BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN [Iqbal E. Putra]

advertisement
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
A.
Geomorfologi
U
1 km
Gambar 3.1 peta topografi daerah penelitian dari Bakosurtanal.
Tampak morfologi bergelombang dengan lereng yang terkikis air.
Seperti yang telah diutarakan pada bab sebelumnya bahwa daerah penelitian
merupakan bagian dari Plateau Rongga yang merupakan transisi antara daerah vulkanik
Gununghalu yang termasuk dalam Zona Pegunungan Selatan dengan dataran Batujajar
yang termasuk Zona Bandung (Pannekoek (1946) dalam van Bemmelen (1949)). Sebagai
suatu plateau, maka secara regional daerah ini memiliki bentang alam yang relatif datar.
Tetapi, dalam skala yang lebih detil, bentang alamnya secara umum berbukit tahap muda
hingga dewasa yang dicirikan oleh relief bergelombang dengan lereng yang sudah banyak
terkikis air seperti yang terlihat pada Gambar 3.1. Morfologi landai terletak di sekitar
Sungai Cidadap yang merupakan teras sungai tersebut. Elevasi daerah penelitian berkisar
antara 975-1.200 mdpl.
Kenampakan geomorfologi lainnya, seperti kemiringan lereng, pola aliran sungai,
dan pola kelurusan akan dibahas lebih rinci dalam sub-bab berikut dan menjadi dasar
Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
14
dalam pengelompokan satuan geomorfologi. Ciri-ciri dan penyebaran kenampakan dan
satuan geomorfologi tersebut dapat menjadi dasar dalam penafsiran awal kondisi
geologinya sebelum dilakukan pengamatan lapangan. Untuk analisisnya, digunakan peta
topografi berskala 1:12.500 yang merupakan perbesaran dari peta berskala 1:25.000 dari
Bakosurtanal yang termasuk dalam lembar 1209-543 yang diolah dengan menggunakan
software ArcGIS 9.3.
a. Kemiringan Lereng
Secara umum, kemiringan lereng di daerah penelitian berkisar antara 15-45%.
Melalui pengamatan lereng ini, arah kedudukan lapisan batuan juga bisa ditafsirkan dengan
asumsi bahwa lereng yang lebih terjal merupakan dip slope sedangkan lereng yang lebih
landai ialah back slope. Lereng yang lebih terjal ditunjukkan oleh kontur rapat sedangkan
kontur renggang menunjukkan lereng yang lebih landai. Jadi, dengan asumsi tersebut dapat
disimpulkan bahwa kedudukan lapisan batuannya berarah baratdaya-timur laut dengan dip
ke arah tenggara seperti yang terdapat pada Peta Geomorfologi pada Lampiran E.
b. Pola Aliran Sungai
Sistem sungai di daerah penelitian terdiri dari sungai utama, yaitu Sungai Cidadap
dan anak sungainya sehingga membentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidadap. Beberapa
anak sungai yang tidak bermuara ke Sungai Cidadap terletak di baratdaya dan timurlaut
peta. Oleh karena itu, garis pemisah air dapat ditarik di kedua sisi tersebut sebagai batas
DAS Cidadap seperti yang terdapat pada Peta Geomorfologi pada Lampiran E.
Berdasarkan sifat sungainya, sungai-sungai di daerah penelitian dibagi menjadi
sungai permanen (perennial stream) dan sungai musiman (intermitten stream). Sungai
permanen ialah sungai yang terisi sepanjang tahun sedangkan sungai musiman adalah
sungai yang hanya terisi saat musim hujan (van Zuidam, 1983). Sungai permanen banyak
dibendung untuk saluran irigasi, tradisional maupun modern. Bahkan banyak saluran
irigasi tradisional yang dibuat di dekat mataair sehingga beberapa anak sungai salurannya
telah berubah dan dialihfungsikan menjadi saluran irigasi sehingga tempat bermuaranya ke
sungai utama telah berpindah. Selain itu, saluran irigasi dari sungai utama ternyata
dipetakan sebagai anak sungai sehingga tampak seperti anomali dari pola aliran umumnya.
Oleh karena itu, peta topografi yang digunakan dimodifikasi terlebih dahulu agar lebih
mendekati kondisi alaminya.
Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
15
Gambar 3.2 memperlihatkan sungai-sungai yang berada di daerah penelitian yang
diperoleh dari penyesuaian peta topografi tersebut. Dari gambar tersebut tampak bahwa
pola aliran sungai yang berkembang ialah rektangular. Pola ini dicirikan oleh aliran dengan
sudut kelokan relatif tegak lurus terhadap arah semula (Pandey, 1987). Pola ini umumnya
dipengaruhi oleh rekahan yang saling memotong seperti batupasir yang sangat terkekarkan
atau batuan sedimen yang resisten dengan lapisan hampir horizontal.
U
1 km
Gambar 3.2 pola aliran sungai daerah penelitian. Tampak
bahwa pola yang berkembang ialah pola rektangular.
Sungai utamanya merupakan sungai tahap dewasa yang dicirikan oleh lembahnya
yang relatif landai berbentuk “U”, terdapat jeram kecil dan mulai terdapat endapan aluvial
(Lobeck, 1939). Anak sungainya lebih bervariasi, dari tahap muda hingga dewasa. Tahap
sungai yang secara umum dewasa ini menunjukkan bahwa perbukitan di daerah penelitian
sudah terdenudasi kuat, kecuali perbukitan yang memanjang berarah baratdaya-timurlaut di
sisi barat laut peta pada Gambar 3.1. Contoh dari sungai tahap dewasa tersebut dapat
dilihat pada Gambar 3.3a yang diambil dari tepi utara Sungai Cidadap, menghadap ke arah
hilir. Untuk anak sungainya, dapat dilihat pada Gambar 3.3b yang memperlihatkan salah
satu lembah anak Sungai Cidadap. Tampak lembah curam di kedua sisinya yang
menunjukkan sungai tahap muda. Jeram dan air terjun kecil pun banyak dijumpai pada
anak Sungai Cidadap ini. Foto diambil dari tepi barat sungai menghadap ke arah hilir.
Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
16
a
b
Gambar 3.3 foto sungai yang berada di lokasi penelitian. Tampak Sungai Cidadap yang merupakan
sungai utama di daerah penelitian dengan lembah berbentuk “U” yang menunjukkan tahap dewasa,
foto menghadap arah barat (a) serta foto mengarah ke utara pada Anak Sungai Cidadap dengan
lembah berbentuk “V” yang menunjukkan tahap muda (b).
c. Kelurusan
Selain pola aliran sungai, kenampakan geomorfologi yang dianalisis selanjutnya
ialah kelurusan (lineament). Analisis ini dilakukan untuk memperkirakan lokasi-lokasi
yang mungkin terdapat gejala struktur geologi di daerah penelitian. Pola kelurusan yang
diamati antara lain ialah pola kelurusan perbukitan, lembah, dan sungai, yang diamati
melalui peta topografi yang telah diolah dengan menggunakan software ArcGIS 9.3.
Setelah itu, dibuat diagram rosetnya untuk menentukan arah kecenderungan dari kelurusan
yang ada. Hasil dari pengamatan pola kelurusan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.4.
Pada diagram roset Gambar 3.4, terlihat adanya dua kecenderungan, yaitu berarah
timurlaut dan baratlaut. Kelurusan yang berarah timurlaut mungkin dipengaruhi oleh
kedudukan dari lapisan yang ditafsirkan berarah baratdaya-timurlaut dengan dip ke arah
tenggara seperti yang terlihat di peta geomorfologi pada Lampiran E. Hal ini diperkuat
dengan letak kelurusan tersebut yang umumnya berada di sepanjang punggungan dan atau
lembah sungai. Tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa kecenderungan tersebut dapat
juga dipengaruhi struktur lain seperti sesar.
Kelurusan yang berarah barat laut, mungkin dipengaruhi oleh erosi sungai utama
karena searah dengan alirannya. Saat memotong punggungan di antara Pasir Cilaksana dan
Bukit 1096, sungai ini akan mencari dan mengikuti bidang lemahnya. Oleh karena jurus
lapisan batuan di punggungan tersebut berarah baratdaya-timurlaut, maka bidang lemah
Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
17
tersebut diduga bukan bidang perlapisan, melainkan kekar atau sesar yang buktinya sudah
sulit diamati akibat pelapukan atau erosi.
U
U
1 km
T
B
S
Gambar 3.4 pola kelurusan daerah penelitian berdasarkan peta topografi yang telah
diolah beserta diagram rosetnya. Tampak bahwa kelurusannya cenderung berarah
timurlaut
Jadi, berdasarkan pola kelurusan tersebut, paling tidak terdapat sebuah struktur
sesar di daerah penelitian yang perlu dibuktikan kembali di lapangan. Data kelurusan ini
juga memperkuat tafsiran dari kedudukan lapisan yang sebelumnya ditentukan berdasarkan
kemiringan lereng.
d. Satuan Geomorfologi
Peta geomorfologi pada Lampiran E berskala 1:12.500 atau kawasan detail dengan
interval kontur 12,5 meter. Pembagian satuan geomorfologinya menggunakan Klasifikasi
Bentuk Muka Bumi (BMB) yang dibagi berdasarkan bentuk, genetik, dan nama geografis
(Brahmantyo dan Bandono, 2006). Berdasarkan klasifikasi tersebut, satuan geomorfologi
daerah penelitian terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu Satuan Punggungan Homoklin Sirnajaya,
Satuan Punggungan Homoklin Bunijaya, dan Satuan Dataran Teras Sungai Cidadap.
Satuan Punggungan Homoklin Sirnajaya
Satuan ini meliputi lebih dari setengah luas daerah penelitian, tersebar di bagian
selatan peta hingga bagian timurnya. Satuan ini dicirikan oleh pola back slope seragam
yang menunjukkan arah kemiringan yang sama dengan lereng agak curam hingga curam
(8%-55 %). Perbukitan tahap dewasa tampak jelas di satuan ini dengan erosi yang intensif
sehingga tampak seperti puncak-puncak yang terpisah dalam satu punggungan seperti yang
Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
18
terlihat pada Gambar 3.5a. Sungai-sungai tahap muda hingga peralihan antara muda dan
dewasa terdapat di satuan ini yang umumnya bermuara ke sungai utama, kecuali beberapa
sungai di ujung baratdaya dan timurlaut peta. Sungai tahap muda memiliki lereng
berbentuk “V” yang tidak simetris antara kedua sisinya. Morfologi berbeda diperlihatkan
oleh sungai tahap peralihan dari muda ke dewasa. Pada sungai tahap ini, lerengnya relatif
lebih landai namun masih memperlihatkan bentuk “V” dan terdapat jeram-jeram kecil.
Pada bagian timurlaut, morfologi satuan ini relatif hampir datar seperti yang terlihat
pada Gambar 3.5b. Sungai di daerah ini tidak bermuara ke Sungai Cidadap sehingga di
titik tertingginya ditarik garis batas air seperti yang terlihat pada Peta Geomorfologi pada
Lampiran E. Hal yang sama dilakukan pada bagian baratdaya satuan ini.
a.
b
c.
Gambar 3.5 satuan geomorfologi daerah penelitian. Satuan Punggungan Homoklin Sirnajaya, foto ke
arah tenggara (a) dan ke arah timur (b). Sisi back slope Satuan Punggungan Homoklin Bunijaya
dengan kelokan Sungai Cidadap yang membelah satuan ini. Dataran dari Satuan Dataran Teras
Sungai Cidadap tampak di sisi kiri Sungai Cidadap. Foto menghadap arah barat laut (c).
Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
19
Satuan Punggungan Homoklin Bunijaya
Satuan ini meliputi bagian baratlaut peta, terpotong oleh Satuan Dataran Teras
Sungai Cidadap. Dicirikan oleh topografi agak curam hingga sangat curam (15%-100%)
dan membentuk punggungan memanjang berarah baratdaya-timurlaut dengan pola back
slope yang seragam. Sistem drainase pada satuan ini dipengaruhi oleh lapisan batuannya.
Topografi sangat curam terdapat pada lembah sungai dan sisi dip slope satuan ini
sedangkan pada bagian back slope umumnya bertopografi agak curam. Sungai tahap muda
umum terdapat pada satuan ini, dengan lereng berbentuk ”V” yang relatif simetris seperti
contoh pada Gambar 3.3b. Lembah erosi lain hanya terisi air saat musim hujan membentuk
sungai musiman. Arah aliran sungainya, musiman maupun permanen sejajar dengan jurus
lapisan batuannya. Sungai tipe ini disebut sungai subsekuen (Lobeck, 1939). Gambar 3.5c
menunjukkan foto satuan ini di lembah Sungai Cidadap yang membentuk Satuan Dataran
Teras Sungai Cidadap. Pada gambar tersebut, tampak punggungan memanjang yang
berbeda dengan Satuan Punggungan Homoklin Sirnajaya pada Gambar 3.5a dan b yang
relatif lebih landai dan puncak bukit yang cenderung terpisah. Puncak tertinggi pada
Gambar 3.5c bernama Pasir Cilaksana.
Satuan Dataran Teras Sungai Cidadap
Satuan ini dicirikan oleh topografi hampir datar hingga landai, meliputi sepanjang
Sungai Cidadap yang mengalir dari timur ke barat peta mengikuti kemiringan awal daerah
ini. Oleh Lobeck (1939) sungai tipe ini disebut sungai konsekuen. Lembah berbentuk ”U”
tak simetris serta sejumlah kelokan sungai dengan sedikit endapan point bar menjadi ciri
bahwa sungai ini sudah memasuki tahap dewasa. Lahan di sepanjang satuan ini banyak
difungsikan untuk sawah dan pemukiman sehingga bentuk alamiah terasnya di lapangan
sudah tak terlihat lagi, misalnya seperti yang terdapat pada Gambar 3.3a dan 3.5c.
Penyebaran kelima satuan tersebut beserta simbol geomorfologi lain disusun dalam
Peta Geomorfologi Desa Sirnajaya, Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
pada Lampiran E.
B.
Stratigrafi
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Sindangbarang dan Bandarwaru skala 1:100.000
oleh Koesmono drr. (1996), daerah penelitian terdiri dari Formasi Cimandiri, Anggota
Sindangkerta Formasi Cimandiri, dan Formasi Beser. Tetapi, menurut Tabri (1989)
Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
20
formasi yang berada di daerah penelitian terdiri dari Formasi Saguling, Formasi Cimandiri
dan Formasi Beser. Formasi Saguling merupakan formasi tertua, di atasnya Formasi
Cimandiri diendapkan secara selaras sedangkan Formasi Beser menindih secara tidak
selaras terhadap Formasi Cimandiri. Ciri litologi dan penyebarannya dapat dilihat pada
Gambar 2.3 dan bab II.
a. Satuan Batuan
Penulis menyusun peta geologi yang terdapat pada Lampiran E dengan sebaran
batuannya dikelompokkan berdasarkan satuan batuan tak resmi yang kemudian disetarakan
dengan formasi yang paling sesuai. Deskripsi batuan dilakukan secara megaskopis dan
mikroskopis untuk menentukan jenis batuan dan proses pembentukannya. Data
paleontologi digunakan untuk mendukung analisis lingkungan pengendapan dan umurnya.
Jadi, berdasarkan data pengamatan lapangan dan analisis laboratorium, satuan batuan di
daerah penelitian terbagi menjadi 4 (empat) satuan batuan, yaitu Satuan BatupasirBatulempung, Satuan Batupasir, Satuan Batupasir Tufan dan Satuan Breksi. Secara umum,
tingkat pelapukan keempat satuan tersebut berdasarkan pembagian derajat pelapukan yang
disusun oleh Moye (1955) dalam Cornforth (2005) ialah segar hingga lapuk sebagian
(derajat I-III).
1. Satuan Batupasir-Batulempung
Satuan ini tersebar di daerah baratlaut peta, terpotong oleh Sungai Cidadap yang
mengalir ke arah baratlaut peta. Batuannya terdiri dari perselingan batupasir tufan dan
batulempung. Di beberapa tempat terdapat sisipan batupasir litik berwarna abu-abu setebal
5 m, butir berukuran pasir kasar dalam Skala Wentworth, terpilah baik, terdiri dari pecahan
batuan beku, batulempung, batupasir, sedikit tuf, butir kuarsa dan feldspar. Struktur paralel
laminasi dan lapisan bersusun (graded bedding) ditemukan pada singkapannya di tepi
selatan Sungai Cidadap titik CL 11.8 seperti pada Gambar 3.6a. Pada sisipan ini juga
terdapat lapisan tipis batulempung berwarna cokelat gelap.
Nama batupasir tufan diambil berdasarkan hasil analisis sayatan tipis pada
Lampiran A. Butiran pada batupasir yang berwarna putih kecoklatan ini berbentuk
membundar tanggung hingga membundar, pemilahan baik, kemas terbuka, terdiri dari
fragmen tuf, batuan beku andesit, butir kuarsa, plagioklas, piroksen, glaukonit, dan mineral
opak dengan matriks berupa debu vulkanik yang terekristalisasi menjadi mineral serabut.
