1 PERBEDAAN FUNGSI SEKSUAL WANITA PASCA PERSALINAN PERVAGINAM DENGAN EPISIOTOMI DAN SEKSIO SESAREA dr. Made Darmayasa, Sp.OG(K) BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RSUP SANGLAH DENPASAR 2013 2 RINGKASAN Wanita pada satu masa dalam hidupnya kemungkinan besar akandihadapkan pada kehamilan yang kemudian akan diikuti dengan proses persalinan. Proses persalinan memegang kontribusi yang cukup penting dalamterjadinya disfungsi seksual pada wanita. Aspek ini sering kali terlupakan olehpara klinisi dalam praktek sehari-hari, padahal masalah disfungsi seksual padawanita ini sangat mempengaruhi kualitas hidup dari wanita tersebut yang dapatberdampak pada pasangan pria dan kehidupan pernikahan.Untuk menilai fungsi seksual wanita digunakan indeks fungsi seksual wanita atau Female Sexual Function Index (FSFI), dimana skor total ≤ 26,55 dikatagorikan sebagai disfungsi seksual. Proses persalinan pada manusia terdiri dari persalinan pervaginam dan perabdominal melalui operasi seksio sesarea. Meskipun bukan merupakan tindakan rutin, sebagian besar persalinan pervaginam pertama kali (pada primigravida) dilakukan tindakan episiotomi mediolateral, sebagai upaya profilaksis untuk melindungi ibu dari trauma yang lebih luas, ataupun menghindari trauma yang berlebihan pada kepala bayi. Disisi lain episiotomi sendiri dapat mengakibatkan gangguan fungsi dasar panggul, lesi saraf pudenda, ataupun komplikasi lainnya yang dapat berdampak pada fungsi seksual di kemudian hari. Sedangkan salah satu manfaat yang dirasakan dari kelahiran seksio sesarea adalah sedikitnya paparan terhadap otot-otot dasar panggul dari kerusakan mekanis, dan dengan demikian diharapkan dapat melindungifungsi seksual. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional yang dilakukan mulai bulan Oktober 2011 sampai dengan bulan September 2012, dan telah terkumpul 86 orang pasien yang terdiri dari 43 pasca persalinan dengan episiotomi dan 43 pasca persalinan dengan seksio sesarea. Hasil penelitian terhadap karakteristik subyek kedua kelompok yaitu umur, agama, pendidikan, pekerjaan, tanggungan asuransi, usia kehamilan, berat badan bayi lahir, perawatan medis kembali, menyusui, bantuan pengasuh bayi, dan masalah dalam keluarga, menunjukkan hal yang sama sehingga pengaruhnya 3 terhadap hasil penelitian dapat diabaikan. Rata-rata saat mulai hubungan seksual pada kedua kelompok adalah tiga bulan pasca melahirkan, dimana secara statistik keduanya tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, dengan p > 0,05. Berdasarkan hasil analisis didapatkan perbedaan yang tidak bermakna pada domain rangsangan kedua kelompok pasca episiotomi dan pasca seksio sesarea masing-masing 4,90±1,45 dan 5,23±0,55 dengan p=0,160, dan domain lubrikasi masing-masing 5,46±1,21 dan 5,83±0,50 dengan p=0,067. Sedangkan domain yang lain menunjukkan perbedaan yang bermakna yaitu hasrat, masing-masing 4,70±1,15 dan 5,21±0,62 dengan p=0,014. Orgasme, masing-masing 5,43±1,27 dan 5,85±0,45 dengan p=0,045. Kepuasan, masing-masing 5,16±1,49 dan 5,75±0,56 dengan p=0,018. Nyeri, 5,06±1,62 dan 5,89±0,44 dengan p=0,02, serta skor total FSFI, masing-masing 13,53±3,02 dan 14,90±0,96 dengan p=0,006. Di samping uji perbedaan skor total FSFI, fungsi seksual antara kedua kelompok juga dianalisis dengan uji Chi-square dan didapatkan pada kelompok pasca episiotomi dengan disfungsi seksual sebanyak 8 orang (18,60%), sedangkan pada kelompok pasca seksio sesarea sebanyak 1 orang (2,33%) dengan nilai p=0,030. Hal ini berarti terdapat perbedaan yang bermakna pada fungsi seksual kelompok pasca persalinan pervaginam dengan episiotomi dibandingkan dengan kelompok pasca seksio sesarea. 4 ABSTRAK Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan fungsi seksual pada pasca persalinan pervaginam dengan episiotomi dan seksio sesarea di Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Bahan dan cara kerja : Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional analitik. Sampel diambil secara consecutive sampling dari bulan Oktober 2011 sampai dengan bulan September 2012. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi didapatkan 86 sampel, terdiri dari 43 pasca episitomi dan 43 pasca seksio sesarea. Selanjutnya fungsi seksual dinilai dengan pengisian kuisioner FSFI (Female Sexual Function Index). Skor total kuisioner dianalisis dengan uji tindependent, dan perbedaan fungsi seksual digunakan uji Chi-Square, dengan tingkat kemaknaan α=0,05. Hasil : Karakteristik subyek kedua kelompok menunjukkan hal yang sama sehingga pengaruhnya terhadap hasil penelitian dapat diabaikan. Rata-rata saat mulai hubungan seksual pada kedua kelompok adalah tiga bulan pasca melahirkan, dengan p > 0,05. Terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara kedua kelompok pada domain rangsangan dan lubrikasi masing-masing dengan p=0,160, dan p=0,067. Sedangkan domain yang lain menunjukkan perbedaan bermakna yaitu hasrat (p=0,014), orgasme(p=0,045), kepuasan (p=0,018), nyeri (p=0,02), dan skor total FSFI (p=0,006). Pada fungsi seksual kedua kelompok didapatkan disfungsi seksual masing-masing 18,60% pada pasca episiotomi, dan 2,33% pada pasca seksio sesarea, dengan nilai p=0,030. Hal ini berarti terdapat perbedaan yang bermakna pada fungsi seksual kelompok pasca persalinan pervaginam dengan episiotomi dibandingkan dengan pasca seksio sesarea. Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang bermakna pada fungsi seksual wanita pasca persalinan pervaginam dengan episiotomi dibandingkan dengan pasca seksio sesarea. Kata kunci : Episiotomi, seksio sesarea, fungsi seksual wanita. 5 ABSTRACT Objective : To determine the difference of sexual function after vaginal delivery with episiotomy and cesarean section in Sanglah hospital, Denpasar. Material and method: This research was conducted using cross sectional analytic method. Sample was collected using consecutive sampling, started from October 2011-September 2012. Eligible sample consist of 86 women, 43 post episiotomy and 43 post cesarean section. Sexual function was assessed using FSFI (Female Sexual Function Index). Total score was analyzed using independent t test and difference of sexual function using chi square, with significance level was α=0,05. Result : Subject characteristic in both group was not differ significantly, so the impact on the result can be ignored. The average time to start sexual intercourse in both group was 3 months after delivery (p>0,05). There was no significant difference between two groups in sexual arousal and lubrication, with p value 0,160 and 0,67 respectively. It showed a significant difference on other domain, which is desire (p=0,014), orgasm (p=0,045), satisfaction (p=0,018), pain (p=0,02), and total FSFI score. Sexual dysfunction in episiotomy group was 18,60% and 2,33% in cesarean section group, with p value 0,030. This result showed a significant difference in sexual function in both group, post vaginal delivery with episiotomy and post cesarean section. Conclusion : There was a significant difference in female sexual function in post vaginal delivery with episiotomy compared with post cesarean section group. Key word: Episiotomy, cesarean section, female sexual function 6 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepanjang sejarah,pembahasan tentangseksualitas wanitatelah banyak dinyatakandalam karya tulissepertiKama Sutra, dan digambarkan dalamberbagaipatung-patung Venus danDewiKesuburan.Dalam beberapa tahun terakhirtelah banyaktulisan Seksualitasadalah yang permasalahan mengeksplorasiseksualitas wanita. komplekskarenameliputiberbagai masalah, perilaku,dan proses, termasuk identitasseksual dan perilakuseksual,fisiologis, psikologis, sosial, budaya, politik, danaspek-aspekspiritual (religius)dari seksitu sendiri.Namun persoalan seksualitas pasca persalinan masih sedikit yang menelitinya. Menurut World Health Organization(WHO), ''kesehatan seksual adalah suatu keadaanfisik, emosional,mental dan kesejahteraan sosial yang stabil yang berkaitan denganseksualitas, serta bukan hanya sekedar tidak adanya penyakit, disfungsi,atau padaera kelemahan''(WHO, 1950-an ketikaMasters danfisiologiresponseksualmanusia seksualsetelah 2002).Penelitian dan (Masters melahirkanmerupakan tentangseksualitasdimulai Johnsonmenggambarkananatomi dan Johnson, penelitian baru 1960).Kesehatan yang cukup menarik.Kehamilanitu sendiri dantransisi ke kondisi menjadi orang tua, serta faktor-faktorlainnya, sangatberdampak padaseksualitas pasca persalinan. Penelitian terbarutelah menunjukkanbahwa masalah kesehatanseksualdalamperiode pasca 7 persalinanmerupakan masalah yang umum terjadi, tetapi masih sangat sedikit yang mendapatkan perhatian profesional(Glazener, 1997). Sesuai dengan definisi yang ditetapkan oleh Consensus Development Conference on Female Sexual Dysfunction, aspek fungsi seksual dibagi menjadi empat kategori, yaitu: nyeri, keinginan, gairah, dan gangguan orgasme. Gangguan nyeri seksual adalah kategori yang paling umum yang mempengaruhi wanita dalam periode pasca persalinan. Nyeri perineum dan dispareunia adalah masalah pascapersalinan yang sering terjadi dan mengganggu fungsi seksual yang normal, yang biasanya terjadi akibat dari trauma perineum, episiotomi, dan instrumentasi persalinan (Basson, R., dkk. 2000). Episiotomi sendiri dapat mengakibatkan gangguan fungsi dasar panggul, lesi pada saraf pudenda, hasil penjahitan yang asimetris, endometriosis, luka yang melebar dengan perdarahan, infeksi, serta penyembuhan yang lebih lama, yang semuanya dapat menyebabkan dispareunia ataupun gangguan fungsi seksual lainnya dikemudian hari (Abdool, 2009).Disisi lain, salah satu manfaat yang dirasakan dari kelahiran seksio sesarea adalah sedikitnya paparan terhadap otototot dasar panggul dari kerusakan mekanis, dan dengan demikian diharapkan dapat melindungifungsi seksual. Bila dibandingkan dengan persalinan spontan vagina, tampaknya logis untuk berasumsi bahwa wanita yang melahirkan melalui seksiosaesarea akan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami nyeri perineum, sejak risiko persalinan dengan episiotomi ataupun dibantu ditiadakan(Glazener, 1997; Buhling, dkk., 2006). Namun demikian, seksio sesarea sendiri (terutama yang non elektif) bukannya tanpa bahaya, bahkan terhadap seksualitas itu sendiri. 8 Komplikasi utama persalinan seksio sesarea adalah kerusakan organ-organ seperti vesika urinaria dan uterus saat dilangsungkannya operasi, komplikasi anesthesi, perdarahan, infeksi, dan tromboemboli. Kematian ibu lebih besar pada persalinan seksio sesarea dibandingkan persalinan pervaginam. Sulit untuk memastikan hal tersebut terjadi apakah dikarenakan prosedur operasinya ataukah karena alasan yang menyebabkan ibu hamil tersebut harus dioperasi (Rasjidi, 2009). Tetapi secara umum, episiotomi ataupun seksio sesarea yang mengalami komplikasi akan berdampak buruk terhadap kehidupan seksual wanita pasca persalinan, baik secara fisik maupun psikis (Abdool, dkk., 2009). Meskipun tidak merupakan prosedur rutin, sebagian besar persalinan pervaginampada wanita primigravida di Rumah Sakit Sanglah dilakukan episiotomi mediolateral. Sedangkan seksio sesarea non elektif tidak sedikit yang berdampak pada fungsi seksual pasca persalinan, baik oleh karena kehamilan, indikasi operasi, ataupun komplikasi yang ditimbulkannya. Sedikitnya perhatian tentang seksualitas pada kedua kondisi diatas, dan belum pernah ada penelitian tentang fungsi seksual wanita pasca persalinandi Rumah Sakit Sanglah Denpasar mendasari penelitian ini. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah fungsi seksual wanita pasca persalinan pervaginam dengan episiotomi? 9 2. Bagaimanakah fungsi seksual wanita pasca seksio sesarea? 3. Apakah terdapat perbedaan fungsi seksual wanita pascapersalinan pervaginam dengan episiotomidibandingkan pascaseksio sesarea? 1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum Untuk mengetahui perbedaan fungsi seksual wanita pasca persalinan pervaginam dengan episiotomi dibandingkan pasca seksio sesarea. 1.3.2 Tujuan khusus 1. Mengetahui saat mulainya hubungan seksual pertama kali pasca persalinan. 2. Mengetahui fungsi seksual wanita pasca persalinan pervaginam dengan episiotomi. 3. Mengetahui fungsi seksual wanita pasca seksio sesarea. 4. Mengetahui perbedaan fungsi seksual wanita pasca persalinan pervaginam dengan episiotomi dibandingkan dengan seksio sesarea, berdasarkan masing-masing domain dalam FSFI, skor total FSFI, dan ada tidaknya disfungsi seksual. 1.4 Manfaat penelitian 1.4.1 Manfaat akademik 1.Mengetahui fungsi seksual wanita pasca melahirkan pervaginam dengan episiotomi dibandingkan pasca seksio sesarea. 10 2. Memberikan sumbangan pengetahuan bagi peneliti lain yang inginmelakukan penelitian lebih lanjut. 1.4.2 Manfaat pelayanan Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan perhatian tenaga medis dan petugas kesehatan lainnya terhadap kesehatan seksualitas pasca persalinan. 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Normal Seksualitas Wanita Pada dasarnya dorongan seksual (sexual desire) pria dan wanita sama saja, yaitu dipengaruhi oleh hormon seks, faktor psikis, rangsangan seksual yang diterima, dan pengalaman seksual sebelumnya. Kalau faktor-faktor tersebut bersifat positif, dorongan seksual muncul dengan baik. Sebaliknya, bila faktor tadi bersifat negatif, dorongan seksual menjadi terhambat. Jadi, bukan semata-mata jenis kelamin pria atau perempuan yang menentukan perbedaan dorongan seksual (Pangkahila, 2005; Windhu, 2009). Karena rangsangan seksual, tubuh akan mengalami reaksi seksual yang disebut siklus reaksi seksual. Reaksi seksual tidak hanya terjadi pada organ kelamin saja, tetapi juga pada bagian tubuh yang lain. Bahkan, secara psikis juga terjadi perubahan. Siklus reaksi seksual dibagi dalam empat fase, yaitu : fase rangsangan (excitement phase), fase datar (plateu phase), fase orgasme (orgasm phase), dan fase resolusi (resolution phase) (Masters dan Johnson, 1960). Respon seksual pada wanita dapat timbul atau dimulai dengan hal-hal sederhana, seperti tatapan mata yang penuh arti, kata-kata yang manis dan menyenangkan, suasana romantis yang menimbulkan hasrat (desire). Tahapan selanjutnya adalah perangsangan (arousal). Pada tahapan ini semua rangsangan baik berupa sentuhan, ciuman, maupun bisikan dapat menyebabkan tegangnya 12 klitoris dan membesarnya vagina bagi wanita. Rangsangan seksual akan mengakibatkan pelepasan Vasoactive Intestinal Polypeptide (VIP) yang akan meningkatkan aliran darah ke vagina, dan peningkatan tekanan hidrostatik sehingga terjadi proses transudasi dimana cairan masuk ke ruangan interstisial dan terjadi lubrikasi vagina.Fase perangsangan pada wanita sangat variatif dan biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan fase perangsangan pada pria(Ottesen B., dkk, 1983; Levin R.J.). Fase selanjutnya, terdapat peningkatan konsentrasi darah vena dalam sepertiga luar lorong vagina dan perangsangan seksual lebih hebat. Keadaan ini meningkatkan hasrat hingga mencapai puncak gairah yang disebut plateau. Otototot vagina akan berkontraksi, membuat klitoris semakin tegang dan kelenjarBartholin mensekresi cairan sehingga dinding vagina menjadi basah. Bersamaan dengan itu payudara pun membesar dan menegang, sementara rangsangan terasa menjalar ke seluruh bagian tubuh. Ini adalah tahapan terakhir sebelum tercapainya orgasme(Windhu, 2009; Pratamagriya, 2009). Fase berikutnya adalah fase orgasme yang sangat singkat dibandingkan fase perangsangan dan plateau. Fase ini merupakan pelepasan dari ketegangan seksual. Perlu diketahui bahwa fase orgasme ini dapat berlangsung tanpa adanya stimulasi fisik yang nyata, misalnya melalui berbagai bentuk fantasi seksual. Fase ini terpusat didaerah klitoris, vagina, dan uterus. Pada puncak fase gairah otot-otot sekitar vagina, uterus, perut bagian bawah, dan anus mengalami kontraksi secara ritmik dan menyebabkan terjadinya sebuah sensasi yang menyenangkan. Biasanya terjadi lima sampai 12 kontraksi yang sinkron dengan jeda masing-masing 13 kontraksi sekitar satu detik. Kontraksi pada detik-detik pertama sangat kuat dan jeda yang sangat singkat. Tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernafasan mencapai puncaknya dan kendali tonus otot-otot bergaris menjadi hilang (beberapa wanita secara tidak sadar meluruskan jari-jari kakinya). Inilah yang disebut sebagai suatu sexual climax atauorgasme. Seorang wanita dapat mengalami orgasme berulangkali sebelum masuk kedalam fase resolusi(Windhu, 2009; Pratamagriya, 2009). Gambar 2.1Respon seksual wanita (Sumber : Pratamagriya, 2009) Setelah orgasme berakhir, wanita tiba kembali pada tahap resolusi. Nafas, detak jantung, dan tekanan darah menjadi normal dan teratur kembali secara perlahan-lahan sehingga akhirnya wanita merasakan perasaan lega, nyaman, dan kemudian diikuti perasaan mengantuk(Pratamagriya, 2009;Windhu, 2009). 