Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 Media Sosial Penguat Eksistensi Budaya Populer Irwanto AKOM BSI Jakarta, [email protected] ABSTRAK Tulisan ini adalah hasil penelitian yang berupaya untuk menjelaskan mengenai karakter media sosial yang memberikan ruang terhadap budaya populer. Sementara media sosial saat ini telah menjadi bagian dari peradaban manusia dan digunakan olah banyak orang, maka budaya populer meluncur tanpa hambatan melalui kendaraan media sosial tersebut. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka baik melalui literasi ataupun informasi yang dipeoleh dari media mainstream ataupun media sosial guna menjawab permasalahan yang terungkap. Hasil penelitian ini menjelaskan keunikan karakter media sosial sengaja diciptakan oleh kaum kapitalis sebagai cara untuk menyebarkan budaya populer yang identik dengan konsumtif dan bertentangan serta menghambat budaya tinggi. Kata Kunci: media sosial, eksistensi, budaya populer, kapitalis ABSTRACT This paper is a from research that seeks to explain the character of social media that gives space to populer culture. While social media has become a part of human civilization and used by many people, the populer culture is gliding unhindered through social media vehicles. This study uses literature study method through literasi or information obtained from mainstream media or social media to answer the problems revealed. The results of this study explain the unique character of social media deliberately created by the capitalists as a way to spread populer culture is synonymous with consumptive and contradict and resist high culture. Keywords: social media, existence, populer culture, capitalist Diterima 02 Juni 2017; Revisi 12 Juni 2017; Disetujui 15 September 2017. PENDAHULUAN Pergeseran fungsi media sosial akibat pesatnya teknologi malah melampui harapan fungsi awal media sosial itu sendiri. Awalnya niat untuk memberikan efektifitas serta efisiensi yang terjadi malah pergeseran fungsi. Hal ini terjadi pada media sosial yang saat ini telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat modern. Kenyamanan yang diberikan oleh media sosial menghipnotis masyarakat untuk memproduksi budaya populer secara massif. Kehadiran media sosial di tengah masyarakat mengubah secara drastis interaksi komunikasi manusia. Dengan hanya memiliki surat elektronik dan perangkat telepon pintar kini segalanya serba terbuka dan menjadi konsumsi massa. Perlahan tapi pasti masyarakat dipaksa meninggalkan media komunikasi tradisional yang kini tampak seolah begitu kuno. Perjalanan selanjutnya manusia pun mengarah dan seakan menyatu dengan kapitalisme global. Atas nama kebutuhan akan berkomunikasi tanpa disadari kita pun menjadi produsen budaya populer dan terjebak dalam komoditas industrialisasi. Media sosial mampu memberikan sarana untuk melakukan negosiasi simbol-simbol dan teks komunikasi serta pergeseran identitas kearifan lokal masyarakat. Pengguna media sosial menjadi sutradara sekaligus aktor atau komunikator dari aktifitas tersebut. Kecanggihan teknologi internet bisa menjadi ajang bersosialisasi, berekspresi, ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 114 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 dan bahkan untuk mencari jodoh. Dunia virtual dapat menjadi gaya hidup tersendiri, yang akan semakin menonjol peranannya pada generasi X, generasi yang terbentuk dalam abad informasi (Susanto, 2001). Saat inilah abad informasi yang dimaksud. Siapapun yang hidup dijamannya serta memanfaatkan teknologi tersebut bisa masuk dalam kategori generasi X yang dimaksud. Terkait dengan hal tersebut, media sosial dijadikan sarana untuk mengunggah hasil foto selfie. Dipahami bahwa tren aktivitas selfie pada media sosial masyarakat sekarang mengarah pada suatu tindakan yang penting eksis dan tidak peduli apa yang terjadi setelahnya. Selain itu sefie identik dengan pamer, dan pencitraan alias berpindah citra dari satu citra ke citra berikutnya, itupun jika tidak mau disebut menutupi hal yang jelek. Selanjutnya media sosial jadi sarana penyebar meme. Visual meme yang saat ini menjadi populer di media sosial baik itu untuk sekadar lucu-lucuan atau mendeskreditkan subjek atau objek tertentu. Selanjutnya media sosial sebagai sarana untuk menjadi artis selebgram yang arahnya bintang endorse sebuah produk. Media sosial sebagai wadah untuk mempercepat sesuatu agar menjadi populer seperti halnya fenomena viral om telolet, meme, selfie, vlog, bermain