Porositasnya sangat baik, non karbonatan, terdapat struktur paralel laminasi seperti pada
Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
21
Gambar 3.6b, dan lapisan bersusun (graded bedding). Dari rekonstruksi penampang
diperoleh tebal satuan ini sekitar 200 m dan kedudukan lapisannya secara umum N 70°
E/20°. Semakin ke atas, ketebalan lapisannya semakin menebal dengan ukuran butiran
yang semakin kasar.
a.
b.
Gambar 3.6 singkapan pada Satuan Batupasir-Batulempung. Sisipan batupasir litik dengan lapisan
batulempung di Sungai Cidadap, foto menghadap ke arah tenggara (a). Foto menghadap ke arah
timur, memperlihatkan struktur paralel laminasi pada lapisan batupasir tuf (b).
Lapisan batulempung pada satuan ini semakin ke atas semakin tipis. Batulempung
ini berwarna cokelat, nonkarbonatan dengan porositas sedang. Pada sampel dari singkapan
di titik CL 11.8, terkandung fosil foraminifera plankton berupa Globigerinoides
subquadratus, Sphaerodinella subdehiscens, Globigerinoides sacculifer, Globigerina
venezuelana,
Globoquadrina
dehiscens,
Globorotalia
menardii,
Globorotalia
praemenardii, Globigerina bulloides, Globigerina praebulloides, dan Orbulina universa.
Foraminifera bentonik yang ditemukan berupa Cibicides bradyi. Singkapan terbaik dari
batulempung ini ialah di Sungai Cidadap antara titik CL 11.7 dan CL 11.8.
Perselingan batupasir dengan batulempung merupakan hasil mekanisme aliran
gravitasi jenis arus turbidit (Tabri, 1989). Selain itu, terdapat struktur parallel laminasi dan
lapisan bersusun (gradded bedding) yang merupakan sikuen turbidit. Kemudian, analisis
fosil pada Lampiran B menunjukkan umur Miosen Tengah (N12-N13) dengan kedalaman
batimetri neritik luar (outer neritic) atau sekitar 100-200 meter.
Berdasarkan analisis-analisis tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa satuan ini
kaya akan material vulkanik yang sumbernya tidak jauh dari kegiatan vulkanisme. Satuan
ini diendapkan dengan mekanisme aliran gravitasi arus turbidit pada suatu cekungan di
Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
22
kedalaman neritik luar (outer neritic) atau sekitar 100-200 meter di bawah permukaan laut
berdasarkan klasifikasi batimetri Tipsword drr. (1966, dalam Breard drr., 1999).
2. Satuan Batupasir
Satuan ini tersebar di sebelah tenggara Satuan Batupasir-Batulempung yang secara
stratigrafi lebih tua daripada satuan ini hingga ke utara peta. Sungai Cidadap mengalir
memotong bagian tengah satuan ini sedangkan anak-anak sungainya mengalir sejajar
dengan arah lapisan batuan pada satuan ini atau disebut sungai subsekuen (Lobeck, 1939).
Satuan yang membentuk Satuan Geomorfologi Punggungan Bergelombang ini terdiri dari
perselingan batupasir tufan dan breksi dengan sisipan batupasir glaukonit, batulanau dan
tuf. Tebal satuan ini 400 m dengan kedudukan lapisan N 72° E/23°.
Batupasir tufan pada satuan ini memiliki ciri-ciri fisik yang sama seperti batupasir
tufan pada Satuan Batupasir-Batulempung. Batupasir tufan pada satuan ini mempunyai
sisipan batulanau yang berwarna abu-abu kecokelatan dan tuf yang berwarna putih
kecokelatan. Sisipan batulanau dan tuf tersebut semakin ke atas semakin sering dijumpai,
menandakan semakin meningkatnya kegiatan vulkanisme pada saat itu. Kondisi singkapan
umumnya lapuk, namun perlapisannya masih dapat diamati. Tebal sisipan batulanau ini
sekitar 1 m dan bersifat nonkarbonatan. Sementara sisipan tuf ini tebalnya kurang dari 1 m,
umumnya sudah lapuk dan kadang memperlihatkan laminasi. Gambar 3.7a menunjukkan
sisipan tuf di titik PW 9.8 yang berada di atas saluran irigasi di kaki Pasir Cilaksana.
a.
b.
Gambar 3.7 foto singkapan pada Satuan Batupasir. Foto menghadap arah baratdaya, sisipan tuf pada
batupasir tufan, sebagai perbandingan clipboard berukuran 34x24 cm (a). Singkapan breksi di tepi
baratlaut ujung kelokan Sungai Cidadap dengan foto ke arah baratdaya (b).
Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
23
Pada bagian atas batupasir tufan tersebut terdapat lapisan breksi dengan fragmen
tuf berukuran 1 cm hingga fragmen andesit berukuran setengah meter. Matriksnya terdiri
dari fragmen andesit dan tuf, plagioklas, kuarsa, piroksen, alkali feldspar, hornblende dan
mineral opak yang berukuran 0,05-3,8 mm. Bentuk butirnya menyudut hingga membulat
tanggung, kemas terbuka dengan pemilahan sangat buruk. Berdasarkan analisis petrografi,
breksi ini dinamakan breksi tuf. Berdasarkan material dan kenampakan singkapannya
seperti foto singkapan titik TJ 1.7 pada Gambar 3.7b, maka diperkirakan bahwa breksi ini
merupakan produk epiklastik endapan lahar.