14 Pada beberapa wanita rangsangan seksual yang cukup setelah fase orgasme, dapat menyebabkan tertundanya fase resolusi ini, hal ini memungkinkan untuk terjadinya orgasme multiple, seperti yang dikemukakan Master dan Jhonson pada model liniernya (Gambar 2.2). Orgasm Plateu Excitement Gambar 2.2 Model respon seksual wanita oleh Masters dan Johnson Dikutip dari : Masters, WH., Johnson, VE. 1960. The human female: anatomy of sexual response. Minn Med. 43:31–6. Keempat hal tersebut merupakan suatu gambaran dari respon seksual baik pada pria maupun wanita. Model linier dari Masters dan Jhonson ini menggambarkan variasi dari respon seksual wanita pada individu yang berbeda atau pada individu yang sama namun pada kesempatan yang berbeda. A memiliki transisi yang baik antara fase excitement, plateau, orgasm, multiple orgasm, dan resolusi. B memiliki transisi yang baik hingga fase plateau namun tidak mengalami orgasme. C memiliki pola yang berbeda, dengan fase excitement 15 hingga orgasme yang sangat singkat dan kemudian diikuti dengan fase resolusi yang cepat (Masters, WH., Johnson, VE., 1960). Basson (2004) juga mengajukan suatu model kontemporer yang tidak linier dari respon seksual wanita yang disebut sebagai “sexual response circle”. Dalam model respon seksualnya, Basson mengikut sertakan aspek psikologis dan sosial sebagai bagian dari fungsi seksual wanita seperti keintiman dan kepuasan secara emosional, begitu juga dengan dorongan seksual dan kepuasan secara fisik. Gambar 2.3 Model non linier respon seksual wanita oleh Basson Dikutip dari : Basson, R. dkk. 2004. Revised Definitions of Women’s Sexual Dysfunction. Canada : Journal of Sexual Medicine, Vol. 1, No. 1: 40-8 Menurut Basson, fase perangsangan (arousal) pada wanita tidak selalu didahului oleh hasrat (desire). Hasrat atau keinginan dalam berhubungan seksual timbul setelah wanita tersebut mendapatkan atau terangsang secara seksual.Wanita memiliki berbagai alasan untuk terlibat dalam aktifitas seksual, bukan hanya semata-mata oleh karena kebutuhan atau keinginan sebagaimana dijabarkan dalam 16 model tradisional dari respon seksual wanita. Meskipun banyak wanita mengalami keinginan dan ketertarikan spontan dalam aktifitas seksual, wanita yang mengalami perpisahan dengan pasangannya atau dalam hubungan dengan pasangan yang sudah berlangsung lama, wanita jarang berpikir atau mengalami keinginan yang kuat untuk aktifitas seksual secara spontan. Pada kasus ini, masih menurut Basson, kebutuhan untuk dekat secara emosional dan keintiman dapat mempredisposisikan wanita untuk terlibat dalam aktifitas seksual. Dalam keadaan ini wanita dapat dikatakan reseptif dalam aktifitas seksual namun tidak memulai aktifitas seksual. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya keintiman, sentuhan, percakapan, hal yang bersifat romantis atau stimulasi seksual, dapat menimbulkan rangsangan seksual bagi wanita, dimana akibat dari rangsangan seksual ini maka muncul keinginan untuk melanjutkan aktifitas seksual tersebut. Dalam perjalanan mencapai kepuasan seksual, tujuan akhir dari aktifitas seksual pada wanita tidak selalu semata-mata hanya orgasme, melainkan dapat berupa kepuasan personal yang dapat bermanifestasi dalam bentuk fisik atau emosional. Orgasme merupakan manifestasi secara fisik dari bentuk kepuasan seksual, sedangkan secara emosional dapat berupa perasaan lebih intim, romantis, atau lebih dekat dengan pasangan (Basson R., 2001; Whalton B. & Thorton T., 2003). 2.2 Pengukuran Kualitas Fungsi Seksual Wanita Untuk menilai kualitas fungsi seksual wanita digunakan Indeks Fungsi Seksual Wanita (Female Sexual Function Index/FSFI).FSFI adalah suatu instrumen multidimensi berupa kuisioner yang bersifat self report yang telah teruji 17 validitas dan reliabilitasnya untuk mengukur fungsi seksual wanita. Kuesioner ini telah digunakan sejak dirumuskannya di Amerika pada tahun 1982 di berbagai institusi pendidikan dan kesehatan khususnya bidang psikiatri secara internasional. Berdasarkan interprestasi klinik dari FSFI, fungsi seksual wanita terdiri dari enam nilai yang dapat diukur yaitu : 1. Hasrat(desire), merupakan cerminan dasar psikologis tentang motivasi dan dorongan yang ditandai oleh khayalan seksual dan keinginan untuk melakukan aktivitas seksual. 2. Rangsangan(arousal), merupakan hasil respon sensoris terhadap stimulasi seksual dimana selanjutnya menimbulkan kesiapan organ-organ seksual melakukan hubungan seksual. 3. Lubrikasi(lubrication), merupakan proses sekresi mukus pada vagina yang dihasilkan oleh beberapa kelenjar vestibular diantaranya kelenjar bartholin yang terdapat diantara himen dan labia minora. Lubrikasi terjadi saat wanita terstimulasi seksual baik stimulasi yang dilakukan secara fisik maupun psikis. 4. Orgasme(orgasm), adalah puncak kenikmatan seksual yang ditandai dengan pelepasan ketegangan seksual dan kontraksi ritmik pada otot-otot perineal dan organ reproduktif pelvis. 5. Kepuasan(satisfaction), merupakan kemampuan mencapai orgasme setiap kali melakukan hubungan seksual. Kepuasan seksual dapat mengurangi stress dan meningkatkan kedekatan hubungan emosional dengan pasangan. 18 6. Nyeri(pain), adalah nyeri saat melakukan hubungan seksual, baik yang disebabkan kelainan fisik maupun psikologis(Rosen R, dkk. 2000). FSFI dipilih dalam penelitian ini karena dirancang untuk pengukuran psychometric, berlaku untuk semua bentuk disfungsi seksual perempuan terlepas dari etiologinya, mudah untuk melakukan, dan mampu membedakan antara populasi klinis dan nonklinis. Skor FSFI pada enam domain menggunakan analisis faktor. Setiap domain akan menskoring pada skala nol sampai enam, dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan fungsi yang lebih baik. Untuk mendapatkan nilai dari domain, sejumlah item individual yang terdapat dalam domain ditambahkan, dan jumlah ini dikalikan dengan faktor domain. Domain skor keenam juga ditambahkan untuk mendapatkan nilai skala penuh. Nilai nol pada masing-masing domain menunjukkan responden tidak melakukan hubungan seksual pada empat minggu terakhir, sedangkan total skor ≤ 26.55 diklasifikasikan sebagai suatu disfungsi seksual. (Rosen R, dkk. 2000) 2.3 Jenis Disfungsi Seksual Wanita Sesuai dengan definisi yang ditetapkan oleh Consensus Development Conference on Female Sexual Dysfunction, aspek fungsi seksual dibagi menjadi empat kategori, yaitu: nyeri, keinginan, gairah, dan gangguan orgasme seperti yang ditunjukkan dalam tabel 2.1(Basson, dkk., 2000). 19 Tabel 2.1 Konsensus Sistem Klasifikasi Disfungsi Seksual Wanita Gangguan nyeri seksual a) Dispareunia: nyeri genital rekuren atau persisten yang berkaitan dengan hubungan seksual b) Vaginismus: kejang berulang atau persisten dari otot involunter pada sepertiga bagian bawah vagina yang mengganggu penetrasi, serta menyebabkan stress individual c) Gangguan nyeri seksual lainnya: nyeri genital rekuren atau persisten yang diinduksi oleh stimulasi seksual noncoital, termasuk anatomi dan inflamasi Gangguan hasrat seksual hypoaktif Suatu kondisi yang persisten atau berulang dari penurunan atau tidak adanya fantasi seksual dan hasrat untuk aktivitas seksual yang menyebabkan stress individual Gangguan Gairah Ketidakmampuan yang persisten atau berulang untuk mencapai atau mempertahankan aktivitas seksual sampai selesai, pelumasan yang kurang memadai, serta respon sexual yang tidak menggairahkan, yang menyebabkan stress individual Gangguan Orgasme Kondisi yang persisten atau berulang dari keterlambatan atau tidak adanya orgasme setelah stimulasi dan gairah seksual yang cukup, yang menyebabkan stress individual Dikutip dari : Basson, R., dkk. 2000. Report of International Consensus Development Conference on Sexual Dysfunction: definitions and classifications.J Urol. 163: 888 – 93. 2.4 Disfungsi Seksual WanitaPasca Persalinan 2.4.1 Gangguan Nyeri Seksual Gangguan nyeri seksual adalah kategori yang paling umum yang mempengaruhi wanita dalam periode pasca persalinan. Gangguan nyeri seksual dibagi menjadi dispareunia, vaginismus, dan gangguan nyeri lainnya. Penting untuk dicatat bahwa gangguan dapat terjadi dalam urutan yang bervariasi dan 20 mungkin saling ketergantungan antara berbagai faktor (Basson, dkk., 2000; Barrett, dkk.,2000; Oboro, dkk., 2002; Signorello, dkk., 2001). Nyeri perineum dan dispareunia adalah masalah pascapersalinan yang sering terjadi dan mengganggu fungsi seksual yang normal. Hal ini terjadi biasanya akibat dari trauma perineum, episiotomi dan instrumentasi persalinan. Faktor risiko lain termasuk luasnya trauma perineum, penjahitan perineum, primiparitas, dan pemakaian Entonox (nitrous oxide, dalam 50% oksigen) untuk analgesia. Hal yang penting diperhatikan adalah saat mulainya aktivitas seksual, dimana dilaporkan pasca persalinan dengan perineum utuh akan memulai aktivitas seksualnya lebih cepat daripada dengan cedera perineum (Glazener, CM., 1997; Andrews, dkk.,2008). 2.4.2 Gangguan Hasrat Seksual Hipoaktif Penelitian yang secara khusus mengevaluasi gangguan hasrat seksual hipoaktif dalam periode pasca persalinan masih sangat terbatas. Dalam studi di Nigeria, hilangnya hasrat seksual pada wanita pasca persalinan terjadi pada 61% dan 26% masing-masing pada enam minggu dan enam bulan (Oboro, 2002). Meskipun tampaknya bahwa keinginan seksual dapat meningkat seiring dengan waktu, penting untuk dicatat bahwa keinginan itu juga dipengaruhi faktor kehidupan lain seperti perubahan dalam bentuk tubuh, kesehatan mental ibu, dan hubungan perkawinan. 21 2.4.3 Gangguan Gairah dan Orgasme Terlepas dari berkurangnya vasodilatasi vagina secara fisiologis, faktor risiko yang berkaitan dengan penurunan gairah seksual pasca persalinan juga dipengaruhi oleh pengalaman buruk sebelumnya (seperti akibat dari dispareunia), gangguan elastisitas vagina, kecemasan seksual, kelelahan, serta depresi. Faktor risiko lain termasuk penggunaan obat-obatan seperti selective serotoninreuptake inhibitor (Clayton, AH., dkk., 2002) dan kontrasepsi oral (Sanders, dkk., 2001; Boyd, K., dkk. 2006). Kesulitan dalam mencapai orgasme dilaporkan sebesar 33% pada tiga bulan dan 23% pada enam bulan pascapersalinan, dibandingkan dengan hanya 14% yang mengalami masalah ini dalam tahun terakhir sebelum kehamilan (Barrett, dkk., 2000). 2.5 Pengaruh Episiotomi terhadap Fungsi Seksual Pasca Persalinan Episiotomi yang juga dikenal sebagai perineotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum dan kulit sebelah depan perineum (Wiknjosastro, dkk., 2007). Episiotomi dilakukan sebagai profilaksis terhadap trauma jaringan lunak. Robekan vagina dapat terjadi selama persalinan, paling sering pada pembukaan vagina saat kepala bayi melaluinya, terutama jika bayi turun dengan cepat. Indikasi untuk melakukan episiotomi dapat timbul dari pihak ibu maupun pihak janin. Indikasi janin diantaranya; sewaktu melahirkan janin prematur, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala janin oleh karena 22 penekanan perineum yang terlalu lama, adanya late decelerations yang memanjang atau fetal bradycardia pada fase aktif. Selain itu episiotomi juga dilakukan untuk melahirkan janin letak sungsang, melahirkan janin dengan cunam, ekstraksi vakum, dan distosia bahu (janin besar). Sedangkan indikasi ibu untuk tindakan episiotomi adalah; apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan sehingga ditakuti akan terjadi robekan perineum, seperti pada primipara, persalinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekstraksi vakum, dan anak besar. Dengan episiotomi diharapkan tepi luka menjadi licin dan memudahkan dalam proses penyembuhan.(Carroli, G., 2009; Wiknjosastro, dkk., 2007) Insidens episiotomi di Amerika Serikat pada tahun 2000 pada persalinan pervaginam adalah 19,4%, hal ini merupakan penurunan dramatis dari tahun 1983 dengan tingkat 69,4%. Kejadian yang lebih tinggi didapatkan pada perempuan kulit putih (32,1%) dibandingkan perempuan Afrika Amerika (11,2%). Angka episiotomi bervariasi menurut penyedia layanan kesehatan, dimana bidan memiliki angka yang lebih rendah (25%) dibandingkan pasien dari dokter (40%). Sedangkan di rumah sakit pendidikan kejadiannya lebih rendah (17%), dibandingkan dokter praktek swasta adalah (66%) (Goldberg, 2002).Meskipun bukan merupakan tindakan rutin, sebagian besar persalinan pervaginam pada primigravida di Rumah Sakit Sanglah Denpasar dilakukan tindakan episiotomi mediolateralis. Sayatan episiotomi umumnya menggunakan gunting khusus, tetapi dapat juga sayatan dilakukan dengan pisau. Berdasarkan lokasi sayatan maka dikenal jenis episiotomi yaitu episiotomi medialis, mediolateralis, lateralis, “J” shape, dan Schuchardt(Benson, 1994; Sarmana, 2004). 23 Lateralis “J” Shape Schuchardt Mediolateralis Medialis Gambar 2.4 Jenis Episiotomi (Dikutip dari : Benson, 1994; Cuningham, 2010; Sarmana, 2004) Pada teknik episiotomi medialis, sayatan dimulai pada garis tengah komissura posterior lurus ke bawah tetapi tidak sampai mengenai serabut sfingter ani. Keuntungan dari episiotomi medialis ini adalah; perdarahan yang timbul dari luka episiotomi lebih sedikit oleh karena merupakan daerah yang relatif sedikit mengandung pembuluh darah, serta sayatan bersifat simetris dan anatomis sehingga penjahitan kembali lebih mudah dan penyembuhan lebih memuaskan. Kerugiannya adalah dapat terjadi ruptur perineum tingkat tiga atau empat (Benson, 1994). Pada episiotomi mediolateralis sayatan disini dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju ke arah belakang dan samping. Arah sayatan dapat dilakukan ke arah kanan ataupun kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang melakukannya. Panjang sayatan kira-kira 4 cm. Sayatan disini sengaja dilakukan menjauhi otot sfingter ani untuk mencegah ruptur perinei tingkat tiga. Perdarahan luka lebih banyak oleh karena melibatkan daerah yang banyak pembuluh darahnya. 