pokemon go, siaran di Bigo, youtuber, karoke dan smule serta sejenisnya yang lain. Terdapat kesadaran pada pengguna media sosial yang telah bermatafora dari dunia riil menuju dunia maya (Irwanto, 2014). Semua fenomena tersebut memberikan bukti adanya penguatan budaya populer melalui media sosial. Disadari atau tidak dan mau tidak mau siapapun yang melakukan aktifitas fenomena-fenomena tersebut berarti telah memasyarakatkan budaya populer dan telah mempupulerkan budaya massa. Pada media sosial terdapat identitas semu, cairnya komunikasi yang terjalin serta penggunaan teks serta tanda unik yang merupakan hasil dari konstruksi realitas ini menciptakan budaya baru yang dalam berkomunikasi (Irwanto,2014). Masyarakat semakin mudah memproduksi sekaligus mengkonsumsi konten yang ada pada media sosial, dan disaat yang sama pundi pundi uang firma kapitalis yang menjadi produsen perangkat lunak ataupun telepon pintar terus bertambah. Media sosial menggeser masyarakat semakin jauh dengan budaya adi luhungnya sementara firma kapitalis sebagai produsennya terus mempenetrasi idiologinya pada masyarakat. Penelitian ini akan menguraikan bagaimana media sosial menjadi mesin penguat bagi budaya populer di kalangan masyarakat. Selain itu, tulisan ini juga menganalisa kaitan media sosial yang memberikan kontribusi pada eksistensi budaya populer tersebut. KAJIAN LITERATUR Media Sosial Secara sederhana media dipahami sebagai alat berkomunikasi (Laughey, 2007). Pemahaman media yang disampaikan Laughey adalah pengertian media dalam konteks makna yang luas. Media disini bisa diartikan sebagai perantara untuk kepentingan komunikasi massa ataupun untuk kepentingan komunikasi personal. Pemilihan konsep media yang diutarakan Laughey sangat cocok untuk memberikan pengantar pemahaman akan arti media. Ia memberikan pengertian yang sangat sederhana tentang media terlepas dari paradigma positivistik, post positivistik, interpretif ataupun kritis. Namun dalam perkembangannya, media tidak sesederhana yang seperti yang disampaikan oleh Laughey yakni sekadar alat komunikasi saja. Pengertian media bisa kompleks, tergantung ditinjau dari perspektifnya. Beragam kriteria bisa dibuat untuk melihat bagaimana media itu. Media bisa ditinjau dari teknologi yang terdapat pada media itu sendiri. Seperti halnya media elektronik dan media cetak. Media juga dapat dikategorisasi berdasar sifat pesannya yakni media audio dan media audio visual. Pembagian ini hanya melihat media dalam tatanan kulitnya saja. Hanya sekadar alat yang digunakan untuk menyampaikan isi pernayataan, padahal tidak demikian, pengertian media itu kompleks. Durham dan Kellner (2006) memberikan pencerahan kepada dunia mengenai media ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 115 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 dengan konsepnya yang terkenal medium is the message atau media itu adalah pesan. Penegasannya tentang media itu adalah pesan terkait dengan pola komunikasi dan budaya. Sementara paradigma kritis ilmu komunikasi memberikan kesadaran bahwa media memiliki kekuatan lebih dari yang selama ini dibayangkan dan diharapkan. Media cenderung menjadi kekuatan kapitalis untuk terus berproduksi dan mampu memiliki nilai guna hingga bisa berubah menjadi nilai tukar. Makna kata sosial menurut Fuchs (2014), yakni merujuk pada kenyataan sosial bahwa setiap individu memberikan aksi yang memberikan kontribusi pada masyarakat sosial. Hal ini menegaskan bahwa media sosial merupakan produk dari proses sosial. Dipahami pengertian sosial disini, memberikan penekanan pada aspek komunitas yang berinteraksi dan saling berafirmasi dan dalam komunitas itu terdapat kesepahaman, nilai, dan aturan-aturan. Lebih jauh Fuchs (2014) mengartikan sosial mengarah pada aksi sosial dan relasi sosial. Pada relasi sosial dibutuhkan lambang komunikasi yang mampu memberikan makna, bisa berupa simbol dan teks. Pengertian sosial merujuk pada terdapatnya unsur kerjasama antar individu sehingga menciptakan sesuatu. Dalam bekerja sama terdapat saling mengisi untuk melengkapai satu dengan yang lainnya. Proses kerjasama inilah yang dikenal dengan istilah produksi. Nantinya hasil dari produksi ini akan memiliki nilai tukar. Melalui pengertian-pengertian tersebut pemahaman media sosial bukan berarti menggabungkan arti dari masing masing kata media dan sosial. Untuk memahami media sosial sedikit mereview mengenai web 2.0, yakni media internet yang tidak lagi sekadar menghubung dengan antar individu