Identifikasi Keragaman Gen β-laktoglobulin pada Sapi Perah

advertisement
 HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi Gen ß-laktoglobulin
Penelitian ini berhasil melakukan amplifikasi terhadap gen ß-laktoglobulin
pada sapi perah Friesian Holstein (FH) betina laktasi yang berasal dari peternak di
Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU), Lembang. Fragmen gen βlaktoglobulin ini berhasil diamplifikasi dengan menggunakan primer yang mengacu
pada Karimi et al. (2009). Panjang produk hasil amplifikasi adalah 247 pb (pasang
basa) yang terletak pada ekson 4. Tingkat keberhasilan amplifikasi DNA ditentukan
oleh konsentrasi sampel DNA, taq polymerase, dinukleotida, ion Mg, buffer dan
primer (Yuwono, 2006). Proses amplifikasi dilakukan dengan menggunakan metode
Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCRRFLP). Hasil amplifikasi fragmen Gen β-laktoglobulin dengan metode PCR pada
sapi FH yang divisualisasikan pada gel agarose 1,5% ditampilkan pada Gambar 3.
M
1
2
3
4
5
6
7
8
500 pb
200 pb
100 pb
247 pb
Keterangan : M = Marker; Nomor 1-8 : Ruas Gen β-laktoglobulin
Gambar 3. Pita Amplifikasi Fragmen Gen β-laktoglobulin dengan Metode PCR
pada Sapi FH
Suhu annealing menjadi dasar awal dalam proses PCR karena memiliki
pengaruh yang cukup besar terhadap hasil dari produk PCR yang diperoleh. Suhu
annealing adalah kisaran suhu yang membuat primer menempel (komplementer) ke
DNA cetakan. Suhu annealing menjadi sangat penting dalam proses amplifikasi,
dikarenakan proses perpanjangan DNA dimulai dari primer (Muladno, 2002). Suhu
annealing diketahui mampu mempengaruhi akan menempel tidaknya primer dengan
fragmen DNA target pada saat dilakukan proses PCR. Suhu annealing yang biasa
20
digunakan yaitu antara 50-65 °C dan pada penelitian ini suhu annealing yang
digunakan, yaitu 60 °C sesuai dengan literatur dari Karimi et al. (2009).
Keragaman Gen β-laktoglobulin
Hasil amplifikasi serta hasil pemotongan terhadap gen β-laktoglobulin
dengan menggunakan enzim restriksi HaeIII menunjukkan hasil yang sesuai dengan
literatur dari Karimi et al. (2009), yang dilaporkan panjang fragmen gen diketahui
yakni sepanjang 247 bp dengan pemotongan situs
basa pada posisi
5’....GG|CC....3’yang terletak pada ekson 4. Pemotongan ini dapat dilihat pada
Gambar 3 dan posisi penempelan primer pada sekuens gen β-laktoglobulin dapat
dilihat pada Gambar 4 :
Forward
5161
5221
5281
5341
5401
ttccagcctt
tcttctgcat
ggtgccaacc
gggggacggt
gtcccgccag
gaatgagaac
ggagaacagt
ctggctgccc
gggagcaggg
gagagggtgg
aaagtccttg
gctgagcccg
agggagacca
agcttgattc
tcatataccg
tgctggacac
agcaaagcct
gctgtgtggt
ccaggaggag
ggagccggtg
cgactacaaa aagtacctgc
gg|cctgccag tgcctgggtg
cctcgctgca acgggg|ccgg
gagggatggg gggtccccga
tcctgggggc ctgtgggtga
Primer reverse
Keterangan : GG|CC menunjukkan situs pemotongan enzim HaeIII ; nukleotida yang digaris bawahi
menunjukkan primer
Gambar 3. Pemotongan gen ß-laktoglobulin dengan menggunakan enzim HaeIII
pada ekson 4
Alel A
: 5’-GCCTGG TCTGCC… ACGGGG|CCGGGG-3’
Alel B
: 5’-GCCTGG|CCTGCC… ACGGGG|CCGGGG-3’
Keterangan : Garis tebal menunjukkan posisi penempelan primer; Garis bawah menunjukkan posisi
terjadinya mutasi basa C - T ; Alel A memiliki basa T pada posisi ke-5263 ; Alel B
memiliki basa C pada posisi ke-5263
Gambar 4. Posisi Penempelan Primer pada Sekuen Gen β-laktoglobulin dengan
nomor akses GenBank X14710
Pemotongan dengan enzim HaeIII memiliki hasil potongan yang disebut
dengan blunt end (tumpul) karena tidak memiliki bagian molekul yang mempunyai
bentuk single stranded (tidak berpasangan) (Muladno, 2010). Hasil pemotongan
dengan enzim HaeIII menunjukkan bahwasanya terjadi pemotongan titik-titik pada
basa yang berbeda sehingga mampu menghasilkan genotipe yang berbeda pula.
