesifik, sulit dibedakan dengan defisiensi folat Prosedur agak lambat, membosankan, kurang praktis, dan tidak reliable Belum ada standar yang baku, waktunya lama Hemoglobin dan Vitamin B12 Hemoglobin adalah suatu molekul protein dalam sel-sel darah merah yang membawa oksigen dari paru-paru keseluruh jaringan tubuh, dan membawa kembali karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru. Besi yang terkandung dalam hemoglobin akan memberi warna merah pada darah. Sebagaimana umumnya protein, “blueprint” untuk hemoglobin dibuat dalam DNA (bahan dasar pembentuk gen). Hemoglobin terbuat dari dua protein yang sama disebut “stick together”. Kedua protein ini harus ada agar hemoglobin dapat mengambil dan melepas oksigen secara normal. Komponen protein tersebut adalah Alpha dan Betha. Pada saat seseorang belum lahir (janin) protein betha tidak ada, yang ada protein gamma dan digantikan secara otomatis pada saat seseorang lahir (http://sickle.bwh.harvard.edu/hemoglobin.html). Level hemoglobin ditunjukkan sebagai jumlah hemoglobin dalam gram per desiliter darah (g/dl). Batas normal hemoglobin tergantung pada umur dan mulai remaja dibedakan menurut jenis kelamin. Bila kadar hemoglobin lebih rendah dari batas normal maka seseorang disebut anemia. Batasan normal yang digunakan di Indonesia yang ditetapkan oleh Depkes RI (2003) adalah : • Anak balita : 11 g/dl • Anak usia sekolah : 12 g/dl • Wanita dewasa : 12 g/dl • Pria dewasa : 13 g/dl • Ibu hamil : 11 g/dl • Ibu menyusui >3 bln : 12 g/dl Dalam hubungannya dengan vitamin B12 dapat dijelaskan dari fungsi vitamin B12 pada pembentukan hemoglobin. Vitamin B12 berperan sebagai koenzim yang dibutuhkan beberapa reaksi biologis penting. Ada dua bentuk koenzim tersebut yaitu methylcobalamin yang terdapat dalam plasma, dan 5deoxyadenosyl-cobalamin yang ditemukan dalam hati, sebagian besar jaringan tubuh, dan makanan (Gibson, 2005). Salah satu fungsi vitamin B12 sebagai kofaktor untuk L-methilmalonyl-CoA mutase. Enzim ini membutuhkan adenosylcobalamin untuk mengubah L-methylmalonyl-CoA menjadi succinylCoA. Reaksi biokimia ini berperan penting dalam produksi energi dari lemak dan protein. Succinyl-CoA juga diperlukan untuk sintesis hemoglobin yang merupakan pigmen pada sel darah merah sebagai pembawa oksigen. Sehingga bila terjadi terjadi kekurangan vitamin B12 dalam tubuh akan berpengaruh pada pembentukan hemoglobin (Carmel R 2006; Herbert V 1996; Wardlaw G et al 1992). Penelitian Kartika V dkk (1998) di Bogor menunjukkan bahwa intervensi melaui pemberian tablet yang berisi campuran besi, folat dan vitamin B12 paling efektif menurunkan anemia defisiensi vitamin B12 dibanding tablet besi + vitamin B12 atau besi + folat. Daya Ingat Daya ingat atau ingatan (memory) adalah kemampuan untuk mengingat kembali suatu pikiran paling tidak sekali dan biasanya berulang-ulang. Sedangkan belajar adalah kemampuan sistem syaraf untuk menyimpan ingatan. Menurut Morgan et al (1986), ada tiga jenis pemrosesan informasi, yaitu proses encoding (pengkodean), proses storage (penyimpanan), dan proses retrival (mendapatkan kembali). Encoding merupakan proses penerimaan input sensori dan transformasi input tersebut menjadi format atau kode yang dapat disimpan, atau disebut juga dengan proses persiapan stimulus untuk dapat disimpan. Dalam proses persiapan tersebut melibatkan pengorganisasian stimuli dan kemudian dilanjutkan dengan proses penyimpanan. Penyimpanan merupakan peletakan informasi yang telah dikode ke dalam memori. Sedangkan retrieval