24 Otot-otot perineum terpotong sehingga penjahitan luka lebih sukar. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan selesai hasilnya harus simetris (Wiknjosastro, dkk., 2007). Teknik insisi lateralis, “J” shape, Schuchardt,saat ini sudah tidak dilakukan lagi oleh karena banyak menimbulkan komplikasi. Luka insisi ini dapat melebar kearah dimana terdapat pembuluh darah pudenda interna, sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang banyak. Selain itu insisi ini juga dapat merusak area kelenjar bartholin, dan parut yang ditimbulkannya dapat mengganggu pasien (Benson, 1994; Wiknjosastro, dkk., 2007;Sarmana, 2004) Tehnik penjahitan luka episiotomi sangat menentukan hasil penyembuhan luka episiotomi, bahkan lebih penting dari jenis episiotomi itu sendiri. Penjahitan biasanya dilakukan setelah plasenta lahir, kecuali bila timbul perdarahan yang banyak dari luka episiotomi maka dilakukan dahulu hemostasis dengan mengklem atau mengikat pembuluh darah yang terbuka. Beberapa prinsip dalam penjahitan luka episiotomi yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut; (1) Penyingkapan luka episiotomi yang adekuat dengan penerangan yang baik, sehingga restorasi anatomi luka dapat dilakukan dengan baik. (2) Hemostasis yang baik dan mencegah dead space. (3) Penggunaan benang jahitan yang mudah diabsorbsi. (4) Pencegahan penembusan kulit oleh jahitan dan mencegah tegangan yang berlebihan. (5) Jumlah jahitan dan simpul jahitan diusahakan seminimal mungkin. (6) Hati-hati agar jahitan tidak menembus rektum. (7) Untuk mencegah kerusakan jaringan, sebaiknya dipakai jarum atraumatik (Cuningham, 2010). 25 Gambar 2.5 Penjahitan Luka Episiotomi (Dikutip dari : Cuningham, 2010) Komplikasi dari tindakan episiotomi akan sangat mempengaruhi kehidupan seksual wanita dikemudian hari. Beberapa kelainan dapat muncul berkaitan dengan episiotomi, dari yang bersifat ringan sampai berat, bahkan fatal sampai menimbulkan kematian (Tacker, Banta, 1983). Gangguan dasar panggul adalah kondisi yang umum terjadi pada saat pasca persalinan. Prevalensinya diperkirakan sekitar 18,4% pada wanita primipara, sedangkanpada multiparasebesar 24,6%. Hal ini cenderung menetap hingga enam 26 bulan pasca persalinan bahkan sampai satu tahun (40%), yang mempengaruhi kehidupan seksual mereka.Dari kasus tersebut, hanya 4,49% yang mengunjungi tempat pelayanan untuk rehabilitasi perineum. Studi elektromiografi dasar panggul pada wanita tiga bulan pasca persalinan menunjukkan pemulihan tercepat pada persalinan spontan dengan perineum utuh dan seksio sesarea dibandingkan episiotomi. Persalinan pervaginam sendiri normalnya akan menyebabkan denervasi parsial dasar panggul. Hal ini akan diperparah oleh lamanya partus kala II dan berat bayi lahir(Bertozzi, dkk.,2011). Lesi pada saraf pudenda sering terjadi pada episiotomi yang dilakukan terlalu dalam ataupun meluas sampai derajat tiga atau empat. Penelitian menunjukkan 16% tindakan episiotomi mengakibatkan lesi saraf pudenda. Lesi ini akan menjelaskan terjadinya inkontinensia fekal dan urin setelah melahirkan. Namun, penjelasan tentang konsekuensi ini lebih dipengaruhi oleh durasi kala II persalinan, ruptur perineum yang parah, persalinan dengan instrumentasi, dan peningkatan berat janin ketimbang episiotomi. Tetapi episiotomi yang meluas sampai menimbulkan ruptur perineum derajat tiga atau empat, tetap akan berpengaruh. Dalam review faktor yang terkait menunjukkan bahwa ketika ruptur derajat tiga terjadi, 85% wanita memiliki cacat sfingteryangpersisten dan gejala struktural yang menetap 50%, meskipun perbaikan primer telah dikerjakan (Harris, 2003). Penjahitan yang kurang hati-hati dari luka episiotomi dapat mengakibatkan vagina yang asimetris (32,9%). Hal ini disamping berdampak pada kosmetik, lamanya penyembuhan luka dan infeksi, jaringan granulasi pada bagian luka yang 27 tidak menutup sempurna pernah dilaporkan menimbulkan Neuroma Traumatis di lokasi episiotomi. Neuroma Traumatis merupakan tumor kecil pada tempat bekas episiotomi dan terasa sakit yang menahun, hal ini sangat sering menimbulkan dispareunia saat hubungan seksual (Dharmarathna, 2007; Harris, 2003). Sayatan luka episiotomi pada dasarnya dibuat hanya sekedar mengurangi tahanan perineum terhadap kepala bayi, sehingga luka diharapkan seminimal mungkin dengan tepi yang licin sehingga mudah diperbaiki. Biasanya luka episiotomi menimbulkaan laserasi perineum derajat dua. Namun hal ini kadang meluas sehingga menimbulkan laserasi derajat tiga dan empat. Dalam analisis retrospektif oleh Sultan, dkk. (1993),menyimpulkan bahwa episiotomi tidak selalu mencegah robekan derajat ketiga dan menemukan faktor lain yang secara bermakna dikaitkan dengan tingkat ketiga robekan, seperti forsep, primiparitas, berat lahir empatkilogram atau lebih, dan presentasi occipitoposterior saat melahirkan. Sehubungan dengan tindakan forceps, perineum lebih terlindungi pada episiotomi mediolateralis dibandingkan episiotomi medialisataupun tanpa episiotomi. Komplikasi yang ditimbulkan dari sayatan episiotomi dapat berupa luka infeksi yang menjadi sangat parah (3%).Infeksi yang mengancam kehidupan ini disebut Necrotizing Fasciitis dan Clostridial Myonecrosis yang mengandung bakteri “pemakan daging”, sehingga luka menjadi sangat parah, sepsis, bahkan kematian. Robekan yang meluas atau kerusakan jaringan dapat terjadi di luar episiotomi itu sendiri. Dengan sendirinya hal ini akan berdampak pada lamanya 28 penyembuhan dari luka yag terbuka (dehiscence parsial) sebesar 14,5 (Tacker dan Banta, 1983). Komplikasi lain dari episiotomi, ditemukan sekitar 100 kasus pernah dilaporkan terjadinya endometriosis pada tempat bekas sayatanepisiotomi. Hal ini muncul beberapa bulan sampai beberapa tahun pasca persalinan. Gejala awal berupa nyeri siklik saat menstruasi dan teraba masa yang membesar di daerah perineum, kadang-kadang disertai perdarahan di daerah bekas episiotomi saat menstruasi. Hal ini dimungkinkan terjadi oleh karena aliran lochiapasca persalinan yang banyak mengandung sel-sel desidua dan kelenjar endometrium ikut menempel pada luka episiotomi, yang tidak ditangani dengan baik. Adanya endometriosis dan parut pada bekas luka episiotomi ikut memberikan dampak terjadinya dispareunia pasca persalinan(Chen, dkk. 2012). 2.6 Pengaruh Seksio Sesarea terhadap Fungsi Seksual Pasca Persalinan Seksio sesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Wiknjosastro, dkk., 2007). Secara epidemiologi, 30 tahun yang lalu satu dari 12 persalinan diakhiri dengan seksio sesarea. Sekarang perbandingan ini adalah satu dari tiga persalinan. Seksio sesarea umumnya merupakan suatu prosedur kedaruratan sebagai upaya terakhir, sekarang seksio sesarea malahan ditawarkan sebagai pilihan pertama. Untuk beberapa wanita seksio sesarea dianggap sebagai cara melahirkan yang baik, tidak menyusahkan, meskipun diketahui tindakan ini ada bahayanya. Angka seksio 29 sesarea secara global menunjukkan kenaikan. Kelayakan kenaikan angka bedah masih diperdebatkan, WHO/UNFPA/UNICEF mematok angka 15%, dibanyak negara.Angka diatas 15% tidak mengurangi angka kematian ibu dan perinatal (Cuningham, 2010). Di Indonesia angka seksio sesarea meningkat dari 17,0% (tahun 2001) meningkat menjadi 27,3% (tahun 2006). Jadi selama lima tahun telah terjadi peningkatan sebesar 60,6% meskipun Departemen Kesehatan telah membatasi angka seksio sesarea untuk Rumah Sakit Pendidikan atau Pusat Rujukan sebesar 20% dan RS Swasta sebesar 15% (Rasjidi, 2009). Angka untuk masing-masing senter bervariasi, seperti Solo (55%) sedangkan di Rumah Sakit Sanglah Denpasar, Karkata (1995) seperti dikutip dari Sarmana (2004) melaporkan angka seksio sesarea sebesar 8,06% (1984) meningkat tajam menjadi 20,22% (1994) dan 18,2% di tahun 2009. Indikasi untuk dilakukannya seksio sesarea adalah adanya indikasi mutlak, relatif, dan sosial. Indikasi mutlak dilakukannya seksio sesarea dibedakan menjadi indikasi ibu, seperti panggul sempit absolut, kegagalan melahirkan secara normal karena kurang adekuatnya stimulasi, tumor-tumor jalan lahir yang menyebabkan obstruksi, stenosis serviks atau vagina, plasenta previa, disproporsi sefalopelvik, serta ruptur uteri membakat. Sedangkan indikasi bayi, seperti kelainan letak, gawat janin, gemeli dengan bayi pertama bukan presentasi kepala serta prolapsus plasenta (Wiknjosastro, dkk., 2007; Rasjidi, 2009). Indikasi relatif dilakukannya seksio sesarea adalah riwayat seksio sesarea sebelumnya, presentasi bokong, distosia, penyakit kardiovaskuler dan diabetes, ibu dengan HIV positif sebelum inpartu, perkembangan bayi yang terhambat, serta 30 tindakan untuk mencegah hipoksia janin seperti pada preeklampsi (Rasjidi, 2009). Sementara indikasi sosial ditujukan bagi wanita yang takut melahirkan berdasarkan pengalaman sebelumnya, wanita yang ingin seksio sesarea elektif karena takut bayinya mengalami cedera atau asfiksia selama persalinan atau mengurangi risiko kerusakan dasar panggul, serta wanita yang takut terjadinya perubahan pada tubuhnya atau negativesexuality image setelah melahirkan (Barrett, dkk., 2005; Rasjidi, 2009). Seksio sesarea biasanya tidak dilakukan pada kasus janin mati, syok, ataupun anemia berat yang belum teratasi, kelainan kongenital berat (monster), infeksi piogenik pada dinding abdomen, serta minimnya fasilitas operasi seksio sesarea (Wiknjosastro, dkk., 2007). Tidak ada statistik resmi yang menyatakan berapa wanita yang melakukan persalinan dengan seksio sesarea sebagai pilihannya. Namun setiap SpOG pasti menyetujui bahwa angka ini bertambah. Yang menarik adalah seksio sesarea yang dilakukan pada primigravida, karena hal ini kecenderungan akan menyebabkan seksio sesarea berikutnya. Demikian juga halnya dengan seksio sesarea primer ataupun elektif. Istilah elektif membutuhkan klarifikasi, dimana yang dimaksudkan disini adalah seksio sesarea yang indikasi ataupun alasan medik sudah ditentukan sebelum persalinan (termasuk atas indikasi medik ataupun atas permintaan). Yang terakhir inilah menjadi sorotan, karena jumlahnya makin meningkat. Seksio sesarea elektif primer atas permintaan mengundang masalah yang pelik, kontroversial dan memprihatinkan. Informasi yang didapat dari rekam medik sering sulit ditentukan apakah seksio sesarea ini primer atau tidak (Rasjidi, 2009). 31 2.6.1 Teknik/Prosedur Secara umum dikenal ada tiga teknik seksio sesarea, yaitu seksio sesarea servikalis rendah, seksio sesarea klasik (korporal), dan histerektomi sesarea (Gilstrap, 2002). Namun dalam penelitian ini kami akan membahas dua teknik yang pertama saja, karena kami mengeksklusihisterektomi sesarea. A. Seksio Sesarea Servikalis Rendah Secara umum keuntungan dari teknik ini adalah vaskularisasi lebih sedikit sehingga perdarahan menjadi minimal, lebih mudah diperbaiki, terletak pada uterus yang paling kecil kemungkinan terjadinya ruptur pada kehamilan berikutnya, proses penyembuhan yang lebih baik dengan komplikasi pasca operasi yang minimal (misalnya perlekatan usus atau omentum di daerah insisi), serta implantasi plasenta pada jaringan parut bekas insisi jarang terjadi pada kehamilan berikutnya. (Wiknjosastro, dkk., 2007; Rasjidi, 2009; Cuningham, 2010). Prosedur untuk teknik ini yaitu pada prinsipnya, setelah dilakukan insisi abdomen dengan menggunakan insisi transversal atau vertikal, segmen bawah rahim digunting secara melintang untuk membuat bladder flap. Plika vesikouterina ini dipisahkan dapat secara tumpul atau tajam kearah bawah dan samping. Kemudian dibuat insisi sepanjang dua sampai tigasentimeter dengan skalpel sepanjang satusentimeter dibawah insisi plika vesikouterina tadi hingga teridentifikasi selaput ketuban. Arah insisi pada segmen bawah rahim dapat dilakukan secara melintang (transversal) sesuai cara Kerr, atau vertikal sesuai cara Kronig. Insisi diperlebar secara tumpul dengan kedua jari telunjuk operator. Perluasan insisi pada uterus dapat secara tajam dengan gunting perban, atau secara 32 tumpul dengan jari telunjuk operator. Setelah kavum uteri terbuka, selaput ketuban dipecahkan, janin dilahirkan dengan cara meluksir kepala. Tangan kanan operator masuk kedalam uterus dibawah kepala bayi, lalu dengan perlahan diangkat untuk mengeluarkannya melalui insisi uterus dan abdomen. Sementara itu tangan yang bebas atau asisten mendorong uterus untuk membantu mengeluarkan bayi. Terkadang forcep dibutuhkan. Pada presentasi bokong, penarikan pada pelvis dilakukan dengan cara meletakkan jari diantara pangkal paha. Segera setelah kepala bayi dikeluarkan, bersihkan jalan nafas (mulut terlebih dahulu). Bahu serta badan janin dilahirkan dengan menarik kedua ketiaknya. Segera setelahnya diberikan infus yang berisi dua ampul atau 20 unit oksitosin per liter kristaloid dengan kecepatan tetesan 10 ml/menit hingga kontraksi uterus baik, selanjutnya kecepatan dapat dikurangi. Tali pusat dijepit dan dipotong lalu plasenta dilahirkan secara manual. Bayi kemudian diberikan kepada asisten untuk perawatan pediatri lebih lanjut (Gilstrap, 2002; Rasjidi, 2009). Pastikan kavum uteri telah bersih dari robekan membran, gumpalan darah, sisa plasenta, dan jaringan. Identifikasi organ genetalia interna, dan hentikan perdarahan yang terjadi, kemudiandilakukan penjahitan dinding abdomen secara lapis demi lapis(Rasjidi, 2009; Cuningham, 2010). 