21
Hasil analisis terhadap ruas atau pita gen ß-laktoglobulin dengan teknik PCR
RFLP menggunakan enzim restriksi HaeIII menunjukkan bahwa gen ß-laktoglobulin
yang diamati memiliki sifat beragam (polimorfik). Terdapat tiga genotipe, yaitu
genotipe AA, AB dan BB yang berasal dari dua alel, yaitu alel A dan alel B. Pola
Pita ß-laktoglobulin sapi FH dalam gel agarose 2,5% menggunakan enzim restriksi
HaeIII tampak seperti pada Gambar 6.
M
1
2
3
4
5
6
7
8
9
500 pb
200 pb
148 pb
99 pb
74 pb
100 pb
M
AB AB AB
AB AA
AB BB AB
BB
Elektroforesis gen ß-laktoglobulin
Keterangan : Huruf M = Marker; 1-9 = sampel; AA, AB, dan BB = hasil genotipe; AA = 99 dan 148
pb; AB = 74, 99 dan 148 pb; BB = 74 dan 99 pb
Gambar 6. Pola Pita ß-laktoglobulin Sapi FH dalam Gel Agarose 2,5%
menggunakan Enzim Restriksi HaeIII
Pengamatan terhadap gen β-laktoglobulin pada sapi perah Friesian Holstein
di Cilumber dan Pasir Kemis, Lembang diketahui memiliki dua macam alel, yakni
alel A dan alel B. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Yahyaoui (2003) bahwa
terdapat dua variant alel pada gen ß-laktoglobulin yaitu A dan B. Pernyataan yang
sama juga diungkapkan oleh Chung et al. (1995) bahwa pada sapi Korea juga
ditemukan adanya dua varian dari gen ß-laktoglobulin, yakni A dan B. Alel
merupakan bentuk alternatif dari gen yang terjadi akibat mutasi (Noor, 2008).
Pemotongan oleh enzim restriksi HaeIII terhadap ruas gen β-laktoglobulin
menghasilkan amplifikasi sekuen DNA dengan pemotongan pada dua titik, yakni
pada nukleotida ke-5263 dan 5337 atau dapat dikatakan pula terjadi pemotongan
pada posisi basa ke 74 pb dan 148 pb dari produk PCR. Hasil potongan
22
menghasilkan tiga macam fragmen dengan panjang berturut-turut 74 pb, 74 pb dan
99 pb. Akan tetapi, dikarenakan terjadi titik potong yang sama yakni pada titik ke 74
pb maka titik tersebut membentuk 1 pita dikarenakan saling berhimpitan. Perpaduan
dari ketiga fragmen tersebut menunjukkan genotipe dengan homozigot BB yang
berarti memiliki alel B (Gambar 5). Alel A ditunjukkan dengan hasil potongan
fragmen yang bergenotipe homozigot AA dengan pola pita yang memiliki dua titik
basa (99 pb dan 148 pb). Asumsi yang mendukung dalam penentuan tipe genotipe,
yaitu semua pita yang memiliki laju migrasi yang sama merupakan alel yang
homolog (Nei, 1987) atau alel merupakan gen yang menempati lokus-lokus yang
sama pada kromosom yang homolog (Noor, 2008).
