TINJAUAN PUSTAKA II.1. Pendahuluan Gagal ginjal tahap akhir

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Pendahuluan
Gagal ginjal tahap akhir (GGTA) memerlukan terapi pengganti ginjal untuk
kelangsungan hidupnya. Salah satu terapi pengganti ginjal adalah hemodialisis (HD).
Tehnik dialisis telah mengalami kemajuan, namun pasien GGTA dengan HD kronik tetap
mempunyai resiko kematian yang tinggi akibat PKV termasuk didalamnya aritmia
ventrikular dan kematian mendadak. Pasien HD mempunyai beberapa faktor yang
mengakibat hal ini, antara lain adalah malnutrisi, diabetes melitus, anemia, gangguan
kalium, hiperparatiroid dan PKV sebelumnya. Suatu studi epidemiologi menyimpulkan
munculnya aritmia ventrikular secara klinis akan meningkatkan kerentanan seseorang
untuk terjadinya kematian khususnya pada orang dengan penyakit jantung sebelumnya.
Terlebih lagi adanya beban volume yang berlebihan dan metabolisme yang tidak normal
seperti asidosis metabolik dan gangguan elektrolit akan mempengaruhi fungsi jantung
yang dapat menyebabkan kematian mendadak. Pada dialisis yang dilakukan secara
berulang, pasien akan menghadapi pergeseran yang besar khususnya dalam hal volume
cairan, keseimbangan asam basa, kadar elektrolit (kalium, magnesium, fosfat) yang
memberikan konstribusi terhadap kejadian aritmia (Meier dkk, 2001; Howse dkk, 2002).
Berbagai penelitian telah mengindikasikan hal-hal yang mungkin sebagai
penyebab kematian pada pasien HD antara lain: inflamasi, keadaan uremia, beban
volume, keseimbangan autonomik, perpindahan elektrolit yang cepat dan henti jantung.
Selain itu faktor resiko tradisional maupun non-tradisional yang dimiliki oleh penderita
GGTA dengan HD juga dikatakan memberikan konstribusi besar terhadap kematian
(Covic dkk, 2002; Stewart dkk, 2005).
II.2. Epidemiologi
Kematian akibat PKV diperkirakan mencapai 50% pada populasi HD. Menurut
data dari United States Renal Data System (USRDS) tahun 1999, angka kematian pada
penderita GGTA cukup tinggi dan cenderung meningkat. Pasien GGTA dengan HD
kronik mempunyai angka kematian pertahun yang bervariasi antara 6-16 % yang mana
PKV merupakan penyebab utamanya. Gagal jantung, aritmia ventrikel, kematian jantung
Universitas Sumatera Utara
mendadak dan infark akut
bertanggungjawab terhadap sekurangnya 40 % kematian
akibat PKV ( Tabel.1 ). Henti jantung atau aritmia bertanggungjawab terhadap
sekurangnya 20 % akibat kematian jantung.
Data dari USRDS juga menunjukkan angka kematian akibat PKV dan
serebrovaskular antara tahun 1995 sampai 1997 pada pasien dialisis berumur antara 4564 tahun menurut jenis kelamin, diabetes dan tehnik dialisa. Data tersebut menyatakan
pasien nondiabetes dengan HD dan peritoneal dialisis
memiliki resiko kematian
kardiovaskular yang sama (61 dan 63 kematian per 1000 pasien pertahun). Pasien
diabetes dengan peritoneal dialisis mempunyai angka kematian PKV lebih tinggi
dibandingkan pasien diabetes dengan HD (138 dan 100 kematian per 1000 pasien per
tahun). Secara umum perbedaan kematian antara HD dan peritoneal dialisis mungkin
akibat perbedaan teknis dialisis, komplikasi, obat-obatan, atau dosis dialisis. Setelah
dilakukan stratifikasi terhadap umur, ras , jenis kelamin, angka kematian PKV berkisar
10-20 kali lebih tinggi pada pasien HD dibandingkan populasi umum ( Meier dkk, 2001;
Sarnak dkk, 2003).
Tabel 1. Penyebab kematian kardiovaskular pada pasien GGTA dengan dialisis (Meier
dkk, 2001)
Penyebab Kematian
Umur (thn)
20-44
45-64
≥ 65
20.0
37.0
69.5
Infark Akut
5.9
18.1
30.6
Aritmia
5.1
11.0
19.7
Kardiomiopati
2.5
6.7
16.2
Aterosklerosis
1.3
5.2
15.8
Penyakit Jantung katup
0.7
1.2
2.5
Henti Jantung/Kematian Mendadak
( angka kematian per 1000 pasien per tahun )
II.3. Faktor Risiko Kardiovaskular pada Penyakit Ginjal Kronik
Universitas Sumatera Utara
Penyebab kejadian kardiovaskular pada penderita gagal ginjal adalah multifaktorial.