merupakan proses mendapatkan akses pada informasi yang telah disimpan dan dikode ketika informasi tersebut diperlukan. Dengan demikian tujuan pengkodean adalah membuat informasi menjadi siap untuk disimpan dan mempermudah pemanggilan informasi tersebut bila diperlukan. Kemudahan untuk memanggil kembali informasi sangat tergantung pada proses encoding (Morgan et al. 1986). Ada dua kemungkinan level pemrosesan dalam encoding menurut Craik dan Lockhart (1972), yaitu berdasarkan makna atau semantik dan kedalaman pemrosesan. Analisis semantik menghasilkan pemrosesan yang lebih bermakna daripada analisis nonsemantik. Encoding yang lebih mendalam berdampak pada ingatan yang semakin baik. Dengan demikian proses encoding sangat ditentukan oleh strategi yang dipilih oleh seseorang dan informasi lain yang menyertai stimulus. Strategi yang digunakan dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki seseorang, dan seberapa besar usaha yang dilakukan untuk melakukan proses pengkodean tersebut. Suatu sistem pemrosesan informasi dikemukakan oleh Atkinson dan Shiffrin yang disebut juga dengan “Atkinson and Shiffrin’s Store Model” (Gambar 6). Di dalam model tersebut dijelaskan bahwa ada tiga bagian sistem pemrosesan informasi, yaitu sensory register, short-term memory store, dan longterm memory store yang berperan sebagai hardware dari sistem. RESPONSE OUTPUT STIMULUS INPUT RESPONS S E N S O R Y LONG TERM MEMORY STORE storage R E G I S T E R SHORT TERM MEMORY STORE Recognition Recall retrieval CONTROL PROCESSES OR MENTAL STRATEGIES Attention Rehearsal Organization Elaboration Recontruction Gambar 6 Sistem pemrosesan informasi : Atkinson and Shiffrin’s store model (Berk 1989) Model tersebut menunjukkan adanya control processes yang berperan sebagai software dari sistem. Control processes merupakan strategi yang membantu seseorang meningkatkan efisiensi dan kapasitas penyimpanan (Berk 1989). Seperti halnya program komputer, control processes dapat mengarahkan aktivitas pada setiap tahapan pemrosesan informasi, menjaga agar informasi tetap berada pada tempatnya yang merupakan bagian sistem memori, dan memastikan seluruh sistem bekerja secara harmonis. Dengan demikian control processes membantu manusia untuk mengatasi keterbatasan yang terkait dengan seberapa banyak informasi yang dapat diproses. Ada berbagai tingkat daya memori (ingatan) yang diklasifikasi sebagai berikut : 1. Ingatan sensoris Kemampuan untuk menyimpan sinyal sensoris di dalam daerah sensoris otak untuk jangka waktu yang sangat singkat setelah pengalaman sensoris yang sebenarnya. Menurut Seifort KL & Hoffnung RJ (1997) biasanya sinyal ini tetap tersedia untuk analisa selama beberapa ratus millidetik tetapi digantikan oleh sinyal sensoris baru dalam waktu kurang dari satu detik, proses ini merupakan stadium awal proses ingatan. 2. Ingatan jangka pendek (Short term memory) Ingatan jangka pendek adalah ingatan mengenai beberapa fakta, kata, bilangan, huruf atau keterangan-keterangan kecil lainnya selama beberapa detik sampai satu menit atau lebih pada suatu waktu. Menurut Berk (1989) dan Seifort KL & Hoffnung RJ (1997) pada memori jangka pendek informasi tinggal hanya beberapa saat mungkin sekitar 20 detik. Salah satu segi terpenting dari ingatan jangka pendek adalah informasi dalam simpanan ingatan ini segera tersedia sehingga orang tersebut tidak perlu mencari-cari hal tersebut di dalam ingatannya seperti yang dilakukan ketika mencari informasi yang telah disimpan di dalam simpanan ingatan jangka panjang. Menurut Seifort dan Hoffnung (1997) jenis informasi yang masuk pada memori jangka pendek biasanya terbatas pada kira-kira tujuh keterangan kecil. Selanjutnya dikatakan bahwa ada perbedaan antara anak-anak dan dewasa pada kemampuan test digit. Pada anak-anak biasanya hanya dapat mengingat tiga digit sedangkan orang dewasa dapat mengingat sampai tujuh digit. 