Frekuensi Gen ß-laktoglobulin
Hasil pengamatan terhadap gen ß-laktoglobulin pada sampel DNA sapi FH
yang dibudidayakan di dua daerah yakni dari Pasir Kemis dan Cilumber, Lembang
diketahui bahwa terdapat keragaman genotipe pada sapi FH tersebut. Hal ini dapat
diketahui dari adanya dua alel yang terbentuk yakni alel A dan B serta terbentuknya
tiga macam genotipe yakni genotipe AA, AB dan BB. Masing-masing alel dan
genotipe memiliki frekuensinya masing-masing. Frekuensi alel yaitu frekuensi relatif
dari suatu alel dalam populasi atau jumlah suatu alel terhadap jumlah total alel dalam
suatu populasi, sedangkan frekuensi genotipe yaitu rasio jumlah suatu genotipe
terhadap populasi (Nei dan Kumar, 2000). Pengamatan terhadap gen ß-laktoglobulin
dari sapi perah di Pasir Kemis diketahui dari sejumlah 95 sampel yang diamati terdiri
dari 6 sampel bergenotipe AA, 57 sampel bergenotipe AB dan 32 sampel bergenotipe
BB. Nilai frekuensi genotipe sapi asal Pasir Kemis untuk genotipe AA, AB dan BB
berturut-turut yaitu 0,06 ; 0,60 dan 0,34 sedangkan frekuensi alel A dan B diperoleh
sebesar 0,36 dan 0,64. Hasil yang hampir sama ditunjukkan pula dari penelitian
terhadap gen ß-laktoglobulin pada sapi perah jenis FH di wilayah Cilumber. Hasil
yang diperoleh dari sampel sejumlah 98 ekor, diketahui sampel yang bergenotipe
AA, AB dan BB berturut-turut berjumlah 6, 78 dan 14. Nilai frekuensi genotipenya
yakni 0,06 untuk genotipe AA, 0,80 untuk genotipe AB, dan 0,14 untuk genotipe BB.
Frekuensi alel yang diperoleh yakni 0,46 untuk alel A dan 0,54 untuk alel B.
Perhitungan terhadap frekuensi genotipe dan alel gen ß-laktoglobulin dari sapi perah
jenis FH dapat diketahui pada Tabel 4.
23
Tabel 4. Nilai Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen β-laktoglobulin pada
Sapi Friesian Holstein
Frekuensi Genotipe
Lokasi
Frekuensi
Alel
N
AA
AB
BB
A
B
Pasir Kemis
95
0,06
(6)
0,60
(57)
0,34
(32)
0,36
0,64
Cilumber
98
0,06
(6)
0,80
(78)
0,14
(14)
0,46
0,54
Total
193
0,06
(12)
0,70
(135)
0,24
(46)
0,41
0,59
Frekuensi genotipe AB pada kedua lokasi yakni dari Desa Pasir Kemis (0,60)
dan Cilumber (0,80) memiliki nilai yang lebih tinggi dari pada frekuensi genotipe
AA (0,06 dan 0,06) dan BB (0,34 dan 0,14). Hasil yang sama ditunjukkan oleh Nury
(2010) pada sapi FH yang terdapat di stasiun BPPT-SP Cikole, Lembang yakni
frekuensi genotipe AB (0,60) lebih tinggi dari frekuensi genotipe AA (0,10) dan BB
(0,30). Hasil tersebut bersesuaian pula dengan penelitian Gurcan (2011) terhadap
sapi perah hitam dan putih di Turki yang menunjukkan bahwa genotipe AB memiliki
persentase nilai sebesar 0,38, lebih tinggi bila dibandingkan dengan genotipe AA
(0,37) dan BB (0,25). Heidari et al. (2009) juga menyatakan bahwa pada sapi
Holstein-Iran, genotipe AB (0,54) memiliki frekuensi yang lebih tinggi dari genotipe
AA (0,26) dan BB (0,20). Hal ini dapat terjadi karena sesuai dengan hukum HardyWeinberg yang menyatakan bahwa jumlah proporsi frekuensi dari ketiga macam
genotip yakni sesuai dengan aturan p2 + 2pq + q2 = 1 sehingga frekuensi genotipe
AB yang diperoleh lebih besar karena merupakan hasil perkalian angka dua dengan
masing-masing jumlah genotipe dominan dan resesif yang terjadi. Namun, hasil yang
berbeda dijumpai pada penelitian Chung et al. (1995) yang menunjukkan bahwa
frekuensi genotipe BB (0,74) jauh lebih tinggi dari pada frekuensi genotipe AA
(0.05) dan BB (0,02). Penelitian Chung et al. (1998) terhadap Sapi Korea juga
menunjukkan bahwa frekuensi genotipe BB (0,60) lebih tinggi dari pada frekuensi
genotipe AA (0,03) dan AB (0,37). Demikian juga dengan penelitian dari Karimi et
al. (2008) yang melakukan penelitian pada sapi Iranian Najdi, menunjukkan bahwa
genotipe BB (0,82) memiliki frekuensi yang jauh lebih tinggi dari genotipe AA (0)
24
dan AB (0,18). Hal ini terjadi karena adanya manajemen perkawinan yang tidak
acak, seleksi terhadap sifat tertentu, dan tingkat silang dalam yang tinggi (Bourdon,
2000).