Batupasir tufan dan breksi tuf tersebut dipisahkan oleh sisipan batupasir berwarna
cokelat yang mengandung glaukonit sehingga dinamakan batupasir glaukonit. Adanya
glaukonit ini menunjukkan bahwa lapisan ini diendapkan di lingkungan laut (neritik) saat
kondisi reduksi berlangsung, misalnya pada laut tertutup (Williams, 1982). Namun, karena
sebagai fragmen, maka glaukonit ini tidak dapat digunakan sebagai penunjuk lingkungan
pengendapan. Fragmen tuf dan batuan beku, butir kuarsa, plagioklas, dan piroksen juga
terdapat pada batupasir ini. Butiran tersebut terikat dalam matriks lempungan dan semen
silika.
Selain itu, pada sisipan batulanaunya tidak ditemukan fosil foraminifera plankton
sehingga umurnya tidak dapat ditentukan. Namun, berdasarkan kesamaan ciri batupasir
tufan serta perubahan berangsur dari Satuan Batupasir-Batulempung menjadi Satuan
Batupasir, maka satuan ini diperkirakan seumur dengan Satuan Batupasir-Batulempung,
yaitu Miosen Tengah (N12-N13). Lingkungan pengendapan ditentukan berdasarkan
analisis foraminifera bentonik, yaitu Cibicides tenuimargo, Eponides tenera, dan
Operculina granulosa pada Lampiran B. Kemudian, hasil analisis petrografi menunjukkan
adanya epiklastik endapan lahar. Jadi, satuan ini diendapkan pada suatu cekungan dekat
aktifitas vulkanik dengan kedalaman batimetri neritik luar (outer neritic) atau antara 100200 meter berdasarkan klasifikasi batimetri Tipsword drr. (1966, dalam Breard drr., 1999).
3. Satuan Batupasir Tufan
Satuan ini tersebar di ujung timurlaut peta, sebelah timur Satuan Batupasir. Secara
stratigrafi, satuan yang terdiri dari batupasir tufan ini lebih muda dibandingkan Satuan
Batupasir-Batulempung dan Satuan Batupasir. Tebal maksimum yang dapat diukur pada
penampang ialah 250 m. Kondisi singkapan satuan ini sudah lapuk sehingga sulit untuk
diamati. Singkapan terbaik ialah di ujung timurlaut kelokan Sungai Cidadap di daerah
Ciawitali pada gawir terjal seperti pada Gambar 3.8. Gawir ini diduga terbentuk akibat
Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
24
penggalian penduduk setempat yang kemudian runtuh, terbukti dengan adanya bekas
goresan alat dan beberapa material hasil runtuhan di dasarnya.
Perbedaan antara batupasir tufan satuan ini dengan satuan sebelumnya ialah ukuran
butirnya yang lebih halus serta struktur sedimen dan bidang perlapisannya yang tidak
sebaik batupasir tufan pada Satuan Batupasir-Batulempung dan Satuan Batupasir. Selain
itu, kondisi singkapannya pun lebih lapuk dibandingkan satuan sebelumnya seperti yang
terlihat pada Gambar 3.8b yang menunjukkan batas kontak antara satuan ini dengan Satuan
Batupasir pada titik PK 12.4 di dekat saluran irigasi daerah Cipaku dengan kedudukan
bidang kontak N 74° E/35°.
b
.
a.
Gambar 3.8 foto singkapan Satuan Batupasir Tufan. Singkapan terbaik satuan ini di ujung kelokan
Sungai Cidadap di daerah Ciawitali. Jembatan pada foto merupakan saluran irigasi (a). Kontak
antara Satuan Batupasir Tufan dengan Satuan Batupasir di daerah Cipaku, dekat saluran irigasi yang
menunjukkan perbedaan tingkat pelapukan antara keduanya (b). Kedua foto mengarah ke utara.
Batupasir tufan pada satuan ini berwarna cokelat terang, kemas terbuka, terpilah
sedang, butiran berbentuk menyudut tanggung hingga membundar tanggung, berukuran
0,05-2 mm yang terdiri dari fragmen tuf dan andesit, plagioklas, hornblende, kuarsa, alkali
feldspar, piroksen dan mineral opak. Secara megaskopis, batuan ini mirip tuf, namun
analisis petrografi pada Lampiran A menunjukkan adanya mineral lempung dan absennya
gelas pada matriksnya sehingga disimpulkan bahwa nama batuan ini batupasir tufan
(Williams drr., 1982).
Pada satuan ini, tidak ditemukan adanya fosil foraminifera plankton maupun
bentonik sehingga umur dan lingkungan pengendapannya tidak dapat ditentukan. Peneliti
terdahulu menyebutkan bahwa satuan ini merupakan bagian dari Formasi Cimandiri
dengan umur Miosen Tengah bagian akhir (Martin (1911) dalam Tabri (1989)). Kemudian,
Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
25
Tabri (1989) menyebutkan bahwa lingkungan pengendapan satuan ini ialah laut dengan
kedalaman batimetri neritik dalam sampai neritik tengah (inner neritic-middle neritic) pada
kedalaman 20-100 m berdasarkan klasifikasi batimetri Tipsword drr. (1966, dalam Breard
drr., 1999) dan dekat dengan aktifitas vulkanik.
4. Satuan Breksi
Satuan ini meliputi bagian selatan daerah penelitian hingga bagian tengah. Secara
stratigrafi, satuan ini merupakan satuan yang paling muda. Satuan ini membentuk pola
aliran subparalel dengan arah aliran sejajar dengan bidang perlapisan. Kondisi singkapan
breksinya masih relatif segar sedangkan singkapan batupasir dan sisipannya sudah lapuk
sebagian hingga lapuk. Rekonstruksi penampang menunjukkan tebal satuan ini lebih dari
300 m dengan kedudukan bidang perlapisannya secara umum ialah N 40° E/30°.