3. Ingatan jangka panjang (Long term memory) Ingatan jangka panjang merupakan simpanan informasi di dalam otak yang dapat diingat kembali pada suatu waktu di masa yang akan datang bermenitmenit, berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan atau bertahun-tahun kemudian. Jenis ingatan ini disebut ingatan pasti (permanen). Ingatan jangka panjang dapat dibagi dua, yaitu : ingatan sekunder yaitu ingatan jangka panjang yang disimpan dengan jejak ingatan yang lemah, karena itu mudah untuk dilupakan. Kadangkadang sulit untuk diingat kembali; membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mencari informasi tersebut. Ingatan tersier adalah ingatan yang telah sedemikian melekat di dalam pikiran sehingga ingatan tersebut biasanya dapat bertahan seumur hidup. Sangat kuatnya jejak ingatan pada jenis ingatan ini membuat informasi yang disimpan tersedia dalam sekejap mata. Proses ingatan ini berlangsung dalam otak, dimana otak akan dapat berfungsi secara optimal dengan adanya suplai glukosa. Menurut Morgan et al (1986) ingatan sesaat dapat berlangsung selama 20 atau 30 detik. Informasi dalam ingatan sesaat yang tidak mengalami pemrosesan lebih lanjut akan hilang dalam waktu sekitar 15 detik. Informasi tersebut akan dipertahankan sedikit lebih lama apabila mengalami pemrosesan secara dangkal. Namun apabila mengalami pemrosesan yang lebih mendalam, informasi tersebut akan dipertahankan jauh lebih lama. Selanjutnya dikatakan bahwa informasi yang megalami pemrosesan lebih mendalam, yakni perhatian yang terfokus pada informasi tersebut (mungkin melalui pengulangan-pengulangan) atau informasi dihubungkan dengan informasi lain yang telah tersimpan di memori, maka akan dimasukkan ke dalam ingatan jangka panjang. Informasi yang sudah ditempatkan di dalam ingatan jangka panjang biasanya merupakan informasi yang sudah terorganisasi ke dalam kategori. Informasi tersebut akan bertahan selama beberapa hari hingga selama hidup. Pengukuran Daya Ingat Beberapa perbedaan yang terdapat dalam memori tergantung pada bagian mana dari model pemrosesan informasi yang digunakan. Memori jangka pendek merupakan suatu ciri dari pemikiran informasi sekeliling dan hanya untuk suatu periode yang pendek mungkin hanya sekitar 20 detik. Kemampuan memori jangka pendek pada anak usia sekolah sekolah lebih sedikit dibandingkan dengan orang dewasa. Berdasarkan tes digit pada usia sekitar 8 tahun biasanya hanya mengingat 3 digit sedangkan orang dewasa dapat mengingat sampai 7 digit (Seifort KL & Hoffnung RJ 1997). Pengukuran ingatan dapat dilakukan dengan dua cara (Seifort KL & Hoffnung RJ 1997) yaitu mengenali kembali (recognation memory) dan mengingat kembali (recall memory). Pada recognation memory seseorang hanya membandingkan stimulus atau isyarat yang diberikan dengan pengalaman atau pengetahuan yang sebelumnya dia peroleh. Misalnya ketika anak-anak melihat gambar atau foto-foto saat liburan beberapa bulan yang lalu, mereka akan dapat menggambarkan kembali hal-hal yang terjadi saat liburan tersebut yang sebelumnya sudah mereka lupakan. Sedangkan pada recall memory yang terjadi sebaliknya, seseorang diminta