33 Gambar 2.6 Tehnik operasi seksio sesarea (Dikutip dari : Rasjidi, 2009; Cuningham, 2010) 34 B. Seksio Sesarea Klasik (Korporal) Insisi secara klasik adalah suatu insisi vertikal pada korpus uteri diatas segmen bawah uterus dan mencapai fundus uterus, tetapi insisi ini sudah jarang digunakan. Indikasi dilakukannya seksio sesarea klasik adalah bila terjadi kesukaran dalam memisahkan vesika urinaria untuk mencapai segmen bawah rahim, misalnya karena ada perlekatan akibat pembedahan seksio sesarea sebelumnya, adanya mioma yang menempati segmen bawah uterus, atau keganasan, janin besar dengan letak lintang, serta plasenta previa dengan insersi plasenta pada dinding depan segmen bawah rahim (Wiknjosastro, dkk., 2007; Rasjidi, 2009; Cuningham, 2010). Langkah awal operasi dilakukan seperti pada teknik servikalis rendah, perbedaan hanya terdapat saat membuka uterus. Insisi uterus vertikal dibuat secara tajam menggunakan skalpel dimulai serendah mungkin. Jika terdapat adesi, eksposur yang kurang, tumor, atau plasenta perkreta, lakukan insisi setinggi diatas vesika urinaria. Insisi diperlebar secara sagital dengan menggunakan gunting perban hingga dirasakan cukup untuk melahirkan janin. Perdarahan yang banyak sering terjadi pada miometrium. Setelah kavum uteri terbuka, selaput ketuban dipecahkan. Janin dilahirkan dengan meluksir kepala dan mendorong fundus uteri. Tali pusat dijepit dan dipotong antara kedua penjepit, lalu plasenta dilahirkan secara manual (Gilstrap, 2002; Rasjidi, 2009). Luka insisi segmen atas rahim dijahit kembali. Endometrium bersama miometrium dijahit secara jelujur dengan benang catgut kromik 1-0. Selanjutnya lapisan serosa uterus dapat ditutup dengan jahitan jelujur menggunakan catgut 35 kromik 2-0. Setelah dinding uterus selesai dijahit, kedua adneksa dieksplorasi. Rongga abdomen dibersihkan dari sisa-sisa darah dan akhirnya luka dinding abdomen dijahit (Rasjidi, 2009). Gambar 2.7 Insisi uterus vertical (Dikutip dari : Rasjidi, 2009) 2.6.2 Komplikasi dan Efek Persalinan Seksio Sesarea Penelitian yang khusus mengevaluasi disfungsi seksual pada wanita yang melahirkan dengan seksio sesarea masih sangat terbatas. Disisi lain, terdapat studi yang berbeda dalam hal metodologi dan desain penelitian (termasuk primipara/multipara, jenis kuesioner yang digunakan, lamanya pengawasan persalinan, indikasi seksio sesarea, serta perbandingan antara berbagai derajat laserasi perineum) dan tidak membedakan antara seksio sesarea elektif dan emergensi(Glazener, 1997; Buhling, dkk., 2006). Komplikasi utama persalinan seksio sesarea adalah kerusakan organ-organ seperti vesika urinaria dan uterus saat dilangsungkannya operasi, komplikasi anesthesi, perdarahan, infeksi, dan tromboemboli. Kematian ibu lebih besar pada persalinan seksio sesarea dibandingkan persalinan pervaginam. Sulit untuk 36 memastikan hal tersebut terjadi apakah dikarenakan prosedur operasinya ataukah karena alasan yang menyebabkan ibu hamil tersebut harus dioperasi (Rasjidi, 2009; Cuningham, 2010).Takipneu sesaat pada bayi baru lahir lebih sering terjadi pada persalinan seksio sesarea, dan kejadian trauma persalinanpun tidak dapat disingkirkan. Risiko jangka panjang yang dapat terjadi adalah plasenta previa, solusio plasenta, plasenta akreta, dan ruptur uteri. Suatu penyulit yang jarang tetapi serius pada seksio sesarea adalah fasciitis nekrotikans. Goepfert dkk. (1997) mengidentifikasi sembilan wanita dengan kasus ini didasarkan pada identifikasi fasia nekrotik pada pasien dengan demam yang menjalani debridement luka pasca operasi. Insiden penyulit ini diperkirakan sebesar dua per 1000 seksio sesarea. Fasciitis rata-rata didiagnosis 10 hari setelah seksio sesarea dan infeksi ini sering bersifat polimikroba. Satu wanita meninggal akibat sepsis. Baksu, dkk., (2007) melaporkan, pada tiga bulan pasca persalinan, wanita yang telah menjalani bedah sesar secara signifikan mengalami penurunan fungsi seksual, tetapi pada enam bulan tidak ada perbedaan yang signifikan dengan kondisi sebelum hamil. 2.7 Faktor-faktor Lain yang Berpengaruh terhadapSeksualitas Pasca Persalinan 2.7.1 Faktor Fisiologis a. Siklus menstruasi Keadaan yang mungkin adalah dismenore (sakit waktu menstruasi) dan menstruasi yang tidak teratur. Perdarahan bisa disebabkan oleh trauma, 37 polip, kanker, endometriosis, kanker endometrium, dan alat kontrasepsi intrauterin (Boyd, K., dkk. 2006). b. Kehamilan Keinginan untuk melakukan hubungan seks pada waktu hamil berbedabeda. Perbedaan ini disebabkan oleh faktor fisik maupun emosi. Pada awal kehamilan, rasa mual, pusing maupun perubahan-perubahan fisik seperti membesarnya perut, bertambahnya berat badan, dan perasaan cepat lelah, membuat wanita kehilangan selera untuk bermesraan dan bersanggama. Keinginan berhubungan seks timbul dan meningkat pada trimester kedua karena wanita telah bisa menyesuaikan diri dengan kondisi kehamilannya. Namun mendekati akhir masa kehamilan, dengan makin membesarnya kehamilan dimana gerakan-gerakan bayi telah terasa, semua rasa tidak nyaman kembali datang. Beberapa pasangan beranggapan bahwa sanggama bisa membahayakan keadaan janin dalam kandungan karena membebani uterus sehingga mereka tidak berani melakukan hubungan seksual. Segala pengalaman buruk selama kehamilan dapat mempengaruhi fungsi seksual pasca persalinan dikemudian hari (Tunardy, dkk., 2011). c. Menyusui dan kontrasepsi estrogen Aspek fisik maupun psikologis seksualitas dari seorang wanitaberubah dengan aktivitas menyusui. Terdapat beberapa informasi yang masih kontroversial antara pengaruh menyusui dan seksualitas. Sementara beberapa penelitian melaporkan efek positif pada seksualitas, bukti-bukti efek negatif juga tidak kalah banyak. Dalam sebuah studi kecil oleh Masters 38 dan Johnson, 24 wanita menyusui dilaporkansecara signifikan lebih tinggi tingkat aktivitas seksualnya dibandingkan dengan mereka yang tidak hamil. Peningkatan gairah seksual dan erotisme selama masa menyusui juga telah dilaporkan (Abdool, dkk., 2009). Hal ini dapat dijelaskan dengan ukuran payudara yang lebih besar, meningkatkan sensitivitas dan juga langsung distimulasi oleh proses menyusui itu sendiri. Bila dibandingkan dengan wanita yang tidak menyusui, kebanyakan studi melaporkan bahwa pemberian ASIjustru menurunkan keinginan seksual pada wanita (Glazener,1997; LaMarre, dkk., 2003).Sedangkan Avery dkk.(2000), menganalisis data dari 576 wanita primiparayang telah menyelesaikan masa menyusui dan seksualitasnya kemudian diukur dengan kuesioner (belum divalidasi) pada saat menyapih.Tindak lanjut melalui wawancara telepon pada satu, tiga, enam, dan 12 bulan pascapersalinan mengungkapkan bahwa wanita tidak mengalami gairah selama menyusui. Alder (1986) meneliti hormon secara prospektif pada 25 wanita primiparaselama enam bulan pascapersalinan dan menemukan bahwa wanita menyusui memiliki testosteron dan androstenedion secara signifikan lebih rendah. Hormon Estrogen dapat menurunkan kuantitas dan kualitas ASI.Standar perawatan untuk wanita menyusuimenganjurkan untukmenghindari kontrasepsi yang mengandung estrogen, termasuk kontrasepsi oral (kombinasi), dan vaginal ring kombinasi. Kontrasepsi yang mengandung estrogen tidak boleh digunakan pada tiga sampai empat minggu pascapersalinan pada wanita yang menyusui ataupun yang tidak 39 menyusui, untuk mengurangi risiko thromboemboli vena. Estrogen menyebabkan berkurangnya pelendiran vagina sehingga memicu terjadinya dispareunia dan ketidaknyamanan hubungan (Boyd, K., dkk. 2006). 2.7.2 Faktor Organik Faktor organik yang akan mempengaruhi respon seksual, (contohnya pada neuropathi diabetika), yang mempengaruhi saraf otonom genital, (contohnya pada vulvektomi), mempengaruhi mobilitas, (contohnya pada cerebrovascular accident), terhambat oleh nyeri pada angina, terhambat oleh nyeri genital pada endometriosis, terhambat karena penyakit kronis pada gagal ginjal, atau efek samping pengobatan (Windhu, 2009; Kingberg, 2009). 2.7.3 Faktor Psikososial a. Kurangnya atau kesalahan informasi mengenai seks, mitos seksual, kepercayaan seksual, perilaku, dan nilai-nilai yang berkembang dalam keluarga, sosial, kultur, dan agama yang memberikan pengalaman mengenai kebiasaan seksual yang dapat diterima seseorang. Contoh mitos seksual diantaranya, wanita yang baik tidak memulai seks atau meminta apa yang mereka inginkan, atau seks yang baik adalah selalu spontan, dan wanita dianggap bertanggung jawab terhadap kemampuan ereksi pria(Pangkahila, 2005; Windhu, 2009). b. Masalah komunikasi, masalah hubungan sehari-hari yang tidak terselesaikan mungkin menyebabkan kemarahan dan rasa bersalah yang 40 berujung pada terjadinya hambatanterhadaphubungan seksual (Brtnicka, dkk., 2009; Pangkahila, 2005; Windhu, 2009). c. Pengalaman hidup di masa lalu dapat menyebabkan masalah seksual. Banyak istri yang selalu gagal dalam mencapai orgasme setiap kali berhubungan dengan suaminya. Pengalaman yang tidak menyenangkan ini pada akhirnya dapat menimbulkan kekecewaan, yang dapat melenyapkan dorongan seksual (Pangkahila, 2005; Windhu, 2009). d. Harapan yang tidak realistis dan bertentangan. Masalah dapat muncul ketika salah satu pasangan menginginkan seks lebih dari yang lainnya atau harapan berlebihan memberi tekanan dan ketakutan jika gagal. Misalnya keinginan seksual yang tidak berubah saat lelah, sakit, hamil, maupun menginjak usia tua(Pangkahila, 2005; Windhu, 2009). e. Depresi Pasca persalinan Terdapat penelitian yang terbatas yang khusus meneliti hubungan antara kesehatan seksual dan depresi.Dalam penelitian survei jarak jauh di Australia yang mencakup 25 rumah sakit, Brown, dkk. (2000), meneliti hubungan antara kesehatan fisik ibu dan masalah kesehatan emosional dalam enam sampai sembilan bulan pascapersalinan dengan tingkat tanggapan 62%. Kelelahan dan komunikasi yang bermasalah meningkat tiga kali lipat bermakna pada wanita dengan skor >13 pada penilaian dengan Edinburgh Postnatal Depression Scale (skor> 13 pada skala ini dianggap sebagai kemungkinan depresi). Masalah seksual, inkontinensia, nyeri pinggang, pilek dan penyakit ringan yang lebih dari biasanya, 41 meningkat lebih dari dua kali lipat pada wanita depresi. Penelitian lain oleh Glazener (1997), menyebutkan bahwa masalah yang terkait dengan hubungan seksual lebih sering dilaporkan oleh wanita yang mengalami nyeri perineum, depresi, ataupun kelelahan. Kualitas seksual wanita sebelum dan sesudah persalinan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor psikososial yang berkontribusi positif pada fungsi seksual termasuk hubungan yang sehat dengan pasangan, kesehatan umum kedua pasangan, bebas dari stress kehidupan, dan tidak ada kekhawatiran pada masalah keuangan. Jika satu atau lebih faktor ini mempengaruhi secara negatif, maka akan mengganggu fungsi seksual (Abdool, dkk., 2009). 42 BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Telah diketahui bahwa persalinan akan membawa dampak terhadap kehidupan dan fungsi seksual wanita pasca persalinan yang mengalaminya. Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap fungsi seksual wanita pasca persalinan yang dihubungkan dengan cara persalinan. Secara umum didapatkan bahwa semakin berat kerusakan dasar panggul dan perineum, maka dampak terhadap fungsi seksual akan semakin buruk. Disamping itu, semakin berat komplikasi persalinan ataupun komplikasi operatif, akan memperburuk kondisi kesehatan dan seksualitasnya. Episiotomi pada dasarnya dikerjakan untuk mengurangi tahanan perineum, membuat tepi luka yang licin sehingga mudah diperbaiki, mencegah ruptur perineum derajat tiga dan empat, mencegah inkontinensia fekal dan urin, serta mengurangi dampak tahanan perineum yang terlalu lama pada bayi (terutama bayi prematur dan gawat janin). Namun disisi lain tindakan episiotomi dengan ataupun tanpa komplikasi dapat berpengaruh pada fungsi seksual dikemudian hari. Pengaruh episiotomi terhadap fungsi seksual pasca persalinan sebagian besar diakibatkan oleh komplikasinya yang seringkali terjadi oleh karena tindakan yang kurang hati-hati, ataupun perawatan luka yang tidak baik. Persalinan dapat menyebabkan denervasi parsial pada dasar panggul, ataupun kerusakan saraf pudenda terutama saat kala II yang berlangsung lama. Hal ini akan diperparah oleh 43 tindakan episiotomi yang meluas sampai derajat tiga ataupun empat, sehingga akan mengganggu fungsi otot-otot dasar panggul, mengakibatkan inkontinensia fekal dan urin dikemudian hari. Ruptur yang meluas membuat perdarahan lebih banyak, peluang infeksi meningkat, beberapa dapat menjadi berat (seperti Necrotizing Fasciitis dan Clostridial Myonecrosis), sepsis, bahkan sampai kematian. Menghindari segala ketakutan akan hal diatas, beberapa wanita kemudian memilih persalinan dengan seksio sesarea, untuk mempertahankan kehidupan seksualnya. Tanpa disadari seksio sesarea dengan ataupun tanpa indikasi medis sebenarnya cukup banyak berpengaruh terhadap fungsi seksual pospartum, terutama berkaitan dengan indikasi operasi serta komplikasinya. Komplikasi utama persalinan seksio sesarea adalah kerusakan organ-organ seperti vesika urinaria dan uterus saat dilangsungkannya operasi, komplikasi anesthesi, kebutuhan perawatan intensif, perdarahan yang lebih banyak, infeksi, dan tromboemboli, serta kebutuhan akan perawatankembali setelah keluar dari rumah sakit. Kematian ibu lebih besar pada persalinan seksio sesarea dibandingkan persalinan pervaginam. Nyeri abdomen dan perlukaan organ dalam akan berpengaruh pada seksualitas tiga bulan pasca persalinan. Efek persalinan itu sendiri pada fungsi seksual pasca persalinanmenunjukkan faktor-faktor lain yang tidak berdiri sendiri, seperti umur, agama, pendidikan, pekerjaan, beban tanggungan biaya/asuransi, usia kehamilan, berat badan bayi lahir, perawatan medis kembali, menyusui, bantuan pengasuh bayi, dan masalah dalam keluarga, yang turut berpengaruh terhadap kehidupan seksual dalam enam bulan terakhir. 44 Dari uraian diatas dapat disusun suatu kerangka konsep penelitian seperti berikut (Bagan 3.1). Episotomi Seksio Sesarea Denervasi parsial dasar panggul Lesi saraf pudenda Gangguan otot dasar panggul Inkontinensia fekal dan urin Ruptur yang meluas Lamanya penyembuhan luka Infeksi Perdarahan Neuroma traumatis Dispareunia Endometriosis episiotomi Parut perineum Umur Agama Pendidikan Pekerjaan Tanggungan asuransi Usia kehamilan Berat badan bayi lahir Perawatan medis kembali Menyusui Bantuan pengasuh bayi Masalah dalam keluarga Nyeri abdomen Perlukaan vesika urinaria Perlukaan uterus Perdarahan banyak Infeksi Komplikasi anesthesi Perawatan intensif Penyakit tromboemboli Lama rawat inap Fungsi Seksual Wanita Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian 3.2 Hipotesis penelitian Berdasarkan kerangka konsep dan kajian teori di atas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: terdapat perbedaan fungsi seksual pada wanita pasca persalinan pervaginan dengan episiotomi dibandingkan pasca seksio sesarea. 45 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini adalah studi potong lintang analitik (crosssectional study). 4.2. Populasi dan Sampel Penelitian 4.2.1 Populasi Target Populasi target pada penelitian ini adalah wanitapasca persalinan pervaginam dengan episiotomi dan pasca seksio sesarea. 4.2.2. Populasi Terjangkau Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah wanita pasca persalinan pervaginam dengan episiotomi dan pasca seksio sesarea yang melahirkan diRumah Sakit Sanglah dari bulan April 2011 sampai dengan bulan Maret 2012. 4.2.3 Kriteria Eligibilitas Kriteria inklusi : 1. Sudah menikah. 2. Pasca melahirkan pertama kali. 3. Riwayat persalinan pervaginam dengan episiotomi mediolateral. 4. Riwayat persalinan dengan seksio sesarea. 46 5. Bayi hidup saat penelitian/wawancara (enam bulan postpartum). 6. Tinggal bersama suami yang mampu melakukan hubungan seksual paling sedikit satu bulan terakhir. 7. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini dengan menandatangani informed consent. Kriteria eksklusi : 1. Sedang dalam perawatan penyakit medis. 2. Sedang dalam keadaan hamil. 3. Riwayat persalinan pervaginam dengan bantuan alat (vakum, forceps). 4. Riwayat persalinan dengan perluasan episiotomi (ruptur perineum derajat tiga dan empat). 5. Riwayat persalinan dengan kehamilan multiple. 6. Riwayat Abortus. 7. Sedang menggunakan kontrasepsi hormonal : pil kombinasi. 8. Tidak melakukan hubungan seksual pada satu bulan terakhir. 