Frekuensi alel B (0,59) sapi FH di kedua lokasi memiliki nilai yang lebih
tinggi dari pada frekuensi alel A (0,41). Berbagai penelitian lainnya juga
menyebutkan bahwasanya frekuensi alel B memiliki nilai lebih tinggi dari frekuensi
alel A (Chung et al., 1998; Karimi et al., 2009; Nury, 2010). Sebaliknya, beberapa
penelitian menyebutkan, frekuensi alel A lebih besar dari frekuensi alel B (Heidari et
al., 2009; Gurcan, 2011). Akan tetapi, hasil yang sedikit berbeda dengan literatur
yakni pada penelitian Karimi et al. (2009), tidak ditemukan adanya genotipe AA,
sedangkan pada penelitian kali ini, telah berhasil ditemukan adanya genotipe AA
pada gen ß-laktoglobulin sapi FH dari daerah Pasir Kemis maupun Cilumber.
Keseimbangan Genotipe Gen β-laktoglobulin
Keseimbangan frekuensi genotipe dan alel pada suatu populasi dapat
diketahui dengan menggunakan perhitungan keseimbangan Hardy-Weinberg,
kemudian dilakukan pengujian terhadap tingkat penyimpangannya dari rasio harapan
dengan mengunakan uji chi-square test (x2).. Berdasarkan hasil analisis Chi-Kuadrat
diketahui bahwa pada sapi FH dari kedua lokasi yang berbeda yakni Pasir Kemis dan
Cilumber memiliki nilai xhit2 > x2((0,05)
dan (0,01)),
artinya hasil penelitian terhadap
distribusi genotipe gen β-laktoglobulin pada populasi sapi FH memiliki nilai yang
sangat berbeda nyata sehingga dapat dikatakan distribusi genotipe β-laktoglobulin
populasi sapi FH pada desa Cilumber berada dalam ketidakseimbangan. Menurut
Noor (2008), suatu populasi yang cukup besar berada dalam keadaan keseimbangan
Hardy-Weinberg jika frekuensi genotipe dominan dan resesif konstan dari generasi
ke generasi, tidak ada seleksi, mutasi migrasi, serta genetic drift. Seleksi merupakan
salah satu faktor yang dapat mengubah keseimbangan dalam populasi secara cepat.
Oleh karena itu, ketidakseimbangan frekuensi genotipe gen β-laktoglobulin pada sapi
FH di desa Pasir Kemis dan Cilumber, KPSBU Lembang, Bandung menunjukkan
bahwa telah terjadi adanya seleksi secara langsung terhadap ternak sapi perah
berdasarkan gen β-laktoglobulin. Perhitungan chi-square dan hasil uji x2 dapat dilihat
pada Tabel 5.