untuk mengingat kembali informasi tanpa memberikan rangsangan atau isyarat tertentu. Misalnya seseorang diminta untuk mengingat nomor telepon temannya tanpa melihat nomor tersebut. Recall umumnya lebih sulit dibandingkan dengan recognation, akan tetapi dalam perkembangannya menunjukkan pola yang sama yaitu mengalami perubahan sesuai dengan pertambahan umur. Alat bantu yang digunakan dalam pengukuran ingatan seseorang dapat berupa huruf, kata atau gambar. Menurut penelitian Kustiyah (2004) pada anak sekolah, dalam pengukuran ingatan lebih baik menggunakan gambar dibandingkan dengan kata. Hal ini terkait dengan sistem pemrosesan informasi yang lebih mendalam pada gambar dibanding kata. Hal ini didukung oleh Paivio (1971) yang mengemukakan bahwa stimulan berupa gambar lebih mudah diingat karena mempunyai kode ganda yaitu kode visual dan verbal. Sedangkan menurut Nelson (1979) gambar lebih mudah diingat daripada kata-kata karena kode visualnya superior, dan representasi dari gambar lebih mudah dibedakan daripada kata-kata. Selanjutnya dikatakan oleh Norman (1976) bahwa stimulan yang dikenal misalnya berupa gambar yang dibuat berdasarkan kondisi lingkungan setempat sesuai dengan struktur kognitif, karena stimulan tersebut akan diproses secara lebih mendalam dan lebih bertahan lama daripada stimulan yang kurang dikenal oleh contoh. Hubungan Gizi dengan Daya Ingat Daya ingat (ingatan) anak merupakan suatu proses yang terjadi di otak tentunya sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan organ otak dan bagaimana stimulasi atau rangsangan diberikan agar otak dapat berkembang optimal menjalankan fungsinya. Keadaan gizi sejak janin dalam kandungan sampai bayi lahir dan usia dini perlu terus dipertahankan secara optimal sampai anak usia sekolah, karena akan berpengaruh pada perkembangan otak. Menurut Pollit (1990) apabila anak lahir dengan berat badan rendah akan mengalami gangguan fungsi kognitif dan kecerdasan intelektual pada usia sekolah. Kekurangan gizi pada masa bayi hingga usia 2 tahun dapat mengakibatkan terganggunya perkembangan mental dan kemampuan motoriknya, bahkan dapat mengakibatkan cacat permanen. Gizi yang tidak seimbang, gizi buruk, serta derajat kesehatan anak yang rendah akan menghambat pertumbuhan otak, dan pada gilirannya akan menurunkan kemampuan otak dalam mencatat, menyerap, menyimpan, memproduksi dan merekonstruksi informasi. Selanjutnya dikatakan bahwa pertumbuhan otak anak ditentukan oleh bagaimana cara orangtua mengasuh dan memberi makan serta menstimulasi anak pada usia dini. Namun stimulasi psikososial untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan anak tidak akan bermanfaat bagi masa depan anak jika derajat kesehatan dan gizi anak pada kondisi yang tidak baik. Keadaan gizi pada usia dini yang terus dipertahankan secara optimal sampai anak usia sekolah, akan berpengaruh besar pada perkembangan otak (Jalal F 2003). Banyak penelitian yang menilai dampak defisiensi gizimikro pada perkembangan anak merupakan pengaruh langsung, kemungkinan melalui perubahan anatomi syaraf atau neurotransmission. Namun demikian, ada kemungkinan lain bahwa perubahan perilaku berhubungan dengan defisiensi gizimikro disamping perawatan anak, sehingga mempengaruhi perkembangan anak dimasa selanjutnya (Black 2003). Faktor yang berpengaruh terhadap sintesis neurotransmitter di dalam syaraf antara lain keberadaan prekursor dan enzimenzim. Prekursor tersebut tidak dapat disintesis oleh otak sehingga harus diperoleh dari sirkulasi