Henrich dkk (2009), membaginya berdasarkan faktor modifiable, non-modifiable dan faktor
spesifik yang berhubungan dengan keadaan uremia yang memberikan konstribusi terhadap
morbiditas dan mortalitas kejadian kardiovaskular ( Gambar 1 ). Penelitian lain membagi
berdasarkan faktor tradisional dan non-tradisional. Pada kenyataannya pembagian ini tidak
banyak berbeda. Faktor nonmodifiable mencakup: umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dan
diabetes. Faktor modifiable termasuk: hipertensi, dislipidemia, merokok, hyperhomocystein,
stress oksidatif, inflamasi dan albumin serum yang rendah. Sedangkan faktor yang berhubungan
dengan keadaan uremia antara lain: anemia, hiperparatiroid hormon, hiperfosfat, peningkatan
CRP, dan albuminuria. Keseluruhan faktor ini bersifat additif atau akan saling memperberat
timbulnya PKV (Heinrich dkk, 2009; Maharaj dkk, 2007; Sarnak dkk, 2003).
Seluruh faktor-faktor ini akan meningkatkan arterial stiffness dan tekanan darah.
Selanjutnya akan meningkatkan stress ventrikel kiri. Arterial stiffness akan meningkatkan pulse
wave velocity, yang merupakan faktor risiko independen terhadap kejadian kardiovaskular.
Faktor-faktor tersebut juga berperan dalam terbentuknya serta memberatnya proses aterosklerosis.
Hasil dari kelainan ini akan terakumulasi dan biasanya akan terlihat pada PGK tahap akhir berupa
perubahan morfologi ventrikel kiri dari waktu kewaktu. Sebagai contoh, setelah lama terkena
peningkatan tekanan darah dan peningkatan afterload yang juga berkaitan dengan keadaan
anemia, hiperparatiroid, dan sirkulasi angiotensin II yang meningkat dalam darah dapat terbentuk
hipertrofi ventrikel kiri. Kelainan ventrikel seperti ini ditandai dengan penebalan miosit dari
ventrikel kiri, fraksi ejeksi dan volume ventrikel kiri yang sedikit menurun (preserved), namun
disertai penurunan distensi ventrikel kiri akibat dari kekakuan ventrikel.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit kardiovaskular pada penderita
GGK (Heinrich dkk, 2009)
Faktor yang terlibat dalam patogenesis hipertrofi ventrikel kiri dan fibrosis pada pasien
PGK secara umum dibagi dalam tiga kelompok: (1). afterload (2) preload (3) bukan masalah
afterload atau preload (Sarnak dkk, 2003; Berl dkk, 2006; Parfrey dkk, 1999).
Faktor yang berhubungan dengan afterload melibatkan tahanan arterial sistemik,
peningkatan tekanan darah sistolik (dan diastolik), dan compliance pembuluh darah besar. Semua
faktor ini akan menghasilkan penebalan sel miokardium dan remodeling ventrikel kiri secara
konsentrik. Aktifasi sistem renin angiotensin (RAS) intrakardiak juga terlibat dalam hal ini,
namun angiotensin II dan aldosteron juga dapat terlibat terlepas dari adanya beban afterload.
Jalur non-angiotensin II yang merangsang hipertrofi ventrikel kiri (HVK) dengan peregangan
mekanis telah diidentifikasikan. Baru-baru ini, stress oksidatif dan aktifasi dari xanthine oksidase
juga mempengaruhi terjadinya HVK yang disebabkan afterload.
Faktor yang berhubungan dengan beban preload melibatkan ekspansi volume
intravaskular (garam dan cairan), anemia dan juga pada pasien dengan HD adanya aliran besar
pada akses arteri-vena fistula. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan sel miokardium akan
memanjang dan terjadilah remodelling ventrikel kiri secara eksentrik atau asimetris. Baik
afterload maupun preload dapat berperan secara simultan dan sinergis. Dengan demikian tidaklah
mudah untuk memisahkan mana efek preload dan afterload pada patogenesis HVK pada
Universitas Sumatera Utara
penderita gagal ginjal. Namun dikatakan bahwa kelebihan beban berhubungan dengan restriksi
garam yang tidak adekuat dan ultrafiltrasi memainkan peranan yang penting.