Breksi pada satuan ini berwarna abu-abu gelap, monomik, fragmen berupa batuan
beku andesit dan basalt berukuran hingga 1 m, berbentuk menyudut hingga membundar
tanggung, terpilah sangat buruk, kemas terbuka dengan porositas sedang. Analisis sayatan
matriknya pada Lampiran A menunjukkan ukuran matriks <2 mm yang terdiri dari pecahan
andesit, basalt, kuarsa, plagioklas, hornblende dan mineral opak dengan semen mineral
lempung. Di beberapa tempat terdapat struktur lapisan bersusun (gradded bedding) serta
silang siur seperti terlihat pada Gambar 3.9a yang diambil dari singkapan titik BL 5.9 di
Sungai Cibuluh. Butiran breksi di lokasi ini tampak lebih membundar dibandingkan breksi
di lokasi lainnya. Berdasarkan analisis tersebut, diperkirakan bahwa breksi ini merupakan
produk epiklastik endapan lahar.
a.
b.
Gambar 3.9 foto singkapan pada satuan breksi. Tampak struktur silang siur antara batupasir litik
wacke dan breksi lahar di Sungai Cibuluh (a) serta struktur paralel laminasi pada lapisan greywacke
vulkanik di Sungai Cibanteng bagian hulu (b).
Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
26
Sisipan batupasirnya berwarna cokelat gelap hingga cokelat terang dengan ukuran
butir antara 0,1-0,65 mm, terpilah baik, berbentuk membulat tanggung yang terdiri dari
pecahan batuan beku andesit dan basalt, batupasir, dan batulempung, butir kuarsa, feldspar,
piroksen dan hornblende, dengan kemas tertutup point contact, porositas intergranular.
Matriks lempung belum terekristalisasi dengan semen silika. Struktur paralel laminasi
sering ditemukan pada lapisan ini seperti yang terlihat pada gambar 3.6b dari singkapan
titik BL 5.7 di Sungai Cibanteng bagian hulu. Hasil analisis sayatan tipis pada Lampiran A
menunjukkan bahwa jenis batupasir ini ialah greywacke vulkanik yang umumnya hasil dari
endapan turbidit bawah laut (Williams drr., 1982).
Batulempung berada menyisip antara greywacke. Sisipan ini berwarna cokelat,
bersifat nonkarbonatan dengan porositas sedang. Analisis fosil pada sisipan ini dilakukan
pada sampel yang diambil dari singkapan di Sungai Cibanteng, pada lokasi BL 5.6 seperti
yang dapat dilihat pada Peta Lokasi dan Lintasan di Lampiran E. pada sampel tersebut
terkandung fosil foraminifera planktonik yang terdiri dari Globorotalia menardii,
Globigerinoides praebulloides, dan Globigerina venezuelana. Lalu, terdapat juga fosil
Foraminifera bentonik yang terdiri dari Robulus calcar dan Pullenia bulloides.
Berdasarkan analisis fosil-fosil foraminifera tersebut pada Lampiran B diperoleh
kisaran umur satuan ini, yaitu N12 hingga Resen. Jika mengacu pada Peta Geologi Lembar
Sindangbarang dan Bandarwaru (Koesmono drr., 1996), maka umur satuan ini ialah
Miosen Akhir. Penentuan tersebut didasarkan pada fosil molluska di daerah Cukanggaleuh,
jauh di luar daerah penelitian. Berdasarkan fosil foraminifera bentonik yang ditemukan dan
jenis batuannya, maka disimpulkan bahwa satuan ini diendapkan pada aliran turbidit
bawah laut di dekat aktifitas vulkanik pada kedalaman 100-200 m atau neritik luar (outer
neritic) berdasarkan klasifikasi batimetri Tipsword drr. (1966, dalam Breard drr., 1999).
b. Hubungan Stratigrafi
Secara umum, kedudukan lapisan batuan di daerah penelitian berarah baratdayatimurlaut dengan kemiringan ke arah tenggara. perbedaan jurus lapisan terjadi pada Satuan
Breksi yang cenderung lebih utara walaupun masih berarah timurlaut. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa di daerah penelitian tidak ditemukan struktur lipatan sehingga urutan
satuan batuan dari tua ke muda ialah Satuan Batupasir-Batulempung, Satuan Batupasir,
Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
27
Satuan Batupasir tufan dan Satuan Breksi. Tabel 3.1 merupakan penampang stratigrafi
daerah penelitian berdasarkan data lapangan pada Peta Lokasi dan Lintasan di Lampiran E.
Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa terjadi perubahan berangsur dari Satuan
Batupasir-Batulempung ke Satuan Batupasir hingga Satuan Batupasir Tufan. Perubahan
berangsur tersebut teramati dari semakin tipisnya lapisan batulempung sementara lapisan
batupasir tufan semakin menebal. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ketiga satuan tersebut
diendapkan secara selaras.
Satuan Breksi berbatasan dengan Satuan Batupasir Tufan. Namun, singkapan yang
menunjukkan kontak antara keduanya tidak ditemukan di lapangan sehingga sulit untuk
menentukan hubungannya. Kedudukan lapisan dan tidak adanya perubahan lingkungan
pengendapan yang mencolok mengindikasikan bahwa tidak terdapat selang waktu antara
pengendapan Satuan Breksi dengan satuan lain yang lebih tua. Kemiringan lapisannya pun
hampir sama dengan satuan lain yang lebih tua, sehingga kemungkinan Satuan Breksi ini
juga terdeformasi secara bersamaan dengan satuan yang lebih tua. Jadi, Satuan Breksi ini
diendapkan di atas Satuan Batupasir Tufan secara selaras, kemudian ikut terdeformasi
sehingga lapisannya menjadi miring.
Litologi
Deskripsi
Lingkungan
Pengendapan
Tebal
Satuan
Umur
Formasi
Tabel 3.1 kolom stratigrafi daerah penelitian
Neritik Luar
300 m
200 m
Batupasir tufaan, masif, dengan fragmen tuf, andesit, butir kuarsa, alkali feldspar, plagioklas, hornblende dan
piroksen berukuran pasir. Singkapan sebagian besar lapuk.