darah. Kadar prekursor dalam plasma darah secara normal berfluktuasi tergantung pada asupan makanan dan daya serap (bioavailabilitas). Pada kondisi normal, peningkatan konsumsi makanan yang mengandung prekursor akan menstimulasi pembentukan neurotransmitter. Namun laju prekursor memasuki otak bervariasi sesuai dengan konsentrasinya dalam plasma (Kanarek dan Mark-Kaufman 1991). Selanjutnya dikatakan bahwa sejumlah vitamin juga mempunyai peranan yang penting dalam mendukung fungsi syaraf pusat dan perkembangan manusia. Vitamin ini meliputi tiamin, niasin, piridoksin, cobalamin (vitamin B12), dan asam folat, yang sudah banyak dibuktikan melalui penelitian terhadap hewan percobaan. Hubungan antara zat gizi dengan fungsi kognitif merupakan topik kesehatan masyarakat yang menarik untuk dibicarakan pada saat ini, terutama zatzat gizimikro. Vitamin B12, vitamin B6 dan asam folat mempengaruhi fungsi kognitif terutama melalui perannya sebagai kofaktor dalam pembentukan dan pemeliharaan sistem syaraf pusat (Bryan J et al 2002) melalui dua proses mekanisme. Pertama, disebut hipotesis hypomethyllation bahwa vitamin B secara langsung mempengaruhi penghambatan penyediaan methyl yang diperlukan pada reaksi-reaksi komponen sistem syaraf pusat seperti protein, pospolipid, DNA; metabolisme neurotransmitter seperti monoamin (depamin, norepineprin, dan serotonin), melatonin, yang berperan penting untuk status neurologi dan psikologi. Kedua, hipotesis homosyistein, bahwa asam folat, vitamin B6 dan vitamin B12 secara tidak langsung dan mungkin dalam waktu yang lama berpengaruh pada otak melalui cerebrovasculature, dan berfungsi memelihara integritas sistem syaraf pusat melalui perannya dalam mencegah penyakit vasculer, yang sangat penting dalam fungsi kognitif. Beberapa penelitian yang menunjukkan hubungan antara defisiensi vitamin B12 dengan penurunan fungsi kognitif pada subyek kelompok dewasa dan usia lanjut telah banyak dilakukan. Hasil penelitian Bryan J et al (2002) di Australia menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dari supelemen vitamin B12, vitamin B6 dan asam folat terhadap kemampuan memori yang diukur melalui kecepatan pemerosesan, kemampuan mengingat dan mengenal serta kemampuan verbal. Sedangkan penelitian Lewerin C et al (2005) pada kelompok lanjut usia di swedia, menunjukkan bahwa plasma homosistein dan serum Methyl Malonic Acid (MMA) yang tinggi berkorelasi terbalik dengan kemampuan kognitif dan kemampuan bergerak. Pemberian vitamin B12 secara oral dapat menormalkan kadar plasma homosistein dan serum MMA, walaupun tidak berpengaruh pada kemampuan kognitif dan kemampuan bergerak. Hal ini kemungkinan disebabkan penurunan fungsi kognitif saat kekurangan vitamin tidak dapat dikembalikan (irreversible) atau mungkin dosis dan lama pemberian yang kurang tepat. Penelitian lain oleh Ellen MW et al (2002) dari pusat penelitian kedokteran University of Pittsburgh, mengemukakan bahwa subyek dengan level vitamin B12 yang rendah secara signifikan mempunyai skor kognitif yang lebih rendah dan skor demensia yang lebih tinggi dibandingkan subyek yang mempunyai level vitamin B12 normal. Selain berkaitan dengan defisiensi vitamin B12, penurunan fungsi kognitf sering juga dihubungkan dengan zat gizi lain seperti asam folat yang merupakan komponen penting dalam pembentukan hemoglobin disamping zat gizi lain. Quadri P et al (2004) mengemukakan bahwa defisiensi folat dapat mendahului terjadinya Alzheimer Disease (AD) dan Vascular Dementia (VaD). Hiperhomosisteinemia