dengan perangkat teknologi dan jaringan komputer tapi telah melibatkan individu untuk mempublikasikannya secara bersamaan dengan proses dan alur yang sangat panjang. Melalui penjelasan ini dipahami bahwa media sosial pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan komputer yang terhubung dengan internet. Elemen bersosial, seperti halnya pengenalan, komunikasi dan kerja sama terdapat dalam media sosial. Pengenalan merupakan dasar melakukan komunikasi, dan komunikasi itu sendiri langkah untuk melakukan kerjasama. Di dalam jaringan komputer internet ada sebuah sistem hubungan antarpengguna yang bekerja berdasarkan teknologi komputer yang saling terhubung. Juga keterhubungan antarpengguna itu sekaligus membentuk semacam jaringan laiknya masyarakat di dunia off line atau nyata lengkap dengan tatanan, nilai, struktur, sampai pada realitas sosial; konsep ini bisa dipahami sebagai techno social system (Fuchs, 2014). Sebuah sistem sosial yang terjadi dan berkembang dengan perantara sekaligus keterlibatan perangkat teknologi. Fuchs (2014) menjelaskan media sosial sebagai kumpulan perangkat lunak yang memungkinkan individu maupun komunitas untuk berkumpul, berbagi, berkomunikasi, dan dalam kasus tertentu saling berkolaborasi atau bermain. Media sosial memiliki kekuatan pada user generated content (UGC) yakni konten yang dihasilkan oleh pengguna bukan oleh produsen sebagaimana laiknya media massa. Kembali Fuchs (2014) menjelaskan, media sosial adalah platform media yang memfokuskan pada eksistensi pengguna yang memfasilitasi mereka dalam beraktifitas maupun berkolaborasi. Karena itu, media sosial dapat dilihat sebagai medium on line yang menguatkan hubungan antarpengguna sekaligus sebagai sebuah ikatan sosial. Melalui pengertian-pengertian yang telah disampaikan sebelumnya, dapat dipahami media sosial ialah sarana di internet yang digunakan penggunanya untuk lakukan presentasi diri, berinteraksi sosial, berbagi, bekerja sama serta membentuk ikatan sosial serta pranata sosial virtual. Budaya Populer Memahami budaya populer tidak bisa lepas dari sesuatu yang kekinian dan diminati oleh orang banyak. Budaya populer didominasi oleh produksi dan konsumsi barang-barang material yang penciptanya hanya berorientasi pada laba dan tidak hakiki serta jauh dari unsur seni sejati. Argumentasi radikal dan prinsip mengenai budaya populer diutarakan oleh Irwin dan ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 116 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 Gracia (2007) yang menegaskan bahwa budaya populer tidak memiliki aspek filosofis. Sebab budaya populer sarat akan unsur kesenangan. Sementara kesenangan tidak ada hubunganya dengan sesuatu yang sifatnya filosofis. Filosofis cenderung pada aspek kritis dan filosfis tidak pernah dituntut untuk menjadi mudah. Budaya populer yang disokong industri budaya telah mengkonstruksi masyarakat yang tidak sekadar berlandaskan konsumsi, tetapi juga menjadikan artefak budaya sebagai produk komoditi. Ini membuat budaya populer semakin komplek karena saling bertautan dengan ekonomi politik yang diproduksi oleh kapitalis. Dibutuhkan kekuatan politik dan moneter agar bisa mengkreasikan budaya populer sekaligus aktifitas penetrasinya keseluruh wilayah di muka bumi ini. Belakangan kecanggihan teknologi juga dibutuhkan dalam ruang lingkup aktifitas budaya populer. Budaya populer sangat erat kaitannya dengan budaya massa. Karena budaya massa bisa disebut juga budaya populer yang dihasilkan melalui teknik-teknik industri produksi massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan dari khalayak konsumen massa. Budaya massa ini berkembang akibat dari kemudahankemudahan reproduksi yang diberikan oleh teknologi seperti halnya percetakan, fotografi, perekan suara dan sebagainya Pemahaman akan budaya populer, Subandy (2011) memandangnya sebagai sekumpulan artefak yang ada, seperti film, kaset, program acara televisi, alat transportasi, pakaian dan sebagainya. Budaya populer yang lazim disingkat budaya pop mengandung arti dikenal dan disukai banyak orang (umum), sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya, mudah dipahami, disukai dan dikagumi orang umum. Menurut Wiliam dan Storey (2001) istilah populer memiliki makna yakni banyak disukai orang, jenis kerja rendahan, karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang dan budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri. Pemahaman yang diberikan ini mengandung sinyal bahwa budaya populer