4.2.4 Besar Sampel Besarnya sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus untuk uji analitik komparatif numerik tidak berpasangan dua kelompok, yaitu : N1 = N2 = 2(Zα + Zβ)2S2 (X1 – X2)2 Zα = nilai distribusi normal, untuk kesalahan tipe I (α = 5% maka z =1,96) Zβ = nilai distribusi normal, untuk kesalahan tipe II (β = 20% maka z = 0,84) 47 X1= rerata kelompokEpisiotomi= 22,16 X2= rerata kelompokSeksio Sesarea= 28,32 S = standar deviasi kedua kelompok = 10,21 Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus besar sampel di atas maka didapatkan jumlah sampel minimal masing-masing kelompok dalam penelitian ini adalah N1 = N2 = 43 orang. Jadi jumlah sampel minimal kedua kelompok adalah 86 orang 4.2.5Pengambilan sampel Wanita pasca persalinan pervaginam dengan episiotomi dan pasca seksio sesarea yang melahirkan diRumah Sakit Sanglah dari bulan April 2011 sampai dengan bulan Maret 2012, serta sudah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, setelah enam bulan pasca persalinan. Kemudian dipilih secara consecutive sampling sebanyak 43 orang sampel untuk kelompok episiotomi, dan 43 orang sampel untuk kelompok seksio sesarea. 4.3 Variabel penelitian 4.3.1 Klasifikasi Variabel a) Variabel tergantung adalah fungsi seksual. b) Variabel bebas adalah persalinan pervaginam dengan episiotomi dan persalinan dengan seksio sesarea. c) Variabel kendali adalah umur, agama, pendidikan, pekerjaan, tanggungan asuransi, usia kehamilan, berat badan bayi lahir, perawatan 48 medis kembali, menyusui, bantuan pengasuh bayi, dan masalah dalam keluarga. 4.3.2 Definisi Operasional Variabel 1. Fungsi seksual wanita adalah fungsi seksual pada wanita yang dinilai dengan FSFI (Female Sexual Function Index) yang terdiri dari 19 item pertanyaan. Skor masing-masing domain dan skor secara keseluruhan dihitung dengan rumus sesuai dengan yang tertera pada tabel FSFI. 2. Persalinan pervaginam dengan episiotomi adalah melahirkan bayi melalui vagina dengan tindakan insisi pada perineum secara mediolateral yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum dan kulit sebelah depan perineum. 3. Persalinan dengan seksio sesarea adalah melahirkan bayi melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram. 4. Umur adalah umur dinyatakan dalam tahun yang didapatkan dari kartu tanda penduduk, jika tidak ada umur diperkirakan dengan menghubungkan kelahiran dengan kejadian yang bersejarah di lingkungan sekitar. 5. Agama adalah agama ataupun keyakinan yang dianut responden saat penelitian. 6. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang berhasil ditamatkan dan didapatkan dari hasil wawancara langsung. 49 7. Pekerjaan adalah jenis kegiatan yang dilakukan pada sebagian besar waktu dalam sehari dan menghasilkan uang dan didapatkandari hasil wawancara langsung. 8. Tanggungan asuransi adalah bantuan pembiayaan asuransi saat persalinan baik dari pemerintah ataupun swasta. 9. Usia kehamilan adalah usia kehamilan saat persalinan terjadi yang didapatkan dari catatan medis. 10. Berat badan bayi lahir adalah berat badan bayi yang ditimbang setelah persalinan yang didapatkan dari catatan medis. 11. Perawatan medis kembali adalah perawatan di rumah sakit kembali setelah pasien dipulangkan pasca bersalin, yang masih berkaitan dengan masalah persalinannya. 12. Menyusui adalah aktifitas responden berupa memberikan air susunya (ASI) kepada bayinya minimal dalam waktu satu bulan terakhir, tanpa memandang adanya kombinasi dengan susu formula. 13. Bantuan pengasuh bayi adalah bantuan yag diperoleh responden dari orang lain yang bukan suaminya dalam merawat bayi. 14. Masalah dalam keluarga adalah masalah rumah tangga yang dialami responden baik dengan suami ataupun orang lain yang dirasakan mengganggu aktifitas seksualnya dalam enam bulan terakhir. 4.4 Bahan Penelitian 1. Kuisioner FSFI yang memuat tentang fungsi seksual. 50 2. Data tambahan tentang identitas pasien, demografi sosio-ekonomi, yang diambil dari catatan medis responden. 4.5 Tempat dan Waktu Penelitian 4.5.1 Tempat Penelitian : di tempat tinggal responden. 4.5.2 Waktu penelitian : selama satu tahunmulai bulan Oktober 2011 sampai dengan bulan September 2012 (enam bulan pasca persalinan untuk sampel yang melahirkan dari bulan April 2011 sampai dengan bulan Maret 2012). 4.6 Alur Penelitian Sampel penelitian diambil secara consecutive sampling. Setelah dilakukan sampling kepada sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, diberikan penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian ini, selanjutnya bagi yang bersedia mengikuti penelitian ini dilakukan informed consent.Selanjutnya pasien melakukan pengisian kuisioner, dan peneliti melakukan anamnesis dan penelusuran rekaman medik untuk melengkapi data yang diperlukan. Jika pasien tidak mampu atau kesulitan untuk membaca maka peneliti akan membantu untuk membacakan kuisioner yang tersedia. Kemudian sampel dikelompokkan menjadi kelompok persalinan dengan episiotomi dan seksio sesarea, dan selanjutnya dilakukan pengukuran fungsi seksual.Setelah semua data terkumpul dilakukan analisis data. 51 Wanita pasca Persalinan Pervaginam dengan Episiotomi dan Seksio Sesarea Kriteria eksklusi Kriteria inklusi Kuisioner Indeks Fungsi Seksual Wanita Analisis data Bagan 4.1 Alur Penelitian 4.7 Analisis Data Setelah dilakukan evaluasi ulang terhadap kelengkapan data, dilakukan analisis dengan perangkat lunak komputer : a. Analisis statistik deskriptif terhadap data demografi sampel. b. Ditentukan skoring dari jawaban setiap pertanyaan dari kuisioner FSFI yang telah diisi subyek dan ditentukan jenis dan derajat disfungsi masing-masing subyek c. Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov untuk menguji normalitas data. d. Hubungan antara variabel kendali (umur, agama, pendidikan, pekerjaan, tanggungan asuransi, usia kehamilan, berat badan bayi lahir, perawatan medis kembali, menyusui, bantuan pengasuh bayi, dan masalah dalam keluarga), dan 52 variabel dependen (fungsi seksual) diuji menggunakan analisis multivariat dengan regresi logistik. e. Perbedaan skor FSFI antara kelompok yang melahirkan pervaginam dengan episiotomi dan kelompok seksio sesarea untuk menguji perbedaan fungsi seksual digunakan uji t test jika data berdistribusi normal. Jika data tidak berdistribusi normal digunakan uji Mann-Whitney. f. Analisis statistik menggunakan interval kepercayaan (IK) 95%. Hubungan dikatakansignifikan bila nilai p < 0,05. 53 BAB V HASIL PENELITIAN Telah dilakukan penelitian mulai bulan Oktober 2011 sampai dengan bulan September 2012, yaitu enam bulan pasca persalinan untuk sampel yang melahirkan dari bulan April 2011 sampai dengan bulan Maret 2012. Sebanyak 86 pasien yang terdiri dari 43 pasca persalinan dengan episiotomi dan 43 pasca persalinan dengan seksio sesarea dilibatkan dalam penelitian ini. 5.1 Karakteristik Subyek Pada penelitian cross sectional ini telah dilakukan uji beda menggunakan uji t-independent untuk variabel kendali yaitu umur, agama, pendidikan, pekerjaan, tanggungan asuransi, usia kehamilan, berat badan bayi lahir, perawatan medis kembali, menyusui, bantuan pengasuh bayi, dan masalah dalam keluarga, seperti yang ditunjukkan dalam tabel 5.1. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa karakteristik subyek antar kelompok menunjukkan perbedaan yang tidak bermaknadengan nilai p>0,05. Hal ini berarti bahwa karakteristik subyek kedua kelompok adalah sama, sehingga pengaruhnya terhadap hasil penelitian dapat diabaikan. Sementara saat mulai hubungan seksual pasca persalinan (dalam bulan) untuk masing-masing kelompok pasca episiotomi dan pasca seksio sesarea ditunjukkan dalam tabel 5.2. 54 Tabel 5.1 Karakteristik Subyek pada Kelompok Pasca Episiotomi dan Seksio Sesarea Variabel Umur (tahun) Agama : Hindu Islam Kristen Katholik Budha Kepercayaan Pendidikan : Tidak sekolah SD SMP SMA S1 S2 S3 Pekerjaan : Ibu rumah tangga Karyawan Wirausaha PNS Pensiunan Tanggungan asuransi : Ya Tidak Usia kehamilan: <37 minggu 37-42 minggu ˃ 42 minggu Berat badan bayi lahir : <2500 g 2500-4000 g ˃ 4000 g Perawatan medis kembali : Ya Tidak Menyusui : Ya Tidak Bantuan pengasuh bayi : Ya Tidak Masalah dalam keluarga : Ya Tidak Pasca Episiotomi (n=43) 24,53±4,23 33 (76,74%) 4 (9,30%) 4 (9,30%) 2 (4,65%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 6 (13,95%) 35 (81,40%) 2 (4,65%) 0 (0%) 0 (0%) 20 (46,51%) 17 (39,53%) 4 (9,30%) 2 (4,65%) 0 (0%) 23 (53,49%) 20 (46,51%) 6 (13,95%) 35 (81,40%) 2 (4,65%) 12 (27,91%) 31 (72,09%) 0 (0%) 0 (0%) 43 (100%) 39 (90,70%) 4 (9,30%) 26 (60,47%) 17 (39,53%) 8 (18,60%) 35 (81,40%) Pasca Seksio Sesarea (n=43) 23,72±4,23 33 (76,74%) 6 (13,95%) 2 (4,65%0 2 (4,65%) 0 (0%) 0 (0%) 1 (2,33%) 4 (9,30%) 6 (13,95%) 30 (69,77%) 2 (4,65%) 0 (0%) 0 (0%) 18 (41,86%) 23 (53,49%) 1 (2,33%) 1 (2,33%) 0 (0%) 23 (53,49%) 20 (46,51%) 2 (4,65%) 40 (93,02) 1 (2,33%) 10 (23,26%) 33 (76,74%) 0 (0%) 0 (0%) 43 (100%) 36 (83,72%) 7 (16,28%) 21 (48,84%) 22 (51,16%) 10 (23,26%) 33 (76,74%) p 0,375 0,785 0,250 0,371 1,000 0,264 0,621 1,000 0,270 0,279 0,596 Analisis kemaknaan saat mulainya hubungan seksual pasca persalinan pada kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan (p>0,05). Sebagian besar subyek 55 memulai hubungan seksual pada tiga bulan pasca persalinan, baik pada kelompok pasca episiotomi (60,47%) ataupun pasca seksio sesarea (46,51%). Tabel 5.2 Saat Mulai Hubungan Seksual Pasca Persalinan Variabel Saat mulai hubungan seksual (dalam bulan) : 1 2 3 4 5 6 Pasca Episiotomi (n=43) 0 (0%) 11 (25,58%) 26 (60,47%) 6 (13,95%) 0 (0%) 0 (0%) Pasca Seksio Sesarea (n=43) 0 (0%) 17 (39,53%) 20 (46,51%) 4 (9,30%) 2 (4,65%) 0 (0%) p 0,215 5.2 Fungsi Seksual pada Kelompok Pasca Episiotomi dan Seksio Sesarea Fungsi seksual pada kedua kelompok pasca episiotomi dan pasca seksio sesarea dilakukan uji beda dengan uji t-independent, didadapatkan hasil seperti dalam tabel 5.3. Tabel 5.3 Rerata Skor FSFI pada Kelompok Pasca Episiotomi dan Seksio Sesarea Variabel Skor total FSFI Hasrat seksual Rangsangan Lubrikasi Orgasme Kepuasan Nyeri Disfungsi seksual (Skor ≤ 26,55) Ya Tidak Pasca Episiotomi (n=43) 13,53±3,02 4,70±1,15 4,90±1,45 5,46±1,21 5,43±1,27 5,16±1,49 5,06±1,62 Pasca Seksio Sesarea (n=43) 14,90±0,96 5,21±0,62 5,23±0,55 5,83±0,50 5,85±0,45 5,75±0,56 5,89±0,44 8 (18,60%) 35 (81,40%) 1 (2,33%) 42 (97,67%) p 0,006 0,014 0,160 0,067 0,045 0,018 0,002 0,030 56 Analisis kemaknaan pada fungsi seksual kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan (p>0,05) pada domain rangsangan, dan lubrikasi, sedangkan pada domain hasrat, orgasme, kepuasan, nyeri, total skor FSFI, serta disfungsi seksual pada kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p<0,05. 57 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Subyek Pada penelitian cross sectional dengan 86 orang sampel yang terdiri dari 43 pasca episiotomi dan 43 pasca seksio sesarea ini, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas karakteristik masing-masing sampel untuk mengetahui apakah kedua kelompok berdistribusi normal, untuk selanjutnya dilakukan pengujian sesuai masing-masing karakter untuk melihat pengaruhnya terhadap fungsi seksual pasca persalinan pada kedua subyek yang diteliti. Umur secara alamiah tetap berpengaruh pada penurunan aspek seksualitas, dimana aktivitas seksual wanita terbaik tercapai pada usia muda, selanjutnya akan turun pada usia tua (Baksu, dkk., 2007). Agama, ras, ataupun faktor kepercayaan adat istiadat tertentu merupakan faktor psikologis yang juga berpengaruh terhadap penerimaan seorang wanita post partum terhadap pasangannya (Abdool, dkk., 2009). Sementara hubungan antara tingkat pendidikan dan kepuasan seksual saat ini masih diperdebatkan. Tingkat pendidikan yang cukup baik akan berpengaruh positif terhadap pengenalan fungsi seksual, sementara pengaruh mitos yaitu informasi yang berkaitan dengan kepuasan seksual yang sebenarnya salah tetapi dianggap benar karena beredar lama, bahkan dari generasi ke generasi, dengan pengetahuan yang memadai, akan semakin rendah pengaruhnya karena mereka tahu informasi tersebut salah dan menyesatkan (Pangkahila, 2005; Windhu, 2009). 58 Kekhawatiran pada masalah keuangan, keadaan sosio-ekonomi (pekerjaan), termasuk adanya jaminan asuransi saat persalinan juga mempengaruhi suatu pasangan dalam menjalani kehidupan seksualnya. Beban kerja ataupun kesibukan mengasuh bayi itu sendiri tidak sedikit membawa stress fisik ataupun psikis pada kedua pasangan. Adanya bantuan pengasuh bayi baik dari baby sister ataupun keluarga lain yang membantu akan mengurangi beban pengasuhan bayi (Abdool, dkk., 2009). Masalah dalam keluarga dapat menimbulkan stigma negatif bagi seorang istri dalam berhubungan dengan suaminya. Pengalaman yang tidak menyenangkan ini pada akhirnya dapat menimbulkan kekecewaan, yang dapat melenyapkan dorongan seksual (Pangkahila, 2005; Brtnicka, dkk., 2009). Usia kehamilan berkorelasi dengan berat badan lahir bayi. Semakin besar berat badan lahir bayi ditambah dengan partus kala dua yang lama, akan semakin berpengaruh terhadap denervasi saraf pudenda. Hal ini akan berpengaruh terhadap insiden inkontinensia urin dan fekal dikemudian hari, yang tentunya akan menurunkan kualitas seksual post partum (Harris, 2003). Sedangkan perawatan luka pasca episiotomi ataupun pasca seksio sesarea yang kurang baik akan berdampak pada tingginya morbiditas pasca persalinan baik oleh karena infeksi, perdarahan, serta penjahitan luka yang kurang baik, sehingga tak jarang memerlukan perawatan rumah sakit kembali setelah pasien dipulangkan. Hal ini dapat mempengaruhi seksualitas seorang wanita dikemudian hari pasca persalinan tergantung derajat morbiditas yang dialaminya (Tacker dan Banta, 1983). Aspek fisik maupun psikologis seksualitas dari seorang wanita berubah dengan aktivitas menyusui. Terdapat beberapa informasi yang masih kontroversial antara pengaruh 59 menyusui dan seksualitas. Sementara beberapa penelitian melaporkan efek positif pada seksualitas, bukti-bukti efek negatif menyusui juga tidak kalah banyak (Abdool, dkk., 2009). Bila dibandingkan dengan wanita yang tidak menyusui, kebanyakan studi melaporkan bahwa pemberian ASI justru menurunkan keinginan seksual pada wanita. Menyusui tampaknya terkait dengan kekeringan vagina yang berpengaruh pada kejadian dispareunia, dan atau kehilangan libido (Glazener,1997; Avery, dkk., 2000; LaMarre, dkk., 2003). Karakteristik kedua kelompok untuk variabel kendali yang berpengaruh pada fungsi seksual pasca persalinan pada penelitian ini menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05), atau karakteristik kedua kelompok dapat dikatakan sama, sehingga pengaruhnya terhadap hasil penelitian dapat diabaikan. 6.2 Perbedaan Fungsi Seksual pada Kelompok Pasca Episiotomi dan Seksio Sesarea Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05) pada rangsangan dan lubrikasi, sedangkan hasrat seksual, orgasme, kepuasan, nyeri, skor total FSFI, dan disfungsi seksual pada kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05). Hasrat seksual pasca persalinan antara kelompok pasca episiotomi dengan pasca seksio sesarea dalam penelitian ini secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna, dimana p=0,014. Hal ini sesuai dengan studi cross-sectional oleh Barrett, dkk. (2000), yang menyatakan bahwa hilangnya hasrat seksual pasca persalinan sebesar 53% pada tiga bulan dan 37% pada enam bulan setelah 60 melahirkan, dibandingkan dengan 9% pada kehamilan sebelumnya. Dalam studi di Nigeria, hilangnya hasrat seksual wanita pasca persalinan terjadi pada 61% dan 26% masing-masing pada enam minggu dan enam bulan pasca persalinan (Oboro, 2002). Penurunan hasrat seksual kemungkinan disebabkan karena trauma persalinan pervaginam. Rasa nyeri dan proses persalinan yang panjang merupakan salah satu pengalaman buruk yang seringkali masih mempengaruhi hasrat seksual ketika akan memulai berhubungan. Terlepas dari berkurangnya vasodilatasi vagina secara fisiologis, faktor risiko yang berkaitan dengan penurunan hasrat seksual pasca persalinan juga dipengaruhi oleh pengalaman buruk sebelumnya (seperti akibat dari dispareunia), gangguan elastisitas vagina, kecemasan seksual, kelelahan, serta depresi. Disamping itu orientasi seksual wanita pasca melahirkan juga cenderung berubah ketika skala prioritas rumah tangga kemudian lebih mengutamakan pada pengasuhan bayi, masalah menyusui, ataupun kontrasepsi (Clayton, AH., dkk., 2002). Rangsangan, merupakan hasil respon sensoris terhadap stimulasi seksual dimana selanjutnya menimbulkan kesiapan organ-organ seksual untuk melakukan hubungan seksual (Rosen R, dkk., 2000). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik (p=0,160), dalam hal rangsangan pada kedua kelompok pasca episiotomi dan pasca seksio sesarea. Meskipun hasrat seksual menjadi menurun pasca persalinan, tetapi ketika seorang wanita mampu memusatkan diri pada stimulasi seksual yang timbul dari dalam dirinya akibat inisiatif sendiri atau akibat rangsangan seksual pasangannya, maka bukannya tidak mungkin dia dapat melewati fase rangsangan dengan baik. Jenis stimulasi, waktu yang dibutuhkan 61 bersifat sangat subyektif dan berbeda pada setiap wanita (Windhu, 2009). Menurut Basson, dalam teori “sexual response circle”, fase perangsangan (arousal) pada wanita tidak selalu didahului oleh hasrat (desire).Hasrat atau keinginan dalam berhubungan seksual timbul setelah wanita tersebut mendapatkan atau terangsang secara seksual. Wanita memiliki berbagai alasan untuk terlibat dalam aktifitas seksual, bukan hanya oleh semata-mata karena kebutuhan atau keinginan sebagaimana dijabarkan dalam model tradisional dari respon seksual wanita (Basson, 2004). Lubrikasi, merupakan proses sekresi mukus pada vagina yang dihasilkan oleh beberapa kelenjar vestibular diantaranya kelenjar bartholin yang terdapat diantara himen dan labia minora. Lubrikasi terjadi pada saat wanita terstimulasi secara seksual baik stimulasi yang dilakukan secara fisik maupun stimulasi psikis (Rosen R, dkk., 2000). Dalam penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik (p=0,067), dalam hal lubrikasi pada kedua kelompok pasca episiotomi dan pasca seksio sesarea. Hal ini kemungkinan oleh karena tidak adanya gangguan dalam hal rangsangan, sehingga gairah seksual yang ditandai oleh rasa hangat atau geli pada kelamin, pelumasan (basah), dan kontraksi otot dapat terjadi secara normal. Pada episiotomi mediolateralis sayatan sengaja dilakukan menjauhi otot sfingter ani untuk mencegah ruptur perinei derajat tiga ataupun empat. Bila episiotomi dilakukan dengan benar, dan tidak ada perluasan derajat ruptur, serta tidak ada gangguan dalam penyembuhannya, maka episiotomi tidak akan mengganggu fungsi kelenjar bartholin pada saat terjadinya reaksi seksual, sehingga proses lubrikasi dapat terjadi dengan baik (Benson, 1994). 62 Pencapaian orgasme dalam hubungan seksual antara kedua kelompok dalam penelitian ini secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna, dimana p=0,045. Klein (1994), menemukan bahwa wanita primipara dengan seksio sesarea memiliki otot dasar panggul yang lebih kuat pada tiga bulan setelah melahirkan dibandingkan dengan wanita dengan ruptur spontan atau episiotomi. Kelahiran pervaginam paling terkait dengan relaksasi otot panggul dan episiotomi yang dilakukan tidak dapat mengurangi efek ini dan bahkan memperburuk. Dalam studi lain, Klein dkk. (2005) menunjukkan bahwa ketidakpuasan seksual perempuan lebih besar di antara wanita primipara yang melahirkan pervaginam dibandingkan dengan kelompok seksio sesarea. Kesulitan dalam mencapai orgasme dilaporkan sebesar 33% pada tiga bulan dan 23% pada enam bulan pascapersalinan, dibandingkan dengan hanya 14% yang mengalami masalah ini dalam tahun terakhir sebelum kehamilan. Gangguan Orgasme juga dipengaruhi oleh adanya trauma perineum, dengan penyembuhan yang kurang baik, asimetris, sehingga nyeri yang ditimbulkan mengakibatkan ketidaknyamanan dalam hubungan seksual. Pada enam bulan pascapersalinan saat dibandingkan dengan wanita yang mengalami ruptur perineum derajat dua, tiga, ataupun empat, pada wanita dengan perineum utuh dilaporkan mempunyai fungsi seksual yang lebih baik, termasuk sensasi seksual, kepuasan seksual, dan kemungkinan orgasme (Signorelo, 2001). Kepuasan seksual, merupakan kemampuan mencapai orgasme setiap kali melakukan hubungan seksual, meskipun terdapat faktor psikologis lain dalam mencapai kepuasan (Rosen R, dkk., 2000). Terdapat perbedaan yang bermakna 63 secara statistik, dimana p=0,018, pada kedua kelompok terhadap kepuasan seksual. Ketika orgasme terganggu, maka kepuasan seksual kemungkinan besar tidak akan tercapai dengan baik, meskipun terdapat faktor-faktor lain seperti kedekatan emosional yang mempengaruhi kepuasan seksual (Basson, 2004). Dalam penelitian oleh Baksu dkk. (2007), disebutkan bahwa domain yang memiliki dampak paling besar pada nilai FSFI adalah rasa nyeri dan kepuasan. Dalam studi lain, Klein, dkk. (2005) menunjukkan bahwa ketidakpuasan seksual perempuan lebih besar di antara wanita primipara yang melahirkan pervaginam dibandingkan dengan kelompok seksio sesarea. Demikian juga hasil yang kami dapatkan menunjukkan efek positif dari seksio sesarea pada fungsi seksual setelah melahirkan jika dibandingkan dengan episiotomi mediolateral. Nyeri saat hubungan seksual dalam penelitian ini menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok pasca episiotomi dengan pasca seksio sesarea, dimana p=0,002. Hal ini sesuai dengan penelitian Baksu, dkk (2007), dimana domain yang memiliki dampak paling besar pada nilai FSFI adalah rasa nyeri, dan kepuasan. Nyeri perineum terjadi pada 42% wanita segera setelah melahirkan, dan secara signifikan berkurang sampai 22% dan 10% pada masing-masing delapan dan 12 minggu pasca persalinan (Glazener, CM., 1997). Penelitian lain juga menunjukkan 16% tindakan episiotomi mengakibatkan lesi saraf pudenda. Lesi ini akan menjelaskan terjadinya dispareunia, yaitu nyeri genital rekuren atau persisten yang berkaitan dengan hubungan seksual pasca persalinan(Harris, 2003). Secarakeseluruhan dalam penelitian ini terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada skor total FSFI (p=0,006), serta terjadinya disfungsi seksual 64 pada kedua kelompok (p=0,030),pasca episiotomi dan pasca seksio sesarea, dimana disfungsi seksual dikatagorikan pada skor total FSFI ≤ 26,55. Hal ini sesuai dengan penelitian Baksu, dkk. (2007), yang melaporkan terdapat penurunan yang signifikan dalam skor total FSFI untuk semua dimensi kunci dari fungsi seksual (hasrat, rangsangan, lubrikasi, orgasme, kepuasan, dan nyeri), antara kondisi sebelum hamil dengan enam bulan pasca episiotomi mediolateralis. Sementara Signorelo (2001), menyatakan bahwa pada enam bulan pascapersalinan saat dibandingkan dengan wanita yang mengalami ruptur perineum derajat dua, tiga, ataupun empat, pada wanita dengan perineum utuh dilaporkan mempunyai fungsi seksual yang lebih baik. Masalah emosional dan fisik pasca persalinan merupakan masalah umum dan cenderung meningkat seiring waktu. Keluhan seperti inkontinensia uri dan fekal dapat meningkat secara medis, namun masalah kesehatan emosional tampaknya tidak dikenali. Hal ini sangat mungkin bahwa ketidakharmonisan seksual merupakan penyumbang utama bagi kebahagiaan perempuan dan pasangannya. Mengingat frekuensi masalah kesehatan seksual serta morbiditas seksual pasca melahirkan, maka sewajarnyalah kita harus lebih memperhatikan penggunaan episiotomi mediolateral. Hasil penelitian kami sangat penting pada konseling wanita selama periode antenatal tentang cara persalinan dan isu-isu terkait dalam hal fungsi seksual. Kami percaya konseling seksual pasca persalinan harus menjadi bagian dari tindak lanjut antenatal, meskipun kendala yang dihadapi selama ini dalam kontrol rutin enam minggu pasca melahirkan sebagian besar 65 wanita pasca bersalin belum memulai aktifitas seksualnya, sehingga masalah disfungsi seksual cenderung terabaikan. 6.3 Kelemahan Penelitian Menganalisis fungsi seksual seorang wanita bukanlah suatu hal yang sederhana. Kami sangat menyadari bahwa dalam keterbatasan waktu dan sampel penelitian dengan metodecross sectional ini, kami hanya mampu mengungkapkan adanya perbedaan fungsi seksual kedua kelompok. Sementara hubungan sebab akibat antara episiotomi dan seksio sesarea terhadap fungsi seksual pasca melahirkan belum bisa dianalisis dengan metode ini, meskipun kualitas seksual antara kedua kelompok dapat kami gambarkan. Penelitian kami juga tidak menganilisis fungsi seksual sebelum kehamilan dan persalinan pada masingmasing sampel, dengan asumsi semua sampel adalah pasca persalinan pertama kali tanpa riwayat obstetri buruk, sehingga dengan adanya kehamilan itu sendiri kami menganggap fungsi seksualnya baik. Masih banyaknya faktor-faktor lain sebagai variabel pengganggu yang belum bisa kami ungkapkan dalam penelitian ini, seperti lama kala dua persalinan, indikasi seksio sesarea tanpa memandang kasus elektif ataupun emergensi, depresi post partum, kualitas menyusui, serta faktor budaya lainnya yang turut mempengaruhi fungsi seksual pasca melahirkan, sehingga diperlukan penelitian lanjutan yang akan menyempurnakan hasil penelitian ini. 66 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik fungsi seksual wanita pasca persalinan pervaginam dengan episiotomi dibandingkan dengan pasca seksio sesarea, masing-masing pada variabel hasrat, orgasme, kepuasan, nyeri, skor total FSFI, serta disfungsi seksual. 7.2 Saran 1. Mengingat dampaknya pada fungsi seksual pasca melahirkan, maka tindakan episiotomi pada persalinan primigravida selayaknya lebih mendapat perhatian dari para pelayan kesehatan. 2. Fungsi seksual hendaknya menjadi salah satu agenda pada pelayanan pasca persalinan, sehingga pelayanan tidak terbatas pada enam minggu masa nifas, mengingat sebagian besar wanita pada saat itu belum memulai aktifitas seksualnya. 3. Diperlukan penelitian lanjutan tentang seksualitas pasca persalinan dengan metode yang lebih sempurna. 67 DAFTAR PUSTAKA Abdool, Z., Thakar, R., Sultan, AH. 2009. Postpartum female sexual function: A review. Eur J Obstet Gynecol.doi:10.1016/j.ejogrb.2009.04.014 Alder, EM., Cook, A., Davidson, D., West, C., Bancroft, J. 1986. Hormones, mood and sexuality in lactating women. Br J Psychiatry.148:74–9 Andrews, V., Thakar, R., Sultan, AH., Jones, PW. 2008. Evaluation of postpartum perineal pain and dyspareunia—a prospective study. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol.137:152–6. Arcos, B. 2004. Female Sexual Function and Response. New Orlean: JAOA Supplement . Vol. 104 No. 1. Avery, MD., Duckett, L., Frantzich, CR. 2000. The experience of sexuality during breastfeeding among primiparous women. J Midwifery Womens Health.45(3):227–37. Baksu, B., Davas, I., Agar, E., Akyol, A., Varolan, A. 2007. The effect of mode of delivery on postpartum sexual functioning in primiparous women. Int Urogynecol J Pelvic Floor Dysfunct. 18(4):401–6. Barrett, G., Pendry, E., Peacock, J., Victor, C., Thakar, R., Manyonda, I. 2000. Women’s sexual health after childbirth. BJOG. 107(2):186–95. Barrett, G., Peacock, J., Victor, CR., Manyonda, I. 2005. Cesarean section and postnatal sexual health. Birth;32(4):306–11. Basson, R., dkk. 2000. Report of International Consensus Development Conference on Sexual Dysfunction: definitions and classifications.J Urol. 163: 888 – 93. Basson, R., 2001. Are the complexities of women’s sexual function reflected in the new consensus definitions of dysfunction? J Sex Marital Ther;27:105–112. Basson, R. dkk. 2004. Revised Definitions of Women’s Sexual Dysfunction. Canada : Journal of Sexual Medicine, Vol. 1, No. 1: 40-8 Benson, RC., Pernoll, ML. 1994. Hand book of Obstetric & Gynaecology, Mc Graw-Hill, Inc, 9 th ed: 362-372. 68 Bertozzi, S.,Londero, AP.,Fruscalzo, A.,Driul, L.,Delneri, C., Calcagno, A., Benedetto, P., Marchesoni, D. 2011. Impact of episiotomy on pelvic floor disorders and their influence on women's wellness after the sixth month postpartum: a retrospective study.BMC Women's Health, 11:12doi:10.1186/1472-6874-11-12 Boyd, K., dkk. 2006. Postpartum Counseling : Sexuality and Contraception.[cited 2011 Agst 26].Available from: http://www.arhp.org/ publications- and- resources Brown, S., Lumley, J. 1998. Maternal health after childbirth : results of an Australian population based survey. BJOG.105, pp.156-61. Brtnicka, H., Weiss, P., Zverina, J. 2009. Human sexuality during pregnancy and the postpartum period: A Review.Bratisl Lek Listy.110(7):427-431 Buhling, KJ., Schmidt, S., Robinson, JN., Klapp, C., Siebert, G., Dudenhausen, JW. 2006. Rate of dyspareunia after delivery in primiparae according to mode of delivery. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 124(1):42–6. Carroli, G., Mignini, L. 2009. Episiotomy for vaginal birth. Cochrane Dt Syst Rev. 21: (1) Chen, N., dkk. 2012. The clinical features and management of perineal endometriosis with anal sphincter involvement: a clinical analysis of 31 cases. Human Reproduction, Vol. 27, No. 6 pp. 1624-7. Clayton, AH., dkk. 2002. Prevalence of sexual dysfunction among newer antidepressants. J Clin Psychiatry. 63(4):357–66. Cunningham, FG., Leveno, KJ., Bloom, SL., Hauth, JC., Rouse, DJ., Spong, CY. 2010. Williams Obstetrics. 23rd ed.USA: The McGraw-Hill Companies, Inc. chp. 17 & 25 Dharmarathna, HM., Tripathi, N., Atkinson, P. 2007. Painful, traumatic neuroma of an episiotomy scar: a case report.J Reprod Med. May;52(5):456-7. Gilstrap, LC., Cuningham, FG., Vandorsten, JP. 2002. Operative Obstetrics. 2nd Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc. p. 257-273. Glazener, CM. 1997. Sexual function after childbirth: women’s experiences, persistent morbidity and lack of professional recognition. Br J Obstet Gynaecol.104(3):330–5. Goepfert, AR., Guinn, DA., Andrews, WA., Hauth, JC. 1997. Necrotizing Fasciitis after Cesarean Delivery. Obstet Gynecol 89:409 Harris, WH.2003.Repair of an Episiotomy.East Afr Med J. 80(7):351-6 69 Hartmann, K., Viswanathan, M., Palmieri, R., Gartlehner, G., Thorp, J., Kathleen, N. 2005. Outcomes of Routine Episiotomy: A Systematic Review. JAMA. 293:2141-2148 Kingberg, S., Althof, S.E. 2009. Evaluation and treatment of female sexual disorders.Int. Urogynaecol J. 20:33-34. Klein, MC. 1994. Relationship of episiotomy to perineal trauma and morbidity, sexual dysfunction, and pelvic floor relaxation. Am J Obstet Gynecol. 