atau tingginya kadar homosistein dalam darah juga merupakan faktor risiko awal terjadinya penurunan kognitif pada lanjut usia, walaupun perannya dalam demensia masih belum jelas sehingga masih diperlukan studi longitudinal. Morris MS et al (2007) dalam penelitiannya pada kelompok usia lanjut di Amerika menemukan bahwa status vitamin B12 yang rendah berhubungan dengan anemia dan penurunan fungsi kognitif walaupun serum folat tinggi. Selanjutnya dikatakan bahwa bila status vitamin B12 normal dan konsentrasi folat tetap tinggi akan dapat mencegah penurunan fungsi kognitif. Hal ini menunjukkan vitamin B12 berkaitan dengan fungsi kognitif. Hasil penelitian Mooijaart SP et al (2005) menunjukkan peningkatan serum homosistein dan penurunan asam folat dihubungkan dengan penurunan kognitif pada lanjut usia, tetapi tidak dapat diprediksi besarnya penurunan kognitif tersebut. Namun demikian penelitian lain oleh Eussen SJ et al (2006) menemukan bahwa suplementasi oral dengan vitamin B12 atau dikombinasi dengan asam folat selama 24 minggu pada lanjut usia tidak dapat memperbaiki fungsi kognitif. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan fungsi kognitif sulit dikembalikan menjadi kondisi normal, sehingga yang paling baik dilakukan adalah pencegahan agar tidak terjadi penurunan fungsi kognitif. Hubungan antara defisiensi vitamin B12 dengan fungsi kognitif pada anak-anak juga menjadi topik bahasan yang cukup menarik walaupun masih terbatas. Studi kasus anemia bayi dan ibu ( yang tidak mampu menyerap vitamin B12) atau ibu vegetarian. Bayinya akan berisiko untuk terhambatnya perkembangan – milestones. Studi observasi anak-anak yang defisiensi vitamin B12 dari ibu yang hanya mengkonsumsi pangan nabati di Belanda mengalami hambatan perkembangan motorik dan bahasa dibandingkan dengan bayi dari ibu yang mengkonsumsi pangan nabati dan hewani. Pada usia 12 tahun, anak-anak dari ibu yang makan pangan nabati mempunyai tingkat ‘methilmalonic acid’ lebih tinggi dan skor yang lebih rendah pada penilaian kognitif (termasuk Raven’s progressive matrices, Digit Span dan Block Design) dibandingkan anak-anak dari ibu yang mengkonsumsi pangan nabati dan hewani (Black 2003). Penelitian Kustiyah (2004) terhadap murid sekolah dasar kelas empat, lima dan enam di kabupaten Bogor, tentang pengaruh pemberian makanan kudapan terhadap perubahan kadar glukosa darah, hemoglobin dan daya ingat anak. Daya ingat anak diukur dengan metode mengingat kata dan gambar. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa pemberian makanan kudapan berpengaruh positif nyata terhadap kadar glukosa darah. Sedangkan konsumsi protein dan zat besi berpengaruh positif terhadap kadar hemoglobin. Dengan mengontrol variabel konsumsi karbohidrat, konsumsi protein dan kadar hemoglobin, kadar glukosa darah berpengaruh positif sangat nyata terhadap daya ingat anak terhadap gambar. Sedangkan daya ingat terhadap kata dipengaruhi secara nyata oleh kadar hemoglobin dan konsumsi energi. Sungtthong R et al (2002) dalam studinya pada anak-anak sekolah di Thailand menemukan bahwa terjadi peningkatan fungsi kognitif sejalan dengan meningkatnya kadar hemoglobin pada anak yang mengalami defisiensi besi, akan tetapi tidak terjadi perubahan kadar hemoglobin pada anak-anak yang mempunyai serum ferritin normal. Anak-anak dengan anemia defisiensi besi mempunyai fungsi kognitif yang rendah (IQ point dibawah rata-rata), sedangkan anak-anak yang tidak mengalami defisiensi besi dan kadar hemoglobinnya normal mempunyai fungsi kognitif yang lebih baik (IQ point diatas rata-rata). Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan, berikut ini pada Tabel 5 dapat dilihat beberapa penelitian yang berkaitan dengan vitamin B12 dengan berbagai disain dan subyek penelitian. Tabel 5 Beberapa hasil studi tentang defisiensi vitamin B12 dengan berbagai disain penelitian No Sumber 1 Eussen SJ et al 2006 2 Hin H et al 2006 Tempat/ negara Belanda Inggris 3 Eussen SJ et al 2005 Belanda 4 Dhonuk sheRutten RAM et al 2005 Belanda Disain, subyek Intervensi Hasil/kesimpulan Double blind placebo controlled trial, 195 orang usia lanjut (≥ 70 tahun) Suplemen kapsul - 1000 μg vitamin B12 - 1000 μg vitamin B12 + 400 μg asam folat - selama 24 minggu - Suplemen vitamin B12 atau kombinasi dengan asam folat dapat memperbaiki status defisiensi vitamin B12 tetapi tidak memperbaiki fungsi kognitif Cross sectional study dilanjutkan intervensi 3 bulan, 1000 orang usia lanjut (≥ 75 tahun) Khusus yang mempunyai serum vitamin B12 < 133 pmol/L diberi suplemen 1000 μg intramuscular/ bulan selama 3 bulan - Randimized parallel group double blind dose finding trial, 120 orang usia lanjut Two double blind randomized controlled intervention study, usia lanjut yang defisiensi vitamin B12 ringan (≥ 70 tahun) Suplemen vitamin B12 secra oral, dosis 2.5, 100, 250, 500, 1000 μg selama 16 minggu - Dosis yang paling rendah dapat menormalkan kondisi defisiensi vitamin B12 ringan - Susu fortifikasi vit B12 1000 μg/125 ml /hari Kapsul vitamin B12 1000 μg/hr Selama 12 minggu 5 Tucker KL et al 2004 Am eri ka Se rik at Randomized double blind trial 189 orang usia 50-85 tahun Intervensi 1 cangkir sarapan sereal yang difortifikasi dengan 440 μgasam folat, 1.8 mg vitamin B6 dan 4.8 μg vitamin B12 selama 14 minggu 6 Siekma nn JH et al 2003 Kenya Eksperimen: studi efek pangan hewani secara random menurut sekolah, 555 anak sekolah (5-14 tahun) Makanan tambahan - daging sapi 6085 g/hr - susu 200-250 ml/hr - Suplemen energi - selama 1 tahun 7 Lewerin C et al Swedia Placebocontrolled Kapsul berisi 0.5 μg vitamn B12 + - 13 persen partisipan menpunyai kadar vitamin B12 rendah Intervensi 3 bulan dapat memperbiki status biokimia vitamin B12 namun tidak memperbaiki kondisi klinis - Pemberian vitamin B12 melalui susu merupakan alternatif yang efektif pengganti kapsul untuk memperbaiki status vitamin B12 Proporsi defisisensi vitamin B12 turun dari 9 % menjadi 3 % - Rata-rata vitamin B12 plasma meningkat 401±13 menjadi 480±18 pg/mL - Pemberian daging dan susu selama 1 tahun dapat menurunkan prevalensi defisiensi vitamin B12 - - 64 % mempunyai total homocyctei 2000 randomized study 0.8 μg asam folat + 3 mg vitamin B6 Diberikan selama 4 bulan - 8 9 Rustan E dkk 2001 Kartika V dkk 1998 Indonesia Indonesia Randomised clinical trial with double blinded placebo controlled study 74 ibu hamil anemia Suplemen kapsul 200 mg ferrosus sulfat dan 0.25 mg asam folat Eksperimental study 155 WUS yang anemia suplementasi pil besi + folat + vitamin B12 - - - - yang tinggi dan 11 % mempunyai konsentrasi MMA yang tinggi Pemberian vitamin B dapat menormalkan kadar homocyctein dan MMA namun tidak mempebaiki fungsi kognitif Kadar homosistein awal penelitian tidak menunjukkan indikasi defisiensi folat dan vitamin B12 Dosis 250 mg folat optimal untuk menurunkan kadar homosistein plasma Intervensi pil besi + asam folat + vit B12 paling baik untuk menurunkan anemia sekalipun pola konsumsi yang rendah Alternatif lain adalah pil besi + vitamin B12. 