Neritik DangkalNeritik Tengah
Breksi
Batupasir
Tufaan
Breksi vulkanik dengan fragmen basalt dan andesit berukuran hingga 1 m. Terdapat struktur sedimen silang
siur dan lapisan bersusun atau graded bedding.
Breksi tuf dengan batupasir glaukonit. Fragmen dan matriks breksi didominasi oleh andesit dan tuf berukuran
hingga setengah meter.
Sisipan tuf dengan ketebalan <1 m.
Sisipan batulanau setebal 1 meter. Tidak ditemukan fosil sebagai penunjuk umur.
Neritik Luar
400 m
Batupasir tufaan dengan struktur sedimen parallel laminasi dan lapisan bersusun.
Batupasir
Saguling
Miosen Tengah
Breksi vulkanik
Batupasir litik wacke dengan sisipan lempung. Pada sisipannya ditemukan fosil foraminifera bentonik dan
planktonik.Struktur parallel laminasi umum dijumpai.
Batupasir tufaan dengan struktur sedimen parallel laminasi dan lapisan bersusun.
Batulempung nonkarbonatan dengan kandungan fosil foraminifera melimpah.
Neritik Luar
200 m
BatupasirBatulempung
Batupasir tufaan dengan struktur sedimen parallel laminasi dan lapisan bersusun.
Batupasir tufaan dengan struktur sedimen parallel laminasi dan lapisan bersusun.
Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
28
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Sindangbarang dan Bandarwaru (Koesmono drr.,
1996) Satuan Batupasir-Batulempung, Satuan Batupasir, dan Satuan Batupasir Tufan
tersebut termasuk dalam Formasi Cimandiri dan Anggota Sindangkerta dari Formasi
Cimandiri. Satuan Breksinya termasuk dalam Formasi Beser yang diendapkan secara tidak
selaras di atas Formasi Cimandiri dan Anggota Sindangkertanya. Tetapi, tidak
ditemukannya fosil molluska yang merupakan penciri Formasi Cimandiri dan tidak adanya
bukti ketidakselarasan antara Satuan Breksi dan satuan di bawahnya menunjukkan bahwa
keempat satuan tersebut berasal dari formasi lain.
Berdasarkan umur dan ciri-ciri litologi, formasi yang paling sesuai dengan keempat
satuan tersebut ialah Formasi Saguling. Formasi Saguling berumur Miosen Awal hingga
Miosen Tengah dengan ciri litologi berupa lapisan breksi vulkanik yang berselingan
dengan batupasir greywacke (Martodjojo, 1984). Ciri tersebut sesuai dengan Satuan Breksi
di daerah penelitian sedangkan Satuan Batupasir Tufan, Satuan Batupasir, dan Satuan
Batupasir-Batulempung di bawahnya dapat disetarakan dengan bagian tengah dari Formasi
Saguling. Jadi, seluruh satuan batuan di daerah penelitian berumur N12 bagian akhir
(Miosen Tengah) hingga akhir dari Miosen Tengah.
C.
Struktur Geologi
Secara regional, struktur geologi yang berperan berarah timurlaut-baratdaya yang
berupa sesar normal. Sesar ini memotong Formasi Beser dan Formasi Cimandiri.
Bukti-bukti sesar yang dapat diamati dan diukur di lapangan ialah kekar gerus
(shear fracture), gash fracture, breksiasi atau zona hancuran, gores garis, dan slicken side.
Kekar gerus, slicken side, dan gores garis ditemukan pada lokasi MN 4.3 sedangkan gash
fracture, breksiasi atau zona hancuran, ditemukan pada lokasi TJ 1.2. Foto singkapan pada
Gambar 3.10 yang diambil di salah satu Anak Sungai Cidadap titik MN 4.3 menunjukkan
gejala struktur berupa jeram (kanan) dan gores garis (kiri) yang teramati pada bagian yang
ditandai dengan lingkaran merah. Analisis stereografi dari gejala-gejala struktur tersebut
dapat dilihat pada Lampiran B.
Pengukuran kedudukan di lapangan pada bidang yang diduga merupakan bidang
sesar seperti pada gambar 3.10 sebelah kanan ialah N 250° E/80° sedangkan hasil
proyeksi stereografi dan diagram roset dari arah breksiasinya menunjukkan bahwa
kedudukan bidang sesarnya ialah N 239° E/77°. Arah penunjamannya berdasarkan analisis
Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
29
tersebut ialah 34°, N 50° E dengan pitch 34° dan pergeserannya mengiri. Hasil analisis
tersebut sesuai dengan pengamatan slicken side di lapangan yang menunjukkan pergerakan
mengiri. Arah sesar ini juga sesuai dengan salah satu arah kelurusan morfologi, yaitu
timurlaut-baratdaya dan secara regional searah dengan Pola Meratus. Oleh karena jenis
pergeserannya naik mengiri dan bukti pergerakannya ditemukan di daerah Cihurang, maka
sesar ini dinamakan sesar naik mengiri atau Sesar Cihurang.
Gambar 3.10 foto singkapan yang menunjukkan gejala struktur geologi di anak Sungai Cidadap, titik
MN 4.3 (kiri). Sebagai perbandingan, tinggi pohon pisang di foto sebelah kiri sekitar 2 m. Gores garis
terdapat di bagian lingkaran merah yang diperjelas pada foto sebelah kanan. Alat tulis sebagai skala
dengan panjang 14 cm, kedudukan bidangnya N 250° E/80° NW.