adalah inferior dibanding budaya tinggi yang lebih mengandung unsur nilai, estetis dan seni. Tapi uniknya, budaya populer inilah yang banyak diterima masyarakat. Budaya populer selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai tempat dan waktu. Budaya populer umumnya mudah lekang dan sulit untuk abadi. Karena dari waktu ke waktu akan terus ada budaya popler yang baru dan siap bersaing dengan budaya populer yang telah hadir sebelumnya. Serangan budaya populer terhadap budaya tinggi terjadi cukup sporadis. Memahami budaya populer sebaiknya berangkat dari pemahaman sederhana yakni budaya populer adalah budaya yang simpel yang disukai dan diminati orang banyak (Storey 2012). Ini juga terkait dengan unsur ‘jumlah’. Tidak dapat diragukan `bahwa indeks kuantitatif yang merujuk pada persetujuan masyarakat luas mutlak harus dipenuhi oleh budaya populer. Seperti halnya jumlah tiket nonton film, jumlah penjualan album musik, tingkat populeritas program televisi. Intinya Budaya populer itu simpel dan banyak diminati oleh orang banyak. Budaya populer menurut Mukerji (1991) mengacu pada kepercayaan, praktik atau objek yang tersebar luas dan hidup di masyarakat. Hal ini termasuk kepercayaan adat, praktek-praktek dan objek yang diproduksi dari pusat-pusat komersial dan politik. Strinati (2003) menegaskan budaya populer sebagai lokasi pertarungan, makna ini ditentukan dan diperdebatkan. Budaya populer melayani serta melengkapi sistem kapitalisme, patriarki dan mampu membius masyarakat. Budaya populer juga bisa dilihat sebagai lokasi di mana maknamakna dipertandingkan dan ideologi yang dominan bisa saja diusik. Pertarungan tersebut bisa saja antara pasar dan berbagai ideologi, antara pemodal dan produser, antara sutradara dan aktor, antara penerbit dan penulis, antara kapitalis dan pekerja, antara wanita dan pria, antara kelompok hetroseksual dan homoseksual, antara kulit hitam dan putih, antara makna segala sesuatu dan bagaimana artinya, merupakan pertarungan atas kontrol terhadap makna yang berlangsung secara terus menerus. Pemahaman budaya populer sangat kompleks dan kritis bahkan mengarah sebagai pertarungan segala macam bentuk ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 117 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 makna untuk mendapatkan hati di masyarakat (Strinati 2003). Saat ini pun sudah diduga bahwa pragmatisme, praktis dan instan yang jadi pemenang pertarungan. Sehingga budaya pop lazimnya praktis dan instan dalam kehidupan sosial di masyarakat. Saat ini budaya pop telah menghujam langsung dan membenturkan dirinya ke peradaban bangsa Indonesia. Budya populer telah menjadi kekuatan dibelakang evolusi sosial yang secara simultan memicu kejadian yang belum pernah terjadi sebelumnya dimasyarakat luas. Budaya populer ditandai oleh karakteristik yang asli miliknya yakni standarisasi, stereotipe, kebohongan, dan barang barang konsumen yang telah dimanipulasi (Budiman, 2002). Lebih jauh lagi karakteristik budaya populer ialah cenderung hedonisme, mengandung aspek relativistis, lebih pragmatis, cenderung konsumtif, mengedepankan aspek materialistis, kontemporer, dangkal, mengejar populeritas, bersifat hybrid, menghibur, banyak terdapat ikon, hilangnya batasan, lebih instan, prioritaskan unsur visual, massif, hiperealitas. Budaya populer pada masyarakat Indonesia jauh lebih bisa diterima di seluruh strata sosial. Kehadiran budaya populer di tengah masyarakat telah memberikan warna baru dalam berinteraksi. Namun, pandangan mengenai rendahnya budaya populer tidak menghilang begitu saja. Kelompokkelompok sosial yang lebih berorientasi elitis memandang rendah terhadap budaya populer, menghina dan was-was, sementara banyak kelompok jelata yang bersikap mendua, sebagian bercita-cita untuk naik kelas sosial dengan mengikuti perkembangan terbaru dalam dunia budaya populer, sementara kelompok lainnya tetap saja merasa grogi atau tersinggung oleh hiruk pikuk budaya populer. (Heryanto, 2015). Penjelasan ini menegaskan sekaligs membuktikan bahwa budaya populer cenderung berada dalam suatu kepentingan dan berwatak politis. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan melakukan studi pustaka serta desk research guna menjawab permasalahan yang terungkap. Penggunaan referensi studi-studi yang terkait juga dilakukan sebagai upaya menjawab persoalan yang diketengahkan. Selain itu, referensi materi-materi unggahan di media sosial yang berhubungan dengan tema penelitian yang diangkat. Pengumpulan data dilakukan dengan memonitor pemberitaan yang terdapat pada media massa dan juga media on line baik lokal maupun nasional. Analisa data dilakukan melalui interpretasi peneliti yang menggunakan pendekatan kualitatif dan fokus pada permasalahan yakni media sosial yang menjadi mesin penguat bagi budaya populer di kalangan masyarakat serta kontribusinya pada eksistensi budaya populer. PEMBAHASAN Media Sosial Penguat Budaya Populer Ditinjau dari aspek komunikasi, maka kelahiran media sosial merupakan perwujudan dari konsep manusia sebagai makhluk sosial. Sementara untuk bisa menjadi makhluk sosial setidaknya terdapat aktifitas interaksi sosial. Dalam aktifitas interaksi sosial inilah manusia tidak bisa lepas dari berkomunikasi. Media sosial yang berbasis teknologi perangkat keras atau hardware serta perangkat lunak atau software dan dengan memanfaatkan jaringan internet menghadirkan pola komunikasi interaksi antar manusia. Media sosial termasuk kategori media baru. Media baru memiliki keunggulan yakni mengatasi jarak geografis, meningkatkan kecepatan komunikasi dan volume komunikasi, terdapat lebih banyak saluran komunikasi banyak kontrol bagi pengguna serta peningkatan bentukbentuk komunikasi. Melalui media sosial maka dimanapun dan kapanpun asalkan masih ada jaringan internet, batere dalam kondisi sudah terisi listrik dan punya kouta internet maka proses komunikasi bisa terjalin. Pemahaman-pemahaman yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, jelas bahwa media sosial merupakan bentuk dari ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 118 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 budaya populer dengan jelmaannya yang unik. Pada era sebelumnya media massa bagian dari budaya populer. Hal ini terjadi ketika era telekomunikasi (telecommunication era). Sekarang saat era interactive (interactive era) maka media sosial menjadi budaya populer dengan beragam keunikannya serta fenomena kehadirannya yang tidak bisa diduga sebelumnya. Media sosial telah membuka ruang baru, yaitu sebuah ‘ruang imajiner’ yang di dalamnya setiap orang dapat melakukan apa saja yang bisa dilakukan dalam kehidupan sosial sehari-hari dengan cara yang baru (Piliang, 2005). Cara artifisial ini sangat mengandalkan peran teknologi, khususnya teknologi komputer dan informasi dalam mendefinisikan realitas, sehingga berbagai kegiatan yang dilakukan di dalamnya seperti bersenda gurau, berdebat, diskusi, bisnis, brainstorming, gosip, protes, kritik, bermain, bermesraan, bercinta, menciptakan karya seni, dapat dilakukan di dalam ruang publik tanpa batas (cyberspace ). Media sosial muncul sebagai solusi untuk mengatasi kekurangan dalam proses komunikasi yang selama ini terjadi di masyarakat. Fasilitas yang disediakan seperti tidak terpisah jarak ruang dan waktu telah menjadikan media sosial semacam primadona dikalangan masyarakat. Terlebih lagi kemampuan media sosial dalam menciptakan perubahan sosial. Media sosial memiliki potensi untuk bisa lebih mengorbitkan budaya populer dibanding dengan media massa. Melalui karakternya, media sosial menjadi wadah bagi budaya populer untuk terus berkembang. Fenomena-fenoma seperti halnya viral atau sesuatu yang cepat populer melalui media sosial, meme, selfie, vlog, pokemon go, om telolet, youtuber, smule, selebgram dan banyak lagi yang lainnya adalah bukti nyata betapa media sosial tempat subur bagi budaya populer. Budaya populer yang berwatak politis (sebagaimana penjelasan pada bab sebelumnya) sangat tampak saat hegemoninya terwujud pada media sosial. Adanya media sosial saat ini menganugerahkan kesenangan dan euforia pada sisi lain juga sebagai kontrol sosial di masyarakat. Tapi justru fungsi senangsenangya jauh lebih mudah ditemukan dan banyak diadaptasi oleh masyarakat. Fungsi kesenangan pada media sosial yang menjadi budaya populer seringkali dilakukan oleh hampir pemilik akun media sosial dan masyarakatpun tanpa sadar larut dalam budaya populer tersebut. Salah satu contoh nyata ditemukan pada saat Andita Lela Karlita atau Ita yakni wanita penjaga warung yang heboh dan menajdi viral pada media sosial kurun waktu 17 – 18 Maret 2017. Ita adalah pemilik sekaligus pelayan sebuah warung di kawasan Nganjuk Jawa Timur. Profilnya mulai menjadi perbincangan setelah foto-foto dirinya saat mengantar kopi pembeli diunggah sebuah akun grup komunitas motor di media sosial Facebook. Uniknya, dalam keterangan foto menjelaskan jika perempuan berusia 22 tahun itu dulunya berprofesi di dunia pentas hiburan televisi. Gambar 1. Viral Anandita pada media sosial (Sumber: Akun media sosial penulis) Gambar 1. nampak bahwa saat penulis melakukan pemantauan di media sosial Facebook jumlah akun yang membincangkan Anandita Lela Kartika I Facebook sebanyak 21.442. Lalau dapat dilihat pada gambar 02 bahwa demam Ita ini juga menjadi bahan perbincangan di grup WhatsApp (WA) ataupun BBM. ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 119 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 Gambar 2. Viral Anadita di grup WhatsApp (Sumber: WhatsApp Penulis) Setelah itu belakangan barulah Ita ini ramai diberitakan media massa daring pada kurun 19 – 20 Maret 2017. Ketika data diperoleh 20 maret 2017 pukul 9.00 wib tercatat sampai enam berita tentang Ita pada detik.com dan satu berita pada liputan6.com. Dua media massa ini yang paling awal memberitakan Ita. Ini menjelaskan bahwa budaya populer bisa lebih cepat tersebar melalui media sosial dibanding dengan media massa. Fenomena Ita pemilik dan penjaga warung ini adalah bagian dari budaya populer yang cenderung diterima masyarakat sebagai sesuatu yang menyenangkan dan bersifat euforia. Sampai tulisan ini dibuat tercatat pada media sosial Facebook sejumlah 21.442 orang memperhatikan serta membincangkan Ita. Jumlah ini baru yang terdapat pada media sosial Facebook, belum dihitung yang terdapat pada aplikasi media sosial whatsapp (WA) dan blackberry mesengger (BBM). Melalui media sosial hanya kurun waktu tiga hari Ita menjadi viral. Bahkan media massa, dalam hal ini cenderung detik.com dan liputan6.com menjadi pengikut dari isu yang awalnya datang dari media sosial tersebut. Diluar dua media ini penulis meyakini masih ada lagi yang turut memberitakan Ita. Redaksi media massa dalam hal ini seperti halnya detik.com dan liputan6.com seolah khawatir ketinggalan momen untuk tidak memberitakan Ita. Alih-alih mengobati dahaga rasa ingin tahu pembaca atas berita Ita yang diperolehnya dari petualangan browsing ataupun intip akun (stalking) pada media sosial. Demikian kuatnya media sosial sampai redaksi media massa turut memberitakan budaya populer yang diproduksi olehnya. Peristiwa ini menjadi bukti media sosial di masyarakat saat ini lebih peduli terhadap kesenangan, euforia terhadap munculnya setiap produk dari budaya populer. Ironisnya media massa yang seharusnya lebih memberitakan hal yang bernilai lebih tapi justru mengikuti agenda yang viral pada masyarakat. Seolah ketakutan akan teralienasi apabila tidak mengikuti arus budaya pop membuat tiap individu masyarakat menjadi ‘terbebani’ untuk selalu turut serta sebagai bagian dari perkembangan budaya populer. Masyarakat tidak ragu untuk menciptakan sebuah identitas sosial baru dan menegosiasikan ulang identitas tersebut di masyarakat. Pencarian kesenangan dan konsep privatisasi dalam menghasilkan identitas inilah yang cenderung terjadi dalam dunia maya. Media sosial sebagai new media sebagai ‘aktor’ utama munculnya generasi baru membawa dampak yang signifikan terhadap pergeseran cara pandang dan interaksi sosial terhadap struktur serta pola masyarakat saat ini. Penggunaan media sosial telah memberikan warna tersendiri dan tentunya menjadi semacam alat baru dalam berkomunikasi, bereksistensi dan bernarsis ria bahkan berbisnis mencari uang. Selain itu, pandangan masyarakat terhadap keberadaan media sosial merupakan sebuah bentuk dominasi baru dalam berinteraksi dan bersosialisasi. Konsep teks dan bahasa telah mulai bergeser pada bentuk simbol-simbol yang merepresentasikan makna dalam berkomunikasi tersebut. Pandangan masyarakat akan kemudahan berkomunikasi dan penyampaian pesan serta gagasan dalam ranah media sosial membawa perubahan dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Masyarakat modern seolah ada yang kurang dalam kehidupannya atau diistilahkan mati gaya bila tidak berdampingan dengan perangkat telepon pintar yang biasa digunakannya untuk bersosial di media sosial. Bahkan bagi ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 120 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 anak-anak muda pelajar serta mahasiswa bisa jadi lebih mmemilih beli kouta dari pada beli buku. ‘Kenyamanan dan kenikmaan’ inilah yang membawa media sosial menjadi saluran yang sangat berpotensi dalam mengembangkan budaya populer atau bahkan identik menjadi bagian dari budaya populer itu sendiri. Media sosial memberikan suatu pegalaman sosial baru yakni membentuk citra sebagai teks, menekankan pada