Tanpa memandang penyebab dasarnya, hipertrofi miokard dan iskemik miosit
menyebabkan apoptosis sel dan terjadinya mekanisme autophagia dan hal ini akan meningkatkan
produksi dari matriks extraselular yang mengakibatkan fibrosis sel intermiokard. Hal ini
mengakibatkan gangguan yang progresif pada kontraktilitas dan kekakuan dinding miokard,
berdampak pada terjadinyaa
disfungsi sistolik dan diastolik dan selanjutnya menyebabkan
kardiomiopati dilatasi dan gagal jantung diastolik dan atau sistolik. Fibrosis pada intermiokard
juga akan mengakibatkan gangguan hantaran listrik jantung dan dapat terjadi aritmia ventrikular.
Penyakit jantung iskemik juga dapat terjadi akibat dari proses aterosklerosis yang dipercepat
akibat peningkatan kerja jantung dan konsumsi oksigen dimana hal ini akan meningkatkan
terjadinya kematian sel dan fibrosis.
Kekakuan dinding pembuluh darah besar yang disebabkan ikatan kolagen dan kalsifikasi
dapat meningkatkan hipertrofi ventrikel dan meningkatkan tahanan perifer akibat dari
vasokonstriksi perifer dapat meningkatkan tekanan arteri sistemik. Peningkatan konsentrasi
natrium plasma dapat merangsang kekakuan endotel pembuluh darah dan mengganggu pelepasan
vasodilator nitric oxide ke dalam mikrosirkulasi.
Hiperaldosteron yang menetap, sebagai konsekuensi aktifasi RAS atau non-RAS faktor,
dapat mengakibatkan fibrosis miokardium, melalui pembentukan profibrotik growth factor β.
Keadaan defisiensi, seperti besi dan atau eritropoetin (dengan anemia), juga defisinsi carnitine
dapat menghasilkan HVK.
Sebagai kesimpulannya, faktor yang terlibat dalam patogenesis HVK dan fibrosis
miokardium pada pasien PGK sangat kompleks dan saling berinteraksi satu dengan lainnya.
Tahanan arteri sistemik, kekakuan pembuluh darah besar (afterload), hipervolemia dan anemia
(preload) dianggap sebagai faktor terpenting, dengan hipervolemia diasumsikan sebagai faktor
yang sangat dominan.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Patogenesis terjadinya kematian miosit pada kronik uremia
(Parfrey dkk, 1999)
II. 4. Prinsip Dasar Hemodialisis
Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal buatan dengan tujuan
untuk mengeliminasi sisa-sisa produk metabolisme (protein) dan koreksi terhadap
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara kompartemen darah dan dialisat
melalui selaput membrane semipermiabel yang berperan sebagai ginjal buatan (dialiser).
Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput
membran semipermeabel buatan (artifisial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen
dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi
elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen.
Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi
karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi tinggi ke arah konsentrasi rendah sampai
konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis, air juga
Universitas Sumatera Utara
dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara
menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air
ini disebut ultrafiltrasi. Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat
terlarut yang berpindah. Senyawa dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih
lambat dibanding dengan yang berat molekulnya lebih rendah. Kecepatan perpindahan
zat terlarut makin tinggi bila (1) perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin
besar, (2) diberi tekanan hidrostatik di kompartemen darah, dan (3) bila tekanan osmotik
di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah
dengan darah untuk meningkatkan efisiensi. Perpindahan zat terlarut pada awalnya
berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama di kedua
kompartemen (Sukandar, 2006 ; Roesli, 2008)
Gambar 3. Prinsip dasar hemodialisis (Sherman dkk, 2006)
II.5. Hemodialisis dan Kardiovaskular
Hemodialisis (HD) merupakan terapi pengganti ginjal pilihan bagi penderita
GGTA. Namun prosesnya mempunyai efek tehadap kejadian kardiovaskular. Prosedur ini
tidak seperti prosedur lain, yang mana HD akan terus diulang dan diulang lagi. Stimulus
yang sering dan berulang ini (sekurangnya tiga kali seminggu) akan menempatkan pasien
Universitas Sumatera Utara
pada resiko yang tinggi secara berkelanjutan. Hemodialisis menyebabkan “stress
cardiac” dalam usaha menggantikan fungsi ginjal yang seharusnya 168 jam dalam
seminggu menjadi 12 jam. Selama berlangsungnya proses HD ini akan disertai dengan
perubahan yang besar dari elektrolit, tekanan osmotik dan cairan (Kanbay dkk, 2010;
Bleyer dkk, 2008).