25
Tabel 5. Distribusi Genotipe Gen β-laktoglobulin pada Sapi FH
Lokasi
N
Frekuensi Genotipe β-laktoglobulin
AA (O/E)
AB (O/E)
BB (O/E)
db
x2 hitung
Pasir kemis
95
6/12,31
57/43,78
32/38,91
1
8,45
Cilumber
98
6/20,74
78/48,69
14/28,58
1
35,56
Keterangan : O = nilai pengamatan; E = nilai harapan; db = derajat bebas; x2 tabel : 3,84 (5%); x2
tabel : 2,71 (1 %)
Heterozigositas Gen β-laktoglobulin
Nilai heterozigositas merupakan cara yang paling akurat untuk mengukur
keragaman genetik suatu populasi (Nei, 1987). Nilai heterozigositas dari hasil
pengamatan terhadap gen β-laktoglobulin pada sapi perah FH di lokasi Cilumber dan
Pasir Kemis ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai Heterozigositas Gen β-laktoglobulin|HaeIII pada Sapi Friesian
Holstein
Lokasi
N
Ho
He
Pasir Kemis
95
0,60
0,461
Cilumber
98
0,80
0,497
Total
193
0,70
0,484
Keterangan: Ho = Heterozigositas Pengamatan; He = Heterozigositas Harapan
Pendugaan nilai heterozigositas memiliki arti penting untuk diketahui karena
dapat memberikan informasi mengenai tingkat polimorfisme suatu alel, serta prospek
populasi di masa yang akan datang (Falconer & Mackay, 1996). Nilai heterozigositas
dipengaruhi oleh jumlah sampel, jumlah alel dan frekuensi alel (Nei, 1987). Nilai
heterozigositas pengamatan (Ho) hasil analisis terhadap sapi FH di Desa Pasir Kemis
dan Cilumber memiliki nilai sebesar 0,60 dan 0,80, keduanya menunjukkan nilai
yang lebih tinggi dari pada nilai heterozigositas harapan (He) yang diperoleh. Nilai
Ho yang lebih tinggi dari He dapat mengindikasikan adanya proses seleksi yang
intensif (Machado et al., 2003). Hal ini dapat dikatakan bahwa gen ß-laktoglobulin di
Desa Pasir Kemis dan Cilumber, KPSBU Lembang, Bandung memiliki variasi yang
tinggi (Ho > 0,5 (50%) ) pada populasi sapi FH yang terjadi. Pernyataan ini sesuai
dengan Javanmard et al., (2005) yang menyatakan bahwa jika nilai heterozigositas di
26
bawah 0,5 (50%) menunjukkan bahwa variasi yang rendah suatu gen pada populasi.
Semakin tinggi derajat heterozigositas suatu populasi maka daya tahan hidup
populasi tersebut akan semakin tinggi (Avise, 1994).
Assosiasi antara Gen ß-laktoglobulin terhadap Protein Susu dan Kualitas Susu
Keragaman dari gen ß-laktoglobulin ini memiliki terhadap komposisi susu
lainnya. Salah satu contohnya yakni gen ß-laktoglobulin dalam susu dapat
meningkatkan presentase protein susu (Kumar et al., 2006). Pernyataan ini juga
didukung oleh penelitian dari Ng-Kwai-Hang et al., (1984) yang menyatakan bahwa
genotipe BB pada gen ß-laktoglobulin memiliki hubungan positif dengan
meningkatnya jumlah protein yang lebih tinggi.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan hal yang lainnya dalam hubungannya
terhadap assosiasi antara varian genetik dari gen β-laktoglobulin dengan komposisi
dan produksi susu (Ng-Kwai-Hang et al., 1984; Ng-Kwai-Hang et al., 1986;
Aleandri et al., 1990; Tsiaras et al., 2005). Beberapa telah menunjukkan pula bahwa
genotipe BB pada β-laktoglobulin berassosiasi juga dengan lemak yang lebih tinggi
dan meningkatkan produksi keju (Ng-Kwai-Hang et al., 1986; Aleandri et al., 1990;
Weldholm et al., 2006).
Pengamatan pada penelitian yang lain, genotipe AA dari gen β-laktoglobulin
memiliki assosiasi dengan produksi susu yang lebih tinggi (Bovenhuis et al., 1992;
Ng-Kwai-Hang et al., 1990; Ikonen et al., 1999) serta memiliki hubungan (assosiasi)
dengan protein susu yang lebih tinggi (Ng-Kwai-Hang et al., 1984; Ng-Kwai-Hang
et al., 1990; Strazalkowska et al., 2002). Namun, dalam penelitian lain menurut
Tsiaras et al. (2005); Kaygisiz & Douan (1999) genotipe AB berhubungan dengan
produksi susu yang lebih tinggi dan produksi protein serta laktosa (Tsiaras et al.,
2005).
27
Download