efek dan pengalaman sensual di atas rekayasa narasi dan makna. Memberikan pengalaman baru yang terbenam di dalam citra (Ibrahim dan Akhmad, 2014). Saat ini media sosial sebagai new media dengan konsep yang partisipatoris, otonomi, interaktif, privasi serta bermain menjadi lebih populer di masyarakat. Kemunculan media sosial tersebut sebgai sebuah fenomena yang menarik oleh si penggunanya apabila dibandingkan dengan konsumsi pada media konvensional sebelumnya. Dari penjelasan diatas bisa dilihat bahwa sebenarnya media sosial telah memberikan fasilitas yang mampu memberikan ‘kenikmatan’ tadi bagi penggunanya. Kenikmatan ini bagi sebagian orang bagai candu. Selalu ketagihan dan ingin lagi dan lagi. Seperti halnya bila melakukan up date status katakanlah di facebook atau twitter, yakni ada saat waktu ketika pengguna akan membuka kembali aplikasi tersebut untuk melihat respon orang lain atas up date yang dilakukannya dan atau melakukan kembali up date status yang baru. Kecanduan media sosial atau medsos holik juga menjadi salah satu aktifitas yang semakin mempopulerkan budaya populer. Saat ini sindrom kecanduam nedia sosial atau medsosholik seperti virus yang penyebarannya sulit untuk dikontrol. Bila hal ini mengarah pada kegiatan-kegiatan positif seperti halnya komunikasi pembangunan tentu kehadiran media sosial akan sangat apresiasif. Namun kenyataanya tidak sepenuhnya demikian. Hadirnya media sosial membuat siapa saja bisa menjadi agen budaya populer. Dengan realitas teknologi yang semakin canggih dan murah, media sosial sudah bisa diperoleh serta digunakan ke seluruh pelosok dunia. Budaya populer pun kian mudah dicicipi oleh semua manusia yang ada di seantero dunia. Mulai dari rakyat biasa sampai pemimpin negara ramairamai mengabadikan momen yang dirasa berharga untuk melalui vlognya. Tidak ketinggalan Presiden Jokowi pun memanfaatkan vlog untuk mengabadikan momen dirinya saat bersantap siang dengan Raja Salman pemimpin negara Saudi Arabia sekaligus pengawal dua tempat suci. Hanya dalam kurun waktu dua minggu kemudian ia kembali memanfaatkan vlog untuk mengabadikan momen yang dianggapnya penting, yakni ketika kambing peliharaannya mempunyai anak. Gambar 3. Jokowi dengan Raja Salman (Sumber: Kompas TV) Gambar 4. Jokowi saat beri tahu tentang momen lahiran kambing peliharaannya (Sumber: youtube.com) Peristiwa presiden Jokowi mengabadikan momen santap siang bersama Raja Salman dan lahir kambing peliharaanya melalui sarana vlog memberikan contoh nyata ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 121 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 tentang media sosial sebagai wadah eksistensi budaya populer. Video Presiden Jokowi ketika mengabadikan momen anak kambing peliharaanya. Bila dilihat melalui youtube (saat penulis pantau) dalam kurun waktu empat hari yang menyaksikan tayangan ini mencapai 642.859 pemirsa. Terdapat relasi antara pembuat yakni presiden Jokowi dengan penontonnya. Pada contoh ini terdapat sinergisitas yang diwadahi oleh media sosial vlog dan menguatkan eksistensi budaya populer ditengah masyaraikat. Dari peristiwa tersebut bisa dipahami bahwa budaya populer akan dilihat sebagai pertunjukan yang dibuat dan dibentuknya oleh pemain serta penontonnya sendiri Fedorak (2009). Budaya populer memegang peranan penting sebagai aspek yang digemari oleh seluruh kalangan masyarakat. Kehadiran budaya populer dalam masyarakat menandakan bahwa terdapat suatu perubahan sosial dalam masyarakat tersebut. Media sosial selama ini telah memberikan gambaran yang nyata bahwa perkembangan teknologi telah memberikan dampak yang signifikan bagi perubahan sosial di masyarakat. Fenomena-fenomena seperti halnya selfie, vlog, meme, selebgram, viral, game on line (pokemon go) ialah budaya populer yang ada dalam kehidupan kita sehari-hari. Budaya ini tampil dalam kelompok kehidupan manusia. Ia adalah akumulatif dari pertunjukan, ekspresi dan simbol yang mempengaruhi dan merefleksikan budaya manusia. Budaya populer adalah artefak atau simbol yang membagi pengalaman dan menciptakan solidaritas sosial yang menjadi dasar dalam masyarakat. Budaya populer identik dengan sesuatu yang sifatnya instan dan budaya populer yang bisa dihasilkan oleh siapapun dan dimanapun. Budaya populer menciptakan homogenitas dan bersifat hibrid. Ini mengarah budaya populer yang menggunakan media sosial lebih pada adanya keseragaman bentuk, rasa, pola, gaya, konvergensi media serta mediamorfosis. Budaya populer yang disebar