Meskipun tehnik HD telah mengalami kemajuan, kematian akibat kardiovaskular
merupakan penyebab kematian terbesar pada pasien dengan kronik HD. Hampir separuh
kematian pada regular HD adalah akibat infark miokardium dan henti jantung. Pada
kenyataannya diantara pasien kronik regular HD dijumpainya diabetes, anemia,
hipertiroid dan hipertensi menyebabkan kelainan struktural jantung. Selanjutnya
kelebihan cairan , abnormalitas metabolisme tubuh seperti asidosis metabolik , gangguan
kalium dan magnesium akan mengakibatkan meningkatnya resiko aritmia ventrikel dan
kematian mendadak secara signifikan (Santoro dkk, 2008).
Aritmia dapat terjadi akibat dari perubahan yang cepat dari elektrolit intraselular
maupun ekstraselular selama sesi HD. Pada jantung akan mengakibatkan suatu keadaan
iskemia maupun fibrosis miokard. Pada pasien GGTA dengan HD reguler sering
dijumpai gangguan keseimbangan elektrolit seperti kalsium, kalium dan magnesium.
Ketidakseimbangan ini mempengaruhi potensial membran sel otot jantung pada saat
istirahat, sehingga menyebabkan perubahan pada interval QT. Peningkatan interval QT
dapat menyebabkan kejadian aritmia dan kematian pada keadaan ini. Dispersi QT
merupakan pengukuran non-invasif bermanfaat untuk menilai inhomogenitas repolarisasi
miokard dan predisposisi terjadinya aritmia (Covic dkk, 2002; Ijoma dkk)
Penyakit kardiovaskular termasuk kematian mendadak, infark miokardium, henti
jantung dan aritmia yang mengancam dan penyebab kardiak lain merupakan penyebab
kematian utama sekitar 43 % dari semua kematian pada pasien dengan dialisis baik HD
maupun peritoneal dialisis ( Kanbay dkk, 2010; Henry dkk, 2002 ). Pada HD reguler
angka kematian akibat henti jantung melebihi akibat angka kematian akibat sepsis,
infeksi paru maupun keganasan dan stroke. Menurut data USRDS penyebab kematian
paling banyak adalah aritmia. Sudah sejak lama diketahui bahwa kematian mendadak
(KM) merupakan penyebab kematian utama pada pasien dialisis khususnya dengan
diabetes, dan KM telah diidentifikasi sebagai salah satu penyebab kematian utama dalam
Universitas Sumatera Utara
dua penelitian berskala nasional di Amerika Serikat yang memakai sampel pasien HD.
Henti jantung yang merupakan penyebab kematian mendadak pada pasien HD, ditandai
dengan kematian jangka pendek yang ekstrem tinggi. Penelitian oleh Karnik dkk, 2001,
dengan 400 pasien HD menyatakan bahwa angka kematian 48 jam pertama akibat henti
jantung sebesar 60 %.
Penelitian oleh Kanbay dkk, 2010, menggambarkan secara skematis penyebab
kematian mendadak pada pasien HD (Gambar 4). Beberapa mekanisme yang dianggap
bertanggungjawab terhadap morbiditas dan mortalitas pada hemodialis adalah sbb:
a. Hipertrofi ventrikel kiri dan gagal jantung
Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) sering dijumpai pada pasien HD baik tipe konsentrik maupun
eksentrik. Beberapa penelitian menunjukkan HVK adalah indikator bebas yang kuat dalam
hal mortalitas dan juga faktor yang menentukan untuk terjadi aritmia pada pasien HD.
Selanjutnya beberapa studi menunjukkan gagal jantung dan disfungsi sistolik sering dijumpai
pada pasien HD dan hal ini akan memperburuk prognosis. Dalam satu studi, usia tua dan
disfungsi ventrikel kiri merupakan indikator bebas dalam terbentuknya aritmia pada pasien
HD (Rempiss dkk, 2008; Parfrey dkk, 1999).
b. Adanya fibrosis pada interstisial miokardium dan microvessel disease
Telah diketahui bahwa fibrosis dapat mengakibatkan terjadinya aritmia. Jika jaringan fibrosis
dengan tahanan listrik tinggi berada diantara miosit akan mengakibatkan hambatan lokal
dalam penyebaran aksi potensial yang memudahkan terjadinya aritmia reentry atrial dan
ventrikular (Chen dkk, 2006). Kelainan stuktur jantung yang lain pada keadaan uremia adalah
penyakit microvessel dan defisit kapiler (capillary / myocyte mismatch). Hal ini terjadi akibat
pertumbuhan kapiler yang tidak adekuat sebagai respon terhadap hipertrofi jantung. Hal ini
akan mengakibatkan kebutuhan oksigen meningkat sehingga terjadi relatif iskemia, yang
merupakan faktor resiko terjadinya aritmia khususnya selama proses HD. Sehingga dikatakan
PJK sering dijumpai pada GGTA dengan atau tanpa gejala infark sebelumnya yang
merupakan pencetus terjadinya kematian mendadak (Ritz dkk, 2008).