Jika sesar ini ditarik terus berdasarkan kedudukan bidang dan morfologinya, maka
akan memotong Satuan Batupasir dan Satuan Batupasir Tufan. Namun, sesar ini tidak
memotong satuan termuda, yaitu Satuan Breksi sehingga sulit untuk menentukan sesar
tersebut masih aktif atau tidak.
Sesar ini diperkirakan terbentuk saat pengangkatan daerah Pegunungan Selatan
yang menurut Dam (1994) terjadi pada Miosen Tengah bagian akhir. Kompresi pada masa
ini, menghasilkan lipatan dan sesar-sesar naik pada endapan tua di Zona Bandung dan
Zona Bogor (van Bemmelen, 1949). Sesar Cihurang diperkirakan juga terbentuk akibat
proses ini. Miringnya lapisan pada satuan-satuan batuan di daerah penelitian, diduga juga
akibat pengaruh kompresi ini.
Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
30
D.
Sejarah Geologi
Satuan batuan tertua di daerah penelitian ialah Satuan Batupasir-Batulempung yang
berumur Miosen Tengah (N13) yang diendapkan di lingkungan laut. Banyaknya fragmen
vulkanik pada batupasirnya menunjukkan bahwa lingkungan tempat satuan ini terbentuk
juga dekat aktifitas vulkanik. Berdasarkan Bronto (2003), aktifitas vulkanik yang terdekat
ialah Gunung Bandarwaru yang berada jauh di tenggara daerah penelitian yang diduga
aktif pada Miosen-Pliosen dan Gunung Cikondang di barat yang diduga aktif pada Miosen
Akhir. Kedua gunungapi purba tersebut merupakan bagian dari busur gunungapi pada Kala
Oligosen Awal yang berupa pulau gunungapi dan gunungapi bawah laut (Bronto, 2003).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa daerah penelitian berada di cekungan antar gunungapi
(intra arc basins) seperti yang terlihat pada Gambar 3.11. Cekungan ini tidak selalu saling
berhubungan dan dapat berupa laut tertutup dengan geometri dan kedalaman yang beragam
(Bronto, 2003).
Gambar 3.11 sketsa cekungan dalam busur gunungapi (intra arc basins) tempat daerah penelitian
terbentuk. Cekungan ini dapat berupa laut tertutup serta sangat beragam ukuran maupun
kedalamannya (Bronto, 2003).
Ilustrasi tahapan sejarah geologi daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.12
yang dimulai sejak Miosen Tengah sesuai dengan umur satuan batuan tertua di daerah
penelitian. Lingkungan pengendapan daerah penelitian merupakan cekungan bawah laut
yang berada di antara Gunung Bandarwaru di tenggara dan Gunung Cikondang di barat.
Gambar 3.12a menunjukkan pembentukan Satuan Batupasir-Batulempung pada
dasar cekungan antar gunungapi pada kala Miosen Tengah. Kemudian, terjadi pelongsoran
yang mungkin dipengaruhi oleh aktifitas gunungapi tersebut sehingga diendapkan Satuan
Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
31
Batupasir di atasnya yang dicirikan oleh lapisan breksi tuf dengan mekanisme aliran
turbidit seperti diilustrasikan pada Gambar 3.12b. Setelah itu, kondisinya kembali seperti
saat Satuan Batupasir-Batulempung diendapkan namun kedalamannya sudah berkurang
menjadi neritik dalam hingga neritik tengah sehingga diendapkan Satuan Batupasir Tufan
secara selaras di atas Satuan Batupasir saat Miosen Tengah bagian akhir seperti pada
Gambar 3.12c.
a.
d.
Awal Miosen Akhir
Miosen Tengah (N12-N13)
b.
e.
Miosen Akhir
Miosen Tengah (N12-N13)
c.
f.
Akhir Miosen Tengah
Pliosen - Resen
Gambar 3.12 sketsa sejarah geologi faerah penelitian. Sumber sedimen diperkirakan berasal dari
endapan gunungapi saat itu seperti G. Cikondang dan G. Bandarwaru (Bronto, 2003). Pengendapan
dimulai dari Satuan Batupasir-Batulempung (a) yang kemudian diikuti oleh Satuan Batupasir di
atasnya (b). Meningkatnya aktifitas vulkanik menghasilkan Satuan Batupasir Tufan (c) dan Satuan
Breksi (d). Kompresi dan pengangkatan pada Miosen Akhir membuat daerah penelitian terlipat dan
tersesarkan (e). Kemudian denudasi membuat bukit lipatan tersebut menjadi plateau yang kemudian
diintrusi oleh deretan gunungapi Kuarter seperti G. Kendeng hingga sekarang (f).
Lalu, pada awal Miosen Akhir diendapkan Satuan Breksi yang merupakan endapan
epiklastik dari produk Gunung Cikondang yang diduga aktif kala itu (Bronto, 2003).
Satuan ini diendapkan di atas Satuan Batupasir Tufan secara selaras seperti yang terlihat
pada Gambar 3.12d.
Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
32
Setelah itu, terjadi kompresi dan pengangkatan yang membuat daerah ini menjadi
daratan. Pengangkatan ini mengakibatkan terlipatnya keempat satuan batuan tersebut serta
menghasilkan sesar naik yang memotong keempat satuan tersebut seperti pada Gambar
3.12e. Denudasi lalu berlangsung setelah daerah ini terangkat menjadi plateau hingga
membentuk bentang alam seperti sekarang yang diilustrasikan pada Gambar 3.12f.
Gunung Kendeng yang sekarang berada di selatan daerah penelitian diperkirakan
terbentuk pada Kuarter Awal karena berada pada jalur gunungapi Kuarter bersama dengan
Gunung Patuha di timurnya. Namun, tidak ada data kapan kaldera Gunung Kendeng
terbentuk. Gunungapi-gunungapi Kuarter tersebut mengintrusi endapan Tersier termasuk
keempat satuan batuan di daerah penelitian.
Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
33
Download