171(3):591–8 Klein, MC., Kaczorowski, J., Firoz, T., Hubinette, M., Jorgensen, S., Gauthier, R. 2005. A comparison of urinary and sexual outcome in women experiencing vaginal and cesarean births. J Obstet Gynaecol Can 27:332–339 LaMarre, AK., Paterson, LQ., Gorzalka, BB. 2003. Breastfeeding and Postpartum Maternal Sexual Functioning: a review. The Canadian Journal of Human Sexuality, Vol. 12(3-4) Fall/Winter. Levin, R.J., 2007. The human sexual response - similarities and differences in the anatomy and function of the male and female genitalia: are they a trivial pursuit or a treasure trove?. The Psycophysiology of Sex. Janssen, E. Indiana University press, 1st ed; 35-56. Masters, WH., Johnson, VE. 1960. The human female: anatomy of sexual response. Minn Med. 43:31–6. Meston, C. 2003. Validation of the female sexual function index (FSFI) in women with female orgasmic disorder and in women with hypoactive sexual desire disorder. Journal of Sex & Marital Therapy.29:39-46 Oboro, VO., Tabowei, TO. 2002. Sexual function after childbirth in Nigerian women. Int J Gynecol Obstet. 78(3):249–50. Ottesen B., Pedersen B., Nielsen J., Dalgaard D., Wagner G., Fahrenkrug J., 1987. Vasoactive intestinal polypeptide (VIP) provokes vaginal lubrication in normal women. Peptides; 8(5): 797-800. Pangkahila, W. 2005. Peranan Seksologi dalam Kesehatan Reproduksi.. Dalam : Martaadisoebrata D, Astrawinata R, Saifudin, A.B., editors. Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. hal. 64-89. Pratamagriya. 2009. Disfungsi Seksual Wanita. In : Widjanarko, B., editor. [cited 2011 Ags. 25]. Available from:http://pratamagriya.multiply.com/journal 70 Rasjidi, I. 2009. Manual Seksio Sesarea & Laparotomi Kelainan Adneksa, Berdasarkan Evidence Based. Jakarta: CV Sagung Seto. Rosen, R., dkk. 2000. The Female sexual function index (FSFI): A Multidimensional Self-report Instrument for the Assesment of Female Sexual Function. Journal of Sex and Marital Therapy.26(2):191-208 Sanders, SA., Graham, CA., Bass, JL., Bancroft, J. 2001. A prospective study of the effects of oral contraceptives on sexuality and well-being and their relationship to discontinuation. Contraception. 64(1):51–8. Sarmana. 2004. Determinan non Medis dalam Permintaan Persalinan Sectio Caesarea di Rumah Sakit St. Elisabeth Medan tahun 2004 (Skripsi). Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Univertsitas Sumatra Utara. Signorello, LB., Harlow, BL., Chekos, AK., Repke, JT. 2001. Postpartum sexual functioning and its relationship to perineal trauma: a retrospective cohort study of primiparous women. Am J Obstet Gynecol.184(5):881–8. Sultan, AH., Kamm, MA., Hudson, CN., Thomas, JM., Bartram, CI. 1993. Anal Sphincter Disruption During Vaginal Delivery. N Engl J Med; 329:1905-11 Tacker, Banta. 1983. The Dangers of Episiotomy, It isn't just a bit 'sore'. [cited 2011 Agst. 25]. Available from:http://www.vaccineriskawareness.com/TheDangers-of-Episiotomy Tunardy, EI., Hartono, E., Abidin, N. 2011. Analisis Fungsi Seksual dalam Kehamilan pada Primigravida berdasarkan Female Sexual Function Index (FSFI).Sub Bagian Obginsos Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Universitas Hasanuddin. Walton, B., Thorton, T., 2003. Female sexual dysfunction.Curr Wom Health Rep;3:319-26 Wiknjosastro, H., Saifuddin, AB., Rachimhadhi, T. editors. 2007. Ilmu Bedah Kebidanan. Cetakan ketujuh. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h.170-6 Windhu, S.C. 2009. Disfungsi Seksual : Tinjauan Fisiologi dan Patologis Terhadap Seksualitas. Yogyakarta : Andi. World Health Organization. 2002. DefiningSexual Health: Report of technical consultation on sexual health. [cited 2011 Agst. 20]. Available from : http://www.who.International/ reproductive-health/gender/sexual_health.html Analisis Statistik Umur 71 Group Statistics Kelompok Umur N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Epis 43 24.5349 4.22774 .64472 SC 43 23.7209 4.23323 .64556 Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances F Um Equal variances ur assumed .566 Equal variances not assumed Sig. .454 t-test for Equality of Means t Std. Mean Error Sig. (2- Differen Differen tailed) ce ce df 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper .892 84 .375 .81395 .91237 -1.00039 2.62830 .892 84.00 0 .375 .81395 .91237 -1.00039 2.62830 Agama * Kelompok Crosstab Count Kelompok Epis Agama SC Total 1 33 33 66 2 4 6 10 3 4 2 6 4 2 2 4 43 43 86 Total Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2-sided) Pearson Chi-Square 1.067 a 3 .785 Likelihood Ratio 1.082 3 .781 .070 1 .791 Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 86 a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.00. Pendidikan * Kelompok Crosstab 72 Count Kelompok Epis Pendidikan SC Total 1 0 1 1 2 0 4 4 3 6 6 12 4 35 30 65 5 Total 2 2 4 43 43 86 Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Asymp. Sig. (2sided) df 5.385a 7.316 3.250 86 4 4 1 .250 .120 .071 a. 6 cells (60.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .50. Pekerjaan * Kelompok Crosstab Count Kelompok Epis Pekerjaan SC Total 1 20 18 38 2 17 23 40 3 4 1 5 4 2 1 3 43 43 86 Total Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Asymp. Sig. (2sided) df 3.139a 3.276 .191 86 3 3 1 .371 .351 .662 a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.50. Asuransi * Kelompok Crosstab 73 Count Kelompok Epis Asuransi SC Total Ya 23 23 46 Tidak 20 43 20 43 40 86 Total Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb Asymp. Sig. (2sided) df .000a .000 .000 1 1 1 Exact Sig. (2sided) Exact Sig. (1sided) 1.000 1.000 1.000 1.000 .000 1 .585 1.000 86 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20.00. b. Computed only for a 2x2 table UK * Kelompok Crosstab Count Kelompok Epis UK SC Total 1 6 2 8 2 35 40 75 3 Total 2 1 3 43 43 86 Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2-sided) Pearson Chi-Square 2.667 a 2 .264 Likelihood Ratio 2.766 2 .251 .831 1 .362 Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 86 a. 4 cells (66.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.50. BBL * Kelompok 74 Crosstab Count Kelompok Epis BBL SC Total 1 12 10 22 2 31 33 64 43 43 86 Total Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction b Likelihood Ratio Asymp. Sig. (2sided) df .244a 1 .621 .061 1 .805 .245 1 .621 Exact Sig. (2sided) Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb Exact Sig. (1sided) .805 .241 1 .403 .623 86 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.00. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for BBL (1.00 / 2.00) Lower Upper 1.277 .483 3.376 For cohort Kelompok = Epis 1.126 .713 1.780 For cohort Kelompok = SC .882 .526 1.476 N of Valid Cases 86 Perawatan medis kembali * Kelompok Crosstab Count Kelompok Epis MRS_pasca_persalinan Total Sedang_menyusui * Kelompok 2 SC Total 43 43 86 43 43 86 75 Crosstab Count Kelompok Epis Sedang_menyusui SC Tidak Ya Total Total 4 7 11 39 36 75 43 43 86 Chi-Square Tests Value Asymp. Sig. (2sided) df Pearson Chi-Square Continuity Correctionb .938a 1 .333 .417 1 .518 Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb .949 1 .330 Exact Sig. (2sided) Exact Sig. (1sided) .520 .927 1 .260 .336 86 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.50. b. Computed only for a 2x2 table Bantuan pengasuh bayi * Kelompok Crosstab Count Kelompok Epis Baby_sister SC Total 1 26 21 47 2 17 43 22 43 39 86 Total Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction b Likelihood Ratio Asymp. Sig. (2sided) df 1.173a 1 .279 .751 1 .386 1.176 1 .278 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb Exact Sig. (2sided) .386 1.159 1 .282 86 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19.50. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate Exact Sig. (1sided) .193 76 95% Confidence Interval Value Lower Upper Odds Ratio for baby_sister (1.00 / 2.00) 1.602 .681 3.768 For cohort Kelompok = Epis 1.269 .817 1.970 For cohort Kelompok = SC .792 .520 1.207 N of Valid Cases 86 Ada_masalah_keluarga * Kelompok Crosstab Count Kelompok Epis Ada_masalah_keluarga SC Total 1 8 10 18 2 35 33 68 43 43 86 Total Chi-Square Tests Value Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2sided) sided) df Pearson Chi-Square .281 a 1 .596 Continuity Correctionb .070 1 .791 Likelihood Ratio .282 1 .596 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb Exact Sig. (1-sided) .792 .278 1 .396 .598 86 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.00. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Lower Upper Odds Ratio for Ada_masalah_keluarga (1.00 / 2.00) .754 .265 2.143 For cohort Kelompok = Epis .863 .490 1.520 For cohort Kelompok = SC 1.145 .708 1.851 N of Valid Cases Saat_mulai_hub_sex_pasca_persalinan * Kelompok Crosstab Count 86 77 Kelompok Epis SC Total Saat_mulai_hub_sex_pasca_persali 2 nan 3 11 17 28 26 20 46 4 6 4 10 5 0 43 2 43 2 86 Total Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2-sided) Pearson Chi-Square 4.468 a 3 .215 Likelihood Ratio 5.256 3 .154 .362 1 .548 Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 86 a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.00. Female Sexual Function Index (FSFI) Group Statistics Kelompok Skor_total Minat Birahi Lubrikasi Orgasme Kepuasan Nyeri N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Epis 43 13.5372 3.01481 .45975 SC 43 14.9023 .95755 .14602 Epis 43 4.7023 1.14839 .17513 SC 43 5.2047 .62410 .09517 Epis 43 4.8977 1.44576 .22048 SC 43 5.2326 .55279 .08430 Epis 43 5.4628 1.20811 .18424 SC 43 5.8326 .49556 .07557 Epis 43 5.4326 1.27162 .19392 SC 43 5.8512 .45375 .06920 Epis 43 5.1628 1.49109 .22739 SC 43 5.7488 .55907 .08526 Epis 43 5.0605 1.62101 .24720 SC 43 5.8930 .44153 .06733 Independent Samples Test 78 Levene's Test for Equality of Variances F Skor_t Equal variances otal assumed Sig. 22.803 .000 Equal variances not assumed Minat Equal variances assumed 27.571 .000 Equal variances not assumed Birahi Equal variances assumed 24.557 .000 Equal variances not assumed Lubrik Equal variances asi assumed 12.081 .001 Equal variances not assumed Orgas me Equal variances assumed 19.321 .000 Equal variances not assumed Kepuas Equal variances an assumed 25.624 .000 Equal variances not assumed Nyeri Equal variances assumed 43.125 Equal variances not assumed .000 t-test for Equality of Means t Mean Std. Error Sig. (2- Differenc Differenc tailed) e e df 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -2.830 84 .006 -1.36512 .48239 -2.32439 -.40584 -2.830 50.389 .007 -1.36512 .48239 -2.33383 -.39640 -2.520 84 .014 -.50233 .19932 -.89869 -.10596 -2.520 64.819 .014 -.50233 .19932 -.90041 -.10424 -1.419 84 .160 -.33488 .23604 -.80428 .13451 -1.419 54.023 .162 -.33488 .23604 -.80812 .13835 -1.857 84 .067 -.36977 .19913 -.76576 .02623 -1.857 55.745 .069 -.36977 .19913 -.76872 .02918 -2.033 84 .045 -.41860 .20590 -.82805 -.00916 -2.033 52.525 .047 -.41860 .20590 -.83167 -.00554 -2.413 84 .018 -.58605 .24285 -1.06897 -.10312 -2.413 53.580 .019 -.58605 .24285 -1.07301 -.09908 -3.250 84 .002 -.83256 .25621 -1.34206 -.32306 -3.250 48.198 .002 -.83256 .25621 -1.34764 -.31747 Kat_skor_total * Kelompok Crosstabulation Count Kelompok Epis Kat_skor_total SC Total 1 8 1 9 2 35 42 77 43 43 86 Total Chi-Square Tests 79 Value Pearson Chi-Square Continuity Correction b Likelihood Ratio Asymp. Sig. (2sided) df 6.081a 1 .014 4.468 1 .035 6.835 1 .009 Exact Sig. (2sided) Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases b Exact Sig. (1sided) .030 6.010 1 .015 .014 86 a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.50. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for Kat_skor_total (1.00 / 2.00) Lower Upper 9.600 1.145 80.517 For cohort Kelompok = Epis 1.956 1.397 2.738 For cohort Kelompok = SC .204 .032 1.307 N of Valid Cases 86 Data Hasil Penelitian 80 DATA DEMOGRAFI Daftar Responden Episiotomi No Kuisioner NO PARTUS CM 1 April 2011 01467478 2 April 2011 01470373 3 4 5 April 2011 April 2011 April 2011 01471331 01472498 01474583 6 April 2011 01475267 7 April 2011 01458597 8 April 2011 01477384 9 10 April 2011 Apl 2011 01477539 01551941 11 Mei 2011 01478778 12 Mei 2011 01480551 13 Mei 2011 01481810 14 Mei 2011 01234819 15 Jun 2011 006053 16 Ags.2011 01498976 17 Ags.2011 01499472 Wahyuningsih 18 Sep. 2011 01508922 Ngh Asti 19 Sep. 2011 01511481 L. Pt. Suartini 1 Wayan Wartini Veronika Winikaka Solvina Bopi Katarina Ro Naha Ana Awang Ni Luh Pt. Sri Wahyudi Ni Putu Wahyunita Ghiza Maelga Almarra kasiyanti Kadek Parwati L.P. Novi Purnamasari Made Artini Wiwik Purwaningsih Ni Ngh Reniti Asih Ni Luh Wiwik Wahyuniari Angela Maria Humak 20 Okt. 2011 01515661 Ririan Indra Rukmana 21 Okt. 2011 01458971 Ni Wy. Adila 22 Okt. 2011 00820231 23 Okt. 2011 01512736 24 Nov. 2011 01520331 25 Nov. 2011 01217693 26 Nov. 2011 01521377 27 Nov. 2011 01522883 28 Nov. 2011 01677293 29 Nov. 2011 01519305 30 Des. 2011 01527072 31 Des. 2011 01527875 32 Des. 2011 01199011 Kdk. Yuniarti Pt. Harum Samiasih Marifatul Mandasari Ni Kt. Ari Sudanti Edel Meri Kuin Mery Handarayani Pt. Ayu Intan Artiasih Hana Sri Murwani Yuliana Seri Ayu Supartini Miswati Md. Dian Anggriyani 33 Jan.2012 01533692 34 Jan.2012 01532826 35 Jan.2012 01007699 36 Jan.2012 01538688 37 Feb. 2012 01542677 Ni Luh Padmawati Ayu Pt. Sariani Ni Komang Darni Pt. Ayu Suartini 38 Feb. 2012 01538792 Ni Kt. Juliantini 39 Feb. 2012 01539034 Ni Md. Agustini 40 Feb. 2012 01100037 41 Feb. 2012 01541627 42 Feb. 2012 01541639 43 Mrt 2012 01545581 Tina Ina Dewi Fajariyah Ekawati Tatik Kurniasih Faridah Rochaini Ni Nyoman Widiasih 2 3 Wisma Nusa Dua Permai N0. 