c. Perpindahan elektrolit yang cepat dan hipervolemia
Kematian dan morbiditas pada pasien HD sering terjadi beberapa jam setelah HD dimulai dan
sebelum HD hari berikutnya dimulai. Kematian mendadak sering juga terjadi setelah periode
interdialisis yang panjang. Hal ini secara tidak langsung menyatakan pergeseran elektrolit
yang cepat dan kelebihan volume dapat memicu kematian mendadak (Bleyer dkk, 2008).
d. Dispersi gelombang QT
Universitas Sumatera Utara
Dispersi QT telah dikenal sebagai parameter noninvasif yang dapat memprediksi
meningkatnya resiko terjadinya aritmia yang mengancam. Pasien HD mempunyai dispersi
dan interval QT yang memanjang. Satu siklus HD lebih lanjut dapat meningkatkan dispersi
QT baik pada dewasa maupun anak. Pasien HD dengan QT dispersi > 74 ms mempunyai
risiko tinggi untuk aritmia ventrikular yang mengancam dan kematian mendadak (Beaubien
dkk, 2002). Penelitian terbaru menduga acquired long QT syndrome merupakan salah satu
pencetus KM. Hal ini akibat penurunan saluran ion K+ (menurunkan cadangan repolarisasi)
dan
meningkatnya sensitifitas ion K+ yang tersisa untuk inhibisi (Gussak dkk, 2007).
Genovasi dkk (2008), meneliti mengenai efek perbedaan kombinasi dari konsentrasi kalium
dan kalsium terhadap QT interval pada pasien HD. Ditemukan bahwa kombinasi dari
konsentrasi kalium dan kalsium yang rendah pada dialisat berhubungan dengan nilai QT
yang semakin panjang selama dan segera setelah satu sesi HD, sedangkan
konsentrasi
kalium dan kalsium yang tinggi akan ditemukan nilai QT interval yang memendek selama
kondisi ini. Juga ada variasi genetik dari sindroma long QT . Sesi HD dapat mencetuskan
KM pada pasien dengan variasi genetik long QT yang tidak dikenal. Pasien ini ditandai
dengan disfungsi saluran ion yang dikenal sebagai channelopathy.
e. Hiperaktifitas dari simpatis
Pada studi sebelumnya telah dikatakan aktifitas simpatis yang berlebih merupakan indikator
risiko kardiovaskular. Konsentrasi norepinefrin plasma merupakan prediktor kematian dan
kejadian kardiovaskular pada HD tanpa gagal jantung. Sistem saraf simpatis bekerja melalui
reseptor β1 dan β2 yang meningkatkan denyut jantung yang bukan saja dapat memperburuk
kebutuhan dan suplai oksigen tetapi juga merangsang hipertrofi kardiak dan fibrosis yang
merupakan faktor resiko untuk kematian mendadak.
f.
Hipertensi
Hipertensi merupakan penyebab aritmia pada sindroma uremia. De Lima dkk (1999),
menemukan penyakit jantung koroner (PJK) dan hipertensi merupakan penentu dalam
terjadinya aritmia ventrikular pada pasien GGTA. Studi lain menyatakan bahwa hipertensi
bersama dengan diabetes dan usia merupakan prediktor aritmia pada pasien uremia.
Hipertensi mengakibatkan mekanikal stress dan memprovokasi iskemia, khususnya pada
pasien dengan HVK atau fibrosis.
g. Mekanisme Renin Angiotensin Aldosteron Sistem
Universitas Sumatera Utara
Pada percobaan dengan hewan, pengeluaran yang berlebihan dari angiotensin II berhubungan
dengan kematian. Pada manusia hal ini masih menjadi perdebatan.
h. Penumpukan kalsium dan fosfat
Penumpukan kalsium dan fosfat pada ruang interstitial dan pada dinding arteri intra miokard
mungkin merupakan salah satu
mekanisme terjadinya PKV pada pasien HD. Juga
dihipotesiskan bahwa hiperfosfatemia mempengaruhi intracellular handling dari kalsium dan
mempengaruhi stabilitas elektrik. Kalsium-fosfat mempercepat terbentuknya faktor yang
menyebabkan kondisi abnormal dan terbentuknya late potential pada PGK.
i.