melalui media sosial akan menjadi ancaman bila didukung oleh kekuatan global dan modernisasi, seperti kapitalisme dan Internet. Dengan seluruh kekuatan yang dimiliki budaya populer maka kapitalisme dalam budaya populer tidak bisa dilihat. Secara terpisah keduanya saling terkait dengan banyak hal, diantaranya faktor ekonomi sosial gender, budaya serta identitas nasional. Internet pada gilirannya berdampak pada interaksi sosial populer, diantaranya penyebaran-perolehan informasi, aktifitas ekonomi (belanja on line), wacana politik dan budya populer itu sendiri (Fodak, 2009). Media sosial menguatkan budaya populer dengan isme kapitalisnya. Salah satunya bisa dilihat dari fenomena selebgram dan artis endorsement. Ketika era jayanya media massa tentu tidak ada satupun yang menduga akan muncul selebriti yang meniti karir dan terkenal di media sosial. Sebagai gambaran, Ayu Indriati Rahayu, seorang mahasiswi sekaligus blogger yang aktif di media sosial dengan jumlah followers Instagramnya (saat penulis pantau) mencapai 66 ribu akun. Ia bisa meraup penghasilan 10 juta per bulan lewat endorsement. Pola model seperti ini salah satu bentuk sistem kapitalis yang simulacrum. Dalam semangat kapitalisme, apapun yang bisa menghasilkan profit akan diuangkan. Dari semangat ini beragam budaya populer bisa dikonstruk. Tidak ada tabu soal ideologi, atau moral. Kapitalis tidak kenal dengan urusan moral, ideologi bahkan agama, selama bisa menghasilkan profit tentunya akan menjadi prioritas utamanya. Semangat kapitalisme berlenggang maju melalui media sosial dan tentunya berbudaya populer. Perhatikan saja aplikasi media sosial yang terdapat pada google play, mulai dari utility, permainan, pelajaran, peta, kecantikan, bisnis, kencan, makanan-minuman, sampai yang bernuansa religi bisa berbasis media sosial dan interaktif. Dalam hal ini jelas budaya populer melaju bebas melalui media sosial dengan membawa misi kapitalisme global. PENUTUP Keunikan karakter media sosial sengaja dihadirka oleh kaum kapitalis sebagai cara untuk menyebarkan budaya populer yang identik dengan konsumtif dan cenderung ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 122 Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. IV No. 1 April 2017 menjadi lawan dari budaya tinggi. Media sosial yang berbasis teknologi adalah anak dari globalisasi. Tidak perlu khawatir yang berlebihan akan media sosial. Namun masifnya budaya populer dengan gunakan media sosial atas konstruksi kaum kapitalisme tetap harus diwaspadai. Pada sisi lain media sosial masih menyimpan banyak potensi sebagai sarana komunikasi pembangunan. Hanya saja dibutuhkan literasi kepada masyarakat agar menguasai, memahami serta bijak dalam menggunakan media sosial. Tema budaya sosial dan budaya popler yang diangkat pada tulisan ini bisa menjadi referensi atau dasar bagi penelitian tentang media sosial serta budaya selanjutnya. REFERENSI A.B, Susanto, 2001, Potret-Potret Gaya Hidup Metropolis, Kompas, Jakarta. Budiman, Hikmat. 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta. Durham, M.G & Kellner, D.M. 2006. Media and Cultural Studies. Blackwell Pubishing. Malden MA. Fedorak, Shirley A. 2009. Pop Culture The culture of Everyday Live.University Toronto Press. Toronto. Irwin, Wiliam & Gracia JPrge J.E. 2007. Philosophy and the interpretation of Pop Culture Rowman and littlefield. Marryland. Laughey, D. 2007. Themes in Median Theory. New York. Open University Press. Mukerji, Chandra. 1991. Rethinking Popular CUlture. Berkeley. University of California Press. Piliang, Yasraf Amir. 2005, “Cyberspace dan Perubahan Sosial: Eksistensi, Identitas, dan Makna”, Jurnal Balairung, Edisi 38/XIX, Tahun 2005, Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) UGM, Yogyakarta. Storey, John. 2001. Cultural Theory and Pupular culture. Prentice Hall. London. __________. 2012. Populer Culture An Introduction. Routledge. New York Strinati, Dominic. 2003. Populer Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta. Bentang, Fuchs, C. 2014. Social Media a Critical Introduction. Los Angeles. Sage Publication. Heryanto, Ariel. 2015. Identitas dan Kenikmatan. Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia. Ibrahim, Idi Subandy. Akhmad, Bachruddin Ali. 2014. Komunikasi dan Komodifikasi. Jakarta. Pustaka Obor. Irwanto. 2014. Studi Semiotika Sosial WEB Komunitas Kaskus Menegenai Kinerja Presiden SBY. Jurnal Komunikasi. Vol 5, No.1. Hal 1629. ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jika 123