64 A Nusadua 081936815920 Jl. Yudistira Gg. 14, Br. Tampak Gangsul Dps 082144465417 Jl. Tk. Banyusari Gg. Pelita I No. 17 Dps Jl. Raya Sesetan Gg. Pantus Sari No. 24 Dps Jl. P Adi Gg. IV No. 6 Dps 081237000245 081236763742 082141384753 Jl. Kepundung No. 46 Dps 08179765572 Jl. Cokroaminoto Gg Melati No. 2 0361 410491 Jl. Nusa Kambangan Gg. XIV No. 14 Dps 087861848000 Jl. Raya Tuban Gg. Danasari No. 4 Jl. Sindureja Gg. Arjuna No.3 Dps 081936021484 081916229177 Jl. Sekuta Gg. Harum No. 5 Sanur 087861001518 Jl. Tk. Balian Gg. XXIII No. 3 Dps 087860109583 Jl. Raya Sesetan Gg. Lumba-lumba 087757950491 Jl. Wibisana Barat Perum Graha Adi No. 10 Dps Jl. Pulau Moyo BTN Jati Pesona Gg. Muri No. 3 Dps Jl. P. Moyo Gg. Subuk Sari B No. 35 Densel Jl. G. Patuha VI No. 62 Tegal Harum Denbar Jl Tk Banyusari Gg XII No 24 Dps Jl. Nusa Kambangan Gg. XXIV No. 4B Pengiasan Ds. Dauh Puri Kauh Denbar Jl. Narakusuma Gg. VIII/IA Dps Jl. Tk. Petanu Gg. III/4 Br. Bekul Panjer Dps Jl. Hayam Wuruk Gg. XVI No. 9 Dps 081558755009 087860572986 081393669540 082147959377 081999125267 085737412288 087860798001 081936002111 081353011559 Jl. Nusa Indah Gg. IV No. 1 Dentim 085792925828 Jl. Pendidikan II Sidakarya Gg. Bunga Dps 087916168948 Jl. Suli Gg I No. 2 Dps Jl. Tk. Pakerisan Gg. Batur No. 7 Dps Jl. Kepundung Gg. II No. 10 Dps 085737006585 Jl. Plawa Gg. XV No. 17 Dps 085646906183 Jl. P. Biak No. 11 Dps 085738914050 Jl. Tk. Banyuning C 8, Panjer Densel (0361)8741703 Jl. Mandala Sari Gg. Trisula Dps 081916111479 Jl. Tk. Irawadi No. 31 Dps Jl. Buana Raya Gg. Buana Luhur No. 10 Dps Jl. Gunung Salak Gg. Tegal Indah Permai No. 15 Dps Jl. Noja I No. 38 Dentim Jl. Salya Gg. IV No. 10, Br. Puncak Sari, Dentim Jl. P. Seram No. 3 Dps Jl. Veteran Gg. IV No. 12 Dangin Puri Kauh Dps Jl. Tk Yeh Aya IX No. 37 Br. Kelod Desa Renon Dps 085239601861 0817551937 085738055095 085792572947 08174772703 Jl. P. Maluku III Gg. Pelita I No. 6 Dps (0361)3642908 Jl. Subur Gg. Mirah Cempaka 45/9 Dps 087860126790 Jl. Diponegoro Gg. 06/2 Dps 085738055095 Jl. Gunung Andakasa Gg. Kamboja III No. 11 Dps 087860014457 2 1 0 2 1 1 2 1 2 1 1 3 1 1 4 1 1 5 4 2 2 2 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 2 1 2 2 2 2 3 3 2 3 1 2 2 2 2 2 2 4 1 2 2 2 2 2 2 2 2 4 4 4 2 1 1 2 1 2 2 2 2 1 2 1 2 2 2 2 2 2 1 1 2 2 2 1 3 3 2 1 1 4 4 2 2 2 2 1 2 1 2 2 2 1 2 1 2 1 2 3 2 20 1 4 1 1 2 2 2 2 2 2 3 24 1 4 1 1 2 2 2 2 1 2 3 25 1 3 1 1 2 2 2 2 2 2 3 29 3 4 2 2 1 1 2 1 1 1 3 35 21 1 1 4 4 1 2 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 3 2 21 1 4 1 1 2 2 2 2 1 2 2 34 1 4 1 1 2 2 2 2 1 1 4 23 21 1 1 4 3 1 1 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 3 3 20 1 4 1 1 2 2 2 2 2 2 3 22 2 3 2 1 1 1 2 2 1 2 3 21 27 1 1 4 4 3 4 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 3 20 1 4 2 2 3 1 2 2 1 2 3 24 1 4 2 2 2 2 2 1 1 1 4 25 1 4 1 2 2 1 2 2 2 1 2 25 35 1 1 3 4 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 3 3 24 1 4 2 2 2 2 2 2 1 2 3 21 3 4 1 1 2 2 2 2 1 2 2 34 23 1 1 4 4 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 2 4 3 21 25 1 1 3 4 1 3 2 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2 1 2 2 3 3 23 1 5 2 1 2 2 2 2 2 2 4 22 1 3 2 1 1 1 2 2 1 2 3 21 27 2 1 4 4 3 4 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 3 20 2 4 2 2 3 1 2 2 1 2 3 19 1 4 1 2 2 2 2 2 2 2 2 4 5 6 7 8 9 24 1 4 2 2 29 24 26 25 4 3 3 2 4 4 4 4 2 2 2 3 2 2 2 2 23 1 5 2 19 1 4 29 24 25 4 1 1 29 26 81 Daftar Responden Seksio Sesarea No Kuisioner NO PARTUS CM 1 April 2011 01470561 2 April 2011 01304301 3 April 2011 01469714 4 April 2011 01480027 5 April 2011 01471961 6 April 2011 01478423 7 Mei 2011 01483102 8 Mei 2011 01482704 9 Mei 2011 01483669 10 Mei 2011 01476460 11 Juni 2011 01484038 12 Juni 2011 01484640 13 14 15 16 17 18 Juni 2011 Juni 2011 Juni 2011 Jun. 2011 Juni 2011 Juni 2011 01485815 01101526 01484473 01487362 01487550 01490284 19 Jun. 2011 01289956 20 Jun. 2011 01484819 21 Juni 2011 22 1 2 Perum pesraman UNUD Blok B No. 27 Jimbaran Kuta Jl. WR Supratman Gg. Gandapura IV No. 33 Dps Perum Swamandala IX No. 9 Dps 01486411 Veronika Nengo Wayan Ladriana Yasniza Zikriana Ni Made Mariani Kartiasih Ni Made Lilik Artini Gst. Ayu Utami Dewi Nuraini Ni Nyoman Junariati Maria Fatima Jennian Siti Aminah Wayan Yulia Astari Puspita Sari Putu Italiani Km. Srini Wy. Yuniari Juniasih Rian Mariansa Ni Made Irawati Ni Made Suriyani Ketut Suartini Juni 2011 01487351 Ni Nyoman Siti Jl. Danau Buyan Gg I No. 3 Dps 23 Juni 2011 01488923 24 Juni 2011 01491302 25 Ags. 2011 01503699 Ni wayan Surasmini Wati Sonbai Wy. Citra Mayuni 26 Sep. 2011 01506393 Ernawati Ni Luh 27 Sep. 2011 01507435 Ni Wy. Rangsi 28 29 Sep.2011 Sep.2011 01503757 01504804 30 Sep.2011 01507722 31 Sep.2011 01508828 32 Okt. 2011 01513920 33 Okt. 2011 01517382 34 Nov. 2011 01520112 Yuyun Kulaefah Ngh. Artani AA. Sagung Ayu Supranita Ni Komang Artini Nym. Partini Wy. Ayu Darmiyanti Evi Apriani 35 Nov. 2011 01519366 Wy. Mirayuni 36 Nov. 2011 01522884 37 Nov. 2011 01292691 38 39 40 Nov. 2011 Des. 2011 Des. 2011 01522876 01530055 01517010 41 Jan. 2012 01448528 42 Feb. 2012 01533013 43 Mrt. 2012 01466673 Istiqoma AA. Pt. Somawati L. Yeniari Md. Sukarini Md. Sumiati Ni Wy. Mudiasih Septin Tulak Pt. Wina Aristya DATA HASIL FSFI 3 081337247047 081805573905 085717017474 Jl. Kerta Petasikan No. 2 Jimbaran 08179788444 Jl. Danau Tamblingan Gg. I No. 3 Sanur 087762515801 Jl. Gunung Soputan No. 2 Dps 081916723774 Br. Batusari Sangeh Abiansemal Badung 081337216204 Jl. Pasir Putih 10 Kedonganan 087860260593 Jl. Legian Gg. Kamboja No. 4 Kuta 085936113629 Jl. Tk. Batanghari No. 25 Dps 085337006596 Jl. Nusa Kambangan Gg XXVIII No. 5 Dps 087760057679 Jl. Tk. Banyuning AA. No 1 Dps Jl Sri Rama 88X Legian Jl. Gunung Batok III No. 1 Dps Jl. P. Misol 24 Dps Jl. P. Moyo Gg. Mawar No. 22 Dps Puri Gading Blok G I No. 26 Jimbaran Jl. Iman Bonjol Gg. Rahayu X No. 2 Dps 081999220770 085339359036 082139166616 Jl. Srikandi 40 Nusa Dua Kuta Jl. Wibisana No. 22 Dps Br. Cengiling Jimbaran Kuta Badung 085238779333 081916285185 / 081916537389 Jl. Tk. Jinah 2 No. 11 Dps 085339359047 Jl. Tk. Bilok Gg. V No. 10 Sanur 081338000402 Jl. Mekar II Blok C No. 1 Dps 083119840032 Jl. Hayam Wuruk No. 19 Dentim 081805560181 / 081916569276 Jl. Danau Tondano Gg. IV B Gg Celuk III No. 3 Sanur Jl. Tukad Banyusari Gg. Taman No. 14 Dps Jl. Batusari Gg Melati No. 3 Sanur 081934332992 081236429980 Jl. Iman Bonjol Gg. Ulundanu No. 4 Dps 085935340420 Jl. Gunungsari Gg. Dadi No. 2 Dps 085738248801 Jl. Iman bonjol Gg. Rahayu No. 2 Dps 081999400589 Jl. Andakasa Gg. Terajana No. 55 Dps 081936573045 Jl. Padang kartika VI No. 9 Dps Jl. Letda Reta IV No. 22 Dsn. Kayumas Kelod Ds. Dangin Puri Dentim Jl. Cokroaminoto Gg. Angga No. 30A Dps 087862122877 Jl. Waturenggong Gg. XX/3 Dps (0361)8725861 Jl. Iman Bonjol 86 Dps Jl. Sulatri Gg. VI No. 5 Dps Jl. Waturenggong Gg. XX No. 9 Dps (0361) 484390 081805114490 Jl. G. Lumut 48 B Dps 087862207102 Jl. Mandala 5 No. 13 Dps 085239579683 Jl. G. Agung Gg. Anggrek No. 11 Dps (0361) 289056 087862011354 081916108307 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2 1 3 1 4 1 5 20 4 3 3 2 2 2 2 1 1 2 2 31 23 1 2 4 4 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 3 20 31 1 1 4 4 2 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 1 2 3 32 1 4 1 1 2 2 2 2 1 1 3 24 19 1 2 4 4 1 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 21 1 4 1 1 3 2 2 2 1 1 2 23 19 4 2 5 2 4 2 1 1 2 2 2 2 2 2 1 2 1 2 2 2 2 3 28 24 18 22 22 32 23 1 1 1 1 1 1 1 1 4 3 4 4 5 4 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 1 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 1 1 1 2 1 1 2 2 2 1 2 2 1 1 4 3 4 3 3 3 3 19 1 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20 27 1 1 4 4 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 17 1 3 1 2 2 2 2 2 1 1 3 20 21 1 3 4 4 2 2 1 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 26 1 4 2 2 2 2 2 2 2 2 2 21 1 4 1 1 2 2 2 2 1 1 4 21 27 26 1 2 1 4 4 4 1 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 2 1 1 1 2 2 2 3 5 3 22 1 4 1 1 2 1 2 2 2 2 2 17 22 1 1 3 4 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 3 31 20 1 2 4 3 2 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 4 2 21 27 1 2 4 4 1 2 1 1 2 1 2 1 2 2 2 2 2 1 2 2 2 3 27 23 30 27 1 1 1 1 4 2 2 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 3 5 3 3 27 27 1 3 4 4 2 1 2 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 1 3 3 22 1 4 1 2 2 1 2 1 2 1 3 82 Responden Episiotomi NO CM 1 01467478 2 01470373 3 4 01471331 01472498 5 01474583 6 01475267 7 01458597 8 01477384 9 10 01477539 01551941 11 01478778 12 01480551 13 01481810 14 01234819 15 006053 16 01498976 17 18 19 01499472 01508922 01511481 20 01515661 21 22 01458971 00820231 23 01512736 24 01520331 25 26 01217693 01521377 27 01522883 28 01677293 29 01519305 30 01527072 31 01527875 32 01199011 33 01533692 34 01532826 35 36 37 38 39 01007699 01538688 01542677 01538792 01539034 40 01100037 41 42 01541627 01541639 43 01545581 MINAT (1,2) NAMA Wayan Wartini Veronika Winikaka Solvina Bopi Katarina Ro Naha Ana Awang Ni Luh Pt. Sri Wahyudi Ni Putu Wahyunita Ghiza Maelga Almarra kasiyanti Kadek Parwati L.P. Novi Purnamasari Made Artini Wiwik Purwaningsih Ni Ngh Reniti Asih Ni Luh Wiwik Wahyuniari Angela Maria Humak Wahyuningsih Ngh Asti L. Pt. Suartini Ririan Indra Rukmana Ni Wy. Adila Kdk. Yuniarti Pt. Harum Samiasih Marifatul Mandasari Ni Kt. Ari Sudanti Edel Meri Kuin Mery Handarayani Pt. Ayu Intan Artiasih Hana Sri Murwani Yuliana Seri Ayu Supartini Miswati Md. Dian Anggriyani Tina Ina Ni Luh Padmawati Ayu Pt. Sariani Ni Komang Darni Pt. Ayu Suartini Ni Kt. Juliantini Ni Md. Agustini Dewi Fajariyah Ekawati Tatik Kurniasih Faridah Rochaini Ni Nyoman Widiasih LUBRIKASI (7,8,9,10) BIRAHI (3,4,5,6) NI LAI FAK TOR NI LAI FAK TOR SKOR 4 0,6 9 0,6 2,4 8 5,4 18 8 9 0,6 0,6 4,8 5,4 6 0,6 4 FUNGSI SEKSUAL (FSFI) ORGASME (11,12,13) SKOR NI LAI FAK TOR SKOR 0,3 2,4 14 0,3 0,3 5,4 20 0,3 16 18 0,3 0,3 4,8 5,4 20 20 3,6 20 0,3 6 0,6 2,4 20 0,3 6 0,6 3,6 20 0,3 6 0,6 3,6 20 9 4 0,6 0,6 5,4 2,4 18 8 10 0,6 6 20 9 0,6 5,4 18 9 0,6 5,4 9 0,6 6 FAK TOR SKOR 4,2 3 0,4 6 15 0,4 0,3 0,3 6 6 15 15 20 0,3 6 6 20 0,3 6 20 0,3 6 0,3 0,3 5,4 2,4 0,3 0,3 18 0,3 5,4 18 0,6 3,6 CM NAMA NYERI (17,18,19) NI LAI FAK TOR SKOR 1,2 5 0,4 6 15 0,4 0,4 0,4 6 6 15 15 15 0,4 6 6 15 0,4 0,3 6 15 20 0,3 6 20 8 0,3 0,3 6 2,4 6 20 0,3 5,4 20 0,3 5,4 20 0,3 5,4 20 0,3 SKOR TOTAL NI LAI FAK TOR SKOR 2 4 0,4 1,6 13,8 6 15 0,4 6 34,8 0,4 0,4 6 6 15 15 0,4 0,4 6 6 33,6 34,8 15 0,4 6 15 0,4 6 33,6 6 15 0,4 6 11 0,4 4,4 30,8 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 33,6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 33,6 15 6 0,4 0,4 6 2,4 15 4 0,4 0,4 6 1,6 15 6 0,4 0,4 6 2,4 34,8 13,6 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 36 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 6 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 33,6 6 0,6 3,6 12 0,3 3,6 14 0,3 4,2 9 0,4 3,6 9 0,4 3,6 11 0,4 4,4 23 10 10 10 0,6 0,6 0,6 6 6 6 20 20 18 0,3 0,3 0,3 6 6 5,4 20 20 19 0,3 0,3 0,3 6 6 5,7 15 15 12 0,4 0,4 0,4 6 6 4,8 15 12 12 0,4 0,4 0,4 6 4,8 4,8 15 11 11 0,4 0,4 0,4 6 4,4 4,4 36 33,2 31,1 4 0,6 2,4 8 0,3 2,4 14 0,3 4,2 12 0,4 4,8 5 0,4 2 4 0,4 1,6 17,4 10 9 0,6 0,6 6 5,4 20 18 0,3 0,3 6 5,4 20 20 0,3 0,3 6 6 15 15 0,4 0,4 6 6 15 15 0,4 0,4 6 6 15 15 0,4 0,4 6 6 36 34,8 6 0,6 3,6 20 0,3 6 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 33,6 9 0,6 5,4 18 0,3 5,4 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 6 9 0,6 0,6 3,6 5,4 20 18 0,3 0,3 6 5,4 20 20 0,3 0,3 6 6 15 15 0,4 0,4 6 6 15 15 0,4 0,4 6 6 15 11 0,4 0,4 6 4,4 33,6 33,2 9 0,6 5,4 18 0,3 5,4 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 9 0,6 5,4 18 0,3 5,4 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 9 0,6 5,4 18 0,3 5,4 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 8 0,6 4,8 12 0,3 3,6 17 0,3 5,1 15 0,4 6 12 0,4 4,8 15 0,4 6 30,3 9 0,6 5,4 18 0,3 5,4 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 10 0,6 6 20 0,3 6 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 36 6 0,6 3,6 8 0,3 2,4 14 0,3 4,2 15 0,4 6 5 0,4 2 4 0,4 1,6 19,8 8 0,6 4,8 18 0,3 5,4 18 0,3 5,4 11 0,4 4,4 12 0,4 4,8 10 0,4 4 28,8 10 6 9 6 9 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 6 3,6 5,4 3,6 5,4 20 8 18 8 18 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 6 2,4 5,4 2,4 5,4 20 11 20 14 20 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 6 3,3 6 4,2 6 15 9 15 3 15 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 6 3,6 6 1,2 6 15 8 15 5 15 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 6 3,2 6 2 6 15 15 15 4 15 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 6 6 6 1,6 6 36 22,1 34,8 15 34,8 10 0,6 6 20 0,3 6 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 11 0,4 4,4 34,4 6 8 0,6 0,6 3,6 4,8 0 16 0,3 0,3 0 4,8 0 20 0,3 0,3 0 6 9 15 0,4 0,4 3,6 6 4 15 0,4 0,4 1,6 6 0 15 0,4 0,4 0 6 8,8 33,6 8 0,6 4,8 12 0,3 3,6 20 0,3 6 15 0,4 6 12 0,4 4,8 11 0,4 4,4 29,6 Responden Seksio Sesarea NO KEPUASAN (14,15,16) NI LAI FUNGSI SEKSUAL (FSFI) 83 MINAT (1,2) 1 01470561 2 01304301 3 01469714 4 01480027 5 01471961 6 01478423 7 01483102 8 01482704 9 01483669 10 01476460 11 01484038 12 01484640 13 14 15 16 17 18 01485815 01101526 01484473 01487362 01487550 01490284 19 01289956 20 01484819 21 22 01486411 01487351 23 01488923 24 01491302 25 01503699 26 01506393 27 28 29 01507435 01503757 01504804 30 01507722 31 01508828 32 01513920 33 01517382 34 35 36 01520112 01519366 01522884 37 01292691 38 39 40 01522876 01530055 01517010 41 01448528 42 01533013 43 01466673 Veronika Nengo Wayan Ladriana Yasniza Zikriana Ni Made Mariani Kartiasih Ni Made Lilik Artini Gst. Ayu Utami Dewi Nuraini Ni Nyoman Junariati Maria Fatima Jennian Siti Aminah Wayan Yulia Astari Puspita Sari Putu Italiani Km. Srini Wy. Yuniari Juniasih Rian Mariansa Ni Made Irawati Ni Made Suriyani Ketut Suartini Ni Nyoman Siti Ni wayan Surasmini Wati Sonbai Wy. Citra Mayuni Ernawati Ni Luh Ni Wy. Rangsi Yuyun Kulaefah Ngh. Artani AA. Sagung Ayu Supranita Ni Komang Artini Nym. Partini Wy. Ayu Darmiyanti Evi Apriani Wy. Mirayuni Istiqoma AA. Pt. Somawati L. Yeniari Md. Sukarini Md. Sumiati Ni Wy. Mudiasih Septin Tulak Pt. Wina Aristya LUBRIKASI (7,8,9,10) BIRAHI (3,4,5,6) ORGASME (11,12,13) KEPUASAN (14,15,16) NYERI (17,18,19) NI LAI FAK TOR SKOR NI LAI FAK TOR SKOR NI LAI FAK TOR SKOR NI LAI FAK TOR SKOR NI LAI FAK TOR SKOR 6 0,6 3,6 18 0,3 5,4 20 0,3 6 13 0,4 5,2 12 0,4 4,8 8 0,6 4,8 16 0,3 4,8 20 0,3 6 11 0,4 4,4 12 0,4 9 0,6 5,4 18 0,3 5,4 20 0,3 6 15 0,4 6 15 9 0,6 5,4 18 0,3 5,4 20 0,3 6 15 0,4 6 15 10 0,6 6 20 0,3 6 20 0,3 6 15 0,4 6 9 0,6 5,4 18 0,3 5,4 20 0,3 6 15 0,4 9 0,6 5,4 18 0,3 5,4 20 0,3 6 15 9 0,6 5,4 18 0,3 5,4 20 0,3 6 15 9 0,6 5,4 18 0,3 5,4 20 0,3 6 6 0,6 3,6 13 0,3 3,9 16 0,3 9 0,6 5,4 18 0,3 5,4 20 9 0,6 5,4 18 0,3 5,4 9 9 9 9 9 9 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 5,4 5,4 5,4 5,4 5,4 5,4 18 18 18 18 18 18 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 9 0,6 5,4 18 9 0,6 5,4 18 8 6 0,6 0,6 4,8 3,6 9 0,6 9 0,6 9 NI LAI SKOR TOTAL FAK TOR SKOR 11 0,4 4,4 29,4 4,8 15 0,4 6 30,8 0,4 6 15 0,4 6 34,8 0,4 6 15 0,4 6 34,8 15 0,4 6 15 0,4 6 36 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 4,8 14 0,4 5,6 12 0,4 4,8 15 0,4 6 28,7 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 5,4 5,4 5,4 5,4 5,4 5,4 20 20 20 20 20 20 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 6 6 6 6 6 6 15 15 15 15 15 15 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 6 6 6 6 6 6 15 15 15 15 15 15 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 6 6 6 6 6 6 15 15 15 15 15 15 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 6 6 6 6 6 6 34,8 34,8 34,8 34,8 34,8 34,8 0,3 5,4 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 0,3 5,4 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 13 16 0,3 0,3 3,9 4,8 16 20 0,3 0,3 4,8 6 14 15 0,4 0,4 5,6 6 12 12 0,4 0,4 4,8 4,8 15 15 0,4 0,4 6 6 29,9 31,2 5,4 18 0,3 5,4 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 5,4 18 0,3 5,4 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 0,6 5,4 18 0,3 5,4 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 9 0,6 5,4 18 0,3 5,4 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 9 9 6 0,6 0,6 0,6 5,4 5,4 3,6 18 18 13 0,3 0,3 0,3 5,4 5,4 3,9 20 20 16 0,3 0,3 0,3 6 6 4,8 15 15 14 0,4 0,4 0,4 6 6 5,6 15 15 12 0,4 0,4 0,4 6 6 4,8 15 15 15 0,4 0,4 0,4 6 6 6 34,8 34,8 28,7 9 0,6 5,4 13 0,3 3,9 16 0,3 4,8 14 0,4 5,6 12 0,4 4,8 15 0,4 6 30,5 21,6 6 0,6 3,6 12 0,3 3,6 12 0,3 3,6 9 0,4 3,6 9 0,4 3,6 9 0,4 3,6 10 0,6 6 20 0,3 6 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 36 9 0,6 5,4 18 0,3 5,4 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 13,5 0,4 5,4 34,2 9 9 9 0,6 0,6 0,6 5,4 5,4 5,4 18 18 18 0,3 0,3 0,3 5,4 5,4 5,4 20 20 20 0,3 0,3 0,3 6 6 6 15 15 15 0,4 0,4 0,4 6 6 6 15 15 15 0,4 0,4 0,4 6 6 6 15 15 15 0,4 0,4 0,4 6 6 6 34,8 34,8 34,8 9 0,6 5,4 18 0,3 5,4 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8 9 9 9 0,6 0,6 0,6 5,4 5,4 5,4 18 18 18 0,3 0,3 0,3 5,4 5,4 5,4 20 20 20 0,3 0,3 0,3 6 6 6 15 15 15 0,4 0,4 0,4 6 6 6 15 15 15 0,4 0,4 0,4 6 6 6 15 15 15 0,4 0,4 0,4 6 6 6 34,8 34,8 34,8 34,8 9 0,6 5,4 18 0,3 5,4 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 10 0,6 6 20 0,3 6 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 36 9 0,6 5,4 18 0,3 5,4 20 0,3 6 15 0,4 6 15 0,4 6 15 0,4 6 34,8