Keadaan inflamasi
Dengan begitu tingginya angka mortalitas akibat PKV pada pasien HD, beberapa penelitian
mencoba mencari hubungannya dengan inflamasi. Dalam suatu studi besar dengan 1041
pasien HD, menunjukkan bahwa mortalitas berhubungan dengan inflamasi . Hubungan ini
bersifat langsung dan terlepas dari faktor resiko tradisional kardiovaskular. Inflamasi dapat
merangsang KM melalui ateroskerosis atau efek langsung pada miokard dan sistem konduksi
listrik (Parekh dkk, 2008).
j.
Faktor lain seperti: anemia, dislipidemia, hiperhomosistein, disfungsi endotel, penurunan
cadangan perfusi, berkurangnya toleransi terhadap iskemia dan gangguan keseimbangan
asam basa dicurigai sebagai faktor risiko lain dan berperan terhadap meningkatnya
kerentanan paasien HD terhadap kematian mendadak (Herzog dkk, 2008).
Gambar 4. Faktor penyebab kematian pada pasien hemodialisis (Kanbay dkk, 2010)
II.6. Interval dan Dispersi Gelombang QT
Universitas Sumatera Utara
Interval QT merupakan pencerminan dari penjumlahan durasi potensial aksi
ventrikular. Interval QT akan memendek seiring dengan peningkatan denyut nadi dan
umumnya dikoreksi dengan mengunakan rumus dari Bazett yang memiliki nilai
keterbatasan (Zabel dkk, 2000). Nilai normal interval QT yang terkoreksi lebih pendek
pada pria dibandingkan dengan perempuan. Pengukuran interval QT dipengaruhi oleh
penggunaan sandapan elektroda yang tersedia untuk analisis hasil rekaman EKG
(Macfarlane dkk, 1998). Pengukuran interval QT telah terbukti cukup baik dalam hal
kesahihan (Sahu dkk, 2000; Lund dkk, 2001).
Interval QT yang memanjang telah dikaitkan dengan kematian dalam beberapa
penelitian observasional pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun, namun
tidak pada kondisi yang lain. Hubungan antara interval QT dengan risiko kardiovaskular
secara keseluruhan telah terbukti pada populasi besar. Elming dkk (1998) dan Okin dkk
(2000) telah meneliti manfaat dispersi QT pada populasi di Denmark dan Indian
Amerika. Penelitian tentang interval QT sebagai prediktor terhadap kematian jantung
mendadak pada individu tanpa sindroma QT memanjang memperlihatkan hasil yang
bervariasi, namun secara umum interval QT yang memanjang meningkatkan resiko
terhadap kematian (Spargias dkk, 1999; Choi dkk, 1999; Lazar dkk, 2008; Brooksby dkk,
1999). Variabilitas intra-observer dan inter-observer masih dapat diterima.
Dispersi QT adalah perbedaan maksimal antara interval QT pada EKG,
dipostulasikan sebagai cerminan pemulihan miokard dan dihubungkan dengan resiko
terjadinya aritmia. Pada beberapa penelitian observasi, QT dispersi dinyatakan berkaitan
dengan meningkatnya resiko kematian. Perubahan dinamis interval QT selama periode
perekaman dianggap sebagai petanda ketidakstabilan repolarisasi yang berkaitan dengan
kerentanan terjadinya aritmia (Murray dkk, 1997; Malik dkk, 2000)
II.7. Pengukuran Dispersi QT
Sampai saat ini terdapat dua macam metode pengukuran dispersi QT, yaitu secara
otomatis dan
manual. Namun telah diketahui sejak beberapa waktu lalu bahwa
penentuan akhir gelombang T sulit dipercaya. Akan tetapi pengukuran otomatis yang
tersedia tidak berhasil memperlihatkan superioritasnya terhadap metode manual. Sumber
kesalahan yang utama bagi ke dua metode pengukuran tersebut adalah amplitudo
Universitas Sumatera Utara
gelombang T yang rendah serta bergabungnya gelombang T dengan gelombang U dan
atau gelombang P. Morfologi gelombang T juga sangat mempengaruhi pengukuran QT
interval. Terdapat beberapa algoritme dasar untuk menentukan secara otomatis akhir
gelombang T. Metode “threshold” melokalisir akhir T sebagai penanda gelombang T
atau bagian dari threshold di atas garis isolektrik yang biasanya mencerminkan sebagai
bagian persentase amplitudo gelombang T. Jelaslah bahwa nilai interval QT bergantung
kepada bentuk dari bagian gelombang T yang menurun. Amplitudo gelombang T
mempengaruhi realibilitas pengukuran baik otomatis ataupun manual ( Malik dkk, 2000;
Macfarlene dkk, 1998)
Gambar 5. Tehnik pengukuran interval T secara otomatis (Malik, 2000)
II.8. Interval dan Dispersi Gelombang QT pada Hemodialisis
Universitas Sumatera Utara
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, banyak pasien HD meninggal akibat PKV.