10 Clarke R et al 2007 Inggris Cohort study 1993-2003, 1648 orang - status vitamin B12 yang rendah berhubungan dengan penurunan kognitif 11 Hoey L et al 2007 Inggris Cross sectional study, 662 orang dewasa - Fortifikasi pangan secara sukarela berhubungan dengan peningkatan intik pangan dan status biomarker folat serta metabolisme vitamin B12 dan menguntungkan bagi kesehatan 12 Morris MS et al 2007 Boston Amerika Cross sectional study, 1458 orang umur ≥ 65 tahun - Status vitamin B12 yang rendah berhubungan dengan anemia dan penurunan fungsi kognitif walaupun serum folat tinggi - Bila status vitamin B12 normal dan folat tinggi akan dapat mencegah penurunan fungsi kognitif 13 Bor MV et al 2006 Denmark Cross sectional study Wanita postmenopause (41-75 tahun) - 14 Clarke R et al 2004 Inggris Cross sectional study, 3511 orang usia lanjut ≥ 65 tahun - prevalensi defisiensi vitamin B12 meningkat dengan bertambahnya umur - defisiensi vitamin B12 ditemukan pada 1 dari 20 orang yang berumur 65-74 tahun dan 1 dari 10 orang yang berumur ≥75 tahun 15 Quadri P et al 2004 Itali Cross sectional study 228 usia lanjut - - Intik 6 μg perlu untuk memperbaiki semua ukuran variabel vitamin B12 pada wanita postmenopause konsentrasi folat yang rendah berhubungan dengan gangguan kognitif Hcy yang tinggi merupakan risiko awal terjadinya gangguan kognitif - 33 persen defisiensi vitamin B12 (11 % vitamin B12 plasma rendah dan 22 % vitamin B12 plasma marjinal) 16 Rogers LM et al 2003 Guatemal a Cross sectional study, 553 anak sekolah (8-12 tahun) 17 Clarke R et al 2003 Inggris Cross sectional study 1562 orang usia lanjut ≥ 65 tahun - Prevalensi defisiensi vitamin B12 10 % pada usia 65-74 tahun dan 20 % pada usia ≥ 75 tahun 18 Monsen AB et al 2003 Norwegia Cross sectional study 700 anak umur 4 hari – 19 tahun - 19 Hao Ling et al 2003 China Cross sectional study 2407 orang dewasa (35-64 tahun) - Prevalensi defisiensi vitamin B12 11 % di China selatan dan 39 % di China Utara - Defisiensi vitamin B12 dan folat 17 % Pada bayi umur 6 minggu - 6 bulan konsentrasi Hcy dan MMA lebih tinggi dari kelompok umur lain di China utara dan 1 % di China selatan - prevalensi vitamin B12 lebih tinggi pada wanita dibanding pria - defisiensi vitamin B12 berhubungan dengan intik pangan hewani yang rendah terutama ikan dan produk susu 20 Kwan LL et al 2002 Amerika Serikat Cross sectional study 449 orang Hispanic dan 154 orang nonHispanic umur 60-93 tahun - - Prevalensi defisiensi vitamin B12 17 % pada Hispanic dan 10 % pada nonHispanic Prevalensi yang tinggi pada usia lanjut Hispanic berhubungan dengan ketidakcukupan intik vitamin B12 21 Sungtth ong R et al 2002 Thailand Cross sectional study 427 anak sekolah - Fungsi kognitif meningkat dengan meningkatnya kadar Hb pada anak-anak yang defisiensi besi 22 Shibly UF 1999 Indonesia Cross sectional study 70 orang penderita PJK 36 orang nonpenderita PJK - Defisiensi vitamin B12 masing-masing 30 % pada penderita PJK dan nonpenderita PJK 23 Tucker KL et al 2000 Amerika Serikat Cross sectional study 2999 orang dewasa umur ≥ 26 tahun - 39 % plasma vitamin B12 < 350 pg/mL 17 % plasma vitamin B12 < 250 pg/mL 9 % plasma vitamin B12 < 200 pg.mL Plasma vitamin B12 berhubungan dengan intik vitamin B12 Penggunaan suplemen, sereal fortifikasi dan susu dapat mencegah penurunan konsentrasi vitamin B12 - - 24 Martoat modjo S dkk 1973 Indonesia Cross sectinal study - 217 wanita hamil triwulan II dan III - Kekurangan vitamin B12 pada wanita hamil di Jawa barat 28 % dan 7 % di Jawa tengah