Meskipun pasien HD memiliki banyak variasi dari gangguan EKG, namun satu sesi HD
itu sendiri akan mengakibatkan gangguan elektrofisiologi jantung. Aritmia sering
didapati setelah permulaan HD dan sekurangnya 4-5 jam setelah proses ini berakhir.
Terbentuknya aritmia ini tergantung beberapa faktor antara lain: tonus automatisasi dan
abnormalitas struktur anatomi maupun metabolisme ventrikel. Hal inilah yang sangat
berperan terhadap terbentuknya aritmia ventrikel (Meier dkk, 2001)
Gangguan elektrofisiologi ini utamanya berasal dari aritmia ventrikular khususnya
ventrikular takikardi (VT) dan ventrikular fibrilasi (VF) yang diakibatkan beberapa
mekanisme. Pengamatan yang dilakukan menduga kejadian kematian mendadak dari VF
merupakan akibat dari pengaruh 2 faktor yaitu : adanya pencetus yang akan menginisiasi
VT dan degenerasi VT menjadi VF.
Triggered automaticity. Depolarisasi normal dari sel otot jantung melibatkan
aliran masuk yang cepat dari ion positif ( natrium dan kalsium ). Dilain pihak,
repolarisasi sel miokardium terjadi ketika aliran keluar dari ion positif ( kalium ) melebihi
penurunan aliran masuk ion natrium dan kalsium. Tergantung dari saluran mana yang
mengalami malfungsi, sebagai hasilnya dapat terjadi aliran keluar dari ion kalium yang
tidak adekuat atau aliran masuk natrium yang berlebihan. Kelebihan ion positif intrasel
selanjutnya akan menunda repolarisasi ventrikel. Pemanjangan masa repolarisasi
selanjutnya akan menunda pengnonaktifan saluran kalsium. Hasil dari lambatnya aliran
masuk kalsium akan menyebabkan terbentuknya early afterdepolarisation (AEDs).
Beberapa bagian ventrikel khususnya bagian subendokardium yang dalam, akan
menunjukkan pemanjangan repolarisasi dan AEDs. Hasil dari heterogenitas repolarisasi
ini adalah terjadinya onset dari aritmia reentrant yang khusus.
Kebanyakan AEDs berada dibawah ambang batas dan tidak menunjukkan efek
klinis yang
nyata. Akan tetapi dalam keadaan tertentu, amplitudo dari osilasi ini
meningkat dan dapat mencapai ambang batas potensial, merangsang suatu aksi potensial
yang spontan. Jika proses ini terus berlanjut akan menyebabkan takiaritmia yang
menetap. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan aliran masuk kalsium sehingga
meningkatkan amplitudo AEDs adalah rangsangan sistem saraf simpatis. Schwartz dkk
melaporkan, rangsangan dari ganglion stellate kiri menyebabkan memanjangnya durasi
Universitas Sumatera Utara
aksi potensial atau waktu depolarisasi, yang pada EKG bermanifestasi sebagai
pemanjangan dari interval QT ( Meier dkk, 2001)
Reentry. Merupakan mekanisme yang berperan terhadap terjadinya VT secara
klinis, termasuk VT dan VF yang berhubungan dengan penyakit jantung iskemik.
Takiaritmia ventrikel merupakan penyebab utama kematian mendadak pada penyakit
jantung iskemik. Studi dari Chung dkk, melakukan pemetaan kardiak intraoperatif dan
menganalisa urutan lokasi miokard yang menginisiasi terjadi VT sustained maupun nonsustained. Hal yang menentukan jenis VT ini adalah lokasi dimana terjadi aktifitas
tercepat selama inisiasi dan pemeliharaan. VT sustained biasanya menginisiasi satu
tempat dan berpindah ke tempat inisiasi lain pada denyut selanjutnya. VT nonsustained
menginisiasi dan menjaga tempat berlawanan dengan sustained VT. Reentry tergantung
dari terbentuknya keterlambatan konduksi. Studi terbaru menemukan adanya perubahan
histomorfologi miokardium berupa fibrosis interstisial pada penderita uremia dan HD
kronis
yang berperan untuk terjadinya aritmia ventrikel. Propagasi ireguler dan
fragmentasi dari tenaga elektromotif pada perbatasan daerah yang masih baik dan yang
telah mengalami parut dinyatakan bertanggungjawab untuk terjadinya VT sustained
akibat reentry. Studi histomorfologis pada jantung
menunjukkan
adanya
fibrosis
intermiokardium,
pasien uremia dan HD kronis
yang
dapat
mengakibatkan
ketidakstabilan rangsangan listrik dan mencetuskan terjadinya reentry.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, ada bukti epidemiologi yang menyatakan
bahwa terjadinya aritmia ventrikel yang signifikan, khususnya dengan adanya penyakit
jantung yang mendasarinya, akan meningkatkan pasien HD dalam kerentanan yang tinggi
untuk terjadinya aritmia yang fatal. Penelitian oleh Kimura dkk, menemukan bahwa
insiden Premature ventricular contraction (PVC) secara signifikan meningkat selama
HD dan 4 jam setelahnya dbandingkan sebelum HD (p < 0.05). Non-sustained VT juga
sering muncul selama HD. Interval dan dispersi QT yang memanjang telah dikenal
sebagai cerminan ketidakseragaman recovery dari rangsangan ventrikel. Interval QT,
dispersi QT, QT terkoreksi (QTc), dispersi QT terkoreksi (QTcd) lebih panjang pada
pasien kronik HD dibandingkan kontrol, dan meningkat setelah HD seperti pada pasien
tanpa uremia setelah infark miokardium. Selama HD ion kalium dan fosfat turun serta
kalsium naik secara signifikan dengan p < 0.001 ( Meier dkk, 2001)
Universitas Sumatera Utara
Dalam beberapa penelitian, pelebaran dari dispersi QT merupakan faktor resiko
untuk aritmia pada penderita setelah infark miokardium, gagal jantung,
penyakit
pembuluh darah perifer dan aritmia akibat obat-obatan. Penelitian tersebut juga
menunjukkan pelebaran dispersi QT dapat membaik setelah pemberian enalapril, dan
pemberian trombolitik pada kasus infark akut. Dispersi QT juga dapat memprediksi
kematian pada populasi umum. Pada pasien PGK dengan HD hal ini dipengaruhi oleh
perpindahan kalium selama dialisis. Dispersi QT secara signifikan akan memanjang pada
pasien yang mendapat terapi HD pada awal dan akan memanjang setelah HD. Pada suatu
studi pada 34 pasien nondiabetes dengan HD yang memakai kalium standard 2.0 mEq,
dispersi QT meningkat dari 56 ± 15 menjadi 85± 12 ms (p<0.001). Pada studi lain, QT
dispersi terkoreksi meningkat selama dialisis yang memakai kalium pada dialisat sebesar
2 mEq/L, namun tidak berubah jika dialisat tersebut disesuaikan sehingga kalium serum
tidak berubah konsentrasinya (Bleyer, 2008)
Mekanisme pemanjangan dispersi QT pada kronik HD adalah multifaktor.
Terjadinya aritmogenesis tergantung tonus autonom, struktur dan metabolisme ventrikel
yang abnormal, perbedaan tekanan dinding ventrikel regional dan hipertrofi miosit (
Meier dkk, 2001)
Universitas Sumatera Utara
II.9. Kerangka Teori
Gagal Ginjal Tahap Akhir dengan
Hemodialisis
Anemia,
Keadaan
Uremia,
Peningkatan Tonus simpatis,
perubahan
elektrolit
dan
hipervolemia (Kanbay dkk, 2010)
Beban tekanan dan volume
ventrikel kiri meningkat (Parfrey
dkk, 1999)
Maladaptasi : Hipertrofi Ventrikel
Kiri
-
Abnormalitas sistem konduksi
jantung
Fibrosis miokard
Disfungsi diastolik dan atau
sistolik
(Kanbay dkk, 2010)
Universitas Sumatera Utara
Perubahan interval dan dispersi QT
II.10. Kerangka Konseptual
Faktor resiko:
- Umur
- Jenis Kelamin
- Diabetes
-Hipertensi
- Anemia
Dispersi QT
Gagal Ginjal Tahap Akhir
dengan HD reguler
Keadaan Jantung:
-Status volume
- Massa Ventrikel Kiri/LVH
-Perubahan elektrolit
-